Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 01

Kisah para Pendekar pulau es jilid 01
Sonny Ogawa
CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 01
KAISAR Kian Liong atau Chien Lung merupakan kaisar Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu) yang paling terkenal dan paling besar sepanjang sejarah Bangsa Mancu, semenjak bangsa yang tadinya dianggap bangsa liar di utara itu menguasai Tiongkok mulai tahun 1644.

Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang telah terkenal semenjak dia masih menjadi pangeran, dihormati dan dikagumi oleh rakyat dari semua lapisan, bahkan dicinta oleh para pendekar karena pangeran itu memang berjiwa gagah perkasa, mencinta rakyat jelata, adil dan bijaksana.

Oleh karena itu, setelah dia diangkat menjadi kaisar dalam tahun 1735, pada waktu itu dia baru berusia sembilan belas tahun, boleh dibilang seluruh rakyat mendukungnya. Biar pun dia juga seorang Bangsa Mancu, namun cara hidupnya, sikapnya dan jalan pikirannya adalah seorang Han tulen.

Baru saja dia memerintah selama lima tahun, sudah nampak kemajuan-kemajuan pesat dalam pemerintahannya. Pemberontakan-pemberontakan rakyat padam dan kehidupan rakyat mulai makmur. Taraf kehidupan rakyat kecil terangkat dan rakyat mulai mengenal pembesar dan pejabat sebagai bapak-bapak pelindung, bukan sebagai pemeras dan penindas seperti di waktu-waktu yang lampau.

Tidak mungkin seorang manusia dapat bertindak tanpa ada yang menentangnya. Kalau seorang kaisar bertindak bijaksana terhadap rakyat, melindungi rakyat, secara otomatis dia harus menentang penindasan, harus menentang pembesar-pembesar yang korup dan yang menindas rakyat. Sebaliknya, kalau seorang kaisar berpihak pada penindasan dan korupsi, tentu saja berarti dia pun menjadi penindas rakyat.

Dalam hal pertama, dengan sendirinya kaisar akan ditentang oleh mereka yang merasa dirugikan oleh keadilan kaisar yang tentu saja dapat ditegakkan dengan kekerasan. Dia akan ditentang oleh para koruptor yang merasa terhalang dan terhenti sumber kemuliaannya. Sebaliknya, menindas rakyat tentu akan menghadapi pemberontakan di sana-sini.

Akan tetapi, ternyata Kaisar Kian Liong yang muda itu memilih untuk menjadi pelindung rakyat dan menghadapi para koruptor dan penindas dengan kekerasan dan keadilan. Inilah yang membuat rakyat mendukungnya dan para pendekar di empat penjuru juga mendukungnya. Kenyataan ini yang membuat pemerintahannya menjadi kuat. Sejarah menyatakan bahwa dengan dukungan rakyat jelata, pemerintah akan menjadi kuat, sebaliknya kalau ditentang rakyat, hanya mengandalkan bala tentara saja, pemerintah akan menjadi rapuh.

Kaisar Kian Liong pada waktu itu, kurang lebih tahun 1740, setelah lima tahun dia menjadi kaisar, seakan merupakan bintang yang mengeluarkan sinar terang. Sinarnya menerangi hati rakyat sampai jauh ke pelosok-pelosok, bahkan sinar itu terasa sekali di tempat yang terpencil sekali pun, seperti di Pulau Es.

Pulau Es adalah sebuah pulau terpencil jauh di utara, sebuah pulau di antara ribuan pulau kecil yang berserakan di sekitar Lautan Kuning, Lautan Timur dan Lautan Jepang. Pulau Es ini merupakan pulau rahasia dan jarang ada manusia yang tahu di mana letaknya yang tepat, jarang pula ada yang pernah menyaksikannya, apalagi mendarat di sana. Akan tetapi namanya sudah terkenal sekali, terutama di kalangan para pendekar di dunia kang-ouw. Bahkan Pulau Es menjadi semacam dongeng bagi mereka, menjadi semacam nama yang mereka kagumi, hormati, akan tetapi juga takuti.

Siapakah orangnya yang tidak segan dan gentar mendengar nama Pulau Es, yang menjadi tempat Istana Pulau Es dengan penghuninya Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, majikan Pulau Es? Pendekar ini yang namanya Suma Han, memiliki kesaktian seperti dewa dalam dongeng, pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan karena dia merupakan seorang pendekar sejati yang bijaksana dan budiman, maka dia dipuja-puja oleh para pendekar sebagai seorang datuk yang dikagumi.

Para pembaca dari cerita-cerita terdahulu yang menjadi serial dari kisah mengenai Pulau Es tentu telah mengenal siapa itu Pendekar Super Sakti Suma Han yang hidup dengan tenteram dan tenang di Pulau Es bersama kedua orang isterinya yang tercinta.

Isterinya yang pertama adalah Puteri Nirahai, seorang puteri berdarah keluarga Kaisar Mancu yang sangat gagah perkasa dan agung, yang karena cinta kasihnya yang mendalam terhadap suaminya, telah rela meninggalkan kehidupan di istana sebagai puteri dan juga sebagai panglima yang banyak jasanya, rela hidup di tempat sunyi itu bersama suami dan madunya.

Madunya itu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti, juga bukan orang sembarangan. Wanita ini namanya Lulu, sebenarnya juga seorang puteri Bangsa Mancu walau pun bukan keluarga kaisar seperti Puteri Nirahai. Juga Lulu ini memiliki kepandaian yang hebat karena ia pernah menjadi majikan Pulau Neraka! Dalam hal ilmu silat, agaknya ia tidak kalah jauh dibandingkan dengan madunya itu, apalagi setelah keduanya menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan menerima bimbingan sang suami yang mempunyai kepandaian seperti dewa itu.

Bagaimanakah Suma Han dapat hidup bersama dua orang isterinya dalam keadaan rukun dan tenteram? Mengapa kedua orang isterinya itu tidak saling cemburu atau iri? Dapatkah Pendekar Super Sakti Suma Han membagi-bagi cinta kasihnya kepada dua orang isterinya itu?

Sesungguhnya, tidak mungkin cinta kasih dibagi-bagi! Cinta kasih itu memancar dari batin dan terasa oleh siapa pun juga. Demikian pula cinta kasih Suma Han terhadap dua orang isterinya, sebulat hatinya dan tidak berat sebelah. Kedua orang wanita itu merasa benar akan hal ini dan oleh karena itu mereka pun tidak pernah merasa iri atau cemburu. Bahkan kedua orang wanita ini saling mencinta seperti kakak beradik sendiri saja.

Tidak ada keinginan untuk mengejar pemuasan kesenangan dirinya sendiri saja bagi cinta kasih. Yang ada hanyalah kemesraan, belas kasih, dan kalau pun ada suatu keinginan, kalau boleh dinamakan keinginan, maka keinginan itu mungkin hanya satu, yakni ingin melihat orang yang dikasihinya itu berbahagia! Hanya orang yang memiliki sinar cinta kasih di dalam batinnya sajalah yang akan mengenal cinta kasih, yang akan mengenal kebahagiaan dalam hidupnya.

Bahagia adalah tidak adanya sedikit pun konflik batin atau konflik lahir. Bahagia adalah keadaan hebas dari ikatan apa pun juga, jadi batinnya hening dan tidak mempunyai apa-apa walau pun boleh jadi secara lahiriah dia memiliki segalanya. Dan karena batin tidak memiliki apa-apa, tidak terikat apa-apa inilah maka dia telah memiliki segala-galanya!

Siapakah sebenarnya pendekar yang disebut Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, atau juga Tocu (Majikan) Pulau Es itu? Orang macam apakah dia itu? Suma Han adalah seorang yang kini telah tua sekali. Usianya telah mendekati seratus tahun, atau tepatnya sembilan puluh lima tahun! Seorang kakek yang bertubuh tinggi sedang, perutnya tidak gendut, kaki tangannya masih nampak kokoh kuat walau pun kakinya hanya sebelah saja.

Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan untuk melangkah dia dibantu oleh tongkat. Rambutnya panjang terurai, tidak pernah digelung, dibiarkan terurai di pundak. Akan tetapi rambut itu terpelihara sekali, bersih dan halus seperti benang-benang perak yang mengkilap kalau tertimpa cahaya matahari.

Selain rambutnya, juga alisnya, kumis dan jenggotnya semua telah putih. Tak ada sehelai pun yang hitam. Namun wajahnya masih nampak segar kemerahan, matanya masih awas dan tajam pandangannya, walau pun bersinar lembut sekali. Pendengarannya masih amat baik, juga giginya tidak ompong. Pendeknya panca indranya masih tidak banyak menurun, masih kuat.

Kesehatannya memang amat mengagumkan. Tidak pernah dia sakit. Tentu saja, usia tua telah membuat tubuhnya agak layu dan tenaga otot dan tulangnya tidaklah sekuat dahulu lagi. Pakaiannya sederhana, akan tetapi selalu bersih dan rapi berkat rawatan kedua orang isterinya yang amat mencintanya. Dan dalam usia hampir satu abad itu, harus diakui bahwa masih membayang bekas ketampanan wajah pendekar ini.

Pendekar tua ini dihormati dan disegani oleh semua tokoh kang-ouw karena dia memang lihai bukan main. Banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, di antaranya yang hebat-hebat adalah Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang dimainkan dengan tongkatnya, dan terutama sekali Ilmu Soan-hong Lui-kun (Silat Sakti Badai Petir) yang membuat tubuhnya dapat bergerak sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang saja. Dan di samping ilmu silat tinggi yang banyak ragamnya, juga pendekar ini mempunyai kekuatan sihir yang luar biasa, yang membuat dia dijuluki Pendekar Siluman!

Isterinya yang pertama, Puteri Nirahai juga sudah tua sekali, selisihnya hanya beberapa tahun dengan suaminya. Nirahai ini berdarah Mancu asli, dan sudah beberapa kali namanya menjadi terkenal ketika ia menjadi panglima dan menggerak-kan pasukan pemerintah menumpas pemberontakan-pemberontakan dengan hasil baik. Ia bukan saja pandai ilmu silat, akan tetapi juga mahir dalam ilmu perang.

Ia mewarisi ilmu-ilmu dari dua orang pendekar wanita yang berjuluk Mutiara Hitam dan Tok-siauw-kwi yang menjadi ibu kandung Pendekar Suling Emas, maka Nirahai ini amat lihai dengan Ilmu-ilmu Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Setan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang lalu digabungnya dengan Pat-mo Kiam-hoat, juga senjata rahasianya Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) amat berbahaya.

Di waktu mudanya, Nirahai cantik sekali, dengan pakaian bergaya Mancu dan topi bulu selalu menghias rambut kepalanya yang dahulunya panjang dan hitam berombak akan tetapi sekarang telah menjadi putih itu. Dalam usianya yang sembilan puluh tahun lebih, ia masih belum kehilangan kerampingan tubuhnya dan kecantikan wajahnya masih membayang pada garis-garis mukanya. Wataknya halus akan tetapi tegas, agung dan agak tinggi hati karena ia memiliki darah bangsawan tinggi di tubuhnya.

Isteri ke dua yang bernama Lulu, sesungguhnya tak dapat dikatakan isteri pertama atau ke dua di antara kedua wanita ini karena mereka tidak merasa berbeda dalam tingkat menjadi isteri-isteri Pendekar Super Sakti, juga merupakan seorang nenek yang luar biasa lihainya. Karena ia pernah menjadi ketua Pulau Neraka, maka sampai tua pun Lulu lebih suka mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana namun bersih dan rapi.

Ia juga berdarah Mancu yang lihai sekali karena ia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Pendekar Suling Emas, terutama sekali Ilmu Hong-in Bun-hoat (Silat Sastera Hujan Angin) dan Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa), dua ilmu yang berasal dari manusia dewa Bu Kek Siansu. Watak Lulu ini keras dan ganas, namun ia berjiwa pendekar dan dalam membela keadilan dia seperti seekor naga betina yang pantang mundur.

Di waktu mudanya, ia pernah meliar sampai menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi akhirnya ia dapat ‘dijinakkan’ oleh Pendekar Super Sakti dan menjadi isterinya. Usianya hanya setahun lebih muda dari Nirahai, sehingga ia kini sudah berusia sembilan puluh tahun dan menjadi seorang nenek yang gerak-geriknya masih gesit.

Demikianlah keadaan suami isteri yang sudah tua renta itu. Karena mereka sudah tua, mereka tidak mau lagi memusingkan diri dengan urusan dunia dan sudah bertahun-tahun mereka bertiga tidak meninggalkan Pulau Es, hidup tenteram dan tenang di tempat terasing itu, dan setiap hari lebih banyak duduk bersemedhi di kamar masing-masing. Urusan rumah tangga ditangani oleh keluarga yang lebih muda, yaitu tiga orang cucu mereka yang tinggal di Pulau Es untuk belajar ilmu dari kakek dan nenek-nenek mereka.

Bagi para pembaca yang telah mengenal keluarga Pulau Es, tentu tahu bahwa Puteri Nirahai dan Suma Han mempunyai seorang putera yang bernama Suma Kian Bu yang juga pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya sehingga dia mendapatkan julukan Pendekar Siluman Kecil! Pendekar ini, selain mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga mempunyai sebuah ilmu yang membuat dia terkenal sekali, yaitu Ilmu Sin-ho Coan-in, dan juga Ilmu Jouw-sang Hui-teng (Terbang Di Atas Rumput).

Suma Kian Bu ini menikah dengan seorang pendekar wanita pula bernama Teng Siang In yang pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Suami isteri pendekar ini sekarang ting-gal di lembah Sungai Huang-ho, di luar kota Cin-an, di dusun dekat hutan yang sunyi dan indah, hidup tenteram sebagai petani yang juga berdagang rempah-rempah dan hasil bumi ke kota Cin-an. Mereka hanya mempunyai seorang putera yang kini telah berusia sepuluh tahun, bernama Suma Ceng Liong.

Lulu juga mempunyai seorang putera dengan Suma Han, yaitu Suma Kian Lee yang usianya setahun lebih tua dari pada Suma Kian Bu. Suma Kian Lee menikah dengan seorang pendekar wanita yang berwatak keras dan ganas, puteri angkat dari Hek-tiauw Lo-mo iblis yang amat jahat, yang bernama Kim Hwee Li, cantik jelita dan berpakaian serba hitam, namun berjiwa pendekar. Suami isteri ini hidup saling mencinta dan keliaran Kim Hwee Li dapat dijinakkan oleh suaminya yang tercinta, yaitu Suma Kian Lee yang berwatak halus lembut dan bijaksana.

Suami isteri ini sekarang telah berusia hampir lima puluh tahun dan tinggal di Thian-cin sebelah selatan kota raja di mana mereka membuka toko obat. Suami isteri ini telah mempunyai dua orang anak, seorang anak perempuan berusia delapan belas tahun bernama Suma Hui dan seorang anak laki-laki bernama Suma Ciang Bun yang sudah berusia lima belas tahun.

Tiga orang cucu inilah, yaitu Suma Hui yang berusia delapan belas tahun, Suma Ciang Bun yang berusia lima belas tahun, dan Suma Ceng Liong yang berusia sepuluh tahun, yang kini menemani kakek dan kedua orang nenek mereka di Pulau Es. Orang tua mereka menempatkan anak-anak itu di Pulau Es, bukan hanya untuk menerima pendidikan dari kakek nenek mereka, mewarisi semua ilmu Pulau Es sebagai ahli waris ahli waris, juga di samping itu untuk menemani dan menghihur hati tiga orang tua renta yang hidup kesepian itu.

Selain tiga orang tua renta dan tiga orang cucu mereka itu, di Pulau Es masih terdapat lima orang pelayan, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka ini tidak termasuk murid, hanya pelayan-pelayan biasa biar pun mereka juga tidak urung terpercik sedikit ilmu dari keluarga berilmu itu dan biar pun mereka itu tadinya hanya kaum nelayan kasar belaka namun kini mereka telah memiliki kekuatan yang akan mengejutkan orang biasa. Demikianlah sekelumit tentang para penghuni Pulau Es pada waktu cerita ini terjadi.

Pulau itu sendiri merupakan pulau yang penuh dengan batu karang yang diselimuti es sehingga selalu nampak putih dan hawanya dingin sekali. Di situ tidak dapat ditanami tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu kebutuhan pangan dari tumbuh-tumbuhan para penghuni harus didatangkan dari pulau-pulau lain di sekitar daerah lautan itu, dan hal ini dikerjakan oleh para pelayan. Sebulan sekali pun cukuplah untuk berbelanja sayur-sayuran, kebutuhan makanan lain seperti daging dapat mereka peroleh dari ikan-ikan di laut. Pulau itu cukup besar, ada lima hektar luasnya dan merupakan dataran yang di bagian tengahnya berbukit. Di tengah pulau itu nampaklah sebuah bangunan kuno yang kokoh kuat, kelihatan sederhana saking tuanya.

Bangunan besar itu memang dahulunya merupakan sebuah istana. Dan karena kini para penghuninya kekurangan tenaga untuk merawat, maka tembok di luar istana itu sudah lama tidak dikapur, bahkan kapurnya ada yang terlepas sehingga nampak bata yang tua dan besar tebal. Di depan istana terdapat pintu yang besar dan kokoh. Kalau pintu ini dibuka, nampaklah ruangan depan istana kuno itu yang luas.

Sampai kini, bagian dalam istana yang dijadikan tempat tinggal masih terpelihara baik-baik dan masih nampak indah walau pun perabot-perabot rumahnya amat kuno. Tentu saja tidak sekuno bangunan itu sendiri. Ruangan depan itu masih terpelihara, nampak bersih dan perabot-perabotnya yang kuno itu menimbulkan pandangan yang nyeni dan indah.

Dindingnya terawat dan dikapur putih. Lukisan-lukisan kuno menghias dinding, yang tentu merupakan benda langka dan mahal di kota, bersaing dengan tulisan-tulisan pasangan yang merupakan huruf-huruf indah dalam kalimat-kalimat bersajak, paduan yang amat indah dari coretan huruf dan keindahan sajak.

Lantai ruangan terbuat dari batu mengkilap bersih. Perabot-perabot seperti meja kursi dan lemari-lemari kayu terbuat dari pada kayu besi yang kuat, terukir nyeni berbentuk kepala naga. Piring-piring hiasan, guci-guci berukir naga dan burung hong dan bunga-bunga menghias ruangan itu. Ada tiga buah pintu di ruangan depan yang luas itu. Pintu tengah yang terbesar menuju ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil di kanan kiri menembus ke halaman samping dan ke sebuah lorong yang menuju ke bangunan kecil.

Di sudut ruangan, juga merupakan penghias yang selain mendatangkan keindahan juga keangkeran, terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata. Akan tetapi senjata-senjata itu bukan sekedar hiasan belaka, karena melihat betapa senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan run-cingnya, mudah diketahui bahwa senjata-senjata itu adalah benda-benda pilihan yang ampuh!

Keadaan di sebelah dalam istana ini, setelah pintu depan ditutup, tidaklah sedingin di luar. Dan istana yang dari luar hanya mendatangkan rasa seram karena pantasnya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis, ternyata di sebelah dalamnya amat bersih dan terawat, juga enak ditinggali, walau pun harus diakui bahwa hawanya amat dingin. Perabot-perabot rumah yang serba kuno memenuhi seluruh ruangan, dan istana itu memiliki banyak kamar tidur, juga ruangan makan, ruangan duduk dan perpustakaan. Ruangan paling belakang merupakan semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang enak untuk berlatih silat.

Demikianlah gambaran singkat tentang Pulau Es, istananya dan penghuni-penghuninya, dan suasana di pulau itu selalu tenteram dan wajah para penghuninya selalu nampak cerah. Di pulau inilah, Pulau Es yang terkenal sebagai dongeng, sebagai tempat yang ditakuti dan juga disegani, cerita ini dimulai…..

********************

“Bun-koko, ajarkan padaku Swat-im Sin-ciang! Kenapa engkau begini pelit untuk mengajarnya kepadaku, Bun-koko?” terdengar rengekan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun.

Suaranya nyaring dan biar pun dia merengek dan memohon, namun jelas dia bukan seorang anak manja atau cengeng. Anak ini bertubuh tinggi besar bagi seorang anak berusia sepuluh tahun, wajahnya agak lonjong dengan dagu runcing namun garisnya kuat membayangkan keteguhan hati. Sepasang matanya amat tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan mulutnya selalu membayangkan senyum nakal. Anak ini adalah Suma Ceng Liong, putera dan anak tunggal dari pendekar Suma Kian Bu atau Pendekar Siluman Kecil dan isterinya, Teng Siang In.

Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu masih ingat betapa suami isteri ini baru memperoleh keturunan setelah mereka berdua berhasil membunuh seekor ular hijau yang besar dan mengambil sebuah benda sebesar telur ayam kecil yang disebut cu (mustika). Karena itu, setelah Teng Siang In mengandung dan kemudian melahirkan anak, anak itu diberi nama Ceng Liong (Naga Hijau) untuk menyatakan perasaan bersyukur kepada ular hijau itu yang mereka anggap membantu mereka dapat memperoleh keturunan setelah lebih sepuluh tahun menikah dan belum juga dikaruniai putera.

Pagi hari itu, hawa masih luar biasa dinginnya bagi orang biasa, akan tetapi tidak begitu terasa mengganggu bagi para penghuni Pulau Es yang sudah terbiasa. Ceng Liong sudah berada di luar istana bersama kedua orang kakaknya, yaitu putera dan puteri Suma Kian Lee yang merupakan kakak-kakak misannya.

“Ah, Liong-te, bukan aku pelit, akan tetapi sesungguhnya aku sendiri belum mahir Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kakek sedang memperdalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang kepadaku dan baru memberi dasar-dasarnya saja dari Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kalau engkau mau mempelajari ilmu itu, mintalah kepada cici,” jawab Suma Ciang Bun.

Pemuda putera Suma Kian Lee ini berwatak halus dan pendiam seperti ayahnya. Biar pun usianya baru lima belas tahun akan tetapi sikapnya serius dan tindak-tanduknya selalu berhati-hati. Wajahnya bulat dengan kulit muka agak kecoklatan, tak seputih kulit muka Ceng Liong, dan matanya lebar, membayangkan kesungguhan dan kejujuran. Pemuda ini persis seperti ayahnya di waktu muda, baik wajah mau pun sikapnya.

Mendengar jawaban kakaknya itu, Ceng Liong lalu menoleh kepada Suma Hui. “Hui-cici, bolehkah aku belajar Swat-im Sin-ciang darimu?”

Sikap dan kata-kata Ceng Liong terhadap gadis itu agak berbeda dari pada sikapnya terhadap Ciang Bun. Terhadap Ciang Bun, Ceng Liong yang lincah itu kadang-kadang berani bergurau, akan tetapi menghadapi dara itu dia tidak berani main-main. Suma Hui ini memang bisa bersikap jenaka dan baik sekali, akan tetapi kadang-kadang, kalau sedang ‘kumat’ menurut istilah Ceng Liong, dara itu bisa menjadi galak dan tidak segan-segan untuk menyerang dan menghukum kenakalan Ceng Liong dengan kata-kata mau pun dengan cubitan dan jeweran! Karena inilah maka Ceng Liong agak takut untuk menggoda dan selalu bersikap hormat seperti layaknya seorang adik terhadap saudara yang lebih tua, kalau bicara dengan Suma Hui.

Dara itu mengerutkan alisnya ketika mendengar permintaan Ceng Liong. Alis yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja, di atas wajah yang berkulit putih kemerahan, wajah yang berdagu runcing, bermata tajam dan bening, dengan bulu mata panjang lentik, hidung mancung dan mulut kecil yang bibirnya selalu merah membasah, wajah yang manis!

Memang Suma Hui seorang dara yang manis, seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi juga wataknya yang keras, lincah, kadang-kadang ganas dan liar walau pun pada dasarnya watak itu gagah dan selalu menentang segala yang tidak benar dan jahat. Dara berusia delapan belas tahun ini sungguh amat menarik hati, bagaikan setangkai bunga yang sedang mulai mekar mengharum, memiliki daya tarik yang sangat kuat sehingga setiap gerakan anggota tubuhnya yang mana pun, kerling mata, senyum bibir, gerakan cuping hidung, gerakan kepala atau tangan, semua itu mempunyai daya tarik yang indah tersendiri.

“Ceng Liong, apakah engkau sudah melupakan semua nasehat kakek dan kedua orang nenek kita yang bijaksana? Ilmu silat tidak mungkin dipelajari secara serampangan atau sembarangan saja. Belajar ilmu silat seperti membangun rumah, harus dimulai dari dasarnya dulu. Tanpa dasar dan kerangka yang kokoh kuat, jangan harap akan dapat menguasai ilmu silat dengan sempurna.

Mempelajari gerakan-gerakannya saja memang mudah, akan tetapi semua itu hanya akan menjadi gerakan-gerakan kosong untuk menggertak orang belaka, tanpa isi yang bermutu. Engkau tergesa-gesa hendak mempelajari Swat-im Sin-ciang, apakah kau kira mempelajari ilmu itu sama mudahnya dengan membuat istana pasir di pantai saja? Engkau harus bersabar dan mengikuti semua pelajaran dengan seksama, jangan ingin melangkah terlalu jauh kalau kakimu belum kuat. Mengerti?”

“Mengerti, ibu guru!” tiba-tiba Ciang Bun yang menjawab.

Adik ini biar pun pendiam dan serius, namun dia amat sayang kepada Ceng Liong dan kiranya hanya dia yang berani membantah atau mengejek Suma Hui karena dia tahu bahwa enci-nya itu terlalu sayang kepadanya sehingga tidak akan pernah memarahinya. Melihat Ceng Liong tidak diajari ilmu itu malah diberi nasehat dan teguran, hati Ciang Bun membela dan dia pun mengejek enci-nya yang bersikap seperti seorang guru memberi kuliah.

“Hushh!” Suma Hui mendengus kepada adik kandungnya. “Aku tidak bicara denganmu!”

“Kalau engkau tidak mau mengajarnya, bilang saja tidak mau, kenapa masih harus menegurnya?” Ciang Bun membela Ceng Liong.

“Huh, engkau yang tolol!” Suma Hui membanting kaki kirinya.

Sungguh kebiasaan ini persis kebiasaan ibunya di waktu muda, hanya bedanya kalau Hwee Li, ibunya, suka membanting-banting kaki kanan, dara ini membanting-banting kaki kiri kalau hatinya sedang kesal.

“Bun-te, engkau ini hanya akan merusak watak Ceng Liong saja dengan cara-caramu yang memanjakannya. Engkau sendiri tentu tahu betapa bahayanya jika mengajarkan Swat-im Sin-ciang pada orang yang belum kuat benar sinkang-nya. Engkau sendiri baru memperdalam Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana mungkin anak sebesar Ceng Liong ini dilatih Swat-im Sin-ciang? Apa kau ingin melihat Liong-te celaka dengan mempelajari ilmu itu sebelum waktunya?”

Ciang Bun maklum bahwa melawan enci-nya ini, tak mungkin dia akan dapat menang berdebat, maka dia lalu diam saja, tidak dapat membantah lagi. Melihat ini, Ceng Liong lalu berkata, “Aih, sudahlah, enci Hui, Bun-ko hanya main-main saja dan aku pun tadi hanya minta dengan iseng-iseng saja.”

Suma Hui memang mudah kesal dan marah, tetapi dia pun mudah sekali melupakan kemarahannya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya yang cantik manis itu nampak ramah lagi. “Adikku yang baik, ketahuilah bahwa biar pun Ilmu Swat-im Sin-ciang tidak dapat dikata lebih tinggi tingkatnya dari pada Hwi-yang Sin-ciang, tetapi mempelajari kedua ilmu itu di Pulau Es, tentu saja Hwi-yang Sin-ciang jauh lebih mudah. Kita tinggal di tempat ini secara otomatis telah berlatih. Di dalam tubuh kita sudah ada kelengkapan-kelengkapan untuk menyesuaikan diri dengan hawa yang di luar tubuh. Daya kekuatan melawan dingin di tempat ini bekerja sepenuhnya dan ditambah dengan latihan-latihan, maka otomatis kita mudah sekali mengerahkan tenaga panas untuk menahan serangan hawa dingin di pulau ini. Maka, dengan latihan melawan hawa dingin, kita mudah saja dapat menguasai Hwi-yang Sin-ciang yang mengandalkan tenaga panas di tubuh. Sebaliknya, karena kita sudah biasa mengerahkan hawa panas melawan serangan dingin, agak sukarlah bagi kita untuk menguasai Swat-im Sin-ciang. Ilmu ini lebih mudah dipelajari di tempat-tempat yang panas karena otomatis daya tahan dalam tubuh kita bergerak melawan udara panas. Mari kita berlatih, Bun-te. Engkau berlatih Hwi-yang Sin-ciang dan aku berlatih Swat-im Sin-ciang. Biarlah adik Ceng Liong menyaksikan dan memperhatikan baik-baik agar kelak setelah tiba waktunya dia belajar, dia sudah tahu cukup banyak.”

Mereka bertiga lalu berjalan menuju ke ujung pulau di sebelah barat. Setelah kini lenyap kekesalan hatinya, Suma Hui menggandeng tangan kedua orang adiknya itu dan mereka berjalan dengan gembira menuju ke ujung pulau itu di mana terdapat sebuah teluk kecil. Teluk ini banyak mengandung gumpalan-gumpalau es yang mengambang di atas air laut.

“Ceng Liong, coba kau latihlah Sin-coa-kun yang telah kau pelajari dari nenek Nirahai!” kata Suma Hui. “Aku mendengar dari nenek bahwa engkau berbakat sekali dalam ilmu silat tangan kosong. Coba mainkanlah agar kami melihatnya.”

Ceng Liong meloncat ke depan, lalu berkata kepada mereka. “Hui-cici dan Bun-koko, kalau ada yang belum benar harap kalian suka memberi petunjuk kepadaku!”

Kemudian, anak laki-laki berusia sepuluh tahun ini lalu bersilat. Gerakannya memang mantap, cepat dan juga mengandung tenaga yang kuat, lincah dan lemas. Tubuhnya dan kedua lengannya berliuk-liuk seperti tubuh ular dan kedua tangan itu membentuk kepala ular, mematuk ke sana-sini. Meski usianya baru sepuluh tahun, namun gerakan tangannya ketika menyerang itu sudah mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan. Ini tandanya bahwa anak ini telah memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat! Inilah hasil gemblengan yang diperolehnya selama dua tahun di Pulau Es.

Ilmu Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) itu memang hebat, membuat tubuhnya lincah dan terutama sekali menjadi lemas dan sukar dapat dipukul lawan. Suma Hui dan Suma Ciang Bun memandang kagum. Memang benar ucapan nenek Nirahai, anak ini sungguh berbakat sekali. Ilmu silat ini tidak mudah, namun Ceng Liong dapat menguasainya dengan baik dan gerakan-gerakannya sedemikian lemas sehingga hampir tidak ada kelemahannya.

Setelah selesai bersilat, wajah Ceng Liong nampak merah, ada uap putih mengepul dari kepalanya. Akan tetapi, napasnya biasa saja, tidak terengah-engah, padahal untuk memainkan Sin-coa-kun sampai habis membutuhkan pengerahan tenaga luar dalam yang cukup berat.

“Gerakanmu bagus sekali, Liong-te. Sekarang engkau Bun-te, perlihatkan sampai di manakah kemajuan latihanmu dalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang,” Suma Hui menyuruh adiknya.

“Aku hanya baru dapat mencairkan gumpalan es saja, cici,” kata Ciang Bun dengan sikap malu-malu.

“Itu pun sudah merupakan kemajuan yang hebat, adikku,” kakaknya menghibur.

Ciang Bun lalu mulai bersilat, mainkan ilmu silat yang amat hebat dan aneh. Gerak-geriknya seperti orang menari-nari saja, dengan tangan membuat gerakan seperti orang menulis huruf-huruf di udara. Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang amat luar biasa, karena ilmu ini adalah ilmu yang diturunkan oleh manusia dewa Bu Kek Siansu dan yang dahulu pernah diwarisi oleh Lulu, nenek dari pemuda ini. Jarang ada orang yang berkesempatan menyaksikan ilmu silat yang langka ini.

Setelah mainkan ilmu silat ini beberapa jurus, akhirnya Ciang Bun menghentikan gerakan-gerakannya dan berdiri di tepi teluk dengan kedua tangan terangkap seperti menyembah di depan dada. Kedudukan ini disebut Hoan-khi-pai-hud (Memindahkan Hawa Menyembah Buddha) dan sekarang pemuda berusia lima belas tahun ini sedang mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Nampak uap mengepul dari seluruh tubuhnya dan Ceng Liong yang sejak tadi memandang kagum merasa betapa ada hawa panas keluar dari tubuh kakaknya itu, makin lama semakin panas.

Akhirnya, tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan suara melengking tinggi dan mengejutkan. Tubuhnya bergerak sedangkan kedua tangannya mendorong-dorong ke arah gumpalan-gumpalan es yang mengambang di air laut di dekat tepi. Hawa panas menyambar-nyambar ke arah gumpalan-gumpalan es itu dan gumpalan es sebesar kepala kerbau itu seketika mencair seperti didekati api panas!

“Hebat sekali, engkau sungguh lihai, Bun-koko!” Ceng Liong memuji sambil bertepuk tangan dengan hati gembira sekali.

Setelah mencairkan empat gumpal es, Ciang Bun menghentikan gerakannya dan sambil tersenyum malu-malu dia mengusap peluh yang membasahi dahi dan lehernya. “Ahhh, aku masih harus banyak berlatih, Liong-te,” katanya merendah.

Demikianlah watak Ciang Bun, pemalu dan rendah hati, sungguh amat berbeda dengan cici-nya yang lincah jenaka dan kadang-kadang dapat saja bersikap angkuh.

“Dan sekarang harap engkau suka memberi petunjuk dan memperlihatkan kehebatan Swat-im Sin-ciang, Hui-cici.” Ciang Bun menyambung untuk menutupi rasa jengahnya oleh pujian Ceng Liong tadi.

Suma Hui menarik napas panjang. “Berlatih Swat-im Sin-ciang di Pulau Es sungguh tidak mudah, membutuhkan pengerahan tenaga yang lipat dibandingkan dengan kalau berlatih Hwi-yang Sin-ciang. Baiklah, aku akan berlatih dan kalian lihatlah baik-baik, siapa tahu kelak kalian dapat melampaui aku dalam ilmu ini.”

Dara cantik jelita ini lalu mempererat ikat pinggangnya dan ia pun mulai memperlihatkan kemahiran dan kelincahannya. Ia mainkan ilmu silat yang kelihatannya amat lembut dan halus indah, namun sesungguhnya ilmu silat ini adalah ilmu yang ganas bukan main, karena ini adalah Ilmu Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa) yang sudah dipelajarinya dari neneknya, yaitu nenek Lulu. Ilmu ini pun sesungguhnya berasal dari Bu Kek Siansu, akan tetapi asalnya tidaklah begitu ganas. Hanya setelah terjatuh ke tangan nenek sakti Maya, maka menjadi ganas dan setelah terjatuh ke tangan nenek Lulu semakin ganas!

Seperti juga perbuatan adiknya tadi, sambil bersilat itu Suma Hui mendekati pantai teluk dan tiba-tiba dia pun mengeluarkan lengkingan-lengkingan tinggi nyaring dan kedua tangannya memukul-mukul ke air di tepi teluk. Air laut itu muncrat-mucrat ke darat dan ketika tiba di atas batu, terdengar suara berketikan karena air laut itu ternyata telah membeku dan menjadi butiran-butiran es!

Sungguh merupakan ilmu pukulan yang amat dahsyat dan mengerikan, dan menjadi kebalikan dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dapat mencairkan es tadi. Swat-im Sin-ciang ini mengandung hawa sedemikian dinginnya sehingga dapat membuat air menjadi beku! Lawan yang kurang kuat sinkang-nya, kalau terkena pukulan ini mana mampu menahannya? Darahnya mungkin bisa menjadi beku!

“Hebat....! Hebat....!” Ceng Liong bertepuk tangan memuji dan dia pun meleletkan lidah saking kagumnya melihat betapa air yang muncrat-muncrat itu berubah menjadi es.

Tiga orang ini lalu berbincang-bincang di tepi teluk, membicarakan tentang ilmu-ilmu silat yang mereka pelajari dan beberapa kali mereka saling memperlihatkan ilmu yang sedang mereka latih di mana Suma Hui memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang adiknya. Mereka bertiga adalah ahli waris-ahli waris langsung dari keluarga Pulau Es dan tentu saja merekalah yang berhak untuk mewarisi semua ilmu dari Pendekar Super Sakti dan keluarganya.

Sementara itu, di dalam Istana Pulau Es itu sendiri, di dalam ruangan semedhi, Pendekar Super Sakti Suma Han sedang duduk bersila di atas lantai bertilam babut tebal, berhadapan dengan kedua orang isterinya, yaitu nenek Nirahai dan nenek Lulu. Mengharukan juga melihat pendekar sakti yang kini sudah menjadi seorang kakek tua renta itu duduk berhadapan dengan kedua isterinya yang sudah menjadi nenek-nenek tua renta pula, dalam keadaan yang demikian penuh kedamaian dan ketenteraman, juga penuh dengan getaran kasih sayang di antara mereka.

Bagi orang lain mungkin mereka bertiga itu hanya merupakan kakek dan nenek yang tua renta dan buruk digerogoti usia. Namun bagi mereka masing-masing, mereka masih saling merasa kagum dan tiada bedanya dengan dahulu di waktu mereka masih muda belia. Tentu saja mereka pun sadar bahwa mereka telah amat tua, seperti yang dapat diikuti dari percakapan mereka di dalam ruangan semedhi yang sunyi itu. Tidak ada seorang pun pelayan berani mendekati ruangan semedhi ini tanpa dipanggil. Mereka bertiga sejak tadi bercakap-cakap, setelah pada pagi hari itu mereka menghentikan semedhi mereka.

“Kematian telah berada di depan mata....” Terdengar suara halus Suma Han, suara yang keluar seperti tanpa disengaja, dan tidak ada tanda-tanda perasaan tertentu di balik pernyataan ini.

Kedua orang nenek itu, yang tadinya duduk bersila dengan muka tertunduk, sekarang mengangkat muka memandang wajah suami mereka. Pandang mata mereka itu masih penuh kagum, penuh rasa kasih, dan pengertian. Akan tetapi ucapan tadi memancing datangnya kerut di kening mereka.

“Suamiku, apa artinya ucapanmu tadi?” tanya nenek Nirahai.

“Mengapa tiba-tiba menyinggung tentang kematian di pagi hari secerah ini?” Nenek Lulu juga menyambung dengan nada suara penuh teguran dan pertanyaan.

Kakek Suma Han mengangkat mukanya dan wajahnya yang masih kemerahan itu kini penuh senyum ketika matanya bertemu dengan pandang mata kedua orang isterinya. “Apakah kalian terkejut dan merasa takut mendengar kata kematian itu?” tanyanya, suaranya halus penuh kasih sayang.

“Hemmm, siapa yang takut mati?” Nirahai mencela.

“Aku pun tidak pernah takut kepada kematian!” nenek Lulu juga menyambung.

Kakek itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, masih menatap wajah kedua orang isterinya itu berganti-ganti. “Kalian memang benar. Kematian hanya merupakan kelanjutan dari pada kehidupan. Hidup takkan mungkin pernah terpisah dari pada mati. Ada hidup tentu ada mati seperti ada awal tentu ada akhir, walau pun kematian bukan merupakan akhir segala-galanya.

Orang sesungguhnya tidak takut akan kematian itu sendiri, melainkan ngeri karena harus berpisah dari segala-galanya yang disayangnya, harus terlepas dari segala macam bentuk pengikatan manis dalam hidupnya. Kematian adalah suatu hal yang wajar. Jadi, kalian berdua sama sekali tidak pernah merasa ngeri menghadapi kematian?”

“Nanti dulu, suamiku,” kata nenek Nirahai. “Kita sekarang ini masih segar-bugar, masih sehat walau pun usia kita telah mendekati satu abad, akan tetapi mengapa kita bicara tentang kematian? Kalau kematian itu merupakan suatu kewajaran, dan kalau kita tidak takut menghadapinya, perlu apa kita membicarakannya seperti orang yang ke-takutan menghadapinya?”

Kini kakek Suma Han tertawa. Suara ketawanya masih seperti suara ketawa orang muda dan giginya pun masih baik sehingga ketika dia tertawa, wajahnya nampak jauh lebih muda walau pun rambut, kumis dan jenggotnya telah putih semua.

“Engkau masih dapat tertawa seperti itu, akan tetapi bicara tentang kematian. Sungguh tidak lucu!” Nenek Lulu berkata.

Ucapan isterinya yang biasanya galak ini membuat Suma Han makin gembira tertawa. “Kita membicarakan kematian bukan karena takut, namun membicarakannya sebagai suatu hal yang tidak terhindarkan dan suatu hal yang sangat akrab di dalam hatiku. Sesungguhnya, bukankah kita bertiga ini sudah lama mati? Mati dalam hidup, yaitu mati dari pada segala ikatan yang memberatkan batin. Kita bertiga sudah berusia begini lanjut. Kiranya jarang ada yang dapat mencapai usia selanjut kita dan hal ini terjadi karena cara hidup kita yang bersih dan selalu menjaga diri tidak menyalahi hukum-hukum kehidupan dan mempunyai tertib diri. Terutama sekali, karena kita bertiga hidup berbahagia. Kalau tadi aku bertanya, aku hanya ingin mendengar kepastian bahwa kalian berdua tidak takut akan kematian yang sudah berada di depan mata karena usia kita yang sudah sangat tua. Kita tidak mungkin hidup tanpa akhir, jasmani kita akan melapuk dan melemah dimakan usia....”

“Sudahlah, suamiku. Perlu apa kita bicara tentang kematian? Bukan berarti bahwa aku takut menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh kali kita semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekali pun kita merasa takut, bukan? Nah, kalau ada yang kutakuti, hanya satu, yaitu....”

“Heh-heh, engkau....? Engkau.... takut....? Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya jika engkau mengatakan bahwa engkau takut? Aku yakin akan keberanian dan ketabahanmu, sehingga andai kata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu akan kau sambut dia dengan senyum mengejek,” Nirahai mencela dengan kelakar karena memang nenek ini sudah tahu benar akan keberanian madunya yang tidak pernah mengenal takut itu.

“Benar, enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati sebagai seekor harimau betina yang telah ompong dan kehilangan cakar kakinya.”

Suma Han menatap wajah isterinya ini lalu bertanya, “Apa maksudmu?”

“Semenjak kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak cucu. Akan tetapi, memikirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan mati dalam keadaan lemah dan sakit-sakitan, sungguh ngeri juga hatiku. Aku ingin mati sebagai seekor harimau betina yang gagah perkasa, meski sudah tua, seekor harimau betina yang mati dalam amukannya dikeroyok segerombolan serigala misalnya! Tidak mati sakit dan lemah menyedihkan....”

Nenek Nirahai mengangguk-angguk. “Tepat! Jika membayangkan mati dalam keadaan seperti ini, aku pun sering kali merasa ngeri. Berilah aku pasukan, aku akan maju perang membasmi gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Biarkan aku gugur dalam pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai seorang nenek yang lumpuh dan lemah sakit-sakitan. Hihh, mengerikan!”

Mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.

“Aihh, kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari kalian. Belum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup, mengandalkan ilmu-ilmu kekerasan yang ada pada kita?”

“Tetapi, bukan kita yang mencari kekerasan. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi lawan yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim,” kedua orang isterinya menjawab hampir berbareng.

Pendekar tua itu mengangguk-angguk. “Aku tidak akan membantah pendapat kalian, walau kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pandangan sebelah saja. Sekarang kita hidup tenang dan tenteram, mengapa merindukan kekerasan?”

“Suamiku, jangan salah duga,” kata nenek Lulu. “Aku tidak merindukan kekerasan, hanya aku ingin mati sebagai seorang gagah. Biar pun sudah tua begini, ngeri aku membayangkan mati sebagai seorang nenek yang lemah dan berpenyakitan.”

Suaminya mengangguk-angguk. “Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan adalah kenyataan. Memang kematian telah berada di depan mata, dan aku merasa lega bahwa kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa takut.”

“Suamiku, sudahlah, tak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup. Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?” tanya Nirahai.

Setelah menghentikan semedhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari tiga malam, mereka bertiga suka memulai makan dengan minum air buah. Suma Han mengangguk dan Nirahai lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan tidak lama kemudian muncullah seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Nirahai lalu menyuruh pelayan itu menghidangkan air buah dan makanan-makanan lembut dan ringan untuk mengisi perut mereka yang kosong.

Setelah mereka bertiga mengisi perut yang kosong dengan sari buah dan makanan-makanan ringan, Suma Han bertanya, “Di manakah cucu-cucu kita? Kenapa tidak ada suara mereka di dalam?”

“Mereka tentu berada di luar istana,” kata nenek Nirahai. “Aku mulai memikirkan apakah tidak sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke kota raja? Keadaan negara sedang aman tenteram, baik sekali kalau mereka itu meluaskan pemandangan dan pengetahuan pergi ke kota raja.”

“Menurut berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat bijaksana,” kata Suma Han. “Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang kaisar yang benar-benar bijaksana dan dapat membuat rakyat hidup adil makmur, negara kuat dan keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan keadaan se-perti itu.”

“Semenjak masih muda sekali, ketika masih menjadi pangeran, memang Pangeran Kian Liong sudah nampak sebagai seorang yang bijaksana,” kata nenek Nirahai.

“Aku jadi ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang,” kata nenek Lulu.

“Sebaiknya panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka,” kata kakek itu.

“Biar aku yang mencari mereka!”

Nenek Lulu bangkit dari lantai dan dengan langkah masih gesit nenek ini kemudian meninggalkan ruangan semedhi dan keluar dari istana mencari tiga orang cucunya….

kisah para pendekar pulau es jilid 01


“Jangan lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan gerak kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan perasaan saja, karena itulah maka gerakan perlu dilatih agar menjadi otomatis sehingga seluruh pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas dari pada gerakan lawan.” Demikian Suma Hui memberi nasehat kepada kedua orang adiknya.

Kemudian dara yang cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis). Namanya saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat, dan kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.

Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang yang tidak mengerti, atau yang ilmu silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya merupakan tarian pedang yang indah saja akan tetapi yang tidak berbahaya kalau dipakai dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat orangnya kecelik bukan main.

Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu. Saking asyiknya Suma Hui bersilat pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautan di sekitar Pulau Es.

Ternyata pada pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak bermunculan belasan buah layar di sekitar pulau, bahkan sebuah perahu besar di antara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk dan mendarat!

“Bagus! Bagus dan indah sekali!”

“Cantik jelita seperti bidadari!”

Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permainan pedangnya dan menyimpan sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak laki-laki itu pun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang laki-laki yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih terdapat beberapa orang anak buah perahu.

Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau, maka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini merupakan tamu-tamu kakek mereka. Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai puteri suami isteri pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak sopan.

Hatinya sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu memandang kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara pujian akan kecantikannya tadi mengandung kekurang ajaran, walau pun tujuh orang itu bukan muda lagi, antara empat puluh sampai enam puluh tahun. Namun, dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat.

Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya nampak tergantung sebatang golok, sikapnya congkak bukan main.

“Ha-ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau? Sungguh tidak kusangka, di tempat kosong seperti ini akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian menari amat indah lagi. Aihh, nona, dari pada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut saja denganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!” Berkata demikian, orang ini mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah dada Suma Hui.

“Jahanam....!” Suma Hui memaki.

Dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja, colekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu membanting-banting kaki kirinya beberapa kali dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang yang memakai julukan Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu tandanya berbahaya sekali karena ia sudah marah bukan main.

Akan tetapi, orang bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan, entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu memandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.

“Eh, eh, engkau memaki?” Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.

“Setan!” Makian ini keluar dari mulut kecil Suma Ceng Liong dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menerjang ke depan.

Biar pun usianya baru sepuluh tahun, akan tetapi dia adalah putera Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Semenjak kecil, bahkan semenjak dapat berjalan kaki, dia sudah digembleng oleh ayah dan ibunya sehingga ilmu silat sudah mendarah daging padanya! Tubuhnya juga digembleng menjadi kuat. Apalagi selama dua tahun ini, sejak berusia delapan tahun, dia digembleng oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai dan menerima petunjuk-petunjuk dari kakeknya. Tentu saja dia bukanlah anak laki-laki berusia sepuluh tahun sembarangan saja!

Terjangan itu memakai perhitungan dan dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tubuh yang sudah dua tahun menahan dinginnya Pulau Es itu telah dapat menghimpun tenaga panas yang cukup kuat dan ketika dia menerjang, dia telah mempergunakan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari ayahnya. Tubuhnya meluncur ke depan dan kedua kakinya melakukan tendangan terbang.

Si muka tikus amat terkejut, mencoba untuk menangkis, akan tetapi tangkisannya dapat dipatahkan oleh kaki kiri Ceng Liong sedangkan kaki kanan putera Pendekar Siluman Kecil itu tetap meluncur menghantam perut.

“Dukkk....!”

Tubuh Dewa Golok itu terjengkang dan terbanting keras. Agaknya belakang kepalanya terbanting cukup keras karena ketika dia bangkit duduk, kepalanya bergoyang-goyang dan sepasang matanya menjadi agak juling. Akan tetapi dia sudah marah sekali dan sambil berteriak dia sudah mencabut golok dari punggungnya, lalu bangkit berdiri.

Akan tetapi, Ceng Liong sudah menyeruduk lagi ke depan. Dan sekali ini dia membuat serangan dengan jurus dari Sin-coa-kun, tangan kirinya yang membentuk kepala ular itu ‘mematuk’ ke arah dada lawan yang baru hendak bangkit berdiri dengan kepala masih pening.

“Tukkk!”

Dan tubuh itu kembali terjengkang, kini golok yang dipegangnya terlepas dan dia roboh pingsan karena pukulan itu merupakan totokan yang disertai hawa pukulan panas.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya enam orang lain yang tadi turun dari perahu. Mereka itu adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan dan merupakan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka pernah melihat orang-orang pandai, akan tetapi baru sekarang mereka melihat betapa seorang teman mereka yang mereka tahu cukup tangguh itu roboh pingsan melawan seorang anak kecil, hanya dalam dua gebrakan saja!

Seorang yang bertubuh gendut, perutnya besar sekali sampai seperti gajah bunting bengkak, dan biar pun tubuhnya tidak dapat dikatakan pendek namun besar perutnya membuat dia nampak pendek, segera melangkah maju. Orang ini memiliki tenaga besar, hal ini dapat dirasakan ketika kakinya dibanting ke atas tanah sampai tanah itu tergetar. Dia termasuk seorang di antara mereka yang merasa penasaran melihat rekannya roboh sedemikian mudahnya oleh seorang anak kecil, maka begitu maju dia pun segera menubruk ke arah Ceng Liong.

“Dukkk!”

Si gendut itu terkejut dan meloncat kembali ke belakang ketika ada tangan yang amat kuat menangkis lengannya. Kiranya pemuda remaja belasan tahun yang bermuka bulat itu yang menangkisnya, bukan sembarang tangkisan karena si gendut ini merasa tadi betapa ada kekuatan besar dalam tangan kecil itu yang mendorongnya. Dengan mata melotot dia memandang pemuda remaja itu. Seorang pemuda belasan tahun yang kelihatannya masih hijau. Dia menjadi penasaran sekali.

“Engkau berani melawanku?!” bentaknya.

Tanpa menanti jawaban lagi si gendut ini langsung saja melakukan serangan dahsyat. Agaknya dia ingin memamerkan kepandaiannya dan ingin segera membalas kekalahan temannya tadi, ingin merobohkan Ciang Bun hanya dengan sekali pukul.

Maka begitu menyerang dia telah menggerakkan kaki tangannya, pertama-tama kakinya menendang kuat ke arah perut pemuda itu lalu disusul pukulan beruntun dengan kedua tangannya mengarah leher dan kepala Ciang Bun. Tiga serangan berantai itu amat cepat dan kuatnya, dan si gendut sudah merasa yakin bahwa pemuda remaja itu pasti tidak akan mampu menghindarkan diri dan tentu satu di antara serangannya itu akan mengenai sasaran.

Akan tetapi, dia dan teman-temannya kecelik. Ciang Bun yang melihat sambaran kaki tangan itu sudah dapat mengukur dari sambaran anginnya bahwa si gendut ini biar pun jauh lebih lihai dari pada si Dewa Golok tadi, tetap saja hanya besar mulut dan besar tenaga otot belaka. Maka dia pun tidak mengelak, melainkan sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di kedua tangannya.

“Duk-takk-takkk!”

Tiga kali tendangan dan pukulan itu ditangkis oleh lengan yang mengandung tenaga sinkang panas itu dan akibatnya, tubuh gendut itu terlempar ke belakang.

“Bresss! Ngekkk!”

Bunyi pertama adalah bunyi daging pinggulnya menghantam tanah dan bunyi ke dua adalah bunyi perut gendutnya yang terbanting. Yang membuat dia tidak dapat bangkit dengan cepat dan hanya meringis kesakitan adalah berat badannya sendiri yang membuat bantingan itu menjadi berat dan hebat sekali.

Kini semua orang memandang terbelalak. Kiranya kemenangan anak laki-laki kecil tadi melawan si Dewa Golok bukan hanya merupakan hal yang kebetulan saja, melainkan karena memang anak-anak ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat!

Tosu berusia enam puluhan tahun yang agaknya menjadi pimpinan kelompok orang yang turun dari perahu itu kini melangkah maju. Tosu ini wajahnya merah, bahkan matanya juga agak kemerahan, mulutnya tersenyum sinis dan dia maju sambil mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang lebar. Jubahnya berwarna kuning dan di dadanya ada gambaran bulat lambang Im Yang.

“Siancai.... siancai....!” katanya dengan alim. “Kiranya di tempat sunyi ini terdapat orang-orang muda yang pandai. Sungguh mengagumkan sekali. Orang-orang muda, siapakah kalian dan apa hubunganmu dengan tocu (majikan pulau) dari Pulau Es?”

Karena masih menduga bahwa mungkin sekali mereka ini adalah kenalan-kenalan kakeknya walau pun hal ini sungguh amat meragukan, maka Suma Hui lalu menjawab, “Tocu Pulau Es adalah kakek kami.”

Terdengar seruan-seruan kaget mendengar pengakuan ini dan tosu itu juga berseru, “Siancai! Kiranya kalian adalah cucu-cucu dari Pendekar Siluman Suma Han?”

“Kakekku adalah Pendekar Super Sakti, dan bukan siluman!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak.

Bagi keluarga ini, julukan Pendekar Siluman dari kakek mereka dianggap kurang sedap dan lebih membanggakan kalau kakek mereka dijuluki Pendekar Super Sakti. Akan tetapi anehnya, Ceng Liong sendiri tidak merasa keberatan dengan julukan ayah kandungnya, yaitu Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.

“Bagus! Kebetulan sekali kalau begitu! Sebelum kita menebang batangnya, lebih baik menebangi cabang-cabang dan ranting-rantingnya lebih dulu!” Kata-kata ini belum dapat dimengerti atau ditangkap artinya oleh Suma Hui ketika tiba-tiba saja tosu itu sudah menyerangnya dengan hebat.

Gerakan tosu ini cepat dan kuat sekali, sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dua orang terdahulu yang dirobohkan oleh Ceng Liong dan Ciang Bun. Jelaslah bahwa tosu ini lihai sekali dan memiliki ilmu silat tinggi. Dan memang sesungguhnyalah. Tosu ini adalah seorang tokoh dari partai Im-yang-pai dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga sinkang yang kuat. Kalau tidak lihai, tentu dia tidak akan dipercaya untuk memimpin rombongan orang-orang gagah dalam perahu itu.

Suma Hui telah memiliki tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua adiknya. Dara ini selain lincah dan cepat, juga memiliki kecerdikan. Dalam menghadapi serangan tosu itu, dia bersikap tenang saja dan dengan waspada dia mengikuti gerakan lawan yang melakukan serangan.

Tosu itu menampar dengan tangan kiri, akan tetapi tamparan yang dilakukan dengan keras itu hanya merupakan pancingan atau gertakan belaka, sedangkan yang lebih berbahaya adalah tangan kanannya yang melakukan dorongan lembut saja ke arah dadanya. Dorongan inilah yang berbahaya karena Suma Hui dapat merasakan kekuatan besar yang panas tersembunyi dalam dorongan lembut itu! Dalam sekejap mata saja dara perkasa ini pun maklum bahwa lawannya menggunakan sinkang yang keras atau panas, maka ia pun sudah siap untuk menyambutnya.

Ia sengaja membiarkan dirinya seolah terpancing, mengangkat lengan kanannya untuk menangkis tamparan tangan kiri lawan seakan-akan dia tidak tahu bahwa dorongan tangan kanan lawan itulah yang berbahaya.

“Plakk!”

Lengan kanannya menangkis tamparan dan pada saat itu, dorongan tangan kanan lawan yang kuat dan panas itu pun menyambar masuk. Suma Hui mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang ke dalam lengan kirinya dan ia pun menangkis dorongan itu sambil mengerahkan sebagian dari tenaga dingin.

“Dukkk....!”

Pertemuan kedua tangan dan lengan itu membuat si tosu terdorong ke belakang beberapa langkah dan biar pun dia tidak sampai terguling jatuh, akan tetapi tubuhnya menggigil dan mukanya seketika menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang pada wajah dara itu, seolah-olah tidak percaya.

Dia sendiri adalah ahli sinkang dan telah menguasai tenaga Im dan Yang dari ilmu partainya, akan tetapi di tempat dingin seperti Pulau Es itu, di mana dia sudah harus mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin, dia tahu bahwa tidak mungkin dia mempergunakan Im-kang atau tenaga dingin di tempat ini. Karena itu, dia tadi telah mempergunakan tenaga panas atau Yang-kang ketika menyerang lawan. Siapa kira, dara itu malah mempergunakan tenaga dingin yang amat kuat untuk melawannya, membuat tubuhnya seketika kedinginan!

Tosu Im-yang-pai itu menjadi penasaran sekali. Cepat dia mengerahkan tenaga untuk mengusir hawa dingin itu, kemudian dia mengeluarkan teriakan nyaring dan menyerang lagi kalang kabut dengan amat dahsyatnya. Namun Suma Hui telah siap siaga dan menyambut serangan-serangannya dengan lincah, tak hanya mengelak dan menangkis, bahkan juga balas menyerang dengan sengit.

Dara ini telah mempergunakan Ilmu Toat-beng Bian-kun yang lembut namun dahsyat itu. Tentu saja tosu Im-yang-pai itu tidak mengenal ilmu silat ini dan segera dia mulai terdesak hebat.

“Pergilah!” Suma Hui berseru nyaring.

Dan tangan kirinya yang kecil itu menyambar halus ke arah leher lawan. Tosu itu cepat berusaha mengelak dan balas memukul, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget karena tahu-tahu tangan itu sudah menyambar dan mengenai ujung pundaknya, biar pun dia sudah melempar tubuh ke belakang.

“Brettt!” Jubahnya di bagian pundak hancur dan ujung pundak itu terasa nyeri seperti hancur daging kulitnya.

Untung baginya bahwa tulang pundaknya tidak terkena serempet pukulan itu. Bagai mana pun juga, hal itu membuatnya terkejut dan ketika dia melempar tubuh ke belakang tadi, dia terus menjatuhkan diri bergulingan menjauh. Ketika dia meloncat bangun, keringat dingin membasahi dahinya, maklum bahwa hampir saja dia celaka oleh dara muda itu.

Dia maklum bahwa biar pun dara itu masih muda sekali, namun sebagai cucu Pendekar Super Sakti, ternyata sudah memiliki ilmu kepandaian yang sangat hebat dan kalau dilanjutkannya melawan dara itu, besar bahayanya dia akan kalah dan celaka. Maka dia pun memberi isyarat kepada kawan-kawannya lalu mencabut pedangnya.

Enam orang kawannya itu, dua orang yang tadi dirobohkan oleh Ciang Bun dan Ceng Liong dan yang sudah pulih kembali, segera menerjang dengan senjata masing-masing di tangan! Jelas bahwa mereka itu berniat membunuh, seperti sekumpulan serigala yang haus darah.

Akan tetapi Suma Hui telah melolos pula sepasang pedangnya, melemparkan sebatang kepada Ceng Liong, sedangkan Ciang Bun juga sudah mengeluarkan pedang yang biasanya dipakai berlatih. Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti ini kemudian memutar pedang di tangan masing-masing dan mengamuk menyambut serbuan tujuh orang penjahat itu.

Terjadiiah perkelahian yang amat hebat dan berat sebelah. Di satu pihak adalah tiga orang yang masih amat muda, bahkan yang seorang masih anak-anak, sedangkan di lain pihak adalah tujuh orang tokoh-tokoh dunia persilatan yang sudah memiliki nama besar. Bagaimana pun juga, tujuh orang ini sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan ujung pedang Ciang Bun telah melukai paha seorang lawan, juga ujung pedang Suma Hui telah melukai lengan kiri lawan.

Ceng Liong yang masih kecil itu pun masih mampu mempertahankan diri, mengelak, menangkis bahkan balas menyerang walau pun dia dikeroyok oleh dua orang jagoan! Tentu saja Ciang Bun tidak sampai hati membiarkan adik kecil ini dikeroyok dua, maka sambil menghadapi pengeroyokan dua orang lainnya, dia selalu mendekati Ceng Liong dan sewaktu-waktu membantunya agar supaya jangan terlalu dihimpit. Suma Hui sendiri dikeroyok tiga, seorang di antaranya adalah tosu Im-yang-pai, akan tetapi dara ini jelas dapat mendesak tiga orang lawannya dan kalau dilanjutkan, agaknya tak lama lagi dara ini akan mampu merobohkan mereka bertiga.

Akan tetapi, pada saat itu, dua buah perahu didayung ke tepi oleh para penumpangnya dan dari masing-masing perahu berlompatan lima orang yang memiliki gerakan ringan, terutama sekali seorang di antaranya yang berpakaian seperti pertapa dan rambutnya digelung ke atas, mukanya penuh cambang bauk dan tangannya memegang sebatang cambuk baja yang hitam panjang! Sepuluh orang ini nampak terkejut dan terheran-heran menyaksikan betapa tujuh orang rekan mereka yang mengeroyok tiga orang muda setengah anak-anak itu terdesak dan kewalahan.

“Tahan! Mundur semua!”

“Tar-tar-tar!” Tiba-tiba terdengar bunyi lecutan cambuk baja yang meledak-ledak di atas kepala tiga orang cucu Pendekar Super Sakti.

Mereka terkejut sekali dan Suma Hui maklum akan kehebatan tenaga yang terkandung dalam ujung cambuk itu, maka ia pun meloncat ke belakang sambil meneriaki kedua orang adiknya untuk mundur. Dua orang anak laki-laki itu pun tahu akan kelihaian tosu ini, maka mereka pun cepat mundur sambil melintangkan pedang melindungi dirinya.

Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dialah tokoh utama Im-yang-pai yang telah membawa perkumpulan itu menyeleweng ke jalan sesat. Nama julukannya adalah Ngo-bwe Sai-kong (Kakek Muka Singa Berekor Lima). Mukanya memang penuh cambang bauk seperti muka singa, dan julukan Lima Ekor itu didapatnya dari senjatanya. Senjata Thi-pian (Cambuk Besi) yang ujungnya lima sehingga merupakan ekor yang lima buah banyaknya. Cambuknya ini berbahaya sekali dan jarang dia menemui tandingan. Tentu saja, sebagai seorang tokoh besar bahkan dia berani mengangkat diri dengan sebutan ciangbujin atau datuk setelah tewasnya Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat), dia malu kalau harus menghadapi tiga orang anak-anak muda dengan pengeroyokan.

Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu telah tahu bahwa sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, di dunia persilatan terdapat lima orang datuk sesat yang terkenal yaitu Im-kan Ngo-ok. Im-kan Ngo-ok pada sebelas tahun yang lalu telah tewas semua di tangan pendekar-pendekar muda. Tak dapat disangkal bahwa selain lima orang datuk ini, di dalam dunia kaum sesat masih terdapat banyak orang yang kepandaiannya tidak kalah atau tidak selisih jauh dibandingkan dengan mereka, akan tetapi yang menonjol hanyalah Im-kan Ngo-ok. Baru setelah lima orang itu tewas, bermunculan datuk-datuk baru dan satu di antaranya adalah Ngo-bwe Sai-kong inilah!

Setelah mengamati tiga orang muda itu, akhirnya pandang mata saikong ini melekat pada wajah Suma Hui. Saikong ini telah berusia lanjut, paling sedikit enam puluh lima tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak gagah dan tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, dan pandang matanya masih penuh nafsu birah, ciri seorang laki-laki yang besar nafsunya dan mata keranjang. Memang inilah satu di antara cacat saikong itu.

“Nona manis, mari engkau ikut denganku, akan kuajari bagaimana caranya bermain pedang!” katanya sambil tersenyum dan melangkah maju menghampiri Suma Hui.

“Setan tua jangan ganggu cici-ku!” dengan pandang mata penuh dengan kemarahan, Ceng Liong yang masih terengah-engah karena perkelahian tadi sudah menggerakkan pedangnya dan menusuk ke arah perut saikong itu. Kakek itu sama sekali tak mengelak, melainkan menerima saja tusukan itu.

Ceng Liong adalah seorang anak keturunan pendekar sakti dan cucu dari Pendekar Super Sakti. Sejak kecil bukan hanya telah digembleng ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga digembleng oleh ajaran-ajaran tentang kegagahan. Oleh karena itu, melihat betapa lawannya tidak mengelak atau menangkis, tentu saja dia terkejut sekali. Merupakan pantangan bagi seorang gagah untuk menyerang orang yang tidak mau melawan. Akan tetapi, tusukannya telah dilakukan dan dia tidak dapat menariknya kembali, kecuali mengurangi tenaga sinkang yang tadinya telah dikerahkannya.

“Tukkk!”

Pedang itu tepat menusuk perut, akan tetapi mental kembali dan Ceng Liong malah terdorong mundur dua langkah!

“Heh-heh, anak nakal, pergilah!” Kakek itu berkata dan tangan kirinya bergerak, ujung lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah kepala Ceng Liong.

Serangan yang kelihatannya sederhana saja akan tetapi di dalam ujung lengan baju itu terkandung tenaga kuat yang mampu membuat ujung lengan baju itu memecahkan batu karang! Ceng Liong biar pun masih kecil namun dia sudah tahu akan ilmu-ilmu yang hebat dan dia mengenal serangan berbahaya, maka dia pun menggerakkan tangan kirinya menangkis ujung lengan baju.

“Plakk!”

Dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terbanting keras. Anak ini segera menggulingkan tubuhnya, membiarkan dirinya bergulingan dan akhirnya dia dapat meloncat bangun tanpa luka. Dengan pedang di tangan, anak ini hendak menyerang lagi, akan tetapi dia didahului oleh Ciang Bun yang sudah meloncat ke depan.

“Kakek siluman, berani engkau memukul adikku?”

Ciang Bun juga menggerakkan pedangnya. Serangannya tentu saja berbeda dengan serangan Ceng Liong tadi, jauh lebih kuat dan lebih berbahaya. Ngo-bwe Sai-kong tahu akan hal ini, maka dia pun tidak berani ceroboh menerima sambaran pedang itu dengan tubuhnya. Tangan kanannya bergerak dan terdengar bunyi ledakan saat ujung cambuk besinya melecut dan menangkis pedang itu.

“Cringgg!”

Ciang Bun terkejut sekali dan cepat menggunakan sinkang untuk melawan getaran hebat yang dirasakannya ketika pedangnya bertemu dengan ujung cambuk. Di lain pihak, Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut dan terheran-heran. Dia telah mengerahkan tenaga sinkang-nya, dan sudah merasa yakin bahwa tentu pedang pemuda remaja itu akan terlempar jauh, bahkan lengan pemuda itu tentu akan menjadi lumpuh. Akan tetapi, pedang itu tidak terlepas dan lengan itu pun sama sekali tidak lumpuh karena pada detik berikutnya, pedang itu kembali telah menyerangnya dengan amat ganas!

“Hemm, bocah bandel!” katanya.

Dan kembali terdengar ledakan-ledakan pada saat pecut besi itu menyambar-nyambar, menahan pedang ke mana pun pedang itu bergerak. Dan setiap kali pedang bertemu dengan ujung cambuk besi, Ciang Bun merasa betapa lengannya tergetar hebat.

“Bun-te, mundurlah!” Tiba-tiba Suma Hui berteriak.

Dia maklum bahwa adiknya kewalahan dan kalau dilanjutkan adiknya itu akan terancam bahaya, maka ia pun sudah meloncat ke depan, kemudian menyerang kakek itu dengan pedangnya. Serangannya sangat hebat karena dara ini yang maklum akan kelihaian lawan telah mengerahkan tenaga dan sudah memainkan jurus dari Siang-mo Kiam-sut setelah dengan cekatan dia menerima pedang dari Ceng Liong yang mengembalikan pedang itu kepada Suma Hui. Dengan sepasang pedang di tangannya dan mainkan Siang-mo Kiam-sut, dara ini benar-benar merupakan lawan yang amat berbahaya.

Ngo-bwe Sai-kong maklum akan hal ini, maka dia pun beberapa kali mengeluarkan seruan kaget ketika nyaris ujung pedang dara itu mengenai tubuhnya. Dia tahu bahwa dara ini sangat lihai, dan karena dia dapat pula menduga bahwa tentu dara ini ada hubungannya dengan majikan pulau, yaitu Pendekar Super Sakti, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Cambuk besinya lalu digerakkan dan terjadilah perkelahian yang seru antara mereka, ditonton oleh semua orang yang menjadi semakin kagum saja melihat betapa seorang dara muda seperti itu dapat menandingi seorang datuk seperti Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai dan ditakuti orang.

Biar pun masih muda, baru delapan belas tahun usianya, namun dara itu sebenarnya telah memiliki dasar ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada lawannya. Akan tetapi, ia kalah jauh dalam pengalaman, siasat dan juga latihan. Suma Hui merupakan batu mulia yang belum tergosok, pengalamannya masih jauh kurang, dan juga latihannya masih belum matang.

Oleh karena itulah, setelah menandingi kakek yang seperti iblis itu selama tiga puluh jurus, ia mulai terdesak dan bingung oleh bunyi cambuk yang meledak-ledak dan lima ujung cambuk yang seperti telah berubah menjadi lima ekor ular yang mematuk-matuk itu. Akhirnya, satu di antara lima ujung cambuk itu telah menyerempet pundaknya.

Suma Hui terhuyung. Pundaknya tidak terluka berat dan hanya terasa panas, akan tetapi kedudukannya menjadi terhuyung, kuda-kudanya terbongkar dan pertahanannya terbuka. Pada saat itu juga cambuk sudah meledak-ledak lagi, siap menyambar turun dengan serangan maut selagi keadaan Suma Hui lemah seperti itu. Dan agaknya kakek itu pun tidak merasa sayang lagi untuk membunuh dara yang dianggapnya berbahaya ini, maka cambuknya pun meledak dan meluncur ke bawah.

“Trangggg....!”

Bunga api muncrat dan kakek itu terkejut, cepat melompat ke belakang dan mengangkat muka memandang wanita tua berpakaian serba hitam itu. Dia makin terkejut karena melihat betapa nenek tua renta ini memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata naga dalam dongeng! Tidak dapat disangsikan lagi bahwa nenek ini tentulah seorang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Ngo-bwe Sai-kong tahu diri, maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat.

“Siancai....! Siapakah toanio yang terhormat dan masih ada hubungan apa dengan tocu Pulau Es?”

Nenek itu bukan lain adalah nenek Lulu yang tadi meninggalkan suami dan madunya untuk keluar dari istana mencari tiga orang cucunya. Ketika tadi ia keluar dan mencari-cari, ia mendengar sesuatu yang tidak wajar dari arah tepi teluk, maka ia pun segera menuju ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya melihat begitu banyaknya orang di situ, mengurung tiga orang cucunya dan melihat betapa Suma Hui terdesak hebat oleh cambuk besi seorang kakek saikong berpakaian pendeta.

Ia menjadi marah sekali dan segera turun tangan menangkis ujung cambuk besi itu. Kini, dengan sinar matanya yang berapi-api, nenek tua renta ini menyapu keadaan di situ dengan sikap marah. Ada tujuh belas orang di situ, dan kesemuanya memiliki ilmu silat yang kuat, terutama sekali kakek yang berhadapan dengannya ini. Ia menyapu keadaan tiga orang cucunya dengan pandang mata dengan hati merasa lega. Cucu-cucunya selamat, tidak ada yang terluka nampaknya. Dan orang-orang ini pasti bukan orang baik-baik.

“Hemm, kalian ini orang-orang lancang agaknya sudah bosan hidup, berani mendarat di Pulau Es tanpa ijin. Bahkan kalian berani mati mengganggu cucu-cucuku ini, sungguh dosa kalian hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Suaranya lembut akan tetapi di dalam kelembutannya mengandung ancaman yang menyeramkan. Banyak di antara tujuh belas orang itu seketika menjadi pucat wajahmya mendengar kata-kata itu.

Juga Ngo-bwe Sai-kong terkejut. Kiranya nenek ini adalah isteri Pendekar Super Sakti. Dia dan kawan-kawannya telah mempelajari dan mencari tahu akan keadaan keluarga Pulau Es dan dia mendengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang isteri. Yang pertama sudah amat terkenal dan dia sendiri pernah melihatnya ketika Puteri Nirahai menjadi panglima. Dan kabarnya yang seorang lagi adalah seorang wanita yang juga amat lihai dan agaknya inilah orangnya!

“Bagus sekali, kedatangan kami justeru untuk mencabut nyawa keluarga Pulau Es, dan akan kami mulai dengan nyawamu!” kata Ngo-bwe Sai-kong tanpa banyak komentar lagi. Cambuknya sudah meledak-ledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dan dia pun sudah memberi tanda kepada teman-temannya yang segera menyerbu.

Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong sudah melawan lagi. Mereka bertiga dikeroyok oleh tujuh orang pertama tadi yang ditambah lagi dengan lima orang. Sedangkan nenek Lulu dikeroyok oleh lima orang yang lain, yaitu Ngo-bwe Sai-kong dan empat orang temannya. Ternyata bahwa empat orang teman Ngo-bwe Sai-kong ini merupakan yang terpandai di antara rombongan itu, dengan kepandaian yang hanya setingkat di bawah Ngo-bwe Sai-kong!

Dan mengamuklah nenek Lulu! Tubuhnya yang berpakaian hitam itu lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang menyelinap di antara senjata-senjata kelima orang pengeroyoknya dan kadang-kadang terdengar lengkingan-lengkingannya kalau ia balas menyerang. Sepak terjangnya menggiriskan dan dalam waktu belasan jurus saja ia sudah berhasil menampar kepala dua orang pengeroyok secara beruntun.

“Krakk! Krakk!” Dua orang itu roboh dengan kepala remuk dan tewas seketika!

Tentu saja Ngo-bwe Sai-kong menjadi terkejut dan cepat-cepat memberi tanda kepada pembantu-pembantunya untuk segera maju mengeroyok. Lima orang yang tadi ikut mengeroyok tiga orang cucu majikan Pulau Es itu lalu ikut menerjang dan membantu saikong itu. Nenek Lulu dikeroyok oleh delapan orang, dan tiga orang anak muda itu masih tetap dikepung oleh tujuh orang lawan yang dipimpin oleh tosu Im-yang-pai yang menjadi murid keponakan Ngo-bwe Sai-kong.

Dikeroyok oleh delapan orang itu, nenek Lulu tidak terdesak, bahkan dia mengamuk bagaikan seekor naga betina. Wajahnya berseri, gembira tetapi juga ganas, bibirnya tersenyum dan matanya berkilat-kilat. Ia tetap bertangan kosong, tetapi kepandaian nenek ini sudah demikian hebatnya sehingga tangkisan lengannya pada senjata lawan menimbulkan bunyi seolah-olah senjata itu bertemu dengan logam yang keras!

Akan tetapi, bagaimana pun juga, nenek Lulu yang usianya telah sembilan puluh tahun lebih itu tidaklah sekuat dahulu lagi daya tahannya. Selain usia tua telah menggerogoti tubuh dan kekuatannya dari dalam, juga selama puluhan tahun ia tinggal di Pulau Es, tidak pernah lagi bertanding dengan siapa pun juga sehingga bagaimana pun juga ia sudah kehilangan banyak kelincahannya, kurang latihan. Maka, setelah dia mengamuk hebat selama kurang lebih seratus jurus saja, napasnya sudah mulai terengah-engah dan kelelahan mulai membuatnya merasa lemas.

Akan tetapi, akibat dari amukannya itu memang hebat. Ia telah merobohkan tujuh orang yang tewas seketika dan selain itu, juga ia mampu melindungi tiga orang cucunya karena selama mengamuk, nenek ini terus memperhatikan cucu-cucunya dan setiap kali menolong kalau ada cucunya yang terancam bahaya senjata para pengeroyok. Akan tetapi, akhirnya ia sendiri terdesak hebat, apalagi oleh desakan cambuk besi di tangan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai dan ganas. Nenek ini segera tahu bahwa ia sudah mulai kehilangan kekuatannya dan hal ini amat membahayakan tiga orang cucunya.

“Hui...., Bun...., Liong.... larilah, beritahu kakek kalian....!” Akan tetapi pada saat itu, sebatang pedang telah menusuk paha kaki kirinya.

Nenek ini terhuyung, tetapi tangan kirinya dapat menangkap pedang itu, merenggutnya lepas dan sekali melontarkan pedang itu ke depan, terdengar jerit mengerikan karena si pemilik pedang roboh dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Akan tetapi pada saat itu, sebuah di antara lima ujung cambuk besi Ngo-bwe Sai-kong menyambar sedemikian cepatnya sehingga tidak sempat dielakkan lagi oleh nenek Lulu.

“Tukkk....!”

Tubuh nenek itu nampak kejang seketika, akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan lengking panjang dan tahu-tahu tubuhnya telah meluncur ke depan, kedua tangannya bergerak menusuk dengan jari tangan terbuka.

“Plak! Dukkk....!”

Tubuh Ngo–bwe Sai-kong yang tinggi besar itu terjengkang dan dari mulutnya terdengar teriakan menyayat hati dibarengi semburan darah segar, lalu kaki tangan kakek itu berkelojotan, matanya melotot dan dari tenggorakannya terdengar suara mengorok.

Nenek Lulu sendiri terhuyung, tetapi terdengar suara ketawa dari mulutnya, sungguh amat menyeramkan hati. Dan pada saat itu, nampak berkelebat dua bayangan orang, yang satu langsung menyambar tubuh nenek Lulu dan memondongnya sebelum tubuh itu terguling, sedangkan bayangan yang satu lagi langsung mengamuk, membuat para pengeroyok jatuh bangun.

Dua bayangan ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han dan isterinya, Puteri Nirahai. Kakek Suma Han sudah melihat keadaan isterinya, maka dia pun langsung menyambar tubuh nenek Lulu, sedangkan nenek Nirahai mengamuk, menggunakan kaki tangannya, menampar dan menendang ke sana-sini.

Para pengeroyok menjadi panik setelah melihat robohnya Ngo-bwe Sai-kong, apalagi dengan munculnya Pendekar Super Sakti yang kini nampak sibuk memeriksa keadaan nenek Lulu sedangkan nenek Nirahai mengamuk seperti naga sakti beterbangan. Maka, sisa para pengeroyok itu lalu berloncatan ke dalam tiga buah perahu mereka sambil membawa teman-teman yang tewas dan terluka.

“Jangan harap dapat lari dari sini!” bentak nenek Nirahai sambil mengejar, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu lengannya telah dipegang oleh suaminya.

“Tidak perlu dikejar, biarkan mereka pergi....,” kata Suma Han dengan suara halus.

Sejenak ada kekerasan dan perlawanan dalam sinar mata nenek Nirahai, tetapi seperti biasa, kekerasannya mencair setelah bertemu dengan pandang mata suaminya. Seperti baru tersadar dari mimpi buruk, nenek Nirahai memejamkan mata dan menyandarkan mukanya di dada suaminya itu sebentar, lalu dia teringat lagi dan cepat melepaskan dirinya dan lari menghampiri tubuh nenek Lulu. Tiga orang cucunya juga telah berlutut di dekat tubuh nenek Lulu, kelihatan bingung melihat nenek itu rebah dengan napas lemah sekali dan mata terpejam, akan tetapi mulut nenek itu tersenyum!

“Bagaimana keadaannya....?” Nenek Nirahai bertanya khawatir.

“Kita bawa dia pulang,” kata kakek Suma Han tanpa menjawab pertanyaan itu, hanya memondong tubuh isterinya ke dua itu lalu membawanya kembali ke istana, diikuti oleh nenek Nirahai yang menundukkan mukanya menyembunyikan kedukaan karena ia telah dapat merasakan dari sikap suaminya bahwa keadaan madunya itu tak dapat tertolong lagi.

Mereka disambut oleh tiga orang pria dan dua orang wanita pelayan mereka. Para pelayan itulah yang tadi melaporkan kepada Suma Han dan Nirahai tentang adanya perkelahian di tepi pantai teluk itu. Mereka sendiri tidak berani sembarangan turun tangan melihat betapa para penyerbu itu adalah orang-orang pandai.

Tubuh nenek Lulu direbahkan di atas dipan di dalam kamarnya. Kakek Suma Han dan nenek Nirahai lalu mempergunakan sinkang mereka untuk membantu nenek Lulu, menempelkan telapak tangan mereka pada dada dan punggung. Akhirnya nenek Lulu mengeluarkan suara keluhan lirih dan membuka kedua matanya.

Mula-mula ia seperti orang keheranan melihat suaminya, madunya, dan tiga orang cucunya menunggunya di dalam kamarnya. Akan tetapi ia segera teringat dan mulutnya bergerak, akan tetapi tidak ada suara yang keluar, melainkan darah yang mengalir dari ujung bibirnya yang kiri karena ia miring sedikit ke kiri.

“Tenanglah, engkau terluka parah....,” kata suaminya dengan suara halus.

“Me.... mereka....?” bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi pandang matanya berseri lega ketika ia melihat keadaan tiga orang cucunya sehat-sehat saja.

“Mereka sudah kuhajar dan tentu sudah kubunuh semua kalau saja suami kita yang selalu berhati lunak ini tidak menghalangiku!” kata nenek Nirahai. “Engkau terluka oleh saikong itu, dia lihai sekali akan tetapi engkau telah berhasil melempar nyawanya ke neraka!”

Nenek Lulu tersenyum dan melirik kepada suaminya. Sungguh mengherankan sekali. Dalam keadaan terluka parah itu, sampai ia tidak mampu mengeluarkan suara, nenek ini tersenyum-senyum gembira dan seperti hendak menggoda suaminya yang dicela oleh madunya! Mulutnya kembali bergerak-gerak hendak bicara akan tetapi ia terbatuk-batuk.

Kakek Suma Han lalu menotok beberapa jalan darah di leher dan kedua pundaknya dan napas nenek Lulu sekarang kelihatan lega. Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya ia mampu juga mengeluarkan suara.

“Aku gembira... aku... aku dapat mati seperti... harimau betina... yang gagah....! Aku... senang sekali... cucu-cucuku... jadilah orang gagah...” Sampai di sini suaranya habis, kepalanya terkulai dan matanya kehilangan cahayanya.

Kakek Suma Han menggunakan tangannya, menutupkan mata dan mulut isterinya, dan nenek Nirahai menahan isak membetulkan letak kaki tangan madunya. Tiga orang cucu mereka itu terbelalak memandang, kemudian tiba-tiba pecahlah suara tangis Suma Hui.

“Nenek....! Nenek telah meninggal dunia....!”

Melihat encinya menangis, Ciang Bun juga menangis, akan tetapi tangisnya tidak bersuara, hanya mengucurkan air mata saja yang diusapnya dengan lengan bajunya. Akan tetapi, Ceng Liong menangis terisak-isak seperti enci-nya. Melihat mereka bertiga menangis, para pelayan wanita juga menangis. Akhirnya Nirahai tidak dapat menahan lagi air matanya yang mengalir turun. Telah puluhan tahun ia hidup bersama suaminya dan madunya itu dan ia sudah menganggap Lulu sebagai adiknya sendiri.

“Aku ingin seperti Lulu! Aku ingin mati seperti Lulu!” Berkali-kali nenek Nirahai berkata sambil mengepal tinju dan air mata yang menetes-netes menuruni kedua pipinya itu didiamkannya saja.

Kakek Suma Han yang duduk bersila di dekat jenazah isterinya, tersenyum sendiri menyaksikan bagaimana kedukaan terbentuk dalam dirinya. Mula-mula dia melihat kenyataan bahwa isterinya yang tercinta itu mati. Kenyataan yang tak dapat dirubah oleh siapa pun juga, kenyataan yang wajar dan tidak mengandung suka mau pun duka.

Siapakah orangnya yang dapat menghindarkan diri dari kematian? Dan matinya Lulu wajar, juga tidak perlu dibuat penasaran. Usianya sudah sembilan puluh tahun dan tewas dalam tangan seorang lawan yang amat lihai, masih dikeroyok banyak orang lagi. Kematian yang wajar.

Lalu pada saat dia mendengar semua orang menangis, dan melihat wajah nenek Lulu, pikirannya membayangkan segala hal yang telah dilalui dalam hidupnya bersama Lulu. Terbayang dan terkenang kembali masa-masa muda mereka, saat-saat manis mereka, suka duka mereka yang mereka hadapi dengan bahu-membahu, dan saling mencinta.

Pikirannya membayangkan pula bahwa dia telah kehilangan salah seorang yang amat dicintanya. Semua kenangan ini lalu mendatangkan rasa iba diri dan muncullah duka! Suma Han melihat ini semua dan dia pun tersenyum di dalam hati. Duka timbul dari pikiran yang mengenangkan hal-hal lampau, timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan di masa depan, sehingga timbullah rasa iba diri, rasa kesepian dan perasaan nelangsa yang menimbulkan duka.

Pendekar Super Sakti membiarkan tiga orang cucunya dan juga isterinya tenggelam sebentar dalam iba diri dan duka, kemudian dia berkata, suaranya halus, ditujukan kepada mereka semua, isterinya, cucu-cucunya, dan para pelayan.

“Sudahlah, cukup sudah semua tangis yang tiada gunanya ini. Kematian adalah suatu kewajaran yang akan menimpa setiap orang manusia hidup di dunia ini. Kenapa harus ditangisi? Tangis tidak menguntungkan yang mati, juga merugikan dan melemahkan batin sendiri. Andai kata yang mati dapat mengetahui, maka tangis merupakan ikatan yang menahan dirinya dengan dunia dan kehidupan. Dan bagi yang hidup, tangis itu hanya merupakan kelemahan batin yang penuh dengan perasaan iba diri.”

Nenek Nirahai yang sudah mengerti benar akan hakekat mati hidup, mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh suaminya, hanya menundukkan muka saja. Para pelayan baru setengah mengerti, akan tetapi mereka tentu saja tidak berani membantah mau pun bertanya.

Tidak demikian dengan Suma Hui. Ia seorang dara yang sejak kecil memiliki daya cipta, tidak hanya mengekor terhadap pendapat orang-orang tua atau siapa pun juga. Segala perasaan dan keinginan tahunya tidak mudah dipuaskan oleh pendapat orang dan harus diselidikinya sendiri. Maka, mendengar ucapan kakeknya tadi ia pun membantah.

“Akan tetapi saya sama sekali tidak iba diri, kong-kong! Saya tidak kasihan kepada diri sendiri, melainkan kasihan kepada nenek!”

Suma Han memandang kepada cucunya itu dan tersenyum. “Coba jelaskan, mengapa engkau kasihan kepada nenekmu Lulu, Hui?”

“Nenek tewas dalam perkelahian, terbunuh orang, tentu saja saya kasihan kepadanya!”

“Mengapa kasihan? Nenekmu adalah seorang pendekar sejak kecil, bahkan perkelahian merupakan kegemarannya. Kalau sekarang ia tewas dalam perkelahian, hal itu adalah wajar dan engkau mendengar sendiri ucapan terakhirnya tadi betapa ia merasa gembira sekali dapat tewas dalam sebuah perkelahian, pantaskah itu kalau kita malah kasihan kepadanya?”

“Tapi, matinya karena kekerasan, karena terpaksa, kong-kong! Kalau tidak ada penjahat menyerbu, sekarang nenek Lulu tentu masih hidup bersama kita. Tidak kasihankah itu?” Suma Hui mencoba untuk membantah.

Kakek tua renta itu mengeleng kepala, masih tersenyum. “Semua bentuk kematian tentu ada sebabnya, tentu dipaksakan nampaknya, padahal sebenarnya sudah merupakan suatu kelanjutan yang wajar dari pada kehidupan. Kalau orang mati karena penyakit, bukankah itu merupakan hal yang dipaksakan juga? Kalau penyakit itu tidak datang kepadanya, dia tidak akan mati, begitu tentu bantahannya. Cucuku yang baik, kematian merupakan kelanjutan dari pada kehidupan, dan tentu saja untuk suatu peralihan keadaan pasti ada sebabnya. Sebab itu bermacam-macam, ada yang penyakit, ada kecelakaan, ada bencana alam, ada perkelahian, perang dan sebagainya. Mengertikah engkau?”

Suma Hui mengangguk dan menunduk, sekarang dia dapat melihat kebenaran yang dibeberkan oleh kakeknya itu. Segala peristiwa adalah wajar dan tak dapat dirubah lagi, baik buruknya tergantung dari pada penanggapan kita sendiri.


SELANJUTNYA KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 02


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.