Bidadari Sungai Ular

Pendekar Rajawali Sakti episode Bidadari Sungai Ular
Sonny Ogawa
BIDADARI SUNGAI ULAR
Pendekar Rajawali Sakti

SATU


SEEKOR kuda putih tinggi kekar berlari bagai kilat menyusuri tepian sungai. Bentuk sungai yang berliku-liku, seakan-akan bergerak bagai seekor ular naga yang menyusuri lereng dan bukit-bukit di sekitarnya. Oleh karena bentuknya yang mirip dengan ular naga, maka sungai itu dinamakan sungai ular. Kuda itu ditunggangi seorang wanita cantik dengan pakaian serba biru. Wajahnya basah oleh keringat. Sebilah pedang bertengger di punggungnya.

Dia adalah Saka Lintang, anak angkat Geti Ireng, ketua gerombolan Panji Tengkorak. Ditinggalkannya Lembah Tengkorak, setelah se-orang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti mengobrak-abrik partainya, Panji Tengkorak. (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah Tengkorak).

"Hooop...!" Saka Lintang menarik tali kekang kudanya kuat-kuat. Kuda putih meringkik kencang lalu berhenti. Dengan gerakan ringan dan tangkas, Saka Lintang melompat dari kudanya. Ketika kakinya sampai di tanah, segera dijejakkan kakinya hingga tubuhnya melenting ke udara dan hinggap di pohon yang cukup tinggi.

Saka Lintang bertengger pada sebuah cabang pohon, seraya matanya mengawasi bagian hulu sungai. Bibirnya tersenyum kctika sebuah perahu besar dengan layar lebar mulai terlihat. Di ujung tiang layar, berkibar selembar bendera bergamhar bunga melati yang dilingkari rantai. Dari lambang gambar bendera, dapat dipastikan kalau kapal layar itu milik seorang saudagar kaya dari Kadipaten Balungan. Sebuah Kadipaten kecil di wilayah Timur kerajaan Singasari yang berpenduduk cukup makmur.

"Suiiit...!" Saka Lintang bersiul nyaring yang disertai tenaga dalam. Mendengar siul yang bergema itu, serentak dari rimbunan semak-semak tepi sungai bermunculan empat buah perahu berukuran sedang, dikayuh oleh beberapa orang. Saka Lintang segera terjun diiringi gerakan salto beberapa kali, dan hinggap tepat di punggung kudanya.

Gadis itu lantas menghentak tali kekang kudanya, lalu memacu ke arah perahu gerombalannya yang makin dekat. Ketika perahunya yang berwarna biru pekat itu telah menepi, Saka Lintang menarik tali kekang kuda, dan tanpa berpikir banyak dia segera melompat ke udara. Perahu yang telah siap menunggunya itu menerima tubuh Saka Lintang yang hinggap di tengah-tengahnya.

"Ayo, cepat! Kepung kapal layar itu!" teriak Saka Lintang.

Enam orang laki-laki bertubuh kekar segera mengayuh dayung. Perahu itu pun meluncur deras mendekati kapal layar besar. Tiga perahu lain yang berwarna biru pekat pula, bergerak menyerang. Sedangkan di kapal layar besar itu tengah terjadi kesibukan. Beberapa orang telah siap dengan panah yang mengarah pada gerombolan Saka Lintang.

"Awas, panah!" teriak Saka Lintang ketika melihat anak panah meluncur deras.

Saka Lintang pun mencabut pedangnya. Dengan cepat pedang itu telah berputar-putar bagai baling-baling. Anak-anak panah yang meluncur cepat itu rontok seketika tersapu oleh pedang. Layaknya sebuah payung yang melindungi dari serangan hujan. Empat perahu Saka Lintang makin dekat ke arah kapal layar.

Sementara anak-anak panah terus meluncur mencari mangsa. Namun anak buah Saka Lintang mudah saja merontokkannya. Saka Lintang tersenyum melihat keberhasilan anak buahnya itu.

"Serang...!" teriak Saka Lintang nyaring.

Mendengar aba-aba itu serentak anak buah Saka Lintang yang berseragam biru pekat berlompatan ke atas kapal layar. Gerakan mereka sangat ringan dan cepat. Jelas mereka bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata mereka memiliki ilmu silat cukup tinggi.

Sementara pertarungan kini bergejolak di atas kapal layar. Saka Lintang mengamuk bagai banteng terluka. Tubuh-tubuh mulai ambruk bergelimang darah menyusul suara jeritan hasil kelebatan pedang Saka Lintang. Memang orang-orang di atas kapal bukan tandingan Saka Lintang dan anak buahnya.

Banyak sudah lawan yang telah berjatuhan. Beberapa lawan malah menyelamatkan diri dengan terjun ke sungai. Dan memang, Saka Lintang dan pasukannya berhasil menguasai kapal layar. Dimasukkan pedangnya kedalam sarung di punggung. Matanya tajam mengawasi sekitar geladak kapal yang penuh oleh darah.

"Buang semua mayat ke sungai!" perintah Saka Lintang.

Anak buah Saka Lintang yang berjumlah kira-kira dua puluh orang itu segera mengerjakan perintahnya. Diseret dan dilemparkan seluruh mayat ke sungai. Sekejap saja permukaan sungai telah berubah warnanya menjadi merah oleh darah.

Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah ditumbuhi cambang mendekati Saka Lintang. Sebilah golok besar tergantung di pinggangnya. Dibungkukkan badannya sedikit di depan Saka Lintang yang berdiri angkuh. Kedua tangannya berada di atas pinggang.

"Ada apa, Codet?" tanya Saka Lintang datar.

"Hamba menemukan satu peti berisi perhiasan emas dan perak, Tuan Putri," sahut laki-laki yang dipanggil Codet Memang di pipi kanannya terdapat guratan panjang sehingga menambah seram wajahnya.

"Bagus, pindahkan semua barang berharga ke perahu kita!" perintah Saka Lintang.

"Hoi! Angkat semua yang berharga!" teriak Codet keras. Kesibukan kembali terjadi. "Tuan Putri ingin melihat-lihat?" ujar Codet sambil membungkuk lagi.

Saka Lintang tidak menyahut. Dilangkahkan kakinya dengan angkuh melewati laki-laki tegap dan kasar itu. Codet mengikuti dari belakang. Kapal layar ini tidak terlalu besar. Hanya sebentar saja Saka Lintang telah menelusuri bagian-bagian kapal. Dia sangat terkesan ketika masuk ke sebuah bilik dalam kapal. Bilik itu memang cukup indah, bagaikan peraduan seorang bangsawan.

Saka Lintang menduga, kapal layar ini pasti milik seorang bangsawan kaya. Rasanya tidak mungkin Kadipaten memiliki kapal seindah ini. Tapi kenapa bendera kapal menunjukkan milik saudagar Gantar dari Kadipaten Balungan? Atau mungkin kapal ini telah dijual oleh saudagar itu kepada bangsawan kerajaan?

"Ah! Masa bodoh. Kenapa harus dipiklrkan? Yang penting aku suka kapal ini!" dengus Saka Lintang dalam hati. "Codet!" panggil Saka Lintang.

"Hamba, Tuan Putri," jawab Codet sambil membungkukkan badan.

"Turunkan bendera kapal, ganti dengan bendera kita!" perintah Saka Lintang.

"Hamba siap menjalankan perintah."

"Kemudian kapal ini, bawa pulang!"

Codet berlalu setelah sebelumnya memberi hormat Saka Lintang melangkah memasuki bilik kapal kembali. Mulutnya tak henti-hentinya berdecak kagum. Di dalam bilik ini, Saka Lintang merasa bagai putri raja. Atau paling tidak putri bangsawan. Dijatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan yang berlapiskan kain sutra lembut. Sungguh nyaman berada di pembaringan ini.

Saka Lintang tersenyum-senyum sendiri. Selama malang melintang menguasai sungai ular ini, baru sekarang dia mendapat sebuah kapal layar yang mengagumkan. Rasanya sayang kalau kapal ini mesti dibakar seperti yang sudah-sudah. Dia ingin memiliki kapal ini. Dengan kapal ini dia bisa lebih leluasa menjadi penguasa sungai Ular.

"Ha ha ha..., akulah ratu sungai Ular ini! Bidadari sungai Ular....Ha ha ha...!"

Saka Lintang tertawa sambil berteriak-teriak bagai orang glla. Saka Lintang menari-nari berputar mengelilingi bilik kapal. Tawanya belum berhenti. Dihampirinya sebuah meja terbuat dari batu pualam. Matanya memperhatikan guci arak.

"Hem, arak buatan desa Cacah. Sungguh tinggi seleranya," gumam Saka Lintang sambil menuang arak ke dalam gelas perak.

Basah sudah tenggorokannya oleh arak. Kepalanya terangguk-angguk beberapa kali. Arak desa Cacah memang telah terkenal kenikmatannya. Arak ini memang pilihan kaum bangsawan. Harganya hanya terjangkau oleh orang-orang kaya. Tanpa terasa, gelas peraknya telah kosong. Dia telah menenggak habis arak itu. Saka Lintang menoleh ke pintu ketika diketuk dari luar.

"Masuk!" bentak Saka Lintang karena merasa terganggu kenikmatannya. Dia duduk dikursi berukir di samping meja pualam itu.

Codet muncul setelah pintu terbuka. Dia membungkuk sedikit memberi hormat.

"Ada apa lagi?" tanya Saka Lintang kembali memasang sikap angkuh.

"Hamba menemukan seorang wanita bersembunyi di balik tumpukan peti," sahut Codet.

"Hem, siapa dia?" tanya Saka Lintang mengerutkan kening.

Codet menjentikkan jarinya. Kemudian muncul dua orang laki-laki mengapit seorang wanita muda berusia sekitar tujuh belas tahun. Cantik dan berkulit kuning langsat. Pakaiannya dari sutra halus. Perhiasannya semua dari emas. Wajahnya menyimpan rasa takut yang dalam.

Saka Lintang memberi isyarat agar anak buahnya keluar. Codet menutup pintunya lagi. Saka Lintang kembali mengamati wanita muda itu. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar.

"Siapa kau?" tanya Saka Lintang.

Wanita muda itu tidak menjawab. Tapi berusaha mengangkat kepalanya pelan-pelan. Ketika matanya tertumbuk pada Saka Lintang, tubuhnya seketika mengejang, Ketakutannya kian sangat.

"Kau dengar pertanyaanku, kan? Siapa kau?" dengus Saka Lintang mulai kesal karena wanita itu diam saja.

"Aku..., aku Intan Kemuning," jawab wanita muda itu tergagap, "Aku putri patih kerajaan Galung."

"Oh, rupanya kau putri seorang patih? Tidak seharusnya putri seorang patih kerajaan seperti tikus kena gebuk begitu!"

"Tolong bebaskan aku, aku berjanji tidak akan mengatakan apa-apa pada ayahanda," rengek Intan Kemuning.

"Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa gelak.

Intan Kemuning mulai terisak. Dia sungguh sangat menyesal ikut dengan kapal ini. Padahal orang tuanya sudah melarang. Intan Kemuning telah dibujuk agar pulang bersama-sama saja tewat jalan darat. Tapi Intan Kemuning ingin menikmati perjalanan melalui sungai Ular bersama kapal yang baru dibeli ayahnya untuk pesiar.

Tidak diduga sama sekali, gerombolan perompak membegal kapal itu. Pengawalnya yang berjumlah tidak kurang dari tiga puluh orang tewas semuanya. Sedangkan awak kapalnya mencari selamat dengan terjun sungai. Intan Kemuning yang sehari-harinya tinggal di tembok kebang-sawanan, tidak dapat berbuat apa-apa. Dia tidak pernah belajar ilmu silat. Jadi wajar saja kalau dia begitu ketakutan melihat para perompak mengganas di kapalnya.

********************

Kapal mewah terus melaju menyusuri alur sungai Ular diiringi empat perahu gerombolannya. Masing-masing perahu berisi barang-barang berharga dan djkawal oleh empat orang. Sementara di dalam bilik kapal mewah, Saka Lintang tengah berbaring tengkurap dengan punggung terbuka. Punggung yang terbuka itu terasa nikmat setelah Intan Kemuning memijitinya.

Dia dengan terpaksa harus mengikuti perintah Saka Lintang yang menjadi pemimpin perompak sungai Ular. Perhiasan yang melekat di tubuhnya juga sudah ditanggalkan, Intan Kemuning hanya bisa menerima nasib saja menjadi budak kepala perompak itu.

"Pijatanmu enak juga. Siapa yang mengajari?" tanya Saka Lintang.

"Bibi Emban. Katanya, biar suami betah di rumah, istri harus pintar memijat," sahut Intan Kemuning pelan.

Saka Lintang membalikkan badan dan merapikan pakaiannya kembali. Matanya tajam menatap wajah Intan Kemuning yang tertunduk. Saka Lintang yang hidup dari dibesarkan di lingkungan keras, sangat terkejut mendengar kata-kata Intan Kemuning. Dalam kamus hidupnya, tidak ada istilah perempuan harus tunduk pada kaum laki-laki.

"Kau bilang tadi bahwa kau anak patih. Apa kau tidak pernah belajar ilmu kanuragan?" tanya Saka Lintang.

"Tidak, Ayahanda tidak mengijinkan aku belajar ilmu-ilmu keprajuritan. Beliau menginginkan aku menjadi seorang wanita bangsawan sejati," polos sekali jawaban Intan Kemuning.

"Apa enaknya? Kau akan dijajah laki-laki, tahu!" Saka Lintang jadi terhenyak hatinya. Dia tidak terima kaumnya jadi bulan-bulanan kaum lelaki.

"Aku tidak bisa menentang keinginan Ayahanda."

"Bodoh! Itu artinya kau sudah dijajah laki-laki," dengus Saka Lintang gemas. Intan Kemuning hanya tertunduk saja. "Kalau kau tidak berbuat macam-macam dan menuruti kata-kataku, aku akan mengajarimu ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian lainnya. Supaya kau tidak jadi wanita yang lemah. Coba kau pikirkan! Baru lihat anak buahku yang hanya bisa main gertak saja, kau sudah ketakutan setengah mati. Untung kau tidak digagahi!"

Intan Kemuning terlonjak kaget. Tubuhnya menggigll ketakutan.

"Mereka tidak akan mengganggumu! Dengan syarat, kau harus turuti kata-kataku!" kata Saka Lintang.

Tidak ada pilihan lain bagi Intan Kemuning kecuali menyanggupi kemauan Saka Lintang. Nasibnya sekarang berada di tangan pemimpin perompak ini. Pikirnya, membangkang sedikit saja bisa-bisa mati konyol! Atau malah dijadikan pemuas nafsu anak buah Saka Lintang...? Intan Kemuning tidak sanggup membayangkannya.

"Aku hidup di lingkungan laki-laki kasar dan brutal. Tapi mereka semua tunduk pada perintahku! Berani menentang dan kurang ajar. Nyawa taruhannya!" jelas Saka Lintang.

"Kau seorang pemimpin perompak, tapi mengapa kau baik padaku?" tanya Intan Kemuning tidak mengerti dengan sikap Saka Lintang.

Saka Lintang tertawa terbahak-bahak. Telinganya terasa dikilik, dirinya dianggap baik. Hidupnya penuh kekerasan. Tangannya selalu dilumuri darah. Kenapa masih ada juga orang yang mengatakan dirinya baik? Apa tidak salah pendengarannya? Masih adakah kebaikan di hatinya? Dia sendiri tidak tahu mengapa tiba- tiba jadi iba melihat Intan Kemuning. Lebih-lebih setelah mendengar penuturannya yang polos itu.

Saka Lintang merasa seolah-olah dialah yang diinjak-injak kaum lelaki setelah mendengar perjalanan hidup Intan Kemuning. Hatinya berontak dan dengan seketika dia ingin segera menjadikan Intan Kemuning seorang wanita yang kuat seperti dirinya. Saka Lintang bangkit dari pembaringannya. Dilangkahkan kakinya mendekati meja. Diraihnya guci arak, lalu dituangkan ke dalam dua gelas perak Satu gelas disodorkan pada Intan Kemuning, segelas lagi buat dirinya.

"Aku tidak biasa minum arak," tolak Intan Kemuning.

"Untuk jadi pengikutku, harus bisa minum arak!" paksa Saka Lintang.

Ragu-ragu Intan Kemuning menerima segelas arak yang disodorkan buatnya. Tangannya gemetar memegang gelas itu. Sebab selama hidupnya, belum pernah dia minum arak! Mencium baunya saja, kepalanya terasa pening.

"Ayo, minum!" paksa Saka Lintang lagi.

Intan Kemuning memejamkan matanya. Sambil menahan napas, diminumnya arak itu sedikit. Saka Lintang tersenyum melihat cara Intan Kemuning minum arak. Tiba-tiba Intan Kemuning terbatuk-batuk dan berdahak beberapa kali. Wajahnya memerah dan matanya berair. Saka Lintang makin tertawa keras.

"Maaf, aku tidak bisa," ucap Intan Kemuning setelah reda batuknya.

"Lama-lama kau akan terbiasa," sahut Saka Lintang kalem.

"Tapi...."

"Di istanaku, semua minum arak! Tidak ada air minum, kecuali sanggup memasaknya sendiri!" potong Saka Lintang.

Intan Kemuning terdiam. Menginjakkan kakinya ke dapur saja tidak pernah, apalagi memasak. Hatinya hanya bisa mengeluh dan menyesali diri. Kenapa harus hidup dengan orang dan lingkungan yang sama sekali asing? Intan Kemuning tidak dapat membayangkan apakah dia bisa hidup dengan cara seperti ini. Saka Lintang menoleh ke pintu setelah diketuk dari luar. Intan Kemuning juga memandang ke arah pintu.

"Masuk!" teriak Saka Lintang.

Codet muncul. "Ada apa?" tanya Saka Lintang.

"Sebentar lagi kapal sandar, Tuan Putri," iapor Codet.

"Hm, biar saja. Aku dan Intan tetap di sini Kalian bereskan semua barang-barang."

"Hamba laksanakan, Tuan Putri."

"Tunggu!" cegah Saka Lintang melihat Codet akan berbalik. Codet membungkukkan badannya lagi. "Beritahu pada semua anggota, kalau ada yang berani mengganggu Intan Kemuning, akan berurusan denganku! Dia kini jadi adik angkatku!" ujar Saka Lintang keras.

"Hamba, Tuan Putri," Codet membungkuk hormat. Hatinya sedikit diliputi keraguan.

"Pergilah! Laksanakan tugasmu!"

Codet membungkuk lagi, kemudian berbalik Pintu kamar kembali tertutup rapat. Saka Lintang memandang Intan Kemuning yang masih duduk di tepi pembaringan.

"Kau lihat, laki-laki tadi hanya bentuknya saja yang kasar. Nyalinya kecil," Saka Lintang menjentikkan jarinya.

Intan Kemuning hanya menelan ludah saja. Dia selalu ngeri jika lihat tampang laki-laki yang kasar dan kejam. Dia tidak yakin apakah mampu seperti Saka Lintang. Dari sini Intan Kemuning mulai bersimpati pada wanita yang usianya tidak terpaut jauh dari dirinya itu. Saka Lintang, masih muda, cantik, tapi mampu menguasai dan memerintah laki-laki bertampang kasar dan bengis.

Intan Kemuning yang polos, mudah sekali jatuh simpati pada sikap Saka Lintang. Meski dia tadi sempat melihat bagaimana Saka Lintang membantai para pengawal Kadipaten dengan kejam. Namun bayangan kekejaman di wajah Saka Lintang makin sirna dalam pandangan Intan Kemuning. Dia hanya melihat suatu kelembutan dan kebaikan hati dalam diri Saka Lintang sebagai wanita yang tegar.

********************

Seminggu rasanya belum cukup bagi Intan Kemuning untuk menyesuaikan diri di lingkungan para perompak. Di sekelilingnya kecuali Saka Lintang, hanya laki-laki berwajah kasar dan seram. Dan selama seminggu itu Saka Lintang telah memberi dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Cukup keras latihan yang diberikan. Hampir-hampir Intan Kemuning tidak sanggup menjalaninya.

Sejak itu pula, Saka Lintang tidak pernah lagi ikut merompak kapal yang lewat di sungai Ular. Pemimpin perompak dipercayakan pada Codet. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Codet selalu pulang membawa hasil.

"Kau tidak keluar, Codet?" tanya Saka Lintang melihat Codet tengah bermalas-malasan.

"Hari ini tidak ada kapal yang lewat, Tuan Putri. Mereka takut terhadap Bidadari Sungai Ular!" sahut Codet.

"Kau tidak berolok-olok padaku, Codet?"

"Mana berani hamba mengolok-olok Tuan Putri? Bisa-bisa kepala hamba pisah dari badan."

"Bagus kalau kau tahu!"

Codet melirik Intan Kemuning yang duduk di bangku bawah pohon. Agak jauh memang. Sebuah buku bersampul hitam lusuh berada di tangannya.

"Maaf, Tuan Putri. Apa Tuan Putri tidak salah mengangkat dia jadi adik?" takut-takut Codet bicara sambil ibu jari tangannya diarahkan pada Intan Kemuning.

"Maksudmu.... Intan?" jawab Saka Lintang.

"Benar, Dia itu seorang putri patih. Berbahaya sekali buat kita kalau...."

"Cukup!" sentak Saka Lintang memotong.

"Kau tahu, apa akibatnya menentang kehendakku?"

"Hamba, Tuan Putri," Codet cepat-cepat menghormat.

"Kau kupercaya untuk jadi wakilku. Bukan untuk mengaturku! Paham?!"

"Hamba mengerti," sahut Codet.

"Sekarang pergilah! Dan jangan coba-coba mengusik Intan Kemuning!"

Codet membungkuk lalu pergi. Matanya masih sempat melirik Intan Kemuning. Codet yakin kalau buku itu berisi dasar-dasar ilmu pukulan tangan kosong dan latihan pengerahan tenaga dalam. Dikhawatirkan Intan Kemuning akan jadi duri dalam daging! Codet sendiri dulu adalah seorang begal sebelum dikalahkan Saka Lintang. Kemudian dia berjanji untuk selalu setia dan mengabdi pada gadis itu.

Sepuluh anak buahnya pun ikut dalam gerombolan ini. Dan sekarang jumlah gerombolan ini tidak kurang dari tiga puluh orang. Mereka semua bekas begal yang biasa berkeliaran mencari mangsa di hutan-hutan atau merambah desa-desa. Kehidupan seperti itu memang bukan hal yang asing bagi mereka. Tapi justru baru kali ini mereka tunduk oleh seorang wanita!

Codet menghampiri tiga orang temannya yang duduk melingkar menghadapi rusa panggang. Bau harum menusuk hidung dan membangkitkan selera.

"Kalian ikut aku," kata Codet sambil mencomot sepotong daging rusa.

"Ke mana, Det?" tanya salah seorang.

"Ke desa," jawab Codet.

"Cari apa ke desa?" tanya yang lain.

"Cari hiburan!"

Ketiga orang Itu tertawa seketika. Mereka tahu kalau Codet mengincar Intan Kemuning, tapi takut kepada Saka Lintang. Sebagai pelampiasan nafsunya, dia sering pergi ke desa terdekat. Codet hanya menggerutu saja sambil membayangkan wajah Intan Kemuning. Codet melangkah pergi. Ketiga temannya mengikuti sambil tertawa-tawa.

Tak ada orang yang tak tertarik dengan Intan Kemuning. Semua laki-laki di tempat itu pasti berkhayal dapat menikmati kemulusan tubuhnya. Tapi hanya sekedar berkhayal. Tidak lebih. Mereka takut oleh aturan yang diberikan Saka Lintang. Intan Kemuning memang selalu di bawah lindungan Saka Lintang.

Hal inilah yang selalu mengganggu pikiran Codet. Pikirnya, oleh karena Intan Kemuning putri seorang patih, sudah tentu pihak Kadipaten tidak akan ringgal diam. Apalagi jika nanti Intan Kemuning berkhianat. Ini jelas menyulitkan mereka. Codet menyayangkan pemimpinnya yang tidak menyadari kemungkinan yang akan berakibat fatal!

********************

DUA

Suasana di Kadipaten kerajaan Galung tengah dirundung duka. Sudah seminggu ini Patih Giling Wesi memerintahkan prajurit-prajurit pilihan untuk mencari kapal layar yang membawa putrinya. Sampai saat ini mereka belum memperoleh kabar berita sama sekali. Di Pendopo Kepatihan, Patih Giling Wesi seperti orang kebingungan. Melangkah hilir mudik dengan hati diselimuti kegelisahan. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Matanya memandang ke depan Pendopo. Seorang tamtama berjalan tergopoh-gopoh menuju Pendopo.

"Tamtama, ada apa?" tanya Patih Giling Wesi setelah tamtama itu mendekat memberi hormat.

"Hamba menerima Iaporan dari beberapa telik sandi, Gusti Patih," jawab tamtama itu.

"Cepat laporkan!"

"Beberapa telik sandi yang hamba kirim untuk mencari keterangan tentang Putri Intan Kemuning, telah kembali pagi tadi. Dilaporkan bahwa kapal yang membawa Putri Intan Kemuning dirampok gerombolan Bidadari Sungai Ular," tamtama itu menuturkan dengan sikap hormat.

"Bedebah!" geram Patih Giling Wesi murka. Gerahamnya sampai bergemerutuk dengan wajah merah padam.

"Gerombolan Bidadari Sungai Ular sangat ganas, Gusti Patih. Tidak peduli kapal siapa yang akan jadi sasaran," lanjut tamtama itu lagi.

"Kumpulkan prajurit pilihan, kita berangkat sekarang juga ke sungai Ular!" perintah Patih Giling Wesi.

"Sendika, Gusti Patih," tamtama itu memberi hormat, lalu melangkah mundur.

Patih Giling Wesi bergegas masuk ke kamar pribadinya. Istrinya terheran-heran melihat wajah suaminya yang merah padam. Dan betapa terkejutnya istri Patih Giling Wesi ketika suaminya mengambil pedang pusaka. Telah lama patih itu tidak menyentuhnya lagi.

"Kang Mas...."

Patih Giling Wesi menoleh. Dia baru sadar kalau istrinya, Rara Angken, berada di kamar ini. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan putri mereka, sehingga tak sadar kalau istrinya sejak tadi memperhatikan tingkah lakunya.

"Untuk apa pedang itu?" tanya Rara Angken. Nada suaranya bergetar penuh kecemasan.

"Aku akan mencari Intan Kemuning," sahut Patih Giling Wesi.

"Tapi mengapa harus membawa pedang pusaka?"

"Beberapa telik sandi melaporkan kalau kapal yang membawa Intan Kemuning dirampok oleh Gerombolan Bidadari Sungai Ular."

"Oh...!" Rara Angken menekap mulutnya.

"Berdoalah pada Hyang Widi untuk keselamatan anak kita," lembut suara Patih Giling Wesi.

"Intan, anakku...," Rara Angken tak kuasa lagi menahan air matanya.

"Dinda Rara Angken, tidak ada gunanya kau menangis. Berdoalah agar anak kita selamat. Perompak itu memang ganas, tapi firasatku mengatakan bahwa Intan Kemuning masih hidup. Tenangkan hatimu. Aku berjanji akan membawa kembali anak kita," ujar Patih Giling Wesi sambil mengelus-elus kepala dan bahu istrinya.

Rara Anken masih terisak. Air matanya menganak sungai di pipi.

"Aku pergi, Dinda," pamit Patih Giling Wesi setelah menarik napas panjang.

"Kang Mas...," lirih suara Rara Angken.

Pedih hati Patih Giling Wesi melihat istrinya menangis. Namun kakinya melangkah tegap, terayun ke luar kamar. Sementara sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap sudah berbaris menunggunya di depan Pendopo. Seorang prajurit menuntun seekor kuda hitam tinggi kekar ketika Patih Giling Wesi tiba di depan Pendopo. Tanpa banyak basa-basi lagi, patih yang terkenal pemberani itu segera melompat ke punggung kuda dengan gerakan yang lincah.

Para prajurit bergegas menaiki kudanya masing-masing. Patih Giling Wesi segera memacu kudanya dengan cepat diikuti oleh pasukannya. Derap langkah kuda terdengar bergemuruh meninggalkan kepulan debu bergulung-gulung. Kepatihan kembali sepi setelah mereka ke luar dari benteng diiringi oleh mata beberapa penjaga yang terkesima.

"Hiya...! Hiya...!" Patih Giling Wesi menggeprak kudanya agar lebih kencang lagi. Kuda hitam mengkilat itu mendengus-dengus berlari bagai anak panah melesat cepat. Kuda Patih Giling Wesi memang kuda pilihan. Tidak heran kalau para prajuritnya tertinggal di belakang. Padahal mereka telah memacu kudanya secepat mungkin.

Sebuah jalan desa yang kanari kirinya berdiri rumah penduduk, mereka lewati. Semua orang yang berada di jalan segera menepi. Mereka terheran-heran melihat banyak prajurit yang sudah terkenal kedigjayaannya seperti akan perang. Tiba kini sebuah kedai mereka lewati. Semua orang dalam kedai menoleh. Tetapi yang terlihat hanya kepulan debu saja.

Di antara pengunjung kedai, duduk tenang seorang pemuda tampan yang tengah menghadapi guci arak. Pemuda itu tidak merasa terganggu oleh ulah prajurit kepatihan yang memacu kuda dengan cepat itu. Padahal banyak orang dalam kedai bertanya-tanya dan menduga-duga. Pemuda itu mengenakan baju rompi putih yang lusuh. Di punggungnya bertengger sebilah pedang dengan gagang berbentuk kepala burung rajawali. Dia adalah Rangga, Pendekar Rajawali Sakti.

"Seperti akan perang saja prajurit-prajurit itu," terdengar suara dari meja tidak jauh dari tempat duduk Rangga.

Rangga melirik ke arah suara itu. Dua anak muda duduk menghadapi empat guci arak. Dari pakaiannya dapat ditebak kalau mereka anak seorang bangsawan kaya. Atau paling tidak anak saudagar.

"Tidak biasanya, Patih Giling Wesi ikut serta. Pasti ada sesuatu yang gawat," sahut temannya.

"Mereka mencari putri Intan Kemuning!"

Semua orang di kedai terdongak dan menatap arah suara yang datang tiba-tiba itu. Ternyata seorang kakek tua mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah menyangga tubuhnya. Kakek tua itu bersandar pada tiang kedai. Dari tongkat dan pakaiannya semua orang tahu dia adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tapi jarang yang tahu kalau nama sebenamya adalah Aki Lungkur. Hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang tahu nama aslinya.

"Kakek gembel! Kau jangan bicara sembarangan!" bentak salah seorang dari dua pemuda tadi.

"He he he...," Aki Lungkur atau si Pengemis Sakti Tongkat Merah itu hanya terkekeh saja. Dia tahu siapa dua pemuda congkak itu.

Mereka putra-putra para punggawa kerajaan. Yang memakai baju berwarna merah, bernama Hanggara. Sedangkan yang berpakaian warna hijau bernama Rangkasa. Mereka hanya pemuda-pemuda yang besar mulut tanpa nyali sedikit pun. Dan semua orang tahu siapa Intan Kemuning. Bunga Kepatihan yang menjadi incaran dan impian putra-putra bangsawan dan punggawa kerajaan. Memang, hilangnya Intan Kemuning belum tersebar luas kecuali para prajurit pilihan.

"Kecongkakanmu melebihi tingginya gunung, tapi matamu buta! Kau tidak bisa melihat kejadian di sekelilingmu!" Aki Lungkur bergumam.

Merah padam wajah kedua pemuda itu. Jelas ucapan Pengemis Sakti Tongkat Merah tertuju pada mereka.

"Tanyakan pada Gusti Rara Angken. Kalau kata-kataku salah, kalian boleh memancung leherku. Tapi, kalau aku benar maka aku minta kalian membebaskan putri Intan Kemuning dari sarang Bidadari Sungai Ular!"

Setelah selesai kata-katanya, Aki Lungkur dengan cepat melompat dan hilang dari pandangan mata. Suara menggumam terdengar bagai lebah ditepuk sarangnya. Hanggara dan Rangkasa saling berpandangan. Kata-kata kakek tua tadi bisa jadi ada benamya tetapi patut dipertanyakan pula. Rasanya sulit dipercaya bila putri seorang patih yang terkenal dengan julukan Singa Medan Laga bisa ditawan oleh gerombolan Bidadari Sungai Ular.

Semua orang tahu kalau hal itu benar-benar terjadi, maka gerombolan perompak itu bukan saja berhadapan dengan para prajurit tetapi juga dengan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan. Patih Giling Wesi mempunyai banyak sahabat dari tokoh-tokoh rimba persilatan. Maka kalau berita itu sampai tersebar luas, bukan tidak mungkin mereka akan membantu Patih Giling Wesi.

Tanpa diketahui orang-orang di kedai, rupanya dua orang gerombolan Bidadari Sungai Ular ada pula di kedai itu. Mereka mendengar pembicaraan Aki Lungkur dan segera angkat kaki ketika kakek tua itu menghilang.

"Kita harus laporkan segera pada Tuan Putri," bisik salah seorang.

"Benar, Kakang Badil," sahut temannya.

"Pacu kudamu dan kita ambil jalan pintas, Adi Gering!"

Mereka pun memacu kudanya dengan cepat. Dan kini keadaan kedai menjadi sunyi. Satu persatu pengunjung kedai berlalu pergi dari tempat itu. Bahkan dua pemuda congkak sudah sejak tadi meninggalkan kedai. Tinggal Rangga sendirian masih duduk menghadapi mejanya. Seorang pelayan tua sekaligus pemilik kedai menghampiri.

"Tambah lagi araknya, Tuan?" Pak Tua menawarkan.

"Tidak, duduklah di sini. Aku perlu teman ngobrol" sahut Rangga. Pak Tua itu duduk di depan Rangga.

********************

Matahari hampir condong ke Barat. Dua ekor kuda berpacu memasuki hutan di kaki lereng bukit Guntur. Penunggang kuda itu adalah Badil dan Gering, dua orang dari gerombolan Bidadari Sungai Ular. Penuh dengan kesigapan, mereka melompat turun setelah kuda yang mereka tunggangi berhenti di depan rumah terbuat dari kayu. Inilah markas gerombolan Bidadari Sungai Ular. Dengan tergesa-gesa Badil menghampiri pintu dan mengetuknya dengan keras. Ketika pintu terbuka, kedua tangan Saka Lintang telah berada di pinggang.

"Ada apa?" tanya Saka Lintang angkuh.

"Kami punya berita penting, Tuan Putri," kata Badil segera membungkukkan badannya.

"Katakan cepat!"

"Menyangkut..., Intan...," Badil setengah berbisik Matanya menerobos ke dalam.

Saka Lintang mengerutkan keningnya. Dia melangkah dua tindak.

"Tadi hamba berdua minum-minum di kedai Pak Tua. Di situ hamba melihat serombongan prajurit berkuda dipimpin langsung oleh Patih Giling Wesi," jelas Badil ketika Saka Lintang telah berada di luar rumah.

"Lalu?" desak Saka Lintang sudah bisa menebak

"Di situ juga ada Pengemis Sakti Tongkat Merah. Si gembel Itu tahu kalau Intan Kemuning ada di sini. Dia yang menyebar kabar itu, Tuan Putri," lanjut Badil.

"Kau takut?" cibir Saka Lintang.

"Tidak!" sahut Badil dan Gering bersamaan.

"Kalau begitu, siapkan semua yang ada. Sambut kedatangan mereka!" perintah Saka Lintang tegas.

"Jumlah mereka banyak, Tuan Putri," kata Gering.

"Mereka hanya tikus!" bentak Saka Lintang. Dia mendengar nada cemas pada suara Gering.

"Hamba laksanakan, Tuan Putri," cepat-cepat Gering membungkuk. Dia tahu gelagat kalau Saka Lintang sudah membentak keras.

Ketika kedua orang itu telah pergi, Saka Lintang bergegas masuk ke kamar kembali. Dia menghampiri Intan Kemuning yang menunggu di balai tengah-tengah ruangan.

"Ada apa Kakak Lintang?' tanya Intan.

"Ada tikus yang mencoba masuk," jawab Saka Lintang lalu duduk di balai berhadapan dengan Intan Kemuning.

"Tikus...?" Intan Kemuning belum mengerti.

"Yah..., tikus bodoh yang cari mampus!"

Intan Kemuning mulai mengerti. Yang dimaksud tikus tentulah orang. Bukan tikus sebenarnya. Kadang-kadang dia harus berpikir lebih dulu untuk dapat mengerti. Itulah Saka Lintang. Bukan hanya kata-katanya saja yang sulit dimengerti. Sikapnya pun demikian. Kadang-kadang kasar, kadang-kadang lembut. Tapi di balik kekasarannya, Intan Kemuning dapat melihat suatu pelampiasan kekesalan pada Saka Lintang.

Sebenarnya ingin sekali Intan bertanya. Tapi setiap kali akan bertanya, di saat itu pula niatnya diurungkan. Dia takut Saka Lintang tersinggung. Intan Kemuning harus bisa menjaga diri dan berbuat apa saja yang dikehendaki Saka Lintang.

"Mengapa kau memandangiku begitu?" tanya Saka Lintang risih dipandangi terus.

"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Intan Kemuning tergagap. "Aku..., aku heran saja."

"Apa yang kau herankan?" tanya Saka Lintang.

"Kakak Lintang," pelan suara Intan Kemuning.

"Aku...? Ha ha ha...!" Saka Lintang tertawa gelak.

Intan Kemuning makin bingung melihat Saka Lintang tertawa terbahak-bahak. Padahal kata-katanya tidak ada yang lucu. Kenapa dia sampai tertawa gelak seperti itu? Namun dalam tawa itu, Intan Kemuning menangkap semacam kegetiran yang ditutup-tutupi di wajah Saka Lintang.

"Sudahlah, tidak usah memikirkan aku! Yang penting, sekarang giatlah berlatih. Aku lihat jurus-jurus pukulan tangan kosongmu sudah mantap. Perdalamlah lagi agar lebih sempurna," ujar Saka Lintang setelah reda tawanya.

Intan Kemuning hanya mengangguk.

"Nah, berlatihlah sekarang!" perintah Saka Lintang.

"Kakak Lintang mau ke mana?" tanya Intan Kemuning ketika Saka Lintang turun dari balai.

"Ke luar! Aku akan kembali lagi jika kau sudah selesai berlatih," sahut Saka Lintang. "Ingat, setelah kau selesai latihan tenaga dalam, bersemadilah!"

Intan Kemuning mengangguk kembali. Saka Lintang melangkah dan menoleh sebentar pada Intan Kemuning. Bibirnya tersungging melihat Intan Kemuning mulai berlatih. Sebentar matanya mengawasi keadaan sebelum menutup pintu, lalu keluar. Saka Lintang melenting tinggi lalu membuat gerakan berputar beberapa kali di udara dan hinggap dengan manis di atap rumah.

Pandangannya berkeliling. Bibirnya tersenyum melihat anak buahnya telah siap menanti datangnya para prajurit kepatihan. Mata Saka Lintang menatap lurus ke depan. Tampak sekitar sepuluh orang berjalan menuju sungai Ular dipimpin oleh Codet. Di belakang mereka, berjalan sepuluh orang dipimpin oleh Badil dan sepuluh orang lagi dipimpin oleh Gering. Lima belas orang berjaga-jaga di markas mereka.

Saka Lintang sedikit kagum pada Codet yang pandai mengatur anak buahnya. Dengan gerakan indah, Saka Lintang melompat turun. Saat kakinya mendarat di tanah, kembali dilentingkan tubuhnya dan hinggap di atas punggung kudanya. Segera dia menggebrak kudanya lalu melesat cepat menuju ke sungai Ular yang tidak jauh dari lereng bukit Guntur markas Saka Lintang sekarang ini.

Sungai Ular memang indah dipandang, namun menyimpan keganasan yang luar biasa. Sebentar saja Saka Lintang telah sampai di sungai Ular mendahului anak buahnya. Matanya yang bulat bening memandang sekitar sungai yang tenang. Setenang sikapnya saat ini.

Codet menggerak-gerakkan tangannya ke atas ketika mereka telah sampai di sungai itu. Dengan seketika anak buahnya berpencar masuk ke dalam semak-semak dan ke balik bongkahan-bongkahan batu. Kini di tepi sungai tersisa empat orang. Mereka semua memang terlatih baik dalam menguasai daerah sekitar sungai Ular. Maka dalam sekejap saja tidak ada orang yang terlihat. Mereka bagaikan lenyap ditelan bumi. Pandai menyamarkan diri dengan alam!

"Dengar...!" seru Saka Lintang tiba-tiba.

"Suara kuda," gumam Codet.

"Hm, siapa dia," gumam Saka Lintang.

Suara kaki kuda kuda makin jelas terdengar. Saka Lintang mengerutkan keningnya. Dia hanya mendengar langkah dari satu ekor kuda saja. Matanya langsung melirik Badil.

"Hamba akan menyongsong, Tuan Putri!" ujar Badil mengerti maksud lirikan Saka Lintang.

Badil dengan cepat melompat ke kudanya. Segera digebahnya kuda itu. Dengan cepat kuda yang ditunggangi Badil sudah tidak terlihat lagi. Lenyap di balik rimbunan pepohonan. Badil memacu kudanya menuju arah datangnya suara kaki kuda. Tiba-tiba ditarik tali kekang kudanya dan seketika tubuhnya melontar tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap di sebuah batang pohon yang tinggi. Matanya dengan seksama berkeliling. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda. Tampak dua bilah pedang bertengger di punggungnya.

"Kala Srenggi," desis Badil mengenali penunggang kuda itu.

Badil menunggu beberapa saat sampai Kala Srenggi mendekat. Kemudian dia meloncat turun ketika Kala Srenggi tepat di bawah pohon yang dinaiki Badil. Kala Srenggi dengan tangkas melompat dari kudanya ketika merasakan ada penyerang gelap dari atas. Pedang Badil segera membabat namun luput. Dia kecewa. Padahal dia yakin penunggang kuda itu akan pecah kepalanya tersambar pedang. Yang didapati hanya tempat kosong saja.

""Licik!" dengus Kala Srenggi ketika kakinya menjejak di tanah.

"Kau juga lebih licik dariku, Kala Srenggi," balas Badil.

"Siapa kau?' tanya Kala Srenggi yang heran melihat penyerang gelapnya tahu tentang dirinya.

"Aku Badil. Macan Gunung Sinai!" sahut Badil angkuh.

"Hm..., Macan Gunung Sinai sampai nyasar ke bukit Guntur," gumam Kala Srenggi mencibir.

"Ada urusan apa kau datang ke sini?" tanya Badil.

"Aku hanya lewat," jawab Kala Srenggi acuh.

"Tidak seorang pun diijinkan masuk ke bukit Guntur!"

"He! Sejak kapan aku...."

Kala Srenggi belum menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Badil telah menyerang dengan cepat. Kala Srenggi agak kewalahan menghindari serangan-serangan pedang Badil yang cepat dan berbahaya. Macan Gunung Sinai memang bukan nama kosong, dan Kala Srenggi tahu itu. Dengan cepat dia bersalto di udara. Tangannya segera menarik pedang kembarnya.

Sret! Traaang! Dua pedang berbenturan di udara. Pijaran api akibat benturan pedang berlompatan bersamaan dengan terpentalnya dua orang itu. Mereka memang bukan orang sembarangan. Tanpa kesulitan apa-apa, kaki mereka telah menjejak di tanah dengan lincah. Dua orang itu sama-sama kaget dan sama-sama merasakan kesemutan setelah pedang mereka beradu. Kini mereka sama-sama menyiapkan jurus-jurus selanjutnya.

Sambil berteriak nyaring, mereka kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Masing-masing ingin segera menjatuhkan. Namun sampai lima jurus berlalu, belum ada yang terdesak. Memasuki jurus selanjutnya masih tetap seimbang. Beberapa kali ujung pedang mereka hampir menemui sasaran satu sama lain. Namun semuanya masih dapat dihindari.

Hingga pada suatu ketika, Kala Srenggi melompat mundur sejauh dua tombak sambil memasukkan pedang kembar ke sarung di punggungnya. Kini dikeluarkannya 'Aji Racun Merah'.

Melihat lawan tengah mengerahkan ilmu andalan, Badil pun tak ketinggalan dengan ilmu andalannya pula. Mereka sudah saling berhadapan siap menyerang dengan kesaktian masing-masing.

"Hiya...!"

"Hiya...!"

Kedua orang itu melompat berbarengan. Kini kedua telapak tangan mereka bertemu di udara. Ledakan keras terjadi, disusul dengan terpentalnya dua tubuh. Kala Srenggi jatuh bergulingan di tanah beberapa depa. Sedangkan Badil tidak kalah parah. Dari hidung dan mulutnya ke luar darah.

"Uhk!" Badil memuntahkan darah merah kehitaman. Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Badil berusaha bangkit. Tubuhnya sempoyongan. Sementara Kala Srenggi juga berusaha berdiri. Dari sudut bibimya mengalir darah segar. Tangan kirinya menghitam terkena ajian 'Macan Gunung' yang dilepaskan Badil.

"Setan! Salah satu di antara kita harus mampus!" geram Kala Srenggi.

"Huh!" Badil hanya mendengus.

Badil sadar kalau tubuhnya telah dialiri 'Racun Merah' dan hidupnya tak akan bertahan lebih lama lagi. Kala Srenggi pun demikian. Dia terluka parah. Mereka sama-sama kepalang basah. Kembali ajian masing-masing mulai mengarah satu sama lain.

"Berhenti!" tiba-tiba suara bentakan melengking nyaring.

Namun terlambat! Kedua orang itu sudah kembali melompat dan beradu di udara. Kala Srenggi lagi-lagi bergulingan di tanah. Dari mulutnya menyembur darah kental kehitaman. Dia berusaha bangun, tetapi malah jatuh dan tak bergerak sama sekali. Mati. Kedua tangannya seperti hangus terbakar. Di pihak Badil, lebih mengerikan. Dia tergeletak dengan dada pecah. Darah bersimbah membasahi tubuhnya. Badil tewas seketika setelah tubuhnya terbanting di tanah.

Sebuah bayangan biru berkelebat dan mendarat di tengah-tengah arena pertarungan tadi. Dia adalah Saka Lintang, kemudian disusul oleh Codet dan Gering. Kedua orang itu terkejut melihat Badil tewas dengan dada pecah. Saka Lintang malah tenang-tenang saja.

"Hm, Kala Srenggi," gumam Saka Lintang. Gadis itu mengayunkan langkahnya mendekati mayat Kala Srenggi. Sebentar diamati dan dengan ujung kakinya dibalikkan tubuh Kala Srenggi. Tampak di bagian dadanya hangus terbakar. Tidak ada luka di tubuhnya. Juga tidak ada tanda-tanda Kala Srenggi masih hidup.

Saka Lintang mengambil ranting, lalu menekan dada Kala Srenggi dengan ranting. Terkejut juga Saka Lintang ketika melihat dada Kala Srenggi yang mendadak ambrol setelah tersentuh ranting. Bagai ditiup angin saja! Dada Itu kini berlubang besar tembus sampai ke punggung. Sungguh dahsyat ajian 'Macan Gunung' yang dilepaskan Badil.

"Bagaimana?" tanya Saka Lintang menoleh pada dua anak buahnya.

"Mati," sahut Codet. "Kuburkan kedua mayat ini," perintah Saka Lintang.

"Tidak ada waktu, Tuan Putri. Sebentar lagi gelap," sahut Codet.

"Kalau begitu, tinggalkan saja di sini!"

Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan dua sosok mayat yang tergeletak di tanah. Sungguh tragis nasib mayat-mayat itu. Tak ada seorang pun yang sedia menguburkannya. Tetapi untungnya, Gering yang setiap hari selalu bersama-sama dengan Badil merasa tidak tega juga terhadap mayat temannya itu. Dia kembali lagi lantas menggali tanah.

Saka Lintang hanya melirik, kemudian melanjutkan langkahnya. Toh tadi dia juga sudah memerintahkan untuk mengubur mayat itu. Kini malah Codet yang bimbang. Dia hanya berdiri dengan pandangan berganti-ganti dari Saka Lintang ke arah Gering yang tengah menggali dengan pedangnya.

"Tuan Putri...," agak bergetar suara Codet. Saka Lintang membalikkan tubuhnya. "Tidakkah...."

"Bantu dia!" potong Saka Lintang cepat sambil menunjuk pada Gering. Tanpa menghiraukan Codet lagi, Saka Lintang melangkah cepat.

Codet bergegas menghampiri Gering dan membantu menguburkan mayat Badil.

"Terima kasih," ucap Gering.

"Tuan Putri yang memerintahku," sahut Codet.

Gering menatap Saka Lintang yang hanya terlihat bayangan bajunya saja di antara pepohonan. Sampai selesai menguburkan Badil, mereka belum bicara. Gering menatap mayat Kala Srenggi.

"Biarkan saja dia jadi santapan anjing hutan!" kata Codet Gering mengangkat bahunya.

Mereka memang tidak pernah mengurus mayat musuh. Kini dengan hati lega, mereka tinggalkan tempat itu. Meninggalkan salah seorang teman yang kini terbaring di dalam tanah.

********************

TIGA

Matahari baru saja menampakkan diri. Sinarnya membias menerangi mayapada. Patih Giling Wesi duduk di atas punggung kudanya dengan lesu. Semalaman dia mencari di sekitar sungai Ular, tapi tidak sedikit pun jejak kapal layar yang membawa putrinya ditemukan.

"Rapaksa!"

"Hamba, Gusti Patih," salah seorang tamtama segera mendekat.

"Beritahu prajurit, kita istirahat sebentar di sini," kata Patih Giling Wesi.

"Adya Bala, istirahat!" teriak tamtama Rapaksa keras.

Para prajurit serentak turun dari kuda masing-masing. Mereka mencari tempat beristirahat dan membuka perbekalan. Patih Giling Wesi pun telah turun dari kudanya lalu menghampiri sebuah batu besar yang menjorok ke sungai. Dia duduk di atas batu menatap ke arah sungai yang berliku. Belum sempat Patih Giling Wesi beristirahat banyak, tiba-tiba datang seorang prajurit berlari-lari menghampirinya. Didekatinya Patih Giling Wesi.

"Ampun, Gusti Patih. Hamba menemukan tanda keprajuritan di pinggir sungai," kata prajurit itu sambil menyerahkan sebuah kalung tanda keprajuritan.

Patih Giling Wesi lantas menyambar kalung itu. Matanya mengamati sebentar. Ada noda darah melekat di kalung itu. Berarti telah terjadi sesuatu pada kapal itu. Dan yang jelas kejadiannya di sungai Ular ini!

"Rapaksa!" teriak Path Giling Wesi. Rapaksa berlari menghampiri. Dia segera memberi hormat setelah tiba di depan Path Giling Wesi. "Siapkan prajurit!" perintah Patih Giling Wesi.

Rapaksa belum sempat menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan dan disusul dengan rubuhnya lima orang prajurit. Dada mereka tertancap tombak. Serentak para prajurit yang lain bersiaga. Patih Giling Wesi cepat melompat ke arah lima prajuritnya yang tewas. Dia mencabut sebatang tombak dari salah seorang prajuritnya yang sudah tidak bergerak itu. Sebuah tombak berwarna biru dengan tangkai berukir huruf yang rapi dan indah.

"Bidadari Sungai Ular," desis Patih Giling Wesi

"Rupanya ada tamu agung berkenan mengunjungi wilayahku!"

Patih Giling Wesi dan para prajuritnya terkejut mendengar suara yang tinggi menggema dibarengi pengerahan tenaga dalam yang sempurna. Rasa terkejut mereka belum juga hilang ketika tiba-tiba muncul seorang wanita cantik mengenakan pakaian serba biru. Dia tidak lain adalah Saka Lintang. Dengan angkuh dia berdiri di atas batu tempat Patih Giling Wesi tadi beristirahat.

"Siapa kau?!" bentak Patih Giling Wesi.

"Bidadari Sungai Ular!" jawab Saka Lintang mantap.

"Setan! Kembalikan putriku!" geram Patih Giling Wesi.

"Ha ha ha..., tidak semudah itu patih yang gagah."

"Adya Bala!" teriak Patih Giling Wesi memberi aba-aba.

Begitu prajurit bersiap, seketika itu pula dari rimbunan semak dan dari balik bongkahan batu, bermunculan orang-orang yang semuanya berseragam biru. Mereka semua telah siap dengan senjata di tangan. Patih Giling Wesi makin geram menyadari keadaannya telah terkepung. Dua kelompok itu hampir seimbang jumlahnya.

Kelihatannya prajurit Kepatihan lebih banyak. Tapi bukan berarti mereka bisa dengan mudah mengalahkan gerombolan ini. Mereka semua memiliki tingkat kepandaian rata-rata di atas para prajurit pilihan sekali pun.

"Intan Kemuning akan kukembalikan pada saatnya nanti. Percuma saja kau kerahkan seluruh prajurit! Mereka hanya mengantar nyawa ke tempat ini!" ujar Saka Lintang pongah.

"Kalian perompak liar, dan harus dimusnahkan!" geram Patih Giling Wesi.

"Tidak semudah itu, Patih gagah," kata Saka Lintang meremehkan.

Sudah tak tertahankan lagi amarah Patih Giling Wesi. Pikirannya hanya terpusat pada keselamatan putrinya. Segera diperintahkan prajuritnya untuk menyerang. Maka pertempuran pun berlangsung sengit. Bunyi senjata beradu dan teriakan-teriakan pertempuran terdengar membahana. Patih Giling Wesi tak ketinggalan dengan cepat melompat menerjang Saka Lintang. Tetapi belum sampai dekat Saka Lintang, sebuah bayangan berkelebat menghadang.

"Huh! Sontoloyo!" dengus Patih Giling Wesi.

Gering berdiri dengan pedang terhunus. Kalau saja bukan Patih Giling Wesi, mungkin kepalanya sudah terpisah dari badan tersambar pedang Gering yang berkelebat cepat. Patih Giling Wesi tidak membuang-buang waktu lagi. Dia menerjang dengan jurus-jurus mautnya.

Namun yang dihadapinya adalah Gering yang cukup tinggi ilmunya. Tidak heran kalau Gering dapat mengimbangi permainan pedang Patih Giling Wesi. Bahkan beberapa kali dia dapat membalas serangan itu. Sementara itu pertarungan semakin sengit. Beberapa prajurit telah banyak yang roboh. Sedang dari pihak Bidadari Sungai Ular, belum ada satu pun yang tewas. Jerit-jerit kematian makin sering terdengar menyayat dari pihak prajurit.

Patih Giling Wesi berteriak melengking dan merubah permainan pedangnya. Yang terlihat kini hanya bayang-bayang pedang yang bergulung-gulung menyelimuti tubuh Gering. Menyadari lawan telah menggunakan jurus yang ampuh, Gering pun segera merubah jurusnya pula. Pertarungan makin seru dan tak terlihat lagi oleh mata biasa. Tubuh mereka seperti lenyap ditelan gulungan sinar pedang yang menimbulkan suara bersiutan.

"Aaaakh...!" tiba-tiba Gering berteriak memekik. Ketika tubuhnya keluar dari gulungan sinar pedang, dada telah basah oleh darah. Rupanya ujung pedang Patih Giling Wesi telah mengenai sasarannya. Di saat yang genting itu, tiba-tiba Codet menerjang masuk. Gering segera mundur sambil menekap dadanya yang robek.

"Kau akan bernasib lebih buruk dari temanmu!" dengus Patih Giling Wesi.

"Sebaliknya kau akan kukirim ke neraka!" sembur Codet.

"Majulah, setan!" geram Patih Giling Wesi. Codet mencabut golok besarnya.

Kelihatannya, golok itu berat sekali. Namun ketika berada di tangan Codet seperti ringan saja. Benda tajam itu berkelebat cepat dan mengarah ke bagian-bagian tubuh Patih Giling Wesi. Serangan-serangan yang dibangun Codet memang lebih dahsyat dan berbahaya dibandirig Gering. Patih Giling Wesi harus lebih hati-hati lagi. Dia merasakan angin sambaran golok lawannya menimbulkan hawa panas.

Di luar arena pertarungan, Saka Lintang hanya mengamati saja sambil bibirnya menyungging senyum. Tampaknya prajurit-prajurit Kepatihan makin kewalahan dan terdesak. Jumlah mereka makin berkurang. Sedang dari pihaknya, hanya dua yang tewas. Hanya Gering yang kelihatan terluka parah dan kini dirawat oleh anak buah Saka Lintang.

Gadis ini cukup memaklumi keadaan Gering karena lawannya memang tangguh. Kedudukan Codet pun kelihatan makin kewalahan. Saka Lintang sudah bisa menduga kalau sebentar lagi Codet akan jatuh. Gerakan-gerakan Codet makin ngawur. Sementara Patih Giling Wesi terus mendesak dengan penuh nafsu. Hingga pada suatu kesempatan....

"Aaaakh.,.!" Codet menjerit keras.

Tepat seperti dugaan Saka Lintang. Pedang Patih Giling Wesi berhasil menembus dada Codet. Darah segar segera muncrat ketika pedang itu ditarik ke luar. Codet limbung sebentar, lalu ambruk tak berkutik. Patih Giling Wesi dengan cepat melompat ke tengah-tengah prajurit-prajuritnya yang sedang kewalahan menerima gempuran yang datang bagai air bah.

Prajurit Kepatihan tinggal lima belas orang jumlahnya. Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi mengamuk membabi buta. Setiap pedangnya berkelebat, pasti ada seorang lawan yang ambruk mandi darah. Prajurit-prajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit kembali melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng terluka. Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling Wesi dalam tempo yang singkat.

Memang tidak sia-sia dia dijuluki Singa Medan Laga. Gerakannya cepat, sukar diduga. Meskipun hatinya terbakar amarah, namun kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung menggunakan otak yang dingin. Dia cepat membaca gerakan lawan. Dia pun dapat mematahkan serangan lawan sebelum sampai, bahkan dengan cepat mendahuluinya. Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan Singa Medan Laga, Saka Lintang jadi geram. Apalagi orang-orangnya makin banyak yang tumbang. Sebentar saja, dua puluh mayat sudah menggeletak.

"Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!" teriak Saka Lintang. Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke udara dan menghadang serangan Patih yang mengamuk

"Huh!" Patih Giling Wesi mendengus sambil menyemburkan ludahnya. Seketika pertempuran terhenti. Masing-masing kelompok melompat mundur. Mereka seperti memberi peluang bagi masing-masing pemimpin untuk berlaga. Patih Giling Wesi menatap tajam pada Saka Lintang yang sudah menghunus pedangnya.

"Serahkan anakku, atau kau harus mati di ujung pedangku!" dengus Patih Giling Wesi.

"Aku tidak akan membunuhmu, Patih Giling Wesi. Aku hanya ingin memberirnu sedikit pelajaran agar kau tidak lagi pongah!" kalem dan tenang sekali suara Saka Lintang.

"Bocah setan!" geram Patih Giling Wesi merasa terhina.

"Ha ha ha..., putrimu yang cantik akan jadi ratu setan!" dia langsung menyerang dengan jurus-jurus berbahaya.

Saka Lintang melayaninya sambil tertawa -tawa. Sejak tadi sudah diperhatikannya jurus-jurus Patih Giling Wesi. Dia telah tahu kelebihan dan kelemahannya. Saka Lintang sengaja tidak membalas serangan lawan. Dia hanya menghindar dan menangkis dengan gerakan-gerakan indah memukau. Patih Giling Wesi memang tangguh dalam olah keprajuritan. Tetapi dalam menghadapi tokoh rimba persilatan seperti Saka Lintang ini, dia harus mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Semua serangan-serangannya, mentah dan rontok di tengah jalan oleh gadis ini. Patih Giling Wesi mulai merasa sulit menghadapi.

Mengingat dirinya adalah seorang patih yang disegani, Patih Giling Wesi tidak mau menyerah begitu saja. Dirubahnya serangan dengan menggunakan jurus-jurus andalan. Dan memang, kali ini Saka Lintang tidak main-main lagi. Jurus yang digunakan patih ini memang dahsyat, penuh gerak tipu yang berbahaya. Sedikit saja lemah, akibatnya sangat fatal.

"Awas kepala!" teriak Saka Lintang tiba-tiba.

Patih Giling Wesi terkejut Cepat-cepat dia menggerakkan pedangnya melindungi kepala. Tapi tak disangka-sangka, gerakan yang menyambar kepala hanya tipuan belaka. Sedangkan sasaran sesungguhnya adalah perut. Dengan cepat pedang Saka Lintang berputar mengarah ke perut yang lowong. Untung Patih Giling Wesi cepat menarik pedangnya.

Trang!

Dua pedang berbenturan tepat di depan perut Patih Giling Wesi. Terlambat sedikit saja, perut itu pasti sobek. Dalam hati, Saka Lintang mengakui kehebatan patih ini. Tiga puluh jurus telah berlalu, tapi kelihatannya belum ada seorang pun yang terdesak. Mereka masih seimbang meskipun telah mengeluarkan jurus-jurus pedang tingkat tinggi.

Pertarungan antara Patih Giling Wesi dengan Saka Lintang telah meningkat pada taraf yang genting. Seratus jurus telah berlalu dengan cepat. Masing-masing belum ada yang terdesak. Semula Saka Lintang menduga kalau kepandaian Patih Giling Wesi berada jauh di bawahnya. Kenyataannya sangat tak disangka sama sekali. Patih Giling Wesi belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Saka Lintang kini meningkatkan permainan jurus-jurusnya. Kombinasi antara ilmu pedang dengan jurus 'Pukulan Geledek' yang dikeluarkannya kini, sangat dahsyat. Selain pedang yang menyambar-nyambar, pukulan tangan kiri Saka Lintang juga mencari sasaran. Semua sama-sama dahsyat. Batu-batuan dan pohon-pohon yang terkena pukulannya, langsung hancur berkeping-keping.

Sedangkan Patih Giling Wesi juga sudah mengeluarkan kesaktiannya. Dengan 'Ajian Sayuti Angin', Patih Giling Wesi dapat bergerak melebihi kecepatan angin topan. Tebasan dan tusukan pedangnya makin berbahaya dan menimbulkan tenaga dorongan yang dahsyat. Batang-batang pohon segera tumbang terkena tebasan pedang Patih Giling Wesi. Daun-daun segera berguguran terkena sambaran angin kelebatan pedang yang menimbulkan suara gemuruh bagai angin puting beliung.

"Setan! Ilmu apa yang dia pakai?" dengus Saka Lintang dalam hati. Setiap kali pedangnya membentur pedang Patih Giling Wesi, tangan Saka Lintang selalu bergetar bagai tersengat ribuan kala berbisa. Sedapat mungkin dihindarinya benturan senjata. Tapi....

Trang! Trak!

Saka Lintang melompat mundur dengan wajah terkejut. Bagian ujung pedangnya sempal. Tangannya seperti dijalari jutaan semut yang menggigit. Perth dan bergetar keseluruh persendian tangannya. Buru-buru gadis itu memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Dan kini dia telah siap dengan jurus 'Tartan Bidadari'.

Gerakan-gerakan tubuh Saka Lintang jadi berubah. Dia seperti menari. Meliuk-liuk dengan indahnya dengan tangan bergerak-gerak lemah gemulai. Matanya mengerling genit disertai gerak-gerak bibir yang mengundang birahi. Sesaat Patih Giling Wesi terpana. Hatinya mendadak bergetar melihat tubuh indah meliuk-liuk dan sikap yang mengundang birahi. Namun tiba-tiba, dengan cepat dan tak terduga sama sekali, tangan kanan Saka Lintang melayang mengarah dadanya. Patih itu terkejut bukan kepalang.

"Setan!" dengus Patih Giling Wesi dengan cepat melompat sambil membabatkan pedangnya.

"Ah!" Saka Lintang memekik manja. Tangannya yang sudah terulur cepat, dengan lembut ditarik. Dan.... Sulit dipercaya! Pedang yang sudah sedemikian dekat tangan Saka Lintang yang bergerak lemah, tidak bisa membabatnya putus. Bahkan lewat begitu saja. Padahal tebasan pedang patih itu sangat cepat. Tidak sebanding dengan gerakan tangan yang lemah itu!

Patih Giling Wesi segera menyadari kalau gerakan lemah gemulai yang mengundang birahi itu sangat berbahaya dan dapat mematikan lawan. Patih itu berusaha untuk tidak terpengaruh pada setiap gerakan tubuh yang indah itu.

"Mampus kau!" bentak Patih Giling Wesi kembali melancarkan serangan mautnya.

"Ouw!" Saka Lintang hanya mendesah manja sambil menggerakkan tubuh dengan indah.

Serangan Patih Giling Wesi yang bertubi-tubi mengarah pada bagian-bagian yang mematikan. Tetapi serangan dahsyat itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh Saka Lintang. Patih Giling Wesi memutar otak, mencari kelemahan jurus aneh yang dimainkan lawannya itu. Setiap kali pedangnya berkelebat dan dipastikan akan menebas lawan, namun dengan manis Saka Lintang berhasil mengelak. Ujung pedang patih itu hanya menyerempet beberapa rambut saja. Itulah kelebihan dari jurus Tarian Bidadari yang membuat lawan jadi frustasi karena mengira serangannya berhasil.

"Huh! Ilmu setan mana yang dipakainya?" dengus Patih Giling Wesi.

Patih Giling Wesi makin kewalahan. Di samping harus menghadapi jurus aneh itu, dia juga harus berperang dengan batinnya sendiri. Daya pikat yang dipancarkan Saka Lintang begitu kuat Gerakan-gerakan patih itu jadi tidak teratur karena terpecah konsentrasinya. Sekuat daya Patih Giling Wesi menekan nafsu birahinya yang semakin berkobar-kobar.

"hey! Uts!"

Tiba-tiba Patih Giling Wesi tersentak. Tangan halus gemulai itu mendadak hampir menepuk pundaknya. Untung saja patih itu masih memiliki sedikit kewaspadaan sehingga tepukan tangan Saka Lintang berhasil dihindari. Tetapi tak urung, tepukan lembut itu menyerempet bahunya. Patih Giling Wesi merasakan suatu hawa panas menyebar. Seketika dia tersentak kaget.

"Racun...!" desisnya. Segera Patih Giling Wesi mengerahkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Belum dapat dipastikan racun itu berbahaya atau tidak. Namun dari anginnya sudah dapat dirasa. Mendadak kepala Patih Giling Wesi terasa pening. Secara tidak langsung, dia telah menghirup hawa racun yang disebar oleh telapak tangan Saka Lintang. Hawa murni itu telah menutup seluruh aliran darahnya. Perlahan- lahan rasa pening di kepala berkurang. Tubuhnya jadi terasa hangat. Patih Giling Wesi membuka lagi jalan darahnya setelah terasa racun yang terhisap tadi telah keluar dari tubuhnya.

Patih Giling Wesi menatap Saka Lintang yang berdiri tenang dengan bibir menyungging senyum memikat. Dalam hati Patih Giling Wesi mengatakan bahwa tidak mungkin bertarung sambil menutup jalan darah dan mengerahkan hawa murni. Tetapi kalau tidak begitu, racun bakal terhisap lagi! Untuk menutup jalan darah dan mengerahkan hawa murni juga terlalu besar resikonya. Bisa-bisa malah mati karena di dalam tubuh terjadi pertentangan dua hawa yang berlainan.

"Jalan satu-satunya harus menahan nafas. Ya, menahan nafas!" bisik hati Patih Giling Wesi. Tapi apakah mampu menahan napas sambil bertarung? Kalau hanya sepuluh jurus saja dia masih mampu. Tetapi lewat dari sepuluh, rasanya tidak mungkin. Patih Giling Wesi seperti kehilangan akal dalam menghadapi lawannya kali ini.

Sementara Saka Lintang telah mulai lagi dengan jurus Tarian Bidadari. Di saat Patih Giling Wesi dalam kebingungan, mendadak sebuah bisikan lembut terdengar di telinganya. Bisikan yang entah datang dari mana. Sepertinya suara itu begitu dekat dan jelas. Patih Giling Wesi tidak dapat berpikir lebih banyak lagi. Yang jelas bisikan itu mengatakan tentang kelemahan jurus Tarian Bidadari.

"Jangan hiraukan tangannya, tetapi pandanglah matanya. Arahkan pedang pada pusarnya," jelas bisikan itu.

Tanpa ragu-ragu lagi, patih itu segera menatap mata Saka Lintang. Pedangnya terhunus ke arah pusar.

"Ikuti setiap gerak kakinya," terdengar lagi bisikan itu.

Patih Giling Wesi segera bergerak mengikuti setiap gerakan kaki Saka Lintang. Dan benar saja, baru dua petunjuk saja, kelihatan Saka Lintang mulai kebingungan. Namun semuanya tertutupi oleh gerakan-gerakan lemah gemulainya.

"Pusatkan napas pada perut. Hembuskan melalui mulut," bisikan itu terdengar lagi.

Mudah dan sederhana sekali petunjuk yang diberikan sehingga Patih Giling Wesi dengan cepat memahaminya. Hatinya gembira. Semangat timbul lagi. Dia sudah mulai merasakan kalau Saka Lintang menemui kesulitan. Setiap gerakan Saka Lintang selalu dapat dibaca olehnya. Saka Lintang mulai sulit menebarkan racun lewat pukulannya. Kian lama gerakannya menjadi kacau, tidak beraturan. Bahkan beberapa kali ujung pedang Patih Giling Wesi hampir menembus perutnya.

"Ih!" Saka Lintang terkejut ketika ujung pedang patih itu berhasil merobek baju bagian perutnya. Merah pada wajah gadis itu menahan malu. Cepat-cepat ditutupinya bagian yang terbuka itu. Cukup besar sayatan menggores bajunya. Saka Lintang segera melompat mundur. Dia jadi geram karena kelemahan jurus andalannya terbaca lawan.

Patih Giling Wesi makin gembira karena merasa di atas angin. Rupanya gerakan-gerakan lemah lembut Saka Lintang harus dihadapi pula dengan gerakan yang lemah sedikit kaku. Untuk bisa melakukannya, digunakan pernapasan perut di samping memandang mata lawan. Sedangkan pada bagian perut yang terbuka, sering luput dari perhatian. Mungkin karena lawan telah terpengaruh oleh gerakan-gerakan yang mengundang syahwat itu, hingga jadi lupa terhadap daerah lowong itu.

Dalam menghadapi Patih Giling Wesi, Saka Lintang kali ini memang menelan pil pahit. Dia sama sekali tidak tahu kalau patih itu mendapat petunjuk dari bisikan misterius yang hanya dapat didengar oleh patih itu sendiri.

"Keluarkan seluruh kesaktianmu, biar lebih cepat kau kukirim ke neraka!" dengus Patih Giling Wesi.

Saka Lintang hanya mendengus saja. Kini disiapkannya jurus andalannya yang terakhir. Jurus Ular Berbisa Menyebar Racun.

"Huh! Ilmu setan mana lagi yang digunakannya?!" dengus Patih Giling Wesi.

Gerakan-gerakan yang diperlihatkan memang aneh. Kadang lambat, tetapi segera berubah cepat. Sebentar dia melompat, kemudian merayap cepat menyusur tanah. Mulutnya mendesis bagai ular.

"He he he...!" Suara terkekeh tiba-tiba terdengar menggema dari segala penjuru. Kemudian muncul seorang kakek tua mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah di tangannya. "Ular harus dilawan dengan tongkat!" kata kakek tua yang tidak lain adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah atau Aki Lungkur.

"Aki Lungkur...," desis Patih Giling Wesi. Seketika dia menduga kalau kakek tua inilah yang membisikkannya tadi.

"Adi Patih Giling Wesi, mundurlah. Dia bukan lawanmu," kata Aki Lungkur tanpa mengecilkan kepandaian patih itu.

Patih Giling Wesi pun mundur dua tindak. Dia sudah tahu siapa kakek tua itu. Tingkat kepandaiannya memang sulit diukur. Patih Giling Wesi sangat menghormatinya meski dia hanya seorang yang lebih mirip pengemis.

"Selamatkan putrimu di bukit Guntur," kata Aki Lungkur lagi.

"Bedebah! Kakek busuk, jangan campuri urusanku!" bentak Saka Lintang geram.

"Cepatlah berangkat! Jangan buang-buang waktu lagi," kata Aki Lungkur tanpa mempedulikan bentakan Saka Lintang.

"Baik, Aki. Hati-hatilah," sahut Patih Giling Wesi.

"He he he...," Aki Lungkur terkekeh lagi.

Tanpa mendapat peringatan pun, Aki Lungkur tahu siapa lawan yang dihadapinya kini. Seorang gadis, anak angkat Geti Ireng. Tentulah kepandaiannya tidak bisa dianggap enteng. Terbukti Patih Giling Wesi tidak mampu menandinginya.

Patih Giling Wesi segera berangkat. Bersama prajurit-prajuritnya dia menuju bukit Guntur. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, Saka Lintang segera memerintahkan anak buahnya menghalangi para prajurit Kepatihan itu. Tanpa dikomando lagi, mereka langsung menyerang para prajurit yang belum pergi jauh itu.

********************

Pada waktu yang bersamaan, seorang pemuda berbaju rompi putih berjalan menelusuri kaki bukit Guntur sambil bersiul-siul. Dari gagang pedang yang menempel di punggungnya dapat diketahui kalau pemuda itu adalah Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti. Sambil bersiul-siul dengan irama yang tak jelas, Rangga terus melenggang. Kepalanya tergeleng-geleng begitu mendengar suara berkeresek. Suara siulannya berhenti. Bibirnya menyungging senyum.

"1... 2... 3... Ah, hanya 15," gumam Rangga menghitung. Rangga masih melenggang tenang. Dia tahu kalau dirinya telah memasuki daerah markas Bidadari Sungai Ular. Telinganya yang tajam menangkap suara gerak langkah kaki tersembunyi. Dan kini telah mengepung dirinya.

"Hm..., mungkin rumah itu sarangnya," kembali Rangga bergumam ketika melihat sebuah rumah kayu di depannya. Rumah beratap rumbia itu bertengger di kaki lereng yang cukup terjal. Tidak terlalu sulit untuk mencapai sana. Dan, mendadak dari rimbunan semak-semak bermunculan orang-orang berpakaian serba biru dengan senjata terhunus.

"Berhenti!" bentak salah seorang dengan keras.

"Waduh, galak sekali," Rangga berlagak kaget.

"Siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?" tanya orang yang membentak tadi. Dia salah seorang kepercayaan si Bidadari Sungai Ular. Namanya Jambak.

"Aku hanya pengembara dan kebetulan lewat sini," jawab Rangga kalem.

"Tidak ada seorang pun yang boleh memasuki kawasan ini!" kata Jambak galak.

"Lho, kenapa?" Rangga berlagak dungu.

"Jangan banyak tanya. Ayo, kembali! Atau tubuhmu kujadikan dendeng!" ancam Jambak.

"Wuih! Sadis sekali."

"Pergi!" bentak Jambak keras.

Rangga hanya tersenyum saja. Diayunkan langkahnya. Tanpa peduli Rangga meneruskan perjalanannya. Jambak jadi gusar karena kata-katanya tidak digubris sama sekali. Dia segera melompat dengan ilmu peringan tubuhnya. Pedangnya terayun cepat mengarah kepala Rangga. Namun tebasan pedang itu hanya mengenai angin.

"Teman-teman, serang keparat ini!" perintah Jambak.

Seketika empat belas orang temannya dengan cepat mengurung Rangga sambil berteriak-teriak mengacungkan senjata. Rangga hanya tersenyun. Digenjot kakinya, dan dengan cepat tubuhnya melenting di udara. Bagaikan terbang saja, Rangga melayang menuju rumah kayu di tebing bukit. Kelima belas orang itu hanya melongo. Jambak yang memiliki kepandaian cukup tinggi, segera memerintahkan teman-temannya mengejar. Dia sendiri berlompatan dengan bantuan ilmu peringan tubuhnya.

"Hem..., kalian hanya kronco!" dengus Rangga begitu kakinya menjejak tanah di depan rumah kayu itu.

Jambak yang datang lebih dulu dari teman-temannya dengan cepat menyerang ganas. Rangga hanya berkelit menghindari tebasan pedang yang datang bagai air bah itu. Namun bagi Rangga, semua serangan Jambak hanya dianggap main-main saja. Dia hanya meliuk-liukkan tubuhnya tanpa menggeser kaki sedikit pun. Kaki Rangga baru bergerak jika datang serangan lain secara keroyokan.

Macam-macam bentuk senjata bertebaran mengepung tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun sampai sejauh ini, belum ada satu pun senjata yang berhasil menyentuh tubuhnya. Rangga bagai seekor belut. Licin dan berkelit ke sana kemari menghindari segala bentuk serangan yang datang bertubi-tubi.

"Maaf, pinjam tombakmu!" kata Rangga kalem.

Selesai ucapannya, tangan Rangga bergerak cepat. Sekejap saja seorang dari pengeroyoknya yang menggenggam tombak terhuyung ke belakang. Tombak itu telah berpindah tangan. Dan kini orang itu telah ambruk tak berkutik. Darah menguncur deras dari keningnya yang bolong. Rupanya Rangga menggunakan satu jarinya untuk menotok kening orang itu. Sangat keras totokannya, sehingga kening orang itu bolong!

Kini dengan tombak di tangan, Rangga tidak lagi kewalahan. Denting macam- macam senjata beradu dengan tombak di tangan Rangga. Dalam keadaan dikeroyok seperti itu, Rangga masih sempat melirik ke arah pintu rumah yang terbuka. Dan tiba-tiba muncul seorang wanita muda, cantik, dan menggiurkan, mengenakan pakaian merah muda dari bahan sutra halus di depan pintu.

Rangga sedikit terpana melihat kecantikan wanita yang tidak lain adalah Intan Kemuning. Namun dia tidak dapat memperhatikan lebih lama lagi. Rangga kini sibuk menghadapi para pengeroyoknya yang semakin ganas. Rangga menggerakkan tombaknya semakin cepat. Dua orang kini terhuyung sambil menekap dada, lalu ambruk tidak berkutik lagi. Darah segar segera mengucur dari dada yang robek itu. Belum lagi kering darah itu, menyusul dua orang terhuyung-huyung lalu ambruk.

Pekik kematian kini terdengar saling susul. Tubuh-tubuh bermandikan darah mulai bergelim-pangan. Sebentar saja sudah delapan orang yang telah mengantar nyawa. Jambak merasakan lawannya bukan tandingan mereka semua. Hatinya bergetar juga. Lebih-lebih setelah mendengar lagi suara jeritan panjang melengking, disusul am-bruknya dua orang lagi.

"Cukup!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras melengking.

"Bayangan hitam...!" seru Jambak gembira melihat berkelebatnya sebuah bayangan.

Sebentar saja sesosok tubuh kurus tinggi berbalut baju hitam ketat telah berdiri di tengah-tengah lapangan depan rumah kayu itu. Dari raut wajah yang panjang kurus, dapat ditebak kalau orang itu wanita.

"Jambak, siapa tikus itu?" tanya Bayangan Hitam.

"Dia coba-coba menggerogoti lumbung."

"Huh! Lalu di mana Gusti Putrimu?"

"Menghadang perusuh di sungai Ular."

Si Bayangan Hitam mendongak seraya memonyongkan bibir. Terdengarlah siulan yang panjang dan melengking tinggi. Siulan itu menggema dipantulkan oleh bukit-bukit batu dan lembah. Serentak dari balik-balik pepohonan muncul sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam. Mereka semua menyandang pedang di punggung.

"Bagi dua!" teriak Bayangan Hitam. Tanpa banyak omong, orang-orang yang baru bermunculan itu segera membentuk dua kelompok. "Jambak, bawa satu kelompok orangku. Bantu Gusti Putrimu!" perintah Bayangan Hitam.

"Oh, terima kasih" Jambak membungkukkan tubuhnya.

Jambak cepat memberi isyarat pada salah satu kelompok Bayangan Hitam. Segera mereka berlari menuruni lereng bukit menuju sungai Ular. Sisa empat orang teman-teman Jambak masih terdiam di tempatnya. Secercah harapan muncul dan terbias di wajah mereka melihat kehadiran Bayangan Hitam. Mereka semua tahu siapa Bayangan Hitam. Dia adalah seorang tokoh sakti yang tangguh dan sukar dicari tandingannya. Benar-benar suatu kebetulan, Bayangan Hitam datang membawa anak buahnya. Semangat mereka timbul kembali setelah hampir diporak-porandakan.

********************

Bayangan Hitam bukan orang lain bagi Saka Lintang. Dia adik kandung Geti Ireng, ayah angkat Saka Lintang. Jadi Bayangan Hitam adalah bibi angkatnya. Meski Saka Lintang telah mengetahui asal-usulnya, namun dia sama sekali tidak membenci Bayangan Hitam. Wanita kurus ini sangat baik terhadap Saka Lintang. Lagi pula, Bayangan Hitam tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan Geti Ireng. (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah Tengkorak)

"Siapa kau, anak muda?!" tanya Bayangan Hitam.

"Namaku tak ada artinya buatmu," jawab Rangga. Dari sekilas pandang saja, Rangga sudah dapat mengukur tingkat kepandaian perempuan kurus ini. Dari julukannya, dapat dipastikan kalau tokoh ini dari aliran hitam.

"Sombong!" dengus Bayangan Hitam sedikit gusar. "Sebutkan namamu sebelum kau kukirim ke neraka!"

"Aku Pendekar Rajawali Sakti," lantang suara Rangga. "Aku datang untuk mengambil Putri Intan Kemuning!"

Intan Kemuning yang masih berdiri di depan pintu rumah kayu, terkejut. Wajahnya tampak berubah merah. Dia tidak kenal dengan pemuda tampan itu. Mendengar namanya saja, baru kali ini. Tapi diam-diam Intan Kemuning tertarik juga melihat ketampanannya. Lebih-lebih setelah menyaksikan sepak terjangnya yang dengan mudah merobohkan sepuluh orang dalam satu jurus yang diulang-ulang terus.

Bukan hanya Intan Kemuning yang terkejut Ternyata Bayangan Hitam pun kaget setengah mati. Tak disangka-sangka dia bertemu dengan pembunuh kakak laki-lakinya. Apalagi si pembunuh itu masih muda dan tampan. Kalau anak muda ini dapat membunuh Iblis Lembah Tengkorak, pasti tingkat kepandaiannya tinggi sekali.

"Kebetulan kau muncul, bocah setan! Kau berhutang nyawa padaku!" ujar Bayangan Hitam.

"Bertemu saja baru kali ini, bagaimana mungkin aku berhutang nyawa padamu?"

"Kau membunuh saudara laki-lakiku! Kau harus bayar dengan nyawamu!"

"Siapa saudaramu?"

"Geti Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak!"

Rangga mengerutkan keningnya. Kini dia mengerti sudah, untuk apa perempuan kurus atau Bayangan Hitam itu muncul. Kelihatannya dia telah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

"Aku membunuh saudaramu, karena dia membantai keluargaku!" lantang dan mantap suara Rangga.

"Aku tidak peduli! Yang jelas kau harus bayar nyawa saudaraku!"

Rangga yang sudah mengukur kepandaian Bayangan Hitam tidak sungkan-sungkan lagi. Dia segera mencabut pedangnya ketika Bayangan Hitam telah siap dengan pedangnya.

Sret!

"Tahan seranganku!" teriak Bayangan Hitam.

Bayangan Hitam segera menyerang Rangga dengan jurus-jurus pedang yang dahsyat Sekejap saja mereka telah bertarung dengan jurus-jurus pedang tingkat tinggi. Pedang Rangga berputar-putar berkelebat memancarkan sinar biru yang menyilaukan. Sedangkan pedang Bayangan Hitam menderu-deru menimbulkan hawa panas.

Sinar hitam menggulung-gulung bagai asap tebal. Dua sinar berbeda saling sambar dengan hebatnya. Kian lama pertarungan kian seru. Sebentar saja sepuluh jurus telah berlalu. Kini tubuh mereka tidak terlihat jelas. Yang kelihatan hanya bayangan hitam, putih, dan biru saling berkelebat Semua yang ada di situ melongo, takjub.

Trang! Dua pedang beradu menimbulkan pijaran bunga api. Bayangan Hitam segera melompat mundur satu tombak. Dirasakan tangannya kesemutan ketika pedangnya beradu. Jari-jari tangannya seperti kaku.

"Edan!" dengus Bayangan Hitam melihat ujung pedangnya buntung.

Sementara Rangga tidak bergeming sedikit pun. Pedangnya melintang di depan dada. Bibirnya mengulum senyum, tapi sinar matanya tajam menatap lurus Bayangan Hitam. Rangga tidak merasakan apa-apa waktu pedangnya berbenturan tadi. Kalau saja Bayangan Hitam tadi tidak melompat, bisa jadi tangan kanannya pisah dari badan terbabat pedang Rangga.

"Keluarkan ilmu kesaktianmu, anak setan!" geram Bayangan Hitam sambil membuang pedangnya begitu saja.

Rangga segera memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya. Dia pun bersiap-siap mengerahkan jurus 'Cakar Rajawali', satu jurus andalan tingkat pertama. Bayangan Hitam pun tak kalah siapnya. Kini dia mengeluarkan jurus andalannya juga. Mereka telah saling berhadapan.

"Bersiaplah!"

Bayangan Hitam segera menggebrak setelah selesai memberi peringatan. Pertarungan dua tokoh sakti itu kembali berlangsung. Rangga mengerutkan keningnya ketika merasakan angin sambaran pukulan yang sangat dahsyat. Kini hanya dua bayangan hitam dan putih berkelebat. Debu mengepul di udara disertai angin yang menderu-deru bagai terjadi topan.

"Blaaar...!" Suara ledakan keras terdengar ketika tangan Bayangan Hitam menghantam batu. Seketika batu itu hancur berkeping-keping menyebar ke segala penjuru. Rangga berdecak kagum melihat kedahsyatan pukulan Bayangan Hitam.

"Hebat...!" desis Rangga memuji dengan tulus

"Tahan seranganku!" teriak Bayangan Hitam. Seketika Bayangan Hitam merubah jurusnya. Kin dengan jurus 'Bayangan Maut', tubuhnya berar-benar seperti bayangan saja. Sulit diiihat dengan mata biasa.

Rangga pun segera merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangan Rangga mengembang. Kakinya bergerak-gerak lincah mengimbangi gerakan Bayangan Hitam yang sangat cepat. Kedua kaki Rangga kini tidak lagi menjejak tanah. Kedua tangainya menyambar-nyambar menimbulkan deru angin kencang. Beberapa pohon tumbang terkena sambaran angin pukulan Rangga. Kedua kaki Rangga makin bergerak cepat.

Bayangan Hitam sampai terperanjat, karena kaki-kaki Rengga saling susul mengarah kepala. Kedua tangan yang selalu mengembang bagai sepasang sayap itu menyambar-nyambar mengikuti gerakan tubuh Rangga yang kadang melayang, kadang menukik

"Akh!" Tiba-tiba Bayangan Hitam memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung dua tombak. Tanpa dapat dihindari lagi, kaki Rangga berhasil mengenai pundaknya. Dia berusaha menghindari kepala, tapi tidak bisa lagi menarik pundaknya. Bayangan Hitam mengeram menahan sekit yang luar biasa karena menyadari tangan kirinya tidak bisa digerakkan lagi. Tulang pundaknya patah sehingga sulit digerakkan lagi.

"Serang...!" teriak Bayangan Hitam keras melengking.

Serentak sepuluh orang berpakaian serba hitam bergerak menyerang Rangga. Empat orang anak buah Bidadari Sungai Ular yang tersisa membantu mengeroyok Rangga. Mereka penasaran karena belum bisa menggoreskan pedang ke tubuh Rangga.

"Kurang ajar!" geram Rangga sengit.

********************

Sementara di sungai Ular, pertempuran masih berlangsung sengit. Saka Lintang bertarung dengan Pengemis Sakti Tongkat Merah. Sedangkan Patih Giling Wesi dan para prajuritnya menghadapi anak buah Bidadari Sungai Ular. Denting senjata bercampur dengan jerit kematian. Prajurit Kepatihan yang dipimpin Patih Giling Wesi itu kini berada di atas angin. Patih itu mengamuk terus. Setiap pedangnya berkelebat selalu menimbulkan korban.

Makin lama orang-orang berpakaian serba biru semakin berkurang jumlahnya. Yang tersisa hanya delapan orang saja. Saka Lintang tidak mungkin membantu orang-orangnya. Dia sendiri kewalahan menghadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah. Saat gerombolan perompak itu makin terdesak, tiba-tiba muncul sepuluh orang berpakaian serba hitam dipimpin oleh Jambak.

"Tuan Putri, Bibi Bayangan Hitam datang!" teriak Jambak.

Saka Lintang berseri-seri wajah nya. Semangatnya segera bangkit mendengar Bayangan Hitam ikut membantu. Apalagi melihat anak buah Bayangan Hitam ikut bertempur. Lima orang membantu anak buah Saka Lintang, lima orang lagi membantu mengeroyok Pengemis Sakti Tongkat Merah. Saka Lintang mendekati Jambak yang tengah mengeroyok Kakek Sakti Tongkat Merah. Kini keadaannya jadi berbalik. Orang-orang dari Bayangan Hitam lebih tinggi tingkat kepandaiannya dan lebih ganas dalam bertarung.

"Di mana Bibi Bayangan Hitam sekarang?" tanya Saka Lintang di sela-sela pertarungan.

"Tengah menghadapi Pendekar Rajawali Sakti," jawab Jambak.

"Apa...?" Saka Lintang terkejut.

Pengemis Sakti Tongkat Merah mendengar hal itu merasa bersyukur karena Pendekar Rajawali Sakti telah sampai di sarang gerombolan Bidadari Sungai Ular.

"Lalu, bagaimana Intan?" tanya Saka Lintang dengan cemas.

"Berada di markas!" sahut Jambak.

Saka Lintang segera melompat keluar dari pertarungan ketika ada kesempatan. Dengan cepat dia berlari menggunakan ilmu peringan tubuh. Pengemis Sakti Tongkat Merah yang sejak tadi mendengar, lalu berteriak nyaring. Tubuhnya mencelat tinggi di udara dan jatuh tepat di samping Patih Giling Wesi.

"Cepat ke bukit Guntur! Selamatkan putrimu!" perintah Kakek Pengemis itu. "Biar orang-orang ini aku yang hadapi!"

Patih Giling Wesi segera melompat tinggi dan bersalto di udara. Begitu kakinya menginjak tanah, langsung dikeluarkannya ilmu lari cepat. Bagaikan kilat tubuh patih itu dan kini sudah jauh meninggalkan pertempuran.

Pengemis Sakti Tongkat Merah mengamuk memutar-mutar tongkat saktinya. Satu persatu orang-orang berpakaian serba hitam tersungkur berlumuran darah disertai jerit kesakitan. Mereka bukanlah lawan Pengemis Sakti Tongkat Merah. Tongkatnya seperti hidup menyambar-nyambar mencari mangsa.

"Cepat susul Gustimu!" teriak Aki Lungkur kepada para prajurit.

"Tapi, Ki...!" seorang prajurit tidak tega meninggalkan orang tua itu sendirian.

"Jangan membantah!" dengus Aki Lungkur.

Delapan prajurit Kepatihan itu langsung beriari menyusul pemimpinnya. Sementara Kakek Pengemis kian waspada, selalu menghalangi setiap orang yang akan mengejar para prajurit.

"Cari kesempatan! Kejar mereka!" teriak Jambak gusar.

Perintah Jambak seperti tertelan angin. Mereka seperti menghadapi seribu pengemis. Aki Lungkur bergerak cepat menyambar setiap orang yang berusaha keluar dari medan pertarungan. Jambak memutar otaknya mencari jalan agar sebagian temannya bisa keluar dari pertarungan. Kakek sakti menebas tongkatnya sehingga satu persatu bergelimpangan. Kini jumlah mereka makin berkurang saja.

Di markas gerombolan Bidadari Sungai Ular, pertarungan masih berlangsung sengit. Rangga mengamuk menghadapi Bayangan Hitam yang dibantu oleh kaki tangannya. Rangga mencabut pedangnya dan mengerahkan ilmu pedangnya yang dipadu dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Jurus ketiga dari rangkaian jurus Rajawali Sakti. Gerakan kakinya lincah menghindari setiap serangan lawan, sedangkan pedangnya berkelebat ke arah tubuh lawan yang kosong.

"Rantai Bayangan!" teriak Bayangan Hitam tiba-tiba. Seketika sepuluh orang mengambil posisi melingkar mengepung Rangga. Empat orang ber-pakaian biru keluar dari arena. Mata Rangga tajam mengamati gerakan sepuluh orang yang berputar mengelilinginya sambil pedangnya tersilang di depan dada. Seperti mata rantai, mereka bekerja sama dengan gerakan-gerakan yang teratur dan menunjang. Makin lama makin cepat. Yang terlihat kini hanya bayangan hitam yang bergerak melingkar.

"Hiya! Yeah...!" Rangga kebingungan juga menghadapi pola serangan yang ganjil ini. Tetapi dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti dapat menguasai diri. Ternyata teriakan-teriakan itu hanya untuk memecah konsentrasinya.

Serangan-serangan itu sulit ditebak, datang dari segala penjuru secara berganrJan. Gencar sekali. Mata Rangga tidak lepas mengamati setiap serangan yang datang. Tiba-tiba dia menjerit kuat sekali. Tubuhnya berputar cepat bagai baling-baling.

"Trang! Trang! Trang!"

Kepingan-kepingan logam pedang yang patah meluncur deras ke arah orang-orang berpakaian serba hitam yang kebingungan. Pedang mereka terkena sambaran pedang biru menyilaukan.

"Aaaakh...!" Beberapa tubuh yang tidak sempat mengelak langsung bergelimpangan dengan dada tertembus patahan pedang mereka sendiri menyusul jeritan kematian.

"Bedebah! Kurang ajar!" Bayangan Hitam menggeram melihat empat anak buahnya roboh hanya sekali gebrakan saja.

Sedangkan yang selamat hanya memegang pedang yang tinggal setengah saja. Dengan gerakan manis, Rangga mendarat di tanah. Pedangnya dimasukkan ke dalam sarungnya di punggung. Rangga tidak akan menggunakan senjata jika lawan tidak pula menggunakannya.

"Bola Rantai Hitam! teriak Bayangan Hitam tiba-tiba.

Dengan serentak sisa anak buahnya mengeluarkan sebuah bola besi berwarna hitam yang bergigi runcing di sekelilingnya dan dihubungkan dengan rantai halus berwarna hitam pula. Keenam orang itu segera membentuk lingkaran. Tangan mereka memutar-mutar rantai panjang dengan bola-bola bergigi di ujungnya. Suaranya menderu-deru bagai angin topan.

Rangga pun mengerahkan gabungan dari tiga rangkaian jurus Rajawali Sakti. Dia masih menganggap belum perlu merubah jurus, dan hanya menggabung-gabungkan saja dengan berbagai kombinasi.

"Serang...!" teriak Bayangan Hitam memberi komando. Seketika bola-bola itu menderu-deru silih berganti, dilontarkan oleh keenam orang itu.

Rangga membiarkan tubuhnya terbelit rantai-rantai dengan bola bergigi itu. Dengan satu teriakan melengking, dia melesat ke udara bagai seekor rajawali. Tiba-tiba tubuh mereka terangkat ikut meluncur bersama Rangga yang semakin tinggi.

"Lepaskan!" teriak Bayangan Hitam. Keenam orang itu serentak melepaskan rantai. Sebelum menjejakkan kakinya di tanah, mereka bersalto di udara. Rangga yang masih berada di atas, dengan gerakan cepat mengumpulkan dan melemparkan rantai-rantai itu kepada pemiliknya.

"Aaaakh...!" seorang dari mereka menjerit keras.

Kepalanya hancur terhantam bola hitam miliknya sendiri. Lima orang lainnya masih bisa menyelamatkan diri. Bola-bola besi lainnya menghantam tanah lalu melesak ke dalam. Rantai-rantai hanya terlihat beberapa jengkal saja. Sungguh hebat tenaga dalam Rangga.

"Bedebah!" geram Bayangan Hitam.

Rangga turun dengan manis. Kali ini dia tidak ingin lagi membiarkan lawan mengatur siasat. Dia segera menyerang Bayangan Hitam dengan gabungan tiga rangkaian jurus Rajawali Sakti. Tentu Bayangan Hitam jadi kelabakan. Apalagi sebelah tangannya tidak bisa digerakkan. Kelima anak buahnya ditambah empat anak buah kelompok Bidadari Sungai Ular, langsung membantunya. Rangga kini dikeroyok sepuluh orang. Tapi hanya empat orang saja yang menggunakan senjata.

"Lepas!" sentak Rangga. Tiba-tiba saja empat pedang terlempar ke udara. Dan tanpa terduga sama sekali, kaki Rangga melayang ke arah kepala.

Kraaak! "Aaaa..r!" Gerakan Rangga dengan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa begitu cepat sehingga keempat orang itu tidak bisa melindungi kepalanya. Mereka segera menggelepar dengan kepala pecah. Dengan cepat Rangga segera mengganti ketiga jurusnya sehingga lawan kebingungan. Apalagi kini mereka tanpa senjata. Bayangan Hitam pun kini hanya bisa bertahan tanpa mampu memberikan serangan balasan. Dari mulutnya terus keluar umpatan dan cacian yang tidak berhenti.

"Bibi...!"

Bayangan Hitam menoleh. Dilihatnya Saka Lintang berlari cepat dan segera melompat sambil menghunus pedang. Seketika Saka Lintang terlibat dalam pertempuran pula. Dia menggeram dengan gigi gemerutuk melihat semua anak buahnya tewas. Bahkan lima orang anggota Bayangan Hitam telah jadi mayat.

"Mundur...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggelegar. Begitu hebatnya suara bentakan tadi, sehingga pertempuran sekejap saja berhenti, Siapakah yang membentak itu?

Seberkas sinar merah meluncur deras menyambar Rangga. Dengan sigap Pendekar Rajawali Sakti itu melompat menghindari sinar merah yang datang tiba-tiba itu. Belum sempat menjejakkan kakinya ke tanah, Rangga telah disibukkan dengan sinar merah yang datang lagi. Terpaksa dia kini mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.

Mata Rangga yang tajam cepat mengetahui dari mana datangnya sinar merah itu. Rangga cepat mengibaskan tangannya, dengan seketika dia telah menggenggam pedangnya. Kini pedang itu terarah pada sebuah pohon besar. Dari pedang pun meluncur sinar biru bergulung-gulung.

Blar...!

Pohon besar itu hancur berkeping-keping tersambar sinar biru. Rangga kembali memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya. Tepat saat kakinya menginjak tanah, muncul seorang kakek tua berjubah merah. Kakek itu mencelat bersamaan dengan hancurnya pohon itu.

"Paman Nambi...!" seru Saka Lintang.

Seorang tokoh tua sakti bernama Nambi muncul di tengah-tengah arena pertarungan. Dia dikenal dalam rimba persilatan dengan nama Setan Jubah Merah. Tokoh ini beraliran hitam dan dulunya merupakan suami Bayangan Hitam. Sampai sekarang pun mereka masih suami istri. Hanya kemunculan mereka saja yang tidak selalu bersamaan. Banyak tokoh menduga kalau mereka tengah bentrok. Hanya saja watak mereka yang terbiasa malang melintang di rimba persilatan, sehingga mereka tidak hiraukan status suami istri. Mereka sibuk mendirikan partai sendiri-sendiri.

"Paman..., untung paman cepat datang," Saka Lintang gembira.

"Hm, apa yang terjadi, Lintang?" tanya Nambi sambil mengamati mayat-mayat yang bergelimpangan.

"Perkumpulanku dihancurkan, paman," jawab Saka Lintang. Ada nada kesedihan daiam suaranya.

"Dan kau tidak mampu mengatasinya?"

Saka Lintang hanya tertunduk saja.

"Sudah kuperingatkan, jangan cari perkara dengan pihak kerajaan. Masih saja membandel!" tegur paman angkat Saka Lintang.

Maksud Saka Lintang hanya ingin merubah Intan Kemuning menjadi seorang pendekar wanita. Tetapi tak diduga sama sekali akibatnya jadi demikian. Seluruh anak buahnya mati. Dia sadar, ini adalah kesalahannya. Saka Lintang melirik Intan Kemuning yang masih berdiri di depan pintu. Mungkin kalau Pengemis Sakti Tongkat Merah tidak ikut campur, Saka Lintang pasti mampu mengalahkan Patih Giling Wesi dan para prajuritnya. Tapi sekarang? Apalagi Pendekar Rajawali Sakti ikut membantu.

Saka Lintang memandang Rangga. Seketika hatinya bergetar. Benih-benih cinta kembali muncul. Namun bibit dendam dan kebencian juga bertumbuhan. Untuk kedua kalinya dia harus berhadapan dengan pemuda yang telah merobek-robek hatinya ini. (Untuk lebih jelas, silahkan baca Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: Iblis Lembah Tengkorak!)

"Siapa dia?" tanya Nambi atau Setan Jubah Merah.

"Pendekar Rajawali Sakti," jawab Saka Lintang.

Nambi memandang pada istrinya, Bayangan Hitam. Matanya agak menyipit melihat ke arah pundak perempuan tua itu. Pundak itu melesak ke dalam. Patah! Mendadak hatinya panas.

"Anak muda, hadapi aku!" bentak Setan Jubah Merah.

"Hati-hati, Kakang!" Bayangan Hitam memperingatkan.

Setan Jubah Merah melompat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pertempuran sengit tidak dapat dihindari lagi. Setan Jubah Merah segera mengerahkan jurus-jurus andalannya. Jurus tangan kosongnya sangat dahsyat. Setiap pukulannya mengandung hawa racun yang mematikan.

Tapi semua itu tidak berpengaruh terhadap Rangga. Rangga kebal terhadap segala jenis racun. Kini Rangga menghadapi lawan dengan jurus Cakar Rajawali. Dengan jurus ini, Rangga tidak bermaksud memandang enteng lawan. Dia hanya mengukur tingkat kepandaian lawan. Sudah menjadi sifatnya untuk tidak mengeluarkan jurus-jurus berbahaya sebelum dia mengetahui tingkat kepandaian lawan.

"Bocah setan! Jangan salahkan aku jika sampai menurunkan tangan kejam!" geram Nambi sengit melihat Rangga hanya berkelit tanpa membalas serangan.

"Kalau itu keinginanmu, baiklah! Maafkan, Kakek!" sahut Rangga dengan hormat.

Nambi terdongak mendengar kata-kata Rangga. Baru kali ini didapatkan lawan yang mau menghormat pada dirinya. Pemuda itu tidak congkak. Bahkan selalu merendah.

"Serang aku!" teriak Nambi.

"Bersiaplah, Kek!" Rangga menyalurkan seluruh tenaga ke kedua telapak tangannya.

Seketika jari-jari tangannya meregang kaku. Lalu digerakkan tangannya yang makin lama makin cepat. Nambi sedikit terperangah. Dengan cepat dia mengimbanginya. pertarungan pun menjadi sengit.

"Maaf!" seru Rangga.

"Akh!" Setan Jubah Merah memekik tertahan. Dia terhuyung satu tombak ke belakang. Jari-jari tangan Rangga berhasil menusuk pangkal lengan kiri Nambi.

Darah mengucur deras dari pangkal lengan yang bolong dua jari itu. Nambi mengemerutukkan gerahamnya. Hati kecilnya berkata kalau dia merasa salut terhadap anak muda itu. Dia sempat mendengar permintaan maaf Rangga sebelum melancarkan serangan. Hasilnya sungguh tak terduga sekali. Lengan Nambi bolong oleh tusukan jari-jari Rangga.

"Kakang...!" jerit Bayangan Hitam cemas melihat darah mengucur dari lengan suaminya.

Bayangan Hitam langsung melompat menyerang Rangga. Kembali Pendekar Rajawali Sakti harus melayani serangan beruntun Bayangan Hitam. Saka Lintang pun tidak ingin ketinggalan. Mereka segera mengeroyok Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti segera menggabungkan jurus Cakar Rajawali dengan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. Sedangkan Saka Lintang mengerahkan jurus Pukulan Geledeknya. Setan Jubah Merah yang telah berhasil menghentikan darah dengan totokannya, segera ikut mengeroyok Rangga.

Kini Rangga berhadapan langsung dengan tiga orang tokoh yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Posisi Rangga kian terdesak oleh serangan yang beruntun. Rangga mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega lalu disusul dengan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Sasarannya kini ke arah Bayangan Hitam. Begitu cepat perubahan jurus yang dilakukan Rangga, sehingga Bayangan Hitam tidak dapat menguasai diri lagi.

"Aaaakh...!"

Bayangan Hitam menjerit kesakitan. Kaki Rangga telak bersarang di kepala Bayangan Hitam. Dia menggelepar-gelepar dengan kepala hancur, kemudian diam tak bergerak lagi.

"Bibi...!" Saka Lintang memekik kaget.

Setan Jubah Merah menggeram menahan marah. "Kubunuh kau, bocah setan!" teriak Nambi.

Secepat kilat Setan Jubah Merah menyerang dengan jurus-jurus mautnya. Sementara Saka Lintang kembali menyerang dengan jurus Ular Berbisa Menyebar Racun. Kemarahan dan dendamnya sudah sampai ubun-ubun. Dia tidak lagi memandang perasaan cintanya pada Rangga.

Sementara pertarungan sengit berlangsung, lima orang anggota Bayangan Hitam yang tersisa menyeret gurunya ke tempat yang lebih baik. Tetapi salah seorang dari mereka, kebetulan melihat Intan Kemuning yang belum beranjak dari pintu pondok. Melihat kecantikan Intan Kemuning, seketika nafsu birahinya bangkit.

"Ah!" Intan Kemuning kaget ketika tiba-tiba seseorang telah ada di depannya. Mata orang itu liar merayapi wajah gadis cantik di depannya. Jakunnya turun naik menahan gejolak birahi yang bergelora dalam dada.

"Mau apa kau?" Intan Kemuning bergidik.

"Kau yang menjadi gara-gara, sekarang aku minta bayaran darimu," gertak laki-laki itu.

"Ih!" Intan Kemuning menepis tangan laki-laki yang terulur hendak menjamah.

"He he he..., ternyata kau punya isi juga," orang itu menyeringai.

Serunya tertahan. "Ah, jangan!"

********************

ENAM

Intan Kemuning makin kaget ketika orang itu telah menubruk dan memeluknya. Dia meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Tanpa menghiraukan jeritan, laki-laki itu menyeretnya masuk ke pondok. Rupanya perbuatan salah seorang anggota Bayangan Hitam menarik perhatian empat orang lainnya. Mereka kini tidak peduli dengan mayat gurunya. Segera mereka berlarian ke pondok.

Di dalam pondok, Intan Kemuning terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit. Tangannya memukuli tubuh lelaki kasar yang telah menindihnya. Intan Kemuning jadi lupa kalau dia telah belajar dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Rasa panik dan ketakutan yang amat sangat membuat dia lupa segalanya.

"Auh! Lepaskan...!" jerit Intan Kemuning.

Laki-laki itu makin liar merejam tubuh Intan Kemuning. Bahkan empat laki-laki anggota Bayangan Hitam lainnya telah mengelilingi serta menatap wajah dan tubuh yang indah itu.

Bret! "Auuuh...!" Intan Kemuning memekik ketika tangan laki-laki yang menindihnya, merobek bajunya.

Kini bagian dada yang membukit indah terbuka. Lima pasang mata menatap ke a rah dada yang putih mulus tanpa berkedip. Intan Kemuning cepat menutupi bagian dadanya yang terbuka, namun seorang laki-laki lainnya maju dan menarik tangan Intan Kemuning.

"Tidak...! Lepaskan!" jerit Intan Kemuning putus asa.

Bret! Lagi-lagi baju Intan Kemuning dirobek paksa. Tubuh Intan Kemuning seketika jadi polos. Hanya bagian bawah saja yang masih tertutup. Tangan-tangan kasar kini menelusuri bukit yang indah itu. Keempat orang yang sebelumnya hanya berdiri saja, tidak bisa menahan diri lagi. Mereka mendekat dan meraba-raba tubuh yang putih mulus itu.

Intan Kemuning benar-benar putus asa. Air bening mulai menitik dari sudut matanya. Dari mulutnya keluar rintihan memohon belas kasihan. Namun kelima orang sudah tidak peduli lagi. Tangan-tangan mereka makin liar menjelajah ke seluruh tubuh gadis cantik itu.

"Tidak, jangan...," rintih Intan Kemuning memelas.

Tepat ketika seorang laki-laki akan membuka bagian bawah pakaiannya, tiba-tiba...

Brak! Pintu pondok yang tertutup, hancur berantakan. "Binatang!" Patih Giling Wesi segera menerjang marah. Lima orang yang tengah dirasuki iblis itu terperangah. Pedang Patih Giling Wesi berkelebat cepat Seketika saja dua kepala telah terpisah dari tubuh.

Tiga orang lainnya segera melompat menyebar. Intan Kemuning cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali yang sudah tercabik-cabik itu. Air matanya makin deras mengalir. Dia bersyukur karena kelima laki-laki itu belum sempat merenggut kehormatannya.

"Binatang! Mampus, kalian semua!" teriak Patih Giling Wesi kalap. Pedangnya kian cepat berputar menyerang tiga orang laiki-laki itu. Mereka hanya bisa berkelit saja. Dengan terpaksa mereka melayani hanya dengan tangan kosong karena tidak memiliki senjata lagi.

"Aaaakh!" kematian kembali terdengar. Salah seorang dari tiga orang yang tersisa, ambruk dengan dada tergores panjang dan dalam. Darah segera membasahi lantai. Melihat tiga orang temannya telah tewas, segera dua orang anggota Bayangan Hitam itu mendobrak dinding pondok, kabur.

"Ayah...!"

Patih Giling Wesi yang hendak mengejar, berbalik ketika putrinya memanggil. Intan Kemuning berlari lalu menubruk ayahnya. Mereka saling berpelukan menumpahkan seluruh air mata dan rindu.

"Kau tidak apa-apa, Nduk?" tanya Patih Giling Wesi dengan suara tersendat.

"Tidak, Ayah," jawab Intan Kemuning tanpa melepaskan pelukannya.

"Oh, syukurlah," desah Patih Giling Wesi.

Kembali mereka terdiam sambil berpelukan. Ditumpahkan segala kerinduan dan kegembiraan karena dapat berkumpul lagi. Pelan-pelan Patih Giling Wesi melepaskan pelukannya. Sejenak ditatap putrinya. Jari-jari tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi Intan Kemuning.

"Mereka tidak mengganggumu, Nak?" tanya patih itu masih diliputi perasaan cemas. Biar bagaimana pun juga, hatinya masih khawatir terhadap putrinya yang baru saja terbebas dari tawanan perompak itu.

"Mereka tidak ada yang menggangguku, Ayah," sahut Intan Kemuning. "Pemimpin perampok itu sangat baik. Dia mengangkatku sebagai adiknya."

"Maksudmu, Bidadari Sungai Ular itu?"

"Betul, Ayah. Kakak Lintang selalu melindungiku. Dia baik sekali padaku."

"Lalu, orang-orang itu?"

"Mereka bukan orang-orang Bidadari Sungai Ular. Mereka orang-orang Bayangan Hitam,"

Seketika Intan Kemuning tersentak. Dia ingat kalau pemuda tampan yang telah menggetarkan hatinya tengah bertempur di luar. Pemuda itu kini menghadapi dua tokoh sakti.

"Ada apa, Intan?" tanya Patih Giling Wesi.

"Pemuda itu...."

"Pemuda siapa?"

"Oh!" Intan seperti tersadar. Malu. Seketika kedua pipinya merah merona. Kepalanya tertunduk. Tanpa disadari dia telah mencemaskan pendekar muda yang sejak tadi menarik perhatiannya. Pendekar itu telah merebut sekeping hatinya.

Patih Giling Wesi terdongak begitu mendengar suara pertempuran di luar. Patih Giling Wesi tersadar. Rasa haru dan gembira telah membutakan mata dan menulikan telinganya, sehingga tidak tahu ada pertempuran di luar. Sekelebat memang dia melihat pertempuran itu, namun Patih Giling Wesi lebih terpusat pada suara rintihan wanita di dalam pondok itu. Dan ketika Intan Kemuning menyebut pemuda itu.

Patih Giling Wesi seolah baru sadar kalau putrinya telah menjadi seorang gadis remaja. Ah, apakah Intan Kemuning jatuh cinta? Apakah dengan pemuda tampan yang kini sedang bertarung melawan dua tokoh sakti itu? Kalau benar, siapakah pemuda itu? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak patih itu.

"Intan...," lembut suara Patih Giling Wesi.

Pelan-pelan Intan Kemuning mengangkat kepalanya.

"Ayo...." Patih Giling Wesi menggandeng anaknya ke luar pondok itu. Mereka berhenti melangkah di depan pintu yang sudah hancur. Mereka menyaksikan pertempuran antara Rangga melawan Saka Lintang dan Setan Jubah Merah.

Namun Intan Kemuning melangkah terus, dan baru berhenti setelah berada dua tombak dari pondok. Patih Giling Wesi mengikutinya. Patih Giling Wesi tersenyum melihat Intan Kemuning tidak berkedip menatap setiap gerakan Rangga. Dalam hati dia merasa kagum juga terhadap pemuda tampan itu.

********************

Pertempuran masih terus berlangsung di sungai Ular. Kini yang dihadapi Pengemis Sakti Tongkat Merah hanya empat orang saja. Mayat menyebar di mana-mana. Bau anyir darah menyebar terbawa angin.

"He he he...!" Pengemis Sakti Tongkat Merah terkekeh. Cukup sekali gebrak saja, keempat orang yang memang tidak punya nyali lagi, dibuat tidak berkutik. Ujung tongkat Pengemis Sakti itu merobek-robek dada mereka. Darah segar menyembur disertai jeritan kesakitan saling susul. Keempat orang itu kini ambruk kehilangan nyawa. Kakek Pengemis Sakti kembali terkekeh.

"Kasihan, kalian hanya membuang nyawa sia-sia," gumam Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah. Pelan-pelan kakinya meninggalkan tempat pembantaian itu. Ironis sekali.

Tempat yang indah dan menyejukkan itu, kini jadi mengerikan. Bau anyir darah telah mengundang anjing-anjing hutan untuk menyantap mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak luput, burung bangkai pun telah berkeliling di angkasa minta bagian. Aki Lungkur mengayunkan langkah menuju bukit Guntur. Langkah yang kelihatan pelan, tapi kenyataannya, sebentar saja kakek tua itu telah jauh melangkah. Kakinya seperti tidak menapak tanah. Itulah ilmu Sayiti Angin yang dikeluarkannya. Orang yang menguasai ilmu ini dapat meminjam hembusan angin untuk mendorong tubuhnya. Layaknya kapas yang dihembus angin.

"Mudah-mudahan Pendekar Rajawali Sakti bisa mengatasi keadaan," gumam Aki Lungkur pelan.

"He he he...!"

Tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Aki Lungkur menghentikan langkahnya. Suara itu jelas menggunakan tenaga dalam yang luar biasa. "Tidak disangka, Pengemis Sakti Tongkat Merah mau mengotori tangannya hanya untuk membantai cacing-cacing tanah," terdengar suara mengejek.

"Ah, aku malas main petak umpet," keluh Aki Lungkur terus melanjutkan langkahnya. Langkahnya baru tiga tindak, tiba-tiba di depan Aki Lungkur muncul seorang laki-laki gendut berkepala botak mengenakan jubah kuning. Untaian tasbih tergenggam di tangan kanannya.

"Rupanya kau, Pendeta Murtad," dengus Aki Lungkur.

"Aku rasa kau tidak perlu ke bukit Guntur, Aki Lungkur. Kau akan menambah kotor tanganmu saja," kata Pendeta Murtad yang nama aslinya Pradya Dagma.

"Aku rasa tanganmu tidak lebih bersih daripada tanganku," tenang sekali Aki Lungkur menyahut.

"Tapi aku tidak pernah usil dengan urusan orang lain."

"Dengan menghadang jalanku, kau sudah mencampuri urusan orang lain."

"Phih! Aku sengaja menghadangmu untuk mencegah agar kau tidak ikut campur urusan keponakanku!"

"Keponakan? Ha ha ha...! Apa aku tidak salah dengar? Kapan kau punya keponakan!"

"Oh, mengapa kau lari dari Lembah Tengkorak waktu itu? Kenapa tidak kau bantu keponakanmu? Itukah paman yang baik?"

Merah padam wajah Pradya Dagma. Kata-kata Aki Lungkur tenang diucapkannya, tetapi sakit didengamya. Kata-kata itu baginya adalah penghinaan yang luar biasa.

"Ah, sudahlah! Aku tidak ada urusan denganmu," kata Aki Lungkur berusaha mengalah. Aki Lungkur melangkah melanjutkan perjalanan tanpa peduli.

Melihat hal ini, Pradya Dagma makin merasa terhina. Dengan cepat dia kembali menghadang.

"Sudah kukatakan, aku tidak ada urusan denganmu. Minggir, aku mau pergi!" dengus Aki Lungkur sedikit jengkel.

"Kalau kau mencampuri urusan Saka Lintang, maka kau juga berurusan denganku!'' sahut Pradya Dagma.

"Heh! Rupanya kau cari penyakit?"

"Kau yang cari kematian, Aki Lungkur!"

Aki Lungkur mendelik. Dia bersiap-siap ketika melihat Pendeta Murtad itu telah membuka jurus-jurus ampuhnya. Tanpa dapat dicegah lagi, dua tokoh sakti berlainan aliran itu bertempur dengan sengit. Diantara mereka berdua, sebenarnya tidak ada urusan apa-apa. Aki Lungkur sendiri sebenarnya tidak melayani meski pun Pendeta Murtad itu selalu cari perkara dengannya. Pengemis Tongkat Merah melayaninya dengan setengah-setengah. Padahal, Pendeta Murtad itu telah melancarkan serangan-serangan berbahaya. Kelihatannya dia ingin membunuh Pengemis Sakti ini.

"Pradya Dagma, hentikan semua ketololanmu!" bentak Aki Lungkur gusar.

"Jangan katakan aku kejam kalau kau kukirim ke neraka, Lungkur!" sahut Pradya Dagma keras. "Aku tidak peduli kau melawan atau tidak!"

Gigi Aki Lungkur beradu menahan geram. Pendeta Murtad ini rupanya benar-benar ingin membunuhnya. Dia masih mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Terpaksa Aki Lungkur harus menghadapinya dengan hati-hati. Dia tahu kalau Pradya Dagma sangat berbahaya, terutama tasbihnya yang menjadi andalan.

Antara Aki Lungkur dengan Pradya Dagma, sebenarnya masih saudara seperguruan. Mereka sama-sama murid Resi Brahespati. Akibat suatu perselisihan, rupanya Pradya Dagma masih menyimpan api dendam. Dia tidak mau mengakui keunggulan Aki Lungkur. Padahal setiap kali mereka bentrok, Aki Lungkur selalu bersikap mengalah. Dia masih memandang hormat pada Resi Brahespati. Sebab Pradya Dagma anak tunggal dari gurunya itu. Itulah sebabnya, mengapa Aki Lungkur selalu menolak setiap tantangan Pradya Dagma. Dia pun tak ingin mencampuri urusan Pradya Dagma meskipun tindakan dan perbuatan Pradya Dagma selalu merugikan orang lain.

"Maaf, aku masih ada urusan yang lebih penting," ujar Aki Lungkur masih berusaha mengalah. Segera dia melenting cepat.

"Hey, tunggu!" Pradya Dagma segera mengejar. Hanya beberapa kali lompatan saja, dia telah berhasil mengejar disertai satu pukulan dengan tenaga dalam yang penuh.

Aki Lungkur terkejut. Dia segera membuang diri ke tanah. Pukulan Pradya Dagma menghantam sebatang pohon besar. Seketika pohon itu tumbang disertai suara gemuruh. Aki Lungkur belum bersiap-siap, tiba-tiba datang serangan berikut. Aki Lungkur kembali bergulingan di tanah. Secepat itu pula, dia melenting dan berdiri di tanah dengan kokoh.

"Kelakuanmu sudah melampaui batas, Pradya Dagma!" geram Aki Lungkur.

"Kalau kau laki-laki, jangan hanya bisa menghindar!" ejek Pradya Dagma.

"Kau memang sudah tidak bisa di beri hati. Seluruh pikiran dan hatimu sudah tertutup iblis.

"Kau pun akan senang tinggal di neraka bersama iblis."

"Demi Resi Brahespati, aku tidak menurunkan tangan kejam padamu!"

Rupanya Aki Lungkur sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Dibukanya jurus Tongkat Sakti. Pradya Dagma terkekeh melihat Aki Lungkur mulai terpancing kemarahannya. Dia pun segera mengerahkan jurus Tasbih Sakti. Kedua tokoh itu mempergunakan jurus yang didapat dari sumber yang sama. Mereka sama-sama telah mengenal jurus masing-masing. Setelah mereka saling pandang, maka menyusullah suara teriakan keras. Dua tokoh sakti itu pun saling menyerang.

Kali ini Aki Lungkur tidak main-main lagi. Kemauan saudara seperguruannya dilayani dengan sungguh-sungguh. Bahkan serangan-serangan balasannya tidak tanggung-tanggung mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Lima jurus kini telah mereka lewati. Masing-masing belum ada yang terdesak. Mereka paham betul dengan kelemahan dan kelebihan jurus-jurus masing-masing.

Jurus-jurus yang mereka pergunakan juga beraliran sama, hanya penerapannya yang lain. Jika Pradya Dagma mempergunakannya untuk maksud-maksud kejahatan, maka Aki Lungkur mempergunakannya untuk membela yang lemah dan menumpas kejahatan. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Aki Lungkur yang selalu memperdalam dan menyempumakan ilmunya, kelihatan lebih unggul ketika memasuki jurus yang keseratus.

Sedikit demi sedikit Pradya Dagma mulai kewalahan dan terdesak. Beberapa kali ujung tongkat itu hampir menyentuh tubuh Pradya Dagma, Aki Lungkur selalu membelokkannya. Hatinya tetap tidak mengijinkan untuk melukai saudara seperguruannya ini. Tapi Pradya Dagma sudah tidak peduli. Dia malah mempergunakan kesempatan itu untuk mendesak. Timbul sifat mengalah dalam hati Aki Lungkur. Dibiarkan dirinya terdesak. Bahkan dia kelihatan tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan pertarungan. Hingga pada suatu saat...

"Akhl" Aki Lungkur memekik tertahan. Kaki Pradya Dagma berhasil menghantam dadanya. Tubuh pengemis tua itu terdorong dua tombak. Matanya berkunang-kunang. Dadanya terasa sesak. Tendangan Pradya Dagma telak, disertai tenaga dalam yang hebat Kalau bukan Aki Lungkur, mungkin dada itu telah jebol.

"Kau menghinaku, Lungkur! Kau sengaja mengalah!" desis Pradya Dagma.

"Aku mengaku kalah," kata Aki Lungkur tersendat.

"Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan sikapmu! Ayo lawan aku!" bentak Pradya Dagma.

Tiba-tiba di depan Aki Lungkur seperti berdiri seorang resi. Seketika pengemis tua itu menjatuhkan diri, dan berlutut saat dia tahu yang berdiri di depannya adalah Resi Brahespati.

"Ampunkan muridmu yang hina ini, Resi," ucap Aki Lungkur dengan kepala tertunduk.

Pradya Dagma yang melihat sikap Aki Lungkur, terheran-heran. Dia tidak mengerti, mengapa tiba-tiba Aki Lungkur seperti ketakutan. Bahkan dia tadi menyebut-nyebut resi. Pradya Dagma memang tidak melihat kedatangan Resi Brahespati, ayahnya itu yang padahal tengah berdiri di depannya.

"Bangunlah, tidak layak kau berbuat begitu," lembut berwibawa suara Resi Brahespati.

"Aku berusaha mengalah, tapi Pradya Dagma...," Aki Lungkur tidak melanjutkan kata-katanya.

"Dia benar-benar sudah murtad! Aku mengijinkan kalau kau menjatuhkan tangan padanya. Beri dia pelajaran agar matanya terbuka."

"Resi..!" Aki Lungkur terkejut menerima petuah itu.

Ketika Aki Lungkur ingin melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba Resi Brahespati telah lenyap dari pandangan. Kini yang berdiri di depannya hanyalah Pradya Dagma. Masih terngiang-ngiang kata-kata gurunya tadi. Rasanya memang masih terasa berat untuk menjatukan tangan kepada Pradya Dagma. Segera Aki Lungkur memantapkan hati untuk memberi pelajaran kepada saudara seperguruannya yang murtad ini. Belum juga Aki Lungkur bersiap-siap, Pradya Dagma kembali menyerang dengan jurus-jurusnya.

Terpaksa Aki Lungkur harus jatuh bangun menghindari serangan beruntun itu. Ketika posisinya menguntungkan, Aki Lungkur segera membalas tanpa memberi ampun lagi. Pradya Dagma yang setingkat di bawah Aki Lungkur, kembali terdesak. Sementara kata-kata Resi Brahespati terus terngiang-ngiang di telinga Aki Lungkur. Hal inilah yang membuat pengemis tua itu tidak memberi kesempatan kepada Pradya Dagma untuk membalas.

Pada suatu kesempatan yang baik, dengan cepat pukulan Aki Lungkur bersarang di dada Pradya Dagma. Kemudian disusul dengan tendangan keras. Pendeta Murtad itu terdorong sejauh tiga tombak. Dari sudut bibirnya keluar darah segar.

"Demi Resi Brahespati, minta ampunlah kau pada ayahmu!" kata Aki Lungkur lantang.

"Setan!" dengus Pradya Dagma sambil menyeka darah yang terus mengalir. "Jangan sebut-sebut ayahku!"

Setelah berkata demikian, Pradya Dagma kembali menyerang membabi buta. Aki Lungkur tidak segan-segan lagi melayaninya. Tongkatnya kini berkelebat cepat, dan...

"Aaaakh...!"

Jeritan melengking terdengar. Aki Lungkur mencabut tongkatnya yang menembus dada pendeta murtad itu. Tubuh Pradya Dagma pun ambruk dengan darah muncrat dari dadanya yang bolong. Aki Lungkur cepat-cepat menghampiri dan merangkul tubuh gemuk itu.

"Dagma...!" suara Aki Lungkur bergetar.

Pradya Dagma tersenyum. Napasnya tersendat-sendat. Darah makin banyak keluar. "Aku senang bisa mati di tangan tokoh sakti sepertimu," lemah dan tersendat suara Pradya Dagma.

"Dagma..., kau harus hidup. Kita akan bersama-sama lagi," hibur Aki Lungkur.

"Tidak, Lungkur. Aku puas. Kini keinginanku tercapai sudah. Terima kasih, kau mau memenuhi keinginanku."

Aki Lungkur tidak mengerti, mengapa Pradya Dagma menginginkan mati di tangannya.

"Aku sudah berjanji pada Komala, hanya kau yang boleh membunuhku."

"Dagma, kau bicara apa?" Aki Lungkur makin tidak mengerti.

Ingatannya seketika mundur puluhan tahun yang lalu. Waktu itu mereka masih sama-sama muda dan tinggal di padepokan Resi Brahespati. Di desa dekat padepokan itu tinggallah seorang gadis bernama Komala. Dia cantik dan menjadi kembang desa itu. Ternyata Komala membuka hatinya pada seorang pemuda bernama Lungkur.

Hubungan mereka telah direstui oleh Resi Brahespati. Mereka telah merencanakan untuk memasuki jenjang perkawinan. Tetapi sebelum hari bahagia itu dilangsungkan, seluruh desa dan padepokan geger. Komala kedapatan mati dengan leher tertembus pisau. Sejak itu, Lungkur tidak ada niat lagi mendekati wanita. Hingga tua dia tidak pernah menikah.

"Aku merasa iri karena Komala menjatuhkan pilihan kepadamu. Malam itu, sehari sebelum pernikahanmu dengan Komala, aku menyelinap ke kamarnya. Aku telah memperkosa dan membunuhnya, Lungkur! Di depan mayatnya aku berjanji, hanya tanganmulah yang bisa membunuhku. Kini keinginanku menebus dosa pada Komala terlaksana sudah, Lungkur."

Aki Lungkur hanya tertunduk saja. Dia tak tahu harus bagaimana lagi. Peristiwa itu sudah lama terjadi. Bahkan sudah hampir dilupakannya. Tapi kini, peristiwa itu sepertinya baru saja terjadi.

"Semula aku hanya ingin memperkosa saja. Aku ingin membuatmu kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja membunuhnya, Lungkur. Dia mengambil pisau, dan aku berusaha mencegahnya. Tapi perbuatanku malah menghilangkan nyawanya. Seharusnya malam itu kubiarkan saja dia membunuhku,"

Pradya Dagma meneruskan ceritanya. Setitik air bening mulai menggulir di pipi Aki Lungkur.

"Maafkan aku, Lungkur. Hatiku akan tenang jika kau mau memaafkan aku," kata Pradya Dagma lagi.

"Sejak lama aku selalu memaafkanmu," sahut Aki Lungkur. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa.

"Terima kasih."

Pradya Dagma menutup mata dengan tenang setelah mengucapkan kata maaf dan terima kasih. Bibirnya menyungging senyum. Keinginannya telah terkabul. Menerima kenyataan itu, Aki Lungkur benar-benar sedih. Dia baru sadar kalau perbuatan Pradya Dagma hanyalah untuk memancing kemarahan agar dapat membunuhnya. Kalau saja hal itu diketahuinya sejak dulu, mungkin Aki Lungkur akan segera membunuhnya agar kesengsaraan hidup Pradya Dagma tidak berlarut-larut.

Tidak ada yang tahu kalau seluruh perbuatan Pradya Dagma hanyalah pancingan agar Aki Lungkur dapat membunuhnya. Ternyata di balik hatinya yang keji, masih tersimpan sedikit jiwa ksatria. Teguh pada janji dan pendiriannya. Hanya sayangnya, sikap Pradya Dagma berada di jalan yang salah.

********************

TUJUH

Pertarungan antara Rangga melawan Saka Lintang dan Setan Jubah Merah kian berlangsung sengit di bukit Guntur. Rangga masih tetap menggunakan empat jurus gabungan dari jurus Rajawali Sakti. Kadang dia menggabungkan dua atau tiga jurus. Bahkan kalau mungkin menggabungkan keempatnya sekaligus. Dalam gerakan-gerakan membingungkan itu, Rangga selalu mengganti-ganti jurus. Dengan demikian lawannya benar-benar kerepotan. Mereka bingung menghadapi gerakan-gerakan yang sulit diduga arah dan tujuannya.

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba Rangga berteriak nyaring. Seketika itu pula, tangannya mengembang dengan cepat Tubuhnya kini melayang. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat mengibas mencari sasaran.

"Awas, Lintang!" teriak Setan Jubah Merah tiba-tiba.

"Hait!" Saka Lintang melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh dua tombak. Kibasan Rangga berhasil dielakkan, namun bajunya harus direlakan terjambret.

"Kurang ajar" geram Saka Lintang. Mukanya merah menahan malu.

Baju di bagian dada yang memang sudah sobek, kian lebar saja terbuka. Bagian dada yang membukit terbungkus kulit putih mulus itu tidak lepas dari tatapan mata Patih Giling Wesi. Mata Rangga pun sempat menatap ke bagian indah itu. Seketika darahnya seperti berhenti mengalir. Tetapi dengan cepat dipusatkan kembali perhatiannya pada Setan Jubah Merah.

Saka Lintang sedapat mungkin menutupi bagian tubuhnya yang terbuka itu. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah bagai kepiting rebus. Lalu dengan cepat dia kembali menerjang sambil menghunus pedangnya. Kali ini Saka Lintang menggabungkan antara jurus-jurus ilmu pedangnya. Kali ini Saka Lintang menggabungkan antara jurus-jurus ilmu pedang dengan jurus Ular Berbisa Menyebar Racun.

Menyadari Saka Lintang telah menebar racun, Setan Jubah Merah menahan napas. Tetapi Rangga malah kelihatan tenang-tenang saja. Bahkan bibirnya menyungging senyum. Dia tahu kalau hawa racun telah menyebar di sekelilingnya. Tetapi racun jenis apa pun tak ada pengaruhnya bagi Rangga.

"Kena!" teriak Saka Lintang keras. Pukulan tangan kiri Saka Lintang tepat menghantam dada Rangga.

Gadis itu tidak tahu kalau sebenamya Rangga sengaja membiarkan tangan beracun itu masuk ke dalam bagian dada yang lowong. Wajah Saka Lintang seketika berubah setelah menyadari tangannya tidak dapat ditarik lagi dari tubuh Rangga. Sekuat tenaga gadis itu menarik tangannya. Namun semakin ditarik, semakin kuat telapak tangannya menempel. Saka Lintang jadi geram. Ditebaskan pedang yang ada di tangan kanannya ke leher Rangga, namun...

Trak!

Rangga hanya menyentil pedang itu dengan jurus Cakar Rajawali. Seketika dari ujung pedang sampai pangkal lengan Saka Lintang bergetar. Belum sempat gadis itu menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba tangan Rangga bergerak menyambar gagang pedang dalam genggaman Saka Lintang.

"Ah...!" pekik Saka Lintang tertahan. Saka Lintang semakin panik. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam dan penyaluran racun ke telapak tangannya, gadis itu menggedor dada Rangga sekali lagi dengan tangan kanannya. Di luar dugaan, kedua telapak tangan Saka Lintang kini menempel erat di dada Rangga.

"Setan!" dengus Saka Lintang geram. Kalau Rangga mau, sebenarnya dia bisa saja menebaskan pedang yang terebut tadi. Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Dia malah membuang pedang itu jauh-jauh. Matanya menatap Setan Jubah Merah yang kebingungan. Rangga menggunakan gadis itu menjadi tameng, sehingga Setan Jubah Merah tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak bisa leluasa melancarkan pukulan mautnya.

"Pengecut! Lepaskan gadis itu!" bentak Setan Jubah Merah.

"Oh, tentu! Ini, terimalah!"

Tiba-tiba saja tubuh Saka Lintang terpental keras. Setan Jubah Merah terkejut. Dengan cepat dia melompat dan menangkap tubuh gadis itu yang melayang deras. Jika saja gerakan Setan Jubah Merah tidak cepat, tubuh Saka Lintang dipastikan hancur menubruk batu besar.

"Akh!" tiba-tiba Setan Jubah Merah memekik keras. Cepat-cepat dilepaskan tangannya. Dia kaget setengah mati karena tubuh Saka Lintang masih menyebarkan hawa racun.

Saka Lintang pun tak urung kaget pula. Cepat-cepat dihilangkan hawa racun dari tubuhnya. Dihampirinya Setan Jubah Merah yang tengah meringis memegangi tangannya sendiri.

"Paman... kau tidak apa-apa?" tanya Saka Lintang cemas.

"Uh! Racunmu," kata Setan Jubah Merah sambil meringis.

Saka Lintang merogoh saku jubahnya, dan mengeluarkan sebuah pil berwarna merah darah. Diberikannya pil itu kepada Setan Jubah Merah. Tanpa banyak tanya lagi, laki-laki tua itu menelan pil yang diberikan Saka Lintang. Seketika tubuhnya seperti terbakar.

"Semadilah, Paman," ujar Saka Lintang.

Setan Jubah Merah pun bersila. Kedua matanya dipejamkan. Perlahan-lahan dari ujung kepalanya mengepul asap tipis. Seluruh tubuh Setan Jubah Merah bergetar. Keringat membasahi seluruh tubuhnya.

"Hoek!"

Cairan kental berwarna kehitaman dimuntahkan oleh Setan Jubah Merah. Sedikit demi sedikit, seluruh tubuh laki-laki tua itu mulai tenang. Setan Jubah Merah membuka matanya ketika getaran pada tubuhnya berhenti sama sekali, dibarengi oleh hilangnya asap tipis yang mengepul di kepala laki-laki tua itu.

Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah duduk tenang di atas batu besar. Dia memperhatikan saja kedua lawannya yang tengah sibuk itu. Mulutnya malah bersiul-siul dengan irama tak menentu. Sesekali matanya melirik Intan Kemuning yang berdiri di samping ayahnya. Setiap kali Rangga melirik ke arahnya, Intan Kemuning merasakan jantungnya berdetak keras.

Tanpa sadar Intan Kemuning melontarkan senyuman manis pada pendekar muda itu. Tak diduga, Rangga membalasnya dengan senyum manis pula. Kalau saja saat ini tidak ada ayahnya, ingin sekali Intan Kemuning menghambur dan memeluk pemuda itu. Tapi semua perasaan dan keinginan itu ditekan dalam-dalam sampai ke dasar hatinya.

Sementara, dua tokoh tingkat tinggi, Saka Lintang dan Setan Jubah Merah, telah kembali bersiap-siap menghadapi lawannya yang tengah duduk tenang itu. Rangga seperti tidak peduli dengan lawan yang sudah bersiap-siap menyerang kembali.

"Hiya!" "Yeah!"

Dua teriakan keras saling susul, kemudian disambung dengan melentingnya dua tubuh ke arah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak tahu sama sekali kalau dua tokoh itu meluruk ke arahnya. Rangga masih tenang. Sikap Rangga yang masa bodoh itu membuat Intan Kemuning cemas. Dia gelisah karena dua tokoh sakti begitu cepat menyerang.

"Pendekar Rajawali Sakti, awas!"

Intan Kemuning tidak dapat lagi mengendalikan diri. Peringatan gadis itu tepat bersamaan dengan dua tubuh yang meluruk menerjang Rangga. Serangan yang dibarengi pengerahan tenaga dalam, begitu cepat datangnya. Akibatnya memang dahsyat. Batu tempat Rangga duduk, jadi berkeping keping disertai ledakan keras terkena pukulan itu.

"Akh!" Intan Kemuning memekik tertahan. Jelas kalau Rangga tadi tidak sedikit pun menghindar. Dia seperti membiarkan saja pukulan itu menghantam tubuhnya. Batu yang sebesar kerbau itu saja hancur, bagaimana dengan Rangga? Debu masih mengepal tebal. Intan Kemuning benar-benar tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Dia tidak melihat pendekar itu. Apakah dia hancur bersama batu itu? Batin Intan Kemuning bertanya-tanya penuh kecemasan.

Berangsur-angsur asap tebal yang mengepul sirna disapu angin. Ketika debu itu hilang sama sekali, tampak Rangga masih duduk di atas tumpukan batu-batu yang hancur. Sikap duduknya tidak berubah sedikit pun. Kedua tokoh sakti Itu terperanjat melihat hasil gempurannya tidak berpengaruh apa-apa terhadap lawannya.

"Oh..." Intan Kemuning mendesah lega melihat pendekar tampan itu masih hidup. Sikap gadis itu tidak lepas dari pengamatan Patih Giling Wesi. Dia hanya tersenyum-senyum saja. Rupanya dia mengerti apa yang telah melanda putrinya ini. Patih Giling Wesi kembali perhatiannya tercurah pada ketiga tokoh yang kini telah bertarung kembali.

Tanpa disadari, sepasang mata tengah mengawasi pertarungan itu dari balik pohon. Jelas pemilik sepasang mata itu bukan orang sembarangan. Kehadirannya saja tidak diketahui sama sekali. Sementara itu Rangga sudah kembali melayani dua lawannya yang kian bernafsu untuk mengakhiri pertarungan alot dan panjang ini.

Kini Saka Lintang hanya sesekali saja melontarkan pukulan beracunnya. Dia harus mempertimbangkan kehadiran Setan Jubah Merah. Dia tidak ingin lagi berbuat konyol yang hampir merenggut nyawa paman angkatnya.

"Maaf, Kakek!" seru Rangga tiba-tiba.

Seketika Rangga merubah jurusnya. Dengan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tangan Rangga berhasil menghantam telak dada Setan Jubah Merah.

"Aaaa...!" Setan Jubah Merah meraung keras. Tubuhnya terlontar ke belakang sejauh tiga tombak.

"Paman...!" pekik Saka Lintang. Setan Jubah Merah meregang nyawa sebentar, lalu diam tak bergerak sama sekali. Seluruh dadanya seperti hangus terbakar. Dia terkena Pukulan Maut Paruh Rajawali yang tak terduga dilepaskan Rangga.

"Kejam! Setan! Kubunuh kau!" pekik Saka Lintang marah.

Gadis itu segera menyerang Rangga dengan mengeluarkan jurus andalan terakhirnya. Jurus Ular Berbisa Menyebar Racun yang dipadu dengan jurus Tarian Bidadari. Dalam sekejap sekitar tempat pertarungan telah terselimuti oleh hawa racun yang mematikan. Rangga kembali merubah jurusnya. Kali ini digunakannya jurus Sayap Rajawali Membelah Mega.

Sekejap saja tubuhnya telah melambung di udara. Kedua tangannya merentang mengepak bagai sayap rajawali. Secepat kilat, dirubahnya jurus itu menjadi Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Tubuhnya meluruk turun deras. Kakinya bergerak mengarah kepala lawan. Begitu cepatnya jurus itu sehingga Saka Lintang tidak punya kesempatan lagi untuk mengelak.

"Aaaa...!" Saka Lintang memekik keras. Gadis itu ambruk dengan kepala hancur berantakan. Darah seketika membasahi tanah.

Rangga kembali mendarat Matanya memperhatikan tubuh Saka Lintang yang meregang nyawa, lalu diam tak bergerak lagi. Sungguh tragis kematian gadis ini. Dia mati di tangan laki-laki yang dicintainya. Mati bersama rasa cinta, benci dan dendam.

"He he he." tiba-tiba terdengar suara terkekeh.

Rangga menoleh ke arah suara itu. Dari balik pohon muncul seorang kakek tua berpakaian compang-camping. Ditangannya tergenggam tongkat berwarna merah. Siapa lagi kalau bukan Pengemis Sakti Tongkat Merah.

"Menakjubkan, hebat... hebat..." Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ah, kalau tidak salah, kakek yang berada di kedai minum tempo hari," kata Rangga dengan tutur kata yang halus.

"Penglihatanmu tajam, anak muda. Aku pengemis tua yang hina," sahut Aki Lungkur.

Rangga mendekat Aki Lungkur terkekeh. "Bagaimana kalau kita makan bersama lagi di bawah pohon sambil menikmati udara segar," kata Rangga teringat ketika dia memberikan sebungkus bekal makanan, lalu mereka makan bersama di pinggir tegalan.

"Ah..., tawaran yang menggairahkan. Mari!!" Ketika mereka akan melangkah, tiba-tiba terdengar suara Patih Giling Wesi mencegah.

"Tunggu!"

Mereka menoleh dan berbalik bersamaan. "Uts! Hampir lupa kalau di sini masih ada orang lain," kata Aki Lungkur.

Patih Giling Wesi mendekat diikuti Intan Kemuning. Gadis itu selalu menundukkan kepala terus, tetapi matanya melirik pada Rangga. Hatinya makin berdebar-debar kalau kebetulan matanya beradu pandang. Kalau sudah demikian, cepat-cepat matanya dialihkan mencari pandangan lain.

"Kisanak, kalau boleh tahu, siapa namamu dan dari mana kau berasal?" tanya Patih Giling Wesi.

"Hamba hanya seorang pengembara hina Gusti Patih. Nama hamba Rangga," jawab Rangga merendah.

"Rangga...," Patih Giling Wesi menggumamkan nama itu beberapa kali. Rangga memperhatikan dengan pandangan bertanya-tanya.

"Namamu mirip dengan seorang putra Adipati yang hilang dua puluh tahun lalu," Patih Giling Wesi setengah bergumam.

Rangga terkejut juga mendengarnya. Cepat-cepat diturupi rasa kaget itu dengan senyum. Memang benar gumaman patih ini. Rangga jadi bertanya-tanya, apakah Patih Giling Wesi kenal dengan ayahnya?

"Nama bisa saja sama, Gusti Patih," kata Rangga buru-buru. Dia tidak ingin masa lalunya terungkap lagi. Biarlah kenangan pahit itu dia sendiri yang tahu.

"Nama memang bisa saja sama. Tapi..."

Patih Giling Wesi mengamati wajah Rangga dengan teliti sekali. Patih Giling Wesi tengah berusaha mengingat-ingat. Sepertinya dia pernah mengenal wajah itu. Tapi di mana? Kapan pernah bertemu? Ingatannya terus berputar. Tiba-tiba dia tersentak Benar! Tidak salah lagi. Wajahnya sangat mirip dengan Adipati Karang Setra. Dua puluh tahun yang lalu terjadi musibah pada rombongan Sang Adipati yang hendak menuju ke kota Kerajaan Ayahandanya.

Tetapi Patih Giling Wesi sedikit ragu-ragu juga. Masalahnya, anak laki-laki Adipati hilang tanpa bekas. Sedangkan kejadiannya tidak jauh dari jurang Lembah Bangkai. Semua orang menduga kalau anak itu pasti masuk ke jurang Lembah Bangkai. Karena sudah pasti, siapa saja yang masuk ke dalam jurang itu tak akan pernah selamat. Patih Giling Wesi seperti berperang dengan batinnya sendiri. Antara percaya dan tidak. Antara mengakui dan membantah. Dia berusaha memecahkan teka-teki ini. Siapakan anak muda perkasa yang ada di depannya ini?

********************

DELAPAN

Beberapa saat suasana di bukit Guntur hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara, Semua seperti menunggu pembicaraan Patih Giling Wesi. Patih itu sendiri sampai saat ini masih berusaha memecahkan teka-teki itu. Dia belum dapat memastikan perihal anak muda ini. Ah! Siapa pun dia, yang jelas jasanya sangat besar. Kalau tidak ada pendekar muda ini, entah bagaimana nasib putrinya. Batin Patih Giling Wesi bicara sendiri.

"Aku sangat berhutang budi padamu, Kisanak. Jika tidak mengganggu perjalananmu, sudi kau mampir sebentar di Kepatihan," Patih Giling Wesi mengundang.

Rangga menoleh pada Aki Lungkur yang berdiri di sampingnya. Pengemis tua itu mengangguk-angguk kepalanya. Tentu dia setuju karena antara dia dan patih itu telah terjalin suatu persahabatan. Rangga belum menjawab. Matanya beralih memandang Intan Kemuning. Seketika dua pasang mata saling berpandangan. Intan Kemuning jadi gelagapan. Cepat dialihkan pandangannya ke tempat lain. Tapi bibirnya sempat memberikan senyum manis.

"Baiklah," sahut Rangga mendesah.

"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!" ajak Patih Giling Wesi.

Keempat orang itu segera meninggalkan tempat itu. Mereka menuruni bukit Guntur, meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan dan siap jadi santapan anjing-anjing hutan. Di kaki bukit, telah menunggu delapan orang prajurit Kepatihan. Mereka segera menghampiri patih itu. Masing-masing menunggang kuda dan menuntun seekor kuda pula. Rapaksa segera melompat dari kudanya, diikuti oleh tujuh orang prajurit-prajurit lain. Patih Giling Wesi mengamati sisa prajurit-prajuritnya. Sungguh besar jasa mereka. Nyawa mereka korbankan hanya untuk menyelamatkan seorang putri patih.

"Ampun, Gusti Patih. Hamba datang terlambat Hamba mencari kuda-kuda dulu. Dan kini hamba hanya dapat lima belas ekor," kata Rapaksa melapor.

"Huh, sudahlah. Mari kita kembali ke Kepatihan," sahut Patih Giling Wesi mendesah berat.

Perjalanan kini dilanjutkan dengan menunggang kuda. Semula Patih Giling Wesi khawatir juga terhadap Intan Kemuning. Setahunya Intan Kemuning tidah pernah belajar naik kuda. Patih itu tidak tahu kalau selama jadi tawanan perampok, Intan Kemuning telah diajari naik kuda oleh Saka Lintang. Akhirnya pikiran patih itu tenang setelah melihat putrinya sangat lihai menunggang kuda. Rombongan berkuda itu terus meninggalkan bukit Guntur yang terlihat hijau.

Mereka melewati jalur pintas, tidak menyusuri tepian sungai Ular. Hutan dirambah, padang diarungi, dan kini mereka telah dekat dengan sebuah desa yang dekat dengan bukit Guntur. Rombongan itu terus melewati desa itu. Patih Giling Wesi selalu berada di samping Intan Kemuning. Hatinya masih bertanya-tanya tentang kelihaian putrinya menunggang kuda.

********************

Matahari telah condong ke Barat ketika rombongan itu sampai di pintu Gerbang Kepatihan. Penjaga pintu segera membuka pintu ketika melihat Patih Giling Wesi yang datang bersama putrinya. Mereka pun segera masuk ke dalam benteng Kepatihan, dan berhenti tepat di depan pendopo. Setelah melompat turun dari kudanya, Patih Giling Wesi membantu Intan Kemuning yang sedikit kesulitan turun dari kudanya.

Rangga memandangi bangunan indah dan megah di depannya. Seketika dia teringat sewaktu masih tinggal di Kadipaten. Kediamannya juga tak kalah indahnya dengan bangunan itu.

"Mari silahkan masuk. Anda berdua adalah tamu kehormatanku," kata Patih Giling Wesi.

Sementara Intan Kemuning telah berlari masuk ke dalam keputrenan. Rasa rindu yang menggebu ingin segera bertemu ibundanya, membuat dia lupa sejenak terhadap Rangga. Patih Giling Wesi membawa dua tamunya masuk ke bangsal utama Pendopo itu. Mereka kemudian duduk melingkar menghadapi meja. Beberapa orang pelayan datang menyediakan suguhan.

"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya untuk minum.

"Terima kasih," ucap Rangga sambil mengangkat gelas yang sudah terisi arak manis.

Rangga minum sedikit dengan sikap Sopan. Beda dengan Aki Lungkur. Dia menenggak habis arak wangi mahal itu. Di mana lagi dia dapat minum arak selezat ini kalau tidak mendapat undangan dari Patih Giling Wesi?

Patih Giling Wesi selalu memperhatikan sikap dan tutur kata Rangga. Dari situ dia merasa sedang berhadapan dengan seorang pemuda bangsawan. Sikap Rangga memang tidak seperti pendekar-pendekar lainnya. Biasanya tokoh-tokoh rimba persilatan selalu tidak peduli dengan tata krama.

"Aku senang sekali jika kalian sudi menginap di sini barang satu atau dua malam," kata Patih Giling Wesi lagi.

"Oh, tentu. Tentu saja aku tidak keberatan!" Aki Lungkur cepat menerima sebelum Rangga membuka suara.

Sebenarnya Rangga ingin menolak. Tetapi karena Aki Lungkur sudah menerima, dia hanya bisa angkat bahu saja. Memang tidak ada salahnya menginap barang sehari setelah sepanjang hari menguras tenaga menyabung nyawa. Patih Giling Wesi menepuk tangannya dua kali. Dua orang punggawa datang mendekat. Mereka memberi hormat.

"Antarkan tamu-tamuku ke tempat istirahatnya," perintah Patih Giling Wesi. Kedua punggawa itu kembali memberi hormat.

"Silahkan," Patih Giling Wesi menyilahkan tamunya mengikuti para punggawa yang mengantarkan ke peristirahatan.

Aki Lungkur bangkit dan melangkah pergi ke tempat istirahatnya. Rangga masih duduk di kursinya. Setelah mendapat anggukan dari Patih Giling Wesi, dia pun bangkit melangkah mengikuti punggawa. Rangga memandangi setiap ruangan yang dilewatinya. Di sebuah kamar yang indah dan luas, punggawa itu berhenti. Dia menyilahkan Rangga masuk, dan segera pergi setelah tugasnya selesai.

Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Indah sekali ruangan ini. Saat matanya menatap ke arah taman, dilihatnya Intan Kemuning tengah duduk di bangku taman sendirian. Diamatinya sebentar, dan memang kelihatannya Intan Kemuning juga tengah memandang ke arahnya. Entah melihat atau tidak, yang jelas pandangan itu tertuju pada Rangga. Rangga menoleh ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Bergegas dia membukanya. Aki Lungkur segera menerobos masuk dan menutup kembali. Rangga mengernyitkan keningnya melihat pengemis tua itu seperti terburu-buru.

"Ada apa, Ki?" tanya Rangga.

"Gawat!" sahut Aki Lungkur.

"Apanya yang gawat?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Patih Giling Wesi curiga padamu."

Rangga masih belum mengerti. Dia hanya menatap laki-laki tua itu tak berkedip.

"Patih Giling Wesi memerintahkan beberapa punggawa untuk menyelidiki asal-usulmu. Dia menduga kau anak Adipati yang hilang dua puluh tahun yang lalu."

"Dia menduga begitu?" Rangga terkejut.

"Benar! Aku mendengar sendiri. Makanya aku segera ke sini menemuimu."

"Mengapa Aki memberitahuku?"

"Karena kau baik. Kau seorang pendekar yang banyak dibutuhkan oleh kaum lemah. Aku tidak peduli siapa dirimu. Yang penting aku sudah menganggapmu sahabat."

Rangga berusaha bersikap tenang, meskipun dadanya bergemuruh. Rangga tidak ingin menjadi seorang pendekar tanpa masa lalu. Masa lalu yang tidak perlu diketahui orang lain.

"Terima kasih, Aki," ucap Rangga.

"Hati-hatilah. Aku membaca gelagat lain di balik niat luhur Patih Giling Wesi."

"Jangan berprasangka buruk. Bukankah kalian bersahabat?"

"Aku tidak berprasangka buruk. Niatnya yang tersembunyi memang baik. Tapi aku yakin kau tidak akan menerimanya."

Rangga hanya tersenyum saja. Dia meminta Aki Lungkur untuk pergi beristirahat. Laki-laki pengemis tua itu kembali ke luar setelah berpesan macam-macam. Rangga hanya mengangguk dan mengiyakan saja. Dia tidak mau bertele-tele melayani segala macam prasangka. Memang hatinya telah menduga, hal apa yang akan dikatakan Aki Lungkur tadi.

Sepeninggal Aku Lungkur, Rangga kembali memandang ke arah taman. Intan Kemuning masih duduk di sana memandang ke arahnya. Gadis itu memang cantik. Tak ada orang di seluruh Kepatihan yang tidak tertarik pada gadis ini. Rangga sendiri sebenamya juga tertarik. Rangga melangkahkan kakinya ke luar kamar. Matanya tajam mengawasi setiap tempat yang dilalui. Setiap sudut, dua orang prajurit pasti ada di situ. Ketat sekali penjagaan di Kepatihan ini.

********************

Intan Kemuning memandang Rangga yang melangkah menghampirinya. Dia tidak beranjak dari duduknya. Sikapnya tetap anggun meskipun selama beberapa hari ditempa dengan latihan-latihan keras oleh Saka Lintang. Jiwa kebangsawanannya tetap tidak luntur.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Rangga.

"Oh! Boleh, boleh," sahut Intan Kemuning tergagap.

"Indah sekali taman ini," desah Rangga setelah duduk di samping gadis itu.

"Ya," sahut Intan Kemuning.

"Tapi ada yang lebih indah lagi untuk dipandang."

"Apa?"

"Wajahmu."

Seketika wajah Intan Kemuning menyemburat merah dadu. Jantungnya jadi berdetak tidak beraturan. Pujian Rangga mengena di hatinya. Rasanya dia ingin seribu kali mendengamya.

"Sepantasnya kau mendapatkan seorang pangeran yang gagah dan tampan," kata Rangga.

"Adakah pangeran yang cocok untukku?" tanya Intan Kemuning ingin menegaskan.

"Satu saat nanti, pasti ada seorang pangeran tampan dan gagah menghampirimu."

"Kapan?"

"Satu saat nanti."

"Siapa pangeran itu?"

Rangga tidak menjawab. Dia tersenyum saja. Beberapa saat mereka terdiam saling tatap. Pelan-pelan Intan Kemuning menundukkan kepalanya.

"Semoga aku yang menjadi pangeran itu, Intan," bisik Rangga dekat sekali dengan wajah Intan Kemuning.

"Oh...!" Intan Kemuning tidak mampu berkata-kata lagi. Hatinya berbunga-bunga. Kedua lengannya berkembang masuk ke dalam pelukan Rangga. Dan mereka memperketat rangkulannya...


TAMAT

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.