Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Irama pencabut nyawa
Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode Irama pencabut nyawa
Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hari belum lagi gelap ketika Bayu tiba di sebuah desa. Dari papan nama yang terpampang di perbatasan dia mengetahui bahwa desa ini bernama Jaranan. Tapi sungguh aneh, dari pertama tiba dia tak melihat satu manusia pun berkeliaran. Desa ini sepi seperti tak berpenghuni. Obor-obor yang biasanya menyala didepan rumah belum menyala. Pemuda berambut gondrong itu mengerutkan dahi melihat suasana itu.
"Hmmm... kenapa desa ini? Apakah tidak berpenghuni?" tanya Bayu di dalam hatinya.
"Nguuuk."
"Apakah kau yakin desa ini tak berpenghuni, Tiren?" tanya Bayu sambil berpaling menatap Tiren.
Monyet kecil berbulu hitam yang sejak tadi berada di pundaknya berteriak pelan. Namun agaknya Bayu telah mengerti betul arti dari suaranya itu.
"Ya, kau benar. Aku pun merasakan bahwa mereka sepertinya sedang dilanda ketakutan. Tapi apakah karena kedatangan kita?"
"Nguk! Nguk!"
"Hmm..., tidak mungkin. Kalau pun mereka takut itu pasti karena melihat tampangmu yang lucu!" goda Bayu sambil tersenyum melirik sahabat kecilnya.
Monyet kecil itu agaknya mengerti bahwa Bayu menggodanya. Tangannya langsung menjewer telinga Pendekar Pulau Neraka.
"Hei, jangan keras-keras! Telingaku bisa copot nanti!" teriak Bayu sambil terkekeh.
"Kaaak...!"
"Ha ha ha ha...!"
"Nguk! Nguk!"
Tiren tampak bersungut-sungut sambil melepaskan jewerannya. Bayu masih terkekeh. Tapi tiba-tiba wajahnya berubah serius ketika mendengar tangis bayi dari salah satu rumah.
"Kau dengar, Tiren? Sepertinya ada suara tangis bayi. Coba kita ketuk pintu rumahnya. Siapa tahu mereka mau berbaik hati memberikan tumpangan menginap buat kita," kata Bayu sambil melangkah pelan ke arah suara tangis bayi yang didengarnya tadi.
Dari luar terlihat cahaya penerangan dari dalam rumah yang baru saja dinyalakan. Masih terdengar suara sang ibu yang berusaha mendiamkan bayinya yang semakin rewel. Bayu berdiam diri beberapa saat menunggu suasana reda. Tapi yang ditunggu tak kunjung tiba. Tangis bayi itu semakin keras.
"Diamkan anakmu! atau kau ingin si keparat itu menuju ke sini?" terdengar bentakan dari dalam.
"Iya, iya... aku juga sedang mendiamkannya. Kenapa kau sekarang jadi pemarah begitu?"
"Apakah kau ingin kita semua celaka...?"
"Kenapa musti begitu? Kita tak punya sesuatu yang bisa diambilnya."
"Jangan banyak bicara, Karsih! Semua orang mengetahui bahwa si keparat itu tak memilih-milih bulu.
Sekarang kau bisa mendiamkan anakmu atau kita menjadi pusat perhatiannya?"
Tak terdengar sahutan dari suara perempuan tadi selain suara bujukan yang ditujukan pada bayinya. Bayu jadi tak enak hati untuk mengetuk pintu rumah itu. Dia ingin berbalik namun kakinya tersandung bangku kecil.
"Brak!"
"Siapa...?!"
Terdengar bentakan dari dalam. Bayu sengaja tak menyahut dan menempelkan telunjuk ke bibir untuk memberi isyarat pada sahabat kecilnya yang bernama Tiren untuk tidak mengeluarkan suara.
"Sebaiknya kita buru-buru saja meninggalkan rumah ini," bisiknya sambil melangkah pelan.
"Bedebah! Jangan kira kami takut padamu. Ayo, tunjukkan dirimu di hadapanku!"
Tiba-tiba saja pintu terbuka dan dari dalam keluar seorang laki-laki berusia muda menggenggam golok di tangan. Wajahnya terlihat garang penuh kemarahan. Bayu terkesiap tak sempat menghindar. Dia hanya bisa menggerakkan tangan sambil tersenyum berusaha menjelaskan.
"Maaf Kisanak, kami tak bermaksud mengganggu ketenangan kalian. Tadinya kami bermaksud menumpang menginap tapi karena suasananya mungkin tidak mengijinkan, baiklah kami pergi saja..."
"Huh? Siapa yang percaya pada mulut manismu? Di depan kau katakan akan pergi. Tapi di belakang kau akan membokong diam-diam!"
"Ki sanak, harap tidak menuduhku yang bukan-bukan. Kami berdua sama sekali tak bermaksud buruk...."
"Phuih! Kau kira aku takut padamu? Orang-orang boleh takut padamu tapi jangan harap padaku. Walau kau bermulut manis sekalipun aku tak perduli. Hari ini biar kita tentukan, kau atau aku yang akan mampus!"
Setelah berkata begitu, pemuda tadi langsung menyerang Bayu.
"Yeaaah...!"
"Uts! Sabar, Ki sanak. Sabar...."
"Telah cukup lama kami bersabar tapi kali ini tidak lagi!"
"Ada persoalan apa sebenarnya?" tanya Bayu sambil berkelit menghindari serangan orang itu yang membabi buta.
"Phuih! Masih bisa juga kau berkelit dari perbuatan terkutukmu dengan berpura-pura bodoh. Tanyakan nanti pada setan-setan di neraka sana!"
Bayu menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap orang itu. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja dia diserang dan dituduh macam-macam. Tentu saja pemuda yang bergelar Pendekar Pulau Neraka terheran-heran.
Melihat dari gerakan orang itu agaknya dia memiliki sedikit kepandaian ilmu silat. Tapi dari beberapa gerakan saja Bayu cepat menyadari bahwa kepandaian pemuda itu tak seberapa. Lebih-lebih saat dia sedang kalap seperti sekarang. Gerakannya tak teratur, sehingga dalam satu kesempatan mudah saja bagi Bayu untuk menangkis serangan-serangannya.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Bet!"
"Maaf, Ki sanak. Aku tak bermaksud mencelakaimu tapi golokmu ini bisa menimbulkan korban, sebaiknya jangan kau pergunakan," kata Bayu sambil menangkap pergelangan tangan lawan dan menarik senjata pemuda itu hingga terlepas dari genggaman.
"Yeaaah...!"
Walau goloknya telah berpindah ke tangan Bayu dan pergelangan tangannya ditangkap si Pendekar Pulau Neraka, pemuda itu bukannya takluk dan menyerah. Kepalan tangan kirinya langsung menghajar Bayu.
Melihat hal itu bukan main geramnya Pendekar Pulau Neraka. Sambil memiringkan tubuh, tangan kanannya cepat menangkis. Dan sebelah kakinya langsung menyapu kaki lawan. Tak ampun lagi, pemuda itu terbanting dengan keras.
"Gusrak!"
Sambil mengeluh pelan dia berusaha bangkit. Bersamaan dengan itu seorang perempuan muda berwajah cantik berlari dari arah dalam. Sambil menggendong bayi dalam pangkuannya, wanita itu menjerit dengan wajah cemas.
"Oh, Kakang...! Apa yang terjadi padamu...?!" Wanita itu begitu cemas sampai dia berteriak dengan suara yang agak keras dan memilukan hati.
Padahal pemuda yang tak lain dari suaminya tidak mengalami cedera berat. Entah karena suaranya tiba-tiba saja beberapa penduduk desa keluar dari rumah sambil menghunus senjata di tangan. Wajah mereka terlihat garang memandang ke arah Bayu. Salah seorang coba meyakinkan pemuda yang tadi berhadapan dengan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau tidak apa-apa, Kardi?
***
"Syukurlah kalian cepat datang. Aku tidak apa-apa."
"Hmm..., Ki sanak Kalau kau bermaksud jahat terhadap orang-orang di desa ini pergilah cepat sebab kami tak sudi kau perlakukan sesuka hatimu," kata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dengan suara dingin.
Bayu semakin tak enak hati saja melihat suasana itu. Dipandanginya mereka sekilas, dan tak satu pun dari wajah-wajah itu yang menunjukkan sikap bersahabat. Semuanya berwajah geram dan penuh kegarangan. Rasanya bila ada satu perintah yang keluar dari mulut seseorang maka laksana air bah mereka akan menyerbu ke arahnya.
"Ki sanak, kejadian ini barangkali cuma salah paham. Kedatanganku ke sini sama sekali tak bermaksud buruk."
"Dusta! Dia telah mencelakakan Kang Kardi!" bentak wanita yang sedang menggendong bayinya itu dengan wajah sengit.
"Kalau aku bermaksud mencelakakan dirinya, apakah suamimu bisa bangkit lagi, Nyai?" tanya Bayu dengan suara lunak.
"Huh! Kau hanya berpura-pura saja! Melihat dirimu telah terkepung maka nyalimu berubah ciut. Tapi hari ini jangan harap mereka percaya dengan mulut manis mu!"
Bayu menghela nafas pendek. Tuduhan wanita itu sungguh tidak beralasan sama sekali selain dari fitnah yang ingin dilontarkan pada dirinya. Lagipula bila dia terus menjawab dan berusaha mengelak, keadaan akan semakin keruh. Dan bisa jadi tuduhan mereka akan semakin kuat bahwa dia adalah tamu yang membuat malapetaka bagi seluruh penduduk desa ini.
Berpikir begitu Bayu bermaksud membalikkan tubuh. Namun bersamaan dengan itu beberapa orang pemuda desa bergerak mengepungnya dengan sikap mengancam.
"Kisanak, aku telah jelaskan bahwa ini cuma salah paham belaka kenapa harus dibuat menjadi begini? Kedatanganku ke sini cuma bermaksud menumpang menginap tapi ternyata mereka salah paham, dan aku sama sekali tak bermaksud mencelakai suami wanita ini melainkan untuk membela diri. Nah, karena kehadiranku ternyata tak dikehendaki, ijinkanlah aku meninggalkan desa ini," kata Bayu menjelaskan.
"Hmm... apakah bisa kupercaya kata katamu?" tanya laki-laki setengah baya tadi yang agaknya begitu dihormati oleh orang lain.
"Aku tak memaksamu untuk percaya, Ki sanak. Apa yang kukatakan tadi adalah hal yang sebenarnya," sahut Bayu.
"Ki Sentanu, bajingan ini tak boleh dipercaya! Dia akan membuat keonaran kalau tidak kita adili sekarang juga. Akan banyak lagi korban yang jatuh karena ulahnya. Apakah akan dibiarkan pergi begitu saja...?"
Laki-laki yang dipanggil Ki Sentanu itu menoleh pada wanita yang sedang menggendong bayinya. Kemudian dengan suara lunak dia bertanya.
"Nyi Karsih, sebagai kepala desa aku punya kewajiban untuk menentukan persoalan salah atau tidak menyangkut keamanan desa. Memang betul kita harus curiga pada setiap pendatang asing. Apa lagi sejak kekacauan yang melanda desa tetangga kita belum lama ini. Tapi bukan berarti kita harus menuduh setiap orang yang datang ke desa ini adalah pengacau sebelum melihat bukti yang jelas," jawab Ki Sentanu dengan sikap arif.
Laki-laki yang ternyata adalah kepala desa Jaranan kemudian memalingkan wajah ke arah Bayu.
"Nah, Ki sanak. Sebelum mereka berubah pikiran, sebaiknya cepatlah kau tinggalkan desa ini. Kami tak bermaksud mengusirmu tapi setiap pendatang asing di desa ini patut dicurigai sejak terjadinya peristiwa keonaran di beberapa desa. Terlebih-lebih seorang pemuda sepertimu.
Tadinya Bayu bermaksud ingin minta penjelasan. Namun melihat sikap mereka yang tak bersahabat dia mengurungkan niat dan bermaksud meninggalkan desa itu secepatnya. Belum lagi Bayu berjalan sepuluh langkah sekonyong-konyong terdengar jeritan panjang dari sebuah rumah yang berada di ujung desa. Semua yang berada di tempat itu memalingkan wajah dan melihat kepulan asap dan nyala api yang membakar rumah penduduk.
"Apa kataku! Si keparat ini ternyata tak datang sendiri!" teriak wanita yang sedang menggendong bayi pada Ki Sentanu.
"Tangkap pemuda itu, dan sebagian segera ke sana!" perintah Ki Sentanu cepat.
"Yeaaah...!"
"Mampuslah kau lebih dulu, Keparat!"
Dengan amarah yang meluap beberapa orang penduduk desa yang sejak tadi telah menunjukkan sikap bermusuhan menyerang Bayu, sementara yang lainnya mengikuti Ki Sentanu ke arah kebakaran itu.
"Tunggu! Kalian salah menilai orang." Ucapan si Pendekar Pulau Neraka terputus ketika ujung senjata mereka bertubi-tubi menghantam ke arahnya. Terpaksa Bayu berkelit ke sana ke mari mempertahankan selembar nyawanya. Pemuda berambut gondrong itu bukan main kesalnya melihat sikap orang-orang ini. Namun walau demikian dia sedikit mengerti akan kecurigaan mereka terhadap orang asing, serta kecemasan akan malapetaka yang bakal menimpa meski dia tak mengerti apa itu sebenarnya.
Tapi dia pun tak bisa menghindar terus-terusan dengan cara begini. Walau orang-orang itu sama sekali bukan lawan yang sepadan, lama-kelamaan tentu dia akan kehabisan nafas. Atau paling tidak akan terluka. Lagipula dia bukan termasuk orang yang sabar. Lebih-lebih diperlakukan begitu. Maka dengan kesal Bayu mulai membalas.
"Orang-orang picik tak tahu diri! Kalian kira dengan membunuhku malapetaka tak akan mengganggu kalian lagi? Huh!"
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Duk!"
"Ugkh!"
Sekali Bayu berkelebat, lima buah golok berhasil dirampasnya, dan sebagian lain dihajarnya hingga terlepas dari genggaman Lalu ketika tubuhnya kembali berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, para pengeroyoknya mengeluh kesakitan. Tubuh mereka terpental sambil mendekap perut.
"Kalian uruslah diri kalian sendiri. Aku akan pergi dari sini!" desis Bayu sambil melemparkan golok-golok di tangannya. Pendekar Pulau Neraka itu bermaksud berkelebat dari situ secepatnya. Tapi monyet kecil berbulu hitam yang sejak tadi berada di pundaknya, melompat dan menunjuk-nunjuk sesuatu sambil berteriak.
"Nguk! Nguk!"
"Sudahlah, Tiren. Untuk apa menolong orang yang akan mencelakakan kita. Biar sekalian mereka mampus dimakan api!" dengus Bayu kesal.
"Kaaakh...!"
"Aaaakh...!"
"Tolooong...!"
***
Bayu tersentak kaget. Dalam sekejap kebakaran tadi semakin meluas. Dan orang-orang yang berada di dalam rumah serabutan lari keluar menyelamatkan diri sambil berteriak-teriak ketakutan. Suara itu ditingkahi oleh jerit kematian dan gelak tawa dari segerombolan orang-orang berwajah seram.
"Nguk!"
"Iya, aku tahu dan kali ini biarlah mengalah. Lagipula toh mereka orang-orang desa yang tak memiliki kepandaian apa-apa. Mana mungkin aku bisa membiarkan pembantaian terhadap si lemah terjadi di depan mataku," sahut Bayu ketika monyet kecil sahabatnya menarik-narik tangannya.
"Kaaakh...!" Tiren menjerit senang.
Sambil menggendong sahabatnya, Bayu langsung menggenjot tubuh dengan menggunakan. ilmu lari cepatnya menuju peristiwa yang dilihatnya dari jarak jauh. Apa yang diduganya memang terbukti. Segerombolan orang sedang membuat kekacauan di desa ini. Mereka merampok dan membakar beberapa buah rumah.
Beberapa orang penduduk mencoba mempertahankan hak mereka. Tapi sebagian tewas bergelimpangan darah dihajar gerombolan itu. Sementara di sudut lain terlihat beberapa orang wanita sedang diseret ke balik semak-semak oleh beberapa orang laki-laki berwajah kasar.
"Bedebah laknat! Perbuatan mereka betul-betul seperti binatang!" maki Bayu.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka langsung melompat dan menghajar orang-orang yang hendak melakukan perbuatan mesum terhadap wanita-wanita desa.
"Hiyaaa...!"
"Begkh!"
"Aaa...!"
"Siapa kau?!"
Melihat serangan Bayu yang sangat mengagetkan, tentu saja membuat kawan kawannya yang lain sangat terkejut. Dan sekejap mereka melihat beberapa orang terpental sambil memuntahkan darah dari mulutnya. Salah seorang bertubuh besar yang agaknya kepala gerombolan itu langsung membentak garang.
"Huh! Peduli apa kau tahu siapa aku. Yang jelas aku adalah malaikat maut yang akan menendang kalian ke neraka!" sahut Bayu sambil mendengus sinis.
"Keparat...! Rupanya ada juga orang yang sok berani jadi pahlawan di hadapanku. Hei, bocah! Mungkin kau belum mendengar nama Rampok Sungai Alur. Nah, kamilah orangnya! Sebelum kupecahkan kepalamu dengan gada berduri ku ini, bersujudlah minta ampun. Siapa tahu akan berbaik hati mengampuni jiwamu!" bentak orang bertubuh besar itu sambil mengacungkan senjatanya yang berupa gada berduri berbentuk buah kelapa di ujungnya.
"Ha ha ha ha...! Menyerahlah kau, Bocah. Atau kepalamu akan kami rencah beramai-ramai!" sambut anak buah Rampok Sungai Alur sambil tertawa bergelak.
"Kaaakh...!"
Mendengar itu monyet kecil di pundak pemuda berambut gondrong itu memekik nyaring sambil menjulurkan lidahnya mengejek kawanan Itu.
"Ha ha ha ha...! Kau lihat, Tiren? Wajahmu lebih cantik ketimbang mereka, dan sikapmu lebih baik dari mereka. Kata apakah yang lebih pantas untuk mereka selain dari binatang berujud manusia?" ejek Bayu sambil terkekeh.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mampus, Bocah! Anak-anak, rencah bocah keparat itu!" teriak kepala Rampok Sungai Alur dengan wajah geram.
"Yeaaah...!"
***
DUA
Tanpa membuang waktu lagi kawanan Rampok Sungai Alur langsung menyerang Bayu bertubi-tubi. Tapi dengan gerakan yang sangat mantap sekali, pemuda berambut gondrong yang bergelar Pendekar Pulau Neraka langsung menyambutnya. Terhadap mereka yang jelas-jelas telah menunjukkan niat jahatnya, dan kini malah ingin merencahnya beramai-ramai, tentu saja Pendekar Pulau Neraka tak bertindak setengah-setengah. Kekesalannya yang tadi ditumpahkan pada para pengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
"Begkh!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Dengan gerakan yang begitu cepat dan sulit diikuti oleh pandangan mata biasa, Bayu berkelit dari serangan lawan dan balas menyarangkan pukulan dengan telak. Tak ampun lagi, sekali dia bergerak lima orang anak buah Rampok Sungai Alur terpental sambil memuntahkan darah segar.
"Keparat! Rupanya kau memiliki kepandaian juga, heh...! Pantas berani berlagak di hadapanku. Tapi mengganggu urusan Rampok Sungai Alur kau sungguh gagah, bocah. Aku Weling Ijo yang akan merencah batok kepalamu!" bentak kepala Rampok Sungai Alur itu sambil melompat dan mengayunkan senjatanya.
Bersamaan dengan itu seluruh anak buahnya seperti melupakan tujuan mereka semula dan sudah ikut terjun mengeroyok pemuda itu. Agaknya kemarahan pimpinan mereka yang bernama Weling Ijo membuat
kemarahan mereka pada Bayu semakin bertambah. Dan barangkali juga merupakan isyarat bila Weling Ijo telah menggempur lawan berarti mereka harus mempertaruhkan nyawa demi membuat musuh binasa.
"Yeaaah...!"
"Hiya...!"
Untuk sesaat Bayu agak terkesiap melihat cara mereka bertarung. Serangan-serangan mereka membabi buta tapi tidak menjadikan gerakan mereka kacau balau. Sepertinya serangan itu memang ditujukan untuk penyerangan bersama dan dengan Weling Ijo sebagai ujung tombak yang sangat berbahaya. Terlebih-lebih dengan senjata gada berdurinya yang mengancam keselamatan siapa saja yang menjadi lawannya.
"Sekarang jangan harap kau bisa lari dariku!" dengus Weling Ijo sambil tersenyum sinis melihat Bayu tak berkutik untuk membalas serangan mereka. Tapi kalau Pendekar Pulau Neraka belum membalas serangan gencar itu, bukan berarti bahwa dia tak mampu membalas.
Diam-diam Bayu mengagumi barisan serangan yang mereka lakukan. Begitu teratur dan kompak. Salah seorang menyerang, maka ketika dia menghindar dari serangan balasan Bayu, seorang kawannya telah langsung menyerang dari arah lain. Begitu seterusnya. Kalau saja rata-rata mereka memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi, niscaya tentu Pendekar Pulau Neraka itu akan berhadapan dengan lawan yang amat tangguh.
Namun ilmu silat yang mereka miliki masih jauh di bawahnya. Dan jika ada yang bisa diperhitungkan itu cuma. Weling Ijo, kepala Rampok Sungai Alur. Dan ketika orang bertubuh besar itu mengejeknya demikian, Bayu cuma tersenyum sinis.
"Siapa yang sudi lari darimu? Aku bahkan ingin melihat kalian lari terbirit-birit!" balas Bayu sambil tersenyum tipis seperti mengejek.
"Hiyaaaa...!"
"Sing!"
"Heh! Cakra Maut...?!
Weling Ijo tersentak kaget ketika melihat lawannya mengibaskan sebelah tangan ke atas. Pada saat itu juga melesat sebuah benda bersinar keperakan yang mendesing cepat bagai kilat menyambar kawanan itu.
"Crab!
Crab!"
"Aaa...!"
"Berhenti!" bentak Weling Ijo lantang menggelegar. Kepala Rampok Sungai Alur mendatangi beberapa orang anak buahnya yang tewas disambar senjata maut yang melesat dari tangan pemuda gondrong berbaju kulit harimau itu. Kemudian dengan wajah penuh tanda tanya dia berpaling pada Bayu.
"Ki sanak, siapa kau sebenarnya? Di dunia ini setahuku cuma dua orang yang memiliki senjata itu, yaitu si Cakra Maut yang bernama Gardika, dan belakangan seorang pemuda bergelar Pendekar Pulau Neraka. Melihat usiamu tentu kaulah yang bergelar Pendekar Pulau Neraka. Apakah dugaanku benar?" tanya Weling Ijo dengan suara yang lebih lunak.
"Hmm... sebenarnya aku tak suka menyebutkan nama sekedar untuk pamer. Tapi dugaanmu benar, Weling Ijo. Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu.
"Tak sangka, ternyata kali ini kami terbentur dengan batu cadas. Ki sanak, maafkan kelancangan kami...."
"Ki sanak, maaf... aku tak mengerti ke mana arah pembicaraanmu?"
"Hm... begini. Mengingat nama besarmu, biarlah kami mengalah dan menyudahi urusan sampai di sini...."
"Begitu lebih baik. Aku pun sebenarnya lebih menyukai penyelesaian cara begini...." Namun ketika Weling Ijo mengajak anak buahnya untuk segera berlalu dari tempat itu, salah seorang penduduk desa cepat-cepat membuka suara sambil menatap Bayu. Tapi jelas sekali kalau bicaranya ditujukan pada Weling Ijo.
"Kisanak, orang seperti mereka tak bisa dibiarkan begitu saja. Kalau benar Ki sanak seorang pendekar yang digdaya yang ternama, sudah sepatutnya mencegah perbuatan-perbuatan mereka yang biadab. Kalau mereka dibiarkan pergi, maka akan banyak lagi kekacauan yang mereka perbuat."
Bukan main geramnya Weling Ijo mendengar kata-kata itu. Kalau saja di situ tidak ada Pendekar Pulau Neraka, mungkin tubuhnya akan langsung melompat dan merobek mulut orang itu, tapi kali ini dia cuma berbalik dan menatap Bayu seperti menanti keputusan pemuda berbaju kulit harimau.
"Ki sanak semua, aku tak berhak mengadili orang yang sudah mengadakan perdamaian. Siapakah yang bisa menduga apa yang mereka lakukan esok hari? Belum tentu mereka melakukan kejahatan. Lalu apakah aku harus menghukum orang-orang yang belum kelihatan bersalah? Kurasa hari ini telah cukup. Beberapa orang penduduk desa telah tewas, tapi di pihak mereka pun banyak yang tewas. Dan mereka telah mengembalikan harta benda kalian semua. Kalau mereka mempunyai maksud begitu, bagaimanakah aku harus menghukum? Lagipula bukan kewajibanku untuk menghukum mereka," sahut Bayu.
Tapi jawaban itu ternyata belum memuaskan mereka. Sebagian penduduk masih menggerutu kesal. Saat itulah terdengar suara keras dengan nada-nada bersyair mengalun dari kegelapan cabang-cabang pohon.
***
Wahai, sungguh nikmat kejahatan Yang berampun dengan kecemasan hati semua orang. Kalau kebaikan dibalas dengan kejahatan. Manakah kebaikan dan kejahatan yang terang ?
Semua yang berada di bawah serentak mendongakkan wajahnya ke atas. Pada sebuah cabang pohon yang agak tinggi terlihat seorang pemuda berambut gondrong dengan wajah tampan. Di tangannya terlihat sebuah seruling yang tadi dimainkannya sejenak. Pakaian yang dikenakan indah dan tampaknya terbuat dari sutera halus berwarna kuning bercampur merah.
"Siapa kau, Ki sanak. Dan apa maksud perkataan mu tadi?!" tanya Weling Ijo membentak.
Meski kepala Rampok Sungai Alur itu bukanlah orang pintar, tapi dia tak bodoh. Perasaaannya mengatakan bahwa syair pemuda itu menyindir dirinya.
"Namaku tak penting, Weling Ijo. Yang paling penting saat ini adalah melihat kepengecutan seseorang...." sahut pemuda itu terkekeh kecil.
Bukan main geramnya Weling Ijo. Jelas sudah bahwa kata-kata itu ditujukan kepadanya. Tapi dia masih mampu menahan amarahnya dan coba meredakan suasana.
"Kisanak, di antara kita tak ada persoalan apa-apa. Kalau kau tak punya kepentingan maka kami akan segera berlalu dari sini."
"Ha ha ha ha...! Setelah membuat kerusuhan kalian akan berlalu begitu saja? Kisanak, tanyakan pada semua penduduk desa ini apakah mereka rela melepaskan kalian begitu saja. Kalau mereka tak setuju, biarlah aku mewakili mereka untuk memberi hukuman pada kalian!
Mendengar kata-kata itu, serentak sebagian besar penduduk desa menimpali dan mendukung kata-kata pemuda itu.
"Akuuur...! Mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal!"
"Orang-orang ini harus dibuat mampus!"
"Biang pengacau harus dibasmi sampai habis!"
"Nah, kalian dengar mereka? Ternyata aku harus bertindak sekarang," sahut pemuda itu langsung melesat turun dan mengirim satu serangan ke arah Weling Ijo.
"Bedebah! Kau pikir aku takut padamu? Mampuslah kalau kau ingin mampus lebih dulu!" desis Weling Ijo geram sambil mengelak dan balas menyerang lawan dengan senjata gada berdurinya.
Melihat pertarungan itu Bayu jadi serba salah. Kalau dia membela kawanan Rampok Sungai Alur, sudah jelas itu tidak menguntungkan. Keadaannya akan tersudut. Tapi bila mendukung pemuda itu, hati kecilnya seperti tak bisa membenarkan tindakannya. Bukankah seharusnya orang yang sudah menawarkan niat baiknya harus disambut dengan sikap bijaksana?
Apakah keputusannya tadi kurang bijaksana?
"Ki sanak semua, hal ini tidak akan menyelesaikan persoalan? Kenapa tidak dibiarkan saja mereka pergi dengan damai?" tanya Bayu berusaha memberi penjelasan pada penduduk desa.
"Ki sanak, kalau kau tak sudi menolong kami pergilah sesuka hatimu. Sekarang telah ada orang yang lebih ringan tangan dan mengerti akan kecemasan kami!" sahut salah seorang penduduk desa.
"Betul! Pergilah kau dari sini secepatnya!" sahut yang lain.
Dan beberapa orang penduduk yang lain menimpali dengan nada serupa. Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kesal.
"Mari, Tiren. Agaknya kali ini kita tidak menemukan penduduk desa yang murah hati. Lebih baik kita meninggalkan tempat ini akan lebih baik untuk kita...." kata Bayu sambil menyongsongkan lengan pada monyet kecil berbulu hitam sahabatnya. Tanpa menoleh lagi Bayu langsung berkelebat meninggalkan desa itu.
Sementara itu pertandingan antara pemuda berwajah tampan yang enggan menyebutkan namanya tengah berlangsung alot dengan Weling Ijo. Kepala Rampok Sungai Alur seperti orang kerasukan setan menyerang lawannya bertubi-tubi. Gada berduri di tangannya berkali-kali nyaris membuat tubuh lawan remuk.
Walau demikian tak terlihat sedikit pun bahwa pemuda itu terdesak oleh serangan Weling Ijo. Bahkan dia masih sempat mengejek sambil menghindar dari serangan lawan dengan gerakan gesit.
"Ha ha ha ha...! Weling Ijo, hanya seginikah kemampuanmu? Kau sungguh tak pantas menjadi kepala rampok. Tapi lebih cocok kalau menjadi kepala rombongan banci!"
"Keparat! Ingin kulihat sampai di mana kebisaanmu bocah!" maki Weling Ijo.
Secepat itu pula dia bersuit nyaring. Dan bersamaan dengan itu anak buahnya langsung membuat barisan dan mengeroyok pemuda itu.
"Ha ha ha ha...! Rupanya kau takut mati juga, Laler Ijo? Ayo, kerahkan semua anak buahmu. Kalau masih ada yang bersembunyi, suruh keluar dan serang aku beramai-ramai!" ejek pemuda itu.
Bukan main gusarnya Weling Ijo mendengar ejekan pemuda itu. Lebih-lebih saat dirinya disebut Laler Ijo.
"Yeaaah...!"
Dengan satu teriakan keras tubuhnya melesat kembali menyerang lawan. Teriakan itupun agaknya sebagai komando bagi anak buahnya untuk mulai penyerangan. Jurus yang digunakan kali ini adalah sama dengan yang dipergunakan saat menyerang Bayu tadi.
"He he he he...! Kau menggunakan jurus cacing kepanasan ini untuk menyerangku? Sungguh lucu, Laler Ijo? Kalau aku belum menyaksikannya, mungkin aku akan terkejut dan menganggap kalian hebat. Tapi sayang, karena tadi aku sempat melihat dan mengetahui kelemahannya. Maka jangan heran kalau dalam sekejap serangan kalian kupatahkan!"
"Bicaralah sepuasmu kalau kau sudah mampus!" geram Weling Ijo sambil melayangkan gada berdurinya ke wajah pemuda itu, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan yang tinggi.
"Uts!"
"Hiyaaa...!"
"Trak! Trak!"
"Duk!"
"Aaaakh...!"
***
Sambil mengelak serangan Weling Ijo, tubuh pemuda itu berkelebat cepat menghindari dua serangan yang menyusul dari anak buah Rampok Sungai Alur. Tiga serangan lain yang menyusul ditangkisnya dengan suling, kemudian tubuhnya berputar dengan cepat sambil melayangkan tendangan kilat. Lima orang langsung terpental sambil menjerit keras. Begitu tiba di tanah nyawa mereka langsung melayang!
"Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Weling Ijo semakin geram.
"Yeaaah...!"
"Laler Ijo, kalau mau mampus bawalah anak binimu ikut serta!" teriak pemuda itu mengejek.
Tubuhnya mencuat ke atas dengan ringan bagai sehelai kapas ditiup angin. Kemudian melesat turun dengan kecepatan kilat. Dua orang anak buah Rampok Sungai Alur mencoba memapaki dengan ujung golok mereka.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Suling di tangan pemuda itu dengan cepat menangkis dan menghantam senjata lawan hingga terpental. Kaki kiri pemuda itu dengan cepat menendang ke arah dada. Terdengar derak tulang dada kedua lawannya yang patah disusul pekik kematian mereka.
"Yeaaah...!"
Sambil membentak nyaring tubuh pemuda itu terus menghantam sisa anak buah Rampok Sungai Alur yang lain sambil sesekali menangkis serangan Weling Ijo. Agaknya serangan pemuda itu yang lebih ditujukan pada anak buah Weling Ijo mampu membuat barisan serangan itu porak poranda. Dalam sekejap terlihat serangan mereka telah kacau dan tak teratur lagi karena masing-masing sibuk menyelamatkan diri.
Bukan main geramnya Weling Ijo melihat keadaan itu. Satu persatu anak buahnya tewas tanpa mampu dicegahnya. Hanya dengan senjata suling yang terbuat dari besi putih di tangannya, pemuda itu mampu menangkis senjata mereka. Bahkan setiap kali senjatanya bentrok, Weling Ijo merasa tangannya kesemutan. Dia langsung menyadari bahwa tenaga dalam pemuda itu berada di atasnya.
Bukan cuma itu, tapi ilmu meringankan tubuh lawan pun jauh melebihinya. Sehingga sulit bagi mereka untuk mengimbanginya. Tak heran bila dalam tempo singkat seluruh anak buah Rampok Sungai Alur dibabat habis oleh pemuda itu.
"Sekarang giliranmu, Laler Ijo! Walau kau menyembah kakiku berkali-kali nyawamu tak akan kuampuni. Bersiaplah menjemput kematianmu!" kata pemuda itu sambil tersenyum sinis setelah menewaskan dua orang anak buah Weling Ijo yang terakhir.
"Huh! Jangan harap aku akan menyembah kakimu, Keparat! Walau kau memiliki kepandaian tinggi aku tak takut padamu!"
"Bagus! Tahan seranganku ini!"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Sebelum pemuda itu bergerak menyerangnya, Weling Ijo telah lebih mendahului membentak nyaring. Kali ini dia tak mau menyerang tanggung-tanggung. Seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkannya sehingga terlihat serangannya begitu ganas dan bertenaga kuat. Namun dengan gerakan yang lebih cepat pemuda itu berkelit. Kepalanya ditundukkan ketika senjata lawan menghantam. Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke dada lawan.
"Yeaaaah...!"
"Uts!"
Tubuh Weling Ijo mencuat ke atas dengan gerakan jungkir balik dan tangan kanannya kembali menghantamkan gada berduri ke batok kepala lawan. Tapi tubuh pemuda itu lebih cepat lagi bergerak ke kiri. Dengan satu gerakan yang membuat tubuhnya berputar di udara, pemuda itu menghantamkan sulingnya ke punggung lawan. Weling Ijo tak menyangka bahwa lawan mampu bergerak secepat itu. Dia tersentak kaget dan berusaha menghindar. Tapi suling di tangan si pemuda telah dialiri tenaga dalam yang kuat itu tak mampu lagi dihindari.
"Begkh!"
"Kraaak!"
"Aaaa...!"
Tak ampun lagi! Suling pemuda itu menghantam pinggang Weling Ijo dan membuat tulangnya patah. Weling Ijo memekik kesakitan ketika tubuhnya ambruk. Belum lagi lawan berusaha bangkit dengan nafas megap-megap kaki pemuda itu telah menghantam dada kirinya. Kali ini Weling Ijo cuma mengeluh pelan. Nyawanya putus seketika dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar ketika kaki kanan pemuda itu meremukkan tulang dadanya hingga melesak ke jantung.
"Mampuslah kau, dan biang bencana musnah salah satunya!" dengus pemuda itu sambil menyeringai bengis.
Kematian Weling Ijo disambut para penduduk dengan sorak sorai gembira. Mereka mengelu-elukan pemuda itu dan menganggapnya sebagai dewa penyelamat.
"Hidup dewa penyelamat kita!"
"Hiduuuup...!"
"Ki sanak, sebaiknya menginaplah di sini malam ini. Sebentar lagi malam tiba. Kau tentu lelah. Atas nama seluruh penduduk desa ini kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas pertolonganmu," kata Ki Sentanu pada pemuda itu.
"Terima kasih, Ki sanak. Memang benar apa yang kau katakan itu. Kalau kalian tak keberatan untuk menerimaku di desa ini sungguh kebetulan sekali."
"Kami akan menjamu sepuas-puasmu!" sahut yang lain.
"Benar! Kalau kau sudi tinggal di desa ini, kami bahkan lebih merasa suka sekali!" sahut yang lain.
Pemuda itu cuma tersenyum-senyum gembira melihat sambutan meriah terhadap dirinya. Seperti seorang pangeran saja layaknya, mereka berebutan menawarkan rumahnya untuk tempat menginap pemuda itu.
***
Bayu menggeliat sambil menggerak-gerakkan badan ketika matahari pagi telah bersinar di ufuk timur. Pemuda berambut gondrong itu mengucek-ucek matanya sesaat. Ketika dilihatnya monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada tak jauh darinya kini menghilang. Pemuda itu cepat meloncat turun dari cabang pohon tempatnya berbaring tadi.
"Tiren, ke mana kau?" panggilnya dengan suara yang agak keras.
Namun yang dipanggil tak kunjung tiba. Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah kesal sambil memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Kemudian dengan satu gerakan ringan dia mencelat kesalah satu cabang pohon kecil yang terletak tak jauh dari situ. Kemudian dengan beberapa kali loncatan, kakinya mendarat di ujung cabang sebuah pohon yang paling tinggi. Dari situ Bayu mengedar pandangan ke seluruh tempat.
"Hm... di sebelah sana agaknya ada sebuah sungai kecil. Aku akan ke sana dan mandi sepuas-puasnya," gumam pemuda itu dengan wajah berseri-seri.
Baru saja dia meloncat turun dari cabang itu, Tiren muncul sambil menunjuk ke arah yang sama pada tempat yang akan ditujunya.
"Nguk! Nguk!"
"Oh, rupanya kau telah melihatnya, ya? Kemajuanmu sungguh pesat sekarang. Biasanya kau takut air, kali ini malah mengajakku untuk mandi...."
"Kaaakh!"
Tiren menjerit keras sambil menarik-narik lengan Bayu. Si Pendekar Pulau Neraka mengerutkan kening.
"Ada apa, Tiren? Apakah kau melihat sesuatu?" tanya Bayu curiga.
Monyet kecil sahabatnya itu mengangguk cepat. Tanpa membuang waktu Bayu langsung menyambarnya dan berkelebat cepat menuju tempat yang ditunjuk sahabat kecilnya itu. Tempat yang ditunjuk Tiren memang agak jauh bila ditempuh oleh orang yang tak memiliki ilmu lari cepat. Tetapi hal itu tak jadi masalah bagi Bayu. Ilmu lari cepatnya telah mencapai tingkat tinggi. Belum lagi mereka tiba di tempat yang dituju, pendengarannya yang tajam mendengar teriakan-teriakan seorang wanita dari kejauhan.
"Hmm... aku mengerti maksudmu, sahabat. Kau ingin aku menolong wanita itu bukan?" tanya Bayu sambil tersenyum kecil.
"Nguk!"
Tiren mengangguk cepat. Baru saja selesai dia menganggukkan kepala, kembali monyet kecil berbulu hitam itu tersentak kaget ketika Bayu menggenjot tubuh dan berlari lebih cepat dibandingkan tadi. Tiba di tepi sebuah sungai kecil yang berair jernih, Bayu melihat seorang laki-laki sedang menindih tubuh seorang wanita dengan nafsu kotornya. Sementara di sampingnya berdiri seorang laki-laki lain yang tertawa bergelak-gelak menyaksikan perbuatan kawannya itu.
"Ha ha ha.... Kenapa menundukkan wanita satu ini saja kau sulit sekali, Soma? Apa perlu aku yang turun tangan lebih dulu mengajarimu?" tanya laki-laki yang tadi tertawa-tawa.
"Diamlah kau, Margana! Tidakkah kau melihat kuda betina ini liar sekali?! Sebentar lagi pun dia akan takluk padaku," sahut laki-laki yang sedang menggeluti wanita itu.
"Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan aku! Toloooong...!" Teriak wanita itu sambil menggeliat-geliat dan berusaha melepaskan diri dari dekapan laki-laki di atasnya yang seperti kerasukan setan.
"Ha ha ha ha... berontaklah sesuka hatimu tapi jangan harap kau bisa lepas dari tanganku!"
"Auw! Bajingan! Kubunuh kau! Kubunuh kau!" maki wanita itu ketika laki-laki itu mulai menggerayangi lekuk-lekuk tubuhnya.
Kedua tangan wanita itu ditangkap tangan kiri laki-laki yang tadi dipanggil Soma, dan sebelah tangannya yang lain dengan leluasa merobek-robek pakaian wanita itu sambil menggerayangi bukit kenyal yang tersibak lebar membuat sepasang matanya semakin lebar melotot, dan air liurnya menetes.
"Sudahlah Soma. Lebih baik kau totok saja wanita itu maka kau tak akan susah payah lagi!" saran kawannya sambil sesekali melirik ke arah tubuh wanita yang molek dan tersingkap lebar.
"Siapa sudi berbuat begitu? Tak ada kenikmatan yang ku peroleh. Tapi dengan cara begini kau akan merasakan perbedaannya!" sahut Soma sambil terkekeh-kekeh.
Pada saat itulah ketika Soma melepaskan penutup tubuh bagian bawah wanita itu dan siap akan melaksanakan perbuatan kotornya, Bayu yang baru tiba langsung membentak dengan suara menggeledeg.
"Bajingan kotor, hentikan perbuatan bejad kalian!" Kedua orang itu langsung tersentak kaget. Soma yang nafsu kotornya tadi telah sampai ke ubun-ubun, tiba-tiba saja mereda dan berubah garang ketika tubuhnya bangkit dan melihat siapa orang yang mengganggu kesenangannya itu.
"Siapa kau, keparat?! Berani betul mengganggu kesenangan orang lain?!" bentaknya sengit.
Belum lagi Bayu menyahut dilihatnya wanita yang seluruh pakaiannya telah tercabik-cabik itu berusaha bangkit dan bermaksud melarikan diri. Namun dengan gerakan cepat salah seorang dari keduanya menotok tubuh wanita itu hingga ambruk tak berdaya.
***
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Lepaskan wanita itu atau kalian pulang tinggal nama?" gertak Bayu dengan suara yang ditekan penuh ancaman.
Mendengar itu bukannya kedua laki-laki yang wajahnya penuh dengan bopeng itu takut, mereka malah tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha.... Kau dengar, Margana? Baru kali ini Sepasang Setan Burik diancam oleh bocah kencur!" sahut Soma, yang mengenakan ikat kepala warna kuning.
"Mungkin dia belum tahu siapa kita. Atau juga bocah bau kencur yang belum mengetahui luasnya dunia dan sudah menganggap dirinya jago!" timpal Margana.
"Ha ha ha ha.... Aku memang bocah bau kencur yang paling jago. Orang seperti kalian tak ada seujung kuku dibanding denganku. Sekali tendang mungkin kedua wajah kalian yang rusak itu akan bertambah rusak," balas Bayu dengan nada mengejek.
Sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang begitu sombong untuk memancing kemarahan mereka. Dan ternyata pancingannya mengena. Kedua orang itu mendelikkan mata dan menggeram dengan murka.
"Bocah sepertimu memang harus cepat-cepat mampus!" bentak Soma sambil menghantamkan pukulan jarak jauh ke arah Bayu.
Pukulan itu kelihatannya ringan saja. Tapi akibatnya sungguh hebat. Kalau saja Bayu tak cepat melompat tentu nasibnya akan sama dengan tanah tempatnya tadi berpijak yang terbongkar sedalam tiga jengkal.
"Hmm... agaknya kau memiliki kepandaian juga. Tapi jangan merasa menang sebelum merasakan pukulanku ini," dengus Soma sambil terus menyerang lawannya.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaaa...!"
Dengan gerakan mantap tubuh Bayu berkelit menghindari serangan lawan. Kepalan kanannya menghantam dada lawan. Tapi dengan gerakan yang tak kalah sengit Soma menghindar sambil mengangsurkan telapak tangan kirinya menangkis.
"Des!"
"Akh!"
Laki-laki berwajah bopeng berusia sekitar empat puluh tahun itu mengeluh kesakitan sambil memegangi telapak tangannya yang terasa sakit akibat benturan tadi. Sungguh dia tak memperkirakan bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang kuat.
"Kenapa tidak dadamu saja yang kau sodorkan agar kau lebih cepat mampus?" ejek Bayu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa mempermalukan kami begitu saja bocah. Kali ini kau harus mampus!" sentak Margana dan langsung menyerang Bayu dengan tangan kosong.
Kali ini Bayu tak bisa bermain-main lagi. Serangan Margana betul-betul ganas dan mengandung tenaga dalam kuat. Bukan itu saja, laki-laki berwajah penuh bopeng itu pun memiliki gerakan yang cukup gesit. Sedikit saja dia salah menghindar sudah pasti tubuhnya bisa remuk dihantam kepalan tangan lawan.
"Yeaa...!"
"Uts, ha...!"
"Keparat. Apakah kebisaanmu cuma berkelit?! Ayo, keluarkan seluruh kepandaianmu dan balas serangan-seranganku kalau kau memang mampu!" Bentak Margana ketika dilihatnya Bayu cuma menghindar dari serangannya yang bertubi-tubi.
"Oh, apakah kau ingin kugebuk seperti kawanmu itu? Baiklah. Nah, coba tahan seranganku!"
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring Bayu merubah gerakan. Tubuhnya melayang ke arah Margana dengan kedua tangan ke depan. Tentu saja hal ini kelihatannya sebagai serangan main-main. Tapi bagi Margana mana dia peduli. Dengan cepat kepalan tangan kanannya menghajar dada lawan.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Plak!"
"Des!"
"Akh!"
Margana menjerit kesakitan ketika kaki kanan Bayu yang dibuat menangkis pukulannya, tiba-tiba menghantam ke arah dada. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Dari mulutnya mengalir darah kental. Tapi serangan Bayu tak berhenti sampai di situ. Tubuhnya melompat bagai harimau, dan dengan bertumpu pada kedua jangan, kedua kakinya menghantam kepala dan lutut lawan.
"Duk!"
"Gusrak!"
"Aakh!"
Margana kembali menjerit keras ketika sebelah kaki Bayu menghantam kepalanya. Tidak cukup keras, tapi membuat pandangannya berkunang-kunang. Belum sempat menyadari diri, tiba-tiba tubuhnya melayang dan jatuh bedebum ke tanah ketika sebelah kaki Bayu menghantam kedua lututnya di bagian belakang.
Tapi pada saat yang bersamaan pula melompat Soma dan bermaksud menolong kawannya itu dengan menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaa...!"
"Oh, rupanya kau belum kapok juga? Baik kau pun akan terima bagian yang sama," ujar Bayu tersenyum kecil.
Tanpa menunggu serangan lawan tiba, tubuhnya bergerak cepat menyambut dengan satu serangan bertenaga dalam kuat.
"Hiyaaaa...!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Ukh...!"
Kepalan tangan Soma berhasil dihindarinya dengan menundukkan kepala. Tapi saat itu juga Soma mengayunkan kaki ke wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka membuang tubuh ke belakang. Kaki Soma yang sebelah lagi dengan cepat menghantam. Justru hal itu yang diharapkan Bayu. Kaki kanannya menghantam tulang kering lawan, dan kaki kirinya menendang pantat Soma hingga orang itu tersedak dengan tubuh mencelat ke atas setinggi setengah tombak dan mengeluh kesakitan.
Belum lagi kedua kakinya menjejak tanah, kembali Bayu meloncat mengirimkan tendangan telak menghantam perutnya. Soma menjerit kesakitan ketika tubuhnya terpental sejauh dua tombak. Dari mulutnya muncrat darah segar.
"Pergilah cepat dari sini sebelum kuremukkan kepala kalian!" bentak Bayu sambil memelototkan mata.
Kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Setan Burik berusaha bangkit dengan susah payah dan tertatih-tatih. Keduanya memandang pemuda itu dengan wajah yang amat penasaran.
"Kisanak, siapa kau sebenarnya? Urusan ini tak cukup sampai di sini. Suatu saat penghinaan ini akan terbalas berikut dengan bunganya!" desis Soma geram.
"Hmmm... kalian bermaksud menuntut balas? Bagus! Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Neraka. Carilah aku jika kalian merasa tak puas dengan kejadian ini!"
Mendengar pemuda itu menyebutkan gelarnya, keduanya tersentak sesaat. Tapi cepat mendengus kembali dengan wajah penuh dendam.
"Baiklah. Pendekar Pulau Neraka, namamu tak akan pernah kami lupakan. Suatu saat nanti Sepasang Setan Burik akan menagih hutang ini...."
"Eit, jangan seenaknya pergi begitu saja," sentak Bayu ketika melihat mereka siap akan meninggalkan tempat itu.
"Ada apa, Ki sanak? Apakah kau akan membunuh kami saat ini juga?" tanya Soma.
Meski suaranya terdengar lantang dan sinis, tapi sempat bergetar juga hatinya. Jangan-jangan pemuda itu berubah pikiran dan menghabisi mereka saat ini juga dari pada memikirkan dendam yang entah kapan datangnya. Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Pulau Neraka? Tokoh itu biasanya telengas terhadap lawan-lawannya dan jarang meninggalkan lawan pergi begitu saja.
"Hmm... bukan. Soal itu kalian masih ku berikan kesempatan. Tapi persoalan gadis ini. Kalian telah merobek-robek pakaiannya, maka kalian pula yang harus menggantinya. Aku tidak memaksa, tapi sebaiknya tolong tanggalkan pakaian kalian..." pinta Bayu dengan nada tegas.
Kedua orang berwajah penuh bopeng itu saling pandang sesaat, kemudian.
"Tapi...."
"Itu juga termasuk persyaratan, Kisanak Kalau kalian tak memenuhinya maka lebih baik kita selesaikan persoalan kita sekarang saja!" desis Bayu dengan sikap mengancam.
Karena tak punya pilihan lain, akhirnya mereka melepaskan bajunya masing-masing. Untuk melawan pemuda itu dalam keadaan terluka parah begini sungguh suatu perbuatan bunuh diri, meskipun mereka berdua mengeroyoknya.
***
Setelah keduanya meninggalkan tempat itu, Bayu mendekati wanita tadi perlahan-lahan.
"Nisanak, pakailah salah satu baju ini untuk melindungi tubuhmu yang terbuka begini," katanya sambil melempar kedua baju yang dipegangnya ke tubuh wanita muda yang tergolek itu.
"Bagaimana aku bisa memakainya dalam keadaan tertotok begini?"
"Ah, aku lupa...." seru Bayu sambil mendekat untuk membebaskan totokan wanita itu.
"Jangan mendekat!"
Bayu tersentak mendengar bentakan wanita itu. "Kenapa Nisanak? Bukankah kau sedang tertotok dan aku bermaksud akan membebaskan totokanmu?"
"Bagaimana aku tahu kau tidak mempunyai nafsu kotor seperti mereka?"
"Aku akan membebaskan totokanmu dan setelah itu akan pergi meninggalkanmu begitu saja," sahut Bayu kesal.
"Bukan itu maksudku!"
"Jadi apa?"
"Kau mencari kesempatan saat keadaanku sedang tertotok begini?"
Bayu menghela nafas kesal dan membalikkan tubuh sambil melangkah pelan meninggalkan tempat itu.
"Hei, mau ke mana kau?" bentak wanita itu.
"Untuk apa aku berlama-lama di sini? Tujuanku cuma ingin menolongmu dari perbuatan mereka. Dan karena mereka telah pergi, untuk apa aku di sini lagi. Toh kau tak memerlukan pertolonganku lagi, bukan?" sahut Bayu tanpa membalikkan tubuh.
"Kau akan meninggalkan aku begitu saja dalam keadaan tertotok begini?"
"Bukankah kau yang menghendaki begitu?"
"Brengsek! Aku tidak mengatakan begitu?"
"Dengan caramu melarangku untuk membebaskan totokan itu, apa namanya?"
Wanita itu terdiam sesaat. Kemudian katanya lirih. "Bebaskanlah totokanku...tapi ingat! Jangan palingkan wajahmu ke sini!"
Bayu seperti tersentak. Pantas saja wanita itu marah padanya. Tanpa sadar dia telah memandangi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan leluasa. Pantas saja gadis itu marah karena bukit kenyalnya yang halus mulus terlihat jelas oleh pemuda Itu. Bayu sendiri seperti orang bodoh tadi dan memandanginya begitu saja tanpa malu-malu.
"Ba... baik..." kata Bayu sambil melangkah mundur.
Kemudian dengan tangannya dia meraba-raba bagian tubuh wanita itu untuk mencari urat yang tertotok.
"Ouw! Kurang ajar!"
Gadis itu menjerit garang ketika tangan Bayu menyentuh salah satu bukit kembarnya yang kenyal dan padat. Buru-buru dia melepaskan dengan wajah serba salah.
"Maaf Nisanak... aku betul-betul tak sengaja."
"Huh, semua laki-laki sama saja! Pura-pura berbuat salah padahal niatnya telah menggebu-gebu!" dengus gadis itu cepat bangkit dan menyambar kedua baju di dekatnya setelah dibebaskan dari totokannya.
"Tapi aku...."
"Jangan berbalik! Aku sedang berpakaian, goblok!" bentak gadis itu garang ketika dilihatnya Bayu bermaksud membalikkan tubuh ke arahnya.
"Hhhh... pusing, pusing! Begini salah begitu salah. Semuanya jadi serba salah..." keluh Bayu menghela nafas sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu.
"Nguk! Nguk!"
"Kau sih yang jadi penyebabnya!" tuding Bayu pada sahabat kecilnya itu.
"Mau ke mana lagi kau sekarang?!" bentak gadis itu garang sambil bertolak pinggang.
"Mau pergi!" sahut Bayu ketus.
"Aku ikut!" sahut gadis itu sambil merendengi jalannya.
Bayu melirik sekilas. Sungguh lucu kelihatannya. Baju yang dikenakan gadis itu kebesaran. Tapi itu masih biasa dibandingkan dengan pakaian bagian bawah. Seperti wanita di jaman primitif gadis itu membuat penutup tubuhnya bagian bawah dengan baju yang satu lagi. Bayu bisa memaklumi karena sekilas tadi dia sempat melihat penutup tubuh bagian bawah gadis itu keadaannya sangat tidak memadai akibat perbuatan Sepasang Setan Burik.
"Kenapa ketawa?!" bentak gadis itu ketus.
"Karena aku ingin ketawa...."
"Kau pikir aku tontonan ya?!"
"Barangkali iya...."
"Brengsek!" bentak gadis itu sambil melayangkan kepalan tangan menghantam dada si Pendekar Pulau Neraka.
"Duk!"
Pukulan itu terlihat ringan saja. Bahkan seperti main-main, sehingga Bayu tak berusaha menangkis. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika merasakan dadanya nyeri akibat pukulan itu. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa tindak ke belakang sambil mendekap dada.
***
EMPAT
Tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat beberapa tombak ke belakang sambil bersalto dengan ringan. Belum lagi dia sempat mengatur pernafasannya, sekonyong-konyong gadis itu kembali melesat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa dan menyerangnya.
"Hiyaaa...!"
"Perempuan laknat! Ternyata kau adalah iblis keji!" desis Bayu dengan wajah garang.
"Hi hi hi hi...! Cuma segitukah kemampuan Pendekar yang digembar-gemborkan sempat menggegerkan rimba persilatan di delapan penjuru angin?"
"Bedebah! Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku...? Bukankah tadi kau telah menyebutkannya?"
"Huh, siapa pun kau adanya kau akan mendapat balasan yang setimpal!" dengus Bayu sambil jungkir balik menghindari serangan lawan.
Kali ini dia tak bisa menganggap lawan rendah. Walau pukulan yang dikeluarkannya terlihat lemah, tapi akibatnya sungguh fatal seperti yang dirasakannya tadi. Dadanya masih terasa sesak akibat pukulan itu. Ada hal yang membuat Bayu tak habis pikir tentang gadis ini. Pertama, kalau dia memiliki dendam kesumat terhadapnya kenapa pukulannya tadi tak bermaksud untuk menewaskan dirinya? Padahal pada serangan selanjutnya pukulan itu mampu menghancurkan sebatang pohon dengan cara yang mengerikan.
Sebatang pohon besar tampak retak-retak dan tumbang menjadi beberapa potongan dihantam pukulan wanita itu. Yang kedua, setelah beberapa kali menyerangnya terlihat bahwa ilmu silat gadis itu tak rendah. Bahkan kalau mau dengan mudah dia bila mengalahkan Sepasang Setan Burik. Tapi kenapa tadi dia seperti orang yang kelihatan tak berdaya?
"Nisanak, siapa kau sebenarnya dan apa maksud perbuatanmu yang aneh-aneh ini?" tanya Bayu dengan suara lunak.
"Maksudku jelas, ingin mengorek jantungmu!"
"Kenapa tadi tak kau lakukan?"
"Aku ingin pertarungan yang adil dan jujur!"
"Dengan perbuatanmu tadi apakah itu bisa dianggap adil dan jujur?"
"Salahmu sendiri kenapa lengah!"
"Karena kukira kau bukan musuhku!"
"Di situlah kesalahanmu! Kau terlalu percaya pada orang yang baru dikenal dan itu bisa membahayakan jiwamu kalau tak sering waspada."
"Baiklah, kau menang. Tapi aku tak biasa membunuh lawan jika tak tahu sebab-sebabnya. Dasar apa kau ingin mengorek jantungku? Apakah di antara kita ada dendam?"
"Buatku tak perlu ada persoalan dendam segala kalau ingin mengorek jantungmu!"
"Dasar sinting! Kalau begitu tak ada gunanya aku meladenimu!" dengus Bayu sambil berbalik dan menangkap Tiren dari ranting sebuah pohon, dan berkelebat dari tempat itu secepatnya.
"Aku tak ada waktu meladeni segala urusanmu, Nisanak!" lanjutnya sambil berteriak nyaring.
"Huh, apa kau pikir bisa lari dariku?! Jangan mimpi!"
Setelah berkata begitu gadis itu pun langsung menggenjot tubuh mengejar Pendekar Pulau Neraka sambil mengerahkan ilmu lari cepat yang dimilikinya. Tadinya Bayu menyangka bahwa gadis itu tak akan mampu mengejarnya. Tapi dugaannya itu ternyata salah. Pada jarak lima tombak di belakang terlihat gadis itu terus mengejarnya.
"Sialan! Hebat juga ilmu lari cepatnya. Tapi ingin kulihat sampai di mana kemampuan kuntilanak itu. Tiren, pegang leherku erat-erat!" kata Bayu.
Setelah berkata begitu si Pendekar Pulau Neraka langsung menghempas tenaga dan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepat yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebat bagai sapuan angin kencang. Dalam hati dia menduga gadis itu kini telah tertinggal jauh. Dan ketika dia menoleh ke belakang....
"Hah! Brengsek?! Siapa dia sebenarnya?" sentaknya kaget ketika melihat gadis itu masih terus membuntuti di belakangnya.
Kali ini jarak mereka memang terpaut agak jauh, tapi rasanya tak mungkin Bayu bisa menghindar dan bersembunyi dari kejarannya. Tak mungkin rasanya mereka terus-terusan begini. Maka dengan kesal Bayu menghentikan larinya dan menunggu gadis itu sambil bertolak pinggang dan memasang wajah garang.
"Hmmm... apakah kau akan menyerah?" tanya gadis itu sambil tersenyum mengejek.
"Huh, siapa sudi! Aku justru ingin menggaplok pantatmu!"
"Nah, kenapa tak kau lakukan?"
"Hiyaaaa...!"
Dengan satu bentakan nyaring tubuh Pendekar Pulau Neraka berkelebat cepat menyerang gadis itu tanpa basa-basi. Bersamaan dengan itu dia mengibaskan tangan kanannya. Tak pelak lagi Cakra Maut di pergelangan tangannya itu melesat cepat menghantam lawan.
"Sing!"
"Uts! Gila! Apakah kau ingin membunuhku?!" bentak gadis itu terlihat kesal sambil jungkir balik menghindari serangan senjata maut itu dan serangan yang dilancarkan Bayu terhadap dirinya.
"Bukankah kau pun ingin membunuhku?
Dari pada orang membunuhku lebih dulu lebih baik kau yang mampus lebih dulu!" desis Bayu dengan wajah serius penuh ancaman.
Hal ini memang betul-betul dibuktikannya. Serangan yang dilakukan si Pendekar Pulau Neraka betul-betul ganas seperti menghadapi musuh bebuyutan yang akan mengancam dirinya. Tentu saja hal ini membuat si gadis kalang kabut menyelamatkan selembar nyawanya.
"Yeaaaa...!"
Kepalan tangannya berkali-kali menghantam. Dari situ tak terasa desir angin atau sinar apa pun yang keluar. Tapi bila terkena, akibatnya sungguh berbahaya. Sebongkah batu sebesar kerbau yang terkena pukulan itu hancur berkeping-keping menjadi potongan kecil. Bayu bukannya takut menghadapi pukulan lawan, tapi dia memang sengaja menghindar dan sebisa mungkin untuk tidak memapakinya. Perhatiannya betul-betul ditujukan untuk melumpuhkan pertahanan gadis itu.
"Hiyaa...!"
"Sing!"
"Breet!"
"Auw...!"
Gadis itu menjerit kaget ketika seberkas cahaya keperakan menerpa menyambar pinggangnya tanpa bisa dicegah. Jantungnya nyaris berhenti berdetak!
***
Plak!"
"Des!"
"Gusrak!"
Dalam keadaan demikian dia pasrah dan menganggap jiwanya tak tertolong lagi. Tapi menyadari bahwa tak sedikit pun rasa sakit yang dirasakannya, gadis itu cepat bereaksi. Tapi terlambat. Saat itu kepalan tangan Bayu menghantam ke arah dada. Dengan gerakan tergagap dia menangkis. Pukulan itu memang tak sepenuhnya menghantam dadanya. Tapi akibatnya tubuh gadis itu terdorong ke belakang dan dengan mudah Bayu menendang perutnya.
Tubuh yang telah hilang keseimbangannya itu langsung terjerembab jatuh. Ternyata serangan Bayu tidak hanya sampai di situ. Setengah jengkal sebelum tubuh gadis itu menyentuh tanah, dua buah jari tangannya cepat menotok urat gerak di tubuh gadis itu.
"Tuk!"
"Nah, sekarang diamlah kau di sini! Aku tak perduli, apakah kau akan diperkosa atau dicabik-cabik hewan buas. Itu sudah nasibmu karena kau memang menghendakinya!" desis Bayu sambil bersungut-sungut kesal.
"Kurang ajar! Apakah kau akan mempermalukan aku dalam keadaan begini?!" jerit gadis itu melengking mengetahui bahwa bajunya robek lebar dan menampakkan dua bukit kembarnya sebagian, ketika tadi disambar Cakra Maut si Pendekar Pulau Neraka.
"Bukankah kau yang menghendakinya? Kita bertemu saat keadaanmu begitu, maka aku punya kewajiban untuk mengembalikan keadaanmu semula. Sayang, sekarang kedua orang bermuka bopeng itu tak ada. Kalau tidak kau akan ku tinggalkan persis seperti tadi!"
"Sialan! Lepaskan totokanmu ini!" bentak gadis itu.
"Untuk apa? Agar kau bisa memuaskan niat konyolmu untuk membunuhku? Huh, pasrahkan saja dirimu pada nasib. Selamat Tinggal!"
Bayu memanggil sahabatnya, monyet kecil berbulu hitam itu. Setelah hewan itu berada di pundaknya, dia melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
"Hei, mau ke mana kau?!"
Bayu tak memperdulikan teriakan gadis itu. Jangankan menyahut, untuk menoleh pun tidak. Gadis itu terus berteriak-teriak sambil memaki-maki, dan Bayu terus berjalan tak memperdulikannya. Baru ketika jarak pemuda itu nyaris tak terlihat gadis itu berteriak memohon dengan suara memelas.
"Bayu, kali ini aku memohon. Lepaskan aku, dan jangan tinggalkan aku dalam keadaan begini...."
Walaupun suara itu tak terlalu keras tapi Bayu masih bisa mendengarnya. Lebih-lebih saat itu angin bertiup ke arahnya. Pemuda itu menoleh sambil memandang ke arah sahabat kecilnya itu.
"Bagaimana pendapatmu Tiren? Apakah kuntilanak itu masih perlu dikasih hati?"
"Nguk! Nguk!"
"Hmm... walau kau binatang tapi hatimu lebih mulia dariku. Kalau tak ada kau pasti akan kubiarkan perempuan celaka itu menjalani nasibnya yang buruk dalam keadaan demikian. Baiklah, kita akan kembali dan membebaskannya," sahut Bayu.
Sekali menggenjot tubuh dengan menggunakan Ilmu lari cepatnya, Bayu telah tiba kembali di tempat itu. Tanpa basa-basi dia langsung melepaskan totokan di tubuh gadis itu. Dan tanpa bicara sepatah kata pun kembali melangkahkan kaki meninggalkannya.
"Tunggu...!"
Si Pendekar Pulau Neraka menoleh dan memandang gadis itu sekilas tanpa menyahut.
"Terima kasih..." kata gadis itu sambil menundukkan kepala dengan wajah malu.
Bayu cuma mendengus kecil, kemudian kembali memalingkan tubuh dan berjalan meninggalkan gadis itu. Walau dia tahu bahwa gadis itu mengikuti dari belakang, namun tak sedikit pun pemuda itu mau menoleh. Lama hal itu berlangsung sampai mereka tiba di mulut suatu desa. Gadis itu masih terus mengintilnya dari belakang. Bayu menghela nafas kesal. Dalam keadaan pakaiannya yang demikian apa kata orang-orang desa melihat mereka? Jangan-jangan dia akan dituduh orang gila! Paling tidak, membawa seorang gadis gila.
"Apa sih maumu?!" bentaknya kesal sambil menghentikan langkah dan melotot garang pada gadis itu.
"Aku tidak mau apa-apa...."
"Jadi kenapa mengikutiku terus sejak tadi? Apa kau ingin membokongku lagi?!"
"Maaf... sebenarnya aku tak bermaksud begitu..." sahut gadis itu dengan suara pelan.
"Jadi apa maumu?!"
"Aku... aku...."
"Bicara yang betul!" bentak Bayu galak.
"Galak betul sih...?"
"Orang sepertimu tak bisa dikasih hati. Sekali aku lemah kau pasti akan mencari kesempatan untuk mencelakai ku lagi!"
"Sekarang tidak...."
"Huh!"
"Aku... aku... ingin minta pertolonganmu...."
"Siapa yang sudi menolong orang sepertimu!"
"Aku... aku akan membayar berapa pun yang kau minta...."
"Huh, aku tak butuh apa-apa darimu!"
"Tak bisakah hatimu sedikit lunak...."
"Apa untungnya aku bersikap lunak pada wanita brengsek sepertimu?!"
"Bayu... eh maaf aku memanggil namamu begitu saja. Aku betul-betul butuh pertolonganmu, sebab hanya kaulah orangnya yang bisa menolongku. Apa pun yang kau minta akan kuberi, bahkan aku rela menjadi budakmu asal kau meluluskan permintaanku..." ujar gadis itu dengan suara memelas.
Mendengar itu tersentuh juga hati Bayu. Gadis itu bersedia jadi budaknya asal dia menolongnya, tentu ini persoalan yang amat serius. Tapi dia tak langsung percaya begitu saja. Apalagi gadis itu tadi sempat menipunya.
"Pertolongan apa?" tanya Bayu lunak.
"Oh, apakah kau betul-betul bersedia menolongku?!" tanya gadis itu dengan wajah girang.
"Jangan banyak omong! Pertolongan apa yang kau minta dariku?!"
"Membawa kepala seseorang padaku!"
"Apa?!"
"Kepala seseorang yang dulu amat kukasihi sepenuh hati, tapi kini ku benci sedalam lautan!"
Bayu terdiam beberapa saat lamanya sambil memandang wajah gadis itu. Sempat terlihat sepasang mata indah gadis itu memancarkan dendam membara saat dia menyebutkan permintaannya itu. Mau tak mau Bayu bisa merasakan amarah yang terpendam dan telah menyatu di seluruh tubuh gadis itu pada seseorang.
"Kenapa mesti aku? Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang jarang orang bisa mengalahkanmu...."
"Tapi orang itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan denganku. Aku tahu betul karena dia adalah kakak seperguruanku...."
"Kakak seperguruanmu?!"
Gadis itu mengangguk. "Ceritanya panjang. Ketika mendiang guru masih ada kami menjalin asmara. Ah... aku memang betul-
betul terpikat dengan rayuannya. Selain berwajah tampan, berilmu tinggi, dia pun pandai merayu. Sampai-sampai aku rela menyerahkan kehormatanku padanya ketika dia berjanji akan mengawiniku kelak. Hal itu terjadi berkali-kali tanpa sepengetahuan guru. Sampai..." gadis itu menghentikan ceritanya.
Bayu menunggu beberapa saat dan melihat sekilas air mata merembang di kelopak mata gadis itu.
"Dia kabur meninggalkanmu..." tebak Bayu hati-hati dengan suara pelan.
"Pada akhirnya memang begitu. Sampai aku hamil dan guru mengetahuinya. Tapi beliau bijaksana dan menyuruh kakak seperguruanku untuk mengawiniku. Tapi dasar laki-laki buaya pengecut, dia malah kabur dan mencuri kitab sakti tentang pukulan maut Pugel Sayuto tingkat lanjutan yang selama ini disembunyikan guru kami dengan hati-hati sekali. Aku sempat memergokinya dan mengingatkan akan janjinya untuk mengawini aku serta perintah guru. Tapi seperti berhadapan dengan musuh besar, dia malah menyerangku habis-habisan sampai aku tergeletak tak berdaya. Untunglah guru cepat menolongku, tapi anak yang berada di rahimku tak tertolong lagi...." Gadis itu menyudahi ceritanya.
Air matanya tertumpah ruah membasahi kedua pipinya yang putih halus. Bayu tak tahu, apakah dia harus percaya bahwa itu cerita sungguh-sungguh atau tipu muslihat belaka. Dia cuma mendiamkan untuk mendengarkan lanjutan cerita gadis itu.
"Setelah keadaanku agak membaik, aku turun gunung dan bertekad mencarinya untuk meminta pertanggung jawabannya. Guru telah melarang, tapi aku pergi secara diam-diam. Sepanjang perjalanan banyak kudengar sepak terjangnya yang amat memalukan. Memperkosa gadis-gadis cantik dan isteri orang lain, merampok serta berbuat kejahatan. Dia memang pintar hingga orang sulit mengenalinya. Selain berganti-ganti nama dia pun memang pandai sekali menyamar. Tapi aku tak akan tertipu!"
"Siapa namanya yang asli?"
"Kamajaya. Tapi orang-orang yang yakin bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukannya itu dikerjakan oleh satu orang, yaitu dia menyebutnya sebagai Penyair Muka Kumala."
"Hmm... Penyair Muka Kumala? Baru kudengar nama itu...."
"Bagaimana Bayu? Apakah kau sudi menolongku?"
"Kenapa kau yakin bahwa aku yang bisa menolongmu?"
"Entahlah. Tapi sepanjang perjalanan banyak kudengar nama Pendekar Pulau Neraka sebagai pendekar muda yang memiliki ilmu hebat dan tak pernah terkalahkan. Aku merasa yakin kaulah orang yang bisa menolongku untuk membasmi si keparat itu. Setelah mengetahui ciri-ciri tentang dirimu, aku pun mulai mencarimu. Dan tadi pagi barulah aku menemuimu. Aku tak tahu bagaimana caranya menarik perhatianmu sampai kedua orang itu muncul. Maka ku pancinglah mereka agak menjauh, dan... ah, perbuatanku memang keterlaluan dan sangat menjijikkan!"'sahut gadis itu tersipu malu.
Bayu masih terdiam belu memberikan jawabannya.
"Bagaimana Bayu?"
"Aku akan memikirkannya lebih dulu...."
"Apakah kau masih berpikir sementara jelas-jelas dia telah berbuat kejahatan yang nyata? Anggaplah kau menolong orang banyak dari perbuatannya yang tercela, dan aku sebagai perantara yang meminta pertolonganmu, dan aku juga akan membalas jasamu. Bagaimana?"
"Aku mau bukan berarti aku ingin jasa yang kau tawarkan!"
"Aku tak peduli! Yang penting si keparat itu harus mampus walau harus menjadi budakmu sekalipun. Aku berjanji Bayu! Bila si keparat itu mampus maka aku bersedia kau suruh apa pun. Anggaplah aku sebagai budakmu!"
"Sudah! Sudah! Mari kita berangkat. Tapi kau tidak bisa berpakaian dengan cara begitu. Kau tunggu di sini biar aku carikan pakaian di desa sana!" kata Bayu sambil terus melesat meninggalkan gadis itu.
"Kau tidak akan meninggalkan aku, bukan?!"
"Kata-kataku boleh kau pegang!" balas Bayu sambil berteriak.
Gadis itu tersenyum haru sambil matanya tak berkedip memandang Pendekar Pulau Neraka yang terus berkelebat hingga lenyap dari pandangan. Tapi dia ternyata tak menunggu lama sebab tak lama kemudian pemuda itu kembali sambil membawa seperangkat pakaian wanita. Setelah mengganti pakaian, keduanya segera meninggalkan tempat itu.
***
Siang ini terlihat dua pengendara kuda berpacu kencang melewati halaman belakang istana kerajaan yang luas. Yang seorang adalah pemuda berwajah tampan dan gagah, serta mengenakan pakaian yang bagus. Sementara di sebelahnya seorang gadis berwajah jelita dengan rambut panjang yang hitam berikat kepala merah. Kulitnya yang putih terlihat kemerah-merahan dibakar terik matahari.
Beberapa tetes keringat mengalir dipipinya. Melihat cara mereka berpakaian agaknya kedua orang ini pastilah berasal dari orang-orang persilatan.
"Kakang Gandasena, ayo coba kau kejar aku!" teriak gadis cantik itu sambil memacu kudanya lebih kencang.
"Awas kau Ratih! Sebentar lagi pasti akan tersusul!" sahut pemuda yang dipanggil Gandasena.
Setelah berkata begitu tampak dia mengebrak kudanya sambil berkali-kali berteriak keras. Melihat caranya menunggang kuda agaknya memang dia lebih mahir dibanding gadis itu karena sebentar saja terlihat gadis itu mulai tersusul.
"Nah, apa kataku! Kau pasti akan tersusul!" lanjut pemuda itu sambil tertawa senang.
"Siapa bilang?! Jarak kita masih dua tombak lagi. Kudamu mana mungkin bisa mengimbangi larinya Ki Sengkolo!"
"Kata siapa tidak bisa? Kalau aku yang menunggangi Ki Sengkolo mungkin kau tak mampu mengejarku. Tapi karena kau yang menungganginya maka akan kau lihat sebentar lagi kau pasti akan tersusul!"
"Jangan banyak omong, Kakang! Ayo buktikan kata-katamu itu!"
"Baik! Heaa...!"
Melihat pemuda itu kembali mengeprak kudanya dengan bersemangat, gadis itu pun tak kalah sigap. Kuda berwarna hitam mengkilat yang bernama Ki Sengkolo itu dipacunya sambil berteriak keras.
"Heaaa...!"
Keduanya terus berpacu hingga tak terasa telah berada jauh dari halaman belakang istana tadi. Namun seperti tak memperdulikan keadaan mereka, gadis itu masih terus bersemangat memacu kudanya karena pemuda di belakangnya sebentar lagi akan menyusul. Agaknya dia merasa yakin bisa mengungguli kuda si pemuda.
Namun apa yang dibayangkannya ternyata tak terbukti. Pemuda di belakangnya semakin memperpendek jarak. Lalu ketika jarak mereka tinggal satu tombak lagi dengan tiba-tiba pemuda itu berteriak keras.
"Hiyaaa...!"
Tubuhnya melompat ke depan sambil bersalto beberapa kali dan mendarat empuk di punggung kuda, tepat di belakang punggung gadis itu. Dengan serta merta dipeluknya pinggang gadis itu dengan satu tangan, dan tangan yang satunya menarik tali kendali hingga Ki Sengkolo menghentikan larinya.
"Kau curang, Kakang Gandasena!" teriak gadis itu sambil bersungut-sungut.
"Yang penting aku bisa menang!" kilah Gandasena terkekeh-kekeh.
"Menang dengan cara curang!"
"Aku tak peduli!"
"Dasar! Kalau semua pelatih sepertimu mana ada muridnya yang pintar?!"
"Buktinya kau pintar!"
"Pintar apa?"
"Pintar ini!"
Tiba-tiba Gandasena menjatuhkan diri ke tanah. Gadis itu menjerit, namun tertahan karena Gandasena menyumbat dengan bibirnya. Pemuda itu ternyata pintar menggoda. Dalam bayangan gadis itu mereka akan jatuh berdebum sambil berangkulan, namun sebelah kaki pemuda itu berpijak di tanah dan mereka memang benar jatuh... di atas rerumputan, dengan empuk, sambil berpelukan.
"Kakang, kau betul-betul nakal!" dengus gadis itu sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya setelah pemuda itu melepaskan rangkulannya.
"He he he he...! Nakal pada kekasih sendiri apa tidak boleh?"
"Tidak! Kalau sampai ayahanda tahu apa jadinya?"
"Beliau pasti akan setuju untuk mengawinkan kita secepatnya!"
"Tidak lucu, Kakang!" sentak si gadis yang bernama Ratih itu sambil memasang wajah cemberut.
"Kau marah padaku?"
Ratih tidak menjawab melainkan memalingkan wajah sambil mempermainkan sehelai rumput dengan memilin-milinnya.
"Katakanlah, apakah kau marah padaku, Ratih?"
"Aku... aku cuma tak ingin perbuatan kita diketahui orang. Apa jadinya wibawa ayahanda di mata rakyatnya...?" sahut Ratih pelan.
"Siapa yang tahu bahwa kau putri raja dalam keadaan begini?"
"Kakang, aku cuma khawatir...."
"Sudahlah... aku tak mengulanginya lagi...."
"Betul?!"
Gandasena mengangguk sambil tersenyum.
"Kakang, aku tak bermaksud membuatmu terluka...."
"Ya, ya aku mengerti. Cuma tidak tahu sampai kapan kita harus kucing-kucingan begini. Ayahku cuma seorang kepala pasukan pengawal di sebuah kadipaten, sedangkan kau adalah junjunganku...."
"Kakang, jangan sebut perbedaan di antara kita lagi! Aku sungguh-sungguh mencintaimu, dan tidak melihat derajatmu!" sentak Ratih.
"Aku cuma malu...."
"Lalu kenapa kau tidak langsung menghadap ayahanda? Ku yakin beliau pasti akan menyetujui hubungan kita."
"Aku merasa belum waktunya, Ratih...."
"Lalu kapan, Kakang? Apakah kau ingin kita terus-menerus begini? Apa kau ingin agar aku yang mengatakannya pada ayahanda?"
"Jangan, Ratih! Biar aku sendiri yang akan mengatakannya pada beliau. Apa jadinya aku sebagai laki-laki kalau mesti kau yang mengatakannya."
"Nah, katakanlah sekarang. Kapan kau akan menghadap ayahanda untuk meminang ku?"
Gandasena tak langsung menjawab. Banyak hal yang musti dipikirkannya. Bukan soal status dirinya yang jauh berbeda, tapi juga dia belum mempunyai persiapan yang cukup untuk berumah tangga. Dan ada hal yang paling penting yang membuat dirinya ragu, yaitu kabar yang mengatakan bahwa Ratih telah dijodohkan oleh putra raja yang belakangan ini erat sekali mengadakan persahabatan dengan kerajaan mereka.
Dalam keadaan begitu sekonyong-konyong lewat seorang nenek bertubuh bongkok yang membawa kayu bakar berjumlah banyak di pinggangnya.
"Ohhh...!"
Ratih tersentak kaget dan buru-buru menghampiri si nenek untuk membantunya.
"Kasihan kau, Nek. Di mana rumahmu?
Biar ku bawakan kayu bakar ini untukmu!"
Si nenek tak menjawab ketika Ratih berusaha mengambil beberapa kayu bakar yang dibawanya. Dia hanya memperhatikan dengan seksama.
"Ratih, biar aku saja yang membantu nenek ini!" teriak Gandasena buru-buru bangkit.
Tapi pemuda itu tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba si nenek bergerak cepat. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Ratih jatuh lunglai tak berdaya dan telah berada dalam gendongan nenek itu. Kayu bakar di tangannya tadi telah dicampakkannya begitu saja.
"Siapa kau sebenarnya?!" bentak Gandasena garang.
Si nenek membuka selaput tipis di wajahnya yang berkerut dan tersingkaplah wajahnya yang asli. Seorang pemuda berambut gondrong dengan wajah tampan dan kulit yang halus mulus bagai wanita. Dan ketika jubah yang tadi dikenakan disingkapnya, terlihat dia memakai seperangkat pakaian bagus terbuat dari sutera. Tangan kanannya memegang sebatang suling terbuat dari besi baja berkilat.
***
"Sungguh mesra asrama bergelora di dada. Hingga melupakan dunia dan isinya. Yang mengintip di balik semak dengan penuh duka. Berharap kasih berbagi suka bersama-sama...."
Si nenek yang kini telah menjelma menjadi pemuda berwajah tampan itu bersyair di depan Gandasena sambil tersenyum kecil. Sementara Ratih masih tetap dalam dekapan tangan kirinya.
"Kisanak, aku tak butuh segala macam syair mu. Lepaskan gadis itu atau kau akan terima hukuman!"
"Ha ha ha ha...! Hukuman apakah yang akan kau berikan pada si Penyair Muka Kumala? Dan kenapa kau begitu berkeras ingin merebut gadis ini yang begitu pulas tertidur dalam dekapanku?"
"Hei, kaukah orang yang bergelar Penyair Muka Kumala?" sentak Gandasena terkejut.
Nama itu memang belum terkenal luas, tapi karena ayahandanya adalah kepala pasukan pengawal di sebuah kadipaten yang selalu menerima laporan tentang gangguan yang meresahkan penduduk di wilayah kadipaten yang dipimpinnya, sedikit banyak dia mendengar juga nama Penyair Muka Kumala. Seorang tokoh persilatan berusia muda yang berilmu tinggi namun berkelakuan seperti binatang berkedok malaikat.
"Kenapa? Apakah ada larangan orang untuk bersyair di wilayah kerajaan ini?"
"Huh! Kaukah rupanya biang perusuh itu?!" dengus Gandasena tak memperdulikan kata-kata si Penyair Muka Kumala.
Walau mengetahui bahwa lawan berilmu tinggi, tapi mana mau dia menunjukkan kegentaran dirinya. Gandasena memandang pemuda itu dengan sikap sinis dan merendahkan. Bahkan terlihat bahwa dia tak takut sedikit pun.
"Ha ha ha ha...! Agaknya kau pun mendengar cerita burung itu rupanya, Ki sanak. Tapi percayalah, aku tak serendah apa yang disangka orang...."
"Tak peduli apa prasangka orang terhadapmu, yang penting saat ini lepaskan gadis itu! Kau tahu siapa dia? Bila pengawal kerajaan melihat hal ini kau tentu tak akan bisa sembunyi ke mana pun dan akan menerima hukuman yang berat!" gertak Gandasena garang.
"Ha ha ha ha...! Siapa yang tak kenal Putri Ratih Kumaladewi yang tersohor cantik rupawan ini? Tentu saja aku kenal kalau beliau putri rajamu. Tapi apa peduliku? Kami saling mencintai, dan kalau orang sudah saling mencintai apa pun tak menjadi soal," sahut si Penyair Muka Kumala tenang sambil tak henti-hentinya tersenyum.
"Huh! Lancang sekali kau berkata begitu, Kisanak! Ratih tak mungkin berbagi kasih dengan orang lain. Kami berkawan sejak masih kecil dan aku tahu dia tak mungkin menodai cinta kami!" dengus Gandasena.
"Oh, tak percayakah kau pada kata-kataku? Baik, mari kita tanyakan sendiri padanya," jawab si Penyair Muka Kumala enteng. Dengan satu gerakan cepat ditotoknya beberapa bagian tubuh gadis itu sehingga membuat gadis itu terjaga. Sepasang mata si Penyair Muka Kumala menatap erat seperti menghunjam ke hati Ratih dan membuat gadis itu seperti orang bodoh.
"Ratih Kumaladewi, katakan pada orang itu. Bukankah cintamu hanya kau peruntukkan bagiku? Kakangmu, Kamajaya...! Katakan padanya agar terang segala duduk persoalan..." kata si Penyair Muka Kumala berulang-ulang.
Setelah selesai mendengar kata-kata itu, Ratih membalikkan tubuh dan menatap Gandasena dengan tatapan asing. Kemudian dari mulutnya meluncur kata-kata yang diucapkan terbata-bata.
"Aku mencintaimu Kakang Kamajaya... cinta ku hanya untuk Kakang Kamajaya...."
"Keparat! Kau telah menyihirnya! Orang sepertimu lebih baik mampus!" geram Gandasena berteriak nyaring sambil melompat dan menyerang si Penyair Muka Kumala dengan pedang terhunus.
"Ha ha ha ha...! Kemarahan hanya membuat otak mu buntu dan hatimu buta. Kekasih orang lain diakui sebagai kekasih sendiri. Ah... ini betul-betul penderitaan hebat. Aku kasihan padamu, Kisanak. Dari pada kau menderita batin yang membuat kau gila, lebih baik aku menolongmu dengan mengirim ke akherat secepatnya," sahut Penyair Muka Kumala masih tetap tersenyum.
Dengan gerakan ringan Penyair Muka Kumala menghindar dari serangan Gandasena. Tangan kirinya masih memeluk Ratih sementara suling di tangan kanannya memapaki pedang lawan.
"Trak!"
"Bet!"
Gandasena mengeluh kesakitan ketika senjata mereka beradu. Himpitan tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat suling itu menandakan bahwa tenaga dalam lawan lebih tinggi beberapa tingkat di atasnya. Kulit tangannya sampai terkelupas menahan pedangnya yang nyaris terlepas. Namun tak percuma sebagai putra kepala pasukan pengawal kadipaten kalau dia tak mampu berkelit dari serangan Penyair Muka Kumala selanjutnya, tendangan cepat ke arah ulu hatinya.
Walaupun gugup, namun tubuh Gandasena mencelat ke atas. Justru hal itulah yang agaknya diharapkan Penyair Muka Kumala. Dengan kecepatan yang sulit dielakkan Gandasena, suling si Penyair Muka Kumala menghantam deras ke batok kepalanya tanpa bisa dielakkan.
"Hiyaaa...!"
"Prak!"
"Aaa...!"
Nyawa Gandasena tak tertolong lagi ketika tubuhnya terhuyung-huyung ambruk dengan batok kepala remuk.
"Hi hi hi hi...! Lenyaplah sudah penghalang kita. Mari kekasihku, kita akan bersenang-senang mereguk surga dunia. Kau pasti akan berbahagia bersamaku!" ujar Penyair Muka Kumala sambil tertawa-tawa senang dan meninggalkan tempat itu secepatnya sambil membopong tubuh Ratih yang tak berusaha menolak.
***
Siang itu udara tak terlalu panas sebab selain matahari tak terlalu garang bersinar, di angkasa terlihat awan hitam mulai menutupi langit biru. Agaknya sebentar lagi suasana akan mendung dan turun hujan. Tapi bagi kedua orang muda-mudi yang sedang berjalan itu seperti tak berusaha berteduh. Padahal melihat dari kulit tubuh mereka yang berdebu bercampur keringat, pastilah keduanya telah melakukan perjalanan yang cukup jauh.
"Pelangi, apakah kau tak merasa lelah? Sudah setengah harian kita berjalan berputar-putar, kau pasti butuh istirahat," kata pemuda berbaju kulit harimau pada gadis di sebelahnya.
"Orang yang kita cari semakin dekat, Bayu. Aku khawatir jejaknya akan menghilang...."
"Hmmm... sungguh bejat perbuatan kakak seperguruanmu itu. Sepanjang perjalanan banyak orang mengutuk dirinya. Ini membuat diriku semakin geram untuk bertemu dan menampar wajahnya! Tak kusalahkan kau begitu mendendam padanya," dengus Bayu mengepalkan tangan.
"Itulah sebabnya batinku tak akan tenang sebelum memotes kepalanya. Letih ini tak seberapa, Bayu. Bila dibanding dengan harapan bertemu dan membalaskan sakit hatiku padanya," sahut gadis yang dipanggil Pelangi itu dengan nada geram.
"Ya, ya... aku mengerti. Tapi sebaiknya kita berhenti di kedai itu dulu. Perutku sudah melilit minta diisi. Begitu juga dengan sahabat kecilku ini. Siapa tahu di desa ini kita mendapat keterangan yang lebih jelas tentang orang yang kau cari itu," kata si pemuda berambut gondrong yang tak lain dari Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
Pelangi mengangguk setuju, keduanya langsung memasuki sebuah kedai yang cukup ramai di desa yang mereka singgahi ini. Beberapa orang pengunjung kedai memperhatikan mereka dengan tatapan aneh yang sulit dimengerti. Sementara yang lainnya acuh tak acuh.
"Mau pesan apa, Ki sanak?" tanya si pelayan menghampiri.
Bayu segera memesan dua porsi untuk mereka berdua, dan santapan khusus untuk monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada di dekatnya.
"Jangan lupa dua bumbung tuaknya, Pak!" lanjutnya sebelum pelayan itu menghilang ke belakang untuk menyiapkan pesanan mereka.
"Apakah kau merasa aneh dengan suasana di sini, Bayu?" tanya Pelangi dengan suara pelan.
"Entahlah. Sekilas kulihat mereka memandang kita penuh selidik., Terlebih-lebih padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kita, tapi aku tak peduli!"
Sepasang mata Bayu melihat beberapa orang keluar dari kedai itu. Dia menoleh ke meja mereka. Makanan mereka belum habis, dan kalau bermaksud keluar dengan semestinya, pastilah mereka harus membayar terlebih dulu. Tapi orang-orang itu keluar begitu saja seperti jagoan yang ingin makan tanpa bayar.
"Kenapa Bayu? Apakah kau mencurigai mereka?" tanya Pelangi yang agaknya juga memperhatikan orang-orang itu.
"Perasaanku mengatakan ada yang tak beres di desa ini. Tapi apa? Yang jelas bersangkutan dengan kehadiran kita..." gumam pemuda itu bertanya-tanya.
"Barangkali kau pernah membuat kekacauan di sini?"
"Hus, bicara sembarangan! Kekacauan apa yang kuperbuat? Menginjak desa ini baru sekarang, bagaimana mungkin bisa mengenal aku sebagai pengacau!"
"Mungkin di desa ini pernah ada seorang pengacau yang wajahnya mirip denganmu." tebak Pelangi sambil tersenyum menggoda.
"Sialan! Memangnya tampangku mirip pengacau? Yang jelas pasti orang-orang di desa ini matanya buta atau lamur semua!"
"Kenapa jadi menyalahkan orang lain?" tanya Pelangi terus menggoda.
"Sudah! Sudah!" sentak Bayu kesal.
Pada saat itu masuk beberapa orang berpakaian seragam seperti pengawal kerajaan. Tanpa basa basi lagi mereka langsung menuju ke arah muda-mudi itu. Salah seorang di antara mereka berkata dengan suara lantang.
"Atas nama Gusti Prabu Wisnupaksi, kau kami tangkap!" tunjuknya ke arah Bayu. Tentu saja Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget mendengar kata-kata itu.
"Heh...?! Apa-apaan ini? Kenal pun tidak dengan raja kalian tiba-tiba seenaknya menangkapku. Apa kesalahanku?!"
"Jangan banyak bicara! Kau telah terkepung. Menyerahlah atau kami akan bertindak keras padamu!"
"Hmmm... menyerah soal gampang, tapi jelaskan dulu apa kesalahanku hingga kalian menangkapku seenaknya?"
"Kau telah melarikan Putri Ratih Kumaladewi!"
"Apa?"
***
ENAM
Bayu lebih terkejut lagi mendengar tuduhan itu. Betapa tidak? Jangankan menculik, mengenal orang yang namanya disebutkan itu pun dia belum tahu. Bahkan namanya pun baru dikenalnya sekarang. Bagaimana mungkin mereka bisa menuduhnya demikian?
"Kisanak, kukira kalian salah alamat. Aku tidak menculik siapa pun, dan gadis ini bukan bernama Ratih Kumaladewi," sahut Bayu tenang.
"Kami tidak mengatakan gadis ini yang kau culik. Menyerahlah kau Penyair Muka Kumala, atau kami terpaksa menggunakan kekerasan sekarang juga!" bentak pengawal kerajaan itu sambil menghunus pedangnya.
Beberapa anak buahnya mengikuti perbuatannya dan bersikap siaga.
"Apa? Kau menyebutku Penyair Muka Kumala? Ki sanak, kau betul-betul salah...."
"Yeaaa...!"
Belum lagi habis kata-kata yang diucapkan Bayu, ujung pedang pengawal kerajaan itu membabat lehernya.
"Aku diperintahkan membawamu hidup-hidup untuk menerima hukuman atau membunuhmu di tempat itu kalau kau membangkang!"
"Sialan!" maki Bayu geram sambil menundukkan kepala menghindar dari sabetan pedang lawan.
"Kaaakh...!"
Monyet kecil sahabatnya itu pun terpekik kaget ketika ujung pedang prajurit yang lain nyaris merobek tubuhnya. Masih untung dia sempat berkelit dengan melompat ke tempat lain.
"Hentikan!" bentak Pelangi tiba-tiba dengan wajah sengit.
"Nisanak, sebaiknya kau tak perlu dekat-dekat dengan bajingan ini!" sahut salah satu prajurit kerajaan.
"Siapa yang kau maksud bajingan? Tidak tahukah kalian siapa dia?!"
Para prajurit kerajaan itu terdiam beberapa saat sambil memandangi pemuda berambut gondrong berbaju kulit harimau itu dengan seksama.
"Siapa lagi kalau bukan Penyair Muka Kumala yang berjiwa bejat itu?!"
"Huh! Dari siapa kalian tahu bahwa dia adalah bajingan keparat itu?"
"Ada orang-orang yang memberitahukan kami tentang kehadiran pemuda ini. Pihak kerajaan disebar ke seluruh pelosok desa karena dia membawa lari Puteri Ratih Kumaladewi."
"Kalian salah. Dia bukan orang yang dimaksud, karena kami pun sedang mencari Penyair Muka Kumala."
"Hmmm... kalau bukan dia, jadi siapa pemuda ini?"
"Bukalah telinga kalian lebar-lebar agar tak salah tangkap lagi. Dialah pendekar muda yang bergelar Pendekar Pulau Neraka."
"Apa?! Pendekar Pulau Neraka?"
Kali ini prajurit-prajurit itulah yang terkejut setelah Pelangi memberitahukan siapa Bayu sebenarnya. Nama itu agaknya telah menyebar pula di tempat ini.
Terbukti para prajurit kerajaan itu menatap Bayu dengan pandangan takjub.
"Pendekar Pulau Neraka?!"
Tiba-tiba seseorang menghampiri Bayu. Seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya terlihat berseri-seri.
"Ki sanak, apakah kau masih mengenaliku?" tanya laki-laki itu.
Bayu memandangi orang tua itu beberapa saat. Kemudian mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau adalah Ki Sentanu, kepala desa Jaranan, bukan?"
"Tak salah! Aku memang Ki Sentanu. Ah, tak sangka akhirnya kita bertemu lagi di desa ini. Tapi... ng...."
"Kenapa Ki Sentanu? Apakah yang membuatmu tiba di desa yang jauh dari desamu ini?" "Itulah Ki sanak. Tahukah kau pemuda yang tempo hari datang menolong kami?"
Bayu mengangguk cepat.
"Dia adalah si laknat keparat itu!" desis Ki Sentanu geram.
"Apa maksudmu Ki Sentanu?"
"Di balik kebaikannya ternyata tersembunyi maksud-maksud jahat yang terkutuk... eh, bisakah kita berbicara tanpa... ng maksudku ini adalah peristiwa yang memalukan bagi desa kami...."
Bayu memandang ke arah Pelangi sejurus kemudian. Ketika dilihatnya gadis itu menganggukkan kepala, mereka meninggalkan desa itu menuju ke suatu tempat.
"Tunggu dulu, Ki sanak!" panggil salah seorang prajurit kerajaan.
"Ada apa lagi?!" Pelangi yang menyambut dengan wajah galak.
"Maafkan kesalahan kami menuduh kalian tanpa bukti...."
"Hmmm... tak apa. Kalau tak ada urusan lain kami permisi dulu," sahut Bayu.
"Maaf Kisanak. Kalau benar kau sedang mencari orang itu, sudilah memberitahukan pihak kerajaan. Paling tidak mencari tahu di mana dia menyembunyikan Putri Ratih Kumaladewi...."
"Ya, akan ku usahakan."
"Terima kasih atas kesediaanmu...."
Bayu mengangguk. Dia segera mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu secepatnya. Mulanya dia sedikit terkejut karena beberapa orang pemuda mengikuti mereka. Tapi Ki Sentanu menjelaskan bahwa orang-orang itu datang bersamanya. Barulah si Pendekar Pulau Neraka mengerti.
***
Di tengah perjalanan Ki Sentanu menceritakan kejadian yang menimpa desa mereka kepada pemuda itu. Bayu mendengarkannya dengan seksama sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah muram. Lebih-lebih Pelangi. Wajahnya diliputi hawa marah yang memuncak.
"Maafkan kesalahan kami tempo hari Kisanak. Kami sungguh tiada menyangka bahwa orang itulah yang justru kami takutkan. Ketika melihatmu tempo hari kami mengira bahwa kaulah orangnya yang bergelar Penyair Muka Kumala. Sebab menurut beberapa orang yang sempat mengenalinya dia berwajah tampan dan berambut gondrong. Persis sepertimu...."
"Sudahlah. Kejadian yang terjadi tak bisa dihindari lagi. Baiknya ini dijadikan pelajaran.... Jadi kalian pergi begitu jauh untuk mencari dan menuntut balas kepadanya?"
"Apa lagi yang bisa kami lakukan? Dia telah menodai hampir semua wanita dan gadis-gadis di desa kami dengan rayuan mautnya. Dan ketika kami menyadari hal itu, dia telah pergi meninggalkan desa dengan menculik lima orang gadis. Salah satu di antaranya adalah putri ku sendiri..." sahut Ki Sentanu sedih penuh luapan emosi.
"Ki Sentanu, orang itu berilmu tinggi dan sulit ditaklukkan. Kalian hanya akan mengantarkan nyawa secara percuma bila bertemu dengannya. Kembalilah pulang, dan serahkan urusan Penyair Muka Kumala pada kami..." ujar Bayu.
"Betul Ki. Biarlah kami berdua yang mewakili kalian untuk membalaskan sakit hati pada jahanam itu. Soal gadis-gadis yang diculiknya kurasa mereka akan pulang dengan sendirinya. Penyair Muka Kumala jarang membunuh gadis-gadis yang telah dinodainya..." timpal Pelangi.
"Itulah yang justru ku takutkan...."
"Lho, kenapa?"
"Dua orang gadis desa kami kedapatan tewas bunuh diri. Mungkin mereka tak kuat menanggung malu. Kalaupun Penyair Muka Kumala tak membunuh mereka, rasanya tak mungkin gadis-gadis itu mau pulang kembali ke kampung halaman mereka. Aku khawatir mereka merasakan harga dirinya sudah tak berguna dan nekat memilih jalan pintas dengan cara bunuh diri..." keluh Ki Sentanu.
"Nah, kalau kalian hendak menyelamatkannya, carilah mereka. Mudah-mudahan masih belum terlambat. Yakinlah bahwa Penyair Muka Kumala jarang membunuh gadis yang dinodainya. Dia memerlukan mereka hanya untuk pemuas nafsu iblisnya saja. Setelah puas maka gadis itu akan ditinggalkannya begitu saja. Kecuali kalau gadis-gadis itu berkeras menagih janji dan memaksanya terus barangkali dia bisa membunuhnya tanpa perasaan sedikit pun," bujuk Pelangi.
"Nah, Ki Sentanu. Pulanglah, lalu carilah mereka. Mudah-mudahan kalian berhasil!" timpal Bayu.
Orang tua itu menoleh dan menatap keduanya agak lama seolah meyakinkan harapan mereka tergantung pada kedua orang itu.
"Sungguh-sungguhkah kalian akan mencari dan membinasakannya?"
Bayu tersenyum. Tapi Pelangi lebih dulu menyahut.
"Kebencian kami tidak kalah dengan kebencian yang kalian miliki padanya. Aku bersumpah akan memotes lehernya!"
"Ohhh... terima kasih! Terima kasih, Kisanak. Aku tak tahu bagaimana cara terbaik mengucapkan terima kasih pada kalian. Khususnya padamu, Kisanak!" tunjuknya ke arah Bayu.
"Sudah, lupakan peristiwa itu...."
"Aku betul-betul tak tahu kau adalah pendekar kesohor itu. Kalau saja kami mengetahuinya tentu kami tak akan bersikap begitu padamu. Bahkan sejak di kedai tadi kami melihatmu, masih tersimpan kekesalan sampai kawanmu ini menyebutkan siapa dirimu...."
"Aku juga salah tak menyebutkan nama pada kalian. Tapi aku sungguh-sungguh tak tahu bahwa namaku berarti bagi kalian..." sahut Bayu.
Tadinya dia akan menyinggung dengan kata-kata, bahwa namanya ternyata lebih berarti dari-pada perbuatannya. Namun mengingat mereka dalam suasana duka dia mengurungkan niat. Bagaimana pun rasa jengkelnya masih terasa karena perlakuan mereka beberapa hari yang lalu. Tapi melihat masalah yang mereka hadapi mau tak mau timbul juga rasa kasihannya.
Tak berapa lama kemudian setelah mengucapkan terima kasih dan penyesalannya sampai berkali-kali, mereka pun pergi meninggalkan kedua orang itu dengan dada penuh harapan.
"Ke mana tujuan kita sekarang?" tanya Pelangi setelah Ki Sentanu dan yang lainnya pergi. Bayu berpikir sesaat.
"Coba pikirkan, bila seorang laki-laki akan melakukan perbuatan maksiat, tempat apa yang kira-kira cocok?" tanya Bayu.
"Mana ku tahu! Aku wanita dan kau laki-laki. Seharusnya kau yang lebih tahu."
Bayu tersipu malu. "Brengsek! Kalau aku sering melakukan hal demikian tentu aku tak akan tanya padamu!" sungutnya gondok.
"Setidaknya kau pasti mengerti. Tempat yang bagaimana tepatnya untuk melakukan perbuatan yang demikian!"
"Hmmm... dia baru saja melarikan putri raja. Setidaknya dia pasti menyadari bahwa prajurit kerajaan tak akan tinggal diam dan pasti mencarinya. Rasanya tidak mungkin kalau dia memilih tempat yang dekat dari desa ini. Setidaknya di desa lain atau di tempat yang terpencil yang jarang dilalui orang."
"Di mana kira-kira?"
"Bagaimana kalau kita berpencar?"
Pelangi memandang wajah pemuda itu beberapa saat lamanya setelah mendengar kata-kata Bayu.
"Kenapa?"
"Bayu, aku tak akan meminta pertolonganmu kalau aku mampu menghadapinya seorang diri. Sudah kukatakan, aku rela mati, tapi harus yakin bahwa dia pun mampus sebelum aku menemui ajal...."
"Ya, ya... hm, kalau begitu lebih baik kita menyelusuri hutan di depan sana. Terlihat ada gunung tinggi. Pasti banyak terdapat lembah atau yang sejenisnya. Tempat seperti itu biasanya jarang dilalui manusia biasa, mari kita ke sana!" ajak Pendekar Pulau Neraka sambil menggenjot tubuh menggunakan ilmu lari cepatnya.
Bersamaan dengan itu Pelangi pun mengikuti sambil merendengi lari Pendekar Pulau Neraka.
***
Seseorang tampak berkelebat memasuki sebuah hutan yang cukup lebat di depannya. Melihat caranya berlari pastilah orang itu bukan sembarangan. Apalagi terlihat bahwa dia menggendong tubuh seseorang. Tampaknya biasa saja seolah tak membawa beban berat. Bahkan wajahnya terlihat senang. Dan sesekali dia tertawa-tawa kecil dan berbicara dengan orang sedang yang dibopongnya itu.
"Hi hi hi hi...! Sebentar lagi manis, sebentar lagi. Kau tentu sudah tak sabaran bukan? Demikian juga aku. Namun tak lama lagi kita akan mengecap kenikmatan bersama-sama. Kita akan mencari tempat yang sepi dan aman dari gangguan orang lain," kata orang itu yang ternyata adalah seorang pemuda gondrong berwajah tampan.
Dalam bopongannya itu adalah seorang gadis cantik yang kulit kuning langsat dan halus sekali. Rambutnya ikal mayang dan hidungnya kecil dan mancung. Siapa pun lelaki yang melihat parasnya pasti akan terpesona. Melihat caranya berpakaian, pastilah gadis itu orang-orang persilatan pada umumnya. Siapakah mereka sebenarnya?
Yang laki-laki bernama Kamajaya, atau lebih dikenal sebagai Penyair Muka Kumala, dan gadis yang sedang dalam bopongannya itu tak lain dari Ratih Kumaladewi yang saat itu sedang mengenakan pakaian penyamarannya. Gadis itu sebenarnya adalah putri raja yang telah dilarikan oleh Penyair Muka Kumala.
Melihat kedudukannya sebagai putri raja, rasanya mustahil gadis itu tak berontak dan berusaha melarikan diri dari orang yang menculiknya. Apa lagi dalam keadaan terjaga begitu rupa. Padahal pemuda itu bukan tunangannya. Kalau saja dia dalam keadaan sadar tentu saja gadis itu akan berbuat demikian. Tapi ada hal yang aneh ketika melihat wajahnya. Sorot mata gadis itu kosong seperti tak ada gairah kehidupan.
Sepertinya dia pasrah saja akan dibawa ke mana oleh pemuda itu. Bahkan ketika Kamajaya menidurinya di balik semak-semak, gadis itu tak berusaha berontak. Sorot matanya tetap menatap kosong pada Penyair Muka Kumala. Begitu juga ketika Kamajaya melepaskan pakaiannya satu persatu hingga tersingkap lekuk-lekuk tubuh gadis itu yang menggiurkan.
"Ahhh... tubuh bagus! Tubuh bagus! Belum pernah aku melihat tubuh bagus seperti ini. Dadamu indah menantang dan pinggul mu padat berisi, Kau betul-betul sempurna sebagai seorang gadis. Sebentar, Sayang.... Sebentar, Sayang..." oceh Kamajaya berulang-ulang sambil mengelus-elus tubuh gadis itu dari atas sampai bawah.
Tak berapa lama kemudian dia pun melepaskan seluruh pakaian dengan dengus nafas garang. Diciumnya gadis itu dengan penuh nafsu dan perlahan-lahan dipeluknya erat-erat. Gadis itu tetap tak bereaksi. Wajahnya hanya sedikit berkerut seperti menahan nyeri ketika dengus nafas Kamajaya semakin kencang seperti orang sedang berlari jauh. Keringatnya telah bercucuran sebesar biji jagung.
Entah berapa lama dia berbuat demikian. Pada akhirnya terdengar dengus nafas Kamajaya mereda. Pemuda itu mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah berseri.
"Ohhh... betul-betul hebat! Sempurna! Kau betul-betul membuatku puas, Sayang!" desisnya berkali-kali. Dipandangnya gadis itu dengan penuh kemesraan dan kembali dikecupnya bibir merah merekah itu. Si gadis diam seribu bahasa tanpa memberikan reaksi. Namun kedua tangan Kamajaya semakin nakal menyusuri kembali lekuk-lekuk padat pada dua buah bukit kenyal yang menantang kejantanannya. Dan seperti orang yang kemasukan setan, Kamajaya mengulangi perbuatan terkutuknya sekali lagi.
Entah setan apa yang merasuk ke dalam pemuda berwajah tampan itu, tapi setiap kali dipandanginya tubuh gadis yang tanpa busana itu, maka setiap kali pula nafsu setannya terangsang kembali dan gadis malang itu harus pasrah menanggung derita yang tak disadarinya. Dia tak bereaksi apa-apa atas perbuatan pemuda itu. Hanya wajahnya yang sesekali berkerut seperti menahan rasa sakit. Dan pada puncaknya saat Kamajaya betul-betul telah kelelahan, gadis itu sepertinya tak kuat lagi menahan rasa sakit. Wajahnya hanya berkerut sesaat, untuk kemudian betul-betul tak sadarkan diri.
"Tidurlah, Sayang... tidurlah. Sebentar lagi kau pasti akan segar kembali dan kita bisa melanjutkan permainan kita esok hari," ujar Kamajaya sambil menyelimuti tubuh si gadis begitu saja dengan bajunya tadi.
Dia sendiri merebahkan diri di atas rerumputan di sebelah si gadis sambil berkali-kali menguap. Sebelah tangannya memeluk tubuh gadis itu dengan penuh mesra. Tak terasa senja telah berlalu, dan keduanya betul-betul pulas dalam gulitanya malam. Yang satu pulas kelelahan sambil menyungging senyum puas, sementara si gadis terlelap tanpa reaksi selain sudut bibirnya yang membuat lekuk jerit batinnya yang luka.
Entah berapa lama mereka terlena dalam keadaan begitu, tiba-tiba saja Kamajaya terbangun sambil memekik keras. Perutnya seperti diaduk-aduk, dan punggungnya terasa linu terbentur batang pohon yang cukup besar. Walaupun dalam keadaan demikian dia masih mampu menjaga keseimbangan tubuhnya dan jatuh di atas kedua kaki dengan mantap.
Matanya agak silau ketika matahari pagi persis menerpa ke arah wajahnya. Sambil menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan darah, pemuda itu berusaha menajamkan penglihatan. Di depannya pada jarak tiga tombak berdiri lima sosok bayangan dengan sorot mata garang mengancam. Kamajaya berusaha mengenali mereka satu persatu. Empat orang laki-laki itu tak dikenalnya, namun ketika melihat seorang gadis yang berdiri paling kiri dia tersentak kaget.
"Pelangi...? Apakah kau Pelangi kekasihku?!"
"Benar Kakang Kamajaya, aku Pelangi. Tapi bukan kekasihmu, melainkan malaikat maut yang akan menjemput nyawamu!"
"Pelangi, kenapa kau berkata begitu? Apakah kau sudah tak mencintai aku lagi?"
"Jangan mencoba untuk merayu ku, Kakang. Percuma, karena segala rayuan mu tak akan mempan lagi untukku!"
"Pelangi, begitu tega kah kau melupakan masa-masa indah kita dulu yang...."
"Diam kataku anjing laknat!" sentak gadis itu dengan suara menggeledek.
Kamajaya agak terkejut mendengarnya. Bukan oleh pengaruh suara yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam hebat itu, melainkan karena dia tahu betul bahwa gadis itu tak pernah mengeluarkan suara sekeras itu padanya sebelum hari ini.
***
TUJUH
Kenapa Pelangi telah berada di tempat itu? Pada saat mereka memutuskan untuk memasuki hutan yang ditunjuk oleh Bayu, keduanya bertemu dengan tiga orang persilatan lain yang kebetulan sedang mencari Kamajaya, alias Penyair Muka Kumala. Yang seorang merupakan utusan dari kerajaan, yaitu Panglima Bayan Rimang. Beliau adalah salah seorang yang berilmu silat tinggi dan amat disegani oleh semua kalangan termasuk orang-orang persilatan. Dengan senjata andalannya berupa tombak sakti dia sempat malang melintang di rimba persilatan dengan gelar Tombak Sakti Pencabut Nyawa, sebelum bekerja pada kerajaan.
Sedang kedua orang lainnya adalah Ki Wangsapala. Seorang tokoh tua yang jarang muncul dan dikenal sebagai Malaikat Maut Berwajah Buruk, dan Nyai Agni Permoni, wanita setengah baya yang termasuk tokoh persilatan berilmu tinggi, dan amat disegani. Beliau lebih terkenal dengan gelar Kuntilanak Pipi Merah. Kedua tokoh persilatan itu agaknya punya persoalan pribadi dengan Penyair Muka Kumala. Terlihat ketika tiba-tiba Nyai Agni Permoni ketawa nyaring dengan nada mengancam.
"Hi hi hi hi...! Inikah orangnya yang punya gelar Penyair Muka Kumala? Hmmm... bocah bagus! Kalau saja kelakuanmu terpuji sungguh senang sekali punya menantu sepertimu. Tapi sayang, kau mempermainkan hati putri ku hingga dia bunuh diri akibat perbuatanmu. Dan kau akan terima balasannya hari ini, keparat!"
Kamajaya menyadari bahwa kelima orang itu datang bukan dengan maksud baik, melainkan ingin menuntut balas terhadapnya. Tapi pemuda itu sungguh percaya diri terhadap kemampuannya. Dengan tenang dia melangkah pelan dan berhenti ketika jarak mereka persis satu tombak. Dipandanginya keempat orang itu satu persatu. Dan pada jarak inilah dia dapat mengenali seorang lagi di antara mereka. Seorang pemuda berambut gondrong berbaju kulit harimau dengan seekor monyet kecil berbulu hitam di pundaknya.
"Hmmm.... Pendekar Pulau Neraka, agaknya kau pun berada di sini. Sungguh kehormatan luar biasa bagiku bisa bertemu dengan sahabat lama di sini," katanya dengan nada ramah sambil tersenyum kecil.
"Aaah... kau terlalu memuji, Kisanak. Orang sepertiku mana pantas menjadi sahabatmu sebab aku lebih cocok menjadi juraganmu yang akan menghukummu karena telah berbuat kesalahan," balas Bayu sambil menahan geram.
"Hmmm... begitukah? Sungguh malang nasib juraganku. Untuk menghukum seorang budak tak berdaya sepertiku saja harus membawa tiga orang centeng yang galak dan seram."
"Demikian pula sebaliknya aku, sungguh kasihan melihat keadaanmu. Saking ketakutannya sampai lupa ingatan dan menganggap tiga malaikat maut yang akan mengadilimu sebagai centengku. Mungkin dalam beberapa saat lagi kau akan semakin tak waras dan menganggap dirimu penguasa tanpa tanding. Tapi bolehlah kau beranggapan demikian asal tempatmu dineraka sana!"
"Ha ha ha ha...! Tak kusangka Pendekar Pulau Neraka yang terkenal sadis dan kejam ternyata cuma pandai bersilat lidah. Nah, katakanlah apa yang kalian inginkan dari budakmu ini?"
"Huh, semakin banyak omong kepalamu akan semakin besar. Aku sudah tak sabaran ingin mengorek jantungmu!" desis Nyai Agni Permoni sambil melompat dan menyerang Penyair Muka Kumala dengan sengit.
"Ohhh... apakah kau pun ingin bersenang-senang denganku? Tak apa. Walaupun kau sudah berumur tapi masih kelihatan cantik dan tak kalah dengan putri mu," ejek Kamajaya sambil bergerak menghindar.
"Yeaaa...!"
"Bet!"
Nyai Agni Permoni mengetahui bahwa pemuda itu berilmu tinggi. Itulah sebabnya dia tak mau berlaku sembarangan. Serangannya ganas dan betul-betul mematikan. Sebagai salah seorang tokoh yang disegani di dunia persilatan tentu saja dia tak mau kehilangan muka dan dijatuhkan pemuda itu dalam beberapa jurus.
Tapi lawan yang dihadapinya kali ini bukanlah orang sembarangan. Walaupun gerakan menghindar yang dilakukan Kamajaya terlihat lemah gemulai seperti orang menari, tapi dengan tiba-tiba bisa berubah cepat dan ganas laksana banteng liar. Sehingga terlihat pertarungan itu betul-betul berjalan seimbang.
Kelima orang itu tadi telah sepakat untuk melakukan pertarungan satu persatu menghadapi lawannya. Mereka tentu saja tak mau kehilangan muka dengan mengeroyok pemuda itu dalam membalaskan sakit hatinya. Padahal kalau saja mau membunuh begitu saja, tentu telah sejak tadi mereka lakukan saat pemuda itu sedang tertidur pulas.
Panglima Bayan Rimang cuma menendangnya dengan sedikit pengerahan tenaga dalam hingga tak membuat Penyair Muka Kumala terluka parah. Tapi karena Kamajaya tak mengetahuinya tentu saja dia tak berusaha menyalurkan tenaga dalam untuk menahan tendangan itu.
Tadinya Pelangi yang akan langsung memotes leher pemuda itu saat dia sedang tertidur, tapi Panglima Bayan Rimang lebih dulu menendangnya setelah meraih tubuh Ratih Kumaladewi dan meletakkan di tempat yang aman.
"Hmmm... aku sudah tak sabar ingin memotes kepala si keparat itu agar Gusti Prabu merasa setimpal dengan apa yang telah dilakukan jahanam itu terhadap putrinya!" ujar Panglima Bayan Rimang dengan wajah geram.
"Bukan kau saja yang ingin kepalanya, sahabat. Aku pun sama besar keinginannya dibandingkan denganmu. Dia telah membawa lari putri ku dan menodainya berkali-kali. Dan setelah puas ditinggalkannya begitu saja!" sahut Ki Wangsapala yang berwajah buruk itu.
"Jadi bagaimana sekarang, Bayu?" tanya Pelangi pelan dan agak menjauh dari kedua orang itu.
"Bagaimana kenapa?"
"Kau tak jadi menolongku?"
"Kenapa tidak?"
"Kelihatannya tenang-tenang saja, dan menyerahkan persoalan kepada mereka!?"
Bayu tersenyum.
"Ahhh... memang sudah nasibku dendam tak terbalas... biarlah. Barangkali untuk hidup pun aku sudah tak berguna lagi. Kalaupun mati toh tak ada yang menyesali...."
"Kenapa berkata begitu, Pelangi? Sabarlah. Kalau kita maju berbareng mengeroyok kakak seperguruanmu itu, tentu yang lain akan merasa diremehkan. Biarlah mereka mendapat bagiannya masing-masing."
"Mereka bukan tandingannya!"
"Hei! Kenapa kau berkata begitu? Mereka merupakan orang-orang tangguh berilmu tinggi!"
"Aku tahu! Tapi kau tak akan tahu sampai di mana kemampuan Kamajaya saat ini. Dulu saja sebelum melarikan kitab pusaka peninggalan guru kami kepandaiannya sudah demikian tinggi dan hampir menyamai guru kami. Bisa kau bayangkan bagaimana kemampuannya sekarang!"
"Sepertinya kau selalu mengunggulkan gurumu dan kepandaian kakak seperguruanmu itu. Selama ini aku tak tahu, siapa guru kalian sebenarnya.
Pelangi melirik pemuda itu sekilas. Kemudian katanya dengan suara lirih.
"Kau menganggap remeh ya? Tak apalah. Barangkali guruku bukan orang terkenal dan bukan satu-satunya orang yang berilmu tinggi. Namanya Kun Tapa...."
"Setan Maut Langlang Buana?!" potong Bayu kaget.
"Kenapa? Apakah kau mengenalnya!" tanya Pelangi enteng.
***
Nama itu pernah dikenal dari gurunya, Eyang Gardika. Seorang datuk sesat yang ilmunya tinggi tiada bandingan. Mereka hidup sejaman dan saling menghormati sehingga tak pernah terjadi bentrok antara keduanya. Beliau juga salah satu yang diantara orang yang diwanti-wanti Eyang Gardika agar dia berhati-hati bila berhadapan dengannya, tapi tak sangka hari ini dia musti berhadapan dengan muridnya.
Bayu tersentak ketika mendengar satu jeritan keras. Terlihat Nyai Agni Permoni terlempar keras menghantam batang kayu besar akibat beradu pukulan dengan Penyair Muka Kumala. Baru saja dia bermaksud memberikan pertolongan ketika melihat Kamajaya telah mencelat dan.bermaksud menghabisi nyawa wanita setengah baya itu ketika Panglima Bayan Rimang telah lebih dulu bergerak memapaki.
"Yeaaaa...!"
"Huh! Kau juga akan menerima bagian yang sama!" dengus Kamajaya.
Namun pemuda itu tak berani gegabah ketika melihat toya di tangan Panglima Bayan Rimang berputar menderu-deru sehingga menimbulkan pusaran angin kencang menghantam dirinya.
"Tak semudah apa yang kau bayangkan, bocah! Kau boleh berbangga hati dengan kehebatanmu. Tapi di hadapanku jangan harap!"
"Hiyaaaa...!"
"Bet!"
"Praak!"
"Akh!"
Panglima Bayan Rimang terkejut setengah mati ketika kepalan tangan pemuda itu dihantamkan ke depan. Tak terlihat angin kencang akibat pengerahan tenaga dalam yang dilontarkannya, tapi tiba-tiba saja toya yang sedang berputar bagai kitiran itu hancur berantakan menjadi puing-puing kecil dihantam pukulan yang tak terlihat itu.
Sementara tangan kanan Panglima Bayan Rimang sendiri hancur sebatas bahu seperti terkena ledakan dahsyat.
"Terimalah kematianmu, sahabat!" bentak Kamajaya sambil meluncur cepat mengirim serangan berikutnya.
Pada saat yang bersamaan tiga sosok bayangan bergerak serentak memapaki serangan Penyair Muka Kumala untuk menyelamatkan nyawa Panglima Bayan Rimang. Tapi hal itu telah disadari Kamajaya, karenanya tubuh pemuda itu melentik menghindar.
"Yeaaa...!"
"Brusss...!"
Beberapa pohon terlihat tumbang dihantam pukulan ketiga sosok bayangan tadi. Sementara Kamajaya terkekeh-kekeh ketika menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ha ha ha ha...! Agaknya kalian sudah tak sabar menunggu giliran hingga perlu turun tangan sekaligus!"
"Penyair Muka Kumala, kami tak perlu turun tangan bersama kalau cuma ingin meringkusmu. Ayo, majulah kau! Hadapi si Wangsapala ini!" tantang orang tua itu geram.
Kalau saja mereka bertiga tadi bergerak bersamaan itu bukan berarti bahwa ketiganya bermaksud mengeroyok Kamajaya. Kebetulan saja mereka mempunyai niat yang sama, yaitu ingin menolong nyawa Panglima Bayan Rimang.
"Hmmm... kau rupanya Ki Wangsapala yang bergelar Malaikat Maut Pencabut Nyawa. Namamu pernah menggetarkan dunia persilatan beberapa belas tahun silam. Kata orang ilmu silatmu hebat tiada tara. Siapa nyana hari ini kau begitu berbaik hati ingin memberi pelajaran padaku. Silahkan Ki sanak! Aku yang muda bersiap menerima pelajaran darimu," sahut Kamajaya sambil tersenyum mengejek.
Ki Wangsapala baru saja akan bersiap menyerang pemuda itu ketika Pelangi menyela dengan tiba-tiba.
"Ki Wangsapala, maaf! Dari tadi aku lebih banyak mengalah. Kali ini kau harus membiarkan aku menghajar bajingan keparat ini!"
"Pelangi...!"
"Diamlah kau, Bayu! Aku telah bertekad untuk menghajar bajingan ini walaupun aku harus mati!" sentak Pelangi ketika Bayu mencoba mencegahnya.
"Tidak bisa, Nisanak! Pemuda ini adalah bagianku!" sahut Ki Wangsapala berkeras.
"Ki Wangsapala, aku punya dendam tujuh turunan terhadapnya. Tidak bisakah kau mengalah sedikit?"
"Bukan kau saja yang mendendam tapi aku pun mendendam terhadapnya. Dia harus mampus di tanganku!"
"Amboooi, hebat benar perselisihan ini rupanya! Agaknya nyawaku betul-betul berharga kali ini. Ki sanak, kalau kalian betul menginginkan kepalaku, kenapa tidak mengambilnya bersama-sama saja?
Setelah kalian mendapatkan boleh dibagi bersama. Aku pun tak keberatan memberikannya asal kalian mau menukar dengan jantung kalian masing-masing," potong Kamajaya tersenyum-senyum.
"Kamajaya keparat! Aku tak perlu campur tangan orang lain untuk memotes kepalamu!" bentak Pelangi sudah terus mencelat ke arah pemuda itu sambil mengirim serangan kilat. Namun pada saat yang bersamaan pula tubuh Ki Wangsapala melompat menyerang Penyair Muka Kumala. Agaknya orang tua itu sudah tak memperdulikan harga dirinya lagi dengan mengeroyok lawan. Yang ada di benaknya adalah bahwa dia tak mau kedahuluan gadis itu yang akan menghabisi lawan. Tekatnya begitu keras bahwa Penyair Muka Kumala harus tewas di tangannya.
"Hiyaaa...!"
"Ha ha ha ha.... Bukankah begini lebih baik? Kekasihku bersekutu dengan orang-lain ingin memenggal kepalaku... hei, Pendekar Pulau Neraka! Apakah kau tak ingin ikut serta dalam pesta ini? Kenapa musti malu-malu? Ayo, ikutlah kalau kau suka!" teriak Kamajaya seperti menganggap enteng.
"Terima kasih, Kisanak. Aku lebih sabar menunggu sisanya saja. Tak baik mengganggu kesenangan orang lain!" sahut Bayu.
Sebenarnya dia agak mendongkol juga, sekaligus geram melihat kesombongan pemuda itu. Sepertinya dia betul-betul menganggap enteng lawan-lawannya. Di samping Bayu pun agak cemas memikirkan Pelangi. Karena Kamajaya kakak seperguruannya tentu lebih mudah baginya untuk mengalahkan gadis itu. Bahkan bukan tak mungkin dia bertindak kejam dengan membunuh Pelangi. Sebab yang terakhir saja dia tega menghajar gadis itu dalam keadaan hamil besar sampai babak belur dan nyaris tewas.
"Apa yang harus kita lakukan, Tiren?" tanyanya lirih sambil memperhatikan pertarungan itu.
"Nguk!"
"Hmmm... tak baik rasanya kalau aku pun ikut turun tangan membantu mereka. Biarlah kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti. Mudah-mudahan mereka berdua bisa mengatasinya."
***
Sementara itu pertarungan antara mereka berlangsung alot dan cepat. Ki Wangsapala dan Pelangi terlihat begitu bersemangat mengalahkan Penyair Muka Kumala. Sebaliknya Kamajaya terlihat masih santai-santai saja melayani mereka. Karena mengetahui semua serangan yang dilancarkan Pelangi, dia seperti tinggal memusatkan perhatian terhadap serangan-serangan Ki Wangsapala. Walaupun demikian belum terlihat bahwa dia memiliki peluang untuk menjatuhkan keduanya.
"Penyair Muka Kumala! Apakah kebisaanmu hanya menghindar saja?! Ayo, keluarkan kepandaianmu!" bentak Ki Wangsapala geram.
"Hmmm... agaknya kau tak sabaran betul Ki Wangsapala. Baiklah kalau itu yang kau inginkan," sahut Kamajaya.
Setelah berkata demikian pemuda itu merubah jurus-jurus yang dimainkannya. Gerakannya semakin cepat dan jurus-jurusnya terlihat membingungkan. Jangankan bagi Ki Wangsapala, bahkan Pelangi sendiri belum pernah melihat jurus yang dimainkan pemuda itu sebelumnya.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Yts!"
Bukan main kagetnya Ki Wangsapala. Jantungnya seperti hendak berhenti berdetak ketika pukulan yang dihantamkan pemuda itu nyaris membuat tubuhnya remuk berkeping-keping seperti batu besar di dekatnya. Anginnya saja terasa membuat tubuhnya bergetar hebat. Belum lagi dia menguasai diri, kembali Kamajaya telah menyerangnya dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata.
"Yeaaa...!"
"Kamajaya, kau meremehkan aku! Terimalah pukulan ini!" teriak Pelangi sambil menghantamkan telapak tangan kanannya ke punggung Kamajaya. Tubuh Penyair Muka Kumala bersalto beberapa kali menghindari angin pukulan Pelangi, namun serangannya ke arah Ki Wangsapala seperti tak berubah.
"Hup! Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
"Begk!"
Ki Wangsapala memekik kesakitan. Paha kanannya kena dihantam pukulan Kamajaya dan kaki di bagian itu hancur seperti terkena ledakan.
"Yeaa...!"
"Kalau kau ingin mampus sekarang, terimalah kematianmu Pelangi!" geram Kamajaya sambil menoleh dan mengirimkan satu pukulan maut ke arah Pelangi yang sedang menghantamkan pukulan bertenaga dalam kuat ke arahnya.
"Pelangi, jangan!" teriak Bayu langsung melompat menyambar tubuh gadis itu.
Pukulan Kamajaya lewat dua inci dari tubuhnya. Tapi Penyair Muka Kumala tak berhenti sampai di situ. Begitu pukulannya melesat, tubuhnya langsung mencelat mengejar Bayu yang sedang membopong tubuh Pelangi.
"Hiyaaat...!"
Bukan main terkejutnya Bayu melihat kecepatan bergerak Kamajaya yang nyaris seringan kapas dan secepat kilat. Jantungnya berkali-kali nyaris berdegup kencang merasakan angin sambaran pukulan lawan yang lewat hanya beberapa kali dari kulit tubuhnya. Sedikit saja dia lambat bergerak bukan mustahil tubuh mereka akan remuk. Dan gilanya pula! Kamajaya seperti orang kesetanan dan terus menyerang mereka tanpa henti.
Sementara itu Bayu masih belum sempat membalas sedikitpun juga. Dia jungkir balik menyelamatkan diri dari sambaran pukulan lawan. Pendekar Pulau Neraka mengeluh sendiri. Dua jurus di muka kalau keadaannya terus begini dia pasti akan kehabisan tenaga dan binasa di tangan lawan.
Maka sambil berteriak keras dan mengempos seluruh kemampuannya, Pendekar Pulau Neraka melentik seperti ikan, beberapa kali di udara sambil melempar tubuh Pelangi.
"Pelangi, jaga dirimu baik-baik dan jangan ikut campur urusan! Biar bajingan ini aku tangani!" teriaknya.
"Tenang saja Bayu! Aku tak apa-apa di sini!" teriak Pelangi ketika mendarat dengan empuk di atas rerumputan.
Setelah merasa bebannya berkurang, tubuh Bayu kembali bersalto beberapa kali menghindari serangan lawan dan mengukur jarak agak jauh dari Kamajaya sambil mengatur nafas. Kemudian dalam satu kesempatan pemuda itu berteriak nyaring sambil menghantamkan satu pukulan ke arah lawan.
"Hiyaaa...!"
***
Sambil menghindari pukulan lawan, serangkum angin kencang menerpa Kamajaya. Si Penyair Muka Kumala tersentak kaget. Tubuhnya sedikit bergetar disambar angin pukulan Bayu. Walau begitu dia masih sempat tertawa ketika menghentikan serangannya dan berdiri tegak berhadapan pada jarak dua tombak.
"Ha ha ha ha...! Ternyata cerita orang-orang tak salah tentangmu. Pendekar Pulau Neraka memang tokoh hebat. Tak percuma hari ini aku bisa belajar banyak darimu."
"Terima kasih, sobat. Kaupun sungguh hebat, namun sayang bahwa kehebatanmu lebih dikenal dengan perbuatan maksiat yang kau lakukan."
"Ha ha ha ha...! Masing-masing orang memiliki kelebihan tersendiri. Anggap saja bahwa hal itu merupakan kelebihanku. Seperti juga halnya dengan ini!"
Setelah berkata begitu sepasang mata Kamajaya menatap tajam ke arah Bayu. Si Pendekar Pulau Neraka terkesima. Untuk sesaat dia merasa perlahan-lahan kesadarannya semakin berkurang.
"Ha ha ha ha...! Sebenarnya kau lemah, sobat. Kau lemah sekali. Bahkan untuk melawanku kau tidak memiliki kemampuan apa-apa. Dalam hatimu penuh rasa ketakutan hebat...."
"Bayu! Sadarlah! Jangan tatap matanya. Dia sedang menggunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi mu!" teriak Pelangi memperingatkan.
"Hiyaaa...!"
"Duk!"
"Aaakh...!"
Peringatan itu sedikit terlambat. Tubuh Kamajaya telah melesat sambil mengirim satu pukulan telak menghantam dada Pendekar Pulau Neraka. Tubuh Bayu terlempar sejauh lima tombak sambil menjerit lemah. Dari mulutnya menggelogok darah segar.
"Sekarang pergilah kau ke neraka. Di sana lebih cocok bagimu!" teriak Kamajaya sambil mengirimkan serangan susulan.
"Keparat...!" desis Pelangi sambil menghantamkan kepalan tangannya ke arah Kamajaya.
"Yeaa...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Kamajaya telah menduga hal itu, tanpa berusaha menghindar dia memapaki serangan Pelangi. Benturan dua pukulan yang mereka lontarkan itu tak dapat dihindari lagi. Pelangi menjerit keras. Tubuhnya terlempar tiga tombak. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Sekarang tak ada lagi yang bisa menghalangiku untuk membunuhmu sobat!" katanya dengan wajah bengis sambil menghantamkan pukulan ke arah Bayu yang sedang megap-megap kepayahan.
"Penyair Muka Kumala, mampuslah kau!"
"Yeaa...!"
"Uts!"
"Hiyaaat...!"
"Glaaar!"
"Aaaa...!"
Pada saat-saat genting begitu ketiga lawannya yang lain dengan nekat maju serentak sambil menghantamkan pukulan jarak jauh ke arahnya. Kamajaya tersentak kaget, namun dia sempat bergerak menghindar dan balas menghantam lawan. Panglima Bayan Rimang dan Nyai Agni Permoni terpental dengan tubuh hancur.
Namun pukulan Ki Wangsapala sempat menghantam pinggangnya dan membuat pemuda itu terjerembab. Tapi Ki Wangsapala pun akhirnya mengalami hal yang sama dengan dua rekannya yang lain karena pada saat yang bersamaan Kamajaya berhasil melepaskan pukulan dan menghantam telak tubuhnya.
Sementara itu Bayu merasakan isi perutnya serta dadanya terasa sakit sekali. Kalau saja dia tak memiliki tenaga dalam yang tinggi, sudah pasti tubuhnya akan hancur seperti yang lainnya.
"Nguk...!"
Monyet kecil berbulu hitam yang melihat sahabatnya itu terluka buru-buru menghampiri. Wajahnya terlihat sedih dan khawatir. Sorot matanya garang menatap ke arah Kamajaya. Kalau saja Bayu tak menarik ekornya, monyet itu telah melompat menyerang si Penyair Muka Kumala.
"Jangan Tiren. Dia terlalu berbahaya bagimu. Menyingkirlah dari sini dan selamatkan Pelangi dan Ratih Kumaladewi."
"Kaaakh...!"
"Jangan buang-buang waktu! Ayo, cepat pergi!" Tapi monyet kecil itu seperti tak mau beranjak dari sisi Bayu.
Dipandanginya pemuda berbaju kulit hari mau itu sedih. Tak terasa air matanya merembang di kedua kelopak mata.
"Jangan menangis, Tiren. Aku tak apa-apa...."
"Nguk...!"
Seperti manusia saja layaknya, monyet kecil itu merasakan bahwa Bayu mengalami penderitaan yang hebat. Rasanya untuk bertarung pun dia tak mampu. Pemuda berbaju kulit harimau itu cuma terbaring lesu seperti menanti ajal. Berkali-kali dia berusaha bangkit, tapi saat itu juga dia mengeluh kesakitan.
"Ha ha ha ha...! Sungguh mengharukan sekali pemandangan yang ku saksikan hari ini. Seekor monyet menangisi majikannya yang akan mampus..." ejek Kamajaya sambil melangkah pelan mendekati mereka.
"Kaaakh...!"
Monyet kecil itu melompat ingin menerkam Kamajaya. Tapi sesudahnya dia terjerembab sendiri karena ekornya masih dicekal Bayu.
"Jangan Tiren! Jangan. Dia bukan tandingan mu. Sebaiknya selamatkan dirimu dari manusia berbentuk setan ini...."
"He he he he...! Jangan harap dia bisa melarikan diri dariku. Hari ini dunia persilatan akan mencatat bahwa si Penyair Muka Kumala telah membawa kepala Pendekar Pulau Neraka ke mana-mana agar semua orang tahu siapa aku. Penyair Muka Kumala adalah raja, dan manakala angin bertiup semilir melanglang semua desa, di situ tahta berada. Membawa jejak sang raja dan bersenandung memujinya..."
"Hentikan ocehanmu, sobat! Kau sama sekali tak pantas menjadi raja. Kau adalah sampah yang menjijikkan!"
"Hi hi hi hi...! Kudengar semua kata-katamu, dan bicaralah yang banyak sebelum jiwamu mengembara di alam lain. Kepalamu akan jadi saksi semua orang di atas jagat ini bahwa nama Pendekar Pulau Neraka akan tamat."
"Huhhh...!"
"Nah, bersiaplah menerima kematian!" desis Kamajaya tiba-tiba dengan wajah garang.
Tangan kanannya bersiap terangkat. Dengan sekali hantam niscaya tubuh si Pendekar Pulau Neraka tak akan berbentuk seperti tiga orang tadi. Namun pada saat-saat kritis itulah tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring.
"Itu dia!"
"Tangkap si Penyair Muka Kumala!"
"Ringkus hidup atau mati!"
"Bunuuuh...!"
Kamajaya tersentak kaget. Di sekelilingnya telah banyak orang berkumpul dengan senjata terhunus. Wajah mereka terlihat garang dengan nafsu membunuh. Tapi setelah memperhatikan lebih teliti, Penyair Muka Kumala kembali terkekeh, "He he he he...! Kerbau-kerbau dungu kerajaan, apa kebisaan kalian ingin menangkapku di sini?!"
***
Yang muncul pada saat itu memang prajurit-prajurit kerajaan yang ditugaskan untuk mencari Putri Ratih Kumaladewi dan menangkap si Penyair Muka Kumala hidup atau mati. Begitu melihat keduanya ada di tempat itu, beberapa orang langsung menghambur ke arah Ratih Kumaladewi yang masih tak sadarkan diri.
"Jangan sentuh dia, atau kalian mampus semua!" bentak Kamajaya.
Salah seorang prajurit yang agaknya kepala dari pasukan itu berteriak nyaring memberi perintah.
"Bawa Putri Ratih Kumaladewi segera dari sini dan yang lainnya tangkap si keparat ini. Kalau dia melawan bunuh di tempat!"
"Ha ha ha ha...! Kalian kira mudah membunuh si Penyair Muka Kumala? Jangan mimpi kerbau-kerbau dungu!
Yeaa...!"
"Glaaar!"
"Aaaa...!"
Terdengar ledakan hebat. Lima orang prajurit kerajaan yang berusaha mendekati Ratih Kumaladewi terpental dengan tubuh hancur berkeping-keping.
"Seraaang...!" teriak kepala pasukan prajurit itu memberi komando.
Lebih kurang dua puluh orang prajurit kerajaan mengurung si Penyair Muka Kumala dan langsung menyerangnya dengan senjata terhunus. Sementara sisanya masih mencoba berusaha menyelamatkan Ratih Kumaladewi, tapi tak semudah itu mereka melakukannya karena Kamajaya tetap mempertahankan sambil menghantam mereka yang mencoba mendekati gadis itu.
"Jangan ada yang coba-coba mendekatinya, kalian akan mampus di tanganku!" dengus Penyair Muka Kumala garang.
Kata-katanya memang ternyata terbukti. Setiap prajurit yang berusaha mendekati gadis itu tewas dihantam pukulan jarak jauh yang dilontarkannya.
Sementara mereka sedang bertarung, Bayu mempergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan hawa murninya perlahan-lahan. Masih terasa nyeri dan aliran darahnya bergerak tak normal. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu terus berusaha sekuat tenaga agar peredaran darahnya bisa kembali normal.
"Bayu... kau tak apa-apa?"
Pemuda itu menolehkan pandangan. Dilihatnya Pelangi merangkak perlahan-lahan mendekatinya. Dari bibirnya tak henti-henti menetes darah kental.
"Agaknya sudah ditakdirkan bahwa aku akan mati di sini...."
"Jangan putus asa Pelangi. Kita harus terus berusaha karena takdir akan kalah pada manusia yang tak berhenti berusaha sampai titik darah yang penghabisan...."
"Apa yang bisa diharapkan lagi? Walaupun prajurit-prajurit itu berjumlah empat kali dibanding sekarang si keparat itu tentu akan menghabisi mereka dengan mudah...."
"Walaupun begitu kau harus yakin untuk tetap hidup. Keyakinan itu perlu agar semangat kita kuat. Kalau semangat kita kuat maka putus asa akan menjauh."
Pelangi terdiam beberapa saat lamanya. Diperhatikannya pemuda berambut gondrong itu lama sekali. Wajahnya semakin pucat dan belakangan darah kental beberapa kali muncrat dari mulutnya. Sementara tak jauh di dekatnya monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada di dekat pemuda itu mondar-mandir memeriksa keadaan sahabatnya itu. Kadang-kadang dia mengurut-ngurut beberapa bagian tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu berkali-kali dan pindah-pindah tempat. Tapi gadis itu tak melihat reaksi yang terjadi.
Tubuh Bayu tetap terbaring bagai sosok mayat yang beku. Apalagi terlihat wajahnya yang semakin pucat. Pemuda itu betul-betul telah kehilangan banyak darah. Tak terasa batin gadis itu bagai diiris-iris. Dia merasa salah. Kalau bukan karena dirinya tak mungkin pemuda itu akan menemui ajalnya di sini. Ah, setelah dia merusak dirinya sendiri, kini diapun merusak kehidupan orang lain. Orang yang sama sekali belum pernah dikenal sebelumnya.
"Maafkan aku Bayu... maafkan aku...."
"Sudahlah Pelangi...."
"Aku yang bersalah hingga hal ini terjadi padamu...."
"Kau tidak bersalah apa-apa. Ini hanya takdir yang berasal dari kesalahanku akibat kelengahan ku sendiri...."
"Bayu... bila Tuhan menghendaki kita hidup, aku bersumpah akan mengabdi padamu walau menjadi budak sekalipun. Meski kau tak suka, aku tak perduli...."
"Jangan berkata begitu Pelangi...."
Bayu tak meneruskan kata-katanya. Dilihatnya tangis gadis itu telah membuat air matanya membasahi kedua pipinya. Wajahnya tertelungkup di tanah. Ingin rasanya dia membujuk dan mendiamkannya. Namun jarak mereka agak jauh. Padahal dia sendiri sulit bergerak. Apa yang diperkirakan Pelangi memang menjadi kenyataan. Prajurit-prajurit kerajaan itu bukanlah tandingan Kamajaya, karena dalam waktu singkat mereka dapat disapu bersih tanpa sisa.
"Ha ha ha ha...! Beruntunglah kau Pendekar Pulau Neraka. Umurmu bisa diperpanjang sesaat lagi. Paling tidak kau masih sempat menatap wajah monyetmu itu sebelum kau mampus!" ejek Kamajaya sambil tertawa penuh kemenangan.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, Kisanak. Kalau kau mau mencabut nyawaku silahkan. Kenapa musti dibuat lama?"
"Ooo... agaknya kau sudah tidak sabaran lagi? Baiklah."
Kamajaya baru saja akan bersiap melancarkan satu pukulan jarak jauh ketika Bayu berkata dengan suara mengejek.
"Pada saat-saat kemenanganmu pun kau masih bersikap curang. Membunuhku dengan cara begitu bukanlah perbuatan ksatria. Kau tahu aku tak mampu menghindar dan melawan. Pada jarak segitu rasanya aku masih mampu menahan pukulanmu dan kau betul-betul pengecut karena membiarkan ku sekarat."
Kamajaya terkekeh-kekeh sambil melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka hingga jarak mereka persis setengah tombak. Kemudian dengan wajah bengis kepalan tangannya dihantamkan ke punggung Bayu yang sedang dalam keadaan tertelungkup.
"Tamatlah riwayatmu hari ini Pendekar Pulau Neraka! Yeaa...!"
"Kaaakh...!"
"Bayu...!" Jerit Pelangi tertahan.
Gadis itu tak kuat menyaksikan peristiwa mengerikan yang terjadi di depan matanya hingga dia menenggelamkan wajahnya ke bawah. Dalam bayangannya pastilah tubuh si Pendekar Pulau Neraka hancur lebur tak berbentuk lagi. Pukulan Pugel Sayuto yang diwariskan guru mereka itu memang dahsyat tiada bandingan. Apalagi Kamajaya telah mempelajari kitab yang sebagian berisi tentang tingkat lanjutan pukulan itu. Pastilah kekuatannya akan berlipat ganda. Dalam keadaan terluka parah begitu mana mungkin Pendekar Pulau Neraka mampu menahannya.
"Hiyaaa...!"
"Siing!" ,
"Crab!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit setinggi langit menggema di tempat itu. Jantung Pelangi seperti berhenti berdetak. Ketika seberkas cahaya keperakan kembali melesat dua kali, kembali terdengar jeritan lemah yang disusul ambruknya sosok tubuh. Gadis itu terkejut. Tak mungkin Bayu tewas dengan tubuh ambruk. Pasti ada yang tak beres! Perlahan-lahan wajahnya terangkat untuk melihat kejadian itu.
"Bayu?! Kau... kau masih hidup?" jeritnya dengan wajah penuh kegembiraan.
Dilihatnya tubuh Kamajaya ambruk dengan dada kiri berlubang. Kemudian kening dan perutnya pun berlubang hingga tembus ke belakang. Dan Bayu berusaha bangkit mendekatinya sambil tersenyum dengan wajah pucat.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Pelangi nyaris tak percaya.
"Tuhan belum menghendaki aku untuk mati di tangannya. Itulah takdir yang sebenarnya. Kini bangkitkan semangat hidupmu dan pelan-pelan alirkan peredaran darahmu yang tersumbat. Aku akan membantu mengurut-ngurutnya."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapi! Kau telah berjanji akan menjadi budakku, maka kau harus menurut apa yang kukatakan!" sentak Bayu.
Gadis itu tersenyum manis dan melakukan apa yang diperintahkan si Pendekar Pulau Neraka. Sebenarnya apa yang telah terjadi tadi? Pada saat prajurit-prajurit kerajaan sedang menggempur Kamajaya, Bayu mengerahkan hawa murninya dan melancarkan peredaran darahnya yang kacau balau. Itulah yang dilihat Pelangi ketika dia berkali-kali muntah darah kental.
Tenaganya tak seluruhnya pulih, namun dia mampu bergerak. Namun bila bertarung dengan Kamajaya niscaya dalam satu jurus dia pasti binasa. Apalagi jarak mereka agak jauh. Itulah sebabnya dia memancing si Penyair Muka Kumala agar lebih mendekat. Dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir Bayu bergulingan menghindari pukulan Kamajaya sambil melemparkan Cakra Maut tepat menembus jantung lawan. Senjata mautnya itu kembali bergerak dua kali menghantam kening dan perut Kamajaya hingga si Penyair Muka Kumala ambruk dan tewas beberapa saat kemudian.
Setelah beberapa saat kemudian terlihat Pelangi memuntahkan darah kental berkali-kali. Wajahnya terlihat semakin pucat, namun dia masih sempat tersenyum dan duduk bersila di sebelah Bayu.
"Hamba telah melakukan apa yang juragan perintahkan, dan kini kalau tak keberatan sudikah juragan menceritakan kejadian tadi? Juragan mungkin tak menyangka bahwa budakmu ini begitu cemas dan khawatir akan keselamatan dirimu..." ujar gadis itu tersenyum.
Bayu menceritakan kejadian itu, dan menambahkan.
"Itulah sebabnya aku diam saja agar dia tetap menyangka bahwa aku masih tetap tak berdaya. Entahlah... tindakan itu sepertinya curang. Tapi aku tak peduli kata orang, sebab orang seperti dia kalau terus hidup akan menimbulkan malapetaka yang lebih mengerikan," jelasnya mengakhiri cerita.
"Percayalah Bayu. Tak ada seorang pun yang menyalahkan tindakanmu. Kau melakukan hal yang benar..." sahut Pelangi!
Bayu tersenyum kecut sambil berdiri menggendong monyet kecil sahabatnya itu.
"Tugasku telah selesai. Kini aku harus pergi...."
"Bayu, aku tak akan mencabut kata-kataku tadi!" tegas Pelangi dengan wajah serius.
Pendekar Pulau Neraka menggeleng lesu.
"Maaf Pelangi, aku tak bisa. Langkahku masih panjang dan aku tak mau terikat oleh apa pun...."
"Aku tak memaksamu agar menjadi suamiku. Tapi ijinkanlah aku ikut ke mana pun kau pergi. Paling tidak menemanimu selama beberapa hari sampai kau sembuh betul...?" sahut gadis itu dengan nada penuh harap.
Bayu berpikir beberapa saat lamanya, kemudian mengangguk pelan.
"Oh, terima kasih Bayu!"
Tiba-tiba gadis itu memeluk tubuh Pendekar Pulau Neraka erat-erat dan mencium bibirnya hingga pemuda itu terkejut dan jatuh terjerembab. Bayu tak kuasa menolak selain pasrah!
"Hmmm... kenapa desa ini? Apakah tidak berpenghuni?" tanya Bayu di dalam hatinya.
"Nguuuk."
"Apakah kau yakin desa ini tak berpenghuni, Tiren?" tanya Bayu sambil berpaling menatap Tiren.
Monyet kecil berbulu hitam yang sejak tadi berada di pundaknya berteriak pelan. Namun agaknya Bayu telah mengerti betul arti dari suaranya itu.
"Ya, kau benar. Aku pun merasakan bahwa mereka sepertinya sedang dilanda ketakutan. Tapi apakah karena kedatangan kita?"
"Nguk! Nguk!"
"Hmm..., tidak mungkin. Kalau pun mereka takut itu pasti karena melihat tampangmu yang lucu!" goda Bayu sambil tersenyum melirik sahabat kecilnya.
Monyet kecil itu agaknya mengerti bahwa Bayu menggodanya. Tangannya langsung menjewer telinga Pendekar Pulau Neraka.
"Hei, jangan keras-keras! Telingaku bisa copot nanti!" teriak Bayu sambil terkekeh.
"Kaaak...!"
"Ha ha ha ha...!"
"Nguk! Nguk!"
Tiren tampak bersungut-sungut sambil melepaskan jewerannya. Bayu masih terkekeh. Tapi tiba-tiba wajahnya berubah serius ketika mendengar tangis bayi dari salah satu rumah.
"Kau dengar, Tiren? Sepertinya ada suara tangis bayi. Coba kita ketuk pintu rumahnya. Siapa tahu mereka mau berbaik hati memberikan tumpangan menginap buat kita," kata Bayu sambil melangkah pelan ke arah suara tangis bayi yang didengarnya tadi.
Dari luar terlihat cahaya penerangan dari dalam rumah yang baru saja dinyalakan. Masih terdengar suara sang ibu yang berusaha mendiamkan bayinya yang semakin rewel. Bayu berdiam diri beberapa saat menunggu suasana reda. Tapi yang ditunggu tak kunjung tiba. Tangis bayi itu semakin keras.
"Diamkan anakmu! atau kau ingin si keparat itu menuju ke sini?" terdengar bentakan dari dalam.
"Iya, iya... aku juga sedang mendiamkannya. Kenapa kau sekarang jadi pemarah begitu?"
"Apakah kau ingin kita semua celaka...?"
"Kenapa musti begitu? Kita tak punya sesuatu yang bisa diambilnya."
"Jangan banyak bicara, Karsih! Semua orang mengetahui bahwa si keparat itu tak memilih-milih bulu.
Sekarang kau bisa mendiamkan anakmu atau kita menjadi pusat perhatiannya?"
Tak terdengar sahutan dari suara perempuan tadi selain suara bujukan yang ditujukan pada bayinya. Bayu jadi tak enak hati untuk mengetuk pintu rumah itu. Dia ingin berbalik namun kakinya tersandung bangku kecil.
"Brak!"
"Siapa...?!"
Terdengar bentakan dari dalam. Bayu sengaja tak menyahut dan menempelkan telunjuk ke bibir untuk memberi isyarat pada sahabat kecilnya yang bernama Tiren untuk tidak mengeluarkan suara.
"Sebaiknya kita buru-buru saja meninggalkan rumah ini," bisiknya sambil melangkah pelan.
"Bedebah! Jangan kira kami takut padamu. Ayo, tunjukkan dirimu di hadapanku!"
Tiba-tiba saja pintu terbuka dan dari dalam keluar seorang laki-laki berusia muda menggenggam golok di tangan. Wajahnya terlihat garang penuh kemarahan. Bayu terkesiap tak sempat menghindar. Dia hanya bisa menggerakkan tangan sambil tersenyum berusaha menjelaskan.
"Maaf Kisanak, kami tak bermaksud mengganggu ketenangan kalian. Tadinya kami bermaksud menumpang menginap tapi karena suasananya mungkin tidak mengijinkan, baiklah kami pergi saja..."
"Huh? Siapa yang percaya pada mulut manismu? Di depan kau katakan akan pergi. Tapi di belakang kau akan membokong diam-diam!"
"Ki sanak, harap tidak menuduhku yang bukan-bukan. Kami berdua sama sekali tak bermaksud buruk...."
"Phuih! Kau kira aku takut padamu? Orang-orang boleh takut padamu tapi jangan harap padaku. Walau kau bermulut manis sekalipun aku tak perduli. Hari ini biar kita tentukan, kau atau aku yang akan mampus!"
Setelah berkata begitu, pemuda tadi langsung menyerang Bayu.
"Yeaaah...!"
"Uts! Sabar, Ki sanak. Sabar...."
"Telah cukup lama kami bersabar tapi kali ini tidak lagi!"
"Ada persoalan apa sebenarnya?" tanya Bayu sambil berkelit menghindari serangan orang itu yang membabi buta.
"Phuih! Masih bisa juga kau berkelit dari perbuatan terkutukmu dengan berpura-pura bodoh. Tanyakan nanti pada setan-setan di neraka sana!"
Bayu menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap orang itu. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja dia diserang dan dituduh macam-macam. Tentu saja pemuda yang bergelar Pendekar Pulau Neraka terheran-heran.
Melihat dari gerakan orang itu agaknya dia memiliki sedikit kepandaian ilmu silat. Tapi dari beberapa gerakan saja Bayu cepat menyadari bahwa kepandaian pemuda itu tak seberapa. Lebih-lebih saat dia sedang kalap seperti sekarang. Gerakannya tak teratur, sehingga dalam satu kesempatan mudah saja bagi Bayu untuk menangkis serangan-serangannya.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Bet!"
"Maaf, Ki sanak. Aku tak bermaksud mencelakaimu tapi golokmu ini bisa menimbulkan korban, sebaiknya jangan kau pergunakan," kata Bayu sambil menangkap pergelangan tangan lawan dan menarik senjata pemuda itu hingga terlepas dari genggaman.
"Yeaaah...!"
Walau goloknya telah berpindah ke tangan Bayu dan pergelangan tangannya ditangkap si Pendekar Pulau Neraka, pemuda itu bukannya takluk dan menyerah. Kepalan tangan kirinya langsung menghajar Bayu.
Melihat hal itu bukan main geramnya Pendekar Pulau Neraka. Sambil memiringkan tubuh, tangan kanannya cepat menangkis. Dan sebelah kakinya langsung menyapu kaki lawan. Tak ampun lagi, pemuda itu terbanting dengan keras.
"Gusrak!"
Sambil mengeluh pelan dia berusaha bangkit. Bersamaan dengan itu seorang perempuan muda berwajah cantik berlari dari arah dalam. Sambil menggendong bayi dalam pangkuannya, wanita itu menjerit dengan wajah cemas.
"Oh, Kakang...! Apa yang terjadi padamu...?!" Wanita itu begitu cemas sampai dia berteriak dengan suara yang agak keras dan memilukan hati.
Padahal pemuda yang tak lain dari suaminya tidak mengalami cedera berat. Entah karena suaranya tiba-tiba saja beberapa penduduk desa keluar dari rumah sambil menghunus senjata di tangan. Wajah mereka terlihat garang memandang ke arah Bayu. Salah seorang coba meyakinkan pemuda yang tadi berhadapan dengan Pendekar Pulau Neraka.
"Kau tidak apa-apa, Kardi?
"Syukurlah kalian cepat datang. Aku tidak apa-apa."
"Hmm..., Ki sanak Kalau kau bermaksud jahat terhadap orang-orang di desa ini pergilah cepat sebab kami tak sudi kau perlakukan sesuka hatimu," kata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dengan suara dingin.
Bayu semakin tak enak hati saja melihat suasana itu. Dipandanginya mereka sekilas, dan tak satu pun dari wajah-wajah itu yang menunjukkan sikap bersahabat. Semuanya berwajah geram dan penuh kegarangan. Rasanya bila ada satu perintah yang keluar dari mulut seseorang maka laksana air bah mereka akan menyerbu ke arahnya.
"Ki sanak, kejadian ini barangkali cuma salah paham. Kedatanganku ke sini sama sekali tak bermaksud buruk."
"Dusta! Dia telah mencelakakan Kang Kardi!" bentak wanita yang sedang menggendong bayinya itu dengan wajah sengit.
"Kalau aku bermaksud mencelakakan dirinya, apakah suamimu bisa bangkit lagi, Nyai?" tanya Bayu dengan suara lunak.
"Huh! Kau hanya berpura-pura saja! Melihat dirimu telah terkepung maka nyalimu berubah ciut. Tapi hari ini jangan harap mereka percaya dengan mulut manis mu!"
Bayu menghela nafas pendek. Tuduhan wanita itu sungguh tidak beralasan sama sekali selain dari fitnah yang ingin dilontarkan pada dirinya. Lagipula bila dia terus menjawab dan berusaha mengelak, keadaan akan semakin keruh. Dan bisa jadi tuduhan mereka akan semakin kuat bahwa dia adalah tamu yang membuat malapetaka bagi seluruh penduduk desa ini.
Berpikir begitu Bayu bermaksud membalikkan tubuh. Namun bersamaan dengan itu beberapa orang pemuda desa bergerak mengepungnya dengan sikap mengancam.
"Kisanak, aku telah jelaskan bahwa ini cuma salah paham belaka kenapa harus dibuat menjadi begini? Kedatanganku ke sini cuma bermaksud menumpang menginap tapi ternyata mereka salah paham, dan aku sama sekali tak bermaksud mencelakai suami wanita ini melainkan untuk membela diri. Nah, karena kehadiranku ternyata tak dikehendaki, ijinkanlah aku meninggalkan desa ini," kata Bayu menjelaskan.
"Hmm... apakah bisa kupercaya kata katamu?" tanya laki-laki setengah baya tadi yang agaknya begitu dihormati oleh orang lain.
"Aku tak memaksamu untuk percaya, Ki sanak. Apa yang kukatakan tadi adalah hal yang sebenarnya," sahut Bayu.
"Ki Sentanu, bajingan ini tak boleh dipercaya! Dia akan membuat keonaran kalau tidak kita adili sekarang juga. Akan banyak lagi korban yang jatuh karena ulahnya. Apakah akan dibiarkan pergi begitu saja...?"
Laki-laki yang dipanggil Ki Sentanu itu menoleh pada wanita yang sedang menggendong bayinya. Kemudian dengan suara lunak dia bertanya.
"Nyi Karsih, sebagai kepala desa aku punya kewajiban untuk menentukan persoalan salah atau tidak menyangkut keamanan desa. Memang betul kita harus curiga pada setiap pendatang asing. Apa lagi sejak kekacauan yang melanda desa tetangga kita belum lama ini. Tapi bukan berarti kita harus menuduh setiap orang yang datang ke desa ini adalah pengacau sebelum melihat bukti yang jelas," jawab Ki Sentanu dengan sikap arif.
Laki-laki yang ternyata adalah kepala desa Jaranan kemudian memalingkan wajah ke arah Bayu.
"Nah, Ki sanak. Sebelum mereka berubah pikiran, sebaiknya cepatlah kau tinggalkan desa ini. Kami tak bermaksud mengusirmu tapi setiap pendatang asing di desa ini patut dicurigai sejak terjadinya peristiwa keonaran di beberapa desa. Terlebih-lebih seorang pemuda sepertimu.
Tadinya Bayu bermaksud ingin minta penjelasan. Namun melihat sikap mereka yang tak bersahabat dia mengurungkan niat dan bermaksud meninggalkan desa itu secepatnya. Belum lagi Bayu berjalan sepuluh langkah sekonyong-konyong terdengar jeritan panjang dari sebuah rumah yang berada di ujung desa. Semua yang berada di tempat itu memalingkan wajah dan melihat kepulan asap dan nyala api yang membakar rumah penduduk.
"Apa kataku! Si keparat ini ternyata tak datang sendiri!" teriak wanita yang sedang menggendong bayi pada Ki Sentanu.
"Tangkap pemuda itu, dan sebagian segera ke sana!" perintah Ki Sentanu cepat.
"Yeaaah...!"
"Mampuslah kau lebih dulu, Keparat!"
Dengan amarah yang meluap beberapa orang penduduk desa yang sejak tadi telah menunjukkan sikap bermusuhan menyerang Bayu, sementara yang lainnya mengikuti Ki Sentanu ke arah kebakaran itu.
"Tunggu! Kalian salah menilai orang." Ucapan si Pendekar Pulau Neraka terputus ketika ujung senjata mereka bertubi-tubi menghantam ke arahnya. Terpaksa Bayu berkelit ke sana ke mari mempertahankan selembar nyawanya. Pemuda berambut gondrong itu bukan main kesalnya melihat sikap orang-orang ini. Namun walau demikian dia sedikit mengerti akan kecurigaan mereka terhadap orang asing, serta kecemasan akan malapetaka yang bakal menimpa meski dia tak mengerti apa itu sebenarnya.
Tapi dia pun tak bisa menghindar terus-terusan dengan cara begini. Walau orang-orang itu sama sekali bukan lawan yang sepadan, lama-kelamaan tentu dia akan kehabisan nafas. Atau paling tidak akan terluka. Lagipula dia bukan termasuk orang yang sabar. Lebih-lebih diperlakukan begitu. Maka dengan kesal Bayu mulai membalas.
"Orang-orang picik tak tahu diri! Kalian kira dengan membunuhku malapetaka tak akan mengganggu kalian lagi? Huh!"
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Duk!"
"Ugkh!"
Sekali Bayu berkelebat, lima buah golok berhasil dirampasnya, dan sebagian lain dihajarnya hingga terlepas dari genggaman Lalu ketika tubuhnya kembali berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, para pengeroyoknya mengeluh kesakitan. Tubuh mereka terpental sambil mendekap perut.
"Kalian uruslah diri kalian sendiri. Aku akan pergi dari sini!" desis Bayu sambil melemparkan golok-golok di tangannya. Pendekar Pulau Neraka itu bermaksud berkelebat dari situ secepatnya. Tapi monyet kecil berbulu hitam yang sejak tadi berada di pundaknya, melompat dan menunjuk-nunjuk sesuatu sambil berteriak.
"Nguk! Nguk!"
"Sudahlah, Tiren. Untuk apa menolong orang yang akan mencelakakan kita. Biar sekalian mereka mampus dimakan api!" dengus Bayu kesal.
"Kaaakh...!"
"Aaaakh...!"
"Tolooong...!"
Bayu tersentak kaget. Dalam sekejap kebakaran tadi semakin meluas. Dan orang-orang yang berada di dalam rumah serabutan lari keluar menyelamatkan diri sambil berteriak-teriak ketakutan. Suara itu ditingkahi oleh jerit kematian dan gelak tawa dari segerombolan orang-orang berwajah seram.
"Nguk!"
"Iya, aku tahu dan kali ini biarlah mengalah. Lagipula toh mereka orang-orang desa yang tak memiliki kepandaian apa-apa. Mana mungkin aku bisa membiarkan pembantaian terhadap si lemah terjadi di depan mataku," sahut Bayu ketika monyet kecil sahabatnya menarik-narik tangannya.
"Kaaakh...!" Tiren menjerit senang.
Sambil menggendong sahabatnya, Bayu langsung menggenjot tubuh dengan menggunakan. ilmu lari cepatnya menuju peristiwa yang dilihatnya dari jarak jauh. Apa yang diduganya memang terbukti. Segerombolan orang sedang membuat kekacauan di desa ini. Mereka merampok dan membakar beberapa buah rumah.
Beberapa orang penduduk mencoba mempertahankan hak mereka. Tapi sebagian tewas bergelimpangan darah dihajar gerombolan itu. Sementara di sudut lain terlihat beberapa orang wanita sedang diseret ke balik semak-semak oleh beberapa orang laki-laki berwajah kasar.
"Bedebah laknat! Perbuatan mereka betul-betul seperti binatang!" maki Bayu.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka langsung melompat dan menghajar orang-orang yang hendak melakukan perbuatan mesum terhadap wanita-wanita desa.
"Hiyaaa...!"
"Begkh!"
"Aaa...!"
"Siapa kau?!"
Melihat serangan Bayu yang sangat mengagetkan, tentu saja membuat kawan kawannya yang lain sangat terkejut. Dan sekejap mereka melihat beberapa orang terpental sambil memuntahkan darah dari mulutnya. Salah seorang bertubuh besar yang agaknya kepala gerombolan itu langsung membentak garang.
"Huh! Peduli apa kau tahu siapa aku. Yang jelas aku adalah malaikat maut yang akan menendang kalian ke neraka!" sahut Bayu sambil mendengus sinis.
"Keparat...! Rupanya ada juga orang yang sok berani jadi pahlawan di hadapanku. Hei, bocah! Mungkin kau belum mendengar nama Rampok Sungai Alur. Nah, kamilah orangnya! Sebelum kupecahkan kepalamu dengan gada berduri ku ini, bersujudlah minta ampun. Siapa tahu akan berbaik hati mengampuni jiwamu!" bentak orang bertubuh besar itu sambil mengacungkan senjatanya yang berupa gada berduri berbentuk buah kelapa di ujungnya.
"Ha ha ha ha...! Menyerahlah kau, Bocah. Atau kepalamu akan kami rencah beramai-ramai!" sambut anak buah Rampok Sungai Alur sambil tertawa bergelak.
"Kaaakh...!"
Mendengar itu monyet kecil di pundak pemuda berambut gondrong itu memekik nyaring sambil menjulurkan lidahnya mengejek kawanan Itu.
"Ha ha ha ha...! Kau lihat, Tiren? Wajahmu lebih cantik ketimbang mereka, dan sikapmu lebih baik dari mereka. Kata apakah yang lebih pantas untuk mereka selain dari binatang berujud manusia?" ejek Bayu sambil terkekeh.
"Bedebah! Rupanya kau ingin mampus, Bocah! Anak-anak, rencah bocah keparat itu!" teriak kepala Rampok Sungai Alur dengan wajah geram.
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang waktu lagi kawanan Rampok Sungai Alur langsung menyerang Bayu bertubi-tubi. Tapi dengan gerakan yang sangat mantap sekali, pemuda berambut gondrong yang bergelar Pendekar Pulau Neraka langsung menyambutnya. Terhadap mereka yang jelas-jelas telah menunjukkan niat jahatnya, dan kini malah ingin merencahnya beramai-ramai, tentu saja Pendekar Pulau Neraka tak bertindak setengah-setengah. Kekesalannya yang tadi ditumpahkan pada para pengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
"Begkh!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Dengan gerakan yang begitu cepat dan sulit diikuti oleh pandangan mata biasa, Bayu berkelit dari serangan lawan dan balas menyarangkan pukulan dengan telak. Tak ampun lagi, sekali dia bergerak lima orang anak buah Rampok Sungai Alur terpental sambil memuntahkan darah segar.
"Keparat! Rupanya kau memiliki kepandaian juga, heh...! Pantas berani berlagak di hadapanku. Tapi mengganggu urusan Rampok Sungai Alur kau sungguh gagah, bocah. Aku Weling Ijo yang akan merencah batok kepalamu!" bentak kepala Rampok Sungai Alur itu sambil melompat dan mengayunkan senjatanya.
Bersamaan dengan itu seluruh anak buahnya seperti melupakan tujuan mereka semula dan sudah ikut terjun mengeroyok pemuda itu. Agaknya kemarahan pimpinan mereka yang bernama Weling Ijo membuat
kemarahan mereka pada Bayu semakin bertambah. Dan barangkali juga merupakan isyarat bila Weling Ijo telah menggempur lawan berarti mereka harus mempertaruhkan nyawa demi membuat musuh binasa.
"Yeaaah...!"
"Hiya...!"
Untuk sesaat Bayu agak terkesiap melihat cara mereka bertarung. Serangan-serangan mereka membabi buta tapi tidak menjadikan gerakan mereka kacau balau. Sepertinya serangan itu memang ditujukan untuk penyerangan bersama dan dengan Weling Ijo sebagai ujung tombak yang sangat berbahaya. Terlebih-lebih dengan senjata gada berdurinya yang mengancam keselamatan siapa saja yang menjadi lawannya.
"Sekarang jangan harap kau bisa lari dariku!" dengus Weling Ijo sambil tersenyum sinis melihat Bayu tak berkutik untuk membalas serangan mereka. Tapi kalau Pendekar Pulau Neraka belum membalas serangan gencar itu, bukan berarti bahwa dia tak mampu membalas.
Diam-diam Bayu mengagumi barisan serangan yang mereka lakukan. Begitu teratur dan kompak. Salah seorang menyerang, maka ketika dia menghindar dari serangan balasan Bayu, seorang kawannya telah langsung menyerang dari arah lain. Begitu seterusnya. Kalau saja rata-rata mereka memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi, niscaya tentu Pendekar Pulau Neraka itu akan berhadapan dengan lawan yang amat tangguh.
Namun ilmu silat yang mereka miliki masih jauh di bawahnya. Dan jika ada yang bisa diperhitungkan itu cuma. Weling Ijo, kepala Rampok Sungai Alur. Dan ketika orang bertubuh besar itu mengejeknya demikian, Bayu cuma tersenyum sinis.
"Siapa yang sudi lari darimu? Aku bahkan ingin melihat kalian lari terbirit-birit!" balas Bayu sambil tersenyum tipis seperti mengejek.
"Hiyaaaa...!"
"Sing!"
"Heh! Cakra Maut...?!
Weling Ijo tersentak kaget ketika melihat lawannya mengibaskan sebelah tangan ke atas. Pada saat itu juga melesat sebuah benda bersinar keperakan yang mendesing cepat bagai kilat menyambar kawanan itu.
"Crab!
Crab!"
"Aaa...!"
"Berhenti!" bentak Weling Ijo lantang menggelegar. Kepala Rampok Sungai Alur mendatangi beberapa orang anak buahnya yang tewas disambar senjata maut yang melesat dari tangan pemuda gondrong berbaju kulit harimau itu. Kemudian dengan wajah penuh tanda tanya dia berpaling pada Bayu.
"Ki sanak, siapa kau sebenarnya? Di dunia ini setahuku cuma dua orang yang memiliki senjata itu, yaitu si Cakra Maut yang bernama Gardika, dan belakangan seorang pemuda bergelar Pendekar Pulau Neraka. Melihat usiamu tentu kaulah yang bergelar Pendekar Pulau Neraka. Apakah dugaanku benar?" tanya Weling Ijo dengan suara yang lebih lunak.
"Hmm... sebenarnya aku tak suka menyebutkan nama sekedar untuk pamer. Tapi dugaanmu benar, Weling Ijo. Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu.
"Tak sangka, ternyata kali ini kami terbentur dengan batu cadas. Ki sanak, maafkan kelancangan kami...."
"Ki sanak, maaf... aku tak mengerti ke mana arah pembicaraanmu?"
"Hm... begini. Mengingat nama besarmu, biarlah kami mengalah dan menyudahi urusan sampai di sini...."
"Begitu lebih baik. Aku pun sebenarnya lebih menyukai penyelesaian cara begini...." Namun ketika Weling Ijo mengajak anak buahnya untuk segera berlalu dari tempat itu, salah seorang penduduk desa cepat-cepat membuka suara sambil menatap Bayu. Tapi jelas sekali kalau bicaranya ditujukan pada Weling Ijo.
"Kisanak, orang seperti mereka tak bisa dibiarkan begitu saja. Kalau benar Ki sanak seorang pendekar yang digdaya yang ternama, sudah sepatutnya mencegah perbuatan-perbuatan mereka yang biadab. Kalau mereka dibiarkan pergi, maka akan banyak lagi kekacauan yang mereka perbuat."
Bukan main geramnya Weling Ijo mendengar kata-kata itu. Kalau saja di situ tidak ada Pendekar Pulau Neraka, mungkin tubuhnya akan langsung melompat dan merobek mulut orang itu, tapi kali ini dia cuma berbalik dan menatap Bayu seperti menanti keputusan pemuda berbaju kulit harimau.
"Ki sanak semua, aku tak berhak mengadili orang yang sudah mengadakan perdamaian. Siapakah yang bisa menduga apa yang mereka lakukan esok hari? Belum tentu mereka melakukan kejahatan. Lalu apakah aku harus menghukum orang-orang yang belum kelihatan bersalah? Kurasa hari ini telah cukup. Beberapa orang penduduk desa telah tewas, tapi di pihak mereka pun banyak yang tewas. Dan mereka telah mengembalikan harta benda kalian semua. Kalau mereka mempunyai maksud begitu, bagaimanakah aku harus menghukum? Lagipula bukan kewajibanku untuk menghukum mereka," sahut Bayu.
Tapi jawaban itu ternyata belum memuaskan mereka. Sebagian penduduk masih menggerutu kesal. Saat itulah terdengar suara keras dengan nada-nada bersyair mengalun dari kegelapan cabang-cabang pohon.
Wahai, sungguh nikmat kejahatan Yang berampun dengan kecemasan hati semua orang. Kalau kebaikan dibalas dengan kejahatan. Manakah kebaikan dan kejahatan yang terang ?
Semua yang berada di bawah serentak mendongakkan wajahnya ke atas. Pada sebuah cabang pohon yang agak tinggi terlihat seorang pemuda berambut gondrong dengan wajah tampan. Di tangannya terlihat sebuah seruling yang tadi dimainkannya sejenak. Pakaian yang dikenakan indah dan tampaknya terbuat dari sutera halus berwarna kuning bercampur merah.
"Siapa kau, Ki sanak. Dan apa maksud perkataan mu tadi?!" tanya Weling Ijo membentak.
Meski kepala Rampok Sungai Alur itu bukanlah orang pintar, tapi dia tak bodoh. Perasaaannya mengatakan bahwa syair pemuda itu menyindir dirinya.
"Namaku tak penting, Weling Ijo. Yang paling penting saat ini adalah melihat kepengecutan seseorang...." sahut pemuda itu terkekeh kecil.
Bukan main geramnya Weling Ijo. Jelas sudah bahwa kata-kata itu ditujukan kepadanya. Tapi dia masih mampu menahan amarahnya dan coba meredakan suasana.
"Kisanak, di antara kita tak ada persoalan apa-apa. Kalau kau tak punya kepentingan maka kami akan segera berlalu dari sini."
"Ha ha ha ha...! Setelah membuat kerusuhan kalian akan berlalu begitu saja? Kisanak, tanyakan pada semua penduduk desa ini apakah mereka rela melepaskan kalian begitu saja. Kalau mereka tak setuju, biarlah aku mewakili mereka untuk memberi hukuman pada kalian!
Mendengar kata-kata itu, serentak sebagian besar penduduk desa menimpali dan mendukung kata-kata pemuda itu.
"Akuuur...! Mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal!"
"Orang-orang ini harus dibuat mampus!"
"Biang pengacau harus dibasmi sampai habis!"
"Nah, kalian dengar mereka? Ternyata aku harus bertindak sekarang," sahut pemuda itu langsung melesat turun dan mengirim satu serangan ke arah Weling Ijo.
"Bedebah! Kau pikir aku takut padamu? Mampuslah kalau kau ingin mampus lebih dulu!" desis Weling Ijo geram sambil mengelak dan balas menyerang lawan dengan senjata gada berdurinya.
Melihat pertarungan itu Bayu jadi serba salah. Kalau dia membela kawanan Rampok Sungai Alur, sudah jelas itu tidak menguntungkan. Keadaannya akan tersudut. Tapi bila mendukung pemuda itu, hati kecilnya seperti tak bisa membenarkan tindakannya. Bukankah seharusnya orang yang sudah menawarkan niat baiknya harus disambut dengan sikap bijaksana?
Apakah keputusannya tadi kurang bijaksana?
"Ki sanak semua, hal ini tidak akan menyelesaikan persoalan? Kenapa tidak dibiarkan saja mereka pergi dengan damai?" tanya Bayu berusaha memberi penjelasan pada penduduk desa.
"Ki sanak, kalau kau tak sudi menolong kami pergilah sesuka hatimu. Sekarang telah ada orang yang lebih ringan tangan dan mengerti akan kecemasan kami!" sahut salah seorang penduduk desa.
"Betul! Pergilah kau dari sini secepatnya!" sahut yang lain.
Dan beberapa orang penduduk yang lain menimpali dengan nada serupa. Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kesal.
"Mari, Tiren. Agaknya kali ini kita tidak menemukan penduduk desa yang murah hati. Lebih baik kita meninggalkan tempat ini akan lebih baik untuk kita...." kata Bayu sambil menyongsongkan lengan pada monyet kecil berbulu hitam sahabatnya. Tanpa menoleh lagi Bayu langsung berkelebat meninggalkan desa itu.
Sementara itu pertandingan antara pemuda berwajah tampan yang enggan menyebutkan namanya tengah berlangsung alot dengan Weling Ijo. Kepala Rampok Sungai Alur seperti orang kerasukan setan menyerang lawannya bertubi-tubi. Gada berduri di tangannya berkali-kali nyaris membuat tubuh lawan remuk.
Walau demikian tak terlihat sedikit pun bahwa pemuda itu terdesak oleh serangan Weling Ijo. Bahkan dia masih sempat mengejek sambil menghindar dari serangan lawan dengan gerakan gesit.
"Ha ha ha ha...! Weling Ijo, hanya seginikah kemampuanmu? Kau sungguh tak pantas menjadi kepala rampok. Tapi lebih cocok kalau menjadi kepala rombongan banci!"
"Keparat! Ingin kulihat sampai di mana kebisaanmu bocah!" maki Weling Ijo.
Secepat itu pula dia bersuit nyaring. Dan bersamaan dengan itu anak buahnya langsung membuat barisan dan mengeroyok pemuda itu.
"Ha ha ha ha...! Rupanya kau takut mati juga, Laler Ijo? Ayo, kerahkan semua anak buahmu. Kalau masih ada yang bersembunyi, suruh keluar dan serang aku beramai-ramai!" ejek pemuda itu.
Bukan main gusarnya Weling Ijo mendengar ejekan pemuda itu. Lebih-lebih saat dirinya disebut Laler Ijo.
"Yeaaah...!"
Dengan satu teriakan keras tubuhnya melesat kembali menyerang lawan. Teriakan itupun agaknya sebagai komando bagi anak buahnya untuk mulai penyerangan. Jurus yang digunakan kali ini adalah sama dengan yang dipergunakan saat menyerang Bayu tadi.
"He he he he...! Kau menggunakan jurus cacing kepanasan ini untuk menyerangku? Sungguh lucu, Laler Ijo? Kalau aku belum menyaksikannya, mungkin aku akan terkejut dan menganggap kalian hebat. Tapi sayang, karena tadi aku sempat melihat dan mengetahui kelemahannya. Maka jangan heran kalau dalam sekejap serangan kalian kupatahkan!"
"Bicaralah sepuasmu kalau kau sudah mampus!" geram Weling Ijo sambil melayangkan gada berdurinya ke wajah pemuda itu, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkatan yang tinggi.
"Uts!"
"Hiyaaa...!"
"Trak! Trak!"
"Duk!"
"Aaaakh...!"
Sambil mengelak serangan Weling Ijo, tubuh pemuda itu berkelebat cepat menghindari dua serangan yang menyusul dari anak buah Rampok Sungai Alur. Tiga serangan lain yang menyusul ditangkisnya dengan suling, kemudian tubuhnya berputar dengan cepat sambil melayangkan tendangan kilat. Lima orang langsung terpental sambil menjerit keras. Begitu tiba di tanah nyawa mereka langsung melayang!
"Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Weling Ijo semakin geram.
"Yeaaah...!"
"Laler Ijo, kalau mau mampus bawalah anak binimu ikut serta!" teriak pemuda itu mengejek.
Tubuhnya mencuat ke atas dengan ringan bagai sehelai kapas ditiup angin. Kemudian melesat turun dengan kecepatan kilat. Dua orang anak buah Rampok Sungai Alur mencoba memapaki dengan ujung golok mereka.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Suling di tangan pemuda itu dengan cepat menangkis dan menghantam senjata lawan hingga terpental. Kaki kiri pemuda itu dengan cepat menendang ke arah dada. Terdengar derak tulang dada kedua lawannya yang patah disusul pekik kematian mereka.
"Yeaaah...!"
Sambil membentak nyaring tubuh pemuda itu terus menghantam sisa anak buah Rampok Sungai Alur yang lain sambil sesekali menangkis serangan Weling Ijo. Agaknya serangan pemuda itu yang lebih ditujukan pada anak buah Weling Ijo mampu membuat barisan serangan itu porak poranda. Dalam sekejap terlihat serangan mereka telah kacau dan tak teratur lagi karena masing-masing sibuk menyelamatkan diri.
Bukan main geramnya Weling Ijo melihat keadaan itu. Satu persatu anak buahnya tewas tanpa mampu dicegahnya. Hanya dengan senjata suling yang terbuat dari besi putih di tangannya, pemuda itu mampu menangkis senjata mereka. Bahkan setiap kali senjatanya bentrok, Weling Ijo merasa tangannya kesemutan. Dia langsung menyadari bahwa tenaga dalam pemuda itu berada di atasnya.
Bukan cuma itu, tapi ilmu meringankan tubuh lawan pun jauh melebihinya. Sehingga sulit bagi mereka untuk mengimbanginya. Tak heran bila dalam tempo singkat seluruh anak buah Rampok Sungai Alur dibabat habis oleh pemuda itu.
"Sekarang giliranmu, Laler Ijo! Walau kau menyembah kakiku berkali-kali nyawamu tak akan kuampuni. Bersiaplah menjemput kematianmu!" kata pemuda itu sambil tersenyum sinis setelah menewaskan dua orang anak buah Weling Ijo yang terakhir.
"Huh! Jangan harap aku akan menyembah kakimu, Keparat! Walau kau memiliki kepandaian tinggi aku tak takut padamu!"
"Bagus! Tahan seranganku ini!"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Sebelum pemuda itu bergerak menyerangnya, Weling Ijo telah lebih mendahului membentak nyaring. Kali ini dia tak mau menyerang tanggung-tanggung. Seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkannya sehingga terlihat serangannya begitu ganas dan bertenaga kuat. Namun dengan gerakan yang lebih cepat pemuda itu berkelit. Kepalanya ditundukkan ketika senjata lawan menghantam. Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke dada lawan.
"Yeaaaah...!"
"Uts!"
Tubuh Weling Ijo mencuat ke atas dengan gerakan jungkir balik dan tangan kanannya kembali menghantamkan gada berduri ke batok kepala lawan. Tapi tubuh pemuda itu lebih cepat lagi bergerak ke kiri. Dengan satu gerakan yang membuat tubuhnya berputar di udara, pemuda itu menghantamkan sulingnya ke punggung lawan. Weling Ijo tak menyangka bahwa lawan mampu bergerak secepat itu. Dia tersentak kaget dan berusaha menghindar. Tapi suling di tangan si pemuda telah dialiri tenaga dalam yang kuat itu tak mampu lagi dihindari.
"Begkh!"
"Kraaak!"
"Aaaa...!"
Tak ampun lagi! Suling pemuda itu menghantam pinggang Weling Ijo dan membuat tulangnya patah. Weling Ijo memekik kesakitan ketika tubuhnya ambruk. Belum lagi lawan berusaha bangkit dengan nafas megap-megap kaki pemuda itu telah menghantam dada kirinya. Kali ini Weling Ijo cuma mengeluh pelan. Nyawanya putus seketika dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar ketika kaki kanan pemuda itu meremukkan tulang dadanya hingga melesak ke jantung.
"Mampuslah kau, dan biang bencana musnah salah satunya!" dengus pemuda itu sambil menyeringai bengis.
Kematian Weling Ijo disambut para penduduk dengan sorak sorai gembira. Mereka mengelu-elukan pemuda itu dan menganggapnya sebagai dewa penyelamat.
"Hidup dewa penyelamat kita!"
"Hiduuuup...!"
"Ki sanak, sebaiknya menginaplah di sini malam ini. Sebentar lagi malam tiba. Kau tentu lelah. Atas nama seluruh penduduk desa ini kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas pertolonganmu," kata Ki Sentanu pada pemuda itu.
"Terima kasih, Ki sanak. Memang benar apa yang kau katakan itu. Kalau kalian tak keberatan untuk menerimaku di desa ini sungguh kebetulan sekali."
"Kami akan menjamu sepuas-puasmu!" sahut yang lain.
"Benar! Kalau kau sudi tinggal di desa ini, kami bahkan lebih merasa suka sekali!" sahut yang lain.
Pemuda itu cuma tersenyum-senyum gembira melihat sambutan meriah terhadap dirinya. Seperti seorang pangeran saja layaknya, mereka berebutan menawarkan rumahnya untuk tempat menginap pemuda itu.
Bayu menggeliat sambil menggerak-gerakkan badan ketika matahari pagi telah bersinar di ufuk timur. Pemuda berambut gondrong itu mengucek-ucek matanya sesaat. Ketika dilihatnya monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada tak jauh darinya kini menghilang. Pemuda itu cepat meloncat turun dari cabang pohon tempatnya berbaring tadi.
"Tiren, ke mana kau?" panggilnya dengan suara yang agak keras.
Namun yang dipanggil tak kunjung tiba. Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah kesal sambil memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Kemudian dengan satu gerakan ringan dia mencelat kesalah satu cabang pohon kecil yang terletak tak jauh dari situ. Kemudian dengan beberapa kali loncatan, kakinya mendarat di ujung cabang sebuah pohon yang paling tinggi. Dari situ Bayu mengedar pandangan ke seluruh tempat.
"Hm... di sebelah sana agaknya ada sebuah sungai kecil. Aku akan ke sana dan mandi sepuas-puasnya," gumam pemuda itu dengan wajah berseri-seri.
Baru saja dia meloncat turun dari cabang itu, Tiren muncul sambil menunjuk ke arah yang sama pada tempat yang akan ditujunya.
"Nguk! Nguk!"
"Oh, rupanya kau telah melihatnya, ya? Kemajuanmu sungguh pesat sekarang. Biasanya kau takut air, kali ini malah mengajakku untuk mandi...."
"Kaaakh!"
Tiren menjerit keras sambil menarik-narik lengan Bayu. Si Pendekar Pulau Neraka mengerutkan kening.
"Ada apa, Tiren? Apakah kau melihat sesuatu?" tanya Bayu curiga.
Monyet kecil sahabatnya itu mengangguk cepat. Tanpa membuang waktu Bayu langsung menyambarnya dan berkelebat cepat menuju tempat yang ditunjuk sahabat kecilnya itu. Tempat yang ditunjuk Tiren memang agak jauh bila ditempuh oleh orang yang tak memiliki ilmu lari cepat. Tetapi hal itu tak jadi masalah bagi Bayu. Ilmu lari cepatnya telah mencapai tingkat tinggi. Belum lagi mereka tiba di tempat yang dituju, pendengarannya yang tajam mendengar teriakan-teriakan seorang wanita dari kejauhan.
"Hmm... aku mengerti maksudmu, sahabat. Kau ingin aku menolong wanita itu bukan?" tanya Bayu sambil tersenyum kecil.
"Nguk!"
Tiren mengangguk cepat. Baru saja selesai dia menganggukkan kepala, kembali monyet kecil berbulu hitam itu tersentak kaget ketika Bayu menggenjot tubuh dan berlari lebih cepat dibandingkan tadi. Tiba di tepi sebuah sungai kecil yang berair jernih, Bayu melihat seorang laki-laki sedang menindih tubuh seorang wanita dengan nafsu kotornya. Sementara di sampingnya berdiri seorang laki-laki lain yang tertawa bergelak-gelak menyaksikan perbuatan kawannya itu.
"Ha ha ha.... Kenapa menundukkan wanita satu ini saja kau sulit sekali, Soma? Apa perlu aku yang turun tangan lebih dulu mengajarimu?" tanya laki-laki yang tadi tertawa-tawa.
"Diamlah kau, Margana! Tidakkah kau melihat kuda betina ini liar sekali?! Sebentar lagi pun dia akan takluk padaku," sahut laki-laki yang sedang menggeluti wanita itu.
"Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan aku! Toloooong...!" Teriak wanita itu sambil menggeliat-geliat dan berusaha melepaskan diri dari dekapan laki-laki di atasnya yang seperti kerasukan setan.
"Ha ha ha ha... berontaklah sesuka hatimu tapi jangan harap kau bisa lepas dari tanganku!"
"Auw! Bajingan! Kubunuh kau! Kubunuh kau!" maki wanita itu ketika laki-laki itu mulai menggerayangi lekuk-lekuk tubuhnya.
Kedua tangan wanita itu ditangkap tangan kiri laki-laki yang tadi dipanggil Soma, dan sebelah tangannya yang lain dengan leluasa merobek-robek pakaian wanita itu sambil menggerayangi bukit kenyal yang tersibak lebar membuat sepasang matanya semakin lebar melotot, dan air liurnya menetes.
"Sudahlah Soma. Lebih baik kau totok saja wanita itu maka kau tak akan susah payah lagi!" saran kawannya sambil sesekali melirik ke arah tubuh wanita yang molek dan tersingkap lebar.
"Siapa sudi berbuat begitu? Tak ada kenikmatan yang ku peroleh. Tapi dengan cara begini kau akan merasakan perbedaannya!" sahut Soma sambil terkekeh-kekeh.
Pada saat itulah ketika Soma melepaskan penutup tubuh bagian bawah wanita itu dan siap akan melaksanakan perbuatan kotornya, Bayu yang baru tiba langsung membentak dengan suara menggeledeg.
"Bajingan kotor, hentikan perbuatan bejad kalian!" Kedua orang itu langsung tersentak kaget. Soma yang nafsu kotornya tadi telah sampai ke ubun-ubun, tiba-tiba saja mereda dan berubah garang ketika tubuhnya bangkit dan melihat siapa orang yang mengganggu kesenangannya itu.
"Siapa kau, keparat?! Berani betul mengganggu kesenangan orang lain?!" bentaknya sengit.
Belum lagi Bayu menyahut dilihatnya wanita yang seluruh pakaiannya telah tercabik-cabik itu berusaha bangkit dan bermaksud melarikan diri. Namun dengan gerakan cepat salah seorang dari keduanya menotok tubuh wanita itu hingga ambruk tak berdaya.
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Lepaskan wanita itu atau kalian pulang tinggal nama?" gertak Bayu dengan suara yang ditekan penuh ancaman.
Mendengar itu bukannya kedua laki-laki yang wajahnya penuh dengan bopeng itu takut, mereka malah tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha.... Kau dengar, Margana? Baru kali ini Sepasang Setan Burik diancam oleh bocah kencur!" sahut Soma, yang mengenakan ikat kepala warna kuning.
"Mungkin dia belum tahu siapa kita. Atau juga bocah bau kencur yang belum mengetahui luasnya dunia dan sudah menganggap dirinya jago!" timpal Margana.
"Ha ha ha ha.... Aku memang bocah bau kencur yang paling jago. Orang seperti kalian tak ada seujung kuku dibanding denganku. Sekali tendang mungkin kedua wajah kalian yang rusak itu akan bertambah rusak," balas Bayu dengan nada mengejek.
Sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang begitu sombong untuk memancing kemarahan mereka. Dan ternyata pancingannya mengena. Kedua orang itu mendelikkan mata dan menggeram dengan murka.
"Bocah sepertimu memang harus cepat-cepat mampus!" bentak Soma sambil menghantamkan pukulan jarak jauh ke arah Bayu.
Pukulan itu kelihatannya ringan saja. Tapi akibatnya sungguh hebat. Kalau saja Bayu tak cepat melompat tentu nasibnya akan sama dengan tanah tempatnya tadi berpijak yang terbongkar sedalam tiga jengkal.
"Hmm... agaknya kau memiliki kepandaian juga. Tapi jangan merasa menang sebelum merasakan pukulanku ini," dengus Soma sambil terus menyerang lawannya.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaaa...!"
Dengan gerakan mantap tubuh Bayu berkelit menghindari serangan lawan. Kepalan kanannya menghantam dada lawan. Tapi dengan gerakan yang tak kalah sengit Soma menghindar sambil mengangsurkan telapak tangan kirinya menangkis.
"Des!"
"Akh!"
Laki-laki berwajah bopeng berusia sekitar empat puluh tahun itu mengeluh kesakitan sambil memegangi telapak tangannya yang terasa sakit akibat benturan tadi. Sungguh dia tak memperkirakan bahwa lawan memiliki tenaga dalam yang kuat.
"Kenapa tidak dadamu saja yang kau sodorkan agar kau lebih cepat mampus?" ejek Bayu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa mempermalukan kami begitu saja bocah. Kali ini kau harus mampus!" sentak Margana dan langsung menyerang Bayu dengan tangan kosong.
Kali ini Bayu tak bisa bermain-main lagi. Serangan Margana betul-betul ganas dan mengandung tenaga dalam kuat. Bukan itu saja, laki-laki berwajah penuh bopeng itu pun memiliki gerakan yang cukup gesit. Sedikit saja dia salah menghindar sudah pasti tubuhnya bisa remuk dihantam kepalan tangan lawan.
"Yeaa...!"
"Uts, ha...!"
"Keparat. Apakah kebisaanmu cuma berkelit?! Ayo, keluarkan seluruh kepandaianmu dan balas serangan-seranganku kalau kau memang mampu!" Bentak Margana ketika dilihatnya Bayu cuma menghindar dari serangannya yang bertubi-tubi.
"Oh, apakah kau ingin kugebuk seperti kawanmu itu? Baiklah. Nah, coba tahan seranganku!"
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring Bayu merubah gerakan. Tubuhnya melayang ke arah Margana dengan kedua tangan ke depan. Tentu saja hal ini kelihatannya sebagai serangan main-main. Tapi bagi Margana mana dia peduli. Dengan cepat kepalan tangan kanannya menghajar dada lawan.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Plak!"
"Des!"
"Akh!"
Margana menjerit kesakitan ketika kaki kanan Bayu yang dibuat menangkis pukulannya, tiba-tiba menghantam ke arah dada. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Dari mulutnya mengalir darah kental. Tapi serangan Bayu tak berhenti sampai di situ. Tubuhnya melompat bagai harimau, dan dengan bertumpu pada kedua jangan, kedua kakinya menghantam kepala dan lutut lawan.
"Duk!"
"Gusrak!"
"Aakh!"
Margana kembali menjerit keras ketika sebelah kaki Bayu menghantam kepalanya. Tidak cukup keras, tapi membuat pandangannya berkunang-kunang. Belum sempat menyadari diri, tiba-tiba tubuhnya melayang dan jatuh bedebum ke tanah ketika sebelah kaki Bayu menghantam kedua lututnya di bagian belakang.
Tapi pada saat yang bersamaan pula melompat Soma dan bermaksud menolong kawannya itu dengan menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaa...!"
"Oh, rupanya kau belum kapok juga? Baik kau pun akan terima bagian yang sama," ujar Bayu tersenyum kecil.
Tanpa menunggu serangan lawan tiba, tubuhnya bergerak cepat menyambut dengan satu serangan bertenaga dalam kuat.
"Hiyaaaa...!"
"Plak!"
"Begkh!"
"Ukh...!"
Kepalan tangan Soma berhasil dihindarinya dengan menundukkan kepala. Tapi saat itu juga Soma mengayunkan kaki ke wajah Bayu. Pendekar Pulau Neraka membuang tubuh ke belakang. Kaki Soma yang sebelah lagi dengan cepat menghantam. Justru hal itu yang diharapkan Bayu. Kaki kanannya menghantam tulang kering lawan, dan kaki kirinya menendang pantat Soma hingga orang itu tersedak dengan tubuh mencelat ke atas setinggi setengah tombak dan mengeluh kesakitan.
Belum lagi kedua kakinya menjejak tanah, kembali Bayu meloncat mengirimkan tendangan telak menghantam perutnya. Soma menjerit kesakitan ketika tubuhnya terpental sejauh dua tombak. Dari mulutnya muncrat darah segar.
"Pergilah cepat dari sini sebelum kuremukkan kepala kalian!" bentak Bayu sambil memelototkan mata.
Kedua orang yang menyebut dirinya Sepasang Setan Burik berusaha bangkit dengan susah payah dan tertatih-tatih. Keduanya memandang pemuda itu dengan wajah yang amat penasaran.
"Kisanak, siapa kau sebenarnya? Urusan ini tak cukup sampai di sini. Suatu saat penghinaan ini akan terbalas berikut dengan bunganya!" desis Soma geram.
"Hmmm... kalian bermaksud menuntut balas? Bagus! Orang-orang menyebutku Pendekar Pulau Neraka. Carilah aku jika kalian merasa tak puas dengan kejadian ini!"
Mendengar pemuda itu menyebutkan gelarnya, keduanya tersentak sesaat. Tapi cepat mendengus kembali dengan wajah penuh dendam.
"Baiklah. Pendekar Pulau Neraka, namamu tak akan pernah kami lupakan. Suatu saat nanti Sepasang Setan Burik akan menagih hutang ini...."
"Eit, jangan seenaknya pergi begitu saja," sentak Bayu ketika melihat mereka siap akan meninggalkan tempat itu.
"Ada apa, Ki sanak? Apakah kau akan membunuh kami saat ini juga?" tanya Soma.
Meski suaranya terdengar lantang dan sinis, tapi sempat bergetar juga hatinya. Jangan-jangan pemuda itu berubah pikiran dan menghabisi mereka saat ini juga dari pada memikirkan dendam yang entah kapan datangnya. Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Pulau Neraka? Tokoh itu biasanya telengas terhadap lawan-lawannya dan jarang meninggalkan lawan pergi begitu saja.
"Hmm... bukan. Soal itu kalian masih ku berikan kesempatan. Tapi persoalan gadis ini. Kalian telah merobek-robek pakaiannya, maka kalian pula yang harus menggantinya. Aku tidak memaksa, tapi sebaiknya tolong tanggalkan pakaian kalian..." pinta Bayu dengan nada tegas.
Kedua orang berwajah penuh bopeng itu saling pandang sesaat, kemudian.
"Tapi...."
"Itu juga termasuk persyaratan, Kisanak Kalau kalian tak memenuhinya maka lebih baik kita selesaikan persoalan kita sekarang saja!" desis Bayu dengan sikap mengancam.
Karena tak punya pilihan lain, akhirnya mereka melepaskan bajunya masing-masing. Untuk melawan pemuda itu dalam keadaan terluka parah begini sungguh suatu perbuatan bunuh diri, meskipun mereka berdua mengeroyoknya.
Setelah keduanya meninggalkan tempat itu, Bayu mendekati wanita tadi perlahan-lahan.
"Nisanak, pakailah salah satu baju ini untuk melindungi tubuhmu yang terbuka begini," katanya sambil melempar kedua baju yang dipegangnya ke tubuh wanita muda yang tergolek itu.
"Bagaimana aku bisa memakainya dalam keadaan tertotok begini?"
"Ah, aku lupa...." seru Bayu sambil mendekat untuk membebaskan totokan wanita itu.
"Jangan mendekat!"
Bayu tersentak mendengar bentakan wanita itu. "Kenapa Nisanak? Bukankah kau sedang tertotok dan aku bermaksud akan membebaskan totokanmu?"
"Bagaimana aku tahu kau tidak mempunyai nafsu kotor seperti mereka?"
"Aku akan membebaskan totokanmu dan setelah itu akan pergi meninggalkanmu begitu saja," sahut Bayu kesal.
"Bukan itu maksudku!"
"Jadi apa?"
"Kau mencari kesempatan saat keadaanku sedang tertotok begini?"
Bayu menghela nafas kesal dan membalikkan tubuh sambil melangkah pelan meninggalkan tempat itu.
"Hei, mau ke mana kau?" bentak wanita itu.
"Untuk apa aku berlama-lama di sini? Tujuanku cuma ingin menolongmu dari perbuatan mereka. Dan karena mereka telah pergi, untuk apa aku di sini lagi. Toh kau tak memerlukan pertolonganku lagi, bukan?" sahut Bayu tanpa membalikkan tubuh.
"Kau akan meninggalkan aku begitu saja dalam keadaan tertotok begini?"
"Bukankah kau yang menghendaki begitu?"
"Brengsek! Aku tidak mengatakan begitu?"
"Dengan caramu melarangku untuk membebaskan totokan itu, apa namanya?"
Wanita itu terdiam sesaat. Kemudian katanya lirih. "Bebaskanlah totokanku...tapi ingat! Jangan palingkan wajahmu ke sini!"
Bayu seperti tersentak. Pantas saja wanita itu marah padanya. Tanpa sadar dia telah memandangi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan leluasa. Pantas saja gadis itu marah karena bukit kenyalnya yang halus mulus terlihat jelas oleh pemuda Itu. Bayu sendiri seperti orang bodoh tadi dan memandanginya begitu saja tanpa malu-malu.
"Ba... baik..." kata Bayu sambil melangkah mundur.
Kemudian dengan tangannya dia meraba-raba bagian tubuh wanita itu untuk mencari urat yang tertotok.
"Ouw! Kurang ajar!"
Gadis itu menjerit garang ketika tangan Bayu menyentuh salah satu bukit kembarnya yang kenyal dan padat. Buru-buru dia melepaskan dengan wajah serba salah.
"Maaf Nisanak... aku betul-betul tak sengaja."
"Huh, semua laki-laki sama saja! Pura-pura berbuat salah padahal niatnya telah menggebu-gebu!" dengus gadis itu cepat bangkit dan menyambar kedua baju di dekatnya setelah dibebaskan dari totokannya.
"Tapi aku...."
"Jangan berbalik! Aku sedang berpakaian, goblok!" bentak gadis itu garang ketika dilihatnya Bayu bermaksud membalikkan tubuh ke arahnya.
"Hhhh... pusing, pusing! Begini salah begitu salah. Semuanya jadi serba salah..." keluh Bayu menghela nafas sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dan melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu.
"Nguk! Nguk!"
"Kau sih yang jadi penyebabnya!" tuding Bayu pada sahabat kecilnya itu.
"Mau ke mana lagi kau sekarang?!" bentak gadis itu garang sambil bertolak pinggang.
"Mau pergi!" sahut Bayu ketus.
"Aku ikut!" sahut gadis itu sambil merendengi jalannya.
Bayu melirik sekilas. Sungguh lucu kelihatannya. Baju yang dikenakan gadis itu kebesaran. Tapi itu masih biasa dibandingkan dengan pakaian bagian bawah. Seperti wanita di jaman primitif gadis itu membuat penutup tubuhnya bagian bawah dengan baju yang satu lagi. Bayu bisa memaklumi karena sekilas tadi dia sempat melihat penutup tubuh bagian bawah gadis itu keadaannya sangat tidak memadai akibat perbuatan Sepasang Setan Burik.
"Kenapa ketawa?!" bentak gadis itu ketus.
"Karena aku ingin ketawa...."
"Kau pikir aku tontonan ya?!"
"Barangkali iya...."
"Brengsek!" bentak gadis itu sambil melayangkan kepalan tangan menghantam dada si Pendekar Pulau Neraka.
"Duk!"
Pukulan itu terlihat ringan saja. Bahkan seperti main-main, sehingga Bayu tak berusaha menangkis. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika merasakan dadanya nyeri akibat pukulan itu. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa tindak ke belakang sambil mendekap dada.
Tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat beberapa tombak ke belakang sambil bersalto dengan ringan. Belum lagi dia sempat mengatur pernafasannya, sekonyong-konyong gadis itu kembali melesat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa dan menyerangnya.
"Hiyaaa...!"
"Perempuan laknat! Ternyata kau adalah iblis keji!" desis Bayu dengan wajah garang.
"Hi hi hi hi...! Cuma segitukah kemampuan Pendekar yang digembar-gemborkan sempat menggegerkan rimba persilatan di delapan penjuru angin?"
"Bedebah! Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku...? Bukankah tadi kau telah menyebutkannya?"
"Huh, siapa pun kau adanya kau akan mendapat balasan yang setimpal!" dengus Bayu sambil jungkir balik menghindari serangan lawan.
Kali ini dia tak bisa menganggap lawan rendah. Walau pukulan yang dikeluarkannya terlihat lemah, tapi akibatnya sungguh fatal seperti yang dirasakannya tadi. Dadanya masih terasa sesak akibat pukulan itu. Ada hal yang membuat Bayu tak habis pikir tentang gadis ini. Pertama, kalau dia memiliki dendam kesumat terhadapnya kenapa pukulannya tadi tak bermaksud untuk menewaskan dirinya? Padahal pada serangan selanjutnya pukulan itu mampu menghancurkan sebatang pohon dengan cara yang mengerikan.
Sebatang pohon besar tampak retak-retak dan tumbang menjadi beberapa potongan dihantam pukulan wanita itu. Yang kedua, setelah beberapa kali menyerangnya terlihat bahwa ilmu silat gadis itu tak rendah. Bahkan kalau mau dengan mudah dia bila mengalahkan Sepasang Setan Burik. Tapi kenapa tadi dia seperti orang yang kelihatan tak berdaya?
"Nisanak, siapa kau sebenarnya dan apa maksud perbuatanmu yang aneh-aneh ini?" tanya Bayu dengan suara lunak.
"Maksudku jelas, ingin mengorek jantungmu!"
"Kenapa tadi tak kau lakukan?"
"Aku ingin pertarungan yang adil dan jujur!"
"Dengan perbuatanmu tadi apakah itu bisa dianggap adil dan jujur?"
"Salahmu sendiri kenapa lengah!"
"Karena kukira kau bukan musuhku!"
"Di situlah kesalahanmu! Kau terlalu percaya pada orang yang baru dikenal dan itu bisa membahayakan jiwamu kalau tak sering waspada."
"Baiklah, kau menang. Tapi aku tak biasa membunuh lawan jika tak tahu sebab-sebabnya. Dasar apa kau ingin mengorek jantungku? Apakah di antara kita ada dendam?"
"Buatku tak perlu ada persoalan dendam segala kalau ingin mengorek jantungmu!"
"Dasar sinting! Kalau begitu tak ada gunanya aku meladenimu!" dengus Bayu sambil berbalik dan menangkap Tiren dari ranting sebuah pohon, dan berkelebat dari tempat itu secepatnya.
"Aku tak ada waktu meladeni segala urusanmu, Nisanak!" lanjutnya sambil berteriak nyaring.
"Huh, apa kau pikir bisa lari dariku?! Jangan mimpi!"
Setelah berkata begitu gadis itu pun langsung menggenjot tubuh mengejar Pendekar Pulau Neraka sambil mengerahkan ilmu lari cepat yang dimilikinya. Tadinya Bayu menyangka bahwa gadis itu tak akan mampu mengejarnya. Tapi dugaannya itu ternyata salah. Pada jarak lima tombak di belakang terlihat gadis itu terus mengejarnya.
"Sialan! Hebat juga ilmu lari cepatnya. Tapi ingin kulihat sampai di mana kemampuan kuntilanak itu. Tiren, pegang leherku erat-erat!" kata Bayu.
Setelah berkata begitu si Pendekar Pulau Neraka langsung menghempas tenaga dan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepat yang dimilikinya. Tubuhnya berkelebat bagai sapuan angin kencang. Dalam hati dia menduga gadis itu kini telah tertinggal jauh. Dan ketika dia menoleh ke belakang....
"Hah! Brengsek?! Siapa dia sebenarnya?" sentaknya kaget ketika melihat gadis itu masih terus membuntuti di belakangnya.
Kali ini jarak mereka memang terpaut agak jauh, tapi rasanya tak mungkin Bayu bisa menghindar dan bersembunyi dari kejarannya. Tak mungkin rasanya mereka terus-terusan begini. Maka dengan kesal Bayu menghentikan larinya dan menunggu gadis itu sambil bertolak pinggang dan memasang wajah garang.
"Hmmm... apakah kau akan menyerah?" tanya gadis itu sambil tersenyum mengejek.
"Huh, siapa sudi! Aku justru ingin menggaplok pantatmu!"
"Nah, kenapa tak kau lakukan?"
"Hiyaaaa...!"
Dengan satu bentakan nyaring tubuh Pendekar Pulau Neraka berkelebat cepat menyerang gadis itu tanpa basa-basi. Bersamaan dengan itu dia mengibaskan tangan kanannya. Tak pelak lagi Cakra Maut di pergelangan tangannya itu melesat cepat menghantam lawan.
"Sing!"
"Uts! Gila! Apakah kau ingin membunuhku?!" bentak gadis itu terlihat kesal sambil jungkir balik menghindari serangan senjata maut itu dan serangan yang dilancarkan Bayu terhadap dirinya.
"Bukankah kau pun ingin membunuhku?
Dari pada orang membunuhku lebih dulu lebih baik kau yang mampus lebih dulu!" desis Bayu dengan wajah serius penuh ancaman.
Hal ini memang betul-betul dibuktikannya. Serangan yang dilakukan si Pendekar Pulau Neraka betul-betul ganas seperti menghadapi musuh bebuyutan yang akan mengancam dirinya. Tentu saja hal ini membuat si gadis kalang kabut menyelamatkan selembar nyawanya.
"Yeaaaa...!"
Kepalan tangannya berkali-kali menghantam. Dari situ tak terasa desir angin atau sinar apa pun yang keluar. Tapi bila terkena, akibatnya sungguh berbahaya. Sebongkah batu sebesar kerbau yang terkena pukulan itu hancur berkeping-keping menjadi potongan kecil. Bayu bukannya takut menghadapi pukulan lawan, tapi dia memang sengaja menghindar dan sebisa mungkin untuk tidak memapakinya. Perhatiannya betul-betul ditujukan untuk melumpuhkan pertahanan gadis itu.
"Hiyaa...!"
"Sing!"
"Breet!"
"Auw...!"
Gadis itu menjerit kaget ketika seberkas cahaya keperakan menerpa menyambar pinggangnya tanpa bisa dicegah. Jantungnya nyaris berhenti berdetak!
Plak!"
"Des!"
"Gusrak!"
Dalam keadaan demikian dia pasrah dan menganggap jiwanya tak tertolong lagi. Tapi menyadari bahwa tak sedikit pun rasa sakit yang dirasakannya, gadis itu cepat bereaksi. Tapi terlambat. Saat itu kepalan tangan Bayu menghantam ke arah dada. Dengan gerakan tergagap dia menangkis. Pukulan itu memang tak sepenuhnya menghantam dadanya. Tapi akibatnya tubuh gadis itu terdorong ke belakang dan dengan mudah Bayu menendang perutnya.
Tubuh yang telah hilang keseimbangannya itu langsung terjerembab jatuh. Ternyata serangan Bayu tidak hanya sampai di situ. Setengah jengkal sebelum tubuh gadis itu menyentuh tanah, dua buah jari tangannya cepat menotok urat gerak di tubuh gadis itu.
"Tuk!"
"Nah, sekarang diamlah kau di sini! Aku tak perduli, apakah kau akan diperkosa atau dicabik-cabik hewan buas. Itu sudah nasibmu karena kau memang menghendakinya!" desis Bayu sambil bersungut-sungut kesal.
"Kurang ajar! Apakah kau akan mempermalukan aku dalam keadaan begini?!" jerit gadis itu melengking mengetahui bahwa bajunya robek lebar dan menampakkan dua bukit kembarnya sebagian, ketika tadi disambar Cakra Maut si Pendekar Pulau Neraka.
"Bukankah kau yang menghendakinya? Kita bertemu saat keadaanmu begitu, maka aku punya kewajiban untuk mengembalikan keadaanmu semula. Sayang, sekarang kedua orang bermuka bopeng itu tak ada. Kalau tidak kau akan ku tinggalkan persis seperti tadi!"
"Sialan! Lepaskan totokanmu ini!" bentak gadis itu.
"Untuk apa? Agar kau bisa memuaskan niat konyolmu untuk membunuhku? Huh, pasrahkan saja dirimu pada nasib. Selamat Tinggal!"
Bayu memanggil sahabatnya, monyet kecil berbulu hitam itu. Setelah hewan itu berada di pundaknya, dia melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
"Hei, mau ke mana kau?!"
Bayu tak memperdulikan teriakan gadis itu. Jangankan menyahut, untuk menoleh pun tidak. Gadis itu terus berteriak-teriak sambil memaki-maki, dan Bayu terus berjalan tak memperdulikannya. Baru ketika jarak pemuda itu nyaris tak terlihat gadis itu berteriak memohon dengan suara memelas.
"Bayu, kali ini aku memohon. Lepaskan aku, dan jangan tinggalkan aku dalam keadaan begini...."
Walaupun suara itu tak terlalu keras tapi Bayu masih bisa mendengarnya. Lebih-lebih saat itu angin bertiup ke arahnya. Pemuda itu menoleh sambil memandang ke arah sahabat kecilnya itu.
"Bagaimana pendapatmu Tiren? Apakah kuntilanak itu masih perlu dikasih hati?"
"Nguk! Nguk!"
"Hmm... walau kau binatang tapi hatimu lebih mulia dariku. Kalau tak ada kau pasti akan kubiarkan perempuan celaka itu menjalani nasibnya yang buruk dalam keadaan demikian. Baiklah, kita akan kembali dan membebaskannya," sahut Bayu.
Sekali menggenjot tubuh dengan menggunakan Ilmu lari cepatnya, Bayu telah tiba kembali di tempat itu. Tanpa basa-basi dia langsung melepaskan totokan di tubuh gadis itu. Dan tanpa bicara sepatah kata pun kembali melangkahkan kaki meninggalkannya.
"Tunggu...!"
Si Pendekar Pulau Neraka menoleh dan memandang gadis itu sekilas tanpa menyahut.
"Terima kasih..." kata gadis itu sambil menundukkan kepala dengan wajah malu.
Bayu cuma mendengus kecil, kemudian kembali memalingkan tubuh dan berjalan meninggalkan gadis itu. Walau dia tahu bahwa gadis itu mengikuti dari belakang, namun tak sedikit pun pemuda itu mau menoleh. Lama hal itu berlangsung sampai mereka tiba di mulut suatu desa. Gadis itu masih terus mengintilnya dari belakang. Bayu menghela nafas kesal. Dalam keadaan pakaiannya yang demikian apa kata orang-orang desa melihat mereka? Jangan-jangan dia akan dituduh orang gila! Paling tidak, membawa seorang gadis gila.
"Apa sih maumu?!" bentaknya kesal sambil menghentikan langkah dan melotot garang pada gadis itu.
"Aku tidak mau apa-apa...."
"Jadi kenapa mengikutiku terus sejak tadi? Apa kau ingin membokongku lagi?!"
"Maaf... sebenarnya aku tak bermaksud begitu..." sahut gadis itu dengan suara pelan.
"Jadi apa maumu?!"
"Aku... aku...."
"Bicara yang betul!" bentak Bayu galak.
"Galak betul sih...?"
"Orang sepertimu tak bisa dikasih hati. Sekali aku lemah kau pasti akan mencari kesempatan untuk mencelakai ku lagi!"
"Sekarang tidak...."
"Huh!"
"Aku... aku... ingin minta pertolonganmu...."
"Siapa yang sudi menolong orang sepertimu!"
"Aku... aku akan membayar berapa pun yang kau minta...."
"Huh, aku tak butuh apa-apa darimu!"
"Tak bisakah hatimu sedikit lunak...."
"Apa untungnya aku bersikap lunak pada wanita brengsek sepertimu?!"
"Bayu... eh maaf aku memanggil namamu begitu saja. Aku betul-betul butuh pertolonganmu, sebab hanya kaulah orangnya yang bisa menolongku. Apa pun yang kau minta akan kuberi, bahkan aku rela menjadi budakmu asal kau meluluskan permintaanku..." ujar gadis itu dengan suara memelas.
Mendengar itu tersentuh juga hati Bayu. Gadis itu bersedia jadi budaknya asal dia menolongnya, tentu ini persoalan yang amat serius. Tapi dia tak langsung percaya begitu saja. Apalagi gadis itu tadi sempat menipunya.
"Pertolongan apa?" tanya Bayu lunak.
"Oh, apakah kau betul-betul bersedia menolongku?!" tanya gadis itu dengan wajah girang.
"Jangan banyak omong! Pertolongan apa yang kau minta dariku?!"
"Membawa kepala seseorang padaku!"
"Apa?!"
"Kepala seseorang yang dulu amat kukasihi sepenuh hati, tapi kini ku benci sedalam lautan!"
Bayu terdiam beberapa saat lamanya sambil memandang wajah gadis itu. Sempat terlihat sepasang mata indah gadis itu memancarkan dendam membara saat dia menyebutkan permintaannya itu. Mau tak mau Bayu bisa merasakan amarah yang terpendam dan telah menyatu di seluruh tubuh gadis itu pada seseorang.
"Kenapa mesti aku? Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang jarang orang bisa mengalahkanmu...."
"Tapi orang itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan denganku. Aku tahu betul karena dia adalah kakak seperguruanku...."
"Kakak seperguruanmu?!"
Gadis itu mengangguk. "Ceritanya panjang. Ketika mendiang guru masih ada kami menjalin asmara. Ah... aku memang betul-
betul terpikat dengan rayuannya. Selain berwajah tampan, berilmu tinggi, dia pun pandai merayu. Sampai-sampai aku rela menyerahkan kehormatanku padanya ketika dia berjanji akan mengawiniku kelak. Hal itu terjadi berkali-kali tanpa sepengetahuan guru. Sampai..." gadis itu menghentikan ceritanya.
Bayu menunggu beberapa saat dan melihat sekilas air mata merembang di kelopak mata gadis itu.
"Dia kabur meninggalkanmu..." tebak Bayu hati-hati dengan suara pelan.
"Pada akhirnya memang begitu. Sampai aku hamil dan guru mengetahuinya. Tapi beliau bijaksana dan menyuruh kakak seperguruanku untuk mengawiniku. Tapi dasar laki-laki buaya pengecut, dia malah kabur dan mencuri kitab sakti tentang pukulan maut Pugel Sayuto tingkat lanjutan yang selama ini disembunyikan guru kami dengan hati-hati sekali. Aku sempat memergokinya dan mengingatkan akan janjinya untuk mengawini aku serta perintah guru. Tapi seperti berhadapan dengan musuh besar, dia malah menyerangku habis-habisan sampai aku tergeletak tak berdaya. Untunglah guru cepat menolongku, tapi anak yang berada di rahimku tak tertolong lagi...." Gadis itu menyudahi ceritanya.
Air matanya tertumpah ruah membasahi kedua pipinya yang putih halus. Bayu tak tahu, apakah dia harus percaya bahwa itu cerita sungguh-sungguh atau tipu muslihat belaka. Dia cuma mendiamkan untuk mendengarkan lanjutan cerita gadis itu.
"Setelah keadaanku agak membaik, aku turun gunung dan bertekad mencarinya untuk meminta pertanggung jawabannya. Guru telah melarang, tapi aku pergi secara diam-diam. Sepanjang perjalanan banyak kudengar sepak terjangnya yang amat memalukan. Memperkosa gadis-gadis cantik dan isteri orang lain, merampok serta berbuat kejahatan. Dia memang pintar hingga orang sulit mengenalinya. Selain berganti-ganti nama dia pun memang pandai sekali menyamar. Tapi aku tak akan tertipu!"
"Siapa namanya yang asli?"
"Kamajaya. Tapi orang-orang yang yakin bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukannya itu dikerjakan oleh satu orang, yaitu dia menyebutnya sebagai Penyair Muka Kumala."
"Hmm... Penyair Muka Kumala? Baru kudengar nama itu...."
"Bagaimana Bayu? Apakah kau sudi menolongku?"
"Kenapa kau yakin bahwa aku yang bisa menolongmu?"
"Entahlah. Tapi sepanjang perjalanan banyak kudengar nama Pendekar Pulau Neraka sebagai pendekar muda yang memiliki ilmu hebat dan tak pernah terkalahkan. Aku merasa yakin kaulah orang yang bisa menolongku untuk membasmi si keparat itu. Setelah mengetahui ciri-ciri tentang dirimu, aku pun mulai mencarimu. Dan tadi pagi barulah aku menemuimu. Aku tak tahu bagaimana caranya menarik perhatianmu sampai kedua orang itu muncul. Maka ku pancinglah mereka agak menjauh, dan... ah, perbuatanku memang keterlaluan dan sangat menjijikkan!"'sahut gadis itu tersipu malu.
Bayu masih terdiam belu memberikan jawabannya.
"Bagaimana Bayu?"
"Aku akan memikirkannya lebih dulu...."
"Apakah kau masih berpikir sementara jelas-jelas dia telah berbuat kejahatan yang nyata? Anggaplah kau menolong orang banyak dari perbuatannya yang tercela, dan aku sebagai perantara yang meminta pertolonganmu, dan aku juga akan membalas jasamu. Bagaimana?"
"Aku mau bukan berarti aku ingin jasa yang kau tawarkan!"
"Aku tak peduli! Yang penting si keparat itu harus mampus walau harus menjadi budakmu sekalipun. Aku berjanji Bayu! Bila si keparat itu mampus maka aku bersedia kau suruh apa pun. Anggaplah aku sebagai budakmu!"
"Sudah! Sudah! Mari kita berangkat. Tapi kau tidak bisa berpakaian dengan cara begitu. Kau tunggu di sini biar aku carikan pakaian di desa sana!" kata Bayu sambil terus melesat meninggalkan gadis itu.
"Kau tidak akan meninggalkan aku, bukan?!"
"Kata-kataku boleh kau pegang!" balas Bayu sambil berteriak.
Gadis itu tersenyum haru sambil matanya tak berkedip memandang Pendekar Pulau Neraka yang terus berkelebat hingga lenyap dari pandangan. Tapi dia ternyata tak menunggu lama sebab tak lama kemudian pemuda itu kembali sambil membawa seperangkat pakaian wanita. Setelah mengganti pakaian, keduanya segera meninggalkan tempat itu.
Siang ini terlihat dua pengendara kuda berpacu kencang melewati halaman belakang istana kerajaan yang luas. Yang seorang adalah pemuda berwajah tampan dan gagah, serta mengenakan pakaian yang bagus. Sementara di sebelahnya seorang gadis berwajah jelita dengan rambut panjang yang hitam berikat kepala merah. Kulitnya yang putih terlihat kemerah-merahan dibakar terik matahari.
Beberapa tetes keringat mengalir dipipinya. Melihat cara mereka berpakaian agaknya kedua orang ini pastilah berasal dari orang-orang persilatan.
"Kakang Gandasena, ayo coba kau kejar aku!" teriak gadis cantik itu sambil memacu kudanya lebih kencang.
"Awas kau Ratih! Sebentar lagi pasti akan tersusul!" sahut pemuda yang dipanggil Gandasena.
Setelah berkata begitu tampak dia mengebrak kudanya sambil berkali-kali berteriak keras. Melihat caranya menunggang kuda agaknya memang dia lebih mahir dibanding gadis itu karena sebentar saja terlihat gadis itu mulai tersusul.
"Nah, apa kataku! Kau pasti akan tersusul!" lanjut pemuda itu sambil tertawa senang.
"Siapa bilang?! Jarak kita masih dua tombak lagi. Kudamu mana mungkin bisa mengimbangi larinya Ki Sengkolo!"
"Kata siapa tidak bisa? Kalau aku yang menunggangi Ki Sengkolo mungkin kau tak mampu mengejarku. Tapi karena kau yang menungganginya maka akan kau lihat sebentar lagi kau pasti akan tersusul!"
"Jangan banyak omong, Kakang! Ayo buktikan kata-katamu itu!"
"Baik! Heaa...!"
Melihat pemuda itu kembali mengeprak kudanya dengan bersemangat, gadis itu pun tak kalah sigap. Kuda berwarna hitam mengkilat yang bernama Ki Sengkolo itu dipacunya sambil berteriak keras.
"Heaaa...!"
Keduanya terus berpacu hingga tak terasa telah berada jauh dari halaman belakang istana tadi. Namun seperti tak memperdulikan keadaan mereka, gadis itu masih terus bersemangat memacu kudanya karena pemuda di belakangnya sebentar lagi akan menyusul. Agaknya dia merasa yakin bisa mengungguli kuda si pemuda.
Namun apa yang dibayangkannya ternyata tak terbukti. Pemuda di belakangnya semakin memperpendek jarak. Lalu ketika jarak mereka tinggal satu tombak lagi dengan tiba-tiba pemuda itu berteriak keras.
"Hiyaaa...!"
Tubuhnya melompat ke depan sambil bersalto beberapa kali dan mendarat empuk di punggung kuda, tepat di belakang punggung gadis itu. Dengan serta merta dipeluknya pinggang gadis itu dengan satu tangan, dan tangan yang satunya menarik tali kendali hingga Ki Sengkolo menghentikan larinya.
"Kau curang, Kakang Gandasena!" teriak gadis itu sambil bersungut-sungut.
"Yang penting aku bisa menang!" kilah Gandasena terkekeh-kekeh.
"Menang dengan cara curang!"
"Aku tak peduli!"
"Dasar! Kalau semua pelatih sepertimu mana ada muridnya yang pintar?!"
"Buktinya kau pintar!"
"Pintar apa?"
"Pintar ini!"
Tiba-tiba Gandasena menjatuhkan diri ke tanah. Gadis itu menjerit, namun tertahan karena Gandasena menyumbat dengan bibirnya. Pemuda itu ternyata pintar menggoda. Dalam bayangan gadis itu mereka akan jatuh berdebum sambil berangkulan, namun sebelah kaki pemuda itu berpijak di tanah dan mereka memang benar jatuh... di atas rerumputan, dengan empuk, sambil berpelukan.
"Kakang, kau betul-betul nakal!" dengus gadis itu sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya setelah pemuda itu melepaskan rangkulannya.
"He he he he...! Nakal pada kekasih sendiri apa tidak boleh?"
"Tidak! Kalau sampai ayahanda tahu apa jadinya?"
"Beliau pasti akan setuju untuk mengawinkan kita secepatnya!"
"Tidak lucu, Kakang!" sentak si gadis yang bernama Ratih itu sambil memasang wajah cemberut.
"Kau marah padaku?"
Ratih tidak menjawab melainkan memalingkan wajah sambil mempermainkan sehelai rumput dengan memilin-milinnya.
"Katakanlah, apakah kau marah padaku, Ratih?"
"Aku... aku cuma tak ingin perbuatan kita diketahui orang. Apa jadinya wibawa ayahanda di mata rakyatnya...?" sahut Ratih pelan.
"Siapa yang tahu bahwa kau putri raja dalam keadaan begini?"
"Kakang, aku cuma khawatir...."
"Sudahlah... aku tak mengulanginya lagi...."
"Betul?!"
Gandasena mengangguk sambil tersenyum.
"Kakang, aku tak bermaksud membuatmu terluka...."
"Ya, ya aku mengerti. Cuma tidak tahu sampai kapan kita harus kucing-kucingan begini. Ayahku cuma seorang kepala pasukan pengawal di sebuah kadipaten, sedangkan kau adalah junjunganku...."
"Kakang, jangan sebut perbedaan di antara kita lagi! Aku sungguh-sungguh mencintaimu, dan tidak melihat derajatmu!" sentak Ratih.
"Aku cuma malu...."
"Lalu kenapa kau tidak langsung menghadap ayahanda? Ku yakin beliau pasti akan menyetujui hubungan kita."
"Aku merasa belum waktunya, Ratih...."
"Lalu kapan, Kakang? Apakah kau ingin kita terus-menerus begini? Apa kau ingin agar aku yang mengatakannya pada ayahanda?"
"Jangan, Ratih! Biar aku sendiri yang akan mengatakannya pada beliau. Apa jadinya aku sebagai laki-laki kalau mesti kau yang mengatakannya."
"Nah, katakanlah sekarang. Kapan kau akan menghadap ayahanda untuk meminang ku?"
Gandasena tak langsung menjawab. Banyak hal yang musti dipikirkannya. Bukan soal status dirinya yang jauh berbeda, tapi juga dia belum mempunyai persiapan yang cukup untuk berumah tangga. Dan ada hal yang paling penting yang membuat dirinya ragu, yaitu kabar yang mengatakan bahwa Ratih telah dijodohkan oleh putra raja yang belakangan ini erat sekali mengadakan persahabatan dengan kerajaan mereka.
Dalam keadaan begitu sekonyong-konyong lewat seorang nenek bertubuh bongkok yang membawa kayu bakar berjumlah banyak di pinggangnya.
"Ohhh...!"
Ratih tersentak kaget dan buru-buru menghampiri si nenek untuk membantunya.
"Kasihan kau, Nek. Di mana rumahmu?
Biar ku bawakan kayu bakar ini untukmu!"
Si nenek tak menjawab ketika Ratih berusaha mengambil beberapa kayu bakar yang dibawanya. Dia hanya memperhatikan dengan seksama.
"Ratih, biar aku saja yang membantu nenek ini!" teriak Gandasena buru-buru bangkit.
Tapi pemuda itu tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba si nenek bergerak cepat. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Ratih jatuh lunglai tak berdaya dan telah berada dalam gendongan nenek itu. Kayu bakar di tangannya tadi telah dicampakkannya begitu saja.
"Siapa kau sebenarnya?!" bentak Gandasena garang.
Si nenek membuka selaput tipis di wajahnya yang berkerut dan tersingkaplah wajahnya yang asli. Seorang pemuda berambut gondrong dengan wajah tampan dan kulit yang halus mulus bagai wanita. Dan ketika jubah yang tadi dikenakan disingkapnya, terlihat dia memakai seperangkat pakaian bagus terbuat dari sutera. Tangan kanannya memegang sebatang suling terbuat dari besi baja berkilat.
"Sungguh mesra asrama bergelora di dada. Hingga melupakan dunia dan isinya. Yang mengintip di balik semak dengan penuh duka. Berharap kasih berbagi suka bersama-sama...."
Si nenek yang kini telah menjelma menjadi pemuda berwajah tampan itu bersyair di depan Gandasena sambil tersenyum kecil. Sementara Ratih masih tetap dalam dekapan tangan kirinya.
"Kisanak, aku tak butuh segala macam syair mu. Lepaskan gadis itu atau kau akan terima hukuman!"
"Ha ha ha ha...! Hukuman apakah yang akan kau berikan pada si Penyair Muka Kumala? Dan kenapa kau begitu berkeras ingin merebut gadis ini yang begitu pulas tertidur dalam dekapanku?"
"Hei, kaukah orang yang bergelar Penyair Muka Kumala?" sentak Gandasena terkejut.
Nama itu memang belum terkenal luas, tapi karena ayahandanya adalah kepala pasukan pengawal di sebuah kadipaten yang selalu menerima laporan tentang gangguan yang meresahkan penduduk di wilayah kadipaten yang dipimpinnya, sedikit banyak dia mendengar juga nama Penyair Muka Kumala. Seorang tokoh persilatan berusia muda yang berilmu tinggi namun berkelakuan seperti binatang berkedok malaikat.
"Kenapa? Apakah ada larangan orang untuk bersyair di wilayah kerajaan ini?"
"Huh! Kaukah rupanya biang perusuh itu?!" dengus Gandasena tak memperdulikan kata-kata si Penyair Muka Kumala.
Walau mengetahui bahwa lawan berilmu tinggi, tapi mana mau dia menunjukkan kegentaran dirinya. Gandasena memandang pemuda itu dengan sikap sinis dan merendahkan. Bahkan terlihat bahwa dia tak takut sedikit pun.
"Ha ha ha ha...! Agaknya kau pun mendengar cerita burung itu rupanya, Ki sanak. Tapi percayalah, aku tak serendah apa yang disangka orang...."
"Tak peduli apa prasangka orang terhadapmu, yang penting saat ini lepaskan gadis itu! Kau tahu siapa dia? Bila pengawal kerajaan melihat hal ini kau tentu tak akan bisa sembunyi ke mana pun dan akan menerima hukuman yang berat!" gertak Gandasena garang.
"Ha ha ha ha...! Siapa yang tak kenal Putri Ratih Kumaladewi yang tersohor cantik rupawan ini? Tentu saja aku kenal kalau beliau putri rajamu. Tapi apa peduliku? Kami saling mencintai, dan kalau orang sudah saling mencintai apa pun tak menjadi soal," sahut si Penyair Muka Kumala tenang sambil tak henti-hentinya tersenyum.
"Huh! Lancang sekali kau berkata begitu, Kisanak! Ratih tak mungkin berbagi kasih dengan orang lain. Kami berkawan sejak masih kecil dan aku tahu dia tak mungkin menodai cinta kami!" dengus Gandasena.
"Oh, tak percayakah kau pada kata-kataku? Baik, mari kita tanyakan sendiri padanya," jawab si Penyair Muka Kumala enteng. Dengan satu gerakan cepat ditotoknya beberapa bagian tubuh gadis itu sehingga membuat gadis itu terjaga. Sepasang mata si Penyair Muka Kumala menatap erat seperti menghunjam ke hati Ratih dan membuat gadis itu seperti orang bodoh.
"Ratih Kumaladewi, katakan pada orang itu. Bukankah cintamu hanya kau peruntukkan bagiku? Kakangmu, Kamajaya...! Katakan padanya agar terang segala duduk persoalan..." kata si Penyair Muka Kumala berulang-ulang.
Setelah selesai mendengar kata-kata itu, Ratih membalikkan tubuh dan menatap Gandasena dengan tatapan asing. Kemudian dari mulutnya meluncur kata-kata yang diucapkan terbata-bata.
"Aku mencintaimu Kakang Kamajaya... cinta ku hanya untuk Kakang Kamajaya...."
"Keparat! Kau telah menyihirnya! Orang sepertimu lebih baik mampus!" geram Gandasena berteriak nyaring sambil melompat dan menyerang si Penyair Muka Kumala dengan pedang terhunus.
"Ha ha ha ha...! Kemarahan hanya membuat otak mu buntu dan hatimu buta. Kekasih orang lain diakui sebagai kekasih sendiri. Ah... ini betul-betul penderitaan hebat. Aku kasihan padamu, Kisanak. Dari pada kau menderita batin yang membuat kau gila, lebih baik aku menolongmu dengan mengirim ke akherat secepatnya," sahut Penyair Muka Kumala masih tetap tersenyum.
Dengan gerakan ringan Penyair Muka Kumala menghindar dari serangan Gandasena. Tangan kirinya masih memeluk Ratih sementara suling di tangan kanannya memapaki pedang lawan.
"Trak!"
"Bet!"
Gandasena mengeluh kesakitan ketika senjata mereka beradu. Himpitan tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat suling itu menandakan bahwa tenaga dalam lawan lebih tinggi beberapa tingkat di atasnya. Kulit tangannya sampai terkelupas menahan pedangnya yang nyaris terlepas. Namun tak percuma sebagai putra kepala pasukan pengawal kadipaten kalau dia tak mampu berkelit dari serangan Penyair Muka Kumala selanjutnya, tendangan cepat ke arah ulu hatinya.
Walaupun gugup, namun tubuh Gandasena mencelat ke atas. Justru hal itulah yang agaknya diharapkan Penyair Muka Kumala. Dengan kecepatan yang sulit dielakkan Gandasena, suling si Penyair Muka Kumala menghantam deras ke batok kepalanya tanpa bisa dielakkan.
"Hiyaaa...!"
"Prak!"
"Aaa...!"
Nyawa Gandasena tak tertolong lagi ketika tubuhnya terhuyung-huyung ambruk dengan batok kepala remuk.
"Hi hi hi hi...! Lenyaplah sudah penghalang kita. Mari kekasihku, kita akan bersenang-senang mereguk surga dunia. Kau pasti akan berbahagia bersamaku!" ujar Penyair Muka Kumala sambil tertawa-tawa senang dan meninggalkan tempat itu secepatnya sambil membopong tubuh Ratih yang tak berusaha menolak.
Siang itu udara tak terlalu panas sebab selain matahari tak terlalu garang bersinar, di angkasa terlihat awan hitam mulai menutupi langit biru. Agaknya sebentar lagi suasana akan mendung dan turun hujan. Tapi bagi kedua orang muda-mudi yang sedang berjalan itu seperti tak berusaha berteduh. Padahal melihat dari kulit tubuh mereka yang berdebu bercampur keringat, pastilah keduanya telah melakukan perjalanan yang cukup jauh.
"Pelangi, apakah kau tak merasa lelah? Sudah setengah harian kita berjalan berputar-putar, kau pasti butuh istirahat," kata pemuda berbaju kulit harimau pada gadis di sebelahnya.
"Orang yang kita cari semakin dekat, Bayu. Aku khawatir jejaknya akan menghilang...."
"Hmmm... sungguh bejat perbuatan kakak seperguruanmu itu. Sepanjang perjalanan banyak orang mengutuk dirinya. Ini membuat diriku semakin geram untuk bertemu dan menampar wajahnya! Tak kusalahkan kau begitu mendendam padanya," dengus Bayu mengepalkan tangan.
"Itulah sebabnya batinku tak akan tenang sebelum memotes kepalanya. Letih ini tak seberapa, Bayu. Bila dibanding dengan harapan bertemu dan membalaskan sakit hatiku padanya," sahut gadis yang dipanggil Pelangi itu dengan nada geram.
"Ya, ya... aku mengerti. Tapi sebaiknya kita berhenti di kedai itu dulu. Perutku sudah melilit minta diisi. Begitu juga dengan sahabat kecilku ini. Siapa tahu di desa ini kita mendapat keterangan yang lebih jelas tentang orang yang kau cari itu," kata si pemuda berambut gondrong yang tak lain dari Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka.
Pelangi mengangguk setuju, keduanya langsung memasuki sebuah kedai yang cukup ramai di desa yang mereka singgahi ini. Beberapa orang pengunjung kedai memperhatikan mereka dengan tatapan aneh yang sulit dimengerti. Sementara yang lainnya acuh tak acuh.
"Mau pesan apa, Ki sanak?" tanya si pelayan menghampiri.
Bayu segera memesan dua porsi untuk mereka berdua, dan santapan khusus untuk monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada di dekatnya.
"Jangan lupa dua bumbung tuaknya, Pak!" lanjutnya sebelum pelayan itu menghilang ke belakang untuk menyiapkan pesanan mereka.
"Apakah kau merasa aneh dengan suasana di sini, Bayu?" tanya Pelangi dengan suara pelan.
"Entahlah. Sekilas kulihat mereka memandang kita penuh selidik., Terlebih-lebih padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kita, tapi aku tak peduli!"
Sepasang mata Bayu melihat beberapa orang keluar dari kedai itu. Dia menoleh ke meja mereka. Makanan mereka belum habis, dan kalau bermaksud keluar dengan semestinya, pastilah mereka harus membayar terlebih dulu. Tapi orang-orang itu keluar begitu saja seperti jagoan yang ingin makan tanpa bayar.
"Kenapa Bayu? Apakah kau mencurigai mereka?" tanya Pelangi yang agaknya juga memperhatikan orang-orang itu.
"Perasaanku mengatakan ada yang tak beres di desa ini. Tapi apa? Yang jelas bersangkutan dengan kehadiran kita..." gumam pemuda itu bertanya-tanya.
"Barangkali kau pernah membuat kekacauan di sini?"
"Hus, bicara sembarangan! Kekacauan apa yang kuperbuat? Menginjak desa ini baru sekarang, bagaimana mungkin bisa mengenal aku sebagai pengacau!"
"Mungkin di desa ini pernah ada seorang pengacau yang wajahnya mirip denganmu." tebak Pelangi sambil tersenyum menggoda.
"Sialan! Memangnya tampangku mirip pengacau? Yang jelas pasti orang-orang di desa ini matanya buta atau lamur semua!"
"Kenapa jadi menyalahkan orang lain?" tanya Pelangi terus menggoda.
"Sudah! Sudah!" sentak Bayu kesal.
Pada saat itu masuk beberapa orang berpakaian seragam seperti pengawal kerajaan. Tanpa basa basi lagi mereka langsung menuju ke arah muda-mudi itu. Salah seorang di antara mereka berkata dengan suara lantang.
"Atas nama Gusti Prabu Wisnupaksi, kau kami tangkap!" tunjuknya ke arah Bayu. Tentu saja Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget mendengar kata-kata itu.
"Heh...?! Apa-apaan ini? Kenal pun tidak dengan raja kalian tiba-tiba seenaknya menangkapku. Apa kesalahanku?!"
"Jangan banyak bicara! Kau telah terkepung. Menyerahlah atau kami akan bertindak keras padamu!"
"Hmmm... menyerah soal gampang, tapi jelaskan dulu apa kesalahanku hingga kalian menangkapku seenaknya?"
"Kau telah melarikan Putri Ratih Kumaladewi!"
"Apa?"
Bayu lebih terkejut lagi mendengar tuduhan itu. Betapa tidak? Jangankan menculik, mengenal orang yang namanya disebutkan itu pun dia belum tahu. Bahkan namanya pun baru dikenalnya sekarang. Bagaimana mungkin mereka bisa menuduhnya demikian?
"Kisanak, kukira kalian salah alamat. Aku tidak menculik siapa pun, dan gadis ini bukan bernama Ratih Kumaladewi," sahut Bayu tenang.
"Kami tidak mengatakan gadis ini yang kau culik. Menyerahlah kau Penyair Muka Kumala, atau kami terpaksa menggunakan kekerasan sekarang juga!" bentak pengawal kerajaan itu sambil menghunus pedangnya.
Beberapa anak buahnya mengikuti perbuatannya dan bersikap siaga.
"Apa? Kau menyebutku Penyair Muka Kumala? Ki sanak, kau betul-betul salah...."
"Yeaaa...!"
Belum lagi habis kata-kata yang diucapkan Bayu, ujung pedang pengawal kerajaan itu membabat lehernya.
"Aku diperintahkan membawamu hidup-hidup untuk menerima hukuman atau membunuhmu di tempat itu kalau kau membangkang!"
"Sialan!" maki Bayu geram sambil menundukkan kepala menghindar dari sabetan pedang lawan.
"Kaaakh...!"
Monyet kecil sahabatnya itu pun terpekik kaget ketika ujung pedang prajurit yang lain nyaris merobek tubuhnya. Masih untung dia sempat berkelit dengan melompat ke tempat lain.
"Hentikan!" bentak Pelangi tiba-tiba dengan wajah sengit.
"Nisanak, sebaiknya kau tak perlu dekat-dekat dengan bajingan ini!" sahut salah satu prajurit kerajaan.
"Siapa yang kau maksud bajingan? Tidak tahukah kalian siapa dia?!"
Para prajurit kerajaan itu terdiam beberapa saat sambil memandangi pemuda berambut gondrong berbaju kulit harimau itu dengan seksama.
"Siapa lagi kalau bukan Penyair Muka Kumala yang berjiwa bejat itu?!"
"Huh! Dari siapa kalian tahu bahwa dia adalah bajingan keparat itu?"
"Ada orang-orang yang memberitahukan kami tentang kehadiran pemuda ini. Pihak kerajaan disebar ke seluruh pelosok desa karena dia membawa lari Puteri Ratih Kumaladewi."
"Kalian salah. Dia bukan orang yang dimaksud, karena kami pun sedang mencari Penyair Muka Kumala."
"Hmmm... kalau bukan dia, jadi siapa pemuda ini?"
"Bukalah telinga kalian lebar-lebar agar tak salah tangkap lagi. Dialah pendekar muda yang bergelar Pendekar Pulau Neraka."
"Apa?! Pendekar Pulau Neraka?"
Kali ini prajurit-prajurit itulah yang terkejut setelah Pelangi memberitahukan siapa Bayu sebenarnya. Nama itu agaknya telah menyebar pula di tempat ini.
Terbukti para prajurit kerajaan itu menatap Bayu dengan pandangan takjub.
"Pendekar Pulau Neraka?!"
Tiba-tiba seseorang menghampiri Bayu. Seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya terlihat berseri-seri.
"Ki sanak, apakah kau masih mengenaliku?" tanya laki-laki itu.
Bayu memandangi orang tua itu beberapa saat. Kemudian mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau adalah Ki Sentanu, kepala desa Jaranan, bukan?"
"Tak salah! Aku memang Ki Sentanu. Ah, tak sangka akhirnya kita bertemu lagi di desa ini. Tapi... ng...."
"Kenapa Ki Sentanu? Apakah yang membuatmu tiba di desa yang jauh dari desamu ini?" "Itulah Ki sanak. Tahukah kau pemuda yang tempo hari datang menolong kami?"
Bayu mengangguk cepat.
"Dia adalah si laknat keparat itu!" desis Ki Sentanu geram.
"Apa maksudmu Ki Sentanu?"
"Di balik kebaikannya ternyata tersembunyi maksud-maksud jahat yang terkutuk... eh, bisakah kita berbicara tanpa... ng maksudku ini adalah peristiwa yang memalukan bagi desa kami...."
Bayu memandang ke arah Pelangi sejurus kemudian. Ketika dilihatnya gadis itu menganggukkan kepala, mereka meninggalkan desa itu menuju ke suatu tempat.
"Tunggu dulu, Ki sanak!" panggil salah seorang prajurit kerajaan.
"Ada apa lagi?!" Pelangi yang menyambut dengan wajah galak.
"Maafkan kesalahan kami menuduh kalian tanpa bukti...."
"Hmmm... tak apa. Kalau tak ada urusan lain kami permisi dulu," sahut Bayu.
"Maaf Kisanak. Kalau benar kau sedang mencari orang itu, sudilah memberitahukan pihak kerajaan. Paling tidak mencari tahu di mana dia menyembunyikan Putri Ratih Kumaladewi...."
"Ya, akan ku usahakan."
"Terima kasih atas kesediaanmu...."
Bayu mengangguk. Dia segera mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu secepatnya. Mulanya dia sedikit terkejut karena beberapa orang pemuda mengikuti mereka. Tapi Ki Sentanu menjelaskan bahwa orang-orang itu datang bersamanya. Barulah si Pendekar Pulau Neraka mengerti.
Di tengah perjalanan Ki Sentanu menceritakan kejadian yang menimpa desa mereka kepada pemuda itu. Bayu mendengarkannya dengan seksama sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah muram. Lebih-lebih Pelangi. Wajahnya diliputi hawa marah yang memuncak.
"Maafkan kesalahan kami tempo hari Kisanak. Kami sungguh tiada menyangka bahwa orang itulah yang justru kami takutkan. Ketika melihatmu tempo hari kami mengira bahwa kaulah orangnya yang bergelar Penyair Muka Kumala. Sebab menurut beberapa orang yang sempat mengenalinya dia berwajah tampan dan berambut gondrong. Persis sepertimu...."
"Sudahlah. Kejadian yang terjadi tak bisa dihindari lagi. Baiknya ini dijadikan pelajaran.... Jadi kalian pergi begitu jauh untuk mencari dan menuntut balas kepadanya?"
"Apa lagi yang bisa kami lakukan? Dia telah menodai hampir semua wanita dan gadis-gadis di desa kami dengan rayuan mautnya. Dan ketika kami menyadari hal itu, dia telah pergi meninggalkan desa dengan menculik lima orang gadis. Salah satu di antaranya adalah putri ku sendiri..." sahut Ki Sentanu sedih penuh luapan emosi.
"Ki Sentanu, orang itu berilmu tinggi dan sulit ditaklukkan. Kalian hanya akan mengantarkan nyawa secara percuma bila bertemu dengannya. Kembalilah pulang, dan serahkan urusan Penyair Muka Kumala pada kami..." ujar Bayu.
"Betul Ki. Biarlah kami berdua yang mewakili kalian untuk membalaskan sakit hati pada jahanam itu. Soal gadis-gadis yang diculiknya kurasa mereka akan pulang dengan sendirinya. Penyair Muka Kumala jarang membunuh gadis-gadis yang telah dinodainya..." timpal Pelangi.
"Itulah yang justru ku takutkan...."
"Lho, kenapa?"
"Dua orang gadis desa kami kedapatan tewas bunuh diri. Mungkin mereka tak kuat menanggung malu. Kalaupun Penyair Muka Kumala tak membunuh mereka, rasanya tak mungkin gadis-gadis itu mau pulang kembali ke kampung halaman mereka. Aku khawatir mereka merasakan harga dirinya sudah tak berguna dan nekat memilih jalan pintas dengan cara bunuh diri..." keluh Ki Sentanu.
"Nah, kalau kalian hendak menyelamatkannya, carilah mereka. Mudah-mudahan masih belum terlambat. Yakinlah bahwa Penyair Muka Kumala jarang membunuh gadis yang dinodainya. Dia memerlukan mereka hanya untuk pemuas nafsu iblisnya saja. Setelah puas maka gadis itu akan ditinggalkannya begitu saja. Kecuali kalau gadis-gadis itu berkeras menagih janji dan memaksanya terus barangkali dia bisa membunuhnya tanpa perasaan sedikit pun," bujuk Pelangi.
"Nah, Ki Sentanu. Pulanglah, lalu carilah mereka. Mudah-mudahan kalian berhasil!" timpal Bayu.
Orang tua itu menoleh dan menatap keduanya agak lama seolah meyakinkan harapan mereka tergantung pada kedua orang itu.
"Sungguh-sungguhkah kalian akan mencari dan membinasakannya?"
Bayu tersenyum. Tapi Pelangi lebih dulu menyahut.
"Kebencian kami tidak kalah dengan kebencian yang kalian miliki padanya. Aku bersumpah akan memotes lehernya!"
"Ohhh... terima kasih! Terima kasih, Kisanak. Aku tak tahu bagaimana cara terbaik mengucapkan terima kasih pada kalian. Khususnya padamu, Kisanak!" tunjuknya ke arah Bayu.
"Sudah, lupakan peristiwa itu...."
"Aku betul-betul tak tahu kau adalah pendekar kesohor itu. Kalau saja kami mengetahuinya tentu kami tak akan bersikap begitu padamu. Bahkan sejak di kedai tadi kami melihatmu, masih tersimpan kekesalan sampai kawanmu ini menyebutkan siapa dirimu...."
"Aku juga salah tak menyebutkan nama pada kalian. Tapi aku sungguh-sungguh tak tahu bahwa namaku berarti bagi kalian..." sahut Bayu.
Tadinya dia akan menyinggung dengan kata-kata, bahwa namanya ternyata lebih berarti dari-pada perbuatannya. Namun mengingat mereka dalam suasana duka dia mengurungkan niat. Bagaimana pun rasa jengkelnya masih terasa karena perlakuan mereka beberapa hari yang lalu. Tapi melihat masalah yang mereka hadapi mau tak mau timbul juga rasa kasihannya.
Tak berapa lama kemudian setelah mengucapkan terima kasih dan penyesalannya sampai berkali-kali, mereka pun pergi meninggalkan kedua orang itu dengan dada penuh harapan.
"Ke mana tujuan kita sekarang?" tanya Pelangi setelah Ki Sentanu dan yang lainnya pergi. Bayu berpikir sesaat.
"Coba pikirkan, bila seorang laki-laki akan melakukan perbuatan maksiat, tempat apa yang kira-kira cocok?" tanya Bayu.
"Mana ku tahu! Aku wanita dan kau laki-laki. Seharusnya kau yang lebih tahu."
Bayu tersipu malu. "Brengsek! Kalau aku sering melakukan hal demikian tentu aku tak akan tanya padamu!" sungutnya gondok.
"Setidaknya kau pasti mengerti. Tempat yang bagaimana tepatnya untuk melakukan perbuatan yang demikian!"
"Hmmm... dia baru saja melarikan putri raja. Setidaknya dia pasti menyadari bahwa prajurit kerajaan tak akan tinggal diam dan pasti mencarinya. Rasanya tidak mungkin kalau dia memilih tempat yang dekat dari desa ini. Setidaknya di desa lain atau di tempat yang terpencil yang jarang dilalui orang."
"Di mana kira-kira?"
"Bagaimana kalau kita berpencar?"
Pelangi memandang wajah pemuda itu beberapa saat lamanya setelah mendengar kata-kata Bayu.
"Kenapa?"
"Bayu, aku tak akan meminta pertolonganmu kalau aku mampu menghadapinya seorang diri. Sudah kukatakan, aku rela mati, tapi harus yakin bahwa dia pun mampus sebelum aku menemui ajal...."
"Ya, ya... hm, kalau begitu lebih baik kita menyelusuri hutan di depan sana. Terlihat ada gunung tinggi. Pasti banyak terdapat lembah atau yang sejenisnya. Tempat seperti itu biasanya jarang dilalui manusia biasa, mari kita ke sana!" ajak Pendekar Pulau Neraka sambil menggenjot tubuh menggunakan ilmu lari cepatnya.
Bersamaan dengan itu Pelangi pun mengikuti sambil merendengi lari Pendekar Pulau Neraka.
Seseorang tampak berkelebat memasuki sebuah hutan yang cukup lebat di depannya. Melihat caranya berlari pastilah orang itu bukan sembarangan. Apalagi terlihat bahwa dia menggendong tubuh seseorang. Tampaknya biasa saja seolah tak membawa beban berat. Bahkan wajahnya terlihat senang. Dan sesekali dia tertawa-tawa kecil dan berbicara dengan orang sedang yang dibopongnya itu.
"Hi hi hi hi...! Sebentar lagi manis, sebentar lagi. Kau tentu sudah tak sabaran bukan? Demikian juga aku. Namun tak lama lagi kita akan mengecap kenikmatan bersama-sama. Kita akan mencari tempat yang sepi dan aman dari gangguan orang lain," kata orang itu yang ternyata adalah seorang pemuda gondrong berwajah tampan.
Dalam bopongannya itu adalah seorang gadis cantik yang kulit kuning langsat dan halus sekali. Rambutnya ikal mayang dan hidungnya kecil dan mancung. Siapa pun lelaki yang melihat parasnya pasti akan terpesona. Melihat caranya berpakaian, pastilah gadis itu orang-orang persilatan pada umumnya. Siapakah mereka sebenarnya?
Yang laki-laki bernama Kamajaya, atau lebih dikenal sebagai Penyair Muka Kumala, dan gadis yang sedang dalam bopongannya itu tak lain dari Ratih Kumaladewi yang saat itu sedang mengenakan pakaian penyamarannya. Gadis itu sebenarnya adalah putri raja yang telah dilarikan oleh Penyair Muka Kumala.
Melihat kedudukannya sebagai putri raja, rasanya mustahil gadis itu tak berontak dan berusaha melarikan diri dari orang yang menculiknya. Apa lagi dalam keadaan terjaga begitu rupa. Padahal pemuda itu bukan tunangannya. Kalau saja dia dalam keadaan sadar tentu saja gadis itu akan berbuat demikian. Tapi ada hal yang aneh ketika melihat wajahnya. Sorot mata gadis itu kosong seperti tak ada gairah kehidupan.
Sepertinya dia pasrah saja akan dibawa ke mana oleh pemuda itu. Bahkan ketika Kamajaya menidurinya di balik semak-semak, gadis itu tak berusaha berontak. Sorot matanya tetap menatap kosong pada Penyair Muka Kumala. Begitu juga ketika Kamajaya melepaskan pakaiannya satu persatu hingga tersingkap lekuk-lekuk tubuh gadis itu yang menggiurkan.
"Ahhh... tubuh bagus! Tubuh bagus! Belum pernah aku melihat tubuh bagus seperti ini. Dadamu indah menantang dan pinggul mu padat berisi, Kau betul-betul sempurna sebagai seorang gadis. Sebentar, Sayang.... Sebentar, Sayang..." oceh Kamajaya berulang-ulang sambil mengelus-elus tubuh gadis itu dari atas sampai bawah.
Tak berapa lama kemudian dia pun melepaskan seluruh pakaian dengan dengus nafas garang. Diciumnya gadis itu dengan penuh nafsu dan perlahan-lahan dipeluknya erat-erat. Gadis itu tetap tak bereaksi. Wajahnya hanya sedikit berkerut seperti menahan nyeri ketika dengus nafas Kamajaya semakin kencang seperti orang sedang berlari jauh. Keringatnya telah bercucuran sebesar biji jagung.
Entah berapa lama dia berbuat demikian. Pada akhirnya terdengar dengus nafas Kamajaya mereda. Pemuda itu mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah berseri.
"Ohhh... betul-betul hebat! Sempurna! Kau betul-betul membuatku puas, Sayang!" desisnya berkali-kali. Dipandangnya gadis itu dengan penuh kemesraan dan kembali dikecupnya bibir merah merekah itu. Si gadis diam seribu bahasa tanpa memberikan reaksi. Namun kedua tangan Kamajaya semakin nakal menyusuri kembali lekuk-lekuk padat pada dua buah bukit kenyal yang menantang kejantanannya. Dan seperti orang yang kemasukan setan, Kamajaya mengulangi perbuatan terkutuknya sekali lagi.
Entah setan apa yang merasuk ke dalam pemuda berwajah tampan itu, tapi setiap kali dipandanginya tubuh gadis yang tanpa busana itu, maka setiap kali pula nafsu setannya terangsang kembali dan gadis malang itu harus pasrah menanggung derita yang tak disadarinya. Dia tak bereaksi apa-apa atas perbuatan pemuda itu. Hanya wajahnya yang sesekali berkerut seperti menahan rasa sakit. Dan pada puncaknya saat Kamajaya betul-betul telah kelelahan, gadis itu sepertinya tak kuat lagi menahan rasa sakit. Wajahnya hanya berkerut sesaat, untuk kemudian betul-betul tak sadarkan diri.
"Tidurlah, Sayang... tidurlah. Sebentar lagi kau pasti akan segar kembali dan kita bisa melanjutkan permainan kita esok hari," ujar Kamajaya sambil menyelimuti tubuh si gadis begitu saja dengan bajunya tadi.
Dia sendiri merebahkan diri di atas rerumputan di sebelah si gadis sambil berkali-kali menguap. Sebelah tangannya memeluk tubuh gadis itu dengan penuh mesra. Tak terasa senja telah berlalu, dan keduanya betul-betul pulas dalam gulitanya malam. Yang satu pulas kelelahan sambil menyungging senyum puas, sementara si gadis terlelap tanpa reaksi selain sudut bibirnya yang membuat lekuk jerit batinnya yang luka.
Entah berapa lama mereka terlena dalam keadaan begitu, tiba-tiba saja Kamajaya terbangun sambil memekik keras. Perutnya seperti diaduk-aduk, dan punggungnya terasa linu terbentur batang pohon yang cukup besar. Walaupun dalam keadaan demikian dia masih mampu menjaga keseimbangan tubuhnya dan jatuh di atas kedua kaki dengan mantap.
Matanya agak silau ketika matahari pagi persis menerpa ke arah wajahnya. Sambil menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan darah, pemuda itu berusaha menajamkan penglihatan. Di depannya pada jarak tiga tombak berdiri lima sosok bayangan dengan sorot mata garang mengancam. Kamajaya berusaha mengenali mereka satu persatu. Empat orang laki-laki itu tak dikenalnya, namun ketika melihat seorang gadis yang berdiri paling kiri dia tersentak kaget.
"Pelangi...? Apakah kau Pelangi kekasihku?!"
"Benar Kakang Kamajaya, aku Pelangi. Tapi bukan kekasihmu, melainkan malaikat maut yang akan menjemput nyawamu!"
"Pelangi, kenapa kau berkata begitu? Apakah kau sudah tak mencintai aku lagi?"
"Jangan mencoba untuk merayu ku, Kakang. Percuma, karena segala rayuan mu tak akan mempan lagi untukku!"
"Pelangi, begitu tega kah kau melupakan masa-masa indah kita dulu yang...."
"Diam kataku anjing laknat!" sentak gadis itu dengan suara menggeledek.
Kamajaya agak terkejut mendengarnya. Bukan oleh pengaruh suara yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam hebat itu, melainkan karena dia tahu betul bahwa gadis itu tak pernah mengeluarkan suara sekeras itu padanya sebelum hari ini.
Kenapa Pelangi telah berada di tempat itu? Pada saat mereka memutuskan untuk memasuki hutan yang ditunjuk oleh Bayu, keduanya bertemu dengan tiga orang persilatan lain yang kebetulan sedang mencari Kamajaya, alias Penyair Muka Kumala. Yang seorang merupakan utusan dari kerajaan, yaitu Panglima Bayan Rimang. Beliau adalah salah seorang yang berilmu silat tinggi dan amat disegani oleh semua kalangan termasuk orang-orang persilatan. Dengan senjata andalannya berupa tombak sakti dia sempat malang melintang di rimba persilatan dengan gelar Tombak Sakti Pencabut Nyawa, sebelum bekerja pada kerajaan.
Sedang kedua orang lainnya adalah Ki Wangsapala. Seorang tokoh tua yang jarang muncul dan dikenal sebagai Malaikat Maut Berwajah Buruk, dan Nyai Agni Permoni, wanita setengah baya yang termasuk tokoh persilatan berilmu tinggi, dan amat disegani. Beliau lebih terkenal dengan gelar Kuntilanak Pipi Merah. Kedua tokoh persilatan itu agaknya punya persoalan pribadi dengan Penyair Muka Kumala. Terlihat ketika tiba-tiba Nyai Agni Permoni ketawa nyaring dengan nada mengancam.
"Hi hi hi hi...! Inikah orangnya yang punya gelar Penyair Muka Kumala? Hmmm... bocah bagus! Kalau saja kelakuanmu terpuji sungguh senang sekali punya menantu sepertimu. Tapi sayang, kau mempermainkan hati putri ku hingga dia bunuh diri akibat perbuatanmu. Dan kau akan terima balasannya hari ini, keparat!"
Kamajaya menyadari bahwa kelima orang itu datang bukan dengan maksud baik, melainkan ingin menuntut balas terhadapnya. Tapi pemuda itu sungguh percaya diri terhadap kemampuannya. Dengan tenang dia melangkah pelan dan berhenti ketika jarak mereka persis satu tombak. Dipandanginya keempat orang itu satu persatu. Dan pada jarak inilah dia dapat mengenali seorang lagi di antara mereka. Seorang pemuda berambut gondrong berbaju kulit harimau dengan seekor monyet kecil berbulu hitam di pundaknya.
"Hmmm.... Pendekar Pulau Neraka, agaknya kau pun berada di sini. Sungguh kehormatan luar biasa bagiku bisa bertemu dengan sahabat lama di sini," katanya dengan nada ramah sambil tersenyum kecil.
"Aaah... kau terlalu memuji, Kisanak. Orang sepertiku mana pantas menjadi sahabatmu sebab aku lebih cocok menjadi juraganmu yang akan menghukummu karena telah berbuat kesalahan," balas Bayu sambil menahan geram.
"Hmmm... begitukah? Sungguh malang nasib juraganku. Untuk menghukum seorang budak tak berdaya sepertiku saja harus membawa tiga orang centeng yang galak dan seram."
"Demikian pula sebaliknya aku, sungguh kasihan melihat keadaanmu. Saking ketakutannya sampai lupa ingatan dan menganggap tiga malaikat maut yang akan mengadilimu sebagai centengku. Mungkin dalam beberapa saat lagi kau akan semakin tak waras dan menganggap dirimu penguasa tanpa tanding. Tapi bolehlah kau beranggapan demikian asal tempatmu dineraka sana!"
"Ha ha ha ha...! Tak kusangka Pendekar Pulau Neraka yang terkenal sadis dan kejam ternyata cuma pandai bersilat lidah. Nah, katakanlah apa yang kalian inginkan dari budakmu ini?"
"Huh, semakin banyak omong kepalamu akan semakin besar. Aku sudah tak sabaran ingin mengorek jantungmu!" desis Nyai Agni Permoni sambil melompat dan menyerang Penyair Muka Kumala dengan sengit.
"Ohhh... apakah kau pun ingin bersenang-senang denganku? Tak apa. Walaupun kau sudah berumur tapi masih kelihatan cantik dan tak kalah dengan putri mu," ejek Kamajaya sambil bergerak menghindar.
"Yeaaa...!"
"Bet!"
Nyai Agni Permoni mengetahui bahwa pemuda itu berilmu tinggi. Itulah sebabnya dia tak mau berlaku sembarangan. Serangannya ganas dan betul-betul mematikan. Sebagai salah seorang tokoh yang disegani di dunia persilatan tentu saja dia tak mau kehilangan muka dan dijatuhkan pemuda itu dalam beberapa jurus.
Tapi lawan yang dihadapinya kali ini bukanlah orang sembarangan. Walaupun gerakan menghindar yang dilakukan Kamajaya terlihat lemah gemulai seperti orang menari, tapi dengan tiba-tiba bisa berubah cepat dan ganas laksana banteng liar. Sehingga terlihat pertarungan itu betul-betul berjalan seimbang.
Kelima orang itu tadi telah sepakat untuk melakukan pertarungan satu persatu menghadapi lawannya. Mereka tentu saja tak mau kehilangan muka dengan mengeroyok pemuda itu dalam membalaskan sakit hatinya. Padahal kalau saja mau membunuh begitu saja, tentu telah sejak tadi mereka lakukan saat pemuda itu sedang tertidur pulas.
Panglima Bayan Rimang cuma menendangnya dengan sedikit pengerahan tenaga dalam hingga tak membuat Penyair Muka Kumala terluka parah. Tapi karena Kamajaya tak mengetahuinya tentu saja dia tak berusaha menyalurkan tenaga dalam untuk menahan tendangan itu.
Tadinya Pelangi yang akan langsung memotes leher pemuda itu saat dia sedang tertidur, tapi Panglima Bayan Rimang lebih dulu menendangnya setelah meraih tubuh Ratih Kumaladewi dan meletakkan di tempat yang aman.
"Hmmm... aku sudah tak sabar ingin memotes kepala si keparat itu agar Gusti Prabu merasa setimpal dengan apa yang telah dilakukan jahanam itu terhadap putrinya!" ujar Panglima Bayan Rimang dengan wajah geram.
"Bukan kau saja yang ingin kepalanya, sahabat. Aku pun sama besar keinginannya dibandingkan denganmu. Dia telah membawa lari putri ku dan menodainya berkali-kali. Dan setelah puas ditinggalkannya begitu saja!" sahut Ki Wangsapala yang berwajah buruk itu.
"Jadi bagaimana sekarang, Bayu?" tanya Pelangi pelan dan agak menjauh dari kedua orang itu.
"Bagaimana kenapa?"
"Kau tak jadi menolongku?"
"Kenapa tidak?"
"Kelihatannya tenang-tenang saja, dan menyerahkan persoalan kepada mereka!?"
Bayu tersenyum.
"Ahhh... memang sudah nasibku dendam tak terbalas... biarlah. Barangkali untuk hidup pun aku sudah tak berguna lagi. Kalaupun mati toh tak ada yang menyesali...."
"Kenapa berkata begitu, Pelangi? Sabarlah. Kalau kita maju berbareng mengeroyok kakak seperguruanmu itu, tentu yang lain akan merasa diremehkan. Biarlah mereka mendapat bagiannya masing-masing."
"Mereka bukan tandingannya!"
"Hei! Kenapa kau berkata begitu? Mereka merupakan orang-orang tangguh berilmu tinggi!"
"Aku tahu! Tapi kau tak akan tahu sampai di mana kemampuan Kamajaya saat ini. Dulu saja sebelum melarikan kitab pusaka peninggalan guru kami kepandaiannya sudah demikian tinggi dan hampir menyamai guru kami. Bisa kau bayangkan bagaimana kemampuannya sekarang!"
"Sepertinya kau selalu mengunggulkan gurumu dan kepandaian kakak seperguruanmu itu. Selama ini aku tak tahu, siapa guru kalian sebenarnya.
Pelangi melirik pemuda itu sekilas. Kemudian katanya dengan suara lirih.
"Kau menganggap remeh ya? Tak apalah. Barangkali guruku bukan orang terkenal dan bukan satu-satunya orang yang berilmu tinggi. Namanya Kun Tapa...."
"Setan Maut Langlang Buana?!" potong Bayu kaget.
"Kenapa? Apakah kau mengenalnya!" tanya Pelangi enteng.
Nama itu pernah dikenal dari gurunya, Eyang Gardika. Seorang datuk sesat yang ilmunya tinggi tiada bandingan. Mereka hidup sejaman dan saling menghormati sehingga tak pernah terjadi bentrok antara keduanya. Beliau juga salah satu yang diantara orang yang diwanti-wanti Eyang Gardika agar dia berhati-hati bila berhadapan dengannya, tapi tak sangka hari ini dia musti berhadapan dengan muridnya.
Bayu tersentak ketika mendengar satu jeritan keras. Terlihat Nyai Agni Permoni terlempar keras menghantam batang kayu besar akibat beradu pukulan dengan Penyair Muka Kumala. Baru saja dia bermaksud memberikan pertolongan ketika melihat Kamajaya telah mencelat dan.bermaksud menghabisi nyawa wanita setengah baya itu ketika Panglima Bayan Rimang telah lebih dulu bergerak memapaki.
"Yeaaaa...!"
"Huh! Kau juga akan menerima bagian yang sama!" dengus Kamajaya.
Namun pemuda itu tak berani gegabah ketika melihat toya di tangan Panglima Bayan Rimang berputar menderu-deru sehingga menimbulkan pusaran angin kencang menghantam dirinya.
"Tak semudah apa yang kau bayangkan, bocah! Kau boleh berbangga hati dengan kehebatanmu. Tapi di hadapanku jangan harap!"
"Hiyaaaa...!"
"Bet!"
"Praak!"
"Akh!"
Panglima Bayan Rimang terkejut setengah mati ketika kepalan tangan pemuda itu dihantamkan ke depan. Tak terlihat angin kencang akibat pengerahan tenaga dalam yang dilontarkannya, tapi tiba-tiba saja toya yang sedang berputar bagai kitiran itu hancur berantakan menjadi puing-puing kecil dihantam pukulan yang tak terlihat itu.
Sementara tangan kanan Panglima Bayan Rimang sendiri hancur sebatas bahu seperti terkena ledakan dahsyat.
"Terimalah kematianmu, sahabat!" bentak Kamajaya sambil meluncur cepat mengirim serangan berikutnya.
Pada saat yang bersamaan tiga sosok bayangan bergerak serentak memapaki serangan Penyair Muka Kumala untuk menyelamatkan nyawa Panglima Bayan Rimang. Tapi hal itu telah disadari Kamajaya, karenanya tubuh pemuda itu melentik menghindar.
"Yeaaa...!"
"Brusss...!"
Beberapa pohon terlihat tumbang dihantam pukulan ketiga sosok bayangan tadi. Sementara Kamajaya terkekeh-kekeh ketika menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ha ha ha ha...! Agaknya kalian sudah tak sabar menunggu giliran hingga perlu turun tangan sekaligus!"
"Penyair Muka Kumala, kami tak perlu turun tangan bersama kalau cuma ingin meringkusmu. Ayo, majulah kau! Hadapi si Wangsapala ini!" tantang orang tua itu geram.
Kalau saja mereka bertiga tadi bergerak bersamaan itu bukan berarti bahwa ketiganya bermaksud mengeroyok Kamajaya. Kebetulan saja mereka mempunyai niat yang sama, yaitu ingin menolong nyawa Panglima Bayan Rimang.
"Hmmm... kau rupanya Ki Wangsapala yang bergelar Malaikat Maut Pencabut Nyawa. Namamu pernah menggetarkan dunia persilatan beberapa belas tahun silam. Kata orang ilmu silatmu hebat tiada tara. Siapa nyana hari ini kau begitu berbaik hati ingin memberi pelajaran padaku. Silahkan Ki sanak! Aku yang muda bersiap menerima pelajaran darimu," sahut Kamajaya sambil tersenyum mengejek.
Ki Wangsapala baru saja akan bersiap menyerang pemuda itu ketika Pelangi menyela dengan tiba-tiba.
"Ki Wangsapala, maaf! Dari tadi aku lebih banyak mengalah. Kali ini kau harus membiarkan aku menghajar bajingan keparat ini!"
"Pelangi...!"
"Diamlah kau, Bayu! Aku telah bertekad untuk menghajar bajingan ini walaupun aku harus mati!" sentak Pelangi ketika Bayu mencoba mencegahnya.
"Tidak bisa, Nisanak! Pemuda ini adalah bagianku!" sahut Ki Wangsapala berkeras.
"Ki Wangsapala, aku punya dendam tujuh turunan terhadapnya. Tidak bisakah kau mengalah sedikit?"
"Bukan kau saja yang mendendam tapi aku pun mendendam terhadapnya. Dia harus mampus di tanganku!"
"Amboooi, hebat benar perselisihan ini rupanya! Agaknya nyawaku betul-betul berharga kali ini. Ki sanak, kalau kalian betul menginginkan kepalaku, kenapa tidak mengambilnya bersama-sama saja?
Setelah kalian mendapatkan boleh dibagi bersama. Aku pun tak keberatan memberikannya asal kalian mau menukar dengan jantung kalian masing-masing," potong Kamajaya tersenyum-senyum.
"Kamajaya keparat! Aku tak perlu campur tangan orang lain untuk memotes kepalamu!" bentak Pelangi sudah terus mencelat ke arah pemuda itu sambil mengirim serangan kilat. Namun pada saat yang bersamaan pula tubuh Ki Wangsapala melompat menyerang Penyair Muka Kumala. Agaknya orang tua itu sudah tak memperdulikan harga dirinya lagi dengan mengeroyok lawan. Yang ada di benaknya adalah bahwa dia tak mau kedahuluan gadis itu yang akan menghabisi lawan. Tekatnya begitu keras bahwa Penyair Muka Kumala harus tewas di tangannya.
"Hiyaaa...!"
"Ha ha ha ha.... Bukankah begini lebih baik? Kekasihku bersekutu dengan orang-lain ingin memenggal kepalaku... hei, Pendekar Pulau Neraka! Apakah kau tak ingin ikut serta dalam pesta ini? Kenapa musti malu-malu? Ayo, ikutlah kalau kau suka!" teriak Kamajaya seperti menganggap enteng.
"Terima kasih, Kisanak. Aku lebih sabar menunggu sisanya saja. Tak baik mengganggu kesenangan orang lain!" sahut Bayu.
Sebenarnya dia agak mendongkol juga, sekaligus geram melihat kesombongan pemuda itu. Sepertinya dia betul-betul menganggap enteng lawan-lawannya. Di samping Bayu pun agak cemas memikirkan Pelangi. Karena Kamajaya kakak seperguruannya tentu lebih mudah baginya untuk mengalahkan gadis itu. Bahkan bukan tak mungkin dia bertindak kejam dengan membunuh Pelangi. Sebab yang terakhir saja dia tega menghajar gadis itu dalam keadaan hamil besar sampai babak belur dan nyaris tewas.
"Apa yang harus kita lakukan, Tiren?" tanyanya lirih sambil memperhatikan pertarungan itu.
"Nguk!"
"Hmmm... tak baik rasanya kalau aku pun ikut turun tangan membantu mereka. Biarlah kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti. Mudah-mudahan mereka berdua bisa mengatasinya."
Sementara itu pertarungan antara mereka berlangsung alot dan cepat. Ki Wangsapala dan Pelangi terlihat begitu bersemangat mengalahkan Penyair Muka Kumala. Sebaliknya Kamajaya terlihat masih santai-santai saja melayani mereka. Karena mengetahui semua serangan yang dilancarkan Pelangi, dia seperti tinggal memusatkan perhatian terhadap serangan-serangan Ki Wangsapala. Walaupun demikian belum terlihat bahwa dia memiliki peluang untuk menjatuhkan keduanya.
"Penyair Muka Kumala! Apakah kebisaanmu hanya menghindar saja?! Ayo, keluarkan kepandaianmu!" bentak Ki Wangsapala geram.
"Hmmm... agaknya kau tak sabaran betul Ki Wangsapala. Baiklah kalau itu yang kau inginkan," sahut Kamajaya.
Setelah berkata demikian pemuda itu merubah jurus-jurus yang dimainkannya. Gerakannya semakin cepat dan jurus-jurusnya terlihat membingungkan. Jangankan bagi Ki Wangsapala, bahkan Pelangi sendiri belum pernah melihat jurus yang dimainkan pemuda itu sebelumnya.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Yts!"
Bukan main kagetnya Ki Wangsapala. Jantungnya seperti hendak berhenti berdetak ketika pukulan yang dihantamkan pemuda itu nyaris membuat tubuhnya remuk berkeping-keping seperti batu besar di dekatnya. Anginnya saja terasa membuat tubuhnya bergetar hebat. Belum lagi dia menguasai diri, kembali Kamajaya telah menyerangnya dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata.
"Yeaaa...!"
"Kamajaya, kau meremehkan aku! Terimalah pukulan ini!" teriak Pelangi sambil menghantamkan telapak tangan kanannya ke punggung Kamajaya. Tubuh Penyair Muka Kumala bersalto beberapa kali menghindari angin pukulan Pelangi, namun serangannya ke arah Ki Wangsapala seperti tak berubah.
"Hup! Yeaaa...!"
"Hiyaaat...!"
"Begk!"
Ki Wangsapala memekik kesakitan. Paha kanannya kena dihantam pukulan Kamajaya dan kaki di bagian itu hancur seperti terkena ledakan.
"Yeaa...!"
"Kalau kau ingin mampus sekarang, terimalah kematianmu Pelangi!" geram Kamajaya sambil menoleh dan mengirimkan satu pukulan maut ke arah Pelangi yang sedang menghantamkan pukulan bertenaga dalam kuat ke arahnya.
"Pelangi, jangan!" teriak Bayu langsung melompat menyambar tubuh gadis itu.
Pukulan Kamajaya lewat dua inci dari tubuhnya. Tapi Penyair Muka Kumala tak berhenti sampai di situ. Begitu pukulannya melesat, tubuhnya langsung mencelat mengejar Bayu yang sedang membopong tubuh Pelangi.
"Hiyaaat...!"
Bukan main terkejutnya Bayu melihat kecepatan bergerak Kamajaya yang nyaris seringan kapas dan secepat kilat. Jantungnya berkali-kali nyaris berdegup kencang merasakan angin sambaran pukulan lawan yang lewat hanya beberapa kali dari kulit tubuhnya. Sedikit saja dia lambat bergerak bukan mustahil tubuh mereka akan remuk. Dan gilanya pula! Kamajaya seperti orang kesetanan dan terus menyerang mereka tanpa henti.
Sementara itu Bayu masih belum sempat membalas sedikitpun juga. Dia jungkir balik menyelamatkan diri dari sambaran pukulan lawan. Pendekar Pulau Neraka mengeluh sendiri. Dua jurus di muka kalau keadaannya terus begini dia pasti akan kehabisan tenaga dan binasa di tangan lawan.
Maka sambil berteriak keras dan mengempos seluruh kemampuannya, Pendekar Pulau Neraka melentik seperti ikan, beberapa kali di udara sambil melempar tubuh Pelangi.
"Pelangi, jaga dirimu baik-baik dan jangan ikut campur urusan! Biar bajingan ini aku tangani!" teriaknya.
"Tenang saja Bayu! Aku tak apa-apa di sini!" teriak Pelangi ketika mendarat dengan empuk di atas rerumputan.
Setelah merasa bebannya berkurang, tubuh Bayu kembali bersalto beberapa kali menghindari serangan lawan dan mengukur jarak agak jauh dari Kamajaya sambil mengatur nafas. Kemudian dalam satu kesempatan pemuda itu berteriak nyaring sambil menghantamkan satu pukulan ke arah lawan.
"Hiyaaa...!"
Sambil menghindari pukulan lawan, serangkum angin kencang menerpa Kamajaya. Si Penyair Muka Kumala tersentak kaget. Tubuhnya sedikit bergetar disambar angin pukulan Bayu. Walau begitu dia masih sempat tertawa ketika menghentikan serangannya dan berdiri tegak berhadapan pada jarak dua tombak.
"Ha ha ha ha...! Ternyata cerita orang-orang tak salah tentangmu. Pendekar Pulau Neraka memang tokoh hebat. Tak percuma hari ini aku bisa belajar banyak darimu."
"Terima kasih, sobat. Kaupun sungguh hebat, namun sayang bahwa kehebatanmu lebih dikenal dengan perbuatan maksiat yang kau lakukan."
"Ha ha ha ha...! Masing-masing orang memiliki kelebihan tersendiri. Anggap saja bahwa hal itu merupakan kelebihanku. Seperti juga halnya dengan ini!"
Setelah berkata begitu sepasang mata Kamajaya menatap tajam ke arah Bayu. Si Pendekar Pulau Neraka terkesima. Untuk sesaat dia merasa perlahan-lahan kesadarannya semakin berkurang.
"Ha ha ha ha...! Sebenarnya kau lemah, sobat. Kau lemah sekali. Bahkan untuk melawanku kau tidak memiliki kemampuan apa-apa. Dalam hatimu penuh rasa ketakutan hebat...."
"Bayu! Sadarlah! Jangan tatap matanya. Dia sedang menggunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi mu!" teriak Pelangi memperingatkan.
"Hiyaaa...!"
"Duk!"
"Aaakh...!"
Peringatan itu sedikit terlambat. Tubuh Kamajaya telah melesat sambil mengirim satu pukulan telak menghantam dada Pendekar Pulau Neraka. Tubuh Bayu terlempar sejauh lima tombak sambil menjerit lemah. Dari mulutnya menggelogok darah segar.
"Sekarang pergilah kau ke neraka. Di sana lebih cocok bagimu!" teriak Kamajaya sambil mengirimkan serangan susulan.
"Keparat...!" desis Pelangi sambil menghantamkan kepalan tangannya ke arah Kamajaya.
"Yeaa...!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Kamajaya telah menduga hal itu, tanpa berusaha menghindar dia memapaki serangan Pelangi. Benturan dua pukulan yang mereka lontarkan itu tak dapat dihindari lagi. Pelangi menjerit keras. Tubuhnya terlempar tiga tombak. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Sekarang tak ada lagi yang bisa menghalangiku untuk membunuhmu sobat!" katanya dengan wajah bengis sambil menghantamkan pukulan ke arah Bayu yang sedang megap-megap kepayahan.
"Penyair Muka Kumala, mampuslah kau!"
"Yeaa...!"
"Uts!"
"Hiyaaat...!"
"Glaaar!"
"Aaaa...!"
Pada saat-saat genting begitu ketiga lawannya yang lain dengan nekat maju serentak sambil menghantamkan pukulan jarak jauh ke arahnya. Kamajaya tersentak kaget, namun dia sempat bergerak menghindar dan balas menghantam lawan. Panglima Bayan Rimang dan Nyai Agni Permoni terpental dengan tubuh hancur.
Namun pukulan Ki Wangsapala sempat menghantam pinggangnya dan membuat pemuda itu terjerembab. Tapi Ki Wangsapala pun akhirnya mengalami hal yang sama dengan dua rekannya yang lain karena pada saat yang bersamaan Kamajaya berhasil melepaskan pukulan dan menghantam telak tubuhnya.
Sementara itu Bayu merasakan isi perutnya serta dadanya terasa sakit sekali. Kalau saja dia tak memiliki tenaga dalam yang tinggi, sudah pasti tubuhnya akan hancur seperti yang lainnya.
"Nguk...!"
Monyet kecil berbulu hitam yang melihat sahabatnya itu terluka buru-buru menghampiri. Wajahnya terlihat sedih dan khawatir. Sorot matanya garang menatap ke arah Kamajaya. Kalau saja Bayu tak menarik ekornya, monyet itu telah melompat menyerang si Penyair Muka Kumala.
"Jangan Tiren. Dia terlalu berbahaya bagimu. Menyingkirlah dari sini dan selamatkan Pelangi dan Ratih Kumaladewi."
"Kaaakh...!"
"Jangan buang-buang waktu! Ayo, cepat pergi!" Tapi monyet kecil itu seperti tak mau beranjak dari sisi Bayu.
Dipandanginya pemuda berbaju kulit hari mau itu sedih. Tak terasa air matanya merembang di kedua kelopak mata.
"Jangan menangis, Tiren. Aku tak apa-apa...."
"Nguk...!"
Seperti manusia saja layaknya, monyet kecil itu merasakan bahwa Bayu mengalami penderitaan yang hebat. Rasanya untuk bertarung pun dia tak mampu. Pemuda berbaju kulit harimau itu cuma terbaring lesu seperti menanti ajal. Berkali-kali dia berusaha bangkit, tapi saat itu juga dia mengeluh kesakitan.
"Ha ha ha ha...! Sungguh mengharukan sekali pemandangan yang ku saksikan hari ini. Seekor monyet menangisi majikannya yang akan mampus..." ejek Kamajaya sambil melangkah pelan mendekati mereka.
"Kaaakh...!"
Monyet kecil itu melompat ingin menerkam Kamajaya. Tapi sesudahnya dia terjerembab sendiri karena ekornya masih dicekal Bayu.
"Jangan Tiren! Jangan. Dia bukan tandingan mu. Sebaiknya selamatkan dirimu dari manusia berbentuk setan ini...."
"He he he he...! Jangan harap dia bisa melarikan diri dariku. Hari ini dunia persilatan akan mencatat bahwa si Penyair Muka Kumala telah membawa kepala Pendekar Pulau Neraka ke mana-mana agar semua orang tahu siapa aku. Penyair Muka Kumala adalah raja, dan manakala angin bertiup semilir melanglang semua desa, di situ tahta berada. Membawa jejak sang raja dan bersenandung memujinya..."
"Hentikan ocehanmu, sobat! Kau sama sekali tak pantas menjadi raja. Kau adalah sampah yang menjijikkan!"
"Hi hi hi hi...! Kudengar semua kata-katamu, dan bicaralah yang banyak sebelum jiwamu mengembara di alam lain. Kepalamu akan jadi saksi semua orang di atas jagat ini bahwa nama Pendekar Pulau Neraka akan tamat."
"Huhhh...!"
"Nah, bersiaplah menerima kematian!" desis Kamajaya tiba-tiba dengan wajah garang.
Tangan kanannya bersiap terangkat. Dengan sekali hantam niscaya tubuh si Pendekar Pulau Neraka tak akan berbentuk seperti tiga orang tadi. Namun pada saat-saat kritis itulah tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring.
"Itu dia!"
"Tangkap si Penyair Muka Kumala!"
"Ringkus hidup atau mati!"
"Bunuuuh...!"
Kamajaya tersentak kaget. Di sekelilingnya telah banyak orang berkumpul dengan senjata terhunus. Wajah mereka terlihat garang dengan nafsu membunuh. Tapi setelah memperhatikan lebih teliti, Penyair Muka Kumala kembali terkekeh, "He he he he...! Kerbau-kerbau dungu kerajaan, apa kebisaan kalian ingin menangkapku di sini?!"
Yang muncul pada saat itu memang prajurit-prajurit kerajaan yang ditugaskan untuk mencari Putri Ratih Kumaladewi dan menangkap si Penyair Muka Kumala hidup atau mati. Begitu melihat keduanya ada di tempat itu, beberapa orang langsung menghambur ke arah Ratih Kumaladewi yang masih tak sadarkan diri.
"Jangan sentuh dia, atau kalian mampus semua!" bentak Kamajaya.
Salah seorang prajurit yang agaknya kepala dari pasukan itu berteriak nyaring memberi perintah.
"Bawa Putri Ratih Kumaladewi segera dari sini dan yang lainnya tangkap si keparat ini. Kalau dia melawan bunuh di tempat!"
"Ha ha ha ha...! Kalian kira mudah membunuh si Penyair Muka Kumala? Jangan mimpi kerbau-kerbau dungu!
Yeaa...!"
"Glaaar!"
"Aaaa...!"
Terdengar ledakan hebat. Lima orang prajurit kerajaan yang berusaha mendekati Ratih Kumaladewi terpental dengan tubuh hancur berkeping-keping.
"Seraaang...!" teriak kepala pasukan prajurit itu memberi komando.
Lebih kurang dua puluh orang prajurit kerajaan mengurung si Penyair Muka Kumala dan langsung menyerangnya dengan senjata terhunus. Sementara sisanya masih mencoba berusaha menyelamatkan Ratih Kumaladewi, tapi tak semudah itu mereka melakukannya karena Kamajaya tetap mempertahankan sambil menghantam mereka yang mencoba mendekati gadis itu.
"Jangan ada yang coba-coba mendekatinya, kalian akan mampus di tanganku!" dengus Penyair Muka Kumala garang.
Kata-katanya memang ternyata terbukti. Setiap prajurit yang berusaha mendekati gadis itu tewas dihantam pukulan jarak jauh yang dilontarkannya.
Sementara mereka sedang bertarung, Bayu mempergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan hawa murninya perlahan-lahan. Masih terasa nyeri dan aliran darahnya bergerak tak normal. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu terus berusaha sekuat tenaga agar peredaran darahnya bisa kembali normal.
"Bayu... kau tak apa-apa?"
Pemuda itu menolehkan pandangan. Dilihatnya Pelangi merangkak perlahan-lahan mendekatinya. Dari bibirnya tak henti-henti menetes darah kental.
"Agaknya sudah ditakdirkan bahwa aku akan mati di sini...."
"Jangan putus asa Pelangi. Kita harus terus berusaha karena takdir akan kalah pada manusia yang tak berhenti berusaha sampai titik darah yang penghabisan...."
"Apa yang bisa diharapkan lagi? Walaupun prajurit-prajurit itu berjumlah empat kali dibanding sekarang si keparat itu tentu akan menghabisi mereka dengan mudah...."
"Walaupun begitu kau harus yakin untuk tetap hidup. Keyakinan itu perlu agar semangat kita kuat. Kalau semangat kita kuat maka putus asa akan menjauh."
Pelangi terdiam beberapa saat lamanya. Diperhatikannya pemuda berambut gondrong itu lama sekali. Wajahnya semakin pucat dan belakangan darah kental beberapa kali muncrat dari mulutnya. Sementara tak jauh di dekatnya monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada di dekat pemuda itu mondar-mandir memeriksa keadaan sahabatnya itu. Kadang-kadang dia mengurut-ngurut beberapa bagian tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu berkali-kali dan pindah-pindah tempat. Tapi gadis itu tak melihat reaksi yang terjadi.
Tubuh Bayu tetap terbaring bagai sosok mayat yang beku. Apalagi terlihat wajahnya yang semakin pucat. Pemuda itu betul-betul telah kehilangan banyak darah. Tak terasa batin gadis itu bagai diiris-iris. Dia merasa salah. Kalau bukan karena dirinya tak mungkin pemuda itu akan menemui ajalnya di sini. Ah, setelah dia merusak dirinya sendiri, kini diapun merusak kehidupan orang lain. Orang yang sama sekali belum pernah dikenal sebelumnya.
"Maafkan aku Bayu... maafkan aku...."
"Sudahlah Pelangi...."
"Aku yang bersalah hingga hal ini terjadi padamu...."
"Kau tidak bersalah apa-apa. Ini hanya takdir yang berasal dari kesalahanku akibat kelengahan ku sendiri...."
"Bayu... bila Tuhan menghendaki kita hidup, aku bersumpah akan mengabdi padamu walau menjadi budak sekalipun. Meski kau tak suka, aku tak perduli...."
"Jangan berkata begitu Pelangi...."
Bayu tak meneruskan kata-katanya. Dilihatnya tangis gadis itu telah membuat air matanya membasahi kedua pipinya. Wajahnya tertelungkup di tanah. Ingin rasanya dia membujuk dan mendiamkannya. Namun jarak mereka agak jauh. Padahal dia sendiri sulit bergerak. Apa yang diperkirakan Pelangi memang menjadi kenyataan. Prajurit-prajurit kerajaan itu bukanlah tandingan Kamajaya, karena dalam waktu singkat mereka dapat disapu bersih tanpa sisa.
"Ha ha ha ha...! Beruntunglah kau Pendekar Pulau Neraka. Umurmu bisa diperpanjang sesaat lagi. Paling tidak kau masih sempat menatap wajah monyetmu itu sebelum kau mampus!" ejek Kamajaya sambil tertawa penuh kemenangan.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, Kisanak. Kalau kau mau mencabut nyawaku silahkan. Kenapa musti dibuat lama?"
"Ooo... agaknya kau sudah tidak sabaran lagi? Baiklah."
Kamajaya baru saja akan bersiap melancarkan satu pukulan jarak jauh ketika Bayu berkata dengan suara mengejek.
"Pada saat-saat kemenanganmu pun kau masih bersikap curang. Membunuhku dengan cara begitu bukanlah perbuatan ksatria. Kau tahu aku tak mampu menghindar dan melawan. Pada jarak segitu rasanya aku masih mampu menahan pukulanmu dan kau betul-betul pengecut karena membiarkan ku sekarat."
Kamajaya terkekeh-kekeh sambil melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka hingga jarak mereka persis setengah tombak. Kemudian dengan wajah bengis kepalan tangannya dihantamkan ke punggung Bayu yang sedang dalam keadaan tertelungkup.
"Tamatlah riwayatmu hari ini Pendekar Pulau Neraka! Yeaa...!"
"Kaaakh...!"
"Bayu...!" Jerit Pelangi tertahan.
Gadis itu tak kuat menyaksikan peristiwa mengerikan yang terjadi di depan matanya hingga dia menenggelamkan wajahnya ke bawah. Dalam bayangannya pastilah tubuh si Pendekar Pulau Neraka hancur lebur tak berbentuk lagi. Pukulan Pugel Sayuto yang diwariskan guru mereka itu memang dahsyat tiada bandingan. Apalagi Kamajaya telah mempelajari kitab yang sebagian berisi tentang tingkat lanjutan pukulan itu. Pastilah kekuatannya akan berlipat ganda. Dalam keadaan terluka parah begitu mana mungkin Pendekar Pulau Neraka mampu menahannya.
"Hiyaaa...!"
"Siing!" ,
"Crab!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit setinggi langit menggema di tempat itu. Jantung Pelangi seperti berhenti berdetak. Ketika seberkas cahaya keperakan kembali melesat dua kali, kembali terdengar jeritan lemah yang disusul ambruknya sosok tubuh. Gadis itu terkejut. Tak mungkin Bayu tewas dengan tubuh ambruk. Pasti ada yang tak beres! Perlahan-lahan wajahnya terangkat untuk melihat kejadian itu.
"Bayu?! Kau... kau masih hidup?" jeritnya dengan wajah penuh kegembiraan.
Dilihatnya tubuh Kamajaya ambruk dengan dada kiri berlubang. Kemudian kening dan perutnya pun berlubang hingga tembus ke belakang. Dan Bayu berusaha bangkit mendekatinya sambil tersenyum dengan wajah pucat.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Pelangi nyaris tak percaya.
"Tuhan belum menghendaki aku untuk mati di tangannya. Itulah takdir yang sebenarnya. Kini bangkitkan semangat hidupmu dan pelan-pelan alirkan peredaran darahmu yang tersumbat. Aku akan membantu mengurut-ngurutnya."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapi! Kau telah berjanji akan menjadi budakku, maka kau harus menurut apa yang kukatakan!" sentak Bayu.
Gadis itu tersenyum manis dan melakukan apa yang diperintahkan si Pendekar Pulau Neraka. Sebenarnya apa yang telah terjadi tadi? Pada saat prajurit-prajurit kerajaan sedang menggempur Kamajaya, Bayu mengerahkan hawa murninya dan melancarkan peredaran darahnya yang kacau balau. Itulah yang dilihat Pelangi ketika dia berkali-kali muntah darah kental.
Tenaganya tak seluruhnya pulih, namun dia mampu bergerak. Namun bila bertarung dengan Kamajaya niscaya dalam satu jurus dia pasti binasa. Apalagi jarak mereka agak jauh. Itulah sebabnya dia memancing si Penyair Muka Kumala agar lebih mendekat. Dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir Bayu bergulingan menghindari pukulan Kamajaya sambil melemparkan Cakra Maut tepat menembus jantung lawan. Senjata mautnya itu kembali bergerak dua kali menghantam kening dan perut Kamajaya hingga si Penyair Muka Kumala ambruk dan tewas beberapa saat kemudian.
Setelah beberapa saat kemudian terlihat Pelangi memuntahkan darah kental berkali-kali. Wajahnya terlihat semakin pucat, namun dia masih sempat tersenyum dan duduk bersila di sebelah Bayu.
"Hamba telah melakukan apa yang juragan perintahkan, dan kini kalau tak keberatan sudikah juragan menceritakan kejadian tadi? Juragan mungkin tak menyangka bahwa budakmu ini begitu cemas dan khawatir akan keselamatan dirimu..." ujar gadis itu tersenyum.
Bayu menceritakan kejadian itu, dan menambahkan.
"Itulah sebabnya aku diam saja agar dia tetap menyangka bahwa aku masih tetap tak berdaya. Entahlah... tindakan itu sepertinya curang. Tapi aku tak peduli kata orang, sebab orang seperti dia kalau terus hidup akan menimbulkan malapetaka yang lebih mengerikan," jelasnya mengakhiri cerita.
"Percayalah Bayu. Tak ada seorang pun yang menyalahkan tindakanmu. Kau melakukan hal yang benar..." sahut Pelangi!
Bayu tersenyum kecut sambil berdiri menggendong monyet kecil sahabatnya itu.
"Tugasku telah selesai. Kini aku harus pergi...."
"Bayu, aku tak akan mencabut kata-kataku tadi!" tegas Pelangi dengan wajah serius.
Pendekar Pulau Neraka menggeleng lesu.
"Maaf Pelangi, aku tak bisa. Langkahku masih panjang dan aku tak mau terikat oleh apa pun...."
"Aku tak memaksamu agar menjadi suamiku. Tapi ijinkanlah aku ikut ke mana pun kau pergi. Paling tidak menemanimu selama beberapa hari sampai kau sembuh betul...?" sahut gadis itu dengan nada penuh harap.
Bayu berpikir beberapa saat lamanya, kemudian mengangguk pelan.
"Oh, terima kasih Bayu!"
Tiba-tiba gadis itu memeluk tubuh Pendekar Pulau Neraka erat-erat dan mencium bibirnya hingga pemuda itu terkejut dan jatuh terjerembab. Bayu tak kuasa menolak selain pasrah!
Episode Selanjutnya HANTU RIMBA LARANGAN