Pendekar Rajawali Sakti
Kuda Api Gordapala
SATU
JERIT dan pekik melengking terdengar begitu menyayat saling sambut, memecah kesunyian alam siang ini. Tampak asap hitam membumbung tinggi ke angkasa dari beberapa rumah yang terbakar. Teriakan-teriakan ketakutan yang dibarengi hentakan kaki kuda, berbaur menjadi satu. Sehingga membuat kekacauan di Desa Gronggong semakin menjadi-jadi.Di antara orang-orang yang berlarian sambil menjerit-jerit ketakutan, terlihat seekor kuda hitam mengamuk, mendepak orang-orang di sekitarnya. Beberapa tubuh terlihat tergeletak berlumuran darah. Ketakutan penduduk Desa Gronggong semakin menjadi-jadi. Kuda hitam itu benar-benar seperti kesetanan, mengejar orang-orang yang berlarian ketakutan menghindarinya.
Hieeegkh...!
Sambil meringkik keras, kuda hitam itu mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi ke udara. Sementara, semua penduduk Desa Gronggong terus berlarian mencari tempat aman agar terlindung dari amukan kuda hitam yang seperti kesetanan itu. Hingga, tak ada seorang pun yang berada dekat dengan kuda hitam itu. Binatang itu terus mendengus-dengus sambil menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Kedua bola matanya tampak memerah, bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja di dekatnya.
Sementara itu, di balik sebongkah batu besar, tampak seorang laki-laki tua berjubah merah muda tengah memperhatikan kuda hitam itu. Di belakangnya, terlihat empat orang pemuda bersenjatakan golok terselip di pinggang masing-masing.
"Heran...? Dari mana datangnya kuda setan itu?" desah laki-laki tua berjubah merah muda itu perlahan.
"Dia muncul tiba-tiba saja, Ki. Bahkan langsung mengamuk," sahut salah seorang pemuda yang berada di sebelah kanannya.
Sementara kuda hitam itu terus meringkik-ringkik sambil mendengus, seakan-akan ingin menantang siapa saja yang ada. Tapi, tak ada seorang pun yang berani lagi mendekati. Semua penduduk Desa Gronggong sudah bersembunyi, tak berani menampakkan diri lagi. Hanya ada sekitar sepuluh tubuh saja yang bergelimpangan tak bernyawa di dekat kuda hitam itu. Sedangkan, sudah tiga rumah yang habis terbakar. Api masih berkobar, disertai asap hitam yang mengepul ke angkasa.
"Hieeegkh...!"
Setelah memperdengarkan ringkikan yang begitu keras menggetarkan, kuda hitam itu langsung berlari cepat meninggalkan Desa Gronggong yang sudah begitu porak-poranda. Begitu cepatnya berlari, sehingga seakan-akan kaki kuda itu tidak menapak tanah. Dan sebentar saja binatang itu sudah menghilang di dalam lebatnya pepohonan di sebelah Timur Desa Gronggong.
Setelah yakin kuda hitam itu tidak muncul lagi, laki-laki tua berjubah merah muda baru keluar dari tempat persembunyiannya. Dia diikuti empat pemuda yang mendampinginya. Saat itu, para penduduk yang tadi bersembunyi juga sudah menampakkan diri. Jerit dan pekik ketakutan tidak lagi terdengar. Kini, semuanya berganti gerung tangis dan rintihan menyayat dari mereka yang keluarganya tewas akibat amukan kuda hitam yang aneh itu tadi.
"Sukar dipercaya. Seekor kuda mampu menghancurkan sebuah desa dalam waktu singkat...," desah laki-laki tua berjubah merah muda itu perlahan.
Laki-laki tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merayapi keadaan Desa Gronggong yang porak-poranda diamuk seekor kuda hitam. Memang, tidak kurang dari sepuluh orang tewas dengan tubuh rusak terinjak-injak kaki kuda hitam tadi. Bahkan ada beberapa yang kepalanya hancur tak berbentuk lagi.
"Kalian bantu mereka. Aku akan melihat anak dan istriku dulu di rumah," ujar laki-laki tua berjubah merah muda itu.
"Baik, Ki," sahut empat pemuda di belakangnya serempak.
Laki-laki tua berjubah merah muda itu bergegas melangkah cepat, tanpa seorang pun yang sempat memperhatikan. Mereka semua sibuk membenahi rumah masing-masing yang berantakan diamuk kuda hitam. Sedangkan empat anak muda yang menyandang golok di pinggang, mengumpulkan mayat-mayat di sekitar jalan desa ini. Tak ada seorang pun yang berpangku tangan. Semua sibuk membenahi desa yang hancur dalam sekejap, akibat diamuk seekor kuda hitam yang seperti kesetanan.
Malam hari, Desa Gronggong begitu sunyi senyap. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat berada di luar rumah. Begitu sunyinya keadaan di desa itu, sehingga suara langkah kaki kuda yang menuju ke desa itu terdengar begitu jelas. Orang-orang yang berada di luar rumah, jadi saling berpandangan. Mereka bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing begitu terlihat tiga ekor kuda berjalan perlahan-lahan memasuki desa itu. Lampu-lampu pelita yang menyala di setiap rumah, seketika dimatikan. Hal ini membuat kening tiga orang penunggang kuda itu jadi berkerut.
"Kenapa tiba-tiba desa ini jadi gelap, Kakang Banara...?" desis salah seorang penunggang kuda yang ternyata seorang gadis cantik berbaju hijau.
Gadis itu menunggang seekor kuda belang putih dan coklat yang tinggi gagah. Sedangkan dua orang lagi adalah laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gadis itu memandang pemuda yang mengenakan baju putih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Dan pemuda satunya lagi yang mengenakan baju warna biru, juga memandang pemuda berbaju putih yang dipanggil Banara tadi.
"Sepertinya desa ini baru saja terkena bencana," tebak pemuda bernama Banara itu. Suaranya terdengar pelan, seperti menggumam, seakan-akan bicara pada diri sendiri.
"Coba perhatikan, Liliani..., Sarala.... Tiga rumah seperti baru terbakar, dan di sana-sini tampak begitu berantakan."
Gadis yang ternyata bernama Liliani, dan pemuda berbaju biru yang bernama Sarala mengedarkan pandangan merayapi keadaan desa yang gelap tanpa sedikit pun ada cahaya pelita menerangi. Memang, keadaan Desa Gronggong ini masih tampak berantakan. Mereka semakin memperlambat langkah kudanya. Begitu sunyi! Sehingga, langkah kaki kuda begitu jelas terdengar, bercampur detak jantung mereka bertiga.
"Ada satu rumah yang memasang pelita, Kakang," kata Liliani seraya menunjuk ke arah sebuah rumah yang tampak paling besar di desa ini.
"Hm.... Coba kita ke sana," ajak Banara.
Mereka kemudian menghentakkan tali kekang kudanya agar berjalan lebih cepat menuju rumah yang masih diterangi sebuah pelita di beranda depannya. Sedangkan sekelilingnya kelihatan gelap gulita. Terlebih lagi, malam ini bulan seakan-akan enggan menampakkan diri, terus bersembunyi di balik gumpalan awan yang agak tebal dan menghitam.
Ketiga anak muda itu menghentikan kudanya setelah sampai di depan rumah berukuran cukup besar itu. Mereka berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Gerakannya saat melompat turun dari punggung kuda, kelihatan begitu ringan. Dari sini bisa dilihat kalau kepandaian mereka tidak rendah. Mereka berdiri tegak di depan beranda rumah yang pintunya tertutup rapat. Hanya sebuah pelita saja yang masih menerangi beranda depan rumah itu. Sedangkan ba-gian dalam rumah, tampak begitu gelap. Tak ada sebuah pelita pun yang menyala.
"Kalian tunggu di sini. Mudah-mudahan penghuninya belum tidur," ujar Banara seraya melangkah mendekati pintu rumah itu.
Banara berhenti tepat di depan pintu. Sebentar ditatapnya Sarala dan Liliani yang menunggu di depan kuda masing-masing. Banara mengetuk pintu itu perlahan, sambil mengucapkan salam dengan suara agak keras. Tak ada sahutan sedikit pun dari dalam rumah ini. Kembali diketuknya pintu sambil memberi salam.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam.
"Kami, Ki. Kami pengembara yang kemalaman," sahut Banara seraya melirik Liliani dan Sarala.
Banara melangkah mundur dua tindak begitu telinganya mendengar suara langkah terseret mendekati pintu. Tak berapa lama kemudian, pintu itu terkuak perlahan-lahan, Dari dalam, menyembul seorang laki-laki tua berjubah merah muda. Sebatang tongkat kayu tampak tergenggam di tangan kanan untuk menyangga tubuhnya yang tampak sudah renta.
Walaupun seluruh rambutnya sudah memutih namun masih kelihatan gagah. Banara segera menjura memberi hormat. Sedangkan laki-laki tua berjubah merah muda itu memperhatikan, namun sinar matanya seperti curiga. Kemudian, ditatapnya dua orang lagi yang masih berdiri di depan beranda rumah ini. Kedua anak muda itu menganggukkan kepala sedikit, dan melangkah menghampiri.
"Kalian ini siapa?" tanya laki-laki tua berjubah merah muda itu masih bernada curiga.
"Aku Banara. Dan mereka adik-adikku. Sarala dan Liliani, namanya. Kami bertiga pengembara yang kemalaman, dan kebetulan melewati desa ini," sahut Banara memperkenalkan diri dan kedua adiknya.
"Aku Ki Lokan, kepala desa ini," kata laki-laki tua berjubah merah itu juga memperkenalkan diri. "Ada keperluan apa kalian ke desa ini?"
"Kami hanya meminta izin untuk bermalam, Ki. Tapi tampaknya desa ini tidak memiliki penginapan. Bahkan tak ada satu rumah pun yang menyalakan pelita. Kebetulan hanya rumah ini saja yang masih memasang satu pelita. Jadi, kami memutuskan untuk ke sini, Ki," jelas Banara lagi, mewakili kedua adiknya.
"Ada dua rumah penginapan di desa ini, tapi sudah tutup sejak siang tadi. Dan lagi, kami semua sekarang ini tidak bisa menerima tamu, meskipun hanya satu malam saja. Maaf, bukannya aku tidak sopan pada kalian. Tapi, keadaanlah yang memaksaku tidak mengizinkan kalian bermalam di sini," tegas Ki Lokan, tapi masih bernada ramah.
"Kenapa, Ki...? Apakah ada yang melarang pendatang masuk ke desa ini?" tanya Liliani jadi tidak mengerti sikap Ki Lokan.
"Memang aku yang melarangnya. Hal ini kulakukan untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kalian pasti sudah melihat keadaan desa ini, bukan...?"
Banara dan kedua adiknya mengangguk. Memang, keadaan Desa Gronggong ini membuat mereka sejak tadi bertanya-tanya terus dalam hati. Tapi, mereka sudah menduga kalau desa ini baru saja tertimpa musibah. Dugaan itu semakin menebal, saat melihat sikap Ki Lokan, Kepala Desa Gronggong ini yang tidak mengizinkan mereka bermalam.
"Maaf, Ki. Kalau boleh tahu, bencana apa yang terjadi di desa ini?" tanya Banara tidak bisa menahan rasa keingintahuannya.
"Sore tadi, juga telah datang dua orang pe-nunggang kuda seperti kalian. Dan mereka juga bertanya seperti itu. Lalu, mereka langsung pergi ke arah Timur untuk mengejar kuda setan itu, setelah semuanya kuceritakan. Apakah tujuan kalian juga sama dengan mereka untuk mengejar kuda setan yang telah menghancurkan desa ini...?" tanya Ki Lokan, pada akhirnya.
"Kuda setan...? Apa maksudnya, Ki?" tanya Liliani sambil memandangi kedua kakaknya.
Ki Lokan memandangi Liliani dan kedua kakaknya bergantian. Dia seakan-akan tidak percaya kalau ketiga anak muda tamunya ini tidak tahu tentang kuda hitam yang siang tadi mengamuk di desa ini. Sedangkan yang dipandangi masih tetap menunggu jawaban atas pertanyaan Liliani tadi.
"Kalian benar-benar tidak tahu tentang kuda setan itu?" Ki Lokan malah bertanya sambil merayapi wajah ketiga tamunya.
Banara dan Liliani saling berpandangan, kemudian menggelengkan kepala. Hanya Sarala saja yang tampak diam memandangi Ki Lokan.
"Mari sini. Duduklah di dalam," ujar Ki Lokan seraya membuka pintu rumahnya lebar-lebar.
Ketiga anak muda itu saling berpandangan sejenak. Sementara, Ki Lokan sudah lebih dulu masuk ke dalam. Laki-laki tua kepala desa itu menyalakan pelita yang tergantung di tengah-tengah ruangan depan rumahnya. Cahaya lampu pelita segera menerangi ruangan yang berukuran cukup besar ini. Banara dan kedua adiknya melangkah masuk. Ki Lokan mempersilakan ketiga tamunya ini duduk di kursi yang melingkari sebuah meja bundar beralaskan batu manner putih yang berkilat. Sedangkan pelita yang menyala terang tergantung tepat di atas meja. Ki Lokan mengambil tempat duduk di samping Banara.
"Tidak ada orang lagi di sini, kecuali aku dan empat orang pembantuku. Semua anak dan istriku sudah diungsikan ke rumah adikku yang cukup jauh dari sini, sampai keadaan desa ini tenang kembali," jelas Ki Lokan tanpa diminta.
"Hanya seekor kuda saja, mampu membuat desa ini jadi kacau, Ki...?" tanya Liliani seperti tidak percaya.
"Itu bukan kuda sembarangan, Nisanak. Dua orang yang sore tadi datang, mengatakan kalau kuda itu jelmaan seseorang yang belum menginginkan kematiannya. Dan dia sedang menyempurnakan kehidupannya kembali. Katanya lagi, kuda itu akan kembali menjadi seorang manusia yang tangguh dan tak terkalahkan bila sudah bertemu pasangannya," jelas Ki Lokan, menceritakan tentang kuda hitam yang hampir menghancurkan Desa Gronggong ini.
"Pasangannya itu seekor kuda juga, Ki?" tanya Liliani seperti tertarik cerita kepala desa ini.
"Bukan. Tapi seseorang yang sudah mati," sahut Ki Lokan.
"Maksudmu, Ki...?!" tanya Banara jadi terkejut keningnya.
"Ya. Mereka mengatakan, orang yang mati itu pasangannya. Juga, dia bisa kembali hidup jika bersatu lagi dengan jasadnya pada waktu yang tepat. Itulah yang bisa mengembalikan kuda setan itu kembali ke asalnya sebagai manusia tangguh berkepandaian tinggi. Sayang, mereka tidak cerita lebih banyak lagi, karena langsung pergi setelah aku menunjukkan arah kuda setan itu pergi," kata Ki Lokan lagi, menjelaskan.
"Aneh.... Seseorang yang belum mau mati, lalu menjelma menjadi seekor kuda liar. Hm..., seperti sebuah dongeng saja," gumam Banara seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi, itulah kenyataannya. Sepuluh orang warga desa ku tewas diinjak-injak. Kuda itu kuat sekali. Bahkan tidak mempan senjata. Dari mulutnya juga bisa mengeluarkan api," jelas Ki Lokan lagi.
"Aku jadi penasaran, seperti apa kuda itu, Kakang," kata Liliani seraya menatap Banara.
Banara hanya tersenyum saja. Sedangkan Ki Lokan jadi terlongong mendengar kata-kata Liliani tadi.
"Sebaiknya, kalian jangan cari penyakit. Kuda itu bukan binatang sembarangan. Tidak ada kuda yang bisa menyemburkan api dari mulutnya. Kalian lihat... Beberapa rumah di sini habis terbakar semburan api dari mulutnya," kata Ki Lokan mencoba memperingatkan.
"Sebenarnya kami juga sedang memburu kuda itu, Ki," selak Sarala yang sejak tadi diam saja.
"Apa...?!" Ki Lokan jadi terkejut setengah mati.
"Seperti yang terjadi di sini, Ki. Kuda itu juga telah menghancurkan desa kami. Bahkan lebih parah daripada di sini. Ayah yang sekaligus guru kami, juga tewas oleh kuda itu. Bahkan lebih dari separuh penduduk desa kami tewas," jelas Sarala memberi tahu.
"Jadi kalian sama seperti dua orang yang datang terdahulu...? Kenapa tidak bilang sejak tadi?! Kenapa berpura-pura tidak tahu, dan pura-pura terkejut?" Ki Lokan jadi kecewa, dan memberondong dengan pertanyaan.
"Kami membutuhkan tempat untuk bermalam, Ki. Perjalanan yang kami lakukan begitu melelahkan. Sudah tiga desa kami masuki, tapi semuanya menolak bila mengetahui kami mengejar kuda itu," kata Sarala lagi, tanpa menghiraukan pandangan kedua saudaranya.
"Aku sebenarnya tidak memusuhi orang-orang yang mengejar kuda itu, seperti kalian. Aku hanya khawatir, kuda itu datang lagi ke sini karena merasa dikejar. Aku hanya memikirkan keselamatan penduduk saja. Tidak lebih dari itu," sergah Ki Lokan.
"Kami mengerti, Ki," ucap Sarala.
"Aku jamin, Ki. Kuda itu tidak akan kembali lagi ke desa yang sudah dilewatinya. Dia akan terus mencari gadis itu, dan akan menjelajahi setiap desa yang belum pernah dimasukinya. Binatang itu akan mengambil jalan memutar jika mengetahui telah memasuki desa yang akan dilewatinya. Yang jelas, dia seperti memiliki pantangan untuk melewati sebuah desa dua kali."
Ki Lokan terdiam memandangi Sarala, kemudian beralih menatap Banara dan Liliani. Malam memang sudah begitu larut. Dan hatinya merasa tidak tega juga bila mengusir ketiga anak muda ini untuk keluar dari desa malam ini juga. Terlebih lagi, apa yang mereka alami lebih buruk daripada yang diderita Desa Gronggong. Beberapa saat mereka jadi terdiam, tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Sambil menghembuskan napas panjang, Ki Lokan bangkit dari duduknya. Dia melangkah ke pintu, lalu menutup pintu rumahnya. Dikuncinya pintu itu rapat-rapat.
"Sepertinya, aku tidak bisa membiarkan kalian pergi malam ini...," kata Ki Lokan, agak menggumam suaranya.
Laki-laki tua kepala desa itu melangkah meng-hampiri ketiga anak muda itu lagi, tapi tetap berdiri di belakang Liliani. Sedangkan ketiga anak muda itu hanya memandangi Ki Lokan seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Semula, Ki Lokan tidak mengizinkan mereka tinggal di desa ini, meskipun hanya semalam saja. Tapi, tiba-tiba saja jadi berubah setelah Sarala mengatakan tujuan yang sebenarnya. Bahkan juga menceritakan keadaan desa mereka yang hancur diamuk kuda hitam itu.
"Sebaiknya, kalian istirahat saja di sini. Besok pagi kalian bisa melanjutkan perjalanan," ujar Ki Lokan seraya memutar tubuhnya berbalik.
"Terima kasih, Ki," ucap Sarala seraya bangkit berdiri, dan membungkukkan tubuhnya sedikit memberi hormat.
"Banyak kamar di sini. Kalian bisa memilih yang mana saja. Jangan canggung-canggung, anggap saja seperti rumah sendiri. Maaf, aku tidak bisa melayani kalian lebih baik lagi," kata Ki Lokan lagi.
"Terima kasih, Ki," ucap ketiga anak muda itu bersamaan, seraya membungkukkan tubuh memberi hormat.
"Sebaiknya kalian cepat tidur. Aku juga sudah mengantuk," ujar Ki Lokan seraya melangkah meninggalkan ruangan depan ini.
Setelah Ki Lokan menghilang di dalam sebuah kamar, Banara langsung mencekal pundak Sarala. Sinar matanya begitu tajam, menatap langsung ke bola mata adiknya.
"Seharusnya tidak perlu kau katakan yang sebenarnya, Sarala. Hampir saja kau merusak semua rencana kita," desis Banara begitu perlahan.
"Untuk apa harus bersandiwara? Yang penting sekarang, kita bisa beristirahat di bawah atap malam ini," jawab Sarala kalem.
Pemuda itu melepaskan cekalan tangan Banara pada pundaknya, kemudian melangkah ringan meninggalkan kedua saudaranya. Sarala cepat tenggelam di dalam sebuah kamar yang dipilihnya. Pintu kamar itu langsung menghadap ke pintu kamar yang ditempati Ki Lokan.
"Anak itu benar-benar susah diajak damai!" dengus Banara bernada kesal.
"Sudahlah, Kakang.... Kakang Sarala tidak suka berlaku tidak jujur," bujuk Liliani, mencoba menyabarkan kakaknya.
"Hhh...! Bohong sedikit itu perlu untuk kebaikan dan kebenaran, Liliani."
"Aku tahu. Tapi, keyakinan setiap orang pasti berbeda, Kakang. Sudahlah.... Ayo kita istirahat. Masih terlalu panjang perjalanan kita," ajak Liliani seraya melangkah meninggalkan kakak sulungnya.
"Hhh...!" Banara hanya menghembuskan napas panjang saja. Kemudian, kakinya melangkah memilih kamar untuk beristirahat setelah Liliani menghilang ke dalam kamar yang dipilihnya. Dan keadaan di dalam rumah kepala desa itu jadi sunyi senyap. Tak terdengar suara sedikit pun, kecuali desir angin dan gemerisik dedaunan saja yang terdengar, ditingkahi gerit binatang malam.
********************
DUA
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum menampakkan diri, Banara, Sarala dan Liliani sudah meninggalkan Desa Gronggong. Mereka diantar Ki Lokan dan empat orang pembantunya sampai ke perbatasan sebelah Timur, ke arah kuda setan itu pergi. Sebelum berpisah, Banara sempat berpesan agar Ki Lokan dan seluruh penduduk desanya tidak perlu khawatir. Karena, kuda itu tidak akan kembali lagi ke desa ini. Maka, hal itu membuat Ki Lokan bisa bernapas lega.
Sementara itu Banara dan kedua adiknya terus memacu cepat kudanya, semakin jauh meninggalkan Desa Gronggong. Setelah melewati sebuah sungai kecil, mereka mulai memasuki sebuah hutan yang cukup le-bat. Sehingga, mereka tidak mungkin bisa memacu kuda dengan cepat. Saat ini, hari memang masih terlalu pagi. Dan matahari pun belum juga menampakkan diri. Hanya bias cahayanya saja yang terlihat di ufuk Timur. Warnanya merah jingga, dan begitu indah. Namun nampaknya ketiga anak muda itu tidak sempat menikmati keindahan pagi ini.
"Hup...!"
Banara cepat melompat turun setelah meng-hentikan langkah kudanya. Pemuda itu berjongkok sambil memegangi tali kekang kudanya. Diperiksanya tanah yang berumput cukup tebal. Sarala dan Liliani ikut melompat turun. Mereka mengedarkan pandangan, menyusuri tanah berumput di sekitarnya.
"Banyak sekali jejak kuda di sini, Kakang," kata Liliani.
"Aku yakin, bukan hanya kita bertiga dan si Iblis Kembar dari Utara saja yang mengejar kuda itu...," gumam Sarala perlahan, seperti untuk diri sendiri.
"Aku jadi heran. Untuk apa mereka mengejar Jaran Geni itu...?" Liliani juga menggumam, bertanya pada diri sendiri.
"Jaran Geni memang bukan kuda sembarangan. Jelas tujuan mereka tidak sama dengan kita. Tapi, bisa juga punya tujuan sama," sahut Banara menanggapi pertanyaan adiknya yang menggumam tadi.
"Hhh...! Semakin banyak rintangan yang akan kita hadapi," keluh Liliani mendesah panjang.
"Rintangan apa pun harus dihadapi, Liliani," tegas Banara mantap.
"Ha ha ha...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Ketiga anak muda itu jadi terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar. Sehingga, membuat telinga mereka jadi terasa sakit. Liliani cepat-cepat menutup telinganya dengan kedua tangan. Suara tawa itu terus terdengar keras dan menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin.
"Kalian tidak pantas ikut permainan ini, Bocah-bocah ingusan. Sebaiknya pulang saja sebelum ada penyesalan di kemudian hari!" begitu lantang suara itu terdengar, setelah suara tawa yang keras menggelegar tak terdengar lagi.
"Siapa kau?! Keluar...!" bentak Banara tidak kalah lantangnya.
Brusss...!
Ketiga anak muda itu jadi terkejut bukan main, dan sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Memang, tiba-tiba di depan mereka mengepul asap tebal kemerahan, seperti muncul begitu saja dari dalam tanah. Dan ketika asap tebal kemerahan itu memudar, muncul seorang laki-laki tua berbaju merah menyala yang longgar dan panjang dari dalam asap.
Di tangan kanan orang tua itu tergenggam sebatang tongkat, dengan bagian ujung kepalanya berbentuk tengkorak. Sepasang bola matanya memerah bara, bagai sepasang bola api. Wajahnya kelihatan begitu bengis. Dan rambutnya yang memutih, dibiarkan tak teratur hampir menutupi sebagian wajahnya.
"Setan Tengkorak Merah...," desis Banara langsung mengenali orang tua berjubah merah yang tiba-tiba muncul di tempat ini.
"Apa maksudmu menghadang jalan kami di sini, Setan Tengkorak Merah?" tanya Sarala langsung, suaranya lantang dan keras menggelegar.
"He he he.... Rupanya kalian sudah tahu siapa aku. Maka, sebaiknya pergi. Dan jangan coba-coba ikut mengejar Kuda Api!" dengus laki-laki tua berjubah merah yang ternyata berjuluk Setan Tengkorak Merah dingin, diiringi suara tawanya yang terkekeh kering.
"Hhh! Kau tidak ada hak melarang putra-putra Elang Maut, Setan Tengkorak Merah...!" desis Banara tidak kalah dingin.
"Kalian memang bocah-bocah sombong yang keras kepala! Apa mata kalian sudah buta, heh...?! Lihat! Siapa yang ada di depan kalian ini...?!" bentak Setan Tengkorak Merah jadi geram.
"Kami tahu siapa dirimu, Setan Tengkorak Merah. Dan kami tidak akan mundur setapak pun!" tegas Banara.
"Grrr...!" Setan Tengkorak Merah menggeram dahsyat, seperti seekor serigala yang marah melihat pemburu di dekatnya.
Sementara Banara dan kedua adiknya sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Mereka tahu kalau orang yang dihadapi ini memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Tapi, tak ada sedikit pun rasa gentar di hati ketiga anak muda putra Elang Maut itu.
"Berpencar...!" seru Banara tiba-tiba, dengan suara lantang menggelegar.
"Hup...!"
"Hap...!"
Sarala dan Liliani langsung berlompatan ke samping kanan dan kiri Setan Tengkorak Merah. Sedangkan Banara tetap berada di depan. Setan Tengkorak Merah hanya mendengus saja sambil memperhatikan ketiga anak muda yang sudah siap melakukan serangan.
Sret..! Cring...!
Ketiga putra Elang Maut itu segera mencabut pedang masing-masing yang tipis dan berwarna keperakan. Bentuk dan ukurannya sama persis. Bagian ujung gagangnya berbentuk kepala burung elang berwarna perak berkilatan. Pedang itu memantulkan cahaya matahari yang baru saja menyembul keluar dari batik pepohonan di sebelah Timur.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Setan Tengkorak Merah berteriak keras menggelegar. Dan bagaikan kilat, dia melompat cepat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah Banara. Begitu cepat dan mendadak sekali serangannya, sehingga membuat Banara jadi terperangah sesaat.
"Hait..!"
Cepat-cepat Banara menarik tubuhnya ke belakang, sehingga kebutan tongkat Setan Tengkorak Merah hanya lewat sedikit di depan dadanya. Pada saat itu, Sarala sudah melompat cepat disertai teriakan keras. Pedangnya langsung dikebutkan ke arah kepala Setan Tengkorak Merah.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Hih!" Setan Tengkorak Merah tidak berusaha menghindar sedikit pun. Tongkatnya malah ditarik dan ditegakkan di samping kepalanya. Tak dapat dihindari lagi, pedang Sarala menghantam tongkat berwarna merah yang bagian ujungnya berbentuk kepala tengkorak.
Trang!
"Ikh...!" Sarala terpekik agak tertahan. Cepat-cepat dia melompat mundur, lalu berputaran beberapa kali ke belakang sambil memegangi pergelangan tangan kanannya. Seluruh tangan kanannya terasa jadi bergetar kesemutan saat pedangnya menghantam tongkat si Setan Tengkorak Merah barusan. Pemuda itu agak terhuyung begitu kakinya menje-jak tanah.
"Hiyaaat...!"
Setan Tengkorak Merah cepat melompat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah Sarala yang masih berusaha menguasai diri. Cepat sekali kebutan tongkatnya, sehingga Sarala tak mungkin lagi bisa menghindar. Tapi pada saat yang tepat, tiba-tiba saja Liliani melompat mengibaskan pedangnya. Dicobanya untuk menyampok tongkat si Setan Tengkorak Merah.
"Yeaaah...!"
Bet!
Trang!
"Hih! Yeaaah...!"
Begitu tongkatnya tersampok pedang Liliani, cepat sekali Setan Tengkorak Merah memutar tubuhnya sambil membungkuk. Sementara kaki kanannya bergerak cepat melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras ke arah perut Liliani. Padahal, gadis itu masih tersentak akibat benturan pedangnya dengan tongkat si Setan Tengkorak Merah barusan. Sehingga, tak ada lagi kesempatan bagi Liliani untuk menghindari tendangan laki-laki tua berjubah merah itu.
Desss!
"Akh...!" Liliani terpekik keras agak tertahan begitu tendangan Setan Tengkorak Merah menghantam telak perutnya. Tubuh gadis itu terpental deras ke belakang. Begitu kerasnya tendangan yang dilakukan Setan Tengkorak Merah. Sehingga, saat tubuh Liliani membentur sebongkah baru yang cukup besar, baru itu langsung hancur berkeping-keping seketika.
"Liliani...!" seru Sarala keras.
Baru saja Sarala hendak melompat menghampiri Liliani yang menggeliat merintih di antara puing-puing pecahan baru, tiba-tiba saja Setan Tengkorak Merah sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan tangan kiri yang cukup keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Akh...!" Sarala terpekik keras begitu pukulan Setan Tengkorak Merah menghantam telak dadanya. Sarala tak mampu lagi bertahan, dan langsung terpental ke belakang. Tubuhnya menghantam beberapa batang pohon hingga roboh. Sarala menggelepar di tanah sambil mengerang.
Sementara Setan Tengkorak Merah memutar tubuhnya perlahan, menghadap Banara yang jadi terlongong bengong melihat kedua adiknya tergeletak menggelepar di tanah hanya beberapa gebrakan saja.
"Kali ini kalian kuberi kesempatan hidup. Kuperingatkan sekali lagi, jangan sekali-sekali lagi berani mengejar Kuda Api. Dia sudah jadi milikku, dan biarkan menitis kembali ke asalnya," dingin sekali nada suara Setan Tengkorak Merah.
Kali ini Banara benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi, dan hanya bisa diam tak bergeming sedikit pun. Sementara Setan Tengkorak Merah sudah berbalik, dan melangkah cepat meninggalkan tepian hutan ini. Arahnya terus menuju ke Timur, semakin masuk ke dalam hutan. Banara baru bisa bergerak menghampiri adik-adiknya setelah Setan Tengkorak Merah tidak terlihat lagi.
"Bagaimana keadaan kalian?" tanya Banara.
"Aku harus segera bersemadi. Keras sekali pukulan Setan Tengkorak Merah...," jelas Sarala tersengal.
"Aku juga, Kakang...," sambung Liliani juga tersengal.
"Cepatlah bersemadi. Kalian akan ku jaga," kata Banara begitu cemas melihat keadaan kedua adiknya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Sarala dan Liliani mengambil tempat yang teduh di bawah pohon. Kemudian, mereka duduk bersila untuk memulai bersemadi. Sementara Banara menunggui tidak jauh dari kedua adiknya itu. Sesekali matanya menatap mereka yang sudah bersemadi. Jelas sekali kalau raut wajah-nya begitu cemas. Apalagi ketika melihat mulut mereka yang terus mengalirkan darah agak kental kehitaman.
********************
Sementara itu jauh di tengah Hutan Gronggong, tampak seekor kuda hitam tengah menghentak-hentakkan kakinya di atas sebuah gundukan tanah yang dilapisi rerumputan tebal. Begitu gundukan ta-nah yang tampaknya seperti sebuah kuburan itu mulai terbongkar, tiba-tiba saja kuda hitam itu berhenti menghentak-hentakkan kakinya. Sedangkan kepalanya langsung terdongak ke atas. Binatang itu mendengus keras, sehingga dari lubang hidungnya keluar segumpal asap tebal kemerahan.
"Hieeekh...!" Kuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, tepat ketika dua orang penunggang kuda keluar dari lebatnya pepohonan di hutan ini.
Kedua penunggang kuda yang wajah dan bentuk tubuhnya sama persis itu segera berlompatan turun dari kuda masing-masing. Sukar membedakan kedua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun ini, kecuali dari warna pakaiannya saja. Yang seorang mengenakan baju warna biru tua, dan berjuluk Iblis Biru. Sedangkan yang seorang lagi mengenakan baju warna hitam pekat, dengan julukan Iblis Hitam. Mereka memang orang kembar, dan berjuluk si Iblis Kembar dari Utara.
"Kita datang tepat pada waktunya, Iblis Hitam," kata Iblis Biru perlahan.
"Benar. Jaran Geni sudah menemukan kuburannya," sahut Iblis Hitam, juga perlahan suaranya.
Baru saja mereka hendak melangkah mendekati kuda hitam itu, tiba-tiba saja terdengar siulan panjang yang begitu nyaring melengking tinggi. Siulan yang tiba-tiba terdengar melengking itu membuat si Iblis Kembar dari Utara jadi terkejut. Mereka langsung saling melempar pandangan.
"Hm, siapa dia...?" tanya Iblis Hitam.
"He he he...!"
Bersamaan terdengarnya suara tawa terkekeh yang menggantikan siulan melengking tadi, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih. Dan tahu-tahu, tidak jauh dari si Iblis Kembar dari Utara sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih panjang. Suara tawanya yang terkekeh dan begitu kering, sungguh menyakitkan telinga. Memang suara tawa itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Di rimba persilatan dia berjuluk Kakek Siulan Maut.
"He he he... Ternyata kalian lebih dulu sampai dariku," kata laki-laki tua berjubah putih yang berjuluk Kakek Siulan Maut, diiringi suara tawanya yang kering dan terkekeh.
"Jika tujuanmu sama dengan kami, sebaiknya diam dan jangan mengganggu Jaran Geni," dengus Iblis Hitam, ketus.
"Tentu saja aku tidak akan mengganggu Jaran Geni, tapi justru akan menjaganya dari keusilan kalian berdua," sambut Kakek Siulan Maut, sinis.
Kakek Siulan Maut segera mengambil tempat di bawah pohon yang cukup rindang. Kemudian dia duduk bersila, seraya meletakkan tongkat pendek yang terbuat dari baja putih di sampingnya. Kedua ujung tongkatnya bercabang tiga, dan berbentuk runcing seperti mata tombak. Melihat laki-laki tua berjubah putih ini kelihatan tenang dan langsung memperhatikan kuda hitam aneh itu, si Iblis Kembar dari Utara juga segera duduk di dekat kudanya.
Sementara kuda hitam itu masih mendengus-dengus sambil memandangi tiga orang yang duduk bersila agak jauh darinya. Dan pada saat itu, muncul lagi seorang laki-laki tua berjubah merah. Dia seperti tidak peduli pada tiga orang yang sudah duduk bersila dengan tenang.
Tampak sebatang tongkat merah yang pada bagian ujung atas terdapat tengkorak kepala manusia, tergenggam di tangannya. Dia langsung saja mengambil tempat, dan duduk bersila tanpa berkata sedikit pun. Di kalangan rimba persilatan dia dikenal sebagai Iblis Tongkat Merah.
Namun tak berapa lama kemudian, muncul lagi dua orang gadis berwajah cantik yang di punggung masing-masing tersampir sebilah pedang. Kemunculan mereka, masih disusul oleh munculnya seorang perempuan tua berbaju hitam pekat dan longgar. Dia membawa sebuah cambuk pendek berbentuk ekor kuda yang juga berwarna hitam pekat. Perempuan tua ini, dikenal berjuluk Dewi Cambuk Maut. Sedangkan dua orang gadis yang sudah duduk bersila di bawah pohon itu, di kalangan persilatan dikenal sebagai Dewi Naga Kembar. Masing-masing bernama asli, Untari dan Legini.
"Hieeekh...!" tiba-tiba saja kuda hitam yang mereka kenal sebagai Jaran Geni, meringkik keras melengking tinggi sambil mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi ke atas.
Begitu keras ringkikannya, sehingga tanah di sekitarnya jadi bergetar. Dan entah dari mana, tiba-tiba saja angin berhembus kencang bagai badai topan. Akibatnya, pepohonan di sekitar Hutan Gronggong itu jadi berderak, seperti hendak roboh. Sedangkan orang-orang yang duduk bersila di sekitarnya masih tetap duduk tenang, tak bergeming sedikit pun. Mereka mengambil sikap seperti sedang bersemadi.
"Hieeekh...!" Lagi-lagi Jaran Geni meringkik keras beberapa kali, sambil menghentak-hentakkan kedua kaki depannya ke tanah.
Dan begitu ringkikannya berhenti, seketika itu juga suasana menjadi tenang kembali. Tidak ada lagi hembusan angin badai, dan bumi tak lagi terasa bergetar. Bahkan suara menderu pun tidak lagi terdengar. Suasana di tengah Hutan Gronggong kini mendadak saja jadi sunyi senyap bagai berada di tengah-tengah kuburan.
Entah berapa lama kesunyian itu berlangsung menyelimuti Hutan Gronggong ini, bahkan tak ada seorang pun yang membuka suara. Kuda hitam Jaran Geni yang semula liar, kini jadi tenang sekali. Dan binatang itu juga tidak lagi mendengus-dengus, namun kepalanya masih mendongak ke atas. Tiba-tiba saja, langit tampak gelap, tertutup awan hitam yang menggumpal. Mendadak....
Cras! Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar terdengar ketika tiba-tiba saja secercah kilat langsung menyambar kuburan yang sudah mulai terbongkar. Api langsung berkobar membakar kuburan yang berlubang oleh hentakan kaki kuda hitam itu tadi. Dan lubang itu semakin lebar terbongkar, setelah tersambar kilat. Seperti datangnya tadi, awan hitam yang menggumpal menutupi langit tiba-tiba saja menghilang entah ke mana.
Dan keadaan di tengah-tengah Hutan Gronggong itu jadi terang kembali. Api masih berkobar besar dari lubang kuburan yang terbongkar. Saat kuda hitam yang bernama Jaran Geni melangkah menghampiri kobaran api itu, semua orang yang ada di sekitarnya bergegas bangkit berdiri. Mereka langsung melangkah menghampiri kuda hitam itu.
Perlahan-lahan api yang berkobar dari dalam lubang kuburan itu mengecil, lalu tak berapa lama kemudian padam. Kini tinggal asap hitam yang masih mengepul membumbung tinggi. Tapi kepulan asap hitam itu hanya sebentar saja, karena kemudian menghilang terbawa angin yang berhembus agak kencang di tengah Hutan Gronggong ini.
"Jaran Geni, izinkan aku membantu menyempurnakan kebangkitan mu," pinta Kakek Siulan Maut seraya menjura membungkukkan tubuhnya sedikit, memberi hormat pada kuda hitam aneh itu.
Kuda hitam itu berpaling menatap Kakek Siulan Maut dengan sepasang bola matanya yang merah bagai darah. Kemudian, dipandanginya orang-orang yang berada di sekelilingnya. Semua yang dipandangi segera membungkukkan tubuhnya, seperti memberi hormat pada seorang pimpinan.
"Hieeekh...!" kuda hitam itu tiba-tiba saja me-ringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.
Seketika itu juga wajah mereka semua langsung cerah, begitu melihat kepala kuda hitam itu terangguk-angguk. Mereka lalu saling berpegangan tangan, dan melingkari kuda hitam itu bersama kuburan yang sudah terbongkar. Tampak jelas, di dalam lubang kuburan itu tergolek sesosok tubuh yang hitam dan hangus seperti baru saja terbakar.
"Akan kuangkat jasadmu, Jaran Geni," ujar Iblis Tengkorak Merah.
Belum juga ada yang sempat membuka suara, Iblis Tengkorak Merah langsung melompat cepat masuk ke dalam lubang kuburan itu. Tak lama kemudian, laki-laki bertongkat merah itu kembali melompat naik sambil membawa sesosok tubuh hitam yang hangus bagai terbakar. Perlahan-lahan, diletakkannya sosok tubuh hitam itu di depan Jaran Geni.
Kuda hitam itu menghentakkan kaki depan kanannya tiga kali ke tanah, maka tujuh orang yang ada di tengah Hutan Gronggong itu segera menghampiri mendekat. Mereka berdiri setengah melingkar di depan sosok tubuh menghitam hangus itu, lalu sama-sama mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna kuning keemasan. Bentuk dan ukuran pisau itu serupa persis, sedikit pun tak ada perbedaannya.
"Hieeekh...!"
kuda hitam itu kembali meringkik keras sambil mendongakkan kepalanya. Serentak, tujuh orang golongan hitam itu mengangkat pisau yang tergenggam di tangan kanan tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu, ujung pisau itu disatukan, tepat di atas dada sosok tubuh menghitam hangus yang terbaring di depan mereka.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
TIGA
Tujuh orang tokoh tingkat tinggi golongan hitam itu tiba-tiba saja menghunjamkan pisau tepat ke bagian tengah dada sosok tubuh yang menghitam hangus terbaring di tanah. Pada saat itu, terdengar ledakan guntur menggelegar di angkasa, disusul berkelebatannya secercah cahaya kilat yang langsung menyambar dada sosok tubuh hitam itu.
Pada saat yang bersamaan, tujuh orang tokoh persilatan itu berlompatan mundur sejauh dua batang tombak. Tiba-tiba saja, muncul asap hitam yang menggumpal menyelimuti seluruh tubuh hitam hangus itu. Pada saat yang bersamaan, kuda hitam itu menggelepar jatuh ke tanah sambil menggerung-gerung. Bumi langsung bergetar. Bahkan angin seketika berhembus kencang, menerbangkan apa saja yang ada di sekitar Hutan Gronggong ini. Asap hitam itu semakin besar menggumpal, hingga menyelimuti tubuh kuda hitam yang menggelepar sambil menggerung-gerung di tanah.
Tiba-tiba saja, warna asap itu berubah jadi merah bagai darah. Lalu, berganti warna hingga beberapa kali. Dan bersamaan dengan tenangnya alam, asap yang kembali hitam itu pun menyebar hilang. Pada saat itu, di tempat sesosok mayat tadi tergeletak, kini sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya indah, berwarna biru muda. Di sampingnya berdiri seekor kuda hitam yang tinggi dan gagah.
"Ha ha ha...!" pemuda tampan itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba, suara tawanya terhenti begitu melihat tujuh orang berlutut sekitar dua tombak di depannya. Kemudian kakinya melangkah tenang sambil merayapi wajah tujuh orang yang masih berlutut di depannya.
"Aku senang kalian bisa memenuhi undangan dan permintaanku. Tapi sayang, seharusnya ada delapan pisau emas yang tertanam di tubuhku. Bukannya tujuh...," kata pemuda itu, suaranya terdengar dingin menggetarkan.
"Kami tidak tahu. Yang jelas, hanya kami bertujuh yang datang ke sini," kata Iblis Tengkorak Merah.
"Hm.... Itu berarti kalian harus bisa mendapatkan satu pisau emasku lagi. Dengan demikian, kehidupan dan kekuatanku baru benar-benar sempurna. Hanya dengan tujuh pisau emas saja, kehidupanku belum begitu sempurna. Dan itu berarti aku masih memerlukan pelindung kalian semua," jelas pemuda itu lagi, tetap dingin suaranya.
"Kami akan mendapatkannya, Raden Gordapala," sahut Iblis Tengkorak Merah lagi.
"Hm...," pemuda yang dipanggil Raden Gordapala tiba-tiba menggumam kecil. Kepalanya bergerak menggeleng ke kanan dan ke kiri, lalu memandangi tujuh orang yang masih berlutut di depannya.
Ketujuh orang tokoh persilatan itu hanya memandangi tidak mengerti. Tapi mendadak saja, Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut melesat cepat ke arah sebuah batu besar yang tingginya hampir menyamai pohon.
"Aaa...!" tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tak lama kemudian, sesosok tubuh kurus tanpa baju terlempar ke udara. Tubuh laki-laki tua kurus itu lalu terbanting keras di tanah dengan dada terbelah mengeluarkan darah. Hanya sebentar dia menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut kembali melesat keluar dari balik batu. Masing-masing kini telah mencengkeram seorang wanita muda berwajah cukup cantik. Mereka lalu mendorong dua gadis muda itu, hingga tersuruk ke depan kaki Raden Gordapala.
"Siapa bocah-bocah ayu ini, Paman Tengkorak Merah?" tanya Raden Gordapala.
"Aku tidak tahu, Raden. Mungkin hanya pencari kayu bakar saja," sahut Iblis Tengkorak Merah.
Sementara itu, Iblis Kembar dari Utara, Dewi Naga Kembar, dan Dewi Cambuk Maut sudah berdiri di belakang Raden Gordapala. Sedangkan dua gadis berusia sekitar tujuh belas tahun itu masih berlutut dengan tubuh gemetar di depan pemuda tampan yang menatap dengan sinar mata tajam berkilat.
"Apakah hanya mereka saja yang ada di sini, Paman Siulan Maut?" tanya Raden Gordapala tanpa mengalihkan tatapannya pada kedua gadis itu.
"Ada satu orang lagi, Raden. Tapi berhasil kabur," sahut Kakek Siulan Maut.
"Setan...! Kejar, dan bunuh dia!" geram Raden Gordapala langsung memerah wajahnya. "Apa kalian tidak tahu, tak seorang pun boleh berada di sini, selain kalian yang memegang pisau emasku!"
"Maafkan kelalaian kami, Raden. Kami begitu bahagia melihat Raden hidup kembali, sehingga tidak memperhatikan keadaan sekeliling," ucap Kakek Siulan Maut.
"Aku tidak peduli alasan kalian semua! Cepat pergi, dan bawa kepalanya padaku!" perintah Raden Gordapala lantang dan menggelegar.
"Baik, Raden," sahut ketujuh orang itu seraya membungkuk memberi hormat.
Tanpa diperintah dua kali, tujuh tokoh persilatan yang sudah kondang namanya itu segera berlompatan ke balik batu besar, tempat Iblis Tengkorak Merah dan Kakek Siulan Maut tadi menemukan laki-laki tua yang sekarang sudah tergeletak tewas, dan dua orang gadis muda berwajah cukup cantik. Sebentar saja bayangan tubuh mereka sudah lenyap tak terlihat lagi.
Kini, Raden Gordapala memandangi kedua gadis yang masih berlutut di depannya. Dengan kasar sekali, gadis itu disentakkan hingga berdiri. Tubuh mereka semakin bergetar, dengan kepala tertunduk tak sanggup menentang sorot mata Raden Gordapala yang begitu tajam menusuk.
"Kenapa kalian mengintai ku?" tanya Raden Gordapala dingin. Suaranya terdengar agak mendesis.
Kedua gadis itu tidak menjawab. Bahkan tubuh mereka malah semakin gemetar ketakutan. Raden Gordapala mendesis geram. Dengan kasar sekali, dicengkeramnya dagu salah seorang gadis yang berbaju kuning, lalu mengangkatnya. Mau tak mau, Raden Gordapala bisa menatap wajahnya yang pucat lebih jelas lagi.
"Aku bisa berbuat apa saja padamu...," desis Raden Gordapala, semakin dingin suaranya. "Tapi kau cukup cantik untuk mati lebih cepat. Lama sekali aku tidak pernah lagi menikmati kehalusan kulit wanita. Kalian berdua akan menjadi gadis-gadis pertama yang merasakan permainan ini."
"Oh...?!" gadis berbaju kuning itu terkejut setengah mati. Wajah gadis itu semakin pucat pasi, dan tubuhnya semakin keras menggeletar.
Tiba-tiba saja Raden Gordapala menggerakkan tangannya dengan cepat. langsung ditotoknya dada kiri gadis yang satunya lagi. Gadis itu mengeluh pendek, dan langsung ambruk menggeletak di tanah. Seluruh tubuhnya jadi lemas tak bertenaga. Hanya bagian kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Sementara, seluruh tubuh lain tak mampu digerakkan lagi.
"Kau akan mendapat giliran nanti, Anak Manis! he he he...!"
"Auwh...!" Gadis berbaju kuning itu terpekik. Sekuat daya tubuhnya beringsut, mencoba berontak. Tapi Raden Gordapala malah tersenyum menyeringai kesenangan. Tangannya kembali bergerak cepat mendekap tubuh yang tergolek di depannya.
"Akh...!"
Kasar sekali Raden Gordapala menyentakkan tubuh gadis yang berbaju kuning itu, sehingga terjatuh terlentang di tanah berumput cukup tebal. Perlahan Raden Gordapala melangkah menghampiri, dan menjulurkan tangan kanannya. Lalu cepat sekali disambarnya baju bagian dada gadis itu, dan disentakkan kuat-kuat.
"Auwh...!" gadis itu terpekik. Cepat-cepat gadis berbaju kuning itu menutupi dadanya yang terbuka dengan kedua tangan. Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan, dia berusaha menghindari laki-laki tampan berwajah bengis itu. Sekuat daya tubuhnya beringsut, mencoba menjauh.
Tapi, Raden Gordapala malah tersenyum menyeringai kesenangan. Namun kembali tangannya cepat digerakkan, menyambar pakaian yang dikenakan gadis itu lagi.
Brettt!
"Auwh...!"
"He he he...!" Raden Gordapala terkekeh liar melihat tubuh yang hampir terbuka tergolek di depannya. Kulit tubuh yang halus tanpa cacat, membuat bola mata laki-laki tampan itu jadi berbinar penuh gejolak nafsu.
Sedangkan gadis itu berusaha menutupi tubuhnya yang sudah terbuka. Tapi belum juga bisa menutupi tubuhnya, tiba-tiba saja Raden Gordapala sudah cepat menerkamnya. Kembali gadis itu terpekik, dan meronta berusaha melepaskan diri.
Tapi pelukan Raden Gordapala begitu kuat. Terlebih lagi, pemuda tampan itu menekan dadanya. Sehingga, membuat napas gadis itu jadi sesak. Dengan kasar sekali, Raden Gordapala merenggut seluruh pakaian yang melekat di tubuh gadis itu. Akibatnya, tak ada selembar benang pun yang melekat. Seluruh tubuh gadis itu benar-benar polos. Sepasang bola mata Raden Gordapala semakin liar menjilati sekujur tubuh menggairahkan.
"Oh..., tolong...! Lepaskan! Jangan sakiti aku...," rintih gadis itu lirih.
Tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Tenaganya memang kalah jauh bila dibanding Raden Gordapala yang sudah dirasuki nafsu yang tak terkendali lagi. Rintihan gadis itu tidak membuat gairah pemuda yang baru bangkit dari kubur itu jadi surut. Bahkan semakin liar saja. Dan gadis yang malang itu tak bisa lagi berbuat apa-apa. Air matanya malah sudah menitik deras. Dia hanya bisa merintih, dan memohon. Tapi rintihannya sama sekali tidak dipedulikan.
"Ahhh...!" tiba-tiba saja gadis itu memekik agak tertahan.
Tubuh bugil itu langsung mengejang kaku, dan kelopak matanya terbeliak lebar. Sesaat kemudian, dia terkulai lemas. Hanya isak tangis dan rintihan lirih saja yang terdengar. Matanya dipejamkan, tak sanggup melihat pemuda yang tengah berpacu di atas tubuhnya.
********************
Iblis Tengkorak Merah jadi terbeliak begitu melihat dua gadis cantik tergolek tanpa benang sehelai pun melekat di tubuhnya. Sedangkan Raden Gordapala tampak duduk tenang bersandar di bawah sebatang pohon. Sinar matanya begitu berbinar, dan bibirnya menyunggingkan senyuman penuh kepuasan. Bukan hanya Iblis Tengkorak Merah yang terkejut. Bahkan Kakek Siulan Maut, si Iblis Kembar dari Utara, Dewi Naga Kembar, dan Dewi Cambuk Maut, juga jadi terbeliak melihat dua orang gadis tergolek polos tidak jauh dari Raden Gordapala.
"Kenapa kalian jadi bengong, heh...?" tegur Raden Gordapala seraya bangkit berdiri, dan mengenakan pakaiannya kembali.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Tujuh orang tokoh persilatan itu segera menjura, membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Iblis Tengkorak Merah bergegas melangkah maju mendekati, begitu Raden Gordapala memberi isyarat dengan ujung jarinya.
"Bagaimana? Kau temukan tikus itu?" tanya Raden Gordapala, agak dingin nada suaranya.
"Sudah, Raden. Ini kepalanya," sahut Iblis Tengkorak Merah seraya meletakkan sebuah bungkusan kain di depan pemuda tampan itu. Dari bawah kain, tampak menetes cairan merah.
"Ha ha ha...! Bagus...! Kalian benar-benar pengikut ku yang setia," ujar Raden Gordapala seraya tertawa terbahak-bahak.
"Kami semua akan melaksanakan perintahmu, Raden. Kami akan mewujudkan semua impian mu," tegas Iblis Tengkorak Merah seraya menjura memberi hormat
"Aku senang mendengarnya, Paman. Tapi ada satu yang masih merisaukan ku," kata Raden Gordapala.
"Apa itu, Raden?" tanya Iblis Tengkorak Merah.
"Kehidupanku rasanya belum sempurna bila belum ada delapan pisau emas di dalam tubuhku," ungkap Raden Gordapala.
Tak ada yang berbicara. Mereka semua kini terdiam membisu. Sebentar Raden Gordapala memandangi tujuh orang tokoh persilatan yang sudah menyatakan kesetiaan. Berkat mereka, dia bisa bangkit lagi dari kematiannya yang cukup panjang.
"Saat rohku masih menyatu dalam tubuh Jaran Geni, aku memberi delapan pisau emasku. Dan kalian masing-masing memegang satu. Sedangkan satu pisau lagi...," Raden Gordapala tidak meneruskan ucapannya.
"Siapa yang memegang pisau emas satunya lagi, Raden?" tanya Untari, salah satu dari Dewi Naga Kembar.
"Aku memberikannya pada salah seorang di Kerajaan Karang Setra. Hhh.... Inilah kesalahan pertama yang kubuat. Aku memberikannya begitu saja tanpa mengetahui dirinya yang sebenarnya terlebih dahulu. Bahkan namanya aku juga tidak tahu. Kemunculannya saat aku kebingungan mencari kalian semua, para pengikut setia ku. Kalian memang tidak saling mengenal sebelumnya, karena aku memang menginginkannya begitu. Paling tidak, agar kebangkitan ku sekarang tidak diketahui orang lain, sehingga menyebabkan kegagalan. Semua pisau mestinya kuberikan pada masing-masing pemimpin tokoh hitam di delapan penjuru mata angin. Tapi sayang, satu buah tidak kuberikan pada pemimpin penjuru angin pertama," ujar Raden Gordapala menyesali kesalahan yang telah diperbuatnya.
"Apakah kami harus mendapatkan pisau emas itu, Raden?" tanya Dewi Cambuk Maut.
"Itu sudah pasti. Karena kehilangan satu pisau emas saja, belum berarti apa-apa untuk kehidupanku ini. Kesempurnaan seluruh ilmuku tergantung dari jumlah pisau emas yang harus tertanam dalam tubuhku. Karena, pisau-pisau emas itulah yang membuat kekuatanku jadi abadi. Kalian tentu sudah tahu akan hal ini," kata Raden Gordapala.
Mereka hanya mengangguk saja. Selama ini, mereka memang tahu kalau mempunyai seorang pimpinan yang tangguh dan digdaya. Tapi di antara mereka sendiri memang tidak pernah ada hubungan satu sama lain. Sehingga, tidak heran jika mereka tidak ada yang saling mengenal. Mereka terlalu sibuk melebarkan sayap di daerah kekuasaan masing-masing, di delapan penjuru angin. Dan memang, mereka hanya patuh pada satu perintah yang datang langsung dari Raden Gordapala ini. Dan tentu saja sekarang mereka sudah saling mengenal. Itu pun setelah Raden Gordapala menyebut julukan masing-masing.
"Raden, apa tidak sebaiknya kita segera saja pergi ke Karang Setra...?" usul Kakek Siulan Maut.
"Tidak semuanya," sahut Raden Gordapala.
"Maksud, Raden...?" tanya Iblis Hitam, salah satu dari Iblis Kembar dari Utara.
"Kalian memang pergi ke Karang Setra, tapi Dewi Naga Kembar dan Paman Tengkorak Merah tidak. Mereka harus ikut denganku ke istana di Gunung Tangkup."
"Kalau begitu, kami segera saja berangkat, Raden," pamit Kakek Siulan Maut.
"Pergilah, dan kalian harus berhasil."
Setelah menjura memberi hormat, mereka segera meninggalkan Hutan Gronggong itu. Tinggal Iblis Tengkorak Merah dan Dewi Naga Kembar saja yang masih tinggal bersama Raden Gordapala.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini," ajak Raden Gordapala setelah empat orang pengikutnya tidak terlihat lagi, tenggelam dalam lebatnya Hutan Gronggong ini.
"Bagaimana dengan gadis-gadis ini, Raden?" tanya Tengkorak Merah seraya menunjuk dua gadis yang tergeletak tanpa busana.
"Tinggalkan saja. Mereka tidak ada gunanya lagi bagiku," sahut Raden Gordapala seraya melangkah menghampiri kuda hitamnya yang gagah.
Kuda hitam yang bernama Jaran Geni memang bukan kuda sembarangan. Binatang aneh itu bisa mengeluarkan api dari mulutnya. Dan jika mendengus marah, dari lubang hidungnya mengepulkan asap kemerahan. Ringan sekali gerakan tubuh pemuda tampan itu saat melompat naik ke punggung Jaran Geni.
Sementara dua orang gadis cantik yang berjuluk Dewi Naga Kembar, juga sudah berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Tinggal Iblis Tengkorak Merah saja yang masih berdiri di samping kudanya, memandangi dua orang gadis yang tergeletak diam tanpa selembar pakaian pun melekat di tubuhnya.
"Ada apa, Paman?" tegur Raden Gordapala.
"Kenapa memandangi mereka terus?"
"Mereka masih hidup, Raden," jelas Iblis Tengkorak Merah.
"Biarkan saja. Sebentar lagi malam menjelang. Mereka pasti mati jadi santapan binatang hutan ini," sahut Raden Gordapala dingin tak peduli.
"Apa tidak sebaiknya dibuat mati saja, Raden? Mereka sudah melihat apa yang kita lakukan di sini. Dan mereka juga melihat kebangkitan Raden," saran Iblis Tongkat Merah.
"Ah! Sudah lupakan saja, Paman. Ayo cepat, sebelum hari jadi gelap," sentak Raden Gordapala langsung saja menghentakkan tali kekang kudanya.
Iblis Tengkorak Merah tidak berkata-kata lagi. Sebentar dipandanginya tubuh dua orang gadis yang tergeletak tanpa pakaian, kemudian melompat naik ke punggung kudanya. Langsung kudanya dipacu, mengejar Raden Gordapala dan Dewi Naga Kembar yang sudah berpacu cepat meninggalkan tempat itu.
Dan memang, saat ini matahari sudah condong ke arah Barat Sinarnya tidak lagi terik menyengat. Sementara di tengah Hutan Gronggong itu kini jadi sunyi, tak terdengar suara sedikit pun. Hanya desir angin saja yang terdengar menggesek dedaunan yang menjadi saksi bisu dari semua peristiwa di tempat ini.
********************
EMPAT
Kegelapan mulai menyelimuti sekitar Hutan Gronggong. Binatang-binatang malam mulai keluar dari sarangnya. Hutan yang sungguh lebat ini terasa begitu mencekam dan mengerikan suasananya. Berbagai macam suara yang bisa membuat bulu kuduk berdiri, terdengar di setiap sudut hutan ini. Tapi keadaan yang begitu mencekam ini, tidak menyurutkan nyali tiga orang anak muda untuk terus mengendarai kudanya yang tampak sudah kelelahan.
Ketiga anak muda itu adalah Banara, Sarala, dan Liliani. Mereka adalah putra Elang Maut dari Bukit Elang. Meskipun rona merah masih terlihat membias di ufuk Barat, tapi kegelapan sudah menyelimuti sekitar Hutan Gronggong yang begitu lebat ini. Sementara, ketiga putra Elang Maut itu terus maju, tanpa mempedulikan keadaan hutan yang semakin sulit saja dilalui.
"Sebentar lagi hari benar-benar menjadi gelap, Kakang. Apakah tidak sebaiknya berhenti dulu di sini," saran Liliani memecah kesunyian dan kebisuan yang terjadi sejak tadi.
"Tidak. Sebentar lagi kita sampai. Tinggal melewati pohon yang besar itu saja," sahut Banara seraya menunjuk sebatang pohon yang paling besar, di antara pohon-pohon lainnya dalam hutan ini.
Liliani tidak bicara lagi. Dan mereka memang terus bergerak, meskipun tersendat-sendat. Hingga akhirnya, mereka tiba di tempat yang dituju, setelah melewati pohon besar yang ditunjuk Banara. Keadaan memang sudah begitu gelap, sehingga sulit untuk menembus kegelapan yang begitu pekat. Liliani turun dari punggung kudanya, dan menyalakan api dari batu pemantik api yang selalu dibawa. Gadis itu membuat api unggun, sehingga bisa mengurangi kegelapan malam ini.
"Kakang, lihat...!" seru Sarala tiba-tiba.
Liliani dan Banara segera menghampiri Sarala. Liliani jadi terpekik. Buru-buru mukanya dipalingkan begitu melihat dua tubuh tergolek tanpa selembar pakaian menutupnya. Banara segera menghampiri kedua gadis itu, dan menempelkan ujung jarinya di bagian leher dekat dagu.
"Bagaimana?" tanya Sarala yang berada di belakang kakaknya ini.
"Satu masih hidup. Cepat ambil kain di kudaku," ujar Banara.
"Baik, Kakang," sahut Sarala seraya bergegas berlari menuju kuda yang ditunggangi Banara tadi.
Sementara Liliani masih belum menghampiri Banara yang tengah memeriksa keadaan tubuh salah seorang gadis yang masih hidup. Tak berapa lama kemudian, Sarala sudah menghampiri sambil membawa dua lembar kain. Mereka menutupi gadis-gadis itu dengan kain, hingga tidak terlihat polos lagi. Liliani baru menghampiri setelah yakin kedua gadis itu tidak lagi dalam keadaan polos tanpa pakaian.
"Kenapa mereka bisa sampai ada di sini, Kakang? Siapa mereka...?" tanya Liliani.
Tentu saja pertanyaan gadis itu tidak ada yang bisa menjawab. Sementara Sarala yang memeriksa sekitar tempat ini sudah berdiri mematung di pinggir sebuah lubang yang kelihatannya bekas kuburan. Banara dan Liliani menghampiri pemuda itu. Mereka jadi terdiam memandangi lubang bekas kuburan yang menganga cukup lebar.
"Kita terlambat, Kakang. Dia sudah berhasil bangkit dari kubur," ujar Sarala perlahan.
"Sukar dipercaya kalau hal ini dilakukan siang hari. Padahal perhitungan kita, baru malam hari mereka melakukannya," kata Banara seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi kenyataannya, kita benar-benar terlambat, Kakang," sambung Liliani.
"Hhh.... Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Banara seraya berbalik dan melangkah perlahan menghampiri api unggun yang dibuat Liliani tadi.
Sarala dan adik perempuannya mengikuti Banara. Mereka kemudian duduk tidak jauh dari api unggun. Sedangkan tidak jauh dari api unggun, tergolek sesosok tubuh seorang gadis yang tertutup kain cukup tebal yang sudah agak lusuh. Tarikan napas gadis itu begitu perlahan. Bahkan gerak dadanya hampir tidak terlihat. Mereka memperhatikan gadis yang masih belum juga sadarkan diri itu.
"Dia mendapat totokan yang hampir sempurna. Cukup sulit juga membebaskan totokannya. Seluruh darah di tubuhnya hampir membeku. Sedikit saja terlambat, dia akan mati seperti gadis satunya itu," jelas Banara.
"Apa masih lama pingsannya, Kakang?" tanya Liliani.
"Entahlah. Mungkin baru besok pagi sadar," sahut Banara.
"Itu juga kalau pembuka totokanku bekerja di dalam tubuhnya. Aku sendiri tidak yakin, karena dia mendapat totokan dari kekuatan tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dariku."
"Mudah-mudahan saja dia bisa sadar, Kakang. Kita membutuhkan keterangannya," kata Liliani lagi.
"Kasihan...," desah Sarala perlahan, seakan-akan untuk dirinya sendiri.
"Kita terpaksa bermalam di tengah hutan ini," kata Banara lagi.
"Ya.... Hutan ini terlalu lebat kuda-kuda kita juga sudah kelelahan," desah Liliani.
Ketiga putra Elang Maut itu tidak ada lagi yang berbicara. Mereka semua terdiam, dengan pikiran bergelut dalam benak masing-masing. Sementara malam terus merayap semakin jauh. Kabut pun semakin tebal, menyebarkan udara dingin yang begitu menusuk sampai ke tulang. Api unggun yang menyala cukup besar, seakan-akan tak sanggup mengusir dinginnya udara malam ini. Tapi tak ada seorang pun dari mereka yang memperdengarkan keluhan. Mereka memang sudah terbiasa hidup di alam terbuka seperti ini.
********************
Liliani menggelinjang bangun dari tidurnya, begitu merasakan sengatan hangat matahari yang menerpa kulit tubuhnya. Gadis itu jadi terkejut mendengar suara isak tangis yang lirih. Cepat kepalanya berpaling, dan melihat gadis yang semalam ditemukan tak sadarkan diri di tengah hutan ini tengah menangis memeluk lututnya. Gadis itu menyembunyikan wajahnya dalam lekukan lututnya.
Perlahan Liliani merangkak mendekat. Pada saat itu, Banara dan Sarala juga terbangun ketika mendengar tangisan lirih. Sarala hendak menghampiri gadis itu, tapi Banara sudah lebih cepat mencegah dengan cekalan tangan. Mereka hanya memperhatikan Liliani saja yang kini sudah berada dekat di samping gadis yang masih menangis memeluk lutut ini.
"Nisanak...," panggil Liliani lembut seraya menyentuh pundak yang terbuka berkulit putih mulus itu.
Suara isak tangis gadis itu seketika terhenti. Perlahan kepalanya terangkat, dan berpaling menatap Liliani yang ada di sampingnya. Liliani memberikan sedikit ulasan senyum, meskipun terlihat begitu dipaksakan.
"Aku Liliani...," Liliani langsung mengenalkan diri. "Aku dan kedua kakakku menemukanmu ping-san di sini." Agak tertekan suara Liliani.
Dan tentu saja dia tidak sampai hati mengatakan keadaan gadis ini ketika ditemukan tergeletak tak sadarkan diri tanpa benang sehelai pun menutupi tubuhnya.
"Terima kasih...," pelan sekali suara gadis itu. Suaranya masih terdengar tersendat dengan isak tangisnya yang baru saja terhenti begitu Liliani menyentuh pundaknya.
"Siapa namamu?" tanya Liliani lembut.
"Malita," sahut gadis itu, masih pelan dan tersendat suaranya.
Liliani terdiam beberapa saat. Matanya melirik kedua kakaknya yang memperhatikan saja tanpa mendekati. Kemudian, kembali ditatapnya gadis yang ternyata bernama Malita.
"Boleh ku tahu, apa yang terjadi padamu di sini?" pinta Liliani hati-hati.
Gadis itu tidak langsung menjawab, tapi malah menangis seraya memeluk Liliani. Hal ini membuat putri bungsu Elang Maut itu jadi tersedak, tak mampu berkata-kata lagi. Meskipun belum begitu yakin, tapi Liliani sudah menduga, pasti ada sesuatu yang terjadi pada Malita di tengah hutan ini. Hanya saja dia tidak tahu, bagaimana Malita bisa berada di hutan yang, begitu lebat dan masih liar ini.
Sedangkan Liliani belum bisa bertanya, karena Malita terus menangis sambil memeluknya begitu erat. Cukup lama juga Liliani membiarkan Malita menangis sambil memeluknya. Beberapa kali matanya melirik kedua kakaknya. Tapi kedua pemuda itu masih tetap diam memandangi. Sebenarnya Liliani ingin mereka mendekat, namun rasanya tidak bisa mengatakannya sekarang. Perlahan Liliani melepaskan pelukan itu, setelah tangis Malita mulai mereda. Malita masih sedikit terisak. Beberapa kali air mata yang terus membanjir disusut dengan ujung kain yang melilit tubuhnya.
"Aku ada pakaian. Barangkali cocok untukmu," kata Liliani seraya bangkit berdiri.
Liliani bergegas menghampiri kudanya. Dari kantung pelana kuda, diambilnya sebuah baju dari bahan sederhana. Kemudian kembali dihampirinya Malita. Lalu, pakaian berwarna merah muda itu diserahkan pada gadis itu.
"Terima kasih," ucap Malita seraya menerima pakaian itu.
"Pakailah," pinta Liliani.
Malita menatap dua orang pemuda yang masih memandanginya. Banara dan Sarala bisa mengerti. Bergegas mereka memutar tubuh, membelakangi kedua gadis itu. Liliani membantu Malita mengenakan pakaian yang diberikannya. Cocok sekali ukuran dan potongan baju Liliani di tubuh Malita.
"Kau kelihatan cantik dengan baju ini, Malita," puji Liliani.
Malita hanya tersenyum tipis. Masih sukar baginya untuk tersenyum, meskipun agak tersipu juga mendengar pujian Liliani yang bernada begitu tulus.
Sementara Banara dan Sarala sudah kembali berbalik memandangi kedua gadis itu. Mereka berdiri dan melangkah menghampiri. Malita kini memandangi dua gundukan tanah yang berada tidak jauh. Perlahan kakinya melangkah menghampiri. Liliani dan kedua kakaknya mengikuti. Mereka berdiri mengapit gadis itu yang memandangi dua kuburan dengan sinar mata nanar.
"Kami menguburkannya semalam," jelas Liliani tanpa diminta lagi.
"Siapa mereka?" tanya Banara, agak ditahan suaranya.
Malita tidak menjawab, dan hanya diam saja dengan kepala tertunduk. Terbayang kembali peristiwa kemarin yang tidak pernah dilupakannya seumur hidup. Dan api dendam pun langsung tersulut dalam hatinya. Tapi mengingat kenyataan dirinya yang lemah, dan siapa pemuda yang dibangkitkan dari kuburnya kemarin, Malita langsung menyadari kalau tidak mungkin bisa membalas sakit hatinya yang sudah terkoyak ini.
"Lalu, kenapa kau bisa berada di tengah hutan ini, Malita?" tanya Sarala tidak sabar, melihat Malita hanya diam saja dengan kepala tertunduk dalam.
Malita tidak langsung menjawab pertanyaan pemuda itu. Tubuhnya segera diputar berbalik, dan melangkah menjauhi kuburan itu. Sementara ketiga putra Elang Maut hanya saling melempar pandangan satu sama lain saja. Mereka kemudian bergegas menyusul Malita yang sudah duduk lagi di dekat api unggun.
"Kau bisa percaya pada kami semua, Malita. Jika punya persoalan, atau ingin menceritakan sesuatu, ceritakan pada kami. Mungkin kami bisa membantumu, Malita," bujuk Liliani.
"Aku akan mengatakan apa yang terjadi di sini semalam. Tapi jangan paksa untuk mengatakan siapa diriku sebenarnya," kata Malita, agak ditekan nada suaranya.
"Ceritakan, apa yang kau ketahui semalam," pinta Sarala tidak sabaran.
Sebentar Malita menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Kembali terbayang suatu peristiwa yang begitu mengerikan, dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan yang lebih mengerikan lagi adalah kejadian yang menimpa dirinya setelah itu. Rasanya sukar bagi Malita untuk mengatakan, apa yang dilihat dan dialaminya.
"Katakan, Malita...," desak Sarala.
"Mengerikan sekali...," desis Malita jadi memucat wajahnya.
"Mengerikan...? Apa yang terjadi, Malita?" desak Sarala lagi semakin tidak sabar.
"Mereka membangkitkan mayat dari dalam kubur. Dan mereka memanggilnya Raden Gordapala...," begitu tersendat suara Malita.
"Raden Gordapala..," desis Banara dan Sarala hampir bersamaan.
Sedangkan Liliani hanya memandangi kedua kakaknya bergantian. Mereka merasakan seperti berhenti bernapas saat itu juga, begitu mendengar nama Raden Gordapala disebut Malita. Sedangkan Malita hanya menatap kosong ke depan. Sama sekali tidak diperhatikannya raut wajah ketiga putra Elang Maut yang tiba-tiba saja berubah itu.
"Kau tahu, siapa saja mereka itu, Malita?" tanya Banara setelah beberapa saat terdiam.
"Aku tidak kenal satu persatu, tapi mereka sangat kejam. Mereka membunuh...," Malita tidak meneruskan. Gadis itu menarik napas panjang, dan meng-hembuskannya begitu kuat. Hampir saja dia terlepas bicara dan untung masih bisa ditahan sebelum telanjur.
"Mereka yang meninggal itu saudaramu, Malita?" tanya Sarala ingin tahu.
Malita tidak menjawab, namun hanya menundukkan kepalanya saja. Setitik air bening kembali menggulir dari sudut ekor matanya. Lalu, cepat-cepat air matanya dihapus sebelum jatuh melewati pipi. Malita menghembuskan napas panjang, mencoba melonggarkan rongga dadanya yang mendadak jadi terasa, begitu sesak.
"Malita. Kau tahu, ke mana mereka pergi?" tanya Liliani seperti bisa mengetahui perasaan hari gadis itu saat ini. Memang, cepat-cepat diluruskannya kembali pembicaraan yang sempat berbelok akibat pertanyaan Sarala yang tidak bisa dijawab Malita saat ini.
"Tidak...," sahut Malita perlahan seraya menggelengkan kepalanya. "Aku pingsan, dan tidak tahu apa-apa lagi."
"Jelas, iblis itu benar-benar sudah bangkit dari kuburnya, Kakang," ujar Liliani seraya menatap kedua saudaranya bergantian.
Mereka kembali terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing yang begitu sulit diterka. Sedangkan Malita juga terdiam membisu. Pandangannya tetap lurus ke depan. Sinar matanya begitu kosong, tanpa ada cahaya gairah hidup sedikit pun. Seakan-akan, semangat hidup dan jiwanya sudah hilang entah ke mana.
"Malita! Kau tahu, berapa jumlah mereka?" tanya Banara tiba-tiba, setelah cukup lama berdiam diri.
"Tujuh," sahut Malita singkat.
"Hanya tujuh...? Kau tidak salah, Malita?" tanya Sarala, seakan-akan tidak percaya atas jawaban Malita barusan.
"Tidak. Mereka memang tujuh orang yang membangkitkan mayat itu dari kuburnya. Juga ada kuda hitam yang aneh," sahut Malita, begitu yakin sekali dengan jawabannya.
"Seharusnya mereka ada delapan, Kakang...," desis Sarala seraya menatap Banara yang tampak termenung mendengar jawaban Malita yang begitu polos dan yakin sekali.
Sedangkan Banara hanya diam saja dengan kening berkerut cukup dalam. Dan saat itu, Malita seperti baru menyadari akan keadaan saat ini. Dipandanginya ketiga putra Elang Maut itu satu persatu dengan sinar mata seperti kebingungan. Entah kenapa, gadis itu seakan-akan baru saja terbangun dari mimpi yang begitu buruk dan mengerikan!
Tapi, Malita tidak mau bertanya, karena juga tidak ingin dirinya diketahui mereka yang belum dikenal betul. Meskipun, mereka telah menolongnya dari maut yang siap merenggutnya akibat tertotok pada pusat jalan darahnya. Sedikit saja terlambat menolongnya, mungkin saat ini Malita sudah menghuni liang lahat.
"Bagaimana sekarang, Kakang?" tanya Liliani yang sejak tadi diam saja.
"Bagaimana lagi...? Kita sudah gagal. Dan mereka sudah berhasil membangkitkan iblis itu dari kuburnya," sahut Banara terdengar lesu nada suaranya, seraya mengangkat bahunya sedikit.
"Tapi kebangkitannya belum sempurna, Kakang. Mereka hanya tujuh orang. Bukankah seharusnya delapan, baru kebangkitannya bisa sempurna?" selak Sarala.
"Benar, Kakang. Sebaiknya kita mencari orang terakhir yang memegang pisau emas itu lagi," celetuk Liliani cepat.
"Kau pikir dunia ini kecil, Liliani...? Sama saja mencari jarum dalam tumpukan jerami," dengus Banara.
"Aku yakin kita bisa mengetahuinya, Kakang," ujar Liliani begitu yakin dan bersemangat.
"Bagaimana caranya?" tanya Banara tidak mengerti jalan pikiran adik bungsunya ini.
"Tiga orang kita sudah tahu. Yaitu, Iblis Tengkorak Merah dan si Kembar dari Utara. Kita tinggal tanyakan ciri-ciri yang empat orang lagi pada Malita. Kita pasti bisa menemukan, siapa orang yang satunya lagi itu, Kakang," jelas Liliani, begitu bersemangat.
"Kau benar, Liliani. Kita bisa menentukan, siapa yang tidak hadir kemarin," cetus Sarala langsung bisa memahami jalan pikiran adiknya ini.
Banara mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, mereka menatap Malita yang tampak terbengong tidak mengerti pembicaraan ketiga anak muda ini.
"Malita, bisa kau sebutkan satu persatu ciri-ciri mereka, bukan...?" pinta Liliani, begitu lembut suaranya.
"Aku tidak yakin, tapi akan ku coba," sahut Malita agak ragu. Tapi...."
"Tapi kenapa, Malita?" selak Sarala.
"Kenapa kalian begitu ingin tahu tentang mereka?" tanya Malita.
"Sukar dikatakan, Malita. Tapi ini adalah tugas kami untuk menyelamatkan jagat raya ini dari kehancuran oleh para iblis itu," sahut Banara.
"Kalian akan memburunya?" tanya Malita lagi.
"Benar," sahut ketiga putra Elang Maut itu bersamaan. Kedua bola mata Malita jadi berbinar.
Terbetik satu harapan dalam hatinya untuk membalas sakit hati dari perbuatan pemuda yang dipanggil Raden Gordapala. Pemuda yang dibangkitkan dari dalam kubur oleh tujuh orang tokoh persilatan tingkat tinggi, yang dibantu seekor kuda hitam berperangai aneh seperti jelmaan iblis dari neraka.
Malita kemudian menyebutkan satu persatu ciri-ciri dari ketujuh orang yang membangkitkan Raden Gordapala dari dalam kubur. Memang agak tersendat, karena Malita memang tidak begitu memperhatikan benar. Tapi, ketiga putra Elang Maut itu bisa menebak semua yang disebutkan Malita satu persatu.
"Jadi, yang tidak ada hanya si iblis penguasa mata angin ke satu, Kakang," desis Sarala setelah Malita menyebutkan satu persatu ciri-ciri orang yang membangkitkan Raden Gordapala dari kuburannya.
"Di mana wilayah mata angin ke satu itu, Kakang?" tanya Liliani tidak tahu.
"Cukup luas. Karena, daerah itu meliputi tujuh kerajaan. Di antaranya yang terbesar adalah Kerajaan Giri Gading, Kerajaan Batang Ketapang, dan Kerajaan Karang Setra," jelas Sarala.
"Tapi, bukankah semua orang menganggap Kerajaan Karang Setra adalah pusat dari delapan mata angin pertama, Sarala...?" tanya Banara ingin kepastian.
"Benar, Kakang. Tapi kita semua tahu kalau Kerajaan Karang Setra merupakan kerajaan yang damai dan tenteram. Bahkan begitu damainya, sampai kejahatan kecil saja jarang sekali ditemui. Terlebih lagi, kabarnya tokoh-tokoh tingkat tinggi beraliran putih banyak bertempat tinggal di sana. Kabarnya lagi, Raja Karang Setra seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini," jelas Sarala lagi.
"Lalu, kerajaan-kerajaan lain?" tanya Liliani.
"Tidak jauh berbeda dengan kerajaan di manapun juga. Tapi yang paling lain sendiri di wilayah ke satu dari delapan penjuru mata angin hanya Kerajaan Karang Setra. Sehingga, kerajaan itu menjadi panutan kerajaan-kerajaan lain," sahut Sarala lagi.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Liliani meminta pendapat Banara.
"Kalian ingat, apa kata ayah sebelum meninggal...?" Banara malah balik bertanya.
Sarala dan Liliani menganggukkan kepala.
"Bukan hanya manusia. Bahkan binatang pun akan menjaga wilayahnya agar aman, dan tidak dimasuki musuh. Aku rasa, kita memang harus ke Karang Setra," tegas Banara.
"Kau yakin, Kakang?" tanya Liliani.
"Ya! Karena keadaan yang lain seperti itu membuat aku yakin kalau dia pasti ada di Karang Setra. Rasanya, dia tidak mungkin mengacau kerajaan itu. Ini sama saja dengan memporak-porandakan pembaringan sendiri," sahut Banara begitu mantap.
"Kau benar, Kakang. Sebaiknya kita berangkat saja sekarang, jangan membuang-buang waktu lagi," selak Sarala seraya bangkit berdiri.
"Tapi bagaimana dengan Malita?" tanya Banara seraya memandang Malita yang sejak tadi diam saja.
"Biar dia ikut dengan kudaku. Nanti kalau menemukan desa, kita bisa membeli kuda untuknya," kata Liliani cepat.
"Baiklah. Ayo kita berangkat sekarang," ajak Banara menyetujui.
Memang tidak mungkin mereka meninggalkan Malita seorang diri di tengah hutan yang begitu lebat dan masih kelihatan liar ini. Mereka kemudian cepat, meninggalkan hutan ini. Malita memang ikut membonceng pada kuda yang ditunggangi Liliani. Hutan yang begitu lebat dan rapat, cukup menyulitkan mereka untuk memacu cepat kudanya.
********************
LIMA
Suasana di Kerajaan Karang Setra begitu damai dan tenang. Malahan suasana gembira telah terjadi di dalam Istana Karang Setra yang begitu besar dan megah. Memang, hari ini mereka bisa kembali melihat rajanya yang baru saja pulang dari pengembaraannya yang begitu panjang, seperti tanpa batas akhir.
Rangga, Raja Karang Setra yang juga dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti memang lebih suka mengembara daripada berdiam diri dalam istana. Baginya, dekat dengan rakyat jelata merupakan satu kebahagiaan tersendiri. Terlebih lagi sebagai seorang pendekar. Dia memiliki suatu tugas yang tidak kecil nilainya. Dan tugas kependekarannya tidak bisa terlak-sana jika harus berdiam diri saja di dalam istana ini.
"Sepertinya sudah sepuluh tahun kau meninggalkan istana ini, Kakang," kata Cempaka, adik tiri Rangga.
"Benar, Kakang. Kami semua begitu rindu dan selalu mengharap agar kau pulang," sambung Danupaksi.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja seraya melirik Pandan Wangi yang duduk di samping kirinya. Di taman belakang istana ini, bukan hanya mereka berempat. Tapi juga ada beberapa orang pembesar kerajaan dan para panglima serta patih kepercayaan Rangga. Dan seharusnya pula, mereka berkumpul di Balai Sema Agung. Tapi Rangga lebih senang memilih taman ini daripada berada dalam ruangan yang pasti dikelilingi para prajurit, punggawa, serta pembesar lainnya.
"Sekarang aku sudah ada di tengah-tengah kalian, semua. Ada yang hendak kalian sampaikan...?" ujar Rangga setelah merasa puas menerima ucapan-ucapan kerinduan dari orang-orang yang dekat dengannya ini.
"Sampai saat ini, tidak ada peristiwa penting yang terjadi, Kakang. Semuanya berjalan wajar. Bahkan pembangunan di kotaraja semakin meningkat pesat," lapor Danupaksi tentang keadaan Kerajaan Karang Setra selama ditinggal Pendekar Rajawali Sakti.
Dan memang, Rangga mempercayakan Danupaksi menggantikannya bila tidak ada di istana ini.
"Tidak ada keluhan?" tanya Rangga lagi.
"Tidak, Gusti Prabu," sahut semua orang yang ada di taman itu serentak.
Rangga bukannya tersenyum senang setelah mendengar jawaban yang begitu serentak, tapi malah mengerutkan keningnya. Matanya merayapi mereka yang duduk bersila di atas rerumputan, beralaskan permadani berwarna merah. Semua kepala tertunduk, seakan-akan tidak ada yang berani membalas tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku lebih senang jika tidak ada yang main sembunyi," kata Rangga, agak dalam nada suaranya.
"Tidak ada yang disembunyikan, Kakang," selak Danupaksi cepat-cepat.
"Kau yakin, Danupaksi...?"
Danupaksi tidak langsung menjawab, tapi malah tertunduk begitu Rangga menatap tajam ke arahnya. Sedangkan Cempaka juga jadi terbungkam. Biasanya, gadis itu sangat manja pada Rangga.
Tapi kini, sikapnya seperti begitu kaku. Hal ini membuat Rangga menduga, telah terjadi sesuatu yang disembunyikan mereka semua padanya. Bahkan bukan hanya Rangga saja yang menduga, tapi juga Pandan Wangi pun demikian. Rangga menatap seorang gadis cantik yang duduk bersimpuh di samping Ki Lintuk, seorang tua berjubah putih yang menjadi penasihat di Istana Karang Setra ini.
Gadis yang bernama Retna Nawangsih itu juga menundukkan kepalanya. Dia adalah murid Dewi Purmita, adik kandung ayah Pendekar Rajawali Sakti. Pandangan Rangga kemudian beralih pada Cempaka yang duduk di samping Pandan Wangi, lalu kembali menatap Retna Nawangsih dan Ki Lintuk.
"Ki Lintuk...," dalam sekali nada suara Rangga.
"Hamba, Ananda Prabu," sahut Ki Lintuk seraya merapatkan kedua tangan di depan hidung.
"Kau sebagai penasihat di sini, dan orang tertua di Istana Karang Setra ini. Katakan, apa yang disembunyikan mereka semua terhadapku," desak Rangga tegas.
"Hamba sendiri tidak tahu, Ananda Prabu. Hamba baru saja tiba dari pertapaan, begitu mendengar Ananda Prabu kembali dari pengembaraan yang panjang," sahut Ki Lintuk dengan sikap begitu hormat.
"Retna...?" Rangga menatap Retna Nawangsih.
Gadis itu hanya diam saja dengan kepala tertunduk. Rangga kemudian bertanya pada Batara Yoga, Rakatala, dan semua orang yang ada di taman ini. Tapi, tak ada seorang pun yang mampu menjawab. Semuanya terdiam dengan kepala tertunduk. Terakhir, Pendekar Rajawali Sakti bertanya pada Cempaka dan Danupaksi. Tapi, kedua adik tirinya itu juga tidak berkata apa-apa.
"Baiklah... Aku tidak akan memaksa kalian lagi. Mungkin kalian tidak ingin persoalan itu ku campuri. Baik.... Aku akan melihat saja, bagaimana kalian menyelesaikannya. Dan aku tidak akan berbuat apa pun sampai kalian datang padaku memintanya," tegas Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kakang...," Pandan Wangi ikut berdiri.
"Aku tidak pernah menarik ucapanku, Pandan. Mereka mempunyai persoalan yang tidak ingin ku campuri. Bahkan juga tidak ingin aku mengetahuinya. Aku tidak akan memaksa. Mereka akan kuberi kesempatan untuk menyelesaikannya. Aku akan berada di istana ini sampai persoalan yang kalian rahasiakan padaku bisa terselesaikan"
Setelah berkata demikian, Rangga segera melangkah meninggalkan taman belakang istana ini. Pandan Wangi jadi kelihatan kebingungan. Kemudian, bergegas disusulnya Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mencapai pintu keluar dari taman ini. Dua orang prajurit yang menjaga pintu taman itu segera membungkuk memberi hormat begitu Rangga dan Pandan Wangi melewatinya.
"Tampaknya, Gusti Prabu marah terhadap sikap kita," kata Ki Lintuk setelah Rangga dan Pandan Wangi benar-benar tidak terlihat lagi di taman ini.
"Seharusnya kalian tidak perlu menutup diri seperti ini. Katakan saja, apa yang sebenarnya. Toh Gusti Prabu sudah begitu percaya pada kemampuan kalian semua mengatasi segala permasalahan di Karang Setra ini."
Tak ada seorang pun yang berbicara. Bahkan Danupaksi sendiri hanya diam membisu. Juga Cempaka yang sudah berdiri di bawah pohon bersama Retna Nawangsih, hanya bisa diam membisu seperti yang lain.
"Sebenarnya, masalah apa yang sedang kalian hadapi...?" tanya Ki Lintuk yang memang benar-benar tidak tahu.
"Tidak ada apa-apa...," sahut Danupaksi agak mendesah seraya melangkah pergi meninggalkan taman itu.
Sikap Danupaksi seperti tidak ambil peduli. Dan hal inilah yang membuat kening Ki Lintuk jadi berkerut semakin dalam. Kepergian Danupaksi diikuti Cempaka dan Retna Nawangsih, lalu disusul Batara Yoga, Rakatala dan yang lainnya. Hingga tinggal Ki Lintuk seorang diri yang masih berada dalam taman itu.
"Ada apa ini...? Kenapa mereka jadi bersikap aneh begitu...?" Ki Lintuk jadi bertanya-tanya sendiri.
********************
Sementara itu Rangga berdiri mematung di depan jendela dalam kamarnya. Sengaja pintu jendela hanya sedikit saja dibuka untuk mengawasi keadaan di luar. Sementara, Pandan Wangi yang juga berada dalam kamar itu hanya memperhatikan saja di kursi tidak jauh dari situ. Sejak meninggalkan pertemuan di taman tadi, Rangga terus berdiri di depan jendela memandangi ke luar tanpa bergeming sedikit pun.
"Seharusnya kau paksa mereka untuk mengatakannya, Kakang. Aku yakin, mereka menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin diketahui," ujar Pandan Wangi, agak perlahan suaranya.
"Mereka orang-orang yang taat pada sumpah dan janji. Meskipun aku membunuhnya, tidak bakalan ada yang bersedia membuka mulut, Pandan," kata Rangga, juga perlahan suaranya.
"Tapi kau mengatakan kalau tidak mau ikut campur sampai mereka memintamu, Kakang. Lalu, kenapa sekarang kau malah akan menyelidikinya...?"
"Aku berkata seperti itu agar mereka tenang, Pandan. Mereka pasti menyangka aku akan diam saja, dan tidak mau tahu lagi persoalan yang disembunyikan itu," sahut Rangga membuka akalnya di taman tadi.
"Oh.... Jadi itu hanya siasat mu saja...?"
"Tepat"
"Dan kau akan tahu, di saat mereka mengatakannya nanti. Begitu, bukan...?"
"Pintar juga kau," puji Rangga bergurau.
"Tentu, dong.... Percuma aku mengikutimu terus kalau tidak pintar," cibir Pandan Wangi.
Rangga berpaling menatap gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Sedangkan Pandan Wangi pura-pura tidak tahu. Diteguknya arak di dalam cawannya hingga tandas tak bersisa lagi. Lalu, diisinya kembali hingga penuh.
"Kau bersedia membantuku, Pandan...?" pinta Rangga tetap memandangi gadis itu.
"Tentu! Aku selalu siap membantumu," sahut Pandan Wangi diiringi senyuman yang begitu manis.
"Tolong cari keterangan di luar istana. Kau tidak begitu dikenal, jadi bisa bebas di luar istana ini," kata Rangga, meminta.
"Kenapa harus di luar, Kakang? Bukankah persoalannya justru ada di dalam lingkungan istana sendiri...?" tanya Pandan Wangi. Gadis itu benar-benar tidak mengerti permintaan Pendekar Rajawali Sakti barusan.
"Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam istana ini, Pandan. Kalaupun ada..., pasti datangnya dari luar. Dan lagi, biasanya keterangan dari luar istana bisa lebih lengkap dan tidak dibuat-buat," jawab Rangga beralasan.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Pandan Wangi tidak menerima alasan Rangga.
"Jangan bertanya apa pun dan pada siapa pun juga. Kau hanya memperhatikan saja setiap pelosok kotaraja ini. Laporkan cepat jika ada sesuatu yang janggal padaku," ujar Rangga lagi.
"Sulit juga...," desah Pandan Wangi menggumam.
"Apanya yang sulit?" tanya Rangga kembali memperhatikan keadaan di luar dari balik jendela kamar ini.
"Bagaimana aku bisa mendapat keterangan kalau tidak boleh bertanya apa-apa, Kakang...?" Desah Pandan Wangi mengeluh.
"Bukan itu yang kuinginkan, Pandan. Aku ingin kau bisa mengetahui keadaan di Kerajaan Karang Setra ini. Dari keadaan itu bisa diambil satu kesimpulan dari semua sikap mereka yang tidak biasanya ini. Kau mengerti maksudku...?" Rangga mencoba menjelaskan.
Pandan Wangi terdiam. Keningnya kelihatan berkerut, mencoba mencerna semua kata-kata dan keinginan Pendekar Rajawali Sakti. Cukup lama juga dia bisa memahami, dan baru menganggukkan kepalanya. Rangga tersenyum melihat Pandan Wangi bisa me ngerti maksudnya.
"Aku pergi sekarang, Kakang," pamit Pandan Wangi sambil berdiri.
"Kalau bisa, jangan sampai ada orang yang tahu Pandan. Mereka main rahasia, kita juga harus begitu," pesan Rangga.
"Kau bisa mempercayai ku, Kakang," sahut Pandan Wangi diiringi senyum manis sekali. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu kemudian keluar dari kamar ini.
Sedangkan Rangga kembali memperhatikan keluar melalui jendela yang sedikit terbuka. Tapi tak lama kemudian, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Dari jendela kamar ini, memang bisa melihat langsung pintu rahasia yang biasanya dipakai untuk keluar dan masuk istana ini.
"Mmm.... Kenapa dia keluar dari pintu rahasia...?" gumam Rangga bertanya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Sebentar diperhatikannya keadaan sekeliling. Tak terlihat seorang prajurit pun di sekitar luar kamar ini. Keadaannya begitu sunyi.
"Aku akan mengikuti," desis Rangga dalam hati. "Hup...!"
Ringan sekali gerakan Rangga ketika melompati jendela. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya tepat di depan pintu rahasia yang sudah tertutup lagi. Memang sulit membedakan antara pintu dengan dinding tembok yang mengelilingi istana ini. Sementara Rangga mengedarkan pandangan berkeliling, kemudian baru mendorong pintu batu yang ukuran dan warnanya sama dengan dindingnya.
Rangga bergegas menerobos pintu rahasia itu, dan kembali menutupnya. Kini, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di bagian belakang dari Istana Karang Setra. Tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti masih sempat melihat sebuah bayangan berkelebat cepat, masuk ke dalam hutan yang berada tepat di bagian belakang Istana Karang Setra itu.
"Hup...!" Bergegas Rangga melompat mengejar bayangan yang berkelebat dan menghilang di dalam hutan itu. Gerakannya sungguh cepat dan ringan, sehingga sukar melihat jelas. Hanya bayangan tubuhnya saja yang terlihat berkelebat cepat menembus ke dalam hutan yang tidak begitu lebat ini.
"Hup...!" Kembali Rangga melentingkan tubuh ke udara. Dengan manis sekali kakinya hinggap di atas cabang pohon yang cukup tinggi. Sesaat pandangannya beredar berkeliling. Bibirnya menyunggingkan senyuman, begitu melihat bayangan yang diikutinya kembali terlihat berkelebat cepat dari satu pohon ke pohon lainnya.
"Hm.... Dia menuju ke kuil. Aku harus mendahuluinya," gumam Rangga berkata sendiri dalam hari.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pende-kar Rajawali Sakti memang sudah mencapai tingkat sempurna. Tak heran bila tidak mengalami kesulitan sedikit pun saat berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Begitu ringan bagaikan kapas tertiup angin. Bahkan kecepatannya luar biasa bagai kilat. Hingga sebentar saja, bayangan itu sudah bisa tersusul. Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat menuju ke kuil yang ada di tengah-tengah hutan ini.
********************
Rangga duduk tenang di tangga kuil yang berbentuk candi dan terbuat dari tumpukan batu. Matanya tidak berkedip memperhatikan seseorang yang berlarian cepat menuju ke kuil ini. Orang itu tampak terkejut begitu tiba di halaman depan kuil. Bola matanya terbeliak melihat Rangga sedang duduk tenang di tangga yang menuju langsung ke pintu kuil itu.
"Kenapa terkejut melihatku, Panglima Rakatala...?" tegur Rangga kalem, diiringi senyum manis sekali.
Laki-laki yang diikuti Rangga tadi, memang Panglima Rakatala. Dia salah seorang panglima perang Kerajaan Karang Setra. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu segera berlutut, dan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Sedangkan Rangga masih tetap duduk tenang di tangga kuil ini. Pandangannya malah beredar berkeliling. Memang sunyi sekali kuil ini.
Kuil yang berada di tengah-tengah hutan ini memang sengaja dibangun hanya untuk tempat persinggahan, jika para keluarga dan kerabat serta pembesar Istana Karang Setra ingin berburu. Dan hutan ini juga sengaja dipertahankan untuk ajang berburu.
"Kemarilah, Paman Panglima," ujar Rangga, memanggil.
"Hamba, Gusti Prabu," ujar Panglima Rakatala seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangan di depart hidung.
Panglima Rakatala kemudian bangkit berdiri, dan melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, dia duduk dengan jarak dua undakan tangga kuil ini. Sikapnya begitu hormat, tapi Rangga bisa menangkap adanya kecemasan di mata panglimanya.
"Sudan lama sekali aku tidak berburu lagi di hutan ini. Kau sering ke sini, Paman...?" tanya Rangga seraya menatap panglimanya itu.
"Tidak, Gusti Prabu. Tugas di istana begitu banyak membutuhkan perhatian hamba," sahut Panglima Rakatala penuh rasa hormat.
"Ya.... Aku juga merasa kalau kuil ini jarang dikunjungi. Kau lihat saja keadaannya. Begitu kumuh dan kotor," kata Rangga sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
"Maafkan hamba, Gusti. Prabu. Akan hamba utus para prajurit untuk membersihkan kuil ini," ucap Panglima Rakatala.
Rangga tersenyum dan bangkit berdiri, kemudian melangkah menaiki undakan anak-anak tangga kuil ini. Panglima Rakatala ikut berdiri dan melangkah di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus berjalan sampai berada di depan pintu kuil yang tertutup rapat. Perlahan Rangga membuka pintu kuil itu, dan melangkah masuk ke dalam. Panglima Rakatala mengikuti sampai mereka berada di dalam ruangan kuil yang tampak begitu megah dan indah.
"Aku sudah memeriksa keadaan kuil ini. Tidak pernah berubah. Hanya saja...," ucap Rangga terputus.
"Hanya apa, Gusti Prabu?" tanya Panglima Rakatala.
"Aku melihat ada sebuah benda yang tidak pernah ku tempatkan di dalam kuil ini," kata Rangga, masih terdengar tenang dan perlahan suaranya.
Entah kenapa, wajah Panglima Rakatala seketika itu juga jadi memucat. Beberapa kali air liurnya ditelan, untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak saja jadi terasa begitu kering.
Sedangkan Rangga sudah berada di depan sebuah area dari batu yang berbentuk seekor burung rajawali. Area ini sengaja dibuat untuk menghormati Rajawali Putih yang telah berjasa menyelamatkan hidupnya dan membimbingnya, hingga menjadi seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya.
Kemudian, Rangga kembali melangkah menghampiri sebuah lemari dari kayu berukir yang penuh berisi berbagai macam senjata dari segala bentuk dan ukuran. Bahkan ada beberapa buah perisai yang terbuat dari emas. Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan senjata-senjata itu satu persatu. Kemudian, diambilnya sebilah pisau berukuran kecil yang tampaknya terbuat dari emas murni. Rangga kembali melangkah menghampiri Panglima Rakatala sambil membawa pisau kecil berwarna kuning emas itu.
"Rasanya aku belum pernah melihat benda ini, Paman Panglima. Milik siapa ini...?" tanya Rangga seraya menunjukkan pisau kecil berwarna kuning emas itu.
Panglima Rakatala tidak langsung menjawab. Ludahnya ditelan beberapa kali. Dia tampak begitu gelisah melihat pisau emas berada dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti. Melihat sikap panglimanya jadi gelisah begitu, Rangga jadi berkerut keningnya.
"Kenapa diam, Paman? Kau tahu milik siapa ini, bukan...?" desak Rangga.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba..., hamba...," suara Panglima Rakatala jadi tergagap.
"Kau tahu kan, Paman...? Kuil ini ku bangun untuk menyimpan barang-barang yang sangat bersejarah bagi seluruh rakyat Karang Setra, selain untuk persinggahan. Siapa saja boleh singgah ke dalam kuil ini, Mereka bisa melihat dari dekat sejarah berdirinya Karang Setra. Dan semua yang ada di sini memiliki arti dan makna yang sangat dalam. Tapi, pisau emas ini tidak kukenal. Dan aku yakin, pisau ini tidak memiliki arti apa pun bagi Karang Setra. Maka kuharap kau bisa menjelaskannya padaku, Paman," desak Rangga lagi.
Belum juga Panglima Rakatala bisa membuka suara, tiba-tiba saja...
"Ha ha ha...!"
"Oh...?!"
"Hm...."
Panglima Rakatala jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras menggelegar dari luar kuil ini. Sedangkan Rangga hanya menggumam kecil perlahan sekali.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandangi wajah Panglima Rakatala, kemudian bergegas melangkah mendekati pintu keluar kuil ini. Pisau kecil berwarna keemasan, diselipkan ke balik ikat pinggangnya. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut begitu berada di luar kuil. Di tengah-tengah halaman depan kuil ternyata sudah ada dua orang laki-laki. Wajah dan bentuk tubuh mereka sama persis, sehingga sukar membedakan antara satu dengan yang lainnya. Hanya warna pakaiannya saja yang bisa membedakannya.
Satu persatu Rangga menuruni anak tangga kuil itu. Sementara Panglima Rakatala hanya berdiri saja di depan pintu kuil, kemudian baru bergegas menuruni tangga kuil itu. Sedangkan Rangga kini sudah berada di depan laki-laki kembar itu. Panglima Rakatala kemudian langsung berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
ENAM
"Siapa kalian?" tanya Rangga langsung, seraya merayapi kedua orang kembar itu dengan sinar mata tajam.
"Aku Iblis Biru. Dan ini saudaraku Iblis Hitam. Kami dijuluki Iblis Kembar dari Utara," sahut laki-laki kembar yang mengenakan baju warna biru.
"Lalu, apa maksud kalian datang ke kuil ini?" tanya Rangga lagi.
"Junjungan kami pernah datang ke kuil ini, dan menitipkan sesuatu di sini. Sekarang, kami ingin mengambilnya kembali atas perintah junjungan kami," sahut Iblis Biru, tegas dan lantang suaranya.
"Boleh ku tahu, pada siapa dan benda apa yang dititipkan itu...?" tanya Rangga.
"Sayang, kami tidak tahu orangnya. Seharusnya dia datang ke Hutan Gronggong tiga hari yang lalu untuk menyerahkan titipan itu. Tapi, dia tidak muncul. Maka terpaksa kami yang harus mengambilnya sendiri," sahut Iblis Hitam.
Dan benda itu berbentuk pisau kecil yang terbuat dari emas murni," sambung Iblis Biru.
"Hm...," Rangga jadi menggumam kecil dengan kening berkerut. Rangga kini tahu, ternyata pisau emas itu yang menjadi pangkal persoalannya. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti juga tahu, ternyata sikap diam semua pembesar Istana Karang Setra hanya karena tidak ingin junjungannya tahu kalau kuilnya telah dimasuki benda asing yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan sejarah Karang Setra. Rangga bisa memaklumi, karena memang sudah menjatuhkan kata larangan untuk tidak memasukkan benda apa pun ke dalam kuil ini tanpa persetujuannya. Terlebih lagi, yang tidak memiliki arti di Karang Setra.
"Aku tidak tahu benda yang kalian maksudkan Itu. Jika kalian bisa menunjukkan pada siapa benda itu dititipkan, mungkin bisa kuserahkan kembali pada kalian. Apalagi, kuil ini memang terlarang bagi benda-benda asing yang tidak ada arti dan hubungan dengan sejarah Karang Setra," tegas Rangga.
"Junjungan kami mengatakan, benda itu dititipkan pada orang yang berada di kuil ini. Jika kau pemiliknya, itu berarti kau yang menerima titipan itu!" dengus Iblis Biru ketus.
"Maaf! Aku tidak suka terhadap tuduhan tanpa bukti," desis Rangga tersinggung.
"Kau ingin mengelak rupanya. Baik.... Kami bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan pisau emas titipan junjungan kami!" dengus Iblis Hitam jadi berang atas sikap Rangga.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam perlahan.
"Gusti...," ujar Panglima Rakatala.
"Kau diam saja, Paman. Biar aku yang mengurus...!" dengus Rangga.
Panglima Rakatala jadi terdiam. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah tersinggung atas ucapan Iblis Kembar dari Utara tadi. Dan ketersinggungan Rangga juga sudah mulai nampak saat mendapati sikap adik-adik tirinya, dan juga seluruh pembesar Kerajaan Karang Setra tidak mau berterus terang. Panglima Rakatala jadi semakin gelisah. Disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetahui apa yang dirahasiakan selama ini. Dia juga bisa memaklumi kalau Rangga tampak jadi berang.
"Hanya ada satu pilihan untukmu, Kisanak. Serahkan pisau emas itu pada kami, atau kalian berdua akan menerima akibatnya. Kami bisa menghancurkan kuil ini dalam sekejap," desis Iblis Biru dingin, bernada mengancam.
"Kuil ini terlalu suci untuk dijamah tangan-tangan kotor macam kalian berdua. Sebaiknya, kalian cepat enyah dari sini!" balas Rangga tidak kalah tajamnya.
"Keparat..!" desis Iblis Biru menggeram marah.
"Kau benar-benar cari mampus, Setan...!" Iblis Hitam juga tidak bisa menahan kemarahannya.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum sinis saja. Tangan kirinya kemudian bergerak sedikit. Maka Panglima Rakatala yang melihat tanda itu segera menarik kakinya ke belakang beberapa langkah menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Sudah bisa dibaca keadaan yang tampak semakin memanas ini. Dia tahu kalau pertarungan memang tidak mungkin lagi bisa dihindari.
"Mampus kau! Hiyaaat..!" Iblis Hitam melepaskan satu pukulan keras menggeledek ke arah Rangga.
"Uts!" Dengan satu gerakan manis, Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan tubuhnya, sambil memapak dengan tangan kiri. Sehingga, serangan yang tiba-tiba itu berhasil ditangkisnya.
"Mampus kau! Hiyaaat...!" Tiba-tiba saja Iblis Hitam melompat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada.
"Uts!" Namun dengan satu gerakan manis sekali, Rangga mengegoskan tubuhnya, sambil memapak dengan tangan kiri. Sehingga, serangan yang dilancarkan Iblis Hitam tidak mengenai sasaran. Tapi belum juga tubuhnya tegak kembali, mendadak saja Iblis Biru sudah mengebutkan kaki hendak menyampok kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga segera melentingkan tubuhnya ke udara menghindari sampokan kaki Iblis Biru. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu tiba-tiba saja, tubuhnya meluruk dengan kedua kaki bergerak begitu cepat mengincar kepala kedua laki-laki kembar yang berjuluk Iblis Kembar dari Utara. Dari gerakannya, bisa dipastikan kalau Rangga menggunakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Salah satu jurus dahsyat dari li-ma rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Namun Iblis Kembar dari Utara bisa menghindari serangan dahsyat dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', meskipun tampak kelabakan sekali menghindarinya. Beberapa kali Rangga menggunakan jurus itu. Akibatnya, kedua laki-laki kembar ini terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali merubah gerakannya.
"Yeaaah...!"
Tepat di saat kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ke arah dada Iblis Hitam. Begitu cepatnya serangan dari pergantian jurus yang dilakukan Rangga, sehingga Iblis Hitam tidak punya kesempatan untuk menghindari diri lagi.
Des!
"Akh...!" Iblis Hitam terpekik keras agak tertahan. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat tubuh laki-laki kembar itu terpental deras ke belakang. Dan sebatang pohon yang cukup besar seketika itu juga hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.
Pada saat itu, Rangga sudah cepat memutar tubuhnya. Dan tubuhnya segera dimiringkan ke kanan, di saat Iblis Biru melepaskan satu pukulan keras menggeledek bertenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Tanpa diduga sama sekali, tangan kiri Rangga melepaskan satu sodokan keras ke arah perut si Iblis Biru. Begitu cepat serangan balik yang dilakukannya, sehingga tidak mudah bagi Iblis Biru untuk menghindari.
Begk!
"Hegkh...! Iblis Biru mengeluh pendek. Tubuhnya terbungkuk begitu perutnya terkena sodokan keras tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Dan di saat tubuh Iblis Biru terbungkuk itu, cepat sekali Rangga melepaskan satu pukulan keras ke wajah laki-laki kembar itu.
Plak!
"Aaakh...!" Iblis Biru terpekik keras.
Kepala Iblis Biru langsung terdongak begitu wajahnya terkena pukulan keras yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Tampak dari mulut dan hidungnya mengalir darah agak kental. Iblis Biru terhuyung-huyung ke belakang sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Dan satu tendangan menggeledek yang tiba-tiba dilepaskan Rangga, membuat tubuh Iblis Biru terpental jauh ke belakang. Iblis Biru terjengkang ke tanah, tepat di samping saudara kembarnya yang baru saja berusaha bangkit berdiri.
Sementara Rangga berdiri tegak berkacak pinggang, menatap tajam Iblis Kembar dari Utara. Sementara kedua laki-laki kembar itu berusaha bangkit berdiri sambil merintih menahan sakit.
"Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini, sebelum pikiranku berubah!" desis Rangga. Terdengar dingin nada suaranya.
Iblis Kembar dari Utara menatap tajam penuh dendam pada Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian sambil mendengus, mereka cepat berlompatan pergi. Meskipun dalam keadaan terluka, namun gerakan mereka masih cukup gesit juga. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tidak terlihat lagi ditelan hutan yang tidak seberapa lebat ini.
Rangga baru membalikkan tubuhnya menghadap Panglima Rakatala, setelah Iblis Kembar dari Utara tidak terlihat lagi. Panglima Rakatala langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan menjatuhkan diri berlutut begitu dekat di depannya.
"Bangunlah, Paman," ujar Rangga, terdengar berwibawa suaranya.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Panglima Rakatala seraya bangkit berdiri.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang setelah Panglima Rakatala berdiri di depannya. Panglima Rakatala berdiri sambil menundukkan kepala. Seakan-akan tidak sanggup lagi membalas sorot mata Rangga yang begitu tajam menusuk. Rangga memutar tubuhnya, lalu berjalan beberapa langkah menjauhi panglimanya itu. Terdengar tarikan napasnya yang berat dan panjang beberapa kali.
"Aku sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan ini sampai ada yang meminta. Tapi, rasanya aku tidak bisa tinggal diam bila sudah melibatkan kuil suciku ini," desah Rangga, terasa agak berat nada suaranya.
"Gusti Prabu bisa menarik janji itu kembali. Hamba meminta Gusti Prabu untuk menyelesaikannya," ujar Panglima Rakatala.
"Apa yang bisa kuselesaikan, Paman? Sedangkan aku sendiri tidak tahu permasalahannya," desak Rangga perlahan.
"Titik persoalannya sebenarnya ada pada hamba, Gusti Prabu. Hamba akan menceritakannya, tapi mohon Gusti Prabu mau berjanji," kata Panglima Rakatala.
"Janji apa?" Rangga memutar tubuhnya berbalik menghadap Panglima Rakatala lagi.
"Gusti Prabu tidak akan menyalahkan yang lain karena sikap tutup mulut mereka. Terutama, pada Gusti Danupaksi," pinta Panglima Rakatala.
"Kenapa...?"
"Karena mereka sebenarnya hanya ingin menolong hamba, Gusti Prabu."
"Katakan saja, apa persoalannya. Dan aku juga punya pertimbangan sendiri," ujar Rangga.
"Baiklah, Gusti Prabu..."
"Nah.... Katakan sekarang," pinta Rangga.
"Lebih kurang tiga purnama yang lalu, hamba menemukan seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan hamba, Gusti Prabu. Laki-laki itu sudah tewas, dengan leher hampir buntung...," Panglima Rakatala memulai menceritakan.
"Di mana kau temukan?" tanya Rangga.
"Di depan kuil ini, Gusti Prabu," sahut Panglima Rakatala.
"Hm..., lalu?" "Hamba tidak tahu, siapa dia dan kenapa sampai tewas seperti itu di sini. Hamba lalu memberi tahu Gusti Danupaksi yang saat itu sedang mengadakan persidangan di Balai Sema Agung. Sehingga, semua pembesar yang ada langsung datang ke sini. Jadi semuanya tahu," sambung Panglima Rakatala menceritakan peristiwa yang terjadi di depan kuil ini.
"Hm..., teruskan."
"Dua hari setelah peristiwa itu, hamba kembali lagi ke sini. Pada saat itu, hamba melihat seekor kuda hitam yang sangat aneh. Binatang itu bisa mengeluarkan api dari mulutnya. Lalu hamba diberi sebilah pisau kecil emas dari dalam mulutnya. Kuda aneh itu langsung pergi setelah memberi hamba sebilah pisau, Gusti Prabu. Hamba tidak mengerti, apa maksudnya. Dan semua ini hamba ceritakan pada Gusti Danupaksi, serta semua pembesar kerajaan di Balai Sema Agung Istana Karang Setra," sambung Panglima Rakatala lagi.
"Hm.... Selama itu, apa ada sesuatu yang terjadi di sini?" tanya Rangga ingin tahu lebih banyak lagi.
"Tidak, Gusti. Tidak ada peristiwa apa pun juga. Tapi tiga hari yang lalu, hamba telah bermimpi aneh. Dalam mimpi, hamba ditemui seorang pemuda seperti seorang putra raja. Dia meminta hamba ke Hutan Gronggong dengan membawa pisau itu," sahut Panglima Rakatala.
"Kau pergi ke sana?" tanya Rangga.
"Tidak, Gusti."
"Kenapa?"
"Karena hamba mendapat tugas menumpas gerombolan perampok yang merajalela di desa sebelah Utara Karang Setra. Perampok itu menuntut agar kami melepaskan pemimpinnya. Padahal, kami semua tidak tahu tentang pemimpin mereka. Dan baru kemarin hamba bisa menumpas mereka, Gusti Prabu. Kemudian hamba langsung pulang setelah membereskan segalanya," jelas Panglima Rakatala lagi.
Rangga terdiam dengan kepala terangguk bebe-rapa kali. Sebentar matanya menatap lurus ke depan, lalu beralih memandang Panglima Rakatala. Untuk beberapa saat, tak ada yang membuka suara.
"Paman, kau tahu nama pangeran yang datang dalam mimpimu?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Ya! Dia sempat menyebutkan namanya," sahut Panglima Rakatala.
"Siapa?" "Raden Gordapala.... Bahkan dia memanggil hamba dengan nama Tangan Baja."
Kepala Rangga kembali bergerak terangguk beberapa kali. Kemudian menghampiri panglimanya itu, lalu ditepuk-tepuk pundaknya sambil menyunggingkan senyuman. Panglima Rakatala jadi tidak mengerti atas sikap Pendekar Rajawali Sakti. Dia hanya menuruti saja saat Rangga mengajak berjalan meninggalkan kuil di tengah hutan ini. Mereka terus berjalan tanpa bicara sedikit pun. Hingga jauh meninggalkan kuil, belum juga ada yang membuka suara lagi.
"Kau tahu, Paman. Siapa Gordapala itu?" tanya Rangga setelah cukup lama juga berdiam diri.
"Tidak, Gusti," sahut Panglima Rakatala.
"Gordapala sebenarnya sudah mati. Dia penguasa dari segala bentuk kejahatan di seluruh penjuru delapan mata angin di dunia ini. Sudah beberapa kali dia mati, lalu bisa bangkit kembali, selama para pengikut setianya yang masing-masing berkuasa pada satu penjuru mata angin masih tetap hidup dan berkuasa. Itulah sebabnya, kenapa Raden Gordapala selalu disebut dengan julukan Jago dari Alam Kubur. Karena, memang sulit untuk bisa melenyapkan dia selama-lamanya. Kalaupun ada yang bisa membunuhnya, dalam waktu tidak lama dia bisa bangkit kembali," jelas Rangga.
"Oh...?! Lalu, kenapa dia menemui hamba, Gusti Prabu?" tanya Paman Rakatala terkejut tidak mengerti.
"Dia pasti menyangka, kau adalah salah satu dari pengikutnya, Paman. Kau tahu, Karang Setra ini juga dikenal sebagai pusat dari penjuru mata angin yang pertama. Dan aku yakin, orang yang kau temukan tewas di depan kuil adalah pemimpin daerah delapan penjuru mata angin pertama. Karena kau yang pertama kali melihat dan menyentuhnya, maka kuda suruhan Raden Gordapala mengira kau adalah pemimpin yang dimaksud," Rangga menjelaskan lagi. "Itulah sebabnya, kenapa kuda itu memberimu sebilah pisau emas. Dan kau mendapat perintah melalui mimpi untuk datang ke Hutan Gronggong. Kau tahu apa maksudnya...?"
Panglima Rakatala hanya menggelengkan kepala saja.
"Raden Gordapala, atau juga Jago dari Alam Kubur itu mengumpulkan delapan pemimpin penjuru mata angin. Dan pasti dia sudah memberi pisau emas untuk satu orang. Dengan pisau emas yang disatukan ke dalam tubuhnya, maka Raden Gordapala bisa bangkit kembali," tambah Rangga.
"Oh...! Apakah Iblis Kembar dari Utara itu salah satu pemimpin delapan mata angin, Gusti?" tanya Panglima Rakatala sudah bisa mengerti akan keadaan yang dihadapi sekarang ini.
"Ada kemungkinan begitu, Paman. Karena biasanya, satu sama lain dari mereka tidak saling mengenal. Bahkan sulit mengenali. Mereka memang sering kali bersikap adil dan bijaksana di dalam kehidupan bermasyarakat, tapi sebenarnya merekalah yang menjadi otak dari segala macam kekacauan di muka bumi ini."
"Mengerikan sekali...," desis Panglima Rakatala.
"Lebih mengerikan lagi kalau Jago dari Alam Kubur itu sudah bisa bangkit lagi, Paman. Maka kita semua akan terkena akibatnya. Karena dengan tujuh pisau emas saja, dia bisa bangkit lagi dari alam kubur. Walaupun, tidak sempurna benar. Hhh.... Kita akan menghadapi suatu masalah besar, Paman."
"Oh, Gusti.... Kenapa hal ini justru menimpa pada kita...?" keluh Panglima Rakatala.
"Tidak perlu disesali, Paman. Semua sudah terjadi. Dan kita harus memikirkan cara untuk menghadapi mereka," tegas Rangga.
"Ini semua salah hamba, Gusti. Seharusnya hamba menceritakan hal ini sejak semula," Panglima Rakatala menyesali diri.
"Tidak ada yang salah dalam hal ini, Paman. Semua yang terjadi di dunia ini sudah diatur Hyang Widi. Jadi tidak patut kalau menyesali diri. Yang harus kita lakukan adalah menghadapi semua ini dengan hati bersih," kata Rangga bijaksana.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu...," desah Panglima Rakatala seraya menjatuhkan diri, berlutut didepan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudahlah, Paman. Bangkitlah... Tidak baik jika dilihat orang," Rangga cepat-cepat membangunkan panglima ini.
Mereka kembali melangkah melalui jalan rahasia yang langsung menuju Istana Karang Setra. Tak ada lagi yang bicara. Terlebih, Panglima Rakatala yang kini sudah bisa mengerti dan memahami keadaan yang terjadi. Hatinya benar-benar menyesal, karena tidak cepat mengatakan hal yang sebenarnya pada Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra. Padahal dia tahu, di mana Rangga saat itu berada ketika menerima pisau emas dari kuda ajaib Raden Gordapala yang dikenal berjuluk Jago Alam Kubur itu.
********************
TUJUH
Sejak matahari belum menampakkan diri, Rangga sudah meninggalkan Istana Karang Setra. Sudah dua hari ini, Pandan Wangi tidak kelihatan di dalam istana. Dan memang, si Kipas Maut itu sedang menjalankan tugas yang dibebankan Pendekar Rajawali Sakti. Kepergian Rangga dari istana pun secara diam-diam, dan melalui jalan rahasia yang tidak banyak orang tahu.
Sampai matahari tinggi berada di atas kepala, Rangga terus berada di punggung kuda mengelilingi wilayah Kotaraja Kerajaan Karang Setra. Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti dan turun dari punggung kuda setelah sampai di sebuah sungai kecil yang berair jernih. Dibiarkan saja kudanya melepaskan dahaga di sungai itu. Sedangkan dia sendiri berdiri tegak memandangi sebuah gunung yang berdiri angkuh menjulang tinggi menentang langit.
Di balik gunung itulah letak Desa Gronggong yang berada tidak jauh dari Hutan Gronggong. Sebuah hutan yang jarang sekali dimasuki orang, dan masih sangat liar. Dan gunung yang menjulang itu selalu disebut Gunung Tangkup. Di puncak gunung itu, berdiri sebuah istana tua yang sudah lama tidak dihuni. Tapi, istana itu menjadi pusat dari segala kegiatan Raden Gordapala atau si Jago dari Alam Kubur.
"Hm...," tiba-tiba saja Rangga menggumam perlahan. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memalingkan kepala ke kanan, lalu menepuk bokong kudanya. Kuda hitam bernama Dewa Bayu itu pun langsung melompat cepat melewati sungai kecil di depannya. Dewa Bayu langsung berlari cepat, dan menghilang di dalam lebatnya pepohonan.
"Hup!" Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh ke udara. Begitu cepat dan ringan sekali gerakannya. Sehingga dalam sekejapan mata saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di atas cabang pohon yang cukup tinggi dan rindang.
"Pandan...," desis Rangga hampir tidak percaya. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi menyipit, begitu melihat lima orang penunggang kuda menuju sungai kecil itu. Dan salah satu penunggangnya adalah Pandan Wangi.
Sementara, Rangga baru yakin kalau yang dilihatnya memang Pandan Wangi bersama empat penunggang kuda yang berada di belakang, setelah mereka sudah dekat dengan sungai kecil yang menjadi pembatas Kotaraja Kerajaan Karang Setra.
"Hup...!" Ringan sekali Rangga melompat turun dari atas pohon. Kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba, membuat kuda-kuda itu jadi terkejut, dan langsung meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.
"Kakang...," desis Pandan Wangi begitu bisa menenangkan kudanya. Gadis berbaju biru muda yang berjuluk Kipas Maut bergegas melompat turun dari punggung kudanya.
Sementara, tiga penunggang kuda yang tadi juga sempat terkejut, sudah mencabut pedang masing-masing. Tapi begitu melihat Pandan Wangi menghampiri Rangga yang berdiri tegak menghadang, mereka jadi saling berpandangan satu sama lain.
"Kau mengagetkan saja, Kakang...," dengus Pandan Wangi menegur.
"Maaf," sahut Rangga seraya melirik empat orang yang masih berada di punggung kuda masing-masing.
"Siapa mereka...?"
Pandan Wangi segera berpaling, dan meminta empat orang yang tadi datang bersamanya agar turun dari kuda. Tiga orang yang sudah menghunus pedang itu segera berlompatan turun setelah menyarungkan pedangnya kembali ke punggung. Mereka kemudian menghampiri Pandan Wangi yang berdiri di depan Rangga.
"Ini Kakang Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia juga Raja Karang Setra, seperti yang kukatakan pada kalian," kata Pandan Wangi langsung memperkenalkan Rangga dengan lengkap.
"Pandan...," desis Rangga kurang setuju.
"Maaf, Kakang. Aku harus menjelaskan dengan lengkap agar mereka percaya," kilah Pandan Wangi sebelum Rangga selesai dengan ucapannya.
Pandan Wangi langsung saja memperkenalkan empat orang yang ikut bersamanya tadi. Mereka ternyata Malita dan tiga orang putra Elang Mau Banara, Sarala, dan Liliani.
Rangga menganggukkan kepala sedikit seraya memberi senyum. Kemudian cepat ditariknya tangan Pandan Wangi, dan membawanya agak menjauh dari ketiga putra Elang Maut dan Malita.
"Siapa sebenarnya mereka?" tanya Rangga berbisik seraya melirik empat anak muda itu.
"Mereka datang ke sini dengan maksud baik Kakang. Bahkan sangat membantu dalam memecahkan masalah yang sedang kita alami sekarang ini. Kau akan terkejut kalau mendengarnya nanti, Kakang, jelas Pandan Wangi.
Sebentar Rangga memandangi empat anak muda itu, kemudian melangkah menghampiri. Pandan Wangi mengikuti sambil tersenyum-senyum. Gadis itu berdiri di samping Rangga yang sedang merayapi empat anak muda yang berdiri di depannya satu persatu. Seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti sedang menyelidik, dan mencari kebenaran dari keterangan yang diberikan Pandan Wangi tadi.
"Benar kalian putra Elang Maut?" tanya Rangga seraya menatap Banara, Sarala, dan Liliani bergantian.
"Benar," sahut Banara mantap.
"Lalu yang ini?" tanya Rangga lagi seraya menatap Malita.
"Aku hanya anak dari seorang perambah hutan," sahut Malita perlahan.
"Malita kami temukan di tengah Hutan Gronggong. Keluarganya habis dibantai oleh Raden Gordapala, si Jago dari Alam Kubur itu," selak Banara, menjelaskan keberadaan Malita.
"Raden Gordapala...?!" Rangga jadi terkejut. Dan keningnya berkerut begitu mendengar nama Raden Gordapala disebut.
"Maksud kami datang ke sini untuk memperingatkan seluruh rakyat Karang Setra agar berhati-hati terhadap orang-orangnya Raden Gordapala yang sangat kejam. Karena, mereka pasti berada di sini," kata Banara langsung memberi tahu.
"Hm...," kening Rangga jadi berkerut semakin dalam.
Banara menceritakan semua peristiwa yang berkaitan dengan bangkitnya kembali Raden Gordapala yang dikenal berjuluk Jago dari Alam Kubur. Malita sesekali menambahkan, dan menceritakan semua yang disaksikannya. Bahkan kini tidak lagi menutupi apa yang terjadi pada dirinya, dan siapa dirinya yang sebenarnya. Semua keluarganya mati, dan dirinya diperkosa oleh Raden Gordapala. Untung saja nyawa Malita masih tertolong oleh ketiga putra Elang Maut yang datang ke Hutan Gronggong itu.
Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian, dengan kepala terangguk-angguk Memang, tadi dia sempat terkejut. Tapi setelah mengetahui permasalahannya, Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa menarik kesimpulan kalau kerajaannya kini sedang terancam suatu malapetaka besar. Dia tahu, siapa Raden Gordapala atau si Jago dari Alam Kubur itu.
Rangga meraba sabuk yang melilit pinggang. Tampak sebilah pisau emas yang diinginkan di Jago dari Alam Kubur itu berada di balik sabuk pinggangnya. Dan seharusnya, pisau itu berada di tangan Panglima Rakatala. Inilah satu kesalahan besar yang dilakukan Raden Gordapala. Dan itu akan berakibat pada Kerajaan Karang Setra. Sudah pasti, si Jago dari Alam Kubur itu akan bertindak segala cara untuk mendapatkan pisau emas itu kembali, demi kesempurnaan hidup dan ilmu-ilmunya di dunia ini. Sampai Banara menyelesaikan ceritanya, mereka semua masih diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Aku memang sering mendengar nama Raden Gordapala. Dan kabarnya, dia sudah terkubur selama lebih dari sepuluh tahun. Hm... Dia memang sukar ditaklukkan. Dia punya seribu nyawa, dan selalu saja bisa bangkit kembali dari kematiannya," jelas Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Kakang! Apa mungkin mereka sudah tahu hal ini, sehingga mereka tutup mulut begitu...?" duga Pandan Wangi.
"Mereka memang tahu, tapi tidak seluruhnya, Pandan. Bahkan mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi," sahut Rangga.
"Ini berbahaya, Kakang. Mereka harus segera diberi tahu agar bisa mempersiapkan diri kalau-kalau orang-orang Raden Gordapala menyerang," kata Pandan Wangi tidak bisa menyembunyikan kecemasan pada nada suaranya.
"Tidak...," desis Rangga seraya menggeleng. "Hal itu akan membuat seluruh rakyat Karang Setra jadi ketakutan, Pandan."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan...?" Tanya Pandan Wangi.
"Aku akan menemuinya langsung, dan mengajaknya bertarung," sahut Rangga tegas.
"Kau gila, Kakang...?!" sentak Pandan Wangi terkejut.
Bukan hanya Pandan Wangi saja yang terkejut mendengar tekad Rangga yang tidak diduga-duga itu. Bahkan Malita dan ketiga putra Elang Maut hampir membeliakkan mata. Mereka semua tahu, betapa tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki si Jago dari Alam Kubur itu. Meskipun, mereka juga sudah sering mendengar tentang kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.
Memang tidak mudah bagi mereka untuk menilai, siapa di antara Raden Gordapala dan Rangga yang lebih tinggi kepandaiannya. Dan keputusan Rangga barusan benar-benar membuat mereka seakan-akan berhenti bernapas seketika.
"Aku tidak ingin terjadi pertumpahan darah di Karang Setra, Pandan. Dan aku harus bertanggung jawab atas keselamatan seluruh rakyat Karang Setra. Dan lagi, harus ada orang yang berani menantangnya bertarung," tegas Rangga.
"Tapi, Kakang...," Pandan Wangi benar-benar tidak mampu menyembunyikan kecemasannya.
"Kau meragukan kemampuanku, Pandan?"
Pandan Wangi tidak bisa menjawab, kecuali menggigit-gigit bibirnya. Dicobanya untuk menghilangkan kecemasan yang tiba-tiba saja menyelimuti seluruh rongga dadanya. Sungguh, baru kali ini hatinya merasa cemas yang amat sangat. Biasanya, gadis itu tidak pernah merasa cemas seperti ini, meskipun Rangga harus berhadapan dengan tokoh persilatan berkepandaian tinggi.
Tapi yang harus dihadapi kail ini bukan manusia. Yang jelas, dia adalah iblis dari neraka yang berujud manusia bernama Raden Gordapala. Memang, tak ada seorang pun yang bisa mengukur tingkat kepandaian si Jago dari Alam Kubur itu. Bahkan kalaupun mati, pasti bisa bangkit lagi. Dan iblis itu akan mencari orang yang mengirimnya ke lubang kubur.
Hal itu sudah berlangsung selama lebih seratus tahun. Bahkan Raden Gordapala tidak akan pernah menjadi tua. Karena setiap kali terbunuh dalam pertarungan, dalam waktu paling lama sepuluh tahun sudah bisa bangkit kembali. Malah tidak jarang kebangkitannya hanya beberapa hari setelah tewas dalam pertarungan.
Sementara Rangga memutar tubuhnya, lalu menatap ke arah Puncak Gunung Tangkup yang tampak angkuh, menjulang tinggi menentang langit. Seluruh puncak gunung itu terlihat berselimut kabut yang begitu tebal. Paling tidak memerlukan waktu sedikitnya tiga hari berkuda untuk mencapai kaki gunung itu dari Kotaraja Karang Setra. Malah, tidak sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai puncaknya. Bisa le-bih dari satu pekan baru sampai ke Puncak Gunung Tangkup itu.
"Di puncak gunung itu sarang mereka, Gusti Prabu," kata Banara memberi tahu tanpa diminta.
"Hm.... Rupanya kau tahu banyak tentang dia, Banara," gumam Rangga perlahan.
"Ayah hamba yang memberi tahu sebelum meninggal, Gusti Prabu," sahut Banara.
"Sebaiknya, kau jangan memanggilku dengan sebutan itu. Panggil saja aku seperti Pandan Wangi sering memanggilku," pinta Rangga.
"Tapi...," Banara hendak menolak.
"Itu sudah biasa, Banara. Kakang Rangga tidak pernah suka dipanggil dengan sebutan itu. Kecuali, di dalam istana," serobot Pandan Wangi.
"Sungguh mulia hati Gusti Prabu," puji Banara, tulus.
"Sudahlah.... Lupakan panggilan itu," selak Rangga tidak ingin mendengar sebutan itu lagi.
"Baiklah, Ka..., Kakang," sahut Banara jadi canggung.
Rangga tersenyum dan menepuk pundak Banara dengan sikap penuh persahabatan. Dan sikap Pendekar Rajawali Sakti membuat Banara merasa begitu bangga, karena sekarang memiliki sahabat seorang pendekar digdaya yang juga seorang raja dari sebuah kerajaan besar di wilayah kulon ini.
"Pandan! Bawalah mereka ke istana. Aku akan ke istana di Gunung Tangkup itu. Katakan pada Danupaksi untuk selalu waspada. Karena, aku sudah menemukan dua orang dari mereka ternyata ada di kotaraja," ujar Rangga pada Pandan Wangi.
"Kau sendiri saja, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja, seraya mengerdipkan sebelah matanya pada si Kipas Maut itu. Pandan Wangi langsung bisa mengerti. Dia tahu, Rangga pasti akan datang menemui Raden Gordapala bersama Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Ada sedikit ketenteraman di hati Pandan Wangi saat mengingat Rangga memiliki pelindung yang tidak dimiliki orang lain. Tapi, tetap saja kecemasan masih terselip dalam hatinya.
"Kami pergi dulu, Kakang," pamit Pandan Wangi. Rangga mengangguk.
"Ayo, kita ke istana dulu. Sumbangan tenaga kalian pasti sangat diperlukan untuk mengetahui mereka yang ada di kotaraja saat ini," ajak Pandan Wangi.
Pandan Wangi dan ketiga putra Elang Maut memberi hormat pada Rangga dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung. Kemudian, mereka naik ke punggung kuda masing-masing, mengikuti Pandan Wangi yang sudah berada di punggung kuda putihnya.
"Hati-hati, Kakang. Aku segera menyusulmu," ucap Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Hiya...!" "Yeaaah...!" Pandan Wangi menggebah kudanya, diikuti yang lain.
Sementara, Rangga masih berdiri memandangi mereka sampai jauh, dan lenyap di tikungan jalan yang langsung menuju ke Kotaraja Karang Setra. Sebentar Rangga masih berada di tepi sungai itu sambil memandang ke Puncak Gunung Tangkup. "Hm...."
"Suiiit..!" Siulan nyaring melengking tinggi terdengar membelah angkasa dari sebuah padang rumput yang tidak begitu luas. Siulan itu menggema terbawa angin. Entah sudah berapa kali siulan itu terdengar panjang melengking. Dan ini mungkin sudah yang keempat kalinya siulan itu terdengar.
Tampak di tengah-tengah padang rumput kecil itu seorang pemuda berbaju rompi putih tengah berdiri tegak. Kepalanya mendongak ke atas, memandang langit. Pemuda yang menyandang pedang bergagang kepala burung itu, tak lain adalah Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Suiiit..!"
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan siulannya yang nyaring dan bernada aneh itu. Kepalanya masih tetap mendongak ke atas. Tapi, tak ada yang bisa dilihatnya selain gumpalan awan putih yang berarak tertiup angin.
"Hm.... Tidak biasanya begini. Kenapa sudah lima kali aku memangilnya tapi belum juga muncul...?" gumam Rangga bertanya sendiri dalam hari.
Rangga memang jadi tidak mengerti. Sudah lima kali bersiul memanggil Rajawali Putih, tapi burung itu belum juga muncul. Biasanya, hanya satu kali panggilan saja Rajawali Putih sudah muncul tidak lama setelah siulan itu menghilang dari pendengaran. Tapi ini sudah lima kali, namun burung rajawali raksasa itu belum juga menampakkan diri. Hal ini membuat Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Dan memang, tidak biasanya hal ini terjadi.
"Aku coba sekali lagi," ujar Rangga menggumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti kembali bersiap. Lalu dikeluarkannya siulan yang panjang dan nyaring melengking tinggi. Tapi mendadak saja siulannya dihentikan. Kepalanya kini menggeleng ke kanan dan ke kiri, sementara keningnya tampak berkerut Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Padang rumput ini tampak begitu sunyi sekali. Bahkan seekor binatang pun tidak dilihatnya.
"Hm..., aneh. Aku merasa siulanku terdengar lain. Seperti ada dua suara...," gumam Rangga bicara dalam hati.
Rangga kembali mengedarkan pandangan berkeliling, sambil terus mencari-cari jawaban dari keanehan ini. Hatinya begitu yakin kalau siulannya terdengar janggal. Dan ini baru disadari kalau siulannya seperti ada yang menyamai, sehingga terdengar begitu lain. Pantas saja Rajawali Putih tidak mau muncul sejak tadi.
"Aku yakin, ada seseorang yang mengacaukan siulanku. Hm..., baik. Aku pasti segera tahu, siapa orang usil itu," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti kembali mendongakkan kepala ke atas. Lalu, kembali dikeluarkannya siulan nyaring melengking. Tapi mendadak saja siulannya dihentikan. Dan sesaat, terdengar suara siulan lain yang juga mendadak berhenti.
"Keparat..!" desis Rangga menggeram.
"Hup...!" Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh dengan cepat sekali. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga gerakannya sukar diikuti mata biasa. Dan tahu-tahu, Rangga sudah berdiri tegak di atas sebongkah batu yang begitu besar dan tinggi bagai bukit.
"Setan...! Rupanya kalian biang keladinya," desis Rangga menggeram dalam hati, begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah putih dan dua orang laki-laki kembar bersembunyi di balik sebatang pohon.
Jelas sekali mereka memperhatikan padang rumput itu. Dan tampaknya, mereka tengah kebingungan. Karena, tiba-tiba saja orang yang diperhatikan lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Dan pada saat itu, Rangga meluruk turun dengan gerakan cepat dan manis sekali. Begitu ringannya seperti kapas, sehingga tak ada suara sedikit pun yang ditimbulkannya saat kakinya menjejak tanah di belakang tiga orang ini. Tapi kehadiran Pendekar Rajawali Sakti cepat diketahui, sehingga mereka langsung berbalik. Tampak sekali raut wajah mereka begitu terkejut melihat pemuda yang sejak tadi diintainya, tahu-tahu sudah berada di belakang.
"Rupanya tikus-tikus macam kalian yang mengganggu pekerjaanku," desis Rangga dingin menggetarkan. Wajah Pendekar Rajawali Sakti tampak kelihatan memerah, melihat dua laki-laki kembar yang sempat bertarung dengannya di depan kuil.
Mereka adalah Iblis Kembar dari Utara. Sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki tua berjubah putih. Sepasang tongkat pendek yang pada bagian ujung-ujungnya berbentuk mata tombak bermata tiga, tampak tergenggam di tangannya. Rangga bisa langsung mengenali, kalau laki-laki tua berjubah putih itu adalah Kakek Siulan Maut. Dia ingat cerita Banara dan Malita yang menyebutkan ciri-ciri semua pengikut Raden Gordapala. Dan salah satunya, adalah Kakek Siulan Maut ini.
"He he he...! Kau benar-benar hebat Anak Muda. Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga menggemparkan rimba persilatan," ujar Kakek Siulan Maut sinis, diiringi tawanya yang terkekeh.
"Terima kasih atas pujian mu, Orang Tua," ucap Rangga tidak kalah sinisnya.
"Kau tentu masih ingat kedua temanku ini, Pendekar Rajawali Sakti...," kata Kakek Siulan Maut lagi, seraya menunjuk Iblis Kembar dari Utara yang berada di sebelah kanan dan kirinya.
Rangga hanya menggumam perlahan sambil menatap tajam Iblis Kembar dari Utara. Sedangkan laki-laki kembar itu sudah menggeser kakinya melebar ke samping, menjauhi Kakek Siulan Maut. Mereka baru berhenti setelah berada sekitar sepuluh langkah di kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Kakek Siulan Maut masih berada sekitar lima langkah di depan pemuda berbaju rompi putih itu.
"Aku sudah tahu, siapa kalian. Dan aku juga sudah tahu tujuan kalian datang ke sini," kata Rangga tajam, sambil menatap langsung ke bola mata Kakek Siulan Maut.
Perlahan Rangga meraba sabuk yang membelit pinggangnya. Kemudian dikeluarkannya sebilah pisau kecil berwarna keemasan dari balik sabuk pinggangnya. Bukan hanya Kakek Siulan Maut yang terbeliak melihat pisau emas itu berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan Iblis Kembar dari Utara jadi terlongong bengong dengan mata membeliak lebar, menatap pisau emas itu.
"Kalian menginginkan ini, bukan...?" ujar Rangga sinis, sambil menyimpan kembali pisau emas itu ke dalam kantung sabuk pinggangnya.
"Rupanya kau yang memegang pisau emas itu, Pendekar Rajawali Sakti! Pantas saja kau tidak muncul di Hutan Gronggong," dengus Kakek Siulan Maut.
"Untuk apa aku datang ke sana...? Aku bukan budak iblis seperti kalian," dingin sekali nada suara Rangga.
"Setan keparat..! Lidahmu terlalu lancang berbicara, Pendekar Rajawali Sakti!" geram Kakek Siulan Maut langsung memuncak amarahnya.
"Kalian ingin pisau jelek ini, bukan...? Ambillah kalau kalian mampu!" jelas sekali kalau kata-kata Rangga bernada menantang.
"Kau akan menyesal di dalam kematianmu, Bocah Setan!" geram Kakek Siulan Maut.
"Biarkan kami yang bereskan, Kek!" selak Iblis Hitam, lantang. "Hiyaaat..!"
"Hait..!"
********************
Rangga cepat-cepat memiringkan tubuh. ke belakang begitu tiba-tiba saja Iblis Hitam melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Pukulan Iblis Hitam lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat itu juga, cepat sekali Rangga melepaskan satu sodokan kilat ke arah perut. Begitu cepat dan tidak terduga serangan balasannya, sehingga Iblis Hitam tidak sempat lagi menghindar.
Des!
"Hegkh...!" Iblis Hitam mengeluh pendek. Tubuhnya terbungkuk begitu perutnya terkena sodokan tangan Rangga. Pada saat itu, Rangga cepat melepaskan satu pukulan keras ke wajah Iblis Hitam yang tertunduk. Cepat sekali pukulan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Iblis Hitam benar-benar tidak sempat lagi menghindar.
Diegkh!
"Akh...!" Iblis Hitam terpekik keras. Kepalanya langsung terdongak ke atas begitu pukulan Rangga bersarang telak di wajahnya. Iblis Hitam Langsung terhuyung-huyung ke belakang sambil menutupi wajahnya. Dari sela-sela jari tangannya tampak mengucur darah cukup deras.
"Setan keparat...! Kubunuh kau, hiyaaat..!" Iblis Biru tidak bisa lagi menahan amarahnya melihat saudara kembarnya terluka kena pukulan Rangga yang begitu keras, walaupun tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Beberapa kali Iblis Biru melepaskan pukulan beruntun.
Tapi lewat jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari pukulan-pukulan itu dengan manis sekali. Bahkan... "Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti cepat merubah jurusnya. Satu pukulan keras menggeledek melayang cepat bagai kilat ke arah dada Iblis Biru. Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan Rangga, sehingga Iblis Biru tidak sempat lagi menghindari pukulan bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Des!
"Aaakh...!" Iblis Biru menjerit melengking tinggi. Pukulan yang dilepaskan Rangga memang tepat mengenai dada Iblis Biru. Akibatnya laki-laki itu jadi terpental keras ke belakang.
Rangga cepat-cepat melompat mundur. Kakinya dipentang lebar, dan kedua tangannya berada di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, mengawasi ketiga orang lawannya
Sret! Cring!
"Hm...," Rangga menggumam kecil begitu ketiga lawannya mencabut senjata masing-masing. Iblis Kembar dari Utara yang begitu dendam pada Pendekar Rajawali Sakti, sudah bergerak melangkah perlahan sambil melintangkan golok di depan dada.
Sementara Kakek Siulan Maut masih tetap berdiri tegak pada tempatnya. Sedikit pun dia tidak bergeming, sambil terus memperhatikan Rangga dengan sinar mata tajam. Seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalian menggunakan senjata. Bagus...! Lebih cepat urusan ini selesai, rasanya lebih baik lagi," kata Rangga dingin. "Aku juga punya senjata yang jauh lebih bagus daripada senjata rongsokan kalian."
"Jangan banyak omong! Mampus kau. Hiyaaa...!" Iblis Kembar dari Utara cepat sekali melompat menerjang sambil mengebutkan goloknya ke arah kepala Rangga.
Tapi hanya sedikit saja menarik kepala ke belakang, tebasan golok Iblis Biru hanya lewat sedikit saja di depan wajahnya.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!" Iblis Hitam juga tidak mau ketinggalan. Langsung dia melompat menyerang begitu serangan saudara kembarnya manis sekali dapat dielakkan Rangga. Dan mereka memang seperti tidak memberi kesempatan Pendekar Rajawali Sakti untuk mencabut senjatanya. Serangan mereka bergantian, dan begitu gencar dengan jurus-jurus cepat dan dahsyat.
Namun sampai lima jurus berlalu, belum juga Iblis Kembar dari Utara mampu menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan untuk mendesak saja, sudah terlalu berat. Tidak heran mereka terpaksa harus berjumpalitan beberapa kali menghindari serangan serangan balasan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara. Lalu... "Suiiit..!"
Nyaring sekali siulan yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti begitu berada di udara. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk deras ke arah Iblis Kembar dari Utara sambil mencabut pedangnya yang tersampir dl punggung. "Hiyaaa...!"
Cring!
Seketika itu juga cahaya biru berkilau, menyemburat keluar begitu Pedang Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya. Cepat sekali Rangga mengebutkan pedangnya ke arah Iblis Kembar dari Utara. Akibatnya, dua orang kembar itu jadi berpelantingan menghindarinya. Bahkan mereka benar-benar tidak kuat lagi bertahan, karena Rangga menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Beberapa gebrakan saja ber-langsung, perhatian dan jiwa mereka jadi terpecah-pecah akibat pengaruh jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti saat ini.
"Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Rangga mengebutkan pedang ke arah dada Iblis Hitam. Begitu cepatnya tebasan pedang bercahaya biru itu, sehingga Iblis Hitam benar-benar tidak dapat lagi berkelit.
Cras!
"Aaa...!" Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak Iblis Hitam terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terbelah oleh tebasan pedang Rangga. Darah kontan mengucur deras dari dada yang menganga cukup lebar itu.
"Hiyaaa...!" Belum lagi ada yang sempat menyadari apa yang terjadi pada Iblis Hitam, Rangga sudah melompat cepat sambil menusukkan pedangnya ke dada Iblis Biru. Begitu cepat serangannya sehingga Iblis Biru tidak sempat lagi menghindari diri. Dan...
Crab!
"Heps...!" Iblis Biru hanya mengeluh kecil. Dia tampak berdiri mematung dengan bola mata terbeliak lebar. Lalu tak berapa lama kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah dengan darah mengucur deras dari dada.
"Keparat...!" desis Kakek Siulan Maut menggeram marah melihat Iblis Kembar dari Utara sudah tergeletak berlumuran darah dan tak bernyawa lagi.
"Khraaagkh...!" Tiba-tiba saja terdengar pekikan keras menggelegar dari angkasa. Rangga dan Kakek Siulan Mau langsung mendongak ke atas. Seketika itu juga, wajah Kakek Siulan Maut jadi berubah memucat, begitu melihat seekor burung rajawali raksasa menukik cepat bagai kilat ke arahnya.
"Khraaagkh...!"
"Rajawali, jangan...!" seru Rangga tiba-tiba. Tapi....
"Aaa...!"
"Khraaagkh...!" Memang kecepatan burung rajawali putih raksasa itu sukar diikuti pandangan mata biasa. Tiba-tiba saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa sambil menyambar tubuh Kakek Siulan Maut. Dan begitu pada ketinggian hampir mencapai awan, tiba-tiba saja Rajawali Putih melepaskan cengkeramannya pada tubuh Kakek Siulan Maut.
"Aaa...!" Tidak bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bila tubuh tua renta itu menghantam tanah. Dan Rangga sendiri segera memalingkan mukanya begitu tubuh Kakek Siulan Maut keras sekali menghantam tanah.
"Khraaagkh...!" Rajawali Putih langsung menukik turun, dan mendarat tepat di depan Rangga. Sementara, Rangga sempat memperhatikan tubuh Kakek Siulan Maut yang menggeletak di tanah dengan tubuh hancur membentur batu.
"Kenapa kau lakukan itu, Rajawali Putih?" Tanya Rangga seraya menepuk leher Rajawali Putih.
"Khraaagkh...!"
"Hm.... Jadi kau juga tahu kalau panggilan ku diganggu?"
"Khrrr...!" Rajawali Putih mengkirik sambil menganggukkan kepala.
"Sudahlah, Rajawali Putih. Sebaiknya kita segera pergi ke Puncak Gunung Tangkup. Ada satu persoalan yang harus kuselesaikan di sana," ujar Rangga.
"Khraaagkh...!"
"Hup!" Ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat melompat naik ke punggung dekat leher burung rajawali raksasa itu. Dan sebentar saja, Rajawali Putih sudah melayang di angkasa dengan seorang pemuda berbaju rompi putih dipunggungnya.
"Khraaagkh...!"
********************
Rangga cepat melompat turun dari punggung Rajawali Putih, begitu mendarat di depan sebuah bangunan besar bagai istana yang tampak sudah tahunan tidak dihuni. Inilah Istana Setan yang berdiri di Puncak Gunung Tangkup. Melihat bangunan istana ini, kesan pertama yang muncul adalah rasa mengerikan yang amat sangat.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan-lahan mendekati pintu depan yang terbuka lebar. Penghuni istana ini sepertinya sudah menanti kedatangannya. Kelopak mata Rangga tidak berkedip merayapi pintu bangunan istana itu. Tak ada seorang pun terlihat di dalam sana. Bahkan sekelilingnya juga begitu sunyi. Sampai-sampai, angin pun seperti enggan berhembus. Begitu sunyi dan sangat mencekam.
"Awasi aku dari angkasa, Rajawali Putih," pinta Rangga.
"Khrrrk...!" Rajawali Putih langsung membumbung tinggi ke angkasa hanya sekali mengepakkan sayapnya saja.
Sementara, Rangga sudah semakin dekat dengan pintu bangunan istana itu. Sinar matanya masih tetap tajam tak berkedip memandangi pintu yang terbuka lebar, bagai sengaja menanti kedatangannya.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar.
"Hm...." Belum lagi suara tawa itu menghilang dari pendengaran, tiba-tiba saja dari dalam bangunan istana itu melesat sebuah bayangan merah. Dan tahu-tahu, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju merah muda yang begitu indah.
"Selamat datang di istanaku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap pemuda itu, disertai senyum menyeringai mengulas bibirnya yang tipis memerah, bagai bibir seorang dara.
"Hm..., kau yang bernama Raden Gordapala?" Rangga langsung bertanya. Suaranya dingin dan dalam.
"Tidak salah lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Kau berhadapan dengan Raden Gordapala, penguasa seluruh jagat raya ini. Ha ha ha...!" pongah sekali sikap dan jawaban pemuda tampan itu.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil.
"Apa maksud kedatanganmu ke sini, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Raden Gordapala yang lebih dikenal berjuluk Jago dari Alam Kubur.
"Mengirimmu kembali ke alam kubur," sahut Rangga, tegas dan dalam suaranya.
"Phuah...! Lidahmu terlalu lancang bicara, Pendekar Rajawali Sakti!" sentak Raden Gordapala, langsung memerah wajahnya.
"Aku tahu, siapa dirimu, Raden Gordapala. Dan sebelum kau menyebar maut lebih banyak lagi, aku akan mengirimmu lebih dulu ke neraka!" semakin dingin nada suara Rangga.
"Ha ha ha...!" "Bumi ini bukan tempatmu lagi, Raden Gordapala. Kau tidak berhak lagi hidup di dunia ini...," kata Rangga lagi.
"Tutup mulutmu, Setan...!" bentak Raden Gordapala keras menggelegar.
"Aku hanya akan memperpendek jalan menuju ke tempatmu, Raden Gordapala," kata Rangga lagi tidak terpengaruh sedikit pun oleh bentakan pemuda tampan yang sebenarnya sudah mati itu.
"Setan keparat...! Kau benar-benar cari mampus rupanya, heh...?!" geram Raden Gordapala langsung memuncak amarahnya. "Rasakan ini. Hiyaaa...!"
Cepat sekali Jago dari Alam Kubur itu mengebutkan tangan kanannya. Dan tiba-tiba saja, dari telapak tangan kanannya meluncur secercah sinar merah yang langsung meluruk cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" Tapi mudah sekali Rangga mengelakkan terjangan sinar merah itu dengan melentingkan tubuh ke udara. Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat begitu sinar merah menghantam tanah tempat Rangga berdiri tadi.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!" Raden Gordapala terus menghujani Rangga dengan sinar-sinar merah yang keluar dari telapak tangan kanan dan kiri yang dikebutkan secara cepat dan bergantian.
Sementara, Rangga terpaksa harus berpelantingan di udara menghindari serangan-serangan dahsyat itu. Suara-suara ledakan keras menggelegar terdengar saling susul. Sebentar saja, sudah begitu banyak pepohonan yang tumbang, tersambar sinar merah yang tidak mengenai sasaran. Bahkan tanah yang semula tertutup rumput tebal, kini sudah terbongkar teracak-acak tidak karuan. Sementara, Raden Gordapala terus menghujani Pendekar Rajawali Sakti dengan senjata sinar merahnya.
"Gila...! Kalau begini terus, bisa habis tenagaku," dengus Rangga dalam hati.
Memang serangan-serangan yang dilancarkan Raden Gordapala begitu dahsyat dan gencar. Bukan hanya sinar-sinar merah itu saja yang menghujani tubuh Rangga. Tapi juga pukulan-pukulan keras bertenaga dalam tinggi juga dilepaskan Jago dari Alam Kubur itu. Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlalu. Tapi, belum ada tanda-tanda sedikit pun bakal berhenti. Bahkan pertarungan itu semakin bertambah dahsyat saja, sehingga membuat sekitar pertarungan porak-poranda bagai terlanda badai topan.
"Huh! Akan ku coba dengan aji 'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati lagi.
"Hup...!" Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh, berputaran ke belakang beberapa kali begitu ada kesempatan. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada. Lalu tubuhnya ditarik hingga doyong ke kanan. Cepat sekali Rangga menarik tubuhnya kembali ke kiri. Dan begitu tubuhnya ditegakkan, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan, tepat di saat Raden Gordapala melepaskan sinar merahnya.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Slap!
Seketika itu juga dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur secercah cahaya biru berkilauan menyilaukan mata. Dua cahaya merah dan biru itu langsung beradu tepat di tengah-tengah.
"Hep...!" Rangga segera merentangkan kedua kakinya melebar ke samping, begitu merasakan mendapat perlawanan dari Raden Gordapala. Dua sinar saling dorong dengan kekuatan semakin berlipat ganda. Tampak tubuh Rangga mulai menggeletar, diiringi keringat yang mengucur deras di seluruh tubuhnya.
Sedangkan wajah Raden Gordapala juga tampak memerah dengan tubuh menggeletar seperti terserang demam. Mereka sama-sama mengerahkan seluruh kekuatannya.
"Hsss...! Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara sambil menarik kembali ajiannya. Sehingga, sinar merah yang memancar dari telapak tangan Raden Gordapala langsung meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi. Beberapa pohon yang terhantam sinar merah itu seketika hancur berkeping-keping, menimbulkan ledakan keras menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Sret! Wuk!
Cepat sekali Rangga mencabut pedangnya, lalu secepat kilat pula dikibaskan ke kepala Raden Gordapala. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Raden Gordapala tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu dia tengah terkejut oleh tindakan Rangga yang begitu tiba-tiba menarik ajiannya. Padahal saat itu dia tengah mengeluarkan seluruh kekuatan pada ajiannya yang sangat dahsyat. Dan...
Cras!
"Aaa...!" Raden Gordapala menjerit melengking tinggi. Tebasan pedang Rangga tepat membelah kepala Jago dari Alam Kubur itu, hingga hampir terbelah menjadi dua bagian. Darah seketika muncrat dari kepala manusia iblis itu.
Pada saat itu, Rangga manis sekali memutar tubuhnya. Dan begitu kakinya menjejak tanah di depan Raden Gordapala, cepat sekali pedangnya dikebutkan ke dada Jago dari Alam Kubur.
"Yeaaah...!"
Bet! Crab!
Kembali darah muncrat begitu Pedang Rajawali Sakti membelah dada pemuda tampan itu. Raden Gordapala meraung keras menggelegar, membuat bumi bergetar bagai diguncang gempa. Rangga cepat-cepat melompat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, begitu melihat Raden Gordapala masih mampu berdiri. Tubuh Jago dari Alam Kubur itu terpental deras ke belakang, dan baru berhenti setelah menghantam dinding bangunan istana tua itu.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.
Sementara Raden Gordapala hanya mampu menggelepar sebentar, kemudian diam tak berkutik lagi. Perlahan Rangga menghampiri sambil menyimpan pedang ke dalam warangka di punggung. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan dada Jago Alam Kubur yang terbelah cukup lebar itu. Tampak di dalam dada itu terhunjam tujuh bilah pisau kecil berwarna kuning keemasan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga segera mencabut pisau-pisau dari dalam dada Raden Gordapala. Lalu, pisau-pisau itu disimpannya di dalam saku sabuk pinggangnya. Setelah semua pisau dicabut, Rangga segera melangkah mundur menjauhi tubuh yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Suit..!" Rangga bersiul nyaring sambil mendongakkan kepala ke atas.
"Khraaagkh...!"
Dari angkasa, meluncur Rajawali Putih dengan cepat sekali. Burung rajawali raksasa itu langsung mendarat di depan Rangga. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan Raden Gordapala yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu dengan gerakan ringan dan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Rajawali Putih.
"Langsung ke istana, Rajawali," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!" Wuk!
Sekali kepak saja, burung rajawali raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa membawa Rangga di punggungnya. Belum juga Rajawali Putih melesat meninggalkan bangunan istana tua itu, tiba-tiba saja....
"Tunggu, Rajawali...!" seru Rangga.
"Khragkh!"
"Jaran Geni...," desis Rangga begitu melihat seekor kuda hitam tiba-tiba saja muncul menghampiri Raden Gordapala.
Rangga hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Ternyata Raden Gordapala bisa bangkit lagi setelah kuda hitam itu menyemburkan api dari mulutnya, yang langsung menjilat dada Jago dari Alam Kubur itu. Tampak Raden Gordapala melompat naik ke punggung kuda hitam itu. Bahkan kini kepalanya sudah utuh kembali. Dadanya yang tadi terbelah, kini juga sudah rapat tak berbekas sama sekali.
"Ha ha ha...! Tunggu pembalasanku, Pendekar Rajawali Sakti! Aku belum kalah! Aku belum mati! Ha ha ha...!"
"Edan...!" desis Rangga tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya. Suara tawa Raden Gordapala masih terdengar menggema ke seluruh penjuru. Padahal, dia sendiri sudah lenyap bersama kuda hitam yang berlari begitu cepat bagaikan terbang saja. Sementara Rangga yang berada di angkasa bersama Rajawali Putih, jadi tertegun tidak percaya.
"Hm.... Mungkinkah dia memang tidak bisa mati...?" gumam Rangga bertanya sendiri dalam hati.
Setelah beberapa saat terdiam merenung, Pendekar Rajawali Sakti meminta Rajawali Putih mengantarkannya ke Istana Karang Setra. Maka, burung rajawali raksasa itu langsung melesat cepat bagai kilat membelah angkasa.
"Khraaagkh...!"
Benarkah Raden Gordapala tidak bisa mati? Lalu apa yang akan terjadi bila Jago dari Alam Kubur itu benar-benar melaksanakan ancamannya pada Pendekar Rajawali Sakti? Apakah Rangga mampu menandingi manusia iblis itu? Untuk mengetahui jawabannya, nantikan kisah petualangan Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Rahasia Gordapala