CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 02
"Akan tetapi, kong-kong, bukankah semua orang menangis kalau kematian orang yang dicintanya? Mengapa tidak boleh menangis? Apakah orang tidak boleh bersedih kalau kematian keluarga yang dicinta?” Tiba-tiba Ceng Liong bertanya dengan nada suara membantah.
Kakek itu memandang kepadanya dan mengangguk-angguk. Anak ini cerdas sekali, pikirnya.
“Aku tidak mengatakan boleh atau tidak boleh berduka, Liong. Aku hanya ingin kalian membuka mata melihat kenyataan dan tidak tenggelam dalam buaian perasaan dan iba diri. Kalau semua orang menangisi kematian, apakah itu berarti bahwa kita pun HARUS menangis? Akan lebih baik kalau kita membuka mata melihat mengapa kita menangisi kematian. Mengapa? Coba kalian bertiga menjawab. Kenapa kita biasanya menangisi kematian?”
“Karena tidak tega....,” jawab Suma Hui.
“Karena kita kasihan kepada yang mati,” sambung Ceng Liong.
“Karena kita ditinggalkan,” mendadak Ciang Bun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini ikut menjawab.
“Ya, karena kita ditinggalkan, itulah jawabannya yang tepat. Bukan karena kita tidak tega atau kasihan. Bagaimana kita bisa merasa kasihan kepada orang yang mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu? Yang jelas, kematian membebaskan orang dari pada segala kesengsaraan hidup, ketuaan, kelemahan dan penyakit, juga kedukaan, ketakutan dan sebagainya. Tidak masuk akal kalau kita kasihan kepada orang yang mati, akan tetapi yang jelas, kita merasa kasihan kepada diri sendiri, kita ditinggalkan, kita kehilangan, kita kesepian, itulah yang menyebabkan orang menangisi kematian.”
Nenek Nirahai mendengarkan saja dan wajahnya kelihatan diliputi awan. Melihat ini, kakek Suma Han bertanya, “Apakah kebenaran tentang kematian itu masih belum meresap di hatimu?”
Nenek itu memandang kepada suaminya. “Aku tidak memikirkan kematian, aku tidak menyedihkan kematian, tetapi prihatin melihat bahwa aku pun akan mati dan betapa menyebalkan kalau kelak mati karena digerogoti penyakit, perlahan-lahan sampai rusak jasmani ini. Adik Lulu sungguh beruntung....”
“Hemm, engkau agaknya merasa iri kepada Lulu? Mengapa meributkan soal itu?”
“Kematian memang bukan apa-apa, akan tetapi bagaimana kita mati itulah yang penting. Sungguh menyedihkan kalau orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus mati sebagai seorang yang lemah dan yang terpaksa harus tunduk terhadap penyakit, terhadap kuman-kuman kecil yang tidak nampak oleh mata. Betapa memalukan....!”
“Hemm, soal itu serahkan saja kepada keadaan, yang penting kita harus selalu siap menghadapi saat tibanya maut, dengan mata terbuka, dengan tabah, tanpa sedikit pun rasa takut.”
Suma Han lalu memerintahkan para pelayan pria untuk menggotong keluar sebuah peti jenazah, peti yang memang sudah beberapa tahun yang lalu dipersiapkan untuk nenek Lulu. Juga kakek itu dan nenek Nirahai telah lama menyediakan peti mati untuk diri mereka sendiri. Tempat itu terpencil dan untuk membeli peti mati harus didatangkan dari daratan besar, maka mereka memang telah bersiap dengan peti mati masing-masing beberapa tahun yang lalu.
Karena mereka tidak dapat bebas begitu saja dari pada ikatan tradisi, peti jenazah yang terisi jenazah nenek Lulu itu lalu dihias dan dipasang meja sembahyang sebagaimana lajimnya, kemudian mereka semua melakukan sembahyang dengan hio di tepi jenazah.
Tiada air mata yang tumpah lagi sekarang, setelah mereka tadi mendengar percakapan mengenai kematian antara Pendekar Super Sakti dan para cucunya. Mereka semua melihat kesia-siaan dan kepalsuan tangis perkabungan itu. Bagaimana pun juga, karena menghormat si mati dan keluarganya, para pelayan itu bersikap sungguh-sungguh dan prihatin.
Menurut keputusan kakek Suma Han, jenazah akan ditangguhkan semalam dan pada keesokan harinya baru jenazah akan diperabukan. Pendekar Super Sakti, walau pun pengagum ajaran Nabi Khong Cu, namun hatinya lebih condong kepada pembakaran jenazah dari pada pemakaman.
Mungkin saja hal ini karena pengaruh Agama Buddha, atau juga karena kewaspadaannya melihat bahwa pembakaran jenazah itu jauh lebih sempurna, baik bagi yang mati mau pun yang hidup dari pada pemakaman jenazah yang menghabiskan tempat, pembuangan dan penghamburan uang, berikut upacara tradisi yang berlarut-larut dari para keluarga untuk mengurus makam dan sebagainya.
Malam itu, beberapa batang lilin bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah nenek Lulu. Nenek Nirahai duduk bersila di dekat suaminya, seperti menjaga peti jenazah, dalam keadaan setengah semedhi. Akan tetapi, melihat api lilin-lilin itu bergoyang-goyang tertiup angin malam yang lewat di ruangan depan istana di mana peti jenazah ditaruh, nenek Nirahai teringat kepada madunya.
Begitulah Lulu di waktu dahulu. Hidupnya seperti api lilin itu, bergoyang-goyang, lincah, berani, bergelombang naik turun, diangkat tinggi-tinggi oleh suka dan dihempaskan dalam-dalam oleh duka. Itulah Lulu. Peri kehidupan nenek Lulu pada waktu mudanya memang amat menarik dan hal itu dapat diikuti dalam kisah Pendekar Super Sakti dan kisah-kisah lanjutan berikutnya.
Tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tidak berada di ruangan itu karena mereka itu menyingkir dan membiarkan suami isteri itu merenung di dekat peti jenazah. Delapan orang itu diam-diam bersepakat untuk melakukan penjagaan, dan hal ini diprakarsai oleh Suma Hui.
“Para penyerbu itu adalah orang-orang jahat. Biar pun nenek Nirahai telah berhasil menghajar dan mengusir mereka, akan tetapi mereka itu masih hidup dan siapa tahu mereka itu masih merasa penasaran. Kalau mereka menghimpun teman-teman jahat mereka dan kembali menyerbu lagi, kita harus sudah bersiap-siap menghadapi mereka,” demikian dara perkasa yang gagah berani itu berkata kepada adik-adiknya dan kepada lima orang pelayan itu.
Mereka semua telah bersepakat untuk menghajar para penjahat itu dan membalaskan kematian nenek Lulu kalau mereka itu berani muncul lagi malam hari itu. Dengan cara berpencar, mereka berjaga di sekeliling istana. Suma Hui sebagai pemimpin mereka melakukan perondaan.
Malam semakin larut namun tidak terjadi sesuatu dan keadaan di Pulau Es semakin sunyi. Hawa udaranya semakin dingin malam itu. Hanya orang sinting sajalah yang akan lancang memasuki Pulau Es itu di waktu malam yang sedingin itu, apalagi kalau dia sudah tahu bahwa di pulau itu tinggal keluarga Pendekar Super Sakti yang gagah perkasa.
Akan tetapi, bukan orang sinting, juga bukan iblis yang pada malam hari itu tiba-tiba muncul dari tepi pantai sebelah selatan dari Pulau Es. Dia seorang laki-laki muda yang mendarat dengan menggunakan sebuah perahu nelayan kecil yang meluncur di malam gelap dan akhirnya bisa mendarat di bagian yang datar dari pulau itu di sebelah selatan.
Hanya dengan penerangan bintang-bintang di langit yang menimbulkan cuaca suram-muram kehijauan, pria itu berhasil mendarat, menyeret perahunya naik dan kemudian meninggalkan perahunya, berjalan dengan langkah terhuyung-huyung menuju tengah pulau.
Beberapa kali dia hampir jatuh karena kakinya tersandung, akan tetapi dengan sigapnya dia dapat memperbaiki kedudukannya dan melanjutkan langkahnya. Sebagai pedoman, dia melihat lampu dari jauh, lampu yang tergantung di samping istana. Kadang-kadang sinar lampu itu lenyap lalu nampak kembali, seperti halnya cahaya yang masih jauh letaknya di malam yang cuacanya remang-remang.
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang agaknya tidak mudah, orang yang seperti dalam sakit keadaannya itu sampai juga ke dekat istana. Nampak bangunan istana itu menjulang tinggi dan megah di dalam cahaya bintang-bintang yang mulai cemerlang karena ditinggalkan awan tipis yang tadinya menghalang di antara langit dan bumi, dan orang itu tertegun.
“Sebuah.... istana....? Di pulau kosong ini....? Ya Tuhan, mimpikah aku.... atau sudah gilakah aku....?”
Dia pun melangkah maju lagi, ke arah lampu yang tergantung di dinding, di luar istana itu. Bagaikan orang yang tidak percaya kepada diri sendiri, dia lalu meraba dinding itu, mendorong-dorongnya. Kini sinar lampu gantung menimpa mukanya dan ternyata dia adalah seorang laki-laki yang berwajah tampan dan gagah sekali walau pun pakaiannya kusut dan pecah-pecah di sana-sini.
Tubuhnya nampak terluka di pundak, pangkal lengan dan paha. Di ketiga tempat ini, pakaiannya tidak hanya robek, melainkan juga berlepotan darah. Laki-laki itu berpakaian seperti seorang nelayan biasa, dan usianya paling banyak dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun.
Tiba-tiba tiga orang nelayan pria dari Istana Pulau Es datang menyerbu dan menyerang dirinya tanpa bertanya-tanya lagi. Tiga orang pelayan itu mempergunakan dayung besi, senjata yang paling tepat untuk mereka karena mereka itu tadinya adalah nelayan-nelayan sebelum menjadi pelayan di Pulau Es. Akan tetapi walau pun mereka juga ketularan ilmu silat dari para majikan mereka dan tubuh mereka kuat karena mereka tinggal di tempat sedingin Pulau Es, namun karena mereka tidak pernah berkelahi, serangan mereka dengan dayung itu hanya cepat dan kuat namun kaku sekali.
“Heii.... aku bukan penjahat....!” Pria itu berteriak ketika melihat menyambarnya dayung-dayung besi itu ke arah kepala dan tubuhnya.
Meski dia sudah luka-luka dan diserang secara tiba-tiba oleh tiga orang pelayan istana itu, namun dengan mudah dan cekatan sekali dia berhasil mengelak lalu menangkap sebatang dayung. Sekali renggut dayung itu pindah ke tangannya dan dua kali dia menangkis, dua dayung yang lain terlepas dari pegangan dua orang pelayan itu. Tentu saja tiga orang pelayan itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa orang ini begitu lihainya sehingga dalam segebrakan saja mampu merampas senjata mereka.
Akan tetapi orang itu tak membalas serangan, melainkan meloncat ke belakang sambil berkata lagi, “Aku bukan penjahat....!”
Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Hui telah berdiri di depan pria itu dengan sepasang pedang di tangan. “Orang baik-baik tak akan berkeliaran di sini tanpa ijin! Bersiaplah untuk mampus, keparat keji!” Suma Hui sudah menggerakkan sepasang pedangnya dan ia pun sudah menyerang dengan dahsyatnya.
“Trang....! Cringgg....!”
“Ehhh, nanti dulu.... ehhh, nanti dulu, aku bukan penjahat....!”
Pria itu menangkis dan mengelak, repot juga menghadapi serangan bertubi-tubi yang amat ganas itu. Untung dia tadi telah merampas dayung besi, kalau tidak, tentu akan makin repotlah dia menghadapi serangan pedang di tangan Suma Hui yang sedang marah dan mendendam atas kematian neneknya itu. Biar pun orang itu berteriak-teriak, tetap saja Suma Hui menyerang terus, bahkan semakin hebat karena dara ini mulai merasa penasaran bahwa sepasang pedangnya belum juga berhasil, padahal orang itu telah luka-luka.
“Singgg.... wuuuut, singggg....!”
Sepasang pedang yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu terus menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga yang ganas.
“Cringgg.... cringgg....!”
Pria itu terkejut sekali karena dayung besinya itu dua kali terbabat pedang dan nyaris ada pedang yang menyerempet lehernya!
“Tidak....! Aku bukan penjahat, dengar dulu, nona....!”
“Tranggg....!”
Kini Suma Hui yang terkejut karena setelah dayung itu dapat ia patahkan dan tinggal sepanjang pedang, pria itu malah dapat menggunakan dengan amat hebatnya, seperti menggerakkan pedang dan dari cara pria ini menangkisnya terbukti bahwa pria itu memiliki ilmu pedang yang hebat pula! Bukan hanya itu, kini pria itu agaknya telah mengerahkan sinkang sehingga bukan saja potongan dayung itu menjadi kuat, juga tenaga yang menangkis pedangnya itu membuat lengannya tergetar!
Tentu ini seorang tokoh sesat yang lihai, yang diutus oleh gerombolan penyerbu pagi tadi untuk memata-matai istana, pikirnya. Oleh karena itu, tanpa memperdulikan protes pria itu, ia menyerang semakin ganas.
Karena marah dan mendendam, Suma Hui menjadi berkurang kewaspadaannya, tidak menyadari bahwa sejak tadi pria itu sama sekali tidak membalas serangannya, tetapi hanya mengelak dan menangkis sambil mundur saja. Juga ia tak menyadari kenyataan bahwa tidaklah mungkin pihak musuh mengirim seorang yang sudah luka-luka itu untuk menjadi mata-mata.
Suma Hui menyerang terus sampai belasan jurus dan karena pria itu memang sudah terluka dan lemah, juga karena dia sama sekali tidak mau membalas, akhirnya ujung pedang kiri dara itu menyerempet pundaknya yang kanan.
“Crottt....!” Pundak itu terluka dan darahnya mengucur keluar, dan pria itu terhuyung ke belakang, potongan dayungnya terlepas.
Suma Hui yang sudah marah dan merasa yakin bahwa orang ini adalah satu di antara musuh-musuh pembunuh neneknya, menerjang lagi untuk mengirim tusukan maut.
“Tringg....!”
Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Suma Hui ketika tiba-tiba ada pedang payung yang menangkisnya dari samping. Ternyata neneknya yang menangkis itu menggunakan pedang payung, yaitu payung yang ujungnya runcing dan dapat dipergunakan sebagai pedang, sebuah senjata istimewa yang amat ampuh dari puteri ini.
“Tidak pantas menyerang orang yang tidak mau melawan!” kata nenek itu yang sejak tadi sudah menyaksikan perkelahian itu.
Ternyata diam-diam nenek ini sudah bersiap-siap pula. Pedang payungnya sudah dipersiapkan dan ketika ia mendengar suara tidak wajar di luar istana, ia meninggalkan suaminya dan peti jenazah madunya. Ia melihat betapa seorang pria yang sudah luka-luka berkelahi dengan cucunya dan melihat bahwa pria itu sama sekali tidak mau membalas menyerang, juga bahwa pria itu sudah luka-luka dan memiliki dasar gerakan yang luar biasa lihainya!
Mula-mula ia terkejut dan curiga, membiarkan saja cucunya menyerang terus. Akan tetapi setelah melihat pria itu terluka oleh pedang cucunya dan tetap pria itu tidak mau membalas, bahkan terancam bahaya maut, ia lalu turun tangan mencegah cucunya melakukan pembunuhan.
Merobohkan lawan dalam usaha membela diri, atau merobohkan lawan buat membasmi kejahatan dan membela kebenaran, memang menjadi tugas seorang pendekar. Akan tetapi, merobohkan lawan yang tidak melawan, apalagi belum diketahui dengan pasti apakah orang itu bersalah, merupakan pembunuhan yang kejam dan jahat! Dan itulah sebabnya maka ia turun tangan mencegah Suma Hui yang kini memandang kepada neneknya dengan heran dan penasaran.
“Akan tetapi.... dia tentu seorang di antara mereka yang telah membunuh nenek Lulu!” kata Suma Hui, dan dua orang adiknya yang sejak tadi sudah berada di situ pula, bersikap membenarkan enci mereka.
Akan tetapi tiba-tiba pria itu berseru dengan napas terengah-engah penuh ketegangan hati, “Nenek Lulu.... terbunuh....? Ahhh, dan ini.... ini benarkah ini…. Pulau Es dan istananya?”
Nenek Nirahai sekali bergerak telah berada di depan pria itu, memandang tajam dan membentak, “Siapakah engkau....? Di sini memang benar Pulau Es dan kami keluarga penghuninya.”
Akan tetapi, pria itu mendadak mengeluh dengan lemas dan tubuhnya terkulai, roboh pingsan. Melihat itu nenek Nirahai menjadi curiga. Ia lalu menyuruh dua orang pelayan untuk menggotong pria yang pingsan itu dan membawanya masuk ke ruangan depan di mana Pendekar Super Sakti masih duduk bersila di dekat peti jenazah.
“Siapa dia? Apa yang terjadi?” tanya Pendekar Super Sakti dengan suara lembut dan sikap tenang. Agaknya, tidak ada apa pun di dunia ini yang akan dapat mengguncang ketenangan hati pendekar ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baginya tidak ada yang aneh, melainkan merupakan hal-hal yang wajar saja.
Dengan singkat nenek Nirahai menceritakan bahwa orang ini muncul seorang diri di malam hari sehingga tadi menimbulkan kecurigaan hati Suma Hui yang menyerangnya, akan tetapi orang itu sama sekali tidak mau membalas.
“Kulihat gerakannya mengandung dasar kepandaian tinggi, dan dia datang dengan luka-luka di tubuhnya. Kemudian, mendengar disebutnya nama adik Lulu oleh Hui-cu, dia terkejut lalu pingsan.”
Pendekar Super Sakti lalu mernbantu isterinya mengobati luka-luka yang diderita oleh pria itu. Ternyata bahwa luka-luka itu tidak terlalu parah. Apalagi mereka memperoleh kenyataan yang mengejutkan bahwa pria itu memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, yang timbul tanpa disadarinya dalam pingsan ketika kakek pendekar ini bersama isterinya mengobatinya.
Mereka semua memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali Suma Hui yang ingin sekali tahu siapa adanya orang yang terus mengalah terhadapnya ini, yang diam-diam harus diakuinya kelihaiannya. Dan melihat wajah di bawah sinar terang, dara ini merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Wajah seorang laki-laki muda yang gagah sekali! Wajah yang bundar bersih, di bawah telinga kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil. Bentuk hidung serta mulutnya juga membayangkan kelembutan di balik kegagahannya.
Setelah memperoleh perawatan suami isteri yang sakti itu, pemuda itu siuman kembali dan membuka matanya. Melihat betapa dia rebah di lantai, di dekat seorang kakek tua renta yang pandang matanya lembut sekali, dan nenek yang dia ingat telah dijumpainya, dia terkejut dan teringat lagi. Cepat dia menoleh ke kanan kiri, melihat Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga peti jenazah. Dia terbelalak memandang peti jenazah, kemudian menoleh ke arah kakek tua renta itu, pandang matanya menurun ke arah kaki kiri yang buntung, dan pemuda itu lalu bangkit duduk dan seketika berlutut di depan Pendekar Super Sakti.
“Harap ampunkan saya, akan tetapi bukankah ji-wi locianpwe ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han, tocu dari Pulau Es bersama locianpwe Puteri Nirahai, dan yang berada di dalam peti jenazah itu adalah locianpwe Puteri Lulu?” Suaranya agak gemetar penuh perasaan.
Suma Han mengelus-elus jenggotnya yang putih seperti benang-benang perak. “Benar. Orang muda, engkau siapakah?”
“Kong-couw (kakek buyut).... ahh, saya datang terlambat....!” Dan pemuda itu lalu maju berlutut di depan meja sembahyang sambil menangis. “Ampunkan saya.... ahhh, saya telah terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan nyawa nenek buyut....!”
Suma Han berkata halus, akan tetapi penuh wibawa, “Simpan air matamu kalau benar engkau adalah cucu buyut kami! Siapakah engkau, wahai orang muda yang gagah perkasa?”
“Nama saya Kao Cin Liong. Tentu kong-couw tahu kalau saya beritahukan bahwa ayah saya adalah Kao Kok Cu dan ibu saya adalah Wan Ceng....”
“Aihhh....!” Nenek Nirahai berseru kaget dan juga girang, lalu merangkul pemuda itu. “Kiranya engkau adalah putera Ceng Ceng! Hui, Ciang Bun, Ceng Liong, dia ini adalah masih keponakan kalian sendiri!”
Tentu saja ketiga orang muda itu memandang heran dan terutama sekali Suma Hui menjadi terkejut, memandang kepada pria yang gagah itu dengan mata terbuka lebar-lebar.
“Dia.... dia keponakanku....?” katanya tergagap, tidak percaya.
“Dengarlah, akan kujelaskan kepada kalian.” Nenek itu kemudian menceritakan dengan singkat hubungan antara pemuda yang baru tiba itu dengan keluarga Pulau Es.
“Mendiang nenekmu Lulu, sebelum menjadi isteri kakekmu, adalah seorang janda yang mempunyai seorang putera bernama Wan Keng In. Orang she Wan ini kemudian mempunyai seorang puteri yang diberi nama Wan Ceng. Jadi, Wan Ceng itu dengan kalian merupakan saudara-saudara misan tiri, dan karena Kao Cin Liong ini putera Wan Ceng, maka berarti dia adalah masih keponakan luar kalian sendiri.”
Kemudian nenek itu memandang kepada Kao Cin Liong dan berkata, “Cin Liong, perkenalkanlah, mereka ini adalah bibimu dan paman-pamanmu. Suma Hui dan Suma Ciang Bun ini adalah putera-puteri dari paman kakekmu Suma Kian Lee, sedangkan Suma Ceng Liong ini adalah putera paman kakekmu Suma Kian Bu.”
Sejak tadi Cin Liong menatap wajah Suma Hui yang masih terbelalak memandangnya, dan dia pun cepat-cepat menjura dengan hormat, “Bibi, dan kedua paman kecil, harap maafkan kelancangan saya tadi.”
Suma Hui dan kedua orang adiknya lalu membalas penghormatan itu, dan Suma Hui menjawab gagap, tidak seperti biasanya yang selalu lincah, “Ah, tidak.... sayalah yang minta maaf....”
“Kao Cin Liong, ceritakanlah keadaanmu, keadaan orang tuamu, dan bagaimana pula engkau bisa sampai di Pulau Es dan mengapa engkau luka-luka dan apa pula artinya engkau mengatakan terlambat tadi.” Kakek Suma Han bertanya dengan suaranya yang halus dan tenang.
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan semua mata ditujukan pada pemuda yang ganteng dan gagah perkasa ini. Kao Cin Liong menarik napas panjang dan memejamkan matanya sebentar. Demikian banyaknya peristiwa yang dialaminya sehingga dia harus bercerita panjang. Dia pun mulai bercerita.....
Siapakah pemuda yang bernama Kao Cin Liong ini? Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu telah mengenalnya dengan baik. Seperti telah diceritakan oleh nenek Nirahai tadi, pemuda ini adalah putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng. Dan Kao Kok Cu adalah seorang pendekar sakti yang hebat, seorang pendekar yang ditakuti semua orang kang-ouw dengan julukannya Naga Sakti Gurun Pasir! Kao Kok Cu adalah putera mendiang Jenderal Kao yang namanya dikenal oleh seluruh pasukan dan rakyat sebagai seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan bijaksana.
Kao Cin Liong sendiri, semenjak muda sekali, semenjak berusia tujuh belas tahun, telah membuat nama besar dan menjadi jenderal muda di kota raja! Jenderal Muda Kao Cin Liong ini makin terkenal ketika beberapa kali dia berhasil menundukkan dan membasmi para pemberontak di barat. Agaknya pemuda ini meniru jejak kakeknya, yaitu Jenderal Kao Liang, dan ingin menjadi seorang jenderal yang baik. Selain berkedudukan tinggi dan memperoleh kepercayaan Kaisar Kian Liong, juga jenderal muda ini memiliki ilmu silat yang hebat. Dia digembleng oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja kepandaiannya hebat.
Akan tetapi, ada suatu hal yang patut disayangkan. Sepuluh tahun yang lalu, jenderal muda ini jatuh cinta kepada seorang dara perkasa yang bernama Bu Ci Sian, namun cintanya bertepuk tangan sebelah.
Sebagai seorang pendekar yang gagah, dia menyadari keadaan ini. Dia mengalah dan mundur, akan tetapi dengan hati nelangsa dan sejak itu, dia menjauhi wanita. Ayah bundanya sudah berkali-kali mendesaknya agar dia suka memilih seorang calon isteri, atau mau dicarikan jodoh oleh orang tuanya, namun Cin Liong selalu menolak.
Sampai sekarang, dalam usia dua puluh sembilan tahun dan telah memiliki kedudukan tinggi, Kao Cin Liong masih belum juga menikah, bahkan tidak mempunyai seorang selir pun. Padahal, pada umumnya, orang yang memiliki kedudukan setinggi dia itu, andai kata belum menikah juga, tentu setidaknya sudah mempunyai lima enam orang selir muda yang cantik-cantik! Akan tetapi, biar pun dia memiliki kedudukan tinggi sebagai seorang jenderal, akan tetapi jiwanya tetap adalah jiwa seorang pendekar yang tidak menyukai adanya kepincangan-kepincangan dan ketidak adilan.
Cin Liong tinggal seorang diri di sebuah gedung yang megah di kota raja, dengan beberapa orang pelayan yang bertugas merawat gedungnya. Dia sendiri jarang berada di kota raja, lebih sering melakukan pengamatan dan pemeriksaan terhadap kesatuan-kesatuan yang bertugas di luar kota raja. Jenderal muda ini banyak membantu usaha Kaisar Kian Liong untuk memberantas korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan dan wewenang.
Banyak sudah para pejabat, terutama di kalangan ketentaraan, yang telah dipecat dan dituntut oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong sehingga namanya semakin ditakuti dan disegani. Dia demikian sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang dia berkunjung ke tempat tinggal ayah bundanya yang mendiami Istana Gurun Pasir, jauh di utara, di dekat perbatasan utara.
Kesempatan berkunjung itu tiba ketika dia memperoleh tugas baru. Pada waktu itu Kaisar Kian Liong sudah menduduki tahta selama lima tahun dan sejak hari pertama menjadi kaisar, Kaisar Kian Liong bergerak melakukan pembersihan dan perbaikan-perbaikan. Akan tetapi, muncullah gangguan berupa pemberontakan di perbatasan barat dan ada berita pula bahwa di utara, di luar Tembok Besar, juga terjadi pergerakan-pergerakan.
Karena itu, Jenderal Kao Cin Liong mendapatkan tugas untuk melakukan penyelidikan. Jenderal muda ini lalu berangkat sendiri, ingin melakukan penyelidikan sendiri sebelum mengambil keputusan mengirim pasukan bala tentara untuk melakukan pembersihan. Berangkatlah dia ke utara, karena dia ingin menyelidiki ke utara lebih dahulu sambil mengunjungi orang tuanya, baru kemudian berangkat ke barat.
Dengan menunggang seekor kuda yang baik, Cin Liong melakukan perjalanan cepat ke utara. Dia memakai pakaian biasa, karena lebih leluasa baginya untuk melakukan penyelidikan jika dia menjadi orang biasa. Tanpa halangan suatu pun, pada suatu pagi dia tiba di benteng lama di perbatasan utara. Benteng ini telah tua dan rusak, tidak lagi dipakai karena kini pasukan pemerintah telah membangun sebuah benteng baru yang kokoh kuat, di tempat yang lebih baik dan tepat untuk menghadang masuknya pasukan musuh dari luar.
Karena malam telah tiba dan perjalanan dari benteng kuno itu menuju ke Istana Gurun Pasir masih memakan waktu setengah hari, maka Cin Liong berhenti dan mengambil keputusan untuk bermalam di dalam benteng tua itu. Dia menambatkan kudanya di luar, mencarikan rumput untuk kudanya, kemudian dia memasuki bangunan kecil bekas tempat penjagaan di luar benteng itu dan membuat api unggun dari kayu-kayu bekas bangunan rusak. Lalu dikeluarkannya ransum bawaannya, yaitu roti kering dan daging kering, dimakannya makanan sederhana ini dengan sebotol arak ringan.
Tiba-tiba Cin Liong menghentikan gerakan mulutnya yang mengunyah makanan, sebab telinganya mendengar derap kaki kuda yang lemah karena kelelahan. Ada tiga orang penunggang kuda sedang menuju ke benteng tua itu. Tentu pedagang-pedagang yang kemalaman, pikirnya. Derap kaki kuda mereka menunjukkan bahwa mereka baru saja melakukan perjalanan jauh dan kuda mereka telah amat kelelahan. Ternyata tiga orang penunggang kuda itu berhenti di depan bangunan kecil itu pula dan terdengar suara mereka ketika mereka turun dari punggung kuda.
“Ehhh, ada kuda!”
“Hemm, kuda bagus!”
“Tentu orangnya di dalam. Nah, itu ada asap api unggun.”
“Wah, bau arak pula!”
Pintu bangunan kecil itu mereka dorong dan Cin Liong masih duduk menghadapi api unggun dan makan dengan tenang ketika mereka bertiga itu memasuki ruangan yang kotor itu. Tiga orang kasar yang bertubuh tinggi besar, pakaian mereka pun penuh debu dan wajah mereka yang kehitaman karena banyak terbakar matahari itu nampak bahwa mereka sudah biasa dengan kekerasan dan kekasaran.
“Wah, orang muda yang tampan, sungguh berani berada seorang diri di tempat seperti ini!”
“Dan makan minum tanpa menawarkannya kepada kita yang lapar dan haus!”
Mendengar ucapan kedua orang itu, Cin Liong menjawab, “Kalau kalian lapar dan haus, mari ikutlah makan minum seadanya.”
Akan tetapi orang ke tiga, yang matanya buta sebelah, yaitu tinggal mata kanan saja yang tinggal, melangkah maju dan menghardik, “Orang muda, jangan berlagak! Hayo kau tanggalkan semua pakaian itu dari tubuhmu, kemudian pergi dari sini, tinggalkan pakaian, buntalan dan kuda, dan jangan banyak cerewet lagi!”
Cin Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa orang ini tidak bergurau, dan kini dua orang yang lain sudah pula menyeringai dan tangan mereka mengusap gagang golok. Sialan, pikirnya, bertemu dengan perampok-perampok rendah.
Dia melanjutkan minum araknya dari botol. Setelah menelan roti dan arak yang berada di dalam mulutnya, dia meletakkan botol arak di depannya, menambah kayu pada api unggun lalu berkata tenang, “Hemm, kiranya kalian hanya perampok-perampok kecil yang hendak merampok seorang kelana yang kemalaman di sini.”
“Bocah setan! Kau menghina! Kami bukan perampok-perampok kecil, kami bergerak di bidang yang lebih besar. Awas mulutmu!”
“Kalau bukan perampok, mengapa hendak merampok aku?”
“Ha-ha-ha, kami sedang bergembira. Kami tidak mau membunuhmu, hanya menukar nyawa dan badanmu dengan semua pakaian dan kuda yang kau miliki. Hayo, cepat lakukan perintahku atau engkau akan segera menjadi pengiring arwah keluarga Pulau Es, ha-ha-ha!”
Tentu saja Cin Liong terkejut dan heran sekali mendengar disebutnya keluarga Pulau Es.
“Hemm, apa maksudmu membawa-bawa nama keluarga Pulau Es dalam urusan ini?” tanyanya, sikapnya tetap tenang.
“Ha-ha-ha, itulah mengapa kami bergembira dan hendak merayakannya malam ini! Kami akan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Gurun Pasir, dan semua tokoh pendekar akan kami basmi, dan kami akan merajai dunia kembali, akan bebas dari gangguan mereka. Ha-ha-ha!”
Cin Liong menjadi semakin heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu orang-orang ini sudah mabok, maka dia pun lalu berkata sebal, “Sudahlah, kalian ini agaknya orang-orang gila. Pergilah dan jangan menggangguku lagi!”
“Hei, bocah lancang mulut! Berani kau memaki kami gila? Engkau sudah bosan hidup, ya?” Seorang di antara mereka sudah mencabut golok dan menerjang maju, mengayun goloknya ke arah leher Cin Liong yang masih duduk menghadapi api.
Diam-diam Cin Liong menjadi marah sekali. Sungguh orang-orang ini kejam luar biasa, begitu saja hendak membunuhnya tanpa sebab sama sekali. Orang macam ini hanya merupakan penyakit dalam masyarakat dan tentu akan selalu mendatangkan bencana kalau tidak dibasmi atau setidaknya diberi hajaran keras.
Cin Liong menggerakkan tangannya. Sepotong kayu lantas meluncur dan menghantam pergelangan tangan.
“Takkk! Aduhhh....!”
Biar pun orang itu kuat, namun hantaman kayu itu bukan hantaman biasa, melainkan totokan yang tepat mengenai jalan darah sehingga tangannya seketika terasa lumpuh dan golok itu pun terlepas. Dan sebelum orang itu dapat menyingkir, tangan kiri Cin Liong bergerak ke depan.
“Desss!”
Orang itu kena dijotos perutnya dan tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak dinding dan dia pun terbanting roboh tak bergerak lagi. Semaput!
Orang ke dua yang melihat betapa kawannya roboh dalam segebrakan saja, menjadi terkejut dan marah sekali. “Keparat, berani engkau memukul kawanku?” bentaknya dan dia pun sudah mencabut golok, mengeluarkan bentakan nyaring kemudian meloncat ke depan, goloknya terayun dan membabat dengan kecepatan kilat dan kekuatan besar ke arah tubuh Cin Liong.
Akan tetapi, kembali tangan kiri Cin Liong bergerak dan segenggam pasir meluncur dan menyambar muka orang itu.
“Eh! Oh! Aughh....!” Orang itu gelagapan karena matanya penuh pasir, pedih dan gelap sehingga bacokannya ngawur dan dengan mudah Cin Liong mengelak tanpa pindah dari tempat duduknya.
Pada waktu tubuh lawan itu terhuyung lewat, kaki Cin Liong terangkat dan ‘menyentuh’ selakangnya, perlahan saja. Akan tetapi akibatnya hebat karena orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan berkelojotan. Kedua tangannya mendekap selangkangan dan dia bergulingan seperti ayam disembelih, kemudian kejang dan semaput pula!
Melihat ini, agaknya si mata satu baru sadar bahwa pemuda yang masih tetap duduk di depan api unggun itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia dan dua orang kawannya bukan orang sembarangan dan sudah banyak malang melintang di dunia hitam, akan tetapi dua orang kawannya itu roboh segebrakan saja oleh pemuda yang sejak tadi tidak berpindah dari tempatnya. Tahulah dia bahwa dia takkan menang melawan pemuda itu, dan tiba-tiba si mata sebelah itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari ruangan itu.
“Berhenti!” Cin Liong menghardik.
Ketika orang itu tidak berhenti, dia lalu menyambar sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan penjahat, melontarkannya ke depan. Golok itu meluncur seperti anak panah ke depan, menyambar ke arah si mata tunggal yang sudah tiba di pintu.
“Crottt! Aduuuhhh....!” Dan tergulinglah tubuh si mata tunggal dengan paha kanannya ditembus golok!
“Merangkaklah ke sini!” Cin Liong berkata sambil melanjutkan makan roti keringnya.
Si mata tunggal menoleh ragu, tetapi maklum bahwa kalau dia membangkang, tentu dia akan lebih celaka lagi. Maka dia pun bangkit dengan susah payah, lalu merangkak dan memasuki ruang itu kembali. Mukanya penuh keringat dingin, mata tunggalnya melotot memandang ke arah pemuda yang sedang makan roti itu.
Setelah minum seteguk arak untuk mendorong roti kering ke dalam perutnya, Cin Liong mengangkat muka memandang kepada si mata tunggal itu. Kembali si mata tunggal terkejut ngeri melihat betapa sinar mata pemuda itu mencorong seperti mata harimau!
“Ampun.... ampunkan saya....” Akhirnya si mata satu dapat juga mengeluarkan kata-kata setelah beberapa kali menelan ludah dengan hati penuh rasa takut.
Dengan sikap masih tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, Cin Liong berkata, “Ceritakan apa maksudmu akan membasmi keluarga Pulau Es kemudian keluarga Gurun Pasir tadi. Awas, sekali engkau berbohong, engkau akan kubakar hidup-hidup!”
Ucapan itu tenang saja, tidak seperti ancaman, akan tetapi si mata satu menggigil dan mukanya semakin pucat. Sikap dingin dan tenang dari pemuda itu lebih mengerikan dari pada sekedar ancaman kasar karena dia dapat merasakan bahwa ucapan itu sama sekali bukan ancaman kosong.
“Kami.... ahh, bukan kami yang akan melakukannya.... kami hanya orang-orang tingkat rendah saja, mana mungkin terbawa rombongan itu? Rombongan itu sudah berangkat siang tadi, akan menggunakan dua belas buah perahu layar besar menuju ke Pulau Es....”
Cin Liong tertarik. Dari sikap si mata satu yang ketakutan itu, dia dapat menduga bahwa orang ini tidak berbohong. “Mereka siapa? Berapa orang banyaknya dan siapa yang memimpin?”
“Banyak sekali, sedikitnya ada lima puluh orang, semua dari tingkat atas. Kami bertiga hanya tingkat rendahan saja, tidak terpilih. Dan rombongan itu dipimpin oleh lima orang datuk dunia kami, datuk-datuk yang menjadi pucuk pimpinan.”
Tiba-tiba si mata satu itu nampak lebih berani, agaknya membicarakan tentang datuk-datuk yang menjadi pimpinan golongannya itu menimbulkan semangat baru, atau dia mengharapkan pemuda ini akan menjadi gentar mendengarnya.
“Mereka itu siapa?” Cin Liong mendesak.
“Lima orang datuk pimpinan kami yang kini memimpin rombongan ke Pulau Es adalah Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Jubah Hitam), Ngo-bwe Sai-kong (Saikong Berekor Lima), Si Ulat Seribu, Eng-jiauw Siauw-ong (Raja Muda Kuku Garuda), dan yang ke lima adalah Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga)!” Berkata demikian, si mata satu itu melupakan penderitaan pahanya yang tertembus golok. Mata tunggalnya memandang ke arah wajah pemuda itu, mengharapkan pemuda itu menjadi gentar dan bersikap lunak kepadanya.
Tetapi dia kecelik dan menjadi semakin gelisah ketika pandang mata pemuda itu makin tajam, seolah-olah hendak menembus jantungnya. Memang Cin Liong menjadi kaget dan marah sekali mendengar disebutnya nama-nama yang sebagian sudah dikenalnya itu. Terutama sekali nama Hek-i Mo-ong yang sudah dikenalnya sebagai seorang tokoh sesat yang luar biasa saktinya. Nama empat yang lain hanya pernah didengarnya saja sebagai kabar angin yang terlalu dilebih-lebihkan. Akan tetapi, kalau yang empat itu kini bergabung dengan Hek-i Mo-ong dan kedudukannya setingkat, berarti bahwa empat orang itu pun tentu lihai sekali. Sekarang, mereka berlima itu menghimpun lima puluh orang tokoh sesat dan menuju ke Pulau Es!
“Katakan, mengapa mereka pergi ke Pulau Es?”
“Keluarga Pulau Es sejak dahulu terkenal sebagai keluarga yang banyak menyusahkan kami. Dendam kami bertumpuk-tumpuk. Apalagi kaisar yang sekarang ini amat ketat menekan kami sehingga gerakan kami tersudut. Maka, para pimpinan kami kemudian berunding dan mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh dari Korea dan Jepang untuk bersama-sama menyerbu dan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Istana Gurun Pasir dan semua pendekar yang menonjol di dunia kang-ouw. Setelah mereka itu terbasmi, barulah kami akan dapat bergerak dengan leluasa dan.... aduhh!” Sebuah kayu bakar menyambar dan mengenai kepala si mata satu yang segera terpelanting tak bergerak lagi, pingsan!
Cin Liong lalu melompat keluar dari dalam bangunan kecil itu, melepas kendali kudanya dan menunggang kudanya meninggalkan tempat itu.
“Maafkan, kuda yang baik, terpaksa kita harus melakukan perjalanan lagi secepatnya.” Dia pun lalu menuju ke timur untuk menyusul rombongan kaum sesat yang hendak menyerbu Pulau Es itu.
Selama hidupnya, Cin Liong belum pernah mengunjungi Pulau Es. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang Pulau Es dari ayah bundanya dan dia dapat mengira-ngira di mana letak pulau itu. Dia pun amat menghormati keluarga Pulau Es, karena ayah bundanya amat menghormatinya dan terutama sekali mendengar bahwa ibu kandungnya juga keturunan dari nenek Lulu yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti.
Biar pun belum pernah jumpa, dia banyak mendengar tentang keluarga itu dan sudah sejak lama ada keinginan di hatinya untuk dapat mengunjungi pulau yang amat terkenal di dalam dunia kang-ouw sebagai dongeng itu, dan bertemu muka dengan manusia-manusia sakti yang menjadi penghuninya.
Kini, mendengar bahwa rombongan besar yang dipimpin oleh para datuk sesat hendak menyerbu Pulau Es, tentu saja dia terkejut dan segera berniat untuk mencegahnya. Atau setidaknya, dia harus dapat mendahului rombongan kaum sesat itu dan memberi tahu kepada para penghuni Pulau Es. Nenek Lulu, yaitu nenek dari ibunya, atau nenek buyutnya, tinggal di pulau itu, entah sudah mati ataukah masih hidup karena menurut ibunya, nenek itu tentu sudah tua sekali usianya.
Karena rombongan di depan terdiri dari banyak orang, mudah saja bagi Cin Liong untuk mengikuti jejak mereka dan melakukan pengejaran. Akhirnya, di pantai laut, dia dapat menyusul rombongan itu dan melihat kesibukan mereka mengatur belasan buah perahu layar besar. Dia menyamar sebagai seorang nelayan dan dapat mendekati mereka bersama para nelayan lainnya, bahkan ikut pula membantu dengan pemasangan layar dan sebagainya.
Dia mendapat kenyataan bahwa semua penuturan si mata satu itu benar belaka. Dia mengenal Hek-i Mo-ong dan dia merasa yakin bahwa Raja Iblis itu tidak mengenalnya. Mereka hanya pernah bertemu satu kali saja dan pertemuan itu telah lewat sepuluh tahun. Juga, dia tidak pernah bertanding langsung melawan Raja Iblis ini.
Dan empat orang tokoh datuk lainnya belum pernah melihatnya. Tentu saja di antara para tokoh sesat itu ada yang pernah bertemu dengannya, akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika dia berpakaian sebagai seorang panglima. Sekarang, dengan menyamar sebagai seorang nelayan biasa, tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu bahwa nelayan muda itu adalah Jenderal Kao Cin Liong!
Dan Cin Liong dapat melihat pula adanya lima orang Korea dan lima orang Jepang yang sikapnya kasar-kasar, tanda bahwa mereka itu pun dari golongan sesat di negara mereka yang kini bergabung dengan gerombolan Raja Iblis untuk menyerbu Pulau Es! Agaknya orang-orang Korea dan Jepang inilah yang akan menjadi petunjuk jalan.
Ketika akhirnya dua belas buah perahu layar besar itu berlayar, sebuah perahu nelayan kecil juga berlayar mengikutinya. Di dalam perahu nelayan ini terdapat Cin Liong yang memakai caping lebar, menyamar sebagai nelayan. Karena di situ banyak terdapat perahu-perahu nelayan, maka kehadiran perahu Cin Liong ini tidak menarik perhatian dan dia dapat membayangi rombongan itu dengan leluasa.
Pada hari ke tiga, barulah rombongan itu tiba di daerah di mana terdapat pulau-pulau kecil dan mereka berputar-putar seperti mencari-cari. Akhirnya, dari perahu kecilnya, Cin Liong melihat mereka menuding-nuding ke arah sebuah pulau yang kelihatan sebagian putih karena pulau itu sebagian tertutup es! Melihat semua orang berkumpul di atas perahu-perahu besar itu menuding-nuding ke arah pulau, Cin Liong merasa yakin bahwa tentu itulah yang dinamakan Pulau Es!
Malam itu, kedua belas buah perahu itu berhenti dan membuang jangkar, tidak berani melanjutkan perjalanan karena daerah itu berbahaya, banyak terdapat bukit-bukit es yang mengambang dan dapat tertabrak perahu. Apalagi malam itu gelap sekali. Cin Liong juga menghentikan perahunya dan melepas jangkar, berlindung di balik sebuah bukit es.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, sebelum terjadi kesibukan di perahu-perahu besar itu, dia sudah mendahului mereka dan mendayung perahunya menuju ke pulau itu. Pagi itu masih gelap, kabut tebal menyelimuti pulau sehingga dengan mudah Cin Liong dapat mendarat. Dengan berindap-indap dia mendaki tebing pulau itu. Sebuah pulau batu karang yang sebagian tertutup salju.
Akan tetapi, setelah tiba di tebing yang paling tinggi, yaitu di bagian barat pulau, dan memandang ke arah sekeliling, dia tidak melihat adanya bangunan! Padahal, menurut penuturan orang tuanya, katanya di tengah pulau itu terdapat sebuah bangunan besar yang kuno, yang disebut Istana Pulau Es! Benarkah ini pulau itu? Kalau benar, mana istananya?
Dia berada di puncak tebing itu, menanti sampai sinar matahari pagi perlahan-lahan mengusir kabut yang menghalangi pandangannya. Cuaca menjadi semakin terang dan dia dapat melihat jelas, tetapi bukan istana yang dilihatnya, melainkan serombongan orang yang mendaki tebing itu dari berbagai jurusan dengan gerakan cepat dan lincah!
Dia terkejut sekali, akan tetapi tidak melihat jalan untuk menyembunyikan diri. Ketika dia berlari ke kiri, dari situ pun sudah nampak beberapa orang berlarian naik, demikian pula dari kanan dan depan, sedangkan di sebelah belakangnya adalah tebing curam yang tidak mungkin dapat dituruninya.
Tebing itu amat curam, dalamnya tidak karang dari seratus meter dan di bawah tebing itu nampak air laut menggelora dan menghantami dinding tebing sehingga menjadi lekuk dalam seperti goa besar.
Cin Liong lalu bersikap pura-pura sebagai seorang nelayan yang tersesat ke pulau itu. Maka dia sengaja bersikap terang dan pura-pura tidak tahu bahwa ada orang-orang naik ke puncak tebing itu dari tiga jurusan. Setelah mereka dekat, barulah dia pura-pura kaget, memandang dan bangkit berdiri.
“Cu-wi siapakah dan hendak pergi ke manakah?” Cin Liong bertanya dengan muka bodoh.
“Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka yang usianya tidak kurang dari enam puluh tahun dan bersikap galak.
“Saya seorang nelayan yang kemalaman dan terpaksa bermalam di sini dan....”
“Tangkap pembohong ini! Dia tentu mata-mata Pulau Es!”
Empat orang menerjang maju hendak menangkap Cin Liong. Pemuda ini pun maklum bahwa sekali tertawan, tentu ia akan celaka. Orang-orang ini adalah gembong-gembong kaum sesat yang kejam. Andai kata dia benar seorang nelayan biasa yang tak berdosa sekali pun tentu akan celaka kalau tertawan oleh mereka, apa lagi dia yang hanya seorang nelayan palsu.
Maka begitu empat orang itu menerjang maju, dia pun bergerak cepat menggerakkan kaki tangannya. Dua orang terkena tamparannya dan terpelanting, akan tetapi yang dua orang lagi agaknya cukup lihai sehingga dapat mengelak dengan cepat! Dan mereka semua kini merasa yakin bahwa pemuda tampan itu bukanlah nelayan biasa, maka terjadilah pengeroyokan di atas puncak tebing karang itu!
Cin Liong mengamuk untuk mempertahankan diri. Segera dia memperoleh kenyataan betapa para pengeroyok itu sungguh bukan orang sembarangan, melainkan rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh! Dan mereka itu menyerangnya secara bertubi-tubi, mempergunakan senjata-senjata yang ampuh. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerangnya.
Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah sering kali melakukan pertempuran dan menghadapi pengeroyokan-pengeroyokan. Namun, harus diakuinya bahwa baru sekali ini dia menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai ilmu silatnya. Bagaimana pun juga, tingkat kepandaian para pengeroyok itu masih jauh di bawah tingkatnya, maka biar pun dia hanya bertangan kosong menghadapi puluhan batang senjata tajam, dia masih mampu mempertahankan diri dan merobohkan beberapa orang lagi. Hanya pakaiannya saja yang robek tergores senjata tajam, sedang luka ringan dideritanya pada pahanya yang tergores pedang pada saat paha itu tidak dilindungi sinkang.
Pemuda ini adalah putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, maka tentu saja sinkang-nya sudah kuat sekali dan dia dapat melindungi tubuhnya dengan hawa yang amat kuat terhadap serangan senjata tajam. Akan tetapi, pengerahan tenaga itu tentu saja tidak mungkin dilakukan terus-menerus dan pada saat kosong itulah pahanya tadi tergores pedang. Lukanya mengucurkan darah, tapi tidak membuat gerakannya menjadi lemah, bahkan sebaliknya, dia mengamuk makin ganas bagaikan seekor naga mengamuk.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul dua orang kakek yang begitu menyerangnya membuat pemuda ini terhuyung-huyung. Mereka itu adalah Hek-i Mo-ong sendiri dan seorang saikong yang mukanya brewokan dan yang memegang sebatang thi-pian (cambuk besi) berekor lima. Orang ini bukan lain adalah Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai, ketua dari Im-yang-pai.
“Tar-tar-tar-tarrr....!”
Cambuk besi itu melecut-lecut dan meledak-ledak dengan dahsyatnya. Cin Liong yang sedang menghadapi serangan-serangan tangan kosong Hek-i Mo-ong yang luar biasa berbahayanya itu, kini diserang oleh cambuk besi, menjadi repot bukan main. Pundak dan pangkal lengannya, juga pahanya telah terkena lecutan yang seperti kepala ular mematuk-matuk ke arah jalan darah yang mematikan.
Biar pun Cin Liong masih dapat melindungi tubuhnya, namun tetap saja kulit dan daging bagian yang terkena lecutan menjadi robek-robek. Darah mengucur keluar dan dia masih terus didesak oleh Hek-i Mo-ong yang mulai merasa penasaran sekali. Raja Iblis ini sekarang merasa pernah melihat Cin Liong, tetapi dia lupa lagi di mana. Dia hanya merasa yakin bahwa seorang pemuda yang mempunyai kepandaian sehebat itu, tentu merupakan seorang pendekar di pihak musuh yang sudah sepatutnya kalau dibasmi.
Maka dia pun tak malu-malu untuk mengeroyoknya bersama Ngo-bwe Sai-kong, walau pun dia merasa tidak akan kalah andai kata dia harus menghadapinya satu lawan satu. Kini, satu-satunya tujuan hatinya adalah membasmi semua keluarga pendekar, dimulai dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, dia menganggap perkelahian ini sebagai suatu perjuangan dan tidak lagi perduli tentang etika atau kesopanan dalam dunia persilatan.
Setelah terdesak hebat sekali, Cin Liong maklum bahwa dia harus mengadu nyawa. Tak ada jalan untuk meloloskan diri di pulau kosong ini. Dia seperti seekor harimau yang masuk perangkap, dan tahu bahwa pihak musuh tidak akan mengampuninya dan pasti akan membunuhnya. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh atau dibunuh!
Sejak tadi ia hanya menggunakan ilmu-ilmu silat biasa seperti yang pernah dipelajarinya dari ayah bundanya. Akan tetapi, melihat keadaannya yang amat berbahaya, dia pun lalu teringat akan ilmu-ilmu simpanannya, ilmu-ilmu dari ayahnya yang hanya boleh dipergunakan kalau keadaan sudah terlalu memaksa. Apa lagi kini dia melihat betapa dua orang kakek yang sudah terlampau berat baginya itu dibantu lagi oleh sedikitnya tujuh orang yang mulai menyerangnya dari pelbagai jurusan!
“Hyaaaaaatttt....!”
Cin Liong mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak aneh, memanjang ke depan seperti seekor naga dan gerakan kedua lengannya seperti cakar naga, kakinya menyambar-nyambar seperti ekor naga dan empat orang pengeroyok terpelanting ke kanan kiri dan tewas seketika karena tulang-tulang tubuh mereka remuk-remuk!
“Ahh, dia murid Istana Gurun Pasir!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong berseru kaget dan dia pun mendesak ke depan.
Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut mendengar ini dan thi-pian di tangannya itu menyerang makin ganas. Sebuah di antara ujung cambuk besi itu mematuk ke arah ubun-ubun kepala Cin Liong. Bagian ini tidak dapat dilindungi terlalu kuat dan tidak mungkin dia berani menerima patukan ujung cambuk yang digerakkan dengan sinkang kuat itu, maka Cin Liong terhuyung ke belakang ketika melompat.
Kesempatan itu digunakan oleh Hek-i Mo-ong. Selagi tubuh pemuda itu masih berada di udara, dia mendesak maju dan mendorong dengan kedua telapak tangannya yang terbuka. Angin pukulan dahsyat menyambar keluar. Cin Liong tak dapat mengelak lagi, terpaksa mendorongkan kedua tangan untuk menyambut. Akan tetapi, karena tubuhnya belum menginjak tanah, ketika kedua tenaga bertemu, tubuhnya terdorong keras ke belakang dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kao Cin Liong terjengkang dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu!
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan lari ke tepi tebing, diikuti oleh Ngo-bwe Sai-kong dan para anak buah mereka. Suara ketawa kakek itu masih bergema keras bersama dengan melayangnya tubuh pemuda itu ke bawah. Mereka semua dapat melihat betapa tubuh itu menimpa air laut yang muncrat ke atas, kemudian tubuh itu tenggelam dan lenyap ditelan ombak yang membuih putih dan berkejaran menghantam karang!
Tentu tubuh pemuda itu tenggelam, atau dicaplok ikan besar, atau dihempaskan oleh ombak ke batu karang dan hancur luluh! Dari atas itu saja, semua orang dapat melihat betapa tidak ada harapan sama sekali untuk hidup bagi orang yang sudah terjatuh ke tempat itu, apalagi dari ketinggian ini!
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong dan para kawannya itu lupa bahwa urusan mati hidup bukanlah urusan manusia, dalam arti kata bahwa bukan manusia yang menentukan mati hidupnya seseorang. Bahkan mati hidup dirinya sendiripun merupakan rahasia bagi manusia. Oleh karena itu, mana mungkin mereka itu dapat memastikan bahwa pemuda yang terjatuh ke dalam laut dari tebing curam itu sudah tentu akan mati? Orang baru dapat menentukan mati hidupnya seseorang kalau dia sudah melihat keadaan orang itu. Yang ada hanya kenyataan, hidup ataukah mati.
Akan tetapi, selagi hidup, tidak mungkin dapat menentukan dan mengenal tentang kematian, kecuali hanya melalui kira-kira dan anggapan-anggapan atau pun pendapat-pendapat kosong belaka, atau ikut-ikutan menurut pendapat orang-orang terdahulu atau kepercayaan-kepercayaan yang dianut masing-masing. Selagi jasmani masih hidup, tidak mungkin dapat merasakan bagaimana kematian itu. Baru keadaan tidur saja tidak dapat diketahui oleh kesadaran, apalagi keadaan mati.
Akan tetapi, kematian jasmani merupakan perubahan yang wajar. Ada kematian lain yang amat ditakuti manusia, yaitu kematian yang merupakan pelepasan dari semua ikatan! Inilah yang membuat orang menjadi takut untuk menghadapi kematian. Ikatan dengan benda yang disayangnya, dengan manusia lain yang amat dicintanya, dengan kedudukan, nama besar dan sebagainya yang semuanya itu dianggap menyenangkan sekali. Jadi hakekatnya, orang takut mati karena enggan berpisah dari kesenangan!
Ketika dia terjengkang dan merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah, tahulah Cin Liong bahwa dia telah terjatuh ke bawah tebing. Dia sadar benar bahwa nyawanya terancam maut. Akan tetapi, gemblengan batin yang diterimanya sejak kecil membuat pemuda ini selalu waspada dan sedikit pun tidak menjadi panik. Biar pun tubuhnya melayang dari tempat begitu tinggi sedangkan di bawahnya menanti maut berupa air laut berombak yang susul-menyusul menghantam batu karang, namun dia tetap waspada dan dalam waktu beberapa detik itu saja otaknya telah membuat perhitungan yang masak.
Dia tahu bahwa musuh-musuhnya yang lihai dan berjumlah banyak itu tentu mengamati kejatuhannya dari atas. Kalau mereka melihat bahwa dia dapat menyelamatkan diri, tentu mereka akan mengejarnya dengan perahu-perahu mereka dan kalau hal ini terjadi, dia akan celaka. Maka, kalau dia dapat menyelamatkan diri dari kejatuhan ini, dia harus dapat berpura-pura tewas ditelan air laut dan hal ini membutuhkan perhitungan dan tindakan seketika yang matang.
Pertama-tama, dia harus dapat mengatur agar jatuhnya ke air tidak sampai terbanting keras, terutama kepalanya karena hal itu akan membuat dia pingsan dan sekali pingsan celakalah dia, tentu mati tenggelam atau kalau terapung pun tentu akan dibunuh oleh orang-orang itu, atau dihempaskan ombak menghantam batu karang! Maka, pertama-tama dia harus mengatur keseimbangan dirinya dan jatuh ke air dalam keadaan yang menguntungkan dirinya.
Setelah itu, dia harus dapat menyelam dan mencari jalan agar tidak timbul kembali dan hal ini dapat dilakukan kalau dia dapat menyelam dan berenang memasuki goa di bawah tebing. Di situ dia akan selamat dan tidak akan nampak dari atas. Pikiran dan perhitungan masak ini dilakukan dalam waktu beberapa detik saja selagi tubuhnya itu meluncur ke bawah.
“Byurrrrrr....!”
Air muncrat tinggi dan dia terbanting ke dalam air dengan kaki lebih dulu. Dengan demikian, kepalanya tidak terbentur air dan tubuhnya dapat meluncur dengan cepat melawan arus ombak sampai ke dasar laut di mana ombak tidak begitu besar dan kuat gerakannya. Karena dia sudah memperhitungkan dan mengatur kejatuhannya sehingga ketika kedua kaki menyentuh air tadi dia menghadap ke tebing, kini kakinya yang menyentuh dasar laut itu mengenjot kuat dan tubuhnya meluncur dan berenang cepat menuju ke tepi. Kedua tangannya bergerak meraba-raba ke depan dan akhirnya, terdorong pula oleh ombak, dia dapat menyentuh dinding tebing di bawah laut.
Dengan kekuatan khi-kangnya, dia menahan napas sejak tadi dan kini, berpegang kepada dinding tebing yang tidak rata, dia memanjat ke atas dan muncul di dalam goa bawah tebing, aman dan tidak kelihatan dari atas. Cepat dia mencari tempat bersembunyi yang aman dari hempasan ombak, dan tinggal di situ sampai siang. Baru setelah dia melihat perahu-perahu besar itu pergi meninggalkan pulau, menuju ke utara, dia memanjat tebing itu, keluar dan mencari perahu kecilnya.
Tubuhnya sakit-sakit dan lelah, juga lapar. Akan tetapi Cin Liong tidak mau beristirahat, tidak mau mencari makan. Dia harus cepat-cepat mencari Pulau Es dan dia yakin bahwa pulau itu tentu tidak jauh lagi dari daerah itu. Maka dia pun lalu membuka layar dan perahu kecilnya meluncur dengan cepat menuju ke utara, menyusul rombongan dua belas perahu besar tadi.
Akan tetapi, dia tidak dapat menyusul mereka, dan dia cepat-cepat bersembunyi di balik gumpalan es besar ketika melihat perahu-perahu itu berlayar menjauhi sebuah pulau yang nampak putih dari kejauhan. Cin Liong menjadi bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan mengapa perahu-perahu itu meninggalkan pulau putih yang disangkanya tentu Pulau Es itu.
Dia merasa lelah dan agak pening, mungkin terlalu banyak kehilangan darah, terlalu lelah dan juga lapar. Setelah bertemu dengan rombongan perahu itu, dia harus berhati-hati dan dia terus bersembunyi bersama perahunya di balik bongkahan es.
Setelah malam tiba, dia baru berani mendayung perahunya keluar dari balik bongkahan es menuju ke pulau putih itu. Untung ada bintang-bintang di langit yang walau pun sinarnya muram, namun cukup untuk menerangi pulau putih itu, yang nampak seperti gunung abu-abu di malam gelap. Akhirnya tibalah dia di pulau itu, lalu dia mendarat. Akhirnya, dia mendekati istana tengah pulau itu dan ketahuan oleh Suma Hui.
Keluarga Pulau Es mendengar penuturan Cin Liong dengan penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengakhiri cerita dengan suara menyesal, “Demikianlah, Suma kong-couw, saya akhirnya dapat juga tiba di sini menghadap kong-couw. Akan tetapi sungguh menyesal sekali bahwa kedatangan saya terlambat sehingga agaknya nenek buyut Lulu menjadi korban.”
Kakek Suma Han mengangguk. “Memang dia telah tewas dalam pertempuran melawan sebagian dari pada para penyerbu. Akan tetapi, engkau baru saja datang dan engkau tentu lapar. Makanlah dulu, Cin Liong.”
Nirahai lalu berkata kepada Suma Hui, “Hui, kau suruh pelayan untuk menyiapkan makanan untuk keponakanmu Cin Liong.”
Suma Hui bangkit berdiri, mengangguk kepada Cin Liong dan berkata ramah, akan tetapi sikapnya agak canggung, “Marilah....”
Cin Liong bangkit dan menjawab dengan hormat, “Baik, bibi Hui dan terima kasih.” Lalu dia mengikuti gadis itu menuju ke dalam.
“Temanilah dia makan minum di dalam,” kata nenek Nirahai kepada dua orang cucu lelakinya.
Ciang Bun dan Ceng Liong mengangguk, bangkit dan masuk pula. Mereka tahu bahwa nenek mereka agaknya hendak bicara dengan kakek mereka dan nenek mereka tadi memberi isyarat agar mereka meninggalkan dua orang tua itu berdua saja.
Setelah semua orang muda itu pergi, nenek Nirahai lalu menoleh kepada suaminya dan berkata dengan suara yang mengandung kekhawatiran, “Menurut penuturan Cin Liong, jumlah mereka itu ada lima puluh orang lebih, dan para pemimpinnya ada lima orang, termasuk Hek-i Mo-ong. Jadi, setelah yang seorang tewas di tangan adik Lulu, masih ada empat orang lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Aku pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Hek-i Mo-ong amat hebat, dan dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Apalagi ada tiga orang lagi temannya, dan anak buahnya berjumlah lima puluh orang.”
Sejak tadi, kakek itu menatap wajah isterinya, lalu bertanya halus sehingga sama sekali tidak ada nada yang menyinggung, “Apakah engkau merasa takut?”
Nenek Nirahai menggeleng kepalanya. “Engkau tahu bahwa aku tidak pernah mengenal rasa takut berhadapan dengan musuh yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, tetap saja aku merasa khawatir. Mereka itu berjumlah besar sekali dan keadaan mereka amat kuat. Oleh karena itu, tewasnya seorang di antara mereka saja tidak mungkin membuat mereka tidak berani datang lagi. Tidak, aku bahkan merasa yakin bahwa mereka tentu akan datang menyerbu dan kini sedang menghimpun kekuatan.”
“Dan engkau tidak takut....?”
“Memang, aku tidak takut. Jangankan baru sekian, biar ditambah tiga kali lipat lagi pun aku tidak akan undur selangkah. Akan tetapi, kita harus mengingat cucu-cucu kita....!”
Kakek itu tetap tenang saja, bahkan tersenyum memandang isterinya. Biar pun mereka sudah tua, akan tetapi senyum suaminya itu membuat nenek Nirahai menjadi merah mukanya. Belum pernah senyum dan pandang mata suaminya itu tidak membuat hatinya runtuh!
Kakek itu agaknya mengerti akan kecanggungan isterinya, maka dia pun berkata, “Engkau lebih paham dari pada aku mengenai bagaimana harus menghadapi serbuan orang banyak itu, isteriku.”
“Baiklah, serahkan saja kepadaku,” kata nenek Nirahai yang segera keluar dari ruangan itu, membiarkan suaminya sendirian menjaga peti jenazah nenek Lulu.
Ketika ia melangkah keluar istana dan memandang keluar, ke malam gelap, ke arah bintang-bintang di langit, dan merasakan hembusan angin malam pada wajahnya, membayangkan bahwa di tengah lautan itu terdapat pihak musuh yang sedang mengintai dan sewaktu-waktu akan menyerbu, wajah nenek Nirahai seketika menjadi gembira dan berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya mengulum senyum. Ia merasa seolah-olah sedang menunggang kuda sebagai seorang panglima yang sedang mempelajari keadaan dan mengatur siasat perang untuk menghadapi penyerbuan musuh yang amat kuat. Inilah dunianya. Inilah kesukaannya. Perang! Atau setidaknya, menghadapi ancaman musuh yang amat kuat, menduga-duga siasat yang diatur lawan dan merencanakan siasat tandingan untuk dapat mencapai kemenangan!
Wajah nenek Nirahai masih berseri gembira ketika ia menemui Cin Liong, Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga ia mengumpulkan lima orang pelayan, tiga pria dan dua wanita itu, mengajak mereka berkumpul di ruangan paling depan.
“Dengankan baik-baik,” ia memulai dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga akan adanya bahaya mengancam dari pihak musuh setelah mereka mendengar penuturan Cin Liong tadi. “Agaknya pulau kita ini sedang dikepung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Ada dua belas perahu besar yang memuat kurang lebih lima puluh orang, semua adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, dan mereka dipimpin oleh empat orang datuk yang sakti. Besar kemungkinan mereka itu akan datang menyerbu sewaktu-waktu, entah malam ini, entah besok pagi. Karena itu, kita sembilan orang ini haruslah bersiap-siap untuk mempertahankan pulau kita.”
“Baik, nyonya. Kami berlima akan mempertahankan pulau kita ini dengan taruhan nyawa!” jawab seorang di antara lima pelayan itu, yang wanita dan yang tertua, berusia empat puluh tahun. Empat orang temannya mengangguk penuh ketegasan karena mereka itu sudah merasa seperti anggota keluarga Pulau Es, sudah jatuh cinta dengan tempat itu dan dengan keluarga yang mereka hormati dan kagumi itu.
Melihat sikap mereka, nenek Nirahai merasa terharu dan bangga sekali. Banyak sudah ia melihat prajurit-prajurit yang dahulu menjadi anak buahnya bersikap gagah seperti ini, akan tetapi mereka adalah prajurit-prajurit yang memang bertugas untuk menghadapi musuh. Ada pula prajurit-prajurit yang kalau merasa terancam keselamatan mereka lalu lari tunggang-langgang tanpa menunggu komando lagi. Akan tetapi lima orang ini hanya pelayan-pelayan dan mereka itu hanya ketularan sedikit saja ilmu silat keluarga Istana Pulau Es. Namun dalam hal kegagahan, mereka itu sungguh patut dibanggakan!
“Bagus! Kalian harus berjaga malam ini secara bergilir. Tidak boleh semua berjaga. Cukup seorang saja meronda membantuku, yang empat orang tidur. Setiap tiga jam bergilir jaga. Ini penting karena kalian harus menyimpan tenaga. Kurang tidur bisa melelahkan dan melemahkan. Supaya dapat tidur akan kuberi obat. Nah, sekarang berpencar dan berjagalah sampai aku datang menyuruh siapa yang harus berjaga lebih dahulu. Bawa senjata kalian dan nyalakan lampu di bagian depan istana saja, lampu-lampu lainnya padamkan.”
Setelah lima orang pelayan itu pergi menjalankan tugas mereka, nenek Nirahai lalu berkata kepada tiga orang cucunya, “Hui, bawa kedua orang adikmu menjaga di luar halaman istana dan jangan pergi dari situ sebelum aku datang.”
Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong menyanggupi dan mereka pun keluar dengan sikap gagah, sedikit pun tidak nampak gentar walau pun mereka tahu bahwa tempat tinggal mereka akan diserbu musuh yang banyak jumlahnya. Setelah tiga orang anak itu pergi, nenek Nirahai lalu memberi isyarat kepada Cin Liong untuk mengikutinya. Tentu saja pemuda ini merasa heran, akan tetapi dia pun diam saja dan mengikuti nenek itu yang membawanya pergi ke halaman samping di sebelah kanan istana itu.
“Cin Liong, di antara cucu-cucuku, engkaulah satu-satunya orang yang telah dewasa, apalagi engkau adalah seorang jenderal muda yang tentu tahu akan siasat perang,” kata nenek Nirahai setelah mereka berada di halaman samping yang sunyi itu. “Maka, aku sengaja membawamu ke sini untuk kuajak berunding. Nah, terus terang saja, katakanlah bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan lawan dan apa akan jadinya kalau lawan menyerbu secara serentak mengerahkan seluruh kekuatan mereka?”
Cin Liong menarik napas panjang. “Mungkin saya terlalu lemah dan kecil hati, akan tetapi terus terang saja, kedudukan kita amat lemah dan kekuatan pihak musuh terlalu besar. Akan tetapi sulitlah bagi kita untuk dapat mengalahkan begitu banyaknya orang yang rata-rata lihai, apalagi empat orang pemimpin mereka itu. Kalau memang kita hendak menyelamatkan diri, jalan satu-satunya adalah diam-diam meninggalkan pulau ini sebelum mereka menyerbu. Menggunakan waktu gelap dan pengetahuan kong-couw sekeluarga yang tentu lebih mengenal daerah ini, agaknya masih banyak harapan bagi kita untuk meloloskan diri.”
“Kao Cin Liong!” Nenek itu menegur. “Ayahmu adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang sudah lama kukagumi sebagai orang muda yang hebat luar biasa, akan tetapi engkau putera tunggalnya menyarankan kepadaku untuk melarikan diri? Jenderal muda macam apakah engkau ini?”
Wajah pemuda itu berubah merah. “Maafkan, sesungguhnya usul saya tadi bukan semata-mata karena saya takut menghadapi kenyataan, melainkan penggambaran keadaan sebagaimana adanya, dan terutama sekali saya mengingat adanya bibi Suma Hui dan dua orang paman kecil. Saya kira amatlah sayang kalau mereka itu harus menghadapi bahaya maut dengan sia-sia dalam usia semuda itu.”
Nenek itu mengangguk-angguk. “Justeru karena itulah maka engkau kuajak ke sini, Cin Liong. Engkau tentu paham bahwa orang-orang seperti kong-couw-mu dan aku, sampai mati pun tidak nanti akan melarikan diri dari serbuan orang. Akan tetapi, aku pun tidak menghendaki cucu-cucuku yang masih muda itu menjadi korban dan mati konyol.”
“Jadi nenek menghendaki agar saya menyelamatkan mereka bertiga dan membawa mereka diam-diam pergi meninggalkan Pulau Es?” tanya Cin Liong.
“Benar, engkau harus menyelamatkan mereka. Akan tetapi bukan melarikan diri dari sini, melainkan membawa mereka bersembunyi kalau serbuan itu datang dan keadaan menjadi gawat. Tentu saja kita harus membiarkan mereka ikut menghadapi musuh. Hanya kalau kita kewalahan dan dalam keadaan darurat, engkau harus melarikan mereka dan bersembunyi.”
“Akan tetapi, di pulau seperti ini, ke mana saya dapat menyembunyikan mereka? Tentu akan dicari musuh dan akhirnya ketemu juga.”
“Marilah engkau ikut denganku,” berkata nenek itu. “Dan perhatikan benar-benar tempat persembunyian itu.”
Cin Liong mengikuti nenek itu memasuki sebuah pintu samping kecil dan mereka berhadapan dengan dinding tebal. Nenek Nirahai kemudian meloncat sampai dua meter tingginya, jari tangannya menekan langit-langit di mana nampak seekor cecak yang ternyata adalah cecak kering yang sudah mati dan bangkai yang sudah dikeraskan itu merupakan tanda rahasia tempat penekan alat rahasia pula. Terdengar suara berderit dan lantai tempat itu tiba-tiba bergeser dan nampaklah sebuah lubang.
Nenek Nirahai memasuki lubang yang merupakan anak tangga ke bawah tanah. Cin Liong mengikutinya. Begitu memasuki lubang, nenek itu memutar sebuah patung singa yang berada di kepala tangga dan lantai ruangan itu pun bergeser lagi menutupi lubang. Mereka terus menuruni lorong rahasia itu dan akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas di bawah tanah, tepat di bawah istana itu. Di situ terdapat lilin yang cukup banyak, air tawar dan bahan makanan kering yang kiranya akan cukup untuk menghidupkan tiga empat orang selama satu bulan.
“Nah, di sinilah tempat persembunyian itu. Kalau keadaan sudah mendesak, engkau harus membawa mereka ke sini. Tempat ini hanya diketahui oleh kong-couw-mu dan aku, cucu-cucuku itu tidak ada yang tahu. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menyelamatkan mereka dan membawanya ke sini kalau keadaan memaksa?”
“Saya berjanji!”
Nenek Nirahai tersenyum girang dan merangkul pemuda itu. “Bagus! Aku percaya akan janji putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu buyut keluarga Pulau Es, juga seorang pendekar dan seorang panglima muda yang gagah perkasa. Nah, Cin Liong, mari kita keluar. Ingat, andai kata mereka itu tak mau kau bawa lari sembunyi, jangan ragu-ragu, pergunakan kepandaianmu dan totok mereka, paksa mereka menyelamatkan diri ke sini. Mengerti?”
“Baik, nek. Saya mengerti.”
Mereka lalu keluar lagi dari tempat rahasia itu dan setelah nenek Nirahai menutup kembali lubang di lantai dengan cara memutar bangkai binatang cecak itu kembali menghadapi dinding, mereka lalu keluar ke halaman samping.
“Kalau mereka sudah menyerang, sebaiknya kalau kita memancing mereka ke halaman ini. Halaman ini merupakan medan pertempuran yang paling baik bagi kita. Musuh hanya dapat datang menyerbu dari depan dan kiri saja. Sebelah kanan ada bangunan, juga sebelah belakang sehingga kita yang kalah banyak tidak sampai dapat dibokong musuh. Kita mengerahkan semua kekuatan kita di sini dan melawan sekuatnya. Bagai mana pendapatmu, Cin Liong? Apakah engkau memiliki siasat lain untuk menghadapi pihak musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya itu?”
Cin Liong merasa kagum sekali kepada nenek yang dapat mengatur siasat sedemikian cepatnya, dan siasatnya itu memang merupakan penyusunan kedudukan yang paling baik. Apalagi karena tempat persembunyian yang dimaksudkan untuk menyelamatkan tiga orang cucunya ini berada dekat dengan halaman ini, sehingga praktis sekali dan kalau keadaan memaksa, dia dapat melarikan mereka ke belakang halaman melalui pintu kecil tanpa diketahui oleh pihak musuh.
“Maafkan kalau saya lancang memberi pendapat saya, akan tetapi saya kira kita bertahan di tempat ini hanya kalau sudah betul-betul terdesak. Menghadapi lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, tidakkah sebaiknya kalau kita melakukan serangan-serangan tersembunyi agar membuat mereka terpecah-pecah kekuatan mereka? Untuk itu, saya kira nenek dan saya sendiri akan mampu melakukannya, juga kalau kong-couw sudi....”
“Kong-couw-mu jangan dibawa-bawa. Bagaimana pun juga, dia tidak mau maju perang. Aku mengerti maksudmu dan memang itu baik sekali. Kalau mereka muncul, baik malam ini atau besok siang, engkau dan aku, dari dua jurusan, menyerang mereka secara sembunyi-sembunyi dengan cara pukul dan lari agar mereka kacau-balau dan terpecah-belah. Akan tetapi mengingat bahwa di antara mereka banyak terdapat orang pandai, siasat itu tidak mungkin kita lakukan terus-menerus dan akhirnya kita akan terkepung juga. Nah, kalau sudah terkepung seperti itu, kita harus cepat membawa mereka itu ke tempat ini di mana kita dapat bersama-sama menghadapi mereka dari depan dan kiri saja, dan terutama, engkau dekat dengan tempat rahasia itu.”
Cin Liong mengangguk-angguk. “Saya setuju. Dan bibi Hui bersama dua orang paman kecil, juga lima orang pelayan, dapat saja mengacau mereka dengan penyerangan-penyerangan gelap, menggunakan anak panah atau senjata rahasia lainnya dari dalam istana yang terlindung.”
Nenek itu mengangguk-angguk. “Sayang engkau dahulu tidak dapat membantuku ketika aku masih sering memimpin pasukan menghadapi para pemberontak dan pengacau. Senang sekali mempunyai seorang pembantu secerdik engkau, Cin Liong!” Wajah nenek itu berseri gembira dan semangatnya berperang timbul dan berkobar. Melihat ini, Cin Liong merasa kagum bukan main. Sungguh seorang nenek yang gagah perkasa dan luar biasa pandainya!
“Ahh, sejak kecil saya telah mendengar betapa nenek adalah seorang panglima yang amat hebat dan tidak pernah gagal dalam menumpas para pemberontak dan pengacau. Saya masih harus banyak belajar dari nenek.”
Malam itu lewat tanpa adanya penyerbuan yang dinanti-nantikan. Suasana malam itu amat menyeramkan, dengan adanya peti jenazah dan kepulan dupa, keheningan yang menggerogoti perasaan. Sebetulnya, tiga orang cucu dan para pelayan tidak mau tidur sebentar pun juga, karena dalam suasana berkabung dan berjaga-jaga itu mereka merasa tidak sepatutnya kalau mereka tidur. Akan tetapi, nenek Nirahai memaksa mereka untuk bergilir jaga dan yang tidak jaga ia beri obat sehingga mereka itu dapat tertidur. Dan hal ini memang sungguh penting karena pada keesokan harinya, semua orang merasa tubuhnya tetap segar dan tidak lelah atau mengantuk.
Pada keesokan harinya, tiga orang pelayan pria membawa senjata dayung besi mereka dan di samping itu mereka pun membawa gendewa dan anak panah. Biar pun mereka bukan ahli panah, tetapi dengan mudah mereka dapat belajar cara menggunakannya dan mereka lalu memilih tempat yang strategis di balik jendela-jendela yang menghadap ke empat penjuru, bersama dengan dua orang pelayan wanita yang memang sudah pandai mempergunakan senjata rahasia jarum.
Suma Hui sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia bersembunyi di wuwungan bersama Cin Liong sedangkan Ciang Bun dan Ceng Liong bersembunyi di balik tiang besar, bersiap dengan senjata rahasia piauw dan jarum di tangan. Nenek Nirahai sendiri tidak nampak, namun Cin Liong maklum bahwa nenek ini tentu telah menanti di suatu tempat yang tidak terduga-duga oleh pihak musuh.
Dia merasa amat heran dan kagum melihat sikap kong-couw-nya yang masih tetap duduk bersila di dekat peti jenazah, kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada bahaya apa pun yang mengancam tempat itu. Menurut perhitungannya, dan juga yang sependapat dengan nenek Nirahai, pihak musuh yang telah menerima hajaran berat oleh nenek Lulu, tidak berani ceroboh melakukan penyerangan di waktu malam gelap dan tentu menanti sampai terang tanah baru akan datang menyerang dengan pengerahan kekuatan mereka.
Perhitungan ini memang benar. Setelah cuaca di pulau itu cukup terang dan sinar matahari telah mengusir semua kabut, puluhan orang berloncatan dari dua belas buah perahu yang ternyata telah menempel di pantai Pulau Es. Mereka itu segera berlari menuju ke Istana Pulau Es dan setelah dekat mereka berpencar, terpecah menjadi empat rombongan terdiri dari sepuluh orang lebih dan masing-masing rombongan dipimpin sendiri oleh seorang di antara empat orang datuk kaum sesat! Hek-i Mo-ong sendiri memimpin rombongan dari dua belas orang menyerbu ke arah istana dari depan.
Gerakan kurang lebih lima puluh orang itu rata-rata amat cepat ketika mereka berlari ke arah istana dan setiap orang memegang senjata masing-masing. Nampaknya mereka itu amat menyeramkan dan menghadapi serbuan begitu banyak orang yang datang dari empat penjuru akan dapat mengecilkan hati orang.
Akan tetapi, tidak demikian dengan para penghuni Pulau Es, keluarga Pendekar Super Sakti. Bahkan para pelayan di Istana Puktu Es itu pun tidak ada yang merasa gentar. Mereka itu memandang dengan mata tidak pernah berkedip, yang memegang busur sudah mempersiapkan diri dan mulai memasang anak panah, yang membawa senjata rahasia telah menggenggam jarum-jarumnya, mereka menanti saat para musuh itu datang dalam jarak yang cukup dekat.
Sementara itu, Cin Liong dan tiga orang muda cucu Pendekar Super Sakti juga telah bersiap-siap. Cin Liong dan Suma Hui bersiap di atas wuwungan dan kedua orang muda Ciang Bun dan Ceng Liong siap di belakang tiang besar. Cin Liong dan tiga orang muda itu telah bersepakat. Yaitu, Ciang Bun dan Ceng Liong akan menyerang dengan senjata piauw dan jarum mereka bersama dengan serangan para pelayan yang menanti di empat penjuru.
Penyerangan ini bukan hanya dimaksudkan untuk mengenai sasaran, akan tetapi juga dimaksudkan untuk menjadi pancingan agar perhatian musuh tertuju kepada para penyerang gelap itu. Dan kesempatan itu, selagi mereka lengah, Cin Liong dan Suma Hui yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi akan turun tangan menyerang dengan senjata rahasia mereka! Siasat ini sesuai dengan apa yang direncanakan oleh nenek Nirahai.
Para penyerbu itu adalah orang-orang yang lihai, apalagi yang dipimpin langsung oleh Hek-i Mo-ong adalah orang-orang pilihan di antara para anak buah yang menyerbu. Maka ketika mereka sudah agak dekat dan dari istana itu menyambar anak panah dan senjata-senjata rahasia lainnya, mereka dapat bergerak cepat, menangkis atau pun mengelak sehingga semua anak panah, jarum dan piauw itu tidak ada yang berhasil mengenai tubuh mereka.
Akan tetapi, pada saat semua perhatian tertuju ke arah jendela dan tiang dari mana senjata-senjata rahasia tadi menyambar, tiba-tiba nampak sinar kehijauan menyambar dari atas. Itulah Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang dilepas oleh Suma Hui. Ilmu melepas Siang-tok-ciam ini adalah kepandaian khas dari nenek Nirahai yang telah menurunkan kepada dara itu.
Betapa pun lihainya dua belas orang yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong itu, menghadapi serangan gelap yang tiba-tiba dari atas ini, dua orang di antara mereka tetap saja kurang cepat menghindar dan ada jarum beracun yang mengenai pundak dan leher mereka. Mereka berteriak kesakitan dan roboh, berkelojotan dan pingsan karena jarum halus dari nenek Nirahai yang diajarkan kepada Suma Hui ini benar-benar amat ampuh.
Sementara itu di bagian kanan kiri dan belakang juga mendapat sambutan yang sama, hanya tidak begitu hebat seperti sambutan di depan. Ada anak panah yang menyambar, dan ketika mereka semua dapat menghindar, tiba-tiba dari atas menyambar anak panah berturut-turut yang amat kuat dan cepat gerakannya. Itulah anak panah yang dilepas oleh Cin Liong.
Sebagai seorang jenderal, tentu saja dia selain mahir ilmu silat tinggi, juga ahli dalam hal menggunakan busur dan anak panah. Apalagi anak panah itu dilepas selagi semua orang di bawah mencurahkan perhatian ke arah jendela. Terdengar teriakan-teriakan dan dengan busur dan anak panahnya, Cin Liong berhasil merobohkan empat orang, dua di belakang dan dua di kiri.
Yang paling sial adalah para penyerbu yang datang dari kanan. Mereka disambut anak panah dan berhasil menghindarkan diri, akan tetapi jarum-jarum beracun berhamburan sedemikian banyak dan cepatnya sehingga dari sebelas orang yang dipimpin oleh Si Ulat Seribu, yang dapat menghindarkan diri hanyalah wanita iblis ini dan enam orang, sedangkan yang lima lain roboh berkelojotan terkena jarum-jarum halus yang dilepas oleh nenek Nirahai sendiri!
Ternyata siasat yang dijalankan oleh nenek Nirahai itu lumayan juga hasilnya. Dalam segebrakan itu sebelas orang anggota gerombolan penyerbu telah dapat dirobohkan. Tentu saja hal ini membuat Hek-i Mo-ong dan tiga orang kawannya marah bukan main.
“Serbu! Bunuh semua orang yang berada di dalam istana!” teriak Hek-i Mo-ong sambil meloncat ke depan, membawa senjatanya yang mengerikan yaitu sebatang tombak Long-ge-pang (Tombak Gigi Serigala).
Kakek ini memang menyeramkan sekali. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, akan tetapi karena tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa, dia masih nampak kuat. Hek-i Mo-ong ini sebenarnya bernama Phang Kui, seorang peranakan Bangsa Kozak, ibunya seorang wanita utara yang juga bertulang besar. Rambutnya sudah putih semua, dan pakaiannya serba hitam, membuat wajahnya yang berkulit putih dan rambut, jenggot dan kumisnya yang juga putih itu kelihatan menyolok. Di pinggangnya nampak sebatang kipas merah yang ujungnya runcing.
Di samping senjata Long-ge-pang yang dipegang oleh tangan kanannya itu, kipas merah ini merupakan senjata yang sangat ampuh pula. Kipas merah ini bukan hanya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah dengan ujungnya yang runcing, akan tetapi juga merupakan alat penarik perhatian untuk melakukan sihir terhadap lawan. Di samping ilmu silatnya yang luar biasa tingginya, Hek-i Mo-ong ini terkenal sekali dengan ilmu sihirnya. Selain itu, tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata.
Orang ke dua dari para pimpinan gerombolan yang menyerbu Pulau Es adalah Ngo-bwe Sai-kong yang telah tewas oleh nenek Lulu dalam sebuah perkelahian mati-matian yang akhirnya menyebabkan keduanya mati sampyuh.
Orang ke tiga adalah Ulat Seribu, seorang wanita yang melihat keadaan wajahnya yang amat buruk hingga sukar untuk diketahui usianya. Wajah itu bopeng dan pletat-pletot, mengerikan dan bahkan menjijikkan. Wajah yang habis digerogoti penyakit kulit yang hebat. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya yang masih padat dan indah, kulit leher dan lengannya yang putih mulus maka usia wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh lima tahun.
Wanita ini peranakan Korea. Dia bersekutu dengan gerombolan ini membawa beberapa orang anak buahnya, orang-orang Korea yang bertubuh jangkung-jangkung. Si Ulat Seribu ini amat keras wataknya, dan lihai bukan main, terutama sekali ginkang-nya yang membuat ia dapat bergerak seperti terbang cepatnya. Selain itu, yang membuat lawan menjadi ngeri dan gentar adalah kebiasaannya yang aneh.
Ia suka memelihara dan membawa segala macam ulat. Dari ulat yang gundul sampai ulat-ulat berbulu dan gatal, ulat-ulat beracun. Kadang-kadang, ulat-ulat itu merayap di kedua lengannya yang putih mulus, dan ulat-ulat ini bukanlah ulat sembarangan yang dipelihara sebagai hobby belaka. Ulat-ulat itu adalah ulat beracun dan dapat ia gunakan sebagai senjata untuk merobohkan lawan!
Keadaan yang mengerikan inilah yang membuat dia dikenal dengan sebutan Si Ulat Seribu saja, dan tidak ada orang lain yang mengenal namanya. Di samping ulat-ulat beracun, wanita ini terkenal ahli bermain silat dengan sabuk merahnya yang pada ujungnya terdapat kaitan-kaitan dari emas.
Orang ke empat bernama Liok Can Sui, berjuluk Eng-jiauw Siauw-ong, berusia enam puluh tahun. Dia memang ketua dari perkumpulan Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda), sebuah perkumpulan perampok yang amat ditakuti orang, yang berkedudukan di daerah Se-cuan. Siauw-ong (Raja Muda) ini sangat lihai ilmunya, dan ganas sekali senjatanya, yaitu sepasang sarung tangan kuku garuda dan di samping itu dia pun merupakan seorang ahli racun yang ampuh.
Datuk ke lima berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak ganteng dengan pakaiannya yang mewah dan pesolek. Dia memang pantas dan berhak memakai julukan Siauw-ok (Si Jahat Kecil) karena dialah satu-satunya orang yang mewarisi ilmu dari Im-kan Ngo-ok yang telah terbasmi dan tewas semua.
Jai-hwa Siauw-ok ini dahulunya merupakan seorang pria tampan yang menjadi kekasih dari Ji-ok, tokoh nomor dua dari Im-kan Ngo-ok. Karena pandai menyenangkan hati iblis betina itu, dia mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Ji-ok, di antaranya adalah Kiam-ci (Jari Pedang). Bahkan melalui wanita tua yang tergila-gila padanya itu, dengan jalan mencuri, dia dapat pula mempelajari Ilmu Silat Thian-te Hong-i dari Sam-ok, dan juga pukulan Hoa-mo-kang (Katak Buduk) yang lihai dari Su-ok.
Sesuai dengan julukannya Jai-hwa (Pemetik Bunga), datuk ini memang mempunyai kelemahan, yaitu mata keranjang. Setiap kali melihat wanita muda yang menggerakkan nafsu birahnya, tentu dia akan turun tangan memperkosanya, tidak perduli anak orang atau isteri orang!
Empat orang datuk yang merasa marah oleh karena seorang rekan mereka, Ngo-bwe Sai-kong telah tewas di Pulau Es, dan kini melihat dalam segebrakan saja ada sebelas orang anak buah mereka roboh, menjadi penasaran. Mereka lalu memimpin sisa anak buah mereka yang masih cukup banyak itu untuk menyerbu.
Akan tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari para penghuni Pulau Es. Dan sesuai dengan siasat nenek Nirahai, Cin Liong, Suma Hui, Suma Ciang Bun dan juga Suma Ceng Liong kini menerjang keluar dan mengamuk di antara para anak buah gerombolan. Nenek Nirahai sendiri pun sudah menerjang turun dari atas wuwungan samping dan begitu pedang payungnya bergerak, beberapa orang sudah terpelanting dan roboh tewas seketika!
Cin Liong juga mengamuk. Dia telah memegang sebatang pedang yang dipilihnya dari rak senjata di Istana Pulau Es. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan biar pun para anak buah gerombolan itu adalah orang-orang pilihan, namun amukannya membuat tiga orang roboh binasa mandi darah!
Suma Hui pun tak mau kalah. Dara ini mengamuk, menggunakan sepasang pedangnya dan sudah ada seorang lawan tewas dan seorang lagi luka berat. Suma Ciang Bun juga mengamuk dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang baru diperdalam itu untuk mengamuk. Pemuda ini berhasil merobohkan seorang lawan pula.
Suma Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu juga turut membantu keluarganya, menggunakan sebatang tombak dan anak ini memang mengagumkan sekali. Seorang anggota gerombolan yang bersenjata golok besar menyerangnya kalang-kabut, namun anak ini memainkan tombaknya sedemikian rupa sehingga ke mana pun golok itu menyambar, selalu tertangkis atau hanya mengenai tempat kosong belaka, sedangkan ujung tombak itu pun kadang-kadang melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya!
Setelah mengamuk bagaikan naga-naga besar kecil yang menyerbu turun dari angkasa, dan merobohkan separuh dari jumlah para penyerbu, akhirnya Hek-i Mo-ong dan tiga orang rekannya berhasil mengepung dan mendesak mereka mundur. Bahkan lima orang pelayan yang tadi melawan mati-matian itu pun sudah roboh satu demi satu dan tewas dengan tangan masih memegang senjata, seperti prajurit-prajurit yang gagah perkasa.
Nenek Nirahai kemudian menyambar tubuh Ceng Liong yang terancam bahaya dan membawanya melompat masuk halaman samping. Cin Liong juga memutar pedangnya melindungi Ciang Bun yang didesak oleh Eng-jiauw Siauw-ong, sedangkan Jai-hwa Siauw-ok yang sejak tadi kagum akan kecantikan Suma Hui telah menerjang dara itu, akan tetapi tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya hidup-hidup. Keluarga Pulau Es itu mundur semua sampai di halaman samping dan di sini mereka semua mengamuk mati-matian...
Kakek itu memandang kepadanya dan mengangguk-angguk. Anak ini cerdas sekali, pikirnya.
“Aku tidak mengatakan boleh atau tidak boleh berduka, Liong. Aku hanya ingin kalian membuka mata melihat kenyataan dan tidak tenggelam dalam buaian perasaan dan iba diri. Kalau semua orang menangisi kematian, apakah itu berarti bahwa kita pun HARUS menangis? Akan lebih baik kalau kita membuka mata melihat mengapa kita menangisi kematian. Mengapa? Coba kalian bertiga menjawab. Kenapa kita biasanya menangisi kematian?”
“Karena tidak tega....,” jawab Suma Hui.
“Karena kita kasihan kepada yang mati,” sambung Ceng Liong.
“Karena kita ditinggalkan,” mendadak Ciang Bun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini ikut menjawab.
“Ya, karena kita ditinggalkan, itulah jawabannya yang tepat. Bukan karena kita tidak tega atau kasihan. Bagaimana kita bisa merasa kasihan kepada orang yang mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu? Yang jelas, kematian membebaskan orang dari pada segala kesengsaraan hidup, ketuaan, kelemahan dan penyakit, juga kedukaan, ketakutan dan sebagainya. Tidak masuk akal kalau kita kasihan kepada orang yang mati, akan tetapi yang jelas, kita merasa kasihan kepada diri sendiri, kita ditinggalkan, kita kehilangan, kita kesepian, itulah yang menyebabkan orang menangisi kematian.”
Nenek Nirahai mendengarkan saja dan wajahnya kelihatan diliputi awan. Melihat ini, kakek Suma Han bertanya, “Apakah kebenaran tentang kematian itu masih belum meresap di hatimu?”
Nenek itu memandang kepada suaminya. “Aku tidak memikirkan kematian, aku tidak menyedihkan kematian, tetapi prihatin melihat bahwa aku pun akan mati dan betapa menyebalkan kalau kelak mati karena digerogoti penyakit, perlahan-lahan sampai rusak jasmani ini. Adik Lulu sungguh beruntung....”
“Hemm, engkau agaknya merasa iri kepada Lulu? Mengapa meributkan soal itu?”
“Kematian memang bukan apa-apa, akan tetapi bagaimana kita mati itulah yang penting. Sungguh menyedihkan kalau orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus mati sebagai seorang yang lemah dan yang terpaksa harus tunduk terhadap penyakit, terhadap kuman-kuman kecil yang tidak nampak oleh mata. Betapa memalukan....!”
“Hemm, soal itu serahkan saja kepada keadaan, yang penting kita harus selalu siap menghadapi saat tibanya maut, dengan mata terbuka, dengan tabah, tanpa sedikit pun rasa takut.”
Suma Han lalu memerintahkan para pelayan pria untuk menggotong keluar sebuah peti jenazah, peti yang memang sudah beberapa tahun yang lalu dipersiapkan untuk nenek Lulu. Juga kakek itu dan nenek Nirahai telah lama menyediakan peti mati untuk diri mereka sendiri. Tempat itu terpencil dan untuk membeli peti mati harus didatangkan dari daratan besar, maka mereka memang telah bersiap dengan peti mati masing-masing beberapa tahun yang lalu.
Karena mereka tidak dapat bebas begitu saja dari pada ikatan tradisi, peti jenazah yang terisi jenazah nenek Lulu itu lalu dihias dan dipasang meja sembahyang sebagaimana lajimnya, kemudian mereka semua melakukan sembahyang dengan hio di tepi jenazah.
Tiada air mata yang tumpah lagi sekarang, setelah mereka tadi mendengar percakapan mengenai kematian antara Pendekar Super Sakti dan para cucunya. Mereka semua melihat kesia-siaan dan kepalsuan tangis perkabungan itu. Bagaimana pun juga, karena menghormat si mati dan keluarganya, para pelayan itu bersikap sungguh-sungguh dan prihatin.
Menurut keputusan kakek Suma Han, jenazah akan ditangguhkan semalam dan pada keesokan harinya baru jenazah akan diperabukan. Pendekar Super Sakti, walau pun pengagum ajaran Nabi Khong Cu, namun hatinya lebih condong kepada pembakaran jenazah dari pada pemakaman.
Mungkin saja hal ini karena pengaruh Agama Buddha, atau juga karena kewaspadaannya melihat bahwa pembakaran jenazah itu jauh lebih sempurna, baik bagi yang mati mau pun yang hidup dari pada pemakaman jenazah yang menghabiskan tempat, pembuangan dan penghamburan uang, berikut upacara tradisi yang berlarut-larut dari para keluarga untuk mengurus makam dan sebagainya.
Malam itu, beberapa batang lilin bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah nenek Lulu. Nenek Nirahai duduk bersila di dekat suaminya, seperti menjaga peti jenazah, dalam keadaan setengah semedhi. Akan tetapi, melihat api lilin-lilin itu bergoyang-goyang tertiup angin malam yang lewat di ruangan depan istana di mana peti jenazah ditaruh, nenek Nirahai teringat kepada madunya.
Begitulah Lulu di waktu dahulu. Hidupnya seperti api lilin itu, bergoyang-goyang, lincah, berani, bergelombang naik turun, diangkat tinggi-tinggi oleh suka dan dihempaskan dalam-dalam oleh duka. Itulah Lulu. Peri kehidupan nenek Lulu pada waktu mudanya memang amat menarik dan hal itu dapat diikuti dalam kisah Pendekar Super Sakti dan kisah-kisah lanjutan berikutnya.
Tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tidak berada di ruangan itu karena mereka itu menyingkir dan membiarkan suami isteri itu merenung di dekat peti jenazah. Delapan orang itu diam-diam bersepakat untuk melakukan penjagaan, dan hal ini diprakarsai oleh Suma Hui.
“Para penyerbu itu adalah orang-orang jahat. Biar pun nenek Nirahai telah berhasil menghajar dan mengusir mereka, akan tetapi mereka itu masih hidup dan siapa tahu mereka itu masih merasa penasaran. Kalau mereka menghimpun teman-teman jahat mereka dan kembali menyerbu lagi, kita harus sudah bersiap-siap menghadapi mereka,” demikian dara perkasa yang gagah berani itu berkata kepada adik-adiknya dan kepada lima orang pelayan itu.
Mereka semua telah bersepakat untuk menghajar para penjahat itu dan membalaskan kematian nenek Lulu kalau mereka itu berani muncul lagi malam hari itu. Dengan cara berpencar, mereka berjaga di sekeliling istana. Suma Hui sebagai pemimpin mereka melakukan perondaan.
Malam semakin larut namun tidak terjadi sesuatu dan keadaan di Pulau Es semakin sunyi. Hawa udaranya semakin dingin malam itu. Hanya orang sinting sajalah yang akan lancang memasuki Pulau Es itu di waktu malam yang sedingin itu, apalagi kalau dia sudah tahu bahwa di pulau itu tinggal keluarga Pendekar Super Sakti yang gagah perkasa.
Akan tetapi, bukan orang sinting, juga bukan iblis yang pada malam hari itu tiba-tiba muncul dari tepi pantai sebelah selatan dari Pulau Es. Dia seorang laki-laki muda yang mendarat dengan menggunakan sebuah perahu nelayan kecil yang meluncur di malam gelap dan akhirnya bisa mendarat di bagian yang datar dari pulau itu di sebelah selatan.
Hanya dengan penerangan bintang-bintang di langit yang menimbulkan cuaca suram-muram kehijauan, pria itu berhasil mendarat, menyeret perahunya naik dan kemudian meninggalkan perahunya, berjalan dengan langkah terhuyung-huyung menuju tengah pulau.
Beberapa kali dia hampir jatuh karena kakinya tersandung, akan tetapi dengan sigapnya dia dapat memperbaiki kedudukannya dan melanjutkan langkahnya. Sebagai pedoman, dia melihat lampu dari jauh, lampu yang tergantung di samping istana. Kadang-kadang sinar lampu itu lenyap lalu nampak kembali, seperti halnya cahaya yang masih jauh letaknya di malam yang cuacanya remang-remang.
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang agaknya tidak mudah, orang yang seperti dalam sakit keadaannya itu sampai juga ke dekat istana. Nampak bangunan istana itu menjulang tinggi dan megah di dalam cahaya bintang-bintang yang mulai cemerlang karena ditinggalkan awan tipis yang tadinya menghalang di antara langit dan bumi, dan orang itu tertegun.
“Sebuah.... istana....? Di pulau kosong ini....? Ya Tuhan, mimpikah aku.... atau sudah gilakah aku....?”
Dia pun melangkah maju lagi, ke arah lampu yang tergantung di dinding, di luar istana itu. Bagaikan orang yang tidak percaya kepada diri sendiri, dia lalu meraba dinding itu, mendorong-dorongnya. Kini sinar lampu gantung menimpa mukanya dan ternyata dia adalah seorang laki-laki yang berwajah tampan dan gagah sekali walau pun pakaiannya kusut dan pecah-pecah di sana-sini.
Tubuhnya nampak terluka di pundak, pangkal lengan dan paha. Di ketiga tempat ini, pakaiannya tidak hanya robek, melainkan juga berlepotan darah. Laki-laki itu berpakaian seperti seorang nelayan biasa, dan usianya paling banyak dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun.
Tiba-tiba tiga orang nelayan pria dari Istana Pulau Es datang menyerbu dan menyerang dirinya tanpa bertanya-tanya lagi. Tiga orang pelayan itu mempergunakan dayung besi, senjata yang paling tepat untuk mereka karena mereka itu tadinya adalah nelayan-nelayan sebelum menjadi pelayan di Pulau Es. Akan tetapi walau pun mereka juga ketularan ilmu silat dari para majikan mereka dan tubuh mereka kuat karena mereka tinggal di tempat sedingin Pulau Es, namun karena mereka tidak pernah berkelahi, serangan mereka dengan dayung itu hanya cepat dan kuat namun kaku sekali.
“Heii.... aku bukan penjahat....!” Pria itu berteriak ketika melihat menyambarnya dayung-dayung besi itu ke arah kepala dan tubuhnya.
Meski dia sudah luka-luka dan diserang secara tiba-tiba oleh tiga orang pelayan istana itu, namun dengan mudah dan cekatan sekali dia berhasil mengelak lalu menangkap sebatang dayung. Sekali renggut dayung itu pindah ke tangannya dan dua kali dia menangkis, dua dayung yang lain terlepas dari pegangan dua orang pelayan itu. Tentu saja tiga orang pelayan itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa orang ini begitu lihainya sehingga dalam segebrakan saja mampu merampas senjata mereka.
Akan tetapi orang itu tak membalas serangan, melainkan meloncat ke belakang sambil berkata lagi, “Aku bukan penjahat....!”
Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Hui telah berdiri di depan pria itu dengan sepasang pedang di tangan. “Orang baik-baik tak akan berkeliaran di sini tanpa ijin! Bersiaplah untuk mampus, keparat keji!” Suma Hui sudah menggerakkan sepasang pedangnya dan ia pun sudah menyerang dengan dahsyatnya.
“Trang....! Cringgg....!”
“Ehhh, nanti dulu.... ehhh, nanti dulu, aku bukan penjahat....!”
Pria itu menangkis dan mengelak, repot juga menghadapi serangan bertubi-tubi yang amat ganas itu. Untung dia tadi telah merampas dayung besi, kalau tidak, tentu akan makin repotlah dia menghadapi serangan pedang di tangan Suma Hui yang sedang marah dan mendendam atas kematian neneknya itu. Biar pun orang itu berteriak-teriak, tetap saja Suma Hui menyerang terus, bahkan semakin hebat karena dara ini mulai merasa penasaran bahwa sepasang pedangnya belum juga berhasil, padahal orang itu telah luka-luka.
“Singgg.... wuuuut, singggg....!”
Sepasang pedang yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu terus menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga yang ganas.
“Cringgg.... cringgg....!”
Pria itu terkejut sekali karena dayung besinya itu dua kali terbabat pedang dan nyaris ada pedang yang menyerempet lehernya!
“Tidak....! Aku bukan penjahat, dengar dulu, nona....!”
“Tranggg....!”
Kini Suma Hui yang terkejut karena setelah dayung itu dapat ia patahkan dan tinggal sepanjang pedang, pria itu malah dapat menggunakan dengan amat hebatnya, seperti menggerakkan pedang dan dari cara pria ini menangkisnya terbukti bahwa pria itu memiliki ilmu pedang yang hebat pula! Bukan hanya itu, kini pria itu agaknya telah mengerahkan sinkang sehingga bukan saja potongan dayung itu menjadi kuat, juga tenaga yang menangkis pedangnya itu membuat lengannya tergetar!
Tentu ini seorang tokoh sesat yang lihai, yang diutus oleh gerombolan penyerbu pagi tadi untuk memata-matai istana, pikirnya. Oleh karena itu, tanpa memperdulikan protes pria itu, ia menyerang semakin ganas.
Karena marah dan mendendam, Suma Hui menjadi berkurang kewaspadaannya, tidak menyadari bahwa sejak tadi pria itu sama sekali tidak membalas serangannya, tetapi hanya mengelak dan menangkis sambil mundur saja. Juga ia tak menyadari kenyataan bahwa tidaklah mungkin pihak musuh mengirim seorang yang sudah luka-luka itu untuk menjadi mata-mata.
Suma Hui menyerang terus sampai belasan jurus dan karena pria itu memang sudah terluka dan lemah, juga karena dia sama sekali tidak mau membalas, akhirnya ujung pedang kiri dara itu menyerempet pundaknya yang kanan.
“Crottt....!” Pundak itu terluka dan darahnya mengucur keluar, dan pria itu terhuyung ke belakang, potongan dayungnya terlepas.
Suma Hui yang sudah marah dan merasa yakin bahwa orang ini adalah satu di antara musuh-musuh pembunuh neneknya, menerjang lagi untuk mengirim tusukan maut.
“Tringg....!”
Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Suma Hui ketika tiba-tiba ada pedang payung yang menangkisnya dari samping. Ternyata neneknya yang menangkis itu menggunakan pedang payung, yaitu payung yang ujungnya runcing dan dapat dipergunakan sebagai pedang, sebuah senjata istimewa yang amat ampuh dari puteri ini.
“Tidak pantas menyerang orang yang tidak mau melawan!” kata nenek itu yang sejak tadi sudah menyaksikan perkelahian itu.
Ternyata diam-diam nenek ini sudah bersiap-siap pula. Pedang payungnya sudah dipersiapkan dan ketika ia mendengar suara tidak wajar di luar istana, ia meninggalkan suaminya dan peti jenazah madunya. Ia melihat betapa seorang pria yang sudah luka-luka berkelahi dengan cucunya dan melihat bahwa pria itu sama sekali tidak mau membalas menyerang, juga bahwa pria itu sudah luka-luka dan memiliki dasar gerakan yang luar biasa lihainya!
Mula-mula ia terkejut dan curiga, membiarkan saja cucunya menyerang terus. Akan tetapi setelah melihat pria itu terluka oleh pedang cucunya dan tetap pria itu tidak mau membalas, bahkan terancam bahaya maut, ia lalu turun tangan mencegah cucunya melakukan pembunuhan.
Merobohkan lawan dalam usaha membela diri, atau merobohkan lawan buat membasmi kejahatan dan membela kebenaran, memang menjadi tugas seorang pendekar. Akan tetapi, merobohkan lawan yang tidak melawan, apalagi belum diketahui dengan pasti apakah orang itu bersalah, merupakan pembunuhan yang kejam dan jahat! Dan itulah sebabnya maka ia turun tangan mencegah Suma Hui yang kini memandang kepada neneknya dengan heran dan penasaran.
“Akan tetapi.... dia tentu seorang di antara mereka yang telah membunuh nenek Lulu!” kata Suma Hui, dan dua orang adiknya yang sejak tadi sudah berada di situ pula, bersikap membenarkan enci mereka.
Akan tetapi tiba-tiba pria itu berseru dengan napas terengah-engah penuh ketegangan hati, “Nenek Lulu.... terbunuh....? Ahhh, dan ini.... ini benarkah ini…. Pulau Es dan istananya?”
Nenek Nirahai sekali bergerak telah berada di depan pria itu, memandang tajam dan membentak, “Siapakah engkau....? Di sini memang benar Pulau Es dan kami keluarga penghuninya.”
Akan tetapi, pria itu mendadak mengeluh dengan lemas dan tubuhnya terkulai, roboh pingsan. Melihat itu nenek Nirahai menjadi curiga. Ia lalu menyuruh dua orang pelayan untuk menggotong pria yang pingsan itu dan membawanya masuk ke ruangan depan di mana Pendekar Super Sakti masih duduk bersila di dekat peti jenazah.
“Siapa dia? Apa yang terjadi?” tanya Pendekar Super Sakti dengan suara lembut dan sikap tenang. Agaknya, tidak ada apa pun di dunia ini yang akan dapat mengguncang ketenangan hati pendekar ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baginya tidak ada yang aneh, melainkan merupakan hal-hal yang wajar saja.
Dengan singkat nenek Nirahai menceritakan bahwa orang ini muncul seorang diri di malam hari sehingga tadi menimbulkan kecurigaan hati Suma Hui yang menyerangnya, akan tetapi orang itu sama sekali tidak mau membalas.
“Kulihat gerakannya mengandung dasar kepandaian tinggi, dan dia datang dengan luka-luka di tubuhnya. Kemudian, mendengar disebutnya nama adik Lulu oleh Hui-cu, dia terkejut lalu pingsan.”
Pendekar Super Sakti lalu mernbantu isterinya mengobati luka-luka yang diderita oleh pria itu. Ternyata bahwa luka-luka itu tidak terlalu parah. Apalagi mereka memperoleh kenyataan yang mengejutkan bahwa pria itu memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, yang timbul tanpa disadarinya dalam pingsan ketika kakek pendekar ini bersama isterinya mengobatinya.
Mereka semua memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali Suma Hui yang ingin sekali tahu siapa adanya orang yang terus mengalah terhadapnya ini, yang diam-diam harus diakuinya kelihaiannya. Dan melihat wajah di bawah sinar terang, dara ini merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Wajah seorang laki-laki muda yang gagah sekali! Wajah yang bundar bersih, di bawah telinga kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil. Bentuk hidung serta mulutnya juga membayangkan kelembutan di balik kegagahannya.
Setelah memperoleh perawatan suami isteri yang sakti itu, pemuda itu siuman kembali dan membuka matanya. Melihat betapa dia rebah di lantai, di dekat seorang kakek tua renta yang pandang matanya lembut sekali, dan nenek yang dia ingat telah dijumpainya, dia terkejut dan teringat lagi. Cepat dia menoleh ke kanan kiri, melihat Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga peti jenazah. Dia terbelalak memandang peti jenazah, kemudian menoleh ke arah kakek tua renta itu, pandang matanya menurun ke arah kaki kiri yang buntung, dan pemuda itu lalu bangkit duduk dan seketika berlutut di depan Pendekar Super Sakti.
“Harap ampunkan saya, akan tetapi bukankah ji-wi locianpwe ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han, tocu dari Pulau Es bersama locianpwe Puteri Nirahai, dan yang berada di dalam peti jenazah itu adalah locianpwe Puteri Lulu?” Suaranya agak gemetar penuh perasaan.
Suma Han mengelus-elus jenggotnya yang putih seperti benang-benang perak. “Benar. Orang muda, engkau siapakah?”
“Kong-couw (kakek buyut).... ahh, saya datang terlambat....!” Dan pemuda itu lalu maju berlutut di depan meja sembahyang sambil menangis. “Ampunkan saya.... ahhh, saya telah terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan nyawa nenek buyut....!”
Suma Han berkata halus, akan tetapi penuh wibawa, “Simpan air matamu kalau benar engkau adalah cucu buyut kami! Siapakah engkau, wahai orang muda yang gagah perkasa?”
“Nama saya Kao Cin Liong. Tentu kong-couw tahu kalau saya beritahukan bahwa ayah saya adalah Kao Kok Cu dan ibu saya adalah Wan Ceng....”
“Aihhh....!” Nenek Nirahai berseru kaget dan juga girang, lalu merangkul pemuda itu. “Kiranya engkau adalah putera Ceng Ceng! Hui, Ciang Bun, Ceng Liong, dia ini adalah masih keponakan kalian sendiri!”
Tentu saja ketiga orang muda itu memandang heran dan terutama sekali Suma Hui menjadi terkejut, memandang kepada pria yang gagah itu dengan mata terbuka lebar-lebar.
“Dia.... dia keponakanku....?” katanya tergagap, tidak percaya.
“Dengarlah, akan kujelaskan kepada kalian.” Nenek itu kemudian menceritakan dengan singkat hubungan antara pemuda yang baru tiba itu dengan keluarga Pulau Es.
“Mendiang nenekmu Lulu, sebelum menjadi isteri kakekmu, adalah seorang janda yang mempunyai seorang putera bernama Wan Keng In. Orang she Wan ini kemudian mempunyai seorang puteri yang diberi nama Wan Ceng. Jadi, Wan Ceng itu dengan kalian merupakan saudara-saudara misan tiri, dan karena Kao Cin Liong ini putera Wan Ceng, maka berarti dia adalah masih keponakan luar kalian sendiri.”
Kemudian nenek itu memandang kepada Kao Cin Liong dan berkata, “Cin Liong, perkenalkanlah, mereka ini adalah bibimu dan paman-pamanmu. Suma Hui dan Suma Ciang Bun ini adalah putera-puteri dari paman kakekmu Suma Kian Lee, sedangkan Suma Ceng Liong ini adalah putera paman kakekmu Suma Kian Bu.”
Sejak tadi Cin Liong menatap wajah Suma Hui yang masih terbelalak memandangnya, dan dia pun cepat-cepat menjura dengan hormat, “Bibi, dan kedua paman kecil, harap maafkan kelancangan saya tadi.”
Suma Hui dan kedua orang adiknya lalu membalas penghormatan itu, dan Suma Hui menjawab gagap, tidak seperti biasanya yang selalu lincah, “Ah, tidak.... sayalah yang minta maaf....”
“Kao Cin Liong, ceritakanlah keadaanmu, keadaan orang tuamu, dan bagaimana pula engkau bisa sampai di Pulau Es dan mengapa engkau luka-luka dan apa pula artinya engkau mengatakan terlambat tadi.” Kakek Suma Han bertanya dengan suaranya yang halus dan tenang.
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan semua mata ditujukan pada pemuda yang ganteng dan gagah perkasa ini. Kao Cin Liong menarik napas panjang dan memejamkan matanya sebentar. Demikian banyaknya peristiwa yang dialaminya sehingga dia harus bercerita panjang. Dia pun mulai bercerita.....
********************
Siapakah pemuda yang bernama Kao Cin Liong ini? Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Siluman tentu telah mengenalnya dengan baik. Seperti telah diceritakan oleh nenek Nirahai tadi, pemuda ini adalah putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng. Dan Kao Kok Cu adalah seorang pendekar sakti yang hebat, seorang pendekar yang ditakuti semua orang kang-ouw dengan julukannya Naga Sakti Gurun Pasir! Kao Kok Cu adalah putera mendiang Jenderal Kao yang namanya dikenal oleh seluruh pasukan dan rakyat sebagai seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan bijaksana.
Kao Cin Liong sendiri, semenjak muda sekali, semenjak berusia tujuh belas tahun, telah membuat nama besar dan menjadi jenderal muda di kota raja! Jenderal Muda Kao Cin Liong ini makin terkenal ketika beberapa kali dia berhasil menundukkan dan membasmi para pemberontak di barat. Agaknya pemuda ini meniru jejak kakeknya, yaitu Jenderal Kao Liang, dan ingin menjadi seorang jenderal yang baik. Selain berkedudukan tinggi dan memperoleh kepercayaan Kaisar Kian Liong, juga jenderal muda ini memiliki ilmu silat yang hebat. Dia digembleng oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja kepandaiannya hebat.
Akan tetapi, ada suatu hal yang patut disayangkan. Sepuluh tahun yang lalu, jenderal muda ini jatuh cinta kepada seorang dara perkasa yang bernama Bu Ci Sian, namun cintanya bertepuk tangan sebelah.
Sebagai seorang pendekar yang gagah, dia menyadari keadaan ini. Dia mengalah dan mundur, akan tetapi dengan hati nelangsa dan sejak itu, dia menjauhi wanita. Ayah bundanya sudah berkali-kali mendesaknya agar dia suka memilih seorang calon isteri, atau mau dicarikan jodoh oleh orang tuanya, namun Cin Liong selalu menolak.
Sampai sekarang, dalam usia dua puluh sembilan tahun dan telah memiliki kedudukan tinggi, Kao Cin Liong masih belum juga menikah, bahkan tidak mempunyai seorang selir pun. Padahal, pada umumnya, orang yang memiliki kedudukan setinggi dia itu, andai kata belum menikah juga, tentu setidaknya sudah mempunyai lima enam orang selir muda yang cantik-cantik! Akan tetapi, biar pun dia memiliki kedudukan tinggi sebagai seorang jenderal, akan tetapi jiwanya tetap adalah jiwa seorang pendekar yang tidak menyukai adanya kepincangan-kepincangan dan ketidak adilan.
Cin Liong tinggal seorang diri di sebuah gedung yang megah di kota raja, dengan beberapa orang pelayan yang bertugas merawat gedungnya. Dia sendiri jarang berada di kota raja, lebih sering melakukan pengamatan dan pemeriksaan terhadap kesatuan-kesatuan yang bertugas di luar kota raja. Jenderal muda ini banyak membantu usaha Kaisar Kian Liong untuk memberantas korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan dan wewenang.
Banyak sudah para pejabat, terutama di kalangan ketentaraan, yang telah dipecat dan dituntut oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong sehingga namanya semakin ditakuti dan disegani. Dia demikian sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang dia berkunjung ke tempat tinggal ayah bundanya yang mendiami Istana Gurun Pasir, jauh di utara, di dekat perbatasan utara.
Kesempatan berkunjung itu tiba ketika dia memperoleh tugas baru. Pada waktu itu Kaisar Kian Liong sudah menduduki tahta selama lima tahun dan sejak hari pertama menjadi kaisar, Kaisar Kian Liong bergerak melakukan pembersihan dan perbaikan-perbaikan. Akan tetapi, muncullah gangguan berupa pemberontakan di perbatasan barat dan ada berita pula bahwa di utara, di luar Tembok Besar, juga terjadi pergerakan-pergerakan.
Karena itu, Jenderal Kao Cin Liong mendapatkan tugas untuk melakukan penyelidikan. Jenderal muda ini lalu berangkat sendiri, ingin melakukan penyelidikan sendiri sebelum mengambil keputusan mengirim pasukan bala tentara untuk melakukan pembersihan. Berangkatlah dia ke utara, karena dia ingin menyelidiki ke utara lebih dahulu sambil mengunjungi orang tuanya, baru kemudian berangkat ke barat.
Dengan menunggang seekor kuda yang baik, Cin Liong melakukan perjalanan cepat ke utara. Dia memakai pakaian biasa, karena lebih leluasa baginya untuk melakukan penyelidikan jika dia menjadi orang biasa. Tanpa halangan suatu pun, pada suatu pagi dia tiba di benteng lama di perbatasan utara. Benteng ini telah tua dan rusak, tidak lagi dipakai karena kini pasukan pemerintah telah membangun sebuah benteng baru yang kokoh kuat, di tempat yang lebih baik dan tepat untuk menghadang masuknya pasukan musuh dari luar.
Karena malam telah tiba dan perjalanan dari benteng kuno itu menuju ke Istana Gurun Pasir masih memakan waktu setengah hari, maka Cin Liong berhenti dan mengambil keputusan untuk bermalam di dalam benteng tua itu. Dia menambatkan kudanya di luar, mencarikan rumput untuk kudanya, kemudian dia memasuki bangunan kecil bekas tempat penjagaan di luar benteng itu dan membuat api unggun dari kayu-kayu bekas bangunan rusak. Lalu dikeluarkannya ransum bawaannya, yaitu roti kering dan daging kering, dimakannya makanan sederhana ini dengan sebotol arak ringan.
Tiba-tiba Cin Liong menghentikan gerakan mulutnya yang mengunyah makanan, sebab telinganya mendengar derap kaki kuda yang lemah karena kelelahan. Ada tiga orang penunggang kuda sedang menuju ke benteng tua itu. Tentu pedagang-pedagang yang kemalaman, pikirnya. Derap kaki kuda mereka menunjukkan bahwa mereka baru saja melakukan perjalanan jauh dan kuda mereka telah amat kelelahan. Ternyata tiga orang penunggang kuda itu berhenti di depan bangunan kecil itu pula dan terdengar suara mereka ketika mereka turun dari punggung kuda.
“Ehhh, ada kuda!”
“Hemm, kuda bagus!”
“Tentu orangnya di dalam. Nah, itu ada asap api unggun.”
“Wah, bau arak pula!”
Pintu bangunan kecil itu mereka dorong dan Cin Liong masih duduk menghadapi api unggun dan makan dengan tenang ketika mereka bertiga itu memasuki ruangan yang kotor itu. Tiga orang kasar yang bertubuh tinggi besar, pakaian mereka pun penuh debu dan wajah mereka yang kehitaman karena banyak terbakar matahari itu nampak bahwa mereka sudah biasa dengan kekerasan dan kekasaran.
“Wah, orang muda yang tampan, sungguh berani berada seorang diri di tempat seperti ini!”
“Dan makan minum tanpa menawarkannya kepada kita yang lapar dan haus!”
Mendengar ucapan kedua orang itu, Cin Liong menjawab, “Kalau kalian lapar dan haus, mari ikutlah makan minum seadanya.”
Akan tetapi orang ke tiga, yang matanya buta sebelah, yaitu tinggal mata kanan saja yang tinggal, melangkah maju dan menghardik, “Orang muda, jangan berlagak! Hayo kau tanggalkan semua pakaian itu dari tubuhmu, kemudian pergi dari sini, tinggalkan pakaian, buntalan dan kuda, dan jangan banyak cerewet lagi!”
Cin Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa orang ini tidak bergurau, dan kini dua orang yang lain sudah pula menyeringai dan tangan mereka mengusap gagang golok. Sialan, pikirnya, bertemu dengan perampok-perampok rendah.
Dia melanjutkan minum araknya dari botol. Setelah menelan roti dan arak yang berada di dalam mulutnya, dia meletakkan botol arak di depannya, menambah kayu pada api unggun lalu berkata tenang, “Hemm, kiranya kalian hanya perampok-perampok kecil yang hendak merampok seorang kelana yang kemalaman di sini.”
“Bocah setan! Kau menghina! Kami bukan perampok-perampok kecil, kami bergerak di bidang yang lebih besar. Awas mulutmu!”
“Kalau bukan perampok, mengapa hendak merampok aku?”
“Ha-ha-ha, kami sedang bergembira. Kami tidak mau membunuhmu, hanya menukar nyawa dan badanmu dengan semua pakaian dan kuda yang kau miliki. Hayo, cepat lakukan perintahku atau engkau akan segera menjadi pengiring arwah keluarga Pulau Es, ha-ha-ha!”
Tentu saja Cin Liong terkejut dan heran sekali mendengar disebutnya keluarga Pulau Es.
“Hemm, apa maksudmu membawa-bawa nama keluarga Pulau Es dalam urusan ini?” tanyanya, sikapnya tetap tenang.
“Ha-ha-ha, itulah mengapa kami bergembira dan hendak merayakannya malam ini! Kami akan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Gurun Pasir, dan semua tokoh pendekar akan kami basmi, dan kami akan merajai dunia kembali, akan bebas dari gangguan mereka. Ha-ha-ha!”
Cin Liong menjadi semakin heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu orang-orang ini sudah mabok, maka dia pun lalu berkata sebal, “Sudahlah, kalian ini agaknya orang-orang gila. Pergilah dan jangan menggangguku lagi!”
“Hei, bocah lancang mulut! Berani kau memaki kami gila? Engkau sudah bosan hidup, ya?” Seorang di antara mereka sudah mencabut golok dan menerjang maju, mengayun goloknya ke arah leher Cin Liong yang masih duduk menghadapi api.
Diam-diam Cin Liong menjadi marah sekali. Sungguh orang-orang ini kejam luar biasa, begitu saja hendak membunuhnya tanpa sebab sama sekali. Orang macam ini hanya merupakan penyakit dalam masyarakat dan tentu akan selalu mendatangkan bencana kalau tidak dibasmi atau setidaknya diberi hajaran keras.
Cin Liong menggerakkan tangannya. Sepotong kayu lantas meluncur dan menghantam pergelangan tangan.
“Takkk! Aduhhh....!”
Biar pun orang itu kuat, namun hantaman kayu itu bukan hantaman biasa, melainkan totokan yang tepat mengenai jalan darah sehingga tangannya seketika terasa lumpuh dan golok itu pun terlepas. Dan sebelum orang itu dapat menyingkir, tangan kiri Cin Liong bergerak ke depan.
“Desss!”
Orang itu kena dijotos perutnya dan tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak dinding dan dia pun terbanting roboh tak bergerak lagi. Semaput!
Orang ke dua yang melihat betapa kawannya roboh dalam segebrakan saja, menjadi terkejut dan marah sekali. “Keparat, berani engkau memukul kawanku?” bentaknya dan dia pun sudah mencabut golok, mengeluarkan bentakan nyaring kemudian meloncat ke depan, goloknya terayun dan membabat dengan kecepatan kilat dan kekuatan besar ke arah tubuh Cin Liong.
Akan tetapi, kembali tangan kiri Cin Liong bergerak dan segenggam pasir meluncur dan menyambar muka orang itu.
“Eh! Oh! Aughh....!” Orang itu gelagapan karena matanya penuh pasir, pedih dan gelap sehingga bacokannya ngawur dan dengan mudah Cin Liong mengelak tanpa pindah dari tempat duduknya.
Pada waktu tubuh lawan itu terhuyung lewat, kaki Cin Liong terangkat dan ‘menyentuh’ selakangnya, perlahan saja. Akan tetapi akibatnya hebat karena orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan berkelojotan. Kedua tangannya mendekap selangkangan dan dia bergulingan seperti ayam disembelih, kemudian kejang dan semaput pula!
Melihat ini, agaknya si mata satu baru sadar bahwa pemuda yang masih tetap duduk di depan api unggun itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia dan dua orang kawannya bukan orang sembarangan dan sudah banyak malang melintang di dunia hitam, akan tetapi dua orang kawannya itu roboh segebrakan saja oleh pemuda yang sejak tadi tidak berpindah dari tempatnya. Tahulah dia bahwa dia takkan menang melawan pemuda itu, dan tiba-tiba si mata sebelah itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari ruangan itu.
“Berhenti!” Cin Liong menghardik.
Ketika orang itu tidak berhenti, dia lalu menyambar sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan penjahat, melontarkannya ke depan. Golok itu meluncur seperti anak panah ke depan, menyambar ke arah si mata tunggal yang sudah tiba di pintu.
“Crottt! Aduuuhhh....!” Dan tergulinglah tubuh si mata tunggal dengan paha kanannya ditembus golok!
“Merangkaklah ke sini!” Cin Liong berkata sambil melanjutkan makan roti keringnya.
Si mata tunggal menoleh ragu, tetapi maklum bahwa kalau dia membangkang, tentu dia akan lebih celaka lagi. Maka dia pun bangkit dengan susah payah, lalu merangkak dan memasuki ruang itu kembali. Mukanya penuh keringat dingin, mata tunggalnya melotot memandang ke arah pemuda yang sedang makan roti itu.
Setelah minum seteguk arak untuk mendorong roti kering ke dalam perutnya, Cin Liong mengangkat muka memandang kepada si mata tunggal itu. Kembali si mata tunggal terkejut ngeri melihat betapa sinar mata pemuda itu mencorong seperti mata harimau!
“Ampun.... ampunkan saya....” Akhirnya si mata satu dapat juga mengeluarkan kata-kata setelah beberapa kali menelan ludah dengan hati penuh rasa takut.
Dengan sikap masih tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, Cin Liong berkata, “Ceritakan apa maksudmu akan membasmi keluarga Pulau Es kemudian keluarga Gurun Pasir tadi. Awas, sekali engkau berbohong, engkau akan kubakar hidup-hidup!”
Ucapan itu tenang saja, tidak seperti ancaman, akan tetapi si mata satu menggigil dan mukanya semakin pucat. Sikap dingin dan tenang dari pemuda itu lebih mengerikan dari pada sekedar ancaman kasar karena dia dapat merasakan bahwa ucapan itu sama sekali bukan ancaman kosong.
“Kami.... ahh, bukan kami yang akan melakukannya.... kami hanya orang-orang tingkat rendah saja, mana mungkin terbawa rombongan itu? Rombongan itu sudah berangkat siang tadi, akan menggunakan dua belas buah perahu layar besar menuju ke Pulau Es....”
Cin Liong tertarik. Dari sikap si mata satu yang ketakutan itu, dia dapat menduga bahwa orang ini tidak berbohong. “Mereka siapa? Berapa orang banyaknya dan siapa yang memimpin?”
“Banyak sekali, sedikitnya ada lima puluh orang, semua dari tingkat atas. Kami bertiga hanya tingkat rendahan saja, tidak terpilih. Dan rombongan itu dipimpin oleh lima orang datuk dunia kami, datuk-datuk yang menjadi pucuk pimpinan.”
Tiba-tiba si mata satu itu nampak lebih berani, agaknya membicarakan tentang datuk-datuk yang menjadi pimpinan golongannya itu menimbulkan semangat baru, atau dia mengharapkan pemuda ini akan menjadi gentar mendengarnya.
“Mereka itu siapa?” Cin Liong mendesak.
“Lima orang datuk pimpinan kami yang kini memimpin rombongan ke Pulau Es adalah Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Jubah Hitam), Ngo-bwe Sai-kong (Saikong Berekor Lima), Si Ulat Seribu, Eng-jiauw Siauw-ong (Raja Muda Kuku Garuda), dan yang ke lima adalah Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga)!” Berkata demikian, si mata satu itu melupakan penderitaan pahanya yang tertembus golok. Mata tunggalnya memandang ke arah wajah pemuda itu, mengharapkan pemuda itu menjadi gentar dan bersikap lunak kepadanya.
Tetapi dia kecelik dan menjadi semakin gelisah ketika pandang mata pemuda itu makin tajam, seolah-olah hendak menembus jantungnya. Memang Cin Liong menjadi kaget dan marah sekali mendengar disebutnya nama-nama yang sebagian sudah dikenalnya itu. Terutama sekali nama Hek-i Mo-ong yang sudah dikenalnya sebagai seorang tokoh sesat yang luar biasa saktinya. Nama empat yang lain hanya pernah didengarnya saja sebagai kabar angin yang terlalu dilebih-lebihkan. Akan tetapi, kalau yang empat itu kini bergabung dengan Hek-i Mo-ong dan kedudukannya setingkat, berarti bahwa empat orang itu pun tentu lihai sekali. Sekarang, mereka berlima itu menghimpun lima puluh orang tokoh sesat dan menuju ke Pulau Es!
“Katakan, mengapa mereka pergi ke Pulau Es?”
“Keluarga Pulau Es sejak dahulu terkenal sebagai keluarga yang banyak menyusahkan kami. Dendam kami bertumpuk-tumpuk. Apalagi kaisar yang sekarang ini amat ketat menekan kami sehingga gerakan kami tersudut. Maka, para pimpinan kami kemudian berunding dan mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh dari Korea dan Jepang untuk bersama-sama menyerbu dan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Istana Gurun Pasir dan semua pendekar yang menonjol di dunia kang-ouw. Setelah mereka itu terbasmi, barulah kami akan dapat bergerak dengan leluasa dan.... aduhh!” Sebuah kayu bakar menyambar dan mengenai kepala si mata satu yang segera terpelanting tak bergerak lagi, pingsan!
Cin Liong lalu melompat keluar dari dalam bangunan kecil itu, melepas kendali kudanya dan menunggang kudanya meninggalkan tempat itu.
“Maafkan, kuda yang baik, terpaksa kita harus melakukan perjalanan lagi secepatnya.” Dia pun lalu menuju ke timur untuk menyusul rombongan kaum sesat yang hendak menyerbu Pulau Es itu.
Selama hidupnya, Cin Liong belum pernah mengunjungi Pulau Es. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang Pulau Es dari ayah bundanya dan dia dapat mengira-ngira di mana letak pulau itu. Dia pun amat menghormati keluarga Pulau Es, karena ayah bundanya amat menghormatinya dan terutama sekali mendengar bahwa ibu kandungnya juga keturunan dari nenek Lulu yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti.
Biar pun belum pernah jumpa, dia banyak mendengar tentang keluarga itu dan sudah sejak lama ada keinginan di hatinya untuk dapat mengunjungi pulau yang amat terkenal di dalam dunia kang-ouw sebagai dongeng itu, dan bertemu muka dengan manusia-manusia sakti yang menjadi penghuninya.
Kini, mendengar bahwa rombongan besar yang dipimpin oleh para datuk sesat hendak menyerbu Pulau Es, tentu saja dia terkejut dan segera berniat untuk mencegahnya. Atau setidaknya, dia harus dapat mendahului rombongan kaum sesat itu dan memberi tahu kepada para penghuni Pulau Es. Nenek Lulu, yaitu nenek dari ibunya, atau nenek buyutnya, tinggal di pulau itu, entah sudah mati ataukah masih hidup karena menurut ibunya, nenek itu tentu sudah tua sekali usianya.
Karena rombongan di depan terdiri dari banyak orang, mudah saja bagi Cin Liong untuk mengikuti jejak mereka dan melakukan pengejaran. Akhirnya, di pantai laut, dia dapat menyusul rombongan itu dan melihat kesibukan mereka mengatur belasan buah perahu layar besar. Dia menyamar sebagai seorang nelayan dan dapat mendekati mereka bersama para nelayan lainnya, bahkan ikut pula membantu dengan pemasangan layar dan sebagainya.
Dia mendapat kenyataan bahwa semua penuturan si mata satu itu benar belaka. Dia mengenal Hek-i Mo-ong dan dia merasa yakin bahwa Raja Iblis itu tidak mengenalnya. Mereka hanya pernah bertemu satu kali saja dan pertemuan itu telah lewat sepuluh tahun. Juga, dia tidak pernah bertanding langsung melawan Raja Iblis ini.
Dan empat orang tokoh datuk lainnya belum pernah melihatnya. Tentu saja di antara para tokoh sesat itu ada yang pernah bertemu dengannya, akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika dia berpakaian sebagai seorang panglima. Sekarang, dengan menyamar sebagai seorang nelayan biasa, tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu bahwa nelayan muda itu adalah Jenderal Kao Cin Liong!
Dan Cin Liong dapat melihat pula adanya lima orang Korea dan lima orang Jepang yang sikapnya kasar-kasar, tanda bahwa mereka itu pun dari golongan sesat di negara mereka yang kini bergabung dengan gerombolan Raja Iblis untuk menyerbu Pulau Es! Agaknya orang-orang Korea dan Jepang inilah yang akan menjadi petunjuk jalan.
Ketika akhirnya dua belas buah perahu layar besar itu berlayar, sebuah perahu nelayan kecil juga berlayar mengikutinya. Di dalam perahu nelayan ini terdapat Cin Liong yang memakai caping lebar, menyamar sebagai nelayan. Karena di situ banyak terdapat perahu-perahu nelayan, maka kehadiran perahu Cin Liong ini tidak menarik perhatian dan dia dapat membayangi rombongan itu dengan leluasa.
Pada hari ke tiga, barulah rombongan itu tiba di daerah di mana terdapat pulau-pulau kecil dan mereka berputar-putar seperti mencari-cari. Akhirnya, dari perahu kecilnya, Cin Liong melihat mereka menuding-nuding ke arah sebuah pulau yang kelihatan sebagian putih karena pulau itu sebagian tertutup es! Melihat semua orang berkumpul di atas perahu-perahu besar itu menuding-nuding ke arah pulau, Cin Liong merasa yakin bahwa tentu itulah yang dinamakan Pulau Es!
Malam itu, kedua belas buah perahu itu berhenti dan membuang jangkar, tidak berani melanjutkan perjalanan karena daerah itu berbahaya, banyak terdapat bukit-bukit es yang mengambang dan dapat tertabrak perahu. Apalagi malam itu gelap sekali. Cin Liong juga menghentikan perahunya dan melepas jangkar, berlindung di balik sebuah bukit es.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, sebelum terjadi kesibukan di perahu-perahu besar itu, dia sudah mendahului mereka dan mendayung perahunya menuju ke pulau itu. Pagi itu masih gelap, kabut tebal menyelimuti pulau sehingga dengan mudah Cin Liong dapat mendarat. Dengan berindap-indap dia mendaki tebing pulau itu. Sebuah pulau batu karang yang sebagian tertutup salju.
Akan tetapi, setelah tiba di tebing yang paling tinggi, yaitu di bagian barat pulau, dan memandang ke arah sekeliling, dia tidak melihat adanya bangunan! Padahal, menurut penuturan orang tuanya, katanya di tengah pulau itu terdapat sebuah bangunan besar yang kuno, yang disebut Istana Pulau Es! Benarkah ini pulau itu? Kalau benar, mana istananya?
Dia berada di puncak tebing itu, menanti sampai sinar matahari pagi perlahan-lahan mengusir kabut yang menghalangi pandangannya. Cuaca menjadi semakin terang dan dia dapat melihat jelas, tetapi bukan istana yang dilihatnya, melainkan serombongan orang yang mendaki tebing itu dari berbagai jurusan dengan gerakan cepat dan lincah!
Dia terkejut sekali, akan tetapi tidak melihat jalan untuk menyembunyikan diri. Ketika dia berlari ke kiri, dari situ pun sudah nampak beberapa orang berlarian naik, demikian pula dari kanan dan depan, sedangkan di sebelah belakangnya adalah tebing curam yang tidak mungkin dapat dituruninya.
Tebing itu amat curam, dalamnya tidak karang dari seratus meter dan di bawah tebing itu nampak air laut menggelora dan menghantami dinding tebing sehingga menjadi lekuk dalam seperti goa besar.
Cin Liong lalu bersikap pura-pura sebagai seorang nelayan yang tersesat ke pulau itu. Maka dia sengaja bersikap terang dan pura-pura tidak tahu bahwa ada orang-orang naik ke puncak tebing itu dari tiga jurusan. Setelah mereka dekat, barulah dia pura-pura kaget, memandang dan bangkit berdiri.
“Cu-wi siapakah dan hendak pergi ke manakah?” Cin Liong bertanya dengan muka bodoh.
“Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka yang usianya tidak kurang dari enam puluh tahun dan bersikap galak.
“Saya seorang nelayan yang kemalaman dan terpaksa bermalam di sini dan....”
“Tangkap pembohong ini! Dia tentu mata-mata Pulau Es!”
Empat orang menerjang maju hendak menangkap Cin Liong. Pemuda ini pun maklum bahwa sekali tertawan, tentu ia akan celaka. Orang-orang ini adalah gembong-gembong kaum sesat yang kejam. Andai kata dia benar seorang nelayan biasa yang tak berdosa sekali pun tentu akan celaka kalau tertawan oleh mereka, apa lagi dia yang hanya seorang nelayan palsu.
Maka begitu empat orang itu menerjang maju, dia pun bergerak cepat menggerakkan kaki tangannya. Dua orang terkena tamparannya dan terpelanting, akan tetapi yang dua orang lagi agaknya cukup lihai sehingga dapat mengelak dengan cepat! Dan mereka semua kini merasa yakin bahwa pemuda tampan itu bukanlah nelayan biasa, maka terjadilah pengeroyokan di atas puncak tebing karang itu!
Cin Liong mengamuk untuk mempertahankan diri. Segera dia memperoleh kenyataan betapa para pengeroyok itu sungguh bukan orang sembarangan, melainkan rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh! Dan mereka itu menyerangnya secara bertubi-tubi, mempergunakan senjata-senjata yang ampuh. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerangnya.
Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah sering kali melakukan pertempuran dan menghadapi pengeroyokan-pengeroyokan. Namun, harus diakuinya bahwa baru sekali ini dia menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai ilmu silatnya. Bagaimana pun juga, tingkat kepandaian para pengeroyok itu masih jauh di bawah tingkatnya, maka biar pun dia hanya bertangan kosong menghadapi puluhan batang senjata tajam, dia masih mampu mempertahankan diri dan merobohkan beberapa orang lagi. Hanya pakaiannya saja yang robek tergores senjata tajam, sedang luka ringan dideritanya pada pahanya yang tergores pedang pada saat paha itu tidak dilindungi sinkang.
Pemuda ini adalah putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, maka tentu saja sinkang-nya sudah kuat sekali dan dia dapat melindungi tubuhnya dengan hawa yang amat kuat terhadap serangan senjata tajam. Akan tetapi, pengerahan tenaga itu tentu saja tidak mungkin dilakukan terus-menerus dan pada saat kosong itulah pahanya tadi tergores pedang. Lukanya mengucurkan darah, tapi tidak membuat gerakannya menjadi lemah, bahkan sebaliknya, dia mengamuk makin ganas bagaikan seekor naga mengamuk.
Akan tetapi, tiba-tiba muncul dua orang kakek yang begitu menyerangnya membuat pemuda ini terhuyung-huyung. Mereka itu adalah Hek-i Mo-ong sendiri dan seorang saikong yang mukanya brewokan dan yang memegang sebatang thi-pian (cambuk besi) berekor lima. Orang ini bukan lain adalah Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai, ketua dari Im-yang-pai.
“Tar-tar-tar-tarrr....!”
Cambuk besi itu melecut-lecut dan meledak-ledak dengan dahsyatnya. Cin Liong yang sedang menghadapi serangan-serangan tangan kosong Hek-i Mo-ong yang luar biasa berbahayanya itu, kini diserang oleh cambuk besi, menjadi repot bukan main. Pundak dan pangkal lengannya, juga pahanya telah terkena lecutan yang seperti kepala ular mematuk-matuk ke arah jalan darah yang mematikan.
Biar pun Cin Liong masih dapat melindungi tubuhnya, namun tetap saja kulit dan daging bagian yang terkena lecutan menjadi robek-robek. Darah mengucur keluar dan dia masih terus didesak oleh Hek-i Mo-ong yang mulai merasa penasaran sekali. Raja Iblis ini sekarang merasa pernah melihat Cin Liong, tetapi dia lupa lagi di mana. Dia hanya merasa yakin bahwa seorang pemuda yang mempunyai kepandaian sehebat itu, tentu merupakan seorang pendekar di pihak musuh yang sudah sepatutnya kalau dibasmi.
Maka dia pun tak malu-malu untuk mengeroyoknya bersama Ngo-bwe Sai-kong, walau pun dia merasa tidak akan kalah andai kata dia harus menghadapinya satu lawan satu. Kini, satu-satunya tujuan hatinya adalah membasmi semua keluarga pendekar, dimulai dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, dia menganggap perkelahian ini sebagai suatu perjuangan dan tidak lagi perduli tentang etika atau kesopanan dalam dunia persilatan.
Setelah terdesak hebat sekali, Cin Liong maklum bahwa dia harus mengadu nyawa. Tak ada jalan untuk meloloskan diri di pulau kosong ini. Dia seperti seekor harimau yang masuk perangkap, dan tahu bahwa pihak musuh tidak akan mengampuninya dan pasti akan membunuhnya. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh atau dibunuh!
Sejak tadi ia hanya menggunakan ilmu-ilmu silat biasa seperti yang pernah dipelajarinya dari ayah bundanya. Akan tetapi, melihat keadaannya yang amat berbahaya, dia pun lalu teringat akan ilmu-ilmu simpanannya, ilmu-ilmu dari ayahnya yang hanya boleh dipergunakan kalau keadaan sudah terlalu memaksa. Apa lagi kini dia melihat betapa dua orang kakek yang sudah terlampau berat baginya itu dibantu lagi oleh sedikitnya tujuh orang yang mulai menyerangnya dari pelbagai jurusan!
“Hyaaaaaatttt....!”
Cin Liong mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak aneh, memanjang ke depan seperti seekor naga dan gerakan kedua lengannya seperti cakar naga, kakinya menyambar-nyambar seperti ekor naga dan empat orang pengeroyok terpelanting ke kanan kiri dan tewas seketika karena tulang-tulang tubuh mereka remuk-remuk!
“Ahh, dia murid Istana Gurun Pasir!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong berseru kaget dan dia pun mendesak ke depan.
Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut mendengar ini dan thi-pian di tangannya itu menyerang makin ganas. Sebuah di antara ujung cambuk besi itu mematuk ke arah ubun-ubun kepala Cin Liong. Bagian ini tidak dapat dilindungi terlalu kuat dan tidak mungkin dia berani menerima patukan ujung cambuk yang digerakkan dengan sinkang kuat itu, maka Cin Liong terhuyung ke belakang ketika melompat.
Kesempatan itu digunakan oleh Hek-i Mo-ong. Selagi tubuh pemuda itu masih berada di udara, dia mendesak maju dan mendorong dengan kedua telapak tangannya yang terbuka. Angin pukulan dahsyat menyambar keluar. Cin Liong tak dapat mengelak lagi, terpaksa mendorongkan kedua tangan untuk menyambut. Akan tetapi, karena tubuhnya belum menginjak tanah, ketika kedua tenaga bertemu, tubuhnya terdorong keras ke belakang dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kao Cin Liong terjengkang dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu!
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan lari ke tepi tebing, diikuti oleh Ngo-bwe Sai-kong dan para anak buah mereka. Suara ketawa kakek itu masih bergema keras bersama dengan melayangnya tubuh pemuda itu ke bawah. Mereka semua dapat melihat betapa tubuh itu menimpa air laut yang muncrat ke atas, kemudian tubuh itu tenggelam dan lenyap ditelan ombak yang membuih putih dan berkejaran menghantam karang!
Tentu tubuh pemuda itu tenggelam, atau dicaplok ikan besar, atau dihempaskan oleh ombak ke batu karang dan hancur luluh! Dari atas itu saja, semua orang dapat melihat betapa tidak ada harapan sama sekali untuk hidup bagi orang yang sudah terjatuh ke tempat itu, apalagi dari ketinggian ini!
Akan tetapi, Hek-i Mo-ong dan para kawannya itu lupa bahwa urusan mati hidup bukanlah urusan manusia, dalam arti kata bahwa bukan manusia yang menentukan mati hidupnya seseorang. Bahkan mati hidup dirinya sendiripun merupakan rahasia bagi manusia. Oleh karena itu, mana mungkin mereka itu dapat memastikan bahwa pemuda yang terjatuh ke dalam laut dari tebing curam itu sudah tentu akan mati? Orang baru dapat menentukan mati hidupnya seseorang kalau dia sudah melihat keadaan orang itu. Yang ada hanya kenyataan, hidup ataukah mati.
Akan tetapi, selagi hidup, tidak mungkin dapat menentukan dan mengenal tentang kematian, kecuali hanya melalui kira-kira dan anggapan-anggapan atau pun pendapat-pendapat kosong belaka, atau ikut-ikutan menurut pendapat orang-orang terdahulu atau kepercayaan-kepercayaan yang dianut masing-masing. Selagi jasmani masih hidup, tidak mungkin dapat merasakan bagaimana kematian itu. Baru keadaan tidur saja tidak dapat diketahui oleh kesadaran, apalagi keadaan mati.
Akan tetapi, kematian jasmani merupakan perubahan yang wajar. Ada kematian lain yang amat ditakuti manusia, yaitu kematian yang merupakan pelepasan dari semua ikatan! Inilah yang membuat orang menjadi takut untuk menghadapi kematian. Ikatan dengan benda yang disayangnya, dengan manusia lain yang amat dicintanya, dengan kedudukan, nama besar dan sebagainya yang semuanya itu dianggap menyenangkan sekali. Jadi hakekatnya, orang takut mati karena enggan berpisah dari kesenangan!
Ketika dia terjengkang dan merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah, tahulah Cin Liong bahwa dia telah terjatuh ke bawah tebing. Dia sadar benar bahwa nyawanya terancam maut. Akan tetapi, gemblengan batin yang diterimanya sejak kecil membuat pemuda ini selalu waspada dan sedikit pun tidak menjadi panik. Biar pun tubuhnya melayang dari tempat begitu tinggi sedangkan di bawahnya menanti maut berupa air laut berombak yang susul-menyusul menghantam batu karang, namun dia tetap waspada dan dalam waktu beberapa detik itu saja otaknya telah membuat perhitungan yang masak.
Dia tahu bahwa musuh-musuhnya yang lihai dan berjumlah banyak itu tentu mengamati kejatuhannya dari atas. Kalau mereka melihat bahwa dia dapat menyelamatkan diri, tentu mereka akan mengejarnya dengan perahu-perahu mereka dan kalau hal ini terjadi, dia akan celaka. Maka, kalau dia dapat menyelamatkan diri dari kejatuhan ini, dia harus dapat berpura-pura tewas ditelan air laut dan hal ini membutuhkan perhitungan dan tindakan seketika yang matang.
Pertama-tama, dia harus dapat mengatur agar jatuhnya ke air tidak sampai terbanting keras, terutama kepalanya karena hal itu akan membuat dia pingsan dan sekali pingsan celakalah dia, tentu mati tenggelam atau kalau terapung pun tentu akan dibunuh oleh orang-orang itu, atau dihempaskan ombak menghantam batu karang! Maka, pertama-tama dia harus mengatur keseimbangan dirinya dan jatuh ke air dalam keadaan yang menguntungkan dirinya.
Setelah itu, dia harus dapat menyelam dan mencari jalan agar tidak timbul kembali dan hal ini dapat dilakukan kalau dia dapat menyelam dan berenang memasuki goa di bawah tebing. Di situ dia akan selamat dan tidak akan nampak dari atas. Pikiran dan perhitungan masak ini dilakukan dalam waktu beberapa detik saja selagi tubuhnya itu meluncur ke bawah.
“Byurrrrrr....!”
Air muncrat tinggi dan dia terbanting ke dalam air dengan kaki lebih dulu. Dengan demikian, kepalanya tidak terbentur air dan tubuhnya dapat meluncur dengan cepat melawan arus ombak sampai ke dasar laut di mana ombak tidak begitu besar dan kuat gerakannya. Karena dia sudah memperhitungkan dan mengatur kejatuhannya sehingga ketika kedua kaki menyentuh air tadi dia menghadap ke tebing, kini kakinya yang menyentuh dasar laut itu mengenjot kuat dan tubuhnya meluncur dan berenang cepat menuju ke tepi. Kedua tangannya bergerak meraba-raba ke depan dan akhirnya, terdorong pula oleh ombak, dia dapat menyentuh dinding tebing di bawah laut.
Dengan kekuatan khi-kangnya, dia menahan napas sejak tadi dan kini, berpegang kepada dinding tebing yang tidak rata, dia memanjat ke atas dan muncul di dalam goa bawah tebing, aman dan tidak kelihatan dari atas. Cepat dia mencari tempat bersembunyi yang aman dari hempasan ombak, dan tinggal di situ sampai siang. Baru setelah dia melihat perahu-perahu besar itu pergi meninggalkan pulau, menuju ke utara, dia memanjat tebing itu, keluar dan mencari perahu kecilnya.
Tubuhnya sakit-sakit dan lelah, juga lapar. Akan tetapi Cin Liong tidak mau beristirahat, tidak mau mencari makan. Dia harus cepat-cepat mencari Pulau Es dan dia yakin bahwa pulau itu tentu tidak jauh lagi dari daerah itu. Maka dia pun lalu membuka layar dan perahu kecilnya meluncur dengan cepat menuju ke utara, menyusul rombongan dua belas perahu besar tadi.
Akan tetapi, dia tidak dapat menyusul mereka, dan dia cepat-cepat bersembunyi di balik gumpalan es besar ketika melihat perahu-perahu itu berlayar menjauhi sebuah pulau yang nampak putih dari kejauhan. Cin Liong menjadi bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan mengapa perahu-perahu itu meninggalkan pulau putih yang disangkanya tentu Pulau Es itu.
Dia merasa lelah dan agak pening, mungkin terlalu banyak kehilangan darah, terlalu lelah dan juga lapar. Setelah bertemu dengan rombongan perahu itu, dia harus berhati-hati dan dia terus bersembunyi bersama perahunya di balik bongkahan es.
Setelah malam tiba, dia baru berani mendayung perahunya keluar dari balik bongkahan es menuju ke pulau putih itu. Untung ada bintang-bintang di langit yang walau pun sinarnya muram, namun cukup untuk menerangi pulau putih itu, yang nampak seperti gunung abu-abu di malam gelap. Akhirnya tibalah dia di pulau itu, lalu dia mendarat. Akhirnya, dia mendekati istana tengah pulau itu dan ketahuan oleh Suma Hui.
Keluarga Pulau Es mendengar penuturan Cin Liong dengan penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengakhiri cerita dengan suara menyesal, “Demikianlah, Suma kong-couw, saya akhirnya dapat juga tiba di sini menghadap kong-couw. Akan tetapi sungguh menyesal sekali bahwa kedatangan saya terlambat sehingga agaknya nenek buyut Lulu menjadi korban.”
Kakek Suma Han mengangguk. “Memang dia telah tewas dalam pertempuran melawan sebagian dari pada para penyerbu. Akan tetapi, engkau baru saja datang dan engkau tentu lapar. Makanlah dulu, Cin Liong.”
Nirahai lalu berkata kepada Suma Hui, “Hui, kau suruh pelayan untuk menyiapkan makanan untuk keponakanmu Cin Liong.”
Suma Hui bangkit berdiri, mengangguk kepada Cin Liong dan berkata ramah, akan tetapi sikapnya agak canggung, “Marilah....”
Cin Liong bangkit dan menjawab dengan hormat, “Baik, bibi Hui dan terima kasih.” Lalu dia mengikuti gadis itu menuju ke dalam.
“Temanilah dia makan minum di dalam,” kata nenek Nirahai kepada dua orang cucu lelakinya.
Ciang Bun dan Ceng Liong mengangguk, bangkit dan masuk pula. Mereka tahu bahwa nenek mereka agaknya hendak bicara dengan kakek mereka dan nenek mereka tadi memberi isyarat agar mereka meninggalkan dua orang tua itu berdua saja.
Setelah semua orang muda itu pergi, nenek Nirahai lalu menoleh kepada suaminya dan berkata dengan suara yang mengandung kekhawatiran, “Menurut penuturan Cin Liong, jumlah mereka itu ada lima puluh orang lebih, dan para pemimpinnya ada lima orang, termasuk Hek-i Mo-ong. Jadi, setelah yang seorang tewas di tangan adik Lulu, masih ada empat orang lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Aku pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Hek-i Mo-ong amat hebat, dan dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Apalagi ada tiga orang lagi temannya, dan anak buahnya berjumlah lima puluh orang.”
Sejak tadi, kakek itu menatap wajah isterinya, lalu bertanya halus sehingga sama sekali tidak ada nada yang menyinggung, “Apakah engkau merasa takut?”
Nenek Nirahai menggeleng kepalanya. “Engkau tahu bahwa aku tidak pernah mengenal rasa takut berhadapan dengan musuh yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, tetap saja aku merasa khawatir. Mereka itu berjumlah besar sekali dan keadaan mereka amat kuat. Oleh karena itu, tewasnya seorang di antara mereka saja tidak mungkin membuat mereka tidak berani datang lagi. Tidak, aku bahkan merasa yakin bahwa mereka tentu akan datang menyerbu dan kini sedang menghimpun kekuatan.”
“Dan engkau tidak takut....?”
“Memang, aku tidak takut. Jangankan baru sekian, biar ditambah tiga kali lipat lagi pun aku tidak akan undur selangkah. Akan tetapi, kita harus mengingat cucu-cucu kita....!”
Kakek itu tetap tenang saja, bahkan tersenyum memandang isterinya. Biar pun mereka sudah tua, akan tetapi senyum suaminya itu membuat nenek Nirahai menjadi merah mukanya. Belum pernah senyum dan pandang mata suaminya itu tidak membuat hatinya runtuh!
Kakek itu agaknya mengerti akan kecanggungan isterinya, maka dia pun berkata, “Engkau lebih paham dari pada aku mengenai bagaimana harus menghadapi serbuan orang banyak itu, isteriku.”
“Baiklah, serahkan saja kepadaku,” kata nenek Nirahai yang segera keluar dari ruangan itu, membiarkan suaminya sendirian menjaga peti jenazah nenek Lulu.
Ketika ia melangkah keluar istana dan memandang keluar, ke malam gelap, ke arah bintang-bintang di langit, dan merasakan hembusan angin malam pada wajahnya, membayangkan bahwa di tengah lautan itu terdapat pihak musuh yang sedang mengintai dan sewaktu-waktu akan menyerbu, wajah nenek Nirahai seketika menjadi gembira dan berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya mengulum senyum. Ia merasa seolah-olah sedang menunggang kuda sebagai seorang panglima yang sedang mempelajari keadaan dan mengatur siasat perang untuk menghadapi penyerbuan musuh yang amat kuat. Inilah dunianya. Inilah kesukaannya. Perang! Atau setidaknya, menghadapi ancaman musuh yang amat kuat, menduga-duga siasat yang diatur lawan dan merencanakan siasat tandingan untuk dapat mencapai kemenangan!
Wajah nenek Nirahai masih berseri gembira ketika ia menemui Cin Liong, Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga ia mengumpulkan lima orang pelayan, tiga pria dan dua wanita itu, mengajak mereka berkumpul di ruangan paling depan.
“Dengankan baik-baik,” ia memulai dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga akan adanya bahaya mengancam dari pihak musuh setelah mereka mendengar penuturan Cin Liong tadi. “Agaknya pulau kita ini sedang dikepung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Ada dua belas perahu besar yang memuat kurang lebih lima puluh orang, semua adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, dan mereka dipimpin oleh empat orang datuk yang sakti. Besar kemungkinan mereka itu akan datang menyerbu sewaktu-waktu, entah malam ini, entah besok pagi. Karena itu, kita sembilan orang ini haruslah bersiap-siap untuk mempertahankan pulau kita.”
“Baik, nyonya. Kami berlima akan mempertahankan pulau kita ini dengan taruhan nyawa!” jawab seorang di antara lima pelayan itu, yang wanita dan yang tertua, berusia empat puluh tahun. Empat orang temannya mengangguk penuh ketegasan karena mereka itu sudah merasa seperti anggota keluarga Pulau Es, sudah jatuh cinta dengan tempat itu dan dengan keluarga yang mereka hormati dan kagumi itu.
Melihat sikap mereka, nenek Nirahai merasa terharu dan bangga sekali. Banyak sudah ia melihat prajurit-prajurit yang dahulu menjadi anak buahnya bersikap gagah seperti ini, akan tetapi mereka adalah prajurit-prajurit yang memang bertugas untuk menghadapi musuh. Ada pula prajurit-prajurit yang kalau merasa terancam keselamatan mereka lalu lari tunggang-langgang tanpa menunggu komando lagi. Akan tetapi lima orang ini hanya pelayan-pelayan dan mereka itu hanya ketularan sedikit saja ilmu silat keluarga Istana Pulau Es. Namun dalam hal kegagahan, mereka itu sungguh patut dibanggakan!
“Bagus! Kalian harus berjaga malam ini secara bergilir. Tidak boleh semua berjaga. Cukup seorang saja meronda membantuku, yang empat orang tidur. Setiap tiga jam bergilir jaga. Ini penting karena kalian harus menyimpan tenaga. Kurang tidur bisa melelahkan dan melemahkan. Supaya dapat tidur akan kuberi obat. Nah, sekarang berpencar dan berjagalah sampai aku datang menyuruh siapa yang harus berjaga lebih dahulu. Bawa senjata kalian dan nyalakan lampu di bagian depan istana saja, lampu-lampu lainnya padamkan.”
Setelah lima orang pelayan itu pergi menjalankan tugas mereka, nenek Nirahai lalu berkata kepada tiga orang cucunya, “Hui, bawa kedua orang adikmu menjaga di luar halaman istana dan jangan pergi dari situ sebelum aku datang.”
Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong menyanggupi dan mereka pun keluar dengan sikap gagah, sedikit pun tidak nampak gentar walau pun mereka tahu bahwa tempat tinggal mereka akan diserbu musuh yang banyak jumlahnya. Setelah tiga orang anak itu pergi, nenek Nirahai lalu memberi isyarat kepada Cin Liong untuk mengikutinya. Tentu saja pemuda ini merasa heran, akan tetapi dia pun diam saja dan mengikuti nenek itu yang membawanya pergi ke halaman samping di sebelah kanan istana itu.
“Cin Liong, di antara cucu-cucuku, engkaulah satu-satunya orang yang telah dewasa, apalagi engkau adalah seorang jenderal muda yang tentu tahu akan siasat perang,” kata nenek Nirahai setelah mereka berada di halaman samping yang sunyi itu. “Maka, aku sengaja membawamu ke sini untuk kuajak berunding. Nah, terus terang saja, katakanlah bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan lawan dan apa akan jadinya kalau lawan menyerbu secara serentak mengerahkan seluruh kekuatan mereka?”
Cin Liong menarik napas panjang. “Mungkin saya terlalu lemah dan kecil hati, akan tetapi terus terang saja, kedudukan kita amat lemah dan kekuatan pihak musuh terlalu besar. Akan tetapi sulitlah bagi kita untuk dapat mengalahkan begitu banyaknya orang yang rata-rata lihai, apalagi empat orang pemimpin mereka itu. Kalau memang kita hendak menyelamatkan diri, jalan satu-satunya adalah diam-diam meninggalkan pulau ini sebelum mereka menyerbu. Menggunakan waktu gelap dan pengetahuan kong-couw sekeluarga yang tentu lebih mengenal daerah ini, agaknya masih banyak harapan bagi kita untuk meloloskan diri.”
“Kao Cin Liong!” Nenek itu menegur. “Ayahmu adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang sudah lama kukagumi sebagai orang muda yang hebat luar biasa, akan tetapi engkau putera tunggalnya menyarankan kepadaku untuk melarikan diri? Jenderal muda macam apakah engkau ini?”
Wajah pemuda itu berubah merah. “Maafkan, sesungguhnya usul saya tadi bukan semata-mata karena saya takut menghadapi kenyataan, melainkan penggambaran keadaan sebagaimana adanya, dan terutama sekali saya mengingat adanya bibi Suma Hui dan dua orang paman kecil. Saya kira amatlah sayang kalau mereka itu harus menghadapi bahaya maut dengan sia-sia dalam usia semuda itu.”
Nenek itu mengangguk-angguk. “Justeru karena itulah maka engkau kuajak ke sini, Cin Liong. Engkau tentu paham bahwa orang-orang seperti kong-couw-mu dan aku, sampai mati pun tidak nanti akan melarikan diri dari serbuan orang. Akan tetapi, aku pun tidak menghendaki cucu-cucuku yang masih muda itu menjadi korban dan mati konyol.”
“Jadi nenek menghendaki agar saya menyelamatkan mereka bertiga dan membawa mereka diam-diam pergi meninggalkan Pulau Es?” tanya Cin Liong.
“Benar, engkau harus menyelamatkan mereka. Akan tetapi bukan melarikan diri dari sini, melainkan membawa mereka bersembunyi kalau serbuan itu datang dan keadaan menjadi gawat. Tentu saja kita harus membiarkan mereka ikut menghadapi musuh. Hanya kalau kita kewalahan dan dalam keadaan darurat, engkau harus melarikan mereka dan bersembunyi.”
“Akan tetapi, di pulau seperti ini, ke mana saya dapat menyembunyikan mereka? Tentu akan dicari musuh dan akhirnya ketemu juga.”
“Marilah engkau ikut denganku,” berkata nenek itu. “Dan perhatikan benar-benar tempat persembunyian itu.”
Cin Liong mengikuti nenek itu memasuki sebuah pintu samping kecil dan mereka berhadapan dengan dinding tebal. Nenek Nirahai kemudian meloncat sampai dua meter tingginya, jari tangannya menekan langit-langit di mana nampak seekor cecak yang ternyata adalah cecak kering yang sudah mati dan bangkai yang sudah dikeraskan itu merupakan tanda rahasia tempat penekan alat rahasia pula. Terdengar suara berderit dan lantai tempat itu tiba-tiba bergeser dan nampaklah sebuah lubang.
Nenek Nirahai memasuki lubang yang merupakan anak tangga ke bawah tanah. Cin Liong mengikutinya. Begitu memasuki lubang, nenek itu memutar sebuah patung singa yang berada di kepala tangga dan lantai ruangan itu pun bergeser lagi menutupi lubang. Mereka terus menuruni lorong rahasia itu dan akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas di bawah tanah, tepat di bawah istana itu. Di situ terdapat lilin yang cukup banyak, air tawar dan bahan makanan kering yang kiranya akan cukup untuk menghidupkan tiga empat orang selama satu bulan.
“Nah, di sinilah tempat persembunyian itu. Kalau keadaan sudah mendesak, engkau harus membawa mereka ke sini. Tempat ini hanya diketahui oleh kong-couw-mu dan aku, cucu-cucuku itu tidak ada yang tahu. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menyelamatkan mereka dan membawanya ke sini kalau keadaan memaksa?”
“Saya berjanji!”
Nenek Nirahai tersenyum girang dan merangkul pemuda itu. “Bagus! Aku percaya akan janji putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu buyut keluarga Pulau Es, juga seorang pendekar dan seorang panglima muda yang gagah perkasa. Nah, Cin Liong, mari kita keluar. Ingat, andai kata mereka itu tak mau kau bawa lari sembunyi, jangan ragu-ragu, pergunakan kepandaianmu dan totok mereka, paksa mereka menyelamatkan diri ke sini. Mengerti?”
“Baik, nek. Saya mengerti.”
Mereka lalu keluar lagi dari tempat rahasia itu dan setelah nenek Nirahai menutup kembali lubang di lantai dengan cara memutar bangkai binatang cecak itu kembali menghadapi dinding, mereka lalu keluar ke halaman samping.
“Kalau mereka sudah menyerang, sebaiknya kalau kita memancing mereka ke halaman ini. Halaman ini merupakan medan pertempuran yang paling baik bagi kita. Musuh hanya dapat datang menyerbu dari depan dan kiri saja. Sebelah kanan ada bangunan, juga sebelah belakang sehingga kita yang kalah banyak tidak sampai dapat dibokong musuh. Kita mengerahkan semua kekuatan kita di sini dan melawan sekuatnya. Bagai mana pendapatmu, Cin Liong? Apakah engkau memiliki siasat lain untuk menghadapi pihak musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya itu?”
Cin Liong merasa kagum sekali kepada nenek yang dapat mengatur siasat sedemikian cepatnya, dan siasatnya itu memang merupakan penyusunan kedudukan yang paling baik. Apalagi karena tempat persembunyian yang dimaksudkan untuk menyelamatkan tiga orang cucunya ini berada dekat dengan halaman ini, sehingga praktis sekali dan kalau keadaan memaksa, dia dapat melarikan mereka ke belakang halaman melalui pintu kecil tanpa diketahui oleh pihak musuh.
“Maafkan kalau saya lancang memberi pendapat saya, akan tetapi saya kira kita bertahan di tempat ini hanya kalau sudah betul-betul terdesak. Menghadapi lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, tidakkah sebaiknya kalau kita melakukan serangan-serangan tersembunyi agar membuat mereka terpecah-pecah kekuatan mereka? Untuk itu, saya kira nenek dan saya sendiri akan mampu melakukannya, juga kalau kong-couw sudi....”
“Kong-couw-mu jangan dibawa-bawa. Bagaimana pun juga, dia tidak mau maju perang. Aku mengerti maksudmu dan memang itu baik sekali. Kalau mereka muncul, baik malam ini atau besok siang, engkau dan aku, dari dua jurusan, menyerang mereka secara sembunyi-sembunyi dengan cara pukul dan lari agar mereka kacau-balau dan terpecah-belah. Akan tetapi mengingat bahwa di antara mereka banyak terdapat orang pandai, siasat itu tidak mungkin kita lakukan terus-menerus dan akhirnya kita akan terkepung juga. Nah, kalau sudah terkepung seperti itu, kita harus cepat membawa mereka itu ke tempat ini di mana kita dapat bersama-sama menghadapi mereka dari depan dan kiri saja, dan terutama, engkau dekat dengan tempat rahasia itu.”
Cin Liong mengangguk-angguk. “Saya setuju. Dan bibi Hui bersama dua orang paman kecil, juga lima orang pelayan, dapat saja mengacau mereka dengan penyerangan-penyerangan gelap, menggunakan anak panah atau senjata rahasia lainnya dari dalam istana yang terlindung.”
Nenek itu mengangguk-angguk. “Sayang engkau dahulu tidak dapat membantuku ketika aku masih sering memimpin pasukan menghadapi para pemberontak dan pengacau. Senang sekali mempunyai seorang pembantu secerdik engkau, Cin Liong!” Wajah nenek itu berseri gembira dan semangatnya berperang timbul dan berkobar. Melihat ini, Cin Liong merasa kagum bukan main. Sungguh seorang nenek yang gagah perkasa dan luar biasa pandainya!
“Ahh, sejak kecil saya telah mendengar betapa nenek adalah seorang panglima yang amat hebat dan tidak pernah gagal dalam menumpas para pemberontak dan pengacau. Saya masih harus banyak belajar dari nenek.”
Malam itu lewat tanpa adanya penyerbuan yang dinanti-nantikan. Suasana malam itu amat menyeramkan, dengan adanya peti jenazah dan kepulan dupa, keheningan yang menggerogoti perasaan. Sebetulnya, tiga orang cucu dan para pelayan tidak mau tidur sebentar pun juga, karena dalam suasana berkabung dan berjaga-jaga itu mereka merasa tidak sepatutnya kalau mereka tidur. Akan tetapi, nenek Nirahai memaksa mereka untuk bergilir jaga dan yang tidak jaga ia beri obat sehingga mereka itu dapat tertidur. Dan hal ini memang sungguh penting karena pada keesokan harinya, semua orang merasa tubuhnya tetap segar dan tidak lelah atau mengantuk.
Pada keesokan harinya, tiga orang pelayan pria membawa senjata dayung besi mereka dan di samping itu mereka pun membawa gendewa dan anak panah. Biar pun mereka bukan ahli panah, tetapi dengan mudah mereka dapat belajar cara menggunakannya dan mereka lalu memilih tempat yang strategis di balik jendela-jendela yang menghadap ke empat penjuru, bersama dengan dua orang pelayan wanita yang memang sudah pandai mempergunakan senjata rahasia jarum.
Suma Hui sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia bersembunyi di wuwungan bersama Cin Liong sedangkan Ciang Bun dan Ceng Liong bersembunyi di balik tiang besar, bersiap dengan senjata rahasia piauw dan jarum di tangan. Nenek Nirahai sendiri tidak nampak, namun Cin Liong maklum bahwa nenek ini tentu telah menanti di suatu tempat yang tidak terduga-duga oleh pihak musuh.
Dia merasa amat heran dan kagum melihat sikap kong-couw-nya yang masih tetap duduk bersila di dekat peti jenazah, kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada bahaya apa pun yang mengancam tempat itu. Menurut perhitungannya, dan juga yang sependapat dengan nenek Nirahai, pihak musuh yang telah menerima hajaran berat oleh nenek Lulu, tidak berani ceroboh melakukan penyerangan di waktu malam gelap dan tentu menanti sampai terang tanah baru akan datang menyerang dengan pengerahan kekuatan mereka.
Perhitungan ini memang benar. Setelah cuaca di pulau itu cukup terang dan sinar matahari telah mengusir semua kabut, puluhan orang berloncatan dari dua belas buah perahu yang ternyata telah menempel di pantai Pulau Es. Mereka itu segera berlari menuju ke Istana Pulau Es dan setelah dekat mereka berpencar, terpecah menjadi empat rombongan terdiri dari sepuluh orang lebih dan masing-masing rombongan dipimpin sendiri oleh seorang di antara empat orang datuk kaum sesat! Hek-i Mo-ong sendiri memimpin rombongan dari dua belas orang menyerbu ke arah istana dari depan.
Gerakan kurang lebih lima puluh orang itu rata-rata amat cepat ketika mereka berlari ke arah istana dan setiap orang memegang senjata masing-masing. Nampaknya mereka itu amat menyeramkan dan menghadapi serbuan begitu banyak orang yang datang dari empat penjuru akan dapat mengecilkan hati orang.
Akan tetapi, tidak demikian dengan para penghuni Pulau Es, keluarga Pendekar Super Sakti. Bahkan para pelayan di Istana Puktu Es itu pun tidak ada yang merasa gentar. Mereka itu memandang dengan mata tidak pernah berkedip, yang memegang busur sudah mempersiapkan diri dan mulai memasang anak panah, yang membawa senjata rahasia telah menggenggam jarum-jarumnya, mereka menanti saat para musuh itu datang dalam jarak yang cukup dekat.
Sementara itu, Cin Liong dan tiga orang muda cucu Pendekar Super Sakti juga telah bersiap-siap. Cin Liong dan Suma Hui bersiap di atas wuwungan dan kedua orang muda Ciang Bun dan Ceng Liong siap di belakang tiang besar. Cin Liong dan tiga orang muda itu telah bersepakat. Yaitu, Ciang Bun dan Ceng Liong akan menyerang dengan senjata piauw dan jarum mereka bersama dengan serangan para pelayan yang menanti di empat penjuru.
Penyerangan ini bukan hanya dimaksudkan untuk mengenai sasaran, akan tetapi juga dimaksudkan untuk menjadi pancingan agar perhatian musuh tertuju kepada para penyerang gelap itu. Dan kesempatan itu, selagi mereka lengah, Cin Liong dan Suma Hui yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi akan turun tangan menyerang dengan senjata rahasia mereka! Siasat ini sesuai dengan apa yang direncanakan oleh nenek Nirahai.
Para penyerbu itu adalah orang-orang yang lihai, apalagi yang dipimpin langsung oleh Hek-i Mo-ong adalah orang-orang pilihan di antara para anak buah yang menyerbu. Maka ketika mereka sudah agak dekat dan dari istana itu menyambar anak panah dan senjata-senjata rahasia lainnya, mereka dapat bergerak cepat, menangkis atau pun mengelak sehingga semua anak panah, jarum dan piauw itu tidak ada yang berhasil mengenai tubuh mereka.
Akan tetapi, pada saat semua perhatian tertuju ke arah jendela dan tiang dari mana senjata-senjata rahasia tadi menyambar, tiba-tiba nampak sinar kehijauan menyambar dari atas. Itulah Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang dilepas oleh Suma Hui. Ilmu melepas Siang-tok-ciam ini adalah kepandaian khas dari nenek Nirahai yang telah menurunkan kepada dara itu.
Betapa pun lihainya dua belas orang yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong itu, menghadapi serangan gelap yang tiba-tiba dari atas ini, dua orang di antara mereka tetap saja kurang cepat menghindar dan ada jarum beracun yang mengenai pundak dan leher mereka. Mereka berteriak kesakitan dan roboh, berkelojotan dan pingsan karena jarum halus dari nenek Nirahai yang diajarkan kepada Suma Hui ini benar-benar amat ampuh.
Sementara itu di bagian kanan kiri dan belakang juga mendapat sambutan yang sama, hanya tidak begitu hebat seperti sambutan di depan. Ada anak panah yang menyambar, dan ketika mereka semua dapat menghindar, tiba-tiba dari atas menyambar anak panah berturut-turut yang amat kuat dan cepat gerakannya. Itulah anak panah yang dilepas oleh Cin Liong.
Sebagai seorang jenderal, tentu saja dia selain mahir ilmu silat tinggi, juga ahli dalam hal menggunakan busur dan anak panah. Apalagi anak panah itu dilepas selagi semua orang di bawah mencurahkan perhatian ke arah jendela. Terdengar teriakan-teriakan dan dengan busur dan anak panahnya, Cin Liong berhasil merobohkan empat orang, dua di belakang dan dua di kiri.
Yang paling sial adalah para penyerbu yang datang dari kanan. Mereka disambut anak panah dan berhasil menghindarkan diri, akan tetapi jarum-jarum beracun berhamburan sedemikian banyak dan cepatnya sehingga dari sebelas orang yang dipimpin oleh Si Ulat Seribu, yang dapat menghindarkan diri hanyalah wanita iblis ini dan enam orang, sedangkan yang lima lain roboh berkelojotan terkena jarum-jarum halus yang dilepas oleh nenek Nirahai sendiri!
Ternyata siasat yang dijalankan oleh nenek Nirahai itu lumayan juga hasilnya. Dalam segebrakan itu sebelas orang anggota gerombolan penyerbu telah dapat dirobohkan. Tentu saja hal ini membuat Hek-i Mo-ong dan tiga orang kawannya marah bukan main.
“Serbu! Bunuh semua orang yang berada di dalam istana!” teriak Hek-i Mo-ong sambil meloncat ke depan, membawa senjatanya yang mengerikan yaitu sebatang tombak Long-ge-pang (Tombak Gigi Serigala).
Kakek ini memang menyeramkan sekali. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, akan tetapi karena tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa, dia masih nampak kuat. Hek-i Mo-ong ini sebenarnya bernama Phang Kui, seorang peranakan Bangsa Kozak, ibunya seorang wanita utara yang juga bertulang besar. Rambutnya sudah putih semua, dan pakaiannya serba hitam, membuat wajahnya yang berkulit putih dan rambut, jenggot dan kumisnya yang juga putih itu kelihatan menyolok. Di pinggangnya nampak sebatang kipas merah yang ujungnya runcing.
Di samping senjata Long-ge-pang yang dipegang oleh tangan kanannya itu, kipas merah ini merupakan senjata yang sangat ampuh pula. Kipas merah ini bukan hanya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah dengan ujungnya yang runcing, akan tetapi juga merupakan alat penarik perhatian untuk melakukan sihir terhadap lawan. Di samping ilmu silatnya yang luar biasa tingginya, Hek-i Mo-ong ini terkenal sekali dengan ilmu sihirnya. Selain itu, tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata.
Orang ke dua dari para pimpinan gerombolan yang menyerbu Pulau Es adalah Ngo-bwe Sai-kong yang telah tewas oleh nenek Lulu dalam sebuah perkelahian mati-matian yang akhirnya menyebabkan keduanya mati sampyuh.
Orang ke tiga adalah Ulat Seribu, seorang wanita yang melihat keadaan wajahnya yang amat buruk hingga sukar untuk diketahui usianya. Wajah itu bopeng dan pletat-pletot, mengerikan dan bahkan menjijikkan. Wajah yang habis digerogoti penyakit kulit yang hebat. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya yang masih padat dan indah, kulit leher dan lengannya yang putih mulus maka usia wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh lima tahun.
Wanita ini peranakan Korea. Dia bersekutu dengan gerombolan ini membawa beberapa orang anak buahnya, orang-orang Korea yang bertubuh jangkung-jangkung. Si Ulat Seribu ini amat keras wataknya, dan lihai bukan main, terutama sekali ginkang-nya yang membuat ia dapat bergerak seperti terbang cepatnya. Selain itu, yang membuat lawan menjadi ngeri dan gentar adalah kebiasaannya yang aneh.
Ia suka memelihara dan membawa segala macam ulat. Dari ulat yang gundul sampai ulat-ulat berbulu dan gatal, ulat-ulat beracun. Kadang-kadang, ulat-ulat itu merayap di kedua lengannya yang putih mulus, dan ulat-ulat ini bukanlah ulat sembarangan yang dipelihara sebagai hobby belaka. Ulat-ulat itu adalah ulat beracun dan dapat ia gunakan sebagai senjata untuk merobohkan lawan!
Keadaan yang mengerikan inilah yang membuat dia dikenal dengan sebutan Si Ulat Seribu saja, dan tidak ada orang lain yang mengenal namanya. Di samping ulat-ulat beracun, wanita ini terkenal ahli bermain silat dengan sabuk merahnya yang pada ujungnya terdapat kaitan-kaitan dari emas.
Orang ke empat bernama Liok Can Sui, berjuluk Eng-jiauw Siauw-ong, berusia enam puluh tahun. Dia memang ketua dari perkumpulan Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda), sebuah perkumpulan perampok yang amat ditakuti orang, yang berkedudukan di daerah Se-cuan. Siauw-ong (Raja Muda) ini sangat lihai ilmunya, dan ganas sekali senjatanya, yaitu sepasang sarung tangan kuku garuda dan di samping itu dia pun merupakan seorang ahli racun yang ampuh.
Datuk ke lima berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak ganteng dengan pakaiannya yang mewah dan pesolek. Dia memang pantas dan berhak memakai julukan Siauw-ok (Si Jahat Kecil) karena dialah satu-satunya orang yang mewarisi ilmu dari Im-kan Ngo-ok yang telah terbasmi dan tewas semua.
Jai-hwa Siauw-ok ini dahulunya merupakan seorang pria tampan yang menjadi kekasih dari Ji-ok, tokoh nomor dua dari Im-kan Ngo-ok. Karena pandai menyenangkan hati iblis betina itu, dia mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Ji-ok, di antaranya adalah Kiam-ci (Jari Pedang). Bahkan melalui wanita tua yang tergila-gila padanya itu, dengan jalan mencuri, dia dapat pula mempelajari Ilmu Silat Thian-te Hong-i dari Sam-ok, dan juga pukulan Hoa-mo-kang (Katak Buduk) yang lihai dari Su-ok.
Sesuai dengan julukannya Jai-hwa (Pemetik Bunga), datuk ini memang mempunyai kelemahan, yaitu mata keranjang. Setiap kali melihat wanita muda yang menggerakkan nafsu birahnya, tentu dia akan turun tangan memperkosanya, tidak perduli anak orang atau isteri orang!
Empat orang datuk yang merasa marah oleh karena seorang rekan mereka, Ngo-bwe Sai-kong telah tewas di Pulau Es, dan kini melihat dalam segebrakan saja ada sebelas orang anak buah mereka roboh, menjadi penasaran. Mereka lalu memimpin sisa anak buah mereka yang masih cukup banyak itu untuk menyerbu.
Akan tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari para penghuni Pulau Es. Dan sesuai dengan siasat nenek Nirahai, Cin Liong, Suma Hui, Suma Ciang Bun dan juga Suma Ceng Liong kini menerjang keluar dan mengamuk di antara para anak buah gerombolan. Nenek Nirahai sendiri pun sudah menerjang turun dari atas wuwungan samping dan begitu pedang payungnya bergerak, beberapa orang sudah terpelanting dan roboh tewas seketika!
Cin Liong juga mengamuk. Dia telah memegang sebatang pedang yang dipilihnya dari rak senjata di Istana Pulau Es. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan biar pun para anak buah gerombolan itu adalah orang-orang pilihan, namun amukannya membuat tiga orang roboh binasa mandi darah!
Suma Hui pun tak mau kalah. Dara ini mengamuk, menggunakan sepasang pedangnya dan sudah ada seorang lawan tewas dan seorang lagi luka berat. Suma Ciang Bun juga mengamuk dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang baru diperdalam itu untuk mengamuk. Pemuda ini berhasil merobohkan seorang lawan pula.
Suma Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu juga turut membantu keluarganya, menggunakan sebatang tombak dan anak ini memang mengagumkan sekali. Seorang anggota gerombolan yang bersenjata golok besar menyerangnya kalang-kabut, namun anak ini memainkan tombaknya sedemikian rupa sehingga ke mana pun golok itu menyambar, selalu tertangkis atau hanya mengenai tempat kosong belaka, sedangkan ujung tombak itu pun kadang-kadang melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya!
Setelah mengamuk bagaikan naga-naga besar kecil yang menyerbu turun dari angkasa, dan merobohkan separuh dari jumlah para penyerbu, akhirnya Hek-i Mo-ong dan tiga orang rekannya berhasil mengepung dan mendesak mereka mundur. Bahkan lima orang pelayan yang tadi melawan mati-matian itu pun sudah roboh satu demi satu dan tewas dengan tangan masih memegang senjata, seperti prajurit-prajurit yang gagah perkasa.
Nenek Nirahai kemudian menyambar tubuh Ceng Liong yang terancam bahaya dan membawanya melompat masuk halaman samping. Cin Liong juga memutar pedangnya melindungi Ciang Bun yang didesak oleh Eng-jiauw Siauw-ong, sedangkan Jai-hwa Siauw-ok yang sejak tadi kagum akan kecantikan Suma Hui telah menerjang dara itu, akan tetapi tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hendak menangkapnya hidup-hidup. Keluarga Pulau Es itu mundur semua sampai di halaman samping dan di sini mereka semua mengamuk mati-matian...