Geger Rimba Persilatan

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Pulau Neraka Episode Geger Rimba Persilatan
Sonny Ogawa

Pendekar Pulau Neraka - Geger Rimba Persilatan

SATU

"Oaaa..." Lengking tangis bayi memecahkan keheningan malam sepi. Suara tangisan itu datang dari sebuah rumah besar berpagar tembok batu yang kokoh menyerupai benteng.

Cerita silat Indonesia serial Pendekar Pulau Neraka

Saat itu juga lampu-lampu dan obor dinyalakan oleh beberapa orang untuk menerangi seluruh sudut benteng itu. Malam yang semula sepi, kini berubah sama sekali bagai terjadi pesta mendadak. Di salah satu ruangan besar rumah itu, tampak beberapa orang berdiri mengelilingi sebuah ranjang besar yang beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda.

Seorang wanita muda dan cantik tergolek di atasnya bersama seorang bayi yang masih merah terbungkus kain sutra. Di samping wanita itu duduk seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Raut wajahnya tampan namun memancarkan kekerasan. Laki-laki itu menjentikkan jarinya. Semua orang yang mengelilingi ranjang bergerak ke luar. Sebentar kemudian, laki-laki yang seperti bapak dari bayi itu mengecup lembut kening wanita muda yang tersenyum bahagia.

"Anak kita laki-laki," bisiknya pelan.

"Ya, tampan sepertimu, Kakang," sahut wanita itu lembut. Keceriaan dan kegembiraan tampak menyelimuti wajah mereka.

Sedangkan bayi di sampingnya tampak pulas terselimut kain hangat. Tampan sekali, kulitnya juga putih bersih. Mereka sepertinya tak puas-puasnya memandangi bayi itu.

"Sudah kau siapkan nama untuk anak kita, Kakang?" tanya wanita itu lembut seraya menatap wajah laki-laki di dekatnya.

"Bagaimana denganmu?" laki-laki itu balik bertanya.

"Belum. Tapi kalau perempuan sudah kusiapkan sejak dulu." sahutnya manis.

"Akan kupikirkan dulu. Mungkin besok baru kuberi nama."

"Lebih cepat, lebih baik, Kakang."

"Pasti Besok anak kita tentu sudah mempunyai nama yang bagus."

Kembali mereka tersenyum dan memandangi wajah mungil di sampingnya. Sesaat lamanya mereka terdiam dengan mata tidak puas-puasnya memandang wajah bayi tampan itu. Kemudian laki-laki berbaju kuning gading dengan pedang menggantung di pinggang itu bangkit dari pembaringan. Langkahnya tegap menuju pintu kamar.

"Akan ke mana?"

"Menemui dukun bayi," jawabnya, lantas membuka pintu dan melangkah ke luar.

Dua orang yang berdiri di samping pintu langsung membungkukkan badan memberi hormat. Laki-laki itu hanya mengangguk sedikit. Langkahnya terus terayun menyusuri gang yang berhubungan langsung dengan sebuah ruangan besar. Sebuah lampu kristal besar tergantung di langit-langit bagian tengah. Di ruangan itu sudah berkumpul orang-orang. Mereka serempak mrmbungkukkan badan memberi hormat.

"Terima kasih," kata laki-laki itu seraya duduk di kursi kayu jati yang berukir indah.Sebelah tangannya terangkat ke depan, dan dengan serentak semua orang yang ada di ruangan itu segera duduk bersila di lantai. Mata laki-laki itu merayapi wajah-wajah mereka yang kelihatan cerah, tertunduk penuh rasa hormat.

"Bertahun-tahun aku selalu berharap akan kehadiran seorang putra dalam hidupku, yang akan jadi ahli waris seluruh Padepokan Teratai Putih ini. Nyatanya malam ini doa dan harapanku terkabul. Untuk itu aku ingin menyelenggarakan pesta besar atas rasa syukurku akan kehadiran pewaris Padepokan Teratai Putih," kata laki-laki itu yang sepertinya adalah pemimpin Padepokan Teratai Putih. Suaranya dalam dan berwibawa.

Semua orang yang ada di ruangan itu menyambut dengan gembira. Salah seorang yang duduk paling depan, berdiri. Dia segera menjura hormat, tangannya terkepal merapat di depan dada.

"Ampun, Guru Dewa Pedang."

"Ada apa, Badar?" tanya laki laki itu yang ternyata bernama Dewa Pedang.

"Aku, muridmu yang bodoh ini memohon usul, Guru," kata Badar hormat.

"Apa usulmu?"

"Bagaimana kalau kita undang para ketua padepokan sahabat? Satu lagi, sebaiknya kita juga menyelenggarakan lomba ketangkasan," usul Badar.

"Bagaimana yang lain?" Dewa Pedang belum bisa memutuskan. Dia seperti ingin membagi rasa bahagianya dulu kepada murid-murid utamanya.

"Setujuuu..." seru semua orang di ruangan itu serempak.

"Baiklah Mulai sekarang kalian kupercaya untuk mempersiapkan segalanya. Aku ingin semuanya dilaksanakan dalam waktu satu pekan. Saat itu pula akan kuumumkan nama putra pertamaku itu" kata Dewa Pedang dengan wajah cerah dan senyum terkembang lebar.

Semua orang yang ada di situ segera berdiri dan menjura hormat. Tanpa diperintah lagi mereka segera berlalu meninggalkan ruangan itu. Meskipun tidak diperintah secara lisan, mereka sudah mengerti tugas masing-masing. Dewa Pedang segera bangkit berdiri, tapi tidak jadi melangkah.

"Badar..." panggil Dewa Pedang.

Badar tergopoh-gopoh menghampiri. Dia langsung menjura setelah tiba di depan gurunya. "Tolong panggil dukun bayi yang membantu istri ku melahirkan. Aku ingin memberinya hadiah khusus," kata Dewa Pedang.

"Guru, Nyai Palet sudah meninggalkan padepokan. Dia diantar enam orang murid tingkat tiga," lapor Badar.

"Cepat susul, dan ajak kembali ke sini. Katakan padanya, aku belum sempat mengucapkan terima kasih," perintah Dewa Pedang.

"Baik, Guru." Badar segera menjura hormat dan langsung berlari meninggalkan ruangan itu.

Dewa Pedang bergegas melangkah kembali menuju kamar peraduannya. Rasanya, dalam masa-masa seperti ini dia ingin selalu dekat dengan putra pertamanya. Bertahun-tahun ia mengidam-idamkan mempunyai keturunan untuk menjadi ahli warisnya, dan baru malam inilah keinginannya terkabul.

********************

Pada salah satu ruangan lain di rumah besar Padepokan Teratai Putih, tampak duduk gelisah seorang wanita muda dan cantik. Di depannya duduk tiga orang laki-laki yang juga masih muda. Ketiga laki-laki itu menyandang senjata yang berlainan bentuknya.

"Apa kalian tadi tidak salah dengar?" tanya wanita muda itu sambil memandang tajam pada wajah ketiga laki laki di depannya.

"Tidak, Nyai. Dewa Pedang bermaksud mengadakan pesta besar selama satu pekan untuk menyambut kelahiran putra pertamanya," jawab laki-laki yang duduk paling kanan.

Wanita muda yang sinar matanya memancarkan segudang misteri itu berdiri. Kakinya terayun pelan-pelan memutari tiga laki-laki yang tetap duduk di kursinya. Keheningan menyelimuti ruangan yang berada paling belakang dari rumah besar Padepokan Tetatai Putih itu.

"Ganis," kata wanita itu seraya menghentikan langkahnya tepat di depan laki-laki yang duduk paling kanan. Di tangannya tergenggam sebuah kipas dari logam keras.

"Ya, Nyai," sahut lelaki yang dipanggil Ganis itu.

"Kau tahu, seharusnya bayi itu tidak boleh lahir. Hmm... Tak kusangka kalau Nyai Palet tidak mengindahkan peringatanku"

"Nyai Rengganis ingin dukun bayi itu mati?" tanya Ganis menebak.

"Hhh" wanita yang bernama Rengganis itu hanya tersenyum sinis.

"Akan kukerjakan malam ini juga. Nyai," kata Ganis seraya berdiri.

"Bagus" sambut Rengganis.

"Tunggu dulu, Kakang Ganis" selak laki-laki yang duduk paling kiri. Di punggungnya tersandang sebilah pedang.

"Ada apa lagi, Adik Garang?" tanya Ganis.

"Dukun bayi itu sudah pulang diantar oleh enam orang murid tingkat tiga. Kau tidak mungkin bisa membunuhnya dengan mudah. Apalagi Dewa Pedang menyuruh Badar untuk menjemput kembali dukun itu," kata Ganang.

"Kalau begitu, sebaiknya aku ikut, Ganang," kata Nyai Rengganis.

"Kami bertiga, Nyai" selak orang yang duduk di tengah seraya berdiri. Senjatanya, sepasang kapak yang terselip di pinggang.

"Tidak, Gamar. Kau tetap di sini. Masih ada tugas yang lebih penting untukmu," tolak Rengganis.

"Tugas apa?" tanya Gamar.

"Kau harus tetap menguping semua pembicaraan Dewa Pedang. Pada saat seperti ini, satu patah kata yang diucapkannya merupakan perintah yang tidak bisa ditawar lagi. Dan itu sangat penting bagi kita," kata Rengganis.

"Benar, Adik Gamar. Sebaiknya kau tetap berada di Padepokan Teratai Putih. Biar aku dan Adik Ganang yang akan membereskan dukun bayi itu," sambung Ganis.

"Baiklah. Tapi berhati-hatilah Kakang. Aku dengar, Nyai Palet bukan orang sembarangan. Tingkat kepandaiannya cukup tinggi," kata Gamar.

"Kami pergi dulu, Nyai," kata Ganis pamitan.

"Ya," sahut Rengganis membalas salam hormat kedua laki-laki itu. Rengganis kembali duduk di kursinya setelah Ganis dan Ganang ke luar dari ruangan ini. Sedangkan Gamar masih tetap berdiri dengan mulut terkatup rapat. Beberapa saat mereka membisu.

"Sebaiknya aku juga segera pergi, Nyai," kata Gamar.

"Untuk apa?" tanya Rengganis.

"Tidak apa-apa. Hanya...," Gamar tidak melanjutkan ucapannya.

"Kau takut ada yang melihatmu di kamarku ini? Jangan khawatir, Gamar. Semua penjaga di sekitar kamarku sudah berpihak padaku. Mereka tidak akan melapor pada Dewa Pedang. Apalagi sekarang ini dia tentu sedang menumpahkan perhatiannya pada Larasati," kata Rengganis sambil tersenyum manis.

"Apakah Nyai sudah mempengaruhi murid-murid Dewa Pedang?" tanya Gamar.

"Terlalu berbahaya, Gamar. Mereka yang berpihak padaku, sebenarnya adalah anak buahku sendiri yang menyusup masuk ke padepokan ini dan menjadi murid Dewa Pedang. Kau paham maksudku, Gamar?"

"Paham, Nyai," sahut Gamar mengangguk.

"Nah Ambilkan arak. Mereka semua sedang bersenang-senang dan bergembira. Kita di sini pun juga harus bergembira menyambut kehancuran Padepokan Teratai Putih," kata Rengganis.

"Tapi, Nyai...," Gamar mau menolak.

"Lupakan saja tugasmu sementara, Gamar Kau tidak ingin bersenang-senang denganku?"

Gamar menelan ludahnya. Dia tidak bisa lagi menolak saat Rengganis bangkit dan menghampirinya. Tangan wanita itu langsung melingkar di leher Gamar. Wajah mereka begitu dekat, sehingga desah napas Rengganis begitu hangat menyapu kulit wajah Gamar. Mereka tidak peduli dengan keadaan dan lupa akan semua pembicaraan yang tadi berlangsung beberapa saat. Yang jelas, kini mereka telah berada dalam kamar, saling menyatukan kenikmatan. Hanya desahan napas yang terdengar.

********************

Dari hari ke hari kesibukan di Padepokan Teratai Putih terus berlangsung. Seluruh sudut dihias dengan umbul-umbul yang beraneka ragam, serta hiasan lain yang berwarna-warni. Semuanya membuat suasana Padepokan Teratai Putih itu semakin semarak. Murid-murid padepokan itu tidak kenal lelah. Semua kerja keras menyiapkan pesta berkenaan dengan kelahiran pewaris tunggal Padepokan Teratai Putih.

Namun dari semua keceriaan dan kesibukan persiapan pesta itu seperti tidak ternikmati oleh Rengganis dan tiga bersaudara yang menjadi pengawal pribadinya. Di depan Dewa Pedang maupun Larasati, Rengganis selalu menampakkan wajah penuh ceria, seakan-akan dia juga turut gembira dengan hadirnya seorang putra pewaris padepokan ini.

"Gamar, bagaimana persiapanmu?" tanya Rengganis saat mereka berada di kamar pribadi wanita itu.

"Semua tokoh-tokoh rimba persilatan yang memihak kita tinggal menunggu perintah saja, Nyai," kata Gamar.

"Hm..., bagus Dan kau, Ganis?"

"Tidak ada masalah, Nyai. Tepat pada hari yang telah ditentukan, seluruh anak buahku siap bergerak," sahut Ganis.

"Nyai tidak perlu khawatir Semuanya sudah kami siapkan dengan matang," selak Ganang saat Nyai Rengganis memandang ke arahnya.

"Bagus Aku senang mendengarnya. Nah, sebaiknya kalian ikut membantu mempersiapkan pesta. Aku tidak ingin ada yang usil dan menaruh curiga pada gerakan kita," kata Rengganis.

"Kami permisi, Nyai," pamit tiga bersaudara itu.

Nyai Rengganis hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Bergegas ditutup pintu kamarnya setelah ketiga bersaudara itu ke luar. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman manis. Dari wajahnya memancar kecerahan dan keceriaan. Tapi bukan karena kelahiran putra idaman seluruh orang di Padepokan teratai Putih ini, melainkan sebuah rencana yang siap dimuntahkan.

"Siapa...?" Nyai Rengganis menoleh ketika mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya.

Tidak ada jawaban. Tapi ketika pintu itu terbuka, muncul seorang laki-laki berwajah tampan dan keras. Pedangnya berwarna perak menggantung di pinggang. Dialah Dewa Pedang, ketua Padepokan Teratai Putih ini. Dewa Pedang melangkah masuk, sambil menutup pintu kembali. Rengganis menyambut disertai senyum tersungging di bibir. Rengganis segera memeluk dan mengecup bibir Dewa Pedang. Sedangkan Ketua Padepokan Teratai Putih itu membelai-belai pipi yang halus bagai kapas itu. Rengganis menggelayutkan tubuhnya dengan manja di tubuh kekar Dewa Pedang.

"Kenapa mengurung diri di kamar? Keluarlah Mereka sedang bergembira saat ini. Aku memberi kebebasan pada mereka untuk bergembira," kata Dewa Pedang lembut.

"Aku dari sana, Kakang. Aku lelah sekali, tapi cukup senang," kata Rengganis manja.

"Betul, kau tidak iri karena Larasati yang memberiku putra?"

"Jangan begitu, Kakang. Aku atau Kak larasati sama saja. Sekarang mungkin dia. Lain waktu mungkin aku. Sama saja, kan?"

Dewa Pedang tertawa mendengar kemanjaan wanita itu. Dia melepaskan pelukannya dan melangkah menghampiri pembaringan. Sebentar dicopot pedangnya dan diletakkan dengan hati-hati di atas meja. Sebentar kemudian tubuhnya telah terbaring di ranjang itu. Rengganis hanya memperhatikan tanpa berkata sedikit pun.

"Aku terlalu gembira, Rengganis. Maaf kalau aku seperti melupakanmu. Tapi aku sudah ada di sini," kata Dewa Pedang seraya memiringkan tubuhnya.

Rengganis bisa mengerti maksud kata-kata ketua Padepokan Teratai Putih itu. Wanita itu bukannya menghampiri, tapi malah melangkah ke jendela kamar dan membuka pintunya lebar-lebar. Tampak beberapa orang penjaga terlihat. Mereka segera memberi hormat begitu melihat Rengganis di balik jendela.

"Kenapa kau buka jendela?" tanya Dewa Pedang. Nada suaranya agak kecewa.

"Panas," sahut Rengganis sekenanya. Dia berbalik dan bersandar pada dinding.

Dewa Pedang mendesah panjang, kemudian bangkit dan duduk di tepi pembaringan, itu. Tangannya menjulur mengambil pedang, lalu mengenakannya kembali. Rengganis hanya tersenyum saja melihat rona merah mengandung kekecewaan pada wajah Dewa Pedang.

"Mau ke mana?" tanya Rengganis melihat Dewa Pedang akan pergi.

"Lihat persiapan mereka." sahut Dewa Pedang pelan.

Rengganis tidak mencegah sedikit pun. Dibiarkan saja Dewa Pedang melangkah ke luar tanpa menutup pintu kembali. Wanita itu tertawa kecil melihat raut wajah ketua padepokan itu yang menyiratkan rasa kecewa. Rengganis memang sengaja berlaku demikian. Sudah beberapa kali dia menolak dan selalu memberi alasan macam-macam. Hal ini memang disengaja agar Dewa Pedang kecewa dan kesal. Tapi rupanya, Ketua Padepokan Teratai Putih itu jenis manusia yang sabar, sedikit pun ia tidak berkata apa-apa, meskipun dari sinar matanya menyemburat rasa kecewa.

"Nikmati kebahagiaanmu yang sebentar, Dewa Pedang," desis Rengganis dingin.

********************

DUA

Keramaian menyemarak di Padepokan Teratai Pulih. Wajah-wajah cerah terlihat dari semua orang yang datang memenuhi undangan Ketua Padepokan Teratai Putih. Kelahiran putra pewaris tunggal padepokan disambut dengan penuh kegembiraan. Dewa Pedang tersenyum lebar. Dengan bangga diperkenalkan putranya pada semua undangan yang hadir. Istrinya, Larasari tampak berdiri anggun menggendong anak tunggalnya di samping suaminya. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum manis memikat. Ruangan pendopo yang luas itu tampak sesak dipenuhi undangan yang datang dari segala penjuru. Dari pakaian dan senjata yang dibawa, jelas kalau para undangan dan tamu lainnya adalah orang-orang rimba persilatan yang datang dari padepokan-padepokan lain.

Namun semua kegembiraan itu sama sekali tidak dinikmati Rengganis. Meskipun bibirnya selalu tersenyum ramah pada setiap tamu, namun matanya sesekali melihat ke luar pendopo ini. Rengganis bergegas ke luar begitu melihat Gamar berjalan bersama dua orang bersenjata tombak panjang. Mereka menuju tangga masuk pendopo Padepokan Teratai Putih ini. Wanita itu melangkah setengah berlari menuruni anak-anak tangga pendopo. Gamar segera membungkuk memberi hormat diikuti dua orang lainnya.

"Bagaimana?" tanya Rengganis langsung.

"Semua sudah siap. Sebagian besar undangan yang hadir adalah orang-orang kita. Mereka tinggal menunggu tanda darimu, Nyai," kata Gamar.

"Bagus Di mana dua saudaramu?" "Kakang Ganis memimpin dari sebelah Utara, dan adik Garang dari sebelah Timur. Sedangkan dari arah Selatan, gabungan dari beberapa partai. Dan dari dalam sendiri tinggal menunggu perintah saja," lapor Gamar

"Katakan pada saudaramu. Waktu yang tepat adalah saat gong dipukul tanda adu ketangkasan dimulai. Tunggu sampai gong yang ketiga," kata Rengganis.

"Rencana yang bagus, Nyai," sambut Gamar.

"Nah, sebaiknya kau segera pergi. Aku tidak ingin ada yang mencurigai. Semua sudah di ambang pintu, Gamar. Kita tidak boleh gagal," kata Rengganis.

Gamar segera memberi hormat dan berlalu. Rengganis pun juga berbalik masuk kembali ke dalam pendopo. Tapi baru saja kakinya menaiki satu undakan, di depannya sudah berdiri Ketua Padepokan Teratai Putih. Rengganis agak terkejut juga. Untunglah dia dapat cepat menyembunyikan rasa kaget dengan memberikan senyuman manis.

"Apakah acara adu ketangkasan akan dimulai, Kakang?" tanya Rengganis lebih dulu

"Benar. Aku malah sengaja mencarimu. Tempat acara itu telah kupindahkan, dan diadakan di tengah-tengah pendopo saja agar tidak terlalu menyolok," sahut Dewa Pedang.

"Kenapa begitu, Kakang? Bukankah di alun-alun lebih leluasa?" Rengganis agak terperanjat mendengarnya.

"Aku tidak suka jika dicap sebagai ketua padepokan yang sombong, Rengganis. Adu ketangkasan juga hanya dari murid-muridku sendiri. Sifatnya hanya sekedar hiburan saja, bukan adu kepandaian," Dewa Pedang berusaha menjelaskan.

Rengganis hanya diam saja. Kakinya terayun melangkah menaiki undakan menuju ke dalam pendopo. Matanya beredar ke sekeliling. Tidak ada sebuah gong pun di ruangan luas ini. Rengganis jadi sedikit bingung juga. Otaknya segera berputar keras mencari jalan keluar. Masalahnya sekarang, dia belum paham benar mana orang-orang yang berpihak padanya dan mana yang bukan. Semua sudah bercampur-baur menjadi satu. Sulit untuk dikenali lagi. Rengganis sendiri tidak mengenal mereka satu persatu. Memang semuanya hanya dia yang merencanakan. Tapi yang melaksanakan adalah tiga saudara yang selalu setia padanya.

"Apa tandanya untuk memulai adu ketangkasan itu, Kakang?" tanya Rengganis.

"Hanya dari pembawa acara saja," jawab Dewa Pedang.

"Tidak pakai gong?"

"Kurasa itu tidak perlu, Rengganis."

Rengganis tiba-tiba memegangi kepalanya dengan mata terpejam. Dewa Pedang agak kaget juga. Buru-buru dipeluknya pundak wanita itu saat mulai limbung.

"Rengganis, kau kenapa?" tanya Dewa Pedang.

"Kepalaku, Kakang. Rasanya tiba-tiba saja pening," kata Rengganis lirih.

"Sebaiknya kau istirahat saja di kamar," kata Dewa Pedang. Laki-laki Ketua Padepokan Teratai Putih itu menggapaikan tangannya. Dua orang emban setengah baya segera mendekat tergopoh-gopoh. Mereka langsung memapah Rengganis yang kelihatan lunglai sambil memijat-mijat kepalanya.

"Bawa segera ke kamar," perintah Dewa Pedang.

Kedua emban itu segera membawa Rengganis meninggalkan ruangan besar pendopo ini. Mereka masuk ke dalam lorong yang menuju tempat peristirahatan keluarga Dewa Pedang. Tampak Rengganis tersenyum besar. Langkahnya sudah jauh meninggalkan ruangan pendopo itu. Masih terdengar suara-suara riuh dan tepuk tangan para undangan dari luar sana. Dengan satu gerakan cepat tak terduga, kedua tangan Rengganis berkelebat ke dada kedua emban yang memapahnya. Sedikit pun tak ada suara. Kedua emban itu langsung jatuh dengan dua bulatan kecil berwarna hitam tertera di dada mereka. Dari sudut bibirnya mengalir darah kental kehitaman.

Sebentar Rengganis mengawasi sepanjang lorong, lalu diseretnya dua tubuh ernban itu ke dalam sebuah kamar yang tidak jauh dari lorong itu. Rengganis bergegas ke luar dari kamar itu dan menutupnya. Gerakannya begitu ringan dan cepat melintasi lorong bagai kancil menyusuri semak belukar. Tubuh yang terbungkus baju hijau dari kain sutra halus itu pun lenyap setelah sampai di ujung lorong. Sementara suara-suara dari ruang pendopo masih Juga terdengar riuh. Tapi lorong itu tampak sepi tanpa seorang pun terlihat.

********************

"Gamar..."

Gamar tersentak kaget ketika mendengar suara panggilan dari arah samping. Dia segera menoleh dan terkejut melihat Rengganis berlari-lari menghampirinya. Gamar langsung berlari menghampiri. Rengganis menghentikan larinya. Napasnya agak tersengal sedikit. Wajahnya memerah dengan keringat menitik di kening dan leher.

"Kenapa Nyai ke sini?" tanya Gamar seraya melayangkan pandangannya ke belakang wanita itu.

"Ada perubahan, Gamar" sahut Rengganis.

"Perubahan? Maksud, Nyai?"

"Adu ketangkasan tidak jadi dilaksanakan di alun-alun Juga, tidak ada gong pembuka"

"Jadi...?"

"Itulah yang aku bingungkan, Gamar Tidak mungkin menunggu tanda dari dalam lagi."

Gamar diam merenung. Keningnya berkerut dalam, pertanda tengah berpikir keras. Tidak mungkin membatalkan rencana yang sudah disusun rapi dan dimatangkan selama berbulan-bulan. Semua sudah siap siaga, tinggal menunggu tanda untuk bergerak saja

"Kau punya saran, Gamar?" tanya Rengganis sedikit putus asa.

"Sebaiknya kau kembali saja ke padepokan. Biar aku yang menghubungi teman-teman di luar," sahut Gamar.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rengganis ingin tahu.

"Terpaksa. Kita harus memulai secara mendadak tanpa tanda apa pun" kata Gamar.

"Jangan, Gamar. Semua harus dilakukan serentak, tanpa ada yang saling mendahului. Kekompakan harus tetap dijaga," Rengganis tidak setuju.

"Rasanya tidak ada jalan lain, Nyai."

"Aku punya cara" seru Rengganis tiba-tiba.

Gamar menatap wanita cantik itu dalam-dalam. Memang sejak semula sudah diduga kalau Rengganis pasti banyak akalnya. Wanita itu sangat cerdik, penuh dengan tipu muslihat. Mungkin Rengganis tadi hanya gugup saja, sehingga seperti buntu akalnya. Tapi kini otaknya berhasil mencari jalan keluar yang terbaik.

"Aku akan kembali lagi ke dalam, dan kau hubungi yang lain secepat mungkin," kata Rengganis serius.

"Lalu?"

"Kalau kau dan yang lainnya melihat ada merpati terbang, itu adalah tanda dariku sebagai awal dari rencana kita. Kau mengerti maksudku, Gamar?"

"Mengerti, Nyai."

"Cepatlah kau hubungi yang lain. Ingat, Gamar Jangan sampai gerakanmu dicurigai oleh penjaga."

"Jangan khawatir, Nyai."

Rengganis tersenyum, lalu segera berbalik dan berlari cepat menuju ke benteng padepokan sebelah Barat. Gerakannya begitu ringan dan cepat bagaikan angin. Jelas kalau wanita itu memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng.

Gamar pun segera bergerak setelah memberi beberapa pesan kepada anak buahnya. Sementara itu Rengganis sudah melompati benteng sebelah Barat Padepokan Teratai Putih. Matanya yang bulat menatap tajam ke sekitarnya. Dia menarik napas lega setelah semua penjaga tampaknya terpusat pikirannya oleh suasana gembira, sehingga sepertinya lengah dengan tugasnya. Rengganis bergegas menuju ke pintu lorong rumah besar. Sebentar saja tubuhnya sudah lenyap di balik pintu. Dengan langkah tenang, dia berjalan menyusuri lorong yang di kanan dan kirinya terdapat kamar-kamar yang tertutup pintunya. Rengganis langsung menuju ke ruang pendopo. Langkahnya tenang, dan bibirnya terus menyunggingkan senyum.

Beberapa kali harus dibalasnya anggukan kepala para tamu yang memadati ruangan itu. Rengganis langsung menghampiri Dewa Pedang yang duduk di kursi didampingi istrinya. Dewa Pedang hanya memberi senyum saat Rengganis duduk di sampingnya. Sebentar diliriknya Larasati yang menggendong putranya. Sementara beberapa hiburan mulai ditampilkan.

"Kakang...," kata Rengganis berbisik.

"Ada apa?" tanya Dewa Pedang menyorongkan kepalanya mendekati Rengganis.

"Aku ada usul, Kakang. Bagaimana kalau pada adu ketangkasan nanti dimulai dengan pelepasan seekor merpati," kata Rengganis mengusulkan.

"Maksudmu?"

"Sebagai pelambang kalau putra pewaris Padepokan Teratai Putih akan melanglang buana menaklukkan seluruh rimba persilatan," sahut Rengganis beralasan.

"Usul yang bagus" sambut Dewa Pedang tersenyum lebar. "Bagaimana, Laras?"

"Kalau Kakang setuju, kenapa aku tidak?" jawab Larasati sambil tersenyum.

"Sebaiknya merpati kesayanganku saja, Kak Laras," kata Rengganis.

"Jangan, Adik Rengganis. Merpati itu kan kesayanganmu."

"Sebagai tanda kalau aku juga mencintai anakmu."

"Terima kasih, Adik Rengganis. Kau baik sekali," sahut Larasati terharu.

Rengganis hanya tersenyum saja. Namun gerakan senyum di bibirnya terasa getir. Sementara Dewa Pedang sudah kembali mengalihkan perhatiannya pada acara hiburan yang ditampilkan murid-muridnya. Tampak para undangan begitu terhibur. Banyak pula komentar dilontarkan. Semuanya selalu memuji dan mengagumi gerakan-gerakan jurus silat yang diperlihatkan murid-murid Padepokan Teratai Putih ini. Dewa Pedang tidak begitu bangga hati.

Dia tahu kalau semua pujian itu hanya sekedar untuk menyenangkan hatinya saja. Rengganis menjentikkan jarinya. Seorang emban yang berada di dekatnya segera mendekat. Rengganis berbisik pada emban bertubuh gemuk itu. Sesaat kemudian emban itu berlalu meninggalkan ruangan pendopo ini, dan tidak lama kemudian sudah kembali dengan membawa sangkar berisi burung merpati putih. Rengganis menerima dan meletakkannya di depan kaki Dewa Pedang.

********************

Gamar tampak gelisah. Dia berjalan mondar-mandir dengan matanya tak lepas menatap ke arah Padepokan Teratai Putih. Sementara matahari sudah semakin tinggi. Sinarnya yang terik membuat tubuh Gamar basah oleh keringat yang mengucur deras. Bukan itu saja. Bahkan orang-orang yang sudah sejak pagi tadi menunggu dengan senjata terhunus, juga kelihatan tidak sabar lagi. Saat matahari tepat di atas kepala, terlihat seekor merpati putih terbang tinggi dari dalam pendopo Pa depokan Teratai Putih. Gamar langsung melompat ke depan, dan...

"Serang.." teriaknya lantang.

Bersamaan dengan itu, secara serempak terdengar suara-suara lantang dari arah Utara, Timur dan Selatan. Tidak lama kemudian menyusul suara-suara pekikan yang membahana disertai derap ratusan manusia yang berlari menuju Padepokan Teratai Putih dari empat penjuru. Para penjaga di sekitar tembok benteng padepokan itu terkejut bukan main, karena tiba-tiba saja dari empat penjuru mata angin berlompatan orang-orang bersenjata. Mereka melompati tembok benteng yang tinggi dan langsung menyerang dengan ganas. Para penjaga yang tidak menduga adanya serangan mendadak itu menjadi kalang-kabut.

Jerit kematian mulai terdengar saling susul bercampur dengan teriakan-teriakan gegap-gempita. Denting senjata dan desir angin tenaga dalam menyemarakkan tempat yang lelah berubah menjadi arena pertempuran. Dalam waktu yang sama, di dalam Pendopo Utama Padepokan Teratai Putih juga terjadi kegemparan. Tiba-tiba saja sebagian undangan mengeluarkan senjata. Mereka membuat keributan dengan membabat habis undangan lainnya. Dewa Pedang yang cepat peka pada keadaan, segera memerintahkan murid-muridnya untuk menghalau para pengacau itu. Dia tidak menyadari akan bahaya yang mengancam istrinya. Dan betapa terperanjat Dewa Pedang ketika melihat Rengganis mencabut sebilah pisau dari balik sabuk ikat pinggangnya. Gerakan tangan Rengganis begitu cepat mengarah tepat kedada Larasati.

"Laras, awas..." teriak Dewa Pedang cepat melompat berusaha mencegah serangan Rengganis.

Tring

Secepat Rengganis mengibaskan pisaunya, secepat itu pula Dewa Pedang mencabut senjata andalannya yang berupa pedang dari emas murni bercampur logam keras. Begitu cepat gerakan kibasan pedangnya, sehingga membuat Rengganis terkejut. Padahal ujung pisau Rengganis tinggal serambut lagi membelah dada Larasati.

"Ih" Rengganis segera melompat mundur menghindari sabetan pedang Dewa Pedang yang mengarah perutnya.

Dewa Pedang memandang Rengganis setengah tidak percaya. Tapi yang dipandang malah membalasnya dengan tajam. Dibuang pisaunya, lalu dikeluarkan dua buah kipas dari baja putih bagaikan perak. Dewa Pedang melangkah mundur melindungi istrinya.

"Badar" teriak Dewa Pedang.

Badar yang sedang bertarung melawan para undangan yang berkomplot dengan Rengganis, segera melompat menghampiri gurunya.

"Cepat bawa keluar istri dan anakku. Selamatkan mereka" perintah Dewa Pedang.

"Baik Guru," sahut Badar.

"Kakang...," suara Larasati tersekat di tenggorokan.

"Cepatlah Tidak ada waktu lagi Kau harus selamatkan anak kita," kata Dewa Pedang.

Larasati tidak membantah lagi. Segera dia berlari ke arah lorong diikuti beberapa emban, dan dijaga sekitar dua puluh murid utama Padepokan Teratai Putih yang dipimpin Badar. Pada saat itu Rengganis sudah melompat menyerang Dewa Pedang dengan sepasang kipas bajanya.

Wut! wut!

Dewa Pedang menarik tubuhnya ke belakang sambil meliuk-liuk bagai ular, menghindari kibasan senjata Rengganis yang cepat dan berbahaya. Dengan cepat kaki Dewa Pedang terangkat naik, lalu menyepak ke depan. Rengganis buru-buru mengibaskan kipasnya memapak kaki yang bergerak cepat ke arah perutnya. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewa Pedang malah menarik kakinya cepat dan memutarnya ke atas. Rengganis memekik tertahan saat tapak kaki Dewa Pedang menghantam telak dadanya. Wanita itu terhuyung ke belakang menabrak kursi. Saat itu juga Dewa Pedang melompat seraya memutar pedangnya ke depan. Tapi sebelum ujung pedangnya menyentuh tubuh Rengganis, sebuah bayangan merah berkelebat bagai kilat memapak serangannya.

Dug

"Ukh" Dewa Pedang terjajar ke belakang sambil menekap dadanya. Kedua bola matanya memerah menatap seorang laki-laki tua berjubah merah yang sudah berdiri di depannya melindungi Rengganis. Laki-laki tua itu menggenggam sebatang tongkat pendek yang ujungnya terdapat lempengan logam berbentuk bulan sabit

"Jantara...," desis Dewa Pedang yang bernada tidak percaya dengan penglihatannya.

Laki-laki tua yang dipanggil Jantara itu hanya tersenyum sinis. Dia memang Jantara, atau yang lebih dikenal dengan julukan si Tongkat Samber Nyawa. Dewa Pedang benar-benar tidak percaya kalau Jantara ikut dalam aksi huru-hara di padepokannya.

"Sudah lama kutunggu kesempatan ini, Dewa Pedang" kata Jantara dingin.

"Di antara kita tidak pernah punya persoalan. Mengapa kau ingin menghancurkan padepokanku, Jantara?" tanya Dewa Pedang.

"Memang benar Kita memang tidak pernah punya persoalan secara pribadi. Tapi murid-muridmu selalu malang-melintang menghalangi sepak-terjangku. Bahkan gerakan anak buahku juga kau hambat"

"Aku tidak pernah mengajarkan untuk berlaku lunak pada orang-orang jahat, Jantara. Kalau kau merasa terhalang, mengapa masih juga menyengsarakan orang lain?"

"Itu urusanku, Dewa Pedang" bentak Jantara keras.

"Begitu pula dengan tindakanku beserta murid-muridku. Semuanya bukan urusanmu" balas Dewa Pedang tidak kalah dinginnya.

"Huh Umurmu sudah tinggal seujung pedang, masih juga berlagak" Setelah berkata demikian, Jantara atau si Tongkat Samber Nyawa lantas melompat menerjang diikuti Rengganis. Si Tongkat Samber Nyawa memang tidak bisa dianggap enteng. Ilmunya cukup tinggi.

Dewa Pedang harus berhati-hati menghadapinya. Apalagi ditambah dengan Rengganis yang juga memiliki kepandaian hampir setara dengan si Tongkat Samber Nyawa. Tentu saja Dewa Pedang jadi kelabakan. Tapi sebagai ketua padepokan silat, Dewa Pedang cukup cerdik. Dia bertarung sambil bertahan mundur, mendekati tokoh-tokoh rimba persilatan yang juga bertarung melawan murid-murid Padepokan Teratai Putih.

Rengganis yang berotak cerdas, tanggap akan kecerdikan Dewa Pedang. Tapi semuanya terlambat. Murid-murid setia Padepokan Teratai Putih sudah merangsek menyerangnya. Mau tidak mau Rengganis mengalihkan perhatiannya pada lawan-lawan barunya. Sementara pertarungan masih terus berlangsung sengit. Cukup sulit untuk membedakan antara lawan dan kawan. Korban sudah tak terhitung lagi. Mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Tampak dari arah bangunan belakang, api melahap barak-barak murid Padepokan Teratai Putih. Angin bertiup cukup kencang, sehingga api semakin leluasa melahap semua yang di dekatnya. Tak seorang pun yang sempat memadamkannya, masing-masing sibuk dengan lawannya. Kelengahan sedikit saja akan berakibat nyawa melayang.

Sedangkan pertarungan antara Dewa Pedang dengan si Tongkat Samber Nyawa menjadi tak seimbang setelah murid-murid utama Padepokan Teratai Putih membantu gurunya. Kelihatan kalau si Tongkat Samber Nyawa terdesak hebat. Dia jatuh bangun menghindari setiap serangan yang datang beruntun bagai air bah.

"Sebaiknya Guru cepat meninggalkan tempat ini. Biar kami saja yang menghadapi para pengacau keparat ini," kata salah seorang murid Dewa Pedang.

"Jangan hiraukan aku Kalian saja yang cepat pergi" sahut Dewa Pedang seraya mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri.

"Tidak... Lebih baik kami mati bersama-sama, Guru"

Dewa Pedang terharu sekali mendengarnya. Betapa besar pengabdian murid-muridnya. Kini Dewa Pedang berhadapan dengan sekitar enam tokoh rimba persilatan yang begitu cepat menyerangnya. Sementara itu si Tongkat Samber Nyawa kini leluasa membantai murid-murid di Padepokan Teratai Putih yang sebenarnya bukan tandingannya. Keadaan Dewa Pedang semakin mengkhawatirkan. Tubuhnya terombang-ambing bagaikan bola. Darah telah mengucur dari lukanya akibat tersambar senjata lawan-lawannya.

Keadaan yang sama juga dialami murid-muridnya. Mereka tidak mampu menghadapi tokoh-tokoh rimba persilatan yang kepandaiannya jauh di atas mereka. Apalagi ditambah dengan murid-murid Padepokan Teratai Putih yang berkhianat.

"Mampus kau, Dewa Pedang! Hiyaaat.." teriak Rengganis melengking tinggi. Bagaikan seekor burung elang, Rengganis melompat tinggi dan menukik tajam dengan sepasang kipas yang berkelebat cepat.

Dewa Pedang yang sedang sibuk menghadang serangan para pengeroyoknya, tidak sempat lagi berkelit. Sepasang kipas baja maut Rengganis tanpa ampun lagi merobek kulitnya. Dewa Pedang melangkah mundur. Tubuhnya limbung. Darah semakin banyak keluar dari tubuhnya. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir rasa pening. Tapi matanya masih berkunang-kunang. Rengganis berdiri tegak dengan sepasang kipas terbuka lebar di depan dada.

"Rengganis, kenapa kau ingin membunuhku?" tanya Dewa Pedang lemah.

"Karena kau telah membantai seluruh keluargaku" sahut Rengganis dingin.

"Aku.., aku tidak mengerti maksudmu...," Dewa Pedang semakin lemah.

"Kau tentu masih ingat peristiwa di Bukit Halimun. Di sanalah kau bantai habis satu keluarta tanpa kenal beka kasihan. Kau dan prajurit-prajuritmu tidak lebih dari binatang yang harus dimusnahkan"

Dewa Pedang terdiam. Ingatannya kembali saat menjadi panglima perang kerajaan. Waktu itu dia memang ditugaskan untuk mengejar satu keluarga pengkhianat kerajaan. Pengejarannya sampai ke Bukit Halimun. Tapi sama sekali dia tidak memerintahkan untuk membantai habis keluarga pengkhianat itu. Dia dan satu pasukan prajurit pilihannya datang terlambat. Keluarga itu sudah habis terbantai, kecuali seorang anak perempuan kecil.

"Kau putri Patih Kuraya...?" Dewa Pedang hanya ingin memastikan.

"Benar Aku berhasil lolos dengan pura-pura tewas waktu itu. Kau memang tidak ada di sana, Dewa Pedang. Tapi prajurit-prajuritmu melakukan itu pasti atas perintahmu. Padahal aku yakin, Gusti Prabu tidak mungkin memerintahkan untuk membunuh habis keluargaku. Dan akibat kesalahanmu yang fatal, kau diturunkan pangkatnya. Tapi kau memang tak mau kehilangan muka, Dewa Pedang. Kau mengundurkan diri dari jabatan panglima perang dan mengucilkan diri di sini, mendirikan padepokan. Jelas maksudnya untuk mengharumkan namamu kembali Tidak, Dewa Pedang... Namamu tetap kotor"

"Ketahuilah, Rengganis. Waktu itu aku datang terlambat. Dan lagi mereka bukanlah para prajuritku. Mereka adalah prajurit Patih Gumarang, Pamanmu sendiri. Karena dia memang sudah lama menginginkan jabatan yang dipegang ayahmu dan sengaja ingin menyingkirkan aku," kata Dewa Pedang berusaha menjelaskan.

"Huh Jangan membela diri" dengus Rengganis.

"Memang tidak ada gunanya aku membela diri, Rengganis. Tapi asal kau tahu saja Pamanmulah yang membantai keluargamu di Bukit Halimun."

"Setan Kau memfitnah Pamanku" geram Rengganis gusar. "Kau harus mampus. Dewa pedang, hiyaaa..."

Rengganis melipat sepasang kipasnya. Saat dikibaskan tangannya, dari ujung kipas itu keluar mata pisau yang tajam berkilat. Dengan satu gerakan cepat, wanita itu melompat sambil berteriak nyaring.

Dewa Pedang yang sudah tidak berdaya lagi, hanya mampu menangkis satu senjata Rengganis, sedangkan satu lagi amblas di dadanya. Jeritan melengking terdengar menyayat. Rengganis belum merasa puas juga, ditusukkan senjatanya berulang-ulang ke tubuh Dewa Pedang. Wanita itu baru berhenti setelah Dewa Pedang menggeletak tak bernyawa lagi.

Saat itu juga murid-murid Padepokan Teratai Putih yang mengetahui gurunya tewas, berlarian kalang-kabut menyelamatkan diri. Tapi tokoh-tokoh rimba persilatan dan murid-murid padepokan yang berkhianat serta gabungan dari partai-partai persilatan tidak membiarkannya. Mereka mengejar dan membunuh orang-orang yang ada hubungannya dengan Dewa Pedang.

"Habiskan semua Jangan ada yang tersisa" perintah Rengganis keras.

Rengganis mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia mencari istri pertama Dewa Pedang dan putranya. Hatinya menggeram karena orang yang paling dibencinya berhasil menyelamatkan diri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dipanggilnya tiga saudara pengikut setianya dan beberapa anak buah pilihan untuk mengejar istri Dewa Pedang dan putranya. Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut mengejar. Sedangkan sisanya membumihanguskan seluruh Padepokan Teratai Putih.

********************

TIGA

"Kita istirahat dulu di sini, Nyai Guru," kata Badar setelah mereka cukup jauh meninggalkan Padepokan Teratai Putih.

Rombongan yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu mengambil tempat untuk istirahat. Sedangkan murid murid pilihan Padepokan Teratai Putih tetap berjaga-jaga. Larasati duduk di bawah pohon dikelilingi para emban. Sedangkan putranya tetap berada dalam pelukannya. Wajah ibu yang baru beberapa hari yang lalu habis melahirkan tampak kelelahan. Matanya tidak lepas memandang puncak Gunung Tangkup. Tampak asap hitam membumbung tinggi, mengotori angkasa yang semula cerah

"Badar," panggil Larasati lemah.

"Ya, Nyai Guru," sahut Badar seraya mendekat.

"Bagaimana nasib suamiku?" tanya Larasati. Hatinya was was.

"Entahlah. Mudah-mudahan saja Guru Dewa Pedang selamat," sahut Badar, yang sebenarnya tak yakin gurunya selamat.

"Tidak kusangka kalau Rengganis akan berkhianat," lirih suara Larasati.

"Mungkin memang sudah direncanakan, Nyai. Sebagian murid-murid berpihak padanya juga, tidak sedikit tokoh rimba persilatan yang berpihak pada wanita keparat itu." sahut Badar lagi.

Larasati diam merenung. Dia masih belum bisa mengerti, mengapa Rengganis punya niat buruk seperti itu. Benar-benar tidak disangka sama sekali. Rengganis yang selalu bersikap manis, ternyata di balik semua itu tersimpan hati busuk untuk menghancurkan Padepokan Teratai Putih. Larasati memang tidak tahu persis latar belakang istri kedua Dewa Pedang itu. Yang dia tahu, ketika suaminya membawa seorang wanita muda dan cantik yang diakuinya sebagai istri. Saat itu Larasati sebenarnya ingin berontak. Hatinya tidak suka dimadu. Namun dia sadar akan kodratnya sebagai seorang wanita yang hanya bisa menerima nasib saja. Akhirnya semua diterimanya dengan hati lapang. Dia memang tidak pernah tanya asal-usul Rengganis kepada suaminya. Larasati hanya bisa pasrah.

"Mari, Nyai. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan," ajak Badar.

"Badar, apa tidak sebaiknya kau kirim beberapa orang untuk melihat keadaan suamiku," Larasati menyarankan.

"Baiklah. Nyai," sahut Badar seraya beranjak bangun. Badar menghampiri murid-murid Padepokan Teratai Putih yang ikut dalam rombongan ini.

Tidak lama kemudian, diutuslah tiga orang untuk kembali ke padepokan. Badar segera menghampiri Larasati setelah tiga orang yang ditunjuknya telah berangkat. Saat itu Larasati sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali diikuti enam orang emban.

"Mari, Nyai," kata Badar. Larasati mengangguk, lalu melangkah.

Enam orang emban setianya mengiringinya dari belakang. Sedangkan murid-murid setia Dewa Pedang tinggal sembilan orang lagi yang berjaga-jaga melindungi Larasati dan putranya. Seakan-akan membentuk benteng kokoh.

"Lampik..." panggil Badar sambil menggapaikan tangannya pada salah seorang adik seperguruannya yang berjalan di belakangnya.

"Ada apa, Kakang?" Lampik segera menghampiri.

"Kau jalan lebih dulu, cari desa terdekat. Beli beberapa ekor kuda," perintah Badar, orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan istri gurunya ini.

"Baik, Kakang," sahut Lampik segera berlari cepat mendahului rombongan itu.

"Untuk apa kau beli kuda, Badar?" tanya Larasati.

"Agar perjalanan lebih cepat, Nyai," sahut Badar.

Larasati tidak bertanya lagi. Sementara rombongan itu terus bergerak semakin jauh meninggalkan Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai Putih yang kini telah hancur.

Sementara itu Rengganis yang diikuti oleh anak buahnya serta beberapa puluh tokoh rimba persilatan terus mengejar rombongan yang berhasil melarikan diri. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian cukup tinggi, sehingga dalam waktu singkat rombongan itu telah terlihat.

"Itu mereka! Kejar! Bunuh mereka semua..." seru Rengganis seraya berlari cepat menggunakan ilmu peringan tubuh.

"Celaka" desah Badar terkejut.

Larasati pun ikut terkejut begitu melihat ke belakang. Tampak puluhan orang berlarian ke arah mereka dengan senjata terhunus.

"Hadang mereka semampu kalian" perintah Badar.

"Baik, Kakang" delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih langsung berbalik dan mencabut senjata masing-masing.

Sedangkan Badar segera membawa Larasati dan enam orang emban menjauh dari tempat itu. Mereka terpaksa berlari sekuat tenaga agar terhindar dari kejaran tokoh-tokoh sakti itu. Sementara delapan orang murid setia Padepokan Teratai Putih serentak menghadang para pengejarnya. Mereka langsung bertempur tanpa mengenal rasa takut. Tingkat kepandaian mereka memang cukup lumayan, karena mereka adalah murid utama Dewa Pedang. Hal ini menjadikan pengejaran Rengganis dan tokoh-tokoh lainnya jadi agak terhambat. Mereka terpaksa bertarung untuk menembus benteng yang terdiri dari delapan orang itu. Ternyata delapan orang murid utama Padepokan Teratai Putih memang cukup tangguh. Tapi untuk menghadapi puluhan tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, mereka kewalahan juga.

"Cari kesempatan keluar. Biar aku hadang mereka" seru salah seorang dari delapan murid Padepokan Teratai Putih itu.

Dua orang langsung melompat dan berlari cepat menyusul istri ketua Padepokan Teratai Putih yang sudah tidak terlihat lagi. Beberapa tokoh rimba persilatan ingin mengejar, tapi enam orang yang masih bertahan cepat menghalangi. Pertarungan tidak seimbang itu kian berlangsung sengit. Namun telah dapat dipastikan kalau enam orang itu benar-benar kewalahan. Bahkan tidak berapa lama berselang, satu orang terjungkal roboh mandi darah. Kemudian disusul dengan tewasnya satu orang lagi dengan dada robek.

"Bunuh mereka semua Yang lain ikut aku" seru Rengganis sambil melompat keluar dari kancah pertempuran begitu ada kesempatan.

Salah seorang segera melompat hendak menghadang Rengganis. Tapi wanita berbaju hijau dengan senjata sepasang kipas baja itu dengan cepat mengebutkan kipasnya. Tanpa ampun lagi. orang yang menghalanginya itu tersambar dadanya hingga sobek. Rengganis tidak lagi mempedulikan. Dia segera berlari dan melompat cepat diikuti oleh yang lainnya.

Sudah dapat dipastikan kalau sisa muridmurid utama Padepokan Teratai Putih itu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh rimba persilatan yang memiliki kepandaian di atas mereka. Satu persatu mereka roboh dan langsung tewas. Sementara Rengganis dan sebagian pengikutnya sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan mengejar Larasati dan orang-orang setianya. Sedangkan tokoh tokoh lainnya segera mengejar murid-murid setia Padepokan Teratai Putih, karena yang menghalangi sudah tidak tersisa lagi. Tapi pihak mereka juga tidak sedikit yang tewas. Kebanyakan dari mereka adalah yang memiliki kemampuan di bawah muridmurid Padepokan Teratai Putih.

********************

Pada saat yang sama, Badar yang selalu mendampingi istri gurunya itu semakin cemas. Kecemasan itu sangat beralasan, karena tidak jauh di belakang mereka, Rengganis bersama tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya mengejar cepat, dengan mempergunakan ilmu peringan tubuh. Badar tidak mungkin untuk memaksakan tenaga istri gurunya itu agar berlari lebih cepat lagi. Larasati hanya seorang wanita lemah yang sama sekali tidak mengerti ilmu olah kanuragan.

"Aaakh..." Tiba-tiba saja terdengar suara jeritan menyayat dari salah seorang emban. Sebatang tombak panjang menembus punggungnya hingga ke jantung. Suara jeritan itu belum lagi hilang, ketika kembali terdengar jeritan melengking dari seorang emban yang lain. Sebatang anak panah menembus punggungnya. Emban itu terjungkal jatuh dan tewas seketika.

"Cepat lari terus. Nyai," kata Badar melihat Larasati berhenti.

"Tapi...." Larasati tidak bisa melanjutkan kata-katanya, karena mendadak saja dua batang anak panah meluncur cepat ke arahnya.

"Hup" Badar langsung mencabut pedang di pinggangnya. Secepat kilat, dikibaskan senjata itu untuk menghalau dua batang anak panah yang meluncur tadi. Tangan kirinya segera mendorong Larasati agar terus berlari.

Mau tidak mau Larasati berlari sambil memeluk erat bayinya. Dua orang murid utama Padepokan Teratai Putih yang sudah bergabung kembali, segera menghentikan larinya. Mereka mencoba menghadang pengejar yang berjumlah puluhan orang itu. Namun dua orang dengan tenaga sudah terkuras, tentu bukanlah tandingan tokoh-tokoh rimba persilatan yang sudah dirasuki nafsu membunuh itu. Tanpa dapat berbuat banyak, kedua orang itu tewas tercincang. Sementara Badar terus membawa lari Larasati untuk menyelamatkan diri. Emban yang tinggal empat orang, tanpa mampu berbuat apa-apa masih menyertai mereka. Tapi.... Mereka memang tidak mengerti ilmu olah kanuragan sedikit pun.

"Badar. Aku tidak kuat lagi..." keluh Larasati dengan napas tersengal.

"Bertahanlah, Nyai," Badar coba mendorong semangat wanita itu.

Larasati hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Sinar matanya sudah menyiratkan kepasrahan. Sementara para pengejar sudah semakin deket saja. "Selamatkan anakku, Badar. Biarkan aku di sini," kata Larasati sambil menyerahkan putranya pada Badar.

"Nyai...," Badar ragu-ragu menerima bayi yang baru berusia beberapa hari itu.

"Jangan hiraukan aku, Badar. Aku mempunyai firasat bahwa suamiku sudah tiada. Selamatkan saja bayi ini," Larasati mencoba tabah.

Walaupun masih ragu-ragu, Badar menerima juga bayi itu. Sebentar ditatapnya wajah mungil di dalam dekapannya. Tampak bayi itu tersenyum manis, seolah-olah mengungkapkan agar Badar tetap tabah dan bersemangat. Badar mengalihkan perhatian pada para pengejarnya yang sudah semakin dekat saja.

"Mari, Nyai. Mereka sudah semakin dekat," desak Badar.

"Jangan hiraukan aku, Badar. Cepatlah kau pergi," sahut Larasati pasrah.

"Nyai...." Pada saat itu, tiba-tiba sebatang anak panah melesat cepat ke arah Larasati.

Dengan sigap Badar mengibaskan pedangnya menghalau anak panah itu. Tapi belum lagi pedangnya ditarik, sebuah tombak panjang melesat cepat tanpa dicegah lagi. Satu jeritan melengking terdengar dari salah seorang emban. Badar menggeram melihat satu persatu orang yang harus dilindungi kini tewas.

"Cepat Bad.... Akh"

"Nyai..." Badar tersentak kaget begitu melihat wanita yang sangat dihormatinya sudah tertembus anak panah di punggung. Sedangkan saat itu dia tengah menghalau serbuan tombak yang datang bagai hujan. Badar segera melompat mendekati tubuh Larasati yang menggeletak dengan punggung tertembus anak panah. Sementara jeritan-jeritan melengking saling menyusul bersamaan dengan ambruknya para emban. Tubuh mereka tertembus tombak dan anak panah.

"Nyai...," Badar tidak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata.

"Selamatkan anakku. Badar. Besarkan dan didiklah agar menjadi seorang pendekar. Aku akan tersenyum jika dia berhasil membalas kematian orang tuanya," kata Larasati lemah.

"Nyai. "

"Bayu.... jangan nakal ya, Nak... Turutilah kata-kata Pamanmu," semakin lemah suara Larasati.

Tanpa mampu dicegah lagi, setitik air bening menetes di pipi Badar. Dengan tangan gemetar, Larasati mengusap kepala bayinya. Lalu menghembuskan napas yang terakhir

"Nyai...," desis Badar tersendat. Sebentar Badar mengusap wajah Larasati dengan tangannya.

Tidak lama kemudian terdengar suara gemuruh dari puluhan orang yang sedang berlari cepat menuju ke arah Badar. Dia menoleh. Di antara mereka, terlihat Rengganis dengan kipas baja yang terkembang di tangan. Badar segera bangkit berdiri, dan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

"Kejar dia Bunuh..." terdengar suara seruan keras.

********************

Sementara itu matahari telah condong ke Barat. Sinarnya yang kemerahan tidak lagi menyengat. Burung-burung telah mulai kembali ke sarangnya masing-masing. Saat itu Badar yang berlari ke arah Selatan telah mencapai tepian pantai. Angin laut bertiup kencang di senja hari. Debur ombak menggemuruh menghantam batu-batu karang.

Badar berhenti berlari ketika matanya menatap kedepan, ke arah laut. Tampak sebuah pulau berwarna merah menyembul ke permukaan laut. Kelihatannya pulau itu sangat dekat dengan tempatnya berdiri sekarang. Badar tidak menyadari kalau sekarang ia berada di Pesisir Pantai Selatan. Dan pulau yang terlihat itu adalah Pulau Neraka. Pulau yang sangat ditakuti oleh semua orang. Pulau yang aneh dan menyeramkan. Seluruh tanah, batu-batuan, dan pepohonan berwarna merah bagai terbakar.

Saat Badar menoleh ke belakang, tampak para pengejarnya juga seperti ragu-ragu. Mereka tetap bergerak, namun tidak lagi berlari cepat. Hanya bergerak pelahan-lahan. Nama Pulau Neraka bukanlah nama asing bagi kaum rimba persilatan. Bahkan para nelayan di sekitar Pesisir Pantai Selatan tidak ada yang berani mendekati pulau itu.

"Badar... Menyerahlah kau! Serahkan bayi itu padaku" seru Rengganis seraya mendekat pelan-pelan

"Jangan harap kau bisa menyentuh bayi ini, Rengganis" sahut Badar seraya melangkah mundur dengan cepat. Badar menoleh ke belakang. Tampak beberapa perahu nelayan tertambat di garis pantai. Tidak jauh dari sini, terlihat sebuah perkampungan nelayan.

Beberapa orang nelayan tampak bergerombol, namun tidak ada yang berani mendekat. Mereka tahu kalau orang-orang yang berada di pantai sore-sore begini adalah para tokoh rimba persilatan. Bagi penduduk yang tidak peduli dengan dunia persilatan, hanya menyaksikan saja tanpa mau ikut terlibat.

Sementara Rengganis dan puluhan tokoh rimba persilatan terus melangkah pelahan-lahan mendekati Badar. Menghadapi begitu banyak tokoh yang memiliki kemampuan rata-rata di atasnya, bagi Badar tidaklah mungkin. Sedangkan kini tidak ada jalan lain untuk bisa lolos kecuali ke Pulau Neraka itu. Dan ini sangat disadari Badar. Masuk ke Pulau Neraka, sama saja lolos dari mulut buaya lalu masuk ke kandang macan. Sebentar dilihatnya perahu itu, lalu pandangannya beralih pada orang-orang yang semakin dekat saja.

"Badar... Aku akan membebaskanmu asalkan kau serahkan bayi itu," seru Rengganis.

"Jangan coba-coba membujukku, Perempuan Liar. Mulutmu sangat manis, tapi mengandung bisa" ejek Badar sinis.

Merah padam wajah Rengganis mendengar ejekan menyakitkan telinga itu. Tanpa menghiraukan kalau daerah itu sangat terlarang untuk pertempuran, Rengganis segera melompat tinggi ke udara. Bagaikan seekor burung camar, dia berputar di udara beberapa kali sebelum mendarat di depan Badar. Sepasang kipas mautnya sudah terkembang di depan dada.

"Tahan" seru seseorang dari tokoh-tokoh rimba persilatan ketika Rengganis hampir mengibaskan senjatanya.

Rengganis menghentikan gerakan tangannya di udara. Seorang laki-laki tua dengan rambut seluruhnya putih, melompat menghampiri. Laki-laki Itu mengenakan jubah putih dengan tangan kanan menggenggam tongkat. Hanya dengan sekali lompatan saja, sudah berada di sisi Rengganis.

"Gagak Putih, kenapa kau hentikan maksudku?" tanya Rengganis mendengus tanpa menoleh sedikit pun.

"Kau akan terkena kutukan seumur hidup jika membunuh di sini, Rengganis," kata laki-laki tua itu yang ternyata berjuluk Gagak Putih.

"Aku tidak peduli. Mereka harus mati. Semua ke turunan dan orang-orang Dewa Pedang harus musnah dari muka bumi. Kau tahu Gagak Putih? Dewa Pedang telah membantai habis seluruh keluargaku. Sudah banyak pengorbananku, Gagak Putih. Dan aku tidak ingin arwah-arwah mereka tertawa hanya karena takut kena kutukan penghuni Pulau Neraka itu" Rengganis sudah tidak mampu lagi berpikir jernih.

"Rengganis Kau sadar dengan ucapanmu?" Gagak Putih kaget juga mendengarnya.

"Aku sadar, Gagak Putih. Dan aku rela mati asal seluruh dendamku terbalas," sahut Rengganis mantap. Setelah berkata demikian, dengan cepat Rengganis menggeser kakinya ke depan sambil mengibaskan tangan kanannya.

Pada saat itu juga Badar mengangkat pedangnya menangkis serangan kipas yang terbuka dengan cepat. Tangan kanannya memainkan pedang, sedangkan tangan kirinya tetap menggendong bayi. Rengganis tidak peduli lagi dengan peringatan Gagak Putih. Diserangnya Badar dengan jurus-jurus andalan yang sangat berbahaya dan dahsyat. Pada saat itu Badar dalam keadaan terjepit. Kakinya tidak bisa melangkah mundur. Punggungnya sudah menyentuh dinding perahu. Hingga pada satu serangan yang cepat, Badar tidak sempat berkelit lagi.

Bret

"Akh" Badar memekik tertahan. Darah mengucur keluar dari pundak sebelah kiri. Untung saja Badar masih sempat menggeser kakinya sedikit, sehingga sabetan ujung kipas Rengganis tidak melebar ke dada yang mungkin dapat mengakibatkan bayi di dalam pelukan Badar terluka.

"Serahkan bayi itu, Badar! Atau kau akan mati di sini," ancam Rengganis dingin. Badar melangkah mundur.

Sementara di sekitarnya telah banyak orang dengan senjata siap merejam tubuhnya. Punggungnya semakin merapat ke dinding perahu. Diam-diam Badar mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong perahu dengan punggungnya. Sedikit demi sedikit perahu itu mulai bergerak. Seorang pun tak ada yang memperhatikannya. Mungkin mereka tengah diliputi perasaan tegang.

"Hup" Tiba-tiba saja Badar melompat naik ke atas perahu, tapi sebatang anak panah telah lebih cepat mendesing. Tak ayal lagi, anak panah itu menancap tepat di punggung Badar.

"Bunuh dia" perintah Rengganis berteriak.

Badar meletakkan bayi yang ada dalam pelukannya ke dasar perahu, kemudian diambilnya kayu. Dengan sisa-sisa tenaganya. Badar mengayuh perahu itu di tengah-tengah hujan anak panah dan tombak yang berdesingan di sekitarnya. Badar terus mengayuh tanpa peduli lagi dengan ancaman dan keadaan tubuhnya.

"Akh" lagi-lagi Badar memekik tertahan ketika sebatang anak panah kembali menancap di lambung belakangnya. Belum juga dapat menegakkan tubuhnya, satu batang anak panah kembali menembus tubuh Badar bagian perut. Badar terus mengayuh dan tidak peduli lagi dengan darah yang mengucur semakin deras. Tekadnya adalah menyelamatkan bayi dalam gendongannya walaupun bibirnya meringis menahan sakit yang tiada tara pada sekujur tubuhnya.

Sementara perahu terus membawanya semakin jauh meninggalkan pesisir. Hujan anak panah dan tombak telah mulai reda, bahkan kini telah berhenti sama sekali. Badar menoleh ke belakang. Tampak orang-orang berhati kejam masih berdiri berjajar di sepanjang partai.

"Kalian akan menerima pembalasannya kelak..." teriak Badar sambil mengerahkan tenaga dalam terakhirnya. Suara Badar menggema keras tersapu angin laut.

Semua orang yang masih berjajar di tepi pantai mendengar jelas ancaman itu, tapi tak seorang pun yang mempedulikannya. Perahu terus membawa Badar dan bayi itu ke arah Pulau Neraka. Mereka semua tahu, kecil kemungkinan untuk selamat jika memasuki kawasan pulau itu. Kalaupun kembali, pasti hanya mayatnya saja yang hanyut terbawa ombak. Badar menyadari betul hal itu. Dia berusaha mengayuh perahu untuk menghindari pulau itu. Tapi seperti ada gelombang yang amat kuat, perahu itu malah seperti tersedot dan bergerak sendiri ke pulau itu. Badar berhenti mengayuh. Tubuhnya semakin melemah. Pandangan mata Badar mulai berkurang-kunang.

Namun murid utama Padepokan Teratai Putih itu masih sempat merasakan kalau perahu yang ditumpanginya terombang-ambing menuju Pulau Neraka. Badar segera mengambil bayi yang tergeletak didasar perahu. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia langsung melompat ke luar sebelum perahu hancur menabrak batu karang yang berwarna merah bagai terbakar. Badar jatuh bergulingan di atas pasir merah dan keras, namun bayi dalam pelukannya tidak terlepas.

"Oh, Tuhan.... Jika memang harus mati di sini, aku pasrah. Tapi janganlah kau cabut nyawa bayi ini," lirih suara Badar. Susah payah Badar berusaha berdiri. Bibirnya selalu meringis menahan sakit jika bergerak sedikit saja. Tiga anak panah yang menghunjam tubuhnya, terasa seperti menyayat-nyayat. Badar berusaha melangkah menjauhi pantai Pulau Neraka. Baru saja kakinya berjalan beberapa tindak, tubuhnya kembali tersungkur. Akibatnya, bayi dalam pelukannya terlepas jatuh.

Aneh... Bayi itu tidak menangis. Dia malah tersenyum lebar menggerak-gerakkan tangannya. Badar merayap mendekati bayi itu sambil menahan sakit yang tiada tara di tubuhnya.

"Bayu..., rasanya aku sudah tidak kuat lagi. Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian di sini," ujar Badar sendu.

Bayi itu seperti mengerti kata-kata Badar. Dia hanya diam, sedangkan matanya yang bening indah berputar-putar merayapi wajah Badar. Senyumnya tidak lagi mengembang.

"Kau harus hidup, Bayu! Harus... Akh" Badar meringis menahan sakit. "Tidak ada lagi yang bisa membalas kematian orang tuamu, kecuali engkau kelak. Kau harus hidup, Bayu. Balaslah semua kekejaman ini...," suara Badar semakin lemah.

Badar tidak kuat lagi menahan tubuhnya. Dia hanya mampu tergolek di samping bayi yang terbungkus kain sutra halus merah muda. Jangankan mengangkat tubuh, untuk mengangkat tangan saja Badar sudah tidak mampu lagi. Sementara batuk-batuk yang lemah mulai mengiringi ajalnya. Matanya semakin berkunang-kunang. Pasir pantai yang direbahinya ierasa semakin panas. Padahal, matahari hampir tenggelam di balik cakrawala.

"Bayu Kau harus hidup, Nak! Kau harus jadi seorang pendekar. Carilah nama-nama yang kutulis ini. Merekalah yang membunuh ayah dan ibumu. Mereka semua kejam. Mereka juga menghancurkan Padepokan Teratai Putih milik ayahmu. Kau pewaris tunggal Padepokan Teratai Putih, Bayu...," suara Badar semakin lemah dan sulit didengar.

Badar merobek bajunya. Dengan darahnya sendiri, dituiislah beberapa nama. Tapi belum juga selesai, tubuhnya telah mengejang kaku. Badar sempat meletakkan kain bertuliskan beberapa nama di atas tubuh bayi itu sebelum maut menjemputnya. Ketika dia menghembuskan napas yang terakhir, pecahlah tangis bayi dengan suara yang melengking. Bayi itu seperti mengerti kalau orang yang berjuang menyelamatkan nyawanya telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini. Tangis bayi itu begitu keras dan melengking. Angin pun seperti tersentak dan berhenti bertiup. Tangisan itu membuat suasana Pulau Neraka begitu menyayat.

Sementara matahari semakin tenggelam di ufuk Barat. Sinarnya yang membias merah menambah angkernya Pulau Neraka. Dan suara tangisan bayi itu masih terdengar diselingi dengan ombak yang menjilat pantai. Sementara jauh dari pulau berwarna merah itu, tampak tokoh-tokoh rimba persilatan mulai meninggalkan pesisir pantai. Sedangkan Rengganis masih berdiri menatap ke arah pulau itu. Dari pesisir pantai ini, begitu jelas terlihat kalau perahu yang membawa Badar dan bayi putra tunggal Dewa Pedang hancur berkeping-keping. Rengganis tersenyum lebar. Dia yakin betul kalau dua manusia yang berada dalam perahu telah tewas di Pulau Neraka yang angker dan penuh misteri itu. Rengganis masih berdiri menatap ke arah pulau ditemani tiga saudara pengikut setianya. Sementara tokoh-tokoh rimba persilatan yang lainnya telah sejak tadi meninggalkan tepian pantai itu. Rengganis baru menoleh dan berbalik setelah semua orang tidak terlihat lagi.

"Ayo kita pulang," ajak Rengganis seraya melangkah.

"Kemana, Nyai?" tanya Ganis.

"Ke tempat tanah kelahiranku"

********************

EMPAT

Senja telah merambat menjadi malam. Angin berhembus kencang membawa hawa dingin ke sekitar pantai Pulau Neraka. Dua jasad manusia masih tergolek di pasir merah di bawah siraman cahaya bulan. Yang seorang telah tewas. Tubuhnya berlumuran darah tertembus tiga anak panah. Sedangkan yang seorang lagi adalah bayi laki-laki terbungkus kain sutra halus berwarna merah muda. Agaknya bayi itu masih hidup.

Di atas batu karang tinggi yang tidak jauh dari pantai itu, berdiri sosok manusia bertubuh bulat bagai bola. Kakinya yang buntung sampai sebatas paha, nampaknya cukup kokoh menopang berat badannya. Dalam keremangan cahaya bulan, terlihatlah kalau kedua matanya tertutup rapat. Buta. Rambutnya yang merah panjang, melambai-lambai dipermainkan angin. Dengan perasaannya yang tajam, jelas sekali kalau dia tengah mengamati dua sosok manusia yang terbaring di pasir pantai. Bagai bola karet yang ditendang, tubuh orang buntung itu melentur turun dari batu karang yang berdiri angkuh itu. Hanya dengan dua lentingan saja, dia telah sampai di tepi pantai dekat dengan tubuh yang tewas.

"Aku terpaksa menyeret perahumu ke sini, Kisanak. Semua keluhanmu telah kudengar," suaranya berat tanpa nada sedikit pun.

Laki-laki cacat itu meraba-raba tubuh Badar yang sudah tidak bernyawa lagi. Kepalanya menggeleng-geleng. Di lompatinya tubuh yang sudah kaku itu. Kini dia menghadapi sosok bayi merah yang diam tenang. Kembali tangannya meraba-raba. Kening laki-laki buntung itu agak berkerut ketika tangannya menyentuh kulit halus bayi yang kelihatan tidur pulas. Mungkin bayi itu terlalu lelah setelah menangis seharian.

"Bayi...? Jadi, inikah keluhannya...?" gumam laki-laki buntung dan buta itu pelan.

Kemudian diangkatnya bayi itu. Tangannya mendekap erat tubuh bayi yang kelihatannya kedinginan. Jari-jari tangan laki-laki itu mulai merayapi tubuh bayi dalam dekapannya. Keningnya kembali berkerut begitu menyentuh kain yang penuh noda darah yang membentuk tulisan. Sejenak dimiringkan kepalanya, lalu dimasukkan kain itu ke balik sabuknya. Tangannya kembali merayap ke seluruh tubuh bayi itu.

"Masih hidup, dan.... Ah Laki-laki" serunya gembira.

Laki-laki aneh itu mendongakkan kepalanya, seperti hendak memandang bulan. Sebentar kemudian wajahnya tertunduk seperti ingin melihat rupa bayi dalam dekapannya. Entah mengapa, tiba-tiba saja raut wajahnya yang buruk kelihatan murung.

"Dari keluhan orang yang bersamamu, kau bernama Bayu, Bocah Ah..., seandainya.... Uh... Tidak. Aku tidak boleh mengingatnya kembali. Semuanya telah terkubur di Pulau Neraka ini"

Laki-laki itu seperti teringat sesuatu, tapi cepat-cepat ditelannya kembali. Jari-jari tangannya yang kasar kini membelai-belai pipi halus bayi yang bagai sutra itu.

"Aku akan merawatmu, Anak Manis. Susunan tulang-tulangmu sangat bagus. Mari, Anak Manis. Kita pulang ke pondok. Kau akan senang tinggal di sini," katanya setengah berbisik. Kaki orang itu melangkah pelan meninggalkan jasad Badar yang sebentar-sebentar dijilat ombak.

"Bayu... Ah... Kau tampan mirip dengan anakku, Hanggara. Hm.... Bayu Hanggara.... Ya Namamu Bayu Hanggara" bisik orang itu lagi.

Sehabis berkata demikian laki-laki cacat itu melentingkan tubuhnya. Meskipun kakinya buntung hingga sebatas paha, namun gerakannya begitu gesit dan sukar untuk diikuti oleh mata biasa. Dalam sekejap saja ia telah hilang di balik batu-batu karang yang tersebar di sekitar pantai Pulau Neraka ini.

********************

Bulan telah berlalu, dan tahun demi tahun telah terlewati. Hari terus berpacu cepat. Tanpa terasa dua puluh tahun telah dilalui oleh bayi mungil yang bernama Bayu. Dia kini telah menjelma menjadi seorang pemuda berwajah tampan. Kulitnya kuning bersih. Namun di balik wajah dan tubuhnya yang tegap itu, tersirat sorot mata yang keras dan tajam. Rambutnya yang panjang dibiarkan meriap dengan ikat kepala kulit harimau. Tubuhnya yang tegap dihiasi oleh otot-otot yang bersembulan. Bajunya yang terbuat dari kulit harimau, menutupi badannya. Lengannya yang kokoh dibiarkan telanjang, seolah-olah ingin memperlihatkan kejantanannya.

Sementara kini senja telah merayap turun. Matahari dengan sinarnya yang merah Jingga mulai bergerak meluncur ke peraduannya. Pemuda tegap berbaju harimau itu berdiri tegak memandang ke laut lepas di atas sebongkah batu karang berwarna merah bagai terbakar. Tidak jauh dari situ, juga berdiri seorang laki-laki tua bertubuh gemuk pendek bagai bola. Tubuhnya tertopang oleh kakinya yang buntung sampai ke paha. Wajahnya juga menghadap ke laut lepas, tapi tanpa melihat apa-apa karena sepasang matanya memang buta. Hanya perasaannya yang tajam mampu melihat keadaan sekelilingnya.

"Rasanya telah hampir malam. Kau tidak ingin pulang, Bayu?" kata laki-laki yang cacat itu.

"Hhh..." pemuda yang bernama Bayu itu hanya menarik napas panjang seraya menoleh kepada laki-laki tua di dekatnya.

"Seharian kau berdiri di sini, Bayu Hanggara! Boleh aku tahu, apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tidak ada, Eyang Gardika," sahut Bayu mendesah pelan.

"Aku dapat merasakan ada sesuatu pada nada suaramu, Bayu. Katakanlah terus terang, apa yang menjadi beban pikiranmu?" desak laki-laki tua yang dipanggil Eyang Gardika.

Lagi-lagi Bayu menarik napas panjang. Dia memang sedang memikirkan sesuatu, tapi sulit untuk mengungkapkannya. Sejak masih bayi merah dia dirawat dan dididik oleh laki-laki tua penuh misteri ini, di Pulau Neraka. Memang terlalu banyak yang di pikirkan Bayu, tapi hanya satu masalah yang selalu mengganjal hatinya. Sampai saat ini dia tidak tahu siapa, dari mana, dan bagaimana orang tuanya. Juga, dia tidak tahu asal-usul laki-laki tua cacat ini. Dua puluhh tahun tinggal bersama-sama, tapi Bayu sedikit pun tidak tahu seluk-beluk diri Eyang Gardika.

"Eyang tidak marah jika aku ingin mengatakan suatu?" nada suara Bayu terdengar ragu-ragu.

"Kau satu-satunya cucuku, Bayu. Katakan saja semua yang ada di dalam hatimu," jawab Eyang Gardika. Nada suaranya lembut, namun terdengar berat.

"Eyang selalu mengatakan bahwa aku ini adalah cucu mu, itu berarti aku mempunyai orang tua, ayah dan ibu. Eyang tahu, di mana ayah dan ibuku sekarang berada?"

Eyang Gardika tidak segera menjawab. Ingatannya kembali pada kejadian dua puluh tahun yang silam. Saat itu dia sedang berjalan-jalan mengelilingi Pulau Neraka ini. Tiba-tiba saja perasaannya yang tajam mengatakan ada sebuah perahu menuju ke pulau ini. Dengan kekuatan tenaga dalam, ditariknya perahu yang berisi dua tubuh itu. Seorang dengan luka di badan dan telah mati, seorang lagi adalah bayi merah.

Biasanya kalau ada perahu yang mendekati Pulau Neraka, Eyang Gardika akan menghancurkan dan membunuh penumpangnya. Tapi karena telinganya yang tajam mendengar suara rintihan dan keluhan disertai tangisan bayi, hatinya merasa tersentuh. Pada saat itu dia memang teringat pada putranya sendiri yang kini entah bagaimana nasibnya. Eyang Gardika membalikkan tubuhnya, lalu berjalan tertatih-tatih dengan sepasang kakinya yang buntung. Raut wajahnya langsung berubah. Wajah angker tanpa senyum sedikit pun, terlihat semakin seram.

Kening Bayu menjadi berkernyit, lalu buru-buru terbalik dan mensejajarkan langkahnya pelan-pelan di samping laki-laki tua cacat itu. "Maaf, Eyang. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih," ujar Bayu menyesal.

"Aku tidak sedih. Kau memang sudah selayaknya mengetahui tentang hal itu. Hm..., berapa usiamu sekarang?"

"Aku..., aku tidak tahu, Eyang," jawab Bayu kebingungan.

"Ya. Kau memang tidak pernah tahu usiamu, Bayu...," ujar Eyang Gardika lirih.

"Kalau Eyang bersedia, tolong ceritakan tentang diriku sendiri, Eyang," pinta Bayu penuh harap.

"Aku tidak tahu persis, Bayu. Engkau kutemukan bersama seseorang yang telah mati, tergeletak di pantai Pulau Neraka ini. Tapi mudah-mudahan saja kisahku nanti ada hubungannya dengan asal-usul dirimu. Dan sebaiknya kita kembali dulu ke pondok," jawab Eyang Gardika.

Bayu tidak bisa membantah. Kakinya terus melangkah pelan-pelan mengimbangi ayunan langkah Eyang Gardika di sebelahnya.

Saat itu matahari telah menenggelamkan dirinya di belahan bumi bagian Harat. Sinarnya yang memerah kini digantikan oleh kepekatan malam. Bulan pun muncul bersama kelap-kelip bintang menambah indahnya malam. Namun di Pulau Neraka itu tetap saja sunyi sepi. Sedikit pun tak terdengar nyanyian binatang-binatang malam. Pulau itu bagaikan tidak berpenghuni saja.

Entah sudah berapa lama Bayu duduk membisu. Matanya tidak lepas pada secarik kain penuh tulisan oleh darah yang mengering. Tulisan itu berisi beberapa nama. Kalau saja Eyang Gardika tidak menceritakan artinya, tentu dia tidak akan tahu maksudnya. Nama-nama yang tertulis di kain itu adalah orang-orang yan lelah membunuh kedua orang tua Bayu. Bayu baru mengangkat kepalanya ketika pundaknya ditepuk. Pandangan matanya langsung tertuju pada Eyang Gardika yang duduk tepat di hadapannya. Bayu menyimpan kain bertuliskan beberapa nama itu ke balik ikat pinggangnya. Wajahnya yang kaku keras, semakin terlihat menegang. Garis-garis kekerasannya semakin nampak nyata.

"Bayu, Aku dulu juga seorang tokoh hitam dalam rimba persilatan. Sudah tak terhitung lagi, berapa nyawa yang telah kucabut. Bahkan banyak gadis yang telah menjadi korban kebuasanku. Kau tahu, Bayu. Semua yang kulakukan tidak punya arti dan maksud yang pasti. Aku sendiri tak tahu, untuk apa kulakukan semua itu," ungkap Eyang Gardika, pelan dan berat suaranya.

"Lantas, mengapa Eyang bisa sampai di sini?" tanya Bayu. Matanya menatap kedua kaki dan mata Eyang Gardika secara bergantian.

"Dalam pengembaraanku di sebuah desa yang tidak begitu ramai, aku terpikat pada seorang gadis yang lugu dan sedernana. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku begitu lemah di hadapannya. Biasanya jika aku melihat seorang gadis dan menginginkannya, maka segala cara akan kutempuh. Tapi yang ini lain. Sungguh lain sekali. Aku begitu mencintainya. Kau tahu, Bayu. Ternyata dia juga mencintaiku. Memang tidak ada persoalan yang berarti dalam hubunganku dengan gadis itu. Kami menikah di desa itu juga, dan menetap di sana. Sejak itulah kutinggalkan dunia persilatan, dan hidup damai bersama istriku,"

Eyang Gardika terdiam sebentar sebelum melanjutkan ceritanya. Bayu juga diam, menunggu dengan sabar.

"Tapi, meskipun aku telah bertobat dan melupakan semua masa laluku, ternyata dosa-dosaku tak terampuni. Sebuah malapetaka telah menimpa keluargaku. Saat itu anak pertamaku baru saja lahir, sedangkan aku sedang berada di ladang. Sebuah kepulan asap hitam terlihat olehku yang nampaknya berasal dari rumahku. Perasaanku tidak enak. Cepat-cepat aku berlari pulang. Lalu, apa yang terjadi Bayu...? Rumahku habis terbakar, dan istriku telah terbunuh. Di sekitar rumahku telah menunggu tidak kurang dari tiga puluh tokoh sakti rimba persilatan. Tanpa senjata kebanggaanku, aku memang tidak berarti apa-apa buat mereka. Namun demikian aku berhasil menewaskan mereka lebih dari separuhnya. Akhirnya aku berhasil ditaklukkan, dan mereka membuntungi kedua kakiku serta membutakan kedua mata ku. Saat itu yang kuinginkan hanya satu. Kematian Tapi rupanya Yang Maha Kuasa belum mengijinkan. Aku tetap diberi hidup. Kemudian, kutinggalkan desa itu setelah kutemukan senjata andalanku."

Eyang Gardika menunjukkan sebuah senjata berbentuk cakra segi enam yang menempel pada pergelangan tangan kanannya.

"Mengapa mereka mengeroyokmu. Eyang?" tanya Bayu.

"Sudah menjadi kehidupan orang-orang rimba persilatan, Cucuku. Mereka sadar bahwa kehadiranku merupakan ancaman yang harus dimusnahkan...," jawab Eyang Gardika pelan. "Lagi pula mungkin mereka memang dendam kepadaku. Mungkin ada keluarga, anak, istri, atau teman mereka yang tewas di tanganku."

"Lalu, di mana sekarang anakmu, Eyang?" tanya Bayu

"Entahlah. Sampai saat ini aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Mungkin masih hidup, mungkin juga telah mati terbakar bersama rumahku," lirih suara Eyang Gardika.

Bayu kembali merenung. Penderitaan yang dialami kekek angkat sekaligus gurunya ini, ternyata lebih tragis daripada yang dialaminya. Bayu benar-benar merasakan hal itu. Mereka memang sama-sama kehilangan orang-orang yang dicintai. Hanya bedanya, Bayu tidak menyaksikan pembantaian orang tuanya.

"Eyang, bagaimana kau bisa sampai ke Pulau Neraka ini?" tanya Bayu.

"Desa tempat tinggalku memang tidak jauh dari Pesisir Pantai Selatan. Saat itu aku memang tidak mempunyai tujuan yang pasti, setelah aku berhasil meloloskan diri. Kedua kakiku buntung, dan kedua mataku buta. Kau bisa bayangkan, bagaimana penderitaanku saat itu. Aku bisa sampai ke Pulau Neraka ini secara kebetulan saja. Perahu yang kunaiki entah bagaimana membawaku ke sini. Di pulau ini aku rasanya seperti sudah mati saja. Dengan keadaan tubuh yang tidak lengkap lagi, rasanya sulit untuk mempertahankan hidup di pulau yang tidak berpenghuni dan ganas ini. Tapi aku berusaha untuk tetap hidup. Setelah tubuhku pulih, aku berusaha melatih jurus-jurusku. Entah bagaimana, di hatiku malah tumbuh rasa dendam. Dan itu memang berakibat fatal. Setiap orang yang mencoba memasuki daerah Pulau Neraka, kubunuh tanpa ampun. Tidak peduli siapa yang datang. Bertahun-tahun kujalani hidup seperti itu. Sejak saat itu, nama Pulau Neraka semakin ditakuti semua orang. Bukan saja penduduk desa, tapi juga orang-orang rimba persilatan. Tidak seorang pun yang berani datang ke pulau ini lagi."

"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Bayu yang belum pernah melihat gurunya membunuh orang selama dia tinggal di sini. Pada kenyataannya, memang tidak seorang pun yang berani datang ke pulau angker ini.

"Dengan ketajaman telinga dan senjata andalanku ini," jawab Eyang Gardika menunjukkan kembali senjata aneh di tangan kanannya.

Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban gurunya memang bisa dipercaya, karena memang telah terbukti kedahsyatan senjata itu. Dan lagi, ketajaman pendengaran Eyang Gardika memang luar biasa. Dari pondok di tengah-tengah pulau ini, dia bisa mendengar apa saja yang terjadi di sekeliling pulau. Bahkan perahu kecil yang coba-coba mendekat pun bisa diketahuinya dengan jelas. Entah ilmu apa yang digunakan. Yang jelas, Bayu belum mampu mempelajarinya.

"Bayu, kau ingin mencari pembunuh orang tua mu?" tanya Eyang Gardika setelah terdiam beberapa saat.

"Benar, Eyang," jawab Bayu mantap.

"Kau tahu siapa mereka?"

Bayu hanya menggelengkan kepalanya.

"Yang tertulis pada secarik kain hanya sebagian saja. Aku yakin masih banyak yang terlibat. Dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memburu mereka. Bahkan tidak mustahil di antara mereka telah ada yang tewas. Saat itu kau masih bayi, dan kukira usiamu baru beberapa hari. Sekarang usiamu telah dua puluh tahun. Tidak semua orang bisa berumur panjang, Bayu. Kurasa dendammu sudah tidak ada gunanya lagi," ujar Eyang Gardika pelan.

"Aku akan berusaha mencari mereka, Eyang, tekad Bayu

"Bahkan kalau bisa dendam dan sakit hatimu akan kubalaskan."

"Kau belum cukup mampu untuk terjun dalam rimba persilatan, Bayu. Kuasailah dulu seluruh ilmu-ilmuku. Mungkin dua atau tiga tahun lagi, kau baru mampu," kata Eyang Gardika.

Bayu terdiam. "Semua ilmu yang kuwariskan padamu, beraliran hitam. Tapi sebaiknya kau gunakan untuk membela kebenaran. Hanya saja sifat buruk ilmuku tidak mungkin luntur meskipun kau berhati emas. Tindakanmu tidak akan jauh berbeda dengan orang-orang beraliran sesat. Untuk itu, pandai-pandailah membawa diri agar tidak menarik perhatian gotongan putih yang pasti akan memburu dan melenyapkanmu." ungkap Eyang Gardika memberi penjelasan.

"Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu.

"Bagus... Kalau niat hatimu telah mantap, persiapkanlah dirimu. Setelah itu, baru kau boleh meninggalkan Pulau Neraka ini. Rimba persilatan sangat ganas dan berlumur darah. Kau akan kuberi bekal yang harus dikuasai penuh."

"Terima kasih, Eyang."

********************

Eyang Gardika tersenyum-senyum memperhatikan Bayu berlatih jurus-jurus dengan penuh semangat. Semua ilmu yang dimilikinya sudah diturunkan pada pemuda itu. Hebatnya, di tangan Bayu ilmu-ilmu Eyang Gardika kelihatan lebih mantap dan sempurna. Hal ini bisa terjadi karena usia Bayu yang masih muda lagi cerdas. Dia cepat menyerap semua yang diajarkan kakek angkat, sekaligus guru tunggalnya. Sampai saat ini, Eyang Gardika telah cukup puas dengan keperkasaan Bayu. Walaupun dia tidak bisa melihat, namun hati dan pendengarannya lebih peka daripada orang biasa.

Sementara hari telah senja. Bayu baru saja selesai menyempurnakan jurus terakhir yang diberikan Eyang Gardika. Keringat masih menetes membasahi tubuhnya. Dia berlari-lari menghampiri laki-laki tua cacat yang duduk di atas batu karang merah.

"Awas.." tiba-tiba Eyang Gardika berteriak keras sambil menghentakkan tangan kanannya.

Bayu tersentak kaget. Cakra kuning bersegi enam di pergelangan tangan kanan Eyang Gardika meluncur deras ke arahnya. Cakra itu berputar melayang dengan suara mendesing menggetarkan hati. Dengan cepat Bayu menjatuhkan tubuhnya ke samping menghindari terjangan senjata dahsyat gurunya itu.

"Hup" Dengan sigap Bayu bangkit berdiri. Namun tanpa diduga sama sekali, cakra itu berbalik. Seperti bermata saja, cakra Eyang Gardika meluncur deras ke arah pemuda itu. Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan menghindari terjangan senjata itu. Beberapa helai rambut lagi, ujung-ujung runcing cakra itu akan menyobek dadanya.

"Hih" Bayu mendesis terpana merasakan desiran angin senjata cakra itu. Tubuhnya bergidik kedinginan. Desiran angin senjata itu tidak saja menimbulkan hawa yang sangat dingin, tapi juga dapat menyengat bagai mengeluarkan cahaya panas membakar kulit. Benar-benar aneh senjata laki-laki cacat itu.

Eyang Gardika mengangkat tangan kanannya keatas. Maka senjata berupa lingkaran yang mempunyai ujung runcing bengkok berjumlah enam itu pun melesat kembali ke arahnya. Seperti bernyawa saja, senjata cakra itu menempel di pergelangan tangan Eyang Gardika yang memakai gelang berwarna keperakan.

"Eyang...," suara Bayu tersekat di tenggorokan.

"Bagus Kau mampu menghindarinya, Bayu. Sekarang, tahanlah serangan berikut"

"Eyang..." Bayu tidak sempat lagi mencegah. Dia tidak mengerti, kenapa Eyang Gardika seperti ingin membunuhnya.

Laki-laki buntung dan buta itu sudah menghentakkan tangan kanannya kembali. Maka, senjata cakra itu pun kembali meluncur deras ke arah Bayu. Buru-buru pemuda itu memiringkan tubuhnya ke kiri, dan senjata itu hanya menemui tempat kosong di depan dadanya. Belum sempat berpikir, senjata itu telah berbalik berputar menyerang kembali dengan cepat.

"Uts" Bayu menjatuhkan tubuhnya ke samping dan bergulingan di atas tanah berpasir. Kembali senjata itu hanya menembus ruang kosong. Seperti bermata saja, senjata itu berbalik, dan dengan cepat mengejar kembali. Bayu menjumput sebongkah batu karang di dekatnya, lalu melemparkannya ke arah senjata itu. Matanya membeliak terkejut karena senjata itu tidak terpengaruh sedikit pun. Batu karang yang dilemparkan hancur berkeping-keping tanpa menghambat laju senjata itu.

"Hiyaaa..." Bayu melentingkan tubuhnya ke udara, dan senjata itu lewat di bawah kakinya. Namun belum juga kakinya bisa menjejak tanah, senjata itu sudah kembali menyerang. Sementara udara di sekitarnya menjadi terasa dingin. Tapi pada kenyataannya kulit Bayu malah terasa terbakar. Benar-benar aneh dan dahsyat senjata Eyang Gardika ini. Bayu yang berada dalam posisi tidak menguntungkan, tidak punya pilihan lain lagi. Dengan cepat diangkat kedua tangannya ke depan dada. Pada saat itu, senjata cakra milik Eyang Gardika telah meluncur dan siap menghujam dadanya. Dan...

Bayu menangkap senjata itu dengan kedua telapak tangannya. Aneh Senjata cakra yang dahsyat itu langsung berhenti bergerak. Bayu memandangi senjata itu sejenak, lalu berbalik menghadap Eyang Gardika yang tetap berdiri di atas kedua kakinya yang buntung. Tampak lelaki tua itu hanya tersenyum saja.

"Ha ha ha..." tiba-tiba saja Eyang Gardika tertawa terbahak-bahak tanpa sebab.

"Eyang...." Bayu menghampiri.

"Tidak seorang pun yang berhasil menangkap cakra. Rupanya sudah waktunya cakra berpindah tangan," kata Eyang Gardika setelah reda tawanya.

Bayu memandangi senjata di tangannya dan Eyang Gardika secara bergantian. Dia masih belum mengerti kata-kata kakek angkatnya. Senjata yang bernama 'Cakra' itu sungguh luar biasa. Memang, biasanya tidak ada satu makhluk pun yang dapat lolos dari ancaman senjata itu jika telah meluncur dari tangan pemiliknya.

"Kemarilah, Bayu," panggil Eyang Gardika.

Bayu melangkah menghampiri laki-laki tua cacat itu, lalu segera duduk bersila di hadapan gurunya. Tangan kanannya masih menggenggam senjata cakra.

"Pakailah ini," kata Eyang Gardika seraya mencopot gelang berwarna perak dari tangan kanannya, lalu menyerahkannya kepada pemuda itu.

Sejenak Bayu ragu-ragu, tapi akhirnya diterimanya juga. Gelang itu dikenakannya di pergelangan tangan kanan. Matanya agak menyipit Ketika gelang sudah dikenakannya, senjata cakra itu langsung bergerak dan menempel pada gelang itu.

"Eyang, kenapa kau berikan senjatamu kepadaku?" tanya Bayu kurang mengerti.

"Kau sudah berhasil melumpuhkan senjataku, Bayu. Artinya, Cakra telah menjadi milikmu. Hanya orang yang bisa menangkap yang berhak menggunakannya. Dan orang itu adalah kau, Bayu" jelas Eyang Gardika.

"Eyang...," Bayu segera bangkit ketika mendengar suara batuk beruntun dari laki-laki cacat itu.

Eyang Gardika mengangkat tangannya, mencegah Bayu yang ingin mendekat. Terpaksa anak muda itu duduk kembali. Wajah Eyang Gardika kelihatan berubah merah. Dia segera duduk. Dadanya terlihat bergerak turun-naik. dengan cepat. Dari kening dan lehernya merembes keringat sebesar butir-butir jagung. Bayu kelihatan cemas melihat keadaan kakek angkatnya ini. Dia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja Eyang Gardika seperti terserang demam.

"Eyang.... Eyang sakit?" tanya Bayu agak bergetar suaranya.

"Tenanglah, Bayu. Jangan cemas. Aku tidak apa-apa," kata Eyang Gardika lemah suaranya.

"Eyang..., sebaiknya segera kembali ke pondok," kata Bayu tidak bisa tenang.

Eyang Gardika hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar batuknya beberapa kali. Bayu tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap kali Bayu akan bangkit menolong, tapi sudah keburu dicegah. Eyang Gardika merasakan adanya gerakan halus. Gerakan yang seperti mengajaknya pergi. Pendengarannya begitu tajam. Dia dapat membedakan gerak sehalus apa pun.

"Dengarkan baik-baik, Bayu. Rasanya saatku sudah tiba...," Eyang Gardika terbatuk lagi. "Besok, di saat fajar menyingsing, kau harus meninggalkan Pulau Neraka ini. Saat itu kau tidak akan menemukan aku lagi."

"Eyang..." sentak Bayu terkejut.

"Tidak perlu terkejut, Bayu. Sudah saatnya aku meninggalkan dunia ini." Eyang Gardika paham kalau Bayu belum siap mendengar kata-katanya yang mengejutkan itu.

"Eyang..., kenapa begitu mendadak sekali?" tanya Bayu seperti orang tolol.

"Jangan bodoh, Bayu! Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan kembali pada pencipta-Nya. Mereka semua juga akan mati dan hancur kembali ke asalnya. Aku tidak ingin kau kehilangan semangat hanya karena kepergianku" bentak Eyang Gardika.

"Tapi...," suara Bayu tersekat di tenggorokan.

"Bayu! Seluruh hidup dan nyawaku ada pada gelang cakra itu. Aku bisa tetap hidup karena gelang itu tidak terlepas dari tanganku. Dan sekarang gelang itu sudah kau miliki, sudah sepatutnya kau pergi. Ingat, Bayu! Jangan sekali-sekali kau lepaskan gelang itu. Sekali saja kau lepas, berarti ajalmu sudah tiba. Seluruh hidup dan nyawamu sudah menyatu di dalam gelang itu. Dan pelindungnya hanyalah 'Cakra'," kata Eyang Gardika menjelaskan.

Bayu tidak bisa berkata-kata lagi. Dia kini mengerti, kenapa Eyang Gardika tiba-tiba jadi berubah. Rupanya gelang berwarna perak dan senjata Cakra ini merupakan satu kesatuan dari nyawanya. Dan sekarang gelang keramat ini sudah berada di tangannya. Bayu sadar, kalau nyawanya sekarang tergantung pada gelang keramat ini. Rasanya sulit untuk mempercayai, tapi bukti dan kenyataannya sudah terjawab di depan mata. Eyang Gardika segera merasa ajalnya sudah tiba begitu gelang keramat dicopotnya.

"Bayu...," panggil Eyang Gardika pelan.

"Ya, Eyang" sahut Bayu.

"Bawa aku ke dalam goa dibelakang pondok. Biarkan kusempurnakan atmaku di sana. Ingat Kau harus menutup mulut goa, dan jangan kembali lagi ke pulau ini," pesan Eyang Gardika.

"Baik, Eyang."

********************

LIMA

Suasana sebuah desa di Pesisir Pantai Selatan tidak seperti biasanya. Dermaga dipenuhi kapal besar. Para kuli angkut sibuk menurunkan barang-barang dari kapal. Anak-anak kecil berlarian bersuka ria di sepanjang pantai. Burung-burung camar pun seakan-akan ikut merasakan suasana ceria itu dengan melayang-layang di atas permukaan laut sambil memperdengarkan suaranya yang nyaring.

Kesibukan dan keceriaan itu tampaknya terpusat pada sebuah kapal besar dan mewah yang bersandar pada dermaga. Di sekitar dermaga juga berjajar kereta yang ditarik kuda-kuda gagah dan tegap. Sepertinya pemilik kereta-kereta mewah itu adalah para saudagar kaya. Atau paling tidak pembesar kerajaan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya prajurit berpakaian seragam kerajaan yang mondar-mandir di sekitar situ. Di atas kapal besar dan mewah itu sepertinya sedang berlangsung pesta. Suara gamelan terdengar mengalun merdu, ditimpali gelak, tawa beberapa laki-laki dan cekikikan beberapa wanita.

Di atas geladak, tampak berdiri seorang wanita cantik didampingi tiga orang laki-laki bertubuh tegap dan kekar. Wanita itu sudah berusia sekitar empat puluh tahun. Tapi, wajah dan tubuhnya masih mampu membuat mata lelaki tidak berkedip memandangnya.

"Tampaknya mereka menikmati pesta ini, Nyai," kata salah seorang laki-laki tegap yang menyandang pedang di pinggang.

"Ya. Aku memang sengaja mengadakan pesta di kapal ini untuk memperingati dua puluh lima tahun hancurnya Padepokan Teratai Putih," sahut wanita itu.

"Terus terang, Nyai. Aku heran, kenapa Nyai masih juga mengingat padepokan itu. Dan lagi, kenapa harus mengadakan pesta setiap tahun kalau hanya untuk mengenang saja?" kata seorang lagi yang membawa kapak.

"Bagaimanapun juga, Padepokan Teratai Putih milik mendiang suamiku. Entahlah. Aku sendiri tidak tahu, kenapa rasanya sulit untuk melupakannya. Dewa Pedang begitu baik...," ungkap wanita itu yang ternyata adalah Rengganis.

Sedangkan para lelaki di dekatnya adalah tiga saudara pengikut setianya. "Nyai merasa bersalah?" tebak Gamar yang membawa kapak.

"Mungkin...," desah Rengganis.

"Kenapa harus merasa bersalah, Nyai? Bukankah Nyai telah membalaskan kematian seluruh keluarga Nyai? Ingat, Nyai Dewa Pedang yang membantai seluruh keluargamu" kata Gamar lagi.

"Kalian ingat kata-kata Dewa Pedang yang terakhir?" Rengganis seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Ya, ingat," jawab tiga saudara itu serempak.

"Tapi itu kan hanya akal liciknya saja untuk mencuci tangan. Nyai," sambung Ganis.

"Tidak, Ganis. Dewa Pedang benar. Dia memang ditugaskan untuk menangkap keluargaku yang telah berkhianat pada kerajaan. Tapi tidak untuk menbunuh. Dia benar" ungkap Rengganis.

Ganis, Gamar, dan Ganang saling berpandangan. Mereka tidak mengerti, kenapa Rengganis jadi berubah pikiran setelah Padepokan Teratai Putih hancur. Bukankah hal itu memang telah direncanakan? Apalagi gerakan mereka juga didukung oleh tokoh-tokoh rimba persilatan yang merasa terganggu dengan adanya Padepokan Teratai Putih.

Sementara itu, sebagian dari tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut mengobrak-abrik Padepokan Teratai Putih waktu itu, kini sedang berpesta-pora. Beberapa di antaranya malah sudah ada yang mabuk karena terlalu banyak minum tuak. Mereka kebanyakan telah menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.

"Aku sudah menanyakan hal ini pada Gusti Prabu. Pada kenyataannya, beliau membenarkan kalau Dewa Pedang mendapat tugas begitu. Gusti Prabu juga tahu kalau keluargaku bukan dibantai oleh Dewa Pedang. Pamanku sendirilah yang membantai seluruh keluargaku. Dia memang selalu menginginkan kedudukan Panglima Perang Kerajaan dengan memfitnah Dewa Pedang sebagai pembunuh keluargaku. Itulah yang kusesalkan sampai sekarang. Sayang, pamanku yang licik itu telah tewas di tiang gantungan."

"Semuanya telah terjadi, Nyai. Tidak perlu disesalkan," kata Gamar mendesah.

"Ya. Pesta ini kuadakan sebagai penebus rasa sesal dan dosaku. Aku tidak punya cara lain lagi. Hanya ini yang dapat kulakukan," Rengganis juga mendesah pelan.

Sementara pesta di atas kapal terus berlangsung. Tidak ada yang mengerti, kenapa Rengganis memilih Pantai Selatan sebagai tempat pesta. Padahal, peristiwa yang dilakukannya terjadi di Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai Putih dulu berdiri. Semua itu hanya tersimpan di dalam hati wanita berusia empat puluh tahun ini. Hanya dialah yang tahu.

"Heh" tiba-tiba Rengganis terkejut. Matanya menatap lurus ke tengah laut. Pandangannya tak berkedip pada sebuah pulau berwarna merah menyala bagai terbakar.

"Ada apa, Nyai?" tanya tiga saudara itu serempak. Mereka langsung memandang ke arah yang sama.

Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, seakan-akan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Di tengah laut itu dia melihat sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sehingga sulit untuk diikuti oleh mata biasa.

"Ada apa, Nyai?" tanya Gamar yang tidak melihat apa pun di tengah laut itu.

"Ah, tidak..., tidak apa-apa," jawab Rengganis segera mengalihkan pandangannya. Namun raut wajahnya kelihatan berubah.

Sementara ketiga bersaudara itu tetap memandang ke arah laut Pulau Neraka memang terlihat jelas dari situ. Mereka memang tidak akan dapat menemukan apa-apa, karena yang dilihat Rengganis begitu cepat dan menghilang sebelum sempat disadari.

"Aneh...," desis Rengganis tanpa sadar. "Apakah.... Ah Tidak Mustahil..." Rengganis bergumam sendiri.

"Apa yang Nyai lihat?" tanya Ganis.

"Tidak. Mungkin hanya burung camar" jawab Rengganis berusaha menenangkan diri. Namun demikian, hati Rengganis tetap tak menentu. Rengganis terus menebak-nebak yang dilihatnya sekilas tadi. Dia begitu yakin ada sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Tapi sulit untuk memastikan apa yang dilihatnya tadi. Sementara siang terus merayap. Matahari bergulir semakin tinggi. Namun pesta di kapal itu akan tetap berlangsung hingga keesokan harinya.

********************
Suasana desa di pesisir pantai itu tetap ramai meskipun hari telah malam. Lampu-lampu menyala terang di setiap rumah. Obor-obor tetap menyala di sepanjang jalan. Kedai-kedai minum masih tetap buka dan tidak sepi pengunjung. Hari itu memang banyak kapal yang berlabuh membongkar muatan, sehingga menambah semaraknya pesta yang diadakan Rengganis.

Namun lain halnya dengan sebuah kedai yang tidak jauh dari dermaga. Suasana di situ tidak begitu ramai, karena tidak banyak orang yang berkunjung disitu. Kedai itu begitu kecil dan terpencil sehingga tidak menarik perhatian orang banyak.

Di sudut dekat jendela kedai itu, duduk seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau. Rambutnya dibiarkan terurai, dengan ikat kepala juga dari kulit harimau. Dia sepertinya sengaja menyendiri dengan mata memandang ke arah dermaga.

"Tambah lagi minumnya, Tuan?"

Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya menoleh sedikit. Seorang, wanita muda dengan rias wajah tebal, tahu-tahu telah berdiri di dekatnya. Wangi tubuhnya begitu menusuk. Sedangkan baju yang dikenakannya terlalu rendah pada bagian dada, sehingga dua bukit kembarnya mengintip malu-malu. Kainnya juga terbelah sampai ke pangkal paha. Sikapnya begitu menggoda. Sungguh menarik perhatian kaum lelaki.

"Terima kasih," jawab pemuda berbaju kulit harimau itu tanpa senyum sedikit pun. Dialihkan pandangannya kembali ke arah dermaga yang masih tetap ramai.

"Boleh aku duduk di sini?" mohon wanita itu. Suaranya dibuat-buat dan terdengar manja.

"Silakan," sahut pemuda itu datar. "Namaku Karti. Tuan, siapa?" kata wanita itu seraya matanya merayapi wajah pemuda di sampingnya. Tangannya kemudian menuangkan arak dari pundi kecangkir perak.

"Hm..." pemuda itu hanya menggumam tidak jelas.

"Kuperhatikan sejak tadi, kau selalu memandang ke arah dermaga. Ada yang menarik di sana?"

"Mungkin," jawab pemuda itu malas.

"Memang menarik. Setiap tahun memang selalu begitu. Kau lihat kapal besar dan indah di ujung kanan dermaga? Kapal itu milik seorang saudagar wanita yang kaya raya. Dermaga itu memang selalu dijadikan tempat bersandar jika saudagar itu akan mengadakan pesta di atas kapalnya setiap tahun," jelas wanita yang mengaku bernama Karti tanpa diminta.

"Hm..." lagi-lagi pemuda berbaju kulit harimau bergumam tidak jelas.

"Dia sangat kaya dan berpengaruh. Kenalannya juga orang-orang penting dan para pembesar kerajaan. Hanya sayangnya, dia tidak punya suami. Tapi kata orang, dia punya pengawal yang selalu setia mengikuti ke mana saja," sambung Karti lagi.

"Siapa dia?" tanya pemuda itu bernada iseng.

"Kalau tidak salah, namanya Rengganis. Ya... Nyai Rengganis," jawab Karti yakin.

Pemuda itu langsung berpaling dan menatap tajam pada wanita di dekatnya itu. Wajahnya berubah tegang dan memerah. Cuping hidungnya kembang-kempis. Napasnya memburu bagai habis berlari jauh. Pemuda itu langsung bangkit berdiri dan meletakkan lima keping uang perak ke mejanya. Tanpa berkata apa-apa lagi dia melangkah ke luar dari kedai itu.

"Tuan..., kembalinya" seru wanita itu yang juga bergegas bangkit.

"Untukmu" sahut pemuda itu terus melangkah cepat tanpa menoleh lagi.

"Untukku...?" wanita yang bernama Karti seperti tidak percaya. Dipandanginya lima keping uang perak di tangannya. Wanita itu merasa seperti mimpi saja. Hanya seguci arak murah dibayar dengan lima keping uang perak. Satu keping saja bisa dapat sepuluh guci arak manis yang lezat. Apalagi lima keping uang perak...? Malam ini dia seperti kejatuhan bulan saja. Bergegas dihampirinya pemilik kedai untuk membayar minuman pemuda itu.

"Karti Mau ke mana?" seru pemilik kedai ketika melihat Karti bergegas pergi.

"Pulang" jawab Karti.

"Pulang...? Tapi...."

"Ya Malam ini aku sudah cukup memperoleh penghasilan"

"He..." Pemilik kedai itu memang tidak tahu apa yang telah didapat wanita pelayan dan penghibur di kedainya ini.

Lima keping uang perak sangat berarti dan besar nilainya bagi penduduk desa di Pesisir Pantai Selatan ini. Harga arak memang mahal. Tapi, untuk kebutuhan sehari-hari lima keping uang perak sudah lebih dari cukup. Karti bergegas berlari pulang dengan wajah berseri-seri. Sementara pemilik kedai itu hanya melongo saja, tanpa mampu berbuat apa-apa lagi. Memang liukan Karti saja yang menjadi pelayan dan penghibur di kedai itu. Masih ada wanita lain. Pemilik kedai itu pun tidak peduli lagi.

********************

Pesta di atas kapal masih terus berlangsung seperti tidak akan pernah berhenti. Bau arak dan asap tembakau berbaur menjadi satu, membuat napas sesak dan mata perih. Namun hal itu tidak mengurangi suasana gembira. Tidak sedikit yang sudah kelihatan mabuk. Semakin larut malam, suasana pesta semakin bertambah hangat. Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata berjaga-jaga di sekitar kapal. Ditambah lagi, para prajurit kerajaan yang juga masih setia menunggu para pembesar kerajaan yang diundang ke pesta itu.

Mereka semua tetap menjalankan tugas agar pesta berlangsung tanpa gangguan. Tapi suasana seperti itu kadang-kadang juga bisa membuat mereka lengah. Seorang pun tidak menyadari kalau mereka tengah diawasi oleh seseorang yang memakai baju kulit harimau. Dia berdiri tidak jauh dari situ. Tubuhnya agak tersembunyi di balik keremangan cahaya bulan dan obor. Matanya tidak berkedip menatap ke arah kapal itu. Wajahnya kaku dan bibirnya terkatup rapat. Pelahan-lahan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu bergerak merogoh saku bajunya, lalu dengan cepat dihentakkan tangannya ke depan. Secercah sinar keperakan pun meluncur ke arah tiang utama kapal itu.

Krakkk.

Suasana pesta yang penuh kegembiraan itu mendadak berubah kacau. Jerit dan teriakan kengerian berbaur menjadi satu bersamaan dengan ambruknya tiang utama utama, kapal itu. Para penjaga secara serentak berlarian dan berdiri berjajar di tepian geladak kapal dengan senjata terhunus. Seluruh hadirin menjadi panik kalang-kabut. Beberapa tubuh menggeletak tertimpa tiang utama yang besar dan kuat. Di tengah kepanikan itu, kembali terlihat cahaya keperakan meluncur deras dan menancap pada salah seorang wanita berbaju hijau langsung melompat ke arah tiang kapal itu.

Sejenak dia tertegun pada sebuah bintang bersegi enam berwarna keperakan yang menancap di situ. Benda itu besarnya tidak lebih dari telapak tangan orang dewasa. Wanita berbaju hijau yang ternyata adalah Rengganis, mencabut bintang perak bersegi enam yang menancap dalam di tiang tadi. Sebentar benda itu di pandanginya. Sementara tiga pengiring setianya, Ganis, Ganang, dan Gamar sudah menghampiri. Mereka juga ikut memperhatikan bintang perak itu. Beberapa orang yang di antaranya seorang laki-laki tua berjubah merah, juga menghampiri. Laki-laki tua itu segera merebut bintang perak dari tangan Rengganis.

"Mustahil..." gumamnya mendesah.

"Kau kenal dengan benda itu, Paman Jantara?" tanya Rengganis.

"Ya... Aku tahu betul pemiliknya. Tapi.... Ah Rasanya tidak mungkin...," ujar laki-laki berjubah merah yang bernama Jantara dan berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu. Kepalanya menggeleng-geleng menyatakan keheranannya.

"Adik Branta... Lihatlah benda ini" kata si Tongkat Samber Nyawa lagi.

Seorang laki-laki tua lainnya yang mengenakan baju indah segera mendekat. Dia selalu dikawal dua orang berpakaian prajurit kerajaan. Sepertinya laki-laki tua berpakaian indah itu adalah pembesar kerajaan. Setelah mengambil bintang bersegi enam dari tangan si Tongkat Samber Nyawa, benda itu pun diperhatikannya sebentar. Kepalanya juga menggeleng-geleng keheranan.

"Rasanya tidak mungkin dia masih hidup," gumam laki-laki yang dipanggil Branta itu.

"Apa mungkin dia punya nyawa rangkap?" celetuk salah seorang yang juga sudah tua.

"Tidak... Tidak mungkin ada orang bisa hidup dengan kedua kaki buntung dan mata buta" bantah Jantara.

"Kalau bukan dia, lalu siapa?" Branta seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Jantara tidak langsung menjawab, tapi hanya memandangi semua orang yang berada di sekelilingnya. Mereka adalah tokoh rimba persilatan dan para pembesar kerajaan yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Rata-rata mereka semua kenal akan benda berbentuk bintang segi enam yang terbuat dari perak itu Hanya mereka yang masih muda-muda saja yang kurang paham terhadap benda itu.

Rengganis sendiri masih bingung dengan pembicaraan orang-orang tua di sekitarnya. Teka-teki itu masih belum terjawab, tapi telah disusul deh suara siulan nyaring yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam berkekuatan tinggi. Beberapa orang yang hanya memiliki kepandaian pas-pasan mulai terpengaruh deh suara siulan itu. Gendang telinga mereka terasa sakit meskipun telah menutup telinga rapat-rapat dengan kedua tangan. Sedangkan mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi segera mengerahkan tenaga dalam untuk menghalau suara siulan itu.

"Awas..." tiba-tiba Jantara berteriak nyaring.

Pada saat itu meluncur seberkas cahaya keperak-perakan ke arah mereka. Dengan cepat Jantara mematahkan tiang kapal dan menyampok sinar itu. Saat cahaya keperakan itu membentur tiang sebesar tangan yang dipegangnya, Jantara tersentak dan mundur selangkah. Tangannya terasa bergetar. Jantara bergegas melihat tiang yang digunakan untuk menyampok serangan gelap tadi. Tampak secarik kain merah muda menempel di situ bersama tancapan bintang perak bersegi enam. Jantara segera mencabut bintang perak, dan mengambil kain merah muda itu. Kain itu segera diserahkannya pada Rengganis.

"Edan! Apa maksudnya ini?" dengus Rengganis. Wajahnya sedikit menegang.

"Jelas dia mencarimu, Rengganis. Kain itu bertuliskan namamu," kata Jantara pelan.

"Tapi, apa maksudnya? Kalian kenal dengan benda ini. Sedangkan aku..., sama sekali tidak tahu" nada suara Rengganis terdengar kebingungan.

Semua yang ada di situ tak ada yang menjawab sedikit pun. Sementara suara siulan telah berhenti sejak tadi. Beberapa penjaga dan prajurit tergeletak pingsan akibat siulan bertenaga dalam yang cukup tinggi tadi. Dari lubang hidung dan telinga mereka mengalir darah segar. Sedangkan yang bertahan dengan siulan tadi segera menolong mereka. Rengganis, Jantara, Branta, dan yang lainnya hanya terdiam. Kepala mereka berputar mencari-cari ke sekeliling. Siapakah orang yang mengirimkan kain berwarna merah muda bersama senjata bintang perak bersegi enam itu? Pertanyaan inilah yang membebani benak mereka semua.

ENAM

Malam terus merayap semakin pekat. Pesta tidak dilanjutkan lagi sehingga suasana di atas kapal mewah itu menjadi sunyi seketika. Yang terlihat di situ hanyalah orang-orang yang berjaga-jaga. Mereka adalah para penjaga dan prajurit kerajaan yang merasa bertanggung jawab atas junjungan mereka di atas kapal. Selain itu, ada juga para pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut berjaga-jaga.

Saat itu Rengganis terus didampingi oleh Jantara dan tiga bersaudara pengawal setianya. Wanita itu masih belum mengerti dengan kejadian yang sungguh menggemparkan itu. Walaupun hanya sesaat, tapi cukup membuat hati jadi bertanya-tanya. Di atas kapal ini, hampir seluruh tokoh rimba persilatan hadir di situ. Mereka datang dari segala penjuru. Walaupun setiap harinya bergelimang darah dan tantangan, namun kejadian yang hanya sesaat itu mampu menggetarkan hati mereka juga.

"Aku tidak yakin kalau orang itu adalah Gardika, Paman Jantara," kata Rengganis setengah bergumam.

"Hanya dia satu-satunya yang memiliki senjata semacam itu, Rengganis," sahut Jantara. Dia memang telah menceritakan tentang pertarungannya bersama tokoh-tokoh rimba persilatan yang mengeroyok Gardika.

"Tapi sebelumnya kau katakan bahwa dia telah tewas. Rasanya mustahil kalau orang yang sudah dibuntungi kedua kakinya dan dibutakan kedua matanya, ternyata masih hidup," sergah Rengganis. "Lagi pula, apa urusannya denganku? Aku tidak kenal dia. Bahkan mungkin pada saat itu aku belum lahir. Bisa juga waktu itu aku masih kecil."

Jantara tidak mampu menjawab. Memang sulit diterka, siapa orangnya yang melakukan serangan gelap itu. Tapi dari senjata yang berbentuk bintang bersegi enam, jelas kalau orang itu adalah Gardika. Jantara jadi berkerenyut juga keningnya. Sepengetahuannya, Gardika telah tak berdaya di Pulau Neraka. "Pasti ada orang lain yang menggunakan senjata yang sama" sentak Jantara.

"Maksud, Paman...?" tanya Rengganis tidak mengerti.

"Rengganis... Dalam dunia ini, kita memang selalu dikelilingi musuh. Bahkan kawan yang sekarang, tidak mustahil nantinya akan jadi musuh juga. Ingat-ingatlah. Siapa di antara kawan dan lawanmu yang mengunakan senjata berbentuk bintang," kata Jantara.

"Rasanya tidak ada, Paman," jawab Rengganis setelah berpikir sejenak.

"Ingat-ingat dulu, Rengganis," desak Jantara.

Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berusaha mengingat-ingat. Tapi selama berkecimpung dalam dunia persilatan dan hingga memutuskan untuk jadi saudagar, rasanya tidak pernah punya lawan ataupun kawan yang menggunakan senjata berbentuk bintang perak bersegi enam. Dan tiba-tiba saja Rengganis teringat dengan yang dilihatnya siang tadi. Sesuatu yang dilihatnya sendiri saja. Sangat jelas terlihat, tapi begitu cepat sehingga sulit untuk menentukan, apakah itu manusia atau hanya berupa kilatan cahaya saja. Bisa juga itu hanya fatamorgana. Sulit untuk menghubungkan, antara yang dilihatnya siang tadi dengan kejadian di kapal barusan. Tulisan pada secarik kain, jelas ditujukan untuknya. Tulisan itu hanya berupa sebuah nama. Namanya sendiri tanpa ada tulisan atau nama lain. Jelas, maksudnya adalah peringatan atau bisa juga ancaman.

"Apakah mungkin kalau orang itu adalah putra Dewa Pedang...?" gumam Rengganis seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Kau bicara apa, Rengganis?" tanya Jantara tidak percaya.

"Paman... Siang tadi aku melihat sesuatu meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Aku tak tahu pasti, benda apa yang bergerak itu. Apakah itu hanya sebuah benda, ataukah manusia? Aku tak tahu. Tapi aku yakin, itu pasti ada hubungannya dengan kejadian di kapal ini, Paman," ungkap Rengganis pelan.

"Hm..., selama ini tak ada seorang pun yang bisa selamat jika telah masuk ke Pulau Neraka. Gardika juga pergi ke pulau itu, dan sampai kini tak terdengar kabar beritanya lagi. Rasanya tidak mungkin kalau Badar dan putra Dewa Pedang masih hidup...," bantah Jantara. Tapi dari nada suaranya terdengar ragu-ragu.

Hening. Tak ada lagi yang bersuara. Kejadian yang menggemparkan tadi membuat semua orang yang ada di atas kapal ini terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran yang terus berkecamuk. Sementara para pembesar yang bernyali kecil telah mulai meninggalkan kapal. Bahkan beberapa tokoh yang merasa tidak ada hubungannya dengan kejadian itu juga telah pergi. Mereka seperti tidak ingin ikut campur. Semakin larut malam, keadaan kapal semakin sunyi. Kesunyian itu menambah suasana menjadi semakin mencekam.

"Rengganis, sebaiknya kau beristirahat saja. Biar aku dan anak buahku yang berjaga-jaga," kata Jantara setelah cukup lama berdiam diri.

"Terima kasih, Paman. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak mungkin dapat tidur," tolak Rengganis halus.

"Kalau begitu, aku pergi dulu untuk melihat keadaan," pamit Jantara.

"Silakan, Paman." Laki-laki tua berjubah merah itu segera berlalu. Sementara Rengganis masih duduk di kursi, di atas geladak didampingi tiga bersaudara pengikut setianya. Ketiga bersaudara itu pun hanya bisa membisu. Mereka juga telah mendengar apa yang dibicarakan junjungannya dengan Jantara, atau yang berjuluk si Tongkat Samber Nyawa tadi.

Jantara berjalan pelan-pelan menyusuri geladak kapal besar dan mewah itu. Hanya tinggal beberapa tokoh saja yang masih ada di kapal ini. Seluruh pembesar kerajaan telah meninggalkan kapal. Kini, tidak terlihat lagi para prajurit yang berjaga-jaga di situ. Jantara terus melangkah menuruni tangga kapal menuju dermaga. Beberapa anak buahnya terlihat berjaga-jaga di sekitar dermaga itu. Dengan dikawal enam orang anak buahnya, Jantara memeriksa keadaan dermaga. Tak lama kemudian dia meninggalkan tempat itu, dan menuju desa yang tidak jauh dari situ. Suasana desa masih tetap ramai meskipun hari telah jauh malam. Namun keramaiannya telah sedikit berkurang jika dibandingkan dengan siang tadi. Sepanjang jalan, yang ditemukan hanya orang-orang mabuk dari wanita-wanita penjaja cinta. Jantara terus melangkah diikuti oleh enam orang anak buahnya.

"Sebaiknya kita kembali saja, Tuan. Sudah terlalu malam. Barangkali orang itu sudah pergi dari sini," kata salah seorang yang ikut dengan Jantara.

"Baiklah. Besok kita teruskan," jawab Jantara.

Mereka kemudian kembali menuju dermaga di Pesisir Pantai Selatan. Mereka berjalan tanpa banyak bicara. Memang sulit mencari satu di antara sekian banyak orang yang tidak dikenal. Apalagi sekarang ini banyak pendatang yang singgah di desa di sekitar Pesisir Pantai Selatan itu. Baru saja beberapa tindak mereka berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan melintas di depan mereka. Jantara terperanjat, dan langsung memerintahkan anak buahnya berhenti.

Seorang pemuda gagah dan tegap tahu-tahu telah berdiri di depan Jantara dan enam orang anak buahnya. Rambutnya yang panjang dipermainkan angin malam. Tubuhnya berotot dan tertutup baju dari kulit harimau. Hanya bagian dada yang terbuka, memamerkan dadanya yang bidang dan kekar. Wajahnya cukup tampan, namun memiliki sorot mata yang tajam. Rahangnya yang menonjol kekar, terkatup rapat. Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.

"Kau laki-laki tua, berjubah merah dan bersenjata tongkat kembar pendek. Apakah kau bernama Jantara, si Tongkat Samber Nyawa?" tanya pemuda itu. Dari perawakan dan pakaian yang dikenakan, jelas kalau dia adalah Bayu Hanggara.

Selama Bayu meninggalkan Pulau Neraka, keterangan tentang pembunuh orang tuanya dan pengeroyok Eyang Gardika terus dicarinya. Sampai dia akhirnya tahu kalau Rengganis adalah ibu tirinya sendiri. Tapi dia tidak mau peduli. Yang ada di benaknya adalah membalas dendam atas kematian orang tuanya dan atas kesengsaraan Eyang Gardika di Pulau Neraka.

"Benar! Dan kau siapa? Kenapa kau hadang langkahku?" sahut Jantara seraya memasang wajah angker.

"Mungkin kau mengenal benda ini," sahut pemuda itu sambil mengangkat tangan kanannya ke depan.

Jantara melangkah mundur dua tindak melihat cakra bersegi enam yang bergigi-gigi bengkok menempel pada pergelangan tangan pemuda itu. Bola matanya berputar, seolah-olah tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

"Jagalah kepalamu, Jantara" bentak pemuda itu tiba-tiba seraya mengebutkan tangan kanannya.

Laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu terperangah sesaat, namun dengan cepat merundukkan kepalanya. Cakra berwarna keperakan yang menempel di tangan pemuda itu meluncur deras kearahnya. Begitu cepat cakra itu, sehingga dua orang yang berada di belakang Jantara tidak sempat lagi menghindar. Kedua orang itu menjerit keras. Tubuh mereka berputar sebentar sebelum ambruk dengan kepala terpisah. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya. Dengan putaran manis, senjata cakra itu berbalik dan langsung menempel kembali di pergelangan tangannya.

"Anak muda Apa hubunganmu dengan Gardika si Cakra Maut?" tanya Jantara membentak.

"Kau tidak perlu tahu, Jantara. Berdoalah agar dosamu diampuni," sahut pemuda itu dingin.

"Kurang ajar! Apa yang kau andalkan hingga berani umbar bacot di hadapanku, heh?" geram Jantara sengit.

"Bersiaplah untuk mati, Jantara" Rupanya pemuda itu tak kenal kompromi lagi. Langsung dibukanya jurus-jurus maut.

Jantara mengerutkan keningnya melihat kembangan jurus-jurus yang diperagakan pemuda itu. Dia kenal betul dengan jurus itu. Jurus 'Kelelawar Maut'. Jantara langsung bersiap-siap dengan jurus andalannya juga. Tapi, sebenarnya Jantara sendiri belum yakin apakah bisa menandingi jurus 'Kelelawar Maut', meskipun dikerahkan oleh orang lain.

"Tahan seranganku, Jantara" seru Bayu keras. Secepat kilat pemuda itu melompat sambil mengembangkan kedua tangannya. Gerakannya begitu cepat bagai kilat.

Jantara bergegas membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, sebelum melompat bangkit. Namun baru saja dapat berdiri, satu kibasan tangan yang cepat dan tak terduga menyampok ke arah kepalanya.

"Uts" Jantara menarik kepalanya sedikit sambil menyodokkan tangan kanannya ke arah dada. Tapi kembali Jantara terperangah karena lawan mampu berkelit dengan cepat sambil melancarkan serangan susulan. Satu tendangan keras melayang menghantam perut laki-laki tua itu. Jantara terbungkuk mengeluh tertahan. Perutnya seketika terasa mual. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, satu pukulan telak kembali bersarang di wajahnya.

"Akh" Jantara memekik tertahan. Timpa ampun lagi tubuh laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu terjengkang ke belakang.

Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu tetap berdiri tegak dengan tangan melipat di bagian dada. Matanya yang tajam menatap langsung ke wajah Jantara. Sedangkan bibirnya agak melebar, menyunggingkan senyuman bernada sinis dan kejam.

Jantara melangkah mundur dua tindak. Disemburkan ludahnya yang bercampur darah. "Setan belang Siapa... kau sebenarnya, Bocah?" bentak Jantara menggeram hebat.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jantara. Karena kau berperan juga dalam membunuh Dewa Pedang, maka berlutut dan mohon ampunlah pada Dewa Pedang" sahut Pemuda itu.

"Kau.... Kau tahu Dewa Pedang...?" Jantara jadi kebingungan.

"Mampus kau, Jantara Hiyaaa..."

"Hup"

Jantara cepat melentingkan tubuhnya ke udara sambil mencabut senjata andalannya berupa sepasang tongkat kecil dengan ujung-ujungnya berbentuk bulan sabit. Dua kali dia bersalto di udara seraya tangannya bergerak cepat mengibas.

Bersamaan dengan itu, pemuda gagah berbaju kulit harimau juga telah berada di udara. Satu ledakan keras terdengar ketika senjata Jantara membentur pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tampak tubuh mereka terpental kebelakang, lalu jatuh ke tanah secara bersamaan. Jantara segera limbung begitu kakinya menjejak tanah. Sedangkan lawannya mendarat dengan manis. Tangannya kembali melipat di depan dada Sepertinya tidak merasakan apa-apa.

"Phuih" Jantara membuang satu tongkatnya yang patah menjadi dua bagian. Matanya merah menahan geram yang amat sangat. Selama berkecimpung dalam dunia persilatan, baru kali ini dia mendapat lawan tangguh dan sanggup memperdayai di depan anak buahnya. Harus diakui kalau hatinya sedikit gentar melihat ketangguhan lawannya. Memang sulit diukur tingkat kepandaian pemuda berbaju kulit harimau itu. Jantara mundur dua tindak. Kembali disemburkan ludahnya yang telah bercampur dengan darah kental kehitaman. Dengan punggung tangan, diseka mulutnya yang berlumuran darah. Matanya agak membeliak melihat darahnya yang berwarna kehitaman.

"Kau... Kau memakai ilmu 'Pukulan Racun Hitam' Siapa kau sebenarnya?" keras suara Jantara, namun agak tersendat. Dia juga memeriksa bagian dadanya yang terkena pukulan ketika bentrok di udara tadi. Tampak di dadanya terdapat gambar berbentuk telapak tangan berwarna hitam.

"Rupanya kau masih penasaran juga, Jantara. Baiklah. Agar kau tidak mati penasaran, dengarkanlah baik-baik. Namaku, Bayu Putra tunggal Dewa Pedang. Aku datang dari Pulau Neraka" tegas kata-kata Bayu, pemuda gagah berbaju kulit harimau itu.

Jantara tidak dapat berkata-kata lagi. Sama sekali tidak disangka kalau pemuda yang berdiri di depannya adalah putra tunggal Dewa Pedang, ketua Padepokan Teratai Putih yang dihancurkan oleh dirinya bersama tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya.

"Dan semua ilmu yang kumiliki berasal dari Eyang Gardika, yang telah kau buntungi kedua kakinya dan kau butakan kedua matanya. Nah, Jantara. Apakah kau sudah puas?"

"Jadi..., Gardika masih hidup?" Jantara hampir tidak percaya mendengarnya.

"Sekarang dia telah mati setelah menurunkan semua ilmunya kepadaku. Dan sekarang aku muncul untuk membalas sakit hatinya mencari orang-orang sepertimu Juga, orang-orang yang menghancurkan keluargaku" dingin suara Bayu. Setelah berkata demikian, pemuda berbaju kulit harimau itu langsung menyerang Jantara.

Pertarungan sengit tak dapat dihindarkan lagi. Bayu benar-benar menurunkan tangan besi kepada orang tua yang bernama Jantara itu. Serangan-serangan yang dilancarkannya sangat berbahaya dan luar biasa dahsyatnya. Jantara dibuat jatuh bangun tanpa mampu memberi serangan balasan. Dalam beberapa jurus saja, kelihatan sekali Jantara telah terdesak. Melihat pemimpinnya kewalahan, empat orang anak buahnya yang masih tersisa langsung berlompatan menyerang Bayu. Mereka memang sudah biasa dengan pertarungan licik dan main keroyok. Hal ini tentu saja membuat Bayu geram.

"Bagus! Kalian memang anak buahku yang mengerti," gumam Jantara dalam hati. "Inilah kesempatan buatku...."

Di saat Bayu sibuk menghadapi keroyokan itu, tanpa menunggu waktu lagi Jantara segera melesat kabur. Namun perhatian Bayu tidak seluruhnya terpecah. Tindakan pengecut laki-laki tua itu langsung dapat dilihatnya.

"Jantara! Jangan lari kau, pengecut" geram Bayu. Secepat kilat pemuda itu mengibaskan tangan kanannya sambil merunduk menghindari tebasan pedang lawan. Benda yang bernama cakra itu melesat bagai kilat menuju ke arah larinya Jantara. Begitu cepatnya sehingga yang terlihat hanyalah secercah sinar keperakan bagai bintang jatuh dari langit.

"Sial! Hup" Jantara segera menjatuhkan tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun tak urung dia juga memekik sedikit. Punggungnya sempat tergores senjata cakra yang dilepaskan Bayu. Jantara masih bergulingan ketika senjata berbentuk lingkaran pipih dan bergigi bengkok berjumlah enam itu berputar kembali ke arah pemiliknya.

Tapp...!

Dengan manis Bayu melompat dan menangkap senjata maut andalannya itu. Sambil berputar dengan kedua tangan merentang, empat orang pengeroyoknya segera dibabatnya habis. Gerakan Bayu memang sulit untuk diikuti dengan mata. Akibatnya, empat orang pengeroyoknya jungkir-balik tak tertahan lagi. Jerit melengking saling susul terdengar, bersamaan dengan ambruknya empat tubuh dengan dada sobek mengucurkan darah.

Kesempatan yang sedikit itu, dimanfaatkan Jantara untuk melarikan diri. Dengan cepat dia bangkit dan berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Bayu yang melihat lawannya kabur dengan cara licik, jadi berhenti. Jantara berlari menuju dermaga tempat kapal besar dan mewah itu bersandar. Kapal itu kini sudah tidak memiliki tiang utama lagi. Bayu berdiri tegak. Matanya memandang tajam ke arah Jantara yang terus berlari cepat menuju kapal itu.

"Huh Pengecut.." dengus Bayu, tidak melanjutkan pengejarannya.

Jantara langsung ambruk ketika sampai di atas geladak kapal. Tokoh-tokoh sakti yang masih berada di atas kapal itu terkejut dan segera menghampiri. Demikian pula dengan Rengganis dan tiga orang pengawal setianya yang memang masih berada di geladak. Mereka semua terperanjat melihat keadaan Jantara yang babak-belur bersimbah darah.

"Paman Jantara Apa yang terjadi?" tanya Rengganis yang diliputi rasa kaget.

"Dia.... Dia dari Pulau Neraka...," sahut Jantara terputus-putus.

"Pulau Neraka...?"

Semua bergumam keheranan setengah tidak percaya. Mereka semua tahu kalau Pulau Neraka tidak berpenghuni, dan tidak ada seorang pun yang pernah keluar dari sana

"Siapa dia, Jantara?" tanya salah seorang yang bertubuh gemuk pendek dan berperut gendut.

"Bayu.... Dia bernama Bayu, putra Dewa Pedang," sahut Jantara terengah dan terputus-putus suaranya.

Tidak ada lagi yang bersuara. Mereka semua tidak percaya begitu saja. Rasanya tidak mungkin seorang bayi yang baru berumur beberapa hari, bisa hidup di pulau angker itu. Bahkan sekarang muncul dan bisa membuat Jantara, seorang tokoh sakti, babak-belur. Mereka memang tidak akan percaya kalau Jantara tidak melanjutkan.

"Di pulau itu Gardika masih hidup. Setelah ilmu-ilmunya diturunkan pada Bayu, baru dia mati. Hhh... sungguh dahsyat dan sadis. Enam orang anak buahku tewas...." Kata-kata Jantara terputus ketika terdengar suara siulan nyaring bernada aneh.

Siulan itu seolah-olah datang dari segala penjuru, dan mengandung kekuatan tenaga dalam yang amat luar biasa. Mereka yang memiliki tingkat kepandaian rendah, langsung menutup telinga. Sedangkan tokoh-tokoh sakti yang berjumlah tidak kurang dari lima belas orang, segera mengimbangi dengan mengerahkan tenaga dalam.

"Siapa pun kau adanya, keluar" bentak Rengganis keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi pula. Suara bentakan Rengganis langsung menghentikan siulan itu.

Sesaat suasana jadi sunyi menegangkan. Semua kepala menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber siulan tadi. Sementara Jantara sudah bisa bangkit dibantu beberapa orang. Tidak ada seorang pun yang berbicara. Semua diliputi suasana penuh ketegangan. Rengganis melangkah keluar dari kerumunan tokoh rimba persilatan lainnya. Dia berdiri tegak di tengah-tengah geladak kapal. Matanya tajam memandang ke sekelilingnya. Sementara Ganis, Ganang dan Gamar sudah bersiap-siap dengan senjata masing-masing, tidak jauh di belakang wanita itu.

"Bayu! Kalau kau ingin balas dendam, hadapilah aku. Aku yang bertanggung jawab. Keluarlah Bayu" seru Rengganis keras bergema.

Tidak ada sahutan sedikit pun. Kata-kata Rengganis hanya terbawa angin malam, dan hilang begitu saja bersama deburan ombak. Wanita itu tetap melayangkan pandangannya ke seluruh arah dengan tajam. Namun yang dilihat hanyalah kepekatan malam.

"Rengganis Awas..." tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras mengejutkan.

Tanpa berpikir panjang, Rengganis mencabut senjatanya berupa kipas baja putih yang terselip di pinggang begitu matanya melihat secercah cahaya keperakan meluncur deras ke arahnya.

Tring.

Rengganis tersentak ke belakang dua tindak. Wajahnya langsung memerah. Tangan kirinya memegangi pergelangan tangan kanannya yang seperti tersentuh ribuan lebah berbisa. Kipasnya terpental beberapa depa. Semua orang yang berada di atas geladak kapal terperangah melihat kipas baja putih kebanggaan Rengganis tergeletak di lantai geladak, tertancap sebuah bintang keperakan.

"Nyai! Ada suratnya" kata Gamar yang telah mengambil kipas dari lantai geladak.

Rengganis buru-buru menerima senjatanya dari tangan Gamar, dan langsung diselipkannya ke balik pinggang. Dia juga merebut secarik kain berwarna merah darah dengan tulisan dari tinta emas. Wajahnya langsung menegang dan merah sampai ke telinga setelah membaca tulisan di kain merah itu.

"Apa isinya, Rengganis?" tanya Jantara yang sudah menghampiri.

Rengganis tidak menjawab. Diserahkannya kain dengan tulisan dari tinta emas itu pada Jantara.

"Kutunggu kau di Pantai Selatan. Aku dari Pulau Neraka,"

Jantara membacakan tulisan yang tertera pada secarik kain merah itu. Jantara mengangkat kepalanya memandang Rengganis. Sinar matanya penuh dengan sejuta kata-kata, namun sulit untuk diucapkan. Jelas kalau tantangan itu ditujukan buat Rengganis. Tapi bukannya tidak mustahil. Mereka semua juga akan mendapatkan hal yang sama. Kini hanya tinggal waktu saja yang menentukan. Sementara Jantara yang sudah berhadapan dengan pemuda bernama Bayu itu jadi mencemaskan Rengganis.

Memang diakui kalau ilmu silat Rengganis lebih tinggi setingkat darinya. Tapi itu belum menjamin dapat menandingi orang yang mengaku dari Pulau Neraka itu. Jurus-jurus Gardika jadi lebih mantap dan sempurna di tangan Bayu. Hal ini sudah dapat dirasakan Jantara saat bertarung dengan pemuda itu.

"Aku akan menemuinya. Sebaiknya kalian semua meninggalkan kapal ini secepat mungkin," kata Rengganis mantap.

"Rengganis...," Jantara berusaha mencegah, namun tidak melanjutkan ucapannya.

"Paman. Dia mungkin hanya menginginkan aku saja. Aku memang harus bertanggung jawab. Semua ini memang kesalahan dan kecerobohanku," kata Rengganis memotong.

"Hati-hatilah," hanya itu yang bisa diucapkan Jantara.

Rengganis hanya tersenyum, dan melangkah meninggalkan kapal besar dan mewah itu. Tiga orang pengikut setianya menyertai dari belakang. Tidak ada seorang pun yang bisa mencegah. Mereka hanya memandangi saja dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

"Aku yakin, ini akan berbuntut panjang," gumam Jantara.

********************

TUJUH

Rengganis semakin jauh meninggalkan dermaga Pesisir Pantai Selatan. Dia terus berjalan diiringi tiga orang pengawalnya menuju tempat yang telah ditentukan dalam surat tantangan itu. Sementara orang orang yang masih berada di kapal, mulai meninggalkan tempat itu satu persatu. Dalam sekilas saja mereka sudah bisa mengerti, persoalan yang kini tengah dihadapi. Sementara Jantara masih berada di atas kapal. Matanya tidak lepas memandangi kepergian Rengganis. Bagaimanapun juga hatinya cemas, karena orang yang akan dihadapi wanita itu menyimpan dendam dan memiliki tingkat kepandaian yang sukar diukur.

"Kau Kelihatan gelisah sekali, Jantara."

"Oh" Jantara tersentak kaget. Buru-buru dia menoleh. Seketika jantungnya seperti berhenti berdetak Di tengah-tengah geladak kapal ini tiba-tiba sudah berdiri seorang pemuda gagah mengenakan baju dari kulit harimau.

Rambutnya yang panjang meriap melambai-lambai dipermainkan angin. Jantara mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak disangka kalau semua orang sudah meninggalkan kapal ini tanpa disadurinya. Jantara membeliak kaget begitu matanya melihat mayat-mayat bergelimpangan. Mayat-mayat itu adalah anak buahnya yang ditugaskan untuk menjaga kapal ini. Benar-benar sulit dipercaya, bagaimana pemuda itu melakukan tanpa diketahuinya? Kenyataan ini membuat Jantara gentar hatinya. Jelas, itu menandakan kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki tingkat kepandaian yang sungguh sulit dinilai.

"Dia memang cantik, Jantara. Tapi sayang, hatinya tidak secantik wajahnya," kata pemuda berbaju kulit harimau itu. Suaranya terdengar lirih tanpa nada.

Jantara tidak membuka suara sedikit pun. Dia melangkah mundur dengan bola mata berputar mencari celah untuk bisa lari dari maut. Di depan matanya, pemuda berbaju harimau itu bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawanya. Jantara langsung berbalik begitu kakinya menyentuh tangga. Dengan sisa-sisa keberaniannya, dia segera berlari cepat menuruni tangga menuju dermaga. Tapi begitu kakinya menginjak lantai dermaga, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah berada di depannya. Pemuda itu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.

"Kesempatanmu hanya sekali, Jantara." Setelah berkata demikian, pemuda berbaju kulit harimau tersebut mengebutkan kedua tangannya ke depan. Secercah sinar merah melesat cepat bagai kilat memburu ke arah Jantara.

Laki-laki tua itu buru buru menarik tubuhnya ke samping sambil menggeser kakinya sedikit. Cahaya merah itu meluncur di depan dadanya, dan langsung menghantam kapal besar mewah di belakangnya. Ledakan dahsyat terdengar menggelegar bersamaan dengan hancurnya kapal itu. Sehingga terjadi getaran bagai ada gempa. Akibatnya Jantara terpental jatuh bergulingan. Namun dia buru-buru bangkit berdiri. Harinya terkesiap melihat kapal besar dan mewah milik Rengganis hancur berkeping-keping bersama beberapa mayat di dalamnya.

"Uhg..." Mendadak saja Jantara terbatuk dan memuntahkan darah kehitaman. Dia langsung jatuh berlutut. Tangan kanannya menekan dada yang terasa sesak dan nyeri bagaikan tertusuk ribuan jarum. Jantara baru sadar kalau telah terkena pukulan beracun dalam pertarungannya tadi melawan pemuda itu. Kini racun di dalam tubuhnya mulai bekerja.

"Apa yang kau inginkan dariku, Bayu?" tanya Jantara bernada pasrah.

"Nyawamu," sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Bayu Hanggara.

Jantara bangkit pelahan-lahan. Kepalanya mulai pening, dan pandangannya berkunang-kunang. Tapi sebagai tokoh rimba persilatan yang sudah punya nama, dia tidak akan menyerah begitu saja, meskipun keadaannya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung. Racun dari jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang merasuk di tubuhnya sudah bekerja.

"Lakukanlah kalau kau mampu, Bayu" dengus Jantara menantang. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya. Cepat atau lambat dia akan mati. Tidak ada seorang pun yang selamat kalau sudah terkena racun dari 'Pukulan Racun Hitam'.

"Bagus Rupanya kau seorang yang ksatria juga, Jantara," Bayu tersenyum sinis.

"Hih" Jantara langsung mencabut senjatanya yang tinggal sebelah.

"Bersiaplah untuk mati, Jantara. "Hiyaaa..."

"Hup Hiyaaa..."

Pertarungan antara Jantara dan Bayu, si Pendekar dari Pulau Neraka tidak dapat dielakkan lagi. Meskipun Jantara dalam keadaan terluka. Namun masih mampu melayani sampai sepuluh jurus. Dan setelah lewat sepuluh jurus, baru kelihatan kalau Jantara tidak dapat lagi menandingi pemuda berbaju kulit harimau itu. Racun yang mengendap di dalam tubuhnya akibat 'Pukulan Racun Hitam', semakin meluas dan membuat tenaganya berkurang jauh. Pada suatu serangan yang cepat, Jantara tidak lagi mampu menghindar. Dia terjungkal sangat keras begitu tendangan geledek Bayu menghantam dadanya. Belum lagi Jantara mampu berdiri, kaki Bayu sudah menekan dadanya.

"Kau yang membuntungi kaki guruku, bukan? Kau tahu, bagaimana penderitaannya mempertahankan hidup dengan kedua kaki buntung?" dingin dan datar suara Bayu.

"Bunuh aku, Bayu" sentak Jantara putus asa.

"Terlalu nikmat kalau kau mati cepat, Jantara," sambut Bayu tersenyum sinis. Bayu memungut tongkat lawan yang tergeletak tidak jauh dari kakinya. Ditimang-timangnya tongkat pendek dengan ujung ujungnya berbentuk bulan sabit. "Kau akan menyesali perbuatanmu, Jantara. Telah kau hilangkan kedua kaki guruku. Sekarang, rasakanlah bagaimana kehilangan kedua kaki" kata Bayu tetap dingin suaranya. Jiwa dan sifatnya jadi terbentuk sangat sadis. Ini akibat didikan dari gurunya, dan dendam kesumat yang selalu membakar semangatnya selama mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari Eyang Gardika

"Tidak..." sentak Jantara bergetar.

Tanpa banyak bicara lagi, Bayu menggerakkan tangannya yang memegang tongkat lawannya, dan....

Cras Cras

"Aaakh..." Jantara menjerit keras. Darah langsung muncrat begitu kedua kaki laki-laki tua berjubah merah itu terpotong buntung sampai ke paha. Jantara meringis menggelepar-gelepar merasakan sakit yang amat sangat pada kedua kakinya.

"Bunuh-aku, Bayu! Bunuh aku... Jangan kau siksa aku seperti ini..," keluh Jantara.

"Kau merasa tersiksa, Jantara? Apa kau tidak berpikir ketika membuntungi kaki Eyang Gardika? Apa kau tidak merasa malu mengeroyok orang..."

"Bayu... Aku memang ikut mengeroyok Gardik. Tapi bukan aku yang membuntungi kakinya"

"Sama saja. Kau atau siapa saja yang berbuat, dimataku sama saja"

"Ohhh..." Jantara mengeluh lirih. Bibirnya meringis merasakan perih dan sakit pada kedua kakinya yang buntung.

"Camkan baik-baik, Jantara. Aku tahu siapa teman-temanmu yang berbuat keji pada guruku. Aku juga tahu siapa orang-orangnya yang telah berlaku licik dan kejam pada keluargaku. Ingat kata-kataku, Jantara. Sampai ke ujung dunia sekalipun, mereka tidak akan aman selama aku masih hidup"

"Jangan kau lakukan itu. Bayu. Cukup aku saja yang menanggung. Bunuh saja aku, Bayu. Bunuh aku...," keluh Jantara putus asa.

"Sayang sekali, kata-kataku tidak dapat dirubah. Dan kau terlalu enak kalau langsung mati, Jantara."

Jantara hanya bisa mengeluh lirih.

"Nah Sekarang giliran matamu" dengus Bayu dingin.

"Oh, tidak..." sentak Jantara berusaha menggeliat. Namun dalam keadaan tubuh yang lemah dan kekurangan banyak darah, Jantara benar-benar tidak punya daya sama sekali. Tanpa berkedip sedikit pun. Bayu menusuk kedua mata Jantara dengan tongkat ditangannya.

"Aaakh..." kembali Jantara memekik keras. Ditutupi mukanya dengan tangan. Darah merembes keluar dari sela-sela jarinya.

Bayu melangkah mundur dan membuang tongkat yang sudah berlumuran darah pemiliknya sendiri. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis melihat laki-laki tua berjubah merah itu menggelepar-gelepar sambil meraung kesakitan. Bayu benar-benar terbentuk menjadi seorang pendekar yang sadis. Dia sungguh ingin melampiaskan dendam kesumat atas hancurnya keluarganya dan sakit hati guru tunggalnya. Terlebih lagi ilmu yang dimilikinya sangat sadis dan mengerikan.

Lengkap sudah penderitaan Jantara. Racun dan jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang bersarang di tubuhnya sudah bekerja, dan lambat laun akan merenggut nyawanya. Penderitaan itu semakin bertambah dengan kehilangan kedua kaki dan sepasang matanya. Dalam ingatannya, kembali terbayang saat mengeroyok Gardika yang dianggap sebagai tokoh jahat yang sangat kejam dan tidak kenal ampun. Padahal dia sendiri bukanlah orang yang berjalan lurus. Saat itu dia hanya mencari muka agar dapat nama di rimba persilatan dengan ikut serta dalam rencana melenyapkan Gardika.

Dunia memang aneh. Dalam tokoh aliran hitam, orang-orang yang berjalan di jalan lurus dianggap sebagai ancaman jahat yang harus dimusnahkan. Begitu pula sebaliknya. Sampai pada hari ini, seluruh orang rimba persilatan belum mengetahui, Gardika berdiri di dalam golongan yang mana. Tindakannya sangat membingungkan. Kadang membantu yang lemah dan menumpas kejahatan, kadang pula di lain waktu malah memusuhi tokoh-tokoh rimba persilatan beraliran putih. Dalam keadaan begitu, kedudukan seorang tokoh yang berada di tengah-tengah memang memiliki musuh berlipat ganda. Semua orang bisa menjadi kawan, juga bisa menjadi lawan.

"Kau punya waktu tiga hari untuk hidup, Jantara Katakan pada semua teman-temanmu kalau aku akan datang membuat perhitungan pada mereka," kata Bayu tetap dingin suaranya.

Jantara tidak dapat berkata-kata lagi. Suara Bayu juga seperti antara terdengar dan tidak. Rasa sakit yang begitu kuat membuatnya jatuh pingsan. Jantara tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan ketika Bayu pergi meninggalkannya, dia juga tidak tahu lagi. Saat itu yang dirasakan dan diinginkan hanyalah satu, mati...

********************

Lama juga Jantara tidak sadarkan diri. Sebelum matahari terbit, laki-laki tua berjubah merah yang kedua kakinya sudah buntung itu mulai bergerak-gerak. Suara erangan terdengar lirih dari mulutnya. Darah mulai membeku. Tangannya menggapai-gapai sambil menyeret tubuhnya yang lemah.

"Oh, Tuhan... kenapa kau tidak cabut saja nyawaku? Kenapa kau beri aku siksaan begitu berat...?" rintih Jantara lirih. Sambil menahan sakit dan perih, Jantara terus merayap menggapai-gapai. Dia berhenti merayap ketika tangannya menyentuh sebatang tongkat pendek berujung bulan sabit. Jantara meraih senjata tongkatnya itu. Digenggamnya erat-erat tongkat itu dengan tangan gemetaran.

"Hidupku memang penuh berlumur dosa. Tapi, aku tidak ingin hidup menderita dan terhina. Tuhan..., akhirilah hidupku...," kembali Jantara merintih lirih.

Pelahan-lahan tangannya terangkat tinggi. Ujung tongkat berbentuk bulan sabit diarahkan ke dadanya. Sambil mengatupkan rahang rapat-rapat, Jantata menikam dadanya sendiri dengan senjatanya. Keluhan kecil terdengar, lalu tubuhnya terkulai lemah dengan dada tertembus tongkat pendek senjata andalannya sendiri. Darah kembali mengucur dengan deras dari dada yang tertembus tongkat pendek.

Pada saat itu tampak empat orang berlari-lari kecil menuju ke arah tubuh Jantara yang sudah tidak bernyawa lagi. Mereka adalah Rengganis dan tiga orang pengawal setianya. Wanita berbaju hijau yang masih kelihatan cantik itu langsung memburu dan menubruk tubuh jantara.

"Paman... Apa yang terjadi...?" sentak Rengganis seraya mengangkat tubuh Jantara ke atas pangkuannya. Rengganis hampir tidak percaya melihat keadaan tubuh laki-laki tua berjubah merah itu. Keadaannya sungguh mengenaskan. Tanpa disadari, setitik air bening menggulir di pipi yang putih kemerahan. Ya... Rengganis, wanita yang tegar dan berilmu tinggi itu menangisi kepergian laki-laki tua yang dipanggil paman itu.

"Siapa yang melakukan ini padamu, Paman? Katakan Siapa...?" tanya Rengganis dengan suara tersendat.

Rengganis mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung menembus tiga orang laki-laki bersaudara yang berdiri saja di depannya dengan wajah tertunduk. Mata wanita itu beralih menatap kapal besar dan mewah yang sudah hancur berkeping-keping. Api masih terlihat dari puing-puing yang berserakan dipermainkan ombak. Tidak tahu lagi, perasaan apa yang berkecamuk di dalam dadanya. Pelahan-lahan ia berdiri mengangkat tubuh Jantara yang sudah kaku itu. Sebentar Rengganis berdiri tegak membopong tubuh yang sudah tidak utuh lagi itu. Pandangannya lurus menatap ke tengah laut lepas. Air bening masih menitik turun di pipinya yang kemerahan. Pelahanlahan dia berbalik dan melangkah meninggalkan dermaga itu.

"Nyai, pasti ini perbuatan Pendekar Pulau Neraka itu," kata Gamar.

Rengganis hanya diam saja. Kakinya terus melangkah pelan-pelan dengan pandangan ke depan. Dia seperti tidak mendengar kata-kata Gamar.

"Benar-benar licik. Dia sengaja memancing kita menjauhi dermaga" kata Ganang agak menggeram.

"Nyai, akan kau bawa ke mana mayat itu" tanya Ganis.

Rengganis berhenti melangkah. Dia berbalik dan menatap tajam pada Ganis. Kata-kata lelaki itu seperti menyentakkan hatinya. Yang ditatap hanya menundukkan kepala saja.

"Kalian siapkan kereta. Aku akan membawa jenazahnya ke makam keluarga" perintah Rengganis tegas.

"Nyai...," Ganis ingin membantah.

"Kalian tahu, Paman Jantara adalah adik sepupu ibuku. Dia harus dimakamkan dekat keluarganya," kata Rengganis datar.

Ganis, Gamar dan Ganang hanya bisa diam. Mereka baru tahu kalau Jantara atau si Tongkat Samber Nyawa adalah benar-benar paman sedarah junjungannya ini. Pantas saja laki-laki berjubah merah itu selalu mengkhawatirkan Rengganis. Dan tampaknya Rengganis juga begitu menghormatinya. Padahal mereka semua tahu kalau tingkat kepandaian Rengganis satu tingkat di atas si Tongkat Samber Nyawa. Rupanya mereka masih ada kaitan darah keturunan. Ganis tidak membantah lagi. Segera dijak kedua adiknya mempersiapkan kereta kuda yang terpancang di samping sebuah kedai tidak jauh dari dermaga. Sedangkan Rengganis kembali melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Sedikit pun ia tidak mengetahui kalau dari tempat tersembunyi sepasang mata tajam mengawasi gerak-geriknya sejak tadi.

********************

Hampir satu harian Rengganis berdiri mematung di depan makam Jantara. Pandangan matanya kosong menatap lurus kepada gundukan tanah merah di ujung kakinya. Sementara tiga saudara yang mengawalnya, berdiri agak jauh memperhatikan. Rengganis mendesah panjang sambil mengangkat kepalanya. Dia menoleh dan menatap pada tiga orang laki-laki yang menanti dengan setia di bawah pohon rindang.

"Apa yang harus kami kerjakan, Nyai?" tanya Ganis seraya mendekat diikuti kedua adiknya.

Rengganis tidak menyahut, tetapi hanya berbalik dan mengayunkan langkahnya meninggalkan pusara Jantara. Dirinya sendiri tidak tahu lagi, apa yang harus dikerjakan. Mereka semua belum pernah bertemu dengan pemuda yang bernama Bayu, putra tunggal Dewa Pedang yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Yang membuat Rengganis sulit menentukan langkah selanjutnya adalah ketidaktahuannya tentang pemuda yang muncul ingin membalas dendam itu. Kemunculannya yang pertama sudah membawa korban tidak sedikit. Dia dapat mengalahkan Jantara dengan mudah. Jelas tingkat kepandaiannya tinggi sekali.

"Apa tidak sebaiknya kita mendahului daripada didahului, Nyai," kata Ganis mengusulkan.

"Maksudmu?" tanya Rengganis tetap melangkah tanpa menoleh sedikit pun.

"Kita harus mencari dan menemuinya lebih dahulu," Ganis menjelaskan. "Aku rasa kita berempat mampu menandinginya."

"Tidak semudah itu, Ganis. Sampai saat ini belum ada seorang pun yang tahu, siapa dan bagaimana rupanya," sahut Rengganis pelan.

"Rasanya tidak begitu sulit, Nyai," celetuk Gamar.

Rengganis berhenti melangkah dan memandang Gamar.

"Bukankah Paman Jantara pernah mengatakan kalau pemuda itu membawa senjata aneh berbentuk cakra? Dan dia juga mengenakan baju dari kulit harimau. Tidak sulit mencari orang dengan ciri-ciri seperti itu, Nyai," lanjut Gamar.

"Dunia ini luas, Kakang Gamar," selak Ganang. "Ciri-cirinya memang menyolok dan mudah dikenali. Tapi di mana kita harus mencarinya?"

Tidak ada yang menjawab. Semua terdiam dengan pikiran masing-masing. Posisi mereka saat ini tidak lebih dari binatang buruan. Maut setiap saat datang menjemput. Sekeliling mereka sudah terselimut hawa maut. Setiap saat Pendekar Pulau Neraka yang menyeramkan itu bisa muncul mencabut nyawa mereka. Satu posisi yang benar-benar tidak menguntungkan sama sekali.

"Sudahlah! Tidak perlu kalian ikut sibuk memikirkan orang itu. Kita tunggu saja. Kalau dia muncul, kita sambut. Kalau dia menginginkan main kucing-kucingan, usahakan jangan jadi tikus," kata Rengganis.

"Kalian memang sudah jadi tikus...!"

Rengganis dan tiga orang pengikut setianya terkejut mendengar suara yang menggema. Kata kata itu demikian jelas terdengar, seolah-olah datang dari segala penjuru. Belum lagi hilang gema suara itu, muncul lagi suara siulan panjang bernada tinggi melengking. Siulan yang mengandung tenaga dalam, dan mampu membuat gendang telinga pecah. Rengganis buru-buru mengerahkan hawa murni dan menutup telinganya dengan menyalurkan tenaga dalam. Sementara ketiga bersaudara itu sudah kelihatan sibuk menutup telinga dengan tangan. Suara siulan itu semakin terdengar menyakitkan.

"Salurkan hawa murni kalian. Tutup dengan tenaga dalam," perintah Rengganis.

Ketiga bersaudara itu segera mengikuti kata-kata junjungannya. Namun ilmu tenaga dalam mereka memang masih kalah jauh, sehingga usaha mereka sia-sia saja. Bahkan kini keadaan jadi bertambah buruk lagi. Ganang yang lebih muda sudah menggelepar di tanah. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengucur darah. Keadaan kedua kakaknya tidak kalah parahnya. Mereka seperti kehabisan napas karena memaksakan diri mengerahkan tenaga dalam dengan menutup gendang telinga.

"Hiyaaa..." Tiba-tiba saja Rengganis berteriak nyaring seraya mencabut kipas kembarnya. Dengan cepat dikebut-kebutkan kipas itu ke depan dan ke atas. Saat itu juga di sekitar mereka bertiup angin keras menderu-deru. Dan bersamaan dengan menghilangnya suara siulan melengking tinggi, meluncur sebuah benda berwarna keperakan ke arah wanita cantik berbaju hijau itu. Benda pipih bagai piring itu mendesing ke arah Rengganis.

"Hait..." Rengganis melentingkan tubuhnya ke udara sambil mengipaskan kipas baja putihnya menyampok benda pipih seperti piring itu. Namun tanpa diduga sama sekali, benda itu bisa berputar menghindar dan berbalik arah. Buru-buru Rengganis meluruk jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali sebelum bangkit berdiri.

"Hehhh..." hembusan napas panjang terdengar. Rengganis berdiri tegak dengan sepasang kipas baja menyilang terbuka di depan dada. Matanya tajam menatap seorang laki-laki muda dan gagah berbaju kulit harimau. Di tangan kanannya menggenggam sebuah benda bulat pipih dengan sekelilingnya bergerigi bengkok berjumlah enam buah.

Sementara tiga saudara yang tergeletak di tanah sudah mulai bangkit berdiri. Mereka langsung bergerak seperti melindungi junjungannya. Sepertinya mereka tidak peduli dengan kondisi tubuh yang sudah tidak prima lagi. Siulan panjang melengking tadi benar-benar menguras tenaga dalam dan kekuatan. Darah masih tampak mengucur dari hidung, mulut, dan telinga.

"Kau yang bernama Bayu, Pendekar Pulau Neraka itu?" tanya Rengganis ketus.

"Benar! Aku datang untuk menagih hutang padamu," sahut pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Hm... rasanya kita belum pernah bertemu sebelumnya. Hutang apa yang harus kubayar?"

"Nyawa...!"

Rengganis mengerutkan keningnya. Dia memang sudah mendengarnya dari Paman Jantara. Tapi dia belum yakin kalau bayi yang baru berumur beberapa hari bisa hidup di pulau angker yang tidak pernah terjamah manusia itu. Rengganis ingat. Ketika bayi itu diberi nama, di dada sebelah kiri digambar sekuntum bunga teratai sebagai keturunan Dewa Pedang, ahli waris Padepokan Teratai Putih. Kening wanita itu kembali berkerut melihat gambar bunga teratai tertera pada dada sebelah kiri pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Tidak dapat disangka lagi, pemuda itu memang benar putra Dewa Pedang yang berhasil dibawa lari ke Pulau Neraka oleh salah seorang murid setia Padepokan Teratai Putih. Kini pemuda itu sudah menjelma menjadi seorang pemuda gagah dan tampan dengan membawa sejuta dendam di hatinya. Tatapannya saja sangat sadis dan kejam.

"Baiklah, kalau kau ingin membalas kematian Ayah dan Ibumu, aku tidak akan lari menghindar. Semua memang tanggung jawabku. Tapi perlu kau ketahui, Bayu. Sejak peristiwa itu aku selalu dihantui perasaan bersalah. Oleh sebab itu aku setiap tahun selalu memperingatinya. Sudah banyak orang yang aku perintahkan mencarimu ke Pulau Neraka dengan hadiah tinggi. Tapi tidak ada seorang pun yang menyanggupi. Aku khilaf waktu itu, Bayu. Aku terlalu dipengaruhi hawa nafsu dan dendam. Nah, sekarang kalau kau ingin menagih hutang, aku akan membayarnya," kata Rengganis.

"Sungguh manis kata-katamu, Rengganis. Sayang sekali, ucapanku tidak mungkin dicabut kembali. Hutang nyawa harus dibayar nyawa," sahut Bayu dingin.

"Aku tidak akan melawan, Bayu. Aku memang harus menebusnya dengan nyawa," kata Rengganis yang memang menyesali tindakannya setelah tahu kalau yang membantai keluarganya bukan Dewa Pedang, tapi malah pamannya sendiri.

"Bedebah! Kau pikir aku akan mengampunimu, Perempuan Setan. Jangan harap. Kau harus bertarung sampai di antara kita ada yang tewas" geram Bayu.

"Kau yang meminta, Bayu. Dan aku tidak bisa menolak..."

"Jangan banyak omong Ayo, kita bertarung sampai mati"

"Aku terima tantanganmu."


DELAPAN

Bayu mencabut senjatanya yang berbentuk cakra bersegi enam dari pergelangan tangan kanan. Digenggamnya senjata itu dengan tangan kiri pada salah satu ujungnya. Sepasang matanya menatap tajam, lurus ke bola mata wanita cantik berbaju hijau di depannya. Sedikit pun tidak dipedulikannya tiga laki-laki yang sudah menghunus senjata masing-masing.

"Kenapa diam? Hayo serang aku, Putra Dewa Pedang" seru Rengganis memanaskan.

Bayu masih tetap diam, berdiri tegak. Sepertinya dia ragu-ragu untuk menyerang lebih dulu. Matanya tetap menatap tajam, namun sinarnya tidak lagi menyala seperti semula. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya diliputi kebimbangan. Dari keterangan yang telah diperolehnya, pembunuh kedua orang tuanya bukan Rengganis. Tidak ada yang tahu siapa orangnya, namun otaknya jelas wanita itu. Wanita yang seharusnya dihormati. Karena bagaimanapun juga Rengganis adalah istri ayahnya. Itu berarti ibu tirinya juga.

Pelahan-lahan Bayu menempelkan kembali senjatanya ke pergelangan tangannya yang terbalut kulit harimau dan sebentuk gelang berwarna perak. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa rasa dendam dan ke benciannya mendadak saja pudar. Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik dan melangkah pergi. Sementara tiga orang bersaudara saling pandang. Dan tanpa menunggu perintah lagi, mereka berlompatan sambil mengebutkan senjata masing-masing. Desiran angin yang halus membuat Bayu kembali berbalik, lalu secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan.

Wuttt!

Senjata cakra di pergelangan tangan langsung melesat bagai kilat. Hal ini membuat Ganis yang berada paling dekat jadi terpengaruh. Buru-buru dikibaskan senjatanya, tapi gerakannya kalah cepat. Senjata cakra yang telah meluncur itu lebih cepat lagi menghujam dadanya.

"Aaakh..." Ganis memekik nyaring. Bersamaan dengan terjengkangnya tubuh Ganis, senjata cakra itu kembali melesat pada pemiliknya. Dan dengan cepat pula Bayu mengibaskan tangan kanannya.

"Hiya,.." Secepat senjata cakra itu melesat kembali, secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka melenting sambil menghantamkan tangannya ke dada Ganang dan Gamar.

Serangan pemuda berbaju kulit harimau itu demikian cepat dan sulit diikuti oleh mata biasa. Mereka tidak sempat berkelit lagi. Dua jeritan panjang terdengar saling susul. Tidak lama kemudian, Ganang dan Gamar terjembab tak bernyawa lagi. Bayu berdiri tegak di antara tiga tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Tatapan matanya tajam menusuk ke bola mata Rengganis yang tetap berdiri menyaksikan.

Namun dari sinar mata wanita itu tersirat suatu perasaan kaget bercampur kagum. Betapa tidak? Hanya dua kali gerakan saja, tiga orang pengawal setianya roboh tanpa mampu memberi perlawanan sedikit pun. Mereka memang dalam keadaan terluka dalam akibat tidak mampu menahan serangan suara tenaga dalam melalui siulan yang dikeluarkan Bayu tadi. Tapi, rasanya sulit dipercaya kalau mereka dapat ditewaskan dalam waktu yang begitu cepat.

"Kau benar-benar licik, Rengganis" ketus suara Bayu.

"Mereka pengikut setiaku. Perbuatan mereka hanya untuk melindungiku," kata Rengganis kalem.

"Dengan cara membokong? Ck..., ck..., ck...," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Rengganis diam saja. Memang diakui, perbuatan ketiga pengawal setianya adalah licik dan tidak ksatria. Tapi dia tidak mungkin menyalahkan tiga bersaudara itu. Dia tahu, perbuatan itu dilakukan karena rasa tanggung jawab dan pengabdian mereka. Kejadian itu membuat mata Rengganis terbuka. Dia seperti baru menyadari arti kesetiaan dan pengabdian. Dan yang dilakukan Dewa Pedang memburu keluarganya ketika menjadi panglima perang, adalah semata-mata karena tugas dan pengabdiannya.

Namun semua itu telah dikotori oleh hati busuk yang hanya mementingkan pribadi. Kedudukan, kemuliaan, dan harta dunia memang bisa membuat mata hari tertutup. Begitu pula dengan dendam yang juga dapat membutakan mata hati. Rengganis merasa dirinya baru saja terbangun dari mimpi panjang. Dia seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidak pernah digunakan untuk kebaikan selama puluhan tahun. Semua yang dimilikinya hanya digunakan untuk membunuh dan memberantas orang-orang tidak bersalah. Kini semua perbuatannya harus ditanggungnya sendiri. Bahkan mereka yang hanya ikut-ikutan saja, juga harus menanggung akibatnya. Kemunculan Pendekar Pulau Neraka merupakan awal dari kesadaran pribadinya.

"Cabut senjatamu, Rengganis" bentak Bayu.

Rengganis kembali mencabut senjata andalannya berupa sepasang kipas baja putih yang telah diselipkan di balik ikat pinggangnya. Dia memang tidak punya pilihan lain, dan mau tidak mau harus bertarung melawan anak tirinya sendiri.

"Tadinya aku akan melupakanmu, Rengganis. Kau adalah istri ayahku juga. Tapi...," Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melihat tiga mayat yang terbujur tak tentu arah di dekatnya.

"Aku akan lebih merasa berdosa jika kau ampuni, Bayu," sahut Rengganis kalem dan tegas.

"Oh..., tidak kusangka! Wanita sepertimu kenal dosa juga," suara Bayu terdengar sinis.

"Cukup, Bayu Aku tidak perlu ejekanmu. Ayo, kita bertarung sampai mati" sentak Rengganis. Rupanya dia tidak tahan juga mendengar ejekan bayu.

Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir menyunggingkan senyuman sinis. Terlihat adanya kepasrahan dan sikap mengalah dari sinar mata wanita itu, meskipun ditutupi dengan kata-kata ketus dan tegas.

"Ayo, Bayu! Kenapa diam?" Rengganis jadi kesal juga melihat sikap Bayu.

"Kau akan mati, Rengganis. Tapi aku ingin melihat penderitaanmu dulu," jawab Bayu dingin.

"Mati pun tidak akan kusesali. Bayu."

"Ya, karena kau sudah pasrah."

"Tidak! Hiyaaa..."

Kata-kata Bayu yang membuat panas telinga membuat Rengganis semakin tersinggung dan marah, semua perbuatannya memang telah disesali dan diakui. Tapi dia pantang dihina dan direndahkan begitu saja. Telinganya terasa panas mendengar kata-kata penuh sindiran dan ejekan pemuda berbaju kulit harimau itu. Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi.

Tapi Bayu malah tersenyum sinis. Dalam beberapa jurus saja, sudah dapat ditebak kalau Rengganis sengaja membuka pertahanannya. Rengganis memang menyerang dengan ganas dan dahsyat, tapi tidak menghiraukan pertahanan. Bahkan sengaja membuka pertahanannya lebar-lebar.

"Kau hanya bunuh diri saja, Rengganis," kata Bayu sambi berkelit menghindari serangan wanita itu.

"Jangan banyak omong. Serang aku" dengus Rengganis kesal melihat lawannya hanya menghindar saja tanpa ada keinginan untuk balas menyerang.

"Tidak! Sebelum kau sungguh-sungguh bertarung, Rengganis."

Merah padam muka Rengganis. Dia sungguh malu luar biasa. Ternyata lawan telah mengetahui kalau dia bertarung tidak sungguh-sungguh. Bahkan sengaja memberi peluang besar dengan membuka pertahanannya. Tidak ada yang dapat dilakukan Rengganis saat ini. Dia harus bertarung secara sungguh-sungguh. Dalam hati, dikaguminya sikap satria Bayu yang ingin bertarung dengan lawan yang benar-benar siap.

"Hup" Bayu menggeser kakinya ke kanan ketika satu kibasan kipas di tangan kanan Rengganis hampir membelah dadanya. Bayu mencoba menyodok iga wanita itu dengan tangan kirinya. Namun tanpa diduga sama sekali kipas baja putih di tangan kiri Rengganis bergerak cepat menyampok.

"Uts" Buru-buru Bayu menarik kembali tangannya, lalu melentingkan tubuh sambil berputar ke belakang begitu sebuah kipas lainnya mengibas ke arah leher. Bayu belum sempat mengambil posisi, datang lagi serangan beruntun dari dua penjuru. Buru-buru ditarik mundur kepalanya sambil mengangkat tangan kanannya memapak serangan dahsyat kipas baja putih itu.

Tring!

Rengganis buru-buru menarik tangannya saat ujung senjata kipasnya membentur pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Seluruh tangannya bergetar bagai tersengat ribuan lebah. Sedangkan Bayu sedikit pun tidak merasakan apa-apa, bahkan langsung memberikan serangan balasan dengan cepat.

"Bagus! Hup, hiyaaa..." Rengganis gembira melihat lawannya sudah mulai memberikan serangan balasan.

Kini pertarungan berjalan sungguh-sungguh dan dahsyat. Masing-masing memberikan serangan yang mematikan. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan puluhan jurus, namun belum ada tanda-tanda yang terdesak. Rengganis sadar kalau tenaga dalamnya masih berada di bawah lawannya. Hal ini terbukti ketika senjatanya beradu dengan senjata Pendekar Pulau Neraka yang menempel di pergelangan tangan kanan. Namun dia tidak jera juga, bahkan terus membenturkan senjatanya ke pergelangan tangan kanan lawannya. Akibatnya, dia selalu membuka pertahanan, dan itu sangat membahayakan jiwanya sendiri.

Meskipun demikian, nampaknya Bayu tidak mau memanfaatkan kelengahan lawan. Hal ini membuat Rengganis semakin berang. Dia merasa seolah-olah Bayu sengaja mempermainkannya. Selama hidupnya, belum pernah dia dipermainkan seseorang sedemikian rupa. Keberangan hatinya membuat Rengganis semakin memperhebat serangan. Tidak disadarinya kalau hal ini justru yang diharapkan Bayu.

Keadaan sekitar pertarungan telah porak-poranda. Batu-batu hancur berkeping-keping. Pepohonan tumbang tak tentu arah. Sementara pertarungan berjalan semakin sengit. Berpuluh-puluh jurus sudah dilalui, belum ada tanda-tanda akan berakhir. Matahari pun semakin tinggi. Sinarnya yang terik tidak dihiraukan lagi.

"Huh! Anak ini benar-benar alot" dengus Rengganis dalam hati.

"Tidak kusangka Wanita ini tangguh juga," gumam Bayu dalam hati.

Mereka memang sama-sama tangguh. Bayu melompat keluar dari arena pertarungan. Keringat mengucur deras dari seluruh tubuhnya. Sebentar ditariknya nafas panjang, lalu dengan cepat tangan kanannya menghentak ke depan. Saat itu juga senjata cakra yang ada di pergelangan tangan kanannya melesat cepat bagai kilat. Rengganis mengangkat tangan dan membuka kipas sambil memiringkan tubuh ke kiri. Dengan senjata kipas baja putihnya ditangkis senjata cakra itu.

Tring!

Rengganis terkejut dan langsung melompat mundur. Kipas di tangannya terpental saat membentur cakra yang melesat cepat itu. Belum lagi hilang rasa kagetnya, cakra itu berbalik berputar dan kembali menyerangnya dengan cepat. Mau tidak mau, wanita itu membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali sebelum melesat bangun. Pada saat yang tepat, Bayu melompat cepat dan menangkap senjatanya di udara. Sebelum Rengganis benar-benar siap, Pendekar Pulau Neraka itu sudah meluruk ke arahnya sambil mengibaskan tangannya.

"Ah..." Rengganis memekik terkejut. Buru-buru diegoskan tubuhnya ke samping menghindari terjangan bagai kilat itu. Namun yang terjadi adalah...

"Akh" pekikan tertahan terlontar dari mulut wanita itu. Rengganis menekan bahu kirinya yang tergores ujung cakra di tangan Bayu. Dan di saat tubuhnya limbung, satu pukulan keras menghantam dadanya. Tak pelak lagi, tubuh ramping berbalut baju hijau itu terlontar ke belakang beberapa depa.

"Saatmu sudah tiba, Rengganis" seru Bayu keras. Seketika itu juga Bayu menghentakkan tangannya, dan senjata di tangan kembali terlontar cepat dengan suaranya yang mendesing membelah udara.

Rengganis terperangah sesaat, lalu cepat-cepat dilentingkannya tubuhnya ke atas. Namun tanpa diduga sama sekali, Pendekar Pulau Neraka itu melesat, sambil mendorong tangan kanannya dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Racun Hitam' Rengganis yang sedang menghindari serangan cakra, tidak dapat lagi berkelit. Dengan telak dadanya kembali terhantam pukulan telapak tangan lawannya. Akibatnya deras sekali tubuh Rengganis meluncur menghunjam ke tanah.

Bayu meluruk turun setelah senjatanya menempel kembali dipergelangan tangan kanan. Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Sementara Rengganis berusaha bangun. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental kehitaman. Pada bagian dadanya tergambar telapak tangan berwarna hitam menghanguskan bajunya. Dua kali dia terbatuk dan memuntahkan darah kental kehitaman. Dengan terhuyung-huyung, wanita cantik berbaju hijau itu berdiri.

"Kau hebat. Bayu. Ayahmu pasti bangga kepadamu," kata Rengganis memaksakan untuk berdiri tegap.

"Terima kasih atas pujianmu, Rengganis. Tapi sayang, ajalmu sudah dekat," sahut Bayu sinis.

"Aku akan mati tersenyum. Bayu."

Bayu hanya tersenyum sinis. Dan tanpa memicingkan mata sedikit pun, dihentakkan tangan kanannya. Rengganis tetap berdiri tegak tak bergeming. Dia hanya menatap saja senjata bulat pipih yang mendesing cepat ke arahnya. Tentu saja hal ini membuat Bayu terperangah. Tidak disangka kalau wanita itu menjadi pasrah, dan tidak melakukan perlawanan lagi. Kelihatannya nekat sekali. Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu mengempos tubuhnya. Dia melesat cepat mengejar senjatanya yang sudah melayang bagaikan kilat kearah Rengganis. Tapi tindakannya terlambat....

"Aaakh" Rengganis menjerit menyayat. Sebentar tubuhnya masih berdiri tegak, lalu limbung, tak lama kemudian tubuhnya ambruk ke tanah dengan cakra tertanam dalam di dadanya.

Bayu langsung menubruk dan mencabut senjatanya dari dada wanita itu. Diangkatnya tubuh Rengganis dan diletakkan di pangkuannya.

"Oh..., Bayu.. ," lemah dan lirih suara Rengganis.

"Tidak... Aku..., aku tidak bermaksud membunuhmu. Kau... Kau ibuku...," suara Bayu tersendat.

"Aku bukan ibumu. Bayu. Aku pembunuh ibu dan ayahmu. Aku memang pantas mati di tanganmu."

Bayu meletakkan tubuh Rengganis di atas rerumputan, kemudian berdiri dan melangkah mundur beberapa tindak. Kepalanya menggeleng-geleng. Pandangannya seperti orang yang tidak percaya dengan perbuatannya sendiri.

"Kau..., kau.... Tidak! Katakan padaku... Kau bukan pembunuh orang tuaku.. Katakan! Siapa yang membunuh orang tuaku?" sentak Bayu seolah olah kehilangan akal.

"Aku yang membunuh mereka, Bayu. Aku yang merencanakan semuanya. Aku tidak tahu. Aku khilaf. Mata hatiku tertutup mendengar cerita mereka yang..., ah"

"Katakan Siapa mereka?" desak Bayu.

"Mereka.... Ugh, ugh..."

Bayu kembali mendekat, dan berlutut di samping wanita yang tengah sekarat itu. Dia memang telah memiliki banyak keterangan tentang wanita ini. Bayu memang tidak yakin kalau perbuatan Rengganis dalam keadaan sadar. Pasti akibat hasutan dari orang lain. Hati pemuda itu jadi berperang sendiri. Bagaimanapun juga, Rengganis adalah istri ayahnya, yang berarti juga ibu tirinya.

"Katakan padaku, Bibi. Siapa mereka?" desak Bayu.

"Kau..., kau memanggilku Bibi, Bayu?" wajah Rengganis langsung berubah cerah. Namun pandangan matanya seperti tidak percaya dengan pendengarannya.

"Katakan padaku, Bibi. Siapa yang menghasutmu? Katakan, Bibi" desak Bayu.

"Bayu...," desah Rengganis bahagia mendengar dirinya dipanggil bibi oleh pemuda ini.

Bayu membiarkan saja tangannya digenggam. Juga dibiarkan saja tangannya diciumi wanita itu. Mereka memang bermusuhan. Tapi, mereka juga tidak bisa memungkiri tali ikatan yang ada pada diri mereka. Rasa dendam, sakit hati, dan kebencian, seketika luntur diterjang perasaan haru yang begitu kuat mendesak.

"Bibi.." sentak Bayu saat wanita itu mengejang.

"Bayu, maafkan aku...," lirih dan tersendat suara Rengganis.

Bayu menggigit-gigit bibirnya sendiri menahan sesuatu yang hampir meledak dari dalam dadanya. Kedua bola matanya berkaca-kaca memandangi wajah Rengganis yang semakin pucat membiru.

"Bayu..., setelah kuketahui ayahmu tidak bersalah, aku selalu dihantui perasaan berdosa yang tidak terampuni. Mereka memang jahat dengan memanfaatkan aku untuk membalas sakit hati dan dendam pribadi mereka, jumlah mereka banyak, Bayu. Aku memang bodoh, aku tidak tahu kalau aku hanya dijadikan alat dan boneka pancingan. Aku menyesal Bayu. Maafkan aku...," semakin lemah dan lirih suara Rengganis.

"Bibi..," ujar Bayu tersentak.

"Mereka semua sangat tangguh. Aku tidak berdaya. Aku tidak mampu menandinginya. Bayu. Maukah kau membalaskan sakit hatiku? Maukah kau menghancurkan mereka?"

Bayu mengangguk. "Terima kasih, Bayu...."

"Bibi..." Rengganis tersenyum dan pelahan-lahan matanya terpejam.

"Bibi..., katakan! Siapa mereka? Aku nanti pasti akan membalas sakit hatimu. Katakan, siapa mereka...?" Bayu menggoyang-goyang tubuh Rengganis.

Tapi wanita itu sudah tidak bergerak lagi. Rengganis telah menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan bibir tersenyum. Bayu tidak mampu lagi menguasai diri dan perasaannya. Dipeluknya tubuh wanita itu. Dan tanpa dapat dibendung lagi, air matanya menitik pelahan. Kebencian dan kesadisannya hilang sejenak. Tatapannya pun lesu.

********************

Seharian penuh Bayu duduk mencangkung di atas batu hitam. Tidak jauh di depannya tampak gundukan tanah merah yang masih baru. Hanya sebuah batu sebesar kepala yang menandakan kalau gundukan tanah merah itu adalah sebuah makam yang masih baru. Kesanalah pandangan mata pemuda berbaju kulit harimau itu menatap. Desahan napas panjang terdengar. Dari balik saku ikat pinggangnya dikeluarkannya secarik kain merah muda penuh dengan tulisan darah yang telah kering. Tatapannya beralih pada secarik kain itu.

"Aku harus mencari mereka. Ya..., harus..." desahnya bergumam. Pelahan-lahan pemuda berbaju kulit harimau itu bangkit berdiri. Sebentar matanya menatap ke arah depannya, kemudian dimasukkan kain merah muda ke dalam ikat pinggangnya. Kembali dia mendesah panjang dan terdengar berat. Pelahan-lahan kakinya terayun ke arah matahari terbenam.

"Sayang, Bibi Rengganis tidak memberi banyak keterangan. Biarpun jumlah mereka banyak, aku harus mencari mereka dan membuat perhitungan yang setimpal. Mereka pasti orang-orang yang kejam. Hmmm..., aku juga tidak akan bermurah hati. Siapapun orang yang berbuat kejam didepanku, harus mati. Ya..., mati..." gumam Bayu mendesis.

Pada saat itu di atas kepalanya melintas seekor burung. Sejenak Bayu menatap burung itu, lalu tangan kanannya menghentak ke atas. Cakra, di pergelangan tangannya langsung melesat cepat bagai kilat. Tak ampun lagi, burung yang tengah terbang bebas itu meluruk jatuh begitu lehernya terpenggal. Bayu mengangkat tangan kanannya, maka cakra itu kembali menempel di pergelangan tangannya. Dia membungkuk dan memungut bangkai burung yang masih mengeluarkan darah segar dan hangat. Dipandanginya leher binatang malang itu. Leher yang sudah tidak memiliki kepala lagi.

"Tunggulah kalian! Akan kubuat kalian seperti ini" seru Bayu sambil mengangkat bangkai burung tinggi-tinggi.

Tatapannya sangat sadis dan penuh dendam. Bangkai burung itu kembali melayang tinggi keudara, dilemparkan dengan mengerahkan tenaga dalam penuh. Bayu memandanginya sampai bangkai burung malang itu lenyap di balik lebatnya pepohonan. Sesaat kemudian kakinya kembali terayun menuju kearah matahari terbenam.

Pada saat itu sang surya memang sedang meluncur untuk bersembunyi di balik belahan bumi Barat. Sinarnya yang merah jingga seperti menyongsong kehadiran seorang pendekar muda yang penuh bara dendam. Pendekar Pulau Neraka yang akan menggegerkan rimba persilatan.

Silakan Anda tunggu kisah petualangan berikutnya dari serial Pendekar Pulau Neraka yang sadis ini.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.