Pendekar Rajawali Sakti
RAJAWALI MURKA
SATU
"Yeaaah... !"
Glarrr!
Ledakan keras menggelegar tiba-tiba terdengar menggetarkan bumi. Rasanya saat ini bagai terjadi gempa dahsyat saja. Seluruh pepohonan berguncang disertai guguran daun-daunnya. Batu-batuan bergetar. Bahkan tidak sedikit yang retak, akibat teriakan keras disertai ledakan dahsyat menggelegar tadi. Ternyata, suara yang membuat alam seakan-akan jadi murka itu berasal dari seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Kedua tangannya tampak masih terentang, menjulur lurus ke depan.
Bahkan kedua telapak tangannya sudah terlihat menjadi merah membara, bagai besi terbakar. Asap tipis kemerahan tampak masih terlihat mengepul dari kedua telapak tangan terbuka yang menjulur ke depan itu. Perlahan-lahan tangan itu bergerak ke depan, lalu lunglai di samping tubuhnya. Kelihatannya, dia bagai tak bertenaga lagi, namun tetap berdiri dengan tubuh bersimbah keringat.
"Jaka Anabrang.... Kalau kau sampai menyentuh Pandan Wangi, tidak ada ampun lagi bagimu...!" desis pemuda itu, terdengar menggeram.
Pemuda tampan berbaju rompi putih yang tak lain Rangga, tampak mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat. Hingga, otot-ototnya kelihatan bersembulan ke luar. Keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya, membuat otot-ototnya jadi berkilatan terjilat cahaya matahari pagi. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam memandang ke satu arah tanpa berkedip sedikit pun.
"Hm.... Mereka pergi ke arah utara. Aku tidak boleh membuang-buang waktu, agar jangan sampai terjadi sesuatu pada Pandan Wangi," gumam Rangga perlahan.
Kepala Rangga langsung terdongak ke atas. Sebentar kemudian napasnya mulai ditarik dalam-dalam, lalu ditahannya beberapa saat. Dan....
"Suiiit...!"
Terdengar siulan nyaring yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Siulan panjang bernada aneh itu menggema menyelusup dan menembus hutan yang lebat ini. Dua kali Rangga mengeluarkan siulan panjang dan nyaring itu. Dan bibirnya kemudian tersenyum, begitu di angkasa terlihat sebuah titik hitam bercahaya putih keperakan tengah melayang-layang.
"Rajawali! Cepat ke sini...!" panggil Rangga, sambil melambaikan tangannya.
"Khraaagkh...!"
Terdengar suara serak menggelegar, bagai hendak membelah angkasa. Dan tak lama kemudian, terlihat seekor burung rajawali berbulu putih tengah meluncur. Kecepatannya bagai kilat, menuju ke arah Rangga. Semakin dekat rajawali putih ini, semakin terlihat jelas bentuknya kalau itu adalah rajawali raksasa.
"Khraaagkh...!"
Walaupun tubuhnya hampir sebesar bukit, tapi tidak sedikit pun terdengar suara saat kedua cakarnya menyentuh tanah. Rangga bergegas menghampiri, dan menepuk leher Rajawali Putih beberapa kali. Dan kepala burung itu jadi terangguk-angguk.
"Ayo, Rajawali. Bantu aku mencari Pandan Wangi," ajak Rangga.
Khrrr...!
"Iya, nanti semuanya kuceritakan," kata Rangga lagi, seakan mengerti apa yang baru saja disuarakan burung rajawali raksasa itu. Kembali Rangga menepuk leher Rajawali Putih beberapa kali, kemudian melangkah mundur beberapa tindak. Dan....
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung rajawali putih raksasa ini. Dan Rangga langsung duduk di punggung tunggangannya.
"Ayo, Rajawali. Ke arah utara dulu...!" pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
Wusss...!
Hanya beberapa kali kepak saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa dengan Rangga di punggungnya. Memang luar biasa sekali kecepatan terbang burung tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dalam waktu sekejap mata saja, sudah berada di atas awan!
"Khraaagkh...!"
********************
Seharian penuh, Rangga mencoba mencari jejak Pandan Wangi dari udara. Tapi, sedikit pun tidak didapat adanya tanda-tanda, ke mana Pandan Wangi dibawa pergi Jaka Anabrang. Hatinya benar-benar geram melihat kepengecutan Jaka Anabrang yang menahan Pandan Wangi, dan dijadikan sandera untuk melemahkan dirinya.
Walaupun baru sekali bertarung, tapi Rangga sudah bisa membaca tingkat kepandaian Jaka Anabrang yang memang sudah sangat tinggi. Jadi, mustahil jika Pandan Wangi bisa menghadapinya seorang diri. Bahkan Rangga sendiri saja hampir tidak dapat mengimbanginya, walaupun sudah menggunakan Pedang Rajawali Sakti. Pedang Halilintar yang dimiliki Jaka Anabrang memang sangat dahsyat, sehingga sanggup menandingi kesaktian Pedang Rajawali Sakti. Hal inilah yang membuat hati Pendekar Rajawali Sakti cemas. Dan, bukan hanya itu saja. Masih banyak kecemasan yang saat ini bergelayut di dalam hatinya.
Sampai matahari hampir tenggelam di kaki sebelah barat, Rangga belum juga bisa menemukan jejak-jejak Jaka Anabrang yang membawa kabur Pandan Wangi. Padahal, seluruh sudut hutan ini sudah dijelajahinya dari udara. Tapi, tanda-tanda tempat persembunyian Jaka Anabrang kali ini belum juga terlihat. Kecemasan di dalam hatinya tidak dapat lagi tertahankan. Maka Rangga meminta Rajawali Putih turun, begitu terlihat sebuah padang rumput yang tidak begitu luas.
"Khraaagkh...!"
Sambil mengeluarkan suara yang menggeledek, Rajawali Putih menukik turun dengan kecepatan kilat dari angkasa. Dan sebentar saja, burung Rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah mendarat di tengah-tengah padang berumput tebal bagai permadani terhampar ini.
"Hup!"
Begitu ringan dan sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga. Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat melompat turun, dan menjejak tanah berumput.
"Hmm." Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Bahkan suara binatang atau serangga juga tidak terdengar. Suasana yang begitu lengang, membuat Pendekar Rajawali Sakti langsung meningkatkan kewaspadaannya.
"Kau pergi dulu, Rajawali. Tapi jangan jauh-jauh," kata Rangga. Suaranya terdengar setengah berbisik.
"Khragkh...!"
Hanya beberapa kali mengepakkan sayap, Rajawali Putih sudah melambung begitu tinggi di angkasa. Dalam sekejap saja, burung raksasa itu sudah terlihat begitu kecil di antara awan.
Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas, memastikan kalau Rajawali Putih tidak meninggalkan sendirian di padang rumput yang tidak dikenalnya. Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti baru mengalihkan perhatian dari Rajawali Putih, mendadak saja telinganya yang setajam telinga rajawali, mendengar suara mendesir halus dari arah sebelah kanan.
"Hap!"
Cepat Rangga menarik kakinya ke belakang satu langkah, sambil menarik tubuhnya sedikit. Dan saat itu juga, terlihat sebuah benda bercahaya keperakan melesat begitu cepat bagai kilat, lewat sedikit di depan dadanya.
"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat sambil berputar ke belakang, begitu merasakan adanya aliran hawa panas saat benda yang memancarkan cahaya keperakan itu lewat di depan dadanya. Tiga kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran ke belakang, lalu manis sekali kembali menjejak tanah berumput tebal ini. Sorot matanya yang tajam, langsung tertuju ke arah datangnya benda bercahaya keperakan tadi.
"Hm...." Namun belum juga pikiran Pendekar Rajawali Sakti bisa berjalan, mendadak saja....
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, ketika tiba-tiba saja merasakan ada sesuatu yang membelit kakinya. Dan lebih terkejut lagi, ketika kedua kakinya terlihat sudah tercengkeram oleh sepasang tangan yang kotor berlumpur dan sudah rusak.
"Hih!" Rangga menyentakkan kakinya, berusaha membebaskan cengkeraman sepasang tangan kotor berlumpur yang sudah membusuk itu. Tapi, cengkeraman itu sangat kuat, sehingga Pendekar Rajawali Sakti mulai merasakan pedih pada kulit kakinya yang mulai tersayat
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil menghentakkan kakinya dengan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melesat begitu cepat setinggi dua batang tombak ke udara. Tubuhnya kemudian berputaran beberapa kali, sebelum meluruk turun dengan gerakan indah sekali. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak bersuara saat menjejak tanah berumput ini.
"Hm.... Mana dia...?" Rangga jadi celingukan sendiri. Ternyata sepasang tangan kotor yang tadi mencengkeram kedua kakinya sudah tidak terlihat lagi. Malah sedikit pun tidak ada bekas, kalau tadi ada tangan berlumpur yang sudah busuk menyembul keluar dari dalam tanah. Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah kebingungan, tiba-tiba saja...
Brull!
"Uts! Hap...! Cepat Rangga melenting ke atas, ketika tiba-tiba saja dari dalam tanah menyembul sesosok tubuh yang bentuknya sudah tidak beraturan. Sosok makhluk yang bisa dikatakan sebagai mayat hidup! Rangga sampai bergidik melihat bentuk tubuh dan raut wajah yang mengerikan, dipenuhi lumpur dan ulat-ulat kecil. Bahkan tingginya dua kali di banding manusia biasa. Benar-benar makhluk mengerikan!
"Ghrrr...!"
Sambil menggereng bagai lebah, makhluk yang lebih layak mayat hidup itu bergerak lamban mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Kedua tangannya menjulur ke depan, dengan jari-jari rusak dan penuh lumpur serta ulat-ulat kecil. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak menanti sambil terus memperhatikan dengan sorot mata begitu tajam. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip, memperhatikan makhluk mayat hidup yang terus bergerak semakin mendekati.
"Siapa pun dia, pasti tidak akan bisa diajak damai. Hm.... Aku, atau dia yang harus berkalang tanah," gumam Rangga pelan.
Memang melihat dari bentuk makhluk mayat hidup itu, Rangga tidak mungkin lagi bisa mendapat dua pilihan. Maka langsung saja kakinya direnggangkan dengan kedua lutut tertekuk ke depan. Kedua telapak tangannya sudah menyatu di depan dada. Semen-tara, sorot matanya masih tetap tajam, menatap makhluk mayat hidup yang terus melangkah perlahan menghampiri.
"Haaap...!"
Sambil menahan napas dalam-dalam, Rangga merenggangkan kedua telapak tangan yang terus bergerak sampai sejajar pinggang. Tampak kedua tangannya yang kini terkepal, memancarkan sinar merah bagaikan terbakar. Rupanya, saat itu juga Rangga sudah mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Ghraaagkh...!" Begitu keras makhluk mayat hidup itu menggerung. Dan tiba-tiba saja, kedua tangannya yang menjulur ke depan bergerak begitu cepat mengibas ke arah leher Rangga.
"Hiyaaa...!"
Namun, Rangga yang sudah siap sejak tadi cepat meliuk setengah berputar. Dan dengan kecepatan bagai kilat, langsung diberikannya pukulan dahsyat sekali, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
"Yeaaah...!" Begitu cepat pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga makhluk mayat hidup ini tidak dapat lagi berkelit. Dan....
Glarr...!
Satu ledakan yang sangat dahsyat seketika terdengar, begitu satu kepalan tangan kanan Rangga tepat menghantam dada makhluk mayat hidup itu. Dan kesunyian padang rumput itu seketika jadi pecah.
"Aaargh...!" Makhluk mayat hidup itu meraung keras sekali, hingga menggetarkan seluruh padang aimput di tengah hutan yang sangat lebat dan mengerikan. Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Rangga tadi, sehingga membuat tubuh mayat hidup itu terpental ke belakang sejauh lima batang tombak. Luncurannya baru berhenti, setelah menghantam sebatang pohon yang sangat besar, hingga hancur berkeping-keping.
"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat mengejar. Tapi begitu baru saja akan melepaskan satu pukulan dahsyat, mendadak saja mayat hidup itu sudah cepat melesak masuk ke dalam tanah kembali.
"Uhhh...!"
Rangga kembali melompat ke belakang sejauh lima langkah. Pandangannya langsung beredar ke sekeliling, merayapi tanah berumput tebal di sekitarnya. Tapi, sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau mayat hidup tadi bakal muncul kembali. Entah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti merayapi tanah berumput di sekitarnya dengan sorot mata tajam sekali. Dan sampai sejauh ini, tetap saja makhluk mayat hidup itu tidak menampakkan wujudnya. Namun di saat Rangga tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, mendadak saja dari belakang terasakan adanya desiran angin yang sangat halus.
"Hap!" Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan saat itu juga, dari belakangnya melesat cepat sebuah benda berbentuk bulat pipih, melewati bahunya. Rangga cepat menghindar dengan menarik kakinya, sehingga benda bulat pipih bercahaya keperakan dan mengandung hembusan hawa panas itu, menancap begitu dalam, pada batang pohon tidak jauh darinya.
Pendekar Rajawali Sakti bergegas memutar tubuhnya berbalik Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat dari balik pepohonan yang begitu rapat. Bayangan berwarna keperakan itu langsung meluruk, hendak menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu cepat Rangga melenting ke samping, menghindari terjangan bayangan keperakan itu. Dan dengan sengaja, dirinya dilempar ke atas tanah berumput, lalu bergulingan beberapa kali. Kemudian tubuhnya melesat bangkit berdiri. Gerakannya indah sekali saat kedua kakinya kembali menjejak tanah dengan kokoh.
"Hih! Yeaaah...!"
Tepat di saat bayangan keperakan itu kembali meluruk hendak menerjang ke arahnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya yang terkepal. Saat ini jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' memang siap dikerahkan, hingga kedua kepalan tangannya jadi merah membara, bagai besi baru dikeluarkan dari dalam tungku. Begitu cepat dan tidak terduga tindakannya, sehingga membuat bayangan keperakan itu jadi tersentak. Tapi, terjangannya sudah tidak mungkin lagi dihentikan. Hingga....
Glarr...!
Kembali ledakan dahsyat terdengar keras menggelegar, sampai menggetarkan seluruh tanah di padang rumput ini. Dan saat itu, tubuh Rangga terdorong sampai lima langkah jauhnya ke belakang. Sedangkan bayangan keperakan itu terpental sejauh dua batang tombak, lalu bergulingan di tanah berumput tebal.
"Hap!" Rangga cepat-cepat membuat beberapa gerakan dengan kedua tangan untuk menguasai keseim-bangan tubuh dan pernapasannya. Sementara, sekitar dua batang tombak lebih di depannya terlihat seorang laki-laki berusia lanjut. Tubuhnya tengah terbungkuk dengan kedua lutut menyentuh tanah. Pakaiannya panjang bagai jubah, berwarna putih keperakan dan berkilatan. Seluruh rambutnya yang panjang tampak sudah berwarna keperakan.
Perlahan orang tua itu bangkit berdiri, langsung menatap Rangga dengan sorot mata merah dan tajam. Tampak pada bagian sabuk perak yang membelit pinggangnya, berjajar benda bulat pipih berwarna putih keperakan. Di tangan kanannya, tergenggam sebatang tombak pendek berwarna putih keperakan bermata pada kedua ujungnya.
"Setan Perak Lembah Mayat..," desis Rangga.
DUA
"Tidak percuma kau mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti dan disegani hampir seluruh tokoh rimba persilatan. Tapi bagaimanapun digdayanya, tidak sepantasnya kau menjarah wilayah kekuasaan orang lain seenaknya sendiri," kata Setan Perak Lembah Mayat, terasa begitu dingin suaranya.
Tiba-tiba saja, Rangga jadi tersentak. Benar-benar tidak disangka kalau saat ini sudah berada di Lembah Mayat. Dan memang, baru kali ini Pendekar Rajawali Sakti datang ke daerah yang sudah sangat terkenal keangkerannya. Hingga, tak ada seorang pun yang berani datang, walaupun hanya sekadar lewat saja.
Sudah seringkali Rangga mendengar tentang keangkeran Lembah Mayat ini. Konon, siapa saja yang datang, tidak akan pernah kembali lagi. Tak seorang pun bisa keluar dari dalam lembah ini dalam keadaan hidup. Tapi, sebenarnya bukan lembah itu yang membuat semua orang harus berpikir seribu kali jika hendak melewatinya, melainkan penghuninya yang sudah teramat dikenal.
Orang itu adalah Setan Perak Lembah Mayat yang terkenal tidak pernah memberi ampun pada siapa saja yang berani memasuki Lembah Mayat. Dan lembah itu memang diakui sebagai daerah kekuasaannya. Sementara, Rangga benar-benar baru menyadari. Padahal dia tahu, Setan Perak Lembah Mayat memiliki ilmu kedigdayaan yang sangat tinggi tingkatannya. Hingga sampai saat ini, belum ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya.
"Maafkan atas kelancanganku memasuki daerahmu, Setan Perak. Aku benar-benar tidak tahu kalau padang rumput ini masih termasuk wilayah Lembah Mayat, daerah kekuasaanmu. Benar-benar tidak kusengaja. Masalahnya, aku sedang mencari temanku yang dibawa kabur," Rangga mencoba menjelaskan, dan tidak ingin melanjutkan keributan.
Bukannya Pendekar Rajawali Sakti gentar menghadapi Setan Perak Lembah Mayat, tapi memang tidak ingin berurusan dengan tokoh tua yang kesaktiannya sudah teramat terkenal ini. Apalagi, dia sedang menghadapi satu persoalan berat yang tidak ingin terus berlarut-larut
"Huh! Semua orang yang datang ke sini, selalu berkata begitu. Padahal aku tahu, mereka ingin membunuhku! Termasuk juga kau, Pendekar Rajawali Sakti...!" ketus sekali nada suara Setan Perak Lembah Mayat
"Tidak...! Aku berkata yang sesungguhnya, Setan Perak," bantah Rangga tegas.
"Phuih! Kau pikir aku bisa percaya begitu saja, heh...? Kedatanganmu ke sini pasti karena dikirim pendeta-pendeta busuk yang sok suci itu!" sentak Setan Perak Lembah Mayat lantang.
Rangga jadi terdiam. Bukannya karena tidak memiliki kata-kata bantahan lagi, tapi baginya memang tidak ada gunanya meyakinkan laki-laki tua penguasa Lembah Mayat ini. Sudah begitu banyak didengarnya tentang Setan Perak Lembah Mayat. Dan dia tahu, laki-laki tua ini tidak bisa menerima penjelasan apa pun juga.
"Kau tahu, Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan para pendeta itu. Tapi mereka selalu saja mencari persoalan. Dan sekarang, mereka mengirimmu untuk membunuhku. Huh...! Kau datang ke sini hanya untuk mengantarkan nyawa saja," kata Setan Perak Lembah Mayat, masih tidak sedap terdengar di telinga.
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Setan Perak. Aku benar-benar tidak tahu, dan..."
"Cukup...!" bentak Setan Perak Lembah Mayat, memutuskan kalimat Rangga.
"Hm.... "
"Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti," desis Setan Perak Lembah Mayat dingin menggetarkan. "Tahan ini! Hiyaaat..!"
Begitu cepat tangan kanan Setan Perak Lembah Mayat mengibas ke depan. Sehingga, membuat Rangga jadi terhenyak sesaat. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke kanan, ketika dari telapak tangan kanan Setan Perak Lembah Mayat yang terbuka melesat cepat cahaya keperakan ke arahnya.
"Hup!"
Rangga langsung melompat ke samping, begitu cahaya keperakan itu lewat di kiri tubuhnya. Tapi belum juga keseimbangan tubuhnya bisa terkuasai, kembali Setan Perak Lembah Mayat menyerang. Langsung dilontarkannya benda-benda bulat pipih secara beruntun dan cepat sekali ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah..!"
Terpaksa Rangga harus melenting ke udara, dan berjumpalitan menghindari serangan senjata-senjata maut Setan Perak Lembah Mayat Entah sudah berapa puluh benda-benda bulat pipih berwarna putih keperakan itu berhamburan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tak satu pun yang berhasil menyentuh tubuhnya. Namun demikian, Rangga harus berjumpalitan di udara menghindari senjata-senjata itu dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Tuk!
Trak!
Beberapa kali senjata-senjata maut itu berhasil disampok kedua tangan Rangga yang terkembang lebar, hingga berpentalan sebelum dapat menyentuh tubuhnya. Dan melihat tidak satu serangan pun yang berhasil bersarang di tubuh Pendekar Rajawali Sakti, Setan Perak Lembah Mayat langsung menghentikan serangan. Sementara, Rangga manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah berumput tebal.
"Hm.... Kau memang benar-benar tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, itu baru seujung kuku yang kumiliki," ejek Setan Perak Lembah Mayat datar. "Nah! Sekarang, terimalah seranganku yang lain. Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Setan Perak Lembah Mayat melompat menyerang dengan satu tangan kiri menjulur ke depan. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak menanti datangnya serangan. Dan begitu dekat, tiba-tiba saja tangan kanan Setan Perak Lembah Mayat menghentak, langsung mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Ups! Haiiit..!"
Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri. Langsung tangan kanannya dihentakkan ke depan dada untuk menangkis pukulan menggeledek yang dilepaskan Setan Perak Lembah Mayat. Begitu cepat serangan dan tangkisan itu terjadi, sehingga benturan dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi tidak dapat dihindari lagi. Dan....
Plak!
"Uts!"
"Hap...!"
Mereka sama-sama berlompatan ke belakang, dan berputaran beberapa kali di udara. Dan hampir bersamaan, mereka kembali menjejak tanah yang berumput tebal bagai permadani ini. Tampak mereka sama-sama mengurut pergelangan tangan masing-masing dengan bibir meringis menahan nyeri.
"Hap!"
"Hih...!"
Dan secara bersamaan pula, mereka kembali siap-siap melakukan pertarungan tingkat tinggi. Kali ini, satu sama lain telah menyadari tingginya tingkat kepandaian masing-masing. Maka sudah barang tentu, mereka tidak ingin bertindak ceroboh, yang bisa mengakibatkan celaka yang teramat parah
"Kita tentukan sekarang. Siapa di antara kita yang paling tangguh di jagat raya ini, Pendekar Rajawali Sakti," desis Setan Perak Lembah Mayat dingin.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah..!"
Begitu cepat Setan Perak Lembah Mayat melompat sambil melepaskan satu pukulan keras dan dahsyat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Sementara, Rangga juga sudah siap menerima serangan. Cepat-cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan, disertai pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Akibatnya, dua jurus pukulan tingkat tinggi itu pun bertemu tepat pada satu titik. Dan...
Glarr...!
Kembali terjadi ledakan sangat dahsyat menggelegar. Begitu dahsyatnya jurus yang dikerahkan hingga dari benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu sampai mengeluarkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah.
Tampak Rangga terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Sementara, Setan Perak Lembah Mayat terjungkal, dan bergulingan di tanah beberapa kali. Entah berapa kali pula Rangga berjumpalitan di udara. Dan dengan satu gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun tubuhnya sempat terhuyung-huyung, sebelum bisa menguasai keseimbangannya. Tampak dari sudut bibirnya mengalir darah.
Sedangkan Setan Perak Lembah Mayat memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. Tubuhnya jadi limbung, begitu melompat bangkit berdiri. Kepalanya menggeleng beberapa kali mengusir rasa pening dan pandangannya yang berkunang-kunang. Dari lubang hidungnya pun terlihat darah kental agak kehitaman mengalir keluar.
Sementara itu, Rangga sudah duduk bersila dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada. Melihat Pendekar Rajawali Sakti tengah mengembalikan kekuatan tenaga dalamnya, Setan Perak Lembah Mayat merasakan kalau ini adalah saat yang tepat untuk menghabisinya.
"Huh! Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaat...!" Sambil memaki dan berteriak lantang meng-gelegar, Setan Perak Lembah Mayat melompat.
Kecepatannya bagai kilat, saat menyerang Rangga yang masih tetap duduk bersila dengan sikap semadi. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap duduk bersila, seperti tidak peduli oleh datangnya serangan maut yang mengancam. Dan begitu pukulan menggeledek yang dilepaskan Setan Perak Lembah Mayat hampir menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja....
"Khraaagkh...!"
Wusss...!
"Heh...?!"
Plak!
"Akh...!"
Setan Perak Lembah Mayat tidak sempat menyadari lagi, begitu tahu-tahu tubuhnya sudah terpental balik ke belakang sambil menjerit keras agak tertahan. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, namun dengan gerakan gesit sudah cepat bangkit berdiri. Dan saat itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Mulutnya pun ternganga, seakan-akan tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri.
Memang sulit dipercaya. Di belakang Rangga yang masih tetap bersila dengan sikap bersemadi, tahu-tahu sudah ada seekor rajawali raksasa berbulu putih keperakan. Kedua bola matanya yang besar, terlihat memerah menatap tajam bagai hendak membakar seluruh tubuh Setan Perak Lembah Mayat
Sementara itu, Rangga mulai membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Dan sebelum kedua bola matanya bisa terpentang lebar lagi, Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dengan gerakan ringan sekali. Kini pemuda tampan itu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, tepat berada di depan Rajawali Putih yang tadi menggagalkan serangan Setan Perak Lembah Mayat.
"Kekuatanku sudah pulih kembali, Rajawali. Kau boleh pergi sekarang. Tapi, jangan jauh-jauh," ujar Rangga seraya berpaling sedikit, menatap wajah Rajawali Putih yang berada di atas kepalanya.
"Khrrrk...!"
"Tidak perlu khawatir, Rajawali. Aku bisa mengatasinya sendiri sekarang," kata Rangga, seakan bisa mengerti kekhawatiran Rajawali Putih.
"Khragkh...!"
Setelah merasa yakin kalau Rangga bisa ditinggalkan, Rajawali Putih kembali mengangkasa dengan hanya beberapa kali mengepakkan sayapnya saja. Begitu cepat terbangnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah jauh tinggi di antara awan. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak sekitar tiga batang tombak jauhnya dari Setan Perak Lembah Mayat
"Bagaimana, Setan Perak? Kau masih ingin melanjutkan perselisihan yang tidak ada gunanya ini...?" terdengar tenang sekali nada suara Rangga.
Setan Perak Lembah Mayat tidak langsung menjawab. Malah dipandanginya pemuda tampan berbaju rompi putih itu dalam-dalam. Kemudian, kepalanya sedikit mendongak, lalu kembali menatap Rangga. Sinar matanya tampaknya kini sangat sulit diartikan. Kemunculan Rajawali Putih yang melindungi Rangga dari serangan mautnya tadi, membuat Setan Perak Lembah Mayat sedikit bergetar. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat seekor burung yang begitu besar bagai sebuah bukit. Dan serangan mautnya tadi, begitu mudah dipatahkan burung rajawali raksasa itu. Sungguh tidak diketahuinya kalau pemuda tampan yang julukannya sudah sering terdengar itu memiliki pelindung seekor burung rajawali raksasa yang sangat mengerikan.
"Sejak semula, aku enggan berurusan denganmu, Setan Perak. Aku sendiri masih ada persoalan yang lebih penting, daripada harus melayanimu," kata Rangga lagi. Kali ini, nada suaranya terdengar agak ditekan.
"Lain kali kita akan bertemu lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku ingin kepastian, siapa di antara kita yang lebih tangguh," desis Setan Perak Lembah Mayat dingin menggetarkan.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja mendengar kata-kata bernada tantangan itu.
"Hap!" Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Setan Perak Lembah Mayat melesat begitu cepat Hingga, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak. Ditatapnya arah kepergian laki-laki tua yang dikenal berjuluk Setan Perak Lembah Mayat itu.
"Hm... Sempurna sekali ilmu meringankan tubuhnya. Hhh...! Hampir saja aku tadi tidak mampu meng-hadapinya," desah Rangga berbicara sendiri. Suaranya perlahan sekali, dan hampir tidak terdengar oleh telinganya sendiri.
Perlahan Rangga kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perhatiannya kini kembali terpusat pada Jaka Anabrang yang membawa lari Pandan Wangi dalam keadaan tidak berdaya.
"Hm.... Ke mana lagi aku harus mencarinya...?" gumam Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Hingga senja datang menyelimuti bumi, Rangga belum juga bisa menemukan jejak Jaka Anabrang yang membawa kabur Pandan Wangi. Sudah seluruh pelosok hutan di sekitar Lembah Mayat dijelajahinya, tapi tetap saja tidak bisa menemukan. Walaupun begitu, tidak sedikit pun terlihat adanya keputusasaan tergambar di wajahnya.
Semakin sulit menemukan jejak Jaka Anabrang, semakin besar pula tekadnya untuk terus mencari. Terlebih lagi, hatinya sangat mengkhawatirkan keselamatan Pandan Wangi di tangan laki-laki itu. Bayangan-bayangan buruk pun begitu cepat muncul dalam benak, tapi cepat pula Rangga menyingkirkannya jauh-jauh. Pemuda itu tidak ingin membayangkan hal-hal buruk pada diri Pandan Wangi. Dan sekarang ini, Rangga hanya bisa berharap tidak terjadi sesuatu pada diri gadis itu.
"Hm.... Tampaknya di depan sana ada per-kampungan," gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti terus mengayunkan kakinya dengan mantap. Pandangannya tidak berkedip, lurus ke depan. Rangga memang sudah berada di luar hutan sekitar Lembah Mayat. Dan tidak jauh lagi di depannya, terlihat sebuah perkampungan kecil yang kelihatannya sangat kumuh. Maka, Rangga kini semakin mempercepat ayunan kakinya. Saat ini, matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat Cahayanya yang kemerahan, begitu indah dinikmati. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa menikmatinya, karena pikirannya terus terpusat pada Pandan Wangi.
Rangga menghentikan ayunan kakinya, ketika melihat seorang laki-laki tua berjalan ke arahnya dari depan. Semakin dekat, semakin jelas orang tua itu terlihat. Laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu tidak mengenakan baju. Hanya celana hitam lusuh sebetas lutut saja yang melekat. Tubuhnya yang kurus, memperiihatkan baris-baris tulang yang seperti hanya terbalut kulit saja.
"Maaf, Ki. Boleh aku bertanya...?" Rangga mencegat langkah kaki orang tua itu.
"Hm...," gumam laki-laki tua itu perlahan. Orang tua itu menghentikan ayunan kakinya, dan mengangkat kepalanya sedikit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, memandangi Rangga dari kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan, pemuda tampan yang menghentikan jalannya ini tengah dinilainya. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terus dipandangi dengan sinar mata memancarkan kecurigaan.
"Maaf kalau aku mengganggu perjalananmu, Ki. Aku hanya ingin tahu, desa apa ini...?" ujar Rangga dengan sikap sangat sopan.
"Desa Singkep," sahut orang tua itu singkat. Nada suaranya terdengar sangat datar, seakan enggan menjawab.
"Terima kasih, Ki. Silakan jika ingin meneruskan," ucap Rangga tetap sopan.
"Hm...," kembali orang tua itu hanya menggumam saja.
Tapi orang tua itu tidak melanjutkan perjalanannya. Malah kembali dipandanginya Rangga dengan sinar mata seperti sedang menyelidiki. Mendapat pandangan yang demikian menyelidik, Rangga jadi jengah juga. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Maka dibiarkannya saja dirinya dipandangi begitu.
"Apakah ada yang aneh pada diriku, Ki...?" tanya Rangga, tidak tahan juga dipandangi terus-menerus begitu.
"Kau datang dari mana, Anak Muda?" orang tua itu malah balik bertanya.
Suara laki-laki tua itu masih tetap terdengar datar dan kering sekali. Walaupun sudah berusia lanjut, tapi sedikit pun tidak ditemukan adanya getaran pada nada suaranya. Hanya saja hal itu benar-benar di luar perhatian Rangga. Apalagi semua perhatiannya kini masih terpusat pada nasib Pandan Wangi yang sampai saat ini belum juga jelas.
"Dari Karang Setra," sahut Rangga.
"Di mana itu Karang Setra?"
"Di daerah selatan."
"Hm.... Lalu, apa maksudmu datang ke sini?"
"Aku sedang mencari adikku yang hilang diculik orang," sahut Rangga.
Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepala. Kembali dipandanginya Rangga dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Lalu, tatapan matanya tertumbuk pada bola mata Pendekar Rajawali Sakti ini. Sinar matanya begitu dalam, menembus bola mata Rangga. Seakan, dia ingin mencari kejujuran dari jawaban yang diberikan tadi.
"Kelihatannya kau sangat lelah, Anak Muda. Kau tentu membutuhkan tempat bermalam," kata orang tua itu memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat.
"Benar, Ki," sahut Rangga.
"Kau tidak akan mendapatkan penginapan di desa ini. Tapi kalau suka, kau boleh tinggal di rumahku malam ini," kata orang tua itu menawarkan,
"Terima kasih," ucap Rangga seraya membungkuk sedikit, memberi hormat.
"Ayo," ajak orang tua itu.
Tanpa menunggu jawaban lagi, orang tua itu langsung saja melangkah melewati pemuda ini. Sementara, Rangga segera mengikutinya dari belakang. Mereka terus berjalan beriringan tanpa bicara sedikit pun, dan semakin jauh dari Desa Singkep. Jalan yang ditempuh kini justru menyusuri tepian hutan Lembah Mayat. Sementara, matahari semakin jauh tenggelam di ufuk barat. Dan suasana pun semakin meremang. Suara binatang malam mulai terdengar saling bersahutan.
"Jauhkah rumahmu, Ki?" tanya Rangga. Pertanyaan itu terlontar karena Pendekar Rajawali Sakti merasakan sudah cukup jauh berjalan, tapi belum juga sampai.
"Tidak seberapa jauh lagi," sahut orang tua itu. Rangga diam. "Siapa namamu, Anak Muda?" tanya orang tua itu mengisi kebisuan.
"Rangga"
"Aku Ki Andak."
Sementara mereka mulai memasuki jalan setapak yang sangat kecil. Mau tak mau, Rangga terpaksa harus berjalan di belakang orang tua yang mengenalkan dirinya sebagai Ki Andak. Dan dari jalan setapak ini, sudah terlihat sebuah rumah kecil berdinding bilik bambu, dan beratapkan rumbia. Tampak dari wuwungan atap rumah itu mengepul asap. Dan sepertinya, tidak terlihat ada rumah lain di sekitarnya. Kini mereka terus berjalan menuju rumah yang kelihatannya tidak begitu besar itu.
"Itu rumahmu, Ki?" tanya Rangga.
"Benar," sahut Ki Andak.
"Sepertinya, kau tidak seorang diri tinggal di sana, Ki."
"Aku ditemani cucuku."
"Apakah aku tidak mengganggumu nanti, Ki..?"
"Rumah itu memiliki satu kamar kosong yang bisa kau gunakan selama berada di sini mencari adikmu."
"Terima kasih, Ki."
********************
TIGA
Rangga benar-benar tidak menyangka, kalau cucu yang dikatakan Ki Andak ternyata seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun. Wajahnya sangat cantik, bagaikan seorang putri bangsawan. Sikapnya pun teramat lembut. Sungguh sulit dipercaya kalau di tempat terpencil yang sangat jauh dari pemukiman penduduk, tinggal seorang gadis yang sangat cantik bagai bidadari.
Ki Andak mengenalkan cucunya pada Pendekar Rajawali Sakti. Saat menyebutkan namanya, suara gadis itu terdengar sangat halus dan lembut. Begitu halusnya, sampai-sampai Rangga hampir tidak bisa menyebutkan namanya sendiri. Rara Ayu Ningrum.... Nama yang sangat cocok untuk seorang gadis cantik seperti cucu Ki Andak ini.
Sementara itu, senja sudah berganti. Dan malam pun sudah datang menyelimuti sebagian permukaan bumi. Malam yang begitu pekat, sedikit pun tak terlihat cahaya bulan maupun bintang di langit. Seluruh angkasa terselimut awan tebal menghitam. Dan angin pun bertiup sangat kencang, sebuah pertanda kalau malam ini akan diwarnai guyuran air hujan.
Saat itu, Rangga masih duduk di beranda depan rumah Ki Andak. Hanya sebuah pebta kecil saja yang menemani. Nyala apinya pun redup, dan seringkali hampir padam tertiup angin malam yang cukup kencang. Rangga memalingkan kepala sedikit, saat telinganya mendengar suara langkah kaki keluar dari dalam. Agak terkejut juga hatinya, begitu melihat Rara Ayu Ningrum datang menghampiri membawa sebuah baki berisi gelas bambu yang mengepulkan uap hangat. Gadis itu duduk tidak jauh di samping Pendekar Rajawali Sakti. Lalu disodorkannya baki kayu itu ke depan Rangga.
"Untukku...?" tanya Rangga memastikan.
Rara Ayu Ningrum hanya mengangguk saja sambil tersenyum kecil.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya mengambil gelas bambu itu. Dihirupnya sedikit minuman hangat itu. Dengan sudut matanya, diliriknya wajah yang cantik dan selalu tertunduk ini.
Sementara, angin malam yang kencang mempermainkan rambut Rara Ayu Ningrum yang tergerai. Bau harum langsung menyeruak menusuk lubang hidung Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah cukup malam. Kau belum tidur...?" tanya Rangga seraya mengarahkan pandangan lurus ke depan.
"Aku sudah biasa tidur sampai larut malam," sahut Rara Ayu Ningrum.
"Ki Andak sudah tidur?" tanya Rangga.
"Sudah. Kakek selalu masuk kamar setiap kali pulang dari bepergian. Baru besok pagi keluar dari kamarnya."
"Kakekmuu pergi setiap hari?"
Rara Ayu Ningrum hanya menganggukkan kepala saja sedikit. Dan Rangga pun hanya melihat dengan lirikan matanya saja. Kembali mereka terdiam membisu, menikmati hembusan angin yang menyebarkan udara cukup dingin ini. Saat itu, terlihat percikan kilat menyambar bagai hendak membelah langit yang kelam. Dan titik-titik air pun mulai jatuh menyiram bumi.
"Sebaiknya kau masuk saja, Rara Ayu Ningrum. Udara di depan sini terialu dingin untukmu," ujar Rangga.
"Aku sudah terbiasa keadaan di sini," tolak Rara Ayu Ningrum. "Sebaiknya, jangan panggil aku dengan nama lengkap begitu. Panggil saja Ningrum." Rangga hanya tersenyum saja. "Dan aku akan memanggilmu kakang. Bagaimana...?"
"Boleh," sahut Rangga diiringi senyum.
Dan kembali mereka terdiam untuk beberapa saat. Sementara di luar beranda, hujan sudah turun lebat sekali. Kilat pun semakin sering berkelebat membelah angkasa, diiringi ledakan guntur yang memekakkan telinga.
"Kakang.... Tadi kakek mengatakan kalau kau sedang mencari adikmu. Benar...?" tanya Rara Ayu Ningrum sambil menatap wajah Rangga dalam-dalam.
"Ya...," sahut Rangga agak mendesah, sambil menghembuskan napas panjang.
"Adikmu perempuan?"
Rangga menjawab dengan anggukan kepala.
"Sudah berapa lama?"
"Baru siang tadi."
"Kau tahu, siapa yang menculiknya?"
Lagi-lagi Rangga menganggukkan kepala, menjawab pertanyaan gadis itu. Dan pandangannya pun terus tertuju ke depan, seakan hendak menembus tirai curah hujan yang turun lebat sekali.
"Siapa orang yang menculik adikmu, Kakang?"
"Jaka Anabrang," sahut Rangga berterus terang.
"Jaka Anabrang...," desah Rara Ayu Ningrum mengulangi nama yang disebutkan Rangga.
Dan kembali mereka terdiam. Entah kenapa, Rangga suka sekali memperhatikan wajah cantik yang berada di sebelahnya dengan sudut matanya. Saat itu, Rara Ayu Ningrum tengah mengarahkan pandangannya lurus ke depan, sehingga tidak menyadari kalau Rangga tengah menjilati wajahnya dengan ekor matanya.
"Jaka Anabrang...," kembali Rara Ayu Ningrum menggumamkan nama orang yang membawa kabur Pandan Wangi.
"Kau kenal dengannya, Ningrum?" tanya Rangga.
"Entahlah, Kakang. Aku seperti pernah mendengar nama itu," sahut Rara Ayu Ningrum, agak mendesah suaranya.
Sepertinya gadis itu ragu-ragu atas jawabannya sendiri. Sedangkan Rangga sudah tidak lagi melirik, tapi menatap dalam-dalam wajah cantik gadis itu. Tapi yang dipandangi tetap memandang lurus ke depan, bagai memperhatikan curahan air hujan yang semakin deras turun menghantam bumi.
"Mungkin kakek tahu nama itu, Kakang," duga Rara Ayu Ningrum, seraya berpaling.
Saat itu juga, pandangan mata mereka bertemu. Tapi mereka sama-sama cepat mengalihkan ke arah lain.
"Seharusnya persoalanmu kau ceritakan pada kakek, Kakang. Barangkali saja kakek dapat membantu," kata Rara Ayu Ningrum lagi.
"Sudah," sahut Rangga singkat.
"Tapi kau belum jelas menceritakannya, bukan...? Kau hanya mengatakan kalau sedang mencari adikmu yang diculik orang. Hanya itu yang kakek katakan padaku," kata Rara Ayu Ningrum.
Rangga hanya diam saja. Memang semua yang terjadi belum diceritakan pada Ki Andak. Bahkan juga belum mengatakan yang sebenarnya pada gadis ini. Dia hanya mengatakan sedikit dari semua yang telah terjadi, sampai terpisah dengan Pandan Wangi sekarang ini.
"Aku sudah cukup merepotkan kalian berdua, Ningrum. Aku tidak ingin menambah repot lagi," tolak Rangga, halus.
"Sama sekali tidak, Kakang. Kakek memang sering menolong orang yang sedang mengalami kesulitan. Aku yakin, kakek pasti bisa menolongmu," tegas Rara Ayu Ningrum. Rangga hanya diam saja. "Kakek bukan hanya seorang tabib, tapi dulu juga seorang pendekar. Ilmu-ilmu yang dimilikinya sangat tinggi. Bahkan di sekitar Lembah Mayat ini, tidak ada yang bisa menandinginya. Kecuali...," Rara Ayu Ningrum tidak melanjutkan.
"Kecuali apa, Ningrum?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kecuali si Setan Perak Lembah Mayat, yang menguasai seluruh daerah Lembah Mayat yang ada di tengah-tengah hutan sana," sahut Rara Ayu Ningrum seraya menunjuk ke depan.
"Ki Andak pernah bertarung dengannya?" tanya Rangga.
"Pernah. Hanya kakek saja orang satu-satunya yang bisa keluar dari Lembah Mayat dalam keadaan hidup. Entah sudah berapa puluh orang yang mencoba menantangnya, namun tidak pernah terdengar lagi namanya. Termasuk...," kembali Rara Ayu Ningrum memutuskan kata-katanya.
"Termasuk siapa, Ningrum...?" desak Rangga ingin tahu.
"Ah...!"
Plak!
Rara Ayu Ningrum menepak keningnya sendiri, seakan baru teringat sesuatu. Sedangkan Rangga memandangi wajah cantik gadis itu dalam-dalam.
"Aku baru ingat sekarang, Kakang. Pantas sejak tadi nama orang yang menculik adikmu pernah kudengar. Huh...! Aku ingat sekarang, Kakang. Aku tahu. Tapi..., apa benar Jaka Anabrang yang menculik adikmu, Kakang...?"
"Aku tidak pernah menuduh orang sembarangan, Ningrum. Bahkan aku sempat bertarung dengannya," tegas Rangga.
"Mustahil...," desis Rara Ayu Ningrum seraya menggelengkan kepala beberapa kali.
"Kenapa mustahil...?" tanya Rangga jadi heran.
"Itu bisa saja terjadi, Ningrum..."
"Heh...?!"
"Oh...!"
Rangga dan Rara Ayu Ningrum jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Bersamaan mereka berpaling ke belakang. Ternyata, tahu-tahu Ki Andak sudah berdiri di ambang pintu. Laki-laki yang sudah lanjut usia itu melangkah menghampiri, duduk bersila di antara Rangga dan Rara Ayu Ningrum.
"Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian berdua sejak tadi," kata Ki Andak
"Maaf, Ki. Kalau pembicaraan kami mengusik tidurmu," ucap Rangga sopan.
"Tidak, Rangga. Aku memang tidak tidur, dan mendengar semua yang dibicarakan. Dan aku begitu tertarik setelah kau menyebutkan nama Jaka Anabrang," sahut Ki Andak.
Rangga terdiam. Dan Rara Ayu Ningrum juga tidak bicara lagi. Gadis itu lalu bangkit, dan masuk ke dalam. Tapi, tidak lama kemudian dia keluar lagi sambil membawa dua gelas bambu dan sebuah kendi dari tanah liat yang mengepulkan uap hangat dari lubang yang terdapat di atasnya. Dituangnya minuman hangat dari dalam kendi tanah liat itu ke dalam dua gelas bambu yang dibawanya dari dalam. Satu gelas disorongkan ke depan Ki Andak, kemudian diisinya kembali gelas Rangga yang telah kosong
"Sebenarnya, aku sendiri sedang mencari anak itu, Rangga. Sudah sejak lama aku curiga padanya. Dan semua kecurigaanku ternyata menjadi kenyataan. Sayang..., mereka tidak pernah mau mendengar kata-kataku. Dan setelah semuanya terjad, kesalahannya dilimpahkan pada Pendeta Gondala," kata Ki Andak dengan suara terdengar pelan.
Hampir sulit ditangkap telinga suara Ki Andak, karena hampir hilang ditelan suara air hujan yang turun bagaikan dituang dari langit. Dan, Rangga bisa mengerti semua yang diucapkan Ki Andak (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Pedang Halilintar).
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, ada persolan apa sebenarnya antara Ki Andak dengan Jaka Anabrang. Hanya saja, pertanyaan itu tidak terlalu lama bersemayam di benak Rangga. Buktinya tanpa diminta, Ki Andak menceritakan kejadiannya, hingga juga terlibat dalam urusan Jaka Anabrang
"Aku dan para pendeta benar-benar menyesal telah mendidik Jaka Anabrang. Walaupun aku sendiri sebenarnya sudah menentang dan memperingatkan para pendeta. Dan aku terpaksa mengikuti mereka, untuk mendidik Jaka Anabrang. Hampir semua ilmu yang kumiliki sudah kuwariskan padanya. Dan sudah semua ilmu para pendeta diserapnya. Tapi, ternyata harapan kami semua hanya sia-sia belaka. Anak itu bukannya menjadi benar, tapi malah berputar balik. Bahkan sekarang menjadi musuh kami nomor satu," jelas Ki Andak bernada menyesalkan.
"Jadi, Jaka Anabrang juga termasuk muridmu, Ki...?" tanya Rangga ingin meyakinkan.
"Jaka Anabrang bagaikan sembilan orang berada dalam satu tubuh manusia, Rangga. Sembilan aliran ilmu sudah terserap ke dalam aliran darahnya. Jadi sangat sulit menaklukkannya. Bahkan aku sendiri, tidak mungkin bisa menandinginya. Terlebih lagi, sekarang Pedang Halilintar dipegangnya. Senjata yang teramat dahsyat, dan sukar sekali dicari tandingannya," kata Ki Andak menjelaskan.
"Lalu, kenapa dia sampai berbalik seperti itu, Ki? Bukankah para pendeta tidak hanya membekali ilmu-ilmu kedigdayaan saja...? Paling tidak, jiwa dan pikirannya sudah terisi. Jadi, bagaimana mungkin bisa beralih aliran begitu jauh, Ki?" tanya Rangga masih belum juga mengerti.
"Mungkin inilah kesalahan kami semua, Rangga. Jaka Anabrang memang dipersiapkan untuk menandingi Setan Perak Lembah Mayat. Bertahun-tahun kami menggemblengnya dengan berbagai ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Begitu inginnya aku dan para pendeta melenyapkan Setan Perak Lembah Mayat, sehingga lupa membekali Jaka Anabrang dengan pelajaran yang sangat penting. Dan jiwanya ternyata benar-benar tak terkendali. Kosong, seperti tempayan yang belum tersentuh air," jelas Ki Andak dengan suara pelan bemada menyesal.
Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Hingga pada hari yang dianggap cukup baik, Jaka Anabrang kami bawa ke Lembah Mayat Tapi, perhitungan kami ternyata meleset jauh. Setan Perak Lembah Mayat masih terlalu tangguh, dan sukar ditaklukkan. Jaka Anabrang terluka parah. Dan untungnya, dia masih bisa diselamatkan keluar dari Lembah Mayat..."
Ki Andak berhenti sebentar, mengatur jalan napasnya yang terdengar mulai memburu. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum masih diam, belum bersuara. Mereka begitu seksama mendengarkan cerita laki-laki tua itu.
"Setelah pertarungan itu, Jaka Anabrang jadi berubah. Sikapnya jadi pendiam, dan tidak banyak bicara. Bahkan seringkali menyendiri dan tidak mau berteman. Tiga purnama Jaka Anabrang selalu menyendiri. Dan suatu ketika, peristiwa yang menggemparkan pun terjadi. Jaka Anabrang telah mencuri Pedang Halilintar dari tempat penyimpanan senjata pusaka di puri. Bahkan telah membunuh lebih dari sepuluh orang murid dan tujuh orang pendeta. Dia berhasil membawa lari pedang itu," sambung Ki Andak.
"Apa tidak ada yang mengejar, Ki?" tanya Rangga.
"Sudah. Tapi, dia malah masuk ke dalam Lembah Mayat. Dan sejak itu, kabarnya tidak lagi terdengar sampai sekarang ini. Aku benar-benar tidak tahu kalau Jaka Anabrang sudah mulai bertindak. Semula, kukira dia sudah mati di Lembah Mayat," sahut Ki Andak terus menjelaskan.
Dan suasana pun menjadi sunyi, saat Ki Andak tidak membuka suara lagi. Sementara, hujan yang tadi turun begitu deras sudah berhenti sama sekali. Hanya titik-titik air dari dedaunan saja yang masih terlihat jatuh menghantam bumi. Langit pun kelihatan mulai cerah. Kerlip cahaya bintang mulai terlihat menghias. Angin berhembus semakin dingin, tapi sama sekali tidak dirasakan oleh mereka yang duduk di beranda depan rumah Ki Andak ini
"Ki! Apa mungkin Jaka Anabrang bergabung dengan Setan Perak Lembah Mayat..?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Kemungkinan itu memang ada, Rangga. Mengingat Jaka Anabrang masih tergolong muda. Dan lagi, dia haus akan ilmu kedigdayaan," sahut Ki Andak.
"Mungkin karena kekalahannya, hingga ingin menimba ilmu si Setan Perak, Kek," selak Rara Ayu Ningrum.
"Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Ningrum. Yang jelas, dunia pasti kiamat kalau mereka berdua sampai bergabung. Tidak ada lagi pendekar yang bisa menandingi kesaktiannya. Walaupun hanya berdua, tapi mereka sanggup menghadapi dua puluh pendekar berkepandaian tinggi sekaligus.
"Gila ..!" desis Rara Ayu Ningrum.
"Jaka Anabrang sudah muncul. Hm... Pasti tidak lama lagi, Setan Perak Lembah Mayat juga akan muncul. Dan setiap kemunculannya, selalu menimbulkan bencana yang tidak kecil," kata Ki Andak, dengan suara mendesis.
Sementara Rangga jadi terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau Ki Andak dan Rara Ayu Ningrum sudah mengetahui tentang Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Tapi walaupun begitu, Rangga tidak juga menceritakan peristiwa yang terjadi seluruhnya. Juga, tentang pertarungannya dengan Setan Perak Lembah Mayat.
Sementara, malam terus merambat semakin larut Hujan pun sudah berhenti sama sekali. Dan, udara malam ini masih terasa begitu dingin menggigilkan sampai menusuk tulang. Tapi semua itu seperti tidak dirasakan sama sekali. Mereka begitu asyik membicarakan Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Namun, kali ini Rangga lebih banyak diam mendengarkan. Dan dari cerita Ki Andak yang selalu diseling Rara Ayu Ningrum, Rangga jadi bisa mengetahui lebih banyak lagi tentang Jaka Anabrang.
"Ssst..!"
Tiba-tiba saja Ki Andak mendesis sambil meletakkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, pertanda memberi isyarat agar semuanya diam. Saat itu juga, Rara Ayu Ningrum yang tengah bicara langsung diam. Sedang-kan Rangga langsung mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
Dengan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa menangkap adanya langkah-Iangkah kaki yang begitu halus dan ringan. Jelas, itu adalah langkah kaki seseorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi sekali. Begitu tingginya, sampai-sampai langkah itu hampir tidak terdengar sama sekali.
"Tampaknya malam ini kita kedatangan tamu, Rangga," kata Ki Andak pelan, seperti untuk diri sendiri
Pandangan Ki Andak tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti yang tetap diam, duduk bersila tepat di depannya. Sedikit Rangga memiringkan kepala ke kanan, dan suara langkah kaki yang sangat ringan itu semakin jelas terdengar.
"Ningrum, masuklah ke dalam," kata Ki Andak memerintah, seraya menatap gadis cantik yang duduk di sebelahnya.
Tanpa diperintah dua kali, Rara Ayu Ningrum segera bangkit berdiri. Tapi baru saja berdiri, mendadak saja....
Wusss!
"Awasss...!" seru Rangga.
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengibaskan tangan kanannya dengan kecepatan tinggi. Memang, saat itu terlihat seleret cahaya keperakan tengah meluncur begitu cepat bagai kilat ke arah Rara Ayu Ningrum.
Tapi, kilatan cahaya keperakan itu langsung lenyap begitu tangan kanan Rangga mengibas. Sementara, dua kali Rangga melenting berputaran di udara. Lalu, manis sekali kakinya kembali menjejak lantai beranda depan rumah Ki Andak yang terbuat dari belahan papan yang diseiut halus.
"Apa itu, Rangga?" tanya Ki Andak yang juga cepat bangkit berdiri.
Rangga membuka telapak tangan, dan menyorongkannya ke depan pada Ki Andak. Tampak di atas telapak tangan pemuda itu terdapat sebuah benda bulat pipih berwarna keperakan yang kecil bentuknya.
"Setan Perak Lembah Mayat.," desis Ki Andak langsung mengenali pemilik benda itu.
Ki Andak segera menatap cucunya. Melihat sorot mata laki-laki tua itu, Rara Ayu Ningrum sudah bisa mengartikannya. Segera gadis itu masuk ke dalam rumah, dan menutup pintunya. Sementara, Rangga dan Ki Andak tetap berdiri di beranda, memandang lurus ke dalam kegelapan malam. Sedikit pun mereka tidak membuka suara, tapi segera memasang pendengaran tajam-tajam.
"Hm...," Rangga menggumam pelan.
Meskipun Pendekar Rajawali Sakti masih mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', tapi suara langkah kaki yang tadi terdengar begitu ringan, sudah tidak lagi terdengar sedikit pun juga. Bahkan Rangga juga tidak bisa mengetahui keberadaan orang itu.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya hendak keluar dari beranda depan ini. Tapi belum juga sampai di luar, tiba-tiba saja kembali sebuah benda bulat pipih yang memancarkan cahaya keperakan melesat begitu deras. Arahnya adalah menuju pemuda berbaju rompi putih ini
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga melenting ke udara, sambil berputaran beberapa kali. Tampak benda bercahaya keperakan itu melesat begitu cepat, dan menancap pada tiang penyangga beranda yang terbuat dari kayu jati.
"Hap! Hiyaaa. .!"
EMPAT
Begitu cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat, sehingga dalam sekejap saja sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman depan rumah yang tidak begitu luas ini. Sementara, Ki Andak sudah berdiri di tepian beranda. Pandangannya pun begitu tajam beredar berkeliling.
Kesunyian begitu mencekam di malam yang sangat gelap ini. Begitu sunyinya sehingga desir angin begitu jelas mengusap daun telinga. Bahkan sisa-sisa titik air di dedaunan yang jatuh pun begitu jelas terdengar suaranya. Cukup lama juga kesunyian yang menegangkan ini berlangsung. Sementara, Rangga mengarahkan pandangan pada Ki Andak yang masih berdiri di tepian beranda depan rumahnya.
"Kau lihat ada orang, Rangga?" tanya Ki Andak dengan suara agak keras.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Memang, tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Keadaan begitu gelap, dan berkabut. Sulit untuk melihat jarak jauh. Bahkan juga tidak terdengar suara yang mencurigakan. Benar-benar sulit Tapi Pendekar Rajawali Sakti kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan tetap memasang telinganya tajam-tajam. Dan ketika pandangannya tertuju ke atap rumah....
"Heh...?!"
Wusss!
"Haits...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuh, begitu tiba-tiba dari atap rumah melesat secercah cahaya keperakan bagai kilat ke arahnya. Begitu cepat cahaya kilat keperakan itu meluruk, sehingga hanya sedikit saja lewat di antara putaran tubuh Rangga di udara.
"Hup!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas atap, begitu berhasil menghindari serangan cahaya kilat keperakan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga dalam waktu sekejap saja sudah mendarat di atas atap rumah Ki Andak. Sedikit pun tidak terdengar suara, saat kedua kakinya menjejak atap.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik napas, dari bawah melesat sebuah bayangan begitu cepat ke arahnya. Dan tahu-tahu, di samping pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri Ki Andak. Dan pada saat itu, mereka melihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat di belakang rumah, lalu langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
"Tidak perlu dikejar," kata Ki Andak cepat-cepat
Rangga yang akan mengejar bayangan itu, jadi mengurungkan niatnya. Ditatapnya laki-laki tua yang baru sore tadi ini dikenalnya. Dan tanpa bicara sedikit pun juga, Ki Andak melompat turun dari atap nimahnya, diikuti Rangga. Hampir bersamaan mereka kembali menjejakkan kaki di tanah, dan kembali masuk ke dalam beranda. Mereka duduk lagi di beranda itu tanpa bicara sedikit juga. Namun, terdengar beberapa kali tarikan napas dan hembusan napas yang agak memburu. Jelas sekali kalau malam ini mereka didatangi dua orang yang tidak jelas maksudnya. Begitu tiba-tiba menyerang, dan begitu cepat pula menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
"Aku tahu orang kedua yang muncul tadi, Ki," kata Rangga baru membuka suara, setelah cukup lama terdiam.
"Jaka Anabrang...," desah Ki Andak, langsung menebak tepat
"Ya! Dialah yang selama ini kucari," sahut Rangga, juga dengan suara pelan, agak mendesah.
Ki Andak terdiam. Tatapan matanya langsung menembus bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang memancar kosong dan lurus ke depan. Saat itu, dari dalam rumah keluar Rara Ayu Ningrum. Gadis itu duduk di sebelah kanan Ki Andak. Sementara Rangga hanya melirik sedikit saja. Sedangkan gadis itu memandanginya dengan sinar mata sukar sekali diartikan.
Entah berapa lama mereka terdiam membisu, sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Sementara, malam terus merambat naik semakin larut Dan udara pun semakin terasa dingin menggigit kulit. Hanya suara-suara serangga malam saja yang terus mengisi kekosongan dan kesunyian malam ini.
********************
Semalaman penuh Rangga tidak bisa memicingkan matanya sekejap pun juga. Badan dan pikirannya terasa lelah sekali, tapi sedikit pun tidak bisa mengstirahatkannya. Hatinya masih merasa belum bisa tenang, sebelum bisa mengetahui keadaan Pandan Wangi yang sampai saat ini masih berada di dalam cengkeraman Jaka Anabrang.
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum juga menampakkan dirinya, Pendekar Rajawali Sakti sudah keluar dari rumah Ki Andak. Di depan, tampak Rara Ayu Ningrum tengah membereskan beranda. Gadis itu hanya melirik saja saat Rangga melewatinya tanpa menegur sedikit pun. Seketika pekerjaannya dihentikan begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan keluar tanpa menoleh sedikit pun padanya.
"Kakang...," panggil Rara Ayu Ningrum.
Rangga menghentikan langkahnya tanpa sedikit pun berpaling. Dan dia tetap berdiri tegak, tanpa memutar tubuhnya. Sementara, Rara Ayu Ningrum terus memandangi dari beranda sambil melangkah perlahan-lahan menghampiri pemuda tampan berbaju rompi putih yang pada punggungnya bertengger sebilah pedang bergagang kepala burung. Rara Ayu Ningrum sengaja melewatinya sedikit, kemudian berdiri sekitar tiga langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan ke mana?" tanya Rara Ayu Ningrum.
"Pergi," sahut Rangga datar
"Pergi? Ke mana?" tanya Rara Ayu Ningrum lagi.
Kedua bola mata indah milik gadis itu terusmenerus memandangi sepasang bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang memandang lurus ke depan. Sinar matanya kelihatan kosong, seperti tidak memiliki arti sama sekali. Entah kenapa, pagi ini sikap Pendekar Rajawali Sakti jadi berubah. Dan tentu saja membuat Rara Ayu Ningrum jadi bertanya-tanya dalam hati.
"Kau ingin meninggalkan kami begitu saja, Kakang? Apa sudah tidak ingat lagi pesan kakek...?" terdengar agak ditahan nada suara Rara Ayu Ningrum.
Rangga hanya diam saja. Dihembuskannya napas panjang, yang terasa begitu berat. Sama sekali kata-kata Ki Andak semalam tidak dilupakannya. Laki-laki tua itu menginginkannya untuk bersatu, menghadapi Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Dan malam itu, Rangga memang tidak berkata apa-apa sedikit pun juga. Keinginan Ki Andak tidak disetujuinya, juga tidak ditolaknya. Tapi entah kenapa, dia merasakan kalau urusannya dengan Jaka Anabrang adalah urusan pribadinya sendiri. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak memerlukan siapa pun juga untuk menemaninya. Yang jelas, Jaka Anabrang ingin dihadapinya seorang diri.
Walaupun disadari kalau tidak mudah menghadapi pemuda yang bersenjatakan Pedang Halilintar yang dahsyat itu, tapi tetap saja dalam hati Rangga hanya ingin sendirian saja menghadapinya. Terutama, membebaskan Pandan Wangi dari cengkeramannya. Walau maksud dan tujuannya sangat baik, tapi yang jelas tujuan Ki Andak berbeda jauh sekali dengan Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun, sama-sama bersifat pribadi.
"Aku akan mencari Jaka Anabrang, di manapun kini berada," kata Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Aku tahu, Kakang. Tapi kakek bilang, kita harus menghadapinya bersama-sama. Jaka Anabrang terlalu tangguh bila Pedang Halilintar bersamanya. Terlebih lagi sekarang ini, dia sudah mempunyai pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Kau harus pikirkan itu, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum mengingatkan.
"Semuanya sudah kupikirkan, Ningrum. Terima kasih atas perhatianmu," ucap Rangga seraya menatap gadis itu dan memberikan senyuman manis.
Dan ternyata, jelas sekali terlihat garakan di bibir Pendekar Rajawali Sakti saat memberikan senyuman. Dan Rara Ayu Ningrum tahu, senyuman itu teramat dipaksakan. Bisa dirasakan juga kepedihan hati pemuda tampan ini, walaupun tidak tahu tentang Pandan Wangi yang sesungguhnya. Dan yang diketahuinya, Pandan Wangi adalah adik Pendekar Rajawali Sakti ini.
Di sisi lain, Rara Ayu Ningrum juga tidak tahu kalau pemuda tampan yang kini berdiri di depannya adalah seorang pendekar muda digdaya yang sudah begitu kondang sekali julukannya di dalam rimba persilatan. Gadis itu tidak tahu, Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga sendiri memang tidak pernah menceritakan tentang dirinya yang sebenarnya, baik pada Ki Andak sekalipun.
"Aku pergi dulu, Ningrum," pamit Rangga.
"Kakang..."
Rara Ayu Ningrum cepat mencegah langkah Rangga, dengan mencekal pergelangan tangan kanan. Seketika, Rangga jadi menghentikan langkahnya yang baru dua tindak. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Kemudian dipandanginya pergelangan tangannya yang dipegang gadis itu kuat-kuat. Halus sekali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalan tangan gadis itu. Sementara bibirnya terlihat me-lepaskan senyuman.
"Kau hanya akan mengantarkan nyawa saja bila pergi sendiri, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum masih mencoba mencegah.
Tapi kekhawatiran Rara Ayu Ningrum hanya dibalas senyuman saja. Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya sejauh tiga langkah dari gadis ini, setelah pergelangan tangannya tidak dipegangi lagi.
"Aku tahu kau cemas, Ningrum. Tapi, percayalah. Aku bisa menjaga diri," kata Rangga mencoba menenangkan.
"Tapi, Kakang..."
Belum selesai kata-kata Rara Ayu Ningrum, tiba-tiba saja terlihat sebatang anak panah meluncur cepat bagai kilat ke arahnya. Rangga yang melihat lebih dulu, segera cepat melesat dan mengibaskan tangannya.
Tappp!
Anak panah itu berhasil ditangkap, tepat di saat ujungnya hampir saja menyentuh dada Rara Ayu Ningrum yang membusung indah. Cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tangan gadis itu, dan membawa ke belakangnya. Sedikit matanya melirik anak panah yang kini berada dalam genggaman tangan kanannya. Kemudian...
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melemparkan anak panah itu ke arah datangnya tadi. Begitu sempurna pengerahan tenaga dalamnya, sehingga anak panah yang dilemparkan kembali meluncur deras bagai kilat. Anak panah itu terus meluncur, dan langsung menembus segerumbul semak belukar di antara pepohonan. Maka seketika itu juga...
Srak!
Crab!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang dan melengking tiba-tiba terdengar begitu menyengat, disusul munculnya seorang laki-laki dari dalam semak. Tampak sebatang anak panah tertancap tepat di tenggorokannya. Orang itu kemudian jatuh terguling, menyemburkan darah dari lehernya yang tertembus anak panah. Rangga dan Rara Ayu Ningrum bergegas menghampiri, tapi ternyata orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
"Kau kenal dia, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.
Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya wajah laki-laki yang masih muda itu. Dan memang, sama sekali tidak dikenalnya. Apalagi melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti memeriksa mayat laki-laki itu, tapi tak ada yang bisa ditemukan. Perlahan kemudian kepalanya berpaling, dan memandang Rara Ayu Ningrum yang ternyata juga tengah memandangnya. Saat itu, terlihat Ki Andak keluar dari dalam rumah dengan langkah lebar-lebar menghampiri. Mungkin jeritan orang ini telah didengarnya tadi, sehingga cepat-cepat keluar dari dalam rumahnya.
"Ada apa...?!" tanya Ki Andak langsung, begitu dekat
"Orang ini menyerangku dengan panah, Kek. Dan Kakang Rangga yang mengembalikan panahnya," sahut Rara Ayu Ningrum, seraya menunjuk mayat pemuda yang tergeletak dengan leher tertancap anak panah.
"Kau kenal dia, Rangga?" tanya Ki Andak, seraya merayapi wajah mayat pemuda itu.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja.
"Hm...," Ki Andak menggumam pelan.
Laki-laki tua itu membungkuk sedikit, dan memeriksa beberapa bagian tubuh mayat ini. Tak lama, tubuhnya kembali tegak. Langsung ditatapnya Rangga, kemudian beralih pada Rara Ayu Ningrum. Satu tarikan napas panjang terdengar, disertai hembusan napas yang begitu be rat
"Dia salah seorang pengikut Jaka Anabrang," jelas Ki Andak.
"Kau mengenalinya, Ki?" tanya Rangga.
"Aku tidak kenal orangnya. Tapi tanda pada dada kiri itu menyatakan kalau dia pengikut Jaka Anabrang," sahut Ki Andak, seraya menunjuk sebuah tanda hitam bergambar seekor kelelawar pada dada kiri mayat itu.
"Hm...," Rangga menggumam pelan, seraya melirik tanda bergambar kelelawar itu.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti kembali menatap Ki Andak yang masih terus memperhatikan mayat pemuda ini. Sedangkan Rara Ayu Ningrum diam saja, tidak membuka suara sedikit pun juga. Pandangannya selalu berpindah dari Ki Andak ke Pendekar Rajawali Sakti. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Dan untuk beberapa saat, tidak ada seorang pun yang membuka suara.
"Ayo ke dalam," ajak Ki Andak.
Tanpa menunggu jawaban sedikit pun, laki-laki tua itu melangkah kembali ke rumahnya. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum mengikuti dari belakang, meninggalkan begitu saja mayat pemuda pengikut Jaka Anabrang. Sementara dalam benak Rangga terus bertanya-tanya, kenapa Jaka Anabrang malah mengejarnya? Bukankah justru dirinya sendiri yang telah mengejar pemuda penculik Pandan Wangi itu....? Begitu banyak pertanyaan bergayut di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti, tapi semuanya tidak ada yang terjawab. Dan semua pertanyaan itu hanya tersimpan dalam kepalanya.
Sementara, mereka sudah berada di depan, duduk di lantai yang hanya beralaskan selembar tikar pandan. Rara Ayu Ningrum masuk ke dalam. Tapi tidak lama kemudian, sudah keluar lagi sambil membawa sebuah baki kayu berisi beberapa buah gelas bambu dan makanan-makanan kecil. Gadis itu mengambil tempat, duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau masih akan pergi juga setelah kejadian tadi, Rangga?" tanya Ki Andak, langsung menatap mata Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam.
Rangga tidak langsung menjawab. Malah dibalasnya tatapan orang tua itu dengan sinar mata yang begitu sulit diartikan. Dan untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka suara. Sementara, Ki Andak tampaknya terus menunggu jawaban Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah, Ki. Tapi, secepatnya aku harus membebaskan Pandan Wangi," kata Rangga, menjawab pertanyaan Ki Andak tadi.
"Kau tahu, di mana Jaka Anabrang menyembunyikan adikmu itu?" tanya Ki Andak lagi.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja.
"Tapi aku yakin tidak jauh dari sini, Kek," selak Rara Ayu Ningrum.
"Hm.... Bagaimana kau bisa menduga demikian, Ningrum?" tanya Ki Andak.
"Sudah dua kali terjadi, Kek. Dan aku yakin, bukan hanya Kakang Rangga saja yang menjadi incaran. Tapi juga kita," sahut Rara Ayu Ningrum. "Bukankah Kakek juga salah satu dari gurunya...?"
"Kau benar, Ningrum. Aku memang sempat mengajarkan jurus-jurus ilmu kedigdayaan tingkat tinggi yang bisa dikuasainya dengan sempurna. Bahkan lebih sempurna dari yang kumiliki," kata Ki Andak.
"Dari semua gurunya, sudah ada tujuh orang yang tewas, Kek. Dan aku merasa pasti semua gurunya hendak dilenyapkannya," kata Rara Ayu Ningrum mengemukakan pendapatnya.
"Aneh...," desis Rangga tanpa sadar, seperti hanya dirinya sendiri saja yang ada di beranda depan ini.
"Apanya yang aneh, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.
"Ya... Rasanya sangat aneh kalau seorang murid hendak melenyapkan gurunya," sahut Rangga. "Bukankah seharusnya murid harus berbakti pada gurunya? Bukan malah melenyapkannya...! Tapi, Jaka Anabrang justru sebaliknya. Semua gurunya didatanginya, setelah berhasil menguasai Pedang Halilintar untuk dibunuhnya dengan pedang itu. Apa ini tidak aneh...?"
"Kau benar, Rangga. Memang tindakan Jaka Anabrang sangat aneh, dan sukar diterima akal. Hm... Apa kau ada pemikiran lain, Rangga?" ujar Ki Andak.
Rangga tidak langsung menjawab. Malah ditatapnya Rara Ayu Ningrum. Sedangkan gadis itu malah menundukkan kepalanya. Seakan, dia tidak ingin bertatapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dan, pandangan Rangga pun kembali beralih pada Ki Andak.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya, Ki. Tapi..., entahlah," ujar Rangga, seakan-akan ragu mengucapkannya.
"Kek, apa mungkin jiwa dan pikiran Jaka Anabrang sudah dikendalikan orang lain?" selak Rara Ayu Ningrum, juga terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Kalau memang benar, siapa yang bisa mengubah dan menguasai jiwa serta pikiran seseorang...?" Ki Andak malah balik bertanya. Tapi, nada suaranya seperti bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Ki Andak. Kini mereka semua terdiam, memikirkan jawabannya. Sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab, karena saat ini mereka semua masih meraba-raba. Tapi yang jelas, semua pertanyaan itu akan terjawab kalau mereka sudah bertemu Jaka Anabrang. Dan ini yang menjadi persoalannya, tidak ada seorang pun yang tahu keberadaan Jaka Anabrang kini.
Jaka Anabrang sudah bagaikan siluman saja. Kemunculannya tidak pemah diketahui. Bahkan kepergiannya pun sangat sulit dicari jejaknya. Dan di saat mereka tengah terdiam, tiba-tiba saja....
Wusss...!
Jleb!
Mereka jadi terkejut. Serentak mereka berlompatan bangun, begitu-tiba-tiba sebatang anak panah melesat cepat, dan menancap tepat di tempat Ki Andak duduk tadi. Untung saja, orang tua itu cepat melompat. Sehingga, anak panah itu hanya menancap di lantai beranda yang tadi didudukinya. Ki Andak bergegas menghampiri anak panah dari besi baja itu, dan mencabutnya dengan sedikit pengerahan tenaga.
"Ada suratnya...," gumam Ki Andak sambil memperhatikan anak panah itu.
Ki Andak segera membuka gulungan daun lontar yang terikat pada bagian tengah batang anak panah itu. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum sudah menghampiri. Hati-hati sekali Ki Andak membuka. Keningnya langsung berkerut, begitu melihat baris-baris tulisan yang tertera pada lembaran daun lontar ini.
"Apa isinya, Ki?" tanya Rangga.
"Peringatan..., atau mungkin tantangan untukku," sahut Ki Andak, seraya menyerahkan lembaran daun lontar kering itu pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil, dan langsung membaca tulisan yang tertera pada lembaran daun lontar ini. Sebentar kemudian ditatapnya Ki Andak. Sementara Rara Ayu Ningrum cepat merebut daun lontar itu, dan membaca tulisannya dengan kening berkerut. Juga, ditatapnya Ki Andak setelah membaca tulisan pada daun lontar itu. Kemudian tatapannya beralih pada Rangga yang berdiri di sebelahnya.
"Kau ingin membalasnya, Ki?" tanya Rangga setelah beberapa saat semuanya diam.
Ki Andak tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja penuh arti. Hanya saja, senyumnya terlalu sulit diartikan. Bahkan untuk membaca jalan pikirannya pun tidak mudah. Laki-laki berusia lanjut itu kembali duduk bersila di beranda depan ini. Hanya selembar tikar anyaman daun pandan saja yang menjadi alasnya. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum masih tetap berdiri memandanginya.
********************
LIMA
Rangga tersentak. Langsung dia melompat bangun dari pembaringan, ketika telinganya mendengar derap kaki kuda yang dipacu cepat sekali. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti berlari keluar dari dalam kamarnya. Dan begitu sampai di luar rumah Ki Andak, matanya sempat melihat seekor kuda yang dipacu cepat menembus kegelapan malam.
"Ki Andak...," desis Rangga langsung mengenali, walaupun hanya melihat sesaat saja.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti keluar menyeberangi beranda depan. Dan baru saja kakinya menginjak tanah, dari dalam muncul Rara Ayu Ningrum. Gadis itu berteriak memanggil, sehingga Rangga terpaksa menghentikan langkahnya.
"Tunggu aku, Kakang. Aku ikut!" ujar Rara Ayu Ningrum, bergegas melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayolah cepat. Jangan sampai kehilangan jejak," kata Rangga tidak mungkin lagi menolak.
"Masih ada kuda di belakang, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum. "Aku sudah siapkan pelananya sejak sore tadi."
Belum juga Rangga menjawab, Rara Ayu Ningrum sudah berlari ke belakang rumah melalui samping. Dan tak lama kemudian, gadis itu sudah datang lagi menunggang kuda. Seekor kuda lain mengikuti dari belakang. Gadis itu menyerahkan tali kekang kuda satunya lagi. Rangga tidak bisa lagi menolak, dan segera melompat naik ke punggung kuda ini.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera cepat menggebah kudanya mengejar Ki Andak yang sudah jauh pergi dengan menunggang kuda. Malam yang teramat pekat, bukan merupakan halangan bagi mereka untuk memacu cepat kudanya. Terlebih lagi, Rangga pun sudah terbiasa menunggang kuda Dewa Bayu. Baginya, kuda biasa seperti ini tidak ada artinya bila dibanding kecepatan lari Dewa Bayu.
"Hiya!"
"Hiyaaa...!"
Kedua anak muda itu terus menggebah kudanya, menembus kegelapan malam. Mereka mengikuti jejak-jejak kaki kuda yang tertinggal cukup jelas di tanah. Begitu cepatnya kuda itu digebah, hingga tidak lama saja sudah begitu jauh meninggalkan rumah. Namun baru saja melewati sebuah tikungan yang cukup tajam, mendadak saja....
"Awas..!" seru Rangga tiba-tiba.
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat dari punggung kudanya yang masih berlari kencang. Dan dengan kecepatan kilat, tangannya dikibaskan untuk menyampok sebuah benda yang tiba-tiba saja melayang deras ke arah Rara Ayu Ningrum.
Plak!
"Hap!"
Setelah beberapa kali berputaran, manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah. Sementara, Rara Ayu Ningrum terus memacu kudanya untuk mengejar kuda Rangga yang terus berlari tanpa penunggangnya lagi.
"Hm...," gumam Rangga perlahan. Sekilas Pendekar Rajawali Sakti masih sempat melihat Rara Ayu Ningrum yang sudah berhasil meraih tali kekang kuda yang ditunggangi Rangga tadi. Kakinya langsung bergerak terayun melangkah. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, muncul dua orang laki-laki separuh baya. Tubuh mereka tinggi tegap, terbalut baju serba hitam. Dan di tangan mereka masing-masing terhunus sebilah golok yang berukuran cukup besar dan berkilatan tajam. Mereka beriompatan keluar dari balik pohon, dan langsung menghadang langkah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Tanpa bicara sedikit pun, dua orang laki-laki itu langsung saja berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Golok-golok mereka yang berukuran sangat besar berkelebat cepat mengincar bagian tubuh Rangga yang mematikan. Tapi, tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti berkelit menghindari serangan-serangan cepat yang datang dari dua arah ini.
Bet!
"Uts...!"
Manis sekali Rangga mengegoskan kepalanya, menghindari sabetan golok salah seorang penyerangnya. Dan belum juga bisa menarik kepalanya kembali, satu serangan dari arah lain sudah datang begitu cepat mengarah ke lambung
"Haiiit..!"
Rangga segera menarik tubuhnya ke belakang, menghindari sambaran golok yang mengarah ke lambung. Dan tanpa dapat diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting sambil berputar ke belakang. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek ke arah penyerang di depannya. Begitu cepat serangan balasan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga orang ini tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Diegkh!
"Akh...!"
Tendangan yang dilepaskan Rangga, tepat sekali menghantam dada. Begitu kerasnya, hingga orang itu terpental ke belakang sambil memekik keras agak tertahan. Rangga cepat berputar, begitu kakinya menjejak tanah lagi. Dan dengan kecepatan tinggi, dilepaskannya satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat pertama ke arah satu orang penyerangnya lagi. Maka orang itu cepat-cepat melompat ke belakang, menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti sambil mengibaskan goloknya ke depan.
Wuk!
"Hap!"
Rangga cepat-cepat menarik pulang pukulannya. Dan secepat itu pula tubuhnya dimiringkan. Lalu cepat sekali dilepaskannya satu tendangan menggeledek sambil melesat bagai kilat
"Yeaaah...!"
Begitu dahsyat serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga lawan yang baru saja bisa menjejakkan kaki di tanah hanya bisa terlongong. Dan....
Desss!
"Akh...!"
Kembali satu lawan Pendekar Rajawali Sakti terjungkal mencium tanah, setelah dadanya mendapat tendangan yang begitu cepat. Begitu keras tendangan Rangga tadi, sampai-sampai lawannya terpental sejauh dua batang tombak. Dan begitu jatuh menghantam tanah dengan keras, orang itu bergulingan beberapa kali. Sedangkan goloknya seketika terpental entah ke mana.
"Hup!"
Rangga cepat melompat, hendak menghampiri. Tapi begitu tubuhnya berada di udara, mendadak saja terlihat secercah cahaya merah bagai bola api meluruk deras ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya di udara, menghindari serangan gelap yang mengancamnya. Dan tubuhnya kembali melesat ke belakang, lalu mendarat ringan sekali bagai kapas. Tapi baru juga kakinya menyentuh tanah, kembali terlihat bulatan cahaya merah bagai bola api meluncur cepat bagai kilat ke arahnya.
"Hap!"
Sedikit saja, Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan bulatan bola api itu lewat di samping tubuhnya, terus meluncur hingga menghantam sebatang pohon.
Glarrr!
Sebuah ledakan terjadi begitu dahsyat, saat bulatan bola api itu menghantam pohon yang langsung hancur berkeping-keping. Sementara, Rangga cepat menarik tubuhnya tegak kembali. Saat itu, terlihat sebuah bayangan bergerak sedikit dari balik sebatang pohon yang tidak seberapa jauh darinya. Saat itu juga...
"Hooop... Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera mengerahkan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Dan begitu kedua tangannya yang sudah berubah merah membara terhentak ke depan, seketika itu juga melesat cahaya merah bagai lidah api, dan langsung menghantam pohon yang tadi terlihat ada orang bergerak.
Glarrr!
Kembali terdengar ledakan yang begitu dahsyat, hingga bumi yang dipijak jadi bergetar bagaikan diguncang gempa. Tampak pohon yang sangat besar itu hancur berkeping-keping seketika itu juga, disertai percikan bunga api dan asap kemerahan yang begitu tebal di antara pecahan pohon. Dan dari reruntuhan pohon, terlihat sebuah bayangan melesat begitu cepat
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga segera saja melesat mengejar, lalu cepat sekali melepaskan satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Namun sayang, pukulannya tidak tepat mengenai sasaran, karena orang itu masih bisa cepat berkelit menghindar.
Namun di saat yang sama, Rangga juga sudah mendarat di depan orang yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Dia berbaju hijau tua yang agak gelap. Wajahnya pun cukup tampan. Hanya bekas luka codet memanjang di pipi kanannya saja yang membuat ketampanannya hilang.
Dua orang yang menyerang Rangga pertama kali tadi, kini sudah bisa bangun lagi. Dan memang, Rangga tadi tidak sepenuhnya mengerahkan kekuatan tenaga dalam, walaupun serangannya tadi terlihat begitu dahsyat. Tapi, itu sudah cukup membuat mereka harus mengatur pernapasannya. Dan dari sudut bibir serta hidung mereka tampak mengeluarkan darah. Mereka segera menghampiri pemuda bermuka codet yang berdiri sekitar satu batang tombak di depan Rangga.
Saat itu, Rara Ayu Ningrum sudah kembali dari mengejar kuda yang ditunggangi Rangga tadi. Gadis itu melompat turun dari punggung kuda dengan gerakan indah dan cukup ringan. Dihampirinya Rangga, dan berdiri di sebelah kanan. Sementara kuda-kudanya dibiarkan melenggang menjauh. Pada saat ini untuk beberapa saat, tidak ada seorang pun yang membuka suara lebih dahulu.
"Kau sudah terlalu banyak ikut campur dalam persoalan ini, Pendekar Rajawali Sakti. Maka sudah sepantasnya kau menyusul kekasihmu ke neraka," terasa dingin sekali nada suara pemuda bermuka codet itu.
"Apa yang kau lakukan pada Pandan Wangi?!" sentak Rangga lantang.
"Kami tidak melakukan apa-apa terhadap kekasihmu, Pendekar Rajawali Sakti. Dia memilih jalannya sendiri. Padahal, kami ingin memberinya kesenangan. Tapi dia ..."
"Keparat...!" geram Rangga, langsung mendidih darahnya.
Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi membayangkan, apa yang telah terjadi terhadap Pandan Wangi. Tapi dari kata-kata pemuda bermuka codet itu, nasib Pandan Wangi sudah bisa diduga. Dan itu membuat darah Pendekar Rajawali Sakti mendidih seketika. Seluruh wajahnya langsung memerah, menahan amarah yang sudah meluap, bagai gunung berapi yang hampir memuntahkan laharnya. Kedua bola matanya bersinar tajam, bagai sepasang bola api yang hendak membakar pemuda berwajah codet ini.
"Dengar, Keparat! Kalau sampai terjadi sesuatu pada Pandan Wangi, ke mana pun kalian semua pergi, tidak akan terlepas dari tanganku!" desis Rangga mengancam.
"Ha ha ha...! Sebentar lagi kau juga akan mampus, Pendekar Rajawali Sakti."
Trek!
Pemuda bermuka codet itu menjentikkan dua ujung jarinya. Dan seketika itu juga, dari balik pepohonan dan semak belukar bermunculan orang-orang dengan senjata golok terhunus. Maka sebentar saja tempat itu sudah terkepung rapat. Melihat keadaan yang sangat tidak menguntungkan ini, Rangga jadi menggeram. Gerahamnya terdengar menggeretak menahan marah. Sedikit matanya melirik Rara Ayu Ningrum yang berada di sebelahnya. Lalu, perlahan kakinya bergerak mendekati, dan berhenti tepat di depan gadis itu.
"Kau jangan melangkah setindak pun juga, Ningrum," ujar Rangga, agak mendesis dingin nada suaranya.
"Baik," sahut Rara Ayu Ningrum.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menarik kedua tangannya yang sudah terkepal sejak tadi, hingga sejajar pinggang. Sorot matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda bermuka codet yang berdiri tepat di depannya. Suasana pun menjadi hening. Dan tiba-tiba saja....
"Aji 'Bayu Bajra'.... Yeaaah...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, cepat sekali Rangga merentangkan kedua tangannya ke samping. Dan seketika itu juga, tiba-tiba saja terjadi badai topan yang sangat dahsyat. Angin bertiup amat keras, disertai suara gemuruh menggetarkan jantung. Saat itu, Rangga memang mengerahkan ilmu kesaktiannya yang sangat dahsyat Aji 'Bayu Bajra' memang sebuah ilmu yang jarang digunakan, karena akibat yang ditimbulkan begitu dahsyat. Dari kedua tangannya yang terentang, mengeluarkan hembusan angin badai begitu dahsyat.
Akibatnya, orang-orang yang mengepung rapat jadi berpentalan. Bahkan bebatuan pun berhamburan diterjang hempasan angin badai yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja, tidak sedikit pepohonan yang bertumbangan, tidak sanggup menahan gempuran badai dahsyat ini. Sementara itu, pemuda bermuka codet tampak berusaha mengimbangi kekuatan aji 'Bayu Bajra'. Tampak kedua telapak tangannya menyatu rapat di depan dada. Tapi sedikit demi sedikit, kakinya mulai tergeser.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja, Rangga berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat begitu cepat. Lalu dengan kecepatan kilat, Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusaka dari warangka di punggung. Dan secepat kilat pula pedang yang memancarkan cahaya biru terang itu dibabatkan ke leher pemuda bermuka codet itu.
Begitu cepatnya sabetan pedang bercahaya biru berkilauan milik Pendekar Rajawali Sakti, sehingga pemuda bermuka codet itu tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu seluruh kekuatannya tengah dikerahkan untuk menahan gempuran angin badai ciptaan Pendekar Rajawali Sakti. Dan..
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan panjang dan melengking tinggi pun seketika terdengar begitu menyayat. Tampak pemuda bermuka codet itu ambruk dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung menyembur deras dari leher yang sudah buntung tak berkepala lagi!
Sementara, sambil melompat ke belakang Rangga mencabut aji kesaktiannya. Dan pada saat badai topan itu berhenti, sekeliling hutan ini sudah hancur porak-poranda bagaikan baru saja dilanda gempa dahsyat sekali. Tampak tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan tertindih batu dan pohon. Bau anyir darah pun seketika menyebar, menyeruak mengusik hidung.
Cring!
Rangga memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Maka cahaya terang yang memancar dari pedang itu pun langsung lenyap seketika. Kini Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu, pandangannya terus terpaku pada Rara Ayu Ningrum yang juga tengah memandanginya. Rangga menghampiri gadis itu, dan berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri dua ekor kuda yang tali kekangnya tersangkut pada ranting pohon tumbang. Sementara, Rara Ayu Ningrum masih tetap berdiri di tempatnya sambil memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih itu tanpa berkedip sedikit pun juga.
"Ayo, Ningrum," ajak Rangga lagi.
Tapi, Rara Ayu Ningrum tidak bergeming sedikit pun juga. Dia hanya memandangi Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan tengah memandangi orang asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Entah apa yang ada dalam benak gadis itu. Tapi, sorot matanya memancarkan segudang pertanyaan yang terasa sulit dijawab.
Rangga menghampiri gadis itu sambil menuntun kuda-kuda mereka. Lalu diserahkannya satu tali kekang kuda pada Rara Ayu Ningrum. Gadis itu menerima tali kekang seperti tidak sadar akan diri dan sekelilingnya. Dia seperti masih terpana oleh ilmu kesaktian yang tadi dilihatnya. Sebuah ilmu kesaktian yang sangat dahsyat, hingga tidak seorang pun yang masih bisa bernapas lagi.
"Hup!"
Rangga melompat naik ke punggung kudanya, diikuti Rara Ayu Ningrum yang juga melompat naik ke punggung kudanya sendiri. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah kembali berkuda dengan cepat sekali, menyusul Ki Andak yang kini entah sudah sampai di mana. Dan malam pun terus merayap semakin larut. Udara kian bertambah dingin. Tapi, kedua anak muda itu tidak peduli dan terus memacu cepat kudanya.
Semalaman penuh, Rangga dan Rara Ayu Ningrum berada di punggung kuda tanpa sedikit pun beristirahat. Mereka terus memacu kudanya, mengikuti jejak-jejak kaki kuda yang ditunggangi Ki Andak. Sampai matahari menampakkan diri, mereka baru berhenti. Dan kebetulan sekali, mereka menemukan sebuah sungai kecil yang berair jemih. Sehingga, kuda-kuda yang ditunggangi semalaman penuh bisa diistirahatkan.
Dan selama dalam perjalanan, Rangga menceritakan dirinya yang sebenarnya. Itu juga setelah Rara Ayu Ningrum menanyakannya. Gadis itu benar-benar penasaran pada pemuda tampan ini. Terlebih lagi, setelah kejadian semalam. Dan Rangga sendiri kini mengatakan apa adanya. Juga diakui kalau Pandan Wangi sebenarnya bukanlah adiknya, melainkan kekasih yang selalu setia menemaninya ke mana pun dirinya mengembara. Hanya saja Rangga tetap tidak mengatakan kalau dirinya sebenarnya adalah Raja Kerajaan Karang Setra. Namun, penjelasan Pendekar Rajawali Sakti membuat Rara Ayu Ningrum sudah bisa memahami. Maka rasa hormatnya pun semakin tumbuh tebal dalam hatinya.
"Kenapa kau tidak mengatakan dirimu yang sebenarnya, sejak pertama kali datang, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.
Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Kudanya terus dikendalikan sambil memperhatikan aliran sungai yang sangat besar dan deras. Sementara Rara Ayu Ningrum sudah melompat dari punggung kudanya, dan mendarat di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti yang sudah melompat lebih dulu.
"Putus...," ujar Rangga agak mendesak, sambil mengangkat sedikit pundaknya.
"Maksudmu...?" tanya Rara Ayu Ningrum meminta penjelasan.
"Aku tidak tahu, apakah Ki Andak menyeberangi sungai ini atau tidak. Tapi yang jelas, jejaknya berakhir sampai di sini," sahut Rangga.
Rangga berjongkok, meneliti tanah yang lembab di sekitar tepian sungai ini. Kepalanya bergerak menggeleng beberapa kali. Dan beberapa kali pula terdengar suara mendecak dari bibirnya. Sambil menghembuskan napas panjang, Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Dan pandangannya langsung tertuju ke seberang sungai.
Sungai ini memang sangat besar dan alirannya pun sangat deras. Tidak mungkin bagi orang biasa menyeberangi sungai ini, walaupun menggunakan perahu, karena pasti akan terbawa arus yang sangat kuat ini. Tapi bagi orang berkepandaian tinggi, tak akan terlalu sulit untuk menyeberanginya. Terlebih lagi kalau sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Rangga kemudian melirik Rara Ayu Ningrum. Hatinya menyangsikan, apakah gadis ini mampu menyeberangi sungai itu...? Pendekar Rajawali Sakti belum pemah melihat Rara Ayu Ningrum menggunakan kepandaiannya. Jadi, dia tidak tahu apakah gadis itu bisa ilmu olah kanuragan atau tidak.
"Kenapa kau memandangiku, Kakang?" tegur Rara Ayu Ningrum merasa jengah, walaupun Rangga memandangi hanya dengan lirikan saja.
"Kau sanggup menyeberangi sungai ini, Ningrum?" Rangga malah balik bertanya.
"Kenapa tidak...?" tantang Rara Ayu Ningrum.
"Tidak ada satu perahu pun yang terlihat. Dan kita harus menyeberanginya hanya dengan sepotong ranting saja. Hm... Kau sanggup?" tanya Rangga lagi.
"Jangan mengecilkan aku, Kakang Lihat saja...," ujar Rara Ayu Ningrum.
Gadis itu menjumput sepotong ranting kering sepanjang tiga jengkal. Lalu, dilemparkannya ranting itu ke sungai. Dan saat itu juga, cepat sekali tubuhnya melesat
"Hup...!"
Tap!
Sungguh ringan tubuhnya, saat sebelah kaki kanan gadis itu menjejak ranting kering yang terapung di permukaan sungai ini. Hebat..! Ranting itu tidak bergerak sedikit pun juga. Rara Ayu Ningrum berdiri hanya menggunakan sebelah kaki saja, bagaikan seekor burung bangau berada di tengah kolam. Wajahnya berpaling, dan tersenyum melihat Pendekar Rajawali Sakti terlongong kagum.
"Ayo, Kakang. Kau ingin menyeberang atau tidak...?" seru Rara Ayu Ningrum.
Tukkk!
Tanpa berkata apa apa lagi, Rangga menjentikkan sepotong ranting kering dengan ujung jari kakinya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya melesat sangat ringan. Dan begitu ranting kering itu menyentuh permukaan air sungai, kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti langsung menjejaknya.
Kini, kedua anak muda itu segera meluncur di atas permukaan air, hanya menggunakan sepotong ranting kering saja. Sedikit pun mereka tidak terpengaruh oleh derasnya aliran air sungai ini. Tubuh-tubuh mereka bagaikan segumpal kapas yang terapung di permukaan air. Begitu ringan dan cepat mereka meluncur di atas sepotong ranting. Dan sebentar saja, mereka sudah sampai di tepi seberang sungai
"Hup!"
"Hap!"
Secara bersamaan, kedua anak muda itu berlompatan ke tepi. Tapi baru saja menjejakkan kaki di tanah lembab agak berlumpur ini, mendadak saja dari balik semak belukar dan pepohonan yang tumbuh subur di sepanjang tepian sungai ini, ber-munculan orang-orang berpakaian serba hitam. Di tangan kanan mereka semua tergenggam sebilah golok yang cukup besar ukurannya. Mereka langsung berlompatan, dan mengepung kedua anak muda itu.
"Hm.... Hati-hati, Ningrum," gumam Rangga pelan, memperingati gadis di sebelahnya.
"Baik," sahut Rara Ayu Ningrum.
Ada sekitar dua puluh orang laki-laki bersenjata golok, telah mengepung rapat kedua anak muda itu. Mereka bergerak perlahan lahan memutari. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum belum bertindak apa apa Mereka hanya bisa mem-perhatikan setiap gerak para pengepungnya. Kedua anak muda itu memang hanya bisa menunggu, sampai ada yang menyerang lebih dahulu.
ENAM
"Mau apa kalian?! Mengapa mengepung kami...?!" tanya Rangga, lantang.
Tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka semua menutup mulut, dan terus bergerak memutari dengan golok melintang di depan dada. Sorot mata mereka begitu tajam, seakan-akan memancarkan hawa nafsu membunuh. Sementara Rangga sudah bergerak memunggungi Rara Ayu Ningrum. Sehingga, mereka saling beradu punggung.
"Kau kenal mereka, Ningrum?" tanya Rangga setengah berbisik.
"Lihat gambar pada dada mereka, Kakang," sahut Rara Ayu Ningrum.
Rangga seperti baru tersadar. Jelas sekali kalau pada baju baglan dada mereka tergambar seekor kelelawar. Dan itu sudah menandakan kalau mereka adalah para pengikut Jaka Anabrang. Dan tanpa ditanya lagi, tentu sudah bisa diketahui maksud mereka menghadang di tepi sungai ini. Dan mereka tentu sudah diperintahkan menghadang siapa saja yang mengikuti Ki Andak, yang pergi dari kediamannya untuk memenuhi tantangan Jaka Anabrang
"Aku tahu siapa dan apa maksud kalian menghadangku di sini. Ayo, serang aku...!" terdengar lantang sekali nada suara Rangga.
Tapi, tak ada seorang pun yang bergerak menyerang. Mereka masih tetap mengepung dan bergerak perlahan-lahan memutari Pendekar Rajawali Sakti dan Rara Ayu Ningrum. Golok-golok mereka yang berukuran sangat besar berkilatan tertimpa cahaya matahari. Seakan-akan, mereka sudah tidak sabar lagi untuk menyerang. Dan di saat tidak ada seorang pun yang berbicara, terdengar siulan panjang dan melengking tinggi. Dan begitu siulan itu berhenti, seketika itu juga kedua puluh orang ini langsung berlompatan menyerang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Pertahankan dirimu, Ningrum. Hiyaaa...!"
"Baik, Kakang! Hiyaaat..!"
Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Orang-orang berpakaian serba hitam itu begitu ganas menyerang, seperti binatang-binatang liar melihat mangsa. Tapi yang dihadapi kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Gerakan-gerakan yang dilakukan Rangga dan Rara Ayu Ningrum begitu cepat dan tidak dapat diduga. Sehingga, para pengikut Jaka Anabrang itu jadi kaget setengah mati.
Buktinya, baru beberapa gebrakan saja, sudah enam orang yang terjungkal tak bernyawa lagi. Jeritan-jeritan melengking dan menyayat pun terus terdengar bersahutan, disertai teriakan-teriakan pertarungan yang sangat keras menggelegar. Satu persatu orang-orang berpakaian serba hitam itu jatuh terjungkal tanpa nyawa melekat di tubuhnya lagi.
Tapi, kelihatannya mereka tidak gentar sedikit pun juga. Orang-orang berseragam hitam itu terus merangsek, tanpa menghiraukan teman-temannya yang terus berpelantingan, ambruk tak bernyawa lagi. Seakan-akan tidak dipedulikan lagi jumlah yang semakin berkurang. Mereka terus saja menyerang ganas sekali.
"Menyingkir kau, Ningrum! Hiyaaa...!"
Melihat kenekatan orang-orang itu, Rangga Jadi gusar. Sambil berteriak keras menggelegar menyuruh Rara Ayu Ningrum menyingkir, dengan kecepatan kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengebutkan kedua tangannya yang terentang lebar ke samping. Saat itu, Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat terakhir.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Begitu cepat gerakan kedua tangan Rangga dalam Jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya, tahu-tahu terdengar jeritan-jeritan menyayat melengking tinggi, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah.
Memang sungguh dahsyat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat terakhir milik Pendekar Rajawali Sakti. Setiap lawan yang terkena sabetan tangan yang terentang lebar bagai sayap burung itu, tidak akan mampu lagi bergerak. Mereka langsung tewas seketika dengan tubuh terbelah. Kedua tangan Rangga bagaikan sepasang mata pedang saja, sanggup membelah tubuh manusia hanya sekali sabetan. Hingga dalam waktu sebentar saja, tidak ada seorang pun yang bisa bangkit berdiri lagi.
Rara Ayu Ningrum sampai terlongong bengong melihat akibat dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu terpananya, sampai tidak disadari kalau Rangga sudah berada di sampingnya lagi. Gadis itu baru tersadar saat tangan Pendekar Rajawali Sakti terasa menepuk pundaknya.
"Ayo, tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.
Tanpa bicara sedikit pun juga, mereka kembali melanjutkan perjalanan, mengikuti Ki Andak yang kini entah sudah sampai di mana. Tapi sepanjang jalan yang dilalui, selalu saja ada rintangan yang tidak bisa dianggap enteng. Para pengikut Jaka Anabrang ternyata memiliki kepandaian lumayan. Mereka cukup berbahaya, dan tidak mengenal rasa gentar sedikit pun.
Rangga kembali menemukan jejak-jejak Ki Andak. Terus diikutinya jejak itu. Sementara, Rara Ayu Ningrum mengikuti saja dari belakang tanpa sedikit pun membuka suara. Bibirnya terkatup rapat, dan sesekali matanya melirik pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih itu.
********************
Pendekar Rajawali Sakti kembali berhenti melangkah setelah sampai di sebuah lembah, tepat di tengah-tengah hutan. Kening pemuda itu jadi berkerut Dan kelopak matanya pun terlihat menyipit saat memandangi daerah sekitarnya. Hampir penglihatannya sendiri tidak dipercayai. Seakan-akan, sedang bermimpi rasanya. Matanya lalu melirik sedikit pada Rara Ayu Ningrum yang berdiri di sebelah kanannya. Gadis itu juga menatap wajah Rangga, sehingga pandangan mata mereka bertemu langsung pada satu titik.
"Aku jadi tidak mengerti, kenapa Ki Andak justru memilih jalan berputar...? Bukankah ini Lembah Mayat...?" Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
Tapi Rara Ayu Ningrum hanya diam saja. Pandangannya diedarkan ke sekeliling. Entah apa yang ada dalam kepala gadis ini. Sedangkan Rangga mulai merasakan adanya keanehan. Rasanya sulit dipercaya kalau Ki Andak menuju Lembah Mayat dengan jalan memutar yang tentu saja lebih jauh, dia juga tidak tahu, untuk apa laki-laki tua itu da tang ke Lembah Mayat ini. Apakah Jaka Anabrang memang menantangnya dan memilih tempat ini untuk bertarung? Rasanya di dalam surat yang dikirim Jaka Anabrang, Rangga tidak melihat adanya tempat pertemuan yang ditentukan.
Belum juga semua pertanyaan yang berkecamuk dalam benak Pendekar Rajawali Sakti bisa terjawab, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat di depannya. Dan saat itu juga, terlihat sebuah benda berwarna putih keperakan berbentuk bulat pipih meluncur deras ke arahnya.
"Awas! Hup...!"
Sambil mendorong tubuh Rara Ayu Ningrum, Rangga cepat sekah melompat menghindari sambaran benda bulat pipih berwarna putih keperakan itu. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali kembali menjejak tanah, setelah benda bulat pipih keperakan itu lewat tanpa sedikit pun menyentuh tubuhnya. Sementara itu, Rara Ayu Ningrum juga sudah bangkit berdiri, setelah terjatuh akibat dorongan tangan Rangga tadi. Gadis itu segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan berdiri kembali di sebelah kanan. Belum juga ada yang membuka suara, tiba-tiba saja....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa yang begitu keras menggelegar. Jelas terdengar kalau tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga bisa menggema, dan sukar ditentukan arahnya. Tapi Rangga hanya sedikit menggumam kecil. Kepalanya bergerak menggeleng ke kanan dan kiri, mencoba mencari sumber suara tawa itu.
"Hm...." Tanpa bicara sedikit pun juga, tahu-tahu Rangga memutar tubuhnya ke kiri. Dan saat itu juga....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Saat itu juga, dari kedua telapak tangannya memancar cahaya merah bagai lidah api yang meluncur deras ke arah sebatang pohon besar, sekitar tiga batang tombak darinya. Cahaya merah itu langsung menghantam pohon, hingga hancur berkeping-keping. Seketika terdengarlah ledakan sangat dahsyat dan menggelegar yang memekakkan telinga.
Api langsung membakar pepohonan itu. Dan pada saat itu juga, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat. Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun juga, Rangga langsung melesat mengejar sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Hiyaaa...!"
Glarrr...!
Tapi pukulan Pendekar Rajawali Sakti hanya menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping. Sementara, bayangan itu berputaran indah sekali di udara, lalu meluruk deras ke bawah. Dan dengan ringan sekali kakinya menjejak tanah, tepat di saat Rangga juga menjejakkan kakinya di tanah.
"Setan Perak Lembah Mayat..," desis Rangga langsung mengenali.
Dan memang, orang itu adalah Setan Perak Lembah Mayat yang pernah bertemu dan sempat bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti. Setan Perak Lembah Mayat tertawa terkekeh, tapi lebih mirip sebuah seringai yang mengerikan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah kuduga, kau pasti akan sampai juga ke sini, Pendekar Rajawali Sakti. Bersiaplah untuk mampus!" terasa dingin dan kering sekali nada suara Setan Perak Lembah Mayat
Rangga melangkah ke belakang beberapa tindak, mendekati Rara Ayu Ningrum. Matanya melirik sedikit pada gadis itu, namun tetap memperhatikan Setan Perak Lembah Mayat dengan tajam.
"Kau menyingkir dulu, Ningrum. Dia bukan lawanmu," pinta Rangga.
"Kau tidak apa-apa menghadapinya sendiri, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum seperti khawatir.
"Aku memang akan menghadapinya sendiri," sahut Rangga seraya tersenyum kecil.
Rara Ayu Ningrum menatap Setan Perak Lembah Mayat sebentar, kemudian menarik kakinya ke belakang. Diikutinya permintaan Rangga tadi. Dan gadis itu baru berhenti setelah jaraknya dirasakan sudah cukup jauh dari Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga kembali melangkah mendekati Setan Perak Lembah Mayat. Ayunan kakinya tampak berhenti, setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan Setan Perak Lembah Mayat
Mereka tidak bicara sedikit pun juga dengan mata saling beradu pandang begitu tajam. Seakan-akan, satu sama lain sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing. Terlihat Setan Perak Lembah Mayat mengeluarkan senjata berupa lempengan baja putih berkilat keperakan, seperti sebuah tameng. Senjata yang bergerigi pada sisinya itu terpasang pada lengan kanan, seperti melindungi dadanya dari serangan.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja melihat senjata lawannya.
"Keluarkan senjatamu, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Setan Perak Lembah Mayat
"Aku merasa belum perlu menggunakan senjata, Setan Perak," sahut Rangga kalem. Tapi suaranya terdengar sangat dingin.
"Sombong...!" dengus Setan Perak Lembah Mayat kesal mendengar penolakan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja. Terasa begitu tipis senyumnya. Dan itu membuat Setan Perak Lembah Mayat jadi semakin bertambah geram. Dia merasakan kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah meremehkannya.
"Jangan menyesal kau mati tanpa senjata di tangan, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Setan Perak Lembah Mayat geram.
"Silakan...," ujar Rangga tenang sekali.
"Keparat! Hiyaaat..!"
Sambil menggeram dan berteriak lantang menggelegar, Setan Perak Lembah Mayat melompat menyerang. Langsung diberikannya satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kiri. Tapi hanya sedikit saja Rangga mengegos, pukulan Setan Perak Lembah Mayat yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu lewat menyambar angin kosong.
"Hih!"
Wuk!
Melihat serangannya dapat mudah digagalkan, Setan Perak Lembah Mayat segera menghantamkan tameng peraknya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Maka kembali pemuda berbaju rompi putih itu menggerakkan kepala sediki, membuat keprukan tameng keperakan yang semua sisiir bergerigi itu tidak mengenai sasaran lagi.
"Keparat! Yeaaah...!"
Setan Perak Lembah Mayat semakin bertambah berang saja. Sambil berteriak keras menggelegar, serangannya ditingkatkan disertai pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalam. Pertarungannya yang terdahulu dengan Pendekar Rajawali Sakti, membuatnya tidak lagi tanggung-tanggung melancarkan serangan. Pukulan-pukulan serta sambaran tamengnya begitu cepat dan dahsyat, sehingga menimbulkan hempasan angin menderu yang menyakitkan telinga. Dan Rangga pun terpaksa harus berjumpalitan, menghindari gempuran Setan Perak Lembah Mayat yang sangat cepat, dahsyat dan beruntun.
TUJUH
Pertarungan pun berlangsung sengit, dalam kecepatan yang sukar diikuti mata biasa. Rangga juga tidak hanya bisa berkelit menghindar. Sudah beberapa kali dilancarkan serangan balasan, tapi Setan Perak Lembah Mayat memang bukan lawan enteng. Gerakan-gerakan yang dilakukan Setan Perak Lembah Mayat memang sangat cepat. Bahkan setiap serangannya pun sangat berbahaya. Sedikit saja kelengahan, akan berakibat parah bagi mereka.
Jurus demi jurus cepat berlalu. Tanpa terasa, Setan Perak Lembah Mayat sudah mengeluarkan lebih dari sepuluh jurus. Tapi, di pihak Rangga hanya keluar jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Dan Pendekar Rajawali Sakti selalu memadukan antara satu jurus dengan jurus lain. Sehingga setiap kali menyerang, membuat Setan Perak Lembah Mayat jadi kelabakan. Tapi sampai sejauh ini, setiap serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti masih dapat dihindari. Bahkan masih bisa melakukan serangan gencar dan sangat berbahaya.
"Awas kepala..!" seru Rangga tiba-tiba.
Seketika itu juga, Rangga melepaskan satu pukulan keras yang diarahkan ke kepala. Tentu saja serangan itu membuat Setan Perak Lembah Mayat jadi tersentak kaget. Terlebih lagi sebelum melancarkan serangan, Rangga memberi peringatan terlebih dahulu.
"Haittt..!"
Cepat-cepat Setan Perak Lembah Mayat menarik kepalanya, menghindari sabetan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, tepat di saat kepala Setan Perak Lembah Mayat tertarik ke belakang, Rangga cepat melesat sedikit ke atas. Dan langsung dilepaskannya satu tendangan keras meng-geledek, dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Setan Perak Lembah Mayat tidak sempat lagi menghindar. Dan...
Diegkh...!
"Akh...!" Setan Perak Lembah Mayat terpekik agak tertahan.
Tendangan yang dilepaskan Rangga keras sekali, tepat menghantam dadanya. Akibatnya, tubuh Setan Perak Lembah Mayat terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, hingga keluar pekikan tertahan.
Dan pada saat itu juga, Rangga melesat bagai kilat sambil melepaskan satu pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu sempurna jurus itu dikuasainya, sehingga kedua kepalan tangannya jadi berwarna merah membara bagai besi terbakar
"Yeaaah...!"
"Uts...!"
Glarrr...!
Begitu dahsyatnya pukulan yang dilepaskan Rangga. Akibatnya tanah yang terkena langsung bergetar dan terbelah, membuat jurang kecil. Sementara, Setan Perak Lembah Mayat sudah bergelimpangan beberapa kali menghindarinya. Dan dia cepat melompat bangkit berdiri, sebelum Rangga bisa melancarkan serangan kembali.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Wukkk...!
Setan Perak Lembah Mayat melemparkan tameng peraknya, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tameng bergerigi di seluruh sisinya itu meluncur deras sekali ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Namun hanya sedikit saja merundukkan kepala, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari terjangan tameng perak itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, tameng itu meluncur balik dan terus berputar ke arahnya. Seperti memiliki mata saja, tameng itu bisa mengetahui di mana lawan berada.
"Hup!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke udara, menghindari terjangan tameng perak. Beberapa kali tubuhnya harus berjumpalitan di udara. Dan Pendekar Rajawali Sakti kini jadi menggeram dalam hati, melihat tameng itu bisa melayang sendiri menyerang-nya tanpa henti.
"Hih!"
Cring!
Tidak ada lagi pilihan bagi Pendekar Rajawali Sakti. Maka dengan cepat sekali Pedang Rajawali Sakti dicabut dari warangka di punggung. Dan seketika itu juga, cahaya biru terang menyilaukan mata menyemburat, bagai hendak menyelubungi seluruh tubuh pemuda itu. Dan tepat di saat tameng Setan Perak Lembah Mayat meluncur deras ke arahnya, cepat sekali pedangnya dikebutkan untuk menyambut senjata yang bagaikan memiliki mata itu. Sehingga ...
"Hiyaaa...!"
Bet!
Trang!
Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar kembali terdengar, begitu Pedang Rajawali Sakti beradu dengan tameng bulat Setan Perak Lembah Mayat. Tampak tameng itu terpental balik ke belakang. Sementara, Rangga hanya terdorong sejauh dua langkah saja. Dan dari ledakan itu, memercik bunga api yang menyebar ke segala arah.
"Hup! Hiyaaa..!"
Setan Perak Lembah Mayat melompat, mengejar senjata tamengnya. Langsung dijumputnya senjata itu, dan kembali mendarat manis sekali. Tapi begitu kakinya menjejak tanah
"Heh...?!"
Kedua bola mata Setan Perak Lembah Mayat jadi terbeliak lebar dengan mulut ternganga. Dia seakan tidak percaya kalau tameng yang tadi kelihatan masih utuh, kini sudah terbelah menjadi dua bagian! Dan satu belahan lagi, telah jatuh menggeletak di ujung jari kakinya. Sedangkan satunya lagi, berada di tangannya.
"Keparat! Kubunuh kau..! Hiyaaat..!" Setan Perak Lembah Mayat benar-benar marah setengah mati, melihat senjata andalannya terbelah jadi dua bagian oleh pedang milik Pendekar Rajawali Sakti. Sambll berteriak keras menggelegar, dia melompat. Langsung potongan senjatanya dikebutkan ke kepala pemuda berbaju rompi putih itu.
"Haiiit..!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, Rangga mengegoskan kepala. Dihindarinya terjangan potongan tameng perak itu. Dan begitu tameng yang tinggal sepotong itu lewat di atas kepalanya, cepat bagai kilat pedangnya dikebutkan.
"Yeaaah...!"
Bet!
"Uts!"
Setan Perak Lembah Mayat cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, menghindari sabetan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilauan itu. Dan pada saat tubuhnya agak terbungkuk, tanpa diduga sama sekali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kiri ke arah wajah. Begitu cepat pukulannya, sehingga Setan Perak Lembah Mayat tidak sempat lagi menghindar.
Desss!
"Akh...!"
Untuk kedua kalinya Setan Perak Lembah Mayat terpekik, begitu pukulan tangan kiri Rangga yang mengandung pengerahan tenaga dalam mendarat telak di wajahnya. Dan saat kepalanya terdongak ke atas, cepat sekali Rangga kembali mengebutkan pedangnya.
"Hiyaaa...!"
Wukkk!
Setan Perak Lembah Mayat yang sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan begitu gencar dan cepat, benar-benar tidak dapat lagi berkutik. Dan...
Bret!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi yang sangat menyayat pun terdengar membelah alam ini. Tampak darah seketika muncrat dari dada Setan Perak Lembah Mayat
"Mampus kau! Yeaaah...!"
Baru saja Rangga mengangkat pedangnya dan hendak menebas leher Setan Perak Lembah Mayat, tiba-tiba saja....
"Kakang, jangan...!"
Rangga cepat menghentikan gerakan tangannya yang hampir terayun membabatkan pedang ke leher Setan Perak Lembah Mayat, begitu tiba-tiba terdengar teriakan mencegah dari Rara Ayu Ningrum. Gadis itu cepat berlari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan berdiri di depannya seperti menghadang. Sementara itu, Setan Perak Lembah Mayat sudah menggeletak dengan dada terbelah lebar mengucurkan darah. Gerakan tarikan napas pada dada dan perutnya, menandakan kalau dia masih hidup.
"Kita membutuhkannya, Kakang. Jangan cepat-cepat dibunuh," kata Rara Ayu Ningrum.
"Hm...," Rangga menggumam kecil.
Cring!
Pendekar Rajawali Sakti memasukkan pedang pusakanya ke dalam warangka di punggung. Dan seketika itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedangnya lenyap, begitu tenggelam ke dalam warangka. Sementara, Rara Ayu Ningrum sudah memutar tubuhnya berbalik. Gadis itu menghampiri Setan Perak Lembah Mayat yang masih terbaring lemah menjelang ajal. Darah terus mengucur deras dari dadanya yang terbelah sangat dalam dan lebar, akibat terbabat pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Ugkh...! Kenapa kau tidak jadi membunuhku, Pendekar Rajawali Sakti...?!" dengus Setan Perak Lembah Mayat, lemah dan terputus-putus suaranya.
"Terlalu enak kalau kau langsung mati, Setan Perak," Rara Ayu Ningrum yang menyahuti dengan nada suara dingin dan ketus.
Setan Perak Lembah Mayat menatap wajah cantik gadis itu. Tapi, sinar matanya kini tidak lagi memancar tajam. Darah yang terus mengucur dari dadanya, membuat sinar matanya meredup. Bahkan tarikan napasnya pun sudah mulai melemah.
"Katakan, di mana Jaka Anabrang tinggal!" tanya Rara Ayu Ningrum masih terdengar dingin sekali nada suaranya.
"Aku tidak kenal Jaka Anabrang!" sahut Setan Perak Lembah Mayat tidak kalah ketusnya.
"Jangan coba-coba berdusta, Setan Perak. Aku tahu kalau kau dan Jaka Anabrang sekongkol! Katakan, dimana Jaka Anabrang sekarang berada...?!" sentak Rara Ayu Ningrum.
Setan Perak Lembah Mayat tidak langsung menjawab. Ditatapnya gadis itu dengan bola mata terbuka lebar. Bibirnya terkatup rapat. Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak cepat sekali. Lalu...
Crab!
"Hegkh...!"
"Heh?!"
Rara Ayu Ningrum terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba Setan Perak Lembah Mayat menikam dirinya sendiri dengan sebilah pisau yang diambil dari balik ikat pinggangnya. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga tidak sempat dicegah lagi. Dan pisau berwarna keperakan itu menancap sangat dalam di dada Setan Perak Lembah Mayat
"Keparat..!" dengus Rara Ayu Ningrum kesal. Gadis itu berpaling, menatap Rangga yang sejak tadi berada di samping kirinya. Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja melihat tindakan yang dilakukan Setan Perak Lembah Mayat
"Huh! Kenapa dia lakukan itu...?" dengus Rara Ayu Ningrum, seperti bertanya pada diri sendiri
Dan Rangga masih saja tetap membisu, tidak membuka suara sedikit pun. Hanya dipandanginya Setan Perak Lembah Mayat yang tergeletak tak bernyawa lagi, dengan sebilah pisau tertanam dalam dada.
Rara Ayu Ningrum melangkah mundur beberapa tindak. Tubuhnya lalu dihempaskan di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak dekat mayat Setan Perak Lembah Mayat. Kedua anak muda itu saling bertatapan, seakan-akan ada yang hendak dikatakan. Tapi mereka hanya diam saja, dan hanya saling berpan-dangan satu sama lain. Sementara, suasana di dalam lembah itu begitu sunyi. Bahkan sedikit pun tidak terdengar suara binatang. Angin pun seakan-akan enggan bertiup.
"Ayo, tinggalkan tempat ini," ajak Rangga.
"Ke mana lagi kita pergi, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.
Rangga tidak langsung menjawab. Malah, ditatapnya gadis itu dengan sinar mata cukup tajam. Pertanyaan Rara Ayu Ningrum barusan seakan-akan menyiratkan keputusasaan. Seperti tidak punya harapan lagi menemui kakeknya, Ki Andak. Rangga melangkah menghampiri. Diambilnya tangan gadis itu, lalu digenggamnya erat-erat. Perlahan Rara Ayu Ningrum bangkit berdiri. Matanya terus memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, seakan-akan ada yang hendak dikatakan.
"Kau seperti putus asa, Ningrum. Kenapa...?" tanya Rangga, mendahului sesuatu yang ingin dikatakan Rara Ayu Ningrum.
"Kau tahu, Kakang. Tidak ada seorang pun yang bisa keluar lagi dalam keadaan hidup, kalau sudah masuk ke dalam Lembah Mayat ini," kata Rara Ayu Ningrum pelan
"Tapi kakekmu pernah datang ke sini, dan bisa kembali lagi dalam keadaan hidup, Ningrum," balas Rangga.
Padahal, Rangga juga pernah datang ke sini beberapa hari yang lalu. Bahkan sempat pula bertarung melawan Setan Perak Lembah Mayat. Hanya saja, Pendekar Rajawali Sakti tidak menceritakannya pada gadis ini. Dan diyakini betul kalau tidak ada satu tempat pun di jagat raya ini yang sangat berbahaya. Rangga yakin, semua ini akan berakhir. Dan mereka semua akan keluar dari lembah ini dalam keadaan hidup.
"Kakek tidak pernah masuk ke lembah ini, Kakang. Kakek hanya berbohong Kakek tidak pernah sampai ke lembah ini. Dia hanya berada di pinggir saja, menunggu teman-temannya yang masuk ke dalam lembah ini. Dan tak seorang pun dari mereka yang kembali lagi," kata Rara Ayu Ningrum menjelaskan. "Aku tahu semua itu, karena waktu itu aku ada."
"Kenapa Ki Andak melakukan hal itu?" tanya Rangga, ingin tahu.
"Agar semua orang memandang dan menganggapnya berilmu tinggi. Dan memang, tidak ada seorang pun yang melecehkannya lagi. Semua orang di desa jadi menghormatinya. Bahkan kakek memanfaatkannya untuk mengambil pengaruh, sampai akhirnya sempat menjadi kepala desa dulu. Tapi sekarang ini tidak ada seorang pun yang memandangnya lagi. Itu setelah jabatan kepala desa digantikan orang lain, dan sudah banyak orang yang lupa akan peristiwa itu. Kakek sendiri terpukul, hingga sering mengurung diri dalam kamar. Bahkan sering bepergian tanpa diketahui ke mana arahnya. Dan belakangan ini, kakek seringkali pergi sampai berhari-hari. Aku tidak tahu, ke mana perginya," kata Rara Ayu Ningrum menceritakan yang sebenarnya.
Sedangkan Rangga terdiam. Dipandanginya gadis itu dengan kelopak mata agak menyipit. Dan keningnya pun kelihatan berkerut, seperti ada sesuatu yang sedang dipiklrkannya. Rara Ayu Ningrum juga tidak bertanya lagi. Hanya dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata bening.
"Ayo...," ajak Rangga.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung memutar tubuhnya berbalik. Kakinya kini melangkah pergi, meninggalkan tempat ini. Sedangkan Rara Ayu Ningrum masih berdiri tegak, memandangi Rangga yang sudah melangkah menuju kuda yang tertambat agak jauh di pohon. Gadis itu baru mengayunkan kakinya, setelah Rangga berjalan cukup jauh. Dengan ayu dan kaki lebar dan cepat, sebentar saja gadis itu sudah menjajarkan dirinya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Belum ada yang membuka suara. Mereka terus berjalan dengan bibir terkatup rapat.
********************
Sudah seluruh sudut Lembah Mayat ini dijelajahi. Tapi, tidak juga bisa ditemukan tempat tinggal Jaka Anabrang yang menyekap Pandan Wangi. Bahkan Rangga dan Rara Ayu Ningrum juga tidak lagi menemukan jejak Ki Andak. Sementara, matahari sudah condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terasa menyengat
"Rasanya tidak ada lagi tempat tersembunyi di Lembah Mayat ini. Sudah semua sudut dan pelosok dijelajahi. Aku tidak percaya kalau dia bertempat tinggal di dalam tanah," ujar Rangga terdengar bergumam, seperti bicara pada dirinya sendiri
"Pasti ada tempat yang sangat rahasia dan tersembunyi di sini, Kakang," balas Rara Ayu Ningrum.
"Tempat macam apa...?" tanya Rangga seraya menatap gadis itu.
Rara Ayu Ningrum hanya mengangkat bahu saja. Dia sendiri tidak tahu, apa yang harus dilakukan lagi untuk menemukan tempat persembunyian Jaka Anabrang. Terlebih lagi, kakeknya saat ini mungkin sudah berhadapan dengan Jaka Anabrang. Hatinya benar-benar mencemaskan orang tua itu. Tapi, Rangga sudah benar-benar kehilangan jejak. Dan sejak tadi, mereka hanya berputar-putar saja tanpa arah dan tujuan pasti. Namun dalam hati, mereka merasa sangat yakin kalau Ki Andak berada di sekitar Lembah Mayat ini.
"Kau benar, Ningrum. Ada satu tempat yang sangat rahasia di sekitar Lembah Mayat ini. Hm...," gumam Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Kita cari lagi, Kakang," ajak Rara Ayu Ningrum.
Rangga mendongakkan kepala ke atas. Tampak seekor Rajawali berbulu putih keperakan tengah melayang-layang tepat di atas kepalanya. Kelihatan kecil sekali, dan beberapa kali menghilang tertutup awan. Dia tahu, Rajawali Putih masih terus mengawasinya dari udara.
Diam-diam, Rangga menggunakan tenaga batin untuk berbicara dengan Rajawali Putih. Pendekar Rajawali Sakti ingin tahu, apakah Rajawali Putih sudah melihat tanda-tanda tempat persembunyian Jaka Anabrang. Cukup lama juga Rangga menunggu jawaban dari burung Rajawali raksasa itu.
"Ayo, Ningrum..," ajak Rangga.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti melangkah. Ayunan kakinya lebar dan cepat, sehingga membuat Rara Ayu Ningrum agak kewalahan mengikutinya. Dan gadis itu kini telah mensejajarkan ayunan langkahnya di samping kiri pemuda itu. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi sedikit pun. Sesaat Rara Ayu Ningrum merasa aneh melihat Rangga seperti sudah yakin akan arah yang dituju kali ini. Pendekar Rajawali Sakti berjalan dengan ayunan kaki begitu mantap.
Rara Ayu Ningrum memang tidak tahu kalau Rangga sudah mendapatkan petunjuk dari Rajawali Putih yang terus-menerus mengikuti dari angkasa. Rupanya burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu sudah tahu tempat persembunyian Jaka Anabrang. Dan dengan kekuatan tenaga batin, diberitahunya kepada Rangga tadi.
Setelah cukup lama mereka berjalan, tiba-tiba saja Rangga menghentikan ayunan kakinya. Disertai gumaman kecil, Rara Ayu Ningrum ikut berhenti melangkah. Dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata memancarkan satu pertanyaan dan keheranan.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Rara Ayu Ningrum, tidak dapat lagi menahan rasa keingintahuannya.
"Kau di sini dulu, Ningrum. Jangan melangkah setindak pun," kata Rangga, agak dalam nada suaranya.
Rara Ayu Ningrum hanya menganggukkan kepala saja. Memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain mengikuti Pendekar Rajawali Sakti, walaupun dalam kepalanya penuh segudang pertanyaan.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus tak berkedip ke depan. Telinganya dipasang tajam-tajam, mendengar suara sekecil apa pun yang dapat ditangkap. Kakinya terus melangkah hati-hati sekali, sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai kesempurnaan. Hingga, sedikit pun tak terdengar suara walau kakinya tetap menjejak tanah. Dan begitu sudah berjalan sekitar lima batang tombak jauhnya, mendadak...
Wusss!
"Haiiit..!"
Cepat Rangga melenting ke udara, ketika tiba-tiba saja dari depan meluncur dua batang tombak. Dan tombak-tombak yang melesat lewat di bawah telapak kakinya langsung menancap pada sebatang pohon di belakang Pendekar Rajawali Sakti tadi. Sementara, Rangga sendiri beberapa kali berputaran di udara, lalu sekali menjejak kembali di tanah. Tapi pada saat kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak....
Srak!
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah..!"
Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika tiba-tiba saja dari dalam tanah di sekitarnya bersembulan makhluk-makhluk aneh bagai mayat hidup. Tak ada satu pun dari mereka yang bentuk tubuhnya masih utuh. Mereka benar-benar sosok mayat yang hidup kembali, setelah terkubur di dalam tanah. Jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang, dan langsung bergerak mengepung Pendekar Rajawali Sakti.
DELAPAN
Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, kembali Pendekar Rajawali Sakti dikejutkan oleh terdengarnya tawa yang sangat keras dan menggelegar. Dan belum lagi hilang suara tawa itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat. Hingga tahu-tahu, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang pemuda dengan sebilah pedang yang masih tersimpan dalam warangkanya.
"Jaka Anabrang...," dcsis Rangga langsung mengenali.
"Sudah kuduga, kau pasti akan datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Jaka Anabrang dingin.
"Mana Pandan Wangi?!" sentak Rangga langsung.
"Ha ha ha...!" Jaka Anabrang masih tertawa terbahak-bahak, mendengar pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan begitu suara tawanya terhenti, Jaka Anabrang bersiul nyaring melengking tinggi. Begitu siulannya hilang, muncul empat orang laki-laki bersama seorang perempuan tua sambil menggiring Pandan Wangi dan Ki Andak yang seluruh tubuhnya terikat rantai.
"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau pedang pusakamu tidak kau serahkan, jangan menyesal kalau kepala mereka terpisah," ancam Jaka Anabrang dingin.
"Jangan pedulikan omongannya, Kakang!" seru Pandan Wangi menyentak.
Tapi begitu suaranya menghilang dari pendengaran, perempuan tua yang berdiri di sebelahnya langsung mengebutkan tangannya, menghantam dada gadis itu.
Buk!
"Akh...!" Pandan Wangi terpekik agak tertahan.
"Keparat..!" geram Rangga berang, melihat kekejaman itu.
"Serahkan saja pedangmu, Pendekar Rajawali Sakti. Atau memang ingin melihat kepala mereka pisah dari leher...?" desis Jaka Anabrang semakin dingin terdengar suaranya.
"Phuih...!" Rangga menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Di saat ketegangan sudah sampai pada puncaknya, tiba-tiba saja Rara Ayu Ningrum yang sejak tadi tidak mendapat perhatian, melesat begitu cepat menerjang Jaka Anabrang.
"Mampus kau, Setan Keparat! Hiyaaat..!"
Teriakan Rara Ayu Ningrum, sempat membuat Jaka Anabrang tersentak kaget. Cepat tubuhnya diputar sambil mencabut Pedang Halilintar. Dan seketika itu juga, pedangnya dikebutkan ke arah Rara Ayu Ningrum yang tengah melayang di udara.
Wuk!
"Hiyaaa...!"
Melihat keselamatan Rara Ayu Ningrum terancam, Rangga langsung menghentakkan tangan kanannya dalam pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, disertai tenaga dalam tingkat sempurna .
"Hih!"
Jaka Anabrang jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat tangannya ditarik pulang, sebelum pedangnya yang berkilatan memancarkan cahaya menyilaukan itu sempat menyentuh tubuh Rara Ayu Ningrum.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga, Rangga melompat cepat bagai kilat menerjang pemuda yang memegang Pedang Halilintar. Menyadari akan kedahsyatan pedang di tangan Jaka Anabrang, Rangga tidak mau tanggung-tanggung lagi. Sambil melompat, pedang pusakanya dicabut dan langsung dikebutkan ke leher lawan.
Wukkk!
"Hih! Yeaaah...!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Jaka Anabrang untuk menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Cepat pedangnya dikebutkan, untuk menangkis sabetan Pedang Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru terang menyilaukan mata. Hingga tak pelak lagi, dua pedang yang berpamor sangat dahsyat pun bertemu di udara.
Trang!
Glarrr...!
Ledakan keras dan menggelegar pun terjadi, begitu dua mata pedang berpamor dahsyat beradu. Tampak kilatan bunga api memercik menyebar ke segala arah. Sementara, terlihat kedua pemuda itu terpental ke belakang sejauh beberapa langkah. Mereka sama-sama jatuh bergulingan, lalu secara bersamaan pula kembali bangkit berdiri.
"Phuih! Serang dia...!" teriak Jaka Anabrang memberi perintah.
"Biar manusia-manusia busuk ini kuhadapi, Kakang!" seru Rara Ayu Ningrum cepat
"Hiyaaat..!"
Rara Ayu Ningrum langsung saja melompat menerjang mayat-mayat hidup dengan kebutan pedangnya yang begitu cepat, hingga sukar diikuti mata biasa. Sengaja mayat-mayat hidup ini dihadapi agar Rangga bisa leluasa menghadapi Jaka Anabrang.
"Setan keparat! Phuih...!"
Jaka Anabrang jadi geram setengah mati melihat Rara Ayu Ningrum menggempur mayat-mayat hidup suruhannya. Dan saat itu Rangga sudah melangkah menghampiri, dengan Pedang Rajawali Sakti tersilang di depan dada.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat menyerang, sambil mengebutkan pedangnya dengan kecepatan bagai kilat Akibatnya, Jaka Anabrang harus berjumpalitan menghindarinya.
Pertarungan antara Rangga dan Jaka Anabrang tidak dapat lagi dihindari. Pertarungan berjalan dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat luar biasa. Kilatan-kilatan cahaya pedang bagaikan kabut yang menyelubungi seluruh tubuh mereka.
Begitu cepat gerakan-gerakan yang dilakukan, sehingga sulit sekali dipandang mata. Dan bentuk tubuh mereka pun jadi hilang, tertutup kilatan-kilatan cahaya pedang yang berkelebatan begitu cepat, mengincar tiap-tiap bagian tubuh yang mematikan.
Suara-suara ledakan keras menggelegar pun seringkali terdengar, setiap dua pedang itu beradu. Percikan bunga api terus berhamburan menyebar ke segala arah. Sementara itu, Rara Ayu Ningrum terus menggempur mayat-mayat hidup tanpa mengenal lelah. Pedangnya pun berkelebatan ke sana kemari, membabat makhluk-makhluk yang seharusnya sudah menghuni tanah bersama cacing-cacing. Teriakan-teriakannya begitu keras, mengikuti setiap gerakannya.
Sementara itu, diam-diam Pandan Wangi mencari kesempatan untuk melepaskan diri, karena mereka yang menawannya kelihatan begitu terpukau menyaksikan pertarungan antara Rangga dengan Jaka Anabrang. Dan memang, pertarungan itu sungguh dahsyat, hingga tidak ada satu mata pun yang berkedip memperhatikannya. Bahkan Ki Andak juga begitu seksama memperhatikan, hingga sepasang bola matanya tidak berkedip sedikit pun juga. Dia seperti lupa kalau seluruh tubuhnya terbelenggu rantai baja.
"Hih!"
Trig!
Begkh!
"Akh...!"
Pandan Wangi benar-benar memanfaatkan kesempatan ini. Begitu cepat kedua tangannya yang terikat rantai dikebutkan, dan langsung menghantam dada perempuan tua yang berdiri dekat sekali di sebelahnya. Begitu keras kebutan kedua tangannya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya perempuan tua yang berada di sebelahnya terpental sampai sejauh dua batang tombak.
"Hiyaaat...!"
Belum juga ada yang bisa menyadari, Pandan Wangi sudah melesat begitu cepat menerjang ke arah perempuan tua yang masih sejajar di tanah. Dan bagaikan kilat, rantai yang membelenggu kedua tangannya menjadi satu dikebutkan. Rantai baja itu melesat begitu cepat, sehingga perempuan tua itu tidak sempat lagi menghindari. Dan....
Cring!
Prak!
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat sekali. Tampak kepala perempuan tua itu pecah berantakan tersambar rantai baja yang mengikat kedua tangan Pandan Wangi. Darah pun seketika berhamburan deras. Hanya sebentar saja perempuan tua itu masih bisa menggeliat, kemudian mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi. Seketika, nyawanya melayang dari badan dengan kepala pecah berhamburan!
Jeritan kematian perempuan tua itu mengejutkan yang lain. Dan begitu tersadar, mereka langsung saja berlompatan hendak menyerang Pandan Wangi. Tapi, Ki Andak sudah lebih cepat bertindak. Disertai pengerahan tenaga dalam, rantai yang membelenggu kedua tangannya dikibaskan cepat.
Cring!
Plak!
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat saling susul. Pandan Wangi cepat berpaling, dan tersenyum melihat Ki Andak merobohkan anak buah Jaka Anabrang. Dan kini mereka tidak lagi dijaga. Pandan Wangi bergegas menghampiri laki-laki tua itu.
"Bagaimana dengan rantai ini, Ki?" tanya Pandan Wangi sambil mengulurkan kedua tangannya yang terbelenggu.
"Dengan rantai ini pun, kita masih bisa membantu Rara Ayu Ningrum," sahut Ki Andak
Pandan Wangi cepat menatap Rara Ayu Ningrum yang masih kerepotan menghadapi makhluk-makhluk mayat hidup suruhan Jaka Anabrang.
"Ayo, Ki. Tampaknya cucumu perlu bantuan juga," ajak Pandan Wangi.
"Baiklah. Ayo cepat," sambut Ki Andak.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaat..!"
Mereka segera saja beriompatan menghajar mayat-mayat hidup yang mengeroyok Rara Ayu Ningrum. Walaupun ada rantai yang membelenggu kedua tangan, gerakan Pandan Wangi dan Ki Andak masih sangat tangguh dan gesit. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka sudah merobohkan tidak sedikit mayat-mayat hidup itu.
Sementara di tempat yang terpisah, Rangga dan Jaka Anabrang masih bertarung sengit sekali. Dan tampaknya, mereka sudah mengerahkan jurus-jurus andalan yang sangat dahsyat dan berbahaya. Bahkan sesekali sama-sama melontarkan aji kesaktian, hingga beberapa kali pula terdengar ledakan-ledakan keras menggelegar, menggetarkan bumi.
Dan saat itu, Pandan Wangi, Ki Andak, dan Rara Ayu Ningrum sudah menyelesaikan pertarungannya. Tidak ada satu pun lagi mayat-mayat hidup itu yang bisa bangkit berdiri. Mereka semua menggeletak, menyebarkan aroma busuk yang memualkan perut. Hingga, membuat ketiga pendekar itu bergegas menjauh. Dan perhatian mereka langsung tertumpah pada Pendekar Rajawali Sakti yang masih bertarung ketat melawan Jaka Anabrang.
Saat itu, Rangga sudah mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalan yang jarang sekali digunakan kalau tidak menghadapi lawan tangguh. Tapi, tampaknya Jaka Anabrang tidak begitu terpengaruh oleh jurus ini. Serangan-serangan balasannya pun semakin berbahaya saja. Sama sekali jiwanya tidak terpengaruh oleh jurus yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Edan...! Dia benar-benar tangguh. Sedikit pun tidak terpengaruh oleh jurus 'Pedang Pemecah Sukma'," dengus Rangga pelan.
Menyadari kalau jurus andalannya tidak akan bisa menyudahi pertarungan, bergegas Rangga melompat mundur sejauh setengah batang tombak. Sementara pedangnya yang selalu memancarkan sinar biru, langsung tersilang di depan dada. Sorot matanya begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Jaka Anabrang yang juga segera menghentikan pertarungan begitu Rangga melompat mundur.
"Hm... Terpaksa aji 'Cakra Buana Sukma' harus kugunakan," gumam Rangga lagi.
Rangga segera menempelkan telapak tangan kirinya ke mata pedang. Sementara sorot matanya masih terlihat tajam menembus langsung ke bola mata Jaka Anabrang. Dan perlahan-lahan, tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti bergerak menggosok mata pedangnya. Begitu mencapai pangkal tangkai, tampak sinar biru yang memancar dari pedang meng-gumpal di ujung, membentuk bulatan sebesar kepala.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'. Yeaaah...!"
Bettt!
"Hiyaaa...!"
Sambil mengebutkan pedang ke depan, Rangga mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Dan pada saat yang bersamaan, Jaka Anabrang juga menghentakkan pedangnya ke depan. Dan begitu sinar biru dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti meluruk, dari ujung Pedang Halilintar di tangan Jaka Anabrang juga memancar cahaya keperakan yang menyilaukan mata.
Dan kini dua cahaya dari ujung pedang yang berlawanan itu pun bertemu di tengah-tengah. Seketika itu juga, terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Tampak Jaka Anabrang terdorong beberapa langkah ke balakang.
Sementara, tubuh Rangga hanya goyah sedikit saja. Sedangkan, sinar biru yang memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti terus meluruk deras ke depan. Sementara cahaya keperakan dari pedang Jaka Anabrang seketika menyebar, begitu membentur sinar biru dari pedang Rangga.
"Akh...!"
Jaka Anabrang tiba-tiba saja terpekik, begitu tubuhnya tersentuh sinar biru yang memancar dari pedang Rangga. Sedangkan sinar biru langsung saja menyelubungi seluruh tubuh Jaka Anabrang. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam waktu singkat seluruh tubuh Jaka Anabrang sudah terselimut cahaya biru yang begitu terang menyilaukan mata.
"Ugkh! Akh...!"
Tampak Jaka Anabrang menggeliat-geliat, berusaha melepaskan diri dari selubung sinar biru itu. Tapi hatinya jadi terkejut setengah mati. Karena semakin kuat mengerahkan tenaga, semakin besar pula tenaganya yang terhambur keluar. Sama sekali tidak disadari kalau aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti mampu menyedot tenaganya. Akibatnya bisa dipastikan kalau Jaka Anabrang tidak akan memiliki kekuatan sedikit pun.
Jaka Anabrang semakin kuat berusaha melepaskan diri. Tapi, semakin besar pula tenaganya terhambur keluar. Dan keringat semakin deras mengucur di seluruh tubuhnya. Sementara, Rangga perlahan-lahan mulai melangkah mendekati. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi....
"Hiyaaa...!"
Bet!
Wuk!
Begitu cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya. Sehingga....
Cras!
"Aaakh...!" Jaka Anabrang menjerit keras melengking tinggi, begitu mata pedang Pendekar Rajawali Sakti mem-babat lehernya. Tapi hanya itu saja suara yang keluar dari mulutnya.
Sementara, Rangga sudah cepat melompat ke belakang, sambil menyarungkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.
Sedangkan Jaka Anabrang terlihat berdiri tegak dengan kedua bola mata terbuka dan mulut menganga lebar. Dan tak lama kemudian, tubuh pemuda itu jadi limbung, lalu langsung ambruk dengan kepala terpisah dari leher. Darah seketika muncrat berhamburan keluar dari leher yang buntung tak berkepala lagi!
"Kakang...!" Pandan Wangi bergegas menghampiri Rangga yang masih berdiri tegak memandangi tubuh Jaka Anabrang yang sudah tergeletak kaku tak bernyawa lagi.
Sementara, Ki Andak mengambil Pedang Halilintar dan warangkanya dari tangan Jaka Anabrang. Dimasukkannya pedang itu ke dalam warangkanya, lalu melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Rara Ayu Ningrum mengikuti ayunan langkah kaki kakeknya ini. Mereka baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak tahu, harus bagaimana mengucapkan terima kasih padamu, Rangga. Kau telah mengembalikan pedang pusaka ini pada tangan yang sah," ucap Ki Andak.
"Ah! Sudahlah, Ki. Semua ini berkat kerjasama kita semua," sambut Rangga tidak ingin mendapatkan apa pun juga dari apa yang telah dilakukan.
"Tapi...."
"Sebaiknya kita pergi saja dari sini, Ki. Sudah hampir senja. Mudah-mudahan saja tidak sampai malam di jalan," serobot Rangga cepat, memutuskan ucapan Ki Andak.
Pendekar Rajawali Sakti terus saja melangkah diikuti Pandan Wangi. Ki Andak dan Rara Ayu Ningrum memperhatikan beberapa saat, kemudian melangkah mengikuti ayunan kaki pendekar muda itu dari belakang. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi sedikit pun. Dan ditengah perjalanan, dengan kekuatan pedangnya Rangga melepaskan rantai yang membelenggu Pandan Wangi dan Ki Andak, hingga bisa leluasa berjalan pulang.
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: RATU INTAN KUMALA