Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
PERMAINAN DI UJUNG MAUT
SATU
SEEKOR KUDA hitam pekat berpacu cepat membelah jalan berdebu. Penunggangnya seorang pemuda berwajah cukup tampan mengenakan baju biru dari sutra halus bersulamkan benang emas. Dari pakaian yang berdebu dan keringat bercucuran deras, bisa diduga kalau penunggang kuda itu habis melakukan per jalanan jauh. Kuda hitam itu terus berpacu cepat menerjang daun-daun kering dan menyepak debu-debu hingga mengepul ke udara.
“Hooop...!”
Tiba-tiba pemuda itu menarik tali kekang kuda hitamnya, membuat tunggangannya itu meringkik keras, langsung berhenti sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Bergegas dia melompat turun. Gerakannya indah dan ringan sekali. Ditepuk-tepuk leher kudanya agar kuda hitam itu menjadi tenang. Sepasang bola matanya menyorot tajam, merayapi empat orang laki-laki berseragam prajurit yang berdiri menghadang di tengah-tengah jalan. Mereka semua memegang tombak panjang.
“Beritahu Gusti Prabu Jayengrana. Aku, Natapraja datang,” ujar pemuda penunggang kuda hitam itu. Lantang suaranya.
“Maaf, Kisanak. Gusti Prabu sedang bersemadi, tidak boleh diganggu,” sahut salah seorang prajurit yang berdiri paling pinggir kanan.
“Kurang ajar! Berani kau bantah perintahku, heh!” bentak Natapraja mendelik
Empat orang prajurit itu saling berpandangan. Mereka tidak kenal pemuda tampan yang datang menunggang kuda hitam itu. Apalagi tugas mereka adalah menjaga junjungannya agar tenang bersemadi di dalam puri. Tiba-tiba salah seorang prajurit bersiul nyaring. Dan sebentar saja tempat itu sudah dipenuhi sekitar lima puluh orang prajurit bersenjata tombak dan pedang.
Natapraja menggereng dan menyemburkan ludahnya beberapa kali. Matanya tajam merayapi para prajurit yang telah mengepung membawa senjata terhunus. Seorang laki-laki berusia setengah baya mengenakan seragam panglima melangkah di depan, lalu berdiri tegak sekitar lima langkah di depan Natapraja.
“Aku Panglima Pramoda, Kepala Pasukan Pengawal Gusti Prabu Jayengrana. Apa keperluan Kisanak sehingga datang pada saat Gusti Prabu tengah bersemadi?” laki-laki setengah baya itu memperkenalkan diri dan bertanya sopan.
“Namaku Natapraja. Datang ke sini hendak bertemu Gusti Prabu Jayengrana,” mantap nada suara Natapraja.
“Sayang sekali. Untuk waktu yang tidak diketahui, Gusti Prabu Jayengrana tidak bisa ditemui oleh siapa pun,” sahut Panglima Pramoda tetap sopan.
“Keperluanku mendesak dan penting sekali, Panglima.”
“Jika Kisanak bersabar, bisa menanti sampai Gusti Prabu selesai bersemadi,” Panglima Pramoda menawarkan.
“Jika aku memaksa...?”
Panglima Pramoda terperanjat mendengar nada tantangan itu, tapi tetap berusaha tenang. Sungguh dia tidak ingin terjadi keributan di saat junjungannya, penguasa Kerajaan Salinga tengah menjalankan semadi, mendekatkan diri pada sang Pencipta jagat raya ini. Terlebih lagi Prabu Jayengrana sudah berpesan agar jangan diganggu selama melakukan semadinya.
“Kisanak, sebegitu pentingkah urusanmu sehingga harus memaksa Gusti Prabu menghentikan semadinya?” agak jengkel nada suara Panglima Pramoda.
“Jika terpaksa...!” tegas jawaban Natapraja.
“Kalau boleh tahu, apa keperluanmu dengan Gusti Prabu?” tanya Panglima Pramoda.
“Hanya Gusti Prabu Jayengrana yang boleh tahu!” tetap tegas jawaban Natapraja.
“Hm.... Kau hanya cari perkara saja, Anak Muda,” dengus Panglima Pramoda. Laki-laki setengah baya itu tidak dapat lagi menahan geramnya, melihat tingkah pemuda yang mengaku bernama Natapraja.
“Ha ha ha...!” Natapraja terbahak-bahak
Sementara Panglima Pramoda sudah memberi isyarat pada para prajurit untuk bersiap siaga penuh. Tampak sekitar sepuluh orang prajurit sudah siap-siap dengan panah terpasang di busur yang merentang menegang. Sedangkan Natapraja hanya melirik saja sambil mengulas senyuman meremehkan.
Panglima Pramoda langsung bisa membaca gelagat kurang baik pemuda berwajah tampan, dan berpakaian seperti seorang anak pembesar. Tapi masih dicoba untuk menahan kesabarannya. Panglima itu sudah banyak berpengalaman dalam menghadapi pemuda sombong seperti ini. Dan dia tidak ingin terjebak oleh sikap congkak dan meremehkan seperti itu.
Belum lagi Panglima Pramoda membuka mulut kembali, mendadak saja Natapraja berlutut sambil merapatkan kedua telapak tangannya ke depan hidung. Sikap pemuda itu diikuti para prajurit yang berada di belakangnya, sehingga membuat Panglima Pramoda terbengong. Terlebih lagi, seluruh prajuritnya juga berlutut dengan sikap sama. Panglima Pramoda bergegas membalikkan tubuhnya, dan langsung terbeliak. Buru-buru dijatuhkan dirinya berlutut sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Tidak ada yang tahu, kapan seorang laki-laki berusia sekitar enam puluhan tahun muncul, dan tahu-tahu sudah berada di tempat itu. Pakaiannya terbuat dari kain sutra putih berbentuk seperti seorang pertapa. Wajahnya memancarkan cahaya, dan sinar matanya bagai bintang pagi yang indah. Di tangan kanannya tergenggam seuntai tasbih dari batu biru berkilau yang memancarkan cahaya apabila terpantul sinar matahari.
“Panglima Pramoda...,” berat dan berwibawa suara orang itu
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Panglima Pramoda sambil memberikan sembah.
“Siapa anak muda itu?” tanya orang tuh yang ternyata adalah Prabu Jayengrana.
“Ampun, Gusti Prabu. Anak muda ini mengaku bernama Natapraja. Dia ke sini memaksa ingin bertemu dengan Gusti Prabu,” sahut Panglima Pramoda bersikap penuh hormat.
“Hm...,” Prabu Jayengrana menggumam tidak jelas. Pandangannya beralih pada pemuda yang berlutut menundukkan kepalanya di belakang Panglima Pramoda.
Prabu Jayengrana mengayunkan kakinya. Begitu ringannya melangkah, seakan-akan kakinya tidak bergerak sama sekali. Tak ada suara terdengar sedikit pun saat laki-laki berpakaian putih bagai pertapa itu berjalan. Pasti dia telah memiliki kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh. Prabu Jayengrana berhenti sekitar dua langkah di depan Natapraja. Pemuda itu kembali memberikan sembah dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
“Anak muda, Apa keperluanmu ingin menemuiku?” tanya Prabu Jayengrana.
Natapraja tidak segera menjawab. Diberinya hormat sekali lagi, lalu perlahan-lahan berdiri. Melihat sikap pemuda itu, Panglima Pramoda bergegas berdiri sambil mencabut pedangnya. Namun belum juga dicabut seluruh pedangnya, sudah keburu dicegah Prabu Jayengrana dengan merentangkan tangannya. Natapraja berdiri tegak. Ditatapnya dalam-dalam, bola mata laki-laki bagai pertapa itu.
“Maaf, Gusti Prabu. Hamba datang untuk membunuhmu,” kata Natapraja tegas.
Dan sebelum ada yang menyadari ucapan Natapraja, tiba-tiba saja pemuda itu mengibaskan tangan kanannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga Prabu Jayengrana sendiri tidak sempat menyadari akan hal itu. Mendadak sebilah pisau bergagang kepala ular sudah tertancap di dada Raja Salinga itu.
“Hiyaaa...!”
Natapraja bergegas melompat ke punggung kudanya. Secepat kilat kuda hitam itu berlari melewati beberapa orang prajurit yang hanya terperangah menyaksikan kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali.
“Kejar dia! Cepat...!” teriak Panglima Pramoda begitu tersadar dari keterkejutannya.
Seketika para prajurit yang masih terpana, langsung bergerak mengejar Natapraja. Sedangkan Panglima Pramoda bergegas menghampiri Prabu Jayengrana yang masih berdiri tegak walaupun sebilah pisau tertancap di dadanya.
“Gusti...,” tercekat suara Panglima Pramoda.
“Biarkan, jangan dicabut,” sergah Prabu Jayengrana ketika Panglima Pramoda hendak mencabut pisau di dadanya.
Panglima Pramoda hanya bisa memandangi disertai roman wajah yang tidak menentu. Sedangkan Prabu Jayengrana membalikkan tubuhnya, lalu berjalan ringan menuju kembali dalam puri tempatnya bersemadi. Panglima Pramoda mengikuti. Masih ada dua puluh prajurit di sekitar tempat itu. Sedangkan lainnya sudah tidak terlihat lagi karena mengejar Natapraja.
Prabu Jayengrana melangkah pelahan memasuki puri. Sebuah bangunan yang tidak begitu besar dari tumpukan batu berukir berwarna hitam pekat. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu duduk bersila di sebuah batu pipih berwarna putih berkilat. Sementara Panglima Pramoda segera mengambil tempat di depannya, seraya duduk bersila dan memberi hormat. Panglima itu agak heran juga. Ternyata, walaupun dadanya tertancap pisau, Prabu Jayengrana masih bertahan. Bahkan tidak setetes pun darah keluar dari dadanya.
“Gusti..., apakah Gusti Prabu...?” terputus suara Panglima Pramoda.
“Aku tidak apa-apa, Paman Panglima,” ujar Prabu Jayengrana dengan bibir mengulas senyum. “Kembalilah ke istana. Katakan saja semua yang terjadi di sini tadi. Aku menunggu seluruh pembesar kerajaan untuk berkumpul di sini,” kata Prabu Jayengrana. Suaranya masih bernada penuh wibawa.
“Gusti...,” Panglima Pramoda mengangkat kepalanya. Hatinya tak tega meninggalkan junjungannya dalam keadaan seperti ini.
“Berangkatlah, Paman Panglima,” lembut, namun terdengar tegas suara Prabu Jayengrana.
Panglima Pramoda tepekur sesaat, kemudian bangkit berdiri dan memberi hormat. Bergegas kakinya melangkah ke luar diiringi pandangan mata Prabu Jayengrana. Panglima Pramoda hanya membawa lima orang prajurit, sedangkan sisanya diperintahkan untuk berjaga-jaga tidak jauh di sekitar puri. Dengan menunggang kuda, Panglima Pramoda dan lima prajuritnya bergegas pergi menuju ke Istana Salinga.
********************
Seluruh rakyat dari pelosok yang masih dalam wilayah Kerajaan Salinga menjadi berkabung. Mereka mendengar tentang mangkatnya Prabu Jayengrana yang terbunuh oleh seorang pemuda yang mengaku bernama Natapraja. Sudah tujuh hari penuh, suasana berkabung masih menyelimuti Kerajaan Salinga. Seluruh rakyat seperti tidak punya semangat lagi untuk bekerja. Men-dung menyelimuti seluruh langit kerajaan itu.
“Sudah tujuh hari Gusti Prabu mangkat. Kenapa tidak ada upacara penguburan, ya...?”
Pertanyaan seperti itu sudah mulai mengge-layuti benak seluruh rakyat Kerajaan Salinga. Mereka menunggu-nunggu saat upacara penguburan Prabu Jayengrana. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak segera kunjung datang. Pertanyaan itu membuat semua penduduk jadi semakin bertanya-tanya dan menduga-duga. Bahkan mulai tersebar kabar angin yang tidak bisa dicari kebenarannya. Berbagai macam dugaan timbul, dan berbagai macam pembicaraan simpang-siur terlontar.
Tapi semua berasal dari rasa heran dan berbagai macam pertanyaan tentang tidak adanya upacara pemakaman bagi mendiang Prabu Jayengrana. Bukan hanya dari kalangan rakyat, bahkan permaisuri dan putra mahkota sendiri pun jadi bertanya-tanya. Sudah tujuh hari setelah terdengar kabar tewasnya Prabu Jayengrana di kuil semadi pribadinya, tapi belum pernah terlihat jenazahnya. Raden Mandaka yang sudah berusia hampir dua puluh tahun, jadi tidak percaya kalau ayahandanya tewas oleh seorang pemuda bernama Natapraja di kuil semadi.
“Kenapa jasad Ayahanda Prabu belum juga dibawa ke istana, Bunda?” tanya Raden Mandaka saat berdua bersama ibunya di dalam taman kaputren.
“Entahlah, Anakku. Tapi kata Paman Trunggajaya, itu memang sudah pesan Ayahanda Prabu. Jenazahnya harus berada di kuil selama empat puluh hari,” sahut Permaisuri Sara Ratan sayu.
“Aneh...,” desis Raden Mandaka hampir tidak terdengar suaranya.
“Apanya yang aneh, Anakku?” tanya Permaisuri Sara Ratan.
“Tidakkah Bunda merasakan adanya keanehan? Sejak pertama mendengar kabar Ayahanda Prabu tewas terbunuh, tidak ada seorang pun yang diijinkan melihat jasadnya, kecuali Paman Trunggajaya dan Paman Pendeta Seka Gora. Bahkan aku dan Bunda sendiri tidak diperkenankan menengoknya. Apa ini tidak aneh?” agak tinggi nada suara Raden Mandaka.
“Bunda rasa itu tidak aneh, Anakku. Mungkin Ayahandamu punya maksud tertentu,” kilah Permaisuri Sara Ratan lembut.
“Itu berarti Bunda tidak percaya kalau Ayahanda Prabu tewas, bukan?” tebak Raden Mandaka.
“Entahlah...,” suara Permaisuri Sara Ratan terdengar mengambang.
“Bunda.... Nanda juga sempat berpikir seperti itu. Rasanya tidak mungkin kalau Ayahanda Prabu tewas hanya karena tertikam sebilah pisau oleh seorang pemuda yang tidak diketahui asalnya. Lagi pula, untuk apa membunuh Ayahanda Prabu...? Sedangkan yang Nanda ketahui, Ayahanda Prabu memiliki ilmu kebal. Bahkan aji ‘Karang Saketi’ yang menjadikan kulit Ayahanda Prabu sekeras baja, adalah ajian yang menjadi tameng bagi tubuh Ayahanda. Tak ada satu senjata pun yang bisa melukainya, apalagi hanya sebilah pisau kecil...,” agak ragu-ragu nada suara Raden Mandaka.
“Anakku.... Bagaimanapun digdayanya seseorang, dan bagaimanapun saktinya seseorang, tentu ada saatnya ajal menjemput. Hari naas tidak akan pernah dapat terelakkan. Itu namanya sudah takdir. Janganlah mengandalkan ilmu olah kanuragan dan kesaktian, sehingga jadi besar kepala. Apalagi menganggap diri tidak akan pernah bisa mati. Ingat, Anakku. Semua makhluk hidup pasti mati. Begitu juga Ayahanda Prabu,” tetap lembut nada suara Permaisuri Sara Ratan.
Raden Mandaka menatap dalam-dalam, lurus ke bola mata wanita berusia hampir mencapai empat puluh tahun di depannya. Entah apa yang dicari dari sepasang mata bening dan raut wajah lembut penuh ketenangan itu. Seakan-akan tidak percaya kalau ibunya seperti tidak berduka sejak menerima kabar kematian suaminya. Bahkan sikapnya begitu tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu pada diri Prabu Jayengrana. Perlahan-lahan Raden Mandaka bangkit berdiri. Pandangannya tetap tertuju pada seraut wajah yang masih kelihatan cantik itu.
“Bunda sepertinya tidak berduka sama sekali,” pelan suara Raden Mandaka, seolah berbicara untuk dirinya sendiri.
“Tidak, Anakku. Bunda merasa sedih, tapi tidak mungkin untuk hanyut terus-menerus dalam kedukaan. Masih banyak yang harus Bunda kerjakan selama Gusti Prabu tidak ada. Bunda saat ini masih punya tugas penting yang harus dilaksanakan, yaitu mempersiapkan dirimu agar menjadi raja. Tentu saja seorang raja yang jadi tauladan bagi seluruh rakyat negeri ini,” tetap tenang dan lembut suara Permaisuri Sara Ratan.
“Kenapa Bunda selalu berpikir begitu? Sejak Ayahanda diberitakan tewas, Bunda selalu berkata demikian setiap kali aku membicarakan perihal kematian Ayahanda. Kenapa, Bunda?”
“Kau tidak juga mengerti, Anakku. Setelah empat puluh hari, jasad Ayahandamu akan datang ke istana. Dan di saat itulah kau akan dinobatkan menjadi raja. Hanya itu tugas Bunda padamu. Mengantarmu sampai duduk di singgasana.”
“Tidak, Bunda. Aku tidak akan mempersiapkan diri jika belum melihat sendiri jasad Ayahanda Prabu. Itu pun kalau memang Ayahanda Prabu sudah meninggal!” jawab Raden Mandaka tegas.
“Jangan sia-siakan kesempatan ini, Ananda. Atau kau ingin tahta itu diserahkan pada adikmu? Adik dari selir, Anakku.”
“Bukan itu maksudku, Bunda. Yang kuinginkan hanyalah menduduki tahta sesuai adat dan peraturan yang berlaku. Terus terang, aku masih belum percaya jika Ayahanda tewas hanya karena tertikam sebilah pisau. Harus kuselidiki, Bunda. Harus...!” tegas nada suara Raden Mandaka.
“Mandaka...!”
Tapi Mandaka sudah lebih cepat meninggalkan taman kaputren itu. Permaisuri Sara Ratan bergegas berdiri dan mengejar, namun anaknya sudah berjalan jauh, melangkah cepat keluar dari taman kaputren. Permaisuri Sara Ratan hanya bisa memandangi kepergian putranya yang diliputi hati panas.
“Oh, Dewata Yang Agung..., jangan biarkan putraku masuk dalam kemelut ini,” desah Permaisuri Sara Ratan lirih.
Wanita berusia hampir empat puluhan tapi ma-sih terlihat cantik itu mengayunkan langkahnya menyusuri jalan setapak yang melingkari taman bunga di kaputren ini. Tapi belum seberapa jauh melangkah, tampak seorang laki-laki berusia lanjut menghampiri. Jalannya dibantu sebatang tongkat berwarna hitam kemerahan. Laki-laki berusia lanjut yang mengenakan baju berbentuk jubah warna kuning gading itu membungkuk memberi hormat. Kepalanya yang gundul tampak berkilat dijilat cahaya matahari senja.
“Ada apa, Paman Pendeta Seka Gora?” tanya Permaisuri Sara Ratan.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Apakah Gusti Permaisuri mengijinkan Ananda Raden Mandaka pergi ke kuil?” terdengar sopan nada suara Pendeta Seka Gora.
“Ke kuil...?!” Permaisuri Sara Ratan nampak terkejut.
“Benar, Gusti Permaisuri. Ananda Raden Mandaka bahkan membawa para prajurit setia dan sepuluh orang jawara yang sudah disumpah untuk selalu setia padanya.”
“Tidak! Aku tidak pernah mengijinkannya untuk pergi ke sana!” sentak Permaisuri Sara Ratan tegas.
“Kalau begitu, apa yang harus hamba lakukan, Gusti Permaisuri?” tanya Pendeta Seka Gora.
“Cegah sebelum terlambat!”
“Baik, Gusti Permaisuri.”
DUA
Raden Mandaka memacu cepat kudanya diikuti sekitar lima puluh prajurit dan sepuluh orang jawara pilihan yang telah disumpah untuk selalu setia pada putra mahkota itu. Jawara di Kerajaan Salinga adalah para jago yang memiliki kepandaian tinggi, yang terdiri dari orang-orang pilihan. Mereka rela mengorbankan nyawa demi kesetiaan pada junjungannya.
Kuda-kuda itu dipacu cepat bagai terbang di atas tanah, sehingga tidak berapa lama mereka sudah melewati batas kota Kerajaan Salinga. Sepanjang jalan yang dilalui, debu mengepul tersepak kaki-kaki kuda. Namun belum begitu jauh melewati perbatasan kota, mendadak sekitar sepuluh orang mengenakan baju hitam menghadang di depan.
“Hup...!”
Raden Mandaka bergegas melompat turun dari punggung kudanya, sebelum kuda coklat itu berhenti berpacu. Sepuluh orang jawara yang mendampingi juga bergegas melompat turun. Demikian juga lima puluh prajurit yang dibawa Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Dan belum sempat ada yang mengeluarkan satu suara pun, dari balik semak dan pepohonan bermunculan orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam pula. Hanya bagian mata saja yang terlihat.
“Siapa kalian? Mengapa menghadang jalanku?” bentak Raden Mandaka.
“Raden tidak perlu tahu siapa kami, dan sebaiknya segeralah kembali ke istana,” sahut salah seorang yang entah berada di mana. Suara itu seakan datang dari segala penjuru.
“Kalian tidak berhak mengaturku! Minggir...!” bentak Raden Mandaka gusar.
“Kembalilah, Raden. Sebelum semuanya terlambat,” kata orang yang tidak jelas ada di mana.
“Phuih! Siapa pun kalian, minggir! Atau prajurit-prajuritku yang akan menyingkirkan kalian dari hadapanku!” geram Raden Mandaka.
“Dengar, Raden. Demi kebaikan Raden sendiri, kembalilah ke istana. Tidak ada gunanya Raden pergi ke kuil,” kata suara itu lagi.
“Heh! Kau tahu tujuanku...?! Siapa kau?” Raden Mandaka terkejut juga.
“Aku tahu semuanya, Raden. Itulah sebabnya mengapa kuminta Raden kembali ke istana. Ini semua demi kebaikan Raden sendiri juga,” suara itu tetap membujuk.
“Hm..., aku tahu. Kau sengaja menghalangiku untuk mengetahui kematian Ayahanda Prabu,” nada suara Raden Mandaka terdengar agak bergumam. “Dengar baik-baik! Aku tidak percaya kalau Ayahanda Prabu sudah mangkat! Pasti kalian yang menyebar berita bohong itu! Apa pun alasannya, akan kuhukum kalian semua!”
Setelah berkata demikian, Raden Mandaka memberikan isyarat agar para prajuritnya bersiap siaga. Demikian juga sepuluh orang jawara setianya. Mereka segera menghunus senjata masing-masing. Sedangkan Raden Mandaka sendiri sudah menghunus pedangnya yang sejak tadi tersampir di pinggang.
Sementara orang-orang berbaju hitam dengan seluruh kepala terselubung kain hitam pekat, hanya berdiri tegak saja. Sedikit pun tidak melakukan gerakan, meskipun yang dikepung sudah bersiap hendak bertempur dan menghunus senjata masing-masing.
“Siapa pun yang mencoba menghalangi langkahku, harus siap mati di ujung pedang!” lantang suara Raden Mandaka.
Raden Mandaka melangkah cepat sambil mengibaskan pedangnya ke depan. Dan orang-orang yang berada di bagian depan, bergegas berlompatan menghindari tebasan pedang itu. Tak ada yang terkena, tapi cukup untuk Raden Mandaka lewat. Namun sebelum pemuda belia itu bisa melewati jalan yang terbuka, mendadak....
“Jangan biarkan mereka ke kuil!”
Seketika jalan yang sudah terbuka itu kembali tertutup. Raden Mandaka jadi gusar, lalu melompat sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkelebatan cepat mencoba membuka kepungan orang-orang berbaju hitam pekat itu.
Trang!
Entah kapan senjata itu tercabut, tahu-tahu di tangan orang-orang berbaju hitam itu sudah tergenggam pedang bergagang kepala ular. Raden Mandaka melompat mundur begitu pedangnya membentur salah satu senjata pedang orang yang terdekat.
Seluruh persendian tangannya terasa nyeri, dan tubuhnya bergetar hebat. Raden Mandaka merasakan adanya satu aliran yang dahsyat menggetarkan jantung dan jalan darahnya. Sebentar Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu terpaku, namun sesaat kemudian sudah kembali melompat menerjang sambil berteriak keras melengking tinggi.
“Hiyaaat...!”
Trang! Wut...!
Raden Mandaka tidak lagi peduli, meskipun merasakan tangannya bergetar saat pedangnya beradu dengan pedang manusia berselubung serba hitam itu. Raden Mandaka memerintahkan para prajurit dan sepuluh orang jawaranya untuk membuka jalan. Lantang dan sangat keras seruannya, maka pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Senja yang semula tenang, kini berubah riuh oleh teriakan pertempuran dan denting senjata beradu.
Sebentar saja sudah terdengar jeritan melengking mengiringi beberapa tubuh terjungkal bersimbah darah. Raden Mandaka semakin bertambah geram menyaksikan sepuluh orang prajuritnya roboh hanya dalam waktu sebentar saja. Bahkan tidak ada seorang lawan pun yang roboh.
Sementara sepuluh orang jawara yang dibawa Raden Mandaka rupanya kini mendapat lawan tangguh. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Terlebih lagi jumlah yang harus dihadapi berlipat ganda. Raden Mandaka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun sudah mengerahkan seluruh kekuatannya. Pertempuran terus berlangsung sengit, tanpa dapat dicegah lagi. Satu per satu korban mulai berjatuhan kembali, baik dari pihak Raden Mandaka maupun dari orang-orang berbaju hitam itu. Jerit pekik pertempuran berbaur menjadi satu dengan jerit lengking kematian, ditingkahi denting senjata berada
“Hentikan, Raden. Tidak ada gunanya mengumbar amarah,” terdengar lagi suara tanpa ujud.
“Setan! Berani bicara lagi, kurobek mulutmu, keparat!” geram Raden Mandaka.
Kemarahan yang memuncak, membuat Raden Mandaka sukar mengendalikan dirinya lagi. Ilmu olah kanuragannya memang cukup tinggi, tapi hawa amarah yang menyelimuti seluruh dadanya membuatnya kehilangan kendali. Serangan-serangannya tidak beraturan lagi, sehingga membuat lawan-lawannya tidak mengalami kesulitan untuk menghindari. Bahkan beberapa kali pemuda belia itu harus rela menerima pukulan maupun tendangan yang cukup keras.
Raden Mandaka tahu kalau setiap pukulan dan tendangan yang diterimanya tidak diimbangi pengerahan tenaga dalam. Tentu saja hal ini membuatnya semakin marah. Hatinya merasa tersinggung, karena dianggap remeh. Bertarung tanpa mempergunakan tenaga dalam, baginya sama saja bertarung melawan orang berkemampuan rendah. Padahal, tenaga dalam adalah senjata andalan yang tak dapat ditinggalkan begitu saja bagi orang yang memiliki ilmu olah kanuragan.
Bertarung tanpa mempergunakan tenaga dalam merupakan penghinaan besar. Atau sama saja menganggap remeh lawan, sehingga merasa dirinya lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Tapi di balik itu semua, memang ada maksud-maksud tertentu yang biasanya tidak akan bisa dipahami lawan. Tetapi tetap saja perbuatan itu selalu dianggap merendahkan.
“Phuih! Jangan menyesal kalau kalian mampus di tanganku!” geram Raden Mandaka.
Pemuda belia itu semakin meningkatkan serangan-serangannya. Tidak lagi mempedulikan keadaan tubuhnya yang sudah babak-belur. Bahkan juga tidak lagi mempedulikan jumlah prajuritnya yang semakin berkurang. Malah tiga orang jawaranya sudah tergeletak tidak bernyawa lagi. Raden Mandaka terus bertarung disertai hawa amarah meluap dalam dada.
“Mampus kalian! Hiyaaa! Hiyaaat...!”
Pedang di tangan Raden Mandaka berkelebat cepat bagaikan kilat. Sungguh berbahaya jurus-jurus terakhir yang dimainkan Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Namun tiga orang lawannya ternyata masih mampu mengimbangi menggunakan gerakan-gerakan ringan. Bahkan masih sempat mendaratkan pukulan maupun tendangan telak, namun tetap tanpa penge-rahan tenaga dalam sedikit pun. Hanya menggunakan tenaga luar saja. Hal ini membuat Raden Mandaka semakin berang. Namun begitu, darah mulai mengucur juga dari sudut bibirnya.
“Mundur semua...! Biar kuhadapi mereka!” seru Raden Mandaka tiba-tiba.
Bersamaan dengan itu, Raden Mandaka melompat keluar dari arena pertarungan. Matanya seketika jadi terbeliak lebar begitu melihat seluruh pengikutnya sudah tergeletak tidak bernyawa lagi! Sedangkan pihak lawan hanya sepuluh atau dua belas orang yang tewas. Raden Mandaka menggeretak geram menyadari dirinya tinggal sendirian saja.
“Maaf, Raden. Terpaksa mereka harus disingkirkan,” terdengar lagi satu suara tanpa ujud.
“Kalian telah berani membantai prajurit-prajuritku! Ini namanya pemberontakan!” geram Raden Mandaka.
“Kami tidak memberontak, Raden. Mereka memang sudah sepatutnya disingkirkan,” kata orang yang tidak diketahui di mana adanya itu.
“Siapa kau? Keluar!” bentak Raden Mandaka tambah berang.
“Sayang sekali, aku tidak diijinkan menampakkan diri. Sungguh kami tidak bermaksud memberontak, tapi hanya ingin menyelamatkan kerajaan dari kehancuran. Kami menginginkan Raden tetap menggantikan kedudukan Gusti Prabu Jayengrana,” sahut suara tanpa ujud itu lagi.
“Phuih! Apa pun alasannya, kalian telah berani menentangku! Jelas, ini berarti kalian ingin memberontak!”
“Raden....”
Tapi Raden Mandaka sudah melompat menerjang dengan kecepatan tinggi. Maka dua orang yang berada di dekatnya tidak sempat lagi berkelit. Mereka menjerit keras, lalu ambruk dengan leher buntung, Raden Mandaka mengamuk bagai banteng terluka. Tiap gerakan pedangnya mengandung hawa maut yang setiap saat dapat merenggut nyawa. Namun orang-orang berbaju serba hitam itu rupanya memiliki kepandaian rata-rata di atas Raden Mandaka, sehingga mampu pula menandingi tanpa membuat luka yang parah.
“Cukup, Raden. Bisa berbahaya bagi Raden sendiri!” suara itu keras memperingatkan.
“Hiyaaat...!”
Tapi Raden Mandaka tidak peduli dan terus menyerang ganas. Mendadak saja terdengar seruan keras menggelegar, menyuruh semua orang yang mengepung Raden Mandaka mundur. Tanpa menunggu waktu lagi, mereka bergegas berlompatan mundur. Dan pada saat itu, melesat bayangan merah. Kini di depan Raden Mandaka sudah berdiri sesosok tubuh berbaju merah ketat. Wajahnya tertutup kain tipis yang membuatnya jadi tersamar.
“Hhh...! Akhirnya kau muncul juga, keparat!” geram Raden Mandaka.
“Dengar, Raden. Meskipun aku mendapat kekuasaan untuk berlaku keras, tapi tetap tidak akan kugunakan kekerasan. Ini peringatanku yang terakhir, Raden. Kembalilah ke istana, atau Raden akan kembali terusung!” dingin nada suara orang berbaju merah ketat itu.
“Kau sudah membunuh banyak prajurit dan para jawara setiaku. Dan sekarang kau mengancamku! Baik, kesalahanmu sudah bertumpuk, manusia keparat!” sambut Raden Mandaka. Sedikit pun hatinya tidak gentar meskipun menyadari tidak akan mungkin mampu menandingi orang berbaju merah itu. Padahal jelas, orang itu pasti lebih tinggi kepandaiannya dari mereka yang berpakaian serba hitam.
“Kepala batu...!” desis orang itu, agak tertahan suaranya.
“Kepalaku lebih keras dari batu!” tantang Raden Mandaka.
“Kau memilih jalan yang tidak enak, Raden.”
“Majulah, bila kau bisa mengusungku pulang!” sambut Raden Mandaka lantang.
“Hhh! Semoga Gusti Prabu mengampuniku,” dengus orang itu.
Dan tiba-tiba saja orang berbaju merah itu menghentakkan tangannya ke depan. Seketika dari sela-sela jari tangannya meluncur benda-benda bulat kecil berwarna merah. Raden Mandaka cepat menggerakkan pedangnya. Dan dia jadi terkejut ketika merasakan pedangnya seperti terbakar begitu membabat benda-benda merah bulat kecil itu.
“Hup! Hiyaaa...!”
Buru-buru Raden Mandaka melentingkan tubuhnya ke udara. Namun belum juga sempat melakukan sesuatu, terasa adanya sambaran angin keras mengarah ketubuhnya. Raden Mandaka terperanjat, karena orang berbaju merah itu sudah melesat sambil melontarkan dua pukulan beruntun.
“Yap!”
“Aaakh...!” Raden Mandaka terpekik keras tertahan.
Meskipun pemuda belia itu sudah berusaha berkelit, namun satu pukulan keras orang berbaju merah itu sempat juga menghantam punggungnya. Tak pelak lagi, tubuh Raden Mandaka meluncur deras ke bawah. Namun belum juga tubuh pemuda itu sampai ke tanah, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat, dan langsung menyambarnya!
Begitu cepatnya bayangan putih itu berkelebat. Dan sebelum ada yang bisa menyadari, bayangan putih itu sudah lenyap bagai tertelan bumi. Orang berbaju merah itu jadi terperanjat. Kakinya mendarat manis, dan langsung mengedarkan pandangannya ke arah seharusnya Raden Mandaka terguling.
“Monyet buntung! Siapa pula ingin cari penyakit!” geramnya sengit.
Orang berbaju merah ketat itu mengarahkan pandangannya berkeliling, tapi tetap saja tidak menemukan bayangan putih yang menyambar Raden Mandaka. Sambil menggeram, orang itu memerintahkan semua orang yang mengenakan baju hitam untuk mencari sampai dapat. Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka bergegas membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan. Mereka membuat lubang dan menguburkannya secara layak.
“Hhh...! Apa yang harus kukatakan nanti...?” desah orang berbaju merah ketat itu.
Sambil mengawasi mereka yang tengah menguburkan mayat-mayat, orang berbaju merah itu terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia berharap akan melihat bayangan berkelebat, dan berharap pula masih bisa menyusulnya. Tapi harapan memang tinggal harapan. Sampai orang-orang berbaju serba hitam itu selesai menguburkan mayat yang berserakan, tetap saja tidak ditemukan satu petunjuk pun tentang Raden Mandaka berada. Pemuda belia Putra Mahkota Salinga itu benar-benar bagaikan lenyap ditelan bumi.
“Hhh..., semoga saja Raden Mandaka selamat dan tetap hidup,” desahnya lagi seraya mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Sampai pagi Permaisuri Sara Ratan tidak keluar dari kamarnya, dan baru keluar setelah matahari naik tinggi. Wanita yang usianya sudah mencapai kepala empat itu duduk menyendiri dalam taman kaputren, yang biasa digunakan untuk bercengkrama bersama putranya. Dia tidak ingin ada seorang pun yang menemaninya. Permaisuri Sara Ratan tetap diam, dan sama sekali tidak mengetahui kalau di sampingnya ada seseorang.
“Gusti....”
Permaisuri Sara Ratan menoleh sedikit, tapi kembali memalingkan mukanya setelah mengetahui kalau Pendeta Seka Gora yang berada di sampingnya. Laki-laki tua berkepala gundul itu memberi hormat, lalu duduk di depan Permaisuri Sara Ratan. Sikapnya begitu hormat.
“Ampunkan hamba, Gusti Permaisuri. Seharusnya hamba tidak cepat-cepat melaporkan semua ini,” ujar Pendeta Seka Gora pelan.
“Hhh...!” Permaisuri Sara Ratan hanya mendesah panjang saja.
“Hamba sudah meminta pada Panglima Pramoda dan Patih Trunggajaya untuk mencari Nanda Raden Mandaka,” ujar Pendeta Seka Gora lagi.
“Untuk apa? Untuk membawa mayat putraku ke sini? Agar kepedihanku semakin bertambah?” agak ketus nada suara Permaisuri Sara Ratan.
“Gusti Permaisuri...,” Pendeta Seka Gora tersentak mendengar nada ketus itu, sehingga sampai-sampai terangkat kepalanya.
“Paman! Hanya aku dan dirimu yang tahu, ke mana anakku pergi. Aku yakin, ada yang tidak beres di dalam istana ini,” tegas kata-kata Permaisuri Sara Ratan. Tatapan matanya tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendeta Seka Gora.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Bukan hanya hamba, tapi yang lainnya pun tahu. Bahkan hampir semua patih, panglima, dan pembesar kerajaan tahu ke mana Nanda Raden Mandaka pergi,” elak Pendeta Seka Gora.
“Oh...?!” Permaisuri Sara Ratan tampak tidak percaya.
“Nanda Raden Mandaka selalu mengatakan hendak ke kuil setiap kali ditanya sebelum berangkat pergi. Hamba bertanya pada Gusti hanya untuk memastikan saja, karena hamba melihat Nanda Raden Mandaka keluar dari taman kaputren ini,” jelas Pendeta Seka Gora.
“Putraku memang pemberang. Tapi itu tidak berarti harus mengobral tujuan kepergiannya. Aku tahu persis watak Raden Mandaka, Paman Pendeta,” agak sinis nada suara Permaisuri Sara Ratan.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Apakah Gusti mencurigai hamba?” Pendeta Seka Gora merasa tidak enak juga.
“Rupanya kau cepat tanggap juga, Paman Pendeta. Memang tidak seharusnya mencurigaimu. Tapi dalam keadaan seperti ini, aku merasa ada usaha untuk menggulingkan tahta Kerajaan Salinga secara kotor. Tapi aku yang masih berada di istana tidak akan membiarkannya begitu saja. Maaf, Paman Pendeta. Terpaksa harus kucurigai siapa saja. Aku yakin, semua yang terjadi belakangan ini sudah diatur. Suatu permainan...!” tegas kata-kata Permaisuri Sara Ratan.
“Gusti Permaisuri. Hamba belum memahami maksud Gusti,” tanya Pendeta Seka Gora seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
“Seharusnya kau lebih mengerti, Paman Pendeta. Kau seorang pendeta agung di Kerajaan Salinga ini, dan dipercayakan menjadi penasehat pribadi keluarga istana. Aku tidak percaya kalau kau tidak menangkap gejala lain dari semua peristiwa ini,” tetap sinis nada suara Permaisuri Sara Ratan.
Pendeta Seka Gora terdiam sambil menundukkan kepalanya. Cukup lama juga kepalanya tertunduk tepekur dengan kening berkerut lebih dalam lagi. Disadari kalau Permaisuri Sara Ratan menaruh kecurigaan padanya untuk melakukan makar, menjatuhkan tahta dan kekuasaan Prabu Jayengrana di Kerajaan Salinga ini. Kecurigaan yang beralasan dan tidak membabi-buta. Pendeta Seka Gora bisa memahami. Ditariknya napas panjang-panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat.
“Gusti Permaisuri, apakah hamba yang sudah mengabdi separuh lebih usia hamba ini patut mendapat kecurigaan seperti itu? Tidakkah Gusti memberikan sedikit kepercayaan pada hamba untuk membuktikan kecurigaan itu?” mohon Pendeta Seka Gora, penuh rasa hormat.
“Aku memang belum mendapatkan bukti yang cukup, Paman Pendeta. Semua akan menjadi jelas kalau Kanda Prabu ada di istana,” kata Permaisuri Sara Ratan tegas. “Hhh..., aku jadi berpikir lain. Mungkin dugaan putraku benar....”
“Dugaan apa, Gusti?” tanya Pendeta Seka Gora.
“Sebaiknya kau tidak perlu tahu, Paman. Kalau aku sudah yakin bahwa kau tidak punya niat jahat di hati, mungkin aku bisa mempercayaimu penuh kembali. Maaf, Paman Pendeta. Keadaan yang memaksaku untuk bersikap demikian,” ujar Permaisuri Sara Ratan.
Pendeta Seka Gora langsung terdiam. Dira-patkan kedua telapak tangannya di depan hidung saat Permaisuri Sara Ratan bangkit berdiri. Tanpa berkata sedikit pun, Permaisuri Kerajaan Salinga itu melangkah pergi meninggalkan taman kaputren. Pendeta Seka Gora baru beranjak setelah Permaisuri Sara Ratan menghilang di balik tembok pemisah.
********************
TIGA
Kecurigaan Permaisuri Sara Ratan terhadap dugaan adanya makar di Kerajaan Salinga, rupanya mempengaruhi pikiran para pembesar istana. Mereka jadi saling curiga satu sama lain. Bahkan para panglima mulai mencari pengaruh, dan menunjukkan kalau dirinya setia. Demikian juga para patih, yang jadi bersaing satu sama lain. Hal ini membuat suasana di dalam lingkungan istana menjadi tak menentu. Tidak ada lagi kata sepakat. Masing-masing menonjolkan diri sendiri dan saling menjegal.
Keresahan di dalam lingkungan istana juga merambat sampai ke seluruh pelosok negeri. Rakyat jadi ikut gelisah. Desas-desus tentang akan adanya penggulingan tahta kerajaan semakin keras mendengung. Bahkan rakyat mulai dihinggapi keresahan. Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok yang tidak jelas arah tujuannya.
Kecemasan akan runtuhnya Kerajaan Salinga semakin gencar melanda seluruh rakyat. Terlebih lagi keadaan semakin bertambah buruk. Keamanan tak terkendali lagi. Perampokan, pembunuhan, bahkan perkosaan dan perbuatan keji lainnya tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Orang-orang yang suka mengambil keuntungan pribadi, memanfaatkan keadaan kacau ini.
Kabar burung itu juga rupanya sampai ke telinga Raden Mandaka yang saat ini berada di Desa Kali Ajir, yang letaknya di sebelah selatan Kota Kerajaan Salinga. Desa yang cukup terpencil dan dipisahkan oleh hutan yang tidak begitu lebat. Hanya ada satu jalan setapak yang menghubungkan desa itu dengan kotaraja. Raden Mandaka memang telah dibawa ke rumah kepala desa oleh penolongnya ketika bertarung melawan orang tidak dikenal yang membunuh habis para prajurit dan sepuluh orang jawaranya.
“Aku benar-benar tidak mengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi...?” gumam Raden Mandaka seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
“Satu ujian, Raden,” celetuk seorang laki-laki tua berusia lanjut yang duduk bersila di depan Raden Mandaka.
Di samping laki-laki tua itu duduk seorang pemuda berbaju rompi putih. Masih ada dua orang lagi yang ada di ruangan tengah rumah kepala desa ini. Mereka adalah wanita. Yang seorang sudah cukup tua, yang merupakan istri kepala desa. Sedangkan seorang lagi berusia sekitar delapan belas tahun, dan merupakan anak gadis Kepala Desa Kali Ajir. Raden Mandaka menghela napas panjang. Ditatapnya pemuda berbaju rompi putih yang telah membawanya ke tempat ini.
“Seharusnya kau biarkan saja aku tewas, Ka-kang Rangga. Rasanya tidak sanggup lagi menyaksikan kekacauan dan keruntuhan Kerajaan Salinga,” lirih suara Raden Mandaka.
Pemuda berbaju putih tanpa lengan yang ternyata memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti, hanya tersenyum dikulum saja. Diliriknya laki-laki tua yang duduk di sampingnya. Yang dilirik juga hanya tersenyum-senyum saja penuh arti. Sementara Raden Mandaka memandanginya tidak mengerti. Hatinya bertanya-tanya mengapa kedua orang ini hanya tersenyum-senyum saja.
“Kenapa kalian tersenyum?! Ada apa?!” agak keras suara Raden Mandaka. Pemuda ini memang berwatak pemberang, dan mudah sekali tersinggung.
“Maaf, Raden. Bukannya hamba ingin membuat Raden tersinggung,” ucap laki-laki tua itu buru-buru.
“Jangan cepat tersinggung, Raden. Ki Belabar tidak bermaksud apa-apa. Terus terang, kami tadi hanya merasa geli karena Raden seperti berputus asa,” selak Rangga.
“Aku memang putus asa!” rungut Raden Mandaka.
“Ah..., kenapa Raden begitu cepat putus asa? Bukankah Raden masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan?” ucap Ki Belabar lagi.
“Percuma!”
“Tidak ada yang percuma, Raden. Hamba rasa, semuanya masih dapat diatasi. Saat ini tahta Salinga sedang kosong tanpa pemimpin. Justru keadaan seperti inilah yang membuat suasana jadi tidak menentu. Bahkan bukan tidak mungkin ada segelintir orang yang memanfaatkan untuk menduduki tahta. Raden harus mencegah, dan memulihkan keadaan secepatnya. Hamba yakin, Den Rangga bersedia membantu. Bahkan seluruh warga Desa kali Ajir akan ikut mengorbankan darah demi kejayaan Kerajaan Salinga, Raden,” tegas Ki Belabar memberi dorongan semangat pada Raden Mandaka yang sudah pupus.
“Hanya orang desa.... Tidak mungkin mereka menandingi kekuatan prajurit yang berjumlah besar, Ki Belabar!” dengus Raden Mandaka bernada meremehkan.
“Desa Kali Ajir sudah terkenal gudangnya para jawara, Raden. Bahkan sebagian besar jawara di istana berasal dari sini. Hamba yakin, para jawara istana yang berasal dari desa ini tetap setia pada Raden, dan Gusti Prabu Jayengrana,” kata Ki Belabar tanpa ada rasa tersinggung.
“Bagaimana kalau justru mereka yang memberontak?”
“Raden bisa membumihanguskan seluruh desa ini,” Ki Belabar menjamin.
“Membumihanguskan?! Kau pikir aku sekejam itu, Ki?” Raden Mandaka mendelik. “Tentu saja tidak, Raden. Hamba hanya menjamin kesetiaan warga Desa Kali Ajir ini saja. Hamba percaya Raden adalah calon pemimpin yang adil dan bijaksana. Itulah sebabnya hamba bisa menjamin dan selalu setia pada Raden dan Gusti Prabu Jayengrana,” tegas Ki Belabar lagi.
“Terima kasih, Ki. Tapi..., aku masih belum yakin mampu mengatasi keadaan yang sudah tidak terkendali ini,” ucap Raden Mandaka pelan. Nada suaranya memang seperti putus asa.
“Kenapa harus sangsi, Raden? Semua pasti bisa teratasi. Yang pertama harus dilakukan adalah mencari bukti kalau Prabu Jayengrana masih hidup,” celetuk Rangga yang mengetahui keadaan di Kerajaan Salinga saat ini dari Ki Belabar.
“Itulah sulitnya. Tidak mudah menuju ke kuil semadi sekarang ini. Seluruh jalan ke situ sudah dijaga ketat. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa sampai begitu,” suara Raden Mandaka bernada mengeluh.
“Serahkan semua itu pada Den Rangga, Raden,” sergah Ki Belabar.
“Ah! Ki Belabar ini hanya berolok saja,” gurau Rangga merendah.
Tapi ucapan Ki Belabar membuat Raden Mandaka menatap dalam-dalam Pendekar Rajawali Sakti itu. Memang ada sesuatu yang dirasakannya ketika melihat pancaran sinar mata pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Dan entah kenapa, Raden Mandaka begitu yakin kalau Rangga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Terbukti bisa membawanya begitu cepat hingga tidak terkejar. Dan itu pun hampir tidak disadarinya, tahu-tahu sudah berada di perbatasan Desa Kali Ajir ini.
Sudah hampir tiga hari Raden Mandaka berada di rumah kepala desa ini, tapi belum begitu jelas mengetahui diri Rangga yang sebenarnya. Ki Belabar sendiri mengatakan belum tahu jelas. Laki-laki tua itu baru seminggu yang lalu mengenalnya. Saat itu Rangga menolongnya dari ancaman maut terkaman seekor harimau lapar di tepi hutan, ketika Ki Belabar hendak berburu. Sedangkan Rangga sendiri mengatakan kalau dirinya hanyalah pengembara. Tapi tutur kata dan perawakannya tidak seperti seorang pengelana sesungguhnya. Dengan tubuh tegap, berkulit kuning langsat dan wajah tampan, Rangga lebih tepat sebagai putra seorang pembesar kerajaan daripada seorang pengembara. Bahkan Raden Mandaka sendiri merasakan dirinya tidak setampan dan segagah Pendekar Rajawali Sakti ini.
“Rasanya sudah siang dan matahari sudah tinggi. Apakah kau sudah menyiapkan makan, Nyai?” Ki Belabar menoleh pada istrinya.
“Sudah sejak tadi, barangkali sudah dingin,” sahut Nyai Belabar seraya bangkit berdiri.
Wanita tua itu mengajak putrinya untuk menyiapkan makan siang. Sementara ketiga laki-laki itu terus berbincang-bincang sambil menunggu siapnya hidangan. Saat itu matahari memang sudah tinggi, dan perut mereka juga sudah menagih minta diisi. Mereka melanjutkan obrolan di ruangan tengah sambil menikmati hidangan yang sederhana.
********************
Senja baru saja merayap turun menyelimuti sebagian permukaan bumi. Dua ekor kuda hitam berpacu cepat membelah jalan berdebu. Kedua kuda yang masing-masing ditunggangi seorang pemuda itu baru saja keluar dari hutan kecil yang berada di sebelah selatan Kerajaan Salinga. Kedua pemuda itu terus menggebah kudanya melewati gerbang pembatas kotaraja yang nampak kosong tanpa terlihat seorang penjaga pun. Namun belum beberapa jauh melewati batas gerbang, mendadak melintas sebuah bayangan merah, langsung menghadang kedua penunggang kuda itu.
“Berhenti...!”
“Hooop...!”
Kedua penunggang kuda itu langsung menghentikan lari kudanya. Debu seketika mengepul tinggi ke udara, menutupi hampir dua tubuh kuda hitam pekat itu. Tampak di depan kedua penunggang kuda itu berdiri tegak seorang berpakaian serba merah, dan seluruh kepalanya terselubung kain tipis yang menyamarkan wajahnya.
“Hm, rupanya kau masih hidup, Raden Mandaka,” gumam orang yang berdiri menghadang itu. Kedua bola matanya menatap tajam pada salah seorang penunggang kuda hitam itu.
“Kau lagi!” dengus Raden Mandaka.
“Raden, sebaiknya tidak usah datang ke istana. Suasana saat ini tidak menguntungkan untuk kembali ke istana,” kata orang berbaju serba merah itu lantang.
“Apa hakmu melarangku, heh?!” bentak Raden Mandaka tidak senang.
“Turuti saja apa kataku, Raden. Semua ini demi keselamatan Raden sendiri,” tenang, namun terdengar lantang suara orang berbaju merah itu.
“Kukira malah sebaliknya, Kisanak. Kehadiran Raden Mandaka akan memperbaiki kekacauan yang terjadi di istana,” celetuk pemuda berbaju rompi putih yang duduk di atas punggung kuda hitam di samping kanan Raden Mandaka.
“Hm.... Siapa kau, Kisanak?” dengus orang itu bernada kurang senang.
“Aku sahabat Raden Mandaka. Aku tahu maksudmu menghadang Raden Mandaka kembali ke istana, dan menghalanginya pergi ke kuil semadi Prabu Jayengrana!” mantap kata-kata pemuda berbaju rompi putih itu.
“Anak muda! Siapa pun kau adanya, jangan ikut campur urusan dalam istana!” bentak orang itu gusar.
“Oh..., jadi kau termasuk orang istana juga?”
“Setan belang!” orang berbaju merah itu menggeram sengit.
Kalau saja tidak terselubung kain sutra tipis, pasti wajahnya akan terlihat memerah. Jelas kata-kata pemuda berbaju rompi putih itu seakan-akan sudah menelanjanginya, meskipun belum seberapa banyak.
“Siapa kau sebenarnya, Kisanak?” bentak Raden Mandaka yang terkejut juga mendengar kata-kata pancingan yang mengena telak dari pemuda berbaju rompi putih di sampingnya.
“Aku penyelamat keutuhan keluarga Istana Salinga!” sahut orang itu lantang.
“Seluruh keluarga dan rakyat Salinga aman tentram sebelum kemunculanmu!” celetuk pemuda berbaju rompi putih itu lagi.
“Kurang ajar!” desis orang berbaju merah itu menggeram. “Kau terlalu banyak ikut campur, Kisanak. Mulutmu harus dibungkam!”
Setelah menggeram seram, orang berbaju merah ketat itu langsung melompat cepat bagaikan kilat menyambar pemuda berbaju rompi putih yang duduk di punggung kuda hitam. Tapi pemuda itu hanya tenang saja, bahkan hanya menghentakkan tali kekang kudanya. Dan kuda hitam itu meringkik keras seraya mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.
Buk!
Orang berbaju merah itu tidak menyangka sama sekali, dan terlambat untuk menarik serangannya. Akibatnya, satu kaki depan kuda hitam itu menghantam bagian iganya. Sedikit dia mengeluh pendek, dan tubuhnya terdorong beberapa tombak ke belakang. Sungguh ringan kakinya mendarat di tanah.
“Setan alas...!” ia mengumpat geram. “Hiyaaa...!”
Sret!
Sambil mencabut pedangnya, orang berbaju merah itu kembali melompat menerjang penunggang kuda hitam di samping Raden Mandaka. Pemuda itu masih kelihatan tenang duduk di punggung kudanya. Dan begitu orang berbaju merah dekat, kembali dihentakkan tali kekang kudanya. Tepat pada saat yang sama, tubuhnya melenting ke atas, melewati kepala orang berbaju serba merah itu.
“Yap!”
Sukar untuk diikuti oleh pandangan mata biasa. Tahu-tahu pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan kakinya, dan mendupak punggung orang itu hingga terjungkal sebelum sempat mengibaskan pedangnya. Sedangkan kuda hitam meringkik keras sambil menyepakkan kaki depannya, tepat menghantam dada orang berbaju merah itu.
Bug!
“Heghk...! Keparat...!”
Orang berbaju merah itu segera bangkit berdiri setelah bergulingan beberapa kali di tanah. Sambil mengumpat geram, kembali diserangnya pemuda berbaju rompi putih dengan ganas. Pedang di tangannya berkelebat cepat, menyambar, mengurung gerak tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Namun dengan gerakan-gerakan yang indah dan lincah, pemuda berbaju rompi putih itu dapat mengelak. Bahkan tanpa diduga sama sekali, satu pukulan telak bertenaga dalam sangat tinggi berhasil disarangkan ke dada lawan.
“Hiyaaat...!” Buk!
“Akh!” orang itu memekik tertahan.
Seketika tubuh serba merah itu terdorong sejauh tiga batang tombak ke belakang. Saat tubuhnya limbung, Raden Mandaka cepat melesat ke arahnya. Dengan tangan kanan, disambarnya dengan cepat kain yang menyelubungi kepala orang berbaju merah itu.
Bret!
Hampir bersamaan, Raden Mandaka mengibaskan sebelah tangannya lagi, langsung menghajar bagian pipi orang itu, hingga tubuhnya melintir bagai gasing! Dan sebelum tubuhnya seimbang, kembali Raden Mandaka mengirimkan satu pukulan telak ditambah dua tendangan beruntun. Tak pelak lagi, orang berbaju merah itu terjungkal mencium tanah!
Darah mengucur deras dari mulut dan hidungnya. Dia merintih berusaha bangkit, namun kaki Raden Mandaka sudah menjejak dadanya. Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu memungut pedang yang menggeletak di tanah, lalu menempelkan ujungnya pada leher orang berbaju merah itu.
Tanpa selubung kain sutra yang menutupi seluruh kepalanya, tampak jelas seraut wajah laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Kumis tebal yang menempel di bawah hidung, membuat wajahnya kelihatan tua. Belum lagi segores luka yang memancang membelah pipinya, membuat tampangnya semakin kelihatan seram.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Raden Mandaka.
“Gurata!” sahut orang itu sambil meringis menahan nyeri pada seluruh tubuhnya.
“Siapa yang memerintahmu?” tanya Raden Mandaka lagi.
“Tidak ada, Raden,” jawab orang itu yang mengaku bernama Gurata.
“Tidak ada...?!” Raden Mandaka menggeram. Ditekan pedang itu hingga menggores kulit leher orang berbaju merah yang tergeletak dengan dada terinjak kaki kanan Raden Mandaka.
Orang yang mengaku bernama Gurata itu meringis menahan perih oleh sayatan ujung pedangnya sendiri di leher. Dia berusaha menggerinjang, tapi Raden Mandaka malah menekan pijakannya kuat-kuat.
“Mau berontak, heh?!” desis Raden Mandaka.
“Tidak..., tidak, Raden,” rintih Gurata meringis.
“Jawab pertanyaanku dengan jujur! Siapa yang menyuruhmu melakukan semua ini?” tanya Raden Mandaka, dingin nada suaranya.
“Sungguh, Raden. Hamba melakukan sendiri tanpa disuruh orang lain. Berani sumpah, Raden. Biar disambar petir, hamba berkata jujur,” sahut Gurata masih juga bisa bercanda.
Sementara pemuda berbaju rompi putih yang berdiri di belakang agak ke samping Raden Mandaka, jadi mengulum senyum. Hatinya mendengus juga mendengar nada bercanda dari Gurata, meskipun keadaan orang itu tergantung dari kesabaran Raden Mandaka yang terkenal pemberang ini.
“Raden...,” pemuda berbaju rompi putih itu menepuk pundak Raden Mandaka.
“Hm.... Ada apa, Kakang Rangga?” tanya Raden Mandaka yang sudah terbiasa memanggil kakang pada Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Aku rasa dia berkata jujur, Raden. Ada sesuatu yang lain pada dirinya,” kata Rangga agak menggumam.
Raden Mandaka berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian menoleh menatap pada Gurata. Pelahan-lahan Raden Mandaka menjauhkan ujung pedang dari leher laki-laki berkumis tebal dengan luka codet memanjang di pipinya. Kemudian kakinya melangkah mundur, melemparkan pedang itu ke tanah. Gurata menggelinjang, lalu bangkit berdiri perlahan-lahan. Kemudian dia membungkukkan badannya untuk memberi hormat.
“Kau tentu bukan orang yang menyerang dan membunuh semua prajurit Raden Mandaka. Kenapa sekarang kau menghadang kami?” tanya Rangga agak menatap tajam.
“Ampun, Raden. Hamba memang mendengar tentang penyerangan yang dilakukan sekelompok orang terhadap Raden Mandaka dan beberapa prajurit serta jawara. Tapi bukan hamba yang melakukan itu semua. Hamba hanya mendengar, lalu menyamar jadi pemimpinnya dengan pakaian yang sama,” jelas Gurata.
“Kenapa kau lakukan itu, Gurata?” tanya Rangga menyelak.
“Aku dendam! Kau lihat ini...!” Gurata menunjukkan luka codet di pipinya. Juga segera dibuka bajunya, maka terlihatlah luka-luka bekas cambukan di seluruh tubuhnya!
Rangga dan Raden Mandaka saling berpandangan. Sungguh tidak disangka kalau laki-laki berkumis tebal yang kelihatan garang ini menderita begitu banyak luka.
“Siapa yang melakukan itu padamu?” tanya Raden Mandaka.
“Siapa lagi kalau bukan si pendeta jahanam itu!” sahut Gurata memberengut.
“Paman Pendeta Seka Gora, maksudmu?” Raden Mandaka terbeliak terkejut.
“Huh! Dialah dalang dari semua kekacauan ini!” dengus Gurata.
Rangga menepuk pundak Raden Mandaka yang terlihat memerah wajahnya. Kedua tangan putra mahkota itu terkepal erat. Gerahamnya bergemeletuk, serta pandangannya tajam lurus ke depan. Sedangkan Gurata hanya tertunduk saja. Beberapa saat lamanya tak ada yang berbicara sedikit pun. Raden Mandaka membalikkan tubuhnya, lalu melompat cepat ke punggung kudanya.
“Raden...!” seru Rangga bergegas melompat dan mencekal tali kekang kuda Raden Mandaka.
Kedua pemuda itu saling menatap tajam. Perlahan-lahan Rangga melepaskan cekatannya pada tali kekang kuda hitam itu. Namun Raden Mandaka belum juga menggebah kudanya. Matanya masih menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti, lalu beralih pada Gurata.
“Kau ikut aku!” kata Raden Mandaka datar.
“Oh...! Hamba, Raden...,” Gurata langsung memberi hormat. Wajahnya berbinar penuh kegembiraan. Tidak semua orang bisa mendapat kesempatan berjalan bersama Raden Mandaka.
Saat itu Rangga sudah melompat naik ke atas punggung kudanya. Seekor kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Sedangkan Raden Mandaka menatap dalam-dalam pada Gurata. Sedangkan yang ditatap hanya menunduk, bersikap penuh rasa hormat.
“Kau tidak punya kuda, Gurata?” tanya Rangga mengetahui arti pandangan Raden Mandaka.
“Punya, Den. Tapi kuda hamba sangat jelek. Bahkan mungkin tidak akan sanggup mengikuti kuda Raden,” sahut Gurata pelan.
“Di mana kudamu?”
“Tidak jauh, Den.” “Ambil.”
Gurata memberi hormat sekali lagi, kemudian bergegas pergi. Tidak berapa lama kemudian, laki-laki berkumis tebal itu sudah kembali lagi sambil menunggang seekor kuda berwarna belang-belang. Memang tidak terlalu bagus, bahkan mungkin juga tidak kuat berlari jauh. Tapi itu sudah cukup. Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera berangkat pergi. Rangga sengaja memacu kudanya pelahan-lahan, mengimbangi lari kuda Gurata. Sedangkan Raden Mandaka kelihatan tidak sabaran, tapi terpaksa juga diperlambat lari kudanya.
********************
EMPAT
Malam baru saja beranjak turun. Suasana yang hening sepi, mendadak pecah oleh suara teriakan-teriakan dan jerit ketakutan serta lengking menyayat. Tampak di sebelah barat Kotaraja Kerajaan Salinga, api berkobar terang-benderang bagai terjadi pesta. Namun itu bukanlah pesta rakyat, melainkan segerombolan orang yang memanfaatkan keadaan untuk menjarah harta benda rakyat.
Suasana malam itu jadi gaduh. Rakyat berlarian keluar menyelamatkan diri masing-masing. Tak ada yang mempedulikan harta benda. Nyawa lebih penting dari segala yang ada. Di antara kepanikan orang-orang jelata, tampak beberapa orang berkuda sambil mengacung-acungkan senjata dan berteriak-teriak. Mereka mengibaskan senjatanya dengan buas pada setiap orang terdekat.
“Bakar! Bunuh semua...!” terdengar teriakan memerintah.
Terdengar jelas teriakan seorang berbaju merah dengan seluruh kepala terselubung kain sutra halus duduk di atas punggung kuda. Orang itu memberi perintah untuk membumihanguskan rumah-rumah penduduk. Sebilah pedang panjang terhunus mengibas-ngibas di udara. Angin kibasannya menderu-deru menggetarkan jantung!
Sementara orang-orang berkuda yang mengenakan baju hitam pekat terus beraksi membakar dan membunuh rakyat yang tak berdosa. Bahkan juga merampas harta benda yang berharga, menculik gadis-gadis, dan membunuh orang-orang tua serta anak-anak. Siapa saja yang coba-coba melawan, tewas tanpa dapat berbuat banyak!
Sementara itu, tidak jauh dari daerah yang tengah dilanda amukan para perampok, terlihat tiga penunggang kuda tengah berpacu cepat. Mereka tidak lain dari Raden Mandaka, Rangga, dan Gurata. Dari ketiga orang itu, terlihat Rangga lebih dahulu berada jauh di depan. Kuda hitam yang ditungganginya berlari bagai terbang!
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Suasana malam itu jadi semakin gaduh. Tampak Pendekar Rajawali Sakti mengamuk di atas punggung Dewa Bayu, menghajar orang-orang berpakaian serba hitam yang tengah berpesta menjarah harta rakyat dan membakar rumah. Kedatangan Rangga membuat mereka jadi panik. Namun belum sempat berbuat lebih banyak, Raden Mandaka datang, disusul Gurata. Kedua orang itu langsung menghunus senjata dan menyerang orang-orang berpakaian serba hitam itu. Jerit dan pekik melengking semakin sering terdengar. Dan kali ini ditingkahi pekik pertarungan dan denting senjata beradu.
“Setan alas!” geram orang berbaju merah yang menyaksikan anak buahnya banyak yang tewas dalam waktu sebentar saja. “Mundur...!”
Orang berbaju serba merah itu bergegas menggebah kudanya, begitu memberi perintah. Mereka yang masih hidup dan sempat melarikan diri, segera menggebah cepat kudanya. Sedangkan yang tidak sempat, harus rela nyawanya melayang. Api masih berkobar, namun suasana sudah agak tenang. Kini hanya terdengar tangisan dan ratapan para penduduk yang keluarganya terbantai, dan rumahnya hangus terbakar.
Raden Mandaka melompat turun dari punggung kudanya. Rangga dan Gurata bergegas mengikuti. Mereka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sungguh pemandangan yang sangat menyayat hati! Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah. Gemeritik api masih terdengar melahap kayu-kayu rumah penduduk. Belum lagi jerit tangis dan ratapan memilukan terdengar dari setiap pelosok. Tak ada seorang pun yang memperhatikan ketiga orang itu.
“Oh, Dewata Yang Agung...,” rintih Raden Mandaka lirih.
Raden Mandaka mendongakkan kepalanya ke atas. Pedih hatinya menyaksikan penderitaan rakyatnya. Baru kali ini disaksikan sendiri, rakyat telah jadi korban permainan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Orang-orang serakah, tamak, dan selalu mementingkan diri sendiri.
“Aku bersumpah! Demi Hyang Widi yang menguasai seluruh jagat! Takkan kubiarkan mereka hidup di bumi Salinga!” lantang suara Raden Mandaka.
“Raden...,” Rangga menepuk pundak Raden Mandaka.
Raden Mandaka menolehkan kepalanya, langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di samping kanannya. Kemudian ditatapnya Gurata yang berada di sebelah pemuda berbaju rompi putih itu. Wajahnya memerah menahan geram. Rahangnya bergemeletuk dengan kedua tangan terkepal erat, membuat otot-ototnya bersembulan, berkilatan tertimpa cahaya api.
“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Raden,” ajak Rangga.
“Aku akan langsung ke istana,” kata Raden Mandaka tegas.
“Sebaiknya jangan dulu, Raden. Ingat pesan Ki Belabar. Raden harus menyelidiki lebih dahulu sebelum bertindak,” Rangga mengingatkan.
“Aku mencemaskan Bunda Permaisuri, Kakang.”
“Gusti Permaisuri dalam keadaan sehat dan aman, Raden,” celetuk Gurata.
Raden Mandaka menatap dalam-dalam Gurata.
“Raden..., hamba adalah bekas prajurit pengawal Gusti Permaisuri. Hamba diminta Pendeta Seka Gora untuk bergabung dengannya, tapi hamba menolak. Pendeta Seka Gora murka, lalu mengirim orang-orangnya membunuh keluarga hamba, menyiksa hamba hingga tidak sadarkan diri. Hamba dibuang ke jurang, tapi untung masih selamat. Hamba tahu, sampai saat ini Pendeta Seka Gora tidak mengusik Gusti Permaisuri,” kata Gurata menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
“Hm...,” gumam Raden Mandaka pelan.
“Raden..., hamba adalah bekas prajurit pen-gawal Gusti Permaisuri. Hamba diminta Pendeta Seka Gora untuk bergabung dengannya, tapi hamba menolak. Pendeta Seka Gora murka, lalu mengirim orang-orangnya membunuh keluarga hamba, menyiksa hamba hingga tidak sadarkan diri. Hamba dibuang ke jurang, tapi untung masih selamat. Hamba tahu, sampai saat ini Pendeta Seka Gora tidak mengusik Gusti Per-maisuri,” kata Gurata menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
“Hm...,” gumam Raden Mandaka pelan.
Memang tidak semua pengawal dan prajurit dapat dikenalinya. Kalau bukan pengawalnya sendiri, sukar untuk mengenali satu persatu. Apalagi seluruh pengawal ibunya berjumlah seratus orang. Tapi Raden Mandaka tahu, kalau semua pengawal mempunyai ciri khas.
“Apa jaminannya agar aku bisa mempercayaimu, Gurata?” agak dingin nada suara Raden Mandaka.
“Tanda ini, Raden.”
Gurata menyobek lengan bajunya. Maka terlihatlah satu gambar teratai terjepit paruh seekor burung bangau yang sedang terbang. Itu merupakan satu tanda yang tidak bisa hilang seumur hidup, dan sebagai tanda kesetiaan untuk menjadi pengawal pribadi permaisuri.
“Kau benar, Gurata. Tidak ada yang memiliki gambar tanda itu selain para pengawal Bunda Permaisuri,” ujar Raden Mandaka baru mempercayai.
Raden Mandaka membalikkan tubuhnya, lalu menghampiri kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, putra mahkota itu melompat naik ke punggung kudanya. Rangga dan Gurata juga bergegas melompat ke punggung kudanya masing-masing. Tapi kali ini Gurata mengambil kuda para perampok yang kelihatan bagus dan gagah. Mereka kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
********************
Hampir setiap hari terjadi perampokan. Dan hampir setiap ada kejadian, selalu muncul Raden Mandaka, Rangga, dan Gurata. Tidak terhitung lagi, berapa orang perampok yang tewas. Tapi setiap kali muncul, jumlah mereka selalu saja banyak. Bahkan belakangan ini semakin bertambah saja. Raden Mandaka sendiri jadi tidak mengerti. Sepertinya para prajurit mendiamkan saja aksi mereka yang sangat merugikan rakyat jelata.
Sementara saat ini sudah hampir satu harian Raden Mandaka mengawasi kuil semadi tempat ayahnya dikabarkan terbunuh oleh seseorang yang mengaku bernama Natapraja. Pemuda itu mengamati dari ketinggian sebuah bukit yang letaknya tidak jauh dari kuil itu. Hanya Gurata yang menemaninya. Tidak terlihat Rangga di situ.
“Kenapa Kakang Rangga lama sekali...?” gumam Raden Mandaka seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Katanya tadi hanya sebentar saja, Raden,” sahut Gurata.
“Katanya dia akan pergi ke mana tadi?” tanya Raden Mandaka tanpa mengalihkan perhatiannya ke arah kuil di bawah bukit sana.
“Tidak tahu, Raden,” sahut Gurata.
Pada saat itu, di udara terlihat sebuah benda berwarna keperakan tengah melayang-layang menembus mega. Raden Mandaka mendongakkan kepalanya ke atas, demikian juga Gurata. Perhatian mereka tertumpah ke arah benda yang melayang-layang di udara itu. Semakin lama semakin terlihat kalau yang melayang di angkasa itu adalah seekor burung rajawali berbulu putih keperakan.
“Heh...!” Raden Mandaka tersentak kaget begitu dapat melihat jelas.
Tampak di punggung burung rajawali putih itu duduk seorang berbaju putih. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin. Memang tidak begitu jelas, namun Raden Mandaka dapat mengetahui kalau orang yang duduk di punggung rajawali itu mengenakan baju berwarna putih tanpa lengan.
“Rangga...,” desis Raden Mandaka tidak yakin.
Dan belum juga Raden Mandaka bisa meyakinkan dirinya, burung rajawali raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa, menembus gumpalan awan hitam pekat. Raden Mandaka kembali mengarahkan pandangannya ke kuil di bawah bukit sana. Rupanya prajurit penjaga kuil itu juga melihat burung rajawali putih yang melayang-layang di angkasa tadi. Mereka semua mendongak ke atas. Tapi burung yang sempat membuat seluruh perhatian tertumpah padanya itu tidak terlihat lagi, lenyap di balik awan hitam menggumpal pekat.
“Kau lihat burung rajawali tadi, Gurata?” tanya Raden Mandaka tanpa mengalihkan perhatiannya ke kuil.
“Hamba, Raden,” sahut Gurata.
“Hm.... Siapa sebenarnya Rangga...?” gumam Raden Mandaka bertanya pada dirinya sendiri.
“Raden..., mungkin Raden Rangga itu utusan Dewata yang hendak menyelamatkan Salinga dari kehancuran,” kata Gurata.
Raden Mandaka berpaling menatap dalam-dalam Gurata. Memang sungguh tidak pernah terpikirkan sampai ke situ. Meskipun sudah beberapa hari bersama-sama, tapi dia belum mengetahui Pendekar Rajawali Sakti yang sebenarnya. Datang secara tiba-tiba, dan seperti mempunyai suatu kharisma yang sangat kuat. Putra mahkota sendiri sampai tidak mengerti, kenapa begitu menurut kepada pemuda yang baru dikenalnya beberapa hari ini. Padahal semua orang selalu mengatakan kalau Raden Mandaka seorang putra mahkota pemberang yang tidak pernah menuruti kata-kata orang yang lebih tua dan berpengalaman. Tapi di depan Rangga, Raden Mandaka bagaikan anak penurut dan sangat patuh terhadap orang tuanya.
“Bukan! Dia manusia biasa,” tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
Raden Mandaka dan Gurata tersentak kaget. Mereka segera berpaling. Dan lebih terkejut lagi begitu mengetahui siapa yang ada di belakang mereka saat ini. Seorang pemuda berambut panjang mengenakan baju putih tanpa lengan. Pemuda itu duduk bersandar pada sebuah pohon yang cukup rindang, menaungi diri dari sengatan terik matahari.
“Rangga...,” desis Raden Mandaka hampir tidak terdengar suaranya.
Bergegas Raden Mandaka dan Gurata menghampiri. “Rangga, apakah kau yang tadi berada di atas punggung burung rajawali?” tanya Raden Mandaka langsung.
“Aku...?!” Rangga tampak seperti orang bodoh. “Sejak tadi aku di sini,” sahutnya.
“Hm...,” Raden Mandaka menggumam disertai pandangan setengah tidak percaya.
“Aku juga melihat tadi. Semua orang pasti terpusat perhatiannya, sehingga tidak ada yang memperhatikanku,” kata Rangga lagi.
“Ke mana saja kau tadi?” tanya Raden Mandaka.
“Ke kuil itu,” sahut Rangga menunjuk ke arah kuil di bawah bukit ini.
“Ke kuil...?!” Raden Mandaka terkejut hampir tidak percaya.
Sejak tadi perhatiannya tidak pernah lepas ke sekitar kuil, dan sama sekali tidak terlihat Rangga ada di sana. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang. Dan tahu-tahu sudah berada di tempat ini, tanpa diketahui kapan datangnya. Raden Mandaka jadi teringat ucapan Gurata yang menduga Rangga adalah utusan Dewa untuk menyelamatkan Kerajaan Salinga dari kehancuran.
Namun entah kenapa, Raden Mandaka belum berani menanyakan tentang diri Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia hanya diam dengan pandangan tidak percaya kalau pemuda berbaju rompi putih itu adalah manusia biasa. Sedangkan Rangga sendiri kelihatan tenang-tenang saja, dan malah memejamkan matanya bersikap seperti akan tidur.
********************
Lewat tengah malam Rangga baru terjaga dari tidurnya yang nyenyak. Udara malam ini terasa begitu dingin, tapi langit terlihat cerah. Bintang-bintang pun gemerlapan melingkari rembulan yang bersinar penuh, menambah semaraknya alam raya ini. Rangga menggerak-gerakkan tubuhnya, melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku setelah cukup lama tertidur.
“Eh...!” Rangga tersentak begitu menyadari kalau hanya sendirian di tempat sunyi ini.
Bergegas pemuda berbaju rompi putih itu bangkit berdiri. Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi tidak terlihat Raden Mandaka maupun Gurata. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung mengarahkan pandangannya ke kuil di bawah bukit ini. Tampak beberapa obor bambu terpasang di setiap sudut di sekitar halaman kuil. Beberapa pelita dari buah jarak juga terpasang. Sekitar kuil kecil itu kelihatan terang benderang, sehingga memudahkan Rangga untuk mengedarkan pandangannya.
“Uh! Ke mana anak itu...?” dengus Rangga.
Pandangan mata Rangga yang setajam mata rajawali, menangkap satu bayangan berkelebat di belakang kuil. Dan sebelum bayangan itu lenyap dari pandangan, muncul satu lagi dari arah yang sama. Dua bayangan itu menghilang di balik dinding batu kuil bagian belakang.
“Hhh...! Mau apa mereka ke sana?” desis Rangga yang telah mengenali dua bayangan di belakang kuil tadi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu yang dimiliki, sehingga larinya bagaikan terbang saja! Sepasang kakinya bergerak cepat seolah-olah tidak menjejak tanah.
Sebentar saja Rangga sudah berada di bagian belakang kuil kecil itu. Dirapatkan tubuhnya di balik sebatang pohon beringin yang cukup besar ukurannya. Sepasang bola matanya menatap tajam dua sosok tubuh yang mengendap-endap merapat pada dinding batu kuil. Dari tempat ini semakin jelas terlihat dalam keremangan cahaya bulan, bahwa dua orang itu tidak lain Raden Mandaka dan Gurata.
Rangga mengedarkan pandangannya ke arah lain. Dilihatnya beberapa orang berpakaian seragam prajurit masih berjaga-jaga di sekitar halaman kuil. Tapi tidak terlihat seorang pun yang berada pada bagian belakang ini. Perhatian Rangga terpusat pada dua orang prajurit yang berjalan menuju ke bagian belakang. Sementara terlihat juga kalau Raden Mandaka dan Gurata melihat kedatangan dua orang prajurit itu. Mereka bergegas menyelinap ke balik batu, menyembunyikan bayang-bayang dari sorotan cahaya rembulan. Dua orang berseragam prajurit itu semakin dekat saja. Mereka berjalan pelahan sambil berbicara.
“Sudah hampir lima hari kita disuruh menjaga kuil ini. Tidak ada pergantian sama sekali,” ujar salah seorang yang berjalan di sebelah kiri.
“Jangan mengeluh begitu. Bagaimanapun juga, tugas tetap harus dijalankan,” seorang prajurit lainnya menasehati. Dia memang kelihatan lebih tua sedikit, dan mungkin juga punya pengalaman lebih banyak dari temannya ini.
“Bukannya mengeluh, tapi...,” prajurit itu memutuskan kalimatnya. Dia berhenti melangkah, tidak jauh dari tempat Raden Mandaka dan Gurata bersembunyi di balik batu.
“Tapi kenapa?” tanya prajurit satunya lagi, juga berhenti berjalan.
“Aku merasa ada yang aneh dari tugas ini,” pelan suara prajurit muda itu.
“Ah...! Jangan berpikir macam-macam. Kita menjaga kuil ini karena Gusti Prabu ada di dalam.”
“Aku jadi heran, katanya Gusti Prabu telah mangkat. Tapi kok, ya tidak juga dimakamkan? Aku jadi berpikir lain...,” prajurit itu seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya prajurit satunya lagi.
“Aku melihat semua kejadiannya sebelum ditarik kembali ke istana. Rasanya mustahil kalau Gusti Prabu bisa tewas hanya karena tertusuk sebilah pisau. Jangan-jangan....”
“Ah, sudahlah! Jangan berpikir macam-macam. Ayo, kita terus.”
Kedua prajurit itu kembali berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara Raden Mandaka menunggu sampai kedua prajurit itu jauh, baru keluar dari persembunyiannya, diikuti Gurata. Sedangkan Rangga masih tetap berada di tempatnya, tanpa memperlihatkan diri sedikit pun. Semua pembicaraan prajurit itu dapat didengar jelas. Bukan hanya Raden Mandaka, tapi juga Gurata jadi punya pikiran lain tentang Prabu Jayengrana yang selama ini selalu dikabarkan tewas tertusuk sebilah pisau seseorang yang mengaku bernama Natapraja.
“Raden, apakah kita jadi melihat ke dalam kuil?” tanya Gurata, setengah berbisik.
“Hm...,” Raden Mandaka menggumam tidak jelas.
“Tampaknya penjagaan begitu ketat. Tidak ada jalan masuk selain dari depan,” kata Gurata lagi.
“Kau tunggu saja di sini, aku akan ke depan,” kata Raden Mandaka.
“Raden...,” Gurata hendak mencegah.
“Aku hanya ingin tahu, bagaimana reaksi mereka kalau melihatku,” kata Raden Mandaka seraya mengayunkan kakinya.
Gurata tidak bisa lagi mencegah. Hatinya jadi gelisah dan serba salah. Sedangkan Raden Mandaka sudah berjalan menuju ke bagian depan kuil. Gurata memandangi sekitarnya sesaat, kemudian melentingkan tubuhnya ke atas kuil. Ringan sekali gerakan tubuhnya, sehingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Gurata hinggap di bagian atas kuil. Dirapatkan tubuhnya di batu.
Sementara Raden Mandaka berputar menuju ke bagian depan, lalu berjalan tenang menuju bagian depan kuil. Prajurit-prajurit penjaga nampak terkejut melihat kemunculan Raden Mandaka. Mereka bergegas mengambil tempat berjajar, dan memberi hormat. Tanpa diperintah lagi, mereka berlutut. Raden Mandaka berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak lagi di depan prajurit-prajurit penjaga kuil ini.
“Siapa kepala prajurit penjaga?” tanya Raden Mandaka dengan suara dibuat berwibawa.
“Hamba, Raden,” seorang prajurit berpangkat tamtama menyembah seraya menggeser tubuhnya lebih ke depan.
“Hm...,” Raden Mandaka menatap kepala prajurit penjaga kuil itu.
Prajurit itu berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tegap berotot terbungkus seragam prajurit berpangkat tamtama pada bagian lengan kiri dan kanannya. Raden Mandaka mengenal prajurit itu yang biasa dipanggil Tamtama Wira Kerti. Seorang tamtama pilihan yang tidak pernah jauh dari Prabu Jayengrana.
“Berapa jumlah prajurit yang ada di sini?” tanya Raden Mandaka.
“Lima puluh, Raden. Semua prajurit pilihan,” sahut Tamtama Wira Kerti.
“Tidak ada panglima di sini? Atau seorang patih?”
“Tidak ada, Raden.”
Raden Mandaka tidak bertanya lagi. Diayunkan kakinya hendak mendekati kuil. Tapi baru saja berjalan sekitar tiga langkah, Tamtama Wira Kerti mencegahnya. Raden Mandaka menghentikan langkahnya. Ditatapnya tajam laki-laki berkumis tebal berpangkat tamtama itu.
“Ampun, Raden. Hamba tidak diperkenankan memberi ijin pada siapa pun untuk memasuki kuil,” tegas Tamtama Wira Kerti seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
“Oh..., siapa yang memerintahkan begitu?” tanya Raden Mandaka, agak sinis nada suaranya.
“Panglima Pramoda, Raden. Perintah itu datang langsung dari Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya,” sahut Tamtama Wira Kerti bersikap masih terlihat penuh rasa hormat.
“Tamtama, kau tahu kalau sampai sekarang ini tersebar berita bahwa Ayahanda Prabu tewas, bukan?”
“Benar, Raden.”
“Apakah kau pernah melihat jasadnya?”
Tamtama Wira Kerti tidak menjawab, tapi hanya merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung. Sejak mendengar kabar begitu, memang belum pernah dilihat jasad Prabu Jayengrana. Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya telah melarang siapa pun memasuki kuil tanpa terkecuali selain dirinya sendiri. Tak ada seorang pun prajurit yang pernah melihat Prabu Jayengrana.
“Kau percaya kalau Ayahanda Prabu bisa tewas hanya karena sebilah pisau?” dingin nada suara Raden Mandaka.
“Ampun, Raden. Hamba tidak tahu pasti. Saat itu hamba memang menyaksikan kejadiannya, tapi hamba sudah disumpah agar tidak menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada siapa pun tanpa terkecuali. Juga semua prajurit yang ada di sini. Mereka yang melanggar akan mendapat hukuman berat. Ampun, Raden,” pelan namun terdengar tegas nada suara Tamtama Wira Kerti.
“Siapa yang menyumpahmu?” tanya Raden Mandaka lagi.
“Pendeta Seka Gora, Raden.”
“Kenapa Paman Pendeta Seka Gora melakukan itu?” tanya Raden Mandaka jadi bertambah tebal kecurigaannya.
“Hamba tidak tahu, Raden. Hamba hanya seorang prajurit. Hamba hanya melaksanakan perintah dari atasan,” tegas Tamtama Wira Kerti.
“Aku mengerti. Sekarang, jawab pertanyaanku. Apakah kalian masih setia pada Prabu Jayengrana?” tegas kata-kata Raden Mandaka.
“Hamba, Raden...!” jawab para prajurit serentak.
“Apakah kalian masih menganggapku junjungan kalian?”
Semua prajurit itu memberi hormat.
“Bagus! Sekarang, aku beri perintah pada kalian. Jangan halangi aku masuk ke dalam kuil!” tegas nada suara Raden Mandaka.
“Raden...!” Tamtama Wira Kerti tersentak kaget.
“Kau tidak perlu takut, Tamtama. Juga kalian semua! Aku yang akan bertanggung jawab dan melindungi kalian semua.”
“Tapi, Raden..., Pendeta Seka Gora...,” suara Tamtama Wira Kerti terputus.
“Dia urusanku!” potong Raden Mandaka tegas.
Tamtama Wira Kerti tidak bisa lagi membantah. Dibiarkan saja Raden Mandaka memasuki kuil itu, juga semua prajurit yang ada hanya diam memandangi pemuda putra mahkota itu memasuki kuil. Tak ada yang berani mencegahnya dan tak ada satu suara pun terucapkan. Raden Mandaka telah lenyap di dalam kuil batu itu.
********************
LIMA
Tidak lama Raden Mandaka berada di dalam kuil, dan kini telah ke luar lagi. Dalam siraman cahaya bulan dan obor, tampak jelas wajahnya memerah dan matanya bersinar tajam bagai sepasang mata serigala liar. Dipandanginya para prajurit yang masih tetap berada di halaman depan kuil.
“Sudah berapa lama kalian berada di sini, heh?!” keras sekali suara Raden Mandaka.
“Raden...,” agak tertahan nada suara Tamtama Wira Kerti. “Ada apa, Raden? Apa yang terjadi di dalam?”
“Kalian semua bodoh! Apa yang kalian jaga, heh?! Hanya tumpukan batu! Lihat kedalam!”
Tamtama Wira Kerti jadi kebingungan. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Raden Mandaka jadi marah-marah begitu setelah berada di dalam kuil. Sebentar dipandangi para prajuritnya, kemudian bergegas masuk ke dalam kuil. Sementara Raden Mandaka melangkah pergi. Dia berhenti dan menghenyakkan tubuhnya di bawah sebatang pohon jarak.
Saat mendongak ke atas kuil, dari atas sana meluncur bayangan merah, langsung mendarat di depan pemuda itu. Gurata menghampiri dan duduk bersila di depan Raden Mandaka. Sementara Tamtama Wira Kerti sudah keluar lagi dari dalam kuil. Bergegas dihampirinya Raden Mandaka, dan berlutut memberi hormat.
“Raden.... Ampunkan hamba, Raden. Hamba...,” suara Tamtama Wira Kerti tersendat-sendat, tidak sanggup mengangkat kepalanya memandang wajah Raden Mandaka yang memerah menahan berang.
“Apa sebenarnya yang terjadi di dalam, Raden?” tanya Gurata.
Belum sempat Raden Mandaka menjawab, Rangga muncul dari belakang kuil. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri, dan berdiri saja di depan orang-orang itu. Raden Mandaka bangkit berdiri diikuti Gurata.
“Sejak semula aku ingin mengatakan kalau di dalam kuil tidak ada siapa-siapa. Maaf, memang dengan cara seperti ini lebih baik,” kata Rangga kalem.
“Kau lebih tahu dariku, Rangga. Di mana Ayahanda Prabu berada sekarang?” tanya Raden Mandaka langsung.
“Di Istana Salinga,” tiba-tiba ada suara menyahuti sebelum Rangga sempat membuka suara.
Semua orang yang berada di tempat itu langsung menoleh serentak ke arah datangnya suara tadi. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh di depan pintu kuil sudah berdiri seorang laki-laki berpakaian sangat ketat berwarna serba putih. Wajahnya terlihat tampan, dan sebilah pedang tersampir di punggungnya. Dia berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada.
“Siapa kau?!” bentak Raden Mandaka.
“Raden..., dialah Natapraja yang menikam Gusti Prabu Jayengrana,” bisik Tamtama Wira Kerti yang mengenali pemuda itu.
Pada waktu peristiwa di depan kuil ini, Tamtama Wira Kerti memang berada di tempat ini. Masih dikenali betul laki-laki muda berbaju putih itu. Orang yang menikam Prabu Jayengrana tepat pada dadanya.
“Rupanya kau biang keladi dari semua ini!” geram Raden Mandaka menahan amarahnya.
“Bukan. Aku hanya menjalankan tugas,” sahut Natapraja kalem.
“Kau menikam Ayahanda Prabu, dan sekarang kau katakan hanya menjalankan tugas! Dan sekarang juga kau katakan kalau Ayahanda Prabu ada di istana! Permainan macam apa ini, heh?!” bentak Raden Mandaka meluap amarahnya.
“Hanya permainan kecil, Raden. Dan semua itu sudah diatur sebelumnya,” masih terdengar tenang nada suara Natapraja.
“Dasar iblis keparat! Kau harus mampus di tanganku! Hiyaaat...!”
Raden Mandaka tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Bagaikan kilat tubuhnya melesat, langsung menyerang Natapraja menggunakan jurus-jurus pendek yang cepat dan dahsyat. Sedangkan Natapraja melayani dengan gerakan-gerakan ringan tanpa menggeser kakinya setapak pun. Hanya tubuhnya saja bergerak-gerak meliuk seperti seekor belut yang sangat licin untuk ditangkap.
“Hanya hukuman mati yang pantas bagi pengacau busuk sepertimu! Yeaaah...!”
Raden Mandaka semakin gencar melakukan serangan lewat jurus-jurus tangan kosong dalam keadaan jarak yang sangat rapat. Dikerahkan tenaga dalam penuh dalam setiap serangannya. Tapi rupanya Natapraja bukan manusia sembarangan yang bisa disepelekan begitu saja. Beberapa jurus telah berlalu, tapi belum ada satu pun yang mengenai sasaran. Sedangkan Natapraja belum juga menggeser kakinya barang setapak pun.
“Hm...,” Rangga yang sejak tadi hanya memperhatikan saja menggumam pelahan penuh arti. Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa melihat, kalau tingkat kepandaian Raden Mandaka masih berada jauh di bawah Natapraja. Rangga sudah bisa meramalkan, dalam satu gebrakan saja, Natapraja mampu melumpuhkan perlawanan Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Dan baru saja Rangga menduga, hal itu sudah terjadi.
Satu kebutan tangan kiri Natapraja tidak dapat dibendung lagi, dan tepat menghantam bagian dada kanan Raden Mandaka. Akibatnya membuat pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil terpekik tertahan. Raden Mandaka menggereng dahsyat seraya memegangi dada kanannya yang tersepak kibasan tangan kiri lawannya.
“Keparat...!” geram Raden Mandaka.
Sret!
Cepat sekali Raden Mandaka mencabut pedangnya, dan secepat itu pula melompat bagaikan kilat sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali ke depan. Dengan pedang di tangan, pemuda itu kini harus berhati-hati menghadapinya. Dia berlompatan dan meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang Raden Mandaka yang cepat dan sukar ditebak arahnya.
Namun bagi Natapraja, setiap serangan Raden Mandaka bukanlah hal yang berarti, dan manis sekali dapat dihindarinya. Bahkan kembali dikibaskan tangan kirinya, tepat mengenai bagian dada kanan pemuda itu kembali. Untuk kedua kalinya Raden Mandaka terhuyung ke belakang. Tampak dari sudut bibirnya mengucurkan darah kental.
Wut! Wut...!
Raden Mandaka mengebutkan pedangnya beberapa kali di depan dada, bersiap hendak menyerang kembali. Sementara Natapraja tetap berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dadanya. Senyumnya mengembang bernada meremehkan. Dua kali Raden Mandaka berhasil dibuat terhuyung, tapi putra mahkota itu kelihatan belum jera juga.
“Raden...,” cegah Rangga cepat-cepat ketika Raden Mandaka hendak menyerang kembali.
Raden Mandaka mengurungkan niatnya, lalu sedikit menoleh menatap pada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah melangkah maju tiga tindak.
“Dia bukan lawanmu, Raden,” kata Rangga memperingatkan.
“Manusia keparat itu patut mendapat hukuman, Rangga!” dengus Raden Mandaka sengit.
“Aku tahu! Tapi dia bukan lawanmu, bahkan bisa menjatuhkanmu dengan mudah. Maaf, Raden. Bukan maksudku merendahkan ilmu olah kanuragan yang kau miliki,” Rangga memperingatkan dengan sabar.
“Kuserahkan dia padamu, Rangga,” kata Raden Mandaka seraya melangkah mundur dua tindak.
“Aku tidak bermaksud merendahkanmu, Raden,” ucap Rangga takut kalau putra mahkota itu tersinggung.
“Tidak! Memang sebaiknya aku tidak langsung terjun. Aku masih punya prajurit, dan ada kau,” sahut Raden Mandaka.
“Raden, sebaiknya kita bicara secara baik-baik dengannya,” usul Rangga.
“Tidak ada gunanya, Rangga. Semua prajurit menyaksikan bahwa dialah yang menikam Ayahanda Prabu!”
“Dan aku juga tidak akan sukar melenyapkan kalian semua!” celetuk Natapraja lantang.
Seketika itu juga memerah wajah semua orang yang ada di sekitar halaman kuil kecil itu. Terlebih lagi Raden Mandaka. Gerahamnya sampai bergemeletuk menahan amarah yang meluap tak terbendung lagi. Hanya Rangga yang masih kelihatan tenang. Diayunkan kakinya mendekati Natapraja.
Rangga mengambil jarak sekitar tiga langkah di depan Natapraja. Pandangan matanya tajam menusuk langsung pada bola mata laki-laki yang mungkin sebaya dengannya. Sedangkan Natapraja sendiri tidak berkedip membalas dengan tajam pula. Untuk sesaat lamanya mereka hanya saling tatap.
“Siapa kau, orang asing?” tanya Natapraja, dingin nada suaranya.
“Aku Rangga, berjuluk Pendekar Rajawali Sakti,” Rangga mengenalkan diri.
“Kau bukan orang Salinga, kenapa ikut campur dalam persoalan ini?” tetap dingin dan datar nada suara Natapraja.
Untuk beberapa saat Rangga tidak bisa menjawab. Dalam beberapa hal, memang diakui kebenaran dari pertanyaan Natapraja tadi. Dia memang bukan orang asli Salinga, dan hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat dan melihat Raden Mandaka tengah dikeroyok saat itu. Pertemuan yang tidak direncanakan, tapi telah membuat jiwa kependekaran Rangga terketuk.
“Aku pembela kebenaran, dan aku datang untuk mencari keadilan di Salinga ini,” tegas Rangga, lantang suaranya.
“Keadilan...?! Ha ha ha...!” Natapraja tertawa terbahak-bahak.
Rangga hanya diam saja, hatinya juga masih terlalu dingin untuk bisa cepat menggebrak laki-laki di depannya ini. Tapi Raden Mandaka sudah tidak sabaran lagi, namun tidak bisa bertindak begitu saja. Semua sudah diserahkannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Lagi pula, disadari kalau dirinya tidak akan mampu menghadapi Natapraja.
“Kau tidak akan mendapatkan keadilan di negeri ini, Rangga. Sia-sia saja melindungi bocah ingusan yang manja itu!” Natapraja menuding Raden Mandaka.
“Setan alas! Keparat...!” geram Raden Mandaka hampir meluap kembali amarahnya.
Kalau saja tidak dicegah Gurata, pasti Raden Mandaka sudah menghunus pedangnya kembali yang sudah tersimpan di dalam sarungnya. Raden Mandaka hanya bisa menggereng, mengumpat, dan memaki di dalam hati. Baginya, Natapraja sudah begitu kurang ajar. Berani menghina serta menudingnya di depan banyak orang. Satu penghinaan besar baginya.
“Tampaknya kau sangat membenci Raden Mandaka, Kisanak,” kata Rangga memancing.
“Benci...? Tidak! Aku tidak pernah membenci seorang pun di dunia ini. Aku hanya menjalankan tugas!”
“Siapa yang memberimu tugas?” desak Rangga.
“Ha ha ha...! Kau pikir aku akan memberitahu? Sayang sekali, aku sudah diperintahkan untuk mencegah siapa saja yang masuk ke dalam kuil. Dan tidak mungkin kutarik sumpahku. Siapa saja yang telah memasuki kuil harus mati!”
“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya.
“Dan kalian harus mati semua! Tidak terkecuali, kau juga, Raden Mandaka!”
Setelah berkata demikian, Natapraja menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Lalu tiba-tiba saja dihentakkan tangannya ke depan. Seketika itu juga, entah dari mana datangnya, tahu-tahu bertiup angin kencang. Begitu dahsyatnya, sehingga bumi bergetar, batu-batuan beterbangan, dan pepohonan bertumbangan!
Para prajurit yang memiliki kepandaian rendah, tidak dapat menguasai keseimbangan dirinya. Bagai daun kering tertiup angin kemarau, mereka beterbangan diiringi jeritan melengking menyayat hati. Tubuh-tubuh para prajurit itu terhempas membentur pepohonan dan batu-batu keras.
Sedangkan yang memiliki kemampuan cukup tinggi, berusaha untuk tidak terhempas dengan cara masing-masing. Namun badai yang ditimbulkan Natapraja semakin dahsyat saja. Sedikit demi sedikit, terlihat Raden Mandaka, Gurata, dan Tamtama Wira Kerti mulai bergeser posisinya. Sementara Rangga masih terlihat kokoh berpijak pada tempatnya. Pendekar Ra-jawali Sakti itu mulai menggerakkan tangannya pelahan-lahan.
“Aji ‘Bayu Bajra’...!” teriak Rangga tiba-tiba.
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu merentangkan tangannya ke samping, lalu dengan cepat pula mengangkat ke atas. Dan begitu kedua telapak tangannya menyatu di atas kepala, terdengar ledakan dahsyat bagai letusan gunung berapi. Mendadak saja badai itu jadi tidak menentu, dan berubah berputar di sekitar Rangga maupun Natapraja.
Badai itu terus berputar, semakin mengecil ruang lingkupnya. Tampak rerumputan dan batu-batu kerikil beterbangan berputar mengelilingi Natapraja dan Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu tidak ada seorang prajurit pun yang kelihatan lagi. Hanya Tamtama Wira Kerti yang masih tetap berdiri di samping Raden Mandaka dan Gurata. Mereka hanya bisa menyaksikan adu kesaktian dua tokoh digdaya itu.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Natapraja melesat cepat bagaikan kilat sambil menjulurkan kaki kanan ke depan. Dan pada saat yang sama, Rangga menarik turun kedua tangannya. Tepat pada saat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti berada di depan dada, telapak kaki Natapraja mendarat di tangan itu.
Glarrr...!
Satu ledakan keras terjadi. Tampak Natapraja terlontar ke belakang sejauh tiga batang tombak. Sedangkan Rangga hanya terdorong selangkah. Dua kali Natapraja berjumpalitan di udara, lalu mendarat manis di tanah.
“Kau hebat, Rangga,” puji Natapraja tulus.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja.
“Tapi itu belum berarti kau menang. Nah! Terimalah jurus-jurusku ini. Hiyaaat...!”
Natapraja melesat cepat bagaikan kilat, langsung mengirimkan beberapa pukulan bertenaga dalam tinggi. Saat itu Rangga memang sudah siap menyambut serangan itu dengan manis. Pertarungan sengit tidak dapat dihindari lagi. Tampak sekali kalau Natapraja begitu bernafsu hendak menjatuhkan lawannya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya sesekali saja memberikan serangan balasan.
“Jangan menganggapku remeh, Rangga. Kau akan menyesal!” seru Natapraja seraya melepaskan dua pukulan beruntun disertai tendangan menggeledek yang mengandung tenaga dalam tinggi!
“Uts! Hap...!”
Rangga mengelakkan dua pukulan itu dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Sesekali dikibaskan tangan kanannya untuk menangkis satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Satu benturan kekuatan tenaga dalam terjadi. Terdengar suara keras berderak. Tampak Natapraja melompat mundur agak terhuyung. Dan sebelum Natapraja sempat mengontrol dirinya, Rangga sudah melompat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
“Hiyaaat...!”
Tak ada lagi kesempatan bagi Natapraja untuk berkelit. Buru-buru dihentakkan tangan kanannya, memapak pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga menarik pulang pukulannya sebelum mencapai sasaran. Dan dengan gerakan yang cepat luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti itu mengibaskan kakinya menghantam perut Natapraja.
Dug!
“Heghk!” Natapraja mengeluh pendek.
Pemuda berbaju putih ketat itu terdorong ke belakang dengan tubuh agak membungkuk. Dan belum lagi sempat menguasai tubuhnya, kembali Rangga melontarkan pukulan menggeledek yang sangat keras.
“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!” Natapraja menjerit keras.
Pukulan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam wajah Natapraja, membuat kepala pemuda itu terdongak ke atas. Tampak darah langsung muncrat dari mulutnya. Kembali Natapraja terlontar ke belakang saat satu pukulan tangan kiri Rangga mendarat di dadanya.
Sebongkah batu besar berwarna hitam pekat berlumut, hancur berkeping-keping ketika punggung Natapraja menghantamnya! Pemuda itu menggeletak dan menggeliat sambil mengerang. Hanya sebentar menggeliat, lalu bergegas melompat bangkit. Dia berdiri sempoyongan seraya menggelengkan kepala beberapa kali. Dengan punggung tangan, Natapraja menyeka darah yang memenuhi mulutnya.
“Phuih!” Natapraja menyemburkan ludahnya yang bercampur darah.
Sepasang mata pemuda itu memerah bagai mata serigala buas melihat seekor ayam betina yang gemuk. Natapraja menghimpun tenaga, mencoba mengusir rasa sesak dan mual di perutnya. Sementara Rangga memberi kesempatan pada pemuda itu untuk pulih kembali, sambil berdiri tegak memandangi dengan sikap penuh waspada.
“Phuih! Kali ini kau menang. Rangga. Tapi aku belum kalah!” kata Natapraja dingin.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam tidak jelas.
“Tunggu pembalasanku, Rangga!”
Setelah berkata demikian, Natapraja langsung melesat cepat bagaikan kilat. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan. Raden Mandaka dan Gurata hendak mengejar, tapi Rangga lebih cepat mencegahnya.
“Biarkan, jangan dikejar!”
Raden Mandaka, Gurata, dan Tamtama Wira Kerti tidak jadi mengejar. Mereka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak mayat-mayat prajurit bergelimpangan bersama reruntuhan pohon dan bebatuan. Tak ada seorang pun prajurit yang hidup lagi, akibat terhempas angin badai buatan Natapraja tadi.
“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang-panjang.
“Kenapa tidak kau bunuh, Rangga? Kau punya kesempatan banyak untuk membinasakannya,” tegur Raden Mandaka.
“Tidak perlu, Raden,” sahut Rangga kalem.
“Tidak perlu...?!” Raden Mandaka membeliak.
“Dia sudah membunuh banyak prajurit, dan menyengsarakan banyak rakyat!”
“Dia hanya orang bayaran, Raden. Orang yang berada di belakangnya yang harus dicari,” jelas Rangga, masih tetap tenang nada suaranya.
“Tapi, paling tidak kita bisa memperoleh keterangan kalau bisa menangkapnya hidup-hidup terlebih dahulu.”
“Percuma. Orang seperti Natapraja tidak akan membuka mulut. Baginya lebih baik mati daripada mengkhianati orang yang telah membayarnya.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Raden Mandaka menyerah.
Rangga tidak menjawab, dan hanya mendongakkan kepalanya ke atas sambil menarik napas dalam-dalam. Sementara suasana jadi hening, tak ada yang membuka suara. Mereka semua menunggu Pendekar Rajawali Sakti itu memutuskan sesuatu. Tapi setelah lama ditunggu, Rangga hanya diam saja, malah melangkah pelahan.
“Rangga...,” panggil Raden Mandaka seraya mengejar diikuti Gurata dan Tamtama Wira Kerti.
Rangga terus saja berjalan tanpa menoleh sedikit pun. Raden Mandaka mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Gurata dan Tamtama Wira Kerti mengikuti dari belakang. Mereka berjalan pelahan, semakin jauh meninggalkan kuil.
“Kau akan pergi ke mana?” tanya Raden Mandaka penasaran.
“Menemui Prabu Jayengrana,” sahut Rangga datar.
“Ke istana...?” Raden Mandaka ingin penjelasan.
“Mungkin,” desah Rangga.
Raden Mandaka terdiam. “Rangga! Apakah kau yakin kalau Ayahanda Prabu masih hidup?” tanya Raden Mandaka setelah cukup lama berdiam diri saja.
“Entahlah,” sahut Rangga mendesah.
********************
ENAM
Rangga sengaja tidak membawa Raden Mandaka masuk ke Istana Salinga. Putra mahkota itu memang diminta untuk menunggu di tempat yang aman, sementara Rangga sendiri menyelinap masuk melalui tembok benteng bagian belakang. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti itu tidak mengetahui kalau saat ini tengah memasuki taman kaputren yang terlarang bagi orang lain kecuali keluarga istana, atau para pembesar yang mendapat ijin khusus dari Prabu Jayengrana atau Permaisuri Sara Ratan.
“Hei...!”
“Oh!” Rangga tersentak kaget begitu kakinya mendarat di tanah.
Tampak seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun terpaku sehingga bola matanya membeliak. Wajahnya nampak pucat menyiratkan keterkejutan dan rasa takut. Bergegas Rangga menghampiri dan membungkuk memberi hormat. Dia mengenali wanita itu dari ciri-ciri yang diberikan Raden Mandaka. Wa-nita itu adalah Permaisuri Sara Ratan.
“Maaf, Gusti Permaisuri. Hamba datang tidak melalui cara semestinya,” ucap Rangga penuh rasa hormat dan sopan.
“Siapa kau?” tanya Permaisuri Sara Ratan setelah sedikit hilang dari rasa terkejutnya.
“Nama hamba Rangga, Gusti Permaisuri. Hamba sahabat karib Raden Mandaka,” sahut Rangga memperkenalkan diri.
“Rangga...,” Permaisuri Sara Ratan mengamati pemuda berbaju rompi putih di depannya. “Sepertinya aku belum pernah mengenalmu, Kisanak.”
“Memang belum, Gusti Permaisuri,” sahut Rangga.
“Lalu, di mana kau kenal putraku?”
“Di hutan dekat kuil.”
“Oh...!” Permaisuri Sara Ratan nampak terkejut.
“Ada apa, Gusti Permaisuri?” tanya Rangga.
“Kisanak, apakah putraku masih hidup?” tanya Permaisuri Sara Ratan tanpa menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Gusti..., kedatangan hamba ke sini sengaja untuk mengabarkan tentang Raden Mandaka. Putra Gusti Permaisuri sekarang ini dalam keadaan sehat, dan berada di tempat yang aman.”
“Ohhh...,” Permaisuri Sara Ratan mendesah panjang, menarik napas lega.
Rangga mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba mendengar langkah kaki orang menghampiri tempat itu. Permaisuri Sara Ratan rupanya juga mendengar. Dan mereka hanya saling berpandangan sesaat.
“Bersembunyilah, Kisanak. Itu pasti Pendeta Seka Gora,” kata Permaisuri Sara Ratan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga melesat cepat ke atas pohon beringin yang tumbuh menaungi tempat itu. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga cepat lenyap bagaikan hilang saja. Permaisuri Sara Ratan tetap duduk di kursi di bawah pohon itu, seakan-akan tidak ada seorang pun yang datang di tempat itu.
Dari kejauhan tampak seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul tengah berjalan ringan menghampiri orang kedua di Kerajaan Salinga ini. Laki-laki tua kurus itu langsung menghampiri dan membungkukkan badannya begitu sampai di depan Permaisuri Sara Ratan. Sikapnya begitu hormat, namun dari senyum dan sinar matanya memancarkan sesuatu yang sukar ditebak.
“Ada apa, Paman Pendeta?” tanya Permaisuri Sara Ratan.
“Kereta sudah siap, Gusti Permaisuri. Juga seratus prajurit pengawal dan sepuluh emban serta beberapa pelayan,” sahut Pendeta Seka Gora.
“Oh! Jadi hari ini aku harus meninggalkan istana?” ada nada kurang senang dalam suara Permaisuri Sara Ratan.
“Sudah jadi keputusan rapat Pembesar Istana, Gusti. Tepat pada masa empat puluh hari meninggalnya Gusti Prabu Jayengrana, diadakan penobatan raja yang baru.”
“Paman Pendeta! Tidakkah menunggu kabar dulu, kalau-kalau putraku masih hidup?”
“Tidak, Gusti Permaisuri. Sudah terbukti kalau Raden Mandaka telah tewas terjerumus ke dalam jurang. Jadi tidak ada lagi pewaris tahta kerajaan selain Raden Mandrakumara, putra pertama dari Selir Rara Munikaweni.”
Permaisuri Sara Ratan terdiam membisu. Memang sudah diketahui kalau dirinya harus meninggalkan istana, karena tidak ada hak lagi untuk tinggal di sini setelah kematian suami dan anak tunggalnya. Hak yang dicabut begitu saja tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri.
Wanita yang usianya hampir setengah baya itu bangkit berdiri dari duduknya, dan sebentar menarik napas panjang dan berat. Memang sudah menjadi satu adat dan tradisi bagi seorang permaisuri raja di Salinga, harus meninggalkan istana dan tinggal di dalam pengasingan untuk selamanya jika rajanya mangkat. Lain halnya kalau masih punya keturunan yang akan mewarisi tahta. Sedangkan sekarang ini putra satu-satunya sudah dikabarkan meninggal di dalam jurang. Sebenarnya Permaisuri Sara Ratan hendak memberontak, karena jasad suaminya tidak terlihat, apalagi putranya yang dikabarkan telah meninggal. Tapi dia tidak memiliki daya dan kekuatan apa-apa. Hanya mampu menerima nasib menjadi orang buangan di daerah pengasingan.
“Mari, Gusti Permaisuri. Putra hamba sendiri yang akan mengawal secara pribadi sampai ke tempat tujuan,” kata Pendeta Seka Gora lagi.
“Putramu...?” Permaisuri Sara Ratan mengerutkan keningnya.
Bertahun-tahun Pendeta Seka Gora menjadi penasehat pribadi Prabu Jayengrana, belum pernah terdengar kalau pendeta ini mempunyai istri, apalagi memiliki seorang putra.
“Maksud hamba, putra angkat, Gusti,” Pendeta Seka Gora buru-buru membetulkan ucapannya.
“Oh....” Permaisuri Sara Ratan mengayunkan kakinya pelahan-lahan dengan anggun. Tidak ada pilihan lain lagi. Meskipun dengan hati remuk, harus dituruti keputusan yang sudah ditetapkan. Suka atau tidak, istana ini harus segera ditinggalkan. Hanya saja waktunya begitu cepat, dan tidak ada perencanaan sama sekali sebelumnya. Terlebih lagi, Prabu Jayengrana sendiri belum sampai empat puluh hari mangkat.
Sementara itu, Rangga masih berada di atas pohon sampai Permaisuri Sara Ratan dan Pendeta Seka Gora meninggalkan kaputren ini. Pendekar Rajawali Sakti itu baru melompat turun setelah kedua orang itu tidak terlihat lagi. Sebentar matanya memandang ke arah kepergian Permaisuri Sara Ratan, kemudian perhatiannya tertumpu pada sehelai saputangan dari bahan sutra berwarna merah muda. Saputangan itu tergolek di bawah kursi taman. Rangga tadi sempat melihat Permaisuri Sara Ratan sengaja menjatuhkan sapu tangannya tanpa diketahui Pendeta Seka Gora.
“Hm...,” gumam Rangga pelahan.
Bagaikan seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat dan ringan melompati tembok benteng bagian belakang pembatas kaputren ini. Dan sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik tembok benteng itu. Keadaan di kaputren kembali sunyi senyap tanpa terlihat seorang pun di sana.
********************
Sebuah kereta kuda melaju keluar dari gerbang benteng Istana Salinga. Kereta kuda yang cukup besar dan indah itu dikawal seratus orang prajurit bersenjata lengkap. Para emban dan pelayan berada di dalam kereta lain yang ditarik empat ekor kuda. Tampak paling depan, seorang pemuda berwajah tampan dan gagah menunggang kuda putih yang tegap. Pemuda itu mengenakan baju putih ketat dengan pedang tersampir di punggung.
Rombongan itu bergerak cepat menuju utara, tempat berdirinya sebuah bukit yang menjulang menentang langit. Di dalam kereta besar yang ditarik delapan ekor kuda putih, terlihat Permaisuri Sara Ratan duduk seorang diri. Wanita itu memandang ke luar dari jendela kereta yang terbuka sedikit tirainya.
“Hm, ini bukan jalan menuju tempat pengasingan,” gumam Permaisuri Sara Ratan begitu kereta melewati batas gerbang utara Kerajaan Salinga.
Belum sempat Permaisuri Sara Ratan berpikir lebih jauh lagi, dirasakan kereta kuda yang ditumpanginya berhenti, tepat di tengah-tengah hutan belantara. Penunggang kuda yang berada paling depan menghampiri kereta kuda itu. Ringan sekali tubuhnya melompat turun dari punggung kuda, dan menghampiri pintu kereta. Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda berpakaian putih ketat itu membuka pintu kereta.
“Sudah sampai, Gusti Permaisuri,” ujar pemuda itu bernada dingin dan datar.
“Ini bukan tempat pengasingan, Natapraja,” kata Permaisuri Sara Ratan seraya turun dari dalam kereta.
“Memang benar. Kami hanya singgah sebentar untuk melaksanakan tugas lainnya,” sahut pemuda berpakaian putih ketat yang ternyata memang Natapraja, pemuda yang menikam Prabu Jayengrana.
“Apa maksudmu berkata seperti itu, Natapraja?” sentak Permaisuri Sara Ratan mulai merasakan adanya sesuatu yang tidak beres.
Natapraja tidak menjawab. Segera dijentikkan ujung jarinya. Sekitar sepuluh orang prajurit mendorong para emban dan pelayan pribadi Permaisuri Sara Ratan, sehingga sampai jatuh tersuruk di depan Permaisuri Sara Ratan. Tak ada seorang pun yang berani mengangkat kepalanya. Permaisuri Sara Ratan memandangi emban-emban dan para pelayan yang berlutut di depannya sambil menundukkan kepalanya. Masing-masing di belakang para emban dan pelayan itu berdiri satu prajurit yang menghunus pedang tertempel di batang leher.
Permaisuri Sara Ratan menatap tajam Natapraja yang ditugaskan memimpin rombongan ini oleh Pendeta Seka Gora. Pemuda ini yang diakui sebagai anak angkat. Perasaan tidak enak yang sudah terbawa sejak keluar dari istana, rupanya akan terjawab di dalam hutan ini. Hutan yang tidak pernah dikenalnya sama sekali.
“Natapraja, apa arti semua ini?” tanya Permaisuri Sara Ratan, agak bergetar nada suaranya.
“Hamba hanya melaksanakan pembersihan, Gusti Permaisuri,” sahut Natapraja kalem.
“Pembersihan...? Apa maksudmu dengan pembersihan?” Permaisuri Sara Ratan mulai menduga-duga.
Natapraja tidak menjawab, tapi hanya tersenyum.
“Laksanakan!” perintah Natapraja tiba-tiba.
Dan....
“Tunggu...!” sentak Permaisuri Sara Ratan keras.
Tapi terlambat! Para prajurit itu sudah mengibaskan pedangnya dengan cepat. Seketika itu juga kepala dari para emban dan pelayan Permaisuri Sara Ratan terpenggal buntung menggelinding ke tanah. Tak ada suara pekikan keluar, mereka langsung jatuh menggelepar dan tewas seketika!
“Kejam...!” desis Permaisuri Sara Ratan.
Wajah wanita berusia empat puluh tahunan itu seketika membias pucat pasi. Ditatapnya mayat para emban dan pelayannya, lalu beralih ke arah Natapraja. Permaisuri Sara Ratan melangkah mundur dua tindak. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki muda di depannya.
“Sudah sepantasnya mereka mati, Gusti Permaisuri,” tegas Natapraja kalem.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Permaisuri Sara Ratan, agak bergetar nada suaranya.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Hamba hanya seorang abdi yang hanya menjalankan tugas,” sahut Natapraja seraya membungkuk sedikit memberi hormat.
“Tugas...?! Tugas apa?! Siapa yang memberimu tugas kejam ini?” agak keras suara Permaisuri Sara Ratan.
“Maaf. Hamba harus merahasiakan setiap tugas yang diperintahkan, Gusti Permaisuri. Sebaiknya Gusti kembali masuk ke dalam kereta. Hamba harus mengantarkan Gusti Permaisuri Sara Ratan sampai ke tempat tujuan.”
Permaisuri Sara Ratan ingin menolak. Tapi melihat kesungguhan dari sinar mata pemuda itu, dan banyaknya prajurit yang siap menunggu perintah, Permaisuri Sara Ratan jadi tidak berdaya. Dia hanya wanita lemah yang tidak pandai ilmu olah kanuragan. Bagi Natapraja, semudah membalikkan tangan jika ingin membunuhnya. Dengan tubuh agak bergidik, Permaisuri Sara Ratan kembali masuk ke dalam kereta yang akan membawanya ke tempat yang tidak jelas letaknya. Hanya Natapraja yang mengetahui akan membawanya ke mana. Permaisuri Sara Ratan langsung menutup tirai jendela begitu berada di dalam kereta. Wajahnya masih terlihat pucat pasi, dan tubuhnya bergetar hebat. Terlebih lagi saat merasakan kereta kembali bergerak melaju cepat.
“Dewata Yang Agung... Apa sebenarnya yang ter-jadi?” desah Permaisuri Sara Ratan dalam hati.
Rombongan itu terus bergerak agak pelahan semakin jauh menembus kelebatan hutan. Semakin jauh menembus ke dalam, udara semakin terasa dingin. Matahari juga seakan tak sanggup menembus cahayanya. Sementara di dalam kereta, Permaisuri Sara Ratan tampak gelisah, tidak tahu lagi ke mana tujuan Natapraja membawanya pergi. Belum pernah dilaluinya hutan ini, terlebih lagi begitu jauh masuk ke dalamnya.
Permaisuri Sara Ratan menyingkap tirai jendela kereta kuda sedikit. Betapa terkejut hatinya begitu melihat di sebelahnya terhampar sebuah jurang yang sangat dalam. Buru-buru wanita itu menutup tirai. Jalan kereta kuda ini juga terasa lebih pelahan. Ketika Permaisuri Sara Ratan berpaling ke arah lain, mendadak matanya membeliak lebar. Mulutnya pun ternganga tak mampu bersuara lagi.
“Ssst..., tenang. Jangan bicara apa pun.”
“Bagaimana kau bisa berada di sini?” tanya Permaisuri Sara Ratan.
Sungguh sulit dimengerti. Tahu-tahu di sampingnya sudah duduk seorang pemuda berbaju rompi putih yang menemuinya di dalam taman kaputren. Pemuda itu tidak menjawab, tapi malah menyibakkan tirai di sampingnya sedikit. Diamatinya keadaan di luar sebentar. Laju kereta kuda mulai terasa biasa
kembali. Hanya saja guncangannya terasa begitu keras.
“Singkap sedikit tirai itu,” kata Rangga menunjuk tirai di samping Permaisuri Sara Ratan.
Dengan sikap ragu-ragu, Permaisuri Sara Ratan menyingkapkan tirai jendela di sampingnya sedikit. Rangga memperhatikan jalan di luar. Tampak kereta ini sudah melewati bibir jurang, dan kini memasuki daerah berbatu yang gersang. Dari kemiringan di dalam kereta, sudah dapat dipastikan kalau jalan yang dilalui mendaki. Rangga meminta Permaisuri Sara Ratan menutup kembali tirai itu.
“Sejak kapan kau berada di kereta ini?” tanya Permaisuri Sara Ratan.
“Sejak dari tengah hutan tadi,” sahut Rangga seraya mengintip ke luar melalui tirai yang disibakkan sedikit dengan ujung jari tangannya.
“Oh! Jadi kau melihat semua...?”
“Tentu! Sayangnya tidak sempat kucegah.”
“Aku tidak mengerti, kenapa Pendeta Seka Gora bisa bertindak sekejam itu?” keluh Permaisuri Sara Ratan.
Rangga diam saja, dan terus mengamati keadaan di luar. Otaknya terus berputar mencari jalan untuk menyelamatkan Permaisuri Sara Ratan. Tapi ingin juga diketahui, ke mana arah tujuan perjalanan yang sudah memakan waktu lebih dari setengah harian ini. Rangga juga mencemaskan Raden Mandaka yang ditinggalkannya di Desa Kali Ajir. Hanya desa itu yang aman dan tidak terjangkau dari para prajurit kerajaan. Rangga khawatir kalau-kalau Raden Mandaka tidak sabar menunggu, dan bertindak sendiri sehingga dapat mencelakakan dirinya sendiri.
“Di depan sana ada sungai. Sepertinya kita akan menyeberangi sungai itu,” kata Rangga seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Sungai...?” Permaisuri Sara Ratan menyingkapkan tirai di sampingnya, dan melongok ke luar.
Pada saat itu terlihat Natapraja dan beberapa prajurit di depan sudah masuk ke dalam sungai. Dan kereta ini pun mulai memasuki sungai yang tidak begitu besar. Masih ada lagi sekitar lima puluh prajurit di bagian belakang.
“Oh! Ada apa ini...?” pekik Permaisuri Sara Ratan ketika tiba-tiba saja kereta yang ditumpanginya berhenti di tengah-tengah sungai.
“Maaf, Gusti,” ucap Rangga.
“Eh!”
Belum juga Permaisuri Sara Ratan menyadari apa yang akan dilakukan Rangga, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti itu menyambar pinggangnya. Dan bagaikan kilat, melesat ke luar setelah membuka pintu kereta itu. Pintu kereta langsung menutup cepat. Begitu sempurnanya lesatan Rangga, sehingga tak seorang prajurit pun yang menyadari.
Saat itu kusir kereta tengah berusaha mengeluarkan roda kereta yang terperosok masuk ke dalam lumpur. Empat orang prajurit melompat turun, dan membantu mendorong. Kereta kembali bergerak pelahan melintasi sungai yang tidak begitu besar dan dangkal itu. Tak ada seorang pun yang menyadari kalau kereta sudah tidak berpenumpang lagi. Sampai di tepi seberang, rombongan itu terus bergerak melintasi padang rumput menuju sebuah hutan yang membentang lebat.
Sementara itu Rangga yang membawa Permaisuri Sara Ratan kembali ke seberang yang berlawanan arah. Pendekar Rajawali Sakti itu menurunkan Permaisuri Sara Ratan dari kepitan tangannya, tidak jauh dari tepi sungai yang cukup terlindung. Mereka memandang ke seberang sungai. Di sana masih terlihat rombongan yang terus bergerak melintasi padang rumput.
“Aku tidak akan bertanya, bagaimana caranya kau membawaku keluar tanpa diketahui mereka,” kata Permaisuri Sara Ratan seperti berbicara pada dirinya sendiri. Memang, hatinya masih diliputi rasa heran bercampur kagum akan tingginya kepandaian Rangga.
Rangga hanya tersenyum saja. Tentu saja dia tadi memanfaatkan kesempatan yang sedikit, saat seluruh prajurit perhatiannya terpusat pada kereta yang terperosok masuk ke lumpur di tengah sungai. Dan semua itu tentu didukung oleh kecepatan dan kesempurnaan dalam menggunakan ilmu meringankan tubuh.
“Mari, Gusti Permaisuri. Hamba yakin, Raden Mandaka sudah tidak sabar menunggu,” ajak Rangga.
“Oh! Aku senang sekali mendengar putraku masih hidup,” desah Permaisuri Sara Ratan gembira.
Rangga mengajak wanita itu menyusuri sungai. Dia tahu kalau sungai ini berpusat dari sebuah mata air yang tidak jauh dari Desa Kali Ajir. Dengan berjalan kaki, dua hari baru bisa sampai. Dan Rangga tidak ingin para prajurit itu menyadari kehilangan bawaan berharga mereka.
“Suiiit...!” tiba-tiba saja Rangga bersiul nyaring melengking tinggi bernada aneh di telinga.
“Apa yang kau lakukan, Rangga?” tanya Permaisuri Sara Ratan seraya menghentikan langkahnya, mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Memanggil sahabatku, Gusti,” sahut Rangga.
“Sahabatmu? Siapa...?”
Pertanyaan Permaisuri Sara Ratan tidak segera dijawab, tapi Rangga malah bersiul kembali. Kali ini lebih tinggi dan panjang. Pendekar Rajawali Sakti itu mendongakkan kepalanya, merayapi langit bening tanpa awan sedikit pun bergantung. Sementara Permaisuri Sara Ratan jadi tidak mengerti, dan ikut-ikut mendongak menatap langit. Tapi tak ada yang dapat dilihat di angkasa sana.
Permaisuri Sara Ratan berpaling memandangi Rangga yang tetap mendongak memandangi langit. Dan pada saat kembali memandang ke angkasa, terlihat sebuah benda putih agak keperakan melayang-layang. Permaisuri Sara Ratan menyipitkan matanya saat melihat Rangga tersenyum sambil menjulurkan tangan kanannya ke atas. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali bersiul. Kali ini nadanya terdengar lembut dan enak di telinga.
“Ouw...!” Permaisuri Sara Ratan terkejut begitu melihat jelas benda di angkasa itu.
Dan belum lagi hilang rasa terkejut wanita itu, di depannya meluncur turun seekor burung rajawali raksasa berwarna putih keperakan. Permaisuri Sara Ratan terbengong keheranan melihat Rangga menghampiri burung rajawali raksasa itu, dan memeluk lehernya penuh kasih. Rangga tersenyum melihat Permaisuri Sara Ratan terbengong tidak percaya terhadap apa yang disaksikannya ini.
“Mari, Gusti Permaisuri,” ajak Rangga.
“Eh..., aku.... Oh! Apa ini?” Permaisuri Sara Ratan tergagap.
“Rajawali Putih! Ini Permaisuri Sara Ratan. Aku minta kau membawa kami ke Desa Kali Ajir,” kata Rangga memperkenalkan Rajawali Putih pada Permaisuri Sara Ratan.
“Khrrrk...!” Rajawali Putih mengkirik pelahan. Permaisuri Sara Ratan terpekik kaget ketika kepala burung raksasa itu menjulur kepadanya. Dan Rangga jadi tersenyum. Kalau saja tidak berhadapan dengan seorang wanita yang sangat dihormati dan begitu agung, tentu malah sudah tertawa.
“Rajawali Putih hanya ingin memberikan salam perkenalan, Gusti Permaisuri,” kata Rangga seraya menahan geli.
“Oh! Apakah tidak galak?”
“Tentu saja tidak. Mari, Gusti....”
Permaisuri Sara Ratan masih takut-takut. Tapi Rangga sudah membimbingnya, lalu membantunya naik ke punggung rajawali raksasa itu. Rangga sendiri duduk di belakangnya. Dan begitu Rangga menepuk punggung Rajawali Putih, burung raksasa itu langsung melesat bagaikan kilat ke angkasa.
“Khraghk...!”
“Akh!”
“Tidak apa-apa, Gusti Permaisuri. Sebentar kita akan turun,” kata Rangga menenangkan.
Entah dengar atau tidak, Permaisuri Sara Ratan hanya berpegangan erat pada bulu-bulu leher rajawali raksasa itu. Kedua matanya terpejam erat, tidak berani melihat. Saat itu, dirasakan nyawanya melayang bersama burung raksasa yang mengerikan ini. Dia tidak tahu, berapa tingginya burung yang ditungganginya ini bersama seorang pemuda yang baru dikenalnya hari ini.
Sementara Rangga hanya tersenyum saja melihat sikap Permaisuri Sara Ratan yang begitu ketakutan berada pada ketinggian di atas awan ini. Memang dimaklumi, dan sudah diperhitungkan semua ini. Tapi untuk cepat sampai ke Desa Kali Ajir, hanya dengan Rajawali Putihlah satu-satunya. Dia juga tidak ingin mengambil resiko harus berhadapan dengan para prajurit Kerajaan Salinga.
“Sebentar kita mendarat, Gusti,” kata Rangga memberitahu.
“Oh!” hanya itu yang terlontar dari mulut Permaisuri Sara Ratan.
“Kita akan mendarat di perbatasan desa.”
Permaisuri Sara Ratan tidak menjawab. Membuka mata pun tidak berani. Seluruh tubuhnya terasa lemas bagaikan mati rasanya. Untuk bernapas pun terasa sulit. Wanita itu hanya diam tak mampu bergerak sedikit saja. Dia takut kalau jatuh dari ketinggian yang tidak tahu seberapa.
“Khraghk...!”
“Benar, Rajawali Putih. Desa di depan itu!”
“Khraaaghk!”
********************
TUJUH
Pertemuan yang mengharukan. Sukar untuk dikatakan, bagaimana bahagianya Permaisuri Sara Ratan mendapati putra tunggalnya masih hidup. Bahkan dalam keadaan sehat dan segar. Ibu dan anak itu sampai lupa pada orang-orang di sekitarnya, karena sibuk menumpahkan kerinduan dan kebahagiaan.
Sementara Rangga yang berada di ruangan itu, menggamit lengan Gurata untuk mengajaknya ke luar. Tanpa bicara sedikit pun, Gurata mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti keluar dari dalam rumah Ki Belabar, Kepala Desa Kali Ajir. Mereka langsung ke depan, dan duduk di tangga beranda depan rumah itu. Saat ini malam sudah tiba. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi beranda, tergantung di tengah langit-langit beranda depan ini.
“Aku menangkap ada sesuatu yang tidak wajar,” ujar Rangga setengah bergumam.
“Maksudmu?” Gurata belum bisa menangkap perkataan Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Aku menemukan beberapa kejanggalan dalam peristiwa ini. Natapraja telah membunuh semua emban dan pembantu pribadi Permaisuri Sara Ratan. Bahkan juga membunuh beberapa prajurit serta beberapa panglima dan pembesar kerajaan. Sepertinya dia memilih orang-orang yang menjadi korbannya,” Rangga mengungkapkan kecurigaannya.
“Benar! Dia juga selalu mengatakan hanya menjalankan tugas. Tapi tidak pernah memberitahu siapa yang memberi tugas. Itu kuketahui karena pernah bentrok dengannya sekali, sebelum aku ditangkap dan disiksa,” pelan suara Gurata.
“Gurata, kau lama hidup di dalam lingkungan istana, bahkan menjadi pengawal pribadi Permaisuri Sara Ratan. Tentunya kau tahu kalau Pendeta Seka Gora mempunyai anak angkat.”
“Tidak. Semua orang tahu kalau Pendeta Seka Gora tidak mempunyai anak angkat seorang pun.”
“Hm.... Dia mengakui kalau Natapraja adalah anak angkatnya. Kau pernah bentrok dengannya, tentu bisa mengenali jurus-jurusnya. Apa ada kesamaan dengan yang dimiliki Pendeta Seka Gora?” tanya Rangga kembali.
“Rasanya tidak...,” sahut Gurata setelah berpikir sejenak.
“Kau pernah melihat Natapraja sebelumnya di istana?” tanya Rangga lagi. Belum juga Gurata menjawab, Permaisuri Sara Ratan muncul bersama putranya, diikuti Ki Belabar serta putri dan istrinya. Rangga serta Gurata bergegas bangkit berdiri. Gurata membungkuk memberi hormat.
“Natapraja bukan apa-apa di dalam lingkungan istana. Bahkan belum pernah kulihat di lingkungan Kerajaan Salinga,” kata Permaisuri Sara Ratan.
Rangga menatap dalam-dalam wanita yang berdiri di samping Raden Mandaka. Pandangannya beralih pada Ki Belabar yang mengedipkan sebelah mata padanya.
“Gusti Permaisuri, hamba mohon ijin untuk berbicara sebentar dengan Ki Belabar,” ucap Rangga sopan.
Permaisuri Sara Ratan memandang laki-laki tua Kepala Desa Kali Ajir yang berada agak ke belakang di sebelah kanannya, kemudian mengangguk seraya memberikan senyum. Ki Belabar memberi hormat, lalu melangkah menghampiri Rangga. Dengan kerdipan matanya, Rangga membalikkan tubuh mengikuti laki-laki tua itu. Mereka terus berjalan melintas halaman depan yang cukup luas, dan baru berhenti setelah sampai di bawah pohon. Memang cukup jauh dari beranda depan rumah.
“Ada apa, Ki?” tanya Rangga.
“Ada sesuatu yang hendak kubicarakan secara pribadi denganmu, Rangga,” kata Ki Belabar.
“Hm.... Mereka bisa mencurigaimu, Ki,” Rangga memperingatkan.
“Tidak,” sahut Ki Belabar mantap.
Rangga melirik ke arah beranda. Tampak Permaisuri Sara Ratan duduk di kursi kayu didampingi putranya. Sedangkan Nyai Belabar dan putrinya serta Gurata hanya duduk bersimpuh di lantai beranda. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali berpaling menatap Ki Belabar.
“Semua yang akan kukatakan padamu sudah kuungkapkan lebih dulu pada Gusti Permaisuri Sara Ratan,” kata Ki Belabar lagi.
“Apa yang akan kau katakan padaku, Ki?” tanya Rangga.
“Tentang Natapraja.”
“Oh...!”
“Dia anak laki-lakiku, kakak Ayu Kumala.”
Rangga hampir tidak percaya mendengar pengakuan itu. Ditatapnya dalam-dalam laki-laki tua itu dengan sinar mata menyelidik. Namun yang ada di wajah Ki Belabar adalah kesungguhan dari pengakuannya tadi. Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mempercayai kalau Natapraja adalah anak Ki Belabar.
“Hampir dua purnama ini Natapraja tidak pernah kembali. Dia memang berpamitan padaku hendak mencari pengalaman. Aku sendiri tidak menyangka kalau semua urusan ini sampai melibatkannya,” kata Ki Belabar lagi.
“Ki.... Kalau memang benar Natapraja itu adalah anakmu, tentu Permaisuri Sara Ratan sudah mengenalnya saat melihatnya pertama kali, bukan? Kenapa sikap Permaisuri Sara Ratan seperti tidak pernah mengenalnya?” tanya Rangga ingin lebih jelas mengetahui.
“Gusti Permaisuri memang tidak kenal. Tidak ada yang lebih mengenal keluargaku, hanya...,” Ki Belabar memutuskan kalimatnya.
“Hanya apa, Ki?” desak Rangga.
“Rangga, aku mohon padamu. Jika memang Natapraja bersalah, serahkanlah padaku. Biar aku yang memberi hukuman yang pantas,” kata Ki Belabar mencoba membelokkan arah pembicaraan.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Ki,” Rangga mengingatkan.
“Sebaiknya tidak usah kuteruskan, Rangga. Tidak ada yang tahu. Bahkan Gusti Permaisuri sendiri tidak tahu. Terlebih lagi Raden Mandaka.”
“Jika kau percaya padaku, akan kupegang rahasiamu, Ki,” janji Rangga meyakinkan laki-laki tua itu.
“Aku sering mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku kagum, bahkan sering kukatakan pada Natapraja agar menjadi seorang pendekar tangguh sepertimu. Yaaah.... Aku percaya padamu, Rangga. Kau pasti bisa memegang rapi rahasia ini.”
“Siapa lagi yang tahu, Ki?” desak Rangga.
“Gusti Prabu Jayengrana,” sahut Ki Belabar setengah berbisik, seakan-akan takut kalau ada yang mendengar selain Pendekar Rajawali Sakti.
“Siapa...?!” Rangga terkejut tidak menyangka.
“Setiap tahun Gusti Prabu Jayengrana datang ke desa ini. Beliau selalu meminta padaku untuk menyediakan pemuda-pemuda berkemampuan cukup tinggi untuk dijadikan jawara istana, atau prajurit pilihan yang tangguh dan dapat dipercaya. Memang tidak banyak. Paling tidak dua atau tiga orang setiap tahunnya. Itulah sebabnya mengapa Gusti Prabu Jayengrana mengenal betul keluargaku, bahkan seluruh penduduk desa ini selalu mengaguminya. Gusti Prabu begitu dekat terhadap rakyat kecil. Bahkan kalau beliau datang, tidak pernah suka diperlakukan sebagaimana layaknya seorang raja. Gusti Prabu senang berbincang-bincang, makan, dan minum bersama kami. Itulah sebabnya aku dan seluruh warga desaku tidak percaya kalau Natapraja sampai hati menikam seorang raja yang begitu kami cintai,” pelan suara Ki Belabar.
“Ki, apa ada persoalan antara Natapraja dengan Prabu Jayengrana?” tanya Rangga.
Ki Belabar tidak langsung menjawab, tapi malah menatap dalam-dalam bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Pelahan kepalanya menggeleng lemah. Rangga menarik napas panjang, seakan hendak melonggarkan rongga dadanya yang mendadak saja terasa sesak.
********************
Sudah lewat tengah malam, tapi Rangga masih duduk di tangga beranda depan rumah Ki Belabar. Dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu masih diliputi berbagai macam pikiran akan pengakuan Ki Belabar. Sungguh tidak bisa dipahami, kenapa Natapraja berbuat sebodoh itu?
Memang seluruh penduduk Desa Kali Ajir ini begitu mencintai Prabu Jayengrana. Bahkan Ki Belabar sendiri hampir tidak mempercayai kalau putranya berbuat senekad itu. Setahu Ki Belabar, Natapraja tidak mempunyai persoalan apa pun dengan Prabu Jayengrana. Bahkan selalu mengatakan bahwa niatnya menjadi panglima di Kerajaan Salinga. Ingin diabdikan diri sepenuhnya pada Prabu Jayengrana dan seluruh keluarganya. Rasanya memang tidak mudah untuk dipercaya kalau pemuda itu menikam orang yang dikaguminya tanpa alasan yang pasti.
“Belum tidur, Kakang?”
“Oh...!” Rangga tersentak ketika tiba-tiba terdengar suara teguran dari belakangnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh, dan tersenyum begitu melihat Gurata sudah berdiri di belakangnya. Digeser tubuhnya untuk memberi tempat pada Gurata untuk duduk di sampingnya.
“Kelihatannya kau banyak pikiran, Kakang,” kata Gurata yang sudah membiasakan memanggil kakang pada Rangga.
“Mungkin,” desah Rangga.
“Kalau boleh kutahu, apa yang menjadi beban pikiranmu, Kakang. Barangkali saja bisa kubantu meringankannya,” kata Gurata lagi.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu menepuk pundak pemuda yang wajahnya terdapat luka garis memanjang membelah pipi itu. Meskipun sudah tidak ada lagi kumis dan jenggot, tapi wajah Gurata masih juga kelihatan angker. Apalagi ditambah luka di pipinya.
“Aku pergi dulu, Gurata,” kata Rangga seraya bangkit berdiri.
“Ke mana?” tanya Gurata ikut berdiri.
Rangga tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Ditepuknya pundak Gurata, lalu berpesan agar selalu menjaga keselamatan Permaisuri Sara Ratan dan putranya. Sebentar kemudian Rangga melangkah pergi. Gurata ingin mengikuti, tapi segera mengurungkan niatnya. Dia hanya memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti itu yang terus menjauh.
Gurata masih berdiri di tangga beranda, meskipun bayangan tubuh Rangga sudah tidak terlihat, ditelan kegelapan malam. Gurata menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dia berbalik hendak masuk kembali ke dalam rumah. Tapi pada saat itu, dari dalam keluar Raden Mandaka. Gurata bergegas membungkuk seraya merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
“Mau ke mana dia, Gurata?” tanya Raden Mandaka seraya menatap kegelapan malam.
“Ampun, Raden. Hamba tidak tahu,” sahut Gurata penuh rasa hormat.
“Gurata, siapkan kuda,” perintah Raden Mandaka.
“Raden...?!” Gurata tersentak kaget.
“Kau tidak mendengar perintahku, Gurata?!”
“Tapi, Raden...”
“Ini persoalan kerajaan, Gurata. Aku tidak ingin orang sebaik Rangga harus berkorban, sementara kita enak-enakan berada di sini!” tegas kata-kata Raden Mandaka.
“Siapkan kuda, Gurata,” tiba-tiba terdengar suara lembut dari belakang Raden Mandaka.
Gurata langsung membungkuk memberi hormat ketika seorang wanita muncul dari dalam rumah. Raden Mandaka bergegas membalik, kemudian merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Pemuda ini terkejut juga akan kemunculan ibunya.
“Aku senang dan bangga jika kau mampu mengatasi semua kemelut ini, Anakku,” ujar Permaisuri Sara Ratan. “Kau memang tidak boleh mengandalkan Rangga seorang diri.”
“Bunda...,” suara Raden Mandaka terputus.
“Berangkatlah! Bunda merestui perjuanganmu.”
Raden Mandaka menjatuhkan diri berlutut. Diambil dan diciumnya punggung tangan wanita yang usianya hampir setengah baya dan masih kelihatan cantik itu. Sedangkan Permaisuri Sara Ratan hanya tersenyum dengan mata berkaca-kaca, kemudian membangunkan anaknya dan membawanya berdiri. Raden Mandaka bangkit berdiri.
“Aku bangga...! Ternyata kau sudah dewasa, Anakku Aku yakin, ayahmu pasti bangga padamu,” ucap Permaisuri Sara Ratan, agak tersendat nada suaranya.
Raden Mandaka hanya diam saja dengan kepala tertunduk dalam. Memang diakui, sejak adanya peristiwa ini, sikapnya jadi jauh berubah. Tidak lagi manja dan tergantung pada orang lain. Rasanya, semua keangkuhan dan kemanjaan dirinya sudah lenyap. Raden Mandaka sendiri mengakui kalau perubahan sikapnya ini karena Pendekar Rajawali Sakti, yang secara tidak langsung telah menempanya menjadi seorang laki-laki muda yang berpikiran dewasa. Pantang surut dalam mengarungi kekerasan hidup di alam fana ini.
“Pergilah! Bunda merasa aman dan terlindung berada di desa ini. Desa yang menjadi sahabat sejati ayahmu,” ujar Permaisuri Sara Ratan.
“Nanda mohon pamit, Bunda,” ucap Raden Mandaka.
********************
Semalaman penuh Raden Mandaka memacu kudanya didampingi Gurata. Mereka sudah demikian jauh meninggalkan Desa Kali Ajir. Saat matahari terbit, mereka tiba di lereng bukit yang terjal dengan jurang menganga lebar. Raden Mandaka dan Gurata memper-lambat laju kudanya. Hati-hati sekali mereka mengendalikan kuda agar tidak tergelincir masuk ke jurang.
Raden Mandaka sengaja menyusuri jalan ini. Jalan yang dilalui ibunya ketika dibawa keluar dari istana oleh Natapraja dan sekitar seratus orang prajurit pengawal. Raden Mandaka tahu betul daerah ini, karena sering melaluinya kalau berburu bersama ayahnya. Mereka berhenti setelah melewati jalan terjal di bibir jurang.
“Raden, apakah memang ini jalan yang benar?” tanya Gurata ragu-ragu.
“Menurutmu bagaimana, Gurata?” Raden Mandaka malah balik bertanya.
“Entahlah, Raden. Hanya yang jelas, kalau kita terus, akan menemukan sungai kecil. Dan kalau menyeberang, sampai pada Hutan Jaran. Di tengah-tengah hutan itu terdapat puri tua yang telah lama tidak terpakai,” Gurata ternyata juga mengetahui persis seluk-beluk daerah ini.
“Ke sanalah tujuan kita, Gurata,” ujar Raden Mandaka mantap.
“Ke Puri Ganyong, Raden?!”
“Benar, kenapa? Kelihatannya kau terkejut sekali, Gurata.”
“Raden! Rasanya tidak mungkin kalau...,” suara Gurata terputus.
“Menurut Bunda Permaisuri, mereka menyeberangi sungai. Sudah pasti tujuannya adalah Puri Ganyong. Tidak ada tempat lain lagi di sana selain puri itu.”
“Tapi, untuk apa Natapraja membawa Gusti Permaisuri ke sana?” tanya Gurata seperti untuk dirinya sendiri.
“Itu yang harus kita ketahui, Gurata.”
Gurata terdiam. Dia teringat kata-kata Rangga semalam, sebelum berangkat meninggalkan Desa Kali Ajir bersama Raden Mandaka. Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan adanya keanehan dalam kemelut yang terjadi di dalam keluarga Istana Salinga. Dugaannya sendiri juga sama. Hanya saja mungkin ada perbedaan dalam hal pemikiran. Gurata juga tidak percaya kalau Prabu Jayengrana bisa terbunuh begitu mudah oleh Natapraja yang sampai saat ini belum jelas alasannya membunuh Prabu Jayengrana. Yang membuatnya selalu bertanya-tanya, adalah Pendeta Seka Gora.
Apa maksudnya mengakui Natapraja sebagai anak angkatnya? Padahal semua orang tahu kalau pendeta itu tidak mempunyai seorang anak angkat pun. Dan kemarin Natapraja bersama seratus prajurit hendak membawa Permaisuri Sara Ratan ke Puri Ganyong. Untuk apa...? Dan yang tidak bisa dimengerti, perintah itu datangnya dari Pendeta Seka Gora. Berbagai macam dugaan bersembulan keluar dari benak Gurata. Tapi sampai saat ini masih belum dipercayai kalau Pendeta Seka Gora tengah melancarkan makar untuk menjatuhkan tahta Prabu Jayengrana.
“Kau melamun, Gurata?” tegur Raden Mandaka.
“Oh!” Gurata terbangun dari lamunannya.
“Apa yang kau pikirkan, Gurata?” tanya Raden Mandaka.
“Tidak ada, Raden,” sahut Gurata.
“Ayo kita berangkat lagi,” ajak Raden Mandaka.
Mereka kembali menggebah kudanya. Tapi kali ini mengendalikannya pelahan-lahan. Sedangkan Gurata jadi terdiam saja tanpa berbicara sedikit pun. Pikirannya terus mengambang, berusaha mencari jawaban dari berbagai macam pertanyaan yang timbul di dalam kepalanya. Tanpa diketahuinya, Raden Mandaka selalu memperhatikan lewat sudut ekor matanya.
“Kau kelihatan gelisah sekali, Gurata,” tegur Raden Mandaka.
“Oh, tidak.... Tidak ada apa-apa, Raden,” Gurata tergagap.
Raden Mandaka kembali menghentikan laju kudanya. Dipandanginya Gurata dalam-dalam. Sedangkan yang dipandang hanya menundukkan kepala saja.
“Raden, boleh hamba memberi saran?” pelan dan terdengar ragu-ragu nada suara Gurata.
“Hm, apa saranmu?” tanya Raden Mandaka.
“Apa tidak lebih baik langsung ke istana saja, Raden. Hamba merasa di sana akan mendapatkan semua yang kita cari,” Gurata mengemukakan sarannya.
“Apa yang akan diperoleh di istana, Gurata?” nada suara Raden Mandaka terdengar seperti memancing.
“Terus terang, Raden. Sejak semula Paman Pendeta Seka Gora sudah hamba curigai. Mungkin darinya kita bisa memperoleh banyak yang kita butuhkan sekarang ini,” Gurata mengemukakan pendapatnya.
“Hm...,” Raden Mandaka menggumam dengan kening berkerut.
“Hamba yakin, kalau Pendeta Seka Gora adalah dalang dari semua kemelut ini, Raden,” lanjut Gurata.
“Kita akan langsung ke istana setelah ke Puri Ganyong,” Raden Mandaka memutuskan.
“Baiklah, Raden. Kalau begitu secepatnya kita berangkat agar tidak kemalaman di jalan.”
Mereka kembali menggebah kudanya, tapi kali ini memacunya dengan kecepatan tinggi. Tidak mempedulikan lagi jalan yang sukar untuk dilalui.
********************
DELAPAN
Sementara itu di angkasa, Rangga tengah melayang bersama Rajawali Putih tunggangannya. Burung raksasa itu berputar-putar di atas sebuah ban-gunan puri tua yang sudah runtuh. Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati setiap jengkal tanah di sekitar puri tua itu. Di sebelah kanan reruntuhan puri, terlihat sebuah bangunan yang tidak begitu besar terbuat dari belahan kayu dan beratapkan daun rumbia.
Tidak banyak yang dapat diperoleh. Suasana di sekitar puri tampak sunyi sepi, tanpa seorang pun terlihat. Tapi mendadak saja perhatian Pendekar Rajawali Sakti itu terpusat pada dua orang penunggang kuda yang berpacu cepat mendekati puri itu. Rangga hampir terbeliak begitu mengenalinya.
“Raden Mandaka..., mau apa dia ke sini?” desis Rangga dalam hati
Terlihat Raden Mandaka melompat turun dari punggung kudanya setelah sampai di depan rumah kecil di sebelah kanan reruntuhan puri. Pemuda itu langsung menerobos masuk ke dalam. Sedangkan Gurata masih menunggu di luar, dan tidak turun dari punggung kudanya. Tidak lama Raden Mandaka berada di dalam, kemudian ke luar lagi dengan satu lesatan ringan, langsung hinggap di atas punggung kudanya.
“Ada apa di dalam, Raden?” tanya Gurata.
“Kosong!” sahut Raden Mandaka seraya memutar kudanya. “Tapi aku menemukan beberapa potong pakaian Ayahanda Prabu.”
“Kalau begitu, pasti Gusti Prabu masih hidup, Raden!”
“Benar. Tapi di mana sekarang...?”
Gurata tidak bisa menjawab.
“Kita ke istana sekarang juga, Gurata!” seru Raden Mandaka.
Mereka segera menggebah kudanya. Debu berkepul di udara tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagaikan dikejar setan. Sementara Rangga yang berada di angkasa bersama Rajawali Putih, telah mendengar semua pembicaraan itu mempergunakan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Pendekar Rajawali Sakti itu meminta Rajawali Putih turun.
Sebentar saja burung raksasa itu sudah menukik turun, dan mendarat ringan tepat di depan pintu puri yang terbuka lebar. Hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah berada di dalam puri itu. Sebentar diamati keadaan di dalam puri. Memang tidak ada seorang pun di sini, tapi ada beberapa potong pakaian dari bahan sutra halus yang sangat indah. Di situ juga tergeletak sepotong baju merah.
“Hm...,” Rangga menggumam pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melesat ke luar, langsung hinggap di punggung burung rajawali raksasa.
“Kita ke Kerajaan Salinga, Rajawali Putih,” kata Rangga.
“Khraghk...!”
Bet!
Bagaikan kilat, Rajawali Putih melambung tinggi ke angkasa. Burung raksasa itu berkaokan beberapa kali, dan meluncur cepat menuju ke Kerajaan Salinga. Dari angkasa, Rangga dapat melihat dua penunggang kuda yang berpacu cepat membelah hutan. Kedua penunggang kuda itu tidak menyadari kalau di atas tengah meluncur seekor burung rajawali raksasa.
********************
Saat itu suasana di Istana Salinga tampak tenang tenteram, tak ada tanda-tanda kalau akan terjadi makar. Mungkin karena keluarga Prabu Jayengrana sudah tidak ada lagi di dalam istana. Namun suasana tenang seperti itu memang selalu terjadi setiap hari. Para prajurit penjaga melakukan tugasnya seperti biasa. Para pelayan dan pengurus istana juga melakukan tugasnya masing-masing. Tak ada yang kelihatan aneh. Semua berjalan seperti biasa.
Sementara itu Raden Mandaka dan Gurata sudah memasuki kota, dan terus cepat memacu kudanya menuju istana. Dua orang prajurit yang menjaga pintu gerbang, bergegas membuka pintu begitu melihat Raden Mandaka datang bersama Gurata. Tanpa menghentikan kecepatan lari kudanya, mereka menerobos masuk melalui gerbang yang terbuka lebar.
“Hup...!”
Raden Mandaka langsung melompat turun dengan sigapnya begitu mencapai depan undakan beranda depan istana yang megah itu. Dia berdiri tegak, dan pandangannya lurus tajam ke depan. Enam orang prajurit yang menjaga pintu masuk, serentak membungkuk memberi hormat. Raden Mandaka agak heran juga melihat suasana yang tenang dan tenteram.
“Selamat datang kembali ke istana, Raden Mandaka,” terdengar ucapan sambutan dari seorang pemuda berbaju putih ketat yang tiba-tiba saja muncul dari dalam.
“Natapraja...,” desis Raden Mandaka begitu mengenali orang yang menyambut kedatangannya bersikap ramah dan membungkuk memberi hormat.
“Silakan masuk, Raden. Gusti Prabu Jayengrana sudah tidak sabar menunggu,” ucap Natapraja lagi.
“Ayahanda Prabu...?!” Raden Mandaka seperti tidak percaya mendengarnya.
Bergegas putra mahkota itu melangkah masuk ke dalam diikuti Gurata. Sedikit pun Raden Mandaka tidak menghiraukan Natapraja yang menggeser menyingkir ke samping. Raden Mandaka terus saja melangkah cepat melewati ruangan depan yang luas. Dua orang prajurit penjaga pintu pembatas ruangan, membungkuk memberi hormat. Raden Mandaka terus saja menerobos masuk dengan langkah lebar-lebar. Di belakangnya membuntuti Gurata dan Natapraja.
Mendadak saja ayunan langkah Raden Mandaka terhenti saat melewati ambang pintu Balai Sema Agung. Tampak di atas singgasana, duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Terlihat anggun dan penuh kewibawaan. Laki-laki itu bangkit berdiri begitu melihat Raden Mandaka muncul. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, namun sepasang bola matanya berbinar agak berkaca-kaca.
“Ayahanda...,” desis Raden Mandaka setengah tidak percaya dengan penglihatannya.
Raden Mandaka seperti tengah bermimpi. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Di ruangan ini juga ada Ki Belabar bersama istri dan anak gadisnya. Juga ada pembesar, panglima, serta patih yang duduk bersimpuh di lantai.
Hanya Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya yang tidak kelihatan berada di ruangan luas dan indah ini. Pelahan-lahan Raden Mandaka mengayunkan kakinya diikuti pandangan berpasang-pasang mata disertai senyuman tersungging di bibir. Raden Mandaka berlutut dan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, memberi hormat pada ayahnya yang juga raja di Salinga ini.
“Bangunlah, Anakku,” berat dan sangat berwibawa suara Prabu Jayengrana.
Pelahan-lahan Raden Mandaka bangkit berdiri.
“Aku benar-benar gembira kau bisa kembali dengan selamat, Anakku,” ujar Prabu Jayengrana disertai senyuman merekah di bibir.
“Ayahanda Prabu! Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Raden Mandaka setelah pikirannya sedikit bisa tenang.
“Inilah yang dinamakan permainan hidup, Anakku,” sahut Prabu Jayengrana seraya duduk kembali di singgasananya.
“Permainan hidup...?” Raden Mandaka tidak mengerti.
“Kau calon raja, Anakku. Seorang calon pemimpin, terlebih lagi jika sudah menjadi pemimpin, harus peka terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungannya. Kepekaan yang tajam disertai tindakan tegas dan terencana, akan menyelamatkan kehancuran diri dan seluruh negeri,” Prabu Jayengrana mencoba menjelaskan.
“Nanda belum paham, Ayahanda Prabu.”
“Ketahuilah, Anakku. Beberapa waktu yang lalu, aku mencium adanya gelagat pemberontakan dari orang-orang terdekat yang kupercayai dan kuberikan kekuasaan penuh. Sebelum percaya, maka harus kubuktikan kebenarannya sebelum mengambil tindakan...,” Prabu Jayengrana berhenti sebentar menarik napas panjang. “Tidak sedikit dari gerombolan pemberontak yang menyusup ke dalam istana. Bahkan sudah mempengaruhi sebagian prajurit, panglima, serta beberapa patih dan pembesar kerajaan. Bahkan, sampai para emban dan pelayan. Justru mereka itulah kaum pemberontak. Mereka merencanakannya secara rapi, dan tinggal menunggu waktu saja. Dan aku mencium semua itu. Aku berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului. Yaaa..., dengan bantuan Natapraja semuanya bisa terlaksana. Aku memerintahkan Natapraja untuk melenyapkan pemberontak-pemberontak itu. Memang tidak sia-sia. Akhirnya rencana mereka bisa dihindari sebelum terjadi. Tapi sayang..., otak semua maksud buruk itu berhasil melarikan diri.”
“Apakah orang itu Pendeta Seka Gora, Ayahanda Prabu?” Raden Mandaka mulai bisa memahami.
“Kau cepat sekali tanggap, Anakku. Memang dialah orangnya,” Prabu Jayengrana tersenyum lebar.
“Ayahanda Prabu, ijinkan Ananda untuk mengejar dan menghukum pengkhianat itu,” pinta Raden Mandaka mantap.
“Aku bangga padamu, Anakku. Pergilah! Bawa prajurit secukupnya, karena Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya juga memiliki ratusan prajurit berkemampuan cukup tinggi.”
“Nanda mohon diri, Ayahanda Prabu.”
“Raden, ijinkan hamba ikut serta,” selak Natapraja.
Raden Mandaka berpaling menatap Natapraja dalam-dalam. Sejak tadi dia seperti melupakan orang yang selama ini dianggapnya jadi biang keladi kerusuhan di Kerajaan Salinga. Raden Mandaka menepuk pundak pemuda itu, dan kemudian memberi hormat pada Prabu Jayengrana. Tanpa berbicara lagi, putra mahkota itu bergegas melangkah meninggalkan ruangan Balai Sema Agung, diiringi senyum dan pancaran sinar mata penuh kebanggaan dari Prabu Jayengrana.
********************
Sementara itu jauh di luar perbatasan kotaraja sebelah utara, terlihat satu pertempuran dahsyat. Di satu pihak adalah prajurit Kerajaan Salinga, sedangkan pihak lain adalah orang-orang berpakaian serba hitam yang jumlahnya ratusan. Di antara pertarungan itu, terlihat Panglima Pramoda tidak henti-hentinya membakar semangat para prajuritnya.
Namun jumlah yang tidak berimbang dan kurangnya kemampuan bertempur, membuat para prajurit Salinga jadi kedodoran. Mereka kini hanya mampu bertahan sambil menunggu bantuan datang. Jelas sekali kalau orang-orang berbaju hitam yang dipimpin langsung Pendeta Seka Gora dan Trunggajaya menguasai medan pertempuran.
Jerit pekik kematian dan teriakan-teriakan pertempuran berbaur menjadi satu. Sudah dapat dipastikan, tidak lama lagi, prajurit Kerajaan Salinga akan dapat dihancurkan. Sudah tidak terhitung lagi, berapa korban yang berjatuhan. Namun demikian semangat para prajurit itu rupanya tidak juga mengendur.
Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba saja dari angkasa meluruk sebuah bayangan putih keperakan yang sangat besar luar biasa! Bayangan itu langsung menukik menyambar orang-orang berbaju hitam. Sebelum ada yang menyadari, mendadak saja berkelebat lagi sebuah bayangan putih disusul kilatan cahaya biru berkilau. Jerit dan pekik melengking terdengar dari orang-orang berbaju hitam.
“Jagat Dewa Batara! Apakah aku tidak salah lihat?” Panglima Pramoda mendesis tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Panglima Pramoda memerintahkan para prajuritnya untuk mundur. Tanpa menunggu perintah dua kali, prajurit-prajurit Salinga yang tersisa berlompatan mundur. Mereka juga terpana dengan mata terbeliak lebar melihat seekor burung rajawali putih raksasa berkelebatan menyambar orang-orang berbaju hitam. Apalagi ditambah seorang pemuda berbaju rompi putih yang mengamuk membantai para pemberontak itu menggunakan pedangnya yang bersinar biru.
Sedangkan di tempat lain, tampak Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya terbeliak keheranan menyaksikan semua itu. Belum pernah mereka menyaksikan seekor burung raksasa yang bisa dikendalikan seseorang, dan kini mengamuk memporak-porandakan anak buahnya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari separuhnya yang tewas bergelimang darah.
“Mundur...!” seru Pendeta Seka Gora begitu tersadar dari keterpanaannya.
Cepat sekali orang-orang berbaju hitam itu berlompatan mundur. Dan kini pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak di tengah-tengah, antara para prajurit Salinga dengan Pendeta Seka Gora bersama anak buahnya yang semuanya mengenakan pakaian serba hitam. Sedangkan di angkasa, terlihat Rajawali Putih mengepak-ngepakkan sayapnya.
“Rajawali! Kau tunggu saja di atas,” kata Rangga pelan.
“Khraghk...!”
Rajawali Putih membumbung tinggi ke angkasa, hingga tidak tampak oleh pandangan mata biasa. Warnanya yang putih keperakan tersamar oleh awan yang menggumpal menghalangi sengatan cahaya matahari.
Trek!
Rangga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Dia berdiri tegak menatap tajam Pendeta Seka Gora yang didampingi Patih Trunggajaya. Tatapan matanya begitu tajam dan memancarkan sinar kebencian yang amat sangat. Pendekar Rajawali Sakti pun seorang raja di Karang Setra, dan begitu benci pada pemberontak. Sebagai raja, pernah juga mengalami rongrongan pemberontak. Baginya tidak ada ampun bagi pemberontak yang biasanya selalu menyengsarakan rakyat kecil dan tidak tahu apa-apa.
“Kisanak, siapa kau? Kenapa ikut campur urusanku?!” bentak Pendeta Seka Gora.
“Aku Rangga, sahabat Raden Mandaka. Aku hanya tidak suka kau mencoba menggulingkan tahta!” dingin jawaban Rangga.
“Ha ha ha...! Walaupun kau seorang Dewa, semua penghalang harus mampus!” Pendeta Seka Gora tertawa terbahak-bahak.
“Kita lihat, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka! Atau nanti malah sebaliknya. Kau bakal meringkuk di dalam tahanan, menunggu keputusan Prabu Jayengrana!” dingin nada suara Rangga.
“Phuih! Omonganmu membuatku muak, bocah!” geram Pendeta Seka Gora.
Baru saja Pendeta Seka Gora hendak melompat menerjang, Patih Trunggajaya sudah keburu mencegah dengan menahan pundaknya. Pendeta Seka Gora berpaling menatap Patih Trunggajaya.
“Biar aku yang bereskan bocah sombong itu, Paman,” kata Patih Trunggajaya.
“Hm...,” Pendeta Seka Gora menggumam tidak jelas, tapi bergerak mundur juga tiga langkah.
Patih Trunggajaya langsung melompat sambil menghunus pedangnya. Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu segera menyerang Pendekar Rajawali Sakti menggunakan jurus-jurus pedang yang cepat dan dahsyat. Pedang berwarna keperakan itu berkelebatan cepat memperdengarkan suara bersiulan memekakkan telinga.
Sementara Rangga hanya menghadapi menggunakan jurus-jurus pendek yang ringan. Sengaja digunakan jurus tanpa membalas untuk mempelajari sampai di mana tingkat kepandaian Patih Trunggajaya ini. Dan Rangga tersenyum tipis, lalu berteriak keras. Seketika tubuhnya melenting ke udara.
“Hiyaaat...!”
Dengan mempergunakan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’, Rangga menyerang dari atas, tertuju langsung ke arah kepala lawannya. Kedua kakinya bergerak cepat bagai sepasang cakar rajawali. Sedangkan tangannya terentang lebar membentuk gerakan melingkar mengepak bagai sayap rajawali. Begitu cepatnya gerakan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’, sehingga Patih Trunggajaya tidak sempat lagi menyadari apa yang akan terjadi.
“Awas...!” teriak Pendeta Seka Gora memperingatkan.
Tapi terlambat...
Des! Des! Prak...!
“Aaa...!” Patih Trunggajaya menjerit melengking.
Dua kali tendangan beruntun mendarat di kepala Patih Trunggajaya, membuat laki-laki itu menjerit nyaring memegangi kepalanya yang pecah! Dan sebelum Patih Trunggajaya ambruk, Rangga sudah mendarat di tanah. Kembali dilontarkan satu tendangan keras menggeledek dibarengi pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna.
“Hiaaat...!” Bugk!
“Aaa...!” untuk kedua kalinya, Patih Trunggajaya menjerit melengking tinggi.
Tubuhnya terlontar jauh ke belakang, dan tewas seketika sebelum ambruk ke tanah dengan kerasnya. Darah mengucur dari kepala dan dada yang pecah dihajar tendangan maut Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga berdiri tegak bersikap menantang. Pandangan matanya tajam menusuk langsung ke arah Pendeta Seka Gora.
“Aku beri kesempatan kau menyerah, Pendeta Seka Gora,” kata Rangga dingin.
“Phuih!” Pendeta Seka Gora menyemburkan ludahnya. Pendeta Seka Gora menggerakkan tangannya, memberi isyarat orang-orangnya untuk bergerak menyerang. Tapi belum juga orang-orang berpakaian ser-ba hitam itu bergerak, mendadak terdengar suara gegap gempita dari kejauhan. Tampak debu mengepul membumbung tinggi di udara. Raut wajah Pendeta Seka Gora tampak berubah. Demikian pula orang-orang berpakaian serba hitam yang berada di belakangnya. Mereka kelihatan gelisah.
Tapi lain lagi bagi Panglima Pramoda dan para prajuritnya yang tampak gembira mendengar suara gaduh gegap gempita itu dari arah belakangnya. Dan yang pasti itu pasukan prajurit Kerajaan Salinga yang datang hendak menggempur para pemberontak pimpinan Pendeta Seka Gora.
Suara gemuruh dan gegap gempita itu ternyata datang dari pasukan Raden Mandaka yang didampingi Natapraja. Mereka langsung memenuhi tempat itu seraya menyiapkan senjata masing-masing. Panglima Pramoda menghampiri Raden Mandaka, lalu membungkuk memberi hormat. Ditatapnya Natapraja yang berada di samping putra mahkota itu.
“Raden...,” terputus suara Panglima Pramoda.
“Dia bukan musuh, Paman Panglima. Justru Natapraja inilah yang menyelamatkan Prabu Jayengrana dan seluruh rakyat Salinga,” tegas Raden Mandaka bisa memahami perasaan Panglima Pramoda.
“Tapi, dia anak angkat Pendeta Seka Gora, Raden.”
“Hanya untuk menyelidiki kebenaran berita yang didengar Prabu Jayengrana. Dan itu memang tugas yang diberikan Ayahanda Prabu. Penikamannya juga hanya sandiwara saja. Apakah kau lupa bahwa Ayahanda Prabu memiliki aji ‘Karang Saketi’, sehingga pisau yang ditikamkan tidak sampai menembus dada? Semua itu siasat saja untuk menghentikan rencana pemberontakan Pendeta Seka Gora,” jelas Raden Mandaka.
“Hamba belum mengerti, Raden.”
“Akan kujelaskan nanti, yang penting sekarang, kita harus menghancurkan mereka lebih dahulu. Dan kalau bisa, menangkap hidup-hidup.”
“Hamba, Raden,” Panglima Pramoda membungkuk memberi hormat.
Sementara itu Pendeta Seka Gora sudah mengatur orang-orangnya untuk mengadakan pertempuran. Dan begitu Pendeta Seka Gora memberi isyarat, anak buahnya yang semuanya berpakaian hitam, langsung berteriak gegap gempita. Mereka berlarian sambil menghunus senjata.
“Serang...!” seru Raden Mandaka memberi perintah.
Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Pekik pertempuran dan jerit melengking kematian berbaur menjadi satu dengan teriakan perintah pembangkit semangat. Denting senjata mewarnai hiruk-pikuk di lapangan luas sebelah utara Kerajaan Salinga ini.
Tubuh-tubuh berlumuran darah mulai menggelimpang. Meskipun jumlah pasukan prajurit yang setia kepada Prabu Jayengrana lebih banyak dan berlipat ganda, namun rupanya orang-orang Pendeta Seka Gora tidak bisa dianggap enteng. Mereka mempunyai kemampuan bertempur yang lebih tinggi daripada para prajurit Kerajaan Salinga. Tidak heran, kalau dalam waktu yang tak lama, sudah banyak prajurit yang berguguran memperdengarkan jeritan melengking tinggi.
Sementara Rangga hanya memperhatikan saja dari jarak yang tidak seberapa jauh. Perhatiannya terpusat pada Pendeta Seka Gora yang tidak henti-hentinya mengamuk sambil berteriak-teriak memberi semangat anak buahnya. Entah sudah berapa nyawa melayang di tangan laki-laki gundul berjubah kuning itu. Dan tampaknya para prajurit Kerajaan Salinga tidak mampu menandingi kesaktian Pendeta Seka Gora.
“Hm.... Kalau begini terus, bisa habis mereka terbantai,” gumam Rangga.
Bagaikan seekor burung rajawali, Rangga melompat ke arah Pendeta Seka Gora.
“Mundur semua...!” teriaknya keras.
Satu pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna dilepaskan Rangga ke arah dada Pendeta Seka Gora. Namun laki-laki gundul berjubah kuning itu dapat mengelakkannya dengan manis sekali. Bahkan mampu membalas lewat satu tendangan keras menggeledek.
“Hiyaaa...!”
Rangga tidak mengelakkan tendangan itu, tapi malah mengayunkan tangan kanannya. Disampoknya kaki Pendeta Seka Gora yang melayang deras berkekuatan tenaga dalam penuh.
Trak!
Terdengar bunyi berderak begitu kaki dan tangan beradu keras. “Akh!” Pendeta Seka Gora memekik keras tertahan.
Laki-laki gundul berjubah kuning gading itu bergegas melentingkan tubuhnya ke atas, namun Rangga tidak membiarkannya begitu saja. Dengan kecepatan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.
Des! Bug!
Kembali Pendeta Seka Gora memekik keras melengking tinggi. Tubuh tua itu melayang deras bagai daun kering tertiup angin. Sebongkah batu cadas yang cukup besar, hancur berkeping-keping terlanda tubuh kurus tua berjubah kuning gading itu. Namun Pendeta Seka Gora masih mampu bangkit kembali, meskipun tubuhnya limbung. Tampak darah mengucur dari mulutnya.
“Setan keparat! Hiyaaa...!”
Sambil menggeram marah, Pendeta Seka Gora melompat menerjang Rangga yang sudah siap meneri-ma serangan itu. Tak sedikit pun Rangga bergeming, tapi juga menyiapkan kepalan tangannya ke depan. Dan secepat dia menarik tangannya ke belakang, secepat itu pula menghentakkannya ke depan.
“Hiyaaa...!”
Satu benturan keras tidak dapat dihindari lagi. Benturan yang menimbulkan suara ledakan dahsyat bagai guntur di siang bolong. Akibatnya pertempuran yang berlangsung, terhenti seketika. Tampak Pendeta Seka Gora melambung tinggi ke angkasa, sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh.
Pada saat laki-laki tua gundul berjubah kuning gading itu melayang di angkasa, terlihat seekor burung rajawali berbulu putih keperakan menukik deras menyambar dengan cakarnya yang besar dan kokoh.
“Khraghk...!”
“Bawa dia turun, Rajawali Putih!” seru Rangga.
“Khraghk!”
Rajawali Putih menukik deras, lalu mendarat lunak di tanah, tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dilemparkan tubuh Pendeta Seka Gora hingga bergulingan di tanah. Laki-laki tua itu berhenti tepat di depan kaki Rangga.
“Ohhh...,” Pendeta Seka Gora merintih lirih.
Darah mengucur deras dari mulut, hidung dan telinganya. Sedangkan dada sebelah kiri, melesak masuk ke dalam. Pendeta Seka Gora menggeliat berusaha bangkit, tapi malah meringis dan kembali menggelimpang tidak berdaya. Seluruh tulang dada dan punggungnya remuk, membuatnya tidak mampu bangkit berdiri lagi.
“Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, Pendeta Seka Gora,” kata Rangga dingin.
“Ugh...! Keparat kau, Rangga! Tunggu pembalasanku!” umpat Pendeta Seka Gora seraya meringis menahan sakit.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu menoleh pada Raden Mandaka. Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu memerintahkan pada Panglima Pramoda untuk meringkus Pendeta Seka Gora. Sementara para prajurit sudah meringkus anak buah Pendeta Seka Gora yang langsung menyerah begitu pemimpinnya takluk. Raden Mandaka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku tidak tahu, apa yang harus kuucapkan padamu, Kakang,” kata Raden Mandaka.
“Berjanji untuk menjadi pemimpin yang baik, adil, dan bijaksana,” kata Rangga.
“Terima kasih, Kakang. Kau telah membuka mata hatiku,” ucap Raden Mandaka.
Rangga menepuk pundak pemuda itu, kemudian melompat naik ke punggung Rajawali Putih tanpa berbalik lagi. Dan seketika itu juga, Rajawali Putih melesat tinggi ke angkasa. Raden Mandaka masih berdiri memandang kepergian Rangga bersama tunggangannya, seekor burung rajawali raksasa.
“Aku berjanji, tidak akan mengecewakan harapanmu, Kakang Rangga...” gumam Raden Mandaka pelahan.
SELESAI