KERIS IBLIS
SATU
DESA KAHURIPAN terletak persis dibawah kaki Gunung Tambur, dengan sebuah sungai lebar disebelah selatannya. Tempat itu memiliki suasana yang damai dan tentram, hingga tak heran bila selama ini tak pernah ada kekacauan sedikit pun.Konon itu berkat kepala desanya yang cakap dan trampil bernama Suteja. Sebagian besar penduduk mengetahui bahwa beberapa belas tahun silam kepala desa itu adalah seorang tokoh terkenal di dunia persilatan. Ilmu olah kanuragannya cukup lumayan. Sampai akhirnya beliau mengundurkan diri setelah mempersunting seorang gadis penduduk asli desa ini dan memilih menetap diKahuripan sampai sekarang.
Pagi ini suasana desa tampak mendung. Ayam jantan telah berkokok bersahutan. Biasanya fajar telah merekah di ufuk timur, namun kabut seperti tak tersibak sehingga membuat malam terasa lebih panjang.
Badar tampak duduk dibale-bale depan rumah sambil memandang jauh ke depan. Cangkulnya masih juga tetap dibiarkan berada di dekatnya tanpa disentuh. Kopinya telah habis dihirup, namun tampaknya dia masih enggan untuk buru-buru berangkat ke sawah.
“Kenapa belum berangkat juga, Pak?” tanya istrinya sambil duduk mendekat.
Badar cuma menoleh sekilas pada perempuan setengah baya yang selama ini telah mendampingi hidupnya dengan setia, kemudian kembali memandang jauh kedepan sambil berkata pelan.
“Entahlah... hari ini rasanya malas sekali pergi ke sawah. Layang Seta sudah bangun?”
Perempuan itu bangkit dan menuju kedalam sambil berkata dengan setengah kesal. “Biar kubangunkan. Anak itu memang pemalas sekali. Kalau memang Bapak sedang tak enak badan, si Layang Seta saja yang ke sawah.”
“Hhhh....” Badar menghela nafas. Sesaat kemudian terdengar istrinya mengomel-ngomel tak karuan yang disusul oleh suara gerutuan anak satu-satunya yang berjalan kedepan sambil menutupi sebagian tubuhnya dengan kain sarung.
Tubuh pemuda itu kurus dan rambutnya agak gondrong. Usianya sekitar enam belas tahun. Badar melihatnya sekilas, dan pemuda bernama Layang Seta itu tampak tak acuh sambil membaringkan tubuhnya diatas bale depan bapaknya itu.
“Dasar pemalas! Apa kerjamu tiap hari. Layang Seta?! Ayo bangun dan cuci mukamu, kemudian berangkat ke sawah. Hari ini bapakmu sedang tak enak badan!” teriak perempuan setengah baya tadi sambil mengomel dan menarik tangan anaknya.
“Sebentar... masih mengantuk....”
“Eeee, apa tak puas kau tidur semalaman?! Mau jadi apa kau kelak kalau kerjamu cuma tidur saja?!”
“Sudahlah, Bu. Aku bukan tak enak badan, cuma sedang tak tenang,” ujar Badar menyabarkan istrinya.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu kemudian meraih cangkulnya dan mulai melangkah ke depan. Tapi baru berjalan beberapa tindak dia balik lagi dan masuk ke dalam sambil meraih golok yang tergantung didinding kamarnya. Kemudian dia mematung beberapa saat lamanya di depan pintu.
“Jangan dipaksakan kalau kau sedang tidak enak badan. Pak. Nanti kau sakit!” larang istrinya.
“Hoaaaah...!” Layang Seta menguap beberapa kali sambil duduk bersandar pada dinding, kemudian memandang pada kedua orangtuanya.
“Ya sudah... biar aku saja yang ke sawah kalau bapak sedang tak enak badan,” katanya sambil berlalu kebelakang.
Badar cuma diam dan kembali duduk di bale-bale. Istrinya mendampingi di sebelahnya. Dipandanginya laki-laki itu beberapa lama saatnya, kemudian bertanya dengan suara hati-hati.
“Apa yang sedang kau pikirkan. Pak?”
“Tak ada....”
“Hmm... jangan berbohong. Apakah kau tidak percaya lagi pada istrimu?”
Badar menoleh dan memandang wajah perempuan itu agak lama. Kemudian terdengar hela nafasnya yang berat sambil kembali memandang lurus ke depan.
“Sudah tiga hari ini aku mimpi aneh....”
“Mimpi?”
Badar mengangguk.
“Mimpi apa?”
“Mimpi inilah yang sangat mengganggu pikiranku. Sampai-sampai aku beranggapan bahwa itu bukan sekedar mimpi tapi akan menjadi kenyataan....”
Perempuan itu memegang tangan suaminya. “Pak, mimpi kata orang-orang adalah bunga tidur. Kita tak musti mempercayainya. Lagi pula mimpi apa yang membuat kau merasa yakin bahwa itu akan menjadi kenyataan?”
“Tapi mimpiku sekali ini sangat aneh. Aku melihat desa kita ini dilalap api, kemudian puluhan orang berlari-lari menyelamatkan diri sambil berteriak-teriak ketakutan. Kemudian juga kulihat anak kita Layang Seta menangis sambil berlari ke suatu tempat....” Perempuan itu terperangah beberapa saat begitu mendengar suaminya menceritakan perihal mimpi yang dialaminya.
“Itulah yang mengganggu pikiranku. Kalau saja mimpi itu datangnya hanya sekali barangkali aku beranggapan sama denganmu. Mimpi cuma sekedar bunga tidur, tapi yang ini sangat lain!” lanjut Badar kembali.
“Kau yakin bahwa ini suatu pertanda buat kita?” tanya istrinya hati-hati.
Badar melingkarkan tangan kepunggung istrinya. Kemudian katanya dengan suara menghibur. “Aku berharap bahwa itu bukan pertanda buruk, tapi entah kenapa hatiku jadi tak tenang....”
“Hhhh... kita berdoa saja pada Gusti Allah, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa,” sahut istrinya sambil menghela nafas.
“Aku akan berangkat ke sawah!” kata Badar kembali berdiri.
“Biar Layang Seta menyertaimu....”
“Aku ikut. Pak!”.seru Layang Seta yang tiba-tiba muncul.
“Sebaiknya kau jaga ibumu di rumah....”
“Tidak, aku ikut bapak. Pulangnya biar sekalian mencari kayu bakar di hutan. Kebetulan kayu bakar kita sudah hampir habis,” bantah pemuda itu.
“Baiklah. Kalau begitu kau boleh ikut. Kebetulan nanti bapak akan memperbaiki tanggul yang jebol....”
“Jangan lupa makan siangnya diantar tepat waktu, Bu!” teriak Badar.
Istrinya tersenyum sambil memandangi bapak dan anak yang berjalan beriringan. Keduanya berjalan pelan. Layang Seta masih mendekap tubuh sambil memakai sarung. Badar tersenyum kecil memperhatikan tingkah laku putranya itu.
“Masih dingin?”
“Dingin sekali. Rasanya orang-orang pun enggan keluar rumah pagi ini. Pak,” sahut pemuda itu dengan suara bergetar menahan dingin.
“Udara dingin harus dilawan sebab kalau tidak akan membuat orang menjadi pemalas....”
Layang Seta menganggukkan kepala. Pandangannya berputar ke sekeliling tempat. Rumah-rumah yang mereka lewati masih sepi dan baru satu dua orang yang terlihat. Sesekali mereka bertegur sapa.
“Hiyaa...!”
“Hei?!” Keduanya tersentak kaget. Begitu juga dengan beberapa orang yang berada di dekat mereka. Tiba-tiba saja terlihat api menyala di salah satu rumah. Disusul dengan teriakan-teriakan yang gegap gempita.
“Toloooong...! Toloooong...!”
“Ada apa?” tanya Layang Seta.
“Cepat kita kembali ke rumah!” teriak bapaknya sambil berlari kecil.
Layang Seta mengikuti dari belakang. Namun baru mereka berlari kira-kira sepuluh langkah, terdengar bentakan-bentakan nyaring.
“Ayo, hancur-leburkan tempat ini!”
“Sikaaat...!”
“Aaa...!”
“Hei?!”
Langkah keduanya menjadi bimbang. Teriak kematian beberapa orang penduduk begitu menyayat hati. Jantung Badar berdegup kencang. Begitu juga dengan Layang Seta. Sejenak mereka saling pandang sebelum kembali berlari pulang.
“Siapa mereka. Pak?”
“Mana bapak tahu. Tapi mungkin para perampok yang biasa berkeliaran di desa-desa.”
“Perampok?” Dahi Layang Seta berkernyit.
“Belakangan ini banyak desa yang dibakar dan harta benda mereka dirampok oleh sekumpulan begal yang bernama Golok Setan. Orang-orang itu khabarnya kejam dan tak berperikemanusiaan,” jelas bapaknya.
Wajah Layang Seta tampak pucat. Dia jadi mengerti akan kekhawatiran yang terbayang diwajah bapaknya itu. Tanpa sadar langkah mereka semakin cepat. Dan begitu tiba di pintu pagar. Badar telah berteriak pada istrinya.
“Ningsih, cepat kemasi barang-barang!”
Perempuan berusia setengah baya itu gelagapan menyambut mereka di luar. “Ada apa. Pak?” tanyanya dengan wajah cemas.
“Tak ada waktu untuk menjelaskannya. Cepat kemasi barang-barang dan kita pergi dari sini!”
Pada mulanya perempuan itu terlihat semakin tak mengerti. Tapi begitu melihat nyala api yang merambat cepat dari rumah kerumah dan teriakan-teriakan yang gegap gempita bercampur pekik kematian, wajahnya berubah ketakutan.
“Pak...!”
“Jangan diam! Ayo, cepat kemasi barang-barang!” bentak Badar sambil membungkus semua garang yang bisa mereka bawa.
Namun belum lagi mereka selesai mengemasi barang-barang, sebuah suara ketawa keras terdengar dari arah luar.
“Ha-ha-ha...! Mau lari ke mana kalian?! Serahkan barang-barang itu berikut kepala kalian semua!”
“Heh?!” Badar tersentak kaget. Dengan cepat dia mencabut golok dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara istri dan anaknya saling berpandangan dengan wajah semakin ketakutan.
Di luar terlihat dua orang bertubuh besar dengan baju di bagian dada terbuka. Keduanya menunggang kuda berwarna coklat. Dari wajah mereka yang seram agaknya dua orang ini bukanlah orang baik-baik. Dengan hati-hati Badar menyambut mereka.
“Siapa kalian, dan apa yang kalian inginkan dari kami?!” bentaknya.
“Ha-ha-ha...! Kau lihat Cangklong, tikus ini agaknya bernyali macan juga. Rupanya dia belum tahu siapa kita!” kata salah seorang yang memakai ikat kepala hijau pada kawannya.
“Sudahlah, Kimun. Jangan banyak bicara. Lekas kita bereskan mereka!” sahut Cangklong sambil mendengus sinis.
“Hmm... rupanya kalian sebangsa perampok picisan! Jangan harap kalian bisa berbuat seenaknya disini. Langkahi mayatku lebih dulu baru kalian bisa leluasa!” dengus Badar.
“Huh! Segala tikus kampung ingin berlagak didepan orang-orang Golok Setan! Mampuslah bagianmu!” Setelah berkata begitu Kimun langsung turun dari kudanya dan menerjang ke arah Badar.
“Hiyaaat...!” Badar langsung bergerak menghindar sambil menyabetkan goloknya. Tapi dengan gerakan yang gesit orang itu berkelit dan mengayunkan kaki kanannya.
“Des!”
“Akh...!” Badar terjungkal beberapa tindak dengan tubuh terjerembab.
“Pak...!”
“Ningsih, jangan ke mari! Cepat tinggalkan tempat ini! Bawa Layang Seta bersamamu!” teriak Badar cemas ketika melihat istrinya keluar dan tergopoh-gopoh menghampirinya.
Tapi malang, sebelum perempuan itu berhasil mendekati suaminya, salah seorang dari dua penunggang kuda itu telah mencekal pergelangan tangannya.
“He-he-he...! Perempuan ini manis juga. Kau uruslah laki-laki itu biar perempuan ini bagianku!” kata Cangklong.
“Tapi sisakan sedikit untukku!” sahut Kimun sambil terkekeh.
Sementara perempuan bernama Ningsih itu berusaha berontak dengan sekuat tenaga. “Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan...!”
“Bedebah laknat! Lepaskan istriku!” teriak Badar marah. Tanpa mempedulikan keadaan dirinya dia langsung menerjang kearah Cangklong sambil menyabetkan golok.
“Yeaaa...!”
“Sial! Kalau kau ingin mampus terimalah bagianmu!” geram Kimun sambil mencabut golok dan memapaki serangan Badar.
“Trak! Cras!”
“Aaa...!” Badar memekik nyaring ketika goloknya terpental dihantam senjata lawan. Belum lagi dia sempat menyadari apa yang terjadi tiba-tiba saja ujung golong lawan telah merobek perutnya. Tubuhnya langsung ambruk dengan isi perut terburai ke luar.
“Paaak...!” Ningsih menjerit keras. Bersamaan dengan itu dari arah dalam terdengar jeritan yang sama. Layang Seta telah menyerbu keluar sambil memegang golok di tangannya.
“Bajingan-bajingan keparat! Kubunuh kalian! Kubunuh kalian...!” teriak Layang Seta kalap sambil mengayunkan goloknya.
“He-he-he...! Bocah celaka, rupanya kau ingin menyusul orangtuamu? Nih, makan bagianmu!” dengus Kimun sambil mengayunkan goloknya pula.
Layang Seta bukanlah pemuda yang memiliki kepandaian olah kanuragan. Tapi melihat kedua orangtuanya tewas, rasa takutnya yang tadi begitu dalam berubah menjadi kemarahan yang meluap. Begitu goloknya terayun, Kimun langsung menghantamnya.
“Trak!”
“Yeaaa...!” Golok di tangan pemuda itu terpental, dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata pemuda itu, golok lawan terus menerpa kearah perutnya. Bisa dipastikan Layang Seta akan tewas saat itu juga. Tapi pada saat yang kritis itu tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang langsung menghadang serangan Kimun.
“Hiyaaat...!”
“Trak! Des!”
“Akh...!” Kimun terpental ketika dadanya terasa nyeri dihantam suatu pukulan yang sulit dihindarinya.
Pada saat itu telah berdiri sesosok tubuh pada jarak dua langkah di depan Layang Seta.
“Pak Kepala Desa...!” panggil Layang Seta dengan suara lirih.
“Huh! Rupanya ada juga orang yang berisi dikampung ini!” dengus Cangklong sambil melepaskan tubuh Ningsih yang tadi didekapnya.
Dengan langkah ringan dia mendekat pada laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun dan berbadan tegap itu. Wajahnya tampak memandang rendah sekali.
“Perampok keparat! Pergilah kalian dari kampung ini sebelum kuusir seperti anjing buduk!” bentak laki-laki itu yang tak lain dari Kepala Desa Kahuripan ini yang bernama Suteja.
“Ha-ha-ha...! Sungguh lucu. Seekor kecoa busuk sepertimu berani bicara seperti itu pada orang-orang Golok Setan. Hmm... rupanya kau bernyali macan juga. Tapi sayang, hari ini kau musti mampus!” sahut Cangklong sambil bersiap memasang kuda-kuda.
Walaupun dia berkata begitu namun dalam hatinya terbersit juga perasaan was-was. Kepandaian olah kanuragan yang dimiliki Kimun tidak berada di bawahnya. Tapi dengan sekali serang kawannya itu dapat dijatuhkan dengan mudah. Tentulah orang ini bukan sembarangan.
“Yeaaaa...!” Cangklong membentak nyaring. Tubuhnya melesat cepat sambil menghantamkan golok ke leher lawan. Tapi dengan memiringkan sedikit tubuh. Kepala Desa Kahuripan itu dapat menghindarinya dengan manis. Kepalan tangan kirinya dengan cepat menghantam dada kanan lawan.
“Hiyaaat...!”
“Uts!” Tubuh Cangklong bergerak ke kiri sambil menebaskan goloknya ke perut lawan. Tapi kali ini Kepala Desa Kahuripan yang bernama Suteja itu lebih cepat lagi bergerak. Sebelum lawan menebaskan golok, kaki kirinya telah lebih dulu menendang kearah perut.
“Des!”
“Akh...!” Tak ampun lagi. Tubuh Cangklong terjerembab sejauh dua tombak. Isi perutnya seperti diaduk-aduk tak karuan. Kali ini agaknya Suteja betul-betul geram. Amarahnya telah meluap, maka tanpa berpikir panjang diraihnya sebilah golok yang terletak ditanah kemudian dengan cepat tubuhnya melesat kearah Cangklong.
“Mampuslah kalian! Yeaaa...!”
DUA
Namun sesaat lagi ujung golok itu akan menebas leher lawan, pada saat itu muncul sesosok bayangan yang bergerak cepat menyambar ke arah kepala desa itu. Suteja bukanlah orang sembarangan. Sekilas saja dia bisa mengetahui bahwa seseorang yang baru datang berkepandaian tak rendah. Dengan tiba-tiba goloknya berputar dan menyambar bayangan yang baru datang itu.
“Yeaaa...!”
“Bet!”
“Hup!” Dengan gerakan manis sesosok bayangan itu melompat ke atas menghindar dari serangan golok lawan. Suteja merasa tubuhnya bergoyang ketika suatu sambaran angin menerpa dirinya.
“Huh!”
“Hiyaaa...!” Belum lagi dia sempat menegaskan siapa orang yang baru datang itu, sosok bayangan tadi telah bergerak kembali sambil berteriak nyaring.
“Uts!”
“Trang!”
Darah Suteja tersirap melihat serangan lawan. Baru saja dia lolos dari maut ketika ujung kulitnya terasa perih terkena angin sambaran senjata lawan. Ketika goloknya bergerak menebas, lawan telah menangkis. Tangannya terasa kesemutan luar biasa bercampur perih. Suteja jungkir balik menghindari serangan susulan yang begitu cepat. Tubuhnya bersalto beberapa kali kebelakang. Kemudian tegak berdiri memperhatikan sesosok tubuh yang tidak lagi mengejarnya itu.
“Ha-ha-ha...! Hebat juga kau punya kepandaian orang tua. Tapi mencoba untuk melawan orang-orang Golok Setan kau akan mampus sendiri!” ujar seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata agak sipit.
“Siapa kau?!” bentak Suteja garang.
“Hmm... rupanya kau belum kenal padaku? Baiklah, buka telingamu lebar-lebar. Aku adalah pemimpin dari orang-orang Golok Setan. Nah, kini kau kenal denganku bukan?”
“Keparat! Jadi kau yang bernama Kolo Menjing?”
“Rupanya ingatanmu belum lamur, Suteja!”
“Hmm... rupanya kaupun kenal namaku. Bagus! Nah, Kisanak suruh orang-orangmu untuk menyingkir dari desaku ini!”
“Ha-ha-ha...! Suteja, dulu namamu amat ditakuti oleh sebagian orang. Menurut kabar kau memiliki ilmu silat tinggi. Tapi jangan harap kau bisa menakut-nakuti Kolo Menjing. Kalau aku telah berniat menghancurkan desa ini tak seorang pun boleh menghalangi,” sahut Kolo Menjing sambil tertawa keras.
“Kolo Menjing, diantara kita tak ada permusuhan apa-apa. Kenapa kau berniat menghancurkan desa ini?”
“Aku tak musti bermusuhan dengan seseorang bila ingin menghancurkan dan merampok harta benda kalian.”
“Jahanam! Kau lebih terkutuk dari iblis!” desis Suteja sambil mengayunkan goloknya.
“He-he-he...! Percuma saja kau melawanku, Suteja. Lebih baik kau sarungkan golok itu dan berlututlah minta ampun, siapa tahu aku sudi mengampunimu,” sahut Kolo Menjing dengan suara yang amat merendahkan kepala Desa Kahuripan itu.
“Keparat!” dengus Suteja geram. Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung menyerang lawan sambil menyabetkan golok.
“Hiyaaat...!”
“Hmm... bandel!” Kolo Menjing cuma menggeser sedikit tubuhnya. Kaki kanannya bergerak menyapu pinggang lawan. Tapi dengan gerakan meliuk tubuh Suteja menghindarinya sambil melompat keatas dan menebas leher Kolo Menjing dengan cepat.
“Trang!”
“Des!”
“Bet!”
“Akh...!” Suteja mengeluh kesakitan ketika satu tendangan menghantam dadanya. Masih untung dia bisa menghindar sambil bergulingan ketika satu tebasan golok lawan menderu deras menghantam perutnya. Tapi tangannya sendiri terasa perih ketika golok mereka beradu.
Sementara itu melihat bahwa ketua mereka telah ikut campur, Kimun dan Cangklong lebih leluasa meneruskan niatnya tadi. Dengan sekali sentak Ningsih telah kembali dalam dekapan Cangklong. Perempuan itu berteriak-teriak ketakutan bercampur marah.
“Lepaskan aku! Lepaskaaaan...!”
“Bajingan keparat! Lepaskan ibuku, atau kubunuh kalian!” teriak Layang Seta kalap sambil mengayunkan goloknya.
“Yeaaa...!”
“Budak keparat! Mampuslah kau sekarang!” desis Kimun geram sambil mengayunkan goloknya.
“Jangan bunuh anakku!” teriak Ningsih cemas.
“Akh...!” Cangklong menjerit ketika tangannya digigit perempuan itu.
Cekalan tangannya mengendur, dan hal itu dimanfaatkan oleh perempuan itu untuk melepaskan diri sambil menubruk anaknya. Namun pada saat yang bersamaan golok Kimun tak tertahan lagi dan dengan cepat menebas leher perempuan itu. Ningsih tak sempat menjerit ketika lehernya nyaris putus.
“Ibu...!” teriak Layang Seta terkejut sambil menubruk tubuh perempuan itu yang ambruk ke tanah.
“Brengsek kau, Kimun!” dengus Cangklong marah.
“Maaf, Cangklong. Aku tak sengaja....”
“Sudahlah. Bereskan anak celaka ini secepatnya!”
Namun sebelum Kimun bertindak, terdengar bentakan nyaring yang mengingatkan Layang Seta.
“Layang Seta, cepat tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu!”
“Heh?!”
“Yeaaa...!” Pemuda itu terkejut. Dengan tiba-tiba saja tubuh Suteja melesat ke arahnya dengan maksud melindungi dari serangan Kimun.
“Hiyaaat...!”
“Cras!”
“Aaaa...!”
“Hei?!” Layang Seta terkejut mendengar jerit kematian Kepala Desa Kahuripan, karena pada saat tubuhnya bergerak, tubuh Kolo Menjing pun melesat sambil menyabetkan golok kepunggung lawan.
“Lari Layang Seta! Larii...!”
“Huh! Mampuslah kau!” geram Cangklong sambil menyabetkan goloknya ke tubuh Suteja.
Kepala Desa Kahuripan itu cuma mengeluh pendek. Nyawanya langsung lepas dari tubuh ketika lehernya putus. Layang Seta semakin bimbang bercampur geram. Namun ketika saat itu terlihat beberapa orang penduduk desa lari serabutan menyelamatkan diri, pemuda itu pun ikut-ikutan walaupun hatinya terasa berat.
“Yeaaa...!”
“Cangklong! Biarkan bocah itu kabur. Bisa berbuat apa dia dengan kita!” bentak Kolo Menjing melarang ketika anak buahnya itu hendak melompat mengejar Layang Seta.
“Tapi....”
“Kataku biarkan dia kabur! Sekarang angkut semua barang-barang yang ada di rumah ini. Kumpulkan semua lalu berangkat!” potong Kolo Menjing dengan suara keras.
Cangklong tak bisa membantah lagi mendengar perintah ketuanya itu. Segera dia memerintahkan beberapa orang kawan-kawannya untuk menguras seluruh harta benda berharga yang ditinggalkan oleh penduduknya yang tewas dan melarikan diri.
Dalam sekejapan desa itu terlihat sepi dan rumah-rumah ambruk dimakan api tak karuan. Gerombolan Golok Setan telah meninggalkannya sambil mengangkut semua harta benda penduduk yang berharga.
Sementara itu Layang Seta terus melarikan diri ke mana saja kakinya melangkah. Hatinya penuh dendam bercampur cemas karena tak berdaya menolong kedua orangtuanya yang tewas. Tanpa sadar dia terus berlari kearah gunung. Barulah ketika kakinya tersandung batu dan tubuhnya terjerembab, pemuda itu menghentikan langkah sambil mengeluh kesakitan.
“Hhhh... perampok biadab! Aku bersumpah akan menuntut balas pada kalian! Akan kucincang tubuh kalian satu persatu! Terutama kau Cangklong, Kimun, dan Kolo Menjing!” dengus pemuda itu sambil mendengus dengan nafas terengah-engah.
Sepasang matanya tampak menatap tajam pada desa tempat kelahirannya yang kini telah porak poranda. Masih terlihat asap mengepul perlahan yang kemudian pudar tersapu angin dan berganti dengan kabut tipis di lereng gunung ini menghalangi pandangannya. Layang Seta terduduk pada sebuah akar kayu sambil merenungi nasibnya yang malang.
“Bapak... ibu... maafkan anakmu yang tak berguna ini. Ketika kalian masih hidup aku jarang membantu, dan sampai ajal kalian di ujung mata bahkan aku tak mampu membantu juga. Tapi percayalah, aku melarikan diri bukan karena pengecut. Kalau aku mati siapa kelak yang akan membalaskan sakit hati kalian?” ucap pemuda itu pada dirinya sendiri dengan nada sendu.
Tanpa terasa air matanya merembang dikelopak mata. Pandangannya mengabur, dan satu persatu setitik air bening meluncur dari kedua belah pipinya. Lama sekali pemuda itu menundukkan kepala ketika hawa dingin mulai terasa merasuk tulang sumsum. Dia mengangkat wajah dan melihat suatu benda yang berada tak jauh didekatnya. Mulanya pemuda itu sama sekali tak tertarik, namun benda itu seperti membetot sukmanya agar mendekat.
“Benda apa itu?” tanya batinnya ragu sambil mendekat. Dengan hati-hati dia mengamati. Sepasang alisnya berkerut ketika mengetahui bahwa benda itu adalah sebilah keris yang tertancap separuh ke dalam tanah dengan gagang di atas.
“Sebilah keris? Kepunyaan siapakah ini? Tampaknya sudah tua dan tak terurus. Keadaannya pun telah hampir keropos,” ujar Layang Seta sambil mencabut senjata itu dari tanah.
Diamat-amatinya barang sesaat. Kiranya di batang keris yang telanjang itu terdapat beberapa baris kalimat pada tiap sisinya. Namun belum lagi Layang Seta membaca dan meresapi, tiba-tiba terjadi suatu perubahan didalam tubuhnya. Wajah pemuda itu berkerut seperti menahan rasa sakit.
“Astaga! Kenapa tubuhku tiba-tiba terasa panas?!” desis pemuda itu sambil merintih-rintih kesakitan.
Layang Seta berusaha membuka baju sambil mengipas-ngipaskan ke tubuhnya. Namun pemuda itu kaget sendiri ketika dia berusaha melepaskan keris di tangan kanannya untuk dipindahkan ke tangan kiri. Batang keris itu seperti menyatu dengan telapak tangannya.
“Lho, kenapa ini? Apa yang terjadi dengan keris ini? Uuuh...!”
Dicobanya berkali-kali, namun tetap saja batang keris itu seperti tak mau lepas dari telapak tangannya. Jangankan lepas, untuk membuka genggamannya saja dia merasa tak mampu.
Layang Seta berusaha menancapkan keris itu kembali ketempat semula dengan harapan bahwa senjata itu akan terlepas dari genggamannya. Tapi hal itu tak berhasil juga. Sementara rasa panas di tubuhnya semakin menjadi-jadi dan tak tertahankan lagi olehnya. Pemuda itu menjerit-jerit kesakitan sambil berteriak-teriak bingung. Dia berlarian ke sana ke mari untuk mencari air.
“Tolooong...! Tolooong...!”
Namun belum lagi dia berlari jauh rasa sakit yang hebat membuat sekujur tubuhnya tak tertahankan lagi. Layang Seta menggelepar-gelepar sambil terus berteriak-teriak. Tiba-tiba saja keanehan terjadi pada dirinya. Kulit tubuhnya di berbagai tempat tiba-tiba menggembung sebesar jempol kaki, yang makin lama semakin membesar untuk kemudian pecah mengeluarkan nanah dan darah.
“Aaaakh...!” Layang Seta terus menjerit-jerit sambil berguling-gulingan ditanah. Keris ditangannya yang tetap tak mau lepas ditancapkannya ke mana-mana namun tak kunjung juga mau terlepas. Pemuda itu tampak putus asa dan merasa bahwa-ajalnya hanya sampai disini.
“Tolong...! Tolooong...!” teriaknya tak henti-henti.
Suaranya terasa serak namun rasa sakit itu semakin hebat menyerang seperti tiada berkurang sedikit pun. Saat itulah tiba-tiba lewat salah seorang penduduk Desa Kahuripan yang tadi sempat kabur ketika kerusuhan terjadi didesanya. Kebetulan orang itu mengenali Layang Seta. Melihat keadaan pemuda itu dia menjadi heran dan berusaha mencekal bahu Layang Seta untuk menyadarkannya.
“Layang Seta! Kenapa kau?!”
“Aaaaakh...!”
“Layang Seta, sadarlah! Astaga, apa yang terjadi padamu? Kenapa kulit tubuhmu seperti melepuh begini?!” sentak orang itu kaget.
“Pergi! Pergiii...!”
“Layang Seta, aku Pak Kromo....” jelas orang itu sambil mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu.
“Aaa...!”
“Blesss!”
“Akh...!”
Layang Seta terus memberontak dari cengkeraman laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Pada dasarnya dia ingin melepaskan diri dari keris yang terus melekat di telapak tangannya. Juga dalam keadaan seperti itu kesadarannya telah hilang sejak tadi. Nalurinya cuma terpaku pada satu tujuan, maka ketika merasakan dirinya terganggu oleh guncangan laki-laki yang menyebut dirinya sebagai Pak Kromo, Layang Seta sudah langsung menghunjamkan keris itu ke perut Pak Kromo.
Laki-laki itu terpekik kesakitan, dan berusaha melepaskan diri. Tapi keris di tangan Layang Seta yang nyaris menembus pinggang belakangnya tak mau lepas. Bahkan terjadi keanehan yang amat mengerikan. Pak Kromo menjerit kesakitan dengan suara melengking. Tubuhnya perlahan pucat dengan kulit tubuh keriput. Darahnya seperti terhisap ke dalam keris itu.
Layang Seta bukannya tak menyadari hal itu. Tapi rasa sakitnya perlahan-lahan berkurang ketika dari gagang keris itu seperti mengalir suatu hawa sejuk yang membuat pembuluh darahnya mengalir dengan lancar. Keanehan lain pun terjadi. Perlahan-lahan gelembung-gelembung berisi nanah dan darah di tubuhnya mengempis.
Sedangkan yang tadi sempat pecah perlahan-lahan lukanya mengecil dan kemudian hilang sama sekali. Layang Seta terkejut serta terpana beberapa saat kemudian sambil memperhatikan sesosok tubuh yang ambruk di depannya.
“Pak Kromo...!” desisnya heran. Tubuh laki-laki di depannya itu kering keriput dengan kulit pucat. Darahnya seperti terhisap habis. Sepasang alis Layang Seta berkerut. Samar-samar dia menyadari bahwa hal itu terjadi karena perbuatannya. Dipandanginya keris yang menjadi malapetaka itu.
“Hmmm... agaknya keris inilah yang menjadi malapetaka. Keris apakah ini? Agaknya keris ini bukan sembarang keris. Hei?! Aku lupa, tulisan apa yang tertera dibadan keris ini,” gumam Layang Seta sambil memperhatikan batang keris itu.
Lama dia mengamat-amati dengan seksama sambil memeras otak. Kemudian sambil tersenyum kecil dia mulai menduga.
“Hmmm... di keris ini tertera tulisan unik, Kyai Pugel. Apa artinya? Apakah itu nama si pemilik keris ini ataukah nama keris ini sendiri? Ah, tapi aku yakin bahwa itu adalah nama keris ini. Kalau begitu nama keris ini Kyai Pugel. Tapi tiga baris tulisan yang lainnya seperti perintah tentang ilmu silat. Akan kucoba!”
Layang Seta mulai mengikuti gerakan-gerakan yang diperintah oleh tulisan yang berada di batang keris itu. Mula-mula memang terasa susah. Selain tulisan-tulisan itu sulit dicerna, itu pun menggunakan kata-kata sandi. Tapi ada keanehan lain yang dirasakannya. Tubuhnya terasa enteng dan gerakannya seperti orang yang sudah bertahun-tahun saja belajar ilmu silat.
Tapi bukan hanya karena pengaruh keris itu sendiri, tetapi Layang Seta memang seorang pemuda yang berotak cerdas. Perlahan-lahan dia mengerti isi tulisan itu seluruhnya.
“Hmmm... kalau tak salah memang betul tulisan ini pelajaran tentang ilmu silat. Tapi hanya tiga jurus. Apakah ini akan menjadi hebat? Rasanya terlalu sedikit,” gumamnya putus asa.
Pemuda itu seperti melupakan peristiwa yang baru saja terjadi. Pikirannya mulai dibelenggu oleh kehebatan serta keunikan keris yang ditemukannya itu. Dia yakin betul bahwa keris itu bertuah. Dan otaknya cerdas cepat menangkap sesuatu yang ganjil.
Pada saat tubuhnya kesakitan akibat pengaruh keris itu yang tak mau terlepas dari genggaman, tapi ketika keris itu meminta korban rasa sakit itu perlahan-lahan hilang. Bahkan tubuhnya terasa lebih segar dari semula, dan gagang keris itu begitu mudah lepas dari genggamannya.
“Apapun yang terjadi aku tak akan melepaskan keris ini. Dendamku harus terbalas! Aku tak peduli dengan sifat jahat keris ini. Siapa yang peduli kalau aku mengalami kesusahan? Siapa yang akan membantu? Hmm.... Kalau bukan dengan tanganku sendiri, tak mungkin ada orang lain yang sudi menolong. Rasakan nanti pembalasanku hai orang-orang Golok Setan!” dengus Layang Seta sambil berteriak-teriak penuh kemarahan dan dendam.
Begitulah kemudian. Selama berhari-hari Layang Seta berlatih dengan semangat tinggi dan tanpa kenal lelah. Ilmu silat yang tertulis di batang keris itu telah dikuasainya dengan baik dan mantap. Tapi bukan berarti dia bisa lepas begitu saja dari pengaruh jahat keris itu karena sewaktu-waktu tubuhnya kembali terasa sakit luar biasa yang kemudian disusul dengan timbulnya gelembung-gelembung berisi nanah dan darah.
Kalau sudah begitu dia akan kalang kabut mencari korban. Barulah setelah keris itu mendapatkan korbannya, tubuh Layang Seta kembali normal, dan keanehan lain pun menyusul. Tubuhnya terasa segar dan tenaganya seperti berlipat ganda.
Dalam waktu singkat saja kegemparan melanda dimana-mana. Seorang tokoh misterius yang berkepandaian tinggi selalu mencari korban tanpa pilih bulu, dan korbannya selalu tewas dalam keadaan yang mengerikan. Pernah beberapa orang yang berkepandaian lumayan mencoba menghadang dan bermaksud membunuh tokoh yang selalu mengenakan selubung hitam dari kepala hingga kaki itu, namun mereka semua tewas di tangannya.
Beberapa orang yang selamat kemudian melarikan diri dan menyebarkan cerita itu. Tak pelak lagi, banyak orang yang mencari tokoh misterius itu untuk diminta pertanggungjawabannya.
********************
TIGA
Pemuda tampan berambut terurai itu agak terkejut melihat kerumunan orang didepannya saat dia baru saja memasuki mulut sebuah desa. Sepasang alisnya berkerut, dan dengan mengintip dia mencoba melihat apa yang membuat orang-orang itu berkerumun.
“Biadab!”
Terdengar makian berkali-kali. Semua orang menunjukkan wajah geram. Pemuda berompi putih itu terkejut sekali melihat pemandangan di depan matanya. Seorang pemuda tampak terkapar dengan tubuh keriput. Kulitnya pucat seperti darahnya terhisap habis. Pada bagian perut tampak sebuah luka kecil seperti bekas tusukan senjata tajam.
“Siapa orang itu. Pak?” tanyanya pada seorang laki-laki setengah baya yang berdiri di sebelahnya.
“Si Gendon, jagoan desa ini.”
“Hmm... kenapa dia sampai begitu?”
“Pasti menjadi korban orang misterius itu!”
“Orang misterius?” Pemuda berompi putih yang tak lain dari Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti itu semakin heran.
Laki-laki setengah baya itu memperhatikan wajah Rangga sekilas. “Hmm... agaknya kisanak orang baru di sini,” katanya menduga.
Rangga mengangguk. “Siapa orang misterius itu?”
“Orang yang suka membunuh korbannya dengan cara keji!”
“Cara keji? Cara keji bagaimana?”
“Dia menghisap darah korbannya sampai habis!”
“Menghisap darah korban?” Rangga semakin heran saja mendengar cerita laki-laki itu.
“Maksud bapak orang itu seperti drakula?”
“Entahlah, mungkin seperti itu. Tapi belakangan ini telah banyak orang yang menjadi korbannya.”
“Di mana orang itu bertempat tinggal?”
“Tak seorang pun yang mengetahuinya. Dia datang dan pergi tanpa ada yang mengetahuinya. Khabarnya kepandaian orang itu hebat tiada tara. Tak seorang pun yang bisa menghalanginya.”
Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita laki-laki itu. “Siapa saja yang menjadi korbannya?”
“Orang itu tak pernah pilih-pilih korban. Siapa pun akan dibunuh jika tak disukainya.”
“Hmm... apakah sebelumnya dia bermusuhan dengan pemuda bernama Gendon itu?”
“Entahlah. Tapi menurut beberapa orang. Gendon pernah bermusuhan dengan salah seorang tokoh persilatan dari Timur. Tapi semua orang yakin bahwa si pembunuh bukan musuhnya itu melainkan tokoh misterius yang sampai saat ini tak seorang pun mengetahuinya,” jelas laki-laki itu.
Rangga kembali menganggukkan kepala. Sementara itu satu persatu orang yang berkumpul di situ bubar ketika tubuh pemuda itu telah digotong oleh sanak familinya. Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti berjalan pelan memasuki sebuah kedai. Pandangannya menyapu sekilas orang-orang yang berada di kedai itu. Tak terlalu ramai, hanya ada sekitar sepuluh orang. Namun di antaranya terlihat mereka yang agaknya berasal dari orang-orang persilatan.
“Hmm... kalau ketemu dengan orang itu akan kupatahkan batang lehernya!” kata seorang laki-laki bertubuh gemuk pendek dengan wajah geram.
“Kalau aku akan kucincang dia sampai tak berbentuk. Kemudian dagingnya akan kubagikan pada anjing-anjing kurap!” timpal kawannya yang bertubuh kurus sambil mendengus.
“Khabarnya dia berkepandaian tinggi!” cetus orang ketiga yang matanya seperti orang mengantuk.
“Apakah kau takut padanya, Wliyeng?!” tanya si gemuk pendek sinis.
“Jangan seenaknya kau berkata, Palangkan! Biarpun kepandaianku tak seberapa tapi dia telah membunuh adikku. Meski ilmunya seperti setan jangan harap aku takut padanya!” geram si mata ngantuk yang dipanggil Wliyeng.
“He-he-he...! Jangan-jangan nanti kau akan dibuat seperti mayat hidup!” ejek si tubuh kurus.
“Sial kau, Wongko! Apa kau punya nyali berhadapan dengannya?!” balas Wliyeng kesal.
“Hmm... siapa yang tak punya nyali bertemu denganku? Kalau dia berani muncul akan kupecahkan batok kepalanya!” sahut Wongko dengan nada sombong.
“Buktinya sampai saat ini dia tak berani berhadapan denganku. Dia cuma berani dengan orang-orang lemah!” sambung Palangkan.
Ketiga orang itu terkekeh-kekeh sambil menenggak bumbung arak di tangannya.
“Tikus-tikus buduk memang selalu banyak bacot. Tapi bila sudah bertemu dengan harimau mereka akan langsung lari terbirit-birit!”
“Hei?!” Ketiga orang itu langsung menoleh ketika terdengar suatu suara menyindir.
Seorang gadis berwajah cantik acuh tak acuh mengunyah makanan di mejanya. Di pinggangnya tampak terselip sebatang pedang pendek. Melihat dari caranya berpakaian pastilah dia bukan gadis sembarangan. Paling tidak gadis itu mengerti sedikit ilmu silat.
Palangkan yang lekas naik darah langsung menghampiri ke mejanya. Sambil bertolak pinggang dengan mata melotot dia menghardik gadis itu.
“Nisanak, siapa yang kau maksud dengan tikus buduk?!”
“Hmm... siapa lagi kalau bukan orang-orang yang banyak bacot,” sahut gadis itu masih tetap tak acuh dan tak menoleh sedikit pun kearah laki-laki berperawakan gemuk pendek itu.
“Nisanak, hati-hati dengan ucapanmu. Lidah memang tak bertulang tapi kalau kau bermaksud menghina orang, tanganku pun tak bermata untuk menamparmu!”
“He-he-he...! Lucu. Kenapa kau musti marah, dan kenapa pula aku harus takut padamu. Bahkan aku kasihan melihat tampangmu yang rusak begitu,” ejek si gadis sambil terkekeh kecil.
“Kurang ajar!”
“Brak!”
Meja didepan gadis itu hancur berantakan dihantam Palangkan. Tapi jangankan terkejut, gadis itu seperti tak bereaksi dan tetap duduk di bangkunya semula.
“Kisanak, kalau kau bermaksud memukul orang, pukullah pada orang yang mampu melawan. Kalau kau menghajar meja ini sama artinya kau menunjukkan kepengecutanmu,” ujar gadis itu dengan nada menusuk.
“Hmm... kulihat kau membawa-bawa pedang, pastilah sedikit banyak kau mengenal ilmu silat. Nah, keluarlah. Kuberi kesempatan tiga jurus untuk menyerangku sebelum mukamu kutampar!” dengus Palangkan semakin gusar saja.
“Kenapa musti keluar? Apakah kau takut menghadapiku di sini? Kalau memang kau takut, tak apa. Aku memang maklum, orang yang banyak omong biasanya berjiwa pengecut.”
“Kurang ajar!” maki Palangkan sambil melayangkan tangan kewajah gadis itu.
Tapi dengan sedikit memiringkan kepala, tamparan Palangkan lewat beberapa jari dari wajahnya. Kaki gadis itu dengan cepat terayun menghantam tulang kering laki-laki gemuk pendek itu.
“Tak!”
“Akh...!” Palangkan menjerit keras ketika sebelah kakinya terasa ngilu dan nyeri.
“Hi-hi-hi...! Baru punya kepandaian setahi kuku sudah mau sok jago! Sebaiknya kau berguru sepuluh tahun lagi baru boleh pentang bacot lebar-lebar!” ejek gadis itu.
“Sial!” maki Palangkan geram. Sambil mendengus sinis dia kembali mengayunkan kepalan tangan. Kali ini tak tanggung-tanggung dia mengerahkan seperempat tenaga dalamnya dengan sikap berjaga-jaga terhadap serangan yang akan dilancarkan gadis itu. Paling tidak kali ini gadis itu akan terluka, pikirnya dihati.
“Hiyaaat...!”
“Uts! Tidak kena, tikus busuk!”
“Haram jadah!”
“Yeaaa...!”
“Brak!”
Bangku yang diduduki gadis itu hancur berantakan ketika kaki Palangkan terayun menghantam bagian bawah tubuh gadis itu. Pada serangan pertama dilihatnya gadis itu masih tetap tenang mengelak tanpa merubah posisi duduknya. Tentu saja hal itu semakin membuat geram Palangkan. Tanpa berpikir panjang lagi dia menyerang gadis itu habis-habisan.
“Palangkan, bagaimana mungkin kau bisa menghadapi lawan yang lebih tangguh bila menghadapi anak ingusan itu saja kau dibuat kelabakan!” teriak sobatnya yang bernama Wliyeng sambil tertawa kecil.
“Diam kau Wliyeng! Kalau perlu mulutmu pun akan kurobek!” bentak Palangkan garang.
“He-he-he...! Palangkan, kenapa kau musti marah-marah begitu? Benar apa yang dikatakan Wliyeng, bagaimana kau bisa menghadapi orang misterius itu kalau menghadapi perempuan lemah seperti dia saja kau tak mampu!” sahut Wongko menimpali.
“Keparat kalian! Setelah gadis ini kuhajar kalian pun akan mendapat giliran nantinya!” geram Palangkan semakin memuncak.
“Lagakmu seperti yakin saja bisa menghajarku. Meski kalian bertiga belum tentu mampu. Boleh coba kalau ingin kujitak satu persatu!” dengus gadis itu sinis.
“Hei?!” Wliyeng dan Wongko tersinggung mendengar ucapan gadis itu. Sejenak mereka saling berpandangan sebelum Wongko bangkit dengan sikap garang.
“Nisanak, kalau kau memang minta dihajar biarlah aku akan mengabulkan permintaanmu!” katanya sambil melompat menyerang gadis itu dengan penuh nafsu.
“Huh! Apakah telingamu sudah tuli? Kalian majulah bertiga biar lebih mudah aku menampar kalian bersamaan!”
“Sial!” dengus Wliyeng mulai ikut-ikutan marah.
“Jangan banyak bacot! Majulah kau juga!” bentak gadis itu.
Mendengar itu bukan main kesalnya Wliyeng. Tanpa memikirkan rasa malu dia pun ikut-ikutan mengeroyok gadis itu.
“Kisanak semua, tolonglah jangan berkelahi dikedaiku ini. Bukankah sebaiknya kalian menyelesaikan urusan diluar sana? Aduuuuh, hancurlah kedaiku ini!” teriak si pemilik kedai dengan wajah cemas.
“Pak Tua, tenanglah kau! Ketiga tikus busuk ini pasti dengan sukarela akan membayar semua kerusakan yang mereka perbuat!” sahut gadis itu sambil bergerak kesana kemari dengan lincah bagai orang sedang menari.
“Tapi....”
“Tidak ada tapi-tapian! Kalau mereka tak mau membayarnya akan kupaksa, mereka. Kalau perlu kedua biji mata mereka sebagai jaminannya!”
“Gadis liar! Kau pikir bisa berbuat apa pada kami!” sentak Wongko gusar.
“Bisa berbuat apa katamu? Aku bahkan bisa memotes kepala kalian dengan mudah!” ejek si gadis.
“Keparat!” geram Palangkan.
“Yeaaa...!”
“Hiyaaaat...!”
“Plak!”
Dalam suatu serangan kilat, Wongko dan Palang kan berhasil mendesak gadis itu ke sudut ruangan. Sementara Wliyeng langsung menyodokkan pukulan ke dada lawan. Tapi dengan gerakan yang tak terduga sebelumnya, tubuh gadis itu mencelat keatas sambil bersalto beberapa kali setelah menangkis dua serangan lawan. Dengan gerakan menyilang kedua kakinya terbuka lebar menghantam punggung lawan.
“Des! Des!”
“Akh...!” Ketiga orang itu tersungkur dan menghantam dinding kedai hingga jebol. Belum lagi mereka menguasai diri, tubuh gadis itu telah menyusul keluar sambil mengirim serangan susulan.
“Yeaaa...!”
“Begkh!”
“Aaakh...!” Kembali ketiga orang itu terpental beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dada dan punggung mereka terasa nyeri. Namun sebagai orang persilatan mereka cepat kembali bangkit tanpa mempedulikan rasa sakit. Ketiganya mendengus garang dan dengan cepat mencabut senjata. Tapi alangkah herannya mereka ketika senjata-senjata itu telah hilang dari tempatnya.
“Apakah kalian mencari ini?” tanya si gadis sambil mengacungkan dua buah golok dan sepasang trisula.
Ketiganya saling berpandangan sejenak. Kalau saja gadis itu mampu berbuat demikian tanpa disadari sedikit pun, tentulah dia bukan orang sembarangan, pikir mereka. Tak mudah mengambil senjata lawan tanpa diketahui kalau orang itu tidak memiliki kecepatan yang hebat.
“Apakah sekarang kalian masih ngotot juga?! Atau ingin kugebuk sekali lagi?!” bentak gadis itu garang ketika memperhatikan wajah ketiganya yang loyo.
“Maaf Nisanak, kami tak tahu kalau kau murid seorang yang sakti. Maafkanlah atas segala kelancangan kami....” sahut mereka yang diwakili Wliyeng dengan nada lirih.
Gadis itu cuma mendengus sinis sambil melempar senjata mereka kembali. Dia sendiri kemudian membalikkan tubuh dan melangkah ke dalam kedai sambil berkata dengan suara di hidung.
“Kalian ganti kerusakan itu semuanya!”
Pendekar Rajawali Sakti yang melihat kelakuan gadis itu cuma tersenyum kecil. Diliriknya gadis itu sekilas, kemudian kembali meneruskan santapannya yang tertunda karena menonton pertunjukan gratis tadi. Gadis itu pun sempat menoleh kepadanya ketika mencari meja lain yang kosong. Tapi kemudian cepat mengalihkan perhatian sambil memesan hidangan baru pada pemilik kedai. Tampaknya angkuh sekali wajahnya.
Sementara itu dengan langkah tertatih-tatih ketiga orang tadi masuk ke dalam kedai dan mengganti kerusakan akibat perkelahian mereka. Kemudian mereka buru-buru meninggalkan tempat itu sambil melirik sekilas pada gadis itu. Si gadis sendiri pura-pura acuh sambil membuang pandang ke lain tempat.
Tanpa sadar Rangga menggelengkan kepala sambil tersenyum-senyum kecil. Gadis itu memang cantik, namun raut wajahnya tampak galak. Padahal usianya kalau ditaksir belum ada tujuh belas tahun. Tapi lagaknya seperti orang dewasa saja.
“Kenapa kau tersenyum?! Apa kau ingin kuhajar seperti mereka?!”
“Hei?!”
“Huh! Berpura-pura bodoh!” dengus gadis itu.
Rangga kembali tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Gadis itu memang berada di meja sebelahnya, dan tak terpikir sedikit pun olehnya bahwa gadis itu sempat memperhatikannya tersenyum-senyum.
“Nisanak, siapa orang yang kau ajak bicara? Apakah aku?” tanya Rangga berlagak pilon.
Gadis itu cuma mendengus sinis.
“Hmm... maaf, aku sama sekali tak tahu kalau kau mengajak bicara padaku.”
“Pemuda ceriwis seperti kau memang patut dihajar!”
Dengan tiba-tiba gadis itu menyentil cangkir di mejanya ke arahnya Rangga. Sentilan itu kelihatannya biasa saja, namun sesungguhnya hal itu dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam hebat karena dengan tiba-tiba benda itu melesat cepat kearah Pendekar Rajawali Sakti.
“Set!”
Rangga menyambutnya dengan jari telunjuk yang diacungkan pada bagian bawah cangkir itu hingga berputar sesaat sebelum kembali pada pemiliknya. “Nisanak, maaf aku menolak kebaikanmu. Aku sendiri masih memiliki uang untuk membeli minuman ini!”
“Paling tidak untuk mencuci tampangmu yang memuakkan!” balas si gadis sambil menyorongkan telapak tangannya sebelum cangkir itu kembali menghantam dirinya.
“Ah, kata siapa tampangku memuakkan? Buktinya masih ada orang sudi mengajakku bercanda bahkan berbaik hati menawarkan minuman. Tapi sekali lagi maaf, aku betul-betul sulit menerima kebaikanmu, karena aku sendiri masih mempunyai minuman yang berlebih,” sahut si Pendekar Rajawali.
Cangkir yang dilemparkannya tadi dengan mudah dihalau gadis itu dengan pukulan jarak jauh. Sungguh hebat pukulannya karena isi cangkir itu sama sekali tak tertumpah. Tapi Rangga membalasnya dengan satu kebutan ringan seperti tangannya mengusir lalat. Cangkir itu kembali melayang kearah pemiliknya. Bersamaan dengan itu sebuah cangkir yang berada dimeja Rangga ikut melayang pula dibelakang cangkir pertama tadi dengan kecepatan tinggi.
Agaknya gadis itu kali ini betul-betul naik darah. Dengan gemas dia bangkit dan bermaksud menghajar kedua cangkir itu dengan sekali pukul. Tapi sebelum hal itu terjadi, terdengar suara pelan dari arah samping.
“Hmm... sayang sekali kalau kedua cangkir itu hancur. Tentu si pemilik kedai akan semakin rugi. Kalau begitu biarlah kusimpan baik-baik!”
Tiba-tiba kedua cangkir itu melesat kesatu arah. Tapi sebelum terlanjur jauh. Rangga telah menyela sambil melambaikan tangan kirinya.
“Maaf Kisanak, sebuah cangkir itu bukan kutujukan padamu!” katanya santai.
Bukan hanya sebuah cangkir saja yang terhenti, namun kedua cangkir itu seperti mengapung diantara meja-meja di dalam kedai itu. Semua mata yang menyaksikan hal itu sama-sama takjub. Kalau tadi mereka dibuat takjub dengan cangkir-cangkir yang melayang, kini kejadiannya lebih ajaib lagi. Sebentar cangkir itu bergeser ke kiri, sebentar lagi ke kanan. Tapi kemudian diam di tempatnya semula ketika seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun tertawa terkekeh-kekeh.
“Agaknya kau betul-betul tak rela berbaik hati padaku. Kalau begitu biarlah aku mengalah,” katanya.
Rangga merasakan tarikan tenaga dalam orang itu mengendur, tapi tiba-tiba dia tersentak kaget ketika pemuda itu memutar pergelangan tangannya sedikit. Tenaga tarikannya semakin keras menyentak. Cangkir itu sempat bergeser tiga jengkal ke arahnya. Tentu saja Rangga tak mau membiarkan hal itu begitu saja. Dia pun langsung menekan dan mengempos tenaganya lebih kuat. Cangkir itu kembali bergeser perlahan-lahan.
Tarik menarik antara keduanya terus berlangsung beberapa saat sampai kemudian berakhir ketika kedua cangkir itu hancur berantakan.
“Praaaak!”
EMPAT
Gadis yang tadi membentak pada Rangga cuma mendengus sinis dengan sikap merendahkan. “Hmm... baru punya kepandaian rendah saja sombongnya bukan main. Segala mainan anak kecil dipamerkan!”
“Ha-ha-ha...! Nisanak, kalau kau memang tak suka kenapa memulainya lebih dulu?” tanya pemuda bertubuh sedang dengan sikap mengejek.
Gadis itu mendengus sinis. Sepasang matanya yang bulat dan indah tampak menyipit seperti menyatakan ketidak-sukaannya pada pemuda yang dianggapnya memuakkan itu.
“Bocah, jangan sembarangan kau bicara! Jangankan cuma kau, bapak moyangmu sendiri tak berani bicara begitu padaku!”
“Kenapa musti bawa-bawa bapak moyangku segala? Apakah kau takut bila menamparku sendiri?”
“Huh?! Keluar kau!” bentak gadis itu sambil mencabut pedang pendeknya dan berjalan gusar keluar kedai itu.
Tapi pemuda itu tampaknya masih tenang-tenang saja menenggak bumbung arak di hadapannya. Sepertinya dia pura-pura tak tahu bahwa gadis itu tengah menantangnya.
Rangga sendiri yang melihat bahwa kemarahan gadis itu telah tertumpah pada orang lain, tak lagi mau ikut campur selain cengar-cengir sambil menggelengkan kepala.
“Dasar gadis bandel keras kepala. Seorang saja berkawan dengan orang sepertinya bisa pusing kepala....” kata Pendekar Rajawali Sakti pelan.
“Keluar kau bocah! Atau musti kuseret?!” bentak gadis itu dari luar kedai.
“Siapa yang perlu denganku dialah yang musti menghampiriku. Karena kau yang perlu maka kaulah yang semestinya mendatangiku kesini,” sahut pemuda yang tampangnya lumayan tampan itu tak peduli.
“Kurang ajar!” maki gadis itu. Dengan langkah ringan dan wajah gusar dia kembali masuk ke dalam kedai dan menghampiri pemuda itu. kemudian menudingkan ujung pedangnya ke leher si pemuda.
“Sekali kutekan pedang ini lehermu akan putus!” dengus gadis itu semakin kesal karena pemuda itu sama sekali tak memberikan reaksi.
“Tentu saja kalau aku tak menghindar.”
“Keparat!”
“Uts!”
“Yeaaa...!”
Dengan geram gadis itu menarik pedangnya dan kembali mengayunkannya dengan cepat ke leher pemuda itu. Tapi pemuda yang berpakaian merah itu memiringkan sedikit kepalanya. Pedang si gadis lewat beberapa mili dari lehernya. Melihat serangannya luput, gadis itu cepat mengirim satu tendangan keras. Tapi tubuh pemuda itu telah melesat ke belakang dan dengan jungkir balik dia telah berada di luar kedai itu.
“Nisanak, kalau kau bermaksud bermain-main denganku, apa boleh buat. Mana bisa aku menolak permintaan gadis secantikmu!” kata pemuda itu sambil terkekeh-kekeh.
“Huh!” Gadis itu cuma mendengus sinis sambil terus mencelat keluar dengan satu serangan hebat. Pertarungan antara keduanya tak bisa dihindari lagi. Bedanya kali ini gadis itu betul-betul kalap dan bermaksud menghajar lawannya sampai babak belur. Sebaliknya pemuda itu hanya menghindar dan sedikit pun belum membalas serangan si gadis. Namun walaupun demikian terlihat bahwa gadis itu tak mampu mendesak lawannya. Bahkan pemuda itu sekali-kali mempermainkannya dengan sikap pura-pura akan membalas serangan lawan.
Pendekar Rajawali Sakti melihat pertarungan itu sudah bisa menduga. Kalau saja pemuda itu bermaksud mencelakai lawan tentu dengan mudah gadis itu akan dihajarnya. Kepandaian gadis itu tampak terpaut jauh. Tapi pemuda itu sendiri agaknya senang sekali mempermainkan lawan. Bahkan walau diserang dengan bertubi-tubi, dia masih mampu mencolek tubuh gadis itu sambil terkekeh-kekeh.
Tentu saja hal itu semakin membuat si gadis geram bukan main. Dia langsung mengerahkan segenap kepandaiannya untuk menghajar pemuda itu. Gerakannya semakin gesit seperti burung walet terbang, dan ujung pedangnya menyambar-nyambar dengan ganas. Sedikit saja lawan lengah tentu tubuhnya akan terpotong-potong menjadi beberapa bagian.
“Pemuda sialan! Apakah kebisaanmu cuma menghindar saja? Ayo, balaslah seranganku!” bentak gadis itu semakin berang.
“Kenapa aku harus membalas? Bukankah kita sedang bermain-main sambil bersenang-senang? Kaulah yang boleh menyerangku habis-habisan sepuas hatimu,” sahut si pemuda santai.
“Huh! Jangan salahkan kalau kau sampai mampus ditanganku!” dengus gadis itu garang.
“Hmm... cobalah kalau kau bisa. Asalkan nanti ada imbalannya buatku. Paling tidak kau mau mengawaniku tidur bersama.”
“Cuih! Tutup mulut kotormu itu!”
“Ha-ha-ha...!”
“Hiyaaaat...!”
“Uts!”
Pertarungan mereka kembali berjalan hingga telah menghabiskan beberapa jurus. Namun sampai sejauh itu si gadis belum juga mampu menghajar lawannya. Gerakan pemuda itu sungguh ringan dan sulit diterka. Padahal bila dilihat dia santai-santai saja menghadapi gadis itu. Bahkan tampak seperti menghadapi orang yang sedang belajar ilmu silat saja.
Sementara itu beberapa orang yang lalu lalang dan pengunjung kedai itu keluar memperhatikan pertarungan tersebut. Sebagian malah bersorak-sorak gembira kegirangan. Tontonan itu betul-betul mengasyikkan. Karena gadis itu menyerang habis-habisan dengan penuh nafsu dan memaki-maki tak karuan, sebaliknya si pemuda santai saja sambil sesekali terkekeh ketika berhasil mencolek beberapa bagian tubuh lawan.
“Kali ini gadis itu kena batunya!” ujar salah seorang.
“Biar dia rasakan! Gadis galak yang sombong. Dia pikir kepandaiannya tiada yang menandingi!” sahut salah seorang kawannya.
“He-he-he...! Hajar terus!”
“Sudah, Bang! Kepit terus!”
Bukan main meledaknya amarah gadis itu mendengar teriakan-teriakan orang-orang yang menyaksikan pertarungan mereka. Saking kesalnya karena tak mampu berbuat apa-apa, gadis itu merah wajahnya dan terlihat kelopak matanya mulai merembang. Baru kali ini dia merasa dipermalukan di depan orang banyak.
“Minggir! Minggiiir...!”
“Awasss...!”
Pada saat itu melintas rombongan prajurit kerajaan yang berkuda sambil mengiringi sebuah kereta yang tampak indah. Semua orang-orang langsung menyingkir sambil membungkukkan tubuh. Perkelahian itu sendiri terhenti. Dan si gadis buru-buru meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan keadaan. Melihat keramaian itu Rangga buru-buru keluar. Dan bertanya pada salah seorang yang berada di sebelahnya.
“Siapa orang yang berada dalam kereta itu, Kisanak?”
“Oh, itu Putri Raja. Kau harus membungkukkan badan untuk memberi hormat padanya.”
Rangga cuma sedikit membungkukkan badan ketika kereta itu melintas di depan kedai. Namun sepasang matanya menengadah dan mencoba menembus tirai yang menyelubung isi kereta kencana itu dengan menggunakan ilmu Tatar Netra.
“Hmm... cantik sekali gadis itu,” gumamnya pelan.
“Kisanak, berani-beraninya kau memandang ke dalam kereta itu. Cepat tundukkan kepalamu, kalau tidak kau akan celaka!” ujar laki-laki yang ditanyanya tadi memperingatkan.
Rangga pada dasarnya tak mau mencari persoalan. Buru-buru dia menundukkan kepala mengikuti apa yang dikatakan laki-laki itu. Tapi dalam hati dia tak henti-henti memuji kecantikan gadis yang berada dalam kereta itu.
Rombongan prajurit kerajaan telah berlalu, dan orang-orang telah bubar meski satu dua orang masih berdiri mematung sambil memperhatikan rombongan itu yang semakin menjauh.
“Kalau aku punya kekasih seperti itu, wah beruntung sekali!” gumam Rangga seperti pada dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian melangkah pelan menuju sebuah rumah penginapan yang bangunannya bertingkat dua. Kelihatannya besar dan luas sekali. Ruang depannya penuh ditumbuhi bunga-bunga yang beraneka macam, serta sebuah kolam kecil yang dipenuhi oleh ikan-ikan yang berwarna indah. Rumah penginapan itu sendiri memiliki rumah makan yang banyak dikunjungi orang. Dibandingkan dengan rumah makan yang dikunjunginya tadi, rumah makan di sini berkesan lebih mewah.
Rangga tak punya pilihan lagi. Menurut penjelasan beberapa orang di desa itu, hanya di tempat itulah rumah penginapan satu-satunya di desa ini, meski harganya memang lumayan mahal. Pemuda itu bisa memaklumi melihat gedungnya yang indah dan mewah. Tak terlalu mengherankan bila di desa ini keadaannya nyaris mirip dengan kota raja. Selain dekat dengan ibu kota kerajaan, dahulunya desa inilah yang pernah dijadikan ibukota kerajaan sebelum digantikan oleh pemerintahan yang baru.
Pendekar Rajawali Sakti melirik sekilas. Dilihatnya pemuda yang tadi sedang bertarung dengan gadis di kedai itu akan bermalam pula di sini. Dua orang perempuan yang berbedak tebal serta bergincu merah bergelayutan di kanan kirinya. Mereka kemudian menghilang di balik sebuah kamar yang berada ditingkat bawah.
“Hmm... pemuda tampan. Agaknya kau pendatang baru di tempat ini. Kau pasti butuh kawan bukan?” sapa seorang perempuan sambil mengusap bahunya dengan sikap genit.
“Heh?!”
“Selain tampan kaupun rupanya pemalu. Tapi jangan takut nanti pun akan terbiasa....”
“Apakah kau pemilik tempat ini?”
“Bisa dikatakan begitu....”
“Ng... aku bermaksud menginap semalaman.”
“Kenapa tidak? Ikutlah denganku....” sahut gadis itu.
Rangga mengikutinya dari belakang. Gadis itu mengantarkannya pada seorang laki-laki berperut buncit dengan sepasang mata sipit. Setelah mengutarakan maksudnya, laki-laki itu menunjukkan kamar untuknya. Sementara gadis yang tadi masih terus berjalan di sebelahnya. Bahkan sampai Rangga telah berada dalam sebuah kamar, gadis itu seperti tak mau beranjak dari sisinya.
“Terima kasih. Kalau tak keberatan, aku ingin istirahat barang sejenak...” katanya bermaksud mengusir gadis itu.
“Kenapa tidak? Istirahatlah, aku akan memijiti tubuhmu. Kau pasti lelah setelah melakukan perjalanan yang jauh,” sahut gadis itu sambil memijiti seluruh tubuh Rangga.
Pemuda itu agak risih diperlakukan begitu. Lebih-lebih ketika dilihatnya gadis itu bertingkah laku genit dan mulai memamerkan anggota tubuhnya yang terlarang sedikit demi sedikit.
Rangga mulai salah tingkah. Urat syarafnya menegang melihat pemandangan itu. Sesaat matanya seperti tak berkedip ketika gadis itu membuka pakaiannya hingga terlihat tubuhnya yang mulus menggairahkan tanpa sehelai benang pun melekat.
“Berbaringlah, aku akan memijiti tubuhmu....” kata gadis itu lirih sambil merebahkan tubuh Rangga dan melucuti pakaiannya perlahan-lahan.
“Ng...aku... aku....”
“Sssst! Diamlah, kenapa musti banyak mulut segala? Apakah kau belum pernah melakukan hal ini sebelumnya?” ujar gadis itu sambil menempelkan telunjuknya di bibir Rangga.
“Bukan begitu... maksudku....” Rangga tak mampu meneruskan ucapannya ketika bibirnya dilumat gadis itu dengan ketat. Pemuda itu seperti sulit bernafas ketika bibir kenyal itu terus menghimpit tubuhnya. Otaknya semakin panas dan aliran darahnya mengalir tak beraturan.
Di luar senja nyaris berlalu ketika angin bertiup sepoi-sepoi menghanyutkan suasana. Dingin mulai merambat perlahan. Namun di kamar itu ruangan terasa hangat bercampur keringat yang membanjir.
Rangga semakin hilang kesadarannya dan hanyut dalam gejolak nafsu liar dari gadis yang semakin garang saja mencumbuinya. Gadis itu betul-betul berpengalaman untuk menghanyutkan pemuda itu ke alam lain yang mampu sesaat melupakan segala keruwetan pikiran. Namun sebelum pemuda itu betul-betul hilang kesadarannya, sekonyong-konyong terdengar pekikan nyaring dalam sebuah kamar di rumah penginapan itu.
“Hei?!” Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Buru-buru dia bangkit sambil menyambar bajunya.
“Mau ke mana? Biarkan saja mereka. Paling-paling ada seorang yang mabuk,” ujar si gadis mencoba menahannya.
“Tidak. Itu bukan orang yang sedang ketakutan, tapi jerit seseorang yang kesakitan! Aku harus pergi!”
“Tunggu dulu. Kenapa harus buru-buru. Persoalan kita belum lagi selesai...” kata gadis itu mencoba menahan.
Tapi dalam keadaan kesadarannya pulih seperti sekarang, Rangga tak mempedulikan rayuan gadis itu segala. Tubuhnya langsung mencelat ke bawah lewat jendela yang terbuka.
“Awas, kepalamu akan pecah setibanya di bawah!” seru gadis itu khawatir.
Buru-buru dia melihat ke bawah lewat jendela itu, namun sesaat kemudian terlihat gadis itu terpana takjub. Tubuh pemuda itu dengan ringan melayang dan melesat cepat di antara kegelapan.
“Astaga, apakah tadi aku sedang berhadapan dengan setan? Gerakannya ringan seperti kapas. Mustahil manusia biasa mampu melakukan hal seperti itu!” desis si gadis heran dengan wajah hampir pucat.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu Pembeda Gerak dan Suara untuk mempertajam pendengarannya. Baru saja dia berusaha masuk lewat jendela ke arah suara yang diyakininya sumber dari jeritan tadi, ketika sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan dari arah dalam mengejar sesuatu bayangan yang lebih dulu melintas di antara keremangan lampu-lampu rumah penginapan itu.
“Hei?!” Sesaat Rangga agak bingung. Apa yang terjadi di dalam kamar itu? Dia melirik sekilas, dan menemukan sesosok tubuh perempuan dalam keadaan tanpa sehelai benang pun tergeletak tak bernyawa lagi.
“Astaga! Kulit tubuhnya keriput persis seperti pemuda yang tadi tewas. Pasti....”
“Itu dia orangnya!”
“Kejar!”
“Jangan biarkan lolos!”
“Sial!” Pendekar Rajawali Sakit belum sempat melanjutkan dugaannya ketika tiba-tiba sekitar belasan orang menyerbu ke arahnya dengan senjata terhunus. Beberapa orang tampak melompat dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan. Tak ada waktu bagi dirinya untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Sudah pasti mereka menuduhnya sebagai si pembunuh gadis itu. Maka sambil berteriak nyaring, tubuhnya melesat dari tempat itu dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.
Para pengejarnya tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan mereka tak sempat melihat ciri-ciri orang yang mengintip lewat jendela tadi. Sambil memaki-maki kesal mereka langsung mengurus mayat perempuan di kamar itu.
Pendekar Rajawali Sakti sendiri kemudian mengejar dua sosok bayangan yang sempat dilihatnya tadi berlari ke luar desa. Selang beberapa saat terlihat sesosok bayangan yang pertama masih terus berlari seperti mengejar sesuatu. Rangga mengerahkan ilmu Tatar Netra-nya untuk melihat lebih jelas. Namun tak terlihat sesuatu yang mencurigakan selain sosok bayangan itu. Sambil menggeram kesal tubuhnya melayang tinggi dan bersalto beberapa kali kemudian menjejakkan kaki dihadapan orang itu pada jarak kira-kira lima tombak.
“Berhenti...!” bentaknya keras.
Sesosok bayangan itu berhenti. Mereka saling berpandangan sesaat, kemudian terlihat Pendekar Rajawali Sakti mendengus sinis.
“Huh! Tak sangka gadis secantik kau tega berbuat begitu.”
“Apa maksudmu?!”
“Hmm... kau masih berpura-pura juga setelah melakukan perbuatanmu yang biadab?”
“Jangan ngaco kau pemuda ceriwis! Kau pikir aku yang melakukan perbuatan itu? Huh, kalau kau ingin tahu justru aku sedang mencari bajingan keparat itu!”
“Siapa yang kau cari? Kulihat kau cuma sendirian di sini?”
“Kalau aku sampai tak bertemu dengannya, maka kaulah yang harus bertanggung jawab atas kematian perempuan itu!”
“Sial! He, Nisanak. Jangan sembarangan kau bicara! Siapa yang kau kejar? Kau pikir mataku buta? Tak ada seorang pun di sekitar sini pada jarak lima belas tombak. Orang yang kau kejar telah kabur dengan cepat!”
“Itu salahmu! Kalau kau tak menahanku tentu aku telah berhasil mengejarnya!”
“Huh! Kau pikir kau memiliki kemampuan untuk mengejar orang itu? Meski gurumu sekalipun belum tentu mampu mengejarnya. Orang itu memiliki ilmu lari yang cepat, bahkan sulit untuk dilihat dengan pandangan mata kau sekalipun!”
Tapi gadis yang memang keras kepala itu tetap menyalahkan Rangga. Si Pendekar Rajawali Sakti jadi gemas sendiri. Sejak berada di kedai tadi dia memang sudah menyadari bahwa selain galak gadis itu memang keras kepala. Tak ada gunanya dia meladeninya lagi. Maka tanpa mempedulikannya lagi, Rangga langsung memutar tubuh dan bermaksud meninggalkan tempat itu.
“Bagus! Kau meninggalkan tanggung jawab begitu saja!” kata gadis itu sinis.
“Tanggungjawab apa?”
“Tidakkah hatimu tergerak untuk menghajar orang itu? Atau memang kau orang segolongan dengan si keparat itu?!”
“Kau sendiri untuk apa mengejar-ngejar orang itu? Melihat kelakuanmu pastilah tak jauh berbeda dengan orang yang tadi kau kejar,” sahut Rangga mengejek.
“Brengsek! Kau pikir aku orang seperti itu!”
“Hmm... siapa yang tahu hati orang?” sahut Rangga santai seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
LIMA
Rangga dapat merasakan bahwa walaupun terlihat enggan, tapi gadis itu menguntitnya dari belakang. Dia cuma mendiamkannya saja sambil tersenyum kecil.
“Kenapa kau malah tak kembali kepelukan perempuan itu? Bukankah enak dalam suasana dingin seperti malam ini?”
“Apa?!” Rangga menoleh dengan wajah merah.
“Huh!”
Pendekar Rajawali Sakti menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Untunglah saat ini agak gelap hingga terlihat wajahnya yang bersemu merah tak kelihatan.
“Terserah kau mau bicara apa, tapi aku betul-betul tak mengerti ke mana arah pembicaraanmu,” sahut Rangga merasa tak bersalah.
“Huh! Laki-laki memang pandai berpura-pura padahal dalam hatinya penuh dengan tipu muslihat!”
“Nisanak, kau bukan saudara bukan pula kawanku. Kenapa kau mencelaku begitu?”
“Siapa yang mencelamu?”
“Itu tadi!”
“Aku cuma berkata laki-laki bukan berarti dirimu saja.”
“Hmm... kalau kau memang tak suka padaku, kau boleh pergi sesuka hatimu. Kenapa terus menguntitku?” sahut Rangga kesal.
“Siapa yang menguntitmu? Aku memang bermaksud akan mengejar si Keparat itu!”
“Kalau begitu biarlah aku mengambil jalan lain,” sahut Rangga sambil melesat cepat dengan menggunakan ilmu larinya.
Sebentar saja pemuda itu telah hilang dari pandangan si gadis yang terpaku takjub beberapa saat lamanya. Tapi kemudian dia melangkah dengan sikap tak peduli. Namun baru berjalan kira-kira beberapa tindak, tiba-tiba melesat dua sosok bayangan yang mencegatnya.
“Ha-ha-ha...! Tak disangka malam-malam dingin seperti ini akan bertemu dengan seorang gadis cantik yang kesasar. Apa gerangan yang membuatnya berwajah sedih begini, Cangkala?” tanya seorang yang berwajah lebar pada kawannya yang memikul sebuah tongkat dengan ujungnya terdapat pengait melengkung seperti arit.
“Pastilah sedang merindukanmu, Cangkring!”
“Ha-ha-ha...! Kau benar, Cangkala. Siapa gadis yang tak merindukan wajahku yang tampan begini,” sahut Cangkring sambil tertawa lebar.
“Dua monyet buduk! Minggatlah kalian dari hadapanku. Melihat tampang kalian saja ingin muntah rasanya!” bentak gadis itu galak.
“Ha-ha-ha...! Kau dengar Cangkala? Agaknya dia sudah tak sabar lagi untuk buru-buru jatuh dalam pelukanku!” sahut Cangkring terkekeh-kekeh.
“Sudahlah. Kenapa kau musti berlama-lama lagi? Mungkin pun benar dia sudah tak sabaran lagi.”
“He-he-he...! Kau benar, Cangkala! Kau benar!”
“Puiih! Kalau kalian betul-betul tak mau minggat jangan salahkan kalau Tuan Besarmu mencongkel biji mata kalian satu persatu!” bentak gadis itu lagi.
Tanpa mempedulikan keadaan lagi, gadis yang hatinya sedang kesal itu langsung mencabut pedang dan menyerang kedua orang itu dengan hebat.
“Yeaaa...!”
“Oh, galak sekali! Betul-betul membuat hatiku semakin bernafsu saja!” sahut Cangkring berseru kaget sambil menghindari serangan gadis itu dengan mudah.
“Ah, akupun merasakan hal itu, Cangkring. Biarlah kau lebih dulu bersamanya sementara aku akan menunggu bagianku!” timpal Cangkala bergerak ringan menghindari sabetan pedang gadis itu.
Tentu saja ejekan-ejekan itu membuat hati gadis itu semakin murka saja. Dalam kekalapannya itu dia menyerang lawan dengan ganas dan ingin secepatnya menjatuhkan kedua orang yang dianggapnya, bermulut kotor itu. Namun sampai sejauh itu ujung pedangnya tak sedikit pun mampu menggores kulit tubuh lawan. Bahkan dengan gerakan yang cepat tak terduga, tangan-tangan nakal Cangkala dan Cangkring mencolek bagian-bagian tubuhnya yang terlarang.
“Amboi! Masih terasa kenyal dan padat. Tentulah dia masih perawan tulen!” teriak Cangkring kegirangan ketika jari-jarinya berhasil menyentuh dada gadis itu.
“Bajingan keparat! Kubunuh kalian! Kubunuh kalian...!” teriak gadis itu semakin kalap saja.
“Hiyaaat!”
“Uts!”
“Ouw...!” Kembali gadis itu terpekik kaget ketika tangan Cangkala menepuk pinggul dan meremasnya sambil mendecah dan menggeleng-gelengkan kepala.
“He-he-he...! Betul-betul perawan tulen. Ayolah, Cangkring. Kenapa musti berlama-lama segala?”
“Baiklah, baiklah....”
“Hiyaaat...!”
“Uts!”
“Plak! Tuk!”
“Ohh...!”
Dengan gerakan yang cepat tubuh Cangkring melesat cepat memapaki serangan gadis itu. Kepalanya sedikit tertunduk, sementara tangan kirinya menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang pedang, kemudian jari-jari tangan kanannya menotok tubuh gadis itu hingga jatuh lemas tak berdaya.
“Ha-ha-ha...! Kau pikir bisa berbuat apa pada Iblis Gunung Kembar? Meski gurumu sekalipun belum tentu mampu mengalahkan kami,” kata Cangkring sambil melotot lebar. Tangan kanannya dengan penuh nafsu merayap di tubuh gadis itu perlahan-lahan.
“Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan! Aku masih sanggup bertarung seribu jurus lagi denganmu!”
“He-he-he...! Bagus. Simpanlah tenagamu untuk meladeni kami berdua,” sahut Cangkala sambil terkekeh girang.
Cangkring sendiri tampak tak mempedulikan teriakan-teriakan gadis itu. Dengan gemas dirobeknya baju gadis itu hingga bagian dadanya tersingkap jelas. Gadis itu menjerit-jerit sambil memaki-maki tak karuan.
“Hmm... dada bagus! Dada bagus...!” gumam Cangkring sambil meremas pelan buah dada yang membusung dengan bentuk menantang.
Matanya melotot lebar, dan urat-urat syarafnya menegang kaku. Air liurnya seperti hendak jatuh membayangi hawa nafsunya yang mulai bergejolak. Begitu juga halnya dengan Cangkala. Mereka tak lagi mempedulikan gadis itu yang terus memaki-maki sambil berteriak-teriak.
“Apakah kau akan menontonku di sini, Cangkala? Tunggulah disana!” perintah Cangkring sambil melepaskan bajunya.
“Baiklah....” sahut Cangkala sambil meninggalkan tempat itu dan menunggu agak jauh pada jarak sepuluh langkah.
Cangkring sendiri dengan gemas melucuti semua pakaian gadis itu sambil mendengus dengan nafas memburu. Kemudian dengan gemas digumulnya gadis itu dengan penuh nafsu.
Air mala gadis itu sudah meleleh di pipinya. Percuma saja dia berteriak-teriak memaki, namun tak sedikit pun mampu menyurutkan nafsu setan laki-laki itu. Bahkan sepertinya teriakan gadis itu menambah gairah nafsunya semakin menggebu.
Namun pada saat-saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang membuat kedua orang itu terkejut, dan Cangkring terhenti dari niatnya untuk menodai gadis itu.
“Bajingan keparat! Apakah kebisaan kalian cuma mengganggu gadis-gadis tak berdaya?!”
Di tempat itu telah berdiri gagah seorang pemuda tampan berambut panjang terurai mengenakan rompi putih. Dari belakang punggungnya tersembul pedang berhulu kepala burung. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti.
“Bocah brengsek! Apa kau mau mampus mengganggu kesenangan Iblis Gunung Kembar?!” bentak Cangkala garang.
Sementara itu Cangkring buru-buru mengenakan pakaiannya kembali dan sudah berada di sebelah Cangkala.
“Hmm.... Iblis Gunung Kembar. Pernah kudengar nama itu. Khabarnya cuma seorang tokoh rendah yang keberaniannya cuma memperkosa perempuan-perempuan tak berdaya!” ejek Rangga dengan mengeluarkan suara di hidung.
“Keparat! Kau pikir kau siapa berani bicara begitu di hadapan kami. Hei, bocah! Agaknya kau orang yang baru belajar silat dan sudah begitu yakin akan kemampuanmu. Sebaiknya kau pulang dan tanyakan pada gurumu agar tak sembarangan kau pentang bacot!” sahut Cangkring.
“Kenapa aku musti bersusah payah menanyakan hal kalian pada guruku? Beliau bahkan sama sekali tak mengenal kalian sedikit pun. Akupun cukup berbaik hati karena bisa mengingat nama kalian yang menggelikan itu,” kata Rangga terus mengejek.
“Sial! Bocah, rupanya mulutmu perlu dirobek agar tak sembarangan kau buka bacot!” teriak Cangkala sudah terus menyerang pemuda itu.
Namun dengan gerakan manis Rangga berkelit dan melesat cepat ke atas sambil mengayunkan kaki kanannya ke muka lawan.
“Hiyaaat...!”
“Yeaaa...!”
Cangkala terkejut. Gerakan lawan cepat bukan main, dan mengandung tenaga dalam hebat. Kalau saja dia tak buru-buru menghindar sudah barang tentu mukanya akan hancur dihantam tendangan lawan. Tapi senjatanya yang berupa tongkat berujung arit itu langsung menyambar pinggang Pendekar Rajawali Sakti.
“Yeaaa...!”
“Uts!” Tubuh Rangga meliuk-liuk menghindari seperti orang yang sedang menari.
“Modar!”
“Belum, Sobat! Kau masih perlu belajar dua puluh tahun lagi untuk bisa melukaiku!” ejek Rangga sambil terkekeh.
Serangan yang dilakukan Cangkala sebenarnya bukan sembarangan. Dan nama Iblis Gunung Kembar pun bukannya tak diperhitungkan oleh tokoh-tokoh persilatan. Mereka dikenal sebagai pentolan golongan hitam berkelakuan aneh. Ilmu olah kanuragannya terbilang cukup tinggi dan sulit mencari tandingannya. Meski belum tergolong dalam datuk sesat, tak sembarangan orang bisa mengalahkan mereka. Apalagi dalam kemarahannya ini, Cangkala betul-betul menyerang lawan habis-habisan.
Tapi kali ini dia kena batunya. Lawan yang dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan. Dari caranya mereka bergerak terlihat bahwa ilmu meringankan Pendekar Rajawali Sakti lebih tinggi dua tingkat dibanding lawan, sehingga terlihat dengan mudah dia mengecoh Cangkala.
“Cangkala, agaknya kau begitu memberi hati pada lawanmu. Biarlah aku turut campur untuk menggebuknya!” teriak Cangkring sudah langsung melesat membantu Cangkala sambil meloloskan senjatanya berupa arit berbentuk besar dan tajam yang biasanya dililitkan dipunggungnya.
“Hmm... kenapa bukan sejak tadi kau membantunya? Kalau kalian turun berdua akan lebih mudah bagiku untuk belajar lebih banyak, dan sekaligus menghajar kalian!”
“Bedebah!”
“Yeaaa...!”
“Sriing!”
Rangga meloloskan pedang dan menangkis serangan lawan sambil menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Pada jurus pertama tampak dia mengamati gerakan-gerakan lawan sambil terus menghindar, namun ketika memasuki pertengahan jurus kedua dia mulai menekan dan merubah jurus dengan menggunakan jurus pertama dari lima jurus Rajawali Sakti.
“Hiyaaa...!”
“Hei?!”
“Traaak!”
“Cras!”
“Aakh...!”
Kejadian itu begitu cepat berlangsung, dan tiba-tiba senjata di tangan Iblis Gunung Kembar terpental diiringi pekik kesakitan.
Cangkala dan Cangkring melihat dada mereka tergores lebar. Barulah terbuka mata keduanya bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang tokoh yang berkepandaian tinggi. Tapi sebenarnya ketika pemuda itu merubah jurus, Cangkring telah lebih dulu mengetahui dan serasa mengenalnya. Tapi gerakan pemuda itu lebih cepat lagi membuyarkan ingatannya.
“Hmm... jurus Rajawali Sakti. Apakah kau orang yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Cangkring dengan sikap hati-hati.
“Tak salah. Begitulah orang-orang memanggilku,” sahut Rangga tenang.
“Tak sangka hari ini kami bisa bertemu muka dengan pendekar yang namanya telah kesohor di delapan penjuru angin. Kisanak, maafkan kami yang buta tak melihat Gunung Semeru terbentang di depan mata,” sahut Cangkring memberi salam penghormatan.
“Kisanak, kau terlalu berlebihan. Aku sama sekali bukan orang hebat. Cuma seorang pengembara biasa yang tak memiliki kepandaian apa-apa. Segala yang ada didiriku hanya berguna untuk mempertahankan diri dan menyelamatkan orang, lain dari marabahaya bila kumampu. Apakah dengan begitu kalian bermaksud memperpanjang urusan ini?”
“Sudilah kiranya menyudahi persoalan ini sampai di sini. Maaf, kami permisi....” sahut Cangkring sambil mengajak Cangkala meninggalkan tempat itu.
Pada dasarnya Rangga tak ingin membuat persoalan lebih panjang lagi. Sempat terlihat dan terdengar olehnya dengan menggunakan ilmu Tatar Netra dan Pembeda Gerak dan Suara bahwa orang itu tak sampai melakukan perbuatan terkutuk itu pada diri si gadis. Maka ketika melihat keduanya bermaksud menyudahi persoalan, Pendekar Rajawali Sakti membiarkan mereka pergi begitu saja.
“Keparat! Kenapa kau melepaskan mereka begitu saja?!” maki si gadis sambil mengenakan bajunya ketika Rangga baru saja melepaskan totokannya.
“Kalau kau bermaksud menghajar mereka susullah. Aku tak mau peduli kalau sekali lagi mereka bertemu denganmu, pastilah mereka dengan mulus melakukan niatnya,” sahut Rangga tak peduli.
Gadis itu cuma diam saja sambil mendengus sinis. Melihat bahwa kedua orang tadi dengan mudah mengalahkannya, sudah barang tentu dia tak akan mampu membalaskan sakit hatinya. Padahal isi dadanya seperti meledak-ledak oleh rasa jengkel dan amarah.
Karena tak kuat merasa kesalnya, gadis itu merasa tak berdaya dan baru kali ini dia merasa begitu kecil dan lemah. Tanpa sadar sifat aslinya keluar ketika dia menangis tersedu-sedu sambil duduk diatas sebuah batang pohon yang tumbang.
Rangga bingung sendiri melihat kelakuan gadis itu. Baru saja sebentar bersikap galak, kini malah menangis tersedu-sedu. Dihampirinya gadis itu, dan mematung sesaat sebelum bertanya dengan suara pelan.
“Nisanak, kenapa kau malah menangis? Apa... apa mereka sempat menodaimu...?”
“Pergi kau dari sini! Pergii...!”
“Baiklah. Kalau kau tak menyukai kehadiranku di sini, aku akan pergi,” sahut Rangga sambil membalikkan tubuh dan melangkah pelan.
“Brengsek!”
Rangga menghentikan langkah ketika gadis itu memaki keras. Sempat dia menoleh. Terlihat gadis itu berhenti menangis dan menatapnya sekilas sebelum memalingkan wajah kearah lain. Melihat itu Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah lagi.
“Brengsek! Apakah kau akan meninggalkan aku sendiri di sini?!” bentak gadis itu dengan suara nyaring.
“Bukankah kau muak melihat tampangku?” sahut Rangga tanpa menoleh.
“Iya, aku muak melihat tampangmu! Pergilah kau cepat dari sini!” bentak gadis itu dengan suara kesal.
Dari nada suara gadis itu Rangga bisa menyadari bahwa dia seorang yang tinggi hati, dan tak mau menunjukkan kelemahannya. Meski sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti yakin bahwa gadis itu tak menginginkan dia pergi dari tempat itu. Rangga kemudian mengalah dan kembali menghampiri gadis itu.
“Aku mau kembali ke desa itu lagi. Kalau kau mau aku suka sekali kau temani,” kata pemuda itu dengan wajah datar sambil tersenyum.
Gadis itu cuma diam sambil memalingkan wajah, dan tak menyahut sepatah katapun dengan nada cemburu.
“Kau ingin berada di sini sendiri?”
“Apakah kau tak merasa diganggu olehku? Kasihan perempuan itu nantinya akan cemburu,” sahut gadis itu sambil memalingkan wajah.
Rangga cuma diam sambil tersenyum-senyum kecil. “Terserahlah kalau kau menganggap begitu....” sahut Rangga lemah sambil berjalan pelan.
Gadis itu mengikuti dari belakang. Sesaat mereka saling berdiam diri sebelum gadis itu kembali membuka suara.
“Terima kasih atas pertolonganmu....”
“Hmmm....”
“Kalau tak ada kau entah apa yang terjadi padaku....”
Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiam diri tanpa menyahut sepatah kata pun.
“Maaf atas kekasaranku tadi. Aku tak bermaksud begitu sebenarnya. Namaku Puspita Sari....”
“Aku Rangga....”
“Kaukah orangnya yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti?”
“Begitulah orang-orang menyebutku.”
“Hmm... guruku pernah bercerita banyak tentangmu serta sepak terjangmu. Tak sangka hari ini aku bertemu dengan pendekar hebat.”
“Ah, itu hanya nama yang dibesar-besarkan orang saja. Aku tak sehebat apa yang sering kau dengar. Kepandaianku pun tak seberapa.” sahut Pendekar Rajawali Sakti merendah.
Gadis itu cuma tersenyum. Rangga membalasnya dengan tersenyum kecil. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu dengan langkah ringan. Baru kali ini dia melihat gadis itu tersenyum dan bersikap ramah. Kelihatan manis dan tak kalah menarik dengan putri raja yang tadi dilihatnya di kereta kencana.
ENAM
Rangga baru mengetahui bahwa gadis itu pun ternyata menginap di tempat yang sama dengannya. Kamar mereka cuma berselang dua pintu. Tak heran kalau tadi dia sempat melihatnya masuk bersama seorang perempuan. Dan ketika kembali ke tempat itu pun ternyata perempuan yang tadi berada di kamarnya sudah tak ada. Laki-laki berperut buncit serta bermata sipit yang merupakan pemilik rumah penginapan itu cuma mengangguk sambil tersenyum ketika Rangga mengatakan agar perempuan itu jangan berada di kamarnya.
“Sudah bawa sendiri. Den?” tanyanya sambil tersenyum dan melirik Puspita Sari.
“Hus! Jangan sembarangan bicara kau!”
Si pemilik rumah penginapan itu terkekeh kecil. “Kudengar tadi ada keributan di sini. Apa yang terjadi?”
“Orang misterius itu muncul kembali, dan mengambil korban salah seorang perempuan yang bekerja di tempat ini....” jelas pemilik rumah penginapan itu dengan suara geram.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. “Apakah tak ada orang yang mengetahui siapa dia?”
“Tidak ada. Dia datang seperti angin saja. Tak seorang pun mengetahui siapa dirinya. Tapi menurut beberapa orang, pastilah dia salah seorang tamu yang menginap di sini.”
“Hmmm....”
“Aden tadi tak melihatnya?” tanya pemilik rumah penginapan itu lagi.
Dia berpikir, jika tamunya ini membawa-bawa pedang di punggungnya paling tidak pastilah berasal dari orang-orang persilatan dan sedikit banyak bisa bertindak cepat dan gesit untuk mengetahui apa yang terjadi tadi.
“Tidak. Saya tidak melihatnya....”
“Orang itu memang selalu membuat bencana. Entahlah, rasanya tak ada orang yang mampu menemukannya....”
“Setiap kejahatan pasti selalu akan berakhir dengan kekalahan karena kebenaran pasti akan muncul. Kami turut prihatin, dan mudah-mudahan bisa membantu sedikit nantinya....”
“Oh, syukurlah kalau kalian memang berniat begitu. Paling tidak ada orang yang mau memperhatikan nasib orang lain yang malang. Syukur kalau orang misterius itu cepat tertangkap dan bisa diadili secepatnya....”
Puspita Sari bosan juga mendengar percakapan mereka. Dia buru-buru meninggalkan mereka. Rangga pun kemudian mengikuti dari belakang. Gadis itu tak langsung masuk ke dalam kamarnya, malah duduk di sebuah bangku yang berada di tingkat atas. Rangga berdiri dekat palang kayu dan memperhatikan keadaan di bawah.
“Tidak langsung tidur?” tanyanya pelan.
“Mataku belum ngantuk, lagipula banyak hal yang kupikirkan saat ini....”
“Kau tentu rindu pada orangtuamu...?”
Puspita Sari tersenyum kecil. “Ya, mereka pasti cemas akan kepergianku. Tapi bukan hal itu yang amat mengganggu....”
“Tentang kedua orang tadi? Kau masih mendendam pada mereka?”
“Mungkin....”
“Hmmm....”
“Orang misterius itu harus kudapatkan!”
“Ada persoalan pribadi dengannya?”
“Ceritanya panjang. Kau pasti bosan mendengarnya....”
“Mataku belum mengantuk, dan saat ini tak ada yang bisa kulakukan. Kalau kau mau bercerita tentu aku suka sekali mendengarnya.”
Puspita Sari menghela nafas panjang sebelum berucap lirih. “Dia telah membunuh tunanganku....”
“Hmm... begitu?”
“Saat itu hari perkawinan kami kurang dari seminggu ketika dia tewas dengan tubuh keriput dan pucat. Darahnya seperti tersedot habis. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya hidupku sudah tak berarti lagi.”
“Dan kau pergi mencarinya untuk membalas dendam?”
“Kakek yang sekaligus guruku melarang dan mengatakan bahwa orang itu bukan tandinganku. Tapi aku tak peduli. Dalam benakku ilmu olah kanuragan yang diajarkan kakek sudah lebih dari cukup. Apalagi mengetahui bahwa kakek termasuk tokoh yang disegani di dunia persilatan. Kemudian aku pergi diam-diam tanpa diketahui mereka. Tapi akhirnya aku mengetahui bahwa dunia ini tak sesempit apa yang kukira. Baru beberapa hari mengadakan perjalanan, sudah banyak tokoh-tokoh sakti yang kutemui dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dariku...” ucap gadis itu masghul.
“Ilmu silatmu sebenarnya cukup bagus, hanya gerakanmu masih kaku dan kurang latihan.”
“Tapi tetap saja hal itu belum cukup untuk membalaskan sakit hatiku.”
“Memang. Kalau kau bermaksud membalaskan sakit hati pada orang itu kau akan sia-sia. Kalau benar orang yang tadi kau kejar adalah dia, tentulah ilmu kepandaian orang itu sangat tinggi dan bukan tandinganmu.”
“Entahlah... saat ini aku tak tahu harus berbuat apa,” sahut Puspita Sari gelisah.
“Orang itu membuat bencana di mana-mana, meski dia berilmu tinggi tapi musti ada orang yang harus menghentikannya. Aku bermaksud mencari orang itu....”
“Kau sungguh-sungguh?!”
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk.
“Oh, terima kasih! Dengan adanya kau ikut turun tangan tentu segalanya akan menjadi mudah!”
“Jangan berharap terlalu banyak. Aku sendiri tak yakin apakah bisa mengalahkannya atau tidak....”
“Kau pasti mampu mengalahkannya!” seru Puspita Sari yakin.
Rangga tersenyum. “Besok kau boleh pulang ke rumahmu. Tenangkanlah hatimu, biarlah hitung-hitung aku yang membalaskan sakit hatimu padanya.”
“Tidak! Aku harus melihat bajingan itu mati di depan mataku!”
“Hmm... dendammu pastilah sedalam lautan.”
“Rangga, apakah kau pernah punya kekasih? Kemudian dengan tiba-tiba kekasih yang kau cintai tewas. Padahal sebentar lagi kau akan membina rumah tangga?” tanya gadis itu tiba-tiba.
“Aku tak tahu, tapi bisa merasakan apa yang sedang kau rasakan saat ini. Yang pasti memang aku mendendam, namun bila dendamku tak terbalas biarlah itu menjadi takdir dan Gusti Allah yang akan membalaskannya nanti. Bagaimanapun aku percaya bahwa hidup dan mati bukan ditentukan oleh manusia.”
“Kau bisa bicara begitu karena kau tak mengalaminya sendiri!”
“Puspita, di dunia ini masih banyak yang harus kita kerjakan untuk mengisi hidup, bukan sekedar menangisi sesuatu yang telah hilang dari kehidupan. Kau harus merelakan kepergian kekasihmu dan mengisi hari-harimu dengan penuh keriangan.”
Puspita Sari terdiam beberapa lama. Suasana terasa sepi, dan sepertinya mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kemudian terdengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti lirih.
“Maaf, aku tak bermaksud mengajarimu begitu. Tak ada hakku untuk mengatakan apapun padamu. Kau boleh melakukan apa saja yang kau suka. Kalau kau tak suka dengan kata-kataku tadi, kau boleh menganggapnya tak pernah ada....”
“Tidak apa. Sebagian besar kau benar. Hanya bagiku sedikit sulit karena ini merupakan soal yang pelik buatku. Mudah-mudahan seiring dengan perjalanan hari ini aku bisa melupakan dan menyadari apa yang sebaiknya harus kulakukan....”
“Syukurlah kalau kau berpikiran begitu....”
“Hmm.... Rangga, ada yang ingin kutanyakan.”
“Apa?”
“Bila kekasih yang kau cintai telah tiada, kemudian kau bertemu dengan seorang gadis yang memikat hatimu. Apakah salah bila akhirnya kau jatuh cinta lagi pada gadis itu?”
Rangga tersenyum mendengar pertanyaan itu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Jawablah Rangga....”
“Bagaimana ya? Tentu saja aku beranggapan tak salah.”
“Jadi cintamu pada kekasihmu yang pertama tidak begitu mendalam?”
“Tidak begitu. Tapi untuk apa aku harus berlarut-larut dalam kesedihan bila orang yang kita cintai toh telah tiada? Lalu apa salahnya jika ada gadis lain yang memikat hati. Apalagi kalau gadis itu pun ternyata suka padaku. Aku menganggap hal itu tak salah.”
“Hmm....” gumam Puspita Sari sambil tersenyum kecil.
Tanpa berkata apa-apa dia masuk ke dalam kamarnya. Rangga bengong sendiri melihat kelakuan gadis itu. Perlahan-lahan dia pun melangkah ke kamarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala bingung. “Dasar gadis aneh...!” gumamnya pelan.
********************
Pemuda berambut gondrong dengan tubuh agak kurus itu tersenyum kecil ketika gadis di sebelahnya bergelayutan manja di pundaknya. Padahal kedua orangtuanya masih ada di ruang tamu itu.
“Parmi, jangan begitu. Malu dilihat kedua orangtuamu,” bisiknya pelan.
“Biarkan saja. Bukankah mereka sudah merestui hubungan kita? Lagipula apa yang musti dimalukan, bukankah sebentar lagi kita akan kawin?” sahut si gadis tak peduli.
“Paling tidak menjaga sopan santun di depan mereka....”
“Ah, Kakang Layang Seta, kau ini terlalu kuno sekali. Apakah kalau aku berdekatan denganmu berarti berbuat tidak sopan di hadapan mereka?”
“Bukan begitu, tapi....”
“Sudahlah. Kalau demikian sebaiknya kita ke belakang saja agar tak terlihat oleh mereka!” potong gadis itu sambil menggamit lengan pemuda itu.
Layang Seta seperti kerbau dicocok hidungnya, cuma bisa menurut saja. Mereka permisi dengan kedua orangtua si gadis dan menuju halaman belakang yang luas dan ditumbuhi pepohonan yang rindang. Di dekat dua buah pohon kelapa terdapat sebuah kolam yang agak lebar. Di bawah sebatang pohon mangga yang beberapa bagian cabangnya melintang di atas kolam itu, Parmi mengajak Layang Seta untuk meneduh.
“Nah, apakah kalau berada di sini kau akan tetap malu juga, Kakang Layang Seta?”
“Kalau di sini siapa yang kumalukan? Justru aku yang khawatir kau akan malu.”
“Huh, dasar lelaki!” sahut gadis itu sambil merebahkan diri di pangkuan kekasihnya dan menarik hidung pemuda itu sesaat.
Layang Seta bergerak cepat dan menangkap pergelangan tangan gadis itu. Kemudian dengan sekali sentak, wajah gadis itu telah berada di dekatnya. Dengan gemas dilumatnya bibir gadis itu hingga gelagapan. Tapi kemudian gadis itu pun membalasnya dengan hangat.
“Selain pemalu ternyata kaupun nakal!” ejek Parmi ketika Layang Seta menyudahi perbuatannya.
“Kau yang membuatku nakal.”
“Tak apa-apa, asal kau tidak main serong di belakangku!”
“Hmm... untuk gadis secantikmu buat apa aku main serong?”
“Laki-laki biasanya suka berbohong.”
“Apakah kau tak percaya padaku?”
“Aku percaya padamu, Kakang. Kau tak ada bakat untuk menjadi penipu. Tapi....”
“Tapi kenapa?”
Gadis itu memalingkan wajah, dan menatap pemuda itu agak lama. “Kakang, hubungan kita meski belum berjalan lama tapi aku merasa dekat denganmu. Aku tak ingin berpisah darimu. Makin cepat kita melangsungkan perkawinan, makin baik kurasa. Tapi setelah sekian lama, apakah kau tak ingin memperkenalkan aku dengan kedua orangtuamu?”
“Bukankah aku sudah katakan pada orangtuamu, bahwa kedua orangtuaku telah tewas dalam kecelakaan di desa kami. Hidupku kini sebatang kara....”
“Jangan bersedih, Kakang. Aku berjanji akan selalu setia dan mendampingi selalu,” bujuk gadis itu lirih.
“Dengan adanya kau di sampingku sangat membahagiakan hatiku. Kau mampu mengisi kekosongan hidupku yang selama ini hampa. Mudah-mudahan hal ini akan terus berlangsung selamanya....”
“Aku berjanji, Kakang....”
“Hmmm....”
“Kakang, kulihat kau selalu membawa-bawa keris ini. Tentulah kau sedikit banyak memiliki kepandaian ilmu silat?” tanya Parmi sambil menunjuk pada keris yang terselip di pinggang pemuda itu.
“Hanya sekedar untuk membela diri....”
“Aku jadi teringat cerita orang. Belakangan ini muncul seorang tokoh misterius yang banyak menimbulkan korban yang tewas dengan cara yang mengerikan. Bahkan diantaranya terdapat gadis-gadis. Kasihan mereka. Mendengar cerita itu aku takut sekali, Kakang. Kenapa ada orang yang begitu sadis perbuatannya....”
Layang Seta terdiam beberapa saat mendengar cerita itu.
“Kakang...?”
“Hmmm...”
“Kau berjanji akan melindungiku, bukan?”
“Tentu saja....” sahut Layang Seta dengan suara sedikit bergetar. Tubuhnya mendadak mulai panas dan terasa sakit seperti ditusuk belasan jarum. Pemuda itu meregang sesaat untuk menahannya.
“Kakang, kau kenapa?!” tanya Parmi kaget.
“Parmi, pergilah dari sini! Pergi tinggalkan aku, cepat!”
“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu! Kakang, kau kenapa? Apakah kau sakit?”
“Akh...!” Layang Seta berteriak kesakitan. Sekujur tubuhnya mulai panas membara dan rasa sakit yang dideritanya semakin tak tertahankan lagi. Pemuda itu bangkit dan mencoba menahannya, tapi rasa sakit itu terus membelenggu dirinya. Pemuda itu mulai berteriak-teriak dan tiba-tiba mencabut keris yang terselip dipinggangnya.
“Kakang...!” jerit Parmi mulai ketakutan bercampur cemas melihat keadaan kekasihnya itu.
“Pergi, Parmi! Cepat tinggalkan aku...!” teriak Layang Seta parau.
Perlahan-lahan dari kulit tubuhnya timbul gelembung-gelembung berisi darah dan nanah. Parmi tak tahan melihat itu dan merangkul pemuda itu dengan wajah cemas.
“Kakang, kau kenapa? Katakanlah padaku, apa yang terjadi padamu?! Kakang, katakanlah! Ka... aaa...!”
“Blesss!”
Gadis itu terpekik kaget ketika keris di tangan Layang Seta menghunjam ke dadanya. Darahnya seperti tersirap dan bergerak cepat mengalir menuju keris itu. Tubuhnya menggelepar dengan sepasang mata melotot seperti menahan ajal.
“Layang Seta keparat! Rupanya kaulah iblis yang selama ini berkeliaran!” bentak seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul ditempat itu sambil mengayunkan golok di tangannya.
Orang itu tak lain dari bapak si gadis. Mendengar teriakan yang disusul dengan lolong kesakitan anaknya, buru-buru dia melihat ke halaman belakang dan menyaksikan pemuda yang selama ini dipercaya akan menjadi menantunya ternyata sedang membunuh putrinya dengan cara keji.
Melihat keadaan itu istrinya terpekik kaget. Tapi masih untung dia bisa menguasai diri dan buru-buru membunyikan kentongan. Dalam sekejapan saja terdengar bunyi kentongan yang saling bersahutan dan disusul oleh keluarnya beberapa orang penduduk sambil membawa senjata-senjata tajam.
TUJUH
Layang Seta yang mengetahui perbuatannya diketahui orang, tersentak kaget. Namun lebih terkejut lagi ketika mengetahui bahwa gadis di hadapannya ambruk dengan tubuh pucat dan kulit kering keriput. Rasa sakit di tubuhnya berangsur-angsur hilang, dan gelembung-gelembung berisi nanah dan darah perlahan-lahan kembali seperti semula.
“Yeaaa...!”
“Huh!” Layang Seta mendengus garang.
“Crab!”
“Aaa...!”
Laki-laki itu terpekik ketika dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, keris di tangan Layang Seta menghunjam ke perutnya. Tubuhnya menggeletar dan sepasang matanya melotot lebar. Tubuhnya ambruk dalam keadaan sama seperti putrinya. Namun sebelum Layang Seta sempat kabur dari situ, sekonyong-konyong puluhan orang telah mengepung tempat itu dengan rapat.
“Itu dia iblisnya.”
“Kepuuung...!”
“Jangan biarkan dia lolos!”
Beberapa orang pemuda desa yang geram dan marah melihat kelakuan Layang Seta, sudah langsung menyerang dengan ganas.
“Yeaaa...!”
“Crab! Crab!”
“Aaaa...!”
“Bajingan keparat! Minggir semua!” bentak seorang laki-laki berkumis tebal menyibak beberapa orang penduduk desa yang terperanjat melihat tiga orang pemuda desa yang menyerang Layang Seta ambruk bermandikan darah ditikam keris di tangannya.
Layang Seta menatap wajah orang itu dengan sikap sinis. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya, sepasang matanya yang berkilat tajam seperti harimau akan menerkam mangsa.
“Iblis keparat! Rupanya kau bersembunyi di sini dan berpura-pura menjadi orang baik. Hari ini riwayatmu akan tamat di tangan si Gembong!” dengus laki-laki berkumis tebal itu.
Orang bernama Gembong itu memang terkenal sebagai jagoan desa ini. Meskipun tingkahnya terkadang suka ugal-ugalan, tapi dia tak pernah membuat keonaran. Bahkan tak jarang dia membantu mereka yang kesulitan akibat pemerasan yang dilakukan oleh tuan tanah-tuan tanah di desa ini dengan menghajar centeng-centeng yang suka menghajar para penduduk.
“Hiyaaat...!”
Tubuh Gembong telah mencelat sambil menyabetkan golok ke leher lawan. Namun dengan sedikit memiringkan tubuh, serangannya dengan mudah dielakkan Layang Seta. Bahkan tangan pemuda itu sempat melayang ke tengkuknya setelah kaki kanannya menyikut sebelah kaki lawan. Tak ayal lagi, tubuh Gembong tersungkur mencium tanah.
“Bangsaaat...!” maki Gembong sambil berdiri cepat.
Laki-laki berkumis tebal itu berputar-putar mengelilingi Layang Seta seperti hendak mencari kelemahan lawan. Kemudian dengan satu teriakan nyaring, kembali dia bergerak menyabetkan goloknya dengan gerakan lincah.
“Yeaaa...!”
“Bet!”
“Plak!”
“Aaakh...!” Gembong kembali menjerit keras. Layang Seta menundukkan kepala menghindari sabetan goloknya. Tangan kanannya menghantam pergelangan tangan lawan, namun dengan gerakan yang gesit Gembong mengibaskan lengan. Tapi tubuh Layang Seta telah berbalik cepat, dan kedua kakinya terangkat tinggi menghantam pergelangan tangan dan dadanya. Untuk kedua kalinya Gembong tersungkur. Tapi kali ini dia agak susah untuk segera bangkit. Goloknya terlepas dari pegangan dan dadanya terasa nyeri akibat tendangan lawan.
“Huh! Tak peduli nyawaku jadi taruhan, tapi orang sepertimu harus lenyap dari muka bumi. Kalau tidak akan lebih banyak lagi korban yang jatuh. Yeaaa...!” dengus Gembong sambil kembali menyerang lawan dengan tenaga penuh.
“Plak!”
“Crab!”
“Aaa...!” Jagoan desa itu melolong setinggi langit ketika dengan satu gerakan manis. Layang Seta berhasil menghindari kepalan tangannya. Keris di tangannya langsung menghunjam ke jantung lawan tanpa bisa dicegah lagi. Tubuh Gembong menggeletar dan kedua biji matanya melotot seperti hendak keluar. Laki-laki berkumis tebal itu kemudian ambruk dan tak berkutik lagi.
“Biadab! Bunuh si keparat itu beramai-ramai!”
“Cincaaaang...!”
Sambil berteriak-teriak garang beberapa orang penduduk desa itu langsung menyerang Layang Seta dengan kalap. Tapi pemuda itu agaknya masih terpengaruh oleh sifat dari keris yang dipegangnya. Nafsu membunuhnya seperti bergejolak hebat. Dan dengan sekali berkelebat, penduduk desa yang tak memiliki kepandaian ilmu silat itu tewas satu demi satu.
“Cras! Crab!”
“Aaaa...!” Jerit kesakitan dan pekik kematian bercampur menjadi satu ketika beberapa tubuh ambruk ke tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Tapi hal itu bukan membuat orang-orang itu menjadi surut nyalinya, bahkan membuat kemarahan mereka semakin memuncak.
Sementara itu kentong masih berbunyi bertalu-talu dan sambung menyambung hingga ke desa-desa terdekat. Keriuhan terjadi dimana-mana, dan cerita dari mulut ke mulut dari orang-orang yang mengungsi karena takut dengan ancaman pemuda berjiwa iblis itu, seperti hembusan angin yang menyebar ke pelbagai tempat dalam waktu singkat.
Bukan hanya penduduk desa itu saja yang berkerumun dan mengeroyok Layang Seta. Tapi juga penduduk desa lain yang beberapa orang warganya pernah menjadi korban pemuda itu. Mereka berduyun-duyun ingin menyaksikan sekaligus ingin menghajar pemuda itu untuk membalaskan sakit hati.
Beberapa orang jawara-jawara desa telah turun tangan mengeroyok Layang Seta, namun semuanya tewas menemui ajal. Tak seorang pun di antara mereka yang mampu menandingi kehebatan ilmu olah kanuragan pemuda itu. Selain gerakannya yang lincah dan gesit, tenaganya pun kuat seperti tenaga sepuluh ekor banteng liar. Dalam pada itu tiba-tiba melesat sosok bayangan yang langsung menghadang Layang Seta.
“Iblis jahanam! Berhari-hari kami mencarimu tak sangka akhirnya kau bersembunyi di tempat ini!” bentak salah seorang di antara kelima orang yang baru muncul itu.
Layang Seta cuma memperhatikan mereka satu persatu tanpa menyahut sepatah kata pun. Wajahnya tampak sadis, dan hawa pembunuhan menyatu dalam jiwanya.
Sementara itu melihat kelima sosok tubuh itu agaknya memiliki dendam juga terhadap pemuda itu, penduduk desa yang tadi mengeroyoknya serentak mundur teratur dalam posisi masih mengepung pemuda itu rapat-rapat.
“Bocah, masih ingatkah kau padaku? Beberapa minggu lalu putriku kau bunuh dengan keji. Aku Ki Manuk Srengseng tak bisa menerima begitu saja perlakuanmu. Hari ini kau musti mampus!” dengus seorang laki-laki tua berpakaian putih dengan rambut digelung keatas.
“Jangan serakah, Ki Manuk Srengseng! Aku pun punya kepentingan dengan nyawa si keparat ini. Dia musti mampus ditanganku!” dengus perempuan tua berpakaian warna-warni di sebelahnya yang memegang sebuah tongkat berhulu kepala ular.
Dalam dunia persilatan perempuan tua ini dikenal sebagai Iblis Cantik Penabur Darah. Meski usianya telah lebih dari tujuh puluh tahun, namun parasnya seperti perempuan berusia empat puluh tahun saja. Wajahnya masih mengguratkan kecantikan dimasa mudanya. Tak heran bila dia mendapat julukan seperti itu. Karena selain cantik, dia juga sangat kejam terhadap musuh-musuhnya.
“Nyi Loyang Kuring, dan Ki Manuk Srengseng. Kita tak perlu bertengkar soal manusia satu ini. Sudah jelas perbuatannya yang biadab dan merugikan kita semua. Kita mempunyai urusan yang sama dengannya dan harus diselesaikan bersama-sama pula,” ujar seorang laki-laki bertubuh besar dengan janggut panjang seperti kambing.
“Betul apa yang dikatakan Ki Padmo Sasongko. Kita tak perlu bertengkar. Sebaiknya mari diselesaikan secepatnya selagi Iblis Biadab ini masih berada disini!” sahut salah seorang yang bertubuh kecil dan kurus.
Orang di sebelahnya memiliki bentuk tubuh dan wajah yang sama, karena sesungguhnya mereka bersaudara kembar yang bernama Kurbala dan Kurbali. Orang-orang persilatan mengenal mereka sebagai Sepasang Penari Bukit Kemukus.
Melihat kelima tokoh itu telah berada di sini, pastilah persoalan tidak akan menjadi sederhana. Mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh kosen dunia persilatan. Yang sedikit membingungkan hanya, diantara mereka seperti terjalin kekompakan. Padahal Nyai Loyang Kuring yang dikenal sebagai Iblis Cantik Penabur Darah, serta Sepasang Penari Bukit Kemukus adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang selama ini tak pernah mau berkompromi dengan tokoh-tokoh golongan putih seperti Ki Manuk Srengseng dan Ki Padmo Sasongko.
“Apa lagi yang ditunggu? Biarlah aku lebih dulu mengemplang bocah iblis ini!” teriak Nyai Loyang Kuring sambil melesat cepat dan mengayunkan tongkat ditangannya kearah Layang Seta dengan pengerahan tenaga dalam kuat.
“Yeaaa...!” Tubuh Layang Seta berputar bagai gasing sambil bergerak ke sana ke mari menghindari serangan lawan. Pemuda itu agaknya mengetahui bahwa lawannya bermaksud menghajarnya dengan cepat. Itulah sebabnya dia tak tanggung-tanggung lagi meladeninya.
“Trak!”
“Plak!”
“Uuuhhh...!” Nyai Loyang Kuring tersentak kaget. Tongkat di tangannya terbabat kutung menjadi tiga bagian ditebas keris lawan. Belum lagi dia menyadari apa yang telah terjadi, satu tamparan keras menghantam dadanya. Tubuh perempuan tua itu terjungkal sambil mengeluarkan jerit tertahan.
“Hiyaaat...!”
“Bocah keparat, terima seranganku!” teriak Ki Manuk Srengseng sudah terus melompat memapaki serangan lawan ketika Layang Seta bermaksud menghabisi nyawa perempuan tua itu.
“Huh!”
“Yeaaa...!”
“Tras!”
“Bet!”
Ki Manuk Srengseng terkejut setengah mati. Pedangnya terbabat kutung dipapas keris lawan. Masih untung dia cepat menghindar ketika ujung keris lawan sudah terus mengirim serangan susulan. Tapi dia merasa tubuhnya bergoyang terkena angin sambaran serangan lawan. Laki-laki tua itu mendecah kagum mengetahui tenaga dalam lawan yang luar biasa hebatnya.
“Hiyaaat...!”
“Plak!”
“Des!”
“Akh...!” Ki Manuk Srengseng menjerit kesakitan ketika tubuhnya seperti dihantam sebongkah batu besar. Isi perutnya seperti mau pecah ketika serangannya dapat ditangkis dengan mudah oleh pemuda itu, dan tahu-tahu satu tendangan menyodok perutnya.
“Hmm... hebat kau. Bocah. Tapi jangan kira kau bisa tertawa setelah menjatuhkan kedua orang itu. Meski setinggi apa pun ilmu yang, kau miliki, kami tak akan mundur,” dengus salah seorang Sepasang Penari Bukit Kemukus geram.
Bersama dengan saudaranya, serta Ki Padmo Sasongko, mereka bersiap akan menyerang lawan dengan sikap hati-hati sekali. Dua orang berilmu tinggi seperti Ki Manuk Srengseng dan Nyai Loyang Kuring, dengan mudah dijatuhkan pemuda itu. “Yeaaa...!”
Sepasang Penari Bukit Kemukus telah lebih dulu menyerang tanpa canggung lagi menggunakan senjata unik mereka berupa kebutan yang terbuat dari serat halus yang kuat dan tajam. Sementara tubuh Ki Padmo Sasongko mengikuti dari belakang.
“Huh!” Layang Seta mendengus sinis. Tubuhnya mencelat ke atas sambil bersalto beberapa kali. Namun dua buah kebutan Sepasang Penari Bukit Kemukus mengurungnya dari berbagai arah. Serangan mereka berdua tampak kompak. Belum lagi Layang Seta lepas dari kejaran mereka serangan Ki Padmo Sasongko dengan pedang pendeknya amat merepotkan gerak pemuda itu sesaat.
Tapi sejak awal tadi terlihat bahwa Layang Seta tak pernah mau berlama-lama dengan lawannya. Gerakannya cepat dan terarah dengan mantap. Jurus-jurusnya pun berkesan singkat, namun amat mematikan. Belum lagi tenaga dalamnya yang kuat hingga mampu mendesak lawan habis-habisan.
Lewat empat jurus sudah-mereka menyerang Layang Seta, namun tak sedikit pun mampu melukainya. Bahkan serangan mendadak dari pemuda itu membuat ketiganya terkejut. Keris di tangan Layang Seta bergerak cepat memapas kebutan di tangan Sepasang Penari Bukit Kemukus, serta membuat kutung pedang pendek Ki Padmo Sasongko. Belum lagi mereka menyadari apa yang terjadi, kepalan tangan Layang Seta menyodok keras dada Ki Padmo Sasongko, dan membuat tubuh orang tua itu terpental dua tombak sambil menjerit keras dan menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Bersamaan itu pula Sepasang Penari Bukit Kemukus mendapat bagian yang sama ketika tubuh pemuda itu berbalik dan mengayunkan kedua kakinya pada dada lawan dengan telak. Seperti lawan sebelumnya, kedua orang itu terpekik nyaring dengan tubuh terpental jauh.
“Hiyaaat...!”
Layang Seta berteriak nyaring dan mengejar mereka dengan maksud menghabisi nyawa ketiganya dengan segera. Namun pada saat itulah melesat sesosok bayangan yang terus menghantamkan satu pukulan jarak jauh dari arah depan.
“Keparat laknat! Hentikan perbuatanmu!”
DELAPAN
Layang Seta terpaksa mengalihkan perhatian dan mengangsurkan telapak tangannya pada sosok bayangan yang muncul itu.
“Yeaaa...!”
Sosok bayangan itu berputar menghindari seperti mengikuti irama gerak Layang Seta yang bersalto menghindari pukulan lawan. Keduanya kemudian menjejakkan kaki pada jarak dua tombak dan waktu yang bersamaan.
“Hmm... kau rupanya!” dengus Layang Seta sinis begitu melihat seorang pemuda tampan berambut panjang terurai memakai baju rompi putih.
“Tak salah dugaanku. Ternyata memang kaulah orangnya,” sahut pemuda yang tak lain dari Rangga, alias si Pendekar Rajawali Sakti.
Bersamanya tampak Puspita Sari yang berlari kecil menyusul. Gadis itu menjerit cemas ketika melihat salah seorang di antara kelima orang penyerang Layang Seta terluka cukup parah. Orang itu tak lain dari Ki Padmo Sasongko.
“Kakeeeek...!”
“Cucuku Puspita Sari...” seru Ki Padmo Sasongko lemah dengan nafas megap-megap dan menahan rasa nyeri di dadanya.
“Kek, kenapa kau berada di sini?” tanya Puspita Sari cemas sambil memangku laki-laki tua yang tak lain dari kakeknya itu.
“Aku tak bisa membiarkan kau pergi sendiri....”
“Kek, aku sudah besar dan bisa menjaga diriku sendiri!”
“Puspita, kau adalah cucuku satu-satunya. Kesedihanmu adalah kesedihanku juga. Aku tak bisa membiarkanmu pergi sendiri untuk membalaskan sakit hatimu pada orang itu. Tapi percuma, orang itu ternyata berilmu tinggi. Kau lihat? Kami berlima saja dapat dikalahkannya dengan mudah,” keluh Ki Padmo Sasongko lirih.
“Kek, tenangkanlah hatimu. Hari ini si Keparat itu musti mampus. Kakek tahu siapa orang yang datang bersamaku?” tanya Puspita Sari sambil tersenyum kecil.
“Siapa...?” tanya Ki Padmo Sasongko dengan wajah bingung dan dahi berkerut.
“Pendekar yang sering kau ceritakan padaku!” Wajah Puspita Sari tampak berseri ketika menjelaskan hal itu. Namun dilihatnya wajah orang tua itu tetap berkerut dengan tatapan bingung.
“Pendekar Rajawali Sakti!” lanjut Puspita Sari dengan wajah cemberut karena kakeknya tak mengerti juga arah pembicaraannya.
“Hmm... benarkah?!” tanya Ki Padmo Sasongko seperti tak percaya pada pendengarannya sendiri.
Puspita Sari cuma mengangguk tak bergairah. Niatnya untuk mengejutkan kakeknya itu terputus karena tadi orang tua itu tak cepat tanggap pada perubahan raut wajahnya.
Sementara itu Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti tampak bersiap menghadapi Layang Seta yang menganggap rendah pada pemuda berbaju rompi putih itu.
“Huh! Apakah kau mempunyai niat yang sama dengan mereka?!” tanya Layang Seta mendengus sinis.
“Kisanak, kulihat kepandaianmu cukup hebat, tapi sayang semua itu menjadi bencana bagi orang lain. Meski aku memiliki kepandaian sedikit biarlah kucoba untuk menghentikan bencana yang kau tebar kemana-mana,” sahut Rangga santai.
“Ha-ha-ha...! Pintar kau bicara. Sobat. Pergilah kau dari sini dan jangan mencampuri urusanku. Mengingat diantara kita tak ada permusuhan aku sungkan bertarung denganmu!”
“Kisanak, aku akan pergi setelah kau berhenti membuat bencana. Tapi jangan harap aku pergi kalau belum memastikan hal itu.”
“Sial! Rupanya kau tak bisa diajak berbaik-baik segala. Kalau kau ingin mampus majulah cepat!” dengus Layang Seta mulai naik darahnya.
Melihat hal itu Pendekar Rajawali Sakti tersenyum tipis. Dia menyadari bahwa pemuda itu sedang dibakar amarahnya sendiri.
“Hmm... kenapa aku yang musti mampus? Kaulah yang sudah sepatutnya mampus. Aku pasti akan hidup seribu tahun lagi.”
“Keparat! Mestinya sejak tempo hari kupecahkan kepalamu!”
“Akulah yang waktu itu berbaik hati padamu. Saat kau sedang bertarung dengan gadis itu mestinya aku sudah bisa membokong dan membunuhmu. Juga saat kau terlena dalam dekapan dua orang perempuan penghibur di rumah penginapan itu, mestinya sudah kubunuh saja sebelum kau mendapatkan korbanmu gadis yang malang itu,” sahut Rangga terus membakar amarah Layang Seta.
“Tutup bacotmu, Kisanak! Kau akan kubuat kojor seperti yang lainnya.”
“Yeaaa...!” teriak Layang Seta sudah langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan sengit dan mengerahkan tenaga dalam kuat.
Agaknya dia menginginkan dalam sekali serang pemuda berbaju rompi putih itu akan tewas, atau paling tidak cidera berat. Namun dengan gerakan yang gesit. Rangga menghindar sambil bersalto beberapa kali ke belakang punggung lawan. Layang Seta terus mengejar sambil membalikkan tubuh. Kepalan tangan dan tendangan kakinya bergerak seiring menghantam tubuh lawan.
“Yeaaat...!”
“Plak!”
“Uts!” Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Angin serangan lawan hebat luar biasa dan sempat membuat tubuhnya bergetar. Belum lagi serangan keris di tangannya yang membuat kulit tubuhnya seperti diiris-iris.
Rangga menyadari bahwa ilmu silat lawan mempunyai gerakan yang cepat dan terarah langsung pada tujuan tanpa adanya bunga-bunga untuk mengecoh lawan. Hal itu sebenarnya mudah ditebak. Tapi yang terjadi justru membuat dia sedikit kecewa karena gerakan Layang Seta sulit diterka.
Dalam waktu sejurus lagi kalau dia terus menggunakan tangan kosong untuk menghadapi lawan, pastilah dia akan tewas atau paling tidak terkena senjata lawan yang mengerikan seperti hendak menyedot darahnya ketika berdekatan. Mau tak mau Pendekar Rajawali Sakti terpaksa mencabut pedang pusakanya.
“Sriiing!”
“Hiyaaat...!” Bersamaan dengan itu Layang Seta menjerit keras sambil mengayunkan keris sakti ke arah Pendekar Rajawali. Seberkas cahaya biru yang ke luar dari pedang pusaka di tangan Rangga berkelebat cepat memapaki.
“Trang!”
Keduanya tersentak kaget ketika senjata itu beradu. Percikan bunga api mengiringi suara berdenting kencang. Tubuh keduanya bergetar hebat. Tapi Layang Seta sudah langsung menyerang lawan kembali ketika Pendekar Rajawali Sakti bersiap menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib untuk menghindari serangan lawan.
“Yeaaa...!”
Pada saat Rangga mencabut pedangnya tadi, barulah kelima tokoh persilatan yang berada disitu tersentak kaget.
“Pendekar Rajawali Sakti!” desis Ki Manuk Srengseng.
“Sial! Kukira dia sudah berusia lanjut. Rupanya masih bocah! Tapi kurang ajar sekali bocah itu, masih muda sudah memiliki ilmu silat setinggi itu!” maki Nyai Loyang Kuring tak karuan seperti pada dirinya sendiri.
“Kenapa rupanya. Nyai? Apakah kalau dia sebaya denganmu kau akan jatuh cinta?” ejek salah seorang dari Sepasang Penari Bukit Kemukus sambil tersenyum.
“Diam kau, Banci! Siapa yang bertanya padamu?!” bentak Nyai Loyang Kuring galak.
Orang itu langsung membungkam mulutnya mendengar bentakan Nyi Loyang Kuring.
Sementara itu pertarungan antara Layang Seta dan Pendekar Rajawali Sakti terus berlangsung alot. Layang Seta yang sebenarnya cuma memiliki tiga jurus ilmu silat yang berasal dari tulisan yang ada di badan keris itu, mampu mengembangkannya menjadi beberapa gerakan lain yang sama kuatnya dengan gerakan inti. Kali ini dia telah menggunakan jurus ketiga untuk mendesak lawan.
Pendekar Rajawali Sakti bukannya tak menyadari tekanan lawan. Berkali-kali nyaris tubuhnya disambar keris lawan yang bergerak bagai iblis dan mempunyai kekuatan hitam dan bersifat menyedot darah manusia.
“Kisanak, terimalah kematianmu!” teriak Layang Seta sambil menyorongkan telapak tangannya ketika Pendekar Rajawali Sakti sibuk menghindari serangannya yang tadi beruntun.
Dari telapak tangannya itu melesat seberkas sinar berwarna hitam pekat bercampur merah. Itulah pukulan maut Layang Seta yang diberi nama Sinar Maut Warisan Setan. Siapa pun yang terkena pukulan itu tak akan selamat. Bukan saja tubuhnya akan hancur tanpa bentuk, tapi meski benda sekeras apapun selagi makhluk bernyawa tak akan luput dari racun maut pukulan itu.
“Semua menjauh! Awas, pukulan ini beracun...!” teriak Rangga memperingatkan orang-orang yang berada disitu sambil melompat menghindari pukulan lawan.
Bersamaan dengan orang-orang yang lari serabutan menyelamatkan diri, termasuk kelima tokoh persilatan dan Puspita Sari, saat itu juga terdengar ledakan keras yang disusul sebatang pohon besar tumbang terkena hajaran pukulan Layang Seta.
“Huh! Keparat! Memang kau bisa meloloskan diri tapi kali ini tidak lagi. Tubuhmu akan hancur tanpa bentuk. Kalaupun kau mampu menahannya, umurmu tak akan lama!” desis Layang Seta garang.
Bersamaan dengan itu wajah Layang Seta tampak berkerut. Tangan kanannya disorongkan kedepan dengan telapak tangan terbuka. Pendekar Rajawali Sakti mengetahui bahwa lawan akan mengerahkan pukulan seperti tadi, maka dia pun telah bersiap-siap sejak tadi.
Dari telapak tangan sampai siku Pendekar Rajawali Sakti tampak bayangan halus seberkas sinar berwarna biru yang menyelubunginya. Agaknya dia telah bersiap menghadapi lawan dengan menggunakan aji Cakra Buana Sukma, dan mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk menandingi serangan lawan.
“Yeaaa...!”
“Hiyaaaat...!” Sambil berteriak nyaring tubuh Layang Seta mencelat cepat bagaikan kilat sambil menghantamkan pukulan kearah Pendekar Rajawali Sakti.
Tubuh Rangga bersalto beberapa kali menghindari. Kemudian sambil membentak nyaring kedua telapak tangannya disorongkan kedepan sambil bergerak cepat kearah lawan. Layang Seta tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya jalan adalah menangkis sambil menyambut serangan lawan.
“Tap!”
Kedua telapak tangan mereka bertemu. Pendekar Rajawali Sakti kemudian meremas jari-jari tangan lawan dengan wajah berkerut menahan geram. Sebaliknya Layang Seta terus mengerahkan tenaga dalamnya untuk menekan hawa dorongan yang terpancar dari kedua telapak tangan lawan.
Namun alangkah terkejutnya dia manakala merasakan rasa sakit mulai menyerang tubuhnya akibat pengaruh hawa panas yang datang dari aji Cakra Buana Sukma. Kemudian hawa panas itu seperti berputar-putar dibawah pusarnya dengan leluasa. Layang Seta dengan sekuat tenaga berusaha menghentikan gerakan hawa itu, namun sepertinya dia tak mempunyai kekuatan dan daya sama sekali. Perlahan-lahan hawa panas itu kembali keluar lewat telapak tangannya dan mengalir kencang ketubuh lawan.
“Heh?!” Layang Seta berseru kaget.
Tenaga dalamnya seperti terus tersedot seiring dengan hawa panas yang tadi melesat cepat keluar dari bawah pusarnya. Sekuat tenaga dia berusaha mencegah. Tapi makin keras dia menahan agar tenaga dalamnya jangan sampai tersedot, semakin deras hawa murninya terus berpindah ketubuh Pendekar Rajawali Sakti.
“Keparat! Hentikan! Hentikaaaan...!” teriaknya kalap.
Namun cengkeraman kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti seperti tak tergoyahkan walaupun dia berusaha berontak sekuat tenaganya.
“Aaah...!” Layang Seta terpekik nyaring. Tubuhnya terasa lemas, namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tak berhenti melepaskannya meski lawan telah memekik kesakitan. Sampai ketika terjadi ledakan hebat, barulah tubuh Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil membuat beberapa lompatan.
“Glaaaar...!”
“Hiyaaaat...!”
Orang-orang yang berada disitu terperanjat kaget seperti tak percaya pada apa yang mereka lihat. Tubuh Layang Seta hancur seperti terkena ledakan hebat. Tak jauh dari situ tampak Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak sambil memandang tajam kearah tubuh lawan yang telah tercerai berai.
“Rangga! Kau tak apa-apa?” jerit Puspita Sari cemas sambil berlari kecil menghampiri pemuda itu.
“Aku tak apa-apa....”
“Aku cemas sekali. Kukira kau tak akan mampu menghadapi si Keparat itu. Syukurlah dia sudah mampus. Dia telah mendapat ganjaran yang setimpal atas perbuatannya,” sahut Puspita Sari sambil menggeram puas.
Gadis itu belum lagi sempat menumpahkan kecemasannya ketika beberapa orang penduduk desa mengerubungi Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengucapkan terima kasih dan memuji-muji kehebatan pemuda itu. Tapi hal itu malah membuat Rangga menjadi jengah. Dengan berbagai alasan akhirnya dia berhasil menghindar dari mereka dan meninggalkan tempat itu diiringi Puspita Sari.
“Lho, kau tak pulang bersama kakekmu?”
“Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa pulang sendiri nantinya.”
“Bukankah beliau berkelana ingin mencari mu?”
“Ya, tapi kakek ada sedikit keperluan dulu di desa itu. Kebetulan ada salah seorang kenalannya yang mengundang beliau. Sedang yang lainnya telah meninggalkan tempat itu ketika mereka merasa yakin bahwa kau mampu mengalahkan lawanmu,” sahut Puspita Sari.
“Sekarang kau mau ke mana?”
“Aku akan mengembara lagi!”
Rangga menggelengkan kepala sambil mendecah. “Tidakkah kau belajar banyak dari pengalamanmu sekarang?”
“Apa?”
“Banyak orang jahat yang berkepandaian tinggi didunia ini. Kalau kau tak pintar dan membawa perasaan sendiri, maka kau akan menjadi mangsa yang empuk!”
“Tapi dengan adanya kau, mana mungkin ada orang yang berani menggangguku.”
“Apa maksudmu?!” tanya Pendekar Rajawali Sakti kaget.
“Aku mau ikut kau kemana saja berkelana!”
“Tidak bisa!”
“Aku tak peduli kau mau mengajakku atau tidak. Aku akan terus menguntitmu dari belakang.”
“Bandel! Aku tetap tak bisa mengajak siapa-siapa untuk berkelana. Tak peduli kau mau mengikuti atau tidak. Aku pergi!” sahut Pendekar Rajawali Sakti sambil melesat cepat dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.
Tapi Puspita Sari sudah menduga hal itu. Makanya dia pun langsung sigap dan melesat cepat mengikuti pemuda itu dari belakang. Tapi setelah beberapa lama dia musti mengakui bahwa ilmu lari cepat pemuda itu sungguh luar biasa. Beberapa saat saja dia telah kehilangan jejak. Namun ketika telinganya tiba-tiba mendengar suara suitan sayup-sayup dikejauhan, dia langsung memburu ke sana.
Gadis itu dibuat kecewa dan kesal habis-habisan. Tak ada siapa-siapa di tempat itu. Yang ada cuma seekor rajawali raksasa yang terbang semakin tinggi membumbung ke angkasa. Dia memandang agak lama seolah ingin meyakinkan bahwa hewan itu peliharaan pemuda yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Kalau benar, pastilah dia telah melayang entah ke mana.
Dengan wajah masghul dan langkah ragu, gadis itu meninggalkan tempat itu dan kembali ke desa tadi menemui kakeknya.
SELESAI
EPISODE BERIKUTNYA: SILUMAN TENGKORAK GANTUNG