Iblis Lembah Tengkorak
DI kaki bukit Cubung, membentang sebuah danau yang indah pada senja hari. Danau Cubung. Permukaan aimya tenang. Bias cahaya matahari sore dari ufuk Barat, memantulkan warna keperakan. Hanya ada satu jalan menuju danau itu. Sepanjang kaki bukit sebelah Timur danau, terdapat jurang yang lebar dan dalam bernama Lembah Bangkai.
Pemandangannya memang indah, namun jika malam telah menjelang, tak seorang pun yang berani melintasi kawasan itu. Selain bau bangkai yang selalu menyengat pada tiap malam, jurang itu seakan-akan menyimpan misteri yang sulit diungkapkan.
Sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda putih, meluncur di bawah siraman matahari sore membelah jalan di antara danau dan jurang. Di belakangnya, menyusul pasukan berseragam di atas kuda yang berjumlah sekitar dua puluh ekor itu.
Dari umbul yang dibawa menandakan bahwa mereka adalah rombongan Kadipaten Karang Setra. Di dalam kereta, duduk Adipati Karang Setra dan seorang wanita cantik bernama Tunjung Melur yang tengah memangku bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun."Sudah hampir malam, Kang Mas," Tunjung Melur bergumam. Matanya menatap lurus ke arah danau. Tangannya yang putih halus memeluk putra tunggalnya.
"Ya. Sebentar lagi tempat ini terlewati," sahut Adipati Karang Setra. Matanya menatap iba pada istrinya itu.
"Adakah jalan Iain selain jalan ini?" Tanya Tunjung Melur.
"Ada, tapi harus memutari bukit Cubung. Paling tidak, bisa memakan waktu satu minggu perjalanan."
Tunjung Melur mendesah pelan. Matanya menatap Rangga Pati, anaknya. Hatinya merasa gelisah. Keangkeran kaki bukit Cubung dengan lembah Bangkainya, menghantui pikirannya. Telah banyak orang yang mencoba melintasi jalan ini, namun hilang tak kembali bagai ditelan bumi.
Senja terus merayap menjelang malam. Matahari mengintip takut-takut di antara pepohonan di kaki bukit. Sinar keemasan itu mulai redup, memberi kesempatan pada embun dan kabut untuk menampakkan diri. Rombongan Kadipaten Karang Setra terus memacu menuju arah terbenamnya matahari.
"Mestinya Kang Mas sendiri saja yang menemui Ayahanda Prabu," Tunjung Melur sedikit bergumam.
"Ayahanda Prabu sudah rindu ingin bertemu dengan cucu pertamanya."
Kembali Tunjung Melur mendesah. Dia tahu bukan Ayahanda Prabu yang rindu pada cucunya, tapi suaminyalah yang rindu dengan ayahandanya. Memang, sejak mereka menikah hingga dikaruniai seorang putra, tak pernah sekali pun mengunjungi orang tua Adipati Karang Setra ini.
Seorang penunggang kuda hitam yang semula berada didepan, menghampiri kereta. Di seragamnya terdapat sulaman bunga karang berjumlah lima. Tingkat dan kedudukan prajurit Kadipaten Karang Setra memang dilihat dari sulaman macam itu yang ada di bagian dada. Makin banyak jumlah sulaman, makin tinggi tingkat dan kedudukannya. Penunggang kuda itu membungkukkan badan dan menoleh ke dalam kereta. Adipati Karang Setra menjulurkan kepalanya.
"Ada apa, Gagak Lodra?" Tanya Adipati Karang Setra.
"Jalan kita terhalang, Gusti Adipati," sahut Gagak Lodra.
"Maksudmu?" Adipati belum menangkap maknanya.
Gagak Lodra belum sempat menjawab, tiba-tiba saja kereta terhenti. Adipati Karang Setra melongokkan kepalanya menatap ke depan. Dia mendapatkan sebuah pohon besar tumbang menghalangi jalan mereka.
Adipati Karang Setra ke luar dari kereta. Dengan langkah ringan, dihampirinya pohon tumbang itu. Gagak Lodra melompat dari kudanya, diikuti prajurit-prajurit lain. Dihampirinya Adipati Karang Setra yang ternyata sudah didampingi Gajah Rimang yang juga memiliki lima sulaman bunga karang.
Langkah Gagak Lodra belum sampai di tempat itu, namun tiba-tiba Adipati Karang Setra mundur tiga langkah. Kepalanya agak dimiringkan sedikit. Wajahnya tegang. Pohon besar yang merintangi jalan, jelas suatu kesengajaan. Meski tumbang berikut akar-akarnya, tetapi terasa ada keganjilan. Jika karena bencana alam, mestinya pohon-pohon lain di sekitarnya pasti ikut rusak. Tapi mengapa hanya pohon besar itu saja yang rusak?
"Hmmm... ada tamu tak diundang," gumam Adipati.
"Tampaknya jumlah mereka cukup banyak, Gusti," sahut Gagak Lodra yang juga menangkap suara-suara kecil yang mencurigakan di sekitarnya.
"Mereka seperti tak bermaksud baik, Gusti," sambung Gajah Rimang.
"Ya, mereka bukan orang-orang sembarangan. Napas dan gerakannya terlatih sempurna," kata Adipati. Matanya tak lepas menatap sekelilingnya. Suasana jadi hening.
"Perintahkan para prajurit untuk bersiap-siap!" sambung Adipati Karang Setra seketika.
"Siap, Gusti!" seru Gajah Rimang seraya melompat menghampiri para prajurit yang juga sudah bersiaga.
"Dan kau..." Adipati Karang Setra belum lagi meneruskan perintahnya, mendadak dari rimbunan semak dan pohon-pohon bermunculan segerombolan orang berpakaian serba hitam dengan senjata terhunus. Gajah Rimang yang baru saja memberi aba-aba pada prajurit, terkejut sekali.
Dalam sekejap gerombolan itu mengepung. Adipati Karang Setra menatap satu persatu para pengepungnya. Hatinya terkesiap ketika matanya tertumbuk pada seorang laki-laki tinggi tegap berkulit kuning. Wajahnya kasar penuh brewok sambil memegang tongkat berkepala tengkorak manusia. Adipati tahu siapa laki-laki itu.
"Iblis Lembah Tengkorak..." desis Adipati Karang Setra bergetar.
Gajah Rimang dan Gagak Lodra terkejut pula mendengar desisan Adipati Karang Setra. Mereka tahu bahwa Iblis Lembah Tengkorak adalah seorang tokoh dari golongan hitam yang sulit dicari tandingannya. Ilmu Tongkat Samber Nyawa yang dimilikinya, sangat dahsyat Belum lagi ilmu andalannya, yakni Bayangan Setan Neraka benar-benar tak tertandingi. Banyak tokoh aliran putih yang tewas di tangan iblis ini. Dan kini, dia muncul dengan tiba-tiba!
"He he he..." iblis itu terkekeh. Tawanya disertai tenaga dalam yang sempurna hingga menggema ke seluruh penjuru.
Seketika itu juga seluruh prajurit Karang Setra tergetar hatinya.
"Tak kusangka, Adipati Karang Setra mengantarkan upeti hari ini," sambung Iblis Lembah Tengkorak. Suaranya menggelegar meski diucapkan dengan tenang.
"Hhhh...!" Adipati Karang Setra mendesah panjang, coba menenangkan diri. Meskipun dia seorang Adipati dan memiliki kepandaian cukup tinggi, tapi ilmunya masih jauh bila dibandingkan dengan Iblis berwajah kasar itu. Sepuluh orang yang memiliki kepandaian setingkat dengannya, belum tentu mampu mengalahkannya.
Di dalam kereta, wajah cantik Tunjung Melur berubah pucat pasi. Tubuhnya gemetar. Tangannya makin erat memeluk Rangga Pari. Tunjung Melur memang belum pernah mendengar Nama Iblis Lembah Tengkorak. Tapi nalurinya mengatakan bahwa gerombolan itu tidak bermaksud baik.
"Ibu..." Rangga memandang wajah ibunya. Sepertinya dia menangkap kegelisahan ibunya.
Sinar mata polos yang memandangi Tunjung Melur itu hanya membuat hatinya gelisah. Dia hanya mampu memeluk dan memohon keselamatan pada Yang Kuasa. Tunjung Melur hanyalah seorang wanita yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kaum bangsawan, yang tak mengerti dunia kependekaran.
"Serang...!" tiba-tiba suara itu menyentak hati Tunjung Melur. Disusul suara teriakan-teriakan dan dentingan senjata beradu.
"Oh!" Pekik Tunjung Melur ketika para prajurit yang mengawalnya sudah terlibat pertempuran sengit dengan gerombolan itu.
"Gagak Lodra! Bawa istri dan anakku pergi!" teriak Adipati Karang Setra.
Adipati telah sibuk melayani lima orang yang mengeroyoknya dengan ganas. Terpaksa dikeluarkan pedangnya. Dengan mengerahkan llmu Bayu Mega, diputar-putarnya pedang itu dengan gerakan yang sangat cepat. Dengan ilmu andalan itu, pedangnya hanya terlihat berkelebat bagai titik-titik air jatuh dari awan.
Gagak Lodra bergegas menghampiri kereta ketika mendengar perintah junjungannya itu. Namun ketika sampai di atas kereta, dia disambut oleh sebuah kelebatan bayangan hitam.
Dengan tangkas, Gagak Lodra berkelit menjatuhkan diri ke tanah. Bayangan hitam itu terus menyerang Gagak Lodra walau dia masih bergulingan di tanah. Dan betapa terkejutnya Gagak Lodra ketika tahu si penyerang adalah Iblis Lembah Tengkorak.
"Uts!" Gagak Lodra berkelit dan melompat bangkit.
Tongkat berkepala tengkorak itu menyambar bagian kosong di sisi Gagak Lodra. Iblis itu terkekeh ketika serangannya dapat terelakkan. Kembali Gagak Lodra Tersiap dengan pedang menyilang di dada. Matanya tajam memandang Iblis Lembah Tengkorak yang tegak di depannya.
"Trak!" benturan senjata tajam terjadi lagi.
Iblis Lembah Tengkorak dengan tenang menangkis serangan pedang yang begitu cepat dari Gagak Lodra. Seketika Gagak Lodra melompat mundur sejauh dua tombak. Tangannya seperti kesemutan saat pedang-nya berbenturan dengan tongkat berkepala tengkorak.
Dan alangkah terkejutnya Gagak Lodra ketika melihat pedangnya telah patah menjadi dua. Rasa terkejutnya belum lagi hilang, tiba-tiba ujung tongkat iblis itu meluruk deras ke arah lehernya. Gagak Lodra berusaha berkelit dengan menarik kepalanya ke belakang. Namun... "Aaaakh...!"
Kebutan yang tiba-tiba itu tak sempat terhindari. Ujung tongkat yang seperti bernyawa itu menebas leher Gagak Lodra. Hanya sebentar Gagak Lodra mampu berdiri, selanjutnya ambruk ke tanah. Darah dengan segera menyembur dari leher yang telah buntung itu.
Itulah keistimewaan tongkat Iblis Lembah Tengkorak. Meskipun bentuknya bulat, namun keampuhan untuk memenggal kepala manusia tak kalah dengan mata pedang yang tajam.
"He. He. He...!" kembali Iblis Lembah Tengkorak terkekeh.
Adipati Karang Setra yang sibuk menghadapi serangan-serangan anak buah Iblis Lembah Tengkorak, masih sempat mendengar jeritan Gagak Lodra. Betapa terkejutnya Adipati ketika melirik Gagak Lodra telah membujur kaku bersimbah darah dengan kepala terpisah.
Pertempuran terus berlangsung. Banyak prajurit Karang Setra yang terjungkal mandi darah. Kemampuan ilmu silat orang-orang Iblis Lembah Tengkorak memang jauh di atas prajurit-prajurit Karang Setra. Hanya Gagak Lodra, Gajah Rimang, dan Adipati sendiri yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Adipati Karang Setra menggenjot tubuhnya, dan dalam sekejap telah melayang di udara, lalu meluruk ke arah Iblis Lembah Tengkorak. Dengan ringan dijejakkan kakinya didepan pemimpin gerombolan yang sudah dekat dengan kereta.
"Ayah...!" teriak Rangga ketika melihat ayahnya sudah berdiri di samping kereta.
Bocah kecil itu segera melompat ke luar dari jendela dan berdiri di samping ayahnya. Meskipun masih bocah, gerakannya lincah dan ringan menandakan dirinya telah dilatih dengan baik dasar-dasar ilmu kanuragan dan ilmu meringankan tubuh.
Betapa terkejutnya Tunjung Melur melihat tingkah anaknya. Dengan cepat dia keluar dari dalam kereta. Dengan wajah yang diliputi rasa ketakutan, Tunjung Melur menghampiri putranya. Ditarik tangan bocah itu dan digendongnya. Bergegas dia menjauhi tempat itu.
"He he he.... Rupanya ada bidadari di sini," Iblis Lembah Tengkorak terkekeh. Matanya baru menatap Tunjung Melur yang ketakutan.
Gajah Rimang yang melihat keadaan junjungannya tak menguntungkan, segera melompat ke arah Adipati Karang Setra. Tiga orang yang mencoba menghadangnya, dengan cepat dibabat oleh pedangnya. Ambruklah orang-orang itu dengan perut terbelah!
"Bawa istri dan anakku pergi!" perintah Adipati Karang Setra kepada Gajah Rimang. Pandangannya tetap pada iblis itu.
"Tapi, Gusti...."
"Tak ada waktu lagi, Gajah Rimang. Selamatkan mereka!" sentak Adipati cepat memotong.
Belum sempat Gajah Rimang bicara kembali, Adipati Karang Setra telah lebih dulu melompat dan menyerang Iblis Lembah Tengkorak. Meski disadari bahwa lawannya jauh di atas kepandaiannya, Adipati Karang Setra tak peduli lagi. Harapannya, Gajah Rimang secepatnya membawa Tunjung Melur dan Rangga Lari menyingkir dari tempat ini.
Belum sempat Gajah Rimang melaksanakan perintah junjungannya, dia sudah disibukkan dengan lima orang yang menyerang dengan ganas. Adipati mendengus geram. Prajuritnya mulai kocar-kacir. Keadaannya sendiri sudah sangat kewalahan menghadapi Iblis itu.
Dua puluh mayat prajurit Karang Setra telah bergelimpangan. Mereka kini tinggal sepuluh orang termasuk Gajah Rimang. Sementara dari gerombolan Iblis Lembah Tengkorak hanya tujuh orang saja yang tergeletak tak bernyawa.
"Aaaakh...!" Tiba-tiba Gajah Rimang memekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung dengan darah mengucur dari tangannya yang telah buntung. Belum sempat Gajah Rimang menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja seorang dari pengeroyoknya menghunus pedang dengan kecepatan yang luar biasa, dan tepat menembus jantung Gajah Rimang. Prajurit Karang Setra ini menjerit keras. Hanya sebentar dia mampu berdiri. Ketika pedang itu ditarik, tubuhnya segera ambruk tak berkutik.
"Keparat!" Dengus Adipati saat mengetahui Gajah Rimang tewas.
Adipati menjadi lengah. Dan kelengahan itu tidak disia-siakan Iblis Lembah Tengkorak yang berakibat fatal buat Adipati. Lalu... "Akh!"
"Kakang...!" jerit Tunjung Melur memilukan.
Adipati Karang Setra terhuyung-huyung sambil men-dekap dadanya yang koyak berlumuran darah. Memang, begitu cepat serangan itu sehingga sulit bagi Adipati menghindari ujung tongkat Iblis Lembah Teng-korak. Perhatiannya memang terpecah saat itu.
"Dinda, lari...!" teriak Adipati yang teringat akan keselamatan anak istrinya.
"Kakang..., kau terluka," bergetar suara Tunjung Melur.
"Jangan hiraukan aku! Cepatlah lari. Selamatkan anak kita!" perintah Adipati Karang Setra.
Tunjung Melur belum sempat berbuat apa-apa, ketika tiba-tiba Iblis Lembah Tengkorak melompat ke arahnya. Melihat keselamatan istrinya terancam, Adipati dengan sisa-sisa tenaga menggenjot tubuhnya menghalangi Iblis Lembah Tengkorak. Benturan di udara tak terhindarkan lagi.
Bersamaan dengan terdengarnya jeritan yang menyayat, tubuh Adipati Karang Setra ambruk ke tanah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam tak bergerak dengan leher yang koyak, hampir putus. Dada dan perutnya berlubang besar mengeluarkan darah segar.
"Kakang...!" Tunjung Melur histeris. Sambil menggendong putranya, dia berlari menghambur ke arah suaminya yang sudah tak bernyawa lagi. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti karena dengan cepat Iblis Lembah Tengkorak sudah menghadang di depannya. Bibir Iblis itu menye-ringai dengan mata liar penuh nafsu menatap keelokan tubuh Tunjung Melur.
"He he he... Cantik, cantik sekali...," bibir Ibis Lembah Tengkorak makin menyeringai lebar. Liurnya tertahan.
"Oh...!" Tunjung Melur tersentak. Wajahnya makin pucat.
Perlahan Tunjung Melur melangkah mundur. Tangannya kian erat memeluk putranya. Anehnya, Rangga Pari sedikit pun tak menangis. Dia malah menatap tajam pada laki-laki kasar berpakaian serba hitam yang ada di depannya itu. Nalurinya mengatakan bahwa laki-laki itu bukan orang baik-baik.
Menyadari gelagat yang tak menguntungkan itu, Tunjung Melur segera berbalik dan berlari sekuat-kuatnya. Iblis Lembah Tengkorak terkekeh sambil berjalan dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya. Meski Tunjung Melur sudah berlari sekuat tenaga, tapi jarak antara dia dengan iblis itu kian dekat saja.
Tunjung Melur terus berlari menerobos semak dan pepohonan. Dia justru tak menyadari kalau arah larinya itu mendekati jurang. Iblis Lembah Tengkorak tersenyum menang, karena dia kenal betul daerah ini seperti dia mengenal dirinya sendiri.
"Oh!" Tunjung Melur terkejut setelah menyadari di depannya terdapat jurang yang menganga lebar, siap untuk menerkam. Begitu dalamnya sehingga dasar jurang tidak terlihat.
"He he he...," kembali Iblis itu terkekeh. "Mau ke mana, Cah Ayu?"
"Oh, tolooong...!" jerit Tunjung Melur sekuat-kuatnya.
"Tak seorang pun yang dapat menolongmu, Cah Ayu," Iblis Lembah Tengkorak makin lebar menyeringai.
Sengaja Iblis Lembah Tengkorak mendekat perlahan agar Tunjung Melur makin ketakutan. Tanpa disadarinya, Tunjung Melur melangkah mundur. Padahal... satu langkah lagi saja tubuhnya akan terjerumus ke dalam jurang!
Saat kaki Tunjung Melur akan melangkah mundur, dengan cepat Iblis Lembah Tengkorak melompat sambil mengerahkan ilmu peringan tubuhnya meraih pinggang Tunjung Melur. Wanita itu terkejut luar biasa. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka jatuh terguling menjauhi bibir jurang. Rangga yang berada digendongannya terlepas, dan jatuh mendekati bibir jurang.
"Rangga...!" jerit Tunjung Melur saat melihat putranya terguling mendekati jurang. Tubuh kecil itu terus berguling, dan untunglah sebuah pohon besar yang tumbuh di bibir jurang menahannya.
Dengan sekuat tenaga, Tunjung Melur berontak lalu berlari mengejar anaknya. Tetapi dengan sigapnya, Iblis Lembah Tengkorak menarik kain wanita itu.
"Auw...!" Tunjung Melur memekik tertahan. Kain penutup tubuhnya sobek terjambret Tangan Tunjung Melur segera menutupi tubuhnya yang terbuka itu.
"He he he...!" Iblis Lembah Tengkorak terkekeh melihat tubuh putih mulus di depannya.
Seketika gairah nafsunya bergejolak. Tanpa membuang waktu lagi, Iblis Lembah Tengkorak memburu Tunjung Melur yang telah sampai di dekat Rangga.
"Akh, lepaskan!" pekik Tunjung Melur ketika tangan Iblis Lembah Tengkorak memeluk pinggangnya.
Sekali lagi mereka bergulingan. Tampaknya kali ini Iblis itu tak akan melepaskannya lagi. Nafsunya kian tak terkendalikan. Dengan buas direjang dan diciuminya tubuh Tunjung Melur. Rangga yang menyaksikan hal itu segera bangkit dari jatuhnya.
Tanpa menghiraukan tubuhnya yang kecil dan sakit yang sangat, Rangga menubruk sambil memekik tinggi. Tangannya yang kecil dihantamkan ke punggung laki-laki yang tengah merejang ibunya. Hantaman itu memang tidak berarti apa-apa bagi Iblis Lembah Tengkorak, namun cukup merepotkan.
"Bocah setan!" dengus Iblis itu kesal karena merasa terganggu.
Iblis Lembah Tengkorak menyentakkan tangannya. Dengan seketika tubuh kecil itu melayang deras dan menghantam pohon di pinggir jurang.
"Rangga...!" jerit Tunjung Melur.
Ingin rasanya Tunjung Melur menghambur dan memeluk putranya, tapi tangan Iblis Lembah Tengkorak terlampau kuat memeluknya.
Tunjung Melur terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit berusaha melepaskan diri. Semakin kuat dia meronta, Iblis itu makin bergairah. Rontaan itu diang gap sebagai geliatan yang menggairahkan. Jeritannya terdengar bagai rintihan kenikmatan.
Tak ada yang mendong. Tak ada yang menyaksikan kecuali sepasang mata bulat bocah kecil itu. Tatapannya penuh perasaan. Walau tak mengerti apa yang dilakukan oleh Iblis itu terhadap ibunya, namun nalurinya mengatakan bahwa ibunya menjadi korban manusia berhati binatang.
"Ibu...," rintih Rangga sambil berusaha bangun.
Dicobanya untuk berdiri, tapi tubuhnya terasa lemas. Hentakan tangan Iblis itu seakan-akan meremukkan tulang-tulangnya. Untungnya dengan Ilmu kanuragan yang dimilikinya, benturan keras dengan pohon besar itu secara reflek dapat sedikit tertahan.
Sementara itu Tunjung Melur sudah tak berdaya lagi. Dia hanya dapat menangis dan merintih akibat digagahi oleh Iblis Lembah Tengkorak.
"He he he...!" tawa Iblis Lembah. Tengkorak penuh kemenangan. Tubuh putih mulus itu tergolek di rerumputan. Titik-titik air mata mengalir membentuk anak sungai di pipinya. Hati Tunjung Melur kian hancur karena telah ternoda. Sementara itu Rangga berusaha merayap mendekati ibunya yang kini tanpa benang sehelai pun di tubuhnya.
"Ibu...," rintih Rangga. Tangannya menggapai-gapai berusaha meraih ibunya.
"Huh! Anak ini bisa jadi duri!" dengus Iblis Lembah Tengkorak.
"Jangan...!" pekik Tunjung Melur ketika melihat Iblis itu menggerakkan tongkatnya.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Tunjung Melur berusaha menghalangi tongkat yang terarah kepada anaknya itu. Dan betapa malangnya nasib Tunjung Melur ketika dengan cepat tongkat berkepala tengkorak itu menghantam kepalanya. Dia tewas seketika. Rangga terbelalak. Matanya tajam mengarah pada laki-laki yang telah membunuh kedua orang tuanya.
"Setan cilik!" dengus Iblis Lembah Tengkorak merasa mendapat tantangan dari sorot mata yang tajam penuh kebencian.
Dengan kemarahan yang memuncak, ditendangnya tubuh Rangga dengan kuat. Tendangan yang disalurkan dengan tenaga dalam itu, membuat tubuh kecil itu meluncur deras masuk ke dalam jurang. Tanpa teriakan dan tanpa terhindari lagi.
Iblis Lembah Tengkorak memang pantas geram, karena niatnya untuk memiliki wanita cantik itu gagal total. Kematian Tunjung Melur di luar dugaannya sama sekali.
Iblis Lembah Tengkorak melompat bagai kilat meninggalkan tempat yang kini berubah menjadi sepi dan seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
Jurang Lembah Bangkai memang angker. Iblis Lembah Tengkorak yang berasal dari daerah itu sendiri sama sekali tak tahu seberapa dalamnya jurang itu. Yang jelas, kecil kemungkinan untuk selamat jika ter-jerumus ke dalam jurang Lembah Bangkai yang kini menganga lebar siap melumat tubuh Rangga.
Tubuh kecil itu meluncur deras hampir menyentuh dasar. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba seekor rajawali raksasa berwarna putih menyambar tubuh Rangga dengan cakarnya yang tajam dan kuat.
"Khraaaghk...!" suaranya nyaring sambil membawa tubuh Rangga dan meletakkannya di atas tumpukan ranting kering dan rerumputan yang ditata menyerupai sebuah sarang.
Rangga tergolek pingsan. Burung rajawali itu memperhatikan dengan matanya yang merah, bulat Kepalanya terangguk-angguk.
Sarang yang terletak dalam sebuah goa yang besar dan lembab itu, selalu terselimuti kabut Ini membuat ddara di sekitar situ menjadi dingin. Rajawali putih meraih beberapa daun lebar dengan paruh, lalu ditutupinya tubuh Rangga. Dia mendekam di samping bocah kecil itu sambil menutupi tubuh Rangga dengan sayapnya yang lebar, seolah-olah ingin memberi kehangatan.
Setelah lama tak sadarkan diri, tiba-tiba mulut Rangga mengerang. Kepalanya bergerak lemah. Burung rajawali memandanginya dengan mata yang berbinar-binar. Disingkirkannya daun-daun yang menutupi tubuh Rangga.
"Ibu...!" bocah itu memekik keras ketika matanya terbuka memandang sekelilingnya. Dia terkejut ketika matanya tertumbuk pada rajawali putih raksasa yang ada di dekatnya. Rangga berusaha bangkit, namun tubuhnya sangat lemas tak bertenaga. Hanya matanya saja yang terbelalak lebar memancarkan ketakutan.
Burung rajawali putih mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mengerti perasaan yang menghinggapi bocah itu. Pelan-pelan dijulurkan kepalanya seraya mematuk beberapa bagian tubuh rangga dengan paruh yang kekar itu.
Rangga merasakan tubuhnya berangsur-angsur segar seketika. Rasa nyeri dan sakit dengan sekejap hilang. Burung itu memang telah menotok jalan darah di bagian-bagian tertentu tubuh Rangga. Sepertinya burung itu ingin mengatakan kalau Rangga tak perlu takut.
Dasar bocah! Rasa takut Rangga hilang seketika. Kini Rangga malah tertawa keras karena kegelian. Rajawali putih berkoak-koak seperti gembira melihat Rangga tertawa gelak. Rangga kini malah membalas canda rajawali dengan menarik-narik paruhnya yang sebesar kepalanya itu.
Sebentar saja kedua makhluk yang berlainan kodrat itu kian akrab. Bahkan kini burung rajawali itu seakan-akan siap melayani segala kebutuhan Rangga baik, makan, minum, maupun tidur. Jika Rangga mengantuk, maka sayap yang lebar itulah yang menyelimutinya. Pada saat Rangga melamun teringat ayah dan ibunya, maka burung itulah yang selalu menghiburnya. Mengajaknya bermain dan bertanda. Komunikasi yang berlainan, tak menghalangi kedua makhluk itu untuk saling mengerti dan memahami setiap kata yang terucap.
Waktu terus berganti, hingga tak terasa telah setahun Rangga hidup di dasar lembah Bangkai bersama rajawali putih raksasa. Sepertinya mereka memang telah ditakdirkan untuk bertemu di Lembah Bangkai. Selama setahun itu, Rangga dengan cepat memahami dan mengikuti gerak-gerik burung rajawali rak-sasa itu. Tanpa disadarinya, gerak-gerik itu adalah dasar dari jurus-jurus silat Rajawali Sakti, tokoh yang hidup dan tak ada tandingannya seratus tahun yang lalu.
Rangga yang memang cerdas ditambah dasar-dasar ilmu silat yang telah diperoleh dari mendiang ayah dan paman-pamannya, membuat gerakan-gerakan yang diperlihatkan burung itu cepat dipahaminya. Sore ini, Rangga tengah berlompat-lompatan dari satu batu ke batu yang lain di luar goa, mengikuti gerakan rajawali putih. Rangga tak sadar kalau burung itu tengah mengajarkan dasar-dasar jurus andalan yang pertama yakni,'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Jika gerakan jurus itu dibarengi dengan ilmu peringan tubuh dan penyaluran tenaga dalam yang sempurna, maka tubuh Rangga dapat bergerak ringan seperti kapas. Seorang yang berilmu tinggi sekalipun, akan sulit meraba dan melihat gerakan-gerakan itu. Keistimewaan lainnya, kaki Rangga dapat bergerak cepat bagai tak menyentuh tanah. Kibasan tangan-nya, bagaikan sepasang sayap yang siap menghan-curkan batu karang yang keras sekalipun. Jari-jari tangannya bagai mata pedang tajam yang siap mem-babat sebatang pohon besar hingga tumbang.
"Khraaaghk...!" Rajawali putih berseru gembira melihat Rangga berhasil melintasi batu terakhir dengan mulus. Satu kali lompatan, Rangga telah berada didepan burung raksasa itu. Rajawali putih menundukkan kepalanya. Rangga memeluk seraya tangannya yang kecil itu mengusap bulu-bulu halus yang memenuhi kepala burung itu.
"Aku haus, lapar...," kata Rangga pelan.
Rajawali putih mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mengerti apa yang diucapkan Rangga. Dikepakkan kedua sayapnya, dan dalam sekejap saja burung itu telah mengangkasa. Rangga memperhatikan dengan mata bocahnya, sambil menunggu di tempat itu.
Ketika burung raksasa itu telah kembali, diparuhnya telah bergelayut dua butir kelapa. Cakarnya mencengkeram beberapa jamur besar. Rangga sama sekali tak tahu kalau jamur itu mempunyai khasiat penawar segala macam racun yang dahsyat sekalipun. Itulah santapan sehari-hari Rangga.
Rangga tengah melatih jurus-jurus Rajawali Sakti di bawah bimbingan 'gurunya', burung Rajawali Putih yang sakti. Jari-jari tangan Rangga yang terbentang siap menghancurkan batu karang yang keras sekalipun!
"Terima kasih, kau baik sekali," Rangga menerima kelapa dan jamur-jamur itu.
"Khraaaghk...!" Rajawali putih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Habis sudah jamur-jamur itu dimakan Rangga. Dibelahnya kelapa yang kini berada di tangannya. Hebat! Sekali kepruk saja, kelapa terbelah dua! Rajawali Putih terlihat gembira ketika Rangga berhasil membelah kelapa dengan sekali pukul. Itulah salah satu khasiat yang ada pada jamur itu yang telah nampak dalam kekuatan Rangga.
Jamur yang dimakan Rangga, ternyata juga membentuk hawa murni secara alami. Tenaga dalam yang tersalur lewat hawa murni ini dapat menjadi kekuatan yang luar biasa bagi Rangga. Jika Rangga benar-benar melatih tenaga dalamnya, tak mustahil dalam waktu singkat dia akan menjadi seorang tokoh silat yang sulit dicari tandingannya.
Rangga tanpa sadar telah berlatih jurus-jurus silat Rajawali Sakti. Sepertinya ia adalah pewaris tunggal ilmu-ilmu Rajawali Sakti, yang seratus tahun lalu sempat menggegerkan dunia persilatan. Tak ada seorang tokoh pun yang sanggup menandinginya. Baik dari golongan hitam maupun putih. Lama jurus-jurus Rajawali Sakti menghilang begitu saja bersamaan dengan lenyapnya tokoh sakti yang selalu menunggang seekor rajawali raksasa. Rajawali itu kini bersama Rangga. Lalu, di manakah tokoh sakti itu?
Dunia persilatan saat ini goncang. Gerombolan yang dipimpin Iblis Lembah Tengkorak makin merajalela. Banyak tokoh sakti golongan putih yang mencoba mengakhiri sepak terjang gerombolan itu, tewas di ujung tongkat berkepala tengkorak milik iblis itu.
Banyak pula tokoh sakti aliran hitam yang bergabung dengan Iblis Lembah Tengkorak. Tentu saja hal ini membuat cemas tokoh-tokoh aliran putih. Karena tak mustahil kekuatan Iblis Lembah Tengkorak akan menguasai dunia persilatan.
Lembah Tengkorak merupakan tempat Iblis Lembah Tengkorak yang sebenarnya bernama Geti Ireng, tinggal. Di sanalah markas Geti Ireng dengan gerombolannya yang bernama Panji Tengkorak.
Tak seperti biasanya, hari ini Lembah Tengkorak tampak ramai. Atas undangan Geti Ireng, banyak tokoh sakti aliran hitam yang hadir di kediamannya. Mereka hadir untuk turut menyaksikan takluknya se-orang tokoh sakti aliran hitam bernama Kala Srenggi. Dia dikenal sebagai Si Samber Nyawa.
Kala Srenggi cukup memiliki ilmu yang tinggi, tapi jika dibandingkan dengan Geti Ireng tak berarti apa-apa. Kulitnya putih dengan tubuh yang tegap berisi. Wajahnya muda dan tampan namun menyimpan garis-garis kekejaman. Senjata andalannya adalah pedang kembar yang bertengger menyilang di punggungnya. Ajiannya yang bernama 'Tapak Beracun' dapat membuat orang hanya bertahan hidup selama sepuluh hari.
Bersama dengan murid-muridnya, Kala Srenggi menyatakan takluk karena seminggu yang lalu Geti Ireng berhasil mengalahkannya. Dengan demikian Lembah Tengkorak makin ramai dengan bergabungnya Kala Srenggi bersama murid-muridnya yang berjumlah separuh dari jumlah anggota Panji Tengkorak.
"Saya datang memenuhi janji," kata Kala Srenggi setelah berhadapan dengan Geti Ireng di ruang pertemuan markas itu.
Ruangan itu adalah sebuah pendopo yang terletak di tengah-tengah lembah. Pendopo itu biasa digunakan Geti Ireng untuk menerima tamu yang sealiran dengannya. Di samping Geti Ireng, seorang gadis cantik berusia sekitar tujuh belas tahun duduk sambil menatap sinis Kala Srenggi. Dia bernama Saka Lintang. Saat mata Kala Srenggi beradu pandang dengannya, hati Kala Srenggi bergetar.
Geti Ireng paham jika Kala Srenggi terpesona dengan kecantikan putrinya itu. Untuk tidak merusak suasana, Geti Ireng tak menegur tamunya itu. Dan lagi, toh Saka Lintang tak mengacuhkan pandangan Kala Srenggi.
"Kiranya yang mulia Geti Ireng sudi menerima seluruh murid-murid saya bernaung di bawah Panji Teng-korak," lanjut Kala Srenggi.
"Bagus, bagus!" Geti Ireng tersenyum senang.
"Dan saya sendiri siap mengabdi pada yang mulia," ujar Kala Srenggi lagi sambil melirik Saka Lintang.
"Apakah pengabdianmu tidak ada maksud lain?" Pancing Geti Ireng.
Kala Srenggi terdongak. Geti Ireng memang bermaksud menyindir. Kala Srenggi menangkap maksud itu. Dia pun menundukkan kepalanya. Kecantikan gadis itu telah membuatnya jadi dungu. Dia lupa kalau yang dihadapinya kini adalah Geti Ireng.
"Ayah, beri dia ujian untuk pengabdiannya!" suara Saka Lintang terdengar lembut dan halus, namun nadanya menyimpan kebengisan dan kekejaman.
"Kau dengar permintaan putriku, Kala Srenggi?" Geti Ireng menatap tajam pada Kala Srenggi.
Kala Srenggi mengangkat kepalanya. Kembali hatinya bergetar saat menatap kecantikan Saka Lintang. Hatinya tak dapat dibohongi lagi kalau dia jatuh hati kepada Saka Lintang.
"Apa keinginan Nini Dewi yang cantik?" Kala Srenggi menantang. Matanya tak berkedip mengakui kecantikan gadis itu. Kepalang basah! Dengus Kala Srenggi dalam hati.
"Kalahkan aku!" Saka Lintang tegas.
"Ha ha ha...!" Geti Ireng terbahak-bahak.
Kala Srenggi makin tajam menatap wajah Saka Lintang. Agak sungkan Kala Srenggi menerima tantangan itu. Biar bagaimana pun, tak sampai hati rasanya melepaskan pukulan pada gadis yang telah menghanyutkan hatinya.
"Bukan saya menolak, tapi saya tak pernah melepaskan pukulan pada kaum wanita," suara Kala Srenggi halus.
"Kau meremehkan anakku, Kala Srenggi!" bentak Geti Ireng. Dia merasa tersinggung sekali dengan penolakan itu meski diucapkan dengan halus.
"Saya tak bermaksud merendahkan Nini Dewi. Tapi, rasanya saya tak dapat berlaku kasar terhadap wanita," lanjut Kala Srenggi masih dengan nada halus.
"Jika demikian, kau tak pantas bernaung di bawah Panji Tengkorak!" dengus Saka Lintang sengit.
Kala Srenggi terkejut Tak disangkanya kalau gadis cantik ini dapat sekasar itu. Hatinya makin terkejut saat melihat Geti Ireng mengangguk tanda setuju. Jantungnya terasa copot.
Geti Ireng tahu benar kemampuan Kala Srenggi. Meski Saka Lintang sedikit di bawah Kala Srenggi, namun tak mudah bagi Kala Srenggi untuk menjatuhkannya walau dalam tiga puluh jurus sekalipun. Bahkan tidak mungkin Kala Srenggi tewas jika Saka Lintang telah mengeluarkan ilmu andalannya. 'Ular Berbisa Menyebar Racun' atau mungkin dengan jurus 'Tarian Bidadari' digabungkan, maka seorang tokoh sakti sekalipun tak mampu menandinginya dalam waktu lama.
"Hanya ada dua pilihan, Kala Srenggi," kata Geti Ireng datar dan dingin suaranya. "Memenuhi permintaan putriku, atau kau tak akan melihat matahari lagi!"
Kala Srenggi terdiam. Sulit menerima pilihan itu. Dia bukan gentar tapi sungkan menandingi gadis remaja yang belum diketahui di mana kehebatannya. Untuk mati sia-sia dia pun tak mau.
"Bagaimana, Kala Srenggi?" desak Geti Ireng
Kala Srenggi melirik Saka Lintang yang mencibir mengejek. "Baiklah, aku terima tantanganmu!"
Saka Lintang segera menggenjot tubuhnya, dan meluruk cepat ke pelataran. Gerakannya gesit dan ringan. Ilmu ringan tubuhnya sangat sempurna. Jejakan ke tanah bagai seekor burung. Baru saja Saka Lintang mendarat, tiba-tiba saja Kala Srenggi telah dihadapannya. Jarak di antara mereka hanya sekitar satu tombak. Mereka berhadapan dengan mata tajam saling menilai kemampuan. Saka Lintang bergeser ke kiri satu langkah.
"Bersiaplah, Kala Srenggi!" bentak Saka Lintang keras.
Tiba-tiba tubuh Saka Lintang telah melesat menyerang Kala Srenggi dengan pukulan yang dialiri tenaga dalam. Begitu dahsyat pukulan itu, sehingga angin yang dihasilkannya telah terasa sebelum pukulan itu sampai.
Kala Srenggi yang telah siap sejak tadi, hanya berkelit sedikit menghindari pukulan itu. Sejenak dia terkejut ketika sambaran angin lewat di samping kepalanya. Hawa pukulan itu panas sekali. Dengan cepat Kala Srenggi melompat ke samping ketika tangan kiri Saka Lintang bergerak ke arah dadanya. Pukulan yang pertama itu memang sebuah tipuan.
"Bagus! Kau berhasil elakan pukulan geledekku!" dengus Saka Lintang seraya bersiap kembali untuk menyerang dengan jurus lain.
"Jurus tangan kosongmu sangat hebat, Saka Lintang," puji Kala Srenggi tulus.
"Bersiaplah, Kala Srenggi!" segera Saka Lintang meliuk-liukkan tubuhnya dengan indah dan gemulai. Seperti sedang menari. Kala Srenggi terpesona dibuatnya, hingga lupa kalau Saka Lintang tengah mengeluarkan jurus maut, 'Tarian Bidadari'.
Kala Srenggi kian terpesona, dan tanpa diduga sama sekali gerakan Saka Lintang berubah cepat. Dalam sekejap saja tangannya telah mengarah ke leher Kala Srenggi.
"Akh...!" Kala Srenggi terkejut sekali tak sempat menghindar.
Terpaksa Kala Srenggi menyambutnya dengan mengangkat tangan melindungi lehemya yang terancam. Benturan keras terjadi. Tubuh Kala Srenggi terhuyung mundur dua tindak. Dirasakan pergelangan tangannya seperti terbakar. Panas dan nyeri. Dia meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang menghitam.
Belum sempat Kala Srenggi menyadari yang baru saja terjadi, Saka Lintang telah mulai dengan jurus maut lainnya. Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun' yang sangat berbahaya dan sulit dihindari. Lebih-lebih pada saat lawannya telah terkena hajaran jurus 'Tarian Bidadari'. Keadaan Kala Srenggi memang tidak menguntungkan.
"Cukup!" Suara bentakan keras disertai tenaga dalam yang tinggi, membuat Saka Lintang mengurungkan niatnya mengeluarkan jurus maut itu. Tiba-tiba Geti Ireng telah berada di tengah-tengah arena. Memang dialah yang mengeluarkan suara itu.
"Cukup, Saka Lintang. Kau tak perlu menurunkan maut pada Kala Srenggi," sambung Geti Ireng.
"Huh!" Saka Lintang mendengus. Dia tak mungkin menentang kehendak ayahnya.
"Kala Srenggi, bagaimana tanganmu?" Tanya Geti Ireng.
"Tidak apa-apa," sahut Kala Srenggi namun sambil meringis.
"'Pukulan Tarian Bidadari' sangat berbahaya, Kala Srenggi. Kau tak akan bertahan lebih dari sepuluh hari," kata Geti Ireng datar.
Kala Srenggi terperanjat mendengar hal itu. Dia tak menyangka sama sekali kalau Saka Lintang telah mengeluarkan jurus Tarian Bidadari'. Kala Srenggi memang pernah mendengar nama jurus itu namun baru kali inilah dia merasakan. Begitu cepat dan tak terduga sama sekali.
Racun 'Tarian Bidadari' memang bekerja lambat. Tapi cukup mematikan karena langsung menusuk jalan darah. Betapa berbahayanya, sehingga orang yang terkena tak akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh hari.
"Saka Lintang, berikan obat penawar racunmu!" kata Geti Ireng.
"Dia harus mengakui kekalahannya terlebih dulu, Ayah!" jawab Saka Lintang pongah.
"Kau dengar, Kala Srenggi?" Geti Ireng menatap Kala Srenggi yang masih meringis memegangi pergelangan tangan kanan yang makin meluas warna hitamnya.
Tak ada jalan lain bagi Kala Srenggi kecuali mengangguk. Dalam dunia hitam, martabat dan nama besar bukan halangan untuk menyelamatkan nyawanya sendiri. Tanpa malu-malu, Kala Srenggi mengakui kekalahannya.
"Saya mengaku kalah, dan berjanji akan mengabdi sepenuhnya demi Panji Tengkorak!"
Saka Lintang tertawa senang.
"Berikan penawar racunmu, Saka Lintang." Kata Geti Ireng sekali lagi.
Saka Lintang merogoh saku bajunya dan menyentil sebutir pil berwama merah. Dengan cepat Geti Ireng menangkapnya dan menyodorkan kepada Kala Srenggi. Tanpa sungkan lagi, Kala Srenggi segera menelan pil merah itu.
Seketika tubuhnya terasa terbakar. Keringat deras mengucur membasahi sekujur tubuhnya. Wajah tampan dan bengis itu berubah memerah tegang. Segera dirapatkan kedua telapak tangannya ke depan dada.
"Jangan berlaku bodoh!" bentak Saka Lintang. "Hawa murni akan mempercepat kematianmu!"
Kala Srenggi tersentak. Cepat-cepat dilepaskan kedua telapak tangannya. Dibiarkan hawa panas itu menjalari tubuhnya. Sungguh tak tertahankan. Ingin rasanya mengerahkan tenaga dalamnya, tapi peringatan tadi mengurungkan niat itu.
"Hoek!" Tiba-tiba saja cairan hitam meluncur dari mulut Kala Srenggi. Kental sekali. Kala 'Srenggi terkulai lemas. Hawa panas di tubuhnya, berangsur-angsur lenyap. Wama hitam di tangan kanannya sedikit demi sedikit memudar.
"Pulihkan kekuatanmu dengan bersemedi selama tiga hari," kata Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang melompat meninggalkan arena pertarungan tadi. Dalam sekejap mata tubuh Saka Lintang telah hilang, masuk ke dalam rumah yang besar.
Sungguh di luar dugaan jika Samber Nyawa atau Kala Srenggi dapat dikalahkan hanya dalam tiga jurus saja. Terlebih bagi Geti Ireng. Semula dia menduga Kala Srenggi akan melayani Saka Lintang dengan alot. Nyatanya, hanya sekejap saja. Benar-benar kemajuan yang luar biasa bagi Saka Lintang. Tak percuma Geti Ireng mendidik dan menurunkan ilmunya kepada anak jadisnya itu.
Saka Lintang tidak saja menguasai ilmu-ilmu maut itu. Bahkan telah disempurnakannya. Bukan tak mungkin melebihi kepandaian ayahnya sendiri. Hal ini membuat Geti Ireng bangga dan gembira. Saka Lintang sudah dapat mewakilinya di dunia persilatan.
Kekuatan Panji Tengkorak kian bertambah saja. Hari demi hari banyak tokoh persilatan dari aliran hitam berdatangan untuk menyatakan takluk. Saka Lintang lah yang selalu menjajal kemampuan tokoh-tokoh itu. Dari sekian banyak tokoh, hanya dua orang saja yang mampu menandingi jurus Tarian Bidadari' dan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'. Tapi harus diakui, jurus ketiga yang merupakan gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun' memang tak tertandingi.
Kedua orang itu sudah terkenal di rimba persilatan. Yang pertama biasa dijuluki Kakek Merah Bermata Elang. Jubahnya yang merah dan matanya yang bulat seperti elang itu memungkinkan kakek itu bergelar demikian. Kehebatan kakek ini terletak pada kesepuluh jari-jari tangannya yang menyerupai cakar seekor elang. Sebongkah batu cadas besar yang keras pun dapat ditembus oleh jari-jarinya.
Seorang lagi bertubuh pendek, berkepala gundul mengenakan jubah kuning. Dia seorang pendeta dengan julukan, Pendeta Murtad dari Selatan. Senjatanya tasbih yang terbuat dari untaian mutiara.
Kedua tokoh itu akhirnya mengakui kehebatan Saka Lintang, terbukti mereka tak sanggup menandingi. Dalam hati para tokoh itu berkata, "Putrinya saja tak bisa dikalahkan, apalagi ayahnya!" Sungguh sulit diukur setinggi apa ilmu silat Iblis Lembah Tengkorak.
Pada akhirnya, seluruh tokoh-tokoh silat yang tergabung dalam Panji Tengkorak sepakat untuk menjuluki Saka Lintang dengan Kembang Lembah Tengkorak!
"Aku tak menyangka, perkumpulan Panji Tengkorak yang baru seumur jagung mampu mengumpulkan begitu banyak tokoh aliran hitam," gumam Pendeta Murtad dari Selatan sesaat setelah dia dikalahkan oleh Saka Lintang. Pendeta itu sebenarnya bernama Pradya Dagma.
"Tak mengherankan kalau Iblis Lembah Tengkorak akan membuat Panji Tengkorak menjadi yang terbesar di kalangan rimba persilatan," sahut Kakek Merah Bermata Elang. Nama aslinya adalah Kalingga.
"Ya, anak gadisnya saja sudah sehebat itu."
"Dua hari yang lalu aku juga merasakan hal yang sama," jelas Kalingga.
Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari Selatan menatap tajam pada kakek berjubah merah itu. Dia tak menyangka kalau Saka Lintang dapat mencundangi Kalingga.
"Seluruh ilmu yang kumiliki dan kuperdalam berta-hun-tahun, tak berarti apa-apa di depan gadis cantik itu." Ada kemurungan pada suara Kakek berjubah merah itu.
"Kau menyesal, Kakek tua?" Tanya Pradya Dagma.
"Sedikit," desah Kalingga pelan. "Penasaran?"
"He he he...," Kalingga hanya tertawa.
Pradya Dagma melihat sorot mata yang lain. Mata bulat merah itu tidak lagi menyala seperti semula. Ada keredupan di situ. Meski tak diucapkan, tapi Pradya Dagma tahu kalau Kakek tua itu merasa gentar jika berhadapan dengan Saka Lintang sekali lagi.
Lawan yang mereka hadapi memang tangguh. Pradya Dagma sendiri berpikir seribu kali jika harus berhadapan lagi dengan Saka Lintang. Jurusnya yang dipadu dengan gerakan lembut disertai penyaluran tenaga dalam, dikenal sebagai jurus 'Bidadari Penyebar Maut'. Setiap gerakannya mengandung hawa panas dan racun yang mematikan. Itulah jurus gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
Kehebatan jurus itu telah dirasakan oleh kedua tokoh sakti itu. Dengan menghirup hawa racunnya saja, kepala mereka menjadi pening. Tak berlebihan jika gelar Kembang Lembah Tengkorak kini disandang Saka Lintang. Memang, hanya gadis inilah yang tercantik dan terkejam di Lembah Tengkorak.
Lima belas tahun sudah Rangga tinggal di dasar Iembah Bangkai. Selama itu pula tanpa sadar Rangga telah digembleng dengan jurus-jurus Rajawali Sakti. Di usianya yang kini menginjak dua puluh itulah Rangga mulai sadar kalau gerakan burung rajawali raksasa itu merupakan gerakan-gerakan silat tingkat tinggi.
"Tak kuduga, kau bukan rajawali biasa," gumam Rangga setelah menyelesaikan jurus ketiga dari rangkaian jurus andalan Rajawali Sakti.
Burung raksasa itu mengangguk-anggukkan kepala sambil merentangkan kedua sayapnya. Rangga paham kalau burung itu tengah menyatakan kegembiraannya. Diraihnya leher rajawali itu seraya dipeluknya dengan penuh kasih sayang.
Dalam usia dua puluh tahun itu, Rangga telah menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Tubuhnya tegap berisi. Otot-otot menonjol di seluruh tubuhnya yang terbalut kulit putih bersih.
Selama lima belas tahun itu, Rangga telah menguasai tiga jurus andalan dari rangkaian jurus Rajawali Sakti. Jurus yang pertama adalah 'Cakar Rajawali'. Jurus ini mengandalkan kekuatan jari-jari tangan yang dapat berubah menjadi keras dan tajam, setajam mata pedang. Jurus yang kedua adalah 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dengan jurus ini Rangga dapat bertarung di udara tanpa sedikit pun menyentuh bumi. Jurus ini mengandalkan kecepatan gerak kedua tangan yang dibarengi kekuatan tenaga dalam yang baik.
Jurus yang ketiga yakni, 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Dan kini Rangga tengah mempelajari jurus keempat, 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Jurus ini sangat berbahaya karena penuh tipuan. Sasarannya adalah jalan darah lawan. Sebenarnya jurus Keempat ini hanya bisa didapat oleh orang yang memiliki tenaga dalam yang sempurna. Tetapi berkat selama lima belas tahun Rangga telah menyantap jamur ajaib, maka dia tak perlu lagi melatih tenaga dalamnya. Jamur-jamur yang telah menyebar di seluruh jaringan syaraf-syarafnya dapat membangkitkan hawa murni yang secara alami ada dalam tubuh manusia.
"Hey! Mau kemana?" Teriak Rangga ketika rajawali putih itu mengepakkan sayapnya, terbang.
Rangga segera mengerahkan ilmu 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dan dengan seketika tubuhnya menjadi ringan, lalu mengangkasa. Sedemikian cepatnya, hingga dalam sekejap saja dia telah berada di atas punggung rajawali.
"Khraagh...!" rajawali putih terus mengepakkan sayapnya. Kecepatan terbangnya melebihi lesatan anak panah. Sebentar saja mereka telah sampai di suatu tempat yang masih di sekitar Lembah Bangkai. Rangga belum pernah ke tempat ini.
"Tempat apa ini?" Tanya Rangga setelah melompat dari punggung burung raksasa itu.
"Kraghk!" rajawali menjulurkan kepalanya ke depan.
Pandangan Rangga mengikuti juluran kepala rajawali. Matanya agak menyipit mendapatkan sebuah goa di depannya. Tidak jauh di sisi malut goa sebelah kanan, terdapat semacam gubuk terbuat dari ranting-ranting kayu. Goa itu sangat kecil, sehingga rajawali tak mungkin dapat masuk kecuali kepalanya saja. Tapi, gubuk siapakah itu?
Rajawali putih mendorong punggung Rangga dengan sayapnya. Agak ragu-ragu Rangga melangkah menghampiri gubuk rusak itu. Dia tersentak ketika melihat di bawah atap rumbia gubuk terdapat makam. Sungguh aneh, keadaan makam itu terawat rapi meski gubuk yang menaunginya telah reyot.
Walaupun Rangga tidak tahu itu makam siapa, namun tetap berlutut hormat. Seketika dia teringat kedua orang tuanya yang terbunuh lima belas tahun silam. Rangga sendiri tak tahu di mana makam kedua orang tuanya sendiri. Agak lama dia berlutut dan terpekur di samping makam.
"Krhaghk!"
Rangga mendeh ke belakang. Rajawali yang masih di belakangnya tertunduk mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepertinya ikut sedih melihat makam ini. Rangga menghampiri dan memeluk leher burung raksasa itu. Seakan ingin berbagi perasaan dengan rajawali itu.
"Makam siapa itu?" Rangga berbisik.
Rajawali putih menggoyang-goyangkan kepala lalu menjulurkan ke arah goa. Rangga paham kalau dia dimohon masuk dalam goa itu.
Tanpa ragu-ragu kaki Rangga melangkah ke dalam goa. Dia tertegun sejenak saat berada dalam goa. Keadaan ruangan tak begitu besar namun banyak menyimpan barang-barang keperluan seperti layaknya tempat tinggal. Pada salah satu dinding, terdapat rak yang penuh dengan buku-buku. Di samping kirinya, terdapat bermacam-macam senjata. Ada pedang, golok, tombak, hingga senjata yang aneh-aneh bentuknya.
Goa ini ternyata juga sebagai tempat penyimpanan jamur-jamur yang biasa dimakan Rangga. Anehnya, jamur berwarna putih sebesar kepalan tangan itu hanya tumbuh pada satu dinding dekat tempayan air. Tepatnya dinding sebelah kanan menuju lobang ke luar goa.
"Kau juga ingin melihat?"
Rangga menggeser tubuhnya memberi kesempatan pada kepala rajawali untuk menyelinap masuk.
"Khraghk!"
"Ada apa dengan buku-buku itu?" Tanya Rangga.
Rajawali putih itu mematuk-matuk paruhnya ke lantai goa yang berpasir. Rangga cerdik. Dia dapat menangkap maksud burung rajawali ini. Bergegas didekatinya rak buku, dan diambilnya salah satu buku yang berada paling ujung sebelah kiri.
"Khraghk!"
Rangga menoleh. Dilihatnya kepala, burung rajawali itu menggeleng-geleng beberapa kali. Diletakkan kembali buku itu di tempatnya. Dia berpindah mengambil buku paling ujung sebelah kanan. Kepala burung itu mengangguk-angguk, dan mematuk-matuk lantai goa lagi.
Rangga tahu kalau dia harus membaca buku itu. Dan memang benar, buku itu ternyata berisi gambar-gambar jurus silat. Beberapa di antaranya telah dikuasai. Namun kecerdikannya menangkap kalau dia harus memperdalam lagi melalui buku itu.
"Punya siapa buku-buku ini?" Tanya Rangga.
Kepala rajawali putih menengok ke belakang.
"Jadi pemilik buku dan semua yang ada di sini, telah meninggal? Siapa dia sebenarnya?"
Paruh rajawali putih mematuk-matuk dinding goa.
"Sebelah mana?"
Dengan paruhnya rajawali itu menunjuk ke arah kanan. Rangga mengikuti arah yang ditunjukkan. Dia hanya mendapatkan sebuah dinding batu tebal dan berlumut.
"Khraghk!" rajawali putih memutar-mutar kepalanya beberapa kali.
Rangga menoleh. Dia melihat rajawali masih terus memutar-mutar kepalanya. Rangga berpikir sejenak dengan dahi sedikit berkerut serta mata agak menyipit, lalu mengangguk. Dengan langkah mantap didekatinya dinding itu. Tangan kanannya mendorong, tapi dinding batu itu tak bergeser sedikit pun.
"Krhaghk!"
"Baiklah, aku sekarang mengerti," sahut Rangga.
Rangga mundur dua tindak. Dipusatkan perhatiannya pada dinding batu itu. Dengan cepat kedua telapak tangannya yang terbuka mendorong ke depan. Seketika itu juga terdengar suara ledakan yang dahsyat, disusul getaran seluruh dinding goa.
Dengan mata terbelalak, Rangga menyaksikan dinding batu di depannya itu bergeser ke samping. Suara geseran batu itu menimbulkan gemuruh, seakan-akan seluruh dinding goa akan runtuh. Matanya makin terbelalak setelah dinding batu itu terbuka lebar.
Sebuah ruangan yang agak lebar nampak, bersamaan dengan berhentinya suara gemuruh itu. Seberkas cahaya terang memancar dari api yang berasal dari tengah lubang sebuah batu. Tidak ada apa-apa di ruangan itu kecuali sebuah batu yang menyerupai altar. Benda itu terletak di tengah-tengah ruangan. Sebuah buku kumal tergeletak di atasnya.
Rangga melangkah masuk. Didekatinya batu altar yang hitam pekat Tangannya meraih buku kumal dan membuka halaman pertama buku itu. Berkerut kening Rangga ketika membaca halaman pertamanya.
Rangga kini tahu siapa yang sebenarnya menempati goa ini sebelumnya. Dia adalah seorang tokoh yang tak tertandingi selama kurun waktu seratus tahun lalu. Seorang tokoh yang bergelar Rajawali Sakti yang bertahun-tahun malang melintang di rimba persilatan. Sampai akhirnya tokoh itu mengasingkan diri di dasar Lembah Bangkai.
Buku kumal yang diambil Rangga dari atas altar itu memang dapat bercerita banyak. Hingga pada akhirnya dia tahu bahwa goa besar yang telah jadi tempat tinggalnya selama lima belas tahun adalah tempat tinggal burung rajawali raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan buku itu juga menceritakan tentang sepak terjang pendekar itu selama berkelana di dunia persilatan.
Selama dalam pengasingan diri itu, ternyata Pendekar Rajawali Sakti telah menuliskan seluruh ilmunya ke dalam buku. Hal inilah yang membuat Rangga kian gembira karena juga ditemuinya buku yang berisi jurus-jurus silat Pendekar Rajawali Sakti.
Belum lagi puas rasa kagumnya, Rangga kembali terkagum dengan sebuah peninggalan Pendekar Rajawali Sakti. Sebuah pedang pusaka yang sangat ampuh.
Pedang itu memancarkan sinar biru kemilauan, dengan gagang berbentuk kepala rajawali yang terbuat dari emas murni. Pengaruh pedang itu memang dahyat. Seluruh aliran darah Rangga terasa bergetar ketika mencabut pedang itu dari sarungnya. Kekaguman Rangga tak terhenti sampai di situ. Dicobanya pedang telanjang itu pada sebuah batu sebesar kerbau. Dan hanya sekali tebas saja, batu hancur berkeping-keping!
"Khraaaghk...!"
Rangga menoleh ke arah Rajawali yang sejak tadi mengawasi dari mulut goa. Dia segera memasukkan pedang itu ke dalam sarungnya. Kepala burung raksasa terangguk-angguk sambil mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Rangga tersenyum. Dia tahu kalau burung itu menyatakan kegembiraannya.
Rajawali putih gembira karena Rangga tidak mendapat pengaruh yang berarti sewaktu memegang dan menebaskan pedang pusaka itu. Sebab tak sembarang orang dapat melakukannya. Kalau bukan jodohnya dapat ambruk muntah darah meski belum mencabut dari sarungnya.
"Ya, ya...! Mudah-mudahan aku bisa mengikuti jejak Pendekar Rajawali Sakti," kata Rangga menyahuti gerak-gerak kepala burung itu.
"Khraaaghk...!" burung rajawali seakan-akan menyambut gembira ucapan Rangga itu.
Dilampiaskan kegembiraannya itu dengan mengepak-ngepakkan sayap dan terbang berputar-putar. Suaranya memekakkan telinga.
"Rajawali, sudah! Aku juga gembira!" teriak Rangga yang sudah berada di luar goa.
Burung itu segera menukik turun didepan Rangga. Kepalanya mendesak-desak wajah Rangga. Rangga memeluk penuh kasih sayang. Dia berjanji dalam hati akan menuntaskan seluruh ilmu-ilmu Pendekar Rajawali Sakti sekaligus menyempurnakannya.
Tiba-tiba Rangga teringat akan ayah ibunya yang telah terbunuh. Hatinya mendadak panas terbakar dendam. Dia bertekad akan mencari pembunuh orang tuanya setelah menguasai seluruh ilmu Pendekar Rajawali Sakti. Kemurungan yang tergambar di wajah Rangga terlihat oleh burung rajawali. Mata bulat merah menatap lurus ke wajah Rangga. Sepertinya ikut merasakan kepedihan yang melanda hati anak muda ini.
"Maaf, seharusnya aku tidak boleh sedih," ucap Rangga pelan.
Kepala burung rajawali menggeleng-geleng pelan. Sinar matanya redup. Seolah ingin mengatakan agar Rangga mengeluarkan seluruh isi hati kepadanya.
"Aku harus membalas kematian ayah dan ibu," ucap Rangga sedikit geram.
"Khraghk!" burung rajawali putih mengangguk-angguk seperti menyetujui ucapan Rangga.
"Ya..., ya. Aku juga harus membasmi segala bentuk kejahatan di atas bumi ini.
Rajawali berseru nyaring. Kata-kata Rangga membuat hatinya senang. Dulu majikannya juga seorang pendekar yang selalu membasmi kejahatan dan membantu yang lemah. Kini Rangga yang diasuhnya sejak kecil juga memiliki jiwa luhur dan berhati bersih. Rajawali gembira karena telah mendapatkan pengganti Pendekar Rajawali Sakti yang telah lama meninggal dunia.
Rangga kini menyempurnakan jurus-jurusnya berdasarkan buku petunjuk peninggalan Pendekar Rajawali Sakti. Setiap Rangga berlatih, maka burung Rajawali putih selalu menemani dan memberi petunjuk dengan bahasa isyarat.
Satu persatu jurus-jurus sakti yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti disempurnakannya. Waktu terus berjalan hingga tak terasa lima tahun telah berlalu. Rangga kini telah mencapai tingkat terakhir jurus Rajawali Sakti.
Bahkan kini Rangga berhasil menggabungkan empat jurus andalannya yang memang sebelumnya sangat dahsyat Gabungan empat jurus andalan itu dinamakan lurus 'Seribu Rajawali'. Kedahsyatan ilmu itu, Rangga bagaikan menjelma menjadi burung rajawali. Kecepatan geraknya sangat luar biasa. Gerakan itu membuat Rangga seperti menjadi seribu jumlahnya. Dengan jurus ini dia dapat bertarung di darat dan di udara tanpa kesulitan apa-apa.
"Khraaaghk...!" rajawali raksasa berseru nyaring ketika Rangga menyelesaikan jurus terakhirnya.
Rangga menoleh dan tersenyum. Tubuhnya yang tegap dan kekar tampak bercahaya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya bagai burir-butir permata tertimpa sinar matahari. Rangga tersenyum puas melihat kehebatan jurus terakhirnya.
"Bagaimana, rajawali?" Tanya Rangga.
"Khraaaghk!" Rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ada yang kurang?"
Rajawali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku merasa sudah waktunya meninggalkan lembah ini," agak pelan suara Rangga menyampaikan maksud itu.
Rajawali raksasa menatap lurus ke bola mata Rang-ga. Seperti berat untuk berpisah dengan anak muda ini. Dua puluh tahun mereka bersama dan kini saatnya berpisah. Rangga harus mencari pembunuh orang tuanya.
"Setiap saat kita bisa bertemu," kata Rangga seperti mengerti perasaan rajawali itu. Sebenarnya dia juga berat untuk meninggalkan lembah ini. Tapi dia harus membalas kematian orang tuanya.
Mata rajawali masih menatap ke bola mata Rangga.
"Aku sudah menguasai ilmu 'Siulan Sakti' jadi kau dapat kupanggil dalam jarak jauh sekalipun," kata Rangga lagi.
Burung rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepertinya dia telah merasa lega mendengar Rangga berhasil menguasai ilmu 'Siulan Sakti'. Dengan ilmu itu mereka bisa bertemu setiap saat Dengan demikian ikatan batjn makin terjalin erat.
"Kau tidak keberatan kalau aku memakai nama Pendekar Rajawali Sakti?" Rangga meminta persetujuan.
"Khraghk!" rajawali raksasa itu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Mudah-mudahan mendiang Pendekar Rajawali sakti juga menyetujui," gumam Rangga pelan.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba kilat menyambar beberapa kali disertai suara gemuruh. Padahal langit saat itu cerah sekali. Bahkan kabut tebal yang biasanya menyelimuti lembah tak nampak sejak tadi pagi.
Rangga mendongakkan kepalanya. Gumamnya seolah terdengar oleh Yang Maha Kuasa. Kilat yang menyambar disertai suara gemuruh seperti pertanda Pendekar Rajawali Sakti telah menitis ke dalam tubuh Rangga. Ini berarti pemuda tampan dan gagah itu berhak memakai julukan Pendekar Rajawali Sakti.
Rasa terkejut dan gembira belum lagi hilang, tiba-tiba dasar Lembah Bangkai bergetar hebat bagai gempa. Bersamaan dengan itu burung rajawali raksasa mengeluarkan suara nyaring sambil mengepak-ngepakkan sayapnya, namun tak terbang. Rangga tidak mengerti dengan kejadian yang tiba-tiba ini. Dia heran kenapa burung itu juga mendadak seperti gila.
Belum terjawab apa yang jadi tanda tanya di dalam benaknya itu, mendadak tanah kuburan yang berada di depan Rangga terbongkar disertai suara ledakan dahsyat. Rangga melompat mundur satu tombak. Dia tercenung melihat rajawali putih menekuk kedua kakinya. Kepalanya tertunduk dalam. Kedua sayapnya terbentang lebar menutupi rerumputan di sekitarnya.
Tiba-tiba Rangga terkejut Dari dalam kuburan yang terbongkar, keluar asap biru bergulung-gulung. Semakin lama semakin tinggi ke angkasa, kemudian lenyap bersamaan dengan munculnya seorang laki- laki berwajah tampan dan gagah berdiri di atas tanah kuburan yang berlubang besar.
Rajawali putih menoleh kepada Rangga lalu memberi isyarat agar Rangga berlutut. Walaupun benaknya masih bertanya-tanya, Rangga berlutut Dia tidak mengenal laki-laki tampan itu.
"Maaf, siapakah Kisanak sebenarnya?" sopan dan lembut suara Rangga.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki tampan itu.
"Oh!" Rangga tersentak kaget. Segera dia memberi hormat.
"Bangunlah, anak muda," kata Pendekar Rajawali Sakti pelan berwibawa.
Rangga berdiri agak ragu-ragu. Sekali lagi dia meng-hormat.
"Bertahun-tahun aku menginginkan seorang murid yang bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmuku. Akhirnya, harapanku terkabul. Meskipun tak langsung kau peroleh dariku, namun aku bangga kau dapat menguasai seluruh ilmu 'Rajawali Sakti'. Bahkan kau mungkin Iebih sempurna daripada diriku," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Mohon ampun jika hamba yang hina ini berlaku Iancang," ucap Rangga dengan tutur bahasa indah.
Semua kata-kata itu didapatkannya dari salah satu buku yang terdapat dalam goa.
"Tidak ada yang salah pada dirimu, Rangga. Aku merasa bangga. Kau memang pantas menyandang gelar Pendekar Rajawali Sakti. Tutur kata dan budi pekertimu tak kusangsikan lagi. Hanya satu yang masih mengganjal hatiku."
"Hamba mohon petunjuk guru."
"Kau belum bisa menghilangkan rasa dendam dalam hatimu!"
Rangga tertunduk saja. Dia memang ingin balas dendam atas kematian orang tuanya. Batinnya belum tenang kalau dia tidak melaksanakan niat itu. Rangga ingat betul saat kedua orang tuanya dibunuh didepan matanya sendiri.
"Aku dapat merasakan kegundahanmu, Rangga," kata Pendekar Rajawali Sakti lembut.
"Hamba mohon ampun, Guru," ucap Rangga pelan.
"Kau tak bersalah, Rangga. Memang sudah menjadi kewajiban seorang anak membela martabat orang tuanya. Kau boleh saja membalas kematian orang tuamu. Hanya, ada satu permintaanku."
"Apa itu, Guru?"
"Sebelum kau tinggalkan tempat ini, sebaiknya bersemedilah selama tujuh hari. Bersihkan dulu jiwa dan ragamu dari nafsu duniawi yang dapat menjeratmu ke lembah nista."
"Baik, Guru. Akan hamba laksanakan semua titah Guru."
"Bagus! Rajawali putih akan menemanimu semedi. Dia juga akan menunjukkan tempat yang baik untuk bersemedi."
"Terima kasih, Guru."
"Nah! Mulai sekarang kau berhak menyandang gelar Pendekar Rajawali Sakti yang kau inginkan itu!
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba jelmaan Pendekar Rajawali Sakti menghilang. Seketika itu pula kuburan yang berlubang tertutup kembali, disusul oleh suara guruh disertai kilat yang menyambar-nyambar dengan sekejap, langit kembali cerah seperti semula.
Rangga menghormat sekali lagi, lalu berpaling menatap rajawali yang berdiri kokoh. Sesaat mereka saling pandang. Kepala burung itu menggeleng lalu menoleh ke belakang. Rangga mengerti maksudnya Dengan tangkas dan ringan dia melompat, hinggap di punggung rajawali putih.
"Khraagk...!" Bagai anak panah lepas dari busurnya, rajawali putih melesat mengangkasa. Dalam sekejap saja mereka telah berada di udara meninggalkan Lembah Bangkai di kaki bukit Cubung. Rangga menoleh ke bawah. Lembah Bangkai bagaikan sebuah garis hitam di antara permadani hijau yang luas.
"Kau bawa ke mana aku?" Tanya Rangga.
"Khraaaghk!" sahut rajawali terus terbang menuju utara.
"Di sanakah aku harus bersemedi?" Tanya Rangga lagi.
"Khraghk!" Kepala rajawali terangguk-angguk.
Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat inilah yang pertama diinjaknya setelah keluar lari Lembah Bangkai. Sebuah daerah berbukit batu cadas. Gersang dan tanpa sebatang pohon pun tumbuh di situ. Di sekelilingnya hanya batu-batuan yang membukit.
Dengan ujung paruhnya, rajawali putih mematuk-matuk sebuah batu besar yang pipih. Rangga meman-dang batu itu, lalu kembali mengedarkan pandangan-nya. Matanya menatap ke bola mata rajawali.
"Di sini tempatnya?" Tanya Rangga belum yakin.
Bagaimana mungkin bersemadi di daerah gersang seperti ini. Tempatnya di sebuah batu di tengah-tengah bukit, yang panas menyengat pada siang hari, dan dingin menusuk pada malam hari. Rangga men-jadi yakin. Di mana pun tempatnya, harus dilaksanakan titah Pendekar Rajawali Sakti.
Tepat purnama Rangga harus memulai semadinya. Rangga mendongakkan kepalanya. Matahari sudah condong ke Barat. Sebentar lagi malam tiba, dan purnama tepat jatuh pada malam ini. Rangga harus menyiapkan diri dari sekarang untuk bersemadi. Prosesi terakhir yang sangat berat dalam latihan kesempurnaan seorang pendekar.
Apapun beratnya, Rangga tak perduli. Hatinya mantap. Tak ada artinya gemblengan berat di Lembah Bangkai jika harus ciut hatinya menjalani tahap akhir dari rangkaian ilmu Rajawali Sakti. Satu tahapan yang paling berat. Bersemadi dan berpuasa selama tujuh hari tujuh malam.
Matahari telah tenggelam. Rangga telah bersila dan kedua telapak tangannya merapat di depan dada. Kepalanya tertunduk, perhatiannya terpusat pada mata hatinya. Pikirannya kosong. Seluruh indranya tertutup.
Sementara itu rajawali putih mendekam tidak jauh dari Rangga. Malam terus merambat. Dingin mulai menusuk. Namun Rangga telah menutup indra yang berhubungan dengan dunia luar. Dia merasa seperti hidup di alam lain.
Di lereng bukit Cubung, siang itu mendung. Awan hitam bergulung-gulung di angkasa menutupi cahaya matahari. Angin berhembus keras merontokkan dedaunan. Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan lebat.
Keadaan alam yang tak menguntungkan itu, tidak menghalangi seorang penunggang kuda untuk memacu dengan cepat mejintasi lereng bukit Cubung. Penungggang kuda itu laki-laki tampan dan gagah. Dilihat lari dua buah pedang kembar di punggungnya, penunggang kuda itu tak lain dari Kala Srenggi.
"Berhenti...!"
Kala Srenggi terkejut mendengar bentakan yang keras. Seketika dia menarik tali kekang kudanya. Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat dua kaki depannya, lalu berhenti. Kala Srenggi mengedarkan pandangannya. Tak ada seorang pun terlihat di sekitar situ. Kala Srenggi yakin pasti orang yang membentak itu mempunyai kepandaian yang tinggi. Segera dia waspada.
"Siapa pun adanya, keluar! Jangan seperti tikus busuk bersembunyi dalam got!" Teriak Kala Srenggi dibarengi penyaluran tenaga dalam yang besar sehingga menggema ke seluruh bukit.
Begitu hebatnya tenaga dalam yang dimiliki Kala Srenggi, sehingga hembusan angin berhenti seketika. Matanya kembali beredar ke sekelilingnya.
"He he he..., ternyata Si Samber Nyawa hanya mengandalkan bacot!" terdengar suara ejekan menggema.
"Monyet buntung! Kalau punya nyali, keluar!" Kala Srenggi panas.
"Sejak tadi aku di sini, Kala Srenggi."
Rasa terkejut Kala Srenggi bagai disengat ribuan tawon. Dia cepat melompat dari punggung kudanya. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba telah berdiri seorang kakek di atas batu besar. Kala Srenggi tahu kalau kakek itu seorang tokoh sakti yang bernama Empu Danuraga, atau biasa dijuluki Si Gila Pembuat Pedang.
Empu Danuraga seorang tokoh tua yang sangat disegani. Meskipun sikap dan tingkat lakunya ugal-ugalan, tetapi dia termasuk tokoh aliran putih. Banyak tokoh hitam yang tunduk dan tewas di tangannya. Caranya berdiri di atas batu itu juga seperti bocah. Dia bertumpu pada sebatang pedang hitam jengat dan sebelah kakinya ditekuk bersilang.
"Ada urusan apa kau menghalangi jalanku, Kakek tua?" Tanya Kala Srenggi dingin.
"He he he..., aku hanya minta ditemani," sahut Empu Danuraga. Tangannya menimang-nimang pedang hitam, bagai menimang boneka.
"Aku tak sempat menemanimu. Ada urusan yang lebih penting!" Kala Srenggi melompat ke punggung kudanya.
Namun belum sempat duduk, tiba-tiba sepotong ranting kering meluncur cepat ke arahnya. Kala Srenggi dengan cepat berkelit Dengan ujung jari, disentilnya ranting itu. Tubuh Kala Srenggi lalu bersalto di udara, kembali turun dengan manis.
"He he he..., Samber Nyawa ternyata bukan hanya nama kosong," lagi-lagi Empu Dahuraga mengejek.
"Empu gila!" bentak Kala Srenggi gusar. "Aku tidak ada urusan denganmu. Mengapa kau halangi jalanku?"
"Tidak ada urusan katamu? He he he.... Rupanya kau sudah pikun, Kala Srenggi. Aku sengaja meninggalkan gubukku untuk mencarimu. Kau berhutang nyawa pada cucuku!"
"Jangan mencari-cari perkara, Empu Danuraga! Aku tidak kenal dengan cucumu!"
Empu Danuraga mendengus sambil menghentakkan pedang hitamnya ke atas batu. Dengan cepat dia melompat ke arah Kala Srenggi. Batu yang terkena hantaman pedang hitam tadi berderak, lalu hancur luluh seperti tepung. Kala Srenggi terperanjat melihat kehebatan kakek tua itu.
Kala Srenggi melihat jelas kalau pedang tadi hanya dihentakkan satu kali. Hentakannya pun biasa saja, namun hasilnya sangat mengejutkan. Batu sebesar kerbau hancur jadi serpihan! Sungguh luar biasa tenaga dalam dan pedang hitam Empu Danuraga. Tidak mustahil pedang hitam itu merupakan senjata pusaka ampuh dan dahsyat.
"Tiga tahun bukan waktu yang lama, Kala Srenggi," dengus Empu Danuraga geram. "Apa kau sudah lupa dengan peristiwa tiga tahun yang lalu di Padepokan Banyu Larang?"
Tentu saja Kala Srenggi tidak lupa. Padepokan Banyu Larang adalah tempat pertama dia menunaikan tugas yang diberikan oleh Geti Ireng. Seluruh murid-murid di Padepokan itu dibabatnya, karena tidak bersedia mengakui Panji Tengkorak sebagai partai terbesar dan induk seluruh partai.
Ada seorang anak muda yang menjadi tamu Padepokan Banyu Larang, terbunuh oleh Kala Srenggi. Apakah pemuda yang mencoba membunuhnya itu cucu Empu Danuraga? Dilihat dari jurus dan kesaktiannya, memang mirip dengan jurus silat Empu Danuraga.
"Kau membunuh seorang utusan pribadiku! Kau tahu, siapa tamu yang kau bunuh di Padepokan Banyu Larang?" geram Empu Danuraga. Matanya tajam menatap Kala Srenggi.
"Aku tidak perduli siapa dia!" sahut Kala Srenggi getir.
"Dia cucuku!"
Kala Srenggi tak terkejut lagi. Sudah diduganya sejak semula kalau anak muda itu adalah cucu Empu Danuraga.
"Hutang pati bayar pati, hutang nyawa bayar nyawa!" lanjut Empu Danuraga lalu bersiap-siap menyerang Kala Srenggi.
Kala Srenggi segera bersiap-siap pula. Dia sudah mendengar tentang kehebatan tokoh tua ini, maka dengan segera dicabut pedang kembarnya. Mata pedang yang keperakan itu bersinar menyilaukan tertimpa cahaya matahari yang telah kembali bersinar. Disilangkan kedua pedang di depan dada. Kaki kanannya ditekuk ke depan sedikit. Itulah pembukaan jurus 'Pedang Kembar'. Jurus dahsyat yang jadi salah satu andalan Kala Srenggi.
"He he he...!" Empu Danuraga terkekeh melihat pembukaan jurus 'Pedang Kembar'. "Mainan bocah ingusan jangan kau pamerkan di hadapanku."
"Rasakan pedang kembarku, kakek sinting!" Kala Srenggi segera menerjang dengan jurus-jurus ampuhnya.
Empu Danuraga terkekeh sambil berkelit sedikit ke kiri dan ke kanan, menghindari sabetan dan tusukan pedang kembar.
Jurus 'Pedang Kembar' yang dimainkan Kala renggi memang hebat. Gerakannya cepat sehingga bentuk pedangnya tidak nampak lagi. Yang terlihat hanya seberkas sinar kembar berkelebatan mengurung Empu Danuraga. Namun begitu, Empu Danuraga tenang saja. Bahkan kedua kakinya tidak bergeser sedikit pun. Suara tawanya terus terdengar.
"Setan tua! Jangan katakan aku kejam jika kau mampus di ujung pedangku!" dengus Kala Srenggi melihat lawannya hanya berkelit saja.
"Sudah kukatakan, pedangmu hanya mainan bocah ingusan!" ejek Empu Danuraga.
Wut! Kala Srenggi merobah serangannya. Kali ini digunakannya jurus 'Dua Mata Pedang Maut'. Jurus ini lebih hebat lagi. Kala Srenggi bahkan hanya terlihat baya-ngannya saja. Melompat ke segala penjuru dengan kedua pedang menyambar-nyambar.
Trang...! Kali ini Empu Danuraga terpaksa menggunakan pedang hitamnya untuk menangkis serangan lawan. Dalam hati dia mengagumi jurus-jurus yang dimainkan Kala Srenggi. Pijaran api memercik ketika pedang mereka berbenturan.
Di pihak Kala Srenggi, dia juga mengakui kehebatan kakek ini. Tangannya selalu terasa kesemutan jika salah satu pedangnya membentur pedang Empu Danuraga. Tapi berkat ketrampilannya memainkan dua pedang yang dibarengi pengerahan tenaga dalam, Kala Srenggi masih mampu melakukan serangan-serangan berbahaya.
Lima belas jurus telah berlalu. Belum ada seorang pun kelihatan terdesak. Empu Danuraga sendiri sudah membuka serangan berbahaya dengan jurus-jurus andalannya. Kini dua puluh jurus berlalu, namun belum juga ada yang terdesak.
Merasa tidak mungkin mengalahkan Empu Danuraga dengan ilmu pedang, Kala Srenggi melompat keluar pertarungan sejauh dua tombak. Segera kakinya melebar. Kedua tangannya menjulur ke atas. Kedua tangan itu pelan-pelan turun menekuk sejajar ketiak. Kala Srenggi membuka 'Ajian Tapak Beracun'.
"Tunggu!" sentak Empu Danuraga tiba-tiba.
"Kau takut dengan Ajian Tapak Beracunku!" ejek Kala Srenggi.
"Meski kau gunakan nama lain untuk ajianmu itu aku bisa kenali kalau ajian itu adalah gerakan 'Aji Racun Merah'! Ada hubungan apa kau dengan Setan Racun Merah?"
"Apa pedulimu dengan tua bangka tolol itu?" Dengus Kala Srenggi.
"Apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?" Desak Empu Danuraga.
"Ha ha ha....'"Kala Srenggi hanya tertawa.
Empu Danuraga mengkeretkan gerahamnya. Sinar matanya tajam menatap Kala Srenggi. Hampir sepuluh tahun dia tidak pernah mendengar kabar Setan Racun Merah. Dan sekarang, tiba-tiba saja jurus ampuh itu diperagakan Kala Srenggi. Walau dengan nama lain, tetapi Empu Danuraga masih bisa mengenali dengan baik. Lebih-lebih ketika melihat kedua telapak tangan Kala Srenggi memerah seperti terbakar.
"Kau memiliki 'Aji Racun Merah', tentunya kau kenal baik dengan Setan Racun Merah. Katakan, di mana dia sekarang?" Dingin suara Empu Danuraga.
"Dia sudah mati!" Kala Srenggi datar.
"Edan! Jangan main-main, Kala Srenggi!" Empu Danuraga gusar merasa dipermainkan.
"Siapa yang main-main? Dia sudah mati setelah menurunkan 'Aji Racun Merah' padaku!"
"Jadi... kau muridnya?"
"Kalau benar, kau mau apa?"
"Setan busuk!" dengus Empu Danuraga geram. "Sepuluh tahun aku menunggu, ternyata dia sudah mati! Huh, sia-sia semua yang kulakukan selama sepuluh tahun!"
Kala Srenggi mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti kenapa Empu Danuraga seperti menyesali kematian Setan Racun Merah. Adakah hubungan istimewa antara dua orang itu?
"Di mana dia dikuburkan?" Tanya Empu Danuraga lagi.
"Untuk apa kau ketahui?" Balas Kala Srenggi.
"Aku harus tahu kuburnya!"
"Tidak seorang pun boleh tahu!"
"Setan alas!" Geram Empu Danuraga.
Kala Srenggi terkejut setengah mati melihat perubahan paras Empu Danuraga. Seluruh wajah kakek itu mendadak menjadi hitam legam bagai arang. Tanpa disadari, Empu Danuraga mengerahkan 'Aji Klabang Geni'. Satu ajian yang sangat dahsyat dan sulit dicari tandingannya.
Tiba-tiba saja Kala Srenggi teringat pesan Setan Merah sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Dia harus menghindari bentrokan dengan Empu Danuraga. Lebih-lebih jika kakek ini sudah mengerahkan 'Aji Klabang Geni' Tidak mungkin Kala Srenggi dapat menandingi meski menggunakan 'Aji Racun Merah' sekalipun.
"Baiklah!" gumam Kala Srenggi sambil menarik kembali ajiannya itu. "Kuburan Setan Racun Merah ada di puncak Gunung Cupu!"
Empu Danuraga hanya mendengus pendek, lalu membalikkan tubuhnya. Wajahnya kembali seperti biasa. Sinar matanya mulai redup. Namun tidak mengurangi ketajamannya.
"Setan Racun Merah sudah mati, untuk apa kau menanyakan kuburannya?" Tanya Kaja Srenggi ingin tahu.
"Aku ingin membuktikan ucapanmu!" Sahut Empu Danuraga datar.
"Lalu apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?"
"He he he...!" Empu Danuraga terkekeh. "Apakah kau akan membela gurumu?"
"Tanpa Setan Racun Merah, antara kita sudah punya urusan."
"Kau akan tahu nanti, Kala Srenggi!"
"Hey...!"
Empu Danuraga mencelat bagai kilat Sekejap saja tubuh Empu Danuraga lenyap dari pandangan mata. Kala Srenggi tidak mungkin mengejar meski dia tahu ke arah mana kakek itu pergi.
"Kelak aku akan mencarimu, Kala Srenggi. Persoalan kita belum selesai!" tiba-tiba suara Empu Danuraga bergema.
Kala Srenggi terkejut Dia tahu itu suara Empu Danuraga. Suara yang dihembuskan dengan jelas tanpa diketahui ujudnya. Sungguh suatu ilmu yang hebat Lama juga Kala Srenggi mematung. Kata-kata Empu Danuraga tidak bisa dianggap main-main. Entah kapan, pasti dia akan mencari dan menuntut balas atas kematian cucunya.
"Hhhh...!" Kala Srenggi menarik napas panjang.
Terselip rasa sesal membiarkan seorang murid Padepokan Banyu Larang lolos. Sebenarnya bisa saja dikejar, tapi Kala Srenggi terlalu sibuk menghadapi ketua Padepokan itu. Tentu orang yang lolos itulah yang memberitahu Empu Danuraga tentang peristiwa di Banyu Larang.
Kala Srenggi menghembuskan napasnya dalam-dalam. Sudah kepalang basah, pesan Setan Racun Merah terpaksa dilanggamya. Toh ini bukan kesengajaan. Jika pada akhirnya harus bentrok dengan Empu Danuraga, dengan terpaksa harus dihadapinya walau Setan Racun Merah sendiri tak mampu mengalahkan Empu Danuraga. Apalagi dirinya?
Kala Srenggi dengan sigap melompat ke punggung kudanya. Segera kuda itu melesat setelah Kala Srenggi menggepraknya. Debu-debu beterbangan diterjang kaki-kaki kuda yang bagaikan terbang itu.
Di depan sebuah kedai satu-satunya di dukuh Giring, Kala Srenggi menghentikan kudanya. Seperti ingin memamerkan ilmu ringan tubuhnya, dia melompat dengan indah dari punggung kuda. Dengan langkah tegap dan pandangan lurus kedepan, dia memasuki kedai itu.
Matanya langsung tertuju pada Saka Lintang dan tiga orang laki-laki berwajah kasar. Mereka duduk menghadapi meja yang penuh dengan makanan. Kala Srenggi segera menghampiri dan duduk di antara mereka. Ketiga laki-laki yang bersama Saka Lintang adalah pengawal pribadi gadis ini. Julukan mereka Tiga Serangkai Rantai Baja.
"Kau terlambat, Kala Srenggi," kata Saka Lintang, Kembang Lembah Tengkorak. Suaranya datar tanpa tekanan sedikit pun. Bicaranya pun tanpa menoleh karena sibuk dengan makanannya.
"Ada hambatan kecil," sahut Kala Srenggi sambil menuang arak ke dalam gelas bambu.
"Aku tidak peduli dengan alasanmu, aku perlu laporanmu!" Masih datar suara Saka Lintang.
"Gagal," pelan suara Kala Srenggi.
Brak...! Gebrakan Saka Lintang membuat meja bergetar yang digebraknya bergetar dan pecah jadi dua. Seluruh makanan dan minuman yang ada di atasnya, berantakan bersamaan dengan tergulingnya meja itu. Tiga laki-laki yang duduk didepan Saka Lintang melompat.
Beberapa pengunjung kedai segera lari ke luar keta-kutan. Bagi pengunjung yang bernyali besar, tetap duduk tenang di meja masing-masing.
"Semua bukan salahku, tapi ini!" Kala Srenggi sengit. Dijambretnya kalung berkepala tengkorak yang melilit lehernya.
Melihat kalung yang menjuntai di tangan Kala Srenggi, pengunjung kedai yang masih bertahan, segera ambil langkah seribu. Mereka tidak ingin berurusan dengan kelompok Panji Tengkorak. Kalung itu merupakan tanda keanggotaan Panji Tengkorak.
"Geti Ireng menginginkan Kadipaten Karang Setra. Dan kau menugaskan aku menyelusup ke benteng Kadipaten. Pekerjaan itu memang mudah, tapi dengan benda ini apa jadi gampang? Mereka semua kenal tanda ini, Lintang!" Kala Srenggi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Lihat! Semua orang lari ketakutan melihat kalung ini!"
Saka Lintang juga mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang kini sepi. Matanya tertumbuk pada salah satu meja di sudut. Ternyata masih ada beberapa orang yang masih bertahan di kedai ini. Ada lima orang yang masih duduk melingkari meja. Mereka seperti tak peduli dengan keadaan kedai.
"Simpan kalung itu, dan segera temui ayah!" Kata Saka Lintang. Matanya masih menatap ke arah sudut ruangan.
"Di mana Geti Ireng?" Tanya Kala Srenggi.
"Di penginapan Mawar Jingga."
Kala Srenggi memakai kembali kalungnya kemudian melangkah ke luar kedai. Penginapan Mawar Jingga berada di perbatasan antara dukuh Giring dengan dukuh Merang. Geti Ireng selalu menggunakan penginapan itu jika ke luar dari Lembah Tengkorak.
Baru saja Kala Srenggi ke luar, dia kembali la dan berdiri didepan pintu. Mukanya merah pada seperti menahan marah.
"Ada apa?" Tanya Saka Lintang.
Kala Srenggi tak menyahut. Dilemparkannya sebuah ruyung ke arah Saka Lintang. Dengan tangkas gadis itu menangkapnya. Ruyung itu terbungkus selembar daun lontar yang diikat dengan pita merah.
Saka Lintang mendelik setelah mengetahui isinya Daun lontar itu bertuliskan sebaris kalimat, "Kalian anggota Panji Tengkorak, harus mampus di tangan kami!" Saka Lintang segera menatap kelima orang yang masih acuh di sudut.
"Kurang ajar!" desis Saka Lintang seraya meremas daun lontar hingga remuk.
Tiga serangkai Rantai Baja segera mengarahkan pandangannya ke sudut. Kala Srenggi juga menatap ke arah yang sama. Tiba-tiba tatapannya terganggu oleh suara desis kuda yang ada di luar. Betapa terkejutnya Kala Srenggi ketika melihat kudanya telah mati. Dan yang paling membuatnya geram adalah kematian kudanya yang disebabkan oleh ruyung yang menancap di leher. Ruyung itu kecil, tapi sanggup membunuh kuda tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Kala Srenggi, cepat temui ayah! Biar aku yang nembereskan tikus-tikus ini!" Seru Saka Lintang.
"Tidak!" dengus Kala Srenggi gusar. "Nyawa kudaku harus ditebus dengan seribu nyawa!"
Kala Srenggi menatap Saka Lintang, Gadis itu memperhatikan ruyung pembunuh kuda yang masih di genggaman tangannya. Dia tadi tak melihat bercak darah yang masih baru pada ruyung itu. Tak disangka benda sekecil ini bisa menewaskan seekor kuda.
Kelima orang yang berada di sudut kedai berdiri. Mereka segera menuju ke pintu keluar tanpa mempedulikan empat orang yang dilanda geram. Langkah kelima orang itu terhenti ketika Tiga Serangkai Rantai bajaa melompat menghadang.
"Maaf, kami mau keluar," kata salah seorang dengan sopan.
"Sebelum kuijinkan keluar, sebutkan dulu nama dan dari mana asal kalian!" dengus salah seorang dari Tiga Serangkai Rantai Baja yang bernama Matsyabaja. Yang dua orang lagi bernama Bayubaja dan Wratbaja.
"Aku yang tertua bernama Langlang Pari, dan keem-pat adikku bernama, Baga Pari, Tatra Pari, Kanta Pari, dan Dadap Pari," sahut Langlang Pari memperkenalkan yang lainnya. Mereka lima bersaudara.
Kala Srenggi segera melompat ke depan. Wajahnya makin merah membara. Matanya menyala-nyala tajam dengan geraham gemerutuk menahan amarah Tidak salah lagi, lima orang yang berada di depannya kini adalah Lima Pari Emas. Andalan mereka adalah senjata rahasia berupa ruyung yang sangat kecil Biasanya ruyung itu mengandung racun yang mematikan. Pantas saja kalau kudanya mati seketika menimbulkan suara.
Sebenarnya bukan ruyung kecil itu saja ya menjadi andalan mereka berlima. Mereka juga ahli ilmu pedang, di samping aji-aji kesaktian lainnya yang tidak bisa dianggap remeh.
"Kalian harus bayar nyawa kudaku!" Geram Kala Srenggi.
"Berapa harga kudamu?" Tanya Langlang Pari acuh.
"Setan! Nyawa kalian berlima belum cukup mengganti kudaku!"
"Apakah kudamu lebih berharga dari nyawamu sendiri?"
Kala Srenggi tidak dapat lagi menahan amarahnnya Segera dicabutnya pedang kembarnya.
Sret! "Keluarkan senjata kalian!" bentak Kala Srenggi lalu membuka jurus 'Pedang Kembar'.
Tiga Serangkai Rantai Baja pun telah siap dengan senjata masing-masing, berupa rantai baja murni ber-kepala bola berduri. Mereka berlompatan mengurung Lima Pari Emas. Hanya Saka Lintang saja yang tetap tenang berada di tempatnya. Matanya malah mengamati ruyung di tangannya.
"Mampus kau!" bentak Kala Srenggi seraya menyerang Langlang Pari dengan jurus Pedang Kembar'.
Langlang Pari berkelit menghindari serangan dahsyat itu. Bersamaan dengan itu, Tiga Serangkai Rantai Baja pun telah menyerang tiga dari Lima Pari Emas.
Pertempuran satu lawan satu berlangsung sengit di dalam kedai. Dalam sekejap saja keadaan kedai menjadi berantakan. Masing-masing menggunakan jurus andalan dan berusaha menjatuhkan lawan secepatnya. Tetapi mereka semua adalah tokoh-tokoh yang punya nama dalam rimba persilatan. Yang terlihat kini hanya bayang-bayang yang berkelebat ke setiap arah.
Saka Lintang yang tengah mengamati ruyung kecil tiba-tiba terkejut. Dia merasakan sambaran angin me-lesat ke arahnya. Dengan sigap gadis ini melenting ke udara sehingga desiran angin hanya lewat di bawah kakinya. Ternyata desiran itu berasal dari sebuah ruyung yang dilepaskan oleh Tatra Pari yang belum kebagian lawan.
pengecut!" dengus Saka Lintang geram.
Secepat kilat ruyung yang berada di tangannya dilemparkan ke arah Tatra Pari. Dengan sigap pula Tatra Pari menangkap kembali ruyung yang meluncur deras itu dengan jari dan memasukkannya ke dalam jubah. Tatra Pari segera melesat menerjang Saka Lintang.
Rupanya Tatra Pari tidak main-main lagi. Dia pun melompat sambil mencabut pedang yang menempel di punggungnya. Pedang terhunus itu telah mengarah ke arah Saka Lintang, tiba-tiba...
Tring! Betapa terkejutnya Tatra Pari ketika merasakan pedangnya membentur benteng baja yang kokoh. Tangannya terasa kesemutan. Didaratkan kakinya ke tanah. Tanpa diketahui dari mana datangnya, tiba-tiba di depan Saka Lintang telah berdiri seorang laki-laki berkepala gundul berjubah kuning.
"Biar aku yang memberi pelajaran pada bocah telengas ini, Saka Lintang," kata laki-laki gemuk berkepala gundul yang tak lain Pendeta Murtad dari Selatan.
Saka Lintang hanya mengangguk. Sebagai putri Ketua Panji Tengkorak, dia harus bisa bersikap sebagai pemimpin yang dapat menunjukkan kewibawaan diri agar disegani lawan maupun kawan.
"Hm, rupanya Pendeta Murtad dari Selatan sudah jadi anjing Geti Ireng," Dengus Tatra Pari bergumam.
"Jangan banyak omong, bocah setan! Keluarkan seluruh kesaktianmu!" Balas Pendeta itu yang mem-punyai nama asli, Pradya Dagma.
"Menghadapimu cukup dengan ini!" kata Tatra Pari sambil mengepalkan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memasukkan pedang ke dalam sarungnya di punggung.
"Sombong! Jangan katakan aku kejam membunuh tanpa senjata!" Geram Pradya Dagma merasa terhina.
"Silakan."
Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari Selatan mengebutkan tasbih mutiaranya. Setiap kebutan menimbulkan suara menderu bagai angin topan. Tatra Pari yang sudah merasakan sabetan tasbih mutiara itu tak sungkan-sungkan lagi. Dicabut pedangnya kembali, lalu diserangnya lawan ke bagian-bagian yang mematikan.
Namun pendeta cebol itu dengan gesit dapat meng-hindar dari sabetan dan tusukan pedang lawannya. Bahkan dibalasnya serangan-serangan Tatra Pari dengan tasbih mutiaranya. Dalam waktu singkat mereka telah melampaui sepuluh jurus.
Sementara itu pertarungan lain masih terus berlangsung sengit. Pertarungan antara Kala Srenggi dengan Langlang Pari telah berlangsung di luar kedai. Disusul oleh Kanta Pari, Dadap Pari, dan Baga Pari yang bertarung melawan Tiga Serangkai Rantai Baja.
"Jangan lari, Pendeta Murtad!" seru Tatra Pari melihat Pradya Dagma melompat menembus atap kedai.
Tatra Pari mengikutinya. Di atas atap kedai mereka kembali bertarung. Saka Lintang yang kini sudah berada di luar kedai, mengawasi pertarungan tanpa mengedipkan mata. Hatinya agak khawatir melihat salah seorang dari Tiga Serangkai Rantai Baja terpojok melawan Baga Pari.
Hingga tiba-tiba...."Crab!"
Pedang Baga Pari menembus lawannya. Darah muncrat bersamaan dengan limbungnya salah satu dari Tiga Serangkai Rantai Baja. Tanpa bersuara sedikit pun, orang itu ambruk tidak bergerak lagi.
Baga Pari berdiri tegang dengan pedang tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung mata pedangnya berlumuran darah. Saat matanya melihat Tatra Pari bertempur melawan pendeta cebol itu, hatinya terkesiap. Pendeta Murtad dari Selatan bukan tandingan Tatra Pari. Kecuali jika mereka berlima bersama-sama menghadapi pendeta itu.
Namun sebagai pendekar sejati, Baga Pari tidak mau berlaku curang. Dia hanya memperhatikan saja setiap gerakan lawan. Bibirnya tersungging melihat saudaranya masih mampu menandingi pendeta cebol itu.
"Aaaakh...!"
Tiba-tiba terdengar jerit melengking disusul ambruk-nya seorang lagi dari Tiga Serangkai Rantai Baja yang melawan Dadap Pari. Dari dadanya yang koyak, menyembur darah segar. Dadap Pari melompat menghampiri saudaranya yang lebih dulu menyelesaikan pertarungannya. Mereka berdiri berdampingan dengan dada bergerak turun naik. Pedang berlumuran darah masih tergenggam.
Dilihat dari tingkatannya, memang Lima Pari Emas bukanlah tandingan Tiga Serangkai Rantai Baja. Tidak sampai sepuluh jurus, dua dari Tiga Serangkai itu telah tewas. Dan kini....
"Mampus!
"Akh!"
Kanta Pari segera melompat mendekati dua saudaranya setelah menyelesaikan pertarungannya. Tuntas sudah Tiga Serangkai Rantai Baja. Kini hanya Langlang Pari yang berhadapan dengan Kala Srenggi, dan Tatra Pari yang bertarung di atas atap melawan Pendeta Murtad dari Selatan.
Pertarungan mereka telah sampai pada tingkat yang paling genting. Langlang Pari telah mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Kala Srenggi tak kalah dengan mengeluarkan jurus Pedang Kembarnya. Tubuh mereka telah tergulung oleh sinar pedang sehingga seperti tak nampak lagi.
Tiba-tiba Kala Srenggi mencelat ke atas. Setelah bersalto tiga kali di udara, dijejakkan kakinya di tanah sejauh dua tombak. Dengan sigap tangannya memasukkan pedang kembar ke dalam sarungnya. Segera dinaikkan tangannya ke atas, lalu turun perlahan-lahan, dan berhenti sejajar di ketiak.
"Racun Merah...," desis Langlang Pari.
Tiga saudara Langlang Pari yang tengah memper-hatikan, terkejut melihat Kala Srenggi mengeluarkan jurus 'Aji Racun Merah'. Langlang Pari segera memasukkan pedangnya. Bergegas dirapatkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Sesaat kemudian tubuhnya telah menggigil seperti orang kedinginan.
Langlang Pari mengeluarkan aji pamungkasnya. Suatu ajian yang jarang dikeluarkan kecuali terpaksa. Melihat Kala Srenggi mengeluarkan Aji Racun Merahnya, tiga dari Lima Pari Emas segera berpegangan tangan. Ujung pedang mereka satukan, lalu diarahkan ke Langlang Pari.
Dari ujung pedang yang menyatu, keluar cahaya kuning keemasan. Cahaya itu segera menerpa Langlang Pari. Tiba-tiba tubuh Langlang Pari bergetar, dan secara perlahan-lahan berubah menjadi keemasan. Setelah tubuh Langlang Pari berubah warna, segera tiga saudaranya itu menurunkan pedangnya.
Bukan hanya Kala Srenggi yang terkejut. Saka Lintang pun terkesiap melihat ilmu yang dikeluarkan Lima Pari Emas. Sementara itu telapak tangan Kala Srenggi juga telah berubah merah. Disalurkan seluruh tenaga dalamnya setelah dia tahu kalau lawan mengerahkan 'Ajian Pari Emas' yang sangat dahsyat.
Kejadian itu tak luput dari perhatian Pradya Dagma dan Tatra Pari sehingga pertarungan mereka terhenti dengan seketika. Pradya Dagma segera melompat turun dan mendarat di samping Saka Lintang. Sementara Tatra Pari telah berdiri di antara saudara-saudaranya.
"Hiyaaa...!"
Dengan satu teriakan melengking, Kala Srenggi me-lompat bagai kilat menyambar menerjang Langlang Pari. Bersamaan dengan itu Langlang Pari pun tak kalah gesitnya. Tubuhnya melompat menerjang. Dalam sekejap mereka bertemu di udara.
Ledakan dahsyat pun terjadi ketika dua telapak tangan mereka bertemu. Tubuh Kala Srenggi terlontar ke belakang dengan keras. Dia jatuh berguling-guling lalu dengan cepat bangkit. Lain halnya dengan Langlang Pari. Tubuhnya hanya terdorong sedikit, dan dengan mulus kakinya terjejak di tanah.
"Edan!" Dengus Kala Srenggi melihat lawannya masih segar bugar.
"Keluarkan seluruh kesaktianmu, Kala Srenggi!" Ejek Langlang Pari.
Mendengar hal itu, muka Kala Srenggi merah padam. Ilmu andalannya ternyata tidak berarti apa-apa bagi Langlang Pari. Bahkan hampir saja dirinya sendiri yang roboh. Baru kali ini ditemukan lawan yang begitu tangguh dan mampu menandingi 'Aji Racun Merah' yang sangat dibangga-banggakannya.
"Kala Srenggi, mundur!" Bentak Pradya Dagma tiba-tiba.
Kala Srenggi yang kembali bersiap-siap akan menyerang lagi, menoleh kepada pendeta cebol yang telah melangkah ke depan.
"Ajianmu tak dapat menandingi 'Pari Emas'," kata Pradya Dagma hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Kala Srenggi.
"Huh!" Kala Srenggi mendengus sengit
"Aku datang untuk memanggilmu, Kala Srenggi. Geti Ireng ingin bertemu dengan kau," kata pendeta cebol itu lagi.
"Aku selesaikan dulu setan keparat ini!" Dengus Kala Srenggi.
"Tidak ada waktu. Kau bisa celaka mengabaikan perintah Geti Ireng!"
Sambil bersungut-sungut, Kala Srenggi mundur dua tindak. Tanpa bicara lagi, dia langsung melompat ke atas kuda entah milik siapa. Yang jelas Kala Srenggi segera memacu kuda itu meninggalkan tempat itu.
"Pari Emas, di antara kita belum pernah punya urusan. Mengapa kalian memusuhi kami?" Tanya Pradya Dagma setelah Kala Srenggi tidak terlihat lagi.
"Lima Pari Emas selalu punya urusan dengan kejahatan. Siapa pun orangnya, berarti musuh kami!" lantang suara Langlang Pari menyahut.
"Hm..., kau cari perkara dengan Panji Tengkorak!" Gumam Pradya Dagma.
"Pari Emas memang ingin membasmi Panji Teng-korak!"
"Setan kutul! Kau tahu siapa Panji Tengkorak!" Panas telinga Saka Lintang.
"Tak peduli siapa, yang jelas Panji Tengkorak harus lenyap dari muka bumi!" Tegas suara Langlang Pari.
"Setan alas! Mulutmu harus dibungkam!" Dengus Pradya Dagma.
"Aku ingin memotong lidahmu yang busuk!" Ejek Tatra Pari yang masih penasaran.
"Jaga seranganku, bocah-bocah edan!" Geram Pradya Dagma.
Setelah berkata demikian, pendeta cebol itu segera menyerang Lima Pari Emas sekaligus. Dia tak sungkan-sungkan lagi mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Lima Pari Emas harus hati-hati menghadapi Pendeta Murtad ini. Dengan segera mereka menggunakan jurus 'Barisan Dewa Pari' yang mengandalkan kekompakan dan kerja sama yang baik.
Pradya Dagma diserang dari lima penjuru dengan arah yang mematikan. Serangan datang bagai gelombang laut, silih berganti tanpa henti. Sungguh hebat jurus 'Barisan Dewa Pari'. Satu serangan belum tuntas sudah disusul dengan serangan lain. Begitu seterusnya
Pendeta cebol itu terlihat kewalahan menghadapi serangan yang saling susul menyusul itu. Beberapa kali dia harus jatuh bangun menghindari serangan yang beruntun. Keringat membasahi wajah dan tubuhnya Tidak ada kesempatan untuk keluar dari kepungan yang rapat itu. Seakan-akan setiap celah telah tertutup rapat Hati pendeta cebol itu mulai getir.
Dalam waktu yang tidak lama, dua puluh jurus berlalu. Namun demikian Pradya Dagma belum bisa menyentuh lawannya. Bahkan selalu saja datang serangan dari arah lain. Pradya Dagma benar-benar kewalahan. Dia kuras seluruh tenaga dan kepandaiannya Kini digunakannya jurus 'Tasbih Sakti Memecah Gunung'.
Ternyata jurus itu juga tidak menolong banyak. Semua serangan Pradya Dagma patah sebelum mencapai tujuan. Dia segera menggantinya dengan jurus andalan lain yang lebih dahsyat Tetapi juga tidak berarti apa-apa. Pradya Dagma hampir putus asa. Lima Pari Emas seakan-akan dapat mengetahui kelemah jurus-jurusnya.
"Setan! ilmu apa yang mereka gunakan!" Rungut Pradya Dagma dalam hati.
Di tengah keputusasaan Pradya Dagma, tiba-tiba saja serangan-serangan Lima Pari Emas mendadak ngawur. Hal ini membuat pendeta cebol itu keheranan Matanya sempat melirik Saka Lintang. Gadis itu juga tengah keheranan tak mengerti.
Rasa heran juga menghinggapi Lima Pari Emas. Setiap gerakan yang dilancarkan ke arah Pradya Dagma, seperti terhalang oleh benteng kokoh yang tidak terlihat.
"Mundur!" Teriak Langlang Pari tiba-tiba.
Seketika Lima Pari Emas berlomparan mundur. Pedang mereka tetap melintang didepan dada dengan kedua kaki tetap kokoh menjejak tanah. Pradya Dagma tiba-tiba terkejut melihat seorang anak muda telah berdiri di sampingnya.
Anak muda itu mengenakan baju tanpa lengan dengan bagian dada terbuka. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Sebuah pedang bertengger di punggungnya. Celananya hanya sebatas lutut. Kumal sekali keadaannya, namun berwajah tampan dan kulit putih bagai pualam.
Pemuda itu adalah Rangga yang telah menyelesaikan semedinya di Gunung Kapur. Hati Rangga merasa tidak tega melihat laki-laki tua dikeroyok lima orang bersenjata pedang. Dia tidak tahu kalau laki-laki tua itu adalah seorang tokoh dari golongan hitam. Hati Rangga yang masih polos belum bisa membedakan nana kawan dan mana lawan.
"Kenapa mereka sampai mengeroyok kakek?" Tanya Rangga dengan sopan dan lembut.
"Mereka ingin membunuhku!" Sahut Pradya Dagma. Sekejap saja dia mampu mengukur kepandaian anak muda ini. Otaknya yang dipenuhi akal licik, segera memanfaatkan kehadiran Rangga yang polos itu.
"Apa salah kakek?" Tanya Rangga tidak menyadari kalau dirinya diperalat.
"Mereka ingin mengambil putriku!"
Pandangan Rangga segera terarah pada Saka Lintang yang berdiri agak jauh. Hatinya tergetar ketika melihat gadis itu. Saka Lintang yang mendengar pembicaraan itu hanya tersenyum dalam hati. Sudah dapat ditebak maksud Pradya Dagma. Diam-diam hatinya tergetar juga melihat ketampanan Rangga.
"Sebaiknya kakek pulang saja, biar saya urus orang-orang jahat ini," Kata Rangga.
"Terima kasih, tapi ini urusanku. Biar kuselesaikan sendiri," Pradya Dagma pura-pura.
"Anak muda! Minggir! Aku tidak ada denganmu!" bentak Langlang Pari geram.
"Maaf, aku tidak bisa membiarkan kekejaman kejahatan berlangsung didepan mataku!" sahut Ranga kalem.
"Siapa yang jahat, siapa yang kejam?" Dengus Langlang Pari gusar. Dia sudah dapat menebak akal bulus Pradya Dagma.
Rangga menatap lurus pada Langlang Pari dan adik-adiknya. Kemudian ditatapnya pendeta cebol yang masih berdiri di sampingnya.
"Saka Lintang, cepat pulang. Nanti ayah menyusul!" kata Pradya Dagma meneruskan sandiwaranya. Dia tidak ingin kedoknya terbongkar. Baginya ini kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari Lima Pari Emas. Bagaimanapun dia sadar tidak akan mampu menghadapi Lima Pari Emas sekaligus.
"Baik, Ayah!" sahut Saka Lintang segera melompat ke atas kudanya.
Rangga kagum melihat ketangkasan gadis itu dari caranya melompat dan melarikan kudanya dengan cepat.
Saka Lintang tahu kalau perintah itu hanya siasat aja, makanya dia menuruti saja perintah itu. Dan lagi dia memang tahu kalau pendeta cebol tidak sanggup lagi melawan Lima Pari Emas. Perintah itu juga bisa jadi suatu tanda kalau dia harus segera melapor pada ayahnya, Geti Ireng.
"Pendeta licik, hadapi aku!" geram Langlang Pari. Dia sudah bisa membaca maksud yang terkandung di benak Pradya Dagma.
"Anak muda, jangan terpancing dengan kelicikannya! Dia Pendeta Murtad dari Selatan" Seru Dadap Pari. Matanya yang jeli bisa melihat kalau Rangga belum mengerti tentang rimba persilatan.
"Ah, Anak Muda. Saya mohon diri. Terima kasih, telah menolongku," kata Pradya Dagma terburu-buru.
Rangga belum sempat mengeluarkan sepatah kata pun, tetapi Pradya Dagma telah melompat ke punggung kuda dan langsung menggepraknya. Kuda tinggi besar itu meluncur cepat. Sebentar saja sudah jauh neninggalkan tempat itu.
"Setan ! Licik!" umpat Langlang Pari kesal.
"Anak Muda, siapa kau sebenarnya? Kenapa membantu Pendeta Murtad itu?" Tanya Dadap Pari yang lebih besar dari lainnya.
"Aku Rangga," Sahut Rangga memperkenalkan diri. "Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung di depan hidungku!"
Dadap Pari tersenyum mendengar kata-kata polos itu. Dia memasukkan pedang ke dalam sarungnya.
Dihampirinya Rangga yang tetap berdiri di tempatnya. Senyum masih terkembang di bibir Dadap Pari, bisa maklum kalau anak muda ini masih hijau dalam dunia persilatan.
Rangga mengernyitkan alisnya. Dia tidak mengerti kenapa orang yang semula dikira jahat justru berkata lemah lembut dan tidak menunjukkan permusuhan. Bahkan mereka semua memasukkan pedangnya kembali. Apakah salah penilaiannya?
"Kami lima bersaudara dengan julukan Lima Pari Emas. Kami berasal dari Gunung Cupu. Sedang pendeta gundul itu bergelar Pendeta Murtad di Selatan. Sudah lama dia kami cari untuk kami hentikan sepak terjangnya yang tidak berperikemanusiaan." Kata Dadap Pari menjelaskan. Rangga menatap lima orang yang berdiri di depannya satu persatu. Seakan-akan ingin memastikan kalau dia tadi salah menilai. Julukan Pendeta Murtad dari Selatan pernah dibacanya dari salah satu buku yang di goa Lembah Bangkai. Nama itu tercantum berikut nama-nama lain yang termasuk dalam golongan hitam.
Tetapi Rangga belum yakin. Sebab nama Pendeta Murtad dari Selatan sudah lenyap di tangan Pendekar Rajawali Sakti seratus tahun yang lalu. Apakah orang tua gundul cebol itu muridnya yang kini malang melintang di rimba persilatan dengan nama yang sama
"Dadap Pari, sebaiknya kita bicara di tempat lain saja!" Usul Langlang Pari.
Dadap Pari mengangguk. Dia mengerti maksud saudaranya. Sebentar lagi tentu kelompok Panji Teng-korak akan datang. Tanpa banyak bicara, Lima Panji Emas berlompatan ke atas punggung kuda masing-masing.
"Ayo, Rangga! Kita pergi dari sini," ajak Dadap Pari.
"Terima kasih!" sahut Rangga.
Ketika Dadap Pari akan membuka mulutnya, Rangga telah lebih dulu mencelat dan lenyap seketika dari pandangannya. Begitu cepatnya sehingga Lima Pari Emas terkesiap. Ke mana Rangga pergi?
Senja telah merayap menjadi malam. Udara dingin. Angin berhembus agak kencang. Dinginnya udara malam menjadi tak terasa di dalam sebuah ruangan yang terang benderang oleh cahaya obor. Sebuah kedai makan yang telah penuh oleh orang-orang dari berbagai golongan masing-masing di mejanya.
Di salah satu sudut yang remang-remang, duduk Rangga menghadapi meja kecil. Hanya ada sebuah guci arak di atas mejanya. Matanya selalu mengawasi orang-orang yang keluar masuk kedai makan ini. Di kedai ini pun menyediakan kamar-kamar untuk menginap.
Mata Rangga tertumbuk pada salah satu meja yang jauh di depannya. Tampak Saka Lintang duduk di ke-lilingi empat orang laki-laki. Rangga sama sekali tak tahu kalau keempat laki-laki itu dari golongan hitam. Mereka adalah Kalingga, atau berjuluk Kakek Merah Bermata Elang. Duduk di sampingnya adalah Kala Srenggi. Di samping kanan Saka Lintang duduk seorang wanita dengan dandanan menor, persis badut. Wanita itu dijuluki Dewi Asmara Dara. Sebenarnya wanita ini cantik. Tubuhnya pun menggiurkan. Karena dandanannya yang berlebihan maka wanita ini jadi kurang simpatik. Kemudian yang seorang lagi wanita tua. Rambutnya yang putih digulung ke atas. Seba-gian rambutnya dibiarkan jatuh menjuntai. Walau kulitnya telah keriput, tapi sorot matanya masih menyimpan ketegaran. Dia dijuluki Dewi Jerangkong, karena tubuhnya yang kurus kering bagai tulang berbalut kulit.
Keadaan kedai tenang. Semua orang menikmati hidangan sambil bersenda gurau. Namun ketenangan ini tiba-tiba lenyap, ketika seorang laki-laki tersuruk-suruk masuk dengan tubuh beriumuran darah. Laki-laki itu menghampiri meja Saka Lintang.
"Hey! Ada apa?" Pekik Saka Lintang kaget.
"Teratai Putih...," Laki-laki itu tidak meneruskan kalimatnya. Dia telah ambruk tak bernyawa.
Belum lagi hilang rasa terkejut, tiba-tiba dari pintu berrmunculan orang-orang berpakaian serba putih dengan sulaman bunga teratai di dada. Bahkan beberapa orang muncul dari atas atap ruangan ini. Jumlah mereka semua tak lebih dari dua puluh orang.
Beberapa pengunjung segera berhamburan keluar menyelamatkan diri. Keadaan di kedai makan kian berubah panas dan tegang. Saka Lintang segera berdiri diikuti yang lainnya.
"Kalian datang langsung membuat onar. Apa maksud kalian?" dingin suara Saka Lintang. Matanya menatap tajam pada orang yang berdiri paling depan.
"Kami ingin menuntut balas atas kematian saudara-saudara kami!" Sahut laki-laki yang berdiri paling depan.
"Pragola, kenapa bukan Pasopati saja yang datang ke sini?!" Dengus Dewi Asmara Dara.
"Guruku terlalu suci berhadapan denganmu, perempuan liar!" Sahut Pragola sinis.
Merah padam muka Dewi Asmara Dara. Bukan rahasia lagi kalau antara dia dengan Begawan Pasopati pernah terjadi hubungan asmara sekian puluh tahun yang lalu, waktu mereka masih remaja. Sekarang mereka bermusuhan. Dewi Asmara Dara yang dahulu bernama Sutiragen memang bukan gadis baik-baik.
Dalam usia yang masih belia, Sutiragen telah berpengalaman menghadapi laki-laki. Tentu saja Pasopati kecewa setelah mengetahui kelakuan Sutiragen. Pasopati sendiri telah kalap membunuh orang tua Sutiragen karena merasa ditipu. Kedua orang tua Sutiragen telah menjebaknya untuk menikahi Sutiragen yang kedapatan telah mengandung.
Dari peristiwa itulah bibit permusuhan tumbuh subur. Mereka telah bersumpah akan membabat habis semua keturunan masing-masing. Oleh sebab itu mereka tidak menikah lagi sampai sekarang. Sutiragen sendiri makin liar, terlebih setelah dia men-dapat gemblengan dari seorang pertapa tua yang sakti. Mungkin otaknya memang telah dirasuki iblis, Sutiragen yang semula berjanji akan hidup baik-baik, telah membunuh pertapa itu dengan licik setelah dia menguasai seluruh ilmunya.
"Bocah sombong! Kau tahu, dengan siapa berhadapan!" Geram Dewi Asmara Dara.
"Nenek-nenek tak tahu diri yang merasa masih muda!" Ejek Pragola.
Dewi Asmara Dara tidak dapat lagi menguasai amarahnya yang memuncak sampai ke ubun-ubun. Dengan sigap dia melompat dan menerjang Pragola. Anak muda itu berkelit sedikit, bahkan melayangkan kakinya ke perut Dewi Asmara Dara.
"Monyet jelek!" rungut Dewi Asmara Dara sambil melentingkan tubuhnya menghindari tendangan lanjutan Pragola. Amarah yang meluap membuat Dewi Asmara Dara jadi lengah.
Meskipun masih muda, Pragola tidak dapat dianggap enteng. Ilmunya sudah hampir menyamai gurunya sendiri. Dia memang masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyempurnakannya. Jurus-jurus Pragola sangat dahsyat dan sulit diterka arahnya, membuat lawan harus hati-hati menghadapinya.
Lawan yang dihadapi Pragola pun bukan tokoh sembarangan. Dia seorang tokoh tingkat tinggi yang sudah kenyang makan asam garam rimba persilatan. Pragola tahu siapa Dewi Asmara Dara. Oleh karena Itu, dilayaninya lawan dengan tenang dan penuh perhitungan.
"Awas kepalamu!" teriak Dewi Asmara Dara. Pragola tak mempedulikan peringatan lawannya. Tangannya yang dialiri tenaga dalam ditebaskan ke arah perut lawan. Dan memang benar, teriakan tadi hanya tipuan belaka. Justru sasaran sebenarnya adalah perut.
"Ih!" Dewi Asmara Dara terperanjat, cepat-cepat ditarik tangannya.
Sungguh tak disangka kalau Pragola mengetahui gerak silatnya, sehingga dapat ditebak arah mana yang dituju. Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba Pragola menyerang secara beruntun. Wanita ini makin terkesiap. Dengan cepat dilentingkan tubuhnya mundur satu tombak.
"Kalau takut, sebaiknya kau menyingkir!" Pragola.
"Suruh si Pasopati ke sini! Biar dia tahu bagaimana mengajar muridnya yang ceriwis!" geram Dewi Asmara Dara atau Sutiragen ini.
"Jangan kau bawa-bawa nama guruku. Aku masih sanggup membeset mulutmu!" dengus Pragola tidak senang gurunya dihina.
"Bocah setan! Terima seranganku!" teriak Suti-ragen geram.
Wuuut!
Dengan kecepatan yang luar biasa, Sutiragen mengeluarkan senjatanya yang berupa selendang berwarna merah darah. Ujung selendang itu segera meluncur meliuk-liuk bagai ular naga ke arah Pragola. Ke mana Pragola menghindar, pasti selendang itu mengejar.
Sungguh luar biasa selendang itu. Meja, kursi, barang barang di sekitar situ hancur berantakan terkena sambarannya. Dewi Asmara Dara memainkan jari-jari tangannya dengan lincah membuat selendang itu seperti mempunyai nyawa. Pragola terlihat kewala-han menghadapi serangan Dewi Asmara Dara kali ini. Dia hanya bisa menghindar dan bersalto tanpa mampu mengirimkan serangan balasan.
"Perhatikan jari tangannya, gunakan senjata, cari bagian tengah!"
Pragola terkejut mendengar bisikan di telinganya. Dia tak mau berpikir panjang. Siapa pun orangnya pasti ingin membantu. Pragola segera meloloskan pedangnya yang tergantung di pinggang.
Sret!
Kali ini dihiraukan ujung selendang yang mengincar tubuhnya. Matanya menatap jari-jari tangan Dewi Asmara Dara. Benar! Arah selendang dapat diketahuinya dari jari-jari tangan yang bergerak lincah. Dengan mudah Pragola dapat menghindari ujung sendang tanpa melihatnya. Bahkan pedangnya beberapa kali hampir menebas selendang itu. Tapi sepertinya dia menebas sebongkah batu cadas yang sangat keras.
"Jangan buang tenaga! Pusatkan perhatian pada titik tengah!"
Terdengar lagi bisikan di telinga Pragola. Bisikan itu membuatnya bingung. Dia tidak tahu titik tengah mana yang dimaksud. Pragola tidak lagi membabatkan pedangnya pada selendang merah yang masih mengancam dirinya. Matanya tetap tidak lepas menatap ari-jari tangan Dewi Asmara Dara. Otaknya terus bekerja memecahkan maksud bisikan tadi.
Tiba-tiba Pragola berteriak nyaring. Tubuhnya mencelat ke udara. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia menukik tepat di tengah-tengah selendang. Dewi Asmara Dara terkejut, cepat-cepat ditarik selendangnya. Terlambat! Ujung pedang Pragola telah membabat tepat di tengah-tengah selendang merah itu.
"Setan!" maka Dewi Asmara Dara melihat selendang pusakanya terpotong jadi dua.
Dewi Asmara Dara mencampakkan selendangnya. Dia segera menggerakkan tangannya, mengembang ke samping. Lalu dengan gerakan yang cepat, kedua tangannya melintang didepan muka.
Pragola terkejut. Tiba-tiba saja mata Dewi Asmara Dara berubah merah. Belum hilang rasa terkejutnya dari mata itu meluncur seberkas sinar merah me-ngarah dirinya. Dengan cepat Pragola mencelat meng-hindar. Satu berkas sinar lagi terpaksa ditangkisnya dengai pedang.
Trak!
Pragola terlempar sejauh dua tombak. Pedangnya patah menjadi dua bagian. Belum sempat bangun, dua berkas sinar merah kembali menyerang dirinya. Dengan cepat Pragola menggulingkan tubuhnya ke samping. Sinar merah itu menghantam lantai kedai makanan. Suara menggelegar terdengar disertai berlubangnya lantai yang keras itu.
"Mati aku!" dengus Pragola. Dia tahu kalau Asmara Dara mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata Dewi'. Ilmu andalan yang sangat jarang digunakan Asmara Dara. Kemarahan yang memuncak karena selendang andalannya putus memancingnya untuk mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata Dewi'.
"Jangan panik!" Terdengar lagi bisikan halus di telinga Pragola. "Hindari tatapan matanya. Gunakan ilmu peringan tubuh, putari tubuhnya.
Pragola segera bangkit dan berlari-lari memutari tubuh Dewi Asmara Dara dengan menggunakan ilmu peringan tubuh. Tentu saja Dewi Asmara Dara jadi kelabakan. Sinar-sinar merah yang dilontarkan selalu mengenai tempat kosong. Beberapa orang yang masih berada di kedai itu segera menyingkir, menghindari sinar merah yang tidak mustahil nyasar ke tubuh mereka.
"Gunakan senjata kecil, arahkan ke kaki," bisikan halus kembali terdengar.
Pragola kebingungan. Dia tidak memiliki senjata rahasia satu pun juga. Gurunya tak pernah membe-kali senjata rahasia. Menurut gurunya, senjata rahasia hanya digunakan oleh orang-orang berhati tele-ngas dan licik. Mereka tidak pantas disebut pendekar.
Di saat otaknya berpikir keras, mendadak matanya menangkap reruntuhan meja dan kursi. Bibirnya segera tersenyum. Sambil terus mengarahkan tenaga dalam dan ilmu peringan tubuh, Pragola meraih beberapa potongan kayu. Diremasnya potongan kayu itu hingga menjadi serpihan.
Sementara itu Dewi Asmara Dara makin geram karena setiap serangannya selalu luput. Setiap kali dia memaksa Pragola untuk menatap matanya, pemuda Itu selalu memalingkan mukanya. Dewi Asmara Dara semakin sulit karena pengaruh ilmu 'Seribu Mata Dewi' tidak mempengaruhi Pragola.
"Awas kaki!" teriak Pragola tiba-tiba.
Dewi Asmara Dara terkejut. Kayu-kayu kecil berterbangan mengarah kakinya.
"Setan belang! Monyet buduk!" Dewi Asmara Dara mengumpat habis-habisan.
Kayu-kayu kecil yang dilemparkan Pragola dengan pengerahan tenaga dalam membuat wanita itu sibuk berlompatan ke sana kemari. Lebih-lebih Pragola me-lemparkannya sambil berlarian mengitari tubuhnya. Konsentrasi Dewi Asmara Dara terpecah.
Pada saat Dewi Asmara Dara tengah repot dengan serangan itu, tiba-tiba meluncur sebuah bayangan merah menahan arah lari Pragola. Seketika kayu-kayu kecil yang terlontar ke kaki Dewi Asmara Dara terhenti bersamaan dengan terhentinya lari Pragola. Di depan anak muda itu sudah berdiri seorang kakek tua berjubah merah.
"Kakek Merah Mata Elang!" bentak Pragola gusar "Kau melanggar aturan!"
"He he he...! Tidak ada aturan dalam rimba persilatan," Kakek Merah Bermata Elang terkekeh menyeringai. Matanya yang merah bagai mata elang menatap tajam Pragola.
"Biar aku yang menghadapi orang tua tidak tahu diri ini, Kakang!"
Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke tengah-tengah arena pertempuran. Seorang anak muda berkulit putih dan bertubuh ramping. Garis-garis kejantanan tergambar jelas pada raut wajah yang halus dan tampan itu.
"Hati-hati Adik Barada, orang ini sangat kejam dan sakti," Pragola mengingatkan.
Barada hanya tersenyum. Dilangkahkan kakinya dua tindak ke depan. Dia sudah tahu kehebatan Kakek Merah Bermata Elang. Makanya dia harus bertindak hati-hati dan penuh perhitungan. Dalam perkumpulan Teratai Putih, Barada hanya satu tingkat di bawah Pragola. Jadi dia juga tak bisa dianggap remeh.
"Majulah, Kakek tua!" seru Barada lantang dan tenang. Setenang sikapnya.
"He he he.... Anak kemarin sore ingin menantangku. Apakah Teratai Putih tidak memiliki jago-jago andalan sehingga mengutus anak bau kencur ke sini. Kakek Merah Bermata Elang mengejek.
"Teratai Putih tidak perlu mengeluarkan jago-jagonya untuk membasmi Panji Tengkorak!" Tenang dan lembut suara Barada, namun menyakitkan di telinga.
"Bocah sombong! Jangan menyesal kalau aku memberi pelajaran padamu!" Geram Kakek Merah Bermata Elang.
"Silakan kalau kau mampu!"
"Setan! Mampus kau!"
Pertempuran antara Kakek Merah Bermata Elang dengan Barada berlangsung sengit. Masing-masing menggunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Pragola pun sudah sibuk lagi melayani Dewi Asmara Dara. Di lain pihak, Kala Srenggi, dan Dewi Jerangkong juga telah menghajar orang-orang Teratai Putih lainnya.
Kedai makan berubah menjadi ajang pertempuran. Memang kelihatannya tidak seimbang. Dua puluh dari Teratai Putih melawan empat orang dari Panji Tengko-rak. Namun keempat orang-orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Malah kini terlihat dua orang anggota Teratai Putih sudah terjungkal. Kepalanya remuk terhajar tongkat Dewi Jerangkong.
Seorang lagi roboh di tangan Kala Srenggi. Lalu menyusul satu demi satu. Pragola yang melihat kejadian itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sendiri sibuk menahan gempuran Dewi Asmara Dara. Wanita itu sangat bernafsu ingin cepat membunuh lawannya. Dia merasa sudah dipermalukan oleh Pragola di muka umum.
"Tahan!"
Tiba-tiba suara menggeledek terdengar bagai petir di siang bolong. Seketika pertempuran itu terhenti. Anggota Teratai Putih tinggal enam orang saja. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Darah berceceran menyebarkan bau amis menusuk hidung.
Semua mata segera terarah pada Rangga yang duduk tenang di pojok. Tangannya memain-mainkan kendi arak. Lagaknya acuh dengan suasana kedai makan yang berantakan akibat pertarungan dua kelompok itu.
"Orang asing! Berani benar kau campuri urusan kami!" Bentak Dewi Asmara Dara gusar.
Seperti orang tolol, Rangga celingukan mencari-cari sesuatu. Pelan-pelan dia bangkit dan berjalan melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan. Kepalanya menggeleng-geleng dengan mulut berdecak-decak seperti keheranan.
"Ck ck ck..., kasihan sekali. Nyawa satu-satunya dibuang percuma," gumam Rangga.
Rangga berhenti melangkah ketika di depannya berdiri menghadang Kakek Merah Bermata Elang. Rangga mengamati jari-jari tangan kakek tua itu yang penuh darah.
"Kenapa tangan Kakek? Luka?" Tanya Rangga seperti anak kecil.
"Luka tanganku bisa diobati oleh darahmu!" Dengus Kalingga atau Kakek Merah Bermata Elang geram.
"Wah, hebat!" Seru Rangga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kisanak, apakah kau yang memberiku petunjuk tadi?" Tanya Pragola sopan dan lembut. Dia merasa yakin kalau bisikan-bisikan halus datang dari pemuda ini.
"Ah, aku hanya bicara sendiri tadi," Sahut Rangga merendah.
"Setan! Jadi kau yang membantu bocah edan ini!" Dengus Dewi Asmara Dara geram. Giginya gemelutuk dan tangannya mengepal erat.
"Siapa yang membantu? Sejak tadi aku duduk di sana," Sahut Rangga kalem.
"Kau harus mampus!" Geram Dewi Asmara Dara.
Setelah berkata demikian Dewi Asmara Dara segera melompat menerjang dengan jurus andalannya. Rangga hanya berkelit sedikit dengan meliukkan tubuhnya. Serangan Dewi Asmara Dara hanya menge-nai angin kosong.
Kala Srenggi yang mengenali jurus-jurus Dewi Asmara Dara, terkesima melihat cara Rangga menghindari serangan. Merasa lawan hanya menghindar tanpa melangkah sedikit pun, Dewi Asmara Dara berang bercampur malu.
"Terima aji pamungkasku!" Teriak Dewi Asmara Dara.
Seketika seluruh tangan Dewi Asmara Dara mengepulkan asap kekuningan, lalu secepat kilat menyerang Rangga. Semua mata yang memandang menahan napas menyaksikan Rangga hanya tenang-tenang saja.
"Hiyaaa...!" Dewi Asmara Dara melengking keras dengan kedua tangan menjulur ke depan.
Saat jari-jari tangan Dewi Asmara Dara yang mengepulkan asap tepat di depan mata Rangga, anak muda itu hanya memiringkan kepalanya sedikit. Dengan menggunakan jurus 'Cakar Rajawali' dipapaknya punggung Dewi Asmara Dara.
"Akh!" Dewi Asmara Dara memekik tertahan. Tubuh-nya limbung sebentar lalu ambruk tidak bangun lagi.
Semua mata terbelalak lebar seakan tidak percaya. Hanya satu jurus saja Dewi Asmara Dara telah ambruk tak bernyawa! Sulit diukur tingginya ilmu anak muda ini.
"Bocah setan! Sebutkan namamu sebelum kukirim kau ke neraka!" Bentak Kakek Merah Bermata Elang dengan geram.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!" Jawab Rangga. Suaranya tenang namun menggema ke seluruh ruangan.
"Tidak mungkin!" Sentak Dewi Jerangkong sambil melompat ke depan.
Semua mata menatap nenek tua yang berdiri dengan tongkat saktinya.
"Jangan coba-coba menggertak kami dengan menyebut nama tokoh seratus tahun lalu!" Dengus Dewi Jerangkong.
"Kalau tidak percaya, lihat saja dia!" Rangga menunjuk mayat Dewi Asmara yang tengkurap kaku.
Dewi Jerangkong mendelik. Punggung Dewi Asmara Dara hangus! Ada goresan hitam di punggung yang membentuk cakar burung rajawali. Jelas, itu adalah salah satu hantaman jurus 'Cakar Rajawali'. Dan kini jurus maut itu dimiliki seorang pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali Sakti!
"Bagaimana, Nenek tua? Percaya?"' Kalem dan tenang suara Rangga.
"Mustahil...," Gumam Dewi Jerangkong seraya menggeleng-gelengkah kepalanya.
Bukan hanya Dewi Jerangkong yang tidak percaya. Kakek Merah Bermata Elang pun demikian. Dua tokoh tua ini pernah mendengar sepak terjang Pende-kar Rajawali Sakti meski pada saat itu mereka belum dilahirkan. Kehebatan dan kesaktian pendekar Raja-wali Sakti pernah menjadi buah bibir di mana-mana. Semua orang selalu mengharapkan kemunculannya jika terjadi kerusuhan dan kejahatan.
Kini Pendekar Rajawali Sakti muncul kembali di tengah dunia persilatan yang goncang. Apakah ini pertanda Panji Tengkorak akan menghadapi sandungan?
"Dewi Jerangkong, mari kita hadapi bocah dungu ini," Seru Kakek Merah Bermata Elang atau Kalingga.
Setelah selesai kata-katanya, Kalingga segera menyerang Rangga dengan jurus-jurus mautnya, diikuti oleh Dewi Jerangkong dengan jurus-jurus andalannya.
Nyali Rangga tak gentar sama sekali dikeroyok oleh dua tokoh sakti itu. Dia kelihatan tenang-tenang saja berkelit menghindari serangan-serangan dahsyat dan beruntun. Gerakan-gerakan Rangga memang cepat dan luar biasa sehingga membingungkan lawan. Serangan-serangan dua tokoh sakti itu selalu menemui tempat kosong.
"Maaf!" Ucap Rangga kalem.
Bersamaan dengan itu, tangan Rangga berkelebat cepat dan tepat mendarat di dada Dewi Jerangkong dan Kalingga.
"Akh!" Dewi Jerangkong hanya mengeluh pelan
"Ugh!" Kakek Merah Bermata Elang pun melenguh hampir bersamaan.
Secara bersamaan pula dua tubuh tokoh itu ambruk dan tak berkutik lagi. Di dada mereka tergambar sebuah cakar berwama hitam. Cakar seekor burung rajawali. Sekali lagi Rangga berhasil merobohkan dua tokoh sakti sekaligus hanya dalam satu jurus saja.
Kala Srenggi yang sejak tadi hatinya sudah ciut diam-diam kabur ketika melihat dua tokoh sakti itu limbung hanya dalam satu jurus saja. Saka Lintang pun tak nampak batang hidungnya lagi. Entah sejak kapan dia minggat.
"Terima kasih, Tuan Pendekar telah menolong kami," Pragola segera menghormat diikuti Barada dan empat anggota Teratai Putih yang tersisa.
Rangga hanya tersenyum lalu menepuk pundak Pragola.
"'Tuan Pendekar sangat hebat. Panji Tengkorak pasti bisa ditumpas," Ujar Barada penuh harapan.
"Boleh saya tahu, siapakah saudara-saudara semua?" Tanya Rangga yang telah berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Kami murid-murid perguruan Teratai Putih. Kami ditugaskan untuk membendung gerakan liar Panji Tengkorak," Sahut Pragola menjelaskan.
"Siapa Panji Tengkorak?" Tanya Rangga lagi.
"Gerombolan liar dan jahat. Mereka membunuh siapa saja yang menentangnya. Sudah banyak tokoh aliran hitam yang bergabung dengan mereka. Saat ini Panji Tengkorak boleh dikatakan hampir menguasai rimba persilatan," jelas Pragola rinci. Sejak tadi dia telah kagum dengan kehebatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Pemimpinnya seorang tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya," Barada menambahkan. "Pemimpinnya bernama Geti Ireng yang lebih dikenal dengan julukan Iblis Lembah Tengkorak."
"Iblis Lembah Tengkorak..." gumam Rangga pelan
Seketika itu pula terlintas dalam benaknya peristiwa dua puluh tahun lalu. Peristiwa yang menyakitkan hati. Rangga juga masih ingat ketika ayahnya menyebut orang itu Iblis Lembah Tengkorak. Orang itukah yang membunuh kedua orang tuanya?
"Geti Ireng tinggal di Lembah Tengkorak bersama gerombolannya," Pragola menambahkan.
"Apakah orang itu bersenjata tongkat berkepala tengkorak?" Tanya Rangga memastikan.
"Benar, Tuan Pendekar," Sahut Barada cepat.
Rangga tersenyum. Matanya berbinar-binar. Dia telah digojlok selama dua puluh tahun di Lembah Bangkai, ditambah bersemedi dan berpuasa selama tujuh hari tujuh malam di Gunung Kapur. Dengan demikian seluruh jiwanya sudah bersih dari rasa dendam dan angkara murka.
Telah nyata bahwa Iblis Lembah Tengkorak adalah Geti Ireng yang membunuh orang tuanya, tetapi hati Rangga sedikit pun tidak terbakar api dendam. Jiwanya sudah bersih dari nafsu duniawi. Ingin disantroninya Lembah Tengkorak, tetapi tidak untuk balas dendam. Niatnya semata-mata hanya untuk membasmi segala bentuk kejahatan.
"Tuan Pendekar...," Pragola mencegah langkah Rangga.
Rangga menghentikan langkahnya yang telah sampai pada pintu keluar kedai. Dia menoleh seraya tersenyum melihat Pragola menghampirinya.
"Kami merasa mendapat kehormatan bila Tuan Pendekar berkenan singgah di Perguruan Teratai putih." Ajak Pragola ramah.
Rangga berpikir sebentar.
"Eyang Guru Begawan Pasopati pasti gembira jika Tuan Pendekar berkenan mengunjunginya. Dari beliau nanti, Tuan Pendekar dapat mengetahui lebih ba-nyak tentang Iblis Lembah Tengkorak," kata Pragola tengah membujuk.
"Benarkah?" Tanya Rangga dengan polos tanpa pernah curiga terhadap siapa pun. Dalam hati sebenarnya Rangga senang memenuhi undangan itu yang tentu segalanya terjamin.
"Eyang Begawan Pasopati seorang yang bijak. Beliau pasti senang jika penolong kami berkenan singgah barang sebentar."
"Baiklah, aku pun senang mendapat sahabat."
Betapa gembiranya Pragola karena pendekar yang dikaguminya berkenan menerima undangannya. Segera diperintahkan adik-adik seperguruannya me-nyiapkan kuda. Sebentar kemudian tujuh ekor kuda sudah dipacu meninggalkan kedai, menembus kegelapan malam. Rangga yang tidak pemah menunggang kuda, sedikit grogi. Namun ketika agak jauh meninggalkan kedai, dia sudah mulai terbiasa.
Bibir Rangga tersenyum-senyum. Pragola selalu memacu kudanya di samping kiri Rangga, dan Barada di samping kanannya. Rangga bagai pembesar saja diapit kiri kanan. Empat kuda lain mengiringi dari belakang. Rangga cerdas. Sebentar saja dia telah mampu menunggang kuda dengan baik. Pada akhirnya dirasakannya bahwa menunggang kuda hampir tidak ada bedanya dengan menunggang burung rajawali putih.
"Masih jauh?" Tanya Rangga.
"Menjelang pagi baru sampai," sahut Pragola.
Rangga mengeluh dalam hati. Sebabnya dia harus menunggang kuda semalaman. Namun keluhan itu tidak ditampakkannya. Dia tetap saja tersenyum sambil bertanya macam-macam. Banyak yang ditanyakannya terutama tentang seluk beluk dunia persilatan yang masih asing baginya. Pragola dengan senang hati menjawab. Dijelaskannya setiap pertanyaan Rangga dengan lemah lembut Sesekali Barada menambahkan jika penjelasan kakak seperguruannya dirasakan belum lengkap. Semakin banyak Rangga bertanya, semakin banyak yang diketahui tentang gambaran rimba persilatan sekarang ini.
Rangga bagaikan seorang bayi yang baru lahir ke dunia. Dia masih perlu belajar banyak mengenai dunia yang digelutinya sekarang ini. Untuk itu dia harus berpetualang sambil bertanya pada siapa saja yang berbaik hati memberi keterangan kepadanya, seperti, layaknya murid-murid Perguruan Teratai Putih ini.
Dalam pengembaraannya mencari sarang gerombolan Panji Tengkorak, Rangga beberapa kali harus bentrok dengan tokoh-tokoh berilmu tinggi anggota gerombolan itu. Nama Pendekar Rajawali Sakti makin dikenal. Di samping itu dia juga jadi momok yang menakutkan bagi orang-orang rimba persilatan beraliran hitam. Kini Pendekar Rajawali Sakti bagaikan sebuah pelita yang menerangi tokoh-tokoh aliran putih.
Dalam waktu singkat, Nama Pendekar Rajawali Sakti sudah terpatri erat di hati semua orang. Bahkan Saka Lintang sendiri tidak pernah melupakan pendekar tampan itu. Dalam pandangan pertamanya, dia merasa sedikit kasmaran. Makanya setiap kali Pendekar Rajawali Sakti bentrok dengan orang-orang Panji Tengkorak, dia tidak ingin melibatkan diri. Dia seperti menghindar dari kemungkinan bentrok.
Rangga menarik tali kekang kudanya ketika melewati pinggir hutan Dadakan. Telinganya yang tajam tiba-tiba mendengar denting senjata beradu. Nyata bahwa suara itu berasal dari suatu pertarungan. Rangga segera melompat dari kudanya. Dengan menggunakan ilmu 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat pertama, tubuhnya telah melayang di udara menuju arah datangnya suara pertempuran.
Bagai rajawali mengintai mangsa, Rangga dari atas telah melihat seorang wanita dikeroyok tiga laki-laki bersenjata tongkat Rangga bergegas turun dan berdiri di pinggir arena pertarungan. Segera dikenalinya wanita itu yang ternyata adalah Saka Lintang. Tapi siapakah tiga laki-laki yang mengeroyoknya?
Melihat kedatangan Rangga, Sdka Lintang cepat melompat ke luar arena pertandingan. Dihampirinya Rangga, dan berlindung di belakang tubuh pemuda itu.
"Tolong, mereka dari Panji Tengkorak," kata Saka Lintang dengan suara dibuat memelas.
Mendengar ketiga orang itu dari Panji Tengkorak Rangga segera menerjang ketiga orang itu yang masih bingung tidak mengerti. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sekejap saja ketiga orang itu telah bergelimpangan akibat jurus 'Cakar Rajawali'.
"Terima kasih, kau telah menolongku," kata Saka Lintang langsung menghampiri.
"Kenapa kau bisa bentrok dengan mereka?" Tanya Rangga.
"Aku merasa tertipu masuk gerombolan Panji Tengkorak! Aku ingin keluar, tapi mereka malah ingin membunuhku!" cerita Saka Lintang bersandiwara. Dalam hatinya tersenyum karena rencananya berjalan mulus.
Terpaksa dikorbankannya tiga anggota Panji Tengkorak demi mencapai keinginan merebut hati pendekar tampan ini. Setiap hari dia selalu terbayang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti ini. Hati Saka Lintang makin hari makin tersiksa bila Kala Srenggi selalu mencari muka di depan ayahnya untuk mendapatkan dirinya.
"Siapakah ketiga orang itu?" Tanya Rangga.
"Mereka Tiga Pendekar Toya dari Utara. Tadi mereka mencoba memperkosaku," Saka Lintang makin menjejali Rangga dengan cerita kosong.
"Binatang!" Geram Rangga.
"Untung kau cepat datang, kalau tidak.... Mungkin aku sudah mati."
"Hm, kau akan ke mana sekarang?"
"Aku tidak tahu. Sejak kecil aku hidup sendirian."
Rangga menarik napas panjang. Dirasakan ada persamaan nasib dengan gadis ini. Namun Rangga tidak menyadari kalau dia tengah masuk dalam perangkap yang dibuat Saka Lintang. Bukan perangkap nyawa, tapi perangkap asmara. Rangga memang polos. Dia memang belum banyak mengalami liku-liku kehidupan yang mungkin dapat menjeratnya. Apa lagi Saka Lintang memang cantik.
"Aku ikut kamu, ya?" Saka Lintang memohon sambil menggayut-gayutkan tangannya dengan manja ke lengan Rangga.
"Eh, jangan!" Rangga gugup. Matanya jelalatan. Seumur hidupnya, baru kali ini dia disentuh wanita. Seketika jantungnya berdetak keras.
"Kenapa?" Tanya Saka Lintang semakin manja. Dia bahkan sudah melingkarkan tangannya ke leher Rangga.
"Aku...,aku...," Rangga benar-benar gugup.
Saka Lintang yang berpengalaman menghadapi laki-laki, segera memanfaatkan kegugupan Rangga. Dengan cepat dipagutnya bibir Rangga. Tentu saja pemuda ini gelagapan. Keringat dingin mengucur deras. Inilah rasa takutnya yang pertama. Cepat-cepat dilepaskan pelukan Saka Lintang, dan lompat dua tindak ke belakang. Saka Lintang memandang dengan senyum menggoda.
"Kau pendekar gagah dan tampan. Aku tertarik saat pertama kali melihatmu," Saka Lintang tidak malu-malu lagi.
"Kau memang cantik. Aku juga suka, tapi...," Rangga tidak meneruskan kata-katanya.
"Kenapa kita tidak bercinta?"
"Bercinta...?!" Rangga meneguk ludahnya sendiri. Mendadak tenggorokannya terasa kering.
Saka Lintang tersenyum melihat kegugupan Rangga. Diletakkannya pedang yang bertengger di punggungnya. Dengan gerakan yang indah, tangannya melolosi pakaian satu persatu. Rangga kian tidak menentu perasaannya.
"Celaka!" Sentak Rangga tiba-tiba.
Tercecer sudah seluruh pakaian Saka Lintang rerumputan. Kaki terayun mendekati Rangga. Namun mendadak pemuda itu mencelat ke belakang, lalu berlari sekencang-kencangnya menggunakan ilmu peringan tubuh.
"Hey, tunggu!" Teriak Saka Lintang terkejut.
Rangga telah lebih cepat menghilang di balik rimbunan pohon. Saka Lintang menghentakkan kakinya dengan kesal. Bergegas dikenakan kembali pakaiannya, lalu berlari cepat ke arah Rangga pergi.
Di bangsal rumah yang paling besar di Lembah Bangkai, Saka Lintang tengah hanyut oleh perasaan malu dan marah. Dia benar-benar kecewa dengan sikap Rangga. Namun rasa cintanya yang menggebu dapat mengalahkan amarah dan rasa malunya. Dalam hati dia bertekad akan memiliki Rangga sepenuhnya.
Ketampanan dan kegagahan Rangga membuat Saka Lintang mabuk kepayang. Dia tidak peduli lagi dengan kedudukannya sebagai orang kedua di Panji Tengkorak. Pikirannya selalu tertuju pada pendekar tampan yang telah menancapkan panah cinta di hatinya.
"Lintang...."
Saka Lintang menoleh setelah mendengar suara panggilan dari belakang. Kala Srenggi sudah berdiri di balik punggungnya. Saka Lintang menjauh dan berbalik.
"Mau apa kau ke sini?" Tanya Saka Lintang ketus. Dia tahu kalau Kala Srenggi selalu berusaha men-dekatinya.
"Aku ingin bicara padamu," sahut Kala Srenggi memasang senyum yang menawan.
"Tentang apa?"
"Tentang kita."
Saka Lintang mengerutkan keningnya. Bagi Saka Lintang, senyum Kala Srenggi seperti seringai serigala liar kelaparan. Sedang bagi Kala Srenggi, melihat Saka Lintang bagai melihat bidadari turun dari kahyangan. Bukan rasa cinta yang ada di hati, tetapi nafsu birahi yang berkobar-kobar.
"Sejak pertama aku melihatmu, rasanya aku tidak bisa hidup tanpa kau, Lintang," Kala Srenggi meng-obral rayuannya.
"Oh..., apakah kau pantas denganku?" Cibir Saka Lintang.
"Kenapa tidak? Aku toh tidak terlalu jelek untukmu.
"Tapi kau tidak bisa menandingiku!"
"Lintang!" Merah padam wajah Kala Srenggi.
"Kalahkan aku dulu, baru kau boleh berkata begitu padaku!"
Kala Srenggi menelan ludahnya. Terasa pahit. Mana mungkin Saka Lintang dapat dikalahkan. Ilmu silatnya di bawah gadis ini. Kala Srenggi pernah merasakan jurus 'Tarian Bidadari' dan dia tak ingin merasakannya lagi.
"Bukankah cinta tidak mengenai tingkat kepan-daian, Lintang," kata Kala Srenggi lagi.
"Siapa bilang? Bagiku, laki-laki yang ingin memilikiku, tingkat kepandaiannya harus lebih daripada aku!" tetap ketus suara Saka Lintang.
"Seperti Pendekar Rajawali Sakti itu?!" Kala Srenggi mendongkol.
Saka Lintang terkejut. Dia tidak menyangka kala Kala Srenggi tahu dirinya tengah kasmaran. Nada suara Kala Srenggi memberi isyarat kalau dia tengah cemburu.
"Pendekar Rajawali Sakti musuh ayahmu, musuh Panji Tengkorak. Berarti juga musuhmu, Lintang. Bagaimana mungkin kau bisa mengharapkan dia!" Kala Srenggi coba beri pengertian.
"Dia bukan musuhku. Aku tidak pernah bermusuhan dengan Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Saka Lintang.
"Mana mungkin dia bukan musuhmu, sedang kau putri ketua Panji Tengkorak."
"Apa urusanmu?"
"Jelas ada urusannya denganku. Geti Ireng menginginkan aku untuk menikahimu. Dan aku tidak rela jika Pendekar Rajawali Sakti merebutmu dari tanganku!"
"Gila! Siapa sudi menikah denganmu? Kau boleh merangkak di bawah kakiku, tapi jangan harap aku dapat jadi milikmu!"
Kala Srenggi makin merah mukanya. Kata-kata Saka Lintang telah menghina dan merendahkan dirinya. Sungguh panas telinga Kala Srenggi mendengar ucapan Saka Lintang itu. Darahnya segera mendidih, bergolak penuh kemarahan.
"Dengar, Saka Lintang. Penghinaanmu tidak akan kulupakan. Sekarang kedudukanmu masih kuat. Tapi nanti, setelah kau lepas dari Geti Ireng.... Kau akan menyesal!" Kala Srenggi mengancam penuh kemarahan.
"Heh, main ancam segala rupanya." Cibir Saka Lintang mengejek.
"Huh! Dasar anak pungut tidak tahu diri!" Dengus Kala Srenggi geram.
Setelah berkata demikian, Kala Srenggi melompat ke luar dari bangsal rumah besar.
"Hey!" Saka Lintang terkejut setengah mati mendengar kata-kata terakhir Kala Srenggi.
Saka Lintang segera melompat ke luar, namun Kala Srenggi sudah tak terlihat lagi. Saka Lintang celingukan, lalu melompat ke atap. Matanya yang tajam memandang ke sekeliling, namun Kala Srenggi benar-benar tidak terlihat lagi.
"Anak pungut..," gumam Saka Lintang berulang-ulang.
Benarkah dia anak pungut? Anak pungut Geti Ireng? Lalu siapa orang tuanya yang sebenarnya?
Setelah didesak, Emban Girika akhirnya menceritakan asal usul Saka Lintang. Wanita gemuk itu yang mengurus Saka Lintang sejak kecil.
"Saya diperintah merawat Nini Lintang ketika masih berusia satu tahun. Waktu itu Panji Tengkorak masih partai kecil. Gusti Geti Ireng masih mencari pengaruh dan kekuatan. Dia mengembara dari satu dusun ke dusun yang lain. Beliau tidak bisa mengurus Nini Lin-tang, maka sayalah yang diperintah merawat Nini di lembah ini," kata Emban Girika.
"Lalu siapa orang tua saya sebenarnya?" Tanya Saka Lintang tidak sabar.
"Sabar dulu, Nini. Saya akan ceritakan dari awalnya," Emban Girika menarik napas panjang sebentar. "Ketika itu Gusti Geti Ireng memasuki desa Kali Anget Di desa itu beliau mendapat perlawanan sengit Kepala Desa. Namun Kepala Desa itu akhirnya di bunuh bersama istri dan anak-anaknya. Hanya satu yang selamat, seorang bocah perempuan berumur satu tahun."
"Anak perempuan itu saya kan, Bi?" Celetuk Saka Lintang makin tidak sabar.
"Benar. Gusti Geti Ireng membawa anak perempuan itu, karena kedua istrinya tidak mempunyai anak sampai meninggal!"
"Apakah dibunuh ayah juga?"
"Ya, kedua istri Gusti Geti Ireng ingin melarikan diri. Mereka tidak tahan melihat Gusti Geti Ireng begitu kejam membunuh siapa saja yang berani menentangnya."
Saka Lintang gemetar seluruh tubuhnya. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya. Dia tidak tahu, apakah harus marah, kecewa, atau berterima kasih pada ayah angkatnya yang telah merawat dan mendidiknya hingga menjadi seorang wanita yang berilmu.
Tetapi laki-laki itu juga yang membunuh seluruh keluarganya. Saka Lintang tidak tahu apakah dia harus membalas kematian orang tua dan saudara-saudaranya? Apakah akan dilupakan saja kejadian itu? Orang yang selama ini dianggap ayahnya sekaligus pelindung yang menyayangi dan dihormatinya itu, ternyata pembunuh keluarganya. Haruskah dia tinggal diam?
Saka Lintang merasa menyesal, kenapa dia harus mengetahui semua ini. Seharusnya dia tidak perlu tahu, sehingga tidak dituntut untuk berbakti kepada orang tuanya. Bakti seorang anak yang orang tuanya dibunuh laki-laki yang kini jadi ayah angkatnya. Haruskah menuntut balas?
"Tidaaak...!" Saka Lintang menjerit sekuat-kuatnya.
"Nini..., Nini Lintang...," Emban Girika jadi ketakutan melihat Saka Lintang mengamuk memporak-porandakan kamarnya.
"Tidak! Dia bukan pembunuh orang tuaku. Tidak...!" jerit Saka Lintang sambil meloloskan pedangnya.
Dengan sekali tebas saja, tiang tempat tidur patah jadi dua. Pembaringan yang beralaskan kain sutra halus itu pun ambruk disertai suara gemuruh. Belum juga puas, Saka Lintang membabatkan pedangnya ke sana kemari seperti kesetanan. Lalu dia jatuh terduduk menunduk lemas. Isaknya terdengar memilukan.
Batin gadis itu tergoncang hebat. Sulit baginya menerima kenyataan yang menyakitkan ini. Saka Lintang merasa hidupnya tiada berguna lagi. Semua orang akan mengejek dan menertawakan dirinya.
"Gusti Yang Agung, betapa berat cobaan yang kau berikan padaku!" Saka Lintang menangis terisak menyesali hidupnya. "Mengapa aku tidak sekalian dibunuh saja, Bi. Kenapa Geti Ireng mengambilku sebagai anak? Kenapa, Bi...?"
"Tabahlah, Nini. Semua ini sudah kehendak Sang Hyang Widi. Nini harus menerima kenyataan dengan hati lapang," kata Emban Girika juga tidak kuasa menahan air matanya.
"Percuma saya. hidup, Bi."
"Nini jangan berkata begitu. Gusti Geti Ireng memang telah membunuh orang tua dan saudara-saudaramu. Tapi Gusti Geti Ireng juga telah merawat mendidik, dan membesarkan Nini sampai menjadi wanita berilmu sekarang ini. Bagaimanapun juga Nini berhutang budi padanya."
"Tapi dia membunuh keluargaku, Bi!"
"Memang kewajiban seorang anak menjunjung tinggi martabat orang tuanya. Hanya masalahnya sekarang, pembunuhnya justru ayah angkat Nini sendiri."
"Katakanlah, Bi. Apa yang harus saya lakukan?" Saka Lintang kelihatan putus asa.
Emban Girika tidak menjawab. Memang serba sulit untuk menjawabnya. Dia bersedia tinggal di lembah ini karena merasa kasihan melihat Saka Lintang kecil yang masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia juga membenci Geti Ireng yang telah membunuh seluruh keluarganya.
Kedudukan Emban Girika di lembah ini tidak ubahnya seperti tawanan. Bisa dikatakan dia adalah budak. Emban Girika hanya bisa menerima nasib. Dia tidak mungkin mampu mengalahkan Geti Ireng yang sakti. Dia sadar tak mampu melawan karena hanya seorang wanita desa yang lemah tidak mengerti ilmu silat dan kesaktian apapun.
Pada saat mereka terdiam, di luar terdengar suara-suara ribut. Suara senjata beradu dan jeritan melengking, saling menyusul. Saka Lintang terdongak, lalu melompat keluar menembus dinding yang terbuat dari potongan kayu papan.
"Nini Lintang...!" Emban Girika bergegas ke luar.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Suasana di Lembah Tengkorak seperti medan pertempuran. Orang-orang dari partai Teratai Putih bertarung gigih dibantu partai-partai golongan putih lain-nya melawan orang-orang Panji Tengkorak. Penyerbuan yang mendadak dan tak terduga membuat orang-orang Panji Tengkorak kelabakan. Namun mereka semua bukanlah orang-orang sembarangan.
"Pradya Dagma! Mana Kala Srenggi?" suara Geti Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak menggelegar di tengah-tengah suara pertempuran.
"Dia kabur!" Sahut Pradya Dagma sambil terus mengebutkan tasbih mutiara saktinya.
"Pengecut! Kupecahkan kepalanya nanti!" geram Geti Ireng.
Pertempuran terus berlangsung. Korban dari kedua belah pihak mulai berjatuhan. Darah mengalir membasahi Lembah Tengkorak ini. Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah. Sebentar saja pemandangan lembah ini kian mengerikan. Bau anyir darah menyebar terbawa angin.
"Geti Ireng!"
Geti Ireng menoleh. Tiba-tiba saja seorang tokoh tua berjubah putih melompat ke depan. Tokoh tua ini adalah Begawan Pasopati, guru besar dari partai Teratai Putih. Tongkat galian asam dengan cincin emas berbentuk kepala naga diacungkan ke depan. Matanya tajam menatap Geti Ireng yang tegak meng-genggam tongkat berkepala tengkorak.
"Hm, Begawan Pasopati. Rupanya kau ikut ambil bagian juga dalam kerusuhan ini." gumam Geti Ireng dingin.
"Kerusuhan terakhir dari sepak terjangmu!" balas Begawan Pasopati tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...! Akan kulihat, sampai di mana nama kosongmu!" ejek Geti Ireng.
"Tahan seranganku!" pekik Begawan Pasopati segera melompat menyerang.
Geti Ireng mengerutkan keningnya sedikit. Rupanya Begawan tua ini langsung mengeluarkan jurus 'Naga Menggempur Gunung'. Geti Ireng tahu kehebatan jurus ini. Makanya dia tak sungkan lagi meladeninya. Dikeluarkannya jurus Tongkat Maut' yang menjadi andalannya dibarengi dengan 'Aji Sangkala Bayu'. Dengan ajian ini tubuh Geti Ireng bergerak seringan kapas. Gerakannya semakin cepat dan lincah.
Menyadari lawan telah menggunakan ajiannya, Begawan Pasopati segera merapal aji pamungkasnya. 'Aji Batara Karang'. Sekejap saja seluruh tubuh Begawan ini bercahaya menyilaukan mata.
"Setan! Kau licik, Begawan Pasopati!" dengus Geti Ireng. Cahaya menyilaukan yang terpancar dari tubuh Begawan itu membuat mata jadi perih. Geti Ireng tidak dapat melihat jelas di mana Begawan Pasopati berada.
Merasa keadaannya tidak menguntungkan. Geti Ireng segera melompat tinggi sambil memekik nyaring. Lalu dengan cepat dia meluncur ke bawah dengan ujung tongkatnya terarah ke kepala Begawan itu.
"Awas, Eyang...!"
Begawan Pasopati menjatuhkan tubuhnya sambil mengebutkan tongkat ke udara. Serangan Geti Ireng luput. Hampir saja tongkat Geti Ireng mengenai Begawan itu kalau tidak cepat-cepat berkelit di udara.
"Saka Lintang! Lancang kau!" dengus Geti Ireng mengetahui peringatan itu datang dari putrinya sendiri.
"Hentikan semua kekejamanmu, Geti Ireng!" keras sekali suara Saka Lintang.
"He! Sejak kapan kau berani membentak ayahmu?!" Geti Ireng terkejut heran.
"Sejak aku tahu, kau bukan ayahku!"
Geti Ireng terlonjak kaget sampai melompat dua tombak.
"Dari mana kau tahu?" Tanya Geti Ireng menahan napas.
"Kala Srenggi!"
"Setan alas! Bocah itu harus mampus!" jerit Geti Ireng kalap.
Setelah berkata demikian, Geti Ireng segera melompat tinggi ke udara.
"Geti Ireng, jangan lari kau!" teriak Begawan Pasopati seraya menggenjot tubuhnya ke udara.
Namun baru saja dia melesat, tiba-tiba Geti Ireng melempar jarum-jarum beracunnya. Begawan Pasopati tersentak. Dengan cepat diputar-putar tongkatnya bagai baling baling untuk menangkis serangan gelap itu.
Jarum-jarum berpentalan terkena sambaran tongkat. Malangnya, jarum-jarum itu menyambar orang-orang yang tengah bertempur di bawah. Jerit kesakitan terdengar dari beberapa orang yang terkena. Senjata rahasia jarum beracun itu sangat ampuh. Dalam sekejap orang yang terkena akan mati. Tubuhnya membiru dan kaku.
"Kejam! Semua dewa mengutukmu, Geti Ireng!" ge-ram Begawan Pasopati. Giginya gemerutuk menahan amarah. Tidak sedikit murid-muridnya yang terkena sambaran jarum-jarum beracun itu.
"Aku tidak ada urusan denganmu, Begawan Pasopati!" seru Geti Ireng, kembali melenting dengan meminjam landasan daun yang melayang dihembus angin.
Ketika tubuh Geti Ireng meluncur satu tombak, tiba-tiba sebuah bayangan cepat menghadangnya. Geti Ireng tersentak kaget Dengan cepat dia mluncur ke bawah sambil berlompatan beberapa kali di udara.
Baru saja kakinya menjejak tanah, bayangan itu kembali menyerang. Gerakannya sangat cepat sehingga sulit diikuti mata. Geti Ireng kewalahan hingga jatuh bangun menghindari serangan cepat yang beruntun.
"Demit busuk! Siapa kau?" teriak Geti Ireng kesal.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti!"
Bersamaan dengan terdengamya suara itu, tiba-tiba di hadapan Geti Ireng telah berdiri seorang pemuda tampan dengan pedang bergagang kepala burung rajawali. Begawan Pasopati tersenyum melihat kedatangan pendekar muda itu. Dia sudah pernah bertemu ketika pendekar itu berkunjung di kediamannya.
Saka Lintang yang melihat kemunculan pendekar itu menjadi berseri-seri. Dia berharap pendekar itu tahu kalau dirinya benar-benar membenci Panji Tengkorak. Saka Lintang berusaha menarik simpati Pendekar Rajawali Sakti dengan membantu tokoh-tokoh aliran putih membasmi Panji Tengkorak. Dia memekik keras membabati orang-orang Panji Tengkorak.
Tentu saja perbuatan Saka Lintang sangat mengejutkan semua anggota Panji Tengkorak. Mereka tidak mengerti dengan sikap Saka Lintang yang tiba-tiba memusuhi mereka. Tapi sikap Saka Lintang mendapat sambutan hangat dari tokoh-tokoh golongan putih. Mereka tahu sepak terjang gadis itu liar dan kejam.
"Minggir semua! Biar kuhabisi mereka!" teriak Saka Lintang.
"Minggir!" perintah Begawan Pasopati memberi kesempatan pada Saka Lintang. Dia sudah mengerti duduk persoalannya. Sebab Begawan Pasopati tadi telah mendengar sedikit pembicaraan Saka Lintang dengan Geti Ireng.
Mendengar perintah dari Begawan Pasopati, seluruh murid-murid Teratai Putih dengan cepat berlompatan ke luar arena. Tidak ketinggalan tokoh-tokoh golongan putih lain bersama murid-muridnya mengikuti petunjuk Begawan Pasopati.
"Lintang! Sudan gila, kau!" bentak Geti Ireng.
"Arwah ayah ibuku akan mengutuk kalau Panji Tengkorak belum musnah di tanganku!" sahut Lintang keras dan lantang.
"Lintang, aku ayahmu. Aku yang membesarkanmu!"
"Tidak! Kau bukan ayahku, kau pembunuh ayah ibuku! Aku memang berhutang budi padamu, tapi kau juga berhutang nyawa padaku. Bahkan, seluruh nyawa anggota Panji Tengkorak belum cukup menebus nyawa keluargaku!"
Merah padam muka Geti Ireng. Rahasia yang selama ini ditutup-tutupinya, akhirnya terbongkar juga. Rahasia ini bocor karena ulah Kala Srenggi. Geti Ireng benar-benar murka. Dia belum puas kalau belum mematahkan batang leher Kala Srenggi dan meng-hirup darahnya.
"Demi balas budiku, aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya ingin melenyapkan seluruh anggota Panji Tengkorak," kata Saka Lintang lagi.
Semua anggota Panji Tengkorak yang terdiri dari tokoh-tokoh golongan hitam terkejut bergetar. Mereka semua tahu siapa Saka Lintang. Apalagi rata-rata mereka sudah pernah merasakan kehebatan gadis ini.
"Bersiaplah kalian semua menghadapi ajal!" dengus Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang berteriak nyaring. Tanpa basa-basi lagi, pedangnya berkelebat Cepat mencari mangsa. Saka Lintang segera mengeluarkan jurus pedang andalannya yang dibarengi dengan jurus 'Pukulan Geledek' yang sangat dahsyat. Beberapa tokoh anggota Panji Tengkorak berusaha membendung serangan Saka Lintang, namun hanya beberapa gebrak saja, tiga orang tersungkur mandi darah.
"Lintang, berhenti!" teriak Geti Ireng.
"Tidak, sebelum semua anggota Panji Tengkorak musnah!" sahut Saka Lintang terus mengamuk.
"Bocah gila! Kubunuh kau!" geram Geti Ireng murka.
Bersamaan dengan habisnya kalimat itu, Geti Ireng menggenjot tubuhnya menuju ke arah Saka Lintang yang tengah merubah jurusnya dengan 'Tarian Bidadari'. Namun belum sempat Geti Ireng sampai, sebuah bayangan kembali menahannya. Terpaksa Geti Ireng bersalto di udara dan turun lagi ke tanah.
"Kau masih punya persoalan denganku, Geti Ireng," kata Rangga tegas.
"Aku tidak punya urusan denganmu. Minggir!" sentak Geti Ireng.
"Urusan lama belum terselesaikan!" dingin suara Rangga.
"Siapa kau?" Tanya Geti Ireng.
"Aku Rangga, bocah kecil yang kau lemparkan ke dalam jurang Lembah Bangkai!"
Lagi-lagi Geti Ireng tersentak kaget. Sungguh di luar dugaan, hari ini dia menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi karena peristiwa puluhan tahun yang lalu. Persoalan-persoalan yang telah terlupakan. Bocah kecil yang dilemparnya ke jurang dulu, kini tiba-tiba datang untuk menuntut balas atas kematian kedua orang tuanya. Padahal pikirnya, bocah itu telah mati dilumat oleh baru cadas dasar jurang Lembah Bangkai!
"Ha ha ha...!" Geti Ireng tertawa terbahak-bahak Tawanya sangat keras karena dibarengi oleh penya-luran tenaga dalam yang sempurna.
Betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Geti Ireng hingga membuat gendang telinga sakit karena tawanya itu. Beberapa orang yang kemampuan ilmunya masih rendah, kesakitan sambil memegang kedua telinga. Dari mata dan telinga, darah segar mengalir. Mereka berguling-guling di tanah menahan rasa sakit Tokoh-tokoh yang berilmu tinggi pun harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk meredam suara tawa itu.
Saka Lintang yang tengah kalap, segera menghentikan pertarungannya. Cepat-cepat disalurkan hawa murni ke bagian telinganya. Dirapalkannya 'Aji Pemecah Suara'. Ajian ini telah diajarkan oleh Geti Ireng sendiri untuk menangkal lawan yang bisa mengeluarkan suara keras. Terbukti suara Geti Ireng hanya terdengar biasa di telinga Saka Lintang. Memang ampuh ajian ini.
Kesempatan ini tidak disia-siakan. Gadis itu dengan cepat mengayunkan pedangnya menyerbu anggota Panji Tengkorak yang sibuk menahan serangan suara tawa Geti Ireng.
Melihat korban telah cukup banyak, Rangga menggeram menahan amarahnya. Tiba-tiba dia membentak dengan pengerahan tenaga dalam yang luar biasa. Betapa hebat akibat bentakan Rangga. Di Lembah Tengkorak bagaikan terjadi gempa. Batu-batu berjatuhan dan pohon-pohon bertumbangan. Orang-orang yang berada di sekitar situ sampai terlompat beberapa tombak.
"Setan!" umpat Geti Ireng yang terlonjat sampai dua tombak ke belakang.
"Tidak pantas kau mengumbar ilmu iblis di depanku, Geti Ireng!" dengus Rangga.
"Kurobek mulutmu, bocah setan!" geram Geti Ireng.
Setelah selesai kata-katanya, Geti Ireng segera berteriak nyaring, dan tak tanggung-tanggung, dikeluarkannya jurus 'Tongkat Maut Mencabut Nyawa'. Rangga menghadapinya tanpa mengeluarkan jurus andalan. Dia hanya berkelit menghindari setiap serangan lawan, sehingga membuat Geti Ireng makin marah.
Jurus demi jurus berlangsung cepat Semua orang yang menyaksikan tertahan napasnya. Rangga seperti mempermainkan Geti Ireng saja. Setiap kali ujung tongkat nyaris menyentuh tubuhnya, Rangga berkelit. Beberapa kali Geti Ireng merasa tertipu oleh gerakan Rangga yang tak terduga itu.
"Kena!" teriak Rangga tiba-tiba.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu kaki Rangga berhasil menyepak punggung Geti Ireng yang lowong. Geti Ireng bergulingan di tanah. Dengan cepat dia bangkit kembali. Di saat yang bersamaan, Saka Lintang memekik tertahan. Hatinya terkesiap melihat ayah angkatnya terguling kena tendangan Pendekar Rajawali Sakti.
Geti Ireng membuka serangan kembali. Hatinya penasaran bercampur malu. Sudah tiga jurus dimainkan, tapi belum juga dapat menjatuhkan lawannya. Malah kaki lawan telah mampir di punggungnya. Memang tidak berbahaya. Tapi menyebabkan Geti Ireng kehilangan muka. Pendekar muda itu telah mempermainkannya di depan orang banyak.
Rangga mendorong kedua tangannya ke depan. Kesepuluh jari tangannya mengembang bagai sepasang cakar. Rangga mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali'.
"Hiyaaaa...!"
Dengan suatu teriakan geledek, Rangga mendahului menyerang. Gerakannya sangat cepat, sehingga tubuh Pendekar Rajawali Sakti hanya terlihat bayangannya saja. Geti Ireng makin kewalahan menghadapi jurus pendekar muda ini. Hingga tiba saatnya....
"Akh!" pekik Geti Ireng tertahan.
Tubuh Geti Ireng terdorong ke belakang sejauh dua tombak. Tangannya mendekap dada. Dari mulut menyembur darah kental kehitaman. Cepat-cepat disilangkan tongkatnya ke depan dada. Dan darah kental kehitaman kembali menyembur ke luar.
"Ayah...!" pekik Saka Lintang.
Gadis yang juga membenci ayah angkatnya ini, ternyata mengkhawatirkan keadaannya. Batinnya terus berkecamuk antara benci dan rasa hutang budi. Bagaimanapun juga laki-laki itu telah merawat, membesarkan, dan mendidiknya sampai dia dewasa. Figur seorang ayah pada Geti Ireng sulit dilupakannya.
"Lintang, jangan!" sentak Geti Ireng yang melihat Saka Lintang sudah mengeluarkan gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.
Namun gadis itu sudah tidak mendengar lagi peringatan ayahnya. Dengan cepat Saka Lintang menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan Saka Lintang segera berubah gemulai setelah berada di depan pendekar muda itu.
"Ah, indah sekali tarianmu," Rangga memperhatikannya dengan senyum tersungging.
"Hati-hati, Pendekar Rajawali Sakti. Jurus itu sangat berbahaya!" Begawan Pasopati mengingatkan.
"Dia hanya menari, Eyang Begawan," sahut Rangga sambil merentangkan kedua tangannya.
Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak-gerak gemulai. Seperti sepasang sayap yang terkembang akan terbang. Itulah jurus 'Rajawali Pentang Sayap'. Suatu jurus yang sebenarnya bukan jurus andalan. Jurus ini dikeluarkan karena Rangga menganggap jurus yang dikeluarkan Saka Lintang tidak berbahaya. Dan lagi Rangga tidak ingin gadis itu celaka. Hanya satu yang ingin dicabut nyawanya yakni, Geti Ireng!
Semua orang yang menyaksikan, menahan napas ketika gerakan gemulai dari jurus 'Tarian Bidadari' berubah menjadi cepat dan masuk ke beberapa bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun pendekar muda itu hanya mengepak-ngepakkan kedua tangannya saja sambil berlompatan kian kemari menghindari setiap totokan dan pukulan maut Saka Lintang.
"Gila! Ilmu setan apa yang dimilikinya?!" dengus Geti Ireng keheranan.
Racun yang menyebar dari setiap gerakan Saka Lintang tidak berarti apa-apa pada Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan setiap kali tangan mereka beradu, pendekar itu tidak terpengaruh sama sekali. Padahal seluruh tubuh Saka Lintang kini tengah menyebarkan racun yang sangat dahsyat dan mematikan.
"Akh...!" tiba-tiba Saka Lintang terpekik.
Punggungnya terkena tepukan tangan kanan Rangga. Gadis itu jatuh bergulingan di tanah. Dia bergegas bangkit lagi dan bersiap-siap menyerang kembali. Niat itu tiba-tiba terhenti ketika mendadak saja Geti Ireng menggantikannya dengan jurus-jurus maut.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengeluarkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', jurus andalan kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Dengan jurus ini, kaki Rangga bergerak cepat bagai tidak menyentuh tanah. Kedua tangannya selalu mengembang bergerak-gerak cepat mengikuti irama gerak tubuhnya yang meliuk-liuk lentur.
Geti Ireng makin kebingungan melihat gerakan-gerakan yang aneh dari pendekar muda ini. Setiap serangannya selalu kandas mengenai tempat kosong. Dalam keputusasaannya itu, tiba-tiba kaki Rangga berhasil mendarat di dada Geti Ireng.
"Ukh!" Geti Ireng kembali memuntahkan darah kental kehitaman.
Belum sempurna posisi Geti Ireng, tiba-tiba tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti menyampok pinggang Geti Ireng. Tak ayal lagi, tubuh Iblis Lembah Tengkorak ini melayang ke angkasa. Dengan tetap menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Rangga mengejarnya.
Sukar untuk dibayangkan. Tubuh Rangga meluncur cepat mengejar Geti Ireng yang terlontar ke udara. Tiba-tiba tubuh yang melayang itu terhajar oleh Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayah...,!" Pekik Saka Lintang keras, melihat tubuh Geti Ireng terpotong-potong di angkasa.
Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti melemparkan setiap potongan tubuh ke tanah. Dan sungguh hebat! Setiap potongan yang jatuh ke tanah, tersusun kembali seperti semula. Namun darah telah menggenang di sekitanya. Pendekar Rajawali Sakti turun kembali dengan manis di tanah.
Melihat pemimpinnya tewas dengan tubuh terpotong-potong, tokoh-tokoh hitam yang tergabung di bawah Panji Tengkorak, segera mengambil langkah seribu.
"Pendeta Murtad! Berhenti kau!" teriak Pragola yang melihat Pradya Dagma melarikan diri dengan menge-rahkan ilmu peringan tubuhnya.
"Pragola, jangan!" teriak Begawan Pasopati.
Pragola tidak mendengarkannya lagi. Dia telah lebih dulu mencelat mengejar pendeta murtad itu. Tokoh-tokoh lain dari golongan putih pun segera berlompatan mengejar anggota-anggota Panji Tengkorak yang telah kabur. Begawan Pasopati pun segera mencelat mengejar Pragola. Dia khawatir karena murid kesayangannya itu mengejar lawan yang bukan tandingannya.
Dalam sekejap saja di Lembah Tengkorak tinggal Pendekar Rajawali Sakti dengan Saka Lintang. Secara bergantian, Saka Lintang menatap tubuh Iblis Lembah Tengkorak dan Pendekar Rajawali Sakti. Batinnya terus berperang antara percaya dan tidak, antara kenyataan dan khayalan. Dia ingin menangis, marah, membenci, tapi tidak tahu kepada siapa semua dilimpahkannya.
"Dia ayahmu?" Tanya Rangga dengan suara pelan dan hati-hati.
Saka Lintang hanya menatap saja tanpa berkedip pada Pendekar Rajawali Sakti yang juga tengah menatapnya. Dada gadis itu bergemuruh, tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini.
Entah terdorong rasa apa, tanpa diminta lagi Saka Lintang menceritakan semua yang diketahui tentang dirinya berdasarkan cerita Emban Girika. Rangga mendengarkan tanpa memotong sedikit pun. Sampai Saka Lintang selesai bercerita, Rangga masih tetap berdiam diri.
"Sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku...."
"Maaf, Lintang. Masih banyak tugas yang harus kuselesaikan," potong Rangga cepat. Saka Lintang terdongak, "Selamat tinggal!" seru Rangga.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya sudah melesat ke udara, meluncur cepat menembus hutan dan meng-hilang dari pandangan mata.
"Rangga....!" Saka Lintang menjerit sekuat-kuatnya.
Saka Lintang menghentakkan kakinya dengan kesal. Dalam kesempatan yang sempit tadi, dia sudah berusaha menarik simpati pendekar tampan itu. Namun kini Rangga meninggalkannya sendirian. Saka Lintang sungguh kecewa. Cintanya yang berkobar-kobar tidak terbalaskan.
Dari cinta yang tak terbalaskan itu, membuat Saka Lintang membenci Pendekar Rajawali Sakti. Wajahnya seketika berubah tegang memerah. Rasa cinta dan benci bercampur jadi satu. Sikap Rangga terasa sangat merendahkan harga dirinya.
"Satu saat nanti, kau akan bertekuk lutut di bawah kakiku!" Desis Saka Lintang.
Setelah berkata demikian, Saka Lintang melangkahkan kakinya meninggalkan markas Panji Tengkorak, tempat dia dibesarkan. Tempat yang penuh kenangan manis dan pahit Kakinya terayun dengan satu tujuan, mencari dan ingin menaklukkan pendekar tampan yang telah merobek-robek hatinya. Mampukah Saka Lintang menaklukkan Pendekar Rajawali Sakti?
Nah, bagi para pembaca yang mau tahu petualangan selanjutnya dari Saka Lintang, silakan ikuti kisah berikutnya dalam Bidadari Sungai Ular