Bujang Gila Tapak Sakti

Sonny Ogawa

BUJANG GILA TAPAK SAKTI

SATU

ANGIN malam bertiup dingin. Tanpa desau dan tak mampu menimbulkan suara gemerisik pada daun-daun pepohonan di puncak gunung Mahameru. Biasanya kesunyian yang dibalut udara dingin ini akan berlangusng sampai menjelang pagi ketika burung-burung atau binatang hutan lainnya mulai mengeluarkan suara menyongsong terbitnya sang surya.

Namun sekali ini baru saja beberapa saat lewat tengah malam tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh langkah-langkah aneh yang datang dari lereng sebelah selatan. Suara itu bukan suara kaki-kaki kuda. Di antara suara langkah yang terus menurut itu sesekali terdengar suara orang tertawa. Manusia gila dari mana yang tertawa di malam buta di puncak gunung yang gelap dan dingin begitu rupa?

Suara dalam kegelapan itu bergerak ke arah puncak gunung. Tak lama kemudian samar-samar kelihatan satu pemandangan yang sulit dipercaya. Suara langkah-langkah kaki tadi ternyata adalah suara langkah kaki seekor keledai bertubuh pendek dan kurus. Binatang ini bergerak menembus kegelapan malam dan dinginnya udara.

Di atas gigih tubuhnya yang kurus dan pendek itu sungguh kontras tampak duduk seorang bertubuh gemuk luar biasa. Orang ini mengenakan celana hitam yang sangat komprang tapi karena tubuhnya yang luar biasa gendut itu maka celana besar itu tetap saja kesempitan. Begitu juga baju putihnya yan gbesar dan tak dapat dikancing hingga dada dan perutnya yang gembrot tersembul keluar.

Si gemuk ini memiliki sepasang mata sipit sedang rambutnya yang berwarna putih disanggul di atas kepala. Melihat keadaan rambutnya jelas dia sudah berusia lanjut. Dengan berjalan kaki saja seorang akan mengalami kesulitan untuk mendaki gunung Mahameru apalagi menunggang keledai kurus kecil seperti itu. Dan penunggangnya memiliki bobot gemuk luar biasa pula, lebih dari 200 kati!

Namun keledai dan penunggangnya itu kelihatan enak saja mendaki dan bergerak menuju puncak gunung Mahameru. Malah si gendut ini menunggangi binatang itu sambil tertawa-tawa. Di punggungnya dia memanggul sebuah karung besar yang entah apa isinya. Yang jelas isi karung itu kelihatan tiada henti-hentinya bergerak-gerak.

Sesekali terdengar suara bergedebuk, seolah-olah ada seorang yang menendang atau meninju dari dalam karung itu. Sebaliknya si gendut ini tetap saja tenang-tenang di atas punggung keledainya seolah tak ada terjadi apa-apa dan gayanya seperti orang yang tengah berjalan sambil memperhatikan pemandangan indah di sekelilingnya, padahal saat itu malam gelap gulita dan dinginya udara menembus jagat dan daging sampai ke tulang belulang. Malah kemudian setiap terdengar suara gedebuk dia keluarkan tawa mengekeh.

“Gebukanmu kurang keras. Tendanganmu kurang kencang! Aku seperti digelitik saja! Ayo gebuk, pukul lebih kuat. Ha ha ha!” si gendut berkata lalu menutup ucapannya dengan suara tawa membahana di seantero lereng gunung di mana dia berada.

Hebatnya, semakin tinggi ke atas gunung semakin cepat langkah keledai pendek dan kurus itu. Si gendut yang menungganginya kini malah tampak cengengesan sambil bersiul-siul kecil. Saat itulah terlihat ada keanehan lain. Manusia gemuk ini bukan benar-benar duduk menunggang di atas punggung keledai. Tapi ternyata pantatnya hanya sekedar menempel saja karena kedua kakinya yang besar berat menjejak tanah! Jadi dia hanya mengepit tubuh binatang tunggangannya sedang kedua kakinya melangkah lincah sambil menjepit dan membimbing langkah si keledai.

Semakin jauh dan tinggi ke atas semakin keras dan sering gerakan-gerakan benda di dalam karung. Gebukan dan tendangan semakin sering menimpa tubuh orang gemuk berambut putih itu. Namun dia tetap anteng-anteng saja. Akhirnya bersama keledainya dia sampai di puncak sebelah timur gunung Mahameru.

Meski dari kawah keluar uap yang menyebar hawa panas, tetapi di tempat di mana si gendut dan keledainya berada udara terasa sangat dingin. Keringatnya yang membasahi tubuh di gendut seolah telah berubah sedingin es! Gilanya seperti tidak merasakan udara dingin yang bisa membuat orang beku itu, si gendut mulai menyanyi-nyanyi kecil sambil menurunkan karung besar yang sejak tadi dipanggulnya lalu melemparkannya ketanah.

Dari dalam karung terdengar suara yang tidak jelas. Seperti mengeluh dan mengomel. Tiba-tiba karung yang berisi benda yang selalu bergerak itu bergulingan ke arah si gendut. Apapun benda yang ada didalamnya, gerakan berguling itu bukan gerakan biasa. Benda apa saja yang kena ditabraknya pastilah akan mengalami cidera berat.

Si gendut di atas punggung keledai sesaat mengernyitkan kedua matanya yang sipit. Lalu dia mengumbar suara tertawa panjang. “Dasar anak gendeng! Dibungkus dalam karung saja kau masih hendak melawan! Tidak tahu kesalahan! Tidak sadar telah berbuat dosa besar! Kau tunggu saja! Sebentar lagi kau akan terima hukumanmu!” Habis mengomel seperti itu manusia gendut ini lalu tertawa gelak-gelak. Sungguh aneh! Sedang marah atau sedang bagaimanakah dia ini sebenarnya.

Sementara itu karung yang berguling menyambar ke arah si gendut mengeluarkan suara menderu. Si gendut gerakkan kedua kakinya. Tubuhnya secepat kilat berputar aneh. Keledai yang ditungganginya juga ikut berputar. Buntalan karung lewat satu jengkal di sampingnya lalu menghantam sebatang pohon.

"Braakkk...!"

Batang pohon itu mengeluarkan suara berderak. Kulit luarnya hancur berkeping-keping. Dari dalam karung terdengar suara seperti orang merintih tapi juga seperti menggerendeng!

Si gendut tertawa memecah kesunyian. Dia tampak turun dari keledainya padahal sebenarnya dia hanya melangkah mundur lalu bergerak mendekati karung yang terhampar tak jauh dari pohon yang barusan ditabraknya. Dia membungkuk membuka tali ikatan karung lalu dengan gerakan cepat dia menarik ke atas bagian bawah karung hingga apa yang menjadi isinya menggelinding jatuh ke tanah. Dan astaga!

Ternyata yang keluar dari karung itu adalah sosok tubuh seorang anak lelaki berusia sekitar 10 tahun. Tak kalah hebatnya dengan lelaki gendut berpakaian sempit itu si anak juga memiliki badan luar biasa gemuknya. Dia hanya mengenakan sehelai cawat hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang gendut kelihatan jelas menggelembung. Saking gendut anak ini kelihatan seolah-olah tak berleher. Dagu dan dadanya menggempal jadi satu. Anehnya wajah dan tubuhnya tampak berkeringatan padahal udara di tempat itu dingin luar biasa!

Keningnya kelihatan benjut. Mungkin ini akibat benturan dengan batang pohon tadi. Jika batang pohon bisa hancur sedang si anak Cuma benjut keningnya jelas ada satu kehebatan pada dirinya. Dengan sepasang matanya yang besar anak ini memandang marah pada orang di depannya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan terdengar suara tidak jelas seperti suara orang gagu.

Tubuhnya yang terhampar di tanah bergerak bangkit seperti mencoba hendak duduk. Tapi tubuh itu kemudian roboh kembali. Sepasang tangannya meninju-ninju sedang kedua kakinya yang besar menendang-nendang. Si anak keluarkan suara menggerung dari tenggorokkannya.

“Buntalan jelek bau apek! Ha ha ha! Ayo menarilah terus! Ha ha ha...!” Si gendut bermata sipit mengejek dan tertawa gelak-gelak.

Sebaliknya si gendut bermata besar tampak beringas. Dia julurkan lidahnya lalu tiba-tiba sekali tubuh itu menggelinding cepat ke arah orang yang menertawainya. Kedua kakinya berkelebat demikian rupa. Walau gerakan kedua kakinya jelas kaku namun dari derasnya suara angin jelas gerakan anak ini mengandung tenaga yang berbahaya. Apabila setengah jalan menyusul kedua tangannya ikut bergerak.

“Bocah edan!” teriak teriak si gendut yang diserang. Dia mengomel tapi kemudain tertawa mengekeh. Dengan sekali bergerak saja dia berhasil mengelakkan serangan si anak. Tetapi sebelum dia sempat berbalik tahu-tahu bocah gendut itu telah berputar lebih dulu dan kembali bergulingan menyerbunya!

"Bukkk...!"

Satu tendangan menghantam lekukan kaki tapat di belakang kedua lutut si gendut. Tak ampun lagi tubuh yang berat besar itu ambruk jatuh duduk di tanah. Jatuh bergedebruk si gendut tampak sangat marah tapi lagi-lagi aneh. Dari mulutnya yang terdengar bukan suara caci maki malah suara tertawa bergelak!

Tapi tiba-tiba sekali tubuh yang menjelepok di tanah itu berputar, lalu melesat dan tahu-tahu tanagn kanan si gendut sudah menjambak rambut anak lelaki gemuk bercawat itu dan plak-plak. Tangan kirinya menampar pipi kiri kanan si anak!

Yang ditampar sama sekali tidak kelihatan kesakitan malah mulutnya menyunggingkan seringai. Tiba-tiba dia mengulurkan lidahnya panjang-panjang. Mencibir mengejek!

"Plaakkk...!"

Si gendut berambut putih tampar satu kali lagi pipi anak itu. Kali ini si bocah tidak tinggal diam. Dengan gerakan kaku dia sentakkan kepalanya hingga jambakan si gendut terlepas. Lalu secepat kilat anak ini susupkan kepalanya ke selangkangan orang. Si gendut menjerit keras sewaktu ada yang menggigit salah satu bagian rahasia di bawah perutnya!

“Putus burungku!” jerit si gendut seraya melompat mundur. Di bawah sebatan pohon dia tanggalkan celana lalu membulak-balik, menarik-narik memeriksa. “Ah...” dia menarik nafas lega. “Untung masih utuh! Anak gila!” Si gendut memaki seraya berpaling pada anak lelaki yang saat itu terduduk di tanah.

“Dalam keadaan tertotok saja dia masih mampu bergerak, memukul dan menendang. Bahkan sempat-sempatnya hendak menggigit perkututku! Aku harus mengakui bocah sedeng ini memang luar biasa! Kalau saja dia tidak membuat kesalahan besar rasa-rasanya mau aku mengambilnya jadi murid...” Si gendut memutar tubuh, melangkah mendekati anak itu. “Santiko bocah sialan! Aku terpaksa menjatuhkan hukuman sekarang juga!”

“Ha huk hak huk!” Keluar suara seperti orang gagu dari mulut anak lelaki sepuluh tahun yang hanya mengenakan cawat itu. Rupanya dia berusaha mengatakan sesuatu. Tapi karena dirinya berada dalam keadaan tertotok maka dia tidak bisa mengucapkan apa-apa. Si gendut bermata sipit tidak perdulikan gelagat itu, dia kembali menjambak rambtu si anak.

Yang dijambak coba meronta lepaskan diri tapi si gendut tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan cepat dia berkelebat. Seperti melayang bocah gembrot itu ditentengnya menuju puncak gunung. Di satu tempat yang agak datar dia berhenti dan memandang berkeliling. Kemudian dilihatnya apa yang dicarinya yaitu dua buah batu hitam seperti sepasang tonggak menancap di tanah.

Si gendut membawa bocah itu ke arah dua tonggak batu ini. Diantara celah dua batu kelihatan mengepul asap putih yang membersitkan hawa dingin sekali. Walaupun mempunyai daya tahan luar biasa ternyata si gendut masih sempat bergumam kedinginan. Dia katupkan rahangnya kuat-kuat agar gigi-giginya tidak bergemeletakan.

DUA

Berdiri di antara dua buah batu hitam si gendut memandang tajam-tajam ke bagian tanah di antara celah dua batu. Dia coba menembus lapisan asap putih dingin yang terus-terusan menebar di tempat itu. Matanya berhasil melihat sebuah lobang di tanah antara dua batu hitam. Rupanya dari sinilah sumber asap putih yang dingin luar biasa itu keluar. Si gendut cekal leher bocah bercawat dan menyeretnya ke dekat lobang.

“Ha huk ha huk huk!” Si bocah kembali keluarkan suara.

Si gendut tertawa lebar. Dia mengusap dagunya sesaat lalu berdiri di tepi lobang. “Anak sableng! Sebagai orang hukuman kau masih layak mengatakan sesuatu sebelum hukuman dijatuhkan. Ucapkan apa yang hendak kau katakan!”

Lalu si gendut ini bungkukkan badannya, mulutnya didekatkan ke salah satu bagian leher si bocah, lantas dia meniup. Begitu angin tiupan menyambar leher si bocah, jalan suaranya yang tertotok jadi terbuka dan si bocah itu langsung bisa bicara. Sungguh ini merupakan kepandaian luar biasa. Melepaskan totokan hanya dengan jalan meniup! Umumnya orang di dunia persilatan akan mempergunakan jari-jari tangan untuk memusnahkan totokan. Siapakah sebenarnya si gendut aneh ini?

“Ayo, ha huk ha huk! Totokanmu sudah kulepas! Lekas bicara kalau ada yang mau kau bilang! Kalau tidak akan segera kupendam kau dalam lobang inti es itu!”

Sesaat anak usia sepuluh tahun bernama Santiko itu menatap berang pada si gendut bermata sipit. Kedua matanya yang besar seperti dikobari api kemarahan. Kemudian perlahan-lahan tatapan garang itu mengendur, wajahnya yang keringatan kelihatan seperti redup.

“Anak aneh!” membatin si gemuk. “Bagaimana bisa di udara yang begini dingin, dekat lobang inti es dia masih saja keringatan. Padahal aku hampir mati kedinginan!”

“Pamanku tolol!” tiba-tiba keluar ucapan itu dari mulut si anak yang membuat di gendut di hadapannya jadi melengak.

“Sialan! Apa katamu?”

“Pamanku tolol!” mengulang si bocah tanpa rasa takut mendengar bentakan dan melihat tampang orang yang marah besar. “Sebetulnya apa salah saya sampai paman hendak memendam diri saya dalam lobang inti es itu?”

“Dasar anak tak tahu diri! Goblok, sableng dan gendeng! Kau masih bertanya apa salahmu! Gila! Apa masih perlu kusebutkan?!”

“Sebutkan saja paman, biar lebih jelas.”

“Baik!” jawab si gendut dengan nada berang tapi kembali dari mulutnya terdengan suara tertawa bergelak. “Aku akan katakan biar jelas apa kesalahanmu! Hingga kalaupun kau mati dalam lobang inti es ini kau tidak akan mampus penasaran! Ha ha ha!”

“Sudah. Bilang cepetan. Aku bosan mendengar suara tawamu!” kata bocah gemuk bernama Santiko.

Si gendut di hadapannya tetap saja mengumbar tawa. Tiba-tiba suara tawanya lenyap, berganti dengan bentakan. “Anak setan! Kau telah melakukan kesalahan maha besar! Kau mencuri peralatan gamelan Keraton. Sultan sangat marah. Gamelan pusaka tidak bisa dimainkan lagi. Padahal perayaan Sekaten hanya tinggal beberapa minggu lagi! Nah sekarang kau tahu apa kesalahanmu! Apa dosamu!”

Santiko tampak tenang saja. Lalu dia berkata. “Ah, rupanya masalah peralatan gamelan itu yang jadi biang kerok! Tolong paman katakan, sebenarnya peralatan apa yang saya curi?”

“Anak iblis! Mulutmu ternyata licik! Sudah mencuri kau masih bertanya apa yang kau curi! Kau memang pantas dipendam dalam lobang inti es itu!”

“Kalau paman tidak mau mengatakan benda apa yang kucuri ya sudah. Pendam saja saya cepat-cepat dalam lobang inti es itu!”

Si gendut tertawa bergelak. “Betul, memang betul! Sebaiknya kupendam saja kau saat ini juga! Tapi biar kuberi kesempatan lagi! Ada yang masih hendak kau katakan?!”

“Ya...”

“Apa?!”

“Kau memang paman tolol!”

“Bocah sialan!” Si gendut dalam marahnya mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap menggebuk kepala si bocah, yang hendak digebuk tenang-tenang saja malah ulurkan lidah mencibir! Melihat hal ini si gendut turunkan tangannya dan tertawa terkekeh-kekeh. “Apa alasanmu mengatakan aku tolol?” tanya si gendut.

“Karena kau tidak mau mengatakan benda apa yang aku curi? Padahal sebenarnya kau sendiri tahu apa yang aku curi! Jadi kau tolol! Kalau begitu kita berdua tolol. Paman dan keponakan sama-sama tolol!” menyahuti si bocah.

"Plaakkk...!"

Satu tamparan melayang di pipi kanan Santiko hingga anak ini terpelanting dan tersandar ke salah satu tiang batu dekat lobang yang mengeluarkan kepulan asap putih.

“Sakit!” tanya si gendut.

“Lumayan...” jawab Santiko seenaknya yang membuat orang yang bertanya jadi kembali tertawa membahak.

“Bocah sialan! Biar saat ini kukatakan padamu apa yang telah kau curi. Kau mencuri bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog. Itu adalah dua peralatan tabuhan gamelan yang sangat penting. Tanpa dua benda itu gamelan pusaka Keraton tidak mungkin dimainkan! Nah kau sudah dengar apa yang aku bilang! Kau mencuri dua buah bonang!”

“Hanya dua buah kentongan besi itu yang saya curi. Bukankah masih banyak bonang-bonang yang lain? Mengapa sampai geger begitu?”

“Anak setan! Kalau tidak mengingat siapa ibumu sudah kupatahkan batang lehermu saat ini juga!” teriak si gendut hampir berteriak lalu tertawa bergelak. “Coba kau katakan, mengapa kau mencuri dua buah bonang itu?"

“Saya Cuma iseng saja paman...”

“Mencuri dua buah bonang pelengkap gamelan kramat kau katakan iseng! Anak sialan! Ha ha ha...! Hai! Katakan pada siapa dua buah bonang itu kau berikan?”

Si bocah tidak menjawab. “Tak kau katakanpun aku sudah tahu!” si gendut menjawab sendiri.

“Kalau paman sudah tahu mengapa musti bertanya?”

“Aku hanya memeriksa. Betul dua buah bonang pusaka itu kau berikan pada janda muda dan cantik bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka?!”

Si bocah tertawa gelak-gelak. “Anak setan! Kenapa kau tertawa!” bentak si gendut.

“Paman ingat sekali nama panjang perempuan itu! Hik hik hik! Pasti ada apa-apanya.”

“Setan! Jangan kau berani bicara kotor!”

“Rupanya apa yang Nyi Bulan Seruni katakan benar. Banyak orang lelaki di dalam dan di luar Keraton tergila-gila padanya. Katanya, salah satu dari mereka adalah paman sendiri! Hik hik hik!”

“Kau benar-benar anak setan! Perempuan itu bukan pasanganku! Usiaku hampir delapan kali usianya!”

“Apakah itu menjadi soal? Maklum saja lelaki sekarang. Makin tua makin menjadi. Kambing tua mana yang tidak doyan rumput segar? Hik hik hik!”

“Edan! Jadi kau samakan aku dengan kambing tua?!” teriak si gendut marah. Tapi pada akhir ucapannya dia tertawa gelak-gelak. “Anak setan, mangapa kau mencuri dua bonang pusaka itu lalu menyerahkannya pada Nyi Bulan Seruni Pitaloka?”

“Dia meminta tolong kepada saya untuk mengambilkan dua bonang itu. Mana saya tega menolak...”

“Diberi hadiah apa kau olehnya? Pasti kau diajak tidur!”

Santiko menyeringai. “Mauku sih begitu, tapi Nyi Bulan bilang aku masih kecil. Nanti saja sepuluh tahun lagi katanya! Hik hik hik...” Anak itu tertawa gelak-gelak.

Si gendut juga ikut-ikutan tertawa. “Sepuluh tahun lagi! Kalau kau masih hidup! Mungkin kau sudah keburu mampus dalam lobang inti es itu!”

“Kalau begitu kau bisa mewakili saya mendapatkan hadiah itu...”

Si gendut kembali tertawa mengekeh mendengar kata-kata Santiko itu. Lalu dia diam dan bertanya. “Kau sudah siap untuk kupendam?!”

“Sudah sejak tadi paman. Inilah hari sangat bersejarah...”

“Eh, bersejaah bagaimana maksudmu?!”

“Hari ini seorang paman hendak memendam hidup-hidup keponakannya sendiri dalam lobang! Rasanya belum pernah terjadi di dunia ini. Hanya gara-gara dua buah bonang!”

“Anak sialan! Kau bisa berkata begitu! Dua bonang itu bukan alat tetabuhan biasa. Pusaka keramat turunan penguasa Kerajaan! Atau kau mungkin lebih suka penguasa Keraton sendiri yang akan menabas batang lehermu?”

“Dua buah bonang besi yang tak lebih dari kentongan biasa. Apa sulitnya membuat dan menggantikannya dengan yang baru? Bukankah banyak ahli pembuat gamelan di tanah Jawa ini?”

“Jangan bodoh! Gamelan pusaka itu bukan buatan manusia. Tapi dibuat dan dikirmkan oleh para dewa dari swargaloka.”

“Paman percaya hal itu?” tanya Santiko.

“Eh!” si gendut tergagu, sesaat jadi terdiam.

“Kalau tak bisa membuat yang baru, mengapa tidak mencari saja yang kini memegangnya yaitu Nyi Bulan Seruni?"

“Dia mana mau mencari perempuan itu. Kabarnya dia tinggal di dasar lautan dan sering tetirah di langit ke tujuh!”

“Percuma saja paamn digelari Dewa Ketawa. Bisanya cuma ketawa. Cobalah memutar otak sedikit.”

“Anak setan! Kau yang berbuat jahat, aku yang kau suruh susah! Sudah! Jangan banyak bicara lagi. Sebelum kupendam aku tetap ingin tahu alasanmu yang sebenarnya mengapa kau mau-mauan mencuri bonang-bonang itu lalu menyerahkannya pada Nyi Bulan.”

“Sudah saya bilang janda cantik itu minta tolong. Karena merasa tidak ada susahnya, saya menyelinap masuk Keraton dan mengambil dua benda yang dimintanya itu.”

“Aku tidak percaya! Semudah itu kau mau mengerjakan apa yang dimintanya...”

“Baiklah. Akan saya katakan. Dua buah bonang itu berbentuk seperti sepasang payu dara perempuan. Nah saya anggap saja itu payu daranya Nyi Bulan. Saya lalu mencurinya. Sebelum menyerahkan dua buah bonang itu saya usap-usap dulu, saya ciumi. Nah apa tidak sedap? Lalu baru saya serahkan pada Nyi Bulan.”

“Anak kurang ajar!” teriak si gendut yang punya gelar Dewa Ketawa itu. Habis berteriak dan lalu tertawa gelak-gelak.

Tiba-tiba dia melompat. Sekali sergap saja dia sudah menjambak rambut Santiko, lalu bocah ini diseretnya ke arah lobang di antara dua buah batu hitam berbentuk tonggak. Sampai di dekat lobang kedua tangannya membuat gerakan seperti memijit di seluruh tubuh Santiko. Akibat pijitan aneh ini tubuh anak itu jadi memanjang kaku laksana sebuah balok kayu. Hanya leher dan kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Suaranyapun putus tak bisa bicara lagi. Dewa Ketawa memijit dua telapak tangan si anak. Kedua tangan itu kini tampak mengembang. Lalu dengan gerakan cepat si gendut memegang pinggang Santiko. Anak ini dibaliknya kepala dan tangan ke bawah, kaki di atas. Sebelum membenamkan tubuh Santiko ke dalam lobang inti es Dewa Ketawa tertawa panjang dan berkata.

“Hukumanmu tujuh tahun dibenam dalam lobang inti es yang maha dingin. Setelah tujuh tahun totokan di tubuhmu akan musnah dan kau bisa bebas. Itu tentu saja kalau umurmu panjang! Selama ini tidak ada mahluk yang sanggup mendekam begitu lama dalam lobang inti es! Satu tahun di dalam lobang inti es sama dengan sepuluh tahun hidup di luaran. Kalau nanti kau masih hidup berarti usiamu sudah delapan puluh tahun! Di dasar lobang kau akan menemui sejenis lumut putih. Hanya itu satu-tunya makananmu untuk bertahan hidup. Tapi ketahuilah lumut es itu mengandung racun jahat. Baru makan sedikit saja kau sudah menemui kematian! Ha ha ha...ha!”

Habis tertawa panjang Dewa Ketawa menjebloskan tubuh Santiko ke dalam lobang inti es. Mula-mula kedua tangannya masuk ke dalam lobang. Ketika kedua telapak tangan anak ini mencapai dasar lobang ternyata di sebelah atas tubuhnya hanya tenggelam sampai ke batas pinggang. Dewa Ketawa kembali tertawa gelak-gelak.

“Anak sialan! Kau membikin aku susah saja! Kau bisa tenang di lobang itu sampai malaikat maut menjemput. Tapi aku masih terus berurusan dengan Kerajaan! Ah! Bonang penerus slindro, bonang penerus pelog di mana aku bisa mencarimu. Nyi Bulan Seruni Pitaloka di maan kau bersembunyi?"

Setelah memperhatikan sekali lagi ke arah sosok tubuh Santiko yang dipendam kaki ke atas kepala le bawah itu Dewa Ketawa memandang berkeliling. Keadaan disekitarnya masih gelap gulita serta diselimuti hawa dingin. Dia memasukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut lalu meniup. Satu suitan nyaring terdengar seperti membelah kegelapan malam. Dari arah kiri kemudian kelihatan muncul keledai kurus pendek itu.

Dewa Ketawa mengusap kepala binatang ini lalu naik ke atas punggungnya. Seperti tadi datangnya, begitu pula dia pergi meninggalkan puncak gunung Mahameru. Seolah duduk menunggangi keledai tetapi sebenarnya dia hanya menumpangkan tubuh saja sementara kadua kakinya yang menjejak tanah melangkah berjalan seperti biasa.

TIGA

Santiko merasa tubuhnya seperti berubah menjadi batu, mengeras dan kaku. Darah dalam tubuhnya laksana beku dan berhenti mengalir. Kedua telapak tangannya yang menempel di dasar lobang inti es disengat hawa dingin luar biasa. Begitu dinginnya hingga lambat laun dia merasa seperti menempel pada bara api. Keadaannya benar-benar sangat menderita. Apalagi dia terpendam di lobang kepala ke bawah kaki keatas.

Meski lobang itu agak longgar dan dia bisa bernafas leluasa namun rongga dadanya seolah mau pecah. Setiap dia menghembuskan nafas yang keluar adalah asap putih dingin dan membalik menghantam wajahnya yang gembrot. Anak lelaki berusia sepuluh tahun ini dengan segala kepandaian terbatas yang dimilikinya berusaha mengerahkan tenaga dalam guna memusnahkan totokan yang menguasai tubuhnya. Namun sia-sia belaka. Yang mampu dilakukannya adalah menggerakkan leher dan sedikit kepala serta bernafas!

Ketika pagi tiba dan sinar matahari perlahan-lahan muncul menerangi bumi, puncak gunung Mahameru itu terasa hangat. Tetapi di dalam lobang inti es hawa tetap saja dingin bukan main. Dari liang hidung Santiko mulai keluar darah. Darah ini langsung membeku begitu mengalir ke bibir. Masih untung si anak bisa menggerakkan bibirnya hingga darah yang beku mampu dijatuhkannya ke dasar lobang. Kalau darah beku itu sampai menutupi kedua lobang hidungnya maka celakalah dia karena akan sulit untuk bernafas.

Meski kini hari sudah siang dan matahari bersinar terang benderang namun di dalam lobang inti es Santiko hanya mampu melihat dasar lobang secara samar-samar. Perutnya mulai terasa perih minta diisi. Menurut Dewa Ketawa di dasar lobang itu terdapat sejenis lumut es. Hanya itu satu-satunya benda yang bisa dimakan. Tapi celakanya lumut itu mengandung racun mematikan!

“Nasib diriku memang sialan. Walaupun memang aku mencuri dua buah bonang itu tapi lenbih sialan lagi ada seorang paman yang tega-teganya memendamku di lobang keparat ini! Apa yang harus kulakukan? Mati lebih cepat rasanya lebih baik dari pada tersiksa begini! Sialan! Benar-benar sialan!”

Hawa dingin terus mengalir dari sekitar lobang dan dasar lobang di mana kedua telapak tangan Santiko menempel. Hawa itu mengalir melalui kedua tangannya, terus merasuk ke sekujur tubuhnya hingga dia merasakan tubuhnya tidak seperti tubuh lagi melainkan seolah telah berubah menjadi batu yang keras. Dan celakanya perih dalam perut besarnya semakin menjadi-jadi. Padahal belum setengah harian dia dipendam di tempat itu.

Bocah ini mulai berpikir-pikir. “Bukankah lebih baik dia makan saja lumut es yang ada di dasar lobang ? Hingga dia segera mati keracunan?”

Tapi setelah menimbang-nimbang, bagaimanapun beraninya Santiko dia tetap saja anak-anak yang punya rasa takut menghadapi kematian. Selama dua hari dua malam dia bertahan terhadap dingin dan lapar. Namun memasuki hari ketiga dia tak sanggup lagi. Apapun yang terjadi dia sudah tidak perduli lagi akan kematian. Meskipun demikian anak nakal aneh berotak cerdik ini tidak begitu saja melahap lumut es beracun yang ada di sekitar dasar lobang.

Mula-mula dia hanya menjilat-jilat saja sekedar melenyapkan dahaga dan lapar yang menggila. Ternyata meskipun hanya menjilat racun jahat lumut es itu membuat lidah, gusi dan bibirnya menjadi bengkak tebal, sakit laksana disengat kalajengking. Racun yang sempat terserap air liurnya menjalar ke kepala hingga bocah sepuluh tahun ini merasa kepalanya seolah-olah menjadi besar dan seperti diketok dengan palu godam. Pemandangannyapun berkunang-kunang ditambah adanya rasa perih di kedua matanya.

Dua hari lamanya dia mengalami sengsara seperti itu. Dari telinga dan hidungnya mengucur darah yang segera membeku. Hari berikutnya bengkak di seluruh mulut mulai menciut dan rasa sakit pada kepala mulai berkurang. Dua hari setelah itu keadaanya boleh dikatakan pulih namun untuk makan lumut es itu Santiko tidak berani. Setelah dua hari bertahan, rasa lapar dan dahaga membuat dia kembali tak berdaya.

Mau tak mau karena hanya lumut es itu satu-satunya makanan yang ada meskipun mengandung racun jahat Santiko terpaksa kembali menjilati lumut es di dasar lobang. Dia sudah siap sedia menghadapi apapun yang terjadi. Bahkan matipun dia sudah pasrah. Anak itu menjilat permukaan dasar lobang bebrapa kali. Lalu berhenti. Setelah menunggu sekian lama tak ada yang terjadi. Lidahnya, gusi dan bibirnya tidak bengkak. Tak ada rasa sakit seperti disengat kalajengking. Kepalanya juga tidak berdenyut-denyut atau sakit seperti dikemplang.

“Aneh, apa yang terjadi dengan tubuhku?” membatin Santiko. “Lumut tawar itu tidak mendatangkan cidera seperti pertama kali aku menjilatnya” Santiko coba berpikir terus tapi dia tidak dapat memecahkan rahasia apa yang terjadi.

Sebenarnya apakah yang terjadi? Lumut es di dasar lobang inti es itu jelas-jelas mengandung racun. Ketika Santiko pertama kali menjilatnya, anak ini menjadi bengkak mulutnya luar dalam. Kepalanya sakit bukan kepalang sedang kedua matanya menjadi kabur dan perih. Darah mengucur dari lobang hidung dan liang telinganya.

Namun bersamaan dengan itu racun yang menjalar dalam tubuh Santiko yang jumlahnya tidak seberapa banyak telah membuat tubuhnya membentuk kekuatan penangkis jika racun yang sama dalam kadar yang sama kembali masuk ke dalam tubuhnya. Dengan kata lain tertentu. Tanpa disadari Santiko inilah rupanya yang terjadi.

Namun celakanya karena mengira lumut es itu tidak akan mencelakainya lagi maka si anak melahapnya dengan rakus. Beberapa saat kemudian dirasakan sekujur tubuhnya menjadi sangat panas. Bersamaan dengan itu dirasakannya seprti ada ribuan jarum yang menusuki badannya. Lobang yang tadinya longgar kini mendadak dirasakannya sempit. Ini satu pertanda bahwa sekujur tubuh Santiko telah membengkak.

Perutnya selain panas juga membelit sakit bukan kepalang. Kepalanya seprti ditindih batu besar. Dari telinga dan hidungnya keluar darah kental. Nafasnya menyesak sementara dadanya seprti mau pecah! Dia terbatuk-betuk beberapa kali lelu muntah-muntah. Isi perutnya laksana mau terbongkar namun yang keluar ternyata gumpalan-gumpalan darah! Dalam keadaan seperti itu anak ini akhirnya jatuh pingsan.

Santiko tidak tahu berapa lama dia tidak sadarkan diri. Ketika dia akhirnya siuman. Dirasakannya hawa dingin mencucuk sampai ke tulang sungsumnya pertanda hawa panas yang tadi menguasai dirinya telah lenyap. Perutnya tidak sakit lagi dan nafasnya juga tidak sesak. Darah tidak lagi mengucur dari hidung dan telinganya. Untuk kesekian kalinya anak ini coba memutar otak, memikirkan apa sebenarnya yang terjadi.

“Pertama kali kujilat lumut es itu mendatangkan celaka. Kedua kali kujilat tidak apa-apa. Aku seperti kebal terhadap racun itu. Ketika kulahap seperti orang rakus ternyata aku hampir mati dibuatnya... Jangan-jangan... Aku harus mencobanya lagi.”

Kalau aku masih hidup berarti dugaanku benar. Kalau aku mati aku sudah pasrah. Begitulah, setelah menunggu selama tiga hari, begitu tak sanggup lagi menahan lapar dan dahaga dia kembali melahap lumut es itu. Namun dia berlaku hati-hati. Lumut beracun itu dimakannya sedikit demi sedikit. Tidak melebihi jumlah yang pernah dimakannya sebelumnya. Dengan hati berdebar dia menunggu. Tubuhnya terasa panas. Tak lebih dari itu. Tak ada hal-hal lain yang terjadi. Tak ada rasa sakit pada kepala dan perut serta dada. Juga tak ada darah yang keluar dari hidung dan telinganya.

“Aku tahu sekarang!” kata Santiko dalam hati. “Jika kumakan lumut itu sedikit demi sedikit berarti aku punya kekebalan terhadap sedikit racun lumut es. Jika kutelan banyak aku akan kebal terhadap racun lumut es sampai sebanyak yang kutelan...! Malah tubuhku akan terasa hangat, sanggup melawan dinginnya hawa dilobang celaka ini! Lumut es beracun! Kau tak akan sanggup membunuhku. Malah kau memberi kekuatan hebat dalam tubuhku! Aku akan sanggup bertahan dalam lobang celaka ini sampai kapanpun! Paman Dewa Ketawa! Kau lihat saja nanti! Aku tidak akan menemui ajal dalam lobang inti es ini! Kau bakal menerima pembalasanku!”

Hari demi hari berlalu. Berganti minggu, berubah jadi bulan. Tanpa terasa tujuh tahun telah berlalu sejak hari pertama Dewa Ketawa menjebloskan Santiko ke dalam lobang inti es itu. Meskipun lumut es beracun itu selama bertahun-tahun dapat dikendalikannya hingga tidak mendatangkan celaka, namun kesengsaraan yang dialaminya terpendam sekian lama dalam lobang itu sulit dibayangkan.

Sekian lama dia berusaha membebaskan diri dengan mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya, namun sia-sia belaka. Dia tak kunjung mampu untuk membebaskan diri dari totokan Dewa Ketawa. Pada hari terakhir tahun ketujuh, seperti yang dikatakan oleh Dewa Ketawa dulu, totokan yang menguasai tubuh Santiko ternyata musnah dengan sendirinya. Saat itu pagi menjelang siang. Anak yang kini telah menjadi seorang pemuda tujuh belas tahun ini dengan susah payah mengeluarkan dirinya dari dalam lobang.

Selama tujuh tahun terpendam dan hanya makan lumut es ternyata Santiko telah tumbuh menjadi seorang pemuda bertubuh gemuk luar biasa. Tubuh yang gemuk inilah yang membuatnya susah keluar dari lobang yang kini menjadi sangat sempit. Begitu dia akhirnya keluar, Santiko tertawa gelak-gelak karena dapatkan dirinya dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali.

Pakaian dalam yang melekat di tubuhnya telah sejak lama hancur. Selain itu banyak bagian tubuhnya yang telah mengalami perubahan. Dari pinggang ke atas sampai ke wajahnya yaitu bagian yang selama tujuh tahun terpendam dalam lobang inti es berwarna putih pucat. Cahaya matahari membuat wajahnya dan dadanya segera menjadi kemerah-merahan.

Dari pinggang ke bawah sampai ke kaki tubuhnya kelihatan kehitam-hitaman. Selain auratnya perubahan juga tampak pada telapak tangannya. Kedua telapak tangan Santiko kini kelihatan putih seolah tidak berdarah. Lalu dia merasakan tubuhnya yang kini gendut tak karuan itu enteng sekali. Walaupun berat badannya kini mungkin lebih dari 150 kati namun gerakannya terasa tingan.

Dia coba berjingkrak-jingkrak. Tubuhnya laksana melayang. Ketika dicobanya melompat tahu-tahu. Tubuh gemuk itu melayang tinggi ke udara. Dia jadi takut sendiri. Tapi kembali dia melompat. Kali ini dia melompat dari bawah sebatang pohon besar. Enak saja dia sampai di atas pohon dan duduk di salah satu cabang tertinggi. Mula-mula dia agak merasa gamang.

Setelah bebrapa saat tampak dia mulai tertawa-tawa dan goyang-goyangkan kaki sambil memandang ke mana-mana memperhatikan pemandangan yang indah di sekeliling puncak gunung Mahameru itu. Puas duduk uncang-uncang kaki di atas pohon Santiko melompat turun.

Hal lain yang terasa aneh baginya ialah bahwa di udara yang sangat dingin di puncak Mahameru itu tebuhnya terasa hangat. Malah wajahnya selalu keringatan. Tidak dapat tidak ini tentulah akibat racun lumut es yang kini mengendap dalam darahnya dan menjadi satu kekuatan aneh yang sanggup melawan hawa sedingin apapun!

“Apa aku sekarang jadi seorang pemuda gendut tak karuan. Tapi menurut paman sialan itu kini usiaku sudah delapan puluh tahun! Gila! Aku akan cari dirinya. Akan kuhajar habis-habisan. Tapi, aku punya kepandaian apa manghadapinya? Dia begitu sakti!” Santiko jadi termenung sejurus.

Sambil merenung tanpa sadar dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang putih itu satu sama lain. Perlahan-lahan terasa ada aliran hawa dingin di antara dua telapak tangan. Bersamaan dengan itu telapak tangan yang tadi putih kini tampak menjadi kemerahan. Tiba-tiba ada satu sinar membersit keluar dari celah dua telapak tangan yang digosok-gosokkan itu. Sinar ini menghampar hawa dingin luar biasa dan melesat ke atas. Menyambar cabang pohon besar yang tadi didudukinya.

"Kraakkk...!"

Santiko gendut terperangah. Cabang pohon itu berderak patah. Bagian yang patah lalu jatuh ke tanah. Santiko bersurut mundur saking kagetnya. Pandangannya pulang balik pada kedua talapak tangannya dan cabang pohon yang jatuh ke tanah.

“Tubuhku ringan, seolah aku memiliki ilmu meringankan tubuh. Lalu ada angin bercahaya keluar dari kedua telapak tanganku. Sanggup memutus cabang pohon sebesar paha! Eh... apakah aku saat ini sudah jadi orang sakti?”

Begitu Santiko berkata-kata dalam hati saking heran dan bingungnya. Tapi pemuda ini tidak hilang akal. Mudah saja untuk membuktikan kalau dia memang benar-benar punya kesaktian. Dia melangkah mendekati pohon yang tadi cabangnya dihantamnya hingga tumbang ke tanah. Batang pohon ini besarnya hampir sepemelukan. Mula-mula Santiko agak bimbang. Namun sambil menggigit bibirnya dia lalu menghantam batang pohon itu dengan tangan kanannya.

Terjadilah hal yang mengagumkan. Batang pohon besar itu hancur berkeping-keping. Lalu perlahan-lahan pohon besar itu tumbang dengan mengeluarkan suara menggemuruh. Santiko pandangi tangan kanannya. Waktu memukul tadi dan tangannya beradu dengan batang pohon yang keras dia sama sekali tidak merasa sakit. Juga tidak mengalami cidera sedikitpun.

Santiko berteriak keras lalu berjingkrak-jingkrak kegirangan. Dada dan perutnya yang gembrot bergoyang-goyang. Tiba-tiba Santiko hentikan lompatannya. Dia sadar. Kedua tangannya ditutupkan ke bagian bawah perut lalu dia memandang berkeliling.

“Ah, untung tak ada siapa-siapa. Kalau sampai ada yang melihat diriku melompat-lompat dalam keadaan telanjang seperti ini bisa-bisa aku dianggap setan Mahameru! Ha ha ha!”

Puas tertawa pemuda ini mulai berpikir-pikir. “Aku tidak bisa begini terus-terusan. Aku harus mencari pakaian. Tapi di mana ada baju dan celana di gunung ini? Berarti aku harus turun gunung! Benar-benar gila!”

Memikir sampai di situ Santiko bersiap-siap tinggalkan puncak gunung. Sebelum pergi dia memandang dulu ke arah lobang init es yang selama tujuh tahun menjadi tempatnya terpendam penuh siksaan.

“Hem... Ada baiknya aku melakukan sesuatu.” Katanya dalam hati. Dia memandang pada kedua telapak tangannya yang putih lalu menoleh ke arah batang pohon yang tumbang. Di mulutnya tersungging senyum. Santiko melangkah mendekati batang pohon itu. “Mampukah aku...?” pikirnya sambil lagi-lagi memandang pada kedua telapak tangannya.

Dengan agak bimbang dia berjongkok di dekat batang pohon itu sambil menggosok-gosok kedua telapak tanagnnya satu sama lain. Lalu dirasakannya ada hawa dingin aneh datang dari perutnya, mengalir cepat sampai di ujung-ujung jarinya. Perlahan-lahan Santiko letakkan kedua tangannya di atas batang pohon. Dia menekan sedikit. Dadanya berdebar ketika melihat bagian batang yang ditakannya itu jadi melesak!

“Kalau bagini berarti aku mampu melakukannya...” katanya dalam hati.

Lalu di gendut ini pergunakan kedua tangannya untuk merubah batang pohon itu menjadi sebuah boneka besar berbentuk seorang lelaki yang berdiri dengan kedua kaki saling menempel dan sepasang tangan diluruskan. Boneka kayu ini kemudian dimasukkannya ke dalam lobang, kepala ke bawah kaki ke atas. Persis seperti yang dilakau Dewa Ketawa terhadap dirinya tujuh tahun yang lalu. Setelah puas memperhatikan boneka kayu itu sambil tertawa-tawa akhirnya pemuda gendut ini tinggalkan puncak Mahameru.

Hanya beberapa saat saja setelah Santiko meninggalkan tampat itu tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak di sebelah timur puncak gunung. Menyusul suara orang bernyanyi.

Tujuh tahun dipendam.
Tujuh tahun menjalani hukuman.
Hari ini hari pembebasan.
Hari ini akan kulihat lagi sang insan.
Entah masih hidup entah sudah berpulang.


Suara nyanyian berakhir. Kembali terndengar suara tawa. Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki bertubuh gemuk besar bermata sipit. Rambutnya yang putih digulung di atas kepala. Dai muncul menunggang seekor keledai kecil kurus. Langkah binatang dan penunggangnya cepat sekali. Dalam waktu singkat dia sampai di depan lobang inti es yang diapit oleh dua buah tonggak batu hitam.

Mendadak si gendut yang bukan lain Dewa Ketawa ini hentikan tawanya. Kedua matanya yang sipit menatap tak berkesip ke arah lobang inti es. Yang dilihatnya bukan sosok tubuh manusia yang terpendam dalam lobang itu tetapi... tak dapat dipastikannya. Dewa Ketawa turun dari keledainya. Melangkah menghampiri benda yang terpendam itu Memperhatikannya dari atas sampai ke bagian yang terpendam. Lalu diulurkannya tangan kanannya meraba-raba. Paras Dewa Ketawa berubah.

“Kayu...” desisnya. “Gusti Allah!” Si gendut mengucap. “Apakah hukuman ini telah merubah tubuhnya menjadi kayu begini rupa?!” Untuk beberapa lamanya Dewa Ketawa tertegun tak bergerak tak berkesip. Lalu, sekali kedua tangannya bergerak, kayu yang menyerupai tubuh manusia itu ditariknya keluar dari lobang inti es.

“Gila! Benar-benar kayu!” kata Dewa Ketawa lagi dengan suara bergetar. Namun kemudian ada sesuatu yang membuat dia perlahan-lahan memalingkan kepala ke kiri. Pandangannya membentur pohon kayu yang tumbang. Lalu meledaklah tawa manusia gemuk ini.

“Dia masih hidup! Dia coba menipuku dengan membuat boneka kayu ini! Anak setan! Ha ha ha ha!” Meski mengomel panjang pendek namun Dewa Ketawa pada akhirnya kembali mengumandangkan gelak tawanya di puncak gunung Mahameru itu. Puas mengumbar tawa akhirnya dia tinggalkan pula tempat itu.

********************

EMPAT

Sebetulnya Angling Kamesworo tidak suka melewati hutan Randuabang. Selain banyak dihuni binatang buas di situ juga sering mendekam komplotan rampok ganas yang tidak segan-segan membunh mangsanya hanya untuk sekeping uang. Selain itu bersama rombongannya yang terdiri dari selusin perajurit pengawal dia membawa serta salah soerang puteri patih Kerajaan yang baru saja ikut berburu di kawasan timur Pagarejo yang dikenal sebagai daerah banyaknya menjangan.

Namun wakil patih kerajaan ini tidak punya pilihan lain. Dia harus segera berada di Kotaraja. Lewat hutan Randuabang dia bisa mempersingkat perjalanan. Angling Kamesworo sebelumnya adalah salah seorang perwira muda dijajaran balatentara pasukan Kerajaan. Usianya yang belum mencapai tiga puluh, penampilan dan perawakannya yang tinggi kukuh serta berotot ditambah otak cerdas dan pengetahuan luas dalam bidang ketentaraan termasuk ilmu silat tinggi yang dimilikinya telah membuat patih Kerajaan yang sudah lanjut usia itu pernah menyampaikan usulan pada Sultan.

Jika dia kelak mengundurkan diri maka Angling Kamesworolah yang diingininya sebgai penggantinya. Sebgai manusia biasa tentu saja Angling Kamesworo mempunyai satu-dua kekurangan. Salah satu kekurangan itu ialah sifatnya yang sombong dan tinggi hati. Sifat buruk itu semakin menonjol sejak akhir-akhir ini. Mungkin sekali hal itu timbul karena mengetahui kegagahan dan kehebatan ilmunya ditambah jabatannya yang cukup tinggi dengan peluang akan menjadi patih kerajaan dalam waktu beberapa tahun dimuka.

Pagi itu rombongan mulai menembus hutan Randuabang dan sebelum sore berharap mereka sudah keluar dari situ. Kalau saja Sekar Mindi, puteri patih kerajaan itu tidak mempergunakan kereta sebagai kendaraanya tetapi menunggang kuda biasa, mungkin rombongan bisa bergerak lebih cepat. Setelah ikut berburu selama tiga hari, sang dara merasa sangat letih dan lebih suka naik kereta. Kalau Sekar Mindi adiknya sendiri pasti Angling Kamesworo telah memaksanya agar menunggang kuda saja.

Naumn terhadap puteri atasannya dia tentu saja tidak bisa memaksa. Apalagi secara diam-diam sebenarnya pemuda ini telah jatuh hati terhadap Sekar Mindi. Dan ada tanda bahwa gadis itupun suka padanya. Tak lama memasuki hutan Randuabang rombongan sampai di dekat sebuah telaga yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan tinggi rimbun serta bunga-bunga hutan hingga tempat itu selain sejuk juga indah pemandangannya. Sekalipun keadaan di situ sangat menarik biasanya tidak ada orang yang mau berhenti atau beristirahat.

Namun tidak demikian halnya dengan Sekar Mindi. Gadis yang baru sekali ini melihat telaga itu begitu tertarik hingga dia berseru pada sais kereta agar berhenti. Melihat kereta berhenti Angling Kamesworo segera mendekati.

“Ada apa kau menghentikan kereta?” tanya pemuda itu.

“Saya yang menyuruh,” yang menjawab Sekar Mindi lalu membuka pintu kereta.

Angling Kamesworo cepat menahan pintu dan bertanya. “Sekar... Kau hendak kemanakah?"

“Pemandangan di telaga dan sekitarnya sangat indah. Saya ingin turun dan melihat-lihat barang sebentar.”

“Jangan lakukan hal itu Sekar. Kawasan hutan Randuabang ini sangat berbahaya. Banyak binatang buas dan orang jahat.”

“Berada bersamamu apa saya perlu menakutkan semua itu, Angling?” tanya sang dara sambil tersenyum yang membuat si pemuda jadi leleh hatinya dan tak bisa melarang berbuat apa-apa ketika Sekar Mindi mendorong pintu kereta lebar-lebar lalu turun. Dia berdiri di tepi telaga, menarik nafas dalam menghirup udara segar. “Indah sekali pemandangan di sini. Udaranya segar.” Si gadis berpaling pada Angling Kamesworo. “Kau tidak merasa lapar?" tanyanya.

Walaupun memang sepagi itu dia belum makan apa-apa dan perutnya sudah minta diisi namun Angling Kamesworo menggeleng.

“Saya justru lapar,” kata Sekar Mindi. “Di kantong perbekalan dalam kereta masih banyak dendeng kering. Bagaimana kalau kita bakar dan makan sambil menikmati keindahan telaga ini?”

“Saya kira...”

Sekar Mindi memegang lengan Angling Kamesworo. “Saya rasa mungkin hanya sekali ini seumur hidup saya berkesempatan berada di tempat ini. Apakah kau tega menolak?”

Pemuda itu menghela nafas dalam. Dia memandang berkeliling lalu memberi isyarat pada para pengawal dan kusir kereta. Dari dalam kereta segera diturunkan kantong perbekalan. Beberapa orang pengawal mencari kayu api untuk memanggang dendeng kering sedang Sekar Mindi duduk di atas sebuah batu besar di tepi telaga.

Sambil menikmati keindahan telaga dan alam sekitarnya gadis ini mempermain-mainkan kakinya dalam air telaga. Bau harumnya dendeng yang dibakar menebar di seantero telaga bahkan jauh ke dalam hutan Randuabang.

“Dendengnya sudah matang Sekar. Ingin saya bawakan beberapa potongan besar?”

“Kalau kau tidak keberatan Angling,” jawab Sekar Mindi tanpa menoleh dan terus mempermainkan kedua kakinya dalam air telaga. Angling Kamesworo memutar tubuh melangkah ke tempat pemanggangan dendeng.

Tiba-tiba terdengar jeritan Sekar Mindi. Ada sesuatu seperti tangan manusia menyentuh jari dan telapak kakinya. Bersamaan dengan itu satu benda besar tersembul keluar dari dalam telaga. Air telaga muncrat kemana-mana. Semua orang yang ada di tempat itu tentu saja jadi terkejut besar. Angling Kamesworo melompat ke tempat Sekar Mindi duduk.

“Ada apa Sekar...?” tanya pemuda itu. Namun dia tak memerlukan jawaban. Dari dalam telaga saat itu muncul keluar satu sosok tubuh manusia yang luar biasa gemuknya dan berpakaian aneh.

“Dedemit telaga!” salah seorang perajurit berteriak. Dia dan kawan-kawannya yang tadi ikut melompat ke tempat Sekar Mindi berada jadi mundur ketakutan.

Angling Kamesworo merangkul Sekar Mindi dan membawa gadis ini ke tempat aman lalu dengan cepat membalikkan tubuh, melompat kembali ke tepi telaga. Saat itu sosok yang tadi melesat keluar dari dalam telaga tegak berdiri di dekat batu dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sosok manusia bertubuh gemuk luar biasa namun sesaat Angling Kamesworo tambah meragu dan ajukan pertanyaan dengan membentak.

“Siapa kau? Setan atau dedemit?”

Yang dibentak tampak terlonjak kaget tapi sesaat kemudian dia sunggingkan senyum. Mukanya yang gembrot tampak kemerahan. Dia mengenakan baju yang kesempitan dan anehnya kancingnya terletak di punggung bukan di sebelah depan. Celananya juga tampak kekecilan. Di bagian pinggang tarbuka tak terkancing hingga perutnya yang gembrot kelihatan membuntal keluar. Lalu di kepalanya dia mengenakan sebuah peci hitam yang kupluk dan basah kuyup.

“Uh... panasnya hari ini!” kata si gendut pula acuh tak acuh seperti tidak mendengar bentakan orang dan seolah tidak melihat Angling Kamesworo serta yang lain-lainnya di tempat itu.

Ucapan si gendut itu tentu saja membuat semua orang yang ada di situ terheran-heran. Jelas dia baru keluar dari dalam telaga yang airnya dingin dan saat itu udara pagi masih terbungkus dinginnya sisa hawa malam hari. Adalah aneh kalau si gendut yang basah kuyup ini berkata panasnya hari ini!

Sambil terus tersenyum dia memandang berkeliling. Dari dalam saku bajunya dia mengeluarkan sebuah benda. Ketika dikembangkannya ternyata benda itu adalah sebuah kipas kertas yang berada dalam keadaan basah tapi sama sekali tidak luruh atau robek. Duduk enak-enakan di atas batu lalu dia berkipas-kipas sambil tiada hentinya berkata, “Huh... panasnya hari ini. Gila panas betul! Aku sampai keringatan!”

Merasa seperti tidak diacuhkan dan dianggap sepi Angling Kameseoro menjadi marah. “Makhluk edan! Siapapun kau adanya apa kau kira aku tidak berani dan tidak tega menggasakmu sampai lumat?!”

“Angling... Hati-hati. Jangan-jangan dia mahluk halus rimba belantara yang menunjukkan diri...” Sekar Mindi berkata dari kejauhan.

Mendengar ucapan Sekar Mindi itu si gendut berhenti berkipas. Dia memandang ke arah sang gadis sesaat lalu tertawa gelak-gelak. “Aku dibilang mahluk halus. Apa buta dan tidak melihat tubuhku sekasar ini?!” Lalu si gendut itu kembali tertawa-tawa dan berkipas-kipas.

Melihat sikap dan tutur kata si gendut tak dikenal itu marahlah Angling Kameseoro. Dia bergerak lebih dekat. Tangan kanannya dihantamkan tepat-tepat kemuka si gendut. Pukulan yang dilepaskannya bukanlah sembarang pukulan. Kalau sempat mendarat di hidung pasti akan melesak hancur. Kalau menghantam bibir pasti mulutnya akan pecah. Kalau sampai menghajar mata tak dapat tidak akan pecah buta!

Sesaat lagi jotosan keras itu akan mengenai sasarannya tiba-tiba dengan geraka acuh tak acuh si gendut angkat kipasnya. Serangkum angin dingin menyambar dan Angling Kamesworo merasa seperti melabrak tambok tak kelihatan. Tangannya yang menjotos tertahan. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luar dan dalam tetap saja tak bisa meneruskan pukulannya, padahal muka lawan yang jadi sasarannya hanya setengah jengkal di depan tinjunya!

Sadarlah pemuda itu kalau dia berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Untung saja tak ada seorang lainpun di situ yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Meski sadar kalau yang dihadapinya bukan manusia sembarangan, namun karena sifatnya yang congkak sombong, Angling Kamesworo tetap saja tidak mau bersikap merendah. Dia kembali membentak.

“Setan atau dedemit, manusia atau jin! Kalau kau punya sedikit ilmu jangan berani jual lagak di hadapanku! Sebelum kujatuhkan tangan keras katakan siapa dirimu! Mengapa berani mengganggu kami yang sedang beristirahat di tempat ini! Malah kau berlaku kurang ajar! Memegang kaki puteri patih kerajaan, membuatnya terkejut dan ketakutan!”

Mendengar ucapan panjang lebar itu si gendut tampak terkejut. Dia hentikan berkipas-kipas. Lalu berdiri dan berpaling pada Sekar Mindi. Dia membungkuk dalam-dalam dan berkata,

“Cucuku yang cantik jelita harap maafkan kakekmu ini kalau aku sudah membuatmu kaget dan ketakutan. Kakek tidak tahu kalau kau adalah puteri sinuhun kanjeng patih kerajaan. Tapi terus terang, kakek tidak ada niat jahat terhadapmu atau mengganggu istirahat kalian. Terus terang saja tadi kakek sedang enak-enakan bermain di dasat telaga. Kulihat ada benda putih-putih bergerak di permukaan telaga. Kukira ikan, tak tahunya kakimu. Maafkan kalau kakek sudah bertindak kurang ajar berani memegang kakimu yang bagus. Itu kakek lakukan karena kebodohanku dan tidak tahu. Harap maafkan tua bangka tolol ini!”

Tentu saja ucapan si gendut berkopiah kupluk itu membuat semua orang jadi kaget. Dia menyebut dirinya kakek dan memanggil Sekar Mindi sebagai cucu!

“Gendut keparat!” bentak Angling Kameseworo. “Jangan kau berani berlaku kurang ajar dan main-main!”

“Ah...” si gendut menghela nafas panjang. “Kalau aku kurang ajar bukankah sudah minta maaf. Kalau aku dituduh berani main-main, itu sama sekali tidak benar. Masakan aku setua bangka ini mau bergurau yang bukan-bukan dengan cucuku, puteri patih kerajaan pula!”

“Gendut sialan! Kau menyebut dirimu kakek dan menyebut gadis itu cucumu! Umurmu pasti lebih muda dari gadis itu! Apa itu namanya bukan mempermainkan secara kurang ajar?!” bentak Angling Kamesworo dengan suara bergetar karena sudah tak dapat menahan marah.

Si gendut tertawa gelak-gelak sampai wajahnya yang keringatan menjadi merah. Dia lalu menjawab. “Umur puteri patih kerajaan itu paling tinggi dua puluh dua tahu. Cucuku, kau tahu berapa usiaku?”

“Setan gemuk ! Kau jawablah sendiri!” teriak Angling Kamesworo.

“Baik! Akan kujawab!” sahut si gendut pula. “Kalau kau mau tahu, usiaku sudah delapan puluh! Kau dengar?!”

Kedua mata Angling Kamesworo melotot. Yang lain-lain juga terkeisap kaget mendengar ucapan si gendut itu. Jelas kalau dia tidak main-main maka dia adalah seorang gila yang kesasar. Melihat kepada wajahnya paling tidak usianya hanya dua puluh tahun, mungkin kurang. Bagaimana dia enak saja berkata bahwa dia berusia delapan puluh tahun?!

Angling Kamesworo kalau menurutkan hawa amarahnya mau dia segera menghantam si gendut berpeci kupluk itu habis-habisan. Namun sebagai orang berkepandaian dia masih bisa berpikir. Tadi waktu dia melancarkan jotosan si gendut ini mengangkat kipasnya secara acuh tak acuh. Tapi dari benda itu membersit hawa dingin yang dapat menahan gerakannya. Lalu tadi dia berkata sedang main-main di dalam telaga. Saat dia dan rombongan berhenti di telaga sampai saat si gendut muncul di permukaan telaga cukup lama. Manusia mana yang mampu mendekam dalam air selama itu?

“Gendut mengaku kakek berusia delapan puluh tahun. Sebenarnya siapa dirimu. Siapa namamu?” tanya Angling Kamesworo.

“Ah, cucuku, ternyata kau bisa berbasa basi, bisa bicara baik-baik dan sopan. Baik aku jawab pertanyaanmu,” kata si gendut pula. “Namaku nama kampung. Santiko. Ada juga yang menyebutku dengan gelaran muluk. Bujang Gila Tapak Sakti.”

“Dari mana kau berasal dan apa kerjamu di dalam telaga itu?!” tanya Angling Kamesworo.

“Asalku dari kampung sekitar sini. Aku berada di dalam telaga karena kepanasan. Coba mencari kesejukan. Tidakkah kau dan yang lain-lain merasa betapa panasnya hari ini?” Lalu si gendut mengipas-ngipaskan kipas kertasnya.

Sesaat Angling Kamesworo memperhatikan kedua tangan si gendut. Jelas terlihat kedua telapak tangannya berwarna putih pucat. Diam-diam pemuda ini jadi merasa tidak enak. “Gendut, dengar ucapanku. Aku tidak senang kau berada di sini. Lekas angkat kaki dan pergi...”

“Ah, nasibku malang. Dihina dan diusir orang. Tapi baiklah aku akan pergi. Apa susahnya angkat pantat dari batu dan angkat kaki pergi? Tapi tunggu...” Si gendut yang bernama Santiko dan bergelar Bujang Gila Tapak Sakti itu mendongakkan kepalanya. Hidungnya kembang kempis menghirup-hirup. “Aku mencium harumnya bau daging panggang. Tapi sudah hampir hangus. Mengapa tidak cepat-cepat disantap?!”

Astaga! Semua orang baru sadar kalau dendeng yang mereka panggang hampir hangus. Semua segera menghampiri tempat pemanggangan kecuali Angling Kamesworo. Sekar Mindi membagi-begikan potongan dendeng panggang pada orang-orang yang ada di tempat itu. Ketika dia menghampiri Angling, pemuda ini memberi isyarat agar si gadis tidak melangkah lebih dekat. Angling berpaling pada Bujang Gila Tapak Sakti.

“Kau sudah mendengar kata-kataku tadi. Kenapa tidak lekas angkat kaki dari sini?’

“Begitu? Baik aku segera pergi.” Menjawab si gendut. Dia berpaling pada Sekar Mindi. “Cucuku, sudah tujuh puluh tahun aku tak pernah menikmati daging. Apalagi dendeng panggang seperti itu. Apakah aku boleh minta barang sepotong kecil?”

Sekar Mindi tampak ragu-ragu. Namun sesaat kemudian gadis ini melangkah juga ke arah Bujang Gila Tapak Sakti sambil membawa potongan dendeng bakar yang tadi hendak diberikannya pada Angling Kamesworo. Setengah jalan Angling mencegatnya. Dendeng panggang yang ada di tangan si gadis dirampasnya lalu dibantingkannya ke tanah. Tak cukup sampai di situ. Daging yang jatuh di tanah itu lalu diinjak-injaknya dengan kakinya yang memakai kasut dari kulit hingga hancur dan kotor.

“Kau lapar gendut?! Makanlah!” katanya lalu Angling Kamesworo tertawa gelak-gelak.

Dua belas perajurit lainnya ikut-ikutan tertawa. Hanya kusir kereta yang sudah lanjut usia dan Sekar Mindi yang tidak tertawa, senyumpun tidak. Si gendut tenang-tenang saja malah menyeringai. Dia membungkuk mengambil dendeng panggang yang sudah hancur dan kotor bergelimang tanah itu dengan tangan kanannya. Lalu sambil membejak-bejak daging itu dalam genggaman telapak tangannya dia berkata.

“Sayang, dagingnya seenak ini dibuang begitu saja, diinjak, dikotori dengan tanah. Padahal banyak orang miskin yang kelaparan sekitar sini. Termasuk aku..”

Tangan yang membejak-bejak dendeng panggang itu perlahan-lahan dibuka. Semua orang terkejut ketika menyaksikan bagaimana dendeng bakar yang tadi sudah hancur dan kotor diinjak-injak kini berubah menjadi sepotong besar daging panggang segar yang mengepulkan asap dan menebar bau harum bukan main.

“Cucuku,” kata si Bujang Gila Tapak Sakti sambil memandang pada Sekar Mindi. “Terima kasih atas pemberianmu ini. Kakek tidak akan melupakan kebaikan hatimu...” Habis berkata begitu si gendut berkopiah kupluk itu melahap daging panggang itu sambil tangan kiri mengipas-ngipaskan kipas kertasnya. Di satu tempat dia berpaling lagi pada Sekar Mindi dan menjura dalam-dalam. Lalu...

"Hup!"

Sekali dia menggenjot kedua kakinya tubuhnya yang seprti buntalan raksasa itu melayang ke atas. Sesaat kemudian kelihatanlah si gendut itu duduk berjuntai goyang-goyang kaki di atas cabang sebuah pohon. Cabang ini tak seberapa besarnya. Dibandingkan dengan tubuh si gendut yang berat seharusnya cabang itu akan menekuk ke bawah bahkan bisa patah. Tapi nyatanya cabang pohon tersebut hanya melentur bergoyang-goyang mengikuti gerakan atau uncangan kaki si gendut!

Selusin perajurit dan Sekar Mindi terkagum-kagum melihat apa yang terjadi. Sebaliknya Angling Kamesworo tampak merah mukanya. Apa yang dilakukan Bujang Gila Tapak Sakti seolah-olah mempermainkan dan mengejek dirinya. Dia hendak meneriakkan sesuatu tetapi tak jadi karena dengan tiba-tiba kusir tua menghampirinya dan berkata.

“Raden, kalau saya tidak salah manusia gendut bernama Santiko bergelar Bujang Gila Tapak Sakti ini tujuh tahun dulu adalah bocah yang mencuri dua buah bonang perangkat gamelan keraton.”

Tentu saja keterangan itu membuat Angling Kamesworo jadi terkejut. Tujuh tahun lalu dia belum masuk ke dalam jajaran pasukan Kerajaan. Namun beberapa waktu sesudah bergabung dengan alat kerajaan dia pernah mendengar tentang dicurinya dua buah bonang itu.

“Kenapa tidak kau katakan dari tadi?!” ujar Angling Kamesworo pula dengan suara keras yang ditekan.

“Maafkan saya. Ingatan saya berjalan lamban...”

“Kalau begitu dia harus segera kita tangkap!” kata Angling Kamesworo pula seraya memandang ke arah cabang pohon dimana si gendut duduk masih enak-enakan menyantap daging panggang sambil uncang-uncang kaki dan berkipas-kipas.

“Bujang Gila Tapak Sakti! Lekas turun dari pohon! Aku mau bicara denganmu!” berteriak Angling Kamesworo.

Baru saja dia berteriak begiut dan belum sempat si gendut memberikan jawaban tiba-tiba ada derap kaki kuda sekitar telaga. Tahu-tahu lima penunggang kuda bertampang sangar beringas dan garang muncul di tempat itu. Kelimanya menebar demikian rupa dalam sikap mengurung rombongan. Masing-masing duduk di atas kuda sambil menekankan tangan ke gagang golok besar yang tersisip dipinggang.

LIMA

Angling Kamesworo segera maklum siapa adanya kelima orang itu. Tak dapat tidak pastilah gerombolan perampok jahat hutan Randuabang.

“Sialan!” maki Angling Kamesworo dalam hati. “Urusan dengan si gendut gila itu belum selesai. Kini datang lagi penyakit baru!”

“Kalian siapa dan mau apa?!” tiba-tiba Angling Kamesworo bertanya dengan suara keras hingga lima penunggang kuda tersentak. Lalu berbarengan kelimanya tertawa gelak-gelak.

“Anak muda. Caramu bertanya galak amat!” salah seorang dari lima penunggang kuda membuka mulut. Barisan gigi-giginya kelihatan besar-besar dan berwarna hitam.

“Jika kau dan kawan-kawanmu datang membawa maksud jahat, jangan berani lakukan disini. Kepala kalian akan kubuat menggelinding di tanah!”

Lima penunggang kuda kembali tertawa bergelak. Yang tadi bicara membuka mulut.

“Aku Warok Wesi Randuabang, penguasa rimba belantara ini. Empat orang ini adalah sahabat-sahabat dan anak buahku. Bertemu baru satu kali, bagaimana kau bisa menuduh kami datang membawa maksud jahat, anak muda?!”

“Sudah! Aku tak ada waktu panjang lebar dengan kalian! Harap tinggalkan tempat ini. Kamipun segera akan berlalu dari sini!” Habis berkata begitu wakil patih kerajaan ini memberi isyarat pada semua anggota rombongan. Lalu dia melangkah mendekati Sekar Mindi dan dengan cepat membimbing gadis itu masuk ke dalam kereta.

“Tunggu dulu!” seru Warok Wesi Randuabang.

Angling Kamesworo menutupkan pintu kereta. Pada Sekar Mindi dia berkata. “Apapun yang terjadi jangan keluar dari dalam kereta!” lalu dia berpaling pada lima penunggang kuda.

“Kami datang karena mencium bau dendeng panggang yang harum itu. Karena lapar dan ada rejeki jelas kami mau minta bagian! Apakah kalian mau memberi atau terlalu pelit tak mau berbagi-bagi?”

“Wesi Randuabang,” penunggang kuda di samping sang warok berkata. “Yang kita temui di tempat ini ternyata bukan cuma dendeng panggang yang lezat tapi ada seorang gadis cantik. Hanya sayang si jelita itu buru-buru disembunyikan ke dalam kereta!”

Lima orang berwajah garang itu kembali tertawa bergelak. Angling Kamesworo yang merasa semakin tidak enak cepat berkata,

“Kau dan kawan-kawanmu mau dendeng panggang silahkan saja ambil. Tapi ingat, jangan ganggu rombongan ini!”

“Anak muda, hatimu ternyata sangat baik. Bersedia memberikan dendeng panggang yang enak itu. Tapi kenapa buru-buru mau pergi?” Warok Wesi Randuabang.

Angling Kamesworo tidak menjawab. Dia melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat pada kusir kereta serta dua belas perajurit untuk segera bergerak meninggalkana tempat itu. Warok Wesi Randuabang cepat menggerakkan kudanya. Empat kawannya mengikuti. Kelimanya kini berada di depan rombongan dan jelas-jelas menghadang.

“Anak muda, kalau aku bilang jangan buru-buru pergi kau harus patuh!” membentak Warok Wesi Randuabang. “Apa kau tidak tahu berhadapan dengan siapa?!”

“Kau yang buta tidak tahu berhadapan dengan siapa!” balas membentak Angling Kamesworo.

“Aku tidak buta anak muda! Kau mengenakan pakaian perwira dan ada dua belas orang berseragam perajurit. Jelas kalian adalah sekelompok pasukan kerajaan.”

Warok Wesi Randuabang berpaling pada teman-temannya. Lalu bertanya, “KAwan-kawan, apakah ada bedanya bagi kita kalau mereka adalah cecunguk-cecunguk kerajaan atau bukan?”

“Tentu saja tidak!” menyahuti salah seorang anak buah Warok Wesi Randuabang.

“Sekalipun mereka serombongan setan atau jin pelayangan tentu saja tak ada artinya bagi kita!” menyahuti anak buah yang lain.

Warok Wesi Randuabang menyeringai. “Anak muda, kau dengar apa yang dikatakan teman-temanku.”

“Kalian membuatku jijik dan lama-lama aku bisa jengkel! Lekas menyingkir. Jangan menghalangi jalan!” bentak Angling Kamesworo.

“Lagakmu memuakkan!” tukas Warok Wesi Randuabang, Kepala rampok hutan Randuabang ini menarik tali kekang mudanya, hendak bergerak ke arah Angling Kamesworo. Tapi salah seorang anak buahnya cepat mendahului seraya berkata,

“Gembel kerajaan ini biarkan aku yang membereskan!”

Anak buah Warok Wesi Randuabang yang satu ini segera menggebrak kudanya. Bersamaan dengan itu dia mencabut goloknya. Senjata ini membabat begitu dia sampai di hadapan Angling Kamesworo. Perwira muda kerajaan ini cepat merunduk. Kelihatannya dia seperti hendak menysupkan satu jotosan ke dada lawan. Melihat gelagat ini anak buah Warok Wesi putar pergelangan tangannya. Senjatanya kini menderu ke bawah. Siap untuk membabat putus tangan Angling Kamesworo.

Semua orang di pihak rombongan kerajaan yang menyaksikan itu menjadi terpaku tegang. Sekar Mindi pejamkan mata dan tekap mulutnya kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara jeritan. Kalau pemuda pelindungnya itu sampai celaka dan tewas di tangan kawanan rampok hutan berarti dirinya sendiri tak bisa diselamatkan dan akan jatuh ke tangan gerombolan rampok Warok Wesi Randuabang. Tubuh gadis ini jadi menggigil dan wajahnya pucat tak berdarah menghadapi kenyataan ini.

Tetapi apa yang terjadi kemudian justru mengejutkan Warok Wesi dan kawan-kawannya. Di kala mereka sudah memperkirakan lengan perwira muda itu akan dibabat putus tiba-tiba tubuh Angling Kamesworo merunduk hampir sama datar dengan punggung kuda. Bersamaan dengan itu kaki kirinya melesat ke depan.

"Bukkk!"

Ujung kaki Angling Kamesworo menghantam lambung anak buah Warok Wesi hingga mengeluarkan suara bergedebukan sedang dari mulutnya meledak suara jeritan keras. Tubuhnya terpental dari punggung kuda lalu jatuh punggung terkapar di tanah, goloknya terlepas mencelat ke udara yang dengan cepat segera disambar oleh sang perwira muda.

Selagi Warok Wesi dan tiga orang anak buahnya terkesiap melihat kejadian itu dari atas pohon terdengar suara tertawa bergelak. Jika kita layangkan pandang ke arah pohon itu ternyata di cabang pohon kini bukan hanya Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti saja yang kelihatan duduk di sana melainkan di sebelahnya kini tampak ikut duduk seorang pemuda berambut gondrong mengenakan pakaian putih-putih.

“Dut, bagi lagi aku daging panggangnya,” kata si gondrong.

“Ah, dagingku tinggal sedikit. Tapi baiklah. Kuberikan secuil lagi!” Lalu Bujang Gila Tapak Sakti memberikan sepotong kecil lagi daging panggangnya pada pemuda disampingnya. Keduanya mengunyah daging itu sambil tertawa-tawa.

“Aku sudah lama mencarimu, syukur-syukur sekarang bisa ketemu!” kata si gondrong.

“Aku merasa tidak perlu mencarimu. Karena aku yakin kau pasti mencariku! Buktinya sekarang kita ketemu! Ha ha ha...!” Bujang Gila Tapak Sakti mengipas-ngipaskan kipas kertasnya ke wajahnya yang keringatan.

Saat itulah tendangan Angling Kamesworo mendarat di lambung anak buah Warok Wesi hingga rampok satu ini jatuh ke tanah. Tak berkutik lagi karena tulang punggungnya patah. Bujang Gila Tapak Sakti dan si gondrong tertawa gelak-gelak melihat kejadian itu.

Warok Wesi Randuabang melirik ke arah cabang pohon. Dia tidak mengenali siapa adanya si gendut berkopiah kupluk dan berbaju yang kancingnya terbalik itu. Namun dia segera mengenali pemuda satunya yang berambut gondrong.

“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng...” membatin Warok Wesi. Hatinya mendadak sontak jadi tidak enak. Dia memberi isyarat pada tiga orang anak buahnya. “Kalian lekas keroyok perwira muda itu. Aku akan melakukan sesuatu.”

Habis berkata begitu Warok Wesi menggebrak kudanya ke kanan seolah-olah dia hendak meninggalkan tempat itu. Namun di satu tempat dia membelok lagi dan memacu kudanya ke arah kereta.

“Lindungi kereta!” teriak Angling Kamesworo.

Dua belas perajurit segera bergerak mengamankan kereta dimana puteri patih kerajaan berada. Angling Kamesworo sendiri segera menyambut serangan tiga orang anak buah Warok Wesi. Ketiganya menyerang dengan golok di tangan.

“Kalian mencari mampus!” hardik perwira muda itu.

Golok di tangannya berputar aneh. Tiga orang anak buah Warok Wesi merupakan penjahat-penjahat yang memiliki kepandaian memainkan golok tingkat tinggi. Selama bertahun-tahun malang melintang dalam rimba Randuababng dan sekitarnya Warok Wesi menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu golok itu pada empat orang anak buahnya. Walau masih belum sempurna betul namun kehebatan mereka memainkan senjata tajam itu tidak bisa dianggap rendah.

Namun sekali ini ketiganya kena batunya. Yang mereka hadapi adalah seorang perwira muda berkepandaian tinggi calon patih kerajaan! Tiga anak buah Warok Wesi sesaat jadi terkesiap ketika melihat golok yang ada di tangan perwira muda itu seolah berubah menjadi sepuluh buah, menyambar dengan mengeluarkan suara berdesing menggidikkan.

"Trangg! Trangg! Trangg!"

Tiga kali bunga api berpijar di udara pagi. Tiga seruan tertahan keluar dari mulut tiga orang anak buah Warok Wesi. Telapak tangan yang memegang golok terasa pedas. Senjata di tangan masing-masing hampir saja terlepas mental dalam satu bentrokan golok secara kilat tadi. Sadar kalau lawan mereka memiliki kepandaian tinggi, salah seorang dari pengeroyok berseru.

“Keluarkan jurus bintang bertabur!”

Ilmu silat mengandalkan golok yang disebut jurus bintang bertabur itu sebenarnya harus dimainkan oleh lima orang. Namun karena merasakan adanya ancaman maka tiga orang perampok hutan Randuabang itu lekas-lekas saja mengeluarkannya dengan maksud dapat menghabisi lawannya.

Begitu jurus bintang bertabur itu dimainkan walau Cuma oleh tiga orang saja, Angling Kamesworo merasakan dirinya menghadapi serangan laksana curahan hujan yang bertabur dari arah berbeda-beda. Baru saja dia mementahkan atau menangkis satu serangan lawan, dari jurusan lain datang pula serangan baru. Dihadapinya serangan satu ini, gempuran datang menderu dari jurusan lain.

Hanya dengan kehebatan dan kecepatannya bergerak perwira muda itu sanggup lolos dari serangan-serangan maut walau dua kali pakaiannya robek besar disambar ujung senjata lawan-lawannya. Angling Kamesworo kertakkan rahang. Dia keluarkan suara membentak nyaring lalu menghadapi keroyokan tiga lawannya dengan gebrakan-gebrakan aneh yang secara perlahan-lahan membuat dia sanggup bertahan lalu balas mendesak lawan dengan tusukan atau babatan maut!

Di bagian lain, ketika melihat dua belas perajurit melindungi kereta, Warok Wesi Randuabang segera hunus golok besarnya. Tanpa tedeng aling-aling dia menggebrak ke arah kereta. Para perajurit yang mengawal tentu saja tidak mau tinggal diam. Enam orang langsung menyongsong sedang enam lainnya tetap bersiaga menjaga keselamatan kereta.

Enam perajurit yan gmnyambut kedatangan Warok Wesi Randuabang itu dua memegang golok, tiga menggenggam pedang dan satu lagi bersenjatakan tombak. Enam senjata berserabutan ke arah kepala, dada dan perut Warok Wesi. Sang Warok ganda tertawa. Golok besar di tangannya berkiblat lenyap. Terdengar suara berdentrangan. Lalu dua jeritan merobek langit.

Dua sosok tubuh roboh ke tanah bermandikan darah. Mereka adalah perajurit yang memegang golok dan pedang. Empat temannya karuan menjadi gugup. Tapi sadar akan kewajiban dan tanggung jawab besar mereka atas keselamatan puteri patih kerajaan maka keempat perajurit ini kembali menyerbu Warok Wesi. Namun keberanian meraka hanya satu kesia-siaan belaka.

Sekali lagi golok di tangan kepala rampok hutan Randuabang itu berkiblat, dua perajurit lagi roboh ke tanah meregang nyawa. Dua kawannya yang hampir putus nyali segera memberi isyarat pada enam temannya yang berada di sekitar kereta. Tiga orang segera bergerak, tiga lagi tetap berjaga-jaga. Kini ada lima perajurit menghadapi Warok Wesi.

“Kalau kalian sayang jiwa lekas minggat dari sini. Kalau tidak kalian akan merasakan akibatnya!”

Lima perajurit itu rupanya tidak takut akan gertakan Warok Wesi. Dengan cepat mereka menggebrak memulai serangan. Kali ini mereka menjaga jarak dan bertindak hati-hati. Tiga jurus pertama mereka bisa bertahan bahkan sesekali melancarkan serangan yang cukup membuat kepala rampok itu sibuk. Namun jurus-jurus berikutnya satu persatu mereka menemui ajal dibabat atau ditusuk golok besar di tangan Warok Wesi.

Dari tiga orang sisa perajurit yang mengawal kereta hanya satu saja yang mencoba berjibaku menusukkan goloknya ke punggung Warok Wesi yang saat itu lengah ketika sibuk membunuhi kawan-kawannya yang lima. Dua lainnya sudah kabur ketakutan.

Perajurit yang satu ini berhasil menusukkan senjatanya ke punggung kepala perampok itu. Namun alangkah kagetnya ketika menyaksikan bagaimana dia seolah menusuk batu yang keras. Ternyata sang warok tidak mempan senjata tajam! Tidak percuma dia menyebut diri sebagai Warok Wesi.

“Pembokong sialan!” rutuk Warok Wesi. Dia memutar tubuh. Tangan kirinya bergerak mencekik leher si perajurit. Lalu seperti seorang membelah kelapa, golok ditangannya menetak batok kepala perajurit itu!

“Keparat!” maki Warok Wesi ketika muncratan darah membasahi muka dan pakaiannya. Dengan lengan bajunya dia menyeka noda darah lalu melompat turun dari atas kuda dan lari ke arah kereta. Di atas pohon si gendut berpeci hitam kupluk menepuk bahu si gondrong.

“Sobatku gondrong! Aku mau tanya, sebetulnya kenapa kau mencariku?!”

“Soal kecil saja,” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku dimintakan bantuan oleh si Kerbau Bunting itu...”

“Kerbau Bunting katamu?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti. Dia berpikir sejenak. Lalu dia berkata. “Ah! Pasti si Dewa Ketawa itu! Paman sialan! Dia yang memendam aku sampai karatan di lobang inti es di puncak gunung Mahameru! Bantuan apa yang dimintanya? Sudah! Kau tak usah menjawab! Aku sudah tahu!”

“Tahu apa?” tanya Wiro menguji.

“Orang tua itu pasti minta bantuanmu untuk mendapatkan dua buah bonang kelengkapan gamelan keraton! Betulkan?!”

Wiro mengangguk lalu cepat berkata “Sudah dulu. Urusan dua buah bonang itu kita tunda dulu. Ada hal yang lebih penting!”

“Apa maksudmu?”

Pendekar 212 menunjuk ke arah kereta. “Kau lihat sendiri. Orang jahat itu berhasil merobohkan dua belas pengawal. Kini dia tengah menuju kereta hendak menculik puteri patih kerajaan bernama Sekar Mindi. Apakah kau tidak akan menolongnya?!”

“Perduli amat dengan gadis itu. Orang-orangnya tadi menghinaku habis-habisan...”

“Tapi gadis itu tidak jahat padamu.”

Si gendut tertawa sambil berkipas-kipas. “Kau suka padanya. Pasti!”

Wiro menyeringai. Dia memandang ke bawah pohon. Ke arah kereta. “Lihat, Warok Wesi tengah menarik tubuh Sekar Mindi dengan paksa dari dalam kereta. Kau masih tak mau menolong gadis itu?”

“Kalau kau suka padanya, kau saja yang menolongnya!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti.

“Kau gendut sialan!” maki Wiro sambil menggaruk kepala. Sekali dia berkelebat tubuhnya melayang ke arah kereta dan menjejak tanah tepat di belakang Warok Wesi yang tengah berusaha menarik Sekar Mindi keluar dari dalam kereta.

Gadis ini berusaha bertahan sambil berpegangan pada pinggiran pintu. Namun apalah artinya kekuatan seorang perempuan dibanding dengan kekuatan Warok Wesi seorang lelaki bertubuh kokoh besar yang sudah dirasuk setan. Sekali lagi dia merengut maka Sekar Mindi akhirnya keluar dari kereta. Dengan cepat hendak menotok gadis ini lalu mendukungnya di bahu kiri. Namun tiba-tiba dia merasakan ada seseorang menepuk bahunya sambil memanggil.

“Warok...”

Warok Wesi menoleh. Begitu kepalanya menghadap ke belakang satu jotosan melanda hidungnya. Pegangannya pada pinggang Sekar Mindi terlepas. Kepalanya seperti dihantam palu godam. Sakitnya bukan main hingga dia menjerit keras. Tetapi hebatnya jangankan berdarah atau cidera, hidung itu tidak berubah sedikitpun kecuali hanya berwarna kemerah-merahan.

“Kurang ajar! Setan alas ini ternyata kebal senjata tajam kebal pukulan!” kata Wiro dalam hati. “Tak ada jalan lain, aku harus melumpuhkannya dengna totokan!” lalu Wiro hendak menotok.

Rupanya Warok Wesi tahu apa yang hendak dikerjakan lawan. Didahului dengan bentakan garang kepala rampok ini menerkam ke depan. Kedua tangannya seperti hendak mencengkeram leher Pendekar 212. Tapi tahu-tahu salah satu tangannya menggebuk ke arah perut.

"Bukkk!" Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terangkat sampai setengah tombak sebelum mencelat beberapa langkah. Dari atas pohon terdengar suara tertawa bergelak. Yang tertawa bukan lain adalah Bujang Gila Tapak Sakti.

“Sobatku Wiro. Bagaimana rasanya digelitik si Warok?!” mengejek si gendut.

“Kentut busuk!” maki Pendekar 212 seraya bangkit berdiri. Baru saja tegak, Warok Wesi sudah berada di hadapannya melancarkan satu tendangan deras. Untung Wiro masih sempat jatuhkan diri dan berguling menjauh.

Namun lagilagi begitu dia berdiri kembali kepala penjahat itu sudah berada didekatnya dan siap melancarkan serangan ganas. Kali ini Pendekar 212 tidak mau memberi hati lagi. Dia menahan serangan lawan dengan jurus-jurus ilmu silat orang gila yang didapatnya dari Tua Gila dari pulau Andalas.

Begitu lawan kebingungan dan putus asa karena semua serangannya luput maka Wiro lalu menggempur dengan jurus-jurus Kilat Membuka Jendela Memanah Matahari, Dibalik Gunung Memukul Halilintar, Kincir Padi Berputar dan Kepala Naga Menyusup Awan. Empat pukulan melanda muka, dada dan perut Warok Wesi. Mukanya babak belur. Tubuhnya yang tinggi besar terbanting ke tanah. Untuk beberapa lama Warok Wesi terkapa tak bergerak.

“Tamat riwayatmu!” kata Wiro puas. Tapi kedua matanya jadi mendelik sewaktu perlahan-lahan tubuh yang terkapar itu bergerak. Lalu tiba-tiba Warok Wesi membuat satu lompatan dan tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan murid Sinto Gendeng itu.

“Iblis satu ini benar-benar kebal!” desis Pendekar 212. Dia mengerahkan tenaga dalam siap untuk menghantam dengan pukulan sakti sinar matahari. Justru pada saat itulah terdenga suara tawa bergelak dari atas pohon.

“Sobatku Pendekar 212! Coba kau bawa setan alas itu ke bawah pohon ini. Aku akan tunjukkan padamu bagaimana memusnahkan kekebalan dirinya!”

Wiro mendongak ke atas pohon di mana si gendut Bujang Gila Tapak Sakti duduk berjuntai uncang-uncang kaki sambil berkipas-kipas. Melihat ke atas pohon, melupakan kedudukan lawan merupakan satu kesalahan besar yang dibuat Wiro Sableng. Di saat dai bertindak lengah itu Warok Wesi melompat sambil melayangkan jotosannya ke muka Wiro.

Pendekar212 merasakan kepalanya seolah meledak dan tanggal dari lehernya. Tubuhnya mencelat jauh dan terbanting tepat di batang pohon di mana Bujang Gila Tapak Sakti duduk berjuntai. Untuk beberapa lamanya pemandangannya gelap berkunang-kunang. Dia hanya melihat samar-samar Warok Wesi melangkah mendekatinya. Tangan kanannya memegang sebilah golok berdarah. Di hadapan Wiro, Warok Wesi tegak sesaat. Mukanya seganas iblis. Seringai setan bermain di mulutnya.

“Aku tidak pernah memimpikan hari ini akan membunuh tokoh paling terkenal dalam dunia persilatan. Pendekar 212 hari ini tamat riwayatmu!”

Tangan Warok Wesi yang memegang golok mengayun ke bawah. Tapi baru setengah jalan bacokan maut itu berjalan tiba-tiba dari atas pohon mencurah jatuh cairan kuning. Cairan ini jatuh tepat menimpa kepala dan tubuh Warok Wesi Randuabang, malah bermuncratan mengenai Pendekar 212 yang duduk tersandar di batang pohon.

Dari mulut Warok Wesi keluar suara raungan dahsyat. Orang ini melangkah mundur dengan muka pucat lalu mencak-mencak seperti orang gila. Kedua tangannya berulang kali memegangi kepala dan bagian tubuhnya yang kecurahan cairan kuning dari atas pohon. Lain halnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu muncratan air kuning dan hangat itu menerpa tubuhnya, dia segera tahu apa yang terjadi.

“Bujang Gila keparat! Apa yang kau lakukan? Kuputus burungmu!” Wiro berteriak lalu berdiri.

Si gendut di cabang pohon tertawa gelak-gelak. “Kau harus berterima kasih telah kukencingi!” berseru Bujang Gila Tapak Sakti.

“Setan alas! Enak saja kau bicara begitu! Lihat mukaku basah kejatuhan cipratan air kencingmu di kepala Warok sialan itu!”

“Anak tolol! Justru itu aku bilang kau harus berterima aksih. Kau Cuma kecipratan. Lihat si Warok. Dia malah basah kuyup. Air kencingku membuat ilmu kebalnya musnah tak manjur lagi!”

“Pembohong besar! Konyol!” teriak Wiro masih sangat jengkel. “Turunlah biar kugebuk tubuhmu sampai jadi pepes!"

Bujang Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh. “Kalau kau tak percaya mengapa tidak dicoba? Coba kau hajar Warok itu sekali lagi!"

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Diperhatikannya keadaan Warok Wesi yang mencak-mencak, meraung sambil coba mengeringkan kepala dan tubuhnya yang basah dengan kedua tangan. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk mengeringkan air kencing Bujang Gila Tapak Sakti itu. Dengan wajah sangat ketakutan dia lari ke kudanya, berusaha melarikan diri dari tempat itu. Apalagi tiga orang anak buahnya yang terakhir sudah menemui ajal pula di tangan Angling Kamesworo.

“Mungkin apa yang diucapkan si gendut sialan itu benar. Kalau tidak mengapa Warok Wesi sampai berusaha melarikan diri dengan sangat ketakutan seperti itu.”

Memikir sampai disitu Pendekar 212 segera melompat mengejar Warok Wesi yang saat itu baru saja menggebrak kudanya hendak melarikan diri. Murid Sinto Gendeng ini masih sempat mencekal pergelangan kaki kiri Warok Wesi lalu ditariknya kencang-kencang, Tubuh Warok Wesi terbetot dari kuda tunggangannya. Binatang ini terus saja berlari. Akibatnya sang Warok jatuh terbanting ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit tendangann kaki kanan Wiro bersarang di sisi kanannya.

"Kraaakkk!"

Warok Wesi meraung keras. Empat tulang iganya berpatahan. Dia berusaha bangkit. Namun baru setengah duduk sebilah golok berkelebat membacok lehernya. Sekali lagi terdengar suara raungan keluar dari tenggorokan Warok Wesi. Lalu tubuhnya roboh kembali. Sekali ini tak bergerak lagi. Mati dengna leher hampir putus.

Perlahan-lahan Angling Kameswowo menjatuhkan golok yang dipegangnya yang barusan dipakainya untuk membunuh kepala rampok hutan Randuabang yaitu Warok Wesi Randuabang. Lalu dia menoleh ke atas pohon.

“Anak muda bernama Bujang Gila Tapak Sakti, turunlah. Kau telah berbuat jasa pada kerajaan. Menyelamatkan puteri patih. ”

“Ah siapa bilang aku menolong. Tadi aku kan Cuma kencing saja!” Pendekar 212 tersenyum sambil garuk-garuk kepala.

“Gendut!” seru Wiro. “Kau turun sajalah! Orang mau bicara padamu!"

Mendengar ucapan murid Sinto Gendeng itu Bujang Gila Tapak Sakti melompat turun dari atas pohon. Tapi dia tidak melompat turun ke tempat di mana Wiro dan Angling Kamesworo berada melainkan ke jurusan lain. Begitu dia berkelebat si gendut inipun lenyap dari pemandangan.

“Astaga! Dia kabur!” seru Wiro. “Aku harus mengejarnya!”

“Tunggu!” kata Angling Kamesworo.

“Ada apa perwira?” tanya Wiro.

“Sobat muda berjuluk Pendekar 212, kau sudah kenal lama dengan anak gendut aneh itu?”

“Belum lama. Tapi dia telah beberapakali menolongku.”

“Kau tahu dimana bisa mencarinya? Tahu tempat kediamannya mungkin?” Wiro gelengkan kepala.

“Ada perlu apa kau hendak mengejarnya?” tanya Angling Kamesworo lebih lanjut.

“Ada urusan besar yang harus diselesaikannya.”

“Menyangkut dua bonang milik keraton itu bukan?” Wiro jadi garuk-garuk kepala.

“Pendekar 212. Ketahuilah, kau juga ikut berjasa menyelamatkan puteri patih kerajaan. Jika kau mau ikut aku ke kotaraja, niscaya patih kerajaan akan memberikan hadiah besar padamu...”

Wiro tersenyum. “Perwira, aku harus segera mengejar si gendut itu.”

“Baiklah sobat. Atas nama kerajaan aku berterima kasih padamu. Satu hal harap kau ingat baik-baik. Jika dua buah bonang pusaka itu kau temui, harap kau suka mengembalikannya ke keraton.”

Murid Eyang Sinto Gendeng mengangguk lalu tinggalkan tempat itu. Dia tak tahu harus mengejar si gendut ke mana. Sambil berlari dia menggerutu seorang diri. “Kalau tidak diminta oleh Dewa Ketawa, aku tak akan mau menangani urusan gila brengsek ini!"

********************

ENAM

Biduk kecil itu meninggalkan Tanjung Lenggasana tepat dipertengahan malam Jum'at Wage ketika bulan purnama empat belsa hari tertutup oleh ketebalan awan kelabu kehitaman. Laut berombak tenang. Angin bertiup datar. Penumpang biduk, seorang kakek berambut panjang riap-riapan sampai ke punggung duduk di bagian belakang biduk. Tangan kirinya yang kurus tinggal kulit pembalut tulang hanya sesekali saja mengayuh kayu pendayung. Namun hebatnya biduk kecil itu sekali didayung mampu meluncur jauh.

Berlainan dengan tangan kirinya si kakek memiliki tangan kanan yang tidak pantas disebut tangan. Karena sebatas siku ke bawah tangan itu berbentuk sebuah gergaji besi dengan gigi-giginya yang besar runcing berkilau mengerikan. Kakek ini duduk memandang ke arah kejauhan dalam kegelapan malam. Dia rupanya tengah memusatkan pikirannya ke suatu titik yang saat itu masih belum terlihat. Makin jauh ke tengah laut dia mulai melihat apa yang dibayangkannya dalam pikiran dan coba dilihat dan ditembusnya dalam kegelapan malam.

“Perempuan itu pasti ada di sana. Firasatku mengatakan demikian. ” membatin si kakek. Lalu dikayuhnya biduknya dua kali berturu-turut. Biduk kayu itu laksana terbang, meluncur di permukaan air laut menembus kegalapan malam. Dia coba sekali lagi untuk memastikan kebenaran firasatnya. Segala pikiran dan titik pandang dipusatkan. Setelah beberapa lama apa yang dipusatkannya itu mendadak buyar.

“Aneh! Aku tidak bisa memusatkan pikiran sepenuhnya. Pasti ada yang tidak beres.”

Si kakek memandang ke timur. Laut tampak gelap. Dia berpaling ke barat. Sunyi dan gelap. Perlahan-lahan dia menoleh kebelakang. “Hemm... ini sebabnya...” katanya dalam hati. Jauh di belakangnya tampak sebuah perahu. Berlayar searah dengan tujuannya. “Ada yang mengikuti. Aku akan coba membuktikan betul tidaknya.” Lalu kakek berambut panjang itu mengayuh tiga kali pada bagian kanan biduk dan tiga kali pula pada samping kiri.

Terdengar suara bersiur ketika biduk melesat laksana anak panah lepas dari busurnya. Beberapa saat kemudian si kakek kembali menoleh ke belakang. Perahu yang tadi berada di belakang sana lenyap tak kelihatan lagi. Si kaakek tersenyum. Hatinya lega. Kini tak ada lagi yang dirisaukannya. Tapi astaga! Ketika dia berpaling ke timur ternyata dilihatnya perahu tadi kini berada sejajar di sebelah kanannya.

“Kurang ajar! Siapa orang dalam perahu itu. Kalau dia bisa bermain-main di atas laut dengan perahunya berarti dia bukan manusia sembarangan. Dia coba mengikutiku. Bahkan sengaja berlayar mendampingi. Dia hendak mengejekku! Awas! Akan kuberi pelajaran padanya!”

Kakek itu lalu memegang kayu pendayung erat-erat di tangan kiri. Kedua matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit. Perutnya menggembung lalu mengempis. Hawa sakti yang mengalir dari perut orang tua itu bergerak memasuki kayu pendayung melalaui tangan kirinya yang tampak bergetar keras.

Sesaat kemudian perlahan-lahan dibukanya kedua matanya lalu memandang lagi ke arah timur. Perahu tadi kelihatan di arah itu malah kini tampak lebih memepet mendekat. Si kakek berusaha memperhatikan siapa penumpang perahu itu adanya. Namun kegelapan malam sulit ditembus.

“Sekarang kau terima hadiah dariku, penguntit gelap!” si kakek berkata. Tangan kirinya yang memegang kayu pendayung diturunkan ke dalam air laut. Ujung kayu pendayung diarahkannya tepat-tepat ke jurusan perahu di kejauhan. Lalu genggamannya dilepaskan. Pendayung itu meluncur satu jengkal di bawah permukaan air laut. Laksana seekor ikan hantu pendayung melesat ke arah perahu. Tak lama kemudian kelihatan perahu di jauhan sana hancur berantakan bagian samping kirinya terkena hantaman pendayung!

Si kakek tertawa mengekeh. “Tamat riwayatmu penguntit tolol!”

Menjelang dinihari si kakek mulai dapat melihat satu titik hitam di kajauhan. Makin sering dia pergunakan tangan kiri mengayuh, makin cepat biduk itu meluncur makin tambah besar titik yang dilihatnya itu. Lama-lama titik itu telah berubah menjadi sebuah noktah hitam dan akhirnya terlihat jelas. Ternyata adalah sebuah pulau. Biduk kecil mendarat di tepi pantai.

Dia memandang berkeliling. Juga menoleh ke tengah lautan di belakangnya. Tak kelihatan apa-apa. Debur ombak yang memecah di pantai pulau menimbulkan suara menggidikkan. Merasa aman si kakek turun dari atas biduknya. Lalu dengan langkah bergegas dia memasuki bagian pulau yang ditumbuhi berbagai macam pepohonan dan semak belukar.

Melihat caranya berjalan yang begitu cepat tampaknya kakek ini sudah mengenal seluk beluk pulau itu. Dalam waktu singkat dia sudah sampai di pertengahan pulau dimana terdapat sebuah gubuk berdinding kajang beratap rumbia. Anehnya gubuk ini sama sekali tidak ada jendela ataupun pintunya.

“Nyi bulan, kau masih saja berlaku aneh seperti dulu-dulu...” Kata si kakek dalam hati.

Setelah memandang berkeliling dan menunggu sesaat maka orang tua ini kemudian berseru. “Nyi Bulan Seruni Pitaloka! Aku tahu kau ada dalam gubuk. Begini caramu menyambut tamu yang datang dari jauh?!”

Sunyi sejenak lalu kesunyian itu dipecahkan oleh suara orang tertawa. Suara tawa perempuan. Bagitu suara tawa lenyap terdengar sesuatu berkereketan. Bagian atap gubuk yang terbuat dari rumbia tampak menguak. Tiba-tiba dari celah atap dan dinding melesat keluar satu sosok tubuh. Di udara dia berjungkir balik beberapa kali sebelum menjejakkan kedua kaki di tanah dan berdiri tegak hanya satu langkah di hadapan si kakek hingga orang tua itu sesaat jadi tergagau dan mundur.

Betapa tidak. Yang berdiri di depannya adalah seorang nenek berwajah buruk kalau tidak mau dikatakan menyeramkan. Hidungnya yang panjang bengkok dicanteli sebuah anting bulat berwarna merah. Mulutnya yang berbibir tebal kelihatan pencong perot. Yang menggidikkan adalah sepasang matanya. Mata si nenek berwarna hitam semua, tak ada putihnya!

Lalu rambutnya panjang berkeriting aneh dan menebar bau busuk. Melihat si kakek tergagau atas kemunculannya yang mendadak si nenek tertawa mengekeh sambil menggoyang-goyangkan kepalanya hingga rambutnya yang busuk menebar bau tak sedap ke seantero tempat.

“Siapa kau?!” sentak si kakek.

Si nenek menjawab dengan tawa melengking. “Kakek jelek. Kalau kau punya peradatan sebagai pendatang kaulah yang harus memperkenalkan diri lebih dulu. Tapi malam ini aku sedang senang. Aku bisa memaafkan keteledoranmu. Biar aku yang menyebut siapa dirimu. Kakek jelek, bukankah kau orangnya yang dikenal dengan gelar si Gergaji Setan?!”

Dalam hatinya si kakek merasa terkejut. “Aku belum pernah mengenal perempuan celaka ini. Bagaimana dia tahu namauku?”

“Gergaji Setan, lekas bilang apa keperluanmu menginjakkan kaki di pulau Sempu ini!”

“Aku ke sini untuk mencari perempuan bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka!” jawab si kakek.

“Hemm... Rupanya kau satu dari sekian banyak lelaki hidung belang yang tergila-gila pada Nyi Bulan!”

“Jangan bicara ngaco! Aku datang atas tugas yang diberikan kerajaan!”

“Ah! Hebat betul! Kerajaan mempercayai satu tugas padamu orang yang selama ini dikenal bukan sebagai tokoh silat baik-baik...”

“Siapa aku tidak usah dipersoalkan! Tugasku lebih penting!”

“Kalau kau memang mendapat tugas dari kerajaan, apakah kau bisa memperlihatkan surat tugasmu?”

“Kau tidak layak memeriksa! Apalagi melihat surat tugas kerajaan!”

“Hemm... Begitu? Kalau begitu lekas putar jidatmu, angkat kaki dan pantatmu dari sini. Tinggalkan pulau Sempu selagi kau bisa bernafas!”

Dalam dunia persilatan si Gergaji Setan cukup dikenal dan merupakan satu tokoh silat yang disegani walaupun dia bukan termasuk golongan putih. Ucapan si nenek tadi jelas dirasakannya sangat merendahkan dan menghina dirinya. Namun karena dia belum mengenal dan mengetahui siapa adanya nenek ini maka dia tidak mau bertindak ceroboh.

“Soal pergi bukan soal susah. Hanya saja aku ingin tahu siapa kau sebenarnya dan aku tidak akan pergi sebelum ketemu dengan Nyi Bulan Seruni Pitaloka.”

“Kau ternyat tua bangka keras kepala. Tidak melihat tingginya gunung Mahameru di depan mata! Ketahuilah aku adalah pembantu Nyi Bulan Seruni. Semua urusan dengan Nyi Bulan harus disampaikan lewat diriku!”

Si kakek manggut-manggut. Tangan kirinya menusap-usap mata gergaji pada sambungan tangan sebelah kanan. “Ternyata kau cuma seorang pembantu. Siapa sudi berurusan dengan seorang kacung buruk sepertimu?!”

Paras buruk si nenek kelihatan berubah jadi tambah buruk. Matanya bersitkan sinar hitam. Lalut erdengar tawanya melengking panjang. “Tamu tak tahu diri. Menyingkirlah sebelum aku menajdi marah!”

“Nenek buruk! Jangan tolol! Lebih baik lekas kau panggilkan majikanmu! Aku kau muntah bicara terlalu lama dengan perempuan busuk bau sepertimu!”

“Tua bangka keparat! Lihat rambutku!” teriak si nenek marah sekali. Perempuan tua itu lalu goyangkan kepalanya. Rambutnya yang panjang keriting bergerak aneh, tidak ubahnya seperti senjata yang membabat ke arah kepala si Gergaji Setan.

Si kakek yang mengenakan jubah biru tak tinggal diam. Dia kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri. Terdengar suara berkesiuran. Serangan tangan kosong si nenek buyar berantakan. Tubuhnya terjajar sampai tiga langkah. Di saat itu si Gergaji Setan menekan. Dengan ganas tanagn kanannya yang berupa gergaji besi itu membabat ke dada si nenek.

Perempuan tua ini terlambat mengelak. Gergaji Setan melanda dadanya. Tak dapat tidak dada itu akan terbabat dalam sampai setengahnya. Tapi apa yang terjadi satu keanehan. Terdengar suara berkeresakan yang keras seolah gergaji besi memapas benda keras.

Si Gergaji Setan terbelalak kaget dan melompat mundur. Diperhatikannya mata gergajinya ternyata semua masih utuh. Lalu dia memperhatikan ke depan. Pakaian si nenek robek besar di bagian dada. Tapi dia sama sekali tidak terluka. Mata si kakek memebelalak ketika melihat pada dada kiri kanan si nenek menempel dua buah benda bulat kuning yang ada tonjolannya di bagian tengah.

“Bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog!” seru si kakek ketika dia mengenali benda paa yang ada di dada si nenek. Justru kemunculannya di pulau itu adalah dalan tugas mencari dua buah bebunyian pelengkap gemelan keraton itu!

“Kacung Nyi Bulan!” seru si Gergaji Setan. “Jika kau mau menyerahkan dua buah bonang itu secara baik-baik, aku berjanji mengampuni selembar nyawamu!”

“Ha ha ha hebatnya! Bagaimana kalau aku punyai dua lembar nyawa?!” ujar si nenek pula mengejek lalu tertawa gelak-gelak.

“Kalau begitu biar aku ambil dua-duanya!” kata si kakek dengan marah.

Sekali berkelebat maka dia sudah menyerang perempuan tua itu dengan teramat ganas. Serangannya susul menyusul laksana deru ombak menghempas karang. Si nenek dibuat sibuk dan harus bertindak cepat kalau tidak mau kehilangan anggota badannya putus digilas tangan gergaji. Senjata yang menjadi satu bagian dengan tangan yang buntung itu menggerus ke dada, membabat ke lengan, kadang-kadang menukik ke perut lalu berbalik tidak terduga ke arah leher!

Dalam satu gebrakan hebat pada jurus kedua puluh sembilan kaki kiri nenek pembantu Nyi Bulan terpeleset. Tubuhnya tak ampun lagi jatuh terduduk di tanah. Sebelum dia sempat berdiri lawan menyorongkan gergaji mautnya ke leher si nenek.

“Berani kau bergerak putus lehermu!” ancam si Gergaji Setan.

“Berani kau membunuhnya kubuat leleh sekujur tubuhmu!” satu suara tiba-tiba terdengar membentak.

TUJUH

Si Gergaji Setan terkejut lalu berpaling. Si nenek yang lehernya hampir digorok juga berusaha memalingkan kepala ke arah datangnya suara membentak itu. Saat itu malam mulai menjelang pagi. Udara mulai terang-terang tanah. Si kakek dan si nenek melihat seorang pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong tegak sekitar sepuluh langkah kanan.

Kedua kakinya terkembang sedagn tangan kanannya mulai dari siku sampai ke ujung jari kelihatan memancarkan sinar putih perak menyilaukan. Tak berapa jauh dari pemuda ini, sedikit agak kebelakang berdiri pula seorang pemuda lain berbadan gemuk luar biasa, mengenakan baju kesempitan dan memakai peci hitam kupluk di atas kepalanya hampir menutupi alis.

Mata dan kulit kening si nenek tampak berkerenyit. Dia mengenali siapa pemuda gendut gembrot itu tapi tidak mengetahui siapa adanya pemuda gagah berambut gondrong yang tengah mengancam si Gergaji Setan dengan satu pukulan sakti. Sebaliknya si Gergaji Setan mengenali siapa adanya si pemuda gondrong dan tidak tahu siapa adanya si gendut.

“Pendekar Kapak Maut 212 Wiro Sableng...” berkata Gergaji Setan.

“Bagaimana dia bisa muncul di pulau ini! Apa keperluannya! Jangan-jangan... Dia mengancamku dengan pukulan sinar matahari! Gila betul! Sekalipun aku mampu menggorok leher perempuan celaka ini tapi rasanya aku tak bakal bisa lolos dari hantaman pukulan sakti itu!” Gergaji Setan berpikir sesaat.

Si nenek yang mengaku pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka capat membaca situasi. Kalaupun pemuda gagah itu mampu membunuh si Gergaji Setan dengan pukulan saktinya, lehernya sendiri tak mungkin lolos dari kematian digorok gergaji lawan. Maka sebelum si kakek mengambil keputusan dia cepat mengangkat tangan kirinya dan melambai memberi tanda pada semua orang.

“Pemuda rambut gondrong! Jangan teruskan seranganmu! Kau tak bakal mampu menyelamatkan nyawaku. Kakek setan keparat ini orangnya nekad! Biar aku serahkan dua buah barang milik Nyi Bulan yang dicari dan diinginkannya! Asal saja dia tidak menggorokku! Gergaji Setan, kau mau bersumpah tidak akan membunuhku jika dua buah bonang yang ada di balik pakaianku aku serahkan padamu?!”

Gergaji Setan idak berpikir panjang. Jika orang sudah berkata begitu mengapa dia harus memperpanjang urusan? Maka cepat dia berkata. “Aku bersumpah! Tapi awas kalau kau berani menipu!”

Si nenek menyeringai. Kedua tangannya bergerak ke arah dada. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan dua buah benda bundar berwarna kuning ang bagian tengahnya menonjol ke atas. Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti yang tegak tak jauh dari tempat itu sama-sama saling pandang.

“Bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog...?” bisik Bujang Gila Tapak Sakti. Wiro mengangguk. “Heran. Bagaimana dua peralatan keraton yang hilang itu berada di tangan si nenek tak dikenal ini?"

“Nenek!” Bujang Gila Tapak Sakti berseru. “Kau harus menyerahkan dua buah bonang milik Keraton itu padaku!”

“Gendut! Aku tidak berurusan denganmu! Tapi dengan kakek berjuluk Gergaji Setan ini! Dia utusan Kerajaan yang ditugasi mencari dua buah bonang ini! Aku merasa tidak ada gunanya menahan alat bebunyian ini lebih lama...”

Lalu si nenek serahkan dua buah bonang itu pada si Gergaji Setan yang segera diterima dan cepat-cepat dimasukkan ke dalam jubah birunya. Perlahan-lahan tangan gergajinya dijauhkan dari leher si nenek.

“Nenek!” kini Wiro yang berseru. “Bagaimana kau tahu kalau dia memang betul-betul utusan Kerajaan?!”

“Apa perdulimu!” menyahuti si nenek yang merasa nyawanya kembali setelah senjata maut yang tadi menempel di lehernya diangkat ke atas.

Gergaji Setan menyeringai. Dengan tangan kirinya dikeluarkan secarik kertas lalu dilemparkannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Itu surat tugasku! Ada cap Kerajaan! Kau lihat dan baca sendiri kalau tidak percaya!” kata si Gergaji Setan. Lalu sekali dia bergerak, tubuhnya sudah melesat lima langkah.

“Gergaji Setan! Kau membatalkan niatmu menemui majikanku Nyi Bulan Seruni Pitaloka?!” berseru si nenek.

Tanpa berpaling si Gergaji Setan menyahuti. “Perlu apa lagi aku menemui janda itu. Dua buah bonang pusaka Keraton sudah ada padaku!”

Sementara itu begitu si Gergaji Setan berkelebat pergi Wiro memberi isyarat pada Bujang Gila Tapak Sakti yang tegak di sampingnya agar si gendut ini segera mengambil kertas yang tadi dilemparkan si Gergaji Setan. Pemuda gendut ini cepat mengambil kertas itu. Dia kelihatan memutar-mutar dan keningnya berkerut-kerut.

“Sialan!” damprat Wiro. “Kalau tidak bisa baca bilang saja!” Wiro lalu menarik kertas itu dari tangan Bujang Gila Tapak Sakti yang hanya bisa menyeringai tersipu-sipu.

Cepta Wiro meneliti dan membaca surat tugas itu. Di bagian bawah memang ada cap Kerajaan. Sebelumnya murid Eyang Sinto Gendeng sudah sering melihat surat-surat penting yang dikeluarkan Kerajaan. Sekali melihat saja dia segera mengetahui bahwa cap Kerajaan itu palsu. Berarti surat tugas itupun palsu!

“Surat ini palsu!” teriak Pendekar 212 lalu berpaling ke arah larinya si Gergaji Setan. Saat itu si kakek sudah bergerak sejauh dua puluh langkah. Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti kemudian sama menoleh pada si nenek berhidung bengkok. Anehnya perempuan tua berwajah buruk ini tampak menyeringai lalu terdengar suara tawanya mula-mula perlahan kemudian mengeras tinggi.

“Pagi-pagi aku sudah tahu kalau surat itu palsu! Siapa yang tidak kenal dengan si Gergaji Setan? Tokoh silat berhati culas yang bisa jadi ular kepala lima!”

“Tapi dua buah bonang itu sudah jatuh ke tangannya! Apa yang hendak kau lakukan?!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.

“Betul! Kalau kau sudah tahu surat itu palsu, mengapa dua buah bonang pusaka itu kau serahkan padanya. Jangan-jangan kau berkomplot dengan dia. Karena melihat kedatangan kami! Hayo lekas katakan apa yang akan kau lakukan?!” menukas Bujang Gila Tapak Sakti.

“Lihat saja!” jawab si nenek tak acuh. Lalu dia melompat bangkit. Pandangannya diarahkan pada si Gergaji Setan yang saat itu berada hampir dua puluh langkah dikejauhan dan siap lenyap di balik serumpunan semak belukar.

Dari tempatnya berdiri baik Pendekar 212 maupun Bujang Gila Tapak Sakti dapat melihat bagaimana sepasang mata si nenek yang keseluruhannya berwarna hitam mengeluarkan kilatan menggidikkan. Lalu perempuan ini tampak anggukkan kepalanya dua kali berturut-turut.

"Wussss! Wussss!"

Dari kedua mata si nenek melesat keluar dua larik sinar hitam berbentuk dua garis lurus. Udara di tempat itu serta merta terasa panas. Dua larik sinar hitam berkiblat ke arah si Gergaji Setan. Kakek ini baru sadar kalau dirinya diancam bahaya ketika dua larik sinar sudah begitu dekat. Dia berpaling dan berseru keras lalu cepat menyingkir.

Namun terlambat. Dua larik sinar hitam keburu menghantam punggung dan pinggangnya. Terdengar jeritan si Gergaji Setan sekali lagi. Tubuhnya terkapar di samping semak belukar. Bagian punggung berlobang besar dan mengepulkan asap berbau sangitnya daging tubuh yang terbakar. Bagian pinggang laksana dipanggang dan hampir putus. Si Gergaji Setan menemui ajal secara sangat mengerikan.

Bujang Gila Tapak Sakti leletkan lidah sementara Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa menyaksikan kejadian itu sambil garuk-garuk kepala.

“Panasnya udara ini! Aku tak tahan!” kata Bujang Gila Tapak Sakti lalu keluarkan kipas kertasnya dan mulai berkipas-kipas. “Aku harus pergi dari sini tapi dia buah bonang itu harus kuselamatkan lebih dulu!”

Lalu si gendut ini hendak melangkah ke arah mayat si Gergaji Setan. Namun langkahnya tertahan ketika dia mendengar suara tertawa bergerak dari arah depan sementara Wiro dan si nenek tampak tercekat. Sesaat kemudian dari balik semak belukar di dekat mana mayat si Gergaji Setan terkapar muncul satu sosok tubuh gendut, berambut putih yang digulung ke atas, bermata sipit dan menunggangi seekor keledai kurus pendek.

“Dewa Ketawa!” ujar Wiro.

Orang gendut yang barusan datang menunggang keledai memang benar si kakek aneh yang dikenal dengan panggilan Dewa Ketawa adanya. Dengan matanya yang sipit dia memandang si neenk, Wiro dan agak terkejut ketika melihat Bujang Gila Tapak Sakti juga ada di situ.

“Kerbau Bunting! Ada apa kau tahu-tahu muncul di sini?!” Wiro menegur.

Si kakek meledak tawanya. “Aku senang kau masih mau memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting itu ! Ha ha ha...! Pendekar 212 apakah kau ada baik-baik saja? Ketahuilah kita semua berada di sini dengan tujuan yang sama. Mencar dan menemukan kembali dua buah bonang pusaka milik Keraton. Gusti Allah menolongku dan memberi keberuntungan padaku hingga aku tidak terlambat!”

Lalu si kakek gendut ini turun dari keledainya. Dengan cepat dia memeriksa dada pakaian si Gergaji Setan. Lalu tampak dia mengeluarkan dua buah bonang yang terbuat dari besi kuning itu dan memasukkannya ke dalam kantong perbekalan yang tergantung di leher keledai. Sambil tertawa-tawa si kakek lambaikan tangannya.

“Selamat tinggal kalian bertiga. Aku merasa tak ada kepentingan lain lagi di pulau ini!”

“Tunggu ! Aku punya kepentingan!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti.

Dewa Ketawa menoleh pada pemuda gendut itu. Sambil naik ke punggung keledainya dia berkata. “Ah, kau rupanya. Kucari ke puncak Mahamer. Kukira kau sudah jadi batu. Mungkin juga sudah jadi santapan binatang buas. Nyatanya kau masih hidup dan ada di sini! Ha ha ha...! Coba kau katakan apa kepentinganmu!”

“Pertama, kau harus serahkan kedua bonang itu padaku! Kedua aku ingin menggebukmu. Tujuh tahun kau memendamku dalam lobang inti es!”

Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. “Apa yang kau katakan itu bukan kepentingan! Pertama, dua buah bonang itu bukan milikmu. Kedua kau kuhukum karena memang berbuat salah yaitu mencuri dua buah bonang ini ! Ciluk baaaaa. Maluuuuu...!”

Diejek begitu rupa Bujang Gila Tapak Sakti jadi naik darah. Sekali lompat saja dia sudah sampai di depan Dewa Ketawa. Tapi si kakek gendut tidak kalah cepat. Dia menggebrak pinggul keledainya. Binatang dan penunggangnya melesat ke depan, lenyap di balik pepohonan.

“Paman jahat sialan! Apa kau kira bisa kabur seenaknya?!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti.

Dia coba mengejar. Tapi dari arah depan ada satu gelombang angin menghantam dengan tiba-tiba. Demikian derasnya gelombang ini hingga pemuda gemuk itu walaupun memiliki bobot hampir 150 kati tetap saja terpelanting dan jatuh tunggang langgang. Bujang Gila Tapak Sakti membalas dengan mendorongkan telapak tangan kanannya. Terdengar suara berkesiuran ketika ada angin kencang menggebubu keluar dari telapak tangan si pemuda.

"Brakkk! Brakkk! Semak belukar rambas berpelantingan. Pohon-pohon kecil bertumbangan. Namun selanjutnya serangan angin sakti yang dilepaskan Bujang Gila Tapak Sakti itu hanya melanda tampat kosong.

“Keparat sialan! Paman celaka itu akan kukejar kemanapun dia pergi!” serapah si pemuda lalu melompat dan berkelebat ke arah lenyapnya Dewa Ketawa.

Mengejar sampai puluhan tombak Bujang gila Tapak Sakti masih belum menemukan si orang tua. Dia terus mengejar hingga akhirnya sampai di tepi pantai. Saat itu udara telah semakin terang. Langit di ufuk timur tampak benderang. Memandang ke tengah laut Bujang Gila Tapak Sakti jadi melengak, tarik nafas dalam dan bantingkan kakinya ke pasir pantai. Saat itu jauh di tengah laut tampak sebuah perahu meluncur dengan cepat memecah gelombang pagi. Di atas perahu ada seekor keledai dan di bagian belakang tampak orang tua gendut berjuluk Dewa Ketawa itu!

“Setan! Setaaaannnnnn!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti sambil meninju-ninjukan tangan kanannya ke telapak tangan kiri. Dia mencebur masuk ke dalam air laut. Kedua tangannya dipukulkan ke atas air. Terjadilah suatu yang luar biasa. Dengan kesaktiannya air laut yang dipukul itu bergulung besar membentuk gelombang tinggi lalu menghantam ke tengah laut tempat beradanya perahu Dewa Ketawa.

Perahu itu sempat bergoncang keras oleh hantaman gelombang yang memukulnya. Namun perahu itu sudah berada terlalu jauh ke tengah. Hantaman pukulan sakti Bujang Gila yang membuat gelombang besar itu hanya mampu menggoncangkannya, sama sekali tidak mampu membuatnya terbalik!

Sadar dia tidak bisa berbuat banyak lagi, sambil memaki panjang pendek Bujang Gila Tapak Sakti keluar dari laut. Dia menghampiri sebatang pohon kelapa besar. Tangan kanannya bergerak.

"Brakkk!"

Pohon kelapa itu berderak patah lalu tumbang. Si pemuda gosok-gosokkan kedua tangannya hingga ada hawa dingin mengalir. Lalu dengan kesaktian luar biasa yang dimilikinya, hanya dengan mempergunakan tangan kosong, batang kelapa besar itu dibentuknya menjadi sebuah perahu ramping. Selesai membuat perahu dia mematahkan dua batang kayu untuk dijadikan pendayung.

Ketika Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengikuti Bujang Gila Tapak Sakti sampai pula di tepi pantai, dilihatnya pemuda gendut itu sudah berada di tengah lautan, duduk di atas batang kelapa berbentuk perahu seperti menunggang kuda. Kedua tangannya kiri kanan bergerak cepat mendayung hingga sebentar saja perahu itu semakin jauh ke tengah dan akhirnya lenyap dari pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng.

Kini murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede inilah yang memaki panjang pendek karena ditinggal begitu saja. Padahal sebelumnya mereka datang ke pulau itu bersama-sama. Di tengah laut perahu mereka hancur berantakan oleh pendayung yang dihantamkan si Gergaji Setan dan mati-matian keduanya terpaksa berenang untuk mencapai pulau Sempu yang menjadi tujuan mereka di mana diketahui beradanya Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang menguasai dua buah bonang perlengkapan gamelan Keraton. Selagi Wiro mengomel seorang diri seperti itu tiba-tiba satu suara menegurnya.

“Tak ada gunanya mengomel anak muda berambut gondrong. Dewa Ketawa dan keponakannya sudah pergi jauh. Dua buah bonang yang kau cari juga tak ada lagi disini.”

Tanpa berpaling Wiro menjawab.”Kalau saja ada perahu di tempat ini pasti sudah kukejar paman dan keponakan sialan itu. Gara-gara mereka aku jadi tersesat ke pulau ini!”

Di belakangnya terdengar suara orang tertawa. “Dalam hidup ini memang banyak hal yang membuat kita kecewa. Tapi apa kau tahu justru banyak manusia yang sengaja mencari kekecewaan?”

Ucapan ini membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi memutar tubuh. Kini dia berhadap-hadapan dengan nenek berwajah buruk yang mengaku pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu.

DELAPAN

Kau rupanya. kata Wiro agak kaget. Kedua matanya menatap lekat-lekat pada wajah buruk perempuan tua itu.

“Kau terkejut anak muda?” tanya si nenek.

“Ya, kukira siapa...” jawab Wiro lalu mulutnya menyunggingkann senyum.

“Kau manusia aneh. Barusan kau memperlihatkan rasa kaget, kini malah tersenyum. Apa ada yang lucu? Atau kau menertawaiku? Awas kau...”

“Sabar nek,” kata Wiro cepat seraya mundur satu langkah karena dilihatnya si nenek menggerakkan tangan kanan. “Dari jauh wajahmu kelihatan seram. Tapi setelah dekat begini rupa kurasa sebenarnya wajahmu bukan seram tapi malah lucu!”

“Kurang ajar, apakah kau hendak mempermainkan orang tua yang umurnya lima kali usiamu?!” bentak si nenek.

“Maafkan aku,” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Aku tersenyum karena belum pernah melihat orang pakai anting di cuping hidung sepertimu. Setahuku orang pakai anting di telinga. Hidungmu walau bengkok kulihat bagus. Sayang hidung dilobangi untuk dicanteli anting. Eh, apa kau pernah punya kekasih nek?”

“Sialan! Apa maksud pertanyaanmu?!” sentak si nenek.

“Tidak ada maksud apa-apa. Cuma aku mau tahu saja kalau kekasihmu menciummu apa dia tidak repot karena ada anting besar merah di hidungmu itu?!”

Si nenek kelihatan marah namun sesaat kemudian dia tersenyum lalu meledak tawanya tinggi dan panjang.

“Sekarang aku yang bertanya nek. Mengapa kau tertawa begini rupa?”

Perempuan tua itu geleng-geleng kepala. “Aku mau tanya dulu, apa betul kau orangnya yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 seperti yang diucapkan si Gergaji Setan tadi?”

Wiro kembali garuk-garuk kepala.

“Hai! Kulihat dari tadi kau menggaruk kepala berulang kali. Pasti kau sudah lama tidak mandi. Cuci mukapun mungkin juga tidak...”

Si nenek lalu tertawa mengekeh sementara Wiro hanya tegak tersipu-sipu. “Ah, seharusnya aku tidak layak bicara dan tertawa-tawa dengan orang yang pantas jadi cucuku...”

“Aku yakin kau sebenarnya seorang ramah, nek.” Kata Wiro memuji lalu pemuda ini melihat ada kerlipan sinar aneh pada kedua mata yang hitam dari si nenek.

“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa benar kau Pendekar 212 Wiro Sableng?”

“Sebetulnya aku orang biasa saja. Orang lain saja yang macam-macam menjuluki diriku yang bukan-bukan.”

“Kau datang ke pulau Sempu ini ada keperluan apa?”

“Aku datang bersama si gendut brengsek itu...”

“Ya, aku tahu siapa dirinya. Namanya Santiko, dipanggil orang dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti. Kau bersahabat dengan dia...?”

“Bersahabat benar ya tidak. Soalnya dia sering mengencingiku. Kalau sahabat masakan tega mengencingi kawan sendiri!”

Si nenek tak dapat menahan tawanya. Dia tertawa hingga kedua matanya yang hitam berair. Wiro memperhatikan wajah dan sepasang mata perempuan itu.

“Aku tahu! Seperti si gendut itu kau kemari untuk mencari dua buah bonang milik Kerajaan. Betul?!”

Wiro mengangguk. “Dewa Ketawa, paman Bujang Gila Tapak Sakti yang meminta aku untuk mendapatkan dua buah peralatan gamelan itu, Keraton kini dilanda kebingungan besar dengan lenyapnya dua buah alat berbunyian itu. Kabarnya Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang mencurinya...”

“Dari mana kau tahu janda itu yang mencurinya?”

“Dia bukan mencuri, dia hanya menyuruh seseorang untuk mengambilnya. Yaitu si gendut Bujang Gila Tapak Sakti itu!”

Wiro menyeringai. “Kalau begitu, si Bujang Gila adalah maling kecil karena dia hanya disuruh saja. Dan Nyi Bulan berarti yang jadi maling besarnya karena dia biang keroknya!”

“Enak saja kau mengatakan majikanku biang kerok. Kutampar pecah kepalamu!” si nenek mengancam.

Wiro angkat tangannya. “Jangan aku ditampar nek. Aku hanya ingin bertanya satu kali lagi. Setelah itu akan pergi dari sini.”

“Apa yang hendak kau tanyakan...?” Dua mata si nenek menyorot ke arah Wiro.

“Apa betul kau pembantunya Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu?”

Si nenek terdiam sesaat. Lalu “Eh, ada perlu apa kau bertanya begitu?!”

“Kalau kau tak mau menjawab sudahlah. Aku pergi. Tapi...” Wiro memandang berkeliling. “Laut begini luas. Tak punya perahu tak mungkin berenang. Bagaimana aku bisa pergi dari sini...” Wiro memandang pada si nenek. “Jika kau berada di pulau ini berarti kau punya perahu untuk datang ke sini. Apa aku boleh meminjam perahumu nek?”

“Enak bicaramu! Kalau aku pinjami lalu aku mau pakai apa nanti?”

“Bukankah di sini ada dua buah perahu?” ujar Wiro pula.

“Dari mana kau tahu?!”

“Bukankah kau tinggal di sini bersama Nyi Bulan? Berarti paling tidak ada dua buah perahu di tempat ini.”

“Nyi Bulan sedang tidak ada di pulau ini. Dia pergi dengan perahunya. Hanya ada satu perahu di sini. Kalaupun ada dua aku tak akan memeberikannya padamu. Kau datang mau-maumu sendiri. Silahkan pergi semaumu pula!”

“Ah, nasibku jelek amat kalau begitu!” ujar Wiro seraya garuk-garuk kepala. “Nek, kau pernah melihat kuda melahirkan?’

“Apa-apaan kau bertanya seperti itu?”

“Jikalau kau tertarik, aku punya seekor kuda betina di teluk. Sedang hamil besar. Kurasa hari ini adalah hari dia akan melahirkan. Paling tidak besok. Kalau kau ingin melihat kita bisa pergi bersama-sama...”

“Itu hanya akalmu saja agar kau bisa meninggalakan pulau ini, naik perahu bersamaku. Kau cerdik tapi ketololanmu bisa kubaca!”

Wiro menghela nafas dalam lalu berkata. “Aku mau pergi. Jadi kau tak bersedia menolong?"

“Dari tadi kau selalu bilang mau pergi. Mau pergi. Tapi tidak pergi-pergi. Sudah pergi sana!”

“Sebelum pergi aku ingin melihat tempat kediaman Nyi Bulan dulu. Mungkin dia bisa menolongku.”

“Kau tak layak melihat. Bukan sembarang orang boleh masuk!”

“Hemmm begitu?” kata Wiro seraya usap-usap dagunya. “Tadi kulihat kau keluar dari dalam gubuk kajang beratap rumbia tak ada pintu tak ada jendela. Apa di gubuk aneh itu kediamanmu bersama Nyi Bulan? Tadi aku diam-diam coba mengintip ke dalam gubuk. Di dalam ternyata kosong melompong. Tak ada apa-apanya. Tapi dibawah lantai tanah aku merasa ada sesuatu tersembunyi. Mungkin kau dan majikanmu itu tinggal di bawah tanah seperti undur-undur!”

Paras si nenek berubah. Wiro menatapnya dengan tersenyum lalu berkata, “Aku suka melihat kedua matamu yang hitam semua tak ada putihnya itu. Apakah Nyi Bulanmu yang membuatkan mata itu untukmu? Jangan-jangan pendanganmu bisa tembus hingga kau bisa melihat auratku sebelah dalam...!”

“Pemuda lancang! Mulutmu kurang ajar!” teriak si nenek. Dia maju selangkah hendak memukul. Wiro hanya tegak diam. Perlahan-lahan si nenek tarik pula tangannya. Dia membalikkan tubuh dan terdengar berucap. “Lekas tinggalkan pulau Sempu ini sebelum aku berna-benar marah!”

“Aku tidak akan mau pergi sebelum tahu siapa kau sebenarnya. Jangan-jangan kau adalah Nyi Bulan janda yang tersohor sampai di Kotaraja itu.”

Terdengar suara tercekat. Si nenek membalik dan kini kedua matanya yang hitam pekat tampak berkilat-kilat memandang pada Pendekar 212.

“Nek...” kata Wiro perlahan seraya mengulurkan tangan memegang lengan perempuan tua itu.

“Eh! Berani-beraninya kau memegang diriku!” tangan si nenek lalu menampik tangan si pemuda.

“Nek, kalau kau tak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya tak jadi apa. Terus terang aku sudah tahu keadaan dirimu sebenarnya. Nah, aku memang harus pergi. Aku terpaksa mencari batang pohon dulu untuk kujadikan perahu!” Wiro membalikkan diri lalu melangkah ke arah sederet pepohonan.

“Tunggu dulu!” seru si nenek.

Wiro hentikan langkah dan berpaling. “Apa yang kau ketahui tentang diriku?! Lekas jawab!”

Wiro terdiam sesaat. Kedua matanya menatap wajah dan sepasang mata hitam si nenek. Dipandang lama dan lekat seperti itu membuat si nenek seperti gelisah lalu palingkan wajahnya ke jurusan lain.

“Aku tahu kau bukan pembantu atau kacungnya Nyi Bulan Seruni Pitaloka!" kata Wiro.

Bahu si nenek tampak bergetar. “Apa lagi yang kau ketahui?”

“Sudahlah! Buat apa kita bertanya jawab panjang lebar. Akan mulai membuat perahu sebisaku.” Lalu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya.

Si nenek terkesiap melihat kapak sakti bermata dua yang memancarkan sinar menyilaukan itu. Dalam hati perempuan tua ini berkata. “Mungkin senjata mustika itu bisa menolongku memecahkan masalah. Tapi apakah pemuda ini bisa dipercaya...? Kadang-kadang kulihat dia seperti kurang waras. Kadang-kadang ucapannya kurang ajar seenaknya... Bagaimana ini? Tapi kalau tidak kucoba rasanya tidak puas hatiku.”

“Pendekar 212!” memanggil si nenek.

“Eh, ada apa lagi ini?”

“Aku ingin membuat perjanjian denganmu!”

“Perjanjian? Perjanjian apa?” tanya Wiro.

“Temui aku tengah malam dua hari dari sekarang di Candi Gajah di bukit Imogiri...”

Wiro tersenyum lalu tertawa panjang. “Jika kau seorang gadis cantik jelita tanpa dimintapun aku malah berharap dapat bertemu denganmu. Siapa sudi berjanji denganmu nek...”

“Jangan bergurau. Aku tidak main-main...”

“Aku juga tidak main-main,” sahut Wiro.

Si nenek tampak marah sekali. Tiba-tiba tanagn kanannya bergerak ke arah wajahnya. Dia membuat gerakan seperti merenggutkan sesuatu. Di lain saat Wiro jadi melengak kaget. Si nenek ternyata telah menarik lepas sehelai topeng kulit yang halus sekali dari kepalanya. Kini kelihatanlah satu wajah perempuan muda luar biasa cantiknya. Bahkan kedua mata si nenek yang semula hitam pekat kini tampak putih hitam bening berkilat indah sekali.

“Siapa kau sebenarnya?” Tanya Wiro masih setengah tercekat dan kagum.

“Apa kau masih tak membuat janji bertemu denganku di bukit Imogiri?!”

“Ah...!” Wiro menyeringai. “Katakan dulu siapa dirimu sebenarnya. Jangan-jangan kau adalah setan pulau atau jin laut yang memperlihatkan diri sebagai nenek lalu berubah menjadi perempuan muda dan cantik..."

“Kau selidikilah sendiri!” kata si jelita. Lalu dia menggerakkan kedua kakinya. Tubuhnya melesat ke atas atap gubuk. Bersamaan dengan itu atap gubuk terbuka dan tubuh perempuan itupun lenyap masuk ke dalam gubuk.

Wiro mengejar, melompat dan coba ikut menyusup tapi atap gubuk yang terbuat dari rumbia itu sudah menutup kembali. “Sialan!” maki Wiro.

Karena masih menggenggam Kapak Maut Naga Geni 212 di tangannya, semula murid Eyang Sinto Gendeng ini hendak pergunakan senjata itu untuk menghancurkan atap. Tapi dia berpikir.

“Si nenek sepertinya tidak berniat jahat terhadapku. Ada satu rahasia yang disembunyikannya. Kalau aku merusak gubuk ini mungkin dia akan marah besar dan aku bisa dapat kesulitan.”

Setelah berpikir lagi sesaat akhirnya Pendekar 212 turun dari atas atap. Dia mengorek dinding gubuk sedikit lalu mengintai ke dalam. Tak ada benda apapun di situ, kecuali hanya lantai tanah.

“aneh, kesaktian apa yang dimiliki perempuan itu hingga bisa lenyap begitu rupa? Apakah dia amblas menembus tanah?”

Sambil geleng-geleng kepala Wiro akhirnya tinggalkan tempat itu. Tiga langkah dia berjalan dari arah gubuk terdengar suara orang berseru. Suara perempuan.

“Pendekar 2121! Berjalanlah dua ratus langkah ke arah timur! Kau akan menemukan tiga buah perahu. Kau boleh mengambil salah satu untuk menyeberang ke daratan”!

Wiro tertawa perlahan lalu menjawab. “Terima kasih nek! Eh, siapa kau. Nenek atau gadis jelita tadi. Ya sudah terima kasih nek gadis!” Wiro tertawa gelak-gelak lalu melangkah cepat ke jurusan sesuai petunjuk suara tadi.

********************

SEMBILAN

Keledai kurus dan pendek itu kelihatan seperti terbang memasuki pintu gerbang Kotaraja di sebelah timur. Dewa Ketawa yang berada di atas punggung binatang ini tampak tersenyum-senyum.

“Kalau malam ini bisa kutemui sang Patih berarti selesailah urusan gila ini! Sialan betul! Lebih dari tujuh tahun aku dibuat tersiksa. Gara-gara keponakan kurang ajar itu!”

Dalam waktu singkat Dewa Ketawa sampai di hadapan sebuah gedung bagus yang di bagian depannya tampak menyala sebuah lampu minyak besar. Inilah gedung kediaman Patih Kerajaan. Dua orang pengawal yang tengah bertugas segera menghadang di pintu masuk.

“Orang tua penunggang keledai. Kami tidak kenal siapa dirimu. Apa keperluanmu malam-malam mendatangi tempat kediaman Patih Kerajaan?”

Dewa Ketawa menatap tampang pengawal yang barusan menegur lalu tertawa perlahan. “Pengawal konyol, kau tidak perlu mengenal aku. Adapun keperluanku ialah hendak menemui Patih Kerajaan. Katakan padanya Dewa Ketawa datang menghadap.”

“Apa? Siapa? Namamu Dewa Ketawa. Eh, betul...?” Pengawal satunya bertanya terheran-heran.

Orang tua gendut di atas keledai itu menjawab dengan suara gelak berderai. “Lekas beri tahu Patih Kerajaan. Aku datang membawa urusan penting. Disamping itu aku juga ingin minta kopi manis. Minum kopi malam-malam begini tentu nikmat sekali!”

“Orang tua, mana mungkin kami akan memberi tahu Patih bahwa ada orang yang hendak menghadap malam-malam buta begini. Salah-salah kami bisa kena tendangan!”

“Kalau begitu biar aku yang memberitahu langsung!” Dewa Ketawa lalu menggebrak keledainya. Dua orang pengawal cepat mencegah namun keduanya segera terpental jungkir balik di tanah. Ketika Dewa Ketawa mencapai tangga dan hendak bertindak turun tiba-tiba seorang pemuda bertubuh tinggi tegap muncul dan menegur sopan.

“Orang tua, kau tentu datang dari jauh dan membawa urusan penting. Mari kusuruh orang menjaga keledaimu. Kau harap memberi tahu apa keperluanmu.”

“Kau betul. Aku membawa satu urusan maha penting. Aku ingin menghadap Patih Kerajaan,” jawab Dewa Ketawa.

“Ah, kau tentu orang penting yang tengah ditunggu-tunggu oleh Patih. Namun patut saya beritahu sejak sore tadi Patih kurang sehat. Saat ini dia baru saja pulas. Tentu kau sependapat denganku bahwa terlalu tidak sopan kalau dia dibangunkan. Apakah kau tidak keberatan menunggu sampai pagi datang. Lalu kita sama-sama menghadapnya. Di samping itu kau tentu sangat letih, ingin istirahat. Paling tidak sebelum merebahkan diri di kasur yang empuk kau juga ingin menikmati kopi hangat barang seteguk dua teguk.”

Melihat orang menyapa dengan ramah dan sopan serta tampang si pemuda yang gagah disertai potongan tubuh yang kekar, Dewa Ketawa tertawa bergelak dan angguk-anggukkan kepala.

“Tawaran bagus, siapa mau menolak?!” katanya. Diambilnya buntalan yang tergantung di leher keledai.

“Kalau begitu ikuti saya,” kata si pemuda pula. Dia memanggil seorang pengawal dan memerintahkan agar mengurus keledai Dewa Ketawa. Lalu pemuda ini memberi tanda agar Dewa Ketawa mengikutinya.

“Anak muda, siapa namamu dan apa jabatanmu di gedung kepatihan ini?” bertanya si gendut bermata sipit Dewa Ketawa.

“Saya Angling Kamesworo, hanya seorang pembantu Patih Kerajaan...” jawab si pemuda.

“Ah sungguh luar biasa. Semuda ini kau sudah menduduki jabatan yang begitu tinggi.Tak lama lagi kau tentu akan diangkat menjadi Patih menggantikan Patih yang sekarang...”

“Aku masih harus banyak belajar....” jawab Angling Kamesworo. Dia membawa orang tua itu ke dalam sebuah kamar yang cukup luas. Selain ada seperangkatan kursi juga ada sebuah ranjang berkasur tebal dan empuk.

“Orang tua, kau belum memperkenalkan dirimu. Harap kau suka memberi tahu...”

“Panggil aku Dewa Ketawa...”

“Astaga! Sungguh mataku buta tidak melihat Mahameru di depan mata!” kata Angling Kamesworo lalu membungkuk dalam-dalam. “Dewa Ketawa, silahkan duduk. Kalaupun kau hendak langsung istirahat dan tidur silahkan naik ke atas ranjang itu...”

Dewa Ketawa tertawa dulu lalu meletakkan buntalan yang dibawanya di atas meja. Dari dalam buntalan terdengar suara seperti dua benda keras saling beradu atau bergesekan.

“Dewa Ketawa, saya lihat kau membawa dan meletakkan buntalan itu dengan sangat hati-hati. Isinya tentu benda sangat berharga...” kata Angling Kamesworo yang sejak tadi memeperhatikan buntalan buruk yang dibawa si tua gendut ini.

Dewa Ketawa mengekeh. “Pandangan matamu tajam, kau jelas orang cerdik. Tidak salah kalau kau dipercayakan Sultan jabatan yang tinggi. Karena kau orang baik dan setelah aku tahu kau ternyata orang kepercayaan kerajaan maka aku tidak akan menyembunyikan rahasia lagi apa yang kubawa dalam buntalan itu. Tapi aku ingin kau menerkanya lebih dulu Angling Kamesworo.”

Si pemuda tersenyum. “Kalau saja saya mempunyai kesaktian untuk dapat melihat tembus, tentu saya bisa menerka isi buntalanmu itu Dewa Ketawa. Sayang saya tidak pnya kepandaian itu...”

Dewa Ketawa tertawa panjang. Dia merasa semakin suka pada pemuda ini. “Baiklahm akan kukatakan padamu. Buntalan butut ini berisi dua buah benda maha berharga bagi Kerajaan. Dua buah bonang pelengkap perangkat gamelan Kraton yang hilang ada di dalamnya! Akan kuserahkan pada Sultan melalui Patih Kerajaan!”

“Gusti Allah Maha Kuasa!” kata Angling Kamesworo.

“Dua buah bonang pusaka dan sangat keramat itu akhirnya ditemui juga. Dewa Ketawa, Sultan pasti akan memberikan hadiah besar luar biasa padamu. Bukan mustahil kau akan diangkatnya menjadi Adipati di satu wilayah penting!” Dewa Ketawa tertawa bergelak.

“Tua bangka yang sudah bau tanah sepertiku ini sama sekali tidak mengharapkan hadiah besar, juga tidak menginginkan jabatan. Kalau dua benda pusaka itu sudah kembali patut kita semua bersyukur. Lenyapnya dua buah bonang ini ada hikmahnya Angling. Yaitu agar kita semua lebih waspada agar jangan terjadi lagi hal seperti itu. Omong-omong, bolehkah aku minta kopi hangat berang secangkir? aku memang letih tapi belum mengantuk benar.”

“Akan saya suruh orang menyiapkannya. Saya sendiri nanti yang akan membawanya ke mari.”

Si gendut kembali tertawa panjang sementara Angling Kamesworo membuka pintu kamar dan segera keluar. Tak lama kemudian pemuda ini muncul kembali membawa sebuah cangkir besar. Bau harumnya kopi menebar dalam kamar itu. Dewa Ketawa tertawa lebar menyambuti cangkir yang diserahkan padanya.

“Silahkan menikmati kopinya. Sehabis minum kau bisa istirahat. Besok pagi-pagi sekali saya akan menghubungi Patih dan memberi tahu kedatanganmu...”

“Terima kasih anak muda,” kata Dewa Ketawa. Kopi yang masih sangat panas itu langsung saja diteguknya, membuat Angling Kamesworo terkesiap karena ternyata panasnya minuman itu tidak membuat bibir, mulut ataupun lidah si kakek gendut melepuh. Dari situ saja dia sudah mengetahui begaimana saktinya orang ini.

“Saya minta diri dulu. Sampai besok pagi...” kata Angling Kamesworo seraya membungkuk lalu melangkah ke pintu.

“Sampai besok pagi!” menyahuti Dewa Ketawa.

Sesaat dia memperhatikan pemuda itu menutup pintu kamar lalu kembali meneguk kopinya hingga habis. Orang tua ini meletakkan cangkir di atas meja lalu menggeliat beberapa kali. Perlahan-lahan dia bangkit dari kursi. Sekujur tubuhnya yang gemuk terasa letih ada perasaan aneh di dada dan perutnya menjalar ke seluruh tubuh.

Orang tua bertubuh gemuk ini kelihatan mengernyit lalu memegangi dada dan perutnya. Sesaat kemudia satu jeritan keras keluar dari mulutnya. Bersamaan dengan itu darah segar ikut menyembur.

“Kurang ajar ! Aku diracun...” Hanya kata-kata itu yang sempat diucapkannya. Lalu tubuhnya yang hampir 200 kati itu roboh ke pinggiran ranjang. Sepasang matanya yang sipit mendelik.

Begitu Dewa Ketawa roboh ke ranjang, pintu kamar tampak terbuka. Angling Kamesworo muncul bersama sepuluh orang perajurit. Dua diantara memebawa sebuah tandu.

“Gotong orang itu ke luar. Naikkan ke atas gerobak bersama keledainya. Buang mayatnya dan keledai di jurang dalam dekat Candi Gajah! Ingat baik-baik apa yang kalian lakukan adalah rahasia besar. Jika sampai bocor kepala kalian semua akan kupancung tanpa ampun!”

Sepuluh orang perajurit itu segera masuk ke dalam kamar. Tubuh gemuk Dewa Ketawa dibujurkan di atas tandu lalu digotong keluar kamar. Angling Kamesworo kemudian mengambil buntalan di atas meja. Ketika diperiksanya isinya ternyata memang dua buah bonang milik Keraton yang lenyap dicuri orang lebih dari tujuh tahun silam.

Pemuda ini menyeringai. Dua buah bonanag itu dipegangnya satu di tangan kiri satu lagi di tangan kanan. Lalu perlahan-lahan dua buah tonjolan bonang diadunya satu sama lain. Terdengar suara tidak seberapa keras tetapi diikuti gema yang panjang tanda dua buah peraltan itu memang dibuat dari logam yang bukan sembarangan.

Angling Kamesworo memasukkan dua buah bonang itu kembali ke dalam buntalan.Lalu cepat-cepat keluar dari kamar, kembali ke kamarnya sendiri. Ketika keluar pemuda ini seudah berganti pakaian. Tak lama kemudian dalam kegelapan tampak dia memacu seekor kuda menuju selatan yaitu berlawanan arah dari arah yang ditempuh rombongan yang membawa sosok tubuh Dewa Ketawa dan keledainya.

Di luar Kotaraja wakil patih kerajaan ini membelok ke timur mengikuti sebuah sungai kecil. Di satu tempat dimana air sungai cukup dangkal dia menyeberang kemudain memacu tunggangannya menuju daerah bebukitan yang jarang didatangi orang.

********************

SEPULUH

Candi Gajah di bukit Imogiri kini tak lebih dari sebuah reruntuhan saja. Patung Gajah besar di halaman depan hanya tinggal bagian tubuh dan empat kaki dalam keadaan rusak sedang kepalanya lenyap entah kemana. Jauh sebelum tengah malam seorang lelaki muda berkumis dan berjanggut lebat kelihatan berada di tempat.

Dia sengaja naik ke atas sebatang pohon berdaun rimbun lalu duduk di sebuah cabangnya yang gelap kelindungan. Orang ini agaknya tengah menunggu seseorang. Tapi yang ditunggu tidak muncul-muncul. Orang ini mulai kesal. Waktu berjalan seolah merayap. Apalagi udara malam di bukit Imogiri itu cukup dingin dan nyamuk hutan menyengat laksana menyerbu.

“Sialan, tak ada yang muncul. Jangan-jangan aku ditipu perempuan berwajah nenek dan gadis itu,” pikir si pemuda.

Dari atas pohon dia memandang berkeliling ke bawah. Gelap dan sepi. Tapi tidak. Kesepian itu dipecahkan oleh suara derap kaki-kaki kuda. Orang di atas pohon sekali lagi memandang ke bawah. Dari kegelapan malam muncul seorang penunggang kuda. Orang ini mengenakan jubah putih, memakai tapi merah berbentuk tarbus. Sebuah kumis tipis menghias mulutnya sedang di dagunya ada secuil janggut berkeluk. Di leher dan hampir seluruh badan kuda bergelantungan berbagai macam buntalan kain. Orang ini berhenti di depan reruntuhan candi Gajah lalu turun dari kudanya. Sesaat dia memandangi keadaan candi itu termasuk patung gajah.

“Sayang...” terdengar dia berkata sendirian. “Dulunya candi ini pasti megah dan bagus. Sekarang rusak tak ada yang memelihara. Sebaiknya aku istirahat dulu ditempat ini.”

Dari dalam salah satu buntalan orang ini mengeluarkan sepotong makanan lalu pergi duduk di tangga candi menyantap makanan ini. Orang di atas pohon untuk beberapa lamanya masih mendekam memperhatikan orang yang duduk di tangga candi.

“Siapa kiranya orang yang membawa begitu banyak buntalan di kudanya?”

Setelah menunggu sesaat lagi akhirnya orang di atas pohon melompat turun. Langsung menghampiri orang berjubah putih yang sedang enak-enak istirahat sambil makan. Munculnya orang tak dikenal apalagi melompat turun dari atas pohon ditambah orangnya memiliki kumis dan janggut tebal, tentu saja mengejutkan orang yang duduk di tangga. Dia melompat dan bergerak cepat ke arah kudanya.

“Saudara, kau siapa...?” tanya si kumis tebal.

“Katakan dulu kau siapa,” jawab si kumis tipis.

“Aku gelandangan yang kebetulan tersesat di tempat ini.”

Si kumis tipis memperhatikan orang di hadapannya sesaat. Dia menaruh syak wasangka. “Sulit dipercaya ada gelandangan tersesat ke tempat sepi begini, malam buta pula!”

“Lalu kau anggap siapa kau ini? Orang jahat? Rampok?!”

“Mungkin sekali! Kalau tidak mengapa tadi kau sembunyi di atas pohon sana. Berarti kau sengaja mencegat jalan orang. Jika kau berani berbuat jahat padaku, kau akan menyesal!"

“Hem... begitu ? Kulihat kau membawa banyak buntalan. Apa isinya?”

“Perlu apa kau mau tahu? Kalau mau lihat harus ada uang!”

“Gila! Mau lihat saja pakai uang!”

“Kalau kau tak mau membeli buat apa melihat-melihat segala?!”

“Nah, rupanya kau seorang pedagang keliling. Pantas begini banyak dan sarat buntalanmu.”

“Kalau sudah tahu, apakah kau punya uang untuk membeli selembar baju?”

“Aku tak punya uang,” jawab sikumis tebal.

“Kau tak punya uang tak usah bicara denganku. Jangan ganggu, aku ingin istirahat barang sebentar.” Orang berjubah putih dan bertarbus merah itu menghabiskan makanannya cepat-cepat. Lalu dia berpaling pada lelaki berkumis tebal. “Kenapa kau masih di sini?”

“Memangnya ada yang melarang aku tak boleh di sini?!”

“Ada!”

“Siapa?!”

“Aku!” jawab si jubah putih yang pedagang keliling.

Lelaki berkumis tebal tertawa gelak-gelak. “Bicaramu enak amat. Sepertinya tempat ini nenek moyangmu yang punya!”

“Jangan bicara seenakmu!” bentak si pedagang keliling.

“Jangan mengatur orang seenaknya!”

“Sudah! Aku tak mau bicara denganmu!”

“Siapa bilang aku suka bicara dengan orang sepertimu!” balas si kumis lebat. Kedua orang itu sama-sama membuang muka dan berdiam diri. Tapi tak sengaja keduanya sama-sama berpaling dan saling pandang. Lalu cepat-cepat keduanya memalingkan wajah lagi. Beberapa saat berlalu. Lelaki berkumis lebat memutar kepalanya, memeperhatikan orang yang duduk di tangga. Tak tahan rupanya dia duduk diam-diam saja.

“Hai!” tegurnya.

Si kumis tipis diam saja. “Hai! Kalau mau dagang jangan ke tempat sunyi begini. Malam hari pula! Siapa yang mau beli?! Hantu?!”

“Kau tentu saja tidak bakal membeli karena tidak punya uang. Aku mau dagang aku pergi kemana sukaku. Rejeki seseorang datangnya tidak pandang waktu dan tempat! Kau sendiri apa keperluanmu malam-malam buta berada di sini?!”

“Itu bukan urusanmu...”

“Agaknya kau tengah menunggu seseorang. Siapa yang kau tunggu?”

“Si kumis tebal jadi kesal. “Apa urusanmu tanya-tanya?!”

“Di sini hanya kita berdua. Bicara dan saling tanya apa salahnya!” balas si pedagang.

“Tadi kau sendiri yang bilang tidak suka bicara denganku. Kini malah mengajak omong!”

“Aku berubah pikiran!” jawab si kumis tipis lalu tersenyum. Kedua matanya menatap tajam pada orang yang tegak di bawah pohon itu. Sebaliknya orang yang di bawah pohon juga memandang dengan cara yang sama.

“Dengar aku tahu siapa kau adanya,” kata si pedagang keliling.

“Aku juga tahu siapa kau sebenarnya,” balas si kumis lebat.

Keduanya sama-sama terdiam sesaat. Lalu mereka sama-sama tertawa bergelak.

“Kau Pendekar 212 Wiro Sableng! Pasti! Jangan mungkir! Tanggalkan kumis dan janggut palsumu!”

Lelaki di bawah pohon tampak menggaruk kepalanya. Perlahan-lahan kedua tangannya digerakkan ke wajahnya.

Srettt! Srettt!"

Kumis tebal yang tadi menempel di bawah hidung tanggal lalu dicampakkannya ke tanah. Begitu wajah orang ini licin klimis kecuali rambutnya yang kemudian dikeluarkannya dari balik penutup kepala. Ternyata dia berambut gondrong dan memang bukan lain adalah Wiro Sableng Pendekar 212.

Sambil menyengir Wiro berkata. “Sekarang giliranmu. Kau pasti si nenek yang mengaku pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Nenek-nenek yang wajahnya bisa bisa berubah jadi seorang gadis cantik jelita!”

Orang yang duduk di tangga candi tertawa geli. Sekali tangannya bergerak maka lepaslah topeng tipis yang menutupi mukanya. Kini kelihatan wajahnya yang asli yaitu wajah seorang perempuan muda berparas cantik jelita.

“Nah apa kataku! Kau memang nenek gadis itu!” kata Wiro.

“Aku bukan nenek, juga bukan gadis...”

“Jadi...?” Wiro berpikir sejenak. “Astaga! Sekali ini pasti tidak akan salah. Kau pastilah janda muda bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu!”

Perempuan cantik yang duduk di tangga mengangguk. Lalu dibukanya tarbus merah di atas kepalanya. Sekali dia menggerakkan kepalanya maka tergerailah rambutnya yang hitam berkilat sampai ke bahu.

Untuk kedua kalinya murid Eyang Sinto Gendeng terpesona oleh kecantikan perempuan muda itu. Pertama kali dulu ketika janda ini membuka samaran sebagai seorang nenek. “Ah, wajahnya memang seindah rembulan empat belas hari. Malah lebih indah dari rembulan. Rembulan masih ada penyok-penyoknya, yang ini justru mulus tanpa cacat!” membatin Wiro.

“Nyi Seruni sekarang aku ingin tahu mengapa kau melakukan semua ini...” bertanya Pendekar 212.

“Apa yang kau maksud melakukan semua ini?” balik bertanya Nyi Bulan Seruni Pitaloka.

“Ringkasnya saja yaitu mengapa kau menyuruh bocah bernama Santiko mencuri dua buah bonang milik Kraton sampai anak itu dipendam dalam lobang inti es selama tujuh tahun. Lalu mengapa kau meminta aku menemuimu di tempat ini? Kuminta kau jangan menjebakku...”

Nyi Bulan Seruni tertawa kecil. “Aku bukan orang jahat. Aku menyesal mendengar Santiko yang sekarang jadi pemuda berjuluk Bujang Gila Tapak Sakti itu sampai pernah dihukum sandiri oleh pamannya si Dewa Ketawa. Tujuh tahun lalu memang aku pernah menyuruhnya mencuri dua buah bonang perlengkapan gamelan Keraton. Itu aku lakukan demi permintaan suamiku...”

“Suamimu sekarang berada di mana?” bertanya Wiro.

“Kau ini bagaimana. Kalau aku disebut orang janda tentu aku sudah tak punyai suami lagi.”

Wiro menyeringai. “Maksudku, apakah kau janda ditinggal mati suami atau dicerai atau bagaimana...”

“Kau ini ada-ada saja. Suamiku tewas di tangan seorang dikenal dengan julukan Sepasang Pedang Dewa. Kematiannya justru ada sangkut pautnya dengan dua buah bonang itu. Dulu dia adalah seorang ahli pembuat bonang. Suatu hari seperangkatan bonang milik Keraton minta dibersihkkan dan diperbaiki bagian-bagiannya yang rusak atau penyok. Ketika sedang melakukan pekerjaan itu Sepasang Pedang Dewa muncul. Mula-mula mereka bicara baik-baik, lalu terjadi pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian. Suamiku kalah dan tewas di tangan lawan. Namun apa yang hendak dirampas oleh Sepasang Pedang Dewa itu berhasil diselamatkan nya karena sebelum Sepasang Pedang Dewa muncul dia telah menyembunyikannya di dalam dua buah bonang yaitu bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog. Sebelum mati dia berpesan agar dua buah bonang itu diselamatkan dan apa yang disembunyikannya di dalam bonang harus segera diambil. Namun aku terlupa. Ketika orang-orang dari Keraton datang mengambil seperangkat bonang itu, aku menyerahkannya begitu saja. Ini di sebabkan karena aku sangat berduka atas kematian suamiku. Walau dia tiga puluh tahun lebih tua dari ku, tapi dia seorang suami sekaligus ayah yang baik. Satu minggu kemudian aku baru ingat akan pesan mendiang suamiku. Itupun setelah aku mendapat mimpi. Tidak mudah untuk masuk ke dalam Kraton, apalagi harus mencuri dua buah bonang itu. Aku mendapat akal. Karena bentuknya yang gemuk bulat dan lucu Santiko menjadi kesayangan orang-orang dalam Kraton. Dia mudah pergi dan masuk kemana saja. Maka aku menyuruhnya mencurinya. Kasihan, sebenarnya dia anak baik walaupun suka usil dan kurang ajar. Pamannya menangkapnya dan menghukumnya di puncak gunung Mahameru. Aku sendiri menyembunyikan diri dan berusaha memperdalam semua pelajaran ilmu kesaktian yang kudapat dari suamiku. Jika saja aku dapat mengeluarkan apa yang disembunyikan suamiku dari dalam dua buah bonang itu, mungkin kepandaianku sudah stinggi langit sedalam lautan. Itu sebabnya aku menyuruhmu datang kemari untuk dimintai tolong...”

“Tunggu dulu,” memotong Wiro. “Jika dua buah bonang itu begitu berharganya bagimu, mengapa kau serahkan pada si Gergaji Setan dan akhirnya dilarikan oleh Dewa Ketawa?”

Nyi Bulan Seruni Pitaloka tersenyum yang membuat Pendekar 212 diam-diam jadi blingsatan melihatnya. Janda yang ditinggal mati suaminya ketika berusia 13 tahun itu berdiri dari tangga candi lalu melangkah mendekati kudanya. Dari dalam salah satu buntalan barang yang bergantung di leher serta badan kuda itu dikeluarkannya dua buah benda berwarna kuning lalu diperlihatakannya pada Wiro. Ketika Wiro memperhatikan ternyata dua buah benda itu adalah dua buah bonang.

Murid Eyang Sinto Gendeng jadi terheran-heran. “Aku tak mengerti. Sebelumnya aku menyaksikan sendiri kau menyerahkan dua buah benda seperti itu pada si Gergaji Setan. Kini mengapa kau masih memiliki dua buah lagi?”

“Pendekar 212, selama aku memiliki dua buah bonang itu keselamatanku selalu terancam. Banyak orang-orang pandai yang baik dan yang jahat mencariku. Bukan saja untuk mendapatkan tubuhku. Aku ingin dua buah bonang dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya tidak jatuh ke tangan orang sebisa-bisanya aku buat dua buah bonang tiruan...”

“Aku mengerti sekarang. Dua buah bonang yang kau berikan pada si Gergaji Setan adalah bonang-bonang palsu sedang yang asli tetap kau sembunyikan di tempat aman!”

“Apa yang kau katakan memang betul,” jawab Nyi Bulan Seruni Pitaloka.

“Kau benar-benar cerdik. Sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan dua buah bonang itu?” bertanya Wiro.

“Aku akan mengembalikannya ke Keraton. Mungkin dengan minta tolong lagi pada Bujang Gila Tapak Sakti. Namun sebelum kukembalikan aku ingin mengambil dulu apa yang tersembunyi di dalamnya, lalu...”

“Nyi Bulan! Kau memang cerdik. Tapi kecerdikanmu hari ini berakhir sudah. Jika kau sayang nyawa lekas serahkan dua buah bonang dalam buntalan itu padaku!”

Satu suara bergema keras di tempat sunyi itu. Dua buah bayangan berkelebat. Tahu-tahu Nyi Bulan sudah diapit oelh dua orang bertubuh tinggi kekar. Satu sudah berusia lanjut satunya lagi masih muda. Nyi Bulan Seruni Pitaloka terkejut besar. Dia cepat berpaling dan segera mengenali orang yang ada di sebelah kanannya, yakni lelaki berusia lanjut berambut putih dan mengenakan jubah merah.

Pada pinggang jubahnya kiri kanan tergantung masing-masing sebilah pedang. Lelaki yang lebih muda bukan lain adalah Angling Kamesworo, wakil Patih Kerajaan. Yang satu ini memang segera pula dikenali oleh Pendekar 212. Ada apa pemuda ini tiba-tiba berada di tempat ini, begitu Wiro berpikir. Di samping itu dia mencium adanya bahaya mengancam Nyi Bulan.

“Nyi Bulan ada hubungan apa antara kau dengan orang-orang ini?"

“Yang ini adalah Sepasang Pedang Dewa,” jawab Nyi Bulan seraya menunjuk tepat-tepat ke arah lelaki berambut putih yang mengenakan jubah merah. “Pembunuh keparat ini berani muncul! Hari ini akan membalaskan dendam kesumat kematian suamiku!”

Sepasang Pedang Dewa ganda tertawa. “Tadi aku sudah bilang. Kalau sayang nyawa lekas serahkan dua buah bonang itu!”

“Langkahi dulu mayatku baru kau bisa mendapatkan benda-benda itu!” teriak Nyi Bulan.

“Kalau begitu bersiaplah untuk mati!” bentak Sepasang Pedang Dewa.

"Srettt! Srettt!" Dua pedang yang tergantung di pinggangnya melesat keluar.

********************

SEBELAS

Kita kembali dulu pada beberapa peristiwa yang terjadi sebelum munculnya Sepasang Pedang Dewa dan Angling Kamesworo di Candi Gajah. Angling Kamesworo melarikan kudanya mendaki puncak salah satu bukit luat Kotaraja yang jarang didatangi manusia. Kuda tunggangannya rupanya sudah sering menempuh jalan itu hingga binatang ini mampu berlari dengan kencang dan dalam waktu singkat sampai di puncak bukit paling tinggi.

Dalam kegelapan tampak sebuah bangunan kayu berbentuk panggung. Di kolong bangunan enam ekor anjing besar melompat dan menggarang lalu mulai menyalak begitu Angling Kamesworo muncul bersama kudanya. Anjing-anjing itu menyalak terus sambil mengurung kuda bahkan jelas siap hendak menyerang. Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara orang bertanya,

“Siapa yang datang?!”

“Saya guru! Angling Kamesworo!”

Lalu dari dalam rumah panggung terdengar suara suitan keras. Enam ekor anjing menggerang pendek dan berbalik lalu lari kembali mendekam di bawah kolong rumah. Angling Kamesworo tidak turun dari kudanya. Dari atas panggung binatang ini dia langsung melompat ke serambi depan rumah. Di tangan kirinya tergenggam buntalan berisi dua buah bonang hasil meracuni orang tua itu sampai mati!

Begitu kakinya menginjak lantai srambi begitu pintu depan bangunan terbuka. Angling Kamesworo segera masuk. Pintu tertutup kembali. Di dalam rumah, di bawah penerangan lampu minyak besar tampak duduk di kursi goyang seorang lelaki berusia lebih dari setengah abad berambut putih. Seseorang perempuan berwajah ayu, berkulit hitam manis terbaring melintang di atas pahanya dan lengan-lengan kursi goyang.

Perempuan ini mengenakan pakaian yang sangat minim hingga Angling Kamesworo dapat melihat setiap lekuk dan sudut tubuhnya. Begitu si pemuda masuk, orang di atas kursi goyang mengelus paha si hitam manis itu seraya berkata.

“Masuklah dulu ke kamar. Aku ada tamu yang membawa urusan penting!”

Si jelita hitam manis itu turun dari pangkuan orang berjubah merah. Ketika berdiri pakaian minim yang menutupi tubuhnya jatuh dan tercampak di lantai. Tapi dia tidak berusaha memungutnya malah enak saja dia melangkah menuju ke kamar, membuat Angling Kamesworo sesaat jadi tertegun.

“Angling, kau membawa kabar apa untukku?!” si jubah merah yang adalah Sepasang Pedang Dewa bertanya.

“Saya membawa kabar baik, guru. Saya telah mendapatkan dua buah bonang itu.”

Sepasang Pedang Dewa melompat dari duduknya. Langsung saja dia menyambar buntalan yang dibawa muridnya dan mengeluarkan isinya.

“Kau hebat!” memuji Sepasang Pedang Dewa sambil tersenyum lebar dan menimang-nimang dua buah bonang itu. Parasnya tiba-tiba berubah.

“Ada apa guru?”

“Ceritakan dulu bagaimana kau mendapatkan dua buah benda ini.” Angling Kamesworo lalu bercerita.

“Ceritamu meyakinkan. Tapi aku merasa was-was. Coba kuperiksa dulu dua bonang ini.”

Lalu Sepasang Pedang Dewa malangkah ke dekat lampu. Nyala api lampu diperbesarnya. Dua buah bonang ditelitinya berulang kali, dibolak-baliknya tiada henti. Jari-jari tangannya berkali-kali mengusap bagian bawah dua buah bonang itu. Tiba-tiba bonang-bonang itu dibantingkannya kelantai.

“Palsu! Dua buah bonang itu palsu!” teriaknya. Lalu dia berpaling dengan marah pada Angling Kamesworo. “Kau yang mempermainkan aku atau kau yang tolol dipermainkan orang!”

Paras Angling Kamesworo berubah pucat. “Mana saya berani mempermainkan guru. Saya mendapat dua buah bonang itu malah sampai membunuh Dewa Ketawa dengan racun yang dimasukkan dalam kopinya...”

“Aku tidak perduli bagaimana kau mendapatkan bonang-bonang palsu itu. Lekas ikuti aku! Kita harus mendapatkan bonang-bonang yang asli!” teriak Sepasang Pedang Dewa lalu didorongnya tubuh muridnya ke arah pintu hingga Angling Kamesworo hampir terjengkang.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Bujang Gila Tapak Sakti walaupun tertinggal jauh di belakang namun dia sudah bisa menduga kemana Dewa Ketawa akan membawa dua buah bonang yang didapatnya dari pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu. Maka dia segera menuju Kotaraja dengan tujuan terus mendatangi gedung Kepatihan.

Namun di luar kota pemuda gendut berpeci kupluk ini berpapasan dengan serombongan perajurit yang memacu sebuah gerobak. Di atas gerobak itu dilihatnya seekor binatang yang bukan lain adalah keledai milik pamannya. Terheran-heran Bujang Gila Tapak Sakti berhenti di tepi jalan dan memeperhatikan rombongan itu berlalu hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Dia sama sekali tidak tahu kalau di lantai gerobak tergeletak sosok tubuh pamannya si Dewa Ketawa.

Untuk beberapa lamanya Bujang Gila Tapak Sakti berdiri bimbang apakah dia akan terus ke Kotaraja atau mengikuti rombongan itu. Akhirnya dia memutuskan untuk mengejar rombongan saja. Walau tubuhnya hampir 150 kati namun berkat kesaktiannya Bujang Gila Tapak Sakti mampu berlari secepat angin. Dalam waktu singkat dia berhasil mengejar rombongan yang membawa keledai itu tak berapa jauh dari bukit Imogiri.

“Rombongan harap berhenti!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti.

Seorang perajurit yang ditugaskan memimpin rombongan berpaling. Dia terkejut sekali ada seorang pemuda luar biasa gemuk mampu berlari sekencang itu dan memerintahkan rombongannya berhenti. Karena curiga maka dia memerintahkan kawan-kawannya untuk bergerak terus. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti akhirnya berhasil menyusul dan menghadang di depan mau tak mau rombongan itu terpaksa berhenti.

“Babi gendut ada apa kau menghadang perjalanan orang! Apa kau tidak tahu kami adalah perajurit-perajurit Kepatihan?!”

"Plaaakkkk!"

Perajurit pemimpin rombongan yang barusan membentak terpelanting dari kudanya begitu disambar tamparan Bujang Gila Tapak Sakti. Mulutnya pecah, dia mengerang sebelum pingsan. Melihat kejadian ini dua orang perajurit yang hendak bertindak jadi bimbang. Mereka maklum kalau tengah berhadapan bukan saja dengan seorang berkepandaian tinggi tapi mungkin pula berotak miring.

“Kalian mau bawa kemana keledai itu?” bertanya Bujang Gila Tapak Sakti. Tak ada yang menjawab.

"Plaaakkk!"

Untuk kedua kalinya tamparan Bujang Gila Tapak Sakti menyambar. Satu korban lagi menggelinding jatuh dari punggung kuda.

“Jika tidak ada yang mau menjawab, satu demi satu kalian akan kuhajar!” mengancam Bujang Gila Tapak Sakti.

Beberapa orang perajurit memang tampak takut. Tapi empat orang diantaranya menunjukkan sikap lain. Melihat dua kawannya terkapar di tanah seperti itu keempatnya segera mencabut senjata masing-masing lalu menyerang Bujang Gila Tapak Sakti.

Si gendut yang merasa mendapat jalan untuk melampiaskan amarahnya segera saja menyambut keroyokan orang. Tangan kiri kanan berkelebat kian kemari. Terdengar suara bak-buk-bak-buk disertai jerit kesakitan empat perajurit yang jatuh saling tindih di tanah. Keempatnya menderita cidera berat. Ada yang hancur pipinya, remuk tulang dada atau berpatahan tulang–tulang iganya.

Justru pada saat mengamuk itulah Bujang Gila Tapak Sakti mendekati gerobak dan tiba-tiba melihat sosok tubuh Dewa Ketawa yang menggeletak di lantai gerobak. Pemuda ini menjerit keras lalu melompat ke atas gerobak. Dia melengak ketika melihat sekujur kulit tubuh pamannya itu sampai ke wajahnya yang gemuk berwarna hitam kebiruan.

“Kurang ajar! Siapa yang punya perkejaan ini?!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti keras sekali hingga perajurit-perajurit yang masih ada di sana tergagau kaget dan kecut.

“Kami... kami tidak tahu apa yang terjadi. Kami hanya disuruh membawa keledai dan mayat orang gemuk ini untuk dibuang ke dalam jurang dekat sini...” seorang perajurit menjawab dengan ketakutan.

“Kurang ajar! Siapa yang menyuruh kalian?!”

Mula-mula tak ada yang berani menjawab. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti mulai menggerang tanda kemarahannya semakin mendidih akhirnya seorang perajurit membuka mulut.

“Raden Angling Kamesworo yang menyuruh kami...”

“Pembantu Patih Kerajaan itu?!”

“Betul,” jawab si perajurit pula. Lalu dia memberi isyarat pada teman-temannya. Semua perajurit yang masih duduk dipunggung kuda masing-masing segera saja menggebrak tunggangan mereka lalu kabur dari tempat itu.

Di atas kereta Bujang Gila Tapak Sakti menggebuk pantat keledai kurus itu seraya memaki, “Binatang keparat! Turun dulu kau ke tanah! Jangan enak-enakan nongkrong di atas gerobak ini!”

Dipukul pantatnya keledai itu melompat turun dari gerobak. Bujang Gila Tapak Sakti membungkuk lalu meletakkan telinganya ke dada kiri Dewa Ketawa. Dia tidak pasti apakah dia dapat mendengar detakan jantung pamannya itu atau tidak. Namun dia tidak mau menunggu lebih lama. Dia tahu pamannya itu berada di bawah pengaruh racun yang sangat jahat. Maka dengan ujung sebuah golok ditorehnya urat besar dekat pergelangan tangan kiri Dewa Ketawa. Lalu dengan mulutnya dia mulai menyedot darah yang ada dalam tubuh pamannya itu.

Setiap mulutnya penuh darah yang disedotnya disemburkan keluar. Begitu berulang kali sampai sedikit demi sedikit warna hitam biru pada sekujur tubuh orang tua gemuk itu menjadi berkurang. Bujang Gila Tapak Sakti merasa lega sekali begitu dia menangkap suara erangan halus keluar dari mulut Dewa Ketawa. Orang tua gemuk ini lalu ditelungkupkannya di atas lantai gerobak. Bajunya disingkapkan di bagian punggung. Kedua tangannya diusapkan satu sama lain hingga ada hawa sangat dingin membersit keluar.

Dengan hati-hati Bujang Gila Tapak Sakti meletakkan kedua telapak tangannya di punggung Dewa Ketawa lalu dia mulai mengerahkan tenaga. Suara erangan orang tua itu semakin keras terdengar begitu hawa sakti yang mengalir dari telapak tangan Bujang Gila masuk merasuk ke dalam sekujur tubuh termasuk peredaran darahnya. Perlahan-lahan Dewa Ketawa membuka kedua matanya yang tadinya mendelik tapi sempat dipejamkannya. Begitu dia melihat tampang Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Ketawa menyeringai lalu umbar tawa panjang.

“Brengsek! Jangan ketawa dulu! Nyawamu masih berada di ujung tanduk!” kata Bujang Gila Tapak Sakti memberi ingat.

“Anak setan! Kau rupanya yang menolongku!” kata Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat dan berdiri di atas gerobak.

“Awas! Kau masih belum sembuh!” sang keponakan mengingatkan lagi.

“Siapa bilang aku belum sembuh! Mari ikut aku ke tempat kediaman Angling Kamesworo. Pembantu patih sialan itu yang meracuniku !” Dewa Ketawa keluarkan suara tawa mengekeh. Tiba-tiba dia ingat akan buntalannya. Dia memandang berkeliling. “Heh...dimana buntalan itu?!” dia bertanya seolah pada diri sendiri sambil memijit-mijit keningnya.

“Buntalan apa paman?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.

“Buntalan berisi dua buah bonang milik Keraton.”

“Kalau Angling Kamesworo yang meracunimu, pasti dia pula yang mengambil benda-benda itu!” kata Bujang Gila Tapak Sakti.

“Kalau begitu aku ingin segera membekuk batang lehernya. Kita ke gedung Kepatihan sekarang juga!” Dewa Ketawa melompat turun dari gerobak.

Bujang Gila Tapak Sakti menyusul. Dia segera mencari kuda paling besar sedang pamannya sudah naik ke atas punggung keledai. Baru saja keduanya hendak bergerak pergi tiba-tiba dikejauhan terdengar suara kaki-kaki kuda mendatangi.

“Santiko, lekas sembunyi. Kita tidak tahu apakah yang datang teman atau lawan!” kata Dewa Ketawa.

Kedua orang itu lalu mendekam di tempat gelap. Tak lama kemudian dua penunggang kuda muncul. Mereka berhenti di tempat itu. Yang pertama adalah orang.tua berjubah merah yakni Sepasang Pedang Dewa sedang satunya jelas Angling Kamesworo. Pembantu patih Kerajaan ini jadi melengak kaget ketika melihat beberapa orang perajurit berkaparan di tanah dalam keadaan cidera berat. Dia berpaling pada Sepasang Pedang Dewa.

“Ini adalah rombongan perajurit yang saya perintahkan untuk membuang mayat Dewa Ketawa bersama keledai tunggangannya! Tapi guru lihat sendiri. Keledai itu tak ada di sini. Mayat Dewa Ketawapun lenyap! Lalu siapa pula yang membunuh perajurit-perajuritku ini!”

“Sudah! Perlu apa mengurusi manusia dan keledai keparat itu serta perajurit-perajurit tengik ini!” tukas Sepasang Pedang Dewa. “Kita ada urusan yang lebih penting. Kuharap saja laporan dari orang kepercayaanku benar adanya. Ada pertemuan antara Pendekar 212 Wiro Sableng dan Nyi Bulan Seruni Pitaloka di Candi Gajah tengah malam ini. Kita harus segera menuju ke sana, membekuk batang leher janda itu dan merampas dua buah bonang pusaka dari tangannya!”

Di tempat gelap, sebenarnya Bujang Gila Tapak Sakti sudah gatal tangannya untuk menyerang dan menghajar habis-habisan Angling Kamesworo. Lebih lagi si gendut Dewa Ketawa. Namun orang tua ini masih mampu menahan hawa amarahnya ketika keponakannya berisik mengatakan bahwa dia hendak menghancur lumatkan Angling Kamesworo.

“Anak setan gendut sialan! Jangan bertindak ceroboh. Membunuh pembantu Patih Kerajaan itu tidak ada sulitnya. Tapi dengar apa yang tadi mereka bicarakan? Nyi Bulan dan Pendekar 212 mengadakan pertemuan rahasia di Candi Gajah. Jangan-jangan pemuda sahabat kita itu sudah menjadi pengkhianat. Bekerja sama dengan Nyi Bulan Seruni yang jelas-jelas talh mencuri dua buah bonang itu!”

Ucapan terakhir sang paman membuat Bujang Gila Tapak Sakti merasa tidak enak karena dirinya sendiri juga terlibat dalam pencurian itu. Malah dia yang bertindak langsung melakukan pencurian tujuh tahun lalu. Apakah sang paman menyindirnya saat ini?

Ketika Angling Kamesworo dan Sepasang Pedang Dewa meninggalkan tampat itu, Dewa Ketawa memberi isyarat pada Bujang Gila. Paman dan keponakan ini lalu menggebrak tunggangan masing-masing ke arah yang sama yaitu jurusan bukit Imogiri.

********************

DUA BELAS

Orang berjubah merah itu tidak percuma dijuluki Sepasang pedang Dewa. Begitu kedua tangannya bergerak memutar sepasang pedang maka bertaburlah dua cahaya putih dalam gelapnya malam.

"Breet! Breett!"

Nyi Bulan Seruni Pitaloka terpekik dan melompat mundur. Jubah putihnya robek di bagian dada dan perut hingga sebagian auratnya tersingkap lebar.

Sepasang Pedang Dewa menyeringai. “Itu peringatan terakhir Nyi Bulan!” katanya sambil melintangkan sepasang pedang di depan dada. “Apa kau masih belum mau menyerahkan dua buah bonang itu?!”

“Rampok busuk! Keluarkan kepandaianmu kalau memang bisa mengambilnya dariku!” teriak Nyi Bulan.

Sepasang Pedang Dewa tertawa mengekeh. “Kau benar-benar perempuan nekad. Tapi aku ada usul. Kecantikan sudah lama kuketahui. Ternyata tubuhmu juga sangat bagus. Bagaimana kalau kau ikut saja ke tempatku secara baik-baik. Kita bisa hidup bersama. Dua buah bonang itu milik kita berdua!”

“Tua bangka tak tahu diri! Jangankan aku! Kambing pun tak bakal suka padamu!” teriak Nyi Bulan.

Tampang Sepasang Pedang Dewa jadi gelap membesi. Sambil membentak kembali dia menyerang dengan dua pedangnya. Kali ini Nyi Bulan tidak tinggal diam. Dia berlaku cerdik. Dia menyambut serangan lawan dengan mempergunakan dua buah bonang untuk menangkis.

Hal ini membuat Sepasang Pedang Dewa menjadi serba salah. Kalau dia terus melanjutkan menyerang ada kemungkinan dua buah bonang itu kena hantaman senjatanya. Kalau bonang-bonang tersebut sampai rusak, berarti akan merusak pula rahasia besar yang tersimpan di dalamnya!

“Aku harus merampas dua buah bonang itu! Aku akan telanjangi dia sekujur tubuhnya. Kalau sudah tak berpakaian lagi masakan dia tidak akan menjatuhkan apa yang dipegangnya guna menutupi aurat!”

Begitu Sepasang Pedang Dewa berpikir dan kembali menyerbu. Dua pedangnya meluncur, membabat dan menusuk kian kemari, membuat Nyi Bulan jadi sibuk sekali. Dua senjata lawan menyayat dan merobek pakaiannya di beberapa tempat hingga auratnya semakin tersingkap. Apa yang ada di benak lawan akhirnya terbaca juga oleh Nyi Bulan. Dia melirik pada Pendekar 212 lalu berteriak,

“Wiro! Selamatkan dua buah bonang ini!” Lalu secepat kilat dua buah bonang dilemparkannya ke arah Pendekar 212. Namun ketika masih melayang di udara tiba-tiba ada tiga orang yang melompat dan berusaha menangkap benda-benda itu.

Yang pertama adalah Angling Kamesworo, wakil Patih Kerajaan. Yang kedua adalah dua manusia gendut besar yang baru saja sampai di tempat itu dan bukan lain adalah Dewa Ketawa dan Bujang Gila Tapak Sakti.

Sesaat Pendekar 212 jadi terkesiap melihat apa yang terjadi. Lalu dia bertindak cepat. Sebelum ada yang sempat menyentuh dua buah bonang itu, Wiro lepaskan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera sekaligus dengan kedua tangannya. Dua gelombang angin menggebubu dahsyat. Debu dan pasir beterbangan.

Daun-daun pepohonan di sekitar tempat itu luruh bermentalan. Dua buah bonang yang melayang di udara mencelat tinggi ke atas. Tiga orang yang tadi melompat saling mendahului hendak menangkap dua buah benda itu kini jadi saling bertabrakan lalu sama-sama jatuh duduk di tanah. Yang paling menderita adalah Angling Kamesworo.

Walau tubuhnya tinggi dan kekar namun dibanding dengan luar biasa besarnya tubuh-tubuh Dewa Ketawa serta si Bujang Gila maka tak ampun lagi dia sempat tergencat di tengah-tengah sebelum jatuh terduduk di tanah. Pembantu Patih Kerajaan ini seprti dijepit dua buah batu sebesar rumah. Dua tulang iganya patah dan di keningnya tampak benjut besar!

Selagi tiga orang itu berkaparan di tanah Pendekar 212 Wiro Sableng cepat melompat dan tanpa banyak kesulitan berhasil menangkap dua buah bonang itu lalu memasukkannya di balik pakaiannya. Melihat dua buah bonang kini dikuasai Wiro, Angling Kamesworo walau dalam keadaan cidera cepat berdiri. Tapi gerakannya jadi tertahan ketika menyadari adanya Dewa Ketawa di tempat itu.

“Bagaimana mungkin orang yang sudah kuracuni sampai mati ini kini berada di sini dalam keadaan hidup?!”

Hanya saja saat itu Angling Kamesworo tidak mau menghabiskan waktu memikirkan hal itu lebih lama. Dia harus mendapatkan dua buah bonang. Maka dia melangkah ke arah Pendekar 212. “Wiro, lekas kau serahkan dua buah bonang itu padaku!”

“Enak betul!” sahut Wiro.

“Kau dulu pernah menyelamatkan Sekar Mindi, puteri Patih Kerajaan. Kau adalah sahabat Kerajaan. Karena itu lekas serahkan padaku dua bonang! Jasa besarmu akan kuberi tahu langusng pada Sultan!”

Wiro menyeringai. “Dulu wajahmu memang kulihat wajah pelanduk. Tapi sekarang sudah berubah jadi harimau yang ada benjut di kepalanya! Dulu aku melihat wajahmu seperti seekor domba. Tapi sekarang ini tampangmu sama dengan seekor srigala! Siapa percaya dirimu!”

Terdengar suara tawa mengekeh. Satu sosok gendut melompat ke hadapan Wiro. Ternyata Dewa Ketawa. “Aku mendapat tugas dari Kerajaan untuk mengambil dua buah bonang itu. Jadi serahkan sekarang juga padaku!” kata Dewa Ketawa sambil terus tertawa dan ulurkan kedua tangannya.

“Sobatku Kerbau Bunting Dewa Ketawa!” menyahuti Pendekar 212, “Dua buah bonang ini pasti akan kuserahkan padamu. Tapi nanti. Tidak sekarang...”

“Sobatku muda! Kali ini aku tak mau bergurau! Serahkan dua buah bonang itu!” kata Dewa Ketawa pula ngotot walau dia masih keluarkan suara tertawa.

Saat itu Bujang Gila Tapak Sakti sudah berdiri pula disamping Dewa Ketawa. Pemuda berkopiah kupluk dan mengenakan baju terbalik ini berkata, “Paman mengapa kau harus mengurusi dua buah bonang itu! Selesaikan dulu hutang piutangmu dengan Angling Kamesworo. Bukankah dia yang hendak membunuh meracunimu?!”

“Anak setan! Betul juga ucapanmu! Ha ha ha!” kata Dewa Ketawa.

“Kalau begitu kau uruslah dua buah bonang itu. Aku akan mematahkan batang leher manusia culas dan keji ini!”

Angling Kamesworo tahu bahaya yang dihadapinya. Karenanya begitu Dewa Ketawa melompat menyergapnya, pemuda ini cepat melayangkan dua buah tinjunya bertubi-tubi ke perut dan dada si gendut. Jotosan-jotosan Angling Kamesworo tentu saja bukan pukulan biasa. Jangankan tubuh manusia, tembok atau batu saja pasti akan ambruk!

Tapi luar biasanya si Dewa Ketawa yang dihantam bertubi-tubi seperti itu tidak bergeming sedikitpun malah masih bisa tertawa-tawa. Penasaran Angling Kamesworo alihkan hantamannya ke muka si gendut. Sekali ini Dewa Ketawa tidak tinggal diam. Orang tua ini monyongkan mulutnya lalu meniup. Perlahan saja!

Serangkum angin halus keluar dari mulut Dewa Ketawa. Angling Kamesworo merasakan seperti ada tembok tak terlihat menghalangi pukulan-pukulannya. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luar dan dalam tetap saja dia tidak mampu menembus apalagi mendaratkan pukulan ke wajah lawan. Dewa Ketawa meniup sekali lagi. Kali ini lebih keras.

"Puuuhhh!"

Angling Kamesworo menjerit keras. Wajahnya seperti dihantam pentungan besi. Kepalanya seperti copot dan tubuhnya terbanting menghantam patung gajah.

"Braakkk!"

Patung batu yang sudah tua itu ambruk. Reruntuhannya menimbun sosok Angling Kamesworo yang tergeletak di bawahnya antara sadar dan pingsan. Dari mulut, hidung dan kedua matanya tampak mengucur darah. Dewa Ketawa tarik tangan pemuda ini hingga dia terbetot keluar dari dalam timbunan reruntuhan lalu membantingkannya ke tanah. Begitu berulang kali dilakukannya hingga akhirnya pembantu Patih Kerajaan itu menggeletak tak berkutik lagi. Sekujur tubuhnya babak belur. Tulang-tulangnya banyak yang patah. Menggerangpun dia tak mampu lagi!

Ketika Dewa Ketawa melompat ke hadapan Angling Kamesworo tadi, Bujang Gila Tapak Sakti segera mendekati Pendekar 212. “Sobatku Wiro, kau harus berikan dua buah bonang itu padaku. Ini untuk menebus dosaku pada Kerajaan. Dulu aku yang mencurinya...”

Murid Eyang Sinto Gendeng berpikir. “Kalau aku bertindak keras membuat urusan dengan si gendut ini bisa jadi kapiran.” Maka Wiropun menjawab. “Sobatku gendut! Kau tak usah kawatir. Dua buah bonang ini pasti akan kuberikan padamu. Tapi Nyi Bulan kekasihmu itu bilang dia sendiri yang akan menyerahkannya padamu nanti. Nah mana aku berani menyalahi pesan kekasihmu itu!”

Bujang Gila Tapak Sakti sesaat jadi tertegun. Lalu dia tersenyum. “Siapa Nyi Bulan kekasihku?”

“Ah, kau lupa pada ceritamu sendiri tempo hari. Waktu kau mencuri dua buah bonang ini dengan menyerahkannya padanya, kau kan diciumnya beberapa kali. Nah kalau kau bukan kekasihnya mana dia mau menciummu! Kau lihat saja, nanti pasti kau akan diciumnya lagi sampai kau bisa semaput kenikmatan!”

Bujang Gila Tapak Sakti tertegun lagi dan tersenyum lagi. Dia mengusap-usap kedua pipinya yang gembrot lalu berkata. “Kau benar juga. Kalau begitu biar kutunggu sampai dia selesai berkelahi dengan orang berjubah merah itu.”

“Nah kau pergilah duduk di tangga candi sana!” kata Wiro selanjutnya.

“Apakah kau membawa kipas saktimu?”

“Tentu saja. Memang kenapa?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.

“Apakah kau tidak merasa kepanasan? Kulihat muka dan ketekmu sudah basah oleh keringat!”

“Astaga! Kau betul! Untung kau mengingatkan!” kata Bujang Gila Tapak Sakti. Lalu dia keluarkan kipas kertasnya. Sreett! Kipas dikembangkan. Dia pergi duduk di tangga candi dan berkipas-kipas memperhatikan perkelahian antara Dewa Ketawa dan Nyi Bulan Seruni Pitaloka melawan Sepasang Pedang Dewa.

Janda cantik itu sendiri yang sedang menghadapi lawan tangguh dalam hati sempat memaki-maki mendengar kata-kata Wiro tadi bahwa dia adalah kekasih Bujang Gila Tapak Sakti dan nanti dia akan menciumnya lagi. Namun karena harus memusatkan perhatian pada lawan sementara pakaiannya sudah penuh robek-robek dimana-mana mau tak mau harus melupakan kekesalan hatinya.

Saat itu dia sudah berada dalam keadaan terdesak hebat. Dia sama sekali tidak memiliki senjata dan dua pedang lawan dalam sejurus dua jurus lagi pasti tidak lagi merobek pakaiannya melainkan akan merobek daging dan memutus tulang-tulang tubuhnya.

“Saatnya aku harus mengeluarkan ilmu andalanku. Kalau tidak aku akan mati percuma di tangan bangsat ini!” membatin Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat. Kedua matanya memandang lekat-lekat ke depan. Tiba-tiba...

"Wussss! Wussss!"

Dua larik sinar hitam melesat keluar dari kedua mata Nyi Bulan. Hawa panas menghampar membuat Bujang Gila Tapak Sakti seperti di panggang.

“Celaka! Dia benar-benar memiliki ilmu kesaktian Sinar Sakti Pemantek Nyawa!” Sepasang Pedang Dewa berteriak dalam hati ketika melihat dua sinar hitam yang keluar dari dua mata Nyi Bulan. Orang ini cepat melompat mundur seraya membabatkan pedangnya untuk melindungi diri. Dua sinar hitam menyambar dua bilah pedang.

"Cess! Cesss!"

Dua pedang yang ada dalam genggaman Sepasang Pedang Dewa menjadi leleh. Pemiliknya berteriak keras dan lepaskan dua senjatanya. Tapi terlambat. Hawa yang sangat panas keburu menyambar telapak tangannya. Kedua tangan itu kini leleh mengelupas dagingnnya bahkan tulang telapak tangan dan tulang-tulang jarinya ikut lumer! Sepasang Pedang Dewa menjerit terus. Nyalinya ikut leleh membuat dia dalam sakit yang bukan alang kepalang akhirnya melarikan diri dari tempat itu.

“Nyi Bulan! Kesaktianmu hebat sekali kekasihku!”

Nyi Bulan tersentak dan berpaling. Yang bicara adalah Bujang Gila Tapak Sakti. “Sialan! Ini gara-gara Wiro. Si gendut ini benar-benar menganggap aku kekasihnya!” Nyi Bulan mengomel dalam hati. Lalu dilihatnya Bujang Gila Tapak Sakti melangkah mendekatinya sambil terus berkipas-kipas dan cengar-cengir. Saat itu Dewa Ketawa baru saja membanting Angling Kamesworo habis-habisan dan melangkah ke arah Pendekar 212.

“Nyi Bulan, sobatku Wiro bilang kau sendiri yang akan menyerahkan dua buah bonang itu padaku. Lalu akan menciumku berulang-ulang. Ah... betapa bahagianya diriku!”

Bujang Gila Tapak Sakti memasukkan kipas kertasnya lalu berseru pada Pendekar 212. “Wiro, mana dua buah bonang itu. Berikan pada Nyi Bulan biar dia nanti yang memberikan padaku!”

“Tidak, dua buah bonang itu harus kau serahkan padaku!” Dewa Ketawa mempercepat langkahnya ke arah Wiro.

“Semua dengar!” tiba-tiba Nyi Bulan berteriak.

“Kekasihku, jangan berteriak keras-keras. Nanti suaramu yang merdu bisa rusak!” seru Bujang Gila Tapak Sakti.

Nyi Bulan katupkan mulutnya rapat-rapat, kedua matanya memandang mendelik pada Wiro. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng cepat kedipkan mata memberi tanda. Sebelum Dewa Ketawa datang lebih dekat Wiro cepat berbisik. “Jangan bodoh. Kita harus menipu manusia-manusia gendut ini. Kalau tidak bakal menghadapi urusan berat!”

Kemarahan Nyi Bulan mengendur sedikit. Dia berpaling pada Bujang Gila Tapak Sakti dan tersenyum manis. Senyuman ini membuat si pemuda gendut jadi blingsatan lalu kedip-kedipkan matanya. Dia juga membersihkan kedua pipinya dengan ujung-ujung bajunya, setelah itu dia melangkah mendekati Nyi Bulan sambil mengangsurkan pipinya.

“Kata sobatku itu kau mau cium aku sambil menyerahkan dua buah bonang.”

“Bagaimana kalau ciumannya dulu, bonangnya boleh nanti boleh menyusul...”

“Setan betul,” maki Nyi Bulan dalam hati. “Dulu waktu masih bodoh memang semua orang senang padanya. Sekarang sudah jadi bocah bagini bagaimana mungkin aku menciumnya!”

Lagi-lagi Nyi Bulan memandang pada Wiro dengan mata dibesarkan. Sebaliknya kembali Pendekar 212 mengedipkan mata dan berbisik. “Cium saja cepat. Sambil mencium kau totok tubuhnya!”

Mendengar ucapan murid Eyang Sinto Gendeng itu Nyi Bulan baru mengerti. Maka dia kembali berpaling dan melangkah mendekati Bujang gila Tapak Sakti seraya berkata. “Santiko kekasihku! Tujuh tahun lebih kita tak bertemu. Betapa kangennya aku padamu. Saat ini ingin sekali aku memeluk dan menciummu!”

Mendengar kata-kata itu Bujang Gila Tapak Sakti berteriak girang. Dia kembangkan kedua tangannya lalu memeluk Nyi Bulan dengan mesra. Ketika janda jelita ini menciumi pipinya di gendut yang seperti merasa di sorga ini tersenyum-senyum sambil pejamkan mata. Pada saat itu pula dua tangan Nyi Bulan bergerak menotok punggung dan dada si pemuda. Tak ampun lagi Bujang Gila Tapak Sakti menjadi kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Ketika Nyi Bulan melepaskan dirinya dari pelukan pemuda ini, si gendut ini masih tegak dengan sikap kedua tangan merangkul, mulut tersenyum dan mata terpenjam!

Dewa Ketawa tak bisa ditipu. Dia tahu apa yang terjadi. Segera dia pergunakan kesaktiannya yaitu meniup dari jauh untuk melepaskan totokan di tubuh keponakannya. Wiro yang maklum melakukan apa yang akan dilakukan oleh Dewa Ketawa cepat bergerak menghalangi tubuh Bujang Gila dengan tubuhnya sambil gerakkan tangan kiri untuk menyingkirkan angin tiupan Dewa Ketawa. Ketika tangannya tersambar angin tiupan itu murid Eyang Sinto Gendeng merasa seperti ada ratusan jarum mencucuk! Ketika diperhatikan terlihat darah keluar dari pori-pori disekujur lengan kirinya sampai ke telapak. Sakitnya bukan kepalang.

“Lekas keluarkan dua buah bonang itu. Atau kau akan kubuat lumat seperti pembantu Patih Kerajaan itu!” mengancam Dewa Ketawa.

Saat itu Nyi Bulan sudah tegak di hadapan Dewa Ketawa. “Orang tua bertubuh gendut. Apakah kau juga minta kupeluk dan kucium?!”

“Eh...!” Dewa Ketawa sesaat jadi tertegun. Lalu sambil menggoyang-goyangkan tangan dan melangkah mundur dia berkata. “Tidak! Jangan... aku tidak butuh peluk dan ciumanmu! Aku hanya inginkan dua buah bonang itu. Aku harus mengembalikannya pada Sultan sebagai penebus kesalahan keponakanku!”

“Kalau begitu baik. Dua buah bonang itu akan kuserahkan padamu setelah aku mengambil sesuatu yang jadi milikku dan tersembunyi di dalamnya.” Kata Nyi Bulan.

“Aku tidak mengerti...” Kata Dewa kEtawa sambil menutup mulutnya agar tidak tertawa dulu.

Nyi Bulan berpaling pada Pendekar 212 dan berkata. “Wiro, keluarkan dua buah bonang itu. Juga Kapak Naga Geni 212-mu?”

Wiro mengeluarkan dua buah bonang dari balik pakaiannya lalu menyerahkannya pada Nyi Bulan.

“Kapaknya?” ujar Nyi Bulan pula.

“Untuk apa...?” tanya Wiro.

“Ketahuilah, menurut suamiku sebelum dia menghembuskan nafas terakhir ketika dibunuh oleh Sepasang Pedang Dewa, benda rahasia yang tersembunyi dalam dua buah bonang ini hanya mampu dicukil keluar oleh dua macam senjata mustika. Yang pertama dengan mempergunakan keris sakti keris Nogo Sosro. Yang kedua dengan senjata berbentuk kapak bermata dua. Keris Nogo Sosro entah berada di mana, tak mungkin aku mencarinya. Lalu aku melihat kau mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 waktu di pulau Sempu. Kurasa inilah senjata yang dimaksud suamiku. Nah apakah kau tidak mau mengeluarkan senjata saktimu itu untuk menolong?"

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dewa Ketawa maju selangkah. “Nyi Bulan, kalau kau menipuku dan sobatku ini, jangan salahkan nanti aku sampai membunuhmu!”

Nyi Bulan tidak acuhkan uacapan si gendut itu. Dia cepat mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 begitu dikeluarkan Wiro dari balik pakaiannya. Dua buah bonang diletakkannya saling berdekat di tangga candi. Lalu Kapak Naga Geni 212 diletakkannya di atas dua buah bonang itu. Mata-mata kapak yang tajam berkilauan menyentuh ujung-ujung menonjol kedua bonang. Nyi Bulan berpaling pada Wiro dan Dewa Ketawa.

“Kuharap tak ada yang mengeluarkan suara barang sedikitpun. Kalau tidak sulit bagiku memusatkan pikiran dan tenaga dalam!”

Dewa Ketawa menekap multnya semakin kuat. Wiro mengangguk sambil menggaruk kepala. Nyi Bulan pejamkan kedua matanya. Perlahan-lahan dia mulai mengerahkan tenaga dalam murni dari perutnya. Ketika tenaga dalam itu mengalir melewati dadanya Pendekar 212 hampir berseru melihat bagaimana sepasang payudara Nyi Bulan jadi membesar luar biasa.

“Sialan! Baru sekali ini kau melihat buah sorga sebesar itu. Ingin sekali aku meremasnya!” kata Pendekar 212 dalam hati.

Aliran tenaga dalam meluncur melewati dua tangan Nyi Bulan yang memegang gagang Kapak Maut Naga Geni 212. Sesaat kemudian kelihatan cahaya putih pada mata kapak semakin terang dan perlahan-lahan berobah menjadi merah. Cahaya merah ini lalu membungkus dua buah bonang.

Dalam suasana yang sunyi seperti di pekuburuan itu tiba-tiba terdengar suara halus jatuhnya sesuatu ke batu tangga candi. Nyi Bulan menarik nafas lega. Kedua matanya dibuka. Cahaya merah lenyap. Perlahan-lahan kapak yang dipegangnya diangkat dan diserahkan pada Wiro seraya mengucapkan terima kasih.

Dengan sangat hati-hati janda cantik ini mengangkat dua buah bonang dari tangga candi. Di bekas tempat bonang-bonang itu diletakkan, di batu tangga kini terlihat dua buah benda aneh. Baik Wiro maupun Dewa Ketawa tidak tahu benda apa itu adanya. Benda ini berbentuk gumpalan aneh seperti diremas menjadi bulat.

Dengan hati-hati, satu persatu Nyi Bulan membuka kedua benda itu. Ketika terbuka dan terkembang ternyata adalah sehelai potongan kain sutra yang sangat tipis. Pada potongan kain itu terdapat tulisan-tulisan kuno yang tak bisa dibaca oleh Wiro dan Dewa Ketawa.

“Nyi Bulan... Benda apa itu sebenarnya?” tanya Wiro berbisik.

Nyi Bulan tersenyum. “Suamiku berlaku cerdik. Dia sengaja menuliskan dengan huruf-huruf kuno secara terbalik. Jika tulisan ini dibaca di atas kaca maka yang pertama isinya adalah ilmu kesaktian yang sangat langka di dunia ini, sedang yang kedua berisi ilmu pengobatan yang tak ada duanya."

Wiro dan Dewa Ketawa jadi terkesiap mendengar keterangan Nyi Bulan itu.

“Dewa Ketawa, sekarang kalau kau mau ketawa silahkan saja,” kata Nyi Bulan. Lalu dia berdiri dan menyerahkan dua buah bonang pada orang tua bertubuh gendut itu. “Dua buah bonang ini tidak cacat barang sedikitpun. Ambillah, bawa kembali ke tempatnya di Keraton. Kuharap kau bisa puas kini karena bisa menebus kesalahan keponakanmu itu.”

Dewa Ketawa cepat mengambil dua buah bonang itu, memeriksanya sebentar lalu memasukkannya ke balik pakaiannya. Nyi Bulan berpaling pada Pendekar 212.

“Wiro, kau banyak menolngku. Aku berhutang budi besar padamu. Sebagai balasan apakah kau mau ikut aku berjalan-jalan ke dasar bumi?"

“Heh! Apa maksudmu Nyi Bulan?”

Janda jelita itu tak menjawab. Dia memegang lengan Pendekar 212 lalu mengajaknya berjalan bergandengan. Pada langkah kelima Nyi Bulan hentakkan kaki kanannya ke tanah. Di tanah terlihat sebuah lobang besar dan dalam. Nyi Bulan enak saja meluncur ke dalam lobang itu. Wiro terpaksa membungkukkan tubuh karena lengannya ikut tertarik.

“Kau mau ikut aku atau tidak Wiro?”

“Ah, bagaimana ini! Aku mau saja. Tapi kau bukannya hendak menguburku hidup-hidup?”

“Kalau aku bermaksud jahat, berarti kita akan mati terkubur bersama-sama. Lagi pula coba kau lihat ke bawah sana...”

Wiro ulurkan kepalanya ke dalam lobang. Astaga. Dia tidak percaya pada pemandangannya. Di bawah sana dia bukannya melihat lorong atau lobang yang gelap, melainkan menyaksikan satu pemandangan yang indah dari sebuah daerah pesawahan lengkap dengan sungai dan gunung yang indah sekali.

“Kau mau ikut sekarang?” tanya Nyi Bulan sambil tersenyum.

Wiro langusung saja masukkan kedua kakinya ke dalam lobang. Begitu keduanya lenyap, tanah yang tadi berlobang kini menutup kembali secara aneh tanpa bekas sama sekali!

Mata sipit Dewa Ketawa sempat tak berkesip beberapa lamanya ketika menyaksikan bagaimana di tanah ini terlihat ada dua buah gundukan yang meluncur, bergerak makin jauh, makin jauh dan akhirnya lenyap didalam kegelapan.

“Ilmu berjalan di dalam tanah...!” seru Dewa Ketawa sambil goleng-golengkan kepala. “Jadi ilmu itu benar-benar ada rupanya...”

Setelah menarik nafas panjang dan mengumbar tawa sepuas-puasnya Dewa Ketawa memutar tubuh. Berjalan tiga langkah menuju tempat dia meninggalkan keledainya, tiba-tiba dia ingat pada Bujang Gila Tapak Sakti. Orang tua ini menoleh ke belakang lalu meniup. Hebat sekali! Totokan yang menguasai tubuh keponakannya itu serta merta musnah.

Bujang Gila Tapak Sakti kini dapat bergerak dan bersuara lagi. Begitu dirinya bebas pemuda gemuk ini berteriak keras. “Nyi Bulan kekasihku! Jangan tinggalkan diriku! Mengapa cacing tanah berambut gondrong itu yang kau ajak pergi, bukan aku!”

Lalu dia jatuhkan diri di tanah di tempat tadi Nyi Bulan dan Pendekar 212 lenyap masuk ke dalam tanah dan menangis seperti anak kecil.

Dewa Ketawa lagi-lagi gelengkan kepala. “Anak setan!” makinya. “Kalau tidak karena kau semua urusan gila ini tidak bakal terjadi!”

Orang tua ini akhirnya tinggalkan tempat itu. Di kejauhan tak lama kemudian terdengar suara langkah kakinya dan kaki-kaki keledainya. Lalu dalam kegelapan malam di bukit Imogiri itu kembali terdengar suara gelak tawanya berkepanjangan.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.