Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Rahasia Bunga Cubung Biru
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Rahasia Bunga Cubung Biru
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
"Hiyaaat...!"
Trang!
Malam yang seharusnya sunyi, tiba-tiba dipecahkan oleh suara pertarungan di halaman depan sebuah rumah besar yang dikelilingi pagar balok kayu tinggi dan berujung runcing. Di sekitar tempat pertarungan itu orang-orang bersenjata terhunus berdiri mengelilingi. Mereka menyaksikan dua orang laki-laki bertarung, menggunakan kepandaian tingkat tinggi.
Melihat banyaknya keringat yang bercucuran dan debu yang melekat di badan, dapat dipastikan kalau pertarungan itu sudah berjalan cukup lama. Sementara malam sudah demikian larut, sedangkan pertarungan dua laki-laki itu masih berlangsung sengit. Seakan-akan pertarungan itu tidak akan berhenti dalam waktu singkat.
Dua orang yang bertarung itu sudah sama-sama berusia lanjut. Yang seorang mengenakan jubah putih panjang, dan berambut putih tergelung ke atas. Sedangkan seorang lagi mengenakan jubah warna biru tua. Rambutnya panjang meriap hampir menutupi wajahnya. Mereka sama-sama menggunakan tongkat. Namun yang berjubah putih hanya menggunakan tongkat kayu biasa tanpa bentuk, sedangkan lawannya menggunakan tongkat berbentuk ular kobra yang mengembangkan lehernya.
Pertarungan itu berjalan cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebat saling sambar. Setiap kali tongkat-tongkat mereka beradu, seketika timbullah ledakan keras disertai percikan bunga api yang menyebar ke seluruh penjuru. Meskipun tongkat yang dipegang orang berjubah putih hanya tongkat kayu biasa, namun kekuatannya melebihi tongkat baja yang keras. Bahkan hantaman tongkatnya mampu menghancurkan batu sebesar kerbau.
"Hiyaaat...!"
Trak!
"Akh...!"
Tiba-tiba saja laki-laki berjubah putih memekik keras tertahan, dan tampak terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Darah segar merembes keluar dari sela-sela jari tangan yang keriput. Pada saat itu, orang yang berbaju biru gelap melompat cepat bagai kilat sambil tongkatnya melayangkan satu pukulan keras. Begitu kerasnya sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai topan.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Des!
"Aaa...!" Kembali laki-laki tua berjubah putih itu menjerit. Hantaman tongkat berbentuk ular kobra itu tepat mengenai kepala laki-laki tua berjubah putih. Terdengar suara berdetak, dan seketika laki-laki berjubah putih itu ambruk ke tanah dengan kepala remuk. Darah mengucur dari dada dan kepalanya. Orang berbaju biru gelap itu berdiri pongah sambil memutar-mutar tongkatnya.
"Hayo! Siapa lagi yang ingin menyusul ke neraka!" teriak orang berjubah biru itu, keras menantang.
Dari sekian banyak orang yang mengelilingi halaman, tak seorang pun yang berani membuka mulut. Laki-laki tua bertongkat ular itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sebentar kemudian dihampirinya laki-laki tua yang tergeletak tengah meregang nyawa di tanah. Ditekan ujung tongkatnya ke dada yang berlumuran darah itu.
"Anom Sura! Di mana kau sembunyikan peti itu?" dingin nada suara laki-laki bertongkat ular itu.
Tapi orang berjubah putih itu tidak menjawab, dan hanya mengerang merasakan sakit yang amat sangat pada dada dan kepalanya. Darah semakin banyak keluar.
"Baiklah. Mungkin kau lebih senang mati. Tapi aku masih bisa mendapatkan kotak itu dari putrimu!" dengus orang itu dingin. "Hih...!"
"Aaa...!"
Tanpa berkedip sedikit pun, orang bertongkat ular itu menghunjamkan ujung tongkatnya hingga menembus dada laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Anom Sura. Sambil menarik kembali tongkatnya, orang itu langsung melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga sekejap saja sudah lenyap tak berbekas.
"Guru...!"
"Paman...!"
Mereka yang berkerumun mengelilingi halaman itu berhamburan memburu laki-laki tua berjubah putih yang tergeletak di tanah bersimbah darah. Salah seorang berbaju hijau yang pedangnya tergantung dipinggang bergegas mengangkat kepala Ki Anom Sura dan menopang dengan pahanya.
"Paman...."
"Adilangu. Cepatlah pergi ke Gunung Cakal. Jemput adikmu dan bawa ke sini," kata Ki Anom Sura lemah.
"Paman...."
"Akh...! Rasanya aku tidak kuat lagi. Adilangu, cepatlah pergi dan katakan agar Rampita..., akh!"
"Paman...!"
"Adilangu, bawa kotak yang ada di bawah balai semadiku. Berikan pada putriku..., akh...!"
"Paman...!"
"Guru...!"
Namun Ki Anom Sura sudah terkulai. Adilangu memeluk laki-laki tua itu. Diusapkan tangannya ke wajah Ki Anom Sura. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap wajah-wajah yang tertunduk dalam tanpa cahaya di sekelilingnya. Kemudian Adilangu mengangkat tubuh laki-laki tua itu dan membawanya masuk ke dalam rumah besar yang tampak terang benderang
Tak ada sedikit pun suara yang terdengar. Semua orang yang berkerumun di depan rumah itu hanya diam sambil menundukkan kepala. Laki-laki itu membaringkan tubuh Ki Anom Sura di atas dipan kayu, kemudian duduk bersila di lantai. Semua orang yang berada di belakangnya ikut duduk bersila. Secara bersamaan mereka merapatkan tangannya di depan hidung, memberi penghormatan terakhir pada laki-laki tua itu.
Adilangu memacu cepat kudanya bagai dikejar setan. Sepanjang jalan yang dilalui, meninggalkan kepulan debu karena tersepak kaki-kaki kuda hitam itu. Tak peduli ada kubangan berlumpur, pohon tumbang melintang menghadang jalan, pemuda itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Sebuah buntalan kain di punggung berguncang-guncang mengikuti tubuhnya yang tidak bisa diam di atas punggung kuda.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Adilangu semakin keras menggebah kudanya. Tidak dipedulikan lagi jalan yang mulai sulit dilalui karena semakin rapatnya pepohonan. Terlebih lagi jalan itu mendaki, sedangkan kuda hitam yang ditungganginya semakin terseok kewalahan. Binatang tunggangan itu mendengus-dengus kelelahan. Seharian dipacu cepat tanpa beristirahat sebentar saja. Namun pemuda itu terus menggebah kudanya agar tetap berlari kencang.
Wus...!
Tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Adilangu terperanjat, lalu cepat-cepat menarik tali kekang kudanya. Akibatnya, binatang itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Adilangu melentingkan tubuhnya dan berputaran beberapa kali di udara sebelum kakinya menjejak tanah. Sementara, anak panah itu menancap di sebuah pohon tidak jauh dari tempatnya mendarat. Sedangkan kuda hitam itu langsung berlari tanpa mempedulikan majikannya yang tertinggal. Adilangu mendengus seraya menatap tajam ke sekeliling.
Srak! Srak...!
Adilangu langsung meraba gagang pedangnya di pinggang ketika tiba-tiba saja di sekitarnya berlompatan sekitar sepuluh orang bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung mengepung pemuda itu. Pemuda itu menatap seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan saat mendengar tawa keras menggelegar dari atas dahan pohon.
"Ha ha ha...!"
Adilangu hanya mendesis kecil. Laki-laki berwajah penuh berewok yang berdiri di atas pohon itu terus tertawa terbahak-bahak, seakan-akan tengah menyaksikan suatu pertunjukan yang mengocok perutnya. Dia mengenakan baju hitam, dan celana hitam sebatas lutut. Tampak gagang golok berwarna gading menyembul dipinggang. Tubuhnya besar dan kekar, tapi anehnya dahan kecil itu tidak melengkung menahan beban tubuhnya. Adilangu sadar kalau orang itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Dan tentu saja, sepuluh orang yang mengepungnya juga bukan orang kosong.
"Siapa kalian? Mengapa menghadang jalanku?" tanya Adilangu ketus.
"He he he...! Anak Muda, aku tahu asalmu. Dan tentu saja aku tahu apa yang kau bawa. Demi keselamatanmu, tinggalkan saja mainan itu. Dan kau boleh pergi dengan selamat!" ujar laki-laki di atas pohon. Suaranya besar dan terdengar berat sekali.
"Hmmm..., kau pasti Barong Codet," desis Adilangu menatap wajah laki-laki itu.
Memang pada pipi kiri laki-laki berewok itu terdapat luka memanjang bagai lintah menempel. Luka itu hampir menyentuh sebelah matanya. Adilangu mengenali orang itu, karena pernah melihat pamannya bertarung dengannya. Luka di pipi kirinya juga akibat tergores ujung tongkat Ki Anom Sura.
"Kau sudah tahu siapa diriku, Adilangu. Dan aku tidak segan-segan membunuhmu! Tak ada lagi yang bisa melindungimu. Si tua bangka itu sudah tenang dineraka! Ha ha ha...!"
Adilangu mendesis geram, tapi juga heran. Dari mana Barong Codet mengetahui kematian Ki Anom Sura? Padahal baru kemarin Ki Anom Sura tewas ditangan seseorang yang tidak dikenalnya. Dan tentu saja berita kematian Ketua Padepokan Tongkat Sakti itu belum tersebar sampai keluar.
"Dari mana kau tahu, Barong Codet?" tanya Adilangu tidak bisa menahan keingintahuannya.
"Ha ha ha...! Semua orang sudah tahu kalau si tua bangka itu sudah mampus!" sahut Barong Codet. "Kini tak ada lagi penghalang untuk membalas kekalahanku! Padepokan Tongkat Sakti harus musnah, dan mainan itu harus menjadi milikku! Ha ha ha...!"
Adilangu terdiam. Disadari dan diketahui betul siapa Barong Codet itu. Dia adalah pemimpin gerombolan begal yang paling ditakuti di sekitar Lembah Bunga ini. Bahkan sampai ke Kaki Gunung Cakal nama Barong Codet sangat ditakuti. Tingkat kepandaian yang dimiliki juga sangat tinggi. Dan Adilangu sadar kalau kemampuannya belum bisa mengimbangi laki-laki beringas itu. Tapi, kotak yang dibawanya tidak mungkin begitu saja dilepaskan. Benda ini harus sampai pada Rampita, sesuai amanat yang diberikan pamannya sebelum ajal menjemput.
"Cepat, berikan mainan itu, Adilangu!" bentak Barong Codet tidak sabar lagi.
"Tidak semudah itu, Barong Codet Kau harus melangkahi dulu mayatku!" sahut Adilangu nekad, meskipun sadar tidak akan mampu menghadapinya. Tapi baginya lebih baik mati daripada menjadi pengecut.
"Bocah setan! Bunuh bocah itu...!" seru Barong Codet menggeram marah.
Serentak sepuluh orang bersenjata golok yang mengepung Adilangu berlompatan menyerang. Pemuda itu langsung mencabut pedangnya, menyambut serangan sepuluh orang bersenjata golok. Suatu pertarungan yang tidak seimbang terjadi. Satu lawan sepuluh orang memang bukan pertarungan yang menarik Dan sudah dapat diduga hasilnya.
Baru beberapa gebrakan saja, Adilangu sudah tampak kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Beberapa kali tubuhnya harus menerima pukulan dan tendangan, sehingga membuatnya harus jatuh bangun bergulingan di tanah. Tapi pemuda itu tidak mengenal menyerah, dan terus bertahan walaupun menyadari tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.
Serangan sepuluh orang bersenjata golok itu kian gencar, dan membuat ruang gerak Adilangu semakin menyempit. Terlalu sukar bagi pemuda itu untuk bisa meloloskan diri. Memberi serangan balasan pun sudah sukar sekali. Sekali pun bisa, itu pun tidak ada artinya sama sekali. Serangan yang dilakukan selalu dapat dimentahkan sebelum sampai pada sasaran.
"Ha ha ha...!" Barong Codet tertawa terbahak-bahak melihat Adilangu semakin tak sanggup lagi bertahan.
Dari mulut dan hidung pemuda itu sudah mengucurkan darah. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Bahkan untuk mengangkat pedang saja sudah tidak sanggup lagi. Tubuhnya terlontar dari satu orang ke orang lainnya. Adilangu benar-benar dijadikan bola, ditendang ke sana kemari tanpa mampu membalas. Bahkan pedangnya kini sudah terlepas dari genggaman tangan. Pemuda itu tidak tahu lagi, sudah berapa banyak tendangan dan pukulan mendarat di tubuhnya. Kepalanya semakin terasa pening. Rasanya tubuh Adilangu sudah tidak bisa lagi merasakan pukulan maupun tendangan yang mampir di tubuhnya.
Slap!
Tiba-tiba saja ketika Adilangu terpental akibat tendangan keras, sebuah bayangan menyambar tubuhnya dan membawa keluar dari kepungan sepuluh orang itu. Seketika tawa Barong Codet terhenti, dan kontan menggeram dahsyat. Sementara itu sepuluh orang anak buahnya langsung memutar tubuhnya.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu Adilangu sudah berada di atas pundak seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau. Pemuda itu mengedarkan pandangannya berkeliling, merayapi sepuluh orang yang kini sudah mengepungnya. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Barong Codet yang masih berada di atas dahan pohon.
"Biadab! Mengeroyok orang yang tidak berdaya sama sekali!" desis pemuda berbaju kulit harimau itu dingin dan datar.
"He, bocah! Jangan campuri urusanku!" bentak Barong Codet geram.
"Sama sekali aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, Kisanak. Tapi rasanya tidak bisa kubiarkan jika kalian seenaknya saja menyiksa orang yang sudah tidak punya daya!" sahut pemuda itu lantang.
"Setan alas! Keparat...! Seraaang...!" maki Barong Codet seraya memberi perintah.
"Maaf, aku tidak punya waktu untuk menghadapi tikus macam kalian! Hup!"
Bagai kilat pemuda berbaju kulit harimau itu melesat ke atas dan langsung lenyap seketika itu juga. Barong Codet memaki habis-habisan. Diperintahkan seluruh anak buahnya untuk mencari dan mengejar. Tanpa membantah sedikit pun sepuluh orang itu segera berlari berpencar. Sedangkan Barong Codet sendiri langsung melompat turun dan menghentak-hentakkan kakinya sambil memaki-maki tidak karuan.
Sementara itu di dalam sebuah gua batu yang letaknya di Tebing Jurang Lembah Bunga, Adilangu merintih sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Dikerjapkan matanya, dan kontan tersentak begitu menyadari dirinya berada di tempat yang sangat asing. Tapi begitu hendak bangun, sebuah tangan mencegah dadanya.
"Jangan bangun dulu. Berbaringlah sebentar lagi," terdengar suara dari arah samping.
Adilangu menoleh. Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau tersenyum sambil menjauhkan tangannya dari dada Adilangu yang sudah berbaring lagi.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Adilangu.
"Aku Bayu. Dan aku telah melihatmu tengah dikeroyok orang. Lalu kau kubawa ke sini. Tenang sajalah. Tak ada seorang pun yang tahu tempat ini," jelas pemuda berbaju kulit harimau itu setelah memperkenalkan dirinya. Dia memang Bayu yang dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Oh...," Adilangu mendesah panjang seraya memejamkan matanya. Sebentar kemudian Adilangu kembali membuka matanya. Kini dia ingat. Dalam perjalanan, dirinya telah dihadang Barong Codet dan sepuluh orang anak buahnya, dan tak mampu menghadapi keroyokan mereka. Mungkin saat itu Adilangu sudah jatuh pingsan ketika Bayu muncul dan menyelamatkannya dari maut. Dipandanginya pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kisanak,"
"Namaku Adilangu..." Adilangu memperkenalkan diri.
"Bayu.... Panggil saja Bayu," pinta Bayu diiringi senyuman.
"Oh, iya. Hmmm..., di mana ini?" tanya Adilangu seraya bergerak hendak bangkit berdiri.
Bayu membiarkan saja Adilangu bergerak, walaupun hanya mampu duduk bersila. Diedarkan pandangannya kesekeliling, dan baru disadari kalau dirinya berada dalam sebuah gua yang tidak begitu besar dan dalam. Adilangu memandang ke mulut gua, dan menjadi terkejut karena langsung melihat tebing seberang dari sebuah jurang. Langsung dipandanginya Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya asyik memutar-mutar daging bakar di atas perapian.
"Tempat ini masih berada di Lembah Bunga," jelas Bayu.
"Di Jurang Kematian...?!" desis Adilangu ragu-ragu.
"Benar," ringan sekali jawaban Bayu.
"Oh...," lagi-lagi Adilangu mendesah.
"Kenapa? Tampaknya kau takut mendengar nama jurang ini. Itu hanya sebuah nama saja, dan tidak ada yang perlu ditakuti di jurang ini," kata Bayu.
"Belum ada seorang pun yang bisa keluar dari jurang ini. Itu sebabnya dinamakan Jurang Kematian," desah Adilangu.
Adilangu menatap dalam-dalam pemuda berbaju kulit harimau itu. Hatinya jadi menduga-duga, siapa sebenarnya pemuda ini? Mengapa menolong dan membawanya ke jurang yang terkenal angker dan menyeramkan? Semua orang lebih baik memutar daripada harus melewati jurang ini. Sekali saja terpeleset, dan jatuh ke dalam jurang ini tidak akan bisa kembali lagi. Bahkan mayatnya pun lenyap begitu saja.
"Apa itu?" tanya Adilangu menunjuk daging bakar di atas api.
"Hanya daging rusa. Mau?" sahut Bayu seraya menawarkan.
Adilangu tampak ragu-ragu.
"Di dasar jurang ini memang banyak kerangka manusia dan mayat-mayat membusuk. Tapi aku belum pernah memakan daging manusia. Masih banyak binatang yang bisa diburu dan dimakan," kata Bayu seperti bisa membaca keraguan Adilangu.
Bayu menyodorkan sekerat daging yang ditusuk sebatang ranting. Adilangu menerimanya meskipun masih diliputi keraguan. Dia belum mengenal pemuda berbaju kulit harimau, meskipun sudah disebutkan namanya. Baru sekali ini pemuda berbaju kulit harimau itu dilihatnya, dan itu pun di Jurang Kematian. Inilah yang mengganggu pikirannya. Tapi kelihatannya Bayu tenang saja menikmati daging panggang. Adilangu menelan ludahnya yang kering.
Sebentar pemuda itu memandangi sekerat daging di tangannya, kemudian mencoba memakannya sedikit. Alisnya terangkat naik begitu merasakan daging panggang ini. Lidahnya bisa membedakan rasa daging meskipun hanya dibakar saja. Jelas kalau ini daging rusa, bukan seperti yang ada dalam pikirannya. Adilangu kembali menggigit dan mengunyahnya. Bahkan mengambil satu kerat lagi. Perutnya memang sudah lapar. Sejak pergi dari Padepokan Tongkat Sakti, perutnya belum terisi makanan sedikit pun.
"Siapa mereka yang mengeroyokmu?" tanya Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
"Ceritanya panjang...," sahut Adilangu.
"Hmmm..., kelihatannya mereka ingin membunuhmu. Kenapa?"
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi pemimpin mereka menghendaki barang yang kubawa ini," sahut Adilangu seraya menepuk buntalan kain di sampingnya.
"Apa itu?"
"Hanya sebuah kotak kayu. Aku sendiri tidak tahu isinya. Aku hanya mendapat amanat untuk menyampaikan kotak ini pada pemiliknya."
"Kalau begitu, sebaiknya besok pagi saja kau berangkat. Lukamu tidak ada yang terlalu berarti."
"Besok pagi...?"
"Iya, kenapa?"
Adilangu memandang keluar. Sungguh tidak disadari kalau hari ini sudah malam. Itu berarti cukup lama juga dirinya tidak sadarkan diri. Adilangu diam membisu memandang keluar gua. Memang aneh gua ini. Kelihatan terang seperti masih siang saja, padahal sudah malam.
Cahaya terang itu ternyata berasal dari batu yang banyak tersebar di tebing-tebing jurang ini. Batu-batu itu memantulkan cahaya bulan, sehingga membuat keadaan jurang ini terang meskipun malam hari. Sungguh tidak diduga sama sekali, baru kali ini Adilangu menyaksikan Jurang Kematian pada malam hari.
Dengan hanya sedikit mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Adilangu sudah berhasil mencapai tepi Jurang Kematian. Pemuda itu sendiri tidak menyangka akan begitu mudah keluar dari jurang yang sudah terkenal angker ini. Memang sesuatu yang dikatakan angker dan berbahaya belum tentu menakutkan. Dan sekarang Adilangu tahu kalau Jurang Kematian sebenarnya tidaklah seangker cerita-cerita yang didengar sebelumnya. Bahkan jurang ini terlihat begitu indah, tak nampak sedikit pun keangkerannya.
Hanya saja hati Adilangu masih diliputi berbagai macam tanda tanya tentang pemuda berbaju kulit harimau yang menyelamatkannya dari tangan maut si Barong Codet. Meksipun pemuda itu sudah memperkenalkan diri, tapi Adilangu masih juga bertanya-tanya, siapa sebenarnya Bayu itu.
"Gunung Cakal masih terlalu jauh dari sini. Tapi kau bisa menyusuri bibir jurang ini dan terus berjalan ke arah Timur," jelas Bayu.
"Kau tidak ikut ke sana?" tanya Adilangu. Padahal, Adilangu berharap agar pemuda berbaju kulit harimau itu bersedia mengantarnya sampai ke Gunung Cakal. Terus terang, hatinya masih khawatir akan gerombolan si Barong Codet yang pasti masih mencari dan ingin merebut kotak kayu yang dibawanya ini. Adilangu memandangi Bayu dalam-dalam dengan satu harapan agar yang dinanti-nantikannya terkabul.
"Rasanya aku tidak ada keperluan di Gunung Cakal. Jadi, kau bisa melanjutkan perjalanan sendiri. Aku yakin, jika menyusuri bibir jurang, tidak ada yang mencegatmu lagi," kata Bayu kalem.
Adilangu mengangkat bahunya. Tidak mungkin pemuda berbaju kulit harimau ini didesak terus agar ikut bersamanya ke Gunung Cakal. Setelah mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi sebentar, Adilangu kemudian berjalan menuju arah Timur, menyusuri bibir jurang.
Ayunan langkah kakinya begitu pelan, seakan-akan tidak ada gairah untuk melanjutkan perjalanannya kembali. Dia menyesal karena tidak membawa teman seorang pun dalam perjalanan yang banyak menempuh rintangan dan bahaya ini. Padahal bisa saja separuh murid pamannya dibawa. Adilangu memalingkan mukanya ke belakang. Langkahnya seketika terhenti karena tidak melihat lagi pemuda berbaju kulit harimau di sana.
"Hmmm..., ke mana dia?" Adilangu bergumam pelan bertanya pada diri sendiri.
Pemuda itu mengangkat sedikit bahunya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Rasanya tepian jurang yang menyeramkan ini ingin ditinggalkannya. Namun mengingat gerombolan Barong Codet dan pesan Bayu, Adilangu jadi memantapkan hati untuk terus menyusuri jalan yang tidak pernah dilalui orang ini.
"Ha ha ha...!"
Adilangu tersentak ketika tiba-tiba mendengar tawa menggelegar di sekitarnya. Tawa itu seperti datang dari segala arah, dan itu pertanda pemilik suara memiliki kemampuan tenaga dalam tinggi. Adilangu langsung menghentikan langkahnya. Diedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak seorang pun yang dilihatnya. Wajah pemuda itu mulai terlihat memucat Pikiran-pikiran buruk mulai menghantui benaknya.
"Jangan-jangan.... Hihhh...," Adilangu bergidik. Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda itu langsung berlari kencang Namun, suara tawa itu masih juga terdengar. Bahkan seakan-akan mengikuti setiap ayunan kaki pemuda itu. Dan ini membuatnya semakin kencang berlari.
"Ah...!" tiba-tiba Adilangu terpekik kaget. Seketika pemuda itu menghentikan larinya.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pemuda itu sudah berdiri seorang laki laki tua berbaju hitam panjang. Tangannya memegang tongkat berbentuk ular kobra yang lehernya terkembang. Wajah Adilangu seketika memucat, dan seluruh tubuhnya gemetar bersimbah keringat sebesar butiran jagung.
Adilangu tahu betul, siapa orang tua berjubah hitam ini. Dialah yang telah membunuh pamannya. Meskipun pemuda itu belum mengetahui nama dan urusan orang tua itu dengan Ketua Padepokan Tongkat Sakti Itu, tapi diyakini kalau dia pasti menginginkan kotak yang dibawanya.
"Mau apa kau menghadangku?!" bentak Adilangu, memberanikan diri.
Orang tua bertongkat ular kobra itu hanya tertawa kecil. Bibirnya tersenyum kecil, namun sorot matanya begitu tajam menusuk, memancarkan sinar merah membara bagai hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda di depannya. Sedangkan Adilangu beringsut mundur beberapa langkah, tubuhnya bergidik ngeri. Tatapan mata laki-laki tua itu demikian tajam, membuat jantungnya serasa berhenti berdetak
"Ku akui keberanianmu, Anak Muda. Tapi sayang, aku harus memaksamu. Mungkin juga bisa membunuhmu...!" dingin sekali suara orang tua bertongkat ular kobra itu.
"Apa yang kau inginkan dariku...?" tanya Adilangu agak bergetar suaranya.
"Aku tahu kau berasal dari Padepokan Tongkat Sakti. Dan tentu saja aku juga tahu kalau kau adalah keponakan si tua bangka pengkhianat Anom Sura. Maka, jika ingin dirimu selamat, tunjukkan padaku dimana si tua bangka pengkhianat itu menyimpan kotaknya!" tak ada nada pada suara laki-laki tua bertongkat ular kobra itu.
Adilangu menelan ludahnya. Pemuda cerdas itu langsung mengerti kalau orang tua kejam ini tidak mengetahui dirinya tengah membawa kotak kayu aneh dan misterius itu. Seketika otak Adilangu bekerja keras. Ada sedikit harapan untuk bisa lolos dari cengkeraman laki-laki tua ini.
"Aku tidak tahu," sahut Adilangu.
"Ha ha ha...! Kau pikir aku mudah percaya begitu saja, monyet jelek! Aku tahu kau pergi dari Padepokan Tongkat Sakti, dan tujuanmu adalah Gunung Cakal. Hmmm.... Apa yang kau bawa itu, monyet?!"
"Pakaian," sahut Adilangu bergetar suaranya. Pupus sudah harapan pemuda itu untuk bisa lolos dari tangan orang tua berkepandaian tinggi ini. Namun Adilangu masih juga mencari jalan, dan otaknya berputar keras agar bisa lolos tanpa memeras keringat Kalau pun dia terpaksa bertarung, paling-paling mati. Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Baginya lebih baik mati daripada harus menyerah begitu saja.
"He he he...," orang tua bertongkat ular kobra itu terkekeh. Dilangkahkan kakinya pelan menghampiri pemuda di depannya.
"He! Mau apa kau...?!" sentak Adilangu bergegas mundur.
"Berikan itu padaku!" bentak orang tua itu keras dan dingin.
"Tidak! Ini hanya pakaianku saja. Tidak ada gunanya buatmu!"
"Heh! Jangan paksa aku untuk menggunakan kekerasan, bocah setan!" dengus orang tua bertongkat ular kobra itu dingin.
Adilangu menelan ludah untuk ke sekian kalinya, sambil terus bergerak mundur sambil mendekap buntalan kain erat-erat. Matanya jelalatan mencari jalan agar bisa lari dan terlepas dari orang tua berwajah bengis ini. Tapi, tak ada jalan keluar untuknya. Di sebelah kiri jurang yang cukup dalam terus menganga, siap menelan tubuhnya. Sedangkan di sebelah kanannya adalah dinding batu cadas yang cukup tinggi, licin, dan berlumut tebal. Untuk berbalik dan lari, rasanya tidak mungkin lagi. Orang tua ini pasti dengan mudah bisa mengejar.
"He he he.... Kau tidak akan bisa lolos dariku, bocah! Jika masih sayang nyawa, berikan itu padaku!" geram orang tua bertongkat ular kobra itu.
"Tidak!" sentak Adilangu keras.
"Bocah setan! Kau memaksaku bermain keras, heh...?!" geram orang itu.
Adilangu benar-benar nekat Dicabut pedangnya dan dilintangkan di depan dada. Buntalan kain lusuhnya disampirkan di punggung, dan diikat kuat-kuat Tak ada pilihan lain bagi Adilangu selain mencoba melawan semampunya. Walaupun tindakannya ini mengandung resiko yang amat tinggi, tapi dia tidak peduli. Mati lebih baik daripada harus menyerah dan mengkhianati pamannya.
"Hih! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja orang tua bertongkat ular kobra itu berteriak keras sambil melompat bagai kilat Tongkatnya dikibaskan ke arah kepala Adilangu. Secepat itu pula Adilangu melompat mundur sambil menghentakkan pedangnya.
Trang!
"Akh...!" Adilangu terpekik keras.
Seluruh tangan kanannya bergetar hebat sedangkan pedangnya terlontar jauh begitu membentur tongkat ular kobra itu. Dan sebelum Adilangu bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja satu tendangan keras mendarat di dadanya. Kembali pemuda itu berteriak keras, dan tubuhnya terpental deras ke belakang. Punggungnya tertahan sebatang pohon cemara hingga tumbang Adilangu bergulingan di tanah berbatu, dan hampir saja masuk ke dalam jurang kalau saja tangan kurus orang tua itu tidak mencekal tangannya. Dan hanya sekali hentak saja, pemuda itu kembali terpental menghantam dinding batu di tepi jurang itu.
"Akh...!" lagi-lagi Adilangu memekik keras. Pemuda itu melorot turun. Seluruh tulang-tulangnya terasa remuk. Adilangu berusaha.bangkit berdiri sambil meringis menahan sakit, dan akhirnya berhasil berdiri meskipun dalam keadaan limbung. Dia tidak tahu lagi, di mana pedangnya. Mungkin terjatuh ke dalam jurang di sana. Sementara orang tua bertongkat ular kobra itu berdiri tegak menatap tajam padanya. Dengan punggung merapat pada dinding batu, Adilangu berusaha bergeser, walaupun seluruh tubuh nyeri dan kakinya gemetar.
"Aku bisa saja membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan, bocah!" ancam orang bertongkat ular kobra itu mendesis.
"Phuih! Lebih baik aku mati daripada harus menyerah padamu!" balas Adilangu nekad.
"Pilihan tolol!" Mendadak saja dengan satu kecepatan luar biasa, orang tua bertongkat ular kobra itu mengecutkan tongkatnya ke arah kepala Adilangu. Begitu cepatnya, sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai topan.
Adilangu terperangah dengan mata membelalak dan mulut ternganga lebar. Rasanya tak mungkin lagi pemuda itu mengelakkan tongkat yang melayang deras ke arahnya itu. Namun mendadak saja, begitu kepala tongkat hampir menghantam kepalanya, sebuah bayangan berkelebat menahan tongkat itu Seketika tongkat itu disentakkannya hingga terpental balik.
"Heh...?!" orang tua berjubah hitam itu terkejut. Kalau saja tongkatnya tidak cepat diputar, mungkin senjatanya itu sudah terlepas dari tangannya. Hentakan bayangan itu demikian keras. Apalagi, orang tua bertongkat ular kobra itu tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena begitu yakin kalau Adilangu akan tewas dalam sekali pukul saja.
"Bayu...," desah Adilangu, begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit harimau tahu tahu sudah berdiri di depannya.
"Beludak edan...!" maki orang tua bertongkat ular kobra itu geram. Tatapan matanya merah membara dan tajam sekali menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka. Sementara Adilangu buru-buru menyingkir dari tempat itu. Kemunculan Bayu yang begitu tiba-tiba memberi harapan Adilangu untuk bisa menyelamatkan kotak kayu yang menjadi tanggung jawabnya.
"Bocah gendeng! Siapa kau?!" bentak orang tua bertongkat hitam itu gusar.
"Kau sendiri siapa, Orang Tua?" Bayu balas bertanya.
"Monyet! Aku yang tanya padamu!" bentak laki-laki tua bertongkat ular kobra itu garang.
"Aku juga bertanya padamu," terang sekali suara Bayu membalikkan kata-kata oranh tua itu.
"Phuih! Kau cari penyakit, bocah setan!"
Bayu hanya tersenyum saja. Digeser kakinya sedikit ke samping, kemudian berpaling melirik Adilangu.
"Pergilah kau! Biar orang tua itu kuberi sedikit tata krama," kata Bayu kalem.
"Oh, iya. Hati-hati, Bayu," sahut Adilangu.
Bergegas Adilangu berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Kesempatan yang baik ini tidak ingin disia-siakan begitu saja. Sementara orang tua bertongkat ular kobra itu jadi menggereng marah. Tiba-tiba saja dikibaskan tangan kirinya ke arah Adilangu. Seketika itu juga sebuah benda bulat berwarna hitam melesat dari tangannya.
Wusss!
"Adilangu, awas...!" seru Bayu keras.
Adilangu membalikkan tubuhnya. Tapi belum juga melakukan sesuatu, benda hitam itu sudah menghantam dadanya.
"Aaa...!" Adilangu menjerit keras melengking. Tubuh pemuda itu terpental ke belakang, dan ambruk keras sekali ke tanah berbatu. Darah mengucur deras dari dada yang berlubang kecil sebesar ibu jari. Pemuda itu menggelepar sambil merintih.
"Biadab...!" desis Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu melesat menghampiri Adilangu yang masih menggelepar.
"Adilangu...."
"Bayu, tolong selamatkan benda ini. Berikan pada Rampita di Gunung Cakal.... Akh!"
"Adilangu...!"
Tapi Adilangu sudah terkulai Dari mulutnya mengalir darah kental agak kehitaman. Pemuda dari Padepokan Tongkat Sakti itu tewas setelah dadanya tertembus benda hitam yang dilontarkan orang tua bertongkat ular kobra.
Pelahan Bayu bangkit berdiri. Diperhatikannya tubuh Adilangu yang mulai membiru, kemudian berubah hitam. Pelahan-lahan tubuh anak muda itu membusuk, lalu mencair bagai lilin terbakar. Bergegas Bayu mengambil buntalan kain, dan mengikatkan ke bahu kirinya.
Seluruh tubuh Adilangu benar-benar mencair, dan yang tinggal hanya tulang belulang teronggok. Pendekar Pulau Neraka mendesis. Diputar tubuhnya menghadap orang tua bertongkat ular kobra yang terkekeh. Bayu menggeretakkan rahangnya geram. Kekejaman orang tua itu membuat darahnya mendidih seketika.
"Ha ha ha...! Nasibmu tidak akan jauh berbeda dengan monyet tolol itu, jika berani menentang Sureng Rana si Kobra Hitam! Ha ha ha...!" orang tua bertongkat itu tertawa tergelak-gelak.
Buat Pendekar Pulau Neraka tidak akan peduli dengan siapa berhadapan. Baginya, yang penting kekejaman yang terjadi di depan matanya tidak bisa didiamkan begitu saja. Dia lahir ke dunia ini memang ditakdirkan untuk memberantas keangkaramurkaan. Darah Pendekar Pulau Neraka menggolak mendidih. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
Sementara laki-laki tua bertongkat hitam, yang mengaku bernama Sureng Rana masih tertawa terbahak-bahak. Dia juga dikenal berjuluk si Kobra Hitam. Suatu julukan yang bisa membuat orang merinding dan berpikir seribu kali untuk menghadapinya. Tapi bagi Bayu tidak ada bedanya sama sekali, dan tidak akan undur setapak pun.
"Anak Muda, aku yakin kau bukan dari Padepokan Tongkat Sakti. Lalu untuk apa bersusah payah mencampuri urusan ini, heh?!" dengus Sureng Rana dingin.
"Aku memang tidak ada hubungan dengan siapa saja. Tapi, kekejamanmu yang membuatku tidak bisa berdiam diri!" balas Bayu tidak kalah dinginnya.
"Kau akan menyesal membela pengkhianat, Anak Muda!"
"Akan lebih menyesal lagi jika membiarkan kekejamanmu terus berlangsung!"
"Phuih! Ternyata kepalamu keras juga, bocah! Tapi aku ingin tahu, apa kepalamu juga sekeras batu itu!
Yeaaah...!"
Sureng Rana menghantamkan tongkatnya ke sebuah batu sebesar anak kerbau di sampingnya. Ledakan terdengar dahsyat, dan seketika batu itu hancur berkeping-keping. Melihat hal itu, Bayu hanya tersenyum tipis. Tak ada yang aneh baginya jika hanya memecahkan sebongkah batu saja. Sambil tersenyum mengejek, Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri sebongkah batu yang lebih besar dua kali lipat. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sekali pukul saja batu itu hancur berantakan menimbulkan kepulan debu membumbung tinggi ke angkasa. Sureng Rana sampai terlonjak dua langkah ke belakang. Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju dari kulit harimau itu mampu menghancurkan sebongkah batu yang amat besar, hanya sekali pukul. Bahkan dengan tangan kosong.
"Pertunjukan anak kecil!" dengus Sureng Rana mencoba menghilangkan keterkejutannya.
"Jika kau ingin yang lebih besar, majulah!" tantang Bayu.
"Ha ha ha...!" Sureng Rana tertawa terbahak-bahak.
Begitu suara tawanya menghilang, secepat kilat laki-laki tua bertongkat ular kobra itu melesat menerjang Bayu. Tongkatnya bergerak cepat menimbulkan suara angin menderu-deru bagai topan. Saat itu juga Bayu mengegoskan tubuhnya menghindari sabetan tongkat ular kobra itu. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu agak terkejut juga, karena tubuhnya hampir terpelanting terkena angin tebasan itu.
Buru-buru Bayu melompat mundur tiga tindak. Tapi Sureng Rana kembali menerjang ganas. Pendekar Pulau Neraka itu menghadapinya dengan jurus-jurus pendek, namun gerakan kakinya begitu lincah. Itu pun masih diimbangi gerakan tubuh yang meliuk-liuk lentur untuk menghindari setiap tebasan maupun tusukan tongkat berbentuk ular kobra itu.
Jurus-jurus berlalu cepat. Pertarungan nampaknya masih akan berlanjut cukup lama. Sampai sejauh ini Sureng Rana belum mampu mendesak pemuda itu. Dan tentu saja hal ini membuatnya jadi geram bercampur heran.
Belum pernah dia berhadapan dengan seorang pemuda yang mampu menandinginya setelah lima jurus dikerahkan. Secara jujur Sureng Rana mengakui ketangguhan Pendekar Pulau Neraka ini. Laki-laki tua ini semakin penasaran, karena setelah lewat sepuluh jurus belum juga berhasil mendesak lawannya.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Dihentakkan ujung tongkatnya ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Pandangan matanya tajam menusuk dan bibirnya terkatup rapat. Ditekan tongkatnya ke tanah dengan kedua tangan di bagian kepala tongkat berbentuk ular itu.
"Hm Kenapa berhenti, Orang Tua?" sinis nada suara Bayu.
"Siapa gurumu, bocah?" Sureng Rana balik bertanya dengan suara datar.
"Untuk apa kau tahu guruku? Kalau tidak sanggup menandingiku, pergilah!" ketus sekali nada suara Bayu.
"Aku tidak akan membunuh orang sebelum kuketahui siapa orang itu!"
"Baiklah. Namaku Bayu, dan berasal dari Pulau Neraka. Dan kau tidak perlu tahu siapa guruku. Jelas...!" tegas kata-kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau membela orang-orang Padepokan tongkat Sakti?" tanya Sureng Rana ingin tahu.
"Karena aku muak melihat kekejamanmu!" sahut Bayu dingin.
"Hmmm.... Ternyata kau belum tahu persoalannya, bocah. Sebaiknya jangan ikut campur dalam masalah ini. Aku tidak ingin ada orang luar ikut campur. Ini persoalan keluarga, bocah. Kutegaskan sekali lagi, ini persoalan keluarga dan jangan membuang-buang tenaga percuma!" tegas sekali suara Sureng Rana.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja. Pendekar Pulau Neraka itu mengamati perawakan laki-laki tua berjubah hitam yang menggenggam tongkat berbentuk ular kobra yang tengah mengembangkan lehernya. Kemudian diliriknya Adilangu yang sudah menjadi seonggok kerangka. Seluruh tubuh pemuda itu mencair dan lenyap merembes ke dalam tanah.
"Bocah! Apakah kau tahu apa yang ada di dalam buntalan kain itu?" Sureng Rana menunjuk buntalan kain yang tersampir di pundak Bayu.
"Tidak," sahut Bayu terus terang.
"Buntalan itu berisi kotak kayu milikku yang dicuri Ketua Padepokan Tongkat Sakti. Aku mencoba merebutnya kembali, tapi si bangsat Anom Sura mempertahankannya. Tidak ada pilihan lain bagiku, kecuali membunuhnya. Tapi kotak itu berhasil dilarikan Adilangu," jelas Sureng Rana memberitahu isi buntalan kain yang ada pada Pendekar Pulau Neraka sekarang ini.
"Hm.... Adilangu sudah berpesan agar aku menyerahkan benda ini pada pemiliknya. Tapi bukan kau, Orang Tua. Maaf," tegas Bayu.
"Dia bohong, Anak Muda!" geram Sureng Rana.
"Aku tidak mau tahu. Kau atau Adilangu yang bohong, itu urusan kalian! Tapi, yang jelas, aku harus menyampaikan amanatnya dulu. Jika kau memang ingin memilikinya, sebaiknya kau minta dan jelaskan pada pemiliknya nanti," kata Bayu tenang dan tegas terdengar.
Sureng Rana menggereng geram, tapi tidak punya pilihan lain lagi. Ucapan seseorang yang menjelang ajal memang tidak mungkin bisa diganggu-gugat lagi. Orang lebih percaya pada kata-kata orang menjelang ajal daripada yang masih hidup sehat. Meskipun kata-kata menjelang ajal bisa juga mengakibatkan malapetaka.
"Baiklah, bocah. Berikan saja benda itu pada pemiliknya. Dan aku akan memintanya kembali, karena benda itu sebenarnya memang milikku!" kata Sureng Rana.
"Bagus!" sambut Bayu tersenyum. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Pulau Neraka itu berbalik dan melangkah tenang meninggalkan laki-laki tua bertongkat ular kobra. Sementara Sureng Rana sendiri masih berdiri tegak memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hhh...! Aku harus menggunakan akal. Berbahaya sekali kalau anak muda itu ikut campur. Kepandaiannya sangat tinggi. Sukar rasanya bagiku untuk menandinginya," keluh Sureng Rana dalam hati.
Bayu memandangi Gunung Cakal yang berdiri angkuh dengan puncaknya yang tertutup kabut tebal nampak seperti menantang langit Udara di sekitar gunung ini sejuk sekali, bahkan bisa dikatakan dingin. Sepanjang mata memandang hanya kehijauan yang tampak. Hampir seluruh permukaan tanahnya ditumbuhi pepohonan yang rapat. Gunung Cakal bagai tak pernah terjamah kaki-kaki manusia.
Pelahan-lahan Bayu mengayunkan kakinya mendaki Lereng Gunung Cakal. Sesekali tubuhnya bergeletar merasakan angin dingin berhembus menerpa tubuhnya. Saat ini senja sudah mulai turun, matahari hampir tenggelam di balik cakrawala belahan Barat.
Udara begitu dingin menggigilkan. Entah kalau malam hari, mungkin tak akan sanggup bertahan tanpa penghangat. Namun Pendekar Pulau Neraka itu terus mengayunkan kakinya melangkah tanpa menghiraukan dingin yang semakin menggigilkan.
"Hmmm..., tempat yang cocok untuk melatih ilmu olah kanuragan," gumam Bayu dalam hati.
Sambil terus berjalan, Pendekar Pulau Neraka itu melatih pengerahan hawa murni. Udara dingin seperti ini memang sangat cocok untuk melatih kekuatan yang berpusat di dalam tubuh. Bayu merasakan ayunan kakinya begitu ringan, bahkan sepertinya tidak menjejak tanah. Tak ada suara sedikit pun terdengar setiap kali kakinya terayun melangkah. Semakin tinggi hawa murni dan tenaga dalam yang dikerahkan, semakin ringan tubuhnya. Bahkan Bayu jadi khawatir kalau-kalau akan terbawa angin seperti daun kering.
Tanpa terasa, Pendekar Pulau Neraka itu tiba di Puncak Gunung Cakal. Ilmu tenaga dalam yang dikerahkan membuat pemuda berbaju kulit harimau itu tidak merasa kalau baru saja habis mendaki sebuah gunung yang sangat tinggi. Gunung yang seluruh puncaknya terselimut kabut tebal. Bahkan juga tertimbun salju abadi yang tak akan cair sepanjang jaman. Hawa di puncak gunung ini demikian dingin, seakan-akan hendak membekukan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Kalau saja tidak mengerahkan hawa murni, mungkin sudah sejak tadi Bayu mati kaku.
Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepanjang mata memandang, hanya salju dan pohon-pohon cemara yang terlihat. Seluruh permukaan puncak gunung ini bagai terselimut gumpalan kapas putih yang hampir membenam kaki pemuda berbaju kulit harimau itu. Keraguan mulai mengganggu Pendekar Pulau Neraka.
Semakin jauh melintasi puncak gunung ini, semakin sulit kakinya terayun. Bayu seperti berjalan di dalam lautan lumpur, namun dingin membekukan. Seluruh tubuhnya tak lagi terasa hangat, bahkan aliran darahnya terasa membeku.
"Hmmm..., rasanya tidak mungkin ada orang yang hidup di sini," gumam Bayu dalam hati.
Meskipun hati diliputi keraguan, namun Pendekar Pulau Neraka itu tetap mengayunkan langkahnya. Padahal langkahnya semakin sulit saja diayunkan. Permukaan salju di puncak gunung ini bertambah tebal. Kedua kakinya hampir terbenam melewati lutut. Sedangkan hawa dingin semakin terasa membekukan tulang Namun Bayu terus berjalan dengan mata menerawang jauh.
Sementara malam sudah jatuh, dan seluruh alam terselimut kegelapan. Semakin sukar bagi Bayu untuk terus berjalan. Tapi tidak mungkin lagi untuk kembali, karena sudah sampai lebih dari setengah perjalanan. Pendekar Pulau Neraka seperti terjebak di dalam kubangan lumpur salju. Kalau saja pengerahan hawa murninya belum mencapai taraf kesempurnaan, tidak akan mungkin mampu bertahan. Tapi hati pemuda berbaju kulit harimau itu ragu pada keadaan alam yang tidak ramah ini.
"Uh, dinginnya...," keluh Bayu menggigil. Semakin jauh berjalan, semakin sukar ditempuh perjalanan ini. Selain udara yang begitu dingin, salju sudah membenam sampai ke paha. Bayu tidak tahu lagi, apakah kakinya sudah membeku. Karena kakinya terasakan sukar sekali digerakkan. Pendekar Pulau Neraka itu mendongakkan kepala. Tampak gumpalan-gumpalan salju turun bagai kapas putih melayang ditebarkan dari langit. Sementara angin semakin bertiup kencang, dan udara pun semakin terasa dingin membekukan tulang
"Uh! Aku tidak bisa bertahan di sini terus!" dengus Bayu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sudah sangat jarang pepohonan yang ada. Kalau pun ada, hanya pohon cemara. Itu pun jaraknya sangat berjauhan. Pendekar Pulau Neraka itu menatap sebatang pohon cemara yang tidak jauh di depannya. Dalam jarak yang cukup jauh lagi, masih ada sebatang pohon cemara tua.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dan seketika itu juga, dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melesat keluar dari timbunan salju yang semakin menebal. Pemuda berbaju kulit harimau itu meluruk deras, dan hinggap di pohon cemara tua. Hampir saja pohon itu tumbang menahan berat badannya, kalau saja tidak buru-buru mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Namun begitu pohon cemara yang sudah tua ini masih juga bergoyang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Kembali Bayu melentingkan tubuhnya menembus hujan salju. Bagai seekor burung elang, pemuda itu meluruk deras berputaran beberapa kali di udara sebelum kembali hinggap di pohon cemara satunya lagi. Dengan sebelah tangan, dipeluknya batang pohon itu.
Diedarkan pandangannya berkeliling. Hatinya menggerutu. Karena sepanjang mata, yang terlihat hanya gumpalan putih bagai tak bertepi Dia tidak tahu, berapa luasnya Puncak Gunung Cakal ini. Sungguh tidak disangka kalau akan menemukan keadaan alam yang sangat ganjil dan baru pertama kali ini dialami. Untunglah, kini matanya melihat sesuatu.
"Hm..., tampaknya ada gua di sana," gumam Bayu pelan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu melentingkan tubuhnya melesat menuju mulut gua yang dilihatnya. Bayu tidak mau mengambil resiko lagi, dan terus berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau Neraka sudah tiba di depan sebuah mulut gua kecil yang hampir tertutup salju. Disibakkan mulut gua itu, lalu merangkak masuk ke dalam. Dingin sekali udara di dalam gua ini
Sambil meraba-raba dinding gua, Pendekar Pulau Neraka itu terus berjalan masuk lebih ke dalam. Atap gua ini cukup tinggi, sehingga bisa berdiri tegak tanpa takut kepalanya terantuk batu. Bayu terus berjalan sambil merayap meraba-raba dinding gua. Sungguh tidak disangka kalau gua yang kelihatan kecil ini ternyata sangat panjang, dan keadaannya juga lapang. Udara di dalam gua ini cukup dingin, tapi tidak sedingin di luar sana.
"Uh! Sebaiknya aku bermalam dulu di sini. Hmmm..., banyak ranting kering di sini," gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu mengumpulkan ranting kering yang banyak berserakan di sekitar lantai gua. Kemudian dinyalakanlah api menggunakan dua buah batu yang dibentur-benturkan. Percikan bunga api membakar ranting-ranting kering itu. Keadaan gua yang gelap jadi terang oleh cahaya api. Bayu duduk bersila di dekat api itu.
"Hhh..., lumayan...," desahnya sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
"Grrr...!"
"Eh...!" Bayu tersentak kaget. Baru saja akan merebahkan diri, mendadak terdengar suara menggereng, hingga membuat seluruh dinding gua ini bergetar. Bayu buru-buru melompat bangkit berdiri. Matanya menatap lorong gua yang panjang dan gelap. Cahaya api tidak mampu menerangi seluruh gua ini.
"Ghrrr...!"
"Hmmm...," Bayu menggumam begitu mendengar gerengan sekali lagi. Dan belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu berpikir jauh, tiba-tiba saja muncul sesosok tubuh besar berwarna putih. Bayu terlonjak ke belakang beberapa tindak. Hatinya terkejut bukan main melihat sesosok makhluk berbulu serba putih dengan bentuk kepala seperti anjing. Tapi makhluk itu demikian besar, dan sepasang bola matanya merah menatap liar.
"Beruang...?!" desis Bayu sambil melangkah mundur pelahan.
Belum pernah Bayu melihat beruang begini besar yang seluruh bulunya berwarna putih bagai kapas. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melihat beruang, tapi tidak pernah yang seperti ini. Kaki pemuda berbaju kulit harimau itu terus bergerak mundur, dan beruang putih itu terus bergerak maju sambil menggerung-gerung memperlihatkan baris-baris gigi yang bertaring tajam.
"Ghrauughk...!"
Beruang putih itu menggerung keras, membuat seluruh dinding gua bergetar bagai hendak runtuh. Bahkan batu-batu di langit langit gua mulai berjatuhan. Bayu melompat ke belakang sejauh dua batang tombak, dan hampir mencapai mulut gua yang sedikit lagi tertutup salju tebal. Angin dingin menerpa kencang punggungnya. Sementara beruang putih itu semakin mendekat sambil menggerung-gerung memperlihatkan taring giginya.
"Maaf, aku tidak tahu kalau ini tempatmu," ucap Bayu mencoba berdamai.
Tapi beruang putih itu malah menggeram keras menggetarkan. Mulutnya terbuka lebar, memamerkan taring-taring giginya yang tajam bersembulan keluar. Bayu menelan ludahnya yang terasa pahit. Binatang liar ini tidak mungkin bisa diajak berdamai lagi. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka itu melakukan sesuatu, mendadak saja....
"Ghrauuughk..!" Bagai kilat beruang putih itu melompat menerjang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu tak punya pilihan lain lagi, dan langsung melesat keluar gua. Diterjangnya gumpalan salju dan dinginnya udara yang membekukan tulang. Dua kali Pendekar Pulau Neraka itu berjumpalitan di udara, kemudian manis sekali hinggap di salah satu dahan pohon yang tidak seberapa jauh di depan mulut gua.
"Ghraughk..!"
"Edan!" dengus Bayu.
Salju di sekitar mulut gua berhamburan diterjang beruang putih raksasa itu. Bayu sampai ternganga takjub. Kedua matanya membeliak lebar begitu melihat beruang putih itu berdiri sambil menggerung-gerung liar menggapai-gapaikan tangannya. Sungguh tidak disangka, ternyata beruang itu tingginya hampir menyamai pohon cemara. Dan sebelum Bayu bisa berpikir panjang, tiba-tiba saja kuku-kuku binatang liar itu menyampok pohon tempat Bayu berada.
Prak!
"Hiyaaa...!"
Tepat saat pohon itu hancur, Bayu melentingkan tubuhnya. Tiga kali tubuhnya berputaran di udara sebelum mendarat ringan di atas salju. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Pulau Neraka itu bisa berdiri tegak di atas permukaan salju. Tak sedikit pun kakinya tenggelam. Kekaguman masih meliputi wajahnya terhadap binatang raksasa itu.
"Sayang sekali kalau binatang langka ini harus mati," gumam Bayu dalam hati.
Tapi jalan pikiran Pendekar Pulau Neraka itu belum sampai jauh, karena beruang putih raksasa itu sudah kembali menerjang ganas. Terpaksa Bayu hanya bisa berlompatan menghindari setiap terkaman binatang itu. Udara dingin tidak lagi dihiraukan. Pikirannya tertuju penuh pada binatang raksasa liar ini. Sepertinya beruang putih ini tidak mengenal putus asa, meskipun setiap kali terkamannya tidak mengenai sasaran. Bahkan pohon-pohon yang terkena terjangannya langsung hancur berkeping-keping. Bayu semakin kagum akan kekuatan tenaga binatang putih ini.
"Ayo, serang terus. Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu!" tantang Bayu.
"Ghraughk...!"
Beruang putih yang seperti mengerti tantangan Pendekar Pulau Neraka, langsung meraung keras dan terus menerjang semakin ganas. Sedangkan Bayu sengaja mempermainkan, dan hanya berlompatan menghindar tanpa membalas satu kali pun. Ingin diketahui, sampai di mana kekuatan tenaga beruang putih itu.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, tak ada masalah bagi Bayu, meskipun udara dingin dan angin berhembus kencang. Salju lunak yang tebal tidak menjadikan halangan berarti baginya. Gerakannya tetap lincah, bahkan sering kali mengecoh binatang putih ini.
"Ha ha ha...! Kau mulai lemas, Sobat!" Bayu kesenangan melihat beruang putih itu mulai melemah. Bahkan gerangannya tidak sedahsyat tadi. Bayu memandangi beruang putih itu yang kini diam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Walaupun masih menggerung, tapi terdengar pelan, tak lagi keras seperti semula.
"Ayo, Sobat Serang aku...!" tantang Bayu seraya berkacak pinggang.
Tapi beruang putih itu malah mendekam, memperdengarkan gerangan lirih. Sedikit pun tidak dipedulikannya pemuda berbaju kulit harimau itu lagi. Binatang itu hanya mencakar cakar salju di depannya. Melihat sikap beruang putih itu, Bayu jadi bingung. Keningnya berkerut memperhatikan binatang raksasa berbulu putih bersih bagai kapas itu. Pelahan Bayu bergerak mendekati, tapi beruang itu tetap saja diam tak bergeming.
"Kenapa, Sobat? Takut...?" ejek Bayu.
"Dia tidak takut!"
"Heh...?!" Bayu terkejut bukan main ketika tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah gua. Pendekar Pulau Neraka itu langsung memandang ke arah mulut gua, dan semakin terperanjat begitu melihat di sana sudah berdiri seorang gadis berbaju putih bersih bagai salju. Pakaiannya sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Kulitnya juga putih dengan kedua pipi kemerahan bagai sepasang tomat ranum.
Bayu sampai tidak berkedip memandangi gadis itu. Seorang gadis yang demikian cantik, seakan-akan bagai dewi yang baru turun dari kahyangan. Gadis itu menjentikkan ujung jarinya. Dan sungguh aneh bin ajaib. Beruang putih yang tingginya hampir menyamai pohon cemara itu seketika menggerung, lalu dengan malas bangkit dan melangkah masuk ke dalam gua.
Sebentar binatang itu menoleh memandang Bayu, kemudian terus melangkah masuk ke dalam gua. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa memahami, gadis cantik itu mengangkat kedua tangannya ke atas tinggi-tinggi Seketika dihentakkan tangannya ke bawah setengah merentang. Dan pelahan-lahan telapak tangannya dirapatkan ke depan dada.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja gadis itu merentangkan tangannya ke samping. Dan dalam sekejap saja angin berhenti berhembus, dan keajaiban pun terjadi. Semua salju dipermukaan Gunung Cakal ini tiba-tiba saja lenyap. Dan seluruh permukaan tanah kini ditumbuhi rerumputan hijau. Bayu jadi tercengang. Dipandanginya gadis cantik yang masih berdiri di depan mulut gua. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.
"Hebat..,", puji Bayu tanpa sadar. Seketika saja pujian terlontar dari mulutnya.
"Apa maksudmu datang ke sini?" tanya gadis cantik berbaju putih itu dingin, sedingin tatapan matanya.
"Oh! Eh..., aku mencari seseorang," sahut Bayu agak tergagap.
"Apa kau tidak tahu kalau daerah ini sangat terlarang? Sebaiknya segera angkat kaki dari sini sebelum sahabatku melumat tubuhmu!" ujar gadis itu setengah mengancam.
"Maaf. Sungguh aku tidak tahu. Tapi aku mendapat amanat untuk menemui seseorang di sini," kata Bayu sopan.
"Orang yang kau cari tidak ada di sini. Sebaiknya cepat pergi!"
Bayu mengangkat bahunya. Tapi belum juga berbalik, terlintas satu pikiran di benaknya.
"Apa lagi yang kau tunggu?" sentak gadis itu ketus.
"Maaf, boleh aku bertanya?" pinta Bayu ramah.
"Katakan, sebelum aku berubah pikiran untuk membunuhmu!"
"Apakah ada orang yang tinggal di sekitar Gunung Cakal ini?" tanya Bayu memanfaatkan kesempatan yang sedikit ini.
"Tidak!" sahut gadis itu singkat.
"Terima kasih."
Bayu langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. "Huh! Tidak ada orang lain di sini. Sebaiknya aku kembali saja ke Padepokan Tongkat Sakti!" dengus Bayu tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"He! Tunggu...!" sentak gadis itu tiba-tiba.
Bayu menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap ke arah gadis berbaju putih itu kembali.
"Kau tadi bilang apa?" tanya gadis itu.
"Tidak. Aku hanya bicara sendiri," jawab Bayu.
"Kalau tidak salah, kau tadi menyebut-nyebut Padepokan Tongkat Sakti. Apakah kau berasal dari sana?"
"Bukan. Bahkan aku sendiri tidak tahu tentang Padepokan Tongkat Sakti."
"Kisanak, aku belum tuli dan mendengar jelas kalau kau ingin kembali ke Padepokan Tongkat Sakti!" agak ketus nada suara gadis itu. "Katakan yang sebenarnya, apa maksudmu datang ke sini?"
Bayu tidak langsung menyahuti. Diangkat bahunya dan diperhatikannya gadis itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pendekar Pulau Neraka itu jadi teringat akan pesan Adilangu menjelang ajal. Kotak kayu yang berada di dalam buntalan kain ini harus diberikan pada seseorang yang tinggal di Gunung Cakal. Dia memang tidak tahu siapa orangnya, kecuali namanya saja.
"Kisanak! Jika kau memang berasal dari Padepokan Tongkat Sakti, kau pasti hendak menemuiku," tegas gadis itu lagi.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja, dan belum mau percaya begitu saja pada kata kata gadis ini.
"Atau kau hanya seorang utusan saja. Katakan, apa yang kau bawa dari Padepokan Tongkat Sakti?" desak gadis itu.
Bayu masih belum membuka mulut, dan malah semakin tajam memperhatikan gadis ini. Sedangkan gadis berbaju putih itu semakin penasaran karena pemuda di depannya belum juga mau menjawab setiap pertanyaannya. Sorot matanya mencerminkan ketidaksabaran. Tapi tampaknya gadis itu masih berusaha menahan diri.
"Nisanak, apakah kau yang bernama Rampita?" Bayu malah bertanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu tertawa renyah. Begitu lepasnya sehingga baris-baris gigi yang putih rapi terlihat jelas. Bayu sampai menelan ludahnya memandangi kecantikan gadis di depannya ini. Begitu cantik dan sempurnanya, seakan-akan tanpa cacat sedikit pun.
Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langkah gadis itu yang masuk ke dalam gua. Kalau saja gadis itu tidak memberi isyarat agar mengikutinya, Pendekar Pulau Neraka itu tidak akan ikut masuk kembali ke dalam gua. Bukannya takut bertemu lagi beruang putih raksasa itu, tapi tidak ingin mencelakakan binatang cantik yang liar itu.
Bayu melangkah di belakang gadis itu. Diperhatikannya setiap relung gua ini. Sebuah gua yang cukup panjang dan berliku. Bahkan banyak cabang yang bisa membuatnya bingung jika harus keluar lagi seorang diri. Sepanjang lorong yang dilewati bentuknya serupa, bahkan sukar dicari perbedaannya.
Mereka berhenti melangkah setelah tiba disuatu rongga yang cukup luas dan diterangi beberapa obor yang terpancang di setiap sudut. Ada sekitar lima mulut cabang gua di dalam sini, dan keadaannya serupa persis. Bahkan yang dilewatinya juga sama persis baik ukuran maupun bentuknya.
Bayu menatap sebuah batu pipih yang terletak di bagian tengah ruangan ini. Sementara gadis itu lalu duduk di atas batu itu. Ditatap dan dipersilakannya Pendekar Pulau Neraka itu agar duduk di sebuah batu yang terletak tidak jauh di samping mulut gua yang tadi dilaluinya. Bayu kemudian duduk bersila di sana.
"Kisanak Jika kau mencari Rampita, maka kini sudah bertemu orangnya," tegas gadis itu lembut.
"Kau, Rampita...?" Bayu ingin menegaskan.
"Benar. Aku Rampita."
"Bagaimana bisa kupercayai kalau kau benar-benar Rampita," Bayu meminta bukti.
"Jika kau memang utusan Padepokan Tongkat Sakti, kau pasti kenal ayahku," tegas Rampita lagi.
Bayu hanya diam saja. Sebenarnya dia tidak tahu tentang Padepokan Tongkat Sakti, tapi harus berpura-pura tahu untuk meyakinkan diri kalau gadis itu memang benar Rampita.
"Padepokan Tongkat Sakti letaknya tidak jauh dari Lembah Bunga. Ayahku bernama Anom Sura, Ketua Padepokan Tongkat Sakti. Nah, apakah sudah yakin sekarang?"
"Kau tahu, kenapa aku datang ke sini?" tanya Bayu.
"Tidak," sahut Rampita.
Bayu kembali terdiam. Waktu itu dia hanya bertemu Adilangu. Dan menjelang ajalnya, Adilangu hanya memberikan satu kalimat tanpa penjelasan rinci. Tapi dari nada suaranya,Bayu bisa memastikan kalau Adilangu ingin menyerahkan kotak kayu tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan ikatan buntalan kain di bahu, lalu meletakkan benda itu didepannya. Sementara Rampita hanya memandangi! saja tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Terus terang, aku bukan dari Padepokan Tongkat Sakti. Dan aku sendiri tidak tahu, di mana Padepokan Tongkat Sakti itu," kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau ingin bertemu denganku?' tanya Rampita.
Bayu langsung menceritakan perjalanannya. Dari pertemuannya dengan Adilangu, hingga pemuda itu tewas di tangan laki-laki tua berjubah hitam yang mengaku bernama Sureng Rana atau berjuluk si Kobra Hitam. Sedikit pun Pendekar Pulau Neraka itu tidak mengurangi atau melebihkan ceritanya. Sementara Rampita hanya diam mendengarkan sampai pemuda berbaju kulit harimau itu menyelesaikan ceritanya. Untuk sementara keheningan menyelimuti mereka berdua.
"Pasti telah terjadi sesuatu, sehingga Ayah harus memberikan kotak pusaka itu padaku," ujar Rampita memecahkan keheningan.
Rampita turun dari atas batu yang didudukinya, kemudian berjalan menghampiri Bayu dan membungkuk mengambil buntalan kain di depan Pendekar Pulau Neraka itu. Gadis itu kemudian berbalik sambil membawa buntalan kain itu dan duduk kembali di tempatnya. Hati-hati sekali gadis itu membuka ikatan kain. Dikeluarkannya sebuah kotak kayu berukir yang sudah kelihatan tua, namun warnanya belum pudar. Rampita tersenyum begitu membuka tutup kotak kayu itu, kemudian menutupnya kembali dan meletakkan di sampingnya. Ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Kau tahu apa isi kotak kayu ini?" tanya Rampita.
"Tidak. Aku tidak membukanya sama sekali," jawab Bayu jujur.
"Hmmm..., sejak tadi aku belum mengetahui namamu. Siapa namamu?"
"Bayu."
"Ke mana tujuanmu setelah ini?" tanya Rampita lagi.
"Tidak ada tujuan. Aku pergi ke mana saja aku suka, mengikuti langkah kakiku."
"Baiklah. Aku berterima kasih karena kau sudah bersusah payah mengantarkan benda ini. Sebaiknya besok siang saja kau lanjutkan perjalananmu. Dan kau boleh menginap di sini, tapi tempatnya tidak layak."
"Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup."
"Hmmm...," Rampita tersenyum manis.
Pagi-pagi sekali Bayu sudah meninggalkan gua diPuncak Gunung Cakal. Sungguh aneh sekali! Puncak gunung ini kini tidak ada salju sedikit pun, tidak seperti kemarin. Tapi Bayu tidak ambil peduli. Bergegas ditinggalkannya tempat itu sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Sementara gadis cantik berbaju putih ketat yang mengaku bernama Rampita mengantarkan sampai di depan mulut gua.
Gadis itu mengangkat tangannya tinggi tinggi ke atas setelah bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu tidak terlihat lagi. Dan ketika jari-jari tangannya menjentik, mendadak saja bertiup angin kencang. Seketika seluruh puncak gunung ini berselimut kabut. Tak berapa lama saja, dari langit berhamburan benda-benda putih yang halus bagai kapas.
Dalam waktu tidak berapa lama, seluruh permukaan tanah di Puncak Gunung Cakal ini sudah terselimut salju. Sepanjang mata memandang hanya warna putih yang teriihat, bagai berada di ladang kapas yang sangat luas. Gadis itu menyunggingkan senyum, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam gua.
Dengan langkah yang sangat ringan, gadis yang mengaku bernama Rampita itu berjalan menyusuri gua tempat tinggalnya. Ayunan kakinya ringan sekali, namun terlihat cepat Karena telah sangat hafal dengan liku-liku gua ini. Maka dalam waktu tidak berapa lama saja dia sudah tiba di ruangan yang cukup luas dan diterangi cahaya api obor yang tidak kunjung padam. Gadis itu duduk kembali di batu pipih berwarna putih berkilat. Di ambil kotak kayu berukir dan dibuka tutupnya.
"Huh! Pasti pemuda itu yang mengambilnya!" dengus Rampita sambil menutup kotak itu.
Seketika dilemparkannya kotak itu, hingga hancur berkeping-keping begitu menghantam dinding gua. Wajah gadis itu memerah, dan bibirnya terkatup rapat. Gerahamnya bergemeletuk seakan menahan kemarahan. Matanya tajam memandangi kotak kayu berukir yang sudah hancur berkeping-keping. Kini tinggal kayu-kayu saja, tanpa ada satu benda lain.
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali gadis itu menepuk tangan, maka tidak lama kemudian dari mulut-mulut lorong gua bermunculan sekitar sepuluh orang wanita berpakaian putih-putih. Di pinggang mereka melilit sehelai selendang berwarna biru. Di punggung masing-masing tersampir sebilah pedang. Gadis-gadis itu berkumpul dan duduk bersila di depan Rampita.
"Dengar! Aku tidak akan banyak bicara. Hari ini juga kalian turun gunung dan bunuh laki laki bernama Bayu! Dia mengenakan baju kulit harimau, tanpa membawa senjata apa pun juga. Kalian jangan banyak tanya. Bunuh saja laki-laki itu dan hancurkan Padepokan Tongkat Sakti. Paham...!" tegas nada suara Rampita.
"Paham, Gusti Ayu...," sahut sepuluh gadis itu serempak.
"Berangkatlah sekarang!"
Tanpa ada yang membantah, sepuluh gadis berbaju putih itu bergegas pergi. Sedangkan Rampita masih tetap duduk di atas batu pipih. Ditariknya napas panjang setelah sepuluh orang gadis itu tidak terlihat lagi
"Beruang Putih, kemarilah!" seru Rampita keras.
"Grhauuughk...!"
Bersamaan terdengarnya gerungan keras, dari sebuah mulut gua di depan gadis itu muncul seekor beruang berbulu putih bagai kapas. Binatang bertubuh besar yang tingginya hampir menyamai pohon cemara itu mendekam di depan Rampita. Suara genangannya terdengar pelan, bahkan bisa dikatakan lirih.
"Sudah saatnya kita hancurkan Padepokan Tongkat Sakti, Beruang Putih," tegas Rampita seraya bergerak turun dari atas batu.
"Ghrrr...!" beruang putih hanya menggerung pelan.
"Ayo!"
Sekali lesatan saja, Rampita sudah duduk di punggung binatang raksasa itu. Kemudian beruang putih itu melompat meninggalkan tempat itu. Sungguh.cepat, bagai kilat. Dalam sekejap saja, binatang itu sudah lenyap di lorong gua menuju keluar.
Sementara itu Bayu baru saja sampai di Kaki Gunung Cakal. Pendekar Pulau Neraka itu menghenyakkan tubuhnya duduk di bawah sebatang pohon yang cukup rindang, sehingga melindungi dirinya dari sengatan cahaya matahari. Angin berhembus lembut, membuat kelopak mata Pendekar Pulau Neraka itu terasa berat. Kepalanya terangguk menahan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang dahsyat.
"Oaaah..., kenapa berat sekali mataku ini," keluh Bayu seraya menggosok-gosok matanya. Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa kantuk yang menyerang begitu dahsyat. Rasanya kantuknya tidak kuat lagi ditahan. Baru kali ini Pendekar Pulau Neraka mengalami kantuk demikian hebat. Padahal, semalaman dia tidur nyenyak dalam kehangatan gua.
"Uh! Aku merasa ada kelainan...," dengus Bayu. Mendapat pikiran demikian, Pendekar Pulau Neraka itu langsung saja menggerak gerakkan tangannya di depan dada. Kemudian diletakkan kedua tangannya di depan dada dengan tangan kanan berada di tangan kiri. Punggung telapak tangan menyatu rapat dan jari telunjuk mengacung ke atas.
"Ufh! Hsss...!" Bayu mengatur jalan napasnya. Pelahan namun pasti, Pendekar Pulau Neraka itu menyalurkan hawa murni ke seluruh urat syaraf. Dan perasaannya semakin yakin kalau ada yang tidak beres di tempat ini. Dirasakan adanya suatu perlawanan halus yang hampir tidak terasakan.
"Ilmu Sirep'...," desis,Bayu bisa mengenali adanya penyebaran suatu ilmu di sekitarnya. Pendekar Pulau Neraka itu menolehkan kepalanya ke kanan, dan tiba-tiba saja dihentakkan kedua tangannya ke samping kanan.
"Hiyaaa...!"
Satu hembusan angin keras muncul dari telapak tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan seketika itu juga sebatang pohon yang cukup besar tumbang terhantam pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Tepat saat pohon itu tumbang, berkelebat satu bayangan putih ke angkasa. Dan begitu Bayu melompat berdiri, dari balik pohon dan semak belukar bermunculan gadis-gadis berbaju putih mengenakan selendang biru pada pinggangnya. Gadis-gadis berwajah cantik itu langsung bergerak mengepung.
"Hmmm..., siapa kalian?" tanya Bayu seraya mengamati sepuluh gadis cantik yang kini sudah mengepungnya.
"Jangan banyak omong! Seraaang...!" salah seorang gadis berseru keras.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Seketika itu juga gadis cantik berbaju putih yang berjumlah sepuluh orang itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat dan tiba-tiba sekali, sehingga Bayu tidak sempat lagi menghalau. Bergegas diegoskan tubuhnya ketika salah seorang yang berada di depan melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
Dan belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu bisa menarik pulang tubuhnya, datang lagi serangan dari arah kiri. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang menghindari pukulan keras itu. Dan pada saat yang hampir bersamaan, seorang gadis yang berada di belakangnya melontarkan tendangan keras menggeledek Kali ini Bayu tak sempat lagi berkelit
Bughk!
"Ugh...!" Bayu melenguh pendek. Pendekar Pulau Neraka itu terhuyung ke depan. Pada saat itu satu pukulan kembali datang dari arah depan. Dan Bayu hanya bisa terpekik saat pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu menghantam telak dadanya. Tak ampun lagi, tubuh Pendekar Pulau Neraka itu terjungkal keras ke belakang, hingga bergulingan ditanah.
"Edan...!" dengus Bayu memalu. Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu bisa bangkit berdiri, salah seorang lawan sudah menghunus pedang dan membabatkan ke tubuhnya. Terpaksa Bayu harus bergulingan di tanah menghindari tebasan pedang itu. Pendekar Pulau Neraka benar-benar kewalahan, karena tidak diberi kesempatan sama sekali untuk bangkit berdiri. Hunjaman pedang datang silih berganti bagai hujan mengurung tubuhnya, sehingga terpaksa harus bergelimpangan menghindar.
"Keparat! Hih...!"
Darah Pendekar Pulau Neraka itu langsung mendidih. Tepat ketika sebatang pedang lawan mengarah ke dada, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua tangannya menjepit pedang itu kuat-kuat Dan pada saat pemilik pedang itu menghentakkan senjatanya, Bayu mempergunakan kesempatan yang hanya sedikit ini dengan baik. Tubuhnya dibuat ringan bagai kapas, sehingga ikut terpental naik.
Pada saat yang tepat dengan kecepatan bagai kilat Bayu melepaskan satu tendangan bertenaga dalam sempurna. Tendangan keras dan tiba-tiba itu tidak dapat terhindari lagi. Gadis yang pedangnya terkunci ditangan Pendekar Pulau Neraka itu kontan terpekik terkena tendangan keras bertenaga dalam sempurna.
"Akh...!" Gadis itu terpental jauh ke belakang sampai menabrak pohon. Bersamaan dengan itu, Bayu menjentikkan pedang yang dirampasnya. Seketika pedang itu meluncur deras ke arah gadis yang sedang melorot turun dengan punggung menempel pada batang pohon. Tak pelak lagi, pedang itu menancap di dadanya hingga tembus ke punggung.
"Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi itu mengejutkan kesembilan gadis lainnya. Mereka langsung berlompatan mundur, dan seketika terkejut melihat salah seorang temannya tewas dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Tubuh gadis itu tertahan di pohon, karena pedang itu tembus hingga menancap di pohon.
"Siapa kalian? Kenapa menyerangku...?" Pendekar Pulau Neraka mengambil kesempatan ini untuk bertanya.
Tak ada seorang pun dari sembilan gadis itu yang menjawab. Mereka hanya mendesis bagai ular. Tatapan mereka begitu tajam, memancarkan amarah yang menggelegak tak tertahankan lagi. Dan Bayu merasa tidak ada gunanya bertanya. Siapa pun gadis-gadis ini, pasti berniat hendak membunuhnya. Pendekar Pulau Neraka itu begitu yakin, karena tadi telah merasakan ilmu 'Sirep' yang hampir membuatnya tertidur.
"Seraaang...!" tiba-tiba salah seorang berteriak memberi perintah.
Sembilan orang gadis cantik berbaju putih itu kembali menyerang. Kali ini serangannya semakin dahsyat dan tidak mengenal kompromi lagi Tapi untuk kali ini persiapan Bayu sudah matang. Tubuhnya meliuk-liuk bagai belut menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang para pengeroyoknya. Kedua kakinya bergerak lincah mengimbangi gerakan tubuh.
Pertarungan yang sebenarnya tidak seimbang, tapi Pendekar Pulau Neraka bukanlah pemuda kosong. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, sehingga sukar diukur. Berbagai macam pola serangan telah dijalankan gadis-gadis berbaju putih itu, tapi tetap saja mengalami kesukaran mendesak pemuda itu. Bahkan beberapa kali mereka kelabakan menerima serangan balik Pendekar Pulau Neraka yang selalu datang tiba-tiba dan cepat luar biasa.
Trang!
Bayu menangkis satu sabetan pedang yang mengarah ke leher dengan pergelangan tangan kanannya. Gadis yang pedangnya beradu dengan pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu tampak meringis dan tangannya bergetar. Pada saat itu, Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan kecepatan luar biasa, pemuda berbaju kulit harimau itu melompat seraya melontarkan satu tendangan kilat menggeledek.
"Hiyaaat..!"
Des!
"Aaakh...!" gadis itu menjerit keras melengking. Satu tendangan saja sudah membuat lawannya terpelanting keras ke tanah. Dari mulutnya menyemburkan darah kental berwarna merah segar. Hanya sebentar mampu menggeliat, sesaat kemudian, gadis itu diam tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas dengan dada remuk terkena tendangan geledek bertenaga dalam sangat sempurna dari Pendekar Pulau Neraka itu.
Kematian seorang temannya lagi tidak menyurutkan tekad yang lainnya. Bahkan mereka malah semakin berang, dan terus melancarkan serangan gencar dan berbahaya. Pedang-pedang berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan, pemuda berbaju kulit harimau itu tidak punya kesempatan untuk menggunakan senjatanya yang terkenal dahsyat dan mematikan. Senjata ditangan kanan itu hanya bisa dipergunakan untuk menangkis pedang yang tak mungkin dihindari lagi.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Seketika itu juga pertarungan berhenti. Delapan orang gadis cantik berbaju putih yang semuanya menggenggam pedang terhunus berlompatan mundur. Dan mereka langsung menjatuhkan diri, dan berlutut ketika melihat seorang laki-laki bertubuh gemuk yang tingginya tidak lebih dari seorang bocah berusia sepuluh tahun. Laki-laki itu mengenakan jubah putih, sedangkan kepalanya gundul. Tapi seluruh wajahnya hampir tertutup kumis dan berewok tebal berwarna dua.
"Mundur kalian!" bentak laki-laki cebol itu. Suaranya terdengar besar dan berat sekali, namun nadanya penuh kewibawaan.
Delapan orang gadis cantik berbaju putih ketat itu bergegas bergerak mundur. Mereka segera berdiri dibelakang laki-laki cebol itu, dan serempak memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung. Sementara Bayu hanya berdiri tegak memandangi orang tua cebol itu. Keningnya berkerut, mencoba mengingat-ingat. Tapi rasanya belum pernah bertemu orang cebol seperti ini.
"Anak Muda, kenapa kau membantai murid-muridku?" tanya orang tua cebol itu dingin nada suaranya.
"Tanyakan saja pada mereka! Aku tidak mendahului, tapi merekalah yang memulai lebih dahulu!" jawab Bayu mendengus.
"Murid-muridku tidak akan pernah menyerang seseorang jika tidak didahului."
"Aku tidak akan menjawab! Kau bisa tanyakan sendiri pada mereka!"
Laki-laki tua cebol itu berbalik dan memandangi delapan orang gadis cantik yang langsung berlutut sambil menundukkan kepala. Sementara Bayu hanya diam saja, dan wajahnya tampak memberengut kesal.
"Benar kalian yang memulai?" tanya laki laki tua cebol itu dingin.
"Ampun, Eyang Banadu. Laki-laki ini telah mengotori tempat suci, dan mencoba mengganggu Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang gadis yang berada paling kanan.
"Dusta...!" bentak Bayu menahan geram.
Laki-laki tua cebol yang dipanggil Eyang Banadu membalikkan tubuhnya kembali. Ditatapnya tajam-tajam Pendekar Pulau Neraka itu. Pengaduan salah seorang gadis itu membuat wajah Bayu memerah bagai kepiting rebus, dan hanya bisa menggeram mendengar tuduhan tanpa bukti itu. Dia sendiri tidak mengenal gadis-gadis ini yang tiba-tiba saja menyerang tanpa bicara lagi.
"Kau mengatakan muridku berkata dusta. Itu sama artinya menghinaku, Anak Muda!" dengus Eyang Banadu.
"Huh! Guru dan murid sama saja!" dengus Bayu sengit. "Baik, apa keinginan kalian sebenarnya?"
Eyang Banadu terperangah mendapatkan tantangan begitu terbuka dari seorang pemuda yang baru berusia sekitar dua puluh tahunan lebih. Tapi orang tua cebol itu tersenyum, dan mendadak tertawa terbahak-bahak. Begitu lepas tawanya sehingga perutnya yang buncit terguncang-guncang.
Bayu jadi tertegun melihat sikap orang tua cebol itu, namun hanya diam saja dengan mata tajam tak berkedip. Meskipun orang tua cebol itu kelihatan tenang dan tertawa renyah, tapi Bayu tetap berwaspada. Bagaimanapun juga, seorang guru pasti memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bayu jadi teringat gurunya sendiri. Meskipun cacat, tapi ilmu olah kanuragannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya.
"Aku kagum atas keberanianmu, Anak Muda. Siapa namamu?" tanya Eyang Banadu.
"Bayu," sahut Bayu singkat
"Selama ini belum pernah aku bertemu seorang anak muda yang berani menantangku. Hm.... Anak muda, jika kau tidak keberatan, aku ingin sedikit bermain denganmu," halus sekali kata-kata Eyang Banadu, tapi maksudnya jelas dan tegas.
"Baiklah. Tapi maaf, apakah ini berarti kau berniat membela muridmu?"
"Ha ha ha.... Itu urusanku, Anak muda. Tapi kalau muridku bersalah, aku yang akan memberikan hukumannya. Dan jika kau memang bersalah, aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Paham...?!"
"Aku terima dengan baik."
"Bagus! Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Eyang Banadu melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka sambil melontarkan dua pukulan beruntun. Sementara Bayu yang memang sudah siap sejak tadi, langsung menggeser kaki ke samping sambil meliukkan tubuhnya untuk berkelit Serangan orang tua cebol itu hanya mengenai tempat kosong, tapi secepat kilat menyerang kembali sebelum Bayu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan orang tua cebol itu. Dan Bayu tidak punya kesempatan berkelit lagi. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kiri menyampok tendangan Eyang Banadu.
Des!
"Ikh...!" Eyang Banadu terperanjat. Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang beberapa tindak. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki anak muda berbaju kulit harimau itu luar biasa sekali. Persendian kakinya sampai nyeri, dan tulang-tulang kakinya bagai remuk.
"Bagus! Ternyata kau punya kemampuan juga, Anak Muda!" puji Eyang Banadu tulus.
"Terima kasih. Sekarang giliranku. Bersiaplah, yeaaah...!"
Setelah menyelesaikan perkataannya, Bayu langsung menggeser kakinya menyusur tanah menghampiri orang tua cebol itu. Dan secepat kilat dilepaskan satu pukulan bertenaga dalam sempurna. Eyang Banadu terperanjat. Buru buru dibuang tubuhnya ke samping menghindari serangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu menghentakkan kakinya sambil memutar tubuh dan bertumpu pada sebelah kakinya lagi.
"Hiyaaa...!"
Ufs...!" Kalau saja Eyang Banadu tidak cepat merunduk, barangkali kepalanya akan terpisah terkena sambaran kaki yang begitu keras bertenaga dalam sempurna. Namun demikian, orang tua cebol itu sempat juga terhuyung terkena sambaran angin tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan kedua tokoh tangguh itu terus berlangsung sengit. Semakin lama jurus-jurus dikeluarkan semakin dahsyat dan berbahaya. Kelengahan sedikit saja pasti berakibat dahsyat. Sementara delapan orang gadis berbaju putih hanya menyaksikan penuh ketegangan. Tentu saja mereka berharap agar gurunya dapat memenangkan pertarungan ini. Tapi sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda yang bakal terdesak. Kedua orang itu masih terus bertarung dalam irama tingkat tinggi
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa mereka sudah menghabiskan tidak kurang dari dua puluh jurus. Namun kelihatannya pertarungan belum akan cepat berakhir. Keduanya masih sama-sama tangguh, dan masih banyak memiliki jurus berbahaya. Hanya saja sampai sejauh ini, mereka tetap menggunakan tangan kosong, tanpa senjata sama sekali.
Bet!
Tepat pada jurus keempat puluh, Eyang Banadu melepaskan kalung untaian batu hitam yang dikenakannya, dan langsung dikebutkan ke arah kaki Bayu. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka melompat menghindari sabetan untaian batu hitam itu. Dua kali tubuhnya berputaran di udara sebelum hinggap atas sebongkah batu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Eyang Banadu melentingkan tubuhnya, langsung menghantamkan untaian kalung batu hitam itu pada Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika untaian kalung batu hitam hampir menghantam tubuhnya, Bayu melesat ke atas, sehingga kalung hitam itu hanya menghantam batu.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar tepat saat bongkahan batu sebesar kerbau hancur berantakan. Serpihan batu dan debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa. Bayu sampai terpana menyaksikan kedahsyatan senjata aneh orang tua cebol itu. Memang kalung hitam itu adalah senjata sangat dahsyat, sehingga mampu menghancurkan sebongkah batu sebesar badan kerbau.
Bayu buru-buru menyilangkan tangan kanan didepan dada begitu kakinya mendarat di tanah. Pada saat itu, Eyang Banadu sudah kembali melompat sambil mengayunkan untaian kalung hitamnya. Dan ketika orang tua cebol itu berada di udara, bagai kilat Bayu melompat sambil mengebutkan tangan kanannya.
"Hiyaaa...!"
Swing!
Dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu melesat sebuah benda berbentuk cakra bersegi enam. Cakra Maut itu melesat, melebihi sebatang anak panah lepas dari busur ke arah untaian kalung yang berada dalam genggaman tangan Eyang Banadu.
Cring!
"Akh...!" Eyang Banadu terpekik tertahan ketika Cakra Maut menghantam kalung hitamnya. Bahkan orang tua cebol itu sampai terpental ke belakang sejauh dua batang tombak, namun manis sekali berhasil mendarat dengan kedua kakinya. Pada saat yang sama, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya kembali ke depan begitu kakinya menyentuh tanah.
"Yeaaah...!"
"Uts!" Buru-buru Eyang Banadu berlompatan memutar tubuhnya ke belakang menghindari terjangan Cakra Maut bersegi enam itu. Tapi belum juga kakinya menyentuh tanah, Cakra Maut itu sudah menyerang kembali bagai kilat. Eyang Banadu terperangah. Buru-buru diegoskan tubuhnya mencoba menghindar. Namun....
Cras!
"Akh...!" lagi-lagi orang tua eebol itu memekik.
Ujung Cakra Maut berhasil merobek bahu kanan Eyang Banadu. Darah segar kontan muncrat keluar tak terbendung lagi Laki-laki cebol itu terhuyung kebelakang beberapa langkah. Ditekap bahunya yang terluka dengan tangannya. Sementara Bayu berdiri tegak dan mengangkat tangan kanannya. Seketika Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana, Orang Tua?" tanya Bayu.
"Kau hebat, Anak Muda. Kali ini aku mengaku kalah," sahut Eyang Banadu. "Tapi satu saat nanti, aku akan kembali menantangmu!"
"Aku tunggu tantanganmu, Orang Tua," sambut Bayu sambil tersenyum manis.
Eyang, Banadu langsung melesat pergi. Demikian pula delapan orang gadis cantik berbaju putih yang ikut meninggalkan tempat itu. Mereka pergi mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara Bayu hanya memandangi sambil tersenyum. Dalam hati diakui juga ketangguhan orang tua cebol itu.
Bayu tersentak bangun dari tidurnya ketika tiba-tiba mendengar suara pertarungan. Pendekar Pulau Neraka itu bergegas menggelinjang bangkit. Sebentar didongakkan kepalanya, mencoba mencari arah suara pertarungan itu. Dan begitu bisa menemukan arah suara itu, langsung melesat ke sana.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam sekejap saja sudah tiba di bagian Barat Lereng Gunung Cakal ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut saat melihat dua orang tengah bertarung sengit. Seorang laki-laki tua berbaju biru tua kehitam-hitaman tengah menggempur seorang gadis muda berwajah cantik.
Dari tongkat yang digunakan, Bayu sudah bisa mengenali kalau laki-laki tua itu adalah Sureng Rana atau berjuluk si Kobra Hitam. Sedangkan lawannya... Belum pernah Bayu melihatnya di sekitar Gunung Cakal ini. Tapi kelihatannya gadis berbaju hijau muda itu kewalahan menghadapi gempuran Sureng Rana. Bayu mengedarkan pandangannya ke selatan pertarungan. Tampak tidak kurang dari dua puluh orang bergelimpangan berlumuran darah.
"Akh...!" Bayu tersentak ketika tiba-tiba mendengar pekikan tertahan. Tampak gadis berbaju hijau muda terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada sebelah kiri bagian atas. Dan pada saat itu Sureng Rana sudah melompat sambil mengibaskan tongkat ular kobranya Sudah dapat dipastikan, gadis itu tak mungkin dapal berkelit lagi. Tapi....
Trak!
"He...!" Sureng Rana terkejut ketika tiba-tiba saja tongkatnya berbalik saat hampir menghantam kepala gadis itu.
Dan belum lagi keterkejutan Sureng Rana hilang, tahu-tahu di depan gadis berbaju hijau muda itu sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu menggenggam sebatang ranting kering yang besarnya tidak lebih dari sebesar jari. Dan panjangnya hanya sekitar lima jengkal saja.
"Bayu...," desis Sureng Rana mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Tidak jera-jeranya kau membantai orang, Kobra Hitam!" desis Bayu dingin.
"Heh...! Apa urusanmu, bocah? Minggir!" bentak Sureng Rana sengit.
"Sudah kukatakan, aku selalu berurusan dengan manusia kejam sepertimu!"
"Phuih! Kemarin kau boleh berbesar hati, bocah! Tapi sekarang jangan harap bisa lolos dari kematian!"
"Hidup dan matiku bukan di tanganmu, Kobra Hitam. Aku khawatir malah kaulah yang lebih dahulu ke neraka," dingin sekali nada suara Bayu.
Sureng Rana menggeram marah. Gerahamnya bergerut-gerut pertanda laki-laki tua bertongkat ular kobra itu tidak dapat lagi menahan amarahnya. Sementara Bayu sempat melirik gadis berbaju hijau muda di belakang agak ke samping. Gadis itu tampak duduk bersila, dan kedua tangannya merapat di depan dada. Melihat gadis itu sedang menjalankan semadi, Bayu menggeser kakinya lebih ke depan lagi.
"Hmmm.... Kau tidak membawa benda itu, Pendekar Pulau Neraka. Di mana kau sembunyikan kotak kayu itu?" suara Sureng Rana terdengar setengah menggumam.
"Sudah sampai pada pemiliknya" sahut Bayu kalem.
"Apa...?!" Sureng Rana terperanjat bukan main. Dan Pendekar Pulau Neraka juga berkerut keningnya. Tidak diduga kalau jawabannya akan membuat laki-laki tua bertongkat ular kobra itu demikian terperanjat. Bahkan matanya sampai mendelik bagai hendak mencelat keluar. Bayu melirik gadis berbaju hijau kembali ketika Sureng Rana menatap tajam pada gadis itu.
"Kau jangan main-main, bocah setan! Kepada siapa kau berikan kotak kayu itu?" dengus Sureng Rana menggeram.
"Sudah kukatakan pada pemiliknya! Apa masih kurang percaya pada kata-kataku?" bentak Bayu mulai sengit.
"Bocah! Kau tahu Siapa itu Rampita?" tanya Sureng Rana.
Bayu tidak langsung menjawab. Pertanyaan Sureng Rana dianggapnya aneh dan terlalu mengada-ada. Tapi kening Pendekar Pulau Neraka itu berkerut juga.
"Hh! Aku yakin, kau juga berminat memiliki benda itu, Anak Muda. Baiklah. Jika demikian, kau harus berhadapan denganku!" desis Sureng Rana.
Setelah berkata demikian, Sureng Rana langsung memutar tongkatnya. Begitu cepat putaran tongkat itu, sehingga yang terlihat hanya bulatan hitam membentuk tameng di depan laki-laki tua itu. Dan Bayu langsung bersiap. Digeser kakinya sedikit Matanya tajam tak berkedip memperhatikan setiap gerak yang dilakukan si Kobra Hitam.
"Tahan seranganku! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat dan tongkatnya terus diputar-putar bagai baling-baling. Bayu yang sudah siap sejak tadi, bergegas menggeser kakinya ke samping sejauh lima langkah. Seketika dimiringkan tubuhnya menghindari sabetan tongkat yang berputar kencang itu.
"Uts!"
Angin putaran tongkat hitam itu demikian keras, sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka sedikit terhuyung. Tapi cepat-cepat pemuda berbaju kulit harimau itu menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan seketika itu juga dikibaskan tangan kanannya sambil melompat mundur beberapa tindak.
Tampak satu kilatan keemasan melesat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Ternyata pemuda berbaju kulit harimau itu sudah melepaskan senjata Cakra Mautnya. Senjata bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing melengkung itu, tepat menghantam bagian tengah putaran tongkat si Kobra Hitam.
Trang!
"Akh...!"
Seketika itu juga putaran tongkat berhenti bersamaan terdengarnya pekikan tertahan. Dan Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Seketika Cakra Maut kembali melekat di pergelangan tangan kanannya.
"Keparat..!" desis Sureng Rana menggeram. Tampak darah mengucur dari jari-jari tangan yang menggenggam tongkat berbentuk ular kobra mengembang. Ternyata Cakra Maut bukan hanya menghentikan putaran tongkat itu, tapi juga berhasil melukai tangan pemiliknya.
"Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" dengus Bayu dingin.
"Phuih!" Sureng Rana menyemburkan ludahnya. Tanpa mempedulikan luka pada tangannya, laki-laki tua itu kembali menggerak-gerakkan tongkatnya, membuka jurus-jurus penyerangan. Dan Bayu kembali siap dengan tangan melipat di depan dada. Matanya sangat tajam memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan si Kobra Hitam itu.
"Mampus kau, bocah keparat! Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras, Sureng Rana melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tongkatnya dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sungguh dahsyat luar biasa! Setiap kali tongkat itu dikebutkan menimbulkan suara angin menderu bagai terjadi badai.
"Hup...!"
Sungguh manis gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka saat menghindari setiap serangan si Kobra Hitam. Tubuhnya meliuk-liuk seperti karet, diimbangi gerakan kaki yang lincah dan cepat namun terasa ringan. Bahkan telapak kaki pemuda berbaju kulit harimau itu seperti tidak menyentuh tanah.
"Hiya! Yeaaah...!"
Sureng Rana semakin berang melihat lawannya yang masih berusia muda seperti mempermainkan. Sudah lebih dari lima jurus dikerahkan, tapi tak satu pun Bayu balas menyerang. Pendekar Pulau Neraka itu hanya berkelit dan menghindar sambil terus bergerak mundur menjauhi gadis berbaju hijau muda yang masih bersemadi. Hal ini memang disengaja, agar Sureng Rana tidak bermain licik. Bayu tahu betul watak orang golongan hitam macam Sureng Rana ini.
"Aku masih memberimu kesempatan, Sureng Rana!" seru Bayu seraya memiringkan tubuhnya menghindari tebasan tongkat si Kobra Hitam.
"Phuih! Mampus kau, keparat..!"
Sureng Rana semakin sengit. Giginya bergemeletuk tak dapat lagi menahan amarah. Wajah tua keriput itu jadi memerah, dan matanya liar bernyala-nyala bagai sepasang bola api. Serangan-serangan yang dilakukan semakin terlihat berbahaya. Bahkan kini Bayu tampak kerepotan menghindarinya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka itu mengendus dan gerahamnya menggeretak, tapi masih berusaha mengendalikan diri.
Namun menghadapi kenyataan bahwa Sureng Rana tidak lagi bermain-main dan ingin membunuhnya, Bayu tak dapat lagi mengekang diri. Darahnya seketika menggelegak ketika satu pukulan keras lawan bersarang di punggung dan membuatnya tersuruk jatuh mencium tanah.
Saat berada di tanah, kemarahan Bayu langsung mencapai puncak. Sureng Rana malah mencecarnya habis-habisan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka itu bergulingan menghindari setiap tebasan dan tusukan tongkat berbentuk ular kobra berwarna hitam kelam itu. Hingga pada satu tusukan yang tepat mengarah ke dada, Bayu tidak berusaha menghindar. Dan tepat ketika ujung tongkat si Kobra Hitam hampir mencapai dadanya, cepat bagai kilat Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua telapak tangannya untuk menjepit ujung tongkat yang runcing itu.
Tap!
"Hup!"
Sungguh cerdik Pendekar Pulau Neraka. Tepat pada saat Sureng Rana menghentakkan tongkat, diringankan tubuhnya sehingga ikut terbawa naik dan melenting ke udara. Pada saat itu Bayu menghentakkan tangannya melepaskan jepitan pada tongkat itu. Dan tanpa diduga sama sekali kakinya melayang deras ke arah punggung si Kobra Hitam.
Des!
"Akh..!" Sureng Rana terpekik tertahan. Sepakan kaki Bayu tepat menghantam punggungnya. Untung saja Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga Sureng Rana hanya sempat terdorong ke depan beberapa langkah. Tapi bibirnya meringis juga menahan sakit pada punggungnya.
"Yaaah...!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana cepat memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkat ular kobra itu diputar untuk menyampok kaki Pendekar Pulau Neraka yang baru saja mendarat di tanah.
"Uts! Hup...!"
Terpaksa Bayu melentingkan tubuhnya kembali ke udara. Pada saat yang sama, Sureng Rana menghentakkan tangan kirinya ke atas. Seketika dari tangannya keluar benda bulat hitam yang meluncur bagai kilat ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Wusss!
"Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain lagi bagi Bayu yang berada di udara. Sambil memutar tubuhnya yang berjumpalitan, dihentakkan tangan kanannya. Seketika itu. juga Cakra Maut melesat menyambut benda hitam yang dilontarkan Sureng Rana.
Glaaarrr...!
Ledakan keras terjadi ketika dua benda dahsyat beradu di udara. Tampak asap tebal menyebar disertai percikan bunga api. Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas ketika kakinya mendarat di tanah. Maka Cakra Maut itu kembali melesat balik dan menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Namun secepat itu pula Bayu menghentakkan tangannya kembali dengan tubuh membungkuk agak miring ke kiri.
"Yeaaah...!"
Wut!
Cakra Maut kembali melesat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Lesatannya demikian cepat, melebihi lesatan anak panah lepas dari busur. Hal ini membuat Sureng Rana terperangah. Buru-buru dikibaskan tongkatnya menyampok senjata cakra bersegi enam itu.
Trang!
Satu benturan keras terjadi.
"Akh...!" lagi-lagi Sureng Rana terpekik. Laki-laki tua itu terdorong ke belakang beberapa tindak. Tampak tangannya bergetar dan wajahnya agak memucat. Sedangkan bibirnya bergetar, dan matanya membeliak lebar. Si Kobra Hitam itu hampir tidak percaya kalau tenaga dalamnya masih di bawah pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi Sureng Rana tidak sempat berpikir jauh lagi. Karena, Cakra Maut yang masih berada di udara cepat berputar bagai memiliki mata, dan langsung menyambar ke arah kepala laki-laki tua itu.
"Uts!"
Buru-buru Sureng Rana merundukkan kepalanya, maka Cakra Maut bersegi enam itu lewat sedikit di atas kepalanya. Tapi ikat kepala laki-laki itu sempat terbabat dan lepas terbawa angin lesatan Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka. Bahkan Sureng Rana sampai memegangi kepalanya. Laki-laki tua itu tak bisa lagi berpikir, karena Cakra Maut sudah kembali berbalik dan menyerangnya. Namun matanya sempat melirik ke arah Bayu yang tengah menggerak-gerakkan tangannya mengendalikan senjata andalan itu.
"Yeaaah...!"
Sambil mengecutkan tongkatnya untuk menyampok senjata Cakra Maut bersegi enam itu, Sureng Rana melesat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Kaki kirinya terhentak memberi tendangan keras ke arah kepala.
"Yaaah...!"
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Ternyata Bayu tidak berkelit sedikit pun. Bahkan dengan sigapnya diangkat kedua tangannya menyilang di atas kepala, sehingga tendangan kaki si Kobra Hitam menghantam tangan pendekar Pulau Neraka.
Tepat ketika terjadi benturan keras, Bayu memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah, disangga oleh kedua tangannya. Lalu kaki Pendekar Pulau Neraka menghentak keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Satu serangan balik yang meminjam tenaga lawan itu sungguh tidak terduga sama sekali. Dan....
Des!
"Aaakh...!" Sureng Rana terpekik keras. Sepasang telapak kaki Pendekar Pulau Neraka tepat menjejak perut si Kobra Hitam. Begitu kerasnya, sehingga orang tua bertongkat ular kobra itu terpental deras dan jauh. Luncuran tubuhnya baru berhenti setelah menghantam sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping
Sementara Bayu tidak ingin menunggu lama lagi. Segera diangkat tangannya, maka Cakra Maut yang sejak tadi melayang-layang di udara langsung melesat balik. Begitu senjata bersegi enam itu melekat di pergelangan tangan. Dengan cepat Bayu menghentakkan kembali ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Seketika Cakra Maut kembali melesat dengan kecepatan luar biasa. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu meluruk deras ke arah si Kobra Hitam yang tengah berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga laki-laki tua itu mampu berdiri tegak, Cakra Maut sudah menghantam dadanya.
Crab!
"Aaa...!" kembali Sureng Rana menjerit keras. Sebentar laki-laki tua itu masih mampu berdiri, tapi sesaat kemudian ambruk ke tanah berkelojotan. Begitu Cakra Maut yang terbenam dalam dada Sureng Rana keluar balik pada pemiliknya, darah langsung muncrat dari dada yang terbelah itu.
Bayu berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada. Senjata saktinya kini sudah kembali menempel dipergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sesaat dipandanginya si Kobra Hitam yang menggelepar meregang nyawa. Memang tak ada seorang pun yang tahan jika terhunjam senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Demikian pula nasib Sureng Rana. Dia tewas dengan dada berlubang berlumuran darah segar.
Bayu mengalihkan pandangannya ke arah gadis berbaju hijau muda yang masih duduk bersila meskipun tidak lagi bersemadi. Wajah gadis itu tampak pucat. Malah pandangan matanya begitu sayu bagai tak memiliki gairah hidup. Bayu menghampiri, lalu duduk di depan gadis itu. Sebentar dipandanginya wajah gadis itu, kemudian pandangannya beralih pada dada sebelah kiri atas, tempat terdapatnya luka memar menghitam sebesar kepalan tangan.
"Kau terluka, Nisanak," ujar Bayu pelahan.
"Hanya sedikit Sebentar lagi juga hilang," sahut gadis itu seraya mencoba tersenyum. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku."
"Lupakan itu. Tampaknya kau membutuhkan pertolongan."
Gadis berbaju hijau itu mencoba tersenyum, tapi tiba-tiba berubah jadi meringis seperti menahan sakit Bayu menggeser duduknya lebih mendekat, lalu menjulurkan tangannya ke arah noda hitam sebesar kepalan tangan di dada kiri gadis itu.
"Maaf," ucap Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan telapak tangannya di dada kiri gadis berbaju hijau. Kelopak mata gadis itu terpejam, seraya menggigit-gigit bibirnya sendiri. Sementara Bayu terus menatap tangannya yang menutup noda hitam di dada kiri itu. Tampak wajah Pendekar Pulau Neraka kelihatan menegang dan memerah, lalu seluruh tubuhnya bergetar bagai tersengat lebah.
"Hoek...!" Gadis berbaju hijau muda itu tiba-tiba memuntahkan segumpal darah kental berwarna hitam pekat Wajahnya semakin memucat. Namun Bayu tepat menekan dada kiri gadis itu kuat-kuat. Asap tipis mengepul dari sela-sela jari Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayu berteriak keras. Dan seketika itu juga dihentakkan tangannya, dan langsung ditarik kembali. Tubuh gadis itu berguncang hebat, dan kembali memuntahkan darah. Kali ini berwarna merah, namun masih ada sedikit gumpalan kehitaman.
"Hsss...!" Bayu menarik napas dalam-dalam melalui mulut. Tangan kanannya terbuka sejajar dada. Sedangkan tangan kiri terkepal sejajar pinggangnya. Tatapan matanya masih terlihat tajam. Dan kembali Pendekar Pulau Neraka itu berteriak keras. Dengan cepat dada kiri gadis itu digedor, dan secepat itu pula ditarik kembali tangannya. Tampak tubuh gadis itu berguncang hebat lalu memekik tertahan.
"Akh! Hoeeek....'"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang melihat muntahan yang sudah bersih. Muntahan yang ketiga kali ini hanya berupa darah.
"Ohhh...," gadis itu merintih lirih.
"Jika tidak segera dikeluarkan, racun itu bisa merusak seluruh jaringan urat syaraf mu. Hhh.... Untung saja belum merambat sampai ke pembuluh darah," jelas Bayu.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa keluar dari mulut gadis ini.
"Sebentar lagi kau akan pulih kembali," jelas Bayu lagi:
Gadis itu hanya tersenyum saja. Bayu menggeser duduknya menjauh. Diperhatikannya gadis itu yang kini sedang bersemadi untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Hanya sebentar saja gadis itu bersemadi, dan kini wajahnya sudah kembali segar. Belahan pipinya kembali diwarnai rona merah. Bibirnya tersenyum seakan-akan hendak mengucapkan terima kasih sekali lagi pada pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi tampaknya gadis itu tahu kalau pemuda di depannya tidak memerlukan ucapan terima kasih.
"Kenapa kau menolongku?" tanya gadis itu kemudian.
"Karena kau butuh pertolongan," sahut Bayu kalem.
Kembali gadis itu tersenyum manis.
"Boleh aku tahu, kenapa kau bisa bentrok dengan si Kobra Hitam?" tanya Bayu.
"Hhh..., sudah lama Sureng Rana jadi musuh besar keluargaku. Entah kenapa dia selalu menginginkan kotak kayu yang disimpan Ayah," desah gadis itu pelan.
"Kotak kayu...?" Bayu tersentak kaget.
"Iya, kenapa? Tampaknya kau terkejut..."
"Oh! Apakah...," suara Bayu terputus, lalu mendesah menghembuskan napas panjang. Pendekar Pulau Neraka itu mengamati wajah gadis di depannya dalam-dalam. Mendapat pandangan seperti itu, gadis berbaju hijau itu menjadi jengah juga. Wajahnya bersemu merah, dan bola matanya berputar. Hanya saja dia tidak ingin memalingkan ke arah lain, meskipun hatinya berdetak kencang
"Nisanak! Boleh aku tahu namamu?" pinta Bayu.
"Tentu saja boleh. Namaku Rampita," jawab gadis itu senang hati.
"Ohhh...," Bayu mendesah panjang sambil menepak keningnya.
"Eh! Kau kenapa...?" tanya gadis yang mengaku bernama Rampita itu tidak mengerti akan tingkah pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Ah! Kenapa ada dua Rampita di dunia ini...?" keluh Bayu.
Rampita benar-benar tak mengerti mendengar keluhan pemuda berbaju kulit harimau itu. Kini malah berbalik, dia yang kini memandangi wajah tampan di depannya. Sedangkan Bayu hanya mendongakkan kepala, dan beberapa kali menghembuskan napas panjang.
"Kisanak...," sapa Rampita, pelan suaranya.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu memperkenalkan diri.
"Hm..., tampaknya kau kebingungan. Ada apa? Kenapa mengatakan ada dua Rampita?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Hhh..., sukar dijelaskan. Aku jadi tidak mengerti, apakah kau ini memang Rampita atau malah hanya mengaku-aku saja. Tapi aku juga tidak yakin kalau dia benar," ujar Bayu terdengar mengeluh.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki...?"
"Bayu."
"Oh, iya. Hmmm..., boleh memanggilmu Kakang Bayu? Kelihatannya kau lebih tua usianya dariku."
"Boleh saja."
"Hm..., Kakang. Siapa yang dimaksudkan dengan Rampita satunya lagi?" gadis berbaju hijau muda itu mengulangi, pertanyaannya.
"Hhh...! Sukar mengatakannya...," desah Bayu lirih.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka itu menceritakan semua yang dialami. Mulai dari pertemuannya dengan Adilangu yang telah berpesan sebelum ajal menjemput, sampai pertemuannya dengan seorang gadis yang tinggal di Puncak Gunung Cakal. Gadis itu juga mengaku bernama Rampita. Saat itu Bayu percaya saja dan menyerahkan kotak kayu yang diamanatkan Adilangu padanya.
"Hm..., aku tahu kini. Kau pasti bertemu Seruni si Gadis Salju," gumam Rampita setelah Bayu menyelesaikan ceritanya.
"Oh! Kalau begitu, aku telah salah memberi kotak yang diamanatkan Adilangu," lagi-lagi Bayu mengeluh.
"Bukan salahmu, Kakang. Aku bisa mengerti. Seruni memang mengetahui persis keluargaku. Makanya tidak ada kesulitan baginya untuk mengelabuimu," ujar Rampita membesarkan hati Pendekar Pulau Neraka.
"Rampita. Boleh aku tahu, kenapa mereka menginginkan kotak kayu itu?" pinta Bayu.
"Aku sendiri tidak tahu, Kakang. Kotak kayu itu sudah ada sebelum aku lahir. Yaaah..., yang kuketahui, hanya si Kobra Hitam saja yang begitu ingin menguasainya. Sedangkan Ayah selalu mempertahankan. Sudah bertahun tahun si Kobra Hitam mencoba merebutnya, tapi baru sekarang rupanya berhasil membunuh ayahku. Untung saja dia tidak berhasil menguasai kotak kayu itu," ujar Rampita memberitahu.
"Oh, jadi ayahmu sudah...?" Bayu tidak meneruskan pertanyaannya.
"Mereka yang memberitahu," jelas Rampita seraya menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan. Bayu memandangi mayat mayat itu.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Mereka adalah murid setia ayahku yang sengaja meninggalkan Padepokan Tongkat Sakti untuk menemuiku di sini. Mereka juga mengatakan kalau Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur oleh gerombolan Barong Codet"
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Gerombolan Barong Codet memang pernah didengarnya dari Adilangu. Bahkan Pendekar Pulau Neraka sempat menyelamatkan pemuda itu dari cengkeraman tangan iblis si Barong Codet. Meskipun tidak sempat bentrok, karena saat itu keadaan Adilangu cukup gawat.
"Rampita. Kalau boleh tahu, kenapa kau tinggal disini dan tidak bersama-sama ayahmu?" tanya Bayu jadi ingin tahu lebih banyak lagi.
"Ayahku yang menghendaki. Aku tinggal tidak jauh dari sini, bersama Paman dan Bibi. Tapi mereka sudah meninggal. Bibi lebih dahulu meninggal. Dan setahun kemudian, Paman menyusul. Sebenarnya ayahku ingin mengambilku kembali, tapi aku menolak. Aku lebih senang tinggal di tempat sunyi seperti ini sambil memperdalam ilmu yang kumiliki."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Rampita.
"Kau tidak ingin merebut kembali warisan ayahmu?"
"Mungkin tidak. Biarlah Seruni yang memilikinya."
"Aneh sekali...," gumam Bayu tidak mengerti sikap gadis ini.
"Tidak ada yang aneh, Kakang. Bagiku benda itu hanya membawa malapetaka saja. Aku bisa merebutnya kembali dari tangan Seruni. Tapi, apakah itu akan menyelesaikan masalah? Tidak, Kakang. Malah menurutku akan menimbulkan masalah baru lagi. Bukannya tidak mungkin mereka akan mengejarku untuk merebut kotak itu. Bahkan guru Seruni pasti ikut campur tangan."
Bayu terdiam membisu. Secara jujur memang diakui kebenaran kata-kata Rampita. Sudah banyak darah tertumpah hanya karena memperebutkan sebuah benda yang dianggap memiliki pamor dahsyat. Bahkan seluruh orang rimba persilatan mempermasalahkannya. Sebagian besar dari mereka, bentrok hanya karena memperebutkan sebuah benda pusaka.
Tapi Bayu juga tidak menyetujui sikap gadis ini, yang kelihatannya menunjukkan kurang berbakti pada orang tua. Tidak seharusnya Rampita menyepelekan sebuah benda peninggalan orang tuanya. Sesuatu yang menjadi keramat dan diwasiatkan sudah selayaknya dipertahankannya, meskipun dengan darah dan nyawa. Tapi Rampita sepertinya tidak ambil peduli, walaupun sudah mempunyai pegangan hidup yang diyakini memiliki kebenaran.
"Rampita, apakah kau tidak berhasrat membalas kematian ayahmu?" tanyai Bayu jadi ingin lebih tahu lagi tentang gadis ini.
"Untuk apa? Orang yang membunuh ayahku sudah tewas, meskipun bukan dengan tanganku sendiri," jawab Rampita tegas.
"Lalu bagaimana dengan pedepokan ayahmu?"
"Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur. Murid-murid yang tersisa pun sudah tewas semuanya di sini. Untuk apa mempersoalkannya lagi? Maaf, Kakang. Dendam tidak akan menyelesaikan semua persoalan. Bahkan akan melahirkan dendam baru yang tidak akan berhenti sampai salah satu pihak musnah tanpa meninggalkan keturunan lagi."
"Bukan maksudku menyuruhmu membalas dendam. Tapi paling tidak kau bisa membangun Padepokan Tongkat Sakti kembali."
"Ah! Rasanya aku lebih suka hidup begini. Kehidupan yang damai, menyatu dengan alam dan mendekatkan diri pada Hyang Widi. Rasanya hidup seperti itu lebih nikmat daripada harus selalu cemas dan bergelimang darah," kembali Rampita mengemukakan prinsip hidupnya.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Tidak ada hak baginya untuk mempengaruhi gadis ini. Gaya hidup yang diinginkan memang berbeda jauh dengan dirinya. Sampai sekarang Pendekar Pulau Neraka masih terus mencari pembunuh-pembunuh ayahnya. Bahkan sampai sekarang belum diyakini kalau ibunya tewas. Bayu percaya kalau ibunya masih hidup dan sekarang berada di suatu tempat.
Dua hari lamanya Bayu tinggal di sebuah pondok kecil milik Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu mengakui kalau cara hidup yang dijalankan gadis ini sungguh damai. Jauh dari persoalan-persoalan duniawi yang menyeret ke arah napsu keserakahan jika tidak bisa mengendalikan diri. Tapi Bayu tidak mungkin bisa hidup seperti ini sebelum bertemu ibunya.
Pagi-pagi sekali Pendekar Pulau Neraka sudah bersiap-siap hendak meninggalkan tempat ini. Dengan ayunan kaki tenang, dia keluar dari pondok kecil ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu menghirup napas dalam-dalam saat berada di luar pondok. Masih terlalu gelap, matahari juga belum menampakkan sinarnya. Namun suara kokok dan kicauan burung sudah menyemarakkan sekelilingnya.
"Hmmm..., indah sekali...," desahan halus terucap dari bibir Bayu.
"Tidak akan indah jika seperti ini...!" tiba tiba terdengar sahutan dari arah samping kanan.
Bayu memalingkan muka ke arah suara itu. Dan seketika matanya terbeliak begitu melihat Rampita terikat dalam posisi terbalik di pohon. Kedua kakinya terikat menyatu berada di atas sedangkan kepalanya terjuntai ke bawah. Di dekat gadis itu berdiri seorang gadis cantik berbaju putih. Di belakangnya tampak seekor beruang berbulu putih yang sangat besar, mendekam di bawah pohon.
"Rampita...," desis Bayu. "Heh! Apa yang kau lakukan pada Rampita?!"
"Heh! Jika kau ingin dia selamat, serahkan Bunga Cubung Biru padaku!" dingin sekali suara gadis berbaju putih itu. Gadis muda itu memang pernah bertemu Bayu, dan mengaku bernama Rampita. Padahal sebenarnya bernama Seruni, yang dikenal berjuluk Gadis Salju.
"Kakang..., turuti saja keinginannya," celetuk Rampita pelan.
Bayu masih terdiam. Ditatapnya dalam-dalam Rampita yang tengah tergantung terbalik dengan kepala berada di bawah. Wajah gadis itu memerah, tapi bukan karena marah. Memang, dalam posisi seperti itu, darah tak seimbang lagi mengalir. Bayu heran juga mendengar perkataan Rampita.
Gadis ini seolah-olah pasrah, dan tidak sedikit pun mencoba memberontak. Padahal, kalau mau mudah saja baginya melepaskan diri. Toh, kedua tangannya bebas tak terbelenggu. Sedangkan Rampita menatap Bayu, namun sinar matanya penuh permohonan agar Pendekar Pulau Neraka itu suka menuruti permintaan Seruni.
"Rampita...," desah Bayu pelahan tanpa sadar.
"Penuhi saja permintaannya, Kakang," kata Rampita lirih.
"Tapi..., tapi aku tidak tahu apa yang diinginkannya...?!" Bayu benar-benar tidak mengerti.
"Jangan pura-pura bodoh, Bayu!" bentak Seruni sengit. "Aku tahu, Bunga Cubung Biru ada padamu. Cepat serahkan! Kau tidak berhak memilikinya!"
"Bunga Cubung Biru...?! Apa lagi yang dikatakannya, Rampita?" Bayu semakin kebingungan tidak mengerti.
Rampita hanya diam saja. Ditatapnya dalam-dalam pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Bayu sendiri tampak seperti orang bodoh. Sebentar dipandangi Rampita, sebentar kemudian beralih pada Seruni yang berkacak pinggang dengan mata mendelik marah tidak sabaran. Saat semuanya sedang terdiam, mendadak saja....
"Yeaaah...!"
Bayu dan Seruni tersentak kaget begitu tiba-tiba Rampita berteriak keras. Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat ke udara. Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu ikatan tambang di kaki gadis itu terlepas. Dan bahkan dia telah mendarat di samping kanan Pendekar Pulau Neraka sebelum ada yang menyadari apa yang baru saja terjadi.
Bayu memandangi Rampita sebentar, kemudian beralih ke arah tambang yang masih tergantung dipohon. Ikatan tambang itu masih tetap seperti semula. Tidak ada yang berubah, dan malah tambang itu tidak putus. Kembali Pendekar Pulau Neraka itu memandangi gadis di sampingnya. Sedangkan yang dipandangi melangkah maju tiga tindak
"Tidak ada gunanya terus mendesak, Seruni. Aku yakin Kakang Bayu tidak memiliki yang kau cari," tegas Rampita. Nada suaranya datar dan terasa dingin.
"Huh!" Seruni hanya mendengus saja.
"Pergilah, Seruni. Cari Bunga Cubung Biru untukmu sendiri," kata Rampita lagi.
"Kau pikir aku akan percaya begitu saja padamu, Rampita? Kalian pasti sudah bekerja sama!" dengus Seruni ketus.
"Seruni..., apakah kau sudah tidak percaya lagi padaku? Sama sekali aku tidak memiliki Bunga Cubung Biru. Lagi pula sudah kukatakan kalau aku tidak ingin memilikinya. Biarlah kau saja yang memilikinya. Aku rela."
"Kata-katamu selalu manis, Rampita. Pantas saja Ayah selalu berpihak padamu!"
"Jangan lagi melibatkan Ayah, Seruni. Biarkan Ayah tenang di alam kubur," agak dingin nada suara Rampita.
"Akan kugali kuburannya!"
"Seruni...!" sentak Rampita terkejut.
Tapi sebelum Rampita bisa berkata lagi, Seruni sudah melesat pergi. Sedangkan beruang putih ikut melompat sambil meraung keras menggelegar. Rampita ingin mengejar, tapi segera diurungkan niatnya begitu mendengar panggilan lembut Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu membalikkan tubuhnya, langsung menatap bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Tidak akan kubiarkan dia melakukan hal itu, Kakang," tegas Rampita.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Bayu.
"Kalau sampai kuburan Ayah benar-benar dibongkar, aku tidak peduli lagi siapa dia!" desis Rampita setengah menggeram.
Bayu diam dengan mata tajam memandang wajah cantik di depannya. Banyak yang ingin diketahuinya, tapi melihat sorot mata Rampita begitu tajam, Bayu mengurungkan keinginannya. Meskipun rasa penasaran menyelimuti seluruh hatinya. Betapa tidak? Sikap Rampita terasa begitu aneh, bahkan sukar diterima akal sehat Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langka kaki gadis itu. Disejajarkan langkahnya di samping Rampita yang berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Agak terkejut juga Pendekar Pulau Neraka itu saat menyadari ilmu meringankan tubuh Rampita begitu tinggi, sehingga perlu juga diimbangi. Sebentar saja mereka sudah jauh meninggalkan pondok kecil tempat tinggal gadis itu.
"Rampita, bisa aku bicara padamu?" pinta Bayu tidak bisa lagi menahan rasa keingintahuannya.
"Bicaralah," jawab Rampita tanpa mengendorkan kecepatan jalannya.
"Tolong jelaskan, apa sebenarnya yang terjadi?" pinta Bayu berharap. Pendekar Pulau Neraka memang paling tidak betah jika dihadapkan pada persoalan yang mengandung teka-teki seperti ini.
Berhadapan dengan manusia-manusia aneh yang memiliki tingkah polah yang sukar dimengerti, memang bukanlah pengalaman yang mengenakkan. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sama sekali tidak menyukai hal ini. Dia paling benci terhadap segala macam teka-teki yang membuat kepalanya berdenyut. Bahkan membuat hatinya terus diselimuti berbagai macam pertanyaan dan rasa penasaran.
"Untuk apa? Kau sendiri sudah tahu," Rampita menanggapi ringan.
Bayu menghentikan langkahnya. Dan Rampita juga ikut berhenti. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling melemparkan pandang. Pelahan namun pasti, Rampita memalingkan mukanya ke arah lain. Entah kenapa, hatinya selalu bergetar jika bertemu pandang dengan pemuda ini. Suatu perasaan yang belum pernah terjadi pada dirinya. Tapi Rampita tidak ingin memanjakan perasaannya. Gadis itu selalu saja bisa menghalau, meskipun sering kali timbul selama Pendekar Pulau Neraka ini masih terlihat, dan begitu dekat di sampingnya.
"Terus terang, aku sebenarnya tidak ingin terlibat. Tapi sukar bagiku untuk menghindarinya. Masih banyak yang belum kuketahui tentang semua ini, Rampita," tutur Bayu berterus terang.
"Apa lagi yang ingin kau ketahui?" tanya Rampita.
"Banyak. Terutama tentang kotak kayu, Bunga Cubung Biru, kau, dan mereka yang menginginkan kotak itu," tegas Bayu.
"Hm..., jadi selama ini apa saja yang kau ketahui?" Rampita malah bertanya terus.
"Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja diriku terlibat dalam masalah yang aku sendiri tidak bisa memahami. Dan semua yang kuketahui kuceritakan padamu."
Rampita tersenyum manis. Diayunkan kakinya pelahan. Sebentar Bayu memandangi Rampita, dan sempat menelan bulat-bulat senyuman manis gadis itu. Kemudian Pendekar Pulau Neraka ikut melangkah dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping gadis berbaju hijau muda itu.
"Rampita, apa sebenarnya yang sedang diperebutkan?" tanya Bayu.
"Kotak kayu yang berisi Bunga Cubung Biru," sahut Rampita tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"Apa itu?"
"Hanya sekuntum bunga yang hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Bunga itu tidak akan layu atau rusak selama tidak ada yang merusaknya. Begitu banyak gunanya, sehingga banyak orang yang menginginkan. Mereka bersedia mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan bunga itu," jelas Rampita.
"Kau tahu apa keistimewaannya?" Bayu ingin tahu.
"Sukar untuk mengatakannya. Tapi yang jelas, bunga itu telah menyelamatkan nyawaku dari sengatan ular kobra. Hanya dalam sekejap racun ular itu keluar tanpa meninggalkan bekas sedikit pun."
Sedikitnya Bayu sudah bisa mengerti kalau bunga itu tentu memiliki khasiat yang sangat langka. Buktinya orang berani mempertaruhkan nyawa hanya untuk sekuntum bunga. Bahkan si Kobra Hitam sendiri telah bertahun-tahun mencoba merebutnya dari tangan Anom Sura. Dan Bayu jadi ingin tahu, bagaimana ayah Rampita itu bisa memiliki Bunga Cubung Biru...?
Waktu Bayu menanyakannya, Rampita hanya tersenyum saja. Memang tadi sudah dijawab kalau bunga itu telah menjadi pusaka warisan leluhur gadis itu, yang secara turun temurun hingga sampai ke tangan ayahnya. Bertahun-tahun pula bunga itu selalu menjadi masalah, dan pemiliknya tidak akan merasa tenang. Selalu saja datang persoalan dari orang-orang yang menginginkan bunga itu.
Satu keistimewaan yang sangat luar biasa. Orang yang memiliki Bunga Cubung Biru bisa menjadi tabib paling mujarab tanpa harus mempelajari ilmu pengobatan dan segala macam ramuan. Bunga itu sudah membantu banyak. Bisa menyembuhkan segala macam penyakit, baik penyakit dalam maupun luar. Bahkan dapat menolak segala jenis racun yang dahsyat sekali pun.
Sambil terus berjalan, Rampita menceritakan tenang Bunga Cubung Biru. Juga tentang leluhurnya yang sudah bertahun-tahun memiliki bunga itu. Gadis itu sendiri tidak tahu, sejak kapan dan bagaimana leluhurnya memilikinya. Tapi yang jelas, dia enggan memilikinya. Dan Bayu hanya bisa mempercayai saja tanpa ingin menanyakan sebabnya. Dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka itu, mungkin Rampita tidak ingin kehidupannya terganggu.
Tanpa terasa mereka sudah tiba di depan Padepokan Tongkat Sakti yang hangus terbakar. Rampita berdiri tegak memandangi puing-puing reruntuhan padepokan yang didirikan ayahnya. Masih terlihat asap mengepul dari reruntuhan yang terbakar hangus. Mayat-mayat masih terlihat berserakan dalam keadaan rusak. Mungkin telah menjadi santapan binatang binatang liar. Mayat-mayat yang mulai membusuk itu menyebarkan bau tidak sedap. Sementara matahari sudah naik tinggi di atas kepala. Sinarnya yang terik begitu menyengat, seakan akan hendak membakar kulit.
"Hmmm..., seharusnya Seruni sudah sampai di sini," gumam Rampita.
"Mungkin tidak ke sini," sahut Bayu tanpa diminta.
"Kau yakin, Kakang?" tanya Rampita.
Belum juga Bayu menjawab pertanyaan itu, mendadak saja terdengar tawa menggelegar. Dan belum juga hilang tawa itu, tiba-tiba bermunculan orang-orang bersenjata golok terhunus. Mereka langsung mengepung Pendekar Pulau Neraka dan Rampita. Bayu menatap tajam seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar, yang wajahnya terdapat luka memanjang hampir membelah pipi.
"Barong Codet...," desis Bayu mengenali.
"Hmmm...," sedangkan Rampita hanya menggumam tidak jelas.
"Sudah kuduga! Kau pasti kembali lagi ke sini, bocah!" dingin dan besar sekali suara Barong Codet.
Laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah buruk itu melangkah beberapa tindak mendekati Bayu dan Rampita. Sedangkan anak buah Barong Codet yang berjumlah sekitar dua puluh orang sudah menggerak-gerakkan goloknya di depan dada. Mereka tampaknya sudah siap, tinggal menunggu perintah saja.
Bayu dan Rampita hanya diam saja, namun tatapan mereka begitu tajam ke arah Barong Codet. Sedangkan Bayu sudah mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencoba mengukur kekuatan gerombolan perampok yang sangat ditakuti di sekitar daerah Lembah Bunga ini. Kelompok manusia kasar yang sudah terkenal kekejamannya sampai keluar Lembah Bunga.
"Rampita! Serahkan Bunga Cubung Biru padaku, dan kau boleh pergi dengan selamat dari sini!" ujar Barong Codet seraya menatap tajam Rampita.
"Bunga itu tidak ada padaku!" sahut Rampita tidak kalah dinginnya.
"Phuah! Aku tidak main-main, bocah setan! Aku tahu, kalau manusia tolol murid ayahmu telah diselamatkan monyet buduk itu. Dan aku juga tahu kalau Adilangu sudah mampus di tangan Sureng Rana. Kemudian kotak kayu berisi Bunga Cubung Bini dibawa monyet itu. Dan sekarang dia bersamamu. Nah! Mana bunga itu...?!" lantang sekali suara Barong Codet.
"Sudah kukatakan, bunga itu tidak ada padaku!" dengus Rampita sengit.
"Aku tidak ada waktu bermain-main, Rampita!" ancam Barong Codet mendesis.
"Lalu, apa maumu?" tantang Rampita tajam.
Barong Codet menggereng kecil. Tatapan matanya begitu tajam. Namun di balik tatapan mata itu, tersimpan sesuatu yang liar. Benaknya langsung dipenuhi pikiran-pikiran kotor melihat kecantikan dan keindahan tubuh Rampita. Barong Codet menjilati bibirnya sendiri yang hampir tertutup berewok dan kumis.
"Sayang sekali, kau terlalu cantik untuk mati di tanganku, Rampita," agak lunak suara Barong Codet kali ini.
Rampita hanya mendengus saja. Gadis itu sudah tahu, siapa Barong Codet itu. Dan dia begitu muak melihat tatapan mata laki-laki kasar itu. Namun Rampita masih bisa meredam gejolak darahnya yang sudah mendidih dalam dada.
"Baiklah. Kau boleh memiliki bunga itu, Rampita. Tapi kau harus ikut dan hidup bersamaku. He he he...," Barong Codet terkekeh.
"Tawaran yang menarik. Tapi sayang sekali, kau begitu jelek untuk menjadi pendampingku," ujar Rampita halus.
"Setan...!" geram Barong Codet. Kata-kata halus gadis itu membuat wajah Barong Codet memerah seketika.
Betapa tidak. Ucapan Rampita memang halus, namun sangat menyakitkan telinga. Sedangkan Bayu hanya tersenyum, bahkan tidak bisa menahan rasa geli. Pendekar Pulau Neraka itu terkikik. Hal ini membuat Barong Codet semakin geram, dan langsung mendelik ke arah Bayu.
"Keparat! Kau menertawakanku, bocah setan...!" geram Barong Codet mengkelap. Kemarahan dan perasaan terhina di dada Barong Codet seketika ditumpahkan pada Bayu. Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki yang wajahnya terdapat luka memanjang membelah pipinya itu langsung melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Terjangannya sangat cepat dan tiba-tiba sekali.
Namun begitu telapak kaki Barong Codet hampir bersarang di dada, bergegas Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping sedikit miring. Maka tendangan Barong Codet lewat sedikit di depan dada. Dan pada saat itu, Bayu cepat menghentakkan tangannya ke pinggang.
Buk!
"Ughk..!" Barong Codet mengeluh pendek. Sodokan tangan Pendekar Pulau Neraka memang tidak terduga dan tidak terhindari lagi. Laki-laki kasar itu terhuyung ke belakang dengan tubuh setengah membungkuk. Bibirnya meringis merasakan nyeri dan mual pada perutnya. Untung saja Bayu tidak mengerahkan penuh kekuatan tenaga dalamnya, sehingga Barong Codet hanya merasakan sedikit nyeri dan mual.
"Keparat! Hiyaaa...!"
Sambil memaki dan berteriak keras, Barong Codet kembali menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu. Kali ini dia tidak mau bermain main lagi. Dua pukulan bertenaga dalam cukup tinggi dilontarkan ke bagian tubuh Bayu. Namun manis sekali Pendekar Pulau Neraka itu berhasil berkelit mengelakkannya. Bahkan kembali memberikan satu sodokan balasan ke arah dada.
"Uts!"
Buru-buru Barong Codet menarik mundur tubuhnya ke belakang. Tapi Bayu juga cepat menarik kembali sodokan tangannya. Dan sambil menyusur tanah, Pendekar Pulau Neraka itu mendekati Barong Codet. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pemuda berbaju kulit harimau itu mengibaskan tangan kirinya disusul satu hentakan kaki agak memutar.
"Yeaaah...!"
Des! Buk!
"Aaakh...!" Barong Codet terpekik keras. Dua kali pukulan dan tendangan Bayu mendarat telak di tubuh laki-laki tinggi besar itu. Tak ampun lagi, tubuh tinggi besar itu terpental deras sekali ke belakang. Sebatang pohon yang terlanggar tubuhnya langsung tumbang tanpa ampun. Sementara Bayu sudah berdiri tegak, seraya melirik sedikit pada Rampita yang memberikan senyuman kecil.
"Setan keparat! Seraaang...!" umpat Barong Codet langsung memberi perintah pada anak buahnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Seketika itu juga dua puluh orang anak buah Barong Codet berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Golok-golok mereka berkelebat cepat berkilatan tertimpa cahaya matahari.
"Menyingkirlah, Rampita!" seru Bayu keras. Tanpa diminta dua kali, Rampita langsung melompat menjauh. Pada saat itu Bayu sudah mengegoskan tubuhnya menghindari tebasan golok yang mengarah ke dada. Dan tangkas sekali, Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangannya menyodok iga penyerangnya.
Dughk!
"Heghk...!" orang itu melenguh.
Dan sebelum lawan sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu langsung memberikan gedoran keras bertenaga dalam tinggi ke dada penyerangnya ini.
"Yeaaah...!"
Des!
Orang itu terpental jauh ke belakang tanpa bersuara lagi. Tubuhnya ambruk ke tanah, dan tewas seketika itu juga. Dadanya tampak remuk melesak ke dalam. Darah mengucur dari mulut dan hidungnya. Namun Bayu belum bisa menarik napas lega. Ternyata lawan-lawan yang lain kembali menyerang ganas. Beberapa golok berkelebat di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka yang meliuk-liuk menghindari setiap serangan.
Bahkan meskipun dalam keadaan terkurung rapat, Bayu masih sempat memberi serangan balasan yang tidak kalah mautnya. Pekik pertempuran berbaur menjadi satu dengan jerit kesakitan. Satu persatu tubuh lawan bergelimpangan ke tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Meskipun tidak menggunakan senjata, namun kedua tangan Pendekar Pulau Neraka itu merupakan senjata ampuh yang sukar dicari tandingannya. Setiap pukulan maupun sodokan tangannya mengandung pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Sementara itu Rampita yang menyaksikan pertarungan dari tempat yang tidak terlalu jauh, semakin mengagumi Pendekar Pulau Neraka itu..Betapa tidak? Menghadapi dua puluh orang bersenjata golok yang selama ini menjadi momok setiap orang, ternyata pemuda itu mampu membuat lawan jungkir balik. Bahkan dalam waktu tidak terlalu lama, hampir separuh lawan telah bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Bayu kelihatan seperti bermain-main saja. Dia berlompatan dan berkelit sambil sesekali melontarkan pukulan mautnya yang sangat dahsyat. Setiap kali melontarkan pukulan, terdengar jeritan melengking tinggi yang kemudian disusul menggeleparnya seorang pengeroyoknya. Satu persatu mereka dibuat tewas dengan dada remuk atau kepala pecah.
"Hiyaaa...!"
Melihat anak buahnya semakin berkurang, Barong Codet jadi marah bukan main. Ketika melihat Rampita asyik mengawasi jalannya pertarungan, dengan licik sekali laki-laki kasar itu melompat sambil mencabut goloknya menerjang gadis itu.
Wut!
"Heh...! Hap!"
Rampita terkejut dan buru-buru melompat mundur ke belakang tiga tindak sambil menarik tubuhnya ke samping menghindari tebasan golok lawan.
"Curang!" dengus Rampita geram.
Barong Codet tidak mempedulikan gerutuan gadis itu, dan malah sudah kembali menyerang. Goloknya yang terhunus berkelebatan mengincar bagian-bagian tubuh Rampita yang mematikan. Gadis itu terpaksa harus jumpalitan, karena tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tepat ketika golok Barong Codet mengibas ke arah kaki, Rampita cepat-cepat melompat dan menjejak ujung golok itu dengan jari kakinya. Kemudian tubuhnya melenting ke udara, dan berputar sekali. Sungguh luar biasa sekali! Dalam keadaan di udara, gadis itu masih bisa memberi satu tendangan menggeledek ke arah kepala lawannya.
"Uts!" Barong Codet buru-buru merunduk sambil mengibaskan goloknya ke atas kepala. Dan Rampita bergegas menarik kembali kakinya. Gadis itu berputar sekali lagi, lalu mendarat manis di belakang laki-laki itu.
"Hiyaaat..!"
Sebelum laki-laki kasar itu memutar tubuhnya, Rampita sudah memberi satu gedoran keras ke punggung lawan. Sodokan keras mengandung tenaga dalam cukup tinggi itu membuat Barong Codet tersentak. Tubuhnya terjungkal keras ke tanah dan wajahnya terantuk akar pohon yang menyembul keluar dari dalam tanah.
"Monyet!" geram Barong Codet. Dengan punggung tangan, Barong Codet menyeka darah yang keluar dari hidung akibat terantuk akar pohon tadi. Mulutnya mendesis dan bibirnya menyeringai. Sedangkan matanya liar menatap buas ke tubuh Rampita. Barong Codet menggerak-gerakkan goloknya di depan dada, kemudian berteriak keras dan berlari cepat menerjang gadis itu.
"Yaaat..!"
"Hup!"
Rampita langsung merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada begitu Barong Codet menusukkan goloknya. Dan tepat sekali kedua tangan yang halus dan berjari lentik itu mengunci golok lawan di depan dadanya.
"Uh!"
Barong Codet berusaha menarik goloknya, tapi merasakan goloknya seperti masuk dalam sebuah penjepit baja yang sangat kuat Bahkan goloknya tak bergerak sama sekali meskipun sudah mengerahkan tenaga dalam. Sementara Rampita tersenyum tipis, seolah-olah mengejek laki-laki itu.
"Yap!" Tiba-tiba saja gadis itu menghentakkan tangannya ke samping, tepat pada saat Barong Codet mencoba menarik goloknya. Dan....
"Heh...?!" Barong Codet terkejut setengah mati. Golok kesayangannya patah jadi dua bagian. Dan sebelum keterkejutannya hilang, secepat kilat Rampita mengirimkan satu tendangan keras disusul satu pukulan bertenaga dalam tinggi.
Buk! Buk!
"Aaakh...!" Barong Codet memekik panjang melengking. Tubuh tinggi besar dan kekar itu terpental jauh ke belakang, dan ambruk keras ke tanah.
Sementara, Rampita dengan ujung jari kakinya menjentik sebilah golok yang tergeletak di depan kakinya. Golok itu terpental ke atas. Dengan tangkas sekali gadis itu menangkap, dan langsung melemparkannya ke arah Barong Codet yang baru saja menggeletak di tanah.
Swing!
Crab!
"Aaa...!" kembali Barong Codet menjerit keras. Dadanya tertembus sebilah golok yang dilemparkan Rampita. Begitu dalamnya, sehingga hanya tangkainya saja yang terlihat. Hanya sebentar Barong Codet berkelojotan, kemudian diam tak berkutik lagi.
Plok! Plok....
"Ah...," Rampita tersentak mendengar suara tepukan. Ternyata Bayu bertepuk tangan di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Rupanya Pendekar Pulau Neraka itu juga sudah menyelesaikan pertarungannya. Jelas sekali, tak satu pun lawannya yang dibiarkan hidup. Semuanya tewas bersimbah darah membasahi bumi.
"Hebat! Kau mampu menundukkan pemimpin perampok, Rampita," puji Bayu tulus seraya menghampiri gadis berbaju hijau muda itu.
"Ah...," Rampita hanya mendesah saja. Gadis itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Rampita tidak ingin pemuda itu melihat perubahan wajahnya yang memerah tersipu. Sungguh, sulit membohongi dirinya sendiri saat ini. Hatinya begitu senang dan sangat menyukai pujian Bayu tadi. Bahkan ingin mendengar sekali lagi pujian itu. Pujian yang terdengar tulus dan datang dari seorang pemuda tampan.
"Tidak kusangka, gadis secantikmu memiliki kepandaian begitu tinggi," kembali Bayu memuji. Pemuda ini sudah berada di samping Rampita.
"Ah, sudahlah Kakang. Bukan saatnya untuk memuji. Masih banyak yang harus kulakukan," ujar Rampita mencoba mengelak, meskipun sangat bertentangan dengan kata hatinya.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang, Rampita?" tanya Bayu.
Rampita tidak bisa menjawab dengan cepat karena memang tidak tahu harus melakukan apa. Gadis itu tadi hanya asal bicara saja untuk menghentikan pujian Bayu. Untuk menghilangkan kegugupannya, Rampita mengayunkan kakinya pelahan. Bayu hanya memandangi, kemudian ikut melangkah dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping gadis ini.
Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi, dan baru berhenti setelah tiba pada suatu tempat. Tampak sekali wajah Rampita berubah memerah seketika. Tatapannya lurus tak berkedip memandang sebuah makam yang terbongkar tak karuan.
"Ayah...!" pelak Rampita seketika. Gadis itu langsung memburu dan berlutut di depan kuburan yang terbongkar itu. Ketika melongok ke dalam, ternyata....
"Oh, tidak..!" jerit Rampita langsung memalingkan mukanya.
Bayu bergegas menghampiri dan menjulurkan kepalanya. Pendekar Pulau Neraka itu juga bergegas memalingkan mukanya, tidak sanggup menyaksikan semua yang ada dalam lubang itu. Jasad Anom Sura telah tercabik-cabik hancur berantakan. Bayu mendekap pundak Rampita dan mengajaknya berdiri. Kemudian gadis itu diajak menjauh dari pusara Ketua Padepokan Tongkat Sakti itu.
Bayu mendudukkan Rampita di sebuah pohon tumbang, kemudian menghampiri makam itu. Pendekar Pulau Neraka mengambil dua batang golok yang menggeletak di tanah. Dengan golok itu diuruknya kembali kuburan itu. Disertai pengerahan tenaga dalam dan kecepatan gerak, Pendekar Pulau Neraka itu menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu tidak berapa lama.
Sementara Rampita terdongak sambil menarik napas dalam-dalam. Gadis itu mencoba menahan air matanya, tapi tak kuasa juga. Setitik air bening menggulir di pipinya. Bayu membuang golok yang digunakan untuk menguruk makam itu, kemudian menghampiri Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu merengkuh pundak Rampita dan memeluknya.
"Menangislah! Itu akan meredakan sedikit penderitaanmu," ujar Bayu lembut.
Kata-kata lembut pemuda berbaju kulit harimau itu membuat tangis Rampita meledak seketika. Gadis itu langsung menyembunyikan wajahnya di dada Bayu. Seluruh tubuh Rampita terguncang di dalam pelukan Pendekar Pulau Neraka. Selama hidupnya, mungkin hanya dua kali Rampita menangis. Pertama, waktu hadir ke dunia. Dan kedua, sekarang ini.
Malah Rampita tidak menangis ketika ibunya meninggal. Baginya kematian merupakan takdir yang akan dialami semua manusia dan seluruh makhluk hidup di dunia ini. Takdir yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Tapi begitu melihat kuburan ayahnya terbongkar dan jasad ayahnya hancur tercabik, gadis itu tak kuasa lagi membendung perasaannya.
"Selama ini aku selalu menghindari kekerasan, dan tidak ingin ada dendam di hatiku. Tapi...," keluhan Rampita terputus. Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Masih tersisa air mata di kelopak mata gadis itu.
Sedangkan Bayu hanya diam mendengarkan. Dibiarkan saja Rampita mengeluarkan seluruh isi hatinya. Bayu dapat merasakan betapa beratnya penderitaan gadis ini. Siapa pun pelakunya, perbuatan membongkar kuburan memang tidak bisa dimaafkan begitu saja. Apalagi sampai merusak jasad yang sudah terkubur.
"Kakang, apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus meminta pertanggungjawaban manusia iblis itu...?" pertanyaan Rampita seperti untuk dirinya sendiri.
Sukar bagi Bayu menjawab pertanyaan itu. Pendekar Pulau Neraka ini hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat Dipandangi dalam-dalam bola mata bulat di sampingnya. Sedangkan Rampita membalas dengan sinar mata bagai berharap menerima jawaban dari pertanyaannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan sekarang ini, Rampita. Terus terang, aku sendiri belum bisa menghapus dendam di hatiku," ungkap Bayu pelan dan lembut sekali suaranya.
"Terima kasih, Kakang. Siapa pun orangnya, dia harus mati!" desis Rampita dingin.
"Bagaimana jika Seruni yang melakukannya?" tanya Bayu agak memancing.
Rampita tidak langsung menjawab, tapi malah menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka itu. Pertanyaan Bayu barusan seperti menyengat benaknya. Rampita memalingkan pandangannya ke arah lain, dan langsung tertumbuk pada pusara ayahnya ya kini sudah rapi kembali.
"Kenapa kau tanyakan itu, Kakang?" tanya Rampita pelan.
"Apa kau sudah lupa ancamannya, Rampita?" Bayu balik bertanya.
"Tidak," sahut Rampita mendesah. "Tapi...."
"Kenapa? Bisa saja dia yang melakukan. Orang seperti Seruni akan melakukan apa saja demi mencapai keinginannya," tegas Bayu.
"Kau benar, kakang. Seruni memang akan melakukan apa saja asal kehendaknya tercapai. Bahkan dia...," kembali suara Rampita terputus.
Bayu menatap dalam-dalam wajah yang kini berubah mendung itu. Sepertinya Rampita menyimpan sesuatu yang membuat hatinya seperti tersayat. Dan pemuda berbaju kulit harimau itu menduga keras kalau ini ada hubungannya dengan Seruni. Sejak mengenal gadis ini, dalam benaknya memang sudah diliputi berbagai macam pertanyaan yang belum terjawab.
Pertanyaan itu semakin melekat dan membesar sejak pagi tadi. Rampita kelihatan begitu mengalah pada Seruni. Bahkan gadis ini rela disiksa, digantung terbalik tanpa melakukan perlawanan sedikit pun. Dan yang lebih mengherankan lagi, Rampita rela kalau Bunga Cubung Biru jatuh ke tangan Seruni. Ada hubungan apa antara Rampita dan Seruni sebenarnya? Bahkan Seruni tahu persis keluarga Rampita. Dan sepertinya mereka sudah kenal cukup lama.
"Aku memang belum mengenalmu lebih jauh. Bahkan aku tidak tahu siapa dirimu dan Seruni Tapi rasanya aku mencium adanya suatu hubungan antara kau dengan Seruni. Kau selalu bersikap mengalah, bahkan rela digantung tanpa melawan sedikit pun. Padahal aku yakin kau bisa melawan," ungkap Bayu tentang ganjalan di hatinya.
"Ah! Sebaiknya lupakan saja, Kakang. Anggap saja tidak terjadi sesuatu barusan," desah Rampita meminta.
Bayu semakin tidak mengerti terhadap sikap gadis ini. Pendekar Pulau Neraka itu jadi terdiam. Sementara Rampita sudah bangkit berdiri. Ditatap sejenak pusara ayahnya, kemudian berbalik dan berjalan gontai meninggalkan tempat yang dipenuhi mayat bergelimpangan ini.
Sementara Bayu masih duduk memandangi gadis yang terus berjalan pelahan. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, dan berjalan menyusul Rampita. Sebentar saja Bayu sudah berada di samping gadis itu. Mereka berjalan meninggalkan tempat itu tanpa berkata-kata lagi. Namun dalam benak Bayu masih tersimpan teka-teki yang belum terpecahkan.
Pendekar Pulau Neraka mencoba menduga duga hubungan Rampita dengan Seruni. Namun rasanya sukar sekali. Sementara gadis itu masih saja membisu. Pandangan matanya menerawang jauh. Bayu memandangi gadis yang berjalan di sampingnya. Dan tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka tersentak. Baru disadari kalau ada yang luput dari perhatiannya. Ya...,
Seruni dan Rampita begitu mirip! Baik wajah maupun bentuk tubuhnya. Hanya saja dandanan dan bentuk pakaian mereka yang berbeda. Bayu semakin dalam memandangi wajah gadis itu. Seketika dicobanya untuk membayangkan wajah Seruni. Benar! Kedua gadis itu mirip sekali, seperti....
"Rampita, apakah Seruni itu saudaramu?" tanya Bayu agak ragu-ragu suaranya.
Rampita tampak terkejut, lalu berpaling menatap pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya. Gadis itu sampai berhenti melangkah, dan cukup lama memandang Bayu.
"Maaf, kalau pertanyaanku menyinggungmu," ucap Bayu buru-buru.
"Kenapa kau berpikir sampai ke situ, Kakang?" tanya Rampita.
"Mungkin karena mataku melihat ada kemiripan pada kalian berdua," sahut Bayu seraya mengangkat pundaknya.
Rampita kembali terdiam, kemudian melanjutkan langkahnya. Gadis itu tidak ingin menjawab pertanyaan Bayu barusan, namun sikapnya kini berubah. Kini wajahnya semakin terselimut mendung tebal. Bayu mengangkat pundaknya tinggi-tinggi. Meskipun masih penasaran, tapi Pendekar Pulau Neraka tidak ingin bertanya lagi.
Perjalanan Bayu dan Rampita terhalang sebuah sungai kecil. Tapi sebenarnya bukan karena sungai itu yang menjadi penghalang, melainkan seorang gadis dan seekor beruang putih yang berada di tepi sungai itu. Gadis berbaju putih itu duduk mencangkung di atas sebongkah batu, seakan-akan sengaja menunggu.
"Aku selalu bisa menebak, ke arah mana kau pergi, Rampita," ujar gadis berbaju putih yang dikenali bernama Seruni. Suaranya terdengar tenang, dan bibirnya yang merah selalu mengulas senyuman manis.
Sementara Bayu memandangi Seruni dan Rampita bergantian. Sungguh...! Pendekar Pulau Neraka itu seperti melihat satu wajah pada dua orang gadis itu. Mereka begitu mirip satu sama lain. Hanya pakaian dan tata rambutnya saja yang berbeda. Tapi itu semua tidak menutupi kemiripan wajahnya.
Kalau saja baju dan tata rambut mereka sama, pasti sukar membedakannya. Dan Bayu memang tidak bisa menemukan perbedaan pada wajah dan bentuk tubuh kedua gadis itu. Dan ini belum lama disadarinya. Bayu semakin bertanya-tanya, apakah kedua gadis ini saudara kembar? Sementara Seruni sudah turun dari batu. Dia berdiri tegak di samping beruang putih yang mendekam sambil mencakar-cakar tanah di depannya.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku, Seruni?" tanya Rampita.
"Bunga Cubung Biru," sahut Seruni tajam.
"Bukankah kau sudah mendapatkannya?"
"Aku muak dengan kepura-puraanmu, Rampita!" bentak Seruni kasar. "Berikan bunga itu padaku!"
"Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak memiliki Bunga Cubung Biru," tegas Rampita.
Ada sedikit nada kekesalan pada suara Rampita. Dan ini diketahui jelas oleh Bayu. Bahkan sinar mata gadis itu juga memancarkan sesuatu yang sukar diterka. Namun Bayu bisa menebak kalau dalam diri Rampita tengah bergolak dua kutub yang saling bertentangan.
"Dengar, Rampita. Aku sudah cukup sabar menunggu, dan tidak bisa bermain-main lagi. Kau dengar itu, Rampita...!" keras sekali suara Seruni.
Rampita berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Diayunkan kakinya melangkah beberapa tindak. Sedangkan Seruni berkacak pinggang dan wajahnya memerah. Sementara Bayu hanya mengawasi saja. Pendekar Pulau Neraka ini belum ingin melakukan sesuatu sebelum merasa pasti kebenaran kedua gadis ini.
"Baiklah. Apa yang kau inginkan sekarang?" dingin sekali nada suara Rampita terdengar. Sepertinya Rampita sudah kehilangan kesabarannya, dan lantas berdiri tegak bersikap menantang. Tatapan matanya tajam, dan gerahamnya bergemeletuk. Kedua tangannya terkepal erat agak berkeringat. Tak ada yang tahu, apa yang sedang terjadi di dalam batin gadis ini. Hanya dia sendiri yang tahu.
"Kau yang menginginkannya, Rampita. Bersiaplah...! Hiyaaat!"
Seruni langsung melompat menerjang Rampita. Dua pukulan beruntun langsung dilepaskan. Rampita kelihatan masih berdiri tegak, seakan-akan tidak bergeming menerima serangan itu. Hal ini membuat Bayu jadi cemas juga. Tapi, begitu serangan Seruni sudah dekat, mendadak saja gadis itu menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Yeaaah...!" Duk!
Rampita benar-benar menyongsong pukulan Seruni, sehingga kedua tangannya membentur keras tangan gadis berbaju putih itu. Tampak Seruni terpental balik sejauh dua batang tombak, sedangkan Rampita hanya terdorong dua langkah. Tiga kali Seruni berputaran di udara sebelum mendarat manis.
"Bagus! Aku ingin tahu, sampai di mana tingkat kepandaianmu, Rampita!" dengus Seruni dingin.
Sret!
Seruni langsung mencabut pedangnya. Sedangkan Rampita masih berdiri tegak. Meskipun kelihatan tenang, namun jelas sekali kalau raut wajah gadis itu menegang. Matanya tidak berkedip menatap pedang ditangan Seruni.
"Tahan seranganku, Rampita! Hiyaaat...!" Dua kali Seruni berlompatan. Kemudian begitu kakinya menjejak tanah di depan Rampita, langsung dikibaskan pedangnya ke arah kaki gadis berbaju hijau muda itu sambil merendahkan tubuhnya.
Wut!
"Hup! Hiyaaa...!"
Sigap sekali Rampita mengangkat sebelah kakinya seraya menarik mundur kaki lainnya. Dan sebelum Seruni bisa menarik pulang pedangnya yang tidak mengenai sasaran, Rampita cepat-cepat menghentakkan kakinya ke depan.
"Ikh!" Seruni tampak tersentak kaget. Buru-buru lebih direndahkan tubuhnya dengan kepala merunduk. Tendangan Rampita lewat di atas kepala gadis itu. Tapi sungguh tidak disangka sama sekali. Ternyata Rampita malah meneruskan dengan satu lompatan kecil, dan sambil memutar tubuhnya dikirimkan satu pukulan ke arah punggung Seruni. Tak pelak lagi, gadis itu terpekik menerima pukulan keras di punggung.
"Akh! Curang...!" Sambil mengumpat geram, Seruni memutar tubuhnya seraya mengibaskan pedangnya menyilang sejajar dada.
Manis sekali Rampita menarik tubuhnya ke belakang, dan meliukkannya begitu ujung pedang lewat di depan dadanya. Kembali Rampita menghentakkan tangannya. Kali ini mengarah ke pergelangan tangan kanan Seruni yang menggenggam pedang.
"Lepas...!"
Plak!
"Akh...!" lagi-lagi Seruni terpekik. Gadis itu tak bisa lagi mempertahankan pedangnya yang lepas terpental ke udara. Dan sebelum Seruni bisa melesat mengejar pedangnya, Rampita sudah memberi satu tendangan keras. Tendangan itu tak dapat dihindari lagi, tepat mengenai dada Seruni.
Lagi-lagi gadis berbaju putih yang berjuluk si Gadis Salju itu memekik keras. Tubuhnya kontan terpental sejauh tiga batang tombak. Keras sekali Seruni jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun dia cepat melompat bangkit meskipun tubuhnya limbung. Tampak darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
"Keparat..!" geram Seruni seraya menyeka darah di bibir dengan punggung tangannya.
"Kembalilah kau ke Puncak Gunung Cakal, Seruni," kata Rampita datar.
"Phuih! Aku belum kalah!" bentak Seruni. Sesaat kemudian Seruni merentangkan tangannya ke samping, dan dengan cepat merapatkan kedua telapak tangannya di atas kepala. Pelahan tangannya turun sampai ke depan dada. Lalu....
"Hiyaaa...!" sambil berterik keras, Seruni menghentakkan tangannya ke atas! Seketika itu juga, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja bertiup angin kencang menderu-deru. Dan udara di sekitar tempat ini menjadi dingin membekukan. Tak lama kemudian dari langit turun butir-butir putih seperti gumpalan kapas yang melayang layang jatuh ke bumi. Udara pun semakin terasa dingin.
"Hmmm...," Rampita bergumam kecil.
"Ayo! Lawan aji 'Salju Menyiram Bukit', Rampita!" seru Seruni langsung tertawa terbahak-bahak.
Rampita kemudian merapatkan kedua tangannya didepan dada. Kemudian diliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri secara bergantian dengan kaki tertekuk ke depan. Sebentar gadis itu menarik napas panjang, lalu....
"Aji 'Pati Agni'...!" seru Rampita keras. Secepat tangan Rampita menghentak ke depan, seketika itu juga dari telapak tangannya berkobar api yang mengeluarkan hawa panas membara. Melihat hal itu, Seruni langsung merapatkan tangannya di depan dada. Dan sambil berteriak keras, dihentakkan tangannya ke depan. Seketika itu juga badai salju mengarah ke tubuh Rampita.
Agak lama juga kedua gadis itu bertarung ilmu kesaktian. Sementara Bayu hanya dapat menyaksikan tanpa mampu berbuat apa-apa. Diam-diam Pendekar Pulau Neraka itu mengagumi kedigdayaan kedua gadis cantik ini. Sungguh dahsyat luar biasa ilmu kesaktian yang dimiliki mereka.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dalam waktu yang bersamaan, kedua gadis itu berlompatan ke depan sambil merentangkan tangan lurus ke depan. Dan pada satu titik, kedua telapak tangan mereka beradu. Seketika terjadi ledakan dahsyat, disusul terpentalnya tubuh masing-masing ke belakang. Tampak Rampita berjumpalitan diudara beberapa kali sebelum kakinya mendarat manis ditanah.
Sedangkan Seruni jatuh berguling di tanah hingga membentur sebatang pohon. Gadis itu menjerit keras, namun cepat bangkit berdiri. Dari mulutnya menyemburkan darah kental. Kedua kakinya bergetar, dan tubuhnya limbung. Seakan-akan dia tak mampu lagi berdiri.
"Ughk!" Seruni mengeluh.
Sedangkan Rampita hanya tersenyum kecil. Tak sedikit pun ada perubahan pada diri gadis berbaju hijau muda itu. Sikapnya tenang, dan wajahnya menyiratkan kematangan jiwa dari seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi. Sementara Seruni menggerak-gerakkan tangannya didepan dada. Terdengar suara desisan panjang bagai ular.
"Beruang Putih! Bunuh dia!" perintah Seruni.
"Ghrauuughk...!" beruang putih yang sejak tadi diam mendekam, meraung keras sambil mengangkat kepalanya ke atas. Binatang itu lalu bangkit berdiri dengan kedua kakinya, dan kembali meraung. Sungguh luar biasa. Tinggi beruang putih itu hampir menyamai pohon cemara.
"Ghraughk...!"
Sambil menggerung keras, beruang putih itu melompat menerjang Rampita. Satu cakar depannya menyampok cepat, membuat Rampita terperangah sesaat. Namun secepat kilat gadis itu melentingkan tubuhnya ke belakang menghindar. Tapi angin sampokan beruang putih raksasa itu membuat tubuhnya tak terkendali. Dan sebelum gadis itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, beruang putih raksasa itu sudah kembali menyampokkan tangannya.
Bret!
"Aaakh...!" Rampita menjerit keras. Sampokan beruang putih itu tak dapat dihindari lagi. Kuku-kuku yang tajam berhasil merobek perut Rampita. Darah merembes keluar seketika, dan gadis berbaju hijau itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya.
Belum lagi Rampita bisa menguasai keadaan dirinya, beruang putih itu sudah kembali menyerang sambil menggerung keras. Tak mungkin lagi Rampita mengelak. Gadis itu hanya membeliak dengan wajah memerah. Dan pada saat kaki depan beruang itu menyampok kembali, mendadak berkelebat sebuah bayangan kuning menyambar tubuh Rampita.
Brak!
Sampokan beruang itu menghantam sebatang pohon yang sangat besar hingga hancur berkeping-keping. Tampak dalam jarak yang cukup jauh, Bayu memondong tubuh Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu meletakkan Rampita di tempat yang aman, kemudian langsung melompat menghadang beruang putih yang sudah berlari mengejar ke arah mereka.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras. Bayu mengirimkan dua pukulan beruntun bertenaga dalam sempurna sekali. Pukulan itu tak terelakkan lagi, dan tepat mendarat di bagian dada beruang putih raksasa itu.
Duk! Bughk...!
"Ghraughk...!"
Beruang putih itu mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meraung keras. Dikibaskan cakar-cakarnya ke arah Pendekar Pulau Neraka. Namun berkat kelincahan yang luar biasa cepatnya, Bayu berhasil mengelakkan serangan beruang putih raksasa itu. Bahkan beberapa kali pemuda berbaju kulit harimau itu berhasil mendaratkan pukulan dan tendangan keras bertenaga dalam penuh.
Tapi sungguh luar biasa! Beruang putih raksasa itu hanya menggerung dan langsung menyerang tanpa mengalami rasa sakit sama sekali. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat dan berbahaya, sehingga beberapa kali Bayu harus berjumpalitan menghindarinya. Seluruh bagian tubuh dan kepala beruang putih itu sudah kena hantaman bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Pulau Neraka, tapi tak satu pun yang mencederai binatang raksasa itu.
"Edan! Binatang apa ini...?!" dengus Bayu. Bayu memutar otaknya, mencari cara untuk bisa mengalahkan binatang raksasa liar ini. Disadari kalau binatang raksasa ini pasti tidak sembarangan. Sambil berpikir keras memutar otak, Bayu terus memberi pukulan-pukulan keras dan tendangan menggeledek bertenaga dalam sangat tinggi. Hal ini membuat binatang itu semakin marah, sehingga mengamuk membabi buta. Akibatnya, tempat sekitar pertarungan hancur berantakan.
"Binatang ini berbahaya sekali. Hhh! Terpaksa aku harus membunuhnya!" dengus Bayu dalam hati. Pendekar Pulau Neraka itu kemudian melentingkan tubuhnya ke udara hingga melewati kepala beruang putih itu. Dan sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, dihantamkan satu pukulan keras di tengah-tengah kepala binatang raksasa itu.
"Hiyaaa...!"
Des!
"Ghraughk...!"
Beruang putih raksasa itu mengibaskan tangannya ke atas sambil menggeleng gelengkan kepala. Mungkin kepalanya terasa sakit terhantam pukulan bertenaga dalam sempurna itu. Dan pada saat itu, Bayu melesat ke depan. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan tubuh setengah membungkuk, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kanannya.
Seketika itu juga Cakra Maut bersegi enam melesat secepat kiat. Dan tak pelak lagi, senjata itu menghunjam tepat di antara kedua mata beruang putih raksasa itu. Binatang itu kontan meraung keras. Bayu menghentakkan tangannya, maka Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak ingin lagi memberi kesempatan. Selagi beruang raksasa itu merasa kesakitan akibat luka pada keningnya, Pendekar Pulau Neraka kembali melontarkan Cakra Maut-nya. Seketika senjata bersegi enam itu kembali melesat secepat kilat, dan kali ini menancap tepat di mata kiri binatang raksasa itu. Secepat kilat Bayu melentingkan tubuhnya, dan langsung melontarkan satu pukulan bertenaga dalam sempurna ke mata kanan beruang putih itu.
"Aaarghk...!"
"Yeaaah...!"
Satu tendangan menggeledek disarangkan Pendekar Pulau Neraka tepat di dada, membuat binatang raksasa itu limbung sambil meraung keras. Darah sudah bercucuran mengotori bulu-bulu putihnya. Binatang raksasa itu tak dapat lagi melihat, karena kedua matanya pecah berlumuran darah.
Sementara itu Bayu melirik pedang Seruni yang tertancap di pohon. Sedangkan Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangannya. Bagai seekor tupai, Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan langsung mencabut pedang Seruni. Tanpa menyentuh tanah lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu melentingkan tubuh sambil berjumpalitan di udara ke arah beruang putih raksasa itu.
"Hiyaaat...!" Sambil berteriak keras, Bayu mengibaskan pedang yang telah diambil dari pohon ke leher beruang putih itu. Tebasannya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu tepat merobek leher beruang putih raksasa.
Bret!
"Yeaaah...!"
Crab!
"Aaargh...!"
"Hih!"
Bayu menusukkan pedangnya ke dada binatang raksasa itu hingga amblas sampai ke tangkai. Ditarik pedang itu keluar sambil merobek dada beruang putih hingga menganga lebar. Darah bercucuran deras membasahi tanah. Dan begitu Bayu hendak menghunjamkan lagi pedang itu, beruang putih raksasa itu sudah ambruk menggelepar di tanah.
Tring!
"Oh! Tidak!" tiba-tiba Seruni menjerit keras dan langsung menghambur ke arah binatang kesayangannya.
Bayu melepaskan pedang itu ke tanah. Sebentar Pendekar Pulau Neraka memandangi beruang putih raksasa itu, kemudian langsung melompat ke arah Rampita yang duduk bersila di bawah pohon agak jauh dari tempat pertarungan. Bayu membantu gadis itu berdiri dengan memeluk pinggangnya, lalu menyampirkan tangan Rampita ke pundaknya.
"Tunggu dulu, Kakang," ujar Rampita ketika Bayu hendak membawanya pergi.
Bayu menatap Seruni yang tengah memeluk dan menangisi binatang beruang putih raksasa itu. Tidak lama Seruni menangis, kemudian bangkit berdiri sambil mengambil pedangnya yang tergeletak di tanah. Gadis itu berdiri tegak dengan mata merah basah menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.
"Tunggu pembalasanku, Bayu!" desis Seruni dingin. Gadis itu langsung melesat cepat pergi.
Sedangkan Bayu hanya mendesah panjang saja. Kemudian dibawanya Rampita pergi dari tempat itu. Tapi rupanya gadis itu cukup berat terluka. Dia sepertinya tak mampu lagi berjalan. Tanpa meminta persetujuan lagi, Pendekar Pulau Neraka itu memondong tubuh Rampita dan membawanya pergi.
"Kau harus segera diobati, Rampita," kata Bayu.
"Hhh...," Rampita hanya menarik napas kecil.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga, dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Seperti hilang ditelan lebatnya hutan di sekitar Lembah Bunga ini.
Dan belum begitu lama Bayu pergi membawa Rampita, muncul seorang laki-laki bertubuh cebol, berkepala botak, dan berperut buncit. Orang tua cebol yang ternyata Eyang Banadu itu terperanjat begitu melihat seekor beruang putih raksasa tergeletak berlumuran darah tak bernyawa lagi.
"Oh, beruangku...." Eyang Banadu menubruk beruang putih itu, lalu memeluknya. Tapi sebentar kemudian laki-laki tua itu bangkit berdiri, tepat pada saat Seruni muncul bersama delapan orang gadis cantik. Mereka semua mengenakan baju putih. Selendang biru melilit pinggang masing-masing bersama pedang yang tersampir di punggung.
"Siapa yang melakukan ini, Seruni?" tanya Eyang Banadu.
"Bayu, Eyang," sahut Seruni.
"Hmmm..., Bayu. Nyawa beruang putihku harus ditebus dengan nyawamu. Kau harus mampus, Bayu." geram Eyang Banadu.
Suara Eyang Banadu menggema ke seluruh pelosok penjuru mata angin. Tanpa sadar, laki-laki tua cebol itu menggeram sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Sementara itu, Bayu dan Rampita entah sudah berada di mana.
Nah! Pembaca yang budiman. Di manakah sebenarnya Bunga Cubung Biru itu? Apakah yang akan terjadi bila Eyang Banadu berhasil bertemu Pendekar Pulau Neraka? Ada hubungan apa antara Seruni dan Rampita? Jika para pembaca ingin tahu semua jawabannya, silahkan baca kisah Pendekar Pulau Neraka dalam episode Rahasia Dara Ayu
Trang!
Malam yang seharusnya sunyi, tiba-tiba dipecahkan oleh suara pertarungan di halaman depan sebuah rumah besar yang dikelilingi pagar balok kayu tinggi dan berujung runcing. Di sekitar tempat pertarungan itu orang-orang bersenjata terhunus berdiri mengelilingi. Mereka menyaksikan dua orang laki-laki bertarung, menggunakan kepandaian tingkat tinggi.
Melihat banyaknya keringat yang bercucuran dan debu yang melekat di badan, dapat dipastikan kalau pertarungan itu sudah berjalan cukup lama. Sementara malam sudah demikian larut, sedangkan pertarungan dua laki-laki itu masih berlangsung sengit. Seakan-akan pertarungan itu tidak akan berhenti dalam waktu singkat.
Dua orang yang bertarung itu sudah sama-sama berusia lanjut. Yang seorang mengenakan jubah putih panjang, dan berambut putih tergelung ke atas. Sedangkan seorang lagi mengenakan jubah warna biru tua. Rambutnya panjang meriap hampir menutupi wajahnya. Mereka sama-sama menggunakan tongkat. Namun yang berjubah putih hanya menggunakan tongkat kayu biasa tanpa bentuk, sedangkan lawannya menggunakan tongkat berbentuk ular kobra yang mengembangkan lehernya.
Pertarungan itu berjalan cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebat saling sambar. Setiap kali tongkat-tongkat mereka beradu, seketika timbullah ledakan keras disertai percikan bunga api yang menyebar ke seluruh penjuru. Meskipun tongkat yang dipegang orang berjubah putih hanya tongkat kayu biasa, namun kekuatannya melebihi tongkat baja yang keras. Bahkan hantaman tongkatnya mampu menghancurkan batu sebesar kerbau.
"Hiyaaat...!"
Trak!
"Akh...!"
Tiba-tiba saja laki-laki berjubah putih memekik keras tertahan, dan tampak terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Darah segar merembes keluar dari sela-sela jari tangan yang keriput. Pada saat itu, orang yang berbaju biru gelap melompat cepat bagai kilat sambil tongkatnya melayangkan satu pukulan keras. Begitu kerasnya sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai topan.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Des!
"Aaa...!" Kembali laki-laki tua berjubah putih itu menjerit. Hantaman tongkat berbentuk ular kobra itu tepat mengenai kepala laki-laki tua berjubah putih. Terdengar suara berdetak, dan seketika laki-laki berjubah putih itu ambruk ke tanah dengan kepala remuk. Darah mengucur dari dada dan kepalanya. Orang berbaju biru gelap itu berdiri pongah sambil memutar-mutar tongkatnya.
"Hayo! Siapa lagi yang ingin menyusul ke neraka!" teriak orang berjubah biru itu, keras menantang.
Dari sekian banyak orang yang mengelilingi halaman, tak seorang pun yang berani membuka mulut. Laki-laki tua bertongkat ular itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sebentar kemudian dihampirinya laki-laki tua yang tergeletak tengah meregang nyawa di tanah. Ditekan ujung tongkatnya ke dada yang berlumuran darah itu.
"Anom Sura! Di mana kau sembunyikan peti itu?" dingin nada suara laki-laki bertongkat ular itu.
Tapi orang berjubah putih itu tidak menjawab, dan hanya mengerang merasakan sakit yang amat sangat pada dada dan kepalanya. Darah semakin banyak keluar.
"Baiklah. Mungkin kau lebih senang mati. Tapi aku masih bisa mendapatkan kotak itu dari putrimu!" dengus orang itu dingin. "Hih...!"
"Aaa...!"
Tanpa berkedip sedikit pun, orang bertongkat ular itu menghunjamkan ujung tongkatnya hingga menembus dada laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Anom Sura. Sambil menarik kembali tongkatnya, orang itu langsung melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga sekejap saja sudah lenyap tak berbekas.
"Guru...!"
"Paman...!"
Mereka yang berkerumun mengelilingi halaman itu berhamburan memburu laki-laki tua berjubah putih yang tergeletak di tanah bersimbah darah. Salah seorang berbaju hijau yang pedangnya tergantung dipinggang bergegas mengangkat kepala Ki Anom Sura dan menopang dengan pahanya.
"Paman...."
"Adilangu. Cepatlah pergi ke Gunung Cakal. Jemput adikmu dan bawa ke sini," kata Ki Anom Sura lemah.
"Paman...."
"Akh...! Rasanya aku tidak kuat lagi. Adilangu, cepatlah pergi dan katakan agar Rampita..., akh!"
"Paman...!"
"Adilangu, bawa kotak yang ada di bawah balai semadiku. Berikan pada putriku..., akh...!"
"Paman...!"
"Guru...!"
Namun Ki Anom Sura sudah terkulai. Adilangu memeluk laki-laki tua itu. Diusapkan tangannya ke wajah Ki Anom Sura. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap wajah-wajah yang tertunduk dalam tanpa cahaya di sekelilingnya. Kemudian Adilangu mengangkat tubuh laki-laki tua itu dan membawanya masuk ke dalam rumah besar yang tampak terang benderang
Tak ada sedikit pun suara yang terdengar. Semua orang yang berkerumun di depan rumah itu hanya diam sambil menundukkan kepala. Laki-laki itu membaringkan tubuh Ki Anom Sura di atas dipan kayu, kemudian duduk bersila di lantai. Semua orang yang berada di belakangnya ikut duduk bersila. Secara bersamaan mereka merapatkan tangannya di depan hidung, memberi penghormatan terakhir pada laki-laki tua itu.
********************
Adilangu memacu cepat kudanya bagai dikejar setan. Sepanjang jalan yang dilalui, meninggalkan kepulan debu karena tersepak kaki-kaki kuda hitam itu. Tak peduli ada kubangan berlumpur, pohon tumbang melintang menghadang jalan, pemuda itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Sebuah buntalan kain di punggung berguncang-guncang mengikuti tubuhnya yang tidak bisa diam di atas punggung kuda.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Adilangu semakin keras menggebah kudanya. Tidak dipedulikan lagi jalan yang mulai sulit dilalui karena semakin rapatnya pepohonan. Terlebih lagi jalan itu mendaki, sedangkan kuda hitam yang ditungganginya semakin terseok kewalahan. Binatang tunggangan itu mendengus-dengus kelelahan. Seharian dipacu cepat tanpa beristirahat sebentar saja. Namun pemuda itu terus menggebah kudanya agar tetap berlari kencang.
Wus...!
Tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Adilangu terperanjat, lalu cepat-cepat menarik tali kekang kudanya. Akibatnya, binatang itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Adilangu melentingkan tubuhnya dan berputaran beberapa kali di udara sebelum kakinya menjejak tanah. Sementara, anak panah itu menancap di sebuah pohon tidak jauh dari tempatnya mendarat. Sedangkan kuda hitam itu langsung berlari tanpa mempedulikan majikannya yang tertinggal. Adilangu mendengus seraya menatap tajam ke sekeliling.
Srak! Srak...!
Adilangu langsung meraba gagang pedangnya di pinggang ketika tiba-tiba saja di sekitarnya berlompatan sekitar sepuluh orang bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung mengepung pemuda itu. Pemuda itu menatap seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan saat mendengar tawa keras menggelegar dari atas dahan pohon.
"Ha ha ha...!"
Adilangu hanya mendesis kecil. Laki-laki berwajah penuh berewok yang berdiri di atas pohon itu terus tertawa terbahak-bahak, seakan-akan tengah menyaksikan suatu pertunjukan yang mengocok perutnya. Dia mengenakan baju hitam, dan celana hitam sebatas lutut. Tampak gagang golok berwarna gading menyembul dipinggang. Tubuhnya besar dan kekar, tapi anehnya dahan kecil itu tidak melengkung menahan beban tubuhnya. Adilangu sadar kalau orang itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Dan tentu saja, sepuluh orang yang mengepungnya juga bukan orang kosong.
"Siapa kalian? Mengapa menghadang jalanku?" tanya Adilangu ketus.
"He he he...! Anak Muda, aku tahu asalmu. Dan tentu saja aku tahu apa yang kau bawa. Demi keselamatanmu, tinggalkan saja mainan itu. Dan kau boleh pergi dengan selamat!" ujar laki-laki di atas pohon. Suaranya besar dan terdengar berat sekali.
"Hmmm..., kau pasti Barong Codet," desis Adilangu menatap wajah laki-laki itu.
Memang pada pipi kiri laki-laki berewok itu terdapat luka memanjang bagai lintah menempel. Luka itu hampir menyentuh sebelah matanya. Adilangu mengenali orang itu, karena pernah melihat pamannya bertarung dengannya. Luka di pipi kirinya juga akibat tergores ujung tongkat Ki Anom Sura.
"Kau sudah tahu siapa diriku, Adilangu. Dan aku tidak segan-segan membunuhmu! Tak ada lagi yang bisa melindungimu. Si tua bangka itu sudah tenang dineraka! Ha ha ha...!"
Adilangu mendesis geram, tapi juga heran. Dari mana Barong Codet mengetahui kematian Ki Anom Sura? Padahal baru kemarin Ki Anom Sura tewas ditangan seseorang yang tidak dikenalnya. Dan tentu saja berita kematian Ketua Padepokan Tongkat Sakti itu belum tersebar sampai keluar.
"Dari mana kau tahu, Barong Codet?" tanya Adilangu tidak bisa menahan keingintahuannya.
"Ha ha ha...! Semua orang sudah tahu kalau si tua bangka itu sudah mampus!" sahut Barong Codet. "Kini tak ada lagi penghalang untuk membalas kekalahanku! Padepokan Tongkat Sakti harus musnah, dan mainan itu harus menjadi milikku! Ha ha ha...!"
Adilangu terdiam. Disadari dan diketahui betul siapa Barong Codet itu. Dia adalah pemimpin gerombolan begal yang paling ditakuti di sekitar Lembah Bunga ini. Bahkan sampai ke Kaki Gunung Cakal nama Barong Codet sangat ditakuti. Tingkat kepandaian yang dimiliki juga sangat tinggi. Dan Adilangu sadar kalau kemampuannya belum bisa mengimbangi laki-laki beringas itu. Tapi, kotak yang dibawanya tidak mungkin begitu saja dilepaskan. Benda ini harus sampai pada Rampita, sesuai amanat yang diberikan pamannya sebelum ajal menjemput.
"Cepat, berikan mainan itu, Adilangu!" bentak Barong Codet tidak sabar lagi.
"Tidak semudah itu, Barong Codet Kau harus melangkahi dulu mayatku!" sahut Adilangu nekad, meskipun sadar tidak akan mampu menghadapinya. Tapi baginya lebih baik mati daripada menjadi pengecut.
"Bocah setan! Bunuh bocah itu...!" seru Barong Codet menggeram marah.
Serentak sepuluh orang bersenjata golok yang mengepung Adilangu berlompatan menyerang. Pemuda itu langsung mencabut pedangnya, menyambut serangan sepuluh orang bersenjata golok. Suatu pertarungan yang tidak seimbang terjadi. Satu lawan sepuluh orang memang bukan pertarungan yang menarik Dan sudah dapat diduga hasilnya.
Baru beberapa gebrakan saja, Adilangu sudah tampak kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Beberapa kali tubuhnya harus menerima pukulan dan tendangan, sehingga membuatnya harus jatuh bangun bergulingan di tanah. Tapi pemuda itu tidak mengenal menyerah, dan terus bertahan walaupun menyadari tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.
Serangan sepuluh orang bersenjata golok itu kian gencar, dan membuat ruang gerak Adilangu semakin menyempit. Terlalu sukar bagi pemuda itu untuk bisa meloloskan diri. Memberi serangan balasan pun sudah sukar sekali. Sekali pun bisa, itu pun tidak ada artinya sama sekali. Serangan yang dilakukan selalu dapat dimentahkan sebelum sampai pada sasaran.
"Ha ha ha...!" Barong Codet tertawa terbahak-bahak melihat Adilangu semakin tak sanggup lagi bertahan.
Dari mulut dan hidung pemuda itu sudah mengucurkan darah. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Bahkan untuk mengangkat pedang saja sudah tidak sanggup lagi. Tubuhnya terlontar dari satu orang ke orang lainnya. Adilangu benar-benar dijadikan bola, ditendang ke sana kemari tanpa mampu membalas. Bahkan pedangnya kini sudah terlepas dari genggaman tangan. Pemuda itu tidak tahu lagi, sudah berapa banyak tendangan dan pukulan mendarat di tubuhnya. Kepalanya semakin terasa pening. Rasanya tubuh Adilangu sudah tidak bisa lagi merasakan pukulan maupun tendangan yang mampir di tubuhnya.
Slap!
Tiba-tiba saja ketika Adilangu terpental akibat tendangan keras, sebuah bayangan menyambar tubuhnya dan membawa keluar dari kepungan sepuluh orang itu. Seketika tawa Barong Codet terhenti, dan kontan menggeram dahsyat. Sementara itu sepuluh orang anak buahnya langsung memutar tubuhnya.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu Adilangu sudah berada di atas pundak seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau. Pemuda itu mengedarkan pandangannya berkeliling, merayapi sepuluh orang yang kini sudah mengepungnya. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Barong Codet yang masih berada di atas dahan pohon.
"Biadab! Mengeroyok orang yang tidak berdaya sama sekali!" desis pemuda berbaju kulit harimau itu dingin dan datar.
"He, bocah! Jangan campuri urusanku!" bentak Barong Codet geram.
"Sama sekali aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, Kisanak. Tapi rasanya tidak bisa kubiarkan jika kalian seenaknya saja menyiksa orang yang sudah tidak punya daya!" sahut pemuda itu lantang.
"Setan alas! Keparat...! Seraaang...!" maki Barong Codet seraya memberi perintah.
"Maaf, aku tidak punya waktu untuk menghadapi tikus macam kalian! Hup!"
Bagai kilat pemuda berbaju kulit harimau itu melesat ke atas dan langsung lenyap seketika itu juga. Barong Codet memaki habis-habisan. Diperintahkan seluruh anak buahnya untuk mencari dan mengejar. Tanpa membantah sedikit pun sepuluh orang itu segera berlari berpencar. Sedangkan Barong Codet sendiri langsung melompat turun dan menghentak-hentakkan kakinya sambil memaki-maki tidak karuan.
********************
Sementara itu di dalam sebuah gua batu yang letaknya di Tebing Jurang Lembah Bunga, Adilangu merintih sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Dikerjapkan matanya, dan kontan tersentak begitu menyadari dirinya berada di tempat yang sangat asing. Tapi begitu hendak bangun, sebuah tangan mencegah dadanya.
"Jangan bangun dulu. Berbaringlah sebentar lagi," terdengar suara dari arah samping.
Adilangu menoleh. Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau tersenyum sambil menjauhkan tangannya dari dada Adilangu yang sudah berbaring lagi.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Adilangu.
"Aku Bayu. Dan aku telah melihatmu tengah dikeroyok orang. Lalu kau kubawa ke sini. Tenang sajalah. Tak ada seorang pun yang tahu tempat ini," jelas pemuda berbaju kulit harimau itu setelah memperkenalkan dirinya. Dia memang Bayu yang dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Oh...," Adilangu mendesah panjang seraya memejamkan matanya. Sebentar kemudian Adilangu kembali membuka matanya. Kini dia ingat. Dalam perjalanan, dirinya telah dihadang Barong Codet dan sepuluh orang anak buahnya, dan tak mampu menghadapi keroyokan mereka. Mungkin saat itu Adilangu sudah jatuh pingsan ketika Bayu muncul dan menyelamatkannya dari maut. Dipandanginya pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kisanak,"
"Namaku Adilangu..." Adilangu memperkenalkan diri.
"Bayu.... Panggil saja Bayu," pinta Bayu diiringi senyuman.
"Oh, iya. Hmmm..., di mana ini?" tanya Adilangu seraya bergerak hendak bangkit berdiri.
Bayu membiarkan saja Adilangu bergerak, walaupun hanya mampu duduk bersila. Diedarkan pandangannya kesekeliling, dan baru disadari kalau dirinya berada dalam sebuah gua yang tidak begitu besar dan dalam. Adilangu memandang ke mulut gua, dan menjadi terkejut karena langsung melihat tebing seberang dari sebuah jurang. Langsung dipandanginya Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya asyik memutar-mutar daging bakar di atas perapian.
"Tempat ini masih berada di Lembah Bunga," jelas Bayu.
"Di Jurang Kematian...?!" desis Adilangu ragu-ragu.
"Benar," ringan sekali jawaban Bayu.
"Oh...," lagi-lagi Adilangu mendesah.
"Kenapa? Tampaknya kau takut mendengar nama jurang ini. Itu hanya sebuah nama saja, dan tidak ada yang perlu ditakuti di jurang ini," kata Bayu.
"Belum ada seorang pun yang bisa keluar dari jurang ini. Itu sebabnya dinamakan Jurang Kematian," desah Adilangu.
Adilangu menatap dalam-dalam pemuda berbaju kulit harimau itu. Hatinya jadi menduga-duga, siapa sebenarnya pemuda ini? Mengapa menolong dan membawanya ke jurang yang terkenal angker dan menyeramkan? Semua orang lebih baik memutar daripada harus melewati jurang ini. Sekali saja terpeleset, dan jatuh ke dalam jurang ini tidak akan bisa kembali lagi. Bahkan mayatnya pun lenyap begitu saja.
"Apa itu?" tanya Adilangu menunjuk daging bakar di atas api.
"Hanya daging rusa. Mau?" sahut Bayu seraya menawarkan.
Adilangu tampak ragu-ragu.
"Di dasar jurang ini memang banyak kerangka manusia dan mayat-mayat membusuk. Tapi aku belum pernah memakan daging manusia. Masih banyak binatang yang bisa diburu dan dimakan," kata Bayu seperti bisa membaca keraguan Adilangu.
Bayu menyodorkan sekerat daging yang ditusuk sebatang ranting. Adilangu menerimanya meskipun masih diliputi keraguan. Dia belum mengenal pemuda berbaju kulit harimau, meskipun sudah disebutkan namanya. Baru sekali ini pemuda berbaju kulit harimau itu dilihatnya, dan itu pun di Jurang Kematian. Inilah yang mengganggu pikirannya. Tapi kelihatannya Bayu tenang saja menikmati daging panggang. Adilangu menelan ludahnya yang kering.
Sebentar pemuda itu memandangi sekerat daging di tangannya, kemudian mencoba memakannya sedikit. Alisnya terangkat naik begitu merasakan daging panggang ini. Lidahnya bisa membedakan rasa daging meskipun hanya dibakar saja. Jelas kalau ini daging rusa, bukan seperti yang ada dalam pikirannya. Adilangu kembali menggigit dan mengunyahnya. Bahkan mengambil satu kerat lagi. Perutnya memang sudah lapar. Sejak pergi dari Padepokan Tongkat Sakti, perutnya belum terisi makanan sedikit pun.
"Siapa mereka yang mengeroyokmu?" tanya Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
"Ceritanya panjang...," sahut Adilangu.
"Hmmm..., kelihatannya mereka ingin membunuhmu. Kenapa?"
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi pemimpin mereka menghendaki barang yang kubawa ini," sahut Adilangu seraya menepuk buntalan kain di sampingnya.
"Apa itu?"
"Hanya sebuah kotak kayu. Aku sendiri tidak tahu isinya. Aku hanya mendapat amanat untuk menyampaikan kotak ini pada pemiliknya."
"Kalau begitu, sebaiknya besok pagi saja kau berangkat. Lukamu tidak ada yang terlalu berarti."
"Besok pagi...?"
"Iya, kenapa?"
Adilangu memandang keluar. Sungguh tidak disadari kalau hari ini sudah malam. Itu berarti cukup lama juga dirinya tidak sadarkan diri. Adilangu diam membisu memandang keluar gua. Memang aneh gua ini. Kelihatan terang seperti masih siang saja, padahal sudah malam.
Cahaya terang itu ternyata berasal dari batu yang banyak tersebar di tebing-tebing jurang ini. Batu-batu itu memantulkan cahaya bulan, sehingga membuat keadaan jurang ini terang meskipun malam hari. Sungguh tidak diduga sama sekali, baru kali ini Adilangu menyaksikan Jurang Kematian pada malam hari.
DUA
Dengan hanya sedikit mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Adilangu sudah berhasil mencapai tepi Jurang Kematian. Pemuda itu sendiri tidak menyangka akan begitu mudah keluar dari jurang yang sudah terkenal angker ini. Memang sesuatu yang dikatakan angker dan berbahaya belum tentu menakutkan. Dan sekarang Adilangu tahu kalau Jurang Kematian sebenarnya tidaklah seangker cerita-cerita yang didengar sebelumnya. Bahkan jurang ini terlihat begitu indah, tak nampak sedikit pun keangkerannya.
Hanya saja hati Adilangu masih diliputi berbagai macam tanda tanya tentang pemuda berbaju kulit harimau yang menyelamatkannya dari tangan maut si Barong Codet. Meksipun pemuda itu sudah memperkenalkan diri, tapi Adilangu masih juga bertanya-tanya, siapa sebenarnya Bayu itu.
"Gunung Cakal masih terlalu jauh dari sini. Tapi kau bisa menyusuri bibir jurang ini dan terus berjalan ke arah Timur," jelas Bayu.
"Kau tidak ikut ke sana?" tanya Adilangu. Padahal, Adilangu berharap agar pemuda berbaju kulit harimau itu bersedia mengantarnya sampai ke Gunung Cakal. Terus terang, hatinya masih khawatir akan gerombolan si Barong Codet yang pasti masih mencari dan ingin merebut kotak kayu yang dibawanya ini. Adilangu memandangi Bayu dalam-dalam dengan satu harapan agar yang dinanti-nantikannya terkabul.
"Rasanya aku tidak ada keperluan di Gunung Cakal. Jadi, kau bisa melanjutkan perjalanan sendiri. Aku yakin, jika menyusuri bibir jurang, tidak ada yang mencegatmu lagi," kata Bayu kalem.
Adilangu mengangkat bahunya. Tidak mungkin pemuda berbaju kulit harimau ini didesak terus agar ikut bersamanya ke Gunung Cakal. Setelah mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi sebentar, Adilangu kemudian berjalan menuju arah Timur, menyusuri bibir jurang.
Ayunan langkah kakinya begitu pelan, seakan-akan tidak ada gairah untuk melanjutkan perjalanannya kembali. Dia menyesal karena tidak membawa teman seorang pun dalam perjalanan yang banyak menempuh rintangan dan bahaya ini. Padahal bisa saja separuh murid pamannya dibawa. Adilangu memalingkan mukanya ke belakang. Langkahnya seketika terhenti karena tidak melihat lagi pemuda berbaju kulit harimau di sana.
"Hmmm..., ke mana dia?" Adilangu bergumam pelan bertanya pada diri sendiri.
Pemuda itu mengangkat sedikit bahunya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Rasanya tepian jurang yang menyeramkan ini ingin ditinggalkannya. Namun mengingat gerombolan Barong Codet dan pesan Bayu, Adilangu jadi memantapkan hati untuk terus menyusuri jalan yang tidak pernah dilalui orang ini.
"Ha ha ha...!"
Adilangu tersentak ketika tiba-tiba mendengar tawa menggelegar di sekitarnya. Tawa itu seperti datang dari segala arah, dan itu pertanda pemilik suara memiliki kemampuan tenaga dalam tinggi. Adilangu langsung menghentikan langkahnya. Diedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak seorang pun yang dilihatnya. Wajah pemuda itu mulai terlihat memucat Pikiran-pikiran buruk mulai menghantui benaknya.
"Jangan-jangan.... Hihhh...," Adilangu bergidik. Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda itu langsung berlari kencang Namun, suara tawa itu masih juga terdengar. Bahkan seakan-akan mengikuti setiap ayunan kaki pemuda itu. Dan ini membuatnya semakin kencang berlari.
"Ah...!" tiba-tiba Adilangu terpekik kaget. Seketika pemuda itu menghentikan larinya.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pemuda itu sudah berdiri seorang laki laki tua berbaju hitam panjang. Tangannya memegang tongkat berbentuk ular kobra yang lehernya terkembang. Wajah Adilangu seketika memucat, dan seluruh tubuhnya gemetar bersimbah keringat sebesar butiran jagung.
Adilangu tahu betul, siapa orang tua berjubah hitam ini. Dialah yang telah membunuh pamannya. Meskipun pemuda itu belum mengetahui nama dan urusan orang tua itu dengan Ketua Padepokan Tongkat Sakti Itu, tapi diyakini kalau dia pasti menginginkan kotak yang dibawanya.
"Mau apa kau menghadangku?!" bentak Adilangu, memberanikan diri.
Orang tua bertongkat ular kobra itu hanya tertawa kecil. Bibirnya tersenyum kecil, namun sorot matanya begitu tajam menusuk, memancarkan sinar merah membara bagai hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda di depannya. Sedangkan Adilangu beringsut mundur beberapa langkah, tubuhnya bergidik ngeri. Tatapan mata laki-laki tua itu demikian tajam, membuat jantungnya serasa berhenti berdetak
"Ku akui keberanianmu, Anak Muda. Tapi sayang, aku harus memaksamu. Mungkin juga bisa membunuhmu...!" dingin sekali suara orang tua bertongkat ular kobra itu.
"Apa yang kau inginkan dariku...?" tanya Adilangu agak bergetar suaranya.
"Aku tahu kau berasal dari Padepokan Tongkat Sakti. Dan tentu saja aku juga tahu kalau kau adalah keponakan si tua bangka pengkhianat Anom Sura. Maka, jika ingin dirimu selamat, tunjukkan padaku dimana si tua bangka pengkhianat itu menyimpan kotaknya!" tak ada nada pada suara laki-laki tua bertongkat ular kobra itu.
Adilangu menelan ludahnya. Pemuda cerdas itu langsung mengerti kalau orang tua kejam ini tidak mengetahui dirinya tengah membawa kotak kayu aneh dan misterius itu. Seketika otak Adilangu bekerja keras. Ada sedikit harapan untuk bisa lolos dari cengkeraman laki-laki tua ini.
"Aku tidak tahu," sahut Adilangu.
"Ha ha ha...! Kau pikir aku mudah percaya begitu saja, monyet jelek! Aku tahu kau pergi dari Padepokan Tongkat Sakti, dan tujuanmu adalah Gunung Cakal. Hmmm.... Apa yang kau bawa itu, monyet?!"
"Pakaian," sahut Adilangu bergetar suaranya. Pupus sudah harapan pemuda itu untuk bisa lolos dari tangan orang tua berkepandaian tinggi ini. Namun Adilangu masih juga mencari jalan, dan otaknya berputar keras agar bisa lolos tanpa memeras keringat Kalau pun dia terpaksa bertarung, paling-paling mati. Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Baginya lebih baik mati daripada harus menyerah begitu saja.
"He he he...," orang tua bertongkat ular kobra itu terkekeh. Dilangkahkan kakinya pelan menghampiri pemuda di depannya.
"He! Mau apa kau...?!" sentak Adilangu bergegas mundur.
"Berikan itu padaku!" bentak orang tua itu keras dan dingin.
"Tidak! Ini hanya pakaianku saja. Tidak ada gunanya buatmu!"
"Heh! Jangan paksa aku untuk menggunakan kekerasan, bocah setan!" dengus orang tua bertongkat ular kobra itu dingin.
Adilangu menelan ludah untuk ke sekian kalinya, sambil terus bergerak mundur sambil mendekap buntalan kain erat-erat. Matanya jelalatan mencari jalan agar bisa lari dan terlepas dari orang tua berwajah bengis ini. Tapi, tak ada jalan keluar untuknya. Di sebelah kiri jurang yang cukup dalam terus menganga, siap menelan tubuhnya. Sedangkan di sebelah kanannya adalah dinding batu cadas yang cukup tinggi, licin, dan berlumut tebal. Untuk berbalik dan lari, rasanya tidak mungkin lagi. Orang tua ini pasti dengan mudah bisa mengejar.
"He he he.... Kau tidak akan bisa lolos dariku, bocah! Jika masih sayang nyawa, berikan itu padaku!" geram orang tua bertongkat ular kobra itu.
"Tidak!" sentak Adilangu keras.
"Bocah setan! Kau memaksaku bermain keras, heh...?!" geram orang itu.
Adilangu benar-benar nekat Dicabut pedangnya dan dilintangkan di depan dada. Buntalan kain lusuhnya disampirkan di punggung, dan diikat kuat-kuat Tak ada pilihan lain bagi Adilangu selain mencoba melawan semampunya. Walaupun tindakannya ini mengandung resiko yang amat tinggi, tapi dia tidak peduli. Mati lebih baik daripada harus menyerah dan mengkhianati pamannya.
"Hih! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja orang tua bertongkat ular kobra itu berteriak keras sambil melompat bagai kilat Tongkatnya dikibaskan ke arah kepala Adilangu. Secepat itu pula Adilangu melompat mundur sambil menghentakkan pedangnya.
Trang!
"Akh...!" Adilangu terpekik keras.
Seluruh tangan kanannya bergetar hebat sedangkan pedangnya terlontar jauh begitu membentur tongkat ular kobra itu. Dan sebelum Adilangu bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja satu tendangan keras mendarat di dadanya. Kembali pemuda itu berteriak keras, dan tubuhnya terpental deras ke belakang. Punggungnya tertahan sebatang pohon cemara hingga tumbang Adilangu bergulingan di tanah berbatu, dan hampir saja masuk ke dalam jurang kalau saja tangan kurus orang tua itu tidak mencekal tangannya. Dan hanya sekali hentak saja, pemuda itu kembali terpental menghantam dinding batu di tepi jurang itu.
"Akh...!" lagi-lagi Adilangu memekik keras. Pemuda itu melorot turun. Seluruh tulang-tulangnya terasa remuk. Adilangu berusaha.bangkit berdiri sambil meringis menahan sakit, dan akhirnya berhasil berdiri meskipun dalam keadaan limbung. Dia tidak tahu lagi, di mana pedangnya. Mungkin terjatuh ke dalam jurang di sana. Sementara orang tua bertongkat ular kobra itu berdiri tegak menatap tajam padanya. Dengan punggung merapat pada dinding batu, Adilangu berusaha bergeser, walaupun seluruh tubuh nyeri dan kakinya gemetar.
"Aku bisa saja membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan, bocah!" ancam orang bertongkat ular kobra itu mendesis.
"Phuih! Lebih baik aku mati daripada harus menyerah padamu!" balas Adilangu nekad.
"Pilihan tolol!" Mendadak saja dengan satu kecepatan luar biasa, orang tua bertongkat ular kobra itu mengecutkan tongkatnya ke arah kepala Adilangu. Begitu cepatnya, sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai topan.
Adilangu terperangah dengan mata membelalak dan mulut ternganga lebar. Rasanya tak mungkin lagi pemuda itu mengelakkan tongkat yang melayang deras ke arahnya itu. Namun mendadak saja, begitu kepala tongkat hampir menghantam kepalanya, sebuah bayangan berkelebat menahan tongkat itu Seketika tongkat itu disentakkannya hingga terpental balik.
"Heh...?!" orang tua berjubah hitam itu terkejut. Kalau saja tongkatnya tidak cepat diputar, mungkin senjatanya itu sudah terlepas dari tangannya. Hentakan bayangan itu demikian keras. Apalagi, orang tua bertongkat ular kobra itu tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena begitu yakin kalau Adilangu akan tewas dalam sekali pukul saja.
"Bayu...," desah Adilangu, begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit harimau tahu tahu sudah berdiri di depannya.
"Beludak edan...!" maki orang tua bertongkat ular kobra itu geram. Tatapan matanya merah membara dan tajam sekali menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka. Sementara Adilangu buru-buru menyingkir dari tempat itu. Kemunculan Bayu yang begitu tiba-tiba memberi harapan Adilangu untuk bisa menyelamatkan kotak kayu yang menjadi tanggung jawabnya.
"Bocah gendeng! Siapa kau?!" bentak orang tua bertongkat hitam itu gusar.
"Kau sendiri siapa, Orang Tua?" Bayu balas bertanya.
"Monyet! Aku yang tanya padamu!" bentak laki-laki tua bertongkat ular kobra itu garang.
"Aku juga bertanya padamu," terang sekali suara Bayu membalikkan kata-kata oranh tua itu.
"Phuih! Kau cari penyakit, bocah setan!"
Bayu hanya tersenyum saja. Digeser kakinya sedikit ke samping, kemudian berpaling melirik Adilangu.
"Pergilah kau! Biar orang tua itu kuberi sedikit tata krama," kata Bayu kalem.
"Oh, iya. Hati-hati, Bayu," sahut Adilangu.
Bergegas Adilangu berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Kesempatan yang baik ini tidak ingin disia-siakan begitu saja. Sementara orang tua bertongkat ular kobra itu jadi menggereng marah. Tiba-tiba saja dikibaskan tangan kirinya ke arah Adilangu. Seketika itu juga sebuah benda bulat berwarna hitam melesat dari tangannya.
Wusss!
"Adilangu, awas...!" seru Bayu keras.
Adilangu membalikkan tubuhnya. Tapi belum juga melakukan sesuatu, benda hitam itu sudah menghantam dadanya.
"Aaa...!" Adilangu menjerit keras melengking. Tubuh pemuda itu terpental ke belakang, dan ambruk keras sekali ke tanah berbatu. Darah mengucur deras dari dada yang berlubang kecil sebesar ibu jari. Pemuda itu menggelepar sambil merintih.
"Biadab...!" desis Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu melesat menghampiri Adilangu yang masih menggelepar.
"Adilangu...."
"Bayu, tolong selamatkan benda ini. Berikan pada Rampita di Gunung Cakal.... Akh!"
"Adilangu...!"
Tapi Adilangu sudah terkulai Dari mulutnya mengalir darah kental agak kehitaman. Pemuda dari Padepokan Tongkat Sakti itu tewas setelah dadanya tertembus benda hitam yang dilontarkan orang tua bertongkat ular kobra.
Pelahan Bayu bangkit berdiri. Diperhatikannya tubuh Adilangu yang mulai membiru, kemudian berubah hitam. Pelahan-lahan tubuh anak muda itu membusuk, lalu mencair bagai lilin terbakar. Bergegas Bayu mengambil buntalan kain, dan mengikatkan ke bahu kirinya.
Seluruh tubuh Adilangu benar-benar mencair, dan yang tinggal hanya tulang belulang teronggok. Pendekar Pulau Neraka mendesis. Diputar tubuhnya menghadap orang tua bertongkat ular kobra yang terkekeh. Bayu menggeretakkan rahangnya geram. Kekejaman orang tua itu membuat darahnya mendidih seketika.
"Ha ha ha...! Nasibmu tidak akan jauh berbeda dengan monyet tolol itu, jika berani menentang Sureng Rana si Kobra Hitam! Ha ha ha...!" orang tua bertongkat itu tertawa tergelak-gelak.
Buat Pendekar Pulau Neraka tidak akan peduli dengan siapa berhadapan. Baginya, yang penting kekejaman yang terjadi di depan matanya tidak bisa didiamkan begitu saja. Dia lahir ke dunia ini memang ditakdirkan untuk memberantas keangkaramurkaan. Darah Pendekar Pulau Neraka menggolak mendidih. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
Sementara laki-laki tua bertongkat hitam, yang mengaku bernama Sureng Rana masih tertawa terbahak-bahak. Dia juga dikenal berjuluk si Kobra Hitam. Suatu julukan yang bisa membuat orang merinding dan berpikir seribu kali untuk menghadapinya. Tapi bagi Bayu tidak ada bedanya sama sekali, dan tidak akan undur setapak pun.
"Anak Muda, aku yakin kau bukan dari Padepokan Tongkat Sakti. Lalu untuk apa bersusah payah mencampuri urusan ini, heh?!" dengus Sureng Rana dingin.
"Aku memang tidak ada hubungan dengan siapa saja. Tapi, kekejamanmu yang membuatku tidak bisa berdiam diri!" balas Bayu tidak kalah dinginnya.
"Kau akan menyesal membela pengkhianat, Anak Muda!"
"Akan lebih menyesal lagi jika membiarkan kekejamanmu terus berlangsung!"
"Phuih! Ternyata kepalamu keras juga, bocah! Tapi aku ingin tahu, apa kepalamu juga sekeras batu itu!
Yeaaah...!"
Sureng Rana menghantamkan tongkatnya ke sebuah batu sebesar anak kerbau di sampingnya. Ledakan terdengar dahsyat, dan seketika batu itu hancur berkeping-keping. Melihat hal itu, Bayu hanya tersenyum tipis. Tak ada yang aneh baginya jika hanya memecahkan sebongkah batu saja. Sambil tersenyum mengejek, Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri sebongkah batu yang lebih besar dua kali lipat. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sekali pukul saja batu itu hancur berantakan menimbulkan kepulan debu membumbung tinggi ke angkasa. Sureng Rana sampai terlonjak dua langkah ke belakang. Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju dari kulit harimau itu mampu menghancurkan sebongkah batu yang amat besar, hanya sekali pukul. Bahkan dengan tangan kosong.
"Pertunjukan anak kecil!" dengus Sureng Rana mencoba menghilangkan keterkejutannya.
"Jika kau ingin yang lebih besar, majulah!" tantang Bayu.
"Ha ha ha...!" Sureng Rana tertawa terbahak-bahak.
Begitu suara tawanya menghilang, secepat kilat laki-laki tua bertongkat ular kobra itu melesat menerjang Bayu. Tongkatnya bergerak cepat menimbulkan suara angin menderu-deru bagai topan. Saat itu juga Bayu mengegoskan tubuhnya menghindari sabetan tongkat ular kobra itu. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu agak terkejut juga, karena tubuhnya hampir terpelanting terkena angin tebasan itu.
Buru-buru Bayu melompat mundur tiga tindak. Tapi Sureng Rana kembali menerjang ganas. Pendekar Pulau Neraka itu menghadapinya dengan jurus-jurus pendek, namun gerakan kakinya begitu lincah. Itu pun masih diimbangi gerakan tubuh yang meliuk-liuk lentur untuk menghindari setiap tebasan maupun tusukan tongkat berbentuk ular kobra itu.
Jurus-jurus berlalu cepat. Pertarungan nampaknya masih akan berlanjut cukup lama. Sampai sejauh ini Sureng Rana belum mampu mendesak pemuda itu. Dan tentu saja hal ini membuatnya jadi geram bercampur heran.
Belum pernah dia berhadapan dengan seorang pemuda yang mampu menandinginya setelah lima jurus dikerahkan. Secara jujur Sureng Rana mengakui ketangguhan Pendekar Pulau Neraka ini. Laki-laki tua ini semakin penasaran, karena setelah lewat sepuluh jurus belum juga berhasil mendesak lawannya.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Dihentakkan ujung tongkatnya ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Pandangan matanya tajam menusuk dan bibirnya terkatup rapat. Ditekan tongkatnya ke tanah dengan kedua tangan di bagian kepala tongkat berbentuk ular itu.
"Hm Kenapa berhenti, Orang Tua?" sinis nada suara Bayu.
"Siapa gurumu, bocah?" Sureng Rana balik bertanya dengan suara datar.
"Untuk apa kau tahu guruku? Kalau tidak sanggup menandingiku, pergilah!" ketus sekali nada suara Bayu.
"Aku tidak akan membunuh orang sebelum kuketahui siapa orang itu!"
"Baiklah. Namaku Bayu, dan berasal dari Pulau Neraka. Dan kau tidak perlu tahu siapa guruku. Jelas...!" tegas kata-kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau membela orang-orang Padepokan tongkat Sakti?" tanya Sureng Rana ingin tahu.
"Karena aku muak melihat kekejamanmu!" sahut Bayu dingin.
"Hmmm.... Ternyata kau belum tahu persoalannya, bocah. Sebaiknya jangan ikut campur dalam masalah ini. Aku tidak ingin ada orang luar ikut campur. Ini persoalan keluarga, bocah. Kutegaskan sekali lagi, ini persoalan keluarga dan jangan membuang-buang tenaga percuma!" tegas sekali suara Sureng Rana.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja. Pendekar Pulau Neraka itu mengamati perawakan laki-laki tua berjubah hitam yang menggenggam tongkat berbentuk ular kobra yang tengah mengembangkan lehernya. Kemudian diliriknya Adilangu yang sudah menjadi seonggok kerangka. Seluruh tubuh pemuda itu mencair dan lenyap merembes ke dalam tanah.
"Bocah! Apakah kau tahu apa yang ada di dalam buntalan kain itu?" Sureng Rana menunjuk buntalan kain yang tersampir di pundak Bayu.
"Tidak," sahut Bayu terus terang.
"Buntalan itu berisi kotak kayu milikku yang dicuri Ketua Padepokan Tongkat Sakti. Aku mencoba merebutnya kembali, tapi si bangsat Anom Sura mempertahankannya. Tidak ada pilihan lain bagiku, kecuali membunuhnya. Tapi kotak itu berhasil dilarikan Adilangu," jelas Sureng Rana memberitahu isi buntalan kain yang ada pada Pendekar Pulau Neraka sekarang ini.
"Hm.... Adilangu sudah berpesan agar aku menyerahkan benda ini pada pemiliknya. Tapi bukan kau, Orang Tua. Maaf," tegas Bayu.
"Dia bohong, Anak Muda!" geram Sureng Rana.
"Aku tidak mau tahu. Kau atau Adilangu yang bohong, itu urusan kalian! Tapi, yang jelas, aku harus menyampaikan amanatnya dulu. Jika kau memang ingin memilikinya, sebaiknya kau minta dan jelaskan pada pemiliknya nanti," kata Bayu tenang dan tegas terdengar.
Sureng Rana menggereng geram, tapi tidak punya pilihan lain lagi. Ucapan seseorang yang menjelang ajal memang tidak mungkin bisa diganggu-gugat lagi. Orang lebih percaya pada kata-kata orang menjelang ajal daripada yang masih hidup sehat. Meskipun kata-kata menjelang ajal bisa juga mengakibatkan malapetaka.
"Baiklah, bocah. Berikan saja benda itu pada pemiliknya. Dan aku akan memintanya kembali, karena benda itu sebenarnya memang milikku!" kata Sureng Rana.
"Bagus!" sambut Bayu tersenyum. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Pulau Neraka itu berbalik dan melangkah tenang meninggalkan laki-laki tua bertongkat ular kobra. Sementara Sureng Rana sendiri masih berdiri tegak memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hhh...! Aku harus menggunakan akal. Berbahaya sekali kalau anak muda itu ikut campur. Kepandaiannya sangat tinggi. Sukar rasanya bagiku untuk menandinginya," keluh Sureng Rana dalam hati.
********************
TIGA
Bayu memandangi Gunung Cakal yang berdiri angkuh dengan puncaknya yang tertutup kabut tebal nampak seperti menantang langit Udara di sekitar gunung ini sejuk sekali, bahkan bisa dikatakan dingin. Sepanjang mata memandang hanya kehijauan yang tampak. Hampir seluruh permukaan tanahnya ditumbuhi pepohonan yang rapat. Gunung Cakal bagai tak pernah terjamah kaki-kaki manusia.
Pelahan-lahan Bayu mengayunkan kakinya mendaki Lereng Gunung Cakal. Sesekali tubuhnya bergeletar merasakan angin dingin berhembus menerpa tubuhnya. Saat ini senja sudah mulai turun, matahari hampir tenggelam di balik cakrawala belahan Barat.
Udara begitu dingin menggigilkan. Entah kalau malam hari, mungkin tak akan sanggup bertahan tanpa penghangat. Namun Pendekar Pulau Neraka itu terus mengayunkan kakinya melangkah tanpa menghiraukan dingin yang semakin menggigilkan.
"Hmmm..., tempat yang cocok untuk melatih ilmu olah kanuragan," gumam Bayu dalam hati.
Sambil terus berjalan, Pendekar Pulau Neraka itu melatih pengerahan hawa murni. Udara dingin seperti ini memang sangat cocok untuk melatih kekuatan yang berpusat di dalam tubuh. Bayu merasakan ayunan kakinya begitu ringan, bahkan sepertinya tidak menjejak tanah. Tak ada suara sedikit pun terdengar setiap kali kakinya terayun melangkah. Semakin tinggi hawa murni dan tenaga dalam yang dikerahkan, semakin ringan tubuhnya. Bahkan Bayu jadi khawatir kalau-kalau akan terbawa angin seperti daun kering.
Tanpa terasa, Pendekar Pulau Neraka itu tiba di Puncak Gunung Cakal. Ilmu tenaga dalam yang dikerahkan membuat pemuda berbaju kulit harimau itu tidak merasa kalau baru saja habis mendaki sebuah gunung yang sangat tinggi. Gunung yang seluruh puncaknya terselimut kabut tebal. Bahkan juga tertimbun salju abadi yang tak akan cair sepanjang jaman. Hawa di puncak gunung ini demikian dingin, seakan-akan hendak membekukan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu. Kalau saja tidak mengerahkan hawa murni, mungkin sudah sejak tadi Bayu mati kaku.
Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepanjang mata memandang, hanya salju dan pohon-pohon cemara yang terlihat. Seluruh permukaan puncak gunung ini bagai terselimut gumpalan kapas putih yang hampir membenam kaki pemuda berbaju kulit harimau itu. Keraguan mulai mengganggu Pendekar Pulau Neraka.
Semakin jauh melintasi puncak gunung ini, semakin sulit kakinya terayun. Bayu seperti berjalan di dalam lautan lumpur, namun dingin membekukan. Seluruh tubuhnya tak lagi terasa hangat, bahkan aliran darahnya terasa membeku.
"Hmmm..., rasanya tidak mungkin ada orang yang hidup di sini," gumam Bayu dalam hati.
Meskipun hati diliputi keraguan, namun Pendekar Pulau Neraka itu tetap mengayunkan langkahnya. Padahal langkahnya semakin sulit saja diayunkan. Permukaan salju di puncak gunung ini bertambah tebal. Kedua kakinya hampir terbenam melewati lutut. Sedangkan hawa dingin semakin terasa membekukan tulang Namun Bayu terus berjalan dengan mata menerawang jauh.
Sementara malam sudah jatuh, dan seluruh alam terselimut kegelapan. Semakin sukar bagi Bayu untuk terus berjalan. Tapi tidak mungkin lagi untuk kembali, karena sudah sampai lebih dari setengah perjalanan. Pendekar Pulau Neraka seperti terjebak di dalam kubangan lumpur salju. Kalau saja pengerahan hawa murninya belum mencapai taraf kesempurnaan, tidak akan mungkin mampu bertahan. Tapi hati pemuda berbaju kulit harimau itu ragu pada keadaan alam yang tidak ramah ini.
"Uh, dinginnya...," keluh Bayu menggigil. Semakin jauh berjalan, semakin sukar ditempuh perjalanan ini. Selain udara yang begitu dingin, salju sudah membenam sampai ke paha. Bayu tidak tahu lagi, apakah kakinya sudah membeku. Karena kakinya terasakan sukar sekali digerakkan. Pendekar Pulau Neraka itu mendongakkan kepala. Tampak gumpalan-gumpalan salju turun bagai kapas putih melayang ditebarkan dari langit. Sementara angin semakin bertiup kencang, dan udara pun semakin terasa dingin membekukan tulang
"Uh! Aku tidak bisa bertahan di sini terus!" dengus Bayu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sudah sangat jarang pepohonan yang ada. Kalau pun ada, hanya pohon cemara. Itu pun jaraknya sangat berjauhan. Pendekar Pulau Neraka itu menatap sebatang pohon cemara yang tidak jauh di depannya. Dalam jarak yang cukup jauh lagi, masih ada sebatang pohon cemara tua.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dan seketika itu juga, dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melesat keluar dari timbunan salju yang semakin menebal. Pemuda berbaju kulit harimau itu meluruk deras, dan hinggap di pohon cemara tua. Hampir saja pohon itu tumbang menahan berat badannya, kalau saja tidak buru-buru mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Namun begitu pohon cemara yang sudah tua ini masih juga bergoyang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Kembali Bayu melentingkan tubuhnya menembus hujan salju. Bagai seekor burung elang, pemuda itu meluruk deras berputaran beberapa kali di udara sebelum kembali hinggap di pohon cemara satunya lagi. Dengan sebelah tangan, dipeluknya batang pohon itu.
Diedarkan pandangannya berkeliling. Hatinya menggerutu. Karena sepanjang mata, yang terlihat hanya gumpalan putih bagai tak bertepi Dia tidak tahu, berapa luasnya Puncak Gunung Cakal ini. Sungguh tidak disangka kalau akan menemukan keadaan alam yang sangat ganjil dan baru pertama kali ini dialami. Untunglah, kini matanya melihat sesuatu.
"Hm..., tampaknya ada gua di sana," gumam Bayu pelan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu melentingkan tubuhnya melesat menuju mulut gua yang dilihatnya. Bayu tidak mau mengambil resiko lagi, dan terus berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau Neraka sudah tiba di depan sebuah mulut gua kecil yang hampir tertutup salju. Disibakkan mulut gua itu, lalu merangkak masuk ke dalam. Dingin sekali udara di dalam gua ini
Sambil meraba-raba dinding gua, Pendekar Pulau Neraka itu terus berjalan masuk lebih ke dalam. Atap gua ini cukup tinggi, sehingga bisa berdiri tegak tanpa takut kepalanya terantuk batu. Bayu terus berjalan sambil merayap meraba-raba dinding gua. Sungguh tidak disangka kalau gua yang kelihatan kecil ini ternyata sangat panjang, dan keadaannya juga lapang. Udara di dalam gua ini cukup dingin, tapi tidak sedingin di luar sana.
"Uh! Sebaiknya aku bermalam dulu di sini. Hmmm..., banyak ranting kering di sini," gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu mengumpulkan ranting kering yang banyak berserakan di sekitar lantai gua. Kemudian dinyalakanlah api menggunakan dua buah batu yang dibentur-benturkan. Percikan bunga api membakar ranting-ranting kering itu. Keadaan gua yang gelap jadi terang oleh cahaya api. Bayu duduk bersila di dekat api itu.
"Hhh..., lumayan...," desahnya sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
"Grrr...!"
"Eh...!" Bayu tersentak kaget. Baru saja akan merebahkan diri, mendadak terdengar suara menggereng, hingga membuat seluruh dinding gua ini bergetar. Bayu buru-buru melompat bangkit berdiri. Matanya menatap lorong gua yang panjang dan gelap. Cahaya api tidak mampu menerangi seluruh gua ini.
"Ghrrr...!"
"Hmmm...," Bayu menggumam begitu mendengar gerengan sekali lagi. Dan belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu berpikir jauh, tiba-tiba saja muncul sesosok tubuh besar berwarna putih. Bayu terlonjak ke belakang beberapa tindak. Hatinya terkejut bukan main melihat sesosok makhluk berbulu serba putih dengan bentuk kepala seperti anjing. Tapi makhluk itu demikian besar, dan sepasang bola matanya merah menatap liar.
"Beruang...?!" desis Bayu sambil melangkah mundur pelahan.
Belum pernah Bayu melihat beruang begini besar yang seluruh bulunya berwarna putih bagai kapas. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melihat beruang, tapi tidak pernah yang seperti ini. Kaki pemuda berbaju kulit harimau itu terus bergerak mundur, dan beruang putih itu terus bergerak maju sambil menggerung-gerung memperlihatkan baris-baris gigi yang bertaring tajam.
"Ghrauughk...!"
Beruang putih itu menggerung keras, membuat seluruh dinding gua bergetar bagai hendak runtuh. Bahkan batu-batu di langit langit gua mulai berjatuhan. Bayu melompat ke belakang sejauh dua batang tombak, dan hampir mencapai mulut gua yang sedikit lagi tertutup salju tebal. Angin dingin menerpa kencang punggungnya. Sementara beruang putih itu semakin mendekat sambil menggerung-gerung memperlihatkan taring giginya.
"Maaf, aku tidak tahu kalau ini tempatmu," ucap Bayu mencoba berdamai.
Tapi beruang putih itu malah menggeram keras menggetarkan. Mulutnya terbuka lebar, memamerkan taring-taring giginya yang tajam bersembulan keluar. Bayu menelan ludahnya yang terasa pahit. Binatang liar ini tidak mungkin bisa diajak berdamai lagi. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka itu melakukan sesuatu, mendadak saja....
"Ghrauuughk..!" Bagai kilat beruang putih itu melompat menerjang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu tak punya pilihan lain lagi, dan langsung melesat keluar gua. Diterjangnya gumpalan salju dan dinginnya udara yang membekukan tulang. Dua kali Pendekar Pulau Neraka itu berjumpalitan di udara, kemudian manis sekali hinggap di salah satu dahan pohon yang tidak seberapa jauh di depan mulut gua.
"Ghraughk..!"
"Edan!" dengus Bayu.
Salju di sekitar mulut gua berhamburan diterjang beruang putih raksasa itu. Bayu sampai ternganga takjub. Kedua matanya membeliak lebar begitu melihat beruang putih itu berdiri sambil menggerung-gerung liar menggapai-gapaikan tangannya. Sungguh tidak disangka, ternyata beruang itu tingginya hampir menyamai pohon cemara. Dan sebelum Bayu bisa berpikir panjang, tiba-tiba saja kuku-kuku binatang liar itu menyampok pohon tempat Bayu berada.
Prak!
"Hiyaaa...!"
Tepat saat pohon itu hancur, Bayu melentingkan tubuhnya. Tiga kali tubuhnya berputaran di udara sebelum mendarat ringan di atas salju. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Pulau Neraka itu bisa berdiri tegak di atas permukaan salju. Tak sedikit pun kakinya tenggelam. Kekaguman masih meliputi wajahnya terhadap binatang raksasa itu.
"Sayang sekali kalau binatang langka ini harus mati," gumam Bayu dalam hati.
Tapi jalan pikiran Pendekar Pulau Neraka itu belum sampai jauh, karena beruang putih raksasa itu sudah kembali menerjang ganas. Terpaksa Bayu hanya bisa berlompatan menghindari setiap terkaman binatang itu. Udara dingin tidak lagi dihiraukan. Pikirannya tertuju penuh pada binatang raksasa liar ini. Sepertinya beruang putih ini tidak mengenal putus asa, meskipun setiap kali terkamannya tidak mengenai sasaran. Bahkan pohon-pohon yang terkena terjangannya langsung hancur berkeping-keping. Bayu semakin kagum akan kekuatan tenaga binatang putih ini.
"Ayo, serang terus. Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu!" tantang Bayu.
"Ghraughk...!"
Beruang putih yang seperti mengerti tantangan Pendekar Pulau Neraka, langsung meraung keras dan terus menerjang semakin ganas. Sedangkan Bayu sengaja mempermainkan, dan hanya berlompatan menghindar tanpa membalas satu kali pun. Ingin diketahui, sampai di mana kekuatan tenaga beruang putih itu.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, tak ada masalah bagi Bayu, meskipun udara dingin dan angin berhembus kencang. Salju lunak yang tebal tidak menjadikan halangan berarti baginya. Gerakannya tetap lincah, bahkan sering kali mengecoh binatang putih ini.
"Ha ha ha...! Kau mulai lemas, Sobat!" Bayu kesenangan melihat beruang putih itu mulai melemah. Bahkan gerangannya tidak sedahsyat tadi. Bayu memandangi beruang putih itu yang kini diam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Walaupun masih menggerung, tapi terdengar pelan, tak lagi keras seperti semula.
"Ayo, Sobat Serang aku...!" tantang Bayu seraya berkacak pinggang.
Tapi beruang putih itu malah mendekam, memperdengarkan gerangan lirih. Sedikit pun tidak dipedulikannya pemuda berbaju kulit harimau itu lagi. Binatang itu hanya mencakar cakar salju di depannya. Melihat sikap beruang putih itu, Bayu jadi bingung. Keningnya berkerut memperhatikan binatang raksasa berbulu putih bersih bagai kapas itu. Pelahan Bayu bergerak mendekati, tapi beruang itu tetap saja diam tak bergeming.
"Kenapa, Sobat? Takut...?" ejek Bayu.
"Dia tidak takut!"
"Heh...?!" Bayu terkejut bukan main ketika tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah gua. Pendekar Pulau Neraka itu langsung memandang ke arah mulut gua, dan semakin terperanjat begitu melihat di sana sudah berdiri seorang gadis berbaju putih bersih bagai salju. Pakaiannya sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Kulitnya juga putih dengan kedua pipi kemerahan bagai sepasang tomat ranum.
Bayu sampai tidak berkedip memandangi gadis itu. Seorang gadis yang demikian cantik, seakan-akan bagai dewi yang baru turun dari kahyangan. Gadis itu menjentikkan ujung jarinya. Dan sungguh aneh bin ajaib. Beruang putih yang tingginya hampir menyamai pohon cemara itu seketika menggerung, lalu dengan malas bangkit dan melangkah masuk ke dalam gua.
Sebentar binatang itu menoleh memandang Bayu, kemudian terus melangkah masuk ke dalam gua. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa memahami, gadis cantik itu mengangkat kedua tangannya ke atas tinggi-tinggi Seketika dihentakkan tangannya ke bawah setengah merentang. Dan pelahan-lahan telapak tangannya dirapatkan ke depan dada.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja gadis itu merentangkan tangannya ke samping. Dan dalam sekejap saja angin berhenti berhembus, dan keajaiban pun terjadi. Semua salju dipermukaan Gunung Cakal ini tiba-tiba saja lenyap. Dan seluruh permukaan tanah kini ditumbuhi rerumputan hijau. Bayu jadi tercengang. Dipandanginya gadis cantik yang masih berdiri di depan mulut gua. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.
"Hebat..,", puji Bayu tanpa sadar. Seketika saja pujian terlontar dari mulutnya.
"Apa maksudmu datang ke sini?" tanya gadis cantik berbaju putih itu dingin, sedingin tatapan matanya.
"Oh! Eh..., aku mencari seseorang," sahut Bayu agak tergagap.
"Apa kau tidak tahu kalau daerah ini sangat terlarang? Sebaiknya segera angkat kaki dari sini sebelum sahabatku melumat tubuhmu!" ujar gadis itu setengah mengancam.
"Maaf. Sungguh aku tidak tahu. Tapi aku mendapat amanat untuk menemui seseorang di sini," kata Bayu sopan.
"Orang yang kau cari tidak ada di sini. Sebaiknya cepat pergi!"
Bayu mengangkat bahunya. Tapi belum juga berbalik, terlintas satu pikiran di benaknya.
"Apa lagi yang kau tunggu?" sentak gadis itu ketus.
"Maaf, boleh aku bertanya?" pinta Bayu ramah.
"Katakan, sebelum aku berubah pikiran untuk membunuhmu!"
"Apakah ada orang yang tinggal di sekitar Gunung Cakal ini?" tanya Bayu memanfaatkan kesempatan yang sedikit ini.
"Tidak!" sahut gadis itu singkat.
"Terima kasih."
Bayu langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. "Huh! Tidak ada orang lain di sini. Sebaiknya aku kembali saja ke Padepokan Tongkat Sakti!" dengus Bayu tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"He! Tunggu...!" sentak gadis itu tiba-tiba.
Bayu menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap ke arah gadis berbaju putih itu kembali.
"Kau tadi bilang apa?" tanya gadis itu.
"Tidak. Aku hanya bicara sendiri," jawab Bayu.
"Kalau tidak salah, kau tadi menyebut-nyebut Padepokan Tongkat Sakti. Apakah kau berasal dari sana?"
"Bukan. Bahkan aku sendiri tidak tahu tentang Padepokan Tongkat Sakti."
"Kisanak, aku belum tuli dan mendengar jelas kalau kau ingin kembali ke Padepokan Tongkat Sakti!" agak ketus nada suara gadis itu. "Katakan yang sebenarnya, apa maksudmu datang ke sini?"
Bayu tidak langsung menyahuti. Diangkat bahunya dan diperhatikannya gadis itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pendekar Pulau Neraka itu jadi teringat akan pesan Adilangu menjelang ajal. Kotak kayu yang berada di dalam buntalan kain ini harus diberikan pada seseorang yang tinggal di Gunung Cakal. Dia memang tidak tahu siapa orangnya, kecuali namanya saja.
"Kisanak! Jika kau memang berasal dari Padepokan Tongkat Sakti, kau pasti hendak menemuiku," tegas gadis itu lagi.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja, dan belum mau percaya begitu saja pada kata kata gadis ini.
"Atau kau hanya seorang utusan saja. Katakan, apa yang kau bawa dari Padepokan Tongkat Sakti?" desak gadis itu.
Bayu masih belum membuka mulut, dan malah semakin tajam memperhatikan gadis ini. Sedangkan gadis berbaju putih itu semakin penasaran karena pemuda di depannya belum juga mau menjawab setiap pertanyaannya. Sorot matanya mencerminkan ketidaksabaran. Tapi tampaknya gadis itu masih berusaha menahan diri.
"Nisanak, apakah kau yang bernama Rampita?" Bayu malah bertanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu tertawa renyah. Begitu lepasnya sehingga baris-baris gigi yang putih rapi terlihat jelas. Bayu sampai menelan ludahnya memandangi kecantikan gadis di depannya ini. Begitu cantik dan sempurnanya, seakan-akan tanpa cacat sedikit pun.
Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langkah gadis itu yang masuk ke dalam gua. Kalau saja gadis itu tidak memberi isyarat agar mengikutinya, Pendekar Pulau Neraka itu tidak akan ikut masuk kembali ke dalam gua. Bukannya takut bertemu lagi beruang putih raksasa itu, tapi tidak ingin mencelakakan binatang cantik yang liar itu.
Bayu melangkah di belakang gadis itu. Diperhatikannya setiap relung gua ini. Sebuah gua yang cukup panjang dan berliku. Bahkan banyak cabang yang bisa membuatnya bingung jika harus keluar lagi seorang diri. Sepanjang lorong yang dilewati bentuknya serupa, bahkan sukar dicari perbedaannya.
Mereka berhenti melangkah setelah tiba disuatu rongga yang cukup luas dan diterangi beberapa obor yang terpancang di setiap sudut. Ada sekitar lima mulut cabang gua di dalam sini, dan keadaannya serupa persis. Bahkan yang dilewatinya juga sama persis baik ukuran maupun bentuknya.
Bayu menatap sebuah batu pipih yang terletak di bagian tengah ruangan ini. Sementara gadis itu lalu duduk di atas batu itu. Ditatap dan dipersilakannya Pendekar Pulau Neraka itu agar duduk di sebuah batu yang terletak tidak jauh di samping mulut gua yang tadi dilaluinya. Bayu kemudian duduk bersila di sana.
"Kisanak Jika kau mencari Rampita, maka kini sudah bertemu orangnya," tegas gadis itu lembut.
"Kau, Rampita...?" Bayu ingin menegaskan.
"Benar. Aku Rampita."
"Bagaimana bisa kupercayai kalau kau benar-benar Rampita," Bayu meminta bukti.
"Jika kau memang utusan Padepokan Tongkat Sakti, kau pasti kenal ayahku," tegas Rampita lagi.
Bayu hanya diam saja. Sebenarnya dia tidak tahu tentang Padepokan Tongkat Sakti, tapi harus berpura-pura tahu untuk meyakinkan diri kalau gadis itu memang benar Rampita.
"Padepokan Tongkat Sakti letaknya tidak jauh dari Lembah Bunga. Ayahku bernama Anom Sura, Ketua Padepokan Tongkat Sakti. Nah, apakah sudah yakin sekarang?"
"Kau tahu, kenapa aku datang ke sini?" tanya Bayu.
"Tidak," sahut Rampita.
Bayu kembali terdiam. Waktu itu dia hanya bertemu Adilangu. Dan menjelang ajalnya, Adilangu hanya memberikan satu kalimat tanpa penjelasan rinci. Tapi dari nada suaranya,Bayu bisa memastikan kalau Adilangu ingin menyerahkan kotak kayu tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan ikatan buntalan kain di bahu, lalu meletakkan benda itu didepannya. Sementara Rampita hanya memandangi! saja tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Terus terang, aku bukan dari Padepokan Tongkat Sakti. Dan aku sendiri tidak tahu, di mana Padepokan Tongkat Sakti itu," kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau ingin bertemu denganku?' tanya Rampita.
Bayu langsung menceritakan perjalanannya. Dari pertemuannya dengan Adilangu, hingga pemuda itu tewas di tangan laki-laki tua berjubah hitam yang mengaku bernama Sureng Rana atau berjuluk si Kobra Hitam. Sedikit pun Pendekar Pulau Neraka itu tidak mengurangi atau melebihkan ceritanya. Sementara Rampita hanya diam mendengarkan sampai pemuda berbaju kulit harimau itu menyelesaikan ceritanya. Untuk sementara keheningan menyelimuti mereka berdua.
"Pasti telah terjadi sesuatu, sehingga Ayah harus memberikan kotak pusaka itu padaku," ujar Rampita memecahkan keheningan.
Rampita turun dari atas batu yang didudukinya, kemudian berjalan menghampiri Bayu dan membungkuk mengambil buntalan kain di depan Pendekar Pulau Neraka itu. Gadis itu kemudian berbalik sambil membawa buntalan kain itu dan duduk kembali di tempatnya. Hati-hati sekali gadis itu membuka ikatan kain. Dikeluarkannya sebuah kotak kayu berukir yang sudah kelihatan tua, namun warnanya belum pudar. Rampita tersenyum begitu membuka tutup kotak kayu itu, kemudian menutupnya kembali dan meletakkan di sampingnya. Ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau di depannya.
"Kau tahu apa isi kotak kayu ini?" tanya Rampita.
"Tidak. Aku tidak membukanya sama sekali," jawab Bayu jujur.
"Hmmm..., sejak tadi aku belum mengetahui namamu. Siapa namamu?"
"Bayu."
"Ke mana tujuanmu setelah ini?" tanya Rampita lagi.
"Tidak ada tujuan. Aku pergi ke mana saja aku suka, mengikuti langkah kakiku."
"Baiklah. Aku berterima kasih karena kau sudah bersusah payah mengantarkan benda ini. Sebaiknya besok siang saja kau lanjutkan perjalananmu. Dan kau boleh menginap di sini, tapi tempatnya tidak layak."
"Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup."
"Hmmm...," Rampita tersenyum manis.
EMPAT
Pagi-pagi sekali Bayu sudah meninggalkan gua diPuncak Gunung Cakal. Sungguh aneh sekali! Puncak gunung ini kini tidak ada salju sedikit pun, tidak seperti kemarin. Tapi Bayu tidak ambil peduli. Bergegas ditinggalkannya tempat itu sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Sementara gadis cantik berbaju putih ketat yang mengaku bernama Rampita mengantarkan sampai di depan mulut gua.
Gadis itu mengangkat tangannya tinggi tinggi ke atas setelah bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu tidak terlihat lagi. Dan ketika jari-jari tangannya menjentik, mendadak saja bertiup angin kencang. Seketika seluruh puncak gunung ini berselimut kabut. Tak berapa lama saja, dari langit berhamburan benda-benda putih yang halus bagai kapas.
Dalam waktu tidak berapa lama, seluruh permukaan tanah di Puncak Gunung Cakal ini sudah terselimut salju. Sepanjang mata memandang hanya warna putih yang teriihat, bagai berada di ladang kapas yang sangat luas. Gadis itu menyunggingkan senyum, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam gua.
Dengan langkah yang sangat ringan, gadis yang mengaku bernama Rampita itu berjalan menyusuri gua tempat tinggalnya. Ayunan kakinya ringan sekali, namun terlihat cepat Karena telah sangat hafal dengan liku-liku gua ini. Maka dalam waktu tidak berapa lama saja dia sudah tiba di ruangan yang cukup luas dan diterangi cahaya api obor yang tidak kunjung padam. Gadis itu duduk kembali di batu pipih berwarna putih berkilat. Di ambil kotak kayu berukir dan dibuka tutupnya.
"Huh! Pasti pemuda itu yang mengambilnya!" dengus Rampita sambil menutup kotak itu.
Seketika dilemparkannya kotak itu, hingga hancur berkeping-keping begitu menghantam dinding gua. Wajah gadis itu memerah, dan bibirnya terkatup rapat. Gerahamnya bergemeletuk seakan menahan kemarahan. Matanya tajam memandangi kotak kayu berukir yang sudah hancur berkeping-keping. Kini tinggal kayu-kayu saja, tanpa ada satu benda lain.
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali gadis itu menepuk tangan, maka tidak lama kemudian dari mulut-mulut lorong gua bermunculan sekitar sepuluh orang wanita berpakaian putih-putih. Di pinggang mereka melilit sehelai selendang berwarna biru. Di punggung masing-masing tersampir sebilah pedang. Gadis-gadis itu berkumpul dan duduk bersila di depan Rampita.
"Dengar! Aku tidak akan banyak bicara. Hari ini juga kalian turun gunung dan bunuh laki laki bernama Bayu! Dia mengenakan baju kulit harimau, tanpa membawa senjata apa pun juga. Kalian jangan banyak tanya. Bunuh saja laki-laki itu dan hancurkan Padepokan Tongkat Sakti. Paham...!" tegas nada suara Rampita.
"Paham, Gusti Ayu...," sahut sepuluh gadis itu serempak.
"Berangkatlah sekarang!"
Tanpa ada yang membantah, sepuluh gadis berbaju putih itu bergegas pergi. Sedangkan Rampita masih tetap duduk di atas batu pipih. Ditariknya napas panjang setelah sepuluh orang gadis itu tidak terlihat lagi
"Beruang Putih, kemarilah!" seru Rampita keras.
"Grhauuughk...!"
Bersamaan terdengarnya gerungan keras, dari sebuah mulut gua di depan gadis itu muncul seekor beruang berbulu putih bagai kapas. Binatang bertubuh besar yang tingginya hampir menyamai pohon cemara itu mendekam di depan Rampita. Suara genangannya terdengar pelan, bahkan bisa dikatakan lirih.
"Sudah saatnya kita hancurkan Padepokan Tongkat Sakti, Beruang Putih," tegas Rampita seraya bergerak turun dari atas batu.
"Ghrrr...!" beruang putih hanya menggerung pelan.
"Ayo!"
Sekali lesatan saja, Rampita sudah duduk di punggung binatang raksasa itu. Kemudian beruang putih itu melompat meninggalkan tempat itu. Sungguh.cepat, bagai kilat. Dalam sekejap saja, binatang itu sudah lenyap di lorong gua menuju keluar.
Sementara itu Bayu baru saja sampai di Kaki Gunung Cakal. Pendekar Pulau Neraka itu menghenyakkan tubuhnya duduk di bawah sebatang pohon yang cukup rindang, sehingga melindungi dirinya dari sengatan cahaya matahari. Angin berhembus lembut, membuat kelopak mata Pendekar Pulau Neraka itu terasa berat. Kepalanya terangguk menahan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang dahsyat.
"Oaaah..., kenapa berat sekali mataku ini," keluh Bayu seraya menggosok-gosok matanya. Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa kantuk yang menyerang begitu dahsyat. Rasanya kantuknya tidak kuat lagi ditahan. Baru kali ini Pendekar Pulau Neraka mengalami kantuk demikian hebat. Padahal, semalaman dia tidur nyenyak dalam kehangatan gua.
"Uh! Aku merasa ada kelainan...," dengus Bayu. Mendapat pikiran demikian, Pendekar Pulau Neraka itu langsung saja menggerak gerakkan tangannya di depan dada. Kemudian diletakkan kedua tangannya di depan dada dengan tangan kanan berada di tangan kiri. Punggung telapak tangan menyatu rapat dan jari telunjuk mengacung ke atas.
"Ufh! Hsss...!" Bayu mengatur jalan napasnya. Pelahan namun pasti, Pendekar Pulau Neraka itu menyalurkan hawa murni ke seluruh urat syaraf. Dan perasaannya semakin yakin kalau ada yang tidak beres di tempat ini. Dirasakan adanya suatu perlawanan halus yang hampir tidak terasakan.
"Ilmu Sirep'...," desis,Bayu bisa mengenali adanya penyebaran suatu ilmu di sekitarnya. Pendekar Pulau Neraka itu menolehkan kepalanya ke kanan, dan tiba-tiba saja dihentakkan kedua tangannya ke samping kanan.
"Hiyaaa...!"
Satu hembusan angin keras muncul dari telapak tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan seketika itu juga sebatang pohon yang cukup besar tumbang terhantam pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Tepat saat pohon itu tumbang, berkelebat satu bayangan putih ke angkasa. Dan begitu Bayu melompat berdiri, dari balik pohon dan semak belukar bermunculan gadis-gadis berbaju putih mengenakan selendang biru pada pinggangnya. Gadis-gadis berwajah cantik itu langsung bergerak mengepung.
"Hmmm..., siapa kalian?" tanya Bayu seraya mengamati sepuluh gadis cantik yang kini sudah mengepungnya.
"Jangan banyak omong! Seraaang...!" salah seorang gadis berseru keras.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Seketika itu juga gadis cantik berbaju putih yang berjumlah sepuluh orang itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat dan tiba-tiba sekali, sehingga Bayu tidak sempat lagi menghalau. Bergegas diegoskan tubuhnya ketika salah seorang yang berada di depan melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
Dan belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu bisa menarik pulang tubuhnya, datang lagi serangan dari arah kiri. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang menghindari pukulan keras itu. Dan pada saat yang hampir bersamaan, seorang gadis yang berada di belakangnya melontarkan tendangan keras menggeledek Kali ini Bayu tak sempat lagi berkelit
Bughk!
"Ugh...!" Bayu melenguh pendek. Pendekar Pulau Neraka itu terhuyung ke depan. Pada saat itu satu pukulan kembali datang dari arah depan. Dan Bayu hanya bisa terpekik saat pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu menghantam telak dadanya. Tak ampun lagi, tubuh Pendekar Pulau Neraka itu terjungkal keras ke belakang, hingga bergulingan ditanah.
"Edan...!" dengus Bayu memalu. Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu bisa bangkit berdiri, salah seorang lawan sudah menghunus pedang dan membabatkan ke tubuhnya. Terpaksa Bayu harus bergulingan di tanah menghindari tebasan pedang itu. Pendekar Pulau Neraka benar-benar kewalahan, karena tidak diberi kesempatan sama sekali untuk bangkit berdiri. Hunjaman pedang datang silih berganti bagai hujan mengurung tubuhnya, sehingga terpaksa harus bergelimpangan menghindar.
"Keparat! Hih...!"
Darah Pendekar Pulau Neraka itu langsung mendidih. Tepat ketika sebatang pedang lawan mengarah ke dada, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua tangannya menjepit pedang itu kuat-kuat Dan pada saat pemilik pedang itu menghentakkan senjatanya, Bayu mempergunakan kesempatan yang hanya sedikit ini dengan baik. Tubuhnya dibuat ringan bagai kapas, sehingga ikut terpental naik.
Pada saat yang tepat dengan kecepatan bagai kilat Bayu melepaskan satu tendangan bertenaga dalam sempurna. Tendangan keras dan tiba-tiba itu tidak dapat terhindari lagi. Gadis yang pedangnya terkunci ditangan Pendekar Pulau Neraka itu kontan terpekik terkena tendangan keras bertenaga dalam sempurna.
"Akh...!" Gadis itu terpental jauh ke belakang sampai menabrak pohon. Bersamaan dengan itu, Bayu menjentikkan pedang yang dirampasnya. Seketika pedang itu meluncur deras ke arah gadis yang sedang melorot turun dengan punggung menempel pada batang pohon. Tak pelak lagi, pedang itu menancap di dadanya hingga tembus ke punggung.
"Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi itu mengejutkan kesembilan gadis lainnya. Mereka langsung berlompatan mundur, dan seketika terkejut melihat salah seorang temannya tewas dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Tubuh gadis itu tertahan di pohon, karena pedang itu tembus hingga menancap di pohon.
"Siapa kalian? Kenapa menyerangku...?" Pendekar Pulau Neraka mengambil kesempatan ini untuk bertanya.
Tak ada seorang pun dari sembilan gadis itu yang menjawab. Mereka hanya mendesis bagai ular. Tatapan mereka begitu tajam, memancarkan amarah yang menggelegak tak tertahankan lagi. Dan Bayu merasa tidak ada gunanya bertanya. Siapa pun gadis-gadis ini, pasti berniat hendak membunuhnya. Pendekar Pulau Neraka itu begitu yakin, karena tadi telah merasakan ilmu 'Sirep' yang hampir membuatnya tertidur.
"Seraaang...!" tiba-tiba salah seorang berteriak memberi perintah.
Sembilan orang gadis cantik berbaju putih itu kembali menyerang. Kali ini serangannya semakin dahsyat dan tidak mengenal kompromi lagi Tapi untuk kali ini persiapan Bayu sudah matang. Tubuhnya meliuk-liuk bagai belut menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang para pengeroyoknya. Kedua kakinya bergerak lincah mengimbangi gerakan tubuh.
Pertarungan yang sebenarnya tidak seimbang, tapi Pendekar Pulau Neraka bukanlah pemuda kosong. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, sehingga sukar diukur. Berbagai macam pola serangan telah dijalankan gadis-gadis berbaju putih itu, tapi tetap saja mengalami kesukaran mendesak pemuda itu. Bahkan beberapa kali mereka kelabakan menerima serangan balik Pendekar Pulau Neraka yang selalu datang tiba-tiba dan cepat luar biasa.
Trang!
Bayu menangkis satu sabetan pedang yang mengarah ke leher dengan pergelangan tangan kanannya. Gadis yang pedangnya beradu dengan pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu tampak meringis dan tangannya bergetar. Pada saat itu, Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan kecepatan luar biasa, pemuda berbaju kulit harimau itu melompat seraya melontarkan satu tendangan kilat menggeledek.
"Hiyaaat..!"
Des!
"Aaakh...!" gadis itu menjerit keras melengking. Satu tendangan saja sudah membuat lawannya terpelanting keras ke tanah. Dari mulutnya menyemburkan darah kental berwarna merah segar. Hanya sebentar mampu menggeliat, sesaat kemudian, gadis itu diam tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas dengan dada remuk terkena tendangan geledek bertenaga dalam sangat sempurna dari Pendekar Pulau Neraka itu.
Kematian seorang temannya lagi tidak menyurutkan tekad yang lainnya. Bahkan mereka malah semakin berang, dan terus melancarkan serangan gencar dan berbahaya. Pedang-pedang berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan, pemuda berbaju kulit harimau itu tidak punya kesempatan untuk menggunakan senjatanya yang terkenal dahsyat dan mematikan. Senjata ditangan kanan itu hanya bisa dipergunakan untuk menangkis pedang yang tak mungkin dihindari lagi.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Seketika itu juga pertarungan berhenti. Delapan orang gadis cantik berbaju putih yang semuanya menggenggam pedang terhunus berlompatan mundur. Dan mereka langsung menjatuhkan diri, dan berlutut ketika melihat seorang laki-laki bertubuh gemuk yang tingginya tidak lebih dari seorang bocah berusia sepuluh tahun. Laki-laki itu mengenakan jubah putih, sedangkan kepalanya gundul. Tapi seluruh wajahnya hampir tertutup kumis dan berewok tebal berwarna dua.
"Mundur kalian!" bentak laki-laki cebol itu. Suaranya terdengar besar dan berat sekali, namun nadanya penuh kewibawaan.
Delapan orang gadis cantik berbaju putih ketat itu bergegas bergerak mundur. Mereka segera berdiri dibelakang laki-laki cebol itu, dan serempak memasukkan pedang ke dalam warangka di punggung. Sementara Bayu hanya berdiri tegak memandangi orang tua cebol itu. Keningnya berkerut, mencoba mengingat-ingat. Tapi rasanya belum pernah bertemu orang cebol seperti ini.
"Anak Muda, kenapa kau membantai murid-muridku?" tanya orang tua cebol itu dingin nada suaranya.
"Tanyakan saja pada mereka! Aku tidak mendahului, tapi merekalah yang memulai lebih dahulu!" jawab Bayu mendengus.
"Murid-muridku tidak akan pernah menyerang seseorang jika tidak didahului."
"Aku tidak akan menjawab! Kau bisa tanyakan sendiri pada mereka!"
Laki-laki tua cebol itu berbalik dan memandangi delapan orang gadis cantik yang langsung berlutut sambil menundukkan kepala. Sementara Bayu hanya diam saja, dan wajahnya tampak memberengut kesal.
"Benar kalian yang memulai?" tanya laki laki tua cebol itu dingin.
"Ampun, Eyang Banadu. Laki-laki ini telah mengotori tempat suci, dan mencoba mengganggu Gusti Ayu Seruni," jawab salah seorang gadis yang berada paling kanan.
"Dusta...!" bentak Bayu menahan geram.
Laki-laki tua cebol yang dipanggil Eyang Banadu membalikkan tubuhnya kembali. Ditatapnya tajam-tajam Pendekar Pulau Neraka itu. Pengaduan salah seorang gadis itu membuat wajah Bayu memerah bagai kepiting rebus, dan hanya bisa menggeram mendengar tuduhan tanpa bukti itu. Dia sendiri tidak mengenal gadis-gadis ini yang tiba-tiba saja menyerang tanpa bicara lagi.
"Kau mengatakan muridku berkata dusta. Itu sama artinya menghinaku, Anak Muda!" dengus Eyang Banadu.
"Huh! Guru dan murid sama saja!" dengus Bayu sengit. "Baik, apa keinginan kalian sebenarnya?"
Eyang Banadu terperangah mendapatkan tantangan begitu terbuka dari seorang pemuda yang baru berusia sekitar dua puluh tahunan lebih. Tapi orang tua cebol itu tersenyum, dan mendadak tertawa terbahak-bahak. Begitu lepas tawanya sehingga perutnya yang buncit terguncang-guncang.
Bayu jadi tertegun melihat sikap orang tua cebol itu, namun hanya diam saja dengan mata tajam tak berkedip. Meskipun orang tua cebol itu kelihatan tenang dan tertawa renyah, tapi Bayu tetap berwaspada. Bagaimanapun juga, seorang guru pasti memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bayu jadi teringat gurunya sendiri. Meskipun cacat, tapi ilmu olah kanuragannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya.
"Aku kagum atas keberanianmu, Anak Muda. Siapa namamu?" tanya Eyang Banadu.
"Bayu," sahut Bayu singkat
"Selama ini belum pernah aku bertemu seorang anak muda yang berani menantangku. Hm.... Anak muda, jika kau tidak keberatan, aku ingin sedikit bermain denganmu," halus sekali kata-kata Eyang Banadu, tapi maksudnya jelas dan tegas.
"Baiklah. Tapi maaf, apakah ini berarti kau berniat membela muridmu?"
"Ha ha ha.... Itu urusanku, Anak muda. Tapi kalau muridku bersalah, aku yang akan memberikan hukumannya. Dan jika kau memang bersalah, aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Paham...?!"
"Aku terima dengan baik."
"Bagus! Bersiaplah! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Eyang Banadu melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka sambil melontarkan dua pukulan beruntun. Sementara Bayu yang memang sudah siap sejak tadi, langsung menggeser kaki ke samping sambil meliukkan tubuhnya untuk berkelit Serangan orang tua cebol itu hanya mengenai tempat kosong, tapi secepat kilat menyerang kembali sebelum Bayu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.
Satu tendangan keras menggeledek dilepaskan orang tua cebol itu. Dan Bayu tidak punya kesempatan berkelit lagi. Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kiri menyampok tendangan Eyang Banadu.
Des!
"Ikh...!" Eyang Banadu terperanjat. Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang beberapa tindak. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki anak muda berbaju kulit harimau itu luar biasa sekali. Persendian kakinya sampai nyeri, dan tulang-tulang kakinya bagai remuk.
"Bagus! Ternyata kau punya kemampuan juga, Anak Muda!" puji Eyang Banadu tulus.
"Terima kasih. Sekarang giliranku. Bersiaplah, yeaaah...!"
Setelah menyelesaikan perkataannya, Bayu langsung menggeser kakinya menyusur tanah menghampiri orang tua cebol itu. Dan secepat kilat dilepaskan satu pukulan bertenaga dalam sempurna. Eyang Banadu terperanjat. Buru buru dibuang tubuhnya ke samping menghindari serangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Bayu menghentakkan kakinya sambil memutar tubuh dan bertumpu pada sebelah kakinya lagi.
"Hiyaaa...!"
Ufs...!" Kalau saja Eyang Banadu tidak cepat merunduk, barangkali kepalanya akan terpisah terkena sambaran kaki yang begitu keras bertenaga dalam sempurna. Namun demikian, orang tua cebol itu sempat juga terhuyung terkena sambaran angin tendangan Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan kedua tokoh tangguh itu terus berlangsung sengit. Semakin lama jurus-jurus dikeluarkan semakin dahsyat dan berbahaya. Kelengahan sedikit saja pasti berakibat dahsyat. Sementara delapan orang gadis berbaju putih hanya menyaksikan penuh ketegangan. Tentu saja mereka berharap agar gurunya dapat memenangkan pertarungan ini. Tapi sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda yang bakal terdesak. Kedua orang itu masih terus bertarung dalam irama tingkat tinggi
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa mereka sudah menghabiskan tidak kurang dari dua puluh jurus. Namun kelihatannya pertarungan belum akan cepat berakhir. Keduanya masih sama-sama tangguh, dan masih banyak memiliki jurus berbahaya. Hanya saja sampai sejauh ini, mereka tetap menggunakan tangan kosong, tanpa senjata sama sekali.
Bet!
Tepat pada jurus keempat puluh, Eyang Banadu melepaskan kalung untaian batu hitam yang dikenakannya, dan langsung dikebutkan ke arah kaki Bayu. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka melompat menghindari sabetan untaian batu hitam itu. Dua kali tubuhnya berputaran di udara sebelum hinggap atas sebongkah batu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Eyang Banadu melentingkan tubuhnya, langsung menghantamkan untaian kalung batu hitam itu pada Pendekar Pulau Neraka. Tepat ketika untaian kalung batu hitam hampir menghantam tubuhnya, Bayu melesat ke atas, sehingga kalung hitam itu hanya menghantam batu.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar tepat saat bongkahan batu sebesar kerbau hancur berantakan. Serpihan batu dan debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa. Bayu sampai terpana menyaksikan kedahsyatan senjata aneh orang tua cebol itu. Memang kalung hitam itu adalah senjata sangat dahsyat, sehingga mampu menghancurkan sebongkah batu sebesar badan kerbau.
Bayu buru-buru menyilangkan tangan kanan didepan dada begitu kakinya mendarat di tanah. Pada saat itu, Eyang Banadu sudah kembali melompat sambil mengayunkan untaian kalung hitamnya. Dan ketika orang tua cebol itu berada di udara, bagai kilat Bayu melompat sambil mengebutkan tangan kanannya.
"Hiyaaa...!"
Swing!
Dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu melesat sebuah benda berbentuk cakra bersegi enam. Cakra Maut itu melesat, melebihi sebatang anak panah lepas dari busur ke arah untaian kalung yang berada dalam genggaman tangan Eyang Banadu.
Cring!
"Akh...!" Eyang Banadu terpekik tertahan ketika Cakra Maut menghantam kalung hitamnya. Bahkan orang tua cebol itu sampai terpental ke belakang sejauh dua batang tombak, namun manis sekali berhasil mendarat dengan kedua kakinya. Pada saat yang sama, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya kembali ke depan begitu kakinya menyentuh tanah.
"Yeaaah...!"
"Uts!" Buru-buru Eyang Banadu berlompatan memutar tubuhnya ke belakang menghindari terjangan Cakra Maut bersegi enam itu. Tapi belum juga kakinya menyentuh tanah, Cakra Maut itu sudah menyerang kembali bagai kilat. Eyang Banadu terperangah. Buru-buru diegoskan tubuhnya mencoba menghindar. Namun....
Cras!
"Akh...!" lagi-lagi orang tua eebol itu memekik.
Ujung Cakra Maut berhasil merobek bahu kanan Eyang Banadu. Darah segar kontan muncrat keluar tak terbendung lagi Laki-laki cebol itu terhuyung kebelakang beberapa langkah. Ditekap bahunya yang terluka dengan tangannya. Sementara Bayu berdiri tegak dan mengangkat tangan kanannya. Seketika Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana, Orang Tua?" tanya Bayu.
"Kau hebat, Anak Muda. Kali ini aku mengaku kalah," sahut Eyang Banadu. "Tapi satu saat nanti, aku akan kembali menantangmu!"
"Aku tunggu tantanganmu, Orang Tua," sambut Bayu sambil tersenyum manis.
Eyang, Banadu langsung melesat pergi. Demikian pula delapan orang gadis cantik berbaju putih yang ikut meninggalkan tempat itu. Mereka pergi mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara Bayu hanya memandangi sambil tersenyum. Dalam hati diakui juga ketangguhan orang tua cebol itu.
********************
LIMA
Bayu tersentak bangun dari tidurnya ketika tiba-tiba mendengar suara pertarungan. Pendekar Pulau Neraka itu bergegas menggelinjang bangkit. Sebentar didongakkan kepalanya, mencoba mencari arah suara pertarungan itu. Dan begitu bisa menemukan arah suara itu, langsung melesat ke sana.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam sekejap saja sudah tiba di bagian Barat Lereng Gunung Cakal ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu terkejut saat melihat dua orang tengah bertarung sengit. Seorang laki-laki tua berbaju biru tua kehitam-hitaman tengah menggempur seorang gadis muda berwajah cantik.
Dari tongkat yang digunakan, Bayu sudah bisa mengenali kalau laki-laki tua itu adalah Sureng Rana atau berjuluk si Kobra Hitam. Sedangkan lawannya... Belum pernah Bayu melihatnya di sekitar Gunung Cakal ini. Tapi kelihatannya gadis berbaju hijau muda itu kewalahan menghadapi gempuran Sureng Rana. Bayu mengedarkan pandangannya ke selatan pertarungan. Tampak tidak kurang dari dua puluh orang bergelimpangan berlumuran darah.
"Akh...!" Bayu tersentak ketika tiba-tiba mendengar pekikan tertahan. Tampak gadis berbaju hijau muda terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada sebelah kiri bagian atas. Dan pada saat itu Sureng Rana sudah melompat sambil mengibaskan tongkat ular kobranya Sudah dapat dipastikan, gadis itu tak mungkin dapal berkelit lagi. Tapi....
Trak!
"He...!" Sureng Rana terkejut ketika tiba-tiba saja tongkatnya berbalik saat hampir menghantam kepala gadis itu.
Dan belum lagi keterkejutan Sureng Rana hilang, tahu-tahu di depan gadis berbaju hijau muda itu sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu menggenggam sebatang ranting kering yang besarnya tidak lebih dari sebesar jari. Dan panjangnya hanya sekitar lima jengkal saja.
"Bayu...," desis Sureng Rana mengenali pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Tidak jera-jeranya kau membantai orang, Kobra Hitam!" desis Bayu dingin.
"Heh...! Apa urusanmu, bocah? Minggir!" bentak Sureng Rana sengit.
"Sudah kukatakan, aku selalu berurusan dengan manusia kejam sepertimu!"
"Phuih! Kemarin kau boleh berbesar hati, bocah! Tapi sekarang jangan harap bisa lolos dari kematian!"
"Hidup dan matiku bukan di tanganmu, Kobra Hitam. Aku khawatir malah kaulah yang lebih dahulu ke neraka," dingin sekali nada suara Bayu.
Sureng Rana menggeram marah. Gerahamnya bergerut-gerut pertanda laki-laki tua bertongkat ular kobra itu tidak dapat lagi menahan amarahnya. Sementara Bayu sempat melirik gadis berbaju hijau muda di belakang agak ke samping. Gadis itu tampak duduk bersila, dan kedua tangannya merapat di depan dada. Melihat gadis itu sedang menjalankan semadi, Bayu menggeser kakinya lebih ke depan lagi.
"Hmmm.... Kau tidak membawa benda itu, Pendekar Pulau Neraka. Di mana kau sembunyikan kotak kayu itu?" suara Sureng Rana terdengar setengah menggumam.
"Sudah sampai pada pemiliknya" sahut Bayu kalem.
"Apa...?!" Sureng Rana terperanjat bukan main. Dan Pendekar Pulau Neraka juga berkerut keningnya. Tidak diduga kalau jawabannya akan membuat laki-laki tua bertongkat ular kobra itu demikian terperanjat. Bahkan matanya sampai mendelik bagai hendak mencelat keluar. Bayu melirik gadis berbaju hijau kembali ketika Sureng Rana menatap tajam pada gadis itu.
"Kau jangan main-main, bocah setan! Kepada siapa kau berikan kotak kayu itu?" dengus Sureng Rana menggeram.
"Sudah kukatakan pada pemiliknya! Apa masih kurang percaya pada kata-kataku?" bentak Bayu mulai sengit.
"Bocah! Kau tahu Siapa itu Rampita?" tanya Sureng Rana.
Bayu tidak langsung menjawab. Pertanyaan Sureng Rana dianggapnya aneh dan terlalu mengada-ada. Tapi kening Pendekar Pulau Neraka itu berkerut juga.
"Hh! Aku yakin, kau juga berminat memiliki benda itu, Anak Muda. Baiklah. Jika demikian, kau harus berhadapan denganku!" desis Sureng Rana.
Setelah berkata demikian, Sureng Rana langsung memutar tongkatnya. Begitu cepat putaran tongkat itu, sehingga yang terlihat hanya bulatan hitam membentuk tameng di depan laki-laki tua itu. Dan Bayu langsung bersiap. Digeser kakinya sedikit Matanya tajam tak berkedip memperhatikan setiap gerak yang dilakukan si Kobra Hitam.
"Tahan seranganku! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat dan tongkatnya terus diputar-putar bagai baling-baling. Bayu yang sudah siap sejak tadi, bergegas menggeser kakinya ke samping sejauh lima langkah. Seketika dimiringkan tubuhnya menghindari sabetan tongkat yang berputar kencang itu.
"Uts!"
Angin putaran tongkat hitam itu demikian keras, sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka sedikit terhuyung. Tapi cepat-cepat pemuda berbaju kulit harimau itu menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan seketika itu juga dikibaskan tangan kanannya sambil melompat mundur beberapa tindak.
Tampak satu kilatan keemasan melesat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Ternyata pemuda berbaju kulit harimau itu sudah melepaskan senjata Cakra Mautnya. Senjata bersegi enam yang ujung-ujungnya runcing melengkung itu, tepat menghantam bagian tengah putaran tongkat si Kobra Hitam.
Trang!
"Akh...!"
Seketika itu juga putaran tongkat berhenti bersamaan terdengarnya pekikan tertahan. Dan Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Seketika Cakra Maut kembali melekat di pergelangan tangan kanannya.
"Keparat..!" desis Sureng Rana menggeram. Tampak darah mengucur dari jari-jari tangan yang menggenggam tongkat berbentuk ular kobra mengembang. Ternyata Cakra Maut bukan hanya menghentikan putaran tongkat itu, tapi juga berhasil melukai tangan pemiliknya.
"Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" dengus Bayu dingin.
"Phuih!" Sureng Rana menyemburkan ludahnya. Tanpa mempedulikan luka pada tangannya, laki-laki tua itu kembali menggerak-gerakkan tongkatnya, membuka jurus-jurus penyerangan. Dan Bayu kembali siap dengan tangan melipat di depan dada. Matanya sangat tajam memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan si Kobra Hitam itu.
"Mampus kau, bocah keparat! Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras, Sureng Rana melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tongkatnya dikebutkan beberapa kali disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sungguh dahsyat luar biasa! Setiap kali tongkat itu dikebutkan menimbulkan suara angin menderu bagai terjadi badai.
"Hup...!"
Sungguh manis gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka saat menghindari setiap serangan si Kobra Hitam. Tubuhnya meliuk-liuk seperti karet, diimbangi gerakan kaki yang lincah dan cepat namun terasa ringan. Bahkan telapak kaki pemuda berbaju kulit harimau itu seperti tidak menyentuh tanah.
"Hiya! Yeaaah...!"
Sureng Rana semakin berang melihat lawannya yang masih berusia muda seperti mempermainkan. Sudah lebih dari lima jurus dikerahkan, tapi tak satu pun Bayu balas menyerang. Pendekar Pulau Neraka itu hanya berkelit dan menghindar sambil terus bergerak mundur menjauhi gadis berbaju hijau muda yang masih bersemadi. Hal ini memang disengaja, agar Sureng Rana tidak bermain licik. Bayu tahu betul watak orang golongan hitam macam Sureng Rana ini.
"Aku masih memberimu kesempatan, Sureng Rana!" seru Bayu seraya memiringkan tubuhnya menghindari tebasan tongkat si Kobra Hitam.
"Phuih! Mampus kau, keparat..!"
Sureng Rana semakin sengit. Giginya bergemeletuk tak dapat lagi menahan amarah. Wajah tua keriput itu jadi memerah, dan matanya liar bernyala-nyala bagai sepasang bola api. Serangan-serangan yang dilakukan semakin terlihat berbahaya. Bahkan kini Bayu tampak kerepotan menghindarinya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka itu mengendus dan gerahamnya menggeretak, tapi masih berusaha mengendalikan diri.
Namun menghadapi kenyataan bahwa Sureng Rana tidak lagi bermain-main dan ingin membunuhnya, Bayu tak dapat lagi mengekang diri. Darahnya seketika menggelegak ketika satu pukulan keras lawan bersarang di punggung dan membuatnya tersuruk jatuh mencium tanah.
Saat berada di tanah, kemarahan Bayu langsung mencapai puncak. Sureng Rana malah mencecarnya habis-habisan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka itu bergulingan menghindari setiap tebasan dan tusukan tongkat berbentuk ular kobra berwarna hitam kelam itu. Hingga pada satu tusukan yang tepat mengarah ke dada, Bayu tidak berusaha menghindar. Dan tepat ketika ujung tongkat si Kobra Hitam hampir mencapai dadanya, cepat bagai kilat Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua telapak tangannya untuk menjepit ujung tongkat yang runcing itu.
Tap!
"Hup!"
Sungguh cerdik Pendekar Pulau Neraka. Tepat pada saat Sureng Rana menghentakkan tongkat, diringankan tubuhnya sehingga ikut terbawa naik dan melenting ke udara. Pada saat itu Bayu menghentakkan tangannya melepaskan jepitan pada tongkat itu. Dan tanpa diduga sama sekali kakinya melayang deras ke arah punggung si Kobra Hitam.
Des!
"Akh..!" Sureng Rana terpekik tertahan. Sepakan kaki Bayu tepat menghantam punggungnya. Untung saja Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga Sureng Rana hanya sempat terdorong ke depan beberapa langkah. Tapi bibirnya meringis juga menahan sakit pada punggungnya.
"Yaaah...!"
Sambil berteriak keras, Sureng Rana cepat memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkat ular kobra itu diputar untuk menyampok kaki Pendekar Pulau Neraka yang baru saja mendarat di tanah.
"Uts! Hup...!"
Terpaksa Bayu melentingkan tubuhnya kembali ke udara. Pada saat yang sama, Sureng Rana menghentakkan tangan kirinya ke atas. Seketika dari tangannya keluar benda bulat hitam yang meluncur bagai kilat ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Wusss!
"Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain lagi bagi Bayu yang berada di udara. Sambil memutar tubuhnya yang berjumpalitan, dihentakkan tangan kanannya. Seketika itu. juga Cakra Maut melesat menyambut benda hitam yang dilontarkan Sureng Rana.
Glaaarrr...!
Ledakan keras terjadi ketika dua benda dahsyat beradu di udara. Tampak asap tebal menyebar disertai percikan bunga api. Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas ketika kakinya mendarat di tanah. Maka Cakra Maut itu kembali melesat balik dan menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Namun secepat itu pula Bayu menghentakkan tangannya kembali dengan tubuh membungkuk agak miring ke kiri.
"Yeaaah...!"
Wut!
Cakra Maut kembali melesat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Lesatannya demikian cepat, melebihi lesatan anak panah lepas dari busur. Hal ini membuat Sureng Rana terperangah. Buru-buru dikibaskan tongkatnya menyampok senjata cakra bersegi enam itu.
Trang!
Satu benturan keras terjadi.
"Akh...!" lagi-lagi Sureng Rana terpekik. Laki-laki tua itu terdorong ke belakang beberapa tindak. Tampak tangannya bergetar dan wajahnya agak memucat. Sedangkan bibirnya bergetar, dan matanya membeliak lebar. Si Kobra Hitam itu hampir tidak percaya kalau tenaga dalamnya masih di bawah pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi Sureng Rana tidak sempat berpikir jauh lagi. Karena, Cakra Maut yang masih berada di udara cepat berputar bagai memiliki mata, dan langsung menyambar ke arah kepala laki-laki tua itu.
"Uts!"
Buru-buru Sureng Rana merundukkan kepalanya, maka Cakra Maut bersegi enam itu lewat sedikit di atas kepalanya. Tapi ikat kepala laki-laki itu sempat terbabat dan lepas terbawa angin lesatan Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka. Bahkan Sureng Rana sampai memegangi kepalanya. Laki-laki tua itu tak bisa lagi berpikir, karena Cakra Maut sudah kembali berbalik dan menyerangnya. Namun matanya sempat melirik ke arah Bayu yang tengah menggerak-gerakkan tangannya mengendalikan senjata andalan itu.
"Yeaaah...!"
Sambil mengecutkan tongkatnya untuk menyampok senjata Cakra Maut bersegi enam itu, Sureng Rana melesat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Kaki kirinya terhentak memberi tendangan keras ke arah kepala.
"Yaaah...!"
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Ternyata Bayu tidak berkelit sedikit pun. Bahkan dengan sigapnya diangkat kedua tangannya menyilang di atas kepala, sehingga tendangan kaki si Kobra Hitam menghantam tangan pendekar Pulau Neraka.
Tepat ketika terjadi benturan keras, Bayu memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah, disangga oleh kedua tangannya. Lalu kaki Pendekar Pulau Neraka menghentak keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Satu serangan balik yang meminjam tenaga lawan itu sungguh tidak terduga sama sekali. Dan....
Des!
"Aaakh...!" Sureng Rana terpekik keras. Sepasang telapak kaki Pendekar Pulau Neraka tepat menjejak perut si Kobra Hitam. Begitu kerasnya, sehingga orang tua bertongkat ular kobra itu terpental deras dan jauh. Luncuran tubuhnya baru berhenti setelah menghantam sebatang pohon hingga hancur berkeping-keping
Sementara Bayu tidak ingin menunggu lama lagi. Segera diangkat tangannya, maka Cakra Maut yang sejak tadi melayang-layang di udara langsung melesat balik. Begitu senjata bersegi enam itu melekat di pergelangan tangan. Dengan cepat Bayu menghentakkan kembali ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
Seketika Cakra Maut kembali melesat dengan kecepatan luar biasa. Senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu meluruk deras ke arah si Kobra Hitam yang tengah berusaha bangkit berdiri. Tapi belum juga laki-laki tua itu mampu berdiri tegak, Cakra Maut sudah menghantam dadanya.
Crab!
"Aaa...!" kembali Sureng Rana menjerit keras. Sebentar laki-laki tua itu masih mampu berdiri, tapi sesaat kemudian ambruk ke tanah berkelojotan. Begitu Cakra Maut yang terbenam dalam dada Sureng Rana keluar balik pada pemiliknya, darah langsung muncrat dari dada yang terbelah itu.
Bayu berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada. Senjata saktinya kini sudah kembali menempel dipergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sesaat dipandanginya si Kobra Hitam yang menggelepar meregang nyawa. Memang tak ada seorang pun yang tahan jika terhunjam senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Demikian pula nasib Sureng Rana. Dia tewas dengan dada berlubang berlumuran darah segar.
Bayu mengalihkan pandangannya ke arah gadis berbaju hijau muda yang masih duduk bersila meskipun tidak lagi bersemadi. Wajah gadis itu tampak pucat. Malah pandangan matanya begitu sayu bagai tak memiliki gairah hidup. Bayu menghampiri, lalu duduk di depan gadis itu. Sebentar dipandanginya wajah gadis itu, kemudian pandangannya beralih pada dada sebelah kiri atas, tempat terdapatnya luka memar menghitam sebesar kepalan tangan.
"Kau terluka, Nisanak," ujar Bayu pelahan.
"Hanya sedikit Sebentar lagi juga hilang," sahut gadis itu seraya mencoba tersenyum. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku."
"Lupakan itu. Tampaknya kau membutuhkan pertolongan."
Gadis berbaju hijau itu mencoba tersenyum, tapi tiba-tiba berubah jadi meringis seperti menahan sakit Bayu menggeser duduknya lebih mendekat, lalu menjulurkan tangannya ke arah noda hitam sebesar kepalan tangan di dada kiri gadis itu.
"Maaf," ucap Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan telapak tangannya di dada kiri gadis berbaju hijau. Kelopak mata gadis itu terpejam, seraya menggigit-gigit bibirnya sendiri. Sementara Bayu terus menatap tangannya yang menutup noda hitam di dada kiri itu. Tampak wajah Pendekar Pulau Neraka kelihatan menegang dan memerah, lalu seluruh tubuhnya bergetar bagai tersengat lebah.
"Hoek...!" Gadis berbaju hijau muda itu tiba-tiba memuntahkan segumpal darah kental berwarna hitam pekat Wajahnya semakin memucat. Namun Bayu tepat menekan dada kiri gadis itu kuat-kuat. Asap tipis mengepul dari sela-sela jari Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Bayu berteriak keras. Dan seketika itu juga dihentakkan tangannya, dan langsung ditarik kembali. Tubuh gadis itu berguncang hebat, dan kembali memuntahkan darah. Kali ini berwarna merah, namun masih ada sedikit gumpalan kehitaman.
"Hsss...!" Bayu menarik napas dalam-dalam melalui mulut. Tangan kanannya terbuka sejajar dada. Sedangkan tangan kiri terkepal sejajar pinggangnya. Tatapan matanya masih terlihat tajam. Dan kembali Pendekar Pulau Neraka itu berteriak keras. Dengan cepat dada kiri gadis itu digedor, dan secepat itu pula ditarik kembali tangannya. Tampak tubuh gadis itu berguncang hebat lalu memekik tertahan.
"Akh! Hoeeek....'"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang melihat muntahan yang sudah bersih. Muntahan yang ketiga kali ini hanya berupa darah.
"Ohhh...," gadis itu merintih lirih.
"Jika tidak segera dikeluarkan, racun itu bisa merusak seluruh jaringan urat syaraf mu. Hhh.... Untung saja belum merambat sampai ke pembuluh darah," jelas Bayu.
"Terima kasih," hanya itu yang bisa keluar dari mulut gadis ini.
"Sebentar lagi kau akan pulih kembali," jelas Bayu lagi:
Gadis itu hanya tersenyum saja. Bayu menggeser duduknya menjauh. Diperhatikannya gadis itu yang kini sedang bersemadi untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Hanya sebentar saja gadis itu bersemadi, dan kini wajahnya sudah kembali segar. Belahan pipinya kembali diwarnai rona merah. Bibirnya tersenyum seakan-akan hendak mengucapkan terima kasih sekali lagi pada pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi tampaknya gadis itu tahu kalau pemuda di depannya tidak memerlukan ucapan terima kasih.
"Kenapa kau menolongku?" tanya gadis itu kemudian.
"Karena kau butuh pertolongan," sahut Bayu kalem.
Kembali gadis itu tersenyum manis.
"Boleh aku tahu, kenapa kau bisa bentrok dengan si Kobra Hitam?" tanya Bayu.
"Hhh..., sudah lama Sureng Rana jadi musuh besar keluargaku. Entah kenapa dia selalu menginginkan kotak kayu yang disimpan Ayah," desah gadis itu pelan.
"Kotak kayu...?" Bayu tersentak kaget.
"Iya, kenapa? Tampaknya kau terkejut..."
"Oh! Apakah...," suara Bayu terputus, lalu mendesah menghembuskan napas panjang. Pendekar Pulau Neraka itu mengamati wajah gadis di depannya dalam-dalam. Mendapat pandangan seperti itu, gadis berbaju hijau itu menjadi jengah juga. Wajahnya bersemu merah, dan bola matanya berputar. Hanya saja dia tidak ingin memalingkan ke arah lain, meskipun hatinya berdetak kencang
"Nisanak! Boleh aku tahu namamu?" pinta Bayu.
"Tentu saja boleh. Namaku Rampita," jawab gadis itu senang hati.
"Ohhh...," Bayu mendesah panjang sambil menepak keningnya.
"Eh! Kau kenapa...?" tanya gadis yang mengaku bernama Rampita itu tidak mengerti akan tingkah pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Ah! Kenapa ada dua Rampita di dunia ini...?" keluh Bayu.
ENAM
Rampita benar-benar tak mengerti mendengar keluhan pemuda berbaju kulit harimau itu. Kini malah berbalik, dia yang kini memandangi wajah tampan di depannya. Sedangkan Bayu hanya mendongakkan kepala, dan beberapa kali menghembuskan napas panjang.
"Kisanak...," sapa Rampita, pelan suaranya.
"Bayu. Panggil saja aku Bayu," potong Bayu memperkenalkan diri.
"Hm..., tampaknya kau kebingungan. Ada apa? Kenapa mengatakan ada dua Rampita?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Hhh..., sukar dijelaskan. Aku jadi tidak mengerti, apakah kau ini memang Rampita atau malah hanya mengaku-aku saja. Tapi aku juga tidak yakin kalau dia benar," ujar Bayu terdengar mengeluh.
"Siapa yang kau maksudkan, Ki...?"
"Bayu."
"Oh, iya. Hmmm..., boleh memanggilmu Kakang Bayu? Kelihatannya kau lebih tua usianya dariku."
"Boleh saja."
"Hm..., Kakang. Siapa yang dimaksudkan dengan Rampita satunya lagi?" gadis berbaju hijau muda itu mengulangi, pertanyaannya.
"Hhh...! Sukar mengatakannya...," desah Bayu lirih.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka itu menceritakan semua yang dialami. Mulai dari pertemuannya dengan Adilangu yang telah berpesan sebelum ajal menjemput, sampai pertemuannya dengan seorang gadis yang tinggal di Puncak Gunung Cakal. Gadis itu juga mengaku bernama Rampita. Saat itu Bayu percaya saja dan menyerahkan kotak kayu yang diamanatkan Adilangu padanya.
"Hm..., aku tahu kini. Kau pasti bertemu Seruni si Gadis Salju," gumam Rampita setelah Bayu menyelesaikan ceritanya.
"Oh! Kalau begitu, aku telah salah memberi kotak yang diamanatkan Adilangu," lagi-lagi Bayu mengeluh.
"Bukan salahmu, Kakang. Aku bisa mengerti. Seruni memang mengetahui persis keluargaku. Makanya tidak ada kesulitan baginya untuk mengelabuimu," ujar Rampita membesarkan hati Pendekar Pulau Neraka.
"Rampita. Boleh aku tahu, kenapa mereka menginginkan kotak kayu itu?" pinta Bayu.
"Aku sendiri tidak tahu, Kakang. Kotak kayu itu sudah ada sebelum aku lahir. Yaaah..., yang kuketahui, hanya si Kobra Hitam saja yang begitu ingin menguasainya. Sedangkan Ayah selalu mempertahankan. Sudah bertahun tahun si Kobra Hitam mencoba merebutnya, tapi baru sekarang rupanya berhasil membunuh ayahku. Untung saja dia tidak berhasil menguasai kotak kayu itu," ujar Rampita memberitahu.
"Oh, jadi ayahmu sudah...?" Bayu tidak meneruskan pertanyaannya.
"Mereka yang memberitahu," jelas Rampita seraya menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan. Bayu memandangi mayat mayat itu.
"Siapa mereka?" tanya Bayu.
"Mereka adalah murid setia ayahku yang sengaja meninggalkan Padepokan Tongkat Sakti untuk menemuiku di sini. Mereka juga mengatakan kalau Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur oleh gerombolan Barong Codet"
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Gerombolan Barong Codet memang pernah didengarnya dari Adilangu. Bahkan Pendekar Pulau Neraka sempat menyelamatkan pemuda itu dari cengkeraman tangan iblis si Barong Codet. Meskipun tidak sempat bentrok, karena saat itu keadaan Adilangu cukup gawat.
"Rampita. Kalau boleh tahu, kenapa kau tinggal disini dan tidak bersama-sama ayahmu?" tanya Bayu jadi ingin tahu lebih banyak lagi.
"Ayahku yang menghendaki. Aku tinggal tidak jauh dari sini, bersama Paman dan Bibi. Tapi mereka sudah meninggal. Bibi lebih dahulu meninggal. Dan setahun kemudian, Paman menyusul. Sebenarnya ayahku ingin mengambilku kembali, tapi aku menolak. Aku lebih senang tinggal di tempat sunyi seperti ini sambil memperdalam ilmu yang kumiliki."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Rampita.
"Kau tidak ingin merebut kembali warisan ayahmu?"
"Mungkin tidak. Biarlah Seruni yang memilikinya."
"Aneh sekali...," gumam Bayu tidak mengerti sikap gadis ini.
"Tidak ada yang aneh, Kakang. Bagiku benda itu hanya membawa malapetaka saja. Aku bisa merebutnya kembali dari tangan Seruni. Tapi, apakah itu akan menyelesaikan masalah? Tidak, Kakang. Malah menurutku akan menimbulkan masalah baru lagi. Bukannya tidak mungkin mereka akan mengejarku untuk merebut kotak itu. Bahkan guru Seruni pasti ikut campur tangan."
Bayu terdiam membisu. Secara jujur memang diakui kebenaran kata-kata Rampita. Sudah banyak darah tertumpah hanya karena memperebutkan sebuah benda yang dianggap memiliki pamor dahsyat. Bahkan seluruh orang rimba persilatan mempermasalahkannya. Sebagian besar dari mereka, bentrok hanya karena memperebutkan sebuah benda pusaka.
Tapi Bayu juga tidak menyetujui sikap gadis ini, yang kelihatannya menunjukkan kurang berbakti pada orang tua. Tidak seharusnya Rampita menyepelekan sebuah benda peninggalan orang tuanya. Sesuatu yang menjadi keramat dan diwasiatkan sudah selayaknya dipertahankannya, meskipun dengan darah dan nyawa. Tapi Rampita sepertinya tidak ambil peduli, walaupun sudah mempunyai pegangan hidup yang diyakini memiliki kebenaran.
"Rampita, apakah kau tidak berhasrat membalas kematian ayahmu?" tanyai Bayu jadi ingin lebih tahu lagi tentang gadis ini.
"Untuk apa? Orang yang membunuh ayahku sudah tewas, meskipun bukan dengan tanganku sendiri," jawab Rampita tegas.
"Lalu bagaimana dengan pedepokan ayahmu?"
"Padepokan Tongkat Sakti sudah hancur. Murid-murid yang tersisa pun sudah tewas semuanya di sini. Untuk apa mempersoalkannya lagi? Maaf, Kakang. Dendam tidak akan menyelesaikan semua persoalan. Bahkan akan melahirkan dendam baru yang tidak akan berhenti sampai salah satu pihak musnah tanpa meninggalkan keturunan lagi."
"Bukan maksudku menyuruhmu membalas dendam. Tapi paling tidak kau bisa membangun Padepokan Tongkat Sakti kembali."
"Ah! Rasanya aku lebih suka hidup begini. Kehidupan yang damai, menyatu dengan alam dan mendekatkan diri pada Hyang Widi. Rasanya hidup seperti itu lebih nikmat daripada harus selalu cemas dan bergelimang darah," kembali Rampita mengemukakan prinsip hidupnya.
Bayu hanya mengangkat bahunya saja. Tidak ada hak baginya untuk mempengaruhi gadis ini. Gaya hidup yang diinginkan memang berbeda jauh dengan dirinya. Sampai sekarang Pendekar Pulau Neraka masih terus mencari pembunuh-pembunuh ayahnya. Bahkan sampai sekarang belum diyakini kalau ibunya tewas. Bayu percaya kalau ibunya masih hidup dan sekarang berada di suatu tempat.
********************
Dua hari lamanya Bayu tinggal di sebuah pondok kecil milik Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu mengakui kalau cara hidup yang dijalankan gadis ini sungguh damai. Jauh dari persoalan-persoalan duniawi yang menyeret ke arah napsu keserakahan jika tidak bisa mengendalikan diri. Tapi Bayu tidak mungkin bisa hidup seperti ini sebelum bertemu ibunya.
Pagi-pagi sekali Pendekar Pulau Neraka sudah bersiap-siap hendak meninggalkan tempat ini. Dengan ayunan kaki tenang, dia keluar dari pondok kecil ini. Pemuda berbaju kulit harimau itu menghirup napas dalam-dalam saat berada di luar pondok. Masih terlalu gelap, matahari juga belum menampakkan sinarnya. Namun suara kokok dan kicauan burung sudah menyemarakkan sekelilingnya.
"Hmmm..., indah sekali...," desahan halus terucap dari bibir Bayu.
"Tidak akan indah jika seperti ini...!" tiba tiba terdengar sahutan dari arah samping kanan.
Bayu memalingkan muka ke arah suara itu. Dan seketika matanya terbeliak begitu melihat Rampita terikat dalam posisi terbalik di pohon. Kedua kakinya terikat menyatu berada di atas sedangkan kepalanya terjuntai ke bawah. Di dekat gadis itu berdiri seorang gadis cantik berbaju putih. Di belakangnya tampak seekor beruang berbulu putih yang sangat besar, mendekam di bawah pohon.
"Rampita...," desis Bayu. "Heh! Apa yang kau lakukan pada Rampita?!"
"Heh! Jika kau ingin dia selamat, serahkan Bunga Cubung Biru padaku!" dingin sekali suara gadis berbaju putih itu. Gadis muda itu memang pernah bertemu Bayu, dan mengaku bernama Rampita. Padahal sebenarnya bernama Seruni, yang dikenal berjuluk Gadis Salju.
"Kakang..., turuti saja keinginannya," celetuk Rampita pelan.
Bayu masih terdiam. Ditatapnya dalam-dalam Rampita yang tengah tergantung terbalik dengan kepala berada di bawah. Wajah gadis itu memerah, tapi bukan karena marah. Memang, dalam posisi seperti itu, darah tak seimbang lagi mengalir. Bayu heran juga mendengar perkataan Rampita.
Gadis ini seolah-olah pasrah, dan tidak sedikit pun mencoba memberontak. Padahal, kalau mau mudah saja baginya melepaskan diri. Toh, kedua tangannya bebas tak terbelenggu. Sedangkan Rampita menatap Bayu, namun sinar matanya penuh permohonan agar Pendekar Pulau Neraka itu suka menuruti permintaan Seruni.
"Rampita...," desah Bayu pelahan tanpa sadar.
"Penuhi saja permintaannya, Kakang," kata Rampita lirih.
"Tapi..., tapi aku tidak tahu apa yang diinginkannya...?!" Bayu benar-benar tidak mengerti.
"Jangan pura-pura bodoh, Bayu!" bentak Seruni sengit. "Aku tahu, Bunga Cubung Biru ada padamu. Cepat serahkan! Kau tidak berhak memilikinya!"
"Bunga Cubung Biru...?! Apa lagi yang dikatakannya, Rampita?" Bayu semakin kebingungan tidak mengerti.
Rampita hanya diam saja. Ditatapnya dalam-dalam pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Bayu sendiri tampak seperti orang bodoh. Sebentar dipandangi Rampita, sebentar kemudian beralih pada Seruni yang berkacak pinggang dengan mata mendelik marah tidak sabaran. Saat semuanya sedang terdiam, mendadak saja....
"Yeaaah...!"
Bayu dan Seruni tersentak kaget begitu tiba-tiba Rampita berteriak keras. Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat ke udara. Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu ikatan tambang di kaki gadis itu terlepas. Dan bahkan dia telah mendarat di samping kanan Pendekar Pulau Neraka sebelum ada yang menyadari apa yang baru saja terjadi.
Bayu memandangi Rampita sebentar, kemudian beralih ke arah tambang yang masih tergantung dipohon. Ikatan tambang itu masih tetap seperti semula. Tidak ada yang berubah, dan malah tambang itu tidak putus. Kembali Pendekar Pulau Neraka itu memandangi gadis di sampingnya. Sedangkan yang dipandangi melangkah maju tiga tindak
"Tidak ada gunanya terus mendesak, Seruni. Aku yakin Kakang Bayu tidak memiliki yang kau cari," tegas Rampita. Nada suaranya datar dan terasa dingin.
"Huh!" Seruni hanya mendengus saja.
"Pergilah, Seruni. Cari Bunga Cubung Biru untukmu sendiri," kata Rampita lagi.
"Kau pikir aku akan percaya begitu saja padamu, Rampita? Kalian pasti sudah bekerja sama!" dengus Seruni ketus.
"Seruni..., apakah kau sudah tidak percaya lagi padaku? Sama sekali aku tidak memiliki Bunga Cubung Biru. Lagi pula sudah kukatakan kalau aku tidak ingin memilikinya. Biarlah kau saja yang memilikinya. Aku rela."
"Kata-katamu selalu manis, Rampita. Pantas saja Ayah selalu berpihak padamu!"
"Jangan lagi melibatkan Ayah, Seruni. Biarkan Ayah tenang di alam kubur," agak dingin nada suara Rampita.
"Akan kugali kuburannya!"
"Seruni...!" sentak Rampita terkejut.
Tapi sebelum Rampita bisa berkata lagi, Seruni sudah melesat pergi. Sedangkan beruang putih ikut melompat sambil meraung keras menggelegar. Rampita ingin mengejar, tapi segera diurungkan niatnya begitu mendengar panggilan lembut Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu membalikkan tubuhnya, langsung menatap bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Tidak akan kubiarkan dia melakukan hal itu, Kakang," tegas Rampita.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Bayu.
"Kalau sampai kuburan Ayah benar-benar dibongkar, aku tidak peduli lagi siapa dia!" desis Rampita setengah menggeram.
Bayu diam dengan mata tajam memandang wajah cantik di depannya. Banyak yang ingin diketahuinya, tapi melihat sorot mata Rampita begitu tajam, Bayu mengurungkan keinginannya. Meskipun rasa penasaran menyelimuti seluruh hatinya. Betapa tidak? Sikap Rampita terasa begitu aneh, bahkan sukar diterima akal sehat Pendekar Pulau Neraka itu.
Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langka kaki gadis itu. Disejajarkan langkahnya di samping Rampita yang berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Agak terkejut juga Pendekar Pulau Neraka itu saat menyadari ilmu meringankan tubuh Rampita begitu tinggi, sehingga perlu juga diimbangi. Sebentar saja mereka sudah jauh meninggalkan pondok kecil tempat tinggal gadis itu.
"Rampita, bisa aku bicara padamu?" pinta Bayu tidak bisa lagi menahan rasa keingintahuannya.
"Bicaralah," jawab Rampita tanpa mengendorkan kecepatan jalannya.
"Tolong jelaskan, apa sebenarnya yang terjadi?" pinta Bayu berharap. Pendekar Pulau Neraka memang paling tidak betah jika dihadapkan pada persoalan yang mengandung teka-teki seperti ini.
Berhadapan dengan manusia-manusia aneh yang memiliki tingkah polah yang sukar dimengerti, memang bukanlah pengalaman yang mengenakkan. Dan Pendekar Pulau Neraka itu sama sekali tidak menyukai hal ini. Dia paling benci terhadap segala macam teka-teki yang membuat kepalanya berdenyut. Bahkan membuat hatinya terus diselimuti berbagai macam pertanyaan dan rasa penasaran.
"Untuk apa? Kau sendiri sudah tahu," Rampita menanggapi ringan.
Bayu menghentikan langkahnya. Dan Rampita juga ikut berhenti. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling melemparkan pandang. Pelahan namun pasti, Rampita memalingkan mukanya ke arah lain. Entah kenapa, hatinya selalu bergetar jika bertemu pandang dengan pemuda ini. Suatu perasaan yang belum pernah terjadi pada dirinya. Tapi Rampita tidak ingin memanjakan perasaannya. Gadis itu selalu saja bisa menghalau, meskipun sering kali timbul selama Pendekar Pulau Neraka ini masih terlihat, dan begitu dekat di sampingnya.
"Terus terang, aku sebenarnya tidak ingin terlibat. Tapi sukar bagiku untuk menghindarinya. Masih banyak yang belum kuketahui tentang semua ini, Rampita," tutur Bayu berterus terang.
"Apa lagi yang ingin kau ketahui?" tanya Rampita.
"Banyak. Terutama tentang kotak kayu, Bunga Cubung Biru, kau, dan mereka yang menginginkan kotak itu," tegas Bayu.
"Hm..., jadi selama ini apa saja yang kau ketahui?" Rampita malah bertanya terus.
"Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja diriku terlibat dalam masalah yang aku sendiri tidak bisa memahami. Dan semua yang kuketahui kuceritakan padamu."
Rampita tersenyum manis. Diayunkan kakinya pelahan. Sebentar Bayu memandangi Rampita, dan sempat menelan bulat-bulat senyuman manis gadis itu. Kemudian Pendekar Pulau Neraka ikut melangkah dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping gadis berbaju hijau muda itu.
"Rampita, apa sebenarnya yang sedang diperebutkan?" tanya Bayu.
"Kotak kayu yang berisi Bunga Cubung Biru," sahut Rampita tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"Apa itu?"
"Hanya sekuntum bunga yang hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Bunga itu tidak akan layu atau rusak selama tidak ada yang merusaknya. Begitu banyak gunanya, sehingga banyak orang yang menginginkan. Mereka bersedia mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan bunga itu," jelas Rampita.
"Kau tahu apa keistimewaannya?" Bayu ingin tahu.
"Sukar untuk mengatakannya. Tapi yang jelas, bunga itu telah menyelamatkan nyawaku dari sengatan ular kobra. Hanya dalam sekejap racun ular itu keluar tanpa meninggalkan bekas sedikit pun."
Sedikitnya Bayu sudah bisa mengerti kalau bunga itu tentu memiliki khasiat yang sangat langka. Buktinya orang berani mempertaruhkan nyawa hanya untuk sekuntum bunga. Bahkan si Kobra Hitam sendiri telah bertahun-tahun mencoba merebutnya dari tangan Anom Sura. Dan Bayu jadi ingin tahu, bagaimana ayah Rampita itu bisa memiliki Bunga Cubung Biru...?
Waktu Bayu menanyakannya, Rampita hanya tersenyum saja. Memang tadi sudah dijawab kalau bunga itu telah menjadi pusaka warisan leluhur gadis itu, yang secara turun temurun hingga sampai ke tangan ayahnya. Bertahun-tahun pula bunga itu selalu menjadi masalah, dan pemiliknya tidak akan merasa tenang. Selalu saja datang persoalan dari orang-orang yang menginginkan bunga itu.
Satu keistimewaan yang sangat luar biasa. Orang yang memiliki Bunga Cubung Biru bisa menjadi tabib paling mujarab tanpa harus mempelajari ilmu pengobatan dan segala macam ramuan. Bunga itu sudah membantu banyak. Bisa menyembuhkan segala macam penyakit, baik penyakit dalam maupun luar. Bahkan dapat menolak segala jenis racun yang dahsyat sekali pun.
Sambil terus berjalan, Rampita menceritakan tenang Bunga Cubung Biru. Juga tentang leluhurnya yang sudah bertahun-tahun memiliki bunga itu. Gadis itu sendiri tidak tahu, sejak kapan dan bagaimana leluhurnya memilikinya. Tapi yang jelas, dia enggan memilikinya. Dan Bayu hanya bisa mempercayai saja tanpa ingin menanyakan sebabnya. Dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka itu, mungkin Rampita tidak ingin kehidupannya terganggu.
Tanpa terasa mereka sudah tiba di depan Padepokan Tongkat Sakti yang hangus terbakar. Rampita berdiri tegak memandangi puing-puing reruntuhan padepokan yang didirikan ayahnya. Masih terlihat asap mengepul dari reruntuhan yang terbakar hangus. Mayat-mayat masih terlihat berserakan dalam keadaan rusak. Mungkin telah menjadi santapan binatang binatang liar. Mayat-mayat yang mulai membusuk itu menyebarkan bau tidak sedap. Sementara matahari sudah naik tinggi di atas kepala. Sinarnya yang terik begitu menyengat, seakan akan hendak membakar kulit.
"Hmmm..., seharusnya Seruni sudah sampai di sini," gumam Rampita.
"Mungkin tidak ke sini," sahut Bayu tanpa diminta.
"Kau yakin, Kakang?" tanya Rampita.
Belum juga Bayu menjawab pertanyaan itu, mendadak saja terdengar tawa menggelegar. Dan belum juga hilang tawa itu, tiba-tiba bermunculan orang-orang bersenjata golok terhunus. Mereka langsung mengepung Pendekar Pulau Neraka dan Rampita. Bayu menatap tajam seorang laki-laki bertubuh tinggi kekar, yang wajahnya terdapat luka memanjang hampir membelah pipi.
"Barong Codet...," desis Bayu mengenali.
"Hmmm...," sedangkan Rampita hanya menggumam tidak jelas.
TUJUH
"Sudah kuduga! Kau pasti kembali lagi ke sini, bocah!" dingin dan besar sekali suara Barong Codet.
Laki-laki bertubuh tinggi besar dan berwajah buruk itu melangkah beberapa tindak mendekati Bayu dan Rampita. Sedangkan anak buah Barong Codet yang berjumlah sekitar dua puluh orang sudah menggerak-gerakkan goloknya di depan dada. Mereka tampaknya sudah siap, tinggal menunggu perintah saja.
Bayu dan Rampita hanya diam saja, namun tatapan mereka begitu tajam ke arah Barong Codet. Sedangkan Bayu sudah mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencoba mengukur kekuatan gerombolan perampok yang sangat ditakuti di sekitar daerah Lembah Bunga ini. Kelompok manusia kasar yang sudah terkenal kekejamannya sampai keluar Lembah Bunga.
"Rampita! Serahkan Bunga Cubung Biru padaku, dan kau boleh pergi dengan selamat dari sini!" ujar Barong Codet seraya menatap tajam Rampita.
"Bunga itu tidak ada padaku!" sahut Rampita tidak kalah dinginnya.
"Phuah! Aku tidak main-main, bocah setan! Aku tahu, kalau manusia tolol murid ayahmu telah diselamatkan monyet buduk itu. Dan aku juga tahu kalau Adilangu sudah mampus di tangan Sureng Rana. Kemudian kotak kayu berisi Bunga Cubung Bini dibawa monyet itu. Dan sekarang dia bersamamu. Nah! Mana bunga itu...?!" lantang sekali suara Barong Codet.
"Sudah kukatakan, bunga itu tidak ada padaku!" dengus Rampita sengit.
"Aku tidak ada waktu bermain-main, Rampita!" ancam Barong Codet mendesis.
"Lalu, apa maumu?" tantang Rampita tajam.
Barong Codet menggereng kecil. Tatapan matanya begitu tajam. Namun di balik tatapan mata itu, tersimpan sesuatu yang liar. Benaknya langsung dipenuhi pikiran-pikiran kotor melihat kecantikan dan keindahan tubuh Rampita. Barong Codet menjilati bibirnya sendiri yang hampir tertutup berewok dan kumis.
"Sayang sekali, kau terlalu cantik untuk mati di tanganku, Rampita," agak lunak suara Barong Codet kali ini.
Rampita hanya mendengus saja. Gadis itu sudah tahu, siapa Barong Codet itu. Dan dia begitu muak melihat tatapan mata laki-laki kasar itu. Namun Rampita masih bisa meredam gejolak darahnya yang sudah mendidih dalam dada.
"Baiklah. Kau boleh memiliki bunga itu, Rampita. Tapi kau harus ikut dan hidup bersamaku. He he he...," Barong Codet terkekeh.
"Tawaran yang menarik. Tapi sayang sekali, kau begitu jelek untuk menjadi pendampingku," ujar Rampita halus.
"Setan...!" geram Barong Codet. Kata-kata halus gadis itu membuat wajah Barong Codet memerah seketika.
Betapa tidak. Ucapan Rampita memang halus, namun sangat menyakitkan telinga. Sedangkan Bayu hanya tersenyum, bahkan tidak bisa menahan rasa geli. Pendekar Pulau Neraka itu terkikik. Hal ini membuat Barong Codet semakin geram, dan langsung mendelik ke arah Bayu.
"Keparat! Kau menertawakanku, bocah setan...!" geram Barong Codet mengkelap. Kemarahan dan perasaan terhina di dada Barong Codet seketika ditumpahkan pada Bayu. Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki yang wajahnya terdapat luka memanjang membelah pipinya itu langsung melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Terjangannya sangat cepat dan tiba-tiba sekali.
Namun begitu telapak kaki Barong Codet hampir bersarang di dada, bergegas Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping sedikit miring. Maka tendangan Barong Codet lewat sedikit di depan dada. Dan pada saat itu, Bayu cepat menghentakkan tangannya ke pinggang.
Buk!
"Ughk..!" Barong Codet mengeluh pendek. Sodokan tangan Pendekar Pulau Neraka memang tidak terduga dan tidak terhindari lagi. Laki-laki kasar itu terhuyung ke belakang dengan tubuh setengah membungkuk. Bibirnya meringis merasakan nyeri dan mual pada perutnya. Untung saja Bayu tidak mengerahkan penuh kekuatan tenaga dalamnya, sehingga Barong Codet hanya merasakan sedikit nyeri dan mual.
"Keparat! Hiyaaa...!"
Sambil memaki dan berteriak keras, Barong Codet kembali menerjang pemuda berbaju kulit harimau itu. Kali ini dia tidak mau bermain main lagi. Dua pukulan bertenaga dalam cukup tinggi dilontarkan ke bagian tubuh Bayu. Namun manis sekali Pendekar Pulau Neraka itu berhasil berkelit mengelakkannya. Bahkan kembali memberikan satu sodokan balasan ke arah dada.
"Uts!"
Buru-buru Barong Codet menarik mundur tubuhnya ke belakang. Tapi Bayu juga cepat menarik kembali sodokan tangannya. Dan sambil menyusur tanah, Pendekar Pulau Neraka itu mendekati Barong Codet. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pemuda berbaju kulit harimau itu mengibaskan tangan kirinya disusul satu hentakan kaki agak memutar.
"Yeaaah...!"
Des! Buk!
"Aaakh...!" Barong Codet terpekik keras. Dua kali pukulan dan tendangan Bayu mendarat telak di tubuh laki-laki tinggi besar itu. Tak ampun lagi, tubuh tinggi besar itu terpental deras sekali ke belakang. Sebatang pohon yang terlanggar tubuhnya langsung tumbang tanpa ampun. Sementara Bayu sudah berdiri tegak, seraya melirik sedikit pada Rampita yang memberikan senyuman kecil.
"Setan keparat! Seraaang...!" umpat Barong Codet langsung memberi perintah pada anak buahnya.
"Hiya! Yeaaah...!"
Seketika itu juga dua puluh orang anak buah Barong Codet berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Golok-golok mereka berkelebat cepat berkilatan tertimpa cahaya matahari.
"Menyingkirlah, Rampita!" seru Bayu keras. Tanpa diminta dua kali, Rampita langsung melompat menjauh. Pada saat itu Bayu sudah mengegoskan tubuhnya menghindari tebasan golok yang mengarah ke dada. Dan tangkas sekali, Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangannya menyodok iga penyerangnya.
Dughk!
"Heghk...!" orang itu melenguh.
Dan sebelum lawan sempat menyadari apa yang terjadi, Bayu langsung memberikan gedoran keras bertenaga dalam tinggi ke dada penyerangnya ini.
"Yeaaah...!"
Des!
Orang itu terpental jauh ke belakang tanpa bersuara lagi. Tubuhnya ambruk ke tanah, dan tewas seketika itu juga. Dadanya tampak remuk melesak ke dalam. Darah mengucur dari mulut dan hidungnya. Namun Bayu belum bisa menarik napas lega. Ternyata lawan-lawan yang lain kembali menyerang ganas. Beberapa golok berkelebat di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka yang meliuk-liuk menghindari setiap serangan.
Bahkan meskipun dalam keadaan terkurung rapat, Bayu masih sempat memberi serangan balasan yang tidak kalah mautnya. Pekik pertempuran berbaur menjadi satu dengan jerit kesakitan. Satu persatu tubuh lawan bergelimpangan ke tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Meskipun tidak menggunakan senjata, namun kedua tangan Pendekar Pulau Neraka itu merupakan senjata ampuh yang sukar dicari tandingannya. Setiap pukulan maupun sodokan tangannya mengandung pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Sementara itu Rampita yang menyaksikan pertarungan dari tempat yang tidak terlalu jauh, semakin mengagumi Pendekar Pulau Neraka itu..Betapa tidak? Menghadapi dua puluh orang bersenjata golok yang selama ini menjadi momok setiap orang, ternyata pemuda itu mampu membuat lawan jungkir balik. Bahkan dalam waktu tidak terlalu lama, hampir separuh lawan telah bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Bayu kelihatan seperti bermain-main saja. Dia berlompatan dan berkelit sambil sesekali melontarkan pukulan mautnya yang sangat dahsyat. Setiap kali melontarkan pukulan, terdengar jeritan melengking tinggi yang kemudian disusul menggeleparnya seorang pengeroyoknya. Satu persatu mereka dibuat tewas dengan dada remuk atau kepala pecah.
"Hiyaaa...!"
Melihat anak buahnya semakin berkurang, Barong Codet jadi marah bukan main. Ketika melihat Rampita asyik mengawasi jalannya pertarungan, dengan licik sekali laki-laki kasar itu melompat sambil mencabut goloknya menerjang gadis itu.
Wut!
"Heh...! Hap!"
Rampita terkejut dan buru-buru melompat mundur ke belakang tiga tindak sambil menarik tubuhnya ke samping menghindari tebasan golok lawan.
"Curang!" dengus Rampita geram.
Barong Codet tidak mempedulikan gerutuan gadis itu, dan malah sudah kembali menyerang. Goloknya yang terhunus berkelebatan mengincar bagian-bagian tubuh Rampita yang mematikan. Gadis itu terpaksa harus jumpalitan, karena tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tepat ketika golok Barong Codet mengibas ke arah kaki, Rampita cepat-cepat melompat dan menjejak ujung golok itu dengan jari kakinya. Kemudian tubuhnya melenting ke udara, dan berputar sekali. Sungguh luar biasa sekali! Dalam keadaan di udara, gadis itu masih bisa memberi satu tendangan menggeledek ke arah kepala lawannya.
"Uts!" Barong Codet buru-buru merunduk sambil mengibaskan goloknya ke atas kepala. Dan Rampita bergegas menarik kembali kakinya. Gadis itu berputar sekali lagi, lalu mendarat manis di belakang laki-laki itu.
"Hiyaaat..!"
Sebelum laki-laki kasar itu memutar tubuhnya, Rampita sudah memberi satu gedoran keras ke punggung lawan. Sodokan keras mengandung tenaga dalam cukup tinggi itu membuat Barong Codet tersentak. Tubuhnya terjungkal keras ke tanah dan wajahnya terantuk akar pohon yang menyembul keluar dari dalam tanah.
"Monyet!" geram Barong Codet. Dengan punggung tangan, Barong Codet menyeka darah yang keluar dari hidung akibat terantuk akar pohon tadi. Mulutnya mendesis dan bibirnya menyeringai. Sedangkan matanya liar menatap buas ke tubuh Rampita. Barong Codet menggerak-gerakkan goloknya di depan dada, kemudian berteriak keras dan berlari cepat menerjang gadis itu.
"Yaaat..!"
"Hup!"
Rampita langsung merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada begitu Barong Codet menusukkan goloknya. Dan tepat sekali kedua tangan yang halus dan berjari lentik itu mengunci golok lawan di depan dadanya.
"Uh!"
Barong Codet berusaha menarik goloknya, tapi merasakan goloknya seperti masuk dalam sebuah penjepit baja yang sangat kuat Bahkan goloknya tak bergerak sama sekali meskipun sudah mengerahkan tenaga dalam. Sementara Rampita tersenyum tipis, seolah-olah mengejek laki-laki itu.
"Yap!" Tiba-tiba saja gadis itu menghentakkan tangannya ke samping, tepat pada saat Barong Codet mencoba menarik goloknya. Dan....
"Heh...?!" Barong Codet terkejut setengah mati. Golok kesayangannya patah jadi dua bagian. Dan sebelum keterkejutannya hilang, secepat kilat Rampita mengirimkan satu tendangan keras disusul satu pukulan bertenaga dalam tinggi.
Buk! Buk!
"Aaakh...!" Barong Codet memekik panjang melengking. Tubuh tinggi besar dan kekar itu terpental jauh ke belakang, dan ambruk keras ke tanah.
Sementara, Rampita dengan ujung jari kakinya menjentik sebilah golok yang tergeletak di depan kakinya. Golok itu terpental ke atas. Dengan tangkas sekali gadis itu menangkap, dan langsung melemparkannya ke arah Barong Codet yang baru saja menggeletak di tanah.
Swing!
Crab!
"Aaa...!" kembali Barong Codet menjerit keras. Dadanya tertembus sebilah golok yang dilemparkan Rampita. Begitu dalamnya, sehingga hanya tangkainya saja yang terlihat. Hanya sebentar Barong Codet berkelojotan, kemudian diam tak berkutik lagi.
Plok! Plok....
"Ah...," Rampita tersentak mendengar suara tepukan. Ternyata Bayu bertepuk tangan di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Rupanya Pendekar Pulau Neraka itu juga sudah menyelesaikan pertarungannya. Jelas sekali, tak satu pun lawannya yang dibiarkan hidup. Semuanya tewas bersimbah darah membasahi bumi.
"Hebat! Kau mampu menundukkan pemimpin perampok, Rampita," puji Bayu tulus seraya menghampiri gadis berbaju hijau muda itu.
"Ah...," Rampita hanya mendesah saja. Gadis itu langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Rampita tidak ingin pemuda itu melihat perubahan wajahnya yang memerah tersipu. Sungguh, sulit membohongi dirinya sendiri saat ini. Hatinya begitu senang dan sangat menyukai pujian Bayu tadi. Bahkan ingin mendengar sekali lagi pujian itu. Pujian yang terdengar tulus dan datang dari seorang pemuda tampan.
"Tidak kusangka, gadis secantikmu memiliki kepandaian begitu tinggi," kembali Bayu memuji. Pemuda ini sudah berada di samping Rampita.
"Ah, sudahlah Kakang. Bukan saatnya untuk memuji. Masih banyak yang harus kulakukan," ujar Rampita mencoba mengelak, meskipun sangat bertentangan dengan kata hatinya.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang, Rampita?" tanya Bayu.
Rampita tidak bisa menjawab dengan cepat karena memang tidak tahu harus melakukan apa. Gadis itu tadi hanya asal bicara saja untuk menghentikan pujian Bayu. Untuk menghilangkan kegugupannya, Rampita mengayunkan kakinya pelahan. Bayu hanya memandangi, kemudian ikut melangkah dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping gadis ini.
Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi, dan baru berhenti setelah tiba pada suatu tempat. Tampak sekali wajah Rampita berubah memerah seketika. Tatapannya lurus tak berkedip memandang sebuah makam yang terbongkar tak karuan.
"Ayah...!" pelak Rampita seketika. Gadis itu langsung memburu dan berlutut di depan kuburan yang terbongkar itu. Ketika melongok ke dalam, ternyata....
"Oh, tidak..!" jerit Rampita langsung memalingkan mukanya.
Bayu bergegas menghampiri dan menjulurkan kepalanya. Pendekar Pulau Neraka itu juga bergegas memalingkan mukanya, tidak sanggup menyaksikan semua yang ada dalam lubang itu. Jasad Anom Sura telah tercabik-cabik hancur berantakan. Bayu mendekap pundak Rampita dan mengajaknya berdiri. Kemudian gadis itu diajak menjauh dari pusara Ketua Padepokan Tongkat Sakti itu.
Bayu mendudukkan Rampita di sebuah pohon tumbang, kemudian menghampiri makam itu. Pendekar Pulau Neraka mengambil dua batang golok yang menggeletak di tanah. Dengan golok itu diuruknya kembali kuburan itu. Disertai pengerahan tenaga dalam dan kecepatan gerak, Pendekar Pulau Neraka itu menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu tidak berapa lama.
Sementara Rampita terdongak sambil menarik napas dalam-dalam. Gadis itu mencoba menahan air matanya, tapi tak kuasa juga. Setitik air bening menggulir di pipinya. Bayu membuang golok yang digunakan untuk menguruk makam itu, kemudian menghampiri Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu merengkuh pundak Rampita dan memeluknya.
"Menangislah! Itu akan meredakan sedikit penderitaanmu," ujar Bayu lembut.
Kata-kata lembut pemuda berbaju kulit harimau itu membuat tangis Rampita meledak seketika. Gadis itu langsung menyembunyikan wajahnya di dada Bayu. Seluruh tubuh Rampita terguncang di dalam pelukan Pendekar Pulau Neraka. Selama hidupnya, mungkin hanya dua kali Rampita menangis. Pertama, waktu hadir ke dunia. Dan kedua, sekarang ini.
Malah Rampita tidak menangis ketika ibunya meninggal. Baginya kematian merupakan takdir yang akan dialami semua manusia dan seluruh makhluk hidup di dunia ini. Takdir yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Tapi begitu melihat kuburan ayahnya terbongkar dan jasad ayahnya hancur tercabik, gadis itu tak kuasa lagi membendung perasaannya.
"Selama ini aku selalu menghindari kekerasan, dan tidak ingin ada dendam di hatiku. Tapi...," keluhan Rampita terputus. Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Masih tersisa air mata di kelopak mata gadis itu.
Sedangkan Bayu hanya diam mendengarkan. Dibiarkan saja Rampita mengeluarkan seluruh isi hatinya. Bayu dapat merasakan betapa beratnya penderitaan gadis ini. Siapa pun pelakunya, perbuatan membongkar kuburan memang tidak bisa dimaafkan begitu saja. Apalagi sampai merusak jasad yang sudah terkubur.
"Kakang, apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus meminta pertanggungjawaban manusia iblis itu...?" pertanyaan Rampita seperti untuk dirinya sendiri.
Sukar bagi Bayu menjawab pertanyaan itu. Pendekar Pulau Neraka ini hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat Dipandangi dalam-dalam bola mata bulat di sampingnya. Sedangkan Rampita membalas dengan sinar mata bagai berharap menerima jawaban dari pertanyaannya.
"Aku bisa merasakan apa yang kau rasakan sekarang ini, Rampita. Terus terang, aku sendiri belum bisa menghapus dendam di hatiku," ungkap Bayu pelan dan lembut sekali suaranya.
"Terima kasih, Kakang. Siapa pun orangnya, dia harus mati!" desis Rampita dingin.
"Bagaimana jika Seruni yang melakukannya?" tanya Bayu agak memancing.
Rampita tidak langsung menjawab, tapi malah menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka itu. Pertanyaan Bayu barusan seperti menyengat benaknya. Rampita memalingkan pandangannya ke arah lain, dan langsung tertumbuk pada pusara ayahnya ya kini sudah rapi kembali.
"Kenapa kau tanyakan itu, Kakang?" tanya Rampita pelan.
"Apa kau sudah lupa ancamannya, Rampita?" Bayu balik bertanya.
"Tidak," sahut Rampita mendesah. "Tapi...."
"Kenapa? Bisa saja dia yang melakukan. Orang seperti Seruni akan melakukan apa saja demi mencapai keinginannya," tegas Bayu.
"Kau benar, kakang. Seruni memang akan melakukan apa saja asal kehendaknya tercapai. Bahkan dia...," kembali suara Rampita terputus.
Bayu menatap dalam-dalam wajah yang kini berubah mendung itu. Sepertinya Rampita menyimpan sesuatu yang membuat hatinya seperti tersayat. Dan pemuda berbaju kulit harimau itu menduga keras kalau ini ada hubungannya dengan Seruni. Sejak mengenal gadis ini, dalam benaknya memang sudah diliputi berbagai macam pertanyaan yang belum terjawab.
Pertanyaan itu semakin melekat dan membesar sejak pagi tadi. Rampita kelihatan begitu mengalah pada Seruni. Bahkan gadis ini rela disiksa, digantung terbalik tanpa melakukan perlawanan sedikit pun. Dan yang lebih mengherankan lagi, Rampita rela kalau Bunga Cubung Biru jatuh ke tangan Seruni. Ada hubungan apa antara Rampita dan Seruni sebenarnya? Bahkan Seruni tahu persis keluarga Rampita. Dan sepertinya mereka sudah kenal cukup lama.
"Aku memang belum mengenalmu lebih jauh. Bahkan aku tidak tahu siapa dirimu dan Seruni Tapi rasanya aku mencium adanya suatu hubungan antara kau dengan Seruni. Kau selalu bersikap mengalah, bahkan rela digantung tanpa melawan sedikit pun. Padahal aku yakin kau bisa melawan," ungkap Bayu tentang ganjalan di hatinya.
"Ah! Sebaiknya lupakan saja, Kakang. Anggap saja tidak terjadi sesuatu barusan," desah Rampita meminta.
Bayu semakin tidak mengerti terhadap sikap gadis ini. Pendekar Pulau Neraka itu jadi terdiam. Sementara Rampita sudah bangkit berdiri. Ditatap sejenak pusara ayahnya, kemudian berbalik dan berjalan gontai meninggalkan tempat yang dipenuhi mayat bergelimpangan ini.
Sementara Bayu masih duduk memandangi gadis yang terus berjalan pelahan. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, dan berjalan menyusul Rampita. Sebentar saja Bayu sudah berada di samping gadis itu. Mereka berjalan meninggalkan tempat itu tanpa berkata-kata lagi. Namun dalam benak Bayu masih tersimpan teka-teki yang belum terpecahkan.
Pendekar Pulau Neraka mencoba menduga duga hubungan Rampita dengan Seruni. Namun rasanya sukar sekali. Sementara gadis itu masih saja membisu. Pandangan matanya menerawang jauh. Bayu memandangi gadis yang berjalan di sampingnya. Dan tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka tersentak. Baru disadari kalau ada yang luput dari perhatiannya. Ya...,
Seruni dan Rampita begitu mirip! Baik wajah maupun bentuk tubuhnya. Hanya saja dandanan dan bentuk pakaian mereka yang berbeda. Bayu semakin dalam memandangi wajah gadis itu. Seketika dicobanya untuk membayangkan wajah Seruni. Benar! Kedua gadis itu mirip sekali, seperti....
"Rampita, apakah Seruni itu saudaramu?" tanya Bayu agak ragu-ragu suaranya.
Rampita tampak terkejut, lalu berpaling menatap pemuda berbaju kulit harimau di sampingnya. Gadis itu sampai berhenti melangkah, dan cukup lama memandang Bayu.
"Maaf, kalau pertanyaanku menyinggungmu," ucap Bayu buru-buru.
"Kenapa kau berpikir sampai ke situ, Kakang?" tanya Rampita.
"Mungkin karena mataku melihat ada kemiripan pada kalian berdua," sahut Bayu seraya mengangkat pundaknya.
Rampita kembali terdiam, kemudian melanjutkan langkahnya. Gadis itu tidak ingin menjawab pertanyaan Bayu barusan, namun sikapnya kini berubah. Kini wajahnya semakin terselimut mendung tebal. Bayu mengangkat pundaknya tinggi-tinggi. Meskipun masih penasaran, tapi Pendekar Pulau Neraka tidak ingin bertanya lagi.
DELAPAN
Perjalanan Bayu dan Rampita terhalang sebuah sungai kecil. Tapi sebenarnya bukan karena sungai itu yang menjadi penghalang, melainkan seorang gadis dan seekor beruang putih yang berada di tepi sungai itu. Gadis berbaju putih itu duduk mencangkung di atas sebongkah batu, seakan-akan sengaja menunggu.
"Aku selalu bisa menebak, ke arah mana kau pergi, Rampita," ujar gadis berbaju putih yang dikenali bernama Seruni. Suaranya terdengar tenang, dan bibirnya yang merah selalu mengulas senyuman manis.
Sementara Bayu memandangi Seruni dan Rampita bergantian. Sungguh...! Pendekar Pulau Neraka itu seperti melihat satu wajah pada dua orang gadis itu. Mereka begitu mirip satu sama lain. Hanya pakaian dan tata rambutnya saja yang berbeda. Tapi itu semua tidak menutupi kemiripan wajahnya.
Kalau saja baju dan tata rambut mereka sama, pasti sukar membedakannya. Dan Bayu memang tidak bisa menemukan perbedaan pada wajah dan bentuk tubuh kedua gadis itu. Dan ini belum lama disadarinya. Bayu semakin bertanya-tanya, apakah kedua gadis ini saudara kembar? Sementara Seruni sudah turun dari batu. Dia berdiri tegak di samping beruang putih yang mendekam sambil mencakar-cakar tanah di depannya.
"Apa lagi yang kau inginkan dariku, Seruni?" tanya Rampita.
"Bunga Cubung Biru," sahut Seruni tajam.
"Bukankah kau sudah mendapatkannya?"
"Aku muak dengan kepura-puraanmu, Rampita!" bentak Seruni kasar. "Berikan bunga itu padaku!"
"Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak memiliki Bunga Cubung Biru," tegas Rampita.
Ada sedikit nada kekesalan pada suara Rampita. Dan ini diketahui jelas oleh Bayu. Bahkan sinar mata gadis itu juga memancarkan sesuatu yang sukar diterka. Namun Bayu bisa menebak kalau dalam diri Rampita tengah bergolak dua kutub yang saling bertentangan.
"Dengar, Rampita. Aku sudah cukup sabar menunggu, dan tidak bisa bermain-main lagi. Kau dengar itu, Rampita...!" keras sekali suara Seruni.
Rampita berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Diayunkan kakinya melangkah beberapa tindak. Sedangkan Seruni berkacak pinggang dan wajahnya memerah. Sementara Bayu hanya mengawasi saja. Pendekar Pulau Neraka ini belum ingin melakukan sesuatu sebelum merasa pasti kebenaran kedua gadis ini.
"Baiklah. Apa yang kau inginkan sekarang?" dingin sekali nada suara Rampita terdengar. Sepertinya Rampita sudah kehilangan kesabarannya, dan lantas berdiri tegak bersikap menantang. Tatapan matanya tajam, dan gerahamnya bergemeletuk. Kedua tangannya terkepal erat agak berkeringat. Tak ada yang tahu, apa yang sedang terjadi di dalam batin gadis ini. Hanya dia sendiri yang tahu.
"Kau yang menginginkannya, Rampita. Bersiaplah...! Hiyaaat!"
Seruni langsung melompat menerjang Rampita. Dua pukulan beruntun langsung dilepaskan. Rampita kelihatan masih berdiri tegak, seakan-akan tidak bergeming menerima serangan itu. Hal ini membuat Bayu jadi cemas juga. Tapi, begitu serangan Seruni sudah dekat, mendadak saja gadis itu menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Yeaaah...!" Duk!
Rampita benar-benar menyongsong pukulan Seruni, sehingga kedua tangannya membentur keras tangan gadis berbaju putih itu. Tampak Seruni terpental balik sejauh dua batang tombak, sedangkan Rampita hanya terdorong dua langkah. Tiga kali Seruni berputaran di udara sebelum mendarat manis.
"Bagus! Aku ingin tahu, sampai di mana tingkat kepandaianmu, Rampita!" dengus Seruni dingin.
Sret!
Seruni langsung mencabut pedangnya. Sedangkan Rampita masih berdiri tegak. Meskipun kelihatan tenang, namun jelas sekali kalau raut wajah gadis itu menegang. Matanya tidak berkedip menatap pedang ditangan Seruni.
"Tahan seranganku, Rampita! Hiyaaat...!" Dua kali Seruni berlompatan. Kemudian begitu kakinya menjejak tanah di depan Rampita, langsung dikibaskan pedangnya ke arah kaki gadis berbaju hijau muda itu sambil merendahkan tubuhnya.
Wut!
"Hup! Hiyaaa...!"
Sigap sekali Rampita mengangkat sebelah kakinya seraya menarik mundur kaki lainnya. Dan sebelum Seruni bisa menarik pulang pedangnya yang tidak mengenai sasaran, Rampita cepat-cepat menghentakkan kakinya ke depan.
"Ikh!" Seruni tampak tersentak kaget. Buru-buru lebih direndahkan tubuhnya dengan kepala merunduk. Tendangan Rampita lewat di atas kepala gadis itu. Tapi sungguh tidak disangka sama sekali. Ternyata Rampita malah meneruskan dengan satu lompatan kecil, dan sambil memutar tubuhnya dikirimkan satu pukulan ke arah punggung Seruni. Tak pelak lagi, gadis itu terpekik menerima pukulan keras di punggung.
"Akh! Curang...!" Sambil mengumpat geram, Seruni memutar tubuhnya seraya mengibaskan pedangnya menyilang sejajar dada.
Manis sekali Rampita menarik tubuhnya ke belakang, dan meliukkannya begitu ujung pedang lewat di depan dadanya. Kembali Rampita menghentakkan tangannya. Kali ini mengarah ke pergelangan tangan kanan Seruni yang menggenggam pedang.
"Lepas...!"
Plak!
"Akh...!" lagi-lagi Seruni terpekik. Gadis itu tak bisa lagi mempertahankan pedangnya yang lepas terpental ke udara. Dan sebelum Seruni bisa melesat mengejar pedangnya, Rampita sudah memberi satu tendangan keras. Tendangan itu tak dapat dihindari lagi, tepat mengenai dada Seruni.
Lagi-lagi gadis berbaju putih yang berjuluk si Gadis Salju itu memekik keras. Tubuhnya kontan terpental sejauh tiga batang tombak. Keras sekali Seruni jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun dia cepat melompat bangkit meskipun tubuhnya limbung. Tampak darah menetes keluar dari sudut bibirnya.
"Keparat..!" geram Seruni seraya menyeka darah di bibir dengan punggung tangannya.
"Kembalilah kau ke Puncak Gunung Cakal, Seruni," kata Rampita datar.
"Phuih! Aku belum kalah!" bentak Seruni. Sesaat kemudian Seruni merentangkan tangannya ke samping, dan dengan cepat merapatkan kedua telapak tangannya di atas kepala. Pelahan tangannya turun sampai ke depan dada. Lalu....
"Hiyaaa...!" sambil berterik keras, Seruni menghentakkan tangannya ke atas! Seketika itu juga, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja bertiup angin kencang menderu-deru. Dan udara di sekitar tempat ini menjadi dingin membekukan. Tak lama kemudian dari langit turun butir-butir putih seperti gumpalan kapas yang melayang layang jatuh ke bumi. Udara pun semakin terasa dingin.
"Hmmm...," Rampita bergumam kecil.
"Ayo! Lawan aji 'Salju Menyiram Bukit', Rampita!" seru Seruni langsung tertawa terbahak-bahak.
Rampita kemudian merapatkan kedua tangannya didepan dada. Kemudian diliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri secara bergantian dengan kaki tertekuk ke depan. Sebentar gadis itu menarik napas panjang, lalu....
"Aji 'Pati Agni'...!" seru Rampita keras. Secepat tangan Rampita menghentak ke depan, seketika itu juga dari telapak tangannya berkobar api yang mengeluarkan hawa panas membara. Melihat hal itu, Seruni langsung merapatkan tangannya di depan dada. Dan sambil berteriak keras, dihentakkan tangannya ke depan. Seketika itu juga badai salju mengarah ke tubuh Rampita.
Agak lama juga kedua gadis itu bertarung ilmu kesaktian. Sementara Bayu hanya dapat menyaksikan tanpa mampu berbuat apa-apa. Diam-diam Pendekar Pulau Neraka itu mengagumi kedigdayaan kedua gadis cantik ini. Sungguh dahsyat luar biasa ilmu kesaktian yang dimiliki mereka.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dalam waktu yang bersamaan, kedua gadis itu berlompatan ke depan sambil merentangkan tangan lurus ke depan. Dan pada satu titik, kedua telapak tangan mereka beradu. Seketika terjadi ledakan dahsyat, disusul terpentalnya tubuh masing-masing ke belakang. Tampak Rampita berjumpalitan diudara beberapa kali sebelum kakinya mendarat manis ditanah.
Sedangkan Seruni jatuh berguling di tanah hingga membentur sebatang pohon. Gadis itu menjerit keras, namun cepat bangkit berdiri. Dari mulutnya menyemburkan darah kental. Kedua kakinya bergetar, dan tubuhnya limbung. Seakan-akan dia tak mampu lagi berdiri.
"Ughk!" Seruni mengeluh.
Sedangkan Rampita hanya tersenyum kecil. Tak sedikit pun ada perubahan pada diri gadis berbaju hijau muda itu. Sikapnya tenang, dan wajahnya menyiratkan kematangan jiwa dari seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi. Sementara Seruni menggerak-gerakkan tangannya didepan dada. Terdengar suara desisan panjang bagai ular.
"Beruang Putih! Bunuh dia!" perintah Seruni.
"Ghrauuughk...!" beruang putih yang sejak tadi diam mendekam, meraung keras sambil mengangkat kepalanya ke atas. Binatang itu lalu bangkit berdiri dengan kedua kakinya, dan kembali meraung. Sungguh luar biasa. Tinggi beruang putih itu hampir menyamai pohon cemara.
"Ghraughk...!"
Sambil menggerung keras, beruang putih itu melompat menerjang Rampita. Satu cakar depannya menyampok cepat, membuat Rampita terperangah sesaat. Namun secepat kilat gadis itu melentingkan tubuhnya ke belakang menghindar. Tapi angin sampokan beruang putih raksasa itu membuat tubuhnya tak terkendali. Dan sebelum gadis itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, beruang putih raksasa itu sudah kembali menyampokkan tangannya.
Bret!
"Aaakh...!" Rampita menjerit keras. Sampokan beruang putih itu tak dapat dihindari lagi. Kuku-kuku yang tajam berhasil merobek perut Rampita. Darah merembes keluar seketika, dan gadis berbaju hijau itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya.
Belum lagi Rampita bisa menguasai keadaan dirinya, beruang putih itu sudah kembali menyerang sambil menggerung keras. Tak mungkin lagi Rampita mengelak. Gadis itu hanya membeliak dengan wajah memerah. Dan pada saat kaki depan beruang itu menyampok kembali, mendadak berkelebat sebuah bayangan kuning menyambar tubuh Rampita.
Brak!
Sampokan beruang itu menghantam sebatang pohon yang sangat besar hingga hancur berkeping-keping. Tampak dalam jarak yang cukup jauh, Bayu memondong tubuh Rampita. Pendekar Pulau Neraka itu meletakkan Rampita di tempat yang aman, kemudian langsung melompat menghadang beruang putih yang sudah berlari mengejar ke arah mereka.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras. Bayu mengirimkan dua pukulan beruntun bertenaga dalam sempurna sekali. Pukulan itu tak terelakkan lagi, dan tepat mendarat di bagian dada beruang putih raksasa itu.
Duk! Bughk...!
"Ghraughk...!"
Beruang putih itu mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meraung keras. Dikibaskan cakar-cakarnya ke arah Pendekar Pulau Neraka. Namun berkat kelincahan yang luar biasa cepatnya, Bayu berhasil mengelakkan serangan beruang putih raksasa itu. Bahkan beberapa kali pemuda berbaju kulit harimau itu berhasil mendaratkan pukulan dan tendangan keras bertenaga dalam penuh.
Tapi sungguh luar biasa! Beruang putih raksasa itu hanya menggerung dan langsung menyerang tanpa mengalami rasa sakit sama sekali. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat dan berbahaya, sehingga beberapa kali Bayu harus berjumpalitan menghindarinya. Seluruh bagian tubuh dan kepala beruang putih itu sudah kena hantaman bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Pulau Neraka, tapi tak satu pun yang mencederai binatang raksasa itu.
"Edan! Binatang apa ini...?!" dengus Bayu. Bayu memutar otaknya, mencari cara untuk bisa mengalahkan binatang raksasa liar ini. Disadari kalau binatang raksasa ini pasti tidak sembarangan. Sambil berpikir keras memutar otak, Bayu terus memberi pukulan-pukulan keras dan tendangan menggeledek bertenaga dalam sangat tinggi. Hal ini membuat binatang itu semakin marah, sehingga mengamuk membabi buta. Akibatnya, tempat sekitar pertarungan hancur berantakan.
"Binatang ini berbahaya sekali. Hhh! Terpaksa aku harus membunuhnya!" dengus Bayu dalam hati. Pendekar Pulau Neraka itu kemudian melentingkan tubuhnya ke udara hingga melewati kepala beruang putih itu. Dan sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, dihantamkan satu pukulan keras di tengah-tengah kepala binatang raksasa itu.
"Hiyaaa...!"
Des!
"Ghraughk...!"
Beruang putih raksasa itu mengibaskan tangannya ke atas sambil menggeleng gelengkan kepala. Mungkin kepalanya terasa sakit terhantam pukulan bertenaga dalam sempurna itu. Dan pada saat itu, Bayu melesat ke depan. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan tubuh setengah membungkuk, Pendekar Pulau Neraka itu mengibaskan tangan kanannya.
Seketika itu juga Cakra Maut bersegi enam melesat secepat kiat. Dan tak pelak lagi, senjata itu menghunjam tepat di antara kedua mata beruang putih raksasa itu. Binatang itu kontan meraung keras. Bayu menghentakkan tangannya, maka Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak ingin lagi memberi kesempatan. Selagi beruang raksasa itu merasa kesakitan akibat luka pada keningnya, Pendekar Pulau Neraka kembali melontarkan Cakra Maut-nya. Seketika senjata bersegi enam itu kembali melesat secepat kilat, dan kali ini menancap tepat di mata kiri binatang raksasa itu. Secepat kilat Bayu melentingkan tubuhnya, dan langsung melontarkan satu pukulan bertenaga dalam sempurna ke mata kanan beruang putih itu.
"Aaarghk...!"
"Yeaaah...!"
Satu tendangan menggeledek disarangkan Pendekar Pulau Neraka tepat di dada, membuat binatang raksasa itu limbung sambil meraung keras. Darah sudah bercucuran mengotori bulu-bulu putihnya. Binatang raksasa itu tak dapat lagi melihat, karena kedua matanya pecah berlumuran darah.
Sementara itu Bayu melirik pedang Seruni yang tertancap di pohon. Sedangkan Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangannya. Bagai seekor tupai, Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan langsung mencabut pedang Seruni. Tanpa menyentuh tanah lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu melentingkan tubuh sambil berjumpalitan di udara ke arah beruang putih raksasa itu.
"Hiyaaat...!" Sambil berteriak keras, Bayu mengibaskan pedang yang telah diambil dari pohon ke leher beruang putih itu. Tebasannya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu tepat merobek leher beruang putih raksasa.
Bret!
"Yeaaah...!"
Crab!
"Aaargh...!"
"Hih!"
Bayu menusukkan pedangnya ke dada binatang raksasa itu hingga amblas sampai ke tangkai. Ditarik pedang itu keluar sambil merobek dada beruang putih hingga menganga lebar. Darah bercucuran deras membasahi tanah. Dan begitu Bayu hendak menghunjamkan lagi pedang itu, beruang putih raksasa itu sudah ambruk menggelepar di tanah.
Tring!
"Oh! Tidak!" tiba-tiba Seruni menjerit keras dan langsung menghambur ke arah binatang kesayangannya.
Bayu melepaskan pedang itu ke tanah. Sebentar Pendekar Pulau Neraka memandangi beruang putih raksasa itu, kemudian langsung melompat ke arah Rampita yang duduk bersila di bawah pohon agak jauh dari tempat pertarungan. Bayu membantu gadis itu berdiri dengan memeluk pinggangnya, lalu menyampirkan tangan Rampita ke pundaknya.
"Tunggu dulu, Kakang," ujar Rampita ketika Bayu hendak membawanya pergi.
Bayu menatap Seruni yang tengah memeluk dan menangisi binatang beruang putih raksasa itu. Tidak lama Seruni menangis, kemudian bangkit berdiri sambil mengambil pedangnya yang tergeletak di tanah. Gadis itu berdiri tegak dengan mata merah basah menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.
"Tunggu pembalasanku, Bayu!" desis Seruni dingin. Gadis itu langsung melesat cepat pergi.
Sedangkan Bayu hanya mendesah panjang saja. Kemudian dibawanya Rampita pergi dari tempat itu. Tapi rupanya gadis itu cukup berat terluka. Dia sepertinya tak mampu lagi berjalan. Tanpa meminta persetujuan lagi, Pendekar Pulau Neraka itu memondong tubuh Rampita dan membawanya pergi.
"Kau harus segera diobati, Rampita," kata Bayu.
"Hhh...," Rampita hanya menarik napas kecil.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka memang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga, dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Seperti hilang ditelan lebatnya hutan di sekitar Lembah Bunga ini.
Dan belum begitu lama Bayu pergi membawa Rampita, muncul seorang laki-laki bertubuh cebol, berkepala botak, dan berperut buncit. Orang tua cebol yang ternyata Eyang Banadu itu terperanjat begitu melihat seekor beruang putih raksasa tergeletak berlumuran darah tak bernyawa lagi.
"Oh, beruangku...." Eyang Banadu menubruk beruang putih itu, lalu memeluknya. Tapi sebentar kemudian laki-laki tua itu bangkit berdiri, tepat pada saat Seruni muncul bersama delapan orang gadis cantik. Mereka semua mengenakan baju putih. Selendang biru melilit pinggang masing-masing bersama pedang yang tersampir di punggung.
"Siapa yang melakukan ini, Seruni?" tanya Eyang Banadu.
"Bayu, Eyang," sahut Seruni.
"Hmmm..., Bayu. Nyawa beruang putihku harus ditebus dengan nyawamu. Kau harus mampus, Bayu." geram Eyang Banadu.
Suara Eyang Banadu menggema ke seluruh pelosok penjuru mata angin. Tanpa sadar, laki-laki tua cebol itu menggeram sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Sementara itu, Bayu dan Rampita entah sudah berada di mana.
Nah! Pembaca yang budiman. Di manakah sebenarnya Bunga Cubung Biru itu? Apakah yang akan terjadi bila Eyang Banadu berhasil bertemu Pendekar Pulau Neraka? Ada hubungan apa antara Seruni dan Rampita? Jika para pembaca ingin tahu semua jawabannya, silahkan baca kisah Pendekar Pulau Neraka dalam episode Rahasia Dara Ayu
S E L E S A I