JARI MALAIKAT
SATU
SAAT ini masih terlalu pagi untuk membuka mata. Kabut pun masih terlalu tebal menyelimuti permukaan bumi. Cahaya matahari yang menyemburat merah jingga di balik Gunung Bekasan seakan-akan tak sanggup menembus kabut yang menggumpal, menutupi puncak gunung itu.Namun kesunyian yang syahdu ini mendadak pecah oleh teriakan-teriakan keras diwarnai denting senjata beradu. Sesekali terdengar ledakan dahsyat menggelegar bagai guntur membelah angkasa. Suara-suara itu jelas datang dari Puncak Gunung Bekasan. Di dalam selimut kabut tebal, terlihat dua sosok tubuh tengah berkelebat saling sambar bagai dua sosok bayangan malaikat yang bertarung memperebutkan bidadari kahyangan.
Dua bayangan putih dan biru itu berkelebat cepat saling sambar di antara kelebatan kabut tebal, pepohonan, semak, dan bebatuan sekitar tempat pertarungan itu sudah porak-poranda bagai habis diamuk ribuan gajah yang marah akibat ruang lingkupnya tergusur keserakahan manusia. Mereka tak mempedulikan cahaya matahari pagi yang mulai menyibak kabut dengan kehangatan dan keindahan sinarnya. Dua sosok itu terus bertarung bagaikan tak akan pernah berhenti. Entah sudah sejak kapan terjadi pertarungan di Puncak Gunung Bekasan ini.
Glarrr!
Tiba-tiba suatu ledakan yang begitu dahsyat terdengar. Tampak batu-batu besar dan kecil beterbangan ke udara. Pepohonan bertumbangan, tanah terbongkar menimbulkan awan debu tebal. Seakan-akan Gunung Bekasan tengah murka. Namun yang terjadi sebenarnya, orang yang mengenakan baju putih telah melepaskan satu ajian sangat dahsyat. Akibatnya, gunung yang biasanya tenang itu seperti meletus. Begitu dahsyatnya, hingga daerah sekitarnya bergetar seperti terjadi gempa dahsyat!
"Ha ha ha...!"
Terdengar tawa terbahak-bahak dari seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengenakan baju putih ketat kotor berdebu. Beberapa puluh tombak di depannya tertihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, tergeletak menggeliat-geliat di tanah. Baju warna biru yang dikenakan sudah koyak bercampur bercak darah dan debu serta keringat.
"Kuakui ketangguhanmu, Pendekar Bayangan Dewa. Tapi itu belum cukup untuk bisa menandingiku! Ha ha ha...!" laki-laki muda berbaju putih ketat itu kembali tertawa tergelak-gelak.
Sedangkan orang yang mengenakan baju biru tampak diam, tak bergerak-gerak lagi. Kedua matanya terpejam rapat. Sedikit pun tak ada gerakan di tubuhnya. Sebatang pohon yang cukup besar menimpa sebelah kakinya hingga sedikit terbenam ke tanah. Sedangkan sebongkah batu sebesar anak domba menghimpit dadanya. Keadaan orang itu sungguh mengenaskan. Malah sepertinya tidak ada harapan untuk hidup kembali.
"Ha ha ha...!" laki-laki muda berbaju putih ketat itu kembali tertawa terbahak bahak.
Slap!
Sungguh ringan dan cepat bagaikan kilat lompatan laki-laki berbaju putih ketat itu. Tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di samping tubuh yang tergeletak, tak bergerak-gerak lagi. Sebentar diamati lawannya tadi, kemudian bibirnya bergerak menyunggingkan senyum. Semakin lama senyum di bibirnya itu semakin lebar, kemudian tawanya kembali pecah menggelegar.
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang ingin menantangku...?!" serunya pongah. "Dewata pun tak akan sanggup menandingi kesaktianku! Ha ha ha…!"
Swing!
Tiba-tiba saja pemuda berbaju putih ketat yang telah dibasahi keringat itu melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata. Bagaikan lenyap ditelan bumi saja layaknya. Namun suara tawanya masih terdengar, lalu lambat laun menghilang terbawa angin pagi yang dingin menebarkan kabut ke angkasa luas.
Sebentar saja kesunyian sudah mencekam menyelimuti seluruh permukaan Puncak Gunung Bekasan ini. Sisa-sisa bekas pertarungan masih terlihat. Dan sosok tubuh baju biru yang koyak, dan kotor berdebu, masih tergeletak tertindih batang pohon serta batu sebesar anak domba. Tak ada gerakan sedikit pun.
Namun tak lama setelah orang berbaju putih tadi pergi, muncul seorang perempuan tua mengenakan jubah kumal. Tangannya menggenggam tongkat berbentuk seekor ular. Gerakannya begitu ringan, dan kelihatannya terkejut begitu mendapati ada orang tergeletak tertindih batang pohon dan batu di puncak gunung yang sunyi ini. Bergegas dihampiri orang yang tergeletak itu, lalu berlutut di situ. Tanpa menunggu waktu lagi, perempuan tua berjubah kumal itu memeriksa laki-laki yang masih tak bergerak bagai mati.
"Oh..., untung belum mati. Hm..., siapa yang melakukan ini...?" perempuan tua itu bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri.
Memang tidak ada orang lain lagi yang bisa diajak bicara. Sebentar diedarkan pandangannya berkeliling, lalu cepat sekali digerakkan tongkatnya. Sungguh luar biasa! Dari tongkat berbentuk ular itu keluar cahaya putih keperakan yang langsung menyelimuti batang pohon besar itu. Pelahan-lahan diangkat tongkatnya. Seketika pohon yang begitu besar dan tidak mungkin dilingkari dua orang sambil berpegangan tangan itu terangkat bagai segumpal kapas tertiup angin.
"Hiya...!" Brak!
Pohon itu menghantam pohon-pohon lain hingga tumbang, begitu perempuan tua betiubah kumal itu menghentakkan tongkatnya. Kemudian, dilakukannya hal yang sama untuk memindahkan batu yang menghimpit dada laki-laki berbaju biru iu. Ringan sekali batu sebesar domba itu dipindahkan, dan dibuang jauh-jauh melewati beberapa pohon tinggi. Batu itu bagaikan terbang dilemparkan sepasang tangan raksasa yang bertenaga luar biasa sekali.
"Siapa pun yang melakukan ini padamu, kau harus selamat dan membalas!" desis perempuan tua berjubah kumal itu pelan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, diangkatnya tubuh laki-laki separuh baya yang belum juga bisa bergerak itu. Sebentar perempuan tua itu memandangi wajah yang berlumuran darah dan kotor berdebu, kemudian melesat cepat bagaikan kilat meninggalkan Puncak Gunung Bekasan ini. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak berbekas lagi. Kembali Puncak Gunung Bekasan dilanda kesunyian yang mencekam.
Namun kesunyian itu tak berlangsung lama, karena burung-burung mulai berkicau menyemarak-kan pagi yang telah dikoyak oleh ulah segelintir manusia. Dan sinar matahari pun kembali tersenyum. Begitu hangat menyirami permukaan puncak gunung itu. Kabut pun telah sejak tadi memudar, sebagai tanda dimulainya kegiatan rutin setiap hari. Tak ada lagi yang tersisa. Sementara alam kembali normal seperti biasa. Akankah hal ini berlangsung untuk selamanya...? Itulah kehidupan.
********************
Suasana di Desa Banyu Reges yang terletak di Kaki Gunung Bekasan tidak seperti hari-hari biasanya. Desa itu kelihatan meriah, dihiasi umbul-umbul di setiap sudut desa yang tidak begitu besar itu. Wajah-wajah ceria terpancar dari setiap orang yang memadati jalan berdebu. Anak-anak berkejar-kejaran, bermain riang. Pemuda-pemuda dan gadis-gadis bergerombol bercanda ria. seperti tak akan menemui lagi hari esok untuk bergembira. Seluruh warga Desa Banyu Reges tumpah ke jalan, seolah-olah hari ini hendak kedatangan seorang pembesar dari kotaraja.
Seluruh warga Desa Banyu Reges berbondong-bondong menuju suatu tempat yang merupakan sebuah tanah lapang luas berumput tebal. Di tengah-tengah lapangan itu berdiri sebuah panggung berukuran cukup besar dan tampak kokoh. Kelihatannya, terbuat dari balok-balok kayu pilihan. Tanah lapang luas itu merupakan halaman depan sebuah padepokan yang terletak di sebelah Barat Desa Banyu Reges. Lapangan luas itu bagai tak mampu lagi menampung orang yang memadatinya. Bahkan banyak anak-anak dan pemuda yang terpaksa harus memanjat pohon agar dapat melihat jelas ke panggung.
Suasana gaduh di sekitar lapangan itu mendadak sunyi senyap ketika seorang laki-laki berusia setengah baya dan berbaju putih panjang melangkah tenang menaiki panggung. Di belakangnya ikut melangkah dua orang anak muda berwajah tampan. Wajah maupun bentuk tubuh mereka hampir mirip. Dua pemuda itu berjalan tenang mengapit seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Di belakang mereka juga berjalan delapan orang menyandang pedang di pinggang. Mereka berhenti tepat di tengah-tengah panggung.
Seluruh warga Desa Banyu Reges mengenal betul mereka yang kini berada di atas panggung. Laki-laki setengah baya yang berdiri paling depan itu adalah Ketua Padepokan Pedang Perak. Julukannya Dewa Pedang. Sedangkan di belakangnya adalah istri dan dua anak laki-lakinya. Delapan orang yang berdiri di belakang mereka adalah para ketua cabang Padepokan Pedang Perak yang tersebar di delapan penjuru mata angin.
"Terima kasih atas kedatangan saudara-saudaraku semua dalam acara tahunan memperingati berdirinya Padepokan Pedang Perak yang keduapuluhsatu ..." ucap Dewa Pedang. Suaranya terdengar dalam dan berwibawa.
Semua yang hadir terdiam mendengarkan. Tak ada seorang pun yang membuka mulut untuk menyelak. Seluruh perhatian mereka tertumpah ke atas panggung.
"Seperti tahun-tahun yang lalu, dalam peringatan ini, Padepokan Pedang Perak mencari pemuda-pemuda ber-kemauan keras untuk ditempa menjadi seorang pendekar sejati…" sambung Dewa Pedang.
Sorak-sorak bergemuruh menyambut pengumuman yang memang sedang dinanti-nantikan itu. Sambutan meriah datang dari para pemuda desa yang datang bukan saja dari Desa Banyu Reges, tapi juga datang dari desa-desa lain di sekitar Kaki Gunung Bekasan. Padepokan Pedang Perak memang sudah terkenal sebagai padepokan yang melahirkan pendekar-pendekar tangguh pembela kebenaran, dan sudah tersebar ke seluruh jagat.
"Seperti biasa, selain akan menerima murid baru, kami juga akan mengadakan pertandingan untuk mempererat jalinan persahabatan antar sesama. Untuk itu, dipersilakan kepada siapa saja untuk mencoba murid-murid Padepokan Pedang Perak," lanjut Dewa Pedang.
Kembali seluruh hadirin bersorak gembira menyambut pengumuman itu. Memang mereka tengah menantikan kehebatan murid-murid Padepokan Pedang Perak. Dewa Pedang mengakhiri pidatonya dengan mengucapkan salam dan mempersilakan pembawa acara melanjutkan kembali acara peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak.
Dewa Pedang didampingi istri dan anaknya serta para ketua cabang dari delapan penjuru meninggalkan panggung. Mereka kembali ke tempat semula di beranda depan bangunan utama Padepokan Pedang Perak. Sementara di atas panggung, pembawa acara sudah mengumumkan untuk memulai pertandingan.
Acara dimulai dengan menampilkan sepuluh orang murid Padepokan Pedang Perak yang memperagakan beberapa kembangan jurus tangan kosong maupun jurus penggunaan senjata dari berbagai jenis. Namun kelihatannya mereka lebih mahir menggunakan senjata pedang yang menjadi senjata andalan padepokan itu. Secara bergantian mereka memperagakan kepandaian masing-masing.
"Bosan...!"
Tiba-tiba saja terdengar gerutuan yang begitu keras. Suaranya menggema bagai datang dari segala arah. Sepuluh orang murid Padepokan Pedang Perak yang tengah berlaga memamerkan kepandaian, berhenti seketika. Demikian pula seluruh pengunjung yang jadi terkejut. Bahkan tak urung Dewa Pedang juga tersentak. Dia tahu kalau gerutuan itu dikeluarkan dengan penge-rahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Kisanak, kami menghendaki kau keluar dan memilih untuk menguji murid-murid Padepokan Pedang Perak!" tegas pembawa acara lantang. Dia seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya cukup tampan, dan bentuk tubuhnya tegap berotot. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya.
"Tidak ada gunanya sesumbar. Dewa Pedang sendiri belum tentu mampu menghadapiku!" terdengar sahutan menggema.
Sahutan itu tentu saja membuat semua orang yang hadir jadi terpana. Berbagai macam suara terdengar bagai lebah terusik sarangnya. Bahkan kedua putra Dewa Pedang langsung melompat berdiri.
"Jangan terpancing, Anakku," kata Dewa Pedang lembut dan berwibawa.
"Tapi, Ayah..." ujar salah seorang yang mengenakan baju ketat berwarna biru dengan ikat kepala juga biru. Namanya, Arya Dipa.
"Kembalilah kalian," kata Dewa Pedang tegas.
Arya Dipa memandang adiknya yang dikenal bernama Arya Gara. Mereka tak berani membantah perintah ayahnya. Sambil menahan geram, kedua anak muda itu kembali ke tempatnya masing-masing. Dewa Pedang bangkit berdiri. Tangan kanannya menggeser gagang pedang yang tergantung di pinggang. Wajahnya begitu tenang. Sinar matanya yang bening merayapi sekitarnya.
"Aku tahu di mana kau, Kisanak. Keluarlah…!" lantang dan sangat berwibawa suara Dewa Pedang.
"Ha ha ha...!" terdengar suara tawa menggelegar.
Belum lagi hilang suara itu, mendadak berkelebat sebuah bayangan hitam dari kerumunan pengunjung yang memadati lapangan itu. Dan tahu-tahu, di atas panggung sudah berdiri seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan baju panjang berwarna hitam pekat. Pada bagian dadanya, terdapat gambar kepala tengkorak manusia. Di tangannya tergenggam dua buah kapak berukuran besar. Di tiap ujung tangkai kapak, terdapat seuntai rantai cukup panjang yang menyatu dengan pergelangan tangan.
"Kapak Maut..." desis Dewa Pedang mengenali laki-laki tua yang kini berdiri tegak di atas panggung.
Sepuluh orang murid Padepokan Pedang Perak yang tadi berlaga mempertunjukkan keahliannya, bergegas turun dari atas panggung. Kini di atas panggung hanya ada si Kapak Maut yang berdiri bersikap angkuh menantang.
"Satu kehormatan baglku kau bersedia hadir di Padepokan Pedang Perak, Kapak Maut," sambut Dewa Pedang ramah.
"Tidak perlu basa-basi, Dewa Pedang! Aku datang khusus hendak menantangmu!" lantang suara si Kapak Maut.
"Ayah...," Arya Dipa berdiri. Dia tidak tahan lagi mendengar kepongahan si Kapak Maut.
Tapi Dewa Pedang sudah memberinya isyarat agar putranya tetap tenang di tempatnya. Istri Dewa Pedang yang bernama Dewi Ratih menarik tangan putranya agar duduk kembali. Arya Dipa terpaksa mengikuti perintah dan isyarat itu, namun wajahnya menyimpan geram. Dewi Ratih sendiri sebenarnya seorang pendekar wanita yang berjuluk Dewi Selendang Sakti.
"Saudaraku, Dewa Pedang. Ijinkan aku memberi pelajaran manusia tak tahu adat itu," tiba-tiba salah seorang wakil dari cabang Padepokan Pedang Perak, bangkit berdiri seraya menjura memberi hormat.
Dewa Pedang memandang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu. Bibirnya tersenyum, seraya menganggukkan kepalanya. Sebagai seorang pemimpin besar sebuah padepokan, tidak layak kalau melarang seorang ketua cabang untuk mengusir seorang pengacau seperti si Kapak Maut itu.
"Terima kasih, Saudaraku."
"Hati-hatilah. Darma Surya. Dia sangat licik dan kejam," ujar Dewa Pedang memberi tahu.
Darma Surya menjura memberi hormat sekali lagi, kemudian melompat ke atas panggung. Begitu indah dan ringan sekali gerakan lompatannya. Tak bersuara sedikit pun. Bahkan saat kaki menapak papan panggung, seperti kapas saja layaknya.
"He he he.... Bodoh sekali kau mengirim monyet busuk tiada guna padaku, Dewa Pedang!" ejek Kapak Maut meremehkan.
"Beri sedikit pelajaran beberapa jurus kepadaku, Kapak Maut," kata Darma Surya masih bersikap sopan.
"Sebaiknya kau mundur saja, monyet jelek!" bentak Kapak Maut tak memandang sebelah mata pun pada calon lawannya.
"Aku akan mundur jika kau bersedia turun dari panggung ini!" tegas jawaban Darma Surya. Geram juga hatinya diejek sedemikian rupa.
"Phuah! Rupanya kau sudah bosan hidup, heh?!"
"Mungkin aku akan mati di sini. Tapi, aku akan puas bila mati di tangan seorang tokoh digdaya berjiwa besar. Bukan di tangan pengacau busuk sepertimu yang merusak kesucian suatu acara." Kata-kata Darma Surya yang begitu tenang, mampu juga membuat air muka Kapak Maut berubah merah kehitaman. Mulutnya mengumpat dan menyemburkan ludahnya karena menahan marah.
"Kurobek mulutmu, monyet! Hiyaaat...!"
Kapak Maut tidak bisa lagi memendam amarahnya. Dia langsung melompat menerjang Darma Surya sambil melontarkan kapak besar yang berada di tangan kanannya.
Wut! "Hap...!"
********************
DUA
Dengan suatu gerakan indah dan manis sekali, Darma Surya berhasil menghindari serangan pertama si Kapak Maut. Begitu serangan pertamanya yang cepat dapat dihindari lawan, si Kapak Maut jadi semakin geram. Kembali diserangnya lawan dengan ganas. Kedua kapak besarnya berkelebatan cepat mengurung tubuh Darma Surya yang masih melayani dengan tangan kosong.
"Setan alas..!" geram Kapak Maut.
Wut! Wut!
Kapak Maut melayangkan kedua kapaknya hampir bersamaan secara menyilang mengarah ke bagian kaki dan dada Darma Surya. Namun lewat satu gerakan manis, Darma Surya melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya. Maka, kembali serangan si Kapak Maut luput dari sasaran. Namun belum juga Darma Surya menjejakkan kakinya, Kapak Maut sudah melayangkan satu tendangan keras menggeledek.
Buk!
"Hugh!" Darma Surya mengeluh pendek.
Tendangan si Kapak Maut begitu keras dan cepat, sehingga tak bisa dihindari lagi. Darma Surya terjungkal keras menghantam panggung hingga bergetar. Tendangan itu tepat menghantam dadanya.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak si Kapak Maut keras.
"Uts!" Darma Surya buru-buru menggulingkan tubuhnya ke samping begitu sebuah kapak besar meluncur ke arahnya.
Brak!
Papan panggung kontan hancur berantakan begitu kapak besar itu menghantam keras. Si Kapak Maut mengumpat habis-habisan melihat lawannya berhasil lolos meskipun sudah terjepit. Cepat-cepat dihentakkan rantai yang menyatu dengan tangkai kapaknya. Pada saat itu Darma Surya sudah mampu berdiri. Darah menetes dari mulutnya.
Sret! Cring…!
Cepat sekali Darma Surya mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Pedang berwarna keperakan itu berkilat tertimpa cahaya matahari. Darma Surya mengibas-ngibaskan pedangnya di depan dada. Namun si Kapak Maut hanya terkekeh saja melihat lawannya yang kini sudah memegang senjata.
"Bagus! Lebih cepat kau mati, lebih bagus!" dengus si Kapak Maut.
"Tahan seranganku! Hiyaaat...!"
"Hap!"
Wuk! Darma Surya mengebutkan pedangnya ke depan begitu sebuah kapak besar berantai meluruk deras ke arahnya.
Kapak itu terpental begitu terbabat pedang Darma Surya. Namun Darma Surya sendiri sampai terdorong tiga langkah ke belakang. Pada saat tubuhnya limbung, si Kapak Maut melompat sambil melontarkan satu kapak lainnya. Begitu cepat serangan laki-laki tua berbaju hitam itu, sehingga Darma Surya tak mungkin lagi menghindarinya.
"Hiya...!" Darma Surya bergegas mengibaskan pedang menyambut kapak yang meluruk mengancam nyawanya.
Trang! Kembali kapak itu terpental. Namun belum juga Darma Surya bisa menarik napas lega, kembali satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi mendarat di dadanya.
"Akh!" Darma Surya memekik keras tertahan.
Pada saat tubuh Darma Surya terpental ke belakang, si Kapak Maut sudah melepaskan kembali senjata dahsyatnya. Kapak besar berantai itu meluruk cepat kilat mengancam nyawa Darma Surya.
"Oh, tidak...!" sentak Darma Surya yang dalam keadaan tidak menguntungkan ini.
Cras!
"Aaakh..!" Darma Surya menjerit keras.
Kapak itu berhasil membelah dada laki-laki separuh baya itu. Darah seketika mengucur deras dari dada yang terbelah cukup dalam. Kalau saja Darma Surya tidak melentingkan tubuhnya ke belakang, kapak itu bisa tembus sampai ke punggung. Namun begitu, Darma Surya tetap ambruk ke tanah, keluar dari panggung dengan dada sobek berlumuran darah.
Beberapa orang murid Padepokan Pedang Perak berhamburan mencoba menolong Darma Surya. Sedangkan si Kapak Maut berdiri congkak bertolak pinggang. Dia tertawa terbahak-bahak menyaksikan lawannya digotong enam orang murid Padepokan Pedang Perak keluar arena.
"Biadab...!" geram Arya Dipa.
Kemunculan si Kapak Maut rupanya sudah memberi tanda kalau hari peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak akan kacau. Dan ini membuat seluruh pengunjung yang ingin menyaksikan hiburan segar, jadi menggerutu tidak senang. Namun ada juga yang senang, karena bisa menyaksikan pertarungan tokoh-tokoh persilatan. Hampir seluruh pengunjung yang tadi memadati tepi panggung, sudah menyingkir.
Hanya beberapa orang saja yang memiliki kepandaian cukup tinggi tetap tinggal di situ. Juga para undangan yang hadir, tetap setia duduk di kursinya masing masing. Wajah-wajah para undangan itu memang menunjukkan ketidaksenangan, walaupun tidak semuanya demikian. Bahkan ada yang tersenyum-senyum seperti mendapatkan pertunjukan indah dan menghibur hati. Entah apa yang ada di dalam benak masing-masing. Yang jelas, suasana ceria kini berubah jadi menegangkan dan mencekam.
"Manusia biadab! Akulah lawanmu...! Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja Arya Dipa melompat dari kursinya, langsung meluruk ke arah pangggung.
"Arya Dipa!" Dewa Pedang tersentak kaget. Namun Ketua Besar Padepokan Pedang Perak itu tidak bisa lagi mencegah putra sulungnya. Karena, Arya Dipa kini sudah berada di atas panggung berhadapan dengan si Kapak Maut. Bukannya meragukan kemampuan putranya, namun dia tahu betul siapa si Kapak Maut itu. Laki-laki tua bejubah hitam itu adalah seorang tokoh persilatan kondang dan terkenal akan kekejamannya. Dia beraliran sesat dan menjadi musuh kaum pendekar yang berjalan di jalur lurus.
"Kapak Maut! Aku putra Dewa Pedang menantangmu untuk bertarung sampai mati!" tegas Arya Dipa lantang.
"Ha ha ha...!" si Kapak Maut tertawa terbahak-bahak.
Tenggorokannya sungguh terasa tergelitik melihat seorang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun berani menantangnya. Terlebih lagi bocah itu adalah putra Dewa Pedang yang ditantangnya. Kapak Maut sudah mempersiapkan cukup lama agar bisa bertarung melawan Dewa Pedang. Kelihatannya memang tidak ada persoalan pribadi di antara mereka. Namun, memang sudah tidak asing lagi bagi kaum persilatan untuk saling menantang dan mengukur tingkatan kepandaiannya.
"Bocah! Sebaiknya kau turun dan suruh ayahmu ke sini!" tegas si Kapak Maut bernada penuh ejekan.
"Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa menghadapi ayahku!" sahul Arya Dipa lantang.
"Bocah edan!" geram si Kapak Maut merasa terhina.
"Jangan salahkan jika kau harus mati muda!"
"Lihat saja nanti, siapa yang lebih dahulu terbang ke akherat!" tantang Arya Dipa.
"Kadal buduk! Tahan seranganku! Hiyaaat...!"
Si Kapak Maut tidak dapat lagi menahan amarah yang meluap dan menggelegak, saat mendapat tantangan dari seorang anak muda yang sangat jauh berbeda usia dan pengalamannya. Dia langsung melompat menerjang sambil melontarkan secara cepat sebuah kapaknya.
Wuk!
"Hup! Hiyaaat...!
Sret!
Arya Dipa langsung mencabut pedangnya, dan secepat itu pula dikibaskan ke kapak yang meluncur mengarah ke dada.
Trang! Kapak besar berantai itu terpental ke udara tersabet pedang Arya Dipa. Dan belum lagi ada yang menyadari, tahu-tahu Arya Dipa sudah melentingkan tubuhnya. Cepat sekali kakinya melayang deras mengarah dada si Kapak Maut. Bukan main terperangahnya si Kapak Maut mendapat serangan balasan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya.
"Hait!"
Kapak Maut mengegoskan tubuhnya ke samping, sehingga tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu berhasil dielakkannya. Namun hatinya begitu terperanjat. Ternyata angin tendangan itu membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Pada saat itu Arya Dipa menggunakan kesempatan yang sedikit ini. Cepat sekali dilontarkan satu pukulan tangan kiri yang keras dan bertenaga dalam cukup tinggi.
Duk! "Akh!" Kapak Maut terpekik kaget.
Sungguh tidak disangka kalau anak muda itu memiliki kepandaian yang begitu mengagumkan. Gerakannya lincah cepat luar biasa, dan tidak terduga sama sekali. Pukulan Arya Dipa telak mengenal dada si Kapak Maut, membuat orang tua berbaju hitam itu terpental ke belakang beberapa langkah.
"Kampret! Phuih...!" geram Kapak Maut langsung menguasai keseimbangan tubuhnya.
"Heh! Hanya sampai di sini sajakah orang yang hendak menantang ayahku?" ejek Arya Dipa memanasi.
"Setan alas! Kubunuh kau!" umpat Kapak Maut geram.
Tanpa diduga sama sekali, semua pengunjung yang menyaksikan pertarungan itu bersorak gembira menyambut kehebatan putra sulung Dewa Pedang ttu. Dan hal ini tidak membuat Arya Dipa jadi besar kepala. Tapi sebaliknya, si Kapak Maut bertambah geram, marah luar biasa. Segera dibukanya jurus kembali, lalu melompat menerjang dahsyat.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Hiya..."
Pertarungan pun kembali berlangsung sengit. Kini pertarungan berjalan semakin dahsyat menggunakan jurus-jurus luar biasa. Namun tampaknya Arya Dipa mampu menandingi si Kapak Maut. Jurus-jurus pemuda itu ternyata tidak bisa dianggap enteng. Serangan-serangannya juga sangat berbahaya dan sering membuat si Kapak Maut kewalahan. Laki-laki tua itu harus jatuh bangun meng-hindarinya.
Tapi Arya Dipa tidak bisa memandang rendah lawannya. Dia sendiri juga kewalahan menghindari setiap serangan si Kapak Maut yang begitu dahsyat dan sangat berbahaya. Sedikit saja lengah, nyawa taruhannya. Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus terlewati tanpa terasa. Mereka sama-sama sudah menghabiskan lebih dari sepuluh jurus, namun belum ada tanda-tanda bakal yang terdesak. Para penonton selalu bersorak bila Arya Dipa berhasil membuat lawannya jatuh bangun. Tapi, sebaliknya mereka mengejek si Kapak Maut jika tengah mendesak pemuda itu. Dan hal itu membuat si Kapak Maut semakin marah luar biasa.
Sementara itu di bawah panggung, Dewa Pedang yang duduk di samping istrinya tidak berkedip memperhatikan jalannya pertarungan. Sebenarnya dia bisa saja membantu putranya secara diam-diam. Tapi, itu tidak akan pernah dilakukan. Bukan saja para undangan yang terdiri dari tokoh persilatan tingkat ringgi yang mencela perbuatannya, tapi itu bukanlah jiwa seorang pendekar jika harus membokong lawan. Dewa Pedang hanya bisa mengharap, putra sulungnya tidak terpancing atau besar kepala. Arya Dipa harus mampu mengontrol diri dan tidak terpancing kelicikan lawan.
"Lihat pedang...!" tiba-tiba Arya Dipa berteriak keras.
Wuk! Seketika itu juga Arya Dipa meliukkan tubuhnya sambil menusukkan pedangnya ke arah leher si Kapak Maut. Serangan yang begitu cepat selagi lawannya tengah mengerahkan serangan juga. Si Kapak Maut jadi ter-perangah. Cepat-cepat ditarik lehernya ke belakang sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan.
Namun tanpa diduga sama sekali, Arya Dipa menarik pedangnya sebelum sampai pada tujuan serangan. Dan sungguh tidak ada yang menyangka sama sekali kalau itu merupakan serangan pancingan agar dada lawan terbuka. Cepat sekali kaki Arya Dipa melayang menghantam dada si Kapak Maut yang terbuka.
Buk!
"Heghk!" Kapak Maut mengeluh pendek. Tendangan yang begitu keras dan mengandung tenaga dalam cukup tinggi itu tidak dapat dielakkan lagi. Tubuh si Kapak Maut terhuyung-huyung ke belakang. Tangan kanannya menekap dada, dan dari mulutnya mengucurkan darah segar. Pada saat itu Arya Dipa tidak membuang-buang kesempatan lagi. Sambil berteriak keras melengking tinggi, pemuda itu melentingkan tubuhnya ke udara. Dan...
Bet!
"Aaa...!" tiba-tiba saja si Kapak Maut menjerit keras.
Selagi di udara. Arya Dipa mengibaskan pedangnya seraya memutar tubuhnya dengan posisi lurus. Seketika pedang keperakan itu berhasil membabat kepala lawan hingga hampir terbelah jadi dua bagian.
Si Kapak Maut meraung keras, dan tubuhnya terhuyung-huyung. Kedua tangannya memegangi kepalanya yang hampir terbelah oleh pedang Arya Dipa. Dan selagi laki-laki tua itu terhuyung meregang nyawa, Arya Dipa langsung menghunjamkan pedangnya ke dada hingga tembus ke punggung. Secepat ditarik ke luar pedangnya, secepat itu pula kakinya melayang menghantam perut lawan.
Brak!
Tak ayal lagi, si Kapak Maut tertontar jauh dan jatuh menghantam deretan kursi kosong di depan panggung. Kursi itu patah berantakan. Si Kapak Maut menggelepar sebentar, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Seketika itu juga tokoh sesat itu tewas dengan kepala pecah dan dada berlubang besar.
Kemenangan Arya Dipa langsung disambut sorak sorai seluruh penonton yang menyaksikan peristiwa itu dengan perasaan tegang. Seketika itu juga lapangan depan Padepokan Pedang Perak menggemuruh dan bergetar bagai terjadi gempa. Semua orang mengelu-elukan Arya Dipa yang berdiri tegak di atas panggung sambil memegang pedang berlumuran darah lawannya. Sambil melangkah menuruni panggung, pemuda itu memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya di pinggang.
********************
Waktu terus berjalan, berputar sesuai kodratnya. Siang pun berganti senja. Dan upacara peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak ditutup untuk sementara, begitu senja merambat menyelimuti mayapada ini. Seperti tahun-tahun lalu, peringatan itu akan berlangsung selama tiga hari berturut-turut.
Beberapa murid padepokan membenahi panggung yang berantakan akibat pertarungan di luar susunan acara, setelah para pengunjung meninggalkan tempat itu. Para tamu undangan kembali ke kamar peristirahatan yang disediakan. Sedangkan Dewa Pedang masih duduk di beranda depan bersama istri dan kedua putranya, serta tujuh orang ketua cabang padepokan ini.
"Bagaimana keadaan Darma Surya, Arya Gara?" tanya Dewa Pedang pada putra bungsunya.
"Masih dalam perawatan. Ayah. Lukanya tidak begitu berbahaya, tapi perlu istirahat banyak," sahut Arya Gara.
"Hhh...! Syukurlah," desah Dewa Pedang.
"Kenapa Kakang kelihatan begitu gelisah?" tegur Dewi Ratih.
"Peristiwa ini pasti akan berbuntut panjang." sahut Dewa Pedang terasa berat.
"Maksud Ayah?" tanya Arya Dipa.
"Kematian si Kapak Maut tentu akan membangkitkan dendam tokoh persilatan golongan hitam. Terlebih lagi...," Dewa Pedang tidak melanjutkan kalimatnya.
"Apa pun yang terjadi, akan kuhadapi, Ayah. Akulah yang membunuh si pengacau itu!" tegas Arya Dipa.
Dewa Pedang tersenyum dan menepuk pundak putra sulungnya dengan perasaan bangga. Namun dari sorot matanya memancarkan kekhawatiran terhadap Arya Dipa. Dan ini sangat terasakan. Bukan saja oleh Arya Dipa, tapi juga yang lainnya.
"Ada apa sebenarnya, Ayah?" tanya Arya Dipa.
"Sebenarnya aku bangga padamu, Arya Dipa. Tapi aku sungguh menyesalkan kejadian ini. Tidak seharusnya hal seperti ini terjadi pada hari-hari suci, saat kita sedang memperingati berdirinya padepokan tercinta ini," pelan sekali suara Dewa Pedang.
"Kenapa Ayah berkata begitu? Kami semua rela berkorban nyawa demi ketegakan dan kejayaan Padepokan Pedang Perak. Tak ada satu lalat pun yang akan dibiarkan mengusik, Ayah." tegas Arya Dipa.
"Benar, Saudaraku. Kami semua rela mati demi padepokan yang kita cintai ini." celetuk salah seorang ketua cabang yang duduk dekat Arya Dipa.
"Aku menghargai kesetiaanmu, Waneng Pati. Juga kalian semua yang tentunya selalu setia padaku dan Padepokan Pedang Perak ini. Tapi persoalan yang akan dihadapi tidaklah ringan. Persoalan ini tidak seperti mengusir lalat busuk yang hanya akan mengotori tempat yang kita cintai ini," kata Dewa Pedang tanpa bermaksud mengecilkan arti teman-temannya.
Tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan Ketua Besar Padepokan Pedang Perak itu. Mereka tidak pernah berpikir kalau kejadian siang ini membuat risau hati Dewa Pedang. Mereka semua menduga kalau kemunculan si Kapak Maut hanyalah suatu kekacauan kecil yang cepat dapat ditanggulangi tanpa menimbulkan banyak korban. Tapi kini Dewa Pedang kelihatan begitu masygul.
Apa sebenarnya yang tengah mengganggu pikiran Dewa Pedang? Sebelum ada yang bertanya lebih jauh lagi, Dewa Pedang sudah beranjak berdiri dari kursinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun dilangkahkan kakinya, masuk ke dalam rumah besar yang berdiri di antara rumah-rumah panjang tempat tinggal seluruh murid padepokan ini. Sedangkan tujuh orang ketua cabang Padepokan Pedang Perak hanya saling berpandangan saja dengan sorot mata penuh tanda tanya.
Dewi Ratih bergegas mengikuti suaminya. Sedangkan Arya Gara pergi ke samping dan berkumpul bersama murid-murid Padepokan Pedang Perak. Tinggal Arya Dipa yang masih termenung duduk di kursinya. Satu persatu sahabat Dewa Pedang meninggalkan tempat itu. Tinggal Waneng Pati yang masih tetap menemani Arya Dipa. Lama juga mereka tidak ada yang bicara.
"Apa sebenarnya yang terjadi pada ayahmu, Arya Dipa?" tanya Waneng Pati seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Entahlah, Paman," sahut Arya Dipa rnendesah panjang.
"Tidak biasanya ayahmu bersikap seperti itu jika menghadapi persoalan," gumam Waneng Pati.
"Paman, siapa sebenarnya si Kapak Maut itu?" tanya Arya Dipa ingin tahu.
"Hhh…! Dia seorang tokoh sesat dalam rimba per-silatan..." sahut Waneng Pati seraya mendesah panjang.
"Aku tahu itu, Paman. Tapi apa hubungannya dengan Ayah?" desak Arya Dipa.
"Aku tidak tahu, Arya Dipa. Aku dan ayahmu memang sudah puluhan tahun bersahabat. Bahkan sebagian besar kepandaianku berasal darinya. Tapi aku tidak begitu tahu kehidupan pribadinya. Bahkan musuh-musuhnya saja tidak semuanya kuketahui," jelas Waneng Pati.
"Apakah Ayah pernah bertarung dengan si Kapak Maut, Paman?" tanya Arya Dipa lagi.
"Setahuku tidak pernah. Tapi..."
"Tapi kenapa, Paman?"
"Si Kapak Maut memang pernah menantang, tapi ayahmu tidak pernah melayani hingga sekarang ini. Sampai akhirnya laki-laki itu tewas di tanganmu tadi." terdengar pelan suara Waneng Pati
"Kenapa begitu?" Arya Dipa jadi semakin ingin tahu.
"Entahlah, Arya Dipa. Aku sendiri tidak tahu, kenapa ayahmu tidak pernah mau menerima tantangan si Kapak Maut."
"Aneh...?! Padahal Ayah selalu menerima setiap tantangan yang datang secara adil dan jujur. Kenapa Ayah tidak mau menerima tantangan si Kapak Maut?" Arya Dipa bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri.
Arya Dipa memandang dalam dalam Waneng Pati, sahabat ayahnya yang begitu dekat. Bukan saja usianya yang hampir sama, tapi Waneng Pati adalah pengikut setia Dewa Pedang semasih pendekar itu melanglang buana dan belum mendirikan padepokan di pinggiran Desa Banyu Reges ini. Hampir semua ilmu yang dimiliki Dewa Pedang diajarkan pada Waneng Pati. Dan Arya Dipa tidak percaya kalau orang yang sudah dianggap sebagai pamannya ini tidak mengetahui tentang kehidupan pribadi ayahnya. Terlebih lagi yang berhubungan dengan si Kapak Maut, hingga akhirnya membuat Dewa Pedang itu gelisah hatinya.
"Penat rasanya seluruh badanku. Aku istirahat dulu, Arya Dipa," ujar Waneng Pati seraya bangkit bendiri dan menggeliat-geliatkan badannya.
"Sebentar, Paman." cegah Arya Dipa meminta Waneng Pati duduk lagi.
"Ada apa lagi, Arya Dipa?" tanya Waneng Pati seraya duduk kembali di kursinya.
"Paman tahu, dari mana si Kapak Maut berasal?" tanya Arya Dipa.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Arya Dipa?" Waneng Pati terkejut juga mendengar pertanyaan pemuda itu.
"Aku akan menyelidikinya, Paman."
"Jangan bergurau, Arya Dipa."
"Aku tidak main-main, Paman."
"Ah, sudahlah. Biar semua ini ayahmu yang menyelesaikan."
"Paman...!"
Tapi Waneng Pati sudah beranjak berdiri, lalu me-langkah meninggalkan beranda. Arya Dipa tidak bisa mencegah lagi, dan hanya memandangi saja kepergian Waneng Pati. Pemuda itu duduk merenung. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepalanya. Macam-macam pertanyaan menyemaraki benaknya, namun tak satu pun mampu terjawab.
"Uh! Apa sebenarnya yang terjadi pada Ayah...?" keluh Arya Dipa dalam hati.
********************
TIGA
Keramaian masih terasa di Desa Banyu Reges, meskipun hari peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak sudah berakhir sepekan lalu. Dan semua orang sudah melupakan peristiwa berdarah yang terjadi pada hari pertama peringatan itu. Bahkan murid-murid padepokan itu sendiri tidak lagi membicarakannya. Keramaian di Desa Banyu Reges terjadi karena masa menuai hampir tiba. Apalagi ditambah para undangan Padepokan Pedang Perak yang belum semuanya kembali pulang. Masih ada juga yang ingin tinggal lebih lama untuk menikmati keindahan desa itu.
Kehadiran tokoh-tokoh rimba persilatan di Desa Banyu Reges bukan saja membuat penduduknya senang, tapi juga membuat persoalan yang tidak biasa terjadi menjadi terjadi. Berbagai macam tingkah polah mereka, sehingga membuat para penduduk Desa Banyu Reges sukar untuk memahami. Apa yang diperbuat terasa janggal. Dan ini membuat para pemuka desa dirundung kegelisahan jika tokoh-tokoh rimba persilatan masih terlalu lama tinggal di situ. Mereka khawatir kalau kalau tingkah polah tokoh persilatan itu merambat dan merasuki pemuda pemuda desa yang masih polos dan lugu.
Namun suasana seperti itu tentu sangat dimanfaatkan pemilik kedai dan rumah penginapan. Tempat-tempat seperti itulah yang selalu dikunjungi mereka hingga padat. Terlebih lagi kedai atau rumah makan yang menyediakan minuman keras serta gadis-gadis penghibur. Tidak heran lagi jika keributan selalu muncul dari kedai-kedai minum ataupun rumah-rumah penginapan. Desa Banyu Reges yang sehari-harinya aman tentram dan tenang, kini mendadak berubah bagai desa mesum yang penuh tingkah polah manusia-manusia berkelakuan sesuka hati.
"Heh! Pembunuhan lagi...!" dengus Ki Junta, Kepala Desa Banyu Reges saat menerima laporan adanya perkelahian di sebuah kedai.
Empat orang yang melaporkan perkelahian itu hanya diam saja, sambil menunggu perintah dari kepala desa itu. Tapi laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih semua itu hanya diam saja seraya mengayunkan kaki keluar dari rumahnya. Empat orang laki-laki bertubuh tegap yang menyandang sebilah golok di pinggang itu mengikuti dari belakang.
"Di mana perkelahian itu, Teja?" tanya Ki Junta terus saja berjalan tak terburu-buru.
"Di kedai Ki Sangir," sahut Teja yang berjalan di sebelah kiri Ki Junta.
"Huh! Selalu saja terjadi di situ...!" rungut Ki Junta.
Sudah beberapa kali ini Ki Junta menerima laporan perkelahian yang berakhir dengan terbunuhnya dua atau tiga orang di kedai Ki Sangir. Letak kedai itu agak mendekati perbatasan desa sebelah Barat. Memang agak jauh dari pemukiman penduduk, namun yang paling ramai dikunjungi orang. Ki Junta merasa jengkel karena setiap saat selalu menerima laporan perkelahian atau tindak kekerasan lain yang membuatnya jadi sukar beristirahat.
Letak kedai Ki Sangir memang tidak seberapa jauh dari kediaman kepala desa, sehingga bisa ditempuh dalam waktu singkat. Sebentar saja Ki Junta yang didampingi empat orang bawahannya sampai di kedai Ki Sangir. Suasana kedai itu tampak ramai, tapi tak ada tanda-tanda bekas terjadi keributan. Ki Junta langsung masuk ke dalam kedai. Dipanggilnya Ki Sangir pemllik kedai itu. Laki-laki tua bertubuh agak bungkuk, dan bernama Ki Sangir bergegas menghampiri.
"Oh, Ki Junta. Silakan, masih ada tempat kosong," sambut Ki Sangir, bersikap hormat
"Kedatanganku bukan untuk makan atau minum di sini!" kata Ki Junta ketus.
Ki Sangir terdiam. Sempat diliriknya empat orang laki-laki di belakang kepala desa itu. Ki Sangir sudah bisa meraba maksud kedatangan Ki Junta ke kedainya ini. Sedangkan Ki Junta mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kedai ini. Cukup padat juga pengunjungnya, tapi masih ada beberapa meja yang belum terisi. Kebanyakan, para pengunjung itu adalah orang rimba persilatan. Ini ditandai dari pakaian dan senjata yang dibawa.
Pandangan mata Ki Junta tertumpu pada satu sudut yang agak terhalang oleh dinding kayu berlubang-lubang. Pada sebuah meja yang hanya ada seguci arak serta beberapa potong pisang goreng, duduk seorang laki-laki muda berwajah tampan. Rambutnya panjang tergelung ke atas. Pemuda itu mengenakan baju warna putih tanpa lengan. Sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung rajawali, menyembul dari balik punggungnya. Ki Junta kembali mengalihkan pandangannya ke arah Ki Sangir yang masih tetap berdiri terbungkuk di depannya. Tubuh Ki Sangir memang agak bungkuk.
"Ki Sangir! Sudah berapa kali kuperingatkan padamu? Jangan biarkan tamu-tamu mabuk-mabukan seenaknya hingga mengganggu ketertiban dan keamanan, mengerti!" tegas sekali kata-kata kepala desa itu.
"Ah! Sudah dua hari ini tidak ada keributan di sini. Ki," sahut Ki Sangir.
"Jangan suka menutup mata di depanku, Ki Sangir!" sentak Ki Junta Jengkel.
"Maaf, Ki Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa Ki Junta seperti tidak menyukai kedai ini dikunjungi banyak tamu?" tanya Ki Sangir merasa tidak suka pada sikap kepala desa itu.
"Bukannya tidak suka. Tapi aku sering dengar kalau di kedaimu selalu terjadi keributan yang membuat penduduk resah!" kata Ki Junta, agak keras nada suaranya.
"Oh...!" Ki Sangir mengeluh panjang.
Laki-laki tua bungkuk pemilik kedal itu kembali melirik empat orang di belakang Ki Junta. Memang sejak datangnya tokoh-tokoh rimba persilatan di desa ini, selalu saja terdengar keributan yang berakhir dengan jatuh korban nyawa dari orang-orang persilatan itu sendiri. Untunglah sampai sekarang ini belum ada seorang penduduk pun yang tewas akibat perkelahian atau apa saja.
Ki Sangir memang mengakui kalau sudah tiga kali kedainya jadi ajang pertarungan yang tidak jelas per-masalahannya. Mereka hanya memamerkan kepandaian yang selalu berakhir kematian. Tapi sudah dua hari ini tidak terjadi perkelahian di kedainya, walaupun pertengkaran kecil memang selalu saja ada.
"Sebaiknya kau tidak usah mendengar, tapi melihat sendiri keadaan desamu...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara menggema.
Ki Junta tersentak kaget. Suara itu jelas ditujukan untuk dirinya. Tapi, entah siapa yang baru saja berbicara. Kedai ini begitu banyak orang yang kelihatannya tidak peduli antara satu dengan lainnya. Ki Junta mengedarkan pandangannya. mencoba mencari arah sumber suara tadi. Sedangkan empat orang yang berada di belakangnya sudah memegang gagang golok masing-masing, tapi belum dicabut dari sarungnya.
"Kisanak, siapa kau yang berbicara?!" lantang suara Ki Junta.
Tak ada sahutan sama sekali. Ki Junta jadi gusar sekali. Kembali diedarkan pandangannya berkeliling, mencoba mencari orang usil tadi.
"Mata lebih sempurna dari pada telinga. Melihat lebih baik daripada mendengar...,"
kembali terdengar suara yang bernada sama. Ki Junta langsung berpaling, dan menatap seorang pemuda berwajah tampan duduk di dekat jendela. Pakaiannya putih bersih dan ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap berisi. Pemuda itu kelihatan tenang menghadapi arak dan beberapa piring makan yang sudah kosong.
"Ilmu pemindah suaramu cukup bagus, Kisanak. Tapi belum cukup untuk mengelabuiku!" dengus Ki Junta dingin.
Belum lagi kata-kata Ki Junta hilang dari pendengaran, mendadak saja kepala desa itu mengibaskan tangannya ke arah pemuda yang duduk di bawah jendela itu. Dari balik lengan bajunya meluncur sebuah benda kecil berwarna hitam. Benda kecil seperti mata tombak tersebut bagaikan kitat meluruk ke arah pemuda tampan itu.
Tap! Tapi sungguh di luar dugaan sama sekali. Pemuda itu hanya mengangkat guci araknya sedikit ke depan. Maka, benda hitam berbentuk mata tombak itu menancap di guci. Masih bersikap tenang, ditenggaknya arak dari dalam guci. Tak ada setetes arak pun yang keluar, meskipun guci itu berlubang tertancap mata tombak hitam yang dilemparkan Ki Junta.
"Ki, sebaiknya jangan di sini. Meja dan kursiku baru diganti semua," kata Ki Sangir, agak bergetar suaranya.
"Minggir kau!" bentak Ki Junta kasar seraya mendorong tubuh laki-laki bungkuk pemilik kedai itu.
Ki Sangir terhuyung-huyung ke belakang. Kalau saja tidak ditahan seorang gadis muda berbaju biru, mungkin tubuhnya sudah menabrak meja.
"Oh! Terima kasih, Nini." ucap Ki Sangir bergegas membungkuk memberi hormat.
"Menyingkirlah, Ki. Kelihatannya kepala desa itu sudah kerasukan setan," kata gadis cantik berbaju biru itu lembut.
"Heh! Apa katamu, Nisanak?!" bentak Ki Junta berang.
"Ini, Ki," gadis itu tidak mempedulikan bentakan Ki Junta.
Sambil berdiri, dibayar makanan dan minumannya pada Ki Sangir, kemudian dilangkahkan kakinya pelahan-lahan ke luar kedai. Tapi belum juga mencapai ambang pintu, dua orang yang mendampingi Ki Junta sudah menghadangnya. Gadis itu terpaksa berhenti melangkah.
********************
Suasana di dalam kedai Ki Sangir semakin bertambah panas. Gadis berbaju biru yang menyandang pedang bergagang seekor naga di punggung itu menatap tajam dua orang yang menghadangnya di depan pintu kedai. Tangan kirinya menggeser sebuah kipas putih yang tertutup di balik sabuk ikat pinggang. Sempat juga diliriknya pemuda berbaju rompi putih yang duduk di sudut. Pemuda itu memberikan senyum sambil mengangkat gelasnya sedikit. Gadis itu pun tersenyum kecil, lalu menatap tajam Ki Junta.
"Maaf, aku akan keluar," kata gadis cantik itu ramah.
"Kau sudah menghina kepala desa kami, Nisanak!" ujar salah seorang yang menghadang di depan pintu dengan suara dingin
"Hm..., lucu sekali. Aku hanya membantu pemilik kedai, kenapa dituduh menghina?"
"Kembalilah ke tempatmu, Nisanak!" bentak laki-laki itu lagi.
"Baik. Apa yang akan kalian lakukan?"
"Tunggu sampai Ki Junta menyelesaikan urusan dengan manusia kurang ajar itu!" dengus orang itu lagi.
Gadis berbaju biru itu mengangkat pundaknya setelah melirik pemuda berbaju rompi putih yang duduk di sudut. Pemuda itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Kemudian gadis itu berbalik dan melangkah kembali ke kursinya, tapi tidak jadi duduk di sana. Dia berjalan menghampiri pemuda yang duduk di sudut, dan duduk di depannya.
"Sudah kukatakan, Kakang. Desa ini tidak ramah untuk disinggahi," kata gadis cantik itu setengah berbisik.
"Tapi aku tertarik pada sikap kepala desa itu," sahut pemuda berbaju rompi putih itu tidak lepas mengamati Ki Junta yang sudah melangkah menghampiri pemuda berbaju putih yang duduk di bawah jendela.
"Huh! Sok jual lagak!"
"Diamlah. Calon lawanmu memperhatikan terus. Sebaiknya kita terus saja seperti tidak saling mengenal"
"Percuma!"
Pemuda berbaju rompi putih itu mengangkat pundaknya sedikit. Perhatiannya tidak pernah beralih ke arah Ki Junta yang kini sudah berada di depan pemuda berbaju putih yang duduk di bawah jendela kedai ini. Jelas sekali kalau sikap pemuda itu tampak tenang dan seperti tidak mempedulikan suasana yang semakin panas menegangkan.
"Anak muda, siapa kau? Mau apa datang ke desa ini?" tanya Ki Junta bernada dingin.
"Maaf, apakah Kisanak bicara denganku?" pemuda berbaju putih itu malah balik bertanya.
"Bocah kadal! Kau pikir aku bicara dengan siapa, heh?!" bentak Ki Junta semakin berang.
"Oh... Kau bicara denganku...?" sikap pemuda itu masih juga tidak peduli.
Tentu saja hal ini membuat dua orang yang duduk di sudut jadi menahan senyum. Terlebih lagi gadis berbaju biru. Dia sampai terkikik kecil, sehingga membuat empat orang pengikut Ki Junta mendelik. Ki Junta semakin berang saja melihat sikap pemuda itu yang tidak peduli sama sekali. Bahkan dia berdiri dan hendak pergi dari kedai ini. Dengan kasar sekali Ki Junta menyentakkan bahu pemuda itu. Seketika satu pukulan keras melayang, tepat mendarat di perut pemuda berbaju putih itu.
Dig! "Heghk!"
Selagi pemuda itu terbungkuk, Ki Junta kembali melayangkan satu pukulan keras menghantam wajah pemuda itu hingga terdongak. Belum lagi pemuda itu mampu melakukan apa-apa, Ki Junta sudah menghantamkan satu pukulan lagi ke dada. Akibatnya pemuda berbaju putih itu terjungkal menabrak meja sampai hancur berantakan.
"Bangun!" bentak Ki Junta keras.
Pemuda berbaju putih itu bangkit berdiri. Disekanya darah yang mengalir dari sudut bibir. Kejadian itu membuat seluruh pengunjung kedal jadi tidak tenang. Mereka bergegas ke luar, tidak ingin ikut campur. Hanya beberapa orang saja yang masih tetap tinggal di kedai ini. Pelahan-lahan pemuda itu berdiri tegak. Sorot matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Ki Junta.
"Heh...!" Ki Junta menghentakkan tangannya sejajar dengan bahu.
Dua orang yang sejak tadi mengawalnya segera melompat maju, seraya mencabut goloknya. Langsung saja dirangsek pemuda berbaju putih itu. Namun sungguh di luar dugaan sama sekali, pemuda berbaju putih ketat itu melentingkan tubuhnya ke udara. Seketika kedua kakinya menyentak menendang dua orang bersenjata golok yang hendak meringkusnya.
Dug! Des!
Kedua orang itu mengeluh pendek dan terjungkal ke belakang sampai menabrak meja kursi. Bergegas mereka bangkit berdiri sambil menggeram marah. Dua orang pengawal Ki Junta itu langsung berlompatan menyerang pemuda itu dengan senjata golok berkilat.
"Hiya! Yeaaah...!"
Sukar untuk diikuti pandangan mata biasa, mendadak saja pemuda itu memutar tubuhnya sambil melompat sedikit. Tangan kanannya berkelebat cepat bagai kilat, maka tahu-tahu dua orang penyerangnya menjerit keras dan terpental ke belakang. Dua orang itu menggeliat sebentar di tanah, lalu diam tak berkutik lagi.
"Hah...!" Ki Junta terperanjat bukan main. Kedua bola mata kepala desa itu mendelik, ketika mendapati kening kedua anak buahnya berlubang mengucurkan darah segar. Ki Junta menatap pemuda berbaju putih itu yang berdiri tenang melipat kedua tangannya di depan dada. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyuman sinis. Ki Junta melangkah mundur beberapa tindak.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Junta berbalik dan langsung melangkah cepat keluar dari kedai Ki Sangir. Dua orang pengawalnya jadi kebingungan, tapi bergegas mengikuti kepala desa itu. Sedangkan pemuda berbaju putih itu juga keluar dari kedai, melangkah tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa padanya tadi. Tinggal Ki Sangir yang sibuk memerintahkan pekerjanya menyingkir-kan dua mayat yang tergeletak dengan kening bolong sebesar jari!
********************
"Mustahil...!" dengus Dewa Pedang seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Berani sumpah, Dewa Pedang. Aku sendiri melihat, bahkan sempat bertarung dengannya sebelum orang itu membunuh dua orang pengawalku," kata Ki Junta.
Dewa Pedang bangkit berdiri dari duduknya, lalu berjalan menghampiri jendela ruangan kecil yang khusus untuk bersemadi. Pandangannya lurus menatap bulan yang bersinar penuh malam ini, kemudian berbalik dan menatap Ki Junta yang masih duduk bersimpuh di lantai.
Kepala Desa Banyu Reges itu sudah menceritakan semua peristiwa di kedai Ki Sangir siang tadi. Dan setiap kali terjadi peristiwa di Desa Banyu Reges, Ki Junta selalu melaporkan hal itu pada Ketua Padepokan Pedang Perak itu. Dan ini membuat Dewa Pedang jadi gundah. Belum pernah terjadi tamu-tamu yang diundang tidak langsung pulang. Bahkan menetap beberapa hari di Desa Banyu Reges.
Yang menjadi beban pikirannya, tokoh-tokoh persilatan yang kini berada di Desa Banyu Reges sebagian beraliran hitam. Bahkan tidak sedikit tokoh persilatan yang tidak dikenalnya berada di desa itu. Apa sebenarnya yang mereka inginkan? Ataukah sedang menunggu sesuatu? Tapi, apa yang ditunggu...? Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu menghantui Dewa Pedang.
"Ki Junta tahu, apa tujuan orang itu datang ke desa ini?" tanya Dewa Pedang setelah cukup lama berdiam diri.
"Entahlah, Dewa Pedang. Dia tidak banyak bicara, tapi setiap ucapannya sungguh menyakitkan sehingga kemarahanku tidak bisa lagi ditahan," sahut Ki Junta.
"Hhh.... Setahuku, orang yang memiliki jurus Jari Malaikat hanya Pendekar Jari Malaikat. Tapi pendekar itu sudah lama tidak terdengar sepak terjangnya lagi setelah ditaklukkan seorang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," jelas Dewa Pedang setengah bergumam.
"Pendekar Jari Malaikat bukan lagi seorang pemuda. Usianya saja lebih sepuluh tahun dariku. Aneh...?!"
"Aku melihatnya sendiri, Pende..."
"Aku percaya, Ki Junta," potong Dewa Pedang cepat "Luka di kening kedua pengawalmu itu memang jelas akibat jurus 'Jari Malaikat'."
"Kalau pemuda itu bukan Pendekar Jari Malaikat. lalu siapa...?" Ki Junta seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Itulah yang mengganggu pikiranku," kata Dewa Pedang.
"Atau mungkin muridnya...?" Ki Junta menduga-duga.
"Mungkin juga...," gumam Dewa Pedang pelan seraya melangkah kembali ke tempat duduknya.
Dewa Pedang duduk bersila di depan Ki Junta. Untuk beberapa saat lamanya tak ada yang berbicara. Masing-masing sibuk bersama pikirannya sendiri. Suasana di ruangan semadi itu jadi sunyi senyap. Hanya tarikan napas saja yang terdengar. Kedua orang itu mendadak mendongak begitu terdengar ketukan di pintu. Belum lagi Dewa Pedang membuka mulut, pintu ruangan semadi ini telah terbuka. Muncul Arya Dipa dan adiknya. Mereka menjura memberi hormat, kemudian melangkah masuk dan bersila di samping Ki Junta.
"Ada apa, Anak-anakku?" tanya Dewa Pedang.
"Ayah, ada tamu yang hendak bertemu," sahut Arya Dipa memberitahu.
"Hm..., siapa?" tanya Dewa Pedang.
"Pendekar Jari Malaikat," sahut Arya Dipa.
"Siapa...?!" Dewa Pedang terperanjat bukan main.
Tubuh laki-laki Ketua Padepokan Pedang Perak itu sampai terlonjak berdiri, sehingga membuat kedua putranya keheranan tidak mengerti. Sedangkan Ki Junta hanya bisa memandang saja, tanpa mampu berkata-kata lagi.
"Kalian temui dulu. Katakan, nanti aku akan datang menemuinya," kata Dewa Pedang setelah bisa tenang kembali.
Kedua pemuda itu bangkit dan menjura memberi hormat, lalu melangkah ke luar. Arya Gara menutup pintu ruangan semadi itu kembali setelah berada di luar. Dewa Pedang masih berdiri mematung, dan bibirnya terkatup rapat. Ki Junta berdiri dan membungkuk memberi hormat.
"Ikutlah menemuinya, Ki. Mungkin dialah orangnya yang telah membunuh dua pengawalmu," kata Dewa Pedang.
"Baik, Dewa Pedang." sahut Ki Junta hormat.
"Ayolah! Jangan sampai dia menunggu lama."
********************
EMPAT
Dewa Pedang menjadi tertegun begitu melihat tamu yang datang ke padepokannya. Seperti yang dikatakan putranya, tamu itu memang benar Pendekar Jari Malaikat. Hanya sesaat Dewa Pedang tertegun, kemudian segera mempersilakan tamunya duduk. Di ruangan depan yang cukup luas ini, Dewa Pedang duduk menghadapi meja bundar. Di sampingnya duduk Ki Junta. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat berada di seberang meja.
"Ada angin apa sehingga Kisanak singgah di padepokanku ini...?" Dewa Pedang membuka suara. Sikapnya ramah penuh persahabatan.
"Aku memang sengaja datang ke sini, Dewa Pedang," ujar Pendekar Jari Malaikat.
"Oh...," Dewa Pedang mendesah panjang.
"Terus terang, kedatanganku ada hubungannya dengan tewasnya si Kapak Maut," tegas Pendekar Jari Malaikat.
Dewa Pedang tidak lagi terkejut mendengarnya. Namun tidak demikian halnya Ki Junta. Kepala Desa Banyu Reges itu terkejut bukan main, hingga ternganga menatap dalam pada laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu. Dia mengenakan baju putih panjang, bergambar jari-jari tangan terkembang pada bagian dada kiri.
"Yaaah.... Aku juga menyesalkan kejadian itu, tapi tidak bisa mencegah. Si Kapak Maut datang ke sini tepat pada hari pertama peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak. Kedatangannya ternyata hanya untuk menantang dan melukai seorang wakil wilayah padepokan ini. Tapi sayang, dia tewas di tangan putraku sendiri," Jelas Dewa Pedang tenang. Tak ada nada kegelisahan pada suaranya.
Namun tidak demikian halnya hati Ketua Padepokan Pedang Perak itu. Dia terus menduga-duga apa yang akan dilakukan Pendekar Jari Malaikat. Wajahnya terlihat tenang, namun dari sorot matanya memancarkan sesuatu yang sukar untuk ditebak. Sementara Ki Junta hanya menjadi pendengar saja, seperti tidak ingin mencampuri urusan itu. Apalagi setelah melihat kalau Pendekar Jari Malaikat yang kini berada di depannya bukanlah orang yang telah membunuh dua orang pengawalnya. Ki Junta sendiri masih belum bisa menebak, siapa pemuda yang memiliki jurus Jari Malaikat itu?
"Dewa Pedang. Kau tentu tahu, siapa itu si Kapak Maut, bukan?" agak dingin nada suara Pendekar Jari Malaikat.
"Ya, aku tahu," sahut Dewa Pedang mendesah.
"Dan kau pasti sudah mengetahui maksud kedatanganku ke sini," sambung Pendekar Jari Malaikat.
"Jika kau ingin membalas kematian adikmu, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya," tegas kata-kata Dewa Pedang.
"Hhh...! Itu bukan sifatku, Dewa Pedang!" dengus Pendekar Jari Malaikat "Kau sendiri sudah mengetahui, bahkan menjadi saksi sumpahku. Siapa pun yang membunuh si Kapak Maut, harus berhadapan denganku. Baik itu kawan maupun lawan. Kecuali aku sudah mati."
"Yang mengalahkan si Kapak Maut adalah putraku sendiri. Dan itu menjadi tanggung jawabku karena aku tidak berusaha mencegahnya. Kau sendiri juga tahu kalau si Kapak Maut selalu membenci dan menantangku bertarung, tapi semua itu tidak pernah kulayani. Ini karena aku menghormati sumpahmu, dan tidak mau mengkhianati persahabatan kita," tegas juga jawaban Dewa Pedang.
"Apa pun alasannya, putramu tetap harus berhadapan denganku!" tegas Pendekar Jari Malaikat memberi keputusan.
"Dan itu berarti kau harus berhadapan denganku juga, Jari Malaikat!" sambut Dewa Pedang tidak kalah tegasnya.
"Menyesal sekali, persahabatan kita harus berakhir secara menyedihkan," desah Pendekar Jari Malaikat pelan.
"Semua itu sudah kuduga sebelumnya, Jari Malaikat. Sejak aku menikahi Dewi Ratih dan adikmu membenciku tanpa alasan pasti."
"Si Kapak Maut membenci dan selalu menantangmu karena kau dianggap telah merebut kekasihnya."
"Dewi Ratih, maksudmu...?"
"Benar. Sebelum kau kenal Dewi Ratih, adikku sudah mengenal sekaligus mencintainya lebih dahulu. Tapi memang kaulah yang beruntung dan berhasil memperistrinya."
"Kenapa tidak kau katakan itu sejak dulu...?" Dewa Pedang seperti menyesali sikap sahabatnya itu.
"Sudah kukatakan, segala tindakan si Kapak Maut tidak akan pernah kucampuri. Tapi, tak ada seorang pun yang boleh mencelakakannya, apalagi membunuhnya. Itu sumpahku, Dewa Pedang. Sumpah di depan pusara ayahku, ayah si Kapak Maut juga. Dan itu merupakan amanat yang harus kujalankan!"
"Sama sekali aku tidak bermaksud menyalahkanmu, Jari Malaikat. Tapi yang kusesalkan adalah sikapmu yang selalu membela si Kapak Maut. Akibatnya, kau sendiri selalu berhadapan dengan berbagai macam kesulitan akibat tingkah laku adikmu."
"Itu urusanku, Dewa Pedang! Kau tidak perlu ikut campur urusanku!"
"Dan sekarang kau hendak menuntut balas atas kematian adikmu. Apa kau tidak tahu kalau si Kapak Maut berbuat seperti itu karena didasari nafsu ke angkar-amurkaannya. Sedangkan Arya Dipa hanya mencoba meredam keangkuhannya. Lain tidak! Anakku juga terpaksa membunuhnya, karena adikmu telah melukai salah seorang pamannya dan hampir membunuhnya. Bukan satu dua mata yang menyaksikan, tapi puluhan. Bahkan ratusan!" Dewa Pedang memaparkan kejadian yang sebenarnya.
"Dewa Pedang, aku tidak ingin bertengkar mulut denganmu. Kedatanganku ke sini hendak menuntut kematian adikku. Maka kau harus merelakan putramu berhadapan denganku. Kutunggu Arya Dipa besok pagi di Puncak Gunung Bekasan!"
Setelah berkata demikian. Pendekar Jari Malaikat langsung berdiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu cepat melangkah ke luar. Dewa Pedang hendak mengejar, tapi Ki Junta sudah keburu mencegah dengan mencekal tangannya. Dewa Pedang menghembuskan napas panjang dan berat.
"Hhh...! Apa yang kurisaukan ternyata jadi kenyataan juga...!" keluh Dewa Pedang.
"Aku tidak menyangka kalau si Kapak Maut itu adik Pendekar Jari Malaikat," gumam Ki Junta.
Tak ada lagi yang bicara. Kesunyian melanda ruangan besar itu. Beberapa kali Dewa Pedang menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Sedangkan Ki Junta hanya bisa memandangi tanpa dapat menyumbangkan sedikit pikiran. Persoalan yang dihadapi Dewa Pedang kali ini begitu pelik dan berat sekali.
Sungguh di luar jangkauan dan kemampuannya. Ki Junta hanya bisa berharap agar Dewa Pedang mampu menyelesaikan persoalan ini tanpa harus kehilangan putra sulungnya. Mereka jadi seperti melupakan persoalan yang dibawa Ki Junta. Persoalan serius yang kini sedang dihadapi seluruh warga Desa Banyu Reges.
********************
Tidak mudah bagi Dewa Pedang untuk menyampaikan tuntutan Pendekar Jari Malaikat terhadap Arya Dipa. Tapi, biar bagaimanapun harus disampaikan juga. Dengan perasaan berat dan amat tertekan, Dewa Pedang mengutarakan maksud kedatangan Pendekar Jari Malaikat malam ini. Sedangkan Arya Dipa hanya menanggapi dengan sikap tenang tanpa menampakkan keterkejutan sedikitpun.
"Kakang, apakah kau tidak bisa mencegah?" pinta Dewi Ratih yang wajahnya diliputi kecemasan.
"Aku sudah berusaha, tapi memang sudah begitu wataknya. Sekarang tinggal keputusan Arya Dipa saja," kata Dewa Pedang pasrah.
"Tapi, Kakang... Arya Dipa bukanlah tandingan Pendekar Jari Malaikat," sergah Dewi Ratih.
"Aku tahu itu, Ratih. Tapi harus diingat, kalau Pendekar Jari Malaikat hanya melaksanakan amanat dan sumpahnya. Aku sendiri sebenarnya tidak setuju pada sikapnya yang begitu keras, sampai-sampai tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah."
"Sudahlah, Ayah, Ibu. Tidak perlu dicemaskan. Aku akan pergi ke Puncak Gunung Bekasan sebelum matahari terbit," selak Arya Dipa dengan suara yang sangat tenang.
"Kau tidak akan mampu menghadapinya dalam lima jurus, Anakku," kata Dewi Ratih.
"Memohon saja pada Hyang Widi, Bu," ujar Arya Dipa diiringi senyum.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa, tapi tidak akan membiarkan kau mati di tangan Pendekar Jari Malaikat, Arya Dipa," tegas Dewa Pedang.
"Tidak perlu Ayah lakukan itu untukku. Aku yang membunuh si Kapak Maut, maka aku juga yang harus mempertanggung jawabkannya. Aku akan mewakili Ayah. Percayalah. Jurus-jurus 'Dewa Pedang' sudah kuperdalam, meskipun belum sesempuma Ayah." jelas Arya Dipa mencoba menenangkan hati orang tuanya.
Betapa terharunya Dewa Pedang menyaksikan jiwa putra sulungnya ini. Bola matanya berkaca-kaca, tak mampu membendung keharuan yang menggelegak di dalam dada. Dewa Pedang merengkuh putranya, lalu memeluk erat-erat. Seakan-akan tidak ingin dilepaskannya lagi. Sedangkan Dewi Ratih menyusut air bening yang menetes di sudut matanya. Keharuan begitu menyelimuti mereka.
"Aku bangga padamu, Anakku," ucap Dewa Pedang agak tersendat.
"Restui aku. Ayah, Ibu.... Semoga Hyang Widi bersamaku," ujar Arya Dipa seraya melepaskan pelukan ayahnya.
"Pergilah beristirahat," ucap Dewi Ratih.
Arya Dipa bangkit berdiri, lalu menjura memberi hormat sebagaimana lazimnya murid-murid Padepokan Pedang Perak memberi hormat terhadap gurunya. Meskipun Dewa Pedang adalah ayah kandungnya, tapi Arya Dipa tidak pernah lupa kalau laki-laki setengah baya itu juga adalah gurunya. Pemuda itu melangkah keluar dari ruangan itu.
Arya Dipa agak terkejut juga begitu keluar. Ternyata adiknya sudah menunggu di depan pintu ruangan pribadi ayah mereka. Arya Dipa hanya memandang Arya Gara sejenak, kemudian terus saja berjalan agak cepat setelah menutup pintu. Arya Gara mengikuti dan mensejajarkan langkah di samping kakaknya.
"Kau pasti mendengarkan semua pembicaraan tadi, Arya Gara," kata Arya Dipa mendahului.
"Aku akan mendampingimu, Kakang," ujar Arya Gara.
"Untuk apa?"
"Kalau-kalau orang tua itu membawa murid"
"Tidak, Arya Gara. Pendekar Jari Malaikat tidak mempunyai murid seorang pun."
"Kakang lupa. Siang tadi, muncul orang yang memiliki jurus 'Jari Malaikat'. Apa Kakang sudah lupa pada pembicaraan Ayah bersama Ki Junta di ruangan semadi? Aku tidak bisa melupakannya, Kakang. Dan aku yakin kalau orang itu adalah murid si Pendekar Jari Malaikat," tegas Arya Gara.
Arya Dipa mendadak tercenung, dan seketika berhenti melangkah. Dipandangi adiknya dalam-dalam. Siang tadi mereka memang sengaja menguping pembicaraan ayahnya dengan Ki Junta di dalam ruang semadi. Bahkan juga sudah mendengar tentang perkelahian di kedai Ki Sangir. Sampai saat ini memang belum diketahui, siapa pemuda yang telah membunuh dua orang pengawal Ki Junta dengan jurus 'Jari Malaikat'. Sedangkan ayah mereka sendiri mengatakan kalau Pendekar Jari Malaikat tidak memlliki seorang murid pun.
"Kakang! Ayah dan Pendekar Jari Malaikat sudah tidak bertemu hampir sepuluh tahun. Bukannya tidak mustahil kalau Pendekar Jari Malaikat ternyata juga mempunyai murid seperti Ayah. Sedangkan buktinya sudah ada. Dua orang pengawal Ki Junta tewas terkena jurus 'Jari Malaikat'," kata Arya Gara lagi.
"Orang itu belum terbukti, siapa dan dari mana asalnya, Arya Gara," bantah Arya Dipa terhadap pemikiran adiknya.
"Tentu saja belum diketahui, Kakang. Siapa tahu itu hanya siasat Pendekar Jari Malaikat saja. Kita semua toh, belum mengetahui maksud kedatangan orang itu ke Desa Banyu Reges. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Kakang."
"Sudahlah! Aku ingin lstirahat," kata Arya Dipa seraya melangkah lagi.
"Diijinkan atau tidak, aku tetap akan ke Puncak Gunung Bekasan, Kakang!"
"Terserah kau!"
"Terima kasih, Kakang...!"
********************
Pagi-pagi sekali sebelum matahari memancarkan penuh sinarnya, Arya Dipa sudah memacu cepat kudanya keluar dari lingkungan Padepokan Pedang Perak. Kuda putih itu berpacu cepat bagai terbang saja layaknya. Arya Dipa sama sekali tidak mengetahui kalau kepergiannya selalu diperhatikan seseorang yang mengikuti sambil menjaga jarak.
Pemuda itu terus memacu cepat kudanya menuju Gunung Bekasan. Dalam waktu tidak berapa lama, putra Dewa Pedang itu sudah mendaki Lereng Gunung Bekasan yang cukup terjal. Arya Dipa terpaksa meninggalkan kudanya, dan melanjutkan perjalanannya dengan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Tingkat kepandaian yang dimiliki Arya Dipa memang cukup tinggi. Tidak heran kalau pemuda itu mampu berlari cepat menembus lebatnya hutan di Lereng Gunung Bekasan, meskipun keadaan masih cukup gelap.
Tepat pada saat matahari menampakkan diri, Arya Dipa sudah tiba di Puncak Gunung Bekasan. Pemuda yang mengenakan baju biru laut itu menghampiri sebuah pohon beringin besar yang berdiri tepat di tengah-tengah Puncak Gunung Bekasan ini. Tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan seekor binatang pun seperti enggan menampakkan diri. Seluruh penghuni hutan di Puncak Gunung Bekasan seakan-akan mengetahui kalau sebentar lagi di daerah ini akan menjadi ajang pertarungan. Arya Dipa berdiri tegak membelakangi pohon beringin besar itu. Matanya memandang ke sekeliling mengamati keadaan sekitarnya.
"Hm.... Kenapa Pendekar Jari Malaikat belum juga muncul...?" gumam Arya Dipa pelan.
Cukup lama juga Arya Dipa menunggu munculnya Pendekar Jari Malaikat di Puncak Gunung Bekasan ini. Tapi yang ditunggu-tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Hingga matahari bersinar penuh dengan sinarnya yang terik, Pendekar Jari Malaikat belum juga muncul. Arya Dipa mulai jenuh, dan menjadi kesal karena merasa dipermainkan.
"Huh! Apa tantangan ini cuma main-main saja...?" dengus Arya Dipa kesal.
Pemuda itu mengayunkan kakinya hendak meninggalkan Puncak Gunung Bekasan ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat di depannya. Tahu-tahu di depan Arya Dipa sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan Jubah panjang. Arya Dipa berhenti melangkah, karena mengenali laki-laki tua itu.
"Pendekar Jari Malaikat... Akhirnya kau datang juga," dengus Arya Dipa.
"Aku sudah ada di sini sebelum kau datang, Arya Dipa," kata Pendekar Jari Malaikat kalem, seraya bibirnya mengulas senyuman tipis.
"Hm..." gumam Arya Dipa tidak percaya.
"Aku tahu kau tidak datang sendiri, Arya Dipa. Itu sebabnya aku menunggu, tapi ternyata temanmu cukup sabar juga," kata Pendekar Jari Malaikat tetap kalem.
"Pendekar Jari Malaikat, aku datang sendiri. Dan kau tidak perlu mengada-ada!" keras suara Arya Dipa.
"Mungkin aku bisa percaya. Tapi kenyataannya, kau membawa adikmu. Bahkan juga membawa orang lain yang tidak kukenal. Mereka semua sudah ada di sini begitu kau tiba," kata Pendekar Jari Malaikat lagi.
Betapa terkejutnya Arya Dipa. Pemuda itu memang tahu kalau adiknya mengikuti, tapi tidak tahu sejak kapan Arya Gara mengikutinya. Dia datang ke sini hanya seorang diri, tanpa teman atau siapa pun. Tapi mengapa Pendekar Jari Malaikat berkata sebaliknya? Apakah memang di puncak gunung ini sudah banyak orang? Arya Dipa benar-benar tidak mengetahui. Sama sekali tidak diketahui kalau di tempat ini ada orang lain selain dirinya sendiri.
"Arya Gara! Apakah kau ada di sini...?" seru Arya Dipa keras.
Teriakan Arya Dipa yang disertai sedikit pengerahan tenaga dalam itu menggema ke seluruh puncak gunung ini. Suara itu menggaung terpantul lereng, lembah, dan pepohonan serta dinding-dinding batu yang cukup banyak terdapat di Gunung Bekasan ini.
Begitu hilang gaung suara Arya Dipa, dari balik semak berukar muncul seorang pemuda berwajah tampan dan hampir mirip Arya Dipa. Pemuda itu menghampiri Arya Dipa dan berdiri di sampingnya, agak ke belakang. Pendekar Jari Malaikat tersenyum-senyum melihat kemunculan Arya Gara.
"Bagus! Ternyata putra-putra Dewa Pedang cukup jantan juga. Aku senang... Senang sekali..," ular Pendekar Jari Malaikat.
"Kau bisa menanyakan padanya, apakah aku membawa adikku atau tidak!" tegas Arya Dipa lantang.
Pendekar Jari Malaikat hanya tersenyum saja sambil mengelus-elus pipinya yang kempot. Bibirnya yang tipis selalu menyunggingkan senyuman tipis pula. Arya Dipa semakin tidak mengerti, apa kemauan orang tua itu sebenarnya? Sikapnya sungguh menjengkelkan, tapi juga penuh tanda tanya.
"Arya Gara, sebaiknya kau pulang saja. Katakan pada ayah dan ibumu kalau Arya Dipa baik-baik saja," kata Pendekar Jari Malaikat lembut.
Arya Gara memandang kakaknya yang pada saat itu juga menoleh padanya. Kedua pemuda itu semakin tidak mengerti sikap Pendekar Jari Malaikat. Benar-benar membingungkan dan sukar diterka keinginannya. Tapi Arya Dipa menganggukkan kepalanya juga, pertanda menyetujui ucapan Pendekar Jari Malaikat.
"Kakang...."
"Pulanglah, Arya Gara. Ini bukan urusanmu," kata Arya Dipa lembut.
"Kakang! Kalau kau sampai tewas di tangannya, aku bersumpah untuk membalas," ucap Arya Gara.
"Percayalah, Adikku. Aku bisa mengatasi," tekad Arya Dipa seraya memberikan senyum.
Arya Gara menatap tajam Pendekar Jari Malaikat. kemudian kembali berpaling pada kakaknya. Arya Dipa kembali menganggukkan kepalanya sambil menepuk pundak adiknya. Pelahan Arya Gara menggeser kakinya menjauh.
"Pergilah," pinta Arya Dipa kepada adiknya.
Dengan perasaan berat Arya Gara meninggalkan Puncak Gunung Bekasan ini. Pendekar Jari Malaikat menghampiri Arya Dipa setelah adik pemuda ini tidak terlihat lagi. Laki-laki tua itu mengerdipkan sebelah matanya, kemudian melangkah melewati pemuda itu. Hal ini benar-benar tidak bisa dipahami Arya Dipa, tapi diikuti juga laki-laki tua itu.
"Gunakan ilmu meringankan tubuh semampumu, dan ikuti aku." kata Pendekar Jari Malaikat berbisik.
Kata-kata yang diucapkan Pendekar Jari Malaikat begitu pelan, namun cukup jelas terdengar di telinga Arya Dipa. Memang pemuda itu maklum kalau Pendekar Jari Malaikat pasti menggunakan tenaga dalam serta ilmu pemindah suara yang sudah mencapai taraf hampir sempurna. Arya Dipa juga langsung mengerti kalau di Puncak Gunung Bekasan ini ada orang lain, kecuali mereka berdua.
Tanpa membantah sedikit pun. Arya Dipa mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sebatas kemampuan yang dimiliki. Pada saat itu, Pendekar Jari Malaikat juga sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Mereka kelihatan berjalan biasa, namun kecepatannya melebihi lari kuda di arena balap. Arya Dipa semakin bertanya-tanya dalam benaknya. Benar-benar heran, mengapa Pendekar Jari Malaikat membawanya ke arah Utara...?
********************
LIMA
Arya Dipa benar-benar tidak mengerti begitu sampai di suatu tempat yang belum pernah didatangi. Sebuah goa yang tidak begitu besar, namun kelihatan bersih. Di dalam goa itu duduk bersila seorang perempuan tua mengenakan jubah kumal di samping sesosok tubuh yang terbaring tanpa daya. Sosok tubuh seorang laki-laki berbaju biru.
"Siapa mereka?" tanya Arya Dipa seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mereka adalah Pendekar Bayangan Dewa dan Nyi Palak yang lebih dikenal sebagai si Ular Betina dari Selatan," Pendekar Jari Malaikat memperkenalkan Arya Dipa pada perempuan tua berbaju kumal yang memegang tongkat itu.
Perempuan tua itu hanya menganggukkan kepalanya sedikit, dan sedikit pun tidak beranjak dari tempat duduknya. Pendekar Jari Malaikat duduk bersila. Sementara Arya Dipa mengikuti, duduk di samping laki-laki tua berbaju putih panjang itu. Benaknya masih berputar untuk bisa memahami semua yang dialami sekarang ini. Arya Dipa memandangi laki-laki berbaju biru yang terbaring di lantai goa beralaskan rerumputan kering dan dedaunan.
Kelopak matanya terpejam rapat. Namun dari gerakan dada yang lemah, menandakan kalau orang yang namanya disebut Pendekar Jari Malaikat sebagai Pendekar Bayangan Dewa itu masih hidup. Perhatian Arya Dipa beralih pada perempuan tua berbaju kumal yang memegang tongkat berbentuk ular hitam. Wajah wanita tua itu kelihatan murung, dan tidak pernah lepas merayapi laki-laki yang terbaring itu.
"Kita masih menunggu seorang lagi, Arya Dipa," jelas Pendekar Jari Malaikat memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat tadi.
"Siapa?" tanya Arya Dipa.
"Pendekar Rajawali Sakti. Mungkin saat ini masih berada di Desa Banyu Reges," sahut Pendekar Jari Malaikat.
"Pendekar Rajawali Sakti…? Siapa lagi dia?" gumam Arya Dipa seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Belum lagi pertanyaan Arya Dipa terjawab, terdengar suara langkah kaki di luar goa. Arya Dipa menoleh, begitu juga Pendekar Jari Malaikat. Tapi dia cepat melompat bangkit berdiri, dan menatap Nyi Palak. Perempuan tua itu juga bangkit berdiri dengan wajah tegang. Suara langkah kaki itu berhenti tidak jauh di depan mulut goa.
"Dua orang ," gumam Pendekar Jari Malaikat.
"Biar kulihat, Kakang." kata Nyi Palak.
Namun belum juga Nyi Palak bergerak, di depan mulut goa muncul seorang laki-laki muda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih. Di sampingnya, seorang gadis mengenakan baju biru yang wajahnya sangat cantik bagai bidadari dari kahyangan.
"Oh!" desah Pendekar Jari Malaikat.
Nyi Palak juga menarik napas panjang, Namun tatapan matanya sangat tajam menusuk pada wanita cantik berbaju biru di samping pemuda berbaju rompi putih itu. Pendekar Jari Malaikat menghampiri dan menyalami pemuda itu.
"Aku kira kau tidak muncul, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Pendekar Jari Malaikat.
"Aku pasti datang," sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti atau Rangga.
Pendekar Jari Malaikat menatap pada gadis di samping Rangga.
"Oh, ini temanku. Namanya Pandan Wangi," ucap Rangga buru-buru memperkenalkan gadis dit sebelahnya.
"Kau katakan akan datang sendiri, Pendekar Rajawali Sakti," celetuk Nyi Palak.
"Tadinya memang begitu. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan Pandan Wangi sendirian di rumah penginapan," sahut Rangga.
"Terlalu berbahaya, apalagi dalam suasana seperti ini"
"Ah.... sebaiknya duduk dulu. Mari..." potong Pendekar Jari Malaikat.
Rangga menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian duduk di samping Nyi Palak yang sudah duduk lebih dahulu. Sedangkan Pandan Wangi tidak mau jauh-jauh di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Pendekar Jari Malaikat kembali duduk di sebelah Arya Dipa. Mereka melingkari Pendekar Bayangan Dewa yang masih terbaring dengan mata terpejam rapat.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga
"Belum ada perubahan," sahut Nyi Palak pelan. Ada kesenduan pada nada suaranya.
"Luka dalamnya cukup parah, dan aku tidak yakin Pendekar Bayangan Dewa masih mampu bertahan untuk beberapa hari. Kalaupun dapat sembuh, kemungkinan akan bungkuk dan kehilangan satu kaki," jelas Pendekar Jari Malaikat.
"Maaf. Bisa memberi sedikit penjelasan padaku...?" pinta Arya Dipa memotong.
Semua yang ada di dalam goa itu langsung memandang Arya Dipa yang seperti terlupakan kehadirannya. Mendapat sorotan beberapa pasang mata. Arya Dipa jadi rikuh juga. Tapi pemuda itu memang ingin mengetahui. Dia memang jenuh menduga-duga terus tanpa dapat mengerti. Kehadirannya di dalam goa ini juga tanpa dimengerti sama sekali. Dan dia tidak tahu, untuk apa Pendekar Jari Malaikat membawanya ke tempat ini.
********************
"Oh, ya.... Pemuda ini sengaja kubawa sebagai pengganti ayahnya," jelas Pendekar Jari Malaikat memperkenalkan Arya Dipa.
"Dia bernama Arya Dipa, putra sulung Dewa Pedang."
"Aku sudah tahu. Hanya saja tidak kumengerti, kenapa bukan Dewa Pedang saja yang kau bawa ke sini!" dengus Nyi Palak, agak ketus suaranya.
"Kau harus bisa menahan diri, Nyi. Sengaja kubawa ke sini, karena dia telah menewaskan si Kapak Maut," kata Pendekar Jari Malaikat.
"Apa...?!" Nyi Palak terperanjat.
Kedua bola mata perempuan tua itu terbeliak lebar, seakan tidak percaya kalau pemuda yang berusia sekitar dua puluh tahun itu mampu membunuh si Kapak Maut yang sudah kenyang makan asam garam di dunia persilatan. Dunia yang keras, dan penuh persaingan dan percikan darah. Nyi Palak memang sudah mendengar kalau si Kapak Maut mati akibat bertarung di Padepokan Pedang Perak. Tapi tidak diduga kalau kematiannya di tangan seorang pemuda yang jauh berbeda usia dan pengalamannya. Namun rasa heran dan ketidakpercayaannya tertimbun oleh gejolak yang membara.
"Kau telah membunuh saudaraku...! Mampus kau, hiyaaat..!" seru Nyi Palak tiba-tiba.
"Nyi..!" sentak Pendekar Jari Malaikat terkejut.
Tapi Nyi Palak sudah tidak bisa dicegah lagi. Masih dalam posisi duduk bersila, perempuan tua itu menyodokkan ujung tongkatnya ke arah dada Arya Dipa. Begitu cepat dan tidak diduga sama sekali serangan itu, sehingga membuat pemuda itu terperangah. Namun sebelum tongkat Nyi Palak berhasil menyentuh dadanya, Pendekar Jari Malaikat sudah cepat mengebutkan tangannya.
Takkk!
"Hh...!" Nyi Palak langsung menarik pulang tongkatnya. Namun, secepat itu pula diputar tongkatnya, dan dikibaskan ke samping. Cepat sekali putaran tongkat itu, membuat Pendekar Jari Malaikat tak mungkin menyelamatkan Arya Dipa lagi. Karena, kalau tidak segera melompat mundur, tongkat itu bisa menyambarnya lebih dahulu.
Wuk!
"Uts! Hiya...!"
Arya Dipa tersentak kaget. Buru-buru dilentingkan tubuhnya ke belakang menghindari tebasan tongkat berbentuk ular hitam itu. Namun angin tebasan tongkat ular Nyi Palak menimbulkan hempasan angin luar biasa. Akibatnya Arya Dipa harus bergulingan beberapa kali di lantai goa. Pemuda itu sengaja menggulingkan tubuhnya ke arah mulut goa.
"Mau ke mana kau, heh...?!" bentak Nyi Palak terkejut.
Secepat Arya Dipa melompat ke luar goa, secepat itu pula Nyi Palak melesat mengejar. Pendekar Jari Malaikat, Rangga dan Pandan Wangi bergegas mengikuti ke luar goa. Dan mereka terkejut karena sesampainya di luar, Nyi Palak sudah menyerang Arya Dipa dengan jurus-jurus dahsyat dan sangat berbahaya.
"Nyi... tahan!" bentak Pendekar Jari Malaikat keras.
"Bocah ini telah membunuh saudara kita, Kakang!" seru Nyi Palak tanpa menghentikan serangannya.
"Tunggu penjelasanku, Nyi!"
"Tidak! Hiya...! Hiyaaa...!"
Nyi Palak tidak mempedulikan lagi peringatan Pendekar Jari Malaikat. Bahkan semakin memperhebat serangan-serangannya pada Arya Dipa yang hanya bisa berkelit dan menghindar tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang. Keadaan Arya Dipa memang sungguh tidak menguntungkan. Tubuhnya jatuh bangun berusaha menyelamatkan diri dari serangan si Ular Betina dari Selatan yang begitu gencar dan ganas.
"Modar! Hiya...!" teriak Nyi Palak tiba-tiba. Seketika itu juga Nyi Palak menghentakkan tangan kirinya ke arah perut. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini sukar dihindari lagi. Sehingga....
Des!
"Ughk...!" Arya Dipa mengeluh panjang. Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh sedikit membungkuk. Namun belum juga menguasai keadaan tubuhnya, mendadak satu tendangan keras mendarat di dadanya. Seketika itu juga Arya Dtpa terjungkal keras menghantam sebatang pohon hingga tumbang disertai suara pekikan keras. Tubuh Arya Dipa menggeliat di antara reruntuhan pohon yang tumbang, hancur berantakan terlanda punggungnya!
"Nyi, tahan...!" sentak Pendekar Jari Malaikat saat Nyi Palak sudah kembali melompat sambil mengerahkan ujung tongkatnya yang runcing ke dada Arya Dipa.
Secepat kilat Pendekar Jari Malaikat melesat. Dan dengan satu jarinya, disentil ujung tongkat Nyi Palak yang hampir saja menembus dada Arya Dipa. Nyi Palak terpekik kaget. Bergegas ditarik pulang tongkatnya, lalu melompat mundur beberapa tindak. Kedua bola matanya memerah menatap Pendekar Jari Malaikat yang sudah berdiri membelakangi Arya Dipa. Sedangkan pemuda itu tengah berusaha bangkit berdiri.
"Minggir, Kakang! Bocah keparat ini harus mampus! Dia sudah membunuh adikmu, adik iparku, saudara kita! Mungkin juga dialah yang membuat suamiku kini terbaring...!" Nyi Palak menuding Arya Dipa.
"Jangan menuduh sembarangan, Nyi," lembut suara Pendekar Jari Malaikat
"Kenapa kau selalu membelanya, Kakang? Apa karena dia anak sahabatmu...?!" dengus Nyi Palak ketus
"Tenang, Nyi. Ingatlah nyawa suamimu. Sekarang ini dia butuh pertolongan. Kendalikanlah dirimu, Nyi," Pendekar Jari Malaikat mencoba meredakan amarah Nyi Palak.
"Huh!" Nyi Palak mendengus kesal. Tapi kata-kata Pendekar Jari Malaikat yang terakhir tadi rupanya membuat perempuan tua itu tidak lagi melanjutkan serangannya pada Arya Dipa. Sambil menggerutu, perempuan tua itu kembali masuk ke dalam goa. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat membantu Arya Dipa berdiri. Laki-laki tua itu melirik Rangga dan Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja.
"Kau lihat, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau sampai Pendekar Bayangan Dewa meninggal, aku tidak akan mampu lagi membendung amarahnya," ujar Pendekar Jari Malaikat seakan-akan mengeluh.
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Pendekar Jari Malaikat?" tanya Rangga.
"Temukan bocah itu dan bawa ikat kepalanya padaku," pinta Pendekar Jari Malaikat
"Kalau dia tidak memberikan?"
"Terserah apa yang akan kau lakukan padanya. Aku tidak peduli lagi."
Rangga menarik napas panjang, kemudian melirik Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi mengikuti, namun bibirnya masih terkunci rapat. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat memeriksa luka-luka di tubuh Arya Dipa. Pemuda itu masih belum bisa memahami sikap Pendekar Jari Malaikat yang kelihatan aneh dan sukar diterka. Tapi Arya Dipa masih harus bersabar dan menahan diri.
********************
Senja sudah merayap turun mendekati permukaan bumi. Di ufuk Barat, rona merah menyemburat indah mewarnai alam yang sebentar lagi akan tenggelam ditelan kegelapan malam. Namun keindahan alam ini tidak dirasakan Pandan Wangi yang berjalan sambiil memberengut di samping Rangga. Mereka baru saja meninggalkan Lereng Gunung Bekasan. Desa Banyu Reges sudah tampak di kaki gunung ini.
"Baik! Kalau Kakang tidak bersedia menjelaskan padaku, aku akan pergi sekarang juga!" rungut Pandan Wangi langsung menghentikan ayunan langkahnya.
Rangga juga berhenti berjalan, lalu memutar tubuhnya menghadap gadis itu. Wajah Pandan Wangi memberengut terlipat bagai nenek-nenek kehabisan sirih. Sebenarnya Rangga ingin tertawa melihat Pandan Wangi memberengut begitu. Tapi melihat sorot mata yang tajam menusuk, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas panjang.
"Apa yang harus kujelaskan, Pandan..?" Rangga ber-pura-pura tidak mengerti.
"Pakai tanya segala... Memangnya, apa yang sedang kau lakukan sejak kemarin? Kau pikir aku tidak tahu, heh...?!" agak keras nada suara Pandan Wangi.
"Kalau kau sudah tahu, untuk apa dijelaskan lagi?"
"Kakang...!"
Pandan Wangi jadi kesal. Hatinya benar-benar penasaran dan tidak mengerti akan sikap Rangga kali ini. Sungguh sulit dipahami, apa sebenarnya yang tengah teriadi pada diri Pendekar Rajawali Sakti. Selama ini belum pernah Pandan Wangi melihat sikap Rangga begitu merahasiakan persoalan yang sedang dihadapi. Sejak mereka masuk ke Desa Banyu Reges, sikap Rangga sudah membuatnya jengkel. Kekesalannya kian memuncak begitu Rangga meminta untuk berpura-pura tidak saling mengenal.
Mereka menyewa kamar penginapan masing-masing, makan masing-masing, dan jalan sendiri-sendiri tanpa ada tegur sapa di tempat umum. Benar-benar suasana yang tidak menyenangkan sama sekali. Dan Pandan Wangi benar-benar tidak menyukainya. Kekesalannya meledak saat Rangga tadi menolak untuk terus didampingi. Namun gadis itu tetap nekad dan terus mengikuti Rangga sampai ke Puncak Gunung Bekasan. Di tempat itu juga Pandan Wangi semakin tidak mengerti, terutama terhadap orang-orang yang dijumpai, yang bertingkah laku seperti menyimpan segudang misteri.
"Pandan, kali ini aku minta pengertianmu. Bukannya tidak memperhatikanmu, tapi sekarang ini aku tidak ingin melibatkan dirimu. Terlalu berbahaya, dan kau tidak akan mengerti persoalannya," jelas Rangga mencoba meminta pengertian Pandan Wangi.
"Selalu itu saja yang kau katakan," dengus Pandan Wangi masih memberengut.
"Kali ini saja, Pandan," mohon Rangga.
"Kali ini aku bisa diam saja untukmu, Kakang. Tapi untuk lain kali, kau pasti akan meminta hal sama padaku. Kakang..., bukannya hendak mencampuri segala urusanmu, tapi aku tidak ingin melihat kau mendapat kesulitan seorang diri. Aku ingin merasakan bagaimana yang kau rasakan. Apakah keinginanku ini berlebihan, Kakang?"
Rangga tidak bisa lagi berkata, dan hanya menghembuskan napas panjang saja. Sukar rasanya membuat Pandan Wangi tidak terus-menerus mendesaknya. Rangga sendiri sebenarnya tidak ingin membuat Pandan Wangi jadi sedemikian rupa. Tapi ini terpaksa dilakukannya, karena disadari kalau tokoh yang akan dihadapi sangat digdaya dan sukar dicari tandingannya. Hal ini sangat dirasakan, karena Pendekar Jari Malaikat sendiri meminta bantuan padanya.
Demikian pula si Ular Betina dari Selatan dan beberapa tokoh persilatan lainnya. Rangga tidak bisa menolak dan berjanji untuk mencari tokoh persilatan yang memiliki hampir segala jenis kepandaian. Rangga merangkul pundak gadis itu dan mengajaknya berjalan kembali.
Pandan Wangi tidak menolak, dan malah melingkarkan tangannya di pinggang Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka berjalan pelahan-lahan sambil berangkulan. Namun masing-masing belum ada yang membuka suara lebih dulu. Pandan Wangi terus memandangi wajah tampan di sampingnya.
"Kenapa memandangku terus begitu?" tegur Rangga jengah.
"Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi," sahut Pandan Wangi diiringi senyuman tipis.
"Jangan ikut-ikutan gila, Pandan. Dunia ini sudah penuh orang gila!" rungut Rangga.
"Belakangan ini kau mudah sekali tersinggung, Kakang. Apa persoalan ini yang menyebabkan kau tertekan? Apa sebenarnya yang terjadi, Kakang?" desak Pandan Wangi.
"Untuk kali ini, Pandan. Sebaiknya kau tidak perlu melibatkan diri. Maaf, aku tidak bisa menjelaskan padamu," tegas Rangga.
"Baik kalau begitu. Aku akan kembali ke penginapan, mengambil kuda, dan terus pulang ke ..." Pandan Wangi tidak melanjutkan ucapannya. Dilepaskan rangkulan Rangga dan ditatapnya pemuda itu dalam-dalam.
Pandan Wangi ingin melihat tanggapan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi ternyata yang didapatkan adalah ketidakpedulian Rangga. Bahkan pemuda berbaju rompi putih itu malah mengayunkan kakinya melangkah pergi. Pandan Wangi jadi kesal bukan main. Dihentakkan kakinya ke tanah keras-keras.
Sikap Rangga belakangan ini benar-benar membuat Pandan Wangi tidak habis mengerti. Aneh dan sukar diterka. Belum pernah Rangga bersikap seperti itu yang seperti menganggap orang lain saja padanya. Meskipun kesal, tapi Pandan Wangi berpendapat kalau persoalan yang dihadapi Rangga tidak ringan. Dan ini membuat Pendekar Rajawali Sakti itu seperti mendapat tekanan batin yang sangat berat.
Sambil bersungut-sungut, Pandan Wangi berlari mengejar Rangga yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya. Gadis itu terus berlari menyusul Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak mempedulikan, bahkan seperti tidak mau tahu terhadap sikap Pandan Wangi yang begitu kesal dan marah. Gadis itu terus berlari cepat mempergunakan Ilmu meringankan tubuh menuju Desa Banyu Reges.
********************
ENAM
Pagi-pagi sekali Rangga sudah memacu cepat kudanya meninggalkan rumah penginapan yang disewa untuk beberapa hari. Kuda Pandan Wangi masih terlihat tertambat, dan itu berarti dia tidak jadi pergi. Rangga memang sudah yakin betul kalau gadis itu tidak akan meninggalkannya. Bibirnya tersenyum saja saat melihat kuda putih milik Pandan Wangi masih tertambat di tempatnya tanpa pelana.
Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu berpacu cepat menembus kabut yang mulai memudar. Sinar matahari menyemburat merah di ufuk Timur dari balik Gunung Bekasan. Sinarnya yang hangat membuat kabut menyebar ke udara. Demikian pula dengan embun-embun yang mulai menguap dari puncak pohon dan rerumputan. Namun udara masih terlalu dingin. Rangga tidak peduli, dan terus memacu cepat kudanya menuju Gunung Bekasan yang berdiri angkuh menantang langit.
Wusss...!
Tiba-tiba sebuah benda sepanjang jengkal telapak orang dewasa meluncur ke arah Pendekar Rajawali Sakti begitu sampat di Kaki Gunung Bekasan. Bagaikan kilat Rangga melentingkan tubuhnya, melompat dari punggung Dewa Bayu yang terus berlari cepat.
Merasa bebannya tidak ada lagi, kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Pada saat itu Rangga sudah mendarat manis di tanah. Di tangan kanannya tergenggam sebatang ranting kering.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas. Dilemparkan ranting kering di tangannya ke depan kaki. Ternyata benda yang meluncur ke arahnya tadi hanya sebatang ranting kering. Namun karena dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, ranting itu jelas bisa mencelakakan. Bahkan bisa membunuhnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti bukanlah orang sembarangan. Ranting itu berhasil ditangkap sambil berputaran di udara.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras menggelegar.
Belum lagi hilang suara tawa itu, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang laki-laki berbaju putih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap, padat, dan berotot. Wajahnya cukup tampan, namun menyiratkan ketegasan dan kekerasan hidup. Sinar matanya begitu tajam, bagai mata seekor ular yang tak memiliki perasaan.
"Hm...," Rangga menggumam tidak jelas Pendekar Rajawali Sakti itu ingat kalau pemuda itu pernah dilihatnya di kedai milik Ki Sangir. Pemuda ini yang merobohkan dua orang pengawal kepala desa hanya dengan jari telunjuk saja. Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak, siapa pemuda berbaju putih itu, tapi belum mau mengucapkannya.
"Semula aku tidak peduli dengan kehadiranmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi karena terlalu banyak ikut campur dan selalu menghalangi setiap langkahku, maka aku tidak punya pilihan lain, kecuali membunuhmu," kata pemuda itu, dingin nada suaranya.
"Hm..., rasanya aku belum pernah mengenalmu," gumam Rangga kalem. "Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?"
"Tidak terlalu sukar mengetahui siapa dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sayang sekali, nama besarmu akan tamat di tempat jelek ini," tetap dingin nada suara pemuda berbaju putih itu.
"Kisanak, siapa kau?" tanya Rangga lagi.
"Ha ha ha...! Aku rasa kau sudah tahu siapa diriku, Pendekar Rajawali Sakti. Bukankah kau juga ada di kedai waktu itu?"
"Hm.... jadi kau yang dijuluki si Jari Malaikat Maut itu?" gumam Rangga menebak.
"Tepat!" sambut pemuda berbaju putih itu diiringi senyuman tipis yang begitu dingin membeku.
"Kalau begitu, aku harus membawamu kepada Pendekar Jari Malaikat," ujar Rangga, agak datar suaranya.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak. "Kenapa bukan si tua bangka itu saja yang datang padaku? Ha ha ha...!"
Rangga tidak menanggapi, dan hanya menggeretakkan rahangnya saja. Sedikit digeser kakinya ke kanan. Pandangan matanya begitu tajam menusuk, dan langsung menuju ke bola mata si Jari Malaikat Maut.
"Tidak sepantasnya kau bicara begitu, Kisanak," dengus Rangga dingin.
"Apa yang kukatakan dan kulakukan, tak ada seorang pun yang bisa melarang! Tidak juga si tua bangka keparat itu. Juga kau, Pendekar Rajawali Sakti!" tegas si Jari Malaikat Maut tidak kalah dinginnya.
"Memang tidak akan ada yang bisa menghalangimu. Terlebih lagi, kau sudah menguasai jurus-jurus 'Jari Malaikat' yang sangat dahsyat."
"Kau sudah tahu itu, Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, kenapa tidak menyingkir dan menjauh dariku?" dengus si Jari Malaikat Maut.
"Karena tindakanmu sudah kelewat batas, dan hanya aku yang bisa menghentikanmu!" tegas jawaban Rangga.
"Setan alas...!" geram si Jari Malaikat Maut memerah mukanya.
"Kau bisa saja mencuri ilmu-ilmu dari para pendekar lain, dan mengembangkannya menjadi jurus ampuh. Tapi kau tidak akan bisa menguasai apa yang kukuasai, Jari Malaikat Maut. Untuk itu aku bertanggung jawab atas keselamatan seluruh manusia yang terancam akibat tingkah polahmu!" tegas dan dingin sekali kata-kata Rangga.
"Bagus! Itu namanya ular mencari penggebuk. Akan kau rasakan akibat kesombonganmu, Pendekar Rajawali Sakti!"
"Hem..."
********************
Rangga benar-benar tidak akan menganggap enteng si Jari Malaikat Maut. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau laki-laki muda berbaju putih itu memiliki sebuah ilmu yang dapat menyerap setiap kepandaian lawannya tanpa dapat disadari lawan itu sendiri. Dalam setiap pertarungan, benturan anggota tubuh tidak akan mungkin terhindari. Dalam benturan itulah si Jari Malaikat Maut mempergunakan ilmunya yang sangat langka. Dari benturan itu, tanpa terasa lawannya akan membagi kekuatan dan ilmu tanpa dapat dicegah lagi. Semakin banyak benturan, semakin banyak pula ilmu yang tersedot.
Sementara itu Jari Malaikat Maut sudah bersiap-siap hendak mengadakan serangan. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak memperhatikan sambil berpikir untuk menghindari benturan secara langsung. Memang, Pendekar Rajawali Sakti itu menyadari kalau tidak akan mungkin menghindari bentrokan dalam sebuah pertarungan. Tapi paling tidak bisa dihindari dan dikurangi. Itu pun akan membuat si Jari Malaikat Maut sudah bertambah kepandaiannya. Rangga jadi pusing sendiri, dan tidak mungkin lagi menghindari pertarungan yang akan terjadi.
"Terimalah seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaa...!" seru Jari Malaikat Maut keras menggelegar.
Rangga sempat terperangah ketika tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangan kanannya ke depan. Seketika dari telapak tangannya meluncur sinar merah yang meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hup...!" Rangga langsung melompat ke samping.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar menggelegar ketika sinar merah itu menghantam pohon di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Pohon itu langsung hancur berkeping-keping. Dua kali Rangga berputaran di udara sebelum mendaratkan kakinya dengan manis di tanah.
"Gila! Rupanya dia sudah menguasai ilmu 'Pukulan Tapak Api'," dengus Rangga dalam hati.
Rangga tahu kalau pukulan itu sangat berbahaya dan berasal dari Pendekar Tangan Api. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak menyangka kalau si Jari Malaikat Maut sudah berhasil juga menguasai ilmu dahsyat itu. Dan itu berarti pula si Jari Malaikat Maut pernah bertarung melawan Pendekar Tangan Api, sehingga menguasai ilmu yang amat dahsyat itu dengan baik sekali. Rangga semakin waspada dan hati-hati menghadapinya, dan tidak bisa lagi bermain-main. Disadari kalau lawannya kali ini memiliki begitu banyak kepandaian dahsyat, yang diambil dari para pendekar ternama.
Pendekar Rajawali Sakti itu hanya bisa berlompatan menghindari setiap serangan yang dilontarkan si Jari Malaikat Maut yang masih mempergunakan ilmu 'Pukulan Tapak Api'. Sebentar saja, tempat sekitar pertarungan itu sudah porak-poranda. Pohon-pohon besar dan kecil hancur berkeping-keping. Batu-batuan pecah menjadi debu dan kerikil. Tak ayal lagi tempat yang tadinya kelihatan utuh, semua hancur berantakan terkena pukulan dahsyat yang dilontarkan si Jari Malaikat Maut.
"Ha ha ha...! Ternyata Pendekar Rajawali Sakti bisanya cuma berlompatan seperti monyet!" ejek si Jari Malaikat Maut Rangga tidak menanggapi. Dia berdiri tegak dengan pandangan tajam mengamati sikap Jari Malaikat Maut. Pemuda berbaju putih ketat itu kini tengah mempersiapkan serangan lain. Dan Rangga tahu kalau kali ini pasti tentu lebih dahsyat dari yang pertama.
"Hm.... Apakah aji 'Cakra Buana Sukma' harus kukerahkan?" gumam Rangga menimbang-nimbang. "Ah, tidak! Rasanya belum perlu."
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut berteriak keras, dan seketika itu juga melesat bagaikan kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti yang tengah berpikir mencari jalan agar bisa mengalahkannya.
"Uts!" buru-buru Rangga melompat ke samping sambil menjatuhkan diri ke tanah.
Pendekar Rajawali Sakti bergulingan beberapa kali, sebelum melompat bangkit berdiri. Namun belum juga kakinya kokoh menjejak tanah, si Jari Malaikat Maut sudah melontarkan satu tendangan kilat menggeledek. Rangga terkejut bukan main. Ternyata lawannya mampu menyerang dalam keadaan tubuh berada di udara.
"Hap!" Tak ada kesempatan lagi bagi Rangga untuk berkelit. Maka terpaksa ditangkis tendangan itu dengan mengibaskan tangannya menyamping.
Dug! Satu benturan keras terjadi. Si Jari Malaikat Maut terpental ke belakang beberapa langkah, sedangkan Rangga sendiri berputar bagai gasing sebanyak tiga kali.
"Edan!" umpat Rangga dalam hati.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak.
Rangga menggeser kakinya. Tadi, ketika menangkis serangan si Jari Malaikat Maut, tenaga dalamnya hanya dikerahkan sedikit saja. Dan akibatnya, dia hampir saja terpental. Sedikit pun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menggunakan jurus, dan hanya menggunakan tangkisan biasa. Tapi itu sudah membuat si Jari Malaikat Maut kesenangan. Dugaannya, satu jurus Pendekar Rajawali Sakti sudah terserap ke tubuhnya.
Si Jari Malaikat Maut sudah kembali bersiap menggunakan jurus lain. Sedangkan Rangga menggeser kakinya ke samping secara pelahan-lahan. Pandangannya tajam memperhatikan gerak-gerak yang dilakukan lawan. Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat gerakan-gerakan dari jurus 'Sapuan Gelombang Samudra' yang sangat dahsyat. Dan Rangga tahu kalau jurus itu andalan dari seorang tokoh persilatan yang sudah menghilang namanya setahun ini.
"Terima seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaa...!" seru si Jari Malaikat Maut keras menggelegar.
"Hup! Hiyaaa...!" Rangga bergegas menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Sepasang kakinya bergerak lincah begitu si Jari Malaikat Maut meluruk menyerang menggunakan jurus 'Sapuan Gelombang Samudra' yang dahsyat bukan main.
Setiap gerakan si Jari Malaikat Maut menimbulkan hembusan angin dahsyat bagai badai mengamuk di atas samudra. Rangga sendiri hampir-hampir tidak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, dan beberapa kali harus jatuh bangun menghindari pukulan dan tendangan yang datang secara beruntun bertenaga dalam tinggi. Kalau saja tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti terhitung menengah, mungkin sudah terhempas bagai daun kering tertiup angin. Dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' saja Rangga sudah hampir tidak mampu menahan gempuran jurus 'Sapuan Gelombang Samudra' si Jari Malaikat Maut.
"Phuih! Aku tidak bisa menandingi dengan cara seperti ini terus menerus!" dengus Rangga dalam hati.
Bagaikan seekor Rajawali, Rangga melentingkan tubuhnya ke udara ketika si Jari Malaikat Maut menyampok ke arah kaki. Dengan meminjam hembusan angin akibat sampokan tangan lawan, Pendekar Rajawali Sakti melambung ringgi ke angkasa, langsung hlnggap di atas puncak pohon yang tinggi.
Begitu kakinya menjejak puncak pohon, Rangga kembali melentingkan tubuhnya. Cepat sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti, dan dalam waktu sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata. Si Jari Malaikat Maut mengumpat melihat lawannya kabur.
"Phuih! Ke mana pun kau pergi, tidak akan lepas dari tanganku, Pendekar Rajawali Sakti!" keras sekali suara si Jari Malaikat Maut, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Namun Rangga sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya, lenyap bagai tertelan awan yang menggumpal bercampur debu. Jari Malaikat Maut mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia mendengus berat dan menyemburkan ludahnya beberapa kali, tapi sesaat kemudian bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Maka mulai digerakkan tangannya, namun keningnya jadi berkerut.
"Setan...!" umpat si Jari Malaikat Maut geram.
Beberapa kali dicoba gerakan itu, namun tidak juga berhasil menirukan setiap gerak yang dilakukan Rangga tadi dalam menghadapinya. Memang hanya sekali terjadi benturan yang cukup keras sebelum si Jari Malaikat Maut mengeluarkan jurus 'Sapuan Gelombang Samudra' yang begitu dahsyat.
"Keparat! Setan alas...!" umpat si Jari Malaikat Maut semakin berang, begitu mengetahui kalau dirinya tidak mampu menyerap jurus-jurus yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
Si Jari Malaikat Maut semakin geram saja, karena yang didapat dari pertarungannya melawan Pendekar Rajawali Sakti tidak ada artinya sama sekali. Kemarahannya dilampiaskan pada pohon dan bebatuan di sekitarnya. Si Jari Malaikat Maut mengamuk seperti kehilangan istri. Sungguh dahsyat! Setiap pukulan yang menghantam batu atau pepohonan, menimbulkan ledakan keras yang menghancurkan apa saja.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau harus mampus di tanganku, keparat..!" teriak si Jari Malaikat Maut keras menggelegar.
********************
Sebenarnya Rangga tidak pergi ke mana-mana. Diperhatikannya saja tingkah si Jari Malaikat Maut dari tempat yang cukup tersembunyi di atas pohon rimbun. Pendekar Rajawali Sakti itu baru meluruk turun setelah si Jari Malaikat Maut meninggalkan tempat yang sudah porak-poranda bagai di terjang seribu ekor gajah. Rangga berdiri tegak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kuda Dewa Bayu masih berada tidak jauh dari daerah itu, dan tengah merumput tenang di bawah sebatang pohon beringin.
"Sukar dipercaya. Ternyata jurus-jurus para pendekar terkenal telah dikuasainya!" desah Rangga pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya menghampiri kuda hitam yang masih tenang merumput. Ditepuk tepuk leher kuda itu, kemudian melompat naik ke punggungnya. Namun belum juga menghentakkan tali kekang kuda hitam itu, mendadak dari balik gerumbul semak melesat Pendekar Jari Malaikat dan Arya Dipa. Rangga memandangi kedua orang itu, kemudian turun kembali dari punggung kudanya.
"Ternyata aku tidak salah meminta bantuanmu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Pendekar Jari Malaikat setelah dekat didepan Rangga.
"Hm..., kalian melihat pertarunganku tadi?" tanya Rangga seraya menebak.
"Ya, sejak awal," sahut Pendekar Jari Malaikat.
"Sungguh tidak kukira kalau dia sudah begitu banyak mengalahkan pendekar," desah Rangga pelan.
"Itulah sebabnya, kenapa tidak ada seorang pendekar pun yang sanggup menandinginya. Dia bertarung seperti kesetanan. Tidak pernah lawannya tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan kadang-kadang tubuhnya sengaja diberikan pada lawan. Inilah yang sulit, Pendekar Rajawali Sakti. Bukannya ia terluka, tapi kemampuannya semakin bertambah jika terkena serangan," jelas Pendekar Jari Malaikat bernada agak mengeluh.
"Terus terang, Pendekar Jari Malaikat. Aku tidak suka berjudi, dan tidak akan berjudi dengan nasib. Tapi kalau tidak ada seorang pendekar pun yang bersedia menghentikannya, dunia persilatan tidak akan bertambah baik. Bahkan bisa semakin hancur," kata Rangga.
"Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Memang tidak ada pendekar lain yang bisa kuajak menghentikan tindakannya," ujar Pendekar Jari Malaikat.
Rangga diam tercenung. Pernyataan Pendekar Jari Malaikat bagaikan pernyataan dari setiap pendekar beraliran putih diseluruh jagad raya ini. Seakan-akan, mereka semua mengharapkan Rangga dapat menghentikan tindakan si Jari Malaikat Maut. Memang kalau tidak dihentikan, semakin banyak tokoh persilatan yang bertarung dengannya, berarti pula semakin dahsyat ilmu si Jari Malaikat Maut. Bisa jadi tidak akan terkalahkan, karena memiliki bermacam-macam ilmu dari segala macam tokoh rimba persilatan. Tentu saja hal ini bisa dimanfaatkan tokoh-tokoh persilatan golongan hitam yang selalu mencuri-curi kesempatan yang ada.
"Maaf, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak seharusnya kau kubebani persoalan ini," ucap Pendekar Jari Malaikat bernada menyesal.
"Memang seharusnya begitu!" tiba-tiba terdengar suara wanita.
Semua orang yang berada di tempat itu berpaling ke arah datangnya suara tadi. Mereka terkejut, karena tiba-tiba muncul seorang wanita muda berparas cantik, mengenakan baju warna biru. Di balik punggungnya menyembul gagang pedang, berbentuk kepala naga hitam.
"Pandan Wangi..." desis Rangga.
"Sudah kuduga, kau pasti menyimpan sesuatu dariku, Kakang. Tapi aku tidak akan diam begitu saja, dan aku sudah tahu semuanya." kata Pandan Wangi seraya melangkah menghampiri.
Pandan Wangi berdiri tegak di depan Rangga. Dibalik-kan tubuhnya menghampiri Pendekar Jari Malaikat dan Arya Dipa yang berjarak sekitar dua tombak di depan Rangga. Kedua laki-laki itu hanya memandangi Pandan Wangi dan Rangga bergantian.
"Siapa sebenarnya dia, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Jari Malaikat.
"Adikku," sahut Rangga.
"Kau tidak mengatakan yang sebenarnya, mengapa kau membawanya ke tempat persembunyian Pendekar Bayangan Dewa?"
"Dia yang memaksa, dan terus mengikutiku. Maaf," ucap Rangga. "Aku tidak ingin mengajak Pandan Wangi, karena persoalan ini tidak main-main. Bahkan nyawa taruhannya."
"Hm.... Bisa kupahami, Pendekar Rajawali Sakti," ucap Pendekar Jari Malaikat
"Terima kasih." sahut Rangga.
"Dan seharusnya kau bisa memahami keadaan, Nisanak," kata Pendekar Jari Malaikat pada Pandan Wangi.
"Aku akan mengerti kalau Kakang Rangga berterus terang," sahut Pandan Wangi tandas.
"Baiklah. Aku yang akan menjelaskannya padamu. Mari...."
Pandan Wangi menatap Rangga sejenak, kemudian mengikuti Pendekar Jari Malaikat yang berjalan menjauhi tempat itu. Mereka berjalan berdampingan. Sedangkan Rangga dan Arya Dipa mengikuti pelahan-lahan dari belakang. Bisa saja Rangga mendengarkan pembicaraan Pendekar Jari Malaikat bersama Pandan Wangi dengan mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi itu tidak dilakukannya. Pendekar Rajawali Sakti sudah tahu, apa yang dibicarakan Pendekar Jari Malaikat pada si Kipas Maut itu.
"Aku benar-benar belum bisa mengerti semua kejadian ini...," gumam Arya Dipa pelahan, seolah-olah bicara pada dirinya sendiri.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Arya Dipa?" tanya Rangga.
"Tentang keterlibatan diriku," sahut Arya Dipa pelan.
"Maksudmu...?"
"Sampai sekarang masih belum kumengerti, mengapa Pendekar Jari Malaikat tidak mengijinkan aku kembali ke Desa Banyu Reges? Aku lebih suka bertarung sampai mati, daripada dijadikan budak pengawal seperti ini. Aku tahu dia seorang pendekar yang tangguh, tapi paling tidak bisa kuhadapi dalam beberapa jurus. Dan aku berada di Gunung Bekasan ini juga karena tantangannya. Heran...? Apa sebenarnya yang diinginkan dariku...?" keluh Arya Dipa bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Apakah Pendekar Jari Malaikat tidak mengatakannya padamu?" tanya Rangga seraya menepuk pundak pemuda itu.
"Tidak," sahut Arya Dipa.
Rangga tersenyum senyum. Ditatapnya Pendekar Jari Malaikat yang masih asyik berbicara dengan Pandan Wangi. Rangga berhenti berjalan, lalu duduk bersandar di bawah pohon. Arya Dipa ikut berhenti, tapi masih tetap berdiri menatap Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Pendekar Jari Malaikat dan Pandan Wangi terus saja berjalan pelahan-lahan sambil berbicara.
"Kau yang mengalahkan si Kapak Maut, Arya Dipa?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Ya, karena dia menghina dan menantang ayahku," sahut Arya Dipa.
"Kau tahu kalau si Kapak Maut itu adik Pendekar Jari Malaikat?"
"Aku tahu."
"Itulah sebabnya, mengapa Pendekar Jari Malaikat membawamu ke sini. Ini tak lain agar kau luput dari kematian," tenang kata-kata Rangga.
"Aku tidak mengerti maksudmu...?"
"Si Jari Malaikat Maut datang ke Desa Banyu Reges hendak menantang si Kapak Maut. Tapi ternyata kau telah mendahuluinya, sehingga dialihkan padamu," jelas Rangga
Arya Dipa mendengarkan dengan seksama.
"Sebenarnya si Jari Malaikat Maut adalah anak angkat dan murid tunggal pasangan Pendekar Bayangan Dewa dan Ular Betina dari Selatan. Tapi anak itu ternyata dipengaruhi pikiran kotor dan nafsu serakah setelah berhasil mencuri kitab yang berisi ilmu langka dan sangat berbahaya."
"Kitab apa?" tanya Arya Dipa.
"Kitab Malih Jiwa. Kitab itu berisi sebuah ilmu yang bisa mengambil tenaga dan kepandaian seseorang melalui pertarungan. Semakin banyak bertarung dengan tokoh berilmu tinggi, semakin kuat dan tinggilah ilmu kepandaiannya. Dia berkelana hanya hendak menantang para tokoh persilatan yang kemudian diserap ilmunya tanpa disadari. Setelah lawannya lemah, baru dibunuh. Hal itu juga dilakukan terhadap Pendekar Bayangan Dewa yang juga ayah angkat sekaligus gurunya," jelas Rangga.
"Milik siapa kitab itu?" tanya Arya Dipa.
"Milik keluarga Pendekar Jari Malaikat yang disimpan Pendekar Bayangan Dewa. Mereka tidak ingin mempelajari ilmu itu karena dianggap sebagai ilmu keji yang membuat orang dapat lebih kejam daripada iblis.
Mereka bermaksud memusnahkannya, tapi keburu dicuri si Jari Malaikat Maut"
"Lalu, di mana kitab itu sekarang?"
"Masih ada pada si Jari Malaikat Maut, karena belum seluruhnya dikuasai. Bisa kau bayangkan, bagaimana kalau dia sampai menguasai seluruh isi kitab itu."
"Dunia persilatan akan hancur...," desah Arya Dipa.
"Itulah sebabnya, mengapa Pendekar Jari Malaikat memintaku untuk merebut kembali kitab itu yang disembunyikan di balik ikat kepalanya. Pendekar Jari Malaikat bermaksud memusnahkan begitu kitab itu kembali ke tangannya."
"Kalau begitu, kita harus merebut dan membunuhnya, Pendekar Rajawali Sakti."
"Memang! Tapi, itu tidak mudah. Kau sudah melihat pertarunganku dengannya, bukan?"
Arya Dipa menganggukkan kepalanya.
"Ayo jalan lagi," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.
********************
TUJUH
Malam sudah teramat larut. Suasana di sekitar Padepokan Pedang Perak begitu sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat berjaga-jaga di beberapa tempat. Sebagian besar penghuni padepokan itu sudah terlelap dibuai mimpi. Namun di dalam salah satu ruangan, terlihat Dewa Pedang masih terjaga, didampingi istri dan anak bungsunya.
"Sudah tiga hari Arya Dipa belum juga kembali. Tak ada kabar beritanya lagi...," gumam Dewa Pedang agak mendesah, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.
"Sebaiknya besok pagi aku ke Gunung Bekasan, Ayah," usul Arya Gara.
"Untuk apa?" tanya Dewa Pedang
"Barangkali saja masih bisa bertemu Kakang Arya Dipa."
"Hidup atau mati. Pendekar Jari Malaikat sendiri yang akan mengatakannya padaku.
Tapi..."
"Tapi kenapa?" celetuk Dewi Ratih yang sejak tadi diam saja.
"Aku merasakan adanya keanehan. Belum pernah Pendekar Jari Malaikat bertarung sampai tiga hari. Apalagi kemampuan yang dimiliki Arya Dipa masih terlalu jauh untuk bisa menandinginya. Aku merasakan ada sesuatu di balik tantangan ini, Dinda Dewi," nada suara Dewa Pedang seperti bergumam.
"Kenapa Kakang tidak melihat saja sendiri ke sana?" usul Dewi Ratih.
"Tidak. Aku tidak akan merusak perjanjian itu."
"Tapi ini sudah tiga hari, Kakang. Kau berhak melihat keadaan anak kita. Apakah sudah tewas, atau masih hidup."
"Meskipun sampai seratus tahun sekalipun, aku tidak berhak mencampuri urusan ini, Dinda. Itu sudah perjanjianku dengan Pendekar Jari Malaikat. Meskipun kini yang menjadi urusan adalah anakku sendiri."
"Perjanjian itu antara Kakang dengan Pendekar Jari Malaikat. Bukan denganku atau Arya Gara. Berarti aku atau Arya Gara bisa mengunjungi Gunung Bekasan," bantah Dewi Ratih.
Dewa Pedang tercenung diam. Kata-kata istrinya memang benar, dan tidak bisa dibantah lagi. Dan dia tidak akan mungkin melarang seandainya Arya Gara atau Dewi Ratih pergi ke Puncak Gunung Bekasan. Mereka memang tidak ada sangkut pautnya dengan penanjiannya itu. Dewa Pedang hanya menarik napas panjang saja. Dirayapi wajah istri dan anaknya secara bergantian. Ada beban yang teramat berat menghimpit dadanya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kata-kata Dewi Ratih yang terakhir membuat dirinya benar-benar tidak berdaya lagi.
"Arya Gara, siapkan kuda. Kita berangkat sekarang juga," kata Dewi Ratih.
"Baik, Bu," sahut Arya Gara seraya bangkit berdiri.
"Tunggu...!" cegah Dewa Pedang cepat. "Mau ke mana kalian?"
"Ke Gunung Bekasan," sahut Dewi Ratih kalem.
"Untuk apa? Malam-malam begini...?"
"Ya! Agar besok pagi sudah sampai di sana. Lebih cepat lebih baik," sahut Dewi Ratih masih kalem.
"Tidak! Kalian tidak boleh ke sana!" cegah Dewa Pedang tegas.
Arya Gara dan ibunya saling berpandangan tidak mengerti. Namun belum juga wanita itu bisa bersuara, mendadak saja terdengar suara dari arah luar.
"Kalian semua memang tidak boleh ke sana jika ingin selamat...!"
"Heh...!" Dewa Pedang terperanjat bukan main.
Begitu pula Dewi Ratih dan Arya Gara. Sesaat mereka saling berpandangan, lalu hampir bersamaan melompat ke luar melalui jendela yang terbuka. Sebentar saja ketiga orang itu sudah berada di luar ruangan. Mereka berdiri berdampingan di tengah-tengah halaman samping yang luas, di tumbuhi tanaman bunga bermekaran menyebarkan bau harum. Tak ada seorang pun yang terlihat kecuali bayang-bayang pohon tersiram cahaya bulan di sekitarnya.
"Kisanak, keluarlah!" seru Dewa Pedang lantang.
Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi itu menggema sampai ke delapan penjuru angin. Namun tak ada sahutan sedikit pun, dan suasana tetap sunyi. Hanya desiran angin malam yang terdengar mengusik gendang telinga.
"Saat ini aku tidak ingin bermain-main, Kisanak. Keluarlah...!" seru Dewa Pedang sekali lagi.
"Kau tidak perlu berteriak, Dewa Pedang. Aku di belakangmu!" terdengar sahutan ringan bernada tenang.
Dewa Pedang, Dewi Ratih dan Arya Gara langsung memutar tubuhnya berbalik. Betapa terkejutnya mereka, karena di tempat itu sudah berdiri seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan. Baju putihnya agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Dewa Pedang melangkah maju tiga tindak. Pandangannya tajam, namun terlihat begitu waspada. Kehadiran pemuda itu yang tidak diketahui, sudah memberikan peringatan agar Dewa Pedang berhati-hati.
"Siapa kau, dan apa maksudnya datang ke tempatku malam-malam begini?" tanya Dewa Pedang tegas.
"Ha ha ha...!" laki-laki muda berbaju putih itu hanya tertawa saja.
Dewa Pedang menjentikkan jari tangannya, memberi isyarat pada istri dan anaknya agar berhati-hati. Sudah terasa kalau kehadiran pemuda itu tidak diiringi maksud baik.
Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki muda berbaju putih yang ternyata adalah si Jari Malaikat Maut itu langsung saja melompat menerjang Dewa Pedang. Serangan yang mendadak ini membuat laki-laki setengah baya itu jadi terperangah sesaat. Tapi, cepat-cepat dijatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah. Serangan si Jari Malaikat Maut hanya mengenai tempat kosong. Namun belum juga Dewa Pedang bisa berdiri tegak, Jari Malaikat Maut sudah menyerang kembali.
"Tunggu...!" seru Dewa Pedang sambil berkelit menghindari serangan pemuda berbaju putih itu.
Tapi rupanya si Jari Malaikat Maut tidak mempedulikan seruan Dewa Pedang. Bahkan semakin gencar menyerang tanpa memberi kesempatan lawan untuk berbuat sesuatu, selain berkelit menghindarkan diri. Dewa Pedang jadi geram juga dibuatnya. Mendadak saja dia berteriak keras, lalu...
"Hiyaaat..!" Tubuh Dewa Pedang melesat ke udara, lalu cepat sekali menukik sambil mencabut pedang peraknya yang terkenal sangat ampuh dan ditakuti lawan maupun kawan.
"Uts...!" Si Jari Malaikat Maut bergegas menundukkan kepalanya, menghindari tebasan pedang perak yang datang bagaikan kilat itu. Hanya sedikit saja ujung mata pedang itu berkelebat di atas kepala si Jari Malaikat Maut. Bergegas digeser kakinya ke belakang, tepat saat Dewa Pedang menjejakkan kakinya kembali ke tanah.
Secepat si Jari Malaikat Maut berkelit, secepat itu pula tangan kanannya mengibas ke depan. Kalau saja Dewa Pedang tidak cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, pasti tebasan tangan si Jari Malaikat Maut sudah menjebol perutnya. Si Jari Malaikat Maut berdiri tegak bertolak pinggang, kemudian menggerak-gerakkan tangannya di depan dada dengan sepuluh jari terkembang lebar.
"Heh...!" Dewa Pedang tersentak kaget. Bergegas dia melompat mundur dua tindak. Hampir-hampir tidak dipercaya pada penglihatannya sendiri. Pemuda itu tengah membuka jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Satu jurus yang sangat dikenalnya dan merupakan jurus andalan dahsyat milik Pendekar Jari Malaikat.
"Anak Muda, apa hubungannya kau dengan Pendekar Jari Malaikat?" tanya Dewa Pedang bercampur rasa heran yang amat sangat.
"He he he.... Rupanya kau gentar juga melihat Jurus 'Sepuluh Jari Maut' ini, Dewa Pedang," si Jari Malaikat Maut terkekeh sinis.
"Aku tidak percaya kalau kau murid Pendekar Jari Malaikat' Dari mana kau dapatkan jurus itu, Anak Muda?!" dengus Dewa Pedang.
"Kau akan tahu jika anakmu sudah jadi mayat'" jawab si Jari Malaikat Maut dingin.
Dewa Pedang tercenung. Namun belum sempat mulutnya terbuka, mendadak Arya Gara melompat sambil berteriak keras menerjang si Jari Malaikat Maut.
"Arya Gara...!" sentak Dewa Pedang terperanjat.
"Hih!" Hanya dengan sedikit memiringkan tubuhnya, si Jari Malaikat Maut berhasil mengelakkan serangan Arya Gara. Dan dengan keceparan luar biasa, dihentakkan tangan kanannya ke arah kepala Arya Gara. Ujung jari yang menegang kaku itu meluruk deras ke arah kening. Arya Gara terperangah. Buru-buru ditarik kepalanya ke belakang. Namun....
"Hiyaaa...!"
Crab!
"Aaa...!"
Sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Pada saat Arya Gara menarik kepalanya ke belakang, si Jari Malaikat Maut menghentak kakinya ke tanah. Dan bagaikan kilat tubuhnya melesat ke depan sambil menjulur tangan ke arah kening Arya Gara bagaikan sebatang pedang saja.
Arya Gara menjerit melengking tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Darah kontan menyembur deras dari kening yang bolong tertembus jari telunjuk si Jari Malaikat Maut. Pemuda itu jatuh menggelepar di tanah, sebentar kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Keparat..!" geram Dewa Pedang melihat putranya tewas terkena Jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Biar bagaimanapun tegarnya seorang pendekar, sebagai ayah. Dewa Pedang tidak bisa memungkiri hatinya yang terpukul melihat kematian anaknya.
"Arya Gara...!" teriak Dewi Ratih histeris. Wanita itu berlari dan menubruk tubuh putranya yang sudah tidak bernyawa lagi. Meskipun Dewi Ratih seorang pendekar wanita yang cukup tangguh, tapi tidak kuasa juga membendung air matanya melihat putra bungsunya tewas menyedihkan.
"Kubunuh kau, iblis keparat..!" geram Dewi Ratih gusar.
Sambil berteriak keras, Dewi Ratih melompat mener-jang si Jari Malaikat Maut yang terkekeh bernada penuh ejekan. Terjangan Dewi Ratih disambut liukan tubuhnya sedikit ke samping. Lalu bagaikan kilat diayunkan kakinya menyepak wanita itu.
Dug!
"Akh...!" Dewi Ratih memekik keras tertahan.
Tendangan si Jari Malaikat Maut yang begitu cepat dan keras tidak dapat dielakkan lagi. Wanita itu terlontar beberapa langkah ke belakang. Pada saat itu si Jari Malaikat Maut sudah melompat dengan jari-jari tangan terkembang ke depan.
"Hiyaaa...!"
"Ratih, awas...!" seru Dewa Pedang. Hatinya benar-benar bergolak melihat istrinya diserang terus-menerus oleh si Jari Malaikat Maut. Namun naluri kependekarannya melarang untuk turut menyerang lawan yang hanya sendiri. Serangan si Jari Malaikat Maut memang begitu cepat. Sedangkan pada saat itu, Dewi Ratih dalam keadaan tidak seimbang berdirinya. Wanita itu hanya mampu membanting tubuhnya ke tanah. Tapi sungguh sukar dimengerti, si Jari Malaikat Maut masih mampu menyepakkan kakinya ke tubuh wanita itu.
Buk!
"Akh!" lagi-lagi Dewi Ratih memekik keras. Wanita itu bergulingan di tanah begitu terkena tendangan telak pada bagian iga, namun masih sempat bangkit berdiri. Langsung dikeluarkan senjatanya yang berupa sehelai selendang berwarna merah muda. Selendang sutra halus, yang pada ujungnya berumbai merah darah.
Wut! Dewi Ratih langsung mengerahkan jurus 'Selendang Maut'. Suatu jurus yang sangat diandalkan dan jarang dikeluarkan. Kematian putranya membuat wanita ini tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Tanpa mempedulikan peringatan suaminya, Dewi Ratih langsung menyerang si Jari Malaikat Maut dengan senjata mautnya. Selendang berwarna merah muda itu meliuk-liuk bagaikan seekor ular raksasa, memburu si Jari Malaikat Maut. Bagai memiliki mata saja, selendang itu mengejar setiap langkah dan gerak si Jari Malaikat Maut.
"Huh!" dengus Jari Malaikat Maut kesal.
Pada saat ujung selendang Dewi Ratih meluruk ke arah dadanya, si Jari Malaikat Maut tidak bergeming sedikit pun. Bahkan dibuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, ujung selendang merah muda itu menghantam telak dada si Jari Malaikat Maut. Namun pada saat itu si Jari Malaikat Maut menggerakkan tangannya, menangkap selendang itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil membuat gerakan berputar, si Jari Malaikat Maut melayang sambil menarik selendang merah muda itu. Hal ini membuat Dewi Ratih tercengang, dan berusaha menarik selendangnya. Namun pada saat menarik, si Jari Malaikat Maut mempergunakan hentakan tenaga lawannya. Dibiarkan saja tubuhnya meluruk bersama selendang itu ke arah pemiliknya.
"Oh, tidak...," desis Dewi Ratih terperanjat.
Belum juga Dewi Ratih bisa melakukan sesuatu, ujung jari pemuda berbaju putih itu sudah menusuk keningnya. Bahkan sampai melesak hingga ke pangkalnya.
"Aaa...!" Dewi Ratih menjerit keras melengking tinggi.
Darah segar langsung muncrat begitu si Jari Malaikat Maut menarik keluar jari yang terbenam di kening wanita itu. Sebentar Dewi Ratih masih mampu berdiri, kemudian jatuh menggelepar ke tanah. Darah semakin banyak keluar dari kening yang berlubang sebesar jari tangan.
"Dewi..!" sentak Dewa Pedang melihat istrinya dibantai si Jari Malaikat Maut. Seketika laki-laki tua itu menghambur, memeluk mayat istrinya. Dia seperti ingin menangis, tapi jiwa kependekarannya menolak.
"Tidak! Aku tidak boleh menangis! Ini adalah takdir yang harus kuhadapi!" tekad Dewa Pedang dalam hati.
Tapi biar bagaimanapun, Dewa Pedang tidak memungkiri hatinya yang terbakar!
"Keparat! Iblis...!" desis Dewa Pedang menggeram marah. Hati pendekar ini sekarang benar-benar bergolak. Betapa tidak! Dua mutiara hatinya tewas di tangan orang biadab ini.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak melihat dua korbannya bergeletakan bersimbah darah pada kening yang berlubang.
Keributan yang terjadi di tengah malam buta itu rupanya membuat seluruh murid Padepokan Pedang Perak terjaga. Mereka berlarian ke arah sumber keributan itu. Betapa terkejutnya mereka begitu melihat tstri dan putra gurunya sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Semuanya jadi terpaku dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sementara si Jari Malaikat Maut berdiri tegak dengan tenangnya. Sedikit pun tidak dipedulikan kehadiran murid-murid Padepokan Pedang Perak yang kini sudah mengepung tempat ini sambil menghunus senjata. Perhatiannya hanya tertuju pada Dewa Pedang yang wajahnya memerah menahan kemarahan amat sangat.
********************
"Kau harus bayar mahal semua ini, Anak Muda!" dengus Dewa Pedang menggeram marah.
"Tentu...! Akan kubayar semuanya dengan nyawamu, Dewa Pedang," sahut si Jari Malaikat Maut kalem.
Dewa Pedang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Disadari kalau pemuda itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Ketua Padepokan Pedang Perak itu memerintahkan murid-muridnya untuk menyingkir. Dia tak ingin pemuda itu mengamuk dan membantai habis murid-muridnya. Laki-laki setengah baya itu bisa mengukur kalau murid-muridnya tidak akan mampu menandingi pemuda yang tidak dikenalnya ini.
"Anak Muda, apa maksudmu datang ke sini?" tanya Dewa Pedang setelah semua murid-muridnya berada dalam jangkauan yang cukup jauh.
"Mencari anakmu!" sahut si Jari Malaikat Maut.
"Kau sudah membunuh anakku. Kisanak!"
"Kau pikir aku tidak tahu, heh? Di mana kau sembunyikan Arya Dipa? Dia harus bertanggung jawab padaku karena berani menyerobot hakku!" lantang nada suara si Jari Malaikat Maut.
"Apa yang dilakukan putraku?"
"Membunuh si Kapak Maut yang seharusnya menjadi bagianku! Jelas...?!"
"Oh...." desah Dewa Pedang.
Kini laki-laki setengah baya itu baru tahu dan menyadari. Ternyata pemuda ini adalah si Jari Malaikat Maut. Memang pernah didengarnya tentang pemuda ini dari Pendekar Jari Malaikat. Rupanya orang yang telah menggemparkan rimba persilatan ini masih begitu muda bagai seorang putra bangsawan, tapi hatinya terselimut nafsu iblis. Dewa Pedang semakin berhati-hati. dan tidak ingin gegabah menghadapi pemuda ini.
Ketua Padepokan Pedang Perak itu sudah mendengar banyak tentang sepak terjang si Jari Malaikat Maut. Demikian pula tentang ilmunya yang paling ditakuti hampir seluruh tokoh rimba persilatan, baik yang beraliran hitam maupun putih. Sebuah ilmu yang dapat menyerap ilmu lawan hanya lewat benturan badan dalam pertarungan. Tak ada satu ilmu kesaktian atau suatu jurus pun yang dapat menandinginya. Ilmu yang dimiliki si Jari Malaikat Maut itu bahkan membuat tubuhnya kebal tak dapat digempur ajian apa pun.
Dewa Pedang juga kini tahu kalau si Jari Malaikat Maut mencari Arya Dipa, karena telah membunuh si Kapak Maut, yang sedianya akan ditantang pemuda ini. Si Jari Malaikat Maut memang selalu menantang tokoh-tokoh persilatan hanya untuk mencuri ilmunya saja. Kemudian baru dibunuh dengan mata tak berkedip sedikit pun. Dewa Pedang menggeser kakinya sedikit ke samping. Pelahan-lahan ditarik pedangnya keluar dari warangkanya. Sebuah pedang panjang dan tipis berwarna keperakan. Pedang itu berkilatan tertimpa cahaya bulan.
"Bagus! Rupanya kau sudah siap ke neraka, Dewa Pedang!" dengus si Jari Malaikat Maut seraya tersenyum tipis.
"Kita tentukan malam ini. Kau, atau aku yang lebih dulu ke neraka!" dengus Dewa Pedang dingin.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak-bahak
"Majulah, Anak Muda! Dosa besar kalau aku tidak bisa membunuhmu malam ini!" tantang Dewa Pedang.
"Waspadalah! Hiyaaa...!"
Si Jari Malaikat Maut langsung melompat menerjang Dewa Pedang. Tubuhnya melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur. Kedua tangannya menjulur ke depan dengan jari-jari terbuka lebar. Gerakannya bagai sepasang cakar seekor burung elang yang siap menerkam mangsa.
"Hait..!" Bagaikan kilat Dewa Pedang melompat ke samping sambil mengebutkan pedangnya. Begitu cepat kebutan laki-laki setengah baya itu, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Semua murid Padepokan Pedang Perak pasti menyangka kalau tubuh si Jari Malaikat Maut akan terbelah dua. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan sama sekali.
"Hiyaaa...!" Si Jari Malaikat Maut melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Dan pada saat ujung pedang Dewa Pedang menyambar tepat di depan perutnya, bagaikan kilat dihentakkan kakinya menyepak pergelangan tangan yang menggenggam pedang itu.
"Uts!" Dewa Pedang bergegas menarik pulang pedangnya, maka sepakan kaki si Jari Malaikat Maut luput dari sasaran. Tapi dia tidak berhenti di situ saja. Sambil memutar tubuhnya, dikibaskan tangan kanannya, disusul tangan kiri menuju arah dua bagian tubuh Dewa Pedang. Satu serangan dahsyat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Jurus ini sangat diandalkan Pendekar Jari Malaikat, pemilik jurus yang syah itu. Hanya saja, kini menjadi milik si Jari Malaikat Maut.
Wut! Wuk!
"Edan! Hih...!"
********************
DELAPAN
Cepat sekali Dewa Pedang berkelit, namun tetap saja masih harus menerima hempasan angin kibasan tangan si Jari Malaikat Maut itu. Akibatnya, tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Pada saat ttu, si Jari Malaikat Maut sudah meluruk cepat dengan sepuluh jari terkembang bagai sepasang cakar burung elang.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Buru-buru Dewa Pedang membanting tubuhnya ke tanah. Namun lagi-lagi hatinya terperanjat karena kaki lawannya berhasil menyepak iga sehingga membuatnya harus bergulingan sejauh beberapa batang tombak di tanah.
"Mampus kau, Dewa Pedang! Hiyaaat..!" teriak Jari Malaikat Maut keras menggelegar. Seketika itu juga dihentakkan tangan kanannya ke depan. Saat itu secercah cahaya merah bagai bola api sebesar kepala orang dewasa, meluncur deras dari telapak tangan pemuda berbaju putih itu. Dewa Pedang terperangah, dan tidak punya kesempatan menghindar lagi.
Dan pada saat yang kritis, mendadak saja berkelebat bayangan putih bercampur cahaya biru berkilau menyampok bola api yang dilepaskan si Jari Malaikat Maut. Bola api itu langsung terlontar balik ke arah pemiliknya. Hal ini membuat si Jari Malaikat Maut harus berpelantingan menghindarinya. Satu ledakan keras menggelegar terdengar begitu bola api itu menghantam dinding tembok pagar yang melingkari padepokan itu. Tembok itu hancur berkeping-keping menimbulkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
"Setan alas...!" umpat si Jari Malaikat Maut geram.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Dewa Pedang sudah berdiri seorang pemuda tampan mengenakan baju rompi putih. Tangannya memegang sebilah pedang bergagang kepala burung Rajawali yang memancarkan sinar biru berkilau, sehingga membuat malam yang pekat ini jadi terang benderang bagai siang hari.
"Kau tidak apa-apa, Paman Dewa Pedang?" lembut suara pemuda berbaju rompi putih itu.
"Tidak, terima kasih," sahut Dewa Pedang sambil bangkit berdiri. "Kau tentu Pendekar Rajawali Sakti!"
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya tersenyum dan menoleh sedikit pada Dewa Pedang yang sudah berdiri di samping kanannya. Dia memang Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu melintangkan pedangnya di depan dada begitu melihat si Jari Malaikat Maut sudah bersiap menyerang kembali.
"Menyingkirlah, Paman. Biar kuhadapi sendiri," kata Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Hati-hatilah. Ilmunya tinggi sekali," Dewa Pedang mengingatkan seraya melangkah mundur.
Rangga hanya bergumam saja. Digeser kakinya ke kiri, menjauhi Dewa Pedang. Dia tidak ingin laki-laki setengah baya itu menjadi sasaran serangan si Jari Malaikat Maut. Rangga sempat melirik ke arah lain. Tampak Pendekar Jari Malaikat datang menghampiri bersama Arya Dipa.
"Huh! Selalu saja kau muncul, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus si Jari Malaikat Maut gusar.
"Sudah kuduga, kau pasti akan datang ke sini, Kobar," ujar Rangga menyebut nama asli si Jari Malaikat Maut.
"Aku Jari Malaikat Maut, bukan Kobar," bentak pemuda itu geram.
"Apa pun julukanmu, kau tetap Kobar. Anak angkat Pendekar Bayangan Dewa dan si Ular Betina dari Selatan. Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya. Dan aku tidak ingin kau terlalu lama mendewakan nafsu serakah dan keangkaramurkaan!" lantang suara Rangga.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut yang sebenarnya bernama Kobar tertawa terbahak-bahak. Sama sekali memandang sebelah mata pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Tertawalah sepuasmu, Kobar. Malam ini akan kuhentikan segala tindakanmu!" dingin nada suara Rangga.
"Monyet..! Sepatutnya kau mampus lebih dulu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak si Jari Malaikat Maut gusar.
"Hiyaaa...!" Belum lagi hilang suara pemuda berbaju putih ketat itu, mendadak saja si Jari Malaikat Maut melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Cepat sekali serangannya, tapi Rangga lebih cepat lagi berkelit menghindari serangan itu. Pertarungan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Meskipun menggenggam Pedang Pusaka Rajawali Sakti, tapi Rangga masih belum mau berbenturan secara langsung dengan lawannya. Dia menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', dan selalu menghindari setiap serangan si Jari Malaikat Maut.
Pedang Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru menyilaukan itu selalu berkelebatan cepat, mengacaukan setiap serangan si Jari Malaikat Maut. Namun setiap kali pemuda itu berusaha menahan arus kibasan pedang dengan tangannya, Rangga selalu berhasil mengindari dengan memutar balik arah tebasannya. Dan ini semakin membuat si Jari Malaikat Maut bertambah marah.
"Keparat! Kau mempermainkan aku, heh...!" geram si Jari Malaikat Maut gusar.
Umpatan si Jari Malaikat Maut tidak dihiraukan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu terus saja mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sambil memain-mainkan pedangnya. Sinar biru yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu semakin bertambah terang menyilaukan mata, membuat si Jari Malaikat Maut semakin terkecoh. Bola matanya mulai terasa pedih, dan berusaha dihindari tatapan matanya pada sinar biru berkilau itu.
"Keluarkan semua ilmu curianmu, Kobar!" seru Rangga memancing amarah si Jari Malaikat Maut.
"Bedebah! Kubunuh kau, setaaan..!" geram si Jari Malaikat Maut semakin memuncak amarahnya.
Serangan-serangan si Jari Malaikat Maut semakin gencar dan berbahaya sekali. Jurus demi jurus berganti cepat. Semakin lama pertarungan itu, semakin dahsyat serangan yang dilakukan si Jari Malaikat Maut. Tapi rupanya Rangga masih mampu menghindari setiap serangan itu. Dengan bantuan cahaya pedangnya yang menyilaukan, Pendekar Rajawali Sakti mampu berkelit cepat dan mengecoh serangan-serangan lawannya. Tapi bagaimanapun juga, Rangga menyadari kalau pertarungan seperti ini tidak akan bertahan lama lagi. Dan sudah dipersiapkan apa yang akan terjadi nanti. Rangga sadar, kalau tidak si Jari Malaikat Maut maka dirinyalah yang akan tewas malam ini!
********************
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut berteriak keras menggelegar. Seketika itu juga tubuhnya melesat ke udara, dan berputaran beberapa kali. Pemuda berbaju putih ketat ttu meluruk jauh ke depan Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu kakinya menjejak tanah, langsung dihentakkan tangan kanannya ke depan. Segumpal cahaya bagai bola api meluncur deras keluar dari telapak tangan yang terbuka lebar itu.
"Hup! Hiyaaa...!" Cepat sekali Rangga menyilangkan pedangnya di depan dada. Maka bola api ttu tepat menghantam mata pedang yang bersinar biru itu. Satu ledakan keras terjadi. Tapi sungguh menakjubkan. Bola api itu langsung lenyap begitu membentur pedang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa! Yeaaah...!" Dua kali si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangan kanan dan kirinya secara cepat bergantian. Dua bola api bertebaran meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang masih berdiri tegak sambil menyilangkan pedang di depan dada. Dua ledakan keras kembali terdengar begitu bola-bola api yang dilepaskan si Jari Malaikat Maut menghantam mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Phuih...!" si Jari Malaikat Maut menyemburkan ludahnya, gusar. Baru kali ini didapatkan lawan tangguh, yang dapat menahan gempuran aji 'Tapak Api' yang sangat dahsyat. Tiga kali Rangga digempur, tapi tidak kurang satu apa pun. Padahal dia belum berpindah dari tempatnya berdiri. Bahkan semua ajian yang dilepaskan si Jari Malaikat Maut mudah sekali diredamnya.
"Hup! Hup! Hsss...!"
Si Jari Malaikat Maut menggerak-gerakkan tangannya turun naik di depan dada. Pandangan matanya begitu tajam menusuk. Kedua kakinya terpentang lebar, dan lututnya agak tertekuk ke depan. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Namun pelahan-lahan dilebarkan kakinya, dan tangan kirinya menggosok Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Sungguh menakjubkan...! Sinar biru yang memancar dari pedang itu menggumpal membentuk bulatan pada ujung pedang
"Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras, si Jari Malaikat Maut berlari cepat mengarah ke Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, Rangga memasukkan pedang pusakanya ke dalam warangkanya di punggung. Tapi bulatan cahaya biru, tetap menyelimuti kedua tangannya. Dan pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan tangannya ke depan, tepat pada saat jari-jari tangan si Jari Malaikat Maut yang memerah membara bagai terbakar itu mencengkeram dada Rangga.
"Hhh!"
"Hup...!"
Dua orang pemuda itu saling berhadapan. Jari-jari tangan si Jari Malaikat Maut menancap dalam di dada Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu mencengkeram bahu lawannya kuat-kuat. Terjadi adu kekuatan ilmu kesaktian yang tinggi.
Inilah adu kekuatan kesaktian yang saling berlawanan satu sama lain, meskipun sama-sama mempunyai tujuan serupa yaitu menyedot kekuatan dan tenaga lawan! Saling tarik-menarik kekuatan pun terjadi. Dan Rangga agak terkejut juga begitu merasakan tarikan kekuatan si Jari Malaikat Maut begitu kuat. Tanpa membuang-buang waktu lagi. Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan tingkat terakhir aji 'Cakra Buana Sukma'.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" seru Rangga keras. Seketika itu juga seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti terselimut cahaya biru berkilauan. Sedangkan seluruh tangan si Jari Malaikat Maut sudah memerah membara bagaikan terbakar. Tubuh yang bermandikan keringat itu bergetar. Sedangkan Rangga mulai memusatkan kekuatan pada kedua tangannya yang mencengkeram pundak si Jari Malaikat Maut.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja si Jari Malaikat Maut menghentakkan tangannya. Dan bersamaan dengan itu, digedornya dada Rangga dengan kekuatan penuh. Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah melayang ke udara.
Pada saat itu si Jari Malaikat Maut melesat ke angkasa. Bukannya untuk mengejar Rangga, tapi untuk melarikan diri dengan arah yang berlawanan. Namun belum juga sempat meninggalkan tempat itu, mendadak saja sebuah bayangan biru berkelebat menyampoknya.
"Uts...!" Buru-buru si Jari Malaikat Maut melentingkan tubuhnya dan berputar beberapa kali. Tubuhnya lalu meluruk turun dengan ringan dan manis sekali. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya lembut menjejak tanah. Tampak dari sudut bibirnya mengucurkan darah kental. Rupanya tadi seluruh kekuatannya dikerahkan untuk melepaskan diri dari balutan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Sementara itu Rangga yang jatuh ke tanah bergulingan beberapa kali, langsung duduk bersila seraya merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Kelopak matanya agak terpejam, namun menatap lurus si Jari Malaikat Maut yang berdiri berhadapan dengan seorang gadis cantik mengenakan baju berwarna biru. Begitu ketatnya baju yang dikenakan, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah sekali.
"Pandan...," desis Rangga mengenali gadis itu.
Tapi Rangga tidak sempat lagi memperhatikan gadis itu. Kekuatannya yang hampir hilang harus segera dipulihkan, akibat tersedot ilmu yang dimiliki si Jari Malaikat Maut. Dalam hati, dia merasa khawatir kalau aji 'Cakra Buana Sukma' sempat disadap si Jari Malaikat Maut. Kalau hal itu sampai terjadi, sukar bagi Rangga untuk mengalahkannya.
********************
Pada saat itu si Jari Malaikat Maut sudah menyerang Pandan Wangi yang menggunakan senjata khasnya berupa kipas baja putih yang ujung-ujungnya runcing dan tajam melebihi tajamnya mata pisau cukur. Pertarungan itu berlangsung sengit. Namun dalam beberapa jurus saja, sudah terlihat kalau Pandan Wangi terdesak.
Menyadari kalau lawannya sangat tangguh, Pandan Wangi segera mencabut Pedang Naga Geni yang berwarna hitam kelam mengepulkan asap kemerahan. Dengan pedang di tangan kanan dan kipas baja di tangan kiri, Pandan Wangi kembali mampu menandingi kehebatan si Jari Malaikat Maut yang bertarung menggunakan tangan kosong. Namun jari-jari tangannya merupakan senjata yang dahsyat, melebihi senjata apa pun juga!
"Pandan, mundur...!" seru Rangga yang sudah dapat memulihkan kekuatannya kembali.
Tapi Pandan Wangi tidak menghiraukan peringatan Rangga, dan terus saja bertarung sengit. Hal ini membuat Rangga cemas, karena sudah bisa diukur kalau Pandan Wangi tidak mungkin bisa mengalahkan si Jari Malaikat Maut. Dan dugaan Rangga ternyata terbukti tidak lama kemudian.
Saat itu Pandan Wangi tengah membabatkan pedangnya ke arah kaki si Jari Malaikat Maut. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, pemuda berbaju putih itu hanya mengangkat sebelah kakinya ke atas. Langsung dihentakkan ke depan, sehingga membuat Pandan Wangi terperangah kaget. Dan belum hilang rasa keterkejutannya, gadis itu sudah merasakan adanya tendangan keras menghantam perut.
"Hughk...!" Pandan Wangi mengeluh pendek.
Selagi tubuh gadis itu terbungkuk, cepat sekali si Jari Malaikat Maut mengayunkan satu pukulan ke arah wajah. Namun belum juga pukulan itu sampai ke wajah Pandan Wangi, Rangga cepat melompat dan menangkap pergelangan tangan pemuda itu. Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tangan si Jari Malaikat Maut.
"Hiyaaa...!"
Wuk..!
Tubuh si Jari Malaikat Maut terlontar ke atas, namun tangannya masih dicekal Rangga. Dan dengan keras sekali pemuda itu jatuh ke tanah begitu Rangga menghentakkannya ke bawah. Satu tendangan keras dilayangkan ke tubuh si Jari Malaikat Maut, membuat pemuda berbaju putih ketat itu terguling sejauh beberapa batang tombak. Hebat! Dia cepat bangkit berdiri dan menyemburkan ludahnya penuh kegeraman.
"Mundur kau, Pandan," dengus Rangga memerintah.
Pandan Wangi ingin bersikeras, tapi Pendekar Rajawali Sakti bergegas menghampiri gadis itu dan membawanya menyingkir. Terpaksa Pandan Wangi menurut, menjauhi tempat pertarungan itu. Sementara Rangga sudah menggeser kakinya ke samping, siap menghadapi lawan yang sangat tangguh ini.
"Majulah! Kita bertarung sampai ada yang mati, Kobar!" ujar Rangga dingin.
"Hm...." si Jari Malaikat Maut hanya menggumam tidak jelas.
Pertarungannya tadi rupanya membuat si Jari Malaikat Maut harus bersikap hati-hati menghadapi Pendekar Rajawali Sakti ini. Kalau saja tidak beruntung tadi, mungkin dia sudah tidak bernyawa lagi. Sungguh belum pernah dihadapinya lawan yang begini tangguh, dan berkepandaian tinggi. Bahkan kepandaiannya sukar sekali dicuri melalui ilmu andalannya yang sangat dibanggakan.
Rangga yang menyadari kalau lawannya ini sungguh alot, tidak mau lagi membuang-buang waktu dan memberi kesempatan. Bagaikan burung Rajawali, pemuda berbaju rompi putih itu melompat sambil berteriak keras menerjang si Jari Malaikat Maut. Kembali pertarungan sengit terjadi, masing-masing mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya sekali. Sedikit kelengahan akan berakibat kematian.
Untuk pertama kali Ini, Rangga bukan saja mengeluarkan jurus-jurus 'Rajawali Sakti', tapi juga jurus-jurus yang pernah didapatkannya dari Satria Naga Emas. Namun ternyata si Jari Malaikat Maut mampu menandinginya, bahkan masih mampu juga membalas tidak kalah dahsyat.
Pertarungan terus berlangsung hingga ke luar tembok benteng Padepokan Pedang Perak bagian belakang yang langsung berhadapan dengan hutan lebat. Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu terus mengikuti sambil menjaga jarak dan berjaga-jaga. Pertarungan itu terus berpindah-pindah tempat dan semakin jauh masuk ke dalam hutan mendekati Gunung Bekasan. Tidak terkatakan lagi, bagaimana hancurnya hutan yang dijadikan arena pertarungan itu.
Hingga fajar menyingsing, pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Si Jari Malaikat Maut masih terus berlangsung. Bahkan sampai matahari naik tinggi, pertarungan itu belum juga berhenti. Rangga memang mengalami kesukaran untuk menjatuhkan, karena lawannya kali ini memiliki berbagai macam ilmu dari banyak tokoh rimba persilatan. Bahkan tidak jarang Rangga terkecoh.
"Hhh... Pertarungan ini harus segera disudahi!" dengus Rangga dalam hati.
Baru saja Rangga berpikir demikian, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan pekat yang langsung meluruk ke arah si Jari Malaikat Maut. Hal ini membuat pemuda berbaju putih itu jadi terkejut. Buru-buru diputar tubuhnya. Tapi sungguh tidak terduga sama sekali, bayangan itu malah melentingkan tubuhnya dan menyambar kepala si Jari Malaikat Maut.
Wut!
"Hait...!"
Bet..!
Ikat kepala si Jari Malaikat Maut terlepas disambar bayangan itu. Si Jari Malaikat Maut bergegas melompat ke belakang. Pada saat yang tepat, Rangga sudah melompat sambil mengirimkan satu pukulan bertenaga dalam sempuma sekali.
"Hiyaaa...!" Buk!
"Akh...!" si Jari Malaikat Maut memekik keras. Tubuhnya langsung terlontar kembali ke depan dan terjerembab mencium tanah. Bergegas dia menggerinjang hendak bangkit berdiri, tapi sebuah kaki sudah menginjak dadanya. Si Jari Malaikat Maut terbeliak begitu mengenali, siapa yang menginjak dadanya. Ternyata seorang perempuan tua berbaju kumal menggenggam sebatang tongkat berbentuk ular hitam yang ujungnya menekan leher pemuda itu.
"Ibu..." desis si Jari Malaikat Maut.
"Tidak pantas kau menyebutku ibu, Anak durhaka!" bentak perempuan tua itu yang tidak lain adalah Nyi Palak, atau lebih dikenal berjuluk si Ular Betina dari Selatan.
Sementara itu, Rangga hanya memperhatikan saja dengan jarak yang tidak seberapa jauh. Sedangkan beberapa tombak di belakang Nyi Palak, terlihat Pendekar Jari Malaikat, Pandan Wangi, dan Arya Dipa. Dan begitu Arya Dipa melihat Dewa Pedang, pemuda itu menghambur menubruk ayahnya.
"Di mana ibu dan adikku, Ayah?" tanya Arya Dipa yang tidak melihat kedua orang itu.
Mendengar pertanyaan itu, Dewa Pedang tersentak. Hatinya begitu pedih seperti tersayat sembilu. Dia seperti tak mampu menjawab.
"Kenapa, Ayah? Mengapa Ayah kelihatan sedih?"
"Benar, Nak. Hari ini aku benar-benar berduka ibu dan adikmu telah tiada." tutur Dewa Pedang berusaha menegarkan hatinya.
"Apa?!"
********************
"Kau sudah membunuh ayahmu sendiri. Dan sekarang kau harus mampus di ujung tongkatku!" dingin nada suara Nyi Palak. Pucat pasi wajah si Jari Malaikat Maut. Dia berusaha menggerinjang mencoba membebaskan diri, tapi Nyi Palak malah menekan ujung tongkatnya lebih keras ke leher pemuda itu hingga meringis kesakitan.
"Kau bisa saja menantang pendekar pendekar lain. Tapi, kau tidak akan mampu mengalahkan aku, bocah setan!" kata Nyi Palak lagi.
"Ibu, aku hanya ingin menambah ilmu," kilah si Jari Malaikat Maut mencoba membela diri.
"Kau boleh saja memohon maaf seribu kali, tapi nanti di neraka!" ketus nada suara Nyi Palak.
"Ibu…" "Bersiaplah untuk mati, iblis! Hih...!"
"Aaa...!"si Jari Malaikat Maut menjerit melengking tinggi.
Ujung tongkat Nyi Palak langsung memanggang leher pemuda yang memang anak angkatnya sendiri. Tidak sampai di situ saja, perempuan tua itu juga menghunjamkan tongkatnya ke dada. Bahkan menjejak dada yang berlumuran darah itu dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Trek! Terdengar tulang-tulang dada berpatahan. Seketika itu juga si Jari Malaikat Maut terkulai tak bernyawa lagi. Nyi Palak melangkah mundur. Dibalikkan tubuhnya dan dihampirinya Pendekar Jari Malaikat.
"Benda ini tidak ada harganya lagi, Kakang," kata Nyi Palak sambil menyerahkan ikat kepala milik si Jari Malaikat Maut.
Dengan mata berkaca-kaca. Pendekar Jari Malaikat menerima ikat kepala itu. Dia mengerti, kalau Pendekar Bayangan Dewa sudah meninggal. Ini semua akibat keserakahan anak angkatnya sendiri yang durhaka setelah menguasai ikat kepala berisi sebuah kitab dari ilmu yang sangat langka dan sangat berbahaya jika digunakan pada jalan sesat.
Pendekar Jari Malaikat memandangi ikat kepala di tangannya, kemudian dilemparkan ke tanah. Dan seketika itu juga dihentakkan tangannya ke arah benda itu. Sebuah bola api sebesar kepalan tangan meluncur, langsung membakar hangus ikat kepala berikut kitab yang tersembunyi di dalamnya.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, Pendekar Jari Malaikat melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata. Sedangkan Nyi Palak menghampiri Arya Dipa. Ditepuk-tepuknya pundak pemuda itu.
"Maaf atas kekasaranku padamu, Arya Dipa," ucap Nyi Palak.
Arya Dipa tak mampu menjawab, dan hanya mengangguk saja. Nyi Palak memandang Dewa Pedang, lalu beralih pada Pandan Wangi. Puas menatap Pandan Wangi, dia berbalik dan menghampiri Rangga. Sebentar dirayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian ditepuknya pundak Rangga tiga kali.
"Aku ingin memberimu sesuatu, tapi aku tidak yakin akan berguna kembali," ungkap Nyi Palak.
"Apa itu?" tanya Rangga.
"Ah, sudahlah. Tidak ada lagi yang bisa menguasai ilmu iblis itu. Biarkanlah musnah bersama kenangan pahit ini."
Rangga tidak lagi mendesak. Sudah bisa dimengerti apa yang dibicarakan perempuan tua ini. Setelah menyalami Pendekar Rajawali Sakti itu, Nyi Palak melangkah pergi. Ayunan langkahnya seperti biasa saja, tapi begitu cepat seakan-akan tidak menjejak tanah. Cepat sekali tubuhnya lenyap dari pandangan mata. Rangga segera menghampiri Pandan Wangi, lalu mengajaknya pergi.
Kedua pendekar itu pergi diiringi pandangan mata Dewa Pedang dan putranya. Mereka masih berada di tempat itu sampai semua pendekar tidak terlihat lagi. Kemudian Dewa Pedang mengajak putranya kembali ke padepokan, diiringi murid-murid Padepokan Pedang Perak.
SELESAI
Selanjutnya,
SERULING PERAK
SERULING PERAK