Perawan Lembah Wilis Jilid 08

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 08

Tiba-tiba Endang Patibroto merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan Tejolaksono. Ia duduk bersimpuh di depan pria itu, matanya memandang dengan tajam, wajahnya yang masih basah itu pucat, rambutnya kusut, namun menambah kecantikannya yang asli, cantik jelita sehingga mengharukan hati Tejolaksono yang memandangnya.

"Tidak...! Tidak, Joko Wandiro! Aku tidak pernah membencimu! Tidak... belum pernah aku membencimu!" Mata itu memandang dengan pancaran sinar yang membikin Tejolaksono terkejut dan bingung. Begitu tajam, begitu mesra, begitu penuh perasaan dan mengandung cinta kasih seperti kalau mata Ayu Candra memandangnya! Ia cepat menekan hatinya.

"Ah, Endang Patibroto, engkau dahulu selalu memusuhiku, bukan? Semenjak kita kecil..."

"Tentu saja, karena aku tidak mau kalah olehmu. Aku ingin menang darimu, ingin kaukagumi. Aku tidak pernah mau kalah oleh siapa juga, teristimewa oleh engkau Joko Wandiro. Akan tetapi, akhirnya aku harus mengakui keunggulanmu dan... dan hal itu tidak membuatku benci...."

"Tetapi setelah kita dewasapun, kau selalu memusuhiku. Kau membenciku!"

"Tidak! Memang kita selalu bertentangan, keadaan keluarga kita yang melibat kita sehingga terjadi pertentangan. Akan tetapi.... aku tak pernah membencimu, Joko Wandiro. Di sudut hatiku, tak pernah lenyap aku... aku... ah, perlu apa aku berpura-pura lagi? Kita sekarang menghadapi maut di depan mata. Kita takkan dapat lolos dart sini, hal ini aku yakin benar. Kita pasti akan mati di sini, entah berapa hari lagi. Karena itu, karena kita berdua akan mati bersama di sini, tak perlu lagi aku berpura-pura, tak perlu lagi malu-malu. Andaikata kita tidak menghadapi kematian yang tak mungkin dapat dihindarkan lagi, sampai matipun aku tentu tidak sudi membuka mulut mengadakan pengakuan ini. Joko Wandiro, engkau keliru besar kalau mengira bahwa dahulu aku membencimu. Tidak sama sekali! Ingatkah engkau di dalam hutan itu, ketika engkau dari belakang memelukku? Dari belakang engkau mendekap dan menciumku? Kalau aku membencimu, tentu sudah kupukul mati kau di saat itu selagi engkau tidak siap! Akan tetapi tidak! Aku tidak menyerangmu, aku menggigil karena bahagia! Akupun merasa bahagia sekali ketika sebelum meninggal ayah berpesan agar aku berjodoh denganmu. Tidak, Joko Wandiro. Aku tidak membencimu ketika itu. Aku... aku cinta kepadamu! Nah, dengar engkau sekarang? Menghadapi kematian aku tidak malu-malu lagi mengaku. Aku cinta kepadamu."

"Endang...!!" Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono berseru kaget, matanya terbelalak memandang, hampir tidak percaya akan pendengaran telinganya ketika mendengar pengakuan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kemudian dengan suara gemetar ia mencoba untuk membantah, "Tapi... kau hendak membunuhku... ingatkah pertandingan di badai itu? Berebutan keris pusaka Brojol Luwuk?"

"Tentu saja, Joko Wandiro." Endang Patibroto menghela napas panjang. "Tentu saja. Hati siapa yang tidak sakit karena ditolak cintanya? Engkau menolak dijodohkan denganku. Engkau memilih Ayu Candra!"

Melihat kini wanita itu menunduk dan mengalirkan air mata, Tejolaksono menghela napas panjang,, menekan perasaannya yang menggelora, lalu berkata lirih, "Endang Patibroto, perlu apakah hal-hal yang sudah lalu kauceritakan? Perlu apakah hal itu disebut-sebut lagi? Hanya untuk menghancurkan perasaan kita berdua."

Sampai lama Endang Patibroto tidak menjawab, terisak-isak. Kemudian ia berkata lagi, "Orang selalu keliru menyangka tentang diriku, keliru menafsirkan isi hatiku. Mungkin karena aku liar dan ganas, karena aku murid Dibyo Mamangkoro... Biarlah sekarang aku mengaku semua... pada saat terakhir hidup kita ini. Engkau tahu, Joko Wandiro, setelah aku kalah olehmu, setelah aku putus harapan, kehilangan engkau yang mencintai Ayu Candra, kehilangan Brojol Luwuk yang telah kaurampas, kehllangan kasih lbu kandung... kehilangan semuanya, bahkan kehilangan hati karena cintaku padamu tak terbalas... ketika itu.... aku hendak membunuh diri di dalam badan..."

"Endang..." Tejolaksono berseru lagi penuh keharuan.

"Biarlah kuceritakan semua.... kita toh akan mati.... biarlah kau anggap aku wanita tak bermalu.... semua ini kenyataan hatiku... Joko Wandiro, ketika aku hendak membunuh diri, muncul Pangeran Panjirawit yang mencintaku. Dialah yang merenggutku dari maut, kemudian menghiburku... melimpahkan kebaikan budi kepadaku... ah, kasihan Pangeran Panjirawit suamiku..." Ia terisak lagi dan tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Tejolaksono hanya duduk bersila dan memandang, seperti arca. Pengakuan wanita ini benar-benar merupakan serangan dahsyat pada hatinya, membuat ia lupa sama sekali bahwa mereka berdua pada saat itu menghadapi ancaman maut yang tak terhindarkan lagi.

Setelah menyusut air matanya, Endang Patibroto melanjutkan kata-katanya, "dengan penuh pengertian, penuh kesabaran dia membimbingku, mengisi hidupku, seolah-olah menghidupkan lagi aku yang bangkit dari kematian... melimpahkan cinta kasihnya sampai aku berhasil membalas cintanya... tapi... tapi akhirnya ia tewas dalam membela diriku... ah, hampir aku gila dibuatnya. Hanya satu cita-cita hidupku. Membalas kematiannya, mendendam kepada Jenggala dan Panjalu, sehingga nekat bersekutu dengan Blambangan. Akan tetapi kau muncul....! Ternyata aku keliru sangka, bukan Jenggala dan Panjalu yang menjadi sebab kematian suamiku, melainkan Blambangan! Dan kini... aku diperternukan lagi dengan engkau... kini di tepi kematian. Ahhh, Joko Wandiro...!" Endang Patibroto menubruk dan menangis di atas pangkuan Tejolaksono yang masih terbenam dalam keharuan, diam seperti arca.

Endang Patibroto kembali bangkit dan duduk. Agaknya ia bisa menguasai hatinya yang remuk redam, tidak menangis lagi, bahkan ia mulai membenarkan rambutnya yang kusut, disanggulnya, akan tetapi kedua tangannya menggigil sehingga sanggul itu tidak benar, bahkan terlepas dan terurai lagi, sepasang matanya memandang wajah pria yang bersila di depannya. Cahaya matahari menyinar dari lubang di atas sehingga cahaya remang-remang di ruangan bawah tanah itu tidak begitu gelap benar. Mereka bertemu pandang dan sukar dilukiskan apa yang tersinar keluar dari pandang mata masing-masing.

"Joko Wandiro...!"

Seperti mimpi Tejolaksono mendengar panggilan ini, panggilan yang dikeluarkan dari bibir yang gemetar. Ia memandang, tak mampu menjawab, hanya menggumam lirih, "Hemmmm...?"

"aku... kita..." Endang Patibroto tak dapat melanjutkan kata-katanya, lalu menunduk dan menarik napas panjang. Agaknya sukar ia menyatakan isi hatinya.

"Bicaralah, Endang Patibroto. Aku mendengar...."

"Joko Wandiro... aku telah berdosa kepada ayah.... dan sekarang kita berdua menghadapi kematian. Tak lama lagi kita akan bertemu dengan ayah... aku telah mengecewakan hati ayah... tidak dapat memenuhi pesannya yang terakhir, yang keluar dari mulutnya sebelum ia meninggal dunia. Joko Wandiro..." Kembali ia terdiam dan kepalanya makin menunduk. Sampai lama

Tejolaksono menanti, namun tidak juga keluar ucapan lanjutan wanita itu dan ia sama sekali tidak dapat menduga apa yang akan dikatakan wanita luar biasa ini.

"Bagaimana, Endang Patibroto? Apa yang hendak kau katakan?"

"Joko Wandiro... ahh.... bagaimana aku harus mengatakan kepadamu... Akan tetapi... biarlah, biar semua orang menganggapku seorang wanita hina... biar kau sendiri menganggapku rendah... aku tidak perduli... Joko Wandiro, kalau ada sedikit saja rasa cinta dan kasihan di hatimu terhadap diriku... aku..."

Melihat betapa sukarnya Endang Patibroto menyampaikan perasaan hatinya, Tejolaksono segera berkata menghibur,

"Terus terang saja, dahulu aku pernah amat kagum dan cinta kepadamu, Endang, sebelum aku bertemu dengan Ayu Candra... dan tentang kasihan, kau tahu bahwa aku selalu mengasihanimu..."

Endang Patibroto mengangkat mukanya dengan wajah berseri sedikit. Ia menggigit bibir bawah, agaknya menahan perasaan jengah dan malu, kemudian la berkata,

"Kalau begitu... Joko Wandiro, kau terimalah aku sebagai isterimu..."

"Haaaahhhh...???" Tejolaksono memandang dengan terbelalak. Sungguh mati ia tidak pernah menyangka bahwa Endang Patibroto akan berkata demikian. Pantas saja begitu sukar keluar dari mulut!

"Joko Wandiro, aku tahu bahwa engkau tentu akan memandang rendah dan hina kepadaku dengan permintaanku ini. Akan tetapi... aku ingin mati sebagai isterimu! Aku ingin menghadap ayah setelah memenuhi pesannya. Aku... aku... ahhh... Kembali ia menubruk dan terisak perlahan ketika melihat sinar mata Tejolaksono seperti itu.

"Tapi... tapi... Endang... ingatlah kepada Pangeran Panjirawit, mendiang suamimul!" Tejolaksono yang wajahnya menjadi pucat itu berkata gagap. Ia harus mengatakan sesuatu untuk memulihkan ketenangannya, untuk menangkis serangan Endang Patibroto yang langsung menusuk jantung menembus hati menyentuh perasaan.

"Pangeran Panjirawit? Kasihan suamiku, semoga rohnya diterima Sang Hyang Widhi.l Tidak, dia tidak apa-apa, karena dia sudah tahu, Joko Wandiro! Aku telah membuka rahasia hatiku ketika ia meminangku, terus terang kuceritakan kepadanya bahwa aku adalah jodohmu yang ditentukan ayah, bahwa aku... aku mencintaimu! Akan tetapi, dia dapat mengerti, dan dapat mengasuh, begitu sabar dan penuh pengertian sehingga beberapa tahun kemudian dia berhasil menjatuhkan hatiku. Ia tahu bahwa pada bulan-bulan pertama, di waktu dia mencumbu rayu, aku menganggap bahwa dia bukanlah Pangeran Panjirawit, melainkan... Joko Wandiro... Nah, aku telah membuka rahasia, terserah kepadamu, aku rela kauanggap apa saja... wanita tak bermalu, wanita hina dina dan rendah.... tidak setia... apa saja, Joko Wandiro. Kita akan mati bersama... dan aku ingin mati sebagai.... isterimu..!"

Sampai lama Tejolaksono yang masih duduk bersila itu menatap wajah yang menunduk, rambut yang kusut terurai, dada yang turun naik diseling tangis, pakaian yang robek-robek, tubuh yang membayangkan kelemahan dan kelelahan, kesengsaraan dan duka nestapa menimbulkan haru dan iba. Alangkah mudahnya bagi seorang pria untuk menyayang seorang wanita sehebat Endang Patibroto! Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta! Akan tetapi ia teringat akan isterinya, terbayang wajah Ayu Candra yang mencintanya dengan sifatnya yang halus dan setia.

Hampir semua ponggawa di masa itu, apalagi yang pangkatnya adipati, tentu mempunyai selir, pada umumnya sampai belasan orang selir, sedikitnya tiga orang. Akan tetapi selama sepuluh tahun ini Adipati Tejolaksono tidak mau mengambil selir, bukan karena Ayu Candra melarangnya, sama sekali bukan. Ayu Candra dapat memaklumi kedudukan wanita dan hak kaum pria pada masa itu. Akan tetapi Adipati Tejolaksono tidak mau mengambil selir karena cinta kasihnya kepada isterinya amat mendalam, ia tidak mau membagi cinta kasihnya itu dengan wanita lain!

"Endang Patibroto.... aku.... kasihan kepada Ayu Candra..."

Endang Patibroto menutupi mukanya dengan telapak tangannya. "Aduh... sungguh aku seorang wanita yang tidak tahu malu, Joko Wandiro... kalau saja tidak menghadapi kematian yang tak terelakkan lagi, sampai mati sekalipun tak mungkin aku dapat membuka semua rahasia hati dan hidupku padamu! Memang sesungguhnya engkau seorang laki-laki yang patut dicinta, engkau setia dan memang semestinya engkau mengasihi Ayu Candra isterimu... akan tetapi... aku mendengar bahwa dia mempunyai putera... Ayu Candra ada puteranya dan di sana ada... ibu Kartikosari dan bibi Roro Luhito... sedangkan aku... aku tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini... karena itu... aku ingin sekali mempunyai engkau di alam baka, Joko Wandiro....! Tidak kasihankah engkau kepadaku? Sedikitpun tidak...?"

Endang Patibroto menangis sambil menutupi mukanya. Air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari tangannya. Wanita ini telah membongkar semua rahasia hatinya yang tak diketahui oleh orang lain kecuali mendiang suaminya yang pernah ia ceritakan, itupun tidak semua, tidak seperti pengakuannya kepada Joko Wandiro sekarang ini. Ia telah membuka semua isi hatinya, maklum bahwa ia menghadapi resiko yang amat berat, dapat membuat ia dipandang rendah dan hina.

Namun, karena yakin bahwa mereka berdua akan mati, ia tidak perduli lagi. Ia ingin menjadi isteri Joko Wandiro pada saat-saat terakhir hidupnya, untuk memenuhi pesan ayah kandungnya, untuk memenuhi hasrat yang menjadi kandungan hatinya semenjak dahulu, semenjak pertemuannya dengan Joko Wandiro setelah ia menjadi dewasa, semenjak diam-diam ia jatuh cinta kepada pria ini namun keadaan tidak memberi kesempatan kepada dua hati ini untuk bersatu padu, bahkan membuat mereka menjadi saling bertentangan!

"Endang kasihan kau, Endang...!" Ketika jari-jari tangan Tejolaksono dengan gerakan halus mesra menyentuh kedua pundaknya, Endang Patibroto merasa seakan-akan ubun-ubun kepalanya disiram air embun dari surga loka! Menyusup masuk memenuhi hati dan perasaan, meluap keluar melalui kedua matanya dan ia mengeluarkan suara setengah menjerit setengah merintih ketika memeluk pinggang Adipati Tejolaksono dan membenamkan mukanya di dada pria yang selalu dicintanya dalam hati akan tetapi dimusuhinya pada lahirnya itu.

"Terima kasih.... terima kasih, Joko.... kalau engkau ada sedikit kasihan dan sudi membagi cintamu kepada diriku yang hina ini..." ia tersedu.

"Hushhhh.... mengapa kau bilang begitu, Endang?" Joko Wandiro atau Tejolaksono memegang ujung dagu Endang Patibroto dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, lalu mengangkat muka wanita itu sehingga rnenengadah. Mereka bertemu pandang, muka mereka saling mendekat sehingga napas hangat mereka terasa ke muka masing-masing. "Endang Patibroto, engkau sama sekali tidak hina, tidak rendah.... engkau mulia dalam pandanganku karena pengakuanmu menghapus lenyap semua salah pengertian dahulu... tidak, bukan engkau yang minta menjadi isteriku, melainkan akulah kini yang meminangmu. Endang Patibroto, maukah engkau menjadi isteriku, menjadi selirku yang pertama dan terakhir?"

Wajah cantik yang tengadah itu, pucat dan rambutnya kusut, matanya dipejamkan akan tetapi air matanya terus berlinang keluar melalui sepasang pipi, bibirnya gemetar, menggigil setengah menangis setengah tersenyum, hanya dapat tergerak perlahan mengangguk-angguk. Kedua tangan Joko Wandiro mendekap muka itu, pada leher di bawah telinga, memandang seperti orang memandang sebuah mustika yang amat berharga, kemudian seperti tanpa mereka sadari, bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra, yang didorong oleh getaran dua buah hati yang saling berjumpa, setelah lama dan jauh berpisah. Ciuman ini membuat Joko Wandiro seakan-akan mendapatkan kembali sebuah keindahan yang sudah lama terhilang sehingga keharuan memenuhi hatinya, menaikkan sedu sedan dari dalam dada ke lehernya, menjadi satu dengan sedu sedan yang naik dari dalam dada Endang Patibroto!

Adipati Tejolaksono atau Joko Wandiro adalah seorang manusia juga. Seorang manusia dari darah dan daging. Betapapun saktinya, ia masih tak dapat membebaskan diri daripada perasaan dan hawa nafsu. Apalagi terjun dalam lautan asmara bersama seorang wanita seperti Endang Patibroto!

Mereka berdua bergandeng tangan menghadapi maut, telah berada di ambang pintu kematian. Menghadapi ancaman kematian bersama, hanya mereka berdua, membuat mereka makin lekat satu kepada yang lain. Belum pernah selama hidupnya Joko Wandiro tenggelam dalam madu asmara seperti itu. Cinta kasih Ayu Candra kepadanya amat besar, akan tetapi tenang dan halus. Kini ia terseret oleh cinta kasih Endang Patibroto yang bagaikan badai Laut Selatan, menggelora dan menyeretnya sampai ke dasar yang paling dalam. Sesuai dengan watak Endang Patibroto, apalagi ditambah oleh racun yang telah terminum oleh wanita itu.

Juga Endang Patibroto seperti mabuk. Dahulu ia selalu terbuai oleh gelora cinta kasih suaminya, Pangeran Panjirawit yang amat besar. Akan tetapi sekarang ia mabuk oleh cinta kasihnya sendiri yang meluap-luap. Semua perasaannya terhadap Joko Wandiro yang dahulu ia tindas dan pendam, kini meletus dan meluap, tak terbendung lagi.

Kedua orang insan ini seperti dalam sekarat menghadapi maut. Memang mereka menghadapi maut, dan karena Inilah maka mereka seperti dalam sekarat. Tak pernah sedetikpun mereka terpisah lagi semenjak saat mereka berciuman itu. Mereka lupa akan segala, lupa waktu, bahkan ancaman kematian, hanya tahu bahwa mereka hidup bersama dan akan mati bersama, dan pengetahuan inilah yang menambah kemesraan di antara mereka. Kini mereka tidak perduli apa-apa lagi, bahkan menanti datangnya maut dengan bibir tersenyum.

Tiga hari tiga malam mereka berada di ruangan bawah tanah itu. Tubuh mereka sudah lemah. Kekosongan perut membuat mereka lemas. Namun mereka tak pernah mengeluh, juga tak pernah saling melepaskan. Seakan-akan mereka hendak menebus semua kehilangan belasan tahun itu dalam beberapa hari ini selagi nyawa masih belum meninggalkan badan yang makun lemah.

Beberapa kali Endang Patibroto sudah pingsan di atas pangkuan Adipati Tejolaksono, pingsan dalam pelukannya. Akan tetapi begitu ia siuman, la selalu merangkul leher pria itu, berbisik-bisik mesra, selalu haus akan cinta kasih Joko Wandiro, kini suaminya! Kehausan yang tak pernah terpuaskan. Bagi orang-orang yang memiliki kesaktian seperti Endang Patibroto dan Adipati Tejolaksono, agaknya berpuasa sampai sebulan pun kiranya tidak akan membuat mereka mati. Akan tetapi, sekali ini mereka bukan berpuasa, bukan bertapa, melainkan terpaksa tidak makan tidak minum. Ditambah lagi dengan luka-luka mereka bekas pertempuran hebat, kemudian tenggelam dalam bercinta kasih yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang sudah tiada harapan untuk hidup lagi!

Pada hari ke empat, Endang Patibroto rebah terlentang di atas pangkuan Adipati Tejolaksono, tubuhnya lemas, wajahnya pucat sekali, dan sinar matanya layu, akan tetapi bibirnya tersenyum penuh bahagia ketika ia menengadah dan memandang wajah Tejolaksono. Ia baru saja siuman kembali dari pingsan yang ke sekian kalinya. Akan tetapi ia merasa seperti orang baru bangun dari tidur yang amat nyenyak dan nyaman. Ia menggerakkan lengan dengan lemah, lalu menangkap tangan Tejolaksono yang mengelus-elus rambutnya. Jari-jari tangan mereka saling cengkeram dan dari jari-jari tangan mereka itu saja sudah terpancar getaran-getaran penuh cinta kasih! Jelas terasa oleh jari-jari tangan masing-masing. Endang Patibroto tersenyum bahagia, mempererat cengkeraman jari tangannya.

"Joko Wandiro.... belum mati jugakah kita....?"

Tejolaksono tersenyum, menaikkan pahanya, merangkul dan mencium dahi yang pucat itu, di mana rambut-rambut sinom melingkar layu.

"Ingin benarkah engkau mati, nimas?"

Jari-jari tangan Endang Patibroto yang sudah lemas itu seketika menjadi kuat kembali terdorong oleh cinta kasihnya yang selalu membara. Ia sudah menjambak rambut kepala Tejolaksono, menarik kepala itu sehingga turun dan bukan lagi dahinya yang tercium, melainkan mulutnya. Kemudian ia melepaskan tangannya dan terkulai lemas ke atas dada Tejolaksono, napasnya terengah ketika menjawab lirih.

"Mati bersamamu adalah nikmat bagiku, Joko Wandiro..."

Mendengar betapa Endang Patibroto selalu menyebut nama kecilnya, Tejolaksono tersenyum. Selama tiga hari tiga malam itu, di waktu Endang Patibroto tidur entah pingsan di atas pangkuannya, tak pernah bosan ia memandang wajahnya, penuh cinta kasih, kekaguman dan keheranan. Tak pernah disangka-sangkanya dahulu bahwa di dalam diri Endang Patibroto ini terdapat api cinta kasih yang berkobar-kobar terhadap dirinya, api yang begitu panas membakar, bagaikan kawah Gunung Bromo. Ia merasa seakan-akan terbakar oleh api cinta kasih ini, membuatnya panas dan nanar akan tetapi juga bahagia!

"Nimas, engkau sudah tahu bahwa aku sekarang adalah Adipati Tejolaksono... mengapa kau tak pernah menyebutku kakanda? Kau nakal sekali, manis.... masa memanggilku dengan menyebut nama kecilku..."

Endang Patibroto tersenyum, lalu menghela papas panjang, tertawa kecil dan berkata, suaranya penuh kesungguhan, "Akan tetapi aku masih menganggapmu Joko Wandiro, karena engkau adalah Joko Wandiro bagiku, dan selamanya akan menjadi Joko Wandiroku! Joko Wandiro yang bertahun-tahun kurindukan, yang telah sering kumusuhi, biarlah sekarang kumelepaskan rinduku dan menebus kesalahan-kesalahanku kepada Joko Wandiro."

Tejolaksono mencium dua butir air mata di atas pipi Endang Patibroto. "Engkau memang wanita aneh dan hebat sejak dahulu."

"Joko Wandiro, adakah sedikit cinta kasih di hatimu kepadaku sekarang?"

Tejolaksono membelai rambut yang kusut masai di atas pangkuannya. "Adindaku, perlu lagikah kau bertanya? Perlukah aku menyatakan dengan mulut? Nimas, bagi cinta kasih di antara kita, pengakuan bibir adalah jauh terlalu hambar dan bahkan mengecilkan arti dan kebesarannya. Mungkinkah kata-kata dapat mewakili getaran yang terasa oleh kita? Pancaran sinar dari pandang matamu yang bagaikan cahaya sinar matahari pagi menembus dan menimbulkan embun sejuk di bunga dalam hatiku? Nyanyian dan gamelan dari Lokananta yang terkandung dalam getaran suara kita? Dapatkah kata-kata menggambarkan perasaan yang aneh dan ajaib ini? Menggantikan perasaan yang tercurah sehingga terasa benar cinta kasih di antara kita sampai ke bulu-bulu di tubuh yang meremang? Sampai ke denyut-denyut darah yang mengencang tak menentu? Sampai, ke ujung-ujung hidung kita yang mencium ganda harum semerbak seluruh kembang di Indraloka? Endang Patibroto kekasihku, masih perlu lagikah aku mengaku cinta?"

Endang Patibroto rebah terlentang di atas pangkuan Tejolaksono, kedua matanya dipejamkan, bulu matanya yang hitam panjang melengkung itu membentuk bayang-bayang manis di pipinya dan bagaikan mutiara-mutiara keluarlah air matanya bertitik-titik. Bibirnya bergerak dan ia berbisik lirih,

"Terima kasih.... terima kasih Joko Wandiro, kekasihku, suamiku... sekarang aku siap untuk menerima datangnya Sang Yamadipati, marilah Joko Wandiro, mari kita bersama menghadap ramanda Pujo... kita bersama menemui Pangeran Panjirawit, kau bimbinglah tanganku, Joko Wandiro..."

Pada saat itu terdengar suara percik air dari atas lubang sumur dan bagaikan hujan turun, berjatuhan air ke atas kepala dan tubuh mereka berdual Air yang segar dingin ini seketika membuat tubuh mereka berdua yang sudah lunglai itu menjadi segar dan meloncatlah mereka bangun, berdiri lalu menengadah, memandang ke atas. Kiranya dari atas sumur itu kini dipasangi bambu besar berlubang dan dari bambu itulah air dipancurkan ke dalam sumur! Dan tampak bayangan beberapa orang, bahkan terdengar, suara yang tertawa bergelak, suara Raden Sindupati,

"Ha-ha-ha, kalau mereka belum mampus, biarlah sekarang mereka menjadi tikus-tikus tenggelam! Joko Wandiro dan Endang Patibroto, selamat minum dan mandi sepuasnya!" Kini dari bawah tampak bentuk kepala Sindupati yang sebentar kemudian lenyap lagi.

Dan kata-kata Sindupati itu benar-benar dilakukan oleh Endang Patibroto dan Tejolaksono! Setelah empat hari tidak pernah mendapat air, kini pancuran air itu membuat mereka berdua tiba-tiba menjadi haus. Mereka menerima air dengan kedua tangan dan minum sepuasnya, membiarkan air menyiram tubuh sehingga merekapun mandi sepuasnya.

Sejenak mereka lupa bahwa air tadi dipancurkan dari atas sama sekali bukan karena kebaikan hati Adipati Blambangan, sama sekali bukan memberi kesempatan mereka dapat minum dan mandi! Mereka tertawa-tawa dan menikmati air sambil berpelukan dan barulah mereka sadar akan ancaman kematian mengerikan setelah air menggenang di dalam ruangan itu sampai ke lutut mereka!

"Endang, air mulai naik..." kata Adipati Tejolaksono. Biarpun dia tahu kematian berada di depan mata, namun suaranya masih tenang saja, sedikitpun tidak membayangkan rasa takut atau ngeri.

Endang Patibroto malah tertawa! "Joko Wandiro, pegang tubuhku erat-erat agar kita tidak berpisah lagi. Mari kita hadapi kematian yang indah ini!"

"Endang, kurasa tidak seharusnya kita membiarkan diri mati konyol. Kalau begitu, akan sia-sia saja dahulu Eyang Resi Bhargowo menggembleng kita, kemudian orang tuamu, dan guru-guru kita. Tidak, kekasih, selama nyawa kita belum direnggut Sang Yamadipati, kita berkewajiban untuk mempertahankannya!"

"Engkau selalu benar, Joko Wandiro. Akan tetapi betapa mungkin? Air akan naik terus memenuhi tempat ini, dan tenaga dalam tubuh kita tidak ada setengahnya lagi. Betapa kita akan dapat melawan cengkeraman maut? Akan tetapi kita tidak akan mati seperti tikus yang dikatakan si jahanam keparat Sindupati tadi. Kita akan mati dengan tenang dan tak kenal takut, bukan, Joko Wandiro?"

"Hemmm, kalau air naik sampai memenuhi sumur, kita dapat berenang ke atas dan berusaha lolos dengan perlawanan. Setidaknya kita harus dapat membunuh si keparat Sindupati!" kata TejolakSono. Akan tetapi, pada saat itu seakan-akan sebagai jawaban pernyataannya, dari atas menyambar turun banyak sekali anak panah! Terpaksa Tejolaksono dan Endang Patibroto mundur sampai terlindung, tidak tepat di bawah lubang sumur yang lebih sempit.

"Tiada gunanya, Joko Wandiro. Lebih baik kita mati tenggelam daripada dikeroyok anak panah dari atas. Marilah pegang erat-erat dan kita berpegang batu karang di sini sampai mati!"

Endang Patibroto memeluk pinggang Tejolaksono dan mendekapkan muka di dada pria yang dikasihinya ini. Mereka berdekapan, sementara air makin naik sampai di atas lutut. Dari atas lubang terdengar gema suara ketawa dan anak panah kadang-kadang menyambar turun seperti hujan. Agaknya Sindupati dan kawan-kawannya sudah menjaga kalau-kalau dua orang korban di bawah itu hendak naik melalui air. Bencana kematian sudah membayang di depan mata, agaknya mereka berdua tidak akan dapat lolos lagi!

Dengan mulut tersenyum Endang Patibroto membenamkan muka di dada Tejolaksono dan ia menutup seluruh panca indranya, dicurahkan kepada detak jantung di dada kekasihnya. Ia hendak mati dengan detak jantung ini memenuhi semua perasaan dan pikirannya, tidak mau memikirkan hal lain lagi, tidak merasa betapa air kini tidak lagi naik, malah turun sampai ke bawah lutut!

"Eh... airnya menurun...!!" Tejolaksono berseru girang dan juga heran. Air dari atas masih terus memancur, akan tetapi mengapa air di kaki kini tidak menaik malah menurun?
Karena merasa betapa Tejolaksono melepaskan pelukannya karena pria ini sekarang memandang ke sekeliling penuh selidik, Endang Patibroto sadar dan membuka mata. Kebetulan sekali ia menghadap pada dinding yang berlapis besi dan dengan mata terbelalak ia melihat dinding itu bergerak-gerak!

"Dinding itu bergerak...!!" Iapun berteriak kaget dan heran.

Tejolaksono cepat memutar tubuh menengok dan benar saja, perlahan akan tetapi pasti dinding besi itu bergerak dan membuka lubang yang kini sudah kurang lebih setengah meter lebarnya! Dan air menerobos cepat sekali melalui lubang itu!

"Endang, lekas, melalui lubang itu...!!" Tejolaksono menarik tangan Endang Patibroto dan mereka cepat menyelinap memasuki celah dinding yang terbuka itu. Mereka harus mengerahkan seluruh sisa tenaga mereka karena arus air yang menyerbu keluar amat kuatnya sehingga mereka yang sudah lemah itu menjadi terhuyung-huyung ke depan. Namun dengan bergandeng tangan, mereka dapat menahan arus air. Karena air yang membobol keluar mendapat jalan lebih cepat dan lebih besar daripada air yang memancur dari atas, maka sebentar saja air mengecil dan dua orang itu lalu meraba-raba dan terhuyung maju melalui terowongan tanah yang amat gelap.

"Ke mana kita...?" Endang Patibroto bertanya, suaranya gemetar penuh ketegangan. Hal ini amat tidak disangka-sangkanya sehingga menimbulkan ketegangan hati.
Bahkan Adipati Tejolaksono yang biasanya tenang itupun kini tampak tegang dan gugup. Diapun tadinya sudah yakin akan tewas di tempat itu dan hal ini benar amat ajaib baginya.

"Entahlah, setidaknya tentu ada jalan keluar dan kita tidak mati di dasar sumur!"

"Tapi... tapi... siapa yang membuka dinding itu?"

"Siapa tahu, nimas? Tentu Dewata yang menolong kita..."

"Jangan-jangan jebakan mereka untuk menyiksa kita lebih hebat lagi..."

"Tidak perduli, setidaknya setiap kesempatan harus kita pergunakan. Lebih baik mati dalam perlawanan daripada mati konyol di dalam sumur. Mari, nimas, jangan lepaskan tanganku, begini gelap..."

Mereka berjalan terus terhuyung-huyung dan meraba-raba ke depan. Air dari belakang masih terus mengalir dan suara air mancur menimpa dasar terdengar jelas sekali. Akan tetapi aliran air tidaklah kuat lagi, hanya setinggi mata kaki.

"Aihhh, apa ini...!"

Tejolaksono yang berjalan di depan tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kakinya tadi menyentuh benda lunak hangat. Mereka berdua siap sedia menghadapi segala kemungkinan.

"Aduhh...." Rintihan di bawah mereka itu lemah dan jelas adalah suara seorang wanita. Mendengar ini, Endang Patibroto cepat berjongkok dan tangannya meraba ke depan. Memang seorang wanita yang rebah di situ, merintih-rintih kini, suaranya lirih dan napasnya terengah-engah. Ketika Endang Patibroto meraba terus, ia mendapat kenyataan bahwa wanita itu menderita luka parah di bagian kepalanya, seperti bekas dipukul atau terbanting pada benda keras. Ia merangkul pundak wanita itu yang ia dudukkan, lalu bertanya,

"Engkau siapakah?"

"Endang Patibroto.... aku... aku isteri Sindupati"

Teringatlah Endang Patibroto akan seorang wanita yang masIh amat muda, baru lima belas tahun usianya, puteri selir Sang Adipati Menak Linggo yang dihadiahkan sebagai selir Sindupati. Pernah ia beberapa kali bertemu dengan wanita ini di dalam gedung Sindupati.

"Ahh... kau... Dewi Umirah...!"

"Betul, Endang Patibroto, aku.... aku.... aduhh..."

"Mengapa kau berada di sini? Kaukah yang membuka dinding besi?"

"Memang aku yang membuka... tempat ini merupakan tempat rahasia... peninggalan jaman dahulu... hanya Ramanda Adipati dan para puteranya yang tahu akan rahasianya... aku.... aku... ah, tidak sangka air itu amat deras, arusnya menyeret aku.... terbanting pada batu-batu.... aduuuhhh....!"

Terharu hati Tejolaksono. Kiranya Hyang Widhi telah mengirim pertolongan melalui puteri Sang Adipati Blambangan sendiri. Hal yang amat luar biasa sekali. Juga Endang Patibroto menjadi terheran-heran.

"Dewi Umirah, kenapa engkau menolong kami?"

Napas wanita muda itu makin terengah-engah dan susah payah sekali ia memaksa diri bicara, "Sindupati... dia terlalu menyakitkan hatiku... Endang Patibroto, berjanjilah... kau balas pertolonganku dan... kau... bunuhlah Sindupati untukku!" Suaranya tersendat-sendat dan hanya di kerongkongan. Payah sekali agaknya keadaan wanita muda ini, kepalanya yang terluka parah mengeluarkan banyak darah.

Endang Patibroto menggigit bibir karena gemas. Sindupati memang jahanam besar dan tidak mengherankan kalau wanita muda yang dihadiahkan menjadi selirnya ini mendendam sakit hati.

"Legakan hatimu, Dewi Umirah. Aku bersumpah untuk membunuh si jahanam keparat Sindupatil" katanya geram-.

"terima kasih... tidak sia-sia aku mengorbankan diri... menolongmu... Rama, maafkan hamba..." napasnya makin sesak.

"Katakanlah di mana jalan untuk keluar...!" Tejolaksono berkata di dekat telinga wanita yang sudah sekarat itu.

"Terus saja... melalui terowongan yang amat jauh... jangan belok... akan tiba di hutan... lubang tertutup batu... di gua... " Terhenti kata-kata Dewi Umirah bersamaan dengan terhentinya napas dan darahnya.

"Dia mati..." kata Endang Padbroto. "Kasihan dia telah menolong kita..."

"Hyang Widhi yang menggerakkan dia. Mari, Endang!" Tejolaksono bangkit dan menarik tangan Endang Patibroto. Mereka terpaksa meninggalkan jenazah penolong mereka itu dan terus berjalan sambil meraba-raba melalui terowongan yang gelap dan panjang, terowongan yang makin lama makin sempit sehingga tak dapat bagi mereka berjalan berdampingan lagi. Endang Patibroto berjalan di belakang Tejolaksono, namun tangan mereka masih saling berpegangan, tak pernah tangan mereka terpisah semenjak berada di dalam sumur.

Lebih dari satu jam mereka berjalan dan akhirnya, setelah jalan terowongan itu melalui banyak jalan simpangan yang menanjak, mereka tiba di dalam sebuah gua yang tertutup batu besar. Agaknya jalan-jalan simpangan tadi adalah jalan yang menjadi jalan rahasia yang menembus istana dan tempat-tempat rahasia di kota raja Blambangan.

Setelah mengintai dari celah-celah batu penutup gua, Endang Patibroto dan Tejolaksono lalu mendorong batu penutup ke pinggir, kemudian mereka melompat keluar. Kiranya mereka telah berada di dalam sebuah hutan yang lebat dan liar! Tak tampak seorangpun manusia di situ.

"Mari kita lari, Endang. Ke barat!" kata Tejolaksono. Matahari telah naik tinggi dan mulai condong ke barat. Agaknya waktu itu sudah lewat tengah hari. Akan tetapi Endang Patibroto menahan tangannya yang ditarik.

"Tidak, aku mau kembali ke Blambangan!" katanya, suaranya keras dan tegas.

"Eh, mau apa?"

"Membunuh si keparat Sindupati dan sebanyak mungkin orang Blambangan, apa lagi?"

Melihat wajah itu membayangkan kemarahan, Tejolaksono lalu merangkul pundaknya.

"Aihh, Endang, belum waktunya sekarang! Keadaan kita amat lemah dan mereka itu amat banyak. Betapa mungkin kita melawan orang senegara? Kita harus menyelamatkan diri, ini yang terpenting. Kelak kita akan membawa pasukan Jenggala dan Panjalu, menggempur Blambangan dan itulah saatnya kita membunuh si jahat itu!"

Endang Patibroto tetap saja kelihatan ragu-ragu dan kini ia memandang wajah Tejolaksono dengan sinar mata penuh selidik.

"Joko Wandiro...!" dan tiba-tiba saja Endang Patibroto menangis sesenggukan!

"Eh-eh... mengapa pula ini? Endang Patibroto, kekasihku, jiwa hatiku, kenapa kau menangis? Bukankah semestinya kita harus bergirang dan berbahagia bahwa Hyang Widhi masih melindungi kita dan menyelamatkan kita daripada ancaman bahaya maut?"

Endang Patibroto terisak-isak. "Joko Wandiro.... aku ingin mati bersamamu....!"

Tejolaksono tersenyum, lalu dipegangnya muka Endang Patibroto dengan kedua telapak tangannya, dipaksanya muka itu tengadah dan menentang mukanya agar mereka dapat berpandangan.

"Bocah bodoh kau... Tidak senangkah engkau menjadi isteriku? Tidak cintakah kau kepadaku?"

Endang Patibroto yang mukanya dihimpit kedua tangan itu hanya bergerak mengangguk. Tejolaksono lalu menciumi muka yang penuh air mata itu, menghapus air mata dengan kecupan bibirnya.

"Nah, kalau begitu, hentikan tangismu. Bukahkah anugerah yang membahagiakan sekali kalau kita masih hidup, masih mendapat kesempatan untuk lebih lagi menikmati hidup dan cinta kasih kita? Bocah bodoh, pujaan hati, kalau aku girang dan bahagia, mengapa kau menangis?"

"Aku... aku... tadinya mengira kita akan mati... kalau tahu akan dapat lolos... ah, betapa aku dapat membuka rahasia hatiku... Betapa memalukan... betapa hina aku..."

"Ehhh, memang kau wanita aneh. Wanita aneh dan hebat, tiada keduanya di dunia ini. Ha-ha-ha!" Tejolaksono mencium bibir yang hendak banyak membantah lagi itu kemudian memondongnya dan membawanya lari cepat ke barat. Tubuhnya amat lelah, tenaganya hampir habis, akan tetapi kebahagiaannya karena dapat lolos dari kematian itu seakan-akan mendatangkan tenaga baru kepadanya. Ia berlari terus keluar hutan masuk hutan sampai matahari tenggelam, cuaca menjadi gelap dan ia kehabisan tenaga lalu roboh terguling di dalam hutan. Pingsan!

Kini Endang Patibroto yang menjadi bingung dan gelisah setengah mati melihat Tejolaksono rebah tak berkutik. Dipeluk dan dipanggil-panggil namanya, ditangisi! Akan tetapi, barulah ia sadar akan kelakuannya yang seperti gila itu ketika ia mendapat kenyataan bahwa Tejolaksono hanya pingsan karena lelah. Ia menjadi geli dan tertawa sendiri.

Endang Patibroto, menangis dan bingung melihat Joko Wandiro yang hanya pingsan biasa. Takut kalau-kalau mati! Padahal tadinya mengajak mati bersama! Ah, benar-benar cinta kasih yang menggelora membuat orang menjadi bodoh dan lucu. Di mana lagi perginya kegagah perkasaannya? Dia seorang wanita sakti mandraguna. Namun tadi bersikap sebagai seorang wanita lemah yang menangis takut ditinggal mati suaminyal

Ketika Tejolaksono sadar dari pingsannya, ia telah rebah telentang di dekat api unggun yang hangat. Kepalanya berbantal paha Endang Patibroto yang membelai rambutnya dengan jari-jari tangan penuh kasih sayang. Begitu ia membuka mata, Endang Patibroto mencium matanya dan berbisik,

"Kakanda... makanlah pisang ini, kupetik tadi dari dalam hutan di sana..."

Tejolaksono membelalakkan mata, lalu bangkit dan duduk.

"Kakanda....?" Ia bertanya, mengulang sebutan itu.

Endang Patibroto menundukkan mukanya dan... aneh bukan main bagi Tejolaksono melihat betapa wajah wanita sakti ini menjadi kemalu-maluan seperti seorang dara diajak kawin! Di bawah sinar api yang kemerahan, wajah itu tampak amat jelita menggairahkan. Rambut itu tidak kusut lagi, agaknya tadi Endang Patibroto sudah sempat membereskan rambutnya, pakaian mereka tidak basah lagi karena terpanggang dekat api unggun.

"Kita.... kini akan hidup terus.... lain lagi halnya dengan ketika di dalam sumur maut.... kini kita akan hidup di dunia ramai.... tentu saja tidak pantas bagi seorang isteri menyebut suaminya dengan nama kecilnya saja...!!

Adipati Tejolaksono tertawa bergelak, lalu merangkul. Luar biasa sekali wanita ini. Wataknya amat aneh akan tetapi segalanya menyenangkan hatinya. Endang Patibroto menggunakan kedua tangan mendorong dadanya dengan gerakan halus.

"Hiss.... kau makanlah dulu agar jangan mati kelaparan!" katanya tersenyum.

Joko Wandiro kembali tertawa, lalu mengambil pisang yang besar-besar dan matang kemudian dikupas kulitnya.

"Nih, kau makanlah." ia menawarkan, karena tanpa bertanya ia tahu bahwa Endang Patibroto juga belum makan. Pisang itu masih dua sisir.

Endang Patibroto menerima pisang dan makanlah mereka. Perut yang sudah empat hari tidak diisi itu menerima pisang yang lembut dan terasa agak tidak enak pada permulaannya. Akan tetapi lama-lama mendatangkan rasa lega dan memulihkan tenaga sehingga tubuh mereka tidak lemas lagi.

"Endang, kenapa kau tadi tidak makan dulu pisang ini?"

"Bagaimanakah aku boleh makan dulu, Kakangmas Tejolaksono? Seorang isteri harus selalu melayani suami lebih dulu."

"Aduh, isteriku yang tersayang...!" Tejolaksono menarik lengan Endang Patibroto, mendudukkannya di atas pangkuannya dan bagaikan sepasang pengantin baru, mereka saling menyuapi pisang sambil bercumbuan!

"Kakanda," kata Endang Patibroto kemudian jauh lewat tengah malam ketika tubuh mereka yang kelelahan itu beristirahat, rebah di atas rumput yang lunak dan dekat api unggun yang hangat, kepala Endang Patibroto berbantal dada suaminya, "bagaimanakah nanti kalau isterimu yang di Selopenangkep marah mengetahui bahwa aku telah menjadi isterimu?"

"Ayu Candra? Ah, tidak, nimas. Dia tidaklah demikian sempit pendapat. Apalagi kalau sudah kujelaskan akan semua pengalaman kita. Dia akan menyambutmu sebagai saudara madu yang baik dan aku percaya kalian akan dapat hidup rukun seperti ibumu, bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhita."

Endang Patibroto menarik napas panjang. "Aku khawatir.... kalau-kalau ibu akan marah kepadaku.... ah, kalau aku ingat betapa dahulu aku menyakitkan hati ibu dan Ayu Candra.... betapa aku dahulu ingin membunuhnya...."

"Hushhh.... urusan yang lalu tak perlu dipikirkan lagi. Aku yang akan mengatur segalanya, tak perlu kau khawatir, nimas."

"Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi kalau teringat bahwa engkau berada di sampingku, Kakangmas Adipati. Asal engkau mencintaku, aku... aku sanggup menghadapi kesengsaraan yang bagaimanapun juga..."

Akhirnya kedua orang yang amat lelah itu tertidur pulas dan pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi, baru mereka bangun, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Jenggala. Perjalanan mereka merupakan perjalanan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, penuh dengan cinta kasih mesra.

********************

Munculnya Endang Patibroto di Jenggala tentu akan menimbulkan geger hebat kalau saja tidak bersama Adipati Tejolaksono. Melihat wanita sakti yang dianggap memberontak ini muncul disamping Adipati Tejolaksono, para perwira dan ponggawa Jenggala menjadi terheran-heran. Lebih besar lagi keheranan dan kebingungan mereka ketika Adipati Tejolaksono membawa Endang Patibroto menghadap sang prabu.

Barulah mereka tercengang ketika mendengar pelaporan Adipati Tejolaksono tentang semua penistiwa yang telah terjadi, tentang siasat adu domba yang dilakukan oleh pihak Blambangan. Bukan main besarnya penyesalan mereka ketika mendapat kenyataan bahwa Endang Patibroto sama sekali bukanlah seorang pemberontak, bahkan wanita sakti inilah yang telah menumpas Wiku Kalawisesa yang melakukan semua pembunuhan gelap dan keji itu!

Endang Patibroto bukan seorang yang berdosa terhadap Jenggala dan Panjalu, bahkan sebaliknya menjadi seorang yang amat berjasa! Dan untuk semua jasanya itu, Pangeran Panjirawit, suaminya, ditangkap bahkan mengorbankan nyawanya terkena anak panah ketika dikeroyok!

Yang paling menyesal dan berduka adalah Sang Prabu Jenggala sendiri. Raja yang sudah mulai tua itu sampai berlinang air mata mendengar semua itu. Panjirawit adalah puteranya dan dia sendiri yang membunuh puteranya melalui tangan para perajuritnya ketika mereka ini mengeroyok Endang Patibroto!

Karena menyesal dan berduka, sang prabu menjadi marah sekali kepada Blambangan dan setelah menerima pelaporan Adipati Tejolaksono dan Endang Patibroto, seketika itu juga Sang Prabu di Jenggala mengumumkan perang terhadap Blambangan, memerintahkan barisan besar untuk menggempur Blambangan dan menyerahkan pimpinan pasukan kepada Endang Patibroto sendiri!

Adapun Adipati Tejolaksono, sebagai seorang ponggawa Panjalu, lalu berpisah dari Endang Patibroto yang terpaksa harus mempersiapkan pasukan-pasukan Jenggala, untuk menghadap sang prabu di Panjalu menyampaikan laporan.

"Adinda, untuk sementara kita harus berpisah. Engkau laksanakanlah perintah Sang Prabu dan persiapkan pasukan yang kuat. Aku akan melaporkan ke Panjalu, dan tidak lama aku tentu akan memimpin pasukan Panjalu untuk menggabung dan kita berdua akan kembali ke Blambangan membawa pasukan kuat dan mengancurkan Blambangan."

Endang Patibroto mengangguk. Betapapun besarnya cinta kasihnya kepada Adipati Tejolaksono dan betapapun inginnya tidak berpisah lagi dari suaminya ini, namun sebagai seorang perkasa ia mengenal kewajiban. Sudah pulih kembali kegagahannya, sudah bangkit lagi jiwa ksatrianya.

"Baiklah, kakanda. Akan tetapi jangan terlalu lama Kakanda ke Panjalu. Saya menanti dan kita bersama akan pergi menggempur Blambangan."

Adipati Tejolaksono lalu meninggalkan Jenggala sedangkan Endang Patibroto mulai mempersiapkan dan melatih pasukan sambil membuat rencana dengan para senopati yang akan ikut menggempur Blambangan. Para senopati yang kini sudah tahu akan duduknya perkara, dan sudah mengenal kesaktian wanita ini, semua tunduk dan taat akan perintahnya.

Juga sang prabu di Panjalu bersama para senopati tercengang mendengar laporan yang disampaikan Adipati Tejolaksono. Sungguh tidak mereka duga bahwa Blambanganlah yang menjadi biang keladi semua peristiwa itu. Pangeran Darmokusumo tidak menyesal mendengar betapa Endang Patibroto menyerbunya karena dihasut oleh Wiku Kalawisesa, bahkan ia menjadi marah sekali kepada Blambangan. Seketika itu juga Pangeran Darmokusumo mohon kepada sang prabu untuk memimpin barisan Panjalu menggempur Blambangan!

"Biarlah hamba menggabungkan barisan Panjalu dengan barisan Jenggala yang dipimpin yayi Endang Patibroto, Kanjeng Rama. Hamba harus membalas kematian Adimas Pangeran Panjirawit! Juga kematian para ponggawa harus dibalas!"

"Hamba juga siap untuk membantu dalam perang melawan Blambangan!" kata pula Adipati Tejolaksono penuh semangat.

"Seyogianya memang andika yang paling tepat memimpin barisan menjadi senopati perang, Kakang Adipati," kata Pangeran Darmokusumo. "Akan tetapi..." Pangeran ini menghentikan kata-katanya dan memandang kepada ramandanya.

Adipati Tejolaksono dapat menangkap pandang mata ini. Hatinya merasa tidak enak sekali dan ia cepat bertanya, "Ada apakah, Gusti Pangeran? Apakah yang terjadi?"

Sang prabu mendehem beberapa kali, lalu menarik napas panjang. "Adipatiku yang baik! Kami khawatir bahwa engkau tak mungkin ikut menggempur Blambangan dan harus cepat kembali ke Selopenangkep. Ketahuilah bahwa sepergianmu dari sana, Selopenangkep telah diserbu oleh pasukan-pasukan dari barat yang kabarnya adalah gabungan dari para pemberontak Bagelen dan kerajaan-kerajaan kecil di Lembah Serayu yang dipimpin oleh Gagak Dwipa. Kami telah mengirim pasukan bantuan ke Selopenangkep dan perang di daerah itu masih belum dapat dipadamkan. Karena itu,. engkau harus cepat pergi ke sana untuk menanggulangi musuh dari barat itu!"

Di dalam hatinya, sang adipati kaget bukan main, namun wajahnya yang tampan tidak menampakkan perasaan hatinya ini. Teringat ia akan ucapan kakek tua renta yang memperingatkannya di dalam hutan. Kakek pemelihara macan putih itu telah Memperingatkan bahwa ia akan segera meninggalkan Selopenangkep, dan telah membayangkan bahwa akan datang malapetaka sebagai hukumannya atas kedosaannya membunuh anak harimau yang tak bersalah apa-apa.

"Hamba menerima titah paduka, Gusti. Hamba akan segera kembali ke Selopenangkep. Hanya karena hamba tadinya telah berjanji dengan yayi Endang Patibroto untuk bersama-sama menggempur Blambangan, maka hamba mohon kepada Gusti Pangeran Darmokusumo untuk menyampaikan halangan ini kepada Yayi Dewi Endang Patibroto."

"Baiklah, Kakang Adipati Tejolaksono," jawab Pangeran Darmokusumo.

Setelah bermohon diri, berangkatlah Adipati Tejolaksono menuju pulang ke Selopenangkep. Ia menunggang sebuah kuda besar yang kuat karena kuda tunggangannya sendiri yang dibawanya ketika melakukan pengejaran ke Blambangan, masih ia titipkan pada seorang dusun dan ketika ia melarikan diri bersama Endang Patibroto melalui terowongan, tak dapat ia mengambilnya kembali. Kuda tunggangannya inipun bukan kuda sembarangan karena kuda ini pemberian Sang Prabu Panjalu sendiri.

Tejolaksono melakukan perjalanan siang malam dengan cepat. Hatinya mulai gelisah sekali. Ia memang percaya penuh kepada isterinya yang bukan orang lemah, apalagi di sana terdapat kedua orang bibinya, Kartikosari dan Roro Luhito yang sukar dicari tandingannya, di samping para pengawalnya yang pilihan dan terlatih pula. Ia tidak akan merasa gelisah kalau Selopenangkep hanya menghadapi serangan gerombolan-gerombolan liar. Akan tetapi kali ini yang menyerang adalah pasukan-pasukan besar yang dipimpin oleh Gagak Dwipa! Dan ia sudah cukup mendengar tentang kekuatan pasukan-pasukan Bagelen dan Lembah Serayu! Tahu pula akan kesaktian dan kekejaman Lima Gagak Serayu!

Ia sudah mendengar betapa Lima Gagak Serayu ini sudah bertahun-tahun merajalela di sepanjang Lembah Serayu. Akan tetapi oleh karena mereka itu tidak pernah mengganggu wilayah Selopenangkep, ia membiarkannya saja. Kini mendengar mereka itu menyerbu Selopenangkep dengan pasukan besar yang digabungkan dengan pasukan Bagelen, inilah hebat dan berbahaya!

Lebih tidak enak lagi hatinya ketika ia sudah tiba di wilayah Selopenangkep sebelah timur, la melihat banyak penduduk dusun yang pergi mengungsi ke timur. Mereka ini tidak mengenal adipati mereka yang ketika ditanya mereka mengatakan bahwa pasukan-pasukan Bagelen dan Lembah Serayu membakari dusun-dusun di sebelah barat, membunuh dan merampok, memperkosa wanita-wanita muda dan bahwa Selopenangkep setiap hari sudah diserbu oleh para pengacau!

"Selopenangkep tidak akan dapat bertahan lama!" Demikian penuturan seorang di antara mereka. "Dan lebih baik kamu mengungsi lebih dulu sebelum para perampok itu datang menyerbu ke dusun kami."

Sakit hati Adipati Tejolaksono mendengar ini. "Si keparat Lima Gagak Serayu! Berani engkau mengganggu rakyatku selama aku tidak berada di Selopenangkep!" geram hatinya dan ia melanjutkan perjalanannya dengan cepat. Kurang lebih sepuluh pal lagi jauhnya dari kota kadipaten, dari jauh ia mendengar ribut-ribut di dalam dusun di depan, bahkan tampak asap mengepul tinggi.

Mereka telah berani merampoki dusun-dusun di sekeliling Selopenangkep yang hanya sepuluh pal jauhnya! Tejolaksono membalapkan kudanya yang sudah lelah itu masuk ke dusun dan amarahnya berkobar-kobar ketika ia melihat banyak sekali perampok tinggi besar sedang mengamuk di dusun. Para penduduk lari cerai berai dan mayat berserakan. Empat buah rumah sudah terbakar. Jerit lengking wanita terdengar di sana-sini. Dan di tengah-tengah dusun terjadi perang tanding mati-matian antara tiga puluh orang lebih perajurit Panjalu melawan perampok. Akan tetapi tidak seimbang perang itu. Pihak perampok ada seratus orang lebih dan pihak perajurit sudah terdesak hebat!

"Bedebah!" seru Tejolaksono dan pada saat itu terdengar jerit mengerikan keluar dari sebuah rumah terdekat.

Tejolaksono melompat turun dari atas kudanya. Jerit itu adalah jerit wanita, maka ia harus mendahulukan untuk menolongnya. Sekali tendang, daun pintu ambrol dan tubuhnya melesat ke dalam dengan penuh kemarahan. Tangannya menyambar dan terangkatlah tubuh tinggi besar itu seperti seekor anak ayam disambar elang. Di lain saat tubuh Tejolaksono sudah berada di luar rumah dan sekali ia membanting, tubuh orang tinggi besar itu sudah ia banting. Orang itu menjerit satu kali dan tak bergerak lagi karena kepalanya pecah dan tulang-tulang iganya berantakan! Wanita di dalam jatuh pingsan dengan pakaian robek-robek!

Adipati Tejolaksono yang sudah menjadi marah laksana seekor harimau kelaparan mencium darah, kini berlari ke depan. Ia menyelinap ke kanan ketika mendengar pekik wanita yang meronta-ronta dan dipanggul di atas pundak seorang perampok yang tertawa-tawa. Wanita ini masih muda, rambutnya awut-awutan, pakaiannya robek-robek hampir telanjang. Ia meronta dan menjerit minta dilepaskan.

Tiba-tiba tubuh wanita itu terlepas karena sekali pundak perampok itu tercium jari tangan Tejolaksono, seketika tangannya lumpuh. Wanita itu terjatuh lalu melarikan diri. Si perampok memandang ganas kepada Tejolaksono, akan tetapi sebelum ia sempat bergerak, kaki Tejolaksono menyambar ke depan, mengenai pusatnya dan perampok itu terlempar sampai lima meter dan roboh dengan mata mendelik dan napas putus karena isi perutnya sudah hancur lebur di balik kulit perut yang menjadi biru menghitam!

Kini mengamuklah Adipati Tejolaksono. Biarpun ia menggunakan tangan kosong, namun ketika ia menyerbu ke dalam pertempuran, mawutlah pihak perampok. Siapa saja pihak perampok yang kena digerayang tangannya yang penuh dengan Aji Pethit Nogo, tentu terpelanting dengan kepala pecah, tidak usah dipukul sampai dua kali! Para perajurit Panjalu menjadi besar hati melihat ini, apalagi ketika mereka mengenal siapa jagoan Sakti yang membantu mereka ini.

"Sang Adipati telah tiba...!"

"Gusti Adipati Tejolaksono telah pulang..."

"Hidup Gusti Adipati...!!"

Adipati Tejolaksono yang sudah marah sekali berkelebat maju dan sekali bergerak, tiga orang perampok terpelanting tak bernyawa lagi terkena pukulan kedua tangan dan disusul sebuah tendangannya! Kini Tejolaksono melihat pemimpin perampok yang bermuka hitam bermata besar. Pemimpin ini memegang sebatang golok besar yang sudah berlepotan darah. Pemimpin perampok inilah yang sudah menjatuhkan banyak korban di antara para perajurit dan penduduk dusun karena memang ia kuat sekali. Meluap kemarahan Adipati Tejolaksono. Ia melompat jauh dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan si kepala rampok.

"Setan keparat!!" Tejolaksono memaki.

Perampok bermuka hitam itu tadi sedang enak membabati musuh maka tidak melihat sepak terjang Tejolaksono yang menggiriskan hati. Kini ia tertawa,

"Ha-hahal Babo-babo, siapa lagi ini yang ingin mampus?"

Goloknya membabat dari kanan ke kiri, mengarah leher Adipati Tejolaksono. Ia sudah tertawa-tawa membayangkan betapa leher itu akan putus dan muka yang tampan itu akan menggelinding bersama kepalanya seperti korban-korbanya yang lain karena goloknya menyambar amat cepatnya dan kelihatannya takkan dapat dihindarkan lawan.

"Singgg..." Ia terbelalak karena tahu-tahu goloknya mengenai angin ketika orang yang diserangnya itu menunduk. Goloknya lewat tidak ada sejengkal dari kepala orang itu dan tahu-tahu entah bagaimana ia tidak tahu, orang itu sudah menyentuh siku kanannya dan goloknya terlepas dari pegangan karena tiba-tiba lengannya lumpuh. Golok itu sebelum tiba di tanah, telah disambar oleh Tejolaksono sehingga kini golok berpindah tangan! Kepala rampok itu marah sekali, menggunakan tangan kirinya memukul, pukulan dengan kepalan tangan sebesar buah kelapa!
Tejolaksono mengangkat tangan kiri menangkis. "Krakkkk!!" Orang itu berteriak kesakitan karena tulang lengannya patah! la terbelalak, kini baru merasa... jerih!

"Siapa... siapa engkau?" tanyanya gagap.

"Adipati Tejolaksono namaku!"

"Aahhhhh.... !" Kepala rampok bermuka hitam itu berteriak kaget akan tetapi pada saat itu juga, kepalanya sudah mencelat ketika lehernya terbabat putus oleh goloknya sendiri!

cerita silat online karya kho ping hoo

Para perajurit Panjalu bersorak gembira, sebaliknya para perampok menjadi panik dan ketakutan. Karena mereka ini sudah kacau-balau, enak saja Adipati Tejolaksono dan para perajurit membabati mereka sehingga banyak sekali anak buah perampok roboh binasa. Yang lain-lain segera lari pontang-panting menyelamatkan diri.

Adipati Tejolaksono mematah-matahkan golok rampasannya dengan kedua tangan menjadi tujuh potong. Kemudian kedua tangannya itu digerakkan ke depan dan....

"cet-cet-cet-cet-cet-cet-cet!! tujuh sinar meluncur ke depan dan robohlah tujuh orang perampok yang berusaha lari karena punggung mereka telah dimasuki potongan-potongan golok itu. Bahkan yang menyisip tulang sampai tembus keluar dari dada. Para perajurit bersorak-sorak dan mengejar para perampok yang makin ketakutan. Hanya belasan orang perampok saja yang berhasil melarikan diri dan dusun itu kini penuh dengan tumpukan mayat para perampok!

Setelah memberi pesan kepada para sisa perajurit agar melakukan penjagaan di daerah itu, Adipati Tejolaksono lalu melompat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda itu terus ke barat, menuju Kadipaten Selopenangkep yang sudah tak jauh lagi letaknya. Hatinya makin gelisah karena dari para perajurit itu ia mendengar bahwa kadipaten sudah beberapa kali diserbu pasukan perampok yang amat kuat.

Hari telah menjadi senja ketika ia memasuki kota kadipaten yang kelihatan sunyi, namun penuh dengan para pengawal yang melakukan penjagaan. Para perwira pengawal menyambut kedatangannya dengan wajah gembira, namun dengan pandang mata duka. Adipati Tejolaksono tidak mau membuang banyak waktu lagi, terus membalapkan kuda memasuki kota, menuju ke gedung kadipaten. Ia merasa betapa semua pandang mata para pengawal kepadanya mengandung iba dan duka, maka hatinya berdebar tidak enak ketika ia melompat turun dari kuda, menyerahkan kuda kepada seorang pengawal, kemudian ia meloncat dan lari memasuki gedungnya.

"Gusti Adipati tiba...!!"

"Gusti Adipati pulang... kita tertolong...!"

Teriakan-teriakan ini menggema di seluruh kadipaten, bahkan masuk ke dalam gedung kadipaten sebelum Adipati Tejolaksono sampai ke ruangan dalam. Maka baru saja ia melewati pendopo, ia disambut Ayu Candra yang menjatuhkan diri berlutut, merangkul kakinya dan menangis! Di belakang Ayu Candra yang berpakaian perang, ringkas dan dalam keadaan siap, menyambut pula Setyaningsih dan Pusporini, dua orang gadis cilik yang juga menangis. Bahkan dua orang gadis cilik inipun berpakaian ringkas, pakaian untuk bertanding dan di pinggang mereka yang kecil tampak gagang keris!

Bahkan dua orang gadis cilik inipun berpakaian ringkas, pakaian untuk bertanding dan di pinggang mereka yang kecil tampak gagang keris!

Dapat dibayangkan betapa gelisah dan kaget hati Tejolaksono menyaksikan penyambutan isterinya ini. Cepat ia membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya bangun sambil berkata,

"Tenangkanlah hatimu, yayi, dan ceritakan apa yang terjadi di sini."

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 09

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.