CERITA SILAT PENDEKAR PULAU NERAKA
Episode: Lima Setan Dari Barat
Karya: Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Episode: Lima Setan Dari Barat
Karya: Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Ratna Wulan berlutut di depan kedua. orang tua angkatnya, yang selama ini telah mengurus dan membesarkannya. Ayah Ratna Wulan bernama Ki Wanasa, seorang saudagar yang cukup kaya di Kadipaten Talagan. Mereka mengangkat anak pada Ratna Wulan sejak masih bayi merah. Sementara itu, Bayu hanya memperhatikan saja tanpa berbicara sedikit pun.
"Jadi tekadmu sudah bulat, Wulan?" tanya Ki Wanasa seakan-akan ingin meyakinkan dirinya.
"Tentu, Ayah. Maafkan aku...," sahut Ratna Wulan perlahan seraya berdiri dan duduk di kursi, tepat di depan Nyai Wanasa, ibu angkatnya.
Mereka semua kembali terdiam.
"Tapi aku tetap anakmu. Aku tidak akan melupakan kalian, sebagai orang tuaku," kata Ratna Wulan lagi, masih dengan suara pelan.
"Sebenarnya, aku tidak ingin melepaskanmu pergi, Wulan. Apalagi, kau pergi tanpa tujuan pasti. Tapi...," Nyai Wanasa tidak melanjutkan ucapannya.
"Tapi kenapa, Bu?" tanya Ratna Wulan ingin tahu.
"Aku akan merelakan mu jika memang itu sudah jadi keinginanmu, Ratna Wulan. Terlebih lagi, kau akan didampingi Bayu. Kau tahu, Nak. Ayah Bayu adalah seorang pendekar digdaya. Dan antara kami telah terjalin tali persaudaraan," lanjut Nyai Wanasa.
"Benar, Wulan. Aku dan orang tua Bayu sudah mengangkat sumpah. Siapa pun yang mempunyai keturunan, berarti juga keturunan kami. Yaaah..., ternyata nasib memang harus memisahkan kita semua. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkan segalanya pada Hyang Widi," sambung Ki Wanasa.
"Kalau orang tuamu masih hidup, dia pasti akan mengenalmu dengan kalung itu," kata Nyai Wanasa lagi.
Ratna Wulan memandangi kalung yang dikenakannya. Seuntai kalung yang talinya hanya terbuat dari urat binatang. Sedangkan bandulannya terbuat dari batu hitam berbentuk bulan sabit, bergambarkan dua bilah pedang yang saling melintang. Kalung ini sudah dikenakannya sejak masih bayi. Ratna Wulan juga baru tahu kalau kalung ini memiliki arti yang cukup dalam bagi dirinya.
"Kau ditemukan suamiku ketika sedang berburu. Dan kalung itu sudah ada di lehermu. Makanya, aku selalu meminta kau untuk memakainya dan jangan sampai hilang. Karena, hanya itu satu-satunya yang ada pada dirimu, Wulan," sambung Nyai Wanasa.
"Lalu namaku...?" Ratna Wulan ingin tahu.
"Kami yang memberi nama padamu. Waktu itu, sama sekali kami tidak tahu namamu. Dan lagi, aku sangat senang ketika suamiku membawa kau pulang. Yaaah..., memang kami tidak dikaruniai anak seorang pun. Jadi, kaulah satu-satunya tumpahan kasih sayang di keluarga ini," kata Nyai Wanasa lagi.
"Kalau saja aku tidak tahu siapa diriku, tentu tidak akan begini jadinya, Bu," ujar Ratna Wulan juga menyesali semua ini.
"Apa yang telah terjadi, sudah menjadi kehendak Hyang Widi. Jadi kau tidak perlu menyesali, Wulan. Aku tahu, suatu saat kau pasti akan tahu tentang dirimu yang sebenarnya. Dan sekarang waktunya telah tiba. Kau sudah tahu, dan ingin bertemu orang tua kandung yang melahirkan mu. Itu suatu kodrat alam, Anakku. Setiap anak pasti ingin mengetahui siapa orang tuanya, dan dari mana asalnya," kata Ki Wanasa, lembut sekali nada suaranya.
"Aku berjanji, kalau sudah bertemu pasti akan kembali lagi ke sini. Bagaimanapun juga, kalian adalah orang tua yang telah merawat dan membesarkan ku sejak masih bayi. Entah apa jadinya kalau aku tidak ada di sini," agak mendesah suara Ratna Wulan.
"Oh, Anakku...." Nyai Wanasa tidak dapat lagi membendung keharuannya. Langsung dia menghambur dan memeluk gadis itu. Air matanya pun tidak dapat lagi terbendung. Sedangkan Ratna Wulan hanya diam saja, membalas pelukan ibu angkatnya ini. Memang berat rasanya meninggalkan dua orang tua yang telah merawat dan membesarkannya sejak kecil.
Tapi itu harus dilakukan, dan lagi Ratna Wulan memang sudah memantapkan hatinya. Yang jelas, dia harus pergi mencari orang tua kandungnya. Meskipun dalam hati ada sedikit kemarahan atas tindakan orang tua kandungnya yang telah meninggalkannya begitu saja di dalam hutan, tapi hatinya sudah bertekad untuk mengetahui siapa orang tuanya yang telah tega berbuat keji seperti itu. Orang tua yang tega membiarkan darah dagingnya sendiri tergeletak tanpa daya dalam hutan. Kalau tidak ditemukan Ki Wanasa, mungkin dia sudah menjadi santapan binatang buas.
Agak lama juga Nyai Wanasa menangis dan memeluk anak angkatnya ini. Pelukannya baru dilepaskan setelah suaminya menepuk lembut pundaknya. Wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu kembali duduk di kursinya. Sementara di samping Ratna Wulan, Bayu hanya tertunduk saja. Seakan-akan perasaannya tidak sanggup lagi menyaksikan semua ini.
"Kapan kalian akan berangkat?" tanya Ki Wanasa.
"Bagaimana, Kakang...?" Ratna Wulan malah bertanya pada Pendekar Pulau Neraka yang duduk di sampingnya.
Dan gadis itu memang sudah membiasakan diri memanggil kakang pada Bayu. Karena, usianya memang lebih muda daripada Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu sendiri tidak berkeberatan gadis itu memanggilnya seperti itu. Dan itu malah menambah keakraban di antara mereka berdua nantinya.
"Sebaiknya, besok saja. Pagi-pagi sekali berangkatnya," sahut Bayu setelah terdiam beberapa saat.
"Baiklah...," desah Ratna Wulan menyetujui.
***
Malam ini, Bayu memang harus tinggal di rumah Ki Wanasa yang begitu besar, bagai sebuah istana kecil. Memang, rumah-rumah di Kadipaten Talagan ini besar-besar. Dan kebanyakan penghuninya adalah para saudagar kaya yang tinggal di kadipaten ini. Bahkan tidak sedikit para pembesar kerajaan yang tinggal di sini. Sehingga, tidak heran jika setiap saat selalu terlihat barisan prajurit mengawal pembesar kerajaan di jalan. Kadipaten Talagan ini memang tidak pernah tidur dari segala macam kesibukan. Banyak tempat hiburan di kota ini, yang selalu buka sepanjang malam hingga pagi. Keadaan yang selalu ramai itu membuat Bayu benar-benar sulit memejamkan mata. Sudah berulang kali dicoba, tapi tetap saja tidak mau terpejam.
"Huuuh...!"
Sambil mengeluh panjang, Pendekar Pulau Neraka bangkit dari pembaringan. Kakinya melangkah mendekati jendela kamar yang disediakan Ki Wanasa untuk istirahatnya malam ini. Perlahan jendelanya dibuka lebar-lebar. Keningnya langsung berkerut, begitu melihat Ratna Wulan duduk sendiri di bangku taman. Jendela kamar ini memang langsung menghadap ke taman samping rumah ini.
"Hup...!"
Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka melompat keluar melalui jendela. Kemudian kakinya melangkah ringan. Tanpa terdengar suara sedikit pun, kakinya menjejak rerumputan taman yang terawat rapi, bagai permadani tergelar.
"Kau belum tidur juga, Kakang...?"
"Eh...?!" Bayu jadi tersentak mendengar suara Ratna Wulan.
Dan gadis itu masih tetap duduk di bangku taman tanpa menoleh sedikit pun. Bayu memuji dalam hati akan ketajaman pendengaran gadis ini. Padahal tadi, Pendekar Pulau Neraka mempergunakan ilmu meringankan tubuh saat mendekatinya dari belakang. Dan memang, seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak dikerahkan.
"Duduklah di dekat ku, Kakang," ujar Ratna Wulan seraya menepuk kursi yang didudukinya.
Kursi dari bahan rotan itu memang cukup panjang, dan bisa diduduki empat orang dewasa seperti mereka. Bayu kemudian duduk agak jauh di samping gadis ini. Dipandanginya wajah Ratna Wulan yang tampak begitu cantik, dalam siraman cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini. Perlahan Ratna Wulan berpaling, sehingga pandangannya langsung beradu dengan sorot mata Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Ratna Wulan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Seharusnya kau tidak perlu melibatkan diri dalam urusanku, Kakang. Tugasmu sebagai pendekar sudah terlalu banyak menyita waktu, tenaga, dan pikiranmu. Kau akan semakin banyak kehilangan waktu istirahat mu nanti," kata Ratna Wulan panjang.
"Kau masih ingat, apa yang dikatakan Ki Wanasa...?" tanya Bayu, seperti tidak menanggapi perkataan Ratna Wulan tadi.
"Tentu saja aku ingat," sahut Ratna Wulan seraya mengangguk.
"Aku adalah putra Dewa Pedang. Dan itu berarti, aku juga putra mereka, Wulan. Jadi, sudah menjadi kewajibanku untuk membantumu. Apalagi kau anak angkat mereka. Jadi, kau adalah adikku juga, Wulan," jelas Bayu.
"Kau akan tetap menganggapku adik...?" Ratna Wulan ingin menegaskan.
"Mungkin iya, mungkin juga tidak."
"Jawabanmu tidak tegas, Kakang."
"Sulit rasanya untuk menganggapmu adik, Wulan. Tapi keadaan sudah menentukan begitu. Dan aku merasa sulit merubah keadaan ini. Kecuali...," Bayu tidak meneruskan ucapannya.
"Kecuali apa, Kakang?" desak Ratna Wulan ingin tahu.
"Kecuali kau sudah bertemu orang tuamu," sahut Bayu terus menatap wajah cantik gadis ini.
"Kenapa begitu?"
"Entahlah... Aku sendiri tidak tahu," sahut Bayu mendesah.
"Kakang...," pelan sekali suara Ratna Wulan.
Perlahan Ratna Wulan menaruh tangannya di atas tangan Bayu. Beberapa saat, mereka hanya saling pandang saja. Bayu menggenggam tangan yang berkulit putih dan halus itu erat-erat. Seakan-akan dia ingin membagi kehangatan pada gadis ini. Ingin rasanya Bayu memeluknya, tapi itu tidak mungkin dilakukan di rumah ini. Dia begitu menghormati Ki Wanasa, yang sudah mengangkat saudara pada ayahnya. Dan itu berarti Bayu juga menjadi anaknya.
"Aku tahu, kau ingin mengatakan sesuatu, Kakang," kata Ratna Wulan dengan suara begitu perlahan.
"Tidak...," sahut Bayu agak mendesah.
"Jangan membohongi diri sendiri, Kakang. Aku tahu, ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku," desak Rama Wulan.
"Lalu kau sendiri...?" Bayu malah bertanya.
"Aku...? Aku...," Ratna Wulan jadi gugup.
Gadis itu menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Pendekar Pulau Neraka. Kemudian, duduknya bergeser menjauh. Entah kenapa, wajahnya jadi memerah dan terasa panas sekali. Ratna Wulan memalingkan wajahnya, tidak ingin Bayu terus memandangi wajahnya yang jadi memerah.
Perlahan Bayu menggeser duduknya, sampai merapat dengan gadis itu. Bisa didengarnya detak jantung Ratna Wulan yang begitu cepat memburu. Dan ketika tangan gadis itu disentuh, Bayu merasakan tangan itu dingin sekali. Bahkan terasa basah oleh keringat.
"Kau cantik sekali, Wulan...," bisik Bayu perlahan.
"Oh...," Ratna Wulan hanya bisa mendesah saja.
Gadis itu tidak tahu, apa yang sedang dirasakan saat ini. Tapi ada suatu rasa kebahagiaan terselip di hatinya saat mendengar pujian Bayu yang begitu lembut menyejukkan. Perlahan Ratna Wulan berpaling. Kembali mereka saling berpandangan, dengan sinar mata yang berbinar bagai langit penuh bintang. Cukup lama juga mereka terdiam saling berpandangan, tanpa sadar kalau ada dua pasang mata sejak tadi memperhatikan dari balik jendela sebuah kamar yang sedikit terbuka.
Dua pasang mata itu adalah Ki Wanasa dan istrinya. Mereka terus memperhatikan, sejak Bayu tadi melompat keluar dari jendela kamarnya. Jarak yang tidak begitu jauh, membuat mereka bisa mendengar semua yang dibicarakan dua insan muda itu.
"Kau dengar, apa yang mereka katakan, Nyai...?" bisik Ki Wanasa perlahan, seraya menutup rapat jendela kamarnya ini.
"Aku bahagia jika mereka benar-benar bersatu, Ki," sahut Nyai Wanasa.
"Aku juga senang, Nyai. Itu berarti perjanjianku dengan Pendekar Dewa Pedang bisa terlaksana.
Tapi sayang...."
"Ada apa, Ki?"
"Wulan...."
"Kau menyesal karena Wulan bukan anak kandung kita?"
"Kalau saja Wulan anak kandung kita, tentu kebahagiaan ini akan terasa lain, Nyai," pelan sekali suara Ki Wanasa.
"Ya.... Memang akan terasa lain kalau Wulan anak kandung kita sendiri, Ki. Tapi walaupun begitu, aku tetap bahagia."
"Kita memang bahagia, Nyai."
Ki Wanasa kembali membuka jendela kamarnya sedikit, dan mengintip ke luar. Tapi, Bayu dan Ratna Wulan tidak lagi terlihat di kursi taman itu. Entah ke mana mereka. Dan Ki Wanasa hanya tersenyum saja sambil mengangguk-anggukkan kepala, kemudian menutup kembali jendela kamar ini. Kini, kakinya melangkah perlahan ke pembaringan. Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki tua itu membaringkan tubuhnya di ranjang berukuran cukup besar ini.
"Sudah malam, Nyai. Tidurlah. Jangan sampai bangun kesiangan besok," ujar Ki Wanasa.
"Rasanya aku masih berat untuk berpisah dengan Wulan, Ki," desah Nyai Wanasa.
"Sudahlah.... Kita harus merelakan kepergiannya. Dia pergi untuk mencari orang tua kandungnya. Dan itu sudah kita sadari sejak semula. Kalaupun tidak tahu siapa dirinya, pasti dia akan pergi juga meninggalkan kita kalau sudah bersuami."
Nyai Wanasa tersenyum tipis, kemudian membaringkan tubuhnya di samping suaminya. Tak ada lagi yang bicara. Namun mata mereka sama sekali tidak dapat terpejam. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa menyelimuti sekitarnya. Begitu sunyi, sehingga detak jantung mereka terdengar begitu jelas di telinga.
***
Bayu sudah bersiap hendak meninggalkan rumah Ki Wanasa pagi ini. Matanya memandangi Pedang Api yang tergeletak di atas meja. Pedang itu memang berpamor dahsyat, yang diambilnya dari Ratu Gua Setan. Pendekar Pulau Neraka menyambar Pedang Api, lalu digenggamnya erat-erat. Kemudian, kakinya melangkah ke pintu. Namun baru saja membuka pintu kamar ini, tiba-tiba saja....
"Hayo...!"
"Oh...?!"
Bayu jadi tersentak kaget begitu tiba-tiba Ratna Wulan muncul dengan mengejutkan. Gadis itu tertawa terbahak-bahak, dan langsung berlari sebelum Bayu bisa mengumpat. Pendekar Pulau Neraka hanya bisa memaki dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, dia melangkah keluar dari kamar ini. Bayu terus mengayunkan kakinya dengan tegap, melintasi ruangan tengah yang berukuran cukup besar. Tak ada seorang pun yang dijumpai. Dan Pendekar Pulau Neraka baru bertemu Ki Wanasa dan istrinya serta Ratna Wulan setelah berada di beranda depan rumah ini. Memang, hari masih terlalu pagi. Malah, matahari belum lagi menampakkan dirinya. Hanya rona merah saja yang membias di ufuk Timur. Kicauan burung-burung sudah terdengar ramai sejak tadi.
"Kalian akan berangkat sekarang...?" ujar Nyai Wanasa.
"Benar, Nyai," sahut Bayu.
"Hati-hatilah.... Terutama kau, Wulan. Kau harus menuruti apa yang dikatakan kakakmu. Jangan keras kepala, dan jangan berbuat macam-macam. Bayu lebih berpengalaman di dunia luar daripadamu," pesan Nyai Wanasa.
"Baik, Bu," sahut Ratna Wulan sambil mengangguk.
Gadis itu kemudian berlutut di depan wanita separuh baya ini. Diambilnya tangan ibunya dan diciumnya. Kemudian dia berpindah pada Ki Wanasa. Ratna Wulan kembali bangkit berdiri disamping Bayu.
"Ayo, Kakang...," ajak Ratna Wulan.
"Tunggu dulu," ujar Bayu.
"Ada apa lagi?" tanya Ratna Wulan.
"Ini," Bayu menyerahkan Pedang Api.
"Seperti janji ku, pedang ini menjadi milikmu sekarang."
Ratna Wulan tersenyum, dan menerima pedang itu dengan hati gembira. Dia sudah tahu kedahsyatan pedang ini. Dan hatinya jadi yakin bisa menggunakannya. Karena, Ratu Gua Setan sudah memberikan jurus-jurus pedang yang dahsyat (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode "Dewi Asmara Darah"). Gadis itu kemudian mengikat tali pedang itu ke punggungnya.
"Kami berangkat, Ki," pamit Bayu seraya membungkuk memberi hormat.
"Ya, hati-hatilah kalian. Cepat datang lagi ke sini kalau sudah bertemu orang tuamu, Wulan," sahut Ki Wanasa.
"Tentu, Ayah," sahut Ratna Wulan seraya tersenyum.
Mereka kemudian berangkat meninggalkan pasangan suami istri tua itu dengan hanya berjalan kaki saja. Padahal, Ki Wanasa ingin memberikan kuda. Tapi, dengan halus Bayu menolaknya. Pendekar Pulau Neraka memang lebih senang berjalan kaki, daripada harus menunggang kuda. Baginya, berjalan kaki lebih leluasa.
Sementara, Ki Wanasa dan istrinya terus memandangi kepergian anak-anak muda itu sampai jauh, dan tak terlihat lagi setelah melewati tikungan jalan yang menuju Selatan. Ki Wanasa agak berkerut keningnya, melihat Bayu dan Ratna Wulan menuju Selatan.
"Kenapa mereka ke Selatan, Nyai...?" tanya Ki Wanasa seperti untuk diri sendiri.
"Aku tidak tahu," sahut Nyai Wanasa.
"Bukankah semalam mereka mengatakan akan ke Timur, Nyai...?"
"Mungkin mereka punya rencana lain, Ki. Aku yakin, mereka akan melihat tempat saat kau menemukan Wulan. Bukankah kalau ke Selatan akan menuju ke hutan itu...?"
"Kau benar, Nyai. Mungkin mereka akan melihat tempat aku menemukan Wulan dulu."
"Ayo, Ki...," ajak Nyai Wanasa.
Mereka kemudian berbalik dan hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Tapi belum juga melangkah, tiba-tiba saja....
Wusss...!
"Heh...!"
Wuk!
Tap!
Cepat sekali Ki Wanasa memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangan kanan, ketika tiba-tiba mendengar desiran angin yang begitu halus ke arah dirinya. Dan tahu-tahu, di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang ranting kering sepanjang jengkalan tangan.
"Ada apa ini, Ki...?" tanya Nyai Wanasa seraya cepat memutar tubuhnya berbalik.
"Ada tamu, Nyai," sahut Ki Wanasa.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar. Pasangan suami istri itu jadi terkejut. Dan belum lagi lenyap rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam dari atas sebatang pohon beringin yang berdaun rimbun. Begitu cepat kelebatannya, tahu-tahu di depan beranda rumah itu sudah berdiri seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Dia mengenakan baju jubah warna hitam.
***
DUA
Belum lagi Ki Wanasa bisa membuka suara, dari balik dua pohon beringin yang berada di halaman depan rumahnya, muncul dua orang laki-laki juga berusia lanjut dan dua orang wanita yang sudah tua. Mereka kemudian berdiri di belakang laki-laki tua berjubah hitam yang pertama muncul tadi. Ki Wanasa jadi terbeliak melihat kemunculan lima orang yang sudah dikenalnya.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Nyai Wanasa yang rupanya tidak mengenal lima orang itu.
Ki Wanasa tidak menjawab pertanyaan istrinya, walaupun mengenal kelima orang tua yang muncul tiba-tiba itu. Yang muncul pertama kali adalah Setan Jubah hitam. Kemudian yang berada paling kanan adalah seorang laki-laki yang juga sudah berusia lanjut. Bajunya merah menyala yang dikenal berjuluk Setan Jubah Merah. Lalu, berturut-turut Setan Jubah Kuning, Setan Jubah Biru, Setan Jubah Hijau, dan Setan Jubah Putih. Mereka dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat. Masing-masing membawa tongkat dari besi baja yang warnanya sama dengan pakaian yang dikenakan.
"Kau masuk saja, Nyai. Ini urusanku dengan mereka," kata Ki Wanasa.
"Tapi, tampaknya mereka tidak bermaksud baik, Ki," elak Nyai Wanasa, merasa khawatir.
"Sudahlah, masuk sana...!" agak menyentak suara Ki Wanasa. "Kunci Pintunya, Nyai."
"Baik...."
Nyai Wanasa agak ragu-ragu sebentar, kemudian melangkah mundur mendekati pintu. Lalu, dia bergegas masuk ke dalam rumah, seraya menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Sebentar wanita tua itu masih memperhatikan dari balik jendela, kemudian bergegas melangkah melewati ruangan depan rumah ini yang berukuran cukup besar. Dan kini, perempuan tua itu sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan depan dengan ruangan tengah.
Sementara itu, Ki Wanasa sudah melangkah keluar dari beranda depan rumahnya. Dia berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar setengah batang tombak lagi di depan Setan Jubah Hitam. Beberapa saat, mereka tidak ada yang berbicara.
"Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Ki Wanasa, agak dalam nada suaranya.
"Kami datang untuk minta bagian, Ki Wanasa. Aku yakin, kau tidak lupa bagian kami," sahut Setan Jubah Hitam.
Suara Setan Jubah Hitam terdengar begitu berat. Dan Ki Wanasa hanya menelan ludahnya. Tentu saja hal itu tidak akan dilupakannya. Dan dia tahu, kedatangan Lima Setan dari Barat ini akan menuntut bagiannya. Sesuatu yang tentu tidak mungkin dilakukan. Karena dia tahu, siapa lima orang tua yang berada di depannya ini.
"Sudah kukatakan, tidak ada lagi yang bisa kalian dapatkan dariku di sini. Kalian sudah peroleh semua yang kalian inginkan. Dan aku ingin ketenangan di masa tuaku ini. Sebaiknya, kalian pergi saja. Tidak ada gunanya berada di sini. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa kuberikan," kata Ki Wanasa, agak bergetar suaranya.
"Aku tahu, pasti ada yang kau sembunyikan, Ki Wanasa. Dan aku ingin simpananmu itu!" dengus Setan Jubah Hitam.
"Tidak ada yang ku sembunyikan...."
"Jangan membuat kesabaranku habis, Wanasa!" bentak Setan Jubah Hitam keras menggelegar.
Pada saat itu, dari samping rumah bermunculan pemuda-pemuda penjaga rumah ini. Mereka langsung bergerak mengepung halaman depan rumah Ki Wanasa yang berukuran besar. Lima Setan dari Barat hanya mendengus saja, merayapi pemuda-pemuda berjumlah sekitar tiga puluh orang itu. Mereka semua sudah menghunus golok masing-masing.
"Kau benar-benar membuat kesulitan sendiri, Wanasa, " desis Setan Jubah Hitam agak menggeram.
"Sebaiknya, kalian segera pergi dari sini. Mereka bisa melakukan apa saja jika kalian tidak segera angkat kaki dari sini," ancam Ki Wanasa tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...! Kau benar-benar buta, Wanasa!"
Ki Wanasa hanya tersenyum tipis saja. Hatinya jadi gembira, karena istrinya sudah bisa mengerti apa yang diinginkannya, saat menyuruhnya masuk ke dalam. Dan begitu berpaling melihat ke atas atap rumah, tampak di atas sana sekitar dua puluh orang laki-laki muda telah siap dengan busur dan anak panah terentang. Bahkan di sekeliling rumah ini, sudah terlihat kepala-kepala menyembul dengan anak panah terpasang pada busur.
"Phuih...!" Setan Jubah Hitam menyemburkan ludahnya.
Lima Setan dari Barat langsung bisa menyadari keadaan yang benar-benar tidak menguntungkan ini. Meskipun mereka sudah terkenal tangguh dalam kehidupan rimba persilatan, tapi terlalu besar akibatnya jika menghadapi kepungan yang begitu ketat. Setangguh apa pun ilmu kedigdayaan yang dimiliki, rasanya memang tidak mungkin bisa menghadapi orang yang berjumlah lebih kurang seratus ini. Terlebih lagi, mereka semua sudah siap melepaskan anak-anak panahnya.
Sementara, Ki Wanasa sudah bergerak mundur. Dia kemudian berdiri di undakan kedua tangga beranda rumahnya. Senyuman lebar tampak tersungging di bibir laki-laki tua ini. Dia tahu, kalau Lima Setan dari Barat tidak akan mungkin berani menantang bahaya, menghadapi kepungan yang begitu ketat dari orang-orangnya ini.
"Kau benar-benar licik, Wanasa. Tunggu pembalasanku nanti," desis Setan Jubah Hitam.
Setelah berkata demikian, Setan Jubah Hitam mengegoskan kepala. Dua orang yang menjaga dipintu gerbang segera membuka pintu itu, begitu lima orang tua yang berjuluk Lima Setan dari Barat melangkah cepat meninggalkan halaman rumah Ki Wanasa yang cukup luas ini. Pintu gerbang langsung ditutup begitu mereka berada diluar.
***
"Siapa mereka, Ki...?" tanya Nyai Wanasa langsung, begitu suaminya masuk ke dalam.
"Lima Setan dari Barat," sahut Ki Wanasa seraya menghempaskan tubuhnya di kursi dekat jendela, yang langsung menghadap ke halaman depan.
Tampak orang-orangnya yang rata-rata masih berusia muda, tetap berjaga-jaga di sekitar halaman dan sekeliling rumah ini. Memang, Ki Wanasa adalah seorang saudagar kaya. Dan dia memiliki banyak orang berkepandaian cukup tinggi untuk menjaga keselamatan dan rumahnya. Bahkan setiap kali bepergian, tidak kurang dari lima puluh orang selalu mengawalnya.
Tapi dari jumlah yang lebih kurang seratus itu, tak ada satu pun yang dekat dengannya. Ki Wanasa tidak pernah membedakan antara yang satu dengan lainnya, meskipun tingkatan kepandaian yang mereka miliki tentu berlainan.
"Ada urusan apa kau dengan mereka, Ki?" tanya Nyai Wanasa ingin tahu.
"Urusan lama. Dan seharusnya, mereka tidak perlu datang ke sini. Semuanya sudah lama berakhir, sebab apa yang diinginkan sudah mereka dapatkan. Dan aku juga sudah memperoleh semua yang kuinginkan. Tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan," sahut Ki Wanasa masih merahasiakan.
"Kalau tidak ada apa-apa lagi, kenapa mereka datang ke sini, Ki?"
"Mereka memang serakah, sehingga menginginkan juga semua yang kumiliki."
"Maksudmu...?"
Ki Wanasa tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan hendak melangkah. Tapi, istrinya sudah lebih dulu menghadang. Ki Wanasa hanya menghembuskan napas saja. Selama ini laki-laki itu memang menyimpan suat rahasia yang tersimpan begitu rapat. Bahkan istrinya sendiri tidak tahu, apa yang disembunyikannya. Tapi, kemunculan Lima Setan dari Barat itu sudah membuat Nyai Wanasa mencium ada suatu rahasia yang disembunyikan suaminya ini.
Dan dia benar-benar terkejut, begitu mengetahui kalau suaminya mempunyai urusan dengan Lima Setan dari Barat. Nyai Wanasa memang sering mendengar nama itu, dari beberapa tamu suaminya yang kebanyakan orang-orang persilatan. Teman-teman Ki Wanasa itu seringkali menyebut-nyebut nama Lima Setan dari Barat. Dan selama ini, Nyai Wanasa tidak pernah peduli. Karena, dia memang tidak kenal orang-orang yang disebutkan itu. Tapi sekarang persoalannya jadi lain.
Bagaimanapun juga sebelum menjadi istri Ki Wanasa, dulu dia juga seorang pendekar wanita yang malang melintang di rimba persilatan. Seperti juga Ki Wanasa, yang sebelum menjadi saudagar adalah seorang pendekar kelana. Jadi, tidak heran jika pasangan suami istri tua ini begitu disegani banyak kalangan lapisan masyarakat. Selain sebagai saudagar kaya, mereka juga memiliki kepandaian yang tidak bisa dikatakan rendah.
"Katakan padaku, Ki. Apa sebenarnya yang terjadi? Apa hubunganmu dengan mereka...?" desak Nyai Wanasa ingin tahu.
"Sudah kukatakan, itu persoalan lama yang seharusnya tidak perlu diungkit lagi. Mereka orang-orang serakah. Sudah...! Aku tidak ingin lagi membicarakannya," sahut Ki Wanasa, agak keras suaranya.
Nyai Wanasa tidak mencegah lagi ketika suaminya meninggalkan ruangan ini. Perempuan itu hanya dapat memandangi saja dengan sinar mata yang masih diliputi rasa penasaran dan keingintahuan. Dia yakin, pasti ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.
"Aku yakin, ada satu persoalan penting yang disembunyikan. Kata-katanya tidak pernah sekasar itu," desah Nyai Wanasa setengah menggumam. "Aku harus tahu semua ini...."
***
Ki Wanasa tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar. Cepat dia melompat turun dari pembaringannya, lalu bergegas berlari ke. luar. Sementara Nyai Wanasa yang juga mendengar suara ribut itu, segera turun dari pembaringan. Tangannya sempat menyambar sebilah pedang yang tergantung di dinding. Lalu, dia bergegas keluar dari kamar ini.
"Heh...?!"
Ki Wanasa jadi terperanjat bukan main, begitu tiba di beranda depan rumahnya. Tampak orang-orangnya tengah bertarung melawan lima orang tua yang semuanya mengenakan jubah berlainan warna. Tubuh tak bernyawa dan berlumuran darah sudah banyak yang bergelimpangan di halaman depan. Jerit kematian terdengar saling sambut, bercampur denting senjata dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertarung.
"Keparat...!" geram Ki Wanasa begitu mengenali lima orang yang mengamuk itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ki Wanasa melompat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Langsung tombaknya dikebutkan pada salah seorang yang mengenakan jubah warna merah. Tapi serangan yang mendadak dilakukan Ki Wanasa, dengan manis sekali dapat dihindari. Bahkan wanita berjubah merah yang dikenal berjuluk Setan Jubah Merah itu langsung melancarkan serangan. Ki Wanasa cepat melompat ke belakang, menghindari serangan itu. Dan baru saja menjejak tanah, satu batang tongkat mengarah ke kepalanya.
"Hait...!"
Ki Wanasa merundukkan kepalanya, menghindari kebutan tongkat itu. Kemudian sambil memutar tubuh, tombaknya langsung ditusukkan ke arah dada Setan Jubah Biru. Tapi sebelum bisa menghunjam dada laki-laki tua berjubah biru itu, satu batang tongkat sudah menghantam tombak-nya dengan keras sekali.
Trak!
"Ikh...!"
Ki Wanasa terpekik kaget. Buru-buru Ki Wanasa melompat mundur sambil memindahkan tombaknya ke tangan kiri. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dikerahkan Setan Jubah Merah begitu besar, sehingga seluruh tangan kanannya jadi bergetar. Sementara tiga orang tua lainnya masih terus mengamuk, menghajar anak-anak muda penjaga keamanan rumah Ki Wanasa ini. Tingkat kepandaian mereka yang dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat itu memang lebih tinggi daripada para penjaga keamanan rumah Ki Wanasa. Sehingga, mereka seperti tidak mengalami kesulitan sama sekali.
Walaupun pemuda-pemuda lain mulai berdatangan dan langsung masuk ke dalam pertempuran, tapi Lima Setan dari Barat tidak gentar sama sekali. Apalagi jumlah mereka sudah berkurang banyak. Dan hal ini membuat amukan Lima Setan dari Barat semakin dahsyat saja. Gerakan-gerakan yang dilakukan begitu cepat luar biasa. Sehingga, sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Dan tak ada seorang pun yang bisa menyentuh ujung bajunya.
Jerit dan pekik melengking mengantar kematian, semakin sering terdengar saling sambut. Dan, semakin banyak saja tubuh tubuh tak bernyawa berlumuran darah yang bergelimpangan memenuhi halaman depan rumah Ki Wanasa yang cukup luas ini. Sementara, Ki Wanasa sendiri tampak kewalahan menghadapi dua orang lawannya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Laki-laki tua itu sudah semakin terdesak, dan entah berapa kali harus menerima pukulan maupun tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Darah sudah mengucur dari hidung dan mulutnya. Bahkan dadanya tampak sudah robek mengeluarkan darah. Tapi, Ki Wanasa tidak sudi menyerah begitu saja. Dia terus bertahan, dan mencoba untuk menyerang dua orang lawannya yang sama-sama sudah berusia lanjut ini. Pada saat itu, Nyai Wanasa terlihat melompat hendak membantu suaminya yang sudah kelihatan payah. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja berkelebat satu bayangan putih memotong lompatannya.
"Uts...!"
Nyai Wanasa cepat-cepat memutar tubuhnya, melenting ke belakang menghindari tebasan sebatang tongkat berwarna putih keperakan yang mengarah dadanya. Lalu, manis sekali kakinya mendarat di tanah, bersamaan dengan mendaratnya seorang perempuan tua berjubah putih yang menggenggam tongkat berwarna putih keperakan. Dialah yang dikenal berjuluk Setan Jubah Putih.
"Jangan harap bisa membantu suamimu, Nyai...," desis Setan Jubah Putih dingin.
"Huh!" Nyai Wanasa hanya mendengus saja.
Sret!
Perlahan Nyai Wanasa mencabut pedangnya, dan menggenggam sarung pedangnya pada tangan kiri. Lalu, perlahan-lahan kakinya bergeser sambil menatap tajam untuk mengamati gerakan kaki Setan Jubah Putih yang juga bergerak menggeser dengan arah berlawanan.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Setan Jubah Putih melompat cepat, sambil berteriak keras menggelegar.
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Nyai Wanasa juga melenting ke udara. Dan secepat kilat pula pedangnya dikebutkan. Tapi, Setan Jubah Putih sudah lebih cepat lagi menangkis tebasan pedang itu dengan tongkatnya. Lalu, cepat sekali tongkatnya diputar, yang langsung ditusukkan ke arah dada Nyai Wanasa.
"Hait...!"
Trang!
Dengan sarung pedang yang tergenggam ditangan kiri, Nyai Wanasa menangkis tusukan tongkat yang berujung runcing itu. Tapi hatinya jadi tersentak, karena sarung pedangnya terpental ke udara. Bahkan seluruh tangan kirinya jadi menggeletar bagai tersengat kala berbisa. Maka buru-buru tubuhnya diputar ke belakang, dan kembali meluruk turun.
Yeaaah...!"
Pada saat itu, Setan Jubah Putih meluruk deras sambil memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa. Hal ini membuat Nyai Wanasa jadi terperangah. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali untuk menghindari hunjaman tongkat Setan Jubah Putih yang begitu cepat dan beruntun.
***
Sementara itu di lain tempat, tampak Ki Wanasa semakin terdesak saja oleh dua orang tua lawannya. Dan laki-laki tua itu benar-benar sudah tidak mampu lagi memberi perlawanan berarti. Tubuhnya terombang-ambing menjadi bulan-bulanan dua orang tua lawannya ini. Hingga akhirnya....
"Mampus kau, Keparat! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Setan Jubah Merah melayang deras sambil menghunjamkan ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada Ki Wanasa. Padahal saat itu, Ki Wanasa baru saja berhasil menghindari satu pukulan menggeledek yang dilepaskan Setan Jubah Putih. Dan matanya hanya bisa terbeliak melihat ujung tongkat berwarna merah meluruk deras ke arah dadanya. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Dan....
Bres!
"Aaa...!"
Ki Wanasa menjerit keras melengking tinggi. Begitu dalamnya tongkat Setan Jubah Merah menghunjam dada Ki Wanasa, sehingga ujungnya yang runcing sampai menembus ke punggung. Pada saat itu juga, Setan Jubah Biru mengebutkan tongkatnya ke leher sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
"Hiyaaat...!"
Cras!
Ki Wanasa tidak lagi bersuara. Laki-laki tua itu hanya dapat berdiri kaku dengan mulut dan mata terbuka lebar. Dan begitu Setan Jubah Merah mencabut tongkatnya dari dada laki-laki tua ini, seketika itu juga tubuh tua itu langsung ambruk ke tanah. Tampak kepalanya menggelinding terpisah. Darah seketika menyembur deras dari dada dan lehernya yang buntung tak berkepala lagi.
Kematian Ki Wanasa rupanya sempat juga terlihat oleh Nyai Wanasa. Wanita tua itu jadi geram setengah mati. Maka, langsung ditinggalkannya Setan Jubah Putih. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pedangnya dikebutkan ke arah kepala Setan Jubah Biru.
"Awas...!" teriak Setan Jubah Merah memperingatkan.
"Uts! Hyeaaa...!"
Setan Jubah Biru cepat-cepat membungkukkan tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkatnya dikebutkan ke belakang sambil memutar tubuhnya dengan bertumpu pada satu kaki. Nyai Wanasa yang sudah dirasuki hawa amarah, tidak dapat lagi mengendalikan diri. Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan Setan Jubah Biru, sehingga tubuhnya yang sedang meluncur deras di udara tidak bisa lagi ditarik.
Wuk!
Bret!
"Akh...!"
Nyai Wanasa terpekik keras agak tertahan. Ujung tongkat Setan Jubah Biru berhasil merobek perut Nyai Wanasa yang langsung terguling ke tanah beberapa kali. Dan dia jadi terhuyung begitu melompat cepat bangkit berdiri. Wajahnya jadi memerah melihat darah mengucur dari perutnya yang sobek. Namun belum juga sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya, Setan Jubah Putih sudah kembali melompat menyerang begitu cepat.
"Hiyaaat...!"
Wuk!
Bagai kilat Setan Jubah Putih mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Nyai Wanasa. Namun, wanita tua itu segera mengangkat pedangnya. Kontan ditangkisnya kebutan tongkat perempuan tua berjubah putih ini.
Trang!
"Ikh...!" lagi-lagi Nyai Wanasa terpekik.
Begitu kerasnya kebutan tongkat Setan Jubah Putih, sehingga Nyai Wanasa tidak dapat lagi mempertahankan pedangnya yang langsung terlepas dari genggaman. Pedang itu kini melambung tinggi ke udara. Pada saat itu, Setan Jubah Merah meluruk deras seraya melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Begkh!
"Akh...!"
Kembali Nyai Wanasa terpekik keras. Pukulan Setan Jubah Merah bersarang telak didada, sehingga membuat Nyai Wanasa terpental ke belakang sejauh beberapa tombak. Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah dan bergulingan beberapa kali. Darah muncrat dari mulutnya. Nyai Wanasa berusaha bangkit berdiri, tapi tidak mampu lagi. Dia langsung menggeletak tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu, dua orang dari Lima Setan dari Barat nampaknya tidak lagi memerlukan bantuan. Mereka benar-benar sudah bisa menguasai lawan-lawan yang sudah tidak mampu lagi bertahan. Bahkan tak seorang pun yang bisa melarikan diri. Mereka langsung dikejar, dan dibabat habis tanpa sedikit pun mengenal rasa ampun.
"Ayo ke dalam! Kita obrak-abrik rumahnya," ajak Setan Jubah Biru.
Tanpa menunggu waktu lagi, Setan Jubah Merah dan Setan Jubah Putih segera berlari mengikuti Setan Jubah Biru yang sudah lebih dulu menghilang ke dalam rumah.
Sementara pertarungan masih terus berlangsung di halaman rumah itu. Tapi, kini pertarungan benar-benar dikuasai dua orang tua berjubah hitam dan kuning. Dan tampaknya, mereka benar-benar tidak lagi memberi kesempatan pada lawan-lawan untuk tetap hidup. Tak seorang pun yang dibiarkan meloloskan diri.
Jeritan-jeritan panjang melengking menyayat, semakin jarang terdengar. Hingga akhirnya tak ada lagi seorang pun yang bisa hidup. Setan Jubah Hitam dan Setan Jubah Kuning saling berpandangan sejenak sambil mengatur nafasnya yang memburu agak tersengal. Pertarungan ini memang benar-benar menguras tenaga. Hampir seratus orang harus dihadapi. Dan untungnya, tidak sekaligus datangnya. Sehingga, mereka bisa mengalahkan semuanya. Bahkan tak ada seorang pun yang tersisa lagi.
"Mereka sudah ke dalam rumah, Kakang," kata Setan Jubah Kuning.
"Aku tidak yakin Wanasa menyembunyikannya di dalam rumah. Kau tahu, begitu banyak jumlahnya. Dan dia pasti memerlukan tempat yang khusus untuk menyembunyikannya," kata Setan Jubah Hitam.
"Tapi apa salahnya kalau kita geledah seluruh rumah ini, Kakang...?"
"Baiklah. Ayo, jangan buang-buang waktu lagi."
Tanpa bicara lagi mereka berlari masuk ke dalam rumah berukuran besar yang dikelilingi tembok batu bagai benteng itu. Sementara, tiga orang lainnya sudah sejak tadi tenggelam di dalam rumah itu. Entah apa yg dilakukan di dalam sana. Yang jelas terdengar suara-suara gaduh dari barang-barang yang hancur terbanting ke lantai.
***
TIGA
Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Kota, Kadipaten Talagan, Bayu dan Ratna Wulan tampak berdiri memandangi hutan yang pepohonannya tampak begitu lebat dan rapat. Sejak tadi Pendekar Pulau Neraka menepuk-nepuk kaki Tiren, monyet kecil berbulu hitam yang nangkring di pundak kanannya.
"Hhh...!"
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu, setelah mendengar desahan berat gadis itu.
"Entahlah.... Aku merasa tidak enak, Kakang. Aku jadi ingat di rumah," jawab Ratna Wulan perlahan.
"Orang tua angkatmu sudah merelakan kau pergi, Wulan. Apa lagi yang jadi pikiranmu?" tanya Bayu. "Sedangkan kau pernah lebih dari satu purnama meninggalkan mereka tanpa pamit. Lalu kenapa sekarang jadi merasa berat. Kau kan sudah pamitan pada mereka. Kau masih merasa bersalah atas perbuatanmu waktu itu?"
"Bukan.... Bukan itu, Kang. Tapi..."
"Tapi kenapa?"
"Aku tidak tahu. Rasanya, aku ingin kembali ke sana. Aku merasa tidak enak...," pelan sekali suara Ratna Wulan.
Bayu mengangkat pundaknya.
"Kita pulang dulu, yuk...? Aku merasa seperti ada sesuatu di rumah," ajak Ratna Wulan begitu bersungguh-sungguh.
"Baiklah...," desah Bayu menyerah.
Mereka kemudian berbalik dan melangkah kembali menuju Kota Kadipaten Talagan. Bayu jadi heran juga melihat Ratna Wulan berjalan begitu cepat, seperti ada yang tengah diburunya. Dan wajah gadis itu kelihatan cemas sekali, seperti ada yang tengah dikhawatirkan. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak mau banyak bertanya. Diikutinya saja ayunan langkah kaki gadis ini.
"Ayah...! Ibu...!"
Ratna Wulan terpekik begitu melihat keadaan di sekitar halaman rumah orang tua angkatnya ini. Kedua bola matanya jadi terbeliak merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan berlumuran darah. Sementara, keadaan rumah itu sudah rusak porak-poranda. Ratna Wulan berlari cepat memburu Ki Wanasa yang tergeletak dengan kepala terpisah dari lehernya.
"Ayah...!" tersedak suara Ratna Wulan.
Sementara Bayu meneliti satu persatu mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih, hampir memenuhi halaman rumah ini. Dia langsung melompat begitu mendengar rintihan lirih tidak jauh dari arah kanannya.
"Ibu...," desis Bayu melihat Nyai Wanasa bergerak sambil merintih lirih.
Bayu langsung mengangkat tubuh perempuan tua itu. Tampak darah masih melekat di sekujur tubuhnya. Pada saat itu, Ratna Wulan sudah mendekati. Gadis itu langsung mengambil ibu angkatnya ini dari pelukan Bayu, dan memeluknya erat-erat sambil merintih memanggil-manggil.
"Ibu..., ibu...," panggil Ratna Wulan lirih.
Gadis itu tidak dapat lagi menahan air matanya yang langsung mengucur membasahi pipinya. Tampak Nyai Wanasa membuka matanya perlahan. Begitu redup sinar mata wanita tua itu. Sebentar ditatapnya Ratna Wulan, kemudian beralih menatap Bayu yang hanya diam saja memandangi.
"Bayu...," panggil Nyai Wanasa lirih.
"Iya, Bu," sahut Bayu perlahan seraya menggeser lebih dekat.
"Tolong jaga adikmu baik-baik. Tidak ada lagi yang melindunginya...," pesan Nyai Wanasa begitu perlahan suaranya.
Bayu hanya mengangguk saja.
"Dan kau, Wulan...."
"Iya, Bu."
"Dengarkanlah kata-kata Bayu. Ibu senang jika kalian tetap bersama-sama. Kalian bukan saudara kandung, jadi bisa hidup bersama-sama. Aku senang jika kalian"
"Ibu...," Ratna Wulan cepat-cepat memutuskan kalimat Nyai Wanasa.
"Ibu.... Siapa yang melakukan semua ini?" tanya Bayu, cepat mengalihkan perhatian perempuan tua yang sudah menjelang ajal ini.
"Ibu tidak tahu, apa urusan mereka dengan ayahmu, Wulan. Mereka datang tidak lama setelah kalian pergi, tapi tidak terjadi sesuatu. Dan baru semalam mereka datang lagi ke sini. Mereka begitu kuat dan tangguh...," semakin perlahan suara Nyai Wanasa.
"Mereka siapa, Bu?" desak Bayu.
"Lima Setan dari Barat...," sahut Nyai Wanasa, semakin lirih suaranya.
"Kenapa mereka melakukan ini semua, Bu?" tanya Bayu lagi.
"Aku tidak tahu. Tapi mereka punya urusan rahasia dengan ayahmu, Wulan. Rahasia yang aku sendiri tidak tahu."
"Di mana mereka sekarang, Bu...?" tanya Ratna Wulan.
"Aku..., aku..., ahhh...!"
Nyai Wanasa mengejang. Matanya terbeliak lebar, lalu perlahan kelopak matanya terpejam. Sementara kepalanya langsung berpaling lunglai.
"Ibu...!" jerit Ratna Wulan langsung memeluk wanita tua yang kini benar-benar menghembuskan napas terakhirnya.
Sementara Bayu hanya tertunduk saja. Sedangkan Ratna Wulan tak dapat lagi menyembunyikan tangis dan ratapnya, sambil memeluk tubuh ibu angkatnya ini. Perlahan Bayu bangkit berdiri dengan tubuh lemas. Dirayapinya keadaan sekitarnya. Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Di mana-mana terlihat mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Rerumputan tidak lagi berwarna hijau, dan sudah berubah merah oleh darah.
Perlahan Bayu mengayunkan kakinya menuju ke beranda. Lalu menghempaskan diri, duduk lemas di tangga beranda depan rumah ini. Pandangannya begitu nanar, menatap Ratna Wulan yang masih menangis memeluki mayat ibu angkatnya.
Selama pengembaraannya ini, Bayu selalu mencari di mana saja sahabat-sahabat ayahnya tinggal. Dan Pendekar Pulau Neraka selalu mencari keterangan mengenai ibunya, dari mereka yang mengenal orang tuanya. Tapi sampai saat ini, hanya kepahitan saja yang didapatkan. Setiap kali menemukan orang yang mengenal keluarganya, entah kenapa orang itu selalu mengalami nasib naas.
"Ohhh.....Apakah ini kutukan Dewata...? Kenapa kedatanganku selalu saja menimbulkan musibah pada orang lain? Apakah kelahiranku memang sudah ditentukan sebagai pembawa musibah...?" keluh Bayu begitu perlahan, dengan kepala terangkat ke atas.
Bukan hanya sekali ini Pendekar Pulau Neraka mengeluh begitu. Bayu merasa, kelahirannya didunia ini hanya untuk membawa malapetaka bagi setiap orang yang ditemuinya. Satu persatu sahabat-sahabat ayahnya tewas setiap kali dikunjungi. Bahkan kelahirannya pun menyebabkan kehancuran bagi keluarganya, dan padepokan ayahnya.
Bayu tidak tahu, apakah ini kutukan dari Dewata...? Sejak dia lahir hingga sekarang ini, hanya malapetaka saja yang ditemui.
"Dewata Yang Agung.... Dapatkah kau memberi ku sedikit saja kebahagiaan...," desah Bayu, begitu perlahan suaranya.
***
"Ayo...," ajak Bayu sambil menyentuh pundak Ratna Wulan yang masih berdiri memandangi pusara kedua orang tua angkatnya.
Kematian Ki Wanasa dan istrinya, serta seluruh orang-orangnya telah membuat kegemparan diseluruh pelosok Kota Kadipaten Talagan ini. Hampir semua orang yang mengenalnya, membantu menguburkan mereka. Dan memang, pasangan tua itu sudah amat dikenal di Kota Kadipaten Talagan ini. Terutama, Ki Wanasa yang memang terkenal akan kedermawanannya. Hingga, tidak sedikit orang yang membantu dan mengantarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Perlahan Ratna Wulan mengangkat kepala, menatap pemuda tampan berbaju kulit harimau ini. Kemudian tubuhnya diputar berbalik. Tanpa berkata sedikit pun, gadis itu terus saja melangkah gontai meninggalkan pusara kedua orang tua angkatnya. Bayu mengikuti saja, mensejajarkan langkahnya di samping gadis ini. Pendekar Pulau Neraka juga tidak berkata-kata sedikit pun. Sampai jauh melangkah, belum ada seorang pun yang berbicara. Mereka berjalan terus menuju ke arah Selatan.
Sementara, matahari sudah teramat condong ke Barat. Sinarnya tidak lagi terik memancar, seakan-akan ikut merasakan duka yang sedang dialami dua anak manusia ini.
"Bagaimana sekarang, Wulan?" tanya Bayu setelah cukup lama terdiam saja.
"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang," sahut Ratna Wulan perlahan.
"Wulan! Kau ingat kata-kata ibu yang terakhir?" tanya Bayu.
Ratna Wulan menghentikan ayunan langkahnya. Wajahnya berpaling menatap Pendekar Pulau Neraka. Seperti terbangun dari suatu mimpi buruk, Ratna Wulan langsung teringat kata-kata terakhir ibu angkatnya. Mereka semua dibantai lima orang yang dijuluki Lima Setan dari Barat. Dan kelima orang itu mempunyai urusan rahasia dengan ayah angkatnya. Hanya itu yang diucapkan terakhir kali, sebelum Nyai Wanasa menghembuskan napas yang terakhir.
"Aku tidak akan memaksamu, Wulan. Tapi, aku akan mencari dan menuntut balas atas perbuatan mereka. Orang tua angkatmu adalah saudara angkat ayahku. Dan kematian mereka harus terbalaskan," tegas Bayu berapi-api.
"Kau tahu, Kakang. Sampai saat ini pun aku tidak pernah menganggap mereka hanya orang tua angkat. Mereka sudah merawat dan mendidik ku sejak kecil. Merekalah sesungguhnya orang tuaku, Kakang. Aku juga tidak akan membiarkan pembunuh-pembunuh itu tetap berkeliaran," sambut Ratna Wulan penuh semangat.
"Lalu, bagaimana dengan...?"
"Aku bisa menundanya," selak Ratna Wulan tegas. "Persoalan ini lebih penting daripada persoalan pribadiku."
"Kita akan bersama-sama menuntut balas, Wulan."
"Ya! Dan aku juga ingin mengetahui, rahasia apa yang disimpan ayah. Bahkan sampai rela mengorbankan nyawa demi rahasia itu," sahut Ratna Wulan.
"Hm.... Kau akan menghadapi petualangan baru yang sesungguhnya, Wulan," nada suara Bayu terdengar agak menggumam.
Ratna Wulan hanya tersenyum tipis, kemudian kembali mengayunkan langkahnya. Tapi baru beberapa tindak, langkahnya kembali berhenti dan berbalik menatap ke arah kuburan yang sudah jauh ditinggalkan. Bayu juga ikut memandang ke arah kuburan itu.
Tak ada yang bicara. Setelah beberapa saat lamanya mereka terdiam memandangi kuburan yang sepi, kemudian kembali melangkah pergi dengan ayunan kaki agak lebar dan cepat. Mereka terus melangkah menuju Selatan. Meskipun masih memiliki tujuan, tapi sekarang ini mereka tidak tahu, ke mana arah tujuan yang akan ditempuh. Mereka tidak tahu, di mana harus mencari Lima Setan dari Barat yang telah membantai Ki Wanasa dan istrinya, serta semua orang yang ada di rumah itu.
***
Bayu berdiri tegap di bawah naungan dangau. Pandangannya lurus merayapi petak-petak sawah yang menghampar bagai permadani tergelar. Pucuk-pucuk daun pohon padi terayun-ayun dipermainkan angin. Sementara, Ratna Wulan tampak duduk memeluk lutut dengan pandangan kosong ke depan. Sudah tiga hari ini mereka menjelajahi seluruh wilayah Kadipaten Talagan, tapi sampai saat ini belum juga mendapat jejak Lima Setan dari Barat.
Bahkan semua orang yang ditanyai, tidak ada yang mengenal satu pun. Ratna Wulan sudah menghubungi semua teman-teman ayah angkatnya. Tapi mereka semua tidak tahu siapa Lima Setan dari Barat itu. Bahkan setelah tahu kalau Ki Wanasa dan istrinya dibunuh Lima Setan dari Barat, sikap mereka seperti ketakutan. Mereka langsung buru-buru mengatakan kalau tidak pernah mendengar namanya.
"Aku tidak percaya kalau mereka semua tidak tahu, Kakang," ujar Ratna Wulan, begitu perlahan suaranya.
"Kenapa kau berpikiran begitu, Wulan?" tanya Bayu seraya berpaling menatap gadis ini.
"Dari sikap mereka, Kakang. Mereka seperti ketakutan setelah mendengar julukan Lima Setan dari Barat," sahut Ratna Wulan.
Bayu terdiam memandangi gadis itu, kemudian . melangkah dan duduk di samping Ratna Wulan yang masih duduk memeluk lutut. Selembar tikar daun pandan yang sudah lusuh menjadi alas duduk mereka di dangau ini. Kembali mereka terdiam tak berbicara lagi untuk beberapa saat lamanya.
"Mungkin mereka tidak ada lagi di kadipaten ini, Kakang," kata Ratna Wulan menduga. Suaranya masih tetap terdengar perlahan.
"Mereka datang untuk mencari sesuatu. Dan itu yang dikatakan Nyai Wanasa. Aku yakin, mereka belum meninggalkan Kadipaten Talagan ini sebelum mendapatkan apa yang dicari, Wulan," bantah Bayu.
"Sebenarnya, apa yang mereka cari, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti untuk diri sendiri.
"Itulah persoalannya, Wulan. Nyai Wanasa sendiri tidak tahu ada rahasia yang disembunyikan suaminya," desah Bayu menyahuti pertanyaan Ratna Wulan tadi.
"Kakang, apa sebaiknya kita cari petunjuk dirumah. Siapa tahu, bisa didapatkan sesuatu di sana," usul Ratna Wulan.
"Hm...," Bayu menggumam perlahan dengan kening berkerut.
"Aku ingat, Kakang...!" sentak Ratna Wulan tiba-tiba.
"Apa...?" tanya Bayu.
"Apa kau tidak perhatikan, Kakang...?"
"Maksudmu?"
"Di antara mereka yang tewas, aku tidak menemukan Ki Darpin," kata Ratna Wulan.
"Ki Darpin...?" kening Bayu semakin berkerut dalam mendengar nama itu.
"Iya..., Ki Darpin.... Bukankah dia salah seorang dari murid padepokan milik ayahmu? Dan setelah padepokan ayahmu hancur, Ki Darpin kemudian ikut ayahku. Aku ingat sekarang, Kakang.... Setiap kali ayah pergi, Ki Darpin selalu ikut bersamanya. Bahkan tidak jarang mereka pergi berdua saja tanpa ada pengawal seorang pun," kata Ratna Wulan lagi.
"Tapi, ayahmu tidak punya orang kepercayaan satu pun juga, Wulan. Dan aku tahu itu," kata Bayu.
"Aku tahu, Kakang. Memang ayah tidak punya orang kepercayaan satu pun. Ayah selalu menganggap mereka semua sama kedudukannya. Tapi selama ini, aku tahu kalau hanya Ki Darpin yang bisa pergi berdua saja dengan ayah. Bahkan seringkali berbicara berdua sampai jauh malam. Aku rasa, Ki Darpin mengetahui tentang rahasia itu, Kakang. Dan di antara mereka yang tewas, hanya Ki Darpin yang tidak ada. Aku yakin, Ki Darpin pasti masih hidup dan sekarang bersembunyi," kata Ratna Wulan penuh semangat.
"Hm.... Benar juga apa katamu, Wulan. Memang di antara mereka yang tewas tidak ada Ki Darpin di sana. Dan sampai sekarang pun kita tidak melihatnya lagi," agak menggumam nada suara Bayu.
"Sekarang kita punya kuncinya, Kakang," ujar Ratna Wulan lagi.
"Tapi kau jangan terlalu banyak berharap, Wulan. Harapan yang tidak terkabul bisa menimbulkan kekecewaan. Dan itu sangat berbahaya bagi pengendalian dirimu. Kau harus ingat. Sekarang ini kau sudah benar-benar terjun ke dalam dunia persilatan yang ganas dan penuh daya tipu yang menjerat," Bayu menasehati.
Tapi Ratna Wulan hanya menyambut dengan senyuman saja. Gadis itu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau ini. Sebentar ditatapnya hamparan sawah yang terbentang di depannya. Kemudian wajahnya berpaling menatap Bayu yang masih duduk memandangi dari dalam dangau kecil itu.
"Ayo, Kakang," ajak Ratna Wulan.
"Ke mana?" tanya Bayu.
"Kita kembali ke rumah. Barangkali saja bisa menemukan sesuatu di sana," sahut Rama Wulan. Bayu mengangkat bahunya sedikit, kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau kecil ini. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah melangkah bersisian menuju Kota Kadipaten Talagan kembali.
"Wulan, apakah Ki Darpin tidak punya keluarga?" tanya Bayu sambil terus melangkah di samping gadis cantik yang mengenakan baju warna merah agak ketat ini.
"Tidak," sahut Ratna Wulan singkat. "Ki Darpin tinggal di rumah, dan ada kamarnya tersendiri. Aku tidak begitu dekat dengannya. Dan dia sendiri juga jarang sekali berbicara, kecuali bila ditanya. Dan jawabannya juga hanya singkat-singkat saja. Pokoknya, orangnya menjemukan, Kakang."
Bayu jadi tersenyum dikulum. Pendekar Pulau Neraka memang sudah beberapa kali bicara dengan Ki Darpin waktu berada di rumah Ki Wanasa itu. Dan memang, apa yang dikatakan Ratna Wulan itu benar. Ki Darpin memang paling sulit diajak bicara. Dia terlalu pendiam. Juga, sikapnya teramat kaku. Ki Wanasa sendiri pernah mengatakan kalau sejak hancurnya Padepokan Dewa Pedang, Ki Darpin jadi pendiam. Padahal dulunya, Ki Darpin adalah seorang pemuda periang yang penuh semangat. Bahkan Pendekar Dewa Pedang sendiri menyukainya, sehingga dia mendapatkan tambahan jurus-jurus yang belum diajarkan pada murid-murid di padepokan itu. Jurus-jurus yang langsung diberikan Pendekar Dewa Pedang sendiri. Dan sekarang ini, usia Ki Darpin sudah kepala lima. Tentunya ketika masih berada di Padepokan Dewa Pedang, usianya pasti sebaya dengan Bayu sekarang ini.
"Apa yang kau lamunkan, Kakang?" tegur Ratna Wulan.
"Oh, tidak...," sahut Bayu agak tersentak.
Teguran Ratna Wulan langsung membuyarkan lamunannya seketika.
"Ingat kekasihmu, ya...?" agak lain nada suara Ratna Wulan.
"Bagaimana mungkin aku bisa punya kekasih, Wulan...? Hidupku saja masih belum menentu. Pindah dari satu tempat, ke tempat lain tanpa arah dan tujuan pasti," sahut bayu langsung bisa mengerti nada suara gadis itu.
Ratna Wulan kembali diam. Dan Bayu juga tidak bicara lagi. Mereka terus melangkah semakin mendekati gerbang perbatasan Kota Kadipaten Talagan. Dua orang berseragam prajurit kadipaten, terlihat menjaga gerbang perbatasan yang berbentuk candi kecil dari batu.
***
EMPAT
Seharian penuh, Bayu dan Ratna Wulan memeriksa setiap sudut ruangan dalam rumah peninggalan mendiang Ki Wanasa. Keadaan di dalam rumah itu memang sudah porak-poranda bagai terlanda gempa berkekuatan tinggi. Tapi sampai lelah, mereka tidak menemukan sesuatu yang berarti. Demikian pula di dalam kamar pribadi Ki Wanasa. Mereka juga tidak menemukan sesuatu yang berarti. Hingga akhirnya, mereka terduduk lemas diruangan tengah yang sudah hancur berantakan.
"Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Persoalan ini membuatku lelah...," keluh Ratna Wulan lirih, seperti bicara pada diri sendiri.
"Kau putus asa, Wulan?" tanya Bayu.
"Apa aku kelihatan putus asa? Aku tidak akan menyerah sebelum memenggal batang leher mereka semua!" dengus Rama Wulan bernada kesal.
"Aku khawatir, kau tidak akan mampu menghadapinya, Wulan...."
"Heh...?!"
Ratna Wulan begitu terkejut, ketika tiba-tiba terdengar suara agak berat. Bahkan Bayu langsung melompat berdiri sambil mengedarkan pandangan berkeliling. Ratna Wulan juga ikut berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa itu yang bicara...?" agak lantang suara Bayu.
Tidak ada sahutan sama sekali. Tapi tidak lama kemudian, dari balik dinding penyekat antara ruangan tengah ini dengan ruangan depan, muncul seorang laki-laki berusia setengah baya. Pakaiannya tampak kelihatan kotor dan begitu lusuh. Bercak noda darah kering melekat pada pakaiannya. Bayu dan Ratna Wulan jadi terbeliak. Mereka tentu saja mengenali laki-laki separuh baya yang rambutnya sudah mulai berwarna dua itu.
"Ki Darpin...," desis Ratna Wulan.
Laki-laki setengah baya yang memang Ki Darpin itu melangkah gontai menghampiri. Kemudian, dia berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan Ratna Wulan dan Pendekar Pulau Neraka.
"Dari mana saja kau, Ki? Kenapa baru muncul sekarang?" Ratna Wulan langsung menyerang dengan pertanyaan.
"Aku baru saja pulang dari tabib, dan langsung ke sini," sahut Ki Darpin, agak datar nada suaranya.
"Aku tahu kau masih hidup, Ki. Itu sebabnya, selama tiga hari ini kami berdua mencarimu," kata Bayu.
"Benar, Ki. Kau tidak ada di antara mereka yang tewas. Makanya aku begitu yakin kalau kau masih hidup," sambung Ratna Wulan lagi.
"Ceritakan semua yang terjadi di sini, Ki," pinta Bayu.
"Aku ikut bertarung bersama yang lainnya. Salah seorang berhasil memukul ku hingga pingsan. Aku tersadar jauh sebelum kalian datang, lalu pergi mencari pengobatan di rumah seorang tabib. Setelah merasa sembuh, aku segera ke sini lagi," kata Ki Darpin, terdengar perlahan suaranya.
"Tapi kenapa kau tidak memberi kabar, Ki?" tanya Ratna Wulan seperti menyesali.
"Itu tidak mungkin, Wulan," sahut Ki Darpin.
"Kenapa...?" Ratna Wulan meminta penjelasan.
"Hampir semua sahabat-sahabat Ki Wanasa mengetahui hubungannya dengan Lima Setan dari Barat. Dan aku tidak mungkin memberi kabar begitu saja. Mereka bisa menuduhku macam-macam. Bahkan bukan tidak mungkin, akan menyalahkanku," kata Ki Darpin mencoba menjelaskan.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki," selak Bayu jadi bingung.
"Kalian memang tidak tahu, apa yang dilakukan Ki Wanasa bersama Lima Setan dari Barat itu. Bahkan sebenarnya semua sahabat Ki Wanasa juga tidak tahu pasti. Mereka hanya mendengar kabar burung saja, tapi begitu percaya. Hanya saja, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selama Ki Wanasa masih hidup. Mereka tahu, siapa Ki Wanasa itu. Dia bukan hanya sekadar seorang saudagar, tapi juga seorang pendekar yang memiliki kepandaian tingkat tinggi," sambung Ki Darpin.
"Langsung saja, Ki. Apa yang dilakukan ayahku bersama Lima Setan dari Barat...?" selak Ratna Wulan tidak sabar.
"Lima tahun yang lalu, ketika kau masih berusia empat belas tahun, Ki Wanasa sempat menjadi orang kepercayaan Adipati Talagan ini. Adipati itu mempercayakan Ki Wanasa untuk mengantar barang-barang berharga berupa emas dan perak ke kotaraja. Sudah beberapa kali hal itu dilakukan Ki Wanasa, dan selalu tiba dengan selamat. Tapi pada pengiriman terakhir yang berjumlah sangat besar, semua barang itu hilang dirampok Lima Setan dari Barat. Semua prajurit pengawal dari kadipaten tewas. Juga, lima puluh orang yang dibawa Ki Wanasa pun tewas. Hanya aku dan Ki Wanasa sendiri yang tetap hidup. Aku dan Ki Wanasa berhasil melarikan diri, dan kembali ke kadipaten untuk melaporkan semua kejadiannya," tutur Ki Darpin mulai menceritakan.
"Lalu, apa tindakan adipati?" tanya Bayu.
"Adipati Talagan hanya bisa menyesali saja peristiwa itu. Namun beliau tidak bisa menjatuhkan hukuman apa pun, karena memang semua bukti begitu nyata. Hanya saja, sampai sekarang Ki Wanasa tidak lagi mendapat tugas mengantarkan barang ke kotaraja. Tapi beberapa kali adipati mengganti orang, selalu saja amblas dirampok. Hingga, hal itu berlangsung selama dua tahun. Setelah itu tidak ada lagi terdengar perampokan. Lima Setan dari Barat seperti menghilang begitu saja. Dan, kali inilah mereka muncul lagi," Ki Darpin mengakhiri ceritanya.
Ki Darpin dan Bayu memandangi Ratna Wulan yang juga membalas pandangan mereka bergantian. Gadis itu menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
"Aku tahu, apa yang kalian pikirkan. Memang berat untuk mengakui. Tapi kalau kenyataannya memang begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Ratna Wulan, agak mendesah suaranya.
"Belum ada bukti yang jelas kalau Ki Wanasa terlibat dalam semua perampokan itu, Wulan," kata Bayu mencoba menenangkan perasaan hati gadis ini.
"Ki Wanasa memang terlibat," selak Ki Darpin.
Bukan hanya Bayu yang terkejut, tapi juga Ratna Wulan sampai terbeliak menatap laki-laki separuh baya berpakaian lusuh dan kotor penuh bernoda darah kering ini.
"Pada kejadian pertama, memang Ki Wanasa tidak terlibat. Tapi pada peristiwa selanjutnya, dia memang terlibat," tegas Ki Darpin lagi.
"Bagaimana mungkin bisa begitu, Ki...?" Bayu benar-benar tidak menyangka.
"Ki Wanasa merasa sakit hati dan terbuang atas sikap Adipati Talagan. Kemudian, dicarinya Lima Setan dari Barat. Waktu itu aku ikut serta. Ki Wanasa bukannya ingin membalas, tapi malah merencanakan bekerjasama dengan imbalan bagi hasil. Ki Wanasa selalu memberi tahu, kapan akan terjadi pengiriman barang. Semua keterangan, tentang jumlah kekuatan pengawal, serta berapa banyaknya barang, diberikan Ki Wanasa. Bahkan ketika Adipati Talaga menjebaknya, Lima Setan dari Barat itu tidak muncul sama sekali. Memang, mereka telah tahu kalau itu hanya jebakan dan peti-peti pengangkut barang itu hanya berisi batu kali. Mereka juga tahu kalau ada dua pasukan kerajaan membuntuti dari jarak jauh," jelas Ki Darpin.
"Lalu, dari mana Ki Wanasa bisa tahu semua itu?"
"Ada seorang prajurit pengawal adipati yang bersedia bekerjasama dengan imbalan pula. Tapi, dia mencoba berkhianat. Maka, Ki Wanasa membunuhnya sebelum rahasianya terbongkar. Lalu, Lima Setan dari Barat juga dikelabuinya. Dan di saat mereka pergi, Ki Wanasa memindahkan semua hasil rampokan selama dua tahun itu ke tempat lain yang hanya dia sendiri yang tahu," sahut Ki Darpin lagi.
"Dan kau sendiri?" tanya Bayu bernada curiga.
"Aku juga tidak tahu. Waktu itu, aku hanya diminta untuk menyiapkan sebuah kereta besar, yang ditarik sepuluh ekor kuda. Aku tidak tahu, apa rencananya waktu itu. Dan aku baru tahu dua hari sebelum mereka datang ke sini," sahut Ki Darpin. Tapi, Ki Wanasa tidak mau memberi tahu di mana letaknya. Dia hanya mengatakan...."
"Teruskan, Ki," pinta Bayu mendesak.
"Dia hanya mengatakan kalau harta itu tersimpan di tempat yang aman, tapi tidak jauh dari kota kadipaten itu," sambung Ki Darpin.
"Sukar dipercaya, kenapa Ki Wanasa bisa melakukan itu...?" desah Bayu perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Hilangnya kepercayaan Adipati Talaga, membuat usahanya benar-benar hancur. Dan Ki Wanasa hampir bangkrut waktu itu, Bayu. Rasa sakit hatinya lah yang membuatnya berbuat nekat. Dan dari harta itu, dia bisa kembali bangkit dari kebangkrutannya."
"Memang sulit mencari siapa yang salah dalam hal ini," desah Bayu lagi. "Tapi bagaimanapun juga, semua yang dilakukan Ki Wanasa tidak benar."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang, Kakang?" tanya Ratna Wulan jadi lemas setelah mengetahui semua persoalannya.
"Rasanya, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menemukan harta itu dan mengembalikannya pada Adipati Talaga," sahut Bayu.
"Itu sama saja mencoreng nama Ki Wanasa, Bayu," Ki Darpin tampak tidak setuju.
"Kita tidak akan mengatakan kalau Ki Wanasa terlibat, Ki. Katakan saja kalau Lima Setan dari Barat itu yang melakukan semuanya. Dan yang pasti, kita harus bisa melenyapkan mereka. Kalau tidak, mereka akan semakin merajalela saja. Dan yang terpenting, harta itu jangan sampai jatuh ke tangan mereka. Harta itu bisa memperkuat mereka, Ki," tegas Bayu. "Cukup kita bertiga saja yang mengetahui semua rahasia ini."
"Kau sama dengan ayahmu, Bayu. Selalu melindungi sahabat-sahabatnya," puji Ki Darpin.
"Aku tidak melindunginya, Ki. Aku hanya tidak ingin nama Ki Wanasa rusak, walaupun jelas bersalah," bantah Bayu, tegas.
"Terima kasih, Kakang," ucap Ratna Wulan perlahan. Bayu hanya tersenyum saja sambil menepuk punggung tangan gadis itu. Mereka terus berbicara sampai jauh malam. Ratna Wulan membersihkan satu kamar untuk istirahatnya. Sedangkan Bayu dan Ki Darpin terus berada di ruangan tengah ini, dengan hanya sebuah pelita kecil sebagai penerangan.
***
Malam terus merayap semakin bertambah larut. Bayu dan Ki Darpin masih berada di ruangan tengah rumah peninggalan mendiang Ki Wanasa. Sementara, Ratna Wulan sudah masuk ke dalam kamar yang dibersihkannya untuk beristirahat. Gadis itu tampak lelah sekali. Apalagi setelah mengetahui rahasia yang selama ini tersimpan. Rahasia yang bisa membuat nama baik ayah angkatnya tercoreng, karena perbuatannya sendiri yang melampiaskan rasa sakit hati pada Adipati Talagan. Memang, selama ini sudah banyak orang yang menduga, terutama dari kalangan saudagar dan pembesar Istana Kadipaten Talagan.
Tapi, sampai saat ini mereka tidak memiliki bukti yang cukup akan keterlibatan Ki Wanasa dalam semua perampokan itu. Hingga tak ada seorang pun yang bisa menuduhnya secara langsung. Tapi dengan kematian Ki Wanasa oleh Lima Setan dari Barat, mereka semua langsung tahu kalau Ki Wanasa memang terlibat dalam semua kejadian perampokan itu. Walaupun, itu masih berupa dugaan tanpa bukti jelas. Dan semua rahasia itu kini sudah terpegang Bayu, Ki Darpin, dan Ratna Wulan. Hanya mereka bertiga saja yang tahu.
"Ki! Apa Ki Wanasa pernah mengatakan satu petunjuk penyimpanan harta itu?" tanya Bayu, agak perlahan suaranya.
"Sulit, Bayu. Karena, Ki Wanasa hanya mengatakan tempat penyimpanan harta itu hanya bisa ditemukan kalau ada yang melihat Cendawan Merah. Di tempat Cendawan Merah itulah letaknya," sahut Ki Darpin. "Sedangkan kau tahu sendiri. Tidak sembarang orang bisa mengetahui, dimana Cendawan Merah itu berada. Bahkan kabarnya lagi, Cendawan Merah hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Juga ada yang bilang, kalau Cendawan Merah hanya bisa dilihat oleh orang yang memang sedang mujur atau orang-orang suci," sahut Ki Darpin lagi.
Bayu jadi tersenyum tipis. Pendekar Pulau Neraka juga sering mendengar tentang Cendawan Merah. Sebuah tanaman semacam jamur yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Dan begitu banyak macam ragam cerita tentang cendawan itu. Bahkan Bayu menganggap kalau Cendawan Merah tidak ada. Dan itu hanya merupakan dongeng saja.
"Apa Ki Wanasa membuat gambar petunjuk, Ki?" tanya Bayu lagi.
"Tidak," sahut Ki Darpin. "Katanya, setitik gambar saja bisa membuat malapetaka. Jadi, Ki Wanasa tidak pernah membuat gambar letak harta itu."
Mereka jadi terdiam beberapa saat lamanya.
"Bayu...."
"Hm."
"Kalau boleh kusarankan, sebaiknya kau tidak perlu mempersoalkan harta itu. Kau bisa celaka sendiri nantinya. Lima Setan dari Barat bukan orang-orang sembarangan. Mereka berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya," saran Ki Darpin.
Bayu hanya tersenyum saja sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ki Darpin bangkit berdiri dan melangkah hendak meninggalkan ruangan ini.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Bayu.
"Ke belakang, buang air," sahut Ki Darpin langsung saja berlari kecil ke ruangan belakang rumah ini.
Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala saja memperhatikan Ki Darpin yang lenyap di balik dinding penyekat ruangan. Laki-laki setengah baya itu terus berlari-lari melewati beberapa pintu yang terbuka, kemudian sampai ke bagian belakang rumah yang berukuran sangat besar bagai istana ini. Dia terus berlari-lari kecil memasuki halaman belakang rumah. Tapi belum jauh keluar dari rumah itu, mendadak saja....
"He he he...!"
"Oh...?!"
Ki Darpin jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam di depannya. Dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah hitam yang membawa tongkat berwarna hitam, yang satu ujungnya berbentuk runcing.
Ki Darpin jadi terlongong dengan mulut terbuka lebar. Dan dia semakin bengong begitu muncul lagi orang-orang tua yang mengenakan jubah berlainan warna yang semuanya membawa tongkat berwarna sama dengan jubah masing-masing. Tiba-tiba saja, seluruh tubuh Ki Darpin jadi menggeletar hebat. Dan baru disadari, siapa lima orang tua berjubah berlainan warna yang tahu-tahu muncul di depannya ini.
***
"Lima Setan dari Barat...," desis Ki Darpin hampir tak terdengar suaranya. Laki-laki separuh baya itu melangkah mundur beberapa tindak. Tangan kanannya langsung meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang. Sedangkan lima orang tua yang memang Lima Setan dari Barat itu tetap berdiri tegak berjajar menatap tajam Ki Darpin.
"Mau apa kalian datang lagi ke sini?" tanya Ki Darpin, agak bergetar suaranya.
"Kau sudah tahu jawabannya, Darpin," sahut Setan Jubah Hitam, dingin sekali nada suaranya.
"Tidak ada yang bisa kau dapatkan dariku di sini," tegas Ki Darpin, semakin jelas getaran suaranya.
"Kau pikir kami orang-orang bodoh...?! Aku tahu, kau satu-satunya orang kepercayaan si Keparat Wanasa. Kau tentu tahu, apa yang kuinginkan, Darpin. Dan semua itu ada padamu," semakin dingin nada suara Setan Jubah Hitam.
"Aku tidak tahu apa-apa. Ki Wanasa tidak pernah mengatakan apa-apa padaku," bantah Ki Darpin, agak keras suaranya.
"Jangan menyakiti dirimu sendiri, Darpin. Hanya kau yang tahu semua ini. Jadi, tidak mungkin kalau tidak tahu di mana si Keparat Wanasa menyembunyikan harta itu."
"Aku mengatakan yang sesungguhnya. Dan lagi, aku bukan orang kepercayaan Ki Wanasa," sahut Ki Darpin mencoba meyakinkan lima orang tua berjubah itu.
"Ingat, Darpin.... Kesabaran ada batasnya. Dan kami semua sudah tidak sabar lagi," desis Setan Jubah Hitam bernada mengancam.
"Oh...," Ki Darpin mengeluh kecil.
Wajah laki-laki setengah baya itu jadi memucat seketika. Dia tahu, Lima Setan dari Barat bukanlah tandingannya. Tingkat kepandaian yang dimilikinya masih jauh di bawah tingkat kepandaian mereka. Perlahan kakinya melangkah mundur. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang erat-erat.
"Katakan, di mana harta itu...?" desis Setan Jubah Hitam sudah tidak sabar lagi.
"Aku tidak tahu," sahut Ki Darpin.
"Keparat...! Kau akan menyesal, Darpin." Setan Jubah Hitam sudah melangkah maju satu tindak, tapi keburu dicegah Setan Jubah biru.
"Biar aku saja yang membereskannya, Kakang," pinta Setan Jubah Biru.
"Lakukanlah. Tapi, aku tidak mau dia mati. Dialah satu-satunya kunci untuk menemukan harta itu," sahut Setan Jubah Hitam.
"Akan kubuat dia mengaku," janji Setan Jubah Biru.
Setelah berkata demikian, Setan Jubah Biru langsung melangkah lebar mendekati Ki Darpin. Bibirnya menyeringai lebar, seakan-akan ingin mengoyak tubuh laki-laki setengah baya itu. Ki Darpin jadi bergidik. Kengerian langsung menyelimuti seluruh rongga dadanya. Dia tahu, tidak akan mungkin bisa selamat lagi kali ini. Tapi, Ki Darpin tak sudi menyerah begitu saja.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Setan Jubah Biru melompat sambil mengebutkan tongkatnya cepat sekali ke arah kepala Ki Darpin. Tapi pada saat itu, Ki Darpin yang memang sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi langsung saja mencabut pedangnya. Secepat itu pula, pedangnya diangkat untuk menangkis tebasan tongkat berwarna biru itu.
"Hait...!"
Trang!
"Hih...!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Setan Jubah Biru langsung cepat memutar tongkatnya. Dan begitu ujung tongkatnya hampir menyambar pinggang, Ki Darpin cepat-cepat melompat ke belakang. Namun pada saat yang bersamaan, Setan Jubah Biru sudah memberi satu sodokan keras dengan tangan kirinya.
"Ikh...?!" Ki Darpin jadi terpekik kaget.
Buru-buru tubuhnya dijatuhkan ke tanah dan bergulingan beberapa kali untuk menghindari sodokan tangan kiri Setan Jubah Biru. Lalu, bergegas Ki Darpin melompat bangkit berdiri. Dan belum juga sempurna berdirinya, Setan Jubah Biru sudah langsung melompat menyerang. Tongkatnya dikebutkan cepat sekali ke sekitar tubuh laki-laki separuh baya itu.
Ki Darpin terpaksa berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan tongkat Setan Jubah Biru. Beberapa kali ujung tongkat yang runcing itu hampir menghunjam ke tubuhnya. Tapi, Ki Darpin masih bisa menghindar meskipun kelabakan juga. Serangan-serangan yang dilakukan Setan Jubah Biru memang begitu cepat dan dahsyat.
"Lepas...!" seru Setan Jubah Biru tiba-tiba. Bagaikan kilat, laki-laki tua berjubah biru itu mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Ki Darpin. Dan secepat itu pula Ki Darpin mengangkat pedangnya menangkis tebasan tongkat itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Setan Jubah Biru cepat memutar tongkatnya. Lalu tongkatnya dikebutkan ke mata pedang itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam tinggi.
Trang!
"Akh...!" Ki Darpin jadi terpekik.
Begitu kerasnya kebutan tongkat itu, sehingga Ki Darpin tidak dapat lagi mempertahankan pedangnya yang mental ke udara. Dan sebelum sempat menyadari, tahu-tahu Setan Jubah Biru sudah memberikan satu sodokan lunak ke dada sebelah kiri. Gerakan tangan kirinya begitu cepat, sehingga Ki Darpin tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....
Tuk!
"Okh...?!"
Seketika itu juga, Ki Darpin langsung limbung dan ambruk ke tanah setelah dada kirinya terkena totokan jari tangan kiri Setan Jubah Biru. Ki Darpin benar-benar tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya. Jalan darahnya telah tertotok begitu kuat. Hanya kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Sementara Setan Jubah Biru sudah menghampiri, dan berdiri di dekat tubuh laki-laki separuh baya ini.
"Ada yang datang. Cepat kau bawa dia...!" sentak Setan Jubah Hitam, agak tertahan dan tiba-tiba.
"Hup...!"
Setan Jubah Biru cepat mengangkat tubuh Ki Darpin ke pundaknya. Lalu bagaikan kilat, dia melompat cepat meninggalkan halaman belakang rumah ini mengikuti teman-temannya, yang sudah lebih dulu berlompatan pergi. Pada saat Lima Setan dari Barat lenyap di balik tembok yang mengelilingi rumah ini, dari dalam rumah muncul Pendekar Pulau Neraka.
"Ki...! Ki Darpin...!" seru Bayu memanggil dengan suara agak keras.
Tentu saja tak ada sahutan sama sekali. Bayu mengedarkan pandangan ke sekitar halaman belakang ini. Dan pandangannya langsung tertumbuk pada sebatang pedang yang tertancap di pohon. Bergegas dihampirinya pedang itu dan dicabutnya. Kedua bola matanya agak terbeliak begitu mengenali pedang ini milik Ki Darpin.
"Ki Darpin...!" panggil Bayu kembali berteriak.
Pendekar Pulau Neraka jadi tertegun begitu melihat ada tanda-tanda bekas pertarungan di sini. Pada saat itu, Ratna Wulan muncul. Gadis itu terbangun mendengar teriakan Bayu yang memanggil Ki Darpin.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan langsung begitu dekat.
"Ki Darpin hilang," sahut Bayu.
***
LIMA
Sementara itu Bayu dan Ratna Wulan masih diliputi teka-teki yang semakin sulit dipecahkan, Ki Darpin tengah berteriak-teriak di dalam sebuah gua yang cukup besar, diterangi api dari beberapa buah obor. Laki-laki separuh baya itu terikat rantai. dengan tangan terentang. Seluruh tubuhnya nampak memar. Kulit tubuhnya tercabik, mengeluarkan darah. Bajunya tidak lagi kelihatan bentuknya.
Ctar!
"Akh...!"
Ki Darpin berkelojotan begitu ujung cambuk kembali merobek kulit tubuhnya. Darah semakin banyak keluar dari luka luka di sekujur tubuhnya. Sementara Setan Jubah Biru terus mengayunkan cambuknya ke tubuh laki-laki separuh baya ini.
"Cukup, Jubah Biru...!" sentak Setan Jubah Hitam.
Cambuk yang terangkat dan hampir menyayat kulit yang sudah hancur itu, jadi tertahan. Perlahan Setan Jubah Biru menurunkan cambuknya. Sementara, Setan Jubah Hitam melangkah mendekati Ki Darpin yang sudah lemas tak berdaya lagi. Dengan ujung kepala tongkatnya, kepala Ki Darpin yang tertunduk lemas tanpa daya dan tenaga lagi diangkatnya.
"Seharusnya, kau tidak perlu mengalami siksaan ini, Darpin. Kau bisa kaya kalau mau bekerjasama," kata Setan Jubah Hitam masih berusaha membujuk.
Ki Darpin hanya diam saja. Tatapan matanya begitu redup, bagai tak memiliki cahaya kehidupan lagi. Dia benar-benar sudah pasrah, seandainya harus mati dalam penyiksaan seperti ini. Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain pasrah menerima kenyataan ini.
"Katakan saja, di mana harta itu, Darpin. Aku berjanji akan memberimu harta yang cukup untuk selama tujuh turunan. Harta itu tidak bakal habis, walaupun dibagikan pada semua orang di Kadipaten Talagan," kata Setan Jubah Merah lagi.
"Terserah apa katamu. Tapi, aku tidak akan mengkhianati Ki Wanasa, "desis Ki Darpin.
"Tapi dia telah mengkhianati mu, Darpin. Juga mengkhianati kami semua."
"Dia tidak mengkhianatiku. Semua harta itu diambilnya karena kalian sudah berniat untuk menguasainya, dan ingin membunuhnya. Kalian boleh lakukan apa saja padaku. Tapi jangan harap bisa menemukan harta itu," desis Ki Darpin dingin.
"Keparat...!" geram Setan Jubah Hitam.
"Ayo, bunuh aku...!" tantang Ki Darpin.
Setan Jubah Hitam yang sudah mengangkat tangannya, tidak jadi menjatuhkan pukulan pada laki-laki setengah baya ini. Dia hanya mendengus kesal, karena tidak bisa membujuk Ki Darpin untuk mengatakan tempat penyimpanan harta itu.
"Huh...!" sambil mendengus kesal, Setan Jubah Hitam berbalik, lalu melangkah menjauhi Ki Darpin.
"Hhh!"
Ki Darpin hanya tersenyum sinis. Lima Setan dari Barat itu berkumpul di dekat mulut gua, menghadapi sebuah api unggun yang tidak begitu besar nyala apinya. Sementara Ki Darpin hanya memperhatikan saja dengan sinar mata penuh ejekan. Bibirnya terus menyunggingkan senyum tipis yang terasa begitu sinis.
"Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara membuka mulutnya," keluh Setan Jubah Hitam.
"Dia benar-benar keras kepala, Kakang," ujar Setan Jubah Merah.
"Tapi, aku tidak ingin dia mati sebelum mengatakan, di mana harta itu tersimpan. Hanya dia satu-satunya yang tahu," kata Setan Jubah Hitam lagi.
"Bukan hanya dia, Kakang," selak Setan Jubah Putih.
"Siapa lagi? Kau tahu...?"
"Bukankah Wanasa punya anak angkat..? Siapa tahu, anak angkatnya itu tahu tempat penyimpanan harta itu," duga Setan Jubah Putih.
"Hm...," Setan Jubah Hitam menggumam kecil.
"Tapi, kudengar dia pergi mengembara dan belum kembali sampai saat ini," kata Setan Jubah Merah.
"Tidak! Dia sudah kembali bersama seorang pemuda. Putra Dewa Pedang, sahabat Wanasa," selak Setan Jubah Putih.
"Tapi semua orang tahu kalau Dewa Pedang sudah mati, dan putranya hilang entah ke mana."
"Kalian semua benar-benar ketinggalan. Putra Dewa Pedang masih hidup. Dia bernama Bayu, dan sekarang ini dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka," jelas Setan Jubah Putih.
"Pendekar Pulau Neraka...?!"
Mereka semua terkejut mendengar julukan itu. Tentu saja mereka sudah mendengar julukan Pendekar Pulau Neraka yang sempat menggegerkan rimba persilatan. Terutama di wilayah Pantai Selatan. Julukan Pendekar Pulau Neraka memang selalu menjadi bahan pembicaraan di kalangan orang-orang persilatan dari semua golongan. Mereka semua sudah sering mendengar sepak terjangnya. Dan mereka juga tahu, tingkat kepandaian Pendekar Pulau Neraka sangat sukar dicari tandingannya. Terlebih lagi, senjatanya yang bernama Cakra Maut. Sampai saat ini, belum ada satu senjata pun yang bisa mengalahkan kehebatannya.
"Dari mana kau tahu semua itu...?" tanya Setan Jubah Merah.
"Semua orang di Kadipaten Talagan sudah tahu. Dan sekarang, mereka sedang mencari kita untuk membalas kematian Wanasa."
"Hm...," lagi-lagi Setan Jubah Hitam menggumam perlahan.
"Apa tidak sebaiknya kita mendahului, Kakang?" ujar Setan Jubah Kuning memberi usul.
"Benar, Kakang. Barangkali saja anak angkat Wanasa memang tahu, di mana tempat penyimpanan harta itu," sambung Setan Jubah Merah.
"Lalu, bagaimana dengan Darpin?" tanya Setan Jubah Hitam.
"Tidak ada gunanya mempertahankan orang keras kepala begitu, Kakang. Bunuh saja, dan buang mayatnya ke hutan," dengus Setan Jubah Kuning.
"Lakukan saja apa kehendak kalian. Besok, baru kita cari anak angkat si Wanasa itu," dengus Setan Jubah Hitam seperti putus asa.
"Kita pasti akan mendapatkan harta itu, Kakang," ujar Setan Jubah merah memberi semangat.
Setan Jubah Hitam hanya tersenyum tipis saja, kemudian merebahkan tubuhnya tidak jauh dari api unggun. Sementara Setan Jubah Biru dan Setan Jubah Kuning sudah menghampiri Ki Darpin. Mereka melepaskan rantai yang membelenggu tangan laki-laki separuh baya itu, lalu menggiringnya ke Luar gua. Tak berapa lama kemudian....
"Aaa...!"
Satu suara jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat, memecah kesunyian malam ini. Kemudian, keadaan kembali sunyi. Tak ada seorang pun yang berbicara lagi. Di dalam gua itu hanya tinggal Setan Jubah Hitam, Setan Jubah Putih, dan Setan Jubah Merah. Sedangkan Setan Jubah Biru dan Setan Jubah Kuning masih belum juga kembali setelah membawa Ki Darpin ke Luar gua ini.
***
Siang ini, matahari bersinar begitu terik. Daun-daun kering banyak berguguran terhempas hembusan angin. Sejak semalaman, Bayu dan Ratna Wulan tidak memejamkan matanya sedikit pun. Mereka tidak mengenal lelah, terus berusaha mencari Ki Darpin yang menghilang sejak semalam. Sudah seluruh sudut Kota Kadipaten Talagan ditelusuri, tapi tidak juga ditemukan tanda-tanda Ki Darpin berada. Dan sekarang, mereka memasuki hutan yang tidak jauh dari perbatasan kota kadipaten itu.
"Kakang...," desah Ratna Wulan tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Bayu.
"Lihat..."
Kelopak mata Bayu agak menyipit, mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Ratna Wulan. Kemudian, bergegas kakinya melangkah mendekati sesosok tubuh yang tergolek di bawah pepohonan. Bukan hanya Pendekar Pulau Neraka yang terkejut. Bahkan Ratna Wulan sampai terbeliak begitu mengenali sosok tubuh penuh luka, yang ternyata Ki Darpin.
"Dia sudah meninggal...," desah Bayu perlahan, setelah memeriksa keadaan Ki Darpin.
"Kejam...," desis Ratna Wulan. "Siapa yang melakukan perbuatan sekeji ini, Kakang?"
Bayu tidak bisa menjawab. Keadaan tubuh Ki Darpin memang rusak. Seluruh tubuhnya tercabik seperti bekas cambukan. Darah yang sudah hampir kering melekat di sekujur tubuhnya. Bahkan lehernya terkoyak hampir buntung. Tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan. Dan mereka saling melemparkan pandangan.
"Lima Setan dari Barat..," desis mereka berbarengan.
Ternyata, bukan hanya Bayu saja yang menduga itu. Malah Ratna Wulan juga langsung menduga kalau yang melakukan kekejaman pada Ki Darpin adalah Lima Setan dari Barat. Bukan hanya luka-luka cambuk di sekujur tubuhnya dan leher yang menganga lebar hampir buntung. Tapi, beberapa lubang bekas tusukan juga terlihat didadanya. Benar-benar suatu penyiksaan yang begitu berat dan sangat keji. Ratna Wulan hamper tidak sanggup membayangkan penderitaan Ki Darpin dalam menjalani siksaan itu.
"Kakang, lihat tangannya...," kata Ratna Wulan tiba-tiba.
Bayu segera membungkuk, dan mengangkat tangan kanan Ki Darpin yang terkepal erat. Dibukanya jari-jari yang terkepal kaku itu. Dan dari dalam kepalan tangan Ki Darpin, Bayu mendapatkan selembar gulungan daun lontar. Pendekar Pulau Neraka segera membuka gulungan daun lontar itu.
"Sabuk kulit...," gumam Bayu membaca sebaris kalimat yang tertera pada lembaran daun lontar ini.
"Apa maksudnya, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
Memang hanya dua kata itu saja yang ada pada daun lontar ini. Namun, Bayu tidak menjawab. Dia kemudian membungkuk dan melepaskan sabuk yang terbuat dari kulit binatang yang dikenakan Ki Darpin. Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengamati, lalu membuka kantung kecil pada sabuk itu. Dari dalam kantung ini ditemukan potongan bambu berukir, bergambar lingkaran dengan dua buah titik pada bagian tengahnya.
"Apa itu...?" tanya Ratna Wulan lagi.
"Kau kenali gambar ini, Ratna Wulan?" Bayu malah balik bertanya.
Ratna Wulan mengambil potongan bambu itu, lalu mengamati gambar yang terukir di situ. Keningnya jadi berkerut, memperhatikan gambar pada bambu berukuran kecil ini. Kemudian diambilnya lembaran daun lontar dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Sebentar diamatinya dua benda yang begitu dalam menyimpan suatu rahasia. Kemudian ditatapnya pemuda tampan berbaju kulit harimau itu.
"Sepertinya, ini suatu petunjuk penyimpanan harta itu, Kakang," kata Ratna Wulan.
"Iya, tapi apa maksudnya?" tanya Bayu lagi.
"Aku pernah melihat gambar ini sebelumnya," agak perlahan suara Ratna Wulan.
"Di mana?" tanya Bayu lagi.
"Di mata tombak milik ayah."
"Mata tombak...?" Bayu jadi tertegun.
"Iya. Senjata kebanggaan ayah. Senjata itu ada di rumah. Aku menyimpannya di kamar," sahut Ratna Wulan lagi.
"Hm.... Ini seperti suatu mata rantai untuk menuju tempat harta itu, Wulan," gumam Bayu.
"Aku rasa memang demikian, Kakang." Bayu memandang tubuh Ki Darpin, kemudian mengambil dua benda itu dari tangan Ratna Wulan. Lalu dibungkusnya benda itu dengan sehelai kain yang disobek dari selendang Ratna Wulan, kemudian diberikannya pada Tiren. Seekor monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada di pundak kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Ikatkan ini di atas pohon, Tiren," perintah Bayu.
"Nguk...!"
Tanpa diperintah dua kali, Tiren segera melompat naik ke atas pohon. Cepat sekali gerakannya. Sebentar saja, monyet kecil berbulu hitam itu sudah berada di puncak pohon yang begitu tinggi. Lalu, diikatnya kain merah yang membungkus dua benda itu pada salah satu dahan. Kemudian, binatang itu bergegas turun. Dan kini Tiren kembali hinggap di pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Kau kenali pohon ini, Tiren," pinta Bayu.
Tiren mengangguk sambil memperdengarkan suara menggumam kecil. Bayu kini kembali menghampiri tubuh Ki Darpin. Lalu dipondongnya mayat itu, dan terus melangkah ke tempat yang lebih lapang dan teduh. Perlahan-lahan diletakkan tubuh laki-laki separuh baya bekas murid ayahnya yang telah menjadi mayat itu.
Tiren langsung melompat dan berpindah ke pundak Ratna Wulan, ketika Bayu berdiri tegak dengan telapak tangan menyaru di depan dada. Sebentar Pendekar Pulau Neraka menarik napas dalam-dalam, lalu....
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangannya ke depan. Dan dari kedua telapak tangannya, seketika meluncur secercah sinar merah yang langsung menghantam tubuh Ki Darpin. Suara ledakan keras terdengar menggelegar memekakkan telinga. Tampak tubuh Ki Darpin mengepulkan asap kemerahan. Lalu begitu asap menghilang tertiup angin, tubuh Ki Darpin lenyap. Yang tertinggal kini hanya seonggok debu.
Bayu melangkah menghampiri onggokan debu tubuh Ki Darpin. Lalu, dikeluarkannya sehelai kain putih dari balik sabuknya. Kain itu ditebarkan ke tanah, dan diraupnya debu berwarna putih keabu-abuan itu. Sedikit demi sedikit debu itu dipindahkan ke atas kain putih. Sementara, Ratna Wulan hanya memperhatikan saja tanpa berbicara sedikit pun juga. Dia merasa heran melihat semua yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
Setelah semua debu itu berpindah ke atas kain, Bayu kemudian membungkusnya dengan rapi. Kembali kakinya melangkah sambil membawa bungkusan kain berisi debu jasad Ki Darpin. Pendekar Pulau Neraka tersenyum melihat Ratna Wulan terbengong keheranan menyaksikan perbuatannya ini.
"Ini suatu kepercayaan yang dilakukan leluhur ku, Ratna Wulan. Dan itu diterapkan di padepokan ayahku. Semua murid padepokan yang meninggal, diperabukan. Lalu, abunya dihanyutkan ke sungai. Mereka akan merasa bangga daripada dikebumikan," jelas Bayu memberi penjelasan tanpa diminta.
Ratna Wulan masih terdiam.
"Memang tidak semuanya mau mengikuti kepercayaan itu. Dan aku sendiri sebenarnya tidak setuju. Tapi semalam, sebelum menghilang, Ki Darpin sudah berpesan padaku untuk memperabukan jasadnya jika meninggal. Aku sudah berjanji akan melaksanakannya, meskipun aku sendiri tidak menyukai cara ini," jelas Bayu lagi.
"Dari mana kau tahu semua itu, Kakang? Sedangkan kau sudah berpisah dengan keluargamu sejak masih bayi," tanya Ratna Wulan ingin tahu.
"Dari para sahabat ayahku, dan beberapa orang murid ayahku yang masih hidup dan sempat kutemui," sahut Bayu kalem.
"Ilmu apa yang kau gunakan itu tadi?" tanya Ratna Wulan lagi.
"Hanya ilmu warisan. Aku mempelajarinya dari salah seorang guru pengajar di padepokan ayahku, yang waktu itu sempat selamat ketika padepokan ayahku hancur. Tidak sulit mempelajarinya. Kau juga bisa mempelajarinya. Paling tidak, hanya butuh dua atau tiga hari untuk mempelajarinya," kata Bayu menjelaskan lagi.
"Secepat itu...?" Ratna Wulan seperti tidak percaya.
"Iya. Tapi ilmu itu tidak bisa digunakan untuk bertarung."
"Kenapa?"
"Karena membutuhkan pemusatan pikiran yang penuh. Sedangkan di dalam pertarungan, harus dilakukan dengan cepat. Dan jika digunakan dalam pertarungan, kau akan mati sebelum sempat mempergunakannya. Lagi pula, ilmu itu tidak berarti sama sekali jika ditujukan pada makhluk hidup yang masih bernyawa. Tidak akan mematikan. Paling tidak, hanya merasakan sakit sedikit saja. Dan tidak ada pengaruhnya sama sekali," jelas Bayu lagi. "Aku sudah pernah mencobanya pada binatang. Tapi, hasilnya memang begitu. Kelinci yang ku pukul dengan ilmu itu, tidak mati sama sekali. Bahkan terus berlari, setelah terpental sedikit"
"Ilmu aneh...," desah Ratna Wulan.
"Ilmu itu memang diciptakan bukan untuk menyakiti. Tapi, untuk memberi kebahagiaan dan kesempurnaan bagi makhluk hidup yang sudah mati."
"Lalu, akan kau apakan abu Ki Darpin itu?" tanya Ratna Wulan.
"Dihanyutkan ke sungai."
"Kenapa harus ke sungai?"
"Air merupakan sumber kehidupan, Ratna Wulan. Menurut kepercayaan, roh yang dihanyutkan ke sungai dan tetap hidup abadi, sepanjang sungai itu terus mengalir. Dan sungai tidak akan berhenti mengalir sepanjang zaman, sampai dunia ini benar-benar hancur."
Ratna Wulan mengangguk-anggukkan kepala. Meskipun sudah bisa mengerti, tapi seperti apa yang dikatakan Bayu tadi, tidak semua orang bisa memahami kepercayaan ini. Dan Bayu sendiri tidak pernah menyetujuinya. Tapi sebagai satu-satunya pewaris keluarga, dia harus bersedia melakukannya, walaupun hatinya tetap menentang.
"Ayo kita cari sungai dulu," ajak Bayu langsung saja melangkah.
Ratna Wulan mengikuti saja tanpa berbicara lagi. Gadis itu masih terus memikirkan cara yang dilakukan Bayu terhadap mayat Ki Darpin. Memang sulit bisa diterima akal biasa. Dan rasanya, Ratna Wulan juga masih belum bisa memahami benar. Tapi, dia tidak banyak bertanya dulu. Dan gadis itu kembali memusatkan seluruh perhatian pada persoalan yang sedang dihadapinya. Suatu persoalan teka-teki penuh tanda tanya yang masih sulit diungkapkan.
"Kakang.... Kalau memang benar yang membunuh Ki Darpin si Lima Setan dari Barat, berarti mereka masih ada di sekitar sini," kata Ratna Wulan mengisi kebisuan yang terjadi setelah mereka berjalan cukup jauh.
"Mereka tidak akan meninggalkan Kadipaten Talagan sebelum mendapatkan harta itu, Wulan," sahut Bayu.
"Tidak bisa kubayangkan, berapa banyak harta itu, Kakang. Bayangkan saja, selama dua tahun mereka merajalela, dan selalu berhasil," kata Ratna Wulan lagi.
"Kau tergiur...?" goda Bayu.
"Untuk apa? Harta tidak akan membawa kebahagiaan, Kakang," dengus Ratna Wulan.
"Tapi banyak orang yang mengejar harta untuk kebahagiaan, Wulan."
"Mereka salah kalau menyangka harta sebagai sumber kebahagiaan. Kau tahu, Kakang. Kebahagiaan yang sejati adanya di sini," kata Ratna Wulan seraya menunjuk dadanya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Bisa dimaklumi ucapan Ratna Wulan barusan. Dan memang, pendapat orang tidak sama. Sedikit pun pasti ada perbedaan, walaupun sangat kecil. Dan secara jujur, Bayu mengagumi gadis ini. Sungguh berbeda pada saat pertama kali bertemu, ketika Ratna Wulan masih bergabung dengan Ratu Gua Setan. Benar-benar jauh perbedaannya. Bayu tidak tahu, apa yang menyebabkan Ratna Wulan bisa berubah begitu cepat. Dari seorang gadis liar yang brutal, kini menjadi gadis yang lembut dan berpandangan luas.
Tapi memang diakui, pada dasarnya Ratna Wulan adalah gadis baik-baik yang terbiasa hidup di lingkungan mewah. Bahkan segalanya selalu tersedia lebih dari cukup. Dia hidup di lingkungan terpandang, dan jarang dimiliki gadis-gadis lain sebayanya. Tapi, Bayu mengakui kalau Ratna Wulan cukup tabah dalam menerima segala cobaan hidupnya kali ini.
***
ENAM
Bayu memandangi tombak berukuran cukup panjang, yang ujung matanya terbuat dari emas. Keningnya jadi berkerut melihat mata tombak itu seperti terbagi dua. Dan pada bagian tengahnya, terukir sebuah gambar yang sama persis dengan gambar yang ada pada sepotong bambu dari dalam kantung sabuk Ki Darpin. Sebentar Pendekar Pulau Neraka memandang pada Ratna Wulan yang sejak tadi diam saja memperhatikan.
Trak!
Sekali sentak saja, tombak itu sudah patah, tepat pada bagian ujung matanya yang terbuat dari emas. Ratna Wulan agak terkejut melihat tombak kebanggaan ayah angkatnya dipatahkan Bayu. Tapi, dia tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Gadis itu hanya diam memandangi saja semua yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelangan tangannya. Kemudian, dengan ujung senjata keperakan berbentuk persegi enam itu, dia menggurat garis tipis pada bagian tengah mata tombak itu.
Setelah memasang kembali Cakra Maut pada pergelangan tangannya, mata tombak itu dipisahkan hingga terbelah menjadi dua bagian. Ternyata, mata tombak itu berongga pada bagian dalamnya. Dan dari dalam mata tombak berselaput emas itu, Bayu mendapat selembar kulit kayu tipis berukuran kecil yang ternyata guratan-guratan gambar. Bayu lalu menunjukkannya pada Ratna Wulan.
"Kau tahu, apa artinya gambar itu, Wulan?" tanya Bayu.
"Hm...," Ratna Wulan menggumam dengan kening berkerut.
Cukup lama juga Ratna Wulan terdiam memandangi guratan-guratan gambar pada lembaran kulit kayu berukuran kecil itu. Perlahan kemudian, kepalanya terangkat menatap Bayu yang sejak tadi terus memperhatikan.
"Aku tahu, Kakang...," desis Ratna Wulan, agak berbinar bola matanya.
"Kau tahu arti gambar itu, Ratna Wulan...?" tanya Bayu jadi gembira.
"Ayah pasti ingin melukiskan kalau harta itu tersimpan di sekitar Danau Raguling," sahut Ratna Wulan.
"Danau Raguling...? Di mana itu?" tanya Bayu.
"Ada di sebelah Timur Kadipaten Talagan. Tidak jauh dari sini, Kakang. Tidak sampai setengah hari perjalanan," jelas Ratna Wulan.
"Hm, lalu apa arti gambar jamur itu?" tanya Bayu lagi.
"Kau ingat apa yang dikatakan Ki Darpin, Kakang?"
Bayu mengangguk.
"Jamur inilah yang dikatakan Ki Darpin sebagai Cendawan Merah," kata Ratna Wulan lagi.
"Hm.... Jadi benar kalau harta itu bisa ditemukan kalau melihat Cendawan Merah...?" agak menggumam nada suara Bayu.
"Mungkin memang itu maksudnya, Kakang," sahut Ratna Wulan.
Bayu jadi terdiam dengan kening berkerut agak dalam. Dia langsung teringat cerita cerita mengenai Cendawan Merah. Cerita yang selama ini hanya dianggapnya sebagai dongeng anak-anak kecil saja. Sama sekali tidak pernah ditanggapinya kalau Cendawan Merah memang ada. Dan sekarang, rahasia yang harus dipecahkan ini justru melibatkan Cendawan Merah itu. Inilah satu-satunya petunjuk untuk menemukan harta yang disembunyikan Ki Wanasa.
"Sebaiknya, kita cepat ke sana, Kakang. Sebelum ada yang tahu tentang ini semua," kata Ratna Wulan memberi saran.
"Hm..., ayolah," Bayu cepat menyetujui.
***
Baru saja Bayu dan Ratna Wulan keluar dari dalam rumah peninggalan Mendiang Ki Wanasa, tiba-tiba saja dikejutkan oleh munculnya lima orang tua berjubah yang berlainan warna. Mereka semua memegang tombak yang warnanya sama dengan jubah yang dikenakan masing-masing.
"Lima Setan dari Barat...," desis Bayu langsung mengenali lima orang tua yang dua di antaranya adalah wanita.
Dari ciri-ciri yang diperoleh selama ini, Bayu bisa langsung mengenali mereka. Maka kakinya segera melangkah ke depan beberapa tindak. Sedangkan Ratna Wulan masih tetap berdiri di undakan tangga beranda depan rumah yang berukuran cukup besar ini.
"Mau apa lagi kalian datang ke sini?" tanya Bayu langsung, bernada ketus.
"Kau tentu sudah tahu jawabannya, Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan Jubah Hitam, juga langsung mengenali pemuda berbaju kulit harimau yang berdiri di depannya ini.
"Kalau kalian menginginkan harta itu, rasanya tidak ada di sini. Tapi kebetulan, aku memang sedang mencari kalian untuk membuat perhitungan," terasa dingin sekali nada suara Bayu.
"Ha ha ha...! Kau terlalu pongah, Pendekar Pulau Neraka. Apa kau tidak tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?!" lantang sekali suara Setan Jubah Hitam.
"Aku tahu, kalian adalah manusia-manusia iblis yang tidak pantas lagi hidup di dunia!" sahut Bayu ketus.
"Phuih! Kau akan menyesal menghina kami, Bocah!" dengus Setan Jubah Hitam, langsung memerah wajahnya.
Bet!
Setan Jubah Hitam langsung mengebutkan tongkat, dan menyilangkannya di depan dada. Saat itu juga, empat orang yang berada di belakangnya segera berlompatan mengepung. Sementara, Ratna Wulan sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu menggenggam erat gagang Pedang Api yang masih tersimpan di dalam warangka di punggung.
"Hati-hati, Wulan. Mereka bukan orang sembarangan," bisik Bayu memperingatkan.
"Hhh...!" Ratna Wulan hanya mendesis saja.
"Serang, tapi jangan lukai gadis itu...!" perintah Setan Jubah Hitam lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, Lima Setan dari Barat langsung berlompatan menyerang. Tongkat-tongkat mereka yang berujung runcing, berkelebatan cepat di sekitar tubuh Bayu maupun Ratna Wulan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat.
'Phuih...!"
Bayu menyemburkan ludahnya, begitu menyadari kalau serangan yang dilancarkan serentak itu hanya membuatnya terpisah dari Ratna Wulan. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak bisa lagi berbuat banyak. Tiga orang tua berjubah itu sudah mengeroyoknya dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat. Sedangkan Ratna Wulan harus menghadapi dua orang dari Lima Setan dari Barat itu.
Ratna Wulan tidak sempat lagi mencabut pedangnya, karena serangan yang diterimanya begitu cepat dan mendadak. Tampak jelas tingkat kepandaian yang dimiliki Ratna Wulan masih jauh dibanding Setan Jubah Merah dan Setan Jubah Kuning yang menjadi lawannya. Dalam beberapa jurus saja, gadis itu sudah kelihatan terdesak. Dan dia hanya bisa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat, beruntun, dan bergantian. Hingga akhirnya....
Desss!
"Akh...!"
Ratna Wulan terpekik keras agak tertahan. Satu pukulan lurus yang dilepaskan Setan Jubah Merah tidak dapat lagi dihindari. Begitu keras, walau tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Namun akhirnya, Ratna Wulan jadi terpelanting, dan bergulingan di tanah beberapa kali. Hebatnya, gadis itu cepat bisa bangkit berdiri, meskipun agak terhuyung. Cepat-cepat pedangnya dicabut ketika Setan Jubah Kuning sudah melompat melakukan serangan kembali.
"Hiyaaat...!"
Sret!
Wuk...!
"Ikh...!"
Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah mati begitu tiba-tiba Ratna Wulan mengebutkan pedangnya yang memancarkan api. Cepat-cepat tubuhnya diputar ke belakang beberapa kali, menghindari tebasan Pedang Api itu. Kedua matanya jadi terbeliak melihat pedang berapi tergenggam ditangan Ratna Wulan. Bahkan Setan Jubah Merah juga jadi terperangah tidak menyangka kalau gadis yang dianggap enteng itu memiliki sebuah senjata yang berpamor begitu dahsyat.
"Lawanlah pedangku, Setan-Setan Keparat!
Hiyaaat...!"
Entah dari mana datangnya kekuatan itu, tiba-tiba saja Ratna Wulan merasa kekuatan yang ada pada dirinya bertambah dua kali lipat. Maka dengan cepat sekali dia melompat menerjang Setan Jubah Merah dan Setan Jubah Kuning sambil mengebutkan pedang begitu cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hait..!"
Serangan-serangan yang dilancarkan Ratna Wulan memang sangat dahsyat. Udara di sekitar pertarungan itu jadi terasa panas dan menyesakkan. Akibatnya, dua orang tua itu jadi kelabakan menghindarinya. Mereka benar-benar terkejut dan tidak menyangka kalau gadis yang dianggap ringan itu ternyata memiliki satu simpanan yang begitu dahsyat dan luar biasa.
Sementara itu, tiga orang tua berjubah lain yang sedang mengeroyok Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak kaget. Mereka merasakan sambaran hawa panas. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Ratna Wulan menggunakan pedang yang memancarkan api begitu dahsyat.
"Tinggalkan mereka cepat...!" seru Setan Jubah Hitam tiba-tiba.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Lima Setan dari Barat segera berlompatan cepat sekali. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuh mereka sudah tidak terlihat lagi. Ratna Wulan bergegas menghampiri Pendekar Pulau Neraka sambil memasukkan kembali Pedang Api itu ke dalam warangka. Tampak napas gadis itu terengah-engah, dan keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya.
"Ke mana mereka pergi, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Ke arah Utara," sahut Bayu.
"Kita kejar...?"
"Tidak perlu, Wulan. Sebaiknya kita cepat ke Danau Raguling sebelum mereka tahu apa yang kita dapatkan," ujar Bayu.
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya saja. Kemudian kakinya terayun mengikuti ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka. Mereka berjalan tanpa bicara lagi, meninggalkan rumah besar peninggalan Mendiang Ki Wanasa.
"Heran.... Kenapa mereka datang menyerang kita, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti untuk dirinya sendiri.
"Mereka menginginkan mu, Wulan," sahut Bayu kalem tanpa menghentikan ayunan langkah kedua kakinya.
"Aku...? Untuk apa mereka menginginkan aku?" tanya Ratna Wulan tidak mengerti.
"Mereka menganggapmu telah tahu tempat penyimpanan harta itu, karena tinggal kaulah satu-satunya keluarga Ki Wanasa yang masih hidup. Apa kau tidak mengerti kata-kata mereka, Wulan? Mereka menginginkan kau tetap hidup."
"Edan...!" desis Ratna Wulan agak mendengus.
"Mereka akan terus muncul, Ratna Wulan Kau harus lebih berhati-hati sekarang ini," kata Bayu memperingatkan lagi.
"Aku tahu, Kakang," desah Ratna Wulan perlahan.
Kembali mereka terdiam.
"Hhh.... Benar-benar perjalanan neraka buatku," desah Ratna Wulan perlahan, seperti untuk dirinya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Tapi, mendadak saja senyumnya menghilang. Dia jadi teringat perjalanan hidupnya sejak dilahirkan hingga sekarang ini. Gumaman Ratna Wulan yang mendesah tadi seperti ditujukan untuk dirinya. Memang selama ini Bayu merasakan kalau perjalanan hidupnya seperti perjalanan neraka. Sedikit pun tak ada kesenangan yang diperoleh. Di manapun berada, yang dijumpai hanya persoalan demi persoalan. Sepertinya, semua persoalan hidup tertumpah padanya. Memang tidak enak bila berada dalam jalur yang menuju neraka. Segalanya serba tidak menyenangkan.
"Ada apa, Kakang?" tegur Ratna Wulan yang melihat wajah Bayu berubah terselimut mendung.
"Tidak... Tidak ada apa-apa, Wulan," sahut Bayu, buru-buru, sambil memberi senyuman.
Tapi senyuman Pendekar Pulau Neraka terasa amat getir. Dan Ratna Wulan rupanya menangkap kegetiran itu. Tapi, gadis itu tidak bisa bertanya lebih jauh. Dan tampaknya, Bayu memang tidak ingin membicarakannya lagi. Mereka kembali terdiam dan terus melangkah menuju Danau Raguling yang berada di sebelah Timur Kadipaten Talagan ini.
Dan selama perjalanan ini, Bayu lebih banyak diam. Ratna Wulan sendiri sulit menduga, apa yang menjadi beban pikiran Pendekar Pulau Neraka saat ini. Terlalu sulit baginya untuk menduga. Karena setiap kali ditanyakan, Bayu selalu saja bisa cepat menyembunyikan. Tapi, Ratna Wulan yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Pendekar Pulau Neraka.
"Boleh Tiren bersamaku, Kakang?" pinta Ratna Wulan tidak betah diam terus-menerus.
Bayu hanya tersenyum saja. Kemudian tangannya diangkat ingin mengambil monyet kecil itu. Tapi belum juga tangan Bayu menyentuhnya, Tiren sudah melompat cepat dan berpindah ke pundak Ratna Wulan. Sehingga, gadis itu jadi tertawa terbahak-bahak. Tiren mencerecet ribut, berjingkrakan di pundak gadis ini. Bayu hanya tersenyum tipis.
"Dasar...!" dengus Bayu.
"Dia lebih senang pada wanita, Kakang," goda Ratna Wulan.
"Iya, kalau wanitanya secantikmu," balas Bayu.
"Huuuh...!" Ratna Wulan mencibir.
Kini Bayu yang tertawa terbahak-bahak melihat wajah gadis itu jadi memerah. Ratna Wulan jadi gemas. Dan baru disadari kalau monyet kecil ini berjenis jantan. Maka buru-buru tangannya dikibaskan. Tapi, Tiren sudah lebih cepat melompat, berpindah lagi ke pundak Bayu. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Pulau Neraka semakin keras tertawa.
"Tidak lucu...!" rungut Ratna Wulan.
***
Bayu mengedarkan pandangan berkeliling di sekitar Danau Raguling ini. Saat itu, malam sudah jatuh. Sehingga keadaan di sekitar danau itu tampak gelap. Namun, cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini membuat keadaan di danau ini kelihatan begitu indah. Seluruh permukaan danau seperti bermandikan manik-manik mutiara. Sehingga menambah indahnya pemandangan di sekitar danau ini. Bayu jadi begitu kagum dibuatnya, sehingga jadi lupa tujuannya datang ke sini. Pendekar Pulau Neraka benar-benar menikmati keindahan Danau Raguling ini. Rasanya, belum pernah dia menyaksikan keindahan yang begitu alami seperti di Danau Raguling ini. Begitu mempesona, membuat hatinya jadi terhibur. Dan seketika itu juga, sirnalah semua kegundahan yang merambati hatinya sejak datang ke Kadipaten Talagan ini.
"Kenapa tersenyum-senyum, Kakang?" tegur Ratna Wulan yang sejak tadi berada di samping Pendekar Pulau Neraka, dan terus memperhatikan sikapnya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya...," Bayu tidak melanjutkan kata-katanya.
"Hanya, apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Bayu masih ingin menutupi apa yang terjadi pada dirinya.
"Ayolah, Kakang.... Ada apa?" desak Ratna Wulan agak merengek.
"Aku..., aku hanya terkesan dengan keindahan pemandangan di sini," sahut Bayu sedikit gugup.
"Danau ini memang indah, Kakang. Dulu aku sering ke sini bersama ayah," tutur Ratna Wulan seraya mengedarkan pandangan berkeliling.
"Kau tentu tahu betul seluk-beluknya, Ratna Wulan," kata Bayu langsung biasa lagi. Dan Pendekar Pulau Neraka sudah bisa mengalihkan perhatian Ratna Wulan yang tadi sempat membuatnya gugup.
"'Tentu saja. Aku kenal betul setiap jengkalnya," sahut Ratna Wulan merasa bangga.
"Sebaiknya, kita mulai mencari tempat persembunyian harta itu, Wulan," ajak Bayu tidak ingin lagi menarik perhatian gadis ini untuk mengetahui kegelisahan hatinya.
"Kau masih menyimpan gambar itu...?"
"Ini," sahut Ratna Wulan sambil mengambil lembaran kulit kayu dari balik lipatan bajunya.
"Kau tahu, kira-kira gambar ini menunjukkan apa, Wulan?" tanya Bayu.
Ratna Wulan terdiam. Diperhatikannya setiap guratan gambar pada lembaran kulit kayu itu. Bayu juga ikut memperhatikan. Agak lama juga mereka terdiam, memperhatikan gambar itu. Lalu, pandangannya beredar berkeliling. Bayu mengambil lembaran potongan kulit kayu itu, kemudian melangkah perlahan mendekati danau yang berkilauan seperti bertaburkan butiran batu mutiara.
"Hm...," Ratna Wulan menggumam perlahan. Kembali gadis itu mengamati guratan-guratan halus di atas lembaran kulit kayu berukuran kecil ditangannya. Kemudian matanya memandang danau yang berkilauan bagai bertaburkan mutiara itu. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja. Pendekar Pulau Neraka masih diam melihat Ratna Wulan melangkah sampai ke tepi danau. Bayu mengikuti dari belakang.
"Perahu siapa ini, Wulan?" tanya Bayu memperhatikan sebuah perahu kecil bercadik panjang yang tertambat di tepi danau ini.
"Aku belum pernah melihatnya. Tapi di gambar ini.... Kau lihat guratan agak melengkung ini, Kakang? Aku yakin itu gambar perahu," sahut Ratna Wulan.
"Lalu?"
"Aku merasa kita harus naik perahu ini ke tengah danau. Atau mungkin ke seberang danau ini," sahut Ratna Wulan lagi.
"Kenapa harus menunggu waktu lagi, Wulan...?" ujar Bayu.
Mereka segera naik ke dalam perahu itu. Bayu mengambil dayung, lalu duduk di bagian belakang. Kemudian, perlahan-lahan perahu kecil bercadik itu bergerak menuju ke tengah danau. Angin yang berhembus begitu kencang, sehingga menebarkan udara yang begitu dingin menggigilkan. Bayu terus menggerakkan dayung ini, membuat perahu kecil itu terus meluncur perlahan-lahan ketengah-tengah danau.
"Berhenti dulu, Kakang," pinta Ratna Wulan memberi perintah.
Bayu menghentikan dayungnya. Perlahan perahu kecil itu berhenti bergerak. Dan mereka kini sudah berada di tengah-tengah danau yang cukup luas. Sepanjang mata memandang, hanya kilauan air saja yang bercahaya bermandikan sinar bulan yang indah keperakan.
"Kenapa berhenti di...?" Belum juga pertanyaan Bayu selesai, tiba-tiba saja permukaan air danau itu bergolak seperti mendidih. Bahkan mampu membuat perahu yang ditumpangi jadi oleng. Tiba-tiba saja, dari permukaan air yang bergolak itu bermunculan tubuh-tubuh berlumut dan berlendir seperti ikan. Mereka membawa tombak panjang, yang bagian ujungnya bercabang tiga dari besi yang berwarna kuning keemasan. Tanpa memperdengarkan suara sedikit pun juga, tiba-tiba saja sosok-sosok tubuh berlumut yang dipenuhi rerumputan air itu, berlompatan menyerang dua pendekar muda di atas perahu itu.
"Awas, Wulan...!" teriak Bayu memperingatkan.
"Hiyaaat...!"
Ratna Wulan cepat merunduk, menghindari hunjaman tombak bercabang tiga itu. Lalu cepat sekali tangan kanannya dihentakkan menyodok ke arah dada yang tampak kosong. Sodokan Ratna Wulan yang begitu cepat, tidak dapat dihindari lagi. Dan tampaknya, makhluk yang muncul dari dalam danau itu memang tidak berusaha menghindar sedikit pun. Sehingga, sodokan tangan kanan Ratna Wulan tepat menghantam dadanya.
Desss!
Sedikit pun tak ada terdengar suara keluhan. Apalagi jeritan makhluk air yang berlendir itu. Tubuh yang penuh lumut dan rerumputan air itu terpental deras ke belakang, dan kembali tenggelam ke dalam air. Sementara itu, Bayu juga menghadapi beberapa makhluk yang sama-sama muncul dari dalam air. Mereka menyerang seperti membabi buta, tanpa aturan sama sekali. Bahkan tidak sedikit pun mereka berusaha menghindari setiap serangan yang dilancarkan dua pendekar muda ini. Sehingga, mudah sekali Pendekar Pulau Neraka maupun Ratna Wulan membuat mereka berpentalan kembali masuk ke dalam air. Tapi, makhluk-makhluk itu kembali cepat berlompatan keluar dari dalam danau, dan terus melakukan serangan secara sembarangan.
"Phuih! Mereka seperti tidak ada habisnya, Kakang!" dengus Ratna Wulan mulai kesal.
"Kau hadapi saja, Wulan!" seru Bayu.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka mengambil dayung. Lalu cepat perahu itu dikayuh sehingga meluncur deras seperti melayang di atas permukaan danau ini. Karena, Pendekar Pulau Neraka mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya saat mengayuh. Tampak makhluk-makhluk air itu hanya memandangi saja, berdiri di atas permukaan air danau yang sudah tenang kembali. Sebentar saja, perahu itu telah sampai di tepi seberang. Kini mereka segera berlompatan keluar dari dalam perahu itu.
"Phuih...!"
"Edan...!"
***
TUJUH
Kedua pendekar muda itu memandangi makhluk-makhluk aneh yang kembali tenggelam kedalam danau. Mereka kini telah berada di seberang danau. Di belakang mereka tampak hutan yang begitu lebat dan menghitam kelam. Bulan masih bersinar penuh. Cahayanya yang keperakan, terpantul oleh permukaan air danau.
"Hhh.... Tidak selamanya keindahan itu bisa nyaman dinikmati...," desah Bayu seperti bicara pada diri sendiri.
"Sudahlah, Kakang. Sebaiknya kita lanjutkan saja mencari harta itu," kata Ratna Wulan.
"Hm, ya.... Di mana gambar itu, Wulan?"
"Ini, masih ada."
Mereka kembali memperhatikan guratan gambar yang ada pada lembaran kulit kayu berukuran kecil itu. Kening Ratna Wulan tampak berkerut saat menatap berkeliling, lalu tertumbuk lurus pada dua buah batu yang tertanam di tanah seperti tonggak. Gadis itu memperhatikan guratan gambar pada kulit kayu itu. Kemudian kakinya terayun mendekati dua tonggak batu yang berdiri sejajar, tidak jauh dari tepian danau ini. Sementara, Bayu terus mengikuti dan mensejajarkan ayunan langkahnya di samping gadis itu.
"Dua garis lurus di dekat lingkaran ini seperti menunjukkan dua batu itu, Kakang," duga Ratna Wulan sambil menunjuk dua tonggak batu di depannya.
"Maksudnya?" tanya Bayu tidak mengerti.
Bayu memang sama sekali tidak mengerti cara-cara seperti ini. Dan baru pertama kali dirinya terlibat dalam perebutan harta seperti ini. Terlebih lagi, yang menggunakan gambar-gambar petunjuk untuk menemukan harta itu. Tapi, tampaknya Ratna Wulan memahami akan maksud gambar itu. Sehingga, Bayu hanya mengikuti saja apa yang dikatakan gadis ini.
"Rasanya tidak ada lagi gambar yang bisa dilihat, Kakang. Barangkali, memang di sinilah ayah menyimpan hartanya," jelas Ratna Wulan.
"Coba kuperiksa dulu, Wulan," kata Bayu mulai waspada. "Menjauhlah sedikit. Barangkali saja ayahmu membuat jebakan untuk melindungi harta itu."
"Hati-hati, Kakang," ujar Ratna Wulan.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian me langkah perlahan mendekati dua tonggak batu yang menjulang sekitar dua batang tombak tingginya. Pendekar Pulau Neraka menajamkan telinganya. Dan pandangannya pun dipertajam untuk melihat kalau-kalau ada jebakan yang tidak terduga, muncul dari balik tonggak batu ini. Tapi sampai begitu dekat berada di tonggak batu itu, belum ada tanda-tanda bakal ada jebakan. Perlahan Bayu mengulurkan tangannya untuk menyentuh batu itu. Dan begitu jari tangannya menyentuh satu tonggak batu itu, tiba-tiba saja....
"Awas, Kakang...!" teriak Ratna Wulan.
"Hup...!"
Bayu cepat-cepat melompat mundur, seraya berputaran beberapa kali di udara. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja bagian atas tonggak batu itu berguguran, ketika Bayu menyentuhkan jari tangannya tadi. Suara menggemuruh terdengar begitu keras. Bumi terasa bergetar, begitu batu-batu yang berguguran menghantam permukaan bumi.
"Phuuuh...!" Bayu mendenguskan nafasnya begitu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Debu mengepul di sekitar tonggak batu itu. Tampak batu-batu yang berguguran bertumpuk menjadi satu. Dan baru saja Pendekar Pulau Neraka melangkah dua tindak ke depan, tiba-tiba saja puluhan anak panah berhamburan dari arah depan.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu langsung melenting ke udara. Tubuhnya berputaran beberapa kali sambil cepat mengebutkan tangan untuk menyampok anak-anak panah yang berhamburan di sekitarnya. Berpuluh-puluh, atau bahkan ratusan anak panah berhamburan menghujani tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi, tak ada satu pun yang berhasil mengenainya. Dengan gerakan manis sekali, Pendekar Pulau Neraka kembali menjejakkan kakinya di tanah.
"Kau tidak apa-apa, Tiren?" tanya Bayu sambil menepuk monyet kecil yang masih nangkring dipundak kanannya.
"Nguk!" Tiren menyahuti dengan menganggukkan kepala.
Bayu menatap tajam tonggak batu kembar yang kini sudah menjadi tumpukan-tumpukan bongkahan batu. Perlahan kakinya kembali terayun. Sementara, Ratna Wulan berdiri mengawasi dari jarak yang agak jauh. Tak ada lagi serangan jebakan yang dihadapi, sampai Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di atas tumpukan bongkahan batu itu. Pandangannya beredar berkeliling. Keningnya jadi berkerut, begitu melihat sebuah mulut gua berukuran kecil tersembunyi di balik gerumbul semak belukar.
"Hup...!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Pulau Neraka melompat mendekati mulut gua kecil yang berada tidak jauh dari balik tonggak batu kembar yang kini tinggal onggokan tumpukan batu. Dengan sekali lompat saja, Pendekar Pulau Neraka sampai di depan mulut gua. Bayu mengambil sebatang kayu yang cukup panjang ukurannya. Dan dengan kayu itu, semak yang menutupi mulut gua ini disibaknya. Tak ada sesuatu yang ditemukan.
Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka melangkah mendekati mulut gua itu. Kepalanya kemudian dijulurkan ke dalam. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu melihat ke dalam gua, yang ternyata tidak seberapa besar dan juga tidak dalam.
"Kau temukan sesuatu, Kakang...?" teriak Ratna Wulan bertanya.
"Ke sinilah cepat, Wulan!" panggil Bayu, agak keras suaranya.
Ratna Wulan bergegas melangkah hendak menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu berlompatan ringan melewati tumpukan bongkahan batu. Kemudian dengan sekali lompatan ringan, dia sudah berada di samping Bayu.
"Coba lihat ke dalam gua ini," ujar Bayu.
Ratna Wulan menjulurkan kepala ke dalam gua, tapi tak lama sudah ditarik kembali. Dipandanginya Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan di dalam gua itu.
"Sebaiknya kita masuk ke dalam sana, Wulan," kata Bayu.
Ratna Wulan hanya mengangguk saja. Kemudian mereka melangkah memasuki gua yang tidak begitu besar ini. Mulut gua yang kecil, dan hanya bisa dilewati satu orang. Dan itu pun harus merendahkan badan agar tidak terantuk atap mulut gua ini. Mereka tidak ada yang bicara, meskipun sudah berada di dalam gua. Apa yang disaksikan di dalam gua, memang sukar bisa dipercaya. Sedangkan Ratna Wulan sudah begitu yakin kalau guratan gambar di kulit kayu itu menunjukkan tempat penyimpanan harta yang memang terletak di sini. Tapi kenyataannya....
"Mustahil...," desis Ratna Wulan seperti tidak percaya.
***
Memang tidak ada yang bisa didapatkan di dalam gua ini, kecuali tumpukan peti-peti kayu kosong. Sedangkan harta itu sama sekali tidak ada di dalam gua ini. Setiap peti yang ada di dalam gua itu diperiksa. Bahkan setiap jengkal dinding dan lantai sudah diamati. Kini sudah tak ada lagi petunjuk di dalam gua ini. Dan peti-peti itu sudah jelas bekas tempat harta yang selama ini selalu diributkan.
"Kakang, coba ke sini...," kata Ratna Wulan tiba-tiba.
Bayu bergegas menghampiri Ratna Wulan yang tengah berdiri tegak memandang ke dinding gua batu ini. Kening Bayu jadi berkerut saat melihat dinding batu gua ini ternyata terdapat guratan-guratan seperti sebuah gambar. Bayu menghampiri, dan membersihkan batu-batu itu dari lumut yang melekat tebal. Kini guratan-guratan itu terlihat lebih jelas lagi.
Tuk! Tuk! Tuk...!
Bayu mengetuk batu yang terdapat guratan gambar itu. Kemudian langsung ditatapnya Ratna Wulan, yang juga memandangnya penuh arti. Dari suaranya sudah bisa dipastikan kalau di balik batu ini tentu berongga. Bayu melangkah mundur perlahan dua tindak. Sebentar perhatiannya dipusatkan, dan seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan. Lalu perlahan-lahan tangannya terkepal, dan terangkat sampai sebatas pinggang. Sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian....
"Hiyaaa...!"
Brak!
Hanya satu kali pukulan saja, dinding batu gua itu hancur berkeping-keping. Dan memang, dibalik batu itu terdapat sebuah rongga yang tidak begitu besar. Di dalamnya, ternyata hanya ada sebuah peti kayu yang kelihatannya sudah lapuk dimakan rayap. Bayu mengambil peti itu, dan dibawanya pada Ratna Wulan.
"Apa isinya, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Entahlah. Sebaiknya, kita buka saja," sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka membolak-balik peti itu. Tak ada tutupnya sama sekali. Kemudian pukulannya dihantamkan ke peti kayu itu hingga hancur berkeping-keping. Dan di dalam peti itu hanya ditemukan sebuah bambu yang diserut halus, serta terikat pita berwarna merah. Bayu segera membuka tutup selongsong bambu itu. Dari dalamnya didapatkan selembar daun lontar bertuliskan beberapa kalimat berwarna kuning keemasan.
"Aku tahu, ini tulisan ayah, Kakang," kata Ratna Wulan.
"Coba kau baca, Wulan," pinta Bayu seraya menyerahkan lembaran daun lontar itu.
Sebentar Ratna Wulan menatap Bayu. Lalu diambilnya lembaran daun lontar itu. Kini pandangannya mulai diarahkan pada tulisan yang tertera di sana.
"Kalian tidak akan menemukan harta disini. Aku sudah menyerahkannya pada Gusti Adipati Talagan," Ratna Wulan membaca baris-baris kalimat yang tertera pada daun lontar itu.
Bayu tampak mengerutkan kening, sambil mendengarkan penuh perhatian.
"Oh, Kakang...," desah Ratna Wulan terharu.
Bayu langsung merengkuh gadis itu dan memeluknya dengan hangat. Ratna Wulan menyembunyikan wajahnya di dada pemuda tampan yang bidang dan agak berbulu. Beberapa saat mereka berpelukan. Memang, pencarian harta yang dilakukan tidak membawa hasil. Tapi mereka bahagia, karena ternyata Ki Wanasa mengembalikan harta itu pada yang berhak.
"Aku tidak mengerti semua yang dilakukan ayah, Kakang," ujar Ratna Wulan setelah melepaskan pelukan Pendekar Pulau Neraka.
"Dari yang kudengar, tindakan Ki Wanasa memang sulit diterka," sahut Bayu, terdengar perlahan suaranya.
"Tapi...," suara Ratna Wulan terputus.
Gadis itu kelihatan ragu-ragu kalau ayah angkatnya telah mengembalikan harta itu pada Adipati Talagan. Dia tahu betul segala watak ayah angkatnya itu. Rasanya, tidak mungkin kalau Ki Wanasa mengembalikannya. Sedangkan sakit hatinya tidak bakal tertembus terhadap Adipati Talagan.
"Ada apa, Wulan? Sepertinya kau ragu-ragu...," ujar Bayu bisa menebak keraguan gadis ini.
"Aku kenal betul, siapa ayah angkatku itu, Kakang. Aku tidak percaya kalau harta itu sudah dikembalikan lagi. Sedangkan kau tahu, ayah begitu sakit hati. Sehingga semua ini dilakukannya untuk membalas sakit hatinya terhadap Adipati Talagan, yang mendepaknya begitu saja. Padahal ayah hanya melakukan satu kesalahan kecil yang sama sekali tidak diinginkan semua orang," kata Ratna Wulan.
"Jadi, kau beranggapan kalau harta itu masih ada, Wulan?"
"Tepat. Kalau sudah dikembalikan, untuk apa Adipati Talagan terus mencarinya, Kakang.?"
"Hm.... Kau benar, Wulan. Adipati Talagan memang masih mencari hartanya itu sampai sekarang. Memang, rasanya tidak mungkin kalau sudah dikembalikan, lalu terus mencari lagi," ujar Bayu, agak menggumam suaranya.
"Hanya yang ku herankan, kenapa ayah menulis surat ini, Kakang...?" ujar Ratna Wulan bertanya lagi.
"Mungkin surat itu dimaksudkan untuk Lima Setan dari Barat, Wulan," sahut Bayu.
"Ya, mungkin juga," desah Ratna Wulan perlahan.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan?" tanya Bayu.
"Apa lagi...? Kita sudah menemukan tempatnya. Dan harta itu tidak ada lagi di sini," sahut Ratna Wulan, agak mendesah suaranya.
Mereka kembali terdiam tak bicara lagi. Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Dan mereka menyadari, seorang pun tidak mungkin lagi bisa menemukan harta yang tersimpan itu, kecuali Ki Wanasa sendiri. Sedangkan Ki Wanasa sudah tewas di tangan Lima Setan dari Barat. Kecil sekali kemungkinan bagi mereka untuk menemukan harta itu.
"Sebaiknya, kita pergi saja dari sini, Kakang," ajak Ratna Wulan setelah cukup lama mereka berdiam diri.
"Kau tidak ingin meneruskan lagi?" pancing Bayu.
Ratna Wulan hanya menggelengkan kepala saja.
"Lalu...?"
"Aku ingin mencari orang tua kandungku saja. Tidak ada lagi tempat untukku, Kakang. Mungkin aku akan terus mengembara sampai bertemu orang tua kandungku. Atau mungkin sampai ajal ku tiba," sahut Ratna Wulan, agak perlahan suaranya.
Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian mengajaknya melangkah keluar dari dalam gua. Mereka tidak lagi berbicara, dan terus melangkah ke luar gua. Tapi begitu berada di luar, mendadak saja....
"He he he...!"
"Oh...?!"
***
Mereka terkejut bukan main begitu melihat Lima Setan dari Barat tiba-tiba sudah ada di depan gua ini. Entah dari mana mereka tahu tempat ini. Dan lagi, kedatangannya sama sekali tidak diketahui.
"Bagaimana kalian bisa tahu tempat ini...?" tanya Bayu, agak kaget juga atas kemunculan Lima Setan dari Barat.
"Tidak sulit, Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan Jubah Hitam. "Aku tahu, kalian memiliki petunjuk tempat penyimpanan harta itu. Dan kami tentu saja mengikuti kalian sampai ke tempat ini.
He he he...!"
"Kalian benar-benar licik...!" desis Ratna Wulan jadi geram.
"Bukannya licik, Cah Ayu. Tapi pakai ini...," Setan Jubah Hitam menunjuk keningnya sendiri.
"Lagi pula, untuk apa kami susah-susah mencari kalau petunjuk jalannya sudah ada," sambung Setan Jubah Merah.
"Baiklah...," selak Bayu. "Sekarang kita semua sudah ada di sini. Lalu, apa yang ingin kalian lakukan?"
"Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Pendekar Pulau Neraka. Tentu saja kami ingin mengambil harta itu sekarang!" sahut Setan Jubah Hitam.
"Harta itu tidak ada lagi di sini," tegas Bayu.
"Jangan coba-coba mempermainkan Lima Setan dari Barat, Bocah!" sentak Setan Jubah Biru lantang.
"Aku tidak main-main. Harta itu memang tidak ada lagi. Kalian boleh lihat sendiri," kata Bayu kalem.
Setelah berkata demikian, Bayu menarik tangan Ratna Wulan, dan mengajaknya menyingkir dari mulut gua itu. Lima Setan dari Barat itu saling berpandangan beberapa saat. Kemudian, Setan Jubah Kuning bergegas melangkah menuju ke gua. Sebentar matanya melirik Bayu dan Ratna Wulan yang sudah menyingkir agak jauh dari mulut gua itu. Setan Jubah Kuning bergegas masuk ke dalam gua itu, tapi tak berapa lama kemudian sudah keluar lagi dengan wajah kelihatan memerah.
"Bagaimana...?" tanya Setan Jubah Hitam langsung.
"Kosong," sahut Setan Jubah Kuning mendengus kesal.
"Setan keparat...!" geram Setan Jubah Hitam, langsung memuncak amarahnya.
Sementara, Bayu hanya tersenyum saja. Sedangkan Ratna Wulan mencibir sinis melihat lima orang tua itu tampak marah melihat gua itu dalam keadaan kosong. Mereka langsung berserabutan masuk ke dalam gua, seakan-akan tidak percaya kalau harta yang selama ini dicari sudah tidak ada lagi di sana. Mereka benar-benar melupakan kehadiran kedua pendekar muda itu.
"Apakah sebaiknya dendam kita dilampiaskan sekarang, Kakang," bisik Ratna Wulan begitu Lima Setan dari Barat sudah tenggelam dalam gua.
"Tentu saja. Aku memang harus membuat perhitungan dengan mereka," sahut Bayu.
"Kalau begitu, kenapa gua itu tidak dihancurkan saja, Kakang? Biar mereka terkubur hidup-hidup di sana," kata Ratna Wulan langsung berang.
"Aku tidak pernah melakukan perbuatan pengecut, Wulan. Aku akan menantangnya secara terbuka. Tapi aku yakin, belum ditantang pun, mereka pasti akan melampiaskan kemarahan pada kita berdua," kata Bayu lagi.
Pada saat itu Lima Setan dari Barat sudah kembali bermunculan dari dalam gua. Mereka langsung menghampiri Bayu dan Ratna Wulan yang sejak tadi masih menunggu di tempatnya. Wajah mereka masing-masing kelihatan memerah, seperti menyimpan kemarahan yang meluap-luap dan hampir tak tertahankan lagi.
"Kalian pasti menyembunyikannya," desah Setan Jubah Hitam. "Katakan, di mana harta itu...?!"
"Untuk apa harta bagi kami, Kisanak? Kami hanya para pengembara yang tidak membutuhkan harta sebanyak itu. Kalaupun kami temukan tadi, pasti akan dikembalikan kepada yang berhak," sahut Bayu kalem.
"Setan belang...! Kau benar-benar bocah keparat, Pendekar Pulau Neraka!" geram Setan Jubah Hitam semakin memuncak amarahnya.
"Harta itu bukan milik siapa-siapa, tapi milik seluruh rakyat Kadipaten Talagan. Jadi tidak ada di antara kita semua yang berhak memilikinya," tegas Bayu, tetap kalem suaranya.
"Phuih! Kau memang pandai berbicara, Pendekar Pulau Neraka. Tapi aku ingin tahu, apa kau juga pandai mempertahankan hidupmu!" dengus Setan Jubah Merah.
"Kalau tidak, mana mungkin aku masih hidup sekarang...?"
"Keparat...! Mampus kau, Bocah! Hiyaaat...!"
Setan Jubah Merah tidak bisa lagi menahan kemarahannya yang sudah meluap dalam dada. Bagaikan kilat, dia melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tongkatnya yang berwarna merah dan berujung runcing, langsung dikebutkan ke arah tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Uts...!"
***
DELAPAN
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik tubuhnya ke belakang, sehingga kebutan tongkat Setan Jubah Merah manis sekali berhasil dielakkan. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Setan Jubah Merah sudah kembali melakukan serangan cepat dan dahsyat luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Setan Jubah Merah melepaskan satu pukulan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah perut Pendekar Pulau Neraka. Tapi kali ini pun Bayu berhasil menghindarinya dengan meliukkan tubuhnya begitu indah sekali.
Pada saat itu, Setan Jubah Putih dan Setan Jubah Biru sudah berlompatan menyerang Ratna Wulan. Lalu, disusul Setan Jubah Hitam dan Setan Jubah Kuning yang membantu Setan Jubah Merah menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Dan memang seperti yang dikatakan Bayu, tidak perlu menantang pun, Lima Setan dari Barat itu pasti akan memulai pertarungan ini.
"Gunakan pedangmu, Wulan...!" teriak Bayu yang masih sempat memperhatikan pertarungan yang dilakukan Ratna Wulan.
"Baik...!" sahut Ratna Wulan. "Hiyaaat.. !"
Seketika itu juga Ratna Wulan melenting ke udara dengan cepat sekali. Dan sambil melakukan beberapa kali putaran di udara, gadis itu cepat mencabut Pedang Api. Seketika itu juga, cahaya api yang memancar dari pedang itu terasa menyebarkan hawa panas yang begitu menyesakkan dada.
"Yeaaah...!"
Bagaikan seekor burung elang, Ratna Wulan meluruk deras ke arah Setan Jubah Biru. Cepat sekali gadis itu mengebutkan pedangnya beberapa kali. Akibatnya Setan Jubah Biru jadi kelabakan menghindarinya. Dengan Pedang Api di tangan, Ratna Wulan memang benar-benar luar biasa. Gerakan-gerakannya jadi bertambah cepat. Dan kekuatannya pun berlipat ganda. Sehingga, gadis itu jadi seperti sosok malaikat maut yang hendak mencabut nyawa kedua lawannya ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ratna Wulan berputaran sambil mengebutkan pedangnya dengan kecepatan sungguh luar biasa. Yang diserang bukan hanya Setan Jubah Biru, tapi juga Setan Jubah Putih yang ikut mengeroyoknya. Gerakan-gerakan yang dilakukan Ratna Wulan memang sungguh luar biasa, sehingga dua orang tua itu benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Bahkan mereka hanya bisa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan gadis cantik berbaju merah muda ini.
Sementara itu di tempat lain, Bayu semakin sibuk menghadapi tiga orang lawan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan senjatanya. Karena, lawan-lawannya ini seperti mengetahui kedahsyatan senjata Cakra Mautnya. Maka mereka terus mendesak dengan hebat.
"Nguk! Craaaikh...!"
Tiba-tiba saja monyet kecil yang berada dipundak kanan Pendekar Pulau Neraka melompat cepat. Padahal saat itu Bayu tengah melenting ke udara untuk menghindari tebasan tongkat Setan Jubah Kuning yang mengarah ke kakinya. Lalu dengan gerakan ringan sekali, monyet kecil yang biasa dipanggil Tiren itu melompat cepat ke arah Setan Jubah Merah.
"Heh...?!"
Setan Jubah Merah jadi terkejut setengah mati.
Bet!
Buru-buru tongkatnya dikebutkan ke arah monyet kecil itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Tiren bisa menghindari kebutan tongkat itu dengan gerakan indah. Dan binatang itu cepat melesat ke atas kepala Setan Jubah Merah. Gerakannya cepat luar biasa, sehingga Setan Jubah Merah terpaksa melompat ke belakang beberapa tindak menghindari terkaman monyet kecil berbulu hitam itu.
Ringan sekali Tiren mendarat di tanah, dan langsung berjingkrakan sambil mencerecet ribut, seperti menantang Setan Jubah Merah. Tingkah monyet kecil itu membuat Setan Jubah Merah jadi geram setengah mati. Lalu cepat sekali tongkatnya dikebutkan beberapa kali ke arah monyet itu. Tapi dengan gerakan begitu ringan, Tiren berlompatan menghindari setiap sabetan tongkat Setan Jubah Merah.
"Monyet keparat...!" geram Setan Jubah Merah berang.
"Nguk! Nguk...!'"
***
Setan Jubah Merah benar-benar merasa dipermainkan monyet kecil ini. Tongkatnya terus dikebutkan dengan kecepatan bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Tiren memang bukan monyet biasa. Gerakan-gerakannya sungguh ringan bagai kapas. Tubuhnya berjumpalitan indah sekali menghindari setiap kebutan tongkat orang tua berjubah merah itu.
"Nguk! Nguk! Khraaakh...!"
Tiba-tiba saja Tiren melenting ke udara sambil menghindari tebasan tongkat Setan Jubah Merah. Dan tanpa diduga sama sekali, monyet kecil berbulu hitam itu meluruk deras ke arah kepala Setan Jubah Merah. Begitu cepat gerakannya, sehingga Setan Jubah Merah tidak sempat lagi menghindar. Dan....
"Khraaakh...!"
Bres!
"Aaa...!"
Setan Jubah Merah menjerit melengking tinggi. Begitu cepat gerakan tangan kecil monyet itu, hingga Setan Jubah Merah tidak dapat lagi melindungi matanya. Darah seketika muncrat begitu tangan Tiren berhasil menembus bola mata orang tua berjubah merah itu.
Setan Jubah Merah menggerung-gerung sambil menutupi wajahnya yang berlumuran darah. Pada saat itu, Tiren sudah melompat kembali. Langsung diterkamnya tengkuk orang tua berjubah merah itu. Gigi-giginya yang runcing tampak menghunjam dalam ke tengkuk Setan Jubah Merah.
"Aaakh...!" lagi-lagi Setan Jubah Merah menjerit melengking.
Setan Jubah Merah mengebutkan tangan ke belakang, tapi Tiren sudah lebih cepat menghindar dengan melompat turun dari tengkuknya. Cepat sekali Tiren melompat naik ke pohon kelapa, lalu terus merayap tinggi hingga sampai ke puncaknya.
Dan tak berapa lama kemudian, butir-butir buah kelapa sudah berjatuhan menimpa Setan Jubah Merah yang masih merasakan sakit pada matanya yang bolong tertembus tangan monyet kecil berbulu hitam itu. Setan Jubah Merah jadi kelabakan setengah mati, begitu Tiren menghujaninya dengan butir-butir kelapa dari atas pohon.
"Monyet keparat..! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Setan Jubah Merah benar-benar marah luar biasa. Cepat sekali tubuhnya melesat ke udara mengejar Tiren yang berada di atas puncak pohon kelapa. Tapi gerakan Setan Jubah Merah jadi terhambat karena Tiren cepat sekali menghujaninya dengan buah-buah kelapa. Hingga akhirnya....
"Akh...!"
Satu butir buah kelapa tidak bisa dihindari Setan Jubah Merah. Kelapa itu tepat menghantam kepalanya, hingga menimbulkan suara berderak keras. Seketika itu juga tubuh Setan Jubah Merah meluncur deras ke bawah, dan terbanting begitu keras di tanah. Setan Jubah Merah menggerung-gerung dan menggelepar di tanah. Tampak darah mengucur deras dari kepalanya yang retak akibat ditimpuk kelapa oleh Tiren tadi.
Sementara itu, Tiren sudah merosot turun dari pohon kelapa ini. Langsung dihampirinya Setan Jubah Merah yang masih menggelepar menggerung-gerung di bawah pohon kelapa itu. Tiren mengambil tongkat merah berujung runcing yang tergeletak di tanah, tidak jauh dari Setan Jubah Merah. Lalu, tiba-tiba saja monyet kecil itu melompat dan meluruk deras sambil menghunjamkan ujung tongkat itu ke arah dada Setan jubah Merah. Tak pelak lagi, Setan Jubah Merah harus rela merasakan senjatanya sendiri menghunjam dadanya.
"Aaakh...!"
Setan Jubah Merah menjerit keras melengking tinggi. Jeritan Setan Jubah Merah tentu saja mengejutkan mereka yang sedang bertarung. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Setan Jubah Merah terkapar berlumuran darah dengan tongkatnya sendiri menghunjam dalam di dadanya. Sedangkan seekor monyet kecil berdiri di atas tubuh orang tua berjubah merah itu.
"Bagus, Tiren...!" seru Bayu memuji tulus.
"Nguk! Khraaakh...!"
Tiren berjingkrakan senang sambil mencerecet ribut di atas tubuh Setan Jubah Merah yang sudah terkapar tak bernyawa lagi. Untuk sesaat, pertarungan jadi terhenti. Lima Setan dari Barat yang kini tinggal empat orang lagi, seperti tidak percaya kalau Setan Jubah Merah bisa tewas oleh seekor monyet kecil yang kelihatannya lemah.
***
Tapi keterpanaan mereka hanya sebentar saja. Memang, kematian Setan Jubah Merah membuat mereka semakin bertambah berang saja. Maka mereka langsung berlompatan menyerang lawan masing-masing. Pada saat itu, Bayu yang sudah memiliki kesempatan untuk menggunakan Cakra Maut. Maka cepat tubuhnya merunduk agak miring ke kiri, lalu menarik kakinya hingga terentang lebar ke samping. Dan begitu tangan kanannya ditarik ke depan dada, secepat itu pula dikebutkan ke depan.
"Yeaaah...!"
Wusss...!
Cakra Maut yang sejak tadi menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika melesat cepat ke arah Setan Jubah Kuning yang saat itu tengah melayang di udara.
"Heh...?!"
Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah mati melihat Cakra Maut meluncur deras bagai kilat ke arahnya. Dan secepat kilat pula tongkatnya dikebutkan hendak menyampok senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi pada saat yang bersamaan, Bayu menghentakkan tangan kanannya. Sehingga, tiba-tiba saja Cakra Maut bisa berubah arah sambil meluncur deras seperti kilat. Tebasan tongkat Setan Jubah Kuning jadinya hanya mengenai angin saja. Bahkan matanya semakin terbeliak, karena Cakra Maut terus meluncur ke arahnya begitu cepat luar biasa. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Sehingga...
Sing...!
Crab!
"Aaakh...!"
Setan Jubah Kuning menjerit keras melengking tinggi. Dia langsung terpental ke belakang. Tubuhnya keras sekali menghantam tanah, dan bergulingan beberapa kali. Setan Jubah Kuning menggelepar sambil mengerang meregang nyawa. Darah mengucur deras dari dadanya yang berlubang tertembus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi. Senjata cakra berbentuk bintang segi enam dan berwarna putih keperakan itu, kembali melesat balik begitu Bayu menghentakkan tangannya ke atas kepala. Lalu, senjata itu kembali menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka.
Pada saat yang hampir bersamaan, Ratna Wulan tampak mengebutkan pedangnya yang memancarkan api ke arah dada Setan Jubah Putih. Begitu cepat kibasan pedangnya, sehingga Setan Jubah Putih tidak bisa lagi menghindari. Dan....
Cras!
"Aaakh...!"
Setan Jubah Putih menjerit melengking. Darah langsung muncrat dari dadanya yang terbelah Pedang Api yang ditebaskan kuat sekali oleh Ratna Wulan. Setan Jubah Putih terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terbelah mengucurkan darah.
Tewasnya Setan Jubah Merah oleh monyet kecil berbulu hitam bernama Tiren itu memang mempengaruhi empat orang tua yang dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat itu. Mereka jadi kehilangan kepercayaan diri. Maka akibatnya, pertahanan mereka benar-benar goyah, hingga dalam waktu tidak berapa lama saja dua orang lagi sudah terjungkal tewas.
Kini Bayu dan Ratna Wulan tinggal menghadapi masing-masing satu orang lawan. Dan tampaknya dua orang tua itu sudah mulai merasa gentar. Buktinya mereka tampak hanya berdiri saja memandangi lawan masing-masing. Dan tiba-tiba saja....
"Hup! Hiyaaat..!"
Setan Jubah Biru yang sudah menyadari tidak bakal unggul lagi, bermaksud melarikan diri. Dia langsung melompat cepat sekali.
"Jangan lari kau, Pengecut! Hiyaaa...!"
Bayu yang melihat hal itu langsung menghentakkan tangan kanannya ke arah Setan Jubah Biru. Bersamaan dengan itu, Ratna Wulan juga melemparkan pedangnya disertai pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi. Sehingga....
Crab!
Bres!
"Aaa...!"
Setan Jubah Biru langsung terpelanting ke tanah begitu Cakra Maut dan Pedang Api menghunjam punggungnya. Dan begitu bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala, Ratna Wulan sudah melompat menghampiri Setan Jubah Biru yang langsung tergeletak tak bernyawa lagi.
Ratna Wulan segera mencabut pedangnya, bersamaan melesatnya Cakra Maut dari punggung orang tua berjubah biru itu. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Ratna Wulan langsung melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak menatap tajam pada Setan Jubah Hitam.
"Tinggal kau sendiri, Setan Jubah Hitam. Kau yang bertanggung jawab atas kematian ayahku...!" desis Ratna Wulan, begitu dingin nada suaranya.
Saat itu, Tiren sudah melompat naik ke pundak kanan Bayu. Monyet kecil berbulu hitam itu kembali nangkring di pundak Pendekar Pulau Neraka ini lagi. Sementara, Setan Jubah Hitam memandangi Bayu dan Ratna Wulan secara bergantian. Jelas sekali sinar matanya memancarkan kegentaran yang memang telah menyelimuti hatinya, melihat ketangguhan dua orang pendekar muda ini. Dan dia kini benar-benar sendiri sekarang.
"Arwah ayahku akan senang jika kau mati di tanganku, Setan Jubah Hitam," desis Ratna Wulan lagi, tetap dingin nada suaranya.
Perlahan Ratna Wulan melangkah ke depan mendekati laki-laki tua berjubah hitam itu. Sedangkan Bayu masih tetap berdiri tegak, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sementara, Ratna Wulan sudah berdiri sekitar lima langkah lagi di depan Setan Jubah Hitam. Perlahan-lahan pedangnya yang memancarkan api itu diangkat. Lalu, ujung pedangnya diarahkan lurus ke dada Setan Jubah Hitam. Pada saat itu, Setan Jubah Hitam sudah menyilangkan tongkatnya di depan dada.
Memang tidak ada lagi pilihan bagi Setan Jubah Hitam, selain terus bertarung mempertahankan nyawa. Meskipun hatinya semakin dalam diliputi kegentaran. Keheningan begitu terasa mencekam suasana di sekitar tepian danau ini. Hingga desir angin yang berhembus begitu lembut, terasa jelas bermain di depan telinga.
"Mampus kau sekarang, Keparat! Hiyaaat...!"
Cepat sekali Ratna Wulan melompat, dan mengibaskan pedangnya ke arah leher Setan Jubah Hitam.
"Hait...!"
Setan Jubah Hitam cepat-cepat menghentakkan tongkatnya, menyampok pedang yang memancarkan api untuk melindungi lehernya. Tak pelak lagi, dua senjata yang berlainan bentuk itu beradu keras tidak jauh dari leher Setan Jubah Hitam.
Trak!
"Heh...?!"
Setan Jubah Hitam jadi terkejut setengah mati. Tongkat yang menjadi kebanggaannya selama ini, tiba-tiba saja terpenggal jadi dua bagian, begitu berbenturan dengan Pedang Api di tangan Ratna Wulan.
"Hup...!"
Buru-buru Setan Jubah Hitam melompat ke belakang beberapa tindak, tapi Ratna Wulan tidak mau membiarkannya. Dengan cepat sekali gadis itu kembali melesat. Pedangnya langsung dikebutkan begitu kuat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
Bet!
"Uts...!"
Setan Jubah Hitam cepat-cepat memiringkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang gadis itu. Namun belum juga bisa menegakkan tubuhnya kembali, mendadak saja Ratna Wulan sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat luar biasa. Sehingga, Setan Jubah Hitam yang memang sudah gentar, jadi tidak bisa menghindari tendangan itu.
Desss!
"Akh...!"
Setan Jubah Hitam terpental ke belakang begitu tendangan Ratna Wulan bersarang telak di dadanya. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, dan cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba saja Ratna Wulan sudah kembali melancarkan satu serangan kilat yang begitu cepat sekali.
"Hiyaaat..!"
Setan Jubah Hitam hanya mampu terbeliak saja begitu Pedang Api berkelebat cepat di depan lehernya. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, pedang yang memancarkan api itu sudah lewat cepat sekali. Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Setan Jubah Hitam berdiri tegak seperti patung dengan mata terbeliak lebar dan mulut ternganga.
Sementara, Ratna Wulan sudah melompat mundur beberapa tindak. Gadis itu cepat memasukkan Pedang Api ke dalam warangka di punggung. Pada saat cahaya api dari pedang itu menghilang, tampak tubuh Setan Jubah Hitam jadi limbung. Lalu, tubuhnya ambruk di tanah dengan kepala terpisah menggelinding dari leher. Darah langsung menyembur dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Sedikit pun tak ada gerakan. Setan Jubah Hitam langsung tewas seketika itu juga.
"Hhh...!" Ratna Wulan menghembuskan napas panjang.
Bayu melangkah menghampiri gadis itu, dan berdiri di sampingnya. Tangannya kemudian dilingkarkan di pundak gadis ini. Ratna Wulan menoleh, menatap wajah tampan Pendekar Pulau Neraka itu. Entah kenapa, mereka sama-sama mengembangkan senyum.
"Kita pergi sekarang, Wulan...?" ujar Bayu lembut.
Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala saja.
"Kau bersedia menemani mencari orang tua kandungku, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti ingin meyakinkan diri.
"Tentu saja," sahut Bayu seraya melangkah meninggalkan tepian danau itu. "Asal kau tidak lagi berharap menemukan harta itu, Wulan."
"Aku tidak peduli lagi, Kakang. Biarkan saja menjadi harta terpendam. Siapa pun orangnya yang menemukan, biar menjadi miliknya," sahut Ratna Wulan mantap.
Bayu mengangkat pundaknya. Mereka terus berjalan sambil bergandengan tangan menyusuri tepian danau yang luas ini. Mereka sama-sama menyadari kalau tidak ada gunanya lagi mencari harta yang disembunyikan Ki Wanasa. Berapa pun banyaknya, tidak dipedulikan lagi. Karena, memang tidak ada lagi petunjuk untuk menemukan harta itu. Ki Wanasa sudah memindahkannya ke tempat yang tak ada seorang pun mengetahuinya. Dan memang, harta itu benar-benar menjadi harta terpendam.
"Kakang, apakah kita akan selalu jalan bersama seperti ini?" tanya Ratna Wulan.
Jika Hyang Widi menghendaki," sahut Bayu.
"Jadi tekadmu sudah bulat, Wulan?" tanya Ki Wanasa seakan-akan ingin meyakinkan dirinya.
"Tentu, Ayah. Maafkan aku...," sahut Ratna Wulan perlahan seraya berdiri dan duduk di kursi, tepat di depan Nyai Wanasa, ibu angkatnya.
Mereka semua kembali terdiam.
"Tapi aku tetap anakmu. Aku tidak akan melupakan kalian, sebagai orang tuaku," kata Ratna Wulan lagi, masih dengan suara pelan.
"Sebenarnya, aku tidak ingin melepaskanmu pergi, Wulan. Apalagi, kau pergi tanpa tujuan pasti. Tapi...," Nyai Wanasa tidak melanjutkan ucapannya.
"Tapi kenapa, Bu?" tanya Ratna Wulan ingin tahu.
"Aku akan merelakan mu jika memang itu sudah jadi keinginanmu, Ratna Wulan. Terlebih lagi, kau akan didampingi Bayu. Kau tahu, Nak. Ayah Bayu adalah seorang pendekar digdaya. Dan antara kami telah terjalin tali persaudaraan," lanjut Nyai Wanasa.
"Benar, Wulan. Aku dan orang tua Bayu sudah mengangkat sumpah. Siapa pun yang mempunyai keturunan, berarti juga keturunan kami. Yaaah..., ternyata nasib memang harus memisahkan kita semua. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkan segalanya pada Hyang Widi," sambung Ki Wanasa.
"Kalau orang tuamu masih hidup, dia pasti akan mengenalmu dengan kalung itu," kata Nyai Wanasa lagi.
Ratna Wulan memandangi kalung yang dikenakannya. Seuntai kalung yang talinya hanya terbuat dari urat binatang. Sedangkan bandulannya terbuat dari batu hitam berbentuk bulan sabit, bergambarkan dua bilah pedang yang saling melintang. Kalung ini sudah dikenakannya sejak masih bayi. Ratna Wulan juga baru tahu kalau kalung ini memiliki arti yang cukup dalam bagi dirinya.
"Kau ditemukan suamiku ketika sedang berburu. Dan kalung itu sudah ada di lehermu. Makanya, aku selalu meminta kau untuk memakainya dan jangan sampai hilang. Karena, hanya itu satu-satunya yang ada pada dirimu, Wulan," sambung Nyai Wanasa.
"Lalu namaku...?" Ratna Wulan ingin tahu.
"Kami yang memberi nama padamu. Waktu itu, sama sekali kami tidak tahu namamu. Dan lagi, aku sangat senang ketika suamiku membawa kau pulang. Yaaah..., memang kami tidak dikaruniai anak seorang pun. Jadi, kaulah satu-satunya tumpahan kasih sayang di keluarga ini," kata Nyai Wanasa lagi.
"Kalau saja aku tidak tahu siapa diriku, tentu tidak akan begini jadinya, Bu," ujar Ratna Wulan juga menyesali semua ini.
"Apa yang telah terjadi, sudah menjadi kehendak Hyang Widi. Jadi kau tidak perlu menyesali, Wulan. Aku tahu, suatu saat kau pasti akan tahu tentang dirimu yang sebenarnya. Dan sekarang waktunya telah tiba. Kau sudah tahu, dan ingin bertemu orang tua kandung yang melahirkan mu. Itu suatu kodrat alam, Anakku. Setiap anak pasti ingin mengetahui siapa orang tuanya, dan dari mana asalnya," kata Ki Wanasa, lembut sekali nada suaranya.
"Aku berjanji, kalau sudah bertemu pasti akan kembali lagi ke sini. Bagaimanapun juga, kalian adalah orang tua yang telah merawat dan membesarkan ku sejak masih bayi. Entah apa jadinya kalau aku tidak ada di sini," agak mendesah suara Ratna Wulan.
"Oh, Anakku...." Nyai Wanasa tidak dapat lagi membendung keharuannya. Langsung dia menghambur dan memeluk gadis itu. Air matanya pun tidak dapat lagi terbendung. Sedangkan Ratna Wulan hanya diam saja, membalas pelukan ibu angkatnya ini. Memang berat rasanya meninggalkan dua orang tua yang telah merawat dan membesarkannya sejak kecil.
Tapi itu harus dilakukan, dan lagi Ratna Wulan memang sudah memantapkan hatinya. Yang jelas, dia harus pergi mencari orang tua kandungnya. Meskipun dalam hati ada sedikit kemarahan atas tindakan orang tua kandungnya yang telah meninggalkannya begitu saja di dalam hutan, tapi hatinya sudah bertekad untuk mengetahui siapa orang tuanya yang telah tega berbuat keji seperti itu. Orang tua yang tega membiarkan darah dagingnya sendiri tergeletak tanpa daya dalam hutan. Kalau tidak ditemukan Ki Wanasa, mungkin dia sudah menjadi santapan binatang buas.
Agak lama juga Nyai Wanasa menangis dan memeluk anak angkatnya ini. Pelukannya baru dilepaskan setelah suaminya menepuk lembut pundaknya. Wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu kembali duduk di kursinya. Sementara di samping Ratna Wulan, Bayu hanya tertunduk saja. Seakan-akan perasaannya tidak sanggup lagi menyaksikan semua ini.
"Kapan kalian akan berangkat?" tanya Ki Wanasa.
"Bagaimana, Kakang...?" Ratna Wulan malah bertanya pada Pendekar Pulau Neraka yang duduk di sampingnya.
Dan gadis itu memang sudah membiasakan diri memanggil kakang pada Bayu. Karena, usianya memang lebih muda daripada Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu sendiri tidak berkeberatan gadis itu memanggilnya seperti itu. Dan itu malah menambah keakraban di antara mereka berdua nantinya.
"Sebaiknya, besok saja. Pagi-pagi sekali berangkatnya," sahut Bayu setelah terdiam beberapa saat.
"Baiklah...," desah Ratna Wulan menyetujui.
Malam ini, Bayu memang harus tinggal di rumah Ki Wanasa yang begitu besar, bagai sebuah istana kecil. Memang, rumah-rumah di Kadipaten Talagan ini besar-besar. Dan kebanyakan penghuninya adalah para saudagar kaya yang tinggal di kadipaten ini. Bahkan tidak sedikit para pembesar kerajaan yang tinggal di sini. Sehingga, tidak heran jika setiap saat selalu terlihat barisan prajurit mengawal pembesar kerajaan di jalan. Kadipaten Talagan ini memang tidak pernah tidur dari segala macam kesibukan. Banyak tempat hiburan di kota ini, yang selalu buka sepanjang malam hingga pagi. Keadaan yang selalu ramai itu membuat Bayu benar-benar sulit memejamkan mata. Sudah berulang kali dicoba, tapi tetap saja tidak mau terpejam.
"Huuuh...!"
Sambil mengeluh panjang, Pendekar Pulau Neraka bangkit dari pembaringan. Kakinya melangkah mendekati jendela kamar yang disediakan Ki Wanasa untuk istirahatnya malam ini. Perlahan jendelanya dibuka lebar-lebar. Keningnya langsung berkerut, begitu melihat Ratna Wulan duduk sendiri di bangku taman. Jendela kamar ini memang langsung menghadap ke taman samping rumah ini.
"Hup...!"
Ringan sekali Pendekar Pulau Neraka melompat keluar melalui jendela. Kemudian kakinya melangkah ringan. Tanpa terdengar suara sedikit pun, kakinya menjejak rerumputan taman yang terawat rapi, bagai permadani tergelar.
"Kau belum tidur juga, Kakang...?"
"Eh...?!" Bayu jadi tersentak mendengar suara Ratna Wulan.
Dan gadis itu masih tetap duduk di bangku taman tanpa menoleh sedikit pun. Bayu memuji dalam hati akan ketajaman pendengaran gadis ini. Padahal tadi, Pendekar Pulau Neraka mempergunakan ilmu meringankan tubuh saat mendekatinya dari belakang. Dan memang, seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya tidak dikerahkan.
"Duduklah di dekat ku, Kakang," ujar Ratna Wulan seraya menepuk kursi yang didudukinya.
Kursi dari bahan rotan itu memang cukup panjang, dan bisa diduduki empat orang dewasa seperti mereka. Bayu kemudian duduk agak jauh di samping gadis ini. Dipandanginya wajah Ratna Wulan yang tampak begitu cantik, dalam siraman cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini. Perlahan Ratna Wulan berpaling, sehingga pandangannya langsung beradu dengan sorot mata Pendekar Pulau Neraka. Tapi, Ratna Wulan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Seharusnya kau tidak perlu melibatkan diri dalam urusanku, Kakang. Tugasmu sebagai pendekar sudah terlalu banyak menyita waktu, tenaga, dan pikiranmu. Kau akan semakin banyak kehilangan waktu istirahat mu nanti," kata Ratna Wulan panjang.
"Kau masih ingat, apa yang dikatakan Ki Wanasa...?" tanya Bayu, seperti tidak menanggapi perkataan Ratna Wulan tadi.
"Tentu saja aku ingat," sahut Ratna Wulan seraya mengangguk.
"Aku adalah putra Dewa Pedang. Dan itu berarti, aku juga putra mereka, Wulan. Jadi, sudah menjadi kewajibanku untuk membantumu. Apalagi kau anak angkat mereka. Jadi, kau adalah adikku juga, Wulan," jelas Bayu.
"Kau akan tetap menganggapku adik...?" Ratna Wulan ingin menegaskan.
"Mungkin iya, mungkin juga tidak."
"Jawabanmu tidak tegas, Kakang."
"Sulit rasanya untuk menganggapmu adik, Wulan. Tapi keadaan sudah menentukan begitu. Dan aku merasa sulit merubah keadaan ini. Kecuali...," Bayu tidak meneruskan ucapannya.
"Kecuali apa, Kakang?" desak Ratna Wulan ingin tahu.
"Kecuali kau sudah bertemu orang tuamu," sahut Bayu terus menatap wajah cantik gadis ini.
"Kenapa begitu?"
"Entahlah... Aku sendiri tidak tahu," sahut Bayu mendesah.
"Kakang...," pelan sekali suara Ratna Wulan.
Perlahan Ratna Wulan menaruh tangannya di atas tangan Bayu. Beberapa saat, mereka hanya saling pandang saja. Bayu menggenggam tangan yang berkulit putih dan halus itu erat-erat. Seakan-akan dia ingin membagi kehangatan pada gadis ini. Ingin rasanya Bayu memeluknya, tapi itu tidak mungkin dilakukan di rumah ini. Dia begitu menghormati Ki Wanasa, yang sudah mengangkat saudara pada ayahnya. Dan itu berarti Bayu juga menjadi anaknya.
"Aku tahu, kau ingin mengatakan sesuatu, Kakang," kata Ratna Wulan dengan suara begitu perlahan.
"Tidak...," sahut Bayu agak mendesah.
"Jangan membohongi diri sendiri, Kakang. Aku tahu, ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku," desak Rama Wulan.
"Lalu kau sendiri...?" Bayu malah bertanya.
"Aku...? Aku...," Ratna Wulan jadi gugup.
Gadis itu menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Pendekar Pulau Neraka. Kemudian, duduknya bergeser menjauh. Entah kenapa, wajahnya jadi memerah dan terasa panas sekali. Ratna Wulan memalingkan wajahnya, tidak ingin Bayu terus memandangi wajahnya yang jadi memerah.
Perlahan Bayu menggeser duduknya, sampai merapat dengan gadis itu. Bisa didengarnya detak jantung Ratna Wulan yang begitu cepat memburu. Dan ketika tangan gadis itu disentuh, Bayu merasakan tangan itu dingin sekali. Bahkan terasa basah oleh keringat.
"Kau cantik sekali, Wulan...," bisik Bayu perlahan.
"Oh...," Ratna Wulan hanya bisa mendesah saja.
Gadis itu tidak tahu, apa yang sedang dirasakan saat ini. Tapi ada suatu rasa kebahagiaan terselip di hatinya saat mendengar pujian Bayu yang begitu lembut menyejukkan. Perlahan Ratna Wulan berpaling. Kembali mereka saling berpandangan, dengan sinar mata yang berbinar bagai langit penuh bintang. Cukup lama juga mereka terdiam saling berpandangan, tanpa sadar kalau ada dua pasang mata sejak tadi memperhatikan dari balik jendela sebuah kamar yang sedikit terbuka.
Dua pasang mata itu adalah Ki Wanasa dan istrinya. Mereka terus memperhatikan, sejak Bayu tadi melompat keluar dari jendela kamarnya. Jarak yang tidak begitu jauh, membuat mereka bisa mendengar semua yang dibicarakan dua insan muda itu.
"Kau dengar, apa yang mereka katakan, Nyai...?" bisik Ki Wanasa perlahan, seraya menutup rapat jendela kamarnya ini.
"Aku bahagia jika mereka benar-benar bersatu, Ki," sahut Nyai Wanasa.
"Aku juga senang, Nyai. Itu berarti perjanjianku dengan Pendekar Dewa Pedang bisa terlaksana.
Tapi sayang...."
"Ada apa, Ki?"
"Wulan...."
"Kau menyesal karena Wulan bukan anak kandung kita?"
"Kalau saja Wulan anak kandung kita, tentu kebahagiaan ini akan terasa lain, Nyai," pelan sekali suara Ki Wanasa.
"Ya.... Memang akan terasa lain kalau Wulan anak kandung kita sendiri, Ki. Tapi walaupun begitu, aku tetap bahagia."
"Kita memang bahagia, Nyai."
Ki Wanasa kembali membuka jendela kamarnya sedikit, dan mengintip ke luar. Tapi, Bayu dan Ratna Wulan tidak lagi terlihat di kursi taman itu. Entah ke mana mereka. Dan Ki Wanasa hanya tersenyum saja sambil mengangguk-anggukkan kepala, kemudian menutup kembali jendela kamar ini. Kini, kakinya melangkah perlahan ke pembaringan. Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki tua itu membaringkan tubuhnya di ranjang berukuran cukup besar ini.
"Sudah malam, Nyai. Tidurlah. Jangan sampai bangun kesiangan besok," ujar Ki Wanasa.
"Rasanya aku masih berat untuk berpisah dengan Wulan, Ki," desah Nyai Wanasa.
"Sudahlah.... Kita harus merelakan kepergiannya. Dia pergi untuk mencari orang tua kandungnya. Dan itu sudah kita sadari sejak semula. Kalaupun tidak tahu siapa dirinya, pasti dia akan pergi juga meninggalkan kita kalau sudah bersuami."
Nyai Wanasa tersenyum tipis, kemudian membaringkan tubuhnya di samping suaminya. Tak ada lagi yang bicara. Namun mata mereka sama sekali tidak dapat terpejam. Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing. Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa menyelimuti sekitarnya. Begitu sunyi, sehingga detak jantung mereka terdengar begitu jelas di telinga.
Bayu sudah bersiap hendak meninggalkan rumah Ki Wanasa pagi ini. Matanya memandangi Pedang Api yang tergeletak di atas meja. Pedang itu memang berpamor dahsyat, yang diambilnya dari Ratu Gua Setan. Pendekar Pulau Neraka menyambar Pedang Api, lalu digenggamnya erat-erat. Kemudian, kakinya melangkah ke pintu. Namun baru saja membuka pintu kamar ini, tiba-tiba saja....
"Hayo...!"
"Oh...?!"
Bayu jadi tersentak kaget begitu tiba-tiba Ratna Wulan muncul dengan mengejutkan. Gadis itu tertawa terbahak-bahak, dan langsung berlari sebelum Bayu bisa mengumpat. Pendekar Pulau Neraka hanya bisa memaki dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, dia melangkah keluar dari kamar ini. Bayu terus mengayunkan kakinya dengan tegap, melintasi ruangan tengah yang berukuran cukup besar. Tak ada seorang pun yang dijumpai. Dan Pendekar Pulau Neraka baru bertemu Ki Wanasa dan istrinya serta Ratna Wulan setelah berada di beranda depan rumah ini. Memang, hari masih terlalu pagi. Malah, matahari belum lagi menampakkan dirinya. Hanya rona merah saja yang membias di ufuk Timur. Kicauan burung-burung sudah terdengar ramai sejak tadi.
"Kalian akan berangkat sekarang...?" ujar Nyai Wanasa.
"Benar, Nyai," sahut Bayu.
"Hati-hatilah.... Terutama kau, Wulan. Kau harus menuruti apa yang dikatakan kakakmu. Jangan keras kepala, dan jangan berbuat macam-macam. Bayu lebih berpengalaman di dunia luar daripadamu," pesan Nyai Wanasa.
"Baik, Bu," sahut Ratna Wulan sambil mengangguk.
Gadis itu kemudian berlutut di depan wanita separuh baya ini. Diambilnya tangan ibunya dan diciumnya. Kemudian dia berpindah pada Ki Wanasa. Ratna Wulan kembali bangkit berdiri disamping Bayu.
"Ayo, Kakang...," ajak Ratna Wulan.
"Tunggu dulu," ujar Bayu.
"Ada apa lagi?" tanya Ratna Wulan.
"Ini," Bayu menyerahkan Pedang Api.
"Seperti janji ku, pedang ini menjadi milikmu sekarang."
Ratna Wulan tersenyum, dan menerima pedang itu dengan hati gembira. Dia sudah tahu kedahsyatan pedang ini. Dan hatinya jadi yakin bisa menggunakannya. Karena, Ratu Gua Setan sudah memberikan jurus-jurus pedang yang dahsyat (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode "Dewi Asmara Darah"). Gadis itu kemudian mengikat tali pedang itu ke punggungnya.
"Kami berangkat, Ki," pamit Bayu seraya membungkuk memberi hormat.
"Ya, hati-hatilah kalian. Cepat datang lagi ke sini kalau sudah bertemu orang tuamu, Wulan," sahut Ki Wanasa.
"Tentu, Ayah," sahut Ratna Wulan seraya tersenyum.
Mereka kemudian berangkat meninggalkan pasangan suami istri tua itu dengan hanya berjalan kaki saja. Padahal, Ki Wanasa ingin memberikan kuda. Tapi, dengan halus Bayu menolaknya. Pendekar Pulau Neraka memang lebih senang berjalan kaki, daripada harus menunggang kuda. Baginya, berjalan kaki lebih leluasa.
Sementara, Ki Wanasa dan istrinya terus memandangi kepergian anak-anak muda itu sampai jauh, dan tak terlihat lagi setelah melewati tikungan jalan yang menuju Selatan. Ki Wanasa agak berkerut keningnya, melihat Bayu dan Ratna Wulan menuju Selatan.
"Kenapa mereka ke Selatan, Nyai...?" tanya Ki Wanasa seperti untuk diri sendiri.
"Aku tidak tahu," sahut Nyai Wanasa.
"Bukankah semalam mereka mengatakan akan ke Timur, Nyai...?"
"Mungkin mereka punya rencana lain, Ki. Aku yakin, mereka akan melihat tempat saat kau menemukan Wulan. Bukankah kalau ke Selatan akan menuju ke hutan itu...?"
"Kau benar, Nyai. Mungkin mereka akan melihat tempat aku menemukan Wulan dulu."
"Ayo, Ki...," ajak Nyai Wanasa.
Mereka kemudian berbalik dan hendak melangkah masuk ke dalam rumah. Tapi belum juga melangkah, tiba-tiba saja....
Wusss...!
"Heh...!"
Wuk!
Tap!
Cepat sekali Ki Wanasa memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangan kanan, ketika tiba-tiba mendengar desiran angin yang begitu halus ke arah dirinya. Dan tahu-tahu, di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang ranting kering sepanjang jengkalan tangan.
"Ada apa ini, Ki...?" tanya Nyai Wanasa seraya cepat memutar tubuhnya berbalik.
"Ada tamu, Nyai," sahut Ki Wanasa.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar. Pasangan suami istri itu jadi terkejut. Dan belum lagi lenyap rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam dari atas sebatang pohon beringin yang berdaun rimbun. Begitu cepat kelebatannya, tahu-tahu di depan beranda rumah itu sudah berdiri seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Dia mengenakan baju jubah warna hitam.
Belum lagi Ki Wanasa bisa membuka suara, dari balik dua pohon beringin yang berada di halaman depan rumahnya, muncul dua orang laki-laki juga berusia lanjut dan dua orang wanita yang sudah tua. Mereka kemudian berdiri di belakang laki-laki tua berjubah hitam yang pertama muncul tadi. Ki Wanasa jadi terbeliak melihat kemunculan lima orang yang sudah dikenalnya.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Nyai Wanasa yang rupanya tidak mengenal lima orang itu.
Ki Wanasa tidak menjawab pertanyaan istrinya, walaupun mengenal kelima orang tua yang muncul tiba-tiba itu. Yang muncul pertama kali adalah Setan Jubah hitam. Kemudian yang berada paling kanan adalah seorang laki-laki yang juga sudah berusia lanjut. Bajunya merah menyala yang dikenal berjuluk Setan Jubah Merah. Lalu, berturut-turut Setan Jubah Kuning, Setan Jubah Biru, Setan Jubah Hijau, dan Setan Jubah Putih. Mereka dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat. Masing-masing membawa tongkat dari besi baja yang warnanya sama dengan pakaian yang dikenakan.
"Kau masuk saja, Nyai. Ini urusanku dengan mereka," kata Ki Wanasa.
"Tapi, tampaknya mereka tidak bermaksud baik, Ki," elak Nyai Wanasa, merasa khawatir.
"Sudahlah, masuk sana...!" agak menyentak suara Ki Wanasa. "Kunci Pintunya, Nyai."
"Baik...."
Nyai Wanasa agak ragu-ragu sebentar, kemudian melangkah mundur mendekati pintu. Lalu, dia bergegas masuk ke dalam rumah, seraya menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Sebentar wanita tua itu masih memperhatikan dari balik jendela, kemudian bergegas melangkah melewati ruangan depan rumah ini yang berukuran cukup besar. Dan kini, perempuan tua itu sudah menghilang di balik dinding penyekat ruangan depan dengan ruangan tengah.
Sementara itu, Ki Wanasa sudah melangkah keluar dari beranda depan rumahnya. Dia berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar setengah batang tombak lagi di depan Setan Jubah Hitam. Beberapa saat, mereka tidak ada yang berbicara.
"Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Ki Wanasa, agak dalam nada suaranya.
"Kami datang untuk minta bagian, Ki Wanasa. Aku yakin, kau tidak lupa bagian kami," sahut Setan Jubah Hitam.
Suara Setan Jubah Hitam terdengar begitu berat. Dan Ki Wanasa hanya menelan ludahnya. Tentu saja hal itu tidak akan dilupakannya. Dan dia tahu, kedatangan Lima Setan dari Barat ini akan menuntut bagiannya. Sesuatu yang tentu tidak mungkin dilakukan. Karena dia tahu, siapa lima orang tua yang berada di depannya ini.
"Sudah kukatakan, tidak ada lagi yang bisa kalian dapatkan dariku di sini. Kalian sudah peroleh semua yang kalian inginkan. Dan aku ingin ketenangan di masa tuaku ini. Sebaiknya, kalian pergi saja. Tidak ada gunanya berada di sini. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa kuberikan," kata Ki Wanasa, agak bergetar suaranya.
"Aku tahu, pasti ada yang kau sembunyikan, Ki Wanasa. Dan aku ingin simpananmu itu!" dengus Setan Jubah Hitam.
"Tidak ada yang ku sembunyikan...."
"Jangan membuat kesabaranku habis, Wanasa!" bentak Setan Jubah Hitam keras menggelegar.
Pada saat itu, dari samping rumah bermunculan pemuda-pemuda penjaga rumah ini. Mereka langsung bergerak mengepung halaman depan rumah Ki Wanasa yang berukuran besar. Lima Setan dari Barat hanya mendengus saja, merayapi pemuda-pemuda berjumlah sekitar tiga puluh orang itu. Mereka semua sudah menghunus golok masing-masing.
"Kau benar-benar membuat kesulitan sendiri, Wanasa, " desis Setan Jubah Hitam agak menggeram.
"Sebaiknya, kalian segera pergi dari sini. Mereka bisa melakukan apa saja jika kalian tidak segera angkat kaki dari sini," ancam Ki Wanasa tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...! Kau benar-benar buta, Wanasa!"
Ki Wanasa hanya tersenyum tipis saja. Hatinya jadi gembira, karena istrinya sudah bisa mengerti apa yang diinginkannya, saat menyuruhnya masuk ke dalam. Dan begitu berpaling melihat ke atas atap rumah, tampak di atas sana sekitar dua puluh orang laki-laki muda telah siap dengan busur dan anak panah terentang. Bahkan di sekeliling rumah ini, sudah terlihat kepala-kepala menyembul dengan anak panah terpasang pada busur.
"Phuih...!" Setan Jubah Hitam menyemburkan ludahnya.
Lima Setan dari Barat langsung bisa menyadari keadaan yang benar-benar tidak menguntungkan ini. Meskipun mereka sudah terkenal tangguh dalam kehidupan rimba persilatan, tapi terlalu besar akibatnya jika menghadapi kepungan yang begitu ketat. Setangguh apa pun ilmu kedigdayaan yang dimiliki, rasanya memang tidak mungkin bisa menghadapi orang yang berjumlah lebih kurang seratus ini. Terlebih lagi, mereka semua sudah siap melepaskan anak-anak panahnya.
Sementara, Ki Wanasa sudah bergerak mundur. Dia kemudian berdiri di undakan kedua tangga beranda rumahnya. Senyuman lebar tampak tersungging di bibir laki-laki tua ini. Dia tahu, kalau Lima Setan dari Barat tidak akan mungkin berani menantang bahaya, menghadapi kepungan yang begitu ketat dari orang-orangnya ini.
"Kau benar-benar licik, Wanasa. Tunggu pembalasanku nanti," desis Setan Jubah Hitam.
Setelah berkata demikian, Setan Jubah Hitam mengegoskan kepala. Dua orang yang menjaga dipintu gerbang segera membuka pintu itu, begitu lima orang tua yang berjuluk Lima Setan dari Barat melangkah cepat meninggalkan halaman rumah Ki Wanasa yang cukup luas ini. Pintu gerbang langsung ditutup begitu mereka berada diluar.
"Siapa mereka, Ki...?" tanya Nyai Wanasa langsung, begitu suaminya masuk ke dalam.
"Lima Setan dari Barat," sahut Ki Wanasa seraya menghempaskan tubuhnya di kursi dekat jendela, yang langsung menghadap ke halaman depan.
Tampak orang-orangnya yang rata-rata masih berusia muda, tetap berjaga-jaga di sekitar halaman dan sekeliling rumah ini. Memang, Ki Wanasa adalah seorang saudagar kaya. Dan dia memiliki banyak orang berkepandaian cukup tinggi untuk menjaga keselamatan dan rumahnya. Bahkan setiap kali bepergian, tidak kurang dari lima puluh orang selalu mengawalnya.
Tapi dari jumlah yang lebih kurang seratus itu, tak ada satu pun yang dekat dengannya. Ki Wanasa tidak pernah membedakan antara yang satu dengan lainnya, meskipun tingkatan kepandaian yang mereka miliki tentu berlainan.
"Ada urusan apa kau dengan mereka, Ki?" tanya Nyai Wanasa ingin tahu.
"Urusan lama. Dan seharusnya, mereka tidak perlu datang ke sini. Semuanya sudah lama berakhir, sebab apa yang diinginkan sudah mereka dapatkan. Dan aku juga sudah memperoleh semua yang kuinginkan. Tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan," sahut Ki Wanasa masih merahasiakan.
"Kalau tidak ada apa-apa lagi, kenapa mereka datang ke sini, Ki?"
"Mereka memang serakah, sehingga menginginkan juga semua yang kumiliki."
"Maksudmu...?"
Ki Wanasa tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan hendak melangkah. Tapi, istrinya sudah lebih dulu menghadang. Ki Wanasa hanya menghembuskan napas saja. Selama ini laki-laki itu memang menyimpan suat rahasia yang tersimpan begitu rapat. Bahkan istrinya sendiri tidak tahu, apa yang disembunyikannya. Tapi, kemunculan Lima Setan dari Barat itu sudah membuat Nyai Wanasa mencium ada suatu rahasia yang disembunyikan suaminya ini.
Dan dia benar-benar terkejut, begitu mengetahui kalau suaminya mempunyai urusan dengan Lima Setan dari Barat. Nyai Wanasa memang sering mendengar nama itu, dari beberapa tamu suaminya yang kebanyakan orang-orang persilatan. Teman-teman Ki Wanasa itu seringkali menyebut-nyebut nama Lima Setan dari Barat. Dan selama ini, Nyai Wanasa tidak pernah peduli. Karena, dia memang tidak kenal orang-orang yang disebutkan itu. Tapi sekarang persoalannya jadi lain.
Bagaimanapun juga sebelum menjadi istri Ki Wanasa, dulu dia juga seorang pendekar wanita yang malang melintang di rimba persilatan. Seperti juga Ki Wanasa, yang sebelum menjadi saudagar adalah seorang pendekar kelana. Jadi, tidak heran jika pasangan suami istri tua ini begitu disegani banyak kalangan lapisan masyarakat. Selain sebagai saudagar kaya, mereka juga memiliki kepandaian yang tidak bisa dikatakan rendah.
"Katakan padaku, Ki. Apa sebenarnya yang terjadi? Apa hubunganmu dengan mereka...?" desak Nyai Wanasa ingin tahu.
"Sudah kukatakan, itu persoalan lama yang seharusnya tidak perlu diungkit lagi. Mereka orang-orang serakah. Sudah...! Aku tidak ingin lagi membicarakannya," sahut Ki Wanasa, agak keras suaranya.
Nyai Wanasa tidak mencegah lagi ketika suaminya meninggalkan ruangan ini. Perempuan itu hanya dapat memandangi saja dengan sinar mata yang masih diliputi rasa penasaran dan keingintahuan. Dia yakin, pasti ada sesuatu yang disembunyikan suaminya.
"Aku yakin, ada satu persoalan penting yang disembunyikan. Kata-katanya tidak pernah sekasar itu," desah Nyai Wanasa setengah menggumam. "Aku harus tahu semua ini...."
Ki Wanasa tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar. Cepat dia melompat turun dari pembaringannya, lalu bergegas berlari ke. luar. Sementara Nyai Wanasa yang juga mendengar suara ribut itu, segera turun dari pembaringan. Tangannya sempat menyambar sebilah pedang yang tergantung di dinding. Lalu, dia bergegas keluar dari kamar ini.
"Heh...?!"
Ki Wanasa jadi terperanjat bukan main, begitu tiba di beranda depan rumahnya. Tampak orang-orangnya tengah bertarung melawan lima orang tua yang semuanya mengenakan jubah berlainan warna. Tubuh tak bernyawa dan berlumuran darah sudah banyak yang bergelimpangan di halaman depan. Jerit kematian terdengar saling sambut, bercampur denting senjata dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertarung.
"Keparat...!" geram Ki Wanasa begitu mengenali lima orang yang mengamuk itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ki Wanasa melompat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Langsung tombaknya dikebutkan pada salah seorang yang mengenakan jubah warna merah. Tapi serangan yang mendadak dilakukan Ki Wanasa, dengan manis sekali dapat dihindari. Bahkan wanita berjubah merah yang dikenal berjuluk Setan Jubah Merah itu langsung melancarkan serangan. Ki Wanasa cepat melompat ke belakang, menghindari serangan itu. Dan baru saja menjejak tanah, satu batang tongkat mengarah ke kepalanya.
"Hait...!"
Ki Wanasa merundukkan kepalanya, menghindari kebutan tongkat itu. Kemudian sambil memutar tubuh, tombaknya langsung ditusukkan ke arah dada Setan Jubah Biru. Tapi sebelum bisa menghunjam dada laki-laki tua berjubah biru itu, satu batang tongkat sudah menghantam tombak-nya dengan keras sekali.
Trak!
"Ikh...!"
Ki Wanasa terpekik kaget. Buru-buru Ki Wanasa melompat mundur sambil memindahkan tombaknya ke tangan kiri. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dikerahkan Setan Jubah Merah begitu besar, sehingga seluruh tangan kanannya jadi bergetar. Sementara tiga orang tua lainnya masih terus mengamuk, menghajar anak-anak muda penjaga keamanan rumah Ki Wanasa ini. Tingkat kepandaian mereka yang dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat itu memang lebih tinggi daripada para penjaga keamanan rumah Ki Wanasa. Sehingga, mereka seperti tidak mengalami kesulitan sama sekali.
Walaupun pemuda-pemuda lain mulai berdatangan dan langsung masuk ke dalam pertempuran, tapi Lima Setan dari Barat tidak gentar sama sekali. Apalagi jumlah mereka sudah berkurang banyak. Dan hal ini membuat amukan Lima Setan dari Barat semakin dahsyat saja. Gerakan-gerakan yang dilakukan begitu cepat luar biasa. Sehingga, sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Dan tak ada seorang pun yang bisa menyentuh ujung bajunya.
Jerit dan pekik melengking mengantar kematian, semakin sering terdengar saling sambut. Dan, semakin banyak saja tubuh tubuh tak bernyawa berlumuran darah yang bergelimpangan memenuhi halaman depan rumah Ki Wanasa yang cukup luas ini. Sementara, Ki Wanasa sendiri tampak kewalahan menghadapi dua orang lawannya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Laki-laki tua itu sudah semakin terdesak, dan entah berapa kali harus menerima pukulan maupun tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Darah sudah mengucur dari hidung dan mulutnya. Bahkan dadanya tampak sudah robek mengeluarkan darah. Tapi, Ki Wanasa tidak sudi menyerah begitu saja. Dia terus bertahan, dan mencoba untuk menyerang dua orang lawannya yang sama-sama sudah berusia lanjut ini. Pada saat itu, Nyai Wanasa terlihat melompat hendak membantu suaminya yang sudah kelihatan payah. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja berkelebat satu bayangan putih memotong lompatannya.
"Uts...!"
Nyai Wanasa cepat-cepat memutar tubuhnya, melenting ke belakang menghindari tebasan sebatang tongkat berwarna putih keperakan yang mengarah dadanya. Lalu, manis sekali kakinya mendarat di tanah, bersamaan dengan mendaratnya seorang perempuan tua berjubah putih yang menggenggam tongkat berwarna putih keperakan. Dialah yang dikenal berjuluk Setan Jubah Putih.
"Jangan harap bisa membantu suamimu, Nyai...," desis Setan Jubah Putih dingin.
"Huh!" Nyai Wanasa hanya mendengus saja.
Sret!
Perlahan Nyai Wanasa mencabut pedangnya, dan menggenggam sarung pedangnya pada tangan kiri. Lalu, perlahan-lahan kakinya bergeser sambil menatap tajam untuk mengamati gerakan kaki Setan Jubah Putih yang juga bergerak menggeser dengan arah berlawanan.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Setan Jubah Putih melompat cepat, sambil berteriak keras menggelegar.
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Nyai Wanasa juga melenting ke udara. Dan secepat kilat pula pedangnya dikebutkan. Tapi, Setan Jubah Putih sudah lebih cepat lagi menangkis tebasan pedang itu dengan tongkatnya. Lalu, cepat sekali tongkatnya diputar, yang langsung ditusukkan ke arah dada Nyai Wanasa.
"Hait...!"
Trang!
Dengan sarung pedang yang tergenggam ditangan kiri, Nyai Wanasa menangkis tusukan tongkat yang berujung runcing itu. Tapi hatinya jadi tersentak, karena sarung pedangnya terpental ke udara. Bahkan seluruh tangan kirinya jadi menggeletar bagai tersengat kala berbisa. Maka buru-buru tubuhnya diputar ke belakang, dan kembali meluruk turun.
Yeaaah...!"
Pada saat itu, Setan Jubah Putih meluruk deras sambil memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa. Hal ini membuat Nyai Wanasa jadi terperangah. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali untuk menghindari hunjaman tongkat Setan Jubah Putih yang begitu cepat dan beruntun.
Sementara itu di lain tempat, tampak Ki Wanasa semakin terdesak saja oleh dua orang tua lawannya. Dan laki-laki tua itu benar-benar sudah tidak mampu lagi memberi perlawanan berarti. Tubuhnya terombang-ambing menjadi bulan-bulanan dua orang tua lawannya ini. Hingga akhirnya....
"Mampus kau, Keparat! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Setan Jubah Merah melayang deras sambil menghunjamkan ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada Ki Wanasa. Padahal saat itu, Ki Wanasa baru saja berhasil menghindari satu pukulan menggeledek yang dilepaskan Setan Jubah Putih. Dan matanya hanya bisa terbeliak melihat ujung tongkat berwarna merah meluruk deras ke arah dadanya. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Dan....
Bres!
"Aaa...!"
Ki Wanasa menjerit keras melengking tinggi. Begitu dalamnya tongkat Setan Jubah Merah menghunjam dada Ki Wanasa, sehingga ujungnya yang runcing sampai menembus ke punggung. Pada saat itu juga, Setan Jubah Biru mengebutkan tongkatnya ke leher sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
"Hiyaaat...!"
Cras!
Ki Wanasa tidak lagi bersuara. Laki-laki tua itu hanya dapat berdiri kaku dengan mulut dan mata terbuka lebar. Dan begitu Setan Jubah Merah mencabut tongkatnya dari dada laki-laki tua ini, seketika itu juga tubuh tua itu langsung ambruk ke tanah. Tampak kepalanya menggelinding terpisah. Darah seketika menyembur deras dari dada dan lehernya yang buntung tak berkepala lagi.
Kematian Ki Wanasa rupanya sempat juga terlihat oleh Nyai Wanasa. Wanita tua itu jadi geram setengah mati. Maka, langsung ditinggalkannya Setan Jubah Putih. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pedangnya dikebutkan ke arah kepala Setan Jubah Biru.
"Awas...!" teriak Setan Jubah Merah memperingatkan.
"Uts! Hyeaaa...!"
Setan Jubah Biru cepat-cepat membungkukkan tubuhnya. Dan secepat itu pula tongkatnya dikebutkan ke belakang sambil memutar tubuhnya dengan bertumpu pada satu kaki. Nyai Wanasa yang sudah dirasuki hawa amarah, tidak dapat lagi mengendalikan diri. Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan Setan Jubah Biru, sehingga tubuhnya yang sedang meluncur deras di udara tidak bisa lagi ditarik.
Wuk!
Bret!
"Akh...!"
Nyai Wanasa terpekik keras agak tertahan. Ujung tongkat Setan Jubah Biru berhasil merobek perut Nyai Wanasa yang langsung terguling ke tanah beberapa kali. Dan dia jadi terhuyung begitu melompat cepat bangkit berdiri. Wajahnya jadi memerah melihat darah mengucur dari perutnya yang sobek. Namun belum juga sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya, Setan Jubah Putih sudah kembali melompat menyerang begitu cepat.
"Hiyaaat...!"
Wuk!
Bagai kilat Setan Jubah Putih mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Nyai Wanasa. Namun, wanita tua itu segera mengangkat pedangnya. Kontan ditangkisnya kebutan tongkat perempuan tua berjubah putih ini.
Trang!
"Ikh...!" lagi-lagi Nyai Wanasa terpekik.
Begitu kerasnya kebutan tongkat Setan Jubah Putih, sehingga Nyai Wanasa tidak dapat lagi mempertahankan pedangnya yang langsung terlepas dari genggaman. Pedang itu kini melambung tinggi ke udara. Pada saat itu, Setan Jubah Merah meluruk deras seraya melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Begkh!
"Akh...!"
Kembali Nyai Wanasa terpekik keras. Pukulan Setan Jubah Merah bersarang telak didada, sehingga membuat Nyai Wanasa terpental ke belakang sejauh beberapa tombak. Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah dan bergulingan beberapa kali. Darah muncrat dari mulutnya. Nyai Wanasa berusaha bangkit berdiri, tapi tidak mampu lagi. Dia langsung menggeletak tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu, dua orang dari Lima Setan dari Barat nampaknya tidak lagi memerlukan bantuan. Mereka benar-benar sudah bisa menguasai lawan-lawan yang sudah tidak mampu lagi bertahan. Bahkan tak seorang pun yang bisa melarikan diri. Mereka langsung dikejar, dan dibabat habis tanpa sedikit pun mengenal rasa ampun.
"Ayo ke dalam! Kita obrak-abrik rumahnya," ajak Setan Jubah Biru.
Tanpa menunggu waktu lagi, Setan Jubah Merah dan Setan Jubah Putih segera berlari mengikuti Setan Jubah Biru yang sudah lebih dulu menghilang ke dalam rumah.
Sementara pertarungan masih terus berlangsung di halaman rumah itu. Tapi, kini pertarungan benar-benar dikuasai dua orang tua berjubah hitam dan kuning. Dan tampaknya, mereka benar-benar tidak lagi memberi kesempatan pada lawan-lawan untuk tetap hidup. Tak seorang pun yang dibiarkan meloloskan diri.
Jeritan-jeritan panjang melengking menyayat, semakin jarang terdengar. Hingga akhirnya tak ada lagi seorang pun yang bisa hidup. Setan Jubah Hitam dan Setan Jubah Kuning saling berpandangan sejenak sambil mengatur nafasnya yang memburu agak tersengal. Pertarungan ini memang benar-benar menguras tenaga. Hampir seratus orang harus dihadapi. Dan untungnya, tidak sekaligus datangnya. Sehingga, mereka bisa mengalahkan semuanya. Bahkan tak ada seorang pun yang tersisa lagi.
"Mereka sudah ke dalam rumah, Kakang," kata Setan Jubah Kuning.
"Aku tidak yakin Wanasa menyembunyikannya di dalam rumah. Kau tahu, begitu banyak jumlahnya. Dan dia pasti memerlukan tempat yang khusus untuk menyembunyikannya," kata Setan Jubah Hitam.
"Tapi apa salahnya kalau kita geledah seluruh rumah ini, Kakang...?"
"Baiklah. Ayo, jangan buang-buang waktu lagi."
Tanpa bicara lagi mereka berlari masuk ke dalam rumah berukuran besar yang dikelilingi tembok batu bagai benteng itu. Sementara, tiga orang lainnya sudah sejak tadi tenggelam di dalam rumah itu. Entah apa yg dilakukan di dalam sana. Yang jelas terdengar suara-suara gaduh dari barang-barang yang hancur terbanting ke lantai.
Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Kota, Kadipaten Talagan, Bayu dan Ratna Wulan tampak berdiri memandangi hutan yang pepohonannya tampak begitu lebat dan rapat. Sejak tadi Pendekar Pulau Neraka menepuk-nepuk kaki Tiren, monyet kecil berbulu hitam yang nangkring di pundak kanannya.
"Hhh...!"
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu, setelah mendengar desahan berat gadis itu.
"Entahlah.... Aku merasa tidak enak, Kakang. Aku jadi ingat di rumah," jawab Ratna Wulan perlahan.
"Orang tua angkatmu sudah merelakan kau pergi, Wulan. Apa lagi yang jadi pikiranmu?" tanya Bayu. "Sedangkan kau pernah lebih dari satu purnama meninggalkan mereka tanpa pamit. Lalu kenapa sekarang jadi merasa berat. Kau kan sudah pamitan pada mereka. Kau masih merasa bersalah atas perbuatanmu waktu itu?"
"Bukan.... Bukan itu, Kang. Tapi..."
"Tapi kenapa?"
"Aku tidak tahu. Rasanya, aku ingin kembali ke sana. Aku merasa tidak enak...," pelan sekali suara Ratna Wulan.
Bayu mengangkat pundaknya.
"Kita pulang dulu, yuk...? Aku merasa seperti ada sesuatu di rumah," ajak Ratna Wulan begitu bersungguh-sungguh.
"Baiklah...," desah Bayu menyerah.
Mereka kemudian berbalik dan melangkah kembali menuju Kota Kadipaten Talagan. Bayu jadi heran juga melihat Ratna Wulan berjalan begitu cepat, seperti ada yang tengah diburunya. Dan wajah gadis itu kelihatan cemas sekali, seperti ada yang tengah dikhawatirkan. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak mau banyak bertanya. Diikutinya saja ayunan langkah kaki gadis ini.
"Ayah...! Ibu...!"
Ratna Wulan terpekik begitu melihat keadaan di sekitar halaman rumah orang tua angkatnya ini. Kedua bola matanya jadi terbeliak merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan berlumuran darah. Sementara, keadaan rumah itu sudah rusak porak-poranda. Ratna Wulan berlari cepat memburu Ki Wanasa yang tergeletak dengan kepala terpisah dari lehernya.
"Ayah...!" tersedak suara Ratna Wulan.
Sementara Bayu meneliti satu persatu mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih, hampir memenuhi halaman rumah ini. Dia langsung melompat begitu mendengar rintihan lirih tidak jauh dari arah kanannya.
"Ibu...," desis Bayu melihat Nyai Wanasa bergerak sambil merintih lirih.
Bayu langsung mengangkat tubuh perempuan tua itu. Tampak darah masih melekat di sekujur tubuhnya. Pada saat itu, Ratna Wulan sudah mendekati. Gadis itu langsung mengambil ibu angkatnya ini dari pelukan Bayu, dan memeluknya erat-erat sambil merintih memanggil-manggil.
"Ibu..., ibu...," panggil Ratna Wulan lirih.
Gadis itu tidak dapat lagi menahan air matanya yang langsung mengucur membasahi pipinya. Tampak Nyai Wanasa membuka matanya perlahan. Begitu redup sinar mata wanita tua itu. Sebentar ditatapnya Ratna Wulan, kemudian beralih menatap Bayu yang hanya diam saja memandangi.
"Bayu...," panggil Nyai Wanasa lirih.
"Iya, Bu," sahut Bayu perlahan seraya menggeser lebih dekat.
"Tolong jaga adikmu baik-baik. Tidak ada lagi yang melindunginya...," pesan Nyai Wanasa begitu perlahan suaranya.
Bayu hanya mengangguk saja.
"Dan kau, Wulan...."
"Iya, Bu."
"Dengarkanlah kata-kata Bayu. Ibu senang jika kalian tetap bersama-sama. Kalian bukan saudara kandung, jadi bisa hidup bersama-sama. Aku senang jika kalian"
"Ibu...," Ratna Wulan cepat-cepat memutuskan kalimat Nyai Wanasa.
"Ibu.... Siapa yang melakukan semua ini?" tanya Bayu, cepat mengalihkan perhatian perempuan tua yang sudah menjelang ajal ini.
"Ibu tidak tahu, apa urusan mereka dengan ayahmu, Wulan. Mereka datang tidak lama setelah kalian pergi, tapi tidak terjadi sesuatu. Dan baru semalam mereka datang lagi ke sini. Mereka begitu kuat dan tangguh...," semakin perlahan suara Nyai Wanasa.
"Mereka siapa, Bu?" desak Bayu.
"Lima Setan dari Barat...," sahut Nyai Wanasa, semakin lirih suaranya.
"Kenapa mereka melakukan ini semua, Bu?" tanya Bayu lagi.
"Aku tidak tahu. Tapi mereka punya urusan rahasia dengan ayahmu, Wulan. Rahasia yang aku sendiri tidak tahu."
"Di mana mereka sekarang, Bu...?" tanya Ratna Wulan.
"Aku..., aku..., ahhh...!"
Nyai Wanasa mengejang. Matanya terbeliak lebar, lalu perlahan kelopak matanya terpejam. Sementara kepalanya langsung berpaling lunglai.
"Ibu...!" jerit Ratna Wulan langsung memeluk wanita tua yang kini benar-benar menghembuskan napas terakhirnya.
Sementara Bayu hanya tertunduk saja. Sedangkan Ratna Wulan tak dapat lagi menyembunyikan tangis dan ratapnya, sambil memeluk tubuh ibu angkatnya ini. Perlahan Bayu bangkit berdiri dengan tubuh lemas. Dirayapinya keadaan sekitarnya. Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Di mana-mana terlihat mayat bergelimpangan saling tumpang tindih. Rerumputan tidak lagi berwarna hijau, dan sudah berubah merah oleh darah.
Perlahan Bayu mengayunkan kakinya menuju ke beranda. Lalu menghempaskan diri, duduk lemas di tangga beranda depan rumah ini. Pandangannya begitu nanar, menatap Ratna Wulan yang masih menangis memeluki mayat ibu angkatnya.
Selama pengembaraannya ini, Bayu selalu mencari di mana saja sahabat-sahabat ayahnya tinggal. Dan Pendekar Pulau Neraka selalu mencari keterangan mengenai ibunya, dari mereka yang mengenal orang tuanya. Tapi sampai saat ini, hanya kepahitan saja yang didapatkan. Setiap kali menemukan orang yang mengenal keluarganya, entah kenapa orang itu selalu mengalami nasib naas.
"Ohhh.....Apakah ini kutukan Dewata...? Kenapa kedatanganku selalu saja menimbulkan musibah pada orang lain? Apakah kelahiranku memang sudah ditentukan sebagai pembawa musibah...?" keluh Bayu begitu perlahan, dengan kepala terangkat ke atas.
Bukan hanya sekali ini Pendekar Pulau Neraka mengeluh begitu. Bayu merasa, kelahirannya didunia ini hanya untuk membawa malapetaka bagi setiap orang yang ditemuinya. Satu persatu sahabat-sahabat ayahnya tewas setiap kali dikunjungi. Bahkan kelahirannya pun menyebabkan kehancuran bagi keluarganya, dan padepokan ayahnya.
Bayu tidak tahu, apakah ini kutukan dari Dewata...? Sejak dia lahir hingga sekarang ini, hanya malapetaka saja yang ditemui.
"Dewata Yang Agung.... Dapatkah kau memberi ku sedikit saja kebahagiaan...," desah Bayu, begitu perlahan suaranya.
"Ayo...," ajak Bayu sambil menyentuh pundak Ratna Wulan yang masih berdiri memandangi pusara kedua orang tua angkatnya.
Kematian Ki Wanasa dan istrinya, serta seluruh orang-orangnya telah membuat kegemparan diseluruh pelosok Kota Kadipaten Talagan ini. Hampir semua orang yang mengenalnya, membantu menguburkan mereka. Dan memang, pasangan tua itu sudah amat dikenal di Kota Kadipaten Talagan ini. Terutama, Ki Wanasa yang memang terkenal akan kedermawanannya. Hingga, tidak sedikit orang yang membantu dan mengantarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Perlahan Ratna Wulan mengangkat kepala, menatap pemuda tampan berbaju kulit harimau ini. Kemudian tubuhnya diputar berbalik. Tanpa berkata sedikit pun, gadis itu terus saja melangkah gontai meninggalkan pusara kedua orang tua angkatnya. Bayu mengikuti saja, mensejajarkan langkahnya di samping gadis ini. Pendekar Pulau Neraka juga tidak berkata-kata sedikit pun. Sampai jauh melangkah, belum ada seorang pun yang berbicara. Mereka berjalan terus menuju ke arah Selatan.
Sementara, matahari sudah teramat condong ke Barat. Sinarnya tidak lagi terik memancar, seakan-akan ikut merasakan duka yang sedang dialami dua anak manusia ini.
"Bagaimana sekarang, Wulan?" tanya Bayu setelah cukup lama terdiam saja.
"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa sekarang," sahut Ratna Wulan perlahan.
"Wulan! Kau ingat kata-kata ibu yang terakhir?" tanya Bayu.
Ratna Wulan menghentikan ayunan langkahnya. Wajahnya berpaling menatap Pendekar Pulau Neraka. Seperti terbangun dari suatu mimpi buruk, Ratna Wulan langsung teringat kata-kata terakhir ibu angkatnya. Mereka semua dibantai lima orang yang dijuluki Lima Setan dari Barat. Dan kelima orang itu mempunyai urusan rahasia dengan ayah angkatnya. Hanya itu yang diucapkan terakhir kali, sebelum Nyai Wanasa menghembuskan napas yang terakhir.
"Aku tidak akan memaksamu, Wulan. Tapi, aku akan mencari dan menuntut balas atas perbuatan mereka. Orang tua angkatmu adalah saudara angkat ayahku. Dan kematian mereka harus terbalaskan," tegas Bayu berapi-api.
"Kau tahu, Kakang. Sampai saat ini pun aku tidak pernah menganggap mereka hanya orang tua angkat. Mereka sudah merawat dan mendidik ku sejak kecil. Merekalah sesungguhnya orang tuaku, Kakang. Aku juga tidak akan membiarkan pembunuh-pembunuh itu tetap berkeliaran," sambut Ratna Wulan penuh semangat.
"Lalu, bagaimana dengan...?"
"Aku bisa menundanya," selak Ratna Wulan tegas. "Persoalan ini lebih penting daripada persoalan pribadiku."
"Kita akan bersama-sama menuntut balas, Wulan."
"Ya! Dan aku juga ingin mengetahui, rahasia apa yang disimpan ayah. Bahkan sampai rela mengorbankan nyawa demi rahasia itu," sahut Ratna Wulan.
"Hm.... Kau akan menghadapi petualangan baru yang sesungguhnya, Wulan," nada suara Bayu terdengar agak menggumam.
Ratna Wulan hanya tersenyum tipis, kemudian kembali mengayunkan langkahnya. Tapi baru beberapa tindak, langkahnya kembali berhenti dan berbalik menatap ke arah kuburan yang sudah jauh ditinggalkan. Bayu juga ikut memandang ke arah kuburan itu.
Tak ada yang bicara. Setelah beberapa saat lamanya mereka terdiam memandangi kuburan yang sepi, kemudian kembali melangkah pergi dengan ayunan kaki agak lebar dan cepat. Mereka terus melangkah menuju Selatan. Meskipun masih memiliki tujuan, tapi sekarang ini mereka tidak tahu, ke mana arah tujuan yang akan ditempuh. Mereka tidak tahu, di mana harus mencari Lima Setan dari Barat yang telah membantai Ki Wanasa dan istrinya, serta semua orang yang ada di rumah itu.
Bayu berdiri tegap di bawah naungan dangau. Pandangannya lurus merayapi petak-petak sawah yang menghampar bagai permadani tergelar. Pucuk-pucuk daun pohon padi terayun-ayun dipermainkan angin. Sementara, Ratna Wulan tampak duduk memeluk lutut dengan pandangan kosong ke depan. Sudah tiga hari ini mereka menjelajahi seluruh wilayah Kadipaten Talagan, tapi sampai saat ini belum juga mendapat jejak Lima Setan dari Barat.
Bahkan semua orang yang ditanyai, tidak ada yang mengenal satu pun. Ratna Wulan sudah menghubungi semua teman-teman ayah angkatnya. Tapi mereka semua tidak tahu siapa Lima Setan dari Barat itu. Bahkan setelah tahu kalau Ki Wanasa dan istrinya dibunuh Lima Setan dari Barat, sikap mereka seperti ketakutan. Mereka langsung buru-buru mengatakan kalau tidak pernah mendengar namanya.
"Aku tidak percaya kalau mereka semua tidak tahu, Kakang," ujar Ratna Wulan, begitu perlahan suaranya.
"Kenapa kau berpikiran begitu, Wulan?" tanya Bayu seraya berpaling menatap gadis ini.
"Dari sikap mereka, Kakang. Mereka seperti ketakutan setelah mendengar julukan Lima Setan dari Barat," sahut Ratna Wulan.
Bayu terdiam memandangi gadis itu, kemudian . melangkah dan duduk di samping Ratna Wulan yang masih duduk memeluk lutut. Selembar tikar daun pandan yang sudah lusuh menjadi alas duduk mereka di dangau ini. Kembali mereka terdiam tak berbicara lagi untuk beberapa saat lamanya.
"Mungkin mereka tidak ada lagi di kadipaten ini, Kakang," kata Ratna Wulan menduga. Suaranya masih tetap terdengar perlahan.
"Mereka datang untuk mencari sesuatu. Dan itu yang dikatakan Nyai Wanasa. Aku yakin, mereka belum meninggalkan Kadipaten Talagan ini sebelum mendapatkan apa yang dicari, Wulan," bantah Bayu.
"Sebenarnya, apa yang mereka cari, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti untuk diri sendiri.
"Itulah persoalannya, Wulan. Nyai Wanasa sendiri tidak tahu ada rahasia yang disembunyikan suaminya," desah Bayu menyahuti pertanyaan Ratna Wulan tadi.
"Kakang, apa sebaiknya kita cari petunjuk dirumah. Siapa tahu, bisa didapatkan sesuatu di sana," usul Ratna Wulan.
"Hm...," Bayu menggumam perlahan dengan kening berkerut.
"Aku ingat, Kakang...!" sentak Ratna Wulan tiba-tiba.
"Apa...?" tanya Bayu.
"Apa kau tidak perhatikan, Kakang...?"
"Maksudmu?"
"Di antara mereka yang tewas, aku tidak menemukan Ki Darpin," kata Ratna Wulan.
"Ki Darpin...?" kening Bayu semakin berkerut dalam mendengar nama itu.
"Iya..., Ki Darpin.... Bukankah dia salah seorang dari murid padepokan milik ayahmu? Dan setelah padepokan ayahmu hancur, Ki Darpin kemudian ikut ayahku. Aku ingat sekarang, Kakang.... Setiap kali ayah pergi, Ki Darpin selalu ikut bersamanya. Bahkan tidak jarang mereka pergi berdua saja tanpa ada pengawal seorang pun," kata Ratna Wulan lagi.
"Tapi, ayahmu tidak punya orang kepercayaan satu pun juga, Wulan. Dan aku tahu itu," kata Bayu.
"Aku tahu, Kakang. Memang ayah tidak punya orang kepercayaan satu pun. Ayah selalu menganggap mereka semua sama kedudukannya. Tapi selama ini, aku tahu kalau hanya Ki Darpin yang bisa pergi berdua saja dengan ayah. Bahkan seringkali berbicara berdua sampai jauh malam. Aku rasa, Ki Darpin mengetahui tentang rahasia itu, Kakang. Dan di antara mereka yang tewas, hanya Ki Darpin yang tidak ada. Aku yakin, Ki Darpin pasti masih hidup dan sekarang bersembunyi," kata Ratna Wulan penuh semangat.
"Hm.... Benar juga apa katamu, Wulan. Memang di antara mereka yang tewas tidak ada Ki Darpin di sana. Dan sampai sekarang pun kita tidak melihatnya lagi," agak menggumam nada suara Bayu.
"Sekarang kita punya kuncinya, Kakang," ujar Ratna Wulan lagi.
"Tapi kau jangan terlalu banyak berharap, Wulan. Harapan yang tidak terkabul bisa menimbulkan kekecewaan. Dan itu sangat berbahaya bagi pengendalian dirimu. Kau harus ingat. Sekarang ini kau sudah benar-benar terjun ke dalam dunia persilatan yang ganas dan penuh daya tipu yang menjerat," Bayu menasehati.
Tapi Ratna Wulan hanya menyambut dengan senyuman saja. Gadis itu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau ini. Sebentar ditatapnya hamparan sawah yang terbentang di depannya. Kemudian wajahnya berpaling menatap Bayu yang masih duduk memandangi dari dalam dangau kecil itu.
"Ayo, Kakang," ajak Ratna Wulan.
"Ke mana?" tanya Bayu.
"Kita kembali ke rumah. Barangkali saja bisa menemukan sesuatu di sana," sahut Rama Wulan. Bayu mengangkat bahunya sedikit, kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dangau kecil ini. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah melangkah bersisian menuju Kota Kadipaten Talagan kembali.
"Wulan, apakah Ki Darpin tidak punya keluarga?" tanya Bayu sambil terus melangkah di samping gadis cantik yang mengenakan baju warna merah agak ketat ini.
"Tidak," sahut Ratna Wulan singkat. "Ki Darpin tinggal di rumah, dan ada kamarnya tersendiri. Aku tidak begitu dekat dengannya. Dan dia sendiri juga jarang sekali berbicara, kecuali bila ditanya. Dan jawabannya juga hanya singkat-singkat saja. Pokoknya, orangnya menjemukan, Kakang."
Bayu jadi tersenyum dikulum. Pendekar Pulau Neraka memang sudah beberapa kali bicara dengan Ki Darpin waktu berada di rumah Ki Wanasa itu. Dan memang, apa yang dikatakan Ratna Wulan itu benar. Ki Darpin memang paling sulit diajak bicara. Dia terlalu pendiam. Juga, sikapnya teramat kaku. Ki Wanasa sendiri pernah mengatakan kalau sejak hancurnya Padepokan Dewa Pedang, Ki Darpin jadi pendiam. Padahal dulunya, Ki Darpin adalah seorang pemuda periang yang penuh semangat. Bahkan Pendekar Dewa Pedang sendiri menyukainya, sehingga dia mendapatkan tambahan jurus-jurus yang belum diajarkan pada murid-murid di padepokan itu. Jurus-jurus yang langsung diberikan Pendekar Dewa Pedang sendiri. Dan sekarang ini, usia Ki Darpin sudah kepala lima. Tentunya ketika masih berada di Padepokan Dewa Pedang, usianya pasti sebaya dengan Bayu sekarang ini.
"Apa yang kau lamunkan, Kakang?" tegur Ratna Wulan.
"Oh, tidak...," sahut Bayu agak tersentak.
Teguran Ratna Wulan langsung membuyarkan lamunannya seketika.
"Ingat kekasihmu, ya...?" agak lain nada suara Ratna Wulan.
"Bagaimana mungkin aku bisa punya kekasih, Wulan...? Hidupku saja masih belum menentu. Pindah dari satu tempat, ke tempat lain tanpa arah dan tujuan pasti," sahut bayu langsung bisa mengerti nada suara gadis itu.
Ratna Wulan kembali diam. Dan Bayu juga tidak bicara lagi. Mereka terus melangkah semakin mendekati gerbang perbatasan Kota Kadipaten Talagan. Dua orang berseragam prajurit kadipaten, terlihat menjaga gerbang perbatasan yang berbentuk candi kecil dari batu.
Seharian penuh, Bayu dan Ratna Wulan memeriksa setiap sudut ruangan dalam rumah peninggalan mendiang Ki Wanasa. Keadaan di dalam rumah itu memang sudah porak-poranda bagai terlanda gempa berkekuatan tinggi. Tapi sampai lelah, mereka tidak menemukan sesuatu yang berarti. Demikian pula di dalam kamar pribadi Ki Wanasa. Mereka juga tidak menemukan sesuatu yang berarti. Hingga akhirnya, mereka terduduk lemas diruangan tengah yang sudah hancur berantakan.
"Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Persoalan ini membuatku lelah...," keluh Ratna Wulan lirih, seperti bicara pada diri sendiri.
"Kau putus asa, Wulan?" tanya Bayu.
"Apa aku kelihatan putus asa? Aku tidak akan menyerah sebelum memenggal batang leher mereka semua!" dengus Rama Wulan bernada kesal.
"Aku khawatir, kau tidak akan mampu menghadapinya, Wulan...."
"Heh...?!"
Ratna Wulan begitu terkejut, ketika tiba-tiba terdengar suara agak berat. Bahkan Bayu langsung melompat berdiri sambil mengedarkan pandangan berkeliling. Ratna Wulan juga ikut berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.
"Siapa itu yang bicara...?" agak lantang suara Bayu.
Tidak ada sahutan sama sekali. Tapi tidak lama kemudian, dari balik dinding penyekat antara ruangan tengah ini dengan ruangan depan, muncul seorang laki-laki berusia setengah baya. Pakaiannya tampak kelihatan kotor dan begitu lusuh. Bercak noda darah kering melekat pada pakaiannya. Bayu dan Ratna Wulan jadi terbeliak. Mereka tentu saja mengenali laki-laki separuh baya yang rambutnya sudah mulai berwarna dua itu.
"Ki Darpin...," desis Ratna Wulan.
Laki-laki setengah baya yang memang Ki Darpin itu melangkah gontai menghampiri. Kemudian, dia berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan Ratna Wulan dan Pendekar Pulau Neraka.
"Dari mana saja kau, Ki? Kenapa baru muncul sekarang?" Ratna Wulan langsung menyerang dengan pertanyaan.
"Aku baru saja pulang dari tabib, dan langsung ke sini," sahut Ki Darpin, agak datar nada suaranya.
"Aku tahu kau masih hidup, Ki. Itu sebabnya, selama tiga hari ini kami berdua mencarimu," kata Bayu.
"Benar, Ki. Kau tidak ada di antara mereka yang tewas. Makanya aku begitu yakin kalau kau masih hidup," sambung Ratna Wulan lagi.
"Ceritakan semua yang terjadi di sini, Ki," pinta Bayu.
"Aku ikut bertarung bersama yang lainnya. Salah seorang berhasil memukul ku hingga pingsan. Aku tersadar jauh sebelum kalian datang, lalu pergi mencari pengobatan di rumah seorang tabib. Setelah merasa sembuh, aku segera ke sini lagi," kata Ki Darpin, terdengar perlahan suaranya.
"Tapi kenapa kau tidak memberi kabar, Ki?" tanya Ratna Wulan seperti menyesali.
"Itu tidak mungkin, Wulan," sahut Ki Darpin.
"Kenapa...?" Ratna Wulan meminta penjelasan.
"Hampir semua sahabat-sahabat Ki Wanasa mengetahui hubungannya dengan Lima Setan dari Barat. Dan aku tidak mungkin memberi kabar begitu saja. Mereka bisa menuduhku macam-macam. Bahkan bukan tidak mungkin, akan menyalahkanku," kata Ki Darpin mencoba menjelaskan.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki," selak Bayu jadi bingung.
"Kalian memang tidak tahu, apa yang dilakukan Ki Wanasa bersama Lima Setan dari Barat itu. Bahkan sebenarnya semua sahabat Ki Wanasa juga tidak tahu pasti. Mereka hanya mendengar kabar burung saja, tapi begitu percaya. Hanya saja, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selama Ki Wanasa masih hidup. Mereka tahu, siapa Ki Wanasa itu. Dia bukan hanya sekadar seorang saudagar, tapi juga seorang pendekar yang memiliki kepandaian tingkat tinggi," sambung Ki Darpin.
"Langsung saja, Ki. Apa yang dilakukan ayahku bersama Lima Setan dari Barat...?" selak Ratna Wulan tidak sabar.
"Lima tahun yang lalu, ketika kau masih berusia empat belas tahun, Ki Wanasa sempat menjadi orang kepercayaan Adipati Talagan ini. Adipati itu mempercayakan Ki Wanasa untuk mengantar barang-barang berharga berupa emas dan perak ke kotaraja. Sudah beberapa kali hal itu dilakukan Ki Wanasa, dan selalu tiba dengan selamat. Tapi pada pengiriman terakhir yang berjumlah sangat besar, semua barang itu hilang dirampok Lima Setan dari Barat. Semua prajurit pengawal dari kadipaten tewas. Juga, lima puluh orang yang dibawa Ki Wanasa pun tewas. Hanya aku dan Ki Wanasa sendiri yang tetap hidup. Aku dan Ki Wanasa berhasil melarikan diri, dan kembali ke kadipaten untuk melaporkan semua kejadiannya," tutur Ki Darpin mulai menceritakan.
"Lalu, apa tindakan adipati?" tanya Bayu.
"Adipati Talagan hanya bisa menyesali saja peristiwa itu. Namun beliau tidak bisa menjatuhkan hukuman apa pun, karena memang semua bukti begitu nyata. Hanya saja, sampai sekarang Ki Wanasa tidak lagi mendapat tugas mengantarkan barang ke kotaraja. Tapi beberapa kali adipati mengganti orang, selalu saja amblas dirampok. Hingga, hal itu berlangsung selama dua tahun. Setelah itu tidak ada lagi terdengar perampokan. Lima Setan dari Barat seperti menghilang begitu saja. Dan, kali inilah mereka muncul lagi," Ki Darpin mengakhiri ceritanya.
Ki Darpin dan Bayu memandangi Ratna Wulan yang juga membalas pandangan mereka bergantian. Gadis itu menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
"Aku tahu, apa yang kalian pikirkan. Memang berat untuk mengakui. Tapi kalau kenyataannya memang begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Ratna Wulan, agak mendesah suaranya.
"Belum ada bukti yang jelas kalau Ki Wanasa terlibat dalam semua perampokan itu, Wulan," kata Bayu mencoba menenangkan perasaan hati gadis ini.
"Ki Wanasa memang terlibat," selak Ki Darpin.
Bukan hanya Bayu yang terkejut, tapi juga Ratna Wulan sampai terbeliak menatap laki-laki separuh baya berpakaian lusuh dan kotor penuh bernoda darah kering ini.
"Pada kejadian pertama, memang Ki Wanasa tidak terlibat. Tapi pada peristiwa selanjutnya, dia memang terlibat," tegas Ki Darpin lagi.
"Bagaimana mungkin bisa begitu, Ki...?" Bayu benar-benar tidak menyangka.
"Ki Wanasa merasa sakit hati dan terbuang atas sikap Adipati Talagan. Kemudian, dicarinya Lima Setan dari Barat. Waktu itu aku ikut serta. Ki Wanasa bukannya ingin membalas, tapi malah merencanakan bekerjasama dengan imbalan bagi hasil. Ki Wanasa selalu memberi tahu, kapan akan terjadi pengiriman barang. Semua keterangan, tentang jumlah kekuatan pengawal, serta berapa banyaknya barang, diberikan Ki Wanasa. Bahkan ketika Adipati Talaga menjebaknya, Lima Setan dari Barat itu tidak muncul sama sekali. Memang, mereka telah tahu kalau itu hanya jebakan dan peti-peti pengangkut barang itu hanya berisi batu kali. Mereka juga tahu kalau ada dua pasukan kerajaan membuntuti dari jarak jauh," jelas Ki Darpin.
"Lalu, dari mana Ki Wanasa bisa tahu semua itu?"
"Ada seorang prajurit pengawal adipati yang bersedia bekerjasama dengan imbalan pula. Tapi, dia mencoba berkhianat. Maka, Ki Wanasa membunuhnya sebelum rahasianya terbongkar. Lalu, Lima Setan dari Barat juga dikelabuinya. Dan di saat mereka pergi, Ki Wanasa memindahkan semua hasil rampokan selama dua tahun itu ke tempat lain yang hanya dia sendiri yang tahu," sahut Ki Darpin lagi.
"Dan kau sendiri?" tanya Bayu bernada curiga.
"Aku juga tidak tahu. Waktu itu, aku hanya diminta untuk menyiapkan sebuah kereta besar, yang ditarik sepuluh ekor kuda. Aku tidak tahu, apa rencananya waktu itu. Dan aku baru tahu dua hari sebelum mereka datang ke sini," sahut Ki Darpin. Tapi, Ki Wanasa tidak mau memberi tahu di mana letaknya. Dia hanya mengatakan...."
"Teruskan, Ki," pinta Bayu mendesak.
"Dia hanya mengatakan kalau harta itu tersimpan di tempat yang aman, tapi tidak jauh dari kota kadipaten itu," sambung Ki Darpin.
"Sukar dipercaya, kenapa Ki Wanasa bisa melakukan itu...?" desah Bayu perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Hilangnya kepercayaan Adipati Talaga, membuat usahanya benar-benar hancur. Dan Ki Wanasa hampir bangkrut waktu itu, Bayu. Rasa sakit hatinya lah yang membuatnya berbuat nekat. Dan dari harta itu, dia bisa kembali bangkit dari kebangkrutannya."
"Memang sulit mencari siapa yang salah dalam hal ini," desah Bayu lagi. "Tapi bagaimanapun juga, semua yang dilakukan Ki Wanasa tidak benar."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang, Kakang?" tanya Ratna Wulan jadi lemas setelah mengetahui semua persoalannya.
"Rasanya, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menemukan harta itu dan mengembalikannya pada Adipati Talaga," sahut Bayu.
"Itu sama saja mencoreng nama Ki Wanasa, Bayu," Ki Darpin tampak tidak setuju.
"Kita tidak akan mengatakan kalau Ki Wanasa terlibat, Ki. Katakan saja kalau Lima Setan dari Barat itu yang melakukan semuanya. Dan yang pasti, kita harus bisa melenyapkan mereka. Kalau tidak, mereka akan semakin merajalela saja. Dan yang terpenting, harta itu jangan sampai jatuh ke tangan mereka. Harta itu bisa memperkuat mereka, Ki," tegas Bayu. "Cukup kita bertiga saja yang mengetahui semua rahasia ini."
"Kau sama dengan ayahmu, Bayu. Selalu melindungi sahabat-sahabatnya," puji Ki Darpin.
"Aku tidak melindunginya, Ki. Aku hanya tidak ingin nama Ki Wanasa rusak, walaupun jelas bersalah," bantah Bayu, tegas.
"Terima kasih, Kakang," ucap Ratna Wulan perlahan. Bayu hanya tersenyum saja sambil menepuk punggung tangan gadis itu. Mereka terus berbicara sampai jauh malam. Ratna Wulan membersihkan satu kamar untuk istirahatnya. Sedangkan Bayu dan Ki Darpin terus berada di ruangan tengah ini, dengan hanya sebuah pelita kecil sebagai penerangan.
Malam terus merayap semakin bertambah larut. Bayu dan Ki Darpin masih berada di ruangan tengah rumah peninggalan mendiang Ki Wanasa. Sementara, Ratna Wulan sudah masuk ke dalam kamar yang dibersihkannya untuk beristirahat. Gadis itu tampak lelah sekali. Apalagi setelah mengetahui rahasia yang selama ini tersimpan. Rahasia yang bisa membuat nama baik ayah angkatnya tercoreng, karena perbuatannya sendiri yang melampiaskan rasa sakit hati pada Adipati Talagan. Memang, selama ini sudah banyak orang yang menduga, terutama dari kalangan saudagar dan pembesar Istana Kadipaten Talagan.
Tapi, sampai saat ini mereka tidak memiliki bukti yang cukup akan keterlibatan Ki Wanasa dalam semua perampokan itu. Hingga tak ada seorang pun yang bisa menuduhnya secara langsung. Tapi dengan kematian Ki Wanasa oleh Lima Setan dari Barat, mereka semua langsung tahu kalau Ki Wanasa memang terlibat dalam semua kejadian perampokan itu. Walaupun, itu masih berupa dugaan tanpa bukti jelas. Dan semua rahasia itu kini sudah terpegang Bayu, Ki Darpin, dan Ratna Wulan. Hanya mereka bertiga saja yang tahu.
"Ki! Apa Ki Wanasa pernah mengatakan satu petunjuk penyimpanan harta itu?" tanya Bayu, agak perlahan suaranya.
"Sulit, Bayu. Karena, Ki Wanasa hanya mengatakan tempat penyimpanan harta itu hanya bisa ditemukan kalau ada yang melihat Cendawan Merah. Di tempat Cendawan Merah itulah letaknya," sahut Ki Darpin. "Sedangkan kau tahu sendiri. Tidak sembarang orang bisa mengetahui, dimana Cendawan Merah itu berada. Bahkan kabarnya lagi, Cendawan Merah hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Juga ada yang bilang, kalau Cendawan Merah hanya bisa dilihat oleh orang yang memang sedang mujur atau orang-orang suci," sahut Ki Darpin lagi.
Bayu jadi tersenyum tipis. Pendekar Pulau Neraka juga sering mendengar tentang Cendawan Merah. Sebuah tanaman semacam jamur yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Dan begitu banyak macam ragam cerita tentang cendawan itu. Bahkan Bayu menganggap kalau Cendawan Merah tidak ada. Dan itu hanya merupakan dongeng saja.
"Apa Ki Wanasa membuat gambar petunjuk, Ki?" tanya Bayu lagi.
"Tidak," sahut Ki Darpin. "Katanya, setitik gambar saja bisa membuat malapetaka. Jadi, Ki Wanasa tidak pernah membuat gambar letak harta itu."
Mereka jadi terdiam beberapa saat lamanya.
"Bayu...."
"Hm."
"Kalau boleh kusarankan, sebaiknya kau tidak perlu mempersoalkan harta itu. Kau bisa celaka sendiri nantinya. Lima Setan dari Barat bukan orang-orang sembarangan. Mereka berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya," saran Ki Darpin.
Bayu hanya tersenyum saja sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ki Darpin bangkit berdiri dan melangkah hendak meninggalkan ruangan ini.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Bayu.
"Ke belakang, buang air," sahut Ki Darpin langsung saja berlari kecil ke ruangan belakang rumah ini.
Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala saja memperhatikan Ki Darpin yang lenyap di balik dinding penyekat ruangan. Laki-laki setengah baya itu terus berlari-lari melewati beberapa pintu yang terbuka, kemudian sampai ke bagian belakang rumah yang berukuran sangat besar bagai istana ini. Dia terus berlari-lari kecil memasuki halaman belakang rumah. Tapi belum jauh keluar dari rumah itu, mendadak saja....
"He he he...!"
"Oh...?!"
Ki Darpin jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam di depannya. Dan tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah hitam yang membawa tongkat berwarna hitam, yang satu ujungnya berbentuk runcing.
Ki Darpin jadi terlongong dengan mulut terbuka lebar. Dan dia semakin bengong begitu muncul lagi orang-orang tua yang mengenakan jubah berlainan warna yang semuanya membawa tongkat berwarna sama dengan jubah masing-masing. Tiba-tiba saja, seluruh tubuh Ki Darpin jadi menggeletar hebat. Dan baru disadari, siapa lima orang tua berjubah berlainan warna yang tahu-tahu muncul di depannya ini.
"Lima Setan dari Barat...," desis Ki Darpin hampir tak terdengar suaranya. Laki-laki separuh baya itu melangkah mundur beberapa tindak. Tangan kanannya langsung meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang. Sedangkan lima orang tua yang memang Lima Setan dari Barat itu tetap berdiri tegak berjajar menatap tajam Ki Darpin.
"Mau apa kalian datang lagi ke sini?" tanya Ki Darpin, agak bergetar suaranya.
"Kau sudah tahu jawabannya, Darpin," sahut Setan Jubah Hitam, dingin sekali nada suaranya.
"Tidak ada yang bisa kau dapatkan dariku di sini," tegas Ki Darpin, semakin jelas getaran suaranya.
"Kau pikir kami orang-orang bodoh...?! Aku tahu, kau satu-satunya orang kepercayaan si Keparat Wanasa. Kau tentu tahu, apa yang kuinginkan, Darpin. Dan semua itu ada padamu," semakin dingin nada suara Setan Jubah Hitam.
"Aku tidak tahu apa-apa. Ki Wanasa tidak pernah mengatakan apa-apa padaku," bantah Ki Darpin, agak keras suaranya.
"Jangan menyakiti dirimu sendiri, Darpin. Hanya kau yang tahu semua ini. Jadi, tidak mungkin kalau tidak tahu di mana si Keparat Wanasa menyembunyikan harta itu."
"Aku mengatakan yang sesungguhnya. Dan lagi, aku bukan orang kepercayaan Ki Wanasa," sahut Ki Darpin mencoba meyakinkan lima orang tua berjubah itu.
"Ingat, Darpin.... Kesabaran ada batasnya. Dan kami semua sudah tidak sabar lagi," desis Setan Jubah Hitam bernada mengancam.
"Oh...," Ki Darpin mengeluh kecil.
Wajah laki-laki setengah baya itu jadi memucat seketika. Dia tahu, Lima Setan dari Barat bukanlah tandingannya. Tingkat kepandaian yang dimilikinya masih jauh di bawah tingkat kepandaian mereka. Perlahan kakinya melangkah mundur. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang erat-erat.
"Katakan, di mana harta itu...?" desis Setan Jubah Hitam sudah tidak sabar lagi.
"Aku tidak tahu," sahut Ki Darpin.
"Keparat...! Kau akan menyesal, Darpin." Setan Jubah Hitam sudah melangkah maju satu tindak, tapi keburu dicegah Setan Jubah biru.
"Biar aku saja yang membereskannya, Kakang," pinta Setan Jubah Biru.
"Lakukanlah. Tapi, aku tidak mau dia mati. Dialah satu-satunya kunci untuk menemukan harta itu," sahut Setan Jubah Hitam.
"Akan kubuat dia mengaku," janji Setan Jubah Biru.
Setelah berkata demikian, Setan Jubah Biru langsung melangkah lebar mendekati Ki Darpin. Bibirnya menyeringai lebar, seakan-akan ingin mengoyak tubuh laki-laki setengah baya itu. Ki Darpin jadi bergidik. Kengerian langsung menyelimuti seluruh rongga dadanya. Dia tahu, tidak akan mungkin bisa selamat lagi kali ini. Tapi, Ki Darpin tak sudi menyerah begitu saja.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Setan Jubah Biru melompat sambil mengebutkan tongkatnya cepat sekali ke arah kepala Ki Darpin. Tapi pada saat itu, Ki Darpin yang memang sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi langsung saja mencabut pedangnya. Secepat itu pula, pedangnya diangkat untuk menangkis tebasan tongkat berwarna biru itu.
"Hait...!"
Trang!
"Hih...!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Setan Jubah Biru langsung cepat memutar tongkatnya. Dan begitu ujung tongkatnya hampir menyambar pinggang, Ki Darpin cepat-cepat melompat ke belakang. Namun pada saat yang bersamaan, Setan Jubah Biru sudah memberi satu sodokan keras dengan tangan kirinya.
"Ikh...?!" Ki Darpin jadi terpekik kaget.
Buru-buru tubuhnya dijatuhkan ke tanah dan bergulingan beberapa kali untuk menghindari sodokan tangan kiri Setan Jubah Biru. Lalu, bergegas Ki Darpin melompat bangkit berdiri. Dan belum juga sempurna berdirinya, Setan Jubah Biru sudah langsung melompat menyerang. Tongkatnya dikebutkan cepat sekali ke sekitar tubuh laki-laki separuh baya itu.
Ki Darpin terpaksa berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan tongkat Setan Jubah Biru. Beberapa kali ujung tongkat yang runcing itu hampir menghunjam ke tubuhnya. Tapi, Ki Darpin masih bisa menghindar meskipun kelabakan juga. Serangan-serangan yang dilakukan Setan Jubah Biru memang begitu cepat dan dahsyat.
"Lepas...!" seru Setan Jubah Biru tiba-tiba. Bagaikan kilat, laki-laki tua berjubah biru itu mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Ki Darpin. Dan secepat itu pula Ki Darpin mengangkat pedangnya menangkis tebasan tongkat itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Setan Jubah Biru cepat memutar tongkatnya. Lalu tongkatnya dikebutkan ke mata pedang itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam tinggi.
Trang!
"Akh...!" Ki Darpin jadi terpekik.
Begitu kerasnya kebutan tongkat itu, sehingga Ki Darpin tidak dapat lagi mempertahankan pedangnya yang mental ke udara. Dan sebelum sempat menyadari, tahu-tahu Setan Jubah Biru sudah memberikan satu sodokan lunak ke dada sebelah kiri. Gerakan tangan kirinya begitu cepat, sehingga Ki Darpin tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....
Tuk!
"Okh...?!"
Seketika itu juga, Ki Darpin langsung limbung dan ambruk ke tanah setelah dada kirinya terkena totokan jari tangan kiri Setan Jubah Biru. Ki Darpin benar-benar tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya. Jalan darahnya telah tertotok begitu kuat. Hanya kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Sementara Setan Jubah Biru sudah menghampiri, dan berdiri di dekat tubuh laki-laki separuh baya ini.
"Ada yang datang. Cepat kau bawa dia...!" sentak Setan Jubah Hitam, agak tertahan dan tiba-tiba.
"Hup...!"
Setan Jubah Biru cepat mengangkat tubuh Ki Darpin ke pundaknya. Lalu bagaikan kilat, dia melompat cepat meninggalkan halaman belakang rumah ini mengikuti teman-temannya, yang sudah lebih dulu berlompatan pergi. Pada saat Lima Setan dari Barat lenyap di balik tembok yang mengelilingi rumah ini, dari dalam rumah muncul Pendekar Pulau Neraka.
"Ki...! Ki Darpin...!" seru Bayu memanggil dengan suara agak keras.
Tentu saja tak ada sahutan sama sekali. Bayu mengedarkan pandangan ke sekitar halaman belakang ini. Dan pandangannya langsung tertumbuk pada sebatang pedang yang tertancap di pohon. Bergegas dihampirinya pedang itu dan dicabutnya. Kedua bola matanya agak terbeliak begitu mengenali pedang ini milik Ki Darpin.
"Ki Darpin...!" panggil Bayu kembali berteriak.
Pendekar Pulau Neraka jadi tertegun begitu melihat ada tanda-tanda bekas pertarungan di sini. Pada saat itu, Ratna Wulan muncul. Gadis itu terbangun mendengar teriakan Bayu yang memanggil Ki Darpin.
"Ada apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan langsung begitu dekat.
"Ki Darpin hilang," sahut Bayu.
Sementara itu Bayu dan Ratna Wulan masih diliputi teka-teki yang semakin sulit dipecahkan, Ki Darpin tengah berteriak-teriak di dalam sebuah gua yang cukup besar, diterangi api dari beberapa buah obor. Laki-laki separuh baya itu terikat rantai. dengan tangan terentang. Seluruh tubuhnya nampak memar. Kulit tubuhnya tercabik, mengeluarkan darah. Bajunya tidak lagi kelihatan bentuknya.
Ctar!
"Akh...!"
Ki Darpin berkelojotan begitu ujung cambuk kembali merobek kulit tubuhnya. Darah semakin banyak keluar dari luka luka di sekujur tubuhnya. Sementara Setan Jubah Biru terus mengayunkan cambuknya ke tubuh laki-laki separuh baya ini.
"Cukup, Jubah Biru...!" sentak Setan Jubah Hitam.
Cambuk yang terangkat dan hampir menyayat kulit yang sudah hancur itu, jadi tertahan. Perlahan Setan Jubah Biru menurunkan cambuknya. Sementara, Setan Jubah Hitam melangkah mendekati Ki Darpin yang sudah lemas tak berdaya lagi. Dengan ujung kepala tongkatnya, kepala Ki Darpin yang tertunduk lemas tanpa daya dan tenaga lagi diangkatnya.
"Seharusnya, kau tidak perlu mengalami siksaan ini, Darpin. Kau bisa kaya kalau mau bekerjasama," kata Setan Jubah Hitam masih berusaha membujuk.
Ki Darpin hanya diam saja. Tatapan matanya begitu redup, bagai tak memiliki cahaya kehidupan lagi. Dia benar-benar sudah pasrah, seandainya harus mati dalam penyiksaan seperti ini. Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain pasrah menerima kenyataan ini.
"Katakan saja, di mana harta itu, Darpin. Aku berjanji akan memberimu harta yang cukup untuk selama tujuh turunan. Harta itu tidak bakal habis, walaupun dibagikan pada semua orang di Kadipaten Talagan," kata Setan Jubah Merah lagi.
"Terserah apa katamu. Tapi, aku tidak akan mengkhianati Ki Wanasa, "desis Ki Darpin.
"Tapi dia telah mengkhianati mu, Darpin. Juga mengkhianati kami semua."
"Dia tidak mengkhianatiku. Semua harta itu diambilnya karena kalian sudah berniat untuk menguasainya, dan ingin membunuhnya. Kalian boleh lakukan apa saja padaku. Tapi jangan harap bisa menemukan harta itu," desis Ki Darpin dingin.
"Keparat...!" geram Setan Jubah Hitam.
"Ayo, bunuh aku...!" tantang Ki Darpin.
Setan Jubah Hitam yang sudah mengangkat tangannya, tidak jadi menjatuhkan pukulan pada laki-laki setengah baya ini. Dia hanya mendengus kesal, karena tidak bisa membujuk Ki Darpin untuk mengatakan tempat penyimpanan harta itu.
"Huh...!" sambil mendengus kesal, Setan Jubah Hitam berbalik, lalu melangkah menjauhi Ki Darpin.
"Hhh!"
Ki Darpin hanya tersenyum sinis. Lima Setan dari Barat itu berkumpul di dekat mulut gua, menghadapi sebuah api unggun yang tidak begitu besar nyala apinya. Sementara Ki Darpin hanya memperhatikan saja dengan sinar mata penuh ejekan. Bibirnya terus menyunggingkan senyum tipis yang terasa begitu sinis.
"Aku tidak tahu lagi, bagaimana cara membuka mulutnya," keluh Setan Jubah Hitam.
"Dia benar-benar keras kepala, Kakang," ujar Setan Jubah Merah.
"Tapi, aku tidak ingin dia mati sebelum mengatakan, di mana harta itu tersimpan. Hanya dia satu-satunya yang tahu," kata Setan Jubah Hitam lagi.
"Bukan hanya dia, Kakang," selak Setan Jubah Putih.
"Siapa lagi? Kau tahu...?"
"Bukankah Wanasa punya anak angkat..? Siapa tahu, anak angkatnya itu tahu tempat penyimpanan harta itu," duga Setan Jubah Putih.
"Hm...," Setan Jubah Hitam menggumam kecil.
"Tapi, kudengar dia pergi mengembara dan belum kembali sampai saat ini," kata Setan Jubah Merah.
"Tidak! Dia sudah kembali bersama seorang pemuda. Putra Dewa Pedang, sahabat Wanasa," selak Setan Jubah Putih.
"Tapi semua orang tahu kalau Dewa Pedang sudah mati, dan putranya hilang entah ke mana."
"Kalian semua benar-benar ketinggalan. Putra Dewa Pedang masih hidup. Dia bernama Bayu, dan sekarang ini dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka," jelas Setan Jubah Putih.
"Pendekar Pulau Neraka...?!"
Mereka semua terkejut mendengar julukan itu. Tentu saja mereka sudah mendengar julukan Pendekar Pulau Neraka yang sempat menggegerkan rimba persilatan. Terutama di wilayah Pantai Selatan. Julukan Pendekar Pulau Neraka memang selalu menjadi bahan pembicaraan di kalangan orang-orang persilatan dari semua golongan. Mereka semua sudah sering mendengar sepak terjangnya. Dan mereka juga tahu, tingkat kepandaian Pendekar Pulau Neraka sangat sukar dicari tandingannya. Terlebih lagi, senjatanya yang bernama Cakra Maut. Sampai saat ini, belum ada satu senjata pun yang bisa mengalahkan kehebatannya.
"Dari mana kau tahu semua itu...?" tanya Setan Jubah Merah.
"Semua orang di Kadipaten Talagan sudah tahu. Dan sekarang, mereka sedang mencari kita untuk membalas kematian Wanasa."
"Hm...," lagi-lagi Setan Jubah Hitam menggumam perlahan.
"Apa tidak sebaiknya kita mendahului, Kakang?" ujar Setan Jubah Kuning memberi usul.
"Benar, Kakang. Barangkali saja anak angkat Wanasa memang tahu, di mana tempat penyimpanan harta itu," sambung Setan Jubah Merah.
"Lalu, bagaimana dengan Darpin?" tanya Setan Jubah Hitam.
"Tidak ada gunanya mempertahankan orang keras kepala begitu, Kakang. Bunuh saja, dan buang mayatnya ke hutan," dengus Setan Jubah Kuning.
"Lakukan saja apa kehendak kalian. Besok, baru kita cari anak angkat si Wanasa itu," dengus Setan Jubah Hitam seperti putus asa.
"Kita pasti akan mendapatkan harta itu, Kakang," ujar Setan Jubah merah memberi semangat.
Setan Jubah Hitam hanya tersenyum tipis saja, kemudian merebahkan tubuhnya tidak jauh dari api unggun. Sementara Setan Jubah Biru dan Setan Jubah Kuning sudah menghampiri Ki Darpin. Mereka melepaskan rantai yang membelenggu tangan laki-laki separuh baya itu, lalu menggiringnya ke Luar gua. Tak berapa lama kemudian....
"Aaa...!"
Satu suara jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat, memecah kesunyian malam ini. Kemudian, keadaan kembali sunyi. Tak ada seorang pun yang berbicara lagi. Di dalam gua itu hanya tinggal Setan Jubah Hitam, Setan Jubah Putih, dan Setan Jubah Merah. Sedangkan Setan Jubah Biru dan Setan Jubah Kuning masih belum juga kembali setelah membawa Ki Darpin ke Luar gua ini.
Siang ini, matahari bersinar begitu terik. Daun-daun kering banyak berguguran terhempas hembusan angin. Sejak semalaman, Bayu dan Ratna Wulan tidak memejamkan matanya sedikit pun. Mereka tidak mengenal lelah, terus berusaha mencari Ki Darpin yang menghilang sejak semalam. Sudah seluruh sudut Kota Kadipaten Talagan ditelusuri, tapi tidak juga ditemukan tanda-tanda Ki Darpin berada. Dan sekarang, mereka memasuki hutan yang tidak jauh dari perbatasan kota kadipaten itu.
"Kakang...," desah Ratna Wulan tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Bayu.
"Lihat..."
Kelopak mata Bayu agak menyipit, mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Ratna Wulan. Kemudian, bergegas kakinya melangkah mendekati sesosok tubuh yang tergolek di bawah pepohonan. Bukan hanya Pendekar Pulau Neraka yang terkejut. Bahkan Ratna Wulan sampai terbeliak begitu mengenali sosok tubuh penuh luka, yang ternyata Ki Darpin.
"Dia sudah meninggal...," desah Bayu perlahan, setelah memeriksa keadaan Ki Darpin.
"Kejam...," desis Ratna Wulan. "Siapa yang melakukan perbuatan sekeji ini, Kakang?"
Bayu tidak bisa menjawab. Keadaan tubuh Ki Darpin memang rusak. Seluruh tubuhnya tercabik seperti bekas cambukan. Darah yang sudah hampir kering melekat di sekujur tubuhnya. Bahkan lehernya terkoyak hampir buntung. Tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan. Dan mereka saling melemparkan pandangan.
"Lima Setan dari Barat..," desis mereka berbarengan.
Ternyata, bukan hanya Bayu saja yang menduga itu. Malah Ratna Wulan juga langsung menduga kalau yang melakukan kekejaman pada Ki Darpin adalah Lima Setan dari Barat. Bukan hanya luka-luka cambuk di sekujur tubuhnya dan leher yang menganga lebar hampir buntung. Tapi, beberapa lubang bekas tusukan juga terlihat didadanya. Benar-benar suatu penyiksaan yang begitu berat dan sangat keji. Ratna Wulan hamper tidak sanggup membayangkan penderitaan Ki Darpin dalam menjalani siksaan itu.
"Kakang, lihat tangannya...," kata Ratna Wulan tiba-tiba.
Bayu segera membungkuk, dan mengangkat tangan kanan Ki Darpin yang terkepal erat. Dibukanya jari-jari yang terkepal kaku itu. Dan dari dalam kepalan tangan Ki Darpin, Bayu mendapatkan selembar gulungan daun lontar. Pendekar Pulau Neraka segera membuka gulungan daun lontar itu.
"Sabuk kulit...," gumam Bayu membaca sebaris kalimat yang tertera pada lembaran daun lontar ini.
"Apa maksudnya, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
Memang hanya dua kata itu saja yang ada pada daun lontar ini. Namun, Bayu tidak menjawab. Dia kemudian membungkuk dan melepaskan sabuk yang terbuat dari kulit binatang yang dikenakan Ki Darpin. Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengamati, lalu membuka kantung kecil pada sabuk itu. Dari dalam kantung ini ditemukan potongan bambu berukir, bergambar lingkaran dengan dua buah titik pada bagian tengahnya.
"Apa itu...?" tanya Ratna Wulan lagi.
"Kau kenali gambar ini, Ratna Wulan?" Bayu malah balik bertanya.
Ratna Wulan mengambil potongan bambu itu, lalu mengamati gambar yang terukir di situ. Keningnya jadi berkerut, memperhatikan gambar pada bambu berukuran kecil ini. Kemudian diambilnya lembaran daun lontar dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Sebentar diamatinya dua benda yang begitu dalam menyimpan suatu rahasia. Kemudian ditatapnya pemuda tampan berbaju kulit harimau itu.
"Sepertinya, ini suatu petunjuk penyimpanan harta itu, Kakang," kata Ratna Wulan.
"Iya, tapi apa maksudnya?" tanya Bayu lagi.
"Aku pernah melihat gambar ini sebelumnya," agak perlahan suara Ratna Wulan.
"Di mana?" tanya Bayu lagi.
"Di mata tombak milik ayah."
"Mata tombak...?" Bayu jadi tertegun.
"Iya. Senjata kebanggaan ayah. Senjata itu ada di rumah. Aku menyimpannya di kamar," sahut Ratna Wulan lagi.
"Hm.... Ini seperti suatu mata rantai untuk menuju tempat harta itu, Wulan," gumam Bayu.
"Aku rasa memang demikian, Kakang." Bayu memandang tubuh Ki Darpin, kemudian mengambil dua benda itu dari tangan Ratna Wulan. Lalu dibungkusnya benda itu dengan sehelai kain yang disobek dari selendang Ratna Wulan, kemudian diberikannya pada Tiren. Seekor monyet kecil berbulu hitam yang selalu berada di pundak kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Ikatkan ini di atas pohon, Tiren," perintah Bayu.
"Nguk...!"
Tanpa diperintah dua kali, Tiren segera melompat naik ke atas pohon. Cepat sekali gerakannya. Sebentar saja, monyet kecil berbulu hitam itu sudah berada di puncak pohon yang begitu tinggi. Lalu, diikatnya kain merah yang membungkus dua benda itu pada salah satu dahan. Kemudian, binatang itu bergegas turun. Dan kini Tiren kembali hinggap di pundak Pendekar Pulau Neraka.
"Kau kenali pohon ini, Tiren," pinta Bayu.
Tiren mengangguk sambil memperdengarkan suara menggumam kecil. Bayu kini kembali menghampiri tubuh Ki Darpin. Lalu dipondongnya mayat itu, dan terus melangkah ke tempat yang lebih lapang dan teduh. Perlahan-lahan diletakkan tubuh laki-laki separuh baya bekas murid ayahnya yang telah menjadi mayat itu.
Tiren langsung melompat dan berpindah ke pundak Ratna Wulan, ketika Bayu berdiri tegak dengan telapak tangan menyaru di depan dada. Sebentar Pendekar Pulau Neraka menarik napas dalam-dalam, lalu....
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangannya ke depan. Dan dari kedua telapak tangannya, seketika meluncur secercah sinar merah yang langsung menghantam tubuh Ki Darpin. Suara ledakan keras terdengar menggelegar memekakkan telinga. Tampak tubuh Ki Darpin mengepulkan asap kemerahan. Lalu begitu asap menghilang tertiup angin, tubuh Ki Darpin lenyap. Yang tertinggal kini hanya seonggok debu.
Bayu melangkah menghampiri onggokan debu tubuh Ki Darpin. Lalu, dikeluarkannya sehelai kain putih dari balik sabuknya. Kain itu ditebarkan ke tanah, dan diraupnya debu berwarna putih keabu-abuan itu. Sedikit demi sedikit debu itu dipindahkan ke atas kain putih. Sementara, Ratna Wulan hanya memperhatikan saja tanpa berbicara sedikit pun juga. Dia merasa heran melihat semua yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka.
Setelah semua debu itu berpindah ke atas kain, Bayu kemudian membungkusnya dengan rapi. Kembali kakinya melangkah sambil membawa bungkusan kain berisi debu jasad Ki Darpin. Pendekar Pulau Neraka tersenyum melihat Ratna Wulan terbengong keheranan menyaksikan perbuatannya ini.
"Ini suatu kepercayaan yang dilakukan leluhur ku, Ratna Wulan. Dan itu diterapkan di padepokan ayahku. Semua murid padepokan yang meninggal, diperabukan. Lalu, abunya dihanyutkan ke sungai. Mereka akan merasa bangga daripada dikebumikan," jelas Bayu memberi penjelasan tanpa diminta.
Ratna Wulan masih terdiam.
"Memang tidak semuanya mau mengikuti kepercayaan itu. Dan aku sendiri sebenarnya tidak setuju. Tapi semalam, sebelum menghilang, Ki Darpin sudah berpesan padaku untuk memperabukan jasadnya jika meninggal. Aku sudah berjanji akan melaksanakannya, meskipun aku sendiri tidak menyukai cara ini," jelas Bayu lagi.
"Dari mana kau tahu semua itu, Kakang? Sedangkan kau sudah berpisah dengan keluargamu sejak masih bayi," tanya Ratna Wulan ingin tahu.
"Dari para sahabat ayahku, dan beberapa orang murid ayahku yang masih hidup dan sempat kutemui," sahut Bayu kalem.
"Ilmu apa yang kau gunakan itu tadi?" tanya Ratna Wulan lagi.
"Hanya ilmu warisan. Aku mempelajarinya dari salah seorang guru pengajar di padepokan ayahku, yang waktu itu sempat selamat ketika padepokan ayahku hancur. Tidak sulit mempelajarinya. Kau juga bisa mempelajarinya. Paling tidak, hanya butuh dua atau tiga hari untuk mempelajarinya," kata Bayu menjelaskan lagi.
"Secepat itu...?" Ratna Wulan seperti tidak percaya.
"Iya. Tapi ilmu itu tidak bisa digunakan untuk bertarung."
"Kenapa?"
"Karena membutuhkan pemusatan pikiran yang penuh. Sedangkan di dalam pertarungan, harus dilakukan dengan cepat. Dan jika digunakan dalam pertarungan, kau akan mati sebelum sempat mempergunakannya. Lagi pula, ilmu itu tidak berarti sama sekali jika ditujukan pada makhluk hidup yang masih bernyawa. Tidak akan mematikan. Paling tidak, hanya merasakan sakit sedikit saja. Dan tidak ada pengaruhnya sama sekali," jelas Bayu lagi. "Aku sudah pernah mencobanya pada binatang. Tapi, hasilnya memang begitu. Kelinci yang ku pukul dengan ilmu itu, tidak mati sama sekali. Bahkan terus berlari, setelah terpental sedikit"
"Ilmu aneh...," desah Ratna Wulan.
"Ilmu itu memang diciptakan bukan untuk menyakiti. Tapi, untuk memberi kebahagiaan dan kesempurnaan bagi makhluk hidup yang sudah mati."
"Lalu, akan kau apakan abu Ki Darpin itu?" tanya Ratna Wulan.
"Dihanyutkan ke sungai."
"Kenapa harus ke sungai?"
"Air merupakan sumber kehidupan, Ratna Wulan. Menurut kepercayaan, roh yang dihanyutkan ke sungai dan tetap hidup abadi, sepanjang sungai itu terus mengalir. Dan sungai tidak akan berhenti mengalir sepanjang zaman, sampai dunia ini benar-benar hancur."
Ratna Wulan mengangguk-anggukkan kepala. Meskipun sudah bisa mengerti, tapi seperti apa yang dikatakan Bayu tadi, tidak semua orang bisa memahami kepercayaan ini. Dan Bayu sendiri tidak pernah menyetujuinya. Tapi sebagai satu-satunya pewaris keluarga, dia harus bersedia melakukannya, walaupun hatinya tetap menentang.
"Ayo kita cari sungai dulu," ajak Bayu langsung saja melangkah.
Ratna Wulan mengikuti saja tanpa berbicara lagi. Gadis itu masih terus memikirkan cara yang dilakukan Bayu terhadap mayat Ki Darpin. Memang sulit bisa diterima akal biasa. Dan rasanya, Ratna Wulan juga masih belum bisa memahami benar. Tapi, dia tidak banyak bertanya dulu. Dan gadis itu kembali memusatkan seluruh perhatian pada persoalan yang sedang dihadapinya. Suatu persoalan teka-teki penuh tanda tanya yang masih sulit diungkapkan.
"Kakang.... Kalau memang benar yang membunuh Ki Darpin si Lima Setan dari Barat, berarti mereka masih ada di sekitar sini," kata Ratna Wulan mengisi kebisuan yang terjadi setelah mereka berjalan cukup jauh.
"Mereka tidak akan meninggalkan Kadipaten Talagan sebelum mendapatkan harta itu, Wulan," sahut Bayu.
"Tidak bisa kubayangkan, berapa banyak harta itu, Kakang. Bayangkan saja, selama dua tahun mereka merajalela, dan selalu berhasil," kata Ratna Wulan lagi.
"Kau tergiur...?" goda Bayu.
"Untuk apa? Harta tidak akan membawa kebahagiaan, Kakang," dengus Ratna Wulan.
"Tapi banyak orang yang mengejar harta untuk kebahagiaan, Wulan."
"Mereka salah kalau menyangka harta sebagai sumber kebahagiaan. Kau tahu, Kakang. Kebahagiaan yang sejati adanya di sini," kata Ratna Wulan seraya menunjuk dadanya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Bisa dimaklumi ucapan Ratna Wulan barusan. Dan memang, pendapat orang tidak sama. Sedikit pun pasti ada perbedaan, walaupun sangat kecil. Dan secara jujur, Bayu mengagumi gadis ini. Sungguh berbeda pada saat pertama kali bertemu, ketika Ratna Wulan masih bergabung dengan Ratu Gua Setan. Benar-benar jauh perbedaannya. Bayu tidak tahu, apa yang menyebabkan Ratna Wulan bisa berubah begitu cepat. Dari seorang gadis liar yang brutal, kini menjadi gadis yang lembut dan berpandangan luas.
Tapi memang diakui, pada dasarnya Ratna Wulan adalah gadis baik-baik yang terbiasa hidup di lingkungan mewah. Bahkan segalanya selalu tersedia lebih dari cukup. Dia hidup di lingkungan terpandang, dan jarang dimiliki gadis-gadis lain sebayanya. Tapi, Bayu mengakui kalau Ratna Wulan cukup tabah dalam menerima segala cobaan hidupnya kali ini.
Bayu memandangi tombak berukuran cukup panjang, yang ujung matanya terbuat dari emas. Keningnya jadi berkerut melihat mata tombak itu seperti terbagi dua. Dan pada bagian tengahnya, terukir sebuah gambar yang sama persis dengan gambar yang ada pada sepotong bambu dari dalam kantung sabuk Ki Darpin. Sebentar Pendekar Pulau Neraka memandang pada Ratna Wulan yang sejak tadi diam saja memperhatikan.
Trak!
Sekali sentak saja, tombak itu sudah patah, tepat pada bagian ujung matanya yang terbuat dari emas. Ratna Wulan agak terkejut melihat tombak kebanggaan ayah angkatnya dipatahkan Bayu. Tapi, dia tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Gadis itu hanya diam memandangi saja semua yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Bayu melepaskan Cakra Maut dari pergelangan tangannya. Kemudian, dengan ujung senjata keperakan berbentuk persegi enam itu, dia menggurat garis tipis pada bagian tengah mata tombak itu.
Setelah memasang kembali Cakra Maut pada pergelangan tangannya, mata tombak itu dipisahkan hingga terbelah menjadi dua bagian. Ternyata, mata tombak itu berongga pada bagian dalamnya. Dan dari dalam mata tombak berselaput emas itu, Bayu mendapat selembar kulit kayu tipis berukuran kecil yang ternyata guratan-guratan gambar. Bayu lalu menunjukkannya pada Ratna Wulan.
"Kau tahu, apa artinya gambar itu, Wulan?" tanya Bayu.
"Hm...," Ratna Wulan menggumam dengan kening berkerut.
Cukup lama juga Ratna Wulan terdiam memandangi guratan-guratan gambar pada lembaran kulit kayu berukuran kecil itu. Perlahan kemudian, kepalanya terangkat menatap Bayu yang sejak tadi terus memperhatikan.
"Aku tahu, Kakang...," desis Ratna Wulan, agak berbinar bola matanya.
"Kau tahu arti gambar itu, Ratna Wulan...?" tanya Bayu jadi gembira.
"Ayah pasti ingin melukiskan kalau harta itu tersimpan di sekitar Danau Raguling," sahut Ratna Wulan.
"Danau Raguling...? Di mana itu?" tanya Bayu.
"Ada di sebelah Timur Kadipaten Talagan. Tidak jauh dari sini, Kakang. Tidak sampai setengah hari perjalanan," jelas Ratna Wulan.
"Hm, lalu apa arti gambar jamur itu?" tanya Bayu lagi.
"Kau ingat apa yang dikatakan Ki Darpin, Kakang?"
Bayu mengangguk.
"Jamur inilah yang dikatakan Ki Darpin sebagai Cendawan Merah," kata Ratna Wulan lagi.
"Hm.... Jadi benar kalau harta itu bisa ditemukan kalau melihat Cendawan Merah...?" agak menggumam nada suara Bayu.
"Mungkin memang itu maksudnya, Kakang," sahut Ratna Wulan.
Bayu jadi terdiam dengan kening berkerut agak dalam. Dia langsung teringat cerita cerita mengenai Cendawan Merah. Cerita yang selama ini hanya dianggapnya sebagai dongeng anak-anak kecil saja. Sama sekali tidak pernah ditanggapinya kalau Cendawan Merah memang ada. Dan sekarang, rahasia yang harus dipecahkan ini justru melibatkan Cendawan Merah itu. Inilah satu-satunya petunjuk untuk menemukan harta yang disembunyikan Ki Wanasa.
"Sebaiknya, kita cepat ke sana, Kakang. Sebelum ada yang tahu tentang ini semua," kata Ratna Wulan memberi saran.
"Hm..., ayolah," Bayu cepat menyetujui.
Baru saja Bayu dan Ratna Wulan keluar dari dalam rumah peninggalan Mendiang Ki Wanasa, tiba-tiba saja dikejutkan oleh munculnya lima orang tua berjubah yang berlainan warna. Mereka semua memegang tombak yang warnanya sama dengan jubah yang dikenakan masing-masing.
"Lima Setan dari Barat...," desis Bayu langsung mengenali lima orang tua yang dua di antaranya adalah wanita.
Dari ciri-ciri yang diperoleh selama ini, Bayu bisa langsung mengenali mereka. Maka kakinya segera melangkah ke depan beberapa tindak. Sedangkan Ratna Wulan masih tetap berdiri di undakan tangga beranda depan rumah yang berukuran cukup besar ini.
"Mau apa lagi kalian datang ke sini?" tanya Bayu langsung, bernada ketus.
"Kau tentu sudah tahu jawabannya, Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan Jubah Hitam, juga langsung mengenali pemuda berbaju kulit harimau yang berdiri di depannya ini.
"Kalau kalian menginginkan harta itu, rasanya tidak ada di sini. Tapi kebetulan, aku memang sedang mencari kalian untuk membuat perhitungan," terasa dingin sekali nada suara Bayu.
"Ha ha ha...! Kau terlalu pongah, Pendekar Pulau Neraka. Apa kau tidak tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?!" lantang sekali suara Setan Jubah Hitam.
"Aku tahu, kalian adalah manusia-manusia iblis yang tidak pantas lagi hidup di dunia!" sahut Bayu ketus.
"Phuih! Kau akan menyesal menghina kami, Bocah!" dengus Setan Jubah Hitam, langsung memerah wajahnya.
Bet!
Setan Jubah Hitam langsung mengebutkan tongkat, dan menyilangkannya di depan dada. Saat itu juga, empat orang yang berada di belakangnya segera berlompatan mengepung. Sementara, Ratna Wulan sudah berada di samping Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu menggenggam erat gagang Pedang Api yang masih tersimpan di dalam warangka di punggung.
"Hati-hati, Wulan. Mereka bukan orang sembarangan," bisik Bayu memperingatkan.
"Hhh...!" Ratna Wulan hanya mendesis saja.
"Serang, tapi jangan lukai gadis itu...!" perintah Setan Jubah Hitam lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, Lima Setan dari Barat langsung berlompatan menyerang. Tongkat-tongkat mereka yang berujung runcing, berkelebatan cepat di sekitar tubuh Bayu maupun Ratna Wulan. Terpaksa Pendekar Pulau Neraka berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat.
'Phuih...!"
Bayu menyemburkan ludahnya, begitu menyadari kalau serangan yang dilancarkan serentak itu hanya membuatnya terpisah dari Ratna Wulan. Tapi, Pendekar Pulau Neraka tidak bisa lagi berbuat banyak. Tiga orang tua berjubah itu sudah mengeroyoknya dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat. Sedangkan Ratna Wulan harus menghadapi dua orang dari Lima Setan dari Barat itu.
Ratna Wulan tidak sempat lagi mencabut pedangnya, karena serangan yang diterimanya begitu cepat dan mendadak. Tampak jelas tingkat kepandaian yang dimiliki Ratna Wulan masih jauh dibanding Setan Jubah Merah dan Setan Jubah Kuning yang menjadi lawannya. Dalam beberapa jurus saja, gadis itu sudah kelihatan terdesak. Dan dia hanya bisa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang begitu cepat, beruntun, dan bergantian. Hingga akhirnya....
Desss!
"Akh...!"
Ratna Wulan terpekik keras agak tertahan. Satu pukulan lurus yang dilepaskan Setan Jubah Merah tidak dapat lagi dihindari. Begitu keras, walau tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Namun akhirnya, Ratna Wulan jadi terpelanting, dan bergulingan di tanah beberapa kali. Hebatnya, gadis itu cepat bisa bangkit berdiri, meskipun agak terhuyung. Cepat-cepat pedangnya dicabut ketika Setan Jubah Kuning sudah melompat melakukan serangan kembali.
"Hiyaaat...!"
Sret!
Wuk...!
"Ikh...!"
Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah mati begitu tiba-tiba Ratna Wulan mengebutkan pedangnya yang memancarkan api. Cepat-cepat tubuhnya diputar ke belakang beberapa kali, menghindari tebasan Pedang Api itu. Kedua matanya jadi terbeliak melihat pedang berapi tergenggam ditangan Ratna Wulan. Bahkan Setan Jubah Merah juga jadi terperangah tidak menyangka kalau gadis yang dianggap enteng itu memiliki sebuah senjata yang berpamor begitu dahsyat.
"Lawanlah pedangku, Setan-Setan Keparat!
Hiyaaat...!"
Entah dari mana datangnya kekuatan itu, tiba-tiba saja Ratna Wulan merasa kekuatan yang ada pada dirinya bertambah dua kali lipat. Maka dengan cepat sekali dia melompat menerjang Setan Jubah Merah dan Setan Jubah Kuning sambil mengebutkan pedang begitu cepat bagai kilat.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hait..!"
Serangan-serangan yang dilancarkan Ratna Wulan memang sangat dahsyat. Udara di sekitar pertarungan itu jadi terasa panas dan menyesakkan. Akibatnya, dua orang tua itu jadi kelabakan menghindarinya. Mereka benar-benar terkejut dan tidak menyangka kalau gadis yang dianggap ringan itu ternyata memiliki satu simpanan yang begitu dahsyat dan luar biasa.
Sementara itu, tiga orang tua berjubah lain yang sedang mengeroyok Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak kaget. Mereka merasakan sambaran hawa panas. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Ratna Wulan menggunakan pedang yang memancarkan api begitu dahsyat.
"Tinggalkan mereka cepat...!" seru Setan Jubah Hitam tiba-tiba.
"Hup!"
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Lima Setan dari Barat segera berlompatan cepat sekali. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuh mereka sudah tidak terlihat lagi. Ratna Wulan bergegas menghampiri Pendekar Pulau Neraka sambil memasukkan kembali Pedang Api itu ke dalam warangka. Tampak napas gadis itu terengah-engah, dan keringat mengucur deras dari sekujur tubuhnya.
"Ke mana mereka pergi, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Ke arah Utara," sahut Bayu.
"Kita kejar...?"
"Tidak perlu, Wulan. Sebaiknya kita cepat ke Danau Raguling sebelum mereka tahu apa yang kita dapatkan," ujar Bayu.
Ratna Wulan hanya mengangkat bahunya saja. Kemudian kakinya terayun mengikuti ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka. Mereka berjalan tanpa bicara lagi, meninggalkan rumah besar peninggalan Mendiang Ki Wanasa.
"Heran.... Kenapa mereka datang menyerang kita, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti untuk dirinya sendiri.
"Mereka menginginkan mu, Wulan," sahut Bayu kalem tanpa menghentikan ayunan langkah kedua kakinya.
"Aku...? Untuk apa mereka menginginkan aku?" tanya Ratna Wulan tidak mengerti.
"Mereka menganggapmu telah tahu tempat penyimpanan harta itu, karena tinggal kaulah satu-satunya keluarga Ki Wanasa yang masih hidup. Apa kau tidak mengerti kata-kata mereka, Wulan? Mereka menginginkan kau tetap hidup."
"Edan...!" desis Ratna Wulan agak mendengus.
"Mereka akan terus muncul, Ratna Wulan Kau harus lebih berhati-hati sekarang ini," kata Bayu memperingatkan lagi.
"Aku tahu, Kakang," desah Ratna Wulan perlahan.
Kembali mereka terdiam.
"Hhh.... Benar-benar perjalanan neraka buatku," desah Ratna Wulan perlahan, seperti untuk dirinya sendiri.
Bayu hanya tersenyum saja. Tapi, mendadak saja senyumnya menghilang. Dia jadi teringat perjalanan hidupnya sejak dilahirkan hingga sekarang ini. Gumaman Ratna Wulan yang mendesah tadi seperti ditujukan untuk dirinya. Memang selama ini Bayu merasakan kalau perjalanan hidupnya seperti perjalanan neraka. Sedikit pun tak ada kesenangan yang diperoleh. Di manapun berada, yang dijumpai hanya persoalan demi persoalan. Sepertinya, semua persoalan hidup tertumpah padanya. Memang tidak enak bila berada dalam jalur yang menuju neraka. Segalanya serba tidak menyenangkan.
"Ada apa, Kakang?" tegur Ratna Wulan yang melihat wajah Bayu berubah terselimut mendung.
"Tidak... Tidak ada apa-apa, Wulan," sahut Bayu, buru-buru, sambil memberi senyuman.
Tapi senyuman Pendekar Pulau Neraka terasa amat getir. Dan Ratna Wulan rupanya menangkap kegetiran itu. Tapi, gadis itu tidak bisa bertanya lebih jauh. Dan tampaknya, Bayu memang tidak ingin membicarakannya lagi. Mereka kembali terdiam dan terus melangkah menuju Danau Raguling yang berada di sebelah Timur Kadipaten Talagan ini.
Dan selama perjalanan ini, Bayu lebih banyak diam. Ratna Wulan sendiri sulit menduga, apa yang menjadi beban pikiran Pendekar Pulau Neraka saat ini. Terlalu sulit baginya untuk menduga. Karena setiap kali ditanyakan, Bayu selalu saja bisa cepat menyembunyikan. Tapi, Ratna Wulan yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran Pendekar Pulau Neraka.
"Boleh Tiren bersamaku, Kakang?" pinta Ratna Wulan tidak betah diam terus-menerus.
Bayu hanya tersenyum saja. Kemudian tangannya diangkat ingin mengambil monyet kecil itu. Tapi belum juga tangan Bayu menyentuhnya, Tiren sudah melompat cepat dan berpindah ke pundak Ratna Wulan. Sehingga, gadis itu jadi tertawa terbahak-bahak. Tiren mencerecet ribut, berjingkrakan di pundak gadis ini. Bayu hanya tersenyum tipis.
"Dasar...!" dengus Bayu.
"Dia lebih senang pada wanita, Kakang," goda Ratna Wulan.
"Iya, kalau wanitanya secantikmu," balas Bayu.
"Huuuh...!" Ratna Wulan mencibir.
Kini Bayu yang tertawa terbahak-bahak melihat wajah gadis itu jadi memerah. Ratna Wulan jadi gemas. Dan baru disadari kalau monyet kecil ini berjenis jantan. Maka buru-buru tangannya dikibaskan. Tapi, Tiren sudah lebih cepat melompat, berpindah lagi ke pundak Bayu. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Pulau Neraka semakin keras tertawa.
"Tidak lucu...!" rungut Ratna Wulan.
Bayu mengedarkan pandangan berkeliling di sekitar Danau Raguling ini. Saat itu, malam sudah jatuh. Sehingga keadaan di sekitar danau itu tampak gelap. Namun, cahaya bulan yang bersinar penuh malam ini membuat keadaan di danau ini kelihatan begitu indah. Seluruh permukaan danau seperti bermandikan manik-manik mutiara. Sehingga menambah indahnya pemandangan di sekitar danau ini. Bayu jadi begitu kagum dibuatnya, sehingga jadi lupa tujuannya datang ke sini. Pendekar Pulau Neraka benar-benar menikmati keindahan Danau Raguling ini. Rasanya, belum pernah dia menyaksikan keindahan yang begitu alami seperti di Danau Raguling ini. Begitu mempesona, membuat hatinya jadi terhibur. Dan seketika itu juga, sirnalah semua kegundahan yang merambati hatinya sejak datang ke Kadipaten Talagan ini.
"Kenapa tersenyum-senyum, Kakang?" tegur Ratna Wulan yang sejak tadi berada di samping Pendekar Pulau Neraka, dan terus memperhatikan sikapnya.
"Tidak apa-apa. Aku hanya...," Bayu tidak melanjutkan kata-katanya.
"Hanya, apa, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Bayu masih ingin menutupi apa yang terjadi pada dirinya.
"Ayolah, Kakang.... Ada apa?" desak Ratna Wulan agak merengek.
"Aku..., aku hanya terkesan dengan keindahan pemandangan di sini," sahut Bayu sedikit gugup.
"Danau ini memang indah, Kakang. Dulu aku sering ke sini bersama ayah," tutur Ratna Wulan seraya mengedarkan pandangan berkeliling.
"Kau tentu tahu betul seluk-beluknya, Ratna Wulan," kata Bayu langsung biasa lagi. Dan Pendekar Pulau Neraka sudah bisa mengalihkan perhatian Ratna Wulan yang tadi sempat membuatnya gugup.
"'Tentu saja. Aku kenal betul setiap jengkalnya," sahut Ratna Wulan merasa bangga.
"Sebaiknya, kita mulai mencari tempat persembunyian harta itu, Wulan," ajak Bayu tidak ingin lagi menarik perhatian gadis ini untuk mengetahui kegelisahan hatinya.
"Kau masih menyimpan gambar itu...?"
"Ini," sahut Ratna Wulan sambil mengambil lembaran kulit kayu dari balik lipatan bajunya.
"Kau tahu, kira-kira gambar ini menunjukkan apa, Wulan?" tanya Bayu.
Ratna Wulan terdiam. Diperhatikannya setiap guratan gambar pada lembaran kulit kayu itu. Bayu juga ikut memperhatikan. Agak lama juga mereka terdiam, memperhatikan gambar itu. Lalu, pandangannya beredar berkeliling. Bayu mengambil lembaran potongan kulit kayu itu, kemudian melangkah perlahan mendekati danau yang berkilauan seperti bertaburkan butiran batu mutiara.
"Hm...," Ratna Wulan menggumam perlahan. Kembali gadis itu mengamati guratan-guratan halus di atas lembaran kulit kayu berukuran kecil ditangannya. Kemudian matanya memandang danau yang berkilauan bagai bertaburkan mutiara itu. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja. Pendekar Pulau Neraka masih diam melihat Ratna Wulan melangkah sampai ke tepi danau. Bayu mengikuti dari belakang.
"Perahu siapa ini, Wulan?" tanya Bayu memperhatikan sebuah perahu kecil bercadik panjang yang tertambat di tepi danau ini.
"Aku belum pernah melihatnya. Tapi di gambar ini.... Kau lihat guratan agak melengkung ini, Kakang? Aku yakin itu gambar perahu," sahut Ratna Wulan.
"Lalu?"
"Aku merasa kita harus naik perahu ini ke tengah danau. Atau mungkin ke seberang danau ini," sahut Ratna Wulan lagi.
"Kenapa harus menunggu waktu lagi, Wulan...?" ujar Bayu.
Mereka segera naik ke dalam perahu itu. Bayu mengambil dayung, lalu duduk di bagian belakang. Kemudian, perlahan-lahan perahu kecil bercadik itu bergerak menuju ke tengah danau. Angin yang berhembus begitu kencang, sehingga menebarkan udara yang begitu dingin menggigilkan. Bayu terus menggerakkan dayung ini, membuat perahu kecil itu terus meluncur perlahan-lahan ketengah-tengah danau.
"Berhenti dulu, Kakang," pinta Ratna Wulan memberi perintah.
Bayu menghentikan dayungnya. Perlahan perahu kecil itu berhenti bergerak. Dan mereka kini sudah berada di tengah-tengah danau yang cukup luas. Sepanjang mata memandang, hanya kilauan air saja yang bercahaya bermandikan sinar bulan yang indah keperakan.
"Kenapa berhenti di...?" Belum juga pertanyaan Bayu selesai, tiba-tiba saja permukaan air danau itu bergolak seperti mendidih. Bahkan mampu membuat perahu yang ditumpangi jadi oleng. Tiba-tiba saja, dari permukaan air yang bergolak itu bermunculan tubuh-tubuh berlumut dan berlendir seperti ikan. Mereka membawa tombak panjang, yang bagian ujungnya bercabang tiga dari besi yang berwarna kuning keemasan. Tanpa memperdengarkan suara sedikit pun juga, tiba-tiba saja sosok-sosok tubuh berlumut yang dipenuhi rerumputan air itu, berlompatan menyerang dua pendekar muda di atas perahu itu.
"Awas, Wulan...!" teriak Bayu memperingatkan.
"Hiyaaat...!"
Ratna Wulan cepat merunduk, menghindari hunjaman tombak bercabang tiga itu. Lalu cepat sekali tangan kanannya dihentakkan menyodok ke arah dada yang tampak kosong. Sodokan Ratna Wulan yang begitu cepat, tidak dapat dihindari lagi. Dan tampaknya, makhluk yang muncul dari dalam danau itu memang tidak berusaha menghindar sedikit pun. Sehingga, sodokan tangan kanan Ratna Wulan tepat menghantam dadanya.
Desss!
Sedikit pun tak ada terdengar suara keluhan. Apalagi jeritan makhluk air yang berlendir itu. Tubuh yang penuh lumut dan rerumputan air itu terpental deras ke belakang, dan kembali tenggelam ke dalam air. Sementara itu, Bayu juga menghadapi beberapa makhluk yang sama-sama muncul dari dalam air. Mereka menyerang seperti membabi buta, tanpa aturan sama sekali. Bahkan tidak sedikit pun mereka berusaha menghindari setiap serangan yang dilancarkan dua pendekar muda ini. Sehingga, mudah sekali Pendekar Pulau Neraka maupun Ratna Wulan membuat mereka berpentalan kembali masuk ke dalam air. Tapi, makhluk-makhluk itu kembali cepat berlompatan keluar dari dalam danau, dan terus melakukan serangan secara sembarangan.
"Phuih! Mereka seperti tidak ada habisnya, Kakang!" dengus Ratna Wulan mulai kesal.
"Kau hadapi saja, Wulan!" seru Bayu.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka mengambil dayung. Lalu cepat perahu itu dikayuh sehingga meluncur deras seperti melayang di atas permukaan danau ini. Karena, Pendekar Pulau Neraka mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya saat mengayuh. Tampak makhluk-makhluk air itu hanya memandangi saja, berdiri di atas permukaan air danau yang sudah tenang kembali. Sebentar saja, perahu itu telah sampai di tepi seberang. Kini mereka segera berlompatan keluar dari dalam perahu itu.
"Phuih...!"
"Edan...!"
Kedua pendekar muda itu memandangi makhluk-makhluk aneh yang kembali tenggelam kedalam danau. Mereka kini telah berada di seberang danau. Di belakang mereka tampak hutan yang begitu lebat dan menghitam kelam. Bulan masih bersinar penuh. Cahayanya yang keperakan, terpantul oleh permukaan air danau.
"Hhh.... Tidak selamanya keindahan itu bisa nyaman dinikmati...," desah Bayu seperti bicara pada diri sendiri.
"Sudahlah, Kakang. Sebaiknya kita lanjutkan saja mencari harta itu," kata Ratna Wulan.
"Hm, ya.... Di mana gambar itu, Wulan?"
"Ini, masih ada."
Mereka kembali memperhatikan guratan gambar yang ada pada lembaran kulit kayu berukuran kecil itu. Kening Ratna Wulan tampak berkerut saat menatap berkeliling, lalu tertumbuk lurus pada dua buah batu yang tertanam di tanah seperti tonggak. Gadis itu memperhatikan guratan gambar pada kulit kayu itu. Kemudian kakinya terayun mendekati dua tonggak batu yang berdiri sejajar, tidak jauh dari tepian danau ini. Sementara, Bayu terus mengikuti dan mensejajarkan ayunan langkahnya di samping gadis itu.
"Dua garis lurus di dekat lingkaran ini seperti menunjukkan dua batu itu, Kakang," duga Ratna Wulan sambil menunjuk dua tonggak batu di depannya.
"Maksudnya?" tanya Bayu tidak mengerti.
Bayu memang sama sekali tidak mengerti cara-cara seperti ini. Dan baru pertama kali dirinya terlibat dalam perebutan harta seperti ini. Terlebih lagi, yang menggunakan gambar-gambar petunjuk untuk menemukan harta itu. Tapi, tampaknya Ratna Wulan memahami akan maksud gambar itu. Sehingga, Bayu hanya mengikuti saja apa yang dikatakan gadis ini.
"Rasanya tidak ada lagi gambar yang bisa dilihat, Kakang. Barangkali, memang di sinilah ayah menyimpan hartanya," jelas Ratna Wulan.
"Coba kuperiksa dulu, Wulan," kata Bayu mulai waspada. "Menjauhlah sedikit. Barangkali saja ayahmu membuat jebakan untuk melindungi harta itu."
"Hati-hati, Kakang," ujar Ratna Wulan.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian me langkah perlahan mendekati dua tonggak batu yang menjulang sekitar dua batang tombak tingginya. Pendekar Pulau Neraka menajamkan telinganya. Dan pandangannya pun dipertajam untuk melihat kalau-kalau ada jebakan yang tidak terduga, muncul dari balik tonggak batu ini. Tapi sampai begitu dekat berada di tonggak batu itu, belum ada tanda-tanda bakal ada jebakan. Perlahan Bayu mengulurkan tangannya untuk menyentuh batu itu. Dan begitu jari tangannya menyentuh satu tonggak batu itu, tiba-tiba saja....
"Awas, Kakang...!" teriak Ratna Wulan.
"Hup...!"
Bayu cepat-cepat melompat mundur, seraya berputaran beberapa kali di udara. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja bagian atas tonggak batu itu berguguran, ketika Bayu menyentuhkan jari tangannya tadi. Suara menggemuruh terdengar begitu keras. Bumi terasa bergetar, begitu batu-batu yang berguguran menghantam permukaan bumi.
"Phuuuh...!" Bayu mendenguskan nafasnya begitu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Debu mengepul di sekitar tonggak batu itu. Tampak batu-batu yang berguguran bertumpuk menjadi satu. Dan baru saja Pendekar Pulau Neraka melangkah dua tindak ke depan, tiba-tiba saja puluhan anak panah berhamburan dari arah depan.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu langsung melenting ke udara. Tubuhnya berputaran beberapa kali sambil cepat mengebutkan tangan untuk menyampok anak-anak panah yang berhamburan di sekitarnya. Berpuluh-puluh, atau bahkan ratusan anak panah berhamburan menghujani tubuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi, tak ada satu pun yang berhasil mengenainya. Dengan gerakan manis sekali, Pendekar Pulau Neraka kembali menjejakkan kakinya di tanah.
"Kau tidak apa-apa, Tiren?" tanya Bayu sambil menepuk monyet kecil yang masih nangkring dipundak kanannya.
"Nguk!" Tiren menyahuti dengan menganggukkan kepala.
Bayu menatap tajam tonggak batu kembar yang kini sudah menjadi tumpukan-tumpukan bongkahan batu. Perlahan kakinya kembali terayun. Sementara, Ratna Wulan berdiri mengawasi dari jarak yang agak jauh. Tak ada lagi serangan jebakan yang dihadapi, sampai Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di atas tumpukan bongkahan batu itu. Pandangannya beredar berkeliling. Keningnya jadi berkerut, begitu melihat sebuah mulut gua berukuran kecil tersembunyi di balik gerumbul semak belukar.
"Hup...!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Pulau Neraka melompat mendekati mulut gua kecil yang berada tidak jauh dari balik tonggak batu kembar yang kini tinggal onggokan tumpukan batu. Dengan sekali lompat saja, Pendekar Pulau Neraka sampai di depan mulut gua. Bayu mengambil sebatang kayu yang cukup panjang ukurannya. Dan dengan kayu itu, semak yang menutupi mulut gua ini disibaknya. Tak ada sesuatu yang ditemukan.
Perlahan-lahan Pendekar Pulau Neraka melangkah mendekati mulut gua itu. Kepalanya kemudian dijulurkan ke dalam. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu melihat ke dalam gua, yang ternyata tidak seberapa besar dan juga tidak dalam.
"Kau temukan sesuatu, Kakang...?" teriak Ratna Wulan bertanya.
"Ke sinilah cepat, Wulan!" panggil Bayu, agak keras suaranya.
Ratna Wulan bergegas melangkah hendak menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu berlompatan ringan melewati tumpukan bongkahan batu. Kemudian dengan sekali lompatan ringan, dia sudah berada di samping Bayu.
"Coba lihat ke dalam gua ini," ujar Bayu.
Ratna Wulan menjulurkan kepala ke dalam gua, tapi tak lama sudah ditarik kembali. Dipandanginya Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan di dalam gua itu.
"Sebaiknya kita masuk ke dalam sana, Wulan," kata Bayu.
Ratna Wulan hanya mengangguk saja. Kemudian mereka melangkah memasuki gua yang tidak begitu besar ini. Mulut gua yang kecil, dan hanya bisa dilewati satu orang. Dan itu pun harus merendahkan badan agar tidak terantuk atap mulut gua ini. Mereka tidak ada yang bicara, meskipun sudah berada di dalam gua. Apa yang disaksikan di dalam gua, memang sukar bisa dipercaya. Sedangkan Ratna Wulan sudah begitu yakin kalau guratan gambar di kulit kayu itu menunjukkan tempat penyimpanan harta yang memang terletak di sini. Tapi kenyataannya....
"Mustahil...," desis Ratna Wulan seperti tidak percaya.
Memang tidak ada yang bisa didapatkan di dalam gua ini, kecuali tumpukan peti-peti kayu kosong. Sedangkan harta itu sama sekali tidak ada di dalam gua ini. Setiap peti yang ada di dalam gua itu diperiksa. Bahkan setiap jengkal dinding dan lantai sudah diamati. Kini sudah tak ada lagi petunjuk di dalam gua ini. Dan peti-peti itu sudah jelas bekas tempat harta yang selama ini selalu diributkan.
"Kakang, coba ke sini...," kata Ratna Wulan tiba-tiba.
Bayu bergegas menghampiri Ratna Wulan yang tengah berdiri tegak memandang ke dinding gua batu ini. Kening Bayu jadi berkerut saat melihat dinding batu gua ini ternyata terdapat guratan-guratan seperti sebuah gambar. Bayu menghampiri, dan membersihkan batu-batu itu dari lumut yang melekat tebal. Kini guratan-guratan itu terlihat lebih jelas lagi.
Tuk! Tuk! Tuk...!
Bayu mengetuk batu yang terdapat guratan gambar itu. Kemudian langsung ditatapnya Ratna Wulan, yang juga memandangnya penuh arti. Dari suaranya sudah bisa dipastikan kalau di balik batu ini tentu berongga. Bayu melangkah mundur perlahan dua tindak. Sebentar perhatiannya dipusatkan, dan seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan. Lalu perlahan-lahan tangannya terkepal, dan terangkat sampai sebatas pinggang. Sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian....
"Hiyaaa...!"
Brak!
Hanya satu kali pukulan saja, dinding batu gua itu hancur berkeping-keping. Dan memang, dibalik batu itu terdapat sebuah rongga yang tidak begitu besar. Di dalamnya, ternyata hanya ada sebuah peti kayu yang kelihatannya sudah lapuk dimakan rayap. Bayu mengambil peti itu, dan dibawanya pada Ratna Wulan.
"Apa isinya, Kakang?" tanya Ratna Wulan.
"Entahlah. Sebaiknya, kita buka saja," sahut Bayu.
Pendekar Pulau Neraka membolak-balik peti itu. Tak ada tutupnya sama sekali. Kemudian pukulannya dihantamkan ke peti kayu itu hingga hancur berkeping-keping. Dan di dalam peti itu hanya ditemukan sebuah bambu yang diserut halus, serta terikat pita berwarna merah. Bayu segera membuka tutup selongsong bambu itu. Dari dalamnya didapatkan selembar daun lontar bertuliskan beberapa kalimat berwarna kuning keemasan.
"Aku tahu, ini tulisan ayah, Kakang," kata Ratna Wulan.
"Coba kau baca, Wulan," pinta Bayu seraya menyerahkan lembaran daun lontar itu.
Sebentar Ratna Wulan menatap Bayu. Lalu diambilnya lembaran daun lontar itu. Kini pandangannya mulai diarahkan pada tulisan yang tertera di sana.
"Kalian tidak akan menemukan harta disini. Aku sudah menyerahkannya pada Gusti Adipati Talagan," Ratna Wulan membaca baris-baris kalimat yang tertera pada daun lontar itu.
Bayu tampak mengerutkan kening, sambil mendengarkan penuh perhatian.
"Oh, Kakang...," desah Ratna Wulan terharu.
Bayu langsung merengkuh gadis itu dan memeluknya dengan hangat. Ratna Wulan menyembunyikan wajahnya di dada pemuda tampan yang bidang dan agak berbulu. Beberapa saat mereka berpelukan. Memang, pencarian harta yang dilakukan tidak membawa hasil. Tapi mereka bahagia, karena ternyata Ki Wanasa mengembalikan harta itu pada yang berhak.
"Aku tidak mengerti semua yang dilakukan ayah, Kakang," ujar Ratna Wulan setelah melepaskan pelukan Pendekar Pulau Neraka.
"Dari yang kudengar, tindakan Ki Wanasa memang sulit diterka," sahut Bayu, terdengar perlahan suaranya.
"Tapi...," suara Ratna Wulan terputus.
Gadis itu kelihatan ragu-ragu kalau ayah angkatnya telah mengembalikan harta itu pada Adipati Talagan. Dia tahu betul segala watak ayah angkatnya itu. Rasanya, tidak mungkin kalau Ki Wanasa mengembalikannya. Sedangkan sakit hatinya tidak bakal tertembus terhadap Adipati Talagan.
"Ada apa, Wulan? Sepertinya kau ragu-ragu...," ujar Bayu bisa menebak keraguan gadis ini.
"Aku kenal betul, siapa ayah angkatku itu, Kakang. Aku tidak percaya kalau harta itu sudah dikembalikan lagi. Sedangkan kau tahu, ayah begitu sakit hati. Sehingga semua ini dilakukannya untuk membalas sakit hatinya terhadap Adipati Talagan, yang mendepaknya begitu saja. Padahal ayah hanya melakukan satu kesalahan kecil yang sama sekali tidak diinginkan semua orang," kata Ratna Wulan.
"Jadi, kau beranggapan kalau harta itu masih ada, Wulan?"
"Tepat. Kalau sudah dikembalikan, untuk apa Adipati Talagan terus mencarinya, Kakang.?"
"Hm.... Kau benar, Wulan. Adipati Talagan memang masih mencari hartanya itu sampai sekarang. Memang, rasanya tidak mungkin kalau sudah dikembalikan, lalu terus mencari lagi," ujar Bayu, agak menggumam suaranya.
"Hanya yang ku herankan, kenapa ayah menulis surat ini, Kakang...?" ujar Ratna Wulan bertanya lagi.
"Mungkin surat itu dimaksudkan untuk Lima Setan dari Barat, Wulan," sahut Bayu.
"Ya, mungkin juga," desah Ratna Wulan perlahan.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan?" tanya Bayu.
"Apa lagi...? Kita sudah menemukan tempatnya. Dan harta itu tidak ada lagi di sini," sahut Ratna Wulan, agak mendesah suaranya.
Mereka kembali terdiam tak bicara lagi. Memang, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Dan mereka menyadari, seorang pun tidak mungkin lagi bisa menemukan harta yang tersimpan itu, kecuali Ki Wanasa sendiri. Sedangkan Ki Wanasa sudah tewas di tangan Lima Setan dari Barat. Kecil sekali kemungkinan bagi mereka untuk menemukan harta itu.
"Sebaiknya, kita pergi saja dari sini, Kakang," ajak Ratna Wulan setelah cukup lama mereka berdiam diri.
"Kau tidak ingin meneruskan lagi?" pancing Bayu.
Ratna Wulan hanya menggelengkan kepala saja.
"Lalu...?"
"Aku ingin mencari orang tua kandungku saja. Tidak ada lagi tempat untukku, Kakang. Mungkin aku akan terus mengembara sampai bertemu orang tua kandungku. Atau mungkin sampai ajal ku tiba," sahut Ratna Wulan, agak perlahan suaranya.
Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian mengajaknya melangkah keluar dari dalam gua. Mereka tidak lagi berbicara, dan terus melangkah ke luar gua. Tapi begitu berada di luar, mendadak saja....
"He he he...!"
"Oh...?!"
Mereka terkejut bukan main begitu melihat Lima Setan dari Barat tiba-tiba sudah ada di depan gua ini. Entah dari mana mereka tahu tempat ini. Dan lagi, kedatangannya sama sekali tidak diketahui.
"Bagaimana kalian bisa tahu tempat ini...?" tanya Bayu, agak kaget juga atas kemunculan Lima Setan dari Barat.
"Tidak sulit, Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan Jubah Hitam. "Aku tahu, kalian memiliki petunjuk tempat penyimpanan harta itu. Dan kami tentu saja mengikuti kalian sampai ke tempat ini.
He he he...!"
"Kalian benar-benar licik...!" desis Ratna Wulan jadi geram.
"Bukannya licik, Cah Ayu. Tapi pakai ini...," Setan Jubah Hitam menunjuk keningnya sendiri.
"Lagi pula, untuk apa kami susah-susah mencari kalau petunjuk jalannya sudah ada," sambung Setan Jubah Merah.
"Baiklah...," selak Bayu. "Sekarang kita semua sudah ada di sini. Lalu, apa yang ingin kalian lakukan?"
"Ha ha ha...! Kau benar-benar bodoh, Pendekar Pulau Neraka. Tentu saja kami ingin mengambil harta itu sekarang!" sahut Setan Jubah Hitam.
"Harta itu tidak ada lagi di sini," tegas Bayu.
"Jangan coba-coba mempermainkan Lima Setan dari Barat, Bocah!" sentak Setan Jubah Biru lantang.
"Aku tidak main-main. Harta itu memang tidak ada lagi. Kalian boleh lihat sendiri," kata Bayu kalem.
Setelah berkata demikian, Bayu menarik tangan Ratna Wulan, dan mengajaknya menyingkir dari mulut gua itu. Lima Setan dari Barat itu saling berpandangan beberapa saat. Kemudian, Setan Jubah Kuning bergegas melangkah menuju ke gua. Sebentar matanya melirik Bayu dan Ratna Wulan yang sudah menyingkir agak jauh dari mulut gua itu. Setan Jubah Kuning bergegas masuk ke dalam gua itu, tapi tak berapa lama kemudian sudah keluar lagi dengan wajah kelihatan memerah.
"Bagaimana...?" tanya Setan Jubah Hitam langsung.
"Kosong," sahut Setan Jubah Kuning mendengus kesal.
"Setan keparat...!" geram Setan Jubah Hitam, langsung memuncak amarahnya.
Sementara, Bayu hanya tersenyum saja. Sedangkan Ratna Wulan mencibir sinis melihat lima orang tua itu tampak marah melihat gua itu dalam keadaan kosong. Mereka langsung berserabutan masuk ke dalam gua, seakan-akan tidak percaya kalau harta yang selama ini dicari sudah tidak ada lagi di sana. Mereka benar-benar melupakan kehadiran kedua pendekar muda itu.
"Apakah sebaiknya dendam kita dilampiaskan sekarang, Kakang," bisik Ratna Wulan begitu Lima Setan dari Barat sudah tenggelam dalam gua.
"Tentu saja. Aku memang harus membuat perhitungan dengan mereka," sahut Bayu.
"Kalau begitu, kenapa gua itu tidak dihancurkan saja, Kakang? Biar mereka terkubur hidup-hidup di sana," kata Ratna Wulan langsung berang.
"Aku tidak pernah melakukan perbuatan pengecut, Wulan. Aku akan menantangnya secara terbuka. Tapi aku yakin, belum ditantang pun, mereka pasti akan melampiaskan kemarahan pada kita berdua," kata Bayu lagi.
Pada saat itu Lima Setan dari Barat sudah kembali bermunculan dari dalam gua. Mereka langsung menghampiri Bayu dan Ratna Wulan yang sejak tadi masih menunggu di tempatnya. Wajah mereka masing-masing kelihatan memerah, seperti menyimpan kemarahan yang meluap-luap dan hampir tak tertahankan lagi.
"Kalian pasti menyembunyikannya," desah Setan Jubah Hitam. "Katakan, di mana harta itu...?!"
"Untuk apa harta bagi kami, Kisanak? Kami hanya para pengembara yang tidak membutuhkan harta sebanyak itu. Kalaupun kami temukan tadi, pasti akan dikembalikan kepada yang berhak," sahut Bayu kalem.
"Setan belang...! Kau benar-benar bocah keparat, Pendekar Pulau Neraka!" geram Setan Jubah Hitam semakin memuncak amarahnya.
"Harta itu bukan milik siapa-siapa, tapi milik seluruh rakyat Kadipaten Talagan. Jadi tidak ada di antara kita semua yang berhak memilikinya," tegas Bayu, tetap kalem suaranya.
"Phuih! Kau memang pandai berbicara, Pendekar Pulau Neraka. Tapi aku ingin tahu, apa kau juga pandai mempertahankan hidupmu!" dengus Setan Jubah Merah.
"Kalau tidak, mana mungkin aku masih hidup sekarang...?"
"Keparat...! Mampus kau, Bocah! Hiyaaat...!"
Setan Jubah Merah tidak bisa lagi menahan kemarahannya yang sudah meluap dalam dada. Bagaikan kilat, dia melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Tongkatnya yang berwarna merah dan berujung runcing, langsung dikebutkan ke arah tubuh pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Uts...!"
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka menarik tubuhnya ke belakang, sehingga kebutan tongkat Setan Jubah Merah manis sekali berhasil dielakkan. Tapi belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, Setan Jubah Merah sudah kembali melakukan serangan cepat dan dahsyat luar biasa.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Setan Jubah Merah melepaskan satu pukulan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah perut Pendekar Pulau Neraka. Tapi kali ini pun Bayu berhasil menghindarinya dengan meliukkan tubuhnya begitu indah sekali.
Pada saat itu, Setan Jubah Putih dan Setan Jubah Biru sudah berlompatan menyerang Ratna Wulan. Lalu, disusul Setan Jubah Hitam dan Setan Jubah Kuning yang membantu Setan Jubah Merah menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Dan memang seperti yang dikatakan Bayu, tidak perlu menantang pun, Lima Setan dari Barat itu pasti akan memulai pertarungan ini.
"Gunakan pedangmu, Wulan...!" teriak Bayu yang masih sempat memperhatikan pertarungan yang dilakukan Ratna Wulan.
"Baik...!" sahut Ratna Wulan. "Hiyaaat.. !"
Seketika itu juga Ratna Wulan melenting ke udara dengan cepat sekali. Dan sambil melakukan beberapa kali putaran di udara, gadis itu cepat mencabut Pedang Api. Seketika itu juga, cahaya api yang memancar dari pedang itu terasa menyebarkan hawa panas yang begitu menyesakkan dada.
"Yeaaah...!"
Bagaikan seekor burung elang, Ratna Wulan meluruk deras ke arah Setan Jubah Biru. Cepat sekali gadis itu mengebutkan pedangnya beberapa kali. Akibatnya Setan Jubah Biru jadi kelabakan menghindarinya. Dengan Pedang Api di tangan, Ratna Wulan memang benar-benar luar biasa. Gerakan-gerakannya jadi bertambah cepat. Dan kekuatannya pun berlipat ganda. Sehingga, gadis itu jadi seperti sosok malaikat maut yang hendak mencabut nyawa kedua lawannya ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ratna Wulan berputaran sambil mengebutkan pedangnya dengan kecepatan sungguh luar biasa. Yang diserang bukan hanya Setan Jubah Biru, tapi juga Setan Jubah Putih yang ikut mengeroyoknya. Gerakan-gerakan yang dilakukan Ratna Wulan memang sungguh luar biasa, sehingga dua orang tua itu benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Bahkan mereka hanya bisa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan gadis cantik berbaju merah muda ini.
Sementara itu di tempat lain, Bayu semakin sibuk menghadapi tiga orang lawan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan senjatanya. Karena, lawan-lawannya ini seperti mengetahui kedahsyatan senjata Cakra Mautnya. Maka mereka terus mendesak dengan hebat.
"Nguk! Craaaikh...!"
Tiba-tiba saja monyet kecil yang berada dipundak kanan Pendekar Pulau Neraka melompat cepat. Padahal saat itu Bayu tengah melenting ke udara untuk menghindari tebasan tongkat Setan Jubah Kuning yang mengarah ke kakinya. Lalu dengan gerakan ringan sekali, monyet kecil yang biasa dipanggil Tiren itu melompat cepat ke arah Setan Jubah Merah.
"Heh...?!"
Setan Jubah Merah jadi terkejut setengah mati.
Bet!
Buru-buru tongkatnya dikebutkan ke arah monyet kecil itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Tiren bisa menghindari kebutan tongkat itu dengan gerakan indah. Dan binatang itu cepat melesat ke atas kepala Setan Jubah Merah. Gerakannya cepat luar biasa, sehingga Setan Jubah Merah terpaksa melompat ke belakang beberapa tindak menghindari terkaman monyet kecil berbulu hitam itu.
Ringan sekali Tiren mendarat di tanah, dan langsung berjingkrakan sambil mencerecet ribut, seperti menantang Setan Jubah Merah. Tingkah monyet kecil itu membuat Setan Jubah Merah jadi geram setengah mati. Lalu cepat sekali tongkatnya dikebutkan beberapa kali ke arah monyet itu. Tapi dengan gerakan begitu ringan, Tiren berlompatan menghindari setiap sabetan tongkat Setan Jubah Merah.
"Monyet keparat...!" geram Setan Jubah Merah berang.
"Nguk! Nguk...!'"
Setan Jubah Merah benar-benar merasa dipermainkan monyet kecil ini. Tongkatnya terus dikebutkan dengan kecepatan bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, Tiren memang bukan monyet biasa. Gerakan-gerakannya sungguh ringan bagai kapas. Tubuhnya berjumpalitan indah sekali menghindari setiap kebutan tongkat orang tua berjubah merah itu.
"Nguk! Nguk! Khraaakh...!"
Tiba-tiba saja Tiren melenting ke udara sambil menghindari tebasan tongkat Setan Jubah Merah. Dan tanpa diduga sama sekali, monyet kecil berbulu hitam itu meluruk deras ke arah kepala Setan Jubah Merah. Begitu cepat gerakannya, sehingga Setan Jubah Merah tidak sempat lagi menghindar. Dan....
"Khraaakh...!"
Bres!
"Aaa...!"
Setan Jubah Merah menjerit melengking tinggi. Begitu cepat gerakan tangan kecil monyet itu, hingga Setan Jubah Merah tidak dapat lagi melindungi matanya. Darah seketika muncrat begitu tangan Tiren berhasil menembus bola mata orang tua berjubah merah itu.
Setan Jubah Merah menggerung-gerung sambil menutupi wajahnya yang berlumuran darah. Pada saat itu, Tiren sudah melompat kembali. Langsung diterkamnya tengkuk orang tua berjubah merah itu. Gigi-giginya yang runcing tampak menghunjam dalam ke tengkuk Setan Jubah Merah.
"Aaakh...!" lagi-lagi Setan Jubah Merah menjerit melengking.
Setan Jubah Merah mengebutkan tangan ke belakang, tapi Tiren sudah lebih cepat menghindar dengan melompat turun dari tengkuknya. Cepat sekali Tiren melompat naik ke pohon kelapa, lalu terus merayap tinggi hingga sampai ke puncaknya.
Dan tak berapa lama kemudian, butir-butir buah kelapa sudah berjatuhan menimpa Setan Jubah Merah yang masih merasakan sakit pada matanya yang bolong tertembus tangan monyet kecil berbulu hitam itu. Setan Jubah Merah jadi kelabakan setengah mati, begitu Tiren menghujaninya dengan butir-butir kelapa dari atas pohon.
"Monyet keparat..! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"
Setan Jubah Merah benar-benar marah luar biasa. Cepat sekali tubuhnya melesat ke udara mengejar Tiren yang berada di atas puncak pohon kelapa. Tapi gerakan Setan Jubah Merah jadi terhambat karena Tiren cepat sekali menghujaninya dengan buah-buah kelapa. Hingga akhirnya....
"Akh...!"
Satu butir buah kelapa tidak bisa dihindari Setan Jubah Merah. Kelapa itu tepat menghantam kepalanya, hingga menimbulkan suara berderak keras. Seketika itu juga tubuh Setan Jubah Merah meluncur deras ke bawah, dan terbanting begitu keras di tanah. Setan Jubah Merah menggerung-gerung dan menggelepar di tanah. Tampak darah mengucur deras dari kepalanya yang retak akibat ditimpuk kelapa oleh Tiren tadi.
Sementara itu, Tiren sudah merosot turun dari pohon kelapa ini. Langsung dihampirinya Setan Jubah Merah yang masih menggelepar menggerung-gerung di bawah pohon kelapa itu. Tiren mengambil tongkat merah berujung runcing yang tergeletak di tanah, tidak jauh dari Setan Jubah Merah. Lalu, tiba-tiba saja monyet kecil itu melompat dan meluruk deras sambil menghunjamkan ujung tongkat itu ke arah dada Setan jubah Merah. Tak pelak lagi, Setan Jubah Merah harus rela merasakan senjatanya sendiri menghunjam dadanya.
"Aaakh...!"
Setan Jubah Merah menjerit keras melengking tinggi. Jeritan Setan Jubah Merah tentu saja mengejutkan mereka yang sedang bertarung. Lebih terkejut lagi, begitu melihat Setan Jubah Merah terkapar berlumuran darah dengan tongkatnya sendiri menghunjam dalam di dadanya. Sedangkan seekor monyet kecil berdiri di atas tubuh orang tua berjubah merah itu.
"Bagus, Tiren...!" seru Bayu memuji tulus.
"Nguk! Khraaakh...!"
Tiren berjingkrakan senang sambil mencerecet ribut di atas tubuh Setan Jubah Merah yang sudah terkapar tak bernyawa lagi. Untuk sesaat, pertarungan jadi terhenti. Lima Setan dari Barat yang kini tinggal empat orang lagi, seperti tidak percaya kalau Setan Jubah Merah bisa tewas oleh seekor monyet kecil yang kelihatannya lemah.
Tapi keterpanaan mereka hanya sebentar saja. Memang, kematian Setan Jubah Merah membuat mereka semakin bertambah berang saja. Maka mereka langsung berlompatan menyerang lawan masing-masing. Pada saat itu, Bayu yang sudah memiliki kesempatan untuk menggunakan Cakra Maut. Maka cepat tubuhnya merunduk agak miring ke kiri, lalu menarik kakinya hingga terentang lebar ke samping. Dan begitu tangan kanannya ditarik ke depan dada, secepat itu pula dikebutkan ke depan.
"Yeaaah...!"
Wusss...!
Cakra Maut yang sejak tadi menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka seketika melesat cepat ke arah Setan Jubah Kuning yang saat itu tengah melayang di udara.
"Heh...?!"
Setan Jubah Kuning jadi terkejut setengah mati melihat Cakra Maut meluncur deras bagai kilat ke arahnya. Dan secepat kilat pula tongkatnya dikebutkan hendak menyampok senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Tapi pada saat yang bersamaan, Bayu menghentakkan tangan kanannya. Sehingga, tiba-tiba saja Cakra Maut bisa berubah arah sambil meluncur deras seperti kilat. Tebasan tongkat Setan Jubah Kuning jadinya hanya mengenai angin saja. Bahkan matanya semakin terbeliak, karena Cakra Maut terus meluncur ke arahnya begitu cepat luar biasa. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Sehingga...
Sing...!
Crab!
"Aaakh...!"
Setan Jubah Kuning menjerit keras melengking tinggi. Dia langsung terpental ke belakang. Tubuhnya keras sekali menghantam tanah, dan bergulingan beberapa kali. Setan Jubah Kuning menggelepar sambil mengerang meregang nyawa. Darah mengucur deras dari dadanya yang berlubang tertembus Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tadi. Senjata cakra berbentuk bintang segi enam dan berwarna putih keperakan itu, kembali melesat balik begitu Bayu menghentakkan tangannya ke atas kepala. Lalu, senjata itu kembali menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka.
Pada saat yang hampir bersamaan, Ratna Wulan tampak mengebutkan pedangnya yang memancarkan api ke arah dada Setan Jubah Putih. Begitu cepat kibasan pedangnya, sehingga Setan Jubah Putih tidak bisa lagi menghindari. Dan....
Cras!
"Aaakh...!"
Setan Jubah Putih menjerit melengking. Darah langsung muncrat dari dadanya yang terbelah Pedang Api yang ditebaskan kuat sekali oleh Ratna Wulan. Setan Jubah Putih terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terbelah mengucurkan darah.
Tewasnya Setan Jubah Merah oleh monyet kecil berbulu hitam bernama Tiren itu memang mempengaruhi empat orang tua yang dikenal berjuluk Lima Setan dari Barat itu. Mereka jadi kehilangan kepercayaan diri. Maka akibatnya, pertahanan mereka benar-benar goyah, hingga dalam waktu tidak berapa lama saja dua orang lagi sudah terjungkal tewas.
Kini Bayu dan Ratna Wulan tinggal menghadapi masing-masing satu orang lawan. Dan tampaknya dua orang tua itu sudah mulai merasa gentar. Buktinya mereka tampak hanya berdiri saja memandangi lawan masing-masing. Dan tiba-tiba saja....
"Hup! Hiyaaat..!"
Setan Jubah Biru yang sudah menyadari tidak bakal unggul lagi, bermaksud melarikan diri. Dia langsung melompat cepat sekali.
"Jangan lari kau, Pengecut! Hiyaaa...!"
Bayu yang melihat hal itu langsung menghentakkan tangan kanannya ke arah Setan Jubah Biru. Bersamaan dengan itu, Ratna Wulan juga melemparkan pedangnya disertai pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi. Sehingga....
Crab!
Bres!
"Aaa...!"
Setan Jubah Biru langsung terpelanting ke tanah begitu Cakra Maut dan Pedang Api menghunjam punggungnya. Dan begitu bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala, Ratna Wulan sudah melompat menghampiri Setan Jubah Biru yang langsung tergeletak tak bernyawa lagi.
Ratna Wulan segera mencabut pedangnya, bersamaan melesatnya Cakra Maut dari punggung orang tua berjubah biru itu. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Ratna Wulan langsung melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak menatap tajam pada Setan Jubah Hitam.
"Tinggal kau sendiri, Setan Jubah Hitam. Kau yang bertanggung jawab atas kematian ayahku...!" desis Ratna Wulan, begitu dingin nada suaranya.
Saat itu, Tiren sudah melompat naik ke pundak kanan Bayu. Monyet kecil berbulu hitam itu kembali nangkring di pundak Pendekar Pulau Neraka ini lagi. Sementara, Setan Jubah Hitam memandangi Bayu dan Ratna Wulan secara bergantian. Jelas sekali sinar matanya memancarkan kegentaran yang memang telah menyelimuti hatinya, melihat ketangguhan dua orang pendekar muda ini. Dan dia kini benar-benar sendiri sekarang.
"Arwah ayahku akan senang jika kau mati di tanganku, Setan Jubah Hitam," desis Ratna Wulan lagi, tetap dingin nada suaranya.
Perlahan Ratna Wulan melangkah ke depan mendekati laki-laki tua berjubah hitam itu. Sedangkan Bayu masih tetap berdiri tegak, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sementara, Ratna Wulan sudah berdiri sekitar lima langkah lagi di depan Setan Jubah Hitam. Perlahan-lahan pedangnya yang memancarkan api itu diangkat. Lalu, ujung pedangnya diarahkan lurus ke dada Setan Jubah Hitam. Pada saat itu, Setan Jubah Hitam sudah menyilangkan tongkatnya di depan dada.
Memang tidak ada lagi pilihan bagi Setan Jubah Hitam, selain terus bertarung mempertahankan nyawa. Meskipun hatinya semakin dalam diliputi kegentaran. Keheningan begitu terasa mencekam suasana di sekitar tepian danau ini. Hingga desir angin yang berhembus begitu lembut, terasa jelas bermain di depan telinga.
"Mampus kau sekarang, Keparat! Hiyaaat...!"
Cepat sekali Ratna Wulan melompat, dan mengibaskan pedangnya ke arah leher Setan Jubah Hitam.
"Hait...!"
Setan Jubah Hitam cepat-cepat menghentakkan tongkatnya, menyampok pedang yang memancarkan api untuk melindungi lehernya. Tak pelak lagi, dua senjata yang berlainan bentuk itu beradu keras tidak jauh dari leher Setan Jubah Hitam.
Trak!
"Heh...?!"
Setan Jubah Hitam jadi terkejut setengah mati. Tongkat yang menjadi kebanggaannya selama ini, tiba-tiba saja terpenggal jadi dua bagian, begitu berbenturan dengan Pedang Api di tangan Ratna Wulan.
"Hup...!"
Buru-buru Setan Jubah Hitam melompat ke belakang beberapa tindak, tapi Ratna Wulan tidak mau membiarkannya. Dengan cepat sekali gadis itu kembali melesat. Pedangnya langsung dikebutkan begitu kuat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
Bet!
"Uts...!"
Setan Jubah Hitam cepat-cepat memiringkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang gadis itu. Namun belum juga bisa menegakkan tubuhnya kembali, mendadak saja Ratna Wulan sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat luar biasa. Sehingga, Setan Jubah Hitam yang memang sudah gentar, jadi tidak bisa menghindari tendangan itu.
Desss!
"Akh...!"
Setan Jubah Hitam terpental ke belakang begitu tendangan Ratna Wulan bersarang telak di dadanya. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, dan cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, tiba-tiba saja Ratna Wulan sudah kembali melancarkan satu serangan kilat yang begitu cepat sekali.
"Hiyaaat..!"
Setan Jubah Hitam hanya mampu terbeliak saja begitu Pedang Api berkelebat cepat di depan lehernya. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, pedang yang memancarkan api itu sudah lewat cepat sekali. Sedikit pun tak ada suara yang terdengar. Setan Jubah Hitam berdiri tegak seperti patung dengan mata terbeliak lebar dan mulut ternganga.
Sementara, Ratna Wulan sudah melompat mundur beberapa tindak. Gadis itu cepat memasukkan Pedang Api ke dalam warangka di punggung. Pada saat cahaya api dari pedang itu menghilang, tampak tubuh Setan Jubah Hitam jadi limbung. Lalu, tubuhnya ambruk di tanah dengan kepala terpisah menggelinding dari leher. Darah langsung menyembur dari leher yang buntung tak berkepala lagi. Sedikit pun tak ada gerakan. Setan Jubah Hitam langsung tewas seketika itu juga.
"Hhh...!" Ratna Wulan menghembuskan napas panjang.
Bayu melangkah menghampiri gadis itu, dan berdiri di sampingnya. Tangannya kemudian dilingkarkan di pundak gadis ini. Ratna Wulan menoleh, menatap wajah tampan Pendekar Pulau Neraka itu. Entah kenapa, mereka sama-sama mengembangkan senyum.
"Kita pergi sekarang, Wulan...?" ujar Bayu lembut.
Ratna Wulan hanya menganggukkan kepala saja.
"Kau bersedia menemani mencari orang tua kandungku, Kakang?" tanya Ratna Wulan seperti ingin meyakinkan diri.
"Tentu saja," sahut Bayu seraya melangkah meninggalkan tepian danau itu. "Asal kau tidak lagi berharap menemukan harta itu, Wulan."
"Aku tidak peduli lagi, Kakang. Biarkan saja menjadi harta terpendam. Siapa pun orangnya yang menemukan, biar menjadi miliknya," sahut Ratna Wulan mantap.
Bayu mengangkat pundaknya. Mereka terus berjalan sambil bergandengan tangan menyusuri tepian danau yang luas ini. Mereka sama-sama menyadari kalau tidak ada gunanya lagi mencari harta yang disembunyikan Ki Wanasa. Berapa pun banyaknya, tidak dipedulikan lagi. Karena, memang tidak ada lagi petunjuk untuk menemukan harta itu. Ki Wanasa sudah memindahkannya ke tempat yang tak ada seorang pun mengetahuinya. Dan memang, harta itu benar-benar menjadi harta terpendam.
"Kakang, apakah kita akan selalu jalan bersama seperti ini?" tanya Ratna Wulan.
Jika Hyang Widi menghendaki," sahut Bayu.