TONGKAT SIHIR DEWA API
SATU
CAHAYA MATAHARI pagi menerobos lewat celah-celah bilik bambu sebuah gubuk kecil di tepi Hutan Karangalas. Sebuah gubuk yang agak tersendiri dari rumah-rumah yang berada di ujung desa. Kelihatannya, gubuk itu sudah lama tidak ditempati. Atap rumbianya sebagian telah rusak. Demikian juga dindingnya. Di sana-sini terlihat bolong-bolong. Namun begitu masih terdapat sebuah ruangan yang masih layak ditempati. Seseorang tampak tengah duduk memperhatikan sosok yang terbaring di balai-balai bambu dengan wajah duka. Bola matanya kosong menatapi tubuh yang penuh luka di atas dipan itu. Sesekali air matanya menitik, kemudian diseka dengan lengannya yang halus. Seorang laki-laki berpakaian gembel mendekat. Diperhatikannya keadaan mereka, lalu duduk di sebelah gadis cantik itu.
"Bagaimana keadaannya...?" tanya laki-laki itu, halus.
"Dia masih suka mengigau," sahut gadis berbaju biru itu lesu.
Laki-laki gembel yang memegang tongkat itu mendesah pelan. "Kau harus sabar. Mudah-mudahan dia bisa cepat sadar. Daya tahan tubuhnya amat kuat."
Gadis itu mengangguk. Kemudian kepalanya menoleh sambil tersenyum harus memandangi laki-laki setengah baya di sebelahnya.
"Kelelawar Buduk.... Terima kasih atas pertolonganmu."
"Sudah seribu kali kau mengucapkannya," sahut laki-laki gembel yang dipanggil si Kelelawar Buduk.
Sementara gadis itu kembali tersenyum haru. "Kalau saja kau tidak menolongku, entah apa jadinya. Tapi kenapa kau lakukan juga? Padepokan saudara seperguruanmu sendiri kau bakar. Bahkan membantu orang yang tadinya hendak kau bunuh...?" desah gadis itu.
"Hm, bagaimana? Katakan saja bahwa aku tidak rela kalau si Pendekar Rajawali Sakti binasa. Sebab bagaimanapun, aku menyadari kalau apa yang dilakukannya tanpa disadari, karena dipengaruhi orang lain."
Gadis berbaju biru itu terdiam. Kemudian kepalanya berpaling sambil memperhatikan dengan seksama sosok pemuda yang penuh luka di tubuhnya, terbaring di dipan. Pemuda itu menggeliat lemah.
"Kakang Rangga," panggil gadis itu, pelan.
Pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan sambil membuka kelopak matanya.
"Kakang.... Apakah kau telah sadar?" Tanya gadis itu.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti berkerut menahan rasa sakit. Kemudian pandangannya ditegaskan. "Kau?" suara Rangga terdengar lemah.
"Ya, aku Pandan Wangi." kata gadis yang memang Pandan Wangi sambil tersenyum.
"Pandan Wangi?"
Pandan Wangi tampak kecewa ketika Rangga malah balik bertanya dengan sorot mata heran. Namun perasaan hatinya berusaha disembunyikan, dan berusaha tersenyum.
"Dia si Kelelawar Buduk yang ikut membantumu, saat kau dikeroyok," ujar Pandan Wangi menjelaskan, ketika Rangga memandang pada laki-laki gembel yang duduk di sebelah gadis itu.
"Menolongku?" Tanya Rangga dengan dahi berkerut.
"Kau tidak ingat? Saat itu, keadaanmu terjepit. Dan kau mengalami luka berat akibat panah murid-murid Padepokan Kalong Wetan?" lanjut Pandan Wangi berusaha mengingatkan (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Bunuh Pendekar Rajawali Sakti).
Rangga mengerutkan dahi, berusaha mengingat.
"Saat itu si Kelelawar Buduk membakar barak para murid serta bangunan utama padepokan itu. Lalu setelah mereka kalang kabut, aku menolongmu keluar dari tempat itu," lanjut Pandan Wangi lagi.
"Sarti? Astaga! Ke mana dia?! Dia pasti celaka!" Tiba-tiba Rangga berusaha bangkit dengan wajah cemas.
"Kakang, tenanglah. Dia tidak apa-apa!" Pandan Wangi menahan pemuda itu dan membaringkannya pelahan.
"Benarkah dia tidak apa-apa?"
Pandan Wangi tidak tahu harus menjawab apa. Ketika Rangga lebih mengkhawatirkan keselamatan gadis bernama Sarti itu ketimbang dirinya, sebenarnya Pandan Wangi marah. Dan rasanya, ingin menampar mulut pemuda itu. Namun disadari, kalau Rangga yang dihadapinya saat ini bukanlah Rangga kekasihnya yang biasa.
Pendekar Rajawali Sakti sedang terkena pengaruh suatu ajian yang dapat menghilangkan akal dan pikiran untuk sementara. Bahkan dia tidak tahu, siapa dirinya yang sebenarnya. Dan Pandan Wangi hanya bisa menarik napas panjang, dan berusaha menahan gejolak hatinya yang bergemuruh. Kesal, geram, benci, bercampur satu dengan perasaan iba!
"Pandan Wangi.... Kau..., kau tidak menjawab pertanyaanku? Apakah Sarti aman?"
Pandan Wangi menoleh sekilas pada si Kelelawar Buduk. Laki-laki itu mengerti, apa arti pandangan gadis itu. Dan dia segera keluar dari kamar ini.
"Maaf, Kisanak. Aku keluar dulu mencari angin."
Keduanya terdiam memperhatikan. Dan ketika si Kelelawar Buduk telah keluar dari ruangan, Rangga memandang Pandan Wangi dengan wajah penuh tanda tanya.
"Dia baik-baik saja," sahut Pandan Wangi, lemah.
"Kenapa dia tidak di sini?"
"Katanya, ada keperluan mendadak. Sehingga, dia tidak bisa menjaga mu. Dan dia meminta ku untuk mengurusi mu."
"Hm, sungguh aneh? Bukankah kalian berdua sepertinya bermusuhan? Lalu, kenapa dia menyuruhmu?"
"Maaf, Kakang. Soal itu aku tidak tahu."
"Mungkinkah dia melaporkan kejadian yang menimpa ku kepada Ki Netra Buana?"
"Ki Netra Buana? Apakah dia majikanmu?"
"Ya."
Pandan Wangi jadi trenyuh mendengar jawaban polos Rangga. Namun sekali lagi, dia berusaha menyembunyikan perasaan hatinya. "Mungkin juga dia ke sana," lanjut gadis itu lirih.
Rangga menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. Sejenak luka-luka di sekujur tubuhnya yang telah mengering diperhatikannya. Berkat ramuan yang dibuat Pandan Wangi, luka-luka itu memang cepat mengering.
"Kaukah yang telah mengobati lukaku?"
Pandan Wangi hanya mengangguk.
"Terima kasih. Aku berhutang budi padamu."
"Setahuku, kau adalah orang yang tidak bisa melupakan budi orang lain."
"Pandan Wangi.... Tentu saja aku tidak pernah melupakan budi baikmu ini. Dan suatu saat, aku pasti akan membalasnya!" sahut Rangga meyakinkan. Pandan Wangi tersenyum.
"Bukan begitu maksudku," kata Pandan Wangi pelan.
Pemuda itu memandangnya. Ditunggunya gadis itu melanjutkan kata-katanya. Pandan Wangi menghela napas panjang. Lalu, ditatapnya pemuda itu dengan seksama.
"Maksudku.... Kau adalah orang baik."
"Orang baik? Bagaimana maksudmu?"
"Kau suka menolong orang yang sedang kesulitan. Kau bisa membedakan, mana orang yang berniat jahat dan mana yang tidak."
"Begitukah?"
"Ya!"
"Pandan Wangi.... Dari mana kau tahu?"
"Karena aku mengenalmu sangat dekat."
Rangga terdiam. Kali ini, dipandangnya gadis itu agak lama dengan wajah sedikit heran. Kemudian bibirnya tersenyum malu. "Aku tidak tahu, apakah pernah mengenalmu atau tidak. Tapi..., ku rasakan bahwa kau amat dekat denganku."
"Kakang Rangga, memang kau dekat padaku. Terutama, di hatiku," sahut Pandan Wangi. Suaranya nyaris tidak terdengar, untuk menyembunyikan perasaan haru di hatinya.
"Di mana dan kapankah itu?"
"Apakah yang kau ingat tentang nama Karang Setra, atau kuda berbulu hitam yang bernama Dewa Bayu?"
Pemuda itu mengerutkan dahi, berusaha mengingat-ingat. "Hm.... Nama itu tidak asing bagiku. Tapi..., ah! Di mana aku pernah mengenalnya?"
"Karang Setra adalah sebuah kerajaan yang amat disegani. Dan kaulah yang menjadi raja di Sana. Sedangkan Dewa Bayu adalah tungganganmu yang mampu berlari kencang laksana tiupan angin," jelas Pandan Wangi.
"Benarkah itu?" Pandan Wangi mengangguk cepat.
"Maukah kau menunjukkan, eh! Maksudku, mengantarkan ke Karang Setra?
"Tentu saja, Kakang. Dengan senang hati! Tapi, tidak sekarang."
"Kenapa?"
"Keadaanmu yang tidak memungkinkan. Seorang raja haruslah bisa menguasai diri dan dihormati rakyatnya."
"Apakah rakyat di kerajaan Karang Setra tidak menghormatiku?"
"Bukan begitu maksudku, Kakang."
"Lalu?"
"Saat ini, namamu telah cemar. Dan, banyak pendekar yang ingin membunuhmu. Bila kau tidak bisa menjelaskan pada seluruh rakyat, maka tentu saja mereka akan gelisah. Karena rajanya berbuat kejahatan dan diburu banyak orang," jelas Pandan Wangi.
"Hm.... Kejahatan apa yang kulakukan?"
"Kau banyak membunuh orang yang tidak bersalah."
"Pandan Wangi! Aku membunuh, karena mereka hendak membunuhku. Begitu yang dikatakan Ki Netra Buana dan Sarti. Makanya aku harus membunuh mereka terlebih dulu."
"Tidak, Kakang. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang baik. Jadi, mana mungkin mereka hendak membunuhmu. Mereka justru satu golongan denganmu."
"Tapi menurut Ki Netra Buana dan Sarti, mereka orang-orang jahat."
"Mereka berdusta padamu."
"Tidak mungkin! Mereka adalah orang baik!" sentak pemuda itu berkeras.
Pandan Wangi tersentak. Lalu dihelanya napas panjang. Disadari kalau pengaruh jahat di dalam jiwa Rangga masih ada. Sehingga bila Pandan Wangi menyalahkan kedua orang itu, mana mungkin Rangga mau percaya.
"Sudahlah, Kakang. Lebih baik istirahat dulu. Nanti setelah tubuhmu agak segar, kita akan bercerita lebih banyak lagi."
Pemuda itu diam saja ketika Pandan Wangi menyelimuti tubuhnya. Namun ketika gadis itu hendak keluar dari kamar, Rangga memanggilnya pelan.
"Pandan Wangi."
"Hm." Gadis itu berbalik dan memandang Rangga.
"Apakah benar kau pernah dekat denganku?" lanjut Rangga setelah menarik napas panjang.
"Adakah sesuatu yang kau ingat tentang ku?"
"Rasanya samar-samar. Tapi, aku begitu yakin kalau kau pernah dekat denganku. Paling tidak, hatiku berkata demikian."
"Nah! Kau boleh percayai hatimu."
"Maksudku..., dekat seperti Sarti padaku?"
Pandan Wangi terdiam. Kemudian tanpa menyahut, dia berlalu dari ruangan ini dengan perasaan pedih. Rangga terdiam. Wajahnya kini tampak bingung. Perubahan sikap gadis ini jelas sekali jika Rangga menyebut-nyebut Sarti. Dan dalam kebingungan Pendekar Rajawali Sakti, dia semakin tidak mengerti. Apa yang terjadi sebenarnya antara Sarti dan gadis bernama Pandan Wangi ini? Rangga menghela napas panjang. Tubuhnya perih seperti disayat sembilu. Nafasnya terasa sesak. Namun jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang lebih nyeri. Yaitu, ketika merasakan dirinya berada jauh di bawah jurang yang dingin dan sepi! Kemudian ada gaung di hatinya, yang berteriak berulang-ulang.
"Ada apa semua ini? Ada apa semua ini?!" Sampai kemudian dia terlelap, karena letih. Tubuh dan pikirannya semakin lelah saja!
********************
Seorang gadis dengan kedua tangan dan kaki terikat rantai besi, yang menempel di tembok menggeliat sambil gelagapan ketika tubuhnya diguyur seember air. Wajahnya menggeram dengan pandangan tajam penuh kebencian. Ingin rasanya dia menerkam orang-orang yang berdiri di hadapannya. Tapi, semua itu sia-sia belaka.
"Apakah kau tidak juga mau mengatakan di mana si Netra Buana berada?!" Tanya seorang tua bertubuh gemuk pendek dengan kepala nyaris botak.
"Chuih! Kau boleh menyiksaku sampai mati. Tapi, jangan harap aku akan mengatakannya padamu!" Desis gadis itu garang sambil meludah.
Orang tua itu berkelit ke samping sambil tersenyum tipis. Dua orang yang bersamanya sudah hendak bergerak memukul gadis itu, namun orang tua yang tak lain Ki Polong menahannya.
"Jangan!"
"Tapi, Guru! Dia telah menghinamu?!" Sahut salah seorang dengan wajah kesal.
"Biarkan saja," sahut Ki Polong.
"Ki Polong! Biar aku yang akan membuka mulutnya," sahut seorang wanita tua yang menyertai Ketua Padepokan Kalong Wetan itu.
"Apakah Nyai Kami punya akal?"
"Kita lihat saja," sahut wanita tua yang dipanggil Nyai Kami, tersenyum tipis. Perlahan, didekatinya gadis yang tengah dirantai itu.
"Perempuan busuk! Jangan harap kau mendapatkan sesuatu dariku!" Desis gadis itu garang. Sorot matanya tampak penuh kebencian.
"Apa yang bisa kudapatkan darimu?" Sahut Nyai Kami tidak peduli. Kemudian diusapnya pipi gadis itu.
Namun dengan kasar, si gadis memalingkan muka, berusaha menepisnya.
"Hm.... Namamu Sarti, bukan? Wajahmu cantik. Tidak heran kalau Pendekar Rajawali Sakti kepincut padamu," kata Nyai Kami.
"Chuih! Kau tidak ada urusan dengan persoalanku!" Desis gadis yang ternyata Sarti meludah.
Namun wanita tua itu dengan gesit berkelit. Wajahnya masih tetap tersenyum, belum menunjukkan kemarahannya. "Hm.... Kau galak juga. Tapi pernahkah terbayang olehmu?"
Sarti mendengus sinis sambil memalingkan muka.
"Wajahmu yang cantik ini bisa rusak?" Lanjut Nyai Kami, mulai menakut-nakuti. "Bila mereka menyiksamu, maka bayangkan apa yang akan kau alami. Kau tahu? Mereka begitu benci dan marah padamu. Sehingga, bila dibiarkan, maka mereka bisa berbuat sesuka hatinya terhadapmu. Bisakah kau bayangkan? Seorang gadis secantikmu di antara puluhan laki-laki yang memandang mu penuh kebencian? Mungkin mereka akan membunuhmu. Tapi, itu terlalu mudah. Apalagi melihat wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang menggiurkan...."
"Tutup mulut kotormu itu!" Sentak Sarti geram.
"Hm, mungkin saja mulutku kotor. Tapi tidak sekotor mulut dan hatimu!"
Sarti menggeram sambil memandang penuh ke-bencian. "Jika Ki Netra Buana ke sini, maka tidak ada seorang pun dari kalian yang akan selamat!" Dengus Sarti, mengancam.
"Itu tidak akan terjadi. Tahukah kau, kenapa? Sebab dia tidak akan mengotori tangannya untuk menyelamatkan seorang budak sepertimu. Kau tidak ada artinya bagi si Netra Buana!"
"Huh! Kau tidak tahu, siapa dia!"
"Kenapa tidak? Kalau bukan karena kasihan dan berharap dia akan menjadi orang yang benar, maka tidak akan hidup sampai sekarang. Apakah kau kira kami tidak tahu?"
"Huh! Kau hanya mengarang-ngarang cerita! Dia pasti akan ke sini membebaskanku dan membunuh kalian semua!"
Nyai Kami tersenyum lebar. "Sudah berapa hari kau berada di sini? Dua hari, bukan? Dan orang-orang di luaran sana tahu dengan kegagalan kalian. Kalau si Netra Buana punya telinga, tentu telah mendengarnya. Dan kalau berniat hendak menolongmu, maka dia telah datang menolongmu sejak kemarin. Tapi, apa yang terjadi? Tidak terdapat tanda-tanda kalau dia akan datang. Kenapa? Karena dia memang sengaja menugaskan kalian sampai mati. Dan, dia tidak ambil pusing terhadap apa yang terjadi pada kalian berdua. Dia berpikir, kalian hanya budak-budaknya belaka. Apa gunanya menolong seorang budak?"
Sarti terdiam dengan kepala tertunduk mendengar kata-kata wanita tua itu.
"Nah! Pikirkanlah baik-baik. Jika saja kau mengerti, betapa jahatnya Ki Netra Buana, maka kau tidak akan mengabdi kepada orang sepertinya. Dan tahukah, apa yang kau lakukan selama ini adalah perbuatan keji? Tapi, kau bisa menebusnya jika mau kembali pada jalan yang benar. Salah satunya, adalah menunjukkan pada kami. Di mana kediaman si Netra Buana," lanjut Nyai Kami.
Sarti masih tetap diam membisu. Entah, apa yang dipikirkannya. Mungkin merenungi kata-kata yang diucapkan Nyai Kami. Atau juga, merasa tidak ada gunanya buka mulut!
"Pikirkanlah baik-baik. Nanti sore kami akan mendengar jawabanmu," lanjut wanita tua itu, seraya mengajak yang lainnya berlalu.
"Apakah itu bisa berhasil?" Tanya Ki Polong ragu, ketika mereka telah berada di luar kamar tahanan.
"Entahlah, kita lihat saja. Bagaimanapun, dia mesti berpikir. Dan kalau saja hatinya ada sedikit saja benih kebaikan, maka kekeliruannya akan cepat disadari. Kecuali kalau di dasar hatinya hanya ada kebusukan. Maka, kita terpaksa menggunakan cara lain yang lebih keras untuk mengorek keterangan dari mulutnya," sahut Nyai Kami.
Ki Polong mengangguk.
"Bagaimana? Apakah sudah ada berita dari murid-muridmu yang kau sebar untuk mencari tahu, di mana si Pendekar Rajawali Sakti bersembunyi?"
"Belum, Nyai. Kurasa untuk sementara waktu, dia bersembunyi jauh dari keramaian."
"Biarlah. Dan, jangan hentikan pencarian. Katakan pada murid-muridmu untuk mencari ke tempat-tempat terpencil yang jarang didatangi manusia."
"Baik, Nyai!"
"Kita tetap harus merasa yakin kalau si Pendekar Rajawali Sakti bukan diselamatkan si Netra Buana. Sebab, aku begitu yakin kalau si Netra Buana tidak akan mau bersusah-payah untuk menyelamatkan si Pendekar Rajawali Sakti. Bagaimanapun, dia menyadari bahwa suatu saat nanti, pemuda itu akan menjadi senjata makan tuan baginya," jelas wanita tua itu seraya mengikuti langkah Ki Polong ke bangunan utama padepokan.
********************
DUA
Seorang laki-laki bertubuh sedang dengan rambutnya yang putih riap-riapan sepanjang punggung, duduk di atas sebuah kursi rotan berukuran besar. Bajunya berukuran besar, bercorak kembang-kembang warna biru dan hijau. Dasarnya, berwarna merah. Pancaran matanya tampak berkilau tajam laksana elang mengintai mangsa. Wajahnya agak bersih, namun ada hawa mengiriskan bercampur kelicikan.
Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat sepanjang tiga jengkal yang ujungnya berwarna putih. Sepintas lalu, tongkat itu seperti mainan. Namun, sesungguhnya di tangan laki-laki ini menjadi sebuah senjata yang hebat. Karena tongkatnya ini, maka dia dinamakan Tongkat Sihir Dewa Api. Sedangkan nama aslinya adalah, Netra Buana!
Di depan Tongkat Sihir Dewa Api duduk seenaknya empat sosok tubuh. Dua orang laki-laki dan dua orang wanita.
Yang berada di sebelah kiri adalah seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya cantik dengan tubuh menggiurkan. Rambutnya yang lebat sebatas pinggang, dibiarkan lepas begitu saja. Cara berpakaiannya amat seronok. Dia hanya menutupi bagian dada, dengan membiarkan bagian perut dan pangkal lengannya terbuka lebar. Bagian bawah perutnya ditutupi celana hitam pendek, yang berbayang jelas dari pakaian luarnya yang amat tipis. Di pinggangnya melilit sebuah selendang sutera tipis berwarna ungu. Orang-orang persilatan lebih mengenalnya sebagai Iblis Perayu Sukma, ketimbang nama aslinya Malini.
Di samping Iblis Perayu Sukma adalah seorang laki-laki gemuk pendek dengan perut besar. Wajahnya amat buruk. Orang ini bernama Ki Bangkong. Dan kaum rimba persilatan mengenalnya sebagai Raja Katak Hitam.
Di sebelah Raja Kata Hitam lagi adalah Nyi Pucuk Nyiur. Wanita berusia sekitar tujuh puluh tahun ini mulutnya selalu berkomat-kamit mengunyah sirih. Tubuhnya kurus dan bungkuk. Dia selalu membawa-bawa sapu lidi yang diberi tongkat kayu.
Sedangkan yang terakhir adalah laki-laki berambut keriting. Kelopak matanya cekung. Tubuhnya kurus. Di pangkuannya melingkar beberapa ekor ular berbisa dengan tenangnya. Orang ini bernama Ki Naga Pertala, Di rimba persilatan, dikenal sebagai si Setan Ular.
"Sobat-sobatku! Silakan dicicipi hidangan yang telah tersedia!" seru Ki Netra Buana.
"Hei, Netra Buana! Langsung saja utarakan, apa maksudmu mengundang kami berempat?" Tanya Ki Bangkong, seraya meraup serenceng anggur dan mengunyahnya dengan lahap.
"Apakah tidak sebaiknya kita bersantap dulu?"
"Sudahlah.... Tidak usah berbasa-basi. Katakan saja maksudmu!" Timpal Nyi Pucuk Nyiur, segera mereguk cawan berisi arak yang berbau harum.
"Baiklah. Sebenarnya, aku memerlukan bantuan kalian berempat."
"Hm, bantuan apa? Tidak biasa-biasanya kau memerlukan bantuan kami," potong Ki Naga Pertala.
"Hi hi hi...! Amat menggelikan mendengar si Tongkat Sihir Dewa Api memerlukan bantuan. Apakah kau tengah mengalami persoalan yang amat rumit?" Tanya Iblis Perayu Sukma sambil tertawa genit.
"Bisa jadi begitu."
"Katakanlah! Kami adalah sahabat-sahabatmu. Kau sering menolong kami. Maka sudah sepantasnya kami pun menolongmu, jika kau mengalami kesulitan!" desah si Raja Katak Hitam alias Ki Bangkong, penasaran.
"Apakah kalian mendengar berita-berita santer belakangan ini?" Tanya Tongkat Sihir Dewa Api.
"Berita apa? Apakah ada jejaka tampan yang keluyuran mencari-cariku?" sahut Malini diiringi tawa cekikikan.
"Maksudku tentang sepak terjang si Pendekar Rajawali Sakti." Ki Netra Buana tidak mengindahkan kelakar wanita genit itu.
"Pendekar Rajawali Sakti? Hm, ya. Kudengar dia banyak membunuh tokoh golongan lurus. Apa hebatnya? Bukankah itu bagus?" kata Ki Naga Pertala.
"Kudengar dia yang membalaskan dendammu pada tokoh-tokoh yang pernah mengalahkanmu sebelas tahun lalu?" Tanya Ki Bangkong.
"Hei, Netra Buana! Kenapa mesti repot-repot menggunakan Pendekar Rajawali Sakti untuk membalaskan dendammu pada mereka? Bukankah kau ataupun kami sudah lebih dari cukup?" Timpal Nyi Pucuk Nyiur.
"Iya, betul! Bahkan kalau diinginkan, aku sendiri mampu menjatuhkan si Pendekar Rajawali Sakti!" Timpal Malini.
Ki Netra Buana tersenyum. "Aku tidak meragukan kehebatan kalian. Juga, tidak meragukan kesetiakawanan kalian," desah Tongkat Sihir Dewa Api.
"Lalu, kenapa kau harus menggunakan tangan si Pendekar Rajawali Sakti?" Tanya Ki Bangkong.
"Ada beberapa alasan, kenapa aku harus menggunakan tangannya. Pertama, dia mampu melakukan tugas itu karena kepandaiannya cukup hebat. Kedua, aku ingin merontokkan pamor Pendekar Rajawali Sakti. Dengan perbuatannya, tentu dia akan dikucilkan. Lalu, diburu-buru untuk dibunuh oleh orang-orang segolongannya sendiri," jelas Ki Netra Buana.
"Hm, cerdik juga kau! Lalu, apa masalahnya? Bukankah kudengar dia telah mengerjakan perintahmu?" Tanya Malini
"Benar. Sejauh ini, dia telah melakukannya. Dan itu membuatku senang. Tapi dua hari lalu, aku mendengar berita buruk," desah Ki Netra Buana lagi.
"Berita buruk apa?" Tanya Ki Bangkong.
"Saat mendatangi Ki Polong di padepokannya, ternyata di sana telah berkumpul lebih dari lima belas tokoh persilatan, dibantu murid-murid Padepokan Kalong Wetan. Mereka mengepung pemuda itu dan berhasil melumpuhkannya."
"Lalu?"
"Untukku, tidak menjadi persoalan kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tewas dalam kejadian itu. Namun pada saat yang gawat, ternyata seseorang telah menolong dan melarikannya dari tempat itu," lanjut Ki Netra Buana, menjelaskan lagi.
"He, apa rumitnya persoalan ini?" Tanya Nyi Pucuk Nyiur.
"Ya. Di mana letak kesulitanmu mendengar berita ini?" Timpal Ki Bangkong. "Pemuda goblok itu telah gagal. Tapi, kau masih punya kami. Kalau kau memang ingin menghabiskan mereka, serahkan saja pada kami!"
Ki Netra Buana tersenyum mendengar tanggapan kawan-kawannya itu. "Pendekar Rajawali Sakti lepas dari kendaliku. Dan aku tidak tahu, di mana dia sekarang berada. Bagaimanapun, dia akan menjadi batu sandungan buatku kelak."
"Bukankah kau telah mempengaruhinya dengan aji sirep Pelumpuh Sukma? Lalu, kenapa masih khawatir? Dia pasti akan kembali padamu," ujar Ki Naga Pertala.
"Benar! Selama ini setiap kali dia pulang, maka aku selalu mencekokinya dengan aji sirep Pelumpuh Sukma. Sehingga, dia tidak bisa berpaling dariku. Tapi aji itu mempunyai batas keampuhan. Bila dalam dua hari dia tidak ku cekoki lagi, maka sejak itu pengaruhnya berangsur-angsur akan hilang. Dan kini telah dua hari sejak kejadian itu. Maka aku yakin, dia mulai sadar dari pengaruh yang memudar dalam dirinya," jelas Ki Netra Buana.
"Hm.... Jadi kau khawatir dia berbalik memusuhimu?" tebak Malini.
"Malini! Bocah itu tidak bisa dipandang enteng. Kepandaiannya hebat. Kalau saja tidak dicekoki aji sirep Pelumpuh Sukma, dia akan sangat berbahaya. Maka aku tidak bisa membiarkannya begitu saja."
"Lalu, apa yang kau inginkan sekarang darinya?"
"Aku ingin, dia ditemukan. Bawa ke hadapanku. Dan kalau membangkang, bunuh saja! Untuk tugas ini, aku tidak bisa memberikannya pada anak buahku. Sebab tak ada seorang pun dari mereka yang bisa diandalkan untuk menangani Pendekar Rajawali Sakti."
"Aku mengerti. Serahkan saja urusan itu padaku. Ini pekerjaan mudah, sekaligus mengasyikkan!" Seru Malini sambil tersenyum genit.
"Syukurlah kalau memang kau bersedia membantuku. Budimu tidak akan kulupakan, Malini," ucapKi Netra Buana.
"Eit, tidak usah bicara budi segala! Bila bocah itu kudapatkan, maka dia harus memberi kesenangan padaku. Dan kau tidak boleh mengganggu. Kau mengerti maksudku?" Kata Malini, buru-buru.
"Ha ha ha! Malini.... Kelakuanmu selalu saja tidak berubah. Kenapa musti repot-repot, kalau aku pun bisa memuaskan mu!" timpal Ki Bangkong disertai tawa lebar mendengar ucapan wanita berpakaian seronok itu.
"Cih! Apa yang bisa kudapatkan darimu? Memandang mukamu saja, aku sudah tidak berselera. Lagi pula, tenagamu sudah loyo setelah bermain beberapa kali!" dengus Malini tandas.
"Sial!" umpat Ki Bangkong kesal.
"Kenapa tidak kau alihkan perhatianmu dari si Malini, Bangkong? Aku toh, dengan sukarela memenuhi keinginanmu," kata Nyi Pucuk Nyiur, mengejek.
"Tutup mulutmu, Peot! Apa yang bisa kudapatkan dari kulit keriput mu itu!" desis Ki Bangkong.
"Hi hi hi..! Paling tidak, aku mengerti bagaimana caranya menyenangkan mu," sahut Nyi Pucuk Nyiur sambil tertawa nyaring.
"Lalu, apa yang kau harapkan dari kami, Ki Netra...?" Tanya Ki Naga Pertala tanpa mempedulikan kawan-kawannya yang saling mengejek.
"Salah seorang anak buahku tertangkap, saat menyertai si Pendekar Rajawali Sakti di padepokan itu. Aku khawatir dia buka mulut. Sehingga, mereka mengetahui tempatku ini. Aku ingin anak itu dibungkam."
"Hm, itu pekerjaan mudah. Biar kubereskan dia!"
"Baiklah! Tapi, ingat. Bila dia tidak mengkhianatiku, tidak perlu kau bereskan. Dan kalau ternyata berkhianat, mereka tentu melindunginya dengan ketat."
"Bagaimana dengan kami?" Tanya Nyi Pucuk Nyiur.
"Aku ingin agar mereka yang ada dalam penyerangan, dibereskan. Tapi ini tidak mudah. Sebab yang paling sulit adalah ketiga tokoh utama yang menjadi musuh berat ku. Siapa di antara kalian berdua yang sanggup membereskan mereka semua?"
"Hm.... Kau meremehkan kemampuan kami, Ki Netra?" Tanya Ki Bangkong, jumawa.
"Bukan begitu, Sobat! Aku justru bingung memilih di antara kalian berdua! Karena aku yakin, kalian pasti mampu. Nah, biarlah ku putuskan bahwa tugas ini menjadi bagian kalian berdua saja."
"Hm.... Tidak menjadi masalah," sahut Nyi Pucuk Nyiur, enteng.
"He he he...! Sudah lama aku tidak menghirup darah segar. Ini akan menjadi pesta yang menggairahkan!" Seru Ki Bangkong, seraya terkekeh-kekeh.
"Enak bagi kalian. Tapi, membuatku tersinggung," kata Ki Naga Pertala tidak puas.
"Kenapa, Sobat?"
"Kau memberi tugas yang sesuai pada mereka. Sedangkan aku, kau beri bagian ringan. Apakah dengan begitu kau memandang rendah padaku?"
"Apakah kau tidak mengerti tugasmu?" Tanya Ki Netra Buana heran sambil tersenyum.
"Apa maksudmu?"
"Tugas membereskan anak buahku jika dia berkhianat, bukanlah tugas mudah. Jika mereka putus asa untuk menemukan tempatku ini, maka akan memaksa anak buahku itu. Dan saat tahu kalau ada yang hendak membinasakan anak buahku, mereka pasti melindunginya mati-matian. Lalu bila ternyata anak buahku tidak berkhianat, maka kau kuberi tugas untuk membuat kekacauan dengan melenyapkan semua tokoh persilatan golongan putih, agar timbul kegemparan. Sehingga dengan begitu, perhatian mereka terpecah-pecah. Juga, kau boleh melakukan keduanya sekaligus. Nah, coba pikirkan. Apakah dengan demikian aku menganggap rendah padamu?" kata Ki Netra Buana menjelaskan.
"Hm, aku mengerti kini," sahut Ki Naga Pertala sambil mengangguk puas.
"Syukurlah. Kurasa mulai hari ini, kita sudah bisa melaksanakan tugas masing-masing!" Lanjut Ki Netra Buana.
"Hi hi hi...! Kalau memang tidak ada lagi yang mau dibicarakan, aku akan melanjutkan kesenanganku!"
Malini bergegas bangkit sambil tertawa cekikikan. Dan manakala berjalan keluar, pinggulnya terlihat bergoyang genit membuat Ki Bangkong berdesah sambil menggelengkan kepala. Dan tiba-tiba, wanita menggiurkan itu berbalik.
"Apakah tidak ada lagi di antara budak-budakmu yang bertubuh kuat dan berwajah manis?" Tanya Malini.
"Jangan khawatir, Malini. Mereka akan menyediakannya untukmu!"
"Hi hi hi...! Kau memang baik, Ki Netra. Silakan kalian lanjutkan obrolan tadi. Setelah selesai bersenang-senang, maka aku akan segera berangkat!" Lanjut wanita itu sambil berlalu, tanpa menoleh lagi.
"Heh?! Kalau dia mendapat bagian, bagaimana mungkin kau bisa melupakan ku, Sobat?" Tanya Ki Bangkong sambil mesem-mesem.
"Tua bangka tak tahu malu! Perempuan akan pingsan melihat wajahmu sebelum kau mendapat kesenangan!" Umpat Nyi Pucuk Nyiur.
"He he he...! Siapa peduli?!" Sahut Ki Bangkong, terkekeh-kekeh.
"Jangan khawatir, Sobat. Anak buahku akan segera mengurusmu. Dan mereka akan menyediakan gadis-gadis cantik yang kau sukai!" Ujar Ki Netra Buana.
"He he he...! Kau dengar itu, Nenek Peot! Kau boleh bergabung kalau suka. Tapi, tidak denganku!"
Ki Bangkong segera keluar dari ruangan itu. Nyi Pucuk Nyiur hanya mencibir sinis. Kemudian, diikutinya jejak kedua kawannya itu. Sedangkan Ki Naga Pertala yang tidak banyak bicara, menyusul terakhir. Ki Netra Buana menghela napas panjang, kemudian tersenyum seraya merebahkan punggungnya di kursi.
********************
Pandan Wangi duduk termenung di depan gubuk ini. Pikirannya jauh menerawang entah ke mana. Dagunya bertumpu pada kedua lututnya yang ditekuk. Suasana di tepian Hutan Karangalas terasa sepi. Yang ada hanya suara desau angin yang sesekali bertiup dan mempermainkan ujung-ujung rambut gadis itu, dan nyanyian jangkrik serta unggas malam yang sesekali meningkahi. Sementara jauh di depan dan samping kiri dan kanan, yang terlihat hanya kegelapan.
"Hhh...." Pandan Wangi menghela napas panjang tanpa merubah sikap duduknya. Beberapa kali dia bergumam pendek. Namun, tidak jelas apa yang diucapkannya. Mendadak gadis itu dikagetkan oleh sesosok tubuh tua yang melangkah pelan mendekati. Pakaiannya kumal penuh tambal. Tubuhnya sedikit terbungkuk menahan beban tumpukan ranting kering di pundak.
"Eh, maaf. Mataku mungkin sudah lamur, sehingga aku tersesat," ujar sosok tua itu ketika Pandan Wangi memandang dengan mata tidak berkedip. Pandan Wangi merubah sikap duduknya.
"Orang tua, hendak ke mana tujuanmu?" Tanya Pandan Wangi dengan nada datar.
"Eh! Aku hendak pulang ke rumahku. Sepertinya, sebelah sini. Tapi, ternyata aku kesasar. Maaf telah mengganggumu, Nisanak."
"Tidak apa," sahut Pandan Wangi tersenyum ramah.
Orang tua itu hendak berbalik, namun sepertinya dia teringat sesuatu. Kembali wajahnya dipalingkan pada gadis itu. "Seingatku tempat ini tadinya kosong. Penghuninya pindah. Apakah kau sanak saudara penghuni rumah ini, Nisanak? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya."
"Bukan. Aku hanya kebetulan lewat, dan kemalaman. Sehingga, ku putuskan untuk berteduh di pondok ini."
"Seorang diri?"
"Eh, ya!" Pandan Wangi terpaksa berdusta. Dia tidak ingin memancing kecurigaan orang tua ini.
"Hm, sungguh berani. Seorang gadis berada seorang diri di tempat seperti ini. Apakah kau tidak merasa takut, Nisanak?" Tanya orang tua itu sambil menggeleng lemah.
"Aku sudah terbiasa, Orang Tua."
"Hm.... Ya, ya.... Baiklah. Kalau begitu, aku pamit dulu," lanjut orang tua itu seraya berbalik dan meninggalkan tempat itu dengan langkah terbungkuk-bungkuk.
Pandan Wangi mengamatinya sampai orang tua itu hilang dari pandangan. Lalu dihelanya napas panjang. Hatinya menyimpan curiga. Sebab, meski bagaimanapun wajarnya sikap orang tua itu, keadaan mereka saat ini dalam keadaan terjepit. Semua kalangan mengejar si Pendekar Rajawali Sakti. Dan beberapa orang di antara mereka ada yang tahu kalau hubungannya dengan pendekar itu amat dekat. Bisa saja orang tua itu salah seorang mata-mata. Kalaupun bukan, dia bisa mengundang kecurigaan orang lain.
Si Kipas Maut bangkit lalu beranjak ke dalam. Begitu berada di dalam, sejenak diperhatikannya Rangga yang masih tertidur lelap. Keadaan pemuda itu sudah mulai membaik, meski tenaganya belum pulih betul. Sehari ini Rangga lebih banyak berdiam diri. Dan dia hanya menjawab sepatah kata atau dua patah kata bila Pandan Wangi bertanya atau sekadar mengajaknya ngobrol. Pandan Wangi menghela napas panjang. Kemudian dia kembali keluar untuk berjaga-jaga. Sudah beberapa malam ini matanya sulit dipejamkan. Meski beberapa kali menguap, namun kantuk sepertinya enggan datang.
"Heh?!" Pandan Wangi tersentak kaget. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang mengendap-endap pelan di halaman depan. Mungkinkah si Kelelawar Buduk? Sejak pagi tadi, dia telah meninggalkan tempat ini. Dan katanya, akan kembali esok hari. Tapi, tidak mungkin. Dia tidak perlu mengendap-endap seperti ini. Atau..., pandangannya yang mungkin salah karena dibayangi letih?
Srak!
Pandan Wangi semakin yakin kalau saat ini pandangan serta firasatnya tidak salah, saat beberapa sosok tubuh melompat ringan dan menghilang di semak-semak halaman depan. Perlahan ditutupnya pintu. Lalu dia mengawasi keadaan sekitarnya dari dalam.
"Hm.... Mereka telah mengepung tempat ini. Kurang ajar! Ternyata kecurigaanku tadi pada si orang tua kini terbukti!"
Tiga orang laki-laki setengah baya melompat ke tengah halaman dan berdiri tegak. "Kipas Maut, keluarlah kau! Berikan si Pendekar Rajawali Sakti pada kami. Kalau tidak, kalian tak akan selamat!" teriak salah seorang.
"Sial! Dia kira bisa berbuat seenaknya padaku! Huh!" Dengus gadis itu geram.
"Kipas Maut! Kami menghitung sampai tiga. Jika kau tidak keluar bersama Pendekar Rajawali Sakti, maka jangan salahkan kalau kami akan bertindak kejam pada kalian!" Teriak orang tadi.
Pandan Wangi masih membisu. Dan sesaat, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau menyahut, maka sudah dipastikan tuduhan mereka benar, kalau dirinya adalah si Kipas Maut. Dan di sini, dia bersama Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kalau diam saja, apa yang akan dilakukan? Gadis ini tidak perlu berpikir panjang. Mendadak beberapa buah obor melayang ke atap gubuk ini. Pandan Wangi terkesiap. Mereka hendak membakar gubuk ini, dan sekaligus hendak memanggang mereka. Celaka!
Pandan Wangi memburu ke kamar. Namun ternyata Pendekar Rajawali Sakti telah tak ada di tempatnya. Sementara, api menyala cepat. Gadis ini mulai blingsatan ketika mencari-cari ke belakang. Namun si Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap tanpa bekas di seluruh ruangan ini. Sambil berteriak marah, gadis itu melompat keluar menerjang kobaran api.
"Keparat busuk! Kalian rupanya ingin mampus semua. Yeaaa...!"
********************
TIGA
Begitu Pandan Wangi mencelat keluar, tiga orang berusia setengah baya yang telah menunggu langsung memberi perintah pada anak buahnya.
"Itu dia! Seraaang...!"
"Heaaa...!"
Seketika lebih dari sepuluh orang bersenjata langsung mengepung si Kipas Maut. Dan sebagian dari mereka langsung menyerang ganas. Pandan Wangi yang saat ini sedang kalap karena kehilangan jejak Pendekar Rajawali Sakti, tidak mempedulikan jumlah lawannya. Langsung dipapaknya serangan itu dengan ganas.
Trak! Duk!
"Akh!"
Senjata Kipas Mautnya menangkis beberapa buah golok yang menderu keras mengancam keselamatannya. Kaki kanannya menyapu ke kanan. Maka, seketika dua orang menjerit keras sambil mendekap dadanya. Tubuh mereka terhuyung-huyung terkena hantaman keras.
"Jangan beri dia kesempatan! Ayo, kurung terus dan ringkus secepatnya!" teriak seseorang. Pandan Wangi mendengus geram. Matanya mendelik tajam pada tiga orang laki-laki setengah baya yang tadi berdiri tegak di depan gubuk ini. Agaknya, tiga orang inilah pimpinan mereka. Si Kipas Maut berusaha melompat ke arah ketiganya untuk menghajar. Namun para pengeroyoknya tidak memberi kesempatan. Mereka terus merangseknya dengan serangan-serangan ganas.
"Baiklah. Kalian yang mulai. Maka, kalian akan menanggung akibatnya!" Desis Pandan Wangi semakin geram saja. Semula Pandan Wangi tidak sampai hati menurunkan tangan kejam pada mereka. Tapi melihat dirinya mulai terancam, terpaksa dia harus mempertahankan diri dan balas menyerang ganas.
Trak! Bret!
"Aaa...!"
Salah seorang memekik keras. Tubuhnya terjungkal bermandikan darah ketika kipas maut Pandan Wangi merobek perut. Gadis itu tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya terus berkelebat sambil mengamuk dahsyat. Beberapa orang lagi menjadi korbannya.
"Huh! Ini tidak bisa dibiarkan terus. Biar kuhadapi dia!" dengus seseorang di antara ketiga orang itu seraya melompat menerjang Pandan Wangi.
"Hati-hati, Ki Blauran! Kepandaian gadis itu tidak rendah!" seru seorang lagi, memberi peringatkan.
"Jangan khawatir, Ki Sampang Giro! Aku tahu harus bagaimana menghadapinya!"
Pandan Wangi tertawa mengejek ketika laki-laki yang dipanggil Ki Blauran telah berhadapan dengannya. "Bagus! Akhirnya kau maju juga menghadapiku. Kenapa tidak sejak tadi saja, sehingga anak buahmu tidak menjadi korbanku?"
"Gadis liar! Jangan banyak mulut! Kau memang keras kepala. Dan untuk itu, kau harus menerima akibatnya!" desis Ki Blauran seraya mengeluarkan goloknya. Seketika diserangnya gadis itu dengan hebat.
Sementara mereka bertarung, kedua kawan Ki Blauran memberi perintah pada anak buahnya untuk memeriksa gubuk itu. Pandan Wangi hanya tersenyum dingin, tidak berusaha mencegah. Gadis itu menyadari kalau mereka tidak akan mendapatkan apa-apa di dalam gubuk itu.
"Tidak ada siapa-siapa di dalam gubuk itu!" lapor seorang anak buahnya.
"Apakah sudah kalian periksa dengan teliti?" Tanya Ki Sampang Giro.
"Sudah, Ki! Bahkan kalaupun terbakar, mayatnya tidak ada."
"Hm.... Jadi benar kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak bersamanya...?" gumam Ki Sampang Giro.
"Keterangan yang diberikan penduduk desa itu ternyata salah," timpal kawannya.
"Tidak, Ki Pendet. Kita yang salah menduga. Dia mengatakan, hanya si Kipas Maut yang terlihat."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Ki Pendet.
Ki Sampang Giro tidak menjawab pertanyaan itu. Tapi.... "Ki Blauran! Pendekar Rajawali Sakti tidak ada bersamanya!" Teriak Ki Sampang Giro.
"Mustahil! Dia pasti menyembunyikannya di suatu tempat..!" Desis Ki Blauran seraya memandang Pandan Wangi dengan tatapan menyelidik.
"Orang-orang tolol! Kalian kira aku menyembunyikan Pendekar Rajawali Sakti, he?" Sahut Pandan Wangi, geram.
"Sudah pasti. Kau kekasihnya. Dan tentu saja tak menginginkan dia celaka. Sehingga, kau menolongnya dalam peristiwa di Padepokan Kalong Wetan!" tuduh Ki Blauran.
"Kini telah terbukti. Dan kalian tidak menemukan siapa pun, selain aku. Lalu, seenaknya menuduh orang!"
"Lalu, apa yang kau lakukan di tempat ini seorang diri? Kau coba mengecoh kami, bukan?"
"Kau tidak perlu tahu, apa urusanku di sini!"
"Kalau begitu, kami terpaksa memaksamu! Katakan, di mana Pendekar Rajawali Sakti berada. Dan, kau akan selamat. Atau..., kau akan menggantikan kedudukannya!" kata Ki Blauran mengancam.
"Huh! Kau kira bisa mengancamku?! Coba saja kalau mampu!" tantang Pandan Wangi.
"Baiklah. Kalau itu yang kau inginkan, jangan salahkan aku jika bertindak keras padamu!" Setelah berkata demikian, Ki Blauran menghantam Pandan Wangi dengan pukulan maut setelah menyorongkan telapak tangan kanannya ke muka. "Heaaa!"
Seketika satu angin kencang berhawa panas meluruk ke arah si Kipas Maut. Cepat bagai kilat, gadis itu melompat ke atas. Kemudian sambil membuat gerakan jungkir balik, diterjangnya laki-laki itu. Tapi, Ki Blauran telah siap memapakinya.
Trak! Bet! Terjadi benturan dua senjata. Dan seketika itu pula, Ki Blauran melepaskan satu tendangan ke arah ulu hati. Namun Pandan Wangi cepat bergerak ke samping, dengan ujung kipasnya menyambar ke arah tengkuk. Untung saja Ki Blauran segera melompat ke belakang. Sehingga, serangan si Kipas Maut luput dari sasaran. Gadis itu hendak mengejar. Tapi pukulan maut Ki Blauran telah menderu keras ke arahnya. Maka buru-buru si Kipas Maut menjatuhkan diri.
"Heaaat!"
Dengan mengerahkan segenap kecepatan yang dimiliki, Ki Blauran melesat ke arah Pandan Wangi tanpa ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Begitu kakinya menghantam tanah, bumi terasa bergetar. Serangannya kali ini memang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. tapi Pandan Wangi sudah mengelak secepatnya dengan bergulingan. Lalu, tubuhnya melompat gesit ke belakang.
"Lincah juga gerakanmu! Tapi jangan harap kali ini kau akan lolos dari tanganku!" seru Ki Blauran dengan wajah penasaran.
"Orang tua tolol! Kau kira bisa berbuat apa padaku, he?! Lebih baik pergi dan bawa serta kawan-kawannya, sebelum kau menyesal nantinya!" Balas Pandan Wangi.
"Hm.... Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi niatku. Apalagi hanya seorang bocah sepertimu. Jangan girang dulu. Kau belum menang, Bocah!"
Ki Blauran bergegas menggosok kedua telapak tangan. Wajahnya tampak berkerut dengan kedua kaki sedikit direnggangkan. Dengan begitu, dia bersiap menyerang si Kipas Maut dengan jurus mautnya. Namun sebelum orang tua itu berbuat sesuatu, mendadak....
"Kisanak! Apa yang dikatakan gadis ini benar. Pulanglah kalian, dan persoalan ini akan kubereskan...!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari belakang si Kipas Maut.
"Heh?!"
Mereka mengerahkan pandangan pada asal suara, termasuk Pandan Wangi.
"Kakang Rangga...!" seru gadis itu girang dengan wajah berseri.
Terbersit di hati Pandan Wangi untuk segera memeluk pemuda itu. Dan dia ingin menumpahkan kecemasannya tadi, yang saat ini berganti kegembiraan melihat keadaan pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti tidak kurang suatu apa pun. Namun, Rangga tidak menoleh ke arahnya. Wajahnya pun terlihat dingin. Sehingga, seketika Pandan Wangi mengurungkan niat. Dan gadis itu hanya menunduk dengan hati kecewa.
"Pendekar Rajawali Sakti! Hm, bagus. Akhirnya kau muncul juga. Sudah kuduga, kau berada di sekitar tempat ini," dengus Ki Blauran. Sementara itu kedua kawan Ki Blauran langsung mendekat. Sedangkan anak buah mereka segera mengurung keduanya dengan senjata terhunus.
"Kisanak! Hentikan pertumpahan darah ini. Aku tidak ingin ada lagi korban di antara kita!" ujar pemuda itu dengan suara ditahan.
"Tidak usah banyak mulut! Kalau kau tidak ingin ada korban lagi, maka sebaiknya kau tidak melawan. Dan, ikut kami menghadap yang lainnya untuk menerima hukuman atas perbuatan-perbuatanmu yang biadab!" Desis Ki Blauran lantang. Rangga menggeleng lemah.
"Pendekar Rajawali Sakti, kau harus ikut dengan kami! Kau harus menerima hukuman atas perbuatan-perbuatanmu yang biadab!" Desis Ki Blauran lantang.
"Maaf.... Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Kelak aku akan datang untuk menjelaskannya," sahut Pendekar Rajawali Sakti perlahan. "Maaf.... Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Persoalan ini begitu membingungkan. Dan kuharap, kalian bisa mengerti. Aku pasti akan datang pada kalian untuk menjelaskannya, bila segala sesuatunya telah beres," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak ada yang membingungkan, karena segalanya telah jelas. Dan tidak ada lagi yang bisa ditunda, kecuali kau akan lari dari tanggung jawab!" Tegas Ki Blauran.
"Kuminta pada kalian agar segera pulang. Sebab, janji yang keluar dari mulutku akan ku penuhi. Aku tidak tahu, apa yang kalian bicarakan. Tapi dengan segera akan kubereskan," sahut Rangga, dengan suara lemah.
"Tidak tahu katamu?!" Sentak Ki Sampang Giro mendelik garang. "Kau bunuh Ki Pindih Daksa serta murid-muridnya dengan kejam! Kau bunuh si Kembar Muara Gamping! Kau bunuh Ketua Padepokan Tapak Merah! Apakah mereka musuhmu? Apakah mereka pernah berbuat jahat padamu?! Dan kini, seenaknya kau katakan tidak tahu apa yang kami bicarakan. Kami meminta tanggung jawabmu!".
Mendengar itu Rangga terdiam dengan wajah bingung. Dia tidak menjawab sepatah kata pun.
"Hm.... Kau tidak bisa mengelak, bukan? Nah! Sebaiknya, ikut kami untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu itu!" tandas Ki Sampang Giro.
"Maaf, Kisanak. Aku tidak bisa memenuhi permintaan kalian."
"Hm.... Persoalan sudah jelas! Dia memang sengaja berbuat kejam. Dan dikiranya tak ada seorang pun yang berani menghalanginya!" dengus Ki Blauran sinis, kemudian menuding. "Hei, Pendekar Rajawali Sakti! Meski kepandaianmu laksana dewa, tidak nantinya kau akan luput dari hukuman!"
"Ki Blauran dan Ki Sampang Giro! Untuk apa sekadar bicara kosong? Lebih baik kita ringkus saja. Dan kalau si Kipas Maut berusaha membantu, maka ringkus saja sekalian!" sambung Ki Pendet sudah merasa tidak sabar lagi mendengar perdebatan yang terjadi.
"Betul katamu, Ki Pendet! Kita tidak boleh membuang waktu lagi!" sambut Ki Sampang Giro. Orang tua ini langsung memberi perintah pada anak buahnya untuk meringkus Pendekar Rajawali Sakti. "Heaaat...!"
Rangga menggeleng lemah seraya mendesah pelan, begitu melihat lebih dari dua belas orang bersenjata menerjang ke arahnya. "Maaf, kalian tidak memberi pilihan lain padaku," gumam Pendekar Rajawali Sakti pendek. Lalu telapak tangan kanannya disorongkan ke depan.
"Aji 'Bayu Bajra'!"
Werrr...!
"Aaakh...!"
Dari telapak tangan Rangga, seketika mendesir angin kencang laksana badai topan. Sehingga, membuat para pengeroyoknya terhuyung-huyung ke belakang. Beberapa orang yang tidak memiliki tenaga dalam kuat, sudah terpelanting seperti daun kering tertiup angin. Padahal, Pendekar Rajawali Sakti baru mengerahkan satu dari empat seluruh kekuatan ajian itu.
"Kurang ajar! Ayo, Ki Pendet dan Ki Blauran. Agaknya harus kita sendiri yang turun tangan mering-kusnya!" ajak Ki Sampang Giro pada kedua kawannya. Ketiga orang itu langsung menerjang si Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi mendengus geram. Dan dia berniat membantu pemuda itu, namun tiba-tiba dicekal Rangga. "Biar kuselesaikan mereka, Pandan...!" Malah seketika itu pula Pendekar Rajawali Sakti telah mencelat memapak serangan ketiga lawannya.
Pandan Wangi terpaku. Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi bernada agak lain. Dan sepertinya, akrab betul di telinganya. Gadis itu mulai curiga. Dan di hatinya. terbersit perasaan gembira. Mungkinkah Rangga telah sadar dari kelinglungannya selama ini? Ah! Jika hal itu terjadi, betapa sangat melegakan hatinya.
Ketiga orang laki-laki yang menjadi lawan Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya termasuk di dalam tokoh berkepandaian tinggi. Mendengar nama mereka saja, sudah cukup membuat segan tokoh dunia persilatan lainnya. Sehingga bila bergabung menjadi satu, maka tak heran bila serangan mereka menjadi sungguh dahsyat seperti yang terlihat saat ini. Namun sejauh ini, Pendekar Rajawali Sakti belum juga terdesak. Apalagi hendak menjatuhkannya. Tentu saja membuat mereka geram dan sangat penasaran.
"Huh! Aku tidak mau bertindak setengah-setengah lagi! Kita harus meringkusnya secepat mungkin!" Desis Ki Sampang Giro, langsung mencabut golok.
"Betul, Ki Sampang!" Sambut Ki Blauran, segera mengeluarkan tombak pendek yang sejak tadi terselip di pinggang. Melihat kedua kawannya mulai menggunakan senjata, Ki Pendet tak mau ketinggalan. Langsung dicabutnya sepasang trisula. Dan kini mereka bertiga kembali menggempur Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm.... Kalian benar-benar memaksaku, Kisanak. Baiklah.... Aku tidak punya pilihan lain," sahut Rangga, langsung melompat ke belakang sambil membuat beberapa kali putaran.
"Yeaaa!"
Ketiga tokoh persilatan itu mengejar cepat. Namun bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti telah mencabut pedang, siap menyambut serangan.
Sring!
Trak! Tras!
Pedang pusaka yang memancarkan sinar biru berkilauan itu berkelebat, sehingga menyilaukan pandangan lawan-lawannya. Mereka terperangah melihat kelebatan Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bukan main cepatnya. Dan tahu-tahu, sepasang trisula Ki Pendet putus hingga tinggal gagangnya. Belum lagi habis rasa kaget mereka, disusul seruan tertahan Ki Blauran. Tombak pendeknya menjadi sasaran berikut pedang milik Pendekar Rajawali Sakti. Masih untung bagi Ki Sampang Giro. Karena, dia tidak berusaha menangkis pedang itu. Tubuhnya cepat menyusup dari bawah, bermaksud mengadakan serangan kilat yang tidak terduga.
"Hup!" Meski sedikit kerepotan menghadapi serangan ketiga lawannya, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak melupakan kewaspadaannya. Tubuhnya langsung berjumpalitan dua kali. Kemudian pedangnya diayunkan menyambar leher Ki Pendet. Mendapat serangan cepat itu, Ki Pendet terkejut. Dia bermaksud melompat ke belakang untuk menghindarinya. Namun, Rangga mendadak mengurungkan serangannya. Dan sebagai gantinya, disodokkannya satu tendangan keras yang tak mampu ditahan Ki Pendet.
Duk!
"Aaakh!"
Ki Pendet menjerit keras. Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah, begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di dada. Kedua kawan Ki Pendet terkesiap. Namun dengan geram mereka merangsek bersamaan. Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti menundukkan badannya sedikit, kemudian melangkah ke belakang dan berputar ke kiri. Pedangnya menyambar ke arah perut Ki Sampang Giro. Maka buru-buru orang tua itu menangkis dengan goloknya. Pada saat yang sama Ki Blauran menyerang dari belakang. Dugaannya, Pendekar Rajawali Sakti akan melanjutkan serangan kepada Ki Sampang Giro.
Tras!
Tapi, sungguh tak terduga. Ternyata, setelah membabat putus golok Ki Sampang Giro, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Langsung diayunkan satu tendangan keras ke dada Ki Blauran.
Begkh!
"Aaakh...!"
Ki Blauran menjerit keras, begitu dadanya terhajar tendangan Rangga. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang, dengan darah meleleh dari sudut-sudut bibirnya.
"Kurang ajar! Kau akan merasakan dahsyatnya pukulanku, Bocah!" Desis Ki Sampang Giro geram melihat kedua kawannya dapat mudah dijatuhkan Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Sampang Giro membuang gagang goloknya. Lalu kedua telapak tangannya diusap-usap dengan wajah berkerut. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tegak memperhatikan. Tampak kedua telapak tangan orang tua itu berwarna kemerahan yang menjalar ke siku. Rangga sama sekali tidak merasa khawatir. Dia bisa tahu kalau aji kesaktian orang tua ini jelas belum sempurna. Ini bisa dilihat dari cara gerak tangan orang tua itu.
"Kisanak, jangan keterlaluan. Kau bisa membahayakan dirimu sendiri," kata pemuda itu mengingatkan.
"Huh! Agaknya kau mulai takut, he?! Lebih baik menyerah saja!" sahut Ki Sampang Giro sinis.
"Hm.... Kau tidak mengerti alasanku."
"Sudah, tidak usah banyak bicara! Terimalah pukulanku ini! Hiaaat...!" desis Ki Sampang Giro, langsung menghentakkan kedua tangannya.
Saat itu juga berkelebat selarik cahaya merah kekuningan, menerpa dahsyat ke arah si Pendekar Rajawali Sakti. Rangga mendesah lemah. Begitu serangan hampir dekat, telapak kirinya disorongkan ke depan dengan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Seketika dari telapak tangannya itu melesat selarik cahaya merah yang langsung melabrak pukulan Ki Sampang Giro.
Jder!
"Aaakh...!"
Ki Sampang Giro memekik keras. Tubuhnya kontan terbanting ke belakang disertai muntah darah segar dari mulut. Napas orang tua itu megap-megap. Dia berusaha bangkit, dibantu kedua orang kawannya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak seraya mengatur pernafasannya. Beradunya kedua pukulan tadi terasa amat dahsyat. Bahkan sempat membuat yang lainnya terperangah. Tidak heran bila akibatnya sangat berat bagi Ki Sampang Giro. Namun hal itu seperti tidak berpengaruh sedikit pun terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
"Pergilah kalian dari sini. Aku tidak ingin memperpanjang urusan. Katakan pada tokoh-tokoh pendekar lainnya, aku akan datang pada mereka bila segala sesuatunya telah beres!" Ujar pemuda itu dengan suara penuh wibawa.
Menyadari kalau percuma saja mereka meneruskan niatnya meringkus pemuda itu, Ki Blauran dan Ki Pendet memerintahkan anak buahnya segera berlalu dari tempat ini. Dan mereka sendiri segera membopong tubuh Ki Sampang Giro, dan segera bergegas menyusul.
"Pendekar Rajawali Sakti! Persoalan ini belum selesai! Kami akan datang bersama yang lainnya. Bagaimanapun kau tidak akan luput dari hukuman!" Ki Blauran sempat mengancam sebelum meninggalkan tempat ini.
Rangga diam saja tidak menjawab. Dia tetap berdiri di tempatnya semula seraya memandang mereka sampai hilang dari pandangan. Pandan Wangi yang sejak tadi membisu, kini tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dipandangnya pemuda itu. Namun, Rangga sedikit pun tidak menoleh. Gadis itu ragu-ragu mendekat. Dan mendadak pemuda itu tersedak pelan, lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke samping.
"Kakang Rangga...!" seru Pandan Wangi terkejut, segera melompat memapah pemuda itu.
"Kau..., kau tidak apa-apa...?" Tanya Pandan Wangi cemas ketika memperhatikan wajah pemuda itu yang sedikit pucat. Tubuhnya pun terasa dingin.
"Aku tidak apa-apa. Tenanglah," sahut pemuda itu lemah, seraya bersandar di bawah sebatang pohon.
********************
EMPAT
Pandan Wangi membiarkan Pendekar Rajawali Sakti sambil memandang dengan wajah cemas. Kini Rangga duduk bersila untuk mengatur pernafasannya dengan kedua kelopak mata terpejam. Dengan sabar Pandan Wangi menunggu sambil mengawasi keadaan di sekelilingnya.
"Pandan."
"Eh, Kakang Rangga.... Kau merasa sudah lebih baik?" sahut Pandan Wangi cepat berbalik. Segera dihampirinya pemuda itu.
"Keadaanku belum pulih betul," sahut Rangga, disertai anggukan kepala.
"Kita harus mencari tempat lain yang lebih aman, Kakang!" kata gadis itu gelisah.
"Ya.... Tapi, ke mana?"
"Tidakkah lebih baik kalau kita ke Karang Setra?" Pandan Wangi agak ragu. Perasaan gembira dalam hatinya karena yakin kalau Rangga telah pulih seperti sediakala, mendadak menjadi keraguan ketika melihat pemuda itu terdiam seperti sedang berpikir keras.
"Kenapa, Kakang? Kau..., kau masih belum ingat segalanya?" lanjut gadis itu hati-hati.
Rangga masih terdiam. Kemudian perlahan-lahan dipandangnya gadis itu dan tersenyum. "Aku..., mulai ingat, siapa kau sebenarnya."
"Benarkah?! Oh, Kakang Rangga! Aku gembira sekali!" seru Pandan Wangi girang dengan wajah berseri. Kemudian tanpa sadar dipeluknya pemuda itu erat-erat untuk menumpahkan perasaan harunya.
"Pandan! Kalau kau peluk aku kuat-kuat begini, tubuhku bisa remuk. Aku...."
"Oh, maaf Kakang! Maafkan aku.... Aku begitu gembira melihat keadaanmu sekarang!" seru gadis itu, seraya melepaskan pelukannya.
"Aku seperti baru terbangun dari mimpi buruk yang amat menakutkan. Apakah kau mengetahuinya?" Tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Banyak hal yang telah menimpamu belakangan ini," sahut Pandan Wangi, lesu.
"Maukah kau menceritakannya padaku? Kehadiran mereka membuatku bingung, meski sedikit banyak aku bisa mengerti."
"Kakang.... Aku akan menceritakannya padamu, seperti apa yang kudengar selama ini. Yaitu, mengenai sepak terjangmu. Namun sebelum itu, kita harus segera menyingkir dari sini. Aku khawatir, mereka kembali dengan membawa tokoh silat lainnya dalam jumlah banyak," ujar Pandan Wangi seraya membantu pemuda itu untuk bangkit.
"Apakah kita akan ke Karang Setra?"
"Kurasa..., ng, tidak usah. Kita akan mencari tempat yang aman saja lebih dulu!"
"Ke mana?"
"Entahlah. Nanti akan ku pikirkan dalam perjalanan."
Tapi baru saja mereka melangkah dua tindak, mendadak sesosok tubuh muncul di depan. Pandan Wangi cepat bersiaga. Namun ketika mengetahui siapa yang datang, dia menghela napas lega.
"Tidak apa-apa, Kakang. Dia si Kelelawar Buduk yang telah ikut membantuku menyelamatkanmu, ketika dalam pengeroyokan," jelas Pandan Wangi. Orang yang baru muncul memang tidak lain si Kelelawar Buduk. Wajahnya tampak lega, ketika melihat keduanya tidak kurang suatu apa pun.
"Syukurlah kalian tidak apa-apa."
"Bukankah kau katakan akan kembali esok hari?" Tanya Pandan Wangi
. "Eh! Aku memutuskan untuk melihat keadaan kalian, ketika mendengar beberapa tokoh persilatan menuju tempat ini dengan membawa sejumlah murid yang cukup banyak," sahut si Kelelawar Buduk.
"Dari mana kau mendengar berita itu?" Tanya Pandan Wangi.
Si Kelelawar Buduk tersenyum. "Kipas Maut... Kau mencurigaiku?" Tanya laki-laki gembel itu dengan nada sinis.
"Maaf, Kelelawar Buduk. Kau adalah adik seperguruan Ki Polong. Bagaimana aku tidak curiga?" sahut Pandan Wangi, tanpa basa-basi.
"Hm, memang beralasan. Tapi rasanya, terlalu berlebihan. Sebab kalau memang hendak berniat jahat, rasanya aku tidak perlu membantumu menyelamatkan si Pendekar Rajawali Sakti dari kepungan mereka!" Kata si Kelelawar Buduk, tandas.
Gadis itu terdiam beberapa saat kemudian. Apa yang dikatakan si Kelelawar Buduk memang benar. Tapi bukan berarti Pandan Wangi bisa percaya begitu saja. "Kelelawar Buduk.... Sampai saat ini, sebenarnya aku tidak habis pikir. Apa untungnya kau membantuku menyelamatkan Pendekar Rajawali Sakti? Bukan aku tidak tahu berterima kasih. Tapi, semula kau hendak membunuhnya. Dan kini, berbalik. Apa sebenarnya yang kau inginkan?"
"Bukankah sudah kukatakan, aku tidak ingin mereka kesalahan tangan? Aku tahu, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh jahat. Dan kalaupun sampai melakukan kejahatan, tentu bukan karena kemauannya sendiri. Apakah tidak cukup alasan kalau aku ingin menyelamatkannya? Apalagi, setelah kini terbukti bahwa dia sebenarnya tidak ingat siapa dirinya. Bukankah alasan ku benar? Sudah kukatakan pula, aku memang bukan orang baik-baik. Tapi aku bisa membedakan, mana yang harus kulakukan dan mana yang tidak," sahut si Kelelawar Buduk menjelaskan dengan nada kesal.
"Pandan Wangi, kenapa kau mencurigai orang yang bermaksud baik pada kita? Sudahlah, aku bisa merasakan akan kebenaran kata-katanya," kata Rangga. Pemuda itu kemudian berpaling pada si Kelelawar Buduk, lalu tersenyum. "Kisanak! Aku mengucapkan terima kasih atas bantuanmu. Maafkan Pandan Wangi. Dia memang terlalu besar curiga pada orang lain."
"Tidak apa. Aku bisa memahami, melihat usianya yang masih muda. Hm, aku menyesal gubuk ini terbakar. Tapi, di sini pun sudah tidak aman lagi. Sebaiknya kita mencari tempat lain yang lebih aman."
"Ya, aku pun berpikir begitu. Hanya sedang bingung, ke mana kita harus bersembunyi?"
"Aku punya tempat yang aman. Kalau kalian suka, biar kuantarkan!"
"Terima kasih, Kelelawar Buduk. Kami akan suka sekali," sahut Rangga cepat.
Sama sekali tidak di indahkannya kedipan mata Pandan Wangi dengan wajah cemberut menahan kesal. Gadis itu sebenarnya tidak setuju. Namun Rangga sepertinya tidak mengindahkannya. Sehingga dengan menahan kesal, terpaksa diikutinya langkah mereka berdua. Sejak lolosnya si Pendekar Rajawali Sakti, serta terbakarnya beberapa buah barak tempat tinggal para murid, Ki Polong merasakan perlunya meningkatkan kewaspadaan.
Terlebih lagi, kini mereka menawan seorang anak buah Ki Netra Buana yang bernama Sarti. Meski beberapa tokoh beranggapan kalau Ki Netra Buana tidak akan mengirimkan anak buahnya yang Iain untuk menyelamatkan gadis itu, tetap saja mereka curiga. Terlebih lagi, baru saja Sarti menyatakan akan memberitahu di mana sarang Ki Netra Buana. Mereka pun bertekad untuk tidak lagi kecolongan seperti peristiwa penyerangan terhadap Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, penjagaan di Padepokan Kalong Wetan demikian ketat. Belakangan ini, beberapa padepokan silat ternama telah bergabung di dalamnya. Sehingga tidak heran bila jumlah tokoh persilatan di dalamnya amat banyak. Seperti yang terlihat malam ini. Semua tembok di sekeliling padepokan terlihat dua sosok tubuh yang menyelinap ke arah padepokan itu. Dua sosok ini melayang ringan ke salah satu cabang pohon terdekat, sambil mengawasi keadaan di padepokan itu. Lalu salah seorang berkelebat ke kiri, sedang kawannya melayang ke kanan. Tak lama, mendadak terdengar jerit kematian. Dua orang penjaga roboh dan tewas dengan leher patah.
"Kurang ajar! Perbuatan siapa ini?!" Desis salah seorang penjaga lainnya. Orang itu berteriak nyaring, sehingga membuat kawan-kawannya yang berjaga-jaga segera membantu dan menghampirinya.
"Aaa...!"
"Heh?!" Kembali mereka dikejutkan teriakan dari arah kanan. Beberapa orang berlarian sambil berteriak kalang kabut.
"Gajul dan Dewo mati!" teriak seseorang.
"Kurang ajar! Cepat bersiaga. Dan, tangkap mereka yang mencurigakan! Ayo kalian jangan menjadi gugup!" Teriak seorang tua yang bernama Ki Suyatna. Ki Suyatna baru saja keluar dari bangunan utama, ketika mendengar kekacauan itu. Beberapa orang kawannya menyusul. Dalam keadaan begitu, mendadak kembali terdengar pekik kematian Lima orang kembali roboh dengan tubuh terjungkal laksana dihantam badai topan.
"Keparat!" desis Ki Suyatna geram. Langsung tubuhnya mencelat ke atas tembok pagar dan mengawasi ke sekelilingnya. Namun tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Di luar tetap sepi dengan angin bertiup semilir.
"Bagaimana, Ki Suyatna?" Tanya seorang laki-laki tua lain ketika orang tua itu menjejakkan kedua kakinya di halaman depan padepokan.
"Tidak ada apa-apa. Di luar sepi...," sahut Ki Suyatna dengan wajah geram.
"Hm.... Agaknya ada orang yang hendak bermain kucing-kucingan dengan kita!"
"Benar, Ki Prayoga!"
"Siapa kira-kira menurutmu?" Tanya kawannya yang bernama Ki Prayoga.
"Entahlah. Aku tidak bisa menduganya."
Mereka segera kembali ke dalam, setelah memberi perintah untuk membereskan orang-orang yang tewas. Langkah mereka terhenti, ketika di pintu depan terlihat Ki Polong dan tiga tokoh utama yang mendatanginya berdiri tegak memperhatikan, bersama tokoh-tokoh silat lainnya.
"Ki Suyatna dan Ki Prayoga! Apa yang kalian dapatkan...?" Tanya Ki Walang Ijo.
"Agaknya ada musuh yang sengaja menakut-nakuti kita, Ki...," sahut Ki Suyatna.
"Apakah kau melihatnya?"
Ki Suyatna menggeleng lemah.
"Hm.... Berapa orang yang menjadi korban?" Tanya salah satu tokoh utama yang bernama Ki Gempar Persada.
"Entahlah, Ki. Mungkin sembilan, atau dua belas." Mereka terdiam sesaat.
"Menurutku, pelakunya pasti si Pendekar Rajawali Sakti!" Kata Ki Polong membuka pembicaraan, dengan nada penuh keyakinan.
"Kurasa bukan," sahut Nyai Kami.
"Kenapa tidak, Nyai?"
"Bocah itu tidak mungkin melakukannya. Kalau dia ingin balas dendam, maka akan dilakukan secara terang-terangan."
"Huh! Mana mungkin dia berani!"
"Bukan begitu, Ki Polong. Tokoh sepertinya, tidak berbuat seperti ini. Ini perbuatan pengecut!"
"Apa bedanya? Toh, bukankah pemuda itu pun seorang pengecut?!" Sahut Ki Polong, menahan kesal.
Wanita tua itu memandangnya dengan wajah heran. "Ki Polong! Ada apa denganmu? Apa kau ingin berdebat denganku? Bukankah kita sedang menduga, siapa pelaku peristiwa barusan? Menuduh seseorang harus punya dasar. Bukan oleh perasaan marah pada seseorang. Meskipun kau kesal pada si Pendekar Rajawali Sakti, hendaknya berpikirlah secara jernih."
"Maafkah aku, Nyai. Aku memang terbawa amarah oleh ulah pemuda itu," desah Ki Polong.
"Ada baiknya kita bicara di dalam," ajak Ki Gempar Persada.
"Ya, benar. Mari, Kisanak semua!" Ajak Ki Polong.
Ki Polong bersama lebih sepuluh orang tokoh persilatan yang berkumpul di tempatnya, masuk ke dalam untuk melanjutkan pembicaraan di ruang tengah yang berukuran besar. Ki Polong sengaja menata meja dan bangku berbentuk lingkaran, sehingga mereka bisa saling berhadapan.
"Maafkan aku, Kisanak semua. Hatiku memang dikuasai amarah. Karena ulah Pendekar Rajawali Sakti, aku banyak kehilangan sahabat dekat ku," ujar Ki Polong lemah, mengulang kata-katanya ketika mereka telah berkumpul.
"Ki Polong.... Bukan hanya kau saja yang sedih. Namun, semua yang berada di sini kurasa ikut berduka atas kematian sahabat-sahabat kita di tangan pemuda itu. Namun, kita harus ingat. Di belakang semua ini adalah Ki Netra Buana. Kita tidak boleh melupakannya dengan memusatkan perhatian terhadap si Pendekar Rajawali Sakti. Sebab, ancaman terhadap kita sudah jelas datangnya dari si Netra Buana. Maka, orang itulah yang patut dicurigai," kata Nyai Kami, bernada bijak.
Ki Polong terdiam seraya mengangguk pelan.
"Apa yang dikatakan Nyai Kami memang benar. Kita tidak boleh melupakan si Netra Buana begitu saja. Sebab, sesungguhnya orang itulah musuh kita yang sebenarnya. Ada pun Pendekar Rajawali Sakti merupakan salah satu caranya saja, untuk membalaskan dendamnya terhadap kita," timpal Ki Walang Ijo.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah kita hanya menunggu dan terus menunggu, apa yang mereka lakukan terhadap kita?" Tanya orang yang bernama Ki Pintur Gumelar.
"Tenanglah, Ki Pintur. Bukankah kita punya rencana untuk esok hari?" Sahut Nyai Kami, halus.
"Kenapa kita harus menunggu sampai esok hari? Bukankah kita bisa bergerak sekarang?" Tanya Ki Pintur Gumelar, bernada tidak sabar.
"Apa yang dikatakan Ki Pintur Gumelar benar!"
Bela seorang pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Namanya, Ki Jaka Gedong. Kehadirannya di tempat ini untuk mewakili gurunya, yaitu Ki Tambak Ireng yang telah berusia lanjut dan sakit-sakitan.
"Kenapa kita harus mengalah pada gadis itu, dan menuruti kemauannya? Dia telah berada dalam genggaman kita. Seharusnya, kita paksa saja dia untuk menjelaskan di mana sarang si Netra Buana!"
Nyai Kami tersenyum seraya mengalihkan pandangan pada pemuda itu. "Jaka Gedong. Jika kau tertawan musuh dan musuh menginginkan sesuatu di bawah suatu ancaman berat, apa yang kau lakukan? Memberikan apa yang diminta musuhmu, sementara tak ada jaminan kalau nyawamu akan diselamatkan?"
Mendengar itu, Jaka Gedong terdiam tidak bisa menjawab. Dalam hati, dia membenarkan apa yang dikatakan wanita tua itu.
"Syukurlah kalau kau bisa mengerti. Demikian juga gadis itu. Meski kita sudah menjamin keselamatannya, tetap saja dia belum merasa yakin. Untuk itulah dia menawarkan syarat."
"Baiklah.... Kita lanjutkan pembicaraan. Kurasa, Jaka Gedong telah mengerti, kenapa kita tidak bisa memaksa gadis itu untuk bicara. Dia akan memberitahukannya esok hari. Dan kita berangkat bersama-sama dengannya. Yang akan kita lakukan saat ini adalah, melewati malam ini. Kejadian tadi bisa sebagai isyarat kalau jalan yang akan kita hadapi tidak akan mudah," ujar Ki Gempar Persada.
"Aku telah memerintahkan mereka untuk berjaga lebih ketat lagi," sahut Ki Suyatna.
"Hm.... Dengan caranya menyelinap seperti itu, tentu mudah sekali baginya untuk mengecoh mereka. Bukankah sebaiknya kita pun berjaga-jaga bersama mereka," kata Ki Walang Ijo memberi usul.
"Hm.... Baiklah kalau memang demikian. Malam ini, kita semua berjaga-jaga," sambut Ki Polong, dan disetujui yang lainnya.
"Aku ada pertanyaan buatmu, Ki Polong? Aku tidak melihat kehadiran Ki Blauran, Ki Sampang Giro, serta Ki Pendet? Ke mana mereka sebenarnya? Apa mereka memang tidak bisa memenuhi undanganmu lagi?" Tanya Nyai Karni dengan wajah heran.
"Mereka baik-baik saja, Nyai. Dan tentu saja, mereka dengan senang hati membantu. Hanya kali ini, mereka punya pikiran lain?"
"Apa maksudmu?"
"Mereka bermaksud menyelidiki, ke mana kini si Pendekar Rajawali Sakti berada," jelas Ki Polong.
"Hm, bagus! Lalu, apakah kini sudah mendapat hasil?"
"Belum. Namun, aku percaya. Mereka adalah orang-orang gigih dan memiliki banyak akal. Mereka pasti menemukan pemuda itu!" sahut Ki Polong, bernada yakin.
"Apakah mereka hanya pergi bertiga?"
"Tidak. Masing-masing ditemani beberapa orang murid."
"Hm, entahlah. Aku punya dugaan, mereka melakukan pekerjaan yang sia-sia. Namun begitu, tentu saja sangat kuhargai usaha mereka," gumam Nyai Karni sambil tersenyum.
"Sudahlah. Lebih baik kita keluar sekarang. Jangan sampai kita kecolongan lagi seperti tadi."
Mereka segera beranjak. Dan saat itu juga, seorang murid Ki Polong masuk tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat dengan napas memburu.
"Gum! Di..., di luar ada...."
"He! Hei! Coba tenangkan dirimu. Ambil napas dalam-dalam, lalu ceritakan apa yang hendak kau katakan pada kami!" potong Ki Polong.
Murid itu mengatur pernafasannya. Dan sementara itu, beberapa tokoh silat lain telah menghambur keluar untuk melihat apa yang terjadi. "Me..., mereka kami dapati tewas di luar pintu gerbang...!" kata murid itu setelah nafasnya agak lega.
"Apa?! Apa maksudmu...?!" Tanya Ki Polong kaget.
"Ki Blauran, Ki Sampang Giro, dan Ki Pendet! Mereka tewas beserta murid-muridnya. Dan kami temukan berada di dalam gerobak yang penuh ceceran darah!" jelas murid itu.
Ki Polong tidak menunggu sampai murid itu selesai melapor. Bersamaan dengan yang lain, dia langsung menghambur keluar untuk melihat sendiri apa yang telah terjadi. Apa yang diceritakan murid tadi memang benar. Mereka melihat sebuah gerobak berukuran agak besar, dipenuhi mayat-mayat yang saling bertumpuk. Bau anyir darah langsung menebar di tempat itu.
"Biadab! Siapa yang melakukan perbuatan ini?!" Desis Ki Polong geram.
"Hm, pasti Pendekar Rajawali Sakti!" Tuduh Ki Jaka Gedong cepat
"Ha ha ha...! Orang-orang tolol. Apakah kalian sudah menerima kiriman khusus dari kami?!"
Mendadak terdengar suara tawa yang berkumandang, seperti berasal dari sekeliling tempat ini. Ki Polong segera memerintahkan murid-muridnya untuk bersiaga. Sementara para tokoh silat lainnya langsung melompat mengejar, ketika melihat dua sosok tubuh berkelebat ringan seperti hendak memancing mereka agar mengejar.
"Itu dia! Tangkap! Ayo, kejar mereka...!" Teriak seseorang memberi perintah.
Ajakan itu disambut dengan suara gegap gempita. Sehingga ketika Nyai Karni dan kedua kawannya berteriak mencegah, mereka sama sekali tidak menggubris.
LIMA
"Hm.... Mereka tidak sadar kalau lawan telah mengecohnya!" dengus Nyai Kami dengan wajah bersungut-sungut menahan kesal.
"Tipuan yang dilakukan musuh-musuh kita mengena. Setelah keributan tadi, lalu disusul mayat-mayat ini yang tergeletak mengenaskan, sudah pasti mengundang amarah pihak kita," timpal Ki Walang Ijo.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Ki Gempar Persada.
"Mungkin menerima nasib," sahut Nyai Kami, setengah tersenyum. "Kita bagi tugas. Terserah kalian, tapi aku punya usul. Mereka mungkin hendak membebaskan gadis itu, atau menghabisi kita semua. Nah! Biar aku menjaga gadis itu. Dan kalian berdua, membantu yang lain. Siapa yang tidak setuju, boleh menggantikan tugasku!"
"Baik! Kau telah membagi tugasmu. Biar kami bersama mereka!" sahut Ki Walang Ijo.
Ki Gempar Persada pun setuju. Maka ketiganya langsung bergerak ke arah tujuannya masing-masing. Apa yang diduga memang demikian. Kedua sosok tubuh yang terlihat tadi mengecoh habis-habisan. Sehingga membuat para tokoh persilatan itu tercerai-berai. Meski Ki Polong dan yang lain memberi perintah pada murid-muridnya untuk mengepung seluruh kawasan ini secara perlahan-lahan, namun hasilnya tetap nihil. Beberapa orang menjerit panjang. Lalu ketika dihampiri, terdengar jeritan dari arah lain. Rata-rata mereka tewas secara mengenaskan. Tentu saja kejadian ini amat menjengkelkan, sekaligus menimbulkan amarah mereka semua.
"Kurang ajar! Kembali! Ayo, kita kembali...!" Teriak Ki Polong memberi perintah pada murid-muridnya.
Bagai semut beriringan, mereka berduyun-duyun kembali ke padepokan. Namun begitu, korban kembali berjatuhan. Sehingga, semakin membuat mereka kalang kabut saja. Sementara itu, Ki Walang Ijo dan Ki Gempar Persada bukannya tidak berusaha membantu. Begitu melihat dua sosok bayangan berkelebat ringan, mereka langsung mengejar.
"Keparat busuk! Jangan lari kalian! Yeaaa...!"
"He he he...! Dua ekor kerbau dungu berlagak hendak menjadi harimau?! He he he...!" Terdengar sahutan disertai tawa panjang yang menyakitkan telinga. Jelas, orang itu memiliki tenaga dalam tinggi.
"Hiiih!" Seketika dari arah tawa tadi, melesat seberkas sinar kuning yang langsung tertuju pada Ki Walang Ijo. Cepat bagai kilat, orang tua itu berusaha memapaknya.
Plak!
"Aaakh!"
Ki Walang Ijo terkejut, ketika telapak tangannya seperti menghantam dinding baja yang tebal bukan main. Belum lagi habis rasa terkejutnya, tiba-tiba berkelebat satu bayangan Dan tahu-tahu tubuh Ki Walang Ijo terjungkal ke belakang terkena satu tendangan keras. Bersamaan dengan itu, terdengar pula jerit tertahan dari arah lain Dan, tampaklah tubuh Ki Gempar Persada terjungkal tidak jauh darinya.
"Hi hi hi...! Pergunakan kesempatan hidup ini sebaik-baiknya. Sebab, esok atau nanti kalian tidak akan menikmatinya lagi! Hi hi hi...!" Ejek satu suara lain yang terdengar nyaring.
Ki Walang Ijo dan Ki Gempar Persada buru-buru bangkit dengan satu lentingan indah. Namun baru saja kedua kaki mereka menjejak tanah, dua bayangan telah melesat cepat, pergi dari tempat itu. Kedua orang itu hanya bersungut-sungut kesal sambil menahan nyeri di dada. Mereka bertatapan sesaat, kemudian bersama-sama meninggalkan tempat itu menuju ke Padepokan Kalong Wetan.
"Ki Walang Ijo...! Ki Gempar Persada...! Kalian tidak apa-apa?! Maafkan kekeliruan kami...!" seru Ki Polong seraya memapah mereka berdua, dibantu beberapa orang muridnya.
Sementara itu Nyai Karni berlari-lari menghampiri keduanya dari arah belakang. "Bagaimana? Tampaknya kita menghadapi musuh yang cukup kuat!" Tanya wanita tua itu seraya menghela napas dan menggeleng lemah.
"Entahlah. Sepertinya aku kenal dengan pukulan itu," sahut Ki Walang Ijo, lemah.
"Aku pun begitu," timpal Ki Gempar Persada sambil mengerutkan dahi berusaha mengingat-ingat.
"Aku yakin! Siapa pun mereka, ini pasti ulah si Netra Buana!" Dengus Nyai Kami geram.
"Bagaimana tawanan itu?" Tanya Ki Walang Ijo.
"Dia tidak apa-apa. Aku menyuruh murid-murid Ki Polong untuk melipatgandakan jumlah penjagaannya."
"Hm, bagus!" sambut Ki Walang Ijo.
"Apa yang menurutmu bagus? Kalian bisa terkena hantaman dua sosok tadi. Kalau mereka hanya anak buahnya, lalu bagaimana si Netra Buana sendiri? Kepandaiannya mungkin telah maju pesat. Dulu saja dengan susah payah baru kita berhasil mengalahkannya!" dengus Nyai Kami kesal.
"Tidak usah menyalahkan. Bukankah itu pun usulmu, agar kita mengampuninya?" Sahut Ki Walang Ijo.
"Dia telah masuk jurang. Apalagi yang kita harapkan...?"
"Yang lain bersedia mencari dan memastikan kematian, tapi kau mencegah!"
"Menurutku saat itu dia tewas. Dan kalaupun masih bisa hidup, paling tidak akan insaf dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi," sahut Nyai Kami dengan suara lemah.
Ki Walang Ijo sudah akan menimpali, namun Ki Gempar Persada sudah langsung menengahinya. "Sudahlah. Tidak ada yang perlu membicarakan soal masa lalu. Kita semua salah. Sebab, orang-orang seperti kita terlalu berharap, kalau orang jahat sekalipun masih ada kesempatan bertobat. Kini lebih baik kita urus mereka yang tewas dan mengebumikannya secara layak"
"Ya! Apa yang dikatakan Ki Gempar Persada benar. Alangkah lebih baiknya kita mengurus mereka yang tewas," lanjut Ki Pintur Gumelar.
"Apakah mereka tidak akan datang lagi...?" Tanya Ki Polong ragu. Semua terdiam beberapa saat.
"Kurasa hari ini tidak. Sebab kalau mereka menginginkannya, mungkin kita semua akan celaka. Mereka sengaja hendak mempermainkan kita perlahan-lahan," sahut Nyai Karni.
"Baiklah. Kita urus mereka yang tewas sekarang juga."
Ki Walang Ijo segera berlalu membantu yang lain mengurus mayat-mayat yang bergeletakan di halaman padepokan ini maupun diluar.
********************
Sejak tadi Pandan Wangi mondar-mandir terus menunggui Rangga yang duduk bersila di atas sebuah dipan beralas tikar pandan. Hatinya tidak tenang di tempat ini dan terus berjaga-jaga. Apalagi, si Kelelawar Buduk tidak ada di tempat. Katanya, hendak mencari makanan untuk mereka. Tapi pikirannya yang sejak semula curiga, tidak bisa mempercayainya begitu saja.
"Sudahlah, Pandan. Tenangkan hatimu," ujar Rangga yang telah menyelesaikan semadinya.
"Bagaimana aku bisa tenang? Kelakuannya semakin membuatku curiga. Huh! Kalau saja dia bermaksud jahat pada kita, akan kupenggal lehernya!" Desis gadis itu geram.
"Bagaimanapun, dia telah berbuat kebaikan pada kita."
"Huh...!" Gadis itu mendengus kesal. Namun ketika me-nyadari keadaan Pendekar Rajawali Sakti lebih baik dari semalam, bibirnya tersenyum lega.
"Bagaimana keadaanmu, Kakang? Kau sudah merasa lebih baik saat ini?" Tanya Pandan Wangi seraya duduk di dekat pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kurasa begitu," sahut Rangga, sambil mengangguk.
"Syukurlah. Aku senang sekali kau telah sembuh kembali seperti sediakala...!" Senyum gadis itu girang.
Tapi, tidak demikian halnya dengan Rangga. Wajahnya tampak lesu. Sesaat dia tercenung, lalu beberapa kali menghela napas panjang.
"Ada apa, Kakang...?" Tanya Pandan Wangi hati-hati.
"Aku memikirkan apa yang telah kau ceritakan. Hm, mereka tentu tidak mau memaafkanku," desah Rangga lemah!
Pandan wangi menepuk-nepuk pundak pemuda itu sesaat. "Kakang, semua ini di luar kesadaranmu. Kurasa, para tokoh persilatan bisa memahaminya. Kita masih punya kesempatan untuk menebusnya. Yaitu, melenyapkan Ki Netra Buana yang telah mempengaruhimu."
"Hm, ya. Aku pun tengah berpikir ke situ. Dia harus membayar mahal atas apa yang telah dilakukannya padaku!" Desis Rangga. Wajahnya berkerut geram menahan amarah.
"Kalau Kakang sudah mulai sembuh, lebih baik kita cari saja keparat itu saat ini!"
"Apakah tidak sebaiknya menunggu si Kelelawar Buduk?" Usul Rangga.
"Aku tidak mempercayai orang itu! Siapa tahu, dia tengah menjebak kita di sini!" Tandas Pandan Wangi.
"Itu lebih bagus. Sebab kalau benar demikian, kita bisa langsung mengetahui untuk apa dan siapa yang menjebak kita."
Pandan Wangi memberengut dengan wajah kesal. Dia tidak menyetujui usul Rangga. Tapi, juga membenarkan apa yang dikatakan pemuda itu.
"Hm.... Bagaimana kabarmu sekarang?" Gumam Rangga disertai senyum.
"Baik!" Jawab Pandan Wangi, pendek.
Pemuda itu menggamit lengan Pandan Wangi seraya memandangnya dengan perasaan kasih. "Kalau tidak ada kau, entah apa jadinya aku ini," desah Rangga, lemah.
"Bukankah pilihanku tepat?"
"Pilihan apa?"
"Memilihmu menjadi kekasih tentunya."
"Dan melupakan gadis itu begitu saja?" cibir Pandan Wangi kesal.
"Gadis mana?" Tanya Rangga dengan dahi berkerut.
"Uh! Pura-pura bodoh lagi!"
"Ah, ya. Samar-samar aku ingat"
"Bukan samar-samar! Tapi memang nyata terlihat di depan mataku!" Rangga terdiam sambil tersenyum pahit.
"Aku memang salah. Tapi ini kulakukan tanpa sadar. Begitu burukkah aku di depan matamu saat ini? Sehingga, kekasihku sendiri memojokkanku? Hm.... Aku memang patut mendapat hukuman. Dan rasanya, kau tak perlu menyelamatkanku saat itu. Karena, mati lebih baik daripada hidup tapi dengan batin tersiksa," ucap Pendekar Rajawali Sakti lemah.
Pandan Wangi terdiam. Begitu juga Rangga. Pemuda itu lantas bangkit dan memandang keluar lewat jendela berjeruji kayu. Di luar terlihat sepi. Dan di kejauhan, dua orang mendatangi mereka. Dahi Rangga jadi berkerut.
"Si Kelelawar Buduk datang bersama seseorang," kata Rangga.
Pandan Wangi menghampiri dan melihat keluar. Tampak seorang wanita cukup cantik berjalan bersama si Kelelawar Buduk sambil menggenggam tongkat. Secara bersamaan, mereka keluar dan berdiri di depan gubuk ini.
"Ah! Agaknya kalian telah bangun pagi-pagi begitu...!" seru si Kelelawar Buduk disertai tawa lebar. "Aku bawakan makanan untuk kalian!"
"Terima kasih, Kelelawar Buduk Siapa wanita yang bersamamu ini?" Tanya Rangga ikut tersenyum.
"Ah! Sampai aku lupa. Wanita ini tabib yang kubawa dari desa terdekat. Kukira, kau memerlukannya. Sehingga, dia kubawa ke sini!" Jelas Kelelawar Buduk
"Oh, terima kasih! Kau baik sekali!" Seru Rangga, langsung memandang tajam pada wanita cukup cantik bertubuh menggiurkan itu. Wanita itu tersenyum. Dari caranya berpakaian yang amat sederhana dan mirip wanita desa biasa, sepintas saja segera bisa diketahui kalau apa yang dikatakan si Kelelawar Buduk memang benar.
"Eh! Apakah Kisanak yang memerlukan pertolonganku...?" Tanya wanita itu.
"Hm.... Aku memang menderita luka dalam. Isi tubuhku terasa nyeri sekali. Bisakah kau mengobatinya?" Rangga balik bertanya.
"Kelihatannya Kisanak orang persilatan. Dan luka itu, mungkin akibat pukulan. Aku punya ramuan penyembuhnya. Dan biasanya, mereka yang meminum ramuan ku segera sembuh dalam waktu singkat."
"Kau tentu seorang tabib yang manjur. Nah! Kau boleh membuat ramuannya sekarang juga."
"Aku tidak perlu membuatnya. Sebab, telah kusediakan!"
"Telah kau sediakan?" Tanya Rangga. Dahinya tampak berkerut.
"Eh! Maksudku, kawanmu ini telah menjelaskan luka-luka yang kau derita. Sehingga dari rumah, aku telah menyiapkan ramuannya."
"Oh, begitu! Baiklah.... Mana ramuan obatmu itu?"
Mereka kini telah duduk di ruang depan. Dan wanita itu segera mengeluarkan sebuah kantong kulit. Lalu dituangkan isinya ke dalam cangkir, kemudian diserahkannya pada pemuda itu.
"Setelah meminum obat itu, aku harus mengurutmu untuk melancarkan peredaran darahmu!" Kata wanita ini.
"Ya, ya. Lakukanlah."
"Kakang, kurasa itu tidak perlu!" cegah Pandan Wangi, ketika Rangga hendak menenggak isi cawan di tangannya.
"Kenapa?"
"Pokoknya tidak perlu. Bukankah kau katakan tubuhmu sudah sehat?" Pandan Wangi berusaha mengalihkan jawaban karena tidak ingin persoalan bertambah rumit kalau menuduh si Kelelawar Buduk hendak menipu. Karena dalam hati, sedikit pun gadis itu tidak percaya dengan maksud baik mereka berdua!
"Pandan Wangi.... Tadi aku hanya berbohong agar kau tidak cemas. Sebenarnya tubuhku masih lemah dan sakit sekali."
"Kakang, kau...?!"
"Tenanglah. Aku tidak apa-apa. Kelelawar Buduk begitu baik hendak menolongku. Tidak semestinya kita menaruh curiga. Bukan begitu, Kelelawar Buduk?"
"Hm.... Niatku tak lain sekadar untuk menolong kalian berdua. Tak ada lain," tandas si Kelelawar Buduk.
Rangga tersenyum lebar. "Aku belum makan. Dan tidak baik minum obat kalau belum makan. Apakah kau membawa makanan untuk kami?"
"Ey, iya! Maaf, aku sampai lupa. Makanan yang kubawa ini memang khusus untuk kalian!"
Si Kelelawar Buduk bergegas menyerahkan bungkusan yang dibawanya.
"Ayolah kita makan bersama!"
"Eh, tidak! Aku tadi sudah makan lebih dulu di kedai!" tolak si Kelelawar Buduk.
"Hm, sayang sekali. Padahal, makanan ini kelihatannya lezat sekali. Ayo, Pandan! Tidak usah malu-malu!" ajak Rangga seraya menawarkan pada gadis itu.
"Tidak. Aku tidak lapar!" sahut gadis itu cepat, dengan wajah memberengut
"Sayang sekali. Aku memang berpantang makan sendiri kalau tidak ada yang makan bersamaku," ucap Rangga seraya membungkus kembali makanan itu.
"Tapi.... Bukankah kau belum makan? Ayolah, tidak usah sungkan-sungkan!" ujar si Kelelawar Buduk.
"Hm. Sebenarnya aku suka sekali. Tapi, sudah menjadi kebiasaan ku untuk tidak makan di depan orang lain. Dan itu tidak bisa ku rubah. Kecuali...."
"Kecuali apa, Sobat?" Tanya si Kelelawar Buduk.
"Kecuali kalau kalian menunggu di luar."
"Baiklah kalau itu maumu," sahut si Kelelawar Buduk seraya beranjak keluar.
"Kakang! Aku tidak tahu kebiasaanmu yang satu ini?" Tanya Pandan Wangi heran ketika kedua orang itu menunggu di depan.
"Sejak kapan kau punya kebiasaan tidak bisa makan kalau ditunggui?"
"Sejak tadi," sahut Rangga enteng, seraya membungkus rapi makanannya setelah mencampurnya dengan ramuan obat yang berada di dalam cangkir. Pandan Wangi memperhatikan seksama. Dan seketika gadis cerdik ini tahu siasat Rangga. Apalagi, ketika pemuda itu membuang bungkusan makan ke belakang.
"Hm, dasar! Rupanya kau pun hendak mengecohku pula, he?!" Seru Pandan Wangi seraya memukul pundak Rangga pelan dengan perasaan dongkol.
Rangga hanya tersenyum kecil.
"Menurut Kakang, siapa wanita yang bersamanya itu?" Bisik Pandan Wangi bertanya.
"Entahlah. Yang jelas, dia bukan orang sembarangan."
"Dari mana Kakang tahu?"
"Sorot matanya menggambarkan tenaga dalamnya yang kuat."
"Apakah sampai merontokkan hatimu?" Goda Pandan Wangi.
"Pandan, jangan mulai lagi!"
"Iya, iya."
"Wanita itu ada sangkut pautnya dengan si Netra Buana," Lanjut Rangga menduga.
"Dari mana Kakang bisa berpikir demikian?"
"Ramuan obat yang diberikannya, baunya sama seperti asap yang menghilangkan kesadaranku dulu."
"Kurang ajar!" Dengus Pandan Wangi sambil mengepalkan kedua tangan dengan wajah geram. "Kalau begitu, untuk apa tunggu waktu lama lagi? Mari kita bereskan mereka sekarang!"
"Tunggu!" Rangga cepat mencekal pergelangan tangan gadis itu. "Kita tidak boleh bertindak gegabah. Mungkin mereka tidak sendiri. Atau, punya rencana lain."
"Lalu apa yang akan kita lakukan?"
Rangga memberi isyarat agar gadis itu berada lebih dekat lagi dengannya. Kemudian dibisikkannya sesuatu di telinganya. Wajah gadis itu tampak berseri seraya mengangguk setuju.
"Kapan? Sekarang...?"
"Hm, bolehlah," sahut Rangga, segera menyandarkan punggungnya ke dinding. Kini tubuhnya terlihat lemah seperti tidak bertenaga.
"Oh, bagaimana ini?! Bagaimana ini? Kakang Rangga...! Kakang...!" Pandan Wangi berteriak-teriak kebingungan seraya mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu.
Mendengar ribut-ribut dari dalam, si Kelelawar Buduk dan wanita yang tadi bersamanya segera masuk.
"Pandan Wangi, ada apa?" Tanya si Kelelawar Buduk dengan wajah kaget.
"Kau..., kau..., Keparat! Kalian memang telah bersekongkol hendak meracuni Kakang Rangga! Dia tidak sadarkan diri, setelah meminum ramuan obat itu. Wanita laknat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!"
Dengan amarah meluap, Pandan Wangi mencabut senjata kipasnya. Langsung diterjangnya wanita yang datang bersama si Kelelawar Buduk itu.
"Yeaaa!"
Namun sebelum senjata kipas itu mengenai sasaran, tongkat si Kelelawar Buduk telah lebih dulu menangkis.
Trak!
"Dasar keparat! Rupanya dugaanku benar kalau kalian telah bersekongkol untuk membunuh Kakang Rangga! Huh! Aku bersumpah akan membunuh kalian berdua!" teriak gadis itu, semakin kalap dan langsung menerjang si Kelelawar Buduk. "Heaaat!"
ENAM
"Hi hi hi...! Siapa sangka pekerjaan ini ternyata begitu mudah. Hei, Kelelawar Buduk! Kau boleh mendapatkan gadis itu. Atau, barangkali kau perlu bantuan?!" Teriak tabib berusia setengah baya yang dibawa si Kelelawar Buduk melepaskan samaran.
Pandan Wangi melompat ke belakang. Diperhatikannya dengan seksama. Tabib itu telah melepaskan ikatan rambutnya. Sehingga, terlihat rambutnya yang sepanjang pinggang, terurai begitu saja. Begitu juga pakaian yang tadi dikenakan. Kini hanya tinggal penutup dada serta bagian bawah perut yang dilapisi sutera halus tembus pandang. Sebuah selendang melilit pinggangnya. Dia berkacak pinggang sambil tersenyum mengejek pada Pandan Wangi.
"Wanita hina! Siapa kau sebenarnya?!" Hardik Pandan Wangi garang.
"Hi hi hi...! Tidak ada salahnya kau mengetahui siapa diriku. Namaku, Malini. Dan orang-orang menyebutku Iblis Perayu Sukma."
"Iblis Perayu Sukma? Hm, pernah kudengar nama besarmu itu. Tapi, apa gunanya menginginkan Kakang Rangga?"
"Sebenarnya bukan untukku. Tapi untuk sahabatku, si Netra Buana. Tapi di samping itu, aku pun ingin mencicipi kegagahannya. Hi hi hi! Bocah manis.... Kau tentu sudah lama bersamanya, bukan? Tidak ada salahnya kini dia menjadi milikku."
"Cis, tidak tahu malu! Kau kira semudah itu mendapatkannya dariku?"
"Hi hi hi...! Kenapa tidak? Kau kira bisa menghalangi niatku? Boleh jadi nama Kipas Maut membuat gentar kalangan persilatan kelas picisan. Tapi denganku, jangan harap kau bisa berkutik!" Desis Malini tersenyum sinis.
"Tentu saja...!"
Tiba-tiba Rangga bangkit dan berdiri tegak seraya tersenyum sinis. Malini dan si Kelelawar Buduk terhenyak menyaksikannya. "Tidak usah heran. Aku sudah tahu tipu muslihat kalian. Seekor kelinci mungkin bisa terjebak sepuluh kali. Tapi bagiku, terjebak satu kali sudah cukup menjadi pelajaran pahit. Ramuan obat yang kau berikan serta makanan itu telah ku buang," lanjut Pendekar Rajawali Sakti.
Malini cepat menguasai diri. Buru-buru perasaan kagetnya dihilangkan. "Hm, bagus! Rupanya kau mulai cerdik saat ini. Tapi jangan kira bisa lolos dari tanganku!" Dengus Malini sinis.
"Aku tidak bermaksud meloloskan diri. Bahkan hendak menangkap kalian berdua dan akan kuserahkan pada tokoh-tokoh persilatan. Kalian tahu? Mereka saat ini tengah mencari semua anak buah Ki Netra Buana. Maka dengan begitu, aku bisa mengurangi tugas mereka."
"Hi hi hi...! Bocah dungu! Apa kau kira semudah itu? Saat ini boleh jadi mereka tengah mencari si Netra Buana. Namun sebelum sampai, tiga orang kawanku akan membereskan mereka tanpa sisa!" sahut Iblis Perayu Suka sambil tertawa nyaring.
"Mereka tokoh-tokoh hebat. Dan kau kira, semudah itu tiga orang kawanmu membereskannya?" ejek Rangga.
"Seribu orang seperti mereka, tidak ada artinya dibanding tiga orang kawanku. Mungkin kau pernah mengenal nama Raja Katak Hitam, Setan Ular, dan Nyi Pucuk Nyiur. Nah! Apa kau kira mereka bisa menahannya?"
Rangga terdiam sesaat. Ketiga tokoh yang dikatakan Iblis Perayu Sukma bukanlah orang sembarangan. Mereka terhitung datuk-datuk sesat yang belum ada tandingannya. Kalaupun para tokoh itu bisa meringkusnya, pasti akan mengorbankan sekian banyak nyawa. Bisa dibayangkan, mayat-mayat akan bergelimpangan akibat sepak terjang ketiga datuk sesat itu.
"Hi hi hi...! Agaknya kau bisa mengerti keadaan, bukan? Nah, lebih baik, menurut saja padaku. Sebab setelah mereka membereskan kerbau-kerbau tolol itu, ketiganya akan ke sini untuk meringkusmu. Percuma saja kau melawan. Menghadapi seorang sepertiku saja, kau belum tentu mampu!"
Rangga tersenyum. "Iblis Perayu Sukma, biarlah ku coba peruntunganku kali ini. Siapa tahu, kau bersedia mengalah untuk kupenggal lehermu," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Bocah keparat! Agaknya kau tidak bisa diberi hati. Hm.... Kau boleh mampus di tanganku!" Umpat Malini geram, langsung melompat menerjang pemuda itu.
Rangga langsung mengelak. Dan tubuhnya segera mencelat keluar dengan menerobos wuwungan gubuk ini. Sementara Malini dengan gesit mengikuti.
"Kelelawar Buduk! Ringkus bocah perempuan itu! Mungkin kalau kekasihnya celaka, dia bisa lunak!" Teriak Iblis Perayu Sukma, saat tubuhnya melesat
"He he he...! Kau menganggap rendah pada kekasihku?" Ejek Rangga, begitu mendaratkan kakinya di halaman depan.
"Tutup mulutmu, Bocah! Lihat serangan!" bentak Malini garang.
Rangga hanya terkekeh-kekeh mengejek lawannya. Si Iblis Perayu Sukma memang memiliki sifat tinggi hati dan pantang dihina. Di samping itu, dia pun merasa yakin dengan kepandaiannya. Sehingga tak heran dalam setiap pertarungan, selalu menganggap enteng lawan. Tak terkecuali terhadap si Pendekar Rajawali Sakti. Maka ketika setiap kali serangannya selalu menemui kegagalan, hatinya makin panas terbakar amarah.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti dengan enaknya memainkan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Tubuhnya santai saja meliuk-liuk seperti orang menari-nari, di antara kelebatan serangan Iblis Perayu Sukma. Memang jurus ini lebih banyak menghindar. Tapi sekali-kali mampu melancarkan serangan mendadak, yang tak terduga lawan.
"Bocah setan! Apa kebisaanmu hanya menghindar seperti penari, he?! Kuremukkan tubuhmu, Keparat!" hardik Iblis Perayu Sukma, segera meloloskan selendang di pinggangnya.
Sret!
"Nyai Malini! Tidak perlu gusar. Aku ingin bermain-main sejenak denganmu. Bukankah kau menyukaiku?" ejek Rangga, sengaja hendak membuat wanita itu semakin marah. Harapan Pendekar Rajawali Sakti terbukti. Kini wanita itu menggeram. Lalu tiba-tiba ujung selendangnya meliuk dahsyat menghantamnya.
"Jahanam! Kubeset mulutmu itu, Setan!"
Jder!
"Uts! Hampir saja...," keluh Rangga ketika merasakan tenaga kuat dan bunyi menggelegar laksana petir, manakala selendang itu luput menghajarnya.
"Yeaaa!" Malini membentak nyaring. Dan senjatanya meliuk kembali.
Rangga kini telah mengerahkan jurusnya pada tingkat yang tertinggi untuk menghindari serangan senjata Iblis Perayu Sukma. Untuk beberapa saat dia memang mampu menghindarinya. Namun manakala Malini mengeluarkan jurus dahsyatnya yang bernama Bidadari Menari di Atas Pelangi, gerakan wanita itu mulai kacau dan kelihatannya tidak beraturan. Namun sesungguhnya, itu menjadi suatu serangan dahsyat yang membuat Pendekar Rajawali Sakti kebingungan dan beberapa kali diincar maut.
"Ayo, pergunakan jurus pedangmu kalau tidak ingin mampus dengan cuma-cuma!" teriak Iblis Perayu Sukma di sela-sela serangannya. Apa yang dikatakan wanita itu memang benar. Dan Rangga harus mencabut pedangnya kalau tidak ingin celaka.
"Heaaat!"
Sing!
"Bagus! Ingin kulihat, sampai di mana keampuhan jurus pedangmu itu. Ayo, jangan sungkan-sungkan! Kerahkan semua kepandaian yang kau miliki!"
Rangga melompat tinggi dan berputaran ke belakang. Ketika Iblis Perayu Sukma mengejar, pemuda itu tidak menjejak tanah. Dan tahu-tahu tubuhnya bergerak cepat mengitari wanita itu. Sehingga sepintas lalu Iblis Perayu Sukma melihat jumlah Pendekar Rajawali Sakti menjadi banyak.
"Bagus! Bagus...!" puji wanita itu meski mulai kebingungan. Namun perasaannya tidak ditunjukkan pada pemuda itu.
Rangga sengaja mengerahkan jurus Seribu Rajawali untuk mengecoh. Kemudian ketika serangan Iblis Perayu Sukma terlihat mulai mengendor, jurusnya segera dirubah. Langsung dimainkannya jurus Pedang Pemecah Sukma pada tingkat tertinggi untuk menggempur Malini habis-habisan. Malini terkejut, namun hanya sesaat. Selarik cahaya biru dari Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti yang berkelebat ke arahnya, menyambar ke arah leher, dada, dan pinggang dengan kecepatan sulit diikuti pandangan mata. Wanita itu mengibaskan selendangnya bermaksud untuk melibat Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Bres! Cras!
"Aaakh!"
Malini memekik tertahan. Sementara begitu telah mengelebatkan pedang pusakanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di belakangnya pada jarak lima langkah dalam sikap memunggungi. Keduanya terdiam dan masing-masing berdiri tegak. Ketika angin bertiup semilir, terlihat selendang Malini melayang terbang menjadi beberapa potongan. Lalu, tubuh wanita itu ambruk menggelepar berlumuran darah. Leher dan pinggangnya nyaris putus. Nyawanya pun melayang saat itu juga. Rangga menghela napas panjang seraya menyarungkan pedangnya. Lalu diperhatikannya pertarungan antara Pandan Wangi dan si Kelelawar Buduk.
"Hei?!" Bukan main kagetnya si Kelelawar Buduk melihat kematian Iblis Perayu Sukma.
"Hiiih!" Pandan Wangi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kipas Mautnya berkelebat cepat, membuat si Kelelawar Buduk terkesiap. Dia berusaha menangkis dengan tongkatnya. Namun sudah terlambat, ketika ujung senjata gadis itu telah memapak pergelangan tangan kanannya.
Cras!
"Akh!" Si Kelelawar Buduk mengeluh tertahan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang. Tangan kirinya cepat menotok tangan kanannya yang putus untuk menghentikan aliran darah yang terus mengucur deras.
"Keparat! Kubunuh kau, Setan Betina! Yeaaa!" Si Kelelawar Buduk menggeram. Telapak tangan kirinya menghantam Pandan Wangi sambil mengerahkan tenaga dalam tinggi.
Wusss!
"Uts!" Pandan Wangi cepat berkelit dengan meliukkan tubuhnya, menghindari pukulan jarak jauh yang dilancarkan si Kelelawar Buduk. Kemudian dengan gesit dia melompat menerjang dan balas menyerang.
"Hiiih!"
"Uhhh...! Si Kelelawar Buduk merasakan sambaran angin kencang berhawa panas menerpa dirinya. Buru-buru tubuhnya mencelat ke samping. Dan saat itu pula satu tendangan menggeledek telah menantinya. Cepat bagai kilat dia membungkuk. Dan ketika berbalik sambil menghindari kelebatan kipas Pandan Wangi, telapak tangannya menyodok ke arah dada. Namun dengan sigap, kepalan kiri Pandan Wangi menangkis. Dan bersamaan dengan itu, ujung kipasnya kembali menyambar perut.
Plak! Bret!
"Aaa!" Si Kelelawar Buduk terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang robek mengucurkan darah. Sepasang matanya mendelik garang. Wajahnya tampak berkerut menahan rasa sakit serta dendam yang tidak tersampaikan.
"K..., kau." Ucapan laki-laki itu terputus ketika nafasnya terhenti. Tubuhnya langsung ambruk tak berdaya.
"Huh! Dia patut menerima semua ini!" Dengus gadis itu seraya membersihkan senjatanya dari noda darah. Segera kipas baja itu diselipkannya kembali di pinggang.
"Sebenarnya sangat disayangkan kematiannya. Sebab walau bagaimanapun, dia pernah berjasa pada kita," gumam Rangga lirih.
"Tidak perlu, Kakang! Niatnya menolong kita, agar kau bisa diperbudak lagi oleh si Netra Buana!" Dengus Pandan Wangi tegas, seraya menyipitkan mata penuh kebencian memandang mayat si Kelelawar Buduk.
"Sudahlah. Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Orang-orang itu dalam bahaya. Dan kita mesti menolongnya!"
"Apa Kakang yakin?"
"Maksudmu?"
"Mereka berniat meringkus dan hendak membunuhmu," sahut Pandan Wangi, khawatir.
"Pandan! Aku telah berbuat salah. Dan mereka patut menghukumku. Apa pun yang terjadi, aku tidak takut. Yang penting, mereka harus mendengar lebih dulu alasan ku. Ayo, lekas kita berangkat sebelum terlambat!"
Ajak Pendekar Rajawali Sakti bergegas berlari kencang ke satu arah. Pandan Wangi mengikuti dari belakang, meski hatinya ragu.
********************
Seorang gadis berbaju lusuh dengan kelopak mata cekung dan rambut kusut, tampak tengah menunggang kuda. Dia diapit Ki Walang Ijo dan Ki Gempar Persada. Sementara, Nyai Kami berada di belakang mereka. Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar berada paling depan memimpin rombongan. Matahari mulai terang membuat bayangan panjang. Udara mulai terasa segar ketika rombongan itu memasuki sebuah lembah yang subur. Ki Walang Ijo memberi perintah agar mereka berhenti untuk sesaat.
"Ada apa, Ki Walang?" Tanya Ki Polong.
"Tempat ini bernama Lembah Putus Nyawa. Sangat indah pemandangannya. Namun di balik itu, banyak rahasia tersembunyi yang amat berbahaya. Kita mesti hati-hati!"
"Nisanak! Di mana tempat itu?" Tanya Ki Gempar Persada pada gadis di sebelahnya, yang tak lain dari Sarti.
"Di balik gundukan bukit sebelah kiri, terdapat sebuah goa berukuran besar. Di situlah sarang Ki Netra Buana," sahut Sarti, datar.
"Kau yakin?"
Wajah Sarti tampak kurang senang, karena kelihatannya Ki Gempar Persada tidak mempercayai kata-katanya. "Aku tidak peduli, apakah akan tewas dengan kalian atau di tangan Ki Netra Buana. Kita telah tiba di daerah kekuasaannya. Dan sebentar lagi, kalian akan membuktikannya kalau aku tak berdusta!" Sahut Sarti tandas.
"Apa maksudmu?"
Namun pertanyaan Ki Gempar Persada agaknya tidak perlu dijawab, ketika tahu-tahu terlihat beberapa orang muncul dengan senjata lengkap dari jarak lebih kurang dua puluh lima langkah. Jumlah itu perlahan-lahan semakin banyak, keluar dari balik bukit-bukit serta hutan-hutan kecil yang mengelilingi. Demikian pula di atas cabang-cabang pohon. Tampak orang-orang bersenjata lengkap telah mengepung rapat.
"Kita telah terkepung...!" Desis Ki Walang Ijo pelan. Belum lagi habis suaranya, mendadak muncul tiga sosok tubuh di hadapan mereka pada jarak sepuluh langkah. Dua laki-laki berusia lanjut dan seorang wanita tua renta.
"Hi hi hi...! Kita bertemu lagi di sini, Kerbau-kerbau Dungu! Hari ini kalian akan mengantar nyawa sia-sia!" Kata wanita tua renta itu dengan tawa nyaring.
"Hm, Nyi Pucuk Nyiur...!" Gumam Ki Walang Ijo.
"Dan Setan Ular, serta Raja Katak Hitam...!" Seru Ki Gempar Persada dengan wajah kaget.
Mereka segera menyadari kalau lawan-lawan yang akan dihadapi bukanlah tokoh sembarangan. Dan meski di hati terbersit perasaan jerih melihat kehadiran ketiga tokoh itu, namun Ki Walang Ijo dan kedua kawannya berusaha bersikap gagah untuk membangkitkan semangat kawan-kawan yang lain.
"Walang Ijo! Dan kau Gempar Persada! Menyerahlah kalian Suruh semua orangmu meletakkan senjata, dan ikut kami menghadap Ki Netra Buana untuk menerima hukuman!" Teriak orang tua bertubuh pendek dan gempal yang tak lain si Raja Katak Hitam.
"Raja Katak Hitam! Kau boleh bermimpi bila menyangka kami akan menyerah begitu saja!" Dengus Ki Walang Ijo.
"Hik hik hik...! Bukan main dan sungguh hebat! Si Belalang Sakti agaknya masih juga punya nyali. Padahal tak ada gunanya melawan!" Teriak Nyi Pucuk Nyiur mengejek.
"Sebaiknya menyingkirlah kalian dari sini! Kami tidak punya urusan dengan kalian. Dan, suruh si Netra Buana keluar dari sarangnya!" Timpal Ki Gempar Persada.
"Gempar Persada, tutup mulutmu! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!"
Wajah si Raja Katak Hitam berubah garang mendengar kata-kata Ki Gempar Persada yang seolah-olah menganggap sepi kehadiran mereka di sini. Hal itu tidak mengherankan. Sebab, ketiga datuk sesat ini begitu yakin kalau hanya mendengar namanya saja, orang-orang akan takut terhadap mereka. Dan kini, seorang tokoh yang sama sekali tidak dipandang sebelah mata olehnya, seenaknya saja pentang bacot yang bernada meremehkan. Itu saja sudah cukup baginya untuk membunuhnya.
"Hiaaat!" Cepat sekali tubuh Raja Katak Hitam mencelat menyerang Ki Gempar Persada. Bahkan Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar yang dilewati, tidak mampu berbuat apa-apa.
"Hup!" Ki Gempar Persada melompat ke samping untuk menghindari serangan. Akibatnya sungguh hebat. Ternyata kuda tunggangannya menjadi sasaran serangan. Hewan malang itu kontan meringkik nyaring ketika tubuhnya mencelat setinggi satu tombak dan terjungkal roboh. Tulang punggungnya patah. Kuda itu meringkik-ringkik terus menahan ajal.
"Huh! Biar kawannya menjadi bagianku!" Dengus Ki Naga Pertala alias si Setan Ular. Langsung tokoh sesat itu melompat menyerang Ki Walang Ijo.
Sementara hampir bersamaan dengan itu, Nyi Pucuk Nyiur mencari lawan yang dirasakannya setimpal. Nyai Kami! Melihat keadaan ini, yang lain segera mengikuti. Dan sambil berteriak garang, mereka menyerang para tokoh silat lain beserta murid mereka masing-masing.
"Yeaaa...!"
TUJUH
Pertempuran kedua belah pihak tidak bisa terelakkan lagi. Pekik kematian dan tubuh-tubuh yang bergelimpangan, mulai terlihat satu persatu di antara kelebatan orang-orang yang saling baku hantam. Sesungguhnya orang-orang yang bersama tiga datuk sesat itu tidak bisa dianggap sembarangan. Mereka terdiri dari kawanan perampok dan tokoh-tokoh golongan hitam yang memiliki kepandaian lumayan. Sehingga tidak heran bila banyak yang jatuh korban di pihak rombongan tokoh silat aliran putih. Hal ini tentu saja membuat mereka merasa cemas bercampur khawatir. Ki Polong beberapa kali mendapati orang-orangnya tewas. Sehingga dalam waktu singkat, jumlah mereka berkurang banyak.
"Ki Polong! Dua orang kawan kita tewas...!" Teriak Ki Pintur Gumelar di sela-sela pertarungan.
"Siapa?" Tanya Ki Polong.
"Ki Dewantara dan Ki Jaka Gedong...," sahut Ki Pintur Gumelar lemah. Dan dia terus mengamuk hebat sambil mengibaskan pedang untuk menghalau musuh-musuhnya.
"Keparat!" maki Ki Polong geram. Pedang Ketua Padepokan Kalong Wetan itu berkelebat ke sana kemari menyapu tiga orang lawan yang mengurung ketat.
Namun mereka pun bukanlah orang sembarangan. Setiap serangan Ki Polong selalu dapat dihindari dengan mudah. Sementara, sesekali mereka tiba-tiba balas menyerang, membuat luka cukup banyak di tubuh Ketua Padepokan Kalong Wetan itu.
Sementara itu bukan hanya mereka yang mengalami saat-saat sulit. Tampak Ki Walang Ijo beserta kedua kawannya pun pontang-panting menghadapi lawan-lawannya. Nyata sekali kalau serangan-serangan yang dilakukan tidak membawa hasil. Ketiga datuk sesat itu benar-benar menunjukkan bobotnya sebagai tokoh sesat yang memiliki kepandaian hebat. Saat ini keadaan Ki Walang Ijo benar-benar gawat. Apalagi, si Setan Ular mempergunakan senjata mautnya, berupa ular-ular kecil berkulit merah dan memiliki bisa dahsyat.
"Hiiih!"
Wuuut!
Dua ekor ular milik Ki Naga Pertala menderu bagaikan kilat ke arah Ki Walang Ijo. Terpaksa tokoh tua ini berjumpalitan ke samping untuk menghindarinya. Meskipun telah memainkan jurus andalannya yang bernama Belalang Sakti Menangkap Mangsa, namun gerakan si Setan Ular selanjutnya tidak mampu diimbanginya. Dia hanya mampu terkesiap. Dan tahu-tahu, satu dupakan keras menghantamnya.
Duk!
"Wuaaakh!"
Tubuh orang tua itu terpental beberapa langkah ke belakang disertai muntahan darah segar dari mulut.
"Hiiih!"
Ki Naga Pertala melepaskan dua ekor ular beracunnya. Dengan mengerahkan sisa tenaganya yang masih ada, Ki Walang Ijo bergulingan menghindarinya. Kemudian tubuhnya mencelat ke atas manakala kedua ekor ular itu melenting mengejar. Namun saat itu juga, tubuh si Setan Ular telah mengapung ke udara. Dan....
Begkh!
"Aaakh...!"
Sekali lagi tubuh Ki Walang Ijo terpental disertai pekikan keras. Darah kental dari mulutnya langsung muncrat keluar tak tertahankan lagi. Orang tua itu megap-megap dan berusaha bangkit. Bersamaan dengan itu, si Setan Ular kembali melepaskan dua ekor ular beracunnya.
"Hm.... Tamatlah riwayatmu, Kerbau Dungu!" desis Ki Naga Pertala.
Wet!
"Ohhh!" Ki Walang Ijo terkesiap. Kali ini tampaknya dia tak mampu menghindar. Dan nyawanya tentu saja berada di ujung tanduk. Orang tua itu sudah merasa pasrah. Dan hanya keajaiban saja yang bisa menolongnya saat ini. Dan..., sepertinya keajaiban itu memang muncul pada saat yang tepat. Tiba-tiba saja sesosok bayangan putih berkelebat cepat. Langsung disambarnya kedua ekor ular beracun itu.
Kres!
"Heh?!" Ki Naga Pertala alias si Setan Ular terkejut bukan main. Dua ekor ular beracunnya mati dengan tubuh remuk dan terjatuh dekat kakinya. Dan tahu-tahu di dekat Ki Walang Ijo berdiri tegak sesosok pemuda tampan berbaju rompi putih.
"Pendekar Rajawali Sakti...!" Desis Ki Walang Ijo begitu melihat siapa yang muncul. Hati orang tua itu kecut. Dan, semangatnya seperti terbang. Meski, secercah harapan masih tersisa. Dalam hatinya mengira, seorang lagi tokoh hebat kaki tangan Ki Netra Buana muncul. Dan itu sudah cukup untuk menghabisi mereka semua. Namun, kenapa dia menghalangi Ki Naga Pertala?
"Tenanglah, Kisanak. Aku berada di pihak kalian," kata pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau...? Bagaimana mungkin?"
"Ceritanya panjang. Nanti saja kuceritakan. Biar kubereskan dulu orang ini. O, ya. Jangan khawatir. Aku datang bersama si Kipas Maut. Dia tengah mengurus yang lainnya," sahut pemuda itu singkat.
"Hm.... Jadi kau orangnya yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" Tanya Ki Naga Pertala, terdengar sinis.
"Syukurlah kau telah mengetahuinya. Nah! Bersiaplah, Anjing Netra Buana!"
Tidak seperti biasanya, Rangga kini sudah langsung mencabut pedang pusakanya. Bahkan langsung melompat bagai kilat menyerang si Setan Ular.
"Hiiih! Yeaaa...!"
Bet!
"Uts! Bocah haram jadah! Kau akan merasakan kematian di tanganku!" dengus Ki Naga Pertala langsung berkelit cepat dari tebasan Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Ada dua hal agaknya yang membuat Pendekar Rajawali Sakti tidak mau berbasa-basi menyerang lawan. Yang pertama, dia tahu kalau kepandaian si Setan Ular sangat hebat. Sehingga tak ada gunanya berbasa-basi. Dan kedua, keadaan saat ini amat genting bagi kalangan para pendekar golongan lurus. Kalau waktu dipergunakannya untuk bermain-main, maka korban yang jatuh akan semakin banyak Karena alasan itu, tidak heran kalau Pendekar Rajawali Sakti mengamuk dahsyat.
"Hiyaaat...!"
Tubuh Rangga mencelat ringan bagai kilatan cahaya. Sementara batang pedangnya yang mengeluarkan sinar biru berkelebat cepat mengurung si Setan Ular. Tampak Ki Naga Pertala terkesiap. Sama sekali tidak diduga kalau si Pendekar Rajawali Sakti mampu melakukan serangan demikian hebat Percuma saja ular-ular beracunnya di-lepaskan. Sebab sebelum mengenai sasaran, ular-ularnya akan tertebas senjata pemuda itu.
"Yeaaat...!"
Ki Naga Pertala mencelat ke atas. Tubuhnya bergulung bagai angin lesus. Dari situ, terpancar kilatan laksana petir yang menyambar Pendekar Rajawali Sakti. Dan itu adalah pengerahan aji saktinya bernama Indra Widyuta. Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha menghindar. Bahkan langsung dikerahkannya aji Cakra Buana Sukma untuk memapak serangan. Ketika tangan kanannya menggosok-gosok batang pedang, maka telapak tangannya mulai membias cahaya biru yang menyebar cepat ke sekujur tubuhnya. Dan secepat itu pula, Rangga memindahkan pedangnya ke tangan kanan. Begitu ajian milik si Setan Ular hampir menghantam tubuhnya, tangan kirinya cepat dihentakkan ke depan.
"Aji Cakra Buana Sukma! Heaaa...!"
Jderrr...!
"Aaa...!"
Terdengar ledakan keras ketika kedua pukulan sakti beradu, sehingga membuat kaget mereka yang berada di tempat itu. Untuk beberapa saat, pertempuran jadi terhenti. Tampak Ki Naga Pertala tersungkur sambil berguling-gulingan ke belakang beberapa kali. Dari mulutnya menggelogok darah kental kehitaman. Bahkan tubuhnya menghitam cepat. Orang tua itu hanya mampu menarik napas tertahan dengan sepasang mata mendelik garang. Kemudian, tubuhnya ambruk tidak berkutik!
Sedang Rangga sempat terhuyung-huyung beberapa tindak ke belakang. Namun Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak dengan wajah kelam membesi membiaskan cahaya biru yang terpancar dari batang pedangnya. Kedua bahunya turun naik tidak beraturan, menandakan pernafasannya agak kacau akibat benturan kedua pukulan sakti tadi.
"Bocah keparat! Kau akan mampus di tanganku...!" teriak Ki Bangkong alias si Raja Katak Hitam geram, langsung melompat tinggi ke atas dan berjumpalitan beberapa kali. Ketika kedua kakinya jatuh berdebum, telapak tangan kirinya menghantam tanah. Sementara telapak tangan kanannya disorongkan ke muka.
Werrr...!
"Yiaaat!"
Serangkum angin kencang laksana topan yang berhawa panas dan mengeluarkan cahaya kuning, menerpa Pendekar Rajawali Sakti dengan hebat. Cepat bagai kilat, Rangga mencelat ke atas menghindarinya. Sehingga, pukulan itu luput dari sasaran. Namun, akibat yang ditimbulkan si Raja Katak Beracun itu sungguh dahsyat. Beberapa orang yang sudah kembali bertarung di belakang si Pendekar Rajawali Sakti, terpental dengan tubuh remuk tanpa mampu menjerit lagi.
Bahkan beberapa pohon besar yang terkena hantaman pukulan itu hancur berantakan. Rangga tidak mempedulikan. Dan dia balas menghantam si Raja Katak Hitam dengan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Begitu tangan kirinya menghentak ke depan, selarik cahaya merah laksana kobaran bara api melesat cepat menyambar Ki Bangkong.
"Haiiit!" Ki Bangkong mencelat ke samping. Namun, pukulan itu agaknya memang disengaja si Pendekar Rajawali Sakti untuk mengecoh. Dan ternyata, serangan sesungguhnya adalah lewat kelebatan pedangnya yang menderu dahsyat.
Bet! Bet!
Ki Bangkong terkesiap. Pendekar Rajawali Sakti menyerang begitu cepat pada jarak dekat. Sehingga tak ada kesempatan buatnya untuk mengeluarkan pukulan dahsyat tadi, yang bernama Pukulan Katak Beracun!
"Hiiih!"
Cepat-cepat Ki Bangkong berusaha menghantam ketika Pendekar Rajawali Sakti berkelebat ke samping. Tapi, Rangga telah memutar tubuhnya dengan indah. Lalu dia melompat ke atas melewati kepala si Raja Katak Hitam. Dan tahu-tahu, ujung pedangnya menyambar ke arah leher. Bukan main kagetnya Ki Bangkong. Malah, kepalanya sampai mendongak. Dan akibatnya....
Cras!
"Wuaaa...!"
Ki Bangkong memekik setinggi langit. Dadanya kontan robek disambar pedang Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua bermuka buruk itu pun ambruk, dan tewas bersimbah darah dengan mata terbelalak lebar. Kematian dua orang datuk sesat itu mengembalikan semangat tokoh-tokoh golongan lurus. Sehingga kini mereka bertempur lebih bersemangat.
Sebaliknya pihak golongan sesat mulai khawatir. Satu-satunya andalan mereka saat ini adalah Nyi Pucuk Nyiur yang sedang menghadapi keroyokan Ki Gempar Persada dan Nyai Kami. Namun meskipun dikeroyok dua begitu, wanita yang tergolong datuk sesat itu sama sekali tidak mampu terdesak Bukan saja gerakan Nyi Pucuk Nyiur yang hebat bukan main. Tapi, juga tenaga dalamnya sangat kuat.
"Kisanak berdua! Tinggalkan saja nenek peot ini untukku! Bantulah yang lain membereskan lawan-lawannya," ujar Pendekar Rajawali Sakti, langsung melompat menyerang Nyi Pucuk Nyiur.
Suara yang dikeluarkan pemuda itu terdengar menggelegar mendebarkan jantung. Mereka mendengarnya seperti ancaman maut yang amat menakutkan. Malah wajah Pendekar Rajawali Sakti saat ini begitu terlihat bagai malaikat maut dengan batang pedang melintang di mukanya. Kedua orang itu terkesiap, dan langsung melompat menghindar. Mereka terpaku sesaat, sebelum menolong yang lain membereskan lawan.
"Bocah busuk! Akan ku rencah tubuhmu dengan senjataku...!" Desis Nyi Pucuk Nyiur seraya mengibaskan sapu lidi yang diberi tongkat. Senjata itu kelihatannya remeh dan lucu. Namun di tangan Nyi Pucuk Nyiur, menjadikan alat pembunuh yang mengerikan. Pada setiap ujung satu pucuk lidi, terdapat racun yang amat mematikan.
Bila saja ada orang yang berusaha memapas sapu lidi itu dengan senjata biasa, maka akan terkejut. Karena bukan senjata itu yang putus, tapi senjata biasa yang akan papas. Dan memang sapu milik Nyi Pucuk Nyiur sepintas lalu seperti lidi daun kelapa. Namun sesungguhnya, merupakan kumpulan kawat baja pilihan yang alot dan amat kuat.
Trang! Bet!
Tangan Pendekar Rajawali Sakti bergetar ketika kedua senjata mereka beradu. Sapu lidi nenek itu sama sekali tidak rusak. Jelas terbukti, selain senjata itu memang hebat, pemiliknya pun memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi Rangga sama sekali tidak mempedulikannya meski disadari kalau Nyi Pucuk Nyiur memiliki kepandaian sedikit lebih tinggi ketimbang kedua kawannya. Terutama, tenaga dalamnya.
Dengan turunnya Ki Gempar Persada dan Nyai Karni membantu Ki Polong dan yang lainnya, maka pihak golongan sesat mulai berjatuhan. Sehingga dalam waktu singkat keadaan menjadi terbalik. Sebenarnya, hal itu sudah terjadi sejak kedua tokoh andalan golongan sesat binasa di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga nyali semakin ciut, yang membuat mereka kehilangan semangat tempur.
Lalu ketika Ki Gempar Persada dan Nyai Kami mengamuk hebat, banyak yang merasa tak perlu melanjutkan pertempuran ini. Maka tidak heran ada yang langsung melarikan diri dari pertempuran. Tentu saja hal ini amat menggembirakan bagi Ki Polong dan kawan-kawannya. Semangat mereka makin menyala-nyala dalam menghajar lawan-lawannya.
Sementara itu, pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti dan Nyi Pucuk Nyiur semakin alot dan berlangsung seru. Nyi Pucuk Nyiur telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghabisi pemuda itu secepatnya. Namun, agaknya Pendekar Rajawali Sakti bukanlah lawan enteng. Gerakan pemuda ini gesit sekali dalam setiap menghindari serangan. Kemudian tiba-tiba saja menyelinap ke daerah pertahanan wanita tua itu dengan melakukan serangan kilat. Dan ini sering membuat Nyi Pucuk Nyiur menyumpah-nyumpah tak karuan.
"Haram jadah! Bocah edan! Kau benar-benar menguji kesabaranku...!" Teriak wanita tua itu marah.
Rangga tidak meladeni serapah Nyi Pucuk Nyiur. Tubuhnya mencelat ke belakang, setelah serangannya dapat dielakkan. Dengan menekuk punggung dan menyilangkan pedang di dada, dia siap menyambut serangan ketika senjata wanita tua itu menerpa kencang yang menimbulkan desir angin laksana badai topan.
"Hup!" Rangga cepat bergulingan di tanah. Lalu mendadak tubuhnya melenting ke atas seraya menekuk kedua kaki. Pedangnya tampak bergulung-gulung laksana ombak di laut yang mengamuk dahsyat.
"Hiyaaa...!"
"Hiiih!"
Selarik cahaya kuning yang dilepaskan Nyi Pucuk Nyiur nyaris menyambar batok kepala Rangga kalau tidak cepat menundukkan kepala. Sementara ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke arah dada. Namun, Nyi Pucuk Nyiur telah mencelat ke belakang sambil jungkir balik menghindarinya. Melihat itu, Rangga langsung menghantam menggunakan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Maka selarik cahaya merah langsung menerpa ke arah Nyi Pucuk Nyiur dengan kuat. Wanita tua itu melejit ke samping untuk menghindarinya. Namun, Rangga kembali melepaskan pukulan bersamaan tubuhnya yang mencelat ke arah Nyi Pucuk Nyiur.
"Hup!"
"Heaaat!"
Nyi Pucuk Nyiur bergulingan menghindarinya sambil menyumpah-nyumpah tak karuan. Pada saat itu pula, ujung pedang Rangga menyambar ke arah perut. Wanita itu sempat menangkis dengan senjatanya. Namun lutut kanan Pendekar Rajawali Sakti ditekuk, dan langsung dihantamkan ke dada wanita tua itu.
Trang!
Bugkhr
"Aaakh...!"
Nyi Pucuk Nyiur menjerit keras. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Tapi saat itu pula Pendekar Rajawali Sakti telah mengejarnya sambil bergulingan. Dan....
Wuuuk! Cras!
"Aaa...!"
Nyi Pucuk Nyiur kembali memekik nyaring dengan pinggang nyaris putus begitu pedang Rangga membabatnya. Tubuhnya kontan ambruk bermandikan darah, dan tewas beberapa saat kemudian setelah menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih!
"Nyi Pucuk Nyiur tewas...!" Teriak seseorang.
"Apa?!"
"Heh?!"
Sesaat timbul kegaduhan. Dan nyali orang-orang Ki Netra Buana semakin ciut Mereka hendak melarikan diri dari pertempuran, karena merasa tidak ada gunanya lagi melanjutkannya. Tapi saat itu, bertiup angin kencang yang menerpa di seluruh lembah ini.
Werrr!
"Apa ini? Dari mana datangnya...?!" Teriak orang-orang kebingungan.
Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak dengan kedua telapak tangan bertumpu pada gagang pedang yang ujungnya menyentuh tanah. Untuk sesaat dia memusatkan pikirannya. Disadari betul kalau badai topan itu bukan terjadi dengan sendirinya. Tapi, akibat perbuatan seseorang.
"Ki Polong! Tolooong...!"
"Tolooong...! Aaakh...!"
Mendadak terdengar jeritan panjang yang memenuhi sekitar arena pertarungan, begitu angin yang kencang tadi menerbangkan apa saja yang berada di sekitarnya. Beberapa buah pohon tumbang. Dan mereka yang tidak memiliki tenaga dalam kuat, terpelanting laksana sehelai daun kering.
"Heaaat...!"
Pada saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti berteriak menggelegar. Dan tiba-tiba telapak kirinya dis-orongkan ke muka. Dari telapak itu seketika menderu angin kencang laksana badai topan, yang menghantam pusat angin topan yang pertama. Beradunya kedua angin topan yang dahsyat, menimbulkan tenaga dorongan yang menerpa ke mana-mana. Sementara Pendekar Rajawali Sakti yang mengerahkan aji Bayu Bajra, perlahan-lahan bergerak ke depan. Lalu ketika jarak terasa dianggap telah cukup dekat, pedangnya cepat diputar-putar menerobos tekanan angin kencang di depannya.
"Hiyaaat..!"
Bet! Wuuut!
"Hm...."
Desir angin kencang itu mendadak berhenti. Dan sebagai gantinya, terlihat dua orang saling bertarung dengan gerakan sulit diikuti pandangan mata biasa. Ki Walang Ijo beserta kedua kawannya bisa menduga kalau yang seorang pasti Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang satunya, mereka masih belum bisa menduga dengan pasti. Mungkin salah seorang anak buah Ki Netra Buana. Atau... mungkin Ki Netra Buana sendiri?
DELAPAN
"Hup...!"
Salah seorang yang tengah bertarung tampak mencelat ke belakang, membuat jarak. Begitu kakinya menjejak tanah, jelaslah siapa orang itu. Dia adalah seorang laki-laki tua berambut sepunggung yang dibiarkan begitu saja tanpa pengikat. Wajahnya bersih, meski terlihat kerut-merut yang menandakan usianya telah lanjut. Sebagian rambutnya telah beruban. Namun begitu, tubuhnya masih terlihat kekar meski ti-dak terlalu besar. Baju berukuran besar dengan dasar merah berkembang-kembang berwarna biru dan hijau. Sepasang matanya tajam manakala mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Ki Netra Buana...!" Desis Ki Gempar Persada dan kedua kawannya dengan wajah kaget. Demikian juga Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar serta beberapa tokoh silat lainnya yang dulu pernah menghadapi tokoh tua yang baru muncul itu.
"Hua ha ha...! Siapa sangka akhirnya kita bertemu lagi di sini, sobat-sobat lamaku!" Suara tawa laki-laki tua yang memang Ki Netra Buana menggelegar dan menyakitkan pendengaran mereka yang berada di sini. Beberapa orang langsung terkapar dengan lobang telinga mengucurkan darah. Bahkan Ki Polong dan Ki Pintur Gumelar yang terhitung memiliki tenaga dalam kuat, sempat tertunduk lemas. Wajah mereka berkerut, dengan kedua tangan mendekap telinga.
"Netra Buana! Hentikan ocehanmu...!" Bentak Pendekar Rajawali Sakti, juga disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Orang tua itu langsung menghentikan tawanya. Matanya kontan mendelik garang, kemudian bibirnya tersenyum sinis. "Hm.... Budakku tersayang. Apa kabarmu saat ini? He he he...! Agaknya kini kau baik-baik saja, bukan?"
"Netra Buana! Perbuatanmu sungguh licik! Dan aku bersumpah tidak akan memaafkanmu. Kau sirep aku dengan tipu muslihat, sehingga kesadaranku hilang. Lalu kau suruh aku membunuh tokoh-tokoh yang tidak bersalah apa-apa padaku, demi kepuasan!" Pendekar Rajawali Sakti yang sudah demikian geram karena telah terpedaya oleh Ki Netra Buana memang tak ada niat untuk memberi maaf. Baginya kematianlah satu-satunya bagi tokoh sesat berkepandaian tinggi ini.
"He he he...! Syukurlah kau telah sadar. Tapi kini, aku sudah tidak memerlukanmu lagi. Dan kau boleh mampus sekarang juga!" desis Ki Netra Buana seketika tongkat pendek dalam genggamannya dikibaskan.
Wuuut!
"Heh?!" Rangga terkejut. Tiba-tiba saja di hadapannya berdiri tiga sosok tubuh yang bentuk dan potongannya mirip betul dengan Ki Netra Buana. Lalu dengan tiba-tiba saja, ketiga sosok Ki Netra Buana itu menyerangnya dengan ganas.
"Aku berjuluk Tongkat Sihir Dewa Api! Dan yang kau hadapi ini, memang ilmu sihir. Tapi jangan kira mereka tidak bisa melukaimu!" Teriak Ki Netra Buana, mengingatkan.
"Persetan dengan segala ilmu iblismu!" Desis Rangga. Seketika itu pula, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat, mengerahkan jurus Seribu Rajawali. Dengan mengerahkan jurus itu, tubuhnya seolah-olah berjumlah banyak. Rangga menyadari, apa yang dikatakan Ki Netra Buana benar. Sehingga tidak ingin meladeni serangan ketiga sosok tubuh ciptaan Ki Netra Buana, melainkan menyerang lawannya yang asli.
"Hiyaaat...!"
Sambil terus mengitari Ki Netra Buana dengan jurus Seribu Rajawali, Pendekar Rajawali Sakti juga mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Begitu tangannya menghentak ke depan, melesat cepat selarik cahaya merah ke arah Ki Netra Buana. Namun orang tua itu hanya terkekeh. Bahkan dengan mudah menghindari dari serangan Rangga.
"He he he...! Hanya segitukah kepandaianmu? Hm, sungguh memalukan!" Ejek Ki Netra Buana alias Tongkat Sihir Dewa Api. Namun kata-kata Ki Netra Buana terhenti, ketika ujung pedang Rangga tahu-tahu telah berada dekat ke tenggorokannya. "Jangkrik...!" Umpat Tongkat Sihir Dewa Api kesal seraya melompat ke belakang.
"Hiiih!" Rangga tidak memberi kesempatan. Telapak tangan kirinya cepat menghantam ke depan, mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Maka kembali cahaya merah melesat menghantam tokoh sesat itu.
Meski Ki Netra Buana mampu menghindarinya, namun cukup membuatnya repot. Karena si Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan sedikit pun padanya untuk bergerak leluasa. Hal itu amat menjengkelkan, karena membuat perhatian Ki Netra Buana buyar. Dan dengan demikian, tiga sosok tubuh ciptaannya menghilang.
"Lihat!" Bentak Ki Netra Buana membentak nyaring, ketika ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar tenggorokannya.
Rangga terkesiap melihat sepasang mata Tongkat Sihir Dewa Api yang berkilat tajam, memancarkan sinar menyilaukan pandangan. Dan tahu-tahu....
Duk!
"Hoakh...!" Rangga terpental ke belakang sambil memuntahkan darah segar, akibat satu pukulan keras yang terasa merontokkan isi dadanya. Kepalanya terasa pusing dan langkahnya goyah.
"Kakang Rangga...!" Jerit Pandan Wangi cemas, melihat keadaan pemuda itu. Dan si Kipas Maut bersiap akan melompat membantunya, namun Nyai Kami buru-buru mencegah.
"Jangan, Nisanak! Kau akan celaka sendiri!"
"Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" Sentak Pandan Wangi, berusaha melepaskan diri. Nyai Kami menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang.
"Maaf.... Aku terpaksa bertindak kasar padamu. Sebab bila kau berusaha membantunya, kalian akan celaka bersama." Setelah berkata begitu, Nyai Kami memandang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti! Jangan tatap matanya! Si Netra Buana akan menguasaimu dengan sihirnya, jika kau melawan tatapan matanya!" teriak Nyai Kami, lantang.
Rangga terkesiap. Lalu buru-buru dia berdiri tegak sambil mengambil napas dalam-dalam. Kemudian terlihat matanya terpejam. Kali ini pemuda itu ingin menerapkan jurus anehnya yang didasarkan pada ilmu Pembeda Gerak dan Suara.
"He he he...! Kau ingin menghadapiku dengan cara seperti itu? He he he...! Kau malah mempercepat kematianmu sendiri, Bocah!" Ejek Ki Netra Buana alias Tongkat Sihir Dewa Api. Ki Netra Buana mengibaskan tongkat pendeknya. Dan bersamaan dengan itu, menjelma sepuluh sosok tubuh yang mirip dengannya yang langsung mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian sosok-sosok itu bergerak bersamaan menyerang Rangga bersama Tongkat Sihir Dewa Api.
"Yeaaa...!"
"Hup!" Rangga menekuk kaki kanan dengan pedang melintang di dada. Tubuhnya menekuk dengan dada ke atas. Lalu tiba-tiba saja, dia berputar ke kiri ketika dua serangan melesat menghantam dari arah kanan. Kini tubuh Pendekar Rajawali Sakti meliuk-liuk ke depan, seperti orang yang sedang mabuk. Kedua kakinya bergerak lincah menghindari serangan lawan-lawannya. Meski sosok-sosok ciptaan Ki Netra Buana sekadar sihir belaka, tapi Rangga merasakan angin serangan dahsyat. Entah, ilmu apa yang dipergunakan Tongkat Sihir Dewa Api. Namun, Pendekar Rajawali Sakti merasa yakin kalau lawan-lawan ciptaan Ki Netra Buana ini bisa melukainya.
Wuuut!
"Uhhh, Setan...!" Ki Netra Buana mengumpat. Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti nyaris merobek tenggorokannya. Ki Netra Buana mencelat ke belakang. Kemudian kedua telapak tangannya digosok-gosokkan. Perlahan-lahan, kedua tangannya sampai sebatas siku terlihat merah membara. Bahkan timbul nyala api yang semakin marak dan menyelubungi tubuhnya.
"Heh?! Aji Dewa Api!" desis Ki Gempar Persada dan kedua kawannya kaget.
"Astaga! Ternyata dia telah menguasai ilmu sakti itu!" seru Ki Walang Ijo.
"Ki Polong! Perintahkan yang lain untuk menyingkir pada jarak yang cukup jauh!" Teriak Nyai Kami memperingatkan. Meski tidak mengerti apa maksud wanita tua itu, Ki Polong mengikutinya saja. Segera dia memerintahkan yang lain untuk menyingkir pada jarak yang cukup jauh.
Apa yang dikhawatirkan ketiga tokoh itu memang beralasan. Buktinya ketika Ki Netra Buana membentak nyaring dengan sebelah kaki menghantam bumi, arena pertarungan seketika dipenuhi kobaran api yang menyala-nyala laksana keluar dari perut bumi. Bahkan sampai mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Rangga...! Oh! Lepaskan aku! Dia bisa celaka! Aku harus menolongnya...!" Teriak Pandan Wangi parau bernada khawatir dan amat memelas.
"Percuma saja, Nisanak. Tak ada seorang pun yang bisa menolongnya. Sekali api itu menjilat tubuh, maka akan langsung merebak ke sekujur tubuh. Api itu bukan jenis sembarangan. Bahkan amat mematikan. Belum pernah ada yang selamat bila terjilat olehnya," Jelas Nyai Kami lemah.
"Ini semua salahmu! Kalau saja kau tidak mencegah ku, maka tadi aku bisa menolongnya!" Sentak gadis itu berang, dengan kelopak mata berair.
"Kalau aku tidak mencegahmu, maka kau akan terkurung bersamanya. Apakah kau memiliki tenaga hebat, sehingga bisa melindungi diri sendiri? Mungkin Pendekar Rajawali Sakti mampu melindungi dirinya. Tapi, bisakah dia melindungimu? Kau hanya membuat beban baginya."
"Lalu kalian? Apa yang kalian lakukan?! Hanya menonton dan tidak berbuat apa-apa?! Padahal, dia bertarung mati-matian membela selembar nyawa kalian semua...?!"
Nyai Kami dan yang lain hanya bisa diam membisu mendengar kata Pandan Wangi yang terasa menusuk telinga dan sampai ke jantung. Tapi, semua menyadari kalau kepandaian Ki Netra Buana amat pe-sat dibanding sebelas tahun lalu. Tentu saja kepandaian mereka saat ini tidak ada seujung kuku Ki Netra Buana. Bila mereka memaksakan diri, maka hanya kematian sia-sia saja yang diperoleh. Sebab baru melawan ketiga anak buahnya saja, mereka tidak berkutik!
Sementara itu tubuh si Pendekar Rajawali Sakti terlihat telah terselubung cahaya biru. Sehingga, api yang mengelilingi di sekitarnya tidak mampu menjilati tubuhnya. Selarik kobaran api membelenggu Pendekar Rajawali Sakti laksana lilitan seekor ular berukuran besar. Sementara Rangga balas menyerang dengan mengibaskan pedangnya.
"Heaaat...!"
Cahaya biru yang menyelubungi tubuh Pendekar Rajawali Sakti menggembung sesaat. Kemudian, mengempis disertai muntahan kilatan biru yang menerpa Ki Netra Buana dengan gerakan amat cepat.
"Aaakh!" Ki Netra Buana memekik nyaring. Tubuhnya yang diselimuti kobaran api, terjungkal ke belakang seperti dihantam bandul besi yang kuat bukan main. Cahaya biru yang terpancar dari batang pedang Pendekar Rajawali Sakti terus menekannya dengan kuat. Lalu ketika pemuda itu melompat mendekati.
Bruesss!
Ki Netra Buana terhenyak. Kepalanya kontan putus dari tempatnya ditebas Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Maka seketika itu juga, kobaran api sirna. Sedang Tongkat Sihir Dewa Api tergeletak kaku dalam keadaan menghitam. Rangga sendiri berdiri terpaku dengan tatapan lesu. Semua melihat, dari ujung bibirnya menetes darah kental. Kemudian..., tubuh pemuda itu sendiri ambruk terduduk!
"Kakaaang.,.!" Pandan Wangi menjerit keras. Dan kali ini, Nyai Karni tidak berusaha menghalangi. Bahkan bersama yang lain mereka mengerubungi pemuda itu.
"Nisanak, coba kuperiksa nadinya," ujar Nyai Karni lembut ketika Pandan Wangi memeluk pemuda itu dengan airmata berlinang.
Gadis itu sempat memeriksa. Nyatanya, detak jantung Rangga terhenti dengan nadi tidak berdenyut. Maka langsung diduga kalau Rangga telah tewas. Pertarungan tadi berlangsung antara hidup dan mati. Meski Ki Netra Buana tewas, bukan berarti Pen-dekar Rajawali Sakti selamat. Jelas pemuda itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menembus pertahanan Tongkat Sihir Dewa Api.
Pandan Wangi sendiri menyadari kalau Rangga telah menggunakan aji Cakra Buana Sukma pada tingkat tertinggi untuk membinasakan lawan. Dan itu berarti menguras seluruh tenaganya. Padahal Rangga baru saja sembuh dari luka-luka yang diderita akibat pertarungan dengan Ki Walang Ijo beserta kedua kawannya, beberapa minggu lalu.
"Hm, masih ada harapan. Nadinya berdenyut lemah sekali. Coba kau tolong tahan kedudukannya," gumam Nyai Karni seraya memerintahkan agar menahan tubuh Rangga dalam keadaan terduduk. Kemudian wanita tua itu sendiri duduk bersila di belakang Rangga. Ditariknya napas dalam-dalam seraya meletakkan kedua tangan di pinggang. Lalu, tiba-tiba saja kedua telapak tangannya ditempelkan ke punggung Rangga.
"Heup!"
Semua orang menyadari kalau Nyai Karni berusaha menolong Pendekar Rajawali Sakti dengan menyalurkan hawa murni ke tubuh pemuda itu. Beberapa saat kemudian terlihat perubahan. Kulit Rangga yang semula pucat, kini terlihat seperti dialiri darah. Tubuhnya berkeringat, seperti yang dialami Nyai Kami. Terdengar pemuda itu tersedak. Lalu darah segar mengucur deras dari mulutnya.
Pandan Wangi tampak cemas. Dan tahu bila penyaluran hawa murni itu gagal, maka jiwa Rangga tidak akan tertolong lagi. Namun, perlahan-lahan wajah gadis itu berubah lagi melihat Rangga mulai batuk-batuk, seiring Nyai Karni menyudahi penyaluran tenaga dalamnya. Wanita tua itu menarik napas panjang, sambil menyeka keringat yang membanjir di sekujur tubuhnya. Wajahnya tampak pucat.
"Kakang, kau tak apa-apa...?" tanya Pandan Wangi dengan wajah cemas.
"Pandan...," ujar Rangga lemah, lantas memandang ke sekeliling.
"Nyai Karni yang tadi menolongmu...," jelas Pandan Wangi.
Pemuda itu merangkapkan kedua tangan memberi hormat pada wanita tua. "Nyai Karni, aku berhutang budi padamu. Bagaimana aku harus membalasnya."
"Kau tidak perlu membalasnya, Pendekar Rajawali Sakti. Apa yang kulakukan bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang telah kau lakukan...."
"Nyai Karni... Sebenarnya kedatanganku ke sini ada dua hal. Pertama melenyapkan Ki Netra Buana. Dan kedua, menyerahkan diri pada kalian untuk menerima hukuman atas perbuatan-perbuatan biadab yang telah kulakukan. Pandan Wangi telah banyak menceritakan padaku tentang apa yang telah kulakukan. Dan aku merasa sangat bersalah," sahut pemuda itu lemah.
Nyai Karni tersenyum seraya menepuk pundak pemuda itu. "Pendekar Rajawali Sakti, kami telah mengetahui cerita yang sebenarnya. Kau tentu tidak melakukannya bila keadaanmu sadar. Kami tahu, kau telah di sirep oleh Ki Netra Buana, sehingga membuat akalmu hilang. Dan di samping itu, dia pun telah menyihir mu."
"Tapi...."
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan."
"Apa yang dikatakan Nyai Karni memang benar. Dan kurasa semua yang hadir di sini pun menyetujui. Apa yang kau lakukan memang kesalahan besar. Namun karena kau melakukannya tanpa sadar, maka kami tidak bisa menyalahkanmu. Apalagi, kemunculan Ki Netra Buana juga akibat kesalahan kami, yang membiarkannya tetap hidup. Akibatnya, dia muncul kembali untuk membalas dendam terhadap kami, dengan menggunakan tenagamu. Kini kau telah sadar kembali. Bahkan kau telah membalasnya dengan setimpal. Kau telah membinasakan pokok pangkal keangkaramurkaan ini, yaitu Ki Netra Buana beserta semua anak buahnya. itu telah cukup membuktikan kalau sesungguhnya kau memiliki hati yang halus," timpal Ki Gempar Persada.
Rangga memandang mereka satu persatu. Orang-orang itu mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih atas pengertian Kisanak semua. Aku sangat terharu, dan bisa merasakan persahabatan kalian. Mudah-mudahan, di lain waktu aku tidak membuat kekeliruan yang dapat membawa malapetaka bagi banyak orang," kata Rangga lirih.
Nyai Karni mengangguk. Begitu juga yang lainnya. "Sisa-sisa anak buah Ki Netra Buana melarikan diri. Dan..., rasanya, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan. Kalau kau memerlukan bantuan, kau bisa menghubungi kami. Pendekar Rajawali Sakti, kami mohon pamit," lanjut Nyai Karni.
Bersama yang lain, mereka meninggalkan tempat itu. Beberapa orang menepuk-nepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum haru. Tempat ini telah sepi. Orang-orang itu telah menjauh. Dan yang tinggal hanya mayat-mayat yang bergelimpangan.
Rangga terpaku. Ternyata ada seseorang yang belum beranjak dari tempatnya. Seorang gadis belia berwajah cantik berbaju lusuh, seperti wajahnya yang suram penuh kesedihan. Rambutnya yang panjang, dibiarkan lepas begitu saja. Kusut masai. Dan beberapa helai di antaranya menyapu wajah manakala angin bertiup perlahan.
"Pandan, siapa gadis itu? Kenapa dia menatap ku sedemikian rupa? Apakah aku pernah mengenalnya?" tanya Rangga heran.
"Kau betul-betul tidak mengingatnya?"
Rangga terdiam. Dan dahinya tampak berkerut berusaha mengingat-ingat. "Samar-samar...."
"Namanya, Sarti. Dan ketika kau tidak sadar, dia adalah kekasihmu. Sehingga, kau melupakan aku begitu saja," jelas Pandan Wangi setelah menarik napas panjang, berusaha menekan perasaan gemuruh di hatinya.
"Benarkah...?" Tanya Rangga seperti tak percaya.
Pandan Wangi tidak berusaha meyakini. Perlahan, Sarti menghampiri mereka, lalu berhenti tepat di depan pada jarak dua langkah. Dia memandang sesaat pada Pandan Wangi.
"Maafkan.... Aku tidak bermaksud merebutnya darimu. Sungguh, aku tidak mengetahui sebelumnya," ujar Sarti lirih.
Pandan Wangi berusaha tersenyum. Sarti menoleh pada Rangga dan memandangnya agak lama.
"Kakang Rangga, maafkan. Mungkin kau lupa kalau kita pernah dekat untuk sesaat. Itu sangat indah, meski hanya ku rasakan seorang diri. Tanpa sadar, aku telah merebutmu dari orang lain. Semula itu kulakukan untuk menuruti perintah Ki Netra Buana. Aku tidak punya pilihan, sebab pernah berhung budi padanya. Namun belakangan kusadari, bahwa aku memang suka padamu. Tapi, rasanya tak pantas bagiku. Diriku kotor. Dan lebih dari itu..., ada seseorang amat mencintaimu. Maafkan aku" Setelah berkata begitu, perlahan Sarti berbalik. Kemudian kakinya melangkah pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
"Masih ingatkah di benakmu...?" Tanya Pandan Wangi kembali, ketika gadis itu telah semakin menjauh.
"Entahlah," desah Rangga.
"Hm.... Dia cantik."
Rangga memandang Pandan Wangi sambil tersenyum pahit. "Dalam keadaan sadar, orang bisa saja berbuat salah. Dan, banyak orang bisa memaafkannya. Tapi bila dalam keadaan tidak sadar, dan seseorang melakukan kesalahan, apakah orang lain tidak bisa memaafkannya? Apalagi, orang yang amat dekat di hatinya...? Jadi, apakah kau betul-betul tidak bisa memaafkan ku...?"
Pandan Wangi membalas tatapan pemuda itu. Lalu sambil memberengut kesal, segera digamitnya lengan Rangga. "Sudahlah..." kata Pandan Wangi seraya mengajak Rangga berlalu.
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: PUTRI RANDU WALANG