SERIAL PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode: Pertentangan Dua Datuk
Karya: Teguh Suprianto
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Episode: Pertentangan Dua Datuk
Karya: Teguh Suprianto
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Suara tawa dan senda gurau seorang bocah begitu merdu menggelitik gendang telinga, ditingkahi gemercik suara air sungai mengalir. Seorang bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun tengah bermain-main di tepi sungai, berlarian, berkejaran dengan ayahnya. Sementara ibunya mengawasi disertai senyuman, sambil berteduh di bawah sebatang pohon rindang. Kegembiraan mewarnai raut wajah mereka.
"Ibuuu...!" jerit anak itu ketika jari-jari tangan ayahnya menggelitik seluruh pinggangnya.
Sementara sang ibu hanya terkikik saja tanpa berusaha menolong. Bocah itu menggeliat-geliat, mencoba membebaskan diri dari gelitik tangan ayahnya. Setelah berhasil, dia langsung berlari menghampiri ibunya yang menyongsong dengan kedua tangan terbuka. Sedangkan ayahnya pura-pura mengejar. Namun belum juga laki-laki muda bertubuh tegap itu mencapai istri dan anaknya, mendadak saja sebatang anak panah melesat cepat bagaikan kilat ke arah wanita muda yang bagian bahunya terbuka itu.
"Lasmi, awas...!" teriak laki-laki itu memperingatkan.
Bagaikan kilat, laki-laki bertelanjang dada itu melesat dan berjumpalitan di udara beberapa kali. Tangannya mengibas cepat menangkap anak panah yang hampir saja menghunjam punggung anak laki-laki yang berada di dalam dekapan ibunya. Tap!
Laki-laki muda itu tangkas sekali menangkap anak panah yang melesat cepat bagai kilat. Dia langsung mendorong istrinya ke belakang. Sebatang anak panah berwarna merah, kini tergenggam erat di tangannya. Kedua jnatanya tajam agak memerah menatap ke satu arah. Sambil menggeram, dihentakkan tangan yang menggenggam anak panah itu.
"Hih!"
Wut..!
Anak panah itu melesat cepat, bahkan melebihi lesatan menggunakan busur. Dan seketika itu juga terdengar jeritan melengking tinggi dari sebuah semak tidak jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, tampak sesosok tubuh keluar dari dalam semak, lalu ambruk menggelepar di tanah. Tampak sebatang anak panah memanggang lehernya. Orang itu tewas seketika.
"Cepat pulang...!" desis laki-laki itu.
"Kakang...."
Belum juga bisa bergerak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba di sekitar mereka berlompatan empat orang. Laki-laki muda yang tidak mengenakan baju itu langsung menggeser kakinya, mendekati istrinya yang tengah memeluk erat putra mereka dalam gendongan.
Laki-laki muda itu menatap tajam empat laki-laki tua di depannya yang sorot matanya memancarkan kekejaman. Mereka semua merupakan tokoh rimba persilatan beraliran hitam. Laki-laki itu terus menggeser kakinya ke belakang sambil membawa istri dan anaknya ke tempat yang cukup terlindung dan aman. Kehadiran empat orang tua itu sudah diduga sebelumnya, meskipun mereka tidak dikenal.
"Siapa kalian?" tanya laki-laki muda itu dingin.
"He he he...!" keempat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh sambil saling melirik.
"Kami hanya menjalankan tugas, Sundrata," jelas salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala.
"Heh?! Kalian mengenalku...?! Siapa kalian ini?!'» laki-laki muda yang panggil Sundrata itu terperanjat.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami, Sundrata. Bersiaplah untuk mati!" dengus orang tua yang mengenakan baju hitam.
"Kakang...," agak bergetar suara Lasmi yang berlindung di balik punggung suaminya.
"Pergilah! Selamatkan anak kita," bisik Sundrata.
Lasmi memandangi keempat orang tua itu. Diserahkannya golok bergagang gading pada suaminya. Kemudian wanita muda berparas cantik itu melangkah Inundur perlahan-lahan. Terlihat jelas pada raut wajahnya kalau kecemasan begitu mendalam tak dapat disembunyikan lagi. Dia tahu betul kalau dulu suaminya adalah seorang pendekar yang sudah melanglang buana. Sedangkan dirinya sendiri, meskipun bukan seorang wanita pendekar, tapi memiliki sedikit ilmu olah kanuragan. Namun melihat empat laki-laki tua itu, kecemasan benar benar menggaluti hatinya juga.
Sementara keempat laki-laki tua itu sudah bergerak menyebar. Sedangkan Sundrata sudah mencabut golok bergagang gading yang berkilatan dijilat cahaya matahari, sehingga menyilaukan mata. Sundrata memandangi keempat orang tua itu satu persatu dengan sinar mata tajam menusuk.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba salah seorang yang mengenakan baju hijau tua, berteriak kencang sambil melompat menerjang. Sundrata buru-buru merundukkan tubuhnya ketika orang berbaju hijau itu mengibaskan tongkat yang digenggamnya. Maka, secepat kilat, dibabatkan goloknya ke atas.
Trang!
Tubuh orang tua berbaju hijau itu melenting ke atas saat tongkatnya terbabat golok lawan. Sedangkan Sundrata sendiri bergegas melompat ke samping. Tapi belum juga berdiri sempurna, datang lagi satu serangan dari orang berbaju merah. Orang itu menghantamkan gada besar berduri ke arah kepala.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Uts...!"
Cepat Sundrata menarik tubuhnya ke belakang, maka gada berduri yang sangat besar itu lewat di depan mukanya. Sunggijh dahsyat bukan main, sehingga angin tebasan gada itu membuat tubuh Sundrata sedikit terhuyung.
Sementara Lasmi tidak jadi meninggalkan tempat itu. Hatinya begitu cemas melihat suaminya dikeroyok empat orang tua. Didekapnya bocah kecil yang kepalanya bersembunyi di dada ibunya erat-erat. Sementara pertarungan terus berlangsung sengit. Serangan-serangan datang bertubi-tubi, mengancam nyawa Sundrata. Tapi laki-laki muda itu temyata bukanlah orang sembarangan. Tingkat kepandaian yang dimiliki ternyata cukup tinggi. Beberapa kali serangan lawan yang sangat berbahaya berhasil dielakkan dengan manis. Bahkan tidak jarang serangan balasan yang diberikan membuat lawan-lawannya jadi kerepotan.
***
"Auwh...!”
Lasmi memekik ketika melihat suaminya terkena satu pukulan keras di dadanya. Tampak Sundrata terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Dari sudut bibimya mengalir darah kental.
Belum juga kebimbangan tubuhnya sempat dikuasai, kembali datang satu totokan keras dari sebatang tongkat Sundrata mencoba berkelit dengan memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi tanpa diduga sama sekali, sebuah cambuk menggeletar menyengat pung-gungnya.
Ctar!
"Akh...!" Sundrata memekik keras.
Cambuk hitam di tangan orang berbaju biru kembali menyengat tubuh Sundrata, sehingga membuat laki-laki muda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tampak di punggungnya tergores luka akibat cambukan. Darah merembes keluar dari kulit punggung yang sobek cukup panjang.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja orang yang berbaju hitam melompat sambil menghunjamkan pedangnya ke arah Sundrata yang tengah tergolek di tanah. Buru-buru Sundrata menggulirkan tubuhnya ke samping, dan pedang itu hanya menghunjam tanah.
"Hup!"
Cepat Sundrata melompat bangkit berdiri. Disilangkan goloknya di depan dada. Namun belum sem-pat melakukan sesuatu, orang tua berbaju merah melompat menerjangnya. Gada besar berduri terayun deras ke arah kepala. Cepat-cepat Sundrata menarik tubuh dan kepalanya ke belakang, seraya mengibaskan goloknya ke arah pergelangan tangan lawan.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Ikh...!"
Buru-buru orang tua berbaju merah itu menarik pulang gadanya. Tapi dengan cepat sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, dan seketika itu juga, dikirimkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Des!
"Akh!" entah untuk ke berapa kali Sundrata terpekik.
Tendangan orang berbaju merah itu tepat menghantam punggungnya Sehingga membuat Sundrata terhuyung-huyung ke depan. Pada saat itu, orang berbaju hitam melompat maju sambil menusukkan pedangnya.
Crab!
"Aaakh...!" satu jeritan panjang melengking terdengar keluar dari mulut Sundrata.
“Yeaaah...!"
Orang tua berbaju hitam itu mencabut pedangnya keluar dari perut Sundrata, dan seketika tu juga dilayangkan satu tendangan keras yang telak mendarat di dada. Tak pelak lagi, dengan perut robek berlumuran darah, Sundrata terpental ke belakang. Saat itu juga orang berbaju merah mengayunkan gadanya.
“Yeaaah...!"
Wukl
Prak...!
Gada berduri itu langsung menghantam kepala Sundrata hingga hancur berantakan. Sebelum tubuh laki-laki muda itu ambruk ke tanah, cambuk di tangan orang tua berbaju biru kembali menggeletar menyengat leher. Itu pun masih ditambah dengan hunjaman ujung tongkat orang tua berbaju hijau yang menembus dada.
Tubuh Sundrata limbung, lalu ambruk ke tanah. Kepala yang pecah, tergulir pisah dari lehemya. Lasmi yang menyaksikan semua kejadian itu menjerit histeris. Langsung dibalikkan tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya. Dia memang sudah tak sanggup lagi menyaksikan kematian suaminya yang begitu tragis.
Jeritan Lasmi menghentak empat orang tua itu. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata-kata lagi segera berlompatan mengejar. Sementara Lasmi terus berlari menembus semak belukar berduri. Tak dipedulikan lagi duri-duri tajam yang mengoyak kulit kakinya hingga berdarah. Dia terus berlari sekuat tenaga disertai linangan air mata.
"Akh...!" tiba-tiba Lasmi terpekik ketika sepasang tangan mcrengkuh dan menariknya dengan kasar.
Sebelum Lasmi bisa melakukan sesuatu, sepasang tangan itu sudah mendekap pinggang dan mulutnya, lalu menarik masuk ke dalam gerumbul semak belukar. Lasmi berusaha memberontak melepaskan diri sambil memeluk erat putra laki-lakinya.
"Ssst.., diam!" terdengar suara berat dekat telinga wanita itu.
Pada saat itu terlihat empat orang tua berlarian melintasi mereka. Empat orang tua itu tak menyadari kalau wanita yang diburu sudah terlewati. Tapi belum jauh mereka lewat, keempat orang tua itu berhenti.
"Setan!" dengus orang tua berbaju merah.
"Ayo kita kejar terus, jangan sampai lolos!" ajak yang berbaju hijau.
"Tunggu dulu!" cegah yang berbaju hitam.
"Ada apa...?"
"Dia pasti tidak bisa lari jauh secepat ini, dan pasti bersembunyi," tegas orang tua berbaju hitam.
"Jangan bodoh! Lasmi bukan perempuan sembarangan. Dia juga memiliki kepandaian!" bentak orang tua berbaju merah.
"Ayo, jangan buang-buang waktu. Pasti dia belum jauh dari sini!" ajak yang berbaju biru.
Keempat orang tua itu kembali berlari cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara di balik semak, sepasang tangan kekar melepaskan dekapannya pada wanita itu. Cepat-cepat Lasmi melepaskan diri dan bangkit berdiri, sedangkan anaknya masih dipeluk erat-erat.
Lasmi berbalik dan memandangi seorang laki-laki muda berwajah tampan. Rambutnya panjang, dan tergelung sedikit ke atas. Sedangkan pakaiannya terbuat dari kulit harimau. Tampan dan gagah sekali, sampai-sampai Lasmi terkesiap sesaat. Dilangkahkan kakinya mundur keluar dari dalam semak belukar itu. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya berdiri saja memandangi.
"Sebaiknya Nisanak cepat tinggalkan tempat ini. Mereka pasti akan kembali lagi," ujar pemuda itu ramah. Begitu lembut nada suaranya.
"Siapa kau?" tanya Lasmi.
"Yang jelas aku bukan bagian dari mereka," sahut pemuda itu seraya tersenyum.
Lasmi memalingkan muka menatap ke arah kepergian empat orang tua itu. Kemudian kembali dipandangnya pemuda yang baru saja menyelamatkannya dari kejaran empat manusia kejam itu. Siapa pun pemuda ini, yang jelas memang tidak bermaksud jahat. Dan yang pasti, bukan dari keempat laki-laki tua itu tadi.
"Cepatlah pergi sebelum mereka kembali, Nisanak," ujar pemuda itu lagi.
"Baiklah, terima kasih," ucap Lasmi.
Wanita itu bergegas membalikkan tubuhnya dan cepat pergi ke arah lain. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi saja, kemudian duduk bersandar di bawah pohon rindang sambil menekuk kaki kanan. Satu tangan ditumpangkan ke lutut. Tapi, belum juga pemuda itu bisa memejamkan mata, empat orang tua tadi kembali muncul. Mereka tampak terkejut melihat seorang laki-laki muda duduk bersandar di bawah pohon, lalu seketika berhenti dan menghampiri.
"Anak muda, apakah kau melihat seorang perempuan membawa anak kecil di sekitar sini?" tanya orang berbaju merah. Suaranya terdengar kasar sekali.
"Sayang sekali, aku baru saja sampai dan akan beristirahat. Jadi tidak bertemu seorang pun kecuali paman berempat," sahut pemuda itu kalem.
"Hm..., kau datang dari arah mana?" tanya orang tua berbaju biru.
"Sana!" sahut pemuda itu menunjuk ke arah perginya Lasmi.
"Kau tidak bertemu seorang pun?" tanya orang berbaju biru itu lagi.
"Ya, tidak jauh dari sini. Di dekat sungai ada pengail."
Keempat laki-laki tua itu saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, mereka pergi ke arah yang berlawanan dengan yang ditempuh Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum tipis melirik keempat orang tua itu, kemudian meme-jamkan matanya sambil bersandar ke pohon.
"Hhh..., baru juga mau tidur...," desah pemuda itu mengeluh.
Sementara itu Lasmi sudah tiba di tepi sungai yang tidak begitu besar, namun aimya keruh sekali. Sehingga, aliran air itu merah kecoklatan. Di tepi sungai duduk seorang pangail berbaju lusuh, mengenakan tudung tikar yang sudah koyak menutupi sebagian wajahnya. Pengail itu menoleh saat mendengar langkah kaki menuju ke arahnya.
"Kisanak, boleh aku bertanya?" agak bergetar dan tersendat suara Lasmi.
"Hm...," pengail itu hanya menggumam kecil saja.
"Di mana arahnya Desa Kaung?" tanya Lasmi.
"Untuk apa ke Desa Kaung, Lasmi?"
"Heh...?!" Lasmi terkejut
Buru-buru wanita itu melangkah mundur, sedangkan pengail itu membuang jorannya sambil bangkit berdiri. Dibukanya tudung yang menutupi kepala". Seketika mata Lasmi membeliak lebar begitu melihat wajah tua yang rambutnya telah memutih. Kumis panjangnya menyatu dengan jenggot putih, dan seluruhnya berwama putih.
"Datuk...," desis Lasmi, bergetar suaranya.
"Kau bisa saja lolos dari mereka, Lasmi. Tapi tidak bisa lepas dariku. He he he...," ujar laki-laki tua itu seraya terkekeh.
"Oh, tidak...," desis Lasmi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, dan terus bergerak mundur.
Sementara laki-laki tua itu melangkah maju mendekati. Cepat-cepat Lasmi berbalik dan berlari, tapi laki-laki tua itu lebih cepat lagi melompatinya dan tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Dia tertawa terkekeh memperiihatkan baris-baris gigi yang kecil, masih teratur rapi.
"He he he.... Ke mana keperkasaan dan ke-angkuhanmu, Lasmi? Kau seperti seekor kelinci saja!"
Wajah Lasmi yang bersimbah keringat jadi memerah pucat, dan terus bergerak mundur sambil mendekap putranya erat-erat Sementara laki-laki tua itu semakin dekat saja.
"Kau harus ikut denganku, Lasmi. Hap...!"
"Akh...!" Lasmi terpekik tertahan.
Kalau saja wanita itu tidak memiringkan tubuhnya ke kanan, tentu laki-laki tua itu sudah merengkuhnya. Lepas dari terkaman laki-laki tua itu, Lasmi langsung membalikkan tubuh dan berlari. Namun....
Bret!
"Auw...!"
Tangan laki-laki tua itu menjambret kain yang dikenakan Lasmi hingga koyak. Tampak kulit punggung yang putih terbuka lebar, maka Lasmi buru-buru menutupi. Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu, laki-laki tua itu sudah merengkuhnya ke dalam peluk-annya.
"Lepaskan...!" pekik Lasmi sambil memberontak. "Huh! Aku tidak perlu bocah ini!" dengus laki-laki tua itu.
"Jangan...!"
Tapi laki-laki tua itu sudah merenggut anak laki-laki di dalam dekapan ibunya. Dengan kasar disentakkan wanita itu hingga terhuyung, dan jatuh tersuruk ke tanah.
"Ibuuu...!" jerit anak laki-laki itu.
"Oh, tidak! Jangaaan...!" jerit Lasmi dengan air mata berlinangan.
Tapi laki-laki tua itu malah tertawa terbahak-bahak. Dicengkerarnnya tengkuk anak kecil itu. Dan sambil mendengus, mendadak saja dilemparkan anak itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.
"Tidaaak...!"
"Ibuuu...!"
"Ha ha ha...!"
Tubuh kecil yang hanya mengenakan celana tanpa baju itu melayang deras ke udara, dan Lasmi hanya bisa meraung-raung. Laki-laki tua itu sudah mencekal tangannya, dan memeluk pinggang ramping itu kuat-kuat Lasmi meraung-raung sambil berusaha meronta melepaskan diri. Tapi pelukan orang tua itu demikian kuat. Sementara tubuh kecil mulai melayang turun deras sekali.
"Ibuuu..., tolooong...!"
Tapi Lasmi hanya bisa menangis memandangi putranya yang tidak lama lagi bakal terbanting ke tanah. Lemas sudah seluruh tubuhnya menyaksikan semua ini. Namun belum juga anak itu menyentuh tanah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat menyambar. Dan tahu-tahu di depan Lasmi berdiri seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau.
Sebelum ada yang menyadari, pemuda itu sudah cepat bergerak lagi. Tahu-tahu tubuhnya melesat bagai kilat menyambar orang tua itu. Tentu saja hal ini membuat orang tua itu terkejut setengah mati. Tak ada jalan lain, kecuali cepat-cepat didorongnya tubuh Lasmi.
"Ahk...!" Lasmi terpekik.
Dan tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju kulit harimau itu menangkap Lasmi. Dan dengan manis sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, hinggap di batang pohon, langsung saja pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan tinggi bersama Lasmi dan anak tunggalnya.
"Hei...!" orang tua itu terkejut setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau akan seperti ini kejadiannya. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melesat mengejar. Namun begitu kakinya hinggap di cabang pohon tinggi, orang tua itu tak jadi melompat lagi.
"Sial!" dengusnya.
Laki-laki tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi bayangan pemuda yang membawa Lasmi dan anaknya sudah tidak terlihat lagi. Daerah ini begitu luas, meskipun pepohonan yang tumbuh tidak begitu lebar. Laki-laki tua itu bersungut-sungut, dan kembali meluruk turun. Gerakannya ringan sekali, pertanda tingkat ilmu olah kanuragan yang dimilikinya cukup tinggi.
"Monyet keparat...!"
***
DUA
Lasmi merintih lirih sambil menggelengkan kepalanya dengan lemah. Perlahan-lahan dibuka matanya, dan langsung beranjak bangun. Tatapannya lurus tertuju pada seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Tampak seorang bocah tergolek lelap di pangkuannya. Pemuda itu memandang Lasmi yang beranjak turun dari pembaringan bambu. Hanya selembar tikar daun pandan yang menjadi alas ranjang bambu itu.
"Dia tidur," jelas pemuda itu setelah Lasmi berada di depannya.
Lasmi mengambil anak kecil berusia sekitar lima tahun itu, dan memindahkan ke pembaringan bambu yang tadi ditidurinya.
Sebentar dipandangi wajah anaknya, kemudian berbalik dan duduk di tepi pembaringan ini. Pandangannya beredar ke sekeliling. Disadarinya kalau saat ini berada di sebuah pondok kecil yang kelihatannya kumuh sekali.
"Cukup lama juga kau tidak sadar," jelas pemuda itu lagi.
"Di mana ini?" tanya Lasmi. "Di pondokku. Tidak bagus, tapi lumayan untuk berteduh," sahut pemuda itu ringan. "Kau siapa?" tanya Lasmi lagi.
"Panggil saja Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri. "Boleh aku tahu siapa namamu?"
"Lasmi, dan ini anakku. Namanya Wijaya." Wajah Lasmi berubah mendung. Kepalanya tertunduk, teringat akan suaminya yang tewas dikeroyok empat orang tua yang tidak dikenal sama sekali. Perlahan diangkat kepalanya, langsung memandang pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Begitu sendu dan redup sekali sinar mata wanita itu, namun demikian tidak menghilangkan kecantikan wajahnya.
"Aku tidak kenal dirimu, dan kau juga tidak kenal diriku. Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya Lasmi pelan.
"Maaf jika kau merasa tidak senang," ucap pemuda berbaju kulit harimau yang mengaku bemama Bayu, atau terkenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.
"Oh, tidak. Aku bahkan berterima kasih sekali padamu," buru-buru Lasmi berkilah.
"Aku tadi hanya kebetulan saja lewat dan melihatmu dikejar-kejar empat orang," jelas Bayu.
"Lalu, bagaimana kau menolongku dari...?" Lasmi memutuskan kalimatnya.
"Ketika mendengar teriakanmu, aku yakin kau perlu pertolongan. Untung tidak terlambat," sahut Bayu cepat
"Terima kasih," pelan sekali suara Lasmi, hampir tidak terdengar.
Kembali kepala Lasmi tertunduk. Dirayapinya ujung baju yang dikenakannya. Seketika wanita ini tersadar kalau kain yang dikenakannya tadi agak basah, dan kain itu juga koyak di punggung.
"Gantilah bajumu!" ujar Bayu sambil memberikan sebuah bungkusan yang berisi pakaian.
"Dari mana kau dapatkan pakaian, itu?"
"Aku beli di Desa Kaung," sahut Bayu.
"Oh...! Jadi Desa Kaung tidak jauh lagi dari sini?" tanya Lasmi dengan pandangan agak dalam.
"Benar. Hanya sebentar saja dari sini," jawab Bayu sambil memutar tubuh membelakangi Lasmi.
Lasmi segera menukar pakaian sambil memandangi anaknya yang masih tertidur lelap. Ditaruhnya kain yang baru dilepasnya di samping dipan bambu. Kemudian dia beranjak bangkit dan melangkah menghampiri Bayu, lalu duduk di depan pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu menawarkan pisang. Lasmi menerima, dan langsung dikupas. Sedikit pisang ranum itu digigitnya.
Wanita itu memandang ke luar melalui pintu pondok yang terbuka setengah. Kegelapan di luar sana menandakan kalau hari sudah malam. Lasmi sadar, kalau dirinya tadi pingsan cukup lama juga. Hanya sebuah pelita kecil dari minyak buah jarak menerangi pondok ini. Cahayanya yang redup seakan-akan tak mampu mengusir kegelapan. Terlebih lagi menghangati udara dingin yang menusuk menggigilkan.
"Siapa kau sebenarnya, Kakang...? Oh, maaf. Boleh aku memanggilmu begitu?" Lasmi membuka suara lagi.
Bayu hanya tersenyum dan mengangguk kecil. "Aku hanya seorang pengembara," ujar Bayu.
"Pondok ini...? Bukankah pondok ini milikmu?"
"Benar. Aku membangunnya tadi siang. Kau dan anakmu perlu tempat untuk berteduh. Maaf, aku tidak bisa membuat lebih baik lagi dari ini," kata Bayu merendah.
"Ah...," Lasmi mendesah.
"Kau pasti lelah. Istirahatlah," ujar Bayu seraya bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Lasmi ikut berdiri.
"Menjaga di luar."
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya ke luar. Sebentar Lasmi memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu pandangannya beralih pada bocah kecil yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Lasmi mengayunkan kakinya mendekati pintu yang ditutup Bayu dari luar. Ketika pintu itu dibuka, tampak Bayu tengah duduk di bawah pohon di depan pondok ini. Lasmi melangkah keluar dari pondok untuk menghampiri pemuda itu, lalu duduk di samping-nya. Sementara Bayu hanya melirik saja sedikit. Seonggok api unggun menyaia di depan mereka, sedikit mengusir udara dingin.
Untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Bayu menambahkan sepotong ranting ke dalam api. Tampak percikan bunga api membumbung ke angkasa. Pendekar Pulau Neraka itu berpaling memandang wanita di sebelahnya. Pada saat itu Lasmi juga tengah memandang padanya. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sama-sama menarik napas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu, Kakang," kata Lasmi pelan.
"Tidak ada yang perlu kau katakan, sahut Bayu.
Lasmi menatap pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya. Digeleng-gelengkan kepalanya, kemudian napasnya ditarik panjang-panjang dan dihembuskan kuat-kuat.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Bayu.
"Yaaah...," desah Lasmi terasa berat
"Asal kau tidak memikirkan diriku saja," Bayu mencoba berseloroh.
Gurauan Bayu membuat wanita itu tersenyum. Namun terasa hambar sekali, bahkan nampak dipaksakan. Untung saja Bayu tidak melihatnya. Dan Lasmi semakin sukar menghilangkan ganjalan yang ada di dalam dadanya. Dia ndak ingin pemuda yang telah berbaik hati padanya ini ikut terlibat dalam persoalan yang dihadapi. Persoalan pelik yang mengundang pertaruhan nyawa.
"Justru kau yang menjadi pikiranku, Kakang," tegas Lasmi mendesah.
"Oh...?!" Bayu mengerutkan keningnya.
Pendekar Pulau Neraka itu berpaling, menatap dalam-dalam wanita di sampingnya. Semakin berkerut kening pemuda berbaju kulit harimau itu ketika melihat raut wajah Lasmi begitu muram terselaput mendung tebal. Perlahan Bayu mengambil tangan wanita itu, lalu menggenggamnya. Lasmi tertunduk. Dibiarkan saja pemuda itu menggenggam tangannya. Terasa ada sedikit kehangatan dan kedamaian menyusup ke dalam hati. Tapi saat itu terlintas bayangan wajah suaminya. Maka dengan halus Lasmi melepaskan genggaman tangan pemuda tampan itu.
"Tampaknya ada yang menyusahkanmu, Nisanak. Katakan. Mungkin aku bisa mengurangi beban yang kau pikul," pinta Bayu lembut.
Lasmi tersenyum getir, dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Terlintas beberapa wajah di depan matanya. Wajah-wajah yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya. Wajah-wajah tua bengis yang tadi siang hampir membuatnya celaka, dan telah memisahkannya dari suaminya untuk selama-lamanya. Lasmi mendesah panjang saat teriintas wajah seorang laki-laki tua dengan rambut putih, kumis dan jenggot yang juga putih panjang. Perlahan-lahan digeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang yang melintas di depan mata.
"Kau terlalu lelah, Nisanak. IstirahatJah di dalam," kata Bayu lembut.
"Aku akan menemanimu di sini," ujar Lasmi seraya memberi senyum yang dipaksakan.
"Malam terlalu dingin, lagi pula pagi masih terlalu jauh. Kasihan anakmu jika kau terlalu lelah besok pagi," Bayu mencoba mendesak.
Lasmi tidak bisa lagi memaksa kala diingatnya tentang anaknya. Ya..., saat ini perhatiannya harus tertumpah penuh pada anak tunggalnya. Setelah menarik napas panjang, wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam pondok. Sementara Bayu hanya memandangi sampai wanita itu lenyap di dalam pondok kecil yang dibangunnya siang tadi.
***
Pagi-pagi sekali Lasmi sudah keluar dari dalam pondok sambil menggendong anaknya yang masih tampak mengantuk. Wanita itu tampak agak terkejut begitu melihat Bayu berdiri tegak di dekat onggokan api unggun. Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuh saat mendengar gerit pintu terbuka. Matanya agak menyipit melihat Lasmi seakan-akan hendak pergi diam-diam. Bayu menghampiri dan berdiri sekitar dua langkah lagi di depan pintu pondok, di tempat Lasmi yang hanya bisa memandangi di ambang pintu.
"Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Bayu.
"Aku harus pergi. Maaf," sahut Lasmi pelan.
"Ke mana kau akan pergi?"
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah memandangi bola mata jernih di depannya. Perlahan wajahnya tertunduk. Sementara kepala kecil rebah di dadanya, dengan mata seakan enggan untuk terbuka. Saat ini memang masih terlalu pagi. Bahkan suasana pun masih terselimut kegelapan. Hanya sedikit rona merah menyemburat dari pucuk-pucuk pepohonan di sebelah Timur.
"Maaf, mungkin aku terlalu ingin ikut campur urusanmu," ucap Bayu seraya melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara Lasmi masih tetap diam memandangi Pendekar Pulau Neraka itu. Terasa sekali ada sesuatu ganjalan di hatinya, namun terasa sukar diungkapkan. Sementara Bayu sudah berada sekitar satu batang tombak di depannya. Perlahan Lasmi melangkah ke luar dari pondok, lalu berhenti di depan Bayu sekitar lima langkah jaraknya.
"Maafkan aku, Kakang. Bukannya aku tidak berterima kasih. Tapi aku tidak ingin kau ikut terlibat. Maaf...," ucap Lasmi perlahan.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. "Anggap saja kita tidak pernah bertemu, Kakang," kata Lasmi lagi.
"Hm...," hanya gumaman saja yang terlontar dari bibir Rendekar Pulau Neraka itu.
Sebentar Lasmi memandangi pemuda tampan di depannya, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri tegak memandangi kepergian wanita muda dan cantik yang membawa anak dalam gendongannya.
Bayu masih berdiri memandangi meskipun punggung Lasmi telah samar-samar terselimut kabut. Kemudian wanita itu tak tertihat lagi, lenyap di balik bayang- bayang kabut pepohonan. Bayu menarik napas panjang. Tampaknya memang ada sesuatu pada diri wanita itu. Sesuatu yang seakan ndak ingin diketahui siapa pun, tapi sangat mengganggu ketenangannya. Semua itu dapat terbaca dari raut wajah maupun sorot matanya yang sangat lelah.
"Hm.... Kalau dia menuju ke Desa Kaung, pasti akan bertemu orang-orang yang mengejamya," gumam Bayu perlahan. "Rasanya mustahil kalau tidak ada apa-apa pada dirinya."
Entah kenapa, Bayu jadi bertanya-tanya tentang diri wanita yang mengaku bemama Lasmi itu. Dan entah kenapa pula, Pendekar Pulau Neraka itu jadi measa cemas. Dia sendiri tidak tahu, mengapa mendadak saja kecemasan menyelinap di dalam hatinya?
Slap!
"Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu melesat bagai kilat menuju arah kepergian Lasmi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan kabut yang masih cukup tebal menyelimuti daerah ini. Kecemasan Bayu semakin menjadi, kala teringat kalau di Desa Kaung dia telah melihat empat orang laki-laki tua yang mengejar Lasmi. Sedangkan jelas sekali kalau wanita itu menuju Desa Kaung.
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Namun setelah jauh berlari, mendadak saja larinya dihentikan. Pendekar Pulau Neraka baru tersadar kalau Lasmi hanya berjalan biasa saja, dan tidak mungkin dalam waktu sebentar sudah bisa berjalan sejauh ini. Tapi sepanjang jalan yang dilalui, wanita itu tidak dijumpainya.
"Hm...," gumam Bayu pelan.
Rasanya memang tidak mungkin jika hanya seorang wanita biasa bisa secepat ini menghilang. Apalagi menempuh perjalanan cepat dalam kegelapan kabut yang tebal. Dan Bayu teringat kata-kata empat orang tua yang mengejar Lasmi. Mereka sepertinya sudah mengetahui siapa Lasmi itu.
Mengingat itu semua, Bayu mengedarkan pandangannya ke tanah berumput di sekitamya. Kedua matanya menyipit melihat ada jejak kaki tertera halus. Jejak yang diyakini masih baru, tapi jelas milik sese-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Apakah ini jejak-jejak kaki Lasmi? Bayu jadi bertanya-tanya dalam hati. Setelah berpikir beberapa saat, Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
***
Sementara itu suasana di Desa Kaung tampak tenang dan damai. Semua penduduk terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Sepanjang jalan desa dipenuhi pejalan kaki maupun penunggang kuda. Di antara orang-orang yang memadati jalan tanah berdebu itu, terlihat seorang wanita mengenakan baju lusuh berdebu tengah berjalan agak tertatih menggendong anaknya.
Sebagian wajahnya hampir tertutup kerudung kain berwarna biru gelap. Ayunan kakinya cepat sambil memeluk anak laki-laki yang berusia sekitar lima tahun erat-erat, seakan-akan takut kalau anak itu lepas dari pelukan. Tak ada seorang pun yang memperhatikan, karena semua orang tengah disibukkan oleh pekerjaan masing-masing.
Wanita itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu tebal. Pintu yang tingginya sekitar dua tombak dan sangat besar itu tertutup rapat. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu menatap pintu yang temyata sebuah gerbang depan. Dibetulkan letak kerudung yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya. Kemudian dibetulkan letak gendongan pada anak laki-laki kecil yang kelihatan tenang menyem-bunyikan kepalanya di dada.
"Bu...."
"Mudah-mudahan Kakek bersedia menerimamu, Nak," kata wanita itu perlahan.
Perlahan sekali kakinya terayun mehdekati pintu besar yang terkunci rapat. Tangan yang kecil dan halus mengetuk pintu itu. Kembali kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada yang melihatnya.
Tak lama kemudian pintu kayu itu terbuka sedikit. Suara gerit engsel yang berkarat membuat sedikit wajah yang terlihat di balik kerudung tampak pucat. Sebuah kepala dari seorang laki-laki muda yang cukup tampan menyembul ke luar.
"Mau apa?" tanya laki-laki itu agak kasar.
"Aku ingin bertemu Datuk Maringgih," sahut wanita itu.
"Ada keperluan apa, dan siapa kau ini?" tanya laki-laki itu lagi seraya merayapi wanita yang berdiri di depan pintu.
Tapi belum juga ada jawaban, tiba-tiba laki-laki itu terbeliak melihat anak laki-laki kecil dalam pelukan wanita itu. Buru-buru dibukanya pintu lebar-lebar, lalu dirinya keluar. Kemudian ditutup pintunya lagi setelah menoleh sebentar ke belakang.
"Ada apa kau ke sini, Kak?" tanya laki-laki itu setengah berbisik, seakan takut terdengar orang lain.
"Aku ingin menitipkan anakku, Parita," sahut wanita itu seraya melepaskan kerudung yang menutupi wajahnya.
Tampak di balik kerudung itu tersembunyi seraut wajah cantik, milik seorang wanita bemama Lasmi. Sementara pemuda yang dipanggil Parita menarik tangan Lasmi dan mengajaknya ke tepi tembok yang agak tersembunyi. Lasmi menurut saja sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Mana Kakang Sundrata?" tanya Parita masih dengan suara setengah berbisik.
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah menundukkan kepala. Tangannya yang berjari lentik halus mengeius-elus rambut bocah kecil di dalam gendongan. Parita meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya erat-erat. Lasmi mengangkat kepala, menatap pemuda itu langsung pada titik bola matanya.
"Datuk Maringgih sedang bersemadi. Kalau mau, kau bisa menunggu di pondokku," usul Parita pelan.
"Terima kasih, aku tidak ingin merepotkanmu," ujar Lasmi, agak tersendat suaranya.
"Sama sekali tidak, Kak. Bahkan aku senang bisa melihatmu kembali. Aku ingin mendengar ceritamu. Ayo...?"
Lasmi ingin menolak, tapi Parita sudah lebih dulu menarik tangannya. Mereka kemudian berjalan bersisian menyusuri tembok pagar yang tinggi dan tebal. Lasmi kembali menutupi wajahnya dengan kerudung. Hanya bagian mata dan sedikit hidung bagian atas yang terlihat Sementara anaknya kelihatan tenang dalam gendongan.
Tiba di perempatan jalan, mereka berbelok ke kanan dan terus menyusuri jalan kecil berdebu yang berlubang di beberapa bagian. Jalan ini agak sepi, tidak seramai jalan utama desa yang selalu dipenuhi orang. Tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah pondok kecil, namun kelihatan rapi dan bersih.
Lasmi memandangi pondok itu sesaat. Diayunkan kakinya perlahan mendekati pondok. Sedangkan Parita sudah lebih dahulu sampai. Dibukanya pintu pondok, dan kemudian menunggu Lasmi di ambang pintu.
"Ayo masuk, Kak," ajak Parita.
Lasmi membuka kembali kerudungnya. Bibirnya tersenyum, lalu masuk ke dalam pondok. Sebentar dipandangi bagian dalam pondok ini. Kemudian tubuhnya berbalik dan menatap Parita yang masih berdiri di ambang pintu.
"Pondok ini tidak pernah berubah," kata Lasmi dengan mata agak berkaca-kaca.
"Aku tidak ingin merubahnya, Kak," sahut Parita.
"Kenapa?"
"Di sini aku bisa melepas kerinduanku padamu."
Lasmi mendesah perlahan. Hatinya trenyuh mendengar kata-kata pemuda itu. Kepalanya menunduk memandangi wajah anaknya. Temyata bocah itu sudah tertidur. Mungkin kelelahan berada di dalam gendongan seharian penuh. Parita mengetahui. Maka diambilnya anak itu dan dibawanya ke sebuah kamar. Lasmi menghenyakkan tubuhnya di kursi. Tak lama berselang Parita muncul lagi.
"Kau masih tetap sendiri, Parita?" tanya Lasmi.
"Ya," sahut Parita sambil duduk di depan wanita itu.
"Kenapa tidak menikah saja?"
Parita tidak menjawab, tapi malah memandangi wajah cantik di depannya. Dan Lasmi jadi menggigit bibir sendiri. Hatinya menyesal telah bertanya masalah pribadi. Dia tahu, kenapa Parita tidak ingin menikah dan lebih senang hidup sendiri sambil mengabdikan diri di Padepokan Bambu Kuning.
Bagi murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang sudah mencapai tingkat tinggi memang diijinkan untuk mempunyai tempat tinggal di luar padepokan, atau mengembara mencari pengalaman sambil menambah ilmu. Semua murid padepokan memang ditanamkan untuk menimba ilmu di mana saja, bukan hanya di dalam padepokan. Itulah keistimewaan Padepokan Bambu Kuning yang tidak pernah membedakan ilmu apa pun. Tidak pernah memandang, apakah itu ilmu aliran hitam atau putih. Bagi padepokan itu, semua aliran ilmu kedigdayaan adalah sama. Yang penting tergantung dari yang menggunakannya.
"Istirahatlah dulu, Kak. Aku akan kembali ke padepokan, karena harus menjaga agar semadi Datuk Maringgih tidak terganggu," jelas Parita seraya bangkit berdiri.
"Kau akan mengatakan kedatanganku, Parita?" tanya Lasmi.
"Tidak, jika kau tidak ingin," sahut Parita.
"Kapan Datuk Maringgih selesai bersemadi?"
"Mungkin dua atau tiga hari lagi."
Lasmi tidak bertanya lagi, dan hanya memandangi saja pemuda itu. Sedangkan Parita hanya bisa membalas. Melihat keletihan dan kelesuan pada wajah Lasmi, pemuda itu merasa iba. Tak sedikit pun dihiraukan segala yang pernah terjadi di masa lalu antara mereka berdua. Dan Parita memang tidak ingin mengingatnya lagi. Tapi bagaimanapun juga, dia tidak bisa melupakan Lasmi.
"Parita...," pelan suara Lasmi.
"Ada apa?" Parita menghampiri dan menarik kursi, kemudian duduk di depan wanita itu.
"Kenapa kau tetap saja memanggilku kakak?" tanya Lasmi.
"Kau kakakku, Kak Lasmi. Sudah sepantasnya aku memanggilmu begitu. Bukankah kau sendiri yang mengatakannya padaku?" Parita mengingatkan.
"Tapi..., ah. Maafkan aku, Parita," lirih sekali suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kak. Yang sudah terjadi biarlah, tak perlu diingat lagi," ujar Parita lembut.
"Kau baik sekali, Parita. Tidak pantas rasanya aku menerima kebaikanmu seperti ini," semakin pelan suara Lasmi, dan terdengar agak tersendat.
"Sudahlah, Kak. Yang penting sekarang ini, istirahatlah. Kau pasti letih. Lihat, bajumu kotor begini, dan..., bau," gurau Parita.
Lasmi tersenyum juga mendengar gurauan pemuda itu. Namun hanya senyuman tipis, dan sebentar saja. Kini wajahnya sudah kembali mendung. Memang, rasanya sejak kemarin dia belum bertemu air. Badannya begitu kotor dan bau sekali, mirip gembel jalanan.
Parita akan bangkit berdiri, tapi Lasmi lebih cepat lagi menahan. Digenggamnya tangan pemuda itu, dan ditatapnya dalam-dalam. Parita membalas menggenggam tangan itu, dan menepuk-nepuk dengan lembut. Diberikannya sebuah senyuman, tapi sungguh sulit dimengerti apa arti senyumannya itu.
"Aku harus kembali dulu. Tidak enak meninggalkan tugas pada saat Datuk Maringgih sedang bersemadi," pamit Parita seraya bangkit berdiri.
"Kau melatih sekarang, Parita?"
"Ya, coba-coba saja," sahut Parita nyengir.
Lasmi tersenyum, dan membiarkan saja Parita pergi meninggalkan pondok ini. Lasmi mengantarnya sampai di ambang pintu, lalu bergegas menutup pintu setelah Parita lenyap dari pandangan. Wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dipandanginya bocah laki-laki yang tampak lelap dalam tidumya. Tersungging sebuah senyuman kecil, kemudian tubuhnya berbalik meninggalkan kamar itu.
***
TIGA
Baru saja Parita melewati pintu gerbang Padepokan Bambu Kuning ketika seorang laki-laki muda berusia belasan tahun menghampiri. Dia membungkukkan badan memberi hormat dengan tangan terkepal di depan dada. Parita tahu, kalau pemuda itu adalah murid padepokan ini.
"Ada apa?" tanya Parita.
"Guru Datuk Maringgih memanggil, katanya ingin bertemu di ruangan semadi," sahut pemuda belasan tahun itu.
Parita mengerutkan keningnya, tapi bergegas juga melangkah menuju bilik semadi yang berada di samping kanan balai latihan utama. Agak heran juga hatinya, karena gurunya ingin bertemu di ruangan semadi. Belum pemah hal ini terjadi, apalagi di saat Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tengah melakukan semadi.
Parita berhenti sebentar di depan pintu bilik semadi. Hatinya masih bertanya-tanya tentang panggilan mendadak ini. Panggilan yang terasa amat aneh dan sukar dimengerti. Tapi akhirnya Parita mengetuk juga pintu yang tertutup itu.
"Masuk...," terdengar suara berat dari dalam.
Parita membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan yang berukuran tidak terlalu besar ini terasa pengap karena dipenuhi kepulan asap dari pedupaan. Tampak di tengah-tengah ruangan duduk bersila seorang laki-laki berjubah putih dengan ikat kepala putih juga. Seluruh rambut, jenggot, dan kumisnya yang panjang berwama putih. Parita membungkuk sambil merapatkan kedua tangan terkepal di depan dada.
"Mendekatlah, duduk di dekatku," kata laki-laki tua itu.
Parita mendekat dan duduk bersila di depan laki-laki tua berusia hampir seratus tahun. Tubuhnya masih kelihatan gagah dengan sinar mata tajam, mengandung daya pancar kewibawaan yang sangat besar.
"Ada apa Datuk memanggilku?" tanya Parita dengan sikap penuh rasa hormat.
"Hm...," Datuk Maringgih hanya menggumam kecil sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang sampai menutupi leher.
Sementara Parita hanya duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala, menekuri lantai dingin bagai berada di puncak gunung yang tertinggi di dunia.
"Parita. Kuminta, bawalah Lasmi menemuiku di ruang pribadiku," kata Datuk Maringgih.
Parita terkejut bukan main, tapi tidak berani mengangkat kepalanya. Bahkan malah semakin dalam tertunduk. Sungguh tidak disangka kalau Datuk Maringgih sudah mengetahui kedatangan Lasmi. Di balik rasa keterkejutannya, Parita juga kagum luar biasa. Dalam keadaan terkurung di dalam bilik semadi, ternyata laki-laki tua ini bisa mengetahui sekelilingnya. Itu merupakan suatu kenyataan kalau Datuk Maringgih benar-benar sudah sempurna dalam kemurnian jiwa dan raganya. Laki-laki tua ini bagaikan manusia setengah dewa.
"Kau terkejut, Parita?"
"Oh, Datuk...," Parita tak bisa berkata-kata lagi.
"Aku bisa memahami, kenapa Lasmi kau bawa ke pondokmu. Aku tidak menyalahkan, tapi malah kagum terhadap tindakanmu. Pergilah, dan bawa Lasmi menemuiku," ujar Datuk Maringgih lagi.
"Segera, Datuk," sahut Parita.
Bergegas Parita menjura memberi hormat, kemudian keluar dari bilik semadi itu. Perlahan ditutup kembali pintunya. Tapi belum juga melangkah, mendadak ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Parita kembali membuka pintu bilik semadi. Seketika matanya terbeliak lebar melihat ruangan itu sudah kosong, tak ada lagi Datuk Maringgih di dalam.
"Oh...," desah Parita kagum.
Bergegas laki-laki muda itu menutup pintu bilik semadi, kemudian melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya lebar dan bergegas sekali. Tidak dihiraukan lagi beberapa murid padepokan ini menjura memberi hormat padanya.
***
Ragu-ragu Lasmi menaiki undakan menuju ruangan pribadi Guru Besar Padepokan Bambu Kuning. Sementara Parita yang menggendong Wijaya mengikuti dari belakang. Lasmi berhenti di depan pintu ruangan pribadi Datuk Maringgih. Kepalanya menoleh, memandang Parita yang berada di belakang.
"Ayo, Datuk Maringgih ingin bertemu denganmu," desak Parita.
"Aku takut..," pelan suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Masuklah...!" terdengar suara dari dalam.
Lasmi memandang pemuda di belakangnya. Sedangkan Parita hanya menggerakkan kepala, menyuruh wanita itu masuk. Dengan tangan gemetaran, Lasmi mendorong pintu itu, dan mengayunkan kakinya masuk. Sementara Parita masih mengikuti dari belakang. Lasmi tak mampu lagi mengangkat kepalanya. Apalagi untuk memandang laki-laki tua itu yang duduk di sebuah dipan kayu beralaskan permadani tebal berwama hijau daun. Lasmi duduk bersimpuh di lantai. Parita mengikuti, duduk bersila di sampingnya.
"Kau datang sendiri, Lasmi?" terdengar berat dan berwibawa sekali nada suara Datuk Maringgih.
"Berdua dengan anakku," jawab Lasmi pelan tanpa mengangkat kepalanya.
"Ini Wijaya, anaknya, Datuk," celetuk Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan Parita, lalu kembali menatap Lasmi yang duduk dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau harapkan di sini?" tanya Datuk Maringgih lagi.
Lasmi tak bisa menjawab. Sukar rasanya menjawab pertanyaan itu. Dia sediri tidak tahu, kenapa datang lagi ke tempat ini, setelah...
"Kau sudah bertekad untuk menjalani hidup bersama laki-laki pilihanmu sendiri. Sedikit pun kau tidak suka mendengar nasihatku. Maka dengan berat hati kululuskan permintaanmu, karena aku tahu kau tidak bisa lepas dari laki-laki yang kau cintai...," terasa berat sekali nada suara Datuk Maringgih.
"Ini anaknya Lasmi, Datuk," jelas Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan Parita.
"Apa yang kau harapkan di sini, Lasmi? Kau kan sudah bertekad menjalani hidup bersama laki-laki pilihanmu sendiri..," tegur Datuk itu pelan.
Sedangkan Lasmi hanya menunduk dan diam membisu.
"Aku bukannya tidak menyukai kehidupan seorang pendekar. Aku dulu juga seorang pendekar, dan sekarang melahirkan pendekar-pendekar muda. Tapi aku tahu betul, siapa itu Sundrata," sambung Datuk Maringgih.
'Tapi Kakang Sundrata sangat mencintaiku, Ayah," sergah Lasmi seraya mengangkat kepalanya.
"Aku tahu, dan juga telah mendengar kau hidup bahagia sampai anakmu lahir. Terus terang, aku ikut bahagia saat mendengar kelahiran anak laki-lakimu."
"Tapi, kenapa Ayah tidak datang untuk melihat?"
"Itulah yang sukar kulakukan, Lasmi. Meskipun Sundrata seorang pendekar yang berjalan di jalur lurus, tapi aku tahu siapa orang tuanya."
"Ayah...."
"Lasmi, aku memintamu datang ke sini bukan untuk berdebat!" potong Datuk Maringgih cepat.
Lasmi langsung terdiam, dan kepalanya kembali tertunduk. Terdengar desahan napas panjang dari Datuk Maringgih. Beberapa saat ruangan yang cukup besar itu sunyi, tak ada yang mengeluarkan suara.
"Di mana suamimu?" tanya Datuk Maringgih setelah beberapa saat terdiam.
"Dia..., dia...," Lasmi tak sanggup meneruskan.
"Suamimu tewas, bukan?" serobot Datuk Maringgih.
"Ayah sudah tahu...?!" Lasmi terkejut
"Aku sudah menduga semua ini akan terjadi. Dan itu tak mungkin bisa dihindari lagi. Bagaimanapun juga, aku akan terlibat. Bahkan seluruh penghuni Padepokan Bambu Kuning. Mungkin juga seluruh penduduk Desa Kaung akan terlibat," agak dalam nada suara Datuk Maringgih.
Lasmi kembali diam membisu.
"Jika kau suka menuruti nasihatku, tak mungkin akan terjadi. Yaaah.... Semuanya sudah terjadi, tak perlu lagi disesali," sambung Datuk Maringgih pelan.
"Maafkan Lasmi, Ayah," ucap Lasmi lirih.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Apa yang sudah terjadi tidak akan terulang lagi. Apa pun yang kau lakukan, tetap menjadi tanggung jawabku."
"Ayah...," Lasmi tak kuasa lagi membendung air matanya.
"Jangan menangis, Lasmi. Aku tidak suka melihatmu menangis."
Sekuat tenaga Lasmi mencoba menahan tangisnya. Dia tahu kalau ayahnya tidak senang mendengar tangisannya. Bahkan ketika ibunya meninggal pun, ayahnya melarang untuk menangis. Lasmi ingat betul, saat air matanya baru bisa ditumpahkan di dalam kamar. Sekarang ini dia ingin menangis, tapi tak mungkin dilakukan di depan ayahnya. Lasmi merasa begitu berdosa, telah mengabaikan segala nasihat dan kata-kata laki-laki tua yang sangat dihormati ini. Bahkan melebihi rasa hormat yang ada pada dirinya sendiri.
Sekarang, setelah dihancurkan dan disakiti hatinya, laki-laki tua ini masih mau menerima dengan tangan terbuka dan hati lapang. Sungguh mulia hati Datuk Maringgih. Rasanya sukar bagi Lasmi untuk membalas kemuliaan yang dimiliki ayahnya. Yaaah..., penyesalan memang tidak ada gunanya lagi. Apa pun yang telah terjadi, hatinya harus tegar menghadapinya. Itu yang selalu dikatakan Datuk Maringgih padanya.
"Pergilah ke kamarmu. Aku tidak pernah merubahnya sedikit pun," kata Datuk Maringgih.
Lasmi mengambil anaknya dari pangkuan Parita. Rasanya sulit untuk mengucapkan sesuatu, bahkan berbuat sesuatu pun tak sanggup lagi. Kini yang bisa dilakukan hanyalah menuruti kata-kata ayahnya, tanpa mampu membantah lagi.
"Lasmi, siapa nama anakmu?" tanya Datuk Maringgih sebelum Lasmi keluar dari ruangan ini.
"Wijaya," sahut Lasmi.
"Wijaya...," gumam Datuk Maringgih pelan.
Datuk Maringgih bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri Lasmi. Sebentar ditatapnya anak laki-laki di dalam gendongan wanita itu. Tangannya terulur dan membelai kepala bocah itu. Hampir Lasmi meledak tangisnya, tapi masih mampu menahannya. Sunguh tidak diduga kalau ayahnya akan menerima Wijaya dengan penuh kasih.
Dan Lasmi semakin sukar menguasai perasaan hatinya ketika laki tua itu mencium ubun-ubun kepala anaknya. Dia hanya bisa menggigit-gigit bibirnya sambil menahan perasaan yang bercampur aduk dalam dada.
"Pergilah sebelum air matamu tumpah," kata Datuk Maringgih, agak tertahan suaranya.
Sebentar Lasmi menatap ayahnya. Hampir tidak dipercaya kalau laki-laki tua itu dapat berkata seperti tadi. Ini merupakan sesuatu yang belum pemah didengar. Datuk Maringgih seakan mengijinkannya menangis, tapi tetap tidak ingin di hadapannya. Bergegas Lasmi berjalan meninggalkan ruangan itu.
Sementara Datuk Maringgih memandangi sampai anaknya lenyap di balik pintu. Laki-laki tua berjubah putih itu menarik napas dalam-dalam. Rupanya Lasmi sudah tidak kuasa membendung tangisnya yang langsung pecah begitu sampai di luar ruang pribadi. Meskipun tertahan, tapi isak tangis wanita itu sempat juga terdengar. Datuk Maringgih berpaling memandang Parita yang masih duduk bersila dengan kepala tertunduk. Laki-laki tua itu kembali duduk di tempatnya semula.
"Mereka tahu Lasmi ada di sini, Parita?" tanya Datuk Maringgih setelah menarik napas panjang.
"Tidak, Datuk," sahut Parita tetap tertunduk.
"Cepat atau lambat, mereka pasti akan tahu juga," desah Datuk Maringgih dalam.
Perlahan-lahan Parita mengangkat kepalanya. Hatinya sedikit tertegun melihat wajah laki-laki tua itu murung. Bahkan kedua bola matanya kelihatan berkaca-kaca. Belum pernah Parita melihat gurunya seperti ini. Biasanya Datuk Maringgih tegar dalam menghadapi apa pun. Bahkan ketika Lasmi meninggalkannya bersama Sundrata, laki-laki tua ini tidak menampakkan kesedihan. Apalagi kemurkaan. Raut wajahnya tetap datar. Tapi sekarang ini.... Belum pernah Parita melihat raut wajah Datuk Maringgih begitu mendung.
"Parita, kuminta kau menjaga Lasmi. Jika terjadi sesuatu, aku berharap agar kau bisa menjaga keselamatannya. Aku percayakan Lasmi dan anaknya padamu," pinta Datuk Maringgih.
"Baik, Datuk," sahut Parita.
"Hm...."
***
Pagi yang cerah ini memang enak untuk berjalan-jalan menghirup udara segar. Kesempatan seperti ini memang sangat jarang bisa dinikmati. Dan Lasmi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan indah ini. Anaknya dituntun, berjalan-jalan mengelilingi bangunan Padepokan Bambu Kuning.
Di sini, di dalam lingkungan pagar tembok ini, Lasmi dilahirkan dan dibesarkan. Hanya sekali dalam satu pekan dia bisa keluar. Itu pun tidak bisa keluar dari Desa Kaung. Lasmi benar-benar menikmati udara segar di pagi hari ini sambil mengenang saat-saat ketika masih tinggal di sini, di lingkungan yang terpisah dari dunia luar. Padahal Padepokan Bambu Kuning berdiri di tengah-tengah sebuah desa yang besar dan ramai.
"Pagi yang indah, Lasmi...."
"Oh...!" Lasmi tersentak ketika sebuah suara lembut menyapanya.
Lasmi tersenyum saat Parita tahu-tahu sudah berada dekat di sampingnya. Pemuda itu menghampiri dan mengangkat Wijaya, lalu mendukungnya di pundak. Bocah kecil itu tampak kesenangan berada di pundak Parita. Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Cantik sekali wajahnya pagi ini. Begitu segar, bagai bunga yang tumbuh bermekaran di sekelilmg bangunan padepokan ini.
"Aku kira kau sudah melupakan padepokan ini, Lasmi," ujar Parita seraya mengayunkan kakinya mengikuti langkah kaki wanita di sampingnya.
"Aku tidak akan pernah melupakannya, Parita. Eh...! Kau tidak memanggilku kakak lagi, Parita?"
"Kau yang memintaku begitu, bukan? Aku tidak yakin kalau kau cepat lupa. Baru semalam...."
"Tidak. Aku memang senang kau tidak memanggilku kakak lagi. Gatal rasanya di telinga."
"Aku akan membiasakannya meskipun terasa janggal di lidah."
"Ah! Kau tetap saja seperti dulu, Parita. Senang bergurau."
"Untuk menghilangkan ketegangan."
"Ketegangan...? Kau merasa tegang di sini, Parita?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Kuakui, ketegangan itu sering muncul sejak kau pergi."
Lasmi menatap pemuda di sampingnya, kemudian kembali memandang ke depan. Dia tahu kalau sejak dulu Parita menyukainya Tapi Lasmi tidak pernah punya perasaan lain pada pemuda ini, selain perasaan persaudaraan. Dan rupanya Parita cukup rapi menyimpan ketidaksenangannya pada Sundrata.
"Aku lihat kau sudah pantas memiliki seorang gadis, Parita," kata Lasmi.
Parita malah tertawa. Mungkin perkataan Lasmi barusan dianggap lucu. Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Disadari begitu bodoh. Meskipun Parita sudah pantas memiliki kekasih, tapi tidak akan mungkin pemuda ini mencari gadis lain. Lasmi ingat suatu malam, ketika hendak meninggalkan Padepokan Bambu Kuning ini bersama Sundrata. Parita berterus terang kalau dirinya tidak akan mencari gadis lain, dan tetap akan menunggu Lasmi dalam keadaan apa pun juga.
Waktu itu Lasmi menanggapinya dengan tawa saja. Keterusterangan Parita dianggap sebagai gurauan yang sangat menggelitik waktu itu. Tapi rupanya Parita memang bukan bergurau. Kata-katanya itu dibuktikan hingga sekarang.
"Lasmi...," terdengar serius nada suara Parita.
Lasmi menggumam kecil, lalu menoleh menatap pemuda di sampingnya. Mereka terus berjalan perlahan-lahan sambil menikmati udara segar pagi ini.
"Apa kau benar-benar tidak mengenal orang-orang yang membunuh suamimu?" tanya Parita, serius nada suaranya.
"Tidak," sahut Lasmi, agak berkerut keningnya. "Kenapa kau tanyakan itu, Parita?"
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja. Barangkali saja bisa bertemu mereka dan bisa membalas kematian suamimu," sahut Parita ringan.
"Untuk apa? Ayah pasti tidak akan merestui jika kau membalas dendam, Parita. Dendam bukanlah penyelesaian terbaik. Bahkan sebaliknya akan melahirkan dendam baru yang berkepanjangan dan tidak akan pernah mendapatkan titik penyelesaian yang tak akan pemah berakhir sepanjang masa."
"Tidak ada dendam di hatiku, Lasmi." Tapi kalau mereka sengaja memburumu, tentu tidak akan kubiarkan begitu saja."
"Terima kasih, kau baik sekali," ucap Lasmi terharu.
"Mereka bisa rnengalahkan suamimu. Tentu mereka mempunyai kepandaian yang tinggi," kata Parita lagi agak menggumam.
Lasmi hanya diam saja, dan terus melangkah perlahan. Kembali dia teringat pertarungan Sundrata melawan empat orang tua yang tidak dikenalnya sama sekali. Dan dia juga tidak tahu persoalannya. Tapi yang nembuat Lasmi sukar untuk melupakan adalah kemunculan seorang laki-laki tua yang tentu sudah sangat dikenalnya.
Yaaah.... Kalau saja tidak muncul seorang pemuda berilmu tinggi yang menolongnya pada saat yang tepat, entah apa yang akan terjadi pada dirinya sekarang. Yang pasti dirinya tidak akan bisa melihat anaknya lagi. Lasmi jadi teringat pemuda penolongnya. Seorang pemuda tampan, gagah, dan berkemampuan tinggi sekali.
"Kau melamun, Lasmi?" tegur Parita.
"Oh, tidak...," Lasmi tersentak. Lamunannya seketika buyar.
Sementara Parita menurunkan Wijaya dari pundaknya. Dan bocah itu langsung berlari-lari mendahului. Lincah dan riang sekali. Lasmi jadi merasa iri, dan seperti ingin selamanya menjadi seorang anak kecil yang tidak pernah memikirkan apa-apa selain kesenangan. Begitu cepatnya Wijaya melupakan semua yang pemah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang hampir merenggut nyawanya.
"Parita, boleh aku tanya sesuatu padamu?" ujar Lasmi.
"Katakan saja," sahut Parita.
"Kau tahu, kenapa Ayah tidak pernah menyukai Kakang Sundrata?" tanya Lasmi seperti untuk dirinya sendiri
"Aku rasa kau lebih tahu dariku, Lasmi," sahut Parita.
"Kalau aku tahu, tidak mungkin bertanya padamu."
"Kenapa tidak kau tanyakan saja pada ayahmu?"
"Mustahil, Parita. Ayah pasti tidak akan suka menjelaskan. Paling-paling yang dikatakan hanya karena Kakang Sundrata keturunan seorang kepala begal. Dan Ayah merasa tertipu karena menerimanya menjadi murid di sini. Aku yakin, hanya itu. Tidak lebih...!"
"Aku rasa memang demikian, Lasmi. Aku bisa merasakan kekhawatiran ayahmu," tegas Parita bema-da lembut.
"Tapi Kakang Sundrata tidak menuruni sifat-sifat ayahnya. Bahkan justru memusuhi anak buah ayahnya. Kau tahu, Parita. Dalam pengembaraan, tidak sedikit Kakang Sundrata bertemu anak buah Ki Rampoa. Bahkan yang tidak ditewaskan, disadarkannya kembali ke jalan yang benar."
Parita hanya diam saja. Entah kenapa, setiap kali Lasmi memuji Sundrata, ada kepedihan di hatinya. Dan sama sekali itu tidak disukainya. Tapi Parita tidak pernah memperiihatkan ketidaksukaannya di depan wanita ini.
"Lasmi, waktu kau.... Hm, maksudku ketika suamimu dikeroyok, kenapa kau tidak membantu?" tanya Parita mengalihkan pembicaraan, karena Lasmi terus memuji-muji mendiang suaminya.
"Aku tidak bisa melakukannya, Parita," sahut Lasmi lirih.
"Kenapa?"
"Aku terkena racun yang memunahkan sebagian kekuatanku."
Parita terhenyak. Ditatapnya wanita ini dalam -dalam.
"Dalam suatu pertempuran, aku terkena pukulan beracun seorang laki-laki tua yang sangat tinggi ilmunya. Memang tidak terlihat sama sekali. Tapi setiap kali menggunakan tenaga dalam, setiap kali tenagaku berkurang. Dan sekarang aku tidak tahu lagi, apakah masih mampu atau tidak sama sekali."
"Kenapa kau tidak menceritakan hal ini pada ayahmu?"
Lasmi menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Tidak mungkin hal ini diutarakan pada ayahnya. Karena Datuk Maringgih pasti tahu dengan siapa Lasmi bertarung sehingga mendapatkan luka yang cukup parah. Bahkan bisa membunuhnya secara perlahan-lahan. Kalau hal ini sampai diketahui, sukar bagi Lasmi untuk membayangkannya.
***
EMPAT
Datuk Maringgih memandangi Parita yang duduk bersila di depannya dalam-dalam. Sungguh hatinya terkejut begitu mendengar putrinya mengidap racun dalam tubuhnya yang akan mengurangi kekuatan setiap kali menggunakan ilmu tenaga dalam. Dan laki-laki itu tahu, siapa yang memiliki jenis racun seperti itu. Hanya saja yang sukar untuk dimengerti, bagaimana mungkin Lasmi bisa bentrok hingga menderita keracunan begitu parah?
"Datuk, jangan katakan ini pada Lasmi," pinta Parita. Permintaan yang sudah beberapa kali diucapkan.
"Aku yang memberimu tugas untuk menjaga Lasmi jadi tidak mungkin membocorkan rahasiaku sendiri, Parita," tegas Datuk Maringgih.
"Terima kasih, Datuk," ucap Parita lega.
"Selain itu, apa lagi yang kau dapatkan?" tanya Datuk. Maringgih.
"Lasmi juga menceritakan, kalau dirinya bisa terlepas dari maut karena ditolong seseorang, Datuk," sahut Parita.
"Siapa?"
"Lasmi tidak suka menyebutkan namanya. Tapi hanya mengatakan kalau orang itu masih muda dan berkepandaian tinggi sekali. Katanya, pakaiannya dari kulit harimau. Seperti seorang pemburu, Datuk."
"Hm..., Pendekar Pulau Neraka," gumam Datuk Maringgih.
"Datuk mengenalnya?"
"Aku belum pernah bertemu, tapi nama besar Pendekar Pulau Neraka sering kudengar."
"Apakah beraliran putih, Datuk?" tanya Parita.
"Entahlah. Sepak terjangnya sukar ditentukan. Tapi, banyak kalangan rimba persilatan mengakuinya kalau dia beraliran putih. Meskipun tindakannya terkadang masih menggemaskan."
"Maksud, Datuk?"
"Dia sukar mengendalikan kemarahan. Bahkan tidak pernah memberi ampun lawan-lawannya. Ilmunya memang tinggi sekali, sehingga sukar diukur tingkat kepandaiannya. Hm...," Datuk Maringgih menundukkan kepala.
"Ada apa, Datuk?" tanya Parita.
"Kau tidak tanya, di mana Lasmi bertemu Pendekar Pulau Neraka?" Datuk Maringgih malah balik bertanya.
"Di sebelah Barat Desa Kaung," sahut Parita.
"Parita, kau pergilah. Cari Pendekar Pulau Neraka itu, dan sampaikan undanganku padanya," perintah Datuk Maringgih.
"Datuk mengundangnya...?"
"Benar, sudah lama sekali aku ingin bertemu orang yang bernama Pendekar Pulau Neraka itu. Mudah-mudahan aku bisa bertukar pengalaman dengannya."
"Baik, Datuk."
"CepatJah, jangan sampai keduluan yang lain. Terutama...." terdengar ketukan di pintu. Laki-laki tua itu menatap pintu, demikian pula Parita.
"Masuk...!" seru Datuk Maringgih.
Pintu terbuka, dan muncul seorang murid yang masih berusia belasan tahun. Dia menjura memberi hormat, lalu melangkah ke depan tiga tindak.
"Ada apa?" tanya Datuk Maringgih.
"Ada seorang tamu hendak bertemu, Datuk," sahut muridnya.
"Siapa?"
"Orang itu tidak mau menyebutkan namanya. Katanya ingin bertemu langsung dengan Datuk."
"Hm...," Datuk Maringgih menggumam kecil.
Sementara Parita sudah bangkit berdiri. Dia hendak melangkah ke luar, tapi Datuk Maringgih cepat mencegah. Laki-laki tua itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar dengan langkah tenang. Murid Padepokan Bambu Kuning menyingkir memberi jalan. Parita mengikuti dari belakang.
***
Datuk Maringgih terkejut bukan main ketika melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun lebih, menunggunya di depan bangunan utama Padepokan Bambu Kuning ini. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan pakaian dari bulu binatang. Wajahnya terlihat kasar dengan brewok yang tidak teratur. Dua orang yang tidak kalah kasamya mendampingi di samping kiri dan kanan.
"Ki Rampoa, apa maksudmu datang ke tempatku?" tanya Datuk Maringgih.
"Aku ingin meminta tanggung jawabmu, Datuk Maringgih!" sahut Ki Rampoa lantang.
"Tanggung jawabku...?" Datuk Maringgih mengerutkan alisnya.
"Ya, karena kau telah membunuh putraku!" bentak Ki Rampoa lantang.
"Heh...! Tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksudmu," sentak Datuk Maringgih terkejut.
"Kau jangan berpura-pura, tua bangka! Aku tahu kalau Lasmi kembali lagi ke sini setelah meracuni anakku, lalu mencincangnya seperti daging busuk. Hhh! Sungguh licik! Kau gunakan kecantikan anak gadismu agar membangkang pada ayahnya. Sebelum kau beri dia ilmu olah kanuragan, lalu kau menyuruh menentangku. Benar-benar licik!"
"Jaga kata-katamu, Ki Rampoa!" bentak Datuk Maringgih gusar.
"Seharusnya kau jaga anakmu!"
"Bedebah...!" geram Datuk Maringgih gusar.
"Datuk Maringgih, aku tidak ingin bermain-main denganmu. Serahkan Lasmi, atau kau memilih kehancuran padepokanmu ini!" Ki Rampoa memberi pilihan bemada ancaman.
"Tidak dua-duanya!" tegas Datuk Maringgih.
"Bagus! Itu berarti aku yang akan menentukan pilihan. Dan aku memilih keduanya," kata Ki Rampoa.
"Bajingan kau, Rampoa!" desis Datuk Maringgih.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak-bahak.
Gemeretak seluruh geraham Datuk Maringgih, tapi masih berusaha diredam kemarahannya. Sikap dan kata-kata Ki Rampoa sungguh menyakitkan. Tapi juga disadari kalau antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir Merah sedang diadu domba. Datuk Maringgih sadar, kalau ada pihak lain yang menginginkan kehancuran Partai Pasir Merah itu.
Dan orang tua berjubah putih itu tahu siapa orang-nya, hanya saja namanya belum diketahui. Yang pasti adalah, empat orang yang mengeroyok Sundrata hingga tewas. Mereka pasti meniupkan api di hati Ki Rampoa dengan memanfaatkan hubungan antara putra Ki Rampoa dengan Lasmi. Dan tentunya, mereka pasti tahu kalau di antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir Merah terjadi perang dingin yang sudah berlarut-larut, meskipun putra-putri pemimpin masing-masing mengikat tali perkawinan. Namun hal itu tidak juga bisa membuat kedua kelompok itu menyatu. Bahkan kini malah semakin genting.
"Perlu kau ketahui, Datuk Maringgih. Seluruh Padepokanmu sudah terkepung, dan bendera perang tinggal kukibarkan. Maka.... Ha ha ha...!" keras sekali suara Ki Rampoa.
Datuk Maringgih menggeretak menahan kemarahan.
"Aku perlu jawabanmu, Datuk Maringgih. Kutunggu jawabanmu besok pagi. Ingat! Serahkan Lasmi padaku, atau seluruh padepokan ini akan hancur. Dan tentunya Lasmi akan berada di tanganku.
Ha ha ha...!"
Ki Rampoa memutar tubuhnya, lalu melangkah pergi. Suara tawanya terus bergerai lepas menggelegar. Mata Datuk Maringgih tajam memandangi dengan wajah memerah. Inilah yang sudah diduga sejak Lasmi kembali.
Datuk Maringgih berbalik, tapi tidak jadi melangkah ketika Lasmi tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu. Sebentar Datuk Maringgih memandang putrinya, kemudian mengayunkan kakinya juga masuk ke dalam. Sedikit pun wanita itu tidak ditolehnya. Lasmi bergegas menyusul dan mensejajarkan langkahnya di samping laki-laki tua itu.
"Ayah, boleh aku bicara...?" pinta Lasmi.
Datuk Maringgih menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh sedikit dan memandang wanita di depannya kini. Sedangkan Lasmi membalas tatapan mata itu. Satu hal yang baru pertama kali ini dilakukannya. Selama ini pandangan mata ayahnya tidak pernah ditentangnya. Tapi sekarang terpaksa harus dilakukan. Memang dia telah mendengar semua yang dikatakan Ki Rampoa, ayah dari suaminya.
"Ayah! Semua ini karena kesalahanku, tanggung jawabku...," kata Lasmi mencoba bicara meskipun tahu ayahnya sedang diliputi kemarahan.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Datuk Maringgih.
"Demi keselamatan Padepokan Bambu Kuning, biar Lasmi menemui Ki Rampoa," tegas Lasmi.
"Edan! Apa kau sudah tidak bisa berpikir waras lagi, heh?!" rungut Datuk Maringgih seraya menghempaskan tubuh di kursi.
"Lasmi masih waras, Ayah. Itu sebabnya kenapa Lasmi tidak ingin terjadi pertumpahan darah di sini.
"Lasmi rela meskipun mati."
"Tidak! Kau anakku! Segala yang kau perbuat, menjadi tanggung jawabku!" tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Tapi...."
"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak!" sentak Datuk Maringgih tegas.
"Ayah ingin mengorbankan sekian banyak orang? Ayah ingin melihat padepokan yang kita cintai ini hancur? Tidak, Ayah...! Seumur hidup, Lasmi akan menyesal jika hal itu sampai terjadi. Semua orang akan mencibir. Bahkan mengatakan kalau putri seorang Guru Besar Padepokan Bambu Kuning bisanya hanya berlindung di ketiak ayahnya. Apa kata sahabat-sahabat Ayah jika mereka mengetahui kalau Ayah mengorbankan banyak nyawa hanya karena hendak melindungi anaknya yang telah lari bersama laki-Jaki putra musuhnya? Apa kata mereka nanti, Ayah...?" agak keras nada suara Lasmi.
Sementara Datuk Maringgih jadi terdiam membisu. Sungguh tidak diduga kalau Lasmi akan berkata begitu. Dan itu memang tidak bisa dibantah kebenarannya. Tapi juga tidak bisa dibiarkan begitu saja jika Ki Rampoa membawa Lasmi seenaknya saja dari tempat ini. Bahkan kalau hal itu sampai terjadi, cibiran akan datang lebih menyakitkan lagi. Datuk Maringgih, seorang guru besar padepokan ternama tidak berkutik di tangan seorang pemimpin gerombolan begal. Apa itu tidak akan menyakitkan...? Bukan hanya cibiran, tapi juga tidak akan lagi ada yang memandang Padepokan Bambu Kuning. Sebuah padepokan yang sudah terkena! menelorkan pendekar-pendekar berkepandaian tinggi dan tangguh.
"Pergilah, aku akan pikirkan," ujar Datuk Maringgih.
"Ki Rampoa hanya memberi waktu...."
"Aku tahu, Lasmi.... Pergilah. Biarkan aku sendiri dulu," potong Datuk Maringgih cepat.
"Baik, Ayah."
Lasmi bergegas meninggalkan ruangan itu. Sementara Datuk Maringgih masih terduduk di kursi dengan wajah kusut Memang sukar mengambil keputusan dalam saat seperti ini. Dia tahu kalau Lasmi bersikap demikian karena merasa dirinya tidak akan mampu mempertahankan kejayaan dan martabat ayahnya. Meskipun masih terlihat ketegaran, tapi Datuk Maringgih dapat merasakan adanya kepurusasaan. Dan ini belum pemah dialami Lasmi. Kepurusasaan itu datang karena dirasakan dirinya tidak berguna lagi.
***
Malam ini suasana di sekitar benteng Padepokan Bambu Kuning sungguh lain dari biasanya. Ketegangan menyelimuti seluruh wajah-wajah penghuninya. Malam begitu senyap. Bukan saja di sekitar Padepokan Bambu Kuning, tapi juga menyelimuti seluruh Desa Kaung. Kedatangan Gerombolan Pasir Merah tentu sudah diketahui seluruh penduduk desa. Terlebih lagi, mereka ini mengepung Padepokan Bambu Kuning.
Tapi tidak demikian halnya dengan Lasmi. Dia tampak tenang, bahkan menikmati udara malam di depan kamarnya yang langsung berhubungan dengan taman samping bangunan utama Padepokan Bambu Kuning ini. Sama sekali kejadian siang tadi tidak dihiraukan. Bahkan sikap Parita yang menemaninya sejak petang tadi tidak dipedulikan.
"Kenapa kau mengambil keputusan nekad begitu, Lasmi?" desah Parita terasa berat.
"Aku harus bertanggung jawab, Parita," sahut Lasmi.
"Itu bukan tanggung jawab, tapi perbuatan nekad. Aku tahu kau putus asa, karena...."
"Tidak," potong Lasmi cepat.
"Lasmi! Jika kau suka berterus terang pada ayahmu, tentu bisa pulih seperti semula," nada suara Parita terdengar membujuk.
"Untuk apa? Sudah lama aku menyimpan racun ini di tubuhku. Lagi pula Ki Rampoa hanya menginginkan aku, dan mereka akan pergi dari sini."
"Tidak, Lasmi. Ki Rampoa tidak akan pergi meskipun kau menyerahkan diri. Dia pasti akan tetap menggempur padepokan ini. Lasmi.... Kau harus menyadari kalau semua ini bukan karena kesalahanmu, tapi ada orang ketiga yang memanfaatkannya. Dan kau tahu, siapa-siapa saja orangnya," kata Parita lagi.
Lasmi terdiam.
"Aku benar-benar tidak mengerti sikapmu, Lasmi. Aku tidak lagi melihat Lasmi yang dulu kukenal. Lasmi yang tegar, berani, dan tidak mengenal putus asa," keluh Parita pelan.
"Sudah malam, Parita. Kau perlu mengumpulkan tenaga untuk besok," kata Lasmi seraya bangkit berdiri.
Sebelum Parita membuka mulut lagi, Lasmi sudah melangkah masuk. Tapi belum juga pintu kamarnya ditutup, Parita sudah menerobos masuk. Lasmi tak bisa mencegah lagi, terlebih pemuda itu mencekal tangannya kuat-kuat.
"Lasmi. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa lagi padamu. Mungkin aku memang sudah gila, atau mungkin mataku buta karena tidak bisa lagi melihat tingginya gunung dan dalamnya lautan. Tapi aku tidak ingin membohongi dan memendamnya terus menerus," jelas Parita sungguh-sungguh.
Lasmi hanya diam saja.
"Pandang aku, Lasmi. Apakah aku tidak pantas untuk mendampingimu? Apakah terlalu hina di matamu?" sambung Parita lagi.
Lasmi masih tetap diam.
"Aku memang orang biasa yang tidak jelas asal-usulku. Kalau bukan ayahmu yang membawaku ke sini, merawat, mendidik, dan mengasuhnya, mungkin aku sudah jadi gembel jalanan. Terlalu besar budi ayahmu. Dan itu tidak akan bisa kubalas sampai mati. Yaaah.... Aku memang tidak sepadan denganmu. Maafkan aku, Lasmi. Tidak seharusnya aku berkata begini pada saat seperti ini," keluh Parita.
Lasmi memandang pemuda itu dalam-dalam. Sementara Parita melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan wanita itu. Beberapa saat lamanya, mereka hanya saling bertatapan. Perlahan Lasmi menggeser kakinya, dan duduk di kursi rotan panjang. Parita menghampiri dan ikut duduk di samping wanita itu. Tapi mereka masih juga berdiam diri membisu.
"Wijaya perlu seorang ayah, Lasmi," ujar Parita seraya memandang bocah kecil yang melingkar di pembaringan.
"Kau membenci ayahnya," desah Lasmi.
"Tidak ada alasan bagiku untuk membenci Sundrata. Lagi pula bukan kebencian, tapi..., cemburu," terdengar pelan nada suara Parita yang terakhir.
Lasmi menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Jangan menatapku begitu, Lasmi. Kau boleh saja muak padaku, tapi tidak akan melunturkan cintaku padamu," tegas Parita lagi. Dia semakin berani mengungkapkan perasaan hatinya.
"Aku sudah punya anak, Parita," kilah Lasmi.
"Aku tidak peduli."
"Aku bekas istri orang yang...."
"Cukup! Aku tidak suka mendengar macam-macam alasan lagi darimu, Lasmi. Bagiku kata penolakan lebih sempurna daripada seribu macam alasan."
"Dengar dulu, Parita. Aku tidak ingin kau mencintaiku hanya karena kasihan. Aku tidak ingin dikasihani. Lagi pula, kau tahu kalau racun yang bersarang di tubuhku sewaktu-waktu bisa merenggut nyawaku. Aku tidak ingin hal ini menjadi beban bagimu. Pikirkan semua ini sekali lagi, Parita."
"Ternyata kau lebih dewasa dari yang kubayangkan, Lasmi. Dan itu semakin mempertebal rasa cintaku padamu."
"Parita..."
"Aku hanya meminta ketegasanmu saja, Lasmi" desak Parita.
"Jangan mendesakku, Parita. Kau tahu, baru beberapa hari Kakang Sundrata meninggal. Lagi pula, kita semua sedang menghadapi situasi yang sulit Aku janji, Parita. Jika semua sudah teratasi, dan kita masih diberi umur panjang, aku akan memberi jawaban yang kau minta."
"Baiklah, aku akan bersabar. Tapi kumohon, jangan serahkan dirimu pada Ki Rampoa," sahut Parita.
Lasmi hanya tersenyum saja.
"Demi aku, Lasmi. Demi Wijaya...," desak Parita.
"Baiklah, aku akan menghadapinya sendiri nanti," sahut Lasmi.
"Kau jangan macam-macam, Lasmi."
"Tidak! Kau lihat saja nanti."
"Aku tidak ingin kau nekad dan membunuh dirimu sendiri."
Lagi-lagi Lasmi hanya tersenyum, kemudian bangkit berdiri dan melangkah menuju ke pembaringannya. Tubuh yang ramping itu langsung terbaring. Parita masih duduk di kursi memandangi.
"Tutup pintunya, Parita," kata Lasmi.
Parita bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya Lasmi yang terbaring menelentang. Tampak bagian dadanya yang membusung sungguh indah dipandang. Parita menghampiri dan berdiri saja di samping pembaringan. Lasmi membuka matanya, dan langsung terkejut melihat Parita berada di dekatnya.
"Aku mencintaimu, Lasmi," bisik Parita lembut.
Lasmi menarik napas panjang. Dan sebelum wanita itu bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja Parita membungkuk. Maka satu kccupan lembut mendarat di bibir yang merah ranum itu. Sejenak Lasmi terhenyak. Tubuhnya mengejang seketika. Dan begitu tersadar, Parita sudah tidak ada lagi di kamar ini. Pintu sudah tertutup rapat.
"Ohhh...," Lasmi mendesah panjang.
Inilah ciuman pertama dari seorang laki-laki yang bukan suaminya. Sungguh tidak diduga kalau Parita akan seberani itu. Dan dia sendiri tidak mengerti, kenapa tidak menolak atau mencegahnya. Ciuman yang cepat, tapi begitu lembut dan.... Ah..., Lasmi jadi tersenyum sendiri. Dulu dia pemah merasakan hal serupa dengan yang sekarang.
Masih lekat di dalam ingatan, ketika semalaman dia tidak bisa tidur ketika pertama kali Sundrata mencium bibimya. Dan selama tiga hari masih terasa terus. Bahkan jadi malu jika bertemu pemuda itu. Kini perasaan itu datang lagi. Apakah malam ini dia tidak bisa tidur juga? Tidak...! Ini bukan ciuman pertama, tapi yang pertama dari laki-laki lain.
"Ah, Parita.... Kenapa baru sekarang kau berani...?" desah Lasmi lirih.
Seandainya sejak dulu Parita seberani ini, tentu tidak akan ada masalah. Sampai-sampai malam ini semua orang diliputi ketegangan yang amat sangat. Tapi Lasmi memang mengakui, kalau Parita bukanlah seorang laki-laki yang berani mengungkapkan perasaan hatinya pada seorang gadis. Bahkan bisa dikatakan laki-laki pendiam dan tertutup pada gadis-gadis. Padahal dia cukup tampan dan gagah, serta berkepandaian tinggi.
Lasmi benar-benar tidak bisa memejamkan mata sepicing pun. Ciuman Parita benar-benar membuatnya jadi tidak menentu. Dia beranjak bangkit dari pembaringan, dan melangkah menghampiri pintu. Sedikit dibukanya pintu dan mengintip keluar.
"Heh...?!" Lasmi terkejut bukan main.
Sungguh tidak disangka kalau di depan kamarnya Parita masih ada, tengah duduk memandangi kamarnya di bawah pohon. Buru-buru Lasmi menutup pintu dan membalikkan tubuh. Disandarkan punggungnya di daun pintu kamar ini.
"Apa yang dilakukannya di situ...?" bisik Lasmi bertanya pada dirinya sendiri.
Lasmi kembali ke pembaringannya. Direbahkan dirinya dan dicobanya untuk melupakan pemuda itu. Dia mencoba tidur, tapi.... Huh! Lasmi mendengus dalam hati.
"Aku bukan gadis ingusan lagi yang baru kenal cinta! Edan...! Kenapa jadi begini...?" Lasmi memaki-maki dirinya sendiri.
Sementara malam terus beranjak semakin larut. Beberapa kali mulutnya mengumpat, mencoba melupakan bayang-bayang wajah Parita. Bahkan menggantinya dengan bayangan wajah suaminya. Tapi semakin keras berusaha, bayangan wajah suaminya semakin mengabur. Dan malah wajah Parita semakin jelas mengganggu pelupuk matanya.
"Konyol! Tidak lucu...!" dengus Lasmi memaki dirinya.
***
LIMA
Pagi-pagi sekali seluruh murid Padepokan Bambu Kuning sudah berkumpul di halaman depan bangunan utama. Dan pagi ini, Lasmi sudah mengambil keputusan yang membuat ayahnya jadi tertegun tidak mengerti bercampur khawatir. Tapi laki-laki tua itu tidak bisa berbuat lain lagi, dan hanya bisa menyetujui disertai sedikit nasihat Tapi lain lagi yang dirasakan Parita. Keputusan Lasmi dirasakan terlalu bodoh dan hanya akan membunuh diri saja. Tidak mungkin Lasmi bisa menandingi Ki Rampoa.
"Dia datang, Ayah," kata Lasmi tak berkedip memandang ke pintu gerbang.
"Masih ada kesempatan untuk merubah pikiranmu, Lasmi," tegas Datuk Maringgih.
"Apa pun yang terjadi, aku harus menghadapinya, Ayah. Keputusanku sudah bulat," sahut Lasmi.
Wanita cantik yang kini mengenakan baju putih ketat itu melangkah tenang menuruni undakan bangunan utama Padepokan Bambu Kuning. Saat itu Ki Rampoa sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman didampingi dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan wajah kasar mencerminkan kebengisan.
"He he he.... Sudah kuduga, kau pasti akan menyerah, Lasmi," ujar Ki Rampoa diiringi tawanya yang terkekeh.
"Aku tidak akan menyerah begitu saja, Ki Rampoa!" ujar Lasmi lantang.
"Heh...?!" Ki Rampoa agak terperanjat
"Aku akan menantangmu bertarung dengan satu syarat!" sambung Lasmi lagi.
"Phuih! Sejak kapan kau jadi besar kepala, heh?!" bentak Ki Rampoa.
"Dengar, Ki Rampoa. Meskipun kau ayah mertuaku, tapi kedatanganmu ke sini bukan sebagai mertuaku. Kau menantang dan mengancam, maka akan kulayani tantanganmu! Kita bertarung. Siapa yang menang, boleh menguasai yang kalah! Bagaimana...?".
"Bocah setan!"'geram Ki Rampoa merasa terhina.
Kalau saja yang mengajukan penawaran tantangan itu Datuk Maringgih sendiri, tentu tidak akan terhina seperti ini. Tapi yang memberikan penawaran justru seorang wanita muda yang sudah tentu kemampuannya jauh di bawahnya. Merah padam wajah Ki Rampoa. Dia menggeram mencoba menahan marah.
Ki Rampoa mengegoskan kepalanya sedikit, maka laki-laki yang berada di samping kirinya terkekeh sambil melangkah maju beberapa tjndak.
"Beri dia pelajaran biar terbuka matanya, Kebo Ireng!" dengus Ki Rampos gusar.
"He he he.... Terlalu cantik untuk disakiti, Ki," kata laki-laki yang dipanggil Kebo Ireng seraya mengerling pada Lasmi.
"Aku berikan dia padamu, Kebo Ireng!" dengus Ki Rampoa.
"Ha ha ha...!" Kebo Ireng tertawa terbahak-bahak.
Dan sebelum hilang suara tawanya yang memekakkan itu, mendadak saja laki-laki bertubuh tinggi besar berbaju kulit binatang itu melompat bagaikan kilat hendak menerkam Lasmi. Cepat sekali terkamannya, dan kedua tangannya terkembang lebar.
"Hait..!"
Sebelum ujung jari tangan Kebo Ireng berhasil menyentuh tubuh wanita itu, secepat kilat Lasmi mencabut pedangnya. Dan sambil melompat ke samping, dikebutkan pedangnya kuat-kuat.
Wut!
"Uts...!"
Kebo Ireng terkesiap sesaat, tapi cepat sekali meliukkan tubuhnya. Maka, ujung pedang Lasmi hanya membabat sedikit di depan perutnya yang buncit. Bumi terasa bergetar begitu kedua kaki Kebo Ireng menjejak tanah. Lasmi mencoba ke samping beberapa tindak, lalu menyilangkan pedangnya di depan dada.
"Bagus! Aku suka perempuan galak! He he he...!" Kebo Ireng terkekeh.
"Phuih!" Lasmi menyemburkan ludahnya.
Kebo Ireng menggeser kakinya ke samping. Kedua matanya memerah menatap tajam, mengamati setiap gerak yang dilakukan wanita itu. Dan sambil berteriak keras, laki-laki buncit itu melompat menerjang. Satu pukulan keras bertenaga dalam dilontarkannya.
"Yeaaah...!"
Lasmi yang menyadari dirinya dalam keadaan terluka karena keracunan, tidak mau mengambil resiko terlalu parah. Cepat-cepat tubuhnya berkelit melompat ke samping sambil membabatkan pedang ke arah pinggang. Saat itu Kebo Ireng tidak menyadari. Namun sebelum ujung pedang Lasmi berhasil merobek pinggangnya, laki-laki tinggi besar itu lebih cepat berkelit. Dan secepat itu pula dihentakkan kakinya ke samping.
Des!
"Akh...!" Lasmi memekik keras.
Tendangan menyamping Kebo Ireng memang tidak bisa diduga, dan Lasmi tak mampu menghindar. Iganya telak terkena tendangan bertenaga dalam cukup tinggi itu. Lasmi terpental ke samping, dan jatuh bergulingan di tanah beberapa kali.
Belum juga Lasmi sempat bangkit berdiri, Kebo Ireng sudah mengayunkan satu tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Kaki laki-laki buncit itu tepat menghantam dada tanpa dapat dihindarkan lagi. Untuk kedua kalinya Lasmi memekik keras, dan tubuh ramping itu terpental jauh membumbung tinggi ke angkasa.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat dan langsung menyambar tubuh Lasmi yang melayang deras di angkasa. Semua yang menyaksikan, jadi terpana. Karena tahu-tahu di atas atap sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan memakai baju dari kulit harimau, memondong tubuh Lasmi yang terkulai. Dari sudut bibir wanita itu mengalir darah.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Datuk Maringgih langsung mengenali pemuda itu.
Sungguh ringan bagaikan kapas tertiup angin, pemuda berbaju kulit harimau yang dikenali Datuk Maringgih sebagai Pendekar Pulau Neraka itu meluruk turun. Kakinya tepat mendarat di depan laki-laki tua Guru Besar Padepokan Bambu Kuning. Saat itu Parita bergegas menghampiri. Pemuda berbaju kulit harimau itu menyerahkan Lasmi pada Parita yang langsung menerima, dan membawanya masuk ke dalam.
***
"Anak Muda, siapa kau?!" bentak Ki Rampoa lantang.
"Perlukah kujawab pertanyaannya, Datuk?" pemuda berbaju kulit harimau itu malah bertanya pada Datuk Maringgih seraya berpaling pada laki-laki tua itu.
"Aku tahu siapa dirimu, Pendekar Pulau Neraka. Maaf, bukannya tidak senang dengan kehadiranmu, tapi rasanya ini bukan waktu yang tepat," ujar Datuk Maringgih sopan.
"Baiklah, tapi boleh aku menemui Lasmi?"
"Silakan."
Pemuda berbaju kulit harimau itu menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam bangunan utama Padepokan Bambu Kuning. Pendekar Pulau Neraka melihat Lasmi terbaring di kursi panjang ditemani Parita. Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung menghampiri, dan Parita hanya memandangi saja.
"Hm..., lukanya semakin parah," gumam pemuda berbaju kulit harimau itu setelah memeriksa keadaan Lasmi.
"Maaf, apakah kau yang bernama Bayu?" tanya Parita ragu-ragu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh dan mengangguk membenarkan. Dia memang Bayu, yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka dalam rimba persilatan.
"Lasmi sudah bercerita banyak tentang dirimu," kata Parita lagi.
Bayu belum juga sempat membuka mulut, ketika terdengar keributan dari luar. Kedua pemuda itu sama-sama berpaling menatap ke luar melalui pintu yang terbuka lebar. Tampak di halaman depan terjadi pertarungan. Suara-suara teriakan pertarungan disertai jeritan melengking dan denting senjata berbaur menjadi satu.
"Rupanya mereka benar-benar hendak menghancurkan padepokan ini," gumam Parita.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Partai Pasir Merah," sahut Parita.
Saat itu Datuk Maringgih masuk, dan langkahnya begitu cepat langsung dihampirinya Lasmi yang masih belum sadarkan diri terbaring di kursi panjang. Sebentar ditatapnya wanita itu, kemudian berpaling pada Parita dan Pendekar Pulau Neraka.
"Parita, bawa Lasmi pergi. Selamatkan dia dan anaknya dari sini. Aku mempercayakannya padamu," perintah Datuk Maringgih.
"Datuk...."
"Jangan membantah. Keadaan semakin gawat, Mereka terlalu tangguh untuk dilawan," potong Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan membantu mengusir mereka, Datuk," kata Bayu.
"Heh...?!"
Belum juga Datuk Maringgih mengatakan sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat ke luar. Begitu sempuma ilmu yang dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Datuk Maringgih dan Parita bergegas berlari ke luar.
Tampak Bayu sudah mengamuk menghajar orang-orang dari gerombolan begal yang bernama Partai Pasir Merah. Amukan Pendekar Pulau Neraka itu sungguh dahsyat bukan main. Dalam waktu sebentar saja sudah tidak terhitung, berapa jumlah anggota Partai Pasir Merah yang terjungkal tewas.
Melihat pemuda berbaju kulit harimau memporak-porandakan barisan Partai Pasir Merah, murid-murid Padepokan Bambu Kuning jadi bangkit semangatnya. Tapi tidak demikian halnya Ki Rampoa. Dia begitu gusar karena orang-orangnya semakin berkurang, tak ada yang sanggup membendung amukan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat..!"
Ki Rampoa melompat bagaikan kilat, dan mendarat tepat di depan Bayu yang baru saja menjungkalkan tiga orang anggota Partai Pasir Merah dalam satu ge-brakan saja.
"Cukup, Anak Muda!" bentak Ki Rampoa.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Siapa kau?! Kenapa mencampuri urusanku?!" sentak Ki Rampoa.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Orang Tua!" dingin sekali nada suara Pendekar Pulau Neraka itu.
"Setan! Kalau begitu mampuslah kau! Hiyaaat...!"
Ki Rampoa yang memang sudah meluap kemarahannya, semakin tidak bisa membendung lagi. Tubuhnya langsung melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu hanya berkelit menghindari terjangan laki-laki tua itu.
Sementara di sekitar situ, pertarungan masih terus berlangsung. Tampak Ki Rampoa menggempur Pendekar Pulau Neraka dengan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya. Pertarungan kedua tokoh rimba persilatan itu membuat mereka yang bertarung di dekatnya tak bisa menghindar dari terjangan yang tak menemui sasaran. Dan mereka yang masih bisa menghindar, langsung menjauhkan diri.
Seperti ada yang memberi komando saja, mereka yang bertarung, seketika menghentikan pertarungannya. Dua kelompok kini terlihat menyingkir dari arena pertarungan. Sementara itu Bayu dan Ki Rampoa terus bertarung sengit Entah sudah berapa jurus yang dikeluarkan, namun tampaknya pertarungan masih terus berjalan. Belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Semakin lama pertarungan semakin meningkat. Debu mengepul di sekitar pertarungan, membuat kedua tokoh rimba persilatan itu semakin sulit terlihat. Apalagi gerakan-gerakan mereka dilakukan demikian cepat, sukar diikuti pandangan mata biasa. Tapi tidak demikian halnya dengan Datuk Maringgih. Laki-laki tua itu nampak begitu seksama memperhatikan jalannya pertarungan. Dia memang ingin mengenal Pendekar Pulau Neraka, tapi kini tanpa diduga sama sekali dapat menyaksikan pertarungan pendekar muda digdaya itu. Sekejap pun perhatiannya tidak dialihkan.
Suatu saat, tiba-tiba saja Ki Rampoa dan Bayu saling berlompatan ke belakang. Dan kini mereka berdiri tegak saling berpandangan tajam. Semua yang menyaksikan menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tampak Ki Rampoa melebarkan kakinya ke samping, kemudian tangannya lurus merentang ke depan. Perlahan kedua tangannya bergerak bagai melambai.
"Celaka...! Dia menggunakan jurus 'Ular Langit'!" desis Datuk Maringgih mengenali jurus yang akan digunakan Ki Rampoa.
Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tahu betul, betapa dahsyatnya jurus 'Ular Langit' yang dimiliki Ki Rampoa. Tampak kecemasan meliputi raut wajahnya, terlebih lagi saat melihat Bayu bersikap tenang dan berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat ke depan.
Tapi mendadak saja kedua tangan Pendekar Pulau Neraka itu menghentak ke depan, tepat ketika tangan Ki Rampoa juga menegang kaku dengan jari-jari tangan meregang terbuka. Dan saat itu Ki Rampoa merapatkan kakinya. Tiba-tiba dia bergerak cepat menyusur tanah tanpa ada gerakan sedikit pun pada kedua kakinya. Sementara Bayu menunggu sambil merapatkan kedua kakinya juga. Cepat sekali tangan kanannya menghentak ke atas. Kemudian begitu tangan kanan turun ke bawah, tangan kirinya cepat bergerak ke atas. Dan ketika kedua telapak tangan Ki Rampoa dekat di depannya, secepat kilat Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Plak!
"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau Neraka terangkat ke atas, dengan kedua tangan tetap menempel pada lawannya.
"Hets...!" Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya ketika merasakan adanya tekanan ke bawah. Tapi mendadak saja kakinya amblas ke tanah hingga lutut!
Dua pasang telapak tangan beradu dan saling menempel rapat. Tampak kedua tubuh mereka bergetar. Masing-masing mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan melalui jurus-jurus andalan.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau Neraka terangkat dari tanah, tapi kedua telapak tangannya tetap menempel pada telapak tangan Ki Rampoa. Dengan posisi tubuh tegak lurus, Pendekar Pulau Neraka itu terus melayang naik perlahan-lahan hingga sejajar seperti tiduran di atas permukaan tanah.
Gerakan tubuh Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti. Tubuhnya terus naik hingga posisi kepala berada di bawah, dan kaki yang merapat tegak lurus berada di atas. Sedangkan telapak tangan dan kepalanya menempel pada tubuh Ki Rampoa.
"Hefs...!"
Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya ketika merasakan adanya tekanan ke bawah. Tapi mendadak saja kakinya amblas ke tanah hingga ke lutut. Tampak raut wajah Ki Rampoa memerah, dan keringat sebesar-besar butiran jagung menitik keluar di seluruh wajah, leher, dan tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu memutar tubuhnya, lalu melenting berbalik ke belakang Ki Rampoa. Begitu tangannya terlepas, seketika itu juga kakinya menghentak keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempumaan.
Buk!
"Akh...!"
Tendangan Bayu tepat menghantam punggung Ki Rampoa, membuat Ketua Partai Pasir Merah itu terjungkal ke depan. Tapi kedua kaki yang terpendam ke tanah membuat tubuhnya tertahan. Dan sebelum sempat disadari apa yang terjadi, Bayu sudah mengirimkan satu pukulan keras sambil melentingkan tubuhnya melewati kepala Ki Rampoa.
Des!
"Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Rampoa memekik melengking. Seketika itu juga laki-laki tua itu terpental ke belakang setelah dadanya terhantam satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Manis sekali Bayu menjejakkan kakinya di tanah. Sementara itu Ki Rampoa bergulingan beberapa kali, dan berhenti setelah menabrak pohon hingga hancur berkeping-keping.
"Ughk...!" Ki Rampoa mengeluh pendek.
Dia berusaha bangkit berdiri. Meskipun masih sanggup berdiri, tapi tubuhnya limbung sambil tangannya menekap dada. Tampak dari mulut dan hidungnya mengeluarkan darah kental berwama kehitaman. Pandangannya nanar berkunang-kunang. Kakinya melangkah tertatih menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.
"Aku belum kalah, bocah! Tunggu pembalasanku...!" dengus Ki Rampoa tersendat.
Ketua Partai Pasir Merah itu menggerakkan tangannya, maka dua orang pembantu utamanya bergegas menghampiri. Mereka memapah laki-laki tua itu, lalu membawanya pergi dari Padepokan Bambu Kuning. Kemenangan Bayu langsung disambut sorak-sorai yang gegap gempita oleh seluruh murid Padepokan Bambu Kuning.
***
Bayu memandangi Lasmi yang masih berbaring tak sadarkan diri. Agak lama juga Pendekar Pulau Neraka itu berdiri memandangi di samping dipan kayu di kamar wanita itu. Dia mendesah panjang dan menoleh memandang Parita yang duduk di kursi memangku Wijaya. Di sampingnya, duduk Datuk Maringgih. Bayu melangkah menghampiri dan duduk di depannya.
"Luka yang diderita semakin bertambah parah," ujar Bayu perlahan setengah mendesah.
Datuk Maringgih hanya diam saja dengan wajah murung. Sementara Parita memandangi wajah cantilk yang terpejam bagai tertidur nyenyak. Dalam hati sangat disesali tindakan Lasmi yang nekad menantang Ki Rampoa. Padahal tubuhnya dalam keadaan terluka cukup parah. Parita tahu kalau tadi Lasmi mengerahkan kekuatan tenaga dalam, dan tidak mempedulikanj luka yang dideritanya.
"Sebenamya dia sudah terluka cukup parah. Itulah sebabnya aku menyusul dan mencarinya sampai ke sini," jelas Bayu lagi.
Datuk Maringgih memandang Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau Lasmi memang pernah bertemu pemuda yang sudah kondang namanya ini, dan selalu menggemparkan dunia persilatan dalam setiap kemunculannya. Dia memang sudah mendengar kalau Lasmi bertemu Bayu, tapi belum yakin benar. Dan sekarang Bayu sendiri yang mengatakannya.
"Aku tahu, Parita yang mengatakannya padaku. Tapi aku kurang jelas, luka apa yang diderita Lasmi," kata Datuk Maringgih pelan.
"Keracunan yang dapat menguras tenaga dan kekuatannya. Bahkan bisa membunuhnya jika memaksakan menggunakan tenaga dalam," sahut Bayu.
"Datuk... Bukankah Datuk sudah mengetahui?" celetuk Parita yang sejak tadi diam saja.
"Aku masih ragu, Parita," sahut Datuk Maringgih. Tapi, setelah mendengar penuturanmu dan Pendekar Pulau Neraka, rasanya aku yakin kalau Lasmi mengidap Racun Ular Merah. Hm..., rasanya sukar dipercaya kalau Lasmi bisa bentrok dengan Datuk Parapat...," nada suara Datuk Maringgih seperti bergumam.
"Datuk Parapat. .?!" Parita terlongong.
"Kau masih ingat peristiwa di Hutan Panjang, Parita?" tanya Datuk Maringgih seraya menatap Parita.
"Masih, Datuk," sahut Parita.
"Kalau memang benar Lasmi bentrok dengannya, dan terkena Racun Ular Merah, rasanya sukar untuk bisa tertolong lagi. Tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali...," ucapan Datuk Maringgih terputus.
"Kecuali apa, Datuk?" tanya Bayu.
"Hanya dia yang punya obat pemunahnya," sahut Datuk Maringgih lesu.
"Aku akan berusaha mendapatkannya, Datuk," tegas Bayu.
"Kau tidak mengenalnya, Pendekar Pulau Neraka."
"Tapi aku tahu, Datuk," celetuk Parita.
"Jangan! Dia bukan lawanmu."
"Lasmi harus diselamatkan, Datuk. Lagi pula bukan aku sendiri yang akan pergi, tapi bersama Pendekar Pulau Neraka," sambung Parita mantap.
"Benar, Datuk. Kalau perlu dengan paksaan aku meminta obat pemunah darinya," sambung Bayu seraya melirik Parita.
"Ah.... Apa yang harus kukatakan untuk berterima kasih padamu, Pendekar Pulau Neraka," desah Datuk Maringgih.
"Tidak perlu, Datuk. Aku tahu Padepokan Bambu Kuning sangat dibutuhkan. Dan Datuk sangat berjasa melahirkan pendekar-pendekar perkasa untuk menumpas keangkaramurkaan. Aku merasa mendapat kehormatan bila bisa sedikit menyumbangkan tenaga untukmu," ungkap Bayu bernada merendah.
"Ternyata apa yang kudengar tentang dirimu selama ini sungguh jauh dari kenyataan," gumam Datuk Maringgih.
"Aku juga bukan manusia suci, Datuk."
"Tidak ada manusia suci di dunia ini. Semua manusia pasti pernah berbuat kesalahan, asal kita menyadari kesalahan itu dan suka memperbaikinya."
"Benar, Datuk. Tapi sukar untuk memperbaiki kesalahan. Terlebih lagi membersihkan nama yang sudah rusak, meskipun kita tidak pernah melakukannya."
Datuk Maringgih tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam percakapan yang sebentar ini, sudah bisa diselami jiwa Pendekar Pulau Neraka, meski belum seluruhnya. Tapi hatinya sudah bisa mengatakan kalau Pendekar Pulau Neraka tidak seperti apa yang pernah didengarnya selama ini.
Setiap kata yang diucapkannya mengandung arti yang dalam serta kerendahan hati, sebagaimana layaknya seorang pendekar sejati. Namun sukar untuk mengukur, sampai di mana tingkat kepandaiannya. Datuk Maringgih ingin punya kesempatan lebih banyak lagi dengan pemuda berbaju kulit harimau ini membagi pengalaman dan bertukar pikiran. Tapi sayang, Pendekar Pulau Neraka harus pergi. Dan kepergiannya ini untuk kesembuhan Lasmi serta keutuhan Padepokan Bambu Kuning.
***
ENAM
Pagi-pagi sekali Bayu dan Parita sudah keluar meninggalkan Padepokan Bambu Kuning. Mereka sengaja berjalan kaki, karena memang Pendekar Pulau Neraka tidak biasa menunggang kuda. Padahal dia sudah disediakan seekor kuda yang tegap dan bagus untuknya. Terpaksa Parita mengikuti berjalan kaki, karena tidak mungkin menunggang kuda sendirian, sementara Bayu hanya berjalan saja.
Belum lagi matahari naik tinggi, mereka sudah berada di luar batas wilayah Desa Kaung. Di situ, di tengah-tengah desa itu berdiri Padepokan Bambu Kuning. Mereka terus berjalan menuju hutan tempat pertama kali Bayu bertemu Lasmi. Mereka hendak memulainya dari sana sebelum ke tempat-tempat lainnya.
"Kakang, boleh bertanya sesuatu padamu?" Parita membuka suara karena sejak tadi mereka hanya diam saja. Dan Parita memang sudah membiasakan diri memanggil Bayu dengan sebutan kakang.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kenapa kau ingin membantu Lasmi?" tanya Parita. Meskipun agak tertekan, tapi masih terasa ada nada kecemburuan pada suaranya.
"Bukan Lasmi, tapi Padepokan Bambu Kuning," sahut Bayu.
"Bukan Lasmi...?" ada kelegaan di dada Parita.
"Benar. Dan memang sebenarnya aku hendak ke Padepokan Bambu Kuning, tapi kebetulan saja bertemu Lasmi di tengah jalan. Aku sendiri tidak tahu kalau Lasmi berada di sana, dan ternyata juga putri Datuk Maringgih. Aku baru tahu setelah kejadian kemarin," jelas Bayu.
"Boleh aku tahu tujuanmu ke Padepokan Bambu Kuning?" pinta Parita.
Bayu tidak langsung menjawab, dan hanya tersenyum saja. Dia melihat Parita, usianya pasti lebih muda darinya. Dan Pendekar Pulau Neraka menganggap Parita tidak akan bisa diharapkan. Tujuannya, ke Padepokan Bambu Kuning hanya untuk bertemu Datuk Maringgih. Dan tidak mungkin diutarakan maksud sebenamya kepada pemuda ini.
"Aku tidak akan memaksa jika kau tidak suka mengatakannya, Kakang," kata Parita bisa mengerti keberatan Bayu.
"Terima kasih," ucap Bayu.
Kembali mereka terdiam, dan terus melangkah semakin masuk ke dalam hutan. Tidak begitu lebat hutan ini, karena sering dijarah penduduk Desa Kaung, baik untuk mencari kayu bakar ataupun berburu. Jadi mereka bisa leluasa berjalan, tanpa harus menyibakkan semak. Banyak jalan setapak yang bercabang dan berliku yang bisa dilalui.
Belum jauh mereka memasuki hutan, mendadak saja Bayu menghentikan langkahnya. Dan belum juga mulutnya sempat dibuka, mendadak sebatang anak panah melesat ke arahnya. Bahkan disusul puluhan anak panah yang bertebaran bagai hujan.
"Awas...!" seru Bayu keras.
Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu berjumpalitan sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya menghalau anak panah yang bertebaran. Sedangkan Parita langsung mencabut pedangnya yang berwarna kuning keemasan, dan langsung diputar-putar cepat bagai baling-baling.
Begitu banyak anak panah yang rontok terbabat, tapi banyak juga yang melesat lewat. Namun tak ada satu pun yang mengenai sasaran. Meskipun anak panah itu datang bagaikan hujan, tapi kedua orang itu bukanlah tokoh sembarangan. Lagi pula Parita sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, sehingga pemuda itu tidak mengalami kesulitan menghalau anak panah yang menyerbu ke arahnya.
"Cepat ke belakangku, Parita!" seru Bayu.
"Hup...!"
Sambil mengebutkan pedangnya, Parita melompat ke belakang Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika itu juga, Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka tiba-tiba bertiup angin kencang bagai badai yang sangat dahsyat Suara angin mengguruh menghalau anak-anak panah itu. Tak berapa lama kemudian, terdengar jeritan-jeritan melengking saling sahut.
Terlihat tubuh-tubuh yang tersembunyi di balik semak dan pepohonan berpentalan di udara, bersamaan beterbangannya pohon-pohon yang tercabut dan bebatuan. Sementara Parita yang berada di belakang Bayu jadi terpana. Sungguh baru kali ini matanya melihat ada orang bisa menciptakan badai begitu dahsyat, hingga memporakporandakan isi hutan ini.
"Hap!
Bayu menarik tangannya hingga sejajar pinggang. Dan seketika itu juga badai berhenti. Pandangannya tajam beredar berkeliling, merayapi sekitarnya yang hancur berantakan akibat diterjang badai buatannya. Di antara pepohonan yang bertumbangan saling tumpang tindih, terlihat tubuh-tubuh berlumuran darah bergelimpangan. Bahkan ada beberapa yang tertimpa pohon, atau terhimpit batu.
"Partai Pasir Merah...," desis Parita mengenali pakaian yang dikenakan orang-orang itu.
"Hm.... Waspadalah," gumam Bayu memperingatkan.
Belum juga kering peringatan Pendekar Pulau Neraka itu, tiba-tiba berlompatan empat sosok tubuh. Dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri empat orang laki-laki tua yang rata-rata usianya sekitar tujuh puluh tahun. Bayu menggumam tidak jelas. Pendekar Pulau Neraka memang pemah bertemu mereka, ketika mengelabui untuk melindungi Lasmi dari kejarannya.
"Di dunia ini memang sukar menaruh kepercayaan pada seseorang," gumam orang tua berbaju wama merah yang menyandang sebuah gada besar berduri.
Bayu tahu kalau kata-kata itu ditujukan untuk dirinya. Tapi dia hanya diam saja, dan matanya sedikit tajam memandangi empat orang tua di depannya ini.
"Sudah, Kakang. Jangan banyak omong. Penggal saja batang lehernya!" sungut orang yang berbaju biru
"He he he..., itu masalah mudah. Kita harus tahu, apa maksudnya melindungi Lasmi," sahut yang berbaju merah.
"Sudah pasti dia orang dari Padepokan Bambu Kuning," celetuk yang memakai baju hitam.
"Benar! Yang satu itu sudah jelas dari sana, murid si tua bangka Datuk Maringgih! Ha ha ha...!" sambung yang berbaju hijau.
"Keparat! Kalian hina guruku...!" geram Parita, merah wajahnya mendengar gurunya dihina.
"Wuih! Dia bisa galak juga rupanya," ejek orang tua berbaju biru.
"Aku tahu siapa kalian! Empat Iblis dari Gunung Lor. Sudah lama aku ingin memenggal kepala kalian!" dengus Parita.
Empat orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Sedikit pun tidak memandang sebelah mata pada murid Padepokan Bambu Kuning itu. Sementara Bayu hanya diam saja, dan sedikit melirik pada Parita. Agak kaget juga hatinya, karena Parita mengenal keempat orang tua itu. Padahal, sebelumnya Parita mengatakan tidak mengetahui, siapa keempat orang yang membunuh suami Lasmi.
Tapi Bayu tidak sempat lagi bertanya, karena mendadak saja orang tua yang berbaju hijau sudah melompat menerjang Parita. Tongkatnya berkelebat cepat menimbulkan suara mendesing. Parita langsung mengebutkan pedangnya menyampok tongkat yang mengarah ke kepalanya itu.
Wuk!
Trang!
"Ih...!"
Orang tua berbaju hijau yang dikenal berjuluk Iblis Hijau itu terpekik kaget. Sungguh tidak dikira kalau Parita memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi juga. Tadi dia begitu meremehkan, sehingga tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Hampir saja tongkatnya terlepas kalau tidak cepat-cepat diputar ke atas. Dan Iblis Hijau kemudian melompat mundur dua tindak. Sementara Parita sudah bersiap menerima serangan kembali. Disilangkan pedangnya di dada.
"Bagus! Rupanya kau punya isi juga, bocah!" dengus Iblis Hijau.
"Dan kau sebentar lagi mampus di ujung pedangku!" balas Parita dingin. .
"Bocah setan! Hiyaaat..!"
Iblis Hijau memuncak amarahnya, dan langsung melompat menyerang Parita. Dua kali dikebutkan tongkatnya, dan kali ini tidak lagi memandang enteng pemuda itu. Namun manis sekali Parita berhasil mengelakkan serangan orang tua berbaju hijau itu. Bahkan dengan kecepatan luar biasa, murid Padepokan Bambu Kuning itu mengibaskan pedangnya ke arah dada dan perut
***
Dua tebasan Parita mudah dapat dielakkan Iblis Hijau. Dan sebelum pemuda itu menarik pulang pedangnya, Iblis Hijau sudah menghentakkan tongkatnya ke arah dada. Pada saat itu posisi Parita memang terbuka sekali, dan tidak mungkin lagi berkelit menghindar. Dengan cepat Parita mengibaskan pedangnya membabat tongkat yang hampir menusuk dadanya.
Trang!
"Akh...!" Parita memekik tertahan. Seluruh jari-jari tangannya mendadak terasa kaku, dan pedangnya tidak bisa lagi ditahan sehingga terpental lepas dari genggaman tangannya. Pada saat itu Iblis Hijau sudah mengirimkan satu tendangan keras ke arah perut
Qughk!
"Heghk...!"
Parita mengeluh pendek. Pemuda itu terbungkuk dan terhuyung-huyung ke belakang. Tendangan Iblis Hijau begitu keras, mengandung tenaga dalam yang cukup tinggi. Parita merasakan seluruh isi perutnya terkoyak, dan terasa mual, seakan-akan ingin muntah. Pada saat itu, Iblis Biru melompat cepat sambil mengayunkan cambuknya ke arah leher Parita.
Ctar!
Belum lagi ujung cambuk berduri itu berhasil menyentuh kulit leher Parita, Bayu sudah lebih dahulu menghentakkan tangannya. Seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu melesat bagaikan kilat, langsung menyambar cambuk hitam berduri.
Tas!
"Heh...!" Iblis Biru terperanjat. Belum lagi lenyap keterkejutan Iblis Biru karena cambuk mautnya terpotong, Bayu sudah melompat Langsung dikirimkan dua pukulan keras bertenaga sempuma dibarengi satu tendangan menggeledek.
Iblis Biru terperangah. Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang. Dia memang berhasil menghindari dua pukulan Pendekar Pulau Neraka. Tapi satu tendangan Jemuda berbaju kulit harimau itu tidak bisa dihindari lagi, tepat mendarat di dada. Des!
"Aaakh...!" Iblis Biru memekik-melengking. Orang tua berbaju biru itu terjungkal deras ke belakang. Bumi serasa bergetar begitu tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Tampak dadanya melesak ke dalam, dan dari mulutnya memuntahkan darah kental. Sebentar Iblis Biru menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi. Tendangan Bayu yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempuma itu sungguh luar biasa akibatnya. Ibte Biru langsung tewas seketika.
Ketiga orang tua lainnya jadi terperanjat melihat Iblis Biru tewas hanya dalam satu gebrakan saja. Mereka segera berlompatan mengurung Pendekar Pulau Neraka, dan jadi melupakan Parita yang sedang berusaha menghilangkan rasa mual di perutnya.
Bayu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Tiga laki-laki tua bergerak memutari tubuhnya, sambil memain-mainkan senjatanya masing-masing. Sedikit pun Bayu tidak berkedip memperhatikan setiap gerakan ketiga orang itu.
"Hiyaaa...!"
"Yaaa...!"
"Yeaaah...!"
Ketiga orang tua yang berjuluk Empat Iblis dari Gunung Lor itu berlompatan secara bersamaan. Senjata mereka terayun keras mengarah ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Saat itu pula Bayu melompat ke atas, seraya memutar tubuhnya sambil melontarkan beberapa pukulan. Gerakan Bayu yang demikian aneh dan cepat luar biasa itu sungguh mengejutkan ketiga laki-laki tua itu. Mereka bergegas menarik pulang serangannya. Tapi tindakan itu justru membuat Bayu senang. Dan seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka berputaran di udara, lalu tangan kanannya mengibas ke araji orang berbaju hijau. Secercah cahaya berkelebat cepat bagai kilat dari Cakra Maut yang melesat lepas dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Swing!
"Aaa...!"
Iblis Hijau menjerit melengking tinggi. Tak dapat dihindari lagi, Cakra Maut merobek leher laki-laki tua berbaju hijau itu hingga hampir buntung. Tubuhnya ambruk dan menggelepar di tanah. Darah langsung mengucur deras dari leher yang terpotong. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
Sementara dua orang lagi semakin terpana tidak percaya. Dan sebelum mereka bisa berbuat sesuatu, Bayu sudah kembali bergerak cepat. Empat pukulan langsung dilontarkan ke arah dua orang tua itu. Pukulan-pukulan itu begitu cepat, dan tidak bisa dihindari lagi.
Dua jeritan melengking terdengar saling susul, kemudian dua tubuh tua terjungkal keras ke atas tanah. Sebentar mereka menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi. Bayu berdiri tegak memandangi empat laki-laki tua yang kini sudah jadi mayat. Memang temyata mereka bukanlah lawan yang berat bagi Pendekar Pulau Neraka. Meskipun memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, tapi masih jauh berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, dengan mudah pemuda berbaju kulit harimau itu merobohkan mereka. Terlebih lagi, Bayu menggunakan senjata mautnya yang sangat sukar ditandingi.
Bayu menghampiri Parita yang sudah menyelesaikan semadinya untuk menghilangkan rasa mual dan sesak akibat bertaruhg dengan si Iblis Hijau tadi. Parita agak terkejut juga melihat Empat Iblis dari Gunung Lor sudah menggeletak tak bernyawa. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan-akan meminta penjelasan.
"Siapa mereka sebenarnya, Parita?" Bayu mendahului bertanya.
"Mereka adalah wakil-wakil Datuk Parapat," sahut Parita seraya merayapi empat orang tua yang sudah menggeletak jadi mayat.
"Hm..., pantas mereka hendak menangkap Lasmi," gumam Bayu.
Parita kembali mengalihkan pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka. Lasmi memang sudah menceritakan kalau pernah ditolong seorang pemuda berbaju kulit harimau ketika dikejar-kejar empat orang. Saat itu Parita tidak menduga kalau empat orang itu adalah mereka-mereka ini. Karena, Lasmi juga tidak begitu jelas mengatakan empat orang yang mengejarnya.
"Kalau mereka wakil Datuk Parapat, berarti datuk itu tidak berada jauh dari sini," duga Bayu setengah bergumam.
"Benar, Kakang. Tapi...," suara Parita terputus.
"Tapi apa, Parita?"
"Apa hubungan mereka dengan Partai Pasir Merah?" Parita seperti bertanya sendiri.
"Apa pun hubungannya, kita harus secepatnya mendapatkan obat penawar Racun Ular Merah darinya, Parita."
"Benar, Kakang. Ayo...! Jangan buang-buang waktu!"
Tapi belum juga mereka bergerak pergi, mendadak saja terdengar siulan nyaring melengking tinggi. Parita dan Bayu saling berpandangan. Suara siulan itu terdengar sangat jelas dan dekat sekali. Nadanya sangat tinggi dan menyakitkan telinga. Bayu langsung merasakan adanya pengerahan tenaga dalam pada suara siulan itu. Dan sebelum Parita diperingatkan, pemuda itu mendadak sudah menjerit sambil menutup kedua telinganya.
"Gunakan hawa murni, Parita!" kata Bayu memberitahu.
"Akh...! Tidak bisa...!" jerit Parita.
"Hih!"
***
Cepat sekali Bayu memberi beberapa totokan di sekitar dada dan telinga Parita. Seketika itu juga Parita jatuh lemas menggeletak di tanah. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sendiri segera duduk bersila, lalu merapatkan kedua tangannya di depan dada. Sebentar ditariknya napas panjang. Langsung tangannya digerak-gerakkan sebentar, dan diletakkan di lutut.
Sebentar kemudian seluruh tubuh Bayu sudah bersimbah keringat, dan perlahan mulai bergetar. Sementara suara siulan itu semakin melengking tinggi. Bayu terus bertahan, mencoba melawan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan melalui siulan itu dengan pengerahan tenaga dalam juga. Sungguh dahsyat! Seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka sampai bergetar, pertanda seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan hingga pada tahap yang paling tinggi.
Perlahan-lahan Bayu mengangkat kedua tangannya, dan merentang lebar ke samping. Perlahan pula tangan itu bergerak turun naik seperti sayap seekor burung bangau. Sukar dipercaya, pelan-pelan namun pasti, Bayu terangkat naik masih dalam posisi duduk bersila. Semakin lama semakin tinggi, dan tangannya terus merentang bergerak perlahan turun naik.
Setelah tubuhnya naik hingga mencapai dua tombak, tubuh Pendekar Pulau Neraka berputar. Semula perlahan-lahan, namun semakin lama semakin cepat Dan akhirnya yang terlihat hanya bayangan yang berputar cepat hingga menimbulkan suara angin menggemuruh.
Tiba-tiba saja....
"Yeaaah...!" Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan seketika tubuhnya meluruk turun deras, dengan tangan menukik ke bawah. Maka ledakan keras terdengar begitu kedua kepalan tangan Pendekar Pulau Neraka itu menghantam tanah dengan keras. Seluruh permukaan tanah berguncang hebat bagai terjadi gempa. Kembali Bayu melesat ke angkasa, lalu berputaran beberapa kali, dan mendarat manis di tanah. Maka saat itu pula suara siulan berhenti.
Bayu menggeser kakinya menghampiri Parita. Dia sedikit membungkuk, dan memberikan beberapa totokan. Parita menggeliat, kemudian menggelinjang bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Bayu, tapi langsung beralih ketika seorang laki-laki tua mengenakan jubah hitam tiba-tiba muncul. Seluruh rambut, kumis, dan jenggotnya sudah putih semua. Dia membawa sebatang tongkat hitam dengan ujung berbentuk golok.
"Bayu, dia itu Datuk Parapat," Parita memberitahu.
"Hm...," Bayu hanya bergumam saja.
Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah pernah bertemu laki-laki tua ini, meskipun hanya sekejap saja. Itu terjadi ketika Bayu menyelamatkan Wijaya yang hampir lumat terbanting ke tanah, dan langsung menyambar Lasmi untuk dibawa pergi. Bayu sendiri tidak tahu, apakah orang tua ini sempat mengenali atau tidak. Yang jelas, Bayu sempat mengenalinya sebelum melesat pergi menyelamatkan dua nyawa sekaligus.
"Aku mengakui kehebatanmu, Anak Muda. Tapi itu belum berarti kau mampu menandingiku," tegas laki-laki tua yang dikenali Parita bemama Datuk Parapat itu.
"Kau yang bernama Datuk Parapat?" tanya Bayu langsung.
"Tidak salah lagi, Anak Muda," sahut Datuk Parapat membenarkan.
"Ketahuilah, aku sengaja berada di sini untuk mencarimu," kata Bayu mantap.
"Aku tahu untuk apa kau mencariku, Anak Muda.
Sayang sekali Lasmi tidak bisa kuselamatkan," sergah Datuk Parapat kalem.
"Datuk Parapat! Tidak ada gunanya kau menyiksa Lasmi!" celetuk Parita lantang.
"Hm, siapa kau?!" dengus Datuk Parapat menatap Parita tajam.
"Aku Parita, murid Padepokan Bambu Kuning," sahut Parita.
"Bagus! Rupanya kau murid Datuk Maringgih. Katakan pada gurumu agar janjinya segera ditepati. Serahkan Lasmi padaku, jika tidak ingin melihat anak itu mati perlahan-lahan!" ancam Datuk Parapat.
"Urusanmu dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau libatkan Lasmi?" kembali Parita membuka suara.
"Kau belum tahu apa-apa, bocah. Dan sebaiknya tidak perlu ikut campur. Ini urusanku dengan gurumu!" sentak Datuk Parapat mulai tidak senang.
"Masalah guruku, juga masalahku!"
"Hhh! Rupanya kau keras kepala juga, bocah!" dengus Datuk Parapat.
"Datuk Parapat! Sebaiknya serahkan saja obat pemunah Racun Ular Merah," kata Parita lagi.
"Bicaramu semakin kurang ajar saja, bocah. Kuperingatkan sekali lagi padamu! Jika kau tidak mau diam, terpaksa kubungkam mulutmu!" ancam Datuk Parapat
"Tidak semudah itu, Orang Tua!" tantang Parita. "Bocah gendeng. .! Hih!"
Tiba-tiba saja Datuk Parapat menghentakkan tangan kirinya. Maka dari balik lengan jubahnya melesat jarum kecil berwama merah berjumlah lima buah, dan langsung meluruk deras ke arah Parita. Dan pemuda murid Padepokan Bambu Kuning itu langsung mengibaskan pedangnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Empat buah jarum merah berhasil dihalau, tapi sebuah jarum luput dari babatan pedangnya. Dan Parita tak bisa lagi menghindar. Jarum itu menghunjam bahu kanan, sehingga membuatnya terpekik kecil. Dan kini tirbuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sebentar dia masih mampu berdiri, kemudian ambruk tak bergerak lagi. Bayu tersentak kaget, dan segera bergerak menggeser ke depan.
"Dia hanya pingsan, Anak Muda," jelas Datuk Parapat.
Bayu yang sudah siap hendak menyerang, langsung mengurungkan niatnya. Ditatapnya dalam-dalam wajah tua di depannya. Kemudian berpaling memandang pada Parita yang tergeletak di tanah. Memang benar, dada murid Padepokan Bambu Kuning itu masih bergerak, tanda masih hidup.
"Aku tahu, kau bukan dari Padepokan Bambu Kuning. Kuharap kau tidak mencampuri urusan ini, Anak muda," tegas Datuk Parapat lagi.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
***
TUJUH
Bayu melirik Parita sebentar, yang masih tergeletak tidak sadarkan diri. Pada bahu kanannya terlihat sebuah jarum merah menghunjam tidak seberapa dalam. Hanya setitik darah yang merembes keluar. Pendekar Pulau Neraka itu kembali menatap Datuk Parapat Pandangannya kemudian beredar ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah.
"Kau yang menghasut mereka menghancurkan Padepokan Bambu Kuning?" tanya Bayu, agak datar nada suaranya.
"Ha ha ha...! Tanpa dihasut pun mereka memang ingin menghancurkan Padepokan Bambu Kuning!" sahut Datuk Parapat enteng.
"Tampaknya kau seperti orang bijaksana. Tapi kenapa kau lakukan perbuatan keji itu?" tanya Bayu ingin tahu.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Anak Muda?" Datuk Parapat malah balik bertanya.
"Karena aku ada kepentingan dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning. Dan sebelum kepentinganku terlaksana, tidak ada seorang pun yang boleh mengganggu!" tegas jawaban Bayu.
"Anak Muda! Aku sering mendengar nama dan sepak terjangmu. Rasanya tidak ada persoalan antara kau dengan Datuk Maringgih...," ujar Datuk Parapat setengah bergumam.
"Itu urusanku, Datuk Parapat!" dengus Bayu.
"Kau tidak ingin urusanmu dicampuri, tapi kenapa kau mencampuri urusanku?" agak gusar nada suara Datuk Parapat
"Aku bukan mencampuri urusanmu! Tapi aku tidak ingin ada orang lain yang mengganggu Padepokan Bambu Kuning sebelum urusanku sendiri terlaksana!"
"Kau terlalu besar kepala, Pendekar Pulau Neraka," desis Datuk Parapat "Bukan hanya kau yang punya persoalan dengan Datuk Maringgih. Hm.... Jika. kau ingin melenyapkan orang tua itu, kenapa kau tidak bergabung saja denganku? Dan kenapa kau malah memusuhi orang-orang Partai Pasir Merah?"
"Maaf, aku selalu bertindak sendiri. Aku tidak suka banyak orang," tolak Bayu tegas.
"Anak Muda, aku tidak tahu urusanmu dengan Datuk Maringgih. Dan aku tidak akan mau tahu. Tapi tindakanmu membuatku merasa gerah. Tak ada seorang pun yang boleh menghalangiku. Kau mengerti itu, Pendekar Pulau Neraka...?" mantap kata-kata Datuk Parapat.
"Tidak perlu penjelasan lagi, Datuk Parapat. Aku siap menghadapimu!" tegas jawaban Bayu.
"Bagus! Sebaiknya lata mulai sekarang."
"Boleh."
Mereka sama-sama menggeser kakinya ke samping dengan arah berlawanan. Tak ada lagi yang membuka suara, dengan bibir terkatup rapat. Sinar mata bersorot tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
Trak!
Datuk Parapat menepak tongkat yang berujung golok besar di tangan kanan dengan telapak tangan kiri. Perlahan-lahan diarahkan ujung tongkatnya kepada Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu menarik tangan kiri sejajar dada, dan tangan kanan lurus ke depan dengan telapak terbuka dan jari merapat.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sambil memperdengarkan teriakan keras, mereka berlompatan menerjang. Datuk Parapat mengebutkan tongkat berujung golok dengan kekuatan tenaga dalam tinggi. Sementara Bayu meliukkan tubuhnya sambil mengirimkan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.
Serangan pertama masing-masing pihak tak ada yang mengenai sasaran. Kemudian mereka melakukan serangan kedua, disusul serangan-serangan selanjutnya. Pertarungan pun tak dapat dihindari lagi. Masing-masing langsung mengerahkan jurus-jurus andalan dahsyat dan sangat berbahaya. Sedikit kelengahan saja, dapat berakibat fatal.
Jurus demi jurus cepat dilalui. Tak terasa mereka sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus. Tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda pertarungan bakal terhenti. Bahkan belum ada tanda-tanda yang terdesak. Bukan hanya Bayu yang merasakan kali ini mendapatkan lawan tangguh, tapi juga Datuk Parapat punya perasaan sama. Terlebih lagi dia tidak menduga kalau pemuda ini mampu menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar bentakan.
Suara bentakan itu begitu keras, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, mereka yang bertarung jadi terkejut. Mereka langsung berlompatan mundur, dan hampir bersamaan pula menoleh ke arah datangnya suara bentakan keras menggelegar tadi. Bukan main terkejutnya dua orang yang tadi bertarung itu saat melihat di sekelilingnya sudah mengepung puluhan orang bersenjata terhunus. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka. Karena, bentakan keras menggelegar tadi temyata datang dari seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun.
"Ki Rampoa...," desis Bayu.
"Hm...," sementara Datuk Parapat hanya menggumam saja.
Dua orang yang tadi bertarung sengit itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Entah, berapa jumlah orang di sekelilingnya. Yang jelas tempat ini sudah terkepung rapat Tak ada lagi celah untuk bisa keluar dengan mudah. Mereka semua menghunus senjata, dan tampaknya tinggal menunggu perintah saja.
***
"Kalian berdua seperti anak-anak kecil saja. Untuk apa berselisih? Padahal kalian punya tujuan yang sama," tegas Ki Rampoa.
Bayu dan Datuk Parapat saling berpandangan, dan sama-sama melangkah menghampiri Ki Rampoa. yang didampingi dua orang pengawalnya. Mereka berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan Ketua Partai Pasir Merah itu.
"Kurasa di antara kita punya tujuan yang sama, meskipun urusannya berbeda," kata Ki Rampoa lagi.
Ketua Partai Pasir Merah itu menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka, yang pernah membuatnya malu di Padepokan Bambu Kuning.
"Meskipun kau pernah membuatku malu, tapi aku tidak akan memperpanjang urusan lagi, Anak Muda," kata Ki Rampoa pada Bayu.
"Ki Rampoa, apa sebenamya yang kau inginkan?" tanya Datuk Parapat.
"Aku...? Ha ha ha...! Kau menghendaki kematian Datuk Maringgih. Dan aku menginginkan anaknya jadi budakku. Tapi...," ki Rampoa melirik pada Pendekar Pulau Neraka. "Kau sendiri punya urusan dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau membelanya?"
"Itu urusanku!" sahut Bayu ketus.
"Ya, kita memang punya urusan masing-masing yang sama tujuannya. Hm..., kenapa kita tidak bergabung? Bukankah dengan bersatu kita lebih mudah mencapai tujuan?" usul Ki Rampoa lagi.
"Lalu, bagaimana dengan urusan di antara kita sendiri?" dengus Datuk Parapat.
"Itu bisa diselesaikan nanti, Datuk Parapat," ujar Ki Rampoa. "Terutama antara kau dan aku, Anak Muda. Masih ada persoalan yang belum diselesaikan."
Bayu hanya menggumam kecil, lalu melirik Datuk Parapat. Kemudian ditatapnya Ki Rampoa dalam-dalam. Bayu yakin kalau Ketua Partai Pasir Merah ini belum mengetahui kepentingannya pada Datuk Maringgih. Sedangkan Bayu sendiri tidak tahu, ada urusan apa antara Datuk Parapat dengan Datuk Maringgih. Sedangkan antara Ki Rampoa dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning itu, Bayu memang sudah mengetahuinya.
"Maaf. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu, Ki Rampoa," tegas Bayu.
"Aku juga tidak akan bergabung denganmu, begal!" dengus Datuk Parapat.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak-bahak. "Kalian lihat! Seluruh tempat ini sudah terkepung. Aku tidak akan mengatakan, dan pasti kalian sudah bisa mengerti sendiri."
Kembali Bayu dan Datuk Parapat saling berpandangan. Meskipun mereka tokoh tingkat tinggi rimba persilatan, tapi untuk menghadapi pengeroyokan begini banyak, rasanya sukar juga. Dan kemungkinan untuk tetap bisa hidup kecil sekali. Mereka mengaku kalah dalam hal gertakan, tapi tidak akan menyerah begitu saja.
"Aku menantangmu bertarung, Ki Rampoa!" tegas Datuk Parapat.
"Aku yang menentukan di sini!" bentak Ki Rampoa.
"Hm..., kau takut rupanya," ejek Datuk Parapat.
"Phuih! Aku tidak akan terpancing, Datuk Parapat. Dengar, hanya ada satu pilihan untukmu, dan juga kau!" Ki Rampoa menunjuk Pendekar Pulau Neraka.
Memang sukar posisi yang dihadapi Datuk Parapat maupun Pendekar Pulau Neraka saat ini. Mereka tidak punya pilihan lain, tapi tidak ingin mengikuti keinginan Ketua Partai Pasir Merah ini. Sekali saja mengucapkan persetujuan, selamanya nama mereka akan jatuh dalam kancah rimba persilatan. Dan itu sudah pasti yang diinginkan Ki Rampoa. Mengeruk berbagai keuntungan dalam sekali jalan. Bayu sendiri mengakui kecerdikan laki-laki itu.
Perlahan Bayu menggeser kakinya mendekati Datuk Parapat. Sementara Ki Rampoa tersenyum-senyum merasa kemenangan sudah berada di pihaknya. Dia tahu kalau Datuk Parapat dan Pendekar Pulau Neraka kebingungan menentukan pilihan, tapi juga tidak ingin kecolongan lagi kali ini.
"Datuk! Bebaskan Parita, kita butuh tambahan tenaga," bisik Bayu pelan.
Datuk Parapat menatap Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam.
"Aku tidak memaksa, itu terserahmu," kata Bayu lagi.
Laki-laki tua berjubah hitam itu hanya berdiam diri saja. Diliriknya Parita yang masih tergolek tidak sadarkan diri. Kemudian ditatapnya Bayu, lalu diedarkan pandangannya berkeliling. Tidak mudah bagi Datuk Parapat untuk menentukan pilihan kali ini. Dia benar-benar menyadari kalau posisinya sulit sekali.
Setelah berpikir beberapa saat, Datuk Parapat melangkah mendekati Parita. Dibungkukkan sedikit tubuhnya, dan dicabutnya jarum merah di bahu pemuda itu. Kemudian diberikannya beberapa totokan di sekitar dada dan leher. Tak berapa lama kemudian Parita mulai sadarkan diri. Pemuda itu langsung terlonjak bangkit, lalu menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Parita tampak kebingungan melihat sekitarnya.
Bayu tersenyum pada Datuk Parapat. Sedangkan orang tua berjubah hitam itu hanya diam saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Kembali kakinya melangkah menghampiri Bayu. Untuk beberapa saat tak ada yang membuka suara sedikit pun.
"He he he...," Ki Rampoa terkekeh-kekeh. Sama sekali tidak dipedulikan adanya Parita.
Ki Rampoa tidak memandang sebelah mata pun pada murid Padepokan Bambu Kuning itu, karena telah tahu tingkat kemampuannya. Seandainya mereka mencoba melawan pun, rasanya tidak terlalu sulit hanya dengan penambahan satu orang yang sudah diketahui kemampuannya. Saat itu Bayu berbisik dekat di telinga Parita. Dan murid Padepokan Bambu Kuning itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebentar diliriknya Datuk Parapat. Sedangkan laki-laki tua berjubah hitam itu hanya melirik sedikit saja.
"Siap...?" desis Bayu pada Datuk Parapat
"Ya. Bagaimana teman kecilmu itu?"
"Dia berani mengambil resiko."
"Bagus."
"Sekarang...!"
Tiba-tiba saja Datuk Parapat cepat memutar tongkat yang berujung golok. Dan sebelum ada yang menyadari, laki-laki tua itu melompat menerjang Ki Rampoa. Pada saat yang sama, Bayu sudah melesat menghajar orang-orang Partai Pasir Merah. Demikian juga Parita yang langsung mencabut pedangnya.
"Setan! Seraaang...!" teriak Ki Rampoa seraya melompat menghindari terjangan Datuk Parapat.
Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Sebentar saja suasana yang semula sunyi, jadi berubah hiruk-pikuk oleh jerit dan pekik serta teriakan-teriakan pertarungan. Tampak tubuh-tubuh mulai bergelim-pangan bersimbah darah.
Bayu mengamuk, namun tidak ingin jauh-jauh dari Parita. Beberapa kali murid Padepokan Bambu Kuning itu dibantunya. Suatu pertarungan yang sangat ganjil. Tiga orang dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang yang terus merangsek semakin rapat.
"Parita, jangan jauh dari belakangku!" seru Bayu.
"Baik, Kakang!",sahut Parita.
Bayu terus mengamuk, melontarkan pukulan dan tendangan bertenaga dalam sangat tinggi. Setiap pukulan atau tendangannya menimbulkan jeritan melengking menyayat, disusul ambruknya tubuh dalam keadaan tak bemyawa lagi. Sedangkan pedang Parita sudah tidak lagi terlihat wama aslinya, merah berlumuran darah. Mereka terus bergerak, mencoba mengoyak kepungan yang rapat ini.
Bayu tak bisa lagi membagi perhatiannya kepada Datuk Parapat. Jarak mereka semakin merenggang dan terus menjauh. Dalam keadaan seperti ini, memang sulit untuk memperhatikan orang lain. Menyelamatkan diri sendiri saja terasa sukar sekali. Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelangan tangannya. Senjata maut andalannya itu digenggam, sehingga menjadi senjata yang sangat berbahaya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bayu melontarkan Cakra Maut begitu ada kesempatan. Seketika itu juga dia melompat ke depan begitu beberapa orang di depannya bergelimpangan tersambar senjata cakra bersegi enam itu. Parita yang mengetahui ini, tidak mau ketinggalan. Tubuhnya langsung melesat sambil mengebutkan pedangnya.
"Yeaaah...!"
Bayu terus melontarkan Cakra Maut begitu menangkap kembali. Beberapa kali hal itu dilakukan. Dan setiap kali Cakra Maut lepas melesat ke depan, Pendekar Pulau Neraka itu melompat menerjang. Tindakan Pendekar Pulau Neraka ini semakin memperbesar peluang untuk keluar dari kepungan ini. Dan Parita memanfaatkannya untuk tidak jauh-jauh sambil menghemat tenaga.
"Cepat Parita...! Yeaaah...!" seru Bayu keras.
"Yaaa...!"
Parita langsung melentingkan tubuhnya ke udara melewati beberapa kepala. Pedangnya berkelebatan cepat membabat beberapa orang. Dan begitu sampai di luar kepungan, pemuda itu langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pada saat yang sama, Bayu melesat bagai kilat meninggalkan tempat itu menuju arah yang sama dengan Parita.
"Keparat!" geram Ki Rampoa begitu mengetahui Bayu dan Parita berhasil melarikan diri. "Kejar...! Jangan biarkan mereka hidup!"
Sebagian orang-orang Partai Pasir Merah berlarian mengejar Pendekar Pulau Neraka dan Parita. Sementara sebagian lagi masih sibuk membendung amukan Datuk Parapat. Laki-laki tua itu tersenyum tipis begitu mengetahui Bayu dan Parita sudah berhasil kabur, sambil terus memperhebat serangan-serangannya.
Sementara itu Bayu dan Parita sudah jauh meninggalkan tempat pertarungan tadi. Mereka berhenti sambil mengatur pemapasan. Sayup-sayup masih terdengar suara-suara pertarungan di kejauhan.
"Mereka mengejar, Parita," kata Bayu bisa menangkap suara banyak orang berlari kearah ini.
"Kita seberangi sungai di bawah sana, Kakang," Parita menunjuk sebuah sungai yang tidak begitu besar di bawah.
"Ayolah!"
Kembali kedua pemuda itu berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebenarnya Bayu paling tidak suka begini, tapi terpaksa harus dilakukan. Rasanya memang tidak mungkin menghadapi begitu banyak orang yang rata-rata berkemampuan cukup tinggi. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka juga harus menjaga keselamatan Parita. Sementara jauh di belakang mereka puluhan orang berlarian sambil berteriak-teriak mengejar.
***
Parita menjatuhkan diri di atas rerumputan, dan napasnya tersengal. Keringat mengucur deras membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Sementara Bayu masih berdiri mengawasi lereng bukit. Tak lagi terdengar, apalagi terlihat orang-orang Partai Pasir Merah yang mengejar. Meskipun wajah Pendekar Pulau Neraka itu nampak memerah, tapi alunan napasnya begitu teratur.
"Mereka tidak mengejar lagi, Kakang," kata Parita sambil membersihkan bercak darah pada pedangnya dengan daun-daun kering. Kemudian, pedang itu dimasukkan ke dalam sarungnya di pinggang.
"Kelihatannya tidak," sahut Bayu.
"Hhh! kita tidak bisa mendapatkan obat penawar racun buat Lasmi," keluh Parita.
Bayu berpaling memandang pemuda itu. Sedangkan yang dipandang hanya duduk saja sambil memandang ke arah lain. Tarikan napasnya sudah mulai teratur, tidak terengah lagi seperti tadi.
"Ayo, kita kembali ke padepokan," ajak Bayu.
"Kembali...?!" Parita menatap Bayu dalam-dalam.
Bayu menganggukkan kepalanya.
"Tapi, kita belum memperoleh obat penawar racun itu, Kakang."
"Sudah."
"Heh...?!" Parita terlonjak kaget
Pemuda itu langsung berdiri. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan tidak mempercayai kalau Pendekar Pulau Neraka ini sudah memiliki obat penawar Racun Ular Merah yang kini diidap Lasmi. Sementara Bayu sudah mengayunkan kakinya berjalan. Parita bergegas memburu dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kakang, bagaimana kau mendapatkan obat itu?" tanya Parita ingin tahu.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Sedangkan Parita jadi penasaran sekali. Masih belum dipercayai kalau Bayu sudah memperoleh obat itu. Dia tidak melihat Qatuk Parapat memberikan sesuatu. Bagaimana mungkin obat itu bisa dimilikinya...?
"Kakang, apakah Datuk Parapat memberikan obat itu?" tanya Parita mendesak.
"Tidak," sahut Bayu.
"Tidak...?! Lalu?" Parita jadi tidak mengerti.
"Aku mencurinya," sahut Bayu.
"Heh!? Bagaimana...?" suara Parita terputus.
"Memang tidak mudah, tapi aku berhasil mendapatkannya. Ah, sudahlah.... Yang penting sekarang kita harus segera sampai di padepokan."
"Kapan kau mencurinya, Kakang?" tanya Parita masih ingin tahu.
"Waktu dia melompat menerjang Ki Rampoa, aku cepat menjambret kantung kulit di pinggangnya. Ternyata kantung itu berisi beberapa pil berwama merah. Aku yakin pil ini obat penawar Racun Ular Merah," Bayu terpaksa menjelaskan karena Parita mendesak terus.
"Hebat..!" puji Parita tulus.
"Tapi aku tidak suka melakukannya. Perbuatan pengecut!" dengus Bayu.
"Kau ini aneh, Kakang. Bukankah maksud kita memang ingin mendapatkan obat itu. Dengan cara apa pun harus kita peroleh. Dan sekarang sudah didapat, kenapa kau bilang tidak suka melakukannya?" Parita jadi tidak mengerti dengan sikap Bayu.
"Hatiku yang tidak menyukai. Mencuri perbuatan licik dan pengecut."
"Tapi, kenapa Kakang melakukan juga?"
"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja tersirat di hati. Dan aku juga tidak tahu, kenapa bisa melakukannya."
"Kakang menyesal?"
"Mungkin."
Parita diam tidak bertanya lagi. Benar-benar sulit memahami sikap Pendekar Pulau Neraka ini. Sangat aneh memang, dan sulit untuk diterima akal. Tapi Parita tidak ingin memikirkan lagi. Dia sudah senang karena berhasil mendapatkan obat penawar Racun Ular Merah. Dan itu berarti ada harapan bagi Lasmi untuk bisa kembali sembuh seperti semula. Parita benar-benar bisa mengharapkan Lasmi sembuh, karena ingin melihat wanita itu kembali cerah seperti dulu. Bersemangat dan tidak putus asa.
Sementara mereka semakin jauh berjalan. Melalui bukit ini, memang jauh perjalanan yang ditempuh untuk mencapai Desa Kaung. Tapi hanya ini jalan satu-satunya, karena memang tidak mungkin kembali lagi melalui jalan semula.
***
Bayu duduk bersila di lantai beralaskan permadani tebal berbulu halus. Di depannya duduk Datuk Maringgih. Sementara di sudut ruangan tampak Parita memangku Wijaya sambil menunggu Lasmi yang masih belum juga sadarkan diri, meskipun sudah diberi obat penawar Racun Ular Merah.
Bayu bangkit berdiri, lalu melangkah keluar dari kamar ini. Datuk Maringgih ikut berdiri. Sejak tadi dia selalu bertanya-tanya tentang sikap Bayu yang lebih banyak diam. Sedangkan dari Parita, dia tahu kalau Bayu mendapatkan obat penawar racun itu dengan cara memanfaatkan kelengahan Datuk Parapat.
Bayu menghentikan langkahnya, ketika baru saja sampai di tengah taman yang berhadapan tepat dengan kamar Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak membalikkan tubuh. Sementara Datuk Maringgih menghampiri dan berdiri di depannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan saat ini, Bayu. Terlebih lagi kau seorang pendekar. Mencuri memang bukan perbuatan baik. Tapi itu dilakukan demi menyelamatkan nyawa seseorang," jelas Datuk Maringgih langsung pada pokok persoalan.
"Tidak seharusnya aku berbuat begitu, Datuk. Aku. bisa menantangnya, bertarung secara jantan," kata Bayu menyesali perbuatannya.
"Masih ada kesempatan, Bayu."
"Apa maksudmu, Datuk?" Bayu tidak mengerti.
"Parita sudah bercerita banyak padaku. Dan aku yakin kalau Datuk Parapat tidak mudah dikalahkan begitu saja, meskipun dikeroyok puluhan orang."
"Hm...."
"Bayu. Kau tentu ingin tahu, kenapa Datuk Parapat sampai melukai Lasmi dan terus memburunya," kata Datuk Maringgih, terdengar pelan nada suaranya.
Bayu hanya diam saja. Memang ia ingin tahu, tapi tidak pernah ingin menanyakannya. Pendekar Pulau Neraka menganggap hal itu mungkin persoalan pribadi yang tidak perlu dicampuri.
"Sebenarnya Racun Ular Merah tidak membahayakan jiwa seseorang. Racun itu bekerja lambat, tapi pasti akan mempengaruhi daya ingat. Bahkan membuat orang yang terkena tidak bisa mengetahui lagi akan dirinya sendiri, di samping juga akan melemahkan kekuatannya," jelas Datuk Maringgih mulai menguraikan. "Itu sebabnya aku tidak terlalu khawatir setelah mengetahui Lasmi mengidap Racun Ular Merah. Karena aku tahu, setelah Lasmi lupa dan seluruh daya kekuatannya musnah, dia akan menjadi manusia baru. Di situ, daya kerja Racun Ular Merah menghilang. Dan dengan demikian aku bisa membinanya kembali, meskipun harus dari awal lagi."
"Kenapa Datuk Parapat melakukan hal itu pada Lasmi?" tanya Bayu.
"Karena dia ingin memiliki Lasmi seutuhnya. Lasmi yang baru segala-galanya, tanpa dipengaruhi ingatan masa lalu dan tidak mengenal dirinya sendiri lagi."
"Hm...."
"Bayu, sebenamya persoalan ini sangat pribadi sifatnya. Bahkan begitu pribadinya, sampai-sampai tak ada seorang pun yang mengetahui, kecuali aku dan Datuk Parapat sendiri."
Sebentar Datuk Maringgih menarik napas panjang. Sementara Bayu hanya diam saja menunggu. Memang sudah sejak semula diduga demikian, tapi dia tidak tahu permasalahan yang sebenamya.
"Dulu ketika aku dan dia sama-sama masih muda, kami dikenal sebagai Dua Datuk Sesat. Ilmu kepandaian yang kami miliki sukar ditandingi. Suatu saat, aku bentrok dengan seorang gadis muda yang sangat cantik. Meskipun dapat kukalahkan, tapi dia juga berhasil melukaiku. Yaaah..., mungkin ini sudah menjadi takdir yang telah digariskan. Entah kenapa, aku menyukai gadis itu. Aku menyatakan cinta, dan ternyata dia membalasnya walau dengan satu syarat Aku harus meninggalkan semua dunia hitamku. Syarat yang tidak terlalu berat, dan aku menyanggupinya. Akhirnya kami hidup bersama. Tapi, kebahagiaan yang kudapatkan ternyata membuat Datuk Parapat tidak senang. Dia terus mendesakku agar Kembali ke dunia semula. Dan aku tetap bertahan untuk tidak kembali ke dalam dunia hitam yang sudah lama kutinggalkan. Terlebih lagi setelah Lasmi lahir, aku benar-benar tidak ingin lagi berkecimpung dalam dunia hitam."
"Terus?" Bayu jadi tertarik.
"Untuk menghindari rongrongan Datuk Parapat, aku memutuskan meninggalkan daerah Selatan, dan akhimya menetap di sini. Dulu daerah ini merupakan hutan belantara yang sangat luas. Di sini, aku dan istri serta anakku memulai hidup baru. Tapi kebahagiaan yang kureguk ternyata tidak lama. Suatu hari istriku kudapatkan tewas tertikam. Dan aku tahu, siapa pelakunya. Datuk Parapat! Hal ini membuat kemarahanku tak bisa dibendung lagi. Aku mencari Datuk Parapat dan mengajaknya bertarung."
"Kau bertarung?" tanya Bayu.
"Ya. Tapi di antara kami tidak ada yang bisa menang. Akhirnya, setelah itu antara aku dan dia terus bertentangan. Datuk Parapat tidak pernah jera, dan selalu mengambil kesempatan untuk meruntuhkanku Terlebih setelah Padepokan Bambu Kuning kudirikan. Semakin gencar dia hendak meruntuhkanku."
"Pertentangan yang berlarut-larut," gumam Bayu.
"Dua sahabat yang kini jadi musuh besar, Bayu." Bayu mencoba tersenyum, membalas senyuman Datuk Maringgih yang terasa getir dan amat dipaksakan. Kini Bayu mengerti, kenapa Datuk Parapat begitu bernafsu untuk mendapatkan Lasmi. Ternyata dia ingin memisahkan Lasmi dari ayahnya, kemudian menggunakannya untuk menghancurkan ayahnya sendiri. Datuk Parapat ingin melihat bekas sahabatnya ini menderita sepanjang hidupnya. Pertentangan dua datuk yang sangat pelik!
"Lalu, bagaimana dengan Ki Rampoa?" tanya Bayu jadi teringat Ketua Partai Pasir Merah.
"Ah! Dia hanya orang gila, Bayu. Dia merasa sakit hati dan terancam karena banyak muridku yang menentang segala tindakannya. Hatinya semakin sakit lagi karena gagal menghancurkan dari dalam," sahut Datuk Maringgih.
"Maksud, Datuk?"
"Dia mencoba menyelundupkan anaknya ke sini. Aku juga tidak tahu kalau Sundrata itu anaknya, dan menerimanya sebagai murid. Belakangan aku baru tahu, tapi Sundrata sudah menjalin hubungan cinta dengan Lasmi. Aku sendiri sebenarnya senang, karena ternyata Sundrata sangat jauh bertolak belakang dengan ayahnya. Bahkan menentang segala macam perbuatan orang-orang Partai Pasir Merah. Tapi mengingat kalau dirinya anak seorang ketua begal, aku tidak bisa menyetujui hubungannya dengan anakku. Tapi rupanya mereka mengambil jalan nekad, lari dari sini dan mencoba hidup di luar. Yaaah..., selanjutnya kau tentu sudah bisa mengetahui, Bayu."
Bayu hanya menganggukkan kepalanya. Mema ada orang mengatakan, buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya. Tapi ternyata ada juga buah yang jatuh jauh, bahkan menghilang dari asalnya. Seperti buah kelapa yang jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Buah itu akan tumbuh di tempat yang jajuh dari induknya, dan terus menyebarkan generasi baru ke tempat-tempat yang jauh.
Ternyata Sundrata ingin membuktikan kalau seorang anak tidak selamanya mengikuti jejak orang tuanya. Jalan hidup seorang memang tidak akan sama, meskipun berasal dari satu rahim ibunya. Dan ini sudah dibuktikan Sundrata, anak seorang begal besar yang sangat ditakuti.
Hanya sayangnya, kesadaran yang dimiliki Datuk Maringgih datangnya terlambat. Kini Sundrata sudah tidak ada lagi, walaupun sudah menurunkan buah keturunan yang akan meneruskan cita-citanya. Datuk Maringgih memang menyesali, tapi tidak menunjukkan penyesalannya. Kehidupan keras yang dilalui membuatnya begitu tegar bagai batu karang yang tak pernah goyah meskipun setiap hari digempur gelombang.
***
DELAPAN
Pagi-pagi sekali, seluruh penghuni Padepokan Bambu Kuning dikejutkan teriakan keras menggelegar yang menyuruh Bayu keluar. Saat itu Bayu dan Datuk Maringgih tengah berbincang-bincang di ruang semadi. Semalaman mereka tidak tidur, membicarakan tentang dunia persilatan yang semakin tidak menentu. Teriakan keras itu tentu saja membuat mereka tersentak kaget.
Bergegas Bayu keluar dari bilik semadi, diikuti Datuk Maringgih. Mereka langsung menuju bagian depan Padepokan Bambu Kuning ini. Tampak seorang laki-laki tua berjubah hitam membawa sebatang tongkat berujung golok besar berdiri angkuh di tengah-tengah halaman depan, membelakangi sinar matahari yang saat itu baru saja menampakkan diri.
"Datuk Parapat, apa maksudmu datang ke sini?" tanya Datuk Maringgih.
"Aku mencari bocah keparat itu!" bentak Datuk Parapat lantang sambil menunjuk Bayu yang berdiri di samping Datuk Maringgih.
"Bayu...? Dia tamuku di sini," kata Datuk Maringgih mencoba tenaftg.
"Aku tidak peduli dia tamumu, Maringgih. Yang jelas, dia harus bertanggung jawab karena telah mencuri kantung obatku!"
"Kalau itu persoalannya, aku yang seharusnya bertanggung jawab. Bayu melakukan itu karena aku yang meminta untuk mengobati Lasmi dari Racun Ular Merah yang kau sebar ke dalam tubuh Lasmi!" tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Maringgih, aku tidak bicara padamu! Aku bicara pada bocah setan itu!" bentak Datuk Parapat gusar.
"Bayu tamuku, dan wajib kulindungi. Semua yang dilakukannya menjadi tanggung jawabku," tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Keparat! Ternyata kau sama keparatnya dengan bocah setan itu, Maringgih!"
"Hm.... Tidakkah kau bercermin pada dirimu sendiri, Parapat? Apakah kau menganggap dirimu suci? Kita sudah sama-sama tahu tentang diri masing-masing. Jadi, kuharap tidak perlu mengumpat dan berteriak-teriak begitu. Katakan saja terus terang, apa maumu yang sebenamya?" bentak Datuk Maringgih lantang.
"Kau menantangku, Maringgih?"
"Bukankah itu yang kau inginkan sejak dulu? Aku selalu siap melayani tantanganmu. Bukan aku yang menantang, tapi kau!"
"Bedebah! Bersiaplah, Maringgih!"
"Aku selalu menunggu."
Datuk Parapat menggerakkan tongkat berujung golok besar. Diputar-putarnya tongkat itu dengan cepat, lalu dihentakkan ke tanah. Dan sebelum laki-laki tua itu menyerang, Bayu cepat melompat ke depan. Datuk Parapat menggeram, menyemburkan ludahnya dengan sengit.
"Aku yang akan menghadapimu, Datuk Parapat," kata Bayu tegas.
"Phuih! Kau memang harus mampus, bocah setan!" dengus Datuk Parapat menggeram marah.
"Bayu, biar kutandingi sendiri," kata Datuk Maringgih.
"Tidak, Datuk. Dia datang mencariku, dan aku sendiri yang akan menghadapinya," tolak Bayu tegas.
"Bagus! Bersiaplah untuk mampus, bocah!" sambut Datuk Parapat dingin.
Setelah berkata demikian, Datuk Parapat berteriak nyaring, lalu cepat sekali melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Dikebutkan ujung tongkatnya yang berbentuk golok beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Bayu yang mematikan. Namun Pendekar Pulau Neraka itu bergerak manis, menghindari serangan itu. Bahkan mampu membalas dengan tak kalah dahsyat.
Mereka sudah pemah bentrok sekali, sehingga sudah mengetahui ketangguhan masing-masing. Dan ini membuat mereka langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan dahsyat dan sangat mematikan. Sementara itu Datuk Maringgih hanya bisa menyaksikan, dan tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu.
Saat itu terlihat Parita berlari-lari dari arah pintu gerbang yang tertutup rapat, langsung menghampiri Datuk Maringgih yang sedang asyik memperhatikan jalannya pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dengan Datuk Parapat
"Datuk...," terdengar suara Parita agak tersengal.
"Ada apa, Parita?" tanya Datuk Maringgih tanpa berpaling.
"Orang-orang Partai Pasir Merah menuju ke sini." lapor Parita memberitahu.
Datuk Maringgih berpaling memandang muridnya ini.
"Di mana mereka?" tanya Datuk Maringgih.
"Belum sampai ke desa, Datuk," sahut Parita.
"Sambut mereka, dan usahakan jangan sampai masuk ke desa."
"Baik, Datuk."
Parita bergegas mengumpulkan murid Padepokan Bambu Kuning, dan bergerak menuju ke luar desa untuk menyambut kedatangan orang-orang Partai Pasir Merah. Sudah tentu mereka membawa senjata lengkap dan dalam keadaan siap bertempur. Mereka tahu, kedatangan orang-orang Partai Pasir Merah tidak bermaksud baik. Sementara itu pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dan Datuk Parapat masih terus berlangsung. Dan saat itu pula perhatian Datuk Maringgih sudah terpecah.
***
Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, dan masing-masing sudah merasakan pukulan maupun tendangan lawan. Namun belum ada yang bisa melukai. Mereka masih sama-sama tangguh, dan belum ada yang mau menyerah. Entah, sudah berapa puluh jurus dikeluarkan dalam pertarungan ini.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke atas sambil berteriak keras menggelegar. Dan pada saat itu dilontarkan Cakra Maut yang sejak tadi belum dipergunakan.
Senjata bersegi enam itu meiesat cepat bagaikan kilat. Saat itu juga dengan kecepatan tinggi, Datuk Parapat mengebutkan senjatanya, menyambut senjata maut Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Trang!
Dua senjata beradu keras, hingga menimbulkan percikan api yang menyebar ke segala arah. Saat itu Bayu meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan bertenaga dalam sangat tinggi dan sudah mencapai taraf kesempumaan.
"Hop!"
Datuk Parapat langsung memegang tongkatnya dengan kedua tangan, lalu diangkat ke atas melindungi kepala. Pukulan Bayu tak dapat ditarik lagi, langsung menghajar bagian tengah senjata tongkat berujung golok besar itu.
"Yeaaah...!"
Trak!
"Heh...?!" Datuk Parapat terperanjat Laki-laki tua itu agak terhuyung ke belakang, sementara tongkatnya patah jadi dua bagian. Tapi yang dialami Bayu juga sungguh mengejutkan. Pendekar Pulau Neraka itu kembali terpental ke atas. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian mendarat terhuyung-huyung di tanah. Tampak setetes darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
"Bedebah!" geram Datuk Parapat melihat senjata andalannya tidak bisa digunakan lagi. Sambil mendengus marah, dilemparkan senjatanya ke arah Bayu. Lemparan yang disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi itu membuat potongan senjata itu meluncur deras melebihi anak panah lepas dari busur ke arah Bayu.
"Uts!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya, menghindari lemparan potongan senjata itu. Dan begitu potongan senjata itu lewat, langsung dikebutkan tangan kanannya ke depan dengan tubuh agak membungkuk.
"Yeaaah...!"
Wut!
Datuk Parapat yang masih memegang potongan lain dari senjatanya, langsung melemparkan ke arah senjata Cakra Maut itu. Benturan keras terjadi di udara, dan potongan senjata itu hancur berkeping-keping. Bayu langsung menghentakkan tangannya, maka Cakra Maut terus melesat ke arah Datuk Parapat
"Hup! Hiyaaa...!"
Datuk Parapat melentingkan tubuhnya, berputaran menghindari terjangan Cakra Maut bersegi enam itu. Pada waktu yang sama, Bayu melompat. Langsung dilontarkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi.
Datuk Parapat tersentak kaget. Dia begitu sibuk menghindari serangan Cakra Maut yang bergerak cepat seperti memiliki mata, dan kini harus pula menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka. Hal ini membuatnya jadi kerepotan. Apalagi sudah tidak memiliki senjata lagi. Hingga....
"Modar...!"
Bayu menghantamkan satu pukulan keras ke arah dada.
Des!
"Aaakh...!"
Datuk Parapat memekik keras. Pukulan Bayu telak menghantam dada laki-laki tua berjubah hitaam itu. Tak pelak lagi, pukulan yang mengandung tenaga dalam sempuma itu membuat tubuh Datuk Parapat terlontar sejauh tiga batang tombak. Dan sebelum tubuhnya mencapai tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya. Maka Cakra Maut yang baru saja menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat cepat bagaikan kilat
Cras!
"Aaa...!"
Datuk Parapat menjerit melengking tinggi. Cakra Maut bersegi enam menancap tepat di tenggorokan Datuk Parapat Tubuh tua berjubah hitam itu terbanting keras ke atas tanah. Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas sambil melompat ke depan. Maka Cakra Maut melesat balik dan menempel di pergelangan tangan kanannya, tepat saat tubuhnya mendarat di samping tubuh Datuk Parapat yang sudah tidak bernyawa lagi. Darah langsung menggenang di sekitar leher yang menganga lebar terkoyak oleh Cakra Maut
"Aku akui kau tangguh sekali," desah Bayu perlahan. Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur, lalu berpaling begitu mendengar suara langkah menghampiri. Datuk Maringgih setengah berlari menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu.
"Bayu, orang-orang Partai Pasir Merah ada di batas desa. Murid-muridku mencoba menghadang di sana," jelas Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan ke sana, Datuk," tegas Bayu.
"Jangan! Sebaiknya kau di sini saja. Biar aku yang akan ke sana," cegah Datuk Maringgih.
Bayu ingin membantah. Tapi sebelum membuka mulutnya, Datuk Maringgih sudah berkata lagi.
"Kali ini benar-benar urusan pribadiku, Bayu."
"Baiklah. Tapi aku tidak bisa berdiam diri di sini, Datuk," Bayu mengalah, dan memang tidak ingin berdebat.
"Ayolah, sebelum mereka memasuki desa."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas melompat pergi Tapi belum juga mencapai pintu gerbang, terdengar suara panggilan keras. Mereka menghentikan langkah dan menoleh. Tampak Lasmi berlari cepat menghampiri.
"Aku ikut," ujar Lasmi setelah dekat.
"Lasmi! Kau masih terluka," Datuk Maringgih ingin mencegah.
"Aku sudah sembuh, Ayah. Lihat, tadi aku bisa menggunakan ilmu lari cepat tanpa ada gangguan apa pun," sergah Lasmi.
"Tapi, anakmu...?"
"Aku serahkan pada mbok pelayan."
Datuk Maringgih memandang Bayu, seakan-akan minta pendapat. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu hanya mengangkat pundaknya saja. Datuk Maringgih tidak bisa lagi mencegah. Maka tanpa banyak bicara lagi mereka bertiga segera berlari cepat memper-gunakan ilmu meringankan tubuh menuju batas desa. Dan selama menggunakan ilmu meringankan tubuh,
Datuk Maringgih selalu memperhatikan putrinya.
Tampak jelas kalau Lasmi tidak mengalami kesulitan. Bahkan tampak gembira karena bisa pulih seperti sediakala. Datuk Maringgih merasa yakin kalau Lasmi benar-benar sudah sembuh, dan pulih seperti semula. Sementara itu Bayu sudah jauh meninggalkan mereka. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sebenarnya ilmu meringankan tubuh Datuk Maringgih juga sudah sempuma, tapi Lasmi tidak mungkin ditinggalkan. Wanita itu memang mustahil kalau bisa mengimbangi Pendekar Pulau Neraka maupun ayahnya. Ilmu yang dimilikinya masih kalah jauh.
***
Kehadiran Pendekar Pulau Neraka yang disusul Datuk Maringgih dan Lasmi, membangkitkan semangat murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang semula sudah kewalahan membendung arus serangan yang dilancarkan orang-orang Partai Pasir Merah. Sebaliknya kedatangan mereka bertiga justru membuat orang-orang Partai Pasir Merah jadi kalang kabut
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka yang langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung korban yang berjatuhan. Mata Bayu yang tajam bagai mata elang, langsung bisa melihat Datuk Maringgih yang bertarung melawan Ki Rampoa.
"Untung kau cepat datang, Kakang," ujar Parita yang berhasil mendekati Bayu.
"Hm..., sebaiknya kau jaga Lasmi. Dia belum begitu pulih benar," ujar Bayu.
"Baik, Kakang."
Parita benar-benar tidak membantah, dan segera bergerak cepat mendekati Lasmi yang mengamuk dengan pedang di tangan. Lasmi tersenyum begitu melihat Parita. Dan mereka sama-sama membabat orang-orang Partai Pasir Merah tanpa memberi ampun lagi. Keadaan yang tadinya dikuasai Partai Pasir Merah, seketika berbalik. Kini murid-murid Padepokan Bambu Kuning benar-benar menguasai keadaan. Bahkan beberapa anggota Partai Pasir Merah mencoba melarikan diri.
Melihat keadaan ini, Bayu melesat keluar dari kancah pertarungan. Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak mengawasi pertarungan antara Datuk Maringgih dengan Ki Rampoa. Tampak sekali kalau Datuk Maringgih selalu mendesak Ki Rampoa. Jurus-jurus yang dilancarkan orang tua itu membuat Ki Rampoa kelabakan setengah mati. Entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan Datuk Maringgih bersarang di tubuh lawannya. Tapi, rupanya Ki Rampoa tidak mudah menyerah begitu saja. Dia terus mengadakan perlawanan, meskipun selalu terdesak dan sulit mengatasi keadaannya sendiri.
Ki Rampoa tidak sempat lagi memperhatikan keadaan anak buahnya yang kocar-kacir tak beraturan lagi. Dia sendiri benar-benar dibuat kalang kabut oleh serangan-serangan Datuk Maringgih. Sebenarnya Ki Rampoa menyadari kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya berada setingkat di bawah Datuk Maringgih. Tapi dia kali ini tidak bisa keluar dari kemelut ini.
Sementara itu sudah banyak anggota Partai Pasir Merah yang melarikan diri. Dan sisanya yang masih bertahan tidak mampu lagi membendung amukan murid-murid Padepokan Bambu Kuning. Hingga akhirnya, tak ada lagi orang-orang Partai Pasir Merah yang tersisa. Pertarungan pun berakhir dengan kemenangan berada di pihak Padepokan Bambu Kuning. Namun di tempat lain, tampak Datuk Maringgih masih berusaha menyudahi pertarungannya dengan Ki Rampoa.
"Aku akan membantu Ayah," kata Lasmi.
"Jangan!" cegah Bayu cepat
"Tapi...."
"Tinggal beberapa jurus lagi," potong Bayu.
Lasmi tidak bisa lagi membantah. Dan dugaan Bayu memang tepat Dua jurus kemudian, satu pukulan telak berhasil disarangkan Datuk Maringgih ke dada Ki Rampoa. Dan sebelum tubuh Ki Rampoa terjungkal, satu tendangan keras menggeledek bersarang di perut-nya.
Ki Rampoa memekik melengking, dan terjungkal keras menghantam tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan, tapi masih mampu bangkit berdiri. Pada saat itu Datuk Maringgih sudah melompat, dan kedua tangannya dikeprukkan ke kepala Ki Rampoa.
Prak!
"Aaa...!"
Ki Rampoa menjerit melengking tinggi. Ketua Partai Pasir Merah itu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah. Darah merembes keluar dari sela-sela jari tangannya. Datuk Maringgih kembali menghentakkan tangannya, memberikan satu pukulan dahsyat bertenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Des!
Seketika tubuh Ki Rampoa menggeletar begitu pukulan menggeledek bersarang di dadanya. Sebentar kemudian tubuhnya berputar dan ambruk ke tanah tanpa ada suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Hanya sebentar pula ketua begal itu mampu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi. Ki Rampoa tewas dengan dada amblas dan kepala pecah berlumuran darah.
"Ayah...!" seru Lasmi langsung berlari memburu.
Datuk Maringgin berbalik. Lasmi menghambur memeluk ayahnya. Beberapa saat mereka berpelukan, kemudian saling melepaskan diri. Mereka kini berjalan menghampiri Bayu dan Parita.
"Bayu, kudengar kau mencariku karena ada urusan denganku. Benar?" kata Datuk Maringgih langsung.
"Tidak," sahut Bayu.
Bayu memang sudah memutuskan untuk melupakan saja niat semula yang datang ke Desa Kaung ini untuk mencari Datuk Maringgih. Maksudnya mencari orang tua itu karena Bayu menduga kalau Datuk Maringgih terlibat dalam pembunuhan orang tuanya. Setelah melihat kehidupan Datuk Maringgih, Bayu jadi tidak percaya kalau orang tua ini ikut terlibat.
Datuk Maringgih tersenyum. Dirangkulnya pundak pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu diajaknya berjalan. Sementara Parita menghampiri Lasmi. Dipandanginya wajah cantik itu.
"Aku menagih jawabanmu, Lasmi," kata Parita.
"Sebaiknya kau utarakan saja pada Ayah," sahut Lasmi seraya tersenyum.
"Baiklah. Aku akan memintamu pada Guru setelah keadaan tenang kembali," janji Parita mantap.
Lasmi hanya tersenyum saja. Diayunkan kakinya, sementara Parita mengikuti di samping wanita ini. Dalam hati, Lasmi mengharapkan Parita benar-benar bicara pada ayahnya. Dia ingin ada laki-laki yang berani dan bertanggung jawab untuk menggantikan Sundrata. Sementara di depan mereka, Datuk Maringgih berjalan berdampingan dengan Pendekar Pulau Neraka. Entah apa yang dibicarakan, tapi tampaknya wajah Bayu cerah sekali.
"Aku tidak menduga, ternyata kau putra sahabatku, Pendekar Pulau Neraka," ujar Datuk Maringgih.
"Ya. Hanya saja, sampai saat ini aku belum bisa menemukan ibu," desah Bayu agak lirih.
"Aku akan membantumu, Bayu. Aku juga yakin, ibumu masih hidup dan berada di suatu tempat.
"Terima kasih."
"Ibuuu...!" jerit anak itu ketika jari-jari tangan ayahnya menggelitik seluruh pinggangnya.
Sementara sang ibu hanya terkikik saja tanpa berusaha menolong. Bocah itu menggeliat-geliat, mencoba membebaskan diri dari gelitik tangan ayahnya. Setelah berhasil, dia langsung berlari menghampiri ibunya yang menyongsong dengan kedua tangan terbuka. Sedangkan ayahnya pura-pura mengejar. Namun belum juga laki-laki muda bertubuh tegap itu mencapai istri dan anaknya, mendadak saja sebatang anak panah melesat cepat bagaikan kilat ke arah wanita muda yang bagian bahunya terbuka itu.
"Lasmi, awas...!" teriak laki-laki itu memperingatkan.
Bagaikan kilat, laki-laki bertelanjang dada itu melesat dan berjumpalitan di udara beberapa kali. Tangannya mengibas cepat menangkap anak panah yang hampir saja menghunjam punggung anak laki-laki yang berada di dalam dekapan ibunya. Tap!
Laki-laki muda itu tangkas sekali menangkap anak panah yang melesat cepat bagai kilat. Dia langsung mendorong istrinya ke belakang. Sebatang anak panah berwarna merah, kini tergenggam erat di tangannya. Kedua jnatanya tajam agak memerah menatap ke satu arah. Sambil menggeram, dihentakkan tangan yang menggenggam anak panah itu.
"Hih!"
Wut..!
Anak panah itu melesat cepat, bahkan melebihi lesatan menggunakan busur. Dan seketika itu juga terdengar jeritan melengking tinggi dari sebuah semak tidak jauh dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, tampak sesosok tubuh keluar dari dalam semak, lalu ambruk menggelepar di tanah. Tampak sebatang anak panah memanggang lehernya. Orang itu tewas seketika.
"Cepat pulang...!" desis laki-laki itu.
"Kakang...."
Belum juga bisa bergerak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba di sekitar mereka berlompatan empat orang. Laki-laki muda yang tidak mengenakan baju itu langsung menggeser kakinya, mendekati istrinya yang tengah memeluk erat putra mereka dalam gendongan.
Laki-laki muda itu menatap tajam empat laki-laki tua di depannya yang sorot matanya memancarkan kekejaman. Mereka semua merupakan tokoh rimba persilatan beraliran hitam. Laki-laki itu terus menggeser kakinya ke belakang sambil membawa istri dan anaknya ke tempat yang cukup terlindung dan aman. Kehadiran empat orang tua itu sudah diduga sebelumnya, meskipun mereka tidak dikenal.
"Siapa kalian?" tanya laki-laki muda itu dingin.
"He he he...!" keempat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh sambil saling melirik.
"Kami hanya menjalankan tugas, Sundrata," jelas salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala.
"Heh?! Kalian mengenalku...?! Siapa kalian ini?!'» laki-laki muda yang panggil Sundrata itu terperanjat.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami, Sundrata. Bersiaplah untuk mati!" dengus orang tua yang mengenakan baju hitam.
"Kakang...," agak bergetar suara Lasmi yang berlindung di balik punggung suaminya.
"Pergilah! Selamatkan anak kita," bisik Sundrata.
Lasmi memandangi keempat orang tua itu. Diserahkannya golok bergagang gading pada suaminya. Kemudian wanita muda berparas cantik itu melangkah Inundur perlahan-lahan. Terlihat jelas pada raut wajahnya kalau kecemasan begitu mendalam tak dapat disembunyikan lagi. Dia tahu betul kalau dulu suaminya adalah seorang pendekar yang sudah melanglang buana. Sedangkan dirinya sendiri, meskipun bukan seorang wanita pendekar, tapi memiliki sedikit ilmu olah kanuragan. Namun melihat empat laki-laki tua itu, kecemasan benar benar menggaluti hatinya juga.
Sementara keempat laki-laki tua itu sudah bergerak menyebar. Sedangkan Sundrata sudah mencabut golok bergagang gading yang berkilatan dijilat cahaya matahari, sehingga menyilaukan mata. Sundrata memandangi keempat orang tua itu satu persatu dengan sinar mata tajam menusuk.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba salah seorang yang mengenakan baju hijau tua, berteriak kencang sambil melompat menerjang. Sundrata buru-buru merundukkan tubuhnya ketika orang berbaju hijau itu mengibaskan tongkat yang digenggamnya. Maka, secepat kilat, dibabatkan goloknya ke atas.
Trang!
Tubuh orang tua berbaju hijau itu melenting ke atas saat tongkatnya terbabat golok lawan. Sedangkan Sundrata sendiri bergegas melompat ke samping. Tapi belum juga berdiri sempurna, datang lagi satu serangan dari orang berbaju merah. Orang itu menghantamkan gada besar berduri ke arah kepala.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Uts...!"
Cepat Sundrata menarik tubuhnya ke belakang, maka gada berduri yang sangat besar itu lewat di depan mukanya. Sunggijh dahsyat bukan main, sehingga angin tebasan gada itu membuat tubuh Sundrata sedikit terhuyung.
Sementara Lasmi tidak jadi meninggalkan tempat itu. Hatinya begitu cemas melihat suaminya dikeroyok empat orang tua. Didekapnya bocah kecil yang kepalanya bersembunyi di dada ibunya erat-erat. Sementara pertarungan terus berlangsung sengit. Serangan-serangan datang bertubi-tubi, mengancam nyawa Sundrata. Tapi laki-laki muda itu temyata bukanlah orang sembarangan. Tingkat kepandaian yang dimiliki ternyata cukup tinggi. Beberapa kali serangan lawan yang sangat berbahaya berhasil dielakkan dengan manis. Bahkan tidak jarang serangan balasan yang diberikan membuat lawan-lawannya jadi kerepotan.
"Auwh...!”
Lasmi memekik ketika melihat suaminya terkena satu pukulan keras di dadanya. Tampak Sundrata terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Dari sudut bibimya mengalir darah kental.
Belum juga kebimbangan tubuhnya sempat dikuasai, kembali datang satu totokan keras dari sebatang tongkat Sundrata mencoba berkelit dengan memiringkan tubuhnya ke kiri. Tapi tanpa diduga sama sekali, sebuah cambuk menggeletar menyengat pung-gungnya.
Ctar!
"Akh...!" Sundrata memekik keras.
Cambuk hitam di tangan orang berbaju biru kembali menyengat tubuh Sundrata, sehingga membuat laki-laki muda itu tersuruk jatuh mencium tanah. Tampak di punggungnya tergores luka akibat cambukan. Darah merembes keluar dari kulit punggung yang sobek cukup panjang.
"Hiyaaa...!"
Mendadak saja orang yang berbaju hitam melompat sambil menghunjamkan pedangnya ke arah Sundrata yang tengah tergolek di tanah. Buru-buru Sundrata menggulirkan tubuhnya ke samping, dan pedang itu hanya menghunjam tanah.
"Hup!"
Cepat Sundrata melompat bangkit berdiri. Disilangkan goloknya di depan dada. Namun belum sem-pat melakukan sesuatu, orang tua berbaju merah melompat menerjangnya. Gada besar berduri terayun deras ke arah kepala. Cepat-cepat Sundrata menarik tubuh dan kepalanya ke belakang, seraya mengibaskan goloknya ke arah pergelangan tangan lawan.
"Yeaaah...!"
Wuk!
"Ikh...!"
Buru-buru orang tua berbaju merah itu menarik pulang gadanya. Tapi dengan cepat sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, dan seketika itu juga, dikirimkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi.
Des!
"Akh!" entah untuk ke berapa kali Sundrata terpekik.
Tendangan orang berbaju merah itu tepat menghantam punggungnya Sehingga membuat Sundrata terhuyung-huyung ke depan. Pada saat itu, orang berbaju hitam melompat maju sambil menusukkan pedangnya.
Crab!
"Aaakh...!" satu jeritan panjang melengking terdengar keluar dari mulut Sundrata.
“Yeaaah...!"
Orang tua berbaju hitam itu mencabut pedangnya keluar dari perut Sundrata, dan seketika tu juga dilayangkan satu tendangan keras yang telak mendarat di dada. Tak pelak lagi, dengan perut robek berlumuran darah, Sundrata terpental ke belakang. Saat itu juga orang berbaju merah mengayunkan gadanya.
“Yeaaah...!"
Wukl
Prak...!
Gada berduri itu langsung menghantam kepala Sundrata hingga hancur berantakan. Sebelum tubuh laki-laki muda itu ambruk ke tanah, cambuk di tangan orang tua berbaju biru kembali menggeletar menyengat leher. Itu pun masih ditambah dengan hunjaman ujung tongkat orang tua berbaju hijau yang menembus dada.
Tubuh Sundrata limbung, lalu ambruk ke tanah. Kepala yang pecah, tergulir pisah dari lehemya. Lasmi yang menyaksikan semua kejadian itu menjerit histeris. Langsung dibalikkan tubuhnya dan berlari sekencang-kencangnya. Dia memang sudah tak sanggup lagi menyaksikan kematian suaminya yang begitu tragis.
Jeritan Lasmi menghentak empat orang tua itu. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata-kata lagi segera berlompatan mengejar. Sementara Lasmi terus berlari menembus semak belukar berduri. Tak dipedulikan lagi duri-duri tajam yang mengoyak kulit kakinya hingga berdarah. Dia terus berlari sekuat tenaga disertai linangan air mata.
"Akh...!" tiba-tiba Lasmi terpekik ketika sepasang tangan mcrengkuh dan menariknya dengan kasar.
Sebelum Lasmi bisa melakukan sesuatu, sepasang tangan itu sudah mendekap pinggang dan mulutnya, lalu menarik masuk ke dalam gerumbul semak belukar. Lasmi berusaha memberontak melepaskan diri sambil memeluk erat putra laki-lakinya.
"Ssst.., diam!" terdengar suara berat dekat telinga wanita itu.
Pada saat itu terlihat empat orang tua berlarian melintasi mereka. Empat orang tua itu tak menyadari kalau wanita yang diburu sudah terlewati. Tapi belum jauh mereka lewat, keempat orang tua itu berhenti.
"Setan!" dengus orang tua berbaju merah.
"Ayo kita kejar terus, jangan sampai lolos!" ajak yang berbaju hijau.
"Tunggu dulu!" cegah yang berbaju hitam.
"Ada apa...?"
"Dia pasti tidak bisa lari jauh secepat ini, dan pasti bersembunyi," tegas orang tua berbaju hitam.
"Jangan bodoh! Lasmi bukan perempuan sembarangan. Dia juga memiliki kepandaian!" bentak orang tua berbaju merah.
"Ayo, jangan buang-buang waktu. Pasti dia belum jauh dari sini!" ajak yang berbaju biru.
Keempat orang tua itu kembali berlari cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara di balik semak, sepasang tangan kekar melepaskan dekapannya pada wanita itu. Cepat-cepat Lasmi melepaskan diri dan bangkit berdiri, sedangkan anaknya masih dipeluk erat-erat.
Lasmi berbalik dan memandangi seorang laki-laki muda berwajah tampan. Rambutnya panjang, dan tergelung sedikit ke atas. Sedangkan pakaiannya terbuat dari kulit harimau. Tampan dan gagah sekali, sampai-sampai Lasmi terkesiap sesaat. Dilangkahkan kakinya mundur keluar dari dalam semak belukar itu. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau hanya berdiri saja memandangi.
"Sebaiknya Nisanak cepat tinggalkan tempat ini. Mereka pasti akan kembali lagi," ujar pemuda itu ramah. Begitu lembut nada suaranya.
"Siapa kau?" tanya Lasmi.
"Yang jelas aku bukan bagian dari mereka," sahut pemuda itu seraya tersenyum.
Lasmi memalingkan muka menatap ke arah kepergian empat orang tua itu. Kemudian kembali dipandangnya pemuda yang baru saja menyelamatkannya dari kejaran empat manusia kejam itu. Siapa pun pemuda ini, yang jelas memang tidak bermaksud jahat. Dan yang pasti, bukan dari keempat laki-laki tua itu tadi.
"Cepatlah pergi sebelum mereka kembali, Nisanak," ujar pemuda itu lagi.
"Baiklah, terima kasih," ucap Lasmi.
Wanita itu bergegas membalikkan tubuhnya dan cepat pergi ke arah lain. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu memandangi saja, kemudian duduk bersandar di bawah pohon rindang sambil menekuk kaki kanan. Satu tangan ditumpangkan ke lutut. Tapi, belum juga pemuda itu bisa memejamkan mata, empat orang tua tadi kembali muncul. Mereka tampak terkejut melihat seorang laki-laki muda duduk bersandar di bawah pohon, lalu seketika berhenti dan menghampiri.
"Anak muda, apakah kau melihat seorang perempuan membawa anak kecil di sekitar sini?" tanya orang berbaju merah. Suaranya terdengar kasar sekali.
"Sayang sekali, aku baru saja sampai dan akan beristirahat. Jadi tidak bertemu seorang pun kecuali paman berempat," sahut pemuda itu kalem.
"Hm..., kau datang dari arah mana?" tanya orang tua berbaju biru.
"Sana!" sahut pemuda itu menunjuk ke arah perginya Lasmi.
"Kau tidak bertemu seorang pun?" tanya orang berbaju biru itu lagi.
"Ya, tidak jauh dari sini. Di dekat sungai ada pengail."
Keempat laki-laki tua itu saling berpandangan sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, mereka pergi ke arah yang berlawanan dengan yang ditempuh Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tersenyum tipis melirik keempat orang tua itu, kemudian meme-jamkan matanya sambil bersandar ke pohon.
"Hhh..., baru juga mau tidur...," desah pemuda itu mengeluh.
Sementara itu Lasmi sudah tiba di tepi sungai yang tidak begitu besar, namun aimya keruh sekali. Sehingga, aliran air itu merah kecoklatan. Di tepi sungai duduk seorang pangail berbaju lusuh, mengenakan tudung tikar yang sudah koyak menutupi sebagian wajahnya. Pengail itu menoleh saat mendengar langkah kaki menuju ke arahnya.
"Kisanak, boleh aku bertanya?" agak bergetar dan tersendat suara Lasmi.
"Hm...," pengail itu hanya menggumam kecil saja.
"Di mana arahnya Desa Kaung?" tanya Lasmi.
"Untuk apa ke Desa Kaung, Lasmi?"
"Heh...?!" Lasmi terkejut
Buru-buru wanita itu melangkah mundur, sedangkan pengail itu membuang jorannya sambil bangkit berdiri. Dibukanya tudung yang menutupi kepala". Seketika mata Lasmi membeliak lebar begitu melihat wajah tua yang rambutnya telah memutih. Kumis panjangnya menyatu dengan jenggot putih, dan seluruhnya berwama putih.
"Datuk...," desis Lasmi, bergetar suaranya.
"Kau bisa saja lolos dari mereka, Lasmi. Tapi tidak bisa lepas dariku. He he he...," ujar laki-laki tua itu seraya terkekeh.
"Oh, tidak...," desis Lasmi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, dan terus bergerak mundur.
Sementara laki-laki tua itu melangkah maju mendekati. Cepat-cepat Lasmi berbalik dan berlari, tapi laki-laki tua itu lebih cepat lagi melompatinya dan tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Dia tertawa terkekeh memperiihatkan baris-baris gigi yang kecil, masih teratur rapi.
"He he he.... Ke mana keperkasaan dan ke-angkuhanmu, Lasmi? Kau seperti seekor kelinci saja!"
Wajah Lasmi yang bersimbah keringat jadi memerah pucat, dan terus bergerak mundur sambil mendekap putranya erat-erat Sementara laki-laki tua itu semakin dekat saja.
"Kau harus ikut denganku, Lasmi. Hap...!"
"Akh...!" Lasmi terpekik tertahan.
Kalau saja wanita itu tidak memiringkan tubuhnya ke kanan, tentu laki-laki tua itu sudah merengkuhnya. Lepas dari terkaman laki-laki tua itu, Lasmi langsung membalikkan tubuh dan berlari. Namun....
Bret!
"Auw...!"
Tangan laki-laki tua itu menjambret kain yang dikenakan Lasmi hingga koyak. Tampak kulit punggung yang putih terbuka lebar, maka Lasmi buru-buru menutupi. Tapi belum juga sempat berbuat sesuatu, laki-laki tua itu sudah merengkuhnya ke dalam peluk-annya.
"Lepaskan...!" pekik Lasmi sambil memberontak. "Huh! Aku tidak perlu bocah ini!" dengus laki-laki tua itu.
"Jangan...!"
Tapi laki-laki tua itu sudah merenggut anak laki-laki di dalam dekapan ibunya. Dengan kasar disentakkan wanita itu hingga terhuyung, dan jatuh tersuruk ke tanah.
"Ibuuu...!" jerit anak laki-laki itu.
"Oh, tidak! Jangaaan...!" jerit Lasmi dengan air mata berlinangan.
Tapi laki-laki tua itu malah tertawa terbahak-bahak. Dicengkerarnnya tengkuk anak kecil itu. Dan sambil mendengus, mendadak saja dilemparkan anak itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.
"Tidaaak...!"
"Ibuuu...!"
"Ha ha ha...!"
Tubuh kecil yang hanya mengenakan celana tanpa baju itu melayang deras ke udara, dan Lasmi hanya bisa meraung-raung. Laki-laki tua itu sudah mencekal tangannya, dan memeluk pinggang ramping itu kuat-kuat Lasmi meraung-raung sambil berusaha meronta melepaskan diri. Tapi pelukan orang tua itu demikian kuat. Sementara tubuh kecil mulai melayang turun deras sekali.
"Ibuuu..., tolooong...!"
Tapi Lasmi hanya bisa menangis memandangi putranya yang tidak lama lagi bakal terbanting ke tanah. Lemas sudah seluruh tubuhnya menyaksikan semua ini. Namun belum juga anak itu menyentuh tanah, mendadak saja sebuah bayangan berkelebat menyambar. Dan tahu-tahu di depan Lasmi berdiri seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau.
Sebelum ada yang menyadari, pemuda itu sudah cepat bergerak lagi. Tahu-tahu tubuhnya melesat bagai kilat menyambar orang tua itu. Tentu saja hal ini membuat orang tua itu terkejut setengah mati. Tak ada jalan lain, kecuali cepat-cepat didorongnya tubuh Lasmi.
"Ahk...!" Lasmi terpekik.
Dan tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju kulit harimau itu menangkap Lasmi. Dan dengan manis sekali dilentingkan tubuhnya ke atas, hinggap di batang pohon, langsung saja pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan tinggi bersama Lasmi dan anak tunggalnya.
"Hei...!" orang tua itu terkejut setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau akan seperti ini kejadiannya. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melesat mengejar. Namun begitu kakinya hinggap di cabang pohon tinggi, orang tua itu tak jadi melompat lagi.
"Sial!" dengusnya.
Laki-laki tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi bayangan pemuda yang membawa Lasmi dan anaknya sudah tidak terlihat lagi. Daerah ini begitu luas, meskipun pepohonan yang tumbuh tidak begitu lebar. Laki-laki tua itu bersungut-sungut, dan kembali meluruk turun. Gerakannya ringan sekali, pertanda tingkat ilmu olah kanuragan yang dimilikinya cukup tinggi.
"Monyet keparat...!"
Lasmi merintih lirih sambil menggelengkan kepalanya dengan lemah. Perlahan-lahan dibuka matanya, dan langsung beranjak bangun. Tatapannya lurus tertuju pada seorang pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Tampak seorang bocah tergolek lelap di pangkuannya. Pemuda itu memandang Lasmi yang beranjak turun dari pembaringan bambu. Hanya selembar tikar daun pandan yang menjadi alas ranjang bambu itu.
"Dia tidur," jelas pemuda itu setelah Lasmi berada di depannya.
Lasmi mengambil anak kecil berusia sekitar lima tahun itu, dan memindahkan ke pembaringan bambu yang tadi ditidurinya.
Sebentar dipandangi wajah anaknya, kemudian berbalik dan duduk di tepi pembaringan ini. Pandangannya beredar ke sekeliling. Disadarinya kalau saat ini berada di sebuah pondok kecil yang kelihatannya kumuh sekali.
"Cukup lama juga kau tidak sadar," jelas pemuda itu lagi.
"Di mana ini?" tanya Lasmi. "Di pondokku. Tidak bagus, tapi lumayan untuk berteduh," sahut pemuda itu ringan. "Kau siapa?" tanya Lasmi lagi.
"Panggil saja Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu memperkenalkan diri. "Boleh aku tahu siapa namamu?"
"Lasmi, dan ini anakku. Namanya Wijaya." Wajah Lasmi berubah mendung. Kepalanya tertunduk, teringat akan suaminya yang tewas dikeroyok empat orang tua yang tidak dikenal sama sekali. Perlahan diangkat kepalanya, langsung memandang pemuda berbaju kulit harimau di depannya. Begitu sendu dan redup sekali sinar mata wanita itu, namun demikian tidak menghilangkan kecantikan wajahnya.
"Aku tidak kenal dirimu, dan kau juga tidak kenal diriku. Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya Lasmi pelan.
"Maaf jika kau merasa tidak senang," ucap pemuda berbaju kulit harimau yang mengaku bemama Bayu, atau terkenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.
"Oh, tidak. Aku bahkan berterima kasih sekali padamu," buru-buru Lasmi berkilah.
"Aku tadi hanya kebetulan saja lewat dan melihatmu dikejar-kejar empat orang," jelas Bayu.
"Lalu, bagaimana kau menolongku dari...?" Lasmi memutuskan kalimatnya.
"Ketika mendengar teriakanmu, aku yakin kau perlu pertolongan. Untung tidak terlambat," sahut Bayu cepat
"Terima kasih," pelan sekali suara Lasmi, hampir tidak terdengar.
Kembali kepala Lasmi tertunduk. Dirayapinya ujung baju yang dikenakannya. Seketika wanita ini tersadar kalau kain yang dikenakannya tadi agak basah, dan kain itu juga koyak di punggung.
"Gantilah bajumu!" ujar Bayu sambil memberikan sebuah bungkusan yang berisi pakaian.
"Dari mana kau dapatkan pakaian, itu?"
"Aku beli di Desa Kaung," sahut Bayu.
"Oh...! Jadi Desa Kaung tidak jauh lagi dari sini?" tanya Lasmi dengan pandangan agak dalam.
"Benar. Hanya sebentar saja dari sini," jawab Bayu sambil memutar tubuh membelakangi Lasmi.
Lasmi segera menukar pakaian sambil memandangi anaknya yang masih tertidur lelap. Ditaruhnya kain yang baru dilepasnya di samping dipan bambu. Kemudian dia beranjak bangkit dan melangkah menghampiri Bayu, lalu duduk di depan pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu menawarkan pisang. Lasmi menerima, dan langsung dikupas. Sedikit pisang ranum itu digigitnya.
Wanita itu memandang ke luar melalui pintu pondok yang terbuka setengah. Kegelapan di luar sana menandakan kalau hari sudah malam. Lasmi sadar, kalau dirinya tadi pingsan cukup lama juga. Hanya sebuah pelita kecil dari minyak buah jarak menerangi pondok ini. Cahayanya yang redup seakan-akan tak mampu mengusir kegelapan. Terlebih lagi menghangati udara dingin yang menusuk menggigilkan.
"Siapa kau sebenarnya, Kakang...? Oh, maaf. Boleh aku memanggilmu begitu?" Lasmi membuka suara lagi.
Bayu hanya tersenyum dan mengangguk kecil. "Aku hanya seorang pengembara," ujar Bayu.
"Pondok ini...? Bukankah pondok ini milikmu?"
"Benar. Aku membangunnya tadi siang. Kau dan anakmu perlu tempat untuk berteduh. Maaf, aku tidak bisa membuat lebih baik lagi dari ini," kata Bayu merendah.
"Ah...," Lasmi mendesah.
"Kau pasti lelah. Istirahatlah," ujar Bayu seraya bangkit berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Lasmi ikut berdiri.
"Menjaga di luar."
Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya ke luar. Sebentar Lasmi memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu pandangannya beralih pada bocah kecil yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Lasmi mengayunkan kakinya mendekati pintu yang ditutup Bayu dari luar. Ketika pintu itu dibuka, tampak Bayu tengah duduk di bawah pohon di depan pondok ini. Lasmi melangkah keluar dari pondok untuk menghampiri pemuda itu, lalu duduk di samping-nya. Sementara Bayu hanya melirik saja sedikit. Seonggok api unggun menyaia di depan mereka, sedikit mengusir udara dingin.
Untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Bayu menambahkan sepotong ranting ke dalam api. Tampak percikan bunga api membumbung ke angkasa. Pendekar Pulau Neraka itu berpaling memandang wanita di sebelahnya. Pada saat itu Lasmi juga tengah memandang padanya. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sama-sama menarik napas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu, Kakang," kata Lasmi pelan.
"Tidak ada yang perlu kau katakan, sahut Bayu.
Lasmi menatap pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya. Digeleng-gelengkan kepalanya, kemudian napasnya ditarik panjang-panjang dan dihembuskan kuat-kuat.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Bayu.
"Yaaah...," desah Lasmi terasa berat
"Asal kau tidak memikirkan diriku saja," Bayu mencoba berseloroh.
Gurauan Bayu membuat wanita itu tersenyum. Namun terasa hambar sekali, bahkan nampak dipaksakan. Untung saja Bayu tidak melihatnya. Dan Lasmi semakin sukar menghilangkan ganjalan yang ada di dalam dadanya. Dia ndak ingin pemuda yang telah berbaik hati padanya ini ikut terlibat dalam persoalan yang dihadapi. Persoalan pelik yang mengundang pertaruhan nyawa.
"Justru kau yang menjadi pikiranku, Kakang," tegas Lasmi mendesah.
"Oh...?!" Bayu mengerutkan keningnya.
Pendekar Pulau Neraka itu berpaling, menatap dalam-dalam wanita di sampingnya. Semakin berkerut kening pemuda berbaju kulit harimau itu ketika melihat raut wajah Lasmi begitu muram terselaput mendung tebal. Perlahan Bayu mengambil tangan wanita itu, lalu menggenggamnya. Lasmi tertunduk. Dibiarkan saja pemuda itu menggenggam tangannya. Terasa ada sedikit kehangatan dan kedamaian menyusup ke dalam hati. Tapi saat itu terlintas bayangan wajah suaminya. Maka dengan halus Lasmi melepaskan genggaman tangan pemuda tampan itu.
"Tampaknya ada yang menyusahkanmu, Nisanak. Katakan. Mungkin aku bisa mengurangi beban yang kau pikul," pinta Bayu lembut.
Lasmi tersenyum getir, dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Terlintas beberapa wajah di depan matanya. Wajah-wajah yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya. Wajah-wajah tua bengis yang tadi siang hampir membuatnya celaka, dan telah memisahkannya dari suaminya untuk selama-lamanya. Lasmi mendesah panjang saat teriintas wajah seorang laki-laki tua dengan rambut putih, kumis dan jenggot yang juga putih panjang. Perlahan-lahan digeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang yang melintas di depan mata.
"Kau terlalu lelah, Nisanak. IstirahatJah di dalam," kata Bayu lembut.
"Aku akan menemanimu di sini," ujar Lasmi seraya memberi senyum yang dipaksakan.
"Malam terlalu dingin, lagi pula pagi masih terlalu jauh. Kasihan anakmu jika kau terlalu lelah besok pagi," Bayu mencoba mendesak.
Lasmi tidak bisa lagi memaksa kala diingatnya tentang anaknya. Ya..., saat ini perhatiannya harus tertumpah penuh pada anak tunggalnya. Setelah menarik napas panjang, wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam pondok. Sementara Bayu hanya memandangi sampai wanita itu lenyap di dalam pondok kecil yang dibangunnya siang tadi.
Pagi-pagi sekali Lasmi sudah keluar dari dalam pondok sambil menggendong anaknya yang masih tampak mengantuk. Wanita itu tampak agak terkejut begitu melihat Bayu berdiri tegak di dekat onggokan api unggun. Pendekar Pulau Neraka itu membalikkan tubuh saat mendengar gerit pintu terbuka. Matanya agak menyipit melihat Lasmi seakan-akan hendak pergi diam-diam. Bayu menghampiri dan berdiri sekitar dua langkah lagi di depan pintu pondok, di tempat Lasmi yang hanya bisa memandangi di ambang pintu.
"Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Bayu.
"Aku harus pergi. Maaf," sahut Lasmi pelan.
"Ke mana kau akan pergi?"
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah memandangi bola mata jernih di depannya. Perlahan wajahnya tertunduk. Sementara kepala kecil rebah di dadanya, dengan mata seakan enggan untuk terbuka. Saat ini memang masih terlalu pagi. Bahkan suasana pun masih terselimut kegelapan. Hanya sedikit rona merah menyemburat dari pucuk-pucuk pepohonan di sebelah Timur.
"Maaf, mungkin aku terlalu ingin ikut campur urusanmu," ucap Bayu seraya melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara Lasmi masih tetap diam memandangi Pendekar Pulau Neraka itu. Terasa sekali ada sesuatu ganjalan di hatinya, namun terasa sukar diungkapkan. Sementara Bayu sudah berada sekitar satu batang tombak di depannya. Perlahan Lasmi melangkah ke luar dari pondok, lalu berhenti di depan Bayu sekitar lima langkah jaraknya.
"Maafkan aku, Kakang. Bukannya aku tidak berterima kasih. Tapi aku tidak ingin kau ikut terlibat. Maaf...," ucap Lasmi perlahan.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. "Anggap saja kita tidak pernah bertemu, Kakang," kata Lasmi lagi.
"Hm...," hanya gumaman saja yang terlontar dari bibir Rendekar Pulau Neraka itu.
Sebentar Lasmi memandangi pemuda tampan di depannya, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara Bayu masih berdiri tegak memandangi kepergian wanita muda dan cantik yang membawa anak dalam gendongannya.
Bayu masih berdiri memandangi meskipun punggung Lasmi telah samar-samar terselimut kabut. Kemudian wanita itu tak tertihat lagi, lenyap di balik bayang- bayang kabut pepohonan. Bayu menarik napas panjang. Tampaknya memang ada sesuatu pada diri wanita itu. Sesuatu yang seakan ndak ingin diketahui siapa pun, tapi sangat mengganggu ketenangannya. Semua itu dapat terbaca dari raut wajah maupun sorot matanya yang sangat lelah.
"Hm.... Kalau dia menuju ke Desa Kaung, pasti akan bertemu orang-orang yang mengejamya," gumam Bayu perlahan. "Rasanya mustahil kalau tidak ada apa-apa pada dirinya."
Entah kenapa, Bayu jadi bertanya-tanya tentang diri wanita yang mengaku bemama Lasmi itu. Dan entah kenapa pula, Pendekar Pulau Neraka itu jadi measa cemas. Dia sendiri tidak tahu, mengapa mendadak saja kecemasan menyelinap di dalam hatinya?
Slap!
"Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka itu melesat bagai kilat menuju arah kepergian Lasmi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap ditelan kabut yang masih cukup tebal menyelimuti daerah ini. Kecemasan Bayu semakin menjadi, kala teringat kalau di Desa Kaung dia telah melihat empat orang laki-laki tua yang mengejar Lasmi. Sedangkan jelas sekali kalau wanita itu menuju Desa Kaung.
Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Namun setelah jauh berlari, mendadak saja larinya dihentikan. Pendekar Pulau Neraka baru tersadar kalau Lasmi hanya berjalan biasa saja, dan tidak mungkin dalam waktu sebentar sudah bisa berjalan sejauh ini. Tapi sepanjang jalan yang dilalui, wanita itu tidak dijumpainya.
"Hm...," gumam Bayu pelan.
Rasanya memang tidak mungkin jika hanya seorang wanita biasa bisa secepat ini menghilang. Apalagi menempuh perjalanan cepat dalam kegelapan kabut yang tebal. Dan Bayu teringat kata-kata empat orang tua yang mengejar Lasmi. Mereka sepertinya sudah mengetahui siapa Lasmi itu.
Mengingat itu semua, Bayu mengedarkan pandangannya ke tanah berumput di sekitamya. Kedua matanya menyipit melihat ada jejak kaki tertera halus. Jejak yang diyakini masih baru, tapi jelas milik sese-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Apakah ini jejak-jejak kaki Lasmi? Bayu jadi bertanya-tanya dalam hati. Setelah berpikir beberapa saat, Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Sementara itu suasana di Desa Kaung tampak tenang dan damai. Semua penduduk terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Sepanjang jalan desa dipenuhi pejalan kaki maupun penunggang kuda. Di antara orang-orang yang memadati jalan tanah berdebu itu, terlihat seorang wanita mengenakan baju lusuh berdebu tengah berjalan agak tertatih menggendong anaknya.
Sebagian wajahnya hampir tertutup kerudung kain berwarna biru gelap. Ayunan kakinya cepat sambil memeluk anak laki-laki yang berusia sekitar lima tahun erat-erat, seakan-akan takut kalau anak itu lepas dari pelukan. Tak ada seorang pun yang memperhatikan, karena semua orang tengah disibukkan oleh pekerjaan masing-masing.
Wanita itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu tebal. Pintu yang tingginya sekitar dua tombak dan sangat besar itu tertutup rapat. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu menatap pintu yang temyata sebuah gerbang depan. Dibetulkan letak kerudung yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya. Kemudian dibetulkan letak gendongan pada anak laki-laki kecil yang kelihatan tenang menyem-bunyikan kepalanya di dada.
"Bu...."
"Mudah-mudahan Kakek bersedia menerimamu, Nak," kata wanita itu perlahan.
Perlahan sekali kakinya terayun mehdekati pintu besar yang terkunci rapat. Tangan yang kecil dan halus mengetuk pintu itu. Kembali kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada yang melihatnya.
Tak lama kemudian pintu kayu itu terbuka sedikit. Suara gerit engsel yang berkarat membuat sedikit wajah yang terlihat di balik kerudung tampak pucat. Sebuah kepala dari seorang laki-laki muda yang cukup tampan menyembul ke luar.
"Mau apa?" tanya laki-laki itu agak kasar.
"Aku ingin bertemu Datuk Maringgih," sahut wanita itu.
"Ada keperluan apa, dan siapa kau ini?" tanya laki-laki itu lagi seraya merayapi wanita yang berdiri di depan pintu.
Tapi belum juga ada jawaban, tiba-tiba laki-laki itu terbeliak melihat anak laki-laki kecil dalam pelukan wanita itu. Buru-buru dibukanya pintu lebar-lebar, lalu dirinya keluar. Kemudian ditutup pintunya lagi setelah menoleh sebentar ke belakang.
"Ada apa kau ke sini, Kak?" tanya laki-laki itu setengah berbisik, seakan takut terdengar orang lain.
"Aku ingin menitipkan anakku, Parita," sahut wanita itu seraya melepaskan kerudung yang menutupi wajahnya.
Tampak di balik kerudung itu tersembunyi seraut wajah cantik, milik seorang wanita bemama Lasmi. Sementara pemuda yang dipanggil Parita menarik tangan Lasmi dan mengajaknya ke tepi tembok yang agak tersembunyi. Lasmi menurut saja sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Mana Kakang Sundrata?" tanya Parita masih dengan suara setengah berbisik.
Lasmi tidak langsung menjawab, tapi malah menundukkan kepala. Tangannya yang berjari lentik halus mengeius-elus rambut bocah kecil di dalam gendongan. Parita meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya erat-erat. Lasmi mengangkat kepala, menatap pemuda itu langsung pada titik bola matanya.
"Datuk Maringgih sedang bersemadi. Kalau mau, kau bisa menunggu di pondokku," usul Parita pelan.
"Terima kasih, aku tidak ingin merepotkanmu," ujar Lasmi, agak tersendat suaranya.
"Sama sekali tidak, Kak. Bahkan aku senang bisa melihatmu kembali. Aku ingin mendengar ceritamu. Ayo...?"
Lasmi ingin menolak, tapi Parita sudah lebih dulu menarik tangannya. Mereka kemudian berjalan bersisian menyusuri tembok pagar yang tinggi dan tebal. Lasmi kembali menutupi wajahnya dengan kerudung. Hanya bagian mata dan sedikit hidung bagian atas yang terlihat Sementara anaknya kelihatan tenang dalam gendongan.
Tiba di perempatan jalan, mereka berbelok ke kanan dan terus menyusuri jalan kecil berdebu yang berlubang di beberapa bagian. Jalan ini agak sepi, tidak seramai jalan utama desa yang selalu dipenuhi orang. Tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah pondok kecil, namun kelihatan rapi dan bersih.
Lasmi memandangi pondok itu sesaat. Diayunkan kakinya perlahan mendekati pondok. Sedangkan Parita sudah lebih dahulu sampai. Dibukanya pintu pondok, dan kemudian menunggu Lasmi di ambang pintu.
"Ayo masuk, Kak," ajak Parita.
Lasmi membuka kembali kerudungnya. Bibirnya tersenyum, lalu masuk ke dalam pondok. Sebentar dipandangi bagian dalam pondok ini. Kemudian tubuhnya berbalik dan menatap Parita yang masih berdiri di ambang pintu.
"Pondok ini tidak pernah berubah," kata Lasmi dengan mata agak berkaca-kaca.
"Aku tidak ingin merubahnya, Kak," sahut Parita.
"Kenapa?"
"Di sini aku bisa melepas kerinduanku padamu."
Lasmi mendesah perlahan. Hatinya trenyuh mendengar kata-kata pemuda itu. Kepalanya menunduk memandangi wajah anaknya. Temyata bocah itu sudah tertidur. Mungkin kelelahan berada di dalam gendongan seharian penuh. Parita mengetahui. Maka diambilnya anak itu dan dibawanya ke sebuah kamar. Lasmi menghenyakkan tubuhnya di kursi. Tak lama berselang Parita muncul lagi.
"Kau masih tetap sendiri, Parita?" tanya Lasmi.
"Ya," sahut Parita sambil duduk di depan wanita itu.
"Kenapa tidak menikah saja?"
Parita tidak menjawab, tapi malah memandangi wajah cantik di depannya. Dan Lasmi jadi menggigit bibir sendiri. Hatinya menyesal telah bertanya masalah pribadi. Dia tahu, kenapa Parita tidak ingin menikah dan lebih senang hidup sendiri sambil mengabdikan diri di Padepokan Bambu Kuning.
Bagi murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang sudah mencapai tingkat tinggi memang diijinkan untuk mempunyai tempat tinggal di luar padepokan, atau mengembara mencari pengalaman sambil menambah ilmu. Semua murid padepokan memang ditanamkan untuk menimba ilmu di mana saja, bukan hanya di dalam padepokan. Itulah keistimewaan Padepokan Bambu Kuning yang tidak pernah membedakan ilmu apa pun. Tidak pernah memandang, apakah itu ilmu aliran hitam atau putih. Bagi padepokan itu, semua aliran ilmu kedigdayaan adalah sama. Yang penting tergantung dari yang menggunakannya.
"Istirahatlah dulu, Kak. Aku akan kembali ke padepokan, karena harus menjaga agar semadi Datuk Maringgih tidak terganggu," jelas Parita seraya bangkit berdiri.
"Kau akan mengatakan kedatanganku, Parita?" tanya Lasmi.
"Tidak, jika kau tidak ingin," sahut Parita.
"Kapan Datuk Maringgih selesai bersemadi?"
"Mungkin dua atau tiga hari lagi."
Lasmi tidak bertanya lagi, dan hanya memandangi saja pemuda itu. Sedangkan Parita hanya bisa membalas. Melihat keletihan dan kelesuan pada wajah Lasmi, pemuda itu merasa iba. Tak sedikit pun dihiraukan segala yang pernah terjadi di masa lalu antara mereka berdua. Dan Parita memang tidak ingin mengingatnya lagi. Tapi bagaimanapun juga, dia tidak bisa melupakan Lasmi.
"Parita...," pelan suara Lasmi.
"Ada apa?" Parita menghampiri dan menarik kursi, kemudian duduk di depan wanita itu.
"Kenapa kau tetap saja memanggilku kakak?" tanya Lasmi.
"Kau kakakku, Kak Lasmi. Sudah sepantasnya aku memanggilmu begitu. Bukankah kau sendiri yang mengatakannya padaku?" Parita mengingatkan.
"Tapi..., ah. Maafkan aku, Parita," lirih sekali suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kak. Yang sudah terjadi biarlah, tak perlu diingat lagi," ujar Parita lembut.
"Kau baik sekali, Parita. Tidak pantas rasanya aku menerima kebaikanmu seperti ini," semakin pelan suara Lasmi, dan terdengar agak tersendat.
"Sudahlah, Kak. Yang penting sekarang ini, istirahatlah. Kau pasti letih. Lihat, bajumu kotor begini, dan..., bau," gurau Parita.
Lasmi tersenyum juga mendengar gurauan pemuda itu. Namun hanya senyuman tipis, dan sebentar saja. Kini wajahnya sudah kembali mendung. Memang, rasanya sejak kemarin dia belum bertemu air. Badannya begitu kotor dan bau sekali, mirip gembel jalanan.
Parita akan bangkit berdiri, tapi Lasmi lebih cepat lagi menahan. Digenggamnya tangan pemuda itu, dan ditatapnya dalam-dalam. Parita membalas menggenggam tangan itu, dan menepuk-nepuk dengan lembut. Diberikannya sebuah senyuman, tapi sungguh sulit dimengerti apa arti senyumannya itu.
"Aku harus kembali dulu. Tidak enak meninggalkan tugas pada saat Datuk Maringgih sedang bersemadi," pamit Parita seraya bangkit berdiri.
"Kau melatih sekarang, Parita?"
"Ya, coba-coba saja," sahut Parita nyengir.
Lasmi tersenyum, dan membiarkan saja Parita pergi meninggalkan pondok ini. Lasmi mengantarnya sampai di ambang pintu, lalu bergegas menutup pintu setelah Parita lenyap dari pandangan. Wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dipandanginya bocah laki-laki yang tampak lelap dalam tidumya. Tersungging sebuah senyuman kecil, kemudian tubuhnya berbalik meninggalkan kamar itu.
Baru saja Parita melewati pintu gerbang Padepokan Bambu Kuning ketika seorang laki-laki muda berusia belasan tahun menghampiri. Dia membungkukkan badan memberi hormat dengan tangan terkepal di depan dada. Parita tahu, kalau pemuda itu adalah murid padepokan ini.
"Ada apa?" tanya Parita.
"Guru Datuk Maringgih memanggil, katanya ingin bertemu di ruangan semadi," sahut pemuda belasan tahun itu.
Parita mengerutkan keningnya, tapi bergegas juga melangkah menuju bilik semadi yang berada di samping kanan balai latihan utama. Agak heran juga hatinya, karena gurunya ingin bertemu di ruangan semadi. Belum pemah hal ini terjadi, apalagi di saat Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tengah melakukan semadi.
Parita berhenti sebentar di depan pintu bilik semadi. Hatinya masih bertanya-tanya tentang panggilan mendadak ini. Panggilan yang terasa amat aneh dan sukar dimengerti. Tapi akhirnya Parita mengetuk juga pintu yang tertutup itu.
"Masuk...," terdengar suara berat dari dalam.
Parita membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan yang berukuran tidak terlalu besar ini terasa pengap karena dipenuhi kepulan asap dari pedupaan. Tampak di tengah-tengah ruangan duduk bersila seorang laki-laki berjubah putih dengan ikat kepala putih juga. Seluruh rambut, jenggot, dan kumisnya yang panjang berwama putih. Parita membungkuk sambil merapatkan kedua tangan terkepal di depan dada.
"Mendekatlah, duduk di dekatku," kata laki-laki tua itu.
Parita mendekat dan duduk bersila di depan laki-laki tua berusia hampir seratus tahun. Tubuhnya masih kelihatan gagah dengan sinar mata tajam, mengandung daya pancar kewibawaan yang sangat besar.
"Ada apa Datuk memanggilku?" tanya Parita dengan sikap penuh rasa hormat.
"Hm...," Datuk Maringgih hanya menggumam kecil sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang sampai menutupi leher.
Sementara Parita hanya duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala, menekuri lantai dingin bagai berada di puncak gunung yang tertinggi di dunia.
"Parita. Kuminta, bawalah Lasmi menemuiku di ruang pribadiku," kata Datuk Maringgih.
Parita terkejut bukan main, tapi tidak berani mengangkat kepalanya. Bahkan malah semakin dalam tertunduk. Sungguh tidak disangka kalau Datuk Maringgih sudah mengetahui kedatangan Lasmi. Di balik rasa keterkejutannya, Parita juga kagum luar biasa. Dalam keadaan terkurung di dalam bilik semadi, ternyata laki-laki tua ini bisa mengetahui sekelilingnya. Itu merupakan suatu kenyataan kalau Datuk Maringgih benar-benar sudah sempurna dalam kemurnian jiwa dan raganya. Laki-laki tua ini bagaikan manusia setengah dewa.
"Kau terkejut, Parita?"
"Oh, Datuk...," Parita tak bisa berkata-kata lagi.
"Aku bisa memahami, kenapa Lasmi kau bawa ke pondokmu. Aku tidak menyalahkan, tapi malah kagum terhadap tindakanmu. Pergilah, dan bawa Lasmi menemuiku," ujar Datuk Maringgih lagi.
"Segera, Datuk," sahut Parita.
Bergegas Parita menjura memberi hormat, kemudian keluar dari bilik semadi itu. Perlahan ditutup kembali pintunya. Tapi belum juga melangkah, mendadak ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Parita kembali membuka pintu bilik semadi. Seketika matanya terbeliak lebar melihat ruangan itu sudah kosong, tak ada lagi Datuk Maringgih di dalam.
"Oh...," desah Parita kagum.
Bergegas laki-laki muda itu menutup pintu bilik semadi, kemudian melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Ayunan kakinya lebar dan bergegas sekali. Tidak dihiraukan lagi beberapa murid padepokan ini menjura memberi hormat padanya.
Ragu-ragu Lasmi menaiki undakan menuju ruangan pribadi Guru Besar Padepokan Bambu Kuning. Sementara Parita yang menggendong Wijaya mengikuti dari belakang. Lasmi berhenti di depan pintu ruangan pribadi Datuk Maringgih. Kepalanya menoleh, memandang Parita yang berada di belakang.
"Ayo, Datuk Maringgih ingin bertemu denganmu," desak Parita.
"Aku takut..," pelan suara Lasmi.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Masuklah...!" terdengar suara dari dalam.
Lasmi memandang pemuda di belakangnya. Sedangkan Parita hanya menggerakkan kepala, menyuruh wanita itu masuk. Dengan tangan gemetaran, Lasmi mendorong pintu itu, dan mengayunkan kakinya masuk. Sementara Parita masih mengikuti dari belakang. Lasmi tak mampu lagi mengangkat kepalanya. Apalagi untuk memandang laki-laki tua itu yang duduk di sebuah dipan kayu beralaskan permadani tebal berwama hijau daun. Lasmi duduk bersimpuh di lantai. Parita mengikuti, duduk bersila di sampingnya.
"Kau datang sendiri, Lasmi?" terdengar berat dan berwibawa sekali nada suara Datuk Maringgih.
"Berdua dengan anakku," jawab Lasmi pelan tanpa mengangkat kepalanya.
"Ini Wijaya, anaknya, Datuk," celetuk Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan Parita, lalu kembali menatap Lasmi yang duduk dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau harapkan di sini?" tanya Datuk Maringgih lagi.
Lasmi tak bisa menjawab. Sukar rasanya menjawab pertanyaan itu. Dia sediri tidak tahu, kenapa datang lagi ke tempat ini, setelah...
"Kau sudah bertekad untuk menjalani hidup bersama laki-laki pilihanmu sendiri. Sedikit pun kau tidak suka mendengar nasihatku. Maka dengan berat hati kululuskan permintaanmu, karena aku tahu kau tidak bisa lepas dari laki-laki yang kau cintai...," terasa berat sekali nada suara Datuk Maringgih.
"Ini anaknya Lasmi, Datuk," jelas Parita.
Datuk Maringgih hanya memandang sebentar pada anak laki-laki di pangkuan Parita.
"Apa yang kau harapkan di sini, Lasmi? Kau kan sudah bertekad menjalani hidup bersama laki-laki pilihanmu sendiri..," tegur Datuk itu pelan.
Sedangkan Lasmi hanya menunduk dan diam membisu.
"Aku bukannya tidak menyukai kehidupan seorang pendekar. Aku dulu juga seorang pendekar, dan sekarang melahirkan pendekar-pendekar muda. Tapi aku tahu betul, siapa itu Sundrata," sambung Datuk Maringgih.
'Tapi Kakang Sundrata sangat mencintaiku, Ayah," sergah Lasmi seraya mengangkat kepalanya.
"Aku tahu, dan juga telah mendengar kau hidup bahagia sampai anakmu lahir. Terus terang, aku ikut bahagia saat mendengar kelahiran anak laki-lakimu."
"Tapi, kenapa Ayah tidak datang untuk melihat?"
"Itulah yang sukar kulakukan, Lasmi. Meskipun Sundrata seorang pendekar yang berjalan di jalur lurus, tapi aku tahu siapa orang tuanya."
"Ayah...."
"Lasmi, aku memintamu datang ke sini bukan untuk berdebat!" potong Datuk Maringgih cepat.
Lasmi langsung terdiam, dan kepalanya kembali tertunduk. Terdengar desahan napas panjang dari Datuk Maringgih. Beberapa saat ruangan yang cukup besar itu sunyi, tak ada yang mengeluarkan suara.
"Di mana suamimu?" tanya Datuk Maringgih setelah beberapa saat terdiam.
"Dia..., dia...," Lasmi tak sanggup meneruskan.
"Suamimu tewas, bukan?" serobot Datuk Maringgih.
"Ayah sudah tahu...?!" Lasmi terkejut
"Aku sudah menduga semua ini akan terjadi. Dan itu tak mungkin bisa dihindari lagi. Bagaimanapun juga, aku akan terlibat. Bahkan seluruh penghuni Padepokan Bambu Kuning. Mungkin juga seluruh penduduk Desa Kaung akan terlibat," agak dalam nada suara Datuk Maringgih.
Lasmi kembali diam membisu.
"Jika kau suka menuruti nasihatku, tak mungkin akan terjadi. Yaaah.... Semuanya sudah terjadi, tak perlu lagi disesali," sambung Datuk Maringgih pelan.
"Maafkan Lasmi, Ayah," ucap Lasmi lirih.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Apa yang sudah terjadi tidak akan terulang lagi. Apa pun yang kau lakukan, tetap menjadi tanggung jawabku."
"Ayah...," Lasmi tak kuasa lagi membendung air matanya.
"Jangan menangis, Lasmi. Aku tidak suka melihatmu menangis."
Sekuat tenaga Lasmi mencoba menahan tangisnya. Dia tahu kalau ayahnya tidak senang mendengar tangisannya. Bahkan ketika ibunya meninggal pun, ayahnya melarang untuk menangis. Lasmi ingat betul, saat air matanya baru bisa ditumpahkan di dalam kamar. Sekarang ini dia ingin menangis, tapi tak mungkin dilakukan di depan ayahnya. Lasmi merasa begitu berdosa, telah mengabaikan segala nasihat dan kata-kata laki-laki tua yang sangat dihormati ini. Bahkan melebihi rasa hormat yang ada pada dirinya sendiri.
Sekarang, setelah dihancurkan dan disakiti hatinya, laki-laki tua ini masih mau menerima dengan tangan terbuka dan hati lapang. Sungguh mulia hati Datuk Maringgih. Rasanya sukar bagi Lasmi untuk membalas kemuliaan yang dimiliki ayahnya. Yaaah..., penyesalan memang tidak ada gunanya lagi. Apa pun yang telah terjadi, hatinya harus tegar menghadapinya. Itu yang selalu dikatakan Datuk Maringgih padanya.
"Pergilah ke kamarmu. Aku tidak pernah merubahnya sedikit pun," kata Datuk Maringgih.
Lasmi mengambil anaknya dari pangkuan Parita. Rasanya sulit untuk mengucapkan sesuatu, bahkan berbuat sesuatu pun tak sanggup lagi. Kini yang bisa dilakukan hanyalah menuruti kata-kata ayahnya, tanpa mampu membantah lagi.
"Lasmi, siapa nama anakmu?" tanya Datuk Maringgih sebelum Lasmi keluar dari ruangan ini.
"Wijaya," sahut Lasmi.
"Wijaya...," gumam Datuk Maringgih pelan.
Datuk Maringgih bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri Lasmi. Sebentar ditatapnya anak laki-laki di dalam gendongan wanita itu. Tangannya terulur dan membelai kepala bocah itu. Hampir Lasmi meledak tangisnya, tapi masih mampu menahannya. Sunguh tidak diduga kalau ayahnya akan menerima Wijaya dengan penuh kasih.
Dan Lasmi semakin sukar menguasai perasaan hatinya ketika laki tua itu mencium ubun-ubun kepala anaknya. Dia hanya bisa menggigit-gigit bibirnya sambil menahan perasaan yang bercampur aduk dalam dada.
"Pergilah sebelum air matamu tumpah," kata Datuk Maringgih, agak tertahan suaranya.
Sebentar Lasmi menatap ayahnya. Hampir tidak dipercaya kalau laki-laki tua itu dapat berkata seperti tadi. Ini merupakan sesuatu yang belum pemah didengar. Datuk Maringgih seakan mengijinkannya menangis, tapi tetap tidak ingin di hadapannya. Bergegas Lasmi berjalan meninggalkan ruangan itu.
Sementara Datuk Maringgih memandangi sampai anaknya lenyap di balik pintu. Laki-laki tua berjubah putih itu menarik napas dalam-dalam. Rupanya Lasmi sudah tidak kuasa membendung tangisnya yang langsung pecah begitu sampai di luar ruang pribadi. Meskipun tertahan, tapi isak tangis wanita itu sempat juga terdengar. Datuk Maringgih berpaling memandang Parita yang masih duduk bersila dengan kepala tertunduk. Laki-laki tua itu kembali duduk di tempatnya semula.
"Mereka tahu Lasmi ada di sini, Parita?" tanya Datuk Maringgih setelah menarik napas panjang.
"Tidak, Datuk," sahut Parita tetap tertunduk.
"Cepat atau lambat, mereka pasti akan tahu juga," desah Datuk Maringgih dalam.
Perlahan-lahan Parita mengangkat kepalanya. Hatinya sedikit tertegun melihat wajah laki-laki tua itu murung. Bahkan kedua bola matanya kelihatan berkaca-kaca. Belum pernah Parita melihat gurunya seperti ini. Biasanya Datuk Maringgih tegar dalam menghadapi apa pun. Bahkan ketika Lasmi meninggalkannya bersama Sundrata, laki-laki tua ini tidak menampakkan kesedihan. Apalagi kemurkaan. Raut wajahnya tetap datar. Tapi sekarang ini.... Belum pernah Parita melihat raut wajah Datuk Maringgih begitu mendung.
"Parita, kuminta kau menjaga Lasmi. Jika terjadi sesuatu, aku berharap agar kau bisa menjaga keselamatannya. Aku percayakan Lasmi dan anaknya padamu," pinta Datuk Maringgih.
"Baik, Datuk," sahut Parita.
"Hm...."
Pagi yang cerah ini memang enak untuk berjalan-jalan menghirup udara segar. Kesempatan seperti ini memang sangat jarang bisa dinikmati. Dan Lasmi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan indah ini. Anaknya dituntun, berjalan-jalan mengelilingi bangunan Padepokan Bambu Kuning.
Di sini, di dalam lingkungan pagar tembok ini, Lasmi dilahirkan dan dibesarkan. Hanya sekali dalam satu pekan dia bisa keluar. Itu pun tidak bisa keluar dari Desa Kaung. Lasmi benar-benar menikmati udara segar di pagi hari ini sambil mengenang saat-saat ketika masih tinggal di sini, di lingkungan yang terpisah dari dunia luar. Padahal Padepokan Bambu Kuning berdiri di tengah-tengah sebuah desa yang besar dan ramai.
"Pagi yang indah, Lasmi...."
"Oh...!" Lasmi tersentak ketika sebuah suara lembut menyapanya.
Lasmi tersenyum saat Parita tahu-tahu sudah berada dekat di sampingnya. Pemuda itu menghampiri dan mengangkat Wijaya, lalu mendukungnya di pundak. Bocah kecil itu tampak kesenangan berada di pundak Parita. Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Cantik sekali wajahnya pagi ini. Begitu segar, bagai bunga yang tumbuh bermekaran di sekelilmg bangunan padepokan ini.
"Aku kira kau sudah melupakan padepokan ini, Lasmi," ujar Parita seraya mengayunkan kakinya mengikuti langkah kaki wanita di sampingnya.
"Aku tidak akan pernah melupakannya, Parita. Eh...! Kau tidak memanggilku kakak lagi, Parita?"
"Kau yang memintaku begitu, bukan? Aku tidak yakin kalau kau cepat lupa. Baru semalam...."
"Tidak. Aku memang senang kau tidak memanggilku kakak lagi. Gatal rasanya di telinga."
"Aku akan membiasakannya meskipun terasa janggal di lidah."
"Ah! Kau tetap saja seperti dulu, Parita. Senang bergurau."
"Untuk menghilangkan ketegangan."
"Ketegangan...? Kau merasa tegang di sini, Parita?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Kuakui, ketegangan itu sering muncul sejak kau pergi."
Lasmi menatap pemuda di sampingnya, kemudian kembali memandang ke depan. Dia tahu kalau sejak dulu Parita menyukainya Tapi Lasmi tidak pernah punya perasaan lain pada pemuda ini, selain perasaan persaudaraan. Dan rupanya Parita cukup rapi menyimpan ketidaksenangannya pada Sundrata.
"Aku lihat kau sudah pantas memiliki seorang gadis, Parita," kata Lasmi.
Parita malah tertawa. Mungkin perkataan Lasmi barusan dianggap lucu. Sedangkan Lasmi hanya tersenyum saja. Disadari begitu bodoh. Meskipun Parita sudah pantas memiliki kekasih, tapi tidak akan mungkin pemuda ini mencari gadis lain. Lasmi ingat suatu malam, ketika hendak meninggalkan Padepokan Bambu Kuning ini bersama Sundrata. Parita berterus terang kalau dirinya tidak akan mencari gadis lain, dan tetap akan menunggu Lasmi dalam keadaan apa pun juga.
Waktu itu Lasmi menanggapinya dengan tawa saja. Keterusterangan Parita dianggap sebagai gurauan yang sangat menggelitik waktu itu. Tapi rupanya Parita memang bukan bergurau. Kata-katanya itu dibuktikan hingga sekarang.
"Lasmi...," terdengar serius nada suara Parita.
Lasmi menggumam kecil, lalu menoleh menatap pemuda di sampingnya. Mereka terus berjalan perlahan-lahan sambil menikmati udara segar pagi ini.
"Apa kau benar-benar tidak mengenal orang-orang yang membunuh suamimu?" tanya Parita, serius nada suaranya.
"Tidak," sahut Lasmi, agak berkerut keningnya. "Kenapa kau tanyakan itu, Parita?"
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu saja. Barangkali saja bisa bertemu mereka dan bisa membalas kematian suamimu," sahut Parita ringan.
"Untuk apa? Ayah pasti tidak akan merestui jika kau membalas dendam, Parita. Dendam bukanlah penyelesaian terbaik. Bahkan sebaliknya akan melahirkan dendam baru yang berkepanjangan dan tidak akan pernah mendapatkan titik penyelesaian yang tak akan pemah berakhir sepanjang masa."
"Tidak ada dendam di hatiku, Lasmi." Tapi kalau mereka sengaja memburumu, tentu tidak akan kubiarkan begitu saja."
"Terima kasih, kau baik sekali," ucap Lasmi terharu.
"Mereka bisa rnengalahkan suamimu. Tentu mereka mempunyai kepandaian yang tinggi," kata Parita lagi agak menggumam.
Lasmi hanya diam saja, dan terus melangkah perlahan. Kembali dia teringat pertarungan Sundrata melawan empat orang tua yang tidak dikenalnya sama sekali. Dan dia juga tidak tahu persoalannya. Tapi yang nembuat Lasmi sukar untuk melupakan adalah kemunculan seorang laki-laki tua yang tentu sudah sangat dikenalnya.
Yaaah.... Kalau saja tidak muncul seorang pemuda berilmu tinggi yang menolongnya pada saat yang tepat, entah apa yang akan terjadi pada dirinya sekarang. Yang pasti dirinya tidak akan bisa melihat anaknya lagi. Lasmi jadi teringat pemuda penolongnya. Seorang pemuda tampan, gagah, dan berkemampuan tinggi sekali.
"Kau melamun, Lasmi?" tegur Parita.
"Oh, tidak...," Lasmi tersentak. Lamunannya seketika buyar.
Sementara Parita menurunkan Wijaya dari pundaknya. Dan bocah itu langsung berlari-lari mendahului. Lincah dan riang sekali. Lasmi jadi merasa iri, dan seperti ingin selamanya menjadi seorang anak kecil yang tidak pernah memikirkan apa-apa selain kesenangan. Begitu cepatnya Wijaya melupakan semua yang pemah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang hampir merenggut nyawanya.
"Parita, boleh aku tanya sesuatu padamu?" ujar Lasmi.
"Katakan saja," sahut Parita.
"Kau tahu, kenapa Ayah tidak pernah menyukai Kakang Sundrata?" tanya Lasmi seperti untuk dirinya sendiri
"Aku rasa kau lebih tahu dariku, Lasmi," sahut Parita.
"Kalau aku tahu, tidak mungkin bertanya padamu."
"Kenapa tidak kau tanyakan saja pada ayahmu?"
"Mustahil, Parita. Ayah pasti tidak akan suka menjelaskan. Paling-paling yang dikatakan hanya karena Kakang Sundrata keturunan seorang kepala begal. Dan Ayah merasa tertipu karena menerimanya menjadi murid di sini. Aku yakin, hanya itu. Tidak lebih...!"
"Aku rasa memang demikian, Lasmi. Aku bisa merasakan kekhawatiran ayahmu," tegas Parita bema-da lembut.
"Tapi Kakang Sundrata tidak menuruni sifat-sifat ayahnya. Bahkan justru memusuhi anak buah ayahnya. Kau tahu, Parita. Dalam pengembaraan, tidak sedikit Kakang Sundrata bertemu anak buah Ki Rampoa. Bahkan yang tidak ditewaskan, disadarkannya kembali ke jalan yang benar."
Parita hanya diam saja. Entah kenapa, setiap kali Lasmi memuji Sundrata, ada kepedihan di hatinya. Dan sama sekali itu tidak disukainya. Tapi Parita tidak pernah memperiihatkan ketidaksukaannya di depan wanita ini.
"Lasmi, waktu kau.... Hm, maksudku ketika suamimu dikeroyok, kenapa kau tidak membantu?" tanya Parita mengalihkan pembicaraan, karena Lasmi terus memuji-muji mendiang suaminya.
"Aku tidak bisa melakukannya, Parita," sahut Lasmi lirih.
"Kenapa?"
"Aku terkena racun yang memunahkan sebagian kekuatanku."
Parita terhenyak. Ditatapnya wanita ini dalam -dalam.
"Dalam suatu pertempuran, aku terkena pukulan beracun seorang laki-laki tua yang sangat tinggi ilmunya. Memang tidak terlihat sama sekali. Tapi setiap kali menggunakan tenaga dalam, setiap kali tenagaku berkurang. Dan sekarang aku tidak tahu lagi, apakah masih mampu atau tidak sama sekali."
"Kenapa kau tidak menceritakan hal ini pada ayahmu?"
Lasmi menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Tidak mungkin hal ini diutarakan pada ayahnya. Karena Datuk Maringgih pasti tahu dengan siapa Lasmi bertarung sehingga mendapatkan luka yang cukup parah. Bahkan bisa membunuhnya secara perlahan-lahan. Kalau hal ini sampai diketahui, sukar bagi Lasmi untuk membayangkannya.
Datuk Maringgih memandangi Parita yang duduk bersila di depannya dalam-dalam. Sungguh hatinya terkejut begitu mendengar putrinya mengidap racun dalam tubuhnya yang akan mengurangi kekuatan setiap kali menggunakan ilmu tenaga dalam. Dan laki-laki itu tahu, siapa yang memiliki jenis racun seperti itu. Hanya saja yang sukar untuk dimengerti, bagaimana mungkin Lasmi bisa bentrok hingga menderita keracunan begitu parah?
"Datuk, jangan katakan ini pada Lasmi," pinta Parita. Permintaan yang sudah beberapa kali diucapkan.
"Aku yang memberimu tugas untuk menjaga Lasmi jadi tidak mungkin membocorkan rahasiaku sendiri, Parita," tegas Datuk Maringgih.
"Terima kasih, Datuk," ucap Parita lega.
"Selain itu, apa lagi yang kau dapatkan?" tanya Datuk. Maringgih.
"Lasmi juga menceritakan, kalau dirinya bisa terlepas dari maut karena ditolong seseorang, Datuk," sahut Parita.
"Siapa?"
"Lasmi tidak suka menyebutkan namanya. Tapi hanya mengatakan kalau orang itu masih muda dan berkepandaian tinggi sekali. Katanya, pakaiannya dari kulit harimau. Seperti seorang pemburu, Datuk."
"Hm..., Pendekar Pulau Neraka," gumam Datuk Maringgih.
"Datuk mengenalnya?"
"Aku belum pernah bertemu, tapi nama besar Pendekar Pulau Neraka sering kudengar."
"Apakah beraliran putih, Datuk?" tanya Parita.
"Entahlah. Sepak terjangnya sukar ditentukan. Tapi, banyak kalangan rimba persilatan mengakuinya kalau dia beraliran putih. Meskipun tindakannya terkadang masih menggemaskan."
"Maksud, Datuk?"
"Dia sukar mengendalikan kemarahan. Bahkan tidak pernah memberi ampun lawan-lawannya. Ilmunya memang tinggi sekali, sehingga sukar diukur tingkat kepandaiannya. Hm...," Datuk Maringgih menundukkan kepala.
"Ada apa, Datuk?" tanya Parita.
"Kau tidak tanya, di mana Lasmi bertemu Pendekar Pulau Neraka?" Datuk Maringgih malah balik bertanya.
"Di sebelah Barat Desa Kaung," sahut Parita.
"Parita, kau pergilah. Cari Pendekar Pulau Neraka itu, dan sampaikan undanganku padanya," perintah Datuk Maringgih.
"Datuk mengundangnya...?"
"Benar, sudah lama sekali aku ingin bertemu orang yang bernama Pendekar Pulau Neraka itu. Mudah-mudahan aku bisa bertukar pengalaman dengannya."
"Baik, Datuk."
"CepatJah, jangan sampai keduluan yang lain. Terutama...." terdengar ketukan di pintu. Laki-laki tua itu menatap pintu, demikian pula Parita.
"Masuk...!" seru Datuk Maringgih.
Pintu terbuka, dan muncul seorang murid yang masih berusia belasan tahun. Dia menjura memberi hormat, lalu melangkah ke depan tiga tindak.
"Ada apa?" tanya Datuk Maringgih.
"Ada seorang tamu hendak bertemu, Datuk," sahut muridnya.
"Siapa?"
"Orang itu tidak mau menyebutkan namanya. Katanya ingin bertemu langsung dengan Datuk."
"Hm...," Datuk Maringgih menggumam kecil.
Sementara Parita sudah bangkit berdiri. Dia hendak melangkah ke luar, tapi Datuk Maringgih cepat mencegah. Laki-laki tua itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar dengan langkah tenang. Murid Padepokan Bambu Kuning menyingkir memberi jalan. Parita mengikuti dari belakang.
Datuk Maringgih terkejut bukan main ketika melihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun lebih, menunggunya di depan bangunan utama Padepokan Bambu Kuning ini. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan pakaian dari bulu binatang. Wajahnya terlihat kasar dengan brewok yang tidak teratur. Dua orang yang tidak kalah kasamya mendampingi di samping kiri dan kanan.
"Ki Rampoa, apa maksudmu datang ke tempatku?" tanya Datuk Maringgih.
"Aku ingin meminta tanggung jawabmu, Datuk Maringgih!" sahut Ki Rampoa lantang.
"Tanggung jawabku...?" Datuk Maringgih mengerutkan alisnya.
"Ya, karena kau telah membunuh putraku!" bentak Ki Rampoa lantang.
"Heh...! Tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksudmu," sentak Datuk Maringgih terkejut.
"Kau jangan berpura-pura, tua bangka! Aku tahu kalau Lasmi kembali lagi ke sini setelah meracuni anakku, lalu mencincangnya seperti daging busuk. Hhh! Sungguh licik! Kau gunakan kecantikan anak gadismu agar membangkang pada ayahnya. Sebelum kau beri dia ilmu olah kanuragan, lalu kau menyuruh menentangku. Benar-benar licik!"
"Jaga kata-katamu, Ki Rampoa!" bentak Datuk Maringgih gusar.
"Seharusnya kau jaga anakmu!"
"Bedebah...!" geram Datuk Maringgih gusar.
"Datuk Maringgih, aku tidak ingin bermain-main denganmu. Serahkan Lasmi, atau kau memilih kehancuran padepokanmu ini!" Ki Rampoa memberi pilihan bemada ancaman.
"Tidak dua-duanya!" tegas Datuk Maringgih.
"Bagus! Itu berarti aku yang akan menentukan pilihan. Dan aku memilih keduanya," kata Ki Rampoa.
"Bajingan kau, Rampoa!" desis Datuk Maringgih.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak-bahak.
Gemeretak seluruh geraham Datuk Maringgih, tapi masih berusaha diredam kemarahannya. Sikap dan kata-kata Ki Rampoa sungguh menyakitkan. Tapi juga disadari kalau antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir Merah sedang diadu domba. Datuk Maringgih sadar, kalau ada pihak lain yang menginginkan kehancuran Partai Pasir Merah itu.
Dan orang tua berjubah putih itu tahu siapa orang-nya, hanya saja namanya belum diketahui. Yang pasti adalah, empat orang yang mengeroyok Sundrata hingga tewas. Mereka pasti meniupkan api di hati Ki Rampoa dengan memanfaatkan hubungan antara putra Ki Rampoa dengan Lasmi. Dan tentunya, mereka pasti tahu kalau di antara Padepokan Bambu Kuning dengan Partai Pasir Merah terjadi perang dingin yang sudah berlarut-larut, meskipun putra-putri pemimpin masing-masing mengikat tali perkawinan. Namun hal itu tidak juga bisa membuat kedua kelompok itu menyatu. Bahkan kini malah semakin genting.
"Perlu kau ketahui, Datuk Maringgih. Seluruh Padepokanmu sudah terkepung, dan bendera perang tinggal kukibarkan. Maka.... Ha ha ha...!" keras sekali suara Ki Rampoa.
Datuk Maringgih menggeretak menahan kemarahan.
"Aku perlu jawabanmu, Datuk Maringgih. Kutunggu jawabanmu besok pagi. Ingat! Serahkan Lasmi padaku, atau seluruh padepokan ini akan hancur. Dan tentunya Lasmi akan berada di tanganku.
Ha ha ha...!"
Ki Rampoa memutar tubuhnya, lalu melangkah pergi. Suara tawanya terus bergerai lepas menggelegar. Mata Datuk Maringgih tajam memandangi dengan wajah memerah. Inilah yang sudah diduga sejak Lasmi kembali.
Datuk Maringgih berbalik, tapi tidak jadi melangkah ketika Lasmi tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu. Sebentar Datuk Maringgih memandang putrinya, kemudian mengayunkan kakinya juga masuk ke dalam. Sedikit pun wanita itu tidak ditolehnya. Lasmi bergegas menyusul dan mensejajarkan langkahnya di samping laki-laki tua itu.
"Ayah, boleh aku bicara...?" pinta Lasmi.
Datuk Maringgih menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuh sedikit dan memandang wanita di depannya kini. Sedangkan Lasmi membalas tatapan mata itu. Satu hal yang baru pertama kali ini dilakukannya. Selama ini pandangan mata ayahnya tidak pernah ditentangnya. Tapi sekarang terpaksa harus dilakukan. Memang dia telah mendengar semua yang dikatakan Ki Rampoa, ayah dari suaminya.
"Ayah! Semua ini karena kesalahanku, tanggung jawabku...," kata Lasmi mencoba bicara meskipun tahu ayahnya sedang diliputi kemarahan.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Datuk Maringgih.
"Demi keselamatan Padepokan Bambu Kuning, biar Lasmi menemui Ki Rampoa," tegas Lasmi.
"Edan! Apa kau sudah tidak bisa berpikir waras lagi, heh?!" rungut Datuk Maringgih seraya menghempaskan tubuh di kursi.
"Lasmi masih waras, Ayah. Itu sebabnya kenapa Lasmi tidak ingin terjadi pertumpahan darah di sini.
"Lasmi rela meskipun mati."
"Tidak! Kau anakku! Segala yang kau perbuat, menjadi tanggung jawabku!" tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Tapi...."
"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak!" sentak Datuk Maringgih tegas.
"Ayah ingin mengorbankan sekian banyak orang? Ayah ingin melihat padepokan yang kita cintai ini hancur? Tidak, Ayah...! Seumur hidup, Lasmi akan menyesal jika hal itu sampai terjadi. Semua orang akan mencibir. Bahkan mengatakan kalau putri seorang Guru Besar Padepokan Bambu Kuning bisanya hanya berlindung di ketiak ayahnya. Apa kata sahabat-sahabat Ayah jika mereka mengetahui kalau Ayah mengorbankan banyak nyawa hanya karena hendak melindungi anaknya yang telah lari bersama laki-Jaki putra musuhnya? Apa kata mereka nanti, Ayah...?" agak keras nada suara Lasmi.
Sementara Datuk Maringgih jadi terdiam membisu. Sungguh tidak diduga kalau Lasmi akan berkata begitu. Dan itu memang tidak bisa dibantah kebenarannya. Tapi juga tidak bisa dibiarkan begitu saja jika Ki Rampoa membawa Lasmi seenaknya saja dari tempat ini. Bahkan kalau hal itu sampai terjadi, cibiran akan datang lebih menyakitkan lagi. Datuk Maringgih, seorang guru besar padepokan ternama tidak berkutik di tangan seorang pemimpin gerombolan begal. Apa itu tidak akan menyakitkan...? Bukan hanya cibiran, tapi juga tidak akan lagi ada yang memandang Padepokan Bambu Kuning. Sebuah padepokan yang sudah terkena! menelorkan pendekar-pendekar berkepandaian tinggi dan tangguh.
"Pergilah, aku akan pikirkan," ujar Datuk Maringgih.
"Ki Rampoa hanya memberi waktu...."
"Aku tahu, Lasmi.... Pergilah. Biarkan aku sendiri dulu," potong Datuk Maringgih cepat.
"Baik, Ayah."
Lasmi bergegas meninggalkan ruangan itu. Sementara Datuk Maringgih masih terduduk di kursi dengan wajah kusut Memang sukar mengambil keputusan dalam saat seperti ini. Dia tahu kalau Lasmi bersikap demikian karena merasa dirinya tidak akan mampu mempertahankan kejayaan dan martabat ayahnya. Meskipun masih terlihat ketegaran, tapi Datuk Maringgih dapat merasakan adanya kepurusasaan. Dan ini belum pemah dialami Lasmi. Kepurusasaan itu datang karena dirasakan dirinya tidak berguna lagi.
Malam ini suasana di sekitar benteng Padepokan Bambu Kuning sungguh lain dari biasanya. Ketegangan menyelimuti seluruh wajah-wajah penghuninya. Malam begitu senyap. Bukan saja di sekitar Padepokan Bambu Kuning, tapi juga menyelimuti seluruh Desa Kaung. Kedatangan Gerombolan Pasir Merah tentu sudah diketahui seluruh penduduk desa. Terlebih lagi, mereka ini mengepung Padepokan Bambu Kuning.
Tapi tidak demikian halnya dengan Lasmi. Dia tampak tenang, bahkan menikmati udara malam di depan kamarnya yang langsung berhubungan dengan taman samping bangunan utama Padepokan Bambu Kuning ini. Sama sekali kejadian siang tadi tidak dihiraukan. Bahkan sikap Parita yang menemaninya sejak petang tadi tidak dipedulikan.
"Kenapa kau mengambil keputusan nekad begitu, Lasmi?" desah Parita terasa berat.
"Aku harus bertanggung jawab, Parita," sahut Lasmi.
"Itu bukan tanggung jawab, tapi perbuatan nekad. Aku tahu kau putus asa, karena...."
"Tidak," potong Lasmi cepat.
"Lasmi! Jika kau suka berterus terang pada ayahmu, tentu bisa pulih seperti semula," nada suara Parita terdengar membujuk.
"Untuk apa? Sudah lama aku menyimpan racun ini di tubuhku. Lagi pula Ki Rampoa hanya menginginkan aku, dan mereka akan pergi dari sini."
"Tidak, Lasmi. Ki Rampoa tidak akan pergi meskipun kau menyerahkan diri. Dia pasti akan tetap menggempur padepokan ini. Lasmi.... Kau harus menyadari kalau semua ini bukan karena kesalahanmu, tapi ada orang ketiga yang memanfaatkannya. Dan kau tahu, siapa-siapa saja orangnya," kata Parita lagi.
Lasmi terdiam.
"Aku benar-benar tidak mengerti sikapmu, Lasmi. Aku tidak lagi melihat Lasmi yang dulu kukenal. Lasmi yang tegar, berani, dan tidak mengenal putus asa," keluh Parita pelan.
"Sudah malam, Parita. Kau perlu mengumpulkan tenaga untuk besok," kata Lasmi seraya bangkit berdiri.
Sebelum Parita membuka mulut lagi, Lasmi sudah melangkah masuk. Tapi belum juga pintu kamarnya ditutup, Parita sudah menerobos masuk. Lasmi tak bisa mencegah lagi, terlebih pemuda itu mencekal tangannya kuat-kuat.
"Lasmi. Aku tidak tahu, harus mengatakan apa lagi padamu. Mungkin aku memang sudah gila, atau mungkin mataku buta karena tidak bisa lagi melihat tingginya gunung dan dalamnya lautan. Tapi aku tidak ingin membohongi dan memendamnya terus menerus," jelas Parita sungguh-sungguh.
Lasmi hanya diam saja.
"Pandang aku, Lasmi. Apakah aku tidak pantas untuk mendampingimu? Apakah terlalu hina di matamu?" sambung Parita lagi.
Lasmi masih tetap diam.
"Aku memang orang biasa yang tidak jelas asal-usulku. Kalau bukan ayahmu yang membawaku ke sini, merawat, mendidik, dan mengasuhnya, mungkin aku sudah jadi gembel jalanan. Terlalu besar budi ayahmu. Dan itu tidak akan bisa kubalas sampai mati. Yaaah.... Aku memang tidak sepadan denganmu. Maafkan aku, Lasmi. Tidak seharusnya aku berkata begini pada saat seperti ini," keluh Parita.
Lasmi memandang pemuda itu dalam-dalam. Sementara Parita melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan wanita itu. Beberapa saat lamanya, mereka hanya saling bertatapan. Perlahan Lasmi menggeser kakinya, dan duduk di kursi rotan panjang. Parita menghampiri dan ikut duduk di samping wanita itu. Tapi mereka masih juga berdiam diri membisu.
"Wijaya perlu seorang ayah, Lasmi," ujar Parita seraya memandang bocah kecil yang melingkar di pembaringan.
"Kau membenci ayahnya," desah Lasmi.
"Tidak ada alasan bagiku untuk membenci Sundrata. Lagi pula bukan kebencian, tapi..., cemburu," terdengar pelan nada suara Parita yang terakhir.
Lasmi menatap pemuda itu dalam-dalam.
"Jangan menatapku begitu, Lasmi. Kau boleh saja muak padaku, tapi tidak akan melunturkan cintaku padamu," tegas Parita lagi. Dia semakin berani mengungkapkan perasaan hatinya.
"Aku sudah punya anak, Parita," kilah Lasmi.
"Aku tidak peduli."
"Aku bekas istri orang yang...."
"Cukup! Aku tidak suka mendengar macam-macam alasan lagi darimu, Lasmi. Bagiku kata penolakan lebih sempurna daripada seribu macam alasan."
"Dengar dulu, Parita. Aku tidak ingin kau mencintaiku hanya karena kasihan. Aku tidak ingin dikasihani. Lagi pula, kau tahu kalau racun yang bersarang di tubuhku sewaktu-waktu bisa merenggut nyawaku. Aku tidak ingin hal ini menjadi beban bagimu. Pikirkan semua ini sekali lagi, Parita."
"Ternyata kau lebih dewasa dari yang kubayangkan, Lasmi. Dan itu semakin mempertebal rasa cintaku padamu."
"Parita..."
"Aku hanya meminta ketegasanmu saja, Lasmi" desak Parita.
"Jangan mendesakku, Parita. Kau tahu, baru beberapa hari Kakang Sundrata meninggal. Lagi pula, kita semua sedang menghadapi situasi yang sulit Aku janji, Parita. Jika semua sudah teratasi, dan kita masih diberi umur panjang, aku akan memberi jawaban yang kau minta."
"Baiklah, aku akan bersabar. Tapi kumohon, jangan serahkan dirimu pada Ki Rampoa," sahut Parita.
Lasmi hanya tersenyum saja.
"Demi aku, Lasmi. Demi Wijaya...," desak Parita.
"Baiklah, aku akan menghadapinya sendiri nanti," sahut Lasmi.
"Kau jangan macam-macam, Lasmi."
"Tidak! Kau lihat saja nanti."
"Aku tidak ingin kau nekad dan membunuh dirimu sendiri."
Lagi-lagi Lasmi hanya tersenyum, kemudian bangkit berdiri dan melangkah menuju ke pembaringannya. Tubuh yang ramping itu langsung terbaring. Parita masih duduk di kursi memandangi.
"Tutup pintunya, Parita," kata Lasmi.
Parita bangkit berdiri. Sebentar ditatapnya Lasmi yang terbaring menelentang. Tampak bagian dadanya yang membusung sungguh indah dipandang. Parita menghampiri dan berdiri saja di samping pembaringan. Lasmi membuka matanya, dan langsung terkejut melihat Parita berada di dekatnya.
"Aku mencintaimu, Lasmi," bisik Parita lembut.
Lasmi menarik napas panjang. Dan sebelum wanita itu bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja Parita membungkuk. Maka satu kccupan lembut mendarat di bibir yang merah ranum itu. Sejenak Lasmi terhenyak. Tubuhnya mengejang seketika. Dan begitu tersadar, Parita sudah tidak ada lagi di kamar ini. Pintu sudah tertutup rapat.
"Ohhh...," Lasmi mendesah panjang.
Inilah ciuman pertama dari seorang laki-laki yang bukan suaminya. Sungguh tidak diduga kalau Parita akan seberani itu. Dan dia sendiri tidak mengerti, kenapa tidak menolak atau mencegahnya. Ciuman yang cepat, tapi begitu lembut dan.... Ah..., Lasmi jadi tersenyum sendiri. Dulu dia pemah merasakan hal serupa dengan yang sekarang.
Masih lekat di dalam ingatan, ketika semalaman dia tidak bisa tidur ketika pertama kali Sundrata mencium bibimya. Dan selama tiga hari masih terasa terus. Bahkan jadi malu jika bertemu pemuda itu. Kini perasaan itu datang lagi. Apakah malam ini dia tidak bisa tidur juga? Tidak...! Ini bukan ciuman pertama, tapi yang pertama dari laki-laki lain.
"Ah, Parita.... Kenapa baru sekarang kau berani...?" desah Lasmi lirih.
Seandainya sejak dulu Parita seberani ini, tentu tidak akan ada masalah. Sampai-sampai malam ini semua orang diliputi ketegangan yang amat sangat. Tapi Lasmi memang mengakui, kalau Parita bukanlah seorang laki-laki yang berani mengungkapkan perasaan hatinya pada seorang gadis. Bahkan bisa dikatakan laki-laki pendiam dan tertutup pada gadis-gadis. Padahal dia cukup tampan dan gagah, serta berkepandaian tinggi.
Lasmi benar-benar tidak bisa memejamkan mata sepicing pun. Ciuman Parita benar-benar membuatnya jadi tidak menentu. Dia beranjak bangkit dari pembaringan, dan melangkah menghampiri pintu. Sedikit dibukanya pintu dan mengintip keluar.
"Heh...?!" Lasmi terkejut bukan main.
Sungguh tidak disangka kalau di depan kamarnya Parita masih ada, tengah duduk memandangi kamarnya di bawah pohon. Buru-buru Lasmi menutup pintu dan membalikkan tubuh. Disandarkan punggungnya di daun pintu kamar ini.
"Apa yang dilakukannya di situ...?" bisik Lasmi bertanya pada dirinya sendiri.
Lasmi kembali ke pembaringannya. Direbahkan dirinya dan dicobanya untuk melupakan pemuda itu. Dia mencoba tidur, tapi.... Huh! Lasmi mendengus dalam hati.
"Aku bukan gadis ingusan lagi yang baru kenal cinta! Edan...! Kenapa jadi begini...?" Lasmi memaki-maki dirinya sendiri.
Sementara malam terus beranjak semakin larut. Beberapa kali mulutnya mengumpat, mencoba melupakan bayang-bayang wajah Parita. Bahkan menggantinya dengan bayangan wajah suaminya. Tapi semakin keras berusaha, bayangan wajah suaminya semakin mengabur. Dan malah wajah Parita semakin jelas mengganggu pelupuk matanya.
"Konyol! Tidak lucu...!" dengus Lasmi memaki dirinya.
Pagi-pagi sekali seluruh murid Padepokan Bambu Kuning sudah berkumpul di halaman depan bangunan utama. Dan pagi ini, Lasmi sudah mengambil keputusan yang membuat ayahnya jadi tertegun tidak mengerti bercampur khawatir. Tapi laki-laki tua itu tidak bisa berbuat lain lagi, dan hanya bisa menyetujui disertai sedikit nasihat Tapi lain lagi yang dirasakan Parita. Keputusan Lasmi dirasakan terlalu bodoh dan hanya akan membunuh diri saja. Tidak mungkin Lasmi bisa menandingi Ki Rampoa.
"Dia datang, Ayah," kata Lasmi tak berkedip memandang ke pintu gerbang.
"Masih ada kesempatan untuk merubah pikiranmu, Lasmi," tegas Datuk Maringgih.
"Apa pun yang terjadi, aku harus menghadapinya, Ayah. Keputusanku sudah bulat," sahut Lasmi.
Wanita cantik yang kini mengenakan baju putih ketat itu melangkah tenang menuruni undakan bangunan utama Padepokan Bambu Kuning. Saat itu Ki Rampoa sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman didampingi dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan wajah kasar mencerminkan kebengisan.
"He he he.... Sudah kuduga, kau pasti akan menyerah, Lasmi," ujar Ki Rampoa diiringi tawanya yang terkekeh.
"Aku tidak akan menyerah begitu saja, Ki Rampoa!" ujar Lasmi lantang.
"Heh...?!" Ki Rampoa agak terperanjat
"Aku akan menantangmu bertarung dengan satu syarat!" sambung Lasmi lagi.
"Phuih! Sejak kapan kau jadi besar kepala, heh?!" bentak Ki Rampoa.
"Dengar, Ki Rampoa. Meskipun kau ayah mertuaku, tapi kedatanganmu ke sini bukan sebagai mertuaku. Kau menantang dan mengancam, maka akan kulayani tantanganmu! Kita bertarung. Siapa yang menang, boleh menguasai yang kalah! Bagaimana...?".
"Bocah setan!"'geram Ki Rampoa merasa terhina.
Kalau saja yang mengajukan penawaran tantangan itu Datuk Maringgih sendiri, tentu tidak akan terhina seperti ini. Tapi yang memberikan penawaran justru seorang wanita muda yang sudah tentu kemampuannya jauh di bawahnya. Merah padam wajah Ki Rampoa. Dia menggeram mencoba menahan marah.
Ki Rampoa mengegoskan kepalanya sedikit, maka laki-laki yang berada di samping kirinya terkekeh sambil melangkah maju beberapa tjndak.
"Beri dia pelajaran biar terbuka matanya, Kebo Ireng!" dengus Ki Rampos gusar.
"He he he.... Terlalu cantik untuk disakiti, Ki," kata laki-laki yang dipanggil Kebo Ireng seraya mengerling pada Lasmi.
"Aku berikan dia padamu, Kebo Ireng!" dengus Ki Rampoa.
"Ha ha ha...!" Kebo Ireng tertawa terbahak-bahak.
Dan sebelum hilang suara tawanya yang memekakkan itu, mendadak saja laki-laki bertubuh tinggi besar berbaju kulit binatang itu melompat bagaikan kilat hendak menerkam Lasmi. Cepat sekali terkamannya, dan kedua tangannya terkembang lebar.
"Hait..!"
Sebelum ujung jari tangan Kebo Ireng berhasil menyentuh tubuh wanita itu, secepat kilat Lasmi mencabut pedangnya. Dan sambil melompat ke samping, dikebutkan pedangnya kuat-kuat.
Wut!
"Uts...!"
Kebo Ireng terkesiap sesaat, tapi cepat sekali meliukkan tubuhnya. Maka, ujung pedang Lasmi hanya membabat sedikit di depan perutnya yang buncit. Bumi terasa bergetar begitu kedua kaki Kebo Ireng menjejak tanah. Lasmi mencoba ke samping beberapa tindak, lalu menyilangkan pedangnya di depan dada.
"Bagus! Aku suka perempuan galak! He he he...!" Kebo Ireng terkekeh.
"Phuih!" Lasmi menyemburkan ludahnya.
Kebo Ireng menggeser kakinya ke samping. Kedua matanya memerah menatap tajam, mengamati setiap gerak yang dilakukan wanita itu. Dan sambil berteriak keras, laki-laki buncit itu melompat menerjang. Satu pukulan keras bertenaga dalam dilontarkannya.
"Yeaaah...!"
Lasmi yang menyadari dirinya dalam keadaan terluka karena keracunan, tidak mau mengambil resiko terlalu parah. Cepat-cepat tubuhnya berkelit melompat ke samping sambil membabatkan pedang ke arah pinggang. Saat itu Kebo Ireng tidak menyadari. Namun sebelum ujung pedang Lasmi berhasil merobek pinggangnya, laki-laki tinggi besar itu lebih cepat berkelit. Dan secepat itu pula dihentakkan kakinya ke samping.
Des!
"Akh...!" Lasmi memekik keras.
Tendangan menyamping Kebo Ireng memang tidak bisa diduga, dan Lasmi tak mampu menghindar. Iganya telak terkena tendangan bertenaga dalam cukup tinggi itu. Lasmi terpental ke samping, dan jatuh bergulingan di tanah beberapa kali.
Belum juga Lasmi sempat bangkit berdiri, Kebo Ireng sudah mengayunkan satu tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Kaki laki-laki buncit itu tepat menghantam dada tanpa dapat dihindarkan lagi. Untuk kedua kalinya Lasmi memekik keras, dan tubuh ramping itu terpental jauh membumbung tinggi ke angkasa.
Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat dan langsung menyambar tubuh Lasmi yang melayang deras di angkasa. Semua yang menyaksikan, jadi terpana. Karena tahu-tahu di atas atap sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan memakai baju dari kulit harimau, memondong tubuh Lasmi yang terkulai. Dari sudut bibir wanita itu mengalir darah.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Datuk Maringgih langsung mengenali pemuda itu.
Sungguh ringan bagaikan kapas tertiup angin, pemuda berbaju kulit harimau yang dikenali Datuk Maringgih sebagai Pendekar Pulau Neraka itu meluruk turun. Kakinya tepat mendarat di depan laki-laki tua Guru Besar Padepokan Bambu Kuning. Saat itu Parita bergegas menghampiri. Pemuda berbaju kulit harimau itu menyerahkan Lasmi pada Parita yang langsung menerima, dan membawanya masuk ke dalam.
"Anak Muda, siapa kau?!" bentak Ki Rampoa lantang.
"Perlukah kujawab pertanyaannya, Datuk?" pemuda berbaju kulit harimau itu malah bertanya pada Datuk Maringgih seraya berpaling pada laki-laki tua itu.
"Aku tahu siapa dirimu, Pendekar Pulau Neraka. Maaf, bukannya tidak senang dengan kehadiranmu, tapi rasanya ini bukan waktu yang tepat," ujar Datuk Maringgih sopan.
"Baiklah, tapi boleh aku menemui Lasmi?"
"Silakan."
Pemuda berbaju kulit harimau itu menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam bangunan utama Padepokan Bambu Kuning. Pendekar Pulau Neraka melihat Lasmi terbaring di kursi panjang ditemani Parita. Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung menghampiri, dan Parita hanya memandangi saja.
"Hm..., lukanya semakin parah," gumam pemuda berbaju kulit harimau itu setelah memeriksa keadaan Lasmi.
"Maaf, apakah kau yang bernama Bayu?" tanya Parita ragu-ragu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh dan mengangguk membenarkan. Dia memang Bayu, yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka dalam rimba persilatan.
"Lasmi sudah bercerita banyak tentang dirimu," kata Parita lagi.
Bayu belum juga sempat membuka mulut, ketika terdengar keributan dari luar. Kedua pemuda itu sama-sama berpaling menatap ke luar melalui pintu yang terbuka lebar. Tampak di halaman depan terjadi pertarungan. Suara-suara teriakan pertarungan disertai jeritan melengking dan denting senjata berbaur menjadi satu.
"Rupanya mereka benar-benar hendak menghancurkan padepokan ini," gumam Parita.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Partai Pasir Merah," sahut Parita.
Saat itu Datuk Maringgih masuk, dan langkahnya begitu cepat langsung dihampirinya Lasmi yang masih belum sadarkan diri terbaring di kursi panjang. Sebentar ditatapnya wanita itu, kemudian berpaling pada Parita dan Pendekar Pulau Neraka.
"Parita, bawa Lasmi pergi. Selamatkan dia dan anaknya dari sini. Aku mempercayakannya padamu," perintah Datuk Maringgih.
"Datuk...."
"Jangan membantah. Keadaan semakin gawat, Mereka terlalu tangguh untuk dilawan," potong Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan membantu mengusir mereka, Datuk," kata Bayu.
"Heh...?!"
Belum juga Datuk Maringgih mengatakan sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah melesat ke luar. Begitu sempuma ilmu yang dimiliki pemuda berbaju kulit harimau itu, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Datuk Maringgih dan Parita bergegas berlari ke luar.
Tampak Bayu sudah mengamuk menghajar orang-orang dari gerombolan begal yang bernama Partai Pasir Merah. Amukan Pendekar Pulau Neraka itu sungguh dahsyat bukan main. Dalam waktu sebentar saja sudah tidak terhitung, berapa jumlah anggota Partai Pasir Merah yang terjungkal tewas.
Melihat pemuda berbaju kulit harimau memporak-porandakan barisan Partai Pasir Merah, murid-murid Padepokan Bambu Kuning jadi bangkit semangatnya. Tapi tidak demikian halnya Ki Rampoa. Dia begitu gusar karena orang-orangnya semakin berkurang, tak ada yang sanggup membendung amukan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat..!"
Ki Rampoa melompat bagaikan kilat, dan mendarat tepat di depan Bayu yang baru saja menjungkalkan tiga orang anggota Partai Pasir Merah dalam satu ge-brakan saja.
"Cukup, Anak Muda!" bentak Ki Rampoa.
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Siapa kau?! Kenapa mencampuri urusanku?!" sentak Ki Rampoa.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Orang Tua!" dingin sekali nada suara Pendekar Pulau Neraka itu.
"Setan! Kalau begitu mampuslah kau! Hiyaaat...!"
Ki Rampoa yang memang sudah meluap kemarahannya, semakin tidak bisa membendung lagi. Tubuhnya langsung melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu hanya berkelit menghindari terjangan laki-laki tua itu.
Sementara di sekitar situ, pertarungan masih terus berlangsung. Tampak Ki Rampoa menggempur Pendekar Pulau Neraka dengan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya. Pertarungan kedua tokoh rimba persilatan itu membuat mereka yang bertarung di dekatnya tak bisa menghindar dari terjangan yang tak menemui sasaran. Dan mereka yang masih bisa menghindar, langsung menjauhkan diri.
Seperti ada yang memberi komando saja, mereka yang bertarung, seketika menghentikan pertarungannya. Dua kelompok kini terlihat menyingkir dari arena pertarungan. Sementara itu Bayu dan Ki Rampoa terus bertarung sengit Entah sudah berapa jurus yang dikeluarkan, namun tampaknya pertarungan masih terus berjalan. Belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Semakin lama pertarungan semakin meningkat. Debu mengepul di sekitar pertarungan, membuat kedua tokoh rimba persilatan itu semakin sulit terlihat. Apalagi gerakan-gerakan mereka dilakukan demikian cepat, sukar diikuti pandangan mata biasa. Tapi tidak demikian halnya dengan Datuk Maringgih. Laki-laki tua itu nampak begitu seksama memperhatikan jalannya pertarungan. Dia memang ingin mengenal Pendekar Pulau Neraka, tapi kini tanpa diduga sama sekali dapat menyaksikan pertarungan pendekar muda digdaya itu. Sekejap pun perhatiannya tidak dialihkan.
Suatu saat, tiba-tiba saja Ki Rampoa dan Bayu saling berlompatan ke belakang. Dan kini mereka berdiri tegak saling berpandangan tajam. Semua yang menyaksikan menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tampak Ki Rampoa melebarkan kakinya ke samping, kemudian tangannya lurus merentang ke depan. Perlahan kedua tangannya bergerak bagai melambai.
"Celaka...! Dia menggunakan jurus 'Ular Langit'!" desis Datuk Maringgih mengenali jurus yang akan digunakan Ki Rampoa.
Guru Besar Padepokan Bambu Kuning itu tahu betul, betapa dahsyatnya jurus 'Ular Langit' yang dimiliki Ki Rampoa. Tampak kecemasan meliputi raut wajahnya, terlebih lagi saat melihat Bayu bersikap tenang dan berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat ke depan.
Tapi mendadak saja kedua tangan Pendekar Pulau Neraka itu menghentak ke depan, tepat ketika tangan Ki Rampoa juga menegang kaku dengan jari-jari tangan meregang terbuka. Dan saat itu Ki Rampoa merapatkan kakinya. Tiba-tiba dia bergerak cepat menyusur tanah tanpa ada gerakan sedikit pun pada kedua kakinya. Sementara Bayu menunggu sambil merapatkan kedua kakinya juga. Cepat sekali tangan kanannya menghentak ke atas. Kemudian begitu tangan kanan turun ke bawah, tangan kirinya cepat bergerak ke atas. Dan ketika kedua telapak tangan Ki Rampoa dekat di depannya, secepat kilat Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Plak!
"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau Neraka terangkat ke atas, dengan kedua tangan tetap menempel pada lawannya.
"Hets...!" Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya ketika merasakan adanya tekanan ke bawah. Tapi mendadak saja kakinya amblas ke tanah hingga lutut!
Dua pasang telapak tangan beradu dan saling menempel rapat. Tampak kedua tubuh mereka bergetar. Masing-masing mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan melalui jurus-jurus andalan.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja kedua kaki Pendekar Pulau Neraka terangkat dari tanah, tapi kedua telapak tangannya tetap menempel pada telapak tangan Ki Rampoa. Dengan posisi tubuh tegak lurus, Pendekar Pulau Neraka itu terus melayang naik perlahan-lahan hingga sejajar seperti tiduran di atas permukaan tanah.
Gerakan tubuh Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti. Tubuhnya terus naik hingga posisi kepala berada di bawah, dan kaki yang merapat tegak lurus berada di atas. Sedangkan telapak tangan dan kepalanya menempel pada tubuh Ki Rampoa.
"Hefs...!"
Ki Rampoa mengempos tenaga dalamnya ketika merasakan adanya tekanan ke bawah. Tapi mendadak saja kakinya amblas ke tanah hingga ke lutut. Tampak raut wajah Ki Rampoa memerah, dan keringat sebesar-besar butiran jagung menitik keluar di seluruh wajah, leher, dan tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu memutar tubuhnya, lalu melenting berbalik ke belakang Ki Rampoa. Begitu tangannya terlepas, seketika itu juga kakinya menghentak keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempumaan.
Buk!
"Akh...!"
Tendangan Bayu tepat menghantam punggung Ki Rampoa, membuat Ketua Partai Pasir Merah itu terjungkal ke depan. Tapi kedua kaki yang terpendam ke tanah membuat tubuhnya tertahan. Dan sebelum sempat disadari apa yang terjadi, Bayu sudah mengirimkan satu pukulan keras sambil melentingkan tubuhnya melewati kepala Ki Rampoa.
Des!
"Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Rampoa memekik melengking. Seketika itu juga laki-laki tua itu terpental ke belakang setelah dadanya terhantam satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Manis sekali Bayu menjejakkan kakinya di tanah. Sementara itu Ki Rampoa bergulingan beberapa kali, dan berhenti setelah menabrak pohon hingga hancur berkeping-keping.
"Ughk...!" Ki Rampoa mengeluh pendek.
Dia berusaha bangkit berdiri. Meskipun masih sanggup berdiri, tapi tubuhnya limbung sambil tangannya menekap dada. Tampak dari mulut dan hidungnya mengeluarkan darah kental berwama kehitaman. Pandangannya nanar berkunang-kunang. Kakinya melangkah tertatih menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.
"Aku belum kalah, bocah! Tunggu pembalasanku...!" dengus Ki Rampoa tersendat.
Ketua Partai Pasir Merah itu menggerakkan tangannya, maka dua orang pembantu utamanya bergegas menghampiri. Mereka memapah laki-laki tua itu, lalu membawanya pergi dari Padepokan Bambu Kuning. Kemenangan Bayu langsung disambut sorak-sorai yang gegap gempita oleh seluruh murid Padepokan Bambu Kuning.
Bayu memandangi Lasmi yang masih berbaring tak sadarkan diri. Agak lama juga Pendekar Pulau Neraka itu berdiri memandangi di samping dipan kayu di kamar wanita itu. Dia mendesah panjang dan menoleh memandang Parita yang duduk di kursi memangku Wijaya. Di sampingnya, duduk Datuk Maringgih. Bayu melangkah menghampiri dan duduk di depannya.
"Luka yang diderita semakin bertambah parah," ujar Bayu perlahan setengah mendesah.
Datuk Maringgih hanya diam saja dengan wajah murung. Sementara Parita memandangi wajah cantilk yang terpejam bagai tertidur nyenyak. Dalam hati sangat disesali tindakan Lasmi yang nekad menantang Ki Rampoa. Padahal tubuhnya dalam keadaan terluka cukup parah. Parita tahu kalau tadi Lasmi mengerahkan kekuatan tenaga dalam, dan tidak mempedulikanj luka yang dideritanya.
"Sebenamya dia sudah terluka cukup parah. Itulah sebabnya aku menyusul dan mencarinya sampai ke sini," jelas Bayu lagi.
Datuk Maringgih memandang Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam. Sungguh tidak bisa dipercaya kalau Lasmi memang pernah bertemu pemuda yang sudah kondang namanya ini, dan selalu menggemparkan dunia persilatan dalam setiap kemunculannya. Dia memang sudah mendengar kalau Lasmi bertemu Bayu, tapi belum yakin benar. Dan sekarang Bayu sendiri yang mengatakannya.
"Aku tahu, Parita yang mengatakannya padaku. Tapi aku kurang jelas, luka apa yang diderita Lasmi," kata Datuk Maringgih pelan.
"Keracunan yang dapat menguras tenaga dan kekuatannya. Bahkan bisa membunuhnya jika memaksakan menggunakan tenaga dalam," sahut Bayu.
"Datuk... Bukankah Datuk sudah mengetahui?" celetuk Parita yang sejak tadi diam saja.
"Aku masih ragu, Parita," sahut Datuk Maringgih. Tapi, setelah mendengar penuturanmu dan Pendekar Pulau Neraka, rasanya aku yakin kalau Lasmi mengidap Racun Ular Merah. Hm..., rasanya sukar dipercaya kalau Lasmi bisa bentrok dengan Datuk Parapat...," nada suara Datuk Maringgih seperti bergumam.
"Datuk Parapat. .?!" Parita terlongong.
"Kau masih ingat peristiwa di Hutan Panjang, Parita?" tanya Datuk Maringgih seraya menatap Parita.
"Masih, Datuk," sahut Parita.
"Kalau memang benar Lasmi bentrok dengannya, dan terkena Racun Ular Merah, rasanya sukar untuk bisa tertolong lagi. Tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali...," ucapan Datuk Maringgih terputus.
"Kecuali apa, Datuk?" tanya Bayu.
"Hanya dia yang punya obat pemunahnya," sahut Datuk Maringgih lesu.
"Aku akan berusaha mendapatkannya, Datuk," tegas Bayu.
"Kau tidak mengenalnya, Pendekar Pulau Neraka."
"Tapi aku tahu, Datuk," celetuk Parita.
"Jangan! Dia bukan lawanmu."
"Lasmi harus diselamatkan, Datuk. Lagi pula bukan aku sendiri yang akan pergi, tapi bersama Pendekar Pulau Neraka," sambung Parita mantap.
"Benar, Datuk. Kalau perlu dengan paksaan aku meminta obat pemunah darinya," sambung Bayu seraya melirik Parita.
"Ah.... Apa yang harus kukatakan untuk berterima kasih padamu, Pendekar Pulau Neraka," desah Datuk Maringgih.
"Tidak perlu, Datuk. Aku tahu Padepokan Bambu Kuning sangat dibutuhkan. Dan Datuk sangat berjasa melahirkan pendekar-pendekar perkasa untuk menumpas keangkaramurkaan. Aku merasa mendapat kehormatan bila bisa sedikit menyumbangkan tenaga untukmu," ungkap Bayu bernada merendah.
"Ternyata apa yang kudengar tentang dirimu selama ini sungguh jauh dari kenyataan," gumam Datuk Maringgih.
"Aku juga bukan manusia suci, Datuk."
"Tidak ada manusia suci di dunia ini. Semua manusia pasti pernah berbuat kesalahan, asal kita menyadari kesalahan itu dan suka memperbaikinya."
"Benar, Datuk. Tapi sukar untuk memperbaiki kesalahan. Terlebih lagi membersihkan nama yang sudah rusak, meskipun kita tidak pernah melakukannya."
Datuk Maringgih tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam percakapan yang sebentar ini, sudah bisa diselami jiwa Pendekar Pulau Neraka, meski belum seluruhnya. Tapi hatinya sudah bisa mengatakan kalau Pendekar Pulau Neraka tidak seperti apa yang pernah didengarnya selama ini.
Setiap kata yang diucapkannya mengandung arti yang dalam serta kerendahan hati, sebagaimana layaknya seorang pendekar sejati. Namun sukar untuk mengukur, sampai di mana tingkat kepandaiannya. Datuk Maringgih ingin punya kesempatan lebih banyak lagi dengan pemuda berbaju kulit harimau ini membagi pengalaman dan bertukar pikiran. Tapi sayang, Pendekar Pulau Neraka harus pergi. Dan kepergiannya ini untuk kesembuhan Lasmi serta keutuhan Padepokan Bambu Kuning.
Pagi-pagi sekali Bayu dan Parita sudah keluar meninggalkan Padepokan Bambu Kuning. Mereka sengaja berjalan kaki, karena memang Pendekar Pulau Neraka tidak biasa menunggang kuda. Padahal dia sudah disediakan seekor kuda yang tegap dan bagus untuknya. Terpaksa Parita mengikuti berjalan kaki, karena tidak mungkin menunggang kuda sendirian, sementara Bayu hanya berjalan saja.
Belum lagi matahari naik tinggi, mereka sudah berada di luar batas wilayah Desa Kaung. Di situ, di tengah-tengah desa itu berdiri Padepokan Bambu Kuning. Mereka terus berjalan menuju hutan tempat pertama kali Bayu bertemu Lasmi. Mereka hendak memulainya dari sana sebelum ke tempat-tempat lainnya.
"Kakang, boleh bertanya sesuatu padamu?" Parita membuka suara karena sejak tadi mereka hanya diam saja. Dan Parita memang sudah membiasakan diri memanggil Bayu dengan sebutan kakang.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Kenapa kau ingin membantu Lasmi?" tanya Parita. Meskipun agak tertekan, tapi masih terasa ada nada kecemburuan pada suaranya.
"Bukan Lasmi, tapi Padepokan Bambu Kuning," sahut Bayu.
"Bukan Lasmi...?" ada kelegaan di dada Parita.
"Benar. Dan memang sebenarnya aku hendak ke Padepokan Bambu Kuning, tapi kebetulan saja bertemu Lasmi di tengah jalan. Aku sendiri tidak tahu kalau Lasmi berada di sana, dan ternyata juga putri Datuk Maringgih. Aku baru tahu setelah kejadian kemarin," jelas Bayu.
"Boleh aku tahu tujuanmu ke Padepokan Bambu Kuning?" pinta Parita.
Bayu tidak langsung menjawab, dan hanya tersenyum saja. Dia melihat Parita, usianya pasti lebih muda darinya. Dan Pendekar Pulau Neraka menganggap Parita tidak akan bisa diharapkan. Tujuannya, ke Padepokan Bambu Kuning hanya untuk bertemu Datuk Maringgih. Dan tidak mungkin diutarakan maksud sebenamya kepada pemuda ini.
"Aku tidak akan memaksa jika kau tidak suka mengatakannya, Kakang," kata Parita bisa mengerti keberatan Bayu.
"Terima kasih," ucap Bayu.
Kembali mereka terdiam, dan terus melangkah semakin masuk ke dalam hutan. Tidak begitu lebat hutan ini, karena sering dijarah penduduk Desa Kaung, baik untuk mencari kayu bakar ataupun berburu. Jadi mereka bisa leluasa berjalan, tanpa harus menyibakkan semak. Banyak jalan setapak yang bercabang dan berliku yang bisa dilalui.
Belum jauh mereka memasuki hutan, mendadak saja Bayu menghentikan langkahnya. Dan belum juga mulutnya sempat dibuka, mendadak sebatang anak panah melesat ke arahnya. Bahkan disusul puluhan anak panah yang bertebaran bagai hujan.
"Awas...!" seru Bayu keras.
Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu berjumpalitan sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya menghalau anak panah yang bertebaran. Sedangkan Parita langsung mencabut pedangnya yang berwarna kuning keemasan, dan langsung diputar-putar cepat bagai baling-baling.
Begitu banyak anak panah yang rontok terbabat, tapi banyak juga yang melesat lewat. Namun tak ada satu pun yang mengenai sasaran. Meskipun anak panah itu datang bagaikan hujan, tapi kedua orang itu bukanlah tokoh sembarangan. Lagi pula Parita sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, sehingga pemuda itu tidak mengalami kesulitan menghalau anak panah yang menyerbu ke arahnya.
"Cepat ke belakangku, Parita!" seru Bayu.
"Hup...!"
Sambil mengebutkan pedangnya, Parita melompat ke belakang Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika itu juga, Bayu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka tiba-tiba bertiup angin kencang bagai badai yang sangat dahsyat Suara angin mengguruh menghalau anak-anak panah itu. Tak berapa lama kemudian, terdengar jeritan-jeritan melengking saling sahut.
Terlihat tubuh-tubuh yang tersembunyi di balik semak dan pepohonan berpentalan di udara, bersamaan beterbangannya pohon-pohon yang tercabut dan bebatuan. Sementara Parita yang berada di belakang Bayu jadi terpana. Sungguh baru kali ini matanya melihat ada orang bisa menciptakan badai begitu dahsyat, hingga memporakporandakan isi hutan ini.
"Hap!
Bayu menarik tangannya hingga sejajar pinggang. Dan seketika itu juga badai berhenti. Pandangannya tajam beredar berkeliling, merayapi sekitarnya yang hancur berantakan akibat diterjang badai buatannya. Di antara pepohonan yang bertumbangan saling tumpang tindih, terlihat tubuh-tubuh berlumuran darah bergelimpangan. Bahkan ada beberapa yang tertimpa pohon, atau terhimpit batu.
"Partai Pasir Merah...," desis Parita mengenali pakaian yang dikenakan orang-orang itu.
"Hm.... Waspadalah," gumam Bayu memperingatkan.
Belum juga kering peringatan Pendekar Pulau Neraka itu, tiba-tiba berlompatan empat sosok tubuh. Dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri empat orang laki-laki tua yang rata-rata usianya sekitar tujuh puluh tahun. Bayu menggumam tidak jelas. Pendekar Pulau Neraka memang pemah bertemu mereka, ketika mengelabui untuk melindungi Lasmi dari kejarannya.
"Di dunia ini memang sukar menaruh kepercayaan pada seseorang," gumam orang tua berbaju wama merah yang menyandang sebuah gada besar berduri.
Bayu tahu kalau kata-kata itu ditujukan untuk dirinya. Tapi dia hanya diam saja, dan matanya sedikit tajam memandangi empat orang tua di depannya ini.
"Sudah, Kakang. Jangan banyak omong. Penggal saja batang lehernya!" sungut orang yang berbaju biru
"He he he..., itu masalah mudah. Kita harus tahu, apa maksudnya melindungi Lasmi," sahut yang berbaju merah.
"Sudah pasti dia orang dari Padepokan Bambu Kuning," celetuk yang memakai baju hitam.
"Benar! Yang satu itu sudah jelas dari sana, murid si tua bangka Datuk Maringgih! Ha ha ha...!" sambung yang berbaju hijau.
"Keparat! Kalian hina guruku...!" geram Parita, merah wajahnya mendengar gurunya dihina.
"Wuih! Dia bisa galak juga rupanya," ejek orang tua berbaju biru.
"Aku tahu siapa kalian! Empat Iblis dari Gunung Lor. Sudah lama aku ingin memenggal kepala kalian!" dengus Parita.
Empat orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Sedikit pun tidak memandang sebelah mata pada murid Padepokan Bambu Kuning itu. Sementara Bayu hanya diam saja, dan sedikit melirik pada Parita. Agak kaget juga hatinya, karena Parita mengenal keempat orang tua itu. Padahal, sebelumnya Parita mengatakan tidak mengetahui, siapa keempat orang yang membunuh suami Lasmi.
Tapi Bayu tidak sempat lagi bertanya, karena mendadak saja orang tua yang berbaju hijau sudah melompat menerjang Parita. Tongkatnya berkelebat cepat menimbulkan suara mendesing. Parita langsung mengebutkan pedangnya menyampok tongkat yang mengarah ke kepalanya itu.
Wuk!
Trang!
"Ih...!"
Orang tua berbaju hijau yang dikenal berjuluk Iblis Hijau itu terpekik kaget. Sungguh tidak dikira kalau Parita memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi juga. Tadi dia begitu meremehkan, sehingga tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Hampir saja tongkatnya terlepas kalau tidak cepat-cepat diputar ke atas. Dan Iblis Hijau kemudian melompat mundur dua tindak. Sementara Parita sudah bersiap menerima serangan kembali. Disilangkan pedangnya di dada.
"Bagus! Rupanya kau punya isi juga, bocah!" dengus Iblis Hijau.
"Dan kau sebentar lagi mampus di ujung pedangku!" balas Parita dingin. .
"Bocah setan! Hiyaaat..!"
Iblis Hijau memuncak amarahnya, dan langsung melompat menyerang Parita. Dua kali dikebutkan tongkatnya, dan kali ini tidak lagi memandang enteng pemuda itu. Namun manis sekali Parita berhasil mengelakkan serangan orang tua berbaju hijau itu. Bahkan dengan kecepatan luar biasa, murid Padepokan Bambu Kuning itu mengibaskan pedangnya ke arah dada dan perut
Dua tebasan Parita mudah dapat dielakkan Iblis Hijau. Dan sebelum pemuda itu menarik pulang pedangnya, Iblis Hijau sudah menghentakkan tongkatnya ke arah dada. Pada saat itu posisi Parita memang terbuka sekali, dan tidak mungkin lagi berkelit menghindar. Dengan cepat Parita mengibaskan pedangnya membabat tongkat yang hampir menusuk dadanya.
Trang!
"Akh...!" Parita memekik tertahan. Seluruh jari-jari tangannya mendadak terasa kaku, dan pedangnya tidak bisa lagi ditahan sehingga terpental lepas dari genggaman tangannya. Pada saat itu Iblis Hijau sudah mengirimkan satu tendangan keras ke arah perut
Qughk!
"Heghk...!"
Parita mengeluh pendek. Pemuda itu terbungkuk dan terhuyung-huyung ke belakang. Tendangan Iblis Hijau begitu keras, mengandung tenaga dalam yang cukup tinggi. Parita merasakan seluruh isi perutnya terkoyak, dan terasa mual, seakan-akan ingin muntah. Pada saat itu, Iblis Biru melompat cepat sambil mengayunkan cambuknya ke arah leher Parita.
Ctar!
Belum lagi ujung cambuk berduri itu berhasil menyentuh kulit leher Parita, Bayu sudah lebih dahulu menghentakkan tangannya. Seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu melesat bagaikan kilat, langsung menyambar cambuk hitam berduri.
Tas!
"Heh...!" Iblis Biru terperanjat. Belum lagi lenyap keterkejutan Iblis Biru karena cambuk mautnya terpotong, Bayu sudah melompat Langsung dikirimkan dua pukulan keras bertenaga sempuma dibarengi satu tendangan menggeledek.
Iblis Biru terperangah. Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang. Dia memang berhasil menghindari dua pukulan Pendekar Pulau Neraka. Tapi satu tendangan Jemuda berbaju kulit harimau itu tidak bisa dihindari lagi, tepat mendarat di dada. Des!
"Aaakh...!" Iblis Biru memekik-melengking. Orang tua berbaju biru itu terjungkal deras ke belakang. Bumi serasa bergetar begitu tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Tampak dadanya melesak ke dalam, dan dari mulutnya memuntahkan darah kental. Sebentar Iblis Biru menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi. Tendangan Bayu yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempuma itu sungguh luar biasa akibatnya. Ibte Biru langsung tewas seketika.
Ketiga orang tua lainnya jadi terperanjat melihat Iblis Biru tewas hanya dalam satu gebrakan saja. Mereka segera berlompatan mengurung Pendekar Pulau Neraka, dan jadi melupakan Parita yang sedang berusaha menghilangkan rasa mual di perutnya.
Bayu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Tiga laki-laki tua bergerak memutari tubuhnya, sambil memain-mainkan senjatanya masing-masing. Sedikit pun Bayu tidak berkedip memperhatikan setiap gerakan ketiga orang itu.
"Hiyaaa...!"
"Yaaa...!"
"Yeaaah...!"
Ketiga orang tua yang berjuluk Empat Iblis dari Gunung Lor itu berlompatan secara bersamaan. Senjata mereka terayun keras mengarah ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Saat itu pula Bayu melompat ke atas, seraya memutar tubuhnya sambil melontarkan beberapa pukulan. Gerakan Bayu yang demikian aneh dan cepat luar biasa itu sungguh mengejutkan ketiga laki-laki tua itu. Mereka bergegas menarik pulang serangannya. Tapi tindakan itu justru membuat Bayu senang. Dan seketika itu juga Pendekar Pulau Neraka berputaran di udara, lalu tangan kanannya mengibas ke araji orang berbaju hijau. Secercah cahaya berkelebat cepat bagai kilat dari Cakra Maut yang melesat lepas dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.
Swing!
"Aaa...!"
Iblis Hijau menjerit melengking tinggi. Tak dapat dihindari lagi, Cakra Maut merobek leher laki-laki tua berbaju hijau itu hingga hampir buntung. Tubuhnya ambruk dan menggelepar di tanah. Darah langsung mengucur deras dari leher yang terpotong. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.
Sementara dua orang lagi semakin terpana tidak percaya. Dan sebelum mereka bisa berbuat sesuatu, Bayu sudah kembali bergerak cepat. Empat pukulan langsung dilontarkan ke arah dua orang tua itu. Pukulan-pukulan itu begitu cepat, dan tidak bisa dihindari lagi.
Dua jeritan melengking terdengar saling susul, kemudian dua tubuh tua terjungkal keras ke atas tanah. Sebentar mereka menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi. Bayu berdiri tegak memandangi empat laki-laki tua yang kini sudah jadi mayat. Memang temyata mereka bukanlah lawan yang berat bagi Pendekar Pulau Neraka. Meskipun memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, tapi masih jauh berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, dengan mudah pemuda berbaju kulit harimau itu merobohkan mereka. Terlebih lagi, Bayu menggunakan senjata mautnya yang sangat sukar ditandingi.
Bayu menghampiri Parita yang sudah menyelesaikan semadinya untuk menghilangkan rasa mual dan sesak akibat bertaruhg dengan si Iblis Hijau tadi. Parita agak terkejut juga melihat Empat Iblis dari Gunung Lor sudah menggeletak tak bernyawa. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan-akan meminta penjelasan.
"Siapa mereka sebenarnya, Parita?" Bayu mendahului bertanya.
"Mereka adalah wakil-wakil Datuk Parapat," sahut Parita seraya merayapi empat orang tua yang sudah menggeletak jadi mayat.
"Hm..., pantas mereka hendak menangkap Lasmi," gumam Bayu.
Parita kembali mengalihkan pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka. Lasmi memang sudah menceritakan kalau pernah ditolong seorang pemuda berbaju kulit harimau ketika dikejar-kejar empat orang. Saat itu Parita tidak menduga kalau empat orang itu adalah mereka-mereka ini. Karena, Lasmi juga tidak begitu jelas mengatakan empat orang yang mengejarnya.
"Kalau mereka wakil Datuk Parapat, berarti datuk itu tidak berada jauh dari sini," duga Bayu setengah bergumam.
"Benar, Kakang. Tapi...," suara Parita terputus.
"Tapi apa, Parita?"
"Apa hubungan mereka dengan Partai Pasir Merah?" Parita seperti bertanya sendiri.
"Apa pun hubungannya, kita harus secepatnya mendapatkan obat penawar Racun Ular Merah darinya, Parita."
"Benar, Kakang. Ayo...! Jangan buang-buang waktu!"
Tapi belum juga mereka bergerak pergi, mendadak saja terdengar siulan nyaring melengking tinggi. Parita dan Bayu saling berpandangan. Suara siulan itu terdengar sangat jelas dan dekat sekali. Nadanya sangat tinggi dan menyakitkan telinga. Bayu langsung merasakan adanya pengerahan tenaga dalam pada suara siulan itu. Dan sebelum Parita diperingatkan, pemuda itu mendadak sudah menjerit sambil menutup kedua telinganya.
"Gunakan hawa murni, Parita!" kata Bayu memberitahu.
"Akh...! Tidak bisa...!" jerit Parita.
"Hih!"
Cepat sekali Bayu memberi beberapa totokan di sekitar dada dan telinga Parita. Seketika itu juga Parita jatuh lemas menggeletak di tanah. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sendiri segera duduk bersila, lalu merapatkan kedua tangannya di depan dada. Sebentar ditariknya napas panjang. Langsung tangannya digerak-gerakkan sebentar, dan diletakkan di lutut.
Sebentar kemudian seluruh tubuh Bayu sudah bersimbah keringat, dan perlahan mulai bergetar. Sementara suara siulan itu semakin melengking tinggi. Bayu terus bertahan, mencoba melawan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan melalui siulan itu dengan pengerahan tenaga dalam juga. Sungguh dahsyat! Seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka sampai bergetar, pertanda seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan hingga pada tahap yang paling tinggi.
Perlahan-lahan Bayu mengangkat kedua tangannya, dan merentang lebar ke samping. Perlahan pula tangan itu bergerak turun naik seperti sayap seekor burung bangau. Sukar dipercaya, pelan-pelan namun pasti, Bayu terangkat naik masih dalam posisi duduk bersila. Semakin lama semakin tinggi, dan tangannya terus merentang bergerak perlahan turun naik.
Setelah tubuhnya naik hingga mencapai dua tombak, tubuh Pendekar Pulau Neraka berputar. Semula perlahan-lahan, namun semakin lama semakin cepat Dan akhirnya yang terlihat hanya bayangan yang berputar cepat hingga menimbulkan suara angin menggemuruh.
Tiba-tiba saja....
"Yeaaah...!" Bayu berteriak keras menggelegar.
Dan seketika tubuhnya meluruk turun deras, dengan tangan menukik ke bawah. Maka ledakan keras terdengar begitu kedua kepalan tangan Pendekar Pulau Neraka itu menghantam tanah dengan keras. Seluruh permukaan tanah berguncang hebat bagai terjadi gempa. Kembali Bayu melesat ke angkasa, lalu berputaran beberapa kali, dan mendarat manis di tanah. Maka saat itu pula suara siulan berhenti.
Bayu menggeser kakinya menghampiri Parita. Dia sedikit membungkuk, dan memberikan beberapa totokan. Parita menggeliat, kemudian menggelinjang bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Bayu, tapi langsung beralih ketika seorang laki-laki tua mengenakan jubah hitam tiba-tiba muncul. Seluruh rambut, kumis, dan jenggotnya sudah putih semua. Dia membawa sebatang tongkat hitam dengan ujung berbentuk golok.
"Bayu, dia itu Datuk Parapat," Parita memberitahu.
"Hm...," Bayu hanya bergumam saja.
Pendekar Pulau Neraka itu memang sudah pernah bertemu laki-laki tua ini, meskipun hanya sekejap saja. Itu terjadi ketika Bayu menyelamatkan Wijaya yang hampir lumat terbanting ke tanah, dan langsung menyambar Lasmi untuk dibawa pergi. Bayu sendiri tidak tahu, apakah orang tua ini sempat mengenali atau tidak. Yang jelas, Bayu sempat mengenalinya sebelum melesat pergi menyelamatkan dua nyawa sekaligus.
"Aku mengakui kehebatanmu, Anak Muda. Tapi itu belum berarti kau mampu menandingiku," tegas laki-laki tua yang dikenali Parita bemama Datuk Parapat itu.
"Kau yang bernama Datuk Parapat?" tanya Bayu langsung.
"Tidak salah lagi, Anak Muda," sahut Datuk Parapat membenarkan.
"Ketahuilah, aku sengaja berada di sini untuk mencarimu," kata Bayu mantap.
"Aku tahu untuk apa kau mencariku, Anak Muda.
Sayang sekali Lasmi tidak bisa kuselamatkan," sergah Datuk Parapat kalem.
"Datuk Parapat! Tidak ada gunanya kau menyiksa Lasmi!" celetuk Parita lantang.
"Hm, siapa kau?!" dengus Datuk Parapat menatap Parita tajam.
"Aku Parita, murid Padepokan Bambu Kuning," sahut Parita.
"Bagus! Rupanya kau murid Datuk Maringgih. Katakan pada gurumu agar janjinya segera ditepati. Serahkan Lasmi padaku, jika tidak ingin melihat anak itu mati perlahan-lahan!" ancam Datuk Parapat.
"Urusanmu dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau libatkan Lasmi?" kembali Parita membuka suara.
"Kau belum tahu apa-apa, bocah. Dan sebaiknya tidak perlu ikut campur. Ini urusanku dengan gurumu!" sentak Datuk Parapat mulai tidak senang.
"Masalah guruku, juga masalahku!"
"Hhh! Rupanya kau keras kepala juga, bocah!" dengus Datuk Parapat.
"Datuk Parapat! Sebaiknya serahkan saja obat pemunah Racun Ular Merah," kata Parita lagi.
"Bicaramu semakin kurang ajar saja, bocah. Kuperingatkan sekali lagi padamu! Jika kau tidak mau diam, terpaksa kubungkam mulutmu!" ancam Datuk Parapat
"Tidak semudah itu, Orang Tua!" tantang Parita. "Bocah gendeng. .! Hih!"
Tiba-tiba saja Datuk Parapat menghentakkan tangan kirinya. Maka dari balik lengan jubahnya melesat jarum kecil berwama merah berjumlah lima buah, dan langsung meluruk deras ke arah Parita. Dan pemuda murid Padepokan Bambu Kuning itu langsung mengibaskan pedangnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Empat buah jarum merah berhasil dihalau, tapi sebuah jarum luput dari babatan pedangnya. Dan Parita tak bisa lagi menghindar. Jarum itu menghunjam bahu kanan, sehingga membuatnya terpekik kecil. Dan kini tirbuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sebentar dia masih mampu berdiri, kemudian ambruk tak bergerak lagi. Bayu tersentak kaget, dan segera bergerak menggeser ke depan.
"Dia hanya pingsan, Anak Muda," jelas Datuk Parapat.
Bayu yang sudah siap hendak menyerang, langsung mengurungkan niatnya. Ditatapnya dalam-dalam wajah tua di depannya. Kemudian berpaling memandang pada Parita yang tergeletak di tanah. Memang benar, dada murid Padepokan Bambu Kuning itu masih bergerak, tanda masih hidup.
"Aku tahu, kau bukan dari Padepokan Bambu Kuning. Kuharap kau tidak mencampuri urusan ini, Anak muda," tegas Datuk Parapat lagi.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.
Bayu melirik Parita sebentar, yang masih tergeletak tidak sadarkan diri. Pada bahu kanannya terlihat sebuah jarum merah menghunjam tidak seberapa dalam. Hanya setitik darah yang merembes keluar. Pendekar Pulau Neraka itu kembali menatap Datuk Parapat Pandangannya kemudian beredar ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah.
"Kau yang menghasut mereka menghancurkan Padepokan Bambu Kuning?" tanya Bayu, agak datar nada suaranya.
"Ha ha ha...! Tanpa dihasut pun mereka memang ingin menghancurkan Padepokan Bambu Kuning!" sahut Datuk Parapat enteng.
"Tampaknya kau seperti orang bijaksana. Tapi kenapa kau lakukan perbuatan keji itu?" tanya Bayu ingin tahu.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Anak Muda?" Datuk Parapat malah balik bertanya.
"Karena aku ada kepentingan dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning. Dan sebelum kepentinganku terlaksana, tidak ada seorang pun yang boleh mengganggu!" tegas jawaban Bayu.
"Anak Muda! Aku sering mendengar nama dan sepak terjangmu. Rasanya tidak ada persoalan antara kau dengan Datuk Maringgih...," ujar Datuk Parapat setengah bergumam.
"Itu urusanku, Datuk Parapat!" dengus Bayu.
"Kau tidak ingin urusanmu dicampuri, tapi kenapa kau mencampuri urusanku?" agak gusar nada suara Datuk Parapat
"Aku bukan mencampuri urusanmu! Tapi aku tidak ingin ada orang lain yang mengganggu Padepokan Bambu Kuning sebelum urusanku sendiri terlaksana!"
"Kau terlalu besar kepala, Pendekar Pulau Neraka," desis Datuk Parapat "Bukan hanya kau yang punya persoalan dengan Datuk Maringgih. Hm.... Jika. kau ingin melenyapkan orang tua itu, kenapa kau tidak bergabung saja denganku? Dan kenapa kau malah memusuhi orang-orang Partai Pasir Merah?"
"Maaf, aku selalu bertindak sendiri. Aku tidak suka banyak orang," tolak Bayu tegas.
"Anak Muda, aku tidak tahu urusanmu dengan Datuk Maringgih. Dan aku tidak akan mau tahu. Tapi tindakanmu membuatku merasa gerah. Tak ada seorang pun yang boleh menghalangiku. Kau mengerti itu, Pendekar Pulau Neraka...?" mantap kata-kata Datuk Parapat.
"Tidak perlu penjelasan lagi, Datuk Parapat. Aku siap menghadapimu!" tegas jawaban Bayu.
"Bagus! Sebaiknya lata mulai sekarang."
"Boleh."
Mereka sama-sama menggeser kakinya ke samping dengan arah berlawanan. Tak ada lagi yang membuka suara, dengan bibir terkatup rapat. Sinar mata bersorot tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
Trak!
Datuk Parapat menepak tongkat yang berujung golok besar di tangan kanan dengan telapak tangan kiri. Perlahan-lahan diarahkan ujung tongkatnya kepada Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu menarik tangan kiri sejajar dada, dan tangan kanan lurus ke depan dengan telapak terbuka dan jari merapat.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sambil memperdengarkan teriakan keras, mereka berlompatan menerjang. Datuk Parapat mengebutkan tongkat berujung golok dengan kekuatan tenaga dalam tinggi. Sementara Bayu meliukkan tubuhnya sambil mengirimkan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.
Serangan pertama masing-masing pihak tak ada yang mengenai sasaran. Kemudian mereka melakukan serangan kedua, disusul serangan-serangan selanjutnya. Pertarungan pun tak dapat dihindari lagi. Masing-masing langsung mengerahkan jurus-jurus andalan dahsyat dan sangat berbahaya. Sedikit kelengahan saja, dapat berakibat fatal.
Jurus demi jurus cepat dilalui. Tak terasa mereka sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus. Tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda pertarungan bakal terhenti. Bahkan belum ada tanda-tanda yang terdesak. Bukan hanya Bayu yang merasakan kali ini mendapatkan lawan tangguh, tapi juga Datuk Parapat punya perasaan sama. Terlebih lagi dia tidak menduga kalau pemuda ini mampu menghadapinya sampai dua puluh jurus lebih.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar bentakan.
Suara bentakan itu begitu keras, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, mereka yang bertarung jadi terkejut. Mereka langsung berlompatan mundur, dan hampir bersamaan pula menoleh ke arah datangnya suara bentakan keras menggelegar tadi. Bukan main terkejutnya dua orang yang tadi bertarung itu saat melihat di sekelilingnya sudah mengepung puluhan orang bersenjata terhunus. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka. Karena, bentakan keras menggelegar tadi temyata datang dari seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun.
"Ki Rampoa...," desis Bayu.
"Hm...," sementara Datuk Parapat hanya menggumam saja.
Dua orang yang tadi bertarung sengit itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Entah, berapa jumlah orang di sekelilingnya. Yang jelas tempat ini sudah terkepung rapat Tak ada lagi celah untuk bisa keluar dengan mudah. Mereka semua menghunus senjata, dan tampaknya tinggal menunggu perintah saja.
"Kalian berdua seperti anak-anak kecil saja. Untuk apa berselisih? Padahal kalian punya tujuan yang sama," tegas Ki Rampoa.
Bayu dan Datuk Parapat saling berpandangan, dan sama-sama melangkah menghampiri Ki Rampoa. yang didampingi dua orang pengawalnya. Mereka berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan Ketua Partai Pasir Merah itu.
"Kurasa di antara kita punya tujuan yang sama, meskipun urusannya berbeda," kata Ki Rampoa lagi.
Ketua Partai Pasir Merah itu menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka, yang pernah membuatnya malu di Padepokan Bambu Kuning.
"Meskipun kau pernah membuatku malu, tapi aku tidak akan memperpanjang urusan lagi, Anak Muda," kata Ki Rampoa pada Bayu.
"Ki Rampoa, apa sebenamya yang kau inginkan?" tanya Datuk Parapat.
"Aku...? Ha ha ha...! Kau menghendaki kematian Datuk Maringgih. Dan aku menginginkan anaknya jadi budakku. Tapi...," ki Rampoa melirik pada Pendekar Pulau Neraka. "Kau sendiri punya urusan dengan Datuk Maringgih. Kenapa kau membelanya?"
"Itu urusanku!" sahut Bayu ketus.
"Ya, kita memang punya urusan masing-masing yang sama tujuannya. Hm..., kenapa kita tidak bergabung? Bukankah dengan bersatu kita lebih mudah mencapai tujuan?" usul Ki Rampoa lagi.
"Lalu, bagaimana dengan urusan di antara kita sendiri?" dengus Datuk Parapat.
"Itu bisa diselesaikan nanti, Datuk Parapat," ujar Ki Rampoa. "Terutama antara kau dan aku, Anak Muda. Masih ada persoalan yang belum diselesaikan."
Bayu hanya menggumam kecil, lalu melirik Datuk Parapat. Kemudian ditatapnya Ki Rampoa dalam-dalam. Bayu yakin kalau Ketua Partai Pasir Merah ini belum mengetahui kepentingannya pada Datuk Maringgih. Sedangkan Bayu sendiri tidak tahu, ada urusan apa antara Datuk Parapat dengan Datuk Maringgih. Sedangkan antara Ki Rampoa dengan Ketua Padepokan Bambu Kuning itu, Bayu memang sudah mengetahuinya.
"Maaf. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu, Ki Rampoa," tegas Bayu.
"Aku juga tidak akan bergabung denganmu, begal!" dengus Datuk Parapat.
"Ha ha ha...!" Ki Rampoa tertawa terbahak-bahak. "Kalian lihat! Seluruh tempat ini sudah terkepung. Aku tidak akan mengatakan, dan pasti kalian sudah bisa mengerti sendiri."
Kembali Bayu dan Datuk Parapat saling berpandangan. Meskipun mereka tokoh tingkat tinggi rimba persilatan, tapi untuk menghadapi pengeroyokan begini banyak, rasanya sukar juga. Dan kemungkinan untuk tetap bisa hidup kecil sekali. Mereka mengaku kalah dalam hal gertakan, tapi tidak akan menyerah begitu saja.
"Aku menantangmu bertarung, Ki Rampoa!" tegas Datuk Parapat.
"Aku yang menentukan di sini!" bentak Ki Rampoa.
"Hm..., kau takut rupanya," ejek Datuk Parapat.
"Phuih! Aku tidak akan terpancing, Datuk Parapat. Dengar, hanya ada satu pilihan untukmu, dan juga kau!" Ki Rampoa menunjuk Pendekar Pulau Neraka.
Memang sukar posisi yang dihadapi Datuk Parapat maupun Pendekar Pulau Neraka saat ini. Mereka tidak punya pilihan lain, tapi tidak ingin mengikuti keinginan Ketua Partai Pasir Merah ini. Sekali saja mengucapkan persetujuan, selamanya nama mereka akan jatuh dalam kancah rimba persilatan. Dan itu sudah pasti yang diinginkan Ki Rampoa. Mengeruk berbagai keuntungan dalam sekali jalan. Bayu sendiri mengakui kecerdikan laki-laki itu.
Perlahan Bayu menggeser kakinya mendekati Datuk Parapat. Sementara Ki Rampoa tersenyum-senyum merasa kemenangan sudah berada di pihaknya. Dia tahu kalau Datuk Parapat dan Pendekar Pulau Neraka kebingungan menentukan pilihan, tapi juga tidak ingin kecolongan lagi kali ini.
"Datuk! Bebaskan Parita, kita butuh tambahan tenaga," bisik Bayu pelan.
Datuk Parapat menatap Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam.
"Aku tidak memaksa, itu terserahmu," kata Bayu lagi.
Laki-laki tua berjubah hitam itu hanya berdiam diri saja. Diliriknya Parita yang masih tergolek tidak sadarkan diri. Kemudian ditatapnya Bayu, lalu diedarkan pandangannya berkeliling. Tidak mudah bagi Datuk Parapat untuk menentukan pilihan kali ini. Dia benar-benar menyadari kalau posisinya sulit sekali.
Setelah berpikir beberapa saat, Datuk Parapat melangkah mendekati Parita. Dibungkukkan sedikit tubuhnya, dan dicabutnya jarum merah di bahu pemuda itu. Kemudian diberikannya beberapa totokan di sekitar dada dan leher. Tak berapa lama kemudian Parita mulai sadarkan diri. Pemuda itu langsung terlonjak bangkit, lalu menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Parita tampak kebingungan melihat sekitarnya.
Bayu tersenyum pada Datuk Parapat. Sedangkan orang tua berjubah hitam itu hanya diam saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun. Kembali kakinya melangkah menghampiri Bayu. Untuk beberapa saat tak ada yang membuka suara sedikit pun.
"He he he...," Ki Rampoa terkekeh-kekeh. Sama sekali tidak dipedulikan adanya Parita.
Ki Rampoa tidak memandang sebelah mata pun pada murid Padepokan Bambu Kuning itu, karena telah tahu tingkat kemampuannya. Seandainya mereka mencoba melawan pun, rasanya tidak terlalu sulit hanya dengan penambahan satu orang yang sudah diketahui kemampuannya. Saat itu Bayu berbisik dekat di telinga Parita. Dan murid Padepokan Bambu Kuning itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebentar diliriknya Datuk Parapat. Sedangkan laki-laki tua berjubah hitam itu hanya melirik sedikit saja.
"Siap...?" desis Bayu pada Datuk Parapat
"Ya. Bagaimana teman kecilmu itu?"
"Dia berani mengambil resiko."
"Bagus."
"Sekarang...!"
Tiba-tiba saja Datuk Parapat cepat memutar tongkat yang berujung golok. Dan sebelum ada yang menyadari, laki-laki tua itu melompat menerjang Ki Rampoa. Pada saat yang sama, Bayu sudah melesat menghajar orang-orang Partai Pasir Merah. Demikian juga Parita yang langsung mencabut pedangnya.
"Setan! Seraaang...!" teriak Ki Rampoa seraya melompat menghindari terjangan Datuk Parapat.
Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Sebentar saja suasana yang semula sunyi, jadi berubah hiruk-pikuk oleh jerit dan pekik serta teriakan-teriakan pertarungan. Tampak tubuh-tubuh mulai bergelim-pangan bersimbah darah.
Bayu mengamuk, namun tidak ingin jauh-jauh dari Parita. Beberapa kali murid Padepokan Bambu Kuning itu dibantunya. Suatu pertarungan yang sangat ganjil. Tiga orang dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang yang terus merangsek semakin rapat.
"Parita, jangan jauh dari belakangku!" seru Bayu.
"Baik, Kakang!",sahut Parita.
Bayu terus mengamuk, melontarkan pukulan dan tendangan bertenaga dalam sangat tinggi. Setiap pukulan atau tendangannya menimbulkan jeritan melengking menyayat, disusul ambruknya tubuh dalam keadaan tak bemyawa lagi. Sedangkan pedang Parita sudah tidak lagi terlihat wama aslinya, merah berlumuran darah. Mereka terus bergerak, mencoba mengoyak kepungan yang rapat ini.
Bayu tak bisa lagi membagi perhatiannya kepada Datuk Parapat. Jarak mereka semakin merenggang dan terus menjauh. Dalam keadaan seperti ini, memang sulit untuk memperhatikan orang lain. Menyelamatkan diri sendiri saja terasa sukar sekali. Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelangan tangannya. Senjata maut andalannya itu digenggam, sehingga menjadi senjata yang sangat berbahaya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bayu melontarkan Cakra Maut begitu ada kesempatan. Seketika itu juga dia melompat ke depan begitu beberapa orang di depannya bergelimpangan tersambar senjata cakra bersegi enam itu. Parita yang mengetahui ini, tidak mau ketinggalan. Tubuhnya langsung melesat sambil mengebutkan pedangnya.
"Yeaaah...!"
Bayu terus melontarkan Cakra Maut begitu menangkap kembali. Beberapa kali hal itu dilakukan. Dan setiap kali Cakra Maut lepas melesat ke depan, Pendekar Pulau Neraka itu melompat menerjang. Tindakan Pendekar Pulau Neraka ini semakin memperbesar peluang untuk keluar dari kepungan ini. Dan Parita memanfaatkannya untuk tidak jauh-jauh sambil menghemat tenaga.
"Cepat Parita...! Yeaaah...!" seru Bayu keras.
"Yaaa...!"
Parita langsung melentingkan tubuhnya ke udara melewati beberapa kepala. Pedangnya berkelebatan cepat membabat beberapa orang. Dan begitu sampai di luar kepungan, pemuda itu langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Pada saat yang sama, Bayu melesat bagai kilat meninggalkan tempat itu menuju arah yang sama dengan Parita.
"Keparat!" geram Ki Rampoa begitu mengetahui Bayu dan Parita berhasil melarikan diri. "Kejar...! Jangan biarkan mereka hidup!"
Sebagian orang-orang Partai Pasir Merah berlarian mengejar Pendekar Pulau Neraka dan Parita. Sementara sebagian lagi masih sibuk membendung amukan Datuk Parapat. Laki-laki tua itu tersenyum tipis begitu mengetahui Bayu dan Parita sudah berhasil kabur, sambil terus memperhebat serangan-serangannya.
Sementara itu Bayu dan Parita sudah jauh meninggalkan tempat pertarungan tadi. Mereka berhenti sambil mengatur pemapasan. Sayup-sayup masih terdengar suara-suara pertarungan di kejauhan.
"Mereka mengejar, Parita," kata Bayu bisa menangkap suara banyak orang berlari kearah ini.
"Kita seberangi sungai di bawah sana, Kakang," Parita menunjuk sebuah sungai yang tidak begitu besar di bawah.
"Ayolah!"
Kembali kedua pemuda itu berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebenarnya Bayu paling tidak suka begini, tapi terpaksa harus dilakukan. Rasanya memang tidak mungkin menghadapi begitu banyak orang yang rata-rata berkemampuan cukup tinggi. Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka juga harus menjaga keselamatan Parita. Sementara jauh di belakang mereka puluhan orang berlarian sambil berteriak-teriak mengejar.
Parita menjatuhkan diri di atas rerumputan, dan napasnya tersengal. Keringat mengucur deras membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Sementara Bayu masih berdiri mengawasi lereng bukit. Tak lagi terdengar, apalagi terlihat orang-orang Partai Pasir Merah yang mengejar. Meskipun wajah Pendekar Pulau Neraka itu nampak memerah, tapi alunan napasnya begitu teratur.
"Mereka tidak mengejar lagi, Kakang," kata Parita sambil membersihkan bercak darah pada pedangnya dengan daun-daun kering. Kemudian, pedang itu dimasukkan ke dalam sarungnya di pinggang.
"Kelihatannya tidak," sahut Bayu.
"Hhh! kita tidak bisa mendapatkan obat penawar racun buat Lasmi," keluh Parita.
Bayu berpaling memandang pemuda itu. Sedangkan yang dipandang hanya duduk saja sambil memandang ke arah lain. Tarikan napasnya sudah mulai teratur, tidak terengah lagi seperti tadi.
"Ayo, kita kembali ke padepokan," ajak Bayu.
"Kembali...?!" Parita menatap Bayu dalam-dalam.
Bayu menganggukkan kepalanya.
"Tapi, kita belum memperoleh obat penawar racun itu, Kakang."
"Sudah."
"Heh...?!" Parita terlonjak kaget
Pemuda itu langsung berdiri. Ditatapnya Bayu dalam-dalam, seakan tidak mempercayai kalau Pendekar Pulau Neraka ini sudah memiliki obat penawar Racun Ular Merah yang kini diidap Lasmi. Sementara Bayu sudah mengayunkan kakinya berjalan. Parita bergegas memburu dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kakang, bagaimana kau mendapatkan obat itu?" tanya Parita ingin tahu.
Bayu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Sedangkan Parita jadi penasaran sekali. Masih belum dipercayai kalau Bayu sudah memperoleh obat itu. Dia tidak melihat Qatuk Parapat memberikan sesuatu. Bagaimana mungkin obat itu bisa dimilikinya...?
"Kakang, apakah Datuk Parapat memberikan obat itu?" tanya Parita mendesak.
"Tidak," sahut Bayu.
"Tidak...?! Lalu?" Parita jadi tidak mengerti.
"Aku mencurinya," sahut Bayu.
"Heh!? Bagaimana...?" suara Parita terputus.
"Memang tidak mudah, tapi aku berhasil mendapatkannya. Ah, sudahlah.... Yang penting sekarang kita harus segera sampai di padepokan."
"Kapan kau mencurinya, Kakang?" tanya Parita masih ingin tahu.
"Waktu dia melompat menerjang Ki Rampoa, aku cepat menjambret kantung kulit di pinggangnya. Ternyata kantung itu berisi beberapa pil berwama merah. Aku yakin pil ini obat penawar Racun Ular Merah," Bayu terpaksa menjelaskan karena Parita mendesak terus.
"Hebat..!" puji Parita tulus.
"Tapi aku tidak suka melakukannya. Perbuatan pengecut!" dengus Bayu.
"Kau ini aneh, Kakang. Bukankah maksud kita memang ingin mendapatkan obat itu. Dengan cara apa pun harus kita peroleh. Dan sekarang sudah didapat, kenapa kau bilang tidak suka melakukannya?" Parita jadi tidak mengerti dengan sikap Bayu.
"Hatiku yang tidak menyukai. Mencuri perbuatan licik dan pengecut."
"Tapi, kenapa Kakang melakukan juga?"
"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja tersirat di hati. Dan aku juga tidak tahu, kenapa bisa melakukannya."
"Kakang menyesal?"
"Mungkin."
Parita diam tidak bertanya lagi. Benar-benar sulit memahami sikap Pendekar Pulau Neraka ini. Sangat aneh memang, dan sulit untuk diterima akal. Tapi Parita tidak ingin memikirkan lagi. Dia sudah senang karena berhasil mendapatkan obat penawar Racun Ular Merah. Dan itu berarti ada harapan bagi Lasmi untuk bisa kembali sembuh seperti semula. Parita benar-benar bisa mengharapkan Lasmi sembuh, karena ingin melihat wanita itu kembali cerah seperti dulu. Bersemangat dan tidak putus asa.
Sementara mereka semakin jauh berjalan. Melalui bukit ini, memang jauh perjalanan yang ditempuh untuk mencapai Desa Kaung. Tapi hanya ini jalan satu-satunya, karena memang tidak mungkin kembali lagi melalui jalan semula.
Bayu duduk bersila di lantai beralaskan permadani tebal berbulu halus. Di depannya duduk Datuk Maringgih. Sementara di sudut ruangan tampak Parita memangku Wijaya sambil menunggu Lasmi yang masih belum juga sadarkan diri, meskipun sudah diberi obat penawar Racun Ular Merah.
Bayu bangkit berdiri, lalu melangkah keluar dari kamar ini. Datuk Maringgih ikut berdiri. Sejak tadi dia selalu bertanya-tanya tentang sikap Bayu yang lebih banyak diam. Sedangkan dari Parita, dia tahu kalau Bayu mendapatkan obat penawar racun itu dengan cara memanfaatkan kelengahan Datuk Parapat.
Bayu menghentikan langkahnya, ketika baru saja sampai di tengah taman yang berhadapan tepat dengan kamar Lasmi. Pemuda berbaju kulit harimau itu tidak membalikkan tubuh. Sementara Datuk Maringgih menghampiri dan berdiri di depannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan saat ini, Bayu. Terlebih lagi kau seorang pendekar. Mencuri memang bukan perbuatan baik. Tapi itu dilakukan demi menyelamatkan nyawa seseorang," jelas Datuk Maringgih langsung pada pokok persoalan.
"Tidak seharusnya aku berbuat begitu, Datuk. Aku. bisa menantangnya, bertarung secara jantan," kata Bayu menyesali perbuatannya.
"Masih ada kesempatan, Bayu."
"Apa maksudmu, Datuk?" Bayu tidak mengerti.
"Parita sudah bercerita banyak padaku. Dan aku yakin kalau Datuk Parapat tidak mudah dikalahkan begitu saja, meskipun dikeroyok puluhan orang."
"Hm...."
"Bayu. Kau tentu ingin tahu, kenapa Datuk Parapat sampai melukai Lasmi dan terus memburunya," kata Datuk Maringgih, terdengar pelan nada suaranya.
Bayu hanya diam saja. Memang ia ingin tahu, tapi tidak pernah ingin menanyakannya. Pendekar Pulau Neraka menganggap hal itu mungkin persoalan pribadi yang tidak perlu dicampuri.
"Sebenarnya Racun Ular Merah tidak membahayakan jiwa seseorang. Racun itu bekerja lambat, tapi pasti akan mempengaruhi daya ingat. Bahkan membuat orang yang terkena tidak bisa mengetahui lagi akan dirinya sendiri, di samping juga akan melemahkan kekuatannya," jelas Datuk Maringgih mulai menguraikan. "Itu sebabnya aku tidak terlalu khawatir setelah mengetahui Lasmi mengidap Racun Ular Merah. Karena aku tahu, setelah Lasmi lupa dan seluruh daya kekuatannya musnah, dia akan menjadi manusia baru. Di situ, daya kerja Racun Ular Merah menghilang. Dan dengan demikian aku bisa membinanya kembali, meskipun harus dari awal lagi."
"Kenapa Datuk Parapat melakukan hal itu pada Lasmi?" tanya Bayu.
"Karena dia ingin memiliki Lasmi seutuhnya. Lasmi yang baru segala-galanya, tanpa dipengaruhi ingatan masa lalu dan tidak mengenal dirinya sendiri lagi."
"Hm...."
"Bayu, sebenamya persoalan ini sangat pribadi sifatnya. Bahkan begitu pribadinya, sampai-sampai tak ada seorang pun yang mengetahui, kecuali aku dan Datuk Parapat sendiri."
Sebentar Datuk Maringgih menarik napas panjang. Sementara Bayu hanya diam saja menunggu. Memang sudah sejak semula diduga demikian, tapi dia tidak tahu permasalahan yang sebenamya.
"Dulu ketika aku dan dia sama-sama masih muda, kami dikenal sebagai Dua Datuk Sesat. Ilmu kepandaian yang kami miliki sukar ditandingi. Suatu saat, aku bentrok dengan seorang gadis muda yang sangat cantik. Meskipun dapat kukalahkan, tapi dia juga berhasil melukaiku. Yaaah..., mungkin ini sudah menjadi takdir yang telah digariskan. Entah kenapa, aku menyukai gadis itu. Aku menyatakan cinta, dan ternyata dia membalasnya walau dengan satu syarat Aku harus meninggalkan semua dunia hitamku. Syarat yang tidak terlalu berat, dan aku menyanggupinya. Akhirnya kami hidup bersama. Tapi, kebahagiaan yang kudapatkan ternyata membuat Datuk Parapat tidak senang. Dia terus mendesakku agar Kembali ke dunia semula. Dan aku tetap bertahan untuk tidak kembali ke dalam dunia hitam yang sudah lama kutinggalkan. Terlebih lagi setelah Lasmi lahir, aku benar-benar tidak ingin lagi berkecimpung dalam dunia hitam."
"Terus?" Bayu jadi tertarik.
"Untuk menghindari rongrongan Datuk Parapat, aku memutuskan meninggalkan daerah Selatan, dan akhimya menetap di sini. Dulu daerah ini merupakan hutan belantara yang sangat luas. Di sini, aku dan istri serta anakku memulai hidup baru. Tapi kebahagiaan yang kureguk ternyata tidak lama. Suatu hari istriku kudapatkan tewas tertikam. Dan aku tahu, siapa pelakunya. Datuk Parapat! Hal ini membuat kemarahanku tak bisa dibendung lagi. Aku mencari Datuk Parapat dan mengajaknya bertarung."
"Kau bertarung?" tanya Bayu.
"Ya. Tapi di antara kami tidak ada yang bisa menang. Akhirnya, setelah itu antara aku dan dia terus bertentangan. Datuk Parapat tidak pernah jera, dan selalu mengambil kesempatan untuk meruntuhkanku Terlebih setelah Padepokan Bambu Kuning kudirikan. Semakin gencar dia hendak meruntuhkanku."
"Pertentangan yang berlarut-larut," gumam Bayu.
"Dua sahabat yang kini jadi musuh besar, Bayu." Bayu mencoba tersenyum, membalas senyuman Datuk Maringgih yang terasa getir dan amat dipaksakan. Kini Bayu mengerti, kenapa Datuk Parapat begitu bernafsu untuk mendapatkan Lasmi. Ternyata dia ingin memisahkan Lasmi dari ayahnya, kemudian menggunakannya untuk menghancurkan ayahnya sendiri. Datuk Parapat ingin melihat bekas sahabatnya ini menderita sepanjang hidupnya. Pertentangan dua datuk yang sangat pelik!
"Lalu, bagaimana dengan Ki Rampoa?" tanya Bayu jadi teringat Ketua Partai Pasir Merah.
"Ah! Dia hanya orang gila, Bayu. Dia merasa sakit hati dan terancam karena banyak muridku yang menentang segala tindakannya. Hatinya semakin sakit lagi karena gagal menghancurkan dari dalam," sahut Datuk Maringgih.
"Maksud, Datuk?"
"Dia mencoba menyelundupkan anaknya ke sini. Aku juga tidak tahu kalau Sundrata itu anaknya, dan menerimanya sebagai murid. Belakangan aku baru tahu, tapi Sundrata sudah menjalin hubungan cinta dengan Lasmi. Aku sendiri sebenarnya senang, karena ternyata Sundrata sangat jauh bertolak belakang dengan ayahnya. Bahkan menentang segala macam perbuatan orang-orang Partai Pasir Merah. Tapi mengingat kalau dirinya anak seorang ketua begal, aku tidak bisa menyetujui hubungannya dengan anakku. Tapi rupanya mereka mengambil jalan nekad, lari dari sini dan mencoba hidup di luar. Yaaah..., selanjutnya kau tentu sudah bisa mengetahui, Bayu."
Bayu hanya menganggukkan kepalanya. Mema ada orang mengatakan, buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya. Tapi ternyata ada juga buah yang jatuh jauh, bahkan menghilang dari asalnya. Seperti buah kelapa yang jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Buah itu akan tumbuh di tempat yang jajuh dari induknya, dan terus menyebarkan generasi baru ke tempat-tempat yang jauh.
Ternyata Sundrata ingin membuktikan kalau seorang anak tidak selamanya mengikuti jejak orang tuanya. Jalan hidup seorang memang tidak akan sama, meskipun berasal dari satu rahim ibunya. Dan ini sudah dibuktikan Sundrata, anak seorang begal besar yang sangat ditakuti.
Hanya sayangnya, kesadaran yang dimiliki Datuk Maringgih datangnya terlambat. Kini Sundrata sudah tidak ada lagi, walaupun sudah menurunkan buah keturunan yang akan meneruskan cita-citanya. Datuk Maringgih memang menyesali, tapi tidak menunjukkan penyesalannya. Kehidupan keras yang dilalui membuatnya begitu tegar bagai batu karang yang tak pernah goyah meskipun setiap hari digempur gelombang.
Pagi-pagi sekali, seluruh penghuni Padepokan Bambu Kuning dikejutkan teriakan keras menggelegar yang menyuruh Bayu keluar. Saat itu Bayu dan Datuk Maringgih tengah berbincang-bincang di ruang semadi. Semalaman mereka tidak tidur, membicarakan tentang dunia persilatan yang semakin tidak menentu. Teriakan keras itu tentu saja membuat mereka tersentak kaget.
Bergegas Bayu keluar dari bilik semadi, diikuti Datuk Maringgih. Mereka langsung menuju bagian depan Padepokan Bambu Kuning ini. Tampak seorang laki-laki tua berjubah hitam membawa sebatang tongkat berujung golok besar berdiri angkuh di tengah-tengah halaman depan, membelakangi sinar matahari yang saat itu baru saja menampakkan diri.
"Datuk Parapat, apa maksudmu datang ke sini?" tanya Datuk Maringgih.
"Aku mencari bocah keparat itu!" bentak Datuk Parapat lantang sambil menunjuk Bayu yang berdiri di samping Datuk Maringgih.
"Bayu...? Dia tamuku di sini," kata Datuk Maringgih mencoba tenaftg.
"Aku tidak peduli dia tamumu, Maringgih. Yang jelas, dia harus bertanggung jawab karena telah mencuri kantung obatku!"
"Kalau itu persoalannya, aku yang seharusnya bertanggung jawab. Bayu melakukan itu karena aku yang meminta untuk mengobati Lasmi dari Racun Ular Merah yang kau sebar ke dalam tubuh Lasmi!" tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Maringgih, aku tidak bicara padamu! Aku bicara pada bocah setan itu!" bentak Datuk Parapat gusar.
"Bayu tamuku, dan wajib kulindungi. Semua yang dilakukannya menjadi tanggung jawabku," tegas kata-kata Datuk Maringgih.
"Keparat! Ternyata kau sama keparatnya dengan bocah setan itu, Maringgih!"
"Hm.... Tidakkah kau bercermin pada dirimu sendiri, Parapat? Apakah kau menganggap dirimu suci? Kita sudah sama-sama tahu tentang diri masing-masing. Jadi, kuharap tidak perlu mengumpat dan berteriak-teriak begitu. Katakan saja terus terang, apa maumu yang sebenamya?" bentak Datuk Maringgih lantang.
"Kau menantangku, Maringgih?"
"Bukankah itu yang kau inginkan sejak dulu? Aku selalu siap melayani tantanganmu. Bukan aku yang menantang, tapi kau!"
"Bedebah! Bersiaplah, Maringgih!"
"Aku selalu menunggu."
Datuk Parapat menggerakkan tongkat berujung golok besar. Diputar-putarnya tongkat itu dengan cepat, lalu dihentakkan ke tanah. Dan sebelum laki-laki tua itu menyerang, Bayu cepat melompat ke depan. Datuk Parapat menggeram, menyemburkan ludahnya dengan sengit.
"Aku yang akan menghadapimu, Datuk Parapat," kata Bayu tegas.
"Phuih! Kau memang harus mampus, bocah setan!" dengus Datuk Parapat menggeram marah.
"Bayu, biar kutandingi sendiri," kata Datuk Maringgih.
"Tidak, Datuk. Dia datang mencariku, dan aku sendiri yang akan menghadapinya," tolak Bayu tegas.
"Bagus! Bersiaplah untuk mampus, bocah!" sambut Datuk Parapat dingin.
Setelah berkata demikian, Datuk Parapat berteriak nyaring, lalu cepat sekali melesat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Dikebutkan ujung tongkatnya yang berbentuk golok beberapa kali, mengincar bagian-bagian tubuh Bayu yang mematikan. Namun Pendekar Pulau Neraka itu bergerak manis, menghindari serangan itu. Bahkan mampu membalas dengan tak kalah dahsyat.
Mereka sudah pemah bentrok sekali, sehingga sudah mengetahui ketangguhan masing-masing. Dan ini membuat mereka langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan dahsyat dan sangat mematikan. Sementara itu Datuk Maringgih hanya bisa menyaksikan, dan tidak bisa lagi mencegah pertarungan itu.
Saat itu terlihat Parita berlari-lari dari arah pintu gerbang yang tertutup rapat, langsung menghampiri Datuk Maringgih yang sedang asyik memperhatikan jalannya pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dengan Datuk Parapat
"Datuk...," terdengar suara Parita agak tersengal.
"Ada apa, Parita?" tanya Datuk Maringgih tanpa berpaling.
"Orang-orang Partai Pasir Merah menuju ke sini." lapor Parita memberitahu.
Datuk Maringgih berpaling memandang muridnya ini.
"Di mana mereka?" tanya Datuk Maringgih.
"Belum sampai ke desa, Datuk," sahut Parita.
"Sambut mereka, dan usahakan jangan sampai masuk ke desa."
"Baik, Datuk."
Parita bergegas mengumpulkan murid Padepokan Bambu Kuning, dan bergerak menuju ke luar desa untuk menyambut kedatangan orang-orang Partai Pasir Merah. Sudah tentu mereka membawa senjata lengkap dan dalam keadaan siap bertempur. Mereka tahu, kedatangan orang-orang Partai Pasir Merah tidak bermaksud baik. Sementara itu pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka dan Datuk Parapat masih terus berlangsung. Dan saat itu pula perhatian Datuk Maringgih sudah terpecah.
Pertarungan sudah berjalan puluhan jurus, dan masing-masing sudah merasakan pukulan maupun tendangan lawan. Namun belum ada yang bisa melukai. Mereka masih sama-sama tangguh, dan belum ada yang mau menyerah. Entah, sudah berapa puluh jurus dikeluarkan dalam pertarungan ini.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke atas sambil berteriak keras menggelegar. Dan pada saat itu dilontarkan Cakra Maut yang sejak tadi belum dipergunakan.
Senjata bersegi enam itu meiesat cepat bagaikan kilat. Saat itu juga dengan kecepatan tinggi, Datuk Parapat mengebutkan senjatanya, menyambut senjata maut Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Trang!
Dua senjata beradu keras, hingga menimbulkan percikan api yang menyebar ke segala arah. Saat itu Bayu meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan bertenaga dalam sangat tinggi dan sudah mencapai taraf kesempumaan.
"Hop!"
Datuk Parapat langsung memegang tongkatnya dengan kedua tangan, lalu diangkat ke atas melindungi kepala. Pukulan Bayu tak dapat ditarik lagi, langsung menghajar bagian tengah senjata tongkat berujung golok besar itu.
"Yeaaah...!"
Trak!
"Heh...?!" Datuk Parapat terperanjat Laki-laki tua itu agak terhuyung ke belakang, sementara tongkatnya patah jadi dua bagian. Tapi yang dialami Bayu juga sungguh mengejutkan. Pendekar Pulau Neraka itu kembali terpental ke atas. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian mendarat terhuyung-huyung di tanah. Tampak setetes darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
"Bedebah!" geram Datuk Parapat melihat senjata andalannya tidak bisa digunakan lagi. Sambil mendengus marah, dilemparkan senjatanya ke arah Bayu. Lemparan yang disertai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi itu membuat potongan senjata itu meluncur deras melebihi anak panah lepas dari busur ke arah Bayu.
"Uts!"
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya, menghindari lemparan potongan senjata itu. Dan begitu potongan senjata itu lewat, langsung dikebutkan tangan kanannya ke depan dengan tubuh agak membungkuk.
"Yeaaah...!"
Wut!
Datuk Parapat yang masih memegang potongan lain dari senjatanya, langsung melemparkan ke arah senjata Cakra Maut itu. Benturan keras terjadi di udara, dan potongan senjata itu hancur berkeping-keping. Bayu langsung menghentakkan tangannya, maka Cakra Maut terus melesat ke arah Datuk Parapat
"Hup! Hiyaaa...!"
Datuk Parapat melentingkan tubuhnya, berputaran menghindari terjangan Cakra Maut bersegi enam itu. Pada waktu yang sama, Bayu melompat. Langsung dilontarkan dua pukulan bertenaga dalam tinggi.
Datuk Parapat tersentak kaget. Dia begitu sibuk menghindari serangan Cakra Maut yang bergerak cepat seperti memiliki mata, dan kini harus pula menghindari serangan Pendekar Pulau Neraka. Hal ini membuatnya jadi kerepotan. Apalagi sudah tidak memiliki senjata lagi. Hingga....
"Modar...!"
Bayu menghantamkan satu pukulan keras ke arah dada.
Des!
"Aaakh...!"
Datuk Parapat memekik keras. Pukulan Bayu telak menghantam dada laki-laki tua berjubah hitaam itu. Tak pelak lagi, pukulan yang mengandung tenaga dalam sempuma itu membuat tubuh Datuk Parapat terlontar sejauh tiga batang tombak. Dan sebelum tubuhnya mencapai tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya. Maka Cakra Maut yang baru saja menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu kembali melesat cepat bagaikan kilat
Cras!
"Aaa...!"
Datuk Parapat menjerit melengking tinggi. Cakra Maut bersegi enam menancap tepat di tenggorokan Datuk Parapat Tubuh tua berjubah hitam itu terbanting keras ke atas tanah. Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas sambil melompat ke depan. Maka Cakra Maut melesat balik dan menempel di pergelangan tangan kanannya, tepat saat tubuhnya mendarat di samping tubuh Datuk Parapat yang sudah tidak bernyawa lagi. Darah langsung menggenang di sekitar leher yang menganga lebar terkoyak oleh Cakra Maut
"Aku akui kau tangguh sekali," desah Bayu perlahan. Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur, lalu berpaling begitu mendengar suara langkah menghampiri. Datuk Maringgih setengah berlari menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu.
"Bayu, orang-orang Partai Pasir Merah ada di batas desa. Murid-muridku mencoba menghadang di sana," jelas Datuk Maringgih cepat.
"Aku akan ke sana, Datuk," tegas Bayu.
"Jangan! Sebaiknya kau di sini saja. Biar aku yang akan ke sana," cegah Datuk Maringgih.
Bayu ingin membantah. Tapi sebelum membuka mulutnya, Datuk Maringgih sudah berkata lagi.
"Kali ini benar-benar urusan pribadiku, Bayu."
"Baiklah. Tapi aku tidak bisa berdiam diri di sini, Datuk," Bayu mengalah, dan memang tidak ingin berdebat.
"Ayolah, sebelum mereka memasuki desa."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas melompat pergi Tapi belum juga mencapai pintu gerbang, terdengar suara panggilan keras. Mereka menghentikan langkah dan menoleh. Tampak Lasmi berlari cepat menghampiri.
"Aku ikut," ujar Lasmi setelah dekat.
"Lasmi! Kau masih terluka," Datuk Maringgih ingin mencegah.
"Aku sudah sembuh, Ayah. Lihat, tadi aku bisa menggunakan ilmu lari cepat tanpa ada gangguan apa pun," sergah Lasmi.
"Tapi, anakmu...?"
"Aku serahkan pada mbok pelayan."
Datuk Maringgih memandang Bayu, seakan-akan minta pendapat. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu hanya mengangkat pundaknya saja. Datuk Maringgih tidak bisa lagi mencegah. Maka tanpa banyak bicara lagi mereka bertiga segera berlari cepat memper-gunakan ilmu meringankan tubuh menuju batas desa. Dan selama menggunakan ilmu meringankan tubuh,
Datuk Maringgih selalu memperhatikan putrinya.
Tampak jelas kalau Lasmi tidak mengalami kesulitan. Bahkan tampak gembira karena bisa pulih seperti sediakala. Datuk Maringgih merasa yakin kalau Lasmi benar-benar sudah sembuh, dan pulih seperti semula. Sementara itu Bayu sudah jauh meninggalkan mereka. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sebenarnya ilmu meringankan tubuh Datuk Maringgih juga sudah sempuma, tapi Lasmi tidak mungkin ditinggalkan. Wanita itu memang mustahil kalau bisa mengimbangi Pendekar Pulau Neraka maupun ayahnya. Ilmu yang dimilikinya masih kalah jauh.
Kehadiran Pendekar Pulau Neraka yang disusul Datuk Maringgih dan Lasmi, membangkitkan semangat murid-murid Padepokan Bambu Kuning yang semula sudah kewalahan membendung arus serangan yang dilancarkan orang-orang Partai Pasir Merah. Sebaliknya kedatangan mereka bertiga justru membuat orang-orang Partai Pasir Merah jadi kalang kabut
Terlebih lagi Pendekar Pulau Neraka yang langsung terjun ke dalam kancah pertempuran. Dalam waktu sebentar saja, sudah tidak terhitung korban yang berjatuhan. Mata Bayu yang tajam bagai mata elang, langsung bisa melihat Datuk Maringgih yang bertarung melawan Ki Rampoa.
"Untung kau cepat datang, Kakang," ujar Parita yang berhasil mendekati Bayu.
"Hm..., sebaiknya kau jaga Lasmi. Dia belum begitu pulih benar," ujar Bayu.
"Baik, Kakang."
Parita benar-benar tidak membantah, dan segera bergerak cepat mendekati Lasmi yang mengamuk dengan pedang di tangan. Lasmi tersenyum begitu melihat Parita. Dan mereka sama-sama membabat orang-orang Partai Pasir Merah tanpa memberi ampun lagi. Keadaan yang tadinya dikuasai Partai Pasir Merah, seketika berbalik. Kini murid-murid Padepokan Bambu Kuning benar-benar menguasai keadaan. Bahkan beberapa anggota Partai Pasir Merah mencoba melarikan diri.
Melihat keadaan ini, Bayu melesat keluar dari kancah pertarungan. Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak mengawasi pertarungan antara Datuk Maringgih dengan Ki Rampoa. Tampak sekali kalau Datuk Maringgih selalu mendesak Ki Rampoa. Jurus-jurus yang dilancarkan orang tua itu membuat Ki Rampoa kelabakan setengah mati. Entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan Datuk Maringgih bersarang di tubuh lawannya. Tapi, rupanya Ki Rampoa tidak mudah menyerah begitu saja. Dia terus mengadakan perlawanan, meskipun selalu terdesak dan sulit mengatasi keadaannya sendiri.
Ki Rampoa tidak sempat lagi memperhatikan keadaan anak buahnya yang kocar-kacir tak beraturan lagi. Dia sendiri benar-benar dibuat kalang kabut oleh serangan-serangan Datuk Maringgih. Sebenarnya Ki Rampoa menyadari kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya berada setingkat di bawah Datuk Maringgih. Tapi dia kali ini tidak bisa keluar dari kemelut ini.
Sementara itu sudah banyak anggota Partai Pasir Merah yang melarikan diri. Dan sisanya yang masih bertahan tidak mampu lagi membendung amukan murid-murid Padepokan Bambu Kuning. Hingga akhirnya, tak ada lagi orang-orang Partai Pasir Merah yang tersisa. Pertarungan pun berakhir dengan kemenangan berada di pihak Padepokan Bambu Kuning. Namun di tempat lain, tampak Datuk Maringgih masih berusaha menyudahi pertarungannya dengan Ki Rampoa.
"Aku akan membantu Ayah," kata Lasmi.
"Jangan!" cegah Bayu cepat
"Tapi...."
"Tinggal beberapa jurus lagi," potong Bayu.
Lasmi tidak bisa lagi membantah. Dan dugaan Bayu memang tepat Dua jurus kemudian, satu pukulan telak berhasil disarangkan Datuk Maringgih ke dada Ki Rampoa. Dan sebelum tubuh Ki Rampoa terjungkal, satu tendangan keras menggeledek bersarang di perut-nya.
Ki Rampoa memekik melengking, dan terjungkal keras menghantam tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan, tapi masih mampu bangkit berdiri. Pada saat itu Datuk Maringgih sudah melompat, dan kedua tangannya dikeprukkan ke kepala Ki Rampoa.
Prak!
"Aaa...!"
Ki Rampoa menjerit melengking tinggi. Ketua Partai Pasir Merah itu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah. Darah merembes keluar dari sela-sela jari tangannya. Datuk Maringgih kembali menghentakkan tangannya, memberikan satu pukulan dahsyat bertenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Des!
Seketika tubuh Ki Rampoa menggeletar begitu pukulan menggeledek bersarang di dadanya. Sebentar kemudian tubuhnya berputar dan ambruk ke tanah tanpa ada suara sedikit pun keluar dari mulutnya. Hanya sebentar pula ketua begal itu mampu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi. Ki Rampoa tewas dengan dada amblas dan kepala pecah berlumuran darah.
"Ayah...!" seru Lasmi langsung berlari memburu.
Datuk Maringgin berbalik. Lasmi menghambur memeluk ayahnya. Beberapa saat mereka berpelukan, kemudian saling melepaskan diri. Mereka kini berjalan menghampiri Bayu dan Parita.
"Bayu, kudengar kau mencariku karena ada urusan denganku. Benar?" kata Datuk Maringgih langsung.
"Tidak," sahut Bayu.
Bayu memang sudah memutuskan untuk melupakan saja niat semula yang datang ke Desa Kaung ini untuk mencari Datuk Maringgih. Maksudnya mencari orang tua itu karena Bayu menduga kalau Datuk Maringgih terlibat dalam pembunuhan orang tuanya. Setelah melihat kehidupan Datuk Maringgih, Bayu jadi tidak percaya kalau orang tua ini ikut terlibat.
Datuk Maringgih tersenyum. Dirangkulnya pundak pemuda berbaju kulit harimau itu, lalu diajaknya berjalan. Sementara Parita menghampiri Lasmi. Dipandanginya wajah cantik itu.
"Aku menagih jawabanmu, Lasmi," kata Parita.
"Sebaiknya kau utarakan saja pada Ayah," sahut Lasmi seraya tersenyum.
"Baiklah. Aku akan memintamu pada Guru setelah keadaan tenang kembali," janji Parita mantap.
Lasmi hanya tersenyum saja. Diayunkan kakinya, sementara Parita mengikuti di samping wanita ini. Dalam hati, Lasmi mengharapkan Parita benar-benar bicara pada ayahnya. Dia ingin ada laki-laki yang berani dan bertanggung jawab untuk menggantikan Sundrata. Sementara di depan mereka, Datuk Maringgih berjalan berdampingan dengan Pendekar Pulau Neraka. Entah apa yang dibicarakan, tapi tampaknya wajah Bayu cerah sekali.
"Aku tidak menduga, ternyata kau putra sahabatku, Pendekar Pulau Neraka," ujar Datuk Maringgih.
"Ya. Hanya saja, sampai saat ini aku belum bisa menemukan ibu," desah Bayu agak lirih.
"Aku akan membantumu, Bayu. Aku juga yakin, ibumu masih hidup dan berada di suatu tempat.
"Terima kasih."