CERITA SILAT PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode: Dewi Beruang Putih
Karya: Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Episode: Dewi Beruang Putih
Karya: Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
"Kau dengar itu Wulan?" tanya Bayu berbisik.
"Seperti suara pertarungan," sahut Ratna Wulan juga berbisik.
Bayu yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka itu kembali terdiam. Bola matanya tetap lurus memandang ke dalam jurang di depannya, yang begitu dalam dan gelap terselimut kabut. Terlalu sukar bagi Bayu untuk bisa melihat sampai ke dasar jurang dari tempatnya berdiri ini. Bahkan, Ratna Wulan yang berada di sampingnya pun tidak bisa melihat apa-apa.
Mereka hanya mendengar suara-suara kecil seperti orang sedang bertarung dari dalam jurang ini. Meskipun terdengar sangat kecil, suara-suara itu jelas sekali. Dan, setelah cukup lama mereka terpaku di bibir jurang, tiba-tiba terdengar raungan yang begitu dahsyat dan keras menggelegar dari dasar jurang ini. Raungan dahsyat itu sempat membuat jurang ini bergetar seperti hendak runtuh.
Bayu dan Ratna Wulan pun sampai terlompat belakang. Dan, mereka baru kembali mendekati bibir jurang itu setelah tak lagi mendengar suara apa pun.
"Suara apa itu, Kakang?"
"Seperti raungan binatang buas."
"Aku jadi penasaran, Kakang," desis Ratna Wulan.
Bayu sedikit berpaling menatap gadis itu. Dia tersenyum melihat raut wajah Ratna Wulan yang begitu serius memandang ke dalam jurang yang gelap dan berkabut ini. Memang, suara-suara yang terdengar tadi membuat hati mereka penasaran ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi di dasar jurang ini. Mereka pun sesungguhnya bisa saja masuk ke dalam jurang ini, seperti keempat laki-laki yang mereka lihat tadi. (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis Sakti").
"Kau mau masuk ke sana?"
"Caranya?" tanya Ratna Wulan.
"Seperti yang mereka lakukan tadi," sahut Bayu.
"Ratna Wulan terdiam. Memang, bukan pekerjaan yang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk terjun ke dalam jurang ini.
Tapi, lain halnya bagi Ratna Wulan. Dia harus berpikir dulu dua kali. Meskipun ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi, Ratna Wulan kelihatan masih ragu-ragu. Dia tidak tahu, sampai seberapa dalamnya jurang ini. Tapi, masuk ke dalam jurang ini sesungguhnya adalah suatu tantangan yang sangat menyenangkan. Dan, Ratna Wulan sebenarnya menyukai tantangan seperti itu.
Setelah berpikir beberapa saat, gadis itu pun menganggukkan kepalanya. Apa pun yang akan terjadi, dia mau mencoba masuk ke dalam jurang ini. Dan, masalah bisa atau tidaknya keluar nanti, sama sekali tidak dipikirkannya.
"Kau siapkan ranting-ranting kayu secukupnya, Wulan," kata Bayu.
Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala. Kemudian dikumpulkannya ranting-ranting kayu yang panjang tidak lebih dari satu jengkal. Cukup banyak juga ranting yang didapatnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri di pinggiran jurang ini.
"Kau tidak mengumpulkan ranting, Kakang?"
“Tidak," sahut Bayu seraya tersenyum.
"Lalu, bagaimana kau akan masuk ke sana?"
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk kaki Tiren yang duduk diam dipundak kanannya. Sedangkan Ratna Wulan masih penasaran. Tapi, dia tidak mau banyak tanya lagi. Dia percaya, Pendekar Pulau Neraka pasti memiliki cara lain yang tidak mungkin bisa diikutinya untuk masuk ke dasar jurang itu. Ratna Wulan sadar, tingkat kepandaian yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka sangat jauh lebih tinggi dibanding dirinya.
"Lompatlah sekarang, Wulan," ujar Bayu.
Ratna Wulan tersenyum sedikit, Kemudian....
"Hup!"
Sambil melemparkan satu ranting yang dibawanya, Ratna Wulan, cepat-cepat melompat ke dalam jurang yang sangat dalam dan gelap berkabut ini. Sedangkan Bayu masih tetap berdiri tegak memandangi gadis itu berjumpalitan sambil melemparkan ranting-ranting kering untuk pijakan kakinya. Ratna Wulan terus meluncur dengan deras sekali. Dan, tampak begitu indah gerakan-gerakannya.
"Hup!"
Saat Ratna Wulan sudah hampir lenyap di telan kabut, Bayu segera melompat ke dalam jurang ini. Tangannya direntangkan lebar-lebar ke samping. Dan, begitu tubuhnya dirasakan meluncur deras ke bawah, dengan cepat sekali tangan kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa...!"
Slap!
Saat itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanannya meluncur ke bawah kaki. Manis sekali Pendekar Pulau Neraka menotokkan ujung jari kakinya tepat di tengah-tengah Cakra Maut. Kemudian memutar tubuhnya beberapa kali sambil menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut kembali melesat balik, lalu menempel lagi dipergelangan tangan Bayu.
Beberapa kali Bayu melemparkan Cakra Maut ke bawah kakinya. Dan, beberapa kali pula dia harus berjumpalitan di antara selimut kabut yang begitu ditebal dalam jurang ini. Hingga akhirnya, sampailah Bayu di dasar jurang, tepat di samping Ratna Wulan yang sudah lebih dulu sampai. Mereka mendarat tepat di antara tiga sosok tubuh yang menggeletak tak bernyawa lagi. Bau anyir darah langsung menyeruak ke dalam lubang hidung. Tampaknya mayat-mayat ini masih baru. Darah yang mengalir pun masih begitu segar dan hangat.
"Kelihatannya mereka para pengemis, Kakang," desis Ratna Wulan.
"Mereka memang para pengemis," sahut Bayu.
"Kau kenal mereka...?" Bayu tidak langsung menjawab. Dia memeriksa ketiga mayat itu satu persatu. Dan, ketika dia memeriksa tubuh pengemis yang menggenggam mangkuk dari batok kelapa berwarna putih, keningnya tampak berkerut. Terlihat olehnya gambar seekor beruang di dada kiri pengemis itu. Bergegas Pendekar Pulau Neraka memeriksa kedua mayat lainnya. Dan, ternyata mereka juga memiliki gambar yang sama di dada sebelah kiri.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Heh...!" Bayu menghembuskan nafas panjang sambil bangkit berdiri.
Ratna Wulan memandangi Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan yang dipandangi diam saja, seperti sedang memikirkan sesuatu. Bola mata pemuda baju kulit harimau itu merayapi tiga mayat di depannya.
***
"Kau kenali siapa mereka, Kakang?"
"Mereka adalah para pemimpin Kelompok Pengemis Mangkuk Sakti. Mereka dikenal dengan julukan Tiga Pengemis Sakti," sahut Bayu, pelan.
"Tiga Pengemis Sakti...?!" Ratna Wulan tampak terkejut.
"Kau yakin itu, Kakang?"
"Lihat saja gambar beruang di dada kiri mereka. Hanya Tiga Pengemis Sakti yang memiliki gambar itu. Itulah lambang kebesaran Kelompok Pengemis Mangkuk Sakti," sahut Bayu, sambil menunjuk ke ketiga mayat di depannya.
Ratna Wulan memeriksa ketiga mayat yang berpakaian pengemis itu. ditemukannya gambar beruang di dada kiri mereka, yang tidak akan ada pada pengemis-pengemis lainnya. Gambar itu menandakan bahwa ketiga orang tua ini memang si Tiga Pengemis Sakti.
"Mereka memang Tiga Pengemis Sakti, Kakang," desah Ratna Wulan sambil menghampiri Bayu.
"Tapi siapa yang membunuh mereka...?"
Tentu saja pertanyaan gadis itu tidak bisa segera dijawab oleh Bayu, karena dia sendiri memang tidak tahu. Tapi, Pendekar Pulau Neraka sudah menduga, suara pertarungan yang didengarnya dari atas jurang tadi adalah pertarungan Tiga Pengemis Sakti. Dan lawan mereka bisa dipastikan adalah Ki Laksa bersama tiga laki-laki tua lainnya. Karena, tidak ada orang lain yang masuk ke dalam jurang ini selain keempat orang itu.
"Empat orang yang datang ke sini, Wulan," kata Bayu, mengemukakan dugaannya.
"Maksudmu..., mereka yang tadi masuk ke jurang ini...?" ujar Ratna Wulan, seperti meminta keterangan.
"Tidak ada orang lain lagi yang datang ke sini selain mereka, Wulan."
Ratna Wulan terdiam. Bayu juga tidak bicara lagi. Mereka sama-sama memandangi jasad si Tiga Pengemis Sakti ini. Dari luka-luka yang diderita, jelas sekali kematian mereka diakibatkan oleh pertarungan tingkat tinggi.
"Aku sering mendengar cerita tentang mereka, Kakang. Tapi mereka sudah tidak lagi berkecimpung dalam dunia persilatan. Mereka adalah tokoh-tokoh sakti yang susah dicari tandingannya. Aneh... kenapa mereka bisa dikalahkan...? Aku sering mendengar cerita tentang tokoh-tokoh persilatan yang tangguh dan digdaya. Tapi, rasanya aku tidak pernah kenal dengan keempat lelaki yang terjun ke sini tadi," desis Ratna Wulan, seperti bicara pada diri sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga sudah sering mendengar sepak terjang ketiga pemimpin Kelompok Pengemis Mangkuk Sakti ini, sebelum mereka menghilang dari dunia persilatan. Dan, selama ini memang tidak ada yang bisa menandingi kepandaian Tiga Pengemis Sakti sampai akhirnya mereka menghilang sejak lebih dari lima belas tahun lalu.
Pendekar Pulau Neraka kemudian mengedarkan pandangan berkeliling. Dan, tatapan matanya tertumbuk pada sebuah mulut gua yang tampak sudah hancur. Pendekar Pulau Neraka segera melangkah menghampiri. Ratna Wulan mengikuti dari belakang. Beberapa saat Bayu mengamati mulut gua yang memang sudah hancur ini.
Di sibaknya semak belukar yang hampir menutupi gua itu. Kemudian kakinya melangkah masuk. Bau debu masih terasa menusuk hidung. Ratna Wulan terns mengikuti langkah kaki Pendekar Pulau Neraka. Mereka memeriksa seluruh sudut relung gua batu ini. Tapi tak ada yang bisa didapatkan, kecuali perabotan yang biasa terdapat di rumah-rumah. Jelas sekali, gua ini dijadikan tempat tinggal.
Dan, gua ini tampaknya buntu. Tidak terdapat satu lorong pun. Mereka keluar kembali tanpa mendapatkan hasil apa pun.
"Kakang, lihat ini...!" seru Ratna Wulan, tiba-tiba.
Bayu bergegas menghampiri. Ratna Wulan menunjuk ke tanah di depannya. Kening Pendekar Pulau Neraka berkerut melihat jejak yang sangat aneh. Dan jelas sekali jejak ini bukan bekas tapak kaki manusia.
'"Aku juga melihatnya di dalam gua tadi," kata Ratna Wulan.
"Hm..., seperti kaki binatang," gumam Bayu.
"Lihat di sana, Kakang. Ada cahaya," kata Ratna Wulan lagi, sambil menunjuk.
Bayu cepat mengarahkan pandangannya. Diikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Agak jauh di depan mereka, memang terlihat setitik cahaya yang sebentar-sebentar menghilang tertutup kabut. Tanpa bicara lagi, Pendekar Pulau Neraka bergegas mengayunkan kakinya menuju ke arah titik cahaya itu. Ratna Wulan segera mengikuti. Langkahnya disejajarkan di samping Pendekar Pulau Neraka.
Mereka terus berjalan cepat tanpa banyak bicara lagi. Kabut yang menyelimuti sekitar dasar Jurang Setan ini memang sangat tebal. Mereka pun tidak bisa leluasa bergerak. Terlebih lagi, banyak akar pohon yang bersembulan keluar dari dalam tanah. Mereka harus berhati-hati agar tidak tersangkut akar pohon. Kabut yang semakin tebal membuat pandangan mereka terhalang. Akhirnya, mereka sampai juga di tempat cahaya itu, walaupun harus menempuhnya dengan sulit sekali.
"Hanya pelita...," desis Ratna Wulan seraya menyeka keringat di lehernya.
Mereka menemukan sebuah pelita serta tiga batang bambu yang ujungnya hangus terbakar. Batang bambu itu tampaknya dibuat untuk obor, tapi apinya sudah padam. Obor-obor bambu itulah yang tadi mereka lihat dibawa si Perampok Tiga Nyawa, sebelum mereka terjun ke dalam jurang ini. Dan, pelita itu seperti sengaja digantung di pohon. Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tak ada seorang pun yang dilihatnya. Tidak juga terdengar suara apa pun. Keadaannya begitu sunyi, seperti di dalam kubur.
"Sebaiknya kita kembali saja, Kakang. Tidak ada apa-apa di sini," kata Ratna Wulan.
"Ayolah...," sahut Bayu.
Tapi, baru saja mereka berbalik, mendadak....
"Ghrrr...!"
"Heh...?!"
"Ohhh...?!"
***
Bukan main terkejutnya Bayu dan Ratna Wulan ketika tiba-tiba di depan mereka melompat sesosok makhluk yang sangat tinggi dan besar. Seluruh tubuhnya berbulu putih seperti kapas. Dan, tahu-tahu seekor beruang raksasa berbulu putih sudah menghadang di depan mereka. Binatang itu berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Sedangkan dua kaki depannya dia angkat tinggi-tinggi, hingga melebihi kepala.
"Ghraaaugkh...!"
"Jagat Dewa Batara...," desis Bayu.
Seluruh dasar jurang ini bagai diguncang gempa ketika beruang putih raksasa itu menggerung dahsyat sekali. Saat itu Ratna Wulan menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Bayu tetap berdiri tegak pada tempatnya. Dia menurunkan Tiren dari pundaknya. Disuruhnya monyet kecil itu menjauh. Sambil mencerecet ribut, Tiren berjingkrak menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Dihampirinya Ratna Wulan yang sejak tadi sudah menyingkir.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung, beruang putih raksasa itu melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Moncongnya yang berliur terus terbuka lebar, seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam. Sedangkan Bayu bergerak mundur perlahan-lahan.
"Ghraaagkh...!"
Tiba-tiba beruang raksasa berbulu putih itu melompat cepat bagai kilat, sambil menggerung dahsyat. Meskipun tubuhnya sangat besar, ternyata gerakannya sungguh cepat luar biasa. Bayu pun terpana beberapa saat.
"Uts...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat merundukkan tubuhnya, Kibasan tangan Beruang Putih itu pun lewat di atas kepalanya. Bergegas Bayu melompat ke belakang beberapa langkah. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, beruang raksasa berbulu putih itu sudah menyerang lagi dengan kecepatan yang sungguh luar biasa. Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak. Dia tidak menyangka kalau binatang ini mampu melakukan gerakan yang begitu cepat.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas begitu tangan yang berkuku runcing dan berbulu tebal itu menyampok ke bawah. Beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara. Lalu deras sekali dia meluruk. Dan langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek, yang hanya disertai dengan setengah pengerahan tenaga dalamnya.
"Yeaaah...!"
Bet!
Bayu terhenyak seketika. Tendangannya yang begitu cepat ternyata sama sekali tidak mengenai kepala Beruang Putih itu. Bahkan, hampir saja dia terkena sampokan tangan binatang raksasa itu kalau tidak cepat-cepat melenting kembali ke udara. Setelah melakukan beberapa kali putaran, kembali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya di tanah. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, sebelum Beruang Putih itu melakukan serangan lagi.
"Ghrrr...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke kanan begitu Beruang Putih itu kembali melakukan serangan. Dan dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh, sambil memiringkan tubuhnya ke kiri. Begitu cepat serangan balasan Bayu kali ini. Beruang Putih itu pun tidak sempat lagi menghindar.
Dugkh!
"Ikh...!"
Bayu tampak terpekik ketika pukulannya bersarang telak di tubuh Beruang Putih itu. Cepat-cepat dia melompat sejauh dua batang tombak ke belakang. Sungguh sukar dipercaya, tubuh binatang raksasa itu ternyata begitu keras. Bayu merasa seperti menghantam sebongkah batu cadas yang teramat keras. Tapi, bukan itu yang membuatnya terkejut setengah mati. Bayu benar-benar terkejut ketika dirasakannya tadi tubuh Beruang Putih ini bisa mengembalikan pukulan yang dilepaskannya. Bayu merasakan tangannya bergetar, seperti tersengat puluhan kala berbisa.
Tangan kanan Pendekar Pulau Neraka memang terlihat bergetar ketika menghantam tubuh Beruang Putih itu tadi. Sedangkan binatang raksasa itu seperti tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. Dia malah terus bergerak cepat menghampiri pemuda berbaju kulit harimau itu. Hentakan kakinya begitu kuat, tanah pun bergetar, seperti diguncang gempa.
"Ghrrr...!"
Wuk!
Cepat sekali Beruang Putih itu mengebutkan tangannya ketika sampai di dekat Bayu. Namun, dengan tidak kalah cepatnya, Bayu berkelit menghindari serangan binatang raksasa ini. Kembali dia melompat ke samping sejauh lima langkah. Dan, begitu kakinya menyentuh tanah, dengan cepat sekali tubuhnya melenting ke udara. Lalu....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu tendangan dahsyat menggeledek. Kali ini dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, yang sudah mencapai pada tingkatan sempurna.
Des!
"Ghraaaugkh...!"
Tendangan yang dilepaskan Bayu tepat bersarang di dada Beruang Putih ini. Begitu keras tendangan yang dilancarkan Bayu. Beruang raksasa itu pun meraung keras sekali. Dan tubuhnya sampai terdorong ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Bayu sendiri terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tapi, setelah beberapa kali melakukan putaran di udara, Pendekar Pulau Neraka kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan manis sekali.
"Gila...!" desis Bayu, tidak percaya.
Tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi sangat keras, bahkan dikerahkan dengan penyaluran tenaga dalam yang sempurna. Tapi Beruang Putih itu sama sekali tidak terluka. Bahkan, tadi Bayu merasakan seperti membentur sebuah dinding baja yang begitu keras. Tulang-tulang kakinya dirasakan nyeri, seperti mau retak.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung dahsyat, Beruang Putih itu kembali bergerak menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Moncongnya dibuka lebar-lebar, seakan akan hendak memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam seperti mata pisau. Bayu menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Perlahan tangan kanannya ditarik ke depan dada. Dan, tubuhnya dimiringkan ke kiri, agak membungkuk sedikit ke depan.
"Hmm…"
Namun mendadak Pendekar Pulau Neraka tertegun, lalu kembali berdiri tegak. Dia tidak jadi melepaskan senjata andalannya, yang dikenal dengan sebutan Cakra Maut. Senjata berbentuk cakra bersegi enam ini tetap menempel di pergelangan tangan kanannya. Kening Bayu berkerut melihat binatang raksasa berbulu putih bagai kapas itu mendadak tampak terdiam. Dan, dia berdiri dengan keempat kakinya.
"Hmm...."
Kembali Bayu menggumam perlahan. Beruang Putih itu membalikkan tubuh, lalu berjalan meninggalkannya begitu saja. Binatang raksasa itu terus masuk ke dalam hutan yang sangat lebat dan gelap di dasar Jurang Setan. Sebentar saja tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
***
DUA
Bayu berpaling sedikit. Dia merasakan, ada orang yang berdiri di sampingnya. Dan, dilihatnya Ratna Wulan sudah ada di sebelah kiri sambil memeluk Tiren dengan tangan kanan. Monyet kecil itu kelihatan manja. Kepalanya ditempelkan di dada gadis cantik yang membusung indah ini. Beberapa saat mereka terdiam. Semua memandang ke arah kepergian Beruang Putih yang masuk ke dalam hutan di dasar Jurang Setan ini.
"Aneh sekali.... Kenapa tiba-tiba dia pergi begitu saja...?" gumam Ratna Wulan, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga merasakan, ada suatu keanehan pada Beruang Putih itu. Tiba-tiba saja binatang itu muncul dan menyerang, tapi kemudian pergi begitu saja tanpa sebab. Seperti sudah direncanakan, dia tampaknya hanya muncul untuk menghadang. Bayu pun bisa menduga, Beruang Putih itu bukan binatang sembarangan.
"Aku perhatikan tadi, waktu menyerangmu, gerakan-gerakannya seperti sudah terlatih," kata Ratna Wulan lagi, dengan suara yang masih menggumam perlahan.
"Kau benar, Wulan. Dia juga memiliki kekuatan yang sangat luar biasa," sambut Bayu, dengan suara yang juga menggumam perlahan.
"Kakang, apa mungkin dia binatang peliharaan...?" tanya Ratna Wulan. Nada suaranya terdengar terputus.
Bayu tidak langsung menjawab. Dia melirik Tiren yang masih berada di dalam pelukan Ratna Wulan. Memang bukan suatu hal yang aneh di dunia persilatan, seseorang memelihara binatang yang begitu mengerti dan dapat membantu mempertahankan diri. Bahkan, tidak sedikit yang melatih binatang peliharaannya untuk bertarung. Dan, banyak juga mengisinya dengan kekuatan-kekuatan dahsyat, sehingga binatang peliharaannya memiliki daya tahan tubuh yang tidak ditemukan pada binatang-binatang lain.
"Ayo kita pergi dari tempat ini, Wulan," ajak Bayu.
"Maksudmu keluar dari jurang ini...?" Ratna Wulan seperti tidak percaya.
Memang, masuk ke dalam jurang ini saja sudah begitu sulit. Mereka tadi harus mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Itulah sebabnya Ratna Wulan sama sekali tidak membayangkan bisa keluar lagi dari dalam jurang ini.
"Kita cari jalan, Wulan. Barangkali saja ada jalan keluar dari jurang ini yang lebih mudah ditempuh," kata Bayu, yang tampak berusaha untuk tidak menyinggung perasaan gadis ini.
"Terserah kau sajalah, Kakang," desah Ratna Wulan seraya mengangkat bahu.
"Maaf, bukannya aku meremehkan kemampuanmu, Wulan. Aku sendiri enggan kalau harus melompat lagi ke atas sana," kata Bayu lagi.
Ratna Wulan hanya tersenyum. Memang, keluar dari jurang ini dengan cara melompat seperti ketika masuk tadi adalah suatu hal yang sangat sulit dilakukan. Walaupun menggunakan lagi ranting-ranting kayu untuk berpijak, sudah tentu mereka tidak akan bisa keluar semudah masuk ke dalam jurang ini. Bagaimanapun, naik lebih sulit daripada turun. Dan, yang pasti, akan diperlukan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi tingkatannya. Sedangkan Ratna Wulan menyadari, ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sekarang ini masih belum cukup jika digunakan untuk melompat ke atas sana.
"Aku yakin, pasti ada jalan keluar dari sini," kata Bayu, mencoba membesarkan hati Ratna Wulan.
"Kalaupun tidak ada, bukan hanya kita berdua yang terkurung di dalam jurang ini, Kakang. Masih ada orang lain lagi," sambut Ratna Wulan dengan tenang.
"Ya, empat orang yang tadi masuk lebih dulu ke sini," desah Bayu
.
“Tapi, di mana mereka sekarang...?"
"Barangkali mereka juga sedang mencari jalan untuk keluar dari jurang ini, Kakang?" kata Ratna Wulan.
"Atau mungkin juga mereka sudah tidak ada lagi di sini," desis Bayu, dengan nada suara yang terdengar agak sinis.
"Mungkin juga...," desah Ratna Wulan setengah menggumam sambil mengangkat bahunya sedikit.
Sebentar mereka terdiam, sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Kemudian mereka melangkah perlahan-lahan tanpa berbicara lagi. Keadaan di dalam Jurang Setan ini memang sangat gelap. Mereka tidak bisa berjalan dengan cepat dan leluasa. Kabut yang menyelimuti seluruh dasar jurang ini membuat pandangan mereka terhalang dan sulit melihat jauh.
***
Di dalam Jurang Setan ini, antara siang dan malam hari sangat sulit dibedakan. Karena, sepanjang waktu keadaan di jurang ini selalu gelap dan berselimut kabut tebal, yang menyebarkan udara dingin membekukan tulang. Entah sudah berapa lama Bayu dan Ratna Wulan mencari jalan untuk keluar dari dalam jurang ini. Tapi, belum juga mereka menemukannya.
Sedangkan hutan di dalam jurang ini begitu rapat. Sulit bagi siapa pun untuk bisa bergerak cepat. Belum lagi, keadaannya sangat gelap. Ratna Wulan pun beberapa kali terpekik, karena berulang kali kakinya terantuk akar-akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Gadis itu memang belum terbiasa dengan keadaan seperti ini. Dia memang masih seumur jagung dalam menggeluti ganasnya rimba persilatan.
"Kakang, mungkin tebing batu ini menuju keluar," kata Ratna Wulan, saat mereka sampai di kaki sebuah tebing batu yang menjulang sangat tinggi, hingga bagian atasnya benar-benar tidak terlihat.
“Tapi terlalu tegak, Wulan. Banyak lumutnya...," kata Bayu, sambil memperhatikan tebing batu di depannya.
Sebenarnya, tidak ada masalah bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menaiki tebing batu ini. Tapi, Bayu memikirkan Ratna Wulan. Dia tahu, kepandaian yang dimiliki gadis ini bisa dikatakan masih tanggung untuk terjun ke dalam rimba persilatan yang ganas seperti ini. Bahkan, ilmu meringankan tubuhnya saja masih jauh berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. Tapi, untuk mempertahankan hidup di alam bebas seperti ini, dia memang sudah sanggup.
"Mungkin ada jalan lain yang bisa dilalui, Kakang," kata Ratna Wulan, yang tampak tidak menyadari bahwa penolakan Bayu disebabkan oleh keraguannya terhadap kesanggupan gadis itu, jika harus mendaki bukit batu ini.
"Hm..., coba kita telusuri saja kaki tebing ini," ujar Bayu, setengah menggumam.
Mereka kemudian kembali melangkah menyusuri kaki tebing batu ini Sementara itu di dalam benaknya, Bayu terus berpikir keras. Dia berusaha mencari jalan yang mudah untuk ditempuh Ratna Wulan agar bisa keluar dari dalam dasar Jurang Setan ini. Kakinya terus terayun melangkah. Dan, otaknya terus bekerja keras mencari jalan keluar yang mudah.
Setelah cukup lama berjalan menyusuri kaki tebing batu ini, mereka kembali berhenti. Bayu merentangkan tangannya ke depan perut Ratna Wulan. Dimintanya gadis itu untuk mundur dengan isyarat tangan. Tanpa diminta dua kali, Ratna Wulan segera melangkah mundur beberapa tindak. Sedangkan Bayu melangkah ke depan beberapa tindak. Sekitar satu batang tombak lagi, di depan mereka terlihat sebuah mulut gua yang sangat besar dan kelihatan begitu gelap.
"Hmm...."
Kening Bayu berkerut melihat banyak jejak kaki orang di sekitar mulut gua ini. Bahkan, ada jejak-jejak seperti bekas tapak kaki binatang, tapi berukuran sangat besar. Dan, jejak kaki binatang ini sudah dia temukan sebelumnya di dalam gua yang hancur, tidak jauh dari mayat Tiga Pengemis Sakti. Tampaknya ini adalah jejak Beruang Putih yang menghadangnya tadi. Bayu terus melangkah mendekati mulut gua. Dia melihat, di samping gua ini terdapat beberapa buah obor dari batang bambu.
Di dekat obor-obor itu, terlihat nyala api di antara bebatuan. Begitu kecil nyala api ini, sehingga hampir tidak terlihat. Bayu mengambil sebuah obor dan menyalakannya dengan api yang tersembunyi di antara bebatuan. Nyala api obor langsung membuat keadaan disekitarnya cukup terang. Pendekar Pulau Neraka menjulurkan kepalanya ke dalam gua. Tapi, tidak ada yang dapat dilihat, kecuali lorong gua yang tampaknya sangat panjang dan berliku. Bayu berpaling ke belakang.
"Kemari, Wulan," panggil Bayu sambil melambaikan tangannya pada Ratna Wulan.
Ratna Wulan bergegas menghampiri. Dia masih memeluk Tiren. Gadis itu menerima obor yang sudah menyala dari tangan Bayu. Dan Pendekar Pulau Neraka menyalakan satu obor lagi. Tanpa banyak bicara, mereka langsung saja masuk ke dalam gua ini. Tepat seperti dugaan Bayu, gua ini memang sangat panjang dan penuh dengan belokan. Keadaannya juga begitu gelap. Tapi di dasar gua yang lembab ini, terlihat jelas bekas-bekas jejak kaki yang tampaknya belum terlalu lama.
"Di depan sana seperti bercabang, Kakang," bisik Ratna Wulan, setelah mereka cukup jauh masuk ke dalam relung gua ini.
"Hmm...," Bayu hanya menggumam perlahan.
Memang, tidak jauh di depan mereka, tampak relung gua ini bercabang dua. Bayu segera menghentikan langkahnya setelah sampai di lorong bercabang dua ini Ratna Wulan ikut berhenti. Mereka seperti mempertimbangkan, lorong mana yang akan ditempuh. Bayu memperhatikan, jejak-jejak kaki yang ada cukup jelas terlihat di dasar gua ini. Beberapa jejak kaki menuju ke lorong sebelah kanan, Dan, tidak sedikit pun yang menuju ke lorong sebelah kiri. Tapi, ada perbedaan di antara keduanya. Di lorong sebelah kanan tidak terdapat jejak kaki binatang. Dan, tampaknya di lorong ini jejak kaki manusia menuju dua arah yang berlawanan, seperti berbalik keluar lagi setelah memasukinya. Bayu langsung berkesimpulan, semua yang masuk ke gua ini pada akhirnya memilih jalan ke lorong sebelah kiri.
"Kita ke kiri, Wulan," ujar Bayu.
Wulan hanya menganggukkan kepalanya. Dia mengikuti Pendekar Pulau Neraka menyusuri cabang lorong gua sebelah kiri. Obor yang mereka bawa cukup untuk menerangi lorong gua yang gelap ini. Mereka terus berjalan tanpa berbicara sedikit pun. Dua tikungan pun dilalui. Dan, setelah mereka melewati satu tikungan lagi, baru terasa bahwa jalan di dasar lorong gua ini sesungguhnya menanjak dan seperti berputar-putar.
"Sepertinya ini naik ke atas, Kakang," ujar Ratna Wulan, agak mendesis.
"Mudah-mudahan saja memang ini jalan keluarnya, Wulan," sahut Bayu.
"Aku harap begitu," desah Ratna Wulan.
Tanpa bicara lagi, mereka terus melangkah menyusuri lorong gua yang tidak lagi bercabang tapi terus menanjak ini. Dan, semakin lama semakin nyata bahwa lorong gua ini melingkar seperti tangga sebuah menara.
"Kakang, lihat...!" seru Ratna Wulan tiba-tiba, sambil menunjuk ke depan.
Bayu segera mengarahkan pandangannya ke depan. Diikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Tampak jelas sekali, di depan mereka terlihat seberkas cahaya yang begitu terang. Mereka bergegas mendekati cahaya terang seperti sinar matahari itu. Dan, semakin dekat, keadaan di dalam lorong gua ini juga semakin bertambah terang. Obor pun tidak lagi dibutuhkan. Mereka membuang obor dari batang bambu itu, setelah mematikannya di atas batu.
"Itu pintu keluar, Kakang...!" seru Ratna Wulan, gembira.
"Nguk!"
Tiren, yang berada di dalam pelukan Ratna Wulan, rupanya juga merasa gembira bisa keluar dari dalam jurang yang sangat gelap dan mengerikan ini. Monyet kecil itu mencerecet ribut, lalu melompat turun dari gendongan Ratna Wulan. Mereka seperti berlomba mencapai mulut gua di depan sana. Ratna Wulan berlari dengan cepat. Sedangkan Bayu tetap melangkah ringan mengikuti dari belakang. Memang benar, mereka sudah sampai di ujung gua yang sangat panjang dan berliku ini. Cahaya matahari langsung menyambut begitu mereka berada di luar.
Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia tahu, sekarang mereka sudah berada di dekat perbatasan Desa Gebang sebelah Barat. Sungguh tidak diduga sama sekali, lorong gua yang mereka telusuri tadi ternyata merupakan penghubung antara Desa Gebang dan Jurang Setan.
"Oh, segarnya...," desah Ratna Wulan sambil menghirup udara banyak-banyak, setelah berada diluar gua yang gelap ini.
***
Bayu dan Ratna Wulan menarik napas lega. Akhirnya mereka bisa keluar dari dalam Jurang Setan setelah melalui lorong gua yang sangat panjang dan gelap. Tapi, rasa lega belum hilang tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ranting yang patah terinjak kaki. Hanya sesaat Bayu menatap pada Ratna Wulan. Kemudian, bagaikan kilat Pendekar Pulau Neraka melesat ke arah datangnya suara ranting patah yang didengarnya barusan.
"Hup...!"
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Dalam sekejap mata, dia pun sudah lenyap menembus lebatnya semak belukar dan pepohonan. Saat itu juga, mendadak terdengar pekikan tertahan seperti suara orang terkejut.
"Akh...?!"
Srak!
Tampak Bayu terpental keluar dari dalam semak belukar. Tinggi sekali tubuhnya melambung ke udara, seperti ada yang melemparkannya dengan tenaga yang begitu besar. Tapi, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka bisa menguasai keseimbangan dirinya dengan berputaran beberapa kali di udara. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya langsung menjejak di tanah yang berumput cukup tebal ini. Bersamaan dengan itu, dari dalam semak yang sama, keluar seorang laki-laki tua bertubuh kurus. Tulang-tulangnya begitu jelas terlihat, karena dia tidak mengenakan baju. Laki-laki tua itu hanya memakai celana hitam sebatas lutut. Dan, di tangan kanannya tergenggam sebilah kapak yang sangat besar dan bergagang panjang. Sedangkan tangan kirinya mengepit seikat kayu bakar.
"Siapa kau, Anak Muda? Berani-beraninya mengganggu istirahat ku!" bentak orang tua bertubuh kurus itu.
Wajahnya kelihatan memerah. Dan, bola matanya yang bersorot tajam tertuju lurus pada Pendekar Pulau Neraka. Tampaknya dia begitu berang. Sedangkan raut wajah Bayu masih menampakkan keterkejutan. Entah apa yang terjadi di dalam semak belukar itu, sampai Bayu terlempar tinggi ke angkasa tadi. Untung Pendekar Pulau Neraka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, sehingga dia bisa mendarat kembali di tanah dengan ringan dan manis sekali.
"Maaf, aku kira kau orang jahat yang sedang mengintai kami," ujar Bayu seraya memberi hormat.
"Huh! Kau sudah mengganggu istirahat ku, Anak Muda. Kau harus membayar perbuatanmu!" dengus orang tua yang tampak seperti seorang perambah hutan pencari kayu bakar itu.
"Hm..., apa maksudmu, Ki?" tanya Bayu dengan kening berkerut dan mata yang kelihatan menyipit.
"He he he...!"
Orang tua bertubuh kurus itu malah tertawa terkekeh-kekeh. Perlahan kemudian dia melangkah beberapa tindak ke depan. Terlihat jelas baris-baris giginya yang hitam seperti batu saat dia tertawa. Sedangkan Ratna Wulan yang sejak tadi hanya berdiri memperhatikan agak jauh di belakang, perlahan-lahan melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka.
"Kakang, aku seperti pernah melihat dia," bisik Ratna Wulan.
"Hmm...," gumam Bayu sambil melirik sedikit pada gadis cantik yang sudah ada di sebelah kirinya ini.
"Siapa dia, Wulan?"
"Kalau tidak salah, dia si Perambah Hutan Penghisap Darah," sahut Ratna Wulan.
Matanya tidak lepas mengamati laki-laki tua yang memegang sebilah kapak berukuran sangat besar itu.
"He he he...! Penglihatanmu tajam sekali, Anak Manis," selak laki-laki tua bertubuh kurus yang dikenali Ratna Wulan sebagai si Perambah Hutan Penghisap Darah itu.
Sementara itu Bayu diam saja. Diperhatikannya si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan tajam. Dia tahu, nama yang disebutkan Ratna Wulan barusan hanyalah sebuah julukan. Tapi, dia juga tahu, tidak mungkin seseorang bisa mendapatkan sebuah julukan begitu saja. Suatu julukan biasanya disesuaikan dengan sifat atau perbuatan orang itu. Dan ada juga julukan yang diambil dari ciri-ciri orang itu atau nama tempat asalnya. Sedangkan julukan yang digunakan laki-laki tua kurus itu jelas menandakan bahwa dia bukanlah orang baik-baik.
"Aku tidak melakukan apa pun padamu, Ki. Bahkan kau hampir saja meremukkan tulang-tulangku. Apa yang harus aku ganti padamu...?" ujar Bayu agak dingin.
"Sudah aku katakan, kau mengganggu istirahat ku, Anak Muda. Kau harus membayar mahal!" sentak si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan ketus.
"Katakan, apa bayarannya!" dengus Bayu, yang jelas sekali tidak ingin memperpanjang persoalan.
"He he he.... Darahmu, Anak Muda."
"Edan...!" dengus Bayu.
"Kau tentu memiliki darah yang sangat segar. Aku hanya minta, kau membayarnya dengan satu gantang darahmu. Tapi jika kau tidak mau, kau bisa menggantinya dengan bayaran lain," kata si Perambah Hutan Penghisap Darah.
"Hmm, apa...?"
"Keris Naga Emas yang ada padamu. Itu sudah cukup untuk mengganti darahmu, Anak Muda."
Bayu tersentak kaget mendengar permintaan laki-laki tua berjubah kurus yang dijuluki si Perambah Hutan Penghisap Darah itu. Sungguh dia tidak menyangka kalau orang tua itu tahu, bahwa dia menyimpan Keris Naga Emas. Keris yang terbuat dari emas murni ini memang telah diperoleh Bayu dari seorang laki-laki tua. Tapi, dia sendiri tidak berhak memilikinya. Keris itu harus diserahkan kepada orang yang berhak mewarisinya, yaitu seorang gadis bernama Intan Kumala, putri Ki Satria (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode 'Tiga Pengemis Sakti"). Dan, sampai sekarang ini, Pendekar Pulau Neraka belum berhasil menemukan gadis itu.
"Aku tidak punya Keris Naga Emas yang kau maksudkan, Ki. Kau lihat sendiri, aku tidak memegang senjata apa pun," kata Bayu sambil merentangkan kedua tangannya ke samping.
"He he he...! Jangan coba-coba mengelabui ku, Anak Muda. Aku tahu, kau telah diberi keris itu oleh Ki Rahun," ujar si Perambah Hutan Penghisap Darah.
Kali ini Bayu benar-benar tidak dapat lagi menyembunyikan rasa keterkejutannya. Dia memang menyimpan keris itu, dan memang mendapatkannya dari Ki Rahun. Sungguh dia tidak menyangka, Keris Naga Emas yang kini berada di tangannya sudah diketahui oleh orang lain dengan cepat sekali. Padahal, hanya Ratna Wulan-lah yang menyaksikannya sewaktu Ki Rahun menyerahkan keris itu kepada Bayu, sesaat sebelum laki-laki tua itu menghembuskan nafasnya yang terakhir (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode Tiga Pengemis Sakti).
Pendekar Pulau Neraka melangkah dua tindak ke belakang. Saat itu juga cepat disadarinya, persoalan ini tidak mungkin diselesaikan dengan cara damai. Bayu juga menyadari, rahasianya tentang Keris Naga Emas tidak bisa disembunyikan terus-menerus. Memang, di dalam ganasnya rimba persilatan, keadaan seperti yang dialami Pendekar Pulau Neraka ini, sesungguhnya bisa saja terjadi. Bukankah suatu hal yang tidak mungkin jika seseorang yang bertelinga tajam seperti si Perambah Hutan Penghisap Darah sempat mendengarkan pembicaraan antara Bayu dan Ratna Wulan tentang Keris Naga Emas itu, entah dimana. Dan, tampaknya kedua pendekar muda itu tidak menyadari keadaan ini. Rupanya, pikiran mereka begitu terpusat pada peristiwa-peristiwa aneh yang baru mereka alami sejak dititipkan keris oleh Ki Rabun, hingga berhasil keluar dari dasar Jurang Setan.
***
"Baik, aku memang menyimpan keris itu. Tapi bukan padamu aku harus menyerahkannya. Ada orang yang lebih berhak memilikinya," kata Bayu tegas.
"He he he...! Sudah kuduga, kau pasti akan mempertahankannya, Anak Muda. Baik..., aku juga akan merebutnya darimu. Pertahankanlah keris itu, Anak Muda," desis si Perambah Hutan Penghisap Darah, dengan nada suara yang terdengar begitu dingin.
Wuk!
Tiba-tiba si Perambah Hutan Penghisap Darah mengebutkan kapaknya yang berukuran sangat besar itu ke depan. Begitu kuat kebutan itu, sehingga menimbulkan suara yang menggetarkan. Kemudian kapaknya diputar di depan dada, hanya dengan satu tangan.
Wuk!
Cepat sekali putarannya, sampai-sampai kapak itu lenyap dari pandangan mata. Yang terlihat hanyalah lingkaran cahaya keperakan di depan dada laki-laki tua bertubuh kurus kering ini. Putaran itu juga menimbulkan suara deru angin yang begitu dahsyat. Dan, di tepi hutan dekat perbatasan Desa Gebang sebelah Barat ini seakan-akan terjadi badai, yang semakin lama semakin bertambah dahsyat.
"Hmm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia tahu, si Perambah Hutan Penghisap Darah itu sudah mulai melancarkan serangannya. Serangan pertama ini begitu dahsyat luar biasa. Hembusan angin yang keluar dari
putaran kapak itu membuat debu dan daun-daun kering berhamburan ke udara. Bahkan, kerikil-kerikil kecil mulai terlihat berpentalan Bumi yang mereka pijak pun terasa bergetar, seperti terjadi gempa. Semakin cepat putaran kepak itu, semakin dahsyat pula badai yang terjadi.
"Hap!"
Bayu cepat-cepat merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada ketika kakinya mulai tergeser ke belakang. Kedua bola matanya tertuju lurus, menatap dengan sinar yang begitu tajam, tepat ke tengah-tengah pusat lingkaran kapak di tangan kanan si Perambah Hutan Penghisap Darah. Sementara itu Ratna Wulan, yang tidak dapat lagi bertahan, sudah berlindung di balik sebatang pohon yang sangat besar dan tampak kokoh menerima gempuran badai yang semakin dahsyat ini.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Bayu berteriak keras menggelegar. Dan, seketika itu juga....
Wusss!
Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka mengibas ke depan, seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan itu melesat cepat bagai kilat. Dan, senjata andalan ini tepat tertuju ke bagian tengah lingkaran kapak bercahaya keperakan itu. Begitu cepat serangan balasan yang dilakukan Bayu. Si Perambah Hutan Penghisap Darah pun tampak terbelalak kaget setengah mati.
"Hap!"
Cepat-cepat si Perambah Hutan Penghisap Darah menarik tangannya ke samping. Lalu, secepat itu pula dikibaskan kaki depan. Disampoknya senjata andalan Pendekar Pulau Neraka.
Trang!
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, lalu berputaran beberapa kali. Dan begitu kakinya menjejak tanah kembali, tangan kanannya langsung diangkat ke atas kepala. Cakra Maut pun kembali menempel di pergelangan tangannya dengan cepat sekali. Serangan kilat yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka ini membuat badai yang diciptakan si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan kapaknya itu terhenti seketika. Deru angin yang begitu dahsyat kini tidak terdengar lagi.
Meskipun hanya terjadi sebentar, badai ciptaan si Perambah Hutan Penghisap Darah telah membuat keadaan di dekat perbatasan Desa Gebang sebelah Barat ini porak-poranda. Tidak sedikit pepohonan yang tumbang. Bahkan tidak sedikit pula bebatuan yang hancur saling beradu ketika terpental terkena hembusan angin badai yang begitu kuat dan dahsyat tadi.
Sementara itu, Pendekar Pulau Neraka dan si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali saling berhadapan, dengan jarak sekitar satu setengah batang tombak. Mereka saling bertatapan dengan tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
***
TIGA
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Perambah Hutan Penghisap Darah melompat cepat bagai kilat sambil mengayunkan kapaknya yang besar ke arah kepala Bayu. Begitu besar tenaga dalam yang dikerahkannya. Sehingga, ayunan kapak itu menimbulkan suara deru angin yang begitu dahsyat menggetarkan dada.
"Hiiap!"
Manis sekali Bayu mengelakkan serangan itu. Dia hanya mengegoskan kepalanya. Namun, Bayu sempat juga terperanjat ketika mata kapak yang berkilat tajam lewat di depan mukanya. Terasa sekali, hembusan angin dari ayunan kapak itu mengandung tenaga dalam tinggi yang memancarkan hawa panas begitu menyengat Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang, sebelum si Perambah Hutan Penghisap Darah melakukan serangan kembali.
"Bagus...! Rupanya kau punya simpanan juga, Anak Muda," dengus si Perambah Hutan Penghisap Darah, memuji lawannya.
"Siapa gurumu?"
"Kau tidak perlu tahu, Kisanak," sahut Bayu, agak ketus.
"Angkuh juga kau, Bocah. Baik, aku akan memaksamu menyebutkan nama gurumu."
"Silakan kalau kau mampu."
"He he he.,.! Bersiaplah kau, Bocah Sombong!
Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke samping begitu si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan serangan. Kapak yang berukuran besar itu dikibaskan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi, dengan gerakan tubuh yang begitu manis, Bayu berhasil menghindarinya. Bahkan, tanpa diduga sama sekali, dia melepaskan satu tendangan menggeledek dengan kaki kirinya, sambil memiringkan tubuh sedikit ke kanan.
"Haiiit...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang sambil mengebutkan kapaknya ke kaki Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Bayu sudah lebih cepat menarik kakinya. Bahkan, tanpa memijakkan kaki kirinya ke tanah, dia melesat ke udara, lalu meluruk deras sambil melepaskan satu pukulan menggeledek ke arah kepala si Perambah Hutan Penghisap Darah. Begitu sempurna tenaga dalam yang dikerahkan Bayu. Angin pukulannya pun telah terasa sebelum pukulan itu sampai di kepala laki-laki tua bertubuh kurus kering ini.
Glarrr….
Satu ledakan keras terdengar ketika pukulan Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah. Pukulan Pendekar Pulau Neraka itu tidak mengenai sasaran, karena si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah melompat tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tidak ada pilihan lain bagi si Perambah Hutan Penghisap Darah. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke udara menghindari serangan pukulan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu, yang mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam pada pukulannya, tidak dapat lagi menarik serangannya. Sehingga, pukulannya pun menghantam tanah.
Glarrr...!
Satu ledakan keras langsung terdengar menggelegar ketika pukulan Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah. Begitu dahsyat pukulan bertenaga dalam sempurna itu. Tanah yang terhantam pun seketika hancur. Debu langsung menyemburat tinggi ke udara. Bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa yang begitu dahsyat.
"Hup!"
Bayu cepat melompat ke belakang sejauh beberapa langkah. Manis sekali kakinya menjejak tanah. Tampak tanah yang terkena pukulannya tadi telah berlubang sangat besar, seperti sebuah lubang kuburan gajah. Si Perambah Hutan Penghisap Darah yang melihat hasil pukulan maut Pendekar Pulau Neraka itu langsung terlongong-longong. Dia tidak menyangka sama sekali kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat luar biasa.
"Aku bisa menghancurkan tubuhmu kalau kau tidak segera angkat kaki dari sini, Orang Tua...!" desis Bayu dingin, dengan nada mengancam.
Dari nada suaranya, Pendekar Pulau Neraka tidak bisa lagi dianggap main-main, Jelas Bayu tidak menginginkan urusan ini berlarut-larut. Tapi, rupanya si Perambah Hutan Penghisap Darah tidak juga mau mundur sebelum mendapatkan Keris Naga Emas yang sangat diinginkannya. Tampaknya dia akan berusaha sampai mati untuk merebut keris berwarna emas yang tetap dipertahankan oleh Pendekar Pulau Neraka itu. Memang, apa pun yang terjadi, Bayu akan tetap mempertahankan Keris Naga Emas, yang dititipkan oleh Ki Rahun sebelum menghembuskan napas terakhir. Dan, Bayu pun tetap teringat akan pesan yang dikatakan oleh lelaki tua itu untuk menyerahkan keris ini kepada pewarisnya yang berhak.
"Phuih!"
Si Perambah Hutan Pengemis Darah menyemburkan ludahnya dengan sengit. Perlahan kakinya digeser ke kanan beberapa langkah. Sorot matanya masih tetap tajam, tertuju langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka. Dia benar-benar tidak menyangka kalau pemuda yang dihadapinya ini begitu tangguh. Dan, dia tidak ingin lagi menganggap enteng. Hampir saja tadi dia celaka, karena menganggap rendah pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kita tentukan sekarang. Kau atau aku yang harus mati, Anak Muda!" desis si Perambah Hutan Penghisap Darah, dingin.
"Di antara kita tidak ada persoalan, Ki. Sebaiknya tidak perlu diperpanjang lagi urusan tak berguna ini," kata Bayu, mencoba untuk tidak memperpanjang pertarungan yang dianggapnya tidak berguna ini.
"Jangan banyak mulut kau, Bocah!
Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Begitu si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan serangan, dia terpaksa melayani keinginan laki-laki tua yang menggunakan senjata kapak itu. Dan, kali ini serangan-serangan yang dilancarkan si Perambah Hutan Penghisap Darah ternyata sungguh dahsyat luar biasa. Begitu gencarnya, sehingga tidak ada kesempatan sedikit pun bagi Bayu untuk membalas. Memang, si Perambah Hutan Penghisap Darah tidak memberikan kesempatan pada lawannya ini untuk membalas menyerang.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya. Di hindarinya setiap serangan yang dilancarkan si Perambah Hutan Penghisap Darah itu. Jurus demi jurus pun berlalu dengan cepat. Tapi pertarungan itu tampaknya masih akan berlangsung lama. Beberapa kali kibasan kapak si Perambah Hutan Penghisap Darah hampir membelah tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi sampai saat ini Bayu masih bisa menghindarinya dengan manis, walaupun dia belum memiliki kesempatan untuk melakukan serangan balasan.
"Mampus kau, Bocah! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat si Perambah Hutan Penghisap Darah melompat sambil menghantam kapaknya ke kepala Pendekar Pulau Neraka. Begitu kuat hantaman yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Angin yang ditimbulkannya pun terasa begitu panas menyengat kulit.
"Hap! Hiyaaa...!"
***
Cepat sekali Bayu menarik kepalanya ke belakang, sambil menggeser juga kedua kakinya ke belakang dua tindak. Dan, ujung mata kapak si Perambah Hutan Penghisap Darah itu lewat sedikit saja di depan hidung pemuda berbaju kulit harimau ini. Pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak kaget setengah mati. Tidak disangkanya Pendekar Pulau Neraka mampu melakukan serangan balik yang begitu cepat di saat sedang menghindari serangannya. Cepat-cepat lelaki tua bertubuh kurus ini melompat ke belakang beberapa tindak. Namun, baru saja kakinya menjejak tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya ke depan, dengan tubuh sedikit miring ke kiri.
"Yeaaah...!"
Wusss!
"Heh...?! Ikh!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terbeliak setengah mati ketika dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka meluncur sebuah benda berbentuk cakra yang berwarna keperakan. Cakra Maut bersegi enam itu meluncur dengan cepat bagai kilat Dan, cepat-cepat si Perambah Hutan Penghisap Darah mengibaskan kapaknya. Disampoknya senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu.
Wuk!
Trang!
"Ikh...?!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terpekik ketika ujung mata kapaknya berbenturan dengan Cakra Maut tepat di depan dadanya. Begitu keras benturan itu, sampai menimbulkan pijaran api yang memancar ke segala arah. Saat itu juga Cakra Maut kembali melesat berbalik kepada pemiliknya. Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Dan, cakra bersegi enam keperakan itu kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
Pada saat itu juga, dengan cepat sekali Bayu melompat sambil melepaskan satu tendangan yang keras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya. Begitu cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si Perambah Hutan Penghisap Darah pun tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Des!
"Akh...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali terpekik. Kali ini tendangan kaki kanan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dadanya dengan keras sekali. Tak pelak lagi, lelaki tua itu terpental ke belakang dengan keras sekali. Dan, tubuhnya tepat jatuh di dalam lubang besar yang seperti kuburan gajah tadi. Pada saat yang bersamaan, Bayu mendarat tepat di pinggiran lubang itu. Sedangkan si Perambah Hutan Penghisap darah tampak menggeletak dengan napas tersengal di dalam lubang. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah kental agak berwarna kehitaman.
"Lubang ini memang cocok untuk kuburanmu Kek ." desis Bayu dingin.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat kepalan tangan kanannya ke atas kepala. Sedangkan si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah tidak berdaya lagi. Tendangan yang mendarat di dadanya tadi mengandung pengerahan tenaga dalam yang begitu dahsyat dan sudah sempurna tingkatannya. Seluruh rongga dadanya kini terasa remuk. Bahkan, tulang-tulang dadanya terlihat jelas sudah hancur. Memang tidak ada lagi harapan bagi si Perambah Hutan Penghisap Darah untuk bisa bertahan hidup lebih lama.
Darah yang keluar dari mulutnya semakin bertambah banyak. Dan nafasnya sudah tersendat-sendat. Kedua bola matanya pun tidak lagi memancarkan sinar tajam. Begitu redup, bagai sepasang pelita yang sudah kehabisan minyak. Laki-laki tua yang dikenal dengan julukan si Perambah Hutan. Penghisap Darah itu benar-benar sudah tidak bisa lagi berbuat apa pun. Dia hanya bisa menggeletak tak berdaya didalam lubang sebesar kuburan gajah, yang tidak sengaja dibuat tadi oleh Pendekar Pulau Neraka.
“Terimalah kematianmu, Kakek Iblis...!" desis Bayu, dingin.
"Kakang, jangan...!"
Hampir Pendekar Pulau Neraka telanjur melepaskan satu pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam tingkat sempurna ke arah si Perambah Hutan Penghisap Darah. Untung saja terdengar seruan Ratna Wulan yang begitu keras. Pemuda berbaju kulit harimau itu memalingkan kepalanya. Tampak Ratna Wulan berlari-lari kecil menghampiri. Monyet kecil berbulu hitam mengikuti dari belakang, sambil mencerecet ribut.
"Nguk!"
Monyet kecil yang bernama Tiren itu langsung melompat naik ke pundak kanan Bayu. Sedangkan Ratna Wulan berdiri dekat agak ke depan, di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu melirik sedikit pada si Perambah Hutan Penghisap Darah yang masih menggeletak tak berdaya di dalam lubang.
“Tidak ada gunanya membunuh dia, Kakang. Sebaiknya tanyakan saja, kenapa dia menginginkan Keris Naga Emas itu," kata Ratna Wulan.
"Hmm...."
Bayu menggumam sedikit. Tangan kanannya sudah turun kembali. Bola matanya menatap tajam pada si Perambah Hutan Penghisap Darah.
"Kau dengar apa katanya, Ki. Kau beruntung tidak terkubur di sini," kata Bayu, sedikit membentak. Si Perambah Hutan Penghisap Darah diam saja. Sinar matanya semakin kelihatan redup. Darah terus mengalir dari mulut dan hidungnya. Sedikit pun tubuhnya tidak bergerak, seakan-akan raganya sudah mati. Hanya gerakan lemah di dada dan matanya sedikit terbuka yang bisa menandakan kalau dia masih hidup.
"Ki..., untuk apa kau menginginkan Keris Naga Emas itu?" tanya Ratna Wulan lembut.
Tidak terdengar suara sedikit pun dari bibir berlumuran darah yang bergerak-gerak itu. Sepertinya si Perambah Hutan Penghisap Darah ingin bicara. Tapi, mendadak tubuhnya mengejang kaku, kemudian langsung lunglai, dan kedua matanya terpejam. Bayu cepat-cepat melompat ke dalam lubang. Ujung jari tangannya langsung ditempelkan ke leher lelaki bertubuh kurus itu. Sebentar kemudian Pendekar Pulau Neraka berpaling kepada Ratna Wulan. Kepalanya menggeleng, lalu dia kembali melompat ke atas.
"Dia sudah mati," ujar Bayu.
"Heh, sayang sekali. Padahal keterangannya sangat berguna untuk membantu menemukan pewaris keris itu, Kakang," desah Ratna Wulan perlahan.
“Tendangan ku terlalu keras tadi," ujar Bayu, seperti menyesal.
"Yaaah..., terpaksa kita harus mencari lagi petunjuk yang lain untuk menemukan gadis itu," desah Ratna Wulan lagi.
"Kau masih ingat namanya, Kakang?"
"Intan Kumala," sahut Bayu.
"Kakang, apa tidak sebaiknya kita mencari keterangan di Desa Gebang ini saja. Siapa tahu ada di antara penduduk desa itu yang kenal dengan Intan Kumala," saran Ratna Wulan.
Bayu tampak merenung. Dia kembali teringat pada Ki Rahun, laki-laki tua berpakaian compang-camping yang ditolongnya ketika hampir tewas di tangan Ki Laksa. Dia tidak tahu, kenapa Ki Rahun sampai bertarung menyabung nyawa dengan Ki Laksa. Tapi, setidak-tidaknya di Desa Gebang dia bisa mendapatkan keterangan dari laki-laki tua berjubah putih itu.
Ki Laksa memang sangat disegani di Desa Gebang ini. Dia adalah, orang kepercayaan pihak kerajaan yang bertugas mengawal barang-barang berharga ataupun mengiringi anggota keluarga istana kerajaan. Tentu saja tidak sulit bagi Bayu untuk menemuinya.
"Sudah sore. Ayo kita cari penginapan di sana," ajak Bayu sambil menunjuk ke Desa Gebang.
***
Malam sudah cukup larut. Kegelapan merambat menyelimuti sebagian permukaan bumi. Kesunyian begitu terasa mencekam. Hanya desiran angin dan gerit binatang malam yang terdengar mengusik kesunyian ini. Di bawah siraman cahaya bulan yang memancar lembut, terlihat seorang wanita melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan tanah di pinggiran Desa Gebang. Pakaiannya yang berwarna putih kelihatan sudah hampir memudar dan kotor penuh debu. Terdapat pula sobekan di beberapa bagian. Rambutnya yang panjang tampak acak-acakan tak teratur, sehingga hampir menutupi wajah yang berkulit putih tapi kelihatan kotor penuh debu yang bercampur keringat.
Memang udara malam ini terasa cukup panas. Wanita yang kelihatannya masih muda itu terus melangkah perlahan, tapi ayunan kakinya tampak mantap. Dan, sorot matanya juga terlihat tajam memandang lurus ke depan. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Dia terus berjalan melintasi jalan tanah yang seperti membelah Desa Gebang ini menjadi dua bagian. Dan ayunan kakinya baru berhenti setelah sampai di depan sebuah pagar rumah dari bambu. Rumah itu sangat besar dan dikelilingi halaman yang luas.
Keadaan di dalamnya tampak terang benderang. Terlihat beberapa orang laki-laki muda berjalan mondar-mandir di sekitarnya. Di pinggang mereka masing-masing terselip sebilah golok. Mungkin mereka adalah para penjaga rumah itu, rumah yang paling besar di Desa Gebang. Bahkan, rumah ini lebih besar dari rumah kepala desa sendiri. Dan, semua orang tahu, itu adalah rumah Ki Laksa.
"Bersiap-siaplah kau, Paman Laksa. Pembalasanku sudah tiba."
Wanita muda berpakaian putih dan compang-camping itu menggumam. Suaranya datar dan dingin sekali. Tak terdengar tekanan nada sedikit pun pada gumamnya tadi. Dan, dia tetap berdiri tegak memandangi rumah berukuran besar itu. Dua orang laki-laki muda yang sejak tadi berdiri di depan beranda terlihat bergerak menghampiri. Mereka menyeberangi halaman yang cukup luas dan ditumbuhi rerumputan. Sedangkan wanita muda seperti pengemis itu tetap diam berdiri tegak tak bergeming sedikit pun.
"Hei! Mau apa kau ke sini? Pergi sana...!" bentak salah seorang pemuda itu dengan kasar.
"Hmm...," wanita muda berbaju putih compang-camping itu hanya menggumam sedikit.
"Pergi sana! Jangan mengotori tempat ini!" bentak pemuda itu lagi.
"Kalian, tikus-tikus Busuk! Tidak pantas buka bacot di depanku, Hih...!"
Tiba-tiba wanita itu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Begitu cepat kebutannya, hingga hampir tidak terlihat. Saat itu juga, dari telapak tangan wanita itu melesat dua buah benda kecil bercahaya kuning keemasan.
"Aaakh...!"
"Aaa...!”
Dua jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat membelah malam yang sunyi ini. Tampak kedua pemuda itu langsung ambruk dengan dada berlubang berlumuran darah. Hanya sebentar keduanya menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Dada mereka berlubang cukup besar. Benda kecil berwarna keemasan yang menghantam tadi ternyata berakibat luar biasa.
Jeritan yang begitu panjang dan melengking dari kedua pemuda itu mengejutkan penjaga rumah Ki Laksa lainnya. Sebentar saja terlihat beberapa orang berlarian menyeberangi halaman. Dan, pada saat itu juga...
"Hup!"
Wanita muda berpakaian putih compang-camping itu tiba-tiba melesat cepat. Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah lenyap tak berbekas sama sekali. Sedangkan orang yang berdatangan tampak terperanjat kaget begitu melihat dua orang teman mereka sudah menggeletak tak bernyawa dengan dada berlubang cukup besar.
Saat itu, terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih keluar dari pintu depan rumah, diikuti oleh tiga orang laki-laki berusia setengah baya. Mereka bergegas melangkah menyeberangi halaman. Sekitar lima belas pemuda yang berkerumun segera menyingkir memberi jalan. Laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah Ki Laksa itu tampak terperanjat setengah mati begitu melihat dua orang penjaga rumahnya telah menggeletak tewas dengan dada berlubang. Di dalam dada itu terlihat sebuah benda kecil berbentuk bulat dan berwarna kuning keemasan. Ki Laksa mengambil benda itu dan mengamatinya beberapa saat.
"Mustahil...!" desis Ki Laksa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa itu, Ki?" tanya Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju merah.
"Ini," sahut Ki Laksa sambil menyerahkan benda bulat kecil keemasan itu.
Si Nyawa Merah menerima benda itu, dan mengamatinya sebentar, lalu menyerahkannya pada si Nyawa Biru. Kemudian, si Nyawa Kuning pun mendapat giliran untuk mengamatinya. Mereka semua memandangi Ki Laksa yang tampak termenung setelah melihat benda bulat kecil keemasan yang menewaskan dua orang penjaga rumahnya ini.
"Mustahil kalau dia masih hidup, Ki," ujar si Nyawa Merah.
"Seharusnya kalian pastikan dulu kalau dia sudah mati. Huh...! Persoalan ini tidak ada habis-habisnya!" dengus Ki Laksa seraya melangkah kembali ke rumahnya.
Tiga orang laki-laki setengah baya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa bergegas ikut masuk ke dalam rumah. Sementara itu, para pemuda penjaga rumah Ki Laksa tampak sibuk mengurus kedua orang penjaga malam yang tewas mengenaskan tadi.
***
EMPAT
Ki Laksa terkejut setengah mati saat sampai di ambang pintu rumahnya. Kedua bola matanya langsung terbeliak lebar. Keadaan di dalam rumahnya terlihat berantakan, seperti baru diamuk puluhan gajah liar. Tidak ada satu barang pun yang masih utuh. Semuanya hancur berkeping-keping. Perampok Tiga Nyawa yang baru sampai langsung menerobos masuk melewati Ki Laksa yang masih berdiri terlongong-longong di ambang pintu.
Hanya beberapa saat mereka meninggalkan rumah ini tadi untuk melihat dua penjaga yang tewas di depan pintu pagar. Tapi, keadaan di dalam rumah ini sekarang sudah seperti kapal pecah dihantam gelombang lautan. Ki Laksa bergegas menerobos masuk. Dan, diperiksanya semua ruangan di dalam rumah. Tidak ada satu ruangan pun yang , terlihat masih utuh. Semuanya sudah hancur berantakan. Begitu cepat rumahnya diobrak-abrik.
Brak!
"Heh...?!"
Ki Laksa terkejut bukan main ketika tiba-tiba sebuah pintu di depannya tertutup sendiri. Cepat dia melompat mendekati pintu itu. Tapi, baru saja kakinya menjejak lantai, mendadak pintu itu jebol.
Bruakkk!
"Hup!"
Cepat-cepat Ki Laksa melentingkan tubuhnya, berputaran beberapa kali ke belakang. Dari pintu yang hancur itu, melesat sebuah bayangan putih begitu cepat bagai kilat. Bayangan itu lewat di atas tubuh Ki Laksa yang sedang berputaran. Bayangan putih itu terus melesat cepat melewati atas kepala tiga laki-laki setengah baya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa.
“Tahan dia...!" seru Ki Laksa keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Nyawa Biru, yang lebih dulu menyadari, cepat melesat mengejar bayangan putih itu. Satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi langsung dilepaskannya ke arah bayangan putih itu. Tapi, tanpa diduga sama sekali, bayangan putih itu berputar cepat dan langsung berbalik menyerang begitu serangan yang dilancarkan si Nyawa Biru dapat dihindari.
"Uts...!"
Cepat-cepat Nyawa Biru memutar tubuhnya ke belakang beberapa kali. Dihindarinya benda-benda kecil berwarna keemasan yang tiba-tiba saja meluncur cepat ke arahnya. Pada saat itu juga, bayangan putih itu cepat melesat keluar. Begitu cepat gerakannya. Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa pun tidak sempat lagi mengejar.
Tepat pada saat tubuhnya keluar melewati pintu, mendadak bayangan putih itu berbalik. Kini jelaslah terlihat, dia seorang wanita muda berbaju putih yang compang-camping seperti gembel jalanan. Rambutnya yang panjang dibiarkan meriap tak teratur. Dan terlihat sedikit gelungan di atas kepalanya. Sebentar dia berdiri tegak di depan beranda, lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berbaju putih compang-camping itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika dari kedua telapak tangannya memancar cahaya merah bagai api. Sinar merah itu langsung menghantam rumah Ki Laksa yang besar ini.
Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar seketika terdengar begitu dahsyat saat sinar merah keluar dari kedua telapak tangan wanita muda berbaju putih compang-camping itu. Tak pelak lagi, rumah besar dengan dinding terbuat dari batu itu hancur berkeping-keping. Api langsung berkobar membakar seluruh bangunan rumah ini. Pada saat itu juga, wanita muda berbaju putih compang-camping itu melesat cepat.
Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya pun sudah lenyap tak berbekas lagi. Tepat di saat wanita muda itu lenyap, dari kobaran api yang berkobar melahap bangunan rumah Ki Laksa itu terlihat melesat empat bayangan dengan cepat sekali. Dan, tahu-tahu di halaman depan sudah mendarat Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Sedangkan api terus berkobar semakin besar melahap seluruh bangunan rumah ini.
"Setan alas...!" maki Ki Laksa.
Dia memandangi rumahnya yang mulai hancur termakan api. Malam yang semula sunyi dan tenang seketika itu juga menjadi terang benderang. Terdengar suara gemeretak dari kayu-kayu yang termakan api. Sebentar saja, sekitar halaman rumah Ki Laksa sudah dipenuhi penduduk Desa Gebang. Mereka terbangun tadi ketika mendengar keributan di rumah Ki Laksa.
"Kumpulkan semua orang yang ada. Cari si keparat itu...!" seru Ki Laksa, lantang menggelegar.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang laki-laki setengah baya dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa itu langsung bergerak mengumpulkan orang-orangnya yang berada di sekitar halaman rumah ini. Sedangkan Ki Laksa menggerutu dan memaki-maki sendiri. Rumahnya sudah hancur terbakar. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Kejadiannya begitu cepat, dan sama sekali tidak pernah diduga sebelumnya.
Sebentar kemudian, sekitar dua puluh orang anak muda yang masing-masing menyandang golok sudah berkumpul di depan Ki Laksa. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa berdiri di belakang laki-laki tua berjubah putih itu. Tampak pula orang semakin banyak berkerumun di luar pagar rumah ini. Tak ada seorang pun yang berani melewati pagar yang hanya terbuat dari bambu itu. Mereka hanya bisa menyaksikan sambil berbisik-bisik dan bertanya-tanya sendiri.
"Kalian bertiga, bawa mereka semua. Cari si keparat itu sampai dapat!" perintah Ki Laksa yang masih diliputi keberangan.
"Baik, Ki," sahut Nyawa Merah.
"Pergi sekarang juga!"
Si Perampok Tiga Nyawa segera membawa kedua puluh pemuda itu pergi. Sedangkan Ki Laksa masih tetap berdiri memandangi api yang terus melahap rumahnya. Udara malam yang semula terasa begitu dingin kini menjadi hangat oleh kobaran api yang besar itu. Ki Laksa memutar tubuhnya saat mendengar suara-suara langkah kaki yang mendekat. Tampak seorang laki-laki setengah baya datang menghampirinya. Dia tahu, laki-laki setengah baya yang mengenakan baju biru muda itu adalah Ki Antak, Kepala Desa Gebang.
"Maaf, aku baru bisa datang ke sini, Ki Laksa," ucap Ki Antak setelah sampai di dekat Ki Laksa.
"Hmm...." Ki Laksa hanya menggumam sedikit.
Sekilas dia mengedarkan pandangan. Dirayapinya orang-orang yang berkerumun di luar pagar rumahnya. Kemudian dia memandang pada Ki Antak yang berdiri sekitar tiga langkah di depannya.
"Apa yang terjadi dengan rumahmu, Ki?" tanya Ki Antak.
"Kalaupun aku katakan, kau tidak akan bisa membantu, Ki Antak. Maaf, biarkan aku mengurusnya sendiri. Ini persoalan pribadiku," sahut Ki Laksa agak ketus.
Tanpa menghiraukan Ki Antak, Ki Laksa melangkah pergi menuju ke belakang rumahnya yang sudah habis terbakar. Di bagian belakang rumahnya memang ada bangunan lain yang berukuran kecil. Dan, biasanya tempat itu digunakan hanya untuk bersemadi. Untung saja bangunan itu tidak ikut dihancurkan, sehingga Ki Laksa masih bisa menggunakannya untuk berteduh.
Sedangkan Ki Antak hanya bisa diam memandangi kepergian Ki Laksa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia berbalik dan meninggalkan halaman rumah itu. Dalam hati kecilnya, sesungguhnya Ki Antak merasa senang melihat kejadian yang menimpa Ki Laksa. Bahkan, sudah lama dia berharap, ada seorang pendekar yang dapat menundukkan Ki Laksa ataupun membunuhnya.
Selama ini, para penduduk Desa Gebang sering kali diperlakukan sewenang-wenang oleh Ki Laksa dan para pengikutnya. Dan, tidak ada seorang pun yang berani melawan termasuk Ki Antak sendiri. Bahkan Kepala Desa Gebang merasa, dirinya benar-benar tidak ada artinya dibanding lelaki tua yang cukup dikenal di rimba persilatan.
***
Terbakarnya rumah Ki Laksa menjadi buah bibir di seluruh pelosok Desa Gebang. Tak ada seorang pun yang tidak membicarakannya. Tapi, tak seorang pun yang tahu, kenapa rumah orang paling kaya di desa ini bisa terbakar habis tanpa dapat diselamatkan lagi.
Bayu dan Ratna Wulan yang telah berada di desa ini juga mendengar semua pembicaraan yang kebanyakan bernada sumbang itu. Mereka jadi tahu, sebenarnya keberadaan Ki Laksa dan tiga orang pembantu kepercayaannya tidak disenangi oleh penduduk.
Tapi, tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu, mengingat Ki Laksa bukanlah orang sembarangan. Dia pun memiliki hubungan kuat dengan orang-orang di istana kerajaan. Terlebih lagi ketiga pembantu kepercayaannya bisa melakukan apa saja jika Ki Laksa sudah memberikan perintah.
Semua orang di Desa Gebang ini merasa senang dengan peristiwa semalam. Tapi, mereka juga diliputi kekhawatiran, kalau-kalau Ki Laksa memerintahkan orang-orangnya mengobrak-abrik seluruh desa ini hanya untuk mencari orang yang telah membakar rumahnya.
"Kau tahu, siapa kira-kira yang membakar rumah ini, Kakang?" tanya Ratna Wulan, saat mereka tengah makan di sebuah kedai yang tidak begitu ramai pengunjungnya.
"Yang pasti orang yang punya urusan dengannya," sahut Bayu seenaknya.
"Itu sudah pasti, Kakang. Tapi siapa orangnya...?" sungut Ratna Wulan
"Mana aku tahu...," sahut Bayu sambil mengangkat sedikit bahunya.
Saat itu Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa masuk ke dalam kedai ini. Semua orang yang berada di dalam kedai bergegas keluar begitu melihat Ki Laksa dan ketiga pembantu kepercayaannya datang. Hanya Bayu dan Ratna Wulan yang masih tinggal, selain pemilik kedai itu sendiri tentunya.
Laki-laki tua pemilik kedai itu tampak ketakutan melihat kedatangan Ki Laksa dan tiga orang pembantu kepercayaannya yang dikenal dengan julukan Perampok Tiga Nyawa. Melihat Bayu dan Ratna Wulan masih tetap berada di tempatnya, Ki Laksa langsung menghampiri, diikuti si Perampok Tiga Nyawa.
"Aku seperti pernah bertemu denganmu, Anak Muda," kata Ki Laksa begitu berada di depan meja yang ditempati Bayu.
"Ya, satu kali," sahut Bayu, tenang.
Ki Laksa mengamati wajah Pendekar Pulau Neraka beberapa saat Kepalanya terangguk-angguk pelan. Dia langsung teringat pemuda berbaju kulit harimau inilah yang dulu menolong Ki Rahun dari hunjaman ujung tongkatnya yang runcing.
Pendekar Pulau Neraka meraih Tiren yang sejak tadi nangkring di pundaknya. Diserahkannya monyet kecil itu kepada Ratna Wulan. Perlahan Bayu bangkit berdiri. Kini dia langsung berhadapan muka dengan Ki Laksa. Hanya sekitar tiga langkah jarak antara mereka berdua.
"Kenapa kau menolong Ki Rahun, Anak Muda?" tanya Ki Laksa langsung.
"Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya tidak bisa melihat kau menganiaya seorang pengemis tua yang tidak berdaya," sahut Bayu tegas, tapi dengan nada suara masih tetap terdengar tenang.
"Di mana dia sekarang?" tanya Ki Laksa lagi.
"Untuk apa kau tanyakan itu? Untuk membunuhnya...?" kali ini nada suara Bayu terdengar ketus.
"Jangan main-main di depanku, Anak Muda. Kau tahu siapa aku heh...?" dengus Ki Laksa, merasa tidak senang.
"Aku tahu siapa kau, Ki. Bahkan aku memang ingin sekali bertemu. Ada sesuatu yang hendak aku tanyakan padamu" kata Bayu, tegas.
"Hm.... Kau mau mencari masalah denganku Anak Muda," desis Ki Laksa menggumam.
Bayu melangkah mundur dua tindak. Dikeluarkannya keris berwarna kuning keemasan dari dalam sabuk yang membelit pinggangnya. Bola mata Ki Laksa langsung terbeliak begitu melihat Keris Naga Emas yang kini berada di tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kau kenali benda ini, Ki?" tanya Bayu.
"Dari mana kau dapatkan itu?" Ki Laksa malah balik bertanya.
"Aku rasa kau sudah tahu, dari mana aku mendapatkannya, Ki. Aku ingin, kau menjawab pertanyaanku. Karena aku harus menyerahkan benda ini kepada pemiliknya," kata Bayu tegas.
"Keris itu milikku!" dengus Ki Laksa.
"Kau pasti tidak bernama Intan Kumala, bukan...? Hanya Intan Kumala yang berhak memilikinya. Dan aku yakin, kau pasti tahu di mana dia," kata Bayu, tetap tegas.
Ki Laksa tidak berkata-kata lagi. Gerahamnya terdengar bergemeletuk. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa yang berada di belakang laki-laki tua berjubah putih itu sudah siap dengan masing-masing kapaknya di tangan kanan. Mereka tinggal menunggu perintah, sambil terus menatap Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang begitu tajam.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda? Ada hubungan apa kau dengan mereka?" tanya Ki Laksa dingin sekali.
"Aku hanya diberi pesan untuk menyerahkan benda ini kepada pemiliknya. Dan kau tentu tahu, siapa itu Intan Kumala," sahut Bayu.
"Dia sudah mati. Sebaiknya kau serahkan saja Keris Naga Emas itu kepadaku."
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum kecil. Dia menyimpan kembali keris berwarna kuning keemasan itu ke dalam sabuk pinggangnya yang terbuat dari kulit berwarna kuning gading. Sementara itu Ratna Wulan sudah berdiri di belakang Pendekar Pulau Neraka. Tangan kanannya sejak tadi sudah menggenggam gagang pedangnya yang tersimpan dalam warangkanya di pinggang.
"Maaf, kami terpaksa harus melanjutkan perjalanan," kata Bayu seraya memutar tubuhnya hendak meninggalkan kedai itu.
"Tunggu...!" sentak Ki Laksa.
Bayu tidak peduli. Dia terus saja berjalan sambil meraih Tiren dari pundak Ratna Wulan yang berjalan di sebelahnya. Sikap Bayu yang tidak peduli itu membuat Ki Laksa bertambah geram.
"Berhenti kau, Bocah!" bentak Ki Laksa, lantang.
"Hiyaaa...!"
Wuk!
"Haiiit..!"
***
Manis sekali Bayu mengegoskan tubuhnya begitu Ki Laksa menghunjamkan tongkatnya ke punggung pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan begitu tongkat Ki Laksa lewat di sampingnya, dengan cepat sekali Bayu membungkukkan tubuhnya, lalu secepat itu pula menghentakkan kakinya ke belakang. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Ki Laksa pun tampak terhenyak tidak menyangka.
"Hup!"
Tapi, laki-laki tua berjubah putih itu cepat melompat ke belakang. Tendangan ke arah belakang yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka pun tidak sampai mengenai tubuhnya. Bayu segera memutar tubuhnya berbalik. Dan, pada saat itu, si Perampok Tiga Nyawa sudah berlompatan sebelum Ki Laksa memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Yaaah...!"
Secara bersamaan, si Perampok Tiga Nyawa menyerang Pendekar Pulau Neraka. Kapak-kapak mereka berkelebatan cepat sekali mengincar bagian-bagian tubuh Bayu yang mematikan. Serangan dari tiga arah ini membuat Bayu harus berjumpalitan menghindari.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke atas. Dia menjebol atap kedai ini dan terus meluncur keluar dengan kecepatan yang sungguh luar biasa. Tapi, si Perampok Tiga Nyawa tidak mau membiarkan Pendekar Pulau Neraka lolos. Dengan cepat mereka segera berlompatan dan menjebol atap kedai.
Sementara itu Ratna Wulan sudah berlari keluar. Ki Laksa juga bergegas keluar dari kedai. Tinggallah laki-laki tua pemilik kedai itu, yang masih tetap diam seperti patung. Dia lalu jatuh terduduk lemas di lantai ketika melihat keadaan kedainya sudah porak-poranda.
"Hap!"
Bayu menjejakkan kakinya di tanah, tepat di halaman depan kedai yang cukup luas ini. Dan, sesaat kemudian si Perampok Tiga Nyawa juga menjejakkan kakinya di halaman kedai ini. Mereka langsung mengepung Pendekar Pulau Neraka dari tiga arah. Agak jauh dari mereka, terlihat Ratna Wulan berdiri hampir sejajar dengan Ki Laksa. Gadis itu menggenggam gagang pedangnya yang selalu tergantung di pinggang. Tapi, tampaknya kedua orang ini hanya berjaga-jaga di tempatnya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba si Nyawa Merah melompat menyerang dengan kapaknya yang terayun begitu cepat ke arah kepala Bayu. Ayunan kapak yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menimbulkan suara angin yang menderu bagai badai.
"Hap!"
Hanya dengan sedikit mengegoskan kepalanya, Bayu berhasil mengelakkan serangan kapak itu. Namun, belum juga dia bisa menarik kembali kepalanya, dari arah lain sudah datang lagi serangan yang begitu cepat luar biasa. Dan Pendekar Pulau Neraka terpaksa melompat menghindari pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan si Nyawa Biru.
"Hiyaaa...!"
Dari arah lain lagi, datang satu serangan kilat dari si Nyawa Kuning. Bayu cepat-cepat merundukkan kepalanya, sehingga tendangan melompat si Nyawa Kuning lewat di atas tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara. Secepat itu pula dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek ke punggung si Nyawa Kuning. Begitu cepat serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun tidak dapat lagi menghindar.
Des!
"Akh...!"
Si Nyawa Kuning langsung jatuh terbanting cukup keras ke tanah. Beberapa kali dia bergulingan. Dan, begitu hendak berdiri, Bayu sudah mendarat dekat di depannya. Bagaikan kilat Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Pukulan ini tepat diarahkan ke wajah laki-laki setengah baya yang mengenakan baju kuning itu.
"Yeaaah...!"
Plak!
"Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya si Nyawa Kuning terpekik. Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam wajah laki-laki setengah baya itu. Seketika darah muncrat keluar dari wajah yang hancur terkena pukulan bertenaga dalam sempurna. Si Nyawa Kuning kembali terbanting ke tanah dengan keras. Tubuhnya langsung diam tak bergerak-gerak lagi.
"Hup!"
Saat itu juga, si Nyawa Merah melompati si Nyawa Kuning.
"Hah...?!"
Bayu terhenyak kaget setengah mati begitu melihat si Nyawa Kuning bisa bangkit berdiri lagi. Bahkan wajahnya, yang tadi hancur terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka, kini sama sekali tidak menampakkan luka sedikit pun.
"Edan...! Ilmu apa itu...?" desis Bayu, keheranan.
"Nguk!"
Tiren yang sejak tadi berada di pundak Pendekar Pulau Neraka juga tampak terkejut melihat si Nyawa Kuning bisa bangkit lagi. Padahal, jelas sekali terlihat tadi, lelaki setengah baya itu sudah menggeletak mati terkena pukulan keras yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
Saat Bayu masih diliputi rasa keheranan, Si Nyawa Biru sudah melompat menyerang dengan cepat sekali. Kapaknya diayunkan terarah ke kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Uts!"
Cepat-cepat Bayu menarik kepalanya ke samping, sehingga hantaman kapak itu tidak sampai mengenai kepalanya. Dan, secepat kilat pula kakinya dihentakkan. Dilancarkannya satu tendangan keras menggeledek disertai, pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Tapi, dengan manis sekali si Nyawa Biru berhasil menghindarinya dengan melompat ke belakang beberapa langkah.
"Hih! Yeaaah...!"
Secepat itu pula, Bayu merundukkan tubuhnya sedikit. Tangan kanannya ditarik ke depan dada, lalu langsung di kibaskannya ke depan.
Wusss!
Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika itu juga melesat cepat bagai kilat ke arah si Nyawa Biru. Begitu cepat serangan yang dilakukan Bayu, sehingga si Nyawa Biru tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu dia baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Tak pelak lagi, Cakra Maut pun menghantam dada si Nyawa Biru dengan keras sekali.
Bres!
"Aaakh...!"
Si Nyawa Biru menjerit keras melengking tinggi. Begitu kuat pengerahan tenaga dalam yang dikeluarkan Bayu saat melontarkan senjata mautnya itu, sampai-sampai tubuh si Nyawa Biru terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan, Cakra Maut tampak menembus begitu dalam ke dada laki-laki tua berbaju biru itu.
"Hap!"
Cakra Maut kembali melesat keluar dari dalam dada si Nyawa Biru begitu Bayu menghentakkan tangannya ke atas kepala. Dan senjata keperakan bersegi enam itu kembali menempel di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau ini. Tampak darah terus bercucuran deras dari dada si Nyawa Biru yang berlubang akibat tertembus Cakra Maut tadi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Nyawa Kuning melompat. Tapi dia tidak menyerang Pendekar Pulau Neraka, melainkan melompati tubuh si Nyawa Biru yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi di tanah.
"Hah...?!"
***
LIMA
Untuk kedua kalinya Bayu terbeliak kaget setengah mati. Sungguh dia hampir tidak percaya dengan pandangannya sendiri. Laki-laki setengah baya berbaju biru itu seketika bangkit berdiri begitu si Nyawa Kuning melompatinya. Dan, dadanya yang tadi berlubang tertembus Cakra Maut kini sudah merapat kembali. Tak sedikit pun terdapat luka di sana. Bahkan, darah yang tadi mengalir pun kini lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ha ha ha...!"
Ki Laksa yang menyaksikan pertarungan itu tertawa terbahak-bahak. Bayu melangkah ke belakang beberapa tindak. Memang tingkat kepandaian ilmu olah kanuragan yang dimiliki si Perampok Tiga Nyawa tidaklah terlalu tinggi. Tapi ilmu Tiga Nyawa membuat mereka tidak gentar menghadapi siapa pun. Bahkan, menghadapi orang-orang yang berkepandaian jauh lebih tinggi pun, mereka tidak mempunyai rasa gentar sedikit pun. Dengan ilmu 'Tiga Nyawa' yang mereka miliki, tiga serangkai itu seakan-akan tidak bisa mati. Walaupun tubuhnya sudah tertembus senjata, salah seorang dari Perampok Tiga Nyawa akan bangkit kembali jika salah seorang yang lain melompatinya.
"Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa mengalahkan mereka, Anak Muda. Sebaiknya kau menyerah saja. Tidak ada gunanya kau berkeras kepala!" ejek Ki Laksa angkuh.
Bayu diam saja. Sementara itu Ratna Wulan menghampiri dan langsung berdiri di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Dia juga keheranan setengah mati melihat lawan-lawan Pendekar Pulau Neraka ini bisa langsung bangkit dengan cepat dari kematiannya. Belum pernah dia melihat hal seperti ini seumur hidupnya. Sungguh tidak bisa dipercaya, seseorang bisa kembali bangkit dari kematiannya hanya karena tubuhnya dilompati. Ini benar-benar sebuah ilmu yang sangat aneh dan mencengangkan.
"Berikan keris itu padaku. Dan kau boleh pergi dari desa ini, Anak Muda," kata Ki Laksa lagi seraya menjulurkan tangannya ke depan.
"Heh! Tidak semudah itu kau meminta, Kisanak," dengus Bayu ketus.
"Keparat...!" desis Ki Laksa, geram.
Wajah Ki Laksa seketika memerah. Gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan melihat sikap Bayu yang masih tetap mempertahankan Keris Naga Emas itu. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa yang berada di belakang Ki Laksa sudah melangkah maju ke depan. Tapi Ki Laksa masih mencegah mereka untuk menyerang lagi pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku harap, kau tidak membuat kesabaranku hilang, Anak Muda," desis Ki Laksa, dingin.
"Heh!" Bayu hanya mendengus.
Bibir Pendekar Pulau Neraka menyunggingkan senyum yang terasa begitu sinis. Dia memang paling tidak suka kalau ada orang yang memaksakan kehendaknya untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya, terlebih lagi jika benda itu ada di tangannya seperti saat ini. Bayu akan mempertahankan walaupun harus mengorbankan nyawanya sendiri.
"Wulan, kau pergi sekarang. Tunggu aku di gua kemarin," bisik Bayu perlahan.
"Baik, Kakang," sahut Ratna Wulan.
"Bawa Tiren"
Ratna Wulan meraih Tiren yang ada di pundak Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia melangkah mundur beberapa tindak. Lalu cepat sekali gadis itu melesat pergi dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya.
"Tangkap gadis itu...!" perintah Ki Laksa dengan suara yang lantang.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah..,!"
Begitu si Nyawa Biru melompat hendak mengejar Ratna Wulan, dengan cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanannya ke arah laki-laki setengah baya berbaju biru itu. Seketika Cakra Maut melesat cepat bagai kilat dengan suara yang terdengar mendesing.
"Haiiit...!"
Si Nyawa Biru terpaksa melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang beberapa kali. Dihindarinya terjangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Dan, pada saat yang bersamaan, Bayu cepat melompat menerjang si Nyawa Biru yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Biru pun tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan, satu tendangan keras menggeledek yang dilepaskan Bayu tepat menghantam dadanya.
Des!
"Akh...!"
Tubuh si Nyawa Biru langsung terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali dia jatuh bergelimpangan di tanah yang keras berdebu ini. Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala begitu kakinya kembali menjejak tanah. Dan Cakra Maut pun kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun, Bayu cepat melompat ke arah si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning yang belum sempat melakukan sesuatu. Cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga kedua lelaki tua itu tidak sempat bertindak apa pun. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah menyerang dengan kecepatan yang begitu luar biasa.
"Hup!"
"Haiiit...!"
Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning cepat-cepat berlompatan ke samping menghindari terjangan Pendekar Pulau Neraka. Tapi belum juga mereka bisa menguasai keseimbangan tubuh, Bayu sudah melancarkan satu serangan lagi yang begitu cepat dan dahsyat luar biasa. Secepat dia melepaskan tendangan sambil melompat ke arah si Nyawa Merah, secepat itu pula tangan kanannya mengibas ke arah si Nyawa Kuning.
Wusss!
Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat ke arah si Nyawa Kuning. Sedangkan si Nyawa Merah tampak kelabakan setengah mati menghindari tendangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Sementara itu Ki Laksa hanya bisa terlongong bengong menyaksikan ketangguhan yang diperlihatkan Bayu. Dia tidak mengira kalau pemuda berbaju kulit harimau itu bisa bertindak begitu cepat bagai kilat, sampai-sampai ketiga pembantu utamanya kalang kabut dibuatnya.
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak si Nyawa Kuning terpental jauh ke belakang begitu dadanya tertembus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, satu tendangan keras menggeledek bersarang di dada si Nyawa Merah.
Buk!
"Akh...!"
"Hiyaaa...!"
Bayu segera melentingkan tubuhnya begitu melihat si Nyawa Biru sudah bisa bangkit berdiri. Dan dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Begitu cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka, sehingga si Nyawa Biru yang belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya dengan sempurna tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Prak!
***
"Aaakh...
Jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat. Tampak si Nyawa Biru terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut yang terbenam di dada si Nyawa Kuning melesat balik dan kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga Bayu melompat cepat sambil menyambar tubuh si Nyawa Biru. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu melesat dan terus berlari dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna. Dan, dalam sekejap mata Pendekar Pulau Neraka sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara itu, si Nyawa Merah yang sudah bisa bangkit lagi cepat melompati si Nyawa Kuning. Laki-laki setengah baya berbaju kuning itu pun bisa kembali bangkit berdiri, meskipun tadi dadanya sudah berlubang tertembus Cakra Maut.
"Heh...?! Mana Nyawa Biru...?"
Mereka terkejut setengah mati. Sebentar si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning berpandangan. Mereka langsung sadar bahwa si Nyawa Biru telah dibawa oleh pemuda berbaju kulit harimau itu. Kemudian mereka bergegas menghampiri Ki Laksa, yang masih tetap berdiri tertegun melihat kejadian yang berlangsung begitu cepat dan sama sekali tidak diduganya itu.
"Ke mana dia membawa Nyawa Biru, Ki?" tanya si Nyawa Merah.
"Ke arah Barat," sahut Ki Laksa, yang masih tampak tertegun.
"Ayo kita kejar dia, Nyawa Kuning," ajak Nyawa Merah.
Tanpa menunggu perintah dari Ki Laksa lagi, si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning langsung berlari mengejar Pendekar Pulau Neraka. Mereka berlari cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Dan, sebentar saja kedua orang itu sudah jauh berlari. Sedangkan Ki Laksa masih tetap berdiri diam memandangi kepergian kedua pembantu kepercayaannya itu.
"Hmm..., siapa anak muda itu? Hebat sekali kepandaiannya," gumam Ki Laksa, berbicara sendiri.
Beberapa saat laki-laki tua berjubah putih itu masih berdiri mematung memandangi kepergian kedua pembantu kepercayaannya yang sudah hampir tak terlihat lagi. Dan, begitu mereka benar-benar sudah tidak terlihat, Ki Laksa bergegas melangkah masuk kembali ke dalam kedai. Kedua bola matanya mendelik tajam menatap pada pemilik kedai ini. Laki-laki tua pemilik kedai yang bertubuh kurus itu hanya diam terpaku. Tubuhnya bergetar seperti terserang demam. Wajahnya kelihatan pucat pasi, bagai tidak dialiri darah. Sedangkan Ki Laksa tetap berdiri di ambang pintu kedai yang sudah sepi dan porak poranda ini.
"Ki Gandak! Kemari kau...!" bentak Ki Laksa, memanggil pemilik kedai itu.
"Iii.... Iya, Gusti...."
Laki-laki tua pemilik kedai yang dikenal dengan nama Ki Gandak itu bergegas menghampiri. Dia langsung berlutut begitu sampai di depan Ki Laksa. Kepalanya tertunduk dalam, tak sanggup memandang wajah Ki Laksa yang memerah bagai besi baja terbakar dalam tungku perapian. Seluruh tubuh Ki Gandak sudah basah oleh keringat.
"Kau tahu, siapa anak muda itu tadi?" tanya Ki Laksa, dengan nada suara agak ditahan.
"Maksud Gusti... yang pakai baju kulit harimau itu...?" Ki Gandak malah balik bertanya dengan suara yang terbata-bata.
"Setan! Jawab saja pertanyaanku!" bentak Ki Laksa, geram.
"Tid... tidak tahu, Gusti. Dia datang berdua dengan gadis itu kemarin. Dan menginap di sini semalam...," sahut Ki Gandak, masih tergagap.
"Kau tanya namanya?"
"Kalau tidak salah, dia namanya Bayu. Sedangkan gadis itu Ratna Wulan"
"Apa dia menanyakan sesuatu padamu?"
"Maksud Gusti...?"
"Kau tadi lihat apa yang dipegangnya, kan..? Ki Gandak mengangguk.
"Dia mencari pewaris Keris Naga Emas. Apa dia tidak bertanya-tanya tentang Intan Kumala?" ujar Ki Laksa, dengan suara yang terdengar dalam.
"Iya, Gusti. Dia banyak bertanya padaku. Dan minta diceritakan tentang Gusti Ayu Intan Kumala," sahut Ki Gandak.
"Lalu...?"
"Aku jawab apa adanya, Gusti."
"Hmm...."
Ki Laksa menggumam sedikit. Kemudian dia berbalik dan keluar dari dalam kedai itu tanpa bicara apa pun. Sebentar dia mengarahkan pandangannya ke Barat, lalu dengan cepat sekali berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu tinggi tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap saja Ki Laksa sudah lenyap tak terlihat lagi. Sedangkan Ki Gandak langsung terduduk lemas sambil menghembuskan napas panjang.
"Ohhh..., untung dia tidak menggunakan kekerasan tangannya padaku...," desah Ki Gandak lega.
Saat itu juga, para penduduk Desa Gebang yang tadi menghilang ke dalam rumahnya masing-masing langsung bermunculan begitu Ki Laksa sudah tidak terlihat lagi. Mereka menghampiri Ki Gandak yang terduduk lemas di ambang pintu kedainya. Beberapa orang di antaranya menolong laki-laki tua itu dan membawanya masuk ke dalam. Mereka semua bertanya-tanya, peristiwa apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diri Ki Laksa. Tapi, pertanyaan itu memang tidak bisa terjawab. Dan, mereka hanya berharap, desa ini tidak dilibatkan ke dalam persoalan orang-orang berkepandaian tinggi itu.
***
Sementara itu Bayu sudah sampai di perbatasan sebelah Barat Desa Gebang. Di sana Ratna Wulan sudah menunggu. Gadis itu berdiri di depan mulut gua yang pernah mereka lalui ketika keluar dari dalam Jurang Setan. Bayu terus menerobos masuk ke dalam gua itu. Ratna Wulan mengikuti, lalu langsung menutup mulut gua itu dengan semak dan bebatuan. Sebuah obor dari bambu menerangi gua yang gelap dan cukup besar ini.
Bruk!
Bayu melemparkan tubuh si Nyawa Biru begitu saja ke lantai gua yang lembab ini. Ratna Wulan memandangi sebentar, lalu menghampiri dan memeriksa urat nadi di bagian leher laki-laki setengah baya berbaju biru itu. Sebentar kemudian dia sudah berdiri lagi. Pandangan matanya langsung tertuju pada. Pendekar Pulau Neraka.
"Dia sudah mati. Untuk apa kau bawa ke sini?" ujar Ratna Wulan.
"Kalau ku tinggalkan, dia bisa hidup lagi," sahut Bayu.
"Lalu, akan kau apakan dia?"
"Kuburkan dia di sini. Nanti yang lainnya menyusul. Hanya ini cara satu-satunya untuk mengalahkan ilmu aneh mereka."
Saat itu terdengar suara langkah kaki di luar gua. Bayu segera mematikan api obor. Keadaan di dalam gua ini pun menjadi begitu gelap. Bahkan, Ratna Wulan yang berada begitu dekat di samping Pendekar Pulau Neraka tidak terlihat. Dan, suara langkah kaki di luar gua itu semakin jelas. Suara itu terdengar menuju ke arah gua. Bayu segera mengintip keluar dari balik semak yang menutupi mulut gua ini.
"Siapa...?" tanya Ratna Wulan, berbisik.
"Orang-orang itu," sahut Bayu.
"Kalau mereka keluar dari jurang lewat gua ini juga, mereka bisa tahu kita di sini, Kakang," kata Ratna Wulan.
"Kau bawa dia lebih ke dalam. Biar aku hadang mereka," kata Bayu, tegas.
Ratna Wulan hanya mengangguk. Tapi, sudah tentu Bayu tidak melihat anggukkan kepala gadis itu, karena keadaan di dalam gua ini begitu gelap. Bayu hanya dapat mendengar suara langkah kaki Ratna Wulan yang masuk lebih ke dalam gua ini. Dari suara langkahnya yang terdengar berat, jelas sekali gadis itu tengah menyeret mayat Nyawa Biru.
Sementara itu Bayu terus memperhatikan tiga orang yang berada di luar dari balik semak belukar yang menutupi mulut gua ini. Mereka memang Ki Laksa dan dua orang yang tersisa dari tiga serangkai si Perampok Tiga Nyawa, karena yang seorang lagi sudah diseret Ratna Wulan makin ke dalam lorong gua ini. Bayu tahu, mereka pasti mengejarnya, karena dia membawa salah seorang dari mereka dalam keadaan sudah menjadi mayat. Yang pasti, mereka akan berusaha mendapatkannya untuk kemudian menghidupkannya kembali. Dia tahu mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya. Mereka selalu bertindak dengan cara kekerasan dan sering-kali menyengsarakan orang lain.
"Hup!"
Bayu baru melompat keluar begitu ketiga orang itu sudah kelihatan cukup jauh. Cepat sekali dan begitu ringannya Pendekar Pulau Neraka melompat keluar dari dalam gua, sehingga tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di atas batu hitam, agak jauh dari mulut gua yang tertutup semak belukar kering itu.
"Apa yang kalian cari...?" lantang sekali suara Bayu.
Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa yang kini tinggal dua orang itu terkejut setengah mati. Suara Pendekar Pulau Neraka memang terdengar lantang menggema, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Ketiga lelaki tua itu langsung berbalik dan berlompatan menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Tapi, belum juga mereka sampai, pemuda berbaju kulit harimau itu sudah melentingkan tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Manis sekali gerakan Bayu saat berputaran diudara. Dilewatinya kepala-kepala mereka, lalu dengan indah kakinya dijejakkan sekitar dua batang tombak di belakang ketiga laki-laki itu. Tentu saja mereka terkejut, karena tiba-tiba saja Bayu sudah tidak ada di batu hitam itu. Dan, yang membuat lebih terkejut lagi, begitu mereka berbalik, pemuda berbaju kulit harimau itu sudah ada di tempat lain.
"Keparat...!" geram Ki Laksa, merasa dipermainkan.
Memang sulit bagi siapa pun mengikuti gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka itu. Begitu cepat bagaikan kilat, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. Belum juga ketiga laki-laki setengah baya itu berbuat sesuatu, tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka sudah bergerak dengan kecepatan yang begitu luar biasa.
"Kejar dia! Jangan sampai lolos...!" seru Ki Laksa lantang menggelegar.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang itu langsung melompat cepat dan berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Ki Laksa juga bergegas berlompatan ikut mengejar Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat gerakan-gerakan yang mereka lakukan, sehingga tubuh mereka seakan-akan lenyap. Yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan berkelebatan begitu cepat bagai kilat.
Sementara itu Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat sempurna. Sesekali dia berpaling ke belakang. Tampak bibirnya selalu tersenyum melihat ketiga orang yang terus mengejarnya. Tingkat ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki memang masih berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, sangat sulit bagi mereka untuk bisa mengejar. Padahal ketiga orang itu sudah mengerahkan seluruh kemampuannya.
Bayu baru berhenti berlari setelah merasa yakin dirinya sudah jauh dari gua tempat Ratna Wulan mengurus mayat si Nyawa Biru. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Sekelilingnya kini hanya ditumbuhi ilalang, sehingga cukup terbuka untuk dijadikan tempat bertarung Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak menunggu Ki Laksa dan dua dari tiga serangkai si Perampok Tiga Nyawa.
"Phuih! Kau sudah membuat kesabaranku habis Bocah!"
Ki Laksa mendengus sambil menyemburkan ludahnya begitu sampai di depan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan si Nyawa Kuning dan si Nyawa Merah sudah mengambil tempat di sebelah kanan dan kiri pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka masing-masing menggenggam kapaknya dengan erat di tangan kanan. Kapak-kapak itu tampak siap diayunkan ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Terdengar tarikan napas mereka begitu kuat dan tersengal, karena baru berlari begitu cepat mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh.
"Bunuh bocah keparat itu!" perintah Ki Laksa, lantang menggelegar.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
***
ENAM
"Haiiit..!"
Manis sekali Bayu mengegoskan tubuhnya. Dihindarinya serangan yang dilancarkan dua orang dari tiga serangkai si Perampok Tiga Nyawa itu. Tapi Bayu belum bisa menarik napas lega, karena mereka terus melancarkan serangan dengan gencar dari dua arah. Kapak-kapak mereka yang bermata besar dan tajam berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Begitu kuatnya ayunan kapak yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu, sehingga menimbulkan suara angin yang menderu dahsyat bagai badai.
Sementara itu Ki Laksa tetap diam memperhatikan. Keningnya terlihat berkerut semakin dalam, seakan-akan tengah memikirkan sesuatu. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu, kemudian kembali memperhatikan pertarungan yang sudah berjalan beberapa jurus dengan cepat itu.
"Hmm..., di mana Nyawa Biru...?" gumam Ki Laksa, bertanya-tanya sendiri.
Ki Laksa baru sadar, pemuda berbaju kulit harimau itu tidak membawa si Nyawa Biru, salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa yang berhasil dilarikan Bayu setelah lebih dulu dilumpuhkannya. Dia tidak tahu bahwa si Nyawa Biru yang sudah tewas itu kini berada di dalam gua bersama Ratna Wulan.
"Setan...! Dia menyembunyikan Nyawa Biru," dengus Ki Laksa berang.
Walaupun wajah Ki Laksa kelihatan memerah menahan geram, di dalam sinar matanya jelas terlihat kecemasan karena Bayu tidak membawa si Nyawa Biru. Dan dia sungguh-sungguh tidak tahu, di mana salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa yang sangat dipercaya dan diandalkan itu berada. Dia cemas karena si Nyawa Biru bisa benar-benar mati kalau tidak segera dilompati oleh yang lainnya.
"Bocah keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaa...!"
Ki Laksa tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Bagaikan kilat, dia melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka yang tengah sibuk menghadapi serangan-serangan dari dua orang lawannya. Dan, terjunnya Ki Laksa ke dalam kancah pertempuran itu membuat Bayu semakin kesulitan. Serangan-serangan kini datang dari tiga arah.
"Jebol dadamu! Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar.
Ki Laksa cepat melepaskan satu pukulan keras menggeledek, yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat sekali pukulan itu dilepaskan. Bayu pun dibuatnya terbeliak sesaat Namun, dengan manis sekali Pendekar Pulau Neraka berhasil menghindar serangan dengan memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat yang hampir bersamaan, si Nyawa Merah mengebutkan kapaknya ke arah kaki Pendekar Pulau Neraka. Hal itu tentu sama membuat Bayu kelabakan setengah mati. Di saat dia sedang menghindari satu pukulan dahsyat dari Ki Laksa, si Nyawa Merah sudah melancarkan serangan begitu cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya. Dihindarinya sambaran kapak si Nyawa Merah itu. Tapi dalam keadaan tubuhnya yang miring, dia tampak sekali tidak dapat menguasai diri. Terlebih lagi, di saat yang begitu tepat, si Nyawa Kuning melepaskan satu tendangan keras menggeledek dari belakang. Dan, serangan ini benar-benar menyulitkan Pendekar Pulau Neraka.
Des!
"Akh...!"
Bayu tidak dapat lagi menghindari tendangan yang dilepaskan si Nyawa Kuning. Tendangan bertenaga dalam tinggi itu mendarat telak di punggung Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung terbanting ke depan. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Beberapa kali Bayu bergulingan di tanah berumput itu.
"Hiyaaat...!"
Saat itu juga Ki Laksa melompat ke udara, lalu dengan cepat sekali meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka. Tampak ujung tongkatnya yang runcing tertuju lurus ke tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk menghindari hunjaman ujung tongkat yang runcing itu. Cepat-cepat dia merapatkan kedua tangannya didepan dada dan langsung menjepit ujung tongkat yang runcing itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, Bayu menghentakkan tongkat itu ke belakang kepalanya. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga Ki Laksa yang berada di udara terperanjat setengah mati. Tapi, dia tidak sempat lagi berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuhnya sudah terlontar deras.
Brak!
"Aaakh...!"
***
Ki Laksa memekik keras begitu tubuhnya menghantam sebatang pohon yang cukup besar. Begitu keras benturan tubuh Ki Laksa, sehingga pohon itu langsung hancur berkeping-keping. Sedangkan Bayu cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, datang lagi satu serangan dari si Nyawa Merah.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Cepat-cepat Bayu menarik tubuhnya ke belakang. Dihindarinya tebasan kapak si Nyawa Merah. Dan, begitu kapak itu lewat di depan dadanya, dengan cepat sekali Bayu melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Merah pun tidak sempat lagi terlihat menghindar. Dan....
Begkh!
"Akh...!"
Seketika itu juga tubuh si Nyawa Merah terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Melihat si Nyawa Merah terkena tendangan menggeledek bertenaga dalam sempurna, si Nyawa Kuning bergegas menghampiri. Tapi Bayu, yang sudah tahu kalau si Nyawa Kuning hendak melompati si Nyawa Merah, cepat-cepat melentingkan tubuhnya menghadang laki-laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna, tepat mengarah ke dada si Nyawa Kuning.
"Haiiit..!"
Si Nyawa Kuning ternyata berhasil menghindari pukulan Bayu dengan mengegoskan tubuhnya ke samping. Bahkan, secara bersamaan pula, kapaknya dikebutkan ke perut Pendekar Pulau Neraka. Cepat sekali kebutan kapak itu. Bayu pun sempat terbeliak sesaat, lalu bergegas melompat ke belakang. Di hindarinya tebasan kapak berukuran cukup besar itu.
"Hiyaaat...!"
Saat itu Ki Laksa yang sudah bisa berdiri lagi cepat melompat menyerang pemuda berbaju kulit harimau ini Secara beruntun dia melontarkan pukulan dahsyatnya, yang diselingi dengan hunjaman tongkatnya yang begitu cepat. Hal ini membuat Bayu kelabakan juga. Dia terpaksa berjumpalitan menghindarinya.
"Hup!"
Bersamaan dengan itu, si Nyawa Kuning segera melompat dengan cepat. Dilewatinya tubuh si Nyawa Merah yang menggeletak dengan dada melesak ke dalam. Dan begitu tubuhnya dilompati, si Nyawa Merah langsung bangkit berdiri. Tapi, belum juga kedua orang dari tiga serangkai si Perampok.
"Ghraaaugkh...!"
"Heh...?!
Apa itu?" sentak si Nyawa Merah.
Ki Laksa dan Bayu yang sedang bertarung pun sangat terkejut, dan menghentikan pertarungannya.
Tiba-tiba, dari dalam hutan lebat muncul seekor beruang putih yang sangat besar. Dan, di punggungnya berdiri seorang gadis berambut meriap!
Tiga Nyawa itu bisa membantu Ki Laksa menyerang Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba....
"Ghraaaugkh...!"
"Heh...?! Apa itu...?" sentak si Nyawa Merah, terkejut.
Bukan hanya si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning yang tersentak kaget Tapi, Ki Laksa dan Bayu yang sedang bertarung pun sampai-sampai menghentikan pertarungannya ketika tiba-tiba saja terdengar gerungan yang begitu keras menggelegar. Bumi yang mereka pijak tadi bergetar, bagaikan diguncang gempa.
Ki Laksa sampai terlompat beberapa tindak ke belakang, Sedangkan Bayu cepat melentingkan tubuhnya sejauh dua batang tombak dari laki-laki tua berjubah putih itu. Dan, belum lagi rasa terkejut mereka hilang, tiba-tiba muncul seekor beruang berbulu putih seperti kapas dari dalam hutan yang sangat lebat. Tubuh beruang itu sangat besar. Dan, di punggungnya berdiri seorang gadis yang seluruh wajahnya hampir tertutup oleh rambut.
Gadis di punggung beruang itu mengenakan baju putih warnanya sudah memudar dan kelihatan begitu buruk, karena penuh tambalan dan compang-camping. Rambutnya yang panjang meriap tak teratur tampak melambai-lambai dipermainkan angin.
Semua orang yang berada di tempat itu mengarahkan pandangan padanya. Terlebih lagi Ki Laksa. Dia cepat mengenali, wanita itulah yang membakar rumahnya semalam. Ki Laksa sempat melihat, walaupun dalam sekejap saja, ketika wanita berpakaian seperti pengemis itu melepaskan bola api sebelum menghilang setelah membakar rumahnya.
"Akhirnya kau muncul juga, Perempuan Setan!" desis Ki Laksa, geram.
"Aku akan tetap datang sampai kau mampus, Pengkhianat!" sambut gadis itu dingin.
"Phuih! Siapa kau sesungguhnya, Gadis Liar?" bentak Ki Laksa, lantang.
"Heh!"
Gadis itu hanya tersenyum. Terasa begitu sinis senyumannya. Kemudian dia melompat turun dari punggung Beruang Putih bertubuh raksasa itu. Sungguh ringan dan indah gerakannya saat dia melompat turun. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis itu menjejakkan kakinya di tanah.
Sementara itu, si Perampok Tiga Nyawa yang kini tinggal dua orang sudah berada di belakang Ki Laksa. Sedangkan Bayu berdiri terpisah dari mereka semua.
"Tampaknya kau begitu ingin mengetahui namaku Pengkhianat. Kau lihat sendiri pakaianku, juga sahabatku ini," kata gadis itu dengan nada suara masih tetap terdengar dingin.
"Kau murid si Tiga Pengemis Sakti...?"
"Benar. Dan aku bernama Dewi Beruang Putih. Kau dengar itu...?"
Ki Laksa diam saja. Baru kali ini dia mendengar nama yang disebutkan gadis itu. Tapi, mereka memang sudah pernah bertemu saat berada di dasar Jurang Setan. Bahkan, mereka juga sempat bertarung. Tapi, ketika itu pakaian yang dikenakan gadis ini tidak compang-camping seperti sekarang, walaupun juga berwarna putih (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis Sakti").
"Nisanak, kenapa kau selalu menyebutku pengkhianat?" tanya Ki Laksa yang benar-benar ingin tahu.
Gadis yang mengaku bernama Dewi Beruang Putih itu diam saja. Sorot matanya yang hampir tertutup rambut itu terlihat sangat tajam menembus langsung kedua bola mata Ki Laksa.
"Aku murid Tiga Pengemis Sakti yang kau bunuh dengan keji. Kau berhutang lima nyawa padaku Pengkhianat! Sekarang aku akan menagih hutangmu. Kau harus membayar dengan nyawamu sendiri!" ujar gadis itu, dengan nada suara yang semakin dingin.
"Lima...?! Apa maksudmu, Nisanak...?"
"Jangan banyak omong! Terimalah kematianmu, Iblis Keparat! Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja gadis yang mengaku bernama Dewi Beruang Putih itu melompat cepat menerjang Ki Laksa. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dilepaskannya begitu cepat. Sesaat Ki Laksa terhenyak. Namun, dengan cepat pula dia mengegoskan tubuhnya ke samping. Dihindarinya pukulan Dewi Beruang Putih itu.
"Hap!"
Saat tangan si Dewi Beruang Putih lewat di samping tubuhnya, dengan cepat sekali Ki Laksa mengebutkan tongkatnya ke arah samping.
Bet!
"Uts!"
Namun, dengan gerakan yang manis sekali, Dewi Beruang Putih berhasil mengelakkan kebutan tongkat Ki Laksa. Dan, cepat pula dia melompat ke belakang ketika Ki Laksa memutar tongkatnya yang langsung menghunjam ke arah dada. Ujung tongkat itu pun lewat di depan dada si Dewi Beruang Putih.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil memutar tubuhnya ke belakang. Dewi Beruang Putih melepaskan satu tendangan keras yang menggeledek ke bagian perut laki-laki tua berjubah putih itu. Cepat sekali tendangan gadis itu, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi Ki Laksa untuk menghindarinya. Dan, seketika itu juga dia mengebutkan tongkatnya ke arah kaki si Dewi Beruang Putih.
Wuk!
"Ikh...?!"
Dewi Beruang Putih tersentak kaget. Dia tidak menyangka kalau Ki Laksa tidak menghindari serangan dan malah mengebutkan tongkatnya. Cepat-cepat gadis itu menarik kakinya kembali. Lalu, tubuhnya segera melenting dan berputaran beberapa kali ke belakang. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak tanah, sekitar satu batang tombak jauhnya dari Ki Laksa.
"Serang perempuan edan itu...!" seru Ki Laksa lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang itu segera berlompatan menyerang Dewi Beruang Putih. Kapak-kapak mereka langsung berkelebatan begitu cepat, hingga menimbulkan suara angin yang menderu bagai badai. Dan, setiap kebutan kapak itu menimbulkan hawa panas yang sangat menyengat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Dewi Beruang Putih terpaksa berjumpalitan. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dari dua arah itu. Hawa panas yang ditimbulkan dari kelebatan kapak-kapak itu sangat terasa bagai hendak membakar seluruh kulit tubuhnya.
"Hup!"
Begitu ada kesempatan, dengan cepat sekali Dewi Beruang Putih melompat ke belakang beberapa langkah. Kedua telapak tangannya langsung dirapatkan ke depan begitu kakinya menjejak tanah. Dan, kedua lututnya ditekuk sedikit. Kemudian dia melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, gadis yang menjuluki dirinya dengan nama Dewi Beruang Putih itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika itu juga berhembus hawa dingin di sekitar hutan ini. Hawa dingin itu semakin lama semakin terasa menggigilkan. Dan, terus bertambah semakin dingin, hingga udara di sekitar hutan ini terasa membeku. Tampak dari kedua telapak tangan gadis itu keluar gumpalan-gumpalan putih seperti kapas yang beterbangan ke segala penjuru. Sesaat kemudian, mendadak hawa dingin itu menghilang lenyap dan langsung berganti dengan hawa panas yang begitu menyengat, bagaikan hawa panas di dekat tungku api.
"Ugkh...!"
Tiba-tiba, tampak Dewi Beruang Putih terhuyung-huyung sambil melenguh pendek. Tangan kanannya cepat bergerak mendekap dada. Dan saat itu juga dia jatuh terduduk di tanah. Sudut bibirnya terlihat mengeluarkan darah. Kejadian yang tidak terduga sama sekali itu membuat semua orang yang berada di tempat itu terperanjat keheranan. Mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba gadis yang menjuluki dirinya si Dewi Beruang Putih itu langsung jatuh terkulai, di saat dia baru saja mengerahkan ilmu kesaktiannya yang sempat membuat mereka semua merasa tersiksa.
"Ugkh! Dadaku...," keluh Dewi Beruang Putih.
"Bunuh dia, cepat...!" seru Ki Laksa, tiba-tiba.
"Hiyaaat...!"
Si Nyawa Merah lebih cepat tersadar. Begitu mendengar suara keras bernada perintah itu, dia langsung saja melompat cepat sambil mengayunkan kapaknya ke kepala si Dewi Beruang Putih. Tapi, belum juga mata kapak itu sampai, mendadak....
Wuk!
Tring!
"Heh...?!"
Si Nyawa Merah terkejut setengah mati ketika tiba-tiba kapaknya terpental balik ke belakang. Cepat-cepat dia melompat mundur dan berputaran di udara beberapa kali sebelum menjejakkan kakinya kembali ke tanah.
"Keparat...!"
***
TUJUH
Saat itu terlihat Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Dan, terlihat pula Cakra Maut berwarna keperakan dan bersegi enam melesat balik, langsung menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Rupanya dialah tadi yang menggagalkan serangan curang si Nyawa Merah pada si Dewi Beruang Putih.
"Phuih!"
Si Nyawa Merah menyemburkan ludahnya dengan sengit ketika tahu bahwa serangannya telah digagalkan oleh pemuda berbaju kulit harimau itu. Sementara itu si Dewi Beruang Putih masih terduduk di tanah. Tampaknya dia seperti kehabisan tenaga. Terlihat sekujur tubuhnya dibasahi keringat yang bercucuran begitu deras. Bayu kemudian melangkah menghampiri gadis berpakaian pengemis itu. Pandangannya terus tertuju pada beruang putih raksasa yang telah berdiri begitu dekat dengan si Dewi Beruang Putih. Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka sampai di dekat si Dewi Beruang Putih, mendadak....
"Hiyaaa...!"
Slap!
"Heh...?
Uts...!
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya berputaran ke belakang ketika tiba-tiba saja Beruang Putih yang berada di belakang gadis itu melompat begitu cepat sambil meraung dahsyat menggelegar. Suaranya terdengar bagai guntur yang memecah angkasa di waktu hujan.
"Ghraaagkh...!"
Beruang Putih bertubuh raksasa itu lewat di atas tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dia terus meluncur ke arah dua orang dari si Perampok Tiga Nyawa. Begitu cepat lompatan Beruang Putih Itu. Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning pun tampak sama-sama terbeliak.
"Hup! Hiyaaa...!"
Si Nyawa Merah yang lebih cepat menyadari keadaan ini bergegas melompat ke samping. Dihindarinya terjangan Beruang Putih itu. Tapi, si Nyawa Kuning ternyata terlambat menyelamatkan diri, sehingga kebutan kaki depan Beruang Putih itu telak menampar wajahnya.
Plak!
"Akh...!"
Si Nyawa Kuning terpekik keras sekali. Dia langsung terpelanting jatuh ke tanah. Dan beberapa kali dia bergulingan di tanah yang berumput ini. Namun, dengan cepat laki-laki setengah baya berbaju kuning itu bisa bangkit berdiri. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, Beruang Putih itu sudah kembali mengibaskan kaki depannya dengan kecepatan yang begitu luar biasa.
Buk!
"Akh...!"
Untuk kedua kakinya si Nyawa Kuning memekik. Hantaman kaki depan yang juga sekaligus tangan beruang raksasa itu tepat mengenai dadanya dengan keras sekali. Kembali si Nyawa Kuning terpental ke belakang dengan deras, dan baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon yang cukup besar. Seketika pohon itu hancur berkeping-keping.
"Ghraaagkh...!"
Sambil menggerung dahsyat, beruang putih raksasa itu melompat cepat bagai kilat menerkam si Nyawa Kuning yang menggeletak tak berdaya lagi diantara kepingan pohon.
Ngek!
"Ugkh...!"
Hanya sedikit keluhan kecil yang terdengar dari mulut si Nyawa Kuning ketika kedua kaki beruang putih raksasa itu menjejak dadanya. Seketika darah memuncrat dari mulut laki-laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Aaargkh...!"
Beruang Putih itu berteriak keras menggelegar. Begitu keras teriakannya, sehingga tanah terasa bergetar bagai diguncang gempa. Kedua tangan beruang raksasa itu terangkat ke atas. Moncongnya yang penuh dengan gigi bertaring terbuka lebar-lebar, seperti hendak memamerkan gigi-giginya yang bertaring tajam itu. Kemudian dia kembali melompat mendekati si Dewi Beruang Putih.
"Hup!"
Pada saat itu juga, tampak si Nyawa Merah melompat cepat. Dia langsung melompati tubuh si Nyawa Kuning yang menggeletak tak bernyawa dengan dada remuk dan kepala retak. Dan, begitu si Nyawa Merah melompatinya, mendadak si Nyawa Kuning bangkit kembali dengan cepat. Dadanya yang tadi remuk terinjak kaki Beruang Putih raksasa itu kini terlihat kembali pulih seperti semula dengan cepat sekali. Bahkan, darah yang keluar dari mulutnya sudah tidak terlihat lagi.
"Ghrrr...!"
***
Beruang Putih itu tampak keheranan melihat korbannya yang tadi tewas bisa bangkit lagi dengan cepat Bahkan, si Nyawa Kuning terlihat lebih segar dari semula, sebelum dadanya diremukkan Beruang Putih itu. Dan, kini si Perampok Tiga Nyawa yang sekarang tinggal dua orang itu sudah bergerak mendekati Beruang Putih itu. Kapak mereka terayun ayun, seperti hendak menakut-nakutinya.
"Ghrrr...!"
Tampaknya Beruang Putih bertubuh raksasa itu tidak gentar melihat mata kapak yang berkilat tajam. Dia malah menggerung sambil memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam. Perlahan dia memutar tubuhnya berbalik, lalu berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Sungguh besar sekali tubuhnya, seperti sebuah bukit yang berselimut salju putih bagai kapas.
"Hiyaaa.,.!"
"Yeaaah...!
Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning tiba-tiba saja berlompatan cepat menyerang Beruang Putih raksasa itu. Kapak mereka terayun deras dan hampir bersamaan mengarah ke perut dan dada.
"Ghraaagkh...!"
Beruang Putih itu meraung keras menggelegar. Dan, cepat sekali dia mengibaskan kedua tangannya. Disampoknya kapak-kapak yang berkelebat begitu cepat mengincar tubuhnya yang ditumbuhi bulu berwarna putih seperti kapas itu.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Ternyata si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang itu lebih cepat lagi melentingkan tubuh. Dan, secara bersamaan, mereka melepaskan tendangan serta pukulan yang keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Buk!
Des!
Dada dan kepala Beruang Putih itu menjadi sasaran empuk pukulan dan tendangan si Perampok Tiga Nyawa. Tapi, binatang raksasa itu hanya terhuyung sedikit Dan, cepat sekali kemudian dia mengibaskan tangannya sambil memutar tubuhnya sedikit Hampir saja kibasan tangannya mengenai si Nyawa Merah kalau laki-laki setengah baya berbaju merah itu tidak cepat-cepat melompat mundur.
"Mundur kalian! Hiyaaat..!"
Tiba-tiba Ki Laksa melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan, seketika itu juga dia melepaskan satu pukulan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu tinggi tenaga dalam yang dikerahkannya, sehingga kepalan tangan kanannya terlihat berwarna merah bagai besi terbakar di dalam tungku api. Ki Laksa menyerang dari belakang Beruang Putih itu.
"Putih awas...!" teriak si Dewi Beruang Putih, memperingatkan binatang peliharaannya itu. Tapi, peringatan Dewi Beruang Putih sudah terlambat Dan....
Begkh!
"Aaargkh...!"
Beruang Putih raksasa itu meraung keras begitu punggungnya terkena pukulan yang begitu dahsyat dari Ki Laksa. Begitu keras pukulan yang dilancarkan Ki Laksa. Beruang Putih itu pun langsung terhuyung-huyung ke depan. Tubuhnya menjadi limbung dan tidak terkuasai lagi. Pada saat itu juga, si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning cepat melompat menyerang dengan cepat.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Secara bersamaan, si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning melepaskan pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dalam keadaan tubuh yang limbung dan belum terkuasai, Beruang Putih itu tidak sempat lagi menghindari serangan kedua orang itu Hingga, kembali dia harus menerima dua kali pukulan beruntun yang mengandung tenaga dalam tinggi.
"Aaargkh...!"
Sesaat kemudian tampak Ki Laksa melepaskan satu pukulan keras yang mengarah langsung ke dada beruang putih raksasa itu. Cepat sekali serangan yang dilakukannya, sehingga binatang raksasa berbulu putih bagai kapas itu tidak dapat lagi menghindarinya. Pukulan Ki Laksa telak menghantam dada binatang itu dengan keras sekali.
"Aaargkh...!"
Raungan yang begitu panjang terdengar keras menggelegar. Tampak beruang raksasa itu terpental ke belakang sejauh beberapa batang tombak. Keras sekali tubuhnya yang berbulu putih itu terbanting ke tanah. Melihat binatang peliharaannya terus dihujani pukulan-pukulan keras bertenaga dalam tinggi, Dewi Beruang Putih tidak tahan juga melihatnya. Tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri, gadis itu cepat melompat menerjang Ki Laksa yang sudah siap hendak menghunjamkan tongkatnya yang berujung tajam ke dada Beruang Putih itu. Sambil mengerahkan sisa-sisa kekuatannya yang masih ada, Dewi Beruang Putih melompat cepat sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Namun, pada saat itu juga, tampak si Nyawa Merah melemparkan kapaknya dengan cepat sekali ke arah Dewi Beruang Putih. Kapak yang berukuran cukup besar itu meluncur deras, hingga menimbulkan suara mendesing yang keras sekali. Dewi Beruang Putih terperangah. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindari lemparan kapak itu. Tapi, belum juga kapak itu mengenai tubuhnya, mendadak....
Wusss!
Trang!
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya si Nyawa Merah ketika tiba-tiba saja kapaknya terpental balik. Sempat terlihat tadi secercah cahaya kilat keperakan menyambar senjata andalannya itu. Cepat-cepat si Nyawa Merah melentingkan tubuhnya. Dan, kapaknya yang terpental tinggi ke udara segera disambarnya sebelum sampai jatuh ke tanah.
"Hap!"
Namun, baru saja si Nyawa Merah berhasil meraih kapaknya yang terpental tinggi ke udara, mendadak terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat bagai kilat. Cepat-cepat dia mengebutkan kapaknya ke arah bayangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, bayangan itu melesat ke atas dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya. Dan secepat itu pula....
Des!
"Akh...!"
Si Nyawa Merah terpekik keras. Tubuhnya mendadak terbanting ke tanah dengan deras sekali. Hanya sedikit terdengar keluhan kecil ketika tubuh laki-laki setengah baya berbaju merah itu menghantam tanah. Dan, hanya sedikit terlihat gerakan. Sesaat kemudian si Nyawa Merah diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terlihat mengalir dari sudut bibir dan kedua lubang hidungnya.
Tap!
Pada saat yang hampir bersamaan, tampak Pendekar Pulau Neraka mendarat ringan di samping tubuh si Nyawa Merah. Kemudian dipandanginya si Nyawa Kuning dengan tajam. Jelas sekali terlihat raut wajah si Nyawa Kuning begitu gelisah dan cemas, karena pemuda berbaju kulit harimau itu berada sangat dekat dengan tubuh si Nyawa Merah yang sudah tidak bergerak-gerak lagi. Sementara itu Dewi Beruang Putih sudah begitu gencar menyerang Ki Laksa.
***
"Ayo, lompati temanmu ini kalau bisa," ujar Bayu dengan nada suara yang sangat sinis.
"Phuih!"
Si Nyawa Kuning menatap dengan sengit Dia menyemburkan ludahnya sambil melangkah beberapa langkah ke depan Kapaknya yang berukuran cukup besar itu disilangkan ke depan dada. Sorot matanya yang tajam tampak agak gentar melihat ketegaran dan ketangguhan Pendekar Pulau Neraka. Tapi, dia tetap melangkah maju perlahan-lahan. Sedangkan Bayu masih berdiri tegak. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Dan, tiba-tiba....
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara sambil menyambar tubuh si Nyawa Merah yang menggeletak di tanah. Begitu cepat gerakannya, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah berada di atas cabang sebatang pohon yang cukup besar dan kokoh. Bayu meletakkan tubuh si Nyawa Merah di cabang pohon itu. Lalu, dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, dia meluruk turun. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah. Lalu kembali dia mendarat di tempat berdirinya semula. Begitu cepat semua gerakan yang dilakukan oleh Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun tampak terlongong bengong.
"Hah...?!"
Si Nyawa Kuning terperanjat setengah mati begitu menyadari tubuh si Nyawa Merah sudah tidak ada lagi. Dan, lebih terkejut lagi dia ketika tahu bahwa si Nyawa Merah kini sudah berada di atas pohon. Dan, sudah pasti si Nyawa Kuning tidak mungkin lagi bisa menghidupkannya, karena tubuh si Nyawa Merah tidak menyentuh tanah.
"Keparat...!" geram si Nyawa Kuning, berang.
Beberapa saat dia memandangi tubuh si Nyawa Merah, kemudian menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka yang berada sekitar enam langkah lagi di depannya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu hanya tersenyum. Namun, terasa begitu sinis senyumnya.
"Kubunuh kau, Keparat!" desis Nyawa Kuning.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali si Nyawa Kuning melompat sambil mengayunkan kapaknya ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Namun hanya dengan sedikit mengegoskan kepalanya, Bayu berhasil menghindari kebutan kapak itu. Tapi sempat juga dia terperanjat Karena, begitu mata kapak lewat di depan wajahnya, saat itu juga terasa hawa panas yang begitu menyengat disertai hembusan angin yang keras.
"Hup...!"
Cepat-cepat Bayu melompat ke belakang tiga langkah. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, si Nyawa Kuning sudah kembali menyerang. Satu pukulan keras menggeledek langsung dilepaskan laki-laki setengah baya berbaju kuning itu. Pukulan ini disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya.
"Haiiit..!"
Bayu segera mengegoskan tubuhnya. Dihindarinya pukulan si Nyawa Kuning. Dan, saat itu juga dia memiringkan tubuhnya, lalu menghentakkan kakinya untuk melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangan balik yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun tidak sempat menghindar lagi. Terlebih lagi saat itu tubuhnya memang sedang doyong ke kanan karena baru melakukan pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, tendangan Pendekar Pulau Neraka mendarat telak di perut si Nyawa Kuning.
Begkh!
"Hegkh!"
Si Nyawa Kuning melenguh pendek. Tubuhnya langsung terbungkuk. Perutnya terasa hampir jebol terkena tendangan Pendekar Pulau Neraka. Dan, pada saat itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke wajah laki-laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Akh...!"
***
DELAPAN
Begitu keras pukulan yang dilepaskan Bayu. Si Nyawa Kuning sampai menjerit keras melengking. Dan, tubuhnya terpental jauh ke belakang. Sebatang pohon yang terlanda langsung hancur seketika. Beberapa kali si Nyawa Kuning bergelimpangan. Tapi dia masih bisa cepat bangkit berdiri. Tampak wajahnya berlumuran darah, pecah akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi.
"Hiyaaa...!"
Belum juga si Nyawa Kuning bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, mendadak Bayu sudah mengebutkan tangan kanannya ke depan, dengan tubuh sedikit terbungkuk ke kiri. Seketika Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat Begitu cepat senjata maut berwarna keperakan itu melesat Si Nyawa Kuning pun hanya bisa terbeliak. Dan...
Crab!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak tubuh si Nyawa Kuning terhuyung-huyung. Dadanya berlubang dan berlumuran darah tertembus Cakra Maut bersegi enam dan berwarna keperakan itu. Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Seketika Cakra Maut yang terbenam di dada si Mayat Kuning melesat keluar dengan cepat. Dan kembali senjata andalan itu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Darah semakin banyak keluar dari dada si Nyawa Kuning. Beberapa saat tubuh laki-laki setengah baya berbaju kuning itu limbung terhuyung-huyung, lalu ambruk menggelepar di tanah. Terdengar erangan kecil. Dan sesaat kemudian dia mengejang kaku lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Saat itu juga nyawanya terbang melayang dari tubuhnya.
"Heh...!"
Bayu menghembuskan napas panjang. Perlahan dia memutar tubuhnya. Bola matanya memandang lurus ke arah pertarungan antara Dewi Beruang Putih dan Ki Laksa. Tampak jelas sekali Dewi Beruang Putih begitu kewalahan menghadapi laki-laki tua berjubah putih itu. Dan entah sudah berapa kali gadis itu harus menerima pukulan serta tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam.
***
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Ki Laksa melompat sambil menghunjamkan ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada Dewi Beruang Putih. Cepat-cepat Dewi Beruang Putih berkelit menghindar ke kiri. Tapi gerakannya kelihatan agak lambat, sehingga ujung tongkat Ki Laksa masih bisa merobek pundak gadis itu.
Bret!
"Akh...!"
Dewi Beruang Putih memekik agak tertahan. Dia terhuyung-huyung sambil mendekap pundaknya yang sobek berlumuran darah. Dan, saat itu pula Ki Laksa sudah melancarkan serangan lagi dengan tongkatnya yang terkenal maut dan sangat berbahaya. Cepat sekali tongkatnya dikebutkan dengan gerakan berputar ke arah perut. Sedangkan Dewi Beruang Putih saat itu masih dalam keadaan limbung. Tak mungkin dia bisa menghindari serangan secepat kilat dari laki-laki tua berjubah putih ini. Tapi, begitu ujung tongkat Ki Laksa hampir saja merobek perut gadis ini, mendadak....
Wus!
Trang!
"Heh...?!"
Ki Laksa tersentak kaget setengah mati ketika tiba-tiba terlihat secercah cahaya keperakan berkelebat begitu cepat menyambar ujung tongkatnya. Cepat-cepat dia menarik tongkatnya sambil melompat ke belakang beberapa tindak. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat terasa bergetar, karena benturan cahaya keperakan tadi pada ujung tongkat itu. Dan pada saat itu tampak sebuah bayangan berkelebat cepat. Tahu-tahu di depan Dewi Beruang Putih sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka dengan tangan kanan terangkat di atas kepala.
Tap!
Secercah cahaya keperakan melesat cepat menyambar pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Tampak Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Bocah keparat..! Phuih!"
Ki Laksa geram setengah mati begitu menyadari bahwa serangannya pada Dewi Beruang Putih tadi digagalkan oleh pemuda berbaju kulit harimau ini. Beberapa kali dia menyemburkan ludahnya dengan geram. Sedangkan Bayu terlihat berdiri tenang. Dia berpaling sedikit pada gadis berbaju putih penuh tambalan dan compang-camping yang berada di belakangnya agak kekanan.
"Bagaimana lukamu?" tanya Bayu.
"Hmm...."
Gadis yang tadi memperkenalkan diri sebagai Dewi Beruang Putih itu hanya menggumam. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka sudah berpaling lagi menatap Ki Laksa. Dia melangkah ke depan beberapa tindak. Sikapnya masih terlihat tenang karena tahu bahwa sekarang Ki Laksa tinggal sendirian. Tapi laki-laki tua berjubah putih itu belum sadar kalau kini dia tinggal seorang diri. Dia belum tahu bahwa dua orang pembantu kepercayaannya sudah tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah cukup banyak kau merepotkan aku, Bocah. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, heh...?" bentak Ki Laksa dengan suara yang lantang dan mendesis geram.
"Aku hanya menginginkan jawabanmu saja, Ki. Kau pasti bisa menjawab pertanyaanku di kedai tadi," sahut Bayu tenang.
"Phuih! Aku tidak akan menjawab pertanyaan edanmu!" dengus Ki Laksa mendesis.
"Aku hanya meminta kepastian darimu saja, Ki. Dan aku bisa pergi tanpa mengusik mu lagi. Aku dapatkan keris itu dari orang yang mati akibat ulah tanganmu. Dan aku yakin, kau punya hubungan dengan orang itu. Tidak mungkin dia bertarung denganmu jika tidak ada persoalan apa-apa," kata Bayu lagi.
"Phuih!"
Ki Laksa hanya menyemburkan ludahnya. Dia melirik sedikit pada Dewi Beruang Putih yang masih tetap berada agak ke kanan di belakang Pendekar Pulau Neraka. Dan, ketika dia berpaling ke arah lain, mendadak bola matanya terbeliak lebar. Hampir dia tidak percaya saat melihat tubuh si Nyawa Kuning yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan si Nyawa Merah sama sekali tidak terlihat. Tapi, begitu kepala Ki Laksa mendongak ke atas....
"Setan keparat...!" desis Ki Laksa.
Wajah Ki Laksa seketika merah padam begitu melihat si Nyawa Merah tertelungkup di cabang pohon yang cukup besar dan tinggi, tidak jauh dari tubuh si Nyawa Kuning yang menggeletak di atas tanah. Ki Laksa langsung menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka. Dia yakin, pemuda berbaju kulit harimau inilah yang telah menewaskan si Perampok Tiga Nyawa.
"Hmm...."
Ki Laksa menggerung geram, seperti seekor binatang liar yang kelaparan. Sinar matanya yang begitu berkilatan dan bersorot tajam tertuju lurus ke bola mata Bayu yang berdiri sekitar enam langkah di depannya. Dan, saat itu juga..,.
"Hiyaaat...!"
"Hup!"
Secepat Ki Laksa melompat menyerang, secepat itu pula Bayu melentingkan tubuhnya ke udara. Dan, hunjaman tongkat Ki Laksa hanya mengenai tempat kosong.
Sementara itu Dewi Beruang Putih sudah sejak tadi bergerak menjauh. Tampak jelas sekali kalau dia begitu kelihatan lemah. Darah terus bercucuran keluar dari pundaknya yang sobek oleh ujung tongkat Ki Laksa tadi. Gadis berbaju putih dan kumal serta penuh tambalan itu menghampiri seekor beruang putih raksasa yang mendekam diam di bawah pohon. Beruang itu juga tampak terluka dalam cukup parah akibat mendapat gempuran gencar dari Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang tadi.
Sementara itu Bayu berputaran beberapa kali di udara. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak di tanah. Saat itu Ki Laksa sudah memutar tubuhnya dengan cepat sekali. Langsung tongkatnya dikebutkan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi, hanya dengan sedikit menarik dadanya ke belakang, ujung tongkat yang runcing itu pun lewat di depan dada Bayu. Dan, saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka menarik kakinya ke samping dua langkah.
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya. Dan, secepat itu pula dia menghentakkan kakinya. Dilepaskannya satu tendangan yang begitu keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan. Begitu cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Sehingga Ki Laksa tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Des!
"Akh...!"
Keras sekali tubuh Ki Laksa terpental ke belakang begitu tendangan Bayu mendarat telak di dadanya. Belum lagi laki-laki tua berjubah putih itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Bayu sudah kembali melancarkan serangan cepat bagai kilat Dia melompat sambil melepaskan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi tingkatannya.
"Hiyaaat...!"
Begkh!
"Aaakh...!"
Kembali Ki Laksa terpental jauh ke belakang. Sebatang pohon yang cukup besar seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya. Saat itu pula Bayu sudah kembali melompat menerjang. Cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu dia sudah berdiri dekat dengan tubuh Ki Laksa. Bahkan, satu kakinya menginjak dada laki-laki tua itu.
"Hegkh...!"
***
"Katakan, di mana Intan Kumala...?" desis Bayu, dingin.
"Ugkh...!"
Ki Laksa tetap saja belum mau menjawab, meskipun pijakan kaki Pendekar Pulau Neraka membuat nafasnya tertahan. Semakin kuat pijakan kaki itu di dadanya, semakin sulit pula dia bernapas. Saat itu, si Dewi Beruang Putih tampak terperanjat ketika Bayu menyebut nama Intan Kumala. Dan, dia langsung bangkit berdiri, walaupun baru saja mengambil sikap duduk bersila untuk melakukan semadi.
Sementara itu Bayu mengeluarkan Keris Naga Emas dari sabuk yang membelit pinggangnya. Saat keris berwarna kuning keemasan itu berada di dalam genggaman tangan Bayu, mendadak...
"Hei.?!" Tiba-tiba saja si Dewi Beruang Putih terpekik.
Saat itu pula Bayu berpaling menatapnya. Dan, tanpa sadar, pijakan kakinya pada dada Ki Laksa menjadi bertambah kuat Akibatnya, laki-laki tua berjubah putih itu tidak dapat lagi bertahan. Dan...
"Hegkh...!"
Ki Laksa hanya dapat mengejang beberapa saat, kemudian terkulai lemas, lalu tak bergerak-gerak lagi. Dadanya remuk terinjak kaki Pendekar Pulau Neraka. Cukup lama juga Bayu baru menyadari keadaan itu. Dan, cepat-cepat dia menarik kakinya dari dada laki-laki tua berjubah putih itu. Tapi, Ki Laksa sudah sejak tadi menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Bayu cepat melangkah ke belakang beberapa tindak. Sedangkan si Dewi Beruang Putih menghampirinya dengan ayunan kaki agak terseok.
"Berikan keris itu padaku!" bentak Dewi Beruang Putih dingin.
Bayu menatap sebentar pada Keris Naga Emas yang berada dalam genggaman tangannya. Sungguh dia tidak mengerti, kenapa banyak orang yang menginginkan benda yang kelihatannya biasa ini. Apakah karena benda ini terbuat dari emas...?
Tapi Bayu tidak yakin kalau mereka semua menginginkan keris ini karena terbuat dari emas. Sebentar kemudian dia menatap pada Dewi Beruang Putih.
"Maaf, keris ini harus kuserahkan pada pewarisnya yang sah, kata Bayu dengan tenang tapi terdengar tegas.
"Akulah pewarisnya yang sah!" dengus Dewi Beruang Putih dengan tidak kalah tegasnya.
"Hmm..., bagaimana aku bisa mempercayaimu?" tanya Bayu sambil menyipitkan kelopak matanya.
Memang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa percaya begitu saja bahwa gadis berpakaian pengemis itu adalah pewaris sah Keris Naga Emas. Bayu memang belum mengenal orangnya. Dan dia hanya tahu, pewaris Keris Naga Emas ini bernama Intan Kumala, putri Ki Satria. Lalu, bagaimana Bayu bisa bertemu dengan pewaris sah Keris Naga Emas?
Apakah memang Dewi Beruang Putih yang berhak memilikinya? Atau dia hanya mengakuinya saja, seperti yang lainnya. Dan mampukah Dewi Beruang Putih membuktikan bahwa dirinya adalah Intan Kumala?
Untuk mengetahui jawabannya, ikuti saja kisah petualangan Pendekar Pulau Neraka dalam episode "Pewaris Keris Naga Emas."
"Seperti suara pertarungan," sahut Ratna Wulan juga berbisik.
Bayu yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka itu kembali terdiam. Bola matanya tetap lurus memandang ke dalam jurang di depannya, yang begitu dalam dan gelap terselimut kabut. Terlalu sukar bagi Bayu untuk bisa melihat sampai ke dasar jurang dari tempatnya berdiri ini. Bahkan, Ratna Wulan yang berada di sampingnya pun tidak bisa melihat apa-apa.
Mereka hanya mendengar suara-suara kecil seperti orang sedang bertarung dari dalam jurang ini. Meskipun terdengar sangat kecil, suara-suara itu jelas sekali. Dan, setelah cukup lama mereka terpaku di bibir jurang, tiba-tiba terdengar raungan yang begitu dahsyat dan keras menggelegar dari dasar jurang ini. Raungan dahsyat itu sempat membuat jurang ini bergetar seperti hendak runtuh.
Bayu dan Ratna Wulan pun sampai terlompat belakang. Dan, mereka baru kembali mendekati bibir jurang itu setelah tak lagi mendengar suara apa pun.
"Suara apa itu, Kakang?"
"Seperti raungan binatang buas."
"Aku jadi penasaran, Kakang," desis Ratna Wulan.
Bayu sedikit berpaling menatap gadis itu. Dia tersenyum melihat raut wajah Ratna Wulan yang begitu serius memandang ke dalam jurang yang gelap dan berkabut ini. Memang, suara-suara yang terdengar tadi membuat hati mereka penasaran ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi di dasar jurang ini. Mereka pun sesungguhnya bisa saja masuk ke dalam jurang ini, seperti keempat laki-laki yang mereka lihat tadi. (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis Sakti").
"Kau mau masuk ke sana?"
"Caranya?" tanya Ratna Wulan.
"Seperti yang mereka lakukan tadi," sahut Bayu.
"Ratna Wulan terdiam. Memang, bukan pekerjaan yang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk terjun ke dalam jurang ini.
Tapi, lain halnya bagi Ratna Wulan. Dia harus berpikir dulu dua kali. Meskipun ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi, Ratna Wulan kelihatan masih ragu-ragu. Dia tidak tahu, sampai seberapa dalamnya jurang ini. Tapi, masuk ke dalam jurang ini sesungguhnya adalah suatu tantangan yang sangat menyenangkan. Dan, Ratna Wulan sebenarnya menyukai tantangan seperti itu.
Setelah berpikir beberapa saat, gadis itu pun menganggukkan kepalanya. Apa pun yang akan terjadi, dia mau mencoba masuk ke dalam jurang ini. Dan, masalah bisa atau tidaknya keluar nanti, sama sekali tidak dipikirkannya.
"Kau siapkan ranting-ranting kayu secukupnya, Wulan," kata Bayu.
Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala. Kemudian dikumpulkannya ranting-ranting kayu yang panjang tidak lebih dari satu jengkal. Cukup banyak juga ranting yang didapatnya. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri di pinggiran jurang ini.
"Kau tidak mengumpulkan ranting, Kakang?"
“Tidak," sahut Bayu seraya tersenyum.
"Lalu, bagaimana kau akan masuk ke sana?"
Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk kaki Tiren yang duduk diam dipundak kanannya. Sedangkan Ratna Wulan masih penasaran. Tapi, dia tidak mau banyak tanya lagi. Dia percaya, Pendekar Pulau Neraka pasti memiliki cara lain yang tidak mungkin bisa diikutinya untuk masuk ke dasar jurang itu. Ratna Wulan sadar, tingkat kepandaian yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka sangat jauh lebih tinggi dibanding dirinya.
"Lompatlah sekarang, Wulan," ujar Bayu.
Ratna Wulan tersenyum sedikit, Kemudian....
"Hup!"
Sambil melemparkan satu ranting yang dibawanya, Ratna Wulan, cepat-cepat melompat ke dalam jurang yang sangat dalam dan gelap berkabut ini. Sedangkan Bayu masih tetap berdiri tegak memandangi gadis itu berjumpalitan sambil melemparkan ranting-ranting kering untuk pijakan kakinya. Ratna Wulan terus meluncur dengan deras sekali. Dan, tampak begitu indah gerakan-gerakannya.
"Hup!"
Saat Ratna Wulan sudah hampir lenyap di telan kabut, Bayu segera melompat ke dalam jurang ini. Tangannya direntangkan lebar-lebar ke samping. Dan, begitu tubuhnya dirasakan meluncur deras ke bawah, dengan cepat sekali tangan kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa...!"
Slap!
Saat itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanannya meluncur ke bawah kaki. Manis sekali Pendekar Pulau Neraka menotokkan ujung jari kakinya tepat di tengah-tengah Cakra Maut. Kemudian memutar tubuhnya beberapa kali sambil menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut kembali melesat balik, lalu menempel lagi dipergelangan tangan Bayu.
Beberapa kali Bayu melemparkan Cakra Maut ke bawah kakinya. Dan, beberapa kali pula dia harus berjumpalitan di antara selimut kabut yang begitu ditebal dalam jurang ini. Hingga akhirnya, sampailah Bayu di dasar jurang, tepat di samping Ratna Wulan yang sudah lebih dulu sampai. Mereka mendarat tepat di antara tiga sosok tubuh yang menggeletak tak bernyawa lagi. Bau anyir darah langsung menyeruak ke dalam lubang hidung. Tampaknya mayat-mayat ini masih baru. Darah yang mengalir pun masih begitu segar dan hangat.
"Kelihatannya mereka para pengemis, Kakang," desis Ratna Wulan.
"Mereka memang para pengemis," sahut Bayu.
"Kau kenal mereka...?" Bayu tidak langsung menjawab. Dia memeriksa ketiga mayat itu satu persatu. Dan, ketika dia memeriksa tubuh pengemis yang menggenggam mangkuk dari batok kelapa berwarna putih, keningnya tampak berkerut. Terlihat olehnya gambar seekor beruang di dada kiri pengemis itu. Bergegas Pendekar Pulau Neraka memeriksa kedua mayat lainnya. Dan, ternyata mereka juga memiliki gambar yang sama di dada sebelah kiri.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Heh...!" Bayu menghembuskan nafas panjang sambil bangkit berdiri.
Ratna Wulan memandangi Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan yang dipandangi diam saja, seperti sedang memikirkan sesuatu. Bola mata pemuda baju kulit harimau itu merayapi tiga mayat di depannya.
"Kau kenali siapa mereka, Kakang?"
"Mereka adalah para pemimpin Kelompok Pengemis Mangkuk Sakti. Mereka dikenal dengan julukan Tiga Pengemis Sakti," sahut Bayu, pelan.
"Tiga Pengemis Sakti...?!" Ratna Wulan tampak terkejut.
"Kau yakin itu, Kakang?"
"Lihat saja gambar beruang di dada kiri mereka. Hanya Tiga Pengemis Sakti yang memiliki gambar itu. Itulah lambang kebesaran Kelompok Pengemis Mangkuk Sakti," sahut Bayu, sambil menunjuk ke ketiga mayat di depannya.
Ratna Wulan memeriksa ketiga mayat yang berpakaian pengemis itu. ditemukannya gambar beruang di dada kiri mereka, yang tidak akan ada pada pengemis-pengemis lainnya. Gambar itu menandakan bahwa ketiga orang tua ini memang si Tiga Pengemis Sakti.
"Mereka memang Tiga Pengemis Sakti, Kakang," desah Ratna Wulan sambil menghampiri Bayu.
"Tapi siapa yang membunuh mereka...?"
Tentu saja pertanyaan gadis itu tidak bisa segera dijawab oleh Bayu, karena dia sendiri memang tidak tahu. Tapi, Pendekar Pulau Neraka sudah menduga, suara pertarungan yang didengarnya dari atas jurang tadi adalah pertarungan Tiga Pengemis Sakti. Dan lawan mereka bisa dipastikan adalah Ki Laksa bersama tiga laki-laki tua lainnya. Karena, tidak ada orang lain yang masuk ke dalam jurang ini selain keempat orang itu.
"Empat orang yang datang ke sini, Wulan," kata Bayu, mengemukakan dugaannya.
"Maksudmu..., mereka yang tadi masuk ke jurang ini...?" ujar Ratna Wulan, seperti meminta keterangan.
"Tidak ada orang lain lagi yang datang ke sini selain mereka, Wulan."
Ratna Wulan terdiam. Bayu juga tidak bicara lagi. Mereka sama-sama memandangi jasad si Tiga Pengemis Sakti ini. Dari luka-luka yang diderita, jelas sekali kematian mereka diakibatkan oleh pertarungan tingkat tinggi.
"Aku sering mendengar cerita tentang mereka, Kakang. Tapi mereka sudah tidak lagi berkecimpung dalam dunia persilatan. Mereka adalah tokoh-tokoh sakti yang susah dicari tandingannya. Aneh... kenapa mereka bisa dikalahkan...? Aku sering mendengar cerita tentang tokoh-tokoh persilatan yang tangguh dan digdaya. Tapi, rasanya aku tidak pernah kenal dengan keempat lelaki yang terjun ke sini tadi," desis Ratna Wulan, seperti bicara pada diri sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga sudah sering mendengar sepak terjang ketiga pemimpin Kelompok Pengemis Mangkuk Sakti ini, sebelum mereka menghilang dari dunia persilatan. Dan, selama ini memang tidak ada yang bisa menandingi kepandaian Tiga Pengemis Sakti sampai akhirnya mereka menghilang sejak lebih dari lima belas tahun lalu.
Pendekar Pulau Neraka kemudian mengedarkan pandangan berkeliling. Dan, tatapan matanya tertumbuk pada sebuah mulut gua yang tampak sudah hancur. Pendekar Pulau Neraka segera melangkah menghampiri. Ratna Wulan mengikuti dari belakang. Beberapa saat Bayu mengamati mulut gua yang memang sudah hancur ini.
Di sibaknya semak belukar yang hampir menutupi gua itu. Kemudian kakinya melangkah masuk. Bau debu masih terasa menusuk hidung. Ratna Wulan terns mengikuti langkah kaki Pendekar Pulau Neraka. Mereka memeriksa seluruh sudut relung gua batu ini. Tapi tak ada yang bisa didapatkan, kecuali perabotan yang biasa terdapat di rumah-rumah. Jelas sekali, gua ini dijadikan tempat tinggal.
Dan, gua ini tampaknya buntu. Tidak terdapat satu lorong pun. Mereka keluar kembali tanpa mendapatkan hasil apa pun.
"Kakang, lihat ini...!" seru Ratna Wulan, tiba-tiba.
Bayu bergegas menghampiri. Ratna Wulan menunjuk ke tanah di depannya. Kening Pendekar Pulau Neraka berkerut melihat jejak yang sangat aneh. Dan jelas sekali jejak ini bukan bekas tapak kaki manusia.
'"Aku juga melihatnya di dalam gua tadi," kata Ratna Wulan.
"Hm..., seperti kaki binatang," gumam Bayu.
"Lihat di sana, Kakang. Ada cahaya," kata Ratna Wulan lagi, sambil menunjuk.
Bayu cepat mengarahkan pandangannya. Diikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Agak jauh di depan mereka, memang terlihat setitik cahaya yang sebentar-sebentar menghilang tertutup kabut. Tanpa bicara lagi, Pendekar Pulau Neraka bergegas mengayunkan kakinya menuju ke arah titik cahaya itu. Ratna Wulan segera mengikuti. Langkahnya disejajarkan di samping Pendekar Pulau Neraka.
Mereka terus berjalan cepat tanpa banyak bicara lagi. Kabut yang menyelimuti sekitar dasar Jurang Setan ini memang sangat tebal. Mereka pun tidak bisa leluasa bergerak. Terlebih lagi, banyak akar pohon yang bersembulan keluar dari dalam tanah. Mereka harus berhati-hati agar tidak tersangkut akar pohon. Kabut yang semakin tebal membuat pandangan mereka terhalang. Akhirnya, mereka sampai juga di tempat cahaya itu, walaupun harus menempuhnya dengan sulit sekali.
"Hanya pelita...," desis Ratna Wulan seraya menyeka keringat di lehernya.
Mereka menemukan sebuah pelita serta tiga batang bambu yang ujungnya hangus terbakar. Batang bambu itu tampaknya dibuat untuk obor, tapi apinya sudah padam. Obor-obor bambu itulah yang tadi mereka lihat dibawa si Perampok Tiga Nyawa, sebelum mereka terjun ke dalam jurang ini. Dan, pelita itu seperti sengaja digantung di pohon. Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tak ada seorang pun yang dilihatnya. Tidak juga terdengar suara apa pun. Keadaannya begitu sunyi, seperti di dalam kubur.
"Sebaiknya kita kembali saja, Kakang. Tidak ada apa-apa di sini," kata Ratna Wulan.
"Ayolah...," sahut Bayu.
Tapi, baru saja mereka berbalik, mendadak....
"Ghrrr...!"
"Heh...?!"
"Ohhh...?!"
Bukan main terkejutnya Bayu dan Ratna Wulan ketika tiba-tiba di depan mereka melompat sesosok makhluk yang sangat tinggi dan besar. Seluruh tubuhnya berbulu putih seperti kapas. Dan, tahu-tahu seekor beruang raksasa berbulu putih sudah menghadang di depan mereka. Binatang itu berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Sedangkan dua kaki depannya dia angkat tinggi-tinggi, hingga melebihi kepala.
"Ghraaaugkh...!"
"Jagat Dewa Batara...," desis Bayu.
Seluruh dasar jurang ini bagai diguncang gempa ketika beruang putih raksasa itu menggerung dahsyat sekali. Saat itu Ratna Wulan menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Bayu tetap berdiri tegak pada tempatnya. Dia menurunkan Tiren dari pundaknya. Disuruhnya monyet kecil itu menjauh. Sambil mencerecet ribut, Tiren berjingkrak menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Dihampirinya Ratna Wulan yang sejak tadi sudah menyingkir.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung, beruang putih raksasa itu melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Moncongnya yang berliur terus terbuka lebar, seakan-akan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam. Sedangkan Bayu bergerak mundur perlahan-lahan.
"Ghraaagkh...!"
Tiba-tiba beruang raksasa berbulu putih itu melompat cepat bagai kilat, sambil menggerung dahsyat. Meskipun tubuhnya sangat besar, ternyata gerakannya sungguh cepat luar biasa. Bayu pun terpana beberapa saat.
"Uts...!"
Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat merundukkan tubuhnya, Kibasan tangan Beruang Putih itu pun lewat di atas kepalanya. Bergegas Bayu melompat ke belakang beberapa langkah. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, beruang raksasa berbulu putih itu sudah menyerang lagi dengan kecepatan yang sungguh luar biasa. Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak. Dia tidak menyangka kalau binatang ini mampu melakukan gerakan yang begitu cepat.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas begitu tangan yang berkuku runcing dan berbulu tebal itu menyampok ke bawah. Beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara. Lalu deras sekali dia meluruk. Dan langsung dilepaskannya satu tendangan menggeledek, yang hanya disertai dengan setengah pengerahan tenaga dalamnya.
"Yeaaah...!"
Bet!
Bayu terhenyak seketika. Tendangannya yang begitu cepat ternyata sama sekali tidak mengenai kepala Beruang Putih itu. Bahkan, hampir saja dia terkena sampokan tangan binatang raksasa itu kalau tidak cepat-cepat melenting kembali ke udara. Setelah melakukan beberapa kali putaran, kembali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya di tanah. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, sebelum Beruang Putih itu melakukan serangan lagi.
"Ghrrr...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke kanan begitu Beruang Putih itu kembali melakukan serangan. Dan dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh, sambil memiringkan tubuhnya ke kiri. Begitu cepat serangan balasan Bayu kali ini. Beruang Putih itu pun tidak sempat lagi menghindar.
Dugkh!
"Ikh...!"
Bayu tampak terpekik ketika pukulannya bersarang telak di tubuh Beruang Putih itu. Cepat-cepat dia melompat sejauh dua batang tombak ke belakang. Sungguh sukar dipercaya, tubuh binatang raksasa itu ternyata begitu keras. Bayu merasa seperti menghantam sebongkah batu cadas yang teramat keras. Tapi, bukan itu yang membuatnya terkejut setengah mati. Bayu benar-benar terkejut ketika dirasakannya tadi tubuh Beruang Putih ini bisa mengembalikan pukulan yang dilepaskannya. Bayu merasakan tangannya bergetar, seperti tersengat puluhan kala berbisa.
Tangan kanan Pendekar Pulau Neraka memang terlihat bergetar ketika menghantam tubuh Beruang Putih itu tadi. Sedangkan binatang raksasa itu seperti tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. Dia malah terus bergerak cepat menghampiri pemuda berbaju kulit harimau itu. Hentakan kakinya begitu kuat, tanah pun bergetar, seperti diguncang gempa.
"Ghrrr...!"
Wuk!
Cepat sekali Beruang Putih itu mengebutkan tangannya ketika sampai di dekat Bayu. Namun, dengan tidak kalah cepatnya, Bayu berkelit menghindari serangan binatang raksasa ini. Kembali dia melompat ke samping sejauh lima langkah. Dan, begitu kakinya menyentuh tanah, dengan cepat sekali tubuhnya melenting ke udara. Lalu....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu tendangan dahsyat menggeledek. Kali ini dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, yang sudah mencapai pada tingkatan sempurna.
Des!
"Ghraaaugkh...!"
Tendangan yang dilepaskan Bayu tepat bersarang di dada Beruang Putih ini. Begitu keras tendangan yang dilancarkan Bayu. Beruang raksasa itu pun meraung keras sekali. Dan tubuhnya sampai terdorong ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Bayu sendiri terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tapi, setelah beberapa kali melakukan putaran di udara, Pendekar Pulau Neraka kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan manis sekali.
"Gila...!" desis Bayu, tidak percaya.
Tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi sangat keras, bahkan dikerahkan dengan penyaluran tenaga dalam yang sempurna. Tapi Beruang Putih itu sama sekali tidak terluka. Bahkan, tadi Bayu merasakan seperti membentur sebuah dinding baja yang begitu keras. Tulang-tulang kakinya dirasakan nyeri, seperti mau retak.
"Ghrrr...!"
Sambil menggerung-gerung dahsyat, Beruang Putih itu kembali bergerak menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Moncongnya dibuka lebar-lebar, seakan akan hendak memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam seperti mata pisau. Bayu menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Perlahan tangan kanannya ditarik ke depan dada. Dan, tubuhnya dimiringkan ke kiri, agak membungkuk sedikit ke depan.
"Hmm…"
Namun mendadak Pendekar Pulau Neraka tertegun, lalu kembali berdiri tegak. Dia tidak jadi melepaskan senjata andalannya, yang dikenal dengan sebutan Cakra Maut. Senjata berbentuk cakra bersegi enam ini tetap menempel di pergelangan tangan kanannya. Kening Bayu berkerut melihat binatang raksasa berbulu putih bagai kapas itu mendadak tampak terdiam. Dan, dia berdiri dengan keempat kakinya.
"Hmm...."
Kembali Bayu menggumam perlahan. Beruang Putih itu membalikkan tubuh, lalu berjalan meninggalkannya begitu saja. Binatang raksasa itu terus masuk ke dalam hutan yang sangat lebat dan gelap di dasar Jurang Setan. Sebentar saja tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
Bayu berpaling sedikit. Dia merasakan, ada orang yang berdiri di sampingnya. Dan, dilihatnya Ratna Wulan sudah ada di sebelah kiri sambil memeluk Tiren dengan tangan kanan. Monyet kecil itu kelihatan manja. Kepalanya ditempelkan di dada gadis cantik yang membusung indah ini. Beberapa saat mereka terdiam. Semua memandang ke arah kepergian Beruang Putih yang masuk ke dalam hutan di dasar Jurang Setan ini.
"Aneh sekali.... Kenapa tiba-tiba dia pergi begitu saja...?" gumam Ratna Wulan, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Bayu diam saja. Dia juga merasakan, ada suatu keanehan pada Beruang Putih itu. Tiba-tiba saja binatang itu muncul dan menyerang, tapi kemudian pergi begitu saja tanpa sebab. Seperti sudah direncanakan, dia tampaknya hanya muncul untuk menghadang. Bayu pun bisa menduga, Beruang Putih itu bukan binatang sembarangan.
"Aku perhatikan tadi, waktu menyerangmu, gerakan-gerakannya seperti sudah terlatih," kata Ratna Wulan lagi, dengan suara yang masih menggumam perlahan.
"Kau benar, Wulan. Dia juga memiliki kekuatan yang sangat luar biasa," sambut Bayu, dengan suara yang juga menggumam perlahan.
"Kakang, apa mungkin dia binatang peliharaan...?" tanya Ratna Wulan. Nada suaranya terdengar terputus.
Bayu tidak langsung menjawab. Dia melirik Tiren yang masih berada di dalam pelukan Ratna Wulan. Memang bukan suatu hal yang aneh di dunia persilatan, seseorang memelihara binatang yang begitu mengerti dan dapat membantu mempertahankan diri. Bahkan, tidak sedikit yang melatih binatang peliharaannya untuk bertarung. Dan, banyak juga mengisinya dengan kekuatan-kekuatan dahsyat, sehingga binatang peliharaannya memiliki daya tahan tubuh yang tidak ditemukan pada binatang-binatang lain.
"Ayo kita pergi dari tempat ini, Wulan," ajak Bayu.
"Maksudmu keluar dari jurang ini...?" Ratna Wulan seperti tidak percaya.
Memang, masuk ke dalam jurang ini saja sudah begitu sulit. Mereka tadi harus mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Itulah sebabnya Ratna Wulan sama sekali tidak membayangkan bisa keluar lagi dari dalam jurang ini.
"Kita cari jalan, Wulan. Barangkali saja ada jalan keluar dari jurang ini yang lebih mudah ditempuh," kata Bayu, yang tampak berusaha untuk tidak menyinggung perasaan gadis ini.
"Terserah kau sajalah, Kakang," desah Ratna Wulan seraya mengangkat bahu.
"Maaf, bukannya aku meremehkan kemampuanmu, Wulan. Aku sendiri enggan kalau harus melompat lagi ke atas sana," kata Bayu lagi.
Ratna Wulan hanya tersenyum. Memang, keluar dari jurang ini dengan cara melompat seperti ketika masuk tadi adalah suatu hal yang sangat sulit dilakukan. Walaupun menggunakan lagi ranting-ranting kayu untuk berpijak, sudah tentu mereka tidak akan bisa keluar semudah masuk ke dalam jurang ini. Bagaimanapun, naik lebih sulit daripada turun. Dan, yang pasti, akan diperlukan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi tingkatannya. Sedangkan Ratna Wulan menyadari, ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sekarang ini masih belum cukup jika digunakan untuk melompat ke atas sana.
"Aku yakin, pasti ada jalan keluar dari sini," kata Bayu, mencoba membesarkan hati Ratna Wulan.
"Kalaupun tidak ada, bukan hanya kita berdua yang terkurung di dalam jurang ini, Kakang. Masih ada orang lain lagi," sambut Ratna Wulan dengan tenang.
"Ya, empat orang yang tadi masuk lebih dulu ke sini," desah Bayu
.
“Tapi, di mana mereka sekarang...?"
"Barangkali mereka juga sedang mencari jalan untuk keluar dari jurang ini, Kakang?" kata Ratna Wulan.
"Atau mungkin juga mereka sudah tidak ada lagi di sini," desis Bayu, dengan nada suara yang terdengar agak sinis.
"Mungkin juga...," desah Ratna Wulan setengah menggumam sambil mengangkat bahunya sedikit.
Sebentar mereka terdiam, sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Kemudian mereka melangkah perlahan-lahan tanpa berbicara lagi. Keadaan di dalam Jurang Setan ini memang sangat gelap. Mereka tidak bisa berjalan dengan cepat dan leluasa. Kabut yang menyelimuti seluruh dasar jurang ini membuat pandangan mereka terhalang dan sulit melihat jauh.
Di dalam Jurang Setan ini, antara siang dan malam hari sangat sulit dibedakan. Karena, sepanjang waktu keadaan di jurang ini selalu gelap dan berselimut kabut tebal, yang menyebarkan udara dingin membekukan tulang. Entah sudah berapa lama Bayu dan Ratna Wulan mencari jalan untuk keluar dari dalam jurang ini. Tapi, belum juga mereka menemukannya.
Sedangkan hutan di dalam jurang ini begitu rapat. Sulit bagi siapa pun untuk bisa bergerak cepat. Belum lagi, keadaannya sangat gelap. Ratna Wulan pun beberapa kali terpekik, karena berulang kali kakinya terantuk akar-akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Gadis itu memang belum terbiasa dengan keadaan seperti ini. Dia memang masih seumur jagung dalam menggeluti ganasnya rimba persilatan.
"Kakang, mungkin tebing batu ini menuju keluar," kata Ratna Wulan, saat mereka sampai di kaki sebuah tebing batu yang menjulang sangat tinggi, hingga bagian atasnya benar-benar tidak terlihat.
“Tapi terlalu tegak, Wulan. Banyak lumutnya...," kata Bayu, sambil memperhatikan tebing batu di depannya.
Sebenarnya, tidak ada masalah bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menaiki tebing batu ini. Tapi, Bayu memikirkan Ratna Wulan. Dia tahu, kepandaian yang dimiliki gadis ini bisa dikatakan masih tanggung untuk terjun ke dalam rimba persilatan yang ganas seperti ini. Bahkan, ilmu meringankan tubuhnya saja masih jauh berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. Tapi, untuk mempertahankan hidup di alam bebas seperti ini, dia memang sudah sanggup.
"Mungkin ada jalan lain yang bisa dilalui, Kakang," kata Ratna Wulan, yang tampak tidak menyadari bahwa penolakan Bayu disebabkan oleh keraguannya terhadap kesanggupan gadis itu, jika harus mendaki bukit batu ini.
"Hm..., coba kita telusuri saja kaki tebing ini," ujar Bayu, setengah menggumam.
Mereka kemudian kembali melangkah menyusuri kaki tebing batu ini Sementara itu di dalam benaknya, Bayu terus berpikir keras. Dia berusaha mencari jalan yang mudah untuk ditempuh Ratna Wulan agar bisa keluar dari dalam dasar Jurang Setan ini. Kakinya terus terayun melangkah. Dan, otaknya terus bekerja keras mencari jalan keluar yang mudah.
Setelah cukup lama berjalan menyusuri kaki tebing batu ini, mereka kembali berhenti. Bayu merentangkan tangannya ke depan perut Ratna Wulan. Dimintanya gadis itu untuk mundur dengan isyarat tangan. Tanpa diminta dua kali, Ratna Wulan segera melangkah mundur beberapa tindak. Sedangkan Bayu melangkah ke depan beberapa tindak. Sekitar satu batang tombak lagi, di depan mereka terlihat sebuah mulut gua yang sangat besar dan kelihatan begitu gelap.
"Hmm...."
Kening Bayu berkerut melihat banyak jejak kaki orang di sekitar mulut gua ini. Bahkan, ada jejak-jejak seperti bekas tapak kaki binatang, tapi berukuran sangat besar. Dan, jejak kaki binatang ini sudah dia temukan sebelumnya di dalam gua yang hancur, tidak jauh dari mayat Tiga Pengemis Sakti. Tampaknya ini adalah jejak Beruang Putih yang menghadangnya tadi. Bayu terus melangkah mendekati mulut gua. Dia melihat, di samping gua ini terdapat beberapa buah obor dari batang bambu.
Di dekat obor-obor itu, terlihat nyala api di antara bebatuan. Begitu kecil nyala api ini, sehingga hampir tidak terlihat. Bayu mengambil sebuah obor dan menyalakannya dengan api yang tersembunyi di antara bebatuan. Nyala api obor langsung membuat keadaan disekitarnya cukup terang. Pendekar Pulau Neraka menjulurkan kepalanya ke dalam gua. Tapi, tidak ada yang dapat dilihat, kecuali lorong gua yang tampaknya sangat panjang dan berliku. Bayu berpaling ke belakang.
"Kemari, Wulan," panggil Bayu sambil melambaikan tangannya pada Ratna Wulan.
Ratna Wulan bergegas menghampiri. Dia masih memeluk Tiren. Gadis itu menerima obor yang sudah menyala dari tangan Bayu. Dan Pendekar Pulau Neraka menyalakan satu obor lagi. Tanpa banyak bicara, mereka langsung saja masuk ke dalam gua ini. Tepat seperti dugaan Bayu, gua ini memang sangat panjang dan penuh dengan belokan. Keadaannya juga begitu gelap. Tapi di dasar gua yang lembab ini, terlihat jelas bekas-bekas jejak kaki yang tampaknya belum terlalu lama.
"Di depan sana seperti bercabang, Kakang," bisik Ratna Wulan, setelah mereka cukup jauh masuk ke dalam relung gua ini.
"Hmm...," Bayu hanya menggumam perlahan.
Memang, tidak jauh di depan mereka, tampak relung gua ini bercabang dua. Bayu segera menghentikan langkahnya setelah sampai di lorong bercabang dua ini Ratna Wulan ikut berhenti. Mereka seperti mempertimbangkan, lorong mana yang akan ditempuh. Bayu memperhatikan, jejak-jejak kaki yang ada cukup jelas terlihat di dasar gua ini. Beberapa jejak kaki menuju ke lorong sebelah kanan, Dan, tidak sedikit pun yang menuju ke lorong sebelah kiri. Tapi, ada perbedaan di antara keduanya. Di lorong sebelah kanan tidak terdapat jejak kaki binatang. Dan, tampaknya di lorong ini jejak kaki manusia menuju dua arah yang berlawanan, seperti berbalik keluar lagi setelah memasukinya. Bayu langsung berkesimpulan, semua yang masuk ke gua ini pada akhirnya memilih jalan ke lorong sebelah kiri.
"Kita ke kiri, Wulan," ujar Bayu.
Wulan hanya menganggukkan kepalanya. Dia mengikuti Pendekar Pulau Neraka menyusuri cabang lorong gua sebelah kiri. Obor yang mereka bawa cukup untuk menerangi lorong gua yang gelap ini. Mereka terus berjalan tanpa berbicara sedikit pun. Dua tikungan pun dilalui. Dan, setelah mereka melewati satu tikungan lagi, baru terasa bahwa jalan di dasar lorong gua ini sesungguhnya menanjak dan seperti berputar-putar.
"Sepertinya ini naik ke atas, Kakang," ujar Ratna Wulan, agak mendesis.
"Mudah-mudahan saja memang ini jalan keluarnya, Wulan," sahut Bayu.
"Aku harap begitu," desah Ratna Wulan.
Tanpa bicara lagi, mereka terus melangkah menyusuri lorong gua yang tidak lagi bercabang tapi terus menanjak ini. Dan, semakin lama semakin nyata bahwa lorong gua ini melingkar seperti tangga sebuah menara.
"Kakang, lihat...!" seru Ratna Wulan tiba-tiba, sambil menunjuk ke depan.
Bayu segera mengarahkan pandangannya ke depan. Diikutinya jari telunjuk Ratna Wulan. Tampak jelas sekali, di depan mereka terlihat seberkas cahaya yang begitu terang. Mereka bergegas mendekati cahaya terang seperti sinar matahari itu. Dan, semakin dekat, keadaan di dalam lorong gua ini juga semakin bertambah terang. Obor pun tidak lagi dibutuhkan. Mereka membuang obor dari batang bambu itu, setelah mematikannya di atas batu.
"Itu pintu keluar, Kakang...!" seru Ratna Wulan, gembira.
"Nguk!"
Tiren, yang berada di dalam pelukan Ratna Wulan, rupanya juga merasa gembira bisa keluar dari dalam jurang yang sangat gelap dan mengerikan ini. Monyet kecil itu mencerecet ribut, lalu melompat turun dari gendongan Ratna Wulan. Mereka seperti berlomba mencapai mulut gua di depan sana. Ratna Wulan berlari dengan cepat. Sedangkan Bayu tetap melangkah ringan mengikuti dari belakang. Memang benar, mereka sudah sampai di ujung gua yang sangat panjang dan berliku ini. Cahaya matahari langsung menyambut begitu mereka berada di luar.
Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia tahu, sekarang mereka sudah berada di dekat perbatasan Desa Gebang sebelah Barat. Sungguh tidak diduga sama sekali, lorong gua yang mereka telusuri tadi ternyata merupakan penghubung antara Desa Gebang dan Jurang Setan.
"Oh, segarnya...," desah Ratna Wulan sambil menghirup udara banyak-banyak, setelah berada diluar gua yang gelap ini.
Bayu dan Ratna Wulan menarik napas lega. Akhirnya mereka bisa keluar dari dalam Jurang Setan setelah melalui lorong gua yang sangat panjang dan gelap. Tapi, rasa lega belum hilang tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ranting yang patah terinjak kaki. Hanya sesaat Bayu menatap pada Ratna Wulan. Kemudian, bagaikan kilat Pendekar Pulau Neraka melesat ke arah datangnya suara ranting patah yang didengarnya barusan.
"Hup...!"
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Dalam sekejap mata, dia pun sudah lenyap menembus lebatnya semak belukar dan pepohonan. Saat itu juga, mendadak terdengar pekikan tertahan seperti suara orang terkejut.
"Akh...?!"
Srak!
Tampak Bayu terpental keluar dari dalam semak belukar. Tinggi sekali tubuhnya melambung ke udara, seperti ada yang melemparkannya dengan tenaga yang begitu besar. Tapi, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka bisa menguasai keseimbangan dirinya dengan berputaran beberapa kali di udara. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya langsung menjejak di tanah yang berumput cukup tebal ini. Bersamaan dengan itu, dari dalam semak yang sama, keluar seorang laki-laki tua bertubuh kurus. Tulang-tulangnya begitu jelas terlihat, karena dia tidak mengenakan baju. Laki-laki tua itu hanya memakai celana hitam sebatas lutut. Dan, di tangan kanannya tergenggam sebilah kapak yang sangat besar dan bergagang panjang. Sedangkan tangan kirinya mengepit seikat kayu bakar.
"Siapa kau, Anak Muda? Berani-beraninya mengganggu istirahat ku!" bentak orang tua bertubuh kurus itu.
Wajahnya kelihatan memerah. Dan, bola matanya yang bersorot tajam tertuju lurus pada Pendekar Pulau Neraka. Tampaknya dia begitu berang. Sedangkan raut wajah Bayu masih menampakkan keterkejutan. Entah apa yang terjadi di dalam semak belukar itu, sampai Bayu terlempar tinggi ke angkasa tadi. Untung Pendekar Pulau Neraka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, sehingga dia bisa mendarat kembali di tanah dengan ringan dan manis sekali.
"Maaf, aku kira kau orang jahat yang sedang mengintai kami," ujar Bayu seraya memberi hormat.
"Huh! Kau sudah mengganggu istirahat ku, Anak Muda. Kau harus membayar perbuatanmu!" dengus orang tua yang tampak seperti seorang perambah hutan pencari kayu bakar itu.
"Hm..., apa maksudmu, Ki?" tanya Bayu dengan kening berkerut dan mata yang kelihatan menyipit.
"He he he...!"
Orang tua bertubuh kurus itu malah tertawa terkekeh-kekeh. Perlahan kemudian dia melangkah beberapa tindak ke depan. Terlihat jelas baris-baris giginya yang hitam seperti batu saat dia tertawa. Sedangkan Ratna Wulan yang sejak tadi hanya berdiri memperhatikan agak jauh di belakang, perlahan-lahan melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka.
"Kakang, aku seperti pernah melihat dia," bisik Ratna Wulan.
"Hmm...," gumam Bayu sambil melirik sedikit pada gadis cantik yang sudah ada di sebelah kirinya ini.
"Siapa dia, Wulan?"
"Kalau tidak salah, dia si Perambah Hutan Penghisap Darah," sahut Ratna Wulan.
Matanya tidak lepas mengamati laki-laki tua yang memegang sebilah kapak berukuran sangat besar itu.
"He he he...! Penglihatanmu tajam sekali, Anak Manis," selak laki-laki tua bertubuh kurus yang dikenali Ratna Wulan sebagai si Perambah Hutan Penghisap Darah itu.
Sementara itu Bayu diam saja. Diperhatikannya si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan tajam. Dia tahu, nama yang disebutkan Ratna Wulan barusan hanyalah sebuah julukan. Tapi, dia juga tahu, tidak mungkin seseorang bisa mendapatkan sebuah julukan begitu saja. Suatu julukan biasanya disesuaikan dengan sifat atau perbuatan orang itu. Dan ada juga julukan yang diambil dari ciri-ciri orang itu atau nama tempat asalnya. Sedangkan julukan yang digunakan laki-laki tua kurus itu jelas menandakan bahwa dia bukanlah orang baik-baik.
"Aku tidak melakukan apa pun padamu, Ki. Bahkan kau hampir saja meremukkan tulang-tulangku. Apa yang harus aku ganti padamu...?" ujar Bayu agak dingin.
"Sudah aku katakan, kau mengganggu istirahat ku, Anak Muda. Kau harus membayar mahal!" sentak si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan ketus.
"Katakan, apa bayarannya!" dengus Bayu, yang jelas sekali tidak ingin memperpanjang persoalan.
"He he he.... Darahmu, Anak Muda."
"Edan...!" dengus Bayu.
"Kau tentu memiliki darah yang sangat segar. Aku hanya minta, kau membayarnya dengan satu gantang darahmu. Tapi jika kau tidak mau, kau bisa menggantinya dengan bayaran lain," kata si Perambah Hutan Penghisap Darah.
"Hmm, apa...?"
"Keris Naga Emas yang ada padamu. Itu sudah cukup untuk mengganti darahmu, Anak Muda."
Bayu tersentak kaget mendengar permintaan laki-laki tua berjubah kurus yang dijuluki si Perambah Hutan Penghisap Darah itu. Sungguh dia tidak menyangka kalau orang tua itu tahu, bahwa dia menyimpan Keris Naga Emas. Keris yang terbuat dari emas murni ini memang telah diperoleh Bayu dari seorang laki-laki tua. Tapi, dia sendiri tidak berhak memilikinya. Keris itu harus diserahkan kepada orang yang berhak mewarisinya, yaitu seorang gadis bernama Intan Kumala, putri Ki Satria (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode 'Tiga Pengemis Sakti"). Dan, sampai sekarang ini, Pendekar Pulau Neraka belum berhasil menemukan gadis itu.
"Aku tidak punya Keris Naga Emas yang kau maksudkan, Ki. Kau lihat sendiri, aku tidak memegang senjata apa pun," kata Bayu sambil merentangkan kedua tangannya ke samping.
"He he he...! Jangan coba-coba mengelabui ku, Anak Muda. Aku tahu, kau telah diberi keris itu oleh Ki Rahun," ujar si Perambah Hutan Penghisap Darah.
Kali ini Bayu benar-benar tidak dapat lagi menyembunyikan rasa keterkejutannya. Dia memang menyimpan keris itu, dan memang mendapatkannya dari Ki Rahun. Sungguh dia tidak menyangka, Keris Naga Emas yang kini berada di tangannya sudah diketahui oleh orang lain dengan cepat sekali. Padahal, hanya Ratna Wulan-lah yang menyaksikannya sewaktu Ki Rahun menyerahkan keris itu kepada Bayu, sesaat sebelum laki-laki tua itu menghembuskan nafasnya yang terakhir (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode Tiga Pengemis Sakti).
Pendekar Pulau Neraka melangkah dua tindak ke belakang. Saat itu juga cepat disadarinya, persoalan ini tidak mungkin diselesaikan dengan cara damai. Bayu juga menyadari, rahasianya tentang Keris Naga Emas tidak bisa disembunyikan terus-menerus. Memang, di dalam ganasnya rimba persilatan, keadaan seperti yang dialami Pendekar Pulau Neraka ini, sesungguhnya bisa saja terjadi. Bukankah suatu hal yang tidak mungkin jika seseorang yang bertelinga tajam seperti si Perambah Hutan Penghisap Darah sempat mendengarkan pembicaraan antara Bayu dan Ratna Wulan tentang Keris Naga Emas itu, entah dimana. Dan, tampaknya kedua pendekar muda itu tidak menyadari keadaan ini. Rupanya, pikiran mereka begitu terpusat pada peristiwa-peristiwa aneh yang baru mereka alami sejak dititipkan keris oleh Ki Rabun, hingga berhasil keluar dari dasar Jurang Setan.
"Baik, aku memang menyimpan keris itu. Tapi bukan padamu aku harus menyerahkannya. Ada orang yang lebih berhak memilikinya," kata Bayu tegas.
"He he he...! Sudah kuduga, kau pasti akan mempertahankannya, Anak Muda. Baik..., aku juga akan merebutnya darimu. Pertahankanlah keris itu, Anak Muda," desis si Perambah Hutan Penghisap Darah, dengan nada suara yang terdengar begitu dingin.
Wuk!
Tiba-tiba si Perambah Hutan Penghisap Darah mengebutkan kapaknya yang berukuran sangat besar itu ke depan. Begitu kuat kebutan itu, sehingga menimbulkan suara yang menggetarkan. Kemudian kapaknya diputar di depan dada, hanya dengan satu tangan.
Wuk!
Cepat sekali putarannya, sampai-sampai kapak itu lenyap dari pandangan mata. Yang terlihat hanyalah lingkaran cahaya keperakan di depan dada laki-laki tua bertubuh kurus kering ini. Putaran itu juga menimbulkan suara deru angin yang begitu dahsyat. Dan, di tepi hutan dekat perbatasan Desa Gebang sebelah Barat ini seakan-akan terjadi badai, yang semakin lama semakin bertambah dahsyat.
"Hmm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia tahu, si Perambah Hutan Penghisap Darah itu sudah mulai melancarkan serangannya. Serangan pertama ini begitu dahsyat luar biasa. Hembusan angin yang keluar dari
putaran kapak itu membuat debu dan daun-daun kering berhamburan ke udara. Bahkan, kerikil-kerikil kecil mulai terlihat berpentalan Bumi yang mereka pijak pun terasa bergetar, seperti terjadi gempa. Semakin cepat putaran kepak itu, semakin dahsyat pula badai yang terjadi.
"Hap!"
Bayu cepat-cepat merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada ketika kakinya mulai tergeser ke belakang. Kedua bola matanya tertuju lurus, menatap dengan sinar yang begitu tajam, tepat ke tengah-tengah pusat lingkaran kapak di tangan kanan si Perambah Hutan Penghisap Darah. Sementara itu Ratna Wulan, yang tidak dapat lagi bertahan, sudah berlindung di balik sebatang pohon yang sangat besar dan tampak kokoh menerima gempuran badai yang semakin dahsyat ini.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Bayu berteriak keras menggelegar. Dan, seketika itu juga....
Wusss!
Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka mengibas ke depan, seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan itu melesat cepat bagai kilat. Dan, senjata andalan ini tepat tertuju ke bagian tengah lingkaran kapak bercahaya keperakan itu. Begitu cepat serangan balasan yang dilakukan Bayu. Si Perambah Hutan Penghisap Darah pun tampak terbelalak kaget setengah mati.
"Hap!"
Cepat-cepat si Perambah Hutan Penghisap Darah menarik tangannya ke samping. Lalu, secepat itu pula dikibaskan kaki depan. Disampoknya senjata andalan Pendekar Pulau Neraka.
Trang!
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, lalu berputaran beberapa kali. Dan begitu kakinya menjejak tanah kembali, tangan kanannya langsung diangkat ke atas kepala. Cakra Maut pun kembali menempel di pergelangan tangannya dengan cepat sekali. Serangan kilat yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka ini membuat badai yang diciptakan si Perambah Hutan Penghisap Darah dengan kapaknya itu terhenti seketika. Deru angin yang begitu dahsyat kini tidak terdengar lagi.
Meskipun hanya terjadi sebentar, badai ciptaan si Perambah Hutan Penghisap Darah telah membuat keadaan di dekat perbatasan Desa Gebang sebelah Barat ini porak-poranda. Tidak sedikit pepohonan yang tumbang. Bahkan tidak sedikit pula bebatuan yang hancur saling beradu ketika terpental terkena hembusan angin badai yang begitu kuat dan dahsyat tadi.
Sementara itu, Pendekar Pulau Neraka dan si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali saling berhadapan, dengan jarak sekitar satu setengah batang tombak. Mereka saling bertatapan dengan tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Perambah Hutan Penghisap Darah melompat cepat bagai kilat sambil mengayunkan kapaknya yang besar ke arah kepala Bayu. Begitu besar tenaga dalam yang dikerahkannya. Sehingga, ayunan kapak itu menimbulkan suara deru angin yang begitu dahsyat menggetarkan dada.
"Hiiap!"
Manis sekali Bayu mengelakkan serangan itu. Dia hanya mengegoskan kepalanya. Namun, Bayu sempat juga terperanjat ketika mata kapak yang berkilat tajam lewat di depan mukanya. Terasa sekali, hembusan angin dari ayunan kapak itu mengandung tenaga dalam tinggi yang memancarkan hawa panas begitu menyengat Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka melompat ke belakang, sebelum si Perambah Hutan Penghisap Darah melakukan serangan kembali.
"Bagus...! Rupanya kau punya simpanan juga, Anak Muda," dengus si Perambah Hutan Penghisap Darah, memuji lawannya.
"Siapa gurumu?"
"Kau tidak perlu tahu, Kisanak," sahut Bayu, agak ketus.
"Angkuh juga kau, Bocah. Baik, aku akan memaksamu menyebutkan nama gurumu."
"Silakan kalau kau mampu."
"He he he.,.! Bersiaplah kau, Bocah Sombong!
Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu segera melompat ke samping begitu si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan serangan. Kapak yang berukuran besar itu dikibaskan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi, dengan gerakan tubuh yang begitu manis, Bayu berhasil menghindarinya. Bahkan, tanpa diduga sama sekali, dia melepaskan satu tendangan menggeledek dengan kaki kirinya, sambil memiringkan tubuh sedikit ke kanan.
"Haiiit...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang sambil mengebutkan kapaknya ke kaki Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Bayu sudah lebih cepat menarik kakinya. Bahkan, tanpa memijakkan kaki kirinya ke tanah, dia melesat ke udara, lalu meluruk deras sambil melepaskan satu pukulan menggeledek ke arah kepala si Perambah Hutan Penghisap Darah. Begitu sempurna tenaga dalam yang dikerahkan Bayu. Angin pukulannya pun telah terasa sebelum pukulan itu sampai di kepala laki-laki tua bertubuh kurus kering ini.
Glarrr….
Satu ledakan keras terdengar ketika pukulan Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah. Pukulan Pendekar Pulau Neraka itu tidak mengenai sasaran, karena si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah melompat tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tidak ada pilihan lain bagi si Perambah Hutan Penghisap Darah. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke udara menghindari serangan pukulan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu, yang mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam pada pukulannya, tidak dapat lagi menarik serangannya. Sehingga, pukulannya pun menghantam tanah.
Glarrr...!
Satu ledakan keras langsung terdengar menggelegar ketika pukulan Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah. Begitu dahsyat pukulan bertenaga dalam sempurna itu. Tanah yang terhantam pun seketika hancur. Debu langsung menyemburat tinggi ke udara. Bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa yang begitu dahsyat.
"Hup!"
Bayu cepat melompat ke belakang sejauh beberapa langkah. Manis sekali kakinya menjejak tanah. Tampak tanah yang terkena pukulannya tadi telah berlubang sangat besar, seperti sebuah lubang kuburan gajah. Si Perambah Hutan Penghisap Darah yang melihat hasil pukulan maut Pendekar Pulau Neraka itu langsung terlongong-longong. Dia tidak menyangka sama sekali kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat luar biasa.
"Aku bisa menghancurkan tubuhmu kalau kau tidak segera angkat kaki dari sini, Orang Tua...!" desis Bayu dingin, dengan nada mengancam.
Dari nada suaranya, Pendekar Pulau Neraka tidak bisa lagi dianggap main-main, Jelas Bayu tidak menginginkan urusan ini berlarut-larut. Tapi, rupanya si Perambah Hutan Penghisap Darah tidak juga mau mundur sebelum mendapatkan Keris Naga Emas yang sangat diinginkannya. Tampaknya dia akan berusaha sampai mati untuk merebut keris berwarna emas yang tetap dipertahankan oleh Pendekar Pulau Neraka itu. Memang, apa pun yang terjadi, Bayu akan tetap mempertahankan Keris Naga Emas, yang dititipkan oleh Ki Rahun sebelum menghembuskan napas terakhir. Dan, Bayu pun tetap teringat akan pesan yang dikatakan oleh lelaki tua itu untuk menyerahkan keris ini kepada pewarisnya yang berhak.
"Phuih!"
Si Perambah Hutan Pengemis Darah menyemburkan ludahnya dengan sengit. Perlahan kakinya digeser ke kanan beberapa langkah. Sorot matanya masih tetap tajam, tertuju langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka. Dia benar-benar tidak menyangka kalau pemuda yang dihadapinya ini begitu tangguh. Dan, dia tidak ingin lagi menganggap enteng. Hampir saja tadi dia celaka, karena menganggap rendah pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kita tentukan sekarang. Kau atau aku yang harus mati, Anak Muda!" desis si Perambah Hutan Penghisap Darah, dingin.
"Di antara kita tidak ada persoalan, Ki. Sebaiknya tidak perlu diperpanjang lagi urusan tak berguna ini," kata Bayu, mencoba untuk tidak memperpanjang pertarungan yang dianggapnya tidak berguna ini.
"Jangan banyak mulut kau, Bocah!
Hiyaaat...!"
"Hap!"
Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Begitu si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali melakukan serangan, dia terpaksa melayani keinginan laki-laki tua yang menggunakan senjata kapak itu. Dan, kali ini serangan-serangan yang dilancarkan si Perambah Hutan Penghisap Darah ternyata sungguh dahsyat luar biasa. Begitu gencarnya, sehingga tidak ada kesempatan sedikit pun bagi Bayu untuk membalas. Memang, si Perambah Hutan Penghisap Darah tidak memberikan kesempatan pada lawannya ini untuk membalas menyerang.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu terpaksa berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya. Di hindarinya setiap serangan yang dilancarkan si Perambah Hutan Penghisap Darah itu. Jurus demi jurus pun berlalu dengan cepat. Tapi pertarungan itu tampaknya masih akan berlangsung lama. Beberapa kali kibasan kapak si Perambah Hutan Penghisap Darah hampir membelah tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi sampai saat ini Bayu masih bisa menghindarinya dengan manis, walaupun dia belum memiliki kesempatan untuk melakukan serangan balasan.
"Mampus kau, Bocah! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat si Perambah Hutan Penghisap Darah melompat sambil menghantam kapaknya ke kepala Pendekar Pulau Neraka. Begitu kuat hantaman yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Angin yang ditimbulkannya pun terasa begitu panas menyengat kulit.
"Hap! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu menarik kepalanya ke belakang, sambil menggeser juga kedua kakinya ke belakang dua tindak. Dan, ujung mata kapak si Perambah Hutan Penghisap Darah itu lewat sedikit saja di depan hidung pemuda berbaju kulit harimau ini. Pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah tersentak kaget setengah mati. Tidak disangkanya Pendekar Pulau Neraka mampu melakukan serangan balik yang begitu cepat di saat sedang menghindari serangannya. Cepat-cepat lelaki tua bertubuh kurus ini melompat ke belakang beberapa tindak. Namun, baru saja kakinya menjejak tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya ke depan, dengan tubuh sedikit miring ke kiri.
"Yeaaah...!"
Wusss!
"Heh...?! Ikh!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terbeliak setengah mati ketika dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka meluncur sebuah benda berbentuk cakra yang berwarna keperakan. Cakra Maut bersegi enam itu meluncur dengan cepat bagai kilat Dan, cepat-cepat si Perambah Hutan Penghisap Darah mengibaskan kapaknya. Disampoknya senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu.
Wuk!
Trang!
"Ikh...?!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah terpekik ketika ujung mata kapaknya berbenturan dengan Cakra Maut tepat di depan dadanya. Begitu keras benturan itu, sampai menimbulkan pijaran api yang memancar ke segala arah. Saat itu juga Cakra Maut kembali melesat berbalik kepada pemiliknya. Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Dan, cakra bersegi enam keperakan itu kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
Pada saat itu juga, dengan cepat sekali Bayu melompat sambil melepaskan satu tendangan yang keras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya. Begitu cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si Perambah Hutan Penghisap Darah pun tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Des!
"Akh...!"
Si Perambah Hutan Penghisap Darah kembali terpekik. Kali ini tendangan kaki kanan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dadanya dengan keras sekali. Tak pelak lagi, lelaki tua itu terpental ke belakang dengan keras sekali. Dan, tubuhnya tepat jatuh di dalam lubang besar yang seperti kuburan gajah tadi. Pada saat yang bersamaan, Bayu mendarat tepat di pinggiran lubang itu. Sedangkan si Perambah Hutan Penghisap darah tampak menggeletak dengan napas tersengal di dalam lubang. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah kental agak berwarna kehitaman.
"Lubang ini memang cocok untuk kuburanmu Kek ." desis Bayu dingin.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengangkat kepalan tangan kanannya ke atas kepala. Sedangkan si Perambah Hutan Penghisap Darah sudah tidak berdaya lagi. Tendangan yang mendarat di dadanya tadi mengandung pengerahan tenaga dalam yang begitu dahsyat dan sudah sempurna tingkatannya. Seluruh rongga dadanya kini terasa remuk. Bahkan, tulang-tulang dadanya terlihat jelas sudah hancur. Memang tidak ada lagi harapan bagi si Perambah Hutan Penghisap Darah untuk bisa bertahan hidup lebih lama.
Darah yang keluar dari mulutnya semakin bertambah banyak. Dan nafasnya sudah tersendat-sendat. Kedua bola matanya pun tidak lagi memancarkan sinar tajam. Begitu redup, bagai sepasang pelita yang sudah kehabisan minyak. Laki-laki tua yang dikenal dengan julukan si Perambah Hutan. Penghisap Darah itu benar-benar sudah tidak bisa lagi berbuat apa pun. Dia hanya bisa menggeletak tak berdaya didalam lubang sebesar kuburan gajah, yang tidak sengaja dibuat tadi oleh Pendekar Pulau Neraka.
“Terimalah kematianmu, Kakek Iblis...!" desis Bayu, dingin.
"Kakang, jangan...!"
Hampir Pendekar Pulau Neraka telanjur melepaskan satu pukulan jarak jauh yang berkekuatan tenaga dalam tingkat sempurna ke arah si Perambah Hutan Penghisap Darah. Untung saja terdengar seruan Ratna Wulan yang begitu keras. Pemuda berbaju kulit harimau itu memalingkan kepalanya. Tampak Ratna Wulan berlari-lari kecil menghampiri. Monyet kecil berbulu hitam mengikuti dari belakang, sambil mencerecet ribut.
"Nguk!"
Monyet kecil yang bernama Tiren itu langsung melompat naik ke pundak kanan Bayu. Sedangkan Ratna Wulan berdiri dekat agak ke depan, di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu melirik sedikit pada si Perambah Hutan Penghisap Darah yang masih menggeletak tak berdaya di dalam lubang.
“Tidak ada gunanya membunuh dia, Kakang. Sebaiknya tanyakan saja, kenapa dia menginginkan Keris Naga Emas itu," kata Ratna Wulan.
"Hmm...."
Bayu menggumam sedikit. Tangan kanannya sudah turun kembali. Bola matanya menatap tajam pada si Perambah Hutan Penghisap Darah.
"Kau dengar apa katanya, Ki. Kau beruntung tidak terkubur di sini," kata Bayu, sedikit membentak. Si Perambah Hutan Penghisap Darah diam saja. Sinar matanya semakin kelihatan redup. Darah terus mengalir dari mulut dan hidungnya. Sedikit pun tubuhnya tidak bergerak, seakan-akan raganya sudah mati. Hanya gerakan lemah di dada dan matanya sedikit terbuka yang bisa menandakan kalau dia masih hidup.
"Ki..., untuk apa kau menginginkan Keris Naga Emas itu?" tanya Ratna Wulan lembut.
Tidak terdengar suara sedikit pun dari bibir berlumuran darah yang bergerak-gerak itu. Sepertinya si Perambah Hutan Penghisap Darah ingin bicara. Tapi, mendadak tubuhnya mengejang kaku, kemudian langsung lunglai, dan kedua matanya terpejam. Bayu cepat-cepat melompat ke dalam lubang. Ujung jari tangannya langsung ditempelkan ke leher lelaki bertubuh kurus itu. Sebentar kemudian Pendekar Pulau Neraka berpaling kepada Ratna Wulan. Kepalanya menggeleng, lalu dia kembali melompat ke atas.
"Dia sudah mati," ujar Bayu.
"Heh, sayang sekali. Padahal keterangannya sangat berguna untuk membantu menemukan pewaris keris itu, Kakang," desah Ratna Wulan perlahan.
“Tendangan ku terlalu keras tadi," ujar Bayu, seperti menyesal.
"Yaaah..., terpaksa kita harus mencari lagi petunjuk yang lain untuk menemukan gadis itu," desah Ratna Wulan lagi.
"Kau masih ingat namanya, Kakang?"
"Intan Kumala," sahut Bayu.
"Kakang, apa tidak sebaiknya kita mencari keterangan di Desa Gebang ini saja. Siapa tahu ada di antara penduduk desa itu yang kenal dengan Intan Kumala," saran Ratna Wulan.
Bayu tampak merenung. Dia kembali teringat pada Ki Rahun, laki-laki tua berpakaian compang-camping yang ditolongnya ketika hampir tewas di tangan Ki Laksa. Dia tidak tahu, kenapa Ki Rahun sampai bertarung menyabung nyawa dengan Ki Laksa. Tapi, setidak-tidaknya di Desa Gebang dia bisa mendapatkan keterangan dari laki-laki tua berjubah putih itu.
Ki Laksa memang sangat disegani di Desa Gebang ini. Dia adalah, orang kepercayaan pihak kerajaan yang bertugas mengawal barang-barang berharga ataupun mengiringi anggota keluarga istana kerajaan. Tentu saja tidak sulit bagi Bayu untuk menemuinya.
"Sudah sore. Ayo kita cari penginapan di sana," ajak Bayu sambil menunjuk ke Desa Gebang.
Malam sudah cukup larut. Kegelapan merambat menyelimuti sebagian permukaan bumi. Kesunyian begitu terasa mencekam. Hanya desiran angin dan gerit binatang malam yang terdengar mengusik kesunyian ini. Di bawah siraman cahaya bulan yang memancar lembut, terlihat seorang wanita melangkah perlahan-lahan menyusuri jalan tanah di pinggiran Desa Gebang. Pakaiannya yang berwarna putih kelihatan sudah hampir memudar dan kotor penuh debu. Terdapat pula sobekan di beberapa bagian. Rambutnya yang panjang tampak acak-acakan tak teratur, sehingga hampir menutupi wajah yang berkulit putih tapi kelihatan kotor penuh debu yang bercampur keringat.
Memang udara malam ini terasa cukup panas. Wanita yang kelihatannya masih muda itu terus melangkah perlahan, tapi ayunan kakinya tampak mantap. Dan, sorot matanya juga terlihat tajam memandang lurus ke depan. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Dia terus berjalan melintasi jalan tanah yang seperti membelah Desa Gebang ini menjadi dua bagian. Dan ayunan kakinya baru berhenti setelah sampai di depan sebuah pagar rumah dari bambu. Rumah itu sangat besar dan dikelilingi halaman yang luas.
Keadaan di dalamnya tampak terang benderang. Terlihat beberapa orang laki-laki muda berjalan mondar-mandir di sekitarnya. Di pinggang mereka masing-masing terselip sebilah golok. Mungkin mereka adalah para penjaga rumah itu, rumah yang paling besar di Desa Gebang. Bahkan, rumah ini lebih besar dari rumah kepala desa sendiri. Dan, semua orang tahu, itu adalah rumah Ki Laksa.
"Bersiap-siaplah kau, Paman Laksa. Pembalasanku sudah tiba."
Wanita muda berpakaian putih dan compang-camping itu menggumam. Suaranya datar dan dingin sekali. Tak terdengar tekanan nada sedikit pun pada gumamnya tadi. Dan, dia tetap berdiri tegak memandangi rumah berukuran besar itu. Dua orang laki-laki muda yang sejak tadi berdiri di depan beranda terlihat bergerak menghampiri. Mereka menyeberangi halaman yang cukup luas dan ditumbuhi rerumputan. Sedangkan wanita muda seperti pengemis itu tetap diam berdiri tegak tak bergeming sedikit pun.
"Hei! Mau apa kau ke sini? Pergi sana...!" bentak salah seorang pemuda itu dengan kasar.
"Hmm...," wanita muda berbaju putih compang-camping itu hanya menggumam sedikit.
"Pergi sana! Jangan mengotori tempat ini!" bentak pemuda itu lagi.
"Kalian, tikus-tikus Busuk! Tidak pantas buka bacot di depanku, Hih...!"
Tiba-tiba wanita itu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Begitu cepat kebutannya, hingga hampir tidak terlihat. Saat itu juga, dari telapak tangan wanita itu melesat dua buah benda kecil bercahaya kuning keemasan.
"Aaakh...!"
"Aaa...!”
Dua jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat membelah malam yang sunyi ini. Tampak kedua pemuda itu langsung ambruk dengan dada berlubang berlumuran darah. Hanya sebentar keduanya menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Dada mereka berlubang cukup besar. Benda kecil berwarna keemasan yang menghantam tadi ternyata berakibat luar biasa.
Jeritan yang begitu panjang dan melengking dari kedua pemuda itu mengejutkan penjaga rumah Ki Laksa lainnya. Sebentar saja terlihat beberapa orang berlarian menyeberangi halaman. Dan, pada saat itu juga...
"Hup!"
Wanita muda berpakaian putih compang-camping itu tiba-tiba melesat cepat. Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah lenyap tak berbekas sama sekali. Sedangkan orang yang berdatangan tampak terperanjat kaget begitu melihat dua orang teman mereka sudah menggeletak tak bernyawa dengan dada berlubang cukup besar.
Saat itu, terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih keluar dari pintu depan rumah, diikuti oleh tiga orang laki-laki berusia setengah baya. Mereka bergegas melangkah menyeberangi halaman. Sekitar lima belas pemuda yang berkerumun segera menyingkir memberi jalan. Laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah Ki Laksa itu tampak terperanjat setengah mati begitu melihat dua orang penjaga rumahnya telah menggeletak tewas dengan dada berlubang. Di dalam dada itu terlihat sebuah benda kecil berbentuk bulat dan berwarna kuning keemasan. Ki Laksa mengambil benda itu dan mengamatinya beberapa saat.
"Mustahil...!" desis Ki Laksa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa itu, Ki?" tanya Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju merah.
"Ini," sahut Ki Laksa sambil menyerahkan benda bulat kecil keemasan itu.
Si Nyawa Merah menerima benda itu, dan mengamatinya sebentar, lalu menyerahkannya pada si Nyawa Biru. Kemudian, si Nyawa Kuning pun mendapat giliran untuk mengamatinya. Mereka semua memandangi Ki Laksa yang tampak termenung setelah melihat benda bulat kecil keemasan yang menewaskan dua orang penjaga rumahnya ini.
"Mustahil kalau dia masih hidup, Ki," ujar si Nyawa Merah.
"Seharusnya kalian pastikan dulu kalau dia sudah mati. Huh...! Persoalan ini tidak ada habis-habisnya!" dengus Ki Laksa seraya melangkah kembali ke rumahnya.
Tiga orang laki-laki setengah baya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa bergegas ikut masuk ke dalam rumah. Sementara itu, para pemuda penjaga rumah Ki Laksa tampak sibuk mengurus kedua orang penjaga malam yang tewas mengenaskan tadi.
Ki Laksa terkejut setengah mati saat sampai di ambang pintu rumahnya. Kedua bola matanya langsung terbeliak lebar. Keadaan di dalam rumahnya terlihat berantakan, seperti baru diamuk puluhan gajah liar. Tidak ada satu barang pun yang masih utuh. Semuanya hancur berkeping-keping. Perampok Tiga Nyawa yang baru sampai langsung menerobos masuk melewati Ki Laksa yang masih berdiri terlongong-longong di ambang pintu.
Hanya beberapa saat mereka meninggalkan rumah ini tadi untuk melihat dua penjaga yang tewas di depan pintu pagar. Tapi, keadaan di dalam rumah ini sekarang sudah seperti kapal pecah dihantam gelombang lautan. Ki Laksa bergegas menerobos masuk. Dan, diperiksanya semua ruangan di dalam rumah. Tidak ada satu ruangan pun yang , terlihat masih utuh. Semuanya sudah hancur berantakan. Begitu cepat rumahnya diobrak-abrik.
Brak!
"Heh...?!"
Ki Laksa terkejut bukan main ketika tiba-tiba sebuah pintu di depannya tertutup sendiri. Cepat dia melompat mendekati pintu itu. Tapi, baru saja kakinya menjejak lantai, mendadak pintu itu jebol.
Bruakkk!
"Hup!"
Cepat-cepat Ki Laksa melentingkan tubuhnya, berputaran beberapa kali ke belakang. Dari pintu yang hancur itu, melesat sebuah bayangan putih begitu cepat bagai kilat. Bayangan itu lewat di atas tubuh Ki Laksa yang sedang berputaran. Bayangan putih itu terus melesat cepat melewati atas kepala tiga laki-laki setengah baya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa.
“Tahan dia...!" seru Ki Laksa keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Nyawa Biru, yang lebih dulu menyadari, cepat melesat mengejar bayangan putih itu. Satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi langsung dilepaskannya ke arah bayangan putih itu. Tapi, tanpa diduga sama sekali, bayangan putih itu berputar cepat dan langsung berbalik menyerang begitu serangan yang dilancarkan si Nyawa Biru dapat dihindari.
"Uts...!"
Cepat-cepat Nyawa Biru memutar tubuhnya ke belakang beberapa kali. Dihindarinya benda-benda kecil berwarna keemasan yang tiba-tiba saja meluncur cepat ke arahnya. Pada saat itu juga, bayangan putih itu cepat melesat keluar. Begitu cepat gerakannya. Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa pun tidak sempat lagi mengejar.
Tepat pada saat tubuhnya keluar melewati pintu, mendadak bayangan putih itu berbalik. Kini jelaslah terlihat, dia seorang wanita muda berbaju putih yang compang-camping seperti gembel jalanan. Rambutnya yang panjang dibiarkan meriap tak teratur. Dan terlihat sedikit gelungan di atas kepalanya. Sebentar dia berdiri tegak di depan beranda, lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berbaju putih compang-camping itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika dari kedua telapak tangannya memancar cahaya merah bagai api. Sinar merah itu langsung menghantam rumah Ki Laksa yang besar ini.
Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar seketika terdengar begitu dahsyat saat sinar merah keluar dari kedua telapak tangan wanita muda berbaju putih compang-camping itu. Tak pelak lagi, rumah besar dengan dinding terbuat dari batu itu hancur berkeping-keping. Api langsung berkobar membakar seluruh bangunan rumah ini. Pada saat itu juga, wanita muda berbaju putih compang-camping itu melesat cepat.
Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya pun sudah lenyap tak berbekas lagi. Tepat di saat wanita muda itu lenyap, dari kobaran api yang berkobar melahap bangunan rumah Ki Laksa itu terlihat melesat empat bayangan dengan cepat sekali. Dan, tahu-tahu di halaman depan sudah mendarat Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Sedangkan api terus berkobar semakin besar melahap seluruh bangunan rumah ini.
"Setan alas...!" maki Ki Laksa.
Dia memandangi rumahnya yang mulai hancur termakan api. Malam yang semula sunyi dan tenang seketika itu juga menjadi terang benderang. Terdengar suara gemeretak dari kayu-kayu yang termakan api. Sebentar saja, sekitar halaman rumah Ki Laksa sudah dipenuhi penduduk Desa Gebang. Mereka terbangun tadi ketika mendengar keributan di rumah Ki Laksa.
"Kumpulkan semua orang yang ada. Cari si keparat itu...!" seru Ki Laksa, lantang menggelegar.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang laki-laki setengah baya dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa itu langsung bergerak mengumpulkan orang-orangnya yang berada di sekitar halaman rumah ini. Sedangkan Ki Laksa menggerutu dan memaki-maki sendiri. Rumahnya sudah hancur terbakar. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Kejadiannya begitu cepat, dan sama sekali tidak pernah diduga sebelumnya.
Sebentar kemudian, sekitar dua puluh orang anak muda yang masing-masing menyandang golok sudah berkumpul di depan Ki Laksa. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa berdiri di belakang laki-laki tua berjubah putih itu. Tampak pula orang semakin banyak berkerumun di luar pagar rumah ini. Tak ada seorang pun yang berani melewati pagar yang hanya terbuat dari bambu itu. Mereka hanya bisa menyaksikan sambil berbisik-bisik dan bertanya-tanya sendiri.
"Kalian bertiga, bawa mereka semua. Cari si keparat itu sampai dapat!" perintah Ki Laksa yang masih diliputi keberangan.
"Baik, Ki," sahut Nyawa Merah.
"Pergi sekarang juga!"
Si Perampok Tiga Nyawa segera membawa kedua puluh pemuda itu pergi. Sedangkan Ki Laksa masih tetap berdiri memandangi api yang terus melahap rumahnya. Udara malam yang semula terasa begitu dingin kini menjadi hangat oleh kobaran api yang besar itu. Ki Laksa memutar tubuhnya saat mendengar suara-suara langkah kaki yang mendekat. Tampak seorang laki-laki setengah baya datang menghampirinya. Dia tahu, laki-laki setengah baya yang mengenakan baju biru muda itu adalah Ki Antak, Kepala Desa Gebang.
"Maaf, aku baru bisa datang ke sini, Ki Laksa," ucap Ki Antak setelah sampai di dekat Ki Laksa.
"Hmm...." Ki Laksa hanya menggumam sedikit.
Sekilas dia mengedarkan pandangan. Dirayapinya orang-orang yang berkerumun di luar pagar rumahnya. Kemudian dia memandang pada Ki Antak yang berdiri sekitar tiga langkah di depannya.
"Apa yang terjadi dengan rumahmu, Ki?" tanya Ki Antak.
"Kalaupun aku katakan, kau tidak akan bisa membantu, Ki Antak. Maaf, biarkan aku mengurusnya sendiri. Ini persoalan pribadiku," sahut Ki Laksa agak ketus.
Tanpa menghiraukan Ki Antak, Ki Laksa melangkah pergi menuju ke belakang rumahnya yang sudah habis terbakar. Di bagian belakang rumahnya memang ada bangunan lain yang berukuran kecil. Dan, biasanya tempat itu digunakan hanya untuk bersemadi. Untung saja bangunan itu tidak ikut dihancurkan, sehingga Ki Laksa masih bisa menggunakannya untuk berteduh.
Sedangkan Ki Antak hanya bisa diam memandangi kepergian Ki Laksa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dia berbalik dan meninggalkan halaman rumah itu. Dalam hati kecilnya, sesungguhnya Ki Antak merasa senang melihat kejadian yang menimpa Ki Laksa. Bahkan, sudah lama dia berharap, ada seorang pendekar yang dapat menundukkan Ki Laksa ataupun membunuhnya.
Selama ini, para penduduk Desa Gebang sering kali diperlakukan sewenang-wenang oleh Ki Laksa dan para pengikutnya. Dan, tidak ada seorang pun yang berani melawan termasuk Ki Antak sendiri. Bahkan Kepala Desa Gebang merasa, dirinya benar-benar tidak ada artinya dibanding lelaki tua yang cukup dikenal di rimba persilatan.
Terbakarnya rumah Ki Laksa menjadi buah bibir di seluruh pelosok Desa Gebang. Tak ada seorang pun yang tidak membicarakannya. Tapi, tak seorang pun yang tahu, kenapa rumah orang paling kaya di desa ini bisa terbakar habis tanpa dapat diselamatkan lagi.
Bayu dan Ratna Wulan yang telah berada di desa ini juga mendengar semua pembicaraan yang kebanyakan bernada sumbang itu. Mereka jadi tahu, sebenarnya keberadaan Ki Laksa dan tiga orang pembantu kepercayaannya tidak disenangi oleh penduduk.
Tapi, tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu, mengingat Ki Laksa bukanlah orang sembarangan. Dia pun memiliki hubungan kuat dengan orang-orang di istana kerajaan. Terlebih lagi ketiga pembantu kepercayaannya bisa melakukan apa saja jika Ki Laksa sudah memberikan perintah.
Semua orang di Desa Gebang ini merasa senang dengan peristiwa semalam. Tapi, mereka juga diliputi kekhawatiran, kalau-kalau Ki Laksa memerintahkan orang-orangnya mengobrak-abrik seluruh desa ini hanya untuk mencari orang yang telah membakar rumahnya.
"Kau tahu, siapa kira-kira yang membakar rumah ini, Kakang?" tanya Ratna Wulan, saat mereka tengah makan di sebuah kedai yang tidak begitu ramai pengunjungnya.
"Yang pasti orang yang punya urusan dengannya," sahut Bayu seenaknya.
"Itu sudah pasti, Kakang. Tapi siapa orangnya...?" sungut Ratna Wulan
"Mana aku tahu...," sahut Bayu sambil mengangkat sedikit bahunya.
Saat itu Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa masuk ke dalam kedai ini. Semua orang yang berada di dalam kedai bergegas keluar begitu melihat Ki Laksa dan ketiga pembantu kepercayaannya datang. Hanya Bayu dan Ratna Wulan yang masih tinggal, selain pemilik kedai itu sendiri tentunya.
Laki-laki tua pemilik kedai itu tampak ketakutan melihat kedatangan Ki Laksa dan tiga orang pembantu kepercayaannya yang dikenal dengan julukan Perampok Tiga Nyawa. Melihat Bayu dan Ratna Wulan masih tetap berada di tempatnya, Ki Laksa langsung menghampiri, diikuti si Perampok Tiga Nyawa.
"Aku seperti pernah bertemu denganmu, Anak Muda," kata Ki Laksa begitu berada di depan meja yang ditempati Bayu.
"Ya, satu kali," sahut Bayu, tenang.
Ki Laksa mengamati wajah Pendekar Pulau Neraka beberapa saat Kepalanya terangguk-angguk pelan. Dia langsung teringat pemuda berbaju kulit harimau inilah yang dulu menolong Ki Rahun dari hunjaman ujung tongkatnya yang runcing.
Pendekar Pulau Neraka meraih Tiren yang sejak tadi nangkring di pundaknya. Diserahkannya monyet kecil itu kepada Ratna Wulan. Perlahan Bayu bangkit berdiri. Kini dia langsung berhadapan muka dengan Ki Laksa. Hanya sekitar tiga langkah jarak antara mereka berdua.
"Kenapa kau menolong Ki Rahun, Anak Muda?" tanya Ki Laksa langsung.
"Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya tidak bisa melihat kau menganiaya seorang pengemis tua yang tidak berdaya," sahut Bayu tegas, tapi dengan nada suara masih tetap terdengar tenang.
"Di mana dia sekarang?" tanya Ki Laksa lagi.
"Untuk apa kau tanyakan itu? Untuk membunuhnya...?" kali ini nada suara Bayu terdengar ketus.
"Jangan main-main di depanku, Anak Muda. Kau tahu siapa aku heh...?" dengus Ki Laksa, merasa tidak senang.
"Aku tahu siapa kau, Ki. Bahkan aku memang ingin sekali bertemu. Ada sesuatu yang hendak aku tanyakan padamu" kata Bayu, tegas.
"Hm.... Kau mau mencari masalah denganku Anak Muda," desis Ki Laksa menggumam.
Bayu melangkah mundur dua tindak. Dikeluarkannya keris berwarna kuning keemasan dari dalam sabuk yang membelit pinggangnya. Bola mata Ki Laksa langsung terbeliak begitu melihat Keris Naga Emas yang kini berada di tangan pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kau kenali benda ini, Ki?" tanya Bayu.
"Dari mana kau dapatkan itu?" Ki Laksa malah balik bertanya.
"Aku rasa kau sudah tahu, dari mana aku mendapatkannya, Ki. Aku ingin, kau menjawab pertanyaanku. Karena aku harus menyerahkan benda ini kepada pemiliknya," kata Bayu tegas.
"Keris itu milikku!" dengus Ki Laksa.
"Kau pasti tidak bernama Intan Kumala, bukan...? Hanya Intan Kumala yang berhak memilikinya. Dan aku yakin, kau pasti tahu di mana dia," kata Bayu, tetap tegas.
Ki Laksa tidak berkata-kata lagi. Gerahamnya terdengar bergemeletuk. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa yang berada di belakang laki-laki tua berjubah putih itu sudah siap dengan masing-masing kapaknya di tangan kanan. Mereka tinggal menunggu perintah, sambil terus menatap Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang begitu tajam.
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda? Ada hubungan apa kau dengan mereka?" tanya Ki Laksa dingin sekali.
"Aku hanya diberi pesan untuk menyerahkan benda ini kepada pemiliknya. Dan kau tentu tahu, siapa itu Intan Kumala," sahut Bayu.
"Dia sudah mati. Sebaiknya kau serahkan saja Keris Naga Emas itu kepadaku."
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum kecil. Dia menyimpan kembali keris berwarna kuning keemasan itu ke dalam sabuk pinggangnya yang terbuat dari kulit berwarna kuning gading. Sementara itu Ratna Wulan sudah berdiri di belakang Pendekar Pulau Neraka. Tangan kanannya sejak tadi sudah menggenggam gagang pedangnya yang tersimpan dalam warangkanya di pinggang.
"Maaf, kami terpaksa harus melanjutkan perjalanan," kata Bayu seraya memutar tubuhnya hendak meninggalkan kedai itu.
"Tunggu...!" sentak Ki Laksa.
Bayu tidak peduli. Dia terus saja berjalan sambil meraih Tiren dari pundak Ratna Wulan yang berjalan di sebelahnya. Sikap Bayu yang tidak peduli itu membuat Ki Laksa bertambah geram.
"Berhenti kau, Bocah!" bentak Ki Laksa, lantang.
"Hiyaaa...!"
Wuk!
"Haiiit..!"
Manis sekali Bayu mengegoskan tubuhnya begitu Ki Laksa menghunjamkan tongkatnya ke punggung pemuda berbaju kulit harimau itu. Dan begitu tongkat Ki Laksa lewat di sampingnya, dengan cepat sekali Bayu membungkukkan tubuhnya, lalu secepat itu pula menghentakkan kakinya ke belakang. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Ki Laksa pun tampak terhenyak tidak menyangka.
"Hup!"
Tapi, laki-laki tua berjubah putih itu cepat melompat ke belakang. Tendangan ke arah belakang yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka pun tidak sampai mengenai tubuhnya. Bayu segera memutar tubuhnya berbalik. Dan, pada saat itu, si Perampok Tiga Nyawa sudah berlompatan sebelum Ki Laksa memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Yaaah...!"
Secara bersamaan, si Perampok Tiga Nyawa menyerang Pendekar Pulau Neraka. Kapak-kapak mereka berkelebatan cepat sekali mengincar bagian-bagian tubuh Bayu yang mematikan. Serangan dari tiga arah ini membuat Bayu harus berjumpalitan menghindari.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke atas. Dia menjebol atap kedai ini dan terus meluncur keluar dengan kecepatan yang sungguh luar biasa. Tapi, si Perampok Tiga Nyawa tidak mau membiarkan Pendekar Pulau Neraka lolos. Dengan cepat mereka segera berlompatan dan menjebol atap kedai.
Sementara itu Ratna Wulan sudah berlari keluar. Ki Laksa juga bergegas keluar dari kedai. Tinggallah laki-laki tua pemilik kedai itu, yang masih tetap diam seperti patung. Dia lalu jatuh terduduk lemas di lantai ketika melihat keadaan kedainya sudah porak-poranda.
"Hap!"
Bayu menjejakkan kakinya di tanah, tepat di halaman depan kedai yang cukup luas ini. Dan, sesaat kemudian si Perampok Tiga Nyawa juga menjejakkan kakinya di halaman kedai ini. Mereka langsung mengepung Pendekar Pulau Neraka dari tiga arah. Agak jauh dari mereka, terlihat Ratna Wulan berdiri hampir sejajar dengan Ki Laksa. Gadis itu menggenggam gagang pedangnya yang selalu tergantung di pinggang. Tapi, tampaknya kedua orang ini hanya berjaga-jaga di tempatnya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba si Nyawa Merah melompat menyerang dengan kapaknya yang terayun begitu cepat ke arah kepala Bayu. Ayunan kapak yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menimbulkan suara angin yang menderu bagai badai.
"Hap!"
Hanya dengan sedikit mengegoskan kepalanya, Bayu berhasil mengelakkan serangan kapak itu. Namun, belum juga dia bisa menarik kembali kepalanya, dari arah lain sudah datang lagi serangan yang begitu cepat luar biasa. Dan Pendekar Pulau Neraka terpaksa melompat menghindari pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan si Nyawa Biru.
"Hiyaaa...!"
Dari arah lain lagi, datang satu serangan kilat dari si Nyawa Kuning. Bayu cepat-cepat merundukkan kepalanya, sehingga tendangan melompat si Nyawa Kuning lewat di atas tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara. Secepat itu pula dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek ke punggung si Nyawa Kuning. Begitu cepat serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun tidak dapat lagi menghindar.
Des!
"Akh...!"
Si Nyawa Kuning langsung jatuh terbanting cukup keras ke tanah. Beberapa kali dia bergulingan. Dan, begitu hendak berdiri, Bayu sudah mendarat dekat di depannya. Bagaikan kilat Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Pukulan ini tepat diarahkan ke wajah laki-laki setengah baya yang mengenakan baju kuning itu.
"Yeaaah...!"
Plak!
"Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya si Nyawa Kuning terpekik. Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam wajah laki-laki setengah baya itu. Seketika darah muncrat keluar dari wajah yang hancur terkena pukulan bertenaga dalam sempurna. Si Nyawa Kuning kembali terbanting ke tanah dengan keras. Tubuhnya langsung diam tak bergerak-gerak lagi.
"Hup!"
Saat itu juga, si Nyawa Merah melompati si Nyawa Kuning.
"Hah...?!"
Bayu terhenyak kaget setengah mati begitu melihat si Nyawa Kuning bisa bangkit berdiri lagi. Bahkan wajahnya, yang tadi hancur terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka, kini sama sekali tidak menampakkan luka sedikit pun.
"Edan...! Ilmu apa itu...?" desis Bayu, keheranan.
"Nguk!"
Tiren yang sejak tadi berada di pundak Pendekar Pulau Neraka juga tampak terkejut melihat si Nyawa Kuning bisa bangkit lagi. Padahal, jelas sekali terlihat tadi, lelaki setengah baya itu sudah menggeletak mati terkena pukulan keras yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
Saat Bayu masih diliputi rasa keheranan, Si Nyawa Biru sudah melompat menyerang dengan cepat sekali. Kapaknya diayunkan terarah ke kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Uts!"
Cepat-cepat Bayu menarik kepalanya ke samping, sehingga hantaman kapak itu tidak sampai mengenai kepalanya. Dan, secepat kilat pula kakinya dihentakkan. Dilancarkannya satu tendangan keras menggeledek disertai, pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Tapi, dengan manis sekali si Nyawa Biru berhasil menghindarinya dengan melompat ke belakang beberapa langkah.
"Hih! Yeaaah...!"
Secepat itu pula, Bayu merundukkan tubuhnya sedikit. Tangan kanannya ditarik ke depan dada, lalu langsung di kibaskannya ke depan.
Wusss!
Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika itu juga melesat cepat bagai kilat ke arah si Nyawa Biru. Begitu cepat serangan yang dilakukan Bayu, sehingga si Nyawa Biru tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu dia baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Tak pelak lagi, Cakra Maut pun menghantam dada si Nyawa Biru dengan keras sekali.
Bres!
"Aaakh...!"
Si Nyawa Biru menjerit keras melengking tinggi. Begitu kuat pengerahan tenaga dalam yang dikeluarkan Bayu saat melontarkan senjata mautnya itu, sampai-sampai tubuh si Nyawa Biru terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan, Cakra Maut tampak menembus begitu dalam ke dada laki-laki tua berbaju biru itu.
"Hap!"
Cakra Maut kembali melesat keluar dari dalam dada si Nyawa Biru begitu Bayu menghentakkan tangannya ke atas kepala. Dan senjata keperakan bersegi enam itu kembali menempel di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau ini. Tampak darah terus bercucuran deras dari dada si Nyawa Biru yang berlubang akibat tertembus Cakra Maut tadi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Nyawa Kuning melompat. Tapi dia tidak menyerang Pendekar Pulau Neraka, melainkan melompati tubuh si Nyawa Biru yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi di tanah.
"Hah...?!"
Untuk kedua kalinya Bayu terbeliak kaget setengah mati. Sungguh dia hampir tidak percaya dengan pandangannya sendiri. Laki-laki setengah baya berbaju biru itu seketika bangkit berdiri begitu si Nyawa Kuning melompatinya. Dan, dadanya yang tadi berlubang tertembus Cakra Maut kini sudah merapat kembali. Tak sedikit pun terdapat luka di sana. Bahkan, darah yang tadi mengalir pun kini lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ha ha ha...!"
Ki Laksa yang menyaksikan pertarungan itu tertawa terbahak-bahak. Bayu melangkah ke belakang beberapa tindak. Memang tingkat kepandaian ilmu olah kanuragan yang dimiliki si Perampok Tiga Nyawa tidaklah terlalu tinggi. Tapi ilmu Tiga Nyawa membuat mereka tidak gentar menghadapi siapa pun. Bahkan, menghadapi orang-orang yang berkepandaian jauh lebih tinggi pun, mereka tidak mempunyai rasa gentar sedikit pun. Dengan ilmu 'Tiga Nyawa' yang mereka miliki, tiga serangkai itu seakan-akan tidak bisa mati. Walaupun tubuhnya sudah tertembus senjata, salah seorang dari Perampok Tiga Nyawa akan bangkit kembali jika salah seorang yang lain melompatinya.
"Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa mengalahkan mereka, Anak Muda. Sebaiknya kau menyerah saja. Tidak ada gunanya kau berkeras kepala!" ejek Ki Laksa angkuh.
Bayu diam saja. Sementara itu Ratna Wulan menghampiri dan langsung berdiri di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Dia juga keheranan setengah mati melihat lawan-lawan Pendekar Pulau Neraka ini bisa langsung bangkit dengan cepat dari kematiannya. Belum pernah dia melihat hal seperti ini seumur hidupnya. Sungguh tidak bisa dipercaya, seseorang bisa kembali bangkit dari kematiannya hanya karena tubuhnya dilompati. Ini benar-benar sebuah ilmu yang sangat aneh dan mencengangkan.
"Berikan keris itu padaku. Dan kau boleh pergi dari desa ini, Anak Muda," kata Ki Laksa lagi seraya menjulurkan tangannya ke depan.
"Heh! Tidak semudah itu kau meminta, Kisanak," dengus Bayu ketus.
"Keparat...!" desis Ki Laksa, geram.
Wajah Ki Laksa seketika memerah. Gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan melihat sikap Bayu yang masih tetap mempertahankan Keris Naga Emas itu. Sedangkan si Perampok Tiga Nyawa yang berada di belakang Ki Laksa sudah melangkah maju ke depan. Tapi Ki Laksa masih mencegah mereka untuk menyerang lagi pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Aku harap, kau tidak membuat kesabaranku hilang, Anak Muda," desis Ki Laksa, dingin.
"Heh!" Bayu hanya mendengus.
Bibir Pendekar Pulau Neraka menyunggingkan senyum yang terasa begitu sinis. Dia memang paling tidak suka kalau ada orang yang memaksakan kehendaknya untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya, terlebih lagi jika benda itu ada di tangannya seperti saat ini. Bayu akan mempertahankan walaupun harus mengorbankan nyawanya sendiri.
"Wulan, kau pergi sekarang. Tunggu aku di gua kemarin," bisik Bayu perlahan.
"Baik, Kakang," sahut Ratna Wulan.
"Bawa Tiren"
Ratna Wulan meraih Tiren yang ada di pundak Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia melangkah mundur beberapa tindak. Lalu cepat sekali gadis itu melesat pergi dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya.
"Tangkap gadis itu...!" perintah Ki Laksa dengan suara yang lantang.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah..,!"
Begitu si Nyawa Biru melompat hendak mengejar Ratna Wulan, dengan cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanannya ke arah laki-laki setengah baya berbaju biru itu. Seketika Cakra Maut melesat cepat bagai kilat dengan suara yang terdengar mendesing.
"Haiiit...!"
Si Nyawa Biru terpaksa melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang beberapa kali. Dihindarinya terjangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Dan, pada saat yang bersamaan, Bayu cepat melompat menerjang si Nyawa Biru yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Biru pun tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan, satu tendangan keras menggeledek yang dilepaskan Bayu tepat menghantam dadanya.
Des!
"Akh...!"
Tubuh si Nyawa Biru langsung terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali dia jatuh bergelimpangan di tanah yang keras berdebu ini. Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala begitu kakinya kembali menjejak tanah. Dan Cakra Maut pun kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun, Bayu cepat melompat ke arah si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning yang belum sempat melakukan sesuatu. Cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka, sehingga kedua lelaki tua itu tidak sempat bertindak apa pun. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah menyerang dengan kecepatan yang begitu luar biasa.
"Hup!"
"Haiiit...!"
Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning cepat-cepat berlompatan ke samping menghindari terjangan Pendekar Pulau Neraka. Tapi belum juga mereka bisa menguasai keseimbangan tubuh, Bayu sudah melancarkan satu serangan lagi yang begitu cepat dan dahsyat luar biasa. Secepat dia melepaskan tendangan sambil melompat ke arah si Nyawa Merah, secepat itu pula tangan kanannya mengibas ke arah si Nyawa Kuning.
Wusss!
Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat ke arah si Nyawa Kuning. Sedangkan si Nyawa Merah tampak kelabakan setengah mati menghindari tendangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Sementara itu Ki Laksa hanya bisa terlongong bengong menyaksikan ketangguhan yang diperlihatkan Bayu. Dia tidak mengira kalau pemuda berbaju kulit harimau itu bisa bertindak begitu cepat bagai kilat, sampai-sampai ketiga pembantu utamanya kalang kabut dibuatnya.
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak si Nyawa Kuning terpental jauh ke belakang begitu dadanya tertembus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, satu tendangan keras menggeledek bersarang di dada si Nyawa Merah.
Buk!
"Akh...!"
"Hiyaaa...!"
Bayu segera melentingkan tubuhnya begitu melihat si Nyawa Biru sudah bisa bangkit berdiri. Dan dengan cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Begitu cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka, sehingga si Nyawa Biru yang belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya dengan sempurna tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Prak!
"Aaakh...
Jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat. Tampak si Nyawa Biru terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut yang terbenam di dada si Nyawa Kuning melesat balik dan kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Hup! Hiyaaa...!"
Saat itu juga Bayu melompat cepat sambil menyambar tubuh si Nyawa Biru. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu melesat dan terus berlari dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna. Dan, dalam sekejap mata Pendekar Pulau Neraka sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara itu, si Nyawa Merah yang sudah bisa bangkit lagi cepat melompati si Nyawa Kuning. Laki-laki setengah baya berbaju kuning itu pun bisa kembali bangkit berdiri, meskipun tadi dadanya sudah berlubang tertembus Cakra Maut.
"Heh...?! Mana Nyawa Biru...?"
Mereka terkejut setengah mati. Sebentar si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning berpandangan. Mereka langsung sadar bahwa si Nyawa Biru telah dibawa oleh pemuda berbaju kulit harimau itu. Kemudian mereka bergegas menghampiri Ki Laksa, yang masih tetap berdiri tertegun melihat kejadian yang berlangsung begitu cepat dan sama sekali tidak diduganya itu.
"Ke mana dia membawa Nyawa Biru, Ki?" tanya si Nyawa Merah.
"Ke arah Barat," sahut Ki Laksa, yang masih tampak tertegun.
"Ayo kita kejar dia, Nyawa Kuning," ajak Nyawa Merah.
Tanpa menunggu perintah dari Ki Laksa lagi, si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning langsung berlari mengejar Pendekar Pulau Neraka. Mereka berlari cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Dan, sebentar saja kedua orang itu sudah jauh berlari. Sedangkan Ki Laksa masih tetap berdiri diam memandangi kepergian kedua pembantu kepercayaannya itu.
"Hmm..., siapa anak muda itu? Hebat sekali kepandaiannya," gumam Ki Laksa, berbicara sendiri.
Beberapa saat laki-laki tua berjubah putih itu masih berdiri mematung memandangi kepergian kedua pembantu kepercayaannya yang sudah hampir tak terlihat lagi. Dan, begitu mereka benar-benar sudah tidak terlihat, Ki Laksa bergegas melangkah masuk kembali ke dalam kedai. Kedua bola matanya mendelik tajam menatap pada pemilik kedai ini. Laki-laki tua pemilik kedai yang bertubuh kurus itu hanya diam terpaku. Tubuhnya bergetar seperti terserang demam. Wajahnya kelihatan pucat pasi, bagai tidak dialiri darah. Sedangkan Ki Laksa tetap berdiri di ambang pintu kedai yang sudah sepi dan porak poranda ini.
"Ki Gandak! Kemari kau...!" bentak Ki Laksa, memanggil pemilik kedai itu.
"Iii.... Iya, Gusti...."
Laki-laki tua pemilik kedai yang dikenal dengan nama Ki Gandak itu bergegas menghampiri. Dia langsung berlutut begitu sampai di depan Ki Laksa. Kepalanya tertunduk dalam, tak sanggup memandang wajah Ki Laksa yang memerah bagai besi baja terbakar dalam tungku perapian. Seluruh tubuh Ki Gandak sudah basah oleh keringat.
"Kau tahu, siapa anak muda itu tadi?" tanya Ki Laksa, dengan nada suara agak ditahan.
"Maksud Gusti... yang pakai baju kulit harimau itu...?" Ki Gandak malah balik bertanya dengan suara yang terbata-bata.
"Setan! Jawab saja pertanyaanku!" bentak Ki Laksa, geram.
"Tid... tidak tahu, Gusti. Dia datang berdua dengan gadis itu kemarin. Dan menginap di sini semalam...," sahut Ki Gandak, masih tergagap.
"Kau tanya namanya?"
"Kalau tidak salah, dia namanya Bayu. Sedangkan gadis itu Ratna Wulan"
"Apa dia menanyakan sesuatu padamu?"
"Maksud Gusti...?"
"Kau tadi lihat apa yang dipegangnya, kan..? Ki Gandak mengangguk.
"Dia mencari pewaris Keris Naga Emas. Apa dia tidak bertanya-tanya tentang Intan Kumala?" ujar Ki Laksa, dengan suara yang terdengar dalam.
"Iya, Gusti. Dia banyak bertanya padaku. Dan minta diceritakan tentang Gusti Ayu Intan Kumala," sahut Ki Gandak.
"Lalu...?"
"Aku jawab apa adanya, Gusti."
"Hmm...."
Ki Laksa menggumam sedikit. Kemudian dia berbalik dan keluar dari dalam kedai itu tanpa bicara apa pun. Sebentar dia mengarahkan pandangannya ke Barat, lalu dengan cepat sekali berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu tinggi tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap saja Ki Laksa sudah lenyap tak terlihat lagi. Sedangkan Ki Gandak langsung terduduk lemas sambil menghembuskan napas panjang.
"Ohhh..., untung dia tidak menggunakan kekerasan tangannya padaku...," desah Ki Gandak lega.
Saat itu juga, para penduduk Desa Gebang yang tadi menghilang ke dalam rumahnya masing-masing langsung bermunculan begitu Ki Laksa sudah tidak terlihat lagi. Mereka menghampiri Ki Gandak yang terduduk lemas di ambang pintu kedainya. Beberapa orang di antaranya menolong laki-laki tua itu dan membawanya masuk ke dalam. Mereka semua bertanya-tanya, peristiwa apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diri Ki Laksa. Tapi, pertanyaan itu memang tidak bisa terjawab. Dan, mereka hanya berharap, desa ini tidak dilibatkan ke dalam persoalan orang-orang berkepandaian tinggi itu.
Sementara itu Bayu sudah sampai di perbatasan sebelah Barat Desa Gebang. Di sana Ratna Wulan sudah menunggu. Gadis itu berdiri di depan mulut gua yang pernah mereka lalui ketika keluar dari dalam Jurang Setan. Bayu terus menerobos masuk ke dalam gua itu. Ratna Wulan mengikuti, lalu langsung menutup mulut gua itu dengan semak dan bebatuan. Sebuah obor dari bambu menerangi gua yang gelap dan cukup besar ini.
Bruk!
Bayu melemparkan tubuh si Nyawa Biru begitu saja ke lantai gua yang lembab ini. Ratna Wulan memandangi sebentar, lalu menghampiri dan memeriksa urat nadi di bagian leher laki-laki setengah baya berbaju biru itu. Sebentar kemudian dia sudah berdiri lagi. Pandangan matanya langsung tertuju pada. Pendekar Pulau Neraka.
"Dia sudah mati. Untuk apa kau bawa ke sini?" ujar Ratna Wulan.
"Kalau ku tinggalkan, dia bisa hidup lagi," sahut Bayu.
"Lalu, akan kau apakan dia?"
"Kuburkan dia di sini. Nanti yang lainnya menyusul. Hanya ini cara satu-satunya untuk mengalahkan ilmu aneh mereka."
Saat itu terdengar suara langkah kaki di luar gua. Bayu segera mematikan api obor. Keadaan di dalam gua ini pun menjadi begitu gelap. Bahkan, Ratna Wulan yang berada begitu dekat di samping Pendekar Pulau Neraka tidak terlihat. Dan, suara langkah kaki di luar gua itu semakin jelas. Suara itu terdengar menuju ke arah gua. Bayu segera mengintip keluar dari balik semak yang menutupi mulut gua ini.
"Siapa...?" tanya Ratna Wulan, berbisik.
"Orang-orang itu," sahut Bayu.
"Kalau mereka keluar dari jurang lewat gua ini juga, mereka bisa tahu kita di sini, Kakang," kata Ratna Wulan.
"Kau bawa dia lebih ke dalam. Biar aku hadang mereka," kata Bayu, tegas.
Ratna Wulan hanya mengangguk. Tapi, sudah tentu Bayu tidak melihat anggukkan kepala gadis itu, karena keadaan di dalam gua ini begitu gelap. Bayu hanya dapat mendengar suara langkah kaki Ratna Wulan yang masuk lebih ke dalam gua ini. Dari suara langkahnya yang terdengar berat, jelas sekali gadis itu tengah menyeret mayat Nyawa Biru.
Sementara itu Bayu terus memperhatikan tiga orang yang berada di luar dari balik semak belukar yang menutupi mulut gua ini. Mereka memang Ki Laksa dan dua orang yang tersisa dari tiga serangkai si Perampok Tiga Nyawa, karena yang seorang lagi sudah diseret Ratna Wulan makin ke dalam lorong gua ini. Bayu tahu, mereka pasti mengejarnya, karena dia membawa salah seorang dari mereka dalam keadaan sudah menjadi mayat. Yang pasti, mereka akan berusaha mendapatkannya untuk kemudian menghidupkannya kembali. Dia tahu mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya. Mereka selalu bertindak dengan cara kekerasan dan sering-kali menyengsarakan orang lain.
"Hup!"
Bayu baru melompat keluar begitu ketiga orang itu sudah kelihatan cukup jauh. Cepat sekali dan begitu ringannya Pendekar Pulau Neraka melompat keluar dari dalam gua, sehingga tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di atas batu hitam, agak jauh dari mulut gua yang tertutup semak belukar kering itu.
"Apa yang kalian cari...?" lantang sekali suara Bayu.
Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa yang kini tinggal dua orang itu terkejut setengah mati. Suara Pendekar Pulau Neraka memang terdengar lantang menggema, karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Ketiga lelaki tua itu langsung berbalik dan berlompatan menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Tapi, belum juga mereka sampai, pemuda berbaju kulit harimau itu sudah melentingkan tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Manis sekali gerakan Bayu saat berputaran diudara. Dilewatinya kepala-kepala mereka, lalu dengan indah kakinya dijejakkan sekitar dua batang tombak di belakang ketiga laki-laki itu. Tentu saja mereka terkejut, karena tiba-tiba saja Bayu sudah tidak ada di batu hitam itu. Dan, yang membuat lebih terkejut lagi, begitu mereka berbalik, pemuda berbaju kulit harimau itu sudah ada di tempat lain.
"Keparat...!" geram Ki Laksa, merasa dipermainkan.
Memang sulit bagi siapa pun mengikuti gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka itu. Begitu cepat bagaikan kilat, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. Belum juga ketiga laki-laki setengah baya itu berbuat sesuatu, tiba-tiba Pendekar Pulau Neraka sudah bergerak dengan kecepatan yang begitu luar biasa.
"Kejar dia! Jangan sampai lolos...!" seru Ki Laksa lantang menggelegar.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang itu langsung melompat cepat dan berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi. Ki Laksa juga bergegas berlompatan ikut mengejar Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat gerakan-gerakan yang mereka lakukan, sehingga tubuh mereka seakan-akan lenyap. Yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan berkelebatan begitu cepat bagai kilat.
Sementara itu Bayu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat sempurna. Sesekali dia berpaling ke belakang. Tampak bibirnya selalu tersenyum melihat ketiga orang yang terus mengejarnya. Tingkat ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki memang masih berada di bawah Pendekar Pulau Neraka. Sehingga, sangat sulit bagi mereka untuk bisa mengejar. Padahal ketiga orang itu sudah mengerahkan seluruh kemampuannya.
Bayu baru berhenti berlari setelah merasa yakin dirinya sudah jauh dari gua tempat Ratna Wulan mengurus mayat si Nyawa Biru. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Sekelilingnya kini hanya ditumbuhi ilalang, sehingga cukup terbuka untuk dijadikan tempat bertarung Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak menunggu Ki Laksa dan dua dari tiga serangkai si Perampok Tiga Nyawa.
"Phuih! Kau sudah membuat kesabaranku habis Bocah!"
Ki Laksa mendengus sambil menyemburkan ludahnya begitu sampai di depan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan si Nyawa Kuning dan si Nyawa Merah sudah mengambil tempat di sebelah kanan dan kiri pemuda berbaju kulit harimau itu. Mereka masing-masing menggenggam kapaknya dengan erat di tangan kanan. Kapak-kapak itu tampak siap diayunkan ke tubuh Pendekar Pulau Neraka. Terdengar tarikan napas mereka begitu kuat dan tersengal, karena baru berlari begitu cepat mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh.
"Bunuh bocah keparat itu!" perintah Ki Laksa, lantang menggelegar.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
"Haiiit..!"
Manis sekali Bayu mengegoskan tubuhnya. Dihindarinya serangan yang dilancarkan dua orang dari tiga serangkai si Perampok Tiga Nyawa itu. Tapi Bayu belum bisa menarik napas lega, karena mereka terus melancarkan serangan dengan gencar dari dua arah. Kapak-kapak mereka yang bermata besar dan tajam berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Begitu kuatnya ayunan kapak yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu, sehingga menimbulkan suara angin yang menderu dahsyat bagai badai.
Sementara itu Ki Laksa tetap diam memperhatikan. Keningnya terlihat berkerut semakin dalam, seakan-akan tengah memikirkan sesuatu. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu, kemudian kembali memperhatikan pertarungan yang sudah berjalan beberapa jurus dengan cepat itu.
"Hmm..., di mana Nyawa Biru...?" gumam Ki Laksa, bertanya-tanya sendiri.
Ki Laksa baru sadar, pemuda berbaju kulit harimau itu tidak membawa si Nyawa Biru, salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa yang berhasil dilarikan Bayu setelah lebih dulu dilumpuhkannya. Dia tidak tahu bahwa si Nyawa Biru yang sudah tewas itu kini berada di dalam gua bersama Ratna Wulan.
"Setan...! Dia menyembunyikan Nyawa Biru," dengus Ki Laksa berang.
Walaupun wajah Ki Laksa kelihatan memerah menahan geram, di dalam sinar matanya jelas terlihat kecemasan karena Bayu tidak membawa si Nyawa Biru. Dan dia sungguh-sungguh tidak tahu, di mana salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa yang sangat dipercaya dan diandalkan itu berada. Dia cemas karena si Nyawa Biru bisa benar-benar mati kalau tidak segera dilompati oleh yang lainnya.
"Bocah keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaa...!"
Ki Laksa tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Bagaikan kilat, dia melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka yang tengah sibuk menghadapi serangan-serangan dari dua orang lawannya. Dan, terjunnya Ki Laksa ke dalam kancah pertempuran itu membuat Bayu semakin kesulitan. Serangan-serangan kini datang dari tiga arah.
"Jebol dadamu! Hiyaaa...!" Sambil berteriak keras menggelegar.
Ki Laksa cepat melepaskan satu pukulan keras menggeledek, yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat sekali pukulan itu dilepaskan. Bayu pun dibuatnya terbeliak sesaat Namun, dengan manis sekali Pendekar Pulau Neraka berhasil menghindar serangan dengan memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat yang hampir bersamaan, si Nyawa Merah mengebutkan kapaknya ke arah kaki Pendekar Pulau Neraka. Hal itu tentu sama membuat Bayu kelabakan setengah mati. Di saat dia sedang menghindari satu pukulan dahsyat dari Ki Laksa, si Nyawa Merah sudah melancarkan serangan begitu cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya. Dihindarinya sambaran kapak si Nyawa Merah itu. Tapi dalam keadaan tubuhnya yang miring, dia tampak sekali tidak dapat menguasai diri. Terlebih lagi, di saat yang begitu tepat, si Nyawa Kuning melepaskan satu tendangan keras menggeledek dari belakang. Dan, serangan ini benar-benar menyulitkan Pendekar Pulau Neraka.
Des!
"Akh...!"
Bayu tidak dapat lagi menghindari tendangan yang dilepaskan si Nyawa Kuning. Tendangan bertenaga dalam tinggi itu mendarat telak di punggung Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit harimau itu langsung terbanting ke depan. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Beberapa kali Bayu bergulingan di tanah berumput itu.
"Hiyaaat...!"
Saat itu juga Ki Laksa melompat ke udara, lalu dengan cepat sekali meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka. Tampak ujung tongkatnya yang runcing tertuju lurus ke tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hap!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk menghindari hunjaman ujung tongkat yang runcing itu. Cepat-cepat dia merapatkan kedua tangannya didepan dada dan langsung menjepit ujung tongkat yang runcing itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, Bayu menghentakkan tongkat itu ke belakang kepalanya. Begitu sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga Ki Laksa yang berada di udara terperanjat setengah mati. Tapi, dia tidak sempat lagi berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuhnya sudah terlontar deras.
Brak!
"Aaakh...!"
Ki Laksa memekik keras begitu tubuhnya menghantam sebatang pohon yang cukup besar. Begitu keras benturan tubuh Ki Laksa, sehingga pohon itu langsung hancur berkeping-keping. Sedangkan Bayu cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, datang lagi satu serangan dari si Nyawa Merah.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Cepat-cepat Bayu menarik tubuhnya ke belakang. Dihindarinya tebasan kapak si Nyawa Merah. Dan, begitu kapak itu lewat di depan dadanya, dengan cepat sekali Bayu melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Merah pun tidak sempat lagi terlihat menghindar. Dan....
Begkh!
"Akh...!"
Seketika itu juga tubuh si Nyawa Merah terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Melihat si Nyawa Merah terkena tendangan menggeledek bertenaga dalam sempurna, si Nyawa Kuning bergegas menghampiri. Tapi Bayu, yang sudah tahu kalau si Nyawa Kuning hendak melompati si Nyawa Merah, cepat-cepat melentingkan tubuhnya menghadang laki-laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna, tepat mengarah ke dada si Nyawa Kuning.
"Haiiit..!"
Si Nyawa Kuning ternyata berhasil menghindari pukulan Bayu dengan mengegoskan tubuhnya ke samping. Bahkan, secara bersamaan pula, kapaknya dikebutkan ke perut Pendekar Pulau Neraka. Cepat sekali kebutan kapak itu. Bayu pun sempat terbeliak sesaat, lalu bergegas melompat ke belakang. Di hindarinya tebasan kapak berukuran cukup besar itu.
"Hiyaaat...!"
Saat itu Ki Laksa yang sudah bisa berdiri lagi cepat melompat menyerang pemuda berbaju kulit harimau ini Secara beruntun dia melontarkan pukulan dahsyatnya, yang diselingi dengan hunjaman tongkatnya yang begitu cepat. Hal ini membuat Bayu kelabakan juga. Dia terpaksa berjumpalitan menghindarinya.
"Hup!"
Bersamaan dengan itu, si Nyawa Kuning segera melompat dengan cepat. Dilewatinya tubuh si Nyawa Merah yang menggeletak dengan dada melesak ke dalam. Dan begitu tubuhnya dilompati, si Nyawa Merah langsung bangkit berdiri. Tapi, belum juga kedua orang dari tiga serangkai si Perampok.
"Ghraaaugkh...!"
"Heh...?!
Apa itu?" sentak si Nyawa Merah.
Ki Laksa dan Bayu yang sedang bertarung pun sangat terkejut, dan menghentikan pertarungannya.
Tiba-tiba, dari dalam hutan lebat muncul seekor beruang putih yang sangat besar. Dan, di punggungnya berdiri seorang gadis berambut meriap!
Tiga Nyawa itu bisa membantu Ki Laksa menyerang Pendekar Pulau Neraka, tiba-tiba....
"Ghraaaugkh...!"
"Heh...?! Apa itu...?" sentak si Nyawa Merah, terkejut.
Bukan hanya si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning yang tersentak kaget Tapi, Ki Laksa dan Bayu yang sedang bertarung pun sampai-sampai menghentikan pertarungannya ketika tiba-tiba saja terdengar gerungan yang begitu keras menggelegar. Bumi yang mereka pijak tadi bergetar, bagaikan diguncang gempa.
Ki Laksa sampai terlompat beberapa tindak ke belakang, Sedangkan Bayu cepat melentingkan tubuhnya sejauh dua batang tombak dari laki-laki tua berjubah putih itu. Dan, belum lagi rasa terkejut mereka hilang, tiba-tiba muncul seekor beruang berbulu putih seperti kapas dari dalam hutan yang sangat lebat. Tubuh beruang itu sangat besar. Dan, di punggungnya berdiri seorang gadis yang seluruh wajahnya hampir tertutup oleh rambut.
Gadis di punggung beruang itu mengenakan baju putih warnanya sudah memudar dan kelihatan begitu buruk, karena penuh tambalan dan compang-camping. Rambutnya yang panjang meriap tak teratur tampak melambai-lambai dipermainkan angin.
Semua orang yang berada di tempat itu mengarahkan pandangan padanya. Terlebih lagi Ki Laksa. Dia cepat mengenali, wanita itulah yang membakar rumahnya semalam. Ki Laksa sempat melihat, walaupun dalam sekejap saja, ketika wanita berpakaian seperti pengemis itu melepaskan bola api sebelum menghilang setelah membakar rumahnya.
"Akhirnya kau muncul juga, Perempuan Setan!" desis Ki Laksa, geram.
"Aku akan tetap datang sampai kau mampus, Pengkhianat!" sambut gadis itu dingin.
"Phuih! Siapa kau sesungguhnya, Gadis Liar?" bentak Ki Laksa, lantang.
"Heh!"
Gadis itu hanya tersenyum. Terasa begitu sinis senyumannya. Kemudian dia melompat turun dari punggung Beruang Putih bertubuh raksasa itu. Sungguh ringan dan indah gerakannya saat dia melompat turun. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis itu menjejakkan kakinya di tanah.
Sementara itu, si Perampok Tiga Nyawa yang kini tinggal dua orang sudah berada di belakang Ki Laksa. Sedangkan Bayu berdiri terpisah dari mereka semua.
"Tampaknya kau begitu ingin mengetahui namaku Pengkhianat. Kau lihat sendiri pakaianku, juga sahabatku ini," kata gadis itu dengan nada suara masih tetap terdengar dingin.
"Kau murid si Tiga Pengemis Sakti...?"
"Benar. Dan aku bernama Dewi Beruang Putih. Kau dengar itu...?"
Ki Laksa diam saja. Baru kali ini dia mendengar nama yang disebutkan gadis itu. Tapi, mereka memang sudah pernah bertemu saat berada di dasar Jurang Setan. Bahkan, mereka juga sempat bertarung. Tapi, ketika itu pakaian yang dikenakan gadis ini tidak compang-camping seperti sekarang, walaupun juga berwarna putih (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis Sakti").
"Nisanak, kenapa kau selalu menyebutku pengkhianat?" tanya Ki Laksa yang benar-benar ingin tahu.
Gadis yang mengaku bernama Dewi Beruang Putih itu diam saja. Sorot matanya yang hampir tertutup rambut itu terlihat sangat tajam menembus langsung kedua bola mata Ki Laksa.
"Aku murid Tiga Pengemis Sakti yang kau bunuh dengan keji. Kau berhutang lima nyawa padaku Pengkhianat! Sekarang aku akan menagih hutangmu. Kau harus membayar dengan nyawamu sendiri!" ujar gadis itu, dengan nada suara yang semakin dingin.
"Lima...?! Apa maksudmu, Nisanak...?"
"Jangan banyak omong! Terimalah kematianmu, Iblis Keparat! Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja gadis yang mengaku bernama Dewi Beruang Putih itu melompat cepat menerjang Ki Laksa. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dilepaskannya begitu cepat. Sesaat Ki Laksa terhenyak. Namun, dengan cepat pula dia mengegoskan tubuhnya ke samping. Dihindarinya pukulan Dewi Beruang Putih itu.
"Hap!"
Saat tangan si Dewi Beruang Putih lewat di samping tubuhnya, dengan cepat sekali Ki Laksa mengebutkan tongkatnya ke arah samping.
Bet!
"Uts!"
Namun, dengan gerakan yang manis sekali, Dewi Beruang Putih berhasil mengelakkan kebutan tongkat Ki Laksa. Dan, cepat pula dia melompat ke belakang ketika Ki Laksa memutar tongkatnya yang langsung menghunjam ke arah dada. Ujung tongkat itu pun lewat di depan dada si Dewi Beruang Putih.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil memutar tubuhnya ke belakang. Dewi Beruang Putih melepaskan satu tendangan keras yang menggeledek ke bagian perut laki-laki tua berjubah putih itu. Cepat sekali tendangan gadis itu, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi Ki Laksa untuk menghindarinya. Dan, seketika itu juga dia mengebutkan tongkatnya ke arah kaki si Dewi Beruang Putih.
Wuk!
"Ikh...?!"
Dewi Beruang Putih tersentak kaget. Dia tidak menyangka kalau Ki Laksa tidak menghindari serangan dan malah mengebutkan tongkatnya. Cepat-cepat gadis itu menarik kakinya kembali. Lalu, tubuhnya segera melenting dan berputaran beberapa kali ke belakang. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak tanah, sekitar satu batang tombak jauhnya dari Ki Laksa.
"Serang perempuan edan itu...!" seru Ki Laksa lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang itu segera berlompatan menyerang Dewi Beruang Putih. Kapak-kapak mereka langsung berkelebatan begitu cepat, hingga menimbulkan suara angin yang menderu bagai badai. Dan, setiap kebutan kapak itu menimbulkan hawa panas yang sangat menyengat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Dewi Beruang Putih terpaksa berjumpalitan. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dari dua arah itu. Hawa panas yang ditimbulkan dari kelebatan kapak-kapak itu sangat terasa bagai hendak membakar seluruh kulit tubuhnya.
"Hup!"
Begitu ada kesempatan, dengan cepat sekali Dewi Beruang Putih melompat ke belakang beberapa langkah. Kedua telapak tangannya langsung dirapatkan ke depan begitu kakinya menjejak tanah. Dan, kedua lututnya ditekuk sedikit. Kemudian dia melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Lalu....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, gadis yang menjuluki dirinya dengan nama Dewi Beruang Putih itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika itu juga berhembus hawa dingin di sekitar hutan ini. Hawa dingin itu semakin lama semakin terasa menggigilkan. Dan, terus bertambah semakin dingin, hingga udara di sekitar hutan ini terasa membeku. Tampak dari kedua telapak tangan gadis itu keluar gumpalan-gumpalan putih seperti kapas yang beterbangan ke segala penjuru. Sesaat kemudian, mendadak hawa dingin itu menghilang lenyap dan langsung berganti dengan hawa panas yang begitu menyengat, bagaikan hawa panas di dekat tungku api.
"Ugkh...!"
Tiba-tiba, tampak Dewi Beruang Putih terhuyung-huyung sambil melenguh pendek. Tangan kanannya cepat bergerak mendekap dada. Dan saat itu juga dia jatuh terduduk di tanah. Sudut bibirnya terlihat mengeluarkan darah. Kejadian yang tidak terduga sama sekali itu membuat semua orang yang berada di tempat itu terperanjat keheranan. Mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba gadis yang menjuluki dirinya si Dewi Beruang Putih itu langsung jatuh terkulai, di saat dia baru saja mengerahkan ilmu kesaktiannya yang sempat membuat mereka semua merasa tersiksa.
"Ugkh! Dadaku...," keluh Dewi Beruang Putih.
"Bunuh dia, cepat...!" seru Ki Laksa, tiba-tiba.
"Hiyaaat...!"
Si Nyawa Merah lebih cepat tersadar. Begitu mendengar suara keras bernada perintah itu, dia langsung saja melompat cepat sambil mengayunkan kapaknya ke kepala si Dewi Beruang Putih. Tapi, belum juga mata kapak itu sampai, mendadak....
Wuk!
Tring!
"Heh...?!"
Si Nyawa Merah terkejut setengah mati ketika tiba-tiba kapaknya terpental balik ke belakang. Cepat-cepat dia melompat mundur dan berputaran di udara beberapa kali sebelum menjejakkan kakinya kembali ke tanah.
"Keparat...!"
Saat itu terlihat Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Dan, terlihat pula Cakra Maut berwarna keperakan dan bersegi enam melesat balik, langsung menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Rupanya dialah tadi yang menggagalkan serangan curang si Nyawa Merah pada si Dewi Beruang Putih.
"Phuih!"
Si Nyawa Merah menyemburkan ludahnya dengan sengit ketika tahu bahwa serangannya telah digagalkan oleh pemuda berbaju kulit harimau itu. Sementara itu si Dewi Beruang Putih masih terduduk di tanah. Tampaknya dia seperti kehabisan tenaga. Terlihat sekujur tubuhnya dibasahi keringat yang bercucuran begitu deras. Bayu kemudian melangkah menghampiri gadis berpakaian pengemis itu. Pandangannya terus tertuju pada beruang putih raksasa yang telah berdiri begitu dekat dengan si Dewi Beruang Putih. Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka sampai di dekat si Dewi Beruang Putih, mendadak....
"Hiyaaa...!"
Slap!
"Heh...?
Uts...!
Cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya berputaran ke belakang ketika tiba-tiba saja Beruang Putih yang berada di belakang gadis itu melompat begitu cepat sambil meraung dahsyat menggelegar. Suaranya terdengar bagai guntur yang memecah angkasa di waktu hujan.
"Ghraaagkh...!"
Beruang Putih bertubuh raksasa itu lewat di atas tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dia terus meluncur ke arah dua orang dari si Perampok Tiga Nyawa. Begitu cepat lompatan Beruang Putih Itu. Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning pun tampak sama-sama terbeliak.
"Hup! Hiyaaa...!"
Si Nyawa Merah yang lebih cepat menyadari keadaan ini bergegas melompat ke samping. Dihindarinya terjangan Beruang Putih itu. Tapi, si Nyawa Kuning ternyata terlambat menyelamatkan diri, sehingga kebutan kaki depan Beruang Putih itu telak menampar wajahnya.
Plak!
"Akh...!"
Si Nyawa Kuning terpekik keras sekali. Dia langsung terpelanting jatuh ke tanah. Dan beberapa kali dia bergulingan di tanah yang berumput ini. Namun, dengan cepat laki-laki setengah baya berbaju kuning itu bisa bangkit berdiri. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, Beruang Putih itu sudah kembali mengibaskan kaki depannya dengan kecepatan yang begitu luar biasa.
Buk!
"Akh...!"
Untuk kedua kakinya si Nyawa Kuning memekik. Hantaman kaki depan yang juga sekaligus tangan beruang raksasa itu tepat mengenai dadanya dengan keras sekali. Kembali si Nyawa Kuning terpental ke belakang dengan deras, dan baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon yang cukup besar. Seketika pohon itu hancur berkeping-keping.
"Ghraaagkh...!"
Sambil menggerung dahsyat, beruang putih raksasa itu melompat cepat bagai kilat menerkam si Nyawa Kuning yang menggeletak tak berdaya lagi diantara kepingan pohon.
Ngek!
"Ugkh...!"
Hanya sedikit keluhan kecil yang terdengar dari mulut si Nyawa Kuning ketika kedua kaki beruang putih raksasa itu menjejak dadanya. Seketika darah memuncrat dari mulut laki-laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Aaargkh...!"
Beruang Putih itu berteriak keras menggelegar. Begitu keras teriakannya, sehingga tanah terasa bergetar bagai diguncang gempa. Kedua tangan beruang raksasa itu terangkat ke atas. Moncongnya yang penuh dengan gigi bertaring terbuka lebar-lebar, seperti hendak memamerkan gigi-giginya yang bertaring tajam itu. Kemudian dia kembali melompat mendekati si Dewi Beruang Putih.
"Hup!"
Pada saat itu juga, tampak si Nyawa Merah melompat cepat. Dia langsung melompati tubuh si Nyawa Kuning yang menggeletak tak bernyawa dengan dada remuk dan kepala retak. Dan, begitu si Nyawa Merah melompatinya, mendadak si Nyawa Kuning bangkit kembali dengan cepat. Dadanya yang tadi remuk terinjak kaki Beruang Putih raksasa itu kini terlihat kembali pulih seperti semula dengan cepat sekali. Bahkan, darah yang keluar dari mulutnya sudah tidak terlihat lagi.
"Ghrrr...!"
Beruang Putih itu tampak keheranan melihat korbannya yang tadi tewas bisa bangkit lagi dengan cepat Bahkan, si Nyawa Kuning terlihat lebih segar dari semula, sebelum dadanya diremukkan Beruang Putih itu. Dan, kini si Perampok Tiga Nyawa yang sekarang tinggal dua orang itu sudah bergerak mendekati Beruang Putih itu. Kapak mereka terayun ayun, seperti hendak menakut-nakutinya.
"Ghrrr...!"
Tampaknya Beruang Putih bertubuh raksasa itu tidak gentar melihat mata kapak yang berkilat tajam. Dia malah menggerung sambil memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam. Perlahan dia memutar tubuhnya berbalik, lalu berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Sungguh besar sekali tubuhnya, seperti sebuah bukit yang berselimut salju putih bagai kapas.
"Hiyaaa.,.!"
"Yeaaah...!
Si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning tiba-tiba saja berlompatan cepat menyerang Beruang Putih raksasa itu. Kapak mereka terayun deras dan hampir bersamaan mengarah ke perut dan dada.
"Ghraaagkh...!"
Beruang Putih itu meraung keras menggelegar. Dan, cepat sekali dia mengibaskan kedua tangannya. Disampoknya kapak-kapak yang berkelebat begitu cepat mengincar tubuhnya yang ditumbuhi bulu berwarna putih seperti kapas itu.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Ternyata si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang itu lebih cepat lagi melentingkan tubuh. Dan, secara bersamaan, mereka melepaskan tendangan serta pukulan yang keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Buk!
Des!
Dada dan kepala Beruang Putih itu menjadi sasaran empuk pukulan dan tendangan si Perampok Tiga Nyawa. Tapi, binatang raksasa itu hanya terhuyung sedikit Dan, cepat sekali kemudian dia mengibaskan tangannya sambil memutar tubuhnya sedikit Hampir saja kibasan tangannya mengenai si Nyawa Merah kalau laki-laki setengah baya berbaju merah itu tidak cepat-cepat melompat mundur.
"Mundur kalian! Hiyaaat..!"
Tiba-tiba Ki Laksa melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan, seketika itu juga dia melepaskan satu pukulan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu tinggi tenaga dalam yang dikerahkannya, sehingga kepalan tangan kanannya terlihat berwarna merah bagai besi terbakar di dalam tungku api. Ki Laksa menyerang dari belakang Beruang Putih itu.
"Putih awas...!" teriak si Dewi Beruang Putih, memperingatkan binatang peliharaannya itu. Tapi, peringatan Dewi Beruang Putih sudah terlambat Dan....
Begkh!
"Aaargkh...!"
Beruang Putih raksasa itu meraung keras begitu punggungnya terkena pukulan yang begitu dahsyat dari Ki Laksa. Begitu keras pukulan yang dilancarkan Ki Laksa. Beruang Putih itu pun langsung terhuyung-huyung ke depan. Tubuhnya menjadi limbung dan tidak terkuasai lagi. Pada saat itu juga, si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning cepat melompat menyerang dengan cepat.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Secara bersamaan, si Nyawa Merah dan si Nyawa Kuning melepaskan pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dalam keadaan tubuh yang limbung dan belum terkuasai, Beruang Putih itu tidak sempat lagi menghindari serangan kedua orang itu Hingga, kembali dia harus menerima dua kali pukulan beruntun yang mengandung tenaga dalam tinggi.
"Aaargkh...!"
Sesaat kemudian tampak Ki Laksa melepaskan satu pukulan keras yang mengarah langsung ke dada beruang putih raksasa itu. Cepat sekali serangan yang dilakukannya, sehingga binatang raksasa berbulu putih bagai kapas itu tidak dapat lagi menghindarinya. Pukulan Ki Laksa telak menghantam dada binatang itu dengan keras sekali.
"Aaargkh...!"
Raungan yang begitu panjang terdengar keras menggelegar. Tampak beruang raksasa itu terpental ke belakang sejauh beberapa batang tombak. Keras sekali tubuhnya yang berbulu putih itu terbanting ke tanah. Melihat binatang peliharaannya terus dihujani pukulan-pukulan keras bertenaga dalam tinggi, Dewi Beruang Putih tidak tahan juga melihatnya. Tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri, gadis itu cepat melompat menerjang Ki Laksa yang sudah siap hendak menghunjamkan tongkatnya yang berujung tajam ke dada Beruang Putih itu. Sambil mengerahkan sisa-sisa kekuatannya yang masih ada, Dewi Beruang Putih melompat cepat sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Namun, pada saat itu juga, tampak si Nyawa Merah melemparkan kapaknya dengan cepat sekali ke arah Dewi Beruang Putih. Kapak yang berukuran cukup besar itu meluncur deras, hingga menimbulkan suara mendesing yang keras sekali. Dewi Beruang Putih terperangah. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindari lemparan kapak itu. Tapi, belum juga kapak itu mengenai tubuhnya, mendadak....
Wusss!
Trang!
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya si Nyawa Merah ketika tiba-tiba saja kapaknya terpental balik. Sempat terlihat tadi secercah cahaya kilat keperakan menyambar senjata andalannya itu. Cepat-cepat si Nyawa Merah melentingkan tubuhnya. Dan, kapaknya yang terpental tinggi ke udara segera disambarnya sebelum sampai jatuh ke tanah.
"Hap!"
Namun, baru saja si Nyawa Merah berhasil meraih kapaknya yang terpental tinggi ke udara, mendadak terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat bagai kilat. Cepat-cepat dia mengebutkan kapaknya ke arah bayangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, bayangan itu melesat ke atas dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya. Dan secepat itu pula....
Des!
"Akh...!"
Si Nyawa Merah terpekik keras. Tubuhnya mendadak terbanting ke tanah dengan deras sekali. Hanya sedikit terdengar keluhan kecil ketika tubuh laki-laki setengah baya berbaju merah itu menghantam tanah. Dan, hanya sedikit terlihat gerakan. Sesaat kemudian si Nyawa Merah diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terlihat mengalir dari sudut bibir dan kedua lubang hidungnya.
Tap!
Pada saat yang hampir bersamaan, tampak Pendekar Pulau Neraka mendarat ringan di samping tubuh si Nyawa Merah. Kemudian dipandanginya si Nyawa Kuning dengan tajam. Jelas sekali terlihat raut wajah si Nyawa Kuning begitu gelisah dan cemas, karena pemuda berbaju kulit harimau itu berada sangat dekat dengan tubuh si Nyawa Merah yang sudah tidak bergerak-gerak lagi. Sementara itu Dewi Beruang Putih sudah begitu gencar menyerang Ki Laksa.
"Ayo, lompati temanmu ini kalau bisa," ujar Bayu dengan nada suara yang sangat sinis.
"Phuih!"
Si Nyawa Kuning menatap dengan sengit Dia menyemburkan ludahnya sambil melangkah beberapa langkah ke depan Kapaknya yang berukuran cukup besar itu disilangkan ke depan dada. Sorot matanya yang tajam tampak agak gentar melihat ketegaran dan ketangguhan Pendekar Pulau Neraka. Tapi, dia tetap melangkah maju perlahan-lahan. Sedangkan Bayu masih berdiri tegak. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Dan, tiba-tiba....
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya ke udara sambil menyambar tubuh si Nyawa Merah yang menggeletak di tanah. Begitu cepat gerakannya, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah berada di atas cabang sebatang pohon yang cukup besar dan kokoh. Bayu meletakkan tubuh si Nyawa Merah di cabang pohon itu. Lalu, dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, dia meluruk turun. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah. Lalu kembali dia mendarat di tempat berdirinya semula. Begitu cepat semua gerakan yang dilakukan oleh Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun tampak terlongong bengong.
"Hah...?!"
Si Nyawa Kuning terperanjat setengah mati begitu menyadari tubuh si Nyawa Merah sudah tidak ada lagi. Dan, lebih terkejut lagi dia ketika tahu bahwa si Nyawa Merah kini sudah berada di atas pohon. Dan, sudah pasti si Nyawa Kuning tidak mungkin lagi bisa menghidupkannya, karena tubuh si Nyawa Merah tidak menyentuh tanah.
"Keparat...!" geram si Nyawa Kuning, berang.
Beberapa saat dia memandangi tubuh si Nyawa Merah, kemudian menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka yang berada sekitar enam langkah lagi di depannya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu hanya tersenyum. Namun, terasa begitu sinis senyumnya.
"Kubunuh kau, Keparat!" desis Nyawa Kuning.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali si Nyawa Kuning melompat sambil mengayunkan kapaknya ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Namun hanya dengan sedikit mengegoskan kepalanya, Bayu berhasil menghindari kebutan kapak itu. Tapi sempat juga dia terperanjat Karena, begitu mata kapak lewat di depan wajahnya, saat itu juga terasa hawa panas yang begitu menyengat disertai hembusan angin yang keras.
"Hup...!"
Cepat-cepat Bayu melompat ke belakang tiga langkah. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, si Nyawa Kuning sudah kembali menyerang. Satu pukulan keras menggeledek langsung dilepaskan laki-laki setengah baya berbaju kuning itu. Pukulan ini disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya.
"Haiiit..!"
Bayu segera mengegoskan tubuhnya. Dihindarinya pukulan si Nyawa Kuning. Dan, saat itu juga dia memiringkan tubuhnya, lalu menghentakkan kakinya untuk melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangan balik yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Si Nyawa Kuning pun tidak sempat menghindar lagi. Terlebih lagi saat itu tubuhnya memang sedang doyong ke kanan karena baru melakukan pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, tendangan Pendekar Pulau Neraka mendarat telak di perut si Nyawa Kuning.
Begkh!
"Hegkh!"
Si Nyawa Kuning melenguh pendek. Tubuhnya langsung terbungkuk. Perutnya terasa hampir jebol terkena tendangan Pendekar Pulau Neraka. Dan, pada saat itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke wajah laki-laki setengah baya berbaju kuning itu.
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Akh...!"
Begitu keras pukulan yang dilepaskan Bayu. Si Nyawa Kuning sampai menjerit keras melengking. Dan, tubuhnya terpental jauh ke belakang. Sebatang pohon yang terlanda langsung hancur seketika. Beberapa kali si Nyawa Kuning bergelimpangan. Tapi dia masih bisa cepat bangkit berdiri. Tampak wajahnya berlumuran darah, pecah akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi.
"Hiyaaa...!"
Belum juga si Nyawa Kuning bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, mendadak Bayu sudah mengebutkan tangan kanannya ke depan, dengan tubuh sedikit terbungkuk ke kiri. Seketika Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat Begitu cepat senjata maut berwarna keperakan itu melesat Si Nyawa Kuning pun hanya bisa terbeliak. Dan...
Crab!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak tubuh si Nyawa Kuning terhuyung-huyung. Dadanya berlubang dan berlumuran darah tertembus Cakra Maut bersegi enam dan berwarna keperakan itu. Saat itu Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Seketika Cakra Maut yang terbenam di dada si Mayat Kuning melesat keluar dengan cepat. Dan kembali senjata andalan itu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
Darah semakin banyak keluar dari dada si Nyawa Kuning. Beberapa saat tubuh laki-laki setengah baya berbaju kuning itu limbung terhuyung-huyung, lalu ambruk menggelepar di tanah. Terdengar erangan kecil. Dan sesaat kemudian dia mengejang kaku lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Saat itu juga nyawanya terbang melayang dari tubuhnya.
"Heh...!"
Bayu menghembuskan napas panjang. Perlahan dia memutar tubuhnya. Bola matanya memandang lurus ke arah pertarungan antara Dewi Beruang Putih dan Ki Laksa. Tampak jelas sekali Dewi Beruang Putih begitu kewalahan menghadapi laki-laki tua berjubah putih itu. Dan entah sudah berapa kali gadis itu harus menerima pukulan serta tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Ki Laksa melompat sambil menghunjamkan ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada Dewi Beruang Putih. Cepat-cepat Dewi Beruang Putih berkelit menghindar ke kiri. Tapi gerakannya kelihatan agak lambat, sehingga ujung tongkat Ki Laksa masih bisa merobek pundak gadis itu.
Bret!
"Akh...!"
Dewi Beruang Putih memekik agak tertahan. Dia terhuyung-huyung sambil mendekap pundaknya yang sobek berlumuran darah. Dan, saat itu pula Ki Laksa sudah melancarkan serangan lagi dengan tongkatnya yang terkenal maut dan sangat berbahaya. Cepat sekali tongkatnya dikebutkan dengan gerakan berputar ke arah perut. Sedangkan Dewi Beruang Putih saat itu masih dalam keadaan limbung. Tak mungkin dia bisa menghindari serangan secepat kilat dari laki-laki tua berjubah putih ini. Tapi, begitu ujung tongkat Ki Laksa hampir saja merobek perut gadis ini, mendadak....
Wus!
Trang!
"Heh...?!"
Ki Laksa tersentak kaget setengah mati ketika tiba-tiba terlihat secercah cahaya keperakan berkelebat begitu cepat menyambar ujung tongkatnya. Cepat-cepat dia menarik tongkatnya sambil melompat ke belakang beberapa tindak. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat terasa bergetar, karena benturan cahaya keperakan tadi pada ujung tongkat itu. Dan pada saat itu tampak sebuah bayangan berkelebat cepat. Tahu-tahu di depan Dewi Beruang Putih sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka dengan tangan kanan terangkat di atas kepala.
Tap!
Secercah cahaya keperakan melesat cepat menyambar pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Tampak Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Bocah keparat..! Phuih!"
Ki Laksa geram setengah mati begitu menyadari bahwa serangannya pada Dewi Beruang Putih tadi digagalkan oleh pemuda berbaju kulit harimau ini. Beberapa kali dia menyemburkan ludahnya dengan geram. Sedangkan Bayu terlihat berdiri tenang. Dia berpaling sedikit pada gadis berbaju putih penuh tambalan dan compang-camping yang berada di belakangnya agak kekanan.
"Bagaimana lukamu?" tanya Bayu.
"Hmm...."
Gadis yang tadi memperkenalkan diri sebagai Dewi Beruang Putih itu hanya menggumam. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka sudah berpaling lagi menatap Ki Laksa. Dia melangkah ke depan beberapa tindak. Sikapnya masih terlihat tenang karena tahu bahwa sekarang Ki Laksa tinggal sendirian. Tapi laki-laki tua berjubah putih itu belum sadar kalau kini dia tinggal seorang diri. Dia belum tahu bahwa dua orang pembantu kepercayaannya sudah tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka.
"Sudah cukup banyak kau merepotkan aku, Bocah. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, heh...?" bentak Ki Laksa dengan suara yang lantang dan mendesis geram.
"Aku hanya menginginkan jawabanmu saja, Ki. Kau pasti bisa menjawab pertanyaanku di kedai tadi," sahut Bayu tenang.
"Phuih! Aku tidak akan menjawab pertanyaan edanmu!" dengus Ki Laksa mendesis.
"Aku hanya meminta kepastian darimu saja, Ki. Dan aku bisa pergi tanpa mengusik mu lagi. Aku dapatkan keris itu dari orang yang mati akibat ulah tanganmu. Dan aku yakin, kau punya hubungan dengan orang itu. Tidak mungkin dia bertarung denganmu jika tidak ada persoalan apa-apa," kata Bayu lagi.
"Phuih!"
Ki Laksa hanya menyemburkan ludahnya. Dia melirik sedikit pada Dewi Beruang Putih yang masih tetap berada agak ke kanan di belakang Pendekar Pulau Neraka. Dan, ketika dia berpaling ke arah lain, mendadak bola matanya terbeliak lebar. Hampir dia tidak percaya saat melihat tubuh si Nyawa Kuning yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan si Nyawa Merah sama sekali tidak terlihat. Tapi, begitu kepala Ki Laksa mendongak ke atas....
"Setan keparat...!" desis Ki Laksa.
Wajah Ki Laksa seketika merah padam begitu melihat si Nyawa Merah tertelungkup di cabang pohon yang cukup besar dan tinggi, tidak jauh dari tubuh si Nyawa Kuning yang menggeletak di atas tanah. Ki Laksa langsung menatap tajam pada Pendekar Pulau Neraka. Dia yakin, pemuda berbaju kulit harimau inilah yang telah menewaskan si Perampok Tiga Nyawa.
"Hmm...."
Ki Laksa menggerung geram, seperti seekor binatang liar yang kelaparan. Sinar matanya yang begitu berkilatan dan bersorot tajam tertuju lurus ke bola mata Bayu yang berdiri sekitar enam langkah di depannya. Dan, saat itu juga..,.
"Hiyaaat...!"
"Hup!"
Secepat Ki Laksa melompat menyerang, secepat itu pula Bayu melentingkan tubuhnya ke udara. Dan, hunjaman tongkat Ki Laksa hanya mengenai tempat kosong.
Sementara itu Dewi Beruang Putih sudah sejak tadi bergerak menjauh. Tampak jelas sekali kalau dia begitu kelihatan lemah. Darah terus bercucuran keluar dari pundaknya yang sobek oleh ujung tongkat Ki Laksa tadi. Gadis berbaju putih dan kumal serta penuh tambalan itu menghampiri seekor beruang putih raksasa yang mendekam diam di bawah pohon. Beruang itu juga tampak terluka dalam cukup parah akibat mendapat gempuran gencar dari Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa yang tinggal dua orang tadi.
Sementara itu Bayu berputaran beberapa kali di udara. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak di tanah. Saat itu Ki Laksa sudah memutar tubuhnya dengan cepat sekali. Langsung tongkatnya dikebutkan ke arah dada Pendekar Pulau Neraka. Tapi, hanya dengan sedikit menarik dadanya ke belakang, ujung tongkat yang runcing itu pun lewat di depan dada Bayu. Dan, saat itu juga, Pendekar Pulau Neraka menarik kakinya ke samping dua langkah.
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya. Dan, secepat itu pula dia menghentakkan kakinya. Dilepaskannya satu tendangan yang begitu keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan kesempurnaan. Begitu cepat serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka. Sehingga Ki Laksa tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Des!
"Akh...!"
Keras sekali tubuh Ki Laksa terpental ke belakang begitu tendangan Bayu mendarat telak di dadanya. Belum lagi laki-laki tua berjubah putih itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Bayu sudah kembali melancarkan serangan cepat bagai kilat Dia melompat sambil melepaskan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi tingkatannya.
"Hiyaaat...!"
Begkh!
"Aaakh...!"
Kembali Ki Laksa terpental jauh ke belakang. Sebatang pohon yang cukup besar seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya. Saat itu pula Bayu sudah kembali melompat menerjang. Cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu dia sudah berdiri dekat dengan tubuh Ki Laksa. Bahkan, satu kakinya menginjak dada laki-laki tua itu.
"Hegkh...!"
"Katakan, di mana Intan Kumala...?" desis Bayu, dingin.
"Ugkh...!"
Ki Laksa tetap saja belum mau menjawab, meskipun pijakan kaki Pendekar Pulau Neraka membuat nafasnya tertahan. Semakin kuat pijakan kaki itu di dadanya, semakin sulit pula dia bernapas. Saat itu, si Dewi Beruang Putih tampak terperanjat ketika Bayu menyebut nama Intan Kumala. Dan, dia langsung bangkit berdiri, walaupun baru saja mengambil sikap duduk bersila untuk melakukan semadi.
Sementara itu Bayu mengeluarkan Keris Naga Emas dari sabuk yang membelit pinggangnya. Saat keris berwarna kuning keemasan itu berada di dalam genggaman tangan Bayu, mendadak...
"Hei.?!" Tiba-tiba saja si Dewi Beruang Putih terpekik.
Saat itu pula Bayu berpaling menatapnya. Dan, tanpa sadar, pijakan kakinya pada dada Ki Laksa menjadi bertambah kuat Akibatnya, laki-laki tua berjubah putih itu tidak dapat lagi bertahan. Dan...
"Hegkh...!"
Ki Laksa hanya dapat mengejang beberapa saat, kemudian terkulai lemas, lalu tak bergerak-gerak lagi. Dadanya remuk terinjak kaki Pendekar Pulau Neraka. Cukup lama juga Bayu baru menyadari keadaan itu. Dan, cepat-cepat dia menarik kakinya dari dada laki-laki tua berjubah putih itu. Tapi, Ki Laksa sudah sejak tadi menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Bayu cepat melangkah ke belakang beberapa tindak. Sedangkan si Dewi Beruang Putih menghampirinya dengan ayunan kaki agak terseok.
"Berikan keris itu padaku!" bentak Dewi Beruang Putih dingin.
Bayu menatap sebentar pada Keris Naga Emas yang berada dalam genggaman tangannya. Sungguh dia tidak mengerti, kenapa banyak orang yang menginginkan benda yang kelihatannya biasa ini. Apakah karena benda ini terbuat dari emas...?
Tapi Bayu tidak yakin kalau mereka semua menginginkan keris ini karena terbuat dari emas. Sebentar kemudian dia menatap pada Dewi Beruang Putih.
"Maaf, keris ini harus kuserahkan pada pewarisnya yang sah, kata Bayu dengan tenang tapi terdengar tegas.
"Akulah pewarisnya yang sah!" dengus Dewi Beruang Putih dengan tidak kalah tegasnya.
"Hmm..., bagaimana aku bisa mempercayaimu?" tanya Bayu sambil menyipitkan kelopak matanya.
Memang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk bisa percaya begitu saja bahwa gadis berpakaian pengemis itu adalah pewaris sah Keris Naga Emas. Bayu memang belum mengenal orangnya. Dan dia hanya tahu, pewaris Keris Naga Emas ini bernama Intan Kumala, putri Ki Satria. Lalu, bagaimana Bayu bisa bertemu dengan pewaris sah Keris Naga Emas?
Apakah memang Dewi Beruang Putih yang berhak memilikinya? Atau dia hanya mengakuinya saja, seperti yang lainnya. Dan mampukah Dewi Beruang Putih membuktikan bahwa dirinya adalah Intan Kumala?
Untuk mengetahui jawabannya, ikuti saja kisah petualangan Pendekar Pulau Neraka dalam episode "Pewaris Keris Naga Emas."