CERITA SILAT SERIAL PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode Hantu Bukit Angsa
Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Hantu Bukit Angsa
Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Desa Kayu Agung yang terletak di kaki gunung, terlihat aman dan tentram. Bukan hanya itu, tetapi masyarakatnya juga hidup dalam kecukupan. Tak heran bila kemiskinan jarang ditemui. Rata-rata mereka hidup sebagai petani yang memiliki lahan luas milik sendiri. Jarang sekali panen mereka gagal. Di samping itu gotong royong di antara mereka masih terasa erat.
Ki Pranata yang menjadi kepala desa, bukan main bangga melihat keadaan warganya. Dia sendiri memang mendukung sebesar-besarnya bagi kedamaian dan ketentraman masyarakat di tempat itu, dan tak membiarkan sedikit pun anasir keburukan menyebar di desanya. Maka tak heran, jarang terlihat perselisihan di antara penduduk, tengkulak yang mencoba menjerat petani, atau pencuri-pencuri yang menggarong isi rumah. Karena bila hal itu terjadi, bukan hanya Ki Pranata yang bertindak, tapi seluruh penduduk kampung langsung bereaksi menentangnya.
Pagi belum lagi terlalu terang. Hawa dingin masih menyelimuti, namun Desa Kayu Agung telah ramai. Petani-petani yang membawa cangkul menuju sawah dan ladang, serta perempuan-perempuan yang beriringan ke pancuran untuk mencuci merupakan pemandangan sehari-hari. Ki Pranata berdiri di depan beranda rumah sambil bercengkerama dengan burung perkututnya yang berada dalam sangkar.
"Ctak! Ctak!"
"Kurrr...!"
"Ayo, manis. Pagi ini udara sejuk dan suasana begitu damai. Kenapa malah kau enggan menunjukkan suaramu yang merdu?"
Burung perkutut yang sedang digodanya itu terbang dari tempatnya bertengger ke atas dan ke bawah. Kemudian menerjang-nerjang sangkar seperti menunjukkan kegelisahannya. Ki Pranata coba mendiamkan sambil bersiul-siul dan menjentikkan jarinya.
"Diamlah, Widuro. Kenapa kau? Apakah kau lapar? Ah, tak mungkin. Makananmu masih banyak."
Burung itu kembali bersuara. Tapi bagi Ki Pranata yang terbiasa mendengar perkutut bersuara indah, tentu saja merasa heran. Suara burung itu sumbang, tidak nyaring dan lantang seperti biasa. Seperti mengandung kesedihan. Tapi kesedihan apa?
Ki Pranata berpikir, mungkin karena perkutut yang bernama Widuro itu kehilangan pasangannya tiga hari yang lalu. Widuro termasuk salah seekor burung kesayangannya yang memiliki suara yang indah dan bulu halus mengkilap. Umurnya pun sudah tua, hingga Ki Pranata bermaksud menjadikannya hewan pemacak. Tapi Widuro tak mau kawin, dia bahkan tak menyukai betinanya. Ki Pranata telah mencoba lima ekor betina, tapi hanya yang terakhir saja Widuro mau bermain-main dan bersiul-siul. Itu pun tak lama karena ia cepat merasa bosan. Dan ketika betinanya mati, Widuro tak tampak sedih. Tak mungkin bila tiga hari kemudian, yaitu pagi ini ia berduka.
"Diamlah, Widuro! Diam!" kata Ki Pranata kembali sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke dekat sangkar ketika burung itu makin bersikap liar.
"Huh, burung sial! Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini?"
Ki Pranata baru saja menggerutu ketika terdengar kentongan dari kejauhan. Beberapa saat didengarkannya bunyi kentongan yang menandakan adanya bahaya yang mengancam kampung ini. Aneh? Sudah hampir sepuluh tahun lebih ia menjadi kepala desa, belum pernah terdengar bunyi kentongan itu sehingga membuatnya tak cepat tanggap.
"Jarot...!"
Seorang pemuda bertubuh sedang dengan kumis melintang, tergopoh-gopoh menghampiri dari arah samping. Rambutnya sepanjang leher dengan ikat kepala lebar berwarna hitam, sama seperti pakaiannya. Di pinggang terselip golok yang agak panjang. Orang ini adalah tangan kanan Ki Pranata, selain sebagai kepala keamanan desa.
"Iya, Ki!"
"Coba kau periksa bersama anak buahmu, apa yang terjadi di sana. Kau dengar kentongan tadi?"
"Dengar, Ki."
"Bahaya apa kira-kira?"
"Ng... kurang tahu juga, Ki..." sahut Jarot sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Ya, sudahlah. Kau terbiasa tak bekerja penuh sebagai keamanan, karena kampung kita ini biasanya aman. Nah, sekarang lakukan tugasmu. Kalau ada maling, tangkap dan bawa ke sini untuk diadili."
"Siap, Ki."
Jarot segera berlalu mengumpulkan anak buahnya yang sedang bermalas-malasan di sebuah ruangan belakang rumah Ki Pranata. Walaupun demikian, mereka langsung sigap begitu Jarot memberi perintah. Jarot yang klemar-klemer di hadapan Ki Pranata, kini terlihat galak dan berangasan. Wibawanya sebagai pimpinan keamanan kampung terlihat jelas dalam keadaan begitu. Namun baru saja mereka keluar, tiba-tiba...
"Siap-siap!" perintah Jarot.
Sepasang matanya yang tajam memperhatikan keadaan sekeliling rumah junjungannya itu. Walau belum melihat, telinganya yang telah terlatih jelas mendengar desir angin dari kelebatan sebuah bayangan yang menghilang entah ke mana. Yang jelas menuju tempat kediaman junjungannya.
"Ada apa, Kang?" tanya seorang anak buahnya.
"Sssst!"
"Perampok?"
"Bukan. Nampaknya orang ini berilmu tinggi. Kalaupun mau merampok, dia bukan perampok picisan. Dari gerakannya saja dapat dibayangkan kepandaian ilmu meringankan tubuhnya," jelas Jarot.
"Kalian berjaga di samping kiri dan kanan, sedangkan aku mau melapor pada Ki Pranata."
"Baik, Kang!"
Jarot sebenarnya bukan centeng biasa. Dia murid seorang tokoh terkenal yang berilmu tinggi. Keinginan sebenarnya pergi mengembara sambil mengamalkan ilmu silat serta kepandaiannya bagi orang banyak. Tapi Ki Pranata meminta untuk bekerja padanya. Hal ini tak mungkin bisa ditolak. Lebih-lebih kedua orang tuanya terus mendorong.
Jarot tak sampai hati untuk tidak mengabulkan permintaan mereka. Ki Pranata dulu telah banyak sekali membantu kehidupan mereka yang morat-marit sampai hidup berkecukupan seperti sekarang. Walaupun Ki Pranata lak pernah mengungkit-ungkit sedikit pun tentang balas jasa, tapi sebagai orang yang berperasaan, tentu saja Jarot tahu membalas budi orang. Dan setelah mempertimbangkan bahwa selama ini Ki Pranata terkenal sebagai kepala desa yang cukup adil serta bijaksana, ia merasa tak ada salahnya untuk mencoba lebih dulu.
***
"Ki Pranata...."
Ki Pranata menoleh. Tangannya masih menjentik-jentik di dekat sangkar sambil bersiul-siul kecil. Perkutut bernama Widuro di dalamnya mulai diam sambil bertengger. Tapi hewan itu masih tidak peduli pada tuannya.
"Kenapa belum kau periksa tanda bahaya tadi, Rot?" tanya Ki Pranata langsung.
"Anu, Ki...," sahut Jarot terputus.
"Anu kenapa?" tanya Ki Pranata mengulangi.
"Sepertinya ada orang asing yang berkeliaran di tempat ini, Ki," sahut Jarot agak ditekan suaranya.
"Maksudmu?"
"Entahlah. Aku masih belum jelas. Tapi untuk berjaga-jaga dari kemungkinan yang buruk, bagaimana sebaiknya, Ki? Apakah aku saja yang berjaga di sini, sedangkan yang lainnya memeriksa tanda bahaya itu?"
"Hmmm, ada orang asing...?" Ki Pranata berpikir sejenak. "Ya boleh juga. Suruh saja mereka memeriksa, dan kau di sini."
"Baik, Ki!" sahut Jarot.
Dia kemudian memanggil seorang anak buahnya, tanpa melepaskan perhatian terhadap Ki Pranata.
"Balura, pimpin teman-temanmu untuk memeriksa kejadian apa yang menimpa desa ini. Kalau bisa diatasi, itu lebih baik. Kalau tidak bisa, lapor pada aku secepatnya. Mengerti?"
"Mengerti, Kang!"
"Nah, cepat kerjakan!"
"Baik, Kang."
Orang yang dipanggil Balura itu berlalu sambil mengajak beberapa temannya dengan tergopoh-gopoh. Lari mereka kencang, bukan seperti orang kebanyakan. Kalau dahulu mereka hanya memiliki ilmu silat kasar dan pasaran, tapi sejak Jarot yang menjadi pimpinan, ia tak segan-segan memberikan pelajaran ilmu silat yang dimilikinya kepada mereka.
Orang-orang itu baru saja berlalu, dan Jarot berjalan pelan melangkah ke sebelah Ki Pranata ketika tiba-tiba melesat sebuah bayangan dari wuwungan rumah. Pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu cepat-cepat bersiaga melangkah ke depan Ki Pranata. Dilihatnya seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata lebar dan rambut pendek berdiri ke atas. Hidungnya pesek, dan mengenakan celana pendek tanpa pakaian hingga terlihat tulang-tulang rusuknya yang bertonjolan.
"Siapa kau...?" bentak Jarot lantang.
"He he he...! Kaukah yang menjadi pimpinan keamanan desa ini?"
"Betul. Apa maksudmu mendatangi tempat ini dengan cara seperti maling, dan siapa kau sebenarnya? Kalau punya niat buruk, sebaiknya cepat berlalu sebelum kuseret seperti anjing!"
Laki-laki bertubuh tinggi kurus dan bermuka buruk seperti jerangkong itu kembali tertawa terkekeh.
"He he he...! Sungguh besar nyalimu berkata demikian padaku, Bocah. Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa saat ini? Namaku Warangka Gering dan orang-orang memberi ku gelar Hantu Bukit Angsa. Gurumu sendiri belum tentu berani selancang itu padaku."
"Hmmm, Hantu Bukit Angsa...? Baru kudengar namamu sekarang. Nah, Kisanak apa keperluanmu datang ke sini?"
"He he he...! Kudengar juragan mu itu berharta banyak, sedangkan aku miskin. Tolong kau katakan padanya aku ingin minta sedikit saja."
"Lancang sekali kau!" bentak Jarot. "Meliha caramu datang dengan tidak semestinya menunjukkan bahwa kau berniat buruk. Tapi kalau kau datang dengan cara baik-baik, Ki Pranata tentu dengan senang hati memberinya."
"Sebentar Jarot..." potong Ki Pranata sambil berdiri tegak di samping pemuda itu. Ditatapnya orang asing itu dengan wajah ramah.
"Kisanak, kalau kau lapar, masuklah ke dalam. Dengan senang hati aku akan memberimu makan. Dan bila kau memang betul miskin, aku tak keberatan memberimu beberapa keping uang perak."
"Ha ha ha...! Kau tentu Kepala Desa yang dermawan. Kalau demikian pasti tak keberatan kalau aku minta seluruh harta bendamu yang ada di rumah ini," sahut Warangka Gering sambil bertolak pinggang.
Mendengar itu tentu saja Jarot naik pitam, dan Ki Pranata merasa tak perlu lagi ia beramah tamah dengan orang asing itu.
"Jarot, lebih baik kau usir pengemis tak tahu diri ini!" perintah Ki Pranata sambil membalikkan tubuh bermaksud ke dalam.
"Baik, Ki!" sahut Jarot mantap.
Pemuda itu langsung melompat ke dekat orang asing itu. Wajahnya menunjukkan kegarangan.
"Kisanak, pergilah kau dari sini. Cepat!"
"Ha ha ha...! Aku semakin suka saja melihat sikapmu, Bocah. Tapi mengusirku tak semudah apa yang kau bayangkan. Kalau kau bisa mengalahkan piaraan ku, boleh kau berbangga diri dan menepuk dada sambil berkata kau memiliki kepandaian yang tak bisa dianggap rendah."
Setelah berkata begitu, Warangka Gering bersuit nyaring. Dalam sekejap saja melesat sebuah benda berwarna keemasan dari balik rerimbunan pohon dan langsung menyambar Jarot.
"Wuss!"
"Utfs!"
Jarot terkejut bukan main. Dia berpikir bahwa itu mungkin adalah sebuah senjata rahasia yang dilontarkan anak buah Warangka Gering. Namun setelah dilihat dengan teliti ternyata lima seekor burung jalak yang memiliki warna bulu kuning keemasan. Burung jalak itu terus menyambar. Dalam satu pukulan tentu ia akan hancur tak berbentuk, pikir Jarot.
"Wut!"
"Bet"
"Hup!"
Kembali Jarot dibuat terkejut. Bukan saja jalak itu mampu menghindari pukulannya, tapi juga dengan cepat membalas. Ia tak mau menanggung resiko dengan membiarkan dirinya dipatok. Pada serangan pertama tadi tercium bau busuk bercampur hawa panas dari paruh burung itu. Bisa jadi hewan itu bukan burung biasa, melainkan burung yang telah terlatih dan memiliki racun ganas pada paruhnya.
"He he he...! Cuma segitukah kemampuanmu? Menghadapi seekor burung saja sudah kewalahan," ejek Warangka Gering.
"Setan!" maki Jarot. "Jangan salahkan aku bila binatang keparat ini mampus di tanganku!"
"Wut!"
"Hiyaaa...!"
"Prek!"
Burung jalak itu memekik kesakitan ketika sebelah sayapnya terkena hantaman tangan kanan Jarot. Tapi burung itu masih bisa terbang dan melesat kembali menyerang lawan.
"Mampus kau binatang keparat!" teriak Jarot.
"Yeaaaah...!"
- www.sonnyogawa.com -
"Plak!" "Buk!"
Jarot merasa perutnya mau meledak menerima tinju menggeledeg yang dilakukan lawan pada saat ia bersiap mengerahkan tenaganya untuk menghantam burung tadi. Agaknya Warangka Gering merasakan bahwa Jarot itu bukanlah orang sembarangan. Gerakan tubuhnya yang ringan, serta tenaganya yang kuat sudah pasti akan membuat binatang peliharaannya mati. Untuk itulah ia merasa perlu turun tangan. Walaupun Jarot mengetahui hal itu dan mencoba menangkis, namun lawan lebih cepat lagi bergerak.
"Manusia busuk! Kini kau mencari kelemahan di saat aku tak siaga. Begitukah caramu menghadapi lawan?" maki Jarot sambil menjejakkan kakinya dengan mantap dan mengusap darah yang menetes di sudut bibirnya.
Ki Warangka Gering yang menyebut dirinya sebagai Hantu Bukit Angsa itu terkekeh-kekeh sambil bertolak pinggang. Namun belum lagi ia berkata apa-apa, tiba-tiba muncul anak buah Jarot di tempat itu. Semuanya memandang heran pada orang asing berwajah menyeramkan ini. Namun ketika menyaksikan darah yang menetes di bibir Jarot, mengertilah mereka apa yang telah terjadi.
"Apakah perlu kami ringkus orang ini, Kang?" tanya Balura yang merupakan tangan kanan Jarot dengan wajah gemas.
"Dia bukan lawanmu, sebaiknya kalian lindungi saja Ki Pranata dari bahaya. Oh ya, apa yang terjadi di sana?"
"Kebakaran, Kang! Tapi pelakunya tak ditemukan."
"Sudah kalian atasi?"
"Sudah, Kang. Hanya..." Balura menundukkan kepalanya dengan wajah lesu.
"Hanya kenapa?"
"Kebakaran itu agaknya cuma pancingan belaka, sebab begitu semua reda, timbul kepanikan lain. Barang-barang berharga di rumah penduduk hilang entah kemana..."
"Apa...?" sepasang alis Jarot terangkat tinggi. Wajahnya terlihat bertambah garang.
Dalam keadaan demikian pandangannya tertuju penuh kebencian terhadap Warangka Gering yang masih memandangi mereka sambil tersenyum-senyum kecil.
"Hantu Bukit Angsa, tentu semua ini perbuatanmu?" dengus Jarot geram.
"He he he he...! Kalau memang benar, kau mau apa?"
"Bedebah! Kembalikan semua barang-barang itu, atau terpaksa aku akan mencincangmu!" Jarot terlihat sengit.
Tiba-tiba saja goloknya telah tergenggam di tangan. Melihat lawan masih cengar-cengir, amarahnya tak bisa tertahan lagi. Dengan satu teriakan keras diserangnya orang bertubuh tinggi kurus itu.
"Sret!"
"Hiyaaat...!"
Goloknya berkelebat ke seluruh tubuh lawan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Tapi Hantu Bukit Angsa masih sempat mendecah menghindar dengan gerakan yang sangat indah dan ringan sekali.
"Ck ck ck ck... bukan main. Orang sepertimu lah yang pantas menjadi anak buahku. Ayo, seranglah aku lebih cepat lagi! Cari semua bagian tubuhku yang terlemah."
"Jangan banyak bicara kau, keparat! Kalau bukan kau, biarlah aku yang mampus hari ini!" bentak Jarot berang.
"Hiyaaa...!"
"Ah, kenapa kau begitu nekat? Dan siapa yang inginkan kematianmu? Aku justru ingin agar kau mau bekerja sama denganku."
"Huh, jangan harap aku mau bekerjasama dengan maling busuk sepertimu!"
"Hmmm, begitu? Kita lihat saja nanti..." terdengar dingin suara Warangka Gering.
Tiba-tiba ia berteriak nyaring hingga menggetarkan semua benda yang berada di tempat itu. Beberapa orang anak buah Jarot tumbang dengan darah mengucur lewat hidung, mata dan telinga. Sebagian lagi yang memiliki tenaga dalam tinggi berusaha menutup segala panca indra, namun demikian lama kelamaan keadaan mereka nyaris sama dengan teman-temannya yang lain.
Ki Pranata sendiri sudah berguling gulingan sambil menjerit kesakitan. Balura, satu-satunya anak buah Jarot yang mampu bertahan bermaksud menolong tuannya itu, tapi baru saja ia melepaskan konsentrasinya, saat itu pula pengaruh lawan menghantam dirinya. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun lebih itu menjerit keras.
"Bedebah!" maki Jarot sambil menyilangkan kedua tangannya. Dia sendiri walau mampu mengatasi serangan tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat pengerahan suara itu, tetap saja tak leluasa bergerak untuk menyerang.
"Hiyaaaa...!"
"Tuk! Tuk!"
Sekali berkelebat, Hantu Bukit Angsa yang mengetahui bahwa Jarot itu tak akan mampu menangkis dari serangannya, langsung menotok hingga tubuh Jarot ambruk tanpa daya. Sekali lagi ia bergerak, maka tubuh Balura telah berada dalam kepitannya.
"Ha ha ha...! Aku memerlukan orang-orang gagah seperti kalian untuk mewujudkan cita-citaku!"
Setelah puas tertawa, Warangka Gering itu segera bersuit nyaring, tak berapa lama muncul sebuah gerobak berukuran besar yang ditarik dua ekor kuda. Dan saisnya seorang laki-laki tua dengan tubuh bungkuk dan memiliki punuk di punggungnya. Rambutnya panjang telah memutih sebagian. Ketika wajahnya terangkat, terlihat sebelah matanya buta dan terus mengeluarkan air. Dan dari balik jubahnya yang lusuh berderet puluhan pisau-pisau kecil di pinggangnya.
"Ki Sapan Oyot, angkut semua barang-barang yang ada di dalam. Sementara dua orang ini biar kubawa langsung," perintah Warangka Gering.
"Baik, Gusti..." sahut Ki Sapan Oyot itu dengan suara patuh.
Setelah berkata demikian, Warangka Gering langsung berlalu sambil terkekeh kekeh girang. Dari angkasa terlihat seberkas sinar berwarna kuning keemasan berasal dari burung jalaknya yang mengikutinya dengan setia.
"He he he he...!"
***
DUA
Pemuda berambut gondrong dengan pakaian terbuat dari kulit harimau itu berlari-lari kecil mengejar seekor monyet kecil yang berada di depannya.
"Eee, kau betul-betul ingin berlomba lari denganku, heh?"
"Nguk! Nguk...!"
"Awas kau kalau dapat ya? Kau mesti mencarikan aku buah-buahan yang paling segar!" ancam pemuda itu sambil menggenjot tubuhnya. Sebentar saja terlihat langkah kakinya cepat bukan main seperti tidak menapak tanah saja layaknya.
"Nguk...!"
"Kena kau!"
Begitu jarak mereka dekat, dengan tiba-tiba monyet kecil berbulu coklat itu dengan cepat meloncat ke atas, kemudian terus meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya.
"Sialan kau, Tiren! Pandai juga kau menghindar ya? Tapi kali ini jangan harap kau bisa lolos dari kejaranku!"
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Pulau Neraka itu menggenjot tubuhnya ke atas pada sebuah dahan yang diperkirakan akan dilalui oleh monyet itu. Tapi monyet bernama Tiren itu ternyata amat cerdik. Mengetahui dirinya dijaga, ia langsung mengalihkan tujuan dengan melompat ke dahan yang lain. Tapi pada saat itu juga tubuh Bayu melesat cepat menyambarnya.
"Tap!"
"Kaakh...!"
"Rasakan kau! Kau pikir gerakanmu sudah lebih gesit dibanding aku, ya? Nah, mau kemana sekarang?" ejek Bayu sambil menggenggam erat-erat ekor Tiren.
Monyet kecil itu berteriak-teriak seolah tak senang dirinya dihina demikian. Ekornya ditarik ke atas sedang kepalanya terletak dalam posisi bawah. Lalu dengan seenaknya Bayu membawanya berlari-larian dari satu dahan ke dahan yang lain seperti dirinya tadi.
"Ayo, sekarang kau harus ku hukum. Sekarang perutku lapar, dan kau harus mencarikan ku buah pisang dan papaya yang lezat!" perintah Bayu Hanggara sambil melepaskan kembali Tiren.
Tapi begitu dilepaskan, Tiren cepat berputar dua kali dan melompat ke dahan yang lebih kecil sebesar ekornya. Terlihat dahan itu bergoyang-goyang dalam keadaan genting. Tapi Tiren malah kembali berputar-putar sambil menepuk kedua tangannya dengan mulut cengar-cengir seperti mengejek Bayu.
"Eee, kau pikir aku tak bisa mengejar di dahan itu ya? Awas kau kalau kena!"
Bayu Hanggara baru saja akan bergerak ketika pendengarannya yang terlatih baik mendengar jeritan seseorang yang tak jauh dari tempatnya itu.
"Ouw, tolong...!"
"Heh...?! Apa itu...?"
Tanpa pikir panjang Bayu langsung menggenjot tubuhnya dan melesat cepat ke arah datangnya sumber suara itu. Tak jauh di belakangnya Tiren mengikuti lewat cabang-cabang pohon, bergelantungan. Pada sebuah tempat yang tak jauh dari pinggiran jalan terlihat seorang gadis dalam dekapan seorang laki-laki kasar bertubuh besar. Kedua tangan dan kakinya dipegangi oleh dua orang temannya.
Sementara tujuh orang lagi teman mereka berdiri terkekeh-kekeh memperhatikan. Tak jauh dari situ terlihat sebuah pedati yang ditarik seekor kerbau, dan seorang laki-laki tua dengan wajah dan tubuh berlumuran darah berteriak-teriak agar orang-orang itu menghentikan perbuatan biadabnya terhadap gadis itu. Seorang dari mereka nampak menindih leher si orang tua seperti mengancam, kalau saja dia berani bergerak maka kaki itu siap mematahkan lehernya.
"Manusia-manusia keparat, hentikan perbuatan kalian!" bentak Bayu dengan wajah beringas menahan amarah.
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan tangan kanannya menghantam ke depan. Laki-laki yang menindihkan kakinya ke leher orang tua itu terpekik kesakitan ketika tubuhnya melayang sejauh tiga tombak.
"Akh...!"
Bukan main kagetnya si Brewok yang sedang menindih tubuh gadis itu. Sepasang matanya nampak beringas, dan pelipisnya mengembung. Ingin rasanya saat itu juga dirancahnya pemuda berambut gondrong yang mengacau keasyikannya tadi.
"Siapa kau, bocah? Apakah kau sudah bosan hidup, mengganggu kesenangan Walukarnawa, si Dedemit Rimba Iblis?" bentak si Brewok garang.
"Hm, kaukah yang punya gelar dahsyat itu?
Pernah kudengar namamu..." sahut Bayu Hanggara dingin.
Mendengar itu si Brewok bernama Walukarnawa terbahak-bahak kegirangan. Dalam pikirannya tentulah pemuda itu mulai ciut nyalinya mendengar nama besar Dedemit Rimba Iblis.
"Ha ha ha...! Bagus, kau telah mengenal nama besarku. Nah, sekarang aku sedang enggan membunuh orang. Kuampuni jiwamu itu. Tapi cepat pergi dari hadapanku!"
"Tentu saja aku akan pergi, tapi bersama gadis itu dan orang tua yang kalian aniaya, serta pedati dan isinya," sahut Bayu kembali dengan suara lebih kalem.
Sepasang mata Walukarnawa yang semakin bertambah seram ketika mendengar kata-kata Bayu.
"Wueeeh, rupanya kau bosan hidup, bocah! Mampuslah kau!" bentaknya sambil memberi perintah pada anak buahnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang anak buahnya langsung mencabut golok besar dipunggung mereka dan menyerang Pendekar Pulau Neraka itu dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Yeaaah...!"
"Plak!"
"Buk!"
Ketiga orang menjerit kesakitan dengan tubuh terpental. Dari mulut mereka keluar darah segar, sedangkan senjata mereka terpental entah kemana. Walukarnawa terkejut bukan main. Dalam segebrakan saja ketiga anak buahnya dibuat tak berdaya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Hmm, namaku tak perlu kau tahu, tapi yang perlu kau tahu adalah apa yang kuinginkan. Cepat lakukan atau aku bertindak lebih keras pada kalian?"
"Keparat!" geram Walukarnawa sambil membuang ludah. "Kau pikir sedang berhadapan dengan siapa saat ini? Huh, segala bocah bau kencur mau berlagak di hadapanku. Serang!"
Sisa-sisa anak buahnya langsung menerjang ke arah Bayu Hanggara dengan wajah garang. Sebenarnya sudah sejak tadi mereka ingin menghajar Bayu, tapi tak seorang pun berani bertindak kalau belum diberi perintah oleh ketuanya. Walukarnawa sendiri angin-anginan dan sukar ditebak niatnya. Terkadang ia berbaikan dengan musuh, dan tak segan-segan menghukum bahkan membunuh anak buahnya sendiri. Begitu pun sebaliknya.
"Hiyaaa...!"
***
Bayu Hanggara geram bukan main. Dan nampaknya ia tak mau berlama-lama bermain dengan mereka. Secepatnya ia mengibaskan tangan kanan maka saat itu juga melesat secercah sinar keperakan menghantam lawan sambil berputar-putar.
"Wuss!"
"Aaaa...!"
Tiga orang ambruk dengan dada bolong dihantam Cakra Maut yang dilepaskan Bayu. Sementara detik berikutnya saat benda itu kembali berputar, tiga orang lagi menjerit nyaring sambil menggelepar-gelepar kesakitan. Dada mereka bolong seperti teman-temannya yang pertama dan darah mengucur deras dari lubang itu. Walukarnawa kaget bukan kepalang begitu melihat benda yang dilepaskan Bayu.
"Hah, Cakra Maut? Apakah kau Pendekar Pulau Neraka?!"
Bayu Hanggara mengibaskan tangannya ke atas, dan Cakra Maut yang sedang berputar-putar mengincar lawan berikutnya kembali pulang dan menempel erat di tangan kanannya. Bayu mendengus sinis.
"Benar apa yang kau katakan tadi. Nah, pergilah kalian cepat dan jangan paksa aku untuk menumpahkan darah lagi!"
"Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, sudah lama kudengar nama besarmu. Kalau kau kira aku takut, kau salah besar. Justru aku ingin sekali menjajal ilmu silatmu yang menurut khabar burung tiada terkira hebatnya," sahut Walakarnawa sambil memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Dua buah golok besar dilemparkan ke arahnya. Laki-laki brewok itu langsung membuang warangkanya sehingga terlihat dua buah golok besar yang tajam berkilat-kilat.
"Apa maksudmu, Walukarnawa?"
"Tidak tahukah kau? Aku menantangmu Pendekar Pulau Neraka. Kalau betul kehebatanmu seperti yang dikhabarkan banyak orang, aku rela berlalu dari tempat ini tanpa kau minta sekalipun."
"Hmm, jangan memaksaku untuk bertindak
keras, sobat...."
Namun sebagai jawabannya tubuh besar itu melompat ringan sambil menghantamkan sepasang golok besarnya ke arah Bayu Hanggara. Pemuda itu masih tak bergeming. Tiren yang sejak tadi memperhatikan, menjerit keras sambil menutup kedua matanya dengan tangan.
Semua orang yang melihat kejadian itu pun sama tertegun. Benarkah pemuda itu Pendekar Pulau Neraka yang terkenal kosen? Tapi kenapa saat ini begitu pasrah? Ah, dia pasti terbunuh di tangan Walukarnawa kalau tak berusaha menghindar, pikir si orang tua pemilik pedati yang mendekap putrinya erat-erat.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
"Bedebah! Terima seranganku berikut ini!" bentak Walukarnawa.
Sejengkal lagi kedua golok lawan akan merencah tubuhnya menjadi beberapa potong, Bayu melesat ke belakang. Tubuhnya ringan seperti kapas saja layaknya. Begitu kakinya menjejak tanah, saat itu pula tubuhnya melesat menerkam lawan.
"Hiyaaa...!"
"Sret!"
"Bet!"
Sepasang golok besar di tangan Walukarnawa bukan main hebatnya. Berkelebat dengan ringan seperti menyapu seluruh permukaan kulit Bayu. Tapi Bayu dengan mudahnya menghindar. Namun untuk serangan berikutnya terasa lebih cepat dan kuat. Pendekar Pulau Neraka mulai merasakan tekanan lawan. Bisa dipastikan kalau ia terus bertahan maka dalam tiga jurus di muka senjata lawan akan melukainya. Dengan geram ia berteriak nyaring sambil melompat ke belakang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya ke atas, dan saat itu juga melesat Cakra Maut ke arah lawan. Sedangkan dia sendiri begitu menjejakkan kaki, kembali berkelebat menyerang Walukarnawa.
"Trak!"
"Bukh!"
"Akh!"
Walukarnawa menjerit tertahan ketika dadanya kena hajar pukulan tangan kiri Bayu. sedangkan goloknya patah dua terkena sambaran Cakra Maut. Belum lagi sempat menjejakkan kaki ke tanah, Cakra Maut itu kembali berputar menghantamnya tanpa bisa ditahan. Dan....
"Bress!"
"Aaaa...!"
Walukarnawa alias Dedemit Rimba Iblis menjerit keras ketika Cakra Maut itu menyambar pinggangnya. Darah mengucur deras dari luka yang terkuak lebar. Tubuhnya sempoyongan untuk beberapa saat kemudian dengan mata mendelik lebar sebelum akhirnya ambruk ke tanah.
Melihat keadaan itu sisa-sisa anak buahnya lari ketakutan. Bayu membiarkan saja dan melangkah pelan ke arah orangtua beserta anak gadisnya yang tadi nyaris kehilangan kehormatannya. Si orang tua memberi hormat berkali-kali pada Bayu.
"Ah, terima kasih, Den. Terima kasih. Kalau tidak ada Aden entah bagaimana nasib kami."
"Sudahlah, Pak. Menjadi kewajiban manusia untuk saling tolong menolong dengan sesamanya. Kalau boleh tahu, siapakah bapak ini sebenarnya dan mau kemana tujuannya?" tanya Bayu ramah.
"Namaku Indrapura, dan ini putri ku Sekar Harum. Kami bermaksud mengungsi karena dikampung kami terjadi suatu musibah besar."
"Musibah? Musibah apa, Pak?"
"Orang-orang Hantu Bukit Angsa merampok segala harta benda penduduk dan tak segan-segan membunuh mereka yang menghalangi. Mereka juga menculik anak-anak serta pemuda-pemuda tertentu."
"Hantu Bukit Angsa? Siapa mereka?" tanya Bayu heran. Selama ini nama itu baru didengarnya, dan sepak terjang mereka belum banyak diketahuinya.
"Entahlah. Tak seorang pun yang mengetahui siapa mereka sebenarnya. Tapi mereka kejam dan amat buas, bahkan tak berperikemanusiaan sama sekali."
Pendekar Pulau Neraka menganggukkan kepalanya berkali-kali sambil bergumam pelan.
"Hem, Hantu Bukit Angsa...?"
"Kalau tak keberatan, bolehkan kami mengetahui siapa sebenarnya Kisanak ini? Apakah kau yang dikenal Pendekar masyhur yang dikagumi di rimba persilatan bergelar Pendekar Pulau Neraka?"
"Begitulah, orang-orang memanggilku, Pak. Namaku Bayu Hanggara. Nah, karena tak ada persoalan lagi aku mohon pamit dulu," sahut Bayu.
Lalu berlalu dengan cepat setelah mengajak Tiren, monyet kecil sahabatnya itu. Sepeninggalnya Bayu, si orang tua itu melanjutkan perjalanan bersama dengan anak gadisnya.
"Ayah, apakah kita akan bertemu lagi dengan pemuda itu?" tanya putrinya.
Orang tua itu melirik, kemudian tersenyum kecil.
"Pendekar seperti dia sulit untuk menetap di suatu tempat, Nak. Tapi siapa tahu suatu saat kita akan bertemu lagi dengannya. Kenapa kau tanyakan hal itu? Ayah lihat tadi kau cuma diam dan menundukkan kepala."
"Ah, tidak apa-apa...."
"Kau suka padanya...?"
"Ayah...."
Orang tua itu terkekeh-kekeh melihat wajah putrinya bersemu merah sambil memalingkan muka. Tak berapa lama mereka berlalu, beberapa sosok bayangan tiba di tempat itu. Wajah mereka terlihat kaku dan pandangan matanya kosong ke depan. Salah seorang yang berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan pakaian hitam dan kumis melintang memeriksa salah seorang yang tak lain dari Walukarnawa.
"Detak jantungnya masih terasa, cepat bawa dia. Junjungan kita pasti suka. Dia memenuhi syarat untuk menjadi pengikutnya."
"Baik!"
Orang-orang itu kemudian membawa tubuh Walukarnawa, dan langsung melesat cepat dari tempat itu. Dari gerakan mereka yang ringan dapat dipastikan bahwa orang-orang itu memiliki kepandaian yang tinggi.
***
TIGA
Siang ini terasa panas sekali. Matahari seolah bersinar garang membakar isi bumi. Bayu Hanggara berkali-kali mendesah kesal sambil menyeka keringat. Monyet kecil, Tiren yang bertengger di bahunya berteriak-teriak kecil sambil sesekali berpindah tempat dari bahu yang kiri ke bahu yang kanan.
"Tenanglah, Tiren. Aku tahu kau haus. Sebentar lagi kita akan tiba di sebuah desa. Lalu kita akan minum sepuas-puasnya."
"Nguk! Nguk!"
"Ya. ya. Nah, kau lihat di ujung sana? Ayo bersiap, kita akan menuju ke sana secepatnya," kata Bayu lagi sambil berlari cepat.
Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah desa yang cukup ramai. Bayu melirik ke kiri kanan mencari sebuah kedai nasi. Setelah yang dicari ditemukannya, Bayu langsung memesan beberapa bumbung tuak. Diberikannya dua bumbung tuak kepada sahabatnya, Tiren dan langsung menenggaknya dengan rakus.
"Hi hi hi hi...! Mudah-mudahan kau tidak mabuk, Tiren. Kalau sampai kau mabuk akan lucu di lihat."
"Nguk! Nguk!" Tiren menganggukkan kepala kemudian menyeringai lebar. Kedua tangannya menepuk-nepuk perutnya sendiri.
"Oh, kau lapar? Ya, sebentar lagi pesanan kita akan diantar," sahut Bayu mengerti isyarat yang diberikan Tiren.
Sambil menunggu pesanannya, Bayu melempar pandang ke seluruh kedai. Hari ini terlihat banyak sekali pengunjung. Mereka terdiri dari berbagai kalangan. Diantaranya terdapat beberapa orang yang dilihat dari potongannya pastilah orang-orang persilatan. Lima orang yang berada di dekatnya nampak bercerita dengan mimik yang serius sekali.
"Betul Ming! Orang-orang Hantu Bukit Angsa itu kini merajalela di mana-mana. Baru kemarin mereka menghancurkan Perguruan Kipas Sakti. Sebelumnya Perguruan Bulan Sabit dibantai oleh mereka tanpa perikemanusiaan," kata seorang yang bertubuh kurus.
"Memangnya mereka dari mana?"
"Entahlah. Tapi ada yang mengatakan mereka berasal dari sebuah pulau di tengah telaga."
"Telaga apa?"
"Telaga Sorangan. Letaknya di sebelah selatan Gunung Kanjengan.
Teman-temannya mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah takjub bercampur ngeri.
"Khabarnya banyak tokoh-tokoh persilatan yang bergabung dengan mereka, ya?" tanya salah seorang temannya.
"Hah, apa betul?" tanya temannya yang seorang lagi.
"Betul!" sahut orang yang tadi mulai bercerita.
"Aku melihat sendiri. Bukan hanya tokoh-tokoh golongan hitam, tapi juga tokoh-tokoh golongan putih. Diantara mereka juga terlihat anak-anak tanggung."
"Wah...! Untuk apa anak-anak itu ikut? Mereka pasti mati sia-sia."
"Jangan salah sangka, Gor! Anak-anak itu gerakannya gesit dan tangannya kuat. Aku juga tak tahu kenapa. Mungkin mereka telah dilatih dengan keras sebelumnya."
"Ah, rasanya tak masuk diakal! Mana mungkin bocah-bocah tanggung itu mampu menewaskan orang dewasa yang memiliki ilmu silat?!" bantah temannya.
"Bisa saja. Wong kalau mereka itu diguna-gunai, hayo?!"
"Iya, ya..." temannya tadi itu hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu secara diam-diam Bayu menguping pembicaraan mereka dan bertanya-tanya dalam hati. Siapa sebenarnya Hantu Bukit Angsa itu, dan apa maksud dari semua tindakannya itu?
Dalam beberapa waktu saja namanya mulai menggegerkan rimba persilatan. Banyak sudah tokoh-tokoh persilatan yang tewas, dan banyak pula diantara mereka yang hilang tanpa bekas. Menurut apa yang didengarnya pula, selain membunuh, anak buah Hantu Bukit Angsa pun merampok harta benda penduduk yang paling berharga.
Tengah Bayu Hanggara termenung memikirkan orang yang sering menjadi pembicaraan semua kalangan belakangan ini, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari ujung desa.
"Kebakaran! Kebakaran...!"
"Hah, kebakaran?!" Bayu segera berdiri kemudian cepat berlalu setelah membayar apa yang dimakannya pada pemilik kedai itu.
***
Apa yang dilihat Bayu itu memang tak salah. Dari kejauhan terlihat asap hitam membumbung tinggi, dan nyala api berkobar di tiga rumah. Tapi bukan hanya itu saja yang terlihat oleh Bayu. Beberapa orang yang berpakaian hitam-hitam nampak sedang membantai beberapa orang penduduk yang berusaha mempertahankan diri. Beberapa buah gerobak yang ditarik kuda berjalan pelan di belakang mereka. Sebagian dari orang-orang yang berpakaian serba hitam itu keluar masuk rumah penduduk sambil membawa barang-barang berharga mereka.
"Ada apa ini?" tanya Bayu begitu ia mendekat dan mencolek salah seorang dari mereka yang berpakaian hitam-hitam itu.
"Minggir kau bocah!"
"Uts, sialan! Ditanya baik-baik malah seenaknya mau main bunuh. Terimalah ini!" Pendekar Pulau Neraka bukan main terkejut ketika orang itu langsung membabatkan golok. Sambil memaki Bayu berkelit dan balas menendang.
"Bet!"
Sapuan kaki kanan itu berhasil dengan mudah dielakkan lawan, dengan menundukkan kepala langsung balas menyerang menyabetkan goloknya. Namun pada saat itu tubuh Bayu telah berputar dan kaki kirinya tak mampu dielakkan lawan.
"Begkh!"
"Ughk...!"
Orang yang berpakaian serba hitam itu mengeluh pelan ketika tendangan kaki kiri Bayu menghajar telak perutnya. Tubuhnya terangkat setengah tombak, namun ia jatuh dengan kedua tangan menyentuh tanah dan bersalto dengan golok tetap berada di tangan. Tatapan matanya buas manakala ia menggeram garang.
"Mampus kau!"
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka mulai gemas hatinya. Tubuhnya berkelebat cepat mengimbangi gerakan lawan. Kemudian tiba-tiba terdengar jerit kesakitan yang disusul dengan terjerembabnya tubuh lawan sejauh dua tombak. Dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya terlihat megap-megap, dan golok di tangannya terpental entah kemana.
"Jangan salahkan aku kalau aku bertindak keras padamu. Siapa kau, dan apa maksud kalian merampok harta benda penduduk?!" bentak Bayu dengan wajah marah.
"Hiyaaa...!"
"Uts, sialan!"
"Plak!"
"Buk!"
Bukannya jawaban yang diterima Bayu melainkan serangan ganas dari dua orang teman si baju hitam itu dengan golok terhunus. Namun dengan cepat ia memutar tubuh sambil berkelit dan menangkis. Tangan kirinya menghantam pergelangan tangan dan membuat golok di tangan lawan terpental. Sementara kaki kirinya menendang ke arah lambung lawan yang satu lagi.
"Akh!"
Keduanya menjerit tertahan. Hal itu membuat perhatian teman-temannya yang lain tertuju pada Bayu. Salah satunya adalah seorang yang bertubuh gemuk pendek dengan dahi licin memegang sebatang toya. Sepasang matanya menyipit dan wajahnya terlihat sinis saat ia melangkah pelan ke arah Bayu Hanggara. Melihat itu yang lain nampak tak berani bertindak. Agaknya orang inilah pemimpin dari rombongan itu.
"Siapa kau?" bentaknya.
"Aku cuma seorang pengembara yang kebetulan lewat dan tak suka melihat kelakuan kalian yang buruk. Siapa pun kalian, pergilah dari sini dan tinggalkan barang-barang berharga itu."
"Huh, agaknya kau tak mengenal Hantu Bukit Angsa, bocah! Aku adalah Buncak Seguntang, salah seorang anak buahnya yang paling ditakuti. Menyingkirlah kau sebelum kupecahkan batok kepalamu!"
"Hmm, Buncak Seguntang... namamu cuma ditakuti oleh tikus-tikus got yang kelaparan, tapi jangan harap aku akan menggigil ketakutan mendengar namamu. Satu-satunya yang membuatku menggigil adalah kepergian kalian. Itu pun karena senang, bukan ketakutan," balas Bayu mengejek.
"Kurang ajar! Kau perlu diberi pelajaran, bocah!"
"Hiyaaa...!"
"Haeet...!"
Toya di tangan Buncak Seguntang berputar kencang menimbulkan desir angin kencang hingga debu-debu di sekitar tempat itu beterbangan hingga membuat tubuhnya sulit dilihat. Namun bukan cuma itu, sebab ketika ia mulai berkelebat, dengan mata biasa pun sulit untuk melihatnya. Agaknya Buncak Seguntang tak mau menganggap remeh pada pemuda itu hingga langsung mengerahkan segenap kemampuannya.
Pendekar Pulau Neraka sendiri tentu saja tak mau tinggal diam. Melihat lawan ingin segera menghabisi nyawanya secepat mungkin ia langsung bergerak cepat menyambut serangan lawan. Pertarungan antara keduanya tak dapat dihindari lagi. Berlangsung cepat sekali hingga untuk mereka yang matanya tak terlatih, akan sulit mengikuti apalagi menentukan siapa yang keluar sebagai pemenang.
***
Penduduk kampung yang melihat kehadiran seorang pemuda tampan berwajah keras tiba-tiba merasa seperti melihat kehadiran dewa penolong. Mereka merasa berterima kasih sekali. Beramai-ramai mereka menonton dengan dada penuh harap bercampur cemas. Kalau saja pemuda itu tak berhasil membereskan orang-orang ini, nasib mereka tentu buruk sekali. Sudah kehilangan harta, bisa jadi kehilangan nyawa pula.
Tak heran bila pada saat itu sebagian dari penduduk desa menggunakan kesempatan ini untuk mengungsi sambil membawa barang-barang secukupnya. Namun mereka yang yakin bahwa pemuda itu dapat mengatasi gerombolan ini berharap penuh sambil terus berdo'a di dalam hati.
"Duh, Gusti. Mudah-mudahan betul janjimu yang akan menurunkan malaikat penyelamat bagi kaum yang tertindas," gumam seorang Bapak tua sambil menyaksikan pertarungan itu dengan wajah takjub bercampur was-was. Orang tua ini tak memiliki harta banyak, melainkan sebidang tanah tempatnya menetap dan bercocok tanam. Dari situlah ia hidup bersama istri dan dua orang putra-putrinya yang sedang beranjak dewasa.
"Kang, kira-kira pemuda itu bisa menang apa ndak?" tanya anak perempuan yang berkulit sawo matang dan berwajah manis pada abangnya.
"Mana ku tahu, Lastri. Berdo'a saja semoga dia menang."
"Tapi ilmu silatnya hebat lho, Kang!"
"Dari mana kamu tahu?"
"Ya, tahu saja! Biasanya orang yang bertampang begitu pasti memiliki ilmu tinggi."
"Tampang bagaimana?"
"Tampan, gitu lho!" sahut adiknya sambil memalingkan wajah gemas melihat ketololan abangnya.
"Wueeeh, kamu ini yang ndak-ndak saja. Tampang bukan ukuran seseorang itu berilmu tinggi atau tidak. Itu sih karena kamu naksir dia saja.
Hayo, benarkan?!"
"Ah, ndak kok...!"
"Ah, kamu bohong! Kalau aku melihat sendiri kehebatannya waktu merobohkan ketiga orang anak buahnya dengan mudah. Wueh, gerakannya cepat seperti setan. Orang itu dengan seenaknya dia jatuhkan."
"Masa, Kang?"
"Eeeh, betul."
Gadis bernama Sulastri itu semakin takjub saja mendengar cerita abangnya. Ketika tadi timbul kekacauan, ia memang tak sempat memperhatikan kehadiran pemuda itu sebab membantu ibunya membenahi barang-barang mereka yang tersisa. Barulah ketika terjadi pertarungan dan orang-orang yang merampas harta benda mereka mengerubungi pemimpinnya, ia sempat memperhatikan.
Sementara itu pertarungan telah berjalan lebih dari tujuh jurus. Bayu Hanggara mulai bosan meladeni lawan yang semakin penasaran saja karena toyanya sedikit pun belum mampu menyentuh tubuh Bayu sejak awal pertarungan.
"Pengecut! Apakah bisa mu hanya menghindar saja?! Ayo, balas seranganku!" teriak Buncak Seguntang dengan amarah yang meluap-luap.
"Huh, tak usah kau suruh pun aku memang
sudah muak melihat tampangmu!" balas Bayu.
Dengan satu loncatan tinggi Bayu berteriak nyaring sambil mengibaskan tangan kanannya ke atas. Saat itu pula mendesing Cakra Maut yang mengeluarkan sinar keperakan ke arah lawan. bertepatan dengan itu tubuh Bayu Hanggara melesat cepat mengirim serangan yang dibarengi tenaga dalam kuat.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Buk!"
"Crasss!"
"Aaaa...!"
Ketika Buncak Seguntang mencoba menangkis Cakra Maut yang melesat dari tangan Bayu, ia mencoba menangkis dengan toyanya. Tapi benda itu patah menjadi dua dihantam Cakra Maut. Walau demikian beruntung ia dapat berkelit dari sambaran selanjutnya. Namun saat itulah jotosan tangan kanan Bayu Hanggara menghantam dada, dan disusul dengan tusukan Cakra Maut yang kembali berbalik menyerangnya.
Jeritan panjang terdengar ketika tubuh gemuk itu sempoyongan sambil mendekap dadanya. Beberapa saat kemudian ambruk dan menggelepar-gelepar untuk kemudian diam tak bergerak dengan nyawa melayang. Seperti tidak mengalami keterkejutan melihat pemimpinnya tewas, saat itu juga seluruh orang-orang yang memakai baju serba hitam langsung mengurung dan menyerang pemuda itu sama garangnya dengan pemimpinnya tadi.
"Hiyaaa...!"
"Sialan! Kalau begini caranya aku tak punya pilihan lain. Mereka nampaknya nekad dan tak takut mati!" maki Bayu dengan wajah kesal. Tangan kanannya kembali mengibas, dan Cakra Maut yang tadi telah mengambil korban kini kembali melesat sambil berputar-putar mencari mangsa.
"Trak!"
"Tras!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Kembali terdengar jerit kesakitan yang disusul ambruknya dua orang ketika Cakra Maut itu menembus jantung mereka. Beberapa orang berusaha menangkis, cuma tersentak kaget melihat senjata mereka patah dua dihantam senjata lawan. Dalam keadaan demikian Bayu beraksi menghantam mereka dengan kecepatan tinggi.
"Buk! Buk!"
"Ughk!"
"Gusraaaak!"
Beberapa orang kembali terkejut sambil memegangi perutnya yang terasa mau pecah terkena tendangan dan pukulan Bayu. Dari mulut mereka memuncratkan darah segar. Sambil menahan nyeri dan tubuh bergetar, orang-orang itu berusaha bangkit dan kembali menyerang.
"Hiyaaa...!"
Bayu Hanggara mengibaskan tangan kanannya ke atas, dan Cakra Maut yang akan melesat ke arahnya kembali berbalik menyerang lawan. Saat itu pula tubuhnya melesat memapaki serangan lima orang lawan yang meluruk ke arahnya.
"Cras!"
"Crab!"
"Beghk!"
"Aaaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang yang memilukan hati disusul ambruknya beberapa sosok tubuh. Tiga orang disambar Cakra Maut pada dada sebelah kirinya, sementara lima orang lainnya dihantam pukulan serta tendangan Pendekar Pulau Neraka yang menggeledeg. Kali ini agaknya Bayu betul-betul naik pitam. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, dia tak menunggu lawan beraksi, namun langsung menyerang kembali.
"Hiyaaa...!"
"Bughk!"
"Crasss!"
"Aaaa...!"
Sisa gerombolan itu kembali berteriak nyaring ketika Cakra Maut dan pukulan Bayu melesat. Nyawa mereka putus saat itu juga. Dua orang yang terluka parah mencoba melarikan diri. Namun dengan gemas Bayu mengibaskan tangan kanan, dan Cakra Maut kembali mengambil korban. Namun ketika benda itu akan melesat seorang lagi, terlintas sesuatu di benak Bayu. Jika menumpas ular harus kepalanya lebih dulu, baru yang lainnya lumpuh. Yang ditumpasnya saat ini cuma anak buahnya saja. Kalau saja mereka dibunuhnya tanpa sisa, lalu siapa yang akan mengatakan semua ini pada ketua mereka yaitu si Hantu Bukit Angsa?
Berpikir demikian Bayu Hanggara buru-buru mengibaskan tangan kanannya. Cakra Maut yang saat itu siap menembus lawan seketika berbalik pada tuannya dan melekat erat di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu melirik sekilas pada mayat-mayat yang bergelimpangan itu, kemudian melangkah pelan menghampiri Tiren, sahabat kecilnya.
"Nguk! Nguk!"
Tiren langsung meloncat ke dalam pangkuannya sambil menundukkan kepala dengan wajah sayu.
"Tenanglah Tiren, aku tak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri..."
"Nguuuuk...!"
Bayu terkekeh ketika melihat wajah sahabatnya itu berubah riang dan melompat ke pundaknya, namun baru saja mereka hendak beranjak dari tempat itu, beberapa orang penduduk mendatangi sambil menjura hormat.
"Kisanak, anda telah menolong kami semua. Bagaimana caranya kami berterima kasih?" tanya seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih.
Pakaiannya bagus terbuat dari sutera halus. Tampangnya pun klimis sekali seperti bangsawan saja layaknya. Sesungguhnya dia memang orang paling kaya di desa ini. Kalau saja pemuda di hadapannya itu tak cepat turun tangan, tentu dalam sekejap hidupnya akan berubah menjadi gembel yang tak berguna. Atau lebih malang lagi, nasibnya tak akan tertolong menjadi korban kebrutalan anak buah Hantu Bukit Angsa.
"Sudahlah, lupakan hal itu..."
"Eeee, tapi aku tak terbiasa melupakan jasa orang begitu saja, Kisanak. Setidaknya, katakanlah siapa namamu?"
"Namaku Bayu Hanggara..."
Beberapa orang yang berada di situ tersentak kaget mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Salah seorang malah bergumam dengan nada kagum.
"Oh, dialah si Pendekar Pulau Neraka yang termasyhur itu!"
***
Yang lainnya pun bersikap sama dengan orang itu. Takjub bercampur senang, tidak menyangka bahwa mereka bisa bertemu dengan Pendekar Pulau Neraka yang namanya belakangan ini menggetarkan rimba persilatan dengan sepak terjangnya yang tak mengenal ampun.
Namun bagi si Hartawan yang memang jarang berkecimpung dan tak suka mengurusi orang-orang persilatan, malah terkekeh kecil sambil merangkul pundak Bayu dengan sikap yang sok akrab.
"Ah, namamu Bayu Hanggara? Nama yang bagus. Nah, Bayu kau telah menolong kami semua, aku pun akan membalas jasamu. Kalau kau tak keberatan kau boleh bekerja padaku sebagai kepala keamanan di rumahku. Bagaimana?"
Bayu tersenyum kecil.
"Terimakasih. Maaf aku tak tertarik...."
"Ayolah.... Bagaimana kalau kuberi kau gaji besar? Daripada berkeliaran tak menentu?"
"Maaf, aku tak tertarik dengan tawaran anda, Kisanak..." Bayu menepis tangan orang itu pelan sambil melangkah bermaksud meninggalkan tempat itu. Namun si Hartawan nampaknya belum putus asa.
"Bayu, salah seorang dari mereka kau biarkan melarikan diri, tentu nanti atau besok mereka akan kembali lagi ke sini dengan jumlah yang banyak. Saat itu hancurlah kampung ini tanpa sisa. Kalau kau sudi bekerja padaku, setidaknya kau bisa menyelamatkannya. Bukankah tugas seorang Pendekar adalah membantu yang lemah?" tanyanya sambil membarengi langkah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya diam saja dan terus melangkah.
"Atau bagaimana...?" tiba-tiba wajahnya berubah girang. "Aku memiliki seorang putri. Semua orang di desa ini memuji kecantikannya. Kalau kau tak keberatan, aku suka sekali kau berjodoh dengan anakku. Bagaimana...?"
Kembali Bayu melirik sekilas sambil tersenyum kecil.
"Maaf, aku tak tertarik sama sekali. Soal
orang-orang itu aku memang bermaksud menghadapinya, tapi bukan sebagai pekerjamu. Aku lebih suka bebas melakukan apa saja yang ku suka tanpa di bawah kendali orang lain. Jangan khawatir, orang tadi memang sengaja kulepaskan, agar pemimpinnya datang ke sini menemuiku," kata Bayu kalem.
Lalu tanpa mengacuhkan si hartawan tadi, Bayu Hanggara kembali menuju kedai dan melanjutkan makan siangnya yang belum sempat tuntas. Semua orang yang berada di kedai itu mengangguk hormat padanya, termasuk si pelayan kedai memberikan penghormatan yang berlebihan, sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka itu jadi merasa jengah.
Setelah menyantap sisa makannya, dia buru-buru berlalu dari tempat itu. Sementara si hartawan tadi yang membuntutinya dari belakang cuma bisa menatap punggung itu dengan wajah amat penasaran sekali. Dan ketika seseorang memberitahu, wajahnya terlihat mulai lucu.
"Sudahlah, Den Lesmana. Mana mungkin pemuda itu mau bekerja denganmu. Dia bukan orang sembarangan. Pendekar Pulau Neraka adalah Pendekar sakti berilmu tinggi yang belakangan ini menggetarkan rimba persilatan. Jangankan cuma sebangsa maling tengik dan penjahat kelas kakap, bahkan Datuk-datuk sesat pun tumbang ditangannya."
"Ah, yang betul?"
Orang itu mengangguk cepat sambil meninggalkan hartawan bernama Lesmana. Sambil berlalu masih sempat ia meyakinkan.
"Betul, Den. Makanya sekali-kali perhatikan juga perkembangan dunia persilatan. Jangan cuma mengurusi harta terus dan menganggap bahwa semuanya bisa diatur dengan uang...." Wajah Den Lesmana semakin kelihatan malu.
***
EMPAT
Di sebelah selatan Gunung Kanjengan terdapat sebuah telaga yang bernama Sarangan. Jarak antara kedua tempat itu dipenuhi oleh hutan lebat dan luas. Jarang ada orang yang berani masuk ke dalamnya karena banyak terdapat binatang-binatang buas. Begitu juga dengan alam di sekitar telaga itu, amat tak bersahabat. Selain dipenuhi batu-batu terjal juga terdapat beberapa lembah yang mirip dengan jurang lebar.
Bila seseorang berdiri pada puncak Gunung Kanjengan dan menatap ke arah telaga yang luas dan lebar itu, akan terlihat sebuah pulau kecil ditengah-tengahnya. Bentuk, pulau itu mirip dengan seekor angsa. Tak heran bila orang-orang menyebutnya dengan Pulau Angsa. Bagian tengah pulau itu terdapat sebuah gundukan tanah tinggi yang bergelombang dengan posisi melingkar seperti suatu barisan bukit-bukit.
Matahari baru saja masuk ke peraduannya, dan di ujung langit masih semburat cahaya kuning kemerah-merahan seperti mengantar burung-burung terbang ke sarang dan menyambut hewan malam yang menggeliat setelah seharian tidur panjang. Kelelawar terlihat mulai terbang liar di sekitar bangunan megah yang belum selesai seluruhnya. Dinding bangunan yang mirip sebuah istana besar itu terbuat dari marmer putih yang ditempa sedemikian halusnya.
Beberapa orang pekerja yang masih menghaluskan sebuah batu marmer yang lebar nampak tak mempedulikan keadaan di sekitarnya. Dan seorang laki-laki berbadan tegap mengawasi mereka dengan cambuk di tangan. Di sudut lain pemandangan seperti itu banyak terlihat. Sepintas saja bisa diduga bahwa tempat ini mirip kamp kerja paksa.
"Ctarr!"
"Hayo kerja lagi, pemalas! Bangun...!" bentak salah seorang pengawas dengan wajah garang sambil melecutkan cambuk ke tubuh salah seorang pekerja yang menjatuhkan beberapa butir kerikil sebesar kepalan tangan.
Orang itu menjerit kesakitan. Isi bawaannya tumpah ruah berceceran ketika tubuhnya menggelepar.
"Ampun, Den.... Ampun...."
"Puih! Aku tak peduli dengan ocehanmu. Bangun! Bangun!"
"Ctarrr!"
"Akh!"
Orang itu kembali menggelepar-gelepar kesakitan dan cambuk itu terus menderanya. beberapa orang temannya yang melihat kejadian itu hanya bisa memejamkan mata dengan jantung tersentak setiap kali cambuk itu bergetar.
"Ampuuun.,,! Ampuuun...!"
"Huh, orang sepertimu lebih baik mampus saja! Kau cuma membuang waktu.
Hiyaaa...!"
Dengan bengis tanpa sedikit pun perasaan kasihan tersirat di wajahnya, orang itu mengangkat cambuknya tinggi-tinggi dan siap melecutkan dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Jangankan tubuh manusia biasa, batu besar pun akan hancur dalam keadaan begitu. Lebih-lebih tubuh reot laki-laki tua itu. Sepasang matanya menantang seperti tak berkedip menatap cambuk itu. Sementara mulutnya tak henti berkomat-kamit berdo'a.
"Wreeeet!"
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Beghk!"
"Kurang ajar! Siapa kau?!" tanya si pemegang cambuk dengan suara tinggi pada seseorang yang tiba-tiba menangkap cambuknya dan dengan cepat menghantamkan jotosan ke perutnya. Tapi dia cukup gesit untuk menghindar dengan memiringkan tubuh. Namun orang yang baru datang itu pun tak kalah cepat merubah serangan dengan menghantamkan tangan kanan yang sedang memegang cambuk lawan, lalu menghantam ke arah punggung.
Tubuh si pengawas terhuyung-huyung ke depan, tapi tertahan karena lawan menyentakkan cambuk di tangannya. Walau cambuk itu tak lepas dari tangannya, namun keduanya sama-sama menggenggamnya saling tarik-menarik.
"Namaku Lor Sabrang...."
"Huh, kau tahu akibat perbuatanmu? Kau bisa dihukum mati!"
"Aku tak perduli. Tapi kau tak boleh menyiksa orang sesuka hatimu seperti binatang," sahut laki-laki berusia muda itu sambil memapah orang tua yang tadi disiksa. Senyumnya tipis dan wajahnya kekanak-kanakan. Tiada terbesit sedikit pun ketakutan pada wajahnya itu.
"Bangsat! Kau pasti orang baru di sini dan tak tahu siapa aku!" maki si pengawas garang. Dengan satu hentakan kuat, dia mencoba menarik pulang cambuknya.
"Apakah kau suka sekali dengan cambuk butut ini?" tanya pemuda itu tenang.
Dengan satu tangan ditahannya tarikan lawan beberapa saat. Namun dengan satu bentakan keras tiba-tiba pengawas itu terangkat ke atas.
"Hiyaaa...!"
"Wuaaa...!"
"Bughk!"
Pemuda itu melesat memapaki dengan satu pukulan tangan kanan menghantam lambung lawan yang memang sudah gamang sejak tubuhnya terangkat. Tak ampun lagi, ia terpental sejauh tiga tombak dan menghantam sebongkah batu cadas. Kepalanya pecah dan tubuhnya remuk serta darah menyelubunginya. Nyawanya lepas saat itu juga. Si pemuda mendengus kecil. Sebenarnya ia tak bermaksud ingin membunuh lawan, tapi ketika hal itu terjadi ia sama sekali tak menyesal.
"Plok! Plok! Plok!"
"Hebat! Hebat!"
Pemuda itu cepat berpaling ketika tiba-tiba saja ada yang bertepuk tangan. Dia telah bersiaga menghadapi serangan yang dilakukan secara berkeroyokan. Telah membunuh lawan di sarangnya sendiri, tentu dia harus menghadapi resiko yang tak kecil. Bahkan nyawanya sendiri sebagai taruhan.
***
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus bagai jerangkong berdiri tak jauh darinya. Sepasang matanya lebar, dengan hidung pesek dan rambut pendek yang berdiri kaku. Mulutnya lebar dengan bibir tipis mencuat ke depan. Memakai celana pendek dan tanpa pakaian sehingga terlihat tulang lengan dan kakinya kecil berkesan rapuh, serta tulang rusuknya yang bertonjolan. Di pundaknya bertengger seekor burung jalak dengan bulu keemasan. Di belakangnya berdiri tiga orang laki-laki yang agaknya merupakan tangan kanan orang itu.
"He he he he...! Siapa namamu bocah? Kulihat tadi kau berbakat sekali dalam ilmu silat. Kepandaianmu cukup lumayan," tanya orang itu sambil tersenyum kecil.
"Apakah kau pemilik pulau ini?"
"He he he he...! Agaknya otakmu cepat membaca situasi. Orang sepertimu memang cerdas dan patut menjadi anak buahku. Betul, akulah Warangka Gering atau Hantu Bukit Angsa...."
Belum lagi selesai kata-kata lelaki kurus yang tak lain Warangka Gering, tiba-tiba pemuda yang bernama Lor Sabrang itu mencelat sambil menyerangnya dengan ganas.
"Bedebah keparat! Akhirnya kutemui juga kau! Terimalah kematianmu saat ini. Hiyaaa...!"
Warangka Gering tak berkedip melihat serangan Lor Sabrang. Malah ia sempat tersenyum. Namun sedikit lagi serangan Lor Sabrang itu akan menghantam batok kepala dan dada sebelah kirinya ia menggeser sedikit tubuhnya.
"Uts!"
"Wuk!"
"Plak!"
"Gusraaak!"
Entah bagaimana caranya tiba-tiba saja Lor Sabrang terkunci dalam jepitan kedua tangan Warangka Gering. Lalu dengan cepat dikibaskan. Lor Sabrang tersungkur dua tombak jauhnya. Masih untung jatuh di timbunan pasir. Kalau saja ditumpukan batu cadas yang berada di sebelah pasir itu, niscaya nasibnya akan langsung ketahuan seperti korbannya tadi.
"Kuberi kau kesempatan sekali lagi, setelah itu kau harus betul-betul menurut padaku...."
"Puih! Akan kupecahkan batok kepalamu!"
"Hmm, kau kelihatan begitu mendendam padaku, Bocah. Ada urusan apa sebenarnya?"
"Bagus kau menanyakan hal itu agar kau tak mati penasaran. Coba kau ingat-ingat peristiwa yang terjadi di Perguruan Bulan Sabit beberapa minggu berselang? Aku Lor Sabrang putra bungsu Kendi Angsoka, ketua perguruan itu yang kau bunuh dengan biadab!"
"Oh, ternyata kau... sungguh beruntung kau bisa hidup saat ini. Tapi terus terang bukan aku yang membunuh mereka, lalu kenapa kau begitu mendendam? Apakah kau melihat sendiri peristiwa itu?" tanya Warangka Gering merasa tak peduli.
"Keparat kau Warangka Gering!" maki Lor Sabrang. "Pandai kau bersilat lidah. Jelas bukan tanganmu sendiri yang membunuh ayahku, serta seluruh saudara-saudaraku tetapi anak buahmu. Mereka tak akan jalan tanpa perintahmu."
"Ha ha ha ha...!" Warangka Gering atau lebih dikenal sebagai Hantu Bukit Angsa tertawa keras.
Sedangkan Lor Sabrang menatapnya dengan sinar mata yang tajam penuh dendam.
"Pintar kau, bocah! Aku sungguh suka sekali denganmu. Kau berani menyusup ke sini sebagai tawanan yang dipekerjakan dengan upah kematiannya hanya karena ingin bertemu denganku untuk membalas sakit hatimu. Dan kini kulihat semangatmu yang menyala-nyala, sayang sekali kalau kau harus mati sia-sia. Sebelum kau mati, kau harus bekerja lebih dulu untukku."
"Apa maksudmu, keparat?"
"Maksudku sederhana, yaitu kau harus melupakan dirimu sendiri dan hanya ingat padaku serta mematuhi perintahku dengan taruhan nyawa...."
"Hemm, kau akan mencekoki aku dengan ramuan pemunah pikiran?"
"Ha ha ha ha...! Ternyata betul dugaanku bahwa kau memang sungguh-sungguh cerdas!"
"Tertawalah sepuasmu, keparat! Walau bagaimana pun aku tak sudi kau peralat. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup terhina!"
"Hiyaaa...!"
Lor Sabrang menggeram buas. Amarahnya tak terbendung lagi. Dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, kembali diserangnya Warangka Gering dengan dahsyat. Kali ini penguasa Pulau Angsa itu betul-betul melihat kehebatan ilmu silat Lor Sabrang. Gerakannya gesit bukan main dan diperhitungkannya secara hati-hati. Nampak terlihat bahwa ia tak ingin dipecundangi dua kali. Dalam tiga jurus yang berlangsung, Warangka Gering agak sulit mengamat-amati kelemahan pemuda itu. Baik dari pertahanannya yang longgar maupun dari kelengahannya sendiri. Laki-laki berwajah buruk itu mendecah-decah kagum.
"Ck ck ck ck... tak salah dugaanku. Kau akan menjadi anak buahku yang termasuk dalam jajaran nomor satu."
"Keparat biadab! Mengocehlah kau sepuasmu saat ini!" geram Lor Sabrang, kala mendengar kata-kata penguasa Pulau Angsa itu seolah-olah meremehkan kemampuan dirinya.
Hal itulah yang membuatnya semakin bersemangat menggempur lawan. Biasanya orang yang takabur dan menganggap dirinya mampu menjatuhkan lawan akan berlaku lengah. Di samping itu ia juga melihat, tak seorang pun dari anak buah Hantu Bukit Angsa yang bergerak hendak menolong tuannya itu. Semuanya diam seperti patung, menunggu perintah. Seolah juga yakin bahwa tuannya dengan mudah membekuk pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
"Cukup, bocah!" bentak Warangka Gering dengan suara keras. Telapak tangan kirinya di sorongkan ke depan. Dari situ mendesir angin kencang menyapu Lor Sabrang. Pemuda itu mencoba memapaki dengan mengerahkan tenaga dalamnya sambil berusaha menghindari. Namun saat itu juga tubuh Hantu Bukit Angsa telah melesat laksana anak panah ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Tuk!"
"Ugh...!"
Hantu Bukit Angsa terkekeh senang sambil bertolak pinggang melihat Lor Sabrang jatuh lunglai di hadapannya. Ketika tubuhnya melesat ke arah Lor Sabrang, ia menghantamkan tangan kiri ke batok kepala lawan. Tentu saja serangan cepat di saat ia sedang kerepotan tak di perhitungkannya lagi. Kedua tangannya kalang kabut menangkis tangan kiri lawan yang bergerak lincah. Saat itulah dua buah jari tangan kanan Hantu Bukit Angsa menotok urat gerak di tubuh pemuda itu hingga membuatnya seperti tak bertenaga.
"Ha ha ha ha...! Jangan berbesar hati dulu, bocah. Selama ini tak seorang pun yang mampu mengelak dari incaran Hantu Bukit Angsa. Sekali aku menginginkan, maka segalanya harus kudapatkan."
"Puih, bedebah! Lepaskan totokan ini! Aku akan bertarung sampai salah seorang di antara kita ada yang tewas. Lepaskan aku, pengecut! Lepaskan...!"
"Hmm, kau yakin bahwa kau berilmu tinggi dan cukup mampu mengalahkanku?"
"Huh, jangankan kau seorang. Seluruh anak buahmu turun tangan pun akan kuhabisi!"
"Ha ha ha ha...! Semangatmu luar biasa. Nah, kalau kau yakin mampu mengalahkanku, lepaskanlah dirimu dari totokan itu. Anggap saja kalau kau mampu lepas aku mengaku kalah darimu," sahut Hantu Bukit Angsa tersenyum kecil sambil membalikkan tubuh dan melangkah pelan.
Mendapat kesempatan seperti itu. Lor Sabrang tak berpikir dua kali. Ia langsung mencoba mengerahkan hawa murni dari bawah pusarnya untuk beberapa saat lamanya.
"Keparat!" makinya kesal. Totokan ini benar-benar kuat. Jangankan berhasil mengumpulkan hawa murni untuk mendobrak totokan itu, bahkan tak secuil pun tak terasa reaksi saat ia mengkonsentrasikan diri dalam mengerahkan hawa murninya.
"Ha ha ha ha...! Kau kalah, bocah. Nah, sekarang relakan dirimu menjadi abdiku yang setia," kata Hantu Bukit Angsa kembali membalikkan badan. Ia kemudian memberikan perintah pada seorang anak buahnya untuk mengangkut Lor Sabrang ke dalam. Pemuda itu berteriak-teriak sambil memaki-maki geram. Namun tawa Hantu Bukit Angsa semakin keras terdengar.
Baru saja pemuda itu digotong ke dalam, seseorang berbaju hitam dengan beberapa luka ditubuhnya datang tergopoh-gopoh ke hadapan Hantu Bukit Angsa. Dengan bersujud di kaki Hantu Bukit Angsa, orang itu bersuara dengan nada takut dan tak berani mengangkat wajahnya.
"Ampun Paduka Yang Mulia, hamba tak mampu menjalankan tugas..."
"Siapa kau?"
"Hamba anak buah Buncak Seguntang..."
"Hmm... ada apa?"
"Ka.. kami berhasil menjalankan tugas di desa Brantas Agung, ta... tapi pada saat itu muncul seseorang menghadang dan... dan membinasakan Buncak Seguntang beserta yang lainnya...."
"Lalu?"
"Hamba berusaha melarikan diri untuk mengabarkan peristiwa ini pada Paduka Yang Mulia...."
"Siapa orang itu?"
"Hamba tidak tahu, Paduka... ia tak menyebutkan nama."
Wajah Hantu Bukit Angsa masih dingin, dan suaranya pun masih terlihat datar.
"Sebutkan ciri-cirinya."
"Usianya masih muda, dan memakai baju terbuat dari kulit harimau. Wa... wajahnya tampan namun berkesan keras. Ta... tapi senjatanya yang unik sekali, Paduka. Cakra bersegi enam berwarna keperakan...."
"Hmm, tidak salah lagi. Pasti si Pendekar Pulau Neraka!" seketika wajah laki-laki buruk itu berubah kelam. Hawa sadis nampak terlihat manakala ia melanjutkan kata-katanya sambil mendengus dingin.
"Pendekar Pulau Neraka, kau akan terima bagianmu nanti kalau hendak mencoba menghalangi cita-citaku!"
"Pa... Paduka Yang Mulia, apa yang harus hamba lakukan saat ini?"
Hantu Bukit Angsa menyeringai dengan senyum sinis.
"Kau akan mendapat hadiah..."
"Oh, jangan Yang Mulia! Jangan...! Hamba cukup merasa senang bisa melaporkan peristiwa ini pada Yang Mulia..."
"Hadiah ini suka atau tidak suka harus kau terima!"
Mendengar kata-kata yang tegas, orang itu tak mampu lagi membantah. Dia bersujud berkali-kali sambil mengucapkan terima kasih. Sementara Hantu Bukit Angsa menudingkan telunjuknya ke arah orang itu.
"Cuiiit!"
Burung jalak yang sejak tadi bertengger di pundaknya bersuit nyaring ketika mengepakkan sayap. Tiba-tiba hewan kecil itu menukik tajam dan mematuk orang yang sedang bersujud itu hingga paruhnya sebagian tenggelam...
"Aaaa...!"
Orang itu terpekik nyaring sambil bangkit dengan tiba-tiba. Burung jalak berbulu keemasan itu tak henti sampai di situ. Ia kembali mematuk-matuk dengan buasnya. Korbannya memekik kesakitan. Reaksi akibat patukan hewan itu terlihat cepat. Sekujur tubuhnya berubah merah dan perlahan-lahan berwarna ungu kelam saat tubuhnya ambruk, dan nyawanya lepas saat itu juga.
"Tak seorang pun anak buahku boleh lari dari pertarungan. Lebih baik dia mampus daripada kembali mengadukan ketidakmampuannya padaku!" dengus Hantu Bukit Angsa sambil berlalu meninggalkan tempat itu diikuti oleh beberapa orang tangan kanannya yang berjumlah lebih sepuluh orang.
* www.sonnyogawa.com *
Pemuda berambut gondrong dengan pakaian terbuat dari kulit harimau itu masih termangu di mejanya. Sementara seekor monyet kecil berbulu Coklat nampak menggodanya sambil melompat-lompat di meja.
"Nguk! Nguuk!"
"Sabarlah Tiren. Aku juga mulai tak betah ditempat ini. Tapi kalau orang-orang itu menyerbu ke sini, kasihan penduduk kampung yang tak berdosa. Mereka pasti binasa tanpa sisa...."
"Nguuuk!"
"Ya, ya... kita bermalam di sini saja. Itu pun kalau pemilik kedai ini tak keberatan...."
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dengan tubuh kurus buru-buru menghampiri pemuda itu dengan sikap hormat.
"Den, kalau kau hendak bermalam di sini aku tentu senang sekali..." katanya.
"Terima kasih, Paman. Barangkali cuma untuk semalam ini saja...."
"Ah, kenapa musti buru-buru, Den? Kalau pun kau ingin bermalam barang seminggu pun aku pasti tak keberatan."
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau si Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum kecil.
"Kami telah banyak menyusahkan bapak hari ini. Perut telah kenyang terisi tapi tak sepeser pun kami membayarnya. Jangankan dua hari, sehari pun pasti kami telah sangat merugikanmu," sahut Bayu ramah.
"Oh, tidak, Den. Tidak.... Aku rela memberikan semua itu."
"Terima kasih, Paman. Lagi pula kami tak berlama-lama di sini..."
"Maksud Aden akan pergi sekarang?" wajah pemilik kedai itu nampak was-was. Kalau saja Bayu pergi dari kampung ini entah apa yang terjadi pada mereka, bila anak buah Hantu Bukit Angsa tiba-tiba datang dan merampas harta benda serta nyawa mereka?
"Tidak, Paman. Kalau Paman tak keberatan kami bermaksud numpang menginap semalam di sini...."
"Wah, senang sekali! Tapi kenapa cuma satu hari, Den? Menetaplah barang seminggu." Bayu kembali tersenyum, "Kalau hari ini mereka tidak datang, kami yang akan datang ke sana."
"Maksud Aden... akan mendatangi sarang mereka?"
Bayu mengangguk, melihat itu wajah si pemilik kedai bertambah khawatir.
"Aden sebaiknya berada di sini saja. Kami semua tahu nama besar dan kehebatan Aden tak perlu diragukan lagi, tapi...."
"Tapi kenapa, Paman?"
Pemilik kedai itu agak ragu-ragu mengatakannya. Ia khawatir ucapannya akan menyinggung perasaan pemuda itu. Namun setelah Bayu mendesaknya. berkali-kali, barulah ia mengatakannya.
"Ng... anu, Den. Aku tak bermaksud meremehkan kepandaianmu, tapi sarang Hantu Bukit Angsa penuh dengan tokoh-tokoh dari berbagai kalangan yang berilmu tinggi. Kalau Aden mendatanginya sama artinya dengan masuk ke mulut harimau...."
Bayu kembali tersenyum.
"Jangan khawatir, Paman. Kepandaianku memang tak seberapa, tapi ajal manusia bukan ditangan mereka..."
"Benar, Den. Tapi..." pemilik kedai itu tak sempat meneruskan kalimatnya ketika di depan pintu berdiri seorang gadis berparas jelita. Salah seorang di antara mereka dikenalnya baik. Ia buru-buru menghampiri dengan sikap hormat.
"Aduuh, Neng Sekar Tanjung ada apa malam-malam begini datang ke kedai Paman? Apakah Ibu di rumah tidak masak?"
Gadis yang dipanggil Sekar Tanjung itu tersenyum manis. Bibirnya yang merah merekah begitu menawan dan membuat setiap laki-laki seperti langsung terpikat padanya. Rambutnya hitam dan panjang diikat dengan pita merah. Pakaiannya bagus berwarna merah menyala seperti terbuat dari sutera halus.
"Tidak, Paman. Aku ada amanat dari Ayah untuk Tu... tuan Pendekar," sahutnya sambil memandang Bayu.
Pemuda itu mengangguk kecil padanya. Bayu melirik gadis di sampingnya. Sederhana sekali, pakaiannya terbuat dari bahan biasa dan rambutnya yang panjang terurai juga hanya diikat oleh pita yang sederhana. Bedanya hanya gadis itu berkulit sawo matang meskipun wajahnya tak secantik Sekar Tanjung, tapi ia cukup manis. Tapi, bukan itu yang membuat Bayu memandangnya agak lama. Rasanya ia pernah kenal gadis itu sebelumnya.
"Oh, ada amanat untuk Tuan Pendekar? Silahkan...!" sahut pemilik kedai itu sambil berlalu ke belakang. Kedua gadis itu lalu mendekati Bayu.
"Selamat malam, Tuan Pendekar. Maaf mengganggu, tapi ayahku menawarkan anda untuk menginap di rumah kalau tak keberatan..." kata Sekar Tanjung.
"Ayahmu? Apakah saya mengenal beliau?"
"Ayahku bernama Lesmana... yang tadi siang bercakap-cakap dengan anda," jelas Sekar Tanjung.
"Aaaah, baru aku ingat!" Bayu menepuk keningnya sambil terkekeh kecil. "Ya, ya..,. terim kasih. Tapi aku dan kawan kecilku ini lebih suka di sini saja. Sampaikan terima kasih kami pada beliau...."
"Tuan, Ayah memerintahkan agar saya tak boleh kembali bila tak bersama," sahut Sekar Tanjung dengan suara lemah dan malu.
"Apa...?!" Bayu tersentak kaget.
Apakah pendengarannya tidak salah? Kalau begitu caranya sama saja orangtuanya menyuruh anak gadisnya ini menemaninya di sini. Sinting! Orangtua macam apa itu yang membiarkan anak gadisnya berduaan dengan seorang lelaki normal seperti dirinya? Kalau gadis ini berwajah buruk, sudah tentu tak akan terjadi sesuatu yang membuat dadanya berdebar-debar kencang. Tapi ini...?
Ya, ampun! Jangankan laki-laki normal seperti dirinya, banci sekali pun akan berubah pikiran menjadi laki-laki saja melihat gadis secantik Sekar Tanjung!
"Kami rasa Tuan sudah mendengarnya dengan jelas..." lirih suara Sekar Tanjung.
"Kalau Tuan tak bersedia, maka terpaksa kami diharuskan menemani Tuan di sini...."
Bayu tercenung agak lama sambil menggeleng-gelengkan kepala seolah tak percaya hal ini terjadi.
"Tuan Pendekar. Setidaknya ini merupakan kehormatan bagi kami yang telah menanggung budi Tuan begitu dalam..." kata gadis yang satu lagi.
Bayu mendongakkan kepala dan menatap gadis itu kembali sambil tersenyum.
"Dan kau siapakah? Apakah kau adiknya atau kakaknya? Rasa-rasanya kita pernah bertemu sebelumnya...."
"Lupakah Tuan peristiwa di pinggir hutan dua hari yang lalu? Saat itu Tuan membantu kami dari gerombolan yang akan merampas harta dan menganiaya kami...."
"Ya, ya... aku ingat sekarang!" kata Bayu mengangguk cepat. "Ayahmu bernama Indrapura, dan kau...."
"Sekar Harum."
"Ya, betul! Nah, bagaimana khabar Ayahmu sekarang? Lalu kapan tiba-tiba kau bisa berada didesa ini?"
"Ayahnya Sekar Tanjung adalah adik kandung ayahku. Jadi kami berdua adalah saudara sepupu," jelas Sekar Harum.
"Tujuan kami memang ke desa Brantas Agung ini. Begitu mendengar namamu, aku langsung menemani Sekar Tanjung ke sini."
***
Bayu Hanggara mengangguk-anggukkan kepala. Tapi tetap saja kepalanya jadi pusing sendiri. Bertemu dengan hartawan bernama Lesmana itu dengan segala tingkahnya yang memuakkan sungguh menyebalkan hatinya. Orang itu beranggapan bahwa segala sesuatunya di dunia ini dapat dibelinya dengan harta. Kalau saja ia datang ke sana, tetap saja anggapannya demikian. Tidak dengan harta kini putrinya yang disuruh membujuk dirinya. Dan kalau sudah sampai di sana, entah apa lagi yang akan direncanakan terhadap dirinya. Memang bukan rencana buruk, tapi siapa tahu berusaha membujuk dirinya untuk bekerja dengannya.
"Huh!" Bayu mendengus kecil dalam hati. Malam telah semakin larut, namun kedua gadis itu tetap tak beranjak dari tempatnya. Monyet kecil Bayu yang bernama Tiren berkali-kali menggoda mereka. Kadang keduanya tersenyum, kadang juga cemberut kesal. Paling tidak mereka cukup terhibur daripada dibiarkan pemuda itu sendiri saja tanpa bicara sepatah kata pun. Bayu sendiri masih pusing. Matanya yang tadi mengantuk, kini tak mau terpejam. Berkali-kali diliriknya mereka yang sedang bercanda dengan Tiren, dan berkali-kali pula mereka beradu pandang. Mulutnya seperti terkunci rapat untuk bicara sepatah kata karena otaknya buntu menghadapi keanehan yang satu ini.
"Kalian tidurlah kalau mau tidur. Mataku sudah mengantuk..." katanya sambil merebahkan diri di kursi panjang.
Kedua gadis itu menatap ke arahnya. Sekar Tanjung kemudian berkata pelan, "Ya...." Namun ketika Bayu baru saja akan merebahkan diri, tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.
"Tok! Tok!"
"Siapa?" Bayu cepat bangkit sementara kedua gadis di dekatnya menjadi was-was. Dalam pikiran mereka pastilah orang-orangnya Hantu Bukit Angsa yang akan membalas dendam.
"Tuan, saya seorang pengembara yang ke malaman di desa ini. Kulihat lampu di dalam kedai masih menyala, dan kudengar orang bercakap-cakap. Kalau tidak keberatan sudilah menerima saya untuk menumpang menginap di sini..." sahut suara di luar dengan nada sopan.
"Tolong panggilkan pemilik kedai," Bayu melirik ke arah Sekar Tanjung.
"Tapi...."
"Jangan khawatir. Aku yang akan bertanggung jawab!" Bayu meyakinkan gadis itu yang terlihat cemas.
"Baiklah...."
Setelah gadis itu melangkah ke belakang, Bayu memberi isyarat pada Sekar Harum untuk menjauh dari pintu. Ia sendiri melangkah pelan dan bersiaga penuh sambil membuka pintu. Seorang laki-laki yang mengenakan topi caping lebar berdiri di ambang pintu. Tubuhnya tinggi besar dan berbadan tegap mengenakan pakaian putih. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang dengan warangka dan gagang terbuat dari bambu kuning. Ketika laki-laki itu membuka topinya, terlihat seraut wajah tua berusia sekitar enam puluh tahun. Rambutnya yang putih diikat sehelai kain kuning. Wajahnya bersih dan berkesan ramah dengan kumis putih melintang rapih.
"Maaf mengganggu. Bolehkah menumpang menginap di sini semalam saja, Tuan?"
"Maaf, kami tak berhak menerima anda sebab kami pun menumpang di sini."
"Oh, begitu? Kalau demikian siapakah pemilik kedai ini?"
"Sebentar, temanku sedang memanggilnya."
Pemilik kedai itu buru-buru menghampiri. Setelah melirik pada Bayu, ia menatap tamu yang baru datang tersebut. Sang tamu tersenyum ramah.
"Apakah bapak pemilik kedai ini?"
"Betul, ada yang bisa saya bantu?"
"Namaku Dharmasutra, seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini. Kalau boleh saya ingin menginap disini. Tak apa di bangku ini saja, yang penting ada tempat berteduh..." kata-kata orang tua itu terhenti. Seketika ia mencabut pedangnya sambil membentak nyaring.
***
"Awas...!"
"Hiyaaa...!"
"Trang! Trang!"
Pedang di tangan orang tua itu berkelebat cepat menangkis beberapa buah senjata rahasia yang melesat ke dalam pondok kedai itu. Sementara Bayu sendiri menubruk kedua gadis itu dan si pemilik kedai menghindari desingan senjata rahasia yang nyaris menghantam mereka.
"Sialan!" makinya kesal. "Kalian tetap tinggal di sini dan jangan ke mana-mana!" lanjutnya sambil mencelat keluar.
"Kau hendak ke mana?" teriak Sekar Tanjung.
Tapi pemuda itu telah keburu mencelat ke luar mengikuti si orang tua bersenjata pedang bambu kuning.
"Ziiing!"
"Uts!"
"Traaang!"
Begitu mereka keluar, kembali mendesing beberapa buah senjata rahasia menerpa. Bayu cepat berkelit ketika dua buah senjata rahasia it nyaris menyerempet tubuhnya. Orang tua itu sendiri menangkis beberapa buah senjata rahasia yang menerpa dirinya dengan kelebatan pedangnya yang hebat bukan main. Melihat dari gerakannya, orang tua itu pastilah bukan orang sembarangan. Paling tidak ia memiliki nama yang cukup disegani di kalangan persilatan.
"Hmm, pengecut-pengecut darimana yang beraninya cuma main bokong dari belakang?" dengus Bayu begitu kedua kakinya menjejak tanah.
Pada saat itu melesat dua sosok tubuh pada jarak tujuh tombak di hadapan mereka sambil mendengus sinis. Yang seorang bertubuh kurus dengan wajah menyeramkan seperti tengkorak dengan rambut gondrong dibiarkan terurai. Sementara di sebelahnya seorang pemuda bertubuh sedang dengan kumis melintang. Di pinggangnya terselip sebatang golok yang agak panjang.
"Siapa di antara kalian yang menamakan dirinya Pendekar Pulau Neraka?" bertanya si muka tengkorak dengan nada dingin dan meremehkan sekali kedengarannya.
Bayu tak langsung menjawab. Penglihatannya yang tajam melihat beberapa sosok bayangan mengendap-endap di belakang kedua orang itu dengan gerakan melingkar menuju kedai di belakangnya.
"Pengecut hina, akulah orangnya! Siapa kalian?" sahut Bayu dengan nada sinis.
"Bagus! Kami membawa pesan dari Hantu Bukit Angsa untuk membawa kepalamu pulang."
Selesai berkata demikian tiba-tiba tubuh si muka tengkorak melesat ke arahnya sambil berteriak nyaring.
"Hiyaaa...!"
Pakaian ditubuhnya yang agak kebesaran berkibar-kibar ditiup angin seperti menyamarkan sebelah tangannya yang melepaskan senjata rahasia berupa baja hitam berbentuk bintang kecil.
"Huh, kau pikir dapat menipu mataku, Kisanak!" dengus Bayu sambil bersalto beberapa kali di udara menghindari desingan senjata rahasia lawan yang bertubi-tubi. Namun begitu tubuhnya mendarat ke bawah, serangan susulan lawan telah menantinya. Dia telah memperhitungkan hal itu sebelumnya. Itulah sebabnya Bayu mendorong telapak kirinya ke depan.
"Hap!"
"Wuuss!"
"Yeaaah...!"
Si muka tengkorak mencelat mundur beberapa langkah menghindari pukulan tenaga dalam lawan yang menimbulkan desir angin kencang. Namun begitu kedua kakinya berpijak di tanah maka secepat itu pula tubuhnya kembali melesat menghantam dengan tenaga dalam kuat.
"Mampuslah kau Pendekar Pulau Neraka!"
"Uts!"
"Tak segampang itu, sobat!" ejek Bayu sambil menundukkan kepala dengan tubuh miring.
Tinju kanan bergerak cepat menghantam dada lawan. Tapi tubuh si muka tengkorak lebih cepat lagi menghindar ke atas dan mengincar batok kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka menjatuhkan diri ke tanah, lalu dengan kedua kaki menghantam ke atas tubuhnya terus bergulingan ke belakang seperti melenting.
"Bughk!"
"Uts!"
Pada kesempatan itu si muka tengkorak masih sempat menyelamatkan perutnya dari tendangan lawan dengan menghantam kaki kanannya. Tubuh keduanya terdorong ke belakang akibat beradunya kedua kaki tadi. Namun dari situ Bayu dapat memperkirakan bahwa tenaga dalam lawan masih berada satu tingkat di bawahnya. Pemuda itu tersenyum kecil ketika si muka tengkorak kembali menyerangnya begitu kedua kakinya menyentuh tanah.
Sementara kakek yang bersenjatakan pedang bambu kuning sedang berhadapan dengan si pemuda berkumis melintang. Orang tua yang bernama Dharmasutra itu sempat kaget ketika melihat lawan di hadapannya. Sepasang matanya terbelalak tak percaya begitu melihat si pemuda dengan jelas.
"Jarot? Apakah kau Jarot muridku?"
"Sreeet!"
Sebagai jawabannya pemuda berkumis melintang itu malah mencabut goloknya dan bersiap menyerang Dharmasutra. Wajahnya memancarkan nafsu yang tak bersahabat.
"Jarot, aku gurumu sendiri, Dharmasutra! Apa yang terjadi padamu saat ini? Begitu mendengar majikanmu Den Pranata mengatakan bahwa kau dibawa lari Hantu Bukit Angsa, saat itu juga aku turun gunung untuk mencarimu...."
"Diam, kau orang tua! Terimalah kematianmu sekarang!"
"Jarot, tunggu..."
"Hiyaaaa...!"
"Uts!"
Ki Dharmasutra terpaksa berkelit dari sambaran pemuda yang diyakininya sebagai Jaro muridnya sendiri. Sambaran golok di tangan pemuda itu bukan main-main dan sama sekali dimaksudkan untuk membunuh lawan.
"Jarot, jangan bercanda keterlaluan dengan gurumu sendiri!" bentak Ki Dharmasutra mulai kesal.
"Siapa yang bercanda denganmu tua bangka?"
"Kurang ajar! Mana rasa hormatmu pada guru sendiri?"
"Siapa, guruku? Kau adalah teman si Pendekar Pulau Neraka, dan orang sepertimu harus mampus!"
"Dasar murid celaka! Agaknya benar berita yang kudengar bahwa perbuatanmu belakangan ini telah menyimpang, kau akan mendapat hukuman berat dariku!" dengus Ki Dharmasutra sambil mengeretukkan rahang.
Pedang di tangannya yang tadi dipergunakan untuk menangkis serangan muridnya kini berbalik menyerang muridnya sendiri dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!"
Pertarungan antara murid dan guru itu tak dapat dihindari lagi. Keduanya kini betul betul bernafsu hendak menjatuhkan lawan. Bedanya pemuda yang dipanggil Jarot itu bermaksud membinasakan gurunya, sebaliknya Ki Dharmasutra hanya ingin membuat lumpuh muridnya. Hingga serangan-serangannya belum terlihat mematikan. Walau bagaimana pun rasanya tak mungkin seorang murid mampu mengalahkan gurunya, jika ia semata-mata memperoleh kepandaian hanya dari gurunya itu. Begitu juga halnya antara Ki Dharmasutra dan Jarot. Tanpa memerlukan waktu panjang, Ki Dharmasutra berhasil melumpuhkan serangan muridnya dengan membuat golok di tangan Jarot terpental jauh dihantam pedangnya.
"Jarot, sadarlah. Aku Ki Dharmasutra gurumu sendiri...."
"Persetan dengan ocehanmu!" bentak pemuda itu. Walaupun tak bersenjata, namun tak sedikit pun rasa gentar terbayang di wajahnya. Malah dengan membentak nyaring ia kembali menyerang Ki Dharmasutra.
"Hiyaaa..."
***
"Murid celaka, kau terimalah ini!" bentak Ki Dharmasutra geram melihat kelakuan muridnya itu.
Pedang di tangannya bergulung-gulung ke depan, kemudian menyerang pemuda itu dengan berselang-seling serta mengejar kemana saja lawan bergerak. Karena tahu betul arah gerakan menghindar pemuda itu, maka sebentar saja terlihat pemuda itu terkurung oleh ujung pedangnya.
"Diam kau!"
"Tuuk!"
Tubuh pemuda itu langsung ambruk ketika Ki Dharmasutra menotok urat geraknya. Namun demikian wajahnya masih menunjukkan kegarangan seperti tadi.
"Tua bangka keparat! Lepaskan totokanmu ini. Apa kau pikir aku tak mampu melawanmu lagi, huh!"
"Diam, kau bocah! Dosamu telah luber dan kau patut mendapat hukuman dariku!"
"Huh, siapa yang takut dengan hukumanmu!"
Ki Dharmasutra baru saja akan menampar muridnya itu ketika terdengar si muka tengkorak menjerit kesakitan. Tangan kirinya terlihat buntung dihajar sinar keperakan yang melesat cepat dan kembali berputar-putar bersiap menyambarnya.
"Setan keparat!" makinya. "Apakah kebisaanmu cuma melepaskan Cakra Mautmu saja?"
"Lalu apa kebisaanmu yang lain pengecut? Apakah hanya bisa melempar senjata rahasiamu dengan bertubi-tubi? Masih bagus belum jantungmu yang kukorek!" balas Bayu.
"Huh, kau akan terima balasanku.
Yeaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka baru saja akan bersiap menyambut serangan lawan ketika terdengar suara jeritan dari dalam kedai.
"Ouww, tolooong...! Tuan Pendekar, toloooong...!"
"Bangsat!" maki Bayu sambil melompat ke dalam kedai. Tapi si muka tengkorak tentu saja tak mau membiarkan lawannya kabur.
"Jangan lari kau, Pendekar Pulau Neraka! Aku belum kalah darimu!" teriaknya sambil melemparkan senjata rahasianya. Dengan geram Bayu berbalik sekilas sambil mengibaskan tangan kanannya ke atas. Seketika itu juga Cakra Mautnya melesat mencari lawan. Untuk beberapa saat si muka tengkorak dibuat kerepotan menghindari serangan senjata lawan yang membawa maut itu. Bayu sendiri sudah melihat beberapa sosok bayangan menerobos atap kedai sambil membawa kedua gadis yang berada di dalamnya. Tubuhnya melesat cepat mengejar mereka sambil mengeluarkan pukulan jarak jauh.
"Hiyaaa...!"
"Wuss!"
Namun agaknya sosok-sosok bayangan itu sudah menyadari hal itu. Dengan serentak mereka membalas dengan pukulan jarak jauh pula. Dan ketika dua pukulan itu bertemu di udara, Bayu merasa tubuhnya agak terdorong ke belakang beberapa tindak, namun cepat ia jungkir balik sambil bersiap menyerang.
"Yeaaah...!"
"Uts! Bangsat!"
Bayu terpaksa menghentikan niatnya ketika tiba-tiba mendesing beberapa buah senjata rahasia yang dilemparkan si muka tengkorak ke arahnya. Agaknya orang itu masih mampu mencegah niat Bayu mengejar anak buahnya yang bermaksud melarikan dua orang gadis yang berada di dalam kedai. Padahal keadaannya betul-betul terjepit di antara kejaran Cakra Maut yang mengancam jiwanya.
"Crass!"
"Akh!"
Pada saat Bayu mendengus garang, perhatiannya terpusat beberapa saat pada lawan. Tangan kanannya terkibas ke atas dengan gerakan cepat, dan Cakra Maut yang sedang melesat itu bergerak semakin cepat menghantam pinggang kiri si muka tengkorak tanpa bisa dihindari lagi. Orang itu menjerit keras. Namun masih sempat tegak berdiri kembali menghindari serangan Cakra Maut yang kedua.
"Kalau kau mau mampus lebih dulu, baiklah!" dengus Bayu kembali.
"Kisanak, jangan khawatir! Kau uruslah orang ini biar mereka coba ku tahan!" teriak Ki Dharmasutra melihat kerepotan pemuda itu.
"Terimakasih, Kisanak!" teriak Bayu agak lega. Kini dia punya kesempatan untuk memusatkan segala perhatiannya pada lawan.
***
ENAM
Di pandanginya si muka tengkorak dengan tatapan sinis ketika Cakra Maut itu kembali ke pergelangan tangan.
"Kali ini kau tak akan lolos dari tanganku!"
"Huh, siapa takut mati! Aku lebih rela mati daripada kau biarkan hidup diburu Hantu Bukit Angsa!"
"Apa maksudmu?"
"Hantu Bukit Angsa tak akan membiarkan anak buahnya kembali ke sarang sebelum menyelesaikan tugas dengan taruhan nyawa."
"Hmm, kalau demikian berarti teman-temanmu pun akan menemui ajal begitu tiba disana?"
"Mereka lain. Tugas ini memang harus begitu yaitu memancingmu agar datang ke sarang kami."
"Nah, kalau demikian katakan pada majikanmu bahwa aku akan datang menemuinya, tapi jika terjadi apa-apa pada kedua gadis itu, nyawamu taruhannya!" gertak Bayu.
Si muka tengkorak terkekeh, "Kau kira aku takut mati di tanganmu? Layon Gangga telah berjanji untuk menjalankan sumpahnya membunuhmu dengan taruhan nyawa. Aku diperintahkan untuk tidak kembali sebelum membawa kepalamu!"
"Oh, kau yang bernama Layon Gangga atau lebih dikenal sebagai Rase Tengkorak Bintang? Pantas! Tokoh sesat sepertimu memang patut mampus. Nah, terimalah kematianmu!"
Setelah berkata begitu tubuh Pendekar Pulau Neraka melesat dengan satu tinju kanan siap meremukkan kepala lawan. Tapi si muka tengkorak yang bergelar Rase Tengkorak Bintang ternyata pantang menanti maut tanpa perlawanan. Senjata rahasia berupa bintang mendesing ke arah Bayu.
"Uts! Kau kira aku bisa dikelabui?"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Bayu meloncat lebih tinggi sambil jungkir balik beberapa kali diudara. Ketika tubuhnya melesat turun, saat itu juga tangan kanannya dikibaskan ke atas. Detik itu berkelebat Cakra Maut ke arah lawan. Dan tanpa bisa dihindari menembus dada kiri Layon Gangga.
"Aaaa...!"
Tubuhnya berkelojotan beberapa saat kemudian sambil mendekap dadanya yang bolong. Setelah menggelepar-gelepar akhirnya diam tak bergerak dengan mata mendelik keluar. Nyawanya lepas sudah. Bayu mendengus sinis dan mengibaskan tangan kanannya kembali. Saat itu juga Cakra Maut melesat lagi ke pergelangan tangan kanannya. Bayu Hanggara menoleh. Dilihatnya Ki Dharmasutra sudah kembali dengan wajah lesu. Bahu kirinya terluka meneteskan darah. Kemudian ia beralih pada pemuda berkumis melintang di dekatnya.
"Apakah kau juga ingin mampus seperti temanmu?"
"Puih! Kau pikir aku takut mati?! Bunuhlah, aku tak takut. Atau kalau kau mau bertarung secara kesatria, buka dulu totokanku!"
"Aku bukan sebangsa pengecut seperti kalian!" dengus Bayu.
"Baik, akan kubuka totokanmu agar kau mampus tanpa penasaran."
Namun ketika Bayu baru saja melangkah dua tindak, tiba-tiba terdengar suara halus mencegahnya.
"Tidak!"
Bayu Hanggara menoleh. Dilihatnya Dharmasutra sudah kembali dengan wajah lesu. Bahu kirinya terluka meneteskan darah.
"Oh, kau, Bagaimana? Apakah kau berhasil mencegah mereka?"
"Sayang sekali aku gagal..."
"Kenapa? Apakah mereka dapat mengalahkan mu?"
"Jumlah mereka banyak dan rata-rata berkepandaian tinggi..."
"Keparat kau Hantu Bukit Angsa!" maki Bayu sendiri sambil mengepalkan tinjunya dengan wajah geram.
"Kalau kau memang menghendaki aku kesana, baik akan kupenuhi kemauanmu."
"Ha ha ha...! Kau akan mendatangi sarang Hantu Bukit Angsa?" ejek si pemuda yang tertotok itu sinis. "Kalau kau mau cepat mampus datanglah cepat kesana."
"Diam kau keparat! Sebelum aku kesana kau lebih dulu yang akan mampus!"
"Maaf, Kisanak!" cegah Ki Dharmasutra ketika melihat tinju kanan Bayu siap menghajar kepala pemuda itu.
"Kenapa? Apakah kau akan membelanya?"
"Dia adalah muridku sendiri..." lesu suara Ki Dharmasutra.
"Apa? Dia muridmu, Ki?"
Ki Dharmasutra mengangguk lesu. "Aku sendiri tak tahu kenapa dia berubah begitu cepat. Tadinya dia anak baik dan tak pernah berbuat onar sedikit pun..." jelasnya sambil menggelengkan kepala.
Pendekar Pulau Neraka menatap pemuda itu sekilas sambil memutar otaknya. Sementara itu monyet kecil, Tiren sahabatnya berlari-lari kecil menghampirinya sambil menunjuk-nunjuk ke arah kedai.
"Nguk! Nguuk!"
"Ada apa, Tiren?" tanya Bayu sambil merangkul Tiren. Ketika hewan kecil itu menunjuk ke arah kedai sekali lagi, Bayu tersentak kaget.
"Astaga! Si pemilik kedai itu. Bagaimana nasibnya?" Bayu buru-buru melangkah ke dalam kedai.
Melihat Pendekar Pulau Neraka berlari kecil ke dalam kedai, Ki Dharmasutra pun mengikuti dari belakang sambil membopong pemuda yang diakuinya sebagai muridnya itu.
"Hei, tua bangka busuk lepaskan aku Lepaskan! Aku tak takut bertarung denganmu!"
"Diam kau!"
"Tuk!"
Dengan cepat dua buah jari tangan kanannya menotok urat leher pemuda itu hingga suara tak' mampu lagi keluar. Setiba mereka di dalam, keadaan si pemilik kedai sangat mengenaskan.
***
"Astaga! Betul-betul biadab mereka!" desis Pendekar Pulau Neraka bertambah geram. Dilihatnya tubuh si pemilik kedai itu penuh dengan luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya hingga sukar dikenali wajahnya.
"Biadab!" maki Ki Dharmasutra. "Mereka harus terima balasannya kelak!"
"Tidak. Malam ini juga aku harus menyatroni sarang mereka!" ujar Bayu bersiap meninggalkan tempat itu. Namun Ki Dharmasutra buru-buru mencegahnya.
"Sebaiknya jangan terburu-buru, Kisanak. Saat ini mereka tentu telah bersiaga penuh. Tunggu sampai beberapa hari di saat mereka lengah."
"Dan saat itu pula korban baru akan bermunculan, Ki."
"Hmm... memang benar kita tak tahu apa yang mereka inginkan saat ini. Tapi kalau menyerang saat sekarang mereka pasti telah bersiap-siap menunggu kita..."
"Bukan kita, Kisanak tapi aku..."
"Aku pun punya kepentingan dengan mereka, Kisanak..."
Bayu terdiam beberapa saat kemudian. Pada saat itu beberapa penduduk desa yang sejak tadi mendengar keributan di luar rumahnya, berdatangan ke dalam kedai itu. Salah seorang diantara mereka buru-buru menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
"Tu... Tuan Pendekar, bagaimana dengan nasib anak saya?"
Bayu meliriknya sekilas sambil menghela nafas pendek. Orang itu tak lain dari si hartawan yang siang tadi bersikap sok akrab dengannya, atau orang tua Sekar Tanjung. Disebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah baya yang dikenalnya beberapa hari yang lalu.
"Maaf, Pak..."
"Apa maksud anda Tuan Pendekar?!" desak si hartawan bernama Lesmana itu.
"Sekar Tanjung dibawa mereka..." sahut Bayu dengan suara lemah.
"Apa?!" Hartawan bernama Lesmana itu tersentak kaget. Untuk beberapa saat dia termenung dengan wajah gelisah.
"Putri saya bagaimana, Tuan Pendekar...?" tanya orang tua yang pernah dikenalnya.
Bayu menatap agak lama padanya, "Apakah bapak ayahnya Sekar Harum?"
Orang tua itu cepat mengangguk, "Saya Indrapura. Bukankah kita pernah bertemu sebelumnya beberapa hari yang lalu di pinggir hutan itu?"
"Ya, ya..." Bayu mengangguk. Kemudian ditatapnya laki-laki itu dengan wajah lesu.
"Maaf, Pak... Sekar Harum juga dibawa mereka..."
"Oh, anakku pun dibawa mereka? Ya ampun Gusti... apa salahku harus mengalami cobaan seberat ini?" rintih Indrapura sendu. "Sudah mereka merampas harta kami, membunuh istriku dan kini membawa anak gadisku pula..."
"Tenanglah, Pak. Saya akan membawa mereka kembali pada bapak..." bujuk Bayu.
"Betulkah ucapanmu, Tuan Pendekar?"
Bayu kembali mengangguk. "Sekarang lebih baik kita urus dahulu mayat si pemilik kedai ini, serta mayat-mayat yang lainnya..."
"Lebih baik mayat itu dilemparkan saja jadi makanan srigala!" teriak seseorang sambil menunjuk mayat di luar halaman kedai.
"Ya, ya setuju! Dibuang ke hutan biar disantap hewan liar!" timpal yang lain.
"Setuju! Mereka sama biadabnya dengan hewan-hewan liar!"
"Tenang! Tenang...!" Bayu harus mendiamkan. Setelah mereka agak tenang, barulah ia melanjutkan kata-katanya.
"Walau pun dia berkelakuan biadab tapi tetap ia seorang manusia. Kita layak menguburkannya..."
Mendengar kata-kata Bayu yang lainnya diam membisu. Walau mereka tak setuju tak ada yang berani membantah. Malam itu juga kedua mayat tersebut dikuburkan. Kepala Desa menyuruh pemuda-pemuda desa bersiaga penuh karena khawatir bencana seperti tadi akan datang lagi. Tapi Pendekar Pulau Neraka mengatakan hal itu tak perlu. Dia menjelaskan bahwa sasaran Hantu Bukit Angsa kali ini adalah dirinya.
"Lebih baik semua penduduk kampung bersiaga saja di rumahnya masing-masing untuk menghindari korban yang mungkin timbul. Saya sendiri akan berangkat ke Pulau Angsa..." lanjut Bayu mengakhiri kata-katanya.
"Tapi Tuan Pendekar, kita tak tahu apa yang mereka rencanakan saat ini? Orang-orang Hantu Bukit Angsa rakus dan haus darah. Mana mungkin mereka cuma mengurusi Tuan seorang kalau kesempatan untuk melakukan perampokan dan pembunuhan ada di depan mata mereka," sahut kepala Desa.
Bayu berpikir sejenak. Kata-kata Kepala Desa itu ada benarnya. Mereka tak tahu apakah orang-orang itu akan datang lagi atau tidak. Kalau tak ada yang berjaga-jaga, justru korban akan jatuh lebih banyak sebab tak ada yang membunyikan kentongan untuk memberitahu yang lain agar menyelamatkan diri mereka masing-masing.
"Ya, ya... boleh juga," kata Bayu menganggukkan kepala. "Cuma pilihlah pemuda-pemuda yang kuat dan berani."
Setelah mengatur segalanya, Kepala Desa dan yang lainnya meninggalkan tempat itu. Sedangkan Bayu masih tetap di kedai bersama dengan Ki Dharmasutra dan muridnya yang sedang tak berdaya karena totokan.
***
"Apa yang akan Kisanak lakukan sekarang?" tanya Pendekar Pulau Neraka pelan.
Ki Dharmasutra menatap sekilas pada muridnya. Kemudian katanya lirih, "Aku akan membawa muridku ke Padepokan lebih dulu. Dia akan menerima hukuman atas perbuatannya selama ini menjadi pengikut Hantu Bukit Angsa."
"Kurasa hal itu bisa dilakukan nanti, Kisanak. Lagipula itu bukan kesalahannya..."
"Apa maksudmu?"
"Dia dibawah pengaruh Hantu Bukit Angsa. Menurutku muridmu pastilah telah dicekoki ramuan untuk membuatnya lupa pada orang-orang yang pernah dikenalnya. Dia cuma tunduk pada perintah Hantu Bukit Angsa, yang menjadi majikannya saat ini..."
"Ah, kenapa tak terpikirkan di otakku!" Ki Dharmasutra menepuk keningnya. Kemudian dia meneliti sepasang mata muridnya beberapa saat lamanya.
"Apa yang kau lakukan, Ki?"
"Selama ini Jarot tak pernah menyembunyikan sesuatu padaku, dan aku mengetahui hal itu lewat bola matanya..."
"Apakah kini ada perubahan?"
"Ya, ya... betul katamu. Sepertinya saat ini pikirannya sedang kosong. Dia dikendalikan oleh hawa nafsunya sendiri yang dikontrol oleh Hantu Bukit Angsa. Mungkin lewat ramuan yang telah dicekoki ke dalam tubuhnya."
"Apakah kau bermaksud menyembuhkannya?"
"Tentu saja. Tapi aku tak yakin mampu melakukannya..."
Bayu mendekat ke arah murid Ki Dharmasutra sambil memeriksa kedua bola mata pemuda itu. Yang dilihat cuma sepasang mata yang menyorotkan dendam dan nafsu membunuh serta kebencian. Bayu menggeleng-gelengkan kepala dan kembali duduk di bangku.
"Sayang sekali, Kisanak... aku tak bisa membantumu..."
"Tak mengapa. Toh tidak semua orang bisa melakukan segalanya, bukan? Dalam ilmu silat kau mungkin hebat, tapi belum tentu di bidang pengobatan..." sahut Ki Dharmasutra tersenyum kecil.
"Ah, anda cuma membesar-besarkan saja. Aku cuma seorang pengembara biasa..."
"Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Pulau Neraka? Tokoh muda yang namanya belakangan ini jadi buah bibir di kalangan persilatan?"
"Anda kembali melebih-lebihkan. Anda pun cukup hebat... eh, baru sekarang kuingat!" Bayu tiba-tiba seperti ingat sesuatu melihat senjata yang dipegang orang tua itu.
"Bukankah anda yang bergelar Pendekar Bambu Kuning yang terkenal itu?"
"Kau cukup jeli juga, sobat muda," sahut Ki Dharmasutra merubah panggilannya agar kelihatan lebih akrab. "Tapi aku sungguh tak terkenal dibandingkan dengan namamu."
"Sudahlah, Kisanak. Apa gunanya kita membicarakan soal nama. Toh itu cuma pepesan kosong. Yang penting adalah apa yang kita lakukan pada orang lain..."
"Betul katamu. sobat muda. Kelihatannya kau sudah letih. Tidurlah dulu, sebentar lagi malam akan menjelang pagi. Kau tentu butuh tenaga baru untuk mengembalikan yang telah hilang..."
"Ya, ya..." Bayu menguap beberapa kali sambil merebahkan diri di bangku panjang.
Agaknya betul-betul mengantuk karena sebentar saja dia telah terlelap. Bayu tersentak bangun ketika matahari menerangi wajahnya. Pemuda itu menghalangi dengan lengannya sambil bangkit perlahan. Setelah merasa sedikit segar dia mencari-cari Ki Dharmasutra dan juga muridnya. Tapi keduanya telah tak ada di tempat itu.
"Kisanak, kemana kalian?"
Dikelilinginya tempat itu, namun tak juga ditemui keduanya. Bahkan di dalam kamar si pemilik kedai pun tak seorang berhasil dijumpainya. Bayu memeriksa beberapa keping uangnya yang tersisa dan senjatanya. Semuanya masih utuh tak kurang sedikitpun.
"Sialan orang tua itu! Pergi tak bilang-bilang. Ah, kenapa pula aku harus mengurusinya segala. Lebih baik langsung pergi saja ke Pulau Angsa," gumam Bayu sendiri sambil menggerutu kesal.
Namun ketika secara tak sengaja matanya melihat tulisan di atas meja di dekatnya. Buru-buru dibacanya.
"Maaf kami pergi dulu ke Pulau Angsa tanpa menunggu kau bangun. Muridku Jarot sebenarnya bisa kusembuhkan, tapi kami tak mau keduluan olehmu sebab Hantu Bukit Angsa harus terima balasan dariku juga." Ki Dharmasutra.
"Orang tua curang!" kesal terdengar nada ucapan Bayu. "Kalau kalian mau mampus lebih dulu, silahkan saja. Aku toh tak merasa dirugikan sedikitpun."
"Nggak! Ngguk!"
Tiren mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata Tuannya. Bayu melirik padanya kemudian menaikkannya ke pundak sambil berlalu dari tempat itu.
"Mari Tiren, kita berangkat secepatnya dari sini. Siapa tahu mereka sudah jadi bangkai di sana!"
"Nguk! Nguuk!"
"He he...! Kau pun setuju dengan kata-kataku ya?"
***
TUJUH
Ki Warangka Gering terkekeh-kekeh di singgasananya ketika beberapa orang anak buahnya masuk ke ruangan. Dua orang di antara mereka memondong tubuh dua orang gadis dan meletakkannya di depan penguasa Pulau Angsa itu. Sepasang mata laki-laki berwajah buruk itu melotot penuh nafsu. Lebih-lebih ketika melihat kulit halus mulus dari gadis yang berwajah cantik dan berpakaian merah.
"Paduka Yang Mulia, gadis ini kami anggap dekat dengan si Pendekar Pulau Neraka. Itulah sebabnya kami bawa ke sini." jelas salah seorang diantara mereka.
Orang itu bertubuh bongkok dengan rambut panjang yang sebagian telah memutih. Sebelah mata orang tua itu nampak buta dan terus berair. Dari balik jubahnya yang lusuh berderet puluhan pisau-pisau kecil.
"Jadi kau telah bertemu dengannya, Ki Sapan Oyot?"
"Sudah Yang Mulia..." sahut laki-laki tua yang dipanggil dengan nama Ki Sapan Oyot itu.
Sikapnya begitu hormat sekali. Seakan dia sedang berhadapan dengan seorang raja agung.
"Bagaimana dengan Jarot dan Layo Gangga?"
"Sesuai dengan perintah Paduka, mereka menghadangnya."
"Bagus! Bagus!" Ki Warangka Gering mengangguk senang. "Biarlah mereka mampus di tangannya, toh tak lama lagi pendekar sok jago itu akan kita cincang. Dagingnya akan kuberikan pada ikan-ikan buas di dalam telaga." Dia tertawa-tawa senang penuh kegembiraan.
Setelah semua orang yang berada di ruangan itu ikut-ikutan tertawa, si orang tua bertubuh bungkuk itu kembali melanjutkan kata-katanya.
"Tapi si Pendekar Pulau Neraka saat itu tak sendiri, Paduka....."
"Heh...?! Apa maksudmu?"
"Kami bertemu dengan seorang tua yang kepandaiannya pun tak rendah, Paduka,..."
"Apa? Apakah telah kalian bereskan dia?"
"Be... belum Paduka. Mengingat perintah Paduka hanya untuk memancing si Pendekar Pulau Neraka saja, maka kami tak bermaksud melayaninya sampai tuntas...."
"Hmm, bagaimana ciri-ciri orang itu?"
"Tak terlalu jelas, Yang Mulia. Hanya ia bersenjatakan sebilah pedang yang sarungnya terbuat dari bambu kuning."
"Hmm..." Ki Warangka Gering mengingat-ingat barang sejenak. "Tak salah. Pasti si Pendekar Bambu Kuning...."
"Pendekar Bambu Kuning...? Ilmunya lumayan hebat, Yang Mulia. Apakah ia tidak merupakan ancaman bagi kita? Perintahkan sekali lagi pada kami untuk menghabisi orang itu."
"Tak perlu. Aku merasa mampu mengatasinya. Yang ku khawatirkan hanya si Pendekar Pulau Neraka itu saja untuk saat ini."
"Apakah Yang Mulia yakin bahwa Pendekar Pulau Neraka akan datang ke sini?"
"Apakah kau yakin bahwa ia akrab dengan kedua gadis ini?" Ki Warangka Gering malah balik bertanya.
Orang tua bongkok yang dipanggil Ki Sapan Oyot itu terdiam beberapa saat kemudian.
"Bagaimana Ki Sapan Oyot?"
"Hamba tak pasti, Yang Mulia."
"Hmm, tak apa...."
"Paduka Yang Mulia..." seorang yang bertubuh besar dengan brewok lebat tiba tiba angkat bicara setelah melihat seorang di antara gadis-gadis itu.
"Ada apa Walukarnawa?"
"Rasanya hamba pernah melihat salah seorang gadis ini sebelumnya?"
"Lalu?"
"Saat itu kami hendak merampok mereka, tapi si Pendekar Pulau Neraka ikut campur tangan. Kalau saat itu mereka bisa berada berdua tentu hubungan mereka sekarang menjadi dekat."
"Gadis yang mana?"
Si brewok Walukarnawa menunjuk salah seorang gadis yang berkulit sawo matang dan berwajah manis. Wajah Ki Warangka Gering seketika menyeringai.
"Bawa dia ke kamar!" perintah penguasa Pulau Angsa itu.
"Segera, Yang Mulia!" sahut salah seorang pengawalnya sambil membawa gadis yang dimaksud itu ke dalam kamar Ki Warangka Gering alias si Hantu Bukit Angsa.
Semua orang yang berada di ruangan itu mengerti bahwa Ki Warangka Gering bermaksud mengerjai wanita itu. Namun yang membuat mereka tak habis pikir, kenapa ia bukan memilih gadis yang lebih cantik.
"La... lalu gadis yang satu ini akan kita apakan Yang Mulia?" tanya Ki Sapan Oyot.
"He he he he...! Tenang sajalah. Dia pun nantinya akan mendapat bagian bila waktunya tiba. Sementara ini kurung saja di ruang bawah."
"Baik, Yang Mulia!" sahut pengawalnya yang seorang lagi. Ia kemudian memondong tubuh gadis berbaju merah itu dan membawanya ke ruang bawah.
"Kalian tentu bertanya-tanya kenapa aku memilih gadis itu lebih dulu, bukan?" tanya Ki Warangka Gering sambil tertawa kecil.
"Be... betul, Yang Mulia..." sahut mereka serempak. Ki Warangka Gering terkekeh-kekeh.
"Kalau Si Pendekar Pulau Neraka mengetahui bahwa kekasihnya sudah ternoda tentu dia akan lebih marah, dan orang yang sedang marah, akalnya tentu tak terkontrol. Saat itulah dia lebih mudah kita atasi," jelasnya.
Mendengar penjelasan itu semua yang hadir diruangan itu mengangguk-angguk kepala tanda mengerti.
"Wah, Yang Mulia betul-betul cerdik!" kata salah seorang anak buahnya yang duduk tak begitu jauh dari singgasana.
"Ha ha ha ha...! Lor Sabrang, apakah kau suka pada gadis tadi?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Tapi hamba tak berani mendahului..." sahut pemuda yang dipanggil Lor Sabrang itu.
"He he he...! Tentu saja kau akan mendapat bagian, tapi setelah aku lebih dulu...."
"Terima kasih, Yang Mulia...."
"Nah, sekarang kembalilah kalian ke tempat semula dan perketat penjagaan di sekitar istana ini."
"Baik Yang Mulia...!" sahut seluruh yang hadir.
Tak lama kemudian mereka meninggalkan tempat itu bersamaan. Ki Warangka Gering sendiri setelah tempat itu menjadi sepi, beranjak ke kamarnya sambil terkekeh-kekeh kecil.
***
Sementara itu di tengah telaga Sarangan terlihat dua orang sedang mengayuh sebuah rakit bambu. Yang seorang laki-laki tua berwajah gagah dengan rambut telah memutih. Di tangannya tergenggam sebilah pedang dengan warangka terbuat dari bambu kuning. Di sebelahnya terlihat seorang pemuda gagah dengan kumis melintang. Sebatang golok panjang nampak terselip di pinggang. Sepasang matanya menatap lurus ke depan pada sebuah Pulau yang bila terlihat dari atas berbentuk seperti angsa. Lama dia termenung begitu, ketika si orang tua menegurnya dengan suara perlahan.
"Sudahlah Jarot. Semua itu kau lakukan tanpa sadar...."
Pemuda itu memalingkan wajah dan menatap orang tua yang tak lain dari gurunya sendiri. Kemudian ia duduk perlahan.
"Aku akan membalasnya meski dengan taruhan nyawa, Eyang...."
"Ya, ya... aku tahu apa yang kau rasakan saat ini...."
"Ini betul-betul telah memalukan nama baik Guru. Ah, aku memang murid yang tak berguna...."
"Jangan berkata begitu, Jarot. Semuanya kini telah berlalu."
"Tapi dari semula seharusnya aku sudah tahu bahwa orang itu bermaksud jahat. Rasanya lebih baik saat itu aku mati daripada menanggung aib begini."
"Bukankah kau akan menebusnya kini? Nah, jangan dipersoalkan lagi hal itu. Walaupun kita harus mati, tapi setidaknya niat kita di dengar oleh Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan segala dosa-dosamu diampuni."
Keduanya terdiam beberapa saat lamanya. Rakit mulai mendekat ke arah Pulau. Sekitar sepuluh tombak dari tepi daratan terlihat beberapa buah tonggak bambu. Ki Dharmasutra mulai curiga. Penglihatannya yang tajam menatap lurus ke bawah permukaan air. Tonggak itu ternyata merupakan tiang-tiang pancang dari deretan pagar bambu yang tingginya tiga jengkal di bawah permukaan air. Pagar itu terus melingkar seolah mengelilingi Pulau. Ki Dharmasutra pun melihat banyak sekali ikan sebesar batang kelapa yang berenang hilir mudik di dekat rakit mereka.
"Jarot, tempat ini mencurigakan sekali. Apakah ada sesuatu yang kau ingat? Ikan-ikan ini nampaknya bukan ikan sembarangan...."
Jarot menatap tajam ke bawah air sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Entahlah, Eyang. Tapi rasa-rasanya ada bayangan di ingatanku tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Temanku dibuang didekat sini dan ketika itu juga ia menjerit-jerit. Air telaga sesaat berwarna merah darah...."
"Hmm, ikan-ikan buas...!" desis Ki Dharmasutra waspada.
Pada saat itu juga dari tepi telaga berjejer beberapa orang dengan sikap menunggu kedatangan mereka. Jarot menggeram dengan wajah garang.
"Eyang, agaknya mereka telah mengetahui kehadiran kita."
"Bagus! Itu akan lebih baik lagi."
Ki Dharmasutra bersiap-siap sambil menggenggam erat pedang di tangannya. Sorot matanya terlihat mantap. Sekilas dilihatnya beberapa tonggak bambu lagi yang merupakan sandaran pagar di bawah permukaan air. Itu tentu batas kurungan tiga tombak dari tepi telaga. Baru saja rakit mereka berada di atas pagar bambu itu, sekonyong-konyong melesat beberapa orang dari daratan dengan senjata terhunus.
"Hiyaa...!"
"Siap Jarot!"
"Siap Eyang!" sahut Jarot sambil mencabut goloknya.
Dua orang pertama yang hampir menjejakkan kaki di atas rakit itu mengayunkan senjata mereka. Yang seorang memegang sepasang trisula dan seorang lagi bersenjatakan pedang pendek. Ki Dharmasutra beserta muridnya langsung membabatkan senjata mereka.
"Sreeet!"
"Trang!"
"Haiiit!"
Yang memakai pedang pendek terkejut kaget melihat wajah Jarot hingga untuk sesaat dia tak bersiaga. Dengan mudah Jarot menangkis lalu mengayunkan kaki menendang perut lawan. Orang itu terjengkang dan tercebur ke air. Saat itu juga air telaga berkecipak ketika beberapa ikan menyerbu ke arahnya.
"Aaaa...!"
Air telaga memerah ketika orang itu menjerit keras. Tubuhnya tenggelam ke dasar telaga tanpa secuil pun tersisa dari tubuhnya. Jarot pun terpana melihat itu. Dalam bayangannya pasti lawannya tadi tak menyangka bahwa yang di atas rakit itu adalah orang yang termasuk dalam jajaran tangan kanan Hantu Bukit Angsa, sehingga ia tak berani meneruskan serangan. Akhirnya ia sendiri yang mesti binasa di mulut ikan-ikan buas yang sengaja dipelihara Hantu Bukit Angsa.
Sementara itu dengan tak mengalami kesulitan Ki Dhamasutra menangkis serangan trisula lawan dan menyentakkannya ke atas. Lawan terpekik nyaring pada saat itu juga kaki si Pendekar Bambu Kuning menghantam dada.
"Aaaa...!"
Tubuhnya tercebur ke air telaga. Seperti temannya yang pertama, ia pun menjadi santapan hewan-hewan buas di dalam telaga itu. Melihat kejadian itu orang-orang yang berdiri di pinggir telaga tak ada yang berani lagi mencoba-coba untuk menyerang kedua orang asing itu. Agaknya mereka menunggu keduanya sampai di daratan lebih dulu. Tapi Ki Dharmasutra dan Jarot berpikiran lain.
"Siap Jarot? Kerahkan ilmu peringan tubuhmu dalam sikap waspada dan menjaga segala kemungkinan serangan lawan."
"Siap Eyang!"
"Bagus!"
"Hiyaaa...!"
Setelah memberi komando, tubuh keduanya mencelat dari atas rakit itu dan bersalto beberapa kali di udara. Namun belum lagi keduanya menjejakkan kaki, saat itu juga empat orang lawan langsung mengejar dengan senjata terhunus.
"Yeaaa...!"
"Trang!"
"Crass!"
"Akh!"
Ki Dharmasutra dan Jarot betul-betul mengamuk. Kedua senjata mereka berkelebat cepat dan dibarengi tenaga dalam kuat. Dalam sekejapan saja dua orang menjerit keras ketika perut mereka robek lebar dibabat golok dan pedang lawan. Dan ketika keduanya kembali mengayunkan senjata, dua orang teman lainnya menyusul ke akherat. Yang seorang lehernya hampir putus, sedangkan yang satu lagi jantungnya ditembus golok Jarot.
"Aaaa...!"
"Jarot!" bentak salah seorang lawan yang melihat kehadirannya. "Kenapa kau ke sini?"
Pemuda berkumis melintang itu menoleh. Seorang laki-laki bertubuh besar dengan wajah brewok nampak bertolak pinggang didekatnya.
"Siapa kau?" Jarot balas membentak.
"Kurang ajar! Kau tak mengenalku lagi setelah membelot dari junjungan kita?!"
"Junjungan siapa?"
***
"Keparat kau Jarot! Kau akan mampus di tangan junjungan kita, paduka Yang Mulia Hantu Bukit Angsa!"
"Huh, justru kedatanganku ke sini untuk memenggal kepala monyet busuk itu!" dengus Jarot.
Si brewok mendelik matanya mendengar kata-kata itu. Dia bermaksud membentak kalau saja seorang tua bungkuk tak langsung menyela niatnya.
"Walukarnawa, siapa suruh kau debat omong dengan mereka?! Ayo, perintahkan yang lain untuk memenggal kepala keduanya!"
"Baik, Ki Sapan Oyot!" sahut si brewok bernama Walukarnawa dengan patuh.
Sekali dia mengacungkan tangan, maka belasan orang-orang berbaju hitam dengan senjata golok langsung mengurung keduanya. Kemudian tanpa dikomando langsung menyerang dengan ganas.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Trang! Trang!"
Kali ini si Pendekar Bambu Kuning beserta muridnya agak sulit menjatuhkan lawan. Kepandaian mereka cukup lumayan. Apalagi permainan golok yang rapi dan teratur. Walau demikian pada tiga jurus yang telah berlangsung, keduanya dapat mengukur kepandaian seorang lawan tak lebih dari satu tingkat di bawah kepandaian Jarot. Dan belasan orang yang mengeroyok dengan kepandaian segitu tentu saja cukup merepotkan. Buktinya ketika memasuki jurus kelima, keduanya terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki.
"Hiyaaa...!"
"Trang!"
"Cres! Crab!"
"Akh!
Dalam satu kesempatan, ujung pedang Pendekar Bambu Kuning berhasil merobek pinggang lawan. Pada saat yang bersamaan golok Jarot pun membabat sebelah kaki lawannya hingga buntung. Dan ketika kedua senjata mereka kembali berkelebat, dua orang korban lagi jatuh. Walau tak terlalu parah, paling tidak ujung senjata mereka berhasil melukai lawan. Tapi saat itulah terdengar teriakan seseorang yang langsung turun ke arena.
"Hiyaaa...!"
Melihat hal itu Jarot langsung melompat menghadang. Dilihatnya lawan pun agaknya tak terpaut jauh.
"Trang!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Ketika kedua senjata mereka beradu, Jarot dapat merasakan bahwa tenaga dalam berimbang dengannya. Tak heran bila ia sedikit merasakan tangannya yang ngilu dan kesemutan. Tubuh keduanya bergetar dan masing-masing melompat ke belakang. Namun ketika kedua kakinya menjejak di tanah, si pemuda bersenjatakan keris itu kembali melompat menyerang Jarot dengan garang. Jarot sendiri saat itu sedang menghadang beberapa orang pengeroyoknya.
"Jarot, jaga dirimu!" teriak Ki Dharmasutra memperingatkan.
"Diam kau tua bangka! Kau jaga dirimu sendiri! Hiyaaa...!" bentak Walukarnawa. Dulu dikenal sebagai Dedemit Rimba Iblis sebelum menjadi kaki tangan Hantu Bukit Angsa.
"Hmm, babi busuk! Kesinilah biar ku sembelih lehermu!" geram Ki Dharmasutra.
"Trang!"
"Wuuk!"
Pedangnya menangkis golok besar Walukarnawa dengan sengit. Dalam benturan itu Ki Dharmasutra dapat merasakan bahwa tenaga dalam lawan sedikit berada di bawahnya. Seharusnya ia bisa menekan dan soal menghabisi lawan tinggal menunggu waktunya saja. Tapi kepandaian lawan ternyata tidak terbatas sampai di situ saja, walau tubuhnya besar, gerakannya cukup ringan. Dan ia pun cukup cerdik untuk menyerang Ki Dharmasutra pada saat yang lainnya sedang mengeroyok orang tua itu. Sehingga keadaan Ki Dharmasutra bukan menguntungkan, malah semakin membahayakan dirinya sendiri.
"Ha ha ha...! Sebaiknya menyerah saja kau tua bangka dan bergabung dengan junjungan kami!" kata Walukarnawa sambil terkekeh. "Percuma kalian bertahan. Nyawamu sendiri di ujung tanduk."
"Huh, tertawalah sepuasmu tapi jangan harap aku sudi bekerja dengan iblis terkutuk seperti kalian!"
"Keras kepala! Kalau begitu kalian memilih mati, baik!"
Walukarnawa menggeram. Gerakan golok besar di tangannya semakin cepat menyerang Ki Dharmasutra. Sebenarnya ia masih mampu bahkan mengungguli permainan golok lawan, sebab ilmu pedangnya sendiri boleh disebut telah mencapai taraf sempurna. Namun karena ia harus membagi perhatian dengan pengeroyoknya yang lain, permainan pedangnya jadi tak tertuju pada Walukarnawa. Dan lawan yang memang memiliki permainan ilmu golok yang tangguh semakin mendesak saja pertahanan si Pendekar Bambu Kuning. Hingga dalam satu kesempatan ujung goloknya berhasil menggores dada lawan.
"Sreeet!
"Ukhh!"
Ki Dharmasutra mengeluh pelan. Namun tak ada waktu untuk berlama-lama sebab para pengeroyoknya kembali membabatkan golok mereka. Sedangkan serangan susulan Walukarnawa semakin dahsyat saja dirasanya.
"Mampuslah kau tua bangka busuk!"
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Ki Dharmasutra menjerit keras ketika salah satu ujung golok lawan menembus paha kirinya. Namun pedangnya pun cepat membalas dan membabat buntung lengan lawan.
"Crass!"
"Eyaaang...!" Jarot tersentak mendengar jeritan gurunya. Sayang keadaannya pun tak lebih baik dari gurunya. Sekujur tubuhnya penuh dengan goresan luka. Dan ketika perhatiannya terbagi karena mencemaskan keadaan gurunya, maka saat itu pula lawan tangguhnya, si pemuda yang bersenjatakan keris itu dengan cepat menyabetkan senjata.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Cress!"
Jarot menjerit kecil tertahan. Walau pun dia berusaha untuk menghindar namun ujung keris lawan lebih cepat lagi bergerak. Masih untung hanya punggungnya yang tergores, sebab kalau saja terlambat sedikit menghindar niscaya keris lawan akan menghunjam di punggung kirinya menembus ke jantung.
"Keparat...!" makinya. Sepasang matanya membesar dengan wajah penuh amarah. Tapi dia tak punya waktu untuk berlama-lama, Begitu menjejakkan kaki, pada saat itu pula pengeroyoknya yang lain menyerbu. Terpaksa ia mempertahankan selembar nyawanya lebih dulu mati-matian. Nasib keduanya seperti telah ditentukan bahwa mereka tak akan bisa bertahan lama. Dalam dua jurus di muka keduanya pasti tewas ditembus senjata-senjata lawan.
***
DELAPAN
Sebenarnya letak Pulau Angsa, bahkan Telaga Sarangan sendiri Bayu masih asing. Namun setelah bertanya ke sana ke mari akhirnya tempat itu ditemuinya juga. Dengan bantuan sebatang kayu yang agak lebar, Bayu menjadikannya sebagai perahu. Sambil mendayung ia mengerahkan tenaga dalamnya hingga batang kayu itu berjalan dengan cepat ke tengah pulau. Dan pandangannya yang tajam melihat puluhan ikan-ikan besar berenang didekatnya. Bahkan beberapa ekor ikan dengan beraninya menggoyang-goyangkan batang kayu itu.
"Uts! Sialan!" maki Bayu sambil menjaga keseimbangan tubuhnya. Namun ikan-ikan itu agaknya semakin berani saja. Melihat bahwa kayu yang digunakan Bayu sebagai perahu mereka goyangkan, makin banyak saja ikan-ikan itu mengerubutinya dan menggoyang-goyangkan batang kayu itu.
"Bangsat! Hih, terima bagianmu ikan sialan!"
"Prak!"
Kayu kecil di tangan Bayu yang digunakannya sebagai pendayung diayunkan menghantam beberapa ekor ikan didekatnya. Suara kecipak air bergolak deras. Beberapa ekor menggelepar-gelepar dengan luka yang cukup parah. Bau darah mereka ternyata mengundang selera kawan-kawannya yang lain untuk memalingkan perhatian. Dalam sekejap ikan-ikan yang menjadi korban pendayung Bayu menjadi korban kawan-kawannya sendiri.
"Dasar binatang!" maki Bayu sambil mengayuh batang kayu itu ke tepi telaga. Pada jarak demikian telinganya mendengar suara pertarungan yang diperkirakan tak jauh dari tepi telaga. Penglihatannya yang tajam mampu memandangi siapa yang bertarung itu.
"Astaga, si Pendekar Bambu Kuning dan muridnya!"
Melihat itu tangannya lebih cepat mengayuh. Tiren yang sejak tadi melihat kebuasan ikan-ikan di tempat itu, bergidik ngeri dan diam seribu bahasa di pundak tuannya itu.
"Hup!"
Bayu melompat ke daratan. Tak seorangpun yang memperhatikannya. Dilihatnya pada saat itu Ki Dharmasutra serta muridnya dalam keadaan terdesak dan nyawa mereka di ujung tanduk. Bayu mengibaskan tangannya. Detik itu juga mendesing benda berwarna keperakan menerpa para pengeroyok itu.
"Trak!"
"Cress!"
"Aaaa...!"
Semua yang berada di situ langsung memalingkan muka.
"Pendekar Pulau Neraka!" desis Ki Sapan Oyot yang lebih dulu mengenali senjata Cakra Maut yang masih mendesing-desing mencari korban barunya lagi. Sebelum senjata itu memakan korban lebih banyak lagi, orang tua bongkok itu cepat bertindak.
"Clutak Anglira, bawa anak buahmu untuk menyingkirkannya! Dan kau Walukarnawa tinggalkan lawanmu dan bereskan pemuda itu."
Seorang bertubuh besar seperti Walukarnawa langsung mengajak beberapa orang yang mengenakan pakaian kuning-kuning menghadang si Pendekar Pulau Neraka. Orang inilah yang dipanggil Clutak Anglira. Dahinya botak dan sepasang matanya juling. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat terbuat dari baja hitam, dan ujungnya terlihat sebuah golok yang berukuran besar. Orang ini dalam jajaran tangan Hantu Bukit Angsa termasuk orang kedua setelah Ki Sapan Oyot.
"Hmm, kau rupanya yang bernama Pendekar Pulau Neraka. Ingin kulihat sampai di mana kehebatan orang yang namanya menggetarkan rimba persilatan belakangan ini," dengus Clutak Anglira.
Dia memang tak mengenal Bayu sebelumnya. Orang ini adalah bekas perompak yang jarang berada di daratan. Ketika melihat bahwa kepandaiannya cukup tinggi, maka Hantu Bukit Angsa pun mengambilnya menjadi anak buah. Tentu saja bukan dengan cara-cara baik-baik, melainkan mengalahkannya dalam pertarungan, lalu mencekokinya dengan ramuan yang membuat orang lupa akan segalanya selain patuh pada perintah Hantu Bukit Angsa.
"Anjing-anjing Hantu Bukit Angsa seperti kalian memang sepatutnya mampus!" balas Bayu sambil mengibaskan tangan kanannya sehingga Cakra Mautnya yang tadi melayang kembali ke pergelangan tangannya dengan cepat.
"Jangan banyak omong kau bocah. Terimalah kematianmu!"
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi Clutak Anglira bersama anak buahnya yang dibantu Walukarnawa langsung menyerang Bayu dengan ganas dan bernafsu sekali. Tak heran bila mereka bersikap demikian. Hantu Bukit Angsa memang sangat menginginkan sekali kematian si Pendekar Pulau Neraka. Dan bila mereka berhasil melakukan itu agaknya bakti mereka akan lebih mulia pada Hantu Bukit Angsa.
***
Sementara itu melihat lawan semakin berkurang, Ki Dharmasutra dan Jarot bangkit kembali semangatnya. Lebih-lebih saat melihat kehadiran Pendekar Pulau Neraka di tempat itu. Tapi kalau berharap lawan mereka menjadi lemah, dugaan mereka salah. Sebab begitu Walukarnawa dialihkan perhatiannya pada si Pendekar Pulau Neraka, maka saat itu pula Ki Sapan Oyot memerintahkan tokoh-tokoh lain yang masih termasuk dalam jajaran tangan kanan Hantu Bukit Angsa untuk menghabisi si Pendekar Bambu Kuning dan muridnya. Dan sebagai tangan kanan, sudah jelas kepandaian mereka tak rendah.
Bayu sendiri mengetahui bahwa dia telah berhadapan dengan orang-orangnya Hantu Bukit Angsa, bertindak tak kepalang tanggung. Cakra maut di tangannya melesat begitu tangan kanannya terkibas ke atas. Beberapa orang pengeroyoknya menjadi korban dan tewas dengan cara yang mengerikan. Tapi Cakra Maut itu terus mendesing mencari korban selanjutnya selagi Bayu sibuk menghindari serangan-serangan maut Clutak Anglira dan Walukarnawa serta anak buahnya.
"Hiyaaa...!"
"Bughk!"
"Prak!"
"Aaaa...!"
Di antara kelebatan senjata lawan, kedua tangannya masih sempat menghantamkan pukulan mematikan yang membuat beberapa orang pengeroyoknya menjerit setinggi langit sambil berkelojotan.
"Nguk! Nguuk!" Tiren pun agaknya terangsang gairahnya untuk menghajar lawan melihat Bayu sibuk bertarung dalam suasana yang ramai itu. Dia nemplok di kepala salah seorang dan mengorek biji mata lawannya. Karuan saja orang itu menjerit-jerit kesakitan. Begitu seorang temannya membabatkan pedang, Tiren melompat cepat ke kepala yang lain dan pedang itu terus menghantam kening temannya tadi.
"Aaaa...!"
"Bagus, Tiren! Bagus!" puji Bayu sambil tertawa lebar melihat lawannya menghajar kepala temannya sendiri. Orang itu terkejut dan merasa bersalah. Pada saat itu kaki kanan Bayu dengan cepat menghajar dagunya
"Mampus!"
"Kraaak!"
"Aaaakh...!"
Tubuh orang itu terlempar sejauh tiga tombak dengan rahang pecah. Dia cuma bisa menjerit kecil, dan tiba di tanah dengan nyawa melayang. Batok kepalanya terkulai menandai tulang lehernya yang patah. Sebentar saja di tempat itu terjadi banjir darah hebat akibat amukan Pendekar Pulau Neraka dan Cakra Mautnya. Hingga tinggal tersisa Walukarnawa dan Clutak Anglira yang masih penasaran.
"Ke sini babi-babi busuk! Biar ku sate. tubuh kalian yang buntal itu!" ejek Bayu.
"Keparat!" Clutak Anglira dan Walukarnawa menyerang berbarengan.
Saat itu juga Ki Sapan Oyot memerintahkan orang-orang yang mengeroyok si Pendekar Bambu Kuning dan muridnya agar membantu menghabisi si Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat-keparat busuk! Majulah kalian semua!" bentak Bayu garang. Tangan kanannya terkibas ke atas, dan Cakra Maut kembali melesat.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Trass!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Kali ini Bayu betul-betul memuncak amarahnya. Bukan saja ia merasa dirinya terancam hebat, namun saat itu juga Ki Sapan Oyot mencari sela untuk mengirim pisau-pisau beracunnya ke arah Pendekar Pulau Neraka. Tadinya Bayu tak mengira bahwa pisau itu beracun. Refleknya bekerja hanya untuk menghindari luka. Namun ketika beberapa buah pisau itu menancap pada korban lain, reaksinya sungguh hebat. Orang itu berteriak-teriak histeris. Sekujur tubuhnya memerah seperti kepiting direbus dan dari mulutnya keluar busa bercampur liur berwarna kuning kehitaman. Orang itu tewas beberapa saat kemudian.
"Dasar iblis keparat! Agaknya kalian ingin betul mencabut nyawaku. Hiyaaa...!"
Dengan mengerahkan tenaga dalam hampir sepenuhnya, gerakan Bayu bukan saja cepat tapi juga kuat. Desir angin tubuhnya berkelebat bukan main hebatnya seperti sapuan angin badai topan. Begitu juga halnya gerakan Cakra Maut yang semakin tak tertahankan oleh lawan-lawannya.
"Trass!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
***
Tiga orang kembali menyusul temannya terkena hantaman tinju kanan dan tendangan Bayu. Satu di perut hingga orang itu terangkat tinggi satu tombak dengan darah muncrat dari mulut. Dua orang lagi masing-masing terkena hajaran di dada hingga tulang rusuknya melesak ke dalam, dan sisanya di dada sebelah kiri hingga jantungnya pecah dihimpit tulang rusuknya yang patah.
"Hiyaaa...!" Bayu mengibaskan tangan kanan, dan saat itu Cakra maut melesat ke arah Walukarnawa. Orang itu berusaha menangkis dengan golok besarnya.
"Trak!"
"Crab!"
"Aaaakh!"
Tubuh tinggi besar itu sempoyongan sambil mendekap dada. Golok besarnya patah menjadi dua, dan Cakra Maut terus menghantam dada sebelah kirinya hingga menembus punggung.
"Haiiit...!"
"Uts, ha...!"
Bayu cepat berkelit ketika ujung sebuah keris di tangan seorang pemuda yang dianggapnya memiliki kepandaian lumayan nyaris menembus dada. Tangan kirinya cepat menangkap pergelangan lengan lawan, dan tangan kanan balik menghajar dada kiri pemuda itu.
"Begkh!"
"Akh...!"
Walau terlihat pelan sesungguhnya pukulan itu mengandung tenaga dalam kuat. Pemuda itu nampak tersedak menjerit tertahan. Tubuhnya mencelat satu tombak dengan darah kental memuncrat dari mulutnya. Nyawanya tak tertolong lagi setelah tubuh menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong. Dalam beberapa kejap saja terlihat sisa-sisa anak buah Hantu Bukit Angsa tinggal beberapa orang saja termasuk Clutak Anglira dan Ki Sapan Oyot. Melihat itu Ki Sapan Oyot langsung turun tangan menyerang Bayu. Tubuhnya melompat ringan bagai seekor Walet menyambar kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"
"Trak! Trak!"
Sambil melayang begitu Ki Sapan Oyot masih sempat melepaskan pisau-pisau beracunnya. Namun semuanya rontok dihantam Cakra maut Pendekar Pulau Neraka. Ki Sapan Oyot menggeram marah. Pada saat yang bersamaan permainan tongkat Clutak Anglira semakin menggila saja menyerang pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Bet!"
Untuk ke sekian kalinya Bayu berhasil menghindar dari serangan lawan. Sambil menundukkan kepala menghindari tamparan Ki Sapan Oyot, tubuhnya mencelat bagai seekor katak menghindari sabetan tongkat Clutak Anglira dan langsung menghantamkan tinju ke dada Ki Sapan Oyot.
"Plak! Plak!"
"Ughk...!"
Bayu tersentak kaget begitu merasakan tenaga dalam lawan saat orang bongkok itu menangkis serangannya. Tenaga dalamnya kuat dan belum tentu berada di bawahnya. Tangannya bukan saja kesemutan, tapi juga terasa ngilu.
Sementara itu melihat aksi si Pendekar Pulau Neraka, Ki Dharmasutra dan Jarot, muridnya tak mau tinggal diam. Mereka pun ikut menghajar lawan-lawan pemuda itu. Dan ketika lawan terakhir tewas, keduanya langsung berhadapan dengan Clutak Anglira sehingga Pendekar Pulau Neraka merasa agak ringan menghadapi lawannya.
"Hmm, ternyata benar apa yang diberitakan orang. Nama Pendekar Pulau Neraka bukan hanya omong kosong belaka. Kau cukup berisi. Bocah!" puji Ki Sapan Oyot jujur.
"Kau pun sungguh hebat, orang tua. Sayang jalanmu sesat, kalau tidak aku akan senang sekali bersahabat denganmu."
"Kau tak akan mengerti apa-apa soal balas budi, beda denganku. Setitik budi orang harus dibalas meski nyawa taruhannya. Apalagi harus memikul segunung budi orang lain... nyawaku bukan apa-apa. Walau perintahnya bertentangan dengan hatiku bukan masalah."
"Pada siapa kau berhutang budi? Pada Hantu Bukit Angsa?"
"Betul. Dia pernah menolongku saat orang-orang mengejek dan menganiayaku, dan mengajariku ilmu silat. Budinya sebesar gunung. Nah, tak usah banyak omong lagi, Bocah. Kau harus mati saat ini juga."
"Hiyaaa...!"
"Siiing!"
Beberapa buah pisau beracunnya kembali melesat. Namun seperti tadi, rontok kembali dipapas Cakra Maut. Senjata itu terus melesat menyerang Ki Sapan Oyot. Tapi orang tua itu dapat menghindar dengan gesit. Bahkan mampu balas menyerang Bayu.
"Splak!"
"Uts!"
Tamparan tangan kanannya yang melayang ke arah batok kepala pemuda itu ditangkis oleh Bayu dengan tangan kanannya. Kembali Bayu merasa tangannya linu. Namun demikian lawan masih mampu melepaskan serangan berikutnya lewat tangan kiri ke dada Bayu. Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuh. Kaki kanannya terayun menyapu perut lawan. Dengan beraninya Ki Sapan Oyot memapaki dengan tangan kanannya menghantam tulang kering. Bayu buru-buru menarik kakinya dan berganti kaki kirinya yang menyapu kepala si tua bongkok itu.
"Wuuut!"
"Haiiit...!"
Walau pun mampu menghindari serangan Bayu, Ki Sapan Oyot perlahan-lahan agak kerepotan juga karena Cakra Maut lawan selalu melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Sedikit saja salah berkelit, niscaya tubuhnya akan robek dihantam senjata itu.
"Akh!"
Clutak Anglira menjerit ketika ujung pedang Ki Dharmasutra berhasil menggores punggungnya. Tapi di pihak mereka pun mendapat balasan karena dengan tiba-tiba ujung tongkatnya yang merupakan golok berhasil membabat sebelah kaki Jarot yang terlambat menghindar.
"Aaaa...!"
"Tabahkan hatimu, Jarot! Jangan perlihatkan pada mereka sedikit pun rasa gentar!" kata Ki Dharmasutra.
Jarot menggigit bibir menahan rasa sakit. Walau pun berkaki satu namun gerakannya masih cukup gesit meski ia harus menggempos tenaga lebih banyak agar tubuhnya enteng saat menyerang dan menghindar. Dan kali ini dilihatnya pula gerakan pedang gurunya semakin menggila. Agaknya ia mulai menyadari bahwa gurunya mulai tak memperhitungkan pertahanan diri lagi namun mengerahkan segenap perhatiannya dalam penyerangan. Hal itu memang terlihat hebat, namun sekali mendapat balasan dari lawan, kecil kemungkinannya untuk tidak terluka.
***
Sementara itu pertarungan antara si Pendekar Pulau Neraka dan Ki Sapan Oyot telah berlangsung pada puncaknya. Keduanya saling mengerahkan segenap kepandaiannya untuk menjatuhkan lawan. Tapi melihat keadaan sebenarnya, Ki Sapan Oyot boleh dibilang tak menguntungkan. Selain berhadapan dengan Pendekar Pulau Neraka, ia pun mesti memperhitungkan Cakra Maut yang sejak awal tadi terus mengejarnya.
"Hiyaaaa...!"
"Plak!"
"Bughk!"
"Hughk...!"
Dalam satu kesempatan Bayu kembali mengibaskan tangan kanan, dan detik itu juga Cakra Maut yang baru melekat ke pergelangan tangannya, kembali melesat cepat menghantam leher Ki Sapan Oyot tanpa diduga oleh lawan sama sekali. Di belakangnya Bayu mengikuti dengan tangan terkepal siap menghajar batok kepala lawan. Ki Sapan Oyot berhasil menghindari Cakra Maut, namun ia tak punya kesempatan mengelak dari tinju kanan Bayu selain menangkisnya secara untung-untungan.
Namun secara tak disangka Bayu menarik kembali tangan kanannya dan menghantam tinju kiri ke dada lawan dengan telak. Ki Sapan Oyot menjerit kecil. Tapi kaki kirinya sempat menghajar perut Bayu. Keduanya terhuyung-huyung ke belakang dengan darah menetes di ujung bibir. Pada saat itulah Cakra Maut yang pada serangan pertama dapat dielakkan, berbalik menyerang orang tua bongkok itu, dan dengan cepat menyambar leher kembali.
"Cress!"
"Aaaa...!"
Ki Sapan Oyot cuma bisa menjerit tertahan ketika batok kepalanya menggelinding. Tubuh tanpa kepala itu meregang sesaat sebelum ambruk dan tak bergerak lagi selamanya. Tak berapa lama setelah itu terdengar jeritan setinggi langit ketika ujung pedang Ki Dharmasutra kembali merobek perut lawan. Jarot tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Goloknya langsung menghunjam kejantung lawan.
"Crab!"
"Aaaa...!"
Clutak Anglira tumbang, sepasang matanya melotot dan wajahnya mati penasaran. Ki Dharmasutra dan Jarot belum sempat menghela nafas lega ketika satu bayangan menyambar ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Tuan Pendekar, awas!" teriak Jarot memperingati.
Bayu yang saat itu sedang duduk untuk menetralisir aliran darahnya yang sempat kacau, buru-buru menggulingkan tubuh. Bayangan kecil yang menyambar ternyata berasal dari seekor burung jalak dengan bulu keemasan. Tapi detik itu juga pendengarannya yang tajam merasakan desiran angin halus kembali menyambar ke arahnya. Dengan sisa tenaganya Bayu mengibaskan tangan kanannya, Cakra Maut kembali mendesing memapaki serangan lawan.
"Wusss...!"
Serangkum angin kencang menerpa dan membuat senjata maut itu tertahan beberapa saat lamanya. Tapi saat itu juga tubuh Bayu melentik ke belakang dan menarik pulang Cakra Mautnya. Sesosok tubuh tinggi kurus berdiri tegak tak jauh di depannya. Sepasang matanya lebar dan besar dengan hidung pesek dan rambut pendek yang kaku. Bibirnya tipis dan mulutnya lebar agak mancung. Orang itu tak mengenakan baju hingga terlihat tulang-tulang rusuknya yang bertonjolan. Dia pun hanya mengenakan celana pendek lusuh. Sementara burung jalak tadi telah bertengger di pundaknya.
"Hmm... jadi kaukah yang bergelar Pendekar Pulau Neraka?" tanyanya dengan suara dingin.
"Begitulah. Apakah kau Hantu Bukit Angsa?"
"Ha ha ha...! Tak ada duanya Hantu Bukit Angsa. Akulah orangnya. Sungguh hebat kepandaianmu, Bocah. Anak buahku habis sudah kau bantai. Tapi kali ini tiba giliranmu untuk melengkapi jumlah mereka."
Selesai berkata demikian tubuh Hantu Bukit Angsa melesat seringan kapas tertiup angin ke arah Bayu. Bayu bersiaga penuh. Kalau saja Ki Sapan Oyot memiliki ilmu tinggi, apalagi gurunya ini, pikirnya. Berpikir begitu, Bayu tak bermaksud untuk memapaki serangan lawan, melainkan berusaha menghindar. Tapi gerakan Hantu Bukit Angsa betul-betul gila. Bayu belum sempat menghindar, tangan kanan lawan telah terarah ke dada.
Mau tak mau si Pendekar Pulau Neraka terpaksa menangkis serangan dengan telapak tangan kanannya.
"Plak!"
"Hughk!"
Bayu tersentak ke belakang dengan tubuh sempoyongan. Pukulan lawan bukan saja membuat tangannya linu, tapi juga seperti menghantam dadanya dengan keras. Sudut bibirnya kembali meneteskan darah kental. Wajah Bayu nampak pucat menahan nyeri. Tapi pada saat itu juga tubuh Hantu Bukit Angsa melesat kembali ke arahnya dengan satu serangan mematikan.
"Hiyaaa...!"
Pada saat-saat yang kritis itu Ki Dharmasutra nekat melompat menyerang Hantu Bukit Angsa untuk menyelamatkan si Pendekar Pulau Neraka. Padahal sebenarnya hal itu tak perlu sebab Bayu telah mengibaskan tangan kanannya, dan detik itu juga Cakra maut melesat ke arah lawan.
"Hup!"
"Prak!"
"Akh...!"
Dengan gerakan manis Hantu Bukit Angsa mencelat ke atas menghindari sambaran Cakra Maut, kemudian menukik tajam ke arah Ki Dharmasutra. Entah bagaimana ia melakukannya, tiba-tiba saja pedang di tangan Pendekar Bambu Kuning itu terpental entah ke mana. Sedang Ki Dharmasutra ambruk dengan leher patah dihantam lawan.
"Eyaaang...!" jerit Jarot melihat keadaan itu. Tanpa memikirkan keadaannya lagi tubuhnya langsung mencelat ke arah Hantu Bukit Angsa sambil membabatkan golok. Pada saat yang bersamaan tubuh Bayu pun mencelat menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Buk! Buk!"
"Akh!
Dua pukulan beruntun terdengar. Satu mendarat di perut Jarot, dan satu lagi di paha kanan Bayu yang dilakukan Hantu Bukit Angsa. Tapi Bayu pun berhasil mengayunkan kaki kirinya ke dada lawan. Ketiganya mengeluh kesakitan. Namun yang menderita lebih parah adalah Jarot. Pemuda itu terlempar dua tombak dan darah segar keluar dari mulutnya. Dia menggelepar-gelepar dalam keadaan antara hidup dan mati. Pukulan Hantu Bukit Angsa tadi rupanya cukup meremukkan isi perutnya.
"Hup, yeaaaah...!"
Bayu kembali mengibaskan tangan kanannya. Cakra Maut melesat ke arah Hantu Bukit Angsa disusul dengan tubuhnya yang langsung mencelat ke arah lawan. Tapi pada saat itu pula burung jalak si Hantu Bukit Angsa menyambar ke arahnya. Bayu terpaksa berkelit merasakan sambaran paruh hewan itu yang ganas.
"Nguk! Nguuk!"
"Bagus Tiren!" pujinya ketika melihat Tiren turun tangan membantunya.
Tiren memang tak bisa terbang untuk mengejar burung itu, tapi ia cerdas dan tangkas, dan juga bertenaga kuat. Diambilnya kerikil-kerikil dan disambitnya ke arah burung itu berkali-kali agar tak mengganggu Tuannya yang sedang bertempur.
"Hati-hati, Tiren! Hewan itu beracun!"
"Nguk! Nguuk!"
Sementara itu sambaran Cakra Maut berhasil dihindari Hantu Bukit Angsa. Dia sendiri langsung memapaki serangan Bayu.
"Plak!"
"Hughk!"
Kembali pukulan mereka beradu, dan Bayu semakin merasakan dadanya bertambah nyeri.
"Cress!"
"Akh!"
Kali ini Hantu Bukit Angsa menjerit kecil ketika Cakra Maut berbalik menyerangnya kembali. Agaknya ia pun merasakan nyeri di dada akibat benturan tenaga dalam lewat pukulan tadi sehingga gerakannya menjadi lamban.
"Hiyaaa...!"
Bayu mengibaskan tangan kanannya. Gerakan Cakra Maut itu semakin gesit mengejar lawan.
"Cress! Cress!"
"Aaaa...!"
Hantu Bukit Angsa mengeluarkan jeritan panjang agak tertahan. Ia cuma bisa menghindar sekali saja dari sambaran Cakra Maut itu. Ketika benda itu berbalik menyambar perutnya hingga robek, orang itu terpekik nyaring. Dan Cakra Maut berbalik menyambar lehernya hingga putus. Riwayat Hantu Bukit Angsa tamat seketika!
Bayu menghela nafas lega. Cakra Maut itu telah kembali di pergelangan tangannya. Ia merangkak pelan memeriksa keadaan Jarot. Tapi pemuda itu ternyata sudah tewas. Kembali Bayu menghela nafas pendek sebelum meninggalkan pulau itu dengan langkah tertatih. Sekilas ia membalikkan tubuh dan melihat tempat itu yang dipenuhi mayat-mayat sekali lagi. Kemudian dia berbalik dan tak menoleh lagi ke belakang.
"Tuan Pendekar...!" jerit seorang gadis berbaju merah berlari-lari kecil dari arah depan pintu istana Hantu Bukit Angsa. Bayu tersentak kaget.
"Sekar Tanjung..." desisnya. "Ke mana Sekar Harum?" tanyanya ketika gadis itu telah mendekat.
"Dia... dia bunuh diri karena malu telah ternoda oleh Hantu Bukit Angsa...."
"Astaga...."
Untuk sesaat Bayu termenung sendiri dengan wajah geram. Namun melihat gadis itu muram dan sedih, buru-buru dia membujuknya. Gadis itu menumpahkan kesedihan hatinya di dada bidang Pendekar Pulau Neraka sebelum mereka meninggalkan tempat itu.
Di ujung sana matahari mulai tenggelam, dan burung malam mulai keluar dari sarangnya. Esok kembali muncul dan sembunyi, seperti dendam dan kebencian, di dunia ini!
"Nguuk!"
Tiren yang telah membinasakan lawannya mengangguk di pundak Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu menepuk-nepuk kepala monyet kecil itu sambil tersenyum lebar.
Ki Pranata yang menjadi kepala desa, bukan main bangga melihat keadaan warganya. Dia sendiri memang mendukung sebesar-besarnya bagi kedamaian dan ketentraman masyarakat di tempat itu, dan tak membiarkan sedikit pun anasir keburukan menyebar di desanya. Maka tak heran, jarang terlihat perselisihan di antara penduduk, tengkulak yang mencoba menjerat petani, atau pencuri-pencuri yang menggarong isi rumah. Karena bila hal itu terjadi, bukan hanya Ki Pranata yang bertindak, tapi seluruh penduduk kampung langsung bereaksi menentangnya.
Pagi belum lagi terlalu terang. Hawa dingin masih menyelimuti, namun Desa Kayu Agung telah ramai. Petani-petani yang membawa cangkul menuju sawah dan ladang, serta perempuan-perempuan yang beriringan ke pancuran untuk mencuci merupakan pemandangan sehari-hari. Ki Pranata berdiri di depan beranda rumah sambil bercengkerama dengan burung perkututnya yang berada dalam sangkar.
"Ctak! Ctak!"
"Kurrr...!"
"Ayo, manis. Pagi ini udara sejuk dan suasana begitu damai. Kenapa malah kau enggan menunjukkan suaramu yang merdu?"
Burung perkutut yang sedang digodanya itu terbang dari tempatnya bertengger ke atas dan ke bawah. Kemudian menerjang-nerjang sangkar seperti menunjukkan kegelisahannya. Ki Pranata coba mendiamkan sambil bersiul-siul dan menjentikkan jarinya.
"Diamlah, Widuro. Kenapa kau? Apakah kau lapar? Ah, tak mungkin. Makananmu masih banyak."
Burung itu kembali bersuara. Tapi bagi Ki Pranata yang terbiasa mendengar perkutut bersuara indah, tentu saja merasa heran. Suara burung itu sumbang, tidak nyaring dan lantang seperti biasa. Seperti mengandung kesedihan. Tapi kesedihan apa?
Ki Pranata berpikir, mungkin karena perkutut yang bernama Widuro itu kehilangan pasangannya tiga hari yang lalu. Widuro termasuk salah seekor burung kesayangannya yang memiliki suara yang indah dan bulu halus mengkilap. Umurnya pun sudah tua, hingga Ki Pranata bermaksud menjadikannya hewan pemacak. Tapi Widuro tak mau kawin, dia bahkan tak menyukai betinanya. Ki Pranata telah mencoba lima ekor betina, tapi hanya yang terakhir saja Widuro mau bermain-main dan bersiul-siul. Itu pun tak lama karena ia cepat merasa bosan. Dan ketika betinanya mati, Widuro tak tampak sedih. Tak mungkin bila tiga hari kemudian, yaitu pagi ini ia berduka.
"Diamlah, Widuro! Diam!" kata Ki Pranata kembali sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke dekat sangkar ketika burung itu makin bersikap liar.
"Huh, burung sial! Kenapa kau tiba-tiba menjadi begini?"
Ki Pranata baru saja menggerutu ketika terdengar kentongan dari kejauhan. Beberapa saat didengarkannya bunyi kentongan yang menandakan adanya bahaya yang mengancam kampung ini. Aneh? Sudah hampir sepuluh tahun lebih ia menjadi kepala desa, belum pernah terdengar bunyi kentongan itu sehingga membuatnya tak cepat tanggap.
"Jarot...!"
Seorang pemuda bertubuh sedang dengan kumis melintang, tergopoh-gopoh menghampiri dari arah samping. Rambutnya sepanjang leher dengan ikat kepala lebar berwarna hitam, sama seperti pakaiannya. Di pinggang terselip golok yang agak panjang. Orang ini adalah tangan kanan Ki Pranata, selain sebagai kepala keamanan desa.
"Iya, Ki!"
"Coba kau periksa bersama anak buahmu, apa yang terjadi di sana. Kau dengar kentongan tadi?"
"Dengar, Ki."
"Bahaya apa kira-kira?"
"Ng... kurang tahu juga, Ki..." sahut Jarot sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Ya, sudahlah. Kau terbiasa tak bekerja penuh sebagai keamanan, karena kampung kita ini biasanya aman. Nah, sekarang lakukan tugasmu. Kalau ada maling, tangkap dan bawa ke sini untuk diadili."
"Siap, Ki."
Jarot segera berlalu mengumpulkan anak buahnya yang sedang bermalas-malasan di sebuah ruangan belakang rumah Ki Pranata. Walaupun demikian, mereka langsung sigap begitu Jarot memberi perintah. Jarot yang klemar-klemer di hadapan Ki Pranata, kini terlihat galak dan berangasan. Wibawanya sebagai pimpinan keamanan kampung terlihat jelas dalam keadaan begitu. Namun baru saja mereka keluar, tiba-tiba...
"Siap-siap!" perintah Jarot.
Sepasang matanya yang tajam memperhatikan keadaan sekeliling rumah junjungannya itu. Walau belum melihat, telinganya yang telah terlatih jelas mendengar desir angin dari kelebatan sebuah bayangan yang menghilang entah ke mana. Yang jelas menuju tempat kediaman junjungannya.
"Ada apa, Kang?" tanya seorang anak buahnya.
"Sssst!"
"Perampok?"
"Bukan. Nampaknya orang ini berilmu tinggi. Kalaupun mau merampok, dia bukan perampok picisan. Dari gerakannya saja dapat dibayangkan kepandaian ilmu meringankan tubuhnya," jelas Jarot.
"Kalian berjaga di samping kiri dan kanan, sedangkan aku mau melapor pada Ki Pranata."
"Baik, Kang!"
Jarot sebenarnya bukan centeng biasa. Dia murid seorang tokoh terkenal yang berilmu tinggi. Keinginan sebenarnya pergi mengembara sambil mengamalkan ilmu silat serta kepandaiannya bagi orang banyak. Tapi Ki Pranata meminta untuk bekerja padanya. Hal ini tak mungkin bisa ditolak. Lebih-lebih kedua orang tuanya terus mendorong.
Jarot tak sampai hati untuk tidak mengabulkan permintaan mereka. Ki Pranata dulu telah banyak sekali membantu kehidupan mereka yang morat-marit sampai hidup berkecukupan seperti sekarang. Walaupun Ki Pranata lak pernah mengungkit-ungkit sedikit pun tentang balas jasa, tapi sebagai orang yang berperasaan, tentu saja Jarot tahu membalas budi orang. Dan setelah mempertimbangkan bahwa selama ini Ki Pranata terkenal sebagai kepala desa yang cukup adil serta bijaksana, ia merasa tak ada salahnya untuk mencoba lebih dulu.
"Ki Pranata...."
Ki Pranata menoleh. Tangannya masih menjentik-jentik di dekat sangkar sambil bersiul-siul kecil. Perkutut bernama Widuro di dalamnya mulai diam sambil bertengger. Tapi hewan itu masih tidak peduli pada tuannya.
"Kenapa belum kau periksa tanda bahaya tadi, Rot?" tanya Ki Pranata langsung.
"Anu, Ki...," sahut Jarot terputus.
"Anu kenapa?" tanya Ki Pranata mengulangi.
"Sepertinya ada orang asing yang berkeliaran di tempat ini, Ki," sahut Jarot agak ditekan suaranya.
"Maksudmu?"
"Entahlah. Aku masih belum jelas. Tapi untuk berjaga-jaga dari kemungkinan yang buruk, bagaimana sebaiknya, Ki? Apakah aku saja yang berjaga di sini, sedangkan yang lainnya memeriksa tanda bahaya itu?"
"Hmmm, ada orang asing...?" Ki Pranata berpikir sejenak. "Ya boleh juga. Suruh saja mereka memeriksa, dan kau di sini."
"Baik, Ki!" sahut Jarot.
Dia kemudian memanggil seorang anak buahnya, tanpa melepaskan perhatian terhadap Ki Pranata.
"Balura, pimpin teman-temanmu untuk memeriksa kejadian apa yang menimpa desa ini. Kalau bisa diatasi, itu lebih baik. Kalau tidak bisa, lapor pada aku secepatnya. Mengerti?"
"Mengerti, Kang!"
"Nah, cepat kerjakan!"
"Baik, Kang."
Orang yang dipanggil Balura itu berlalu sambil mengajak beberapa temannya dengan tergopoh-gopoh. Lari mereka kencang, bukan seperti orang kebanyakan. Kalau dahulu mereka hanya memiliki ilmu silat kasar dan pasaran, tapi sejak Jarot yang menjadi pimpinan, ia tak segan-segan memberikan pelajaran ilmu silat yang dimilikinya kepada mereka.
Orang-orang itu baru saja berlalu, dan Jarot berjalan pelan melangkah ke sebelah Ki Pranata ketika tiba-tiba melesat sebuah bayangan dari wuwungan rumah. Pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu cepat-cepat bersiaga melangkah ke depan Ki Pranata. Dilihatnya seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata lebar dan rambut pendek berdiri ke atas. Hidungnya pesek, dan mengenakan celana pendek tanpa pakaian hingga terlihat tulang-tulang rusuknya yang bertonjolan.
"Siapa kau...?" bentak Jarot lantang.
"He he he...! Kaukah yang menjadi pimpinan keamanan desa ini?"
"Betul. Apa maksudmu mendatangi tempat ini dengan cara seperti maling, dan siapa kau sebenarnya? Kalau punya niat buruk, sebaiknya cepat berlalu sebelum kuseret seperti anjing!"
Laki-laki bertubuh tinggi kurus dan bermuka buruk seperti jerangkong itu kembali tertawa terkekeh.
"He he he...! Sungguh besar nyalimu berkata demikian padaku, Bocah. Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa saat ini? Namaku Warangka Gering dan orang-orang memberi ku gelar Hantu Bukit Angsa. Gurumu sendiri belum tentu berani selancang itu padaku."
"Hmmm, Hantu Bukit Angsa...? Baru kudengar namamu sekarang. Nah, Kisanak apa keperluanmu datang ke sini?"
"He he he...! Kudengar juragan mu itu berharta banyak, sedangkan aku miskin. Tolong kau katakan padanya aku ingin minta sedikit saja."
"Lancang sekali kau!" bentak Jarot. "Meliha caramu datang dengan tidak semestinya menunjukkan bahwa kau berniat buruk. Tapi kalau kau datang dengan cara baik-baik, Ki Pranata tentu dengan senang hati memberinya."
"Sebentar Jarot..." potong Ki Pranata sambil berdiri tegak di samping pemuda itu. Ditatapnya orang asing itu dengan wajah ramah.
"Kisanak, kalau kau lapar, masuklah ke dalam. Dengan senang hati aku akan memberimu makan. Dan bila kau memang betul miskin, aku tak keberatan memberimu beberapa keping uang perak."
"Ha ha ha...! Kau tentu Kepala Desa yang dermawan. Kalau demikian pasti tak keberatan kalau aku minta seluruh harta bendamu yang ada di rumah ini," sahut Warangka Gering sambil bertolak pinggang.
Mendengar itu tentu saja Jarot naik pitam, dan Ki Pranata merasa tak perlu lagi ia beramah tamah dengan orang asing itu.
"Jarot, lebih baik kau usir pengemis tak tahu diri ini!" perintah Ki Pranata sambil membalikkan tubuh bermaksud ke dalam.
"Baik, Ki!" sahut Jarot mantap.
Pemuda itu langsung melompat ke dekat orang asing itu. Wajahnya menunjukkan kegarangan.
"Kisanak, pergilah kau dari sini. Cepat!"
"Ha ha ha...! Aku semakin suka saja melihat sikapmu, Bocah. Tapi mengusirku tak semudah apa yang kau bayangkan. Kalau kau bisa mengalahkan piaraan ku, boleh kau berbangga diri dan menepuk dada sambil berkata kau memiliki kepandaian yang tak bisa dianggap rendah."
Setelah berkata begitu, Warangka Gering bersuit nyaring. Dalam sekejap saja melesat sebuah benda berwarna keemasan dari balik rerimbunan pohon dan langsung menyambar Jarot.
"Wuss!"
"Utfs!"
Jarot terkejut bukan main. Dia berpikir bahwa itu mungkin adalah sebuah senjata rahasia yang dilontarkan anak buah Warangka Gering. Namun setelah dilihat dengan teliti ternyata lima seekor burung jalak yang memiliki warna bulu kuning keemasan. Burung jalak itu terus menyambar. Dalam satu pukulan tentu ia akan hancur tak berbentuk, pikir Jarot.
"Wut!"
"Bet"
"Hup!"
Kembali Jarot dibuat terkejut. Bukan saja jalak itu mampu menghindari pukulannya, tapi juga dengan cepat membalas. Ia tak mau menanggung resiko dengan membiarkan dirinya dipatok. Pada serangan pertama tadi tercium bau busuk bercampur hawa panas dari paruh burung itu. Bisa jadi hewan itu bukan burung biasa, melainkan burung yang telah terlatih dan memiliki racun ganas pada paruhnya.
"He he he...! Cuma segitukah kemampuanmu? Menghadapi seekor burung saja sudah kewalahan," ejek Warangka Gering.
"Setan!" maki Jarot. "Jangan salahkan aku bila binatang keparat ini mampus di tanganku!"
"Wut!"
"Hiyaaa...!"
"Prek!"
Burung jalak itu memekik kesakitan ketika sebelah sayapnya terkena hantaman tangan kanan Jarot. Tapi burung itu masih bisa terbang dan melesat kembali menyerang lawan.
"Mampus kau binatang keparat!" teriak Jarot.
"Yeaaaah...!"
"Plak!" "Buk!"
Jarot merasa perutnya mau meledak menerima tinju menggeledeg yang dilakukan lawan pada saat ia bersiap mengerahkan tenaganya untuk menghantam burung tadi. Agaknya Warangka Gering merasakan bahwa Jarot itu bukanlah orang sembarangan. Gerakan tubuhnya yang ringan, serta tenaganya yang kuat sudah pasti akan membuat binatang peliharaannya mati. Untuk itulah ia merasa perlu turun tangan. Walaupun Jarot mengetahui hal itu dan mencoba menangkis, namun lawan lebih cepat lagi bergerak.
"Manusia busuk! Kini kau mencari kelemahan di saat aku tak siaga. Begitukah caramu menghadapi lawan?" maki Jarot sambil menjejakkan kakinya dengan mantap dan mengusap darah yang menetes di sudut bibirnya.
Ki Warangka Gering yang menyebut dirinya sebagai Hantu Bukit Angsa itu terkekeh-kekeh sambil bertolak pinggang. Namun belum lagi ia berkata apa-apa, tiba-tiba muncul anak buah Jarot di tempat itu. Semuanya memandang heran pada orang asing berwajah menyeramkan ini. Namun ketika menyaksikan darah yang menetes di bibir Jarot, mengertilah mereka apa yang telah terjadi.
"Apakah perlu kami ringkus orang ini, Kang?" tanya Balura yang merupakan tangan kanan Jarot dengan wajah gemas.
"Dia bukan lawanmu, sebaiknya kalian lindungi saja Ki Pranata dari bahaya. Oh ya, apa yang terjadi di sana?"
"Kebakaran, Kang! Tapi pelakunya tak ditemukan."
"Sudah kalian atasi?"
"Sudah, Kang. Hanya..." Balura menundukkan kepalanya dengan wajah lesu.
"Hanya kenapa?"
"Kebakaran itu agaknya cuma pancingan belaka, sebab begitu semua reda, timbul kepanikan lain. Barang-barang berharga di rumah penduduk hilang entah kemana..."
"Apa...?" sepasang alis Jarot terangkat tinggi. Wajahnya terlihat bertambah garang.
Dalam keadaan demikian pandangannya tertuju penuh kebencian terhadap Warangka Gering yang masih memandangi mereka sambil tersenyum-senyum kecil.
"Hantu Bukit Angsa, tentu semua ini perbuatanmu?" dengus Jarot geram.
"He he he he...! Kalau memang benar, kau mau apa?"
"Bedebah! Kembalikan semua barang-barang itu, atau terpaksa aku akan mencincangmu!" Jarot terlihat sengit.
Tiba-tiba saja goloknya telah tergenggam di tangan. Melihat lawan masih cengar-cengir, amarahnya tak bisa tertahan lagi. Dengan satu teriakan keras diserangnya orang bertubuh tinggi kurus itu.
"Sret!"
"Hiyaaat...!"
Goloknya berkelebat ke seluruh tubuh lawan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa. Tapi Hantu Bukit Angsa masih sempat mendecah menghindar dengan gerakan yang sangat indah dan ringan sekali.
"Ck ck ck ck... bukan main. Orang sepertimu lah yang pantas menjadi anak buahku. Ayo, seranglah aku lebih cepat lagi! Cari semua bagian tubuhku yang terlemah."
"Jangan banyak bicara kau, keparat! Kalau bukan kau, biarlah aku yang mampus hari ini!" bentak Jarot berang.
"Hiyaaa...!"
"Ah, kenapa kau begitu nekat? Dan siapa yang inginkan kematianmu? Aku justru ingin agar kau mau bekerja sama denganku."
"Huh, jangan harap aku mau bekerjasama dengan maling busuk sepertimu!"
"Hmmm, begitu? Kita lihat saja nanti..." terdengar dingin suara Warangka Gering.
Tiba-tiba ia berteriak nyaring hingga menggetarkan semua benda yang berada di tempat itu. Beberapa orang anak buah Jarot tumbang dengan darah mengucur lewat hidung, mata dan telinga. Sebagian lagi yang memiliki tenaga dalam tinggi berusaha menutup segala panca indra, namun demikian lama kelamaan keadaan mereka nyaris sama dengan teman-temannya yang lain.
Ki Pranata sendiri sudah berguling gulingan sambil menjerit kesakitan. Balura, satu-satunya anak buah Jarot yang mampu bertahan bermaksud menolong tuannya itu, tapi baru saja ia melepaskan konsentrasinya, saat itu pula pengaruh lawan menghantam dirinya. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun lebih itu menjerit keras.
"Bedebah!" maki Jarot sambil menyilangkan kedua tangannya. Dia sendiri walau mampu mengatasi serangan tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat pengerahan suara itu, tetap saja tak leluasa bergerak untuk menyerang.
"Hiyaaaa...!"
"Tuk! Tuk!"
Sekali berkelebat, Hantu Bukit Angsa yang mengetahui bahwa Jarot itu tak akan mampu menangkis dari serangannya, langsung menotok hingga tubuh Jarot ambruk tanpa daya. Sekali lagi ia bergerak, maka tubuh Balura telah berada dalam kepitannya.
"Ha ha ha...! Aku memerlukan orang-orang gagah seperti kalian untuk mewujudkan cita-citaku!"
Setelah puas tertawa, Warangka Gering itu segera bersuit nyaring, tak berapa lama muncul sebuah gerobak berukuran besar yang ditarik dua ekor kuda. Dan saisnya seorang laki-laki tua dengan tubuh bungkuk dan memiliki punuk di punggungnya. Rambutnya panjang telah memutih sebagian. Ketika wajahnya terangkat, terlihat sebelah matanya buta dan terus mengeluarkan air. Dan dari balik jubahnya yang lusuh berderet puluhan pisau-pisau kecil di pinggangnya.
"Ki Sapan Oyot, angkut semua barang-barang yang ada di dalam. Sementara dua orang ini biar kubawa langsung," perintah Warangka Gering.
"Baik, Gusti..." sahut Ki Sapan Oyot itu dengan suara patuh.
Setelah berkata demikian, Warangka Gering langsung berlalu sambil terkekeh kekeh girang. Dari angkasa terlihat seberkas sinar berwarna kuning keemasan berasal dari burung jalaknya yang mengikutinya dengan setia.
"He he he he...!"
Pemuda berambut gondrong dengan pakaian terbuat dari kulit harimau itu berlari-lari kecil mengejar seekor monyet kecil yang berada di depannya.
"Eee, kau betul-betul ingin berlomba lari denganku, heh?"
"Nguk! Nguk...!"
"Awas kau kalau dapat ya? Kau mesti mencarikan aku buah-buahan yang paling segar!" ancam pemuda itu sambil menggenjot tubuhnya. Sebentar saja terlihat langkah kakinya cepat bukan main seperti tidak menapak tanah saja layaknya.
"Nguk...!"
"Kena kau!"
Begitu jarak mereka dekat, dengan tiba-tiba monyet kecil berbulu coklat itu dengan cepat meloncat ke atas, kemudian terus meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya.
"Sialan kau, Tiren! Pandai juga kau menghindar ya? Tapi kali ini jangan harap kau bisa lolos dari kejaranku!"
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Pulau Neraka itu menggenjot tubuhnya ke atas pada sebuah dahan yang diperkirakan akan dilalui oleh monyet itu. Tapi monyet bernama Tiren itu ternyata amat cerdik. Mengetahui dirinya dijaga, ia langsung mengalihkan tujuan dengan melompat ke dahan yang lain. Tapi pada saat itu juga tubuh Bayu melesat cepat menyambarnya.
"Tap!"
"Kaakh...!"
"Rasakan kau! Kau pikir gerakanmu sudah lebih gesit dibanding aku, ya? Nah, mau kemana sekarang?" ejek Bayu sambil menggenggam erat-erat ekor Tiren.
Monyet kecil itu berteriak-teriak seolah tak senang dirinya dihina demikian. Ekornya ditarik ke atas sedang kepalanya terletak dalam posisi bawah. Lalu dengan seenaknya Bayu membawanya berlari-larian dari satu dahan ke dahan yang lain seperti dirinya tadi.
"Ayo, sekarang kau harus ku hukum. Sekarang perutku lapar, dan kau harus mencarikan ku buah pisang dan papaya yang lezat!" perintah Bayu Hanggara sambil melepaskan kembali Tiren.
Tapi begitu dilepaskan, Tiren cepat berputar dua kali dan melompat ke dahan yang lebih kecil sebesar ekornya. Terlihat dahan itu bergoyang-goyang dalam keadaan genting. Tapi Tiren malah kembali berputar-putar sambil menepuk kedua tangannya dengan mulut cengar-cengir seperti mengejek Bayu.
"Eee, kau pikir aku tak bisa mengejar di dahan itu ya? Awas kau kalau kena!"
Bayu Hanggara baru saja akan bergerak ketika pendengarannya yang terlatih baik mendengar jeritan seseorang yang tak jauh dari tempatnya itu.
"Ouw, tolong...!"
"Heh...?! Apa itu...?"
Tanpa pikir panjang Bayu langsung menggenjot tubuhnya dan melesat cepat ke arah datangnya sumber suara itu. Tak jauh di belakangnya Tiren mengikuti lewat cabang-cabang pohon, bergelantungan. Pada sebuah tempat yang tak jauh dari pinggiran jalan terlihat seorang gadis dalam dekapan seorang laki-laki kasar bertubuh besar. Kedua tangan dan kakinya dipegangi oleh dua orang temannya.
Sementara tujuh orang lagi teman mereka berdiri terkekeh-kekeh memperhatikan. Tak jauh dari situ terlihat sebuah pedati yang ditarik seekor kerbau, dan seorang laki-laki tua dengan wajah dan tubuh berlumuran darah berteriak-teriak agar orang-orang itu menghentikan perbuatan biadabnya terhadap gadis itu. Seorang dari mereka nampak menindih leher si orang tua seperti mengancam, kalau saja dia berani bergerak maka kaki itu siap mematahkan lehernya.
"Manusia-manusia keparat, hentikan perbuatan kalian!" bentak Bayu dengan wajah beringas menahan amarah.
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan tangan kanannya menghantam ke depan. Laki-laki yang menindihkan kakinya ke leher orang tua itu terpekik kesakitan ketika tubuhnya melayang sejauh tiga tombak.
"Akh...!"
Bukan main kagetnya si Brewok yang sedang menindih tubuh gadis itu. Sepasang matanya nampak beringas, dan pelipisnya mengembung. Ingin rasanya saat itu juga dirancahnya pemuda berambut gondrong yang mengacau keasyikannya tadi.
"Siapa kau, bocah? Apakah kau sudah bosan hidup, mengganggu kesenangan Walukarnawa, si Dedemit Rimba Iblis?" bentak si Brewok garang.
"Hm, kaukah yang punya gelar dahsyat itu?
Pernah kudengar namamu..." sahut Bayu Hanggara dingin.
Mendengar itu si Brewok bernama Walukarnawa terbahak-bahak kegirangan. Dalam pikirannya tentulah pemuda itu mulai ciut nyalinya mendengar nama besar Dedemit Rimba Iblis.
"Ha ha ha...! Bagus, kau telah mengenal nama besarku. Nah, sekarang aku sedang enggan membunuh orang. Kuampuni jiwamu itu. Tapi cepat pergi dari hadapanku!"
"Tentu saja aku akan pergi, tapi bersama gadis itu dan orang tua yang kalian aniaya, serta pedati dan isinya," sahut Bayu kembali dengan suara lebih kalem.
Sepasang mata Walukarnawa yang semakin bertambah seram ketika mendengar kata-kata Bayu.
"Wueeeh, rupanya kau bosan hidup, bocah! Mampuslah kau!" bentaknya sambil memberi perintah pada anak buahnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang anak buahnya langsung mencabut golok besar dipunggung mereka dan menyerang Pendekar Pulau Neraka itu dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Yeaaah...!"
"Plak!"
"Buk!"
Ketiga orang menjerit kesakitan dengan tubuh terpental. Dari mulut mereka keluar darah segar, sedangkan senjata mereka terpental entah kemana. Walukarnawa terkejut bukan main. Dalam segebrakan saja ketiga anak buahnya dibuat tak berdaya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Hmm, namaku tak perlu kau tahu, tapi yang perlu kau tahu adalah apa yang kuinginkan. Cepat lakukan atau aku bertindak lebih keras pada kalian?"
"Keparat!" geram Walukarnawa sambil membuang ludah. "Kau pikir sedang berhadapan dengan siapa saat ini? Huh, segala bocah bau kencur mau berlagak di hadapanku. Serang!"
Sisa-sisa anak buahnya langsung menerjang ke arah Bayu Hanggara dengan wajah garang. Sebenarnya sudah sejak tadi mereka ingin menghajar Bayu, tapi tak seorang pun berani bertindak kalau belum diberi perintah oleh ketuanya. Walukarnawa sendiri angin-anginan dan sukar ditebak niatnya. Terkadang ia berbaikan dengan musuh, dan tak segan-segan menghukum bahkan membunuh anak buahnya sendiri. Begitu pun sebaliknya.
"Hiyaaa...!"
Bayu Hanggara geram bukan main. Dan nampaknya ia tak mau berlama-lama bermain dengan mereka. Secepatnya ia mengibaskan tangan kanan maka saat itu juga melesat secercah sinar keperakan menghantam lawan sambil berputar-putar.
"Wuss!"
"Aaaa...!"
Tiga orang ambruk dengan dada bolong dihantam Cakra Maut yang dilepaskan Bayu. Sementara detik berikutnya saat benda itu kembali berputar, tiga orang lagi menjerit nyaring sambil menggelepar-gelepar kesakitan. Dada mereka bolong seperti teman-temannya yang pertama dan darah mengucur deras dari lubang itu. Walukarnawa kaget bukan kepalang begitu melihat benda yang dilepaskan Bayu.
"Hah, Cakra Maut? Apakah kau Pendekar Pulau Neraka?!"
Bayu Hanggara mengibaskan tangannya ke atas, dan Cakra Maut yang sedang berputar-putar mengincar lawan berikutnya kembali pulang dan menempel erat di tangan kanannya. Bayu mendengus sinis.
"Benar apa yang kau katakan tadi. Nah, pergilah kalian cepat dan jangan paksa aku untuk menumpahkan darah lagi!"
"Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, sudah lama kudengar nama besarmu. Kalau kau kira aku takut, kau salah besar. Justru aku ingin sekali menjajal ilmu silatmu yang menurut khabar burung tiada terkira hebatnya," sahut Walakarnawa sambil memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya. Dua buah golok besar dilemparkan ke arahnya. Laki-laki brewok itu langsung membuang warangkanya sehingga terlihat dua buah golok besar yang tajam berkilat-kilat.
"Apa maksudmu, Walukarnawa?"
"Tidak tahukah kau? Aku menantangmu Pendekar Pulau Neraka. Kalau betul kehebatanmu seperti yang dikhabarkan banyak orang, aku rela berlalu dari tempat ini tanpa kau minta sekalipun."
"Hmm, jangan memaksaku untuk bertindak
keras, sobat...."
Namun sebagai jawabannya tubuh besar itu melompat ringan sambil menghantamkan sepasang golok besarnya ke arah Bayu Hanggara. Pemuda itu masih tak bergeming. Tiren yang sejak tadi memperhatikan, menjerit keras sambil menutup kedua matanya dengan tangan.
Semua orang yang melihat kejadian itu pun sama tertegun. Benarkah pemuda itu Pendekar Pulau Neraka yang terkenal kosen? Tapi kenapa saat ini begitu pasrah? Ah, dia pasti terbunuh di tangan Walukarnawa kalau tak berusaha menghindar, pikir si orang tua pemilik pedati yang mendekap putrinya erat-erat.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
"Bedebah! Terima seranganku berikut ini!" bentak Walukarnawa.
Sejengkal lagi kedua golok lawan akan merencah tubuhnya menjadi beberapa potong, Bayu melesat ke belakang. Tubuhnya ringan seperti kapas saja layaknya. Begitu kakinya menjejak tanah, saat itu pula tubuhnya melesat menerkam lawan.
"Hiyaaa...!"
"Sret!"
"Bet!"
Sepasang golok besar di tangan Walukarnawa bukan main hebatnya. Berkelebat dengan ringan seperti menyapu seluruh permukaan kulit Bayu. Tapi Bayu dengan mudahnya menghindar. Namun untuk serangan berikutnya terasa lebih cepat dan kuat. Pendekar Pulau Neraka mulai merasakan tekanan lawan. Bisa dipastikan kalau ia terus bertahan maka dalam tiga jurus di muka senjata lawan akan melukainya. Dengan geram ia berteriak nyaring sambil melompat ke belakang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya ke atas, dan saat itu juga melesat Cakra Maut ke arah lawan. Sedangkan dia sendiri begitu menjejakkan kaki, kembali berkelebat menyerang Walukarnawa.
"Trak!"
"Bukh!"
"Akh!"
Walukarnawa menjerit tertahan ketika dadanya kena hajar pukulan tangan kiri Bayu. sedangkan goloknya patah dua terkena sambaran Cakra Maut. Belum lagi sempat menjejakkan kaki ke tanah, Cakra Maut itu kembali berputar menghantamnya tanpa bisa ditahan. Dan....
"Bress!"
"Aaaa...!"
Walukarnawa alias Dedemit Rimba Iblis menjerit keras ketika Cakra Maut itu menyambar pinggangnya. Darah mengucur deras dari luka yang terkuak lebar. Tubuhnya sempoyongan untuk beberapa saat kemudian dengan mata mendelik lebar sebelum akhirnya ambruk ke tanah.
Melihat keadaan itu sisa-sisa anak buahnya lari ketakutan. Bayu membiarkan saja dan melangkah pelan ke arah orangtua beserta anak gadisnya yang tadi nyaris kehilangan kehormatannya. Si orang tua memberi hormat berkali-kali pada Bayu.
"Ah, terima kasih, Den. Terima kasih. Kalau tidak ada Aden entah bagaimana nasib kami."
"Sudahlah, Pak. Menjadi kewajiban manusia untuk saling tolong menolong dengan sesamanya. Kalau boleh tahu, siapakah bapak ini sebenarnya dan mau kemana tujuannya?" tanya Bayu ramah.
"Namaku Indrapura, dan ini putri ku Sekar Harum. Kami bermaksud mengungsi karena dikampung kami terjadi suatu musibah besar."
"Musibah? Musibah apa, Pak?"
"Orang-orang Hantu Bukit Angsa merampok segala harta benda penduduk dan tak segan-segan membunuh mereka yang menghalangi. Mereka juga menculik anak-anak serta pemuda-pemuda tertentu."
"Hantu Bukit Angsa? Siapa mereka?" tanya Bayu heran. Selama ini nama itu baru didengarnya, dan sepak terjang mereka belum banyak diketahuinya.
"Entahlah. Tak seorang pun yang mengetahui siapa mereka sebenarnya. Tapi mereka kejam dan amat buas, bahkan tak berperikemanusiaan sama sekali."
Pendekar Pulau Neraka menganggukkan kepalanya berkali-kali sambil bergumam pelan.
"Hem, Hantu Bukit Angsa...?"
"Kalau tak keberatan, bolehkan kami mengetahui siapa sebenarnya Kisanak ini? Apakah kau yang dikenal Pendekar masyhur yang dikagumi di rimba persilatan bergelar Pendekar Pulau Neraka?"
"Begitulah, orang-orang memanggilku, Pak. Namaku Bayu Hanggara. Nah, karena tak ada persoalan lagi aku mohon pamit dulu," sahut Bayu.
Lalu berlalu dengan cepat setelah mengajak Tiren, monyet kecil sahabatnya itu. Sepeninggalnya Bayu, si orang tua itu melanjutkan perjalanan bersama dengan anak gadisnya.
"Ayah, apakah kita akan bertemu lagi dengan pemuda itu?" tanya putrinya.
Orang tua itu melirik, kemudian tersenyum kecil.
"Pendekar seperti dia sulit untuk menetap di suatu tempat, Nak. Tapi siapa tahu suatu saat kita akan bertemu lagi dengannya. Kenapa kau tanyakan hal itu? Ayah lihat tadi kau cuma diam dan menundukkan kepala."
"Ah, tidak apa-apa...."
"Kau suka padanya...?"
"Ayah...."
Orang tua itu terkekeh-kekeh melihat wajah putrinya bersemu merah sambil memalingkan muka. Tak berapa lama mereka berlalu, beberapa sosok bayangan tiba di tempat itu. Wajah mereka terlihat kaku dan pandangan matanya kosong ke depan. Salah seorang yang berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan pakaian hitam dan kumis melintang memeriksa salah seorang yang tak lain dari Walukarnawa.
"Detak jantungnya masih terasa, cepat bawa dia. Junjungan kita pasti suka. Dia memenuhi syarat untuk menjadi pengikutnya."
"Baik!"
Orang-orang itu kemudian membawa tubuh Walukarnawa, dan langsung melesat cepat dari tempat itu. Dari gerakan mereka yang ringan dapat dipastikan bahwa orang-orang itu memiliki kepandaian yang tinggi.
Siang ini terasa panas sekali. Matahari seolah bersinar garang membakar isi bumi. Bayu Hanggara berkali-kali mendesah kesal sambil menyeka keringat. Monyet kecil, Tiren yang bertengger di bahunya berteriak-teriak kecil sambil sesekali berpindah tempat dari bahu yang kiri ke bahu yang kanan.
"Tenanglah, Tiren. Aku tahu kau haus. Sebentar lagi kita akan tiba di sebuah desa. Lalu kita akan minum sepuas-puasnya."
"Nguk! Nguk!"
"Ya. ya. Nah, kau lihat di ujung sana? Ayo bersiap, kita akan menuju ke sana secepatnya," kata Bayu lagi sambil berlari cepat.
Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah desa yang cukup ramai. Bayu melirik ke kiri kanan mencari sebuah kedai nasi. Setelah yang dicari ditemukannya, Bayu langsung memesan beberapa bumbung tuak. Diberikannya dua bumbung tuak kepada sahabatnya, Tiren dan langsung menenggaknya dengan rakus.
"Hi hi hi hi...! Mudah-mudahan kau tidak mabuk, Tiren. Kalau sampai kau mabuk akan lucu di lihat."
"Nguk! Nguk!" Tiren menganggukkan kepala kemudian menyeringai lebar. Kedua tangannya menepuk-nepuk perutnya sendiri.
"Oh, kau lapar? Ya, sebentar lagi pesanan kita akan diantar," sahut Bayu mengerti isyarat yang diberikan Tiren.
Sambil menunggu pesanannya, Bayu melempar pandang ke seluruh kedai. Hari ini terlihat banyak sekali pengunjung. Mereka terdiri dari berbagai kalangan. Diantaranya terdapat beberapa orang yang dilihat dari potongannya pastilah orang-orang persilatan. Lima orang yang berada di dekatnya nampak bercerita dengan mimik yang serius sekali.
"Betul Ming! Orang-orang Hantu Bukit Angsa itu kini merajalela di mana-mana. Baru kemarin mereka menghancurkan Perguruan Kipas Sakti. Sebelumnya Perguruan Bulan Sabit dibantai oleh mereka tanpa perikemanusiaan," kata seorang yang bertubuh kurus.
"Memangnya mereka dari mana?"
"Entahlah. Tapi ada yang mengatakan mereka berasal dari sebuah pulau di tengah telaga."
"Telaga apa?"
"Telaga Sorangan. Letaknya di sebelah selatan Gunung Kanjengan.
Teman-temannya mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah takjub bercampur ngeri.
"Khabarnya banyak tokoh-tokoh persilatan yang bergabung dengan mereka, ya?" tanya salah seorang temannya.
"Hah, apa betul?" tanya temannya yang seorang lagi.
"Betul!" sahut orang yang tadi mulai bercerita.
"Aku melihat sendiri. Bukan hanya tokoh-tokoh golongan hitam, tapi juga tokoh-tokoh golongan putih. Diantara mereka juga terlihat anak-anak tanggung."
"Wah...! Untuk apa anak-anak itu ikut? Mereka pasti mati sia-sia."
"Jangan salah sangka, Gor! Anak-anak itu gerakannya gesit dan tangannya kuat. Aku juga tak tahu kenapa. Mungkin mereka telah dilatih dengan keras sebelumnya."
"Ah, rasanya tak masuk diakal! Mana mungkin bocah-bocah tanggung itu mampu menewaskan orang dewasa yang memiliki ilmu silat?!" bantah temannya.
"Bisa saja. Wong kalau mereka itu diguna-gunai, hayo?!"
"Iya, ya..." temannya tadi itu hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu secara diam-diam Bayu menguping pembicaraan mereka dan bertanya-tanya dalam hati. Siapa sebenarnya Hantu Bukit Angsa itu, dan apa maksud dari semua tindakannya itu?
Dalam beberapa waktu saja namanya mulai menggegerkan rimba persilatan. Banyak sudah tokoh-tokoh persilatan yang tewas, dan banyak pula diantara mereka yang hilang tanpa bekas. Menurut apa yang didengarnya pula, selain membunuh, anak buah Hantu Bukit Angsa pun merampok harta benda penduduk yang paling berharga.
Tengah Bayu Hanggara termenung memikirkan orang yang sering menjadi pembicaraan semua kalangan belakangan ini, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari ujung desa.
"Kebakaran! Kebakaran...!"
"Hah, kebakaran?!" Bayu segera berdiri kemudian cepat berlalu setelah membayar apa yang dimakannya pada pemilik kedai itu.
Apa yang dilihat Bayu itu memang tak salah. Dari kejauhan terlihat asap hitam membumbung tinggi, dan nyala api berkobar di tiga rumah. Tapi bukan hanya itu saja yang terlihat oleh Bayu. Beberapa orang yang berpakaian hitam-hitam nampak sedang membantai beberapa orang penduduk yang berusaha mempertahankan diri. Beberapa buah gerobak yang ditarik kuda berjalan pelan di belakang mereka. Sebagian dari orang-orang yang berpakaian serba hitam itu keluar masuk rumah penduduk sambil membawa barang-barang berharga mereka.
"Ada apa ini?" tanya Bayu begitu ia mendekat dan mencolek salah seorang dari mereka yang berpakaian hitam-hitam itu.
"Minggir kau bocah!"
"Uts, sialan! Ditanya baik-baik malah seenaknya mau main bunuh. Terimalah ini!" Pendekar Pulau Neraka bukan main terkejut ketika orang itu langsung membabatkan golok. Sambil memaki Bayu berkelit dan balas menendang.
"Bet!"
Sapuan kaki kanan itu berhasil dengan mudah dielakkan lawan, dengan menundukkan kepala langsung balas menyerang menyabetkan goloknya. Namun pada saat itu tubuh Bayu telah berputar dan kaki kirinya tak mampu dielakkan lawan.
"Begkh!"
"Ughk...!"
Orang yang berpakaian serba hitam itu mengeluh pelan ketika tendangan kaki kiri Bayu menghajar telak perutnya. Tubuhnya terangkat setengah tombak, namun ia jatuh dengan kedua tangan menyentuh tanah dan bersalto dengan golok tetap berada di tangan. Tatapan matanya buas manakala ia menggeram garang.
"Mampus kau!"
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka mulai gemas hatinya. Tubuhnya berkelebat cepat mengimbangi gerakan lawan. Kemudian tiba-tiba terdengar jerit kesakitan yang disusul dengan terjerembabnya tubuh lawan sejauh dua tombak. Dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya terlihat megap-megap, dan golok di tangannya terpental entah kemana.
"Jangan salahkan aku kalau aku bertindak keras padamu. Siapa kau, dan apa maksud kalian merampok harta benda penduduk?!" bentak Bayu dengan wajah marah.
"Hiyaaa...!"
"Uts, sialan!"
"Plak!"
"Buk!"
Bukannya jawaban yang diterima Bayu melainkan serangan ganas dari dua orang teman si baju hitam itu dengan golok terhunus. Namun dengan cepat ia memutar tubuh sambil berkelit dan menangkis. Tangan kirinya menghantam pergelangan tangan dan membuat golok di tangan lawan terpental. Sementara kaki kirinya menendang ke arah lambung lawan yang satu lagi.
"Akh!"
Keduanya menjerit tertahan. Hal itu membuat perhatian teman-temannya yang lain tertuju pada Bayu. Salah satunya adalah seorang yang bertubuh gemuk pendek dengan dahi licin memegang sebatang toya. Sepasang matanya menyipit dan wajahnya terlihat sinis saat ia melangkah pelan ke arah Bayu Hanggara. Melihat itu yang lain nampak tak berani bertindak. Agaknya orang inilah pemimpin dari rombongan itu.
"Siapa kau?" bentaknya.
"Aku cuma seorang pengembara yang kebetulan lewat dan tak suka melihat kelakuan kalian yang buruk. Siapa pun kalian, pergilah dari sini dan tinggalkan barang-barang berharga itu."
"Huh, agaknya kau tak mengenal Hantu Bukit Angsa, bocah! Aku adalah Buncak Seguntang, salah seorang anak buahnya yang paling ditakuti. Menyingkirlah kau sebelum kupecahkan batok kepalamu!"
"Hmm, Buncak Seguntang... namamu cuma ditakuti oleh tikus-tikus got yang kelaparan, tapi jangan harap aku akan menggigil ketakutan mendengar namamu. Satu-satunya yang membuatku menggigil adalah kepergian kalian. Itu pun karena senang, bukan ketakutan," balas Bayu mengejek.
"Kurang ajar! Kau perlu diberi pelajaran, bocah!"
"Hiyaaa...!"
"Haeet...!"
Toya di tangan Buncak Seguntang berputar kencang menimbulkan desir angin kencang hingga debu-debu di sekitar tempat itu beterbangan hingga membuat tubuhnya sulit dilihat. Namun bukan cuma itu, sebab ketika ia mulai berkelebat, dengan mata biasa pun sulit untuk melihatnya. Agaknya Buncak Seguntang tak mau menganggap remeh pada pemuda itu hingga langsung mengerahkan segenap kemampuannya.
Pendekar Pulau Neraka sendiri tentu saja tak mau tinggal diam. Melihat lawan ingin segera menghabisi nyawanya secepat mungkin ia langsung bergerak cepat menyambut serangan lawan. Pertarungan antara keduanya tak dapat dihindari lagi. Berlangsung cepat sekali hingga untuk mereka yang matanya tak terlatih, akan sulit mengikuti apalagi menentukan siapa yang keluar sebagai pemenang.
Penduduk kampung yang melihat kehadiran seorang pemuda tampan berwajah keras tiba-tiba merasa seperti melihat kehadiran dewa penolong. Mereka merasa berterima kasih sekali. Beramai-ramai mereka menonton dengan dada penuh harap bercampur cemas. Kalau saja pemuda itu tak berhasil membereskan orang-orang ini, nasib mereka tentu buruk sekali. Sudah kehilangan harta, bisa jadi kehilangan nyawa pula.
Tak heran bila pada saat itu sebagian dari penduduk desa menggunakan kesempatan ini untuk mengungsi sambil membawa barang-barang secukupnya. Namun mereka yang yakin bahwa pemuda itu dapat mengatasi gerombolan ini berharap penuh sambil terus berdo'a di dalam hati.
"Duh, Gusti. Mudah-mudahan betul janjimu yang akan menurunkan malaikat penyelamat bagi kaum yang tertindas," gumam seorang Bapak tua sambil menyaksikan pertarungan itu dengan wajah takjub bercampur was-was. Orang tua ini tak memiliki harta banyak, melainkan sebidang tanah tempatnya menetap dan bercocok tanam. Dari situlah ia hidup bersama istri dan dua orang putra-putrinya yang sedang beranjak dewasa.
"Kang, kira-kira pemuda itu bisa menang apa ndak?" tanya anak perempuan yang berkulit sawo matang dan berwajah manis pada abangnya.
"Mana ku tahu, Lastri. Berdo'a saja semoga dia menang."
"Tapi ilmu silatnya hebat lho, Kang!"
"Dari mana kamu tahu?"
"Ya, tahu saja! Biasanya orang yang bertampang begitu pasti memiliki ilmu tinggi."
"Tampang bagaimana?"
"Tampan, gitu lho!" sahut adiknya sambil memalingkan wajah gemas melihat ketololan abangnya.
"Wueeeh, kamu ini yang ndak-ndak saja. Tampang bukan ukuran seseorang itu berilmu tinggi atau tidak. Itu sih karena kamu naksir dia saja.
Hayo, benarkan?!"
"Ah, ndak kok...!"
"Ah, kamu bohong! Kalau aku melihat sendiri kehebatannya waktu merobohkan ketiga orang anak buahnya dengan mudah. Wueh, gerakannya cepat seperti setan. Orang itu dengan seenaknya dia jatuhkan."
"Masa, Kang?"
"Eeeh, betul."
Gadis bernama Sulastri itu semakin takjub saja mendengar cerita abangnya. Ketika tadi timbul kekacauan, ia memang tak sempat memperhatikan kehadiran pemuda itu sebab membantu ibunya membenahi barang-barang mereka yang tersisa. Barulah ketika terjadi pertarungan dan orang-orang yang merampas harta benda mereka mengerubungi pemimpinnya, ia sempat memperhatikan.
Sementara itu pertarungan telah berjalan lebih dari tujuh jurus. Bayu Hanggara mulai bosan meladeni lawan yang semakin penasaran saja karena toyanya sedikit pun belum mampu menyentuh tubuh Bayu sejak awal pertarungan.
"Pengecut! Apakah bisa mu hanya menghindar saja?! Ayo, balas seranganku!" teriak Buncak Seguntang dengan amarah yang meluap-luap.
"Huh, tak usah kau suruh pun aku memang
sudah muak melihat tampangmu!" balas Bayu.
Dengan satu loncatan tinggi Bayu berteriak nyaring sambil mengibaskan tangan kanannya ke atas. Saat itu pula mendesing Cakra Maut yang mengeluarkan sinar keperakan ke arah lawan. bertepatan dengan itu tubuh Bayu Hanggara melesat cepat mengirim serangan yang dibarengi tenaga dalam kuat.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Buk!"
"Crasss!"
"Aaaa...!"
Ketika Buncak Seguntang mencoba menangkis Cakra Maut yang melesat dari tangan Bayu, ia mencoba menangkis dengan toyanya. Tapi benda itu patah menjadi dua dihantam Cakra Maut. Walau demikian beruntung ia dapat berkelit dari sambaran selanjutnya. Namun saat itulah jotosan tangan kanan Bayu Hanggara menghantam dada, dan disusul dengan tusukan Cakra Maut yang kembali berbalik menyerangnya.
Jeritan panjang terdengar ketika tubuh gemuk itu sempoyongan sambil mendekap dadanya. Beberapa saat kemudian ambruk dan menggelepar-gelepar untuk kemudian diam tak bergerak dengan nyawa melayang. Seperti tidak mengalami keterkejutan melihat pemimpinnya tewas, saat itu juga seluruh orang-orang yang memakai baju serba hitam langsung mengurung dan menyerang pemuda itu sama garangnya dengan pemimpinnya tadi.
"Hiyaaa...!"
"Sialan! Kalau begini caranya aku tak punya pilihan lain. Mereka nampaknya nekad dan tak takut mati!" maki Bayu dengan wajah kesal. Tangan kanannya kembali mengibas, dan Cakra Maut yang tadi telah mengambil korban kini kembali melesat sambil berputar-putar mencari mangsa.
"Trak!"
"Tras!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Kembali terdengar jerit kesakitan yang disusul ambruknya dua orang ketika Cakra Maut itu menembus jantung mereka. Beberapa orang berusaha menangkis, cuma tersentak kaget melihat senjata mereka patah dua dihantam senjata lawan. Dalam keadaan demikian Bayu beraksi menghantam mereka dengan kecepatan tinggi.
"Buk! Buk!"
"Ughk!"
"Gusraaaak!"
Beberapa orang kembali terkejut sambil memegangi perutnya yang terasa mau pecah terkena tendangan dan pukulan Bayu. Dari mulut mereka memuncratkan darah segar. Sambil menahan nyeri dan tubuh bergetar, orang-orang itu berusaha bangkit dan kembali menyerang.
"Hiyaaa...!"
Bayu Hanggara mengibaskan tangan kanannya ke atas, dan Cakra Maut yang akan melesat ke arahnya kembali berbalik menyerang lawan. Saat itu pula tubuhnya melesat memapaki serangan lima orang lawan yang meluruk ke arahnya.
"Cras!"
"Crab!"
"Beghk!"
"Aaaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang yang memilukan hati disusul ambruknya beberapa sosok tubuh. Tiga orang disambar Cakra Maut pada dada sebelah kirinya, sementara lima orang lainnya dihantam pukulan serta tendangan Pendekar Pulau Neraka yang menggeledeg. Kali ini agaknya Bayu betul-betul naik pitam. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, dia tak menunggu lawan beraksi, namun langsung menyerang kembali.
"Hiyaaa...!"
"Bughk!"
"Crasss!"
"Aaaa...!"
Sisa gerombolan itu kembali berteriak nyaring ketika Cakra Maut dan pukulan Bayu melesat. Nyawa mereka putus saat itu juga. Dua orang yang terluka parah mencoba melarikan diri. Namun dengan gemas Bayu mengibaskan tangan kanan, dan Cakra Maut kembali mengambil korban. Namun ketika benda itu akan melesat seorang lagi, terlintas sesuatu di benak Bayu. Jika menumpas ular harus kepalanya lebih dulu, baru yang lainnya lumpuh. Yang ditumpasnya saat ini cuma anak buahnya saja. Kalau saja mereka dibunuhnya tanpa sisa, lalu siapa yang akan mengatakan semua ini pada ketua mereka yaitu si Hantu Bukit Angsa?
Berpikir demikian Bayu Hanggara buru-buru mengibaskan tangan kanannya. Cakra Maut yang saat itu siap menembus lawan seketika berbalik pada tuannya dan melekat erat di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu melirik sekilas pada mayat-mayat yang bergelimpangan itu, kemudian melangkah pelan menghampiri Tiren, sahabat kecilnya.
"Nguk! Nguk!"
Tiren langsung meloncat ke dalam pangkuannya sambil menundukkan kepala dengan wajah sayu.
"Tenanglah Tiren, aku tak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri..."
"Nguuuuk...!"
Bayu terkekeh ketika melihat wajah sahabatnya itu berubah riang dan melompat ke pundaknya, namun baru saja mereka hendak beranjak dari tempat itu, beberapa orang penduduk mendatangi sambil menjura hormat.
"Kisanak, anda telah menolong kami semua. Bagaimana caranya kami berterima kasih?" tanya seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih.
Pakaiannya bagus terbuat dari sutera halus. Tampangnya pun klimis sekali seperti bangsawan saja layaknya. Sesungguhnya dia memang orang paling kaya di desa ini. Kalau saja pemuda di hadapannya itu tak cepat turun tangan, tentu dalam sekejap hidupnya akan berubah menjadi gembel yang tak berguna. Atau lebih malang lagi, nasibnya tak akan tertolong menjadi korban kebrutalan anak buah Hantu Bukit Angsa.
"Sudahlah, lupakan hal itu..."
"Eeee, tapi aku tak terbiasa melupakan jasa orang begitu saja, Kisanak. Setidaknya, katakanlah siapa namamu?"
"Namaku Bayu Hanggara..."
Beberapa orang yang berada di situ tersentak kaget mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Salah seorang malah bergumam dengan nada kagum.
"Oh, dialah si Pendekar Pulau Neraka yang termasyhur itu!"
Yang lainnya pun bersikap sama dengan orang itu. Takjub bercampur senang, tidak menyangka bahwa mereka bisa bertemu dengan Pendekar Pulau Neraka yang namanya belakangan ini menggetarkan rimba persilatan dengan sepak terjangnya yang tak mengenal ampun.
Namun bagi si Hartawan yang memang jarang berkecimpung dan tak suka mengurusi orang-orang persilatan, malah terkekeh kecil sambil merangkul pundak Bayu dengan sikap yang sok akrab.
"Ah, namamu Bayu Hanggara? Nama yang bagus. Nah, Bayu kau telah menolong kami semua, aku pun akan membalas jasamu. Kalau kau tak keberatan kau boleh bekerja padaku sebagai kepala keamanan di rumahku. Bagaimana?"
Bayu tersenyum kecil.
"Terimakasih. Maaf aku tak tertarik...."
"Ayolah.... Bagaimana kalau kuberi kau gaji besar? Daripada berkeliaran tak menentu?"
"Maaf, aku tak tertarik dengan tawaran anda, Kisanak..." Bayu menepis tangan orang itu pelan sambil melangkah bermaksud meninggalkan tempat itu. Namun si Hartawan nampaknya belum putus asa.
"Bayu, salah seorang dari mereka kau biarkan melarikan diri, tentu nanti atau besok mereka akan kembali lagi ke sini dengan jumlah yang banyak. Saat itu hancurlah kampung ini tanpa sisa. Kalau kau sudi bekerja padaku, setidaknya kau bisa menyelamatkannya. Bukankah tugas seorang Pendekar adalah membantu yang lemah?" tanyanya sambil membarengi langkah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya diam saja dan terus melangkah.
"Atau bagaimana...?" tiba-tiba wajahnya berubah girang. "Aku memiliki seorang putri. Semua orang di desa ini memuji kecantikannya. Kalau kau tak keberatan, aku suka sekali kau berjodoh dengan anakku. Bagaimana...?"
Kembali Bayu melirik sekilas sambil tersenyum kecil.
"Maaf, aku tak tertarik sama sekali. Soal
orang-orang itu aku memang bermaksud menghadapinya, tapi bukan sebagai pekerjamu. Aku lebih suka bebas melakukan apa saja yang ku suka tanpa di bawah kendali orang lain. Jangan khawatir, orang tadi memang sengaja kulepaskan, agar pemimpinnya datang ke sini menemuiku," kata Bayu kalem.
Lalu tanpa mengacuhkan si hartawan tadi, Bayu Hanggara kembali menuju kedai dan melanjutkan makan siangnya yang belum sempat tuntas. Semua orang yang berada di kedai itu mengangguk hormat padanya, termasuk si pelayan kedai memberikan penghormatan yang berlebihan, sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka itu jadi merasa jengah.
Setelah menyantap sisa makannya, dia buru-buru berlalu dari tempat itu. Sementara si hartawan tadi yang membuntutinya dari belakang cuma bisa menatap punggung itu dengan wajah amat penasaran sekali. Dan ketika seseorang memberitahu, wajahnya terlihat mulai lucu.
"Sudahlah, Den Lesmana. Mana mungkin pemuda itu mau bekerja denganmu. Dia bukan orang sembarangan. Pendekar Pulau Neraka adalah Pendekar sakti berilmu tinggi yang belakangan ini menggetarkan rimba persilatan. Jangankan cuma sebangsa maling tengik dan penjahat kelas kakap, bahkan Datuk-datuk sesat pun tumbang ditangannya."
"Ah, yang betul?"
Orang itu mengangguk cepat sambil meninggalkan hartawan bernama Lesmana. Sambil berlalu masih sempat ia meyakinkan.
"Betul, Den. Makanya sekali-kali perhatikan juga perkembangan dunia persilatan. Jangan cuma mengurusi harta terus dan menganggap bahwa semuanya bisa diatur dengan uang...." Wajah Den Lesmana semakin kelihatan malu.
Di sebelah selatan Gunung Kanjengan terdapat sebuah telaga yang bernama Sarangan. Jarak antara kedua tempat itu dipenuhi oleh hutan lebat dan luas. Jarang ada orang yang berani masuk ke dalamnya karena banyak terdapat binatang-binatang buas. Begitu juga dengan alam di sekitar telaga itu, amat tak bersahabat. Selain dipenuhi batu-batu terjal juga terdapat beberapa lembah yang mirip dengan jurang lebar.
Bila seseorang berdiri pada puncak Gunung Kanjengan dan menatap ke arah telaga yang luas dan lebar itu, akan terlihat sebuah pulau kecil ditengah-tengahnya. Bentuk, pulau itu mirip dengan seekor angsa. Tak heran bila orang-orang menyebutnya dengan Pulau Angsa. Bagian tengah pulau itu terdapat sebuah gundukan tanah tinggi yang bergelombang dengan posisi melingkar seperti suatu barisan bukit-bukit.
Matahari baru saja masuk ke peraduannya, dan di ujung langit masih semburat cahaya kuning kemerah-merahan seperti mengantar burung-burung terbang ke sarang dan menyambut hewan malam yang menggeliat setelah seharian tidur panjang. Kelelawar terlihat mulai terbang liar di sekitar bangunan megah yang belum selesai seluruhnya. Dinding bangunan yang mirip sebuah istana besar itu terbuat dari marmer putih yang ditempa sedemikian halusnya.
Beberapa orang pekerja yang masih menghaluskan sebuah batu marmer yang lebar nampak tak mempedulikan keadaan di sekitarnya. Dan seorang laki-laki berbadan tegap mengawasi mereka dengan cambuk di tangan. Di sudut lain pemandangan seperti itu banyak terlihat. Sepintas saja bisa diduga bahwa tempat ini mirip kamp kerja paksa.
"Ctarr!"
"Hayo kerja lagi, pemalas! Bangun...!" bentak salah seorang pengawas dengan wajah garang sambil melecutkan cambuk ke tubuh salah seorang pekerja yang menjatuhkan beberapa butir kerikil sebesar kepalan tangan.
Orang itu menjerit kesakitan. Isi bawaannya tumpah ruah berceceran ketika tubuhnya menggelepar.
"Ampun, Den.... Ampun...."
"Puih! Aku tak peduli dengan ocehanmu. Bangun! Bangun!"
"Ctarrr!"
"Akh!"
Orang itu kembali menggelepar-gelepar kesakitan dan cambuk itu terus menderanya. beberapa orang temannya yang melihat kejadian itu hanya bisa memejamkan mata dengan jantung tersentak setiap kali cambuk itu bergetar.
"Ampuuun.,,! Ampuuun...!"
"Huh, orang sepertimu lebih baik mampus saja! Kau cuma membuang waktu.
Hiyaaa...!"
Dengan bengis tanpa sedikit pun perasaan kasihan tersirat di wajahnya, orang itu mengangkat cambuknya tinggi-tinggi dan siap melecutkan dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Jangankan tubuh manusia biasa, batu besar pun akan hancur dalam keadaan begitu. Lebih-lebih tubuh reot laki-laki tua itu. Sepasang matanya menantang seperti tak berkedip menatap cambuk itu. Sementara mulutnya tak henti berkomat-kamit berdo'a.
"Wreeeet!"
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Beghk!"
"Kurang ajar! Siapa kau?!" tanya si pemegang cambuk dengan suara tinggi pada seseorang yang tiba-tiba menangkap cambuknya dan dengan cepat menghantamkan jotosan ke perutnya. Tapi dia cukup gesit untuk menghindar dengan memiringkan tubuh. Namun orang yang baru datang itu pun tak kalah cepat merubah serangan dengan menghantamkan tangan kanan yang sedang memegang cambuk lawan, lalu menghantam ke arah punggung.
Tubuh si pengawas terhuyung-huyung ke depan, tapi tertahan karena lawan menyentakkan cambuk di tangannya. Walau cambuk itu tak lepas dari tangannya, namun keduanya sama-sama menggenggamnya saling tarik-menarik.
"Namaku Lor Sabrang...."
"Huh, kau tahu akibat perbuatanmu? Kau bisa dihukum mati!"
"Aku tak perduli. Tapi kau tak boleh menyiksa orang sesuka hatimu seperti binatang," sahut laki-laki berusia muda itu sambil memapah orang tua yang tadi disiksa. Senyumnya tipis dan wajahnya kekanak-kanakan. Tiada terbesit sedikit pun ketakutan pada wajahnya itu.
"Bangsat! Kau pasti orang baru di sini dan tak tahu siapa aku!" maki si pengawas garang. Dengan satu hentakan kuat, dia mencoba menarik pulang cambuknya.
"Apakah kau suka sekali dengan cambuk butut ini?" tanya pemuda itu tenang.
Dengan satu tangan ditahannya tarikan lawan beberapa saat. Namun dengan satu bentakan keras tiba-tiba pengawas itu terangkat ke atas.
"Hiyaaa...!"
"Wuaaa...!"
"Bughk!"
Pemuda itu melesat memapaki dengan satu pukulan tangan kanan menghantam lambung lawan yang memang sudah gamang sejak tubuhnya terangkat. Tak ampun lagi, ia terpental sejauh tiga tombak dan menghantam sebongkah batu cadas. Kepalanya pecah dan tubuhnya remuk serta darah menyelubunginya. Nyawanya lepas saat itu juga. Si pemuda mendengus kecil. Sebenarnya ia tak bermaksud ingin membunuh lawan, tapi ketika hal itu terjadi ia sama sekali tak menyesal.
"Plok! Plok! Plok!"
"Hebat! Hebat!"
Pemuda itu cepat berpaling ketika tiba-tiba saja ada yang bertepuk tangan. Dia telah bersiaga menghadapi serangan yang dilakukan secara berkeroyokan. Telah membunuh lawan di sarangnya sendiri, tentu dia harus menghadapi resiko yang tak kecil. Bahkan nyawanya sendiri sebagai taruhan.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus bagai jerangkong berdiri tak jauh darinya. Sepasang matanya lebar, dengan hidung pesek dan rambut pendek yang berdiri kaku. Mulutnya lebar dengan bibir tipis mencuat ke depan. Memakai celana pendek dan tanpa pakaian sehingga terlihat tulang lengan dan kakinya kecil berkesan rapuh, serta tulang rusuknya yang bertonjolan. Di pundaknya bertengger seekor burung jalak dengan bulu keemasan. Di belakangnya berdiri tiga orang laki-laki yang agaknya merupakan tangan kanan orang itu.
"He he he he...! Siapa namamu bocah? Kulihat tadi kau berbakat sekali dalam ilmu silat. Kepandaianmu cukup lumayan," tanya orang itu sambil tersenyum kecil.
"Apakah kau pemilik pulau ini?"
"He he he he...! Agaknya otakmu cepat membaca situasi. Orang sepertimu memang cerdas dan patut menjadi anak buahku. Betul, akulah Warangka Gering atau Hantu Bukit Angsa...."
Belum lagi selesai kata-kata lelaki kurus yang tak lain Warangka Gering, tiba-tiba pemuda yang bernama Lor Sabrang itu mencelat sambil menyerangnya dengan ganas.
"Bedebah keparat! Akhirnya kutemui juga kau! Terimalah kematianmu saat ini. Hiyaaa...!"
Warangka Gering tak berkedip melihat serangan Lor Sabrang. Malah ia sempat tersenyum. Namun sedikit lagi serangan Lor Sabrang itu akan menghantam batok kepala dan dada sebelah kirinya ia menggeser sedikit tubuhnya.
"Uts!"
"Wuk!"
"Plak!"
"Gusraaak!"
Entah bagaimana caranya tiba-tiba saja Lor Sabrang terkunci dalam jepitan kedua tangan Warangka Gering. Lalu dengan cepat dikibaskan. Lor Sabrang tersungkur dua tombak jauhnya. Masih untung jatuh di timbunan pasir. Kalau saja ditumpukan batu cadas yang berada di sebelah pasir itu, niscaya nasibnya akan langsung ketahuan seperti korbannya tadi.
"Kuberi kau kesempatan sekali lagi, setelah itu kau harus betul-betul menurut padaku...."
"Puih! Akan kupecahkan batok kepalamu!"
"Hmm, kau kelihatan begitu mendendam padaku, Bocah. Ada urusan apa sebenarnya?"
"Bagus kau menanyakan hal itu agar kau tak mati penasaran. Coba kau ingat-ingat peristiwa yang terjadi di Perguruan Bulan Sabit beberapa minggu berselang? Aku Lor Sabrang putra bungsu Kendi Angsoka, ketua perguruan itu yang kau bunuh dengan biadab!"
"Oh, ternyata kau... sungguh beruntung kau bisa hidup saat ini. Tapi terus terang bukan aku yang membunuh mereka, lalu kenapa kau begitu mendendam? Apakah kau melihat sendiri peristiwa itu?" tanya Warangka Gering merasa tak peduli.
"Keparat kau Warangka Gering!" maki Lor Sabrang. "Pandai kau bersilat lidah. Jelas bukan tanganmu sendiri yang membunuh ayahku, serta seluruh saudara-saudaraku tetapi anak buahmu. Mereka tak akan jalan tanpa perintahmu."
"Ha ha ha ha...!" Warangka Gering atau lebih dikenal sebagai Hantu Bukit Angsa tertawa keras.
Sedangkan Lor Sabrang menatapnya dengan sinar mata yang tajam penuh dendam.
"Pintar kau, bocah! Aku sungguh suka sekali denganmu. Kau berani menyusup ke sini sebagai tawanan yang dipekerjakan dengan upah kematiannya hanya karena ingin bertemu denganku untuk membalas sakit hatimu. Dan kini kulihat semangatmu yang menyala-nyala, sayang sekali kalau kau harus mati sia-sia. Sebelum kau mati, kau harus bekerja lebih dulu untukku."
"Apa maksudmu, keparat?"
"Maksudku sederhana, yaitu kau harus melupakan dirimu sendiri dan hanya ingat padaku serta mematuhi perintahku dengan taruhan nyawa...."
"Hemm, kau akan mencekoki aku dengan ramuan pemunah pikiran?"
"Ha ha ha ha...! Ternyata betul dugaanku bahwa kau memang sungguh-sungguh cerdas!"
"Tertawalah sepuasmu, keparat! Walau bagaimana pun aku tak sudi kau peralat. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup terhina!"
"Hiyaaa...!"
Lor Sabrang menggeram buas. Amarahnya tak terbendung lagi. Dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, kembali diserangnya Warangka Gering dengan dahsyat. Kali ini penguasa Pulau Angsa itu betul-betul melihat kehebatan ilmu silat Lor Sabrang. Gerakannya gesit bukan main dan diperhitungkannya secara hati-hati. Nampak terlihat bahwa ia tak ingin dipecundangi dua kali. Dalam tiga jurus yang berlangsung, Warangka Gering agak sulit mengamat-amati kelemahan pemuda itu. Baik dari pertahanannya yang longgar maupun dari kelengahannya sendiri. Laki-laki berwajah buruk itu mendecah-decah kagum.
"Ck ck ck ck... tak salah dugaanku. Kau akan menjadi anak buahku yang termasuk dalam jajaran nomor satu."
"Keparat biadab! Mengocehlah kau sepuasmu saat ini!" geram Lor Sabrang, kala mendengar kata-kata penguasa Pulau Angsa itu seolah-olah meremehkan kemampuan dirinya.
Hal itulah yang membuatnya semakin bersemangat menggempur lawan. Biasanya orang yang takabur dan menganggap dirinya mampu menjatuhkan lawan akan berlaku lengah. Di samping itu ia juga melihat, tak seorang pun dari anak buah Hantu Bukit Angsa yang bergerak hendak menolong tuannya itu. Semuanya diam seperti patung, menunggu perintah. Seolah juga yakin bahwa tuannya dengan mudah membekuk pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
"Cukup, bocah!" bentak Warangka Gering dengan suara keras. Telapak tangan kirinya di sorongkan ke depan. Dari situ mendesir angin kencang menyapu Lor Sabrang. Pemuda itu mencoba memapaki dengan mengerahkan tenaga dalamnya sambil berusaha menghindari. Namun saat itu juga tubuh Hantu Bukit Angsa telah melesat laksana anak panah ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Tuk!"
"Ugh...!"
Hantu Bukit Angsa terkekeh senang sambil bertolak pinggang melihat Lor Sabrang jatuh lunglai di hadapannya. Ketika tubuhnya melesat ke arah Lor Sabrang, ia menghantamkan tangan kiri ke batok kepala lawan. Tentu saja serangan cepat di saat ia sedang kerepotan tak di perhitungkannya lagi. Kedua tangannya kalang kabut menangkis tangan kiri lawan yang bergerak lincah. Saat itulah dua buah jari tangan kanan Hantu Bukit Angsa menotok urat gerak di tubuh pemuda itu hingga membuatnya seperti tak bertenaga.
"Ha ha ha ha...! Jangan berbesar hati dulu, bocah. Selama ini tak seorang pun yang mampu mengelak dari incaran Hantu Bukit Angsa. Sekali aku menginginkan, maka segalanya harus kudapatkan."
"Puih, bedebah! Lepaskan totokan ini! Aku akan bertarung sampai salah seorang di antara kita ada yang tewas. Lepaskan aku, pengecut! Lepaskan...!"
"Hmm, kau yakin bahwa kau berilmu tinggi dan cukup mampu mengalahkanku?"
"Huh, jangankan kau seorang. Seluruh anak buahmu turun tangan pun akan kuhabisi!"
"Ha ha ha ha...! Semangatmu luar biasa. Nah, kalau kau yakin mampu mengalahkanku, lepaskanlah dirimu dari totokan itu. Anggap saja kalau kau mampu lepas aku mengaku kalah darimu," sahut Hantu Bukit Angsa tersenyum kecil sambil membalikkan tubuh dan melangkah pelan.
Mendapat kesempatan seperti itu. Lor Sabrang tak berpikir dua kali. Ia langsung mencoba mengerahkan hawa murni dari bawah pusarnya untuk beberapa saat lamanya.
"Keparat!" makinya kesal. Totokan ini benar-benar kuat. Jangankan berhasil mengumpulkan hawa murni untuk mendobrak totokan itu, bahkan tak secuil pun tak terasa reaksi saat ia mengkonsentrasikan diri dalam mengerahkan hawa murninya.
"Ha ha ha ha...! Kau kalah, bocah. Nah, sekarang relakan dirimu menjadi abdiku yang setia," kata Hantu Bukit Angsa kembali membalikkan badan. Ia kemudian memberikan perintah pada seorang anak buahnya untuk mengangkut Lor Sabrang ke dalam. Pemuda itu berteriak-teriak sambil memaki-maki geram. Namun tawa Hantu Bukit Angsa semakin keras terdengar.
Baru saja pemuda itu digotong ke dalam, seseorang berbaju hitam dengan beberapa luka ditubuhnya datang tergopoh-gopoh ke hadapan Hantu Bukit Angsa. Dengan bersujud di kaki Hantu Bukit Angsa, orang itu bersuara dengan nada takut dan tak berani mengangkat wajahnya.
"Ampun Paduka Yang Mulia, hamba tak mampu menjalankan tugas..."
"Siapa kau?"
"Hamba anak buah Buncak Seguntang..."
"Hmm... ada apa?"
"Ka.. kami berhasil menjalankan tugas di desa Brantas Agung, ta... tapi pada saat itu muncul seseorang menghadang dan... dan membinasakan Buncak Seguntang beserta yang lainnya...."
"Lalu?"
"Hamba berusaha melarikan diri untuk mengabarkan peristiwa ini pada Paduka Yang Mulia...."
"Siapa orang itu?"
"Hamba tidak tahu, Paduka... ia tak menyebutkan nama."
Wajah Hantu Bukit Angsa masih dingin, dan suaranya pun masih terlihat datar.
"Sebutkan ciri-cirinya."
"Usianya masih muda, dan memakai baju terbuat dari kulit harimau. Wa... wajahnya tampan namun berkesan keras. Ta... tapi senjatanya yang unik sekali, Paduka. Cakra bersegi enam berwarna keperakan...."
"Hmm, tidak salah lagi. Pasti si Pendekar Pulau Neraka!" seketika wajah laki-laki buruk itu berubah kelam. Hawa sadis nampak terlihat manakala ia melanjutkan kata-katanya sambil mendengus dingin.
"Pendekar Pulau Neraka, kau akan terima bagianmu nanti kalau hendak mencoba menghalangi cita-citaku!"
"Pa... Paduka Yang Mulia, apa yang harus hamba lakukan saat ini?"
Hantu Bukit Angsa menyeringai dengan senyum sinis.
"Kau akan mendapat hadiah..."
"Oh, jangan Yang Mulia! Jangan...! Hamba cukup merasa senang bisa melaporkan peristiwa ini pada Yang Mulia..."
"Hadiah ini suka atau tidak suka harus kau terima!"
Mendengar kata-kata yang tegas, orang itu tak mampu lagi membantah. Dia bersujud berkali-kali sambil mengucapkan terima kasih. Sementara Hantu Bukit Angsa menudingkan telunjuknya ke arah orang itu.
"Cuiiit!"
Burung jalak yang sejak tadi bertengger di pundaknya bersuit nyaring ketika mengepakkan sayap. Tiba-tiba hewan kecil itu menukik tajam dan mematuk orang yang sedang bersujud itu hingga paruhnya sebagian tenggelam...
"Aaaa...!"
Orang itu terpekik nyaring sambil bangkit dengan tiba-tiba. Burung jalak berbulu keemasan itu tak henti sampai di situ. Ia kembali mematuk-matuk dengan buasnya. Korbannya memekik kesakitan. Reaksi akibat patukan hewan itu terlihat cepat. Sekujur tubuhnya berubah merah dan perlahan-lahan berwarna ungu kelam saat tubuhnya ambruk, dan nyawanya lepas saat itu juga.
"Tak seorang pun anak buahku boleh lari dari pertarungan. Lebih baik dia mampus daripada kembali mengadukan ketidakmampuannya padaku!" dengus Hantu Bukit Angsa sambil berlalu meninggalkan tempat itu diikuti oleh beberapa orang tangan kanannya yang berjumlah lebih sepuluh orang.
Pemuda berambut gondrong dengan pakaian terbuat dari kulit harimau itu masih termangu di mejanya. Sementara seekor monyet kecil berbulu Coklat nampak menggodanya sambil melompat-lompat di meja.
"Nguk! Nguuk!"
"Sabarlah Tiren. Aku juga mulai tak betah ditempat ini. Tapi kalau orang-orang itu menyerbu ke sini, kasihan penduduk kampung yang tak berdosa. Mereka pasti binasa tanpa sisa...."
"Nguuuk!"
"Ya, ya... kita bermalam di sini saja. Itu pun kalau pemilik kedai ini tak keberatan...."
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dengan tubuh kurus buru-buru menghampiri pemuda itu dengan sikap hormat.
"Den, kalau kau hendak bermalam di sini aku tentu senang sekali..." katanya.
"Terima kasih, Paman. Barangkali cuma untuk semalam ini saja...."
"Ah, kenapa musti buru-buru, Den? Kalau pun kau ingin bermalam barang seminggu pun aku pasti tak keberatan."
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau si Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum kecil.
"Kami telah banyak menyusahkan bapak hari ini. Perut telah kenyang terisi tapi tak sepeser pun kami membayarnya. Jangankan dua hari, sehari pun pasti kami telah sangat merugikanmu," sahut Bayu ramah.
"Oh, tidak, Den. Tidak.... Aku rela memberikan semua itu."
"Terima kasih, Paman. Lagi pula kami tak berlama-lama di sini..."
"Maksud Aden akan pergi sekarang?" wajah pemilik kedai itu nampak was-was. Kalau saja Bayu pergi dari kampung ini entah apa yang terjadi pada mereka, bila anak buah Hantu Bukit Angsa tiba-tiba datang dan merampas harta benda serta nyawa mereka?
"Tidak, Paman. Kalau Paman tak keberatan kami bermaksud numpang menginap semalam di sini...."
"Wah, senang sekali! Tapi kenapa cuma satu hari, Den? Menetaplah barang seminggu." Bayu kembali tersenyum, "Kalau hari ini mereka tidak datang, kami yang akan datang ke sana."
"Maksud Aden... akan mendatangi sarang mereka?"
Bayu mengangguk, melihat itu wajah si pemilik kedai bertambah khawatir.
"Aden sebaiknya berada di sini saja. Kami semua tahu nama besar dan kehebatan Aden tak perlu diragukan lagi, tapi...."
"Tapi kenapa, Paman?"
Pemilik kedai itu agak ragu-ragu mengatakannya. Ia khawatir ucapannya akan menyinggung perasaan pemuda itu. Namun setelah Bayu mendesaknya. berkali-kali, barulah ia mengatakannya.
"Ng... anu, Den. Aku tak bermaksud meremehkan kepandaianmu, tapi sarang Hantu Bukit Angsa penuh dengan tokoh-tokoh dari berbagai kalangan yang berilmu tinggi. Kalau Aden mendatanginya sama artinya dengan masuk ke mulut harimau...."
Bayu kembali tersenyum.
"Jangan khawatir, Paman. Kepandaianku memang tak seberapa, tapi ajal manusia bukan ditangan mereka..."
"Benar, Den. Tapi..." pemilik kedai itu tak sempat meneruskan kalimatnya ketika di depan pintu berdiri seorang gadis berparas jelita. Salah seorang di antara mereka dikenalnya baik. Ia buru-buru menghampiri dengan sikap hormat.
"Aduuh, Neng Sekar Tanjung ada apa malam-malam begini datang ke kedai Paman? Apakah Ibu di rumah tidak masak?"
Gadis yang dipanggil Sekar Tanjung itu tersenyum manis. Bibirnya yang merah merekah begitu menawan dan membuat setiap laki-laki seperti langsung terpikat padanya. Rambutnya hitam dan panjang diikat dengan pita merah. Pakaiannya bagus berwarna merah menyala seperti terbuat dari sutera halus.
"Tidak, Paman. Aku ada amanat dari Ayah untuk Tu... tuan Pendekar," sahutnya sambil memandang Bayu.
Pemuda itu mengangguk kecil padanya. Bayu melirik gadis di sampingnya. Sederhana sekali, pakaiannya terbuat dari bahan biasa dan rambutnya yang panjang terurai juga hanya diikat oleh pita yang sederhana. Bedanya hanya gadis itu berkulit sawo matang meskipun wajahnya tak secantik Sekar Tanjung, tapi ia cukup manis. Tapi, bukan itu yang membuat Bayu memandangnya agak lama. Rasanya ia pernah kenal gadis itu sebelumnya.
"Oh, ada amanat untuk Tuan Pendekar? Silahkan...!" sahut pemilik kedai itu sambil berlalu ke belakang. Kedua gadis itu lalu mendekati Bayu.
"Selamat malam, Tuan Pendekar. Maaf mengganggu, tapi ayahku menawarkan anda untuk menginap di rumah kalau tak keberatan..." kata Sekar Tanjung.
"Ayahmu? Apakah saya mengenal beliau?"
"Ayahku bernama Lesmana... yang tadi siang bercakap-cakap dengan anda," jelas Sekar Tanjung.
"Aaaah, baru aku ingat!" Bayu menepuk keningnya sambil terkekeh kecil. "Ya, ya..,. terim kasih. Tapi aku dan kawan kecilku ini lebih suka di sini saja. Sampaikan terima kasih kami pada beliau...."
"Tuan, Ayah memerintahkan agar saya tak boleh kembali bila tak bersama," sahut Sekar Tanjung dengan suara lemah dan malu.
"Apa...?!" Bayu tersentak kaget.
Apakah pendengarannya tidak salah? Kalau begitu caranya sama saja orangtuanya menyuruh anak gadisnya ini menemaninya di sini. Sinting! Orangtua macam apa itu yang membiarkan anak gadisnya berduaan dengan seorang lelaki normal seperti dirinya? Kalau gadis ini berwajah buruk, sudah tentu tak akan terjadi sesuatu yang membuat dadanya berdebar-debar kencang. Tapi ini...?
Ya, ampun! Jangankan laki-laki normal seperti dirinya, banci sekali pun akan berubah pikiran menjadi laki-laki saja melihat gadis secantik Sekar Tanjung!
"Kami rasa Tuan sudah mendengarnya dengan jelas..." lirih suara Sekar Tanjung.
"Kalau Tuan tak bersedia, maka terpaksa kami diharuskan menemani Tuan di sini...."
Bayu tercenung agak lama sambil menggeleng-gelengkan kepala seolah tak percaya hal ini terjadi.
"Tuan Pendekar. Setidaknya ini merupakan kehormatan bagi kami yang telah menanggung budi Tuan begitu dalam..." kata gadis yang satu lagi.
Bayu mendongakkan kepala dan menatap gadis itu kembali sambil tersenyum.
"Dan kau siapakah? Apakah kau adiknya atau kakaknya? Rasa-rasanya kita pernah bertemu sebelumnya...."
"Lupakah Tuan peristiwa di pinggir hutan dua hari yang lalu? Saat itu Tuan membantu kami dari gerombolan yang akan merampas harta dan menganiaya kami...."
"Ya, ya... aku ingat sekarang!" kata Bayu mengangguk cepat. "Ayahmu bernama Indrapura, dan kau...."
"Sekar Harum."
"Ya, betul! Nah, bagaimana khabar Ayahmu sekarang? Lalu kapan tiba-tiba kau bisa berada didesa ini?"
"Ayahnya Sekar Tanjung adalah adik kandung ayahku. Jadi kami berdua adalah saudara sepupu," jelas Sekar Harum.
"Tujuan kami memang ke desa Brantas Agung ini. Begitu mendengar namamu, aku langsung menemani Sekar Tanjung ke sini."
Bayu Hanggara mengangguk-anggukkan kepala. Tapi tetap saja kepalanya jadi pusing sendiri. Bertemu dengan hartawan bernama Lesmana itu dengan segala tingkahnya yang memuakkan sungguh menyebalkan hatinya. Orang itu beranggapan bahwa segala sesuatunya di dunia ini dapat dibelinya dengan harta. Kalau saja ia datang ke sana, tetap saja anggapannya demikian. Tidak dengan harta kini putrinya yang disuruh membujuk dirinya. Dan kalau sudah sampai di sana, entah apa lagi yang akan direncanakan terhadap dirinya. Memang bukan rencana buruk, tapi siapa tahu berusaha membujuk dirinya untuk bekerja dengannya.
"Huh!" Bayu mendengus kecil dalam hati. Malam telah semakin larut, namun kedua gadis itu tetap tak beranjak dari tempatnya. Monyet kecil Bayu yang bernama Tiren berkali-kali menggoda mereka. Kadang keduanya tersenyum, kadang juga cemberut kesal. Paling tidak mereka cukup terhibur daripada dibiarkan pemuda itu sendiri saja tanpa bicara sepatah kata pun. Bayu sendiri masih pusing. Matanya yang tadi mengantuk, kini tak mau terpejam. Berkali-kali diliriknya mereka yang sedang bercanda dengan Tiren, dan berkali-kali pula mereka beradu pandang. Mulutnya seperti terkunci rapat untuk bicara sepatah kata karena otaknya buntu menghadapi keanehan yang satu ini.
"Kalian tidurlah kalau mau tidur. Mataku sudah mengantuk..." katanya sambil merebahkan diri di kursi panjang.
Kedua gadis itu menatap ke arahnya. Sekar Tanjung kemudian berkata pelan, "Ya...." Namun ketika Bayu baru saja akan merebahkan diri, tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.
"Tok! Tok!"
"Siapa?" Bayu cepat bangkit sementara kedua gadis di dekatnya menjadi was-was. Dalam pikiran mereka pastilah orang-orangnya Hantu Bukit Angsa yang akan membalas dendam.
"Tuan, saya seorang pengembara yang ke malaman di desa ini. Kulihat lampu di dalam kedai masih menyala, dan kudengar orang bercakap-cakap. Kalau tidak keberatan sudilah menerima saya untuk menumpang menginap di sini..." sahut suara di luar dengan nada sopan.
"Tolong panggilkan pemilik kedai," Bayu melirik ke arah Sekar Tanjung.
"Tapi...."
"Jangan khawatir. Aku yang akan bertanggung jawab!" Bayu meyakinkan gadis itu yang terlihat cemas.
"Baiklah...."
Setelah gadis itu melangkah ke belakang, Bayu memberi isyarat pada Sekar Harum untuk menjauh dari pintu. Ia sendiri melangkah pelan dan bersiaga penuh sambil membuka pintu. Seorang laki-laki yang mengenakan topi caping lebar berdiri di ambang pintu. Tubuhnya tinggi besar dan berbadan tegap mengenakan pakaian putih. Tangan kanannya menggenggam sebatang pedang dengan warangka dan gagang terbuat dari bambu kuning. Ketika laki-laki itu membuka topinya, terlihat seraut wajah tua berusia sekitar enam puluh tahun. Rambutnya yang putih diikat sehelai kain kuning. Wajahnya bersih dan berkesan ramah dengan kumis putih melintang rapih.
"Maaf mengganggu. Bolehkah menumpang menginap di sini semalam saja, Tuan?"
"Maaf, kami tak berhak menerima anda sebab kami pun menumpang di sini."
"Oh, begitu? Kalau demikian siapakah pemilik kedai ini?"
"Sebentar, temanku sedang memanggilnya."
Pemilik kedai itu buru-buru menghampiri. Setelah melirik pada Bayu, ia menatap tamu yang baru datang tersebut. Sang tamu tersenyum ramah.
"Apakah bapak pemilik kedai ini?"
"Betul, ada yang bisa saya bantu?"
"Namaku Dharmasutra, seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini. Kalau boleh saya ingin menginap disini. Tak apa di bangku ini saja, yang penting ada tempat berteduh..." kata-kata orang tua itu terhenti. Seketika ia mencabut pedangnya sambil membentak nyaring.
"Awas...!"
"Hiyaaa...!"
"Trang! Trang!"
Pedang di tangan orang tua itu berkelebat cepat menangkis beberapa buah senjata rahasia yang melesat ke dalam pondok kedai itu. Sementara Bayu sendiri menubruk kedua gadis itu dan si pemilik kedai menghindari desingan senjata rahasia yang nyaris menghantam mereka.
"Sialan!" makinya kesal. "Kalian tetap tinggal di sini dan jangan ke mana-mana!" lanjutnya sambil mencelat keluar.
"Kau hendak ke mana?" teriak Sekar Tanjung.
Tapi pemuda itu telah keburu mencelat ke luar mengikuti si orang tua bersenjata pedang bambu kuning.
"Ziiing!"
"Uts!"
"Traaang!"
Begitu mereka keluar, kembali mendesing beberapa buah senjata rahasia menerpa. Bayu cepat berkelit ketika dua buah senjata rahasia it nyaris menyerempet tubuhnya. Orang tua itu sendiri menangkis beberapa buah senjata rahasia yang menerpa dirinya dengan kelebatan pedangnya yang hebat bukan main. Melihat dari gerakannya, orang tua itu pastilah bukan orang sembarangan. Paling tidak ia memiliki nama yang cukup disegani di kalangan persilatan.
"Hmm, pengecut-pengecut darimana yang beraninya cuma main bokong dari belakang?" dengus Bayu begitu kedua kakinya menjejak tanah.
Pada saat itu melesat dua sosok tubuh pada jarak tujuh tombak di hadapan mereka sambil mendengus sinis. Yang seorang bertubuh kurus dengan wajah menyeramkan seperti tengkorak dengan rambut gondrong dibiarkan terurai. Sementara di sebelahnya seorang pemuda bertubuh sedang dengan kumis melintang. Di pinggangnya terselip sebatang golok yang agak panjang.
"Siapa di antara kalian yang menamakan dirinya Pendekar Pulau Neraka?" bertanya si muka tengkorak dengan nada dingin dan meremehkan sekali kedengarannya.
Bayu tak langsung menjawab. Penglihatannya yang tajam melihat beberapa sosok bayangan mengendap-endap di belakang kedua orang itu dengan gerakan melingkar menuju kedai di belakangnya.
"Pengecut hina, akulah orangnya! Siapa kalian?" sahut Bayu dengan nada sinis.
"Bagus! Kami membawa pesan dari Hantu Bukit Angsa untuk membawa kepalamu pulang."
Selesai berkata demikian tiba-tiba tubuh si muka tengkorak melesat ke arahnya sambil berteriak nyaring.
"Hiyaaa...!"
Pakaian ditubuhnya yang agak kebesaran berkibar-kibar ditiup angin seperti menyamarkan sebelah tangannya yang melepaskan senjata rahasia berupa baja hitam berbentuk bintang kecil.
"Huh, kau pikir dapat menipu mataku, Kisanak!" dengus Bayu sambil bersalto beberapa kali di udara menghindari desingan senjata rahasia lawan yang bertubi-tubi. Namun begitu tubuhnya mendarat ke bawah, serangan susulan lawan telah menantinya. Dia telah memperhitungkan hal itu sebelumnya. Itulah sebabnya Bayu mendorong telapak kirinya ke depan.
"Hap!"
"Wuuss!"
"Yeaaah...!"
Si muka tengkorak mencelat mundur beberapa langkah menghindari pukulan tenaga dalam lawan yang menimbulkan desir angin kencang. Namun begitu kedua kakinya berpijak di tanah maka secepat itu pula tubuhnya kembali melesat menghantam dengan tenaga dalam kuat.
"Mampuslah kau Pendekar Pulau Neraka!"
"Uts!"
"Tak segampang itu, sobat!" ejek Bayu sambil menundukkan kepala dengan tubuh miring.
Tinju kanan bergerak cepat menghantam dada lawan. Tapi tubuh si muka tengkorak lebih cepat lagi menghindar ke atas dan mengincar batok kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka menjatuhkan diri ke tanah, lalu dengan kedua kaki menghantam ke atas tubuhnya terus bergulingan ke belakang seperti melenting.
"Bughk!"
"Uts!"
Pada kesempatan itu si muka tengkorak masih sempat menyelamatkan perutnya dari tendangan lawan dengan menghantam kaki kanannya. Tubuh keduanya terdorong ke belakang akibat beradunya kedua kaki tadi. Namun dari situ Bayu dapat memperkirakan bahwa tenaga dalam lawan masih berada satu tingkat di bawahnya. Pemuda itu tersenyum kecil ketika si muka tengkorak kembali menyerangnya begitu kedua kakinya menyentuh tanah.
Sementara kakek yang bersenjatakan pedang bambu kuning sedang berhadapan dengan si pemuda berkumis melintang. Orang tua yang bernama Dharmasutra itu sempat kaget ketika melihat lawan di hadapannya. Sepasang matanya terbelalak tak percaya begitu melihat si pemuda dengan jelas.
"Jarot? Apakah kau Jarot muridku?"
"Sreeet!"
Sebagai jawabannya pemuda berkumis melintang itu malah mencabut goloknya dan bersiap menyerang Dharmasutra. Wajahnya memancarkan nafsu yang tak bersahabat.
"Jarot, aku gurumu sendiri, Dharmasutra! Apa yang terjadi padamu saat ini? Begitu mendengar majikanmu Den Pranata mengatakan bahwa kau dibawa lari Hantu Bukit Angsa, saat itu juga aku turun gunung untuk mencarimu...."
"Diam, kau orang tua! Terimalah kematianmu sekarang!"
"Jarot, tunggu..."
"Hiyaaaa...!"
"Uts!"
Ki Dharmasutra terpaksa berkelit dari sambaran pemuda yang diyakininya sebagai Jaro muridnya sendiri. Sambaran golok di tangan pemuda itu bukan main-main dan sama sekali dimaksudkan untuk membunuh lawan.
"Jarot, jangan bercanda keterlaluan dengan gurumu sendiri!" bentak Ki Dharmasutra mulai kesal.
"Siapa yang bercanda denganmu tua bangka?"
"Kurang ajar! Mana rasa hormatmu pada guru sendiri?"
"Siapa, guruku? Kau adalah teman si Pendekar Pulau Neraka, dan orang sepertimu harus mampus!"
"Dasar murid celaka! Agaknya benar berita yang kudengar bahwa perbuatanmu belakangan ini telah menyimpang, kau akan mendapat hukuman berat dariku!" dengus Ki Dharmasutra sambil mengeretukkan rahang.
Pedang di tangannya yang tadi dipergunakan untuk menangkis serangan muridnya kini berbalik menyerang muridnya sendiri dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!"
Pertarungan antara murid dan guru itu tak dapat dihindari lagi. Keduanya kini betul betul bernafsu hendak menjatuhkan lawan. Bedanya pemuda yang dipanggil Jarot itu bermaksud membinasakan gurunya, sebaliknya Ki Dharmasutra hanya ingin membuat lumpuh muridnya. Hingga serangan-serangannya belum terlihat mematikan. Walau bagaimana pun rasanya tak mungkin seorang murid mampu mengalahkan gurunya, jika ia semata-mata memperoleh kepandaian hanya dari gurunya itu. Begitu juga halnya antara Ki Dharmasutra dan Jarot. Tanpa memerlukan waktu panjang, Ki Dharmasutra berhasil melumpuhkan serangan muridnya dengan membuat golok di tangan Jarot terpental jauh dihantam pedangnya.
"Jarot, sadarlah. Aku Ki Dharmasutra gurumu sendiri...."
"Persetan dengan ocehanmu!" bentak pemuda itu. Walaupun tak bersenjata, namun tak sedikit pun rasa gentar terbayang di wajahnya. Malah dengan membentak nyaring ia kembali menyerang Ki Dharmasutra.
"Hiyaaa..."
"Murid celaka, kau terimalah ini!" bentak Ki Dharmasutra geram melihat kelakuan muridnya itu.
Pedang di tangannya bergulung-gulung ke depan, kemudian menyerang pemuda itu dengan berselang-seling serta mengejar kemana saja lawan bergerak. Karena tahu betul arah gerakan menghindar pemuda itu, maka sebentar saja terlihat pemuda itu terkurung oleh ujung pedangnya.
"Diam kau!"
"Tuuk!"
Tubuh pemuda itu langsung ambruk ketika Ki Dharmasutra menotok urat geraknya. Namun demikian wajahnya masih menunjukkan kegarangan seperti tadi.
"Tua bangka keparat! Lepaskan totokanmu ini. Apa kau pikir aku tak mampu melawanmu lagi, huh!"
"Diam, kau bocah! Dosamu telah luber dan kau patut mendapat hukuman dariku!"
"Huh, siapa yang takut dengan hukumanmu!"
Ki Dharmasutra baru saja akan menampar muridnya itu ketika terdengar si muka tengkorak menjerit kesakitan. Tangan kirinya terlihat buntung dihajar sinar keperakan yang melesat cepat dan kembali berputar-putar bersiap menyambarnya.
"Setan keparat!" makinya. "Apakah kebisaanmu cuma melepaskan Cakra Mautmu saja?"
"Lalu apa kebisaanmu yang lain pengecut? Apakah hanya bisa melempar senjata rahasiamu dengan bertubi-tubi? Masih bagus belum jantungmu yang kukorek!" balas Bayu.
"Huh, kau akan terima balasanku.
Yeaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka baru saja akan bersiap menyambut serangan lawan ketika terdengar suara jeritan dari dalam kedai.
"Ouww, tolooong...! Tuan Pendekar, toloooong...!"
"Bangsat!" maki Bayu sambil melompat ke dalam kedai. Tapi si muka tengkorak tentu saja tak mau membiarkan lawannya kabur.
"Jangan lari kau, Pendekar Pulau Neraka! Aku belum kalah darimu!" teriaknya sambil melemparkan senjata rahasianya. Dengan geram Bayu berbalik sekilas sambil mengibaskan tangan kanannya ke atas. Seketika itu juga Cakra Mautnya melesat mencari lawan. Untuk beberapa saat si muka tengkorak dibuat kerepotan menghindari serangan senjata lawan yang membawa maut itu. Bayu sendiri sudah melihat beberapa sosok bayangan menerobos atap kedai sambil membawa kedua gadis yang berada di dalamnya. Tubuhnya melesat cepat mengejar mereka sambil mengeluarkan pukulan jarak jauh.
"Hiyaaa...!"
"Wuss!"
Namun agaknya sosok-sosok bayangan itu sudah menyadari hal itu. Dengan serentak mereka membalas dengan pukulan jarak jauh pula. Dan ketika dua pukulan itu bertemu di udara, Bayu merasa tubuhnya agak terdorong ke belakang beberapa tindak, namun cepat ia jungkir balik sambil bersiap menyerang.
"Yeaaah...!"
"Uts! Bangsat!"
Bayu terpaksa menghentikan niatnya ketika tiba-tiba mendesing beberapa buah senjata rahasia yang dilemparkan si muka tengkorak ke arahnya. Agaknya orang itu masih mampu mencegah niat Bayu mengejar anak buahnya yang bermaksud melarikan dua orang gadis yang berada di dalam kedai. Padahal keadaannya betul-betul terjepit di antara kejaran Cakra Maut yang mengancam jiwanya.
"Crass!"
"Akh!"
Pada saat Bayu mendengus garang, perhatiannya terpusat beberapa saat pada lawan. Tangan kanannya terkibas ke atas dengan gerakan cepat, dan Cakra Maut yang sedang melesat itu bergerak semakin cepat menghantam pinggang kiri si muka tengkorak tanpa bisa dihindari lagi. Orang itu menjerit keras. Namun masih sempat tegak berdiri kembali menghindari serangan Cakra Maut yang kedua.
"Kalau kau mau mampus lebih dulu, baiklah!" dengus Bayu kembali.
"Kisanak, jangan khawatir! Kau uruslah orang ini biar mereka coba ku tahan!" teriak Ki Dharmasutra melihat kerepotan pemuda itu.
"Terimakasih, Kisanak!" teriak Bayu agak lega. Kini dia punya kesempatan untuk memusatkan segala perhatiannya pada lawan.
Di pandanginya si muka tengkorak dengan tatapan sinis ketika Cakra Maut itu kembali ke pergelangan tangan.
"Kali ini kau tak akan lolos dari tanganku!"
"Huh, siapa takut mati! Aku lebih rela mati daripada kau biarkan hidup diburu Hantu Bukit Angsa!"
"Apa maksudmu?"
"Hantu Bukit Angsa tak akan membiarkan anak buahnya kembali ke sarang sebelum menyelesaikan tugas dengan taruhan nyawa."
"Hmm, kalau demikian berarti teman-temanmu pun akan menemui ajal begitu tiba disana?"
"Mereka lain. Tugas ini memang harus begitu yaitu memancingmu agar datang ke sarang kami."
"Nah, kalau demikian katakan pada majikanmu bahwa aku akan datang menemuinya, tapi jika terjadi apa-apa pada kedua gadis itu, nyawamu taruhannya!" gertak Bayu.
Si muka tengkorak terkekeh, "Kau kira aku takut mati di tanganmu? Layon Gangga telah berjanji untuk menjalankan sumpahnya membunuhmu dengan taruhan nyawa. Aku diperintahkan untuk tidak kembali sebelum membawa kepalamu!"
"Oh, kau yang bernama Layon Gangga atau lebih dikenal sebagai Rase Tengkorak Bintang? Pantas! Tokoh sesat sepertimu memang patut mampus. Nah, terimalah kematianmu!"
Setelah berkata begitu tubuh Pendekar Pulau Neraka melesat dengan satu tinju kanan siap meremukkan kepala lawan. Tapi si muka tengkorak yang bergelar Rase Tengkorak Bintang ternyata pantang menanti maut tanpa perlawanan. Senjata rahasia berupa bintang mendesing ke arah Bayu.
"Uts! Kau kira aku bisa dikelabui?"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Bayu meloncat lebih tinggi sambil jungkir balik beberapa kali diudara. Ketika tubuhnya melesat turun, saat itu juga tangan kanannya dikibaskan ke atas. Detik itu berkelebat Cakra Maut ke arah lawan. Dan tanpa bisa dihindari menembus dada kiri Layon Gangga.
"Aaaa...!"
Tubuhnya berkelojotan beberapa saat kemudian sambil mendekap dadanya yang bolong. Setelah menggelepar-gelepar akhirnya diam tak bergerak dengan mata mendelik keluar. Nyawanya lepas sudah. Bayu mendengus sinis dan mengibaskan tangan kanannya kembali. Saat itu juga Cakra Maut melesat lagi ke pergelangan tangan kanannya. Bayu Hanggara menoleh. Dilihatnya Ki Dharmasutra sudah kembali dengan wajah lesu. Bahu kirinya terluka meneteskan darah. Kemudian ia beralih pada pemuda berkumis melintang di dekatnya.
"Apakah kau juga ingin mampus seperti temanmu?"
"Puih! Kau pikir aku takut mati?! Bunuhlah, aku tak takut. Atau kalau kau mau bertarung secara kesatria, buka dulu totokanku!"
"Aku bukan sebangsa pengecut seperti kalian!" dengus Bayu.
"Baik, akan kubuka totokanmu agar kau mampus tanpa penasaran."
Namun ketika Bayu baru saja melangkah dua tindak, tiba-tiba terdengar suara halus mencegahnya.
"Tidak!"
Bayu Hanggara menoleh. Dilihatnya Dharmasutra sudah kembali dengan wajah lesu. Bahu kirinya terluka meneteskan darah.
"Oh, kau, Bagaimana? Apakah kau berhasil mencegah mereka?"
"Sayang sekali aku gagal..."
"Kenapa? Apakah mereka dapat mengalahkan mu?"
"Jumlah mereka banyak dan rata-rata berkepandaian tinggi..."
"Keparat kau Hantu Bukit Angsa!" maki Bayu sendiri sambil mengepalkan tinjunya dengan wajah geram.
"Kalau kau memang menghendaki aku kesana, baik akan kupenuhi kemauanmu."
"Ha ha ha...! Kau akan mendatangi sarang Hantu Bukit Angsa?" ejek si pemuda yang tertotok itu sinis. "Kalau kau mau cepat mampus datanglah cepat kesana."
"Diam kau keparat! Sebelum aku kesana kau lebih dulu yang akan mampus!"
"Maaf, Kisanak!" cegah Ki Dharmasutra ketika melihat tinju kanan Bayu siap menghajar kepala pemuda itu.
"Kenapa? Apakah kau akan membelanya?"
"Dia adalah muridku sendiri..." lesu suara Ki Dharmasutra.
"Apa? Dia muridmu, Ki?"
Ki Dharmasutra mengangguk lesu. "Aku sendiri tak tahu kenapa dia berubah begitu cepat. Tadinya dia anak baik dan tak pernah berbuat onar sedikit pun..." jelasnya sambil menggelengkan kepala.
Pendekar Pulau Neraka menatap pemuda itu sekilas sambil memutar otaknya. Sementara itu monyet kecil, Tiren sahabatnya berlari-lari kecil menghampirinya sambil menunjuk-nunjuk ke arah kedai.
"Nguk! Nguuk!"
"Ada apa, Tiren?" tanya Bayu sambil merangkul Tiren. Ketika hewan kecil itu menunjuk ke arah kedai sekali lagi, Bayu tersentak kaget.
"Astaga! Si pemilik kedai itu. Bagaimana nasibnya?" Bayu buru-buru melangkah ke dalam kedai.
Melihat Pendekar Pulau Neraka berlari kecil ke dalam kedai, Ki Dharmasutra pun mengikuti dari belakang sambil membopong pemuda yang diakuinya sebagai muridnya itu.
"Hei, tua bangka busuk lepaskan aku Lepaskan! Aku tak takut bertarung denganmu!"
"Diam kau!"
"Tuk!"
Dengan cepat dua buah jari tangan kanannya menotok urat leher pemuda itu hingga suara tak' mampu lagi keluar. Setiba mereka di dalam, keadaan si pemilik kedai sangat mengenaskan.
"Astaga! Betul-betul biadab mereka!" desis Pendekar Pulau Neraka bertambah geram. Dilihatnya tubuh si pemilik kedai itu penuh dengan luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya hingga sukar dikenali wajahnya.
"Biadab!" maki Ki Dharmasutra. "Mereka harus terima balasannya kelak!"
"Tidak. Malam ini juga aku harus menyatroni sarang mereka!" ujar Bayu bersiap meninggalkan tempat itu. Namun Ki Dharmasutra buru-buru mencegahnya.
"Sebaiknya jangan terburu-buru, Kisanak. Saat ini mereka tentu telah bersiaga penuh. Tunggu sampai beberapa hari di saat mereka lengah."
"Dan saat itu pula korban baru akan bermunculan, Ki."
"Hmm... memang benar kita tak tahu apa yang mereka inginkan saat ini. Tapi kalau menyerang saat sekarang mereka pasti telah bersiap-siap menunggu kita..."
"Bukan kita, Kisanak tapi aku..."
"Aku pun punya kepentingan dengan mereka, Kisanak..."
Bayu terdiam beberapa saat kemudian. Pada saat itu beberapa penduduk desa yang sejak tadi mendengar keributan di luar rumahnya, berdatangan ke dalam kedai itu. Salah seorang diantara mereka buru-buru menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
"Tu... Tuan Pendekar, bagaimana dengan nasib anak saya?"
Bayu meliriknya sekilas sambil menghela nafas pendek. Orang itu tak lain dari si hartawan yang siang tadi bersikap sok akrab dengannya, atau orang tua Sekar Tanjung. Disebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah baya yang dikenalnya beberapa hari yang lalu.
"Maaf, Pak..."
"Apa maksud anda Tuan Pendekar?!" desak si hartawan bernama Lesmana itu.
"Sekar Tanjung dibawa mereka..." sahut Bayu dengan suara lemah.
"Apa?!" Hartawan bernama Lesmana itu tersentak kaget. Untuk beberapa saat dia termenung dengan wajah gelisah.
"Putri saya bagaimana, Tuan Pendekar...?" tanya orang tua yang pernah dikenalnya.
Bayu menatap agak lama padanya, "Apakah bapak ayahnya Sekar Harum?"
Orang tua itu cepat mengangguk, "Saya Indrapura. Bukankah kita pernah bertemu sebelumnya beberapa hari yang lalu di pinggir hutan itu?"
"Ya, ya..." Bayu mengangguk. Kemudian ditatapnya laki-laki itu dengan wajah lesu.
"Maaf, Pak... Sekar Harum juga dibawa mereka..."
"Oh, anakku pun dibawa mereka? Ya ampun Gusti... apa salahku harus mengalami cobaan seberat ini?" rintih Indrapura sendu. "Sudah mereka merampas harta kami, membunuh istriku dan kini membawa anak gadisku pula..."
"Tenanglah, Pak. Saya akan membawa mereka kembali pada bapak..." bujuk Bayu.
"Betulkah ucapanmu, Tuan Pendekar?"
Bayu kembali mengangguk. "Sekarang lebih baik kita urus dahulu mayat si pemilik kedai ini, serta mayat-mayat yang lainnya..."
"Lebih baik mayat itu dilemparkan saja jadi makanan srigala!" teriak seseorang sambil menunjuk mayat di luar halaman kedai.
"Ya, ya setuju! Dibuang ke hutan biar disantap hewan liar!" timpal yang lain.
"Setuju! Mereka sama biadabnya dengan hewan-hewan liar!"
"Tenang! Tenang...!" Bayu harus mendiamkan. Setelah mereka agak tenang, barulah ia melanjutkan kata-katanya.
"Walau pun dia berkelakuan biadab tapi tetap ia seorang manusia. Kita layak menguburkannya..."
Mendengar kata-kata Bayu yang lainnya diam membisu. Walau mereka tak setuju tak ada yang berani membantah. Malam itu juga kedua mayat tersebut dikuburkan. Kepala Desa menyuruh pemuda-pemuda desa bersiaga penuh karena khawatir bencana seperti tadi akan datang lagi. Tapi Pendekar Pulau Neraka mengatakan hal itu tak perlu. Dia menjelaskan bahwa sasaran Hantu Bukit Angsa kali ini adalah dirinya.
"Lebih baik semua penduduk kampung bersiaga saja di rumahnya masing-masing untuk menghindari korban yang mungkin timbul. Saya sendiri akan berangkat ke Pulau Angsa..." lanjut Bayu mengakhiri kata-katanya.
"Tapi Tuan Pendekar, kita tak tahu apa yang mereka rencanakan saat ini? Orang-orang Hantu Bukit Angsa rakus dan haus darah. Mana mungkin mereka cuma mengurusi Tuan seorang kalau kesempatan untuk melakukan perampokan dan pembunuhan ada di depan mata mereka," sahut kepala Desa.
Bayu berpikir sejenak. Kata-kata Kepala Desa itu ada benarnya. Mereka tak tahu apakah orang-orang itu akan datang lagi atau tidak. Kalau tak ada yang berjaga-jaga, justru korban akan jatuh lebih banyak sebab tak ada yang membunyikan kentongan untuk memberitahu yang lain agar menyelamatkan diri mereka masing-masing.
"Ya, ya... boleh juga," kata Bayu menganggukkan kepala. "Cuma pilihlah pemuda-pemuda yang kuat dan berani."
Setelah mengatur segalanya, Kepala Desa dan yang lainnya meninggalkan tempat itu. Sedangkan Bayu masih tetap di kedai bersama dengan Ki Dharmasutra dan muridnya yang sedang tak berdaya karena totokan.
"Apa yang akan Kisanak lakukan sekarang?" tanya Pendekar Pulau Neraka pelan.
Ki Dharmasutra menatap sekilas pada muridnya. Kemudian katanya lirih, "Aku akan membawa muridku ke Padepokan lebih dulu. Dia akan menerima hukuman atas perbuatannya selama ini menjadi pengikut Hantu Bukit Angsa."
"Kurasa hal itu bisa dilakukan nanti, Kisanak. Lagipula itu bukan kesalahannya..."
"Apa maksudmu?"
"Dia dibawah pengaruh Hantu Bukit Angsa. Menurutku muridmu pastilah telah dicekoki ramuan untuk membuatnya lupa pada orang-orang yang pernah dikenalnya. Dia cuma tunduk pada perintah Hantu Bukit Angsa, yang menjadi majikannya saat ini..."
"Ah, kenapa tak terpikirkan di otakku!" Ki Dharmasutra menepuk keningnya. Kemudian dia meneliti sepasang mata muridnya beberapa saat lamanya.
"Apa yang kau lakukan, Ki?"
"Selama ini Jarot tak pernah menyembunyikan sesuatu padaku, dan aku mengetahui hal itu lewat bola matanya..."
"Apakah kini ada perubahan?"
"Ya, ya... betul katamu. Sepertinya saat ini pikirannya sedang kosong. Dia dikendalikan oleh hawa nafsunya sendiri yang dikontrol oleh Hantu Bukit Angsa. Mungkin lewat ramuan yang telah dicekoki ke dalam tubuhnya."
"Apakah kau bermaksud menyembuhkannya?"
"Tentu saja. Tapi aku tak yakin mampu melakukannya..."
Bayu mendekat ke arah murid Ki Dharmasutra sambil memeriksa kedua bola mata pemuda itu. Yang dilihat cuma sepasang mata yang menyorotkan dendam dan nafsu membunuh serta kebencian. Bayu menggeleng-gelengkan kepala dan kembali duduk di bangku.
"Sayang sekali, Kisanak... aku tak bisa membantumu..."
"Tak mengapa. Toh tidak semua orang bisa melakukan segalanya, bukan? Dalam ilmu silat kau mungkin hebat, tapi belum tentu di bidang pengobatan..." sahut Ki Dharmasutra tersenyum kecil.
"Ah, anda cuma membesar-besarkan saja. Aku cuma seorang pengembara biasa..."
"Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Pulau Neraka? Tokoh muda yang namanya belakangan ini jadi buah bibir di kalangan persilatan?"
"Anda kembali melebih-lebihkan. Anda pun cukup hebat... eh, baru sekarang kuingat!" Bayu tiba-tiba seperti ingat sesuatu melihat senjata yang dipegang orang tua itu.
"Bukankah anda yang bergelar Pendekar Bambu Kuning yang terkenal itu?"
"Kau cukup jeli juga, sobat muda," sahut Ki Dharmasutra merubah panggilannya agar kelihatan lebih akrab. "Tapi aku sungguh tak terkenal dibandingkan dengan namamu."
"Sudahlah, Kisanak. Apa gunanya kita membicarakan soal nama. Toh itu cuma pepesan kosong. Yang penting adalah apa yang kita lakukan pada orang lain..."
"Betul katamu. sobat muda. Kelihatannya kau sudah letih. Tidurlah dulu, sebentar lagi malam akan menjelang pagi. Kau tentu butuh tenaga baru untuk mengembalikan yang telah hilang..."
"Ya, ya..." Bayu menguap beberapa kali sambil merebahkan diri di bangku panjang.
Agaknya betul-betul mengantuk karena sebentar saja dia telah terlelap. Bayu tersentak bangun ketika matahari menerangi wajahnya. Pemuda itu menghalangi dengan lengannya sambil bangkit perlahan. Setelah merasa sedikit segar dia mencari-cari Ki Dharmasutra dan juga muridnya. Tapi keduanya telah tak ada di tempat itu.
"Kisanak, kemana kalian?"
Dikelilinginya tempat itu, namun tak juga ditemui keduanya. Bahkan di dalam kamar si pemilik kedai pun tak seorang berhasil dijumpainya. Bayu memeriksa beberapa keping uangnya yang tersisa dan senjatanya. Semuanya masih utuh tak kurang sedikitpun.
"Sialan orang tua itu! Pergi tak bilang-bilang. Ah, kenapa pula aku harus mengurusinya segala. Lebih baik langsung pergi saja ke Pulau Angsa," gumam Bayu sendiri sambil menggerutu kesal.
Namun ketika secara tak sengaja matanya melihat tulisan di atas meja di dekatnya. Buru-buru dibacanya.
"Maaf kami pergi dulu ke Pulau Angsa tanpa menunggu kau bangun. Muridku Jarot sebenarnya bisa kusembuhkan, tapi kami tak mau keduluan olehmu sebab Hantu Bukit Angsa harus terima balasan dariku juga." Ki Dharmasutra.
"Orang tua curang!" kesal terdengar nada ucapan Bayu. "Kalau kalian mau mampus lebih dulu, silahkan saja. Aku toh tak merasa dirugikan sedikitpun."
"Nggak! Ngguk!"
Tiren mengangguk-anggukkan kepala mendengar kata-kata Tuannya. Bayu melirik padanya kemudian menaikkannya ke pundak sambil berlalu dari tempat itu.
"Mari Tiren, kita berangkat secepatnya dari sini. Siapa tahu mereka sudah jadi bangkai di sana!"
"Nguk! Nguuk!"
"He he...! Kau pun setuju dengan kata-kataku ya?"
Ki Warangka Gering terkekeh-kekeh di singgasananya ketika beberapa orang anak buahnya masuk ke ruangan. Dua orang di antara mereka memondong tubuh dua orang gadis dan meletakkannya di depan penguasa Pulau Angsa itu. Sepasang mata laki-laki berwajah buruk itu melotot penuh nafsu. Lebih-lebih ketika melihat kulit halus mulus dari gadis yang berwajah cantik dan berpakaian merah.
"Paduka Yang Mulia, gadis ini kami anggap dekat dengan si Pendekar Pulau Neraka. Itulah sebabnya kami bawa ke sini." jelas salah seorang diantara mereka.
Orang itu bertubuh bongkok dengan rambut panjang yang sebagian telah memutih. Sebelah mata orang tua itu nampak buta dan terus berair. Dari balik jubahnya yang lusuh berderet puluhan pisau-pisau kecil.
"Jadi kau telah bertemu dengannya, Ki Sapan Oyot?"
"Sudah Yang Mulia..." sahut laki-laki tua yang dipanggil dengan nama Ki Sapan Oyot itu.
Sikapnya begitu hormat sekali. Seakan dia sedang berhadapan dengan seorang raja agung.
"Bagaimana dengan Jarot dan Layo Gangga?"
"Sesuai dengan perintah Paduka, mereka menghadangnya."
"Bagus! Bagus!" Ki Warangka Gering mengangguk senang. "Biarlah mereka mampus di tangannya, toh tak lama lagi pendekar sok jago itu akan kita cincang. Dagingnya akan kuberikan pada ikan-ikan buas di dalam telaga." Dia tertawa-tawa senang penuh kegembiraan.
Setelah semua orang yang berada di ruangan itu ikut-ikutan tertawa, si orang tua bertubuh bungkuk itu kembali melanjutkan kata-katanya.
"Tapi si Pendekar Pulau Neraka saat itu tak sendiri, Paduka....."
"Heh...?! Apa maksudmu?"
"Kami bertemu dengan seorang tua yang kepandaiannya pun tak rendah, Paduka,..."
"Apa? Apakah telah kalian bereskan dia?"
"Be... belum Paduka. Mengingat perintah Paduka hanya untuk memancing si Pendekar Pulau Neraka saja, maka kami tak bermaksud melayaninya sampai tuntas...."
"Hmm, bagaimana ciri-ciri orang itu?"
"Tak terlalu jelas, Yang Mulia. Hanya ia bersenjatakan sebilah pedang yang sarungnya terbuat dari bambu kuning."
"Hmm..." Ki Warangka Gering mengingat-ingat barang sejenak. "Tak salah. Pasti si Pendekar Bambu Kuning...."
"Pendekar Bambu Kuning...? Ilmunya lumayan hebat, Yang Mulia. Apakah ia tidak merupakan ancaman bagi kita? Perintahkan sekali lagi pada kami untuk menghabisi orang itu."
"Tak perlu. Aku merasa mampu mengatasinya. Yang ku khawatirkan hanya si Pendekar Pulau Neraka itu saja untuk saat ini."
"Apakah Yang Mulia yakin bahwa Pendekar Pulau Neraka akan datang ke sini?"
"Apakah kau yakin bahwa ia akrab dengan kedua gadis ini?" Ki Warangka Gering malah balik bertanya.
Orang tua bongkok yang dipanggil Ki Sapan Oyot itu terdiam beberapa saat kemudian.
"Bagaimana Ki Sapan Oyot?"
"Hamba tak pasti, Yang Mulia."
"Hmm, tak apa...."
"Paduka Yang Mulia..." seorang yang bertubuh besar dengan brewok lebat tiba tiba angkat bicara setelah melihat seorang di antara gadis-gadis itu.
"Ada apa Walukarnawa?"
"Rasanya hamba pernah melihat salah seorang gadis ini sebelumnya?"
"Lalu?"
"Saat itu kami hendak merampok mereka, tapi si Pendekar Pulau Neraka ikut campur tangan. Kalau saat itu mereka bisa berada berdua tentu hubungan mereka sekarang menjadi dekat."
"Gadis yang mana?"
Si brewok Walukarnawa menunjuk salah seorang gadis yang berkulit sawo matang dan berwajah manis. Wajah Ki Warangka Gering seketika menyeringai.
"Bawa dia ke kamar!" perintah penguasa Pulau Angsa itu.
"Segera, Yang Mulia!" sahut salah seorang pengawalnya sambil membawa gadis yang dimaksud itu ke dalam kamar Ki Warangka Gering alias si Hantu Bukit Angsa.
Semua orang yang berada di ruangan itu mengerti bahwa Ki Warangka Gering bermaksud mengerjai wanita itu. Namun yang membuat mereka tak habis pikir, kenapa ia bukan memilih gadis yang lebih cantik.
"La... lalu gadis yang satu ini akan kita apakan Yang Mulia?" tanya Ki Sapan Oyot.
"He he he he...! Tenang sajalah. Dia pun nantinya akan mendapat bagian bila waktunya tiba. Sementara ini kurung saja di ruang bawah."
"Baik, Yang Mulia!" sahut pengawalnya yang seorang lagi. Ia kemudian memondong tubuh gadis berbaju merah itu dan membawanya ke ruang bawah.
"Kalian tentu bertanya-tanya kenapa aku memilih gadis itu lebih dulu, bukan?" tanya Ki Warangka Gering sambil tertawa kecil.
"Be... betul, Yang Mulia..." sahut mereka serempak. Ki Warangka Gering terkekeh-kekeh.
"Kalau Si Pendekar Pulau Neraka mengetahui bahwa kekasihnya sudah ternoda tentu dia akan lebih marah, dan orang yang sedang marah, akalnya tentu tak terkontrol. Saat itulah dia lebih mudah kita atasi," jelasnya.
Mendengar penjelasan itu semua yang hadir diruangan itu mengangguk-angguk kepala tanda mengerti.
"Wah, Yang Mulia betul-betul cerdik!" kata salah seorang anak buahnya yang duduk tak begitu jauh dari singgasana.
"Ha ha ha ha...! Lor Sabrang, apakah kau suka pada gadis tadi?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Tapi hamba tak berani mendahului..." sahut pemuda yang dipanggil Lor Sabrang itu.
"He he he...! Tentu saja kau akan mendapat bagian, tapi setelah aku lebih dulu...."
"Terima kasih, Yang Mulia...."
"Nah, sekarang kembalilah kalian ke tempat semula dan perketat penjagaan di sekitar istana ini."
"Baik Yang Mulia...!" sahut seluruh yang hadir.
Tak lama kemudian mereka meninggalkan tempat itu bersamaan. Ki Warangka Gering sendiri setelah tempat itu menjadi sepi, beranjak ke kamarnya sambil terkekeh-kekeh kecil.
Sementara itu di tengah telaga Sarangan terlihat dua orang sedang mengayuh sebuah rakit bambu. Yang seorang laki-laki tua berwajah gagah dengan rambut telah memutih. Di tangannya tergenggam sebilah pedang dengan warangka terbuat dari bambu kuning. Di sebelahnya terlihat seorang pemuda gagah dengan kumis melintang. Sebatang golok panjang nampak terselip di pinggang. Sepasang matanya menatap lurus ke depan pada sebuah Pulau yang bila terlihat dari atas berbentuk seperti angsa. Lama dia termenung begitu, ketika si orang tua menegurnya dengan suara perlahan.
"Sudahlah Jarot. Semua itu kau lakukan tanpa sadar...."
Pemuda itu memalingkan wajah dan menatap orang tua yang tak lain dari gurunya sendiri. Kemudian ia duduk perlahan.
"Aku akan membalasnya meski dengan taruhan nyawa, Eyang...."
"Ya, ya... aku tahu apa yang kau rasakan saat ini...."
"Ini betul-betul telah memalukan nama baik Guru. Ah, aku memang murid yang tak berguna...."
"Jangan berkata begitu, Jarot. Semuanya kini telah berlalu."
"Tapi dari semula seharusnya aku sudah tahu bahwa orang itu bermaksud jahat. Rasanya lebih baik saat itu aku mati daripada menanggung aib begini."
"Bukankah kau akan menebusnya kini? Nah, jangan dipersoalkan lagi hal itu. Walaupun kita harus mati, tapi setidaknya niat kita di dengar oleh Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan segala dosa-dosamu diampuni."
Keduanya terdiam beberapa saat lamanya. Rakit mulai mendekat ke arah Pulau. Sekitar sepuluh tombak dari tepi daratan terlihat beberapa buah tonggak bambu. Ki Dharmasutra mulai curiga. Penglihatannya yang tajam menatap lurus ke bawah permukaan air. Tonggak itu ternyata merupakan tiang-tiang pancang dari deretan pagar bambu yang tingginya tiga jengkal di bawah permukaan air. Pagar itu terus melingkar seolah mengelilingi Pulau. Ki Dharmasutra pun melihat banyak sekali ikan sebesar batang kelapa yang berenang hilir mudik di dekat rakit mereka.
"Jarot, tempat ini mencurigakan sekali. Apakah ada sesuatu yang kau ingat? Ikan-ikan ini nampaknya bukan ikan sembarangan...."
Jarot menatap tajam ke bawah air sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Entahlah, Eyang. Tapi rasa-rasanya ada bayangan di ingatanku tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Temanku dibuang didekat sini dan ketika itu juga ia menjerit-jerit. Air telaga sesaat berwarna merah darah...."
"Hmm, ikan-ikan buas...!" desis Ki Dharmasutra waspada.
Pada saat itu juga dari tepi telaga berjejer beberapa orang dengan sikap menunggu kedatangan mereka. Jarot menggeram dengan wajah garang.
"Eyang, agaknya mereka telah mengetahui kehadiran kita."
"Bagus! Itu akan lebih baik lagi."
Ki Dharmasutra bersiap-siap sambil menggenggam erat pedang di tangannya. Sorot matanya terlihat mantap. Sekilas dilihatnya beberapa tonggak bambu lagi yang merupakan sandaran pagar di bawah permukaan air. Itu tentu batas kurungan tiga tombak dari tepi telaga. Baru saja rakit mereka berada di atas pagar bambu itu, sekonyong-konyong melesat beberapa orang dari daratan dengan senjata terhunus.
"Hiyaa...!"
"Siap Jarot!"
"Siap Eyang!" sahut Jarot sambil mencabut goloknya.
Dua orang pertama yang hampir menjejakkan kaki di atas rakit itu mengayunkan senjata mereka. Yang seorang memegang sepasang trisula dan seorang lagi bersenjatakan pedang pendek. Ki Dharmasutra beserta muridnya langsung membabatkan senjata mereka.
"Sreeet!"
"Trang!"
"Haiiit!"
Yang memakai pedang pendek terkejut kaget melihat wajah Jarot hingga untuk sesaat dia tak bersiaga. Dengan mudah Jarot menangkis lalu mengayunkan kaki menendang perut lawan. Orang itu terjengkang dan tercebur ke air. Saat itu juga air telaga berkecipak ketika beberapa ikan menyerbu ke arahnya.
"Aaaa...!"
Air telaga memerah ketika orang itu menjerit keras. Tubuhnya tenggelam ke dasar telaga tanpa secuil pun tersisa dari tubuhnya. Jarot pun terpana melihat itu. Dalam bayangannya pasti lawannya tadi tak menyangka bahwa yang di atas rakit itu adalah orang yang termasuk dalam jajaran tangan kanan Hantu Bukit Angsa, sehingga ia tak berani meneruskan serangan. Akhirnya ia sendiri yang mesti binasa di mulut ikan-ikan buas yang sengaja dipelihara Hantu Bukit Angsa.
Sementara itu dengan tak mengalami kesulitan Ki Dhamasutra menangkis serangan trisula lawan dan menyentakkannya ke atas. Lawan terpekik nyaring pada saat itu juga kaki si Pendekar Bambu Kuning menghantam dada.
"Aaaa...!"
Tubuhnya tercebur ke air telaga. Seperti temannya yang pertama, ia pun menjadi santapan hewan-hewan buas di dalam telaga itu. Melihat kejadian itu orang-orang yang berdiri di pinggir telaga tak ada yang berani lagi mencoba-coba untuk menyerang kedua orang asing itu. Agaknya mereka menunggu keduanya sampai di daratan lebih dulu. Tapi Ki Dharmasutra dan Jarot berpikiran lain.
"Siap Jarot? Kerahkan ilmu peringan tubuhmu dalam sikap waspada dan menjaga segala kemungkinan serangan lawan."
"Siap Eyang!"
"Bagus!"
"Hiyaaa...!"
Setelah memberi komando, tubuh keduanya mencelat dari atas rakit itu dan bersalto beberapa kali di udara. Namun belum lagi keduanya menjejakkan kaki, saat itu juga empat orang lawan langsung mengejar dengan senjata terhunus.
"Yeaaa...!"
"Trang!"
"Crass!"
"Akh!"
Ki Dharmasutra dan Jarot betul-betul mengamuk. Kedua senjata mereka berkelebat cepat dan dibarengi tenaga dalam kuat. Dalam sekejapan saja dua orang menjerit keras ketika perut mereka robek lebar dibabat golok dan pedang lawan. Dan ketika keduanya kembali mengayunkan senjata, dua orang teman lainnya menyusul ke akherat. Yang seorang lehernya hampir putus, sedangkan yang satu lagi jantungnya ditembus golok Jarot.
"Aaaa...!"
"Jarot!" bentak salah seorang lawan yang melihat kehadirannya. "Kenapa kau ke sini?"
Pemuda berkumis melintang itu menoleh. Seorang laki-laki bertubuh besar dengan wajah brewok nampak bertolak pinggang didekatnya.
"Siapa kau?" Jarot balas membentak.
"Kurang ajar! Kau tak mengenalku lagi setelah membelot dari junjungan kita?!"
"Junjungan siapa?"
"Keparat kau Jarot! Kau akan mampus di tangan junjungan kita, paduka Yang Mulia Hantu Bukit Angsa!"
"Huh, justru kedatanganku ke sini untuk memenggal kepala monyet busuk itu!" dengus Jarot.
Si brewok mendelik matanya mendengar kata-kata itu. Dia bermaksud membentak kalau saja seorang tua bungkuk tak langsung menyela niatnya.
"Walukarnawa, siapa suruh kau debat omong dengan mereka?! Ayo, perintahkan yang lain untuk memenggal kepala keduanya!"
"Baik, Ki Sapan Oyot!" sahut si brewok bernama Walukarnawa dengan patuh.
Sekali dia mengacungkan tangan, maka belasan orang-orang berbaju hitam dengan senjata golok langsung mengurung keduanya. Kemudian tanpa dikomando langsung menyerang dengan ganas.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Trang! Trang!"
Kali ini si Pendekar Bambu Kuning beserta muridnya agak sulit menjatuhkan lawan. Kepandaian mereka cukup lumayan. Apalagi permainan golok yang rapi dan teratur. Walau demikian pada tiga jurus yang telah berlangsung, keduanya dapat mengukur kepandaian seorang lawan tak lebih dari satu tingkat di bawah kepandaian Jarot. Dan belasan orang yang mengeroyok dengan kepandaian segitu tentu saja cukup merepotkan. Buktinya ketika memasuki jurus kelima, keduanya terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki.
"Hiyaaa...!"
"Trang!"
"Cres! Crab!"
"Akh!
Dalam satu kesempatan, ujung pedang Pendekar Bambu Kuning berhasil merobek pinggang lawan. Pada saat yang bersamaan golok Jarot pun membabat sebelah kaki lawannya hingga buntung. Dan ketika kedua senjata mereka kembali berkelebat, dua orang korban lagi jatuh. Walau tak terlalu parah, paling tidak ujung senjata mereka berhasil melukai lawan. Tapi saat itulah terdengar teriakan seseorang yang langsung turun ke arena.
"Hiyaaa...!"
Melihat hal itu Jarot langsung melompat menghadang. Dilihatnya lawan pun agaknya tak terpaut jauh.
"Trang!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Ketika kedua senjata mereka beradu, Jarot dapat merasakan bahwa tenaga dalam berimbang dengannya. Tak heran bila ia sedikit merasakan tangannya yang ngilu dan kesemutan. Tubuh keduanya bergetar dan masing-masing melompat ke belakang. Namun ketika kedua kakinya menjejak di tanah, si pemuda bersenjatakan keris itu kembali melompat menyerang Jarot dengan garang. Jarot sendiri saat itu sedang menghadang beberapa orang pengeroyoknya.
"Jarot, jaga dirimu!" teriak Ki Dharmasutra memperingatkan.
"Diam kau tua bangka! Kau jaga dirimu sendiri! Hiyaaa...!" bentak Walukarnawa. Dulu dikenal sebagai Dedemit Rimba Iblis sebelum menjadi kaki tangan Hantu Bukit Angsa.
"Hmm, babi busuk! Kesinilah biar ku sembelih lehermu!" geram Ki Dharmasutra.
"Trang!"
"Wuuk!"
Pedangnya menangkis golok besar Walukarnawa dengan sengit. Dalam benturan itu Ki Dharmasutra dapat merasakan bahwa tenaga dalam lawan sedikit berada di bawahnya. Seharusnya ia bisa menekan dan soal menghabisi lawan tinggal menunggu waktunya saja. Tapi kepandaian lawan ternyata tidak terbatas sampai di situ saja, walau tubuhnya besar, gerakannya cukup ringan. Dan ia pun cukup cerdik untuk menyerang Ki Dharmasutra pada saat yang lainnya sedang mengeroyok orang tua itu. Sehingga keadaan Ki Dharmasutra bukan menguntungkan, malah semakin membahayakan dirinya sendiri.
"Ha ha ha...! Sebaiknya menyerah saja kau tua bangka dan bergabung dengan junjungan kami!" kata Walukarnawa sambil terkekeh. "Percuma kalian bertahan. Nyawamu sendiri di ujung tanduk."
"Huh, tertawalah sepuasmu tapi jangan harap aku sudi bekerja dengan iblis terkutuk seperti kalian!"
"Keras kepala! Kalau begitu kalian memilih mati, baik!"
Walukarnawa menggeram. Gerakan golok besar di tangannya semakin cepat menyerang Ki Dharmasutra. Sebenarnya ia masih mampu bahkan mengungguli permainan golok lawan, sebab ilmu pedangnya sendiri boleh disebut telah mencapai taraf sempurna. Namun karena ia harus membagi perhatian dengan pengeroyoknya yang lain, permainan pedangnya jadi tak tertuju pada Walukarnawa. Dan lawan yang memang memiliki permainan ilmu golok yang tangguh semakin mendesak saja pertahanan si Pendekar Bambu Kuning. Hingga dalam satu kesempatan ujung goloknya berhasil menggores dada lawan.
"Sreeet!
"Ukhh!"
Ki Dharmasutra mengeluh pelan. Namun tak ada waktu untuk berlama-lama sebab para pengeroyoknya kembali membabatkan golok mereka. Sedangkan serangan susulan Walukarnawa semakin dahsyat saja dirasanya.
"Mampuslah kau tua bangka busuk!"
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Ki Dharmasutra menjerit keras ketika salah satu ujung golok lawan menembus paha kirinya. Namun pedangnya pun cepat membalas dan membabat buntung lengan lawan.
"Crass!"
"Eyaaang...!" Jarot tersentak mendengar jeritan gurunya. Sayang keadaannya pun tak lebih baik dari gurunya. Sekujur tubuhnya penuh dengan goresan luka. Dan ketika perhatiannya terbagi karena mencemaskan keadaan gurunya, maka saat itu pula lawan tangguhnya, si pemuda yang bersenjatakan keris itu dengan cepat menyabetkan senjata.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Cress!"
Jarot menjerit kecil tertahan. Walau pun dia berusaha untuk menghindar namun ujung keris lawan lebih cepat lagi bergerak. Masih untung hanya punggungnya yang tergores, sebab kalau saja terlambat sedikit menghindar niscaya keris lawan akan menghunjam di punggung kirinya menembus ke jantung.
"Keparat...!" makinya. Sepasang matanya membesar dengan wajah penuh amarah. Tapi dia tak punya waktu untuk berlama-lama, Begitu menjejakkan kaki, pada saat itu pula pengeroyoknya yang lain menyerbu. Terpaksa ia mempertahankan selembar nyawanya lebih dulu mati-matian. Nasib keduanya seperti telah ditentukan bahwa mereka tak akan bisa bertahan lama. Dalam dua jurus di muka keduanya pasti tewas ditembus senjata-senjata lawan.
Sebenarnya letak Pulau Angsa, bahkan Telaga Sarangan sendiri Bayu masih asing. Namun setelah bertanya ke sana ke mari akhirnya tempat itu ditemuinya juga. Dengan bantuan sebatang kayu yang agak lebar, Bayu menjadikannya sebagai perahu. Sambil mendayung ia mengerahkan tenaga dalamnya hingga batang kayu itu berjalan dengan cepat ke tengah pulau. Dan pandangannya yang tajam melihat puluhan ikan-ikan besar berenang didekatnya. Bahkan beberapa ekor ikan dengan beraninya menggoyang-goyangkan batang kayu itu.
"Uts! Sialan!" maki Bayu sambil menjaga keseimbangan tubuhnya. Namun ikan-ikan itu agaknya semakin berani saja. Melihat bahwa kayu yang digunakan Bayu sebagai perahu mereka goyangkan, makin banyak saja ikan-ikan itu mengerubutinya dan menggoyang-goyangkan batang kayu itu.
"Bangsat! Hih, terima bagianmu ikan sialan!"
"Prak!"
Kayu kecil di tangan Bayu yang digunakannya sebagai pendayung diayunkan menghantam beberapa ekor ikan didekatnya. Suara kecipak air bergolak deras. Beberapa ekor menggelepar-gelepar dengan luka yang cukup parah. Bau darah mereka ternyata mengundang selera kawan-kawannya yang lain untuk memalingkan perhatian. Dalam sekejap ikan-ikan yang menjadi korban pendayung Bayu menjadi korban kawan-kawannya sendiri.
"Dasar binatang!" maki Bayu sambil mengayuh batang kayu itu ke tepi telaga. Pada jarak demikian telinganya mendengar suara pertarungan yang diperkirakan tak jauh dari tepi telaga. Penglihatannya yang tajam mampu memandangi siapa yang bertarung itu.
"Astaga, si Pendekar Bambu Kuning dan muridnya!"
Melihat itu tangannya lebih cepat mengayuh. Tiren yang sejak tadi melihat kebuasan ikan-ikan di tempat itu, bergidik ngeri dan diam seribu bahasa di pundak tuannya itu.
"Hup!"
Bayu melompat ke daratan. Tak seorangpun yang memperhatikannya. Dilihatnya pada saat itu Ki Dharmasutra serta muridnya dalam keadaan terdesak dan nyawa mereka di ujung tanduk. Bayu mengibaskan tangannya. Detik itu juga mendesing benda berwarna keperakan menerpa para pengeroyok itu.
"Trak!"
"Cress!"
"Aaaa...!"
Semua yang berada di situ langsung memalingkan muka.
"Pendekar Pulau Neraka!" desis Ki Sapan Oyot yang lebih dulu mengenali senjata Cakra Maut yang masih mendesing-desing mencari korban barunya lagi. Sebelum senjata itu memakan korban lebih banyak lagi, orang tua bongkok itu cepat bertindak.
"Clutak Anglira, bawa anak buahmu untuk menyingkirkannya! Dan kau Walukarnawa tinggalkan lawanmu dan bereskan pemuda itu."
Seorang bertubuh besar seperti Walukarnawa langsung mengajak beberapa orang yang mengenakan pakaian kuning-kuning menghadang si Pendekar Pulau Neraka. Orang inilah yang dipanggil Clutak Anglira. Dahinya botak dan sepasang matanya juling. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat terbuat dari baja hitam, dan ujungnya terlihat sebuah golok yang berukuran besar. Orang ini dalam jajaran tangan Hantu Bukit Angsa termasuk orang kedua setelah Ki Sapan Oyot.
"Hmm, kau rupanya yang bernama Pendekar Pulau Neraka. Ingin kulihat sampai di mana kehebatan orang yang namanya menggetarkan rimba persilatan belakangan ini," dengus Clutak Anglira.
Dia memang tak mengenal Bayu sebelumnya. Orang ini adalah bekas perompak yang jarang berada di daratan. Ketika melihat bahwa kepandaiannya cukup tinggi, maka Hantu Bukit Angsa pun mengambilnya menjadi anak buah. Tentu saja bukan dengan cara-cara baik-baik, melainkan mengalahkannya dalam pertarungan, lalu mencekokinya dengan ramuan yang membuat orang lupa akan segalanya selain patuh pada perintah Hantu Bukit Angsa.
"Anjing-anjing Hantu Bukit Angsa seperti kalian memang sepatutnya mampus!" balas Bayu sambil mengibaskan tangan kanannya sehingga Cakra Mautnya yang tadi melayang kembali ke pergelangan tangannya dengan cepat.
"Jangan banyak omong kau bocah. Terimalah kematianmu!"
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi Clutak Anglira bersama anak buahnya yang dibantu Walukarnawa langsung menyerang Bayu dengan ganas dan bernafsu sekali. Tak heran bila mereka bersikap demikian. Hantu Bukit Angsa memang sangat menginginkan sekali kematian si Pendekar Pulau Neraka. Dan bila mereka berhasil melakukan itu agaknya bakti mereka akan lebih mulia pada Hantu Bukit Angsa.
Sementara itu melihat lawan semakin berkurang, Ki Dharmasutra dan Jarot bangkit kembali semangatnya. Lebih-lebih saat melihat kehadiran Pendekar Pulau Neraka di tempat itu. Tapi kalau berharap lawan mereka menjadi lemah, dugaan mereka salah. Sebab begitu Walukarnawa dialihkan perhatiannya pada si Pendekar Pulau Neraka, maka saat itu pula Ki Sapan Oyot memerintahkan tokoh-tokoh lain yang masih termasuk dalam jajaran tangan kanan Hantu Bukit Angsa untuk menghabisi si Pendekar Bambu Kuning dan muridnya. Dan sebagai tangan kanan, sudah jelas kepandaian mereka tak rendah.
Bayu sendiri mengetahui bahwa dia telah berhadapan dengan orang-orangnya Hantu Bukit Angsa, bertindak tak kepalang tanggung. Cakra maut di tangannya melesat begitu tangan kanannya terkibas ke atas. Beberapa orang pengeroyoknya menjadi korban dan tewas dengan cara yang mengerikan. Tapi Cakra Maut itu terus mendesing mencari korban selanjutnya selagi Bayu sibuk menghindari serangan-serangan maut Clutak Anglira dan Walukarnawa serta anak buahnya.
"Hiyaaa...!"
"Bughk!"
"Prak!"
"Aaaa...!"
Di antara kelebatan senjata lawan, kedua tangannya masih sempat menghantamkan pukulan mematikan yang membuat beberapa orang pengeroyoknya menjerit setinggi langit sambil berkelojotan.
"Nguk! Nguuk!" Tiren pun agaknya terangsang gairahnya untuk menghajar lawan melihat Bayu sibuk bertarung dalam suasana yang ramai itu. Dia nemplok di kepala salah seorang dan mengorek biji mata lawannya. Karuan saja orang itu menjerit-jerit kesakitan. Begitu seorang temannya membabatkan pedang, Tiren melompat cepat ke kepala yang lain dan pedang itu terus menghantam kening temannya tadi.
"Aaaa...!"
"Bagus, Tiren! Bagus!" puji Bayu sambil tertawa lebar melihat lawannya menghajar kepala temannya sendiri. Orang itu terkejut dan merasa bersalah. Pada saat itu kaki kanan Bayu dengan cepat menghajar dagunya
"Mampus!"
"Kraaak!"
"Aaaakh...!"
Tubuh orang itu terlempar sejauh tiga tombak dengan rahang pecah. Dia cuma bisa menjerit kecil, dan tiba di tanah dengan nyawa melayang. Batok kepalanya terkulai menandai tulang lehernya yang patah. Sebentar saja di tempat itu terjadi banjir darah hebat akibat amukan Pendekar Pulau Neraka dan Cakra Mautnya. Hingga tinggal tersisa Walukarnawa dan Clutak Anglira yang masih penasaran.
"Ke sini babi-babi busuk! Biar ku sate. tubuh kalian yang buntal itu!" ejek Bayu.
"Keparat!" Clutak Anglira dan Walukarnawa menyerang berbarengan.
Saat itu juga Ki Sapan Oyot memerintahkan orang-orang yang mengeroyok si Pendekar Bambu Kuning dan muridnya agar membantu menghabisi si Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat-keparat busuk! Majulah kalian semua!" bentak Bayu garang. Tangan kanannya terkibas ke atas, dan Cakra Maut kembali melesat.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Trass!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Kali ini Bayu betul-betul memuncak amarahnya. Bukan saja ia merasa dirinya terancam hebat, namun saat itu juga Ki Sapan Oyot mencari sela untuk mengirim pisau-pisau beracunnya ke arah Pendekar Pulau Neraka. Tadinya Bayu tak mengira bahwa pisau itu beracun. Refleknya bekerja hanya untuk menghindari luka. Namun ketika beberapa buah pisau itu menancap pada korban lain, reaksinya sungguh hebat. Orang itu berteriak-teriak histeris. Sekujur tubuhnya memerah seperti kepiting direbus dan dari mulutnya keluar busa bercampur liur berwarna kuning kehitaman. Orang itu tewas beberapa saat kemudian.
"Dasar iblis keparat! Agaknya kalian ingin betul mencabut nyawaku. Hiyaaa...!"
Dengan mengerahkan tenaga dalam hampir sepenuhnya, gerakan Bayu bukan saja cepat tapi juga kuat. Desir angin tubuhnya berkelebat bukan main hebatnya seperti sapuan angin badai topan. Begitu juga halnya gerakan Cakra Maut yang semakin tak tertahankan oleh lawan-lawannya.
"Trass!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Tiga orang kembali menyusul temannya terkena hantaman tinju kanan dan tendangan Bayu. Satu di perut hingga orang itu terangkat tinggi satu tombak dengan darah muncrat dari mulut. Dua orang lagi masing-masing terkena hajaran di dada hingga tulang rusuknya melesak ke dalam, dan sisanya di dada sebelah kiri hingga jantungnya pecah dihimpit tulang rusuknya yang patah.
"Hiyaaa...!" Bayu mengibaskan tangan kanan, dan saat itu Cakra maut melesat ke arah Walukarnawa. Orang itu berusaha menangkis dengan golok besarnya.
"Trak!"
"Crab!"
"Aaaakh!"
Tubuh tinggi besar itu sempoyongan sambil mendekap dada. Golok besarnya patah menjadi dua, dan Cakra Maut terus menghantam dada sebelah kirinya hingga menembus punggung.
"Haiiit...!"
"Uts, ha...!"
Bayu cepat berkelit ketika ujung sebuah keris di tangan seorang pemuda yang dianggapnya memiliki kepandaian lumayan nyaris menembus dada. Tangan kirinya cepat menangkap pergelangan lengan lawan, dan tangan kanan balik menghajar dada kiri pemuda itu.
"Begkh!"
"Akh...!"
Walau terlihat pelan sesungguhnya pukulan itu mengandung tenaga dalam kuat. Pemuda itu nampak tersedak menjerit tertahan. Tubuhnya mencelat satu tombak dengan darah kental memuncrat dari mulutnya. Nyawanya tak tertolong lagi setelah tubuh menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong. Dalam beberapa kejap saja terlihat sisa-sisa anak buah Hantu Bukit Angsa tinggal beberapa orang saja termasuk Clutak Anglira dan Ki Sapan Oyot. Melihat itu Ki Sapan Oyot langsung turun tangan menyerang Bayu. Tubuhnya melompat ringan bagai seekor Walet menyambar kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"
"Trak! Trak!"
Sambil melayang begitu Ki Sapan Oyot masih sempat melepaskan pisau-pisau beracunnya. Namun semuanya rontok dihantam Cakra maut Pendekar Pulau Neraka. Ki Sapan Oyot menggeram marah. Pada saat yang bersamaan permainan tongkat Clutak Anglira semakin menggila saja menyerang pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Bet!"
Untuk ke sekian kalinya Bayu berhasil menghindar dari serangan lawan. Sambil menundukkan kepala menghindari tamparan Ki Sapan Oyot, tubuhnya mencelat bagai seekor katak menghindari sabetan tongkat Clutak Anglira dan langsung menghantamkan tinju ke dada Ki Sapan Oyot.
"Plak! Plak!"
"Ughk...!"
Bayu tersentak kaget begitu merasakan tenaga dalam lawan saat orang bongkok itu menangkis serangannya. Tenaga dalamnya kuat dan belum tentu berada di bawahnya. Tangannya bukan saja kesemutan, tapi juga terasa ngilu.
Sementara itu melihat aksi si Pendekar Pulau Neraka, Ki Dharmasutra dan Jarot, muridnya tak mau tinggal diam. Mereka pun ikut menghajar lawan-lawan pemuda itu. Dan ketika lawan terakhir tewas, keduanya langsung berhadapan dengan Clutak Anglira sehingga Pendekar Pulau Neraka merasa agak ringan menghadapi lawannya.
"Hmm, ternyata benar apa yang diberitakan orang. Nama Pendekar Pulau Neraka bukan hanya omong kosong belaka. Kau cukup berisi. Bocah!" puji Ki Sapan Oyot jujur.
"Kau pun sungguh hebat, orang tua. Sayang jalanmu sesat, kalau tidak aku akan senang sekali bersahabat denganmu."
"Kau tak akan mengerti apa-apa soal balas budi, beda denganku. Setitik budi orang harus dibalas meski nyawa taruhannya. Apalagi harus memikul segunung budi orang lain... nyawaku bukan apa-apa. Walau perintahnya bertentangan dengan hatiku bukan masalah."
"Pada siapa kau berhutang budi? Pada Hantu Bukit Angsa?"
"Betul. Dia pernah menolongku saat orang-orang mengejek dan menganiayaku, dan mengajariku ilmu silat. Budinya sebesar gunung. Nah, tak usah banyak omong lagi, Bocah. Kau harus mati saat ini juga."
"Hiyaaa...!"
"Siiing!"
Beberapa buah pisau beracunnya kembali melesat. Namun seperti tadi, rontok kembali dipapas Cakra Maut. Senjata itu terus melesat menyerang Ki Sapan Oyot. Tapi orang tua itu dapat menghindar dengan gesit. Bahkan mampu balas menyerang Bayu.
"Splak!"
"Uts!"
Tamparan tangan kanannya yang melayang ke arah batok kepala pemuda itu ditangkis oleh Bayu dengan tangan kanannya. Kembali Bayu merasa tangannya linu. Namun demikian lawan masih mampu melepaskan serangan berikutnya lewat tangan kiri ke dada Bayu. Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuh. Kaki kanannya terayun menyapu perut lawan. Dengan beraninya Ki Sapan Oyot memapaki dengan tangan kanannya menghantam tulang kering. Bayu buru-buru menarik kakinya dan berganti kaki kirinya yang menyapu kepala si tua bongkok itu.
"Wuuut!"
"Haiiit...!"
Walau pun mampu menghindari serangan Bayu, Ki Sapan Oyot perlahan-lahan agak kerepotan juga karena Cakra Maut lawan selalu melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Sedikit saja salah berkelit, niscaya tubuhnya akan robek dihantam senjata itu.
"Akh!"
Clutak Anglira menjerit ketika ujung pedang Ki Dharmasutra berhasil menggores punggungnya. Tapi di pihak mereka pun mendapat balasan karena dengan tiba-tiba ujung tongkatnya yang merupakan golok berhasil membabat sebelah kaki Jarot yang terlambat menghindar.
"Aaaa...!"
"Tabahkan hatimu, Jarot! Jangan perlihatkan pada mereka sedikit pun rasa gentar!" kata Ki Dharmasutra.
Jarot menggigit bibir menahan rasa sakit. Walau pun berkaki satu namun gerakannya masih cukup gesit meski ia harus menggempos tenaga lebih banyak agar tubuhnya enteng saat menyerang dan menghindar. Dan kali ini dilihatnya pula gerakan pedang gurunya semakin menggila. Agaknya ia mulai menyadari bahwa gurunya mulai tak memperhitungkan pertahanan diri lagi namun mengerahkan segenap perhatiannya dalam penyerangan. Hal itu memang terlihat hebat, namun sekali mendapat balasan dari lawan, kecil kemungkinannya untuk tidak terluka.
Sementara itu pertarungan antara si Pendekar Pulau Neraka dan Ki Sapan Oyot telah berlangsung pada puncaknya. Keduanya saling mengerahkan segenap kepandaiannya untuk menjatuhkan lawan. Tapi melihat keadaan sebenarnya, Ki Sapan Oyot boleh dibilang tak menguntungkan. Selain berhadapan dengan Pendekar Pulau Neraka, ia pun mesti memperhitungkan Cakra Maut yang sejak awal tadi terus mengejarnya.
"Hiyaaaa...!"
"Plak!"
"Bughk!"
"Hughk...!"
Dalam satu kesempatan Bayu kembali mengibaskan tangan kanan, dan detik itu juga Cakra Maut yang baru melekat ke pergelangan tangannya, kembali melesat cepat menghantam leher Ki Sapan Oyot tanpa diduga oleh lawan sama sekali. Di belakangnya Bayu mengikuti dengan tangan terkepal siap menghajar batok kepala lawan. Ki Sapan Oyot berhasil menghindari Cakra Maut, namun ia tak punya kesempatan mengelak dari tinju kanan Bayu selain menangkisnya secara untung-untungan.
Namun secara tak disangka Bayu menarik kembali tangan kanannya dan menghantam tinju kiri ke dada lawan dengan telak. Ki Sapan Oyot menjerit kecil. Tapi kaki kirinya sempat menghajar perut Bayu. Keduanya terhuyung-huyung ke belakang dengan darah menetes di ujung bibir. Pada saat itulah Cakra Maut yang pada serangan pertama dapat dielakkan, berbalik menyerang orang tua bongkok itu, dan dengan cepat menyambar leher kembali.
"Cress!"
"Aaaa...!"
Ki Sapan Oyot cuma bisa menjerit tertahan ketika batok kepalanya menggelinding. Tubuh tanpa kepala itu meregang sesaat sebelum ambruk dan tak bergerak lagi selamanya. Tak berapa lama setelah itu terdengar jeritan setinggi langit ketika ujung pedang Ki Dharmasutra kembali merobek perut lawan. Jarot tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Goloknya langsung menghunjam kejantung lawan.
"Crab!"
"Aaaa...!"
Clutak Anglira tumbang, sepasang matanya melotot dan wajahnya mati penasaran. Ki Dharmasutra dan Jarot belum sempat menghela nafas lega ketika satu bayangan menyambar ke arah Pendekar Pulau Neraka.
"Tuan Pendekar, awas!" teriak Jarot memperingati.
Bayu yang saat itu sedang duduk untuk menetralisir aliran darahnya yang sempat kacau, buru-buru menggulingkan tubuh. Bayangan kecil yang menyambar ternyata berasal dari seekor burung jalak dengan bulu keemasan. Tapi detik itu juga pendengarannya yang tajam merasakan desiran angin halus kembali menyambar ke arahnya. Dengan sisa tenaganya Bayu mengibaskan tangan kanannya, Cakra Maut kembali mendesing memapaki serangan lawan.
"Wusss...!"
Serangkum angin kencang menerpa dan membuat senjata maut itu tertahan beberapa saat lamanya. Tapi saat itu juga tubuh Bayu melentik ke belakang dan menarik pulang Cakra Mautnya. Sesosok tubuh tinggi kurus berdiri tegak tak jauh di depannya. Sepasang matanya lebar dan besar dengan hidung pesek dan rambut pendek yang kaku. Bibirnya tipis dan mulutnya lebar agak mancung. Orang itu tak mengenakan baju hingga terlihat tulang-tulang rusuknya yang bertonjolan. Dia pun hanya mengenakan celana pendek lusuh. Sementara burung jalak tadi telah bertengger di pundaknya.
"Hmm... jadi kaukah yang bergelar Pendekar Pulau Neraka?" tanyanya dengan suara dingin.
"Begitulah. Apakah kau Hantu Bukit Angsa?"
"Ha ha ha...! Tak ada duanya Hantu Bukit Angsa. Akulah orangnya. Sungguh hebat kepandaianmu, Bocah. Anak buahku habis sudah kau bantai. Tapi kali ini tiba giliranmu untuk melengkapi jumlah mereka."
Selesai berkata demikian tubuh Hantu Bukit Angsa melesat seringan kapas tertiup angin ke arah Bayu. Bayu bersiaga penuh. Kalau saja Ki Sapan Oyot memiliki ilmu tinggi, apalagi gurunya ini, pikirnya. Berpikir begitu, Bayu tak bermaksud untuk memapaki serangan lawan, melainkan berusaha menghindar. Tapi gerakan Hantu Bukit Angsa betul-betul gila. Bayu belum sempat menghindar, tangan kanan lawan telah terarah ke dada.
Mau tak mau si Pendekar Pulau Neraka terpaksa menangkis serangan dengan telapak tangan kanannya.
"Plak!"
"Hughk!"
Bayu tersentak ke belakang dengan tubuh sempoyongan. Pukulan lawan bukan saja membuat tangannya linu, tapi juga seperti menghantam dadanya dengan keras. Sudut bibirnya kembali meneteskan darah kental. Wajah Bayu nampak pucat menahan nyeri. Tapi pada saat itu juga tubuh Hantu Bukit Angsa melesat kembali ke arahnya dengan satu serangan mematikan.
"Hiyaaa...!"
Pada saat-saat yang kritis itu Ki Dharmasutra nekat melompat menyerang Hantu Bukit Angsa untuk menyelamatkan si Pendekar Pulau Neraka. Padahal sebenarnya hal itu tak perlu sebab Bayu telah mengibaskan tangan kanannya, dan detik itu juga Cakra maut melesat ke arah lawan.
"Hup!"
"Prak!"
"Akh...!"
Dengan gerakan manis Hantu Bukit Angsa mencelat ke atas menghindari sambaran Cakra Maut, kemudian menukik tajam ke arah Ki Dharmasutra. Entah bagaimana ia melakukannya, tiba-tiba saja pedang di tangan Pendekar Bambu Kuning itu terpental entah ke mana. Sedang Ki Dharmasutra ambruk dengan leher patah dihantam lawan.
"Eyaaang...!" jerit Jarot melihat keadaan itu. Tanpa memikirkan keadaannya lagi tubuhnya langsung mencelat ke arah Hantu Bukit Angsa sambil membabatkan golok. Pada saat yang bersamaan tubuh Bayu pun mencelat menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Buk! Buk!"
"Akh!
Dua pukulan beruntun terdengar. Satu mendarat di perut Jarot, dan satu lagi di paha kanan Bayu yang dilakukan Hantu Bukit Angsa. Tapi Bayu pun berhasil mengayunkan kaki kirinya ke dada lawan. Ketiganya mengeluh kesakitan. Namun yang menderita lebih parah adalah Jarot. Pemuda itu terlempar dua tombak dan darah segar keluar dari mulutnya. Dia menggelepar-gelepar dalam keadaan antara hidup dan mati. Pukulan Hantu Bukit Angsa tadi rupanya cukup meremukkan isi perutnya.
"Hup, yeaaaah...!"
Bayu kembali mengibaskan tangan kanannya. Cakra Maut melesat ke arah Hantu Bukit Angsa disusul dengan tubuhnya yang langsung mencelat ke arah lawan. Tapi pada saat itu pula burung jalak si Hantu Bukit Angsa menyambar ke arahnya. Bayu terpaksa berkelit merasakan sambaran paruh hewan itu yang ganas.
"Nguk! Nguuk!"
"Bagus Tiren!" pujinya ketika melihat Tiren turun tangan membantunya.
Tiren memang tak bisa terbang untuk mengejar burung itu, tapi ia cerdas dan tangkas, dan juga bertenaga kuat. Diambilnya kerikil-kerikil dan disambitnya ke arah burung itu berkali-kali agar tak mengganggu Tuannya yang sedang bertempur.
"Hati-hati, Tiren! Hewan itu beracun!"
"Nguk! Nguuk!"
Sementara itu sambaran Cakra Maut berhasil dihindari Hantu Bukit Angsa. Dia sendiri langsung memapaki serangan Bayu.
"Plak!"
"Hughk!"
Kembali pukulan mereka beradu, dan Bayu semakin merasakan dadanya bertambah nyeri.
"Cress!"
"Akh!"
Kali ini Hantu Bukit Angsa menjerit kecil ketika Cakra Maut berbalik menyerangnya kembali. Agaknya ia pun merasakan nyeri di dada akibat benturan tenaga dalam lewat pukulan tadi sehingga gerakannya menjadi lamban.
"Hiyaaa...!"
Bayu mengibaskan tangan kanannya. Gerakan Cakra Maut itu semakin gesit mengejar lawan.
"Cress! Cress!"
"Aaaa...!"
Hantu Bukit Angsa mengeluarkan jeritan panjang agak tertahan. Ia cuma bisa menghindar sekali saja dari sambaran Cakra Maut itu. Ketika benda itu berbalik menyambar perutnya hingga robek, orang itu terpekik nyaring. Dan Cakra Maut berbalik menyambar lehernya hingga putus. Riwayat Hantu Bukit Angsa tamat seketika!
Bayu menghela nafas lega. Cakra Maut itu telah kembali di pergelangan tangannya. Ia merangkak pelan memeriksa keadaan Jarot. Tapi pemuda itu ternyata sudah tewas. Kembali Bayu menghela nafas pendek sebelum meninggalkan pulau itu dengan langkah tertatih. Sekilas ia membalikkan tubuh dan melihat tempat itu yang dipenuhi mayat-mayat sekali lagi. Kemudian dia berbalik dan tak menoleh lagi ke belakang.
"Tuan Pendekar...!" jerit seorang gadis berbaju merah berlari-lari kecil dari arah depan pintu istana Hantu Bukit Angsa. Bayu tersentak kaget.
"Sekar Tanjung..." desisnya. "Ke mana Sekar Harum?" tanyanya ketika gadis itu telah mendekat.
"Dia... dia bunuh diri karena malu telah ternoda oleh Hantu Bukit Angsa...."
"Astaga...."
Untuk sesaat Bayu termenung sendiri dengan wajah geram. Namun melihat gadis itu muram dan sedih, buru-buru dia membujuknya. Gadis itu menumpahkan kesedihan hatinya di dada bidang Pendekar Pulau Neraka sebelum mereka meninggalkan tempat itu.
Di ujung sana matahari mulai tenggelam, dan burung malam mulai keluar dari sarangnya. Esok kembali muncul dan sembunyi, seperti dendam dan kebencian, di dunia ini!
"Nguuk!"
Tiren yang telah membinasakan lawannya mengangguk di pundak Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu menepuk-nepuk kepala monyet kecil itu sambil tersenyum lebar.
Episode Berikutnya Iblis Pulau Hitam