Pendekar Rajawali Sakti
RATU INTAN KUMALA
SATU
MATAHARI baru saja menampakkan diri di ufuk timur, ketika serombongan orang tengah berjalan beriringan mendaki sebuah bukit yang masih terselimut kabut. Pakaian mereka semua serba hitam, dengan kerudung yang juga hitam pekat. Mereka terus berjalan perlahan-lahan, tanpa menghiraukan udara yang begitu dingin menusuk tulang.
Berjalan paling depan adalah seorang perempuan tua berusia sekitar delapan puluh tahun. Walaupun tubuhnya sudah bungkuk, tapi ayunan kakinya terlihat begitu mantap. Sorot matanya juga memancar tajam, memandang lurus ke depan tanpa berkedip sedikit pun. Sedangkan mereka yang berjalan di belakang, terdiri dari wanita-wanita muda berusia sekitar delapan belas atau dua puluh tahun.
Tak seorang pun yang berbicara. Mereka berjalan dengan wajah tertunduk. Seakan-akan wajah mereka sengaja disembunyikan dari sengatan cahaya matahari pagi yang baru saja muncul di balik bukit ini.
Rombongan wanita berpakaian serba hitam itu baru berhenti berjalan, setelah tiba di puncak bukit. Kabut di atas puncak bukit ini terlihat begitu tebal, sehingga membuat pandangan mata tidak bisa menjangkau jarak jauh. Tampak perempuan tua yang berada paling depan mengangkat tinggi-tinggi tangan kanan yang memegang tongkat kayu ke atas kepala. Tanpa mendapat perintah lagi, wanita-wanita muda di belakangnya segera menyebar membentuk lingkaran.
“Hm....” Perempuan tua itu mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil memperdengarkan gumam pelan. Tapi keadaan yang begitu sunyi, membuat gumamnya terdengar jelas sekali. Kemudian dia naik ke atas sebongkah batu berbentuk bundar yang bagian atasnya pipih dan rata, dan bersila di situ. Tongkat kayunya diletakkan ke atas kedua pahanya yang terlipat.
“Duduk kalian semua...!” Terdengar kering dan agak serak suara perempuan tua itu.
Dan semua gadis muda yang mengelilinginya segera duduk bersila, tanpa memperdengarkan suara sedikit pun. Kepala mereka semua tertunduk, tak ada seorang pun yang berani menatap perempuan tua yang duduk bersila di atas sebongkah batu pipih itu. Sebentar kemudian perempuan tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Puncak bukit ini masih tetap terselimut kabut, meskipun saat ini sudah tengah hari. Dan semestinya, matahari berada tepat di atas kepala. Tapi ternyata hanya cahayanya saja yang memancar, karena terhalang kabut yang sangat tebal. Udara di puncak bukit ini juga terasa begitu dingin. Dan herannya, wanita-wanita itu seperti tidak peduli. Mereka tetap duduk diam, tanpa memperdengarkan suara sedikit pun juga.
“Sebentar lagi junjungan kita akan datang. Dan kuminta, jangan ada seorang pun yang berlaku tidak sopan. Ingat! Sedikit saja kalian berlaku aneh, nyawa taruhannya,” kembali perempuan tua itu menegasi.
Dan suaranya masih tetap terdengar serak dan kering. Bahkan sedikit pun tidak terdengar adanya tekanan. Begitu datar nada suaranya. Apalagi disertai tatapan yang begitu tajam, merayapi gadis-gadis yang duduk bersila di sekelilingnya.
Gadis-gadis itu hanya menganggukkan kepala saja, tanpa memperdengarkan suara sedikit pun. Dan mereka tetap tertunduk dengan sikap begitu patuh.
Perlahan perempuan tua itu bangkit berdiri, sambil menggenggam tongkat kayunya erat-erat di tangan kanan. Sejenak kepalanya menengadah ke atas langit yang berselimut awan tebal agak menghitam. Dan perlahan kemudian, tongkatnya di angkat hingga ke atas kepala. Tampak bibirnya yang keriput bergerak-gerak, disertai gumaman bagaikan lebah. Saat itu juga....
Clrak! Glaaar...!
Secercah cahaya kilat membelah angkasa, disertai ledakan guntur menggelegar yang memekakkan telinga. Semua gadis yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu tampak tersentak. Tapi, tak seorang pun yang mengangkat kepalanya. Belum lagi rasa keterkejutan itu lenyap, tiba- tiba saja mereka kembali dikejutkan oleh bergetarnya tanah di sekitar puncak bukit ini.
Lalu tidak jauh dari batu pipih tempat perempuan tua itu berdiri tegak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, mengepul segumpal asap berwarna kemerahan dari dalam tanah. Asap itu semakin lama semakin menggumpal dan bergulung-gulung ke angkasa. Dan saat itu juga, angin seakan-akan berhenti bertiup. Dedaunan pohon yang tumbuh di sekitarnya, sedikit pun tak ada yang bergerak. Suasana begitu sunyi, bagai berada di tengah-tengah kuburan.
“Datanglah, Gusti Ratu. Kami semua sudah menunggu dan siap menunggu perintah,” ujar perempuan tua itu, masih dengan suara serak dan kering sekali.
Clraaas! Glaaar...!
Kembali terdengar ledakan guntur yang keras menggelegar, setelah sebelumnya didahului sambaran cahaya kilat membelah angkasa. Dan saat itu juga, dari gumpalan asap kemerahan itu terlihat bayang-bayang sesosok tubuh ramping. Sebentar kemudian, begitu asap merah itu lenyap bagai tertiup angin, berdiri sesosok tubuh ramping. Dia adalah seorang wanita berwajah cantik bagai bidadari.
Wanita cantik itu mengenakan baju warna merah muda yang sangat tipis, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas membayang. Di tangan kanannya tergenggam sebongkah batu permata sebesar kepalan tangan yang selalu memancarkan cahaya terang menyilaukan mata. Dia melangkah menghampiri batu pipih yang permukaannya datar itu, kemudian naik ke atasnya. Dan wanita cantik itu lalu duduk dengan manis sekali di sana.
Sementara, perempuan tua berubah hitam itu duduk bersila tepat sekitar lima langkah di depannya. Sikapnya begitu hormat, seakan-akan sedang berhadapan dengan seorang ratu penguasa jagat.
“Terimalah salam sembah dan penghormatan kami, Gusti Ratu Intan Kumala,” ucap wanita tua yang kini sudah turun dari atas batu pipih itu.
“Hmmm.... Ada apa kau memanggilku, Nyai Purut? Kau membawa semua pengikutmu. Apa ada hal yang sangat penting....?” terdengar begitu lembut dan halus suara wanita cantik berpakaian merah muda yang dipanggil Gusti Ratu Intan Kumala itu.
“Benar, Gusti Ratu. Begitu penting persoalan yang sedang kuhadapi sekarang ini. Dan aku sangat membutuhkan pertolonganmu, Gusti,” sahut perempuan tua berjubah hitam yang dipanggil Nyai Purut ini.
“Hm.... Katakan apa persoalanmu, Nyai,” pinta Ratu Intan Kumala agak menggumam nada suaranya.
“Gusti.... Sebenarnya, pengikut yang kumiliki ada tiga kali lipat dari yang ada sekarang ini. Tapi mereka sudah tewas, dan hanya ini yang tersisa,” jelas Nyai Purut, sambil memberikan sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
“Tewas...?! Apa yang terjadi, Nyai?!” Ratu Intan Kumala terkejut.
“Ceritanya sangat panjang, Gusti Ratu. Beberapa padepokan beraliran putih telah bergabung dan menyerang tempat tinggalku. Mereka membunuh para pengikutku dan menghancurkan tempat tinggalku, Gusti Ratu. Bahkan kalau tidak segera meninggalkan tempat itu bersama mereka ini, pasti kami semua sudah mati dibantai,” dengan singkat sekali, Nyai Purut mencoba menceritakan keadaan yang dialami.
“Hmmm...,” Ratu Intan Kumala hanya menggumam kecil.
“Dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku berusaha membalas tindakan mereka, Gusti Ratu. Satu persatu padepokan mereka kudatangi, dan kuserang secara mendadak. Beberapa padepokan berhasil kuhancurkan. Tapi, ada tiga padepokan yang tidak mungkin kuhancurkan, Gusti,” lanjut Nyai Purut.
“Hm, kenapa?” tanya Ratu Intan Kumala.
“Mereka selalu dijaga sepasang pendekar yang sangat sakti dan digdaya. Kesakitan mereka sangat jauh di atasku, Gusti,” sahut Nyai Purut.
“Siapa mereka?” tanya Ratu Intan Kumala.
“Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka adalah sepasang pendekar muda dari Karang Setra. Tapi yang paling tangguh adalah Pendekar Rajawali Sakti. Aku benar-benar tidak sanggup menghadapinya, Gusti.”
Ratu Intan Kumala terdiam, dengan kening berkerut. Matanya juga agak menyipit. Mungkin sedang berpikir keras, atau sedang menyimak cerita yang dituturkan Nyai Purut barusan. Dan beberapa saat kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling. Dirayapinya gadis-gadis muda yang masih tetap duduk bersila mengelilinginya sambil tertunduk dalam. Cukup lama juga keadaan menjadi sunyi, tanpa ada seorang pun yang bersuara.
Perlahan-lahan Ratu Intan Kumala Bangkit berdiri, lalu melompat turun dari atas batu pipih itu. Sungguh ringan dan indah gerakannya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat sangat tinggi. Dan sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah. Dia berdiri tegak, tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Nyai Purut. Sementara, perempuan tua itu masih tetap duduk bersila dengan sikap sangat sopan.
“Kau tadi mengatakan tinggal tiga padepokan lagi yang masih berdiri...,” kata Ratu Intan Kumala. Suaranya terdengar agak terputus.
“Benar, Gusti Ratu,” sahut Nyai Purut, seraya memberi sembah.
“Lalu, bagaimana kedua pendekar itu bisa berada di sana dalam waktu yang bersamaan?” tanya Ratu Intan Kumala lagi.
Nyai Purut tidak langsung menjawab. Sedangkan Ratu Intan Kumala terus memandangi, seperti menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Tapi cukup lama juga Nyai Purut terdiam, seakan tengah memilih jawaban yang tepat.
“Kau tahu, Nyai. Bagaimana kedua pendekar itu bisa berada pada tiga padepokan dalam waktu yang bersamaan?” tanya Ratu Intan Kumala lagi.
“Aku sendiri tidak tahu, Gusti. Mereka selalu saja ada di padepokan-padepokan itu. Entah bagaimana caranya, mereka selalu saja bisa mendahuluiku,” sahut Nyai Purut.
Jelas sekali kalau Nyai Purut juga tidak mengerti, kenapa kedua pendekar muda dari Karang Setra yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut itu bisa selalu ada di padepokan yang didatanginya. Malah kedua pendekar itu seperti sudah tahu setiap kali ketiga padepokan itu akan didatangi.
“Kau berkata yang sebenarnya, Nyai?” tanya Ratu Intan Kumala. lagi. Jelas sekali kalau nada suara Ratu Intan Kumala seakan tidak percaya atas cerita perempuan tua itu.
Sedangkan Nyai Purut buru-buru memberikan sembah. Dia tahu, Ratu Intan Kumala yang menjadi junjungannya tidak percaya pada ceritanya tadi. Dan memang, ceritanya tentang kedua pendekar muda itu sukar dipercaya. Padahal jarak ketiga padepokan yang menghancurkan tempat tinggalnya sangat berjauhan.
“Aku berani sumpah, Gusti. Mereka semua menjadi saksi,” tegas Nyai Purut, seraya menunjuk gadis-gadis pengikutnya.
Dan semua gadis-gadis itu langsung saja merapatkan kedua tangan di depan hidung. Menegaskan kalau mereka bersedia menjadi saksi dari kebenaran cerita Nyai Purut tadi.
Ratu Intan Kumala jadi menggumam kecil. Dan sorot matanya begitu tajam, menatap langsung ke wajah Nyai Purut. Sinar matanya seakan sedang menyelidik, untuk menyakinkan diri akan kebenaran cerita perempuan tua itu.
“Baiklah, Nyai. Untuk sementara, kau tetap berada di sini dulu. Aku akan menyelidiki kebenaran dari ceritamu. Tapi, ingat.... Kalau sampai kau berdusta, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu,” kata Ratu intan Kumala dingin.
Nyai Purut cepat-cepat memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Dan belum juga perempuan tua itu bisa mengangkat kepala lagi, tahu-tahu Ratu Intan Kumala sudah lenyap tanpa sedikit pun meninggalkan bekas. Entah ke mana perginya. Perempuan cantik itu seperti lenyap tertelan bumi saja. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kepergiannya tadi.
Dan Nyai Purut sendiri tidak tahu, ke mana arah kepergian wanita berwajah cantik bagai bi-dadari itu. Dan rasanya, dia tidak mau memikirkannya lagi. Maka segera diperintahkannya gadis-gadis pengikutnya untuk membuat pondok, untuk tinggal di puncak bukit ini sementara waktu. Tanpa ada yang membantah, dua puluh orang gadis muda itu segera melaksanakan perintah Nyai Purut.
********************
Matahari perlahan-lahan mulai bergerak ke arah barat. Sinarnya yang semula begitu terik membakar kulit, kini terasa begitu lembut dan hangat, Bias-bias sinarnya yang kemerahan, membuat pemandangan di sekitar kaki Bukit Menjangan begitu indah dipandang mata. Tidak jauh dari kaki bukit yang selalu berselimut kabut itu, atau tepatnya di tepi aliran sebuah sungai yang tidak begitu besar, berdiri sebuah bangunan berukuran cukup besar yang dikelilingi pagar cukup tinggi dari gelondongan kayu, yang bagian ujung atasnya berbentuk runcing.
Bangunan itu seakan-akan sebuah benteng pertahanan. Tapi kalau dilihat dari penghuninya, bangunan itu merupakan padepokan bagi orang-orang yang menuntut ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Dan orang-orang menyebutnya dengan Padepokan Tongkat Perak. Sebuah padepokan yang cukup besar, dipimpin seorang perempuan berusia setengah baya. Namun, garis-garis kecantikan pada wajahnya masih terlihat. Wanita itu selalu dipanggil dengan julukan Pendekar Tongkat Perak. Dan nama yang sebenarnya adalah Nyai Samirah.
Sore yang tenang ini, Padepokan Tongkat Perak kedatangan tamu dua orang pendekar. Yang seorang adalah pemuda tampan berbaju rompi putih. Dan yang seorang lagi adalah gadis cantik berbaju biru muda. Dan kedua pendekar itu memang tidak asing lagi bagi orang-orang kalangan persilatan. Mereka masing-masing dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Jarang sekali orang memanggil nama mereka yang sebenarnya. Tapi, itu memang sudah lazim bagi orang-orang persilatan.
“Rasanya keadaan sudah kembali tenang. Dan kami bisa melanjutkan perjalanan lagi, Nyai Samirah,” ujar Rangga, sopan sekali.
“Kalian buru-buru ingin pergi, Rangga? Kurasa keadaan belum lagi bisa dikatakan tenang. Bukankah Nyai Purut dan pengikut-pengikutnya belum jelas nasib dan rimbanya...? Dan itu masih belum bisa dikatakan tenang, Rangga,” kata Nyai Samirah berusaha mencegah kepergian Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
“Aku yakin, mereka tidak akan berani lagi datang ke sini, Nyai,” selak Pandan Wangi.
“Aku tahu betul watak perempuan iblis itu. Dia tidak akan menyerah begitu saja, setelah kami berhasil menghancurkan tempat tinggalnya,” kata Nyai Samirah lagi.
Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandang. Memang dalam dua hari ini, mereka terpaksa harus tinggal di Padepokan Tongkat Perak. Waktu itu, Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut harus menguras tenaga dan keringat untuk menghadapi Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya, dalam menyelamatkan padepokan ini dari lampiasan pembalasan dendam.
Bukan hanya Padepokan Tongkat Perak ini saja yang menghancurkan tempat tinggal Nyai Purut. Tapi, masih ada beberapa padepokan lain yang bergabung. Hanya saja, hampir semua padepokan itu sudah berhasil dibasmi Nyai Purut dan para pengikutnya, kecuali tiga padepokan yang berhasil selamat. Dan itu juga berkat Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ikut turun tangan. Ketiga padepokan itu berhasil selamat dari kehancuran, walaupun harus menderita kehilangan banyak anggotanya.
“Baiklah, Nyai. Aku dan Pandan Wangi akan tinggal di sini sampai besok pagi,” kata Rangga akhirnya memutuskan.
“Ah...! Sebenarnya aku ingin kalian berdua ikut bersamaku membasmi Nyai Purut. Rasanya hati ini belum bisa tenang kalau perempuan iblis itu masih hidup dan berkeliaran. Dia bisa datang sewaktu-waktu dengan membawa kekuatan yang lebih besar lagi,” ujar Nyai Samirah pelan, agak mendesah nada suaranya.
“Aku janji, Nyai. Aku akan berusaha mendahului mereka,” kata Rangga menyakinkan.
“Terima kasih, Rangga,” ucap Nyai Samirah, merasa sedikit lega.
Sebenarnya, Nyai Samirah bukannya takut menghadapi Nyai Purut. Tapi disadari betul kalau kekuatan yang dimilikinya tidak mungkin sanggup menghadapi gempuran perempuan tua itu bersama gadis-gadis pengikutnya yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Dan lagi, mereka sangat berpengalaman dalam pertempuran, karena sudah terkenal sebagai perompak yang sangat liar dan kejam. Bahkan mereka tidak segan-segan memenggal kepala orang yang mencoba melawannya.
Itu sebabnya, mengapa beberapa padepokan beraliran putih bergabung menjadi satu dan mencoba menghancurkan gerombolan gadis perompak itu. Tapi, memang akibatnya sangat parah. Gerombolan itu ternyata tidak bisa dihancurkan keseluruhan. Bahkan sebagian besar padepokan yang ikut bergabung, mendapat balasan Nyai Purut dan sisa-sisa pengikutnya. Satu persatu, mereka menghancurkan padepokan-padepokan itu. Dan kini hanya tinggal tiga padepokan saja yang tersisa, termasuk Padepokan Tongkat Perak ini.
“Kakang, aku akan keluar sebentar melihat- lihat padepokan ini,” kata Pandan Wangi berpamitan.
“Ah ..! Silakan, Nini Pandan,” ujar Nyai Samirah mempersilakan.
“Tapi jangan sampai keluar dari pagar, Pandan,” pesan Rangga.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja, lalu bangkit berdiri. Kakinya kemudian melangkah meninggalkan ruangan berukuran cukup besar ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah menuju pintu, tiba-tiba saja....
Wusss...!
“Heh?! Upts...!” Pandan Wangi jadi terbeliak setengah mati, ketika tiba-tiba sekali terlihat sesosok tubuh melayang begitu cepat ke arahnya, menerobos pintu yang sejak tadi terbuka lebar. Cepat-cepat gadis cantik berbaju biru muda yang berjuluk si Kipas Maut itu melenting ke samping, menghindari terjangan sosok tubuh yang melayang sangat deras itu.
Sementara, Rangga dan Nyai Samirah juga cepat melompat bangkit berdiri. Mereka juga sangat terkejut melihat kejadian itu. Dan belum lagi rasa terkejut itu lenyap, kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar. Ternyata sesosok tubuh yang tadi meluncur deras hampir menabrak Pandan Wangi, langsung menghantam dinding bangunan ini. Dan sosok tubuh itu lalu jatuh menggeletak, setelah bergulingan beberapa kali.
“Oh...?!” Pandan Wangi cepat-cepat menghampiri Rangga yang berdiri di samping Nyai Samirah. Mereka begitu terkejut, setelah mengetahui kalau sosok tubuh itu ternyata salah seorang murid Padepokan Tongkat Perak itu.
“Hup...!” Tiba-tiba saja Rangga melesat keluar dengan gerakan cepat luar biasa. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga sebelum ada yang menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di luar bangunan padepokan yang berukuran cukup besar ini. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kedua kakinya menjejak tanah.
Saat itu, Pandan Wangi dan Nyai Samirah juga bergegas keluar. Dan mereka jadi terkejut sekali, begitu tiba di luar. Tampak tubuh-tubuh bergelimpangan dengan leher terbabat hampir buntung. Dan sebagian, terlihat masih mengucurkan darah segar. Itu berarti murid-murid padepokan ini belum lama dibantai.
“Edan...! Apa-apaan ini...?!” desis Nyai Samirah geram.
DUA
Sambil menggerutukkan gerahamnya menahan berang, Nyai Samirah memeriksa semua muridnya yang sudah tergeletak tak bernyawa dengan leher terbabat hampir buntung. Bau anyir darah begitu terasa merasuk lubang hidung.
Sementara, Pandan Wangi sudah berdiri di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tampak mengedarkan pandangan, merayapi murid-murid Padepokan Tongkat Perak yang bergelimpangan. Darah tampak mengucur deras, menggenangi bumi.
Belum juga Nyai Samirah, Rangga, dan Pandan Wangi bisa berbuat sesuatu, kembali dikejutkan ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Dan seketika mata mereka jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba bangunan besar yang menjadi pusat Padepokan Tongkat Perak hancur berkeping-keping begitu ledakan dahsyat menggelegar terdengar.
Api langsung berkobar seketika, melahap bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu. Cepat sekali api kobarannya, membuat bangunan padepokan itu tidak dapat terselamatkan lagi. Gemeretak suara api melahap kayu-kayu bangunan padepokan, membuat hati ketiga orang ini jadi mengiris pedih.
“Ha ha ha...!”
Kembali mereka dikejutkan oleh suara tawa keras menggema yang seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Sulit sekali dicari sumber datangnya suara. Saat itu, Rangga sudah dapat memastikan kalau pemilik suara tawa ini adalah seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Pengerahan tenaga dalamnya begitu sempurna, sehingga suara tawanya menggema. Sulit sekali menentukan sumbernya.
Dan belum juga ada yang bisa memastikan arah datangnya suara tawa itu, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan mengambang di dalam kobaran api yang membakar bangunan Padepokan Tongkat Perak ini. Sebuah bayangan ramping seorang wanita. Bukan hanya Pandan Wangi dan Nyai Samirah saja yang terlongong keheranan, tapi Rangga pun jadi ternganga melihatnya. Belum pernah mereka melihat keajaiban seperti ini.
“Siapa di antara kalian bertiga yang bernama Pendekar Rajawali Sakti...?” Terdengar keras sekali suara bayangan wanita yang mengambang di dalam api itu. Dan suara itu menggema, sulit dicari arah datangnya.
“Aku,” sahut Rangga mantap, seraya mengayunkan kakinya mendekati kobaran api itu. Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja wanita yang berada dalam kobaran api itu menghentakkan tangan kanannya. Dan saat itu juga, terlihat bulatan bola api meluncur cepat ke arah pemuda berbaju rompi putih ini.
“Haiiit...!” Manis sekali Rangga bergerak ke kiri, menghindari terjangan bola api itu. Dan secepat itu pula kakinya ditarik ke samping. Tapi belum juga bisa menegakkan tubuhnya, wanita di dalam kobaran api itu kembali menghentakkan tangannya. Dan kali ini, beberapa kali bulatan-bulatan bola api dilontarkannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hup! Yeaaah...!” Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari bola-bola api yang beberapa kali hampir menghantam tubuhnya. Tapi dengan gerakan-gerakan yang begitu indah dan lentur, semua itu masih bisa dihindarinya.
Sementara, wanita dalam kobaran api itu terus gencar dan beruntun melontarkan bola-bola apinya, dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hal ini membuat Pandan Wangi dan Nyai Samirah terpaksa harus menyingkir, menjauhi tempat sekitar pertarungan yang sangat aneh ini.
Udara malam yang semula terasa dingin membekukkan tulang, kini berubah menjadi hangat oleh kobaran api yang tersebar di seluruh lingkungan Padepokan Tongkat Perak ini. Api berkobar di mana-mana, membakar apa saja yang bisa terbakar.
Sementara, Rangga terus berjumpalitan menghindari serangan-serangan wanita aneh yang muncul dari dalam koba-ran api itu. Sekitarnya sudah terasa begitu panas, seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti berada di dalam tungku api yang sewaktu-waktu bisa saja menghanguskan tubuhnya.
“Huh! Napas ku mulai sesak...!” dengus Rangga dalam hati. Memang, napas Pendekar Rajawali Sakti sudah mulai terasa jadi sesak. Bola-bola api yang berhamburan di sekitarnya, membuat udara jadi berkurang. Rangga cepat menyadari kalau tidak akan mungkin bisa bertahan lebih lama lagi bila terus-menerus mendapat serangan seperti ini. Bagaimanapun juga, paru-parunya membutuhkan udara segar.
“Hup! Hiyaaa...!” Begitu mendapat kesempatan yang sangat sedikit, cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan tubuhnya berputaran beberapa kali, sebelum mendarat di atas cabang sebatang pohon yang sangat tinggi. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa bernapas lega, wanita yang masih tetap berada di dalam kobaran api sudah memberi serangan cepat dan dahsyat. Sebuah bulatan bola api yang sangat besar, meluncur deras ke arah Rangga yang berada di atas dahan sebatang pohon.
“Hup! Hiyaaa...!”
Glaaar...!
Tepat di saat Rangga melenting, bola api itu menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping, disertai ledakan dahsyat menggelegar dan memekakkan telinga. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kaki kembali di tanah.
Tapi, kali ini Rangga tidak mau lagi didahului. Begitu kakinya menjejak tanah, cepat dikerahkannya satu aji kesakitan yang dianggapnya bisa menandingi kedahsyatan kobaran api. Cepat kedua tangannya dirapatkan di depan dada sambil menahan napas. Dan....
“Aji ‘Bayu Bajra’! Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan, tepat diarahkan pada kobaran api yang melahap bangunan rumah Padepokan Tongkat Perak. Dan seketika itu juga, bertiup angin badai yang sangat dahsyat dan luar biasa. Hempasan angin itu menimbulkan suara menderu-deru menggetarkan jantung. Api yang berkobar besar, jadi tidak terkendali lagi. Tampak bayang-bayang wanita yang berada di dalam api itu berusaha untuk mengendalikan kobaran api di sekitar tubuhnya. Tapi, hempasan angin badai yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti begitu dahsyat!
“Hiyaaa...!” Rangga menambah kekuatan hembusan angin badai topan ciptaannya. Dan saat itu juga, terdengar ledakan keras menggelegar di angkasa, disertai percikan kilat tepat yang menyambar kobaran api itu.
Glaaar!
“Akh...!” Tiba-tiba terdengar jeritan agak tertahan, tepat bersamaan dengan padamnya kobaran api yang melahap bangunan padepokan itu. Tampak seorang wanita terpental cukup jauh ke belakang.
Sementara, Rangga segera mencabut kembali aji kesaktiannya. Dan dengan sedikit lompatan, dihampirinya wanita itu. Tapi belum juga dekat, tiba-tiba saja....
“Hih...!”
Wusss!
“Heh...?! Upts!”
Untung saja Rangga cepat menarik tubuhnya ke belakang. Maka beberapa buah benda berwarna merah menyala yang dilontarkan wanita itu, tidak sampai menghantam tubuhnya, dan lewat sedikit saja di atas tubuhnya yang doyong ke belakang. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menegakkan tubuhnya kembali. Dan pada saat yang bersamaan, wanita itu sudah bisa bangkit berdiri kembali.
Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti, berdiri seorang wanita yang bertubuh indah menggiurkan. Wajahnya juga sangat cantik, bagaikan bidadari turun dari kayangan. Bajunya warna merah muda yang sangat tipis, sehingga membayangkan keindahan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan itu.
Rangga agak terkesiap juga begitu tahu kalau lawannya ini adalah seorang wanita yang kecantikannya sempurna sekali. Untuk sesaat dipandanginya wanita itu sampai tidak berkedip.
“Uh...!” Tapi, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengendalikan dirinya. Kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, sambil menghembuskan napas panjang.
Sementara, wanita cantik dan sempurna itu tersenyum manis sekali. Sikap berdirinya seperti sengaja menantang Pendekar Rajawali Sakti, namun bukan sikap hendak bertarung. Sikapnya lebih pantas bila disebut menggoda kelaki-lakiannya, sehingga membuat dada pemuda itu jadi sedikit berdebar. Betapa tidak...?
Kecantikan wanita ini sungguh sulit dicari bandingannya. Lekuk-lekuk tubuhnya begitu indah, membuat mata seakan-akan sulit sekali dialihkan ke arah lain. Malah dari tubuhnya menyebar aroma harum, membuat hati siapa saja yang menciumnya jadi bergetar. Tapi Rangga tentu saja tidak ingin terpengaruh. Kembali kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah.
“Siapa kau?! Kenapa kau hancurkan padepokan ini?!” tanya Rangga dibuat ketus nada suaranya. Pendekar Rajawali Sakti sengaja lebih dulu melontarkan pertanyaan untuk menghilangkan sesuatu perasaan yang tiba-tiba saja menggayuti hatinya tadi. Suatu perasaan yang sebenarnya wajar bagi laki-laki, bila melihat wanita cantik seperti ini. Tapi Rangga tidak pernah mau memanjakan perasaan hatinya. Dan dia selalu saja dapat mengendalikan diri.
“Aku Ratu Intan Kumala...,” sahut wanita cantik itu lembut.
“Perempuan setan...!” geram Nyai Samirah tiba-tiba. Dan saat itu juga, sebelum ada yang sempat menyadari, mendadak.... “Hiyaaat...!”
Nyai Samirah langsung saja melompat begitu cepat, sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi. Dan langsung saja dikirimkannya beberapa pukulan beruntun dengan kecepatan bagai kilat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hap...!” Tapi hanya dengan meliuk-liukkan tubuhnya saja, wanita berwajah cantik yang mengaku bernama Ratu Intan Kumala itu berhasil menghindari setiap serangan gencar yang dilancarkan wanita Pemimpin Padepokan Tongkat Perak ini. Bahkan....
“Hih!"
Bet!
“Haiiit...!”
Plak!
Tanpa dapat diduga sama sekali, Ratu Intan Kumala mengebutkan tangan kiri ke arah lambung Nyai Samirah. Namun gerakan begitu indah, Nyai Samirah berhasil memapaknya. Akibatnya, tangan mereka berbenturan tepat di depan lambung wanita Ketua Padepokan Tongkat Perak ini.
“Ugkh...!” Nyai Samirah agak mengeluh sedikit, dan cepat-cepat melompat ke belakang. Tangannya yang tadi berbenturan dengan tangan Ratu Intan Kumala langsung dipegangi, karena rasa sakit yang tak terkira. Terasa jelas sekali kalau tenaga dalam Nyai Samirah masih kalah jauh. Ketua Padepokan Tongkat Perak ini merasakan tangannya jadi bergetar. Bahkan seakan-akan tulang-tulang tangannya seperti remuk. Namun Nyai Samirah tidak sempat lebih lama lagi merasakan nyeri pada tangannya, karena Ratu Intan Kumala sudah memberi satu pukulan yang begitu keras dan cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaat...!” Saat itu Nyai Samirah benar-benar tidak dalam keadaan yang menguntungkan. Dan hatinya jadi terhenyak melihat Ratu Intan Kumala sudah memberi satu serangan yang begitu cepat, tanpa dapat diduga sebelumnya. Dan rasanya tidak mungkin bisa dielakkan. Tapi begitu pukulan tangan kanan Ratu Intan Kumala hampir saja menghantam dadanya, tiba-tiba saja....
“Yeaaah...!”
“Heh?! Hap...!” Ratu Intan Kumala jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba Rangga sudah melompat. Langsung Pendekar Rajawali Sakti memapak pukulan Ratu Intan Kumala yang dilepaskan ke arah dada Nyai Samirah. Cepat-cepat wanita cantik itu menarik pulang pukulannya. Tapi, gerakannya sudah terlambat. Akibatnya, satu benturan keras pun tidak dapat dihindari lagi. Dan....
Plak!
“Ikh...!” Ratu Intan Kumala jadi terpekik kecil. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke belakang, dengan melakukan putaran dua kali di udara. Dan begitu kakinya menjejak tanah lagi, Rangga sudah berdiri tegak di depan Nyai Samirah dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita berbaju merah muda yang sangat tipis ini.
“Ukh! Pantas saja semua orang selalu membicarakanmu, Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata kau memang bukan hanya pepesan kosong belaka. Benar-benar kuakui kalau kau berisi,” terasa dingin sekali nada suara Ratu Intan Kumala.
“Kau sudah tahu siapa aku, Nisanak. Sebaiknya segera enyah dari sini, sebelum pikiranku berubah,” ujar Rangga tidak kalah dinginnya.
“Memang belum saatnya kita beradu otot, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sesungguhnya hanya ingin menguji kebenarannya saja. Satu saat nanti, kita akan bertarung mengadu jiwa,” sambut Ratu Intan Kumala.
“Hmmm....”
Setelah berkata demikian, cepat sekali Ratu Intan Kumala melesat pergi. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Wanita itu bagaikan lenyap ditelah bumi, tidak ketahuan arah kepergiannya.
Tapi Rangga tidak lagi mempedulikan. Segera tubuhnya berputar, menghampiri Nyai Samirah. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengambil tangan Nyai Samirah yang sejak tadi terus dipegangi. Sementara Pandan Wangi sudah berada di sampingnya. Rangga memeriksa tangan Nyai Samirah sebentar, kemudian melepaskannya lagi sambil menghembuskan napas panjang. Sedangkan matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi.
“Tanganmu tidak apa-apa, Nyai. Hanya tulangmu retak sedikit saja,” jelas Rangga.
“Hhh! Tenaga dalamnya sungguh tinggi. Aku hampir saja tidak kuat menghadangnya tadi,” dengus Nyai Samirah.
“Hanya saja, lain kali jangan bertindak seperti itu, Nyai. Aku bisa memaklumi perasaanmu. Tapi tindakanmu tadi, bisa membahayakan keselamatan dirimu sendiri,” kata Rangga mengingatkan.
”Kau tahu siapa dia itu, Rangga...?”
Rangga hanya diam saja dengan kepalanya sedikit menggeleng. Nyai Samirah menatap Pandan Wangi. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu juga menggeleng. Kedua pendekar muda dari Karang Setra ini memang tidak tahu, siapa Ratu Intan Kumala itu. Sedangkan Nyai Samirah tampak menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat.
“Perempuan itu bukan manusia, Rangga...,” jelas Nyai Samirah dengan suara seperti terputus.
“Bukan manusia...? Apa maksudmu, Nyai?” tanya Pandan Wangi agak terkejut tidak mengerti.
“Dia setengah manusia dan setengah siluman,” Nyai Samirah mencoba menjelaskan.
Saat itu juga Pandan Wangi dan Rangga saling melemparkan pandangan. Memang tadi ketika Ratu Intan Kumala muncul saja, seakan-akan sulit diterima akal biasa. Tidak ada seorang pun yang bisa bertahan begitu lama berada dalam kobaran api, walaupun memiliki tingkat kepandaian yang tinggi sekali pun. Dan dari peristiwa itu saja, sudah dapat diduga kalau wanita cantik bagai bidadari yang mengaku bernama Ratu Intan Kumala bukanlah manusia biasa.
Paling tidak, di dalam tubuhnya mengalir darah siluman. Rangga yang sebenarnya sejak tadi sudah menduga begitu, tidak terlalu terkejut seperti Pandan Wangi. Dan dari pertarungannya yang aneh tadi, sudah bisa diraba kalau kekuatan yang dimiliki Ratu Intan Kumala bukanlah kekuatan seorang manusia, melainkan suatu kekuatan yang datangnya dari darah siluman.
“Hhh...! Kemunculannya pasti akan semakin memperburuk keadaan...,” desah Nyai Samirah bernada mengeluh.
“Apa maksudmu berkata seperti itu, Nyai?” tanya Pandan Wangi.
“Kalian tahu, Ratu Intan Kumala adalah junjungan dan sesembahan Nyai Purut,” jelas Nyai Samirah. Jelas sekali terdengar kalau nada suara Ketua Padepokan Tongkat Perak itu ditahan.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi jadi saling melempar pandang lagi. Mereka benar-benar tak menyangka kalau wanita cantik bagai bidadari itu ada hubungannya dengan Nyai Purut, pemimpin gerombolan gadis perompak yang sudah hampir hancur. Dan keterangan yang diberikan Nyai Samirah kali ini benar-benar sangat mengejutkan. Sungguh tak pernah terpikirkan kalau kemunculan Ratu Intan Kumala ada hubungannya dengan peristiwa yang belum lama ini terjadi dan belum bisa hilang dari ingatan. Waktu itu beberapa padepokan silat beraliran putih telah bergabung untuk menghancurkan gerombolan gadis perompak yang dipimpin Nyai Purut.
“Pasti Nyai Purut sudah memanggil dan meminta bantuan padanya untuk menghancurkan kita semua,” kata Nyai Samirah lagi.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Entah apa yang ada dalam kepala mereka. Sedangkan dari raut wajah Nyai Samirah, terlihat jelas rasa kecemasan atas munculnya Ratu Intan Kumala tadi. Terlebih lagi, wanita cantik setengah siluman itu sudah menghancurkan padepokannya dengan mudah.
********************
TIGA
Semalaman penuh, Rangga, Pandan Wangi, dan Nyai Samirah tidak bisa memicingkan matanya barang sekejap pun. Dan begitu matahari membiaskan cahayanya di ufuk timur, mereka mulai bergerak meninggalkan padepokan yang sudah hancur dengan menunggang kuda masing-masing. Kuda-kuda dikendarai tidak terlalu cepat, dengan tujuan ke utara. Mereka terus berkuda sampai matahari berada tepat di atas kepala, dan baru berhenti setelah tiba di lereng Bukit Menjangan. Bukit ini cukup tinggi, dan selalu terselimut kabut tebal. Mereka turun dari punggung kuda masing-masing. Sedangkan kuda-kuda itu dibiarkan merumput, tanpa tali kekang terikat. Pandangan mata mereka kini sama-sama tertuju ke puncak bukit yang tampak putih berselimut kabut.
“Kalian siap ke sana...?” tanya Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
“Nyawa pun akan ku pertaruhkan, asalkan iblis-iblis keparat itu musnah dari muka bumi,” tegas, Nyai Samirah.
“Bagaimana denganmu, Pandan?” Tanya Rangga seraya berpaling menatap Pandan Wangi.
“Ke neraka sekali pun, aku tidak akan mundur selangkah pun Kakang,” sahut Pandan Wangi mantap.
“Tapi kekuatan mereka harus diperhatikan, Nyai. Kita hanya bertiga. Sedangkan mereka, paling sedikit ada dua puluhan orang jumlahnya,” kata Rangga lagi.
“Rasanya kita tidak memerlukan bantuan siapa pun juga, Rangga. Kalaupun perlu, rasanya terlalu berbahaya bila murid-murid padepokan lain diikutsertakan. Memang, aku sendiri yakin kalau mereka pasti tidak akan menolak, bila diminta untuk melenyapkan perempuan-perempuan setan itu,” kata Nyai Samirah lagi.
Rangga terdiam dan pandangannya kembali tertuju pada puncak Bukit Menjangan yang selalu terselimut kabut tebal. Nyai Samirah dan Pandan Wangi juga mengarahkan pandangan ke sana. Walaupun hati sudah begitu mantap, tapi kata-kata Rangga tadi membuat mereka jadi berpikir juga. Dan dari kenyataan yang ada, memang jumlah kekuatan mereka tidaklah sebanding.
Terlebih lagi, yang jadi tujuan adalah kediaman Ratu Intan Kumala. Sudah barang tentu, semakin besar pula bahaya yang akan dihadapi di sana nanti. Tapi bagi Rangga sendiri, bukan jumlah kekuatan orang yang menjadi beban pikirannya. Dari pertarungannya melawan Ratu Intan Kumala semalam, sudah bisa diukur kalau Nyai Samirah dan Pandan Wangi tidak akan sanggup untuk ikut menghadapi. Sedangkan untuk menghadapi Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya, sudah cukup berat bagi Nyai Samirah dan Pandan Wangi. Berbagai macam perhitungan sudah memenuhi benak Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak mau bertindak gegabah, yang bisa saja dapat merugikan mereka semua.
“Tunggu apa lagi, Kakang...? Ayo kita ke sana,” ajak Pandan Wangi tidak sabaran.
Rangga tidak menyahuti, dan malah menggumam perlahan. Kepalanya terlihat bergerak ke kanan sedikit. Pandan Wangi yang melihat gerakan kepala Pendekar Rajawali Sakti langsung saja menggenggam senjata Kipas Maut, walaupun belum dicabut dari balik ikat pinggangnya. Sementara, telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti juga sudah terlihat terkepal. Sedangkan Nyai Samirah yang belum menyadari, tidak tahu gelagat yang sudah dirasakan kedua pendekar muda itu. Dia jadi heran juga melihat Pandan Wangi sudah mencabut setengah senjata mautnya yang berbentuk kipas dari baja berwarna putih keperakan.
“Pandan, kenapa kau....”
Belum lagi selesai pertanyaannya Nyai Samirah, tiba-tiba saja....
“Awas...!” Seruan Rangga yang begitu keras dan sangat tiba-tiba, langsung mengejutkan Nyai Samirah. Dan belum juga perempuan tua itu bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat dari atas pohon ke arah kepalanya. Maka, perempuan tua itu jadi terperangah. Tapi belum juga bayangan hitam itu mendekat, Pandan Wangi yang sejak tadi sudah siaga, langsung saja melesat sambil mencabut kipas mautnya.
“Hiyaaat...!” Bet!
Begitu cepat Pandan Wangi mengebutkan senjata mautnya, tapi bayangan hitam itu juga lebih cepat lagi melenting menghindarinya. Sehingga, kebutan kipas maut berujung runcing itu tidak sampai mengenainya. Dan pada saat yang bersamaan, Rangga juga menyambar tubuh Nyai Samirah. Akibatnya, perempuan tua itu jatuh bergulingan di tanah, tapi cepat melompat bangkit. Sementara, Pandan Wangi terus melenting mengejar sosok tubuh berpakaian serba hitam itu. Beberapa kali kipas mautnya dikebutkan, tapi sosok tubuh berbaju serba hitam itu memang sangat gesit. Tak heran kalau serangan selalu bisa dihindari gadis berjuluk si Kipas Maut.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Beberapa kali Pandan Wangi mengebutkan senjatanya dengan kecepatan tinggi sekali. Namun sosok tubuh berpakaian serba hitam itu terus berjumpalitan di udara untuk menghindarinya. Hingga akhirnya, sosok hitam itu melesat jauh ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Lalu manis sekali kakinya menjejak tanah, tepat bersamaan dengan Pandan Wangi juga menjejakkan kakinya di tanah.
“Hap! Yeaaah...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung saja melompat menyerang sambil mengebutkan kipasnya secara berputaran dari leher ke dada. Serangan yang dilakukan sungguh cepat, membuat orang berpakaian serba hitam itu jadi kelabakan menghindarinya. Dan pada saat orang berbaju hitam itu terus terdesak, tiba-tiba saja dari atas pohon muncul lagi satu sosok tubuh yang juga berpakaian serba hitam. Bahkan langsung meluruk, menyerang Pandan Wangi.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat ke belakang sambil berputaran di udara beberapa kali. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah. Namun belum juga tubuhnya bisa ditegakkan, dua orang berpakaian serba hitam itu sudah melompat menyerang kembali dengan kecepatan tinggi sekali.
“Cepat mundur, Pandan! Hiyaaa...!”
“Hup!” Begitu Pandan Wangi melompat mundur ke belakang, saat itu juga Rangga melesat bagai kilat menyongsong dua orang berpakaian serba hitam tadi. Langsung saja dilepaskannya dua pukulan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
“Haiiit...!” “Hapts!”
Tapi kedua orang itu cepat sekali berkelit, menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti dengan berlompatan menyebar ke samping. Sehingga, pukulan itu sama sekali tidak mengenai sasaran.
Sret! Cring!
“Hmmm....” Rangga menyilangkan tangan kanannya ke depan dada, begitu melihat dua orang berpakaian serba hitam yang ternyata dua orang gadis berusia muda mencabut pedangnya. Mereka kini berada di sebelah kanan dan kiri Pendekar Rajawali Sakti. Kaki mereka bersamaan bergeser. Gerakan mereka ringan sekali, dengan pedang digerak-gerakkan.
Sementara, Pandan Wangi sudah berada di samping Nyai Samirah lagi. Sedangkan kaki Rangga juga bergeser mengikuti arah gerakan kaki kedua gadis muda berpakaian serba hitam itu. Dia tahu, gadis-gadis ini adalah para pengikut Nyai Purut, dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Kepandaian mereka memang tidak bisa dikatakan rendah. Bahkan Nyai Samirah yang mengetuai sebuah padepokan pun, pasti akan mendapat kesulitan menghadapinya.
Hal ini sudah diketahui ketika Nyai Samirah ikut bersama padepokan-padepokan lain menggempur tempat kediaman Nyai Purut dan para pengikutnya. Hal ini membuat Rangga tidak bisa memandang rendah kedua gadis muda ini. Dengan sinar mata tajam, diamatinya setiap gerakan kaki dua calon lawannya. Dan keadaan pun jadi terasa sunyi sekali. Sedikit pun tak terdengar suara keluar dari mulut mereka. Ketegangan begitu terasa merasuk ke dalam hati.
“Hiyaaa...!” Bet! Wuk!
Bagaikan kilat, kedua gadis berpakaian serba hitam itu melesat cepat sambil mengebutkan pedang ke arah kepala dan kaki Rangga. Namun, Pendekar Rajawali Sakti yang memang sejak tadi sudah siap cepat merundukkan kepala, diikuti tarikan kaki ke atas. Sehingga, serangan kilat dan bersamaan dari kedua gadis manis sekali itu dapat dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Rangga melakukan gerakan berputar yang begitu cepat, Sambil melepaskan dua pukulan sekaligus secara beruntun. Kemudian, disusul sepakan kakinya yang begitu cepat dan menggeledek. Begitu cepat serangan baliknya, sehingga kedua gadis itu tidak sempat lagi menyadari. Dan....
Dugkh! Begkh!
“Ukh...!” “Aaakh...!”
Kedua gadis itu seketika terpental ke belakang, sambil memekik keras agak tertahan. Pukulan dan tendangan yang dilepaskan Rangga, tepat menghantam tubuh mereka dengan keras sekali. Tapi hanya beberapa kali saja mereka bergulingan di tanah, lalu cepat melompat bangkit berdiri.
Sedangkan Rangga sudah berdiri tegak menanti. Memang, pukulan dan tendangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti tadi tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Sehingga, tidak sampai melukai kedua gadis itu. Bahkan mereka sudah kembali berlompatan menyerang sambil berteriak begitu keras melengking tinggi.
“Hup! Yeaaah...!” Kembali Rangga melenting ke udara. Dan saat itu juga jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa dikerahkan. Kedua kakinya bergerak begitu cepat men-garah, langsung ke kepala salah seorang gadis itu. Demikian cepat serangan itu, sehingga gadis ini tidak dapat lagi menghindar. Dan...
Des! Prak!
“Aaa...!” Kembali terdengar jeritan panjang menyayat yang melengking tinggi. Tampak salah seorang gadis yang terkena sepakan kaki Pendekar Rajawali Sakti berputaran beberapa kali di atas kedua kakinya, lalu ambruk menggelepar di tanah. Kepalanya kontan pecah, dan menyemburkan darah segar. Gadis itu mengerang sambil menggeliat-geliat meregang nyawa. Sementara, gadis lainnya lagi jadi terlongong bengong melihat temannya yang kini mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi.
“Keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat...!” Gadis yang melihat temannya tewas dengan kepala pecah jadi geram bukan main. Sambil berteriak keras menggelegar, dia melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya dikebutkan beberapa kali, menyerang bagian-bagian tubuh Rangga yang mematikan.
Tapi dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, manis sekali Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari serangan-serangan itu. Meskipun cahaya pedang berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti, namun tak satu pun yang bisa menyentuh. Jurus demi jurus pun berlalu cepat. Dan Rangga masih saja menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Sebuah jurus yang hanya digunakan untuk menghindari setiap serangan gencar dan beruntun seperti ini.
“Setan...! Hiyaaat...!” Gadis itu jadi geram setengah mati, melihat seran-gan-serangan yang dilancarkan tidak mendapat hasil sedikit pun. Sambil berteriak keras menggelegar, serangannya semakin diperhebat. Pedangnya berkelebatan cepat sekali, hingga menimbulkan suara angin mencicit mengiris hati.
Sementara, Rangga masih saja berjumpalitan, sambil meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari setiap serangan yang datang. Dan, Pendekar Rajawali Sakti mulai merasakan kalau serangan-serangan yang dilancarkan gadis ini semakin bertambah cepat dan berbahaya saja.
“Hup! Hiyaaa...!” Menyadari akan bahayanya serangan-serangan gadis berbaju serba hitam itu, bagai kilat Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara. Kemudian beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, sebelum akhirnya hinggap di atas sebatang dahan pohon yang cukup tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Heh...?!” Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju serba hitam itu menghentakkan cepat tangan kanannya setelah memindahkan pedangnya ke tangan kiri. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kanannya yang terbuka dan tertuju ke arah Rangga, meluncur secercah sinar berwarna merah menyala bagai kilatan lidah api.
“Hiyaaa...!” Cepat-cepat Rangga melenting dan langsung meluruk turun dengan gerakan sangat ringan bagaikan kapas tertiup angin. Maka, serangan gadis berbaju serba hitam itu tidak menemui sasaran. Dan sinar merah menyala bagai lidah api itu hanya menghantam pohon yang dinaiki Rangga tadi.
Glaaar...!
Satu ledakan keras dan dahsyat, terdengar menggelegar begitu ujung cahaya merah itu menghantam pohon. Tampak pohon itu seketika hancur berkeping-keping, terkena hantaman serangan gadis berbaju serba hitam ini.
“Gila...!” desis Rangga mendengus, begitu kakinya menjejak tanah lagi. Memang sangat dahsyat serangan yang dilakukan gadis berbaju serba hitam itu. Bisa dibayangkan kalau sampai menghantam tubuh manusia. Pasti bisa hancur Jadi debu! Buktinya pohon yang berukuran sangat besar dan tampak kokoh itu saja sampai hancur berkeping-keping, disertai percikan bunga api yang menyebar ke segala arah.
“Hiyaaat...!” Gadis berbaju serba hitam yang cukup ketat itu kembali melancarkan serangan dahsyatnya. Tangan kanannya dihentakkan dengan kecepatan tinggi sekali ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang kini sudah kembali berada di tanah.
“Hap!”
Tapi kali ini Rangga tidak berusaha berkelit sedikit pun juga. Bahkan pukulan jarak jauh yang sangat dahsyat itu dinantikannya sampai dekat. Dan begitu ujung cahaya merah menyala itu dekat, cepat sekali Rangga juga menghentakkan kedua tangannya ke depan. Langsung dipapaknya serangan gadis berwajah cukup cantik ini.
“Hih! Yeaaah...!”
Claaark!
Dari kedua telapak tangan Rangga, juga meluncur cahaya merah. Dan....
Glaaar...! Dua cahaya merah bagai api itu seketika beradu tepat di tengah-tengah. Dan saat itu juga, tampak bunga api memercik ke segala arah disertai ledakan yang begitu keras menggelegar dan memekakkan telinga.
Tampak gadis berpakaian serba hitam itu terpental sampai sejauh dua batang tombak. Sedangkan Rangga hanya terdorong sekitar dua langkah saja. Terlihat jelas pada sudut bibir dan lubang hidung gadis berbaju serba hitam itu mengeluarkan darah kental berwarna agak kehitaman. Dan dari kejadian ini saja, sudah dapat diketahui kalau tingkat tenaga dalam yang dimiliki gadis itu masih di bawah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hih! Hiyaaa...!”
Sambil melompat cepat bagai kilat, Rangga menjumput pedang bekas lawannya yang telah tewas di tanah. Dan bagaikan kilat pula, pedang itu dikebutkannya ke arah dada.
“Ukh! Hih...!” Gadis berpakaian ketat serba hitam jadi tersentak kaget setengah mati. Tapi belum juga bisa melakukan sesuatu, pedang di tangan Rangga sudah berkelebat begitu cepat menyambar ke arah dadanya. Dan saat itu, memang tidak ada waktu lagi untuk menghindari. Maka, cepat sekali pedangnya dikebutkan untuk menyampok pedang yang ada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Ting...! Bunga api kembali terlihat memijar, begitu dua bilah pedang beradu tidak seberapa jauh lagi didepan dada wanita itu.
“Hih! Yaaah...!” Cepat-cepat gadis itu melenting ke belakang, dan menarik pulang tangannya yang menggenggam pedang. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali kembali menjejak tanah. Tapi pada saat itu juga, Rangga sudah melepaskan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
“Haiiit...!” Gadis itu sudah berusaha untuk menghindari, tapi....
Des! “Akh...!”
Kembali gadis itu terpekik, begitu bagian kiri dadanya terkena pukulan keras menggeledek bertenaga dalam sempurna yang dilepaskan Rangga tadi. Tampak gadis itu kembali terpental ke belakang, lalu jatuh menghantam tanah dengan punggung lebih dulu.
“Hoeeekh...!” Segumpal darah kental agak kehitaman terlontar keluar dari mulut gadis itu, ketika hendak bangkit berdiri. Namun kembali dia jatuh terduduk di tanah. Kepalanya bergerak menggeleng beberapa kali, mencoba mengusir rasa pening yang menyerang kepala. Pandangannya juga berkunang-kunang, dan nafasnya jadi sesak tersengal.
Sementara, Rangga sudah menghampiri dengan ayunan kaki begitu mantap. Sorot matanya terlihat sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata gadis berpakaian serba hitam itu.
Sedangkan Pandan Wangi dan Nyai Samirah juga menghampiri dengan langkah hati-hati. Mereka tampak tidak ingin bertindak sembarangan menghadapi gadis pengikut Nyai Purut ini. Pengikut Nyai Purut itu bisa bertindak sekejam iblis. Dan tingkat kepandaian mereka juga tidak bisa dikatakan rendah. Di samping itu, rata-rata selalu bertindak licik, tanpa dapat diduga sama sekali.
Sementara, Rangga sudah begitu dekat dengan gadis itu. Dan langkah baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam, tertuju langsung menusuk ke bola mata gadis berbaju serba hitam ini.
“Phuih!”
“Hmmm....”
EMPAT
“Kenapa kau menyerang kami, Nisanak?” terasa begitu dingin nada suara Rangga.
“Phuih!” Gadis berbaju serba hitam itu hanya menyemburkan ludahnya saja menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan sorot matanya tidak kalah tajam, membalas tatapan pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara, Pandan Wangi dan Nyai Samirah sudah berada sekitar dua langkah di belakang Rangga. Mereka juga memandangi gadis berbaju serba hitam yang masih tetap terduduk di tanah dengan napas terus tersengal akibat terkena serangan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
“Kau pasti pengikut Nyai Purut...,” kata Rangga lagi.
“Huh! Apa pedulimu...?!” sentak gadis itu ketus.
“Jelas aku peduli, Nisanak. Kedatanganku ke sini sengaja untuk bertemu dengannya,” sahut Rangga masih terdengar datar dan dingin sekali nada suaranya.
Gadis berbaju serba hitam yang memang pengikut Nyai Purut itu, mengalihkan pandangan ke arah Nyai Samirah yang berada di belakang sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sorot matanya begitu tajam, seperti menyimpan dendam yang mendalam. Mendapat tatapan seperti itu, membuat hati Nyai Samirah jadi agak bergetar. Tapi cepat dibalasnya sorot mata tajam itu dengan tatapan yang tidak kalah tajamnya.
Dan gadis berbaju serba hitam ini kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan dicobanya bangkit berdiri, sambil memegangi dadanya yang masih terasa nyeri dan sesak sekali. Dengan bibir meringis menahan sakit, akhirnya dia bisa juga berdiri walaupun tubuhnya tidak lagi tegak. Sementara tatapan matanya masih tetap tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri lima langkah di depannya.
“Nisanak, kau tahu di mana Nyai Purut kini berada?” tanya Rangga lagi. Nada suara Pendekar Rajawali Sakti masih terdengar begitu dingin dan datar dengan pandangan terus tertuju ke bola mata gadis ini. Sementara untuk beberapa saat, gadis yang berbaju serba hitam itu tidak menjawab sedikit pun juga. Bahkan tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti dibalas dengan tatapan yang semakin tajam. Dan baru saja gadis itu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba saja....
Slap!
“Heh...?”
Bres!
“Akh...!”
“Hup!” Rangga cepat melompat, ketika tiba-tiba saja terlihat sebuah benda berwarna putih keperakan yang langsung menyambar dada gadis itu. Begitu cepat lesatan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah berada di atas pohon, tempat benda berwarna keperakan tadi datang tadi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak menemukan apa pun juga di sana.
Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian kembali melesat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak tanah. Rangga langsung menghampiri gadis berbaju serba hitam yang kini sudah tergeletak dengan dada berlubang mengucurkan darah.
“Huh...!” Pemuda yang selalu berbaju rompi putih ini jadi mendengus kesal, setelah mengetahui kalau gadis itu sudah tewas. Sebuah benda bulat bagai besi dari baja berwarna putih keperakan tampak telah bersarang di dalam dadanya. Kini tidak ada lagi petunjuk bagi Pendekar Rajawali Sakti. Rupanya, Nyai Purut lebih memilih kehilangan pengikutnya, daripada tempat persembunyian sekarang diketahui. Saat itu, Rangga sudah memutar tubuhnya. Pandangan matanya langsung tertuju pada Pandan Wangi, kemudian beralih pada Nyai Samirah.
“Aku rasa, kita sudah dekat dengan tempat mereka, Kakang. Dan aku yakin, mereka pasti ada di sekitar bukit ini. Atau mungkin juga di puncak sana,” kata Pandan Wangi memecah kebisuan.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja mendengar kata-kata si Kipas Maut itu. Tapi pandangan Pendekar Rajawali Sakti mengarah ke puncak bukit yang ditunjuk Pandan Wangi tadi.
Sedangkan Nyai Samirah hanya diam saja. Namun matanya juga memandang ke puncak bukit yang selalu terselimut kabut tebal itu. Kembali mereka semua terdiam untuk beberapa saat.
“Ayo...,” ajak Rangga tanpa berpaling sedikit pun. Pandan Wangi dan Nyai Samirah saling melemparkan pandangan sejenak, kemudian sama-sama mengikuti ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kembali melanjutkan perjalanan mengejar Nyai Purut yang dianggap sebagai manusia paling berbahaya di dunia ini.
********************
Kabut semakin tebal menyelimuti sekitar lereng Bukit Menjangan ini. Sementara, matahari sudah demikian condong ke arah barat. Sinarnya yang biasa terik kini tidak lagi terasa, terhalang oleh tebalnya kabut. Saat ini, Rangga sudah mengumpulkan ranting-ranting kering, dan menumpuknya menjadi satu. Diputuskannya untuk bermalam di lereng bukit ini. Dan esok paginya, mereka baru melanjutkan perjalanan kembali menuju puncak bukit. Memang, perjalanan yang ditempuh kali ini terasa begitu berat. Bahkan mereka tidak lagi menunggang kuda yang terpaksa ditinggalkan di kaki Bukit Menjangan.
“Bagaimana, Kakang? Cukup untuk mengisi perut kita malam ini...?”
Rangga berpaling dan mengangkat kepala begitu mendengar suara Pandan Wangi dari arah kanan. Bibirnya tersenyum melihat gadis itu menenteng empat ekor kelinci gemuk. Gadis itu menghampiri, dan meletakkan kelinci-kelinci itu di dekat kaki Pendekar Rajawali Sakti.
“Nyai Samirah mana?” tanya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti ingat kalau tadi Pandan Wangi pergi bersama Nyai Samirah. Tapi sekarang, gadis itu kembali hanya seorang diri saja. Sedangkan Nyai Samirah sampai saat ini belum juga kelihatan.
“Kami berpisah tadi. Dan aku tak tahu, dia akan ke mana,” sahut Pandan Wangi.
“Seharusnya kalian jangan terpisah. Terlalu berbahaya seorang diri di tempat seperti ini, Pandan,” kata Rangga menyesalkan.
“Tapi Nyai Samirah sendiri yang menginginkannya, Kakang,” kilah Pandan Wangi.
“Ya sudahlah...,” desah Rangga tidak ingin memperpanjang.
Mereka kemudian menguliti kelinci-kelinci itu, dan menusuknya dengan sebatang ranting yang cukup kuat. Rangga kemudian membuat api unggun saat keadaan mulai gelap. Api tambak menyala cukup besar, menjilat-jilat udara. Satu persatu dibakarnya kelinci-kelinci perolehan Pandan Wangi. Sedangkan Pandan Wangi sendiri duduk bersandar di bawah pohon, memperhatikan Rangga terus sibuk membakar kelinci perolehannya. Pandan Wangi baru menghampiri lagi setelah keempat kelinci itu sudah matang. Gadis itu duduk di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Bau harum daging kelinci membuat perut Pandan Wangi terus berbunyi minta diisi, tapi tidak mau mengambil lebih dulu. Sementara itu, Nyai Samirah belum juga kelihatan. Padahal hari sudah benar-benar menjadi gelap.
“Aku merasa tidak enak, Kakang...,” ujar Pandan Wangi, dengan suara terdengar pelan seperti berbisik.
Rangga berpaling, menatap wajah cantik gadis itu. Di antara kilatan cahaya api, tampak kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut cukup dalam. Dan kelopak matanya pun terlihat agak menyipit.
“Aku juga demikian, Pandan. Aku khawatir, telah terjadi sesuatu pada Nyai Samirah,” sahut Rangga, setelah beberapa saat terdiam memandangi wajah cantik si Kipas Maut.
“Apa sebaiknya kita cari saja, Kakang?” usul Pandan Wangi.
“Tunggu saja sebentar lagi,” sahut Rangga. “Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa terhadapnya.”
“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
Sementara, Rangga mulai mengambil sepotong daging kelinci. Kemudian mulai dinikmatinya daging kelinci panggang itu. Pandan Wangi juga tidak mau ketinggalan. Apalagi, perutnya memang sudah sejak tadi minta diisi. Daging kelinci panggang itu dinikmati tanpa berbicara sedikit pun. Dan sesekali mereka saling melemparkan pandangan. Jelas sekali terlihat kalau sinar mata mereka memancarkan rasa kecemasan. Waktu seakan-akan terasa berjalan begitu lambat.
Sedangkan Nyai Samirah belum juga kelihatan bayangannya sedikit pun juga. Dan ini membuat kedua pendekar muda dari Karang Setra itu semakin terlihat cemas. Mereka benar-benar khawatir telah terjadi sesuatu pada perempuan tua Ketua Padepokan Tongkat Perak yang sudah hancur itu. Apalagi tempat ini sangat berbahaya, sehingga sedikit pun tidak boleh lengah.
“Kau di sini saja, Pandan,” kata Rangga agak mendesah, seraya bangkit berdiri.
“Mau ke mana, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Aku akan mencari Nyai Samirah,” sahut Rangga.
“Ke mana mencarinya, Kakang? Hutan di lereng bukit ini luas sekali.”
“Aku usahakan tidak jauh-jauh dari sini. Kau jangan ke mana-mana dulu, Pandan. Tunggu aku kembali.”
Pandan Wangi tidak bisa mencegah, dan hanya menganggukkan kepala saja. Sementara, Rangga sudah melangkah pergi meninggalkan gadis itu seorang diri. Dipilihnya jalan yang tadi sore dilalui Pandan Wangi dan Nyai Samirah ketika hendak mencari makanan untuk pengganjal perut. Sebentar saja, Rangga sudah tidak kelihatan lagi punggungnya. Tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam yang begitu pekat menyelimuti sekitar Bukit Menjangan ini.
Sementara, Pandan Wangi kembali duduk di dekat api. Ditatapnya sebentar sisa-sisa daging kelinci panggang. Masih terlalu banyak, tapi seleranya sudah tidak ada lagi. Gadis itu hanya diam saja sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan ketika pandangannya ke sebelah kanan, tiba-tiba saja....
“Heh...?!”
Pandan Wangi cepat melompat bangkit, begitu tiba-tiba sekilas melihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat tadi. Hanya sekelebatan saja, kemudian cepat menghilang bagaikan setan. Kembali pandangannya beredar berkeliling, sambil membuka pendengarannya tajam-tajam. Ketegangan sangat terasa menyelimuti tempat ini. Begitu sunyinya, sampai detak jantung Pandan Wangi terdengar begitu jelas. Dan gadis itu tidak sedikit pun memperdengarkan suara. Wajahnya terlihat begitu menegang. Dan di saat sedang memperhatikan keadaan sekelilingnya....
Wusss!
“Heh...?! Upts...?!”
Cepat-cepat Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu tiba-tiba sekali terlihat sebuah bayangan benda meluruk cepat bagai kilat ke arahnya diiringi bunyi mendesing yang begitu jelas di telinga. Benda itu lewat hanya sedikit saja di samping tubuhnya. Dan baru saja tubuhnya bisa ditarik tegak kembali, sudah terlihat puluhan anak panah berhamburan begitu cepat dari sekeliling tubuhnya.
“Hiyaaat...!”
Sret! Bet! Wuk!
Bagaikan kilat pula, Pandan Wangi melompat ke atas sambil mencabut Kipas Maut senjatanya. Dan secepat itu pula dikebutkan secara berputaran. Maka beberapa batang anak panah yang mendekati tubuhnya, langsung jatuh terhempas begitu tersampok kipas baja putih itu.
“Hap! Yeaaah...!”
Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan di udara, sambil cepat mengebutkan kipasnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan panah-panah yang berjumlah puluhan. Panah-panah itu menyerang bagaikan hujan yang ditumpahkan dari langit. Berserabutan di sekitar tubuh ramping si Kipas Maut yang berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.
“Hup! Hiyaaat...!”
Begitu kaki pun menjejak tanah, cepat sekali tubuhnya kembali melesat tinggi-tinggi ke udara sambil mengebutkan Kipas Maut beberapa kali. Akibatnya anak-anak panah itu rontok berguguran terkena kebutan kipas baja putihnya. Setelah berputaran beberapa kali, manis sekali gadis yang dikenal julukan si Kipas Maut itu hinggap di atas sebatang cabang pohon yang cukup tinggi dan besar. Saat itu, tidak lagi terlihat anak panah berhamburan mengancam jiwanya. Kini Pandan Wangi bisa menarik napas lega sedikit.
“Huh! Siapa mereka...?! Mau apa menyerangku?!” dengus Pandan Wangi bertanya pada diri sendiri dalam hati.
Tapi, pertanyaan si Kipas Maut itu hanya ada di kepalanya saja. Dan belum lagi bisa terjawab, kembali tubuhnya sudah harus berjumpalitan di udara untuk menghindari serangan benda-benda yang berhamburan di sekitarnya. Begitu banyak benda berwarna putih keperakan itu, sehingga bagaikan hujan datangnya. Pandan Wangi terus berjumpalitan di udara, sambil mengebutkan senjatanya. Disampoknya setiap serangan yang datang mengancam tubuhnya. Gerakan-gerakan yang dilakukan si Kipas Maut itu memang sangat indah dan cepat, sehingga tidak satu pun dari serangan-serangan yang bisa mengenai tubuhnya.
“Hup! Hiyaaat...!” Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Pandan Wangi melenting tinggi-tinggi ke atas. Tubuhnya berputaran cepat, diikuti kebutan kipas mautnya yang berwarna putih keperakan.
“Hap!” Manis sekali gadis itu hinggap di dahan pohon. Tapi belum juga bisa menarik napas lega, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat menyambar ke arahnya. Akibatnya, Pandan Wangi jadi terperangah sesaat.
“Hup! Yeaaah...!” Kembali gadis ini harus melesat dan berjumpalitan di udara menghindari terjangan bayangan hitam itu. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejak tanah.
Namun baru saja telapak kakinya bisa menyentuh tanah, mendadak saja dari balik semak dan pepohonan bermunculan gadis-gadis berpakaian serba hitam dengan pedang tergenggam di tangan. Di punggung mereka tampak kantong-kantong anak panah yang sudah habis isinya. Kemunculan gadis-gadis itu membuat Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati.
Tidak kurang dari lima belas orang, sudah mengepung si Kipas Maut ini. Dan pedang mereka semua sudah terhunus di tangan masing-masing. Pandan Wangi mendongakkan kepala sedikit ke atas. Tampak di atas dahan pohon yang tadi dipijaknya, berdiri seorang perempuan tua berbaju jubah panjang hitam pekat. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang bentuknya tidak beraturan.
“Nyai Purut...,” desis Pandan Wangi langsung bisa mengenali perempuan tua itu. Agak bergetar juga hati Pandan Wangi, karena menyadari saat ini hanya seorang diri saja. Sedangkan keadaannya benar-benar tidak menguntungkan. Dia sudah terkepung rapat oleh gadis-gadis pengikut Nyai Purut. Bahkan mereka semua sudah siap menyerang dengan pedang terhunus.
“Hik hik hik...! Tidak percuma kau mendapat julukan si Kipas Maut, Pandan Wangi. Permainan kipasmu memang dahsyat sekali. Tapi aku tidak yakin, apakah kau sanggup bertahan tanpa adanya kekasihmu,” terasa dingin sekali nada suara Nyai Purut.
“Hhh! Apa maumu, Nyai Purut?!” sentak Pandan Wangi lantang.
“Hik hik hik...! Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Pandan Wangi. Untuk apa kau berada di sini?” Nyai Purut malah balik bertanya, disertai tawanya yang kering dan terkikik.
“Kedatanganku memang sengaja untuk mencarimu, Nyai Purut!” sahut Pandan Wangi lantang.
“Hik hik hik...! Tidak salahkah pendengaranku...? Apa yang kau andalkan untuk menantangku, Pandan Wangi?” ejek Nyai Purut, meremehkan.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Dia mendengus kecil sambil membuka kipas mautnya di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tertuju langsung ke bola mata Nyai Purut yang masih tetap berdiri tegak di atas dahan pohon yang cukup tinggi.
Sedangkan yang dipandangi hanya terkikik saja, kemudian menghentakkan tongkatnya satu kali. Dan seketika itu juga...
“Hiyaaat...!” “Yeaaah...!”
Empat orang gadis berpakaian serba hitam yang agak ketat, seketika itu juga berlompatan cepat untuk menyerang Pandan Wangi.
“Hait! Yeaaah...!”
Wuk! Trang!
“Hup!”
Si Kipas Maut cepat melompat ke belakang dua langkah, begitu kipasnya berhasil menangkis sabetan pedang salah seorang lawan yang mengarah ke dada. Tapi pada saat itu juga, dari arah kanan berkelebat sebilah pedang yang sangat cepat.
“Hapts...!” Cepat-cepat Pandan Wangi mengebutkan kipas mautnya, untuk melindunginya dari tebasan pedang itu. Tapi pada saat bersamaan, gadis berbaju serba hitam yang menyerangnya cepat sekali menarik pedang, dan langsung mengibaskannya ke arah kaki si Kipas Maut.
“Hap! Yeaaah...!”
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat menghindari sabetan pedang yang mengarah ke kakinya. Dan begitu berada di udara, secepat kilat kaki kanannya dihen-takkan, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
“Ups...!” Hanya sedikit saja gadis itu merundukkan kepala sehingga tendangan kaki Pandan Wangi berhasil dihindari. Sementara sambil berputar satu kali, Pandan Wangi kembali menjejak tanah. Dan saat itu juga, datang lagi serangan dari depan dan belakang secara bersamaan.
“Haps...!” Manis sekali Pandan Wangi meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap sabetan pedang yang datang mengincar nyawanya. Bahkan gerakan tubuhnya semakin diperhebat, diimbangi gerakan kaki begitu lincah untuk menghindari serangan-serangan gadis-gadis berbaju serba hitam itu dari empat jurusan.
“Suiiit...!”
Tiba-tiba saja terdengar siulan yang begitu nyaring melengking tinggi. Dan belum lagi gema siulan itu menghilang dari pendengaran, empat orang berbaju serba hitam yang menyerang Pandan Wangi langsung cepat berlompatan mundur. Dan pada saat itu juga, berlompatan enam orang gadis lain yang langsung melepaskan jaring-jaring berwarna hitam pekat.
“Hah...?!” Pandan Wangi jadi tersentak kaget, melihat enam orang berlompatan sambil menebarkan jarring hitam kepadanya. Cepat-cepat si Kipas Maut melompat ke belakang, sambil mengebutkan kipas ke arah jaring yang datang dari depan. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, satu jaring hitam lagi meluncur deras ke arahnya, disusui dua orang gadis lagi yang menebarkan jaring dari arah yang berbeda.
Rrrt!
“Ukh...!” Memang sudah terlambat bagi Pandan Wangi untuk menghindar. Dua jaring berhasil menjeratnya, setelah berhasil menghindari satu jaring yang ditebarkan kepadanya. Saat itu juga, empat jaring hitam lain langsung membelenggu kekasih Pendekar Rajawali Sakti ini.
“Tarik terus...!” Terdengar suara bernada perintah yang begitu lantang dan kering.
Rrrt...!
Enam buah jaring hitam kini sudah membelenggu seluruh tubuh Pandan Wangi. Dan enam orang gadis yang memegangi segera menarik ujung-ujung jaring sampai merapat sehingga membuat gerakan Pandan Wangi jadi menyempit dan sama sekali tidak berdaya. Sedangkan senjata kipasnya sudah terlepas dari tangannya tadi, ketika jaring-jaring hitam itu ditebarkan.
“Bawa dia cepat...!” perintah Nyai Purut dengan suara lantang.
“Setan...! Lepaskan aku, Perempuan Iblis!” bentak Pandan Wangi memaki.
Tapi makian si Kipas Maut itu hanya dibalas tawa terkikik saja. Bahkan gadis-gadis berpakaian serba hitam itu langsung menyeretnya dengan kasar. Pandan Wangi sempat terpekik ketika tubuhnya menghantam akar yang menyembul dari dalam tanah. Gadis itu tidak lagi bersuara. Dan dengan diam-diam, pedang pusakanya dilepaskan, dan ditinggalkan begitu saja di tanah. Dia tidak ingin senjata pusakanya jatuh ke tangan manusia berhati iblis seperti wanita-wanita berpakaian serba hitam ini. Baginya, lebih baik tidak membawa senjata dalam keadaan seperti ini.
********************
LIMA
“Pandan...!” Rangga kaget setengah mati, begitu kembali ke tempat Pandan Wangi tadi ditinggalkannya. Dan gadis itu tidak lagi terlihat di sana. Yang ditemukan hanya senjata-senjatanya saja yang tertinggal. Pendekar Rajawali Sakti lalu mengambil senjata-senjata milik Pandan Wangi itu. Rangga memandangi Kipas Maut dan Pedang Naga Geni milik Pandan Wangi. Dia tidak tahu, di mana kini Pandan Wangi berada. Tapi tempat ini sudah kelihatan berantakan sekali. Jadi, jelas kalau tadi habis terjadi pertarungan.
Pendekar Rajawali Sakti memalingkan kepala, ketika telinganya mendengar langkah-langkah kaki yang begitu ringan dari belakang. Dan tubuhnya langsung berputar, saat melihat Nyai Samirah datang menghampiri. Perempuan tua itu juga kelihatan heran melihat keadaan tempat ini yang begitu berantakan, seperti baru saja terjadi pertarungan besar. Ketua Padepokan Tongkat Perak itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dipandanginya pemuda berbaju rompi putih itu, kemudian beralih pada dua senjata yang sudah dikenalinya di tangan Rangga.
“Apa yang terjadi, Rangga?” tanya Nyai Samirah.
“Semua ini tidak akan terjadi kalau kau tidak pergi terlalu lama begitu saja, Nyai,” Sahut Rangga agak mendengus. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti terlihat begitu tajam, menatap lurus ke bola mata Nyai Samirah. Seakan-akan ingin dilahapnya seluruh tubuh perempuan tua itu.
Sedangkan Nyai Samirah kelihatan terkejut atas jawaban Rangga yang bernada ketus dan dingin tadi. Bahkan belum pernah dilihatnya sorot mata yang begitu tajam menusuk. Dia yakin, pasti telah terjadi sesuatu yang membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi kelihatan marah.
“Maaf. Memang seharusnya aku tadi minta izin dulu padamu. Aku tadi berusaha mencari tempat persembunyian Nyai Purut,” ucap Nyai Samirah lagi. Nada suaranya masih terdengar merendah.
“Kau temukan?” tanya Rangga masih terdengar agak ketus nada suaranya.
“Sudah,” sahut Nyai Samirah.
“Hhh...!” Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja. Terasa begitu berat hembusan napas Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar dipandanginya dua senjata maut Pandan Wangi. Kemudian diikatnya Pedang Naga Geni ke pinggang, sedangkan senjata kipas andalan Pandan Wangi itu diselipkan di balik sabuk ikat pinggangnya.
“Apa yang terjadi pada Pandan Wangi, Rangga?” tanya Nyai Samirah agak hati-hati suaranya.
“Dia hilang,” sahut Rangga datar.
“Hilang? Hilang kenapa...?” tanya Nyai Samirah lagi, meminta penjelasan.
“Aku juga tidak tahu. Tapi aku yakin, telah terjadi sesuatu terhadap Pandan Wangi. Senjatanya tidak pernah ditinggalkan begitu saja kalau dirinya tidak mengalami kesulitan yang sangat berat. Kau tahu, Nyai. Kalau Pandan Wangi sudah meninggalkan semua senjatanya, itu berarti sudah merasa tidak ada harapan hidup lagi,” kata Rangga dengan suara pelan menjelaskan.
“Hm.... Ini pasti perbuatan perempuan-perempuan iblis itu,” desis Nyai Samirah dingin dan terdengar datar sekali.
Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi wajah perempuan tua itu. Pikirannya masih tertuju pada Pandan Wangi yang saat ini nasibnya entah bagaimana. Hatinya benar-benar mencemaskan gadis itu. Pendekar Rajawali Sakti tahu, kalau Pandan Wangi sudah meninggalkan senjata-senjatanya, pasti sangat berat keadaan yang sedang dihadapinya.
“Nyai! Kau tadi mengatakan, sudah tahu tempat tinggal Nyai Purut...,” kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat tadi.
“Benar,” sahut Nyai Samirah singkat.
“Sebaiknya kita tidak perlu membuang-buang waktu lagi, Nyai. Antarkan aku ke sana,” ajak Rangga meminta.
“Tapi, Rangga....”
“Tidak ada waktu lagi, Nyai! Keselamatan Pandan Wangi lebih penting dari semuanya,” desak Rangga cepat, memutuskan ucapan perempuan tua itu.
“Cukup sulit untuk sampai ke sana, Rangga. Dan terlalu berbahaya kalau malam hari. Aku saja hampir tidak sanggup tadi,” sergah Nyai Samirah. “Sebaiknya tunggu saja sampai besok pagi.”
“Tidak ada waktu lagi, Nyai. Malam ini juga kita harus pergi ke sana. Aku khawatir telah terjadi sesuatu pada diri Pandan Wangi,” desak Rangga terus.
“Rangga...”
“Baiklah. Kalau kau keberatan, aku akan pergi sendiri. Tunggu saja aku di sini, Nyai. Aku pasti akan kembali lagi bersama Pandan Wangi,” potong Rangga, cepat.
“Rangga...!” Tapi Rangga sudah tidak peduli lagi. Yang ada dalam kepalanya hanya keselamatan Pandan Wangi belaka. Hatinya benar-benar cemas, karena gadis itu kini berada dalam cengkeraman tangan Nyai Purut yang kekejamannya sudah terkenal. Perempuan tua itu tidak segan-segan menggorok leher siapa saja, asalkan keinginannya tercapai. Dan Rangga khawatir kalau-kalau Nyai Purut menjatuhkan tangan kejamnya pada Pandan Wangi.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, dan melangkah. Ayunan kakinya lebar-lebar dan cepat. Sementara, Nyai Samirah masih tetap berdiri memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti. Dan malam pun terus merambat semakin larut, membuat udara di sekitar hutan lereng Bukit Menjangan ini jadi bertambah dingin.
“Rangga, tunggu...!” seru Nyai Samirah, seraya bergegas berlari mengejar Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sedikit pun tidak berpaling. Kakinya terus saja melangkah cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Melihat itu, Nyai Samirah segera mengempos ilmu meringankan tubuhnya dan cepat mengejar. Tapi meskipun seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan, tetap saja tidak bisa mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, kelihatannya Rangga hanya berjalan seperti biasa.
“Rangga, tunggu...! Kau tidak bisa seorang diri ke sana!” seru Nyai Samirah.
Rangga berpaling sedikit ke belakang, melihat Nyai Samirah berlari cepat menerobos lebatnya hutan di lereng Bukit Menjangan ini. Dan Rangga kemudian menghentikan ayunan kakinya. Nyai Samirah juga baru berhenti berlari setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sebentar jalan pernafasannya diatur.
“Kau mengambil jalan yang salah, Rangga. Ikut aku,” kata Nyai Samirah.
Tanpa menunggu jawaban lagi, perempuan tua yang pernah memimpin sebuah padepokan itu langsung saja berjalan menuju ke arah lain dari yang diambil Rangga tadi. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera mengikuti. Lalu ayunan kakinya disejajarkan di samping kanan perempuan tua ini. Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Tanpa mempedulikan keadaan hutan yang semakin lebat dan sulit dilalui.
Terlebih lagi, malam ini begitu gelap. Bahkan tidak terlihat satu bintang pun di langit. Cahaya bulan pun tidak sanggup menembus tebalnya kabut yang menyelimuti seluruh permukaan Bukit Menjangan ini. Tapi semua keadaan alam yang tampaknya tidak ramah itu, sama sekali bukan halangan berarti bagi Rangga dan Nyai Samirah. Mereka terus berjalan cepat, seperti tidak mendapatkan rintangan sedikit pun.
********************
Tepat tengah malam, Rangga dan Nyai Samirah sampai di puncak Bukit Menjangan ini. Begitu berhenti melangkah, mereka meneliti keadaan sekitarnya. Dengan pengerahan aji ‘Tata Netra’, Pendekar Rajawali Sakti mampu melihat jauh dan menembus tebalnya kabut yang menyelimuti puncak bukit ini. Namun sama sekali tidak terlihat adanya tanda-tanda seorang pun di sekitar puncak bukit ini. Bahkan pendengarannya yang juga menggunakan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’, tidak mendapatkan satu suara pun yang men-curigakan. Benar-benar sunyi keadaan di puncak bukit ini.
“Di mana tempatnya, Nyai?” tanya Rangga pelan. Tapi dalam keadaan yang begitu sunyi, suara Rang-ga yang sangat pelan terdengar jelas sekali di telinga Nyai Samirah. Dan wanita tua itu berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat, dipandanginya wajah tampan pemuda itu, kemudian dialihkan lurus ke depan.
“Kabut tebal sekali. Aku lupa arah jalannya, Rangga,” kata Nyai Samirah pelan.
“Hmmm...,” Rangga hanya menggumam kecil saja. Bisa dimaklumi. Memang keadaan di puncak Bukit ini sangat tidak menguntungkan. Bukan hanya Nyai Samirah yang bisa lupa. Bahkan mungkin, Pendekar Rajawali Sakti sendiri tidak akan sanggup lagi mengingat jalan yang telah dilalui tadi. Kabut yang menyelimuti begitu tebal, hingga menghalangi pandangan mata. Kalau saja tidak mengerahkan aji ‘Tatar Netra’, tidak akan mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat jauh.
“Ada yang kau kenali di sekitar sini, Nyai?” tanya Rangga lagi.
“Entahlah...,” sahut Nyai Samirah tidak yakin pada diri sendiri. Perempuan tua itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang bisa menyegarkan ingatannya kembali. Tapi sudah dicoba dengan keras, tetap saja sulit. Bahkan udara yang begitu dingin, membuat tubuhnya jadi bergetar.
“Rangga....”
“Ssst..!” Rangga cepat-cepat meminta Nyai Samirah diam. Dan secepat kilat, ditariknya tangan perempuan tua itu. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat, membuat Nyai Samirah jadi terkejut setengah mati. Dan belum juga keterkejutannya hilang, tahu-tahu mereka sudah berada di balik sebatang pohon yang cukup besar ukurannya.
“Ada apa...?” tanya Nyai Samirah dengan suara berbisik pelan.
“Kau tidak mendengar ada orang berjalan ke sini, Nyai...?” Rangga malah balik bertanya.
Nyai Samirah terdiam. Telinganya segera dipasang tajam-tajam, mencoba mencari suara langkah kaki yang tadi dikatakan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi udara yang begitu dingin dan ditambah kabut yang sangat tebal, membuat pendengarannya jadi berkurang. Namun tidak berapa lama kemudian, adanya langkah-langkah kaki baru bisa terdengar jelas di telinganya.
Langkah-langkah kaki orang yang jumlahnya sekitar dua puluh orang atau lebih. Dan sepertinya mereka berjalan cepat, disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi tingkatannya. Sehingga, hampir tidak dapat diketahui sama sekali. Nyai Samirah berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berada di sebelah kirinya.
Entah kenapa, di dalam hatinya terselip rasa kagum pada pemuda ini. Dia sendiri tadi sama sekali tidak bisa mendengar langkah-langkah kaki itu. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dapat mengetahui. Dan ilmu yang dimiliki memang jauh lebih tinggi tingkatannya daripada yang dimilikinya sendiri.
“Mereka sudah dekat, Nyai. Hati-hatilah...,” ujar Rangga memperingatkan.
“Hhh...,” Nyai Samirah hanya menghembuskan napas saja.
Suara langkah kaki itu semakin jelas sekali terdengar. Dan sekarang, sangat jelas kalau mereka tidak lagi menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga, hentakan-hentakan langkah begitu jelas terdengar di telinga. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat orang-orang berpakaian serba hitam berjalan cepat, keluar dari gumpalan kabut.
“Nyai Purut...,” desis Nyai Samirah, begitu mengenali orang yang berjalan paling depan.
“Ssst...!” Rangga cepat memperingatkan agar Nyai Samirah tidak bersuara.
“Rangga! Bukankah itu Pandan Wangi...?”
“Ssst, diam. Aku sudah tahu,” desis Rangga berbisik. Nyai Samirah langsung diam.
Sementara, orang-orang berbaju serba hitam yang semuanya wanita itu sudah kelihatan semakin dekat sekali. Dan begitu lewat di depan pohon itu, Nyai Samirah langsung mena-han nafasnya. Wanita-wanita itu terus saja berjalan cepat melewati pohon tempat Rangga dan Nyai Samirah bersembunyi. Mereka baru keluar dari balik pohon, setelah Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya lewat cukup jauh.
“Mereka sudah tidak kelihatan lagi, Rangga. Kenapa tidak diikuti saja...?” ujar Nyai Samirah.
“Tunggu, biar mereka lebih jauh lagi,” ujar Rangga.
“Tapi mereka sudah tidak terlihat lagi, Rangga. Nanti kita bisa kehilangan jejak.”
Rangga hanya diam saja. Dia tahu, Nyai Samirah tidak mampu melihat dari jarak jauh di dalam kabut setebal ini. Sedangkan baginya, tidak ada persoalan sedikit pun juga. Dengan menggunakan aji ‘Tatar Netra’, Pendekar Rajawali Sakti masih bisa melihat rombongan wanita-wanita berpakaian serba hitam itu.
“Gunakan ilmu meringankan tubuhmu, Nyai. Jangan sampai kehadiran kita diketahui mereka,” kata Rangga meminta.
“Baik,” sahut Nyai Samirah.
“Ayo,” ajak Rangga akhirnya.
Mereka segera bergerak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sudah barang tentu, Rangga harus mengimbangi perempuan tua itu agar tidak tertinggal. Sedangkan rombongan gadis berbaju serba hitam yang membawa Pandan Wangi terus bergerak cukup jauh di depan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kalau dibuntuti dari belakang. Sementara, Rangga terus menggunakan aji ‘Tatar Netra’ agar tetap bisa melihat jelas, walaupun di sekitarnya kabut sangat tebal menyelimuti.
********************
Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya baru berhenti berjalan, setelah tiba di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas di Puncak Bukit Menjangan ini. Wanita tua berbaju jubah panjang warna hitam itu duduk di atas sebongkah batu pipih berbentuk bulat. Sementara, empat orang gadis pengikutnya mengikat Pandan Wangi yang masih terbungkus jaring hitam di tiang.
Sedikit pun si Kipas Maut itu tidak berusaha memberontak. Dia kelihatan pasrah, tapi matanya malah beredar memandang ke sekeliling. Kemudian, tatapannya tertumbuk pada Nyai Purut yang duduk bersila di atas batu dengan tongkat kayunya diletakkan melintang di atas kedua pahanya yang terlipat.
Sementara, gadis-gadis pengikut perempuan tua itu sudah duduk, membuat setengah lingkaran di depannya. Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka duduk bersila sambil agak tertunduk. Sementara, Nyai Purut bangkit dari duduknya dan turun dari atas batu itu. Baru saja Nyai Purut berlutut, tiba-tiba saja di depannya mengepul asap berwarna kemerahan dari da-lam tanah. Asap itu menggumpal, menjadi satu dengan kabut.
Sementara Pandan Wangi terus memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun. Dan begitu asap berwarna kemerahan itu lenyap seperti tertiup angin, tahu-tahu di depan Nyai Purut sudah berdiri seorang perempuan muda yang sangat cantik bagai bidadari.
“Oh...!” Pandan Wangi sampai tersedak. Dia tahu, wanita cantik itulah yang telah menghancurkan padepokan milik Nyai Samirah. Dan kini baru diketahui kalau antara wanita cantik berbaju merah muda yang mengaku bernama Ratu Intan Kumala itu ada hubungannya dengan Nyai Purut.
“Berhasil juga kau membawanya ke sini, Nyai Purut,” kata Ratu Intan Kumala seraya melangkah menghampiri Pandan Wangi. Bibir Ratu Intan Kumala yang merah merekah, menyunggingkan senyuman sangat manis sekali. Dia berdiri sekitar lima langkah lagi di depan Pandan Wangi.
Sementara, Nyai Purut berada di belakangnya. Seperti tengah menilai suatu barang, diamatinya Pandan Wangi dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Dan bibirnya terus menyunggingkan senyuman manis sekali.
“Bagaimana kepandaiannya, Nyai?” tanya Ratu Intan Kumala lagi, tanpa berpaling sedikit pun.
“Cukup sulit juga mengatasinya, Gusti Ratu,” sahut Nyai Purut.
“Hmmm..., kemana senjatanya?”
“Dia membuangnya sendiri, Gusti Prabu.”
“Kau tidak mencarinya?”
“Sudah.”
“Ya, sudah. Aku toh, tidak butuh senjatanya. Yang kubutuhkan orangnya. Biar dia sendiri nanti yang membunuh Nyai Samirah dan Pendekar Rajawali Sakti.”
“Rencana yang bagus, Gusti Ratu. Memang, kita tidak perlu mengotori tangan dengan darah mereka. Biar saja dia yang melakukannya untuk kita,” sambut Nyai Purut gembira.
Sambil tersenyum, Ratu Intan Kumala menghampiri Pandan Wangi yang masih terikat di tonggak kayu dengan tubuh terbungkus jaring hitam. Diambilnya sebuah bungkusan kulit dari balik sabuk emas yang membelit pinggang rampingnya. Kemudian, diambilnya sebuah pil berwarna merah bagai darah dari dalam kantung kulit itu.
“Buka mulutnya, Nyai. Obat ini akan menghilangkan kesadarannya. Dan tentu dia akan patuh pada perintahku,” kata Ratu Intan Kumala.
Nyai Purut bergegas menghampiri, dan langsung menjambak rambut Pandan Wangi. Lalu, perempuan tua itu berusaha membuka mulut gadis itu. Kali ini, Pandan Wangi tidak tinggal diam begitu saja. Dia meronta berusaha melawan, dan tidak membuka mulutnya barang sedikit pun. Susah payah Nyai Purut berusaha membuka mulut si Kipas Muat. Sedangkan Ratu Intan Kumala hanya tersenyum saja melihat kegigihan Pandan Wangi yang tidak sudi menyerah walaupun keadaannya sangat tidak menguntungkan.
“Diam, Setan!” bentak Nyai Purut jadi gusar.
Plak!
“Auwh...!” Pandan Wangi terpekik kecil, ketika satu tamparan keras mendarat di wajahnya. Sebelah pipinya langsung memerah terkena tamparan keras itu. Tapi Pandan Wangi tetap saja memberontak, begitu Nyai Purut kembali mencoba membuka mulutnya. Dan ini membuat perempuan tua itu jadi semakin berang saja.
“Gusti Ratu! Dia tidak menyerah begitu saja. Sebaiknya, lumpuhkan saja dulu. Biar mudah,” ujar Nyai Purut seperti putus asa.
“Obat ini tidak ada artinya kalau dia dilumpuhkan dulu, Nyai. Biar saja dia terus sadar begitu. Dan jangan sedikit pun mengalami gangguan,” sahut Ratu Intan Kumala kalem.
“Tapi, Gusti....”
“Usahakan terus, Nyai. Kalau dia lelah, pasti berhenti sendiri.” potong Ratu Intan Kumala cepat.
Nyai Purut memanggil dua orang gadis pengikutnya. Dan kini, dibantu dua orang pengikutnya, perempuan tua itu kembali berusaha membuka mulut Pandan Wangi. Dan Pandan Wangi sekarang benar-benar tidak berdaya. Dalam keadaan tubuh terikat dan dipegangi dua orang, akhirnya Nyai Purut bisa juga membuka mulut gadis dan terus menahannya supaya tetap terbuka.
Sementara, Pandan Wangi terus berusaha memberontak sekuat tenaga. Ratu Intan Kumala tersenyum sambil melangkah menghampiri lebih dekat lagi. Perlahan tangannya menjular ke depan, hendak memasukkan obat berbentuk pil sebesar kacang berwarna merah darah itu ke mulut Pandan Wangi. Tapi belum juga bisa memasukkan pil itu, tiba-tiba saja....
Tuk!
“Heh...?!” Ratu Intan Kumala terlompat mundur, dan obatnya terlempar dari tangannya. Sedangkan Nyai Purut jadi terkejut melihat junjungannya terlompat ke belakang.
“Ada apa, Gusti?!” tanya Nyai Purut tidak mengerti.
“Setan keparat...! Ada monyet busuk di sini!” umpat Ratu Intan Kumala berang.
“Heh?! Apa...?!” Nyai Purut jadi semakin tersentak kaget, begitu melihat kepala Pandan wangi terkulai lemas. Padahal, dia tadi tidak melakukan apa-apa kecuali hanya memegangi kepala gadis itu saja dan terus menahan agar mulutnya tetap terbuka. Tapi sekarang, gadis itu terkulai seperti....
“Siaga...!” seru Nyai Purut cepat, begitu menyadari apa yang telah terjadi. Seketika itu juga, semua gadis pengikutnya berlompatan membentuk lingkaran. Mereka langsung mencabut pedang masing-masing, dan melintangkannya di depan dada. Sementara, Ratu Intan Kumala menghampiri Pandan Wangi yang kini terkulai seperti tidur.
“Keparat...!” dengus Ratu Intan Kumala geram. Dia tahu, Pandan Wangi sudah tertotok pusat jalan darahnya. Cepat-cepat dicobanya untuk membebaskan totokan itu. Tapi beberapa kali jari-jari tangannya bergerak, kepala si Kipas Maut itu tetap terkulai lemas tak bertenaga lagi.
“Setan! Siapa yang berani melakukan ini padaku, heh...?!” geram Ratu Intan Kumala berang.
********************
ENAM
Suasana terasa begitu sunyi di puncak Bukit Menjangan ini. Tak ada seorang pun yang bersuara. Sementara Ratu Intan Kumala sudah melangkah ke depan, setelah beberapa kali gagal melepaskan totokan di tubuh Pandan Wangi. Entah siapa yang melakukannya. Tapi yang jelas, sekarang Pandan Wangi tidak mungkin lagi bisa dipengaruhi obat ampuh yang dimiliki.
“Kau jaga dia, Nyai,” perintah Ratu Intan Kumala.
“Baik, Gusti,” sahut Nyai Purut.
Ratu Intan Kumala berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Sorot matanya terlihat begitu tajam, merayapi sekitarnya yang begitu sunyi dan berselimut kabut tebal. Sama sekali tidak terlihat adanya orang lain di sekitar puncak Bukit Menjangan ini. Keadaan begitu sunyi, sampai desir angin yang begitu halus pun terdengar jelas mengusik telinga.
“Tikus busuk! Keluar kau...!” bentak Ratu Intan Kumala lantang menggelegar.
Suara wanita cantik bagai bidadari itu menggema, terpantul hingga jauh mengambang. Tapi, tidak juga terdapat jawaban, walaupun suaranya sudah lenyap dari pendengaran. Dan keadaan sekitar puncak bukit itu terus terasa sunyi mencekam. Ratu Intan Kumala jadi semakin gusar. Wajahnya sudah terlihat memerah, menahan kemarahan yang amat sangat.
“Huh!” Sambil mendengus kesal. Ratu Intan Kumala memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri Pandan Wangi. Sedangkan gadis-gadis berpakaian hitam yang mengelilingi si Kipas Maut segera menyingkir memberi jalan. Ratu Intan Kumala langsung menjambak rambut si Kipas Maut itu, dan mendongakkannya ke atas dengan kasar.
“Lihat..! Kalau kau tidak menunjukkan batang hidungmu, leher gadis ini akan kupatahkan!” teriak Ratu Intan Kumala mengancam.
“Jangan bertindak seperti pengecut, Intan Kumala...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara bernada berat dan penuh wibawa. Suara itu terdengar menggema, seperti datang dari segala arah. Jelas, orang itu mengerahkannya disertai tenaga dalam yang sudah tinggi sekali tingkatannya. Dan dari suaranya, bisa ditebak kalau orang itu pasti laki-laki.
“Siapa kau?! Tunjukkan batang hidungmu...!” seru Ratu Intan Kumala. Suaranya tetap lantang menggelegar.
“Sejak tadi aku di sini, Intan Kumala.”
“Hhh!” Ratu Intan Kumala mendengus pendek. Cepat tubuhnya diputar ke kanan. Dan entah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di atas batu pipih yang biasa diduduki Nyai Purut.
Laki-laki itu mengenakan baju ketat warna putih, yang bagian belakangnya dibuat panjang. Wajahnya cukup tampan, dan memiliki garis-garis ketegasan yang memancarkan kewibawaan. Dan herannya tidak terlihat adanya satu bentuk senjata pun melekat di tubuhnya. Tapi di dalam genggaman tangan kanannya, terdapat sebuah seruling dari bambu kuning.
“Siapa kau?! Berani benar mencampuri urusanku...!” bentak Ratu Intan Kumala, seraya melangkah menghampiri.
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dia lalu melompat turun dari atas batu dengan gerakan indah dan ringan sekali. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mantap menjejak tanah, tepat sekitar enam langkah lagi di depan Ratu Intan Kumala.
“Semua orang selalu memanggilku Pendekar Seruling Sakti,” kata pemuda itu memperkenalkan diri. “Maaf, kalau kehadiranku telah mengganggu. Tapi, aku tidak bisa melihat ada orang teraniaya tanpa dapat membela diri.”
“Phuih! Kau telah lancang mengganggu pekerjaanku, Kisanak. Kau harus menerima hukumannya!” dengus Ratu Intan Kumala, ketus.
“Hukuman apa yang pantas untukku, Intan Kumala?” Terdengar tenang sekali nada suara Pendekar Seruling Sakti. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman yang begitu menawan, sehingga membuat paras wajahnya semakin terlihat tampan. Dan sikapnya juga kelihatan begitu tenang sedikit pun tidak merasa gentar menghadapi wanita setengah siluman ini. Padahal, di sekelilingnya sudah ada sekitar dua puluh orang gadis yang semuanya sudah menghunus pedang, dan tinggal menunggu perintah menyerang saja.
“Kau pantas untuk mati, Kisanak!” desis Ratu Intan Kumala. Kedua tangan Ratu Intan Kumala yang halus dan lembut sudah naik dengan gerakan yang begitu lembut. Sementara sorot matanya terlihat sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Seruling Sakti.
Tapi pada saat itu, Nyai Purut menghampiri. “Gusti Ratu, izinkan hamba memberi sedikit pelajaran pada bocah lancang itu,” pinta Nyai Purut.
“Hm...,” Ratu Intan Kumala menggumam kecil, seraya melirik perempuan tua ini.
“Baiklah, Nyai Purut Tapi aku tidak ingin dia lama-lama ada di sini,” sahut Ratu Intan Kumala.
“Secepatnya hamba akan mengirimnya ke lubang kubur, Gusti Ratu,” sahut Nyai Purut.
Ratu Intan Kumala melangkah mundur beberapa tindak. Sedangkan Nyai Purut mengayunkan kakinya ke depan dua langkah. Dan....
“Hiyaaat..!” Tanpa berkata-kata lagi, perempuan tua berjubah hitam itu langsung saja melompat secepat kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan secepat kilat pula, tongkat kayunya dikebutkan ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
“Hapts...!” Tapi, hanya sedikit saja Pendekar Seruling Sakti mengegoskan kepala, maka sabetan tongkat kayu itu lewat di atas kepalanya.
Dan Nyai Purut cepat memutar tongkatnya, lalu kembali membabatkannya ke arah pinggang disertai pengerahan tenaga dalam.
“Uts...!” Manis sekali Pendekar Seruling Sakti menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga, tebasan tongkat Nyai Purut tidak sampai mengenai tubuhnya. Dan belum juga Nyai Purut bisa menarik tongkatnya pulang, Pendekar Seruling Sakti sudah cepat melompat. Lalu bagaikan kiat, dilepaskannya satu tendangan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
“Hiyaaat...!”
“Ikh...!” Bet!
Nyai Purut jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat tongkatnya dikebutkan ke depan, untuk melindungi dadanya dari tendangan kaki kanan pemuda yang mengaku berjuluk Pendekar Seruling Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali, Pendekar Seruling Sakti bisa cepat menarik pulang kaki kanannya. Dan hampir bersamaan, dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang mengarah ke kepala.
“Hapts!” Nyai Purut cepat-cepat menarik kepala ke belakang, hingga pukulan keras yang dilepaskan Pendekar Seruling Sakti tidak sampai mengenai kepala. Saat itu juga, tongkatnya dikebutkan ke depan sambil melompat sedikit.
Wuk!
“Hih!” Tidak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Seruling Sakti untuk berkelit menghindar. Dengan cepat sekali, seruling bambu kuningnya yang terselip di pinggang dicabut. Dan secepat itu pula, dikebutkannya untuk menangkis sabetan tongkat Nyai Purut.
Trak!
“Hih! Yeaaah...!” Nyai Purut langsung melengking ke udara, begitu serangan tongkatnya bisa ditangkis. Dan bagaikan kilat, tongkatnya kembali dikebutkan ke kepala pendekar muda itu.
“Hap!” Bet...!
Cepat-cepat Pendekar Seruling Sakti mengebutkan seruling bambu kuningnya ke atas kepala, hendak menangkis serangan tongkat perempuan tua itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Nyai Purut memutar tubuhnya. Dan bagaikan kilat, tangan kirinya dikebutkan ke bawah.
Slap! Seketika itu juga terlihat dua buah benda berwarna putih keperakan melesat begitu cepat dari telapak tangan kirinya yang terbuka. Akibatnya, Pendekar Seruling Sakti jadi terkejut setengah mati.
“Hup!” Cepat-cepat pemuda itu melenting ke udara, menghindari serangan senjata rahasia perempuan tua ini. Tapi pada saat tubuhnya melayang di udara, tanpa dapat diduga sama sekali kedua telapak tangan Nyai Purut melepaskan satu pukulan dahsyat.
“Yeaaah...!” Begitu cepat serangan yang dilancarkan perempuan tua itu, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Seruling Sakti untuk dapat menghindar. Dan....
Plak!
“Akh...!” Pendekar Seruling Sakti seketika terpental ke belakang, begitu dadanya terkena pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, dan bergulingan beberapa kali.
Sementara, Nyai Purut berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah kembali. Saat itu, Pendekar Seruling Sakti mencoba bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri sempurnanya, Nyai Purut sudah melepaskan satu tendangan lagi disertai pengerahan tenaga dalam sekali. Begitu cepatnya tendangannya sehingga Pendekar Seruling Sakti benar-benar tidak dapat lagi menghindari.
Dugkh!
“Akh...!” Kembali Pendekar Seruling Sakti terpekik dan terpental sejauh dua batang tombak, begitu bagian tulang iganya terkena tendangan keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau saja tidak memiliki kepandaian dan pengerahan tenaga dalam tinggi, pasti seluruh tulang-tulang sudah remuk. Dan mungkin tidak akan bisa melihat matahari lagi esok pagi.
Tapi Pendekar Seruling Sakti memang bukan orang sembarangan. Walaupun baru saja terkena dua kali serangan dahsyat, dia mampu cepat bangkit berdiri lagi. Hanya saja, berdirinya sedikit terhuyung-huyung. Tampak darah segar mengalir keluar dari mulut dan lubang hidungnya.
“Huh!” Sambil menyeka darah, Pendekar Seruling Sakti mendengus. Ditatapnya Nyai Purut yang berdiri tegak dengan sikap angkuh, sekitar satu setengah tombak di depannya. Kemudian diangkatnya seruling bambu kuning, dan ditempelkan ke bibirnya yang merah seperti bibir seorang gadis belia. Dan saat itu juga, terdengar alunan seruling yang merdu. Tapi, kemerduan alunan irama seruling itu tak berlangsung lama. Suaranya cepat berubah melengking, membuat telinga jadi berdenging.
“Cepat ke belakangku...!” seru Ratu Intan Kumala tiba-tiba.
Semua gadis pengikutnya segera berhamburan, dan berbaris di belakang wanita cantik itu. Demikian pula Nyai Purut, yang sudah berada di sebelah kanannya. Dan saat itu juga, Ratu Intan Kumala mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu...
“Hiyaaa...!” Ketika alunan seruling yang dimainkan Pendekar Seruling Sakti sudah hampir tidak tertahankan lagi, mendadak saja dari kedua telapak tangan Ratu Intan Kumala memancarkan cahaya yang begitu terang menyilaukan. Cahaya itu terus memendar, membentuk lingkaran di depannya. Dan tiba-tiba saja, suara seruling itu sama sekali tidak menyakitkan telinga Nyai Purut dan gadis-gadis yang berada di belakangnya. Bahkan kini terdengar begitu merdu.
“Ha ha ha...!” Ratu Intan Kumala tertawa terbahak-bahak, diikuti Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya ketika mendengarkan pemuda itu memainkan serulingnya.
Melihat kenyataan yang tidak diduga sama sekali ini, Pendekar Seruling Sakti jadi terkejut setengah mati. Seluruh kekuatannya segera dikerahkan, dengan memainkan irama-irama maut dari seruling saktinya. Tapi semakin kuat kekuatannya dikerahkan, semakin sulit pula menembus benteng cahaya yang dibuat Ratu Intan Kumala.
“Setan...! Perempuan iblis itu benar-benar sukar ditaklukkan. Huh...!” Pendekar Seruling Sakti jadi menggerutu sendiri dalam hati. Sudah seluruh kekuatannya dikerahkan, tapi wanita-wanita itu malah tertawa-tawa kesenangan, seperti mendapat hiburan saja. Dan ini membuat wajah Pendekar Seruling Sakti jadi memerah bagai biji saga. Cepat permainan serulingnya dihentikan.
Sementara itu, Ratu Intan Kumala mencabut tirai cahayanya. Dia berdiri tegak sambil berkacak pinggang disertai senyum menawan tersungging di bibir.
“Hanya sampai di situ sajakah kepandaianmu, Pendekar Seruling Sakti...?” ejek Ratu Intan Kumala sinis.
“Iblis..!” desis Pendekar Seruling Sakti.
“Aku rasa, sudah saatnya kau menerima hukumanku,” kata Ratu Intan Kumala lagi.
Pendekar Seruling Sakti hanya berdiri tegak saja. Dengan sorot mata tajam tanpa berkedip sedikit pun juga, ditatapnya bola mata wanita cantik setengah siluman itu. Sementara, Ratu Intan Kumala sudah mengayunkan kakinya, mendekati pemuda ini. Wajahnya terlihat begitu tegang, memancarkan nafsu membunuh. Perlahan namun pasti, kakinya terus melangkah semakin dekat.
“Bersiaplah untuk mati, Bocah Lancang! Hiyaaat...!”
Begitu selesai kata-katanya, bagaikan kilat Ratu Intan Kumala menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya memancar cahaya merah menyala bagai api. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Pendekar Seruling Sakti jadi terperangah. Dan pemuda itu tidak sempat lagi mengambil tindakan menghindar.
Tapi begitu ujung cahaya merah bagai api itu hampir menghantam dadanya, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai kilat menyambar tubuhnya. Sehingga, cahaya merah yang memancar dari kedua telapak tangan Ratu Intan Kumala hanya lewat dan menghantam batu pipih yang biasa digunakan Nyai Purut untuk memanggil junjungannya.
Glaaar!
Satu ledakan yang begitu keras pun terdengar menggelegar dahsyat, membuat seluruh puncak bukit ini jadi bergetar bagai terguncang gempa. Batu berukuran besar dan tampak kokoh itu seketika hancur berkeping-keping, menyebar ke segala arah. Abu dan kepingan batu bercampur api, tampak membubung tinggi ke angkasa. Sehingga, suasana malam yang pekat jadi terang untuk sesaat oleh percikan api yang menghancurkan batu itu.
“Setan alas...! Siapa berani kurang ajar padaku, heh...?!” bentak Ratu Intan Kumala berang setengah mati. Belum juga wanita cantik itu bisa mengetahui siapa yang menyelamatkan Pendekar Seruling Sakti dari kematian tiba-tiba saja....
“Gusti Ratu....”
“Setan! Ada apa, Nyai Purut...?” bentak Ratu Intan Kumala, seraya memutar tubuhnya cepat berbalik.
Tampak Nyai Purut berlutut, sambil menyembah dengan tubuh menggeletar seperti kedinginan. Dan semua gadis yang menjadi pengikutnya juga berlutut dengan sikap sama. Hal ini membuat Ratu Intan Kumala jadi mendelik, tidak mengerti sikap para pemujanya.
“Ada apa ini...?!” sentak Ratu Intan Kumala.
“Ampun, Gusti. Tawanan kita...,” sahut Nyai Purut, terbata-bata tanpa menyelesaikan kata-katanya.
“Heh...?!” Kedua bola mata Ratu Intan Kumala jadi terbeliak lebar, begitu melihat tonggak kayu tempat Pandan Wangi terikat di sana tadi, kini sudah kosong. Bahkan tonggak kayu itu hancur berkeping-keping, seperti baru saja terkena satu pukulan dahsyat yang mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi. Bergegas Ratu Intan Kumala menghampiri kepingan tonggak kayu itu. Kedua bola matanya terbeliak berputaran, seperti tidak percaya dengan semua yang telah terjadi di tempat ini. Dia seperti bermimpi, menghadapi beberapa peristiwa yang sama sekali tidak terduga.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Nyai Purut...?” tanya Ratu Intan Kumala seraya mengarahkan pandangan pada Nyai Purut.
“Hamba sendiri tidak tahu, Gusti. Perhatian hamba sedang terpusat pada pemuda setan itu tadi,” sahut Nyai Purut.
“Bodoh! Seharusnya kau jaga dia! Huh, sial...!”
“Maafkan hamba, Gusti Ratu. Hamba akan berusaha mendapatkannya lagi.”
“Sudah...! Biar ku tangani sendiri!” bentak Ratu Intan Kumala berang. Belum lagi hilang suaranya, tahu-tahu wanita cantik yang setengah siluman itu sudah lenyap dari pandangan mata. Entah ke mana perginya, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Memang tinggi sekali ilmu yang dimiliki, sehingga bisa melesat begitu cepat bagaikan terhembus angin. Sedangkan Nyai Purut hanya bisa diam dengan wajah merasa bersalah, atas hilangnya Pandan Wangi akibat kelalaiannya.
“Jangan diam saja! Ayo kita cari lagi dia!” bentak Nyai Purut memberi perintah pada gadis-gadis pengikutnya.
Tanpa mendapat perintah dua kali, gadis yang semuanya berbaju serba hitam itu segera berdiri dan mengikuti ayunan kaki Nyai Purut yang lebar dan cepat di depan. Ke mana sebenarnya Pandan Wangi? Mungkinkah dia bisa melepaskan diri sendiri setelah mendapatkan totokan pada pusat jalan darahnya secara aneh tadi...?
TUJUH
Tuk!
“Oooh....” Pandan Wangi menggeliat sambil merintih lirih. Beberapa kali matanya dikerjapkan. Cepat gadis itu bangkit duduk, begitu melihat seraut wajah tampan yang sudah begitu dikenalnya, bersama seorang wanita tua yang juga sudah dikenalnya. Mereka adalah Rangga dan Nyai Samirah. Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti inilah yang menyelamatkan Pandan Wangi.
“Di mana aku...?” tanya Pandan Wangi lirih, sambil memegangi kepalanya yang terasa sedikit pening.
“Kau di tempat aman, Pandan,” kata Rangga lembut memberi tahu.
“Oh! Kukira, aku sudah mati...,” desah Pandan Wangi.
“Sang Hyang Widi masih melindungimu, Pandan,” ujar Nyai Samirah.
Pandan Wangi mengedarkan pandangan ke sekelil-ing. Gadis itu baru tahu, kalau saat ini berada di sebuah gua yang tidak begitu besar. Tapi, sepertinya gua ini dihuni seseorang. Dan tubuhnya sendiri berada di atas sebuah balai-balai bambu beralaskan selembar tikar yang sudah lusuh. Dan tidak jauh dari tempatnya, juga terdapat sebuah balai-balai bambu yang di atasnya menggeletak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Dia mengenakan baju warna putih bersih, dan kelihatannya seperti sedang tidur pulas.
“Siapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Dialah yang memberi kesempatan padaku untuk menyelamatkanmu dari tangan Ratu Intan Kumala,” sahut Rangga.
“Namanya Pendekar Seruling Sakti,” sambung Nyai Samirah.
“Terpaksa jalan darahmu kutotok dengan kerikil, untuk mencegah Ratu Intan Kumala memasukkan obat ke dalam mulutmu, Pandan. Jadi, kau tidak tahu apa saja yang telah terjadi,” Rangga menjelaskan singkat.
“Kita masih di Bukit Menjangan, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Ya! Tidak berapa jauh dari tempat tinggal mereka,” sahut Rangga.
“Ini di mana?”
“Tempat tinggal Pendekar Seruling Sakti,” Nyai Samirah yang menyahuti.
“Dia terluka?” tanya Pandan Wangi lagi, seraya menatap Pendekar Seruling Sakti yang terbaring seperti tidur.
“Hanya luka dalam ringan. Tidak begitu mengkhawatirkan. Sebentar lagi juga akan bangunan dan pulih kembali,” sahut Rangga.
“Syukurlah kalau begitu,” desah Pandan Wangi.
Mereka semua terdiam. Cukup lama juga mereka tidak bicara lagi, sampai Pendekar Seruling Sakti bangun. Pemuda yang hampir sebaya Rangga itu segera duduk di atas pembaringannya. Bibirnya lantas tersenyum begitu melihat Pandan Wangi sudah bisa duduk di samping Nyai Samirah. Kepalanya terangguk sedikit, dan langsung dibalas Pandan Wangi. Juga dengan anggukan kepala, disertai senyum kecil yang cukup manis.
“Bagaimana...? Kalian suka tempat ini?” ujar Pendekar Seruling Sakti bertanya.
“Cukup bagus dan bersih juga,” puji Rangga.
“Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku benar-benar senang dapat bertemu dan berkenalan denganmu. Sudah lama aku mendengar tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan juga kau, Kipas Maut. Tapi sayang, pertemuan kita ini dalam waktu yang tidak menyenangkan. Kita berhadapan dengan orang yang sama, tapi dengan tujuan dan persoalan berbeda,” kata Pendekar Seruling Sakti.
Pendekar Seruling Sakti hendak bangkit turun dari pembaringan bambu ini, namun Nyai Samirah buru-buru mencegah. Hanya saja pemuda itu sudah lebih dulu mengangkat tangannya, meminta perempuan tua itu duduk kembali.
“Keadaanku sudah pulih kembali, Nyai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi,” kata Pendekar Seruling Sakti.
“Luka dalam mu cukup parah, Anak Muda.”
“Tidak lagi, setelah Pendekar Rajawali Sakti mengobatiku.”
“Ah! Hanya sedikit yang kulakukan,” ujar Rangga merendah. Semua pengobatan ada pada dirimu sendiri.”
“Tapi tanpa mu, aku tidak akan mungkin bisa bertahan hidup sampai sekarang. Bahkan mungkin saat ini sudah menghuni lubang kubur.”
“Ah, sudahlah.... Tidak perlu berbasa-basi lagi. Sekarang yang terpenting, kita pikirkan cara yang tepat untuk menghadapi Ratu Intan Kumala dan pemuja-pemujanya. Ini yang paling penting untuk dibicarakan,” cepat-cepat Rangga mengalihkan pembicaraan.
Pendekar Rajawali Sakti memang paling tidak suka jika pembicaraan berkisar hanya saling memuji, dan saling merendahkan diri masing-masing. Baginya, pembicaraan seperti itu hanya akan membuat kepala menjadi besar.
“Ya! Memang seharusnya kita menyusun suatu rencana yang tepat untuk menghadapi mereka, sebelum kembali ke dunia bebas lagi,” sambut Pendekar Seruling Sakti mantap.
“Memang harus ada yang mengatasi mereka secepatnya. Kalau tidak, seluruh jagat raya ini bisa hancur,” sambung Nyai Samirah.
“Dia bisa menghancurkan padepokan mana saja yang membangkang. Yahhh..., seperti padepokanku. Sekarang, yang ada hanya puing-puing saja.”
“Kau bisa membangun padepokan baru, Nyai. Setelah semua urusan ini selesai,” ujar Rangga membesarkan hati perempuan tua itu.
Nyai Samirah hanya tersenyum saja, tapi terasa getir sekali. Entah, apakah hatinya yakin akan bisa mendirikan padepokan lagi atau tidak. Sedangkan untuk mendirikan sebuah padepokan, tidak sedikit waktu, tenaga, dan pikiran yang terkuras. Di dalam hati, Nyai Samirah sendiri tidak yakin akan mampu bangkit kembali memimpin sebuah padepokan. Tapi yang pasti, mungkin pilihannya adalah menjadi pertapa wanita dengan meninggalkan semua urusan yang berkaitan dengan keduniawian.
Dan mereka pun mulai membicarakan tentang Ratu Intan Kumala, Nyai Purut serta gadis-gadis pengikutnya yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian mengagumkan. Seorang pendekar seperti Pendekar Seruling Sakti saja, harus berpikir tiga kali untuk menghadapi. Sepuluh orang saja dari mereka, bisa sebanding dengan satu pasukan prajurit kerajaan yang sudah terlatih puluhan tahun.
Mereka memang gadis yang tangguh dan berkepandaian tinggi. Sehingga, tidak mudah untuk mengenyahkannya begitu saja. Dan mereka memang bukanlah gerombolan biasa, yang biasanya hanya mengacau orang-orang desa. Mereka bahkan berani menantang satu pasukan prajurit, walaupun jumlahnya sangat sedikit sekali.
Dan memang, mereka sudah seringkali merampas harta benda pihak kerajaan manapun juga, walaupun dikawal ketat satu pasukan prajurit terlatih. Bahkan sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak padepokan silat beraliran putih yang dihancurkan, dan berapa desa yang diduduki.
Tapi kini, mereka harus tinggal di puncak Bukit Menjangan yang dingin dan selalu berselimut kabut. Sekarang, mereka benar-benar sudah tidak punya tempat lagi. Tapi, hal itu bisa saja tidak berlangsung lama, kalau tidak segera dicegah. Bahkan bila perlu, dilenyapkan dari muka bumi ini untuk selama-lamanya.
********************
Hingga menjelang pagi, pembicaraan mereka baru selesai. Semua beristirahat tidur, mempersiapkan tenaga dan perhatian dalam menghadapi Ratu Intan Kumala dan para pengikutnya yang tangguh-tangguh. Hanya Rangga saja yang tidak dapat memicingkan matanya barang sekejap pun. Melihat tidak ada lagi yang masih terjaga, Pendekar Rajawali Sakti melangkah keluar dari dalam gua yang letaknya tersembunyi. Malah, sulit untuk dicapai oleh orang-orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi.
“Ahhh...!” Rangga menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan-lahan begitu berada di luar gua.
Matahari yang sudah menampakkan diri di sebelah timur, terlihat bersinar indah mencoba mengusir kabut yang selalu menyelimuti sekitar puncak Bukit Menjangan ini. Kemunculan matahari membuat udara di sekitar puncak bukit ini jadi terasa lebih hangat.
Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya, sambil menikmati udara segar pagi ini. Bibirnya tersenyum memandangi burung-burung yang riang berlompatan dari satu dahan ke dahan lain sambil berkicauan menyambut datangnya sang Surya. Dan tanpa terasa, Rangga sudah cukup jauh berjalan meninggalkan gua tempat tinggal Pendekar Seruling Sakti.
“Memang indah pemandangan di sini....”
“Eh...?!” Rangga jadi terkejut, begitu tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang tidak begitu jauh di sebelah kanannya. Cepat wajahnya berpaling ke kanan. Tapi pada saat itu juga, terlihat secercah cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti jadi ternganga kaget tidak menyangka. Dan....
“Hap...!” Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang, maka benda berbentuk bulat pipih berwarna keperakan itu lewat sedikit saja di depan dadanya. Segera Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang begitu lolos dari serangan yang begitu cepat dan sangat tiba-tiba. Pandangannya langsung menyorot tajam, menatap ke arah datangnya senjata rahasia itu.
“Aku di sini, Pendekar Rajawali Sakti....”
“Heh...?!”
Diegkh!
“Akh...!”
Rangga jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba saja punggungnya terasa menerima satu pukulan yang sangat keras. Pendekar Rajawali Sakti langsung jatuh tersungkur, dan bergulingan beberapa kali di tanah. Untung saja, pukulan itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun juga. Sehingga Pendekar Rajawali Sakti masih bisa cepat bangkit berdiri.
Dan tahu-tahu, di depannya kini sudah berdiri seorang wanita berparas cantik bagai bidadari. Pakaian wanita itu berwarna merah muda, dan begitu tipis bahannya. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya sangat jelas terlihat. Sungguh indah, membuat mata siapa saja yang memandangnya tidak akan berpaling sekejap pun. Tapi tidak demikian halnya Rangga. Karena dia tahu, siapa wanita yang kini sudah berada sekitar setengah batang tombak di depannya. Dialah Ratu Intan Kumala...!
“Pagi yang indah begini, sayang sekali kalau tidak dinikmati. Bukan begitu, Pendekar Rajawali Sakti...?” ujar Ratu Intan Kumala.
Suara wanita itu terdengar begitu lembut di telinga. Dan gerak-gerak bibirnya saat berkata-kata juga langsung membangkitkan gairah birahi. Wanita ini memang memiliki daya pikat yang begitu dahsyat. Bahkan Rangga sendiri sempat bergetar saat pandangannya bertemu pandangan mata wanita itu.
“Di mana yang lain, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Ratu Intan Kumala. Nada suaranya terdengar begitu lembut di telinga.
“Ada.... Mereka aman dan tidak bisa terjangkau olehmu,” sahut Rangga langsung ketus nada suaranya.
“Tidak ada tempat yang tersembunyi dan luput dari pengamatanku di sekitar Bukit Menjangan ini, Bocah Bagus. Aku tahu, di mana mereka.”
“Kalau sudah tahu, kenapa harus bertanya...?”
Ratu Intan Kumala tertawa renyah. Begitu merdu suaranya, membuat jantung Rangga sempat berdetak kencang. Tapi cepat-cepat daya pesona yang ditimbulkan wanita ini diusirnya. Perasaannya tidak ingin terpancing, apalagi terpikat daya pesona kecantikan, serta lekuk-lekuk tubuh wanita yang begitu indah menggairahkan ini.
“Aku tahu, siapa namamu yang sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti. Ah...! Memang sebaiknya aku memanggilmu Rangga saja. Bukankah itu lebih baik? Kau tentu suka kalau aku memanggilmu demikian, Rangga...?”
“Hmmm...,” Rangga hanya menggumam sedikit saja.
“Bertahun-tahun aku tinggal di bukit ini, dan menguasainya secara penuh. Dan semua orang mengakui, akulah pemilik bukit ini. Bahkan tidak pernah ada seorang pun yang berani menodainya. Aku selalu menjaganya agar tidak pernah ternoda. Tapi belakangan ini, entah sudah berapa orang yang menodai bukit ini dengan darah. Dan itu terjadi setelah kau ada di sini, Rangga. Ah...! Tapi, aku tidak mutlak menyalahkanmu. Aku tahu, apa yang membuatmu terpaksa harus menodai bukit ini. Dan aku ingin, agar kita bersama-sama menghentikannya,” kata Ratu Intan Kumala, masih terdengar begitu lembut.
“Kau bicara seperti dirimu yang paling suci saja di dunia ini, Ratu Intan Kumala,” sinis sekali suara Rangga terdengar.
“Aku memang bukan orang suci, Rangga. Tapi paling tidak, aku masih menghargai keindahan dan kesucian alam. Aku senang kalau semua yang ada di dunia ini berjalan sesuai kodratnya. Tapi, telah ada tangan-tangan jahil yang merusaknya. Dan aku selalu berharap agar bukit ini tetap bersih, tanpa ternoda sedikit pun juga. Tapi sekarang..., aku tidak bisa mencegahnya lagi. Kesucian bukit ini sudah ternoda. Dan semua ini sangat ku sesali, Rangga.”
“Kau menginginkan tempatmu tetap bersih. Tapi, kenapa kau selalu membuat kotor tempat lain? Malapetaka kau sebarkan di mana-mana. Kau banjiri bumi dengan darah orang-orang yang tidak berdosa. Aku rasa, kau sama sekali tidak menghargai kesucian dan keindahan alam, Ratu Intan Kumala. Bahkan kau sendirilah yang menodainya,” tegas Rangga.
“Kata-katamu sudah menyinggung perasaanku, Rangga...!” desis Ratu Intan Kumala tidak senang.
“Aku mengatakan yang sebenarnya. Jadi, kau merasa tersinggung...? Itu memang hakmu,” balas Rangga tetap mantap dan tegas.
“Semula, aku hendak mengajak damai denganmu. Tapi, tampaknya kau terlalu sulit diajak berdamai. Kau lebih memilih banjir darah di bumi ini,” desis Ratu Intan Kumala mulai terasa dingin nada suaranya.
“Sampai kapan pun bumi akan tetap dibanjiri darah, kalau orang-orang sepertimu masih tetap ada.”
“Kau sudah membuka tantangan, Pendekar Rajawali Sakti.” Rangga hanya mengangkat bahu sedikit saja.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Tapi kuminta, jangan menyesal kalau mulai saat ini orang-orang hanya akan mengenal namamu saja.”
“Aku khawatir malah sebaliknya, Ratu Intan Kumala.”
“Hhh. Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti!”
Bet!
Ratu Intan Kumala langsung saja mengebutkan kedua tangannya, memperlihatkan gerakan-gerakan jurus yang begitu indah dan lembut. Tapi dari setiap gerakan tangannya, mengandung satu kekuatan yang tidak bisa dipandang rendah. Dan Rangga juga segera bersiap-siap menerima serangan. Dia berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya begitu tajam, memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan wanita itu.
“Hmmm...”
“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!”
Wuk!
“Haiiit..!”
Rangga cepat-cepat meliuk ketika tangan kanan Ratu Intan Kumala menghentak ke depan. Dan seketika dari telapak tangan kanannya memancar cahaya merah yang begitu deras, meluruk dan lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Dan cahayanya itu langsung menghantam sebongkah batu yang cukup besar di belakang Rangga, sampai hancur berkeping-keping, memperdengarkan ledakan yang begitu dahsyat.
“Hiyaaa...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Secara bersamaan, mereka melesat ke udara dan langsung saling melontarkan serangan-serangan pukulan beruntun yang cepat sekali. Tubuh mereka meliuk-liuk menghindari dan saling memberi serangan cepat yang sukar diikuti pandangan mata biasa.
“Hup!”
“Hap...!”
Secara bersamaan pula, mereka kembali meluruk turun dan menjejak tanah kembali. Dan mereka langsung saja bertarung menggunakan jurus-jurus cepat dan dahsyat. Dan tentu saja, mereka sama-sama mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi. Beberapa kali pukulan yang dilepaskan saling berbenturan, hingga memperdengarkan ledakan yang begitu keras dan dahsyat.
Tapi, tampaknya kekuatan tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain sudah mencapai tingkatan yang seimbang. Sehingga, mereka sama-sama kembali saling melontarkan serangan cepat dan beruntun. Jurus demi jurus cepat berlalu. Tanpa terasa, mereka sudah menghabiskan lebih dari sepuluh jurus. Tapi, tampaknya pertarungan itu masih terus berlangsung sengit. Dan tampaknya, belum ada tanda-tanda kalau pertarungan bakal terhenti. Mereka benar-benar memiliki kepandaian setingkat. Sedikit pun belum terlihat, siapa lebih tinggi tingkat kepandaiannya.
Suara-suara teriakan dan ledakan-ledakan keras menggelegar menjadi satu, rupanya terdengar sampai ke dalam gua tempat tinggal Pendekar Seruling Sakti. Sehingga, membuat mereka yang ada di dalam gua tadi terbangun dari tidur, dan langsung berlarian keluar begitu menyadari kalau Rangga tidak ada di dalam gua ini. Mereka terus berlarian menuju sumber suara yang mengejutkan itu. Dan betapa terkejut mereka, begitu melihat Rangga tengah bertarung sengit melawan Ratu Intan Kumala.
Dan pada saat sampai, saat itu pula Nyai Purut bersama gadis-gadis pengikutnya tiba di sana. Mereka jadi saling berhadapan. Sementara, Rangga dan Ratu Intan Kumala terus saja bertarung, tanpa menghiraukan kedatangan mereka semua. Memang, tidak ada lagi waktu bagi mereka untuk menghentikan pertarungan.
“Di sini kalian rupanya, heh...?!” dengus Nyai Purut dingin menggetarkan.
“Tanpa kau cari, kami juga akan mendatangi mu, Nyai Purut!” sambut Pandan Wangi.
Gadis itu sudah mengembangkan kipas mautnya di depan dada. Dan memang, Rangga sudah menyerahkan senjata-senjata gadis ini. Di punggungnya juga sudah bertengger Pedang Naga Geni. Sementara, Pendekar Seruling Sakti juga sudah menggenggam seruling bambu kuningnya yang memang bukan seruling biasa, tapi juga merupakan senjata yang sangat berbahaya.
“Kalian benar-benar penghalangku yang paling utama. Kalian harus mampus lebih dulu!” sentak Nyai Purut geram.
“Aku rasa, kau yang akan lebih dulu ke neraka, Nyai Purut,” balas Pandan Wangi tak kalah dingin.
“Bocah keparat! Mampus kau! Hiyaaat...!” Sambil memaki dan berteriak nyaring melengking, Nyai Purut langsung saja melompat menyerang Pandan Wangi dengan kebutan tongkatnya.
Wuk!
“Haiiit..!”
Hanya sedikit saja si Kipas Maut mengegos, maka kebutan tongkat Nyai Purut tidak sampai mengenai tubuhnya. Dan dengan kecepatan yang tidak kalah tinggi, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung balas menyerang. Senjata kipasnya terus di kebutkan beberapa kali dengan cepat.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Wuk! Bet!”
“Edan...! Hup! Yeaaah...!”
Nyai Purut terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan Pandan Wangi yang beruntun dan sangat cepat. Sungguh tidak disangka kalau gadis ini ternyata memiliki kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya dari yang diduga sebelumnya.
Sementara itu, Pendekar Seruling Sakti dan Nyai Samirah sudah menggempur gadis-gadis pengikut dan pemuja Ratu Intan Kumala. Dengan senjata berupa suling bambu, pemuda itu berkelebat cepat bagaikan burung elang. Sementara, Nyai Samirah juga tidak kalah garangnya. Bagaikan seekor singa tua yang kelaparan, dia terus merangsek pengikut-pengikut Nyai Purut.
Teriakan-teriakan pertarungan pun semakin menggema memecah udara di Bukit Menjangan ini. Bumi bagaikan hendak runtuh oleh suara pertarungan. Walaupun tidak begitu banyak jumlahnya, tapi mereka bagaikan dua pasukan kerajaan yang sedang berperang. Sebentar saja, tidak terhitung lagi pepohonan yang tumbang. Bahkan batu-batuan pun ikut hancur terkena pukulan-pukulan berkekuatan tenaga dalam tingkat tinggi.
DELAPAN
Pertarungan masih terus berlangsung sengit. Jerit-jerit melengking tanda kematian, mulai terdengar di antara hiruk-pikuk pertarungan dan ledakan-ledakan. Tampak gadis-gadis pemuja Ratu Intan Kumala mulai berjatuhan dengan tubuh berlumuran darah tanpa nyawa lagi. Dalam keadaan seperti ini, Pendekar Seruling Sakti dan Nyai Samirah benar-benar sukar sekali dicari tandingannya. Gerakan-gerakan yang mereka lakukan begitu cepat.
Bahkan gadis-gadis berpakaian serba hitam itu jadi kewalahan menghadapinya. Akibatnya, cara pertarungan mereka benar-benar tidak lagi beraturan. Mereka sudah mulai berusaha menyelamatkan diri sendiri-sendiri. Dan keadaan ini tentu saja sangat menguntungkan bagi Pendekar Seruling Sakti dan Nyai Samirah.
“Hiya!”
“Yeaaah...!”
Bet! Wuk!
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking tinggi yang terakhir pun terdengar. Tampak gadis pengikut Nyai Samirah yang paling akhir terjungkal bermandikan darah, dan langsung tidak dapat bangkit lagi.
“Ayo kita bantu Pandan Wangi, Nyai,” ajak Pendekar Seruling Sakti.
“Kau saja, Seruling Sakti. Biar aku mengawasi Ratu Intan Kumala,” sahut Nyai Samirah.
“Baiklah. Jaga jangan sampai perempuan iblis itu curang,” sambut Pendekar Seruling Sakti.
Nyai Samirah hanya mengangguk saja, kemudian melangkah menghampiri pertarungan antara Rangga dan Ratu Intan Kumala. Sementara, Pendekar Seruling Sakti menghampiri Pandan Wangi yang masih menghadapi Nyai Purut.
“Hmmm.... Tampaknya Pandan Wangi juga tidak memerlukan bantuanku. Tapi, memang sebaiknya aku tetap saja berada di sini. Biar mereka bertarung secara jujur dan ksatria,” gumam Pendekar Seruling Sakti.
“Hiyaaat...!” Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Pandan Wangi melenting ke atas. Dan bagaikan kilat, tubuhnya berputar seraya mengebutkan kipas mautnya ke bagian kepala dan kaki Nyai Purut Begitu cepat kebutan-kebutan kipasnya, sehingga yang terlihat cahaya putih keperakan saja yang berkelebatan.
Bret! “Ikh...!”
Tiba-tiba saja Nyai Purut terpekik agak tertahan. dan langsung melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Agak terkejut juga hatinya begitu melihat baju bagian dadanya telah sobek, terkena sabetan ujung senjata kipas maut di tangan Pandan Wangi.
“Setan! Hiyaaa...!”
Nyai Purut jadi berang setengah mati. Cepat perempuan tua itu melompat, dan mengebutkan tongkatnya ke arah kepala si Kipas Maut. Tapi secepat itu pula Pandan Wangi merunduk. Sehingga, tongkat kayu itu lewat sedikit di atas kepala. Dan bagaikan kilat pula, tubuhnya berputar. Langsung dilepaskannya satu tendangan berputar dengan bertumpu pada kaki kiri. Dan....
Begkh! “Ugkh...!”
Tendangan kilat Pandan Wangi tepat menghantam perut Nyai Purut. Akibatnya, perempuan tua itu terdorong ke belakang dengan tubuh terbungkuk. Dan pada saat itu juga, cepat sekali Pandan Wangi melompat ke depan sambil melepaskan satu buah pukulan menggeledek dengan tangan kiri.
“Hiyaaa...!”
Plak!
“Aaakh...!”
Nyai Purut tidak dapat lagi bertahan. Pukulan yang dilepaskan Pandan Wangi tepat menghantam wajahnya. Akibatnya, perempuan tua itu menjerit keras dengan wajah terdongak ke atas. Kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Dan saat itu juga, Pandan Wangi sudah melompat cepat sambil mencabut Pedang Naga Geni.
“Mampus kau sekarang, Perempuan Iblis! Hiyaaat...!”
Wuk!
Pedang yang memancarkan api itu bagaikan kilat berkelebat, dan langsung menyambar leher Nyai Purut Sementara, Pandan Wangi segera melompat mundur sambil menyarungkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung.
Cring!
Sementara, tampak Nyai Purut hanya berdiri saja seperti patung. Matanya terbuka lebar menatap lurus ke depan dengan mulut terbuka. Tampak ada satu garis merah pada lehernya. Dan tak lama kemudian, tampak tubuh perempuan tua itu mulai goyah, lalu ambruk ke tanah dengan kepala langsung terpisah dari leher. Seketika, darah muncrat dari leher yang sudah tidak berkepala lagi itu.
“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan napas berat, melihat lawannya sudah tergeletak tidak bernyawa lagi dengan kepala terpisah dari leher. Pendekar Seruling Sakti menghampiri si Kipas Maut itu, dan berdiri di samping sebelah kirinya. Dia juga memandangi mayat Nyai Purut yang kepalanya terpisah cukup jauh dari lehernya.
“Tinggal satu lagi, Pandan. Dan ini yang paling berbahaya,” kata Pendekar Seruling Sakti.
Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke pertarungan antara Rangga melawan Ratu Intan Kumala. Dan tanpa bicara lagi sedikit pun juga, kakinya melangkah menghampiri Nyai Samirah yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan tanpa berkedip sedikit pun. Sedangkan Pendekar Seruling Sakti mengikutinya dari belakang. Dan mereka kemudian berdiri bersisian, menyaksikan pertarungan tingkat tinggi itu.
********************
Pertarungan antara Rangga melawan Ratu Intan Kumala memang masih berlangsung sengit sekali. Entah, sudah berapa puluh jurus dikeluarkan, tapi pertarungan malah berjalan semakin sengit saja. Pukulan-pukulan mereka pun tidak lagi hanya disertai pengerahan tenaga dalam saja, tapi sudah menggunakan pukulan-pukulan yang dibarengi aji kesaktian. Entah, berapa jurus sudah berlalu dan berapa jenis ilmu kesaktian yang sudah dikeluarkan. Tapi, pertarungan masih saja terus berlangsung sengit sekali.
Sementara, Pandan Wangi, Nyai Samirah, dan Pendekar Seruling Sakti mulai diliputi kecemasan, melihat pertarungan belum juga ada tanda-tanda akan berhenti. Padahal, mereka sama-sama sudah mengeluarkan senjata. Rangga sudah mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Sedangkan Ratu Intan Kumala sudah mengeluarkan batu mustikanya yang berbentuk bulat sebesar kepalan tangan, memancarkan cahaya berkilauan bagai intan tersiram cahaya matahari. Hingga pada satu saat, mereka sama-sama berlompatan mundur dan menghentikan pertarungan. Tapi, satu sama lain masih tetap berdiri berhadapan dengan jarak kurang dari satu batang tombak jauhnya.
“Sebaiknya kau menyerah saja, Intan Kumala. Tidak ada lagi orang-orangmu yang masih hidup,” kata Rangga dingin sekali nada suaranya.
“Hhh!” Ratu Intan Kumala hanya menghembuskan napas panjang saja. Sekilas pandangannya beredar ke sekeliling. Memang, tidak ada lagi pengikutnya yang hidup. Mereka semua sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Bahkan Nyai Purut sendiri, tewas dengan kepala terpisah dari leher. Geram juga hatinya melihat kenyataan pahit yang harus diterima. Kini, dia tinggal seorang diri. Sedangkan lawannya, tidak kurang seorang pun juga. Walaupun kini hanya berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti saja, tapi baru seorang saja sudah sangat sulit menghadapinya.
“Baiklah. Kita tentukan sekarang, siapa di antara kita yang paling unggul, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Ratu Intan Kumala tegas.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja perlahan. Pendekar Rajawali Sakti tahu, kata-kata barusan merupakan sebuah tantangan untuk mengadu jiwa yang tidak bisa ditolak. Mereka memang sudah berada pada puncak pertarungan. Dan hanya tinggal ilmu-ilmu andalan saja yang masih tersisa. Sedangkan Rangga sendiri, tidak punya pilihan lain lagi. Pendekar Rajawali Sakti sadar, lawannya kali ini sangat tangguh. Dan sekarang, dia tidak mau lagi tanggung-tanggung menghadapinya. Pertarungan kini sudah meningkat pada pertarungan nyawa. Salah seo-rang dari mereka harus mati dalam pertarungan yang jujur ini. Dan kini mereka sudah bersiap-siap mengadu jiwa.
“Hhh...!” Rangga merentangkan kedua kakinya ke samping dengan pedang yang memancarkan cahaya biru melintang di depan dada. Lalu, telapak tangan kirinya ditempelkan di mata pedang itu. Sedangkan sorot matanya begitu tajam, memperhatikan gerakan-gerakan yang dilakukan Ratu Intan Kumala dalam mempersiapkan ilmu pamungkasnya. Perlahan Rangga mulai menggosok mata pedang pusakanya. Dan begitu telapak tangannya berada kembali di pangkal tangkai pedang, cahaya biru mulai menggumpal dan membentuk bulatan di ujungnya. Sudah dapat dipastikan kalau Pendekar Rajawali Sakti akan mengerahkan aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang sangat dahsyat dan merupakan andalan baginya.
“Terimalah seranganku ini, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat!” “Aji ‘Cakra Buana Sukma’! Yeaaah...!”
Tepat, ketika Ratu Intan Kumala menghentakkan kedua tangannya yang menggenggam batu mustika, Rangga juga menghentakkan pedangnya ke depan. Maka seketika itu juga, dua berkas sinar meleret deras. Dan....
Glaaar..!”
Satu ledakan yang sangat dahsyat seketika terjadi ketika dua berkas sinar itu beradu tepat di tengah-tengah. Tampak Ratu Intan Kumala terdorong sedikit ke belakang. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri kokoh dan masih tetap menjulurkan pedangnya ke depan. Sinar biru yang menggumpal di ujung pedangnya terus merambat cepat sekali, menghampiri Ratu Intan Kumala.
“Ikh...!”
Ratu Intan Kumala jadi terpekik, begitu merasakan cahaya biru yang .memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti mulai menyentuh tubuhnya. Bergegas wanita cantik ini hendak menyingkir. Tapi belum juga bi-sa berbuat sesuatu, cahaya biru yang memancar dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti sudah menerkam dan menyelimuti seluruh tubuhnya.
“Hhh...!” Rangga mengempos tenaganya untuk menambah kekuatan, begitu merasakan adanya perlawanan. Dan memang, Ratu Intan Kumala tampak menggeliat-geliatkan berusaha melepaskan diri dari belenggu sinar biru yang terus memancar dan semakin banyak menggumpal dari pedang Pendekar Rajawali Sakti.
“Ukh...!” Ratu Intan Kumala mulai melenguh. Semakin kekuatannya dikerahkan untuk melepaskan diri dari belenggu aji ‘Cakra Buana Sukma’ semakin kuat pula tenaga dan kekuatannya tersedot keluar. Dan Ratu Intan Kumala baru menyadari, apa yang telah terjadi pada dirinya saat ini. Tapi kesadarannya sudah terlambat. Kini, tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Dan dia harus berusaha untuk bisa keluar dari selubung cahaya biru ini. Keringat terus mengucur semakin deras, membasahi sekujur tubuh wanita itu.
Sementara, tenaganya terus mengalir keluar tanpa dapat dikendalikan lagi. Ratu Intan Kumala merasakan kekuatannya berkurang jauh sekali. Dan kelihatannya dia sudah tidak mungkin lagi bisa keluar dari belenggu sinar biru ini. Semakin berusaha keluar, semakin besar pula tarikan yang menyedot kekuatannya. Sementara, Rangga mulai melangkah mendekati perlahan-lahan.
Seluruh tubuhnya juga sudah bersimbah keringat. Bahkan tarikan nafasnya begitu kencang memburu, bagai kuda yang dipacu seharian penuh tanpa istirahat sedikit pun. Menghadapi wanita ini, seluruh kekuatan dan kepandaian yang dimilikinya benar-benar dikerahkan. Ayunan kakinya terlihat begitu mantap, walaupun perlahan-lahan. Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin dekat dengan wanita yang dikenal bernama Ratu Intan Kumala itu.
“Waktu sudah habis, Intan Kumala...,” desis Rangga dingin menggetarkan. “Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melompat dan menghentakkan pedangnya ke atas kepala. Seketika itu juga, cahaya biru yang menyelimuti seluruh tubuh Ratu Intan Kumala terlepas dari tubuhnya. Tapi belum juga wanita itu dapat menarik napas lega, mendadak saja....
Bet! Cras! “Hegkh...!”
Ratu Intan Kumala hanya dapat melenguh sedikit. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, dan mulutnya ternganga seperti melihat hantu, tepat di saat kilatan cahaya biru terlihat berkelebat begitu cepat di depan lehernya. Saat itu, terlihat Rangga melompat ke belakang sambil berputaran di udara tiga kali. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak lagi menggenggam pedang pusaka yang kini sudah kembali tersimpan di dalam warangka di punggung.
Sementara, Ratu Intan Kumala masih tetap berdiri mematung. Terlihat jelas, garis merah yang mengelilingi lehernya yang putih jenjang. Tapi tak berapa lama kemudian, tubuh wanita cantik itu mulai limbung, lalu ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Sedikit pun tubuhnya tidak bisa bergerak lagi, karena nyawanya sudah lepas dari badan sejak tadi.
“Kakang....”
Rangga berpaling sedikit dan tersenyum melihat Pandan Wangi, Nyai Samirah, dan Pendekar Seruling Sakti datang berlari-lari kecil menghampiri.
“Ayo kita tinggalkan tempat ini,” ajak Rangga setelah mereka mendekat.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka meninggalkan puncak Bukit Menjangan ini. Meninggalkan semua yang telah terjadi. Meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Dan, meninggalkan satu pengalaman yang cukup mendebarkan.
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: KUCING SILUMAN