Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
SILUMAN ULAR MERAH
SATU
Tok! Tok! Tok!
"Ki...! Buka pintunya, Ki...!"Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun tengah menggedor-gedor pintu sebuah rumah yang tampak temaram. Ini karena beranda rumah itu hanya diterangi satu pelita yang menggantung di langit-langitnya. Dia memanggil-manggil dengan suara parau dan agak bergetar. Baju yang dikenakannya kotor penuh lumpur. Keringat meleleh membasahi wajah dan tubuhnya. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, dan terus mengetuk pintu sambil berteriak-teriak memanggil pemilik rumah.
"Ki..! Ki Basra! Buka pintunya, Ki...!"
Pintu dari kayu yang semula tertutup rapat, perlahan-lahan terbuka. Dan sebelum pintu terbuka penuh, pemuda itu bergegas menerobos masuk. Akibatnya seorang laki-laki tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun jadi hampir terpental jatuh.
"He! Kunyuk...! Apa-apaan kau, Ganta...?" sentak laki-laki tua itu, marah.
"Maaf..., maaf, Ki," ucap pemuda yang dipanggil dengan nama Ganta.
Laki-laki tua yang bernama Ki Basra itu memandangi Ganta dalam-dalam. Keningnya jadi berkerut melihat keadaan Ganta yang seperti baru saja tercebur dalam kubangan sawah berlumpur. Sedangkan yang dipandangi langsung menghempaskan din, duduk melonjor di lantai tanah yang hanya beralaskan tikar lusuh. Napasnya masih terlihat tersengal. Disekanya keringat yang membasahi leher.
"Ada apa dengan dirimu, Ganta? Kau seperti...," pertanyaan Ki Basra terputus.
"Celaka...! Dia datang...!" sentak Ganta seraya bangkit berdiri.
Bergegas pemuda itu melompat untuk menutup pintu. Lalu menguncinya rapat rapat. Wajah pemuda itu semakin terlihat pucat. Ki Basra jadi tercenung memandangi pemuda ini. Dia tidak tahu, apa yang membuat Ganta jadi begitu ketakutan. Dia berdiri bersandar di pintu, seakan-akan ada orang yang hendak menerobos pintu itu.
"Ada apa, Ganta? Kenapa kelihatan ketakutan begitu...?" tanya Ki Basra keheranan.
"Mereka ingin membunuhku, Ki," sahut Ganta, gemetar.
"Membunuhmu... ? Siapa yang ingin membunuhmu?" tanya Ki Basra lagi.
Ganta tidak menjawab. Pada saat itu, terdengar derap langkah kaki kuda di luar. Wajah Ganta semakin bertambah pucat. Bahkan tubuhnya juga menggigil gemetar, seperti terserang demam. Sedangkan Ki Basra jadi bertambah heran saja. Sementara suara langkah kaki kuda berhenti.
“Tolong aku, Ki. Sembunyikan aku...," pinta Ganta memohon.
Saat itu terdengar ketukan di pintu. Ganta langsung terlompat, menyembunyikan diri di balik punggung Ki Basra. Sedangkan ketukan dipintu kembali terdengar beberapa kali.
"Kalau mereka menanyakan aku, bilang tidak ada di sini," kata Ganta berbisik.
Pemuda itu menoleh ke belakang sebentar, kemudian bergegas melangkah masuk kedalam kamar. Perlahan pintunya ditutup, seakan derit pintu membuat jantungnya semakin bertambah berdetak. Sementara Ki Basra yang tidak mengerti, jadi kebingungan sendiri. Dan kini ketukan dipintu kembali terdengar.
"Sebentar...!" seru Ki Basra. "Siapa diluar...?"
"Aku! Buka pintunya, Ki!" terdengar sahutan dari luar.
Ki Basra bergegas membuka pintu. Tampak di depan pintu, berdiri dua orang laki-laki bertampang kasar. Sinar matanya tajam, memancarkan kebengisan. Sementara di halaman rumah Ki Basra, terlihat beberapa orang duduk di punggung kuda.
"Ada yang bisa kubantu, Kisanak...?" tanya Ki Basra ramah.
"Kau lihat anak muda lewat sini, Ki?" salah seorang yang berbaju kuning, malah balik bertanya.
"Anak muda...? Tidak. Sejak tadi aku ada di dalam," sahut Ki Basra.
Kedua orang laki-laki bertubuh tegap itu saling berpandangan, kemudian tanpa berkata apa-apa lagi langsung berbalik dan melangkah pergi. Mereka berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing dengan gerakan indah dan ringan sekali. Tak berapa lama kemudian, sepuluh orang penunggang kuda itu cepat bergerak pergi. Sementara Ki Basra masih berdiri di ambang pintu, memandangi orang-orang yang tidak dikenalnya.
Setelah orang-orang penunggang kuda itu tidak terlihat lagi, baru Ki Basra menutup pintu kembali. Tubuhnya diputar seraya menghembuskan napas panjang. Pada saat itu Ganta keluar dari kamar. Ki Basra memandangi pemuda itu, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi rotan yang sudah reyot
"Siapa mereka tadi, Ganta?" tanya Ki Basra.
Ganta tidak langsung menjawab, tapi malah membuka bajunya yang kotor penuh lumpur. Kemudian dia duduk di lantai yang beralaskan anyaman tikar daun pandan. Pemuda itu membersihkan kotoran yang melekat di tubuhnya. Wajah dan sinar matanya mulai kelihatan tenang. Sedangkan Ki Basra masih menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
Ganta bangkit berdiri seraya mengenakan pakaian kembali. Dia kemudian melangkah ke pintu. Baru saja dia hendak membukanya, tapi sudah keburu dicegah Ki Basra. Terpaksa Ganta tidak jadi membuka pintu rumah laki-laki tua itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ganta. Siapa mereka tadi?" Ki Basra mengulangi pertanyaannya. "Kenapa mereka mencarimu?"
"Aku tidak kenal mereka, Ki. Tidak ada apa-apa antara aku dengan mereka," sahut Ganta seenaknya.
"Kau jangan membohongi ku, Ganta. Tidak mungkin mereka mencarimu tanpa sebab," dengus Ki Basra. "Kau mencuri barang mereka, Ganta...?"
Ganta terdiam tidak menjawab pertanyaan orang tua itu. Dia kembali duduk, menghempaskan diri di balai-balai bambu yang ada di pojok ruangan depan ini. Sementara Ki Basra menatap tajam pemuda cukup tampan ini. Sedangkan yang ditatap malah seperti tidak peduli.
Ki Basra kenal betul, siapa Ganta ini. Pemuda desa ini pekerjaannya memang mencuri dan menipu. Sudah sering Ganta dicari-cari orang, setiap kali terjadi pencurian. Antara Ki Basra dengan Ganta, sebenarnya masih ada hubungan darah. Ganta terhitung masih keponakan Ki Basra sendiri. Dan setiap kali terjadi sesuatu, pemuda itu pasti datang ke sini. Kalau keadaan sudah tenang, sikapnya tidak lagi ketakutan. Bahkan begitu masa bodoh, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya.
Hal itu seringkali membuat Ki Basra jadi geram, namun tidak bisa marah. Laki-laki tua itu begitu mencintai Ganta yang sudah tidak memiliki orang tua lagi. Seberat apa pun persoalan yang dihadapi Ganta, selalu dilindunginya.
"Apa yang kau curi dari mereka, Ganta?" tanya Ki Basra langsung bisa menebak.
"Aku tidak mencuri, Ki. Sungguh...!" sahut Ganta mencoba meyakinkan.
"Kalau tidak mencuri, lalu kenapa mereka mencarimu?" desak Ki Basra.
"Oaaah....! Aku ngantuk, Ki. Mau tidur," Ganta tidak peduli dengan pertanyaan Ki Basra. Pemuda itu langsung melingkarkan diri di atas balai-balai bambu. Matanya terpejam, dan sebentar kemudian dengkurnya sudah terdengar halus. Ki Basra hanya bisa mendengus jengkel melihat tingkah keponakannya ini. Sudah seringkali Ganta membuatnya jengkel, tapi entah kenapa, Ki Basra tidak mampu bertindak apa-apa kalau sudah begini. Dan biasanya, besok pagi semua kejadian malam ini sudah terlupakan.
"Hhh...! Kapan kau bisa berubah, Ganta...?" keluh Ki Basra lirih.
Laki-laki tua itu menuju pintu, lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya. Namun tak lama kemudian dia keluar lagi. Di tangannya kini tergenggam sebuah pelita kecil yang menyala redup. Dengan langkah terseret, Ki Basra menuju ke belakang, kemudian keluar melalui pintu belakang. Namun baru beberapa langkah berada di belakang rumahnya, mendadak saja...
Slap...!
“Heh.?"
Ki Basra tersentak begitu tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat cepat di depannya. Dan sebelum orang tua itu sempat menyadari, tahu-tahu sesuatu yang terasa dingin menempel dilehernya. Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah garang, tahu-tahu sudah berdiri didepannya. Goloknya ditempelkan ke leher Ki Basra hingga tak mampu lagi berkutik.
"Bergerak sedikit saja, golok ini akan menebas lehermu, Orang Tua," ancam laki-laki bertubuh kekar itu.
Ki Basra hanya dapat diam mematung. Dikenalinya betul wajah laki-laki di depannya ini. Dialah yang tadi menanyakan Ganta. Orang tua itu semakin tak berdaya saat melihat beberapa orang bergerak perlahan dan ringan sekali mendekati rumahnya. Mereka semua menghunus golok yang berkilatan tertimpa cahaya bulan. Sedangkan sebilah golok lain juga masih menempel di leher orang tua itu.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Ki Basra.
“Keponakanmu, Orang Tua," sahut laki-laki kekar itu dingin.
“Keponakanku...? Kenapa kalian menginginkannya" tanya Ki Basra lagi.
“Sebaiknya kau tutup mulut, kalau ingin selamat!" dengus laki- laki kekar itu mengancam.
Ki Basra langsung diam. Sementara dua orang sudah melangkah masuk ke dalam rumah, melalui pintu belakang. Perasaan khawatir mulai menyelinap ke dalam hati Ki Basra. Melihat tampang-tampang kasar dan bengis seperti ini, Ki Basra sudah bisa membayangkan akan terjadi sesuatu yang buruk pada Ganta. Dan tampaknya mereka menginginkan kematian pemuda itu.
Namun dengan golok menempel di leher, Ki Basra tak mungkin bisa berbuat sesuatu. Tidak berapa lama setelah dua orang kasar tadi masuk ke dalam rumah, mendadak saja terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan. Dua orang itu tiba-tiba terpental menjebol dinding rumah. Tubuh mereka jatuh bergulingan di tanah, seperti dilempar oleh kekuatan dahsyat dari dalam rumah itu. Tak beberapa lama kemudian....
Brak!
Tiba-tiba atap rumah jebol, bersamaan dengan melesatnya sebuah bayangan yang menjebol atap rumah. Bayangan itu berkelebat cepat membuat semua orang yang berada di sekitarnya jadi terpana.
"Kejar anak itu! Bunuh dia...!" teriak laki-laki.kekar berbaju kuning yang menempelkan golok ke leher Ki Basra.
Seketika itu juga, orang-orang yang mengepung rumah Ki Basra berlompatan mengejar bayangan tadi. Dua orang yang terlempar menjebol dinding tadi, bergegas mengikuti yang lain. Tinggal Ki Basra, dan dua orang lagi yang masih tetap berada di tempatnya.
"Keparat..! Hih!"
Cras!
"Aaa...!"
Ki Basra menjerit melengking tinggi, begitu golok yang menempel di lehernya bergerak cepat menebas. Hanya sebentar laki-laki tua itu masih mampu berdiri, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah langsung muncrat dari lehernya yang terbabat hampir buntung. Tak lama kemudian, orang tua malang itu diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terus merembes membasahi tanah.
"Huh!" laki-laki kekar berbaju kuning itu mendengus seraya memasukkan golok ke dalam sarungnya di pinggang.
"Ayo, kita cari anak keparat itu sampai dapat!" ajak laki-laki kekar itu.
Sepuluh orang berkuda itu cepat menggebah kudanya. Mereka bergerak cepat bagai setan, menembus pekatnya malam. Sementara tanpa diketahui seorang pun, dari balik sebatang pohon yang cukup besar sepasang mata mengawasi tak berkedip. Dia baru keluar setelah orang-orang berkuda itu tidak terlihat lagi. Bergegas dihampirinya tubuh Ki Basra yang tergeletak tak bernyawa lagi.
"Ki...." Pemuda yang tak lain adalah Ganta itu berlutut di samping tubuh Ki Basra. Bibirnya bergetar, namun tak ada kata-kata yang terucapkan. Sebentar kemudian, dipandanginya rumah yang semakin habis dimakan api. Seluruh tubuhnya menggeletar dan pandangannya jadi nanar.
"Maafkan aku, Ki. Tidak kusangka kalau akan begini jadinya. Akan kubalas mereka, Ki. Akan kubalas kematianmu," desis Ganta.
Perlahan pemuda itu bangkit berdiri sambil mengangkat tubuh Ki Basra. Dia berdiri tegak sambil memondong laki-laki tua itu. Pandangannya semakin nanar, ke arah rumah yang sudah ambruk, hangus terbakar. Perlahan kemudian pemuda itu melangkah gontai sambil terus memondong tubuh Ki Basra yang sudah tidak bernyawa lagi.
Sementara api terus menyala menghanguskan rumah yang sudah roboh itu. Ganta terus berjalan gontai menjauhi tempat itu. Tanpa sadar, air matanya berlinang. Ganta menangis! Tapi dia tidak tahu, untuk apa air matanya itu. Pemuda itu baru berhenti melangkah setelah sampai di tepi sungai yang tidak begitu besar, namun sangat deras arusnya. Sebentar dipandanginya sungai itu, kemudian tubuh Ki Basra diletakkan di atas sebongkah batu yang cukup besar.
"Kau pernah mengatakan, kalau tidak ada umur ingin dihanyutkan di sungai. Aku akan membantumu menemui istrimu, Ki. Akan kubuatkan sebuah sampan, agar kau mudah membawa istrimu mengarungi sungai ini," ujar Ganta perlahan.
Pemuda itu jadi teringat istri Ki Basra yang tewas tenggelam di sungai ini. Dia juga teringat sumpah Ki Basra yang ingin mati di sungai ini juga. Dan sekarang, Ki Basra sudah tak ada. Ganta bertekad hendak mewujudkan keinginan orang tua itu. Bergegas dihampirinya sebatang pohon yang cukup besar.
Dipandanginya pohon itu beberapa saat, kemudian tangannya menarik golok yang terselip di pinggang. Pemuda itu memandangi golok yang berkilatan, tergenggam di tangan kanannya. Kembali dipandangi pohon di depannya, kemudian beralih sejenak pada Ki Basra yang tergolek di atas batu. Darah masih mengucur dari lehernya yang tertebas golok hampir buntung.
"Hsss...! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Ganta menebaskan goloknya ke pohon yang cukup besar itu. Beberapa kali tebas saja, pohon itu sudah tumbang. Suaranya menggemuruh, membuat bumi bergetar. Ganta memandangi pohon yang sudah roboh di depannya, kemudian bergerak cepat membabat cabang-cabang yang tidak berguna. Lalu, diambilnya bagian tengah batang pohon itu.
Tanpa mengenal lelah, Ganta membuat sebuah sampan untuk Ki Basra. Orang tua yang selama ini selalu melindunginya dari segala macam bahaya, kini telah pergi. Sepanjang malam, Ganta membuat sampan. Dan begitu matahari menampakkan diri di ufuk timur, sebuah sampan yang cukup indah telah terbentuk. Ganta menyeka keringat yang membanjiri wajah dan lehernya. Ada kepuasan melihat hasil kerjanya. Dia sendiri hampir tidak percaya, kenapa tiba-tiba bisa membuat. sebuah sampan yang begitu indah dan kuat?
"Sampanmu sudah selesai, Ki," ujar Ganta seraya menghampiri mayat Ki Basra.
Perlahan dan hati-hati sekali Ganta mengangkat tubuh Ki Basra, lalu membawanya ke tepi sungai. Kemudian tubuh orang tua itu diletakkan di dalam sampan. Jerami kering menjadi alasnya. Sebentar Ganta memandangi, kemudian mendorong sampan itu ke tengah sungai. Perlahan sampan itu bergerak mengikuti arus sungai. Ganta memandanginya dari tepi sungai. Sampan itu bergerak semakin jauh, mengikuti arus sungai.
"Selamat jalan, Ki," ucap Ganta lirih. Kedua bola mata pemuda itu merembang, namun tak ada setitik air pun yang menitik. Pemuda itu masih tetap berdiri di tepi sungai, meskipun sampan yang membawa Ki Basra sudah tidak terlihat lagi.
"Aku bersumpah, mereka harus membayar hutang nyawamu, Ki," desis Ganta. "Sayang, aku belum sempat memperlihatkan apa yang sudah kupelajari selama ini. Tapi aku yakin, kau akan bangga padaku nanti, Ki."
********************
DUA
Dua hari setelah kematian Ki Basra, Ganta semakin giat berlatih menyempurnakan jurus-jurus dan ilmu-ilmu kesaktian yang dimiliki. Tekadnya, kematian Ki Basra harus dibalas. Namun pemuda itu menyadari kalau kemampuannya masih belum cukup untuk menghadapi orang-orang yang telah mempercepat kematian Ki Basra, didepan hidungnya sendiri.
Dan selama dua hari ini, Ganta menyepi dipuncak Gunung Garangan. Tempat itu sangat sunyi, dan tak seorang pun yang suka menjejakinya. Suasana yang begitu sunyi, membuat Ganta bisa memusatkan perhatian pada latihan-latihannya. Namun hari ini, ketika baru saja menyelesaikan latihan terakhirnya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan kuning yang hampir menyambar tubuhnya.
Wusss!
"Heh...?! Uts!"
Cepat sekali Ganta menarik tubuhnya ke belakang, sehingga kelebatan bayangan kuning itu hanya lewat sedikit di depan tubuhnya. Ganta bergegas melentingkan tubuhnya, lalu berputaran dua kali ke belakang. Manis sekali gerakannya, sehingga pada saat kakinya menjejak tanah, sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkan.
"Siapa kau...?!" bentak Ganta begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki muda.
Bajunya kuning panjang, bagai seorang pendeta. Pemuda berwajah sangat tampan itu hanya tersenyum saja. Jari-jari tangannya bergerak lincah meniti butir-butir kalung tasbih berwarna kuning keemasan. Dia melangkah ringan dan perlahan, memperpendek jarak. Sedangkan Ganta sudah bersiap menggeser goloknya yang terselip di pinggang. Kewaspadaannya langsung timbul melihat kedatangan pemuda tampan berjubah kuning bagai pendeta yang belum dikenalnya ini.
"Kau yang bernama Ganta?" tanya pemuda tampan berjubah kuning itu, tanpa menjawab pertanyaan Ganta sebelumnya.
"Dari mana kau tahu namaku?" Ganta jadi keheranan.
"Sulit sekali mencarimu, Ganta. Tapi untunglah, aku bisa menemukanmu di sini. Semula aku ragu. Tapi setelah melihat kau mempraktekkan aji 'Sungsang Merah', kini baru aku yakin kalau kau adalah Ganta," jelas pemuda itu, lembut sekali nada suaranya.
"Heh...?! Kau tahu aji 'Sungsang Merah’...?" Ganta semakin terkejut keheranan.
Setahunya, ilmu-ilmu yang dimilikinya sekarang ini tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan mendiang Ki Basra, orang yang terdekat dengannya saja tidak tahu. Tapi mengapa pemuda yang tidak dikenalnya ini malah mengetahui ilmu terakhirnya? Ganta memandangi pemuda tampan. kuning itu dalam-dalam. Pandangannya penuh selidik dan penuh kecurigaan.
"Aku tahu semua jurus dan ajian yang kau miliki, Ganta. Tapi sayang, kau belum begitu menguasainya. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang harus diperbaiki. Dan tentunya, kau tidak bisa terjun ke dalam ganasnya rimba persilatan dengan pengetahuan dan kepandaian yang tanggung," masih tetap lembut nada suara pemuda berjubah kuning itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ganta terus diliputi perasaan penasaran.
"Dulu, orang tuaku memberi nama Nada Prakasa. Tapi orang-orang lebih mengenalku sebagai Pendekar Kalung Sakti," pemuda itu memperkenalkan diri.
"Kau..., Pendekar Kalung Sakti...?" Ganta semakin terkejut begitu pemuda tampan berbaju kuning itu memperkenalkan diri. Kedua bola mata Ganta berputaran memandangi sekujur tubuh Nada Prakasa yang juga berjuluk Pendekar Kalung Sakti.
Seakan-akan dia ingin meyakinkan diri, kalau pemuda yang berdiri di depannya ini benar-benar seorang pendekar yang namanya sering terdengar, dan selalu menggemparkan rimba persilatan di setiap kemunculannya
"Bagaimana aku bisa percaya kalau kau benar-benar Pendekar Kalung Sakti?" Ganta seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Lihatlah tasbih emasku ini, Ganta.... Lihatlah...! Yeaaah...!"
Cepat sekali gerakan Nada Prakasa. Tasbih berwarna kuning keemasan itu seketika melesat cepat dari tangan kanannya, dan berputaran mengitari sebatang pohon yang cukup besar beberapa kali. Lalu dengan kecepatan bagaikan kilat, tasbih emas itu kembali meluncur berbalik ke arah pemiliknya. Tangkas sekali pemuda berbaju kuning itu menangkap kalung emasnya. Maka suatu keajaiban pun terjadi. Pohon yang begitu besar tadi, mendadak saja ambruk ke tanah.
Ganta terlongong menyaksikan kesaktian yang begitu mengagumkan. Hampir-hampir penglihatannya sendiri tidak dapat dipercayainya. Pohon yang begitu besar dapat ambruk hanya karena diputari oleh sebuah kalung emas yang bergerak sendiri melingkarinya. Pandangan Ganta berpindah-pindah, dari pohon yang ambruk kemudian beralih ke Pendekar Kalung Sakti.
"Bagaimana, Ganta? Kau percaya padaku...?" ujar Nada Prakasa, lembut suaranya.
"Aku sering mendengar kehebatan dan kesaktian Pendekar Kalung Sakti. Tapi aku belum pernah menyaksikan sendiri kehebatannya. Hm.... Apakah tadi itu salah satu ilmu dari aji 'Lingkaran Kalung Sakti'?" agak bergumam nada suara Ganta.
"Pengamatanmu cukup tajam, Ganta. Aku benar-benar kagum padamu," sahut Pendekar Kalung Sakti, memuji tulus.
"Terima kasih. Aku tadi hanya menebak saja. Aku memang pernah mendengar ajian itu. Dan ternyata hasilnya sangat dahsyat dan mengagumkan. Terima kasih, kau sudi memperlihatkannya padaku," kata Ganta merendah.
Ganta kemudian menjura memberi hormat. Baru kini hatinya yakin, kalau pemuda seusianya yang berada di depannya ini benar-benar Pendekar Kalung Sakti. Dia sangat mengagumi pendekar itu. Meskipun baru pertama kali bertemu muka, tapi nama dan kedigdayaan Pendekar Kalung Sakti sudah sering didengarnya.
"Terimalah salam hormatku, Pendekar Kalung Sakti," ucap Ganta, penuh rasa hormat.
"Ah, sudahlah. Tidak perlu bersikap sungkan begini, Ganta," sambut Pendekar Kalung Sakti seraya menyentuh pundak pemuda berbaju putih di depannya.
Ganta kembali berdiri tegak. Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama duduk bersila beralaskan rerumputan yang cukup tebal dan nyaman bagai permadani alam terhampar indah di puncak Gunung Garangan ini. Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiam diri saja, seakan-akan sedang mengumpulkan untaian kata-kata yang hendak diobrolkan.
"Oh, ya. Kau tadi mengatakan sengaja mencariku. Ada keperluan apa, sehingga bersusah payah mencariku, Pendekar Kalung Sakti?" tanya Ganta memulai lebih dahulu.
Pendekar Kalung Sakti tidak langsung menjawab. Bibirnya tersenyum seraya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Beberapa kali hal itu dilakukan, lalu kepalanya bergerak terangguk-angguk. Tadi dia memang berkata kalau memang sengaja mencari pemuda berbaju putih yang dikenal sebagai pencuri kecil ini. Tapi, apakah memang begitu...?
"Ganta. Boleh aku tanya sedikit padamu?" pinta Pendekar Kalung Sakti tanpa menjawab pertanyaan Ganta tadi.
"Apa yang hendak kau tanyakan padaku?" tanya Ganta.
"Kuharap kau jangan tersinggung atas pertanyaanku nanti, Ganta," ucap Pendekar Kalung Sakti, lembut dan hati-hati sekali.
Kening Ganta jadi berkernyit mendengar ucapan Pendekar digdaya itu. Namun kepalanya tergeleng juga, meskipun perlahan sekali. Pendekar Kalung Sakti tersenyum melihat gelengan kepala Ganta, tapi masih belum juga melontarkan pertanyaan.
"Aku senang jika kau tidak tersinggung atas pertanyaanku nanti, Ganta. Masalahnya ini menyangkut pribadimu juga," jelas Pendekar Kalung Sakti, tetap lembut dan hati-hati nada suaranya.
"Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan padaku, Pendekar Kalung Sakti?" desak Ganta jadi penasaran.
Lagi-lagi Pendekar Kalung Sakti tersenyum. Sedangkan Ganta semakin penasaran saja. Hatinya bertanya-tanya, tentang pertanyaan yang akan dilontarkan Pendekar Kalung Sakti padanya.
"Ganta, kau dikenal sebagai pemuda pencuri. Dan lagi hanya sedikit memiliki ilmu olah kanuragan. Tapi dalam dua tahun belakangan ini, kau sudah memiliki ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang cukup tinggi tingkatannya, meskipun belum dikuasai sempurna," kata Pendekar Kalung Sakti membuka suara.
Kening Ganta semakin dalam berkerut. Di benarkannya semua ucapan Pendekar Kalung Sakti barusan. Selama ini, dia memang dikenal sebagai pencuri yang tidak memiliki ilmu olah kanuragan ataupun ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi. Memang tidak ada yang tahu. Bahkan Ki Basra sendiri, orang yang terdekat dengannya tidak tahu tentang itu. Tapi sekarang, pemuda tampan berjubah kuning di depannya, yang juga tidak dikenal sebelumnya, sudah mengetahui banyak tentang dirinya. Hal ini membuat berbagai macam pertanyaan yang bergelut di kepalanya semakin besar.
"Boleh aku tahu, dari mana semua ilmu olah kanuragan dan kesaktian itu kau peroleh, Ganta?" tanya Pendekar Kalung Sakti meminta.
"Maaf, untuk apa kau ingin tahu?" Ganta malah balik bertanya.
Dari nada suaranya, jelas kalau pemuda itu tidak senang atas pertanyaan Pendekar Kalung Sakti barusan. Dan sinar matanya pun begitu tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Kalung Sakti. Namun yang dipandangi hanya tersenyum saja, seakan-akan tidak mengetahui ketidaksenangan pemuda di depannya ini.
"Aku sedikit kenal jurus-jurus dan ilmu-ilmu yang kau miliki, Ganta. Itu sebabnya aku ingin tahu, dari mana kau memperolehnya," jelas Pendekar Kalung Sakti, tetap lembut nada suaranya.
"Kalau kau mengenal jurus-jurusku, tentu juga sudah tahu siapa yang mengajariku, Pendekar Kalung Sakti," ujar Ganta, agak ketus nada suaranya.
"Aku kenal pemilik ilmu olah kanuragan yang kau miliki, Ganta. Dan aku tahu, kalau orang itu sudah tak ada lagi di dunia ini. Jadi, tidak mungkin kalau dia bisa mengajarkannya padamu. Apalagi dia sudah lebih dari tiga puluh tahun meninggal. Sedangkan usiamu sendiri, belum mencapai tiga puluh tahun," tukas Pendekar Kalung Sakti.
"Terus terang, aku tidak suka bertele-tele. Apa sebenarnya yang kau Inginkan, Pendekar Kalung Sakti?!" dengus Ganta mulai menampakkan ketidaksenangannya.
"Aku hanya ingin tahu, dari mana kau peroleh semua ilmu itu, Ganta," ujar Pendekar Kalung Sakti.
"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya. Itu urusanku sendiri, dari mana pun aku mendapatkannya," sahut Ganta ketus.
Pemuda itu langsung bangkit berdiri. Sebentar matanya menatap tajam Pendekar Kalung Sakti, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah pergi. Namun baru saja kakinya terayun beberapa tindak, mendadak saja berdesir angin dingin dari arah belakang. Dan tahu-tahu berkelebat bayangan kuning. Ganta terhenyak begitu tiba-tiba di depannya sudah menghadang Pendekar Kalung Sakti.
"Ganta, kedatanganku sebenarnya ingin menolongmu. Kau dalam kesulitan besar. Aku tidak bisa menolongmu, kalau kau berlaku begitu, dan tutup mulut padaku," jelas Pendekar Kalung Sakti bersungguh-sungguh.
"Aku selalu dapat mengatasi segala kesulitanku sendiri, Pendekar Kalung Sakti. Terima kasih, kau telah memperhatikanku. Tapi maaf, aku tidak bisa menerima pertolongan seseorang yang tidak kukenal," sahut Ganta tegas.
Setelah berkata demikian, Ganta langsung cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan saja bayangan tubuh pemuda itu sudah lenyap dari pandangan.
"Benar-benar keras hatinya. Tapi aku yakin, dia tidak tahu bahaya yang akan dihadapinya nanti," gumam Pendekar Kalung Sakti dalam hati.
Sebentar Pendekar Kalung Sakti memandangi arah kepergian pemuda berbaju putih itu, kemudian cepat melesat menuju ke arah kepergian Ganta. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya bayangan kuning berkelebat. Lalu, bayangan itu lenyap ditelan lebatnya hutan di puncak Gunung Garangan ini. Sebentar kemudian, keadaan di puncak gunung ini kembali sunyi. Hanya desir angin yang bertiup agak kencang yang terdengar mempermainkan dedaunan.
Sementara siang terus merayap semakin senja, dan kabut pun terus menggumpal bertambah tebal. Udara di puncak gunung ini kian bertambah dingin. Dan dua pemuda tadi tidak terlihat lagi bayangannya.
********************
Ganta terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menuruni lereng Gunung Garangan. Dia terus menembus lebatnya hutan di sepanjang lereng gunung itu. Sedikit pun kecepatan larinya tidak dikendorkan. Namun begitu melompati sebuah sungai kecil yang mengalir jernih melingkari lereng gunung ini, mendadak saja....
Slap!
"Heh...! Uts!" Ganta tersentak ketika tiba-tiba sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Cepat larinya dihentikan dan tubuhnya dimiringkan, maka anak panah itu melewati atas pundaknya. Ganta berpaling sedikit, menatap anak panah berwarna merah, yang bagian ekornya berbentuk seekor ular.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak saja beberapa orang berbaju merah berlompatan dari atas pohon. Ada sekitar sepuluh orang yang langsung bergerak mengepung pemuda berbaju putih ketat itu. Di tangan masing-masing tergenggam sebilah golok yang berkilatan tertimpa cahaya matahari senja.
"Kalian akan kecewa jika ingin merampok. Aku tidak punya apa-apa yang bisa dirampas," kata Ganta dingin.
"Sesuatu yang istimewa telah kau miliki, Ganta. Dan aku menginginkan yang istimewa itu," terdengar sahutan keras menggema.
Ganta jadi terkejut. Karena, sahutan itu demikian jelas terdengar, tapi tak terlihat wujudnya. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun tidak menemukan orang yang mengeluarkan suara tadi. Sedangkan sepuluh orang yang mengepungnya hanya diam saja tak bersuara. Mereka semua melintangkan golok di depan dada. Baju merah yang mereka kenakan agak longgar tertiup angin.
"Siapa kau...? Jangan main sembunyi seperti tikus!" bentak Ganta lantang.
Wusss!
Begitu bentakan Ganta menghilang, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan merah. Dan tahu-tahu di depan pemuda itu sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah. Di tangan kanannya tergenggam tongkat berkepala tengkorak. Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Ganta. Seakan-akan dia hendak melumat pemuda itu bulat-bulat. Sedangkan Ganta sendiri membalas tatapan itu tidak kalah tajamnya.
"Serahkan yang kau curi dari puriku, Ganta," terdengar dingin nada suara laki-laki tua berjubah merah itu.
"Hhh! Aku mengenalmu saja, tidak. Bagaimana aku bisa dituduh mencuri di purimu?" dengus Ganta ketus.
"Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Bocah!" bentak orang tua berjubah merah itu berang.
"Siapa yang main-main...? Kau yang menghadang jalanku. Bahkan menuduhku mencuri. Kau sendiri yang main-main denganku," balas Ganta tetap sinis.
"Cukup!" bentak orang tua berjubah merah itu. "Aku tidak punya waktu lagi. Serahkan saja semua yang kau curi dari puriku. Cepat!"
"Enak saja memerintah. Memangnya apa yang aku curi darimu...?"
"Jangan memaksaku kehilangan kesabaran, Bocah! Mudah saja aku membunuhmu, semudah membalikkan telapak tangan," ancam orang tua berjubah merah itu dingin.
"Kau pikir, aku takut...? Biar kau bawa monyet-monyet lebih banyak, aku tidak takut!" balas Ganta lantang.
"Kurang ajar...! Beri bocah edan ini pelajaran!" geram orang tua itu sengit.
Saat itu juga, empat orang yang mengepung berlompatan maju. Seorang yang berada tepat didepan Ganta, langsung menyerang seraya membabatkan golok ke arah dada pemuda itu.
Bet!
"Hait..!"
Manis sekali Ganta menarik tubuhnya ke belakang, sehingga tebasan golok orang itu hanya lewat di depan dadanya. Namun sebelum Ganta bisa menegakkan kembali tubuhnya, kembali datang satu serangan dari arah kanan. Sebilah golok yang berkilatan, berkelebatan cepat menyambar ke arah kepala.
Wusss...!
"Uts!"
Ganta terpaksa merundukkan kepala, membuat tebasan golok itu tak sampai mengenai sasaran di kepalanya. Pada saat itu, kaki Ganta cepat bergeser ke kanan. Dan secepat itu pula, tangannya dikebutkan, menyodok ke arah lambung. Begitu cepatnya sodokan tangan Ganta, membuat orang yang berada di sebelah kanannya tak sempat lagi menghindar.
Des!
"Ugkh...!"
Orang itu mengeluh pendek agak tertahan. Tubuhnya terbungkuk menahan nyeri pada bagian lambungnya. Dan sebelum disadari apa yang terjadi barusan, Ganta sudah melayangkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Tak pelak lagi, pukulan Ganta tepat bersarang pada rahang orang itu.
Diegkh!
"Aaakh...!" terdengar pekikan keras. Kepala orang itu terdongak ke atas. Darah seketika muncrat keluar dari mulutnya. Ganta tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera tubuhnya diputar ke kanan, lalu cepat sekali kakinya menghentak melayang menghantam dada, sebelum orang itu bisa berbuat sesuatu.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Aaakh...!"
"Phuih! Mampus kau...!"
Satu orang seketika tergeletak tak berkutik lagi. Dadanya melesak terkena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi yang dilepaskan Ganta. Tewasnya satu orang dalam beberapa gebrak saja, membuat yang lain terpana. Tiga orang berbaju merah ketat yang tadi berlompatan menyerang Ganta, dalam waktu bersamaan jadi terlongong. Mereka seakan akan tidak percaya dengan semua yang telah terjadi.
"Bunuh bocah keparat itu...!" teriak laki-laki tua berjubah merah.
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
Bagaikan dikejutkan ledakan halilintar, sembilan orang berbaju ketat berwarna merah yang semuanya bersenjatakan golok, seketika berlompatan menyerang Ganta dari segala penjuru. Beberapa golok berkelebatan di sekitar tubuh pemuda itu. Namun Ganta yang sekarang, bukanlah Ganta yang dulu ketika masih sering mencuri dan tidak memiliki kepandaian apa pun untuk membela diri.
Ganta sekarang sudah dapat bergerak cepat dengan kelincahan yang mengagumkan. Meskipun dikeroyok sembilan orang bersenjata golok, sedikit pun tak ada rasa gentar di hatinya. Bahkan serangan-serangan itu dihadapi dengan garang. Setiap kali mendapatkan kesempatan, langsung Ganta balas menyerang dengan dahsyat dan mematikan. Hal ini membuat sembilan orang pengeroyoknya jadi kelabakan juga.
Pertarungan baru berjalan beberapa jurus, tapi sudah lima orang tergeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan dalam pertarungan ini, Ganta belum menggunakan senjata apa pun. Melihat orang-orangnya bergelimpangan tak sanggup menandingi kehebatan jurus-jurus Ganta, maka orang berjubah merah itu jadi berang setengah mati. Terlebih lagi sekarang tinggal empat orang lagi yang masih mampu bertahan.
"Mundur...!" bentak orang berjubah merah itu lantang.
TIGA
Tanpa menunggu perintah dua kali, empat orang berbaju merah yang bersenjata golok bergegas berlompatan mundur. Menjauhi arena pertarungan. Mereka segera menempatkan diri di belakang orang tua berjubah merah. Sedangkan Ganta tetap berdiri tegak sambil menyunggingkan senyuman tipis. Ada rasa kebanggaan di dalam hati Ganta, karena mampu merobohkan enam orang lawan.
Sesuatu kebanggaan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Dan ini merupakan orang-orang pertama yang bertarung dengannya secara sungguh-sungguh. Selama ini, lawan tandingnya hanya boneka jerami, batu, dan pepohonan. Dan sekarang, ternyata hasilnya nyata! Dia mampu merobohkan enam orang dalam beberapa jurus saja.
"Kalian semua bisa kukirim ke neraka, jika tidak segera angkat kaki dari sini," ancam Ganta. Terdengar dingin nada suaranya.
"Jangan besar kepala dulu, Bocah. Mereka memang bukan lawanmu," balas orang tua berjubah merah itu tidak kalah dinginnya.
Setelah berkata demikian, ujung tongkatnya dihentakkan ke tanah tiga kali. Saat itu juga, dari balik pepohonan bermunculan sepuluh orang lagi. Mereka bertampang kasar dengan gagang golok terselip di pinggang. Ganta agak terkejut juga melihat kemunculan orang-orang itu. Mereka adalah orang-orang yang mengejarnya, dan telah membunuh Ki Basra di depan hidungnya sendiri.
"Kalian...," desis Ganta dingin menggetarkan.
"Kau tidak bisa lolos lagi dari kami, Ganta," tegas laki-laki bertampang bengis yang mengenakan baju kuning.
Orang bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar inilah yang telah menewaskan Ki Basra. Ganta menatapnya dengan tajam, dengan sinar mata penuh kebencian dan dendam membara. Begitu bencinya, sampai-sampai gerahamnya bergemeletuk, dan otot-ototnya meregang kaku. Terdengar bunyi bergemeletak saat pemuda berbaju putih ketat itu mengepalkan tangannya.
"Kau berhutang nyawa padaku, Tikus Keparat..!" geram Ganta mendesis, menahan kemarahan yang melanda hatinya.
"Ha ha ha...! Sayang sekali, kau tidak punya kesempatan menagih hutang, Ganta," ejek laki-laki tegap berbaju kuning itu.
"Langkas...!" panggil orang tua berjubah merah itu lantang.
Laki-laki tinggi tegap berwajah kasar yang memakai baju kuning ketat itu berpaling menatap orang tua berjubah merah yang memanggilnya. Tubuhnya sedikit dibungkukkan, seakan-akan memberi hormat pada orang tua berjubah merah itu.
"Bereskan dia, aku tunggu di puri," perintah orang tua berjubah merah itu.
"Baik...."
Tanpa menunggu selesainya jawaban, orang tua berjubah merah itu cepat melesat pergi. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata. Empat orang berbaju merah yang mendampinginya juga bergegas mengikuti, berlompatan pergi dari tempat itu.
"Pengecut..," desis Ganta.
Tapi pemuda itu tidak mungkin bisa mencegah kepergian orang tua berjubah merah tadi. Karena, sepuluh orang yang dipimpin laki-laki tegap berbaju kuning bernama Langkas itu sudah bergerak membuat lingkaran mengepung Ganta. Hampir bersamaan mereka mencabut senjata masing-masing. Sebentar pandangan Ganta beredar ke sekeliling, mengamati sepuluh orang pengepungnya. Tatapan matanya kemudian tertanam pada Langkas.
"Sudah berapa kali kukatakan, kalian tidak akan memperoleh apa-apa dariku!" kata Ganta agak membentak.
"Bicaralah sepuasmu, Ganta. Sebentar lagi kau harus mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Ha ha ha...!" keras dan menggelegar sekali nada suara Langkas.
"Aku khawatir malah sebaliknya," desis Ganta dingin.
Trek! Langkas menjentikkan ujung jarinya. Maka saat itu juga, dua orang berlompatan maju ke depan Ganta. Mereka memainkan golok di depan dada. Cahaya matahari yang hampir tenggelam dibalik belahan Barat, membuat golok-golok itu berkilatan, seakan-akan hendak menggetarkan jantung pemuda berbaju putih ketat itu.
"Beri dia pelajaran, biar terbuka matanya. Berani benar berurusan dengan Kelompok Golok Setan!" lantang suara Langkas.
Bet! Bet!
"Yeaaah...!"
"Hup! Hyaaa...!"
Dua orang bersenjata golok itu cepat berlompatan ke kanan dan kiri Ganta. Lalu hampir bersamaan, mereka mengebutkan golok ke arah kepala dan kaki pemuda itu. Sejenak Ganta terperangah menghadapi serangan cepat yang datang dari dua arah ini. Namun begitu dua batang golok hampir menebas kaki dan kepala, sebelah kakinya cepat mengangkat sambil merunduk agak membungkuk.
Maka dua senjata golok berdesir diatas kepala dan kakinya. Begitu golok-golok itu lewat, Ganta cepat melentingkan tubuh ke udara. Lalu bagaikan kilat tubuhnya meluruk ke bawah dengan tubuh terbalik. Secepat itu pula, dilepaskannya dua pukulan dengan tangan kanan dan kiri yang telah merentang lebar bagai sayap seekor burung hendak melumpuhkan mangsa.
"Hiyaaa...!"
Diegkh!
Des!
Kedua pukulan yang dilepaskan secara bersamaan itu tepat menghantam kedua orang yang tidak sempat lagi menghindar. Mereka menjerit keras saling susul. Pukulan Ganta ternyata membuat kepala mereka pecah, hingga menimbulkan suara berderak keras. Sebentar kedua orang itu masih mampu berdiri tegak, kemudian limbung dan akhirnya ambruk menggelepar di tanah. Darah langsung mengucur deras dari kepala yang pecah terkena pukulan menggeledek bertenaga dalam tinggi. Tidak berapa lama kedua orang itu menggelepar dan mengerang, kemudian diam tak bernyawa lagi. Darah terus bercucuran keluar dari kepala yang pecah. Ganta berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyum mengejek.
"Kelompok Golok Setan.... Ternyata hanya sampai di situ saja kemampuannya," ejek Ganta memanasi dengan sinis.
"Phuih!" Langkas menyemburkan ludahnya, geram.
Betapa geramnya Langkas. Ternyata dua orang anak buahnya tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja. Dia juga terkejut! Sebab, tidak disangka anak muda yang pekerjaannya mencuri itu, ternyata memiliki tingkat kepandaian yang cukup mengagumkan juga. Selama ini Ganta kelihatan seperti orang bodoh yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi sekarang, sepak terjang pemuda itu membuat pemimpin Kelompok Golok Setan harus menelan pil pahit yang menyakitkan. Dua orang anak buahnya tewas hanya beberapa gebrak saja. Dia seakan-akan baru disadarkan oleh adanya beberapa mayat berbaju merah yang bergelimpangan.
"Jangan besar kepala dulu, hanya karena bisa menjatuhkan dua orang anak buahku, Ganta," desis Langkas, dingin dan menggetarkan.
"Kau ingin maju...? Silakan. Jangan menyesal kalau kepalamu terpisah dari leher," tantang Ganta memanasi.
"Bocah setan...! Bunuh dia...!" perintah Langkas, sengit.
Seketika itu juga, delapan orang sisa anak buah Langkas berlompatan menyerang pemuda berbaju putih ketat itu. Mereka langsung mencabut golok. Menghadapi keroyokan orang-orang yang sudah berpengalaman dalam pertarungan, Ganta tidak mungkin menganggap remeh. Terlebih lagi, mereka telah menghilangkan nyawa Ki Basra, orang satu-satunya yang terdekat dengannya. Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Ganta melentingkan tubuh ke udara, dan melakukan putaran beberapa kali.
"Hiyaaat...!"
Sret! Begitu Ganta mencabut golok, tubuhnya langsung meluruk deras ke arah dua orang penyerang yang terdekat. Cepat sekali Ganta mengibaskan goloknya, sehingga membuat dua orang itu hanya bisa terperangah.
Bret! Bet!
Dua jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling susul dan menyayat. Kemudian, terlihat dua orang ambruk menggelepar dengan leher terkoyak terbabat golok pemuda berbaju putih ketat itu. Baru saja kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja datang satu serangan cepat bagaikan kilat dari arah samping kanan. Bergegas Ganta menarik tubuhnya ke kiri, menghindari tebasan golok yang begitu cepat.
Golok itu hanya lewat sedikit saja di samping bahunya. Dan belum juga tubuhnya ditarik kembali, datang lagi satu serangan cepat dari arah belakang. Tak ada lagi kesempatan bagi Ganta untuk menghindar. Maka goloknya cepat dikebutkan ke belakang, melindungi punggungnya dari tebasan golok yang yang dari arah belakang.
Trang!
Begitu dua golok beradu, bergegas Ganta memutar tubuh seraya mengebutkan goloknya lurus-lurus. Tubuhnya sedikit merunduk, dan kakinya menghentak ke belakang, tepat ketika seorang pengeroyoknya mencoba mencari kesempatan.
"Hih!"
Diegkh!
Cras!
Sekali melakukan gerakan saja, Ganta telah berhasil menyarangkan satu tendangan keras bertenaga dalam penuh ke dada salah seorang penyerangnya. Dan goloknya pun kembali beraksi, membabat perut orang yang tadi membokong dari belakang.
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang terdengar melengking dan menyayat, berpadu keluhan pendek dari orang yang terkena tendangan pada dadanya. Ganta cepat memutar tubuh, dan goloknya kembali berkelebat cepat ke samping kanan.
Trang!
"Hait!"
Cepat-cepat Ganta melompat ke belakang begitu goloknya terasa beradu keras dengan sebuah senjata. Matanya sempat melirik pada pemilik senjata itu. Ternyata, Langkas sudah terjun dalam arena pertarungan, tepat ketika golok Ganta hampir menewaskan satu orang lagi anggota Kelompok Golok Setan.
"Bagus! Jangan hanya bisa membunuh orang tua tak berdaya," dengus Ganta mengejek.
"Setan...! Kubunuh kau, Keparat! Hiyaaat...!" Langkas benar-benar geram. Laki-laki kasar ini sudah kehilangan empat orang anak buahnya. Dan sekarang tinggal lima orang lagi yang tersisa. Apalagi, tampaknya mereka terlihat mulai gentar menghadapi pemuda berusia sekitar dua puluh tahun ini. Akan tetapi terjunnya Langkas ke dalam pertarungan, membuat semangat mereka kembali bangkit.
Kali ini Ganta bukan hanya menghadapi para kroco, tapi juga harus menghadapi Langkas yang dikenal berkepandaian cukup tinggi. Ganta yang sudah sering mendengar sepak terjang Kelompok Golok Setan, harus berhati-hati menghadapi pemimpinnya. Laki-laki kekar berwajah bengis itu terkenal licik dan punya segudang akal busuk untuk bisa melumpuhkan lawannya.
Pertempuran kali ini berjalan sengit. Lima orang anak buah Langkas seringkali tidak kebagian dalam penyerangan. Mereka seakan-akan begitu tersisih. Terlebih lagi, setelah pertarungan berjalan lebih dari lima jurus. Mereka benar-benar tidak punya kesempatan. Dan akhirnya, lima orang itu hanya jadi penonton saja. Sementara pertarungan kini tinggal satu lawan satu.
"Awas kepala...!" teriak Langkas tiba-tiba.
Bet!
"Uts!" Hampir saja golok di tangan Langkas memenggal leher Ganta. Untungnya, pemuda itu segera menarik kepala ke belakang. Namun tanpa disadari lebih dahulu, tiba-tiba saja Langkas menghentakkan kakinya ke arah dada pemuda berbaju putih ketat itu.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya tendangan pemimpin Kelompok Golok Setan itu, sehingga Ganta tak punya kesempatan menghindar lagi. Tendangan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu tepat menghantam dada.
Des!
"Akh...!" Ganta terpekik agak tertahan. Pemuda itu terpental keras sekali ke belakang. Dia jatuh bergulingan di tanah. Pada saat itu, Langkas melompat memburu. Goloknya langsung dibabatkan beberapa kali ke arah tubuh pemuda itu. Namun Ganta tangkas sekali berhasil menghindarinya, dengan bergulingan di tanah. Dan ketika ada sedikit kesempatan, bergegas tubuhnya melenting, bangkit dari tanah. Sungguh ringan sekali gerakannya. Ganta kini kembali berdiri dengan kedua kakinya yang mantap.
Namun belum juga Ganta dapat menarik napas lega, kembali datang satu serangan golok yang mengarah ke dada. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Cepat-cepat goloknya ditarik untuk melindungi dada. Satu benturan dua senjata golok tak dapat dihindari lagi.
Trang! "Akh...!" lagi-lagi Ganta terpekik. Pemuda berbaju putih ketat itu terhuyung-huyung ke belakang sambil meringis. Tulang-tulang jari tangan kanannya terasa nyeri sekali. Langsung disadari kalau kekuatan tenaga dalamnya masih kalah satu tingkat dibanding Langkas.
"Mampus kau! Hiyaaat...!" teriak Langkas keras menggelegar. Bagaikan kilat, pemimpin Kelompok Golok Setan itu melompat sambil mengebutkan goloknya ke arah leher. Sejenak Ganta terbeliak menghadapi serangan yang begitu cepat. Maka bergegas dia menjatuhkan diri ke tanah. Namun belum juga tubuhnya menyentuh tanah berdebu, mendadak saja Langkas cepat menarik tebasan goloknya. Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Yeaaah...!"
Diegkh!
"Aaakh....!" lagi-lagi Ganta memekik keras agak tertahan. Pemuda berbaju putih itu tersungkur mencium tanah. Namun Ganta cepat bangkit berdiri, meskipun agak limbung. Dan sebelum keseimbangan tubuhnya sempat dikendalikan, bagaikan kilat Langkas sudah kembali melompat menyerang. Goloknya dikebutkan ke arah leher pemuda itu. Kali ini Ganta benar-benar tidak mungkin bisa menghindari diri lagi.
"Modar kau! Hiyaaat..!"
"Mati aku...," desah Ganta terbeliak. Namun tiba-tiba saja....
Slap!
Bet!
"Heh...?!"
Golok yang sudah bergerak mengibas begitu cepat, tak dapat ditarik kembali. Namun Langkas jadi terkejut setengah mati! Karena begitu goloknya hampir saja membabat leher Ganta, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan yang begitu cepat menyambar tubuh pemuda pencuri itu. Sebelum ada yang menyadari, tubuh Ganta sudah lenyap bagai tertelan bumi. Dan Langkas hanya mampu membabat angin. Laki-laki tegap berwajah kasar dan bengis itu jadi kelabakan. Sebab, lawan yang sudah berada di ambang maut, mendadak saja lenyap begitu saja.
"Setan keparat...!" dengus Langkas menggeram berang. Dia, celingukan mencari-cari, tapi Ganta benar-benar lenyap tidak ketahuan rimbanya lagi. Langkas hanya bisa mendengus dan menggerutu kesal. Sungguh dia tidak tahu, ke mana perginya pemuda pencuri itu. Dengan bola mata berapi-api, dipandanginya lima orang anak buahnya yang juga kebingungan atas kejadian yang begitu cepat ini.
"Kalian lihat, ke mana anak keparat itu pergi?" tanya Langkas lantang.
Kelima orang itu hanya menggelengkan kepala saja, Mereka juga tidak tahu, ke mana lenyapnya Ganta. Langkas jadi bertambah geram. Goloknya segera dikibaskan sambil berteriak keras menggelegar. Sebatang pohon yang cukup besar, seketika tumbang terkena babatan golok. Suara menggemuruh menggetarkan jantung terdengar begitu pohon itu ambruk menghantam tanah.
"Ayo, tinggalkan tempat ini. Cepat...!" ajak Langkas belum hilang berangnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, kelima orang itu bergegas berlompatan mengikuti pemimpinnya yang tengah dilanda kemarahan yang amat sangat. Tak berapa lama kemudian, tempat itu kini jadi sunyi. Tak lagi sedap untuk dinikmati pemandangannya. Pepohonan bertumbangan saling tumpang tindih. Banyak tanah berlubang, serta bebatuan berhamburan menambah tidak sedapnya pemandangan di tempat bekas pertarungan. Belum lagi mayat-mayat yang bergelimpangan tak terurus, dan siap menjadi santapan binatang liar di hutan ini.
********************
Di mana sebenarnya Ganta berada? Tidak jauh dari kaki Gunung Garangan sebelah Utara, terdapat sebuah pondok tua yang sudah reyot dan hampir roboh. Dinding dindingnya berlubang di sana-sini, atapnya juga berantakan tak beraturan lagi. Di dalam pondok yang kecil itu Ganta duduk bersila dengan sikap bersemadi. Entah sudah berapa lama pemuda itu melakukan semadi.
Pakaiannya yang kotor berdebu, teronggok di sampingnya. Golok dan sebuah bungkusan kain berisi sebuah benda berbentuk kotak seperti tempat perhiasan para putri bangsawan juga teronggok di situ. Kedua mata pemuda itu terpejam rapat namun tarikan napasnya begitu teratur. Ada beberapa luka memar pada dadanya yang memerah. Juga dari sudut bibirnya masih terlihat bekas darah yang sudah mengering.
Keadaan di dalam pondok kecil ini juga begitu kumuh. Tak ada yang bisa dilihat, kecuali hanya sebuah dipan reyot dari bambu yang beralaskan anyaman tikar pandan, yang kini diduduki Ganta. Perabotan di situ pun hanya kuali dan berbagai peralatan dapur dari tanah liat. Lantai tanah dalam pondok itu terlihat lembab dan berlumut. Udaranya begitu pengap berbau tidak sedap.
Kriiiet...!
Pintu pondok yang semula tertutup rapat, perlahan terbuka. Dari luar, tampak muncul seorang laki-laki muda berjubah kuning gading bagai pendeta. Jari-jari tangan kanannya terus meniti butiran batu kuning keemasan yang teruntai membentuk kalung. Pemuda itu melangkah masuk dan tersenyum melihat Ganta masih duduk bersemadi dengan tekun sekali.
"Bagaimana keadaanmu, Ganta?" tanya pemuda berjubah kuning yang ternyata adalah Nada Prakasa, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Kalung Sakti.
Perlahan Ganta membuka matanya, lalu menarik napas lambat-lambat, dan menghembuskannya dengan nikmat sekali. Tubuhnya digeliatkan sedikit. Lalu dia melakukan beberapa gerakan tangan, dan kembali meletakkan kedua telapak tangannya di atas lutut. Pandangannya langsung tertuju pada Pendekar Kalung Sakti.
"Bagaimana keadaanmu, Ganta?" tanya Pendekar Kalung Sakti seraya duduk bersila didepan Ganta.
"Sudah membaik," sahut Ganta. "Aku tidak tahu, bagaimana harus mengucapkan terima kasih padamu."
"Apa yang kulakukan hanya sebagian kecil dari tugas seorang pendekar, Ganta. Kau memerlukan bantuan, dan aku tidak bisa menonton begitu saja tanpa melakukan sesuatu," jelas Pendekar Kalung Sakti, merendah.
"Bagaimana kau bisa begitu cepat menyelamatkan nyawaku?" tanya Ganta.
"Kebetulan aku lewat dekat tempat pertarunganmu. Semula aku tidak ingin ikut campur. Tapi melihat keadaanmu begitu terdesak, aku tidak bisa diam. Maaf kalau aku mencampuri urusanmu dengan Kelompok Golok Setan," Pendekar Kalung Sakti menguraikan dengan nada merendah.
"Langkas memang tangguh. Aku benar-benar tidak sanggup menghadapinya," Ganta agak mengeluh.
"Sebenarnya kau mampu menghadapi Langkas, Ganta. Hanya sayangnya kau masih terbawa nafsu amarah sehingga tidak dapat mengendalikan diri. Juga, kau tidak dapat membedakan gerak tipu maupun gerak sebenarnya. Jika lebih cermat dan dapat mengendalikan perasaan hati, aku yakin kau pasti dapat mengalahkannya."
"Kau hanya menghiburku saja, Pendekar Kalung Sakti."
"Aku berkata yang sebenarnya. Walaupun pemilik ilmu 'Ular Merah' telah meninggal tiga puluh tahun yang lalu, tapi ilmu-ilmu yang kau pelajari dari Kitab Ular Merah sudah mencapai tingkatan yang cukup tinggi. Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang ini, sebenarnya sudah sukar bagi orang seperti Langkas untuk mengalahkanmu. Apalagi jika kau sudah berhasil memperdalam dan menyempurnakannya lagi. Pasti kau akan diperhitungkan dalam rimba persilatan."
"Dari mana kau tahu kalau aku memperoleh semua ini dari Kitab Ular Merah?" tanya Ganta agak terperanjat.
"Bukan hanya aku saja yang tahu, tapi hampir seluruh tokoh persilatan sudah mengetahuinya. Kau telah menyimpan Kitab Ular Merah yang dicuri dari si Siluman Ular Merah di Puri Sangga Mayit," sahut Pendekar Kalung Sakti, tetap lembut dan tenang nada suaranya.
Ganta terdiam. Pandangannya begitu dalam, merayapi wajah tampan di depannya. Sungguh tidak pernah disangka kalau Kitab Ular Merah yang dicurinya dari Puri Sangga Mayit sudah begitu cepat menyebar. Dan memang, dalam dua tahun setelah menguasai Kitab itu, sudah beberapa kali dia harus bertarung mempertahankan nyawa. Seperti halnya dengan Kelompok Golok Setan, dan orang-orang berbaju merah yang dipimpin oleh seorang laki-laki tua berjubah merah. Ganta tidak tahu, siapa laki-laki tua berjubah merah itu. Tapi, jelas ada hubungannya dengan Kelompok Golok Setan. Terbukti, sikap Langkas kelihatan begitu hormat terhadap orang tua berjubah merah itu.
"Sekarang ini, kau benar-benar dalam kesulitan besar, Ganta. Kau membutuhkan seseorang yang dapat melindungimu dari kejaran orang-orang Siluman Ular Merah. Sudah pasti dia tidak akan melepaskanmu begitu saja, selama kitab yang kau curi darinya masih di tanganmu," jelas Pendekar Kalung Sakti lagi.
Ganta masih tetap terdiam membisu.
"Terlebih lagi sekarang ini. Sudah banyak tokoh rimba persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih yang berkeliaran mencarimu. Mereka juga ingin mendapatkan kitab itu. Karena kitab yang kau curi kebetulan kitab intisari ilmu-ilmu Siluman Ular Merah. Jika kau berhasil menguasainya secara sempurna, si Siluman Ular Merah sendiri pun akan kesulitan menghadapimu," sambung Pendekar Kalung Sakti.
"Kau tahu banyak tentang kitab itu, Pendekar Kalung Sakti. Apakah kau juga berminat untuk menguasainya?" ada nada kecurigaan di dalam suara Ganta.
Pendekar Kalung Sakti tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian tangannya merogoh ke balik lipatan jubahnya, dan mengeluarkan sesuatu yang terbungkus selembar kain sutra berwarna putih halus dengan lipatan rapi. Diletakkannya bungkusan kain sutra berbentuk kotak itu, tepat di depan Ganta.
"Aku diminta untuk mencarimu oleh seseorang yang memiliki benda ini. Dia berpesan, agar aku membawamu kepada seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Katanya, kau pasti kenal jika sudah melihat benda itu, Ganta," jelas Pendekar Kalung Sakti.
Sejenak Ganta terdiam memandangi bungkusan kain sutra putih di depannya. Kemudian ditatapnya Pendekar Kalung Sakti beberapa saat. Perlahan tangannya terulur mengambil bungkusan kain sutra putih itu, lalu membukanya dengan hati-hati sekali. Di dalam bungkusan kain sutra putih itu terdapat sebuah kotak kayu kecil berukir yang halus. Kembali dipandangnya Pendekar Kalung Sakti. Pendekar muda yang tampan dan berjubah bagai pendeta itu hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala. Ganta kemudian membuka tutup kotak itu.
"Oh...?!" Kedua mata Ganta terbeliak begitu melihat isi kotak kecil itu. Seakan-akan dia hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Pandangannya berpindah-pindah, dari kotak kayu kecil berukir itu kepada Pendekar Kalung Sakti. Untuk beberapa saat Ganta hanya terdiam membisu. Wajahnya agak memerah dan tubuhnya bersimbah keringat, sedikit bergetar. Pendekar Kalung Sakti jadi menyipit matanya melihat perubahan yang begitu mendadak.
EMPAT
"Siapa yang memberimu ini?" tanya Ganta setelah dapat menguasai diri.
"Seorang gadis di Karang Setra," sahut Pendekar Kalung Sakti.
"Kau tahu, siapa namanya?" tanya Ganta lagi.
"Sayang sekali, namanya tidak disebutkan. Dia hanya memberikan benda itu, dan memintaku untuk memberikannya padamu. Setelah itu, aku diminta mengantarmu untuk menemui Pendekar Rajawali Sakti di Istana Karang Setra," Pendekar Kalung Sakti menjelaskan singkat.
Ganta kembali terdiam. Dipandanginya sebuah batu hitam berbingkai emas, berbentuk sekuntum bunga yang ada di dalam kotak kayu berukir. Ditutupnya kembali kotak kayu itu. Pandangannya menerawang jauh ke depan dan begitu kosong tanpa arti. Ingatannya kembali berputar pada dua tahun yang lalu, ketika masih tinggal disebuah desa yang berada di wilayah Kerajaan Karang Setra. Tepatnya di Desa Batu Ceper.
"Widarti...," desis Ganta tanpa sadar.
"Mungkinkah dia masih hidup, dan masih berada di Karang Setra...?"
Baru saja Ganta akan turun dari dipan bambu, mendadak saja....
"Ganta keluar kau...!"
"Heh...?! Siapa itu...?" Ganta tersentak kaget.
Bukan hanya Ganta yang terkejut, tapi juga Pendekar Kalung Sakti sampai terlompat turun dari dipan bambu. Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian Ganta hendak melangkah keluar. Namun, Pendekar Kalung Sakti keburu mencegahnya.
"Kenakan dulu pakaianmu, Ganta," ujar Pendekar Kalung Sakti berbisik.
Ganta seakan-akan baru sadar, kalau saat ini tidak berpakaian. Bergegas diambilnya pakaian yang teronggok di atas dipan, kemudian bergegas dikenakannya. Goloknya diselipkan ke pinggang. Kotak kayu kecil itu kembali dibungkus dengan kain sutra putih, lalu disimpan di balik sabuknya yang terbuat dari kulit.
"Siapa orang yang di luar itu, Pendekar Kalung Sakti?" tanya Ganta, seperti untuk dirinya sendiri.
"Mungkin orang-orangnya Siluman Ular Merah, atau Kelompok Golok Setan. Mungkin juga orang-orang dari rimba persilatan yang juga ingin menguasai kitab yang kau curi dari Puri Sangga Mayit," sahut Pendekar Kalung Sakti.
"Kenapa orang-orang rimba persilatan selalu membuang nyawa percuma hanya untuk sebuah kitab...?" kembali Ganta menggumam seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.
"Sudah menjadi hukum rimba yang tidak bisa ditawar lagi, Ganta. Sesuatu yang berharga dan dapat memperkuat diri, selalu menjadi incaran orang. Tidak ubahnya orang-orang yang bisa mencari harta kekayaan dan kesenangan dengan segala cara. Baik yang terpuji, maupun yang dikutuk Sang Hyang Widi. Dan sekarang, kau memiliki sebuah kitab yang sangat berharga. Tidak heran jika berita itu cepat tersebar, dan kini kau harus menghadapi mereka," jelas Pendekar Kalung Sakti.
Ganta mendengus berat, kemudian melangkah tegap keluar dari pondok kecil ini. Pendekar Kalung Sakti mengikuti dari belakang. Di depan pondok tampak sudah berkumpul orang-orang berbaju merah. Di antara mereka, terlihat Langkas dan lima orang anak buahnya. Mereka semua menggenggam golok terhunus. Ganta memandangi mereka dengan sinar mata tajam. Ada sekitar tiga puluhan banyaknya, atau mungkin lebih. Seakan-akan tempat yang kecil ini tidak dapat lagi menampung orang-orang yang memadati halaman pondok itu.
"Firasatku mengatakan, ada beberapa orang berkepandaian tinggi yang hadir di sekitar tempat ini, Ganta," bisik Pendekar Kalung Sakti memperingatkan.
"Merekakah orang-orang persilatan...?" Tanya Ganta juga berbisik.
"Aku kira begitu, Ganta. Hati-hatilah. Kalau ada kesempatan, lebih baik cepat pergi dari sini."
Ganta jadi tercenung. Menghadapi Langkas saja, hampir mati. Apalagi untuk menghadapi begini banyak orang, ditambah orang-orang rimba persilatan yang masih tersembunyi dan tidak jauh dari sekitar pondok kecil ini. Meskipun di sampingnya ada Pendekar Kalung Sakti, tapi rasanya memang sukar untuk dapat lolos. Terlebih lagi menyelamatkan diri.
"Walaupun harus mati, tidak bakalan aku sudi menyerahkan kitab itu, Pendekar Kalung Sakti," desis Ganta bertekad.
Pendekar Kalung Sakti menepuk pundak pemuda itu. Hatinya kagum terhadap kekerasan hati Ganta. Meskipun mendapat sebuah kitab dengan cara mencuri, namun benda yang diperolehnya berharga sekali. Bahkan menjadi incaran tokoh-tokoh rimba persilatan. Pendekar Kalung Sakti harus membela Ganta. Karena jika kitab itu berhasil dikuasai kembali Siluman Ular Merah, tidak dapat dibayangkan, bagaimana jadinya dunia persilatan ini. Tokoh sesat itu bisa semakin merajalela dan sukar dicari tandingannya. Siluman Ular Merah memang belum sempat seluruhnya mempelajari intisari 'Ilmu Siluman Merah', karena kitab itu telah keburu dicuri Ganta.
"Langkas! Kau ingin mendapatkan kitab itu? Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa mendapatkannya!" tantang Ganta lantang.
"Bedebah! Kau memang harus mampus, Bocah Setan!" geram Langkas berang.
Sret! Ganta mencabut goloknya, dan ditempatkan melintang di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam, merayapi orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka semua tinggal menunggu perintah saja. Dan sebentar kemudian....
"Serang dan bunuh bocah keparat itu...!" perintah Langkas, lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Bagaikan batu-batu yang longsor dari atas bukit, orang-orang berbaju merah itu meluruk deras sambil berteriak-teriak membakar semangat pertempuran. Golok mereka teracung di atas kepala. Dan mereka yang berada di depan, langsung berlompatan seraya mengibaskan golok ke arah Ganta. Tak ada seorang pun yang mempedulikan Pendekar Kalung Sakti.
Bagaikan kesetanan, Ganta mengamuk mengibaskan goloknya dengan cepat dan bertubi-tubi. Jerit dan erangan kesakitan menggema, bercampur baur dengan teriakan dan pekikan pertempuran yang membahana. Tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan satu persatu. Dalam waktu sebentar saja, sudah lebih sepuluh orang yang tewas. Bau anyir darah mulai tercium menyemaraki udara sekitarnya.
"Ganta benar-benar berbakat. Kalau dia mendapat gemblengan dan mampu menyempurnakan ilmu Ular Merah', aku yakin, dunia persilatan akan dibuat gempar," gumam Pendekar Kalung Sakti.
Dalam beberapa jurus, Ganta memang masih terlihat tangguh menghadapi lawan-lawannya. Tapi menghadapi begitu banyak lawan yang seakan-akan tidak pernah habis, tenaganya jadi terkuras juga. Gerakan-gerakannya mulai menurun, dan mulai tampak kewalahan. Beberapa kali pukulan dan tendangan lawan bersarang di tubuhnya. Namun Ganta benar-benar tak mengenal gentar. Meskipun di tubuhnya sudah terdapat luka dari dua bacokan golok, dia tetap gigih bagaikan banteng liar.
"Dia bisa mati kalau terus-menerus begini," desis Pendekar Kalung Sakti jadi cemas.
Keadaan Ganta memang sudah begitu mengkhawatirkan. Darah terus mengucur deras dari tubuhnya.. Dan kelihatannya dia bertambah lemah saja. Serangan-serangannya sudah tidak lagi menggigit. Hal ini membuat Pendekar Kalung Sakti semakin cemas.
"Aku harus cepat bertindak," desisnya. "Hiyat..!"
Pendekar Kalung Sakti langsung melompat cepat bagai kilat, masuk dalam kancah pertempuran. Kalung emasnya berkelebat cepat menghajar orang-orang yang mengeroyok Ganta. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terdengar saling sambut disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh berlumuran darah.
"Ganta! Cepat pergi dari sini!" seas Pendekar Kalung Sakti keras menggelegar.
"Tidak...! Aku harus membunuh mereka semua, atau aku yang mati di sini!" sahut Ganta lantang.
"Kau jangan bertindak nekat Ganta!"
"Mereka atau aku yang harus mati...! Hiyaaat..!"
"Gila! Dia benar-benar sudah nekat," dengus Pendekar Kalung Sakti.
Tak ada pilihan lain bagi pemuda bernama Nada Prakasa ini. Dia terpaksa bertarung mengurangi kekuatan lawan-lawan pemuda itu. Dengan kalung emas saktinya, pendekar yang selalu mengenakan jubah bagai seorang pendeta itu memang sukar ditandingi. Apalagi bagi orang-orang yang berkepandaian jauh lebih rendah darinya. Sehingga dalam beberapa gebrakan saja, sudah tidak terhitung lagi orang yang jatuh bergelimpangan tak bernyawa.
Namun orang-orang berbaju merah itu seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Entah dari mana datangnya, mereka selalu muncul dan cepat masuk dalam pertempuran. Pendekar Kalung Sakti pun hampir tidak percaya kalau orang-orang berbaju merah yang dikenalnya sebagai anak buah Siluman Ular Merah begitu besar jumlahnya. Dan dia cepat menyadari kalau sekitar tempat ini tentu sudah terkepung rapat Tak ada lagi celah untuk dapat meloloskan diri. Pada saat yang begitu gawat, tiba-tiba sebuah bayangan besar menggantung di angkasa. Dan....
"Khraaagkh...!"
Bagaikan kilat, bayangan besar keperakan itu menukik ke arah pertarungan, langsung menyambar Pendekar Kalung Sakti. Gerakannya begitu cepat bagaikan kilat, sehingga Pendekar Kalung Sakti tak sempat lagi berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuhnya sudah membumbung tinggi keangkasa. Namun begitu dia berpaling ke atas....
"Itu Ganta, yang baju putih. Dia sudah cukup parah...!" teriak Pendekar Kalung Sakti.
"Khraaagkh...!"
"Bertahanlah sedikit, Pendekar Kalung Sakti!" terdengar sahutan menggema yang sangat berwibawa sekali.
Seketika itu juga, kembali bayangan besar itu menukik. Mereka yang mengeroyok pemuda berbaju putih ketat itu jadi terpana, ketika melihat sesosok bayangan besar itu tiba-tiba melesat ke arena pertempuran. Lalu sebelum mereka menyadari kejadian selanjutnya, bayangan besar itu telah melesat ke angkasa lagi sambil menyambar tubuh Ganta yang sudah berlumuran darah. Tak ada seorang pun yang berbuat sesuatu. Mereka hanya saling pandang, seakan-akan terkesima oleh kejadian yang sangat cepat itu. Terlebih lagi Langkas yang pada saat itu hampir saja menebas leher Ganta.
"Setan alas...!" geram Langkas memaki.
Dua kali dia kehilangan Ganta pada saat-saat yang teramat gawat, dan dengan cara yang sukar diterima akal sehat. Langkas hanya bisa memaki, karena Ganta dan Pendekar Kalung Sakti benar-benar lenyap ditolong sesosok bayangan besar yang diduganya seekor burung raksasa!
"Hal ini tidak bisa didiamkan lagi. Aku harus melaporkan pada Siluman Ular Merah!" dengus Langkas menahan geram.
********************
Langkas duduk bersimpuh di lantai yang keras dan berkilat sambil tertunduk dalam. Lima orang anak buahnya duduk di belakang laki-laki kekar bertampang bengis itu. Di depan mereka, berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berkepala tengkorak yang ujungnya runcing. Wajah laki-laki tua itu kelihatan memerah, seolah-olah menahan kemarahan yang hampir memuncak.
Sepasang bola matanya berkilatan tajam merayapi orang-orang yang duduk bersimpuh di lantai. Di dalam ruangan yang sangat besar dan tampak megah ini, hampir penuh sesak oleh orang berbaju merah. Tak ada seorang pun yang berani mengangkat kepalanya. Begitu sunyinya, sampai-sampai desiran angin yang begitu lemah pun terdengar jelas sekali.
"Kalian benar-benar tidak berguna! Menghadapi bocah ingusan saja tidak becus!" dengus laki-laki tua berjubah merah itu, dingin menggetarkan.
"Anak itu dibantu seorang pendekar, Siluman Ular Merah," ujar Langkas tanpa mengangkat kepalanya.
"Hanya satu orang yang membantu, dan aku harus kehilangan begitu banyak orang, heh...?!" bentak laki-laki tua yang ternyata adalah Siluman Ular Merah, berang.
Tak ada seorang pun yang berani membuka suara lagi Mereka semakin dalam tertunduk. Siluman Ular Merah menghempaskan dirinya di kursi yang memiliki sandaran tinggi. Ujung tongkatnya dihentak-hentakkan ke lantai, sehingga bunyinya seakan-akan seperti detak-detak penentu kematian. Membuat semua yang berada di dalam ruangan itu semakin bergetar, tak mampu lagi mengangkat kepala.
"Siapa pendekar itu, Langkas?" tanya Siluman Ular Merah, agak rendah nada suaranya.
"Pendekar Kalung Sakti," sahut Langkas seraya mengangkat kepalanya perlahan.
"Pendekar Kalung Sakti...," gumam Siluman Ular Merah perlahan, hampir tidak terdengar suaranya. "Kau tahu, mengapa dia membantu bocah itu?"
"Aku sempat mendengar beberapa pembicaraan mereka di dalam pondok, Siluman Ular Merah. Dia sengaja menemui Ganta untuk dibawa ke Karang Setra. Kelihatannya pendekar itu tidak peduli dengan Kitab Ular Merah yang dicuri Ganta dari sini," jelas Langkas.
"Karang Setra...? Bukankah itu sebuah kerajaan di daerah Kulon?"
"Benar! Dan rajanya bernama Prabu Rangga Pati Permadi. Dia juga seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," sahut Langkas memberi penjelasan.
"Mau apa dia ke sana?" Siluman Ular Merah seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mereka hendak menemui Pendekar Rajawali Sakti di Istana Karang Setra," Langkas menyahuti tanpa diminta lagi.
Brak!
Siluman Ular Merah menggebrak meja yang ada di sampingnya. Meja dari kayu jati tebal dan bertatakan batu pualam putih itu seketika hancur berkeping-keping terkena pukulan laki-laki tua berjubah merah ini. Wajahnya semakin bertambah memerah. Gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang kembali memuncak.
"Setan! Ini tidak boleh terjadi...! Wanita keparat itu pasti telah menyerahkan 'Bunga Hitam' pada Pendekar Kalung Sakti untuk diserahkan pada Pendekar Rajawali Sakti. Kau tahu, Langkas. Benda itu dapat meningkatkan kesaktianku! Jangan sampai benda itu jatuh ke tangan Pendekar Rajawali Sakti!" desis Siluman Ular Merah.
Dipandanginya Langkas dan semua orang yang berada di ruangan besar ini. Sedangkan Langkas sudah kembali tertunduk. Untuk beberapa saat, tak ada suara sedikit pun yang terdengar. Semuanya membisu, menunggu keputusan yang akan diambil Siluman Ular Merah.
"Langkas...," panggil Siluman Ular Merah.
Langkas kembali mengangkat kepala, memandang pada laki-laki tua berjubah merah itu. Agak bergetar juga hatinya melihat sinar mata Siluman Ular Merah yang menusuk, bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja di depannya.
"Bawa semua kekuatan yang ada. Aku yakin, mereka pasti menempuh jalan Utara. Cegat mereka di sana. Jangan pedulikan prajurit-prajurit Karang Setra. Kekuatan mereka tidak ada artinya. Kau mengerti, Langkas...?" perintah Siluman Ular Merah.
"Mengerti," sahut Langkas seraya mengangguk.
"Bersiaplah sekarang juga. Aku sendiri yang akan memimpin kalian semua."
"Baik, Siluman Ular Merah."
Langkas bangkit berdiri dan membungkukkan badannya sedikit, kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan ruangan besar itu. Semua orang yang ada di ruangan itu ikut berdiri. Serentak mereka membungkuk memberi hormat, lalu berjalan ke luar dengan teratur sekali.
Tidak berapa lama, ruangan jadi sepi. Tak ada seorang pun di sana, kecuali Siluman Ular Merah yang masih duduk di kursi megah bagai sebuah singgasana para raja. Beberapa saat dia masih duduk di sana, kemudian bangkit berdiri. Ayunan kakinya begitu mantap menuju sebuah pintu yang berada tidak seberapa jauh dari kursi megah itu. Didorongnya pintu itu dengan ujung tongkatnya. Kemudian, kakinya melangkah masuk. Ternyata di balik pintu itu terdapat sebuah lorong yang tidak begitu panjang.
Siluman Ular Merah terus melangkah menyusuri lorong yang hanya diterangi cahaya api obor. Laki-laki tua itu berbelok pada sebuah tikungan yang memiliki pintu dari besi baja tebal dan kokoh. Suara berderit terdengar mengiris hari saat Siluman Ular Merah membuka pintu besi itu. Cahaya lampu pelita dari buah jarak menerangi sebuah ruangan berdinding batu. Hanya ada satu pelita yang menerangi ruangan berukuran tidak begitu besar itu.
Siluman Ular Merah melangkah masuk, lalu kembali menutup pintu. Tidak ada barang-barang di dalam ruangan ini, kecuali sebuah dipan kayu yang terletak di sudut ruangan ini. Di atas dipan kayu itu duduk seorang wanita yang wajahnya lesu tanpa gairah hidup. Sinar matanya begitu redup kala menatap Siluman Ular Merah. Namun dari keredupan cahaya matanya, tercermin kebencian yang amat sangat
"Kau berhasil. Tapi sayang, bukan ke sini tujuannya," kata Siluman Ular Merah perlahan.
"Phuih! Kau tidak akan bisa memperoleh apa-apa dariku, iblis!" dengus wanita itu ketus.
"He he he.... Asal tahu saja, tidak ada seorang pun yang dapat mengeluarkanmu dari sini. Dan sebentar lagi, dia akan mampus. He he he...," Siluman Ular Merah tertawa terkekeh.
"Huh! Sampai mati pun, aku tidak akan mengatakan apa-apa padamu, iblis!"
Sambil tertawa terkekeh menyeringai, Siluman Ular Merah menghampiri wanita itu. Sepasang bola matanya berkilatan, memancarkan cahaya penuh gairah membara. Wanita berkulit kuning langsat itu jadi bergidik. Tubuhnya langsung bergeser, hingga merapat ke dinding. Bagaikan seekor serigala lapar melihat kelinci gemuk, laki-laki tua itu melompat menerkam wanita itu. Gerakannya begitu cepat, sehingga wanita berpakaian koyak itu tidak dapat lagi menghindar.
"Auw...!" Wanita itu menjerit dan meronta, mencoba melepaskan diri. Namun pelukan Siluman Ular Merah begitu kuat. Sia-sia saja dia berontak, meskipun sudah berusaha keras. Mereka bergulingan di balai-balai bambu yang reyot. Wanita itu mencoba menghindari hunjaman ciuman Siluman Ular Merah yang begitu gencar menjelajahi seluruh wajah dan lehernya.
"Kurang ajar! Lepaskan...!" jerit wanita itu terus meronta.
Namun jeritan dan rontaan wanita itu tidak dihiraukan. Bahkan malah membuat Siluman Ular Merah semakin bergairah. Kasar sekali dia merenggut baju yang sudah hampir tidak berbentuk lagi. Sepasang bukit kembar yang putih dan indah mencuat keluar, membuat bola mata Siluman Ular Merah berkilatan penuh gairah.
"Setan...! Iblis! Kubunuh kau, Keparat...!" maki wanita itu menjerit-jerit.
Baru saja Siluman Ular Merah berhasil merampas baju wanita yang bernama Widarti itu, tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu. Laki-laki tua itu mendengus sambil berpaling menatap pintu.
"Setan....!" maki Siluman Ular Merah berang. Cepat dia melompat turun dari balai-balai, langsung bergegas ke pintu. Dengan kasar dibukakannya pintu kamar ini. Di sana Langkas tampak berdiri sambil membungkuk sedikit.
"Mau apa kau?" bentak Siluman Ular Merah.
"Semua sudah siap. Tinggal menunggu...."
Langkas tidak melanjutkan. Matanya melirik ke dalam kamar. Kepalanya langsung tertunduk begitu melihat Widarti tergolek tanpa pakaian. Siluman Ular Merah berpaling sebentar menatap Widarti, lalu bergegas melangkah keluar. Pintu terbanting keras menutup kembali. Sementara Widarti hanya dapat menyesali nasib buruknya. Pakaiannya yang teronggok disampingnya diraih, lalu dikenakan kembali meskipun sudah tidak sempurna lagi untuk menutupi tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya menyembul keluar, menampakkan kulit yang putih halus.
"Dewata Yang Agung..., tuntunlah Kakang Ganta ke sini. Rohku tidak akan tenang sebelum melihat iblis tua keparat itu mampus. Aku bersumpah, akan kupenggal batang lehernya. Oh...," rintih Widarti lirih.
********************
LIMA
Sementara itu, tidak jauh dari sebelah Utara perbatasan Kerajaan Karang Setra, tampak dua orang laki-laki muda tengah duduk bersila berdampingan di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Mereka tidak berkedip memperhatikan seorang pemuda tanpa mengenakan baju tengah bersemadi di atas sebongkah batu yang cukup besar dan pipih. Tidak jauh dari tempat itu, terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Binatang itu mendekam diam sambil memperhatikan pemuda yang tengah melakukan semadi di bawah teriknya sinar matahari.
"Untung kau cepat datang, Pendekar Rajawali Sakti," desah pemuda tampan berjubah kuning bagai pendeta.
Sedangkan pemuda yang duduk disampingnya berpaling sedikit, lalu memberi senyuman tipis. Bajunya rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di punggungnya.
"Aku menerima suratmu, dan langsung berangkat," jelas pemuda berbaju rompi putih yang tak lain adalah Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia sudah bersamamu, Pendekar Rajawali Sakti. Maka, sekarang aku harus pergi," kata pemuda berbaju kuning gading bagai pendeta. Dia adalah Nada Prakasa, yang lebih dikenal dengan gelar Pendekar Kalung Sakti.
"Kenapa harus tergesa-gesa, Pendekar Kalung Sakti?" Rangga ingin mencegah.
"Tugasku sudah selesai, Pendekar Rajawali Sakti."
"Lalu, bagaimana dengan Widarti?" tanya Rangga.
Pendekar Kalung Sakti tidak segera menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Pandangannya kembali tertuju pada pemuda yang tengah bersemadi. Sebentar kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di sampingnya. Dalam surat yang dikirimkan untuk Pendekar Rajawali Sakti, semuanya memang sudah diceritakannya. Jadi tidak perlu lagi harus dijelaskan lagi secara terperinci. Pendekar Kalung Sakti yakin kalau pemuda berbaju rompi putih ini sudah tanggap terhadap keadaan yang terjadi.
Waktu itu, Pendekar Kalung Sakti telah menyelamatkan Widarti dari keroyokan Kelompok Golok Setan yang telah bergabung dengan Siluman Ular Merah. Namun sebelumnya, Widarti secara diam-diam telah menyerahkan Bunga Hitam pada Pendekar Kalung Sakti untuk diserahkan pada Ganta. Dan Ganta harus mengantarkannya pada Pendekar Rajawali Sakti.
Bunga Hitam sebenarnya memang warisan keluarga Ganta. Benda itu memang tengah dicari-cari oleh tokoh-tokoh rimba persilatan, karena keampuhannya dalam meningkatkan kesaktian. Dan karena menjadi rebutan, maka hanya Pendekar Rajawali Saktilah yang mampu mengamankannya.
Setelah Widarti dapat diselamatkan, ternyata Pendekar Kalung Sakti harus berhadapan dengan Siluman Ular Merah. Laki-laki tua itu sebenarnya hanya ingin menyandera Widarti, adik Ganta. Hal ini dilakukan karena Ganta telah mencuri Kitab Ular Merah dari Puri Sangga Mayit. Dan pada akhirnya Pendekar Kalung Sakti dapat dikalahkan oleh Siluman Ular Merah sedangkan Widarti berhasil diculik oleh laki-laki tua itu.
Sebelum berhadapan dengan Siluman Ular Merah, Pendekar Kalung Sakti telah mengirimkan sepucuk surat pada Pendekar Rajawali Sakti lewat seorang pedagang dari Karang Setra. Dan pada kenyataannya, surat itu telah dibaca oleh Pendekar Rajawali Sakti hingga dia datang ke sini.
"Aku hanya berharap, dia tidak mengalami sesuatu yang buruk," desah Pendekar Kalung Sakti perlahan, seakan-akan bicara untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak pernah bertemu muka dengan si Siluman Ular Merah. Dan juga, aku tidak tahu kalau dia berada di wilayah kerajaanku ini. Tapi aku tidak akan menolak siapa pun yang meminta bantuanku," jelas Rangga seperti ingin meyakinkan.
"Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Sudah sering dirimu kudengar di Selatan. Aku bangga bisa berkenalan denganmu, meskipun dalam suasana yang tidak menyenangkan ini," sambut Pendekar Kalung Sakti.
"Terima kasih. Mudah-mudahan perkenalan ini akan berlanjut menjadi persahabatan."
"Aku pun berharap begitu."
Mereka kemudian saling berjabatan tangan hangat dan penuh persahabatan. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Mungkin sibuk dengan pikiran masing-masing. Dan hampir bersamaan mereka mengarahkan pandangan kembali pada pemuda yang tengah tekun bersemadi.
"Apa Ganta bisa pulih seperti semula kembali, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Kalung Sakti.
"Aku harap begitu. Lukanya tidak terlalu parah," sahut Rangga.
"Aku kagum. Ternyata kau pandai juga mengobati orang," puji Pendekar Kalung Sakti.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Berapa lama dia harus bersemadi?"
"Sampai senja nanti. Dia terlalu banyak menguras tenaga dan mengeluarkan darah. Perlu dua hari lagi untuk memulihkan tenaganya," jelas Rangga.
"Kasihan dia...," desah Pendekar Kalung Sakti bergumam.
"Segala sesuatu mengandung akibat, Pendekar Kalung Sakti,"
"Benar. Tapi, dia tidak tahu akibat dari perbuatannya."
"Aku tidak yakin, dia mencuri kitab itu karena tidak sengaja," agak menggumam nada suara Rangga.
"Maksudmu?"
"Di dalam suratmu, kau mengatakan Widarti sekarang ini berada di tangan Siluman Ular Merah. Dan gadis itu adalah adik Ganta...."
"Memang benar," sahut Pendekar Kalung Sakti.
"Lalu, bagaimana kau bisa bertemu Widarti?"
"Aku pernah bermaksud menolongnya dari keroyokan Kelompok Golok Setan tanpa disengaja. Dia sempat menitipkan sebuah benda padaku, dan berpesan agar aku mencari Ganta agar benda itu diberikan padanya. Kemudian Widarti juga minta tolong agar benda ini diserahkan padamu...," dengan singkat Pendekar Kalung Sakti menceritakan pertemuannya dengan Widarti.
Dia juga menceritakan pertarungannya melawan Siluman Ular Merah. Tanpa malu-malu dia mengakui kalau hampir mati di tangan laki-laki tua berjubah merah itu. Sampai di situ Rangga sudah tahu kelanjutannya. Pendekar Rajawali Sakti itu menemukan Pendekar Kalung Sakti dalam keadaan terluka parah. Itu awal pertemuan mereka. Tapi Pendekar Kalung Sakti waktu itu tidak tahu kalau orang yang menolongnya justru Pendekar Rajawali Sakti yang sekarang berada disampingnya.
"Seharusnya aku tahu kalau waktu itu adalah kau, Pendekar Rajawali Sakti. Maafkan atas ketidaktahuan ku," ucap Pendekar Kalung Sakti.
"Lupakanlah. Saat itu kita sama-sama dikejar waktu," sambut Rangga diiringi senyuman.
"Boleh aku pergi sekarang?" pinta Pendekar Kalung Sakti berpamitan.
"Sebenarnya aku tidak ingin menahanmu, Pendekar Kalung Sakti. Tapi, siapa lagi yang tahu tempat persembunyian Siluman Ular Merah...?" agak berat nada suara Rangga.
"Ha ha ha...! Tampaknya kehadiranku didaerah Kulon ini belum tuntas," ujar Pendekar Kalung Sakti.
"Tampaknya begitu."
"Baiklah. Kau akan kuantarkan ke sana. Kapan?"
"Tunggu sampai Ganta selesai bersemadi"
Pendekar Kalung Sakti mengangkat bahunya.
********************
Sampai hari berganti malam, ternyata Ganta belum juga bangun dari semadinya. Dan baru tengah malam pemuda itu bangkit dari semadi. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Pendekar Kalung Sakti yang duduk menunggui di depan api unggun.
"Bagaimana perasaanmu, Ganta?" tanya Pendekar Kalung Sakti mendahului, begitu Ganta baru duduk di sampingnya.
"Aku tidak tahu, harus bagaimana mengucapkan terima kasih," ujar Ganta.
"Kau tidak perlu sungkan begitu, Ganta. Apa yang kami lakukan merupakan tugas sebagai pendekar," Rangga menyahuti.
Untuk beberapa saat mereka terdiam, dan sama-sama memandang ke api dengan pikiran masing-masing. Ganta merogoh kantung sabuknya. Dikeluarkannya kotak kayu kecil, lalu dibuka penutupnya. Dipandanginya isi kotak kayu kecil itu lekat-lekat. Seketika terbayang wajah seorang gadis yang dulu pernah dekat dengannya. Gadis satu-satunya yang sedarah dengannya, dan kini entah berada di mana.
"Kata adikku, isi kotak ini telah menjadi rebutan kaum rimba persilatan. Dia juga berpesan agar aku menyerahkan benda ini padamu untuk diselamatkan. Terimalah," ujar Ganta.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi kotak kayu berukir itu, lalu menyodorkan tangannya. Diterimanya kotak kayu itu, lalu dibuka penutupnya. Mata Rangga agak menyipit, memperhatikan benda yang ternyata Bunga Hitam yang akhir-akhir ini jadi rebutan tokoh rimba persilatan.
"Baiklah. Benda ini akan kusimpan baik-baik. Dan siapa saja yang berniat merebutnya, harus berhadapan denganku," tegas Pendekar Rajawali Sakti.
Sejenak suasana di tempat itu jadi hening kembali. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
"Kami akan membantu membebaskan adikmu, Ganta," tegas Rangga perlahan, namun cukup untuk memecah keheningan.
Ganta menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat Wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa dia masih hidup...?" terdengar ragu-ragu nada suara Ganta.
"Kuharap demikian," sahut Rangga.
"Ganta! Kau tahu di mana adikmu, bukan...?" tanya Pendekar Kalung Sakti.
Ganta terdiam tidak langsung menjawab. Kepalanya bergerak tertunduk. Beberapa kali napasnya di tarik dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan dia hendak melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak menghimpit seluruh dadanya.
"Ceritakan seluruhnya pada kami, Ganta," pinta Rangga. "Kudengar, kau telah mencuri sebuah kitab. Tapi aku yakin, kau mencuri kitab itu bukan karena sengaja. Kau pasti punya maksud tersendiri."
"Sebenarnya ini persoalan lama. Antara keluargaku dengan Siluman Ular Merah...," tutur Ganta setelah menarik napas dalam-dalam. Seakan dia begitu berat untuk menceritakan hal yang sebenarnya pada kedua pendekar muda ini.
"Teruskan, Ganta," pinta Rangga lagi.
"Aku sebenarnya tidak mencuri, tapi mengambil milikku sendiri. Milik keluargaku yang diambil Siluman Ular Merah. Kitab itu sebenarnya bukan berisi jurus-jurus Siluman Ular Merah saja. Dan memang rupanya orang tua itu sudah merubah dan menyisipkan beberapa jurus yang dimiliki. Bahkan telah menggabungkan beberapa jurus warisan keluargaku dengan miliknya. Itu sebabnya kitab ini berharga sekali, karena memiliki jurus-jurus yang langka dan sangat ampuh."
Rangga dan Pendekar Kalung Sakti saling berpandangan. Mereka tidak menyangka kalau kitab yang diributkan itu sebenarnya kepunyaan keluarga Ganta. Jadi Siluman Ular Merah sendiri yang sebenarnya mencuri kitab itu dari keluarga pemuda ini. Mereka kembali memandang Ganta yang sudah melanjutkan ceritanya lagi.
"Cukup lama juga aku mengamati kebiasaan Siluman Ular Merah di Puri Sangga Mayit. Lalu aku pura-pura jadi muridnya. Dua bulan aku disana, sehingga bisa keluar masuk puri dengan leluasa. Waktu Siluman Ular Merah bersemadi, kesempatan itu kumanfaatkan. Aku tahu kalau dia menyimpan kitab itu di ruang penyimpanan senjata dan kitab-kitab lain. Dan ternyata aku berhasil mengambil dan lari dari sana."
"Kapan itu terjadi?" tanya Rangga.
"Lebih dua tahun lalu," sahut Ganta.
"Dan selama dua tahun ini kau mempelajarinya?" tanya Pendekar Kalung Sakti.
"Benar. Tapi aku terpaksa pindah-pindah tempat, karena Siluman Ular Merah terus mencariku."
"Lalu, di mana kau simpan kitab itu?" tanya Rangga.
"Ikut terbakar bersama rumah Ki Basra," sahut Ganta.
"Kau sudah mempelajari semuanya?" selak Pendekar Kalung Sakti, mau tahu lagi. Sebab dia sudah melihat Ganta memperagakan jurus-jurus dari kitab itu.
Ganta menggeleng. "Baru sebagian saja."
"Baru sebagian saja, tapi kau sudah cukup tangguh, Ganta," puji Pendekar Kalung Sakti, yang telah beberapa kali melihat pertarungan pemuda itu.
"Tapi belum cukup untuk membalas dendam keluargaku terhadap Siluman Ular Merah," Ganta agak mengeluh.
"Dendam bukan satu-satunya cara menyelesaikan persoalan, Ganta," sergah Rangga lembut.
"Aku sudah bersumpah untuk membalas sakit hati keluargaku. Tapi sekarang semuanya pupus. Aku menyesal tidak bisa melindungi Widarti. Dia pasti begitu menderita berada di tangan keparat itu."
"Kami akan membantu sebatas kemampuan untuk membebaskan adikmu, Ganta. Percayalah. Widarti sudah meminta Pendekar Kalung Sakti untuk meminta bantuanku," ujar Rangga meyakinkan.
"Terima kasih," ucap Ganta. "Widarti sebenarnya bukan wanita lemah. Dia sering mengembara menjelajahi rimba persilatan. Jadi aku tidak heran jika dia mengenalmu."
"Sebenarnya aku belum pernah bertemu dengannya," Rangga mengakui dengan jujur.
"Tapi julukanmu sudah sering terdengar. Bahkan aku sering mendengar cerita tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti."
Rangga hanya tersenyum saja. Memang tidak mungkin dihindari kalau julukannya sudah begitu dikenal banyak orang, meskipun belum banyak yang pernah bertemu langsung.
"Sudah terlalu malam. Sebaiknya kau beristirahat, Ganta. Besok pagi-pagi sekali kita berangkat untuk membebaskan adikmu," jelas Rangga.
Ganta tidak membantah. Dia memang lemah sekali. Seluruh tubuhnya terasa nyeri dan begitu penat. Setelah berbasa-basi sebentar, kemudian tubuhnya direbahkan tidak jauh dari api unggun. Sedangkan Rangga dan Pendekar Kalung Sakti berjaga-jaga malam ini.
"Aku tidak yakin, apa kita mampu menghadapi orang-orang Siluman Ular Merah yang begitu besar jumlahnya,'" desah Pendekar Kalung Sakti, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.
Rangga hanya tersenyum saja. Bisa dimaklumi, seseorang yang pernah kalah dalam pertarungan, tentu harus berpikir dua kali untuk menghadapi kembali. Kecuali bila sudah mempersiapkan diri terlebih dahulu. Sedangkan Pendekar Kalung Sakti tidak punya kesempatan untuk mempersiapkan diri dan mematangkan jurus-jurusnya. Rasa kurang percaya diri sudah barang tentu menyelimuti hatinya.
********************
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum menampakkan diri, ketiga pemuda itu sudah beranjak pergi menuju Puri Sangga Mayit, tempat bersemayamnya Siluman Ular Merah, Pendekar Kalung Sakti dan Ganta berjalan kaki menembus kelebatan hutan, sedangkan Rangga menunggang Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang berbulu putih keperakan.
Perjalanan melalui angkasa memang lebih cepat, sehingga Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat sampai ke tempat tujuan. Namun Rajawali Putih belum diperintahkan turun, meskipun sudah berada di atas bangunan sebuah puri yang cukup besar dan megah.
"Putih, kau melihat ada orang di bawah sana?" tanya Rangga, agak keras suaranya.
"Khraaaghk...!" sahut Rajawali Putih seraya menganggukkan kepala.
"Berapa orang?"
Rajawali Putih menggerakkan kepala ke kiri satu kali. Rangga tahu kalau di dalam puri itu hanya ada satu orang saja. Dan ini membuatnya bertanya-tanya sendiri. Menurut keterangan Pendekar Kalung Sakti dan Ganta, Siluman Ular Merah memiliki anak buah yang banyak jumlahnya. Tapi sekarang, Rajawali Putih hanya melihat satu orang saja di dalam puri.
"Turunkan aku di bagian depan, Putih," pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
Bagaikan sebongkah batu yang dilemparkan ke dalam jurang, Rajawali Putih menukik deras ke bawah. Sebentar saja binatang raksasa itu sudah mendarat tepat di bagian depan Puri Sangga Mayit. Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung binatang tunggangannya. Sebentar dia berdiri tegak mengamati sekitarnya. Begitu sunyi, tak terlihat seorang pun di tempat ini. Rangga menajamkan pendengarannya. Memang benar, tak terdengar tarikan napas sedikitpun. Puri Ini benar-benar telah dikosongkan. Sedikit pun tidak terdengar suara di sekitarnya.
"Tunggu di sini, Putih. Kalau ada apa-apa, kau bisa menghadapinya sendiri," kata Rangga berpesan.
"Khrrrk...!" Rajawali Putih mengkirik perlahan seraya menganggukkan kepala.
Slap!
Hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah mencapai pintu depan Puri Sangga Mayit itu. Punggungnya cepat dirapatkan ke dinding, disamping pintu yang tidak memiliki penutup. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menjulurkan kepala, melongok ke dalam. Namun mendadak saja....
Wus!
"Uts!" Kalau saja Rangga tidak cepat menarik kepalanya, mungkin sudah terpisah dari leher. Betapa tidak...? Begitu kepalanya dijulurkan melewati ambang pintu, sebatang golok yang sangat besar ukurannya mendadak saja jatuh dari atas, tepat mengarah ke lehernya. Rangga memandangi golok berukuran besar yang menggantung tepat di tengah-tengah pintu. Kepalanya menggeleng-geleng. Tak sanggup membayangkan bila golok itu sampai menebas lehernya tadi.
"Jebakan yang hebat..," desis Rangga menggumam.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya memasuki bangunan puri yang megah dan terbuat dari batu. Dia langsung mengagumi keindahan puri ini begitu berada di dalam. Namun juga disadarinya kalau di balik keindahan ini, tersimpan segudang bahaya yang mengincar jiwanya. Rangga terus melangkah menyeberangi ruangan yang luas.
Dan begitu berada tepat ditengah-tengah ruangan ini, mendadak saja dari segala arah berdesiran puluhan anak panah. Senjata-senjata yang dapat menembus kulit setebal apa pun itu, meluncur deras ke arah Rangga. Benda-benda itu seakan-akan muncul begitu saja dari dalam dinding yang mengelilingi ruangan ini.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuhnya ke udara. Kedua tangannya langsung merentang lebar, bergerak cepat seperti sepasang sayap burung yang mengepak. Pemuda berbaju rompi putih itu mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Puluhan anak panah yang meluruk deras kearahnya, terbabat rontok sebelum mencapai sasaran. Namun panah-panah itu seperti tidak ada habisnya, berdesingan di sekitar tubuh Rangga. Hal ini membuat pemuda itu jadi berpikir. Rasanya memang tidak mungkin terus berlompatan menghindari hujan anak panah ini, kalau tidak ada habisnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang dipadu jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi ke atas. Dia melakukan putaran beberapa kali seraya cepat mengerahkan tangannya, menghalau hujan anak panah yang masih terus memburunya. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terus melambung tinggi hingga mencapai bagian langit-langit ruangan dalam puri yang tinggi ini. Dan begitu mencapai langit-langit yang juga terbuat dari batu....
Tap!
Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti meraih sebuah batu di langit-langit yang agak menonjol. Lalu tubuhnya cepat melenting ke arah sebuah pintu yang berwarna merah. Ada tiga pintu di ruangan ini yang berbeda-beda warnanya. Dan pintu berwarna merah itu yang terdekat dengannya. Setelah melakukan putaran beberapa kali, dengan manis sekali kakinya mendarat tepat di depan pintu berwarna merah itu.
Pada saat kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak lantai, panah-panah yang keluar dari lubang-lubang kecil di dinding, seketika itu juga berhenti. Sebentar Rangga menarik napas, untuk melonggarkan rongga dadanya. Dipandanginya dinding-dinding yang mengelilingi ruangan ini. Seluruh dinding, dari bawah sampai atas memiliki lubang-lubang kecil. Dari lubang-lubang itulah panah-panah tadi keluar.
"Aku yakin, di balik pintu ini pasti ada jebakan lain," gumam Rangga dalam hati.
ENAM
Krieeet...! Bunyi berderit terdengar mengiris hati saat Rangga membuka pintu berwarna merah itu. Perlahan-lahan pintu itu didorongnya hingga terbuka lebar. Tak ada sambutan dari jebakan yang semula diduganya tadi. Di balik pintu berwarna merah ini hanya terdapat sebuah lorong yang tampaknya tidak begitu panjang. Dan di ujung lorong ini terdapat sebuah pintu lagi yang tampaknya terbuat dari besi baja yang kokoh.
"Hm.... Tarikan napas itu berasal dari balik pintu di ujung lorong sana," gumam Rangga perlahan.
Hati-hati sekali Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya memasuki lorong yang tidak begitu besar ini. Kedua matanya dipentang lebar, mengamati setiap dinding di kiri kanannya. Namun baru beberapa langkah berjalan, mendadak saja ayunan kakinya terhenti.
"Hhh...! Apa ini...?"
Rangga melirik ujung kaki kanannya. Dia menelan ludah begitu melihat lantai yang dipijaknya sedikit amblas. Pendekar Rajawali Sakti langsung menyadari kalau telah menginjak sebuah jebakan lain. Dan dia tidak tahu, apa jadinya jika mengangkat kaki.
"Masih enam tombak lagi. Harus kucapai dengan sekali lompatan saja," desis Rangga seraya menatap ke arah pintu di ujung lorong ini.
Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Tak ada sesuatu pun yang dapat dilihat, selalu dinding batu yang hitam dan berlumut. Keadaan di lorong ini cukup terang, karena ada beberapa obor yang menempel di dinding.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya sejauh enam tombak. Dan pada saat itu, terdengarlah ledakan dahsyat menggelegar, yang disusul runtuhnya atap lorong, tempat Rangga berada di bawahnya tadi!
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya. Dan pada saat itu, terdengar ledakan dahsyat menggelegar, yang kemudian disusul runtuhnya atap lorong, tempat Rangga berada di bawahnya tadi. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti melakukan putaran indah, kemudian mendarat manis sekali, tepat di depan pintu besi.
Ledakan tadi membuat seluruh dinding lorong ini bergetar, seakan-akan hendak runtuh. Debu mengepul membuat udara di dalam lorong ini jadi terasa sesak. Begitu debu memudar, Rangga jadi berkerut keningnya. Tidak ada jalan lagi untuk keluar. Reruntuhan batu telah menyumbat mulut lorong ini.
"Benar-benar pandai dia membuat jebakan," gumam Rangga. Pendekar Rajawali Sakti bergegas memeriksa pintu besi di depannya.
Diraihnya rantai yang mengunci pintu ini. Dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam, pemuda berbaju rompi putih itu menarik rantai hingga putus. Kemudian didorongnya pintu besi ini. Berat sekali, sehingga Rangga terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk mendorongnya. Perlahan pintu besi itu terdorong membuka.
"Oh...?!" Hampir Rangga tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Pintu besi ini ternyata sebuah pintu ruangan yang tidak begitu besar. Dan di dalam ruangan ini terdapat seorang wanita muda. Pakaiannya tampak sudah tidak karuan lagi bentuknya. Wanita itu terikat, berdiri merapat di dinding. Kepalanya terangkat begitu pintu terbuka.
Sinar matanya begitu lemah, seakan-akan tidak punya gairah hidup lagi. Perlahan Rangga melangkah masuk. Sikapnya begitu hati-hati. Tiga kali jebakan telah ditemui, dan ini membuatnya harus lebih waspada lagi. Tapi sampai berada didekat wanita itu, tidak ada satu jebakan pun ditemui.
"Kau Widarti...?" tanya Rangga seakan ingin memastikan.
Wanita itu tidak langsung menjawab, tapi malah memandangi Rangga dalam-dalam. Seakan-akan dia tengah menyelidiki pemuda tampan di depannya ini. Sedangkan Rangga segera mengedarkan pandangannya, memeriksa seluruh ruangan yang tidak begitu besar ukurannya ini. Dia khawatir kalau-kalau masih ada jebakan lain di dalam ruangan ini.
"Siapa kau?" wanita itu malah balik bertanya dengan suara lemah sekali.
"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri. "Kalau kau benar Widarti, aku datang hendak membebaskanmu keluar dari sini."
"Benar, aku Widarti. Oh..., kaukah Pendekar Rajawali Sakti...?" sinar mata wanita itu langsung berbinar.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Cepat, bebaskan aku. Lama sekali aku menunggumu, Pendekar Rajawali Sakti," pinta wanita itu yang mengaku sebagai Widarti.
Namun Rangga tidak segera melepaskan rantai yang membelenggu kedua tangan dan kaki wanita ini. Dia hanya memandangi saja, seakan-akan tidak yakin kalau wanita ini adalah Widarti.
"Kenapa diam saja? Si tua keparat itu tidak menaruh jebakan di kamar ini," desak Widarti.
"Jebakan...? Kau tahu tentang jebakan?" Rangga jadi tercenung. Cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mundur.
"Hei! Kenapa kau tidak cepat membebaskan aku...?" seru Widarti.
"Kau bukan Widarti! Siapa kau...?" berubah dingin nada suara Rangga.
"Aku Widarti. Apa kau tidak melihat aku dibelenggu begini...? Cepat bebaskan aku, Pendekar Rajawali Sakti."
"Tidak! Kau bukan Widarti." Rangga cepat membalikkan tubuhnya.
Namun belum juga melangkah, mendadak saja dari arah belakang berdesir hembusan angin dingin. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke atas, dan berputaran dua kali. Dia langsung berbalik begitu menjejak lantai dari batu ini.
"Hm.... Kau tidak bisa menipuku, Ni sanak," desis Rangga dingin. "Siapa kau sebenarnya...?"
Pengamatan Rangga memang tidak meleset. Pendekar Rajawali Sakti langsung menaruh curiga ketika wanita itu mengatakan tentang jebakan. Dan ternyata, rantai yang membelenggu tangan dan kakinya hanya tipuan saja. Wanita itu kini sudah bebas, tak terbelenggu lagi.
"Kau memang cerdik, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau tidak akan bisa keluar dari sini," dingin nada suara wanita itu.
"Siapa kau sebenarnya, Ni sanak?" tanya Rangga.
"Aku Tilaweni, putri Siluman Ular Merah," sahut wanita itu mengenalkan diri. "Kedatanganmu memang sudah kutunggu, Pendekar Rajawali Sakti."
Setelah berkata demikian, gadis yang mengaku bernama Tilaweni itu langsung melompat menerjang Rangga. Rantai yang tadi dijadikan alat untuk mengelabui pemuda berbaju rompi putih itu, sekarang dijadikan senjata yang cukup berbahaya.
Wuk!
"Uts!" Rangga cepat merundukkan kepalanya, ketika Tilaweni mengebutkan rantai besi ke arah kepala. Rantai besi itu lewat sedikit saja di atas kepala Rangga. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik tubuhnya kembali tegak, Tilaweni sudah memberi satu tendangan keras menyamping, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Hait!"
Cepat Rangga mengegoskan tubuhnya, sehingga tendangan gadis itu manis sekali dapat dielakkan. Rangga bergegas melompat ke belakang dua tindak, membuat jarak agar lebih renggang. Tapi begitu kakinya dijejakkan, Tilaweni sudah mengebutkan rantainya kembali ke arah dada pemuda tampan itu.
Bet!
"Hap!"
Tap!
Tangkas sekali Rangga menangkap ujung rantai itu. Lalu dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam, disentakkannya rantai itu kuat-kuat.
Rrrt!
"Ikh...!" Tilaweni terpekik kaget. Namun sebelum hilang keterkejutannya, tubuh gadis itu sudah melayang deras ke arah Rangga. Dan pada saat itu, Rangga melompat keatas sambil mengirimkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Tanpa diduga sama sekali, ternyata Tilaweni dapat mengelakkan pukulan Rangga dengan memutar tubuh ke belakang. Bahkan gadis itu masih mampu mengirimkan satu tendangan keras kearah dada Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya pemuda tampan itu agak terperangah juga. Sungguh tidak disangka kalau Tilaweni akan berbuat senekat ini.
"Hait!"
Bergegas Rangga menarik pulang pukulannya, lalu memutar tubuhnya ke belakang. Hampir bersamaan mereka menjejakkan kakinya di lantai. Tilaweni langsung melepaskan beberapa kali serangan secara beruntun. Akibatnya Rangga jadi agak kerepotan menghindarinya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat menguasai keadaan. Dan ketika mendapat satu kesempatan baik, cepat-cepat dilepaskannya satu pukulan lurus ke arah dada.
Serangan balik yang dilancarkan Rangga, tidak diduga sama sekali. Tentu saja hal ini membuat Tilaweni jadi terperangah. Bergegas tubuhnya dimiringkan ke kanan. Tapi gerakannya terlambat sedikit saja, dan pukulan Rangga menghantam bahunya.
Des!
"Aaakh...!" Tilaweni memekik keras agak tertahan.
Gadis itu terpental ke belakang sejauh satu batang tombak. Mulutnya meringis, dan mencoba bangkit. Dan sebelum Tilaweni bisa bangkit berdiri, Rangga sudah melompat menerjangnya. Terpaksa gadis itu membanting tubuhnya kembali, lalu bergulingan beberapa kali hingga merapat kedinding batu yang dingin dan berlumut. Tilaweni cepat meraih sebongkah batu yang berada di dekatnya. Batu itu langsung diputarnya.
Mendadak saja dinding yang berada di belakangnya bergerak terbuka. Gadis itu bergegas melompat bangkit, lalu masuk ke dalam dinding yang bergerak membuka. Rangga sedikit terkejut, Tampak dinding itu kembali bergerak menutup.
"Hiyaaa...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat, dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Dia bergulingan melewati bawah dinding yang terus bergerak menutup. Tepat ketika tubuh Rangga melewatinya, dinding batu itu merapat tertutup kembali. Rangga cepat bangkit berdiri. Hatinya jadi tertegun, karena kini berada di sebuah ruangan depan puri kembali.
"Aaa...!" tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking.
Jeritan itu datang dari luar. Rangga cepat melompat keluar dari puri ini. Dia jadi terlongong begitu kakinya menjejak tanah didepan pintu puri. Apa yang disaksikannya, sungguh tidak pernah dipikirkan sejak tadi. Rangga jadi menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat Tilaweni menjerit-jerit dan meronta-ronta, mencoba melepaskan diri. Ujung bajunya di punggung ternyata terjepit paruh Rajawali Putih. Dan burung raksasa itu mengangkat Tilaweni cukup tinggi dari tanah. Akibatnya gadis itu jadi ketakutan setengah mati. Sambil tersenyum-senyum, Rangga menghampiri Rajawali Putih yang kelihatan kesenangan dengan 'permainannya' ini.
"Cukup, Putih. Turunkan dia," pinta Rangga.
"Khrrr...!"
Rajawali Putih menurunkan Tilaweni, lalu melepaskannya begitu saja sebelum mencapai tanah. Gadis itu memekik saat tubuhnya terbanting cukup keras di tanah. Dia menggeliat bangkit, dan mendelik melihat Rangga berdiri di depannya. Wajah gadis itu langsung memucat begitu melihat Rajawali Putih berada tepat di belakangnya.
"Sekarang aku bisa melakukan apa saja padamu, Tilaweni," kata Rangga bernada agak mengancam.
"Lakukan saja. Kau pikir, aku takut dengan ancamanmu!" dengus Tilaweni.
"Aku percaya, kau memang tidak pernah takut. Tapi aku yakin, kau akan berpikir dua kali jika harus meluncur dari ketinggian diatas awan, sampai tubuhmu remuk terbanting di batu," lagi-lagi Rangga mengancam.
Rupanya ancaman Rangga kali ini membuat tubuh Tilaweni jadi bergidik juga. Diliriknya sedikit Rajawali Putih. Burung ini begitu mengerikan! Dan ancaman Rangga bisa saja terjadi. Tidak terlalu sulit bagi Rajawali Putih untuk mengangkat gadis ini ke angkasa dan menjatuhkannya dari ketinggian yang cukup untuk membuat tubuh ramping ini hancur berkeping-keping.
"Aku hanya meminta kau menjawab jujur pertanyaanku. Setelah itu, kau boleh pergi kemana saja kau suka," kata Rangga.
"Huh! Siapa yang percaya dengan kata-katamu...?" dengus Tilaweni.
"Mungkin kau terbiasa dengan kebohongan dan kepalsuan. Tapi aku selalu memegang janjiku."
Tilaweni terdiam. Mungkin kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tengah dipertimbangkannya. Kembali diliriknya Rajawali Putih. Dia mengeluh di dalam hati. Keadaannya memang tidak menguntungkan sekali saat ini. Benar-benar terpojok, dan tidak punya pilihan lain lagi.
"Baik! Apa yang ingin kau tanyakan padaku?" Tilaweni akhirnya menyerah juga.
"Di mana Widarti berada?" tanya Rangga langsung.
"Aku tidak tahu," sahut Tilaweni ketus.
"Kau jangan berdusta, Tilaweni," gertak Rangga.
Saat itu Rajawali Putih menjulurkan kepalanya, menyentuh punggung Tilaweni Akibatnya, gadis itu langsung tersentak kaget. Wajahnya kembali memucat.
"Baik..., baik. Suruh dulu burung jelek ini menyingkir!" seru Tilaweni ngeri.
Rangga memberi isyarat pada Rajawali Putih dengan kepalanya. Maka burung raksasa itu segera bergerak menjauh. Tapi masih cukup untuk menjangkau Tilaweni dengan menjulurkan kepala saja. Tilaweni sedikit lega melihat burung raksasa itu sudah agak jauh darinya.
"Nah...! Sekarang katakan, di mana Widarti?" desak Rangga.
"Dia ada di ruangan yang berpintu biru," sahut Tilaweni.
"Kau tidak berdusta?"
"Untuk apa berdusta...? Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri. Dia ada di sana."
"Baik. Tapi, kau harus tunjukkan padaku."
Rangga langsung mencekal tangan gadis itu dan menyeretnya ke Puri Sangga Mayit kembali. Tilaweni menyentakkan tangannya, hendak melepaskan cekalan Pendekar Rajawali Sakti. Namun cekalan Rangga begitu kuat.
"Kau saja yang ke sana sendiri!" bentak Tilaweni.
"Kenapa...? Kau takut terkena jebakan ayahmu sendiri?"
Tilaweni terdiam. Terpaksa diikutinya langkah Rangga melewati pintu, Tilaweni menghentikan langkahnya. Wajah gadis itu jadi berubah-ubah. Sebentar memerah, dan sebentar kemudian terlihat pucat.
"Ayo terus! Kau di depan...!" sentak Rangga seraya mendorong punggung gadis itu.
"Tidak!" bentak Tilaweni, tetap tidak mau melangkah.
Rangga mendorong punggung gadis itu, sehingga Tilaweni terpaksa melangkah. Namun baru saja kakinya bergerak satu tindak, mendadak saja dari seluruh dinding meluncur puluhan anak panah.
"Yeah...!"
Rangga cepat melompat ke belakang sambil menyambar tangan Tilaweni, sehingga gadis itu terpekik. Mereka jatuh bergulingan di luar puri. Rangga cepat bangkit kembali, lalu menarik tangan Tilaweni agar cepat berdiri.
"Kau bisa mati kalau ke sana!" dengus Tilaweni.
"Tilaweni! Kau tahu seluk-beluk puri ini. Tunjukkan jalan yang teraman," desak Rangga.
Sebentar Tilaweni memandang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian melangkah menuju bagian samping dari puri ini. Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Tilaweni. Mengikuti jalan biasa, bisa-bisa mati terkena jebakan ayahnya sendiri. Dia tahu betul, letak-letak jebakan di dalam puri ini. Rangga mengikuti gadis itu dari belakang. Mereka kemudian berhenti di depan sebuah pintu samping yang tertutup. Tilaweni berdiri saja didepan pintu, seakan ragu-ragu untuk membukanya.
"Ada jebakan lagi di balik pintu ini?" tanya Rangga.
"Ya, ada," sahut Tilaweni lesu.
"Apa...?"
"Sepuluh tombak akan meluncur jika kau membuka pintu," sahut Tilaweni memberi tahu.
"Kau tidak mendustaiku...?"
"Aku tidak ingin mati percuma!" dengus Tilaweni.
"Bagus. Sekarang kau mundur."
Tanpa diminta dua kali, Tilaweni melangkah mundur menjauh. Sedangkan Rangga berdiri tegak di depan pintu yang tertutup rapat ini. Sebentar perhatiannya dipusatkan pada pintu itu, kemudian diliriknya sedikit Tilaweni.
"Jangan coba-coba melarikan diri! Rajawali Putih akan membawamu ke angkasa dan menjatuhkanmu dari atas," Rangga memperingatkan.
Setelah memperingatkan gadis itu, Rangga segera mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Ditariknya napas dalam-dalam, dan ditahannya di dalam perut. Kemudian tangannya bergerak terbuka, menyamping sejajar dada. Lalu....
"Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Seketika itu juga terjadi hembusan keras dari kedua telapak tangannya. Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal itu seketika hancur berkeping-keping. Dan pada saat itu, dari dalam meluncur sepuluh batang tombak seperti yang dikatakan Tilaweni.
"Huy! Yeaaah...!"
Rangga bergegas berlompatan menghindari hujan tombak itu. Semua tombak lewat di bawah tubuhnya. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah. Ditatapnya Tilaweni yang masih berada di tempatnya. Gadis itu menghampiri tanpa diminta lagi. Rupanya dia benar-benar takut dengan ancaman yang diberikan Rangga tadi.
"Kau jalan didepan," kata Rangga.
"Tidak ada apa-apa lagi. Lorong ini langsung menuju ke bagian belakang pintu biru," jelas Tilaweni.
"Jalan...!" perintah Rangga.
Tilaweni terpaksa mengayunkan kakinya. Sedangkan Rangga mengikuti dari belakang. Mereka menyusuri sebuah lorong yang tidak begitu panjang, namun terdapat dua belokan yang cukup tajam. Memang tidak ada satu jebakan pun yang dijumpai lagi. Dan mereka sampai pada sebuah pintu berwarna biru.
"Buka!" perintah Rangga.
Tilaweni membuka pintu itu. Ternyata pintu ini merupakan sebuah pintu ruangan berukuran tidak terlalu besar tidak ada apa-apa di dalam ruangan berdinding batu ini. Hanya ada sebuah balai-balai bambu, dan di atasnya tergolek sesosok tubuh ramping berpakaian tidak karuan. Beberapa bagian tubuhnya terlihat menyembul keluar, menampakkan kemulusan kulit tubuhnya yang putih halus.
Rangga bergegas melangkah masuk. Dihampirinya wanita yang terbaring dengan mata tertutup di atas balai-balai bambu ini. Kemudian diperiksanya urat nadi wanita itu di pergelangan tangan. Lalu diletakkannya ujung jari di bagian leher. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti mengangkat tubuh wanita ini, dan melangkah ke luar.
Dia sempat menatap Tilaweni yang masih berdiri didepan pintu. Gadis itu menyingkir memberi jalan. Dengan langkah lebar dan cepat, Rangga bergegas keluar menyusuri lorong ini. Sedangkan Tilaweni mengikuti dari belakang. Tak ada yang bicara sedikit pun. Mereka tidak lagi menemui satu jebakan pun sampai berada di luar kembali.
********************
TUJUH
Tidak lama Rangga menunggu sampai gadis yang ditemuinya didalam kamar berpintu biru mulai siuman. Pendekar Rajawali Sakti bergegas menghampiri begitu gadis itu menggerak-gerakkan kepala seraya merintih lirih. Sedangkan tidak jauh dari tempat itu terlihat Tilaweni tengah duduk memandangi dengan raut wajah dan sinar mata sukar diartikan. Gadis itu tidak berkedip memperhatikan Rangga yang membantu mempercepat menyadarkan gadis yang tergolek di bawah pohon rindang ini
"Ohhh...," gadis itu kembali merintih lirih.
"Diamlah sebentar. Jangan membuka mata dulu," ujar Rangga lembut agak berbisik.
Namun gadis berwajah cukup cantik itu malah membuka matanya, kemudian mengerjapkan beberapa kali. Dia tampak agak terkejut melihat di dekatnya ada seorang pemuda tampan. Tubuhnya dicoba digerakkan hendak bangkit, tapi Rangga cepat mencegah.
"Di mana aku...? Siapa kau?" tanya gadis itu, lemah suaranya.
"Kau sudah berada di luar puri, Widarti," sahut Rangga memberi tahu.
"Kau..., kau tahu namaku...? Siapa kau, Kisanak..?"
"Aku Rangga, orang yang diutus Ganta untuk membawamu keluar dari puri," sahut Rangga menjelaskan.
"Kau.... Kau Pendekar Rajawali Sakti...?"
Rangga mengangguk dan tersenyum manis. Widarti mendesah panjang, seakan-akan begitu lega setelah mengetahui dirinya sudah tidak lagi berada di dalam kamar pengap sebuah puri. Dan lebih lega lagi, karena orang yang membebaskannya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Orang yang selama ini ditunggu-tunggu.
"Bagaimana Ganta sekarang? Di mana dia...?" tanya Widarti seraya menggeser tubuhnya dan bangkit duduk.
Kali ini Rangga tidak mencegah lagi, dan malah membantu gadis itu menyandarkan punggungnya ke batang pohon. Tapi ketika Widarti melihat Tilaweni, dada Rangga langsung didorongnya. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh terduduk.
"Keparat...! Kubunuh kau, Setan Jalang...!" geram Widarti.
"Widarti...!" sentak Rangga seraya mencekal tangan gadis itu.
Hampir saja Widarti melompat hendak menerjang Tilaweni kalau saja Rangga tidak cepat-cepat mencekal tangannya. Terpaksa Widarti duduk kembali. Sinar matanya berapi-api penuh dendam menatap pada Tilaweni. Sedangkan gadis, putri Siluman Ular Merah itu beranjak bangkit berdiri.
"Aku menagih janjimu, Pendekar Rajawali Sakti," kata Tilaweni dengan nada suaranya yang tetap dingin dan ketus.
"Aku selalu menepati janjiku," sahut Rangga.
"Sebaiknya aku pergi sekarang, daripada tanganku harus berlumur darah."
Setelah berkata demikian, Tilaweni bergegas beranjak pergi. Sementara Widarti hanya mendesis geram memandangi kepergian putri Siluman Ular Merah itu. Api dendamnya begitu membara, bergolak di dalam dada. Begitu besarnya bara dendam di dalam dada, sehingga wajahnya jadi memerah bagai besi terbakar.
"Kenapa kau biarkan setan jalang itu pergi, Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya Widarti, tidak puas.
"Aku sudah berjanji akan membiarkannya pergi," sahut Rangga.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Rajawali Sakti kemudian menceritakan dengan singkat. Tanpa bantuan Tilaweni, tidak mungkin gadis ini dapat ditemukan, walau dengan cara memaksa dan sedikit ancaman. Meski sudah dijelaskan, tampaknya Widarti masih belum puas juga. Bara api dendam masih membara di dalam dadanya, namun dia tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan tubuhnya masih begitu lemah. Perlu waktu berhari-hari untuk memulihkannya kembali seperti semula.
"Sebentar lagi Ganta datang. Kita tunggu saja di sini," jelas Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mencoba mengalihkan perhatian gadis ini dari Tilaweni. Begitu mendengar nama Ganta akan datang ke sini, Widarti benar-benar melupakan tentang putri Siluman Ular Merah itu. Wajahnya kembali berubah cerah. Rangga jadi senang juga melihat gadis ini cepat melupakan Tilaweni.
"Kapan dia datang?" tanya Widarti penuh harap.
"Tidak lama lagi. Dia bersama Pendekar Kalung Sakti," sahut Rangga.
"Dewata Yang Agung.... Rupanya kau kabulkan juga semua permohonanku," desah Widarti.
"Kau cukup kuat buat ukuran wanita, Widarti," puji Rangga tulus.
"Terima kasih."
"Oh, ya. Bagaimana kau bisa pingsan tadi? Sampai-sampai aku hampir tidak merasakan denyut nadimu. Sahabatku saja sampai tidak bisa melacak keberadaanmu di dalam puri," kata Rangga ingin tahu.
"Setan jalang itu memberi ramuan yang membuatku seperti mati," sahut Widarti. "Kau membawa sahabat, mana...?"
"Itu," sahut Rangga seraya menunjuk pada Rajawali Putih.
"Oh...!"
Hampir saja Widarti jatuh pingsan begitu melihat seekor rajawali raksasa berada tidak jauh dari tempat ini. Rangga segera memperkenalkan Rajawali Putih. Sedangkan Widarti hanya memandangi saja, seakan-akan ingin meyakinkan kalau apa yang terlihat berada di alam mimpi. Seumur hidup, belum pernah dilihatnya seekor burung yang begitu besar.
Pada saat itu muncul Ganta dan Pendekar Kalung Sakti. Begitu melihat Ganta, Widarti bergegas bangkit dan menghambur kedalam pelukan pemuda itu. Sedangkan Pendekar Kalung Sakti menghampiri Rangga yang sudah berdiri. Mereka tersenyum menyaksikan pertemuan kakak beradik itu.
"Bagaimana kau bisa mendapatkannya, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Kalung Sakti ingin tahu.
"Mereka sudah meninggalkan puri ini," sahut Rangga.
"Meninggalkan puri ini...? Ke mana?" Pendekar Kalung Sakti tampak terkejut.
"Aku tidak tahu, ke mana mereka pergi. Begitu aku datang, tempat ini sudah kosong."
"Mereka ke Karang Setra.... Aku telah mencuri dengar pembicaraan mereka ketika berada dalam tahanan," selak Widarti memberi tahu.
"Ke Karang Setra...? Untuk apa?" Rangga jadi terkejut.
"Mereka tahu kalau Kakang Ganta dan Pendekar Kalung Sakti hendak ke Karang Setra. Untuk menyerahkan Bunga Hitam padamu. Maka mereka hendak mendahului, dan menunggu diperbatasan Utara," jelas Widarti.
"Celaka...!" sentak Rangga.
"Ada apa, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Pendekar Kalung Sakti.
"Adik-adikku akan melewati daerah perbatasan Utara. Mereka memang kutugaskan untuk membantuku mencari kalian dan Widarti. Tapi rupanya, aku dulu yang berjumpa kalian."
"Benarkah...? Kalau begitu...."
Belum lagi kata-kata Pendekar Kalung Sakti selesai, Rangga sudah cepat melompat ke punggung Rajawali Putih. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tahu-tahu, dia sudah berada dipunggung Rajawali Putih.
"Cepat ke perbatasan Utara, Putih," pinta Rangga.
"Khraaaghk...!"
Beberapa kali mengepakkan sayap saja, Rajawali Putih sudah melesat. Hingga dalam waktu sekejapan mata saja, sudah tinggi menebus awan. Sementara Pendekar Kalung Sakti, Ganta dan Widarti hanya bisa bengong memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti itu, yang melambung tinggi bersama burung raksasa tunggangannya.
"Sebaiknya kita segera ke sana, Pendekar Kalung Sakti. Kita harus membantu Pendekar Rajawali Sakti menghadapi gerombolan Siluman Ular Merah," usul Ganta.
"Ayolah. Tapi...," Pendekar Kalung Sakti menatap Widarti.
"Jangan pikirkan aku. Cepatlah kalian pergi. Aku menyusul dengan kemampuanku sendiri," ujar Widarti, menangkap arti tatapan itu.
"Ganta! Kau bersama Widarti. Biar aku lebih dulu menyusul Pendekar Rajawali Sakti."
"Baiklah. Kami akan usahakan secepatnya sampai," sahut Ganta.
"Jangan memaksakan diri."
Setelah berpesan, Pendekar Kalung Sakti bergegas berlari cepat menyusul Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lebih dahulu pergi. Pendekar muda berpakaian seperti pendeta itu terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Hingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah begitu jauh, lalu lenyap tertelan lebatnya hutan.
"Ayo, Widarti...," ajak Ganta.
"Bagaimana dengan pakaianku, Kakang?"
"Nanti kita singgah di desa terdekat."
"Kau punya uang?"
"Aku tidak pernah kehabisan bekal, Widarti."
"Aku percaya, Kakang. Ayolah, kita segera berangkat."
Mereka bergegas pergi. Widarti yang dalam keadaan lemah, tak mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuh secara sempurna. Terpaksa Ganta harus mengimbanginya agar tidak tertinggal. Namun Widarti terus memaksakan diri. Apalagi merasa berhutang budi pada Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu bertekad tidak ingin tertinggal untuk membantu pendekar muda itu dalam menumpas gerombolan Siluman Ular Merah. Terlebih lagi, dia mempunyai dendam pribadi yang harus dibalas.
Perlakuan Siluman Ular Merah padanya selama di Puri Sangga Mayit, tidak mungkin dapat dilupakan begitu saja. Namun Widarti tidak bisa menceritakan apa yang terjadi pada dirinya kepada Ganta. Dia ingin merahasiakan semua yang telah terjadi. Peristiwa memalukan, yang hampir membuat dirinya ternoda. Dan tidak perlu seorang pun mengetahui. Cukup dia sendiri yang tahu. Dan Widarti sudah bertekad untuk menyimpan semua itu untuk dirinya sendiri.
"Aku akan mencari kuda dulu nanti, Widarti. Kau masih terlalu lemah," kata Ganta tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"Terima kasih," ucap Widarti.
********************
Sementara itu di perbatasan Utara Kerajaan Karang Setra, Siluman Ular Merah dan para pengikutnya sudah berada di sana. Mereka seperti sebuah pasukan yang siap hendak menggempur kerajaan itu. Tampak di gerbang perbatasan, empat orang prajurit penjaga pintu gerbang perbatasan telah menggeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan di angkasa, terlihat Rangga tengah melayang-layang mengamati keadaan dari udara.
Sungguh tidak disangka kalau pengikut Siluman Ular Merah begitu besar. Dan untuk menandinginya, diperlukan satu pasukan prajurit terlatih. Rasanya tidak mungkin dia bisa menghadapi seorang diri saja. Namun Rangga tidak ingin mengorbankan prajurit-prajuritnya. Perhatian Pendekar Rajawali Sakti tertuju pada tiga ekor kuda yang bergerak menuju keperbatasan Utara dari dalam kota. Dia tahu kalau ketiga penunggang kuda itu adik tirinya dan Pandan Wangi.
"Aku harus mencegah mereka ke perbatasan," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti menepuk leher Rajawali Putih dan menunjuk ke arah tiga penunggang kuda. Tanpa diperintah dengan kata-kata lagi, Rajawali Putih meluruk deras ke arah ketiga penunggang kuda itu. Cepat sekali gerakannya. Dalam waktu sebentar saja, dia sudah mendarat tepat di depan ketiga penunggang kuda itu.
"Kakang Rangga...," desis Pandan Wangi langsung mengenali.
Rangga bergegas melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa tunggangannya. Pandan Wangi, Danupaksi, dan Cempaka juga cepat melompat turun, setelah berhasil menenangkan kudanya yang terkejut atas kemunculan Rajawali Putih. Mereka bergegas menghampiri Rangga.
"Kakang, ke mana saja...?" serobot Cempaka lebih dahulu.
"Sebaiknya kalian kembali ke istana," kata Rangga.
"Ada apa, Kakang? Kelihatannya begitu sungguh-sungguh," tanya Pandan Wangi.
"Sukar dijelaskan. Tapi ini penting," sahut Rangga.
"Kakang bisa menjelaskan sedikit, bukan?" desak Danupaksi.
"Akan kujelaskan, tapi setelah itu kalian harus segera kembali ke istana," kata Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian menjelaskan semua yang telah terjadi. Dia juga memberi tahu keberadaan gerombolan Siluman Ular Merah yang kini berada di daerah perbatasan Utara kota. Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka benar-benar terkejut dan sama sekali tidak tahu kalau selama ini Pendekar Rajawali Sakti itu terlibat suatu persoalan penting. Meskipun Rangga menjelaskan dengan singkat, namun ketiga anak muda itu bisa cepat memahami.
"Akan kukerahkan para prajurit pilihan untuk mengusir mereka, Kakang," tegas Danupaksi setelah Rangga menyelesaikan ceritanya.
"Itu yang tidak kuinginkan, Danupaksi," tolak Rangga.
"Tapi jumlah mereka cukup besar!"
"Dengan bantuan Rajawali Putih, rasanya aku masih bisa mengatasi mereka, Danupaksi. Aku tidak ingin mengorbankan prajurit, kecuali untuk persoalan kerajaan. Ini bukan persoalan kerajaan, dan tidak ada sangkut pautnya dengan Karang Setra," jelas Rangga.
"Kalau begitu, biarkan kami ikut membantumu menumpas gerombolan itu, Kakang," selak Cempaka.
"Terima kasih. Aku tidak ingin menyusahkan kalian."
"Jangan berkata seperti itu, Kakang. Kesulitanmu adalah kesulitan kami juga," ujar Danupaksi.
"Baiklah. Tapi, aku tidak ingin melibatkan seorang prajurit pun," Rangga tidak bisa lagi menolak.
"Aku akan datang begitu kau sudah bertarung, Kakang," ujar Danupaksi lagi.
"Benar! Agar mereka terpecah perhatiannya," sambung Cempaka.
"Sebaiknya kita datang dari tiga arah. Itu akan membuat mereka semakin terpecah perhatiannya," usul Pandan Wangi.
"Kalian atur saja. Aku harus kembali sebelum mereka mendapatkan Ganta dan yang lainnya," ujar Rangga, langsung cepat melompat kepunggung Rajawali Putih.
Rangga menepuk leher burung rajawali raksasa itu tiga kali. Bagaikan kilat, binatang itu melesat ke angkasa. Sebentar saja dia sudah begitu tinggi dan menuju ke gerbang perbatasan Utara kota Karang Setra. Sementara Rangga berada kembali di angkasa, Danupaksi meminta Cempaka bergerak dari arah kiri. Sedangkan Pandan Wangi dari arah kanan. Dan dia sendiri akan datang dari gerbang Utara. Kedua gadis itu tidak banyak bicara lagi.
Mereka bergegas berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing, lalu menggebah cepat menuju arah yang sudah ditentukan. Danupaksi sendiri segera naik ke punggung kudanya. Dia sempat melihat ke angkasa. Masih terlihat burung rajawali raksasa melayang-layang berputar-putar di angkasa.
Saat itu Rangga terus mengawasi kedua adik tirinya dan Pandan Wangi yang sudah bergerak dari tempatnya masing-masing. Sebenarnya Rangga tidak ingin melibatkan mereka, tapi hal itu juga tidak bisa dicegah. Dari angkasa seperti ini memang sangat leluasa untuk mempelajari keadaan dibawah. Saat itu Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah bayangan kuning berkelebat didalam hutan menuju gerbang perbatasan Utara ini. Rangga langsung tahu kalau bayangan kuning itu pastilah Pendekar Kalung Sakti.
"Hm..., Pendekar Kalung Sakti datang sendiri. Ke mana Ganta dan Widarti...?" gumam Rangga dalam hati.
Pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti cepat bisa terjawab. Begitu bayangan kuning gading berhenti tidak jauh dari tempat gerombolan Siluman Ular Merah, terlihat dua ekor kuda berpacu agak cepat dari arah yang sama dengan Pendekar Kalung Sakti. Rangga langsung dapat melihat kalau kedua penunggang kuda itu adalah Ganta dan Widarti. Gadis itu kini sudah berganti baju. Tampak begitu pas baju warna hijau daun dengan kulitnya yang putih.
"Aku harus menunggu dulu sampai mereka terlihat oleh Siluman Ular Merah," ujar Rangga bergumam.
DELAPAN
Tidak lama Rangga menunggu, kemudian terlihat Ganta dan Widarti sudah dihadang orang-orang Siluman Ular Merah yang semuanya mengenakan baju warna merah, bersenjatakan golok terhunus. Siluman Ular Merah terkejut melihat Widarti sudah bersama Ganta.
"Kenapa kita duluan yang sampai, Kakang?" bisik Widarti bertanya keheranan.
Sepanjang jalan tadi, mereka memang tidak bertemu Pendekar Rajawali Sakti maupun Pendekar Kalung Sakti. Padahal mereka sempat singgah dulu di sebuah desa untuk membeli pakaian. Tapi, kenapa malah mereka yang sampai lebih dulu? Pertanyaan Widarti tak bisa dijawab Ganta. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa kedua pendekar itu belum kelihatan.
"Akhirnya kau muncul juga, Ganta. He he he...," Siluman Ular Merah terkekeh.
"Kedatanganku justru hendak menagih hutang nyawa padamu, Siluman Ular Merah!" dengus Ganta dingin.
"Ha ha ha...! Untuk menghadapimu, semudah membalikkan telapak tangan, Ganta. Sebaiknya serahkan saja Kitab Ular Naga Merah dan Bunga Hitam padaku. Dan aku akan membiarkan kau pergi," sikap Siluman Ular Merah begitu meremehkan.
"Kitab itu sudah hangus terbakar dan Bunga Hitam telah kuserahkan pada Pendekar Rajawali Sakti"
"Apa...?!" Keparat..!" geram Siluman Ular Merah berang. "Kau harus membayar mahal, Ganta...!"
"Belum sebanding dengan hutangmu, Siluman Ular Merah," balas Ganta tidak kalah dinginnya.
"Keparat..! Bunuh bocah itu!"
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang berbaju merah yang berdiri menghadang di depan Ganta langsung berlompatan sambil berteriak-teriak mengacungkan goloknya di atas kepala. Sebentar Ganta masih berada di punggung kudanya, kemudian cepat melentingkan tubuhnya ketika sebatang golok berkelebat menyambar.
Kuda tunggangan pemuda itu meringkik keras, terkena sambaran golok yang tidak mengenai sasaran. Kuda coklat itu jatuh menggelepar, lalu tak berkutik lagi. Pada saat yang bersamaan, Widarti melesat turun dari punggung kuda. Gadis itu cepat melayangkan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Seorang yang berada di depannya meraung keras begitu pukulan Widarti bersarang dikepalanya.
Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Dua orang dikeroyok puluhan orang bersenjata golok. Suatu pertarungan yang tidak seimbang. Keadaan Ganta dan Widarti sebentar saja sudah begitu mengkhawatirkan. Mereka benar-benar kewalahan. Terlebih lagi Widarti yang masih lemah keadaannya. Keadaan tubuhnya cepat sekali menurun. Beberapa kali sudah tubuhnya harus menerima pukulan dan tendangan dari lawan-lawannya.
"Khraaagkh...!"
Pada saat keadaan kakak beradik itu benar-benar gawat, mendadak saja dari angkasa meluncur Rajawali Putih. Begitu dekat terbangnya diatas kepala orang-orang Siluman Ular Merah. Dari punggung Rajawali Putih tampak melesat seorang pemuda berbaju rompi putih. Pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu langsung masuk ke dalam kancah pertempuran.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak. Dan dalam beberapa gebrakan saja, beberapa orang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Kemunculan Pendekar Rajawali Sakti membuat semangat Ganta dan Widarti timbul kembali. Dan pada saat itu pun muncul Pendekar Kalung Sakti. Pendekar muda berpakaian seperti pendeta itu langsung mengamuk. Kalung emas saktinya berkelebatan menghajar orang-orang Siluman Ular Merah.
Keadaan pertarungan cepat sekali berbalik. Orang-orang berbaju merah itu jadi kelabakan menghadapi gempuran dua orang pendekar digdaya yang berkemampuan jauh di atas mereka. Tak seorang pun berhasil mendekati kedua pendekar muda itu. Jerit dan pekik melengking terdengar saling susul menjadi satu dengan denting senjata beradu.
Melihat orang-orangnya berantakan, Siluman Ular Merah jadi berang. Dia kemudian langsung melompat terjun dalam kancah pertempuran. Namun sebelum sempat melakukan tindakan, Pendekar Kalung Sakti sudah lebih dahulu menghadang.
"Kau lawanku, Siluman Ular Merah...!" dengus Pendekar Kalung Sakti.
"Pendekar Kalung Sakti.... Phuih!" desis Siluman Ular Merah seraya menyemburkan ludahnya.
Siluman Ular Merah memutar-mutar tongkatnya. Sedangkan Pendekar Kalung Sakti menggeser kakinya ke kiri. Tatapan matanya begitu tajam mengamati gerak tongkat laki-laki tua berjubah merah itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Siluman Ular Merah melesat menerjang Pendekar Kalung Sakti. Cepat sekali tongkatnya dikibaskan ke arah kepala pemuda berjubah kuning gading itu. Begitu dahsyatnya serangan yang dilakukan Siluman Ular Merah, sehingga desingan tongkat berkepala tengkorak itu menimbulkan deru angin yang keras bagaikan badai.
"Hait! Yeaaah...!"
Bergegas Pendekar Kalung Sakti merundukkan kepala. Bersamaan dengan itu, kalung emas saktinya dikibaskan ke arah dada Siluman Ular Merah. Namun laki-laki tua itu cepat menarik tongkatnya pulang. Langsung saja tongkatnya dikibaskan, menyampok untaian kalung berwarna kuning keemasan itu.
Trang!
Satu benturan senjata beradu keras. Bunga api seketika memercik dari kedua senjata itu. Pendekar Kalung Sakti cepat melentingkan tubuhnya ke belakang. Jari-jari tangan kanannya terasa bergetar ketika kalung emasnya beradu dengan tongkat Siluman Ular Merah. Langsung disadari kalau tenaga dalamnya masih berada dibawah laki-laki tua berjubah merah itu.
"Yeaaah...!"
Siluman Ular Merah tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Kalung Sakti untuk menarik napas, sehingga langsung cepat menyerang kembali. Tongkatnya berkelebatan cepat mengincar bagian-bagian tubuh pendekar muda berjubah kuning gading itu. Beberapa kali ujung tongkat Siluman Ular Merah hampir bersarang di tubuh Pendekar Kalung Sakti.
Namun pemuda berjubah kuning gading itu masih mampu menghindarinya. Jurus demi jurus pun berlalu cepat. Tanpa terasa, mereka bertarung sudah memakan lebih dari sepuluh jurus. Sementara pertarungan di tempat lain masih terus berlangsung. Orang-orang Siluman Ular Merah semakin kedodoran saja karena munculnya Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi dari tiga arah. Perhatian mereka benar-benar terpecah, karena mendapat perlawanan dari segala jurusan. Sementara di lain tempat, terlihat Ganta tengah bertarung sengit melawan Langkas dan lima orang anak buahnya.
"Ganta, awas...!" teriak Rangga tiba-tiba.
Pada saat itu, seorang anak buah Langkas mengibaskan goloknya dari arah belakang. Peringatan Rangga membuat Ganta tersentak kaget. Maka kepalanya cepat dirundukkan, mencoba menghindari bokongan itu. Tapi gerakannya terlambat. Dan begitu golok itu sampai di kepala Ganta, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat.
Trak!
Dieghk!
"Aaakh...!"
Cepat sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Seketika disentilnya golok yang hampir bersarang di kepala Ganta sambil memberikan satu sodokan bertenaga dalam penuh pada pembokong itu. Akibatnya orang itu terpental jauh ke belakang, lalu ambruk ke tanah tak bergerak-gerak lagi.
"Terima kasih," ucap Ganta.
"Sebaiknya kau bantu adikmu. Biar mereka aku yang bereskan," kata Rangga.
Ganta melirik Widarti. Gadis itu tampak semakin kewalahan saja menghadapi lawan-lawannya. Tanpa berpikir panjang lagi, Ganta cepat melesat ke arah adiknya. Sementara Pendekar Rajawali Sakti sudah harus berhadapan dengan Langkas dan anak buahnya yang kini tinggal empat orang.
Langkas dan empat orang anak buahnya memang bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti. Dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka sudah dibuat bergelimpangan. Sehingga tak mampu melanjutkan pertarungan lagi. Sedangkan Langkas yang merasa tidak ada gunanya lagi meneruskan pertarungan, mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. Namun tindakannya itu cepat diketahui Ganta.
"Jangan lari kau, Pengecut! Hiyaaat..!" teriak Ganta lantang.
Bagaikan kilat, pemuda itu melesat mengejar Langkas yang mencoba kabur. Secepat kilat goloknya dibabatkan ke punggung laki-laki tegap berwajah bengis itu. Langkas yang tak sempat menyadari, tidak mampu menghindar lagi. Dan...
Cras!
"Aaakh...!" Darah seketika muncrat keluar dari punggung Langkas yang tertebas golok Ganta. Namun pemuda itu masih belum puas, maka kembali goloknya dikibaskan ke arah leher, tepat di saat Langkas membalikkan tubuhnya. Tak pelak lagi, golok yang tajam berkilat itu membabat leher Langkas.
"Mampus kau...!"
Cras!
"Aaa...!" Satu jeritan panjang melengking tinggi mengantar kematian Langkas. Darah semakin banyak mengucur dari leher laki-laki berwajah bengis itu.
Ganta menyemburkan ludahnya dengan perasaan benci yang amat sangat. Hanya sebentar saja Langkas mampu menggeliat, kemudian diam tak bernyawa lagi. Darah terus mengucur dari punggung dan lehernya.
"Kakang, awas...!" tiba-tiba terdengar Widarti memperingatkan.
"Yeaaah...!"
Ganta cepat memutar tubuhnya sambil membabatkan goloknya. Seorang berbaju merah ternyata mencoba mengambil kesempatan untuk membokong. Namun gerakan Ganta memang lebih cepat, sehingga golok pemuda itulah yang lebih dulu beraksi.
Sementara Ganta kembali terjun ke dalam pertarungan, di tempat lain tampak Pendekar Kalung Sakti mulai terdesak menghadapi Siluman Ular Merah. Entah sudah berapa kali pendekar muda berjubah bagai pendeta itu menerima pukulan maupun tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Darah sudah terlihat keluar dari sudut bibirnya.
"Yeaaah...!"
Diegkh!
Tubuh Pendekar Kalung Sakti terpental tinggi ke udara ketika satu pukulan menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam penuh kembali dilepaskan Siluman Ular Merah. Pukulan itu tepat menghantam dada pendekar muda berjubah kuning gading bagai pendeta itu. Pada saat tubuh Pendekar Kalung Sakti berada diudara, terlihat Rajawali Putih menukik deras. Langsung disambarnya pendekar muda itu, dan segera dibawanya keluar dari kancah pertempuran.
"Heh...?! Apa itu...?"
Siluman Ular Merah yang melihat Pendekar Kalung Sakti disambar seekor burung rajawali raksasa, jadi terlongong hampir tidak percaya. Namun dia tidak sempat lagi berpikir lebih jauh, karena pada saat itu berkelebat sebuah bayangan putih di depannya. Dan tahu-tahu di depan laki-laki berjubah merah itu sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Siluman Ular Merah langsung mengenali pemuda berbaju rompi putih Itu.
"Di antara kita memang belum pernah punya persoalan. Tapi aku tidak suka kau mengotori wilayah kerajaanku," ujar Rangga, dingin nada suaranya.
"Seharusnya kau bersenang-senang bersama gundikmu, Pendekar Rajawali Sakti. Bukannya malah mencampuri urusanku!" bentak Siluman Ular Merah mengejek.
"Siapa saja yang mengotori wilayah Karang Setra, harus berhadapan denganku."
"Bagus...! Aku memang ingin menjajal kepandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Orang lain boleh gentar mendengar namamu, tapi kau akan tunduk di tanganku!"
"Bersiaplah, Siluman Ular Merah. Hih...!"
"Hap...!
Mereka langsung bersiap membuka jurus masing-masing. Sebentar mereka saling bertatapan tajam, seakan-akan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Mereka sama-sama bergerak berputar perlahan-lahan. Lalu...
"Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Siluman Ular Merah melakukan serangan lebih dahulu. Cepat sekali tubuhnya melompat sambil mengibaskan tongkat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun hanya sedikit menarik tubuhnya kebelakang, Rangga berhasil mengelakkan serangan laki-laki tua berjubah merah itu. Dan begitu tongkat berkepala tengkorak itu lewat, secepat kilat Rangga memberi serangan balasan dengan menyodokkan tangan kiri ke arah muka.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Siluman Ular Merah cepat menarik kepala ke samping. Dan sodokan Rangga hanya lewat sedikit saja di samping wajah laki-laki tua itu. Mereka terus bertarung saling menyerang dan menghindar, menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi, Serangan-serangan yang dilakukan begitu cepat dan dahsyat. Sedikit kelengahan saja bisa berakibat parah. Jurus demi jurus cepat berlalu. Dan pertarungan pun semakin meningkat. Namun sampai sejauh ini, Rangga belum menggunakan senjatanya yang terkenal dahsyat luar biasa.
"Awas kepala...!" seru Siluman Ular Merah tiba-tiba.
"Hait..!"
Rangga cepat merunduk ketika tiba-tiba Siluman Ular Merah mengibaskan tongkat ke arah kepala. Namun tanpa diduga sama sekali, kaki laki-laki tua itu menghentak ke depan sambil memiringkan tubuhnya. Rangga terkesiap, dan tidak sempat lagi menghindar dalam keadaan sulit seperti ini.
Des!
"Ugkh...!" Rangga mengeluh begitu tendangan Siluman Ular Merah mendarat telak di dadanya.
Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang mendadak saja jadi terasa sesak. Bergegas tangannya digerak-gerakkan di depan dada, kemudian gagang pedangnya yang masih tersampir dipunggung dijamahnya.
"Bagus! Keluarkan senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau akan menyesal jika mati tanpa memegang senjata," ejek Siluman Ular Merah.
"Bersiaplah, Siluman Ular Merah. Hadapi Pedang Rajawali Sakti ku!" desis Rangga.
Sret! Cring...!
Begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangka, seketika itu juga menyemburat cahaya biru terang menyilaukan. Siluman Ular Merah agak terbeliak melihat pamor pedang yang begitu dahsyat.
"Tahan seranganku, Siluman Ular Merah...! Hiyaaat..!" seru Rangga lantang menggelegar.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti menyerang Siluman Ular Merah. Pedangnya berkelebat cepat membabat ke arah dada laki-laki itu. Cepat-cepat Siluman Ular Merah menghentakkan tongkatnya, menangkis tebasan pedang bersinar biru menyilaukan itu.
Trang!
"Heh...!"
Bukan main terkejutnya Siluman Ular Merah ketika merasakan seluruh persendian tangannya bergetar nyeri saat tongkatnya beradu dengan Pedang Rajawali Sakti. Cepat-cepat dia melompat mundur mencari jarak. Namun begitu kakinya menjejak tanah, Rangga sudah kembali cepat menyerang. Pedangnya berkelebat mengurung laki-laki tua berjubah merah itu.
Saat itu Rangga sudah mengeluarkan satu jurusnya yang dahsyat. Jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Menghadapi jurus itu, Siluman Ular Merah tampak agak kewalahan juga. Beberapa kali pedang itu terpaksa harus ditangkis. Dan setiap kali terjadi benturan senjata, tulang-tulangnya terasa bagai dilorot keluar dari tubuhnya.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Rangga semakin memperhebat serangannya. Dan pada satu serangan, dia berhasil menipu lawannya dengan gerakan tubuh yang lentur bagai karet Siluman Ular Merah jadi terkecoh. Dikiranya Pendekar Rajawali Sakti hendak melontarkan satu pukulan tangan kiri ke arah dada, namun yang terjadi malah sebaliknya.
Rangga membabatkan pedangnya ke arah kaki laki-laki tua itu. Begitu cepat serangannya, sehingga Siluman Ular Merah tidak sempat lagi menghindar. Maka tongkatnya cepat dikibaskan untuk melindungi kakinya.
Trang!
Begitu pedangnya berhasil ditangkis lawan, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu bagaikan kilat, pedangnya dikibaskan ke arah kepala Siluman Ular Merah.
"Hiyaaat...!"
Serangan yang dilakukan Rangga begitu cepat luar biasa. Dan Siluman Ular Merah, tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Sehingga....
Cras!
"Aaa...!" Siluman Ular Merah menjerit keras melengking tinggi.
Tebasan pedang Rangga tepat menghantam batok kepala laki-laki tua berjubah merah itu. Darah seketika muncrat keluar dari kepala yang hampir terbelah menjadi dua. Hampir saja Rangga melepaskan satu pukulan ke arah dada, tapi niatnya segera dibatalkan. Karena, Siluman Ular Merah sudah keburu ambruk dan menggelepar ditanah. Beberapa saat Siluman Ular Merah mengerang dan menggelepar meregang nyawa, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terus bercucuran keluar dari kepalanya.
Cring!
Rangga memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangka di punggung. Seketika cahaya biru lenyap dari pandangan mata. Tewasnya Siluman Ular Merah rupanya membuat semangat bertempur orang-orangnya langsung menghilang. Mereka yang punya kesempatan melarikan diri, bergegas kabur dari tempat itu. Sedangkan yang tidak sempat, harus rela melepaskan nyawa.
Sementara Rangga bergegas menghampiri Pendekar Kalung Sakti yang duduk bersila di tempat aman, ditunggui Rajawali Putih. Pendekar muda berjubah bagai pendeta itu membuka kelopak matanya saat menyadari ada orang di depannya.
"Kau terluka, Pendekar Kalung Sakti?" tanya Rangga.
"Ya, luka dalam," sahut Pendekar Kalung Sakti tanpa malu-malu lagi.
"Parah...?" tanya Rangga lagi seraya menempelkan telapak tangannya di dada Pendekar Kalung Sakti.
Pendekar muda berjubah kuning gading itu tidak perlu menjawab. Rangga tahu kalau Pendekar Kalung Sakti mengalami luka dalam yang cukup parah. Sementara pertarungan benar-benar sudah berhenti. Dan mereka yang bertarung sudah berkumpul di belakang Rangga. Tak ada lagi orang-orang Siluman Ular Merah yang hidup, kecuali mereka yang berhasil kabur.
"Sebaiknya kau ke istana, Pendekar Kalung Sakti. Di sana kau bisa tenang menyembuhkan luka dalammu," kata Rangga menawarkan.
"Terima kasih, kau tidak perlu merepotkan diri," ucap Pendekar Kalung Sakti.
"Sama sekali tidak. Kau perlu tempat dan waktu untuk menyembuhkan lukamu."
"Biar aku ke istana, Kakang. Akan kusiapkan tempat bersemadi," selak Danupaksi.
Sebenarnya Pendekar Kalung Sakti ingin menolak, tapi Danupaksi sudah cepat berlari. Maka kini dia tidak bisa menolak lagi. Rangga membantu pendekar muda berjubah kuning gading itu berdiri. Ganta bergegas menghampiri dan memapah pendekar muda itu.
"Kalian juga sebaiknya beristirahat di tempatku. Kalian bisa memulihkan kesehatan disana," kata Rangga menawarkan pada Ganta dan Widarti.
"Terima kasih," hanya itu yang dapat diucapkan Ganta dan Widarti bersamaan.
"Aku ambil kuda dulu, Kakang. Biar Pendekar Kalung Sakti menunggang kudaku," tambah Cempaka.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Cempaka bergegas pergi untuk mengambil kudanya. Sementara Rangga mendekati Pandan Wangi yang telah berdiri di dekat Rajawali Putih. Pemuda berbaju rompi putih itu segera mengambil tangan si Kipas Maut dan meremasnya dengan mesra.
"Aku rindu padamu, Pandan," ucap Rangga perlahan dengan sinar mata penuh kasih sayang.
Pandan Wangi hanya tersipu malu. Dia tidak mampu menjawab pernyataan Rangga. Hanya tangannya saja yang semakin erat menggenggam tangan Rangga.
"Kirk...!" Rajawali Putih mengkirik lirih, seakan-akan tahu kalau Rangga ingin berduaan dengan kekasihnya.
"Oh, ya. Kau boleh kembali, Rajawali Putih," ujar Rangga sambil menghampiri burung raksasa itu. Kemudian ditepuk-tepuknya leher burung itu.
"Khrrrk...!"
Setelah mendapat pelukan dari Rangga, Rajawali Putih melesat ke angkasa. Burung raksasa itu berputar-putar tiga kali, seakan-akan ingin mengucapkan selamat tinggal. Kemudian binatang itu cepat melesat pergi menembus awan. Sementara Rangga dan Pandan Wangi telah berjalan meninggalkan keramaian di belakangnya. Kedua pendekar muda itu kembali melanjutkan petualangannya membela keadilan.
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: PEMBUNUH MISTERIUS