CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
SERIAL BU KEK SIANSU
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES JILID 05
"Ehhh....!"
Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa dara ini adalah cucu dari Pendekar Super Sakti dan memiliki kepandaian yang tidak lumrah gadis lainnya. Akan tetapi sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dapat meloloskan diri secara tiba-tiba seperti itu!
Pada saat itu, Suma Hui sudah meloncat bangkit berdiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya, menampar ke arah kepala Siauw-ok.
“Hyaaaaatttt....!”
Dara itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Karena pukulan dilakukan dari jarak dekat dan perahu itu amat kecil sehingga tidak mungkin bagi Siauw-ok untuk mengelak lagi, maka Siauw-ok terpaksa mengangkat lengannya menangkis, menjaga agar jangan sampai tenaganya terlalu besar dan melukai dara yang membuatnya tergila-gila ini.
“Dukkkkk....!” Tubuh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terjongkok dan menggigil kedinginan!
Kiranya dara itu telah mempergunakan tenaga yang belum lama dilatihnya di Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang amat hebat. Untung bagi Jai-hwa Siauw-ok bahwa gadis itu belum matang benar latihannya karena andai kata demikian, dia akan menderita luka dalam yang parah.
Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mengumpulkan hawa murni untuk melindungi tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Dia merasa berbuat salah sendiri karena terlalu memandang ringan sehingga hampir celaka. Bagaimana pun juga, tenaganya masih lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dara itu, maka kalau tadi dia mengerahkan seluruh tenaga, tentu dia lebih kuat.
“Haiiiittt....!”
Melihat pukulannya yang pertama hanya membuat lawan terjongkok, Suma Hui merasa penasaran dan dia pun sudah menyerang lagi dengan dua kali hantaman tangan kanan lurus-lurus ke arah dada lawannya.
Kembali Siauw-ok terpaksa menangkis, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan sinkang dan mempergunakan tenaga kasar dan panas yang lebih kuat untuk mengimbangi hawa dingin yang terkandung dalam pukulan dara itu.
“Dessss....!”
Dua tenaga dahsyat bertemu melalui lengan mereka dan akibatnya, tubuh Siauw-ok terdorong keras dan terpelanting keluar dari perahu.
“Byuuurrr....!”
Siauw-ok yang terjungkal ke air menyelam. Dia terkejut bukan main karena ternyata dara itu tidak lagi mengerahkan tenaga berhawa dingin, melainkan pukulannya tadi mengandung hawa panas dan kekuatan yang amat hebat. Dia tidak tahu bahwa itulah ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api).
Karena keras bertemu keras dan tenaganya kalah ampuh, ditambah lagi kekagetannya ketika merasa betapa ada hawa panas membakar tubuhnya melalui lengan, maka tubuh Jai-hwa Siauw-ok terlempar dan terpelanting ke dalam lautan. Tentu saja hati Suma Hui merasa lega dan girang sekali dan cepat ia mengambil tali kemudi untuk mengemudikan layar perahu.
“Krakkk....!”
Tiba-tiba tiang layar yang tidak berapa besar itu patah. Kiranya Siauw-ok telah muncul di balik perahu dan memukul patah tiang layar itu dengan tangannya.
“Iblis jahat kau!” Suma Hui memaki dan cepat menyambar dayung untuk menyerang kepala yang muncul di permukaan air itu.
“Pratttt....!”
Air muncrat ke atas, akan tetapi kepala itu lenyap dan dayung hanya memukul air. Suma Hui tidak perduli lagi dan hendak mendayung perahu kccil itu, akan tetapi tiba-tiba perahu itu terguncang keras dan terbalik! Tentu saja dara itu pun terlempar dan terjatuh ke air.
“Byuuurrr....!”
Air muncrat lagi dan Suma Hui cepat menggerakkan kaki tangannya untuk mencegah tubuhnya tenggelam.
“He-he-he, nona manis....!” Mendadak ada lengan yang merangkul pinggangnya yang ramping.
“Lepaskan, jahanam!” Suma Hui menjerit dan memukul ke belakang.
Akan tetapi Siauw-ok yang lebih pandai bermain di air itu telah menyelam. Dan tiba-tiba Suma Hui menjerit ketika kakinya ada yang menangkap dari bawah dan terus tangan itu menyeretnya ke bawah permukaan air! Dara itu meronta-ronta dan mencoba untuk menendang atau memukul. Terjadi pergumulan di dalam air.
Suma Hui melawan mati-matian dan berusaha sedapat mungkin. Namun, ternyata ia jauh kalah mahir sehingga ia gelagapan dan banyak menelan air laut. Apalagi Siauw-ok menggumulnya sehingga di samping ia memang kalah pandai, juga ia merasa jijik dan geli merasa betapa dirinya dirangkul dan dipeluk. Akhirnya ia terkulai pingsan!
Masih untung baginya bahwa ambisi Siauw-ok untuk membanggakan kemenangan dan menyombongkan dirinya demikian besarnya sehingga biar pun melihat dara itu dengan pakaian basah kuyup nampak amat merangsang, pakaian basahnya melekat ketat pada tubuhnya yang padat, namun penjahat cabul itu tidak menuruti nafsu birahinya dan bertahan diri, tidak memperkosanya. Siauw-ok membawa Suma Hui kembali ke dalam perahu yang telah kehilangan layarnya itu, menotoknya kembali dan sekarang dengan bersungut-sungut dia mendayung perahunya melanjutkan perjalanan.
Pada suatu senja, perahunya berlabuh di sebuah pantai yang sunyi di sebelah selatan kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung. Siauw-ok menarik perahunya ke pantai, kemudian memondong tubuh Suma Hui yang masih tertotok, lalu membawanya berlari memasuki sebuah hutan yang telah mulai gelap. Setelah malam tiba, nampak Siauw-ok memasuki sebuah pekarangan depan rumah yang berdiri terpencil di luar kota Ceng-to.
Rumah itu bercat merah yang mungil. Bagi para laki-laki hidung belang di kota Ceng-to, rumah ini amat terkenal karena rumah ini merupakan rumah milik Ang Bwee Nio-nio, seorang bekas pelacur kenamaan yang kini telah berusia empat puluh tahun dan telah mengalihkan pekerjaannya dari seorang pelacur kenamaan menjadi seorang mucikari kenamaan pula. Hampir semua pelacur di daerah Ceng-to mengenalnya. Dan pelacur mana pun juga akan merasa terhormat kalau dipanggil oleh mucikari ini karena para langganan dari Ang Bwee Nio-nio hanyalah orang-orang besar yang berkedudukan penting atau yang kaya raya saja.
Karena sejak sore tadi hujan turun dan sekarang pun masih gerimis, rumah pelacuran itu sunyi. Memang Ang Bwee Nio-nio tidak pernah menyediakan pelacur di rumahnya. Ia hanya memanggil pelacur-pelacur yang dipesan para langganannya saja, menyediakan kamar-kamar yang cukup mewah dan bersih, dan juga melayani makan minum yang cukup lengkap dan lezat. Ia hanya hidup bersama dua orang pelayan yang tinggal di situ, pelayan-pelayan wanita setengah tua.
Ketika Jai-hwa Siauw-ok mengetuk pintu depan, terdengar suara jawaban dari dalam dan tak lama kemudian daun pintu dibuka orang. Seorang wanita berpakaian pelayan memandang dan wajahnya segera berubah ramah.
“Aih, kiranya Ouw-taiya (tuan besar Ouw) yang datang. Tapi.... tapi mengapakah nona ini....?” katanya menunjuk kepada Suma Hui di atas pundak Siauw-ok.
“Jangan ribut. Apakah malam ini banyak tamu?”
“Sepi, taiya, habis hujan.”
“Tutupkan daun pintunya dan malam ini tidak boleh menerima tamu, katakan saja toanio sakit. Mengerti?” Pandang mata Siauw-ok penuh ancaman.
“Baik, taiya....!” kata pelayan itu takut-takut.
“Di mana toanio? Panggil ia keluar.”
Pelayan itu berlari masuk setelah menutupkan daun pintu. Tak lama kemudian nampak seorang wanita datang setengah berlari. Ia sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi masih pesolek. Pakaiannya indah, mukanya berbedak tebal, alisnya dicukur dan dilukis, bibirnya diberi gincu merah, demikian pula kedua pipinya. Memang dia bekas seorang wanita yang cantik menarik. Inilah Ang Bwee Nio-nio, dahulu terkenal sebagai Ang Bwee (Bunga Bwee Merah), pelacur tingkat tinggi di Ceng-to.
“Ahhh, baru sekarang engkau muncul, Ouw-koko....!” Wanita itu segera menghampiri Siauw-ok dan merangkul dengan sikap manja dan mesra.
Memang ia adalah kekasih lama Siauw-ok, tetapi sudah lama Siauw-ok meninggalkan dan menjauhinya. Ketika dirangkul oleh wanita ini dan mencium bau wangi semerbak yang menusuk hidung, Siauw-ok mengerutkan alisnya dengan sebal dan tangannya lalu mendorong!
Untung wanita itu agaknya bukan wanita sembarangan sehingga dorongan yang akan merobohkan setiap orang yang bertubuh kuat itu hanya membuatnya agak terhuyung. Wanita itu pun dapat cepat menggeser kaki memasang kuda-kuda sehingga tubuhnya tidak sampai terpelanting.
“Ouw-koko....!” Dalam seruan ini terkandung rasa penasaran dan kedukaan yang besar walau pun pandang mata wanita itu terhadap Siauw-ok masih terkandung kemesraan dan rasa sayang yang amat besar. “Kenapa kau....?”
“Sudahlah, jangan ganggu aku, Ang Bwee. Aku lelah sekali. Kau tahu dari mana aku datang dan siapa adanya gadis ini?”
Ketika wanita itu menggelengkan kepala dan memandang kepada Suma Hui dengan mata terbelalak dan rasa ingin tahu, sambil tersenyum penuh kebanggaan Siauw-ok lalu menyambung, “Aku baru saja kembali dari penyerbuan ke Pulau Es, dan gadis yang kutawan ini adalah cucu perempuan Pendekar Super Sakti.”
“Ahhhh....!” Mata wanita itu terbelalak dan ia nampak terkejut bukan main.
“Nah, jangan ganggu aku. Cepatlah kau sediakan kamar untuk gadis ini dan lebih dulu ambilkan belenggu kaki tangan dari baja. Engkau masih punya, bukan? Yang biasa untuk membelenggu gadis yang bandel. Cepat ambil sepasang.”
Ang Bwee Nio-nio mengangguk-angguk lalu berlari ke dalam. Tak lama dia sudah keluar kembali dan membawa sepasang belenggu kaki tangan dari baja yang memakai kunci. Belenggu-belenggu itu lalu dikenakan pada kaki tangan Suma Hui dengan amat cekatan oleh wanita itu.
“Sekarang, bawa dara ini ke kamarnya, kemudian layani aku makan minum sepuasku. Aku akan menceritakan kesemuanya padamu sampai kau puas, Ang Bwee.”
Wanita itu menerima tubuh Suma Hui yang masih dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya terbelenggu, memandang wajah yang jelita dan meraba tubuh yang padat itu lalu menarik napas panjang. “Seorang gadis yang indah sekali, Ouw-koko.”
“Ha-ha-ha, kau kira bagaimana? Kalau tidak demikian, perlu apa aku bersusah payah membawanya? Sudah, simpan ia baik-baik dan aku mau mandi dan bertukar pakaian dulu.”
Dengan gembira Siauw-ok kemudian mandi dan bertukar pakaian. Sedangkan wanita itu memondong tubuh Suma Hui, dibawanya masuk ke dalam sebuah di antara kamar-kamar rumahnya dan merebahkan dara itu di atas pembaringan.
Sebetulnya sejak tadi Suma Hui sadar, akan tetapi dara ini berpura-pura tidak sadar dan bergantung lemas. Ketika kaki tangannya dibelenggu, diam-diam ia mengeluh. Selama ini ia selalu mencari kesempatan, akan tetapi semenjak perlawanannya di atas perahu sampai ia ditawan kembali, Siauw-ok selalu memperhatikannya dan amat teliti. Dan sekarang, kaki tangannya malah dibelenggu, dengan belenggu baja sehingga andai kata ia dapat memperoleh kesempatan dan totokan ini tidak lagi menguasai dirinya, sukarlah baginya untuk membebaskan diri dari belenggu ini.
Wanita itu merebahkannya terlentang di atas pembaringan. Dan betapa kaget rasa hati Suma Hui ketika rantai belenggu kaki tangannya itu dikaitkan kepada kaitan-kaitan yang sudah tersedia di pembaringan itu sehingga kaki dan tangannya terpentang dengan masing-masing tangan dan kaki terikat pada kaitan di empat penjuru pembaringan!
Sebagai seorang wanita kang-ouw yang sudah banyak mendengar tentang kejahatan kaum sesat, ia mengerti bahwa kini dirinya terancam bahaya yang amat hebat bagi seorang wanita. Bahaya pemerkosaan! Dan ia tidak akan mampu mempertahankan diri!
Ngeri sekali rasa hatinya membayangkan hal ini, akan tetapi segera kekerasan hatinya dapat menguasai dirinya lagi. Biarlah. Ia akan selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari malapetaka itu, akan tetapi andai kata semua itu terjadi pula, ia akan pura-pura memyerah, kemudian jika kesempatan terbuka, ia akan membunuh musuhnya sebelum membunuh diri untuk mencuci noda dan aib yang menimpa dirinya!
Setelah mengikatkan kaki dan tangan Suma Hui pada kaitan-kaitan di empat sudut pembaringan, Ang Bwee Nio-nio bersungut-sungut sambil memandangi tubuh gadis itu. “Dasar laki-laki yang tak mengenal budi! Maunya bersenang-senang saja, bahkan tidak segan-segan menusuk hatiku dengan menolak diriku dan lebih memilih bocah dari musuh besar. Sungguh merupakan penghinaan yang tiada taranya! Ouw Teng, kalau sekali ini engkau tak memperdulikan diriku, engkau pun tak akan dapat menikmati gadis ini....!”
Setelah berkata demikian, wanita itu lalu pergi keluar kamar dan menguncikan pintu kamar itu dari luar. Tentu saja Suma Hui yang ditinggal seorang diri itu menjadi gelisah. Sudah dikerahkannya tenaganya untuk membebaskan diri dari totokan, namun belum juga ia berhasil. Kalau sudah bebas dari totokan, setidaknya ia akan dapat berusaha membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Memang sedikit sekali kemungkinan akan berhasil, akan tetapi setidaknya ia dapat berusaha dan melakukan sesuatu, tidak seperti sekarang ini, rebah terlentang tak berdaya sama sekali!
Tak lama kemudian, Suma Hui dapat mendengar suara-suara dari sebelah kanan. Ia mengangkat muka dan menoleh dan ternyata suara itu datang dari lubang-lubang angin di dinding kamar. Ia dapat mengenal suara Siauw-ok yang dibencinya dan suara wanita tadi. Mereka sedang pesta makan minum agaknya!
Terdengar suara Siauw-ok menceritakan tentang penyerbuan di Pulau Es itu diselingi suara ketawa-ketawa bangga dan seruan-seruan heran si wanita. Agaknya Siauw-ok banyak minum arak karena terdengar berkali-kali Ang Bwee Nio-nio memerintahkan pelayan mengambilkan guci arak baru.
Kemudian, setelah cerita itu habis, terdengar suara wanita itu membujuk dan merayu. Lalu terdengar kata-kata keras Siauw-ok menolak. Mereka lalu bercekcok dan lapat-lapat terdengar oleh Suma Hui suara keras seperti orang ditampar disusul jerit tertahan si wanita.
“Pergilah, dan jangan ganggu aku, ha-ha-ha! Aku harus mengumpulkan tenaga untuk tawananku.” Terdengar Siauw-ok tertawa-tawa keras.
Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati semakin tegang. Sejak tadi ia terus berusaha dan akhirnya kini ia mulai dapat menggerakkan kaki tangannya. Pengaruh totokan itu sudah mulai berkurang dan sebentar lagi ia akan bebas dari pengaruh totokan! Mulailah ia mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat sinkang-nya dan pada saat ia berhasil mengusir sama sekali pengaruh totokan dan jalan darahnya sudah lancar kembali ke seluruh tubuhnya, tiba-tiba saja daun pintu terbuka perlahan.
“Ahhh....!” Suma Hui menahan jeritnya.
Dia cepat memejamkan mata, mengintai dari balik bulu matanya. Jika terpaksa ia harus menderita mala petaka hebat itu, maka ia akan membuat dirinya pingsan dan untuk ini ia sudah siap siaga. Ia tahu bagaimana caranya mematikan rasa atau membuat dirinya pingsan.
Tetapi, hatinya terasa lega dan juga heran ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah wanita itu! Dia melihat betapa wanita itu menangis. Air matanya masih membasahi pipi dan mata, dan pipi kanan wanita itu membengkak! Kiranya wanita ini tadi datang untuk melampiaskan dendam terhadap Siauw-ok kepadanya. Bukankah tadi sebelum pergi ia telah menyatakan bahwa ia akan menghalangi Siauw-ok agar tidak dapat menikmati gadis tawanannya? Bukankah itu berarti wanita ini hendak membunuhnya?
Dan ia tidak akan dapat melawan sedikit pun juga, walau jalan darahnya telah pulih kembali. Paling banyak ia hanya akan dapat mengerahkan sinkang ke arah tubuh yang diserang, membuat bagian tubuh itu kebal. Akan tetapi wanita ini agaknya bukan wanita sembarangan pula dan tentu akan tahu bagaimana caranya untuk membunuh orang yang memiliki kekebalan.
Kini Ang Bwee Nio-nio menghampiri pembaringan, dan sejenak dia berdiri memandangi wajah dan tubuh Suma Hui. Dan terdengarlah suaranya berbisik-bisik, “Aku mendengar bahwa Pendekar Super Sakti sekeluarga adalah pendekar-pendekar yang selain amat sakti juga memiliki watak yang budiman, sudah banyak menolong manusia lain. Aku sendiri sejak kecil bergelimang kejahatan. Biarlah dalam kekecewaan dan penghinaan ini aku melakukan suatu kebaikan, mungkin aku diperalat oleh Thian untuk membalas segala kebaikan keluarga Pendekar Super Sakti.”
Setelah berkata demikian, wanita itu mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Suma Hui sudah bersiap-siap, menyangka bahwa wanita itu tentu akan mengeluarkan senjata tajam. Akan tetapi, yang dikeluarkan ternyata sebuah kunci dan dengan cekatan wanita itu lalu membuka belenggu kedua kaki dan tangan Suma Hui!
Gadis ini terkejut, girang dan heran, akan tetapi sekali meloncat, ia telah turun dari pembaringan. Tentu saja Ang Bwee Nio-nio terkejut juga dan makin percayalah wanita ini akan kehebatan gadis cucu Pendekar Super Sakti itu. Siapa duga bahwa gadis yang kelihatan sama sekali tak berdaya itu, begitu dibuka belenggunya, sudah dapat bergerak sedemikian gesitnya.
“Ssstt, nona. Engkau harus cepat melarikan diri dari tempat ini....,” bisiknya.
“Terima kasih atas pertolonganmu,” kata Suma Hui kembali.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa diikuti langkah-langkah kaki menuju ke kamar itu.
“Ssttt, dia datang. Biar aku mencoba mencegahnya masuk,” kata Ang Bwee Nio-nio.
Dan ia pun cepat membuka daun pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintunya. Suma Hui yang maklum akan kelihaian Jai-hwa Siauw-ok, sudah meloncat lagi ke atas pembaringan dan pura-pura rebah tak berdaya, memasangkan kembali rantai belenggu seolah-olah masih tetap mengikatnya. Ia harus menggunakan siasat, pikirnya. Menyerang tokoh sesat itu secara berterang, jelas ia tidak akan menang. Biarlah ia akan menyerang tiba-tiba sebelum orang itu tahu bahwa ia telah bebas.
Ia mendengar kembali suara Ang Bwee Nio-nio membujuk-bujuk dan merayu di luar kamar, seolah-olah hendak menyeret Siauw-ok yang setengah mabok itu agar pergi ke kamarnya sendiri. Akan tetapi terdengar Siauw-ok menolak dan mereka pun cekcok lalu terdengar suara perkelahian di luar kamar!
Ahh, mereka berkelahi, pikir Suma Hui. Inilah saatnya yang baik untuk turun tangan, membantu Ang Bwee Nio-nio mengeroyok Siauw-ok yang lihai. Ia menoleh ke kanan kiri mencari senjata, akan tetapi di dalam kamar yang biasa dipergunakan orang untuk pelesir dan bermain cinta itu mana ada senjata? Ia lalu nekat, dengan tangan kosong ia akan menerjang keluar dari pintu.
Akan tetapi kedatangannya terlambat. Pada saat ia muncul, Jai-hwa Siauw-ok dengan tubuh setengah berjongkok sudah memukulkan kedua tangannya ke arah dada Ang Bwee Nio-nio dan wanita itu terjengkang, dari mulutnya muntah darah segar! Siauw-ok sudah memukul bekas kekasihnya sendiri dengan sebuah pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya secara curian dari Su-ok. Pukulan ini jahat sekali dan wanita itu tidak kuat menerimanya, terjengkang, terbanting dan tewas seketika.
Suma Hui sudah marah sekali, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang. Karena maklum akan kelihaian lawan, Suma Hui segera mainkan gabungan Ilmu Silat Pat-mo-kun dan Pat-sian-kun, karena baru ilmu inilah yang pernah dipelajarinya secara mendalam. Gerakannya lincah sekali dan kedua tangannya diisi dengan kedua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berganti-ganti.
“Ha-ha-ha, engkau sudah siap untuk menyambutku, nona manis? Ha-ha-ha, mari kita main-main sebentar sebelum engkau kutangkap dan sekarang harus kupaksa engkau untuk melayaniku, mau atau tidak mau!” Di dalam kata-kata ini terkandung ejekan dan juga ancaman karena tokoh sesat ini benar-benar merasa jengkel melihat betapa gadis cucu Majikan Pulau Es ini berkali-kali dapat melepaskan diri dan merepotkannya saja.
Akan tetapi dia pun terkejut melihat ilmu silat yang sangat hebat itu. Juga dia harus berhati-hati terhadap sinkang yang bisa berubah-ubah sifatnya itu, dari lembek menjadi keras, dari dingin menjadi panas. Bagaimana pun juga, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dan Suma Hui masih kurang matang ilmu-ilmunya, maka setelah bertanding selama lima puluh jurus lebih, mulailah dara itu terdesak hebat.
“Ha-ha, menyerahlah, manis. Perlu apa kau habiskan tenagamu? Masih kau butuhkan untuk melayani aku nanti, ha-ha-ha!” Kata-kata Siauw-ok makin cabul karena birahinya semakin bernyala, terdorong oleh arak dan juga oleh perkelahian itu.
Beberapa kali Suma Hui terhuyung. Diam-diam gadis ini mengambil keputusan bahwa sebelum ia tertawan, lebih baik ia membunuh diri saja. Ia akan melawan terus sampai napas terakhir. Pendeknya, ia hanya mempunyai dua pilihan. Lolos atau mati, dan tidak akan membiarkan dirinya tertawan kembali!
Tiba-tiba Siauw-ok mengeluarkan suara tawa dan tubuhnya lenyap, menjadi berpusing seperti gasing! Suma Hui terkejut dan menjadi bingung. Ilmu silat macam apakah ini? Tubuh orang itu berpusing sehingga ia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya dan dari dalam pusingan itu kadang-kadang mencuat cengkeraman tangan yang hendak menangkapnya dan jari-jari yang hendak menotoknya.
Dara itu tidak tahu bahwa itulah Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), ilmu curian yang berasal dari ilmu yang dimiliki Sam-ok. Sebelum Suma Hui dapat mengelak, tangan kanannya telah kena ditangkap! Gadis ini terkejut sekali, akan tetapi kembali pergelangan kirinya kena ditangkap! Ia menjadi gugup, tidak dapat ia membunuh diri setelah kedua tangannya ditangkap.
“Jahanam busuk, lepaskan dia!”
Tiba-tiba saja ada angin menyambar dahsyat ke arah kepala Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang datangnya dari belakang. Demikian hebatnya angin itu menyambar sehingga Siauw-ok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa serangan yang ditujukan dari belakang ke arah kepalanya itu merupakan pukulan maut, maka terpaksa dia harus melepaskan cengkeramannya pada pergelangan kedua tangan gadis itu. Dia lalu membalik sambil merendahkan tubuhnya dan menggunakan kedua lengannya menangkis ke depan.
“Dessss....!”
Tubuh Siauw-ok terdorong ke belakang dan dia pun terhuyung. Dengan mata terbelalak dia memandang kepada penyerangnya. Bukan main kagetnya ketika mengenal pemuda ini sebagai putera Naga Sakti Gurun Pasir yang dilihatnya telah terlempar ke lautan dalam badai itu!
“Cin Liong....!” Teriakan Suma Hui ini terdengar penuh dengan rasa haru, gembira dan terkejut. Bukankah pemuda itu dikabarkan telah tewas?
“Cin Liong, jangan lepaskan jahanam itu!”
Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang agaknya melihat gelagat buruk, sudah menggerakkan kedua lengannya ke depan, ke arah dua orang muda itu. Terdengar bunyi bercuitan dan melihat ini, Cin Liong terkejut sekali.
“Hui-i.... awas....!”
Dan dia pun sudah menubruk maju dan menggerakkan kedua lengan menghadang dan menangkis pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan itu. Itulah Ilmu Jari Pedang atau Kiam-ci yang amat ampuh. Akan tetapi ketika tertangkis, kembali Siauw-ok terdorong ke belakang dan tiba-tiba tubuhnya telah meloncat keluar pintu, menggunakan kesempatan selagi Cin Liong melindungi Suma Hui dan menjauhi pintu tadi.
“Kejar dia....!” Suma Hui yang amat membenci pria itu berteriak.
Cin Liong juga meloncat mengejar. Akan tetapi, karena di luar gelap dan Siauw-ok tidak nampak lagi bayangannya, juga tidak diketahui ke arah mana larinya, dia pun kembali memasuki pondok itu.
Di situ dia melihat dua orang pelayan wanita setengah tua berlutut dan menangisi mayat seorang wanita yang mukanya penuh darah yang dimuntahkan dari mulutnya sendiri, sedangkan Suma Hui juga berlutut dan memeriksa wanita itu.
Dara itu bangkit berdiri ketika melihatnya, dan bertanya, “Bagaimana dengan jahanam itu?”
Cin Liong mengangkat dua pundaknya dan mengembangkan lengannya. “Di luar amat gelap dan dia sudah menghilang seperti setan.”
“Sayang....,” kata Suma Hui sambil menudingkan telunjuk ke arah mayat itu. “Ia adalah pemilik rumah ini dan ia telah berusaha menolong dan membebaskan aku.” Lalu Suma Hui mengguncang pundak seorang pelayan sambil bertanya, “Bibi, siapakah penjahat kejam itu tadi? Katakan padaku karena aku akan mencari dan membalaskan kematian majikan kalian.”
“Dia adalah teman lama dari toanio, seorang langganan yang sangat baik. Namanya Ouw-taiya.... Ouw Teng....”
“Dan julukannya adalah Jai-hwa Siauw-ok,” sambung orang ke dua.
Mendengar disebutnya julukan ini, Cin Liong kemudian mengerutkan alisnya. “Jai-hwa Siauw-ok....?”
“Engkau mengenal nama itu?” Suma Hui bertanya.
Cin Liong mengangguk, lalu berkata, “Hui-i, marilah kita pergi dari sini dan nanti kita bicara.”
Suma Hui mengangguk dan tanpa pamit mereka lalu pergi berloncatan meninggalkan dua orang pelayan wanita yang masih menangisi mayat Ang Bwee Nio-nio itu. Karena Suma Hui telah kehilangan semuanya, bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya sudah amat kotor dan kusut, Cin Liong mengajaknya untuk memasuki kota Ceng-to dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menggunakan dua kamar yang berdampingan.
Suma Hui hanya mengangguk menyetujui. Dia hanya dapat memandang dan menerima dengan penuh rasa haru dan terima kasih ketika pemuda itu datang membawakan beberapa stel pakaian baru untuknya, yang dibeli oleh pemuda itu dari toko.
“Cin Liong, sekarang ceritakanlah tentang adik-adikku. Apakah engkau melihat mereka? Bagaimana keadaan mereka?”
Pertanyaan ini sebetulnya sudah sejak ia bertemu dengan Cin Liong ingin ditanyakan, akan tetapi selalu ditahannya karena ia merasa ngeri untuk mendengar yang buruk-buruk. Kini, pertanyaan itu diajukan dengan suara penuh getaran dan sepasang mata itu memandang penuh duka dan gelisah. Semua ini terasa sekali oleh Cin Liong ketika dia mendengar pertanyaan itu.
Mereka duduk berhadapan di ruangan luar kamar mereka. Malam itu amat sunyi karena rumah penginapan itu pun sepi dan kosong. Mereka menghadapi meja dan saling pandang di bawah penerangan lampu gantung.
Wajah gadis itu nampak amat memelas bagi Cin Liong. Rambutnya masih kusut tidak tersisir rapi dan pakaian yang dipakainya itu tentu saja tidak cocok benar karena dibelinya dari toko, agak kelonggaran. Wajah yang cantik itu agak pucat dan matanya membayangkan kegelisahan yang mendalam.
Rasa iba menyelubungi sanubari Cin Liong. Ingin dia memegang kedua tangan yang diletakkan di atas meja itu, ingin dia merangkul dan menghibur gadis ini. Tapi gadis ini adalah bibinya! Bibinya!
Cin Liong menundukkan pandang matanya dan menarik napas panjang. Kemudian dia mengangkat muka memandang dan dari sinar matanya terpancar rasa iba.
“Sayang sekali, aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaan mereka, Hui-i. Ketika kalian dikeroyok di atas perahu, aku telah lebih dulu terlempar keluar dan tercebur ke lautan, ditelan badai dan hanya kekuasaan Thian sajalah yang dapat menyelamatkan aku dari bencana maut di lautan yang ganas itu. Aku tidak melihat bagaimana keadaan kedua paman itu.” Lalu dia menceritakan pengalamannya ketika terlempar ke lautan sampai dia berhasil selamat dan akhirnya naik papan dan mendarat.
“Jadi engkau sama sekali tidak tahu bagaimana nasib kedua orang adikku?” Gadis itu memejamkan matanya dan menghapus air mata yang mulai menetes turun. “Menurut penuturan jahanam Siauw-ok itu, mereka.... mereka mungkin telah tewas. Ciang Bun terlempar ke lautan sedangkan Ceng Liong ditawan oleh Hek-i Mo-ong.”
“Ahh!” Cin Liong mengepal tinju, “mereka itu orang-orang jahat. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mencari dan membasmi mereka semua itu!”
“Aku pun tidak akan berhenti sebelum menumpas mereka!” Suma Hui mengepal tinju, teringat akan kehancuran keluarga Pulau Es. Kemudian dipandangnya pemuda perkasa itu dan ia pun bertanya, “Bagaimana engkau dapat tiba di pondok itu dan menolongku, Cin Liong?”
“Hanya kebetulan saja, Hui-i. Baru kemarin aku mendarat dan memasuki kota. Setelah berganti pakaian dan memulihkan kekuatan, siang tadi aku mendatangi pantai di luar kota Ceng-to, untuk menyelidiki kalau-kalau ada di antara kalian bertiga yang selamat dan mendarat pula. Di dalam penyelidikan itulah, sore tadi aku mendengar percakapan dua orang nelayan yang katanya melihat seorang kakek memondong tubuh seorang gadis yang pingsan dan katanya kakek itu berlari cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Mendengar ini, aku lalu melakukan pengejaran dan akhirnya aku tiba di pondok itu. Ketika aku melihat Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sedang makan minum di dalam pondok, aku pun merasa yakin bahwa tentu dia yang dilihat dua orang nelayan itu dan gadis yang pingsan itu tentu engkau. Maka aku pun masuk dan kebetulan sekali aku tiba pada saat yang tepat.”
“Cin Liong....,” Suma Hui menelan ludah, sukar agaknya melanjutkan kata-katanya.
“Ya, Hui-i?”
“Engkau.... engkau baik sekali, Cin Liong. Engkau telah membela kami, bahkan engkau telah berkali-kali menyelamatkan aku.”
“Ahhh, harap jangan berkata demikian, Hui-i. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku membela keluarga Pulau Es? Bukan keluarga sekali pun tentu akan kubela, karena bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang kejahatan?”
“Ya, tapi.... tapi....”
“Tapi apa, Hui-i?”
Seperti tanpa disadarinya, Suma Hui memegang tangan pemuda itu yang terletak di atas meja pula. Ia meremas jari-jari tangan itu. “Cin Liong.... berkali-kali aku terkenang akan hal itu.... engkau begini baik dan aku.... aku....”
Cin Liong merasa terharu bukan main ketika merasa betapa tangannya dipegang dan diremas-remas oleh gadis itu. Betapa lembutnya telapak tangan gadis itu, lembut hangat dan mengandung penuh getaran yang menggetarkan pula jantung Cin Liong.
“Engkau pun seorang gadis yang amat baik, Hui-i. Baik sekali....”
“Aku telah menamparmu berkali-kali....! Nah, itulah yang selalu terkenang dengan hati perih olehku, Cin Liong. Engkau hampir berkorban nyawa berkali-kali untuk membela kami, sedangkan aku sudah menghina dan menyakitimu. Maukah.... maukah engkau memaafkan aku, Cin Liong?” Di dalam suara itu terkandung isak.
Pemuda itu merasa semakin terharu dan dia pun balas meremas tangan yang lembut itu sehingga jari-jari tangan mereka saling bertautan.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Hui-i. Sudah sepatutnya engkau menamparku, karena memang aku telah menyakitkan hatimu. Bahkan sekarang pun aku bersedia andai kata engkau hendak menambah beberapa tamparan lagi.”
“Ih, jangan begitu, Cin Liong. Aku sungguh menyesal, dan aku minta maaf. Penyesalan itu selamanya akan mengganggu hatiku sebelum engkau memberikan maafmu.” Sambil berkata demikian, gadis itu memandang kepada wajah Cin Liong dengan sinar mata penuh permohonan.
Cin Liong tidak tega membiarkan gadis itu tenggelam dalam penyesalan diri. “Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Aku maafkan semua perbuatanmu, Hui-i.”
Wajah yang cantik itu menjadi berseri-seri dan tiba-tiba saja, seolah-olah baru melihat betapa tangannya saling cengkeram dengan tangan pemuda itu, perlahan-lahan Suma Hui menarik kembali tangannya. “Ahh, engkau memang baik sekali, Cin Liong. Belum pernah selama hidup aku bertemu dengan seorang yang baik seperti engkau.”
“Jangan terlalu memuji, Hui-i. Engkau sendiri pun seorang gadis yang teramat baik.”
Suma Hui tersenyum. “Ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau rendah hati. Mana mungkin seorang gadis buruk watak seperti aku ini kau katakan baik?”
“Sungguh, Hui-i, aku bicara setulusnya, keluar dari dalam lubuk hatiku.”
Wajah yang manis itu menjadi semakin merah dan kini Suma Hui menunduk. “Bagiku, engkau adalah orang yang paling baik di dunia ini.”
“Bagiku, engkau pun demikian, Hui-i.”
“Ihh, benarkah itu? Tidak ada lain gadis yang seperti aku?”
“Banyak gadis di dunia ini, akan tetapi bagiku tidak ada yang seperti engkau, Hui-i.”
Hening sejenak dan gadis itu menunduk, agaknya kini ia hampir tidak berani menentang pandang mata pemuda itu karena ia melihat sesuatu dalam pandang mata itu yang membuatnya menjadi malu dan bingung.
“Cin Liong....”
“Apa yang hendak kau katakan, Hui-i?”
“Kulihat engkau sudah lebih dari dewasa....”
“Usiaku sudah hampir tiga puluh tahun, Hui-i.”
“Kiranya sudah lebih dari cukup untuk.... menikah.”
“Sudah lebih dari cukup, terlambat malah.”
“Lalu kenapa sampai kini engkau belum menikah?” Kini gadis itu berani mengangkat muka memandang dan sebaliknya malah Cin Liong yang kini menundukkan mukanya.
Beberapa kali pemuda ini menarik napas panjang. Pertanyaan Suma Hui itu seolah-olah merupakan serangan ujung tombak ke arah hatinya dan membuat dia mau tidak mau teringat kembali kepada Bu Ci Sian, gadis pertama yang pernah merampas hatinya akan tetapi kemudian gagal menjadi jodohnya. Akan tetapi dengan cepat dia mengusir bayangan itu dari ingatannya karena Bu Ci Sian kini telah menjadi isteri orang lain, isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.
“Hui-i, tadinya aku mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya, akan tetapi setelah aku berjumpa denganmu....”
“Ya, bagaimana, Cin Liong?”
“Pendirianku lalu goyah....” Kini Cin Liong yang mengulur tangan dan memegang tangan Suma Hui di atas meja itu, dipegangnya dengan lembut seperti memegang seekor anak burung yang lemah. “Sejak bertemu denganmu, aku tahu bahwa aku ingin menikah.... aku ingin dapat hidup bersama denganmu selamanya, Hui-i....”
“Cin Liong....!” Tangan dalam genggaman Cin Liong itu menggelepar bagai anak burung ketakutan, namun tangan itu tidak ditarik seperti tadi dan gadis itu menunduk dengan muka merah sekali, lalu perlahan-lahan menjadi pucat dan dua titik air mata mengalir turun.
“Maafkanlah aku jika menyinggung perasaan hatimu, Hui-i,” kata Cin Liong, wajahnya agak pucat karena pemuda ini dilanda kekhawatiran kalau-kalau dia harus mengalami patah hati yang amat pahit untuk kedua kalinya setelah dahulu dia pernah patah hati karena cintanya ditolak oleh Bu Ci Sian.
“Tidak ada yang harus dimaafkan dan engkau tidak menyinggung, Cin Liong. Akan tetapi.... lupakah engkau bahwa.... bahwa aku ini bibimu dan engkau keponakanku? Ayahku, Suma Kian Lee dan ibumu, Wan Ceng, keduanya adalah putera dan cucu dari nenek Lulu. Setidaknya, kita berdua adalah darah dari mendiang nenek Lulu....”
“Itulah yang selama ini menjadi ganjalan hatiku, Hui-i. Kita adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan usiaku lebih tua darimu, tetapi.... mengapa engkau malah menjadi bibiku?”
“Kita harus dapat melihat kenyataan itu, Cin Liong. Kiranya.... tidak mnngkin kalau di antara kita ada ikatan.... perjodohan....”
“Kenapa tak mungkin, Hui-i? Apa salahnya? Jika kita sudah sama-sama mencinta, apa lagi halangannya? Bagaimana pun juga, hubungan kekeluargaan antara kita terhitung jauh, karena kakek kita berbeda, dan she (marga) kita pun berbeda. Engkau she Suma sedangkan aku she Kao, sungguh sudah amat jauh terpisahnya. Hui-i, terus terang saja, aku cinta padamu, Hui-i, dan kalau aku tidak salah pandang, kalau perasaan hatiku tidak menipuku, engkau pun cinta padaku!”
“Cin Liong....!” Kini gadis itu terisak dan menutupi mukanya dengan tangan.
“Hui-i, harap jangan menangis. Kenapa berduka? Mengenai rintangan itu, jika memang kita sudah sama-sama mencinta, marilah kita hadapi bersama! Apa pun kesulitan dan kesukarannya yang akan kita tempuh, kita hadapi bersama. Maukah engkau, Hui-i?”
Suma Hui membuka tangannya dan memandang dengan muka basah air mata, bahkan kini air mata masih bercucuran keluar dari kedua matanya, lalu ia menarik tangannya dan bangkit berdiri, berkata dengan suara lirih dan parau, “Jangan bicarakan hal itu sekarang, Cin Liong. Berilah waktu padaku untuk berpikir. Aku sedang dilanda duka, karena kehilangan keluarga nenek moyang di Pulau Es, karena kehilangan kedua orang adikku yang masih belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Dan kita dihadapkan pula dengan kenyataan adanya hubungan keluarga antara kita. Aku menjadi bingung, berilah waktu padaku, Cin Liong....”
Cin Liong menjura. “Maafkan aku, Hui-i. Memang seharusnya kalau engkau beristirahat. Nah, tidurlah, Hui-i. Urusan ini dapat kita bicarakan kelak, kalau engkau menghendaki.”
Suma Hui mengangguk dan memandang dengan sayu, kemudian dia melangkah lesu memasuki kamarnya.
Akan tetapi, dua orang muda itu tidur dengan gelisah sekali, tenggelam dalam lamunan masing-masing, lamunan yang bahkan tak dapat dikatakan sedap atau menyenangkan. Masalah-masalah berdatangan kepada mereka, bertumpuk dan saling susul-menyusul. Kedukaan dan kegelisahan bertumpuk-tumpuk. Dan kini mereka dihadapkan kepada kenyataan yang sungguh membingungkan dan mendatangkan rasa duka dan khawatir. Mereka saling mencinta, padahal mereka adalah bibi dan keponakan!
Cin Liong gelisah dan tak dapat tidur. Beberapa kali dia bangkit dan bangun, duduk termenung memikirkan nasibnya. Sebagai seorang jenderal muda, dia dapat dibilang berhasil baik sekali. Kedudukannya tinggi dan terhormat, juga dipercaya oleh kaisar. Di bidang ini dia memang beruntung sekali, juga dia tidak pernah kekurangan harta benda.
Sesungguhnya, harus diakuinya bahwa hidupnya cukup terhormat, mulia, berkecukupan dan menyenangkan. Namun di bidang cinta, ternyata dia tidak beruntung. Kegagalannya yang pertama ketika ia jatuh cinta kepada Bu Ci Sian sudah terasa amat berat, dan luka yang dideritanya sampai bertahun-tahun masih terasa.
Bagi seorang pendekar, perasaan hati merupakan sesuatu yang teguh. Kalau sekali mencinta, maka cintanya itu tak akan rapuh melainkan kokoh kuat pula seperti keadaan jasmaninya yang tergembleng. Maka kegagalan cintanya itu membuatnya hampir jera untuk mendekati wanita lain, bahkan dia mengambil keputusan untuk tidak menikah saja.
Ayah dan ibunya sudah berkali-kali mendesaknya, akan tetapi dia berkeras menyatakan belum ingin menikah. Bahkan ayah ibunya menganjurkan kepadanya untuk mengambil selir saja kalau belum menemukan seorang gadis yang dianggap cocok untuk menjadi isterinya. Akan tetapi Cin Liong tetap saja menolak bujukan mereka walau pun dia tahu bahwa ayah bundanya itu sudah rindu sekali untuk menimang seorang cucu!
Di dalam kehidupan terdapat bermacam kebutuhan yang kesemuanya amat penting. Kecukupan lahiriah berupa pangan dan papan. Kesehatan jasmani. Kerukunan dalam keluarga, dan sebagainya lagi. Semua itu merupakan bagian-bagian dari kelompok yang dinamakan keperluan atau kebutuhan hidup. Dan kesemuanya itu perlu, tidak kalah pentingnya dari bagian yang lain.
Mementingkan satu bagian saja merupakan kebodohan karena yang satu harus ditutup oleh yang lain. Orang yang hidupnya kaya raya dan serba kecukupan, tetap saja akan menderita dalam hidupnya kalau kesehatannya terganggu. Orang yang sehat sekali pun tetap akan menderita kalau kekurangan makan dan pakaian. Bahkan orang yang sehat dan kaya sekali pun akan hidup menderita kalau tidak mempunyai kerukunan dalam keluarga.
Di waktu sakit berat, orang yang kaya raya akan rela kehilangan semua kekayaannya asalkan dia dapat sembuh. Sebaliknya, orang sehat melupakan segala dan mati-matian mempertaruhkan kesehatannya demi mengejar dan menumpuk harta benda.
Demikianlah kenyataannya, hidup ini merupakan sekelompok kebutuhan-kebutuhan yang memang mutlak penting. Akan tetapi, biar pun mementingkan yang satu saja tanpa memperdulikan yang lain merupakan kebodohan, dan mengabaikan kesemuanya merupakan sikap lemah yang bodoh, sebaliknya terlalu mengejar kesemuanya itu pun akan menjerumuskan!
Banyak orang beranggapan bahwa kalau sudah kaya raya dan berkedudukan tinggi, tentu orang akan hidup bahagia. Karena itu, semua orang lalu berlomba-lomba untuk mengejar kekayaan dan kedudukan. Padahal, semua yang digambarkan sebagai kebahagiaan itu sesungguhnya hanya bayangan kesenangan belaka. Dan kesenangan itu selalu hanya dirasakan oleh orang yang belum mencapai atau memilikinya.
Kalau kita menjenguk ke dalam kehidupan orang-orang berkedudukan tinggi atau kaya, barulah kita akan melihat bahwa gambaran khayal dari kita bahwa mereka itu hidup bahagia adalah keliru sama sekali. Bahkan mereka itu sudah tidak lagi dapat merasakan kesenangan atau menikmati hartanya mau pun kedudukannya, atau setidaknya, tidak seindah atau senikmat ketika mereka membayangkannya sebelum memilikinya.
Sesungguhnyalah bahwa kesenangan dapat dicari, namun kebahagiaan tidak! Yang bisa dikejar dan dicari hanyalah kesenangan, tapi kesenangan ini amat pendek umurnya dan tempatnya selalu diperebutkan oleh kebosanan, kekecewaan dan kesusahan!
Bukanlah berarti bahwa kita harus menolak kesenangan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bertapa di puncak gunung. Mereka ini justru mencari kesenangan dengan cara lain, yaitu cara menyiksa diri atau cara menolak kesenangan lahiriah untuk mencari kesenangan batiniah yang pada hakekatnya sama juga! Tidak menolak!
Kesenangan hidup adalah kenikmatan yang telah menjadi hak kita untuk menikmatinya. Tubuh kita sejak lahir sudah dilengkapi dengan alat-alat untuk menikmati kesenangan hidup melalui panca indra. Bukan menolak, melainkan tidak mengejar-ngejar! Kalau ada kesenangan itu, kita nikmati sebagai anugerah, namun dalam keadaan tetap waspada sehingga kita tidak menjadi mabok kesenangan dan menjadi buta. Namun, kalau tidak ada, kita tidak mengejar-ngejarnya, yang biasanya diberi pakaian kata muluk ‘cita-cita’.
Dan, kalau kita sudah bebas dari pengejaran ini, di dalam segala sesuatu terdapat keindahan, kenikmatan yang menyenangkan itu! Di dalam segelas air sekali pun, di dalam hal-hal yang biasanya dipandang sebagai hal sederhana yang tak berarti, akan nampak sesuatu yang amat indah, menyenangkan dan mendatangkan nikmat hidup.
Di luar kota Cin-an, hanya lima belas li jauhnya dari kota Cin-an, terdapat sebuah dusun yang makmur walau pun rakyatnya hidup sederhana. Dusun ini bernama Hong-cun, terletak di lembah Sungai Huang-ho yang subur. Rakyatnya bercocok tanam, kadang-kadang kalau tanaman sudah tidak membutuhkan penggarapan lagi, mereka pergi mencari ikan sebagai kaum nelayan yang pandai.
Di dusun ini tinggal seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw, akan tetapi karena pendekar ini sejak belasan tahun lamanya tidak pernah menonjolkan dirinya di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang tahu bahwa warga dusun Hong-cun itu adalah seorang pendekar yang pernah menjadi buah bibir semua tokoh dunia persilatan dan disebut-sebut namanya dengan wajah pucat ketakutan sebagai Pendekar Siluman Kecil!
Ya, pendekar itu memang Pendekar Siluman Kecil yang bernama Suma Kian Bu, putera tunggal dari Pendekar Super Sakti dan isterinya, Puteri Nirahai, dari Pulau Es. Suma Kian Bu mirip dengan ayahnya, dengan rambut yang dibiarkan panjang beriapan dan semua telah menjadi putih seperti benang-benang perak. Kini usianya sudah empat puluh enam tahun, namun bentuk tubuhnya masih tegap dan amat gagah perkasa dan kuat seperti tubuh orang muda. Hanya rambut putih itu saja yang membuat dia pantas kalau dikatakan bahwa usianya hampir setengah abad.
Isterinya pun bukan orang sembarangan, karena isterinya yang bernama Teng Siang In dan yang telah berusia empat puluh empat tahun itu pun dahulu terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Para pembaca serial cerita Suling Emas sampai Pendekar Super Sakti dan keturunannya tentu sudah mengenal baik siapa Suma Kian Bu ini! Selain berdarah pendekar majikan Pulau Es, juga dari ibunya dia masih berdarah keluarga kaisar karena ibunya adalah seorang puteri dan panglima lagi. Dan pendekar inilah yang merupakan putera Pendekar Super Sakti yang paling lihai.
Selain ilmu-ilmu dari keluarga ayahnya, yaitu ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, yang membuat dia dapat bergerak seperti pandai menghilang saja. Isterinya, selain hebat pula dalam ilmu silat, bahkan mempunyai keahlian dalam ilmu sihir.
Memang amat mengherankan, terutama bagi tokoh-tokoh persilatan kalau melihat cara hidup suami isteri pendekar ini sekarang. Mereka hidup sebagai petani sederhana. Biar pun rumah mereka cukup besar, namun sederhana dan keluarga ini hidup sebagai petani yang menggarap sawah, bahkan kadang-kadang suami isteri ini nampak sibuk pula mencari ikan dengan perahu mereka. Bagi para penghuni dusun Hong-cun, keluarga ini amat dihormati dan walau pun keluarga itu tidak pernah menonjolkan kemampuan mereka, namun semua orang sudah dapat menduga bahwa keluarga ini adalah keluarga yang lihai.
Apalagi karena setiap kali ada penduduk kampung yang sakit, suami isteri ini dapat menolongnya dan memberi obat. Dan setelah pendekar ini dan keluarganya tinggal di situ, tidak ada lagi terjadi kejahatan. Beberapa orang penjahat yang tadinya beroperasi di situ, segera lari ketakutan karena terjadi hal-hal aneh menimpa diri mereka.
Ada penjahat yang katanya digondol setan dan dilemparkan dari puncak pohon tinggi sekali. Akan tetapi sebelum tubuhnya remuk terbanting di atas tanah, ‘setan’ itu telah menyambar tubuhnya. Setan itulah yang mengancam agar dia menghentikan perbuatan jahatnya atau pergi dari dusun itu.
Bermacam hal aneh terjadi kepada para penjahat itu dan dalam waktu singkat, dusun itu bersih dari kejahatan, bahkan para penjahat di tempat lain yang mendengar akan angker dan keramatnya dusun Hung-cun, tiada yang berani mencoba-coba beroperasi di situ. Inilah sebabnya maka dusun itu menjadi makmur dan semua penghuni dusun, sampai ketua dusun, menghormati keluarga itu sebagai keluarga sakti! Mereka pun menyebut Pendekar itu dengan sebutan In-kong (Tuan Penolong), dan isteri pendekar itu disebut Toanio.
Di dalam kisah Suling Emas dan Naga Siluman telah diceritakan bahwa sepasang suami isteri pendekar ini, setelah menikah belasan tahun lamanya, baru mendapatkan seorang keturunan. Putera mereka itu mereka namakan Ceng Liong, karena mereka berhasil memperoleh keturunan setelah menggunakan obat mustika ular hijau.
Dan seperti kita ketahui, Ceng Liong diantarkan oleh orang tuanya ke Pulau Es untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah bimbingan langsung dari Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Juga untuk menemani kakek dan kedua orang nenek mereka yang sudah tua itu.
Pada siang hari itu, Suma Kian Bu dan Teng Siang In baru pulang dari ladang. Pakaian mereka masih basah oleh keringat dan ujung celana mereka masih berlepotan lumpur. Mereka berdua duduk di serambi depan menikmati air teh hangat yang dihidangkan oleh seorang pelayan mereka.
Sejenak mereka duduk minum teh tanpa berkata-kata. Terasa sunyi sekali oleh mereka semenjak putera tunggal mereka meninggalkan mereka. Sudah enam bulan lamanya Ceng Liong meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang Teng Siang In duduk termenung penuh kerinduan kepada puteranya. Bahkan kadang-kadang, kalau sedang seorang diri, dia suka menumpahkan rasa rindunya melalui deraian air mata. Tentu saja Suma Kian Bu tahu akan hal ini. Sudah kurang lebih seperempat abad lamanya dia menjadi suami Teng Siang In, maka tentu saja dia dapat mengikuti setiap perubahan air muka isterinya itu.
Ketika mereka berdua duduk minum teh pada siang hari itu, dia pun sudah maklum bahwa kembali isterinya telah kumat rindunya. Di ladang tadi pun isterinya sudah diam saja, kehilangan kegembiraannya. Padahal isterinya adalah seorang wanita yang lincah dan biasa bergembira.
“In-moi, kenapa kau diam saja sejak tadi?” tanya sang suami yang bahkan sampai hampir tua pun masih terus menyebut In-moi (dinda In) kepada isterinya, sebutan yang mesra dan penuh kasih.
Teng Siang In menunduk lalu menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah membikin panas kedua matanya, lalu menjawab, “Suamiku, apakah engkau tidak merasakan kesepian yang mencekam hati ini?”
Jawaban itu sudah cukup bagi Suma Kian Bu. Dia lalu mengangguk-angguk. “Kesepian semenjak anak kita pergi? Aku pun merasakan hal itu, isteriku dan diam-diam aku pun merasakan penderitaan batin yang amat tidak enak ini.”
Pendekar ini maklum akan isi hati isterinya. Bagi dia sendiri, sesungguhnya dia tidaklah begitu menderita dan ucapannya tadi hanya untuk menghibur keresahan hati isterinya. Pendekar ini yang memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya, sudah mengerti bahwa semua bentuk kesenangan mendatangkan ikatan, dan semua bentuk pengikatan ini mendatangkan kesengsaraan.
Kalau kita sayang akan sesuatu itu, baik sesuatu itu merupakan benda, manusia, atau pun hanya nama, maka timbullah pengikatan di dalam batin. Kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang menyenangkan itu dan kita akan menjaganya kuat-kuat untuk melawan kemungkinan kehilangan itu. Kalau perlu kita siap mempergunakan kekerasan untuk mempertahankan sesuatu itu.
Akan tetapi, memiliki tidaklah berdiri sendiri. Memiliki sudah pasti disambung dengan kehilangan. Karena itulah muncul usaha keras untuk menjaga atau mempertahankan agar tidak sampai kehilangan dan di sini menjadi sumber pula dari pada rasa takut. Takut akan kehilangan sesuatu yang disayangnya, sesuatu yang menyenangkan. Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak mau terikat oleh apa pun juga, selalu berada dalam keadaan bebas. Cinta kasih sejati tidaklah mengikat atau diikat. Hanya kesenangan dan nafsu sajalah yang mengikat.
Teng Siang In juga bukan seorang wanita lemah yang cengeng. Agaknya ia merasakan bahwa sikapnya itu tidak semestinya, maka ia pun menarik napas panjang. “Suamiku, aku tahu bahwa sikapku ini bodoh. Ceng Liong berada di Pulau Es, di dalam tangan yang kokoh kuat, dekat dengan orang tua bijaksana yang mencintanya sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan keadaannya. Akan tetapi hati ini, hati seorang ibu ini.... maafkanlah kelemahanku.”
Suma Kian Bu memegang lengan isterinya dan tersenyum menghibur. “Aku maklum, isteriku, dan aku tidak menyalahkanmu. Karena kita pun tidak terikat oleh apa-apa di tempat ini, marilah kita berdua pergi ke Pulau Es untuk menengok Ceng Liong sekalian berpesiar.”
Hampir saja Teng Siang In terlonjak kegirangan mendengar usul dari suaminya ini. Dia meloncat bangun, merangkul suaminya dan mencium pipinya. “Terima kasih....! Ahhh, betapa girang hatiku! Engkau memang seorang suami yang baik sekali!”
“Siapa bilang aku suami buruk?” Pendekar itu tertawa, rasa gembira di dalam hatinya melihat kegirangan isterinya itu agaknya jauh lebih mendalam dari pada kegembiraan isterinya.
“Kapan kita berangkat? Kapan?”
“Kapan saja. Kalau kau kehendaki, sekarang pun boleh.”
“Sekarang? Ahhh, agaknya aku sudah tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mari kita berkemas, suamiku!” Dan tanpa menjawab wanita itu berlari-lari seperti seorang anak kecil yang kegirangan ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa melakukan perjalanan jauh itu.
Pada waktu suami isteri itu sedang mengemasi pakaian dan bekal yang akan mereka bawa pergi ke Pulau Es, tiba-tiba pelayan mereka memberi tahu bahwa di luar ada dua orang tamu yang ingin bertemu dengan mereka.
“Siapa mereka dan ada keperluan apa?” Teng Siang In bertanya sambil mengerutkan alisnya karena dalam keadaan seperti itu ia tidak ingin diganggu.
Pelayan yang sudah membantu mereka semenjak lahirnya Ceng Liong itu menjawab dengan wajah berseri. “Yang seorang adalah nona Suma Hui dan yang seorang lagi saya tidak kenal, dia seorang pemuda.”
“Suma Hui....?” Suami isteri itu saling pandang dengan wajah kaget, heran dan juga gembira.
Suma Hui juga pergi ke Pulau Es bersama dengan Ciang Bun dan juga Ceng Liong. Maka, seperti menerima aba-aba saja, keduanya lalu meninggalkan kamar itu sambil berlari dan meninggalkan pelayan wanita setengah tua itu yang menggelengkan kepala sambil tersenyum, tak merasa terlalu heran menyaksikan sikap kedua orang majikannya yang memang aneh itu.
Ketika sepasang suami isteri itu tiba di ruangan depan di mana Suma Hui dan Cin Liong dipersilakan duduk, Suma Hui cepat bangkit berdiri dan segera menubruk Teng Siang In sambil menangis.
“Bibi.... paman.... ah, sungguh celaka....!” Dan gadis ini sudah menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siang In yang hanya dapat saling pandang dengan suaminya, terkejut dan juga gelisah.
“Hui-ji (anak Hui).... ada apakah? Apa yang telah terjadi, nak?” Teng Siang In bertanya sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu.
Yang ditanya semakin terisak dan mengguguk. “Bibi.... sungguh celaka, mala petaka telah menimpa kita....” Dan tangisnya membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
Melihat ini, Suma Kian Bu mengerutkan alisnya. “Suma Hui....!” Suaranya membentak penuh wibawa sehingga sangat mengejutkan hati Cin Liong. “Sudah patutkah sikapmu itu?” Suara ini penuh teguran karena Suma Kian Bu merasa tidak puas melihat sikap keponakannya sebagai seorang cucu majikan Pulau Es yang telah memperlihatkan kelemahan yang seperti itu.
Akan tetapi, Suma Hui yang telah digulung oleh perasaan duka, tetap tidak mampu mengeluarkan suara dan masih terus sesenggukan.
“Suma Hui....!” Suara Suma Kian Bu makin penasaran.
Melihat Suma Hui dibentak dan gadis itu semakin berduka, Cin Liong merasa kasihan dan dia pun menjura sambil berkata, “Sesungguhnya begini....”
“Siapa engkau?” Suma Kian Bu memotong ucapan Cin Liong dan memandang tajam wajah yang tampan dan gagah itu, diam-diam dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. “Dan bagaimana engkau dapat datang bersama Suma Hui?” Tentu saja dia merasa tidak senang melihat keponakannya itu, seorang gadis dewasa, muncul bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
Kini Suma Hui yang seperti bangkit dari tangisnya dan menjawab cepat, “Paman, dia adalah keponakanku sendiri....”
“Keponakanmu....?” Teng Siang In memotong, terbelalak, tentu saja terheran dan tidak dapat percaya bahwa Suma Hui bisa mempunyai seorang keponakan yang menurut taksirannya tentu jauh lebih tua dari pada gadis itu.
“....namanya Kao Cin Liong,” sambung Suma Hui.
“Ahhh....! Jenderal muda putera Ceng Ceng itu?” Suma Kian Bu berseru, wajahnya berseri. “Jadi engkaukah putera Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
Cin Liong kembali memberi hormat kepada pendekar yang masih terhitung paman kakeknya ini! “Harap maafkan kelancangan saya. Sebetulnya saya baru pulang dari Pulau Es dan mengalami segala peristiwa yang terjadi di sana, sampai dapat datang ke sini bersama dengan bibi Hui....”
“Mari kita duduk di dalam dan bicara.”
Suma Kian Bu mengajak Cin Liong dan Teng Siang In juga menggandeng Suma Hui yang masih menangis itu. Mereka berempat lalu duduk di ruangan dalam dan kini Suma Hui sudah mulai dapat menguasai hatinya yang berduka.
“Nah, sekarang ceritakanlah semuanya,” kata Suma Kian Bu.
Bersama isterinya dia menanti untuk mendengarkan penuturan itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
Cin Liong memandang kepada Suma Hui seolah hendak bertanya apakah dia yang akan bercerita. Suma Hui yang juga melirik kepadanya menggeleng kepala sedikit lalu ialah yang mulai bercerita.
Setelah menarik napas panjang, mengerahkan tenaga batin untuk menekan perasaan duka yang mencekik, ia lalu memandang kepada paman dan bibinya sejenak, kemudian dengan suara lirih namun jelas, seolah-olah mengatur agar kedua orang tua itu tidak sampai terkejut, ia pun berkata, “Paman dan bibi, harap jangan terkejut. Pulau Es telah tertimpa bencana hebat, diserbu oleh puluhan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang datuk kaum sesat.”
“Nanti dulu, katakan siapa lima orang datuk itu?” Suma Kian Bu memotong.
“Menurut penyelidikan kami terutama Cin Liong, kami ketahui bahwa mereka itu adalah Hek-i Mo-ong, Ngo-bwe Sai-kong, Eng-jiauw Siauw-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan wanita yang berjuluk Ulat Seribu....”
Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. Nama-nama besar di dunia hitam, terutama sekali Hek-i Mo-ong.
“Lanjutkan ceritamu.”
“Mula-mula kami bertiga, saya, adik Ciang Bun dan adik Ceng Liong, sedang berlatih silat ketika muncul Ngo-bwe Sai-kong dan anak buahnya hendak membunuh kami bertiga. Nenek Lulu datang dan menghajar mereka. Nenek Lulu dikeroyok dan berhasil memukul mundur musuh, bahkan berhasil menewaskan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai. Akan tetapi nenek Lulu.... ia sendiri terluka parah dan setelah dapat masuk ke dalam istana, ia.... ia meninggal dunia karena luka-lukanya....”
“Aihhh....!”
Teng Siang In menahan jeritnya dan mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali karena marah. Sementara itu, Suma Kian Bu memejamkan matanya. Wajahnya tidak menunjukkan sesuatu, hanya nampak dia menarik napas panjang.
“Lanjutkan.... lanjutkan....,” katanya tanpa membuka matanya.
“Sisa para penyerbu itu lalu dihajar oleh nenek Nirahai sehingga mereka lari cerai-berai meninggalkan pulau. Malamnya kami tiga orang anak melakukan penjagaan dan muncul Cin Liong dalam keadaan luka-luka pula. Dia mendarat di Pulau Es dan hampir saja terjadi salah paham karena pada waktu itu kami bertiga tidak mengenal bahwa dia adalah keponakan kami.”
Suma Kian Bu mengangkat tangan dan membuka matanya, memandang kepada Cin Liong. “Hentikan dulu ceritamu, Hui-ji, dan kau ceritakanlah bagaimana engkau dapat sampai ke Pulau Es dalam keadaan luka-luka, Cin Liong.”
Cin Liong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat namun jelas sekali. Dia menceritakan betapa dia bertugas menyelidiki keadaan dan betapa dia mengikuti rombongan penjahat yang hendak menyerbu Pulau Es, dan betapa di tengah pelayaran dia ketahuan dan hampir saja tewas ketika dia terlempar ke dalam lautan, namun akhirnya dia berhasil juga mendarat di Pulau Es walau pun sedikit terlambat, yaitu rombongan pertama dari kaum sesat telah menyerang ke pulau yang mengakibatkan tewasnya nenek Lulu.
“Demikianlah, saya lalu dibawa menghadap kakek buyut Suma Han dan bersama dengan keluarga Pulau Es saya lalu ikut melakukan penjagaan.” Cin Liong mengakhiri ceritanya.
“Dialah yang banyak berjasa, paman. Kalau tidak ada dia, mungkin keadaan kami akan menjadi lebih parah lagi. Seperti yang telah diduga oleh nenek Nirahai, gerombolan penjahat itu datang lagi menyerbu, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan tiga orang datuk lainnya. Kekuatan mereka berpuluh orang dan kami semua, kecuali kakek Suma Han yang tetap duduk bersila di dekat peti mati nenek Lulu, kami semua dipimpin oleh nenek Nirahai lalu mengadakan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Walau pun kami sudah merobohkan banyak orang, tetap saja kami kalah kuat. Nenek Nirahai telah berhasil menewaskan Si Ulat Seribu, dan Cin Liong berhasil pula membunuh Eng-jiauw Siauw-ong yang lihai. Kemudian.... sesuai dengan perintah nenek Nirahai, Cin Liong membawa kami bertiga bersembunyi karena keadaan gawat....”
Suma Kian Bu dapat mengerti akan siasat ibu kandungnya. “Hemm, tentu disuruh bersembunyi di ruangan bawah tanah, bukan?”
“Benar, paman. Aku sungguh tidak setuju sama sekali dan ingin aku mengamuk terus. Akan tetapi, Cin Liong mentaati perintah nenek Nirahai dan aku ditotoknya. Memang, kalau tidak disembunyikan, kami bertiga dan Cin Liong tentu telah tewas semua, akan tetapi sedikitnya dapat menambah jumlah kematian pihak musuh.”
“Lanjutkan, lanjutkan....!”
“Setelah kami keluar dari tempat persembunyian, ternyata musuh sudah pergi semua, bahkan mereka membawa pergi teman-teman yang tewas dan luka. Akan tetapi.... akan tetapi.... kami melihat nenek Nirahai telah tewas pula di samping peti mati nenek Lulu....” Sampai di sini Suma Hui tak dapat menahan tangisnya dan kembali ia terisak-isak lalu sesenggukan.
Teng Siang In menggigit bibirnya. Wanita ini tidak menangis, artinya tidak mengeluarkan suara menangis walau pun air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Juga Suma Kian Bu hanya termenung dengan muka tidak menunjukkan sesuatu. Semua ini terlihat oleh Cin Liong dan pemuda ini teringat akan kegagahan Ceng Liong dan menjadi kagum.
Melihat keadaan keponakannya itu, Suma Kian Bu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyalahkan keponakannya itu. Sebagai seorang gadis, Suma Hui cukup gagah dan pengalaman yang amat menyedihkan itu tentu saja mengguncang perasaan gadis itu.
“Cin Liong, sekarang engkaulah yang melanjutkan ceritanya,” katanya kepada pemuda itu.
Cin Liong memandang kepada Suma Hui yang masih sesenggukan dengan sinar mata penuh kasih sayang dan rasa iba, dan hal ini sama sekali tidak lewat begitu saja dari pengamatan Suma Kian Bu, akan tetapi pendekar ini diam saja.
“Ketika kami memasuki ruangan, kami melihat nenek buyut Nirahai telah tewas di dekat peti mati nenek buyut Lulu, sedangkan kakek buyut masih duduk bersila di tempat semula. Biar pun kami tidak melihat dan tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi melihat betapa semua musuh telah pergi dan kakek buyut masih duduk bersila, maka besar sekali kemungkinannya kakek buyut telah berhasil mengusir mereka, entah dengan cara bagaimana. Kami semua melakukan penjagaan dan kemudian baru kami tahu, biar pun ada suara kakek buyut yang memesan agar jenazah mereka kami bakar di kamar sembahyang, dan agar kami semua cepat meninggalkan pulau senja hari itu juga dan kami diharuskan kembali ke rumah masing-masing, baru kami tahu bahwa sesungguhnya kakek buyut Suma Han juga telah meninggal dunia....”
“Ayahhh....!” Seruan ini pendek saja namun menggetarkan seluruh rumah itu dan Cin Liong merasa terkejut sekali.
“Ayaaahh.... ohhh, ayaahhh....!” Teng Siang In menubruk suaminya, menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Keduanya menangis tanpa suara!
Cin Liong menatap wajah Pendekar Siluman Kecil itu dan hatinya tergetar. Wajah yang gagah itu nampak menakutkan sekali. Dengan memberanikan diri dia pun berkata lirih, “Mendiang kakek buyut meninggalkan pesan bahwa kematian adalah wajar, tidak perlu diributkan atau disusahkan....”
Terdengar helaan napas panjang dan pendekar itu seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia memandang kepada Cin Liong dan berkata lirih, “Terima kasih, Cin Liong. Begitulah hendaknya. Isteriku, lekas keringkan air matamu yang tiada gunanya itu dan mari kita mendengarkan penuturan mereka ini lebih lanjut.”
Kini Suma Hui yang sudah dapat menguasai hatinya melanjutkan cerita itu. “Paman dan bibi, setelah kami melakukan perintah terakhir dari kakek, kami berempat meninggalkan pulau dengan perahu dan dari jauh kami melihat betapa istana itu terbakar, kemudian.... sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali.... kebakaran itu menjalar terus dan dalam waktu semalam itu, seluruh pulau terbakar habis!”
“Hemmm....!” Suma Kian Bu mengangguk-angguk, kembali dia maklum akan maksud ayahnya yang hendak melepaskan semua ikatan dengan dunia.
“Dan pada keesokan harinya, pulau itu sudah lenyap! Pulau Es telah tenggelam!” gadis itu melanjutkan ceritanya.
Kembali Suma Kian Bu mengangguk-angguk. Memang Pulau Es adalah sebuah pulau yang aneh, maka peristiwa itu pun tidaklah luar biasa.
“Kemudian bagaimana dengan kalian berempat?” tanyanya
Dan kini ayah dan ibu ini kembali dicekam rasa gelisah karena kenyataannya kini, dari empat orang itu tinggal dua orang, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak ada bersama mereka. Ini berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan kedua orang anak itu.
“Kami berempat melanjutkan pelayaran untuk menuju ke daratan besar, akan tetapi di tengah lautan kami dihadang dan dikepung oleh puluhan orang penjahat, sisa mereka yang agaknya melarikan diri dari Pulau Es, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok.”
“Kedua nama jahanam itu takkan pernah kulupakan!” kata Teng Siang In dengan sinar mata berapi-api.
“Kami diserang dan perahu kami digulingkan. Kami membela diri mati-matian, akan tetapi Cin Liong terlempar le laut, demikian pula Ciang Bun, padahal ketika itu badai sedang mengamuk. Saya sendiri tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dibawa lari, sedangkan menurut keterangan Cin Liong kemudian, adik Ceng Liong juga tertawan dan dibawa pergi oleh Hek-i Mo-ong.”
“Ahh....!” Teng Siang In meloncat bangun dan mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya mencorong. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku, aku bersumpah untuk merobek-robek kulit Hek-i Mo-ong dan mencincang hancur dagingnya!”
“In-moi, tenanglah, tidak baik membiarkan perasaan menguasai batin,” terdengar Suma Kian Bu berkata dan nyonya itu lalu terduduk kembali, wajahnya kini agak pucat akan tetapi sepasang matanya masih berapi-api dan kedua tangannya dikepal.
“Hui-ji, lanjutkan ceritamu.”
“Saya dilarikan oleh si jahanam Jai-hwa Siauw-ok dan nyaris mengalami bencana dan aib yang hebat. Untung muncul Cin Liong yang tiba pada saat yang tepat menolongku dan sayang sekali bahwa si keparat itu berhasil melarikan diri dari kejaran kami. Kami lalu langsung pergi ke sini untuk melaporkan kepada paman dan bibi.”
“Dan Ciang Bun? Ceng Liong?” Teng Siang In bertanya.
Suma Hui mengerutkan alisnya, wajahnya diselimuti kedukaan dan ia menggelengkan kepala. “Kami tidak tahu, bibi. Yang diketahui oleh Cin Liong hanya bahwa Ciang Bun terlempar ke lautan dan Ceng Liong ditawan Hek-i Mo-ong. Jahanam Siauw-ok itu pun bercerita demikian kepadaku.”
“Kita harus mencarinya sekarang juga!” Teng Siang In berkata sambil memandang kepada suaminya.
Suma Kian Bu yang sudah mengenal baik watak isterinya maklum bahwa andai kata dia menolak sekali pun, tentu isterinya akan berangkat sendiri. Memang mereka harus cepat melakukan pengejaran dan mencari Ceng Liong untuk dirampas kembali, dan bagaimana pun juga, mereka memang sudah berkemas-kemas untuk pergi merantau ke Pulau Es.
“Baik, kita mencarinya hari ini juga. Cin Liong dan Hui-ji, kalian hendak pergi ke mana?”
“Paman, saya harus cepat-cepat pulang ke Thian-cin memberi kabar kepada ayah dan ibu.”
“Saya akan menemani bibi Hui.”
Suma Kian Bu mengangguk dan bersama isterinya dia mengantar pemuda dan pemudi itu sampai ke pintu depan. Setelah mereka berdua berpamit dan menjura untuk yang terakhir kalinya, Suma Kian Bu memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam, lalu berkata, “Cin Liong dan Suma Hui, jalan yang kalian tempuh penuh rintangan, akan tetapi berjalanlah terus, doa restuku bersama kalian dan semoga Thian memberkahi kalian.”
Cin Liong dan Suma Hui balas memandang dan wajah mereka seketika menjadi merah. Mereka menjura lagi dan hampir berbareng keduanya berkata, “Terima kasih....”
Kemudian mereka pergi meninggalkan suami isteri yang dicekam rasa gelisah karena mendengar putera tunggal mereka ditawan Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang telah mereka dengar akan kekejamannya. Setelah kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan jalan, Teng Siang In menoleh kepada suaminya.
“Engkau juga melihat bahwa mereka itu saling mencinta?”
“JeIas sekali!”
“Dan engkau malah mendorong mereka! Mana mungkin hal itu berlangsung? Mereka adalah bibi dan keponakan!”
“Bukan urusan kita, melainkan urusan mereka berdua. Aku hanya percaya kepada cinta kasih, tidak percaya kepada semua peraturan-peraturan yang kaku. Nah, mari kita berangkat, isteriku.”
Suami isteri pendekar ini meninggalkan pesan kepada pelayan wanita yang membantu rumah tangga mereka, meninggalkan uang, juga meninggalkan pesan agar hati-hati menjaga rumah, kemudian mereka pun pergi. Karena mereka tidak tahu ke mana Hek-i Mo-ong melarikan Ceng Liong, dan tidak tahu harus melakukan pengejaran ke jurusan mana, maka mereka mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja karena di tempat ramai inilah pusat segala macam berita tentang dunia kang-ouw.
Karena mereka melakukan pencarian tanpa arah tertentu, maka mereka melakukan perjalanan lambat, melakukan penyelidikan dengan teliti, menanyai orang-orang dan tokoh-tokoh persilatan di sepanjang jalan, walau pun hati mereka gelisah dan ingin sekali mereka cepat-cepat menemukan kembali putera mereka.....
Sebagaimana kemudian tercatat di dalam sejarah, Kaisar Kian Liong merupakan kaisar yang paling besar, paling bijaksana, dan paling lama menduduki tahta Kerajaan Ceng dibandingkan dengan semua kaisar Bangsa Mancu. Kaisar ini akan memerintah selama enam puluh tahun!
Memang Kaisar Kian Liong inilah merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil dalam pemerintahannya. Kebesarannya bahkan menandingi kebesaran kakeknya, yaitu Kaisar Kang Shi (1663-1722). Kalau kakeknya itu memegang kendali pemerintahan dengan kedua tangan besi, Kian Liong menggunakan satu tangan besi dan yang sebelah pula tangan bersarung sutera.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul memang ditindasnya dengan tangan besi, tetapi kaisar ini mengatur pemerintahan di dalam dengan lembut sehingga sebagian besar rakyat mencintanya. Tentu saja, tidak ada orang yang mampu memuaskan hati semua orang lain.
Karena Kian Liong memperhatikan nasib rakyat dan menggunakan kekerasan bukan saja terhadap pemberontakan akan tetapi juga terhadap para penjahat, maka diam-diam para penjahat itu kehilangan tempat berpijak. Hal ini, terutama mereka yang menjadi korban operasi dan gerombolannya dihancurkan, menimbulkan dendam dan sakit hati, juga kebencian terhadap Kaisar Kian Liong yang masih muda.
Inilah sebabnya mengapa bukan jarang kaisar ini mengalami serangan-serangan gelap ketika melakukan perjalanan. Ketika dia masih menjadi seorang pangeran, Kian Liong sudah biasa merantau dan menyamar sebagai rakyat biasa sehingga dia mampu menyelami keadaan kehidupan rakyat seperti kenyataannya, bukan hanya mendengar pelaporan-pelaporan saja yang biasanya palsu karena para pejabat yang melapor selalu melaporkan yang baik-baik untuk mencari muka.
Dan semenjak masih menjadi pangeran, banyak sudah usaha para penjahat untuk melenyapkan atau membunuh pangeran ini. Tetapi, betapa pun banyaknya penjahat yang anti, masih banyak mereka yang pro dan yang melindungi dan membela pangeran itu. Apalagi kini, sebagai seorang kaisar tentu saja dia selalu dikelilingi dan dilindungi oleh para pengawal istana.
Ketika itu, sudah dua tahun Kaisar Kian Liong menduduki tahta kerajaan dan sudah banyaklah kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam pemerintahannya. Baru saja bala tentara kaisar berhasil melakukan pembersihan ke selatan dan di sepanjang pantai timur. Kini, ada kabar angin yang mendesas-desuskan bahwa di utara dan barat mulai ada gerakan-gerakan pemberontakan.
Sang kaisar telah menugaskan panglima yang amat dipercayanya, yaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong, untuk melakukan penyelidikan. Dia percaya bahwa jenderal muda itu akan dapat menemukan kenyataan-kenyataan mengenai berita yang tidak baik itu dan dengan hati tenang, Kaisar Kian Liong pada suatu hari pergi berpesiar ke Telaga Teratai di sebelah selatan kota raja.
Dia bermaksud untuk merayakan hasil operasi pembersihan di timur dan selatan itu, karena setiap kali usahanya membebaskan rakyat dari tekanan dan kesengsaraan berhasil, hatinya gembira sekali. Perjalanan dilakukan dengan kereta yang dikawal oleh pasukan pengawal.
Dalam perjalanan pesiar ini, Kaisar Kian Liong ditemani oleh belasan orang dayang dan juga tiga orang selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Sampai dua tahun setelah menjadi kaisar, dia belum mempunyai seorang permaisuri, hanya mempunyai tiga orang selir itu yang belum juga ditambahnya walau pun para pembesar dengan usaha mereka mencari muka banyak yang menawarkan dara-dara cantik jelita untuk menambah kumpulan selir-selirnya.
Telaga Teratai itu sesungguhnya adalah sebuah telaga buatan yang mengambil airnya dari Terusan Besar, dibuat sebuah telaga yang indah dikelilingi taman bunga dan telaga itu terhias dengan bunga-bunga teratai yang mekar sepanjang masa. Beberapa buah perahu besar mewah milik istana dipergunakan untuk pesiar oleh Kaisar Kian Liong.
Akan tetapi, tidak seperti kaisar lain yang mengutamakan kesenangan dengan hiburan tari-tarian, makan enak, kemudian bersenang-senang dengan para wanita cantik, Kaisar Kian Liong mempunyai cara bersenang-senang yang lain lagi. Kesenangannya amat bersahaja, seperti kesenangan rakyat jelata. Para dayang dan pengawal menahan rasa geli hati mereka tanpa merasa heran sedikit pun ketika perahu kaisar telah tiba di tengah telaga, Kaisar Kian Liong lalu mulai dengan hobby-nya, yaitu mengail ikan!
Orang yang tidak biasa mengail ikan, tidak akan mengetahui apa sebabnya banyak sasterawan, filsuf, dan orang-orang besar di jaman dahulu suka mengail ikan. Akan tetapi mereka yang mempunyai hobby ini akan dapat merasakan bahwa di dalam keasyikan mengail ini orang akan menemukan kedamaian hati, ketenteraman, dan kebahagiaan yang hanya dapat dinikmati orang dalam keadaan sunyi dan hening.
Orang yang mengail dihanyutkan di dalam keheningan yang penuh harapan, kejutan tiba-tiba yang amat menggairahkan hati apabila umpan pancingnya disambar ikan, ketegangan yang mendebarkan jantung apabila ikan itu meronta-ronta dengan kuatnya untuk melepaskan diri, dan akhirnya kepuasan yang membanggakan apabila ikan itu dapat dinaikkannya ke atas, menggelepar di bawah kakinya. Inilah kepuasan seorang pemenang dan hasil dari pada kesabaran dan ketekunan.
Seorang pengail ikan dapat saja menganggap pekerjaan memburu binatang di hutan sebagai pekerjaan kejam, atau seorang yang memiliki hobby mengail ikan menganggap kejam orang yang berburu binatang sebagai hobby saja. Berburu binatang merupakan suatu perkosaan, pikir mereka, karena kita berburu binatang tertentu yang dikejar-kejar sampai dapat dan dibunuh di bawah mata dengan darah dingin.
Akan tetapi tidak demikian dengan mengail ikan. Kita mengail ikan tanpa ditujukan kepada ikan tertentu, bahkan tanpa kesengajaan untuk menangkap ikan tertentu. Yang terkena umpan adalah ikan yang kebetulan menyambar umpan itu, jadi.... salahnya ikan itu sendiri atau tergantung kepada nasib sang ikan atau juga kepada kerakusannya! Tentu saja ini adalah pendapat seorang yang suka mengail ikan!
Kaisar Kian Liong kelihatan gembira sekali karena ternyata di telaga itu terdapat banyak ikan rakus! Sebentar saja umpan pancingnya disambar ikan yang cukup besar dan setelah dia berhasil menarik ikan itu ke atas perahu dan ikan itu dilepas dari pancing oleh pembantunya, kemudian mata kail dipasangi umpan baru, sebentar saja dia telah menarik ikan lain. Berturut-turut kailnya mengena dan sebentar saja dia telah berhasil memancing belasan ekor ikan yang cukup besar!
Kaisar ini sama sekali tidak tahu betapa sebelum mengail, para thaikam yang selalu berusaha untuk menyenangkan hati kaisar telah lebih dulu melepaskan banyak ikan-ikan besar di tempat itu. Terjadi pula kelucuan yang tidak diketahui oleh kaisar muda itu, yakni bahwa di antara ikan yang terdapat olehnya itu ada beberapa ekor ikan yang sebetulnya hanya bisa didapatkan di Sungai Yang-ce!
Di tepi telaga buatan itu terdapat banyak rakyat yang sengaja datang untuk menonton perahu kaisar. Bahkan ada pula yang memberanikan diri naik perahu. Memang telaga buatan itu pada hari-hari biasa dibuka dan kaisar memperbolehkan rakyat untuk bermain-main di situ. Bahkan kaisar yang sudah biasa dengan rakyat itu tidak pula melarang rakyat bermain-main pada saat dia sedang berlibur di situ.
Hal ini sesungguhnya membuat para komandan pengawal mengerutkan kening karena tidak setuju, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menentang. Sebaliknya, rakyat berterima kasih dan memuji sikap kaisar yang sama sekali berbeda dengan kaisar-kaisar lain, yang biasanya amat congkak dan tidak sudi berdekatan dengan rakyat, apalagi rakyat kecil yang miskin.
Di antara beberapa orang nelayan yang mendayung perahu mencari ikan di telaga itu, terdapat seorang wanita muda yang pakaiannya seperti nelayan, memakai caping lebar untuk melindungi wajahnya yang manis dari sengatan sinar matahari yang mulai naik tinggi. Perlahan-lahan, perahu wanita nelayan ini makin mendekati perahu kaisar.
Para pengawal yang awas memasang mata, melihat nelayan wanita ini, akan tetapi karena ia hanya seorang wanita nelayan yang sendirian saja dalam sebuah perahu kecil, asyik memancing ikan pula, maka mereka tidak menaruh kecurigaan. Pula, apa yang dapat dilakukan oleh seorang wanita muda terhadap kaisar yang dijaga ketat oleh para pengawal?
Memang benar bahwa kaisar tidak dikerumuni terlalu banyak pengawal, dan di perahu itu pun hanya terdapat enam orang pengawal, akan tetapi itu pun sudah cukup kalau diingat bahwa mereka berada di atas perahu di tengah telaga, sedangkan di pantai telaga berkumpul pasukan pengawal. Selain itu, juga para anak buah perahu bukanlah orang lemah dan dapat pula membantu jika timbul keadaan bahaya. Kalau terlalu banyak perahu nelayan yang berani mendekat perahu kaisar, tentu para pengawal akan melarangnya. Akan tetapi hanya sebuah perahu kecil seorang nelayan wanita saja tidak menjadi soal.
Tetapi para pengawal ini sama sekali tidak tahu bahwa di antara perahu-perahu nelayan yang berada agak jauh dari perahu kaisar itu terdapat penumpang-penumpangnya yang amat mencurigakan. Dari sikap, bentuk tubuh dan pakaian mereka, jelaslah bahwa mereka itu bukan nelayan biasa. Sama sekali bukan nelayan karena mereka adalah orang-orang kang-ouw, kaum sesat yang menaruh hati dendam terhadap kaisar karena mereka adalah orang-orang yang menjadi korban pembersihan, bekas raja-raja bajak dan perampok yang telah kehilangan anak buah dan mata pencaharian mereka, kehilangan kerajaan kecil mereka.
Ada lima orang penjahat besar di perahu-perahu kecil terpisah dan para pengawal tidak tahu betapa tidak lama kemudian perahu-perahu itu kosong dan para penghuninya lenyap. Barulah para pengawal itu menjadi panik dan geger ketika tiba-tiba ada lima orang yang pakaiannya basah kuyup berloncatan masuk ke dalam perahu dengan tangan memegang senjata tajam!
Pada saat itu, Kaisar Kian Liong sedang menghadapi panggang ikan hasil kailnya tadi dan melihat munculnya lima orang ini, tentu saja kaisar menjadi terkejut dan heran. Namun, bukan baru sekali ini saja kaisar itu menghadapi ancaman bahaya. Ketika masih menjadi pangeran, sudah sering kali dia menghadapi ancaman maut, maka sekali ini pun dia bersikap tenang saja. Bahkan kaisar muda ini melanjutkan makan minum sambil nonton betapa enam orang pengawalnya sudah menerjang dan menyambut lima orang penyerbu gelap itu.
Akan tetapi, ternyata lima orang penyerbu ini rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka itu terlalu kuat bagi enam orang pengawal dan berturut-turut, sudah ada tiga orang pengawal yang roboh mandi darah!
“Ha-ha-ha, Kaisar Kian Liong, engkau hendak lari ke mana sekarang?” seorang di antara para penyerbu yang bertubuh seperti raksasa bermuka hitam itu kini mengangkat golok besarnya dan menyerbu ke arah kaisar yang sedang makan daging ikan.
Kaisar itu maklum bahwa tidak ada jalan lari baginya, maka dia pun melanjutkan makan, bangkit pun tidak dari tempat duduknya!
Melihat ketenangan orang itu, si penjahat menjadi termangu-mangu dan ragu-ragu, memandang ke kanan kiri untuk melihat apa yang menyebabkan kaisar begitu tenang seolah-olah ada yang diandalkan. Penjahat ini sudah mendengar betapa kaisar ini sejak menjadi pangeran dahulu selalu dilindungi oleh para pendekar dan menurut dongeng dilindungi oleh dewa-dewa yang tidak nampak!
Kaisar Kian Liong tersenyum melihat keraguan orang itu. “Orang kasar, apa sebabnya engkau hendak membunuh kami?”
Penjahat itu nampak marah lagi. “Engkau menjadi kaisar bertindak sewenang-wenang terhadap golongan kami, menindas dan membasmi golongan kami. Maka kami harus membunuhmu!”
“Ahhh, lalu apa untungnya kalau engkau membunuhku? Tetap saja kalian akan hidup sengsara karena ulah kalian sendiri. Bertobatlah dan bertindaklah di atas jalan yang benar dan kalian akan menemukan kehidupan baru....”
“Tak perlu banyak cakap lagi!” Si penjahat yang agaknya sudah menemukan kembali keganasannya itu melompat ke depan, mengayun goloknya.
“Trrangggg....!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata kaisar yang melindungi mukanya dengan kedua tangan agar bunga api itu tidak mengenai mukanya. Dia melihat munculnya seorang wanita muda berpakaian nelayan yang memakai caping lebar sehingga sukar bagi kaisar untuk dapat melihat muka wanita itu yang tertutup caping. Wanita itu memegang sebatang pedang dan tadi telah meloncat ke perahu sambil menangkis sambaran golok penjahat raksasa itu.
Kini terjadilah perkelahian di atas perahu. Wanita muda itu lihai sekali permainan pedangnya sehingga penjahat tinggi besar menjadi kewalahan juga. Penjahat itu kalah lincah dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu mendesak dan menghimpitnya, membuat dirinya hanya mampu menangkis sambil mundur-mundur saja.
Akan tetapi, segera datang penjahat-penjahat lain dan karena tidak lama kemudian semua pengawal yang berjumlah enam orang itu telah roboh semua, si wanita nelayan terpaksa melawan kelima orang penjahat itu sambil terus melindungi kaisar! Ia memutar pedangnya, berloncatan ke sana-sini menghadang agar mereka tak dapat mengganggu kaisar.
Betapa pun pandai dan gagahnya wanita itu, ia tidak mampu menandingi lima orang penjahat yang ganas itu dan dia sudah menerima beberapa kali bacokan sehingga pakaiannya mulai penuh dengan bercak-bercak darah. Melihat ini, kaisar menjadi marah dan tidak tega.
“Kalian berlima ini sungguh orang-orang jahat kejam dan tidak tahu malu, mengeroyok seorang wanita. Hentikan pengeroyokan itu!”
Akan tetapi, lima orang penjahat itu menghendaki nyawa kaisar dan si wanita menjadi penghalang, tentu saja mereka tidak memperdulikan bentakan-bentakan kaisar. Karena merasa bahwa ia tidak akan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi, wanita itu lalu berkata dengan suara gemetar.
“Sri baginda, larilah.... larilah dari sini selagi ada kesempatan....!”
Akan tetapi, biar pun dia sendiri bukan pendekar, Kaisar Kian Liong sejak dulu memiliki watak yang gagah. Ada seorang wanita yang membela dan melindunginya terancam bahaya maut, bagaimana mungkin dia mau melarikan diri begitu saja meninggalkan wanita itu sendiri saja menghadapi maut? Dia lalu bertepuk tangan dan berkata kepada para anak buah perahu yang berdiri dengan bingung.
“Jangan diam saja. Bantulah wanita ini menghadapi penjahat!”
Mendengar perintah kaisar, barulah belasan orang anak buah perahu itu berbondong-bondong maju dengan senjata seadanya. Ada yang membawa tombak ikan, ada yang membawa dayung, dan tukang masak datang bersenjatakan pisau dapur yang besar. Mereka juga bukan orang-orang lemah, akan tetapi tentu saja bukan apa-apa bagi lima orang penjahat lihai itu. Sebentar saja mereka pun sudah terlempar ke sana-sini terkena tendangan para penjahat dan kembali wanita itu dikeroyok.
“Desss....!”
Sebuah pukulan yang keras sekali dengan sebuah ruyung mengenai punggung wanita itu. Wanita itu mengeluh dan muntah darah, dan pada saat itu pula, sebatang golok membacok lambungnya. Darah muncrat dan wanita itu pun terhuyung. Namun, dengan pedangnya ia juga masih mampu menghalau sebatang golok yang menyambar ke arah kaisar! Wanita itu sungguh gagah perkasa dan mati-matian melindungi kaisar.
“Bunuh perempuan ini lebih dulu, baru kita sembelih kaisar!” kata si tinggi besar dan kini mereka semua menerjang ke arah wanita yang sudah lemah itu.
Si wanita memutar pedangnya untuk melindungi diri, namun karena tenaganya sudah lemah, ia terlempar ke belakang, jatuh menimpa pangkuan kaisar! Kaisar merangkulnya, tidak perduli akan darah wanita itu yang membasahi lengan dan jubahnya. Dan kaisar terkesiap kaget ketika caping itu terbuka dan wajah yang manis itu nampak.
“Li Hwa....!” Kaisar Kian Liong berseru dan memandang terbelalak. “Kau.... kau.... Li Hwa....!”
Wanita itu mencoba untuk tersenyum. “Ampunkan hamba.... hamba tidak berhasil.... menyelamatkan paduka....”
“Li Hwa....!” Kaisar mendekap kepala itu dan merangkulnya ketat.
Lima orang penjahat itu tertegun menyaksikan peristiwa ini, akan tetapi segera si tinggi besar berseru, “Bunuh mereka!”
Lima orang itu menyerbu, seperti lima ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang, menerjang ke arah kaisar yang duduk memeluk tubuh wanita nelayan itu.
“Wuuuutttt.... blaarrrr....!”
Lima orang penjahat itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Mereka merasa seperti disambar halilintar saja dan ketika mereka bangkit berdiri dan menggoyang-goyang kepala mengusir pening, mereka melihat di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh enam tahun, berpakaian sederhana dengan rambut riap-riapan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga, dan di sebelahnya berdiri pula seorang wanita berusia beberapa tahun lebih muda, namun masih nampak cantik dan bertubuh ramping padat, berpakaian rapi dan pesolek, di punggungnya tergantung sebuah payung.
Sepasang suami isteri ini bukan lain adalah pendekar sakti Suma Kian Bu yang dikenal sebagai Pendekar Siluman Kecil dan isterinya yang bernama Teng Siang In. Akan tetapi karena memang selama belasan tahun Suma Kian Bu dan isterinya tidak pernah berkecimpung di dunia kang-ouw dan tidak membuat nama besar, maka lima orang penjahat itu pun tidak mengenal mereka.
Dan inilah celakanya bagi para penjahat itu. Apa bila mereka mengenal suami isteri pendekar itu, tentu mereka akan lari tunggang-langgang tidak berani melawan, meloncat ke air telaga dan berenang ke perahu masing-masing seperti yang mereka lakukan ketika mengadakan penyerbuan tadi.
Akan tetapi, kini mereka bangkit dan memandang marah, lalu menghampiri suami isteri itu dengan sikap mengancam. Mereka adalah kumpulan orang-orang kasar yang hanya mengandalkan kekerasan dan kepandaian sendiri saja, tak tahu diri dan tidak melihat bahwa terjangan Suma Kian Bu tadi saja sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka sama sekali bukanlah tandingan pendekar sakti ini.
Mereka sudah hampir berhasil, sudah menyudutkan kaisar yang demikian tidak berdaya lagi. Sekali menggerakkan golok saja sudah cukup untuk membunuh kaisar dan kini muncul dua orang penghalang yang tak disangka-sangka, tentu saja mereka menjadi penasaran. Mereka maju menghampiri dan membagi kelompok, tiga orang menghampiri Suma Kian Bu dan dua orang menghampiri Teng Siang In.
Para anak buah perahu yang tadi dipukul jatuh bangun, sekarang berdiri berkelompok. Dengan tubuh babak-belur mereka memandang ke depan, dengan penuh harapan mereka berpihak kepada suami isteri yang muncul pada saat yang tepat itu.
Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa dara ini adalah cucu dari Pendekar Super Sakti dan memiliki kepandaian yang tidak lumrah gadis lainnya. Akan tetapi sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dapat meloloskan diri secara tiba-tiba seperti itu!
Pada saat itu, Suma Hui sudah meloncat bangkit berdiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya, menampar ke arah kepala Siauw-ok.
“Hyaaaaatttt....!”
Dara itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Karena pukulan dilakukan dari jarak dekat dan perahu itu amat kecil sehingga tidak mungkin bagi Siauw-ok untuk mengelak lagi, maka Siauw-ok terpaksa mengangkat lengannya menangkis, menjaga agar jangan sampai tenaganya terlalu besar dan melukai dara yang membuatnya tergila-gila ini.
“Dukkkkk....!” Tubuh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terjongkok dan menggigil kedinginan!
Kiranya dara itu telah mempergunakan tenaga yang belum lama dilatihnya di Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang amat hebat. Untung bagi Jai-hwa Siauw-ok bahwa gadis itu belum matang benar latihannya karena andai kata demikian, dia akan menderita luka dalam yang parah.
Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mengumpulkan hawa murni untuk melindungi tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Dia merasa berbuat salah sendiri karena terlalu memandang ringan sehingga hampir celaka. Bagaimana pun juga, tenaganya masih lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dara itu, maka kalau tadi dia mengerahkan seluruh tenaga, tentu dia lebih kuat.
“Haiiiittt....!”
Melihat pukulannya yang pertama hanya membuat lawan terjongkok, Suma Hui merasa penasaran dan dia pun sudah menyerang lagi dengan dua kali hantaman tangan kanan lurus-lurus ke arah dada lawannya.
Kembali Siauw-ok terpaksa menangkis, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan sinkang dan mempergunakan tenaga kasar dan panas yang lebih kuat untuk mengimbangi hawa dingin yang terkandung dalam pukulan dara itu.
“Dessss....!”
Dua tenaga dahsyat bertemu melalui lengan mereka dan akibatnya, tubuh Siauw-ok terdorong keras dan terpelanting keluar dari perahu.
“Byuuurrr....!”
Siauw-ok yang terjungkal ke air menyelam. Dia terkejut bukan main karena ternyata dara itu tidak lagi mengerahkan tenaga berhawa dingin, melainkan pukulannya tadi mengandung hawa panas dan kekuatan yang amat hebat. Dia tidak tahu bahwa itulah ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api).
Karena keras bertemu keras dan tenaganya kalah ampuh, ditambah lagi kekagetannya ketika merasa betapa ada hawa panas membakar tubuhnya melalui lengan, maka tubuh Jai-hwa Siauw-ok terlempar dan terpelanting ke dalam lautan. Tentu saja hati Suma Hui merasa lega dan girang sekali dan cepat ia mengambil tali kemudi untuk mengemudikan layar perahu.
“Krakkk....!”
Tiba-tiba tiang layar yang tidak berapa besar itu patah. Kiranya Siauw-ok telah muncul di balik perahu dan memukul patah tiang layar itu dengan tangannya.
“Iblis jahat kau!” Suma Hui memaki dan cepat menyambar dayung untuk menyerang kepala yang muncul di permukaan air itu.
“Pratttt....!”
Air muncrat ke atas, akan tetapi kepala itu lenyap dan dayung hanya memukul air. Suma Hui tidak perduli lagi dan hendak mendayung perahu kccil itu, akan tetapi tiba-tiba perahu itu terguncang keras dan terbalik! Tentu saja dara itu pun terlempar dan terjatuh ke air.
“Byuuurrr....!”
Air muncrat lagi dan Suma Hui cepat menggerakkan kaki tangannya untuk mencegah tubuhnya tenggelam.
“He-he-he, nona manis....!” Mendadak ada lengan yang merangkul pinggangnya yang ramping.
“Lepaskan, jahanam!” Suma Hui menjerit dan memukul ke belakang.
Akan tetapi Siauw-ok yang lebih pandai bermain di air itu telah menyelam. Dan tiba-tiba Suma Hui menjerit ketika kakinya ada yang menangkap dari bawah dan terus tangan itu menyeretnya ke bawah permukaan air! Dara itu meronta-ronta dan mencoba untuk menendang atau memukul. Terjadi pergumulan di dalam air.
Suma Hui melawan mati-matian dan berusaha sedapat mungkin. Namun, ternyata ia jauh kalah mahir sehingga ia gelagapan dan banyak menelan air laut. Apalagi Siauw-ok menggumulnya sehingga di samping ia memang kalah pandai, juga ia merasa jijik dan geli merasa betapa dirinya dirangkul dan dipeluk. Akhirnya ia terkulai pingsan!
Masih untung baginya bahwa ambisi Siauw-ok untuk membanggakan kemenangan dan menyombongkan dirinya demikian besarnya sehingga biar pun melihat dara itu dengan pakaian basah kuyup nampak amat merangsang, pakaian basahnya melekat ketat pada tubuhnya yang padat, namun penjahat cabul itu tidak menuruti nafsu birahinya dan bertahan diri, tidak memperkosanya. Siauw-ok membawa Suma Hui kembali ke dalam perahu yang telah kehilangan layarnya itu, menotoknya kembali dan sekarang dengan bersungut-sungut dia mendayung perahunya melanjutkan perjalanan.
Pada suatu senja, perahunya berlabuh di sebuah pantai yang sunyi di sebelah selatan kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung. Siauw-ok menarik perahunya ke pantai, kemudian memondong tubuh Suma Hui yang masih tertotok, lalu membawanya berlari memasuki sebuah hutan yang telah mulai gelap. Setelah malam tiba, nampak Siauw-ok memasuki sebuah pekarangan depan rumah yang berdiri terpencil di luar kota Ceng-to.
Rumah itu bercat merah yang mungil. Bagi para laki-laki hidung belang di kota Ceng-to, rumah ini amat terkenal karena rumah ini merupakan rumah milik Ang Bwee Nio-nio, seorang bekas pelacur kenamaan yang kini telah berusia empat puluh tahun dan telah mengalihkan pekerjaannya dari seorang pelacur kenamaan menjadi seorang mucikari kenamaan pula. Hampir semua pelacur di daerah Ceng-to mengenalnya. Dan pelacur mana pun juga akan merasa terhormat kalau dipanggil oleh mucikari ini karena para langganan dari Ang Bwee Nio-nio hanyalah orang-orang besar yang berkedudukan penting atau yang kaya raya saja.
Karena sejak sore tadi hujan turun dan sekarang pun masih gerimis, rumah pelacuran itu sunyi. Memang Ang Bwee Nio-nio tidak pernah menyediakan pelacur di rumahnya. Ia hanya memanggil pelacur-pelacur yang dipesan para langganannya saja, menyediakan kamar-kamar yang cukup mewah dan bersih, dan juga melayani makan minum yang cukup lengkap dan lezat. Ia hanya hidup bersama dua orang pelayan yang tinggal di situ, pelayan-pelayan wanita setengah tua.
Ketika Jai-hwa Siauw-ok mengetuk pintu depan, terdengar suara jawaban dari dalam dan tak lama kemudian daun pintu dibuka orang. Seorang wanita berpakaian pelayan memandang dan wajahnya segera berubah ramah.
“Aih, kiranya Ouw-taiya (tuan besar Ouw) yang datang. Tapi.... tapi mengapakah nona ini....?” katanya menunjuk kepada Suma Hui di atas pundak Siauw-ok.
“Jangan ribut. Apakah malam ini banyak tamu?”
“Sepi, taiya, habis hujan.”
“Tutupkan daun pintunya dan malam ini tidak boleh menerima tamu, katakan saja toanio sakit. Mengerti?” Pandang mata Siauw-ok penuh ancaman.
“Baik, taiya....!” kata pelayan itu takut-takut.
“Di mana toanio? Panggil ia keluar.”
Pelayan itu berlari masuk setelah menutupkan daun pintu. Tak lama kemudian nampak seorang wanita datang setengah berlari. Ia sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi masih pesolek. Pakaiannya indah, mukanya berbedak tebal, alisnya dicukur dan dilukis, bibirnya diberi gincu merah, demikian pula kedua pipinya. Memang dia bekas seorang wanita yang cantik menarik. Inilah Ang Bwee Nio-nio, dahulu terkenal sebagai Ang Bwee (Bunga Bwee Merah), pelacur tingkat tinggi di Ceng-to.
“Ahhh, baru sekarang engkau muncul, Ouw-koko....!” Wanita itu segera menghampiri Siauw-ok dan merangkul dengan sikap manja dan mesra.
Memang ia adalah kekasih lama Siauw-ok, tetapi sudah lama Siauw-ok meninggalkan dan menjauhinya. Ketika dirangkul oleh wanita ini dan mencium bau wangi semerbak yang menusuk hidung, Siauw-ok mengerutkan alisnya dengan sebal dan tangannya lalu mendorong!
Untung wanita itu agaknya bukan wanita sembarangan sehingga dorongan yang akan merobohkan setiap orang yang bertubuh kuat itu hanya membuatnya agak terhuyung. Wanita itu pun dapat cepat menggeser kaki memasang kuda-kuda sehingga tubuhnya tidak sampai terpelanting.
“Ouw-koko....!” Dalam seruan ini terkandung rasa penasaran dan kedukaan yang besar walau pun pandang mata wanita itu terhadap Siauw-ok masih terkandung kemesraan dan rasa sayang yang amat besar. “Kenapa kau....?”
“Sudahlah, jangan ganggu aku, Ang Bwee. Aku lelah sekali. Kau tahu dari mana aku datang dan siapa adanya gadis ini?”
Ketika wanita itu menggelengkan kepala dan memandang kepada Suma Hui dengan mata terbelalak dan rasa ingin tahu, sambil tersenyum penuh kebanggaan Siauw-ok lalu menyambung, “Aku baru saja kembali dari penyerbuan ke Pulau Es, dan gadis yang kutawan ini adalah cucu perempuan Pendekar Super Sakti.”
“Ahhhh....!” Mata wanita itu terbelalak dan ia nampak terkejut bukan main.
“Nah, jangan ganggu aku. Cepatlah kau sediakan kamar untuk gadis ini dan lebih dulu ambilkan belenggu kaki tangan dari baja. Engkau masih punya, bukan? Yang biasa untuk membelenggu gadis yang bandel. Cepat ambil sepasang.”
Ang Bwee Nio-nio mengangguk-angguk lalu berlari ke dalam. Tak lama dia sudah keluar kembali dan membawa sepasang belenggu kaki tangan dari baja yang memakai kunci. Belenggu-belenggu itu lalu dikenakan pada kaki tangan Suma Hui dengan amat cekatan oleh wanita itu.
“Sekarang, bawa dara ini ke kamarnya, kemudian layani aku makan minum sepuasku. Aku akan menceritakan kesemuanya padamu sampai kau puas, Ang Bwee.”
Wanita itu menerima tubuh Suma Hui yang masih dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya terbelenggu, memandang wajah yang jelita dan meraba tubuh yang padat itu lalu menarik napas panjang. “Seorang gadis yang indah sekali, Ouw-koko.”
“Ha-ha-ha, kau kira bagaimana? Kalau tidak demikian, perlu apa aku bersusah payah membawanya? Sudah, simpan ia baik-baik dan aku mau mandi dan bertukar pakaian dulu.”
Dengan gembira Siauw-ok kemudian mandi dan bertukar pakaian. Sedangkan wanita itu memondong tubuh Suma Hui, dibawanya masuk ke dalam sebuah di antara kamar-kamar rumahnya dan merebahkan dara itu di atas pembaringan.
Sebetulnya sejak tadi Suma Hui sadar, akan tetapi dara ini berpura-pura tidak sadar dan bergantung lemas. Ketika kaki tangannya dibelenggu, diam-diam ia mengeluh. Selama ini ia selalu mencari kesempatan, akan tetapi semenjak perlawanannya di atas perahu sampai ia ditawan kembali, Siauw-ok selalu memperhatikannya dan amat teliti. Dan sekarang, kaki tangannya malah dibelenggu, dengan belenggu baja sehingga andai kata ia dapat memperoleh kesempatan dan totokan ini tidak lagi menguasai dirinya, sukarlah baginya untuk membebaskan diri dari belenggu ini.
Wanita itu merebahkannya terlentang di atas pembaringan. Dan betapa kaget rasa hati Suma Hui ketika rantai belenggu kaki tangannya itu dikaitkan kepada kaitan-kaitan yang sudah tersedia di pembaringan itu sehingga kaki dan tangannya terpentang dengan masing-masing tangan dan kaki terikat pada kaitan di empat penjuru pembaringan!
Sebagai seorang wanita kang-ouw yang sudah banyak mendengar tentang kejahatan kaum sesat, ia mengerti bahwa kini dirinya terancam bahaya yang amat hebat bagi seorang wanita. Bahaya pemerkosaan! Dan ia tidak akan mampu mempertahankan diri!
Ngeri sekali rasa hatinya membayangkan hal ini, akan tetapi segera kekerasan hatinya dapat menguasai dirinya lagi. Biarlah. Ia akan selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari malapetaka itu, akan tetapi andai kata semua itu terjadi pula, ia akan pura-pura memyerah, kemudian jika kesempatan terbuka, ia akan membunuh musuhnya sebelum membunuh diri untuk mencuci noda dan aib yang menimpa dirinya!
Setelah mengikatkan kaki dan tangan Suma Hui pada kaitan-kaitan di empat sudut pembaringan, Ang Bwee Nio-nio bersungut-sungut sambil memandangi tubuh gadis itu. “Dasar laki-laki yang tak mengenal budi! Maunya bersenang-senang saja, bahkan tidak segan-segan menusuk hatiku dengan menolak diriku dan lebih memilih bocah dari musuh besar. Sungguh merupakan penghinaan yang tiada taranya! Ouw Teng, kalau sekali ini engkau tak memperdulikan diriku, engkau pun tak akan dapat menikmati gadis ini....!”
Setelah berkata demikian, wanita itu lalu pergi keluar kamar dan menguncikan pintu kamar itu dari luar. Tentu saja Suma Hui yang ditinggal seorang diri itu menjadi gelisah. Sudah dikerahkannya tenaganya untuk membebaskan diri dari totokan, namun belum juga ia berhasil. Kalau sudah bebas dari totokan, setidaknya ia akan dapat berusaha membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Memang sedikit sekali kemungkinan akan berhasil, akan tetapi setidaknya ia dapat berusaha dan melakukan sesuatu, tidak seperti sekarang ini, rebah terlentang tak berdaya sama sekali!
Tak lama kemudian, Suma Hui dapat mendengar suara-suara dari sebelah kanan. Ia mengangkat muka dan menoleh dan ternyata suara itu datang dari lubang-lubang angin di dinding kamar. Ia dapat mengenal suara Siauw-ok yang dibencinya dan suara wanita tadi. Mereka sedang pesta makan minum agaknya!
Terdengar suara Siauw-ok menceritakan tentang penyerbuan di Pulau Es itu diselingi suara ketawa-ketawa bangga dan seruan-seruan heran si wanita. Agaknya Siauw-ok banyak minum arak karena terdengar berkali-kali Ang Bwee Nio-nio memerintahkan pelayan mengambilkan guci arak baru.
Kemudian, setelah cerita itu habis, terdengar suara wanita itu membujuk dan merayu. Lalu terdengar kata-kata keras Siauw-ok menolak. Mereka lalu bercekcok dan lapat-lapat terdengar oleh Suma Hui suara keras seperti orang ditampar disusul jerit tertahan si wanita.
“Pergilah, dan jangan ganggu aku, ha-ha-ha! Aku harus mengumpulkan tenaga untuk tawananku.” Terdengar Siauw-ok tertawa-tawa keras.
Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati semakin tegang. Sejak tadi ia terus berusaha dan akhirnya kini ia mulai dapat menggerakkan kaki tangannya. Pengaruh totokan itu sudah mulai berkurang dan sebentar lagi ia akan bebas dari pengaruh totokan! Mulailah ia mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat sinkang-nya dan pada saat ia berhasil mengusir sama sekali pengaruh totokan dan jalan darahnya sudah lancar kembali ke seluruh tubuhnya, tiba-tiba saja daun pintu terbuka perlahan.
“Ahhh....!” Suma Hui menahan jeritnya.
Dia cepat memejamkan mata, mengintai dari balik bulu matanya. Jika terpaksa ia harus menderita mala petaka hebat itu, maka ia akan membuat dirinya pingsan dan untuk ini ia sudah siap siaga. Ia tahu bagaimana caranya mematikan rasa atau membuat dirinya pingsan.
Tetapi, hatinya terasa lega dan juga heran ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah wanita itu! Dia melihat betapa wanita itu menangis. Air matanya masih membasahi pipi dan mata, dan pipi kanan wanita itu membengkak! Kiranya wanita ini tadi datang untuk melampiaskan dendam terhadap Siauw-ok kepadanya. Bukankah tadi sebelum pergi ia telah menyatakan bahwa ia akan menghalangi Siauw-ok agar tidak dapat menikmati gadis tawanannya? Bukankah itu berarti wanita ini hendak membunuhnya?
Dan ia tidak akan dapat melawan sedikit pun juga, walau jalan darahnya telah pulih kembali. Paling banyak ia hanya akan dapat mengerahkan sinkang ke arah tubuh yang diserang, membuat bagian tubuh itu kebal. Akan tetapi wanita ini agaknya bukan wanita sembarangan pula dan tentu akan tahu bagaimana caranya untuk membunuh orang yang memiliki kekebalan.
Kini Ang Bwee Nio-nio menghampiri pembaringan, dan sejenak dia berdiri memandangi wajah dan tubuh Suma Hui. Dan terdengarlah suaranya berbisik-bisik, “Aku mendengar bahwa Pendekar Super Sakti sekeluarga adalah pendekar-pendekar yang selain amat sakti juga memiliki watak yang budiman, sudah banyak menolong manusia lain. Aku sendiri sejak kecil bergelimang kejahatan. Biarlah dalam kekecewaan dan penghinaan ini aku melakukan suatu kebaikan, mungkin aku diperalat oleh Thian untuk membalas segala kebaikan keluarga Pendekar Super Sakti.”
Setelah berkata demikian, wanita itu mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Suma Hui sudah bersiap-siap, menyangka bahwa wanita itu tentu akan mengeluarkan senjata tajam. Akan tetapi, yang dikeluarkan ternyata sebuah kunci dan dengan cekatan wanita itu lalu membuka belenggu kedua kaki dan tangan Suma Hui!
Gadis ini terkejut, girang dan heran, akan tetapi sekali meloncat, ia telah turun dari pembaringan. Tentu saja Ang Bwee Nio-nio terkejut juga dan makin percayalah wanita ini akan kehebatan gadis cucu Pendekar Super Sakti itu. Siapa duga bahwa gadis yang kelihatan sama sekali tak berdaya itu, begitu dibuka belenggunya, sudah dapat bergerak sedemikian gesitnya.
“Ssstt, nona. Engkau harus cepat melarikan diri dari tempat ini....,” bisiknya.
“Terima kasih atas pertolonganmu,” kata Suma Hui kembali.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa diikuti langkah-langkah kaki menuju ke kamar itu.
“Ssttt, dia datang. Biar aku mencoba mencegahnya masuk,” kata Ang Bwee Nio-nio.
Dan ia pun cepat membuka daun pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintunya. Suma Hui yang maklum akan kelihaian Jai-hwa Siauw-ok, sudah meloncat lagi ke atas pembaringan dan pura-pura rebah tak berdaya, memasangkan kembali rantai belenggu seolah-olah masih tetap mengikatnya. Ia harus menggunakan siasat, pikirnya. Menyerang tokoh sesat itu secara berterang, jelas ia tidak akan menang. Biarlah ia akan menyerang tiba-tiba sebelum orang itu tahu bahwa ia telah bebas.
Ia mendengar kembali suara Ang Bwee Nio-nio membujuk-bujuk dan merayu di luar kamar, seolah-olah hendak menyeret Siauw-ok yang setengah mabok itu agar pergi ke kamarnya sendiri. Akan tetapi terdengar Siauw-ok menolak dan mereka pun cekcok lalu terdengar suara perkelahian di luar kamar!
Ahh, mereka berkelahi, pikir Suma Hui. Inilah saatnya yang baik untuk turun tangan, membantu Ang Bwee Nio-nio mengeroyok Siauw-ok yang lihai. Ia menoleh ke kanan kiri mencari senjata, akan tetapi di dalam kamar yang biasa dipergunakan orang untuk pelesir dan bermain cinta itu mana ada senjata? Ia lalu nekat, dengan tangan kosong ia akan menerjang keluar dari pintu.
Akan tetapi kedatangannya terlambat. Pada saat ia muncul, Jai-hwa Siauw-ok dengan tubuh setengah berjongkok sudah memukulkan kedua tangannya ke arah dada Ang Bwee Nio-nio dan wanita itu terjengkang, dari mulutnya muntah darah segar! Siauw-ok sudah memukul bekas kekasihnya sendiri dengan sebuah pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya secara curian dari Su-ok. Pukulan ini jahat sekali dan wanita itu tidak kuat menerimanya, terjengkang, terbanting dan tewas seketika.
Suma Hui sudah marah sekali, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang. Karena maklum akan kelihaian lawan, Suma Hui segera mainkan gabungan Ilmu Silat Pat-mo-kun dan Pat-sian-kun, karena baru ilmu inilah yang pernah dipelajarinya secara mendalam. Gerakannya lincah sekali dan kedua tangannya diisi dengan kedua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berganti-ganti.
“Ha-ha-ha, engkau sudah siap untuk menyambutku, nona manis? Ha-ha-ha, mari kita main-main sebentar sebelum engkau kutangkap dan sekarang harus kupaksa engkau untuk melayaniku, mau atau tidak mau!” Di dalam kata-kata ini terkandung ejekan dan juga ancaman karena tokoh sesat ini benar-benar merasa jengkel melihat betapa gadis cucu Majikan Pulau Es ini berkali-kali dapat melepaskan diri dan merepotkannya saja.
Akan tetapi dia pun terkejut melihat ilmu silat yang sangat hebat itu. Juga dia harus berhati-hati terhadap sinkang yang bisa berubah-ubah sifatnya itu, dari lembek menjadi keras, dari dingin menjadi panas. Bagaimana pun juga, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dan Suma Hui masih kurang matang ilmu-ilmunya, maka setelah bertanding selama lima puluh jurus lebih, mulailah dara itu terdesak hebat.
“Ha-ha, menyerahlah, manis. Perlu apa kau habiskan tenagamu? Masih kau butuhkan untuk melayani aku nanti, ha-ha-ha!” Kata-kata Siauw-ok makin cabul karena birahinya semakin bernyala, terdorong oleh arak dan juga oleh perkelahian itu.
Beberapa kali Suma Hui terhuyung. Diam-diam gadis ini mengambil keputusan bahwa sebelum ia tertawan, lebih baik ia membunuh diri saja. Ia akan melawan terus sampai napas terakhir. Pendeknya, ia hanya mempunyai dua pilihan. Lolos atau mati, dan tidak akan membiarkan dirinya tertawan kembali!
Tiba-tiba Siauw-ok mengeluarkan suara tawa dan tubuhnya lenyap, menjadi berpusing seperti gasing! Suma Hui terkejut dan menjadi bingung. Ilmu silat macam apakah ini? Tubuh orang itu berpusing sehingga ia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya dan dari dalam pusingan itu kadang-kadang mencuat cengkeraman tangan yang hendak menangkapnya dan jari-jari yang hendak menotoknya.
Dara itu tidak tahu bahwa itulah Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), ilmu curian yang berasal dari ilmu yang dimiliki Sam-ok. Sebelum Suma Hui dapat mengelak, tangan kanannya telah kena ditangkap! Gadis ini terkejut sekali, akan tetapi kembali pergelangan kirinya kena ditangkap! Ia menjadi gugup, tidak dapat ia membunuh diri setelah kedua tangannya ditangkap.
“Jahanam busuk, lepaskan dia!”
Tiba-tiba saja ada angin menyambar dahsyat ke arah kepala Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang datangnya dari belakang. Demikian hebatnya angin itu menyambar sehingga Siauw-ok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa serangan yang ditujukan dari belakang ke arah kepalanya itu merupakan pukulan maut, maka terpaksa dia harus melepaskan cengkeramannya pada pergelangan kedua tangan gadis itu. Dia lalu membalik sambil merendahkan tubuhnya dan menggunakan kedua lengannya menangkis ke depan.
“Dessss....!”
Tubuh Siauw-ok terdorong ke belakang dan dia pun terhuyung. Dengan mata terbelalak dia memandang kepada penyerangnya. Bukan main kagetnya ketika mengenal pemuda ini sebagai putera Naga Sakti Gurun Pasir yang dilihatnya telah terlempar ke lautan dalam badai itu!
“Cin Liong....!” Teriakan Suma Hui ini terdengar penuh dengan rasa haru, gembira dan terkejut. Bukankah pemuda itu dikabarkan telah tewas?
“Cin Liong, jangan lepaskan jahanam itu!”
Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang agaknya melihat gelagat buruk, sudah menggerakkan kedua lengannya ke depan, ke arah dua orang muda itu. Terdengar bunyi bercuitan dan melihat ini, Cin Liong terkejut sekali.
“Hui-i.... awas....!”
Dan dia pun sudah menubruk maju dan menggerakkan kedua lengan menghadang dan menangkis pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan itu. Itulah Ilmu Jari Pedang atau Kiam-ci yang amat ampuh. Akan tetapi ketika tertangkis, kembali Siauw-ok terdorong ke belakang dan tiba-tiba tubuhnya telah meloncat keluar pintu, menggunakan kesempatan selagi Cin Liong melindungi Suma Hui dan menjauhi pintu tadi.
“Kejar dia....!” Suma Hui yang amat membenci pria itu berteriak.
Cin Liong juga meloncat mengejar. Akan tetapi, karena di luar gelap dan Siauw-ok tidak nampak lagi bayangannya, juga tidak diketahui ke arah mana larinya, dia pun kembali memasuki pondok itu.
Di situ dia melihat dua orang pelayan wanita setengah tua berlutut dan menangisi mayat seorang wanita yang mukanya penuh darah yang dimuntahkan dari mulutnya sendiri, sedangkan Suma Hui juga berlutut dan memeriksa wanita itu.
Dara itu bangkit berdiri ketika melihatnya, dan bertanya, “Bagaimana dengan jahanam itu?”
Cin Liong mengangkat dua pundaknya dan mengembangkan lengannya. “Di luar amat gelap dan dia sudah menghilang seperti setan.”
“Sayang....,” kata Suma Hui sambil menudingkan telunjuk ke arah mayat itu. “Ia adalah pemilik rumah ini dan ia telah berusaha menolong dan membebaskan aku.” Lalu Suma Hui mengguncang pundak seorang pelayan sambil bertanya, “Bibi, siapakah penjahat kejam itu tadi? Katakan padaku karena aku akan mencari dan membalaskan kematian majikan kalian.”
“Dia adalah teman lama dari toanio, seorang langganan yang sangat baik. Namanya Ouw-taiya.... Ouw Teng....”
“Dan julukannya adalah Jai-hwa Siauw-ok,” sambung orang ke dua.
Mendengar disebutnya julukan ini, Cin Liong kemudian mengerutkan alisnya. “Jai-hwa Siauw-ok....?”
“Engkau mengenal nama itu?” Suma Hui bertanya.
Cin Liong mengangguk, lalu berkata, “Hui-i, marilah kita pergi dari sini dan nanti kita bicara.”
Suma Hui mengangguk dan tanpa pamit mereka lalu pergi berloncatan meninggalkan dua orang pelayan wanita yang masih menangisi mayat Ang Bwee Nio-nio itu. Karena Suma Hui telah kehilangan semuanya, bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya sudah amat kotor dan kusut, Cin Liong mengajaknya untuk memasuki kota Ceng-to dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menggunakan dua kamar yang berdampingan.
Suma Hui hanya mengangguk menyetujui. Dia hanya dapat memandang dan menerima dengan penuh rasa haru dan terima kasih ketika pemuda itu datang membawakan beberapa stel pakaian baru untuknya, yang dibeli oleh pemuda itu dari toko.
“Cin Liong, sekarang ceritakanlah tentang adik-adikku. Apakah engkau melihat mereka? Bagaimana keadaan mereka?”
Pertanyaan ini sebetulnya sudah sejak ia bertemu dengan Cin Liong ingin ditanyakan, akan tetapi selalu ditahannya karena ia merasa ngeri untuk mendengar yang buruk-buruk. Kini, pertanyaan itu diajukan dengan suara penuh getaran dan sepasang mata itu memandang penuh duka dan gelisah. Semua ini terasa sekali oleh Cin Liong ketika dia mendengar pertanyaan itu.
Mereka duduk berhadapan di ruangan luar kamar mereka. Malam itu amat sunyi karena rumah penginapan itu pun sepi dan kosong. Mereka menghadapi meja dan saling pandang di bawah penerangan lampu gantung.
Wajah gadis itu nampak amat memelas bagi Cin Liong. Rambutnya masih kusut tidak tersisir rapi dan pakaian yang dipakainya itu tentu saja tidak cocok benar karena dibelinya dari toko, agak kelonggaran. Wajah yang cantik itu agak pucat dan matanya membayangkan kegelisahan yang mendalam.
Rasa iba menyelubungi sanubari Cin Liong. Ingin dia memegang kedua tangan yang diletakkan di atas meja itu, ingin dia merangkul dan menghibur gadis ini. Tapi gadis ini adalah bibinya! Bibinya!
Cin Liong menundukkan pandang matanya dan menarik napas panjang. Kemudian dia mengangkat muka memandang dan dari sinar matanya terpancar rasa iba.
“Sayang sekali, aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaan mereka, Hui-i. Ketika kalian dikeroyok di atas perahu, aku telah lebih dulu terlempar keluar dan tercebur ke lautan, ditelan badai dan hanya kekuasaan Thian sajalah yang dapat menyelamatkan aku dari bencana maut di lautan yang ganas itu. Aku tidak melihat bagaimana keadaan kedua paman itu.” Lalu dia menceritakan pengalamannya ketika terlempar ke lautan sampai dia berhasil selamat dan akhirnya naik papan dan mendarat.
“Jadi engkau sama sekali tidak tahu bagaimana nasib kedua orang adikku?” Gadis itu memejamkan matanya dan menghapus air mata yang mulai menetes turun. “Menurut penuturan jahanam Siauw-ok itu, mereka.... mereka mungkin telah tewas. Ciang Bun terlempar ke lautan sedangkan Ceng Liong ditawan oleh Hek-i Mo-ong.”
“Ahh!” Cin Liong mengepal tinju, “mereka itu orang-orang jahat. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mencari dan membasmi mereka semua itu!”
“Aku pun tidak akan berhenti sebelum menumpas mereka!” Suma Hui mengepal tinju, teringat akan kehancuran keluarga Pulau Es. Kemudian dipandangnya pemuda perkasa itu dan ia pun bertanya, “Bagaimana engkau dapat tiba di pondok itu dan menolongku, Cin Liong?”
“Hanya kebetulan saja, Hui-i. Baru kemarin aku mendarat dan memasuki kota. Setelah berganti pakaian dan memulihkan kekuatan, siang tadi aku mendatangi pantai di luar kota Ceng-to, untuk menyelidiki kalau-kalau ada di antara kalian bertiga yang selamat dan mendarat pula. Di dalam penyelidikan itulah, sore tadi aku mendengar percakapan dua orang nelayan yang katanya melihat seorang kakek memondong tubuh seorang gadis yang pingsan dan katanya kakek itu berlari cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Mendengar ini, aku lalu melakukan pengejaran dan akhirnya aku tiba di pondok itu. Ketika aku melihat Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sedang makan minum di dalam pondok, aku pun merasa yakin bahwa tentu dia yang dilihat dua orang nelayan itu dan gadis yang pingsan itu tentu engkau. Maka aku pun masuk dan kebetulan sekali aku tiba pada saat yang tepat.”
“Cin Liong....,” Suma Hui menelan ludah, sukar agaknya melanjutkan kata-katanya.
“Ya, Hui-i?”
“Engkau.... engkau baik sekali, Cin Liong. Engkau telah membela kami, bahkan engkau telah berkali-kali menyelamatkan aku.”
“Ahhh, harap jangan berkata demikian, Hui-i. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku membela keluarga Pulau Es? Bukan keluarga sekali pun tentu akan kubela, karena bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang kejahatan?”
“Ya, tapi.... tapi....”
“Tapi apa, Hui-i?”
Seperti tanpa disadarinya, Suma Hui memegang tangan pemuda itu yang terletak di atas meja pula. Ia meremas jari-jari tangan itu. “Cin Liong.... berkali-kali aku terkenang akan hal itu.... engkau begini baik dan aku.... aku....”
Cin Liong merasa terharu bukan main ketika merasa betapa tangannya dipegang dan diremas-remas oleh gadis itu. Betapa lembutnya telapak tangan gadis itu, lembut hangat dan mengandung penuh getaran yang menggetarkan pula jantung Cin Liong.
“Engkau pun seorang gadis yang amat baik, Hui-i. Baik sekali....”
“Aku telah menamparmu berkali-kali....! Nah, itulah yang selalu terkenang dengan hati perih olehku, Cin Liong. Engkau hampir berkorban nyawa berkali-kali untuk membela kami, sedangkan aku sudah menghina dan menyakitimu. Maukah.... maukah engkau memaafkan aku, Cin Liong?” Di dalam suara itu terkandung isak.
Pemuda itu merasa semakin terharu dan dia pun balas meremas tangan yang lembut itu sehingga jari-jari tangan mereka saling bertautan.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Hui-i. Sudah sepatutnya engkau menamparku, karena memang aku telah menyakitkan hatimu. Bahkan sekarang pun aku bersedia andai kata engkau hendak menambah beberapa tamparan lagi.”
“Ih, jangan begitu, Cin Liong. Aku sungguh menyesal, dan aku minta maaf. Penyesalan itu selamanya akan mengganggu hatiku sebelum engkau memberikan maafmu.” Sambil berkata demikian, gadis itu memandang kepada wajah Cin Liong dengan sinar mata penuh permohonan.
Cin Liong tidak tega membiarkan gadis itu tenggelam dalam penyesalan diri. “Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Aku maafkan semua perbuatanmu, Hui-i.”
Wajah yang cantik itu menjadi berseri-seri dan tiba-tiba saja, seolah-olah baru melihat betapa tangannya saling cengkeram dengan tangan pemuda itu, perlahan-lahan Suma Hui menarik kembali tangannya. “Ahh, engkau memang baik sekali, Cin Liong. Belum pernah selama hidup aku bertemu dengan seorang yang baik seperti engkau.”
“Jangan terlalu memuji, Hui-i. Engkau sendiri pun seorang gadis yang teramat baik.”
Suma Hui tersenyum. “Ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau rendah hati. Mana mungkin seorang gadis buruk watak seperti aku ini kau katakan baik?”
“Sungguh, Hui-i, aku bicara setulusnya, keluar dari dalam lubuk hatiku.”
Wajah yang manis itu menjadi semakin merah dan kini Suma Hui menunduk. “Bagiku, engkau adalah orang yang paling baik di dunia ini.”
“Bagiku, engkau pun demikian, Hui-i.”
“Ihh, benarkah itu? Tidak ada lain gadis yang seperti aku?”
“Banyak gadis di dunia ini, akan tetapi bagiku tidak ada yang seperti engkau, Hui-i.”
Hening sejenak dan gadis itu menunduk, agaknya kini ia hampir tidak berani menentang pandang mata pemuda itu karena ia melihat sesuatu dalam pandang mata itu yang membuatnya menjadi malu dan bingung.
“Cin Liong....”
“Apa yang hendak kau katakan, Hui-i?”
“Kulihat engkau sudah lebih dari dewasa....”
“Usiaku sudah hampir tiga puluh tahun, Hui-i.”
“Kiranya sudah lebih dari cukup untuk.... menikah.”
“Sudah lebih dari cukup, terlambat malah.”
“Lalu kenapa sampai kini engkau belum menikah?” Kini gadis itu berani mengangkat muka memandang dan sebaliknya malah Cin Liong yang kini menundukkan mukanya.
Beberapa kali pemuda ini menarik napas panjang. Pertanyaan Suma Hui itu seolah-olah merupakan serangan ujung tombak ke arah hatinya dan membuat dia mau tidak mau teringat kembali kepada Bu Ci Sian, gadis pertama yang pernah merampas hatinya akan tetapi kemudian gagal menjadi jodohnya. Akan tetapi dengan cepat dia mengusir bayangan itu dari ingatannya karena Bu Ci Sian kini telah menjadi isteri orang lain, isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.
“Hui-i, tadinya aku mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya, akan tetapi setelah aku berjumpa denganmu....”
“Ya, bagaimana, Cin Liong?”
“Pendirianku lalu goyah....” Kini Cin Liong yang mengulur tangan dan memegang tangan Suma Hui di atas meja itu, dipegangnya dengan lembut seperti memegang seekor anak burung yang lemah. “Sejak bertemu denganmu, aku tahu bahwa aku ingin menikah.... aku ingin dapat hidup bersama denganmu selamanya, Hui-i....”
“Cin Liong....!” Tangan dalam genggaman Cin Liong itu menggelepar bagai anak burung ketakutan, namun tangan itu tidak ditarik seperti tadi dan gadis itu menunduk dengan muka merah sekali, lalu perlahan-lahan menjadi pucat dan dua titik air mata mengalir turun.
“Maafkanlah aku jika menyinggung perasaan hatimu, Hui-i,” kata Cin Liong, wajahnya agak pucat karena pemuda ini dilanda kekhawatiran kalau-kalau dia harus mengalami patah hati yang amat pahit untuk kedua kalinya setelah dahulu dia pernah patah hati karena cintanya ditolak oleh Bu Ci Sian.
“Tidak ada yang harus dimaafkan dan engkau tidak menyinggung, Cin Liong. Akan tetapi.... lupakah engkau bahwa.... bahwa aku ini bibimu dan engkau keponakanku? Ayahku, Suma Kian Lee dan ibumu, Wan Ceng, keduanya adalah putera dan cucu dari nenek Lulu. Setidaknya, kita berdua adalah darah dari mendiang nenek Lulu....”
“Itulah yang selama ini menjadi ganjalan hatiku, Hui-i. Kita adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan usiaku lebih tua darimu, tetapi.... mengapa engkau malah menjadi bibiku?”
“Kita harus dapat melihat kenyataan itu, Cin Liong. Kiranya.... tidak mnngkin kalau di antara kita ada ikatan.... perjodohan....”
“Kenapa tak mungkin, Hui-i? Apa salahnya? Jika kita sudah sama-sama mencinta, apa lagi halangannya? Bagaimana pun juga, hubungan kekeluargaan antara kita terhitung jauh, karena kakek kita berbeda, dan she (marga) kita pun berbeda. Engkau she Suma sedangkan aku she Kao, sungguh sudah amat jauh terpisahnya. Hui-i, terus terang saja, aku cinta padamu, Hui-i, dan kalau aku tidak salah pandang, kalau perasaan hatiku tidak menipuku, engkau pun cinta padaku!”
“Cin Liong....!” Kini gadis itu terisak dan menutupi mukanya dengan tangan.
“Hui-i, harap jangan menangis. Kenapa berduka? Mengenai rintangan itu, jika memang kita sudah sama-sama mencinta, marilah kita hadapi bersama! Apa pun kesulitan dan kesukarannya yang akan kita tempuh, kita hadapi bersama. Maukah engkau, Hui-i?”
Suma Hui membuka tangannya dan memandang dengan muka basah air mata, bahkan kini air mata masih bercucuran keluar dari kedua matanya, lalu ia menarik tangannya dan bangkit berdiri, berkata dengan suara lirih dan parau, “Jangan bicarakan hal itu sekarang, Cin Liong. Berilah waktu padaku untuk berpikir. Aku sedang dilanda duka, karena kehilangan keluarga nenek moyang di Pulau Es, karena kehilangan kedua orang adikku yang masih belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Dan kita dihadapkan pula dengan kenyataan adanya hubungan keluarga antara kita. Aku menjadi bingung, berilah waktu padaku, Cin Liong....”
Cin Liong menjura. “Maafkan aku, Hui-i. Memang seharusnya kalau engkau beristirahat. Nah, tidurlah, Hui-i. Urusan ini dapat kita bicarakan kelak, kalau engkau menghendaki.”
Suma Hui mengangguk dan memandang dengan sayu, kemudian dia melangkah lesu memasuki kamarnya.
Akan tetapi, dua orang muda itu tidur dengan gelisah sekali, tenggelam dalam lamunan masing-masing, lamunan yang bahkan tak dapat dikatakan sedap atau menyenangkan. Masalah-masalah berdatangan kepada mereka, bertumpuk dan saling susul-menyusul. Kedukaan dan kegelisahan bertumpuk-tumpuk. Dan kini mereka dihadapkan kepada kenyataan yang sungguh membingungkan dan mendatangkan rasa duka dan khawatir. Mereka saling mencinta, padahal mereka adalah bibi dan keponakan!
Cin Liong gelisah dan tak dapat tidur. Beberapa kali dia bangkit dan bangun, duduk termenung memikirkan nasibnya. Sebagai seorang jenderal muda, dia dapat dibilang berhasil baik sekali. Kedudukannya tinggi dan terhormat, juga dipercaya oleh kaisar. Di bidang ini dia memang beruntung sekali, juga dia tidak pernah kekurangan harta benda.
Sesungguhnya, harus diakuinya bahwa hidupnya cukup terhormat, mulia, berkecukupan dan menyenangkan. Namun di bidang cinta, ternyata dia tidak beruntung. Kegagalannya yang pertama ketika ia jatuh cinta kepada Bu Ci Sian sudah terasa amat berat, dan luka yang dideritanya sampai bertahun-tahun masih terasa.
Bagi seorang pendekar, perasaan hati merupakan sesuatu yang teguh. Kalau sekali mencinta, maka cintanya itu tak akan rapuh melainkan kokoh kuat pula seperti keadaan jasmaninya yang tergembleng. Maka kegagalan cintanya itu membuatnya hampir jera untuk mendekati wanita lain, bahkan dia mengambil keputusan untuk tidak menikah saja.
Ayah dan ibunya sudah berkali-kali mendesaknya, akan tetapi dia berkeras menyatakan belum ingin menikah. Bahkan ayah ibunya menganjurkan kepadanya untuk mengambil selir saja kalau belum menemukan seorang gadis yang dianggap cocok untuk menjadi isterinya. Akan tetapi Cin Liong tetap saja menolak bujukan mereka walau pun dia tahu bahwa ayah bundanya itu sudah rindu sekali untuk menimang seorang cucu!
Di dalam kehidupan terdapat bermacam kebutuhan yang kesemuanya amat penting. Kecukupan lahiriah berupa pangan dan papan. Kesehatan jasmani. Kerukunan dalam keluarga, dan sebagainya lagi. Semua itu merupakan bagian-bagian dari kelompok yang dinamakan keperluan atau kebutuhan hidup. Dan kesemuanya itu perlu, tidak kalah pentingnya dari bagian yang lain.
Mementingkan satu bagian saja merupakan kebodohan karena yang satu harus ditutup oleh yang lain. Orang yang hidupnya kaya raya dan serba kecukupan, tetap saja akan menderita dalam hidupnya kalau kesehatannya terganggu. Orang yang sehat sekali pun tetap akan menderita kalau kekurangan makan dan pakaian. Bahkan orang yang sehat dan kaya sekali pun akan hidup menderita kalau tidak mempunyai kerukunan dalam keluarga.
Di waktu sakit berat, orang yang kaya raya akan rela kehilangan semua kekayaannya asalkan dia dapat sembuh. Sebaliknya, orang sehat melupakan segala dan mati-matian mempertaruhkan kesehatannya demi mengejar dan menumpuk harta benda.
Demikianlah kenyataannya, hidup ini merupakan sekelompok kebutuhan-kebutuhan yang memang mutlak penting. Akan tetapi, biar pun mementingkan yang satu saja tanpa memperdulikan yang lain merupakan kebodohan, dan mengabaikan kesemuanya merupakan sikap lemah yang bodoh, sebaliknya terlalu mengejar kesemuanya itu pun akan menjerumuskan!
Banyak orang beranggapan bahwa kalau sudah kaya raya dan berkedudukan tinggi, tentu orang akan hidup bahagia. Karena itu, semua orang lalu berlomba-lomba untuk mengejar kekayaan dan kedudukan. Padahal, semua yang digambarkan sebagai kebahagiaan itu sesungguhnya hanya bayangan kesenangan belaka. Dan kesenangan itu selalu hanya dirasakan oleh orang yang belum mencapai atau memilikinya.
Kalau kita menjenguk ke dalam kehidupan orang-orang berkedudukan tinggi atau kaya, barulah kita akan melihat bahwa gambaran khayal dari kita bahwa mereka itu hidup bahagia adalah keliru sama sekali. Bahkan mereka itu sudah tidak lagi dapat merasakan kesenangan atau menikmati hartanya mau pun kedudukannya, atau setidaknya, tidak seindah atau senikmat ketika mereka membayangkannya sebelum memilikinya.
Sesungguhnyalah bahwa kesenangan dapat dicari, namun kebahagiaan tidak! Yang bisa dikejar dan dicari hanyalah kesenangan, tapi kesenangan ini amat pendek umurnya dan tempatnya selalu diperebutkan oleh kebosanan, kekecewaan dan kesusahan!
Bukanlah berarti bahwa kita harus menolak kesenangan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bertapa di puncak gunung. Mereka ini justru mencari kesenangan dengan cara lain, yaitu cara menyiksa diri atau cara menolak kesenangan lahiriah untuk mencari kesenangan batiniah yang pada hakekatnya sama juga! Tidak menolak!
Kesenangan hidup adalah kenikmatan yang telah menjadi hak kita untuk menikmatinya. Tubuh kita sejak lahir sudah dilengkapi dengan alat-alat untuk menikmati kesenangan hidup melalui panca indra. Bukan menolak, melainkan tidak mengejar-ngejar! Kalau ada kesenangan itu, kita nikmati sebagai anugerah, namun dalam keadaan tetap waspada sehingga kita tidak menjadi mabok kesenangan dan menjadi buta. Namun, kalau tidak ada, kita tidak mengejar-ngejarnya, yang biasanya diberi pakaian kata muluk ‘cita-cita’.
Dan, kalau kita sudah bebas dari pengejaran ini, di dalam segala sesuatu terdapat keindahan, kenikmatan yang menyenangkan itu! Di dalam segelas air sekali pun, di dalam hal-hal yang biasanya dipandang sebagai hal sederhana yang tak berarti, akan nampak sesuatu yang amat indah, menyenangkan dan mendatangkan nikmat hidup.
********************
Di luar kota Cin-an, hanya lima belas li jauhnya dari kota Cin-an, terdapat sebuah dusun yang makmur walau pun rakyatnya hidup sederhana. Dusun ini bernama Hong-cun, terletak di lembah Sungai Huang-ho yang subur. Rakyatnya bercocok tanam, kadang-kadang kalau tanaman sudah tidak membutuhkan penggarapan lagi, mereka pergi mencari ikan sebagai kaum nelayan yang pandai.
Di dusun ini tinggal seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw, akan tetapi karena pendekar ini sejak belasan tahun lamanya tidak pernah menonjolkan dirinya di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang tahu bahwa warga dusun Hong-cun itu adalah seorang pendekar yang pernah menjadi buah bibir semua tokoh dunia persilatan dan disebut-sebut namanya dengan wajah pucat ketakutan sebagai Pendekar Siluman Kecil!
Ya, pendekar itu memang Pendekar Siluman Kecil yang bernama Suma Kian Bu, putera tunggal dari Pendekar Super Sakti dan isterinya, Puteri Nirahai, dari Pulau Es. Suma Kian Bu mirip dengan ayahnya, dengan rambut yang dibiarkan panjang beriapan dan semua telah menjadi putih seperti benang-benang perak. Kini usianya sudah empat puluh enam tahun, namun bentuk tubuhnya masih tegap dan amat gagah perkasa dan kuat seperti tubuh orang muda. Hanya rambut putih itu saja yang membuat dia pantas kalau dikatakan bahwa usianya hampir setengah abad.
Isterinya pun bukan orang sembarangan, karena isterinya yang bernama Teng Siang In dan yang telah berusia empat puluh empat tahun itu pun dahulu terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Para pembaca serial cerita Suling Emas sampai Pendekar Super Sakti dan keturunannya tentu sudah mengenal baik siapa Suma Kian Bu ini! Selain berdarah pendekar majikan Pulau Es, juga dari ibunya dia masih berdarah keluarga kaisar karena ibunya adalah seorang puteri dan panglima lagi. Dan pendekar inilah yang merupakan putera Pendekar Super Sakti yang paling lihai.
Selain ilmu-ilmu dari keluarga ayahnya, yaitu ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, yang membuat dia dapat bergerak seperti pandai menghilang saja. Isterinya, selain hebat pula dalam ilmu silat, bahkan mempunyai keahlian dalam ilmu sihir.
Memang amat mengherankan, terutama bagi tokoh-tokoh persilatan kalau melihat cara hidup suami isteri pendekar ini sekarang. Mereka hidup sebagai petani sederhana. Biar pun rumah mereka cukup besar, namun sederhana dan keluarga ini hidup sebagai petani yang menggarap sawah, bahkan kadang-kadang suami isteri ini nampak sibuk pula mencari ikan dengan perahu mereka. Bagi para penghuni dusun Hong-cun, keluarga ini amat dihormati dan walau pun keluarga itu tidak pernah menonjolkan kemampuan mereka, namun semua orang sudah dapat menduga bahwa keluarga ini adalah keluarga yang lihai.
Apalagi karena setiap kali ada penduduk kampung yang sakit, suami isteri ini dapat menolongnya dan memberi obat. Dan setelah pendekar ini dan keluarganya tinggal di situ, tidak ada lagi terjadi kejahatan. Beberapa orang penjahat yang tadinya beroperasi di situ, segera lari ketakutan karena terjadi hal-hal aneh menimpa diri mereka.
Ada penjahat yang katanya digondol setan dan dilemparkan dari puncak pohon tinggi sekali. Akan tetapi sebelum tubuhnya remuk terbanting di atas tanah, ‘setan’ itu telah menyambar tubuhnya. Setan itulah yang mengancam agar dia menghentikan perbuatan jahatnya atau pergi dari dusun itu.
Bermacam hal aneh terjadi kepada para penjahat itu dan dalam waktu singkat, dusun itu bersih dari kejahatan, bahkan para penjahat di tempat lain yang mendengar akan angker dan keramatnya dusun Hung-cun, tiada yang berani mencoba-coba beroperasi di situ. Inilah sebabnya maka dusun itu menjadi makmur dan semua penghuni dusun, sampai ketua dusun, menghormati keluarga itu sebagai keluarga sakti! Mereka pun menyebut Pendekar itu dengan sebutan In-kong (Tuan Penolong), dan isteri pendekar itu disebut Toanio.
Di dalam kisah Suling Emas dan Naga Siluman telah diceritakan bahwa sepasang suami isteri pendekar ini, setelah menikah belasan tahun lamanya, baru mendapatkan seorang keturunan. Putera mereka itu mereka namakan Ceng Liong, karena mereka berhasil memperoleh keturunan setelah menggunakan obat mustika ular hijau.
Dan seperti kita ketahui, Ceng Liong diantarkan oleh orang tuanya ke Pulau Es untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah bimbingan langsung dari Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Juga untuk menemani kakek dan kedua orang nenek mereka yang sudah tua itu.
Pada siang hari itu, Suma Kian Bu dan Teng Siang In baru pulang dari ladang. Pakaian mereka masih basah oleh keringat dan ujung celana mereka masih berlepotan lumpur. Mereka berdua duduk di serambi depan menikmati air teh hangat yang dihidangkan oleh seorang pelayan mereka.
Sejenak mereka duduk minum teh tanpa berkata-kata. Terasa sunyi sekali oleh mereka semenjak putera tunggal mereka meninggalkan mereka. Sudah enam bulan lamanya Ceng Liong meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang Teng Siang In duduk termenung penuh kerinduan kepada puteranya. Bahkan kadang-kadang, kalau sedang seorang diri, dia suka menumpahkan rasa rindunya melalui deraian air mata. Tentu saja Suma Kian Bu tahu akan hal ini. Sudah kurang lebih seperempat abad lamanya dia menjadi suami Teng Siang In, maka tentu saja dia dapat mengikuti setiap perubahan air muka isterinya itu.
Ketika mereka berdua duduk minum teh pada siang hari itu, dia pun sudah maklum bahwa kembali isterinya telah kumat rindunya. Di ladang tadi pun isterinya sudah diam saja, kehilangan kegembiraannya. Padahal isterinya adalah seorang wanita yang lincah dan biasa bergembira.
“In-moi, kenapa kau diam saja sejak tadi?” tanya sang suami yang bahkan sampai hampir tua pun masih terus menyebut In-moi (dinda In) kepada isterinya, sebutan yang mesra dan penuh kasih.
Teng Siang In menunduk lalu menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah membikin panas kedua matanya, lalu menjawab, “Suamiku, apakah engkau tidak merasakan kesepian yang mencekam hati ini?”
Jawaban itu sudah cukup bagi Suma Kian Bu. Dia lalu mengangguk-angguk. “Kesepian semenjak anak kita pergi? Aku pun merasakan hal itu, isteriku dan diam-diam aku pun merasakan penderitaan batin yang amat tidak enak ini.”
Pendekar ini maklum akan isi hati isterinya. Bagi dia sendiri, sesungguhnya dia tidaklah begitu menderita dan ucapannya tadi hanya untuk menghibur keresahan hati isterinya. Pendekar ini yang memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya, sudah mengerti bahwa semua bentuk kesenangan mendatangkan ikatan, dan semua bentuk pengikatan ini mendatangkan kesengsaraan.
Kalau kita sayang akan sesuatu itu, baik sesuatu itu merupakan benda, manusia, atau pun hanya nama, maka timbullah pengikatan di dalam batin. Kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang menyenangkan itu dan kita akan menjaganya kuat-kuat untuk melawan kemungkinan kehilangan itu. Kalau perlu kita siap mempergunakan kekerasan untuk mempertahankan sesuatu itu.
Akan tetapi, memiliki tidaklah berdiri sendiri. Memiliki sudah pasti disambung dengan kehilangan. Karena itulah muncul usaha keras untuk menjaga atau mempertahankan agar tidak sampai kehilangan dan di sini menjadi sumber pula dari pada rasa takut. Takut akan kehilangan sesuatu yang disayangnya, sesuatu yang menyenangkan. Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak mau terikat oleh apa pun juga, selalu berada dalam keadaan bebas. Cinta kasih sejati tidaklah mengikat atau diikat. Hanya kesenangan dan nafsu sajalah yang mengikat.
Teng Siang In juga bukan seorang wanita lemah yang cengeng. Agaknya ia merasakan bahwa sikapnya itu tidak semestinya, maka ia pun menarik napas panjang. “Suamiku, aku tahu bahwa sikapku ini bodoh. Ceng Liong berada di Pulau Es, di dalam tangan yang kokoh kuat, dekat dengan orang tua bijaksana yang mencintanya sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan keadaannya. Akan tetapi hati ini, hati seorang ibu ini.... maafkanlah kelemahanku.”
Suma Kian Bu memegang lengan isterinya dan tersenyum menghibur. “Aku maklum, isteriku, dan aku tidak menyalahkanmu. Karena kita pun tidak terikat oleh apa-apa di tempat ini, marilah kita berdua pergi ke Pulau Es untuk menengok Ceng Liong sekalian berpesiar.”
Hampir saja Teng Siang In terlonjak kegirangan mendengar usul dari suaminya ini. Dia meloncat bangun, merangkul suaminya dan mencium pipinya. “Terima kasih....! Ahhh, betapa girang hatiku! Engkau memang seorang suami yang baik sekali!”
“Siapa bilang aku suami buruk?” Pendekar itu tertawa, rasa gembira di dalam hatinya melihat kegirangan isterinya itu agaknya jauh lebih mendalam dari pada kegembiraan isterinya.
“Kapan kita berangkat? Kapan?”
“Kapan saja. Kalau kau kehendaki, sekarang pun boleh.”
“Sekarang? Ahhh, agaknya aku sudah tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mari kita berkemas, suamiku!” Dan tanpa menjawab wanita itu berlari-lari seperti seorang anak kecil yang kegirangan ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa melakukan perjalanan jauh itu.
Pada waktu suami isteri itu sedang mengemasi pakaian dan bekal yang akan mereka bawa pergi ke Pulau Es, tiba-tiba pelayan mereka memberi tahu bahwa di luar ada dua orang tamu yang ingin bertemu dengan mereka.
“Siapa mereka dan ada keperluan apa?” Teng Siang In bertanya sambil mengerutkan alisnya karena dalam keadaan seperti itu ia tidak ingin diganggu.
Pelayan yang sudah membantu mereka semenjak lahirnya Ceng Liong itu menjawab dengan wajah berseri. “Yang seorang adalah nona Suma Hui dan yang seorang lagi saya tidak kenal, dia seorang pemuda.”
“Suma Hui....?” Suami isteri itu saling pandang dengan wajah kaget, heran dan juga gembira.
Suma Hui juga pergi ke Pulau Es bersama dengan Ciang Bun dan juga Ceng Liong. Maka, seperti menerima aba-aba saja, keduanya lalu meninggalkan kamar itu sambil berlari dan meninggalkan pelayan wanita setengah tua itu yang menggelengkan kepala sambil tersenyum, tak merasa terlalu heran menyaksikan sikap kedua orang majikannya yang memang aneh itu.
Ketika sepasang suami isteri itu tiba di ruangan depan di mana Suma Hui dan Cin Liong dipersilakan duduk, Suma Hui cepat bangkit berdiri dan segera menubruk Teng Siang In sambil menangis.
“Bibi.... paman.... ah, sungguh celaka....!” Dan gadis ini sudah menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siang In yang hanya dapat saling pandang dengan suaminya, terkejut dan juga gelisah.
“Hui-ji (anak Hui).... ada apakah? Apa yang telah terjadi, nak?” Teng Siang In bertanya sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu.
Yang ditanya semakin terisak dan mengguguk. “Bibi.... sungguh celaka, mala petaka telah menimpa kita....” Dan tangisnya membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
Melihat ini, Suma Kian Bu mengerutkan alisnya. “Suma Hui....!” Suaranya membentak penuh wibawa sehingga sangat mengejutkan hati Cin Liong. “Sudah patutkah sikapmu itu?” Suara ini penuh teguran karena Suma Kian Bu merasa tidak puas melihat sikap keponakannya sebagai seorang cucu majikan Pulau Es yang telah memperlihatkan kelemahan yang seperti itu.
Akan tetapi, Suma Hui yang telah digulung oleh perasaan duka, tetap tidak mampu mengeluarkan suara dan masih terus sesenggukan.
“Suma Hui....!” Suara Suma Kian Bu makin penasaran.
Melihat Suma Hui dibentak dan gadis itu semakin berduka, Cin Liong merasa kasihan dan dia pun menjura sambil berkata, “Sesungguhnya begini....”
“Siapa engkau?” Suma Kian Bu memotong ucapan Cin Liong dan memandang tajam wajah yang tampan dan gagah itu, diam-diam dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. “Dan bagaimana engkau dapat datang bersama Suma Hui?” Tentu saja dia merasa tidak senang melihat keponakannya itu, seorang gadis dewasa, muncul bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
Kini Suma Hui yang seperti bangkit dari tangisnya dan menjawab cepat, “Paman, dia adalah keponakanku sendiri....”
“Keponakanmu....?” Teng Siang In memotong, terbelalak, tentu saja terheran dan tidak dapat percaya bahwa Suma Hui bisa mempunyai seorang keponakan yang menurut taksirannya tentu jauh lebih tua dari pada gadis itu.
“....namanya Kao Cin Liong,” sambung Suma Hui.
“Ahhh....! Jenderal muda putera Ceng Ceng itu?” Suma Kian Bu berseru, wajahnya berseri. “Jadi engkaukah putera Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
Cin Liong kembali memberi hormat kepada pendekar yang masih terhitung paman kakeknya ini! “Harap maafkan kelancangan saya. Sebetulnya saya baru pulang dari Pulau Es dan mengalami segala peristiwa yang terjadi di sana, sampai dapat datang ke sini bersama dengan bibi Hui....”
“Mari kita duduk di dalam dan bicara.”
Suma Kian Bu mengajak Cin Liong dan Teng Siang In juga menggandeng Suma Hui yang masih menangis itu. Mereka berempat lalu duduk di ruangan dalam dan kini Suma Hui sudah mulai dapat menguasai hatinya yang berduka.
“Nah, sekarang ceritakanlah semuanya,” kata Suma Kian Bu.
Bersama isterinya dia menanti untuk mendengarkan penuturan itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
Cin Liong memandang kepada Suma Hui seolah hendak bertanya apakah dia yang akan bercerita. Suma Hui yang juga melirik kepadanya menggeleng kepala sedikit lalu ialah yang mulai bercerita.
Setelah menarik napas panjang, mengerahkan tenaga batin untuk menekan perasaan duka yang mencekik, ia lalu memandang kepada paman dan bibinya sejenak, kemudian dengan suara lirih namun jelas, seolah-olah mengatur agar kedua orang tua itu tidak sampai terkejut, ia pun berkata, “Paman dan bibi, harap jangan terkejut. Pulau Es telah tertimpa bencana hebat, diserbu oleh puluhan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang datuk kaum sesat.”
“Nanti dulu, katakan siapa lima orang datuk itu?” Suma Kian Bu memotong.
“Menurut penyelidikan kami terutama Cin Liong, kami ketahui bahwa mereka itu adalah Hek-i Mo-ong, Ngo-bwe Sai-kong, Eng-jiauw Siauw-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan wanita yang berjuluk Ulat Seribu....”
Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. Nama-nama besar di dunia hitam, terutama sekali Hek-i Mo-ong.
“Lanjutkan ceritamu.”
“Mula-mula kami bertiga, saya, adik Ciang Bun dan adik Ceng Liong, sedang berlatih silat ketika muncul Ngo-bwe Sai-kong dan anak buahnya hendak membunuh kami bertiga. Nenek Lulu datang dan menghajar mereka. Nenek Lulu dikeroyok dan berhasil memukul mundur musuh, bahkan berhasil menewaskan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai. Akan tetapi nenek Lulu.... ia sendiri terluka parah dan setelah dapat masuk ke dalam istana, ia.... ia meninggal dunia karena luka-lukanya....”
“Aihhh....!”
Teng Siang In menahan jeritnya dan mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali karena marah. Sementara itu, Suma Kian Bu memejamkan matanya. Wajahnya tidak menunjukkan sesuatu, hanya nampak dia menarik napas panjang.
“Lanjutkan.... lanjutkan....,” katanya tanpa membuka matanya.
“Sisa para penyerbu itu lalu dihajar oleh nenek Nirahai sehingga mereka lari cerai-berai meninggalkan pulau. Malamnya kami tiga orang anak melakukan penjagaan dan muncul Cin Liong dalam keadaan luka-luka pula. Dia mendarat di Pulau Es dan hampir saja terjadi salah paham karena pada waktu itu kami bertiga tidak mengenal bahwa dia adalah keponakan kami.”
Suma Kian Bu mengangkat tangan dan membuka matanya, memandang kepada Cin Liong. “Hentikan dulu ceritamu, Hui-ji, dan kau ceritakanlah bagaimana engkau dapat sampai ke Pulau Es dalam keadaan luka-luka, Cin Liong.”
Cin Liong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat namun jelas sekali. Dia menceritakan betapa dia bertugas menyelidiki keadaan dan betapa dia mengikuti rombongan penjahat yang hendak menyerbu Pulau Es, dan betapa di tengah pelayaran dia ketahuan dan hampir saja tewas ketika dia terlempar ke dalam lautan, namun akhirnya dia berhasil juga mendarat di Pulau Es walau pun sedikit terlambat, yaitu rombongan pertama dari kaum sesat telah menyerang ke pulau yang mengakibatkan tewasnya nenek Lulu.
“Demikianlah, saya lalu dibawa menghadap kakek buyut Suma Han dan bersama dengan keluarga Pulau Es saya lalu ikut melakukan penjagaan.” Cin Liong mengakhiri ceritanya.
“Dialah yang banyak berjasa, paman. Kalau tidak ada dia, mungkin keadaan kami akan menjadi lebih parah lagi. Seperti yang telah diduga oleh nenek Nirahai, gerombolan penjahat itu datang lagi menyerbu, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan tiga orang datuk lainnya. Kekuatan mereka berpuluh orang dan kami semua, kecuali kakek Suma Han yang tetap duduk bersila di dekat peti mati nenek Lulu, kami semua dipimpin oleh nenek Nirahai lalu mengadakan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Walau pun kami sudah merobohkan banyak orang, tetap saja kami kalah kuat. Nenek Nirahai telah berhasil menewaskan Si Ulat Seribu, dan Cin Liong berhasil pula membunuh Eng-jiauw Siauw-ong yang lihai. Kemudian.... sesuai dengan perintah nenek Nirahai, Cin Liong membawa kami bertiga bersembunyi karena keadaan gawat....”
Suma Kian Bu dapat mengerti akan siasat ibu kandungnya. “Hemm, tentu disuruh bersembunyi di ruangan bawah tanah, bukan?”
“Benar, paman. Aku sungguh tidak setuju sama sekali dan ingin aku mengamuk terus. Akan tetapi, Cin Liong mentaati perintah nenek Nirahai dan aku ditotoknya. Memang, kalau tidak disembunyikan, kami bertiga dan Cin Liong tentu telah tewas semua, akan tetapi sedikitnya dapat menambah jumlah kematian pihak musuh.”
“Lanjutkan, lanjutkan....!”
“Setelah kami keluar dari tempat persembunyian, ternyata musuh sudah pergi semua, bahkan mereka membawa pergi teman-teman yang tewas dan luka. Akan tetapi.... akan tetapi.... kami melihat nenek Nirahai telah tewas pula di samping peti mati nenek Lulu....” Sampai di sini Suma Hui tak dapat menahan tangisnya dan kembali ia terisak-isak lalu sesenggukan.
Teng Siang In menggigit bibirnya. Wanita ini tidak menangis, artinya tidak mengeluarkan suara menangis walau pun air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Juga Suma Kian Bu hanya termenung dengan muka tidak menunjukkan sesuatu. Semua ini terlihat oleh Cin Liong dan pemuda ini teringat akan kegagahan Ceng Liong dan menjadi kagum.
Melihat keadaan keponakannya itu, Suma Kian Bu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyalahkan keponakannya itu. Sebagai seorang gadis, Suma Hui cukup gagah dan pengalaman yang amat menyedihkan itu tentu saja mengguncang perasaan gadis itu.
“Cin Liong, sekarang engkaulah yang melanjutkan ceritanya,” katanya kepada pemuda itu.
Cin Liong memandang kepada Suma Hui yang masih sesenggukan dengan sinar mata penuh kasih sayang dan rasa iba, dan hal ini sama sekali tidak lewat begitu saja dari pengamatan Suma Kian Bu, akan tetapi pendekar ini diam saja.
“Ketika kami memasuki ruangan, kami melihat nenek buyut Nirahai telah tewas di dekat peti mati nenek buyut Lulu, sedangkan kakek buyut masih duduk bersila di tempat semula. Biar pun kami tidak melihat dan tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi melihat betapa semua musuh telah pergi dan kakek buyut masih duduk bersila, maka besar sekali kemungkinannya kakek buyut telah berhasil mengusir mereka, entah dengan cara bagaimana. Kami semua melakukan penjagaan dan kemudian baru kami tahu, biar pun ada suara kakek buyut yang memesan agar jenazah mereka kami bakar di kamar sembahyang, dan agar kami semua cepat meninggalkan pulau senja hari itu juga dan kami diharuskan kembali ke rumah masing-masing, baru kami tahu bahwa sesungguhnya kakek buyut Suma Han juga telah meninggal dunia....”
“Ayahhh....!” Seruan ini pendek saja namun menggetarkan seluruh rumah itu dan Cin Liong merasa terkejut sekali.
“Ayaaahh.... ohhh, ayaahhh....!” Teng Siang In menubruk suaminya, menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Keduanya menangis tanpa suara!
Cin Liong menatap wajah Pendekar Siluman Kecil itu dan hatinya tergetar. Wajah yang gagah itu nampak menakutkan sekali. Dengan memberanikan diri dia pun berkata lirih, “Mendiang kakek buyut meninggalkan pesan bahwa kematian adalah wajar, tidak perlu diributkan atau disusahkan....”
Terdengar helaan napas panjang dan pendekar itu seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia memandang kepada Cin Liong dan berkata lirih, “Terima kasih, Cin Liong. Begitulah hendaknya. Isteriku, lekas keringkan air matamu yang tiada gunanya itu dan mari kita mendengarkan penuturan mereka ini lebih lanjut.”
Kini Suma Hui yang sudah dapat menguasai hatinya melanjutkan cerita itu. “Paman dan bibi, setelah kami melakukan perintah terakhir dari kakek, kami berempat meninggalkan pulau dengan perahu dan dari jauh kami melihat betapa istana itu terbakar, kemudian.... sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali.... kebakaran itu menjalar terus dan dalam waktu semalam itu, seluruh pulau terbakar habis!”
“Hemmm....!” Suma Kian Bu mengangguk-angguk, kembali dia maklum akan maksud ayahnya yang hendak melepaskan semua ikatan dengan dunia.
“Dan pada keesokan harinya, pulau itu sudah lenyap! Pulau Es telah tenggelam!” gadis itu melanjutkan ceritanya.
Kembali Suma Kian Bu mengangguk-angguk. Memang Pulau Es adalah sebuah pulau yang aneh, maka peristiwa itu pun tidaklah luar biasa.
“Kemudian bagaimana dengan kalian berempat?” tanyanya
Dan kini ayah dan ibu ini kembali dicekam rasa gelisah karena kenyataannya kini, dari empat orang itu tinggal dua orang, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak ada bersama mereka. Ini berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan kedua orang anak itu.
“Kami berempat melanjutkan pelayaran untuk menuju ke daratan besar, akan tetapi di tengah lautan kami dihadang dan dikepung oleh puluhan orang penjahat, sisa mereka yang agaknya melarikan diri dari Pulau Es, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok.”
“Kedua nama jahanam itu takkan pernah kulupakan!” kata Teng Siang In dengan sinar mata berapi-api.
“Kami diserang dan perahu kami digulingkan. Kami membela diri mati-matian, akan tetapi Cin Liong terlempar le laut, demikian pula Ciang Bun, padahal ketika itu badai sedang mengamuk. Saya sendiri tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dibawa lari, sedangkan menurut keterangan Cin Liong kemudian, adik Ceng Liong juga tertawan dan dibawa pergi oleh Hek-i Mo-ong.”
“Ahh....!” Teng Siang In meloncat bangun dan mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya mencorong. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku, aku bersumpah untuk merobek-robek kulit Hek-i Mo-ong dan mencincang hancur dagingnya!”
“In-moi, tenanglah, tidak baik membiarkan perasaan menguasai batin,” terdengar Suma Kian Bu berkata dan nyonya itu lalu terduduk kembali, wajahnya kini agak pucat akan tetapi sepasang matanya masih berapi-api dan kedua tangannya dikepal.
“Hui-ji, lanjutkan ceritamu.”
“Saya dilarikan oleh si jahanam Jai-hwa Siauw-ok dan nyaris mengalami bencana dan aib yang hebat. Untung muncul Cin Liong yang tiba pada saat yang tepat menolongku dan sayang sekali bahwa si keparat itu berhasil melarikan diri dari kejaran kami. Kami lalu langsung pergi ke sini untuk melaporkan kepada paman dan bibi.”
“Dan Ciang Bun? Ceng Liong?” Teng Siang In bertanya.
Suma Hui mengerutkan alisnya, wajahnya diselimuti kedukaan dan ia menggelengkan kepala. “Kami tidak tahu, bibi. Yang diketahui oleh Cin Liong hanya bahwa Ciang Bun terlempar ke lautan dan Ceng Liong ditawan Hek-i Mo-ong. Jahanam Siauw-ok itu pun bercerita demikian kepadaku.”
“Kita harus mencarinya sekarang juga!” Teng Siang In berkata sambil memandang kepada suaminya.
Suma Kian Bu yang sudah mengenal baik watak isterinya maklum bahwa andai kata dia menolak sekali pun, tentu isterinya akan berangkat sendiri. Memang mereka harus cepat melakukan pengejaran dan mencari Ceng Liong untuk dirampas kembali, dan bagaimana pun juga, mereka memang sudah berkemas-kemas untuk pergi merantau ke Pulau Es.
“Baik, kita mencarinya hari ini juga. Cin Liong dan Hui-ji, kalian hendak pergi ke mana?”
“Paman, saya harus cepat-cepat pulang ke Thian-cin memberi kabar kepada ayah dan ibu.”
“Saya akan menemani bibi Hui.”
Suma Kian Bu mengangguk dan bersama isterinya dia mengantar pemuda dan pemudi itu sampai ke pintu depan. Setelah mereka berdua berpamit dan menjura untuk yang terakhir kalinya, Suma Kian Bu memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam, lalu berkata, “Cin Liong dan Suma Hui, jalan yang kalian tempuh penuh rintangan, akan tetapi berjalanlah terus, doa restuku bersama kalian dan semoga Thian memberkahi kalian.”
Cin Liong dan Suma Hui balas memandang dan wajah mereka seketika menjadi merah. Mereka menjura lagi dan hampir berbareng keduanya berkata, “Terima kasih....”
Kemudian mereka pergi meninggalkan suami isteri yang dicekam rasa gelisah karena mendengar putera tunggal mereka ditawan Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang telah mereka dengar akan kekejamannya. Setelah kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan jalan, Teng Siang In menoleh kepada suaminya.
“Engkau juga melihat bahwa mereka itu saling mencinta?”
“JeIas sekali!”
“Dan engkau malah mendorong mereka! Mana mungkin hal itu berlangsung? Mereka adalah bibi dan keponakan!”
“Bukan urusan kita, melainkan urusan mereka berdua. Aku hanya percaya kepada cinta kasih, tidak percaya kepada semua peraturan-peraturan yang kaku. Nah, mari kita berangkat, isteriku.”
Suami isteri pendekar ini meninggalkan pesan kepada pelayan wanita yang membantu rumah tangga mereka, meninggalkan uang, juga meninggalkan pesan agar hati-hati menjaga rumah, kemudian mereka pun pergi. Karena mereka tidak tahu ke mana Hek-i Mo-ong melarikan Ceng Liong, dan tidak tahu harus melakukan pengejaran ke jurusan mana, maka mereka mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja karena di tempat ramai inilah pusat segala macam berita tentang dunia kang-ouw.
Karena mereka melakukan pencarian tanpa arah tertentu, maka mereka melakukan perjalanan lambat, melakukan penyelidikan dengan teliti, menanyai orang-orang dan tokoh-tokoh persilatan di sepanjang jalan, walau pun hati mereka gelisah dan ingin sekali mereka cepat-cepat menemukan kembali putera mereka.....
********************
Sebagaimana kemudian tercatat di dalam sejarah, Kaisar Kian Liong merupakan kaisar yang paling besar, paling bijaksana, dan paling lama menduduki tahta Kerajaan Ceng dibandingkan dengan semua kaisar Bangsa Mancu. Kaisar ini akan memerintah selama enam puluh tahun!
Memang Kaisar Kian Liong inilah merupakan satu-satunya kaisar yang berhasil dalam pemerintahannya. Kebesarannya bahkan menandingi kebesaran kakeknya, yaitu Kaisar Kang Shi (1663-1722). Kalau kakeknya itu memegang kendali pemerintahan dengan kedua tangan besi, Kian Liong menggunakan satu tangan besi dan yang sebelah pula tangan bersarung sutera.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul memang ditindasnya dengan tangan besi, tetapi kaisar ini mengatur pemerintahan di dalam dengan lembut sehingga sebagian besar rakyat mencintanya. Tentu saja, tidak ada orang yang mampu memuaskan hati semua orang lain.
Karena Kian Liong memperhatikan nasib rakyat dan menggunakan kekerasan bukan saja terhadap pemberontakan akan tetapi juga terhadap para penjahat, maka diam-diam para penjahat itu kehilangan tempat berpijak. Hal ini, terutama mereka yang menjadi korban operasi dan gerombolannya dihancurkan, menimbulkan dendam dan sakit hati, juga kebencian terhadap Kaisar Kian Liong yang masih muda.
Inilah sebabnya mengapa bukan jarang kaisar ini mengalami serangan-serangan gelap ketika melakukan perjalanan. Ketika dia masih menjadi seorang pangeran, Kian Liong sudah biasa merantau dan menyamar sebagai rakyat biasa sehingga dia mampu menyelami keadaan kehidupan rakyat seperti kenyataannya, bukan hanya mendengar pelaporan-pelaporan saja yang biasanya palsu karena para pejabat yang melapor selalu melaporkan yang baik-baik untuk mencari muka.
Dan semenjak masih menjadi pangeran, banyak sudah usaha para penjahat untuk melenyapkan atau membunuh pangeran ini. Tetapi, betapa pun banyaknya penjahat yang anti, masih banyak mereka yang pro dan yang melindungi dan membela pangeran itu. Apalagi kini, sebagai seorang kaisar tentu saja dia selalu dikelilingi dan dilindungi oleh para pengawal istana.
Ketika itu, sudah dua tahun Kaisar Kian Liong menduduki tahta kerajaan dan sudah banyaklah kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam pemerintahannya. Baru saja bala tentara kaisar berhasil melakukan pembersihan ke selatan dan di sepanjang pantai timur. Kini, ada kabar angin yang mendesas-desuskan bahwa di utara dan barat mulai ada gerakan-gerakan pemberontakan.
Sang kaisar telah menugaskan panglima yang amat dipercayanya, yaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong, untuk melakukan penyelidikan. Dia percaya bahwa jenderal muda itu akan dapat menemukan kenyataan-kenyataan mengenai berita yang tidak baik itu dan dengan hati tenang, Kaisar Kian Liong pada suatu hari pergi berpesiar ke Telaga Teratai di sebelah selatan kota raja.
Dia bermaksud untuk merayakan hasil operasi pembersihan di timur dan selatan itu, karena setiap kali usahanya membebaskan rakyat dari tekanan dan kesengsaraan berhasil, hatinya gembira sekali. Perjalanan dilakukan dengan kereta yang dikawal oleh pasukan pengawal.
Dalam perjalanan pesiar ini, Kaisar Kian Liong ditemani oleh belasan orang dayang dan juga tiga orang selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Sampai dua tahun setelah menjadi kaisar, dia belum mempunyai seorang permaisuri, hanya mempunyai tiga orang selir itu yang belum juga ditambahnya walau pun para pembesar dengan usaha mereka mencari muka banyak yang menawarkan dara-dara cantik jelita untuk menambah kumpulan selir-selirnya.
Telaga Teratai itu sesungguhnya adalah sebuah telaga buatan yang mengambil airnya dari Terusan Besar, dibuat sebuah telaga yang indah dikelilingi taman bunga dan telaga itu terhias dengan bunga-bunga teratai yang mekar sepanjang masa. Beberapa buah perahu besar mewah milik istana dipergunakan untuk pesiar oleh Kaisar Kian Liong.
Akan tetapi, tidak seperti kaisar lain yang mengutamakan kesenangan dengan hiburan tari-tarian, makan enak, kemudian bersenang-senang dengan para wanita cantik, Kaisar Kian Liong mempunyai cara bersenang-senang yang lain lagi. Kesenangannya amat bersahaja, seperti kesenangan rakyat jelata. Para dayang dan pengawal menahan rasa geli hati mereka tanpa merasa heran sedikit pun ketika perahu kaisar telah tiba di tengah telaga, Kaisar Kian Liong lalu mulai dengan hobby-nya, yaitu mengail ikan!
Orang yang tidak biasa mengail ikan, tidak akan mengetahui apa sebabnya banyak sasterawan, filsuf, dan orang-orang besar di jaman dahulu suka mengail ikan. Akan tetapi mereka yang mempunyai hobby ini akan dapat merasakan bahwa di dalam keasyikan mengail ini orang akan menemukan kedamaian hati, ketenteraman, dan kebahagiaan yang hanya dapat dinikmati orang dalam keadaan sunyi dan hening.
Orang yang mengail dihanyutkan di dalam keheningan yang penuh harapan, kejutan tiba-tiba yang amat menggairahkan hati apabila umpan pancingnya disambar ikan, ketegangan yang mendebarkan jantung apabila ikan itu meronta-ronta dengan kuatnya untuk melepaskan diri, dan akhirnya kepuasan yang membanggakan apabila ikan itu dapat dinaikkannya ke atas, menggelepar di bawah kakinya. Inilah kepuasan seorang pemenang dan hasil dari pada kesabaran dan ketekunan.
Seorang pengail ikan dapat saja menganggap pekerjaan memburu binatang di hutan sebagai pekerjaan kejam, atau seorang yang memiliki hobby mengail ikan menganggap kejam orang yang berburu binatang sebagai hobby saja. Berburu binatang merupakan suatu perkosaan, pikir mereka, karena kita berburu binatang tertentu yang dikejar-kejar sampai dapat dan dibunuh di bawah mata dengan darah dingin.
Akan tetapi tidak demikian dengan mengail ikan. Kita mengail ikan tanpa ditujukan kepada ikan tertentu, bahkan tanpa kesengajaan untuk menangkap ikan tertentu. Yang terkena umpan adalah ikan yang kebetulan menyambar umpan itu, jadi.... salahnya ikan itu sendiri atau tergantung kepada nasib sang ikan atau juga kepada kerakusannya! Tentu saja ini adalah pendapat seorang yang suka mengail ikan!
Kaisar Kian Liong kelihatan gembira sekali karena ternyata di telaga itu terdapat banyak ikan rakus! Sebentar saja umpan pancingnya disambar ikan yang cukup besar dan setelah dia berhasil menarik ikan itu ke atas perahu dan ikan itu dilepas dari pancing oleh pembantunya, kemudian mata kail dipasangi umpan baru, sebentar saja dia telah menarik ikan lain. Berturut-turut kailnya mengena dan sebentar saja dia telah berhasil memancing belasan ekor ikan yang cukup besar!
Kaisar ini sama sekali tidak tahu betapa sebelum mengail, para thaikam yang selalu berusaha untuk menyenangkan hati kaisar telah lebih dulu melepaskan banyak ikan-ikan besar di tempat itu. Terjadi pula kelucuan yang tidak diketahui oleh kaisar muda itu, yakni bahwa di antara ikan yang terdapat olehnya itu ada beberapa ekor ikan yang sebetulnya hanya bisa didapatkan di Sungai Yang-ce!
Di tepi telaga buatan itu terdapat banyak rakyat yang sengaja datang untuk menonton perahu kaisar. Bahkan ada pula yang memberanikan diri naik perahu. Memang telaga buatan itu pada hari-hari biasa dibuka dan kaisar memperbolehkan rakyat untuk bermain-main di situ. Bahkan kaisar yang sudah biasa dengan rakyat itu tidak pula melarang rakyat bermain-main pada saat dia sedang berlibur di situ.
Hal ini sesungguhnya membuat para komandan pengawal mengerutkan kening karena tidak setuju, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menentang. Sebaliknya, rakyat berterima kasih dan memuji sikap kaisar yang sama sekali berbeda dengan kaisar-kaisar lain, yang biasanya amat congkak dan tidak sudi berdekatan dengan rakyat, apalagi rakyat kecil yang miskin.
Di antara beberapa orang nelayan yang mendayung perahu mencari ikan di telaga itu, terdapat seorang wanita muda yang pakaiannya seperti nelayan, memakai caping lebar untuk melindungi wajahnya yang manis dari sengatan sinar matahari yang mulai naik tinggi. Perlahan-lahan, perahu wanita nelayan ini makin mendekati perahu kaisar.
Para pengawal yang awas memasang mata, melihat nelayan wanita ini, akan tetapi karena ia hanya seorang wanita nelayan yang sendirian saja dalam sebuah perahu kecil, asyik memancing ikan pula, maka mereka tidak menaruh kecurigaan. Pula, apa yang dapat dilakukan oleh seorang wanita muda terhadap kaisar yang dijaga ketat oleh para pengawal?
Memang benar bahwa kaisar tidak dikerumuni terlalu banyak pengawal, dan di perahu itu pun hanya terdapat enam orang pengawal, akan tetapi itu pun sudah cukup kalau diingat bahwa mereka berada di atas perahu di tengah telaga, sedangkan di pantai telaga berkumpul pasukan pengawal. Selain itu, juga para anak buah perahu bukanlah orang lemah dan dapat pula membantu jika timbul keadaan bahaya. Kalau terlalu banyak perahu nelayan yang berani mendekat perahu kaisar, tentu para pengawal akan melarangnya. Akan tetapi hanya sebuah perahu kecil seorang nelayan wanita saja tidak menjadi soal.
Tetapi para pengawal ini sama sekali tidak tahu bahwa di antara perahu-perahu nelayan yang berada agak jauh dari perahu kaisar itu terdapat penumpang-penumpangnya yang amat mencurigakan. Dari sikap, bentuk tubuh dan pakaian mereka, jelaslah bahwa mereka itu bukan nelayan biasa. Sama sekali bukan nelayan karena mereka adalah orang-orang kang-ouw, kaum sesat yang menaruh hati dendam terhadap kaisar karena mereka adalah orang-orang yang menjadi korban pembersihan, bekas raja-raja bajak dan perampok yang telah kehilangan anak buah dan mata pencaharian mereka, kehilangan kerajaan kecil mereka.
Ada lima orang penjahat besar di perahu-perahu kecil terpisah dan para pengawal tidak tahu betapa tidak lama kemudian perahu-perahu itu kosong dan para penghuninya lenyap. Barulah para pengawal itu menjadi panik dan geger ketika tiba-tiba ada lima orang yang pakaiannya basah kuyup berloncatan masuk ke dalam perahu dengan tangan memegang senjata tajam!
Pada saat itu, Kaisar Kian Liong sedang menghadapi panggang ikan hasil kailnya tadi dan melihat munculnya lima orang ini, tentu saja kaisar menjadi terkejut dan heran. Namun, bukan baru sekali ini saja kaisar itu menghadapi ancaman bahaya. Ketika masih menjadi pangeran, sudah sering kali dia menghadapi ancaman maut, maka sekali ini pun dia bersikap tenang saja. Bahkan kaisar muda ini melanjutkan makan minum sambil nonton betapa enam orang pengawalnya sudah menerjang dan menyambut lima orang penyerbu gelap itu.
Akan tetapi, ternyata lima orang penyerbu ini rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka itu terlalu kuat bagi enam orang pengawal dan berturut-turut, sudah ada tiga orang pengawal yang roboh mandi darah!
“Ha-ha-ha, Kaisar Kian Liong, engkau hendak lari ke mana sekarang?” seorang di antara para penyerbu yang bertubuh seperti raksasa bermuka hitam itu kini mengangkat golok besarnya dan menyerbu ke arah kaisar yang sedang makan daging ikan.
Kaisar itu maklum bahwa tidak ada jalan lari baginya, maka dia pun melanjutkan makan, bangkit pun tidak dari tempat duduknya!
Melihat ketenangan orang itu, si penjahat menjadi termangu-mangu dan ragu-ragu, memandang ke kanan kiri untuk melihat apa yang menyebabkan kaisar begitu tenang seolah-olah ada yang diandalkan. Penjahat ini sudah mendengar betapa kaisar ini sejak menjadi pangeran dahulu selalu dilindungi oleh para pendekar dan menurut dongeng dilindungi oleh dewa-dewa yang tidak nampak!
Kaisar Kian Liong tersenyum melihat keraguan orang itu. “Orang kasar, apa sebabnya engkau hendak membunuh kami?”
Penjahat itu nampak marah lagi. “Engkau menjadi kaisar bertindak sewenang-wenang terhadap golongan kami, menindas dan membasmi golongan kami. Maka kami harus membunuhmu!”
“Ahhh, lalu apa untungnya kalau engkau membunuhku? Tetap saja kalian akan hidup sengsara karena ulah kalian sendiri. Bertobatlah dan bertindaklah di atas jalan yang benar dan kalian akan menemukan kehidupan baru....”
“Tak perlu banyak cakap lagi!” Si penjahat yang agaknya sudah menemukan kembali keganasannya itu melompat ke depan, mengayun goloknya.
“Trrangggg....!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata kaisar yang melindungi mukanya dengan kedua tangan agar bunga api itu tidak mengenai mukanya. Dia melihat munculnya seorang wanita muda berpakaian nelayan yang memakai caping lebar sehingga sukar bagi kaisar untuk dapat melihat muka wanita itu yang tertutup caping. Wanita itu memegang sebatang pedang dan tadi telah meloncat ke perahu sambil menangkis sambaran golok penjahat raksasa itu.
Kini terjadilah perkelahian di atas perahu. Wanita muda itu lihai sekali permainan pedangnya sehingga penjahat tinggi besar menjadi kewalahan juga. Penjahat itu kalah lincah dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu mendesak dan menghimpitnya, membuat dirinya hanya mampu menangkis sambil mundur-mundur saja.
Akan tetapi, segera datang penjahat-penjahat lain dan karena tidak lama kemudian semua pengawal yang berjumlah enam orang itu telah roboh semua, si wanita nelayan terpaksa melawan kelima orang penjahat itu sambil terus melindungi kaisar! Ia memutar pedangnya, berloncatan ke sana-sini menghadang agar mereka tak dapat mengganggu kaisar.
Betapa pun pandai dan gagahnya wanita itu, ia tidak mampu menandingi lima orang penjahat yang ganas itu dan dia sudah menerima beberapa kali bacokan sehingga pakaiannya mulai penuh dengan bercak-bercak darah. Melihat ini, kaisar menjadi marah dan tidak tega.
“Kalian berlima ini sungguh orang-orang jahat kejam dan tidak tahu malu, mengeroyok seorang wanita. Hentikan pengeroyokan itu!”
Akan tetapi, lima orang penjahat itu menghendaki nyawa kaisar dan si wanita menjadi penghalang, tentu saja mereka tidak memperdulikan bentakan-bentakan kaisar. Karena merasa bahwa ia tidak akan mampu mempertahankan diri lebih lama lagi, wanita itu lalu berkata dengan suara gemetar.
“Sri baginda, larilah.... larilah dari sini selagi ada kesempatan....!”
Akan tetapi, biar pun dia sendiri bukan pendekar, Kaisar Kian Liong sejak dulu memiliki watak yang gagah. Ada seorang wanita yang membela dan melindunginya terancam bahaya maut, bagaimana mungkin dia mau melarikan diri begitu saja meninggalkan wanita itu sendiri saja menghadapi maut? Dia lalu bertepuk tangan dan berkata kepada para anak buah perahu yang berdiri dengan bingung.
“Jangan diam saja. Bantulah wanita ini menghadapi penjahat!”
Mendengar perintah kaisar, barulah belasan orang anak buah perahu itu berbondong-bondong maju dengan senjata seadanya. Ada yang membawa tombak ikan, ada yang membawa dayung, dan tukang masak datang bersenjatakan pisau dapur yang besar. Mereka juga bukan orang-orang lemah, akan tetapi tentu saja bukan apa-apa bagi lima orang penjahat lihai itu. Sebentar saja mereka pun sudah terlempar ke sana-sini terkena tendangan para penjahat dan kembali wanita itu dikeroyok.
“Desss....!”
Sebuah pukulan yang keras sekali dengan sebuah ruyung mengenai punggung wanita itu. Wanita itu mengeluh dan muntah darah, dan pada saat itu pula, sebatang golok membacok lambungnya. Darah muncrat dan wanita itu pun terhuyung. Namun, dengan pedangnya ia juga masih mampu menghalau sebatang golok yang menyambar ke arah kaisar! Wanita itu sungguh gagah perkasa dan mati-matian melindungi kaisar.
“Bunuh perempuan ini lebih dulu, baru kita sembelih kaisar!” kata si tinggi besar dan kini mereka semua menerjang ke arah wanita yang sudah lemah itu.
Si wanita memutar pedangnya untuk melindungi diri, namun karena tenaganya sudah lemah, ia terlempar ke belakang, jatuh menimpa pangkuan kaisar! Kaisar merangkulnya, tidak perduli akan darah wanita itu yang membasahi lengan dan jubahnya. Dan kaisar terkesiap kaget ketika caping itu terbuka dan wajah yang manis itu nampak.
“Li Hwa....!” Kaisar Kian Liong berseru dan memandang terbelalak. “Kau.... kau.... Li Hwa....!”
Wanita itu mencoba untuk tersenyum. “Ampunkan hamba.... hamba tidak berhasil.... menyelamatkan paduka....”
“Li Hwa....!” Kaisar mendekap kepala itu dan merangkulnya ketat.
Lima orang penjahat itu tertegun menyaksikan peristiwa ini, akan tetapi segera si tinggi besar berseru, “Bunuh mereka!”
Lima orang itu menyerbu, seperti lima ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang, menerjang ke arah kaisar yang duduk memeluk tubuh wanita nelayan itu.
“Wuuuutttt.... blaarrrr....!”
Lima orang penjahat itu terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Mereka merasa seperti disambar halilintar saja dan ketika mereka bangkit berdiri dan menggoyang-goyang kepala mengusir pening, mereka melihat di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh enam tahun, berpakaian sederhana dengan rambut riap-riapan, sepasang matanya mencorong seperti mata naga, dan di sebelahnya berdiri pula seorang wanita berusia beberapa tahun lebih muda, namun masih nampak cantik dan bertubuh ramping padat, berpakaian rapi dan pesolek, di punggungnya tergantung sebuah payung.
Sepasang suami isteri ini bukan lain adalah pendekar sakti Suma Kian Bu yang dikenal sebagai Pendekar Siluman Kecil dan isterinya yang bernama Teng Siang In. Akan tetapi karena memang selama belasan tahun Suma Kian Bu dan isterinya tidak pernah berkecimpung di dunia kang-ouw dan tidak membuat nama besar, maka lima orang penjahat itu pun tidak mengenal mereka.
Dan inilah celakanya bagi para penjahat itu. Apa bila mereka mengenal suami isteri pendekar itu, tentu mereka akan lari tunggang-langgang tidak berani melawan, meloncat ke air telaga dan berenang ke perahu masing-masing seperti yang mereka lakukan ketika mengadakan penyerbuan tadi.
Akan tetapi, kini mereka bangkit dan memandang marah, lalu menghampiri suami isteri itu dengan sikap mengancam. Mereka adalah kumpulan orang-orang kasar yang hanya mengandalkan kekerasan dan kepandaian sendiri saja, tak tahu diri dan tidak melihat bahwa terjangan Suma Kian Bu tadi saja sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka sama sekali bukanlah tandingan pendekar sakti ini.
Mereka sudah hampir berhasil, sudah menyudutkan kaisar yang demikian tidak berdaya lagi. Sekali menggerakkan golok saja sudah cukup untuk membunuh kaisar dan kini muncul dua orang penghalang yang tak disangka-sangka, tentu saja mereka menjadi penasaran. Mereka maju menghampiri dan membagi kelompok, tiga orang menghampiri Suma Kian Bu dan dua orang menghampiri Teng Siang In.
Para anak buah perahu yang tadi dipukul jatuh bangun, sekarang berdiri berkelompok. Dengan tubuh babak-belur mereka memandang ke depan, dengan penuh harapan mereka berpihak kepada suami isteri yang muncul pada saat yang tepat itu.