Prahara Gadis Tumbal

Cerita silat pendekar rajawali sakti episode prahara gadis tumbal
Sonny Ogawa
Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Ebook by Syauqy_arr

Episode
Prahara Gadis Tumbal


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

UDARA malam terasa panas. Angin seolah-olah enggan bertiup. Langit merah merona bagai membakar. Tanda malam ini akan turun hujan lebat. Keadaan yang seperti tak bersahabat ini, tidak membuat Rangga gundah. Pendekar Rajawali Sakti ini tampak duduk tenang, bersandar pada sebuah batu besar dan beralaskan rerumputan tebal bagai permadani terhampar. Matanya menerawang jauh, menatap sebuah desa yang terlihat sepi dan tenang.

Menurut seorang pencari kayu yang ditemui tadi siang, desa itu bernama Pasir Batang. Tampak rumah rumah penduduk yang hanya diterangi pelita dari buah Jarak, berjajar rapi sepanjang jalan utama desa itu. Pandangan Rangga terhenti pada sebuah rumah yang lebih besar dan lebih terang daripada rumah rumah lainnya. Empat buah obor terpancang di setiap sudut pekarangan depan.

Lewat pintu dan jendela yang terbuka, terlihat bagian dalam rumah yang ramai dan terang benderang. Mungkin rumah itu milik seorang saudagar kaya atau Kepala Desa yang tengah mengadakan pesta. Beberapa orang teriihat berjaga-jaga di sekelilingnya. Dugaan Pendekar Rajawali Sakti memang hampir benar. Rumah besar yang kini jadi perhatiannya itu, milik Kepala Desa Pasir Batang.

Tapi di sana bukan sedang mengadakan pesta, melainkan semacam sidang. Beberapa pemuka dan tokoh terpandang desa Pasir Batang ber-kumpul atas undangan Ki Brajananta, Kepala Desa Pasir Batang. Di ruangan yang cukup luas itu, Ki Brajananta duduk dengan penuh wibawa. Matanya agak sayu memandangi tamu-tamu.

Seorang laki-laki tua berpakaian serba puth duduk di sampingnya. Dialah Ki Gandara, seorang guru besar Padepokan Pasir Batang. Wajahnya bersih cerah memantulkan kewibawaan. Di depan mereka masih ada enam orang lagi.

"Tujuh hari lagi bulan purnama yang ke tujuh," kata Ki Brajananta perlahan, agak bergumam.

Enam orang yang duduk di depan Ki Brajananta memandang ke arahnya. Mereka telah mampu menebak arah pembicaraan itu. Suaru pembicaraan yang selalu ada setiap tujuh purnama.

"Tujuh hari bukan waktu yang lama, sedang kita belum siap apa-apa," kata Ki Brajananta lagi.

"Hal ini telah berlangsung lama, Ki. Mengapa Ki Brajananta murung dan gelisah?" tanya Sawung Bulu yang duduk tepat di hadapan Kepala Desa Pasir Batang itu.

"Apa kau tak tahu, Sawung Bulu? Untuk purnama kali ini, Dewi Purmitalah yang harus dipersembahkan!" Bangka Putung menyelak.

"Benar begitu, Ki?" Sawung Bulu terkejut sekali. Matanya melotot dan menyala tajam.

Ki Brajananta mengangguk lemah.

"Hhh...!" Sawung Bulu mendesah panjang.

Semua mata menatap Ki Brajananta dan Sawung Bulu bergantian. Mereka semua tahu bahwa Dewi Purmita putri tunggal Ki Brajananta adalah kekasih Sawung Bulu, murid andalan Padepokan Pasir Batang.

"Ini tidak boleh terjadi! Kita harus melawan!" tiba-tiba Sawung Bulu berkata keras.

"Sawung Bulu!" Sangkala tak kalah keras, sambil berdiri dia menggebrak meja. Mukanya merah. Matanya tajam menatap keponakannya. Sawung Bulu balas menatap tajam pula.

Darah Sawung Bulu mendidih. Hatinya berontak ketika mendengar Dewi Purmita akan dijadikan korban persembahan bagi siluman yang menamakan diri, Raja Dewa Angkara.

Sebenarnya bukan hanya desa Pasir Batang saja yang dilanda kegelisahan macam ini. Sebelumnya, suatu desa yang bersebelahan dengan desa Pasir Batang, pernah mencoba menentang tradisi pengorbanan satu gadis perawan setiap tujuh purnama. Tetapi akibatnya, desa itu hancur rata dengan tanah. Tak seorang pun dibiarkan hidup. Gadis-gadis perawan lenyap tanpa bekas. Kejadian itu membuat desa-desa lain di sekitar kaki gunung Balakambang, berpikir seribu kali jika berani menentang kehendak Raja Dewa Angkara.

Kata-kata Sawung Bulu yang dilandasi oleh hari panas dan gejolak darah muda itu, memang membuat semua orang yang hadir di situ terkejut. Lebih lebih Sangkala, paman Sawung Bulu. Tak terkecuali Ki Gandara, guru sekaligus pengganti orang tua Sawung Bulu. Tetapi sikapnya sangat tenang. Matanya hanya menatap tajam pada murid kesayangannya itu.

"Aku akan menantang si keparat Raja Dewa Angkara itu! Kalau dia mampu mengalahkanku, maka aku baru rela Dewi Purmita menjadi korban persembahan!" lantang dan tegas suara Sawung Bulu.

"Edan! Apa kau sudah gila, Sawung Bulu?" Sangkala mendehem.

"Justru aku waras, maka aku berani menantang!" sahut Sawung Bulu tetap tegas suaranya.

"Jadi, kau anggap kami-kami ini tidak waras, heh?!"

"Aku tidak mengatakan begitu, Paman." Sawung Bulu mengalihkan pandangan pada gurunya.

Sementara Sangkala kembali duduk setelah tangannya ditarik lembut oleh Rangkuti yang sejak tadi duduk diam di sebelah Sangkala.

"Kau tahu, apa akibatnya menentang Raja Dewa Angkara?" masih terdengar lembut, tenang, dan berwibawa suara Ki Gandara.

"Aku tahu, Ki," sahut Sawung Bulu. "Aku rela melepaskan nyawa demi kebenaran."

"Aku bangga mendengarnya, Sawung Bulu. Hanya saja kau salah menempatkan sikap satriamu."

Semua hening. Sawung Bulu perlahan kembali duduk Rasanya semua sungkan kalau Ki Gandara sudah ikut bicara. Tak ada suara yang terdengar.

"Tak pernah aku memberi pelajaran tentang pemikiran yang pendek dan mementingkan diri sendiri. Kau bisa menentang Raja Dewa Angkara. Tapi, cobalah pikirkan akibat yang lebih luas. Bukan kau saja yang akan terbunuh, bahkan seluruh penduduk desa ini akan musnah akibat kecerobohanmu. Ingat, Sawung Bulu. Kau dan kita semua berdiri demi kepentingan penduduk desa Pasir Batang yang kita cintai," ujar Ki Gandara dengan penuh wibawa.

"Tapi, Ki...!" Sawung Bulu coba membantah.

"Kau tidak rela Dewi Purmita jadi korban persembahan?" potong Ki Gandara.

Sawung Bulu hanya menatap saja. Hatinya memang tidak rela kekasihnya Jadi korban persembahan iblis itu.

"Lihatlah Ki Brajananta, Sawung Bulu. Dewi Purmita itu putri beliau. Sudah tentu kasih sayang dan cintanya melebihimu. Dia pun tak rela putrinya jadi korban persembahan, seperti halnya orang-orang tua lain yang anak gadisnya jadi korban. Kita semua tak rela, sedih, dan ingin berontak. Namun keselamatan penduduk Pasir Batang di atas segala-galanya. Kita masih punya kekuatan dengan mengekang hawa marah, walaupun sakit Kau mengerti Sawung Bulu?" panjang lebar Ki Gandara memberikan pengertian kepada muridnya yang tengah dilanda emosi.

Sawung Bulu terdiam. Dirundukkan kepalanya. Kata-kata lembut dan penuh wibawa itu menyentuh perasaannya. Hatinya merasa kerdil berhadapan dengan Ki Gandara. Sungguh picik mata hatinya jika tidak bisa melihat keadaan sekitar. Tetapi hatinya tetap merintih dan menangis. Sawung Bulu tak rela dan ingin berontak, tetapi akibatnya seluruh penduduk Pasir Batang akan merasakan murka Raja Dewa Angkara.

Sawung Bulu semakin tak bergairah mengikuti pembicaraan ini. Pikirannya kalut dan hanya tertuju pada Dewi Purmita tercinta. Tujuh hari lagi gadis itu akan jadi korban persembahan Raja Dewa Angkara. Malam pun merambat semakin larut. Pembicaraan terus berlangsung walau tersendat sendat.

********************

Rangga menggeliatkan tubuhnya beberapa kali. Matahari yang menyorot hangat dari ufuk Timur, membangunkannya dari tidur nyenyak malam tadi. Matanya langsung menatap ke depan, ke arah desa Pasir Batang. Dengan ilmu Pembilah Suara, dia telah mendengar semua pembicaraan di rumah Ki Brajananta semalam.

Pendekar Rajawali Sakti lalu berdiri, dan kembali menggeliatkan tubuhnya. Dia menguap lebar sambil menggosok-gosokkan matanya. Setelah merapikan pakaian, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menuju ke jalan utama desa Pasir Batang.

"Tujuh hari lagi... hm. Bukan waktu yang lama," gumam Rangga sambil melangkah.

Beberapa penduduk sudah mulai menuju ladang mereka. Pagi ini kehidupan di desa Pasir Batang berjalan normal seperti tidak akan terjadi apa-apa. Mereka seperti sudah terbiasa menghadapi peristiwa persembahan korban untuk Raja Dewa Angkara. Peristiwa yang sudah bertahun-tahun berlangsung. sehingga menjadi tradisi yang tak terelakkan lagi.

"Uh... Lapar juga. Semalam aku nggak makan! Di mana ada kedai makan, ya?" Rangga bergumam sendiri sambil menepuk-nepuk perutnya. Matanya jelalatan mencari-cari kalau kalau ada kedai makan yang buka di pagi buta begini.

Agak kesal juga dia, sepanjang jalan yang dilewati tak nampak juga kedai makan Sedangkan perutnya terus berkeruyuk minta diisi. Rangga menggerutu sendirian.

"Maaf. Pak. Bisa bertanya?" Rangga mencegat seorang laki-laki setengah baya yang berpapasan denganriya.

"Oh, iya. Boleh, Den," laki-laki setengan baya itu mengamati Rangga dari ujung kepala sampai ke ujung rambut.

"Apa ada kedai makan di desa ini, Pak?" tanya Rangga.

"Oh, ada. Ada, Den. Itu di ujung tikungan jalan ini, tepat di bawah pohon kenari."

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama."

Rangga menganggukkan kepalanya, lalu bergegas menuju ujung tikungan jalan. Dia tak menyadari kalau laki-laki setengah baya yang ditanyainya tadi, masih terpaku memperhatikan. Seseorang datang mendekati laki-laki setengah baya itu. Sedang Rangga masih terus melangkah.

"Siapa anak muda itu, Pak Bolang?"

"Oh!" laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Pak Bolang itu terkejut "Bikin kaget saja kau. Ujang!"

"Kelihatannya dia bukan orang desa kita ya, Pak?" Ujang setengah bergumam.

"Iya, seperti pengembara," sahut Pak Bolang.

"Cari siapa dia?"

"Kedai makan," sahut Pak Bolang. "Ah, sudahlah! Nanti kesiangan kita ke ladang."

Kedua laki-laki itu melangkah beriringan. "Tujuh hari lagi, purnama ya, Pak!" Ujang berkata setelah lama terdiam.

"Iya, purnama yang ke tujuh," balas Pak Bolang pelan.

"Siapa ya, yang kira-kira jadi korban persembahan nanti?"

"Yang jelas bukan keluargaku. Aku tidak punya anak gadis lagi. Semuanya sudah menikah," Pak Bolang merasa bersyukur karena tak ada seorang pun dari keluarganya yang jadi korban

"Lama-lama bisa habis gadis-gadis di desa ini."

"Ya sudah, jangan dipikirkan, Jang! Kita sih bekerja saja..." ucap Pak Bolang berjalan pergi.

Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti duduk menghadap meja yang penuh dengan makanan dan minuman. Makannya tenang, tapi sudut matanya sejak tadi memperhatikan dua pemuda yang duduk tak jauh dari mejanya.

Mereka adalah murid-murid Padepokan Pasir Batang Yang mengenakan pakaian serba putih dan ketat, tak Iain adalah Sawung Bulu. Sedangkan satunya mengenakan baju ketat pula berwama kuning gading Di pinggang masing-masing terselip sebuah tongkat pendek, dengan cincin emas di tengahnya. Rangga memang tak kenal mereka. Namun pembicaraan dua pemuda itu sangat menarik perhatiannya.

"Apa pun yang terjadi, aku harus gagalkan upacara iblis itu!" suara Sawung Bulu agak tertekan. "Kau boleh tak menyetujui tekadku, Badara. Tapi aku perlu teman untuk menumpas Raja Dewa Angkara."

"Kau sudah bicara pada guru?" tanya Badara.

"Percuma, ayahmu tak akan pernah menyetujui. Apalagi Pamanku. Jelas dia menentang keras!"

"Memang sulit menyetujui niat baikmu, Sawung. Aku yakin semua orang tidak akan mendukungmu."

"Mereka terlalu pasrah pada nasib. Padahal, jika kita mau bersatu, iblis itu takkan berpikir dua kali pada desa kita. Toh, mereka juga manusia biasa seperti kita. Apa yang harus ditakuti?"

"Raja Dewa Angkara sangat sakti. Lawan kaki tangannya saja, seluruh murid Padepokan belum tentu menang. Kau ingat peristiwa di desa Kenanga? Desa itu memiliki juga Padepokan yang terkenal dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Tetapi dalam satu malam saja, desa itu hancur karena menentang korban persembahan gila itu! Apalagi kita yang hanya mengandalkan Ayahanda Guru Gandara? Aku rasa sia-sia saja usahamu, Sawung..."

Sawung Bulu menarik nafas panjang. Dan memang ada benarnya juga kata-kata Badara itu. Akankah desa Pasir Batang harus hancur juga, hanya karena satu orang merasa tidak rela kekasihnya dijadikan korban persembahan Raja Dewa Angkara? Hanya satu orang yang diselamatkan, tapi mengorbankan seluruh penduduk desa. Tidak! Sawung Bulu menggelengkan kepalanya.

Sawung Bulu tak ingin seluruh penduduk menjadi korban. Tetapi dia juga tak rela Dewi Purmita kekasihnya itu jadi korban. Sawung Bulu benar-benar seperti makan buah simalakama. Serba salah.

"Aku mengerti perasaanmu, Sawung. Bukan kau saja yang merasakan itu. Tapi ini sudah menjadi kehendak Raja Dewa Angkara. Tak seorang pun yang berani menentangnya. Sadarlah itu, Sawung," kembali Badara mencoba menyadarkan saudara seperguruannya ini.

"Aku tetap akan menentang. Aku akan berjalan atas namaku sendiri, dan tidak akan melibatkan seorang pun baik dari Padepokan maupun penduduk desa ini!"

Walau dengan hati bimbang, Sawung Bulu tetap pada pendiriannya. Tekadnya sudah bulat. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menghadapi si iblis Raja Dewa Angkara!

"Sa...."

Badara belum melanjutkan ucapannya, tiba-tiba sebuah tombak menancap tepat di tengah-tengah meja mereka. Dengan serentak kedua murid Padepokan Pasir Batang ini melompat kaget. Semua yang ada di kedai makan itu terkejut pula. Mereka kenal betul dengan tombak itu.

Bagi mereka yang bernyali kecil, langsung kabur ke luar. Di kedai makan itu memang rata-rata hanya penduduk biasa. Maka dengan sekejap kedai makan menjadi sepi. Sawung Bulu menatap tajam pada tombak hltam Itu.

"Celaka, Raja Dewa Angkara sudah tahu," gumam Badara dengan wajah agak pucat.

Rangga masih duduk di tempatnya. Dia makin tertarik ingin mengetahui kelanjutannya. Matanya tidak lepas memandang dua pemuda yang masih menatap tombak hitam itu. Walau terlihat tampan dan gagah, tetapi mereka gemetar juga.

"Sawung Bulu...," suara Badara bergetar.

"Pergilah!" tegas Sawung Bulu. Namun nadanya sedikit bergetar.

Badara yang semula tak ingin ikut campur beranjak pergi. Kakinya baru saja melangkah dua tindak tiba-tiba sebatang tombak kembali meluncur dan menancap tepat di ujung kakinya. Badara melompat kaget.

"Kau sudah membuat malapetaka, Sawung Bulu!" Badara agak kesal.

Tombak kedua yang datang menghalangi langkahnya, sudah diraba maksudnya. Tak ada pilihan lain. Dia sudah terlibat secara tak langsung dalam kemelut ini. Tak mungkin Raja Dewa Angkara melepaskan satu nyawa pun.

"Terpaksa harus dihadapi bersama," lenguh Badara.

"Maaf, Badara!" ucap Sawung Bulu.

"Lupakan!" sahut Badara.

"Bagus!" tiba-tiba terdengar suara berat menggelegar. "Murid-murid Padepokan Pasir Batang rupanya punya nyali juga!"

Rasa terkejut kedua murid Padepokan Pasir Batang belum lagi hilang, mendadak dari atap kedai makan berlompatan empat orang berpakaian serba hitam dengan gambar bunga bangkai di dada, berwarna merah. Di tengahnya terselip juga gambar seekor kalajengking berwarna emas.

Empat orang yang dikenal sebagai anggota Raja Dewa Angkara itu, berdiri mengelilingi Sawung Bulu dan Badara. Wajah mereka tertutup selembar kain hitam, kecuali bagian mata. Masing-masing menggenggam dua trisula. Suatu penampilan yang menggetarkan.

"Raja Dewa Angkara berkenan memaafkan, jika kalian lekas meminta maaf," kata salah seorang yang mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kenapa bukan iblis itu sendiri yang datang? Aku tak perlu dengan cacing-cacing macam kalian!" dengus Sawung Bulu. Baginya tak ada pilihan lain kecuali meneruskan segala niat menentang iblis itu.

"He...he...he..., gurumu saja belum tentu mampu mengalahkan salah seorang dari kami."

"Iblis! Kubunuh kau!" geram Badara mendengar ayahnya dihina. Hatinya panas seketika.

Tanpa banyak bicara lagi, Badara langsung melompat sambil mencabut tongkat pendeknya. Dia menyerang dengan jurus-jurus andalan kepada orang yang mengejek ayahnya. Melihat keadaan itu, Sawung Bulu tak mau ketinggalan. Pertarungan kini berjalan satu lawan dua orang.

********************

DUA

Melewati jurus kelima dua murid Padepokan Pasir Batang makin terdesak. Tingkat kepandaian mereka memang jauh di bawah anak buah Raja Dewa Angkara. Rangga yang sejak tadi memperhatikan pertarungan mereka, dapat memastikan kalau dalam dua atau tiga jurus lagi, Sawung Bulu dan Badara dapat dikalahkan.

Dugaan Rangga memang tepat. Dua jurus berlangsung, Badara menjerit keras. Tubuhnya limbung, darah mengucur deras dari dadanya yang sobek. Belum sempat Badara menguasai diri, sebuah tendangan keras menghantam kepalanya. Tidak ampun lagi, Badara terjengkang ambruk Kepalanya pecah.

"Kejam! Iblis!" geram Sawung Bulu ketika melihat putra tunggal Ki Gandara tewas.

Pada saat Sawung Bulu lengah, mendadak sebuah tendangan keras mendarat di dadanya. Murid utama Padepokan Pasir Batang itu terjengkang dua depa. Dadanya terasa sesak, matanya berkunang-kunang. Sawung Bulu belum dapat mengatur posisi, tiba-tiba salah seorang lawan menerjang dengan ujung tombak terhunus.

Sawung Bulu yang memang sudah tidak berdaya, hanya pasrah menerima nasib. Serangan orang berpakaian serba hitam itu sangat cepat. Dan ketika ujung tombak telah berada seujung rambut lagi membelah dada Sawung Bulu, sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat cepat menyambar murid utama Padepokan Pasir Batang itu.

Tubuh Sawung Bulu lenyap begitu saja. Tombak yang hampir membelah dadanya menerobos tempat kosong. Hal ini membuat empat orang berpakaian serba hitam itu terkejut. Mereka saling berpandangan satu sama lainnya

"Kadal! Siapa berani main-main dengan Raja Dewa Angkara!" bentak salah seorang dari mereka.

Tidak ada sahutan sama sekali. Mata mereka beredar ke sekeliling. Tidak ada seorang pun di dalam kedai makan ini. Hanya meja kursi saja yang terlihat berantakan tidak tentu arahnya.

"Huh! Kepala Desa Pasir Batang harus bertanggung jawab!" dengus orang itu lagi.

"Sebaiknya segera kita laporkan hal ini pada Raja Dewa Angkara," kata lainnya mengusulkan.

"Baiklah! Ayo kita pergi!"

Empat orang anak buah Raja Dewa Angkara itu pun dengan cepat mencelat. Sekejap mata saja mereka tak terlihat lagi bayangannya. Kini kedai makan itu kembali sepi. Tidak ada orang lagi di sana kecuali mayat Badara yang menggeletak mandi darah.

Dalam waktu yang tak lama, muncul Ki Gandara diikuti pemuka-pemuka Desa Pasir Batang dan beberapa penduduk di pintu kedai makan. Ki Gandara tampak terkejut melihat putranya menggeletak dengan kepala pecah. Sangkala, Bagaspata, Rawusangkan, dan dua orang lainnya, seperti terkunci mulutnya. Mereka sangat terkejut melihat mayat Badara dan dua tombak berwarna hitam pekat yang masih tertancap di tengah-tengah meja dan di tanah dekat tubuh Badara.

"Mana Sawung Bulu?" tiba-tiba Sangkala ingat keponakannya

"Tadi... tadi ada di sini, Gusti," jawab seorang penduduk yang tadi juga ada di kedai ini. Bicaranya tergagap.

Muka Sangkala berubah merah pada. Matanya liar merayapi sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda Sawung Bulu ada di sekitar sini. Sementara itu Ki Gandara memeriksa mayat putranya. Kelihatan sekali dua bola matanya berkaca-kaca menahan tangis.

"Siapa yang berbuat ini?" tanya Sangkala pada penduduk yang menjawab tadi.

"Orang-orang Raja Dewa Angkara, Gusti," sahut penduduk itu lagi.

"Berapa orang mereka?" tanya Bagaspati.

"Empat Semuanya mengenakan topeng"

"Lalu, siapa di antara kalian yang melihat Sawung Bulu?" tanya Rawusangkan.

Matanya menatap satu persatu penduduk yang sudah banyak berkumpul di depan kedai. Semua orang tidak ada yang membuka mulut. Kepala mereka perlahan tertunduk. Memang tidak ada seorang pun yang melihat, ke mana Sawung Bulu pergi. Apalagi melihat kepergian empat anak buah Raja Dewa Angkara yang begitu cepat melesat.

Mereka memang hanya penduduk biasa yang awam terhadap ilmu silat Ki Gandara berdiri. Matanya merayapi lima orang pemuka desa, lalu memandang satu-satu wajah penduduk Desa Pasir Batang yang tertunduk. Sebentar guru besar Padepokan Pasir Batang menarik nafas panjang. Tangannya memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk mengangkat mayat Badara. Segera empat orang murid Padepokan Pasir Batang bergerak

"Apa yang kita khawatirkan selama ini sudah jadi kenyataan," pelan suara Ki Gandara bergumam.

"Maafkan anak ponakan saya, Ki," ucap Sangkala menyesali perbuatan Sawung Bulu.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semuanya telah terjadi. Entah kapan waktunya, malapetaka akan datang ke desa ini," masih terdengar pelan suara Ki Gandara.

"Saya yang akan mewakili meminta maaf pada Raja Dewa Angkara," kata Sangkala merasa bertanggung jawab.

"Percuma saja, Sangkala. Raja Dewa Angkara tidak memandang satu dua orang. Kini yang harus bertanggung jawab adalah kita semua."

Seketaka semua terdiam. Wajah-wajah pucat tergambar jelas. Semua mengerti maksud kata-kata Ki Gandara. Pada saatnya nanti, desa Pasir Batang akan lenyap seperti Desa Kenanga. Pertentangan sudah dibuka. Korban pertama telah jatuh. Mereka tinggal menunggu nasib. Sangkala menyesali diri karena tidak bisa meredam darah muda keponakannya. Kini semuanya terlambat.

Mau tidak mau seluruh penduduk Desa Pasir Batang harus menghadapi kelompok Raja Dewa Angkara. Kehancuran sudah terbayang di mata seluruh penduduk. Rasanya saat ini nyawa telah lenyap dari badan. Satu per satu mereka melangkah pergi dengan wajah tertunduk lesu. Tidak ada semangat hidup. Sepertinya tinggal tunggu waktu saja malaikat maut datang ke Desa Pasir Batang.

********************

Malam baru saja menjelang. Keadaan Desa Pasir Batang benar-benar seperti mati. Tak ada seorang pun yang keluar rumah. Mereka takut maut lebih dulu menjemput. Sementara itu di salah satu kamar rumah Kepala Desa, Dewi Purmita tengah menangis dalam pelukan ibunya. Ki Brajananta hanya dapat berdiri dengan wajah murung. Kejadian pagi tadi telah membuat seluruh penduduk Desa Pasir Batang putus asa. Hal ini sangat disesalkan Ki Brajananta.

"Sudahlah, Purmita. Semuanya sudah terjadi, tidak perlu ditangisi lagi." lembut suara ibunya.

Dewi Purmita mengangkat kepalanya. Seluruh wajah-nya basah oleh air mata. Sebentar ditatap wajah ibunya, lalu beralih ke ayahnya.

"Apakah Kakang Sawung Bulu sudah ditemukan. Ayah?" tanya Dewi Punnita lirih.

"Belum," sahut Ki Brajananta pelan.

"Kenapa Kakang Sawung Bulu sampai berbuat senekad itu?"

"Dia tidak rela kau dijadikan korban persembahan, anakku," Subragen yang menjawab

Dewi Purmita memandang ibunya, lalu dipeluk ibunya yang sudah setengah baya itu. Dia telah tahu kalau dirinya bakal dijadikan korban persembahan. Semua itu telah diutarakan kepada Sawung Bulu. Jelas saja Sawung Bulu merasa tidak rela kekasihnya jadi korban. Ketidakrelaan itu telah dibuktikan dengan peristiwa tadi pagi.

"Saya rela dijadikan korban persembahan, asal penduduk desa ini hidup tentram... " semakin lirih suara Dewi Purmita.

"Purmita, anakku...," Sutiragen terharu mendengarnya.

"Sebaiknya Ayah mengirim utusan untuk meminta maaf atas kejadian tadi pagi. Saya bersedia jadi korban pada waktunya nanti," kata Dewi Purmita seraya menghapus air matanya.

Ki Brajananta tidak dapat berkata kata lagi. Mulutnya terkunci. Dia hanya berdiri mematung menatap anak gadisnya. Dalam hati kecilnya, dia tidak rela putrinya jadi korban persembahan. Tetapi dia tidak dapat membantah lagi. Nyawa seluruh penduduk desa taruhannya. Yang jelas dia harus pasrah menerima nasib.

Dewi Purmita pun demikian. Pasrah. Baginya, hidup sudah tidak ada gunanya lagi. Apalagi Sawung Bulu sampai kini lenyap tanpa ketahuan di mana rimbanya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Semua mata menoleh ke arah pintu yang tertutup. Ki Brajananta melangkah dan segera membukanya. Kiranya seorang wanita tua yang mengetuk tadi.

"Tamu-tamu telah datang, Gusti," kata wanita tua itu membungkuk hormat Ki Brajananta memandang Dewi Purmita sebentar, kemudian melangkah ke luar. Langkahnya kelihatan lesu menuju ruangan pendopo. Di ruangan itu, Ki Gandara, Sangkala, Bagaspati, Rawusangkan, Wratama, dan Paralaya, telah menunggu. Mereka serentak berdiri ketika Ki Brajananta muncul.

"Silakan duduk," kata Ki Brajananta seraya duduk.

Enam orang pemuka Desa Pasir Batang itu bersama-sama duduk melingkari sebuah meja marmer. Sesaat suasana hening. Tidak ada yang membuka suara lebih dulu. Mata mereka semua memandang Kepala Desa yang kelihatan murung tanpa gairah.

"Sudah ada khabar tentang Sawung Bulu?" tanya Ki Brajananta memecah keheningan.

"Belum," sahut Wiratama yang ditugaskan untuk mencari Sawung Bulu

"Apa tidak mungkin Sawung Bulu dibawa ke..." Paralaya tidak melanjutkan kalimatnya.

"Tidak!" selak Sangkala Cepat "Raja Dewa Angkara tidak pernah membawa korban seorang laki-laki ke sarangnya."

"Menurut pemilik kedai dan Pak Bolang, pagi tadi desa kita kedatangan seorang pengembara," kata Rawusangkan.

"Pengembara...?" Ki Gandara mengerutkan keningnya. "Kau tanyakan ciri-cirinya?"

"Ya," Jawab Rawusangkan.

"Bagaimana ciri-cirinya? tanya Sangkala.

"Orangnya masih muda, kulitnya kuning langsat. Ada pedang bergagang ukiran kepala burung di punggungnya," Rawusangkan coba menyebutkan ciri-ciri pengembara itu.

"Pakai baju rompi?" tebak Ki Gandara.

"Benar, Ki" sahut Rawusangkan cepat.

"Tidak salah lagi," gumam Ki Gandara.

Semua mata memandang Ki Gandara

"Ki Gandara kenal dia?" tanya Ki Brajananta.

"Dari ciri-cirinya mirip Pendekar Rajawali Sakti," pelan suara Ki Gandara seperti kurang yakin.

"Pendekar Rajawali Sakti...?!" hampir berbarengan mereka semua menyebut nama itu.

Siapa yang tidak kenal nama Pendekar Rajawali Sakti? Seorang tokoh sakti yang baru muncul, tapi sudah menggegerkan seluruh rimba persilatan. Bukan hanya tokoh tokoh golongan putih yang merasa sungkan dan kagum. Tokoh-tokoh golongan hitam pun merasa enggan bila berhadapan dengannya. Sudah banyak tokoh golongan hitam yang tewas di tangan pendekar ini. Jurus rangkaian Rajawali Saktinya sangat sulit dicari tandingannya pada jaman ini.

"Apa dia ada di kedai pagi itu, Rawusangkan?" tanya Ki Gandara.

"Benar, Ki." sahut Rawusangkan cepat

"Hm..., tidak mustahil dia yang menolong Sawung Bulu," gumam Ki Gandara.

Sesaat suasana kembali sunyi. Semua yang ada di situ terpusat pikirannya pada Pendekar Rajawali Sakti yang muncul di Desa Pasir Batang ini. Kemunculan yang tiba-tiba, di saat seluruh pemuka dan penduduk desa dicekam kegelisahan. Sangkala yang sejak tadi memperhatikan guru besar Padepokan Pasir Batang itu melihat ada sedikit cahaya di mata Ki Gandara. Dalam hati Sangkala juga berharap dugaan Ki Gandara benar. Biar bagaimana pun dia sangat mencintai keponakannya itu. Sejak kecil Sawung Bulu dirawat dan dididiknya di Padepokan Pasir Batang bersama Ki Gandara.

Ketika mereka tengah khusuk bersama pikiran masing masing tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di luar. Ki Brajananta segera berdiri dan melangkah ke luar. Ki Gandara dan yang lainnya mengikuti dari belakang Dan betapa terhenyaknya mereka ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman depan rumah kepala desa.

Mayat-mayat itu adalah para penjaga rumah ini. Mereka terbantai oleh orang-orang berpakaian serba hitam. Dan kini Ki Brajananta dan yang lainnya, dikejutkan oleh kehadiran seorang pemuda yang tengah bertarung melawan empat orang berpakaian serba hitam. Pertarungan yang cepat disertai jurus-jurus silat tingkat tinggi, membuat orang yang ada di situ sulit mengenali siapa pemuda itu.

"Siapa dia, Ki?" tanya Rawusangkan yang berdiri di samping Ki Gandara.

"Sepertinya dia..., Pendekar Rajawali Sakti," sahut Ki Gandara ragu-ragu

"Kalau begitu, kita harus membantunya, Ki!" seru Ki Brajananta.

"Jangan!" Ki Gandara langsung mencegah Wratama dan Paralaya yang teriihat akan bergerak

Mereka segera mengurungkan niatnya.

"Dia tidak perlu dibantu dan bisa mengatasinya sendiri," kata Ki Gandara.

Matanya tidak lepas mengamati pertarungan itu. Begitu Ki Gandara selesai berkata, mendadak terdengar jeritan panjang disusul oleh rubuhnya seorang yang berpakaian serba hitam. Kemudian menyusul seorang lagi yang tiba-tiba mencelat ke atas disertai jeritan memilukan, lalu ambruk tak bangun-bangun lagi. Kepalanya hancur ketika menimpa bumi. Dua orang lagi yang masih hidup, mencelat ke belakang sejauh dua tombak.

Kini jelaslah, siapa laki-laki muda yang bertarung melawan empat orang yang tampaknya anak buah Raja Dewa Angkara. Dugaan Ki Gandara memang tidak meleset. Laki-laki muda itu adalah Pendekar Rajawali Sakti yang telah menjatuhkan dua lawannya dengan jurus 'Cakar Rajawali'.

"Anak muda! Campur tanganmu akan berakibat fatal!" dengus salah seorang lawan Pendekar Rajawali Sakti.

"Lebih fatal lagi jika kalian masih mengganggu Desa Pasir Batang ini!" tegas dan lantang suara Pendekar Rajawali Sakti.

"Setan! Kau harus mampus!"

Kembali mereka bertarung. Dua orang yang berpakaian serba hitam yang masih tersisa itu kini menyerang dengan lebih cepat dan berbahaya.

Kini Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Tubuhnya jadi ringan dengan kedua kaki tidak lagi menapak tanah. Pendekar muda itu mengontrol diri agar tidak melayang terlalu tinggi. Hanya kedua tangannya saja yang bergerak cepat mengibas ke arah bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.

"Awas, kepala!" teriak Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba.

Tangan kanannya menyampok kepala salah seorang lawannya. Orang itu terkejut, cepat-cepat ditarik kepalanya ke belakang. Tak terduga sama sekali, tangan Rangga dengan cepat berputar arah dan langsung mengibas ke arah perut

"Aaakh...!" orang itu menjerit kesakitan.

Kibasan tangan kanan Rangga tepat menyobek perutnya, sehingga ususnya berhamburan ke luar. Sebentar saja orang itu mampu bertahan. Dan ketika kaki Rangga mendarat di dada orang itu, tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang dan ambruk ke tanah. Mati. Darah mengucur deras dari perutnya yang menganga lebar.

Melihat temannya tewas, sisanya yang tinggal seorang itu mencelat kabur. Rangga tidak berusaha mengejar orang itu. Dia berdiri saja mengawasi mayat-mayat yang bergelimpangan mandi darah. Sepuluh mayat penjaga pun terbujur tak tentu arah di tempat itu.

Pendekar Rajawali Sakti menoleh ketika telinganya mendengar langkah langkah kaki menghampiri. Jumlah mereka tujuh orang. Dua orang yang berjalan di depan kelihatannya lebih tua daripada yang lainnya.

"Sungguh tak menyangka, Tuan berkenan singgah di desa kami," kata Ki Brajananta setelah berdiri di depan Rangga.

"Maaf jika kedatanganku mengganggu tuan-tuan sekalian," Rangga membungkuk hormat

"Tidak, sama sekali tidak. Justru kedatangan Tuan Pendekar sangat kami butuhkan," kata Ki Gandara gembira dengan adanya Pendekar Rajawali Sakti di desa ini

"Jika Tuan Pendekar tidak keberatan, singgahlah barang sebentar di gubukku." kata Ki Brajananta.

"Terima kasih," Rangga mau menolak.

"Kami akan senang jika Tuan Pendekar bersedia menolong penduduk Desa Pasir Batang," kata Sangkala.

Rangga terdiam. Matanya mengamati satu per satu wajah-wajah di depannya, lalu tersenyum mengangguk.

Segera saja Ki Brajananta mempersilahkan Pendekar Rajawali Sakti untuk masuk ke dalam rumahnya. Rangga berjalan diapit oleh Ki Brajananta dan Ki Gandara. Sedangkan Sangkala dan yang lainnya mengurus mayat-mayat untuk segera dikuburkan.

********************

"Sebenarnya ada apa di desa ini?" tanya Rangga setelah duduk menghadapi meja marmer.

Ki Brajananta yang duduk tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti itu menatap Ki Gandara. Guru Besar Padepokan Pasir Batang ini mengerti tatapan kepala desa itu. Sejenak ditariknya napas panjang.

"Sebenarnya bukan hanya Desa Pasir Batang yang tertimpa malapetaka seperti ini. Desa-desa lain di sekitar lereng Gunung Balakambang juga mengalami nasib yang sama. Kejadian ini sudah ada sejak sepuluh tahun yang lalu. Dan tidak seorang pun yang bisa melepaskan diri dari cengkeraman Raja Dewa Angkara," pelan tapi jelas suara Ki Gandara.

"Siapa Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga.

"Dia seorang tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya. Setiap tujuh purnama, kami diharuskan menyerahkan korban persembahan berupa seorang gadis remaja," sahut Ki Brajananta.

"Selain itu, kami juga diharuskan memberi upeti yang sangat menjerat," sambung Ki Gandara.

"Mereka sangat kejam. Satu orang saja berani menentang, akibatnya satu desa dihancurkan. Kami tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan Desa Kenanga. Tetapi, semuanya sudah terlambat. Salah seorang anak kami sudah membuka pintu pertentangan. Kami tidak tahu lagi harus berbuat apa. Raja Dewa Angkara pasti akan membumi hanguskan desa ini," lirih suara Ki Brajananta.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Jiwa ksatrianya segera timbul melihat kesengsaraan. Telinganya tidak bisa mendengar jeritan penindasan. Darah pendekarnya segera bergolak mendidih.

"Kapan persembahan dilaksanakan?" tanya Rangga.

"Enam hari lagi," jawab Ki Brajananta.

"Hm, enam hari lagi. Bukan waktu yang lama," gumam Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti ini sebenarnya sudah tahu hal itu melalui ilmu 'Pembilah Suara'. Namun dia tidak ingin dikatakan lancang karena telah menguping pembicaraan orang lain. Jadi pertanyaan tadi hanya untuk basa-basi saja.

"Sekarang tidak perlu lagi ada korban persembahan karena pertentangan telah dibuka. Desa Pasir Batang akan hancur, dan gadis-gadis akan diboyong Raja Dewa Angkara. Semua laki-laki, orang tua, dan anak-anak akan tewas," Ki Brajananta seperti mengeluh putus asa.

Rangga menatap kepala desa itu tajam. Sungguh mati dia tidak mengira akan seburuk itu keadaannya.

"Korban sudah mulai berjatuhan. Dan selama enam hari ini korban akan berlangsung terus, sampai seluruh penduduk desa habis terbantai," lagi-lagi Ki Brajananta mengeluh.

"Hal itu tidak akan terjadi, Ki," tegas suara Rangga terdengar.

Ki Brajananta mengangkat kepalanya. Ada secercah harapan terbetik dari sinar matanya. Sedangkan Ki Gandara tampak tersenyum. Dia percaya kalau nama besar Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong.

"Sampai bulan purnama nanti, aku akan tinggal di Desa Pasir Batang ini. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa berkenan melindungi seluruh penduduk desa ini," kata Rangga lagi.

"Ah, senang sekali kami mendengarnya. Sudah lama kami berharap bisa bebas dari cengkeraman iblis itu," desah Ki Brajananta.

Rangga tersenyum tipis, lalu bangkit berdiri.

"Akan ke mana, Tuan Pendekar?" tanya Ki Brajananta melihat Rangga berdiri.

"Lihat-lihat keadaan," sahut Rangga terus saja melangkah.

Ki Brajananta dan Ki Gandara mengikuti. Mereka berpapasan dengan Sangkala yang akan masuk.

"Sangkala, temani Tuan Pendekar melihat-lihat keadaan desa." kata Ki Gandara.

"Baik, Ki," Sangkala tersenyum seraya mengangguk-angguk.

"Terima kasih," ucap Rangga terus saja melangkah.

Sangkala berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti. Mereka melintasi halaman rumah kepala desa yang luas, lalu menyusuri jalan utama Desa Pasir Batang. Sampai jauh meninggalkan rumah kepala desa, belum ada yang berbicara.

"Sebenarnya akan ke manakah, Tuan?" tanya Sangkala membuka pembicaraan dengan hormat dan sopan.

Rangga menghentikan langkahnya. Dia berbalik menghadap pada Sangkala. Telinganya gatal jika dipanggil dengan sebutan tuan. Rangga menepuk pundak laki-laki yang usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Hanya saja wajah Sangkala yang dipenuhi cambang dan kumis lebat, membuat seperti kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya.

"Sebaiknya, kau panggil saja aku Rangga," kata Rangga merendah.

"Ah, mana berani saya...."

"Aku hanya pengembara miskin. Tidak pantas dipanggjl tuan," cepat-cepat Rangga memotong

"Baiklah, jika tu..., eh! Kau menginginkan begitu."

"Nah, jika begitu kan lebih enak. Oh, ya. Dengan apa aku harus memanggilmu?"

"Cukup Sangkala saja."

"Baiklah, Sangkala. Kau tahu di mana tempat Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga kembali meneruskan langkahnya.

"Tepatnya aku tidak tahu. Tetapi menurut kabar dia tinggal di puncak Gunung Balakambang," jawab Sangkala.

"Pernah ada yang ke sana?"

"Tidak. Tidak ada yang berani sampai kepuncak. Para penduduk yang mencari kayu bakar, hanya sampai lereng saja. Itu pun tidak berani masuk sampai ke dalam hutan."

"Kau pernah bertemu dengan orangnya."

"Tidak ada yang pernah melihat Raja Dewa Angkara. Tetapi orang-orangnya rata-rata memiliki kepandaian yang cukupan. Aku rasa, sepuluh orang seperti aku saja belum mampu menandingi satu dari mereka," Sangkala merendah.

"Lalu, untuk apa Raja Dewa Angkara meminta korban seorang gadis?" tanya Rangga lagi. Bibirnya tersenyum mendengar kerendahan hati Sangkala.

"Entahlah," sahut Sangkala. "Setiap korban persembahan diambil sendiri oleh kaki tangan Raja Dewa Angkara, lalu dibawa ke puncak Gunung Balakambang. Tidak ada yang tahu, bagaimana nasib mereka di sana. Selama ini gadis-gadis yang dijadikan korban tidak ada yang kembali dalam keadaan hidup. Mayatnya saja tidak pernah ditemukan lagi."

"Berapa orang kelompok mereka?"

"Tidak tahu pasti. Yang jelas, setiap tujuh purnama mereka datang dengan jumlah sepuluh orang. Tidak kurang dan tidak lebih."

"Mereka selalu mengenakan pakaian serba hitam?"

"Benar. Itu ciri mereka. Tidak ada seorang pun yang dapat dikenali wajahnya karena selalu mengenakan topeng hitam."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya berkerut dalam, menandakan tengah berpikir keras. Keterangan dari Sangkala tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Ki Brajananta maupun Ki Gandara. Tetapi semua masih membingungkan karena belum ada titik terang yang pasti untuk menghadapi kelompok Raja Dewa Angkara.

"Di mana kau tinggal?" tanya Rangga.

"Di Padepokan Pasir Batang," sahut Sangkala.

"Sudah berkeluarga?"

Sangkala mengangguk, sambil tersipu.

"Sebaiknya kau pulang saja, tentu istrimu sudah menunggu sejak tadi," kata Rangga.

"Tapi...," Sangkala jadi bingung. Tidak mungkin Rangga ditinggal sendirian. Perintah Ki Gandara tidak berani dilalaikan begitu saja.

"Sudah cukup aku melihat-lihat keadaan desa ini. Lagi pula malam sudah larut. Aku yang akan mengatakannya nanti pada gurumu," kata Rangga bisa mengerti kebimbangan Sangkala.

"Baiklah kalau begitu," sahut Sangkala senang. Dia memang sudah lelah dan mengantuk Dan lagi, sejak tadi pikirannya selalu tertuju pada anak dan istrinya yang tentu tengah menunggu cemas.

Rangga menepuk pundak Sangkala sebelum berlalu melanjutkan langkahnya lagi. Sebentar Sangkala berdiri diam ditempatnya, lalu bergegas kembali menuju kepadepokan. Langkahnya cepat, ingin segera tiba dirumah.

********************

TIGA

Rangga berdiri tegak memandang ke puncak Gunung Balakambang yang terselimuti kabut. Di belakangnya jauh tampak Desa Pasir Batang Rangga menoleh ketika merasakan ada langkah kaki mendekati. Bibirnya tersenyum melihat Sawung Bulu telah duduk di batu. Rangga menghampiri.

"Ada yang dipikirkan?" tanya Rangga.

"Ya," sahut Sawung Bulu mendesah.

Rangga mengambil tempat di samping Sawung Bulu. Mereka bersama sama memandang puncak Gunung Balakambang. Sementara di kaki lereng, jauh di bawah sana kelihatan Desa Pasir Batang yang tampak sepi bagai tidak berpenghuni.

"Aku tidak mengerti mengapa kau menolongku kemarin," Sawung Bulu bergumam pelan.

"Aku menolong, karena kau perlu ditolong," sahut Rangga seenaknya.

"Seharusnya bukan aku, tapi penduduk desa itu," Sawung Bulu memandang ke arah Desa Pasir Batang "Rasanya aku lebih baik mati daripada melihat kehancuran orang-orang yang kucintai."

Rangga diam mendengarkan. Sejak dibawanya ke sini, baru kali inilah Sawung Bulu mau berkata. Dia selalu murung, seperti ada yang sedang dipikirkan. Pendekar Rajawali Sakti itu tahu, hal apa yang dipikirkan Sawung Bulu. Semalam dia mendapat banyak keterangan, juga pagi tadi dari beberapa penduduk Desa Pasir Batang. Sama sekali Rangga tidak menyangka Sawung Bulu yang berbuat nekad tanpa memperhitungkan resikonya.

Siapa yang rela kalau kekasihnya dijadikan korban persembahan iblis? Hanya saja tindakan Sawung Buhl yang gegabah dan terlalu menurutkan darah muda. Kini semua telah terjadi. Seluruh penduduk Desa Pasir Batang tinggal menunggu nasib.

"Aku tidak tahu, apakah mereka iblis-iblis yang datang dari neraka, atau manusia sakti yang mengumbar hawa nafsu. Mereka begitu tangguh dan sulit dicari tandingannya," Sawung Bulu sedih mengeluh.

"Mereka manusia biasa yang bisa mati," kata Rangga.

"Kau tahu mereka?" Sawung Bulu agak terkejut.

"Ya, tiga orang dari lawanmu kemarin, telah mati," sahut Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.

"Kau membunuh mereka?" makin terkejut Sawung Bulu. Matanya merayapi wajah Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak percaya pada pendengarannya.

"Bukan aku, tapi Yang Maha Kuasa yang berkenan," sahut Rangga merendah.

"Kapan kau membunuh mereka?" tanya Sawung Bulu seolah menyelidik.

"Semalam, di depan rumah kepala desa. Tapi aku terlambat..."

"Terlambat, maksudmu?" potong Sawung Bulu dengan nada cemas.

"Mereka berhasil membunuh tidak kurang dari sepuluh orang."

"Lalu?"

"Aku sempat bicara dengan Ki Brajananta, Ki Gandara, dan beberapa orang lainnya. Tampaknya mereka semua memang ingin lepas dari cengkeraman Raja Dewa Angkara."

"Ah, seandainya saja Yang Maha Kuasa berkenan memberiku kekuatan. Aku rela berkorban nyawa untuk mem-bebaskan mereka," lirih suara Sawung Bulu.

Rangga hanya tersenyum, lalu bangkit berdiri. Kakinya terayun menuju ke Desa Pasir Batang.

"Mau ke mana?" tanya Sawung Bulu.

Rangga hanya menunjuk ke arah desa tanpa menjawab.

"Aku ikut!" Sawung Bulu bergegas menghampiri.

"Sebaiknya untuk sementara kau tinggal di sini dulu," cegah Rangga.

"Aku bukan pengecut yang hanya bisa bersembunyi!" dengus Sawung Bulu.

"Aku tidak mengatakan kau pengecut. Tapi ini demi keamanan dan keselamatan semua orang yang kau cintai."

Sebenarnya Sawung Bulu ingin bersikeras, tapi segera diurungkan niatnya. Dia percaya kalau pemuda yang sebaya dengannya itu bukan orang sembarangan. Buktinya, tiga anak buah Raja Dewa Angkara telah dibunuhnya hanya dalam satu malam saja.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Sawung Bulu jadi ingin tahu.

"Aku, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga.

Secepat dia menjawab, secepat itu pula dia mencelat. Tiba-tiba telah lenyap dari pandangan Sawung Bulu Tentu saja pemuda ini mencari-cari. Dalam hari, dia sangat mengagumi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang sempurna itu.

"Pendekar Rajawali Sakti...," Sawung Bulu bergumam menyebut nama itu beberapa kali.

Dia kembali duduk di atas batu. Bibirnya masih menggumamkan nama Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya dia tengah mengingat-ingat nama itu. Ya, nama itu pernah didengarnya dari Ki Gandara. Juga beberapa tokoh rimba persilatan dari golongan putih yang kerap datang ke Padepokan Pasir Batang. Nama Pendekar Rajawali Sakti selalu disebut-sebut sebagai seorang pendekar muda yang sangat tinggi ilmu kesaktiannya.

"Apakah benar dia Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung Bulu bertanya tanya sendiri.

********************

Di ruang pendopo utama Padepokan Pasir Batang, Ki Gandara tengah berbincang-bincang dengan Sangkala. Beberapa murid padepokan terlihat berjaga-jaga dengan senjata terhunus. Sudah dua hari ini Ki Gandara memerintahkan murid-muridnya untuk selalu siaga di sekitar padepokan.

"Kau tidak melihat Pendekar Rajawali Sakti hari ini, Sangkala?" tanya Ki Gandara.

"Tadi pagi saya masih melihatnya, tapi sampai sore begini tidak kelihatan lagi," sahut Sangkala.

"Bagaimana keadaan desa?"

"Belum ada kejadian apa-apa. Tapi Ki Brajananta kelihatannya terus gelisah."

"Ya, aku sendiri juga gelisah," Ki Gandara mengakui terus terang.

"Ki...."

"Hm, ada apa?"

"Apa Pendekar Rajawali Sakti mampu menghadapi Raja Dewa Angkara?" tanya Sangkala ragu-ragu nadanya.

Ki Gandara tidak segera menjawab. Matanya kosong menatap lurus ke depan, ke arah puncak Gunung Balakambang. Memang terlalu riskan hanya mengandalkan nama besar Pendekar Rajawali Sakti. Dia sendiri baru men-dengar namanya saja. Belum melihat secara langsung sepak terjangnya menghadapi tokoh tokoh sakti aliran hitam. Memang semalam Pendekar Rajawali Sakti telah membuktikan dengan merobohkan tiga orang dari Raja Dewa Angkara. Tetapi itu hanya kaki tangannya saja.

Ki Gandara sendiri mungkin juga mampu menghadapinya. Bahkan Sangkala juga masih bisa menandingi. Jadi hal itu belum jadi jaminan Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkan Raja Dewa Angkara.

"Maaf, kalau kata kataku membuat gundah," kata Sangkala merasa tidak enak juga melihat Ki Gandara berubah murung.

"Tidak... Kata-katamu ada benarnya juga. Kita memang tidak mungkin mengandalkan sepenuhnya pada Pendekar Rajawali Sakti. Raja Dewa Angkara sulit diukur tingkat kepandaiannya. Sepuluh tahun telah ditancapkan kukunya untuk menguasai seluruh desa-desa di lereng Gunung Balakambang, tanpa ada seorang pun yang dapat menghentikan perbuatannya."

Sangkala merayapi sekitarnya. Tatapan matanya langsung terpaku pada puncak Gunung Balakambang.

"Sudah banyak tokoh rimba persilatan dari golongan putih mencoba untuk membasmi mereka, tapi sampai sekarang tidak ada yang berhasil. Bahkan mereka hanya tinggal namanya saja," Ki Gandara kembali melanjutkan. "Kau ingat peristiwa di Desa Kenanga, Sangkala?"

"Iya, Ki," sahut Sangkala pelan.

"Tidak kurang dari sepuluh tokoh sakti rimba persilatan membantu, tapi mereka semua tewas di tangan Raja Dewa Angkara. Juga Pendekar Ruyung Emas, yang nyata-nyata berada setingkat di atasku pun tewas."

Sangkala membisu. Memang sulit mengukur tingkat kepandaian Raja Dewa Angkara. Dia bisa mengerti kenapa Ki Gandara sampai gundah begini. Tentunya dia sudah menyadari kalau dirinya tidak mungkin bisa menandingi kesaktian Raja Dewa Angkara.

Pada saat mereka terdiam, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan melengking dari bagian Timur padepokan. Ki Gandara segera melompat seraya mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam sekejap saja, dia sudah berada di luar pendopo. Sangkala menyusul.

"Raja Dewa Angkara...," desis Ki Gandara ketika melihat murid-mundnya tengah bertarung melawan sekitar sepuluh orang berpakaian serba hitam.

Dalam waktu yang singkat, murid-murid Padepokan Pasir Batang sudah bertumbangan mandi darah. Melihat kenyataan ini, Sangkala segera melompat sambil mengempos tenaga dalamnya. Gerakannya ringan, sekejap saja dia telah terjun dalam pertarungan. Sangkala tidak sungkan-sungkan lagi untuk mencabut pedangnya, menerjang orang-orang Raja Dewa Angkara.

Begitu Sangkala masuk dalam arena, seorang dari mereka segera menghadang. Sangkala terpaksa harus menghadapinya. Pedangnya berkelebat cepat disertai pengerahan tenaga dalam. Sangkala memang ahli dalam ilmu pedang. Lebih-lebih saat dikeluarkan jurus-jurus pedang andalannya. Pedang perak yang menjadi kebanggaan seperti tak berujud lagi Yang nampak hanya sinar keperakan mengurung lawan.

Trang! Trang!

Beberapa kali pedang Sangkala berbenturan dengan tombak hitam lawannya, sehingga dirasakan tangannya seperti kesemutan. Sangkala sadar kalau tenaga dalamnya masih di bawah lawan. Menyadari hal ini, dia berusaha untuk tidak sering-sering berbenturan senjata.

Sementara itu korban dari pihak murid Padepokan Pasir Batang sudah banyak. Ki Brajananta pun kini tengah menghadapi dua lawan. Sangkala tidak bisa lagi mengalihkan perhatiannya pada yang lain. Serangan-serangan lawan terasa makin menghebat Bahkan sambaran-sambaran tombaknya terasa panas menyengat kulit.

"Uts!" Sangkala memiringkan tubuhnya ke samping menghindari sodokan tombak lawan.

Ujung tombak itu lewat sejauh beberapa helai rambut di depan dada. Sungguh dahsyat angin sambaran tombak itu. Sangkala sampai bergerak mundur dua tindak ter-dorong angin sambaran tombak itu. Begitu keras dan panas anginnya

Trang!

Sangkala terpaksa membabat ujung tombak yang begitu cepat berbalik setelah serangan pertamanya gagal. Lagi-lagi Sangkala terdorong mundur dua tindak ke belakang. Jari-jari tangannya terasa kaku seketika. Hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman.

"Setan!" dengus Sangkala ketika mengetahui mata pedangnya gompal. Rasa terkejut Sangkala belum lagi hilang, mendadak ujung tombak lawan sudah kembali mengarah ke dadanya. Dia segera memiringkan tubuhnya, tapi terlambat.

Cras...!

Tak terduga sama sekali orang itu memutar tombaknya dan berhasil melukai pundak kiri Sangkala. Darah keluar dari pundak yang sobek cukup dalam dan lebar. Sangkala meringis kesakitan, lalu dengan cepat melompat sejauh dua tombak lebih. Jari-jari tangannya segera menotok beberapa jalan darah di pundaknya Seketika itu juga darah berhenti mengalir.

"He... he... he... Pintu neraka sudah terbuka untukmu, sobat," orang itu terkekeh pongah.

"Jangan besar kepala dulu, iblis!" dengus Sangkala geram. "Aku masih mampu mencabut nyawamu!"

"Tikus sudah masuk jebakan masih juga bisa berlagak!"

"Terima Jurus 'Pedang Ekor Naga'ku," bentak Sangkala gusar.

Sehabis berkata demikian, dengan cepat Sangkala melompat sambil berteriak nyaring. Pedangnya kembali berkelebat lebih cepat Suara bersiutan terdengar dari setiap kelebatan pedangnya. Ujung pedang Sangkala bagaikan ekor naga yang murka terusik ketenangannya. Di kempos seluruh tenaga dalamnya untuk menandingi tenaga dalam lawan.

Namun semua serangan Sangkala yang dahsyat dan mematikan, tidak membawa hasil sama sekali. Bahkan tiba-tiba saja kaki lawan berhasil mendarat di dadanya. Sangkala terjengkang ke belakang. Dadanya mendadak sesak, napasnya tersengal. Matanya berkunang-kunang.

"Mampus kau, hiyaaa..!" orang itu berteriak keras.

Sangkala yang dalam posisi sulit, tidak mampu lagi untuk mengelakkan ujung tombak yang datang deras mengarah ke dadanya. Dia pasrah seandainya harus mati di ujung tombak hitam itu. namun kebka ujung tombak hampir menyentuh kulitnya, mendadak...

Trang!

Secercah sinar biru menyilaukan menghantam tombak hitam itu. Sangkala membeliak kaget, ketika melihat tombak itu tiba-tiba terpotong jadi dua. Rasa kagetnya belum lagi hilang sekonyong-konyong orang yang menjadi lawannya itu terjengkang ke belakang beberapa batang tombak jauhnya. Disusul dengan munculnya sebuah bayangan, disertai kilatan sinar biru menyilaukan mata.

Cras!

Tanpa mengeluarkan suara lagi, orang berpakaian serba hitam itu ambruk dengan kepala terpisah dari badan. Bayangan itu tidak berhenti. Dia berkelebat dengan kilatan-kilatan sinar biru terarah pada orang-orang yang berpakaian serba hitam. Sungguh dahsyat, setiap kibasan sinar biru itu berkelebat, segera satu orang lawan terjungkal mandi darah. Mati.

Ki Gandara cepat melompat mundur dari kancah pertarungan. dia sudah berhasil merobohkan dua lawan. Orang tua yang masih kelihatan gagah itu segera menghampiri Sangkala.

"Mundur!" teriak Ki Gandara keras.

Seketika itu juga murid-murid Padepokan Pasir Batang berlompatan mundur. Namun beberapa di antaranya yang tidak sempat mundur, terjungkal tertembus tombak hitam. Ki Gandara menahan geram melihat lebih dan separuh muridnya tewas bergelimpangan.

Sementara itu bayangan yang selalu diikuti kelebatan sinar biru, tidak menghiraukan teriakan Ki Gandara. Dia terus saja berkelebat mencari nyawa. Kini orang-orang berpakaian serba hitam tinggal berjumlah lima orang saja. Mereka mengurung rapat kelebatan bayangan itu. Tetapi bayangan itu masih belum terlihat jelas juga. Seluruh tubuhnya seperti terselimut sinar biru yang sesekali mencuat menyambar lawan.

"Tinggalkan tempat ini, cepat!"

Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar. Seketika itu juga lima orang berpakaian serba hitam itu mencelat kabur dari Padepokan Pasir Batang. Namun salah seorang dari mereka harus menerima nasib. Dia rupanya terlambat kabur. Sinar biru menyilaukan itu sangat cepat menghantamnya. Dan dengan satu teriakan menyayat, orang itu terjungkal dengan dada terbelah lebar. Sebentar dia meregang nyawa di tanah, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.

Bersamaan dengan itu, sinar biru lenyap. Lalu disusul dengan munculnya sosok tubuh berpakaian rompi berdiri dekat mayat terakhir. Darah hangat masih keluar dari dada mayat yang terbelah hampir purus itu.

"Pendekar Rajawali Sakti..." desah Ki Gandara.

Bergegas guru besar Padepokan Pasir Batang itu menghampiri, diikuti Sangkala dari belakang. Tangan kanan Sangkala menekap luka di pundak kiri. Darah kembali keluar, karena totokan yang sifatnya hanya sementara sudah tidak bekerja lagi.

"Bagaimana lukamu, Sangkala?" tanya Rangga seraya memperhatikan luka di pundak kiri Sangkala.

"Hanya luka luar," sahut Sangkala.

Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Tangannya terulur dan menekap pundak yang terluka itu. Lalu bibirnya tersenyum sambil menarik tangannya lagi

"Hanya luka biasa," kata Rangga.

"Terima kasih," ucap Sangkala. "Kalau kau tidak cepat menolong, mungkin aku hanya tinggal nama."

Rangga hanya tersenyum. Lalu dihampirinya salah satu mayat yang berpakaian serba hitam. Dia jongkok, lalu tangannya merenggut kain potong yang menutupi seluruh wajah orang itu. Tampak seraut wajah cantik lagi putih terpampang Wajah seorang wanita.

Pendekar Rajawali Sakti jadi penasaran. Dihampirinya mayat yang kedua, dan direnggut topengnya. Kembali terlihat wajah seorang wanita cantik dengan rambut tergulung rapih. Ki Gandara yang juga merasa penasaran, ikut membuka topeng-topeng hitam lainnya. Jelas, enam orang berpakaian serba hitam ini, semuanya adalah wanita.

"Apa artinya semua ini?" tanya Sangkala tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut dan herannya.

Sungguh tidak ada yang menduga kalau orang-orang Raja Dewa Angkara adalah wanita berparas cantik Sangkala yang tadi hanya sempat bertarung dengan satu orang saja, kini benar benar terkesima. Sungguh tak diduga sama sekali dirinya hampir tewas oleh seorang wanita muda yang tersembunyi di balik topeng kain hitam.

Sangkala tiba-tiba tersentak. Padahal dia sempat mendengar suara lawannya tadi. Benar-benar bodoh tidak bisa membedakan suara laki-laki dengan suara perempuan. Tapi..., yang didengarnya tadi memang suara laki-laki. Bukan suara halus seorang perempuan. Apakah wanita-wanita itu punya ilmu untuk menipu suara?

"Sayang tidak ada yang hidup," gumam Ki Gandara.

"Maaf, aku terlalu muak melihat kekejaman mereka," kata Rangga.

"Tidak apa-apa. Memang sudah sepantasnya mereka mati," sahut Ki Gandara.

Ki Gandara segera memerintahkan murid-muridnya untuk menguburkan mayat-mayat itu. Meskipun dalam keadaan letih, tidak ada yang membantah perintah itu. Segera murid-murid Padepokan Pasir Batang yang masih tersisa, melaksanakan perintah guru besarnya. Ki Gandara mengajak Rangga kependopo, sementara Sangkala minta ijin untuk mengobati lukanya. Langkah Rangga terhenti di depan pendopo utama. Dibalikkan tubuhnya, langsung menatap ke arah puncak Gunung Balakambang. Ki Gandara juga berhenti dan berbalik. Matanya juga mengarah ke puncak gunung yang selalu diselimuti kabut tebal itu.

"Di gunung itu Raja Dewa Angkara membangun istananya," kata Ki Gandara setengah bergumam.

"Sudah ada yang pernah ke sana?" tanya Rangga.

"Belum ada yang bisa mencapai. Memang sudah ada beberapa pendekar mencoba ke sana, tapi mereka selalu tewas sebelum mencapai tujuan."

"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas.

"Raja Dewa Angkara memiliki orang-orang yang berkepandaian lumayan tinggi. Gunung itu selalu dijaga ketat. Tidak ada seorang pun bisa kembali setelah mencoba ke sana," Ki Gandara menjelaskan.

"Aku akan coba ke sana," kata Rangga.

"Sebaiknya. jangan. Terlalu berbahaya bagimu," Ki Gandara mencoba mencegah.

"Untuk menumpas suatu kejahatan, harus sampai ke akar-akarnya, Ki. Aku tidak bisa hanya menunggu di sini, menanti cacing-cacing tak berguna."

"Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Tapi hendaknya berpikirlah matang matang untuk pergi ke sana."

Rangga tersenyum tipis. Dirasakan ada nada lain dalam kata kata Ki Gandara. Bagaimana pun juga orang tua ini merasa bertanggung jawab atas keselamatan seluruh penduduk Desa Pasir batang. Rangga dapat menangkap maksud kata kata itu. Memang, dalam saat saat seperti ini tidak mungkin Rangga meninggalkan Desa Pasir Batang. Sewaktu-waktu orang-orang Raja Dewa Angkara dapat menghancurkan seluruh desa. Kapan waktunya, memang belum bisa diduga.

Pelan-pelan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terayun menuju pintu gerbang padepokan. Dia terus berjalan melewati pintu yang terbuka lebar. Pikirannya dipenuhi oleh persoalan yang tengah dihadapi seluruh penduduk Desa Pasir Batang ini. Persoalan yang tidak mudah dihadapi begitu saja. Di luar padepokan, Rangga melangkah menuju jalan utama desa ini. Padepokan Pasir Batang memang berada di tengah tengah desa. Tidak jauh dari sini, teriihat rumah kepala desa yang selalu dijaga oleh beberapa murid padepokan. Rangga merayapi keadaan sekitarnya yang tampak sepi.

Mendadak matanya menangkap sekelebat bayangan menyelusup di antara rumah-rumah penduduk dan pepohonan. Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat sambil mengerahkan ilmu peringan tubuh mengejar bayangan itu. Matanya yang setajam mata rajawali, masih bisa melihat bayangan itu menghilang di balik sebuah rumah.

Sementara senja terus merayap makin jauh. Keadaan sekeliling sudah remang-remang Malam sebentar lagi menjelang. Tubuh Rangga melayang ringan ke atas atap rumah tempat bayangan tadi menghilang. Begitu ringannya sehingga tidak ada sedikit pun suara terdengar ketika kakinya hinggap di atap rumah itu.

"Hm... dia menuju kedai makan," Rangga bergumam dalam hati.

Matanya masih sempat menangkap bayangan itu. Segera dia melesat dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya. Begitu cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti dalam sekejap saja telah bertengger di atas atap kedai makan. Sedangkan bayangan yang tersusul itu masih berkelebat menuju ke arah Rangga yang tengah bersembunyi.

"Wratama...," gumam Rangga lagi dalam hati.

Di dalam kegelapan yang bagaimana pun juga, Pendekar Rajawali Sakti sangat mampu mengenali bayangan yang sejak tadi diikutinya. Bayangan itu memang milik Wratama. Gerakannya cukup ringan dan cepat. Sepertinya dia memiliki ilmu peringan tubuh yang lumayan tinggi.

Rangga masih bertengger di atas atap meskipun Wratama sudah masuk dalam kedai makan ini. Rangga segera mengerahkan ilmu 'Pembilah Suara' yang diarahkan langsung ke dalam kedai makan. Kedai ini rupanya sekaligus dijadikan rumah penginapan satu-satunya yang ada di Desa Pasir Batang ini. Apa yang dapat didengar Rangga?

********************

EMPAT

Wratama mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan kedai makan. Sepi. Tidak ada seorang pun yang ada di tempat ini. Kakinya terus melangkah masuk. Di dalam juga sepi. Bagian dalam merupakan sebuah lorong yang di kanan kirinya terdapat kamar-kamar sewa untuk menginap. Semua pintu nya tertutup rapat Wratama baru berhenti melangkah setelah sampai pada ujung lorong.

Matanya kembali beredar mengamati keadaan. Pelan-pelan dia mulai mengetuk pintu kamar di depannya. Tidak terdengar sahutan. Kembali diketuknya agak keras dari pada semula. Matanya tetap mengamati sekelilingnya

"Masuk..." terdengar suara dari dalam kamar.

Wratama membuka pintu kamar. Cepat-cepat dia melangkah masuk, lalu bergegas ditutup kembali pintunya. Hanya ada satu pelita kecil yang menerangi, sehingga keadaan kamar menjadi remang-remang. Mata Wratama langsung mengarah ke pembaringan tempat sesosok tubuh ramping tergolek di atasnya.

"Tidak ada yang melihatmu ke sini, Wratama?" tanya sosok tubuh ramping itu. Suaranya halus lembut bagai butuh perindu.

"Tidak," sahut Wratama sambil mendekat.

Sosok tubuh ramping itu pun duduk ketika Wratama duduk di tepi pembaringan. Tampak wajahnya yang cantik dengan bibir merah merekah menyunggingkan senyum. Rambutnya panjang, hitam, dan lebat dibiarkan terurai melewati bahu. Kain sutra halus berwarna merah muda melilit di tubuhnya.

Wratama menelan rudah saat bola matanya menangkap dua bukit putih mulus, menyembul seolah-olah hendak berontak keluar dari balik kainnya. Seperti sengaja, wanita itu menggerakkan tubuhnya, sehingga belahan kain yang melilit agak tersingkap. Terlihatlah dua paha yang terbungkus kulit putih itu, Mata Wratama tidak berkedip memandanginya

"Tunggu dulu, Wratama," wanita itu mendorong dada Wratama yang akan memeluknya.

"Kenapa? Kenapa kau menolak?" Wratama terus saja ingin memeluk.

"Kau belum mengatakan apa-apa padaku," kata wanita itu.

"Keadaan di Padepokan Pasir Batang, maksudmu?"

Wanita itu hanya tertawa mengikik. Irama tawanya dipenuhi nafsu birahi, sehingga Wratama hanya menelan ludah untuk yang sekian kalinya. Tangannya sejak tadi telah bermain-main di paha yang putih terbuka.

"Separuh lebih murid Ki Gandara tewas, sedangkan hanya enam dari Raja Dewa Angkara," kata Wratama.

"Kenapa bisa begitu?" suara wanita itu terdengar terkejut mendengar enam orang dari Raja Dewa Angkara tewas.

"Ada seorang pendekar sakti yang membantu."

"Siapa dia?"

"Pendekar Rajawali Sakti. Dia yang membunuh tiga orang Raja Dewa Angkara di halaman rumah kepala desa."

Sesaat suasana hening.

"Bagaimana orangnya?" tanya wanita itu.

"Masih muda, tampan, dan berilmu tinggi. Senjatanya sebuah pedang yang bisa memancarkan sinar biru."

Kembali tak terdengar suara.

"Ah, sudahlah. Kau datang ke sini bukan untuk membicarakan hal itu, kan?" Wratama sudah tidak sabaran lagi.

Wanita itu tidak dapat menolak lagi. Wratama sudah memeluknya ketat. Ciuman dan kecupannya membuat wanita itu mengerang, dan membalas dengan gejolak yang menggelegak dalam dada. Kini di kamar itu hanya terdengar desah nafas memburu disertai erangan dan rintihan yang membangkitkan gairah.

Sementara itu di atap, tepat di atas kamar yang dipenuhi hawa nafsu birahi, Rangga menahan nafas. Suara suara yang didengarnya terakhir membuat gelisah dirinya sendiri. Bergegas dia melompat menuju pohon yang berada tepat di depan jendela kamar itu.

Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menahan nafas dengan mata sedikit membelalak. Jelas sekali dari tempatnya bertengger, terlihat dua tubuh menyatu rapat di atas ranjang. Jendela yang terbuat dari bilah-bilah papan, memang terlalu renggang susunannya. Sehingga apa yang terjadi di dalam kamar dapat terlihat jelas meski hanya diterangi oleh sebuah pelita kecil.

"Siapa wanita itu? Apakah salah seorang dari Raja Dewa Angkara?" Rangga bertanya-tanya dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu belum dapat menduga-duga lebih jauh. Dipalingkan mukanya, karena tidak sanggup untuk melihat terus ke dalam kamar. Hanya sesekali saja matanya melirik ke sana. Dan setiap kali melihat dua manusia berlainan jenis itu tengah dimabuk birahi, dadanya seketika berdetak lebih keras dari biasanya. Sungguh pemandangan yang membuat Rangga jadi berkeringat

Agak lama juga Rangga tersiksa sendiri di atas pohon. Rasa penasarannya pada wanita itu, membuatnya ber-tahan dalam ketersiksaannya. Padahal sejak tadi dia ingin pergi. Saat matanya kembali melirik dalam kamar, ternyata Wratama telah tergolek dengan dada bergerak cepat. Sedang wanita itu duduk di sampingnya.

Wanita itu beringsut turun dari pembaringan. Terlihat jelas kalau dia tidak mengenakan selembar kain pun pada tubuhnya. Kembali Rangga menahan nafas melihat lekuk-lekuk tubuh indah dan menggairahkan. Wanita itu mengenakan kembali pakaiannya. Wratama masih tergolek tak berdaya.

"Dia keluar," bisik Rangga dalam hati.

Dengan sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali berada di atas atap lagi. Sebentar dia menunggu, dan terlihatlah wanita itu telah mengenakan pakaian serba hitam. Dia melesat cepat ke luar kedai makan yang sekaligus tempat penginapan. Gerakannya lincah dan ringan, sulit diikuti oleh mata biasa. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti, hal itu bukanlah persoalan.

Sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar Rajawali Sakti terus mengikuti ke mana wanita itu pergi. Wanita itu tidak menyadari kalau sejak semula telah dibuntuti karena gerakan Pendekar Rajawali Sakti sangat ringan dan tidak menimbulkan suara sedikit pun.

"Mau ke mana dia?" Rangga bertanya dalam hati.

Kening Rangga berkerut makin dalam setelah tahu kalau wanita itu menuju ke Gunung Balakambang. Kini tubuh wanita itu sebentar menghilang, sebentar kemudian terlihat. Pohon-pohon dan semak yang makin rapat membuat Rangga makin berhati-hati mengikutinya. Dia yakin kalau wanita itu salah seorang dari Raja Dewa Angkara.

"Hm, Wratama..., apa hubungannya dia dengan Raja Dewa Angkara?" lagi-lagi Rangga bertanya dalam hati.

Namun belum lagi sempat mendapat jawaban, mendadak...

"Uts!"

Rangga melompat sambil bersalto cepat ketika sebuah tombak hitam meluncur deras ke arah tubuhnya. Belum lagi dia sempat turun, kembali sebatang tombak mengarah deras kepadanya. Berikutnya disusul tombak tombak lain dari segala penjuru mata angin.

"Setan!" dengus Rangga sambil bersalto di udara menghindari serangan gelap yang datang bagai hujan.

Ternyata bukan hanya tombak yang mengincar nyawanya, tetapi juga serbuan anak-anak panah yang kini meluncur dari segala arah. Pendekar Rajawali Sakti dibuat sedikit kewalahan. Tidak diberi kesempatan untuk menarik napas sedikit pun! Bahkan untuk menjejakkan kaki di tanah saja, tidak ada peluang sama sekali. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak sedang mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', mungkin sudah sejak tadi tubuhnya tercincang.

********************

Keadaan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak memungkinkan untuk lolos. Serangan gelap itu semakin gencar datangnya. Beberapa kali ujung tombak hampir mengenai tubuhnya. Rangga jadi sengit. Sambil berteriak melengking, dia melompat lebih tinggi seraya mencabut pedangnya.

Sret, Cring!

Seketika keadaan di dalam hutam lereng Gunung Balakambang jadi terang benderang oleh sinar pedang yang biru kemilauan. Dengan senjata pusaka, itu. Rangga mengamuk bagai banteng luka. Sinar biru bergulung-gulung menyelimuti tubuhnya. Beberapa batang tombak dan anak panah rontok berhamburan sebelum mencapai sasaran.

"Ke luar kalian!" teriak Rangga.

Suaranya menggelegar karena disertai pengerahan tenaga dalam yang luar biasa. Begitu hebatnya suara Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga daun-daun berguguran. Batu-batu kerikil berlompatan terkena getaran suaranya. Dan lebih hebat lagi, pengaruh teriakan itu membuat serangan tombak dan anak panah berhenti mendadak.

Pendekar Rajawali Sakti melenting dan berputar di udara dua kali, sambil memasukkan kembali pedang pusaka ke dalam sarungnya di punggung. Dia hinggap dengan manis di atas sebuah dahan pohon yang cukup tinggi. Bagaikan mata rajawali, matanya merayapi sekitar-nya. Terlihatlah tubuh-tubuh berseragam kain hitam bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak

"Harus diberi pelajaran manusia-manusia iblis ini!" dengus Rangga dalam hati.

Tangannya bergerak cepat merampas daun-daun pohon di sekitamya. Sambil mengerahkan tenaga dalam, dilemparkannya daun-daun itu ke arah orang-orang yang berpakaian serba hitam. Daun-daun yang semula lemas tak berguna, kini bagaikan senjata rahasia ampuh yang meluncur deras melebihi kecepatan anak panah yang lepas dari busurnya.

Seketika terdengar suara jerit kesakitan saling susul. Kemudian tidak kurang dari enam orang berpakaian serba hitam bertumbangan. Daun-daun yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti bagaikan terbuat dari logam keras, menancap di dada mereka.

"Mampus kau, iblis-iblis keparat!" desis Rangga dengan nada geram.

Kembali tangannya merampas daun-daun, lalu dilemparkan dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat Dan terdengarlah jeritan menyayat disusul tumbangnya beberapa tubuh berpakaian serba hitam. Desisan Rangga rupanya terdengar oleh mereka. Maka sebatang tombak pun meluncur deras ke arah Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu menggerakkan tangannya cepat menangkap tombak itu. Tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya meluruk cepat ke arah si pelempar tadi.

"Akh!" pelempar tombak itu terkejut. Segera digulingkan tubuhnya ke samping Kaki Pendekar Rajawali Sakti hanya menjejak tanah kosong. Namun belum sempat bergerak, tiba-tiba seseorang membokong dengan tombak terhunus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Ih!" Pendekar Rajawali Sakti menangkis dengan tombak yang ada di tangannya. Trak!

Dua tombak hitam beradu keras. Tanpa membuang waktu lagi, kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun keras, dan..., Buk!

Telapak kakinya tepat mendarat di dada penyerangnya. Orang itu terjengkang beberapa langkah ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti melemparkan tombak di tangannya. Tombak itu meluncur deras, dan tepat menghujam di dada pembokong tadi. Jerit menyayat terdengar bersamaan dengan ambruknya orang itu. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menarik nafas, mendadak datang dua serangan dari arah samping kanan dari jarinya.

Hanya dengan menggeser selangkah ke belakang, dua ujung tombak mengenai sasaran kosong Sambil menarik badan ke belakang, Pendekar Rajawali Sakti menangkap dua tombak itu, lalu mengangkatnya ke atas. Dua tubuh melayang deras dan... Trak!

Kepala dua orang itu beradu keras. Tanpa mengeluarkan suara lagi, dua orang berpakaian serba hitam itu ambruk dengan kepala pecah. Rangga menoleh pada orang yang kini tidak bersenjata. Orang yang pertama menyerangnya ketika di atas pohon. Tampak orang itu mundur dengan bola mata jelalatan ke kanan dan ke kiri.

Rangga membuang tombak yang ada di tangan kanannya. Kemudian dia menghunus satu tombak lainnya dengan tangan kiri. Kakinya bergerak perlahan mendekati satu orang itu.

"Huh! Ayo kita bertarung tanpa senjata!" dengus Rangga. Tangan kirinya membuang tombak ke samping.

Rangga berdiri tegak dengan sikap menantang. Orang yang seluruh tubuhnya terbalut kain hitam, berhenti mundur. Dia seperti menyadari kalau dia sendiri yang masih hidup. Lalu dengan satu teriakan melengking, tubuh-nya mencelat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

Hanya sedikit saja Rangga memiringkan tubuhnya, maka serangan itu lewat di depannya. Secepat kilat tangan Rangga menjulur, dan menotok pundak orang itu. Namun tidak diduga sama sekali, totokannya dapat dihindari dengan manis. Orang itu menjatuhkan tubuhnya sambil mengayunkan kakinya.

Dengan cepat Rangga menurunkan tangannya. Dan kaki lawanpun membentur tangan Rangga yang teraliri kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi. Rangga menduga kaki itu akan patah namun kenyataannya. Orang itu malah memutar tubuhnya setengah miring, lalu kakinya kembali terayun mengarah ke iga.

"Hebat," gumam Rangga memuji tenaga dalam lawan yang mampu mengimbangi tenaga dalamnya.

Cepat-cepat Rangga mengegoskan tubuhnya, dan kaki itu lewat beberapa helai rambut di samping iganya. Rangga kembali mengulurkan tangan kanannya ke arah pundak lawan. Dia sengaja mengincar bagian tubuh dengan totokan saja. Dia ingin orang ini hidup tanpa terluka. Gerakan Rangga yang cepat, kali ini sulit dihindari. Dengan rasa terpaksa, orang itu menangkis tangan Rangga. Namun cepat pula Rangga memutar tangannya. Dan....

"Ah!" orang itu mendesah kaget. Mendadak tangan kirinya lemas lunglai. Belum lagi hilang rasa terkejutnya. Jari tangan Rangga sudah kembali bergerak cepat Kini bagian bahu dan dada orang itu kena totokan yang membuat seluruh tubuhnya lemas. Tanpa dapat dihindari lagi, tubuh yang mengenakan pakaian serba hitam itu jatuh lunglai.

"Hup...!" Rangga cepat-cepat menyangga tubuh yang lemas tak bertenaga itu. Tanpa membuang uang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung memanggulnya. Sebentar diedarkan pandangan berkeliling, lalu mengempos tubuhnya. Sekejap mata saja tubuh Rangga sudah mencelat ke angkasa. Dengan kaki menjejak pada ujung ujung dahan pohon, Pendekar Rajawali Sakti bagai terbang meninggalkan tempat itu.

********************

Rangga melemparkan kayu ke atas api unggun. Cahaya api jadi bertambah terang dan menghangatkan sekitar goa. Dua kali Rangga menambahkan kayu, kemudian dihampiri-nya tubuh ramping terbalut kain hitam yang menggeletak di atas daun-daun kering Rangga merenggut topeng dari kain hitam yang menutupi seluruh kepala orang Itu.

Tampak seraut wajah cantik dengan bola mata bulat indah terbias oleh cahaya api. Rambutnya tergulung ke atas cukup rapi. Bibimya bergerak-gerak seolah hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada sedikit pun suara yang ke luar. Hanya bola matanya saja yang liar mem-belalak lebar menatap tajam wajah Pendekar Rajawali Sakti.

"Melati..." desis Sawung Bulu yang berada di belakang Rangga.

"Kau kenal dia?" tanya Rangga seraya menoleh.

Sawung Bulu menggeser, matanya merayapi wajah cantik yang tergolek lemah.

"Tidak salah, dia Melati. Aku masih ingat betul!" seru Sawung Bulu mengenali wajah wanita itu.

Sawung Bulu menjulurkan tangannya dan membalikkan kepala wanita itu. Disibakkan rambut yang menjuntai di samping kepala wanita itu. Tampak pada belakang telinganya, terdapat bulatan hitam sebesar kuku jari. Sawung Bulu kembali membalikkan kepala itu, matanya merayapi wajah yang putih kemerahan.

"Dia..., dia Melati!" seru Sawung Bulu pasti.

Rangga menatap Sawung Bulu dan wanita itu bergantian.

"Dia anak Kepala Desa Karang Sewu. Letaknya di sebelah Barat Desa Pasir Batang Tiga tahun lalu Melati dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa Angkara," Sawung Bulu menjelaskan.

Rangga menggerakkan jari-jarinya menotok dua kali pada bagian leher wanita yang dikenal Sawung Bulu bernama Melati. Sebentar wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu bola matanya menatap tajam pada Rangga dan Sawung Bulu bergantian.

"Bebaskan aku. Kita bertarung sampai mati!" dengus wanita itu dingin.

Rangga meraba dada wanita itu.

"Setan! Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak wanita itu geram. Dia berusaha menggeliatkan tubuhnya, tapi pengaruh totokan Pendekar Rajawali Sakti sangat kuat.

"Dalam tubuhnya mengalir sejenis racun yang bisa mempengaruhi jiwanya," Rangga bergumam.

"Apakah bisa disembuhkan?" tanya Sawung Bulu.

"Entahlah. Aku harus tahu dulu racun jenis apa yang bersarang di tubuhnya. Yang jelas dia sekarang tidak tahu lagi siapa dirinya," sahut Rangga.

Rangga kembali menggerakkan jari-jari tangan untuk menotok leher wanita itu. Seketika wanita itu diam lemas. Sambil mendesah panjang, Pendekar Rajawali Sakti meng-henyakkan tubuhnya bersandar ke dinding goa. Sementara Sawung Bulu duduk di samping wanita itu.

"Apakah racun itu mematikan, Rangga?" tanya Sawung Bulu.

"Tidak," sahut Rangga. "Racun itu hanya mempengaruhi jiwa dan pikiran. Hmm... apakah dia punya ilmu silat?"

Sawung Bulu menggeleng. "Setahuku, Melati tidak pernah belajar ilmu silat."

"Aneh, kepandaiannya cukup tinggi. Mustahil dalam waktu tiga tahun saja, bisa memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi." gumam Rangga.

"Aku rasa karena pengaruh racun itu," Sawung Bulu menduga-duga.

"Mungkin," desah Rangga.

Sawung Bulu terdiam sejenak dicoba untuk mereka-reka hal yang tengah dialaminya kini. Memang sulit dipercaya kalau korban-korban persembahan untuk Raja Dewa Angkara dijadikan semacam laskar wanita. Dalam waktu singkat saja, wanita-wanita yang selama hidupnya buta terhadap ilmu olah kanuragan, tiba-tiba menjadi orang yang tangguh.

Sedangkan di benak Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir tentang jenis ramuan yang digunakan oleh Raja Dewa Angkara itu Banyak diketahuinya tentang jenis-jenis racun dan ilmu ilmu pengobatan. Tapi untuk racun jenis ini. rasanya belum pernah dipelajarinya. Atau mungkin ia lupa?

Rangga terus mencoba membuka ingatannya tentang segala jenis racun dan ramuan ramuan yang didapatnya dari buku-buku warisan Pendekar Rajawali Sakti (Baca: Serial Pendekar Rajawali Sakti. Episode: Iblis Lembah Tengkorak)

Rangga menggeser duduknya mendekati wanita yang masih tergolek lemas itu. Sawung Bulu menggeser duduknya memberi tempat. Kembali jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak membebaskan totokan pada leher wanita itu.

"Nyawamu ada di tanganku. Aku bisa membunuhmu semudah aku membalikkan tangan," suara Rangga dibuat dingin

"Huh! Kau kira aku takut mendengar ancaman mu?" wanita yang dikenal Sawung Bulu bernama Melati ini ter-senyum mengejek

"Terserah kau ingin bilang apa. Yang jelas kau sendiri tidak kenal lagi siapa dirimu yang sebenarnya," suara Rangga terdengar tenang "Siapa namanya tadi?" lanjut Rangga diarahkan pada Sawung Bulu

"Melati," sahut Sawung Bulu.

"Dengar, Melati. Jiwamu sedang dipengaruhi oleh kekuatan iblis! Aku ingin membebaskanmu dari pengaruh itu. Berbuatlah wajar dan tidak melakukan hal hal yang dapat merugikan dirimu sendiri. Pengaruh ibhs itu tak akan lenyap tanpa kau sendiri yang bersedia melepaskannya."

Melati hanya mencibir penuh ejekan

"Bantu aku, Sawung," kata Rangga.

Rangga mengangkat tubuh Melati dibantu Sawung Bulu. Mereka mendudukkannya dekat api. Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti membuka pakaian atas Melati.

"Kurang ajar! Kubunuh kau!" sentak Melati geram.

Seketika wajah Melati merah padam menahan malu dan geram. Sawung Bulu sampai tak berkedip memandang bagian dada Melati yang membulat indah dan terbuka lebar. Sangat jelas terlihat karena dia berada tepat di depannya. Tangannya yang memegangi pundak Melati, jadi berkeringat gemetaran. Beberapa kali Sawung Bulu menelan ludah membasahi teng gorokan yang mendadak kering.

Rangga tidak mempedulikan makian Melati. Terus dibukanya bagian belakang tubuh wanita itu, kemudian duduk bersila. Kedua tangannya terbuka dan diletakkan di punggung yang putih mulus. Sedikit Rangga bergetar begitu merasakan halusnya kulit punggung Melati. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti itu menekan perasaannya yang mendadak bergejolak. Kelopak mata Rangga terpejam. Dikerahkan hawa murni dalam tubuhnya, dan disalurkannya ke telapak tangan yang menempel erat di punggung Melati.

"Lepaskan tanganmu, Sawung," kata Rangga sambil membuka matanya.

Sawung Bulu melepaskan tangannya dari pundak Melati. Dia benngsut ke samping agak menjauh. Namun matanya tidak mau lepas menatap bukit indah yang terbuka. Ketika hawa mumi yang tersalur dalam telapak tangan Rangga menyentuh kulit punggung Melati, tiba-tiba wanita itu mengejang kaku. Semakin lama tubuh Rangga semakin kuat bergetar. Asap putih mengepul tipis dari punggung Melati. Dan saat Rangga mendengus keras, Melati berdahak

"Hoek!"

Dari mututnya ke luar cairan kuning kehijauan yang kental. Dua kali Melati berdahak, dua kali pula cairan itu meluncur dari mulutnya. Rangga masih menyalurkan hawa murni ke tubuh wanita itu. Kini keringat telah menganak sungai di wajah dan di tubuh Rangga.

"Aaa...!" tiba-tiba Melati menjerit keras. Rangga menarik tangannya bersamaan dengan ter-kulainya wanita itu ke pelukan Rangga. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menarik napas panjang lalu ditutupinya lagi tubuh yang polos terbuka. Tangannya agak bergetar ketika memakaikan baju Melati kembali.

Masih sedikit gemetar, jari-jari tangan Rangga menyeka darah yang merembes ke luar dari sudut bibir Melati. Dia menggeser tubuhnya, dan dibiarkan wanita itu tergolek di tangan lembab dalam goa. Melati tergolek dengan dada bergerak teratur. Baju hitamnya sudah kembali rapih seperti semula membungkus tubuh yang ramping indah.

"Bagaimana?" tanya Sawung Bulu sambil mendekat.

"Masih perlu waktu. Pengaruh iblis terlalu kuat ter-tanam pada aliran darahnya," jawab Rangga sambil memindahkan tubuh Melati kembali ke atas tumpukan daun-daun kering.

Rangga menghenyakkan tubuhnya kembali dan ber-sandar di dinding goa. Matanya tetap memandang pada wanita yang kini tergolek bagai tidur pulas. Kepala Rangga menggeleng-geleng dengan kening agak berkerut.

"Berbahaya sekali...," gumam Rangga pelan.

"Apanya yang berbahaya?" tanya Sawung Bulu sambil mendekat. Dia duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Aku tidak bisa membantunya dengan menyalurkan hawa murni," sahut Rangga pelan

"Lalu...?"

"Satu-satunya jalan hanya Raja Dewa Angkara yang bisa memulihkan."

"Maksudmu, obat pemunahnya hanya pada Raja Dewa Angkara?"

"Ya, hanya dia yang tahu jenisnya. Hanya dia pula yang bisa menyembuhkannya. Aku tidak tahu, apakah berbentuk pil atau cairan. Atau mungkin dan kekuatan bathin."

Sawung Bulu mendesah panjang. Dia sudah bisa paham maksud kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi. Satu-satunya cara adalah melenyapkan Raja Dewa Angkara. Susahnya, iblis itu mempengaruhi wanita-wanita yang diserahkan untuk korban persembahan melalui kekuatan gaib dan kebathinan. Jika hanya ramuan saja, masih bisa dicari jenis ramuan pemunahnya.

Sedangkan, sepertinya Pendekar Rajawali Sakti sendiri sudah mengetahul penyebab gangguan jiwa pada wanita ini. Hanya saja dia tidak ingin menyebutkannya. Sawung Bulu bisa menangkap rahasia yang tersembunyi dari cahaya mata Pendekar Rajawali Sakti.
********************

LIMA

Rangga terbangun ketika mendengar suara langkah kaki mendekati mulut goa. Bergegas dia melompat mendekati mulut goa. Tangannya menyingkapkan sedikit semak belukar yang menutupi mulut goa kecil ini.

"Sawung Bulu. Huh, kukira siapa?" dengus Rangga.

Sawung Bulu menyibakkan semak lalu melangkah masuk. Dia kaget juga melihat Rangga berdiri di balik dinding mulut goa. Dilemparkannya dua ekor kelinci ke dekat api unggun yang masih menyala kecil.

"Pagi-pagi sudah dapat kelinci," kata Rangga agak bergumam.

"Aku rasa cukup untuk makan kita bertiga," sahut Sawung Bulu terus melangkah.

Rangga menoleh pada Melati yang tampaknya sudah bangun. Wanita itu masih tetap tergolek, hanya bagian leher ke atas saja yang bisa digerakkan. Pengaruh totokan Pendekar Rajawali Sakti begitu kuat, sehingga tidak bisa lepas kalau tidak ditolong orang lain.

Di dekat api unggun, Sawung Bulu kini sibuk menguliti kelinci-kelinci buruannya, dan memanggangnya di atas api. Bau harum daging kelinci panggang mulai tercium, membuat perut minta segera diisi. Rangga melangkah mendekati Melati, lalu duduk di samping wanita itu.

"Aku yakin perutmu pasti lapar," kata Rangga.

"Huh!" Melati hanya mendengus mencibir.

Rangga hanya tersenyum, lalu bangkit mendekati Sawung Bulu. Bau harum daging kelinci panggang membuat perutnya jadi tidak sabaran. Rangga mencomot daging yang sudah matang. Sawung Bulu membawanya kepada Melati.

"Dari semalam perutmu belum diisi. Nih...," Sawung Bulu menyodorkan sepotong daging yang sudah matang.

Tetapi Melati hanya mendelik saja. Mana mungkin bisa makan dalam keadaan tertotok seperti itu? Perutnya memang lapar sekali, tapi pengaruh iblis yang menguasai jiwanya lebih memilih lapar daripada menerima kebaikan Sawung Bulu.

Sawung Bulu menoleh pada Rangga yang tengah menikmati makan paginya. Sinar matanya menyiratkan agar Rangga mau membebaskan totokan pada tubuh Melati.

"Sudahlah, dia tidak akan mati jika hanya dua tiga hari tidak makan," kata Rangga seperti mengetahui arti tatapan Sawung Bulu.

Sawung Bulu mencuil sedikit daging kelinci, lalu disuapkannya ke mulut Melati. Tetapi wanita itu malah membuang mukanya ke samping. Sinar matanya memancarkan kebencian yang amat sangat. Sawung Bulu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Bahunya terangkat sedikit Kemudian dimakannya sendiri daging panggang itu.

Sebenarnya Sawung Bulu merasa kasihan melihat Melati tersiksa seperti itu. Tapi dia tidak berani mele-paskan totokan ditubuhnya. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Melati sangat berbahaya bila terlepas dari pengaruh totokan.

"Kau pasti kenal betul dengan Wratama," kata Rangga yang tiba-tiba ingat dengan kejadian semalam di kedai makan sekaligus tempat penginapan itu.

"Wratama...? Tentu saja aku kenal. Ada apa dengannya?" tanya Sawung Bulu.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu kedudukannya di Desa Pasir Batang."

"Wratama orang kepercayaan Ki Brajananta. Kedudukannya tidak beda dengan wakil kepala desa," Sawung Bulu menjelaskan.

"Dia juga murid Padepokan Pasir Batang?"

"Bukan. Wratama pernah jadi punggawa kerajaan. Entah kenapa dia keluar, lalu belajar ilmu kesaktian pada seorang pertapa di Gunung Kidul. Dia datang ke Desa Pasir Batang sekitar sebelas tahun lalu."

"Ada keluarganya di sana?"

"Wratama masih keponakan Ki Brajananta. Ayahnya adik sepupu Ki Brajananta yang dulu juga menjabat Kepala Desa Pasir Batang."

"Hm, kau tahu nama pertapa itu?" tanya Rangga.

"Kalau tidak salah namanya Eyang Parang Jati. Beliau sudah mangkat sehari setelah Wratama meninggalkannya. Khabarnya dia mangkat setelah menurunkan seluruh llmunya pada Wratama yang jadi pewaris tunggal."

"Kau tahu, sampai di mana tingkat kepandaiannya?" tanya Rangga lagi. Dia semakin tertarik untuk mengetahui latar belakang kehidupan Wratama.

"Sayang sekali, aku belum pernah melihat Wratama menggunakan ilmunya. Dia seperti tidak memiliki satu kepandaian pun."

Rangga tercenung sejenak. Memang kelihatannya Wratama hanya seperti orang biasa yang awam terhadap ilmu olah kanuragan atau ilmu-ilmu kesaktian. Sikap dan pembawaannya tenang, dan tidak banyak bicara. Wratama ibarat pemuda lemah yang biasa hidup bagai seorang pangeran manja dikelilingi puluhan pengawal. Penampilannya pun rapih dan perlente.

Memang tidak ada yang bisa menduga kalau Wratama memiliki ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Setiap orang pasti menyangka dia seorang pemuda lemah. Rangga sendiri semula menduga begitu Tapi semuanya pupus setelah dilihatnya langsung Wratama tengah mengerahkan ilmu peringan tubuh. Yang menjadi pertanyaaan sekarang, apa hubungannya Wratama dengan Raja Dewa Angkara?

"Aku akan ke luar sebentar," kata Rangga seraya bangkit berdiri.

"Kau di sini saja, ingat jangan coba-coba membebaskan dia dari totokanku."

Sawung Bulu hanya mengangguk Dia sudah percaya penuh pada kemampuan Pendekar Rajawali Sakti ini Sedikit pun tidak ada lagi keraguan di hatinya.

********************

Rangga menyebnap dari balik tembok rumah ke tembok rumah lainnya. Gerakannya cepat dan ringan tanpa suara sedikit pun. Sebentar saja sudah terlihat berada di balik tembok rumah Wratama. Matanya tajam mengawasi sekelilingnya. Keadaan sekitar tampak sepi. Sementara matahari sudah tenggelam di belahan bumi bagian barat. Bulan yang menggantikannya hanya mengintip sedikit di balik awan hitam. Rangga melenting ke angkasa. Dua kali salto, kemudian meluruk menuju atap.

"Uts!"

Rangga kembali melenting ke udara ketika ujung kakinya akan menapak atap. Seberkas sinar keperakan meluncur deras menerjang atap. Saat Rangga masih berada di udara, kembah sinar keperakan meluncur deras mengancam dirinya. Lima kilatan sinar keperakan meluncur deras beruntun Rangga berjumpalitan di udara menghindari sinar-sinar keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya berkelebat cepat menangkap satu sinar, lalu dengan cepat meluruk ke atas atap.

"Ruyung perak..," desis Rangga begitu mengetahui sebuah ruyung kecil berada di genggamannya.

Ternyata ruyung perak itu adalah senjata rahasia. Rangga bersalto di udara menghindari sinar-sinar keperakan di sekitar tubuhnya. Tangannya berkelebat cepat menangkap salah satu sinar.

"Ruyung perak!" desis Rangga begitu tahu sebuah ruyung kecil berada di genggamannya dari perak murni.

Rangga mengedarkan penglihatan ke sekelilingnya. Merayapi kegelapan yang menyelimuti sekitarnya. Sekilas dilihatnya sesosok tubuh berpakaian warna gelap ber-kelebat di antara pepohonan. Dengan cepat Rangga melompat meluruk ke arah sosok tubuh yang berkelebat. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti meluruk, tahu-tahu sudah ada di depan orang itu.

"Wratama!" sentak Rangga.

Orang berpakaian gelap itu memang benar Wratama. Dia tampak terkejut ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri menghadang. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat, dan dua buah sinar keperakan berkelebat meluncur ke arah Rangga

Tap! Tap!

Rangga menggerakkan tangannya dengan cepat. Dua sinar keperakan kembali meluncur berbalik ke arah si pemiliknya. Wratama melompat menghindari senjatanya sendiri. Dua ruyung perak itu meluruk melewati ujung bawah kakinya, dan menancap ke pohon di belakangnya.

Lemparan Pendekar Rajawali Sakti yang mengerahkan tenaga dalam maha dahsyat membuat pohon yang tertancap ruyung terbelah dua. Suara gemuruh terdengar dari pohon yang terbelah bagai terbelah oleh kampak. Pohon pun tumbang. Wratama yang tidak menyangka akan sehebat itu serangan balik Pendekar Rajawab Sakti, hanya terkesiap saja.

"Hm, rupanya nama besar Pendekar Rajawali Sakti hanya nama kosong!" sinis suara Wratama penuh nada ejekan.

"Kau pantas jadi orang panggung, Wratama. Hebat sekali permainan sandiwaramu," Rangga balas mengejek.

"He he he...!" Wratama tertawa terbahak-bahak.

"Tertawalah sepuasmu. Malam ini kedok busukmu tak akan berguna lagi kau pamerkan!" terasa dingin suara Rangga.

"Hebat..! Ancamanmu sungguh hebat untuk menakut-nakuti bocah ingusan. Tidak kusangka gelandangan hina rendah berani memakai nama pendekar besar. He he he.... Kau pikir dengan memakai nama Pendekar Rajawali Sakti aku akan gentar? Seribu Pendekar Rajawali Sakti datang ke sini, aku tidak akan mundur satu langkah pun!"

"Sombong!" dengus Rangga muak.

Sret! Tiba-tiba Wratama mengeluarkan sebatang tombak kecil dari balik bajunya. Sebatang tombak berwarna hitam pekat dengan ujung runcing berwarna merah. Dari ujung tombak itu memancar sinar bagai api yang siap berkobar-kobar membakar apa saja yang terkena.

Rangga menggeser kakinya ke belakang satu langkah. Dalam Jarak sekitar tiga batang tombak saja sudah terasa pamor tombak itu. Pamor itu memancarkan hawa panas menyengat kulit hingga menembus langsung ke tulang.

"Hh, melihat pamor senjataku saja kau sudah ngeri, pendekar edan!" dengus Wratama mengejek

Rangga hanya tersenyum saja. Segera dikerahkan jurus pembukaan 'Cakar Rajawali'. Seketika saja jari-jari tangannya mengembang keras dan kaku. Bersamaan dengan itu, Rangga pun mengerahkan hawa murni yang disalurkan ke seluruh tubuhnya. Hawa panas dari pamor tombak itu demikian hebat sehingga Rangga harus mengerahkan hawa murni untuk mengimbanginya.

"Keluarkan senjatamu, pendekar edan!" sentak Wratama.

"Hm...," Rangga hanya tersenyum tipis.

"Baik! Jangan katakan aku kejam kalau kau mati tanpa senjata!"

"Tidak pantas kau bersikap ksatria. Keluarkan seluruh akal busukmu yang licik!" dengus Rangga.

"Setan!" geram Wratama.

Dengan cepat Wratama melompat seraya mengeluarkan teriakan keras. Ujung tombak pendeknya berkelebat cepat sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya merah saja. Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri ketika ujung tombak yang berwarna merah menusuk ke arah dadanya. Sinar merah membara berkelebat di depan dada Rangga. Hawa panas terasa menerpa.

Rangga mengangkat tangan kanannya dan menyentil ujung tombak itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Wratama menggunakan tenaga sentilan itu untuk memutar tombaknya. Cepat sekali gerakan tombak itu berputar. Rangga sampai terkesiap matanya, lalu dengan cepat dilentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Ujung tombak yang memancarkan sinar merah panas itu berkelebat di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang berputaran ke belakang.

Menyadari lawannya tidak memberi kesempatan Pendekar Rajawali Sakti jadi geram. Ujung jari tangannya menotok ujung tombak yang datang mengarah dada. Ketika ujung tombak sedikit goyang, secepat kilat Rangga melentingkan tubuhnya sejauh dua batang tombak, lalu dengan manis mendarat kembali di tanah. Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Rupanya Wratama mengetahui kelemahan jurus Cakar Rajawali, sehingga tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Rangga untuk membalas.

"He... he... he...," Wratama terkekeh melihat lawannya seperti kebingungan. Dalam beberapa gebrak saja, Wratama sudah dapat melihat keunggulan dan kelemahan jurus 'Cakar Rajawali'. Dilihatnya bagian dada Rangga selalu kosong. Maka dengan cepat dada itu diincarnya, sementara dibiarkan ujung tombaknya dijadikan sasaran jari-jari yang kaku mengeras bagai baja. Tidak sedikit pun Wratama memberi kesempatan pada Rangga untuk memainkan jari-jari tangannya yang sangat berbahaya.

"Hanya jurus mainan bocah kau pamerkan padaku," ejek Wratama.

"Hmmm...," Rangga bergumam.

Matanya tetap tajam menatap lawannya. Kedua tangannya direntangkan ke samping. Dia telah siap dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Jurus andalan yang kedua dari rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Cepat sekali kedua tangan Rangga bergerak mengibas, bagai sepasang sayap seekor rajawali. Dan kini kaki Rangga tidak lagi menapak tanah.

"He... he... he..., permainan sihir yang buruk!" ejek Wratama.

Belum lagi Wratama selesai berkata, mendadak Rangga telah menyerangnya dengan cepat. Wratama pun tidak kalah cepat. Digerak-gerakkan tombaknya ke kanan dan ke kiri menangkis setiap sabetan tangan Rangga. Beberapa kali tombak pendeknya membentur tangan Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi sedikit pun tak berpengaruh apa-apa. Bahkan beberapa kali Wratama berhasil membalas serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

Pendekar Rajawali Sakti meningkatkan serangannya. Kali ini tubuhnya bagai terbang mencelat ke segala arah sambil mengibaskan kedua tangannya mengincar bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Wratama masih kelihatan tersenyum mengimbangi. Jurus Pendekar Rajawali Sakti. Tampaknya dia dapat membaca dan mengetahui ke mana arah serangan yang dilancarkan Rangga, sehingga serangan-serangan itu dapat dipatahkan di tengah jalan.

"Edan! Benar benar hebat dia!" dengus Rangga dalam hati.

Menyadari kalau jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tidak bisa diandalkan, Rangga segera mencelat tinggi ke udara. Secepat kilat dirubahnya jurus menjadi Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Gerakan Rangga makin cepat, kaki kakinya lincah bergerak meluruk mengincar kepala lawan.

Kali ini Wratama kelihatan mulai kerepotan. Beberapa kali harus jatuh bangun menghindari terjangan kaki Rangga yang bagaikan geledek mengincar kepala. Desiran angin tendangan begitu kuat, sehingga Wratama terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi agar tubuhnya tidak goyah.

Di sekitar tempat pertarungan itu bagai terjadi badai topan. Beberapa pohon sudah bertumbangan terkena sepakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan daun-daun berguguran hanya terkena desiran angin sambaran kaki pendekar muda itu. Pendekar Rajawali Sakti bagai bertarung dari segala arah. Sebentar di bawah, sebentar menyerang dari atas. Hal ini membuat Wratama kebingungan menghadapi serangan itu. Sampai saat ini Wratama belum mendapatkan celah kosong kelemahan jurus itu.

"Mampus kau...!" teriak Rangga tiba-tiba.

"Akh!" Wratama terkejut.

Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke udara, dan meluruk kembali dengan kaki mengarah ke bawah. Kedua kakinya bergerak cepat sehingga yang terlihat hanya bayangannya saja. Wratama sangat terkejut. Cepat-cepat diangkat senjata tombak pendek itu.

Wut! Wut! Wut!

Wratama mengebutkan tombaknya berputar melindungi kepala. Dugaannya, Rangga pasti mengincar kepala. Tapi ternyata meleset. Sulit dilihat dengan mata biasa, tiba tiba saja Rangga sudah berdiri di depannya, dan bagai kilat kaki kanannya menghantam.

"Aaakh...!" Wratama menjerit tinggi. Kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti telak mendarat di dada Wratama. Tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' disertai pengerahan tenaga dalam yang hebat membuat tubuh Wratama terlontar deras ke belakang. Tubuh itu terus meluncur menghantam pohon besar hingga hancur berkeping-keping. Tidak berhenti sampai di situ, tubuh Wratama terus meluncur menumbangkan pohon-pohon lainnya. Tubuh Wratama baru berhenti setelah menghantam sebuah baru besar yang menimbulkan suara gemuruh. Belum lagi tubuh Wratama menyentuh bumi, tiba-tiba Rangga meluruk deras, dan...

"Aaa...!" kembali Wratama menjerit melengking. Tangan Rangga mengibas, bagaikan sebilah pedang, membabat buntung tangan kiri Wratama. Darah muncrat deras dari pangkal lengan yang buntung. Rangga segera merampas tombak dari tangan kanan Wratama, lalu ditekannya dada Wratama dengan lututnya. Ujung tombak menempel ketat di leher Wratama.

"Setan! Bunuh aku!" sentak Wratama berang. Dia tidak lagi peduli dengan rasa nyeri pada pangkal lengannya yang buntung itu.

Rangga hanya tersenyum tipis. Tetapi dalam hati Rangga mengakui kehebatan tenaga dalam Wratama. Seharusnya tubuh tadi akan hancur berkeping-keping terkena tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikeluarkan secara penuh oleh Rangga. Rangga sendiri menduga demikian. Pada kenyataannya, Wratama masih hidup. Wratama mencoba menggeliatkan tubuhnya, tapi hanya mampu meringis. Dadanya terasa remuk dan nyeri. Terlebih lutut Rangga semakin kuat menekan dadanya. Ujung tombak mulai menggores kulit lehernya. Darah mulai merembes ke luar dari leher Wratama.

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Wratama tertawa terbahak-bahak.

Rangga kaget bercampur heran melihat Wratama tertawa tergelak, padahal keadaan jiwanya terancam maut.

"Setan!" dengus Rangga begitu melihat bagian leher yang tergores membiru. Cepat-cepat Rangga membuang tombak pendek hitam yang ujungnya berwarna merah menyala. Dengan cepat ditotoknya beberapa bagian di sekitar leher Wratama yang sudah membiru. Warna biru itu seketika berhenti menjalar.

"Percuma saja. Sebentar lagi aku akan mati! Totokanmu tidak akan berpengaruh apa apa pada racun tombakku." kata Wratama seraya terkekeh.

"Kau memang akan mati, bangsat! Tapi kau harus diadili seluruh penduduk Desa Pasir Batang dulu!" dengus Rangga.

"He he he..., aku akan mati, tapi kau akan menerima akibatnya dari Raja Dewa Angkara!"

"Huh! Rupanya kau hanya anjing iblis itu!" rungut Rangga.

"Sebentar lagi Desa Pasir Batang akan hancur! Tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi Raja Dewa Angkara!"

Rangga kian geram. Warna biru dari racun tombak hitam itu terus menjalar ke seluruh tubuh Wratama. Rangga segera berdiri dan membiarkan Wratama mengoceh di akhir hidupnya

"Dengar, pendekar bodoh! Kehadiranmu di desa ini hanya sia-sia saja. Raja Dewa Angkara tak dapat dihalangi. Mati pun aku akan tersenyum. Sudah lama aku menginginkan kehancuran desa ini! Aku puas dapat membalas sakit hati ayahku. Aku puas..., ha ha ha...!" Wratama terus mengoceh seperti orang gila.

"Siapa Raja Dewa Angkara?" tanya Rangga.

"Dia raja dari segala raja dewa-dewa di Kahyangan. Dia yang menguasai seluruh manusia di bumi ini!" makin tidak karuan ocehan Wratama.

Rangga akan bertanya lagi, tetapi Wratama telah kejang-kejang Seluruh tubuhnya sudah berwarna biru. Setelah memuntahkan darah kental kehitaman, Wratama diam tak bergerak Mati Rangga mendesah berat.

Ocehan-ocehan Wratama yang kelihatannya ngawur, membuat Pendekar Rajawali Sakti bertanya-tanya. Sepuluh tahun Raja Dewa Angkara merajalela mencengkeram desa-desa di sekitar lereng Gunung Balakambang. Tentu ada maksud tertentu selain menyebarkan pengaruh iblis dengan menghancurkan desa-desa satu persatu Maksud yang terselubung dari segala tindakan iblis Raja Dewa Angkara yang diwujudkan lewat teror!

Rangga bergumam beberapa kali. Dicernanya kembali semua kata kata Wratama tadi. Kata-kata yang kedengarannya tidak beraturan tapi mengandung arti yang dalam meski masih diliputi tanda tanya besar. Kesimpulan Rangga, kejadian yang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun ini berlatar belakang dendam masa lalu.

"Hm..., Sawung Bulu pernah cerita kalau Wratama itu anak bekas kepala desa. Dan dia juga perah jadi punggawa kerajaan. Sedangkan tadi dalam ocehannya, Wratama sempat berkata kalau dia puas telah bisa membalas sakit hati ayahnya. Ada apa di balik semua ini?" Rangga bertanya tanya dalam hati.

Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti itu tersentak, lalu secepat kilat melompat meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat lagi ditelan kegelapan malam.

********************

ENAM

Brak! Keras sekali Rawusangkan menggebrak meja yang terbuat dari kayu jati tebal itu sehingga retak bagian tengahnya. Bagaspati dan Paralaya terdongak kaget. Berita kematian Wratama yang dibawa Bagaspati membuat merah padam muka Rawusangkan. Dua bola matanya menyala nyala membelalak ke luar seperti akan copot. Dua orang gadis cantik yang sejak tadi duduk di sampingnya, segera minggat.

Rawusangkan tajam me-natap Bagaspati dan Paralaya. Kedua orang itu hanya tertunduk dengan gemetar memendam rasa takut Mereka bisa memakluml kalau Rawusangkan begitu marah men-dengar Wratama tewas, sebab dia adalah adik satu-satunya.

"Bagaimana kejadiannya sampai adikku tewas?" tanya Rawusangkan.

"Rara Inten yang tahu, Kakang," kata Bagaspati.

Rawusangkan segera menatap seorang wanita cantik yang duduk di samping Paralaya. Wanita yang dilihat Rangga berada dalam kamar penginapan bersama Wratama itu malah tenang tenang saja. Bibirnya tersenyum merekah.

"Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya," kata Rara Inten dengan suara halus lembut.

"Katakan, apa yang kau ketahui?" desak Rawu sangkan. Dia terkejut juga manakala Rara lnten menyebutkan orang yang membunuh adiknya.

"Aku hanya melihat Kakang Wratama sudah tewas, sementara Pendekar Rajawali Sakti berdiri di dekatnya. Hanya itu saja yang aku tahu," jawab Rara lnten.

Rawusangkan berdiri berjalan mondar-mandir. Tampak sekali kalau sedang gelisah karena Wratama bisa tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bukan itu saja. Rahasia Raja Dewa Angkara bakal terbongkar! Malah tidak mustahil akan gagal rencana yang dibangunnya selama sepuluh tahun ini.

Rawusangkan berhenti melangkah di depan jendela yang terbuka lebar. Angin malam langsung menerpa tubuhnya. Matanya tajam memandang lurus ke arah lereng Gunung Balakambang. Sepuluh tahun Rawusangkan me-niupkan Raja Dewa Angkara sebagai suatu momok yang menakutkan bagj semua penduduk desa-desa di sekitar lereng Gunung Balakambang

. "Malam ini juga kalian harus ke Desa Pasir Batang. Hancurkan desa itu! Bunuh siapa saja yang berani melawan!" tegas suara Rawusangkan yang memerintah tanpa membalikkan badannya.

"Tapi, Kakang. Bukankah bulan purnama masih dua hari lagi? Tidak mungkin Desa Pashr Batang dihancurkan sebelum waktunya," Bagaspati mengingatkan.

Rawusangkan berbalik, matanya yang merah menyala memandang Bagaspati. Rahangnya terkatup rapat dengan gigi bergemeletuk menahan geram.

"Ini perintahku! Perintah Raja Dewa Angkara pantang ditentang!" keras suara Rawusangkan.

Bagaspati bungkam, tidak berani membantah lagi. Membantah perintah Rawusangkan alias Raja Dewa Angkara berarti maut. Bagi Rawusangkan, mencabut nyawa tidak sesulit membalikkan telapak tangan. Begitu mudah, tanpa menghiraukan nyawa siapa yang akan dicabutnya.

"Tunggu apa lagi? Laksanakan perintahku, cepat!" bentak Rawusangkan.

Bagaspati menoleh pada Paralaya, lalu dua orang itu beranjak pergi. Rawusangkan memandang Rara lnten yang masih duduk di tempatnya. Dihampirinya wanita cantik yang masih menggairahkan ini.

"Kau pun harus segera berangkat, Rara lnten," kata Rawusangkan.

Rara lnten hanya tersenyum, lalu berdiri tapi tidak berlalu dari situ. Bibirnya bak delima merekah, terus menyunggingkan senyum penuh menggoda. Rara lnten memutari meja, dihampirinya Rawusangkan. Dengan kemanjaan dan daya pikarnya, digelayutkan tangannya di leher Rawusangkan. Bola matanya berputar-putar merayapi wajah tampak yang berada dekat dengan wajahnya. Sangat dekatnya, sehingga desah irama nafasnya menerpa hangat pada kulit wajah Rawusangkan.

Rawusangkan melepaskan pelukan Rara lnten pada lehernya lalu mundur dua tindak. Pandangan matanya tidak lagi setajam tadi. Kecantikan dan daya pikat Rara lnten membuat dingin hatinya. Kemarahannya berangsurangsur surut.

Desahan keras terdengar ketika Rara lnten mulai me-lepas pakaiannya satu persatu. Mendadak Rawusangkan merasakan dadanya sesak. Tubuh indah yang kini polos tanpa selembar benang yang melekat membuat dadanya bergemuruh. Rara lnten melenggang gemulai menuju ke kamar yang pintunya terbuka sedikit.

Tangannya mendorong pintu dan terus melangkah masuk. Dibiarkannya pintu terbuka lebar Dengan gerakan lembut, dibaringkan tubuhnya yang polos di pembaringan. Kepalanya menoleh, memandang Rawusangkan yang masih berdiri me-mandangnya.

"Marilah, Kakang. Kita nimati malam ini berdua. Biarkan mereka bergelimang darah dan amarah," lembut suara Rara lnten terdengar.

Rawusangkan melangkah menuju kamar. Tangannya segera menutup pintu setelah kakinya melewati ambang pintu. Sebentar saja di dalam kamar hanya terdengar desah nafas disertai rintihan mengerang lirih dan mendirikan bulu roma.

********************

Desa Pasir Batang malam itu tampak tenang Lam pu pefita kelap kelip di rumah rumah penduduk yang lenggang. Namun ketenangan itu tidak dapat dinikmati oleh Ki Gandara yang duduk termenung di tangga pendopo Padepokan Pasir Batang. Pikirannya masih terpusat pada Wratama yang tewas mengerikan di halaman belakang rumahnya.

Sementara Sangkala yang berdiri di depannya agak ke samping, tidak habis mengerti dengan sikap Wratama yang bersekutu dengan Raja Dewa Angkara. Sedangkan Rangga berdiri bersandar pada tiang pendopo, memperhatikan dua orang yang sedang digeluti pikiran masing masing. Menurut cerita Ki Gandara, ayah Wratama mati terbunuh saat masih menjabat kepala desa.

Kematiannya membuat Wratama seperti kehilangan tongkat pegangan dan kendali hidup. Sejak itulah dia menghilang beberapa tahun lamanya. Kabar terakhir didapat, Wratama telah jadi punggawa kerajaan. Tapi itu tidak lama, karena Wratama kalah dalam adu ilmu dengan seorang pertapa tua dari Gunung Kidul. Sejak itu Wratama berguru pada pertapa tua itu. Semua yang diceritakan Ki Gandara sama persis dengan cerita Sawung Bulu.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, siapa yang mem-bunuh ayah Wratama? Sampai sekarang tidak ada yang tahu. Hingga Wratama muncul di desa ini sebelas tahun yang lalu, keterangan tentang pembunuh orang tuanya masih gelap. Setahun setelah Wratama kembali ke Desa Pasir Batang, terjadi kegemparan dengan munculnya nama Raja Dewa Angkara.

"Aku tidak menduga sama sekali kalau kejadian Ini buntut dari peristiwa dua puluh tahun lalu," gumam Ki Gandara pelan.

Peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu itu rupanya terpendam dalam benak Wratama menjadi dendam. Pada waktu itu usianya sekitar lima belas tahun.

"Apakah Wratama mengira pembunuh ayahnya ada di desa ini, Ki?" tanya Sangkala.

"Entahlah," desah Ki Gandara. "Sejak kematian Ardareja, Brajananta menggantikan kedudukannya sampai sekarang. Dua sepupu itu memang selalu berselisih. Jalan hidup mereka berlawanan sekali. Ardareja menggunakan kekuasaan dan kekayaan untuk memuaskan nafsunya."

Rangga kian tertarik mendengarnya. Dia mendekat dan duduk di samping Ki Gandara. Otaknya langsung bekerja mencerna dan merangkai setiap cerita yang pernah terjadi di Desa Pasir Batang.

"Ardareja selalu memaksakan kehendaknya bila menginginkan seorang gadis yang menarik hatinya. Bukan saja gadis-gadis Desa Pasir Batang yang jadi korban nafsu setannya. Gadis-gadis desa Iain pun tidak lepas dari perhatiannya. Meskipun sudah mempunyai tiga istri, Ardareja masih saja mencari gadis-gadis cantik. Belum lagi tindakannya yang selalu menyengsarakan rakyat"

"Selain Wratama, siapa lagi anaknya?" tanya Rangga.

"Sebenarnya Wratama punya kakak laki-laki. Tetapi sejak lahir anak itu diambil oleh seorang pengembara yang adiknya jadi korban nafsu Ardareja."

"Siapa pengembara itu?" tanya Rangga lagi.

"Pengembara itu dikenal dengan nama Raja Obat," sahut Ki Gandara. "Dia seorang tokoh sesat Tapi sejak dia menculik bayi pertama Ardareja, namanya tidak pernah terdengar lagi."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini jelas sudah kalau peristiwa yang terjadi sepuluh tahun ini, didasari oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya. Kejadian berantai yang tak berkesudahan. Kejadian yang dilumuri dendam buta tanpa sasaran yang pasti.

Tiba-tiba Rangga teringat dengan Rawusangkan, Bagaspati, dan Paralaya. Seluruh penduduk Desa Pasir Batang menganggapnya sebagai sesepuh dan tetua desa. Tapi kedudukannya belum jelas bagi Rangga.

"Ki Gandara dapat menjelaskan tentang Rawusangkan, Bagaspati, dan Paralaya?" pinta Rangga.

Ki Gandara tidak segera menyahuti, tapi hanya menatap Pendekar Rajawali Sakti itu dengan tatapan tak mengerti.

"Terus terang, aku curiga pada mereka bertiga," kata Rangga bisa mengerti arti pandangan Ki Gandara.

"Mereka orang-orang terpandang di desa ini, dan desa-desa lainnya di sekitar lereng Gunung Balakambang," kata Sangkala dengan nada seakan tidak senang dengan kecurigaan Rangga itu.

"Apakah mereka berasal dari desa ini juga?" Rangga tidak peduli dengan ketidaksukaan Sangkala pada pertanyaannya tadi.

"Tidak!" lagi-lagi Sangkala yang menyahut.

"Aneh, sungguh aneh," Rangga bergumam. "Bagaimana mungkin orang yang tidak diketahui asal usulnya bisa jadi panutan dan sesepuh desa? Bukankah ini satu hal yang tidak wajar?"

Ki Gandara dan Sangkala tersentak seperti baru tersadar dari sebuah mimpi buruk yang panjang. Kata-kata Rangga yang bernada seperti pertanyaan itu membuat dua orang terpandang di Desa Pasir Batang ini terdiam seribu bahasa. Kata-kata itu sungguh tepat menyentuh sudut hati mereka yang paling dalam.

Kecurigaan itu memang beralasan. Tidak seorang pun penduduk desa ini yang tahu asal-usul tiga orang itu. Apalagi mereka datang bertepatan dengan munculnya Wratama di desa ini Dan setahun kemudian terjadilah kegemparan di seluruh desa di lereng Gunung Bala-kambang.

Saat mereka diam tercekam oleh pikiran masing masing, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan tenakan dari arah Timur Desa Pasir Batang. Ketiga orang itu terdongak dan terkejut melihat kilauan api yang mem-besar seketika. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera melompat bagai kilat melewati tembok padepokan yang tinggi. Dalam sekejap saja Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangan mata.

"Kumpulkan anak-anak, atur penjagaan!' perintah Ki Gandara.

"Ki..!" Suara Sangkala terputus karena Ki Gandara telah lebih cepat melompati tembok yang mengelilingi padepokan.

Sangkala kebingungan. Bergegas dia berteriak memanggil semua murid padepokan Pasir Batang. Segera murid-murid padepokan diperintahkan berjaga-jaga di sekitar padepokan, dan sebagian mengikutinya menuju luar desa.

Sementara itu di bagian Timur Desa Pasir Batang terlihat kobaran api yang makin lama makin besar. Suara suara gaduh dan jerit-jerit kematian makin ramai terdengar. Malam yang semula tenang, berubah seketika menjadi hiruk-pikuk yang memilukan.

********************

Segerombolan orang berpakaian serba hitam mengamuk membantai siapa saja yang teriihat. Mereka tidak memandang baik laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak pun mereka bunuh. Tanpa betas kasihan sama sekali. Dalam waktu sekejap saja sudah banyak mayat bergelimpangan memenuhi jalan Desa Pasir Batang Beberapa rumah terbakar, bahkan beberapa di antaranya sudah roboh rata dengan tanah.

"Setan! Biadab!" dengus Rangga yang baru tiba di tempat kerusuhan itu. Seketika saja darah Pendekar Rajawali Sakti bergolak mendidih.

Sret! Pedang pusaka yang terhunus telah tercabut oleh Pendekar Rajawali Sakti. Cahaya biru pun membias seolah ingin mengalahkan sinar api yang mengganas melahap rumah-rumah penduduk. Tanpa mempedulikan lagi kalau orang-orang yang melakukan kebiadaban itu di luar kesadarannya sendiri, Rangga melompat sambil mengibaskan pedang pusaka Rajawali Sakti. Sinar biru berkelebat cepat diiringi teriakan yang tinggi. Dua orang berpakaian serba hitam langsung roboh terkena sambarannya.

"Kepung! Bunuh dia!" tiba-tiba terdengar teriakan keras memberi perintah.

Baru saja hilang suara perintah itu, enam orang berpakaian serba hitam segera mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini membuat Rangga kian geram. Sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', dia bergerak cepat mengibaskan pedang pusakanya.

"Minggir, kalian tidak sadar! Minggir!" teriak Rangga keras.

Pedang terus berputar berkeliling menangkis hujaman tombak hitam yang datang dari segala arah. Tombak tombak itu segera patah jadi dua terkena sabetan pedang Pendekar Rajawali Sakti. Secepat kilat kaki-kakinya bergerak seraya jari-jari tangan kirinya menotok jalan darah utama lawan-lawannya. Dalam satu gebrakan saja, empat orang yang mengepungnya roboh kena totokan di bagian tubuhnya.

Sengaja Rangga tidak membunuh. Dia hanya membuat lawan lawannya lemas tak bertenaga. Gerakan-gerakan kaki Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dan lincah, sehingga seakan-akan melayang di atas tanah. Sementara pedangnya berkelebat, tangan kirinya mengincar jalan darah lawan.

"Jangan bunuh mereka!" teriak Rangga. ketika melihat beberapa murid Padepokan Pasir Batang berdatangan hendak membunuh orang-orang yang sudah tak berdaya terkena totokan.

Mendengar teriakan itu, murid-murid Padepokan Pasir Batang segera berhenti. Mereka hanya membuat lingkaran dipimpin oleh Sangkala, melindungi penduduk yang berlarian mencari selamat.

"Rangga, mengapa kau tidak bunuh mereka?" tanya Ki Gandara ketika melompat ke dekat Rangga.

"Mereka tidak berdosa, Ki. Nanti aku jelaskan!" jawab Rangga.

Ki Gandara tidak bisa bertanya lagi karena sebatang tombak meluncur deras ke arahnya. Dengan cepat dimiringkan tubuhnya menghindari ancaman ujung tombak itu. Dengan satu tipuan yang manis, tangan kirinya terulur menotok bagian pundak orang yang menyerangnya. Seketika lemas dan jatuhlah orang itu. Ki Gandara mengikuti anjuran Pendekar Rajawali Sakti untuk membuat lumpuh saja lawan lawan mereka.

Dalam waktu yang tak lama, separuh dari jumlah lawan telah roboh lemas tak bertenaga. Sisanya yang berjumlah kira-kira dua puluh orang segera memusatkan perhatian pada dua orang tangguh ini. Mereka seperti tidak peduli lagi dengan penduduk yang telah terlindung aman di belakang murid-murid Padepokan Pasir Batang.

Dalam keadaan yang kacau seperti ini, Pendekar Rajawali Sakti masih bisa memperhatikan dua orang yang kelihatannya lebih menonjol daripada yang lain. Meskipun pakaian mereka sama, tapi dari gerakan-gerakannya dapat dibedakan. Tetapi Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat memusatkan perhatian lebih lama lagi karena terhalang oleh yang lain. Serangan serangan mereka makin menghebat, namun satu dua orang masih bisa dilumpuhkan.

"Mundur...! " tiba-tiba terdengar teriakan keras.

Mendengar komando itu, seketika orang-orang berpakaian serba hitam berlompatan. Gerakan mereka cepat dan ringan, sebentar saja mereka telah hilang di kegelapan malam. Rangga memasukkan pedangnya kembali ke sarungnya di punggung. Nyala api yang melahap rumah-rumah penduduk masih membuat keadaan terang.

Tiba-tiba Ki Brajananta datang tergopoh-gopoh menghampiri. Napasnya masih memburu terengah-engah meskipun sudah berdiri di depan Pendekar Raja wah Sakti.

"Dewi Purmita..., putriku...," terputus-putus Ki Braja-nanta berkata.

"Tenang, Ki. Apa yang terjadi dengan putrimu?" tanya Rangga.

"Putriku..., putriku diculik!" sahut Ki Brajananta masih tersengal.

"Setan!" Sangkala mengeram. Giginya bergemelutuk menahan marah.

"Ki Gandara, tolong jaga mereka. Jangan ada yang dilepaskan totokannya," kata Rangga.

"Kau akan ke mana?" tanya Ki Gandara.

"Aku harus segera ke sana! Mereka terlalu berbahaya jika dibiarkan hidup!" sahut Rangga.

"Sangkala, kau ikut temani," perintah Ki Gandara.

"Tidak usah, Ki. Sebaiknya Sangkala menjemput Sawung Bulu di goa baru dekat sungai. Ada seorang lagi dari mereka! Kalian semua pasti mengenalinya."

Ki Gandara akan berkata, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap. Ki Gandara bergumam memuji kesempurnaan ilmu meringankan tubuh pendekar muda itu.

"Bagaimana, Ki?" tanya Sangkala.

"Sebaiknya kau segera menemui Sawung Bulu. Bawa empat orang untuk menemanimu. Jika telah bertemu, kau bersama Sawung Bulu ikuti pendekar itu. Biarkan empat orang murid kita membawa orang dikatakan pendekar itu," kata Ki Gandara.

"Baik, Ki!" sahut Sangkala.

Bersama empat orang yang ditunjuk Sangkala, mereka segera bergerak ke arah yang ditunjuk Rangga. Sementara itu Ki Gandara memerintahkan murid-muridnya untuk membawa tawanan mereka yang kini tak berdaya. Sedangkan Ki Brajananta memerintahkan penduduk yang masih hidup untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan.

"Adik Brajananta, kita tidak bisa tinggal diam di sini," kata Ki Gandara.

"Maksud Kakang?" tanya Ki Brajananta.

"Kita harus ke Gunung Balakambang."

"Untuk apa? Bukankah pendekar itu ingin menyelesaikannya sendiri?"

"Apa kau tidak ingin mengetahui siapa Raja Dewa Angkara sebenarnya? Apakah kau tidak khawatir dengan keselamatan putrimu?" Ki Gandara jadi gusar juga.

Ki Brajananta tersentak, lalu cepat-cepat melangkah. Ki Gandara tersenyum dengan gelengan kepala beberapa kali. Dia menggerundel dalam hati melihat kelakuan Ki Brajananta yang tidak berubah sejak muda dulu. Selalu harus dipecut dulu sebelum bertindak. Tidak heran kalau selaku kepala desa dia tidak bisa bertindak tegas, mudah dipengaruhi orang lain. Kelemahan inilah yang membuat Raja Dewa Angkara mudah menguasai Desa Pasir Batang.

********************

TUJUH

"Sawung Bulu, di mana kau...!"

Teriakan yang keras dan menggema itu membuat Sawung Bulu tersentak kaget. Bergegas dia bangun dari tidurannya. Teriakan itu terdengar sangat dekat dan berulang-ulang. Dia kenal dengan suara itu.

"Paman Sangkala...," desis Sawung Bulu.

"Bagaimana mungkin dia tahu aku ada di sini?"

Sawung Bulu sedikit ragu-ragu untuk ke luar goa. Matanya sempat melirik Melati yang masih tergolek lemas di atas hamparan dedaunan. Rupanya Melati juga mendengar suara itu, namun karena pengaruh totokan pada tubuhnya, dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Sawung Bulu...!"

Terdengar lagi suara panggilan yang keras. Pelan-pelan Sawung Bulu mendekati mulut goa. Tangannya menyibakkan sedikit semak-semak rimbun yang menutupi mulut goa. Jelas terlihat Sangkala bersama empat orang lainnya berdiri di depan mulut goa dengan mata beredar mencari-cari.

"Paman.... Paman Sangkala" panggil Sawung Bulu sambil menguakkan semak-semak.

Sangkala langsung menoleh dan berlari ketika melihat Sawung Bulu muncul dari rimbunan semak. Sesaat mereka saling bertatapan, lalu berpelukan hangat.

"Aku tak mengira kau masih hidup, Sawung Bulu," kata Sangkala penuh rasa haru.

"Pendekar Rajawali Sakti telah menyelamatkan hidupku, Paman," sahut Sawung Bulu sambil melepaskan pelukannya.

Kembali mereka saling tatap, penuh rasa haru.

"Bagaimana Paman bisa tahu aku ada di sini?" tanya Sawung Bulu.

"Pendekar yang menolongmu memberitahuku," sahut Sangkala.

"Maksud Paman, Pendekar Rajawali Sakti?" Sawung Bulu belum yakin.

"Benar."

"Lalu, di mana dia sekarang?"

"Ke puncak Gunung Balakambang."

"Celaka!" Sawung Bulu terkejut. Wajahnya seketika menyiratkan kecemasan. "Ayo, Paman. Kita harus bantu dia!"

"Tunggu dulu, Sawung. Aku juga akan ke sana, tapi aku harus membawa dulu orang yang bersamamu di sini."

Sawung Bulu menepuk keningnya sendiri. Dia teringat Melati yang masih tergolek lemas di dalam goa. Cepat-cepat Sawung Bulu mengajak pamannya ke dalam goa batu ini. Betapa terkejutnya Sangkala ketika melihat Melati terbaring lemas di atas tumpukan daun-daun kering. Pakaian hitam ketat masih membungkus tubuh yang ramping.

"Melati...," desis Sangkala setengah tidak percaya.

"Benar, Paman. Dia Melati putri Kepala Desa Karang Sewu," Sawung Bulu membenarkan.

"Bagaimana mungkin? Bukankah sudah dijadikan korban persembahan tiga tahun yang lalu?" Sangkala masih belum percaya.

"Tidak salah Paman. Tiga tahun yang lalu Melati memang dijadikan korban persembahan untuk Raja Dewa Angkara."

Sawung Bulu menjelaskan semuanya yang didapat dari Pendekar Rajawali Sakti. Tidak lupa juga tentang kekuatan yang mempengaruhi semua korban korban persembahan, sehingga mereka tidak ingat akan diri masing masing Raja Dewa Angkara juga menjadikan gadis-gadis itu sebagai laskar yang tangguh.

Sangkala mendengarkan dengan penuh perhatian. Pantas saja Pendekar Rajawali Sakti melarang membunuh Iaskar Raja Dewa Angkara yang telah mengganas membantai penduduk desa. Rupanya memang orang-orang itu tidak berdosa, yang jiwanya dalam pengaruh kekuatan Raja Dewa Angkara.

"Hm..., siapa Raja Dewa Angkara itu sebenarnya?" Sangkala seolah bertanya pada dirinya sendiri.

"Orang-orang yang selama ini kita hormati, Paman," sahut Sawung Bulu.

"Maksudmu?" tanya Sangkala tidak mengerti.

"Rawusangkan, Wratama, Bagaspati, dan Paralaya. Merekalah yang menamakan diri sebagai Raja Dewa Angkara."

Bagai disambar petir rasanya Sangkala saat ini. Bola matanya menatap tajam Sawung Bulu. Dia masih belum percaya dengan pendengarannya sendiri. Apakah Sawung Bulu tidak main-main? Mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati, karena mereka orang kerajaan yang menguasai seluruh desa di sekitar lereng Gunung Balakambang.

Lebih-lebih Rawusangkan yang sampai saat ini sebenarnya masih menjabat patih. Juga Bagaspati dan Paralaya yang merupakan punggawa pilihan. Sedangkan Wratama bekas punggawa yang sudah beralih jadi tabib yang sangat terkenal. Tetapi untuk Wratama sendiri, Sangkala tak ambil peduli. Orangnya telah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Menurut Pendekar itu pula, Wratama adalah salah satu dari orang-orang Raja Dewa Angkara. Hanya yang masih belum dipercaya adalah ketiga orang itu.

"Aku sendiri hampir tidak percaya kalau mereka berada di belakang layar selama ini. Tetapi setelah kubuktikan dengan mata kepalaku sendiri, baru aku bisa percaya," kata Sawung Bulu.

"Bagaimana kau bisa tahu semua ini?" tanya Sangkala ingin tahu.

"Dengan itu," Sawung Bulu menunjuk seonggok baju hitam yang tergeletak di pojok gua.

Sangkala menghampiri baju itu, dan mengambilnya. Baju itu sama persis dengan yang dikenakan Melati, serta orang-orang Raja Dewa Angkara lainnya. Sangkala memandang keponakannya untuk minta penjelasan.

"Tadi pagi ketika berburu, aku menemukan beberapa mayat yang seluruhnya mengenakan baju hitam. Saat itulah akalku berjalan. Kulepaskan salah satu baju mayat itu yang masih utuh. Dengan baju itu aku menyamar sehingga dapat menyusup ke sarang Raja Dewa Angkara," Sawung Bulu menjelaskan.

"Lalu, apa yang kau dapat dari sana?" tanya Sangkala.

"Raja Dewa Angkara menggunakan kekuatan bathin untuk mempengaruhi gadis-gadis korban persembahan untuknya sekaligus menjadikan mereka laskar yang tangguh dan perkasa."

Sangkala mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam hati memuji kecerdikan keponakannya ini.

"Yang jadi biang keladi semua ini adalah Rara Inten."

"Rara lnten...?!" Sangkala terkejut. "Bukankah Rara lnten istri ketiga Ki Ardareja?"

"Benar, Paman. Selama ini kita tidak mengetahui kalau Rara lnten mempelajari ilmu kekuatan bathin. Rara lnten pun tahu betul semua peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu. Ketika dia tahu kalau Rawusangkan sebenarnya adalah kakak Wratama, anak istri pertama Ki Ardareja, maka dengan kekuatan bathin itulah jiwa mereka dipengaruhi. Tak ketinggalan dua punggawa kepercayaan Rawusangkan ikut dipengaruhi kekuatan bathin itu."

"Hm...," Sangkala mengguman dengan kepala ter-angguk-angguk.

"Sebenarnya pula Rara lnten yang membunuh Ki Ardareja. Dia menunggu saat yang tepat untuk melancarkan fitnah. Dipengaruhilah Wratama dan Rawusangkan dengan mengatakan kalau yang membunuh ayah mereka adalah Ki Brajananta."

"Kenapa Rara lnten melakukan semua itu?" tanya Sangkala.

"Rara lnten mencintai Ki Brajananta, namun cintanya tak pemah kesampaian. Dia dendam dan melarikan diri ketika bayi pertama Ki Ardareja hilang. Kemudian dia menyepi di puncak Gunung Balakambang sambil mempelajari semua ilmu-ilmu kebathinan dari buku-buku peninggalan kakeknya."

"Ya, aku tahu itu. Ki Gandara pernah cerita kalau kakek Rara lnten seorang ahli kebathinan di samping jadi tabib. Hm..., tidak mustahil kalau Wratama dan Rawusangkan tidak mengenalnya. Yang pasti Rara lnten sekarang sudah tua," pelan suara Sangkala terdengar.

"Paman salah duga. Rara lnten masih kelihatan muda dan cantik," selak Sawung Bulu.

"Oh...!"

"Dengan ramuan ramuan yang dikuasainya, Rara lnten bisa membuat dirinya jadi awet muda dan tetap kelihatan cantik."

Sangkala menggeleng-gelengkan kepalanya, setengah tidak percaya. Tapi dalam dunia ketabiban, hal itu mungkin saja bisa terjadi. Tidak mustahil, sebelum meninggal kakek Rara lnten menurunkan ilmu-ilmunya pada sebuah buku yang kini sudah dikuasai betul oleh Rara lnten.

"Menakjubkan," gumam Sangkala. "Apa yang dicari Rara lnten sebenarnya?"

"Menguasai seluruh rimba persilatan."

"Edan!"

********************

Sementara itu di puncak Gunung Balakambang, Rara lnten tergolek di pembaringan. Butir-butir keringat masih mem-basahi tubuh yang hanya ditutupi selembar kain sutra tipis biru muda. Lampu pelita yang menerangi kamar menembus kain sutra tipis, sehingga bayangan lekuk-lekuk tubuh indah tergambar di baliknya.

Sepasang bola mata Rara lnten yang indah menatap Rawusangkan yang berdiri membelakanginya di depan jendela. Dia beringsut sambil melilitkan kain sutra biru muda ke tubuhnya, lahi duduk bersandar membiarkan bagian pahanya tersingkap. Cahaya api pelita membias menjilati paha yang putih mulus itu.

"Apa yang kau pandangi, Rawusangkan?" tanya Rara lnten dengan suara halus lembut Rawusangkan menoleh dan tersenyum.

"Kau kelihatan murung dan tidak bergairah sekali malam ini Ada apa?" masih terdengar lembut suara Rara lnten.

"Entahlah," desah Rawusangkan. "Rasanya hatiku tidak enak malam ini."

"Kau sudah tidak sabar menunggu Dewi Purmita?" Rara Inten menebak.

Rawusangkan hanya tersenyum saja. Bayangan Dewi Purmita mendadak berkelebat di matanya.

"Sabarlah. Tidak lama lagi dia akan tunduk padamu. Kau bisa menjadikannya kelinci cantik mainanmu.

Lagi-lagi Rawusangkan hanya tersenyum hambar. Dia memang tak sabar menunggu Dewi Purmita. Tetapi ada hal Iain yang mengganggu pikirannya. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti di Desa Pasir Batang inilah yang menjadi beban pikirannya.

Tidak sedikit gadis-gadis Iaskar Raja Dewa Angkara tewas di tangan pendekar itu. Dan malam ini seperti ada firasat kalau pendekar itu akan menghalangi gerakan Raja Dewa Angkara. Tidak biasanya, anak buahnya begitu lama menjalankan tugas membumi-hanguskan satu desa saja.

Rara Inten beringsut turun dari pembaringan. Langkah-nya gemulai menghampiri Rawusangkan yang masih di tempatnya. Wanita itu langsung melingkarkan tangannya ke leher Rawusangkan.

Tanpa maksud menyinggung perasaan Rara Inten, Rawusangkan melepaskan pelukan di lehernya. Tentu saja wanita itu makin heran dengan sikap Rawusangkan yang tidak seperti biasanya. Tadi dia pun sangat kecewa karena Rawusangkan tidak dapat memuaskan dirinya di atas ranjang. Kini dia menolak meskipun dengan cara halus.

"Kau kelihatan lain sekali malam ini. Apa yang kau pikirkan?" tanya Rara Inten.

"Hhh...," Rawusangkan mendesah panjang "Tidak biasanya mereka menjalankan tugas begini lama."

"Ah, barangkali saja mereka mendapat halangan," Rara Inten mencoba untuk menenangkan kegalauan hati laki-laki ini.

"Halangan itu yang kini jadi beban pikiranku."

Rara Inten merayapi wajah Rawusangkan. Kekuatan bathinnya langsung bekerja menerobos ke dinding hati laki-laki ini melalui sinar matanya. Rara Inten melangkah mundur dua tindak. Seketika wajahnya berubah agak menegang. Pelan-pelan mata Rara Inten terpejam. Kepalanya sedikit terdongak. Lalu dibuka lagi matanya, dan segera menatap ke luar melalui jendela yang terbuka lebar. Raut wajahnya makin jelas kelihatan menegang.

"Setan!" dengus Rara Inten tiba-tiba.

"Ada apa?" tanya Rawusangkan.

"Cepat berpakaian, kumpulkan semua anak-anak!" tegas suara Rara Inten.

Rawusangkan tidak membantah. Bergegas dirapikan pakaiannya, lalu melangkah menghampiri pintu. Rara Inten menoleh. Rawusangkan belum sempat sampai pintu, mendadak terdengar suara ketukan beruntun. Kedengarannya seperti terburu-buru. Bergegas Rawusangkan membukanya. Tampak Bagaspati berdiri dengan peluh bercucuran di wajahnya.

"Celaka..., celaka Kakang," terputus-putus suara Bagaspati.

"Apa yang terjadi?" tanya Rawusangkan.

"Aku tidak butuh laporanmu. Cepat kumpulkan anak-anak, setan keparat itu sudah dekat!" potong Rara lnten.

Bagaspati menelan ludahnya ketika melihat Rara Inten hanya terbungkus sutra tipis pada tubuhnya. Bayangan lekuk-lekuk tubuh indah itu menggiurkannya. Rawusangkan mendorong Bagaspati, dan segera menutup pintu. Sementara Rara Inten memungut pakaiannya yang teronggok di lantai kamar beralaskan anyaman bambu halus. Tenang sekali mengenakan pakaiannya. Pakaian serba hitam yang ketat memetakan bentuk tubuhnya yang ramping indah. Dengan langkah tenang, dia ke luar kamar.

Belum sempat Rara Inten mencapai pintu ke luar rumahnya, tiba-tiba terdengar ribut-ribut diikuti jeritan-jeritan perkelahian. Denting senjata beradu terdengar beberapa kali.

"Huh!" Rara Inten mendengus.

Sekali hentak saja, tubuhnya meluncur deras ke luar dari rumah yang paling besar diantara rumah rumah lain di puncak Gunung Balakambang. Dijejakkan kakinya di tanah dengan manis. Seketika rahang Rara Inten menggeletuk saat melihat kilauan sinar biru di antara ujung-ujung batang tombak hitam yang mengurung.

"Setan!" geram Rara Inten saat mengetahui beberapa anak buahnya rubuh terkena totokan.

Dalam beberapa gebrakan saja sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam menggeletak dengan totokan pada jalan darahnya. Pendekar Rajawali Sakti sengaja untuk tidak melukai, apalagi membunuh mereka. Hati kependekarannya tidak mengijinkan membantai orang-orang yang tengah dipengaruhi jiwanya.

Kian lama serangan-serangan mereka kian tajam dan berbahaya dan datang dari segala arah. Bagai air bah yang siap menghanyutkan. Pendekar Rajawali Sakti tampak sedikit kewalahan menghadapinya. Ruang geraknya begitu sempit. Dalam keadaan yang terdesak, Pendekar Rajawali Sakti sempat melihat sesosok tubuh berdiri agak Jauh, tengah menggerak-gerakkan tangannya.

"Hm..., rupanya dia yang menggerakkan gadis-gadis ini," gumam Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti dalam hati. Gelombang kekuatan bathin mulai dapat dirasakan.

Kian lama kian kuat Rangga mulai merapal ajian Bayu Braja, satu ajian yang dapat menimbulkan angin topan yang sangat dahsyat.

"Tidak!" tiba-tiba Rangga tersentak. Segera dicabutnya lagi ajian itu.

Ajian 'Bayu Braja' yang sangat dahsyat ini dapat berakibat fatal bagi mereka yang tidak berdosa. Mereka dapat terhempas ke pohon-pohon atau batu-batu cadas! Sedangkan bagi yang memiliki tenaga dalam cukup, akan semakin parah jika mencoba melawan kekuatan ajian ini Bisa bisa mereka akan tewas dengan luka dalam yang sangat parah.

"Hiya...!"

Tiba-tiba Rangga berteriak kuat Secepat kilat dirubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sambil memutar pedangnya, Rangga melompat tinggi ke udara Namun tampaknya lawan lawan tidak membiarkannya loJos. Seperti ada yang memberi komando serentak dilemparkan tombak-tombak itu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

Melihat beberapa tombak meluncur ke arahnya secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya. Tombak-tombak hitam pekat itu patah terbabat pedang pusaka Rajawali Sakti. Tiga kali Pendekar Rajawali Sakti berputar di udara, lalu meluruk cepat ke arah sosok tubuh ramping berpakaian serba hitam.

Kaki-kaki Rangga bergerak cepat meluruk tepat di atas kepala sosok yang tak Iain adalah Rara lnten. Begitu cepat dan mendadaknya serangan itu, sehingga Rara lnten kelabakan. Dihempaskan tubuhnya, lalu bergulingan di tanah menghindarl terjangan Pendekar Rajawali Sakti yang dahsyat.

"Bedebah! Setan keparat!" umpat Rara lnten seraya melenting, dan berdiri lagi dengan kokoh.

Rangga menjejakkan kakinya di tanah dengan manis. Dimasukkan pedang pusaka ke dalam sarung di punggung-nya. Kedua kakinya terbentang lebar. Sepasang bola matanya memandang tajam ke arah lawan.

"Angkara murkamu sudah berakhir. Raja Dewa Angkara," dingin suara Rangga.

"Nama besarmu yang berakhir, Pendekar Rajawali Sakti," suara Rara lnten tidak kalah dingin.

"Lihat, orang-orangmu sudah tidak bersenjata lagi. Aku dapat membunuh mereka semudah membalikkan tangan. Tetapi mereka tidak berdosa. Kau harus bertanggung jawab!" keras suara Rangga.

"Mereka bukan orang-orang yang takut mati, dan aku belum kalah!" sahut Rara Inten.

Selesai berkata demikian, mendadak Rara lnten mendorong kedua tangannya yang terbuka ke depan. Secercah sinar merah meluncur deras dari kedua telapak tangannya Begitu pesatnya, sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Tidak ada waktu lagi untuk menghindari.

"Hih!" Rangga terpaksa segera mengerahkan aji 'Bayu Braja', tapi terlambat Sinar merah itu cepat membentur dadanya. Tak pelak lagi, tubuh pendekar muda itu terjengkang ke belakang sekitar tiga batang tombak jauhnya.

"Hoek...!" Rangga memuntahkan darah kental dari mulutnya.

Akibat terhantam oleh sinar merah Rara lnten, mendadak tubuh Rangga terserang hawa panas. Cepat-cepat digerakkan kedua tangannya ke atas, lalu turun sampai di depan dada. Kakinya dipentang lebar ke samping dengan lutut ditekuk. Pendekar Rajawali Sakti lalu mengerahkan hawa mumi untuk mengusir hawa panas itu.

Sebentar saja hawa murni itu lenyap dari tubuhnya. Rangga mengepalkan tangan kiri dan diletakkan persis di tengah-tengah telapak tangan yang terbuka. Pelan-pelan (digeser tangannya ke kanan, lalu didorong lagi ke kiri. Itulah pembukaan jurus 'Pukuian Maut Paruh Rajawali'.

Rangga yang sudah muak dengan kekejaman Raja Dewa Angkara, tidak segan segan lagi menumpasnya. Langsung dikerahkannya jurus andalan keempat dari rangkaian jurus maut 'Rajawali Sakti'. Begitu dibuka jurus itu, seketika saja kedua kepalan tangannya berubah merah menyala.

"Huh! Ilmu setan apa yang dikeluarkannya?" dengus Rara Inten.

Wanita itu sebenarnya terkejut juga melihat Pendekar Rajawali Sakti tidak cedera terkena ajian mautnya. Biasanya, tak ada seorangpun yang sanggup berdiri lagi jika terkena ajian 'Tapak Dewi Maut.'

''Tampaknya ilmu yang dimiliki sangat berbahaya. Hm..., aku harus menandinginya dengan aji 'Kala Seribu'," gumam Rara lnten.

Segera saja Rara lnten merapalkan ajian maut itu. Setelah selesai merapal seketika kuku-kuku jarinya berubah berwarna hijau menyala. Rara lnten yang telah merasa mendapat lawan tangguh, segera mengambil inisiatif menyerang lebih dulu. Dan dengan cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan.

"Hiya...!"

"Ya...!"

Teriakan teriakan keras terdengar saling sahut. Dari jari-jari tangan Rara lnten meluncur sinar-sinar hijau yang membentuk menyerupai binatang kalajengking yang sangat banyak. Ajian ini sangat di bangga banggakan Rara lnten. Lawan yang terkena dalam sekejap pasti tewas dengan tubuh penuh hibang, bagai habis tersengat ribuan kalajengking.

Tapi, apakah ajian itu mampu menandingi jurus 'Pukuan Maut Paruh Rajawali', yang sekaligus dibarengi dengan pengerahan aji 'Bayu Braja'?

Kini kedua tokoh sakti berbeda aliran sudah saling menyerang. Mereka kerahkan seluruh kesaktian masing-masing. Dua ilmu kesaktian yang berbeda aliran kini bertemu. Sementara semua orang yang saat itu menyaksikan, hanya dapat menahan nafas. Ki Gandara, Ki Brajananta, Sangkala, dan Sawung Bulu, pun telah datang ke puncak Gunung Balakambang. Mereka datang tepat ketika dua tokoh sakti itu saling berhadapan. Mata mereka tidak berkedip menyaksikan pertarungan itu. Dua kelompok yang saling bermusuhan itu terpusat penuh perhatiannya pada Pendekar Rajawali Sakti dan Rara lnten.

********************

DELAPAN

Secercah sinar hijau meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat yang sama, pendekar muda itu menghentakkan tangannya. Seberkas cahaya merah meluruk membendung serangan aji 'Kala Seribu' yang dilepaskan Rara Inten. Cahaya merah itu mengandung hawa panas luar biasa disertai hembusan angin deras menderu bagai terjadi badai topan seketika.

Dua sinar berbeda saling berbenturan di udara. Kekuatan itu saling mendorong dan saling mengungguli. Hawa panas menyebar menusuk kulit, membuat orang-orang di sekitar tempat itu mengerahkan tenaga dalam untuk menghindari hawa panas yang menyengat Ditambah lagi dengan hembusan angin keras bagai topan.

"Kalian berdua, cari Dewi Purmita," kata Ki Gandara pada Sawung Bulu dan Sangkala.

Ki Gandara melihat kesempatan baik untuk membebaskan Dewi Purmita. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dua murid tangguh Padepokan Pasir Batang itu pun segera bergerak menyelinap cepat. Gerakan yang disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh itu tidak diketahui sama sekali oleh orang-orang Raja Dewa Angkara. Mereka terlalu terpaku pada pertarungan adu ilmu tingkat tinggi itu.

Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti mulai menggeser kakinya sedikit demi sedikit maju ke depan. Rara Inten juga melangkah maju sambil terus melepaskan aji 'Kala Seribu'. Wajah wajah mereka telah kelihatan merah menegang. Hingga tiba waktunya, secara bersamaan kedua tokoh itu berteriak nyaring sambil melompat cepat ke depan.

Ledakan keras menggelegar memekakkan telinga terjadi ketika dua pasang telapak tangan beradu di udara. Rara Inten terdorong keras ke belakang, hingga punggungnya membentur baru karang. Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti terjengkang deras membentur pepohonan hingga tumbang.

"Uhk, hoek..."

Hampir bersamaan kedua tokoh sakti itu memuntahkan darah kental kehitaman. Hampir bersamaan pula mereka segera bangkit kembali. Rangga menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Matanya merah tajam menatap lurus Rara Inten. Rara Inten tak mau kalah. Ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dengan mata menyala penuh kebencian.

"Keluarkan senjatamu, bangsat!" dengus Rara Inten, geram.

Selesai berkata demikian, Rara Inten mencabut senjatanya berupa tongkat pendek berwarna hitam dari batik bajunya. Tongkat itu memiliki ujung yang bermata merah membara. Pamornya sungguh dahsyat memancarkan sinar merah menyala.

Sret!

Rangga tidak segan-segan lagi mencabut Pedang pusakanya. Seketika kegelapan malam yang menyelimuti puncak Gunung Balakambang menjadi terang benderang oleh sinar biru kemilau yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menyilangkan pedangnya di depan dada. Matanya tetap tajam menatap lurus kedepan.

Dengan satu teriakan, Rara lnten menerjang sambil mengibaskan tongkat pendeknya. Rangga hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Pedangnya berkelebat cepat menghalau ujung mata tongkat pendek yang mengancam iga.

Trang! Dua senjata beradu keras menimbulkan pijaran api dahsyat. Rangga yang mengira senjata lawan akan patah, tersentak kaget. Dengan gerakan yang cepat tidak terduga, Rara lnten memutar tongkat pendeknya.

Rangga menarik tubuhnya ke belakang, maka ujung tongkat itu berkelebat di depan lehernya. Pada saat yang bersamaan, pedang Pendekar Rajawali Sakti terayun membabat ke arah perut lawan. Rara lnten yang tengah memusatkan pada serangannya, terkejut karena tidak menyangka Pendekar Rajawali Sakti bisa berkelit sambil melancarkan serangan balasan.

Dengan cepat dilentingkan tubuhnya menghindari sabetan pedang pada perutnya. Dua kali berputar di udara, kemudian kembali meluruk dengan ujung tombak terhunus. Melihat begitu cepatnya serangan datang, Rangga melompat sambil membabatkan pedang ke bawah.

Trang!

Lagi-lagi dua senjata beradu keras. Rangga berputar melewati kepala Rara lnten, dan menjejak manis di tanah. Baru saja akan berbalik, sekonyong-konyong Rara lnten sudah berputar seraya mengelebatkan tongkat pendeknya.

Cras!

"Akh!" Rangga berseru tertahan.

Ujung tongkat berwarna merah menyala itu langsung menggores pangkal lengan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Darah segar mengalir deras dari luka goresan yang cukup panjang dan dalam. Rangga melompat mundur dua langkah ke belakang.

Sesaat dilihat luka pada pangkal lengannya. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram Segera ditotok beberapa jalan darah di sekitar lukanya. Seketika itu juga darah berhenti mengalir. Kembali matanya menatap tajam pada Rara lnten yang berdiri angkuh penuh ejekan.

Rara lnten mengangkat tangan kirinya, lalu dibukanya kedok kain hitam tipis yang menutupi seluruh kepalanya. Kini terlihat seraut wajah cantik tersenyum mengejek. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai lepas.

"Rara lnten...," desis Ki Brajananta terkejut begitu mengenali wajah wanita yang selama ini menjadi momok.

"Hmmm...," Rangga bergumam tidak jelas. Sama sekali tidak disangka kalau lawan yang dihadapinya seorang wanita cantik.

"Rara Inten, tidak kusangka kau yang jadi biang keladi kerusuhan ini!" dengus Ki Brajananta.

Rara Inten hanya mendengus melirik laki-laki tua yang masih kelihatan gagah ini. Laki-laki yang dulunya dicintainya setengah mati. Kini laki-laki itu sudah tua, tidak berguna lagi bagi dirinya. Mendadak Rara Inten mengibaskan tangannya ke arah Ki Brajananta. Selarik sinar hijau meluncur deras. Sinar hijau yang berbentuk seekor kala berbisa itu meluruk deras ke arah Ki Brajananta.

"Awas...!" teriak Rangga. Terlambat!

"Aaaakh...!" Ki Brajananta menjerit panjang Sinar hijau itu menghujam dalam di dada Ki Brajananta. Dia terjengkang ke belakang sejauh satu tombak. Tampak bagian dadanya berlubang, tembus sampai ke punggung. Ki Brajananta hanya menggeliat sebentar, kemudian tak bergerak-gerak lagi.

"Iblis, kejam!" desis Rangga menggeram murka.

Rara Inten hanya tertawa mengikik.

"Kubunuh kau, iblis!" geram Ki Gandara.

Baru saja Ki Gandara hendak melompat, tiba-tiba berkelebat tiga sosok berpakaian serba hitam menghadang Mereka segera membuka kedok hitam dari kain sutra tipis yang melekat pada wajah. Ki Gandara tersentak kaget saat mengenali wajah tiga orang yang kini berdiri menghadang di depannya.

"Kalian..., ternyata kalian manusia-manusia busuk!" geram Ki Gandara.

"Tidak lebih busuk daripadamu, Ki Gandara. Penghasut! Mencari muka dengan memperalat Ki Brajananta untuk membunuh ayahku!" sahut Rawusangkan dingin.

"Siapa kau sebenarnya?!" tanya Ki Gandara diiringi rasa geram.

"Aku putra pertama Ardareja!"

"Kau...?!" Ki Gandara seakan tidak percaya dengan pendengarannya.

Belum lagi hilang rasa terkejut dan rasa bdak percayanya, tiba-tiba Ki Gandara memekik tertahan. Dia kaget setengah mati karena secara tiba-tiba Rawusangkan sudah melompat menyerang. Buru-buru laki-laki tua itu menggeser tubuhnya ke samping. Tangan kanannya mengibas mematahkan serangan Rawusangkan. Dengan cepat Rawusangkan menarik tangannya menghindari benturan dengan tangan Ki Gandara.

"Tunggu!"

Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras disertai pengerahan tenaga dalam. Secepat itu pula Rawusangkan melompat mundur. Matanya mendelik melihat Sangkala dan Sawung Bulu membawa Dewi Purmita. Rawusangkan memandang pada Paralaya yang ditugaskan untuk menyembunyikan Dewi Purmita. Belum juga Paralaya membuka mulut, Sangkala telah lebih dulu berkata.

"Rawusangkan, jiwamu sudah terpengaruh oleh Rara lnten. Dia itu istri ketiga ayahmu, yang juga membunuh ayahmu pula! Lihat ini, senjata yang digunakannya untuk membunuh Ki Ardareja!"

Sangkala melempar sebatang tongkat sepanjang lengan berwarna hitam kelam dengan ujung merah. Senjata itu sama persis dengan yang dipegang Rara lnten. Rawusangkan memandang senjata yang tergeletak di tanah. Kemudian ditatapnya Sangkala.

"Ayahmu dibunuh karena beliau tidak bersedia menceraikan ibumu yang saat itu kau berada dalam kandungannya. Rara lnten tidak mau ada bayi lahir selain dari dirinya. Ibumu pun pernah akan dibunuhnya, tapi Ki Brajananta berhasil menyelamatkan. Dari situ timbul dendam. Dia memperalat dirimu dengan menjadikan kau Raja Dewa Angkara, sebagai pelampiasan keinginannya menghancurkan desa kelahiranmu sendiri!"

"Bohong! Itu dusta!" pekik Rara lnten kalap.

"Rara lnten, semua akal busukmu sudah terbongkar. Tidak ada gunanya lagi kau mengelak," dengus Sawung Bulu.

Rawusangkan memandang Rara lnten, kemudian matanya menatap orang-orang di sekelilingnya. Dari sinar matanya, terlihat kebimbangan yang membias di wajahnya.

"Ayah...," desis Dewi Purmita ketika matanya menangkap tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi. Semua perhatian sekejap tertumpah pada gadis itu. Namun semuanya hanya sekejap saja, karena tiba-tiba Rara lnten mencelat ke arah Dewi Purmita dengan senjata terhunus.

"Purmita, awas!" teriak Sawung Bulu.

Seketika Sawung Bulu melompat mencoba menyelamatkan kekasihnya. Dia tidak peduli lagi dengan ujung tongkat yang bergerak cepat menghujam.

"Aaakh...!" Sawung Bulu menjerit kesakitan ketika merasakan iganya sobek mengucurkan darah.

Kejadian itu sangat cepat sekali, sehingga membuat orang-orang di sekitarnya terpana. Tubuh Sawung Bulu jatuh meluruk.

"Iblis," desis Rangga geram.

Dengan satu teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat seraya mengibaskan pedangnya pada Rara lnten. Secepat kilat Rara lnten berputar menangkis serangan mendadak dari Rangga.

Trang!

Kembali dua senjata sakti berbenturan keras. Namun kali ini Rara lnten tersentak. Tubuhnya terdorong tiga langkah ke belakang. Tangannya terasa kesemutan saat senjatanya membentur pedang Pendekar Rajawali Sakti.

Dalam keadaan marah yang meluap, Rangga mengerahkan seluruh tenaga dalam sambil mengeluarkan jurus andalan yang terakhir dari lima rangkaian jurus 'Rajawab Sakti.' Jurus 'Rajawali Seribu' yang jarang digunakannya jika tidak dalam keadaan terpaksa sekali.

Pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat ditimpali dengan gerak kaki dan tubuh yang tidak kalah cepat pula. Dalam sekejap saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti bagaikan terpecah-pecah menjadi seribu banyaknya. Semua orang yang menyaksikan menjadi tercengang melihat pendekar muda itu menjadi sedemikian banyak mengurung rapat Rara Inten.

"Setan! Ilmu apa yang dikeluarkannya?" dengus Rara Inten. Dia jadi kelabakan menangkis setiap serangan yang datang sangat cepat dari segala penjuru.

Gerakan-gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti kian lama kian tidak beraturan. Hal ini membuat bingung Rara Inten. Wanita ini sudah tidak bisa lagi membaca setiap gerakan dan arah tujuan jurus itu. Dia jadi senewen. Setiap akan menangkis pedang Pendekar Rajawali Sakti, sekejap saja pedang itu sudah berbelok arah.

"Akh!" tiba-tiba Rara Inten memekik tertahan Betapa kagetnya Rara Inten ketika dengan cepat pedang Pendekar Rajawali Sakti menyodok iganya. Cepat-cepat Rara Inten mengibaskan tongkat pendeknya untuk menangkis. Namun kali ini pun tertipu. Ternyata sodokan pedang itu malah menyabet turun ke bawah. Dan dengan kecepatan tinggi, pedang itu berputar arah menyamping.

"Aaakh...!" Rara Inten menjerit keras. Tanpa bisa dicegah lagi, mata pedang Pendekar Rajawali Sakti merobek dadanya. Darah menyembur dari dada yang terbelah panjang dan dalam. Tubuh Rara Inten sempoyongan. Tetapi sebelum disadari apa yang terjadi, tiba-tiba pedang itu kembali berkelebat.

Cras!

Rara Inten tidak mampu lagi bersuara. Sebentar tubuhnya berdiri tegak, lalu rubuh dengan kepala terpisah dari badan. Pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti membabat bagaikan menebang batang pisang saja. Rangga memasukkan pedangnya kembali. Sebentar pendekar muda itu berdiri tegak memandang tubuh Rara Inten yang menggeletak tanpa kepala. Rangga mendesah panjang lalu menoleh ke arah Dewi Purmita yang menangis memeluk tubuh Sawung Bulu. Pendekar Rajawali Sakti segera menghampiri mereka, lalu jongkok di samping Sawung Bulu.

"Hm, hanya luka biasa," gumam Rangga setelah memeriksa luka di iga Sawung Bulu.

Rangga tersentak ketika mendengar suara teriakan marah yang datang dari arah belakang Ketika ia menoleh, terlihatlah Sangkala tengah menerjang Rawusangkan dan dua orang lainnya dengan trisula kembar di tangan.

"Sangkala, jangan...!" teriak Rangga.

Terlambat! Serangan Sangkala yang dipenuhi amarah meluap dalam dada tidak bisa dibendung lagi. Trisula kembar menyambar cepat menusuk dada Rawusangkan. Sebuah lagi dilemparkan ke arah Paralaya.

"Aaakh...!" Rawusangkan yang tidak menyadari akan menerima serangan mendadak, tidak dapat mengelak lagi. Tiga ujung trisula, senjata kebanggan Sangkala menancap telak di dada Rawusangkan. Sedangkan trisula lainnya tepat menembus kepala Paralaya yang juga terkejut tidak mampu lagi menghindar.

Melihat dua orang temannya rubuh, Bagaspati langsung mengambil langkah seribu. Tak ada lagi yang dapat dijadikan pelindung kekuatannya. Semuanya kini roboh tanpa nyawa. Tetapi baru saja Bagaspati berlari sejauh lima tombak, orang-orang berpakaian serba hitam sudah mengepungnya. Mereka serentak mencopot topeng hitam yang menutupi kepala masing-masing.

Bagaspati yang sudah kehilangan nyali, jadi gemetaran Gadis-gadis yang selama ini diperbudak dan dipengaruhi jiwanya, semakin rapat mengepung. Mereka semua sadar seketika setelah Rara lnten tewas. Pengaruh kekuatan bathin Rara lnten lenyap saat itu juga.

"Aaa...!" jeritan menyayat terdengar dari mulut Bagaspati.

Gadis-gadis yang selama bertahun-tahun terjajah jiwanya, bagaikan kesetanan mencincang tubuh Bagaspati. Sebagian lagi memburu Paralaya dan Rawusangkan. Maka tiga tubuh itu pun tiada ampun lagi tercincang bagai dendeng.

Sangkala, Ki Gandara, dan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat mencegahnya lagi. Mereka hanya menyaksikan dengan kengerian yang amat sangat. Belum puas gadis-gadis itu mencincang tubuh tiga laki-laki itu, mereka menghampiri mayat Rara lnten, lalu mencincangnya. Beberapa gadis malah telah membakar rumah-rumah di Puncak Gunung Balakambang ini.

''Tamat sudah riwayat Raja Dewa Angkara," gumam Ki Gandara.

Laki-Iaki tua Guru Besar Padepokan Pasir Batang itu menoleh ke arah Rangga berdiri. Betapa tercengangnya dia ketika Pendekar Rajawali Sakti sudah tak tertihat lagi. Matanya beredar mencari-cari, namun sia-sia. Ki Gandara menghampiri Sawung Bulu yang sudah berdiri dipapah Dewi Purmita.

"Kau lihat di mana Pendekar RajawaB Sakti?" tanya Ki Gandara.

"Tidak, Ki. Tadi..., tadi ada di sini," sahut Sawung Bulu.

"Ah, sungguh luhur jiwanya. Memberantas kejahatan tanpa mengharapkan pamrih," gumam Ki Gandara.

"Dia sudah pergi, Ki," kata Sangkala sambil mendekat.

"Kau lihat?" tanya Ki Gandara.

"Ya, dia pergi ke arah Selatan," sahut Sangkala.

Ki Gandara mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya kemudian menatap gadis-gadis yang sudah ber-kerumun di depannya. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang. Semuanya masih muda dan cantik. Tetapi sinar mata mereka mengharapkan perlindungan dari Ki Gandara.

Matahari mulai menampakkan diri ketika mereka menuruni Gunung Balakambang. Ki Gandara berjalan di depan didampingi Sangkala. Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing, namun tampak jelas kecerahan membias diwajah mereka. Kecerahan dan harapan baru semua warga Desa Pasir Batang.


TAMAT

EPISODE BERIKUTNYA PERTARUNGAN DI BUKIT SETAN
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.