SEPASANG TAJI IBLIS
SATU
MATAHARI mulai bersinar cerah di Desa Loyang. Sinarnya memecah, menembus celah-celah rerimbunan pohon, Tidak seperti biasa, hari ini tidak seorang pun para penduduk desa ini pergi ke sawah. Mereka berkumpul di alun-alun desa, untuk merayakan pesta panen tahun ini, Banyak di antara mereka yang mengepit ayam jantan aduan. Sementara yang lain kelihatan hanya menonton untuk meramaikan suasana.
Sudah menjadi kebiasaan desa ini bila selesai panen, mereka mengadakan sabung ayam. Hadiah-hadiah yang dipertaruhkan beraneka macam. Dari yang sekadar iseng, sampai yang bertaruh gila-gilaan. Maka tidak mengherankan bila pesta sabung ayam ini tidak hanya dihadiri penduduk desa ini, tapi juga dari penduduk desa di sekitarnya. Bahkan tidak jarang dikunjungi orang-orang dari jauh.
"Hari ini si Jabu mesti menang melawan si Jago Merahmu, Pandu!" kata seorang laki-laki setengah baya dengan muka berseri-seri, pada seorang pemuda berbaju kuning gading.
"Boleh dicoba, Ki Balaga" sahut pemuda yang dipanggil Pandu merendah. "Si Jago ini tidak pernah terkalahkan sejak tahun kemarin"
"Ayamku ini kuperoleh dari negeri Andalas, Pandu. Ayam di sana kuat-kuat dan hebat!" sergah laki-laki setengah baya bernama Ki Balaga, sedikit jumawa.
Pandu hanya tersenyum sambil mengelus-elus ayam jagonya yang berbulu hitam mengkilap, Sesekali matanya melirik ayam jago Ki Balaga yang berbulu burik-burik merah. Tubuhnya besar dengan kedua kaki kokoh. Dadanya busung ke depan, dan kokoknya nyaring lantang. Sepasang tajinya agak menarik. Yang sebelah kanan agak panjang, namun bengkok ke dalam. Sedangkan yang kiri agak runcing laksana mata pisau,
"Apa taruhannya, Ki?" tanya Pandu mantap karena yakin kalau ayamnya yang bernama si Jago Merah mampu melumpuhkan ayam Ki Balaga yang bernama si Jabu..
"Empat puluh kepeng!" sahut Ki Balaga,
"Empat puluh kepeng?" ulang Pandu, agak ciut juga nyalinya mendengar taruhan sebanyak itu.
Pandu memang bukan petaruh besar, karena biasanya aturan taruhan diatur bandar yang mengumpulkan uang dari para petaruh. Sedangkan pemilik ayam boleh bertaruh masing-masing. Dan jumlah taruhannya tidak terbatas. Tapi, Itu pun tidak bisa meski diperbolehkan. Biasanya mereka menyerahkan soal taruhan kepada bandar. Tapi Ki Balaga kelihatannya bernafsu sekali, sehingga langsung menyebutkan jumlah taruhannya.
"Bagaimana, Pandu? Takut?" pancing Ki Balaga, tersenyum melecehkan.
"Baiklah..,," sahut Pandu harap-harap cemas.
Meski selama ini ayamnya belum terkalahkan, tapi uang dengan jumlah yang disebutkan itu cukup banyak juga. Bagaimana kalau ayamnya kalah? Ah, tidak! Pandu membantah sendiri. Selama ini si Jago telah membuktikan ketangguhannya. Dia pernah mengalahkan segala jenis ayam jantan yang bagaimanapun hebatnya.
"Sabungan yang bagaimana, Ki? Pakai babak atau tidak?" tanya Pandu,
"Terserahmu saja," jawab Ki Balaga.
"Baik. Kita menyabung tanpa babak. Jadi kalau ada yang mati atau kabur, berarti kalah!" jelas Pandu mantap seperti hendak menggertak Ki Balaga.
Pandu memang yakin betul dengan ayamnya. Pasalnya, daya tahan dan kekuatan si Jago selama ini sudah terkenal. Bahkan pernah bersabung tanpa istirahat. Kiprahnya pun cukup hebat. Dia telah membunuh lima belas ekor lawan dari lima puluh kali bersabung.
"Setuju!" sambut Ki Balaga tidak kalah bersemangat.
Laki-laki setengah baya Ini bukannya tidak menyadari kehebatan ayam aduan Pandu. Tapi, dia amat percaya kalau si Jabu pun tidak kalah hebatnya. Ayam itu milik seorang kawannya yang ahli soal ayam di negeri Andalas sana. Dan selama ini pun, belum pernah terkalahkan. Sehingga dia merasa yakin akan mampu merontokkan keperkasaan si Jago.
Mendengar itu para penonton dan petaruh bersorak. Mereka akan melihat suguhan yang menarik. Apalagi melihat ciri-ciri kedua ayam yang kelihatan sama-sama tangguh.
Atas kesepakatan bersama, Ki Balaga dan Pandu memilih wasit yang sudah cukup lihai dalam soal sabung ayam. Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun ditunjuk sebagai wasit.
"Pertandingan akan dimulai!" ujar wasit, memberi tahu.
Ki Balaga dan Pandu segera mempersiapkan ayam jago masing-masing. Sesekali mereka membisikkan sesuatu ke kuping ayam jantan itu, seolah-olah dianggap bisa mengerti bahasa mereka.
Begitu wasit telah memberi aba-aba, kedua ayam aduan itu pun dilepas, diiringi sorak-sorai penonton yang bertaruh ataupun yang sekadar meramaikan suasana.
Ayam milik Pandu bergerak gesit, menerjang si Jabu milik Ki Balaga. Kalau tajinya yang panjang dan runcing seperti hendak memagut leher lawannya, Patuknya pun bergerak cepat mencari sasaran ke arah mata.
Tapi, Ki Balaga agaknya tidak sia-sia menaruh harapan pada si Jabu. Meski tubuhnya agak besar, tapi gerakannya cukup mantap. Bila dicecarnya, maka si Jabu menyusup ke balik sayap si Jago, kemudian menjungkirnya sampai sulit bergerak. Lalu secepatnya dia menerjang ke leher lewat kelebatan taji kaki kanan yang seperti hendak memotes.
"Hebat! Hebat! Bukan main, Ki Balaga. Baru sekarang si Jago menemui lawan tanding yang sepadan!" seru seorang penonton yang bertaruh memenangkan si Jabu.
"Bukan menemukan lawan sepadan lagi. Si Jabu malah lebih hebat!" tukas seorang pendukung si Jabu yang lain.
"Itu belum apa-apa, Sebentar lagi si Jago pasti akan menunjukkan kehebatannya!" balas pendukung si Jago.
"Ya! Kalian seperti tidak tahu saja. Si Jago memang biasa mengalah dulu. Tapi nanti sekali mengamuk, dia akan memotes leher si Jabu!" teriak yang lain, memenangkan si Jago.
Sementara para penonton dan petaruh berteriak menjadi pendukung, kedua pemilik ayam mulai ketar-ketir melihat jagoan masing-masing yang bertarung semakin buas. Kepala kedua ayam jantan itu mulai berdarah, setelah jambul-jambulnya terluka. Demikian pula kedua jenggernya, Tapi sejauh ini belum terlihat siapa yang bakal menjadi pemenang. Kedua ayam Itu pun kelihatannya sama-sama tangguh dan kuat. Bahkan memiliki ketahanan yang menakjubkan.
"Ayo, Jabu! Kau datang jauh-jauh ke sini bukan untuk kalah. Tunjukkan keperkasaanmu, Jabu!" teriak Ki Balaga.
"Ayo, Jago! Kau harus secepatnya mengalahkan lawanmu. Kalau tidak, tidak akan seorang pun percaya bahwa kau jago dari segala jago!" teriak Pandu pula,
Tapi agaknya teriakan Pandu tidak berpengaruh kepada jagoannya. Sebaliknya bagi Ki Balaga, si Jabu seperti mengerti akan teriakan majikannya barusan. Secepat kilat ayam dari negeri Andalas itu melompat tinggi sambil mengepakkan kedua sayapnya. Kaki kanannya mendadak menyambar leher. Sementara tajinya yang mirip pengait itu seketika merobek leher si Jago yang tak mampu menghindar.
Crasss...!
"Keekh...!"
Si jago berteriak kesakitan seperti disembelih. Larinya sempoyongan. Sementara darah terus berceceran di lehernya. Ayam itu kemudian roboh sambil menggelepar-gelepar.
"Horeee! Hidup si Jabu..,!" teriak Ki Balaga seraya mengepalkan tangan.
Teriakan itu diikuti para pendukung Ki Balaga dengan bersemangat. Dan si Jabu sendiri dengan pongahnya mengepak-ngepakkan sayapnya sambil berkokok lantang meski suaranya agak parau.
Ki Balaga buru-buru menyambar dan membersihkan luka ayamnya. Dikeluarkannya dahak di kerongkongan si Jabu.
Sementara itu Pandu masih terpaku seperti tidak percaya kalau ayam kebanggaannya kalah dengan cara amat menyedihkan.
"Urat lehernya putus seperti dipotong!" desis seseorang yang memperhatikan si Jago.
"Gila! Selama ini jarang yang bisa melakukan hal seperti itu, si Jabu benar-benar hebat!" timpal yang lain.
Dan yang mengerubungi si Jabu bukan hanya para pendukungnya. Tapi juga para pendukung si Jago, Mereka memperhatikan ciri-ciri khusus yang dimiliki si Jabu. Barangkali hendak mencocokkan dengan ciri-ciri ayam jago yang dimiliki. Atau barangkali hendak mencari ayam jago yang bentuknya mirip si Jabu. Tapi semua sepakat bahwa kehebatan si Jabu terletak pada taji kanannya yang aneh itu. Selain itu, ada yang mungkin tidak diketahui sebagian dari mereka. Yaitu, semangat bersabung si Jabu serta kecerdikannya mencari peluang untuk melumpuhkan lawan, Kedua hal itu agaknya yang sulit ditemukan pada ayam jago lain.
"Bagaimana, Pandu? Kau telah mempersiapkan empat puluh kepeng perak?" tagih Ki Balaga sambil tersenyum-senyum
Pandu segera mengeluarkan pundi-pundi yang telah dipersiapkan dan menyerahkannya pada laki-laki setengah baya.
Ki Balaga menghitungnya sebentar, Dan ketika jumlahnya tepat, dia buru-buru mengantonginya.
"Cari jagomu yang lain, Pandu! Si Jabu siap menantangnya!" ujar orang tua berusia setengah abad itu, seperti melecehkan.
"Jangan sombong dulu, Ki! Ayamku masih banyak dan sehebat si Jago."
"Ha ha ha...! Kalau masih setimpal si Jago sebaiknya jangan coba-coba melawan si Jabu. Karena, nasibnya tidak akan lebih beruntung!" sahut Ki Balaga sedikit menyombongkan diri.
Pandu hanya bisa memaki orang tua itu di dalam hati. Kalau saja dia punya ayam yang lebih hebat daripada si Jago, tentu akan ditantangnya lagi si Jabu. Walaupun harus dengan bertaruh rumah berikut perabotannya. Tapi seperti apa yang dikatakan orang tua itu, agaknya kekalahannya barusan bisa diterima akal. Melihat cara bertarung si Jabu tadi rasanya ayam-ayam peliharaannya tidak ada yang sanggup menandingi.
Sementara itu, Ki Balaga semakin sombong saja dengan wajah berseri-seri. "Ayo, siapa berikutnya yang berani menantang si Jabu? Taruhannya seratus kepeng perak!" teriak Ki Balaga pada orang-orang yang ada di sekitarnya sambil memandang ke sekeliling,
Namun agaknya tidak ada seorang pun yang berani menyodorkan jagonya untuk menandingi si Jabu. Mereka sebelumnya sepakat dan sama-sama mengetahui kalau si Jago adalah jawara sabung ayam di desa ini. Maka bila ayam itu telah dikalahkan secara mengenaskan, maka bagaimana pula nasib ayam jago mereka? Kalau taruhannya tidak seberapa, mungkin masih ada yang punya nyali, sekadar menjajal peliharaannya dengan si Jabu. Tapi seratus kepeng perak adalah jumlah yang cukup banyak. Dan, tidak ada yang berani mengeluarkannya begitu saja untuk kemenangan yang seperti pasti tidak bisa diperoleh. Dalam keadaan begitu mendadak...
"Aku si Cupu Manik menantang ayammu untuk bertarung dengan sahabatku!" Tiba-tiba terdengar seseorang menyambut tangan Ki Balaga dari belakang kerumunan,
"Hei?!"
Semua orang segera berpaling ke arah datangnya suara. Dan beberapa orang langsung memberi jalan kepada seorang pemuda yang berdandan aneh. Karena, sekujur tubuhnya dipenuhi bulu-bulu ayam yang beraneka warna. Tapi, pemuda yang mengaku bernama Cupu Manik itu seperti tidak peduli. Dan dia telah berdiri di hadapan Ki Balaga.
"Naikkan taruhan kalau kau berani!" ujar pemuda berpenampilan aneh dengan nada dingin.
Ki Balaga tidak langsung menjawab. Diperhatikannya pemuda itu dengan tatapan aneh. Entah orang gila atau karena terlalu memuja ayam, sehingga pemuda ini mendandani dirinya semirip ayam. Ubun-ubunnya dipasang jambul dari bahan sejenis karet. Demikian pula jengger di dagunya serta paruh besi yang berada di dahi. Pada kedua mata kakinya dipasang taji yang berupa pisau baja amat tajam. Pinggang bagian belakangnya dibentuk menyerupai ekor ayam jantan dengan menjalin bulu-bulu ayam.
"He, kau dengar tantanganku?!" bentak Cupu Manik dengan tatapan marah.
"Hm.... Berapa kau berani bertaruh?" tanya Ki Balaga tak kalah sinis.
Cupu Manik tidak menjawab. Tapi tangannya bergerak, mengeluarkan kantung kain yang terikat di pinggang, Lalu dihamparkannya ke tanah.
Ki Balaga serta yang lainnya melotot kaget. Mereka yang semula menanggapi orang gila ini tidak sungguh-sungguh menantang si Jabu, jadi berpikir lagi. Sebab, isi kantung kain itu berupa kepingan-kepingan emas.
"Isinya dua puluh kepeng emas! Aku masih mempunyai sepuluh kantung seperti itu. Apa taruhanmu?!? jelas Cupu Manik.
Melihat pemuda itu bersungguh-sungguh, Ki Balaga mulai memasang sikap sungguh-sungguh. Di keluarkannya semua uang yang dimilikinya. Tapi kalau dijumlahkan, semuanya baru mencapai lima belas kepeng emas. Masih kurang lima kepeng emas lagi
"Jangan khawatir! Aku bertarung untuk si Jabu!" teriak seorang penonton, seraya melemparkan sekeping uang emas.
Masih kurang empat lagi! Tapi, agaknya Ki Balaga tidak menunggu terlalu lama. Karena kehebatan si Jabu telah membuahkan kepercayaan di dalam hati para petaruh. Sehingga dalam waktu singkat, banyak orang yang bertarung untuk si Jabu sampai jumlah dua puluh kepeng emas genap.
"Ayo, keluarkan jagomu!" ujar Ki Balaga,
Cupu Manik menurunkan ayam jago yang sejak tadi dikepit di ketiak kirinya. Kemudian dia berjongkok
"Kulihat kalian cukup berharta. Maka, aku bermaksud menaikkan taruhan," gumam pemuda ini tanpa menoleh pada orang-orang di sekelilingnya.
Kembali Cupu Manik mengeluarkan pundi-pundi seperti tadi dan mencampakkannya di tanah. Seorang laki-laki bertubuh tegap yang bertugas sebagai bandar segera menyambar dan menghitungnya.
"Taruhannya jadi lima puluh kepeng emas!" seru sang bandar.
"He. gila!"
Semua orang tersentak kaget dengan wajah heran dan mata melotot tidak percaya. Taruhan yang diajukan pemuda aneh itu cukup besar. Bahkan jarang, ada yang bisa menandingi.
"Tidak usah banyak bicara! Kalian pecandu sabung ayam. Dan kini melihat jumlah taruhan begitu saja sudah melotot. Aku bahkan bisa menaikkan taruhan menjadi empat kali lipat!" sentak Cupu Manik seraya mengeluarkan semua pundi uang miliknya,
"Semuanya genap dua ratus kepeng emas!" teriak bandar, mengumumkan jumlah taruhan pemuda itu.
Entah dari mana asalnya pemuda bernama Cupu Manik itu. Bahkan tak seorang pun yang tahu siapa dia sebenarnya. Dan yang membuat mereka heran, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?
"Cepat keluarkan taruhanmu!" bentak Cupu Manik
Ki Balaga tergagap. Dia tidak tahu apa yang mesti dipertaruhkan. Sebab memang tidak memiliki uang sebanyak itu. "Kisanak! Aku mau saja bertaruh. Tapi, uangku tidak cukup sebanyak yang kau miliki...." kata Ki Balaga merendah.
"Kalian boleh mengumpulkan uang. Bahkan seluruh kampung ini boleh membantu. Bukankah kalian percaya, bahwa ayam kepunyaan orang tua ini hebat dan tak terkalahkan?!" teriak pemuda itu lantang, kepada orang-orang yang berada di sekitarnya.
Sebenarnya mereka ketar-ketir juga melihat taruhan yang amat banyak. Sepanjang sejarah di desa ini, belum pernah ada taruhan sabung ayam sebanyak itu. Tapi selain percaya kalau si Jabu hebat, mereka juga bernafsu untuk melipatgandakan uangnya untuk bertaruh dengan berpihak pada ayam Ki Balaga. Sebagian yang lain merasa perlu untuk merontokkan kecongkakan pemuda itu sehingga beramai-ramai menyumbangkan uang untuk bertaruh memenangkan si Jabu.
"Masih kurang tujuh puluh kepeng emas lagi!" seru sang bandar, memberitahukan taruhan Ki Balaga dan para petaruh.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan? Aku tidak punya taruhan sebanyak itu. Bukan berarti aku tidak berani bertaruh denganmu,.., " jelas Ki Balaga putus asa.
"Tapi, kau yakin kalau ayammu bisa mengalahkan saudaraku ini?" tanya Cupu Manik. Pemuda aneh ini lantas mengelus-elus ayam jago berbadan tegap dan leher pendek dengan kedua kaki besar dan kuat. Sisiknya hitam dan tebal. Tidak ada yang istimewa dari sepasang taji yang dimiliki ayam jago itu, Kalaupun ada yang membuat mereka merasa seram adalah sepasang matanya yang berkilat tajam penuh nafsu membunuh.
"Tentu saja!" sahut Ki Balaga yakin, yang disambut para pendukungnya dengan bersemangat.
"Kalau begitu kau boleh bertaruh dengan lainnya," kata pemuda aneh itu,
"Apa maksudmu?" tanya Ki Balaga dengan kening berkerut.
"Kau harus pertaruhkan rumah serta sawah ladangmu. Dan kalian pun harus bertaruh. Bila ayammu kalah, maka berhentilah menyabung ayam!"
Permintaan pemuda itu tentang rumah serta sawah ladang sebagai taruhan mungkin tidak mengejutkan. Tapi berhenti menyabung ayam? Itu sesuatu yang konyol dan amat aneh! Seorang pecandu sabung ayam meminta berhenti menyabung ayam yang sudah mendarah daging pada setiap penduduk desa ini. Tentu saja hal itu permintaan yang sulit diterima. Hampir saja mereka membatalkannya, kalau seseorang tidak berbisik ke telinga Ki Balaga, Seketika laki-laki setengah baya itu tersenyum seraya mengangguk pelan.
"Baiklah. Aku penuhi taruhanmu itu, Anak Muda. Nah, persiapkan ayammu!" lanjut Ki Balaga.
Beberapa orang yang tadi mendukung laki-laki setengah baya itu masih ribut. Tapi ketika satu persatu mendapat bisikan kawan-kawannya yang telah tahu siasat yang dijalankan orang yang tadi berbisik ke telinga Ki Balaga, mereka terdiam sambil tersenyum. Kemudian kepala mereka mengangguk-angguk dan akhirnya menyetujui.
Sementara Cupu Manik sama sekali tidak mau ambil pusing atas sikap mereka yang mencurigakan. Dia berjongkok seraya mengelus ayam jagonya. Sepasang matanya berkilat tajam, memandang si Jabu, Kemudian terdengar dia berkokok seraya mendongakkan wajah, Lalu ayamnya dilepaskan dan telah ditunggu si Jabu.
"Horeee...!"
"Ayo, Jabu! Beri hajaran lawanmu..!"
"Sikat Jabu!"
DUA
Dalam beberapa gebrakan, si Jabu agaknya tidak membuat pendukungnya gembira. Sikapnya tidak garang dan gagah seperti yang diperlihatkannya ketika melawan si Jago.
Sebenarnya hal itu tidak dibenarkan. Karena si Jabu sudah demikian lelah, setelah bertanding melawan si Jago. Maka kalau hendak bersabung mesti menunggu satu atau dua minggu. Tapi, ayam pemuda bernama Cupu Manik dua kali lipat lebih kecil dibanding si Jabu. Jambul di kepalanya belum lagi bergerumbul, Dan jenggernya pun tidak ada, ini menandakan kalau ayam itu masih muda. Dan menurut mereka yang suka bersabung ayam, nyali ayam muda lebih kecil ketimbang ayam dewasa.
Itulah sebabnya Ki Balaga berani menyabung ayamnya yang masih terluka. Para pendukungnya juga berpikir begitu. Sekali si Jabu mengembangkan bulu-bulu lehernya, maka ayam pemuda itu yang lebih muda dan kecil, tentu akan ciut nyalinya. Bahkan akan kabur tunggang-langgang.
"Ayo Jabu, sikat ayam pitik itu!" teriak seorang pendukung.
"Ayo Jabu, perlihatkan kegaranganmu!" timpal yang lain.
Si Jabu berputar-putar seperti kebingungan dikecoh ayam milik Cupu Manik yang bergerak gesit menyusup di balik kedua sayapnya. Sesekali ayam pemuda aneh itu menyundul dan berada di antara kedua kaki si Jabu. Sehingga ayam Ki Balaga ini agak terjungkit. Kemudian dengan tiba-tiba ayam milik Cupu Manik mematuk dari samping, sehingga telinga kiri si Jabu robek dan berdarah.
Bret!
"Keokh!" Si Jabu menjerit kesakitan. Dan dia berusaha melepaskan diri, tapi paruh lawan melekat kuat. Sehingga membuat lukanya semakin lebar.
Ketika Cupu Manik berkokok, ayamnya seketika menerjang leher si Jabu. Tapi kaki kiri menancap tepat di tenggorokan, Padahal pada saat yang sama, kulit telinga si Jabu belum juga dilepaskan. Sehingga, sulit baginya untuk membalas.
"Ayo balas, Jabu! Ayo, balas...!" teriak penonton melihat si Jabu tak berdaya,
Dan tiba-tiba ayam milik Cupu Manik bergerak cepat menyambar dengan tajinya.
Crab! Crab!
"Keoook...!" Kembali si Jabu berteriak kesakitan, ketika taji kiri lawannya terus menghujam ke lehernya tanpa henti. Darah mulai mengucur deras dari leher. Dan gerakan ayam kesayangan Ki Balaga itu terlihat limbung. Pada saat itu, ayam Cupu Manik bergerak menerjang, Sebelah tajinya langsung menyambar ke arah telinga.
Crasss!
"Keeookh..,!" Si Jabu roboh disertai keok kematian. Dan nasibnya tidak lebih baik dari si Jago, begitu taji lawannya menancap di telinga.
"Astaga! Tidak mungkin...!" desis para penonton dan petaruh.
Mereka seperti tidak percaya melihat kenyataan yang terjadi. Seekor ayam yang besarnya setengah dari si Jabu punya daya serang begitu hebat. Rasanya, meski si Jabu masih segar-bugar pun, akan sulit mengalahkan ayam jago milik Cupu Manik.
"Berikan taruhannya!" tagih Cupu Manik dingin, setelah menyambar ayam langsung dirampasnya uang taruhan dari tangan sang bandar.
Sejenak Cupu Manik mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Dan mulai sekarang, rumah serta sawah ladangmu menjadi milikku. Aku berbaik hati padamu, dan membolehkanmu tinggal bersamaku, Asal, kau mau bekerja untukku," sambung Cupu Manik, berteriak lantang, "Juga bagi kalian harus menepati janji. Aku akan mengawasinya, bila kalian mungkir. Mulai saat ini juga, sabung ayam dilarang!"
"Kau tidak berhak melarang, sebab sabung ayam telah mendarah daging di desa ini!" sahut salah seorang penonton.
"Betul! Kau tidak berhak melarang, Sebab, itu sudah menjadi kebiasaan di Desa Loyang!" sambut yang lain tak kalah lantang.
Cupu Manik terdiam. Kembali diperhatikannya mereka satu persatu dengan sepasang mata tajam. "Diam kalian semua...!" bentak pemuda aneh itu nyaring.
Seketika mereka yang mendengar tersentak kaget. Jelas, teriakan itu tidak dikeluarkan sembarangan. Tapi, lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau tidak, untuk mereka yang mendengarnya tidak akan berdetak lima kali lebih cepat
"Sekali kalian telah berhutang padaku, maka jangan harap bisa mungkir untuk melunasinya. Siapa saja yang coba membuatku marah, akan mati saat ini juga!" lanjut Cupu Manik dengan sikap mengancam.
"Hei, Bocah Edan! Kau tidak berhak berbuat apa pun di desa ini. Kau sudah menang, maka pergilah. Dan, jangan buat keonaran. Kalau kau mau berdiam di desa ini, maka ikuti saja peraturan yang ada. Kami akan menyabung ayam. Dan itu tidak merugikan siapa pun" bentak seorang laki-laki tegap dengan golok terselip di pinggang.
Hampir semua penduduk Desa Loyang tahu, kalau laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu bernama Timpal. Memang laki-laki ini cukup ditakuti. Banyak yang percaya kalau dia punya ilmu silat hebat. Timpal tak segan-segan menampar serta memukul orang bila berbeda pendapat dengannya. Sehingga selama ini tidak ada yang berani berurusan dengannya.
"Bagi kalian tidak merugikan. Tapi bagi kaumku, kalian tidak berperasaan dan kejam. Aku raja mereka. Dan aku berhak melindungi mereka!" oceh Cupu Manik tegas.
Ucapan pemuda itu terdengar aneh dan lucu sekali. Katanya, dirinya adalah raja yang tentu saja maksudnya raja para ayam.
"Hei, Bocah! Kalau tidak sinting mungkin kau tengah kesurupan! Kalau kau menganggap dirimu ayam, itu terserah. Bahkan kami tak ambil peduli kalau kau mengangkat diri sebagai raja ayam. Pergilah sana ke hutan. Dan pimpinlah rakyatmu di sana. Jangan mengusik kesenangan orang! Hei, Raja Ayam! Apa pun yang kau katakan, kami tetap akan menyabung ayam. Dan tidak seorang pun yang bisa melarang!" sahut Timpal sambil berkacak pinggang.
"Kalau begitu, kau akan bersabung denganku. Sampai salah seorang dari kita binasa!" tantang Cupu Manik, tegas. Kemudian dengan langkah tenang pemuda itu mendekati Timpal. Dan tanpa aba-aba dia sudah langsung melompat menerjang.
"Kreaaakh...!"
Mendapat serangan demikian, Timpal terkejut. Namun secepat kilat goloknya dicabut menyongsong serangan.
Srang!
Saat itu juga Timpal membabatkan goloknya ke arah leher Cupu Manik yang tengah meluruk tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda aneh itu menekuk tubuhnya. Sehingga babatan Timpal hanya menyambar angin. Belum juga Timpal mengembalikan tubuhnya, Cupu Manik telah membuat satu gerakan jungkir balik. Dan tiba-tiba, kedua kakinya menjulur ke arah leher Timpal. Lalu,..
Creb! Creb!
"Aaa...?" Disertai pekik kematian, Timpal terhuyung-huyung ketika kedua taji di kaki Cupu Manik, menancap di lehernya dua kali berturut-turut. Darah langsung memancur dari luka-lukanya. Tubuhnya lalu ambruk dan tewas setelah menggelepar-gelepar meregang nyawa.
"Begitulah rasanya bangsaku mati kalian adu" desis Cupu Manik disertai senyum sinis, begitu berdiri kokoh di tanah.
Untuk sesaat orang-orang di tempat itu terpaku memandang mayat Timpal. Tapi kemudian mereka memandang marah pada pemuda aneh itu.
"Pemuda gila itu telah membunuh Timpal!" teriak seseorang sambil menunjuk Cupu Manik. Saat itu juga yang lain seperti terbangun dari mimpi.
"Betul! Dia mesti mendapat ganjaran setimpal!? sambut yang lain.
"Tangkap dia!"
"Bunuh!"
Seketika, kemarahan memuncak ditumpahkan pada pemuda itu. Maka tanpa seorang pun yang bisa mencegah, mereka menyambar apa saja yang bisa digunakan untuk menghajar Cupu Manik.
"Kreaaakh...!"
Mendadak saja, pemuda itu menjerit keras. Lalu tubuhnya melompat menyongsong orang-orang itu tanpa kenal rasa takut. Tubuhnya berjumpalitan beberapa kali, dengan kedua tangan serta kaki yang dilengkapi taji menerjang keroyokan.
Prak! Prak! Bret!
"Aaa...!"
Orang-orang yang nekat itu kontan menjerit kesakitan dihantam telapak tangan Cupu Manik yang kuat bagai sayap ayam, raksasa. Belum lagi tendangan serta hujaman kedua taji di kakinya. Dalam sekejap saja, lima orang roboh menggelepar tak bernyawa.
"Gila! Dia betul-betul pembunuh. Dia tidak bisa diberi hati. Habisi pembunuh gila ini!" teriak seorang pemuda memberi semangat pada yang lain.
Tapi begitu orang-orang kembali mengeroyok, pemuda itu kabur diam-diam dari tempat ini. Agaknya dia sudah mencium gelagat yang tidak beres, sehingga lebih baik cari selamat sendiri.
Dan itu memang beralasan, Sebab pemuda yang merasa dirinya sebagai bangsa ayam itu ternyata betul-betul gila. Tubuhnya bergerak gesit. Dan setiap kali kedua tangannya bergerak, menimbulkan desir angin kencang, Korban-korban kembali berjatuhan. Dan kali ini, pemuda Desa Loyang akhirnya sadar kalau tidak kuasa melawan pemuda aneh itu.
"Lari...! Lari...!" teriak seorang seraya lari paling depan.
Karuan saja tempat itu segera ditinggalkan orang-orang, Mereka sibuk menyelamatkan diri. Sedang Cupu Manik hanya diam, tanpa berusaha mengejar. Dilepaskannya ayam-ayam aduan yang masih berada dalam kurungan, Kemudian...
"Kukuruyuuu...!" Terdengar Cupu Manik berkokok nyaring.
"Hari ini kalian bebas dari perbudakan manusia-manusia! Ayo berkokoklah yang lantang. Dan sambutlah kehadiran raja kalian!" teriak Cupu Manik lantang.
Entah karena kebetulan atau memang mengerti apa yang dikatakan, ayam-ayam itu langsung berkokok nyaring.
"Ha ha ha..,! Bagus! Bagus..,! Ayo, kita keliling kampung ini. Dan kita bebaskan kawan-kawan yang lain!" lanjut pemuda itu, berseru lantang dengan wajah berseri-seri.
Kemudian terdengar Cupu Manik berkotek-kotek. Lalu kakinya melangkah mendekati perkampungan, diikuti barisan ayam jago di belakangnya.
Orang-orang kampung yang melihat kejadian itu dan tempat persembunyian berseru takjub dengan mata melotot tak percaya.
Cupu Manik sendiri sebenarnya tidak mengganggu mereka. Dan dia hanya merusak kandang-kandang ayam serta melepaskan ayam jago yang masih dikurung. Meski begitu, tidak ada seorang pun yang berani mencegah perbuatannya. Mereka sadar, mendekatinya sama saja mencari mati.
"Aku peringatkan kepada kalian semua!" Terdengar suara lantang Cupu Manik berkumandang, "Mulai sekarang, kalian tidak kuperbolehkan makan daging saudara-saudaraku! Siapa saja yang coba-coba melanggar, maka akan berhadapan denganku! Kalian boleh saja melakukan kegiatan seperti biasa, tanpa merasa terganggu. Yang penting segala tindakan terhadap rakyatku yang berbau penyiksaan, tidak kuperbolehkan'" lanjut pemuda aneh ini.
Tapi meskipun begitu, tidak ada seorang pun yang berani menampakkan diri. Kematian beberapa penduduk desa tadi sudah cukup mengejutkan yang lain. Bahkan membuat cemas seperti dibayangi ketakutan setiap saat. Semua pintu dan jendela tertutup serta dikunci rapat-rapat. Bahkan ada yang diganjal lemari serta benda-benda berat lain.
Pemuda itu sendiri tidak ambil pusing. Dia terus berkeliling desa. Dan ketika menemukan sebuah pondok yang telah roboh dikelilingi pohon-pohon besar, maka kesanalah tujuannya, diikuti puluhan ekor rakyatnya.
Cupu Manik masuk ke dalam dan berlindung di tempat yang masih bisa terpakai. Sementara rakyatnya beterbangan ke ranting-ranting pohon, dan sebagian menemaninya. Kalau saja Cupu Manik tidak bernaung di sana, sudah barang tentu penduduk Desa Loyang tetap tidak akan mengetahui tentang dirinya. Maka begitu pemuda itu ke sana mereka langsung teringat akan kejadian beberapa tahun yang lalu.
Malah, kabar tentang kehadiran Cupu Manik telah sampai di telinga Kepala Desa Loyang ini yang dikenal bernama Ki Tambuk. Kebetulan, rumah laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun itu berada sekitar tiga puluh tombak arah depan rumah yang ditempati Cupu Manik sekarang ini.
"Dia tinggal di bekas rumah Ki Rebong!" desis Ki Tambuk, ketika mengintip dari sela-sela jendela depan rumahnya.
Istri dan kedua anak Ki Tambuk ikut mengintip dari celah-celah jendela. Tapi mereka tidak bisa melihat Cupu Manik, karena terhalang atap yang telah roboh.
"Memangnya kenapa, Kang?" tanya perempuan berusia lima puluh lima tahun, istri Ki Tambuk.
"Apa kau tidak ingat peristiwa delapan tahun lalu? Ki Rebong dan istrinya mati dibunuh. Empat anak mereka yang lain pun ikut mati secara mengenaskan?" sahut Ki Tambuk.
"Astaga! Ya, aku ingat! Mereka punya anak yang namanya... Rangkamaya! Ya, dia punya kesukaan aneh!" desis Nyi Tambuk dengan wajah kaget seraya memandang suaminya.
Sesaat mereka saling pandang dengan isi kepala yang mungkin sama.
"Apa mungkin pemuda aneh yang mengaku bernama Cupu Manik itu Rangkamaya?" gumam Ki Tambuk seperti berkata sendiri.
"Mungkin juga, Kang. Paling tidak usia pemuda itu saat ini sekitar dua puluh tahun. Saat itu si Rangkamaya berusia empat belas tahun. Tapi yang lebih menyolok adalah, dia punya kebiasaan, menganggap ayam sebagai saudara-saudaranya," jelas Nyi Tambuk.
"Kenapa dia bisa begitu, Bu?" tanya gadis berusia tujuh belas tahun, yang tak lain putri sulung Ki T ambuk Namanya, Laksmi.
Ketika peristiwa itu terjadi usia Laksmi masih sembilan tahun. Meski tahu kejadiannya, namun dia tidak mengerti kenapa bisa terjadi.
"Rangkamaya mungkin punya kelainan jiwa," jelas Nyi Tambuk. "Sejak kecil, dia tak hanya sekadar memelihara ayam. Tapi, juga merasa bahwa ayam itu adalah saudaranya. Dia tidur bersama ayam-ayam. Bahkan juga makan beras dan gabah. Ketika orangtuanya memotong ayam, dia berusaha mencegah setengah mati. Hal itu berlangsung terus, dan orangtua serta saudara-saudaranya tidak mau peduli. Pada suatu hari, Rangkamaya kalap ketika keluarganya tengah berpesta-pora makan daging ayam. Seketika dia menghunus golok dan membunuh mereka semua. Setelah itu, Rangkamaya kabur ke hutan dan menghilang beberapa tahun lamanya...."
"Jadi pemuda gila itu sebenarnya Rangkamaya itu?? kejar Laksmi.
"Entahlah, Ayahmu...."
Tok! Tok! Tok...!
Kata-kata Nyi Tambuk terputus ketika terdengar ketukan dari pintu belakang. Wanita tua itu buru-buru membuka pintu. Ternyata yang datang adalah dua penduduk desa ini yang ingin bertemu dengan suaminya.
"Ada apa, Ki Rambat? Ki Basur?" tanya Ki Tambuk, begitu tiba di belakang istrinya.
Ki Tambuk segera mempersilakan kedua tamunya masuk. Rumah mereka memang tidak jauh dari sini. Dan kemungkinan melihat pemuda aneh itu masuk ke gubuk reot tadi, sehingga menimbulkan praduga yang sama.
"Ada apa?" ulang Ki Tambuk ketika keduanya belum juga buka mulut.
"Eh! Anu, Ki Mengenai pemuda itu. Apakah kau punya dugaan?" tanya laki-laki tua berambut putih dengan ikat kepala warna-warni. Dialah yang bernama Ki Rambat.
"Maksud kalian?" Ki Tambuk malah balik bertanya.
"Menurut kami, pemuda itu pasti si Rangkamaya yang menghilang delapan tahun lalu," cetus laki-laki tua satunya yang berkumis putih. Namanya Ki Basur.
"Benar, Ki!" timpal Ki Rambat
"Ya, aku pun menduga begitu..," desah Ki Tambuk
"Lalu tindakan apa yang mesti dilakukan, Ki?" tanya Ki Basur lagi.
"Dia telah berani membunuh orangtua serta saudara-saudaranya. Tentu tidak segan-segan pula membunuh kita semua. Buktinya kejadian tadi! Kita harus bertindak, Ki. Kalau tidak, dia akan membunuh kita semua!" cetus Ki Rambat
"Aku pun telah berpikir ke arah situ. Tapi kita tidak bisa gegabah. Jangan-jangan, dia malah mengamuk. Kalian tahu sendiri. Kalau dia bisa merobohkan si Timpal dengan mudah, maka apalah artinya kita baginya?" tukas Ki Tambak.
"Lalu harus bagaimana, Ki? Kita tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini. Dibayang-bayangi ketakutan. Harus ada sesuatu yang mesti dilakukan!" tegas Ki Basur,
"Benar, Ki!" timpal Ki Rambat. "Semua penduduk dicekam ketakutan!"
Ki Tambuk tidak langsung menjawab. Dia berpikir sebentar. "Aku akan bicara padanya!" lanjut Kepala Desa Loyang ini,
"Bicara? Bicara apa?" kejar Ki Rambat dan Ki Basur hampir bersamaan.
"Siapa tahu dia masih punya sedikit perasaan. Dan mudah-mudahan pula, dia mau angkat kaki dari desa ini..." desah Ki Tambuk
"Itu mustahil, Ki! Dia orang gila. Mana mungkin mau mendengar bicaramu!" tukas Ki Rambat.
"Benar, Ki! Jangan-jangan dia malah menambah ancaman buat kita," sambung Ki Basur.
"Aku usahakan dulu secara baik-baik! Kalau tidak bisa, baru ditempuh dengan cara keras, Dalam hal ini, kita mesti menjalankan semua cara, Jangan khawatir. Mungkin tadi dia tengah panas dan penuh amarah, Mudah-mudahan saat ini amarahnya mereda."
Mereka terdiam sesaat
"Kapan kau hendak bicara dengannya, Ki?" usik Ki Rambat.
"Lebih cepat, lebih baik. Kalau perlu sekarang juga!" sahut Ki Tambuk mantap,
Mereka kembali diam. Dan itu membuat niat Ki Tambuk semakin mantap,
"Baiklah. Aku ke sana sekarang juga, Kalian tunggu saja di sini, Atau, ikut aku?" lanjut Ki Tambuk.
"Eh! Kami... lebih baik pulang saja..,," sahut Ki Rambat, mendadak ciut nyalinya.
Memang laki-laki tua ini tidak mau menanggung akibat yang tidak diinginkan. Bagaimana kalau dia ikut, ternyata pemuda itu mengamuk dan membunuh mereka? Padahal dia punya banyak anak di rumah. Kalau dia mati, siapa yang memberi makan mereka?
"Biar aku ikut denganmu, Ki!" sahut Ki Basur.
"Baik. Ayo kita berangkat sekarang," ajak Ki Tambuk.
"Eh! Apa tidak sebaiknya kita berbekal golok, Ki?" tanya Ki Basur.
"Tidak perlu. Kalau membawa golok, nanti dikira kita siap melawannya. Itu lebih berbahaya lagi," sergah Ki T ambuk.
"Baiklah,..."
TIGA
Ki Tambuk dan Ki Basur berdiri tegak dengan sikap ragu di depan pondok yang dijadikan tempat tinggal Rangkamaya alias si Cupu Manik. Meski demikian, kepala desa itu berusaha memantapkan hati. Padahal, jantungnya berdegup kencang ketika beberapa ekor ayam mendekati.
"Kisanak, aku ingin bicara denganmu,..!" teriak Ki Tambuk
Sesaat tidak terdengar sahutan selain suara kokok ayam jantan yang cukup mengejutkan.
"Kisanak! Aku kepala desa di sini yang bertanggung jawab atas keselamatan warga. Keluarlah kau. Dan, mari kita bicara!" teriak Ki Tambuk lagi.
"Mungkin dia tidak peduli, Ki...," gumam Ki Basur.
"Kita tunggu sebentar lagi..." ujar kepala desa itu.
Mereka diam sesaat. Suasana sedikit terusik oleh kokok ayam-ayam jantan.
"Kisanak! Kami tahu, kalau kau adalah si Rangkamaya. Kau adalah penduduk desa ini yang dulu menghilang selama beberapa tahun. Keluarlah. Dan, bicaralah padaku! Kami tidak bisa hidup dalam ketakutan yang mencekam seperti ini!" teriak Ki Tambuk lagi.
Kata-kata itu bersambut dari dalam pondok terdengar suara langkah terseret. Begitu pintu terbuka, tampak seorang pemuda berdiri tegak terpaut kurang lebih sembilan langkah. Jantung Ki Tambuk dan Ki Basur berdetak tiga kali lebih cepat ketika pemuda berpenampilan aneh itu memandang dengan tajam.
"Pergilah! Kali ini aku belum memerlukan kalian," ujar pemuda yang tak lain memang si Cupu Manik pendek.
"Rangkamaya! Kau tidak boleh membuat semua penduduk desa ini ketakutan karena ulahmu..." ujar Ki Tambuk, sedikit perlahan suaranya tapi mengandung ketegasan.
"Aku tidak berbuat apa-apa? Kalianlah yang ketakutan sendiri... kilah Rangkamaya alias si Cupu Manik.
"Kau telah membunuh sebagian penduduk desa dengan cara keji? tandas Ki Tambuk.
Seketika tatapan mata pemuda itu langsung menyiratkan ketidaksenangan. "Jangan bicara sembarangan kalian! Siapa yang lebih dulu mencari gara-gara?!" bentak Rangkamaya garang.
Hampir saja kedua orang tua ini terjingkat mendengar bentakan barusan. Apalagi saat si Cupu Manik melangkah mendekati mereka.
"Pergilah! Jika nanti kuperlukan, maka datanglah cepat ke sini!" ujar si Cupu Manik garang.
"Eh! Kami..., maksudku, kau tidak bisa memerintah seenaknya kepada kami...," sahut Ki Tambuk tergagap.
"Tutup mulutmu!" bentak pemuda itu lagi, lebih garang. "Sudah berapa lama kalian menyiksa bangsaku?! Selama itu, aku berdiam diri. Karena waktu itu aku tidak kuasa menghentikan perbuatan keji yang kalian lakukan. Kalian adu saudara-saudaraku. Kalian potong, kalian robek-robek tubuhnya. Kalian keparat terkutuk! Aku bersumpah mulai hari ini bangsaku akan merdeka. Dan kalianlah yang akan merasakan perbuatan kalian kepada kami dahulu!"
Merasa tidak ada gunanya lagi bicara, Ki Tambuk segera berbalik. Kakinya langsung melangkah meninggalkan tempat itu, diikuti Ki Basur dengan terburu-buru.
"Kita harus bertindak. Dia tidak bisa dibiarkan begitu saja!" dengus Ki Basur berang, ketika telah berada di dalam rumah Ki Tambuk
"Apa maksudmu? Kita ke sana beramai-ramai lalu mengeroyoknya?" tanya Ki Tambuk.
"Kenapa tidak? Sebelum dia memperlakukan kita seperti hewan, maka biar dia merasakan betapa tidak enaknya menjadi hewan!" tandas Ki Basur.
"Akan banyak yang mati sia-sia...."
"Kita harus coba, Ki! Sehebat-hebatnya dia, mana mungkin bisa mengalahkan keroyokan banyak orang!"
Ki Tambuk tidak langsung menjawab. Namun dia mencoba mencari jalan keluar yang lebih aman.
"Bagaimana, Ki?" desak Ki Basur.
"Aku punya cara yang lebih aman," sahut Ki Tambuk sambil tersenyum.
"Apa itu?"
"Kita sewa saja jago-jago bayaran, untuk melumpuhkannya. Kemudian serahkan saja dia pada prajurit kadipaten untuk mendapat hukuman setimpal atas perbuatannya," papar Ki Tambuk, tentang rencananya.
"Hm, boleh juga. Tapi dari mana kita dapatkan Jago-jago untuk mengalahkannya?" tanya Ki Basur.
"Tentu saja dari desa lain! Aku kenal seseorang yang bisa melumpuhkan si Rangkamaya. "
"Siapa, Ki?"
"Ki Sedang yang tinggal di kaki Gunung Argowayang. Dia memiliki kesaktian hebat. Mudah-mudahan dia mampu melumpuhkan Rangkamaya dengan mudah."
"Tapi, bagaimana cara menghubunginya? Apakah si Rangkamaya akan membunuh siapa saja yang coba keluar dari desa ini?"
"Kita akan berangkat sore nanti,"
"Sore nanti? Maksudmu, kita berdua?"
"Tentu saja! Apakah kau takut?"
"Bukan begitu, Ki. Tapi...,"
"Baiklah," potong Ki Tambuk, seperti memahami ketakutan Ki Basur, "Kalau begitu biar aku sendiri yang pergi."
"Maaf, Ki. Bukan aku tidak mau mengawani..."
"Tidak apa, Ki Basur. Aku mengerti. Pulanglah...."
"Terima kasih, Ki, Eh! tapi, aku masih heran. Kenapa mesti berangkat sore-sore?"
"Kalau si Rangkamaya merasa dirinya ayam, maka dia pun punya penyakit rabun senja. Saat itu, penglihatannya memburuk. Maka dia tidak akan bisa mengawasiku, " jelas Ki Tambuk.
"Cerdik juga!" puji Ki Basur.
********************
Sepeninggal Ki Tambuk memang tidak ada kejadian apa-apa. Sejak sore tadi, tidak ada seorang pun yang berani keluar rumah. Paling-paling hanya mereka yang keluarganya tadi tewas, dibantai Rangkamaya. Itu pun secara diam-diam. Dan mereka menguburkannya di pekarangan rumah masing-masing tanpa upacara.
Saat itu Desa Layang seketika berubah menjadi desa mati. Bahkan untuk bersuara pun, para penduduknya takut. Rasanya, setiap orang takut untuk memejamkan mata. Mereka membayangkan pemuda itu tiba-tiba saja berada di ambang pintu, lalu mencabut nyawa mereka satu persatu.
Sementara itu ayam jantan telah berkokok saling bersahutan, terdengar amat gaduh di sekeliling gubuk reot yang dihuni pemuda aneh bernama si Rangkamaya alias si Cupu Manik.
Di rumah Kepala Desa Layang, telah hadir seorang laki-laki berusia setengah abad. Tubuhnya kurus, Sebagian rambut serta jenggotnya yang tipis telah memutih. Kepalanya memakai ikat berwarna putih. Pakaiannya sederhana. Dan di pinggangnya terselip sebilah keris.
"Tidak usah khawatir, Ki Tambuk. Dia akan kulumpuhkan dalam waktu singkat!" ujar laki-laki bertubuh kurus itu, setelah Ki Tambuk menceritakan seluruh peristiwa yang terjadi di Desa Loyang ini.
"Syukurlah kalau begitu, Ki Sedang. Hati kami sedikit lebih lega," desah Ki Tambuk.
"Jauhkah tempatnya?" tanya laki-laki kurus yang ternyata bernama Ki Sedang.
"Gubuk reot di sana! Dari sini terlihat!" Ki Tambuk berdiri, lantas menunjuk gubuk yang dimaksud dari celah-celah jendela.
"Hm...." Ki Sedang yang sudah berdiri bergumam pelan seraya mengangguk-angguk. "Biar aku ke sana sekarang juga!" lanjut laki-laki berbadan kurus itu seraya melangkah.
"Hati-hati, Ki!" ingat Ki Tambuk
"Jangan khawatir, Aku tidak ingin mengecewakan kalian!" sahut Ki Sedang terus melangkah mantap keluar pekarangan.
Sementara di luar sana keadaan masih terlihat gelap. Namun ujung bias cahaya matahari mulai melukis sebagian cakrawala. Ki Tambuk tidak berani menyertai. Bersama istri, dan kedua anaknya mereka hanya mengintip dan celah-celah jendela dengan harap cemas.
"Kisanak yang berada di dalam! Keluarlah kau! Ada urusan yang mesti kita selesaikan hari ini'" teriak Ki Sedang lantang, begitu tiba di depan pondok yang ditempati Cupu Manik.
Belum ada sahutan, kecuali suara kokok ayam-ayam yang bertebaran di sekitar pondok.
"Kisanak! Keluarlah kau, Atau...,"
Suara Ki Sedang terputus ketika terdengar suara derit pintu terbuka. Tak lama, muncul seorang pemuda, berdandan aneh yang memang Rangkamaya alias Si Cupu Manik.
"Pergilah kau, Orang Tua! Jangan ganggu sarapanku!" dengus Rangkamaya, menatap tajam Ki Sedang. Lalu dia berbalik, dan kembali masuk ke dalam.
"Sarapanmu boleh ditunda. Tapi urusan ini tidak!"
"Kalau kau memang ada urusan denganku masuklah!"
Maka dengan langkah tegap Ki Sedang memasuki pondok si Cupu Manik. Sesaat langkahnya terhenti ketika mendadak terdengar ayam jantan berkokok bersahutan menyambut kedatangannya. Tapi, kemudian laki-laki setengah baya itu kembali melangkah.
Tidak seorang pun tahu apa yang mereka lakukan di dalam. Namun tiba-tiba Ki Tambuk serta istri dan kedua anaknya, dan mungkin juga beberapa tetangga yang mengintip kejadian itu, dibuat kaget ketika...
"Heaaa...!?"
Semua mata melihat, satu sosok tubuh kurus yang tak lain Ki Sendang menerobos keluar rumah si Cupu Manik. Laki-laki itu kemudian mendarat di halaman, seperti menunggu.
"Keparat busuk! Kau kira bisa lari seenaknya dariku?! Kau akan mati seperti yang lainnya!?
Terdengar bentakan Rangkamaya. Pemuda itu lantas menerobos keluar, mengejar Ki Sendang yang menunggu di luar.
"Bocah terkutuk sepertimu tidak selayaknya hidup di dunia ini! ingatlah! Kau manusia, bukan hewan. Tapi kalau kau hendak diperlakukan seperti hewan, maka biar aku yang mencobanya pertama kali!? balas Ki Sedang.
"Manusia terkutuk! Kau akan kusembelih. Dagingmu akan kugoreng, lalu kumakan bersama saudara-saudaraku!? desis Rangkamaya.
Saat itu juga, si Cupu Manik melompat menyerang Ki Sedang dengan gerakan cepat bukan main bagai ayam kinantan.
"Uts! Bocah edan!" rutuk Ki Sedang, seraya berkelit ke samping.
Mau tidak mau Ki Sedang mesti membenarkan penuturan Ki Tambuk kalau pemuda itu tak bisa dipandang sebelah mata. Semula dikira hanya orang gila biasa. Tapi merasakan serangannya yang mengeluarkan desir angin kencang, sadarlah lelaki setengah baya ini. Begitu mendapat kesempatan, secepat kilat Ki Sedang mencabut kerisnya. Saat itu juga, ganti dia yang balik menyerang,
Wut! Bet!
Ujung keris Ki Sedang berkelebat cepat. Namun hanya dengan meliuk-liukkan tubuhnya, si Cupu Manik mampu menghindar dengan gerakan tidak kalah gesit. Kemudian tiba-tiba sebelah telapak tangannya menghantam ke arah dada.
Ki Sedang terkejut. Dicobanya untuk melompat ke belakang. Tapi, terlambat. Telapak tangan Rangkamaya lebih cepat menghujam dada.
Begkh!
"Aaakh,..!" Disertai pekikan kesakitan, Ki Sedang terjungkal dua tombak ke belakang.
"Mampus kau!" dengus Rangkamaya geram, seraya melompat menerkam.
Ki Sedang yang masih merasakan dadanya terasa nyeri menerima hantaman tadi, menyadari kalau bahaya tengah mengincar. Maka secepat kilat tubuhnya bergulingan.
Tapi Rangkamaya pun tidak kalah gesit. Begitu sasarannya luput, maka tubuhnya ikut bergulingan sambil mengayunkan sebelah kakinya. Karena gerakan pemuda itu lebih cepat, akibatnya...
Creb! Creb!
"Aaa...!"
Tak ayal lagi, sepasang taji yang melekat dikaki Rangkamaya menancap di dada kiri Ki Sedang beberapa kali. Ki Sedang kontan terpekik. Darah langsung mengucur deras dari jantungnya. Sesaat orang tua itu menggelepar tak berdaya, lalu diam tak berkutik.
Rangkamaya bangkit berdiri memandangi mayat bekas lawannya, Sambil mengepal-ngepalkan kedua tangannya, dia berkokok lantang menandakan kemenangannya, Kemudian tubuhnya berkelebat cepat mendekati rumah Ki Tambuk
"Orang tua busuk! Kau coba mengancam kekuasaanku, he?! Kali ini kumaafkan, tapi mulai hari ini juga kumpulkan semua laki-laki di desa ini. Aku akan mengadakan sabung manusia. Siapa yang membantah akan kubunuh!" teriak si Cupu Manik lantang, begitu berada sepuluh tombak di depan rumah Ki Tambuk.
Kepala Desa Loyang yang melihat kejadian itu menggigil ketakutan. Demikian pula istri dan kedua anaknya. Mereka tidak berani bersuara sedikit pun, sampai pemuda itu telah berbalik menuju pondoknya.
"Apa yang mesti kita lakukan, Kang? Orang tua yang menurut katamu bisa diandalkan kini terkapar tak berdaya," keluh Nyi Tambuk dengan muka pucat dan bibir gemetar, ketika Rangkamaya sudah tak terlihat lagi.
"Entahlah, Nyi. Aku sendiri bingung, Rangkamaya mungkin dimasuki roh jahat. Kesaktiannya sungguh hebat dan kita tidak berdaya melawannya...." desah Ki Tambuk
"Sebaiknya kau turuti saja perintahnya dulu...," usul Nyi Tambuk.
"Apa?! Mengumpulkan orang-orang desa untuk disabung?!" sentak Ki Tambuk.
"Apa kau ingin dia membunuh kita semua?! Kumpulkan saja mereka. Dan beritahukan ancamannya tadi. Yang penting kita jalankan saja dulu kemauannya...
"Eh, iya. Baiklah...?
********************
Ki Tambuk memberitahukan perintah Rangkamaya kepada para penduduk. Tidak sulit menemukan mereka, karena sampai matahari terbit belum ada seorang pun yang berani keluar rumah. Apalagi pergi ke sawah atau ladangnya.
Beberapa orang yang sudah ketakutan, langsung menuruti permintaan pemuda itu. Tapi sebagian menolak, meski Ki Tambuk telah memberitahu ancamannya.
"Aku tidak peduli! Dia tidak bisa seenaknya memerintahkan kita untuk berkelahi antar sesama!" bantah seorang penduduk.
"Kau lihat sendiri, Jumeneng. Kalau tidak dituruti dia bisa membunuhmu!" kata Ki Tambuk memperingatkan, setelah mengumpulkan penduduk di tempat yang agak luas.
"Aku tidak peduli! Bukan aku takut berkelahi. Tapi berkelahi seperti ayam aduan, aku tidak mau!" sergah laki-laki berperawakan besar yang dipanggil Jumeneng.
"Kalau sudah begitu keputusanmu, apa boleh buat? Tentu saja aku tidak bisa memaksa..."
"Kukuruyuuukkk... !"
"Heh?!"
Kata-kata Ki Tambuk terputus begitu mendadak terdengar suara ayam berkokok lantang. Semua orang langsung menoleh ke arah asal suara. Dan ternyata Rangkamaya tahu-tahu telah berada di belakang kerumunan. Entah kapan datangnya yang jelas dari sini bisa diketahui betapa tingginya kepandaian pemuda itu.
"Kau akan bersabung pertama kali denganku!" tuding Rangkamaya geram kepada Jumeneng, sambil melangkah ketengah-tengah kerumunan penduduk.
Bukan saja Jumeneng yang terkejut melihat kehadiran Rangkamaya. Tapi, juga Ki Tambuk serta beberapa penduduk desa yang berada di sekitarnya.
"Kreaaakh,..!"
Tapi sebelum hilang keterkejutan mereka, si Cupu Manik telah menerkam Jumeneng yang masih termangu.
"Ohhh..,!" Jumeneng terkesiap, tak tahu mesti berbuat apa. Sebenarnya dia sedikit mengerti ilmu olah kanuragan, Tapi mendapat serangan mendadak begitu, membuatnya gugup, Akibatnya...,
Creb! Creb!
"Aaa...!"
Tak terelakkan lagi, kedua taji di kaki Rangkamaya meluruk tepat di dada Jumeneng beberapa kali. Laki-laki berperawakan besar itu menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan roboh ke tanah disertai lumuran darah. Istri dan anaknya yang melihat kejadian itu langsung menjerit ketakutan seraya memburu mayatnya.
"Lanjutkan pada yang lain!" seru si Cupu Manik dingin. Si Cupu Manik memandang ke sekeliling. Sedikit pun tidak tersirat rasa penyesalan pada wajahnya setelah membunuh secara keji begitu,
"Eh! Ba... baik!" sahut Ki Tambuk yang masih terkesima dan tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri.
Padahal Ki Tambuk pemimpin di desa ini, Tapi di mata penduduk, dia malah justru seperti pembantu Rangkamaya. Namun begitu mereka tidak menyalahkan. sebab memang tidak ada pilihan lain lagi.
"Ayo, bersabunglah kalian! Siapa yang menolak, maka akan kubunuh sekarang juga!" perintah si Cupu Manik lantang sambil mengelus-elus beberapa ekor ayam jantan.
"Tapi...."
"Tutup mulutmu!" Si Cupu Manik membentak, ketika salah seorang penduduk hendak buka mulut. "Kau hendak mampus sekarang juga?!" lanjut pemuda itu.
Semuanya terdiam. Mereka pun terpaksa memenuhi keinginan Rangkamaya untuk bersabung satu sama lain, seperti mereka menyabung ayam.
********************
EMPAT
Belakangan ini kota kadipaten Gringsing yang cukup jauh dari Desa Loyang ramai dikunjungi orang-orang Desa Loyang, Mereka bukan melakukan kunjungan biasa, tapi hendak mengungsi. Dan dari mulut mereka berkembang cerita aneh tentang si Cupu Manik, yang langsung merebak ke telinga semua orang.
Cerita itu mengundang bermacam-macam tanggapan. Ada yang menertawakan karena tak masuk akal. Ada yang menganggap orang-orang Desa Loyang itu sudah sinting. Tapi, di samping itu ada pula yang prihatin, malah tak kurang pula ada yang amat penasaran.
Di kedai yang cukup ramai di kota kadipaten ini, empat orang sejak tadi begitu terpana mendengar cerita aneh yang dibawa seorang penduduk Desa Loyang. Mereka saling pandang sesama kawan. Wajah mereka yang kasar dan menyimpan kelicikan, seperti menemukan sesuatu yang bagus.
"Apakah Kakang Jalma percaya cerita mereka?" tanya laki-laki bertubuh kekar. Kepalanya besar dengan rambut awut-awutan.
"Kenapa tidak, Bareng? Yang cerita bukan satu dua orang. Semua penduduk desa itu yang mengungsi ke sini menceritakannya. Apa mereka semua sepakat untuk berbohong?" tukas laki-laki yang kelihatannya paling tua, dan dipanggil Jalmo, Kepalanya kecil, dengan mata sipit.
"Kakang Jalmo benar. Tidak mungkin mereka bohong. Orang-orang itu mengungsi karena takut. Empat Hantu Sesat harus membereskan orang sinting yang mereka takuti itu. Lalu, uang emas yang dimiliki kita rampas!" timpal laki-laki berkepala botak "Bukankah begitu, Patria?"
"Sudah! Jangan banyak omong kau Jantra! Yang penting kapan kita berangkat ke sana? Huh! Aku sudah tidak sabar ingin melihat tampang si sinting itu!" dengus laki-laki yang berambut panjang dan dipanggil Patria.
"Sekarang saja! Buat apa lama-lama?!" sambut laki-laki botak bernama Jantra.
"Baiklah, Kita berangkat sekarang" sahut Jalmo, orang paling tua di antara empat laki-laki yang menamakan diri Empat Hantu Sesat.
Sementara Empat Hantu Sesat segera bangkit dengan bersemangat. Dan seperti biasa, mereka hanya membayar seadanya saja untuk sejumlah makanan yang begitu banyak. Tapi bila pemilik kedai berani menagih, maka tamparan dan hajaran yang akan diterima, Sehingga pemilik kedai hanya bisa mengurut dada tanpa bisa berbuat apa-apa.
********************
Menjelang sore hati, Empat Hantu Sesat telah tiba di Desa Loyang. Suasana di desa kelihatan sepi. Tak seorang pun terlihat. Beberapa rumah tampak kosong-melompong ditinggalkan penghuninya,
"Hoooi! Di mana orang sinting bernama Rangkamaya?! Keluarlah kau! Dan, hadapi kami!" teriak Jalmo, lantang.
Beberapa ekor ayam jantan yang berada di dekat mereka terkejut. Dan binatang-binatang itu berkokok-kokok saling bersahutan. Beberapa ekor di antaranya malah beterbangan kian kemari.
"Hei, Orang Sinting! Keluarlah kau! Perlihatkan dirimu?!" teriak Barong dengan suara melengking tidak kalah nyaring.
"Keparat! Kemana dia?!" dengus Jantra sambil melangkah pelan-pelan mengikuti yang lainnya.
"Mungkin cerita itu bohong...!" tukas laki-laki berambut awut-awutan yang dipanggil Barong.
"Tidak ada alasan mereka mengungsi. Tempat ini subur, Dan kelihatannya, mereka hidup makmur...," sahut Jalma memberi alasan.
"Kita putari desa ini. Mungkin dia sedang bertelor!" ujar Patria dengan wajah geram,
"Kalian telah mengganggu ketenteraman saudara-saudaraku! Pergilah. Dan jangan mengganggu lagi!"
"Heh?!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara bentakan yang membuat Empat Hantu Sesat terjingkat kaget. Serentak mereka menghentikan langkah dan langsung berbalik. Tampak seorang pemuda berpenampilan aneh tegak berdiri pada jarak tujuh langkah. Hampir saja laki-laki bernama Barong terkekeh geli melihat penampilan pemuda yang tak lain Rangkamaya alias si Cupu Manik yang dinilainya sinting. Betapa tidak? Pemuda itu mendandani dirinya seperti layaknya seekor ayam jantan. Lengkap dengan jambul jengger, ekor, sepasang taji dan paruh.
"Diamlah!" desis Jalma.
Laki-laki paling tua di antara Empat Hantu Sesat ini sama sekali tidak melihat keanehan pemuda bernama Rangkamaya di depan matanya, selain rasa curiga yang dalam. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian hebat, Jalma bisa merasakan sepasang mata tajam menusuk memandang mereka. Mata yang memancarkan kekuatan serta tenaga dalam kuat luar biasa.
"Kenapa? Apakah aku tidak boleh tertawa melihat badut yang tengah berdiri di depanku?" tanya Barong sambil tersenyum, melecehkan pemuda di depannya.
"Manusia berhidung tomat! Hentikan ejekanmu! Atau aku akan menghentikannya sendiri!" dengus Rangkamaya geram.
Barong memang memiliki hidung agak besar dan kemerah-merahan. Meski begitu, dia menganggapnya bagus. Bahkan tidak sudi orang lain mengejek hidungnya. Siapa pun yang coba mengusik-usik keberadaan hidungnya, akan merasakan hajarannya. Apalagi kalau dia tengah marah. Maka bukan tidak mungkin orang itu dibunuhnya. Namun pemuda aneh bernama Rangkamaya itu bukan sekadar mengejek. Tapi, juga melecehkannya.
"Bocah sinting! Ingin kulihat sampai di mana kau punya nyali! Coba hentikan aku!" dengus Barong geram dengan mata melotot garang.
Srak!
Begitu mencabut goloknya, Barong langsung melompat. Kali ini kemarahannya berkobar cepat, sehingga begitu bernafsu saat membabatkan goloknya.
"Barong, tahan seranganmu!" cegah Jalma.
"Tenang saja, Kakang! Kubereskan si sinting ini untukmu!" teriak Barong tak mempedulikan.
"Huh!" Rangkamaya mendengus dingin melihat serangan. Kelihatannya dia tenang-tenang saja. Tapi serambut lagi serangan itu tiba, tubuhnya mencelat keatas dengan ringan. Sehingga serangan Barong hanya menyambar angin.
"Heaaa...!"
Sebelum Baroog sempat berbalik, si Cupu Manik ini telah meluruk sambil mengibaskan kedua tangannya, disertai teriakan keras menggelegar. Barong terkejut melihat pemuda itu mampu bergerak cepat, sehingga menimbulkan angin kencang yang berdesir hebat. Tapi dia sudah terlambat untuk menghindar.
"Celaka..,!" desis Jalma kaget.
Sebagai orang tertua di antara Empat Hantu Sesat, Jalma punya kewajiban untuk melindungi keselamatan adik seperguruannya. Maka melihat keadaan Barong yang gawat, secepat kilat tubuhnya mencelat. Langsung saja kedua tangannya dihentakkan, melepas pukulan jarak jauh.
"Yeaaa..,!"
"Wusss...!"
Merasa ada angin mendesir kencang di belakangnya, Si Cupu Manik cepat menarik pulang serangan. Cepat dia membuang diri sambil menghentakkan kedua tangannya ke arah Jalma.
Wesss...!
Blam...!
Seketika terdengar ledakan dahsyat, ketika serangan Jalma terpapak hantaman si Cupu Manik. Begitu kuat tenaga dalam yang dikeluarkan Rangkamaya, membuat tubuh Jalma terjengkang ke belakang. Sedangkan Rangkamaya cepat bangkit berdiri setelah bergulingan beberapa tombak. Sementara Barong yang selamat dari cengkeraman buru-buru melompat ke belakang.
"Gila! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Jalma, seraya bangkit
"Kraaakh...!" Si Cupu Manik menjawabnya dengan lengkingan panjang seperti kemarahan seekor ayam jantan yang melihat musuh. Secepat kilat, kembali pemuda itu melompat menerjang. Kali ini sasarannya Jalma.
Srak!
Pada saat itu juga Jalma langsung mencabut golok besar yang sejak tadi terselip di pinggang untuk menyambut serangan.
"Kakang! Biar kita bereskan saja bersama-sama. Dengan begitu lebih cepat selesai!" teriak Patria.
Tanpa menunggu jawaban laki-laki berambut panjang sebahu itu sudah langsung menerjang setelah mencabut goloknya, diikuti Jantra.
"Hup!" Rangkamaya yang sudah meluruk ke arah Jalma cepat menghentikan gerakannya. Tubuhnya mendadak membalik, menghadang serangan Jantra dan Patria. Seketika telapak tangan kirinya dihentakkan,
"Hih!"
Wesss..,!
Dari telapak kiri si Cupu Manik mendadak melesat sinar berwarna kuning yang disertai desir angin kencang.
Jantra yang menjadi sasaran terkesiap. Sementara Barong dan Jalma melihat kesempatan baik. Buru-buru serangannya ditarik, lalu bergulingan di tanah. Secepat kilat mereka melesat sambil membabatkan goloknya bersamaan ke leher dan pinggang.
"Heaaa...!
Wuuut!
Rangkamaya cepat menjatuhkan diri ke tanah sehingga, kedua serangan itu luput. Setelah bergulingan, tubuhnya melenting ringan dan kembali meluruk ke arah Jantra yang baru saja bangkit. Sepasang taji pada kedua kakinya berkelebat Dan...
Crasss!
"Aaakh...!" Jantra yang tak kuasa menghindar, berteriak keras ketika salah satu taji Rangkamaya membeset dadanya. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua tangan menekap dada. Dari sela-sela jarinya tampak merembes cairan merah. Dan belum sempat Jantra menguasai keseimbangan, si Cupu Manik telah berkelebat Lalu....
Crok!
"Aaa...!" Kembali Jantra memekik setinggi langit, begitu jidatnya terhantam paruh Rangkamaya. Tubuhnya limbung ke belakang kemudian ambruk tak berdaya, Dari kepalanya, mengucur darah merah kental.
"Keparat! Kau telah membunuh saudaraku. Kau akan menebusnya dengan nyawa busukmu!" desis Barong geram.
Saat itu juga Barong melompat, diikuti Patria. Mereka menyerang dari belakang, Sedangkan Jalma menyerang dari kanan.
"Hup!" Namun Rangkamaya telah lebih dulu melejit ke depan sambil jungkir balik. Maka serangan ketiga orang itu hanya menerabas angin. Dan tiba-tiba si Cupu Manik meluruk dengan sepasang taji menerjang Barong. Begitu cepat gerakannya, sehingga Barong tak mampu menghindar lagi. Dan....
Crab! Cras!
"Aaa...!" Barong memekik menyayat ketika dua buah taji si Cupu Manik menancap di lehernya. Saat taji itu dilepaskan, tubuh Barong terhuyung-huyung ke belakang kemudian ambruk tak berdaya.
"Bedebah! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Jalma dengan amarah meluap-luap.
Laki-laki ini segera berputar mengelilingi Rangkamaya dengan golok berkiblat di bawah. Demikian pula halnya Patria. Agaknya kedua orang ini telah mengganti jurus yang lebih ampuh.
Dari jurus ini, kedua orang itu mampu mengecoh dengan gerakan-gerakan aneh yang membingungkan. Untuk sesaat, Rangkamaya menjadi bingung dan ikut berputar. Tapi hal itu tidak lama. Sebab sebelum terkecoh, kedua tangannya telah lebih dulu menghentak, melepas pukulan jarak jauh.
"Yeaaa...!"
Wuuus!
"Hei?!" Kedua orang itu terkejut melihat dua sinar kekuningan yang keluar dari telapak Rangkamaya. Kerjasama mereka kontan terpecah, karena masing-masing berusaha menghindari serangan sinar kuning,
"Kaaakh..!"
Sementara itu, Rangkamaya tidak mau tinggal diam. Langsung diterjangnya ke arah Patria, yang menurutnya lebih lemah.
"Kurang ajar!" bentak Jalma geram. Secepat kilat, ditubruknya pemuda itu dari belakang sambil menyabetkan golok untuk menyelamatkan Patria.
"Kreaaakh!"
Tanpa diduga, Rangkamaya menghentikan serangan ketika sedikit lagi Jalma membokongnya. Dan tiba-tiba, kakinya melepaskan sapuan memutar, mengarah ke perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Crasss...!
"Aaa...!" Jalma menjerit kesakitan, ketika taji pada kaki Rangkamaya menyambar perutnya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang sobek lebar hingga isi perutnya terburai. Bola matanya melotot tajam. Sebelah tangannya menuding si Cupu Manik. Tapi sebelum kata-katanya keluar, tubuhnya ambruk tak berdaya.
"Kakang Jalma...!" teriak Patria, seraya menubruk kawannya. Laki-laki ini kemudian memandang Rangkamaya dengan tatapan tajam. Api dendam makin berkobar, melihat ketiga temannya tewas. "Keparat...!"
"Kreaahhh...!"
Patria mendengus geram, Dan dia makin geram, melihat pemuda itu telah menerjang kembali. Maka dengan amarah meluap dia berlompatan menghindar sambil menyabetkan golok. Tapi Rangkamaya sama sekali tidak memberi kesempatan sedikit pun. Dia terus mengejar ke mana saja Patria bergerak. Pada satu kesempatan, Rangkamaya melepaskan sapuan kaki ke pinggang, Patria terkejut, dan berusaha menyabetkan goloknya.
Wuuut!
Golok itu hanya menyambar angin, karena mendadak saja Rangkamaya telah melenting dengan bertumpu pada satu kaki. Begitu berada di udara, sebelah kakinya yang menekuk cepat menjulur ke depan, mengancam kepala Patria yang terlambat menghindar. Akibatnya....
Crok!
"Aaa...!"
Taji Rangkamaya bergerak cepat menghantam jidat Patria. Kontan orang terakhir dari Empat Hantu Sesat menjerit menyayat dengan tubuh terpaku berdiri. Matanya yang melotot dilewati darahnya yang mengalir ke bawah.
Bruk!
Tepat ketika si Cupu Manik yang sudah mendarat berbalik, tubuh Patria ambruk di tanah.
"Kreaaakh...!"
Rangkamaya menjerit keras lalu berkokok nyaring menyuarakan kemenangannya. Matanya berkilat tajam memandang sebagian penduduk yang mengintip kejadian itu dari celah-celah rumah.
"Ha ha ha,..! Kalian lihat, bukan? Tidak seorang pun bisa menghalangiku. Siapa saja di antara bangsa manusia yang coba hendak menjajah kami lagi, maka kebinasaan baginya!" teriak Rangkamaya lantang.
Kemudian pemuda aneh ini berkokok seperti ayam yang kemudian bersahutan dengan ayam jantan yang banyak berkeliaran di desa ini. Aneh bin ajaib! Pelan-pelan tapi pasti, kawanan ayam itu mendekati dan mengelilinginya.
********************
LIMA
"Orang gila! Ada orang gila...!"
Kota Kadipaten Gringsing yang semula tenang, mendadak dikejutkan oleh teriakan orang-orang di jalan, Seketika perhatian tamu-tamu yang ada di kedai terbesar di kota ini berpaling. Tampak di jalan utama beberapa orang berlari ketakutan. Sekujur tubuh mereka berdarah penuh luka. Sementara, dua orang malah ambruk terkapar di tengah-tengah jalan.
"Aoouw...!"
Dalam sekejap hiruk-pikuk itu semakin ramai, ditingkahi jeritan wanita dan anak-anak. Beberapa orang yang bernyali besar sudah langsung menghunus senjata untuk menghajar pembuat keonaran yang tiba-tiba saja muncul.
"Bunuh saja orang gila itu! Dia telah membunuh beberapa orang!" teriak seseorang,
"Ya, bunuh saja dia!" timpal yang lain.
Keributan itu memang menarik perhatian banyak orang. Dan dalam waktu singkat saja orang-orang telah berkerumun untuk menyaksikan apa sebenarnya yang terjadi. Dan mereka yang belakangan muncul, hanya melihat beberapa orang lelaki bersenjata golok terhunus mengeroyok seorang pemuda yang tubuhnya dipenuhi bulu-bulu ayam. Pemuda yang berdandan seperti ayam jantan itu mengamuk hebat sekali dengan gerakan-gerakan lincah dan tenaga kuat.
Crab! Bret!
"Aaa..,!"
Korban kembali berjatuhan ketika pemuda aneh yang bagai orang gila itu mematuk serta menyerang orang-orang yang mengeroyoknya dengan sepasang taji berupa pisau yang dilekatkan di pergelangan kaki. Belum lagi tamparan kedua tangannya yang diikuti desir angin kencang yang mampu membuat orang-orang yang berada dekat-dekat bergoyang-goyang seperti daun tertiup angin.
"Lari...! Lariii...!" teriak salah seorang pengeroyok yang merasa kewalahan menahan amukan pemuda berpenampilan mirip ayam itu.
Tiga orang ikut-ikutan kabur. Dan, masih tersisa lima orang yang tetap nekat menyerang pemuda aneh itu.
"Keparat! Kau datang tiba-tiba dan menyerang tanpa alasan. Jangan main-main dengan aku, si Kebo Pitu. Aku sebagai keamanan di kota ini, tidak bisa membiarkan tingkahmu! Kau mesti dihukum, Anak Muda!" bentak seorang laki-laki berusia empat puluh tahun. Badannya besar. Pada tangannya tergenggam sebuah tongkat panjang.
Laki-laki kekar, bernama Kebo Pitu memang bukan prajurit kadipaten. Namun bersama beberapa anak buahnya, dia dikenal sebagai kepala keamanan di kota Kadipaten Gringsing. Tiga anak buahnya telah kabur. Namun bersama empat kawannya yang tersisa, dia merasa bertanggung jawab untuk membereskan pengacau ini.
"Jangan banyak mulut, kau Kebu Dungu! Kau dan kawan-kawanmu telah menyiksa saudara-saudaraku! Untuk mereka, aku akan membalaskan dendamnya, Dan kalian mesti mati!" dengus pemuda aneh berpakaian seperti ayam jantan itu.
Pemuda yang tak lain Rangkamaya alias si Cupu Manik itu memandang orang-orang yang mengurungnya dengan sorot mata tajam penuh amarah.
"Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan. Cerita yang kudengar mengatakan bahwa kau mengganggu di kedai sana dengan menyerang mereka yang tengah bersantap!" kata Kebo Pitu.
"Mereka menyantap saudara-saudara ku! Tidakkah kalian merasakan bahwa perbuatan itu amat kejam? Kalian cabuti bulu-bulu saudaraku. Lalu kalian gorok mereka. Kalian panggang, kalian goreng! Tidakkah itu perbuatan biadab?! Aku bersumpah atas nama mereka, akan kubasmi kalian semua!" sergah Rangkamaya membentak. Suaranya lantang dengan sorot mata semakin berkilat tajam.
"Astaga! Kau mungkin sinting, Anak Muda. Apakah yang kau maksudkan ayam yang mereka makan?" tukas Kebo Pitu.
"Bangsaku bukan makanan! Mereka berhak hidup layak. Bukankah kalian bisa mencari makanan lain?!"
"Kang Kebo Pitu! Tanganku sudah gatal untuk menampar mulutnya! Bocah sinting ini tidak perlu dilayani. Dia harus kita ringkus secepatnya. Bahkan kalau perlu, bunuh!" teriak salah seorang anak buah Kebo Pitu, yang berbadan agak kurus.
Mendengar itu Rangkamaya memandang tajam pada laki-laki berbadan agak kurus ini. "Kereaaakh...!" Mendadak saja, si Cupu Manik berteriak keras. Bahkan kemudian diikuti dengan luncuran tubuhnya.
"Lengser! Awasss...!" Kebo Pitu terkejut seraya memperingatkan laki-laki agak kurus yang dipanggil Lengser. Dan secepat itu pula tongkatnya dikebutkan sambil melompat untuk menahan serangan Rangkamaya yang menggunakan kakinya,
Prak!
"Heh?!" Bukan main terkejutnya Kebo Pitu melihat apa yang terjadi. Memang, temannya yang bernama Lengser selamat. Tapi tongkatnya patah terpapak tendangan Rangkamaya. Padahal meski tongkatnya terbuat dari kayu keras, namun dikerahkan lewat tenaga dalam tinggi. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak satu kaki Rangkamaya telah meluncur kembali. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Crasss!
"Aaakh...!" Kebo Pitu terpekik ketika wajahnya sempat tergores taji di kaki si Cupu Manik. Dia terdorong berapa langkah sambil membekap wajahnya yang tersayat.
Sementara Rangkamaya yang baru saja mendarat di tanah, kembali berkelebat sambil melepaskan sambaran-sambaran tajinya dengan kecepatan dahsyat ke arah anak buah Kebo Pitu lainnya.
Crasss... !
"Aaakh..!"
Seorang anak buah Kebo Pitu roboh sambil menjerit kesakitan, Perutnya robek disambar taji si Cupu Manik. Yang seorang lagi menyusul terkena patukan paruh di jidat lawan.
"Kreaaakh..!"
Rangkamaya benar-benar mengamuk hebat. Kini tak ada lagi yang berani melihat pertarungan itu dari jarak dekat Mereka semua takut terserempet kemarahan pemuda sinting itu.
Sementara itu, si Cupu Manik kembali melesat menerjang Kebo Pitu yang masih terpaku, terkesima melihat kematian dua' kawannya tadi. Dan Kebo Pitu betul-betul terkejut, ketika Rangkamaya kini berkelebat ke arahnya
"Heh?!"
Pada saat yang gawat bagi Kebo Pitu mendadak berkelebat cepat bagai kilat satu sosok bayangan putih dari arah samping. Dan belum sempat Rangkamaya mengalihkan perhatian, tiba-tiba....
Plak! Plak!
"Kurang ajar!" Rangkamaya geram bukan main melihat serangannya kandas. Lebih geram lagi ketika tubuhnya terjajar beberapa langkah, Sementara, sosok yang menggagalkan serangannya sudah berdiri tegap sambil bersedekap.
"Siapa kau, Kisanak! Berani benar kau berurusan denganku!" bentak Rangkamaya, ketika menatap tajam pada pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
"Aku Rangga, seorang pengembara biasa. Aku di sini hanya ingin mengingatkanmu, Kisanak. Cobalah tenang, Tidakkah kau sadari kalau kau adalah manusia yang punya harkat. Janganlah kau rendahkan dirimu, hingga bertingkah laku dan berdandan bagai hewan?" sahut pemuda tampan yang ternyata Rangga. Dalam rimba persilatan, orang mengenalnya sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa peduli ocehanmu?! Aku adalah ayam jantan perkasa dari Hutan Loyang! Aku raja kawanan ayam. Dan kuperintahkan pada kalian untuk menghentikan penyiksaan kepada bangsaku. Siapa saja yang melanggar berarti sengaja melawan dan mengajak bermusuhan denganku. Dan dia patut mati!" dengus Rangkamaya, sengit.
"Kau hanya menuruti hawa nafsu belaka, Kisanak!"
"Tutup mulutmu! Jangan berkhotbah di depanku!" tukas Rangkamaya geram.
"Kuingatkan, bangsa manusia lebih terhormat. Lantas, kenapa kau rendahkan derajatmu dengan menjadikan dirimu sebagai hewan?" lanjut Rangga tanpa mempedulikan kemarahan Rangkamaya alias si Cupu Manik.
"Durjana terkutuk! Kubunuh kau sekarang juga!" desis Rangkamaya semakin geram. Amarah si Cupu Manik betul-betul tak bisa dikendalikan lagi. Maka dengan gerakan secepat kilat diserangnya Pendekar Rajawali Sakti.
"Kreaaakh...!"
"Kau betul-betul keras kepala dan tidak bisa diajak bicara baik-baik..," gumam Rangga sambil menggeleng lemah.
Pendekar Rajawali Sakti pun tidak tinggal diam menghadapi serangan yang dahsyat itu. Dengan gerakan tidak kalah gesit Rangga menghindar ke samping, Kemudian tubuhnya mencelat ke atas saat, Rangkamaya menyapu pinggangnya.
"Uhhh...! Benar-benar tak bisa dianggap main-main!" desis Pendekar Rajawali Sakti, begitu kakinya mendarat di tanah.
Sementara Rangkamaya terus menggebrak, membuat Rangga harus berputar ke samping. Namun di luar dugaan, si Cupu Manik juga memutar tubuhnya sambil melepaskan sapuan kakinya yang bertaji.
Wuuutt!!
Tak ada waktu lagi bagi Rangga untuk menghindar. Secepat kilat, tangannya mengibas untuk memapak.
Plak!
Baru saja Rangga menangkis, kedua belah tangan Rangkamaya yang berkuku tajam sudah berkelebat mengancam lehernya.
"Uts!! Pendekar Rajawali Sakti terpaksa berjumpalitan ke belakang. Namun, si Cupu Manik terus mengejar sambil berusaha mematuk jalan kematian di tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tak kurang akal. Pada jumpalitan yang entah ke berapa kali, mendadak dia menjatuhkan diri sambil menjulurkan kakinya keatas. Sementara Rangkamaya yang berada diatas, tak mampu lagi menghindar. Dan...
Desss!
"Hekh,..!"
Telak sekali kaki Pendekar Rajawali Sakti mendarat di perut Rangkamaya. Saat itu juga tubuh Si Cupu Manik terlontar ke atas, lalu jatuh berdebuk keras di tanah. Perbuatan amat nekat. Karena kalau kurang cepat, justru batok kepala Pendekar Rajawali Sakti tadi memang bisa remuk dihantam paruh Rangkamaya. Tapi Rangga telah memperhitungkan kecepatan pemuda aneh itu, sehingga mampu memperhitungkannya.
Rangkamaya berusaha bangkit berdiri. Matanya mencorong tajam, memandang penuh kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti. Kali ini baru disadari kalau lawan yang dihadapi tak bisa dianggap enteng.
"Kurang ajar! Belum pernah ada seorang pun yang berani menyakitiku!" dengus si Cupu Manik.
"Kalau begitu aku termasuk orang yang beruntung."
"Keparat! Kubunuh kau, Durjana!" Bukan main geramnya Rangkamaya mendengar jawaban itu. Benar-benar hatinya terasa ditusuk-tusuk. Maka dia bertekad hendak membinasakan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya agar menjadi peringatan bagi mereka yang melihat dan mendengar di sekeliling tempat ini.
Sementara itu para penduduk yang semula ketakutan, perlahan-lahan berubah pikiran setelah kehadiran Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mereka yang semula melihat amukan Rangkamaya aneh itu menjauh, kini mendekat penuh kekaguman kepada pemuda berbaju rompi putih itu. Dalam waktu singkat dan tidak kesulitan sama sekali, dia telah menghempaskan pemuda aneh itu.
"Yeaaa...!" Rangkamaya membentak nyaring, mengiringi tubuhnya yang terbang, Kali ini dia berjumpalitan beberapa kali dengan kedua tangan bergerak cepat membentuk gulungan-gulungan yang membingungkan.
Wesss..!
Bersamaan dengan itu terasa angin kencang berputar-putar di sekitar si Cupu Manik ini.
"Hai.., Ajian apa yang tengah dikerahkannya?" gumam Pendekar Rajawali Sakti sambil bersiap-siap.
Rangga seketika memperkokoh kuda-kudanya. Sebentar dia membuat gerakan dengan kedua tangan, lalu terakhir menakup di depan dada. Dan ketika serangan hampir mendekat...
"Aji Bayu Bajra! Heaaa..,!" Seiring teriakannya, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan. Maka seketika berhembus angin kencang cukup dahsyat, menghadang angin yang meluruk dari tangan si Cupu Manik
Blash!
"Setan!" Rangkamaya membentak geram ketika ajiannya mampu dipunahkan dengan serangan yang tidak kalah dahsyat.
Sementara tempat ini telah dipenuhi debu-debu yang beterbangan bagaikan kabut akibat berhembusnya dua serangan kencang yang menimbulkan angin topan. Beberapa batang pohon bergoyang keras. Genteng-genteng rumah terlihat melayang-layang. Sedangkan orang-orang yang menonton pertarungan aneh ini terhumbalang, walau tak sampai mengakibatkan kematian.
"Kreaaakh...!" Tiba-tiba si Cupu Manik menjerit dahsyat. Lalu dia melompat ke depan, kembali menerjang dengan pukulan pamungkas.
Tapi Rangga tak kalah sigap. Segera dikerahkannya jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' untuk meladeni. Saat ini juga disampoknya tangan Rangkamaya dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali',
Wuuut!
Plak!
"Aaakh...!"
Begitu habis terjadi benturan, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sebelum Rangkamaya menyiapkan serangan kembali, Rangga telah merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', dengan kecepatan dahsyat. Seperti seekor rajawali menyambar anak ayam, Rangga berkelebat cepat melepaskan kibasan ke kepala Rangkamaya yang hanya mampu tercekat. Dan...
Dugkh!
"Aaakh...!" Si Cupu Manik kontan terjungkal roboh disertai pekik kesakitan. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti tidak seluruhnya mengerahkan tenaga dalam. Sehingga kepala pemuda aneh itu tak sampai retak.
Rangkamaya seraya bangkit perlahan-lahan dengan mulut meringis menahan sakit. Sepasang matanya masih berkunang-kunang. Namun tersirat dendam pada sinar matanya. Jika mampu, rasanya dia ingin menikam pemuda yang berdiri tegak di depannya.
"Hari ini kau menang, Manusia durjana! Tapi guruku tidak akan rela melihat aku diperlakukan begini. Kau akan terima pembalasan darinya!" desis si Cupu Manik.
"Apakah gurumu juga seekor ayam?"
Sebenarnya Rangga tidak terlalu sungguh-dengan kata-katanya. Dia ingin agar Rangkamaya menyadari kekeliruannya. Dan dengan begitu akan sadar bahwa dirinya seorang manusia, bukan seekor ayam. Apalagi menganggap raja dari kalangan ayam dengan segala macam dandanan yang dikenakan.
"Huh!" Rangkamaya hanya mendengus sinis, kemudian berkokok nyaring. Tidak lama kemudian beberapa ekor ayam jantan menghampiri. Kembali ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti, lalu melangkah pergi meninggalkan kota ini. Arah yang dituju jelas ke Desa Loyang. Bersamaan dengan itu ayam-ayam jantan yang tadi dipanggilnya, mengikuti dari belakang. Pemandangan ini membuat mereka yang memperhatikannya mendecak takjub.
Sementara Rangga hanya menatapi kepergian si Cupu Manik dengan helaan napas panjang, Dan kakinya akan melangkah, namun...
"Kisanak, tunggu dulu,..!" teriak seseorang.
Pendekar Rajawali Sakti mengurungkan niatnya. Kepalanya lantas menoleh. Tampak seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun menghampiri. Dia membawa beberapa perabotan dikedua tangannya. Kelihatannya kepayahan sekali, Demikian pula seekor kuda yang membawa beban terlalu sarat. Di belakangnya ikut juga seorang wanita dengan tiga orang anaknya. Dan yang terakhir adalah orang tua bertubuh kurus dengan muka menyiratkan keletihan.
"Ada apa gerangan, Kisanak?" tanya Rangga,
"Eh, maaf. Namaku Surapati, Aku penduduk Desa Loyang...," kata laki-laki setengah baya ini, begitu tiba satu tombak di depan Rangga.
"Adakah sesuatu yang bisa kubantu?" tanya Rangga.
"Pemuda tadi, eh! Maksudku, si Rangkamaya,... Dia, dia...."
"Kenapa dia?"
"Maukah Kisanak mengusirnya dari desa kami? Karena kami amat menderita akan kehadirannya," kata Ki Surapati penuh harap.
Kemudian tanpa diminta laki-laki ini menceritakan ihwal kedatangan Rangkamaya, termasuk ulah yang diperbuatnya kepada penduduk Desa Layang yang terpaksa mengungsi ke Gringsing.
"Tolonglah, Kisanak Kau usir dia sekalian dari desa kami? Seluruh penduduk dicekam ketakutan dan tidak bisa bekerja dengan aman," sambung Ki Surapati memelas.
Rangga berpikir sebentar. "Di mana Desa Loyang itu, Ki?" tanya Rangga halus.
"Arah barat laut kota kadipaten ini... oh, jadi kau bersedia membantu kami, Kisanak?"
Rangga tersenyum ramah. "Aku hanya manusia biasa, Ki. Segala sesuatunya diatur oleh Yang Maha Kuasa, Dan aku hanya menjalankan saja. Apakah nanti berhasil atau tidak, ya terserah yang diatas sana...!" kata Rangga merendahkan diri.
********************
ENAM
"Jahanam Keparat..! Durjana terkutuk...! Keluar kalian semua,..! Keluaaar...!"
Rangkamaya berteriak-teriak semakin gila. Terkadang dia malah berkokok lantang seperti hendak melampiaskan kemarahannya.
Sudah barang tentu hal ini menimbulkan ketakutan para penduduk Desa Loyang yang mendengar dan menyaksikan kehadirannya kembali. Semula mereka gembira ketika melihat pemuda itu angkat kaki dengan membawa sebagian pasukannya. Tapi ketika melihat pemuda itu muncul kembali, maka penduduk desa ini merasa dibayang-bayangi ketakutan lagi.
Entah kepada siapa si Cupu Manik ini berteriak-teriak. Mungkin kepada kawanan ayam, atau juga kepada penduduk desa. Tapi orang-orang desa yang telah jadi pecundang, tidak mau menanggung akibat dari sedikit kesalahan. Mereka perlahan-lahan keluar dengan wajah takut-takut.
Ternyata bukan hanya mereka saja yang keluar. Tapi, juga kawanan ayam yang ditinggalkannya. Hewan-hewan itu berkokok nyaring saling bersahutan dan berkumpul di dekat Rangkamaya. Rangkamaya memandang sekilas kepada penduduk desa yang telah keluar dari rumah masing-masing. Matanya memancarkan kegarangan bercampur kebencian.
"Kalian bangsa manusia betul-betul memuakkan dan terkutuk!" maki si Cupu Manik tanpa sebab.
Tapi orang-orang desa itu sudah kebal terhadap makian. Karena bukan sekali ini saja mendengar makian Rangkamaya. Namun yang mengherankan mereka adalah, pemuda ini kelihatannya marah betul. Entah, apa yang membuatnya demikian marah.
"Kalau aku tidak bertindak sekarang, maka kalian akan semakin merajalela!" lanjut si Cupu Manik geram seraya melangkah mendekati para penduduk diikuti oleh kawanan rakyatnya di belakang.
"Rangkamaya! Apa maksudmu,..?" tanya Ki Tambuk dengan suara lirih.
Meskipun menjabat kepala desa, namun Ki Tambuk tak mampu berbuat banyak. Di mata pemuda itu, kedudukannya sama saja dengan manusia-manusia lain. Tapi melihat gelagat yang tidak baik di depan matanya, laki-laki setengah baya itu merasa terpanggil untuk sedikit banyak berusaha melindungi keselamatan penduduknya.
"Kalian harus mampus!" desis si Cupu Manik.
"Kau... ah! Kau tidak bisa berbuat seperti itu kepada kami!" sergah Ki Tambuk.
"Aku bisa berbuat apa saja kepada kalian! Kau dan yang lain sama saja. Kalian durjana-durjana terkutuk! Cukup lama aku melihat kekejaman kalian kepada bangsaku. Maka, inilah saatnya pembalasan bagi kalian!" tandas Rangkamaya.
"Rangkamaya, ingatlah! Kau pun penduduk desa ini, Kalau kau hendak membunuh semua penduduk Desa Loyang, maka sama artinya kau pun membunuh dirimu sendiri!" tukas Ki Tambuk, tak patah semangat.
"Tutup mulutmu, Durjana Terkutuk! Aku tidak butuh nasihatmu. Telah berapa kali kukatakan kepada kalian, aku bukan penduduk desa ini. Tapi, aku raja dari rakyatku. Dan kalian adalah musuh-musuh kami yang mesti dibasmi!" bentak Rangkamaya.
"Apakah kau kira itu hanya kesalahan kami belaka? Seluruh manusia di muka bumi ini pernah memakan daging bangsamu!" sergah Ki Tambuk membela diri, "Mestinya kau menuntut balas pula kepada mereka!"
"Tentu saja! Mereka akan mendapat bagian. Tapi bagian pertama adalah kalian dulu."
"Kau benar-benar biadab, Rangkamaya! Kau bukan manusia! Kau binatang terkutuk!" maki Ki Tambuk geram.
Agaknya kepala desa itu sudah kehabisan kata-kata untuk membela diri. Sehingga dalam keadaan terpojok begitu, dia jadi nekat. Tidak dipedulikannya kalau Rangkamaya akan langsung membunuh karena kata-katanya lagi. Dia sudah bertekad, kalau pemuda itu menyerangnya, maka akan dilawannya sekuat tenaga. Daripada mati sia-sia.
"Kisanak semua, dengar! Dia hendak membunuh kita. Maka daripada kita mati sia-sia, kenapa tidak melawan saja? Toh, itu lebih baik, agar dia tidak semena-mena kepada kita. Ayo masuk ke dalam rumah masing-masing. Cari senjata-senjata untuk menghajarnya!" ujar Ki Tambuk berteriak lantang.
Tanpa diperintah dua kali, para penduduk Desa Loyang segera masuk kerumah masing-masing mencari segala macam senjata yang bisa digunakan untuk membunuh Rangkamaya.
"Durjana terkutuk!" Rangkamaya kembali memaki geram. Si Cupu Manik tidak bisa membiarkan mereka begitu saja melawan. Meski hal itu tidak merubah keputusannya. Tapi kalau didiamkan akan cukup merepotkan juga.
"Kau yang lebih dulu mampus!" desis Rangkamaya kepada Ki Tambuk. Saat itu juga, si Cupu Manik menerkam, ketika Ki Tambuk baru saja hendak berbalik masuk kepekarangan rumahnya.
Cepat bagai kilat laki-laki kepala desa itu menjatuhkan diri. Serangan pertama Rangkamaya luput dari saran. Namun baru saja Ki Tambuk bangkit berdiri, kaki bertaji milik Rangkamaya berputar menyambar dada.
Bret!
"Aaakh...!" Ki Tambuk menjerit kesakitan begitu dadanya robek lebar tersambar taji. Kepala desa itu terjajar beberapa langkah sambil memegangi dadanya. Tampak darah mengucur dari sela-sela jarinya. Rangkamaya kembali bergerak menubruk Ki Tambuk. Untung saja laki-laki itu sempat menjatuhkan diri dan bergulingan. Sehingga paruh si Cupu Manik hanya menyambar angin. Dan sebelum Rangkamaya sempat menyerang lagi, beberapa penduduk telah keluar sambil menghunus senjata tajam.
"Binatang terkutuk, mampuslah kau!"
"Mati kau!"
Rangkamaya terkesiap, Dengan cepat tubuhnya berkelebat gesit, untuk melepaskan diri dari kerubutan penduduk. Tubuhnya mencelat agak jauh dengan ringan. Sepasang matanya berapi-api tatkala memandang para pengeroyoknya.
"Durjana terkutuk! Kalian akan mati semua di tanganku!" bentak si Cupu Manik.
Saat itu juga, pemuda aneh ini melompat menerjang. Para penduduk yang telah pasrah kelihatan sedikit gentar. Namun akhirnya mereka sadar bahwa tidak melawan pun akan mati juga. Maka lebih baik melawan.
"Kreaaakh..,!"
"'Aaa...!"
"Serang terus! Jangan takut!" teriak Ki Tambuk memberi semangat. Meski suaranya serak dan tertelan jeritan para penduduk yang mulai menjadi korban keganasan Rangkamaya, namun Ki Tambuk berusaha terus mengobarkan semangat guna melawan keangkaramurkaan pemuda aneh itu.
Rangkamaya sendiri beberapa kali berteriak nyaring. Dan agaknya hal itu bukan, tanpa alasan. Sebab, ayam-ayam jantan yang menjadi rakyatnya segera ikut membantu. Binatang-binatang yang kelihatan biasa-biasa saja ini mendadak berubah liar dan ganas. Mereka menerjang para penduduk dengan patukan dan sambaran sepasang tajinya.
"Aaa...!"
"Ayam celaka, kubunuh kau...!" dengus beberapa penduduk, langsung membabatkan senjata ketika ayam-ayam itu mulai menimbulkan korban.
Beberapa orang menjerit kesakitan ketika telah menjadi sasaran keganasan ayam-ayam itu. Namun sekali penduduk itu balas mengamuk, korban di pihak kawanan ayam itu pun bertambah cepat. Penduduk yang tengah diamuk amarah tak segan-segan menebas leher-leher mereka. Tapi, tentu saja semakin menimbulkan amarah Rangkamaya, raja para ayam.
"Durjana keparat! Kalian telah membunuh saudara-saudaraku! Akan kutebus nyawa mereka dengan nyawa busuk kalian! Yeaaa,..!"
Wuut!
Rangkamaya melompat dan jungkir balik beberapa kali, menghindari tebasan senjata para penduduk. Kemudian sepasang tajinya bergerak cepat menyambar leher dua orang penduduk yang paling dekat dengannya.
Desss... !
"Aaa...!"
Kedua penduduk itu menjerit kesakitan. Begitu ambruk mereka menggelepar tak berdaya. Dan baru saja Rangkamaya hendak mencari korban berikutnya...
"Hentikan...!"
"Hei?!"
Suara bentakan keras menggelegar membuat para penduduk tersentak kaget. Demikian pula Rangkamaya, Dan ketika melihat siapa yang muncul si Cupu Manik lebih kaget lagi.
"Kau,..!" desis pemuda aneh itu geram ketika melihat kemunculan pemuda berompi putih tidak jauh dari pertarungan.
Pemuda yang baru muncul memang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, Setelah mendengar cerita dan permohonan Ki Surapati, Rangga sebenarnya memang langsung menuju Desa Layang. Memang, kekhawatiran yang dikatakan orang tua itu terbukti dan Rangga baru saja menyaksikannya. Bukan hanya Rangkamaya yang geram. Sebaliknya, Rangga pun geram melihat sepak terjang pemuda aneh itu.
"Kau telah betul-betul menjadi binatang, Kisanak!" bentak Rangga, tak kuasa menahan geram ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan dengan keadaan menyedihkan.
"Tutup mulutmu! Kau pun akan mendapatkan bagiannya nanti!" balas si Cupu Manik.
"Sekarang pun aku ingin mencicipinya, Kisanak!" tantang Pendekar Rajawali Sakti, yang kesabarannya telah habis.
Pendekar Rajawali Sakti memang tak bisa melihat pembantaian semena-mena di depan matanya. Dan itu sudah cukup beralasan untuk secepatnya melenyapkan Rangkamaya. Baginya, bila pemuda aneh itu dibiarkan, akan membawa bencana bagi kelangsungan hidup manusia.
Sementara Rangkamaya sendiri walaupun agak aneh, namun tidak bodoh. Dia pernah dijatuhkan. Dan dirinya merasa tidak mampu membalas meski mengeluarkan seluruh kemampuannya. Tapi kalau kabur begitu saja pun, harga dirinya terlalu tinggi untuk dikatakan pengecut.
"Pergilah dari sini, Kisanak. Aku masih bisa memaafkanmu!" ujar Rangga, masih mencoba memberi kesempatan,
"Ini desaku, Dan aku penguasa di sini, Kau tidak bisa berbuat seenak perutmu!" bentak si Cupu Manik
"Kau membuat kesabaranku habis Kisanak!" balas Rangga, dingin menggetarkan.
"Aku si Cupu Manik tidak akan pergi dari kerajaanku!" dengus pemuda aneh itu mantap. "Kreaaakh,..!"
Rangkamaya melompat menerjang disertai bentakan nyaring. Sementara Rangga yang sudah habis kesabarannya langsung melenting laksana seekor rajawali.
"Hiiih!" Mendadak saja kepalan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras ke batok kepala Rangkamaya. Pemuda aneh itu terkesiap. Cepat tangannya dikibaskan untuk menangkis.
Bet!
Kembali Rangkamaya terkejut, sebab tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti telah menarik pulang pukulannya. Dan tiba-tiba, Rangga melenting melewati kepala si Cupu Manik. Baru saja Rangkamaya berbalik, Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat. Bahkan langsung melepaskan tendangan ke belakang, Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss...!
"Aaakh...!" Rangkamaya menjerit kesakitan begitu dadanya terhajar tendangan ke belakang dari Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terhempas beberapa langkah ke belakang. Dadanya terasa mau meledak menerima tendangan yang begitu keras. Meski begitu, dia berusaha bangkit. Lalu, buru-buru kabur dari tempat itu dengan terpincang-pincang.
"Tunggulah balasanku nanti di sini! Tak lama lagi aku akan datang bersama guruku! " ancam Rangkamaya sambil terus lari terseok-seok.
Rangga hanya menarik napas lega tanpa mempedulikan ancaman. Kendati demikian, dia merasa persoalan ini belum selesai. Sebab, penduduk desa ini biar bagaimanapun masih tetap terancam.
"Kisanak... Aku atas nama penduduk desa ini mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan..." ucap seorang penduduk.
Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Sebentar ditatapnya orang itu, lalu mengangguk. Sementara orang-orang yang tadi berkumpul menyerang Rangkamaya memandangnya dengan penuh harap. Dia mengerti apa yang tersirat di balik tatapan mata itu,
"Seharusnya Kisanak tidak membiarkannya pergi begitu saja. Dia telah membunuh beberapa penduduk desa ini. Orang itu benar-benar binatang berwujud manusia. Dia pasti akan kembali untuk membalas dendam pada kami...," lanjut Ki Tambuk yang berjalan mendekati Rangga dengan tertatih-tatih. Beberapa penduduk desa lain telah membantu membalut luka-lukanya.
"Dia akan membunuh kami semua. Sebab, dia memang telah berjanji begitu!" ujar satu suara bernada masygul.
"Ya! Mestinya Kisanak membunuhnya. Dia pasti akan kembali. Dan selama menunggu dia datang, kami akan terus dicekam ketakutan...," timpal yang lain, lirih.
"Apa yang akan kami lakukan? Sebentar lagi kau pergi. Dan kami hanya lega sementara waktu...," desah penduduk lain.
"Pemuda ini akan tinggal bersama kita, Bukankah begitu, Kisanak?!" Terdengar sebuah suara penuh semangat. Ketika menoleh, Rangga langsung mengenali kalau orang yang barusan bicara adalah Ki Surapati. Rupanya, laki-laki ini telah tiba pula di Desa Loyang.
"Benarkah itu, Anak Muda?" tanya Ki Tambuk.
"Ya, tinggallah di sini untuk sementara waktu! Kami akan menyediakan segala kebutuhan!" timpal yang lain, sambil berteriak-teriak penuh semangat dan harapan.
Rangga terdiam sejenak. "Baiklah.... Aku akan di sini sementara waktu untuk menyelesaikan persoalan ini," desah Pendekar Rajawali Sakti pelan,
Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti langsung disambut gembira oleh para penduduk. Semuanya menawarkan rumah masing-masing untuk didiami pemuda itu. Namun Rangga memilih untuk menerima tawaran Ki Tambuk. Bukan saja laki-laki setengah baya itu pemimpin desa ini, tapi juga karena rumahnya termasuk besar dan memiliki kamar khusus untuk tamu.
"Tapi, aku punya satu syarat...," kata Rangga,
"Apa itu?" tanya Ki Tambuk.
"Dalam satu hal, aku setuju dengan pemuda aneh itu...,"
"Kau setuju dengannya?!" sentak para penduduk hampir bersamaan.
"Dengar dulu penjelasanku" ujar Rangga setelah menenangkan mereka. "Aku setuju dengan larangannya untuk menyabung ayam. Tapi, bukan berarti pikiranku sama dengannya. Menyabung ayam itu sama dengan menyiksa hewan. Dan itu sangat kejam. Apalagi ada taruhannya...."
"Tapi itu sudah mendarah daging di desa ini, Anak Muda. Rasanya sulit dihilangkan begitu saja...," sahut Ki Tambuk
"Aku tidak minta dalam satu hari. Tapi hilangkanlah secara bertahap. Pengalaman yang kalian peroleh dari peristiwa ini jadikan pedoman. Bisa saja ini satu kutukan. Sabung ayam dengan taruhan membuat malas bekerja. Uang hasil panen habis untuk taruhan. Juga, untuk membeli ayam aduan yang mahal. Dan kudengar pula, maaf. Pemuda itu sempat menyabung beberapa orang di antara penduduk desa ini, bukan? Apakah hal itu tidak menyentuh perasaan kita, bahwa ayam-ayam itu pun sebenarnya menderita karena disabung?" papar Rangga,
Beberapa orang mengangguk-angguk Tapi ada juga yang diam saja, Mungkin masih kurang setuju atas usul Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum ada yang membuka suara lagi, mendadak...
"Ada orang-orang yang ke sini mencari Rangkamaya...!" Terdengar sebuah suara, membuat semua orang menoleh.
********************
TUJUH
Ki Tambuk mempersilakan seorang pemuda yang baru datang tergopoh-gopoh untuk duduk dan mengatur napasnya. "Ada apa? Coba ceritakan dengan tenang?" tanya Ki Tambuk.
"Ada beberapa orang kesini, Ki! Mereka mencari Rangkamaya. Kami sudah katakan bahwa dia sudah pergi. Tapi, mereka tidak percaya. Bahkan mereka mengancam akan membunuh kami, jika tidak memberitahu dimana Rangkamaya berada," papar pemuda ini, di antara deru napasnya.
"Mau apa mereka dengan Rangkamaya?" tanya kepala desa itu lagi.
"Tidak tahu, Ki. Mereka tidak memberitahu alasannya."
"Lebih baik kita temui mereka, Ki. Dengan begitu, kita dapat tanyai apa keperluan mereka," usul Rangga.
"Ya, sebaiknya memang demikian, Baiklah... Kita temui mereka sekarang," kata Ki Tambuk menyetujui.
Bergegas kepala desa mengikuti pemuda yang melapor, Sementara, yang lain membuntuti dari belakang. Tak jauh mereka berjalan sudah terlihat kerumunan orang-orang desa. Sesekali terdengar suara ribut-ribut oleh bentakan. Kedatangan mereka agaknya tepat waktu. Sebab pada saat itu, keributan akan meningkat menjadi perkelahian.
"Berhenti!" teriak Ki Tambuk, lantang.
Para penduduk menepi, memberi jalan kepada Ki Tambuk. Sehingga kini, kepala desa itu bisa melihat tujuh laki-laki bertampang seram dengan senjata beraneka macam. Melihat gerak-geriknya, segera saja bisa disimpulkan bahwa mereka bukanlah manusia baik-baik. Bahkan mirip kawanan rampok.
"Kisanak! Aku kepala desa ini. Bila ada keperluan katakanlah. Mudah-mudahan aku bisa membantu?" sapa Ki Tambuk dengan suara lunak.
"Kami perlu bertemu pemuda sinting itu!" sahut salah seorang yang bertubuh besar dan berkumis tebal. Saat menyahut itu dia menyipitkan mata sambil melinting salah satu ujung kumisnya.
"Apakah yang kalian maksudkan si Rangkamaya?" tanya Ki Tambuk, langsung.
"Kami tidak peduli namanya. Mana dia sekarang?!" desak laki-laki itu,
"Dia tidak ada, Baru saja pergi meninggalkan tempat ini..."
"Phuih! Ternyata sama saja. Jangan mempermainkan kesabaran kami. Katakan, di mana dia. Atau, kami akan bertindak kasar kepada kalian?!"
Ki Tambuk merasa gentar juga mendengar ancaman orang itu. Demikian juga penduduk yang lain, Untuk sesaat dia terpaku. Tapi Rangga segera melangkah maju, seperti hendak mewakili penduduk desa ini.
"Kisanak! Kalau boleh kami tahu, ada urusan apa sehingga kalian mencarinya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti,
"Itu bukan urusanmu. Bocah!" sentak laki-laki berkumis melintang,
"Baiklah, Kalau demikian, bukan urusan kami pula. Kalian cari sendirilah dia," sahut Rangga tenang seraya mengajak penduduk untuk kembali ke tempat masing-masing.
"Bocah keparat! " bentak laki-laki berkumis itu, "Berani benar kau mempermainkan si Puger?! Tidak tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa?'"
Rangga berbalik seraya tersenyum. "Berhadapan dengan setan pun, kalau caranya tak sopan akan kulayani!"
"Setan...!" Lelaki bernama Puger itu memaki dengan wajah merah padam karena marah. Rasanya seumur hidup baru kali ini dia direndahkan orang. Tidak heran bila pemuda itu langsung diserang dengan menghentakkan kedua tangannya.
"Hih! Mampus kau!"
Wuuus!
Seketika serangkum angin pukulan jarak jauh melesat kencang ke arah Rangga. Namun hanya memiringkan tubuhnya sedikit Pendekar Rajawali Sakti dapat menghindarinya. Dan serangan itu pun mengenai tempat kosong.
Para penduduk segera menyingkir mengamankan dari pertarungan. Melihat serangannya gagal. Puger telah melompat menerjang dengan garang. Langsung dilepaskannya, satu tendangan cepat.
Wuuut!
Kelihatannya Puger menganggap enteng pemuda di depannya, sehingga serangannya tanpa perhitungan. Sebaliknya, Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sebelah tangannya menangkis. Sementara sebelah lagi langsung menyodok ke perut dengan keras.
Begkh!
"Aaakh...!" Karuan saja, Puger terjengkang ke belakang disertai jerit kesakitan. Isi perut terasa mau pecah membuat mulutnya meringis-ringis. Dari mulutnya keluar lelehan darah segar.
"Keparat!" bentak beberapa kawan Puger melihat apa yang dilakukan pemuda itu.
Dua orang segera memburu Puger untuk memeriksa lukanya. Sedangkan sisanya langsung menyergap Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan menebusnya dengan menyerahkan batok kepalamu, Bocah!" bentak salah seorang yang bertubuh tinggi besar.
"Aku hanya sekadar membela diri saja. Dan kalau kalian ingin mengeroyok dengan suka rela aku akan melayani!" sahut Rangga enteng.
"Bedebah! Bunuh saja bocah sombong ini!" bentak orang itu.
Dalam kawanan ini agaknya laki-laki tinggi besar itu merupakan wakil Puger. Kepandaiannya memang tidak berada di bawah Puger. Melihat kawan-kawannya dapat dijatuhkan dengan mudah, maka dia tidak mau gegabah dalam menghadapi pemuda berbaju rompi putih itu. Dan bersama dua orang temannya, laki-laki tinggi besar ini menyergap Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti melejit ke atas menghindari terkaman tiga pengeroyoknya. Dan tiba-tiba tubuhnya meluruk sambil mengibaskan tangan. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Pak! Begkh! Des!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Diiringi jeritan berturut-turut, tiga laki-laki yang mengeroyok Rangga terjungkal. Sedangkan Rangga begitu mendarat langsung tegak berdiri tanpa kurang satu apa pun.
Melihat hal ini sadarlah laki-laki tinggi besar itu. Ternyata orang yang dikeroyok tak bisa dianggap sembarangan.
"Siapa kau sebenarnya?!" desis laki-laki tinggi besar ini sambil bangkit berdiri. Mulutnya meringis, menahan sakit
"Aku bukan siapa-siapa" sahut Rangga, kalem.
"Kau pasti punya nama atau julukan?"
"Apakah itu berarti bagimu? Apakah namaku bisa membuatmu pergi dari sini?"
"Tergantung.... Apakah namamu cukup membuat kami takut dan kapok Tapi kalau kau sebangsa tikus got, buat apa takut?"
"Percuma.... Melihat keadaan kalian, agaknya tidak seorang pun di antara kalian yang kenal tokoh-tokoh persilatan" pancing Rangga.
"Jangan menghina kami! Seantero tempat ini kenal kami, yang berjuluk Tujuh Macan Kali Ginting!" dengus laki-laki tinggi besar itu.
"Hm, kaliankah orangnya? Kudengar Tujuh Macan Kali Ginting adalah tokoh gagah. Tapi kenapa berbuat pengecut terhadap rakyat tak berdaya?" sindir Pendekar Rajawali Sakti,
"Kau tahu, bahwa kami hanya mencari pemuda sinting itu. Tapi mereka berusaha menyembunyikannya. Dan kau, Kisanak! Apa pula kerjamu di sini? Kulihat kau bukan orang biasa, Kau juga pasti bukan penduduk desa ini!"
"Betul! Aku memang bukan penduduk desa ini. Dan kehadiranku di sini karena diperlukan mereka. Aku coba berbuat semampuku untuk menahan amukan Rangkamaya yang berbuat kejam terhadap mereka," jelas Rangga sejujurnya.
"Kurasa kau pun pasti punya maksud-maksud tertentu!" kata laki-laki tinggi besar, terdengar sinis. Matanya memandang penuh curiga.
"Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Rangga, dengan kening berkerut.
"Semua orang mulai tahu bahwa pemuda sinting itu memiliki uang emas dalam jumlah banyak!" tandas laki-laki tinggi besar ini.
Rangga terdiam sejenak Dipandangnya mereka satu persatu. Lalu dia tertawa.
"Kenapa kau tertawa?!" Kali ini Puger yang membentak kesal.
"Bagaimana aku tidak tertawa? Jadi karena itulah kalian mencarinya? Mengincar uang emas milik Rangkamaya? Kenapa tidak kalian kejar saja dia ke hutan? Mungkin nasib kalian mujur dan bisa bertemu dengannya. Lalu, merampas uang emasnya!" urai Rangga.
"Apa maksudmu?"
"Carilah di hutan sana! Rangkamaya ada di sana!" Sambil berkata begitu Rangga menunjuk hutan yang ada di sebelah selatan desa itu. Sebab, memang ke arah itu Rangkamaya menghilang.
"Baik! Kami akan ke sana mencarinya. Tapi kalau kau berdusta, maka kami akan buat perhitungan denganmu!" dengus Puger.
"Aku akan menunggu kalian di sini, Kisanak. Percayalah!"
Sebentar mereka memandang sinis pada Rangga, lalu melangkah pergi dari tempat ini dengan tergopoh-gopoh.
********************
Sebenarnya Rangga sudah merasa letih dan penat. Rasanya dalam keadaan seperti ini, enak sekali bisa merebahkan diri ke ranjang dan tidur pulas. Tapi tamu-tamunya, yang juga penduduk desa ini, seperti tidak ingin beranjak dari tempatnya. Mereka berkumpul di ruang tengah rumah Ki Tambuk yang cukup luas sambil bercerita apa saja. Tapi lebih banyak mereka meminta Rangga bercerita pengalamannya,
"Kurasa kau bukan orang sembarangan Rangga. Melihat gerak-gerikmu, pastilah kau orang bangsawan!" cetus seorang penduduk yang duduk di sebelah laki-laki berikat kepala hitam yang dikenal penduduk desa ini sebagai Ki Selo.
"Ya! Aku pun sependapat dengan Ki Lajeng!" seru Ki Selo menimpali
"Ki Lajeng pintar menebak orang dan selalu benar, Kali ini pun beliau pasti benar!" seru Ki Surapati.
"Itu hanya dugaan dan belum tentu benar. Aku hanya rakyat biasa seperti juga Kisanak semua," sahut Rangga merendah.
"Paling tidak keturunan bangsawan. Atau, cucu bangsawan!" kejar penduduk yang pertama kali membuka suara, dan bernama Ki Lajeng.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum, "Ki Lajeng pandai menyudutkan orang. Tapi aku tidak merasa tersudut. Sebab sebenarnya aku memang kalangan rakyat biasa. Sama seperti Kisanak juga," jawab Rangga tetap merendah.
"Sudahlah.... Sekarang aku betul-betul menyerah!" Ki Lajeng tersipu-sipu.
"Biasanya Ki Lajeng tidak mudah menyerah dan tidak kekurangan akal!" celetuk seseorang.
"Ramalanku sekarang mandul barangkali..." sahut Ki Lajeng lesu.
"Jangan begitu, Ki Lajeng," Rangga yang menyahut. "Meramal boleh saja. Tapi merasa yakin dengan ramalan, berarti mendahului kekuasaan Yang Maha Kuasa."
"Iya..., Aku mengerti, Rangga. Memang kadang hal sepele itu yang kurang kuperhatikan."
"Syukurlah kalau memang Ki Lajeng mengerti."
"Kau sendiri berasal dari mana, Rangga?" tanya Ki Tambuk.
"Dari negeri yang cukup jauh juga, Ki. Sebuah negeri bernama Karang Setra,"
Orang-orang di dalam ruangan itu mengerutkan dahi, karena baru kali ini mendengar nama negeri itu disebutkan.
"Di mana letak Karang Setra itu?" tanya Ki Selo.
"Jauh di sebelah barat sana. Dari sini akan memakan waktu sepuluh hari perjalanan berkuda siang dan malam," jelas Rangga.
"Wah, betul-betul negeri yang jauh! Lalu dalam rangka apa kau mengembara?" tanya Ki Tambuk.
"Mencari pengalaman saja...."
"Seperti yang dilakukan kaum bangsawan atau putra-putra bangsawan yang berjiwa ksatria!" sahut Ki Lajeng.
Yang lain tersenyum. Ucapan Ki Lajeng mengisyaratkan bahwa dia masih belum menyerah begitu saja atas dugaannya, meskipun di mulut sudah mengaku menyerah. Dan mendadak, Pendekar Rajawali Sakti menelengkan kepalanya ke kiri. Tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam menangkap langkah-langkah kaki mendekati rumah ini. Bagi para penduduk mungkin tidak terdengar. Namun telinga Pendekar Rajawali Sakti telah terlatih. Sehingga meski langkah kaki itu masih jauh, sudah mampu didengarnya.
"Seseorang ke sini!" bisik Rangga, setelah yakin.
"Mungkin penduduk yang juga ingin bergabung'" sahut Ki Tambuk, yang sejak tadi memperhatikan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti segera bangkit dan mengintip dari jendela. Tindakannya diikuti Ki Tambuk. "Bukan. Langkahnya tidak teratur seperti terhuyung-huyung," tukas Rangga.
Kini dari kejauhan Rangga bisa melihat seseorang benar-benar ke tempat ini. Rangga buru-buru keluar, diikuti para penduduk. Udara dingin dan malam, menyambut tubuh mereka. Di antara rumah-rumah penduduk, kelihatannya hanya disini yang masih terang-benderang. Kalau ada seseorang datang ke desa ini, maka tak salah kalau rumah ini yang lebih dulu menarik perhatian.
"Siapa, Rangga?" tanya Ki Tambuk yang mengikuti cepat di belakang Rangga,
"Sepertinya salah seorang dari Tujuh Macan Kali Ginting,..!"
"Ketujuh orang tadi?"
Rangga mengangguk. Dan perkiraannya memang tidak meleset, sebab dari jarak sepuluh langkah orang yang berjalan terhuyung-huyung itu berusaha menggapai-gapai dengan sebelah tangan. Sementara tangan yang satu lagi mendekap perut.
"To... tolonglah aku...." Orang itu langsung ambruk. Dan Rangga menghampiri dengan waspada. Nyata terlihat sekujur tubuh orang itu penuh luka sayatan yang amat mengerikan. Seperti mengalami siksaan pedih sekali.
"Kau... Puger...," gumam Rangga setelah membalikkan tubuh sosok yang ternyata Puger.
Sementara para penduduk melihat Puger demikian mengerikan. Darah mengucur deras bercampur debu tanah. Banyak sayatan terlihat. Bahkan sebelah telinganya telah putus.
"Apa yang terjadi padamu, Kisanak?" tanya Rangga.
"Orang sinting itu,.. Dia... dia bersama gurunya telah..."
Suara Puger terhenti dan kepalanya terkulai lesu. Nyawanya melayang, sebelum sempat melanjutkan kata-katanya, Ada goresan luka lebar di dadanya yang terus mengucurkan darah. Tengah mereka terpaku, mendadak..
"Ha ha ha...! Itu akibatnya bagi mereka yang coba-coba menentang kami!" Tiba-tiba terdengar tawa lantang yang berkumandang ke tempat itu.
"Hei?!"
Para penduduk Desa Loyang kontan terkejut. Wajah mereka kelihatan pucat ketakutan mendengar tawa yang dikeluarkan lantang memekakkan telinga di tengah malam begini. Entah, dari mana datangnya. Tentu suara itu tidak dikeluarkan sembarang orang. Mereka menunggu dengan jantung berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya. Bahkan sama-sama menoleh ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga sendiri kelihatannya tenang-tenang saja. Dia tetap berdiri tegak memandang ke depan.
DELAPAN
"Kisanak! Tidak usah bersembunyi! Keluarlah!" teriak Rangga, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
"Hua ha ha...! Inilah aku! Inilah aku..,!"
Diiringi suara tawa keras menggelegar, berkelebat sesosok tubuh yang kemudian mendarat di depan Pendekar Rajawali Sakti pada jarak lima belas langkah. Kini jelas, siapa yang muncul. Seorang lelaki berusia lanjut dengan pakaian sederhana. Rambutnya panjang dan telah memutih serta awut-awutan. Demikian pula cambang serta jenggotnya. Sepintas lalu, kelihatan kalau lelaki tua itu seperti gelandangan yang tidak pernah mandi selama berbulan-bulan.
Rangga tidak terlalu mengerutkan dahi untuk menebak siapa laki-laki itu. Sebab tak lama kemudian berkelebat satu sosok tubuh, dan mendarat di samping laki-laki tua itu. Satu sosok pemuda aneh yang tak lain Rangkamaya alias si Cupu Manik.
"Jadi kaukah yang telah memukul murid kesayanganku?!" tuding orang tua itu sambil tertawa meremehkan.
"Jadi pemuda itu muridmu?" Rangga malah bertanya.
"Jawab pertanyaanku!" bentak orang tua itu lantang.
"Siapa yang bertanya padaku?" sahut Rangga seenaknya.
Belum apa-apa orang tua itu hendak menggertak Rangga dengan hardikan serta wajah garang. Jelas ini menunjukkan sikap tidak bersahabat Karena, lagaknya mirip seorang raja bengis yang tengah menakut-nakuti rakyat jelata.
"Kurang ajar! Berani kau bertingkah di dengan si Topo Manik! Kupecahkan batok kepalamu Bocah Pentil!" dengus orang tua bernama si Topo Manik, guru si Cupu Manik.
Bersamaan dengan itu si Topo Manik langsung melompat menyerang sambil mengibaskan tangannya,
"Uts!" Dengan mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' Pendekar Rajawali Sakti melompat ke samping, menghindari kepalan tangan Topo Manik yang bertenaga dalam cukup hebat. Dan baru saja Rangga menegakkan tubuhnya, sebelah kaki Topo Manik berbalik dan menyapu lehernya.
"Orang tua ini benar-benar ingin membunuhku. Uts!" Pendekar Rajawali Sakti cepat mencondongkan tubuhnya bagai orang mabuk, sehingga serangan itu kembali menemui tempat kosong.
"Terkutuk! Hebat juga kau, he?!" dengus Topo Manik. Seketika laki-laki tua itu memutar kakinya, menyapu kaki Rangga yang belum sempat tegak kembali.
"Hup!" Diluar dugaan, Rangga menghindarinya dengan melenting keatas. Beberapa kali tubuhnya berputaran, Lalu melayang turun. Namun baru saja kaki Rangga mendarat di tanah. Topo Manik telah berkelebat melepaskan pukulan bertubi-tubi.
Bet! Set!
Karena serangan itu begitu cepat, Rangga terpaksa menangkis dengan kibasan tangan,
Plakl Plak!
"Uh...!" Rangga mengeluh dalam hati, ketika merasakan kalau tenaga dalam laki-laki tua itu cukup hebat. Buktinya Topo Manik sudah melanjutkan dengan serangan berikutnya, Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke belakang untuk menghindarinya.
"Bocah brengsek! Apa kau bisanya hanya melompat-lompat seperti bajing?! Kata muridku kau hebat! Ayo, perlihatkan kepadaku kehebatanmu itu!" bentak Topo Manik geram.
"Orang tua, jangan terlalu memaksaku. Sebaiknya kita selesaikan persoalan ini dengan kepala dingin," tukas Rangga.
"Kepala dingin bapakmu! Kau hina muridku! Kau celakai dia! Masihkah kau mencoba menyuruhku untuk berkepala dingin?! Huh! Kalau sudah kupecahkan batok kepalamu, baru kepalaku bisa dingin!" bentak Topo Manik semakin kalap.
Rangga yang masih menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' sejauh ini mampu menghindari serangan-serangan. Bahkan cukup berhasil mengecohkan. Tapi belakangan hal itu ternyata tidak cukup. Sebab dalam keadaan mengamuk seperti sekarang, terasa betul kedahsyatan jurus-jurus yang dimainkan Topo Manik.
"Bocah brengsek! Kau akan merasakan jurus 'Si Gila Mengamuk'! Jurus ini ciptaanku sendiri, Kau lihat? Hebat, bukan?!" bentak Topo Manik.
Sebenarnya laki-laki tua bertampang gembel ini tengah marah. Tapi dalam keadaan begitu, justru masih sempat menyombongkan diri dengan memamerkan jurus-jurusnya segala. Jurus itu sendiri memang tidak bisa dibuat main-main, Serangannya hebat dan kuat. Juga, sulit diduga ke mana arah gerakannya. Untuk beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti dibuat bingung.
"Hm,... Orang tua ini benar-benar menginginkan nyawaku. Aku pun tidak bisa tinggal diam!" desis Rangga mulai geram.
Kesabaran Rangga agaknya seperti diinjak-injak orang tua yang tidak kalah aneh dengan muridnya itu. Maka seketika tubuhnya mencelat memainkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega',
"Hiyaaa...!"
Gerakan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat, membuat Topo Manik terkejut. Dengan sebisa-bisanya, dia berusaha memapak kibasan tangan Rangga.
"Hiiih!"
Deb!
Tapi tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti menarik pulang serangannya. Dan pada waktu yang amat singkat, jurusnya dirubah menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', Tangannya yang membentuk paruh rajawali bergerak cepat mengibas, Dan....
Des!
"Aaakh,..!"
Satu hantaman keras menggedor dada Topo Manik, hingga menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar beberapa langkah ke belakang sambil merasakan isi dadanya terasa remuk.
"Hup!" Meski begitu, laki-laki tua itu masih mampu melenting. Dia jumpalitan beberapa kali lalu berdiri tegak di atas kedua telapak kakinya. Wajahnya merah padam penuh amarah. Matanya melotot garang kepada Rangga.
"Guru, kau tidak apa-apa?!" Rangkamaya memburu gurunya dengan nada khawatir.
"Aku tidak apa-apa!" sahut Topo Manik
"Kalau dia terlalu hebat, biar kita bereskan berdua saja...," usul si Cupu Manik
"Sebenarnya aku mampu membereskannya seorang diri. Tapi kalau kau hendak bantu, tentu saja mana bisa kutolak. Selama ini toh semua keinginanmu tak pernah kutolak. Lagi pula biar lebih cepat selesai kerja kita," sahut Topo Manik, dengan kata-kata penuh bunga.
"Betul! Betul sekali, Guru!" sahut Rangkamaya sambil mengangguk-angguk "Kenapa mesti lama-lama? Ayo kita bereskan secepatnya durjana keparat ini, Guru!"
"Benar juga, Ayo kita bereskan sekarang!" sambut Topo Manik.
Saat itu juga Topo Manik mengeluarkan sepasang senjata andalannya mirip pedang, Namun bentuknya agak melengkung. Bagian ujungnya lebih besar dari pangkalnya dan bergerigi. Kedua senjata itu dipegang di masing-masing tangan. Sedangkan Rangkamaya tidak menggunakan senjata, kecuali kedua taji di kaki dan paruh di jidatnya.
"Yeaaa.!!"
"Hm.... Mereka memang sama-sama gila!" umpat Rangga.
Saat itu juga pertarungan sengit kembali terjadi. Kali ini Rangga terpaksa harus meningkatkan kekuatannya, menghadapi keroyokan. Gabungan murid dan guru itu memang tidak bisa dipandang enteng. Dan Rangga bisa merasakannya lewat serangan mereka yang gencar dan kompak. Bila sang guru menyerang dari depan, maka muridnya menunggu di belakang atau di samping. Begitu juga sebaliknya. Sehingga untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti dibuat kalang kabut.
"He he he,..! Kau benar juga, Muridku. Sebentar lagi bocah ini akan kita pilah-pilah jadi beberapa potong!" leceh Topo Manik.
"Aku ingin kepala dan kedua cekernya, Guru!" teriak Rangkamaya.
"He he he..,! Dan aku badan serta kedua pahanya!" timpal Topo Manik seperti hendak membagi potongan ayam saja.
Dan Rangga betul-betul muak mendengar ocehan mereka. Meski dia terus menghindar bukan berarti tidak mampu mengatasi, saat ini dia bertangan kosong. Jadi tidak mungkin menahan senjata tanpa senjata pula.
"Hei, Bocah! Percuma saja pedangmu kau bawa-bawa! Apa itu hiasan saja? Ayo cabut. Dan perlihatkan bahwa kau bisa menggunakannya. Atau barangkali kau tak becus mempergunakannya?"
"Kalian terlalu memaksaku, Baiklah." Saat itu juga Rangga menggerakkan tangannya ke punggung, Lalu....
Sring!
"Heh?!"
Begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut, cahaya biru langsung memancar dari batang pedang. Seketika, Topo Manik dan muridnya berseru kaget. Dalam suasana malam yang pekat begini pedang bercahaya biru itu benar-benar mengandung perbawa. Bahkan bulu roma mereka berdiri.
Wuuus..!
Pendekar Rajawali Sakti agaknya tidak mau lagi berlama-lama. Sudah jelas bahwa mereka menginginkan nyawanya lagi. Maka buat apa pula mengasihani. Maka pedangnya langsung berkelebat secepat kilat.
Murid dan guru itu pontang-panting menyelamatkan diri. Dalam keadaan begitu, Topo Manik coba menangkis dengan kedua bilah senjatanya. Tapi...,
Tras!
"Hei, celaka!" desis laki-laki tua itu kaget ketika melihat sepasang senjata kebanggaannya putus ditebas pedang. Pada saat yang sama pedang Rangga terus berkelebat, mengancam.
"Uts..,!" Nyaris saja Topo Manik terluka kalau saja tidak cepat melempar tubuhnya ke samping, bergulingan. Sementara Rangkamaya, jadi ciut nyalinya melihat gurunya terdesak demikian rupa.
"Aku akan memaafkan kalian kalau menyerah dan bersedia dihukum sesuai perbuatan! Terutama kau Rangkamaya! Kau telah membuat kesusahan dimana-mana dan membunuh banyak orang!" teriak Pendekar Rajawali Sakti lantang.
"Aku tidak bersalah! Mereka yang bersalah. Dan seharusnya mereka yang meminta maaf padaku, karena selama ini telah membunuh serta menyiksa saudara-saudaraku!" bantah Rangkamaya garang.
"Ya, muridku tidak bersalah! Mereka yang bersalah. Termasuk juga kau!" timpal Topo Manik, setelah melenting bangkit.
"Ingatlah! Kau manusia, Rangkamaya! Sama dengan mereka. Otakmu benar-benar sinting menganggap ayam-ayam itu sebagai saudara-saudaramu!" tegas Rangga, menyadari kekeliruan pemuda aneh itu.
"Kurang ajar! Kau menyebut muridku sinting?! Kubunuh kau! Kubunuh kau,..!" teriak Topo Manik kalap. "Hiaaa...!"
Sementara Rangkamaya tidak kalah kalapnya. Bersama-sama, mereka menyerang menggunakan pukulan-pukulan jarak jauh. Sebab untuk melawan dari dekat, rasanya sulit untuk bisa menerobos permainan pedang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm.... Jangan memaksaku untuk membunuh kalian!" dengus Rangga geram, sambil berkelit-kelit menghindari pukulan jarak jauh kedua orang lawannya.
"Keparat! Kau merendahkan aku, Bocah?! Kau kira aku lalat yang bisa kau bunuh seenaknya?!" hardik orang tua itu geram, seraya menghentakkan tangan kirinya.
Wesss...!
Seketika meluruk sinar kuning ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan indah, Rangga melenting ke belakang sambil jungkir balik. Kesempatan itu digunakan Topo Manik untuk menerkam punggung.
"Hiiih!"
Tapi tanpa diduga Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya ke belakang tanpa menoleh lagi. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Brues!
"Aaa...!" Topo Manik memekik setinggi langit begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menembus dadanya. Tubuhnya terjungkal jatuh, begitu Rangga mencabut pedangnya. Sebentar dia menggelepar sebelum tewas dalam keadaan menghitam.
Melihat gurunya tewas, Rangkamaya semakin kalap. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan membabi-buta.
"Kau bunuh guruku! Kau bunuh guruku...! Aku akan membunuhmu! Akan kubunuh kau..,!"
"Rangkamaya, sadarilah! Kau masih punya kesempatan untuk memperbaiki dirimu!" teriak Rangga yang sudah menyarungkan pedangnya. Seketika Rangga mencelat ke atas menghindari terkaman.
"Yeaaa...!" Namun Rangkamaya tak peduli lagi. Tubuhnya terus menyerang Rangga dengan kibasan tangan maupun sambaran taji pada kaki.
"Kreaaakh...!" Rangkamaya berteriak menggelegar. Pada satu kesempatan, kuku-kukunya yang tajam berseliweran, mengincar leher dan perut Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan enak sekali, Rangga memapaknya.
Plak! Plak!
Tubuh Rangkamaya terdorong ke belakang akibat benturan keras berisi tenaga dalam tinggi. Tapi pemuda aneh itu seperti tidak mempedulikan rasa sakit yang diderita. Dan kembali dia melompat dengan mengirimkan tendangan geledek.
Pendekar Rajawali Sakti berkelit ke samping, lalu berputar cepat. Kemudian sebelah kakinya menghantam ke perut.
Des!
"Aaakh...!" Rangkamaya menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Namun begitu, dia kembali bernafsu menyerang. Tubuhnya melompat menerkam dengan kedua taji di kaki mengarah leher.
Siuuut!
Namun Rangga cepat tanggap. Cepat dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' pada tingkat yang paling terakhir. Dan begitu serangan Rangkamaya luput, Pendekar Rajawali Sakti sudah merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat gerakannya, membuat Rangkamaya yang baru saja berbalik jadi tercekat. Dan tiba-tiba saja kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang membentuk paruh rajawali telah bergerak mengibas berisi tenaga dalam penuh. Sehingga....
Prakk.. !
"Aaa...!" Rangkamaya memekik kesakitan dengan suara parau. Tubuhnya betul-betul terjungkal ke belakang dengan kepala pecah. Darahnya langsung berhamburan bercampur cairan putih. Begitu ambruk di tanah, dia tak bangun lagi.
"Maafkan aku. Kau tidak memberi pilihan lain padaku..." ucap Rangga, lirih begitu mendarat di tanah lagi.
Untuk beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti terpaku di tempatnya memandangi mayat Rangkamaya. Beberapa penduduk desa mendekat dengan obor di tangan. Sementara yang lainnya dan sejak tadi telah terjaga dari tidurnya karena keributan itu, buru-buru keluar. Sepertinya mereka hendak meyakinkan bahwa biang perusuh selama ini sudah tewas, sehingga mereka bisa bernapas lega.
"Kasihan. Dia masih muda. Seharusnya perjalanan hidupnya masih panjang..." lanjut Rangga bergumam sendiri ketika melihat beberapa penduduk berdiri di dekatnya.
"Memang mestinya begitu. Tapi ibarat penyakit dia adalah bibit yang berbahaya, Rangga. Kecil saja sudah membunuh banyak orang. Tidak terbayangkan bila dia merajalela. Entah berapa nyawa yang melayang di tangannya," timpal Ki Tambuk
"Benar, Rangga!" sambung Ki Selo. "Tidak perlu disesali kematiannya. Rangkamaya memang tidak waras dan sulit untuk mengobatinya. Kalau, pun dia hidup, maka hanya akan menimbulkan malapetaka saja. Dia tidak akan pernah berhenti dari cita-citanya itu sejak dulu"
"Ya, Kalian benar,"
"Jadi, tidak usah bersedih. Apalagi sampai merasa bersalah. Kalaupun kau merasa bersalah telah membunuhnya, maka ingatlah berapa orang yang telah dibunuh Rangkamaya? Juga berapa korban lagi yang akan jatuh kalau dia masih tetap berkeliaran?" tandas Ki Selo.
Rangga mengangguk-angguk. "Sebaiknya mayat mereka dibereskan sekarang saja, Ki. Menjelang subuh nanti kita kebumikan bersama-sama. Bagaimanapun, mereka adalah manusia juga seperti kita. Maka sudah selayaknya dikebumikan."
Ki Tambuk segera memerintahkan beberapa penduduk untuk mengurusi ketiga mayat itu. Mulanya mereka enggan mengingat kebencian mereka terhadap Rangkamaya. Namun kepala desa berusaha memberi pengertian kepada mereka. Dan syukur mereka bisa mengerti.
"Kurasa tugasku di sini telah selesai, Ki, Dan selanjutnya kau bisa menata desa ini kembali," lanjut Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebaiknya kau tinggal di sini dan menetap barang beberapa hari, Rangga," ujar Ki Tambuk
"Apakah kau akan pergi malam ini juga?" tanya Ki Surapati dengan hati nelangsa.
"Tinggallah di sini beberapa hari, Rangga, " bujuk Ki Selo.
Dan yang lainnya pun berusaha menahannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti jadi tidak enak hati.
"Baiklah.... Aku akan tinggal semalam di sini..."
"Kenapa mesti semalam..,?" tanya Ki Tambuk
"Kisanak.. Yang terpenting, urusan di sini telah selesai. Aku tidak bisa berada terlalu lama di satu tempat, setelah urusanku selesai. Masih banyak persoalan lain yang menantiku. Selama tenagaku masih dibutuhkan. Maka selama itu pula aku akan terus mengembara," papar Rangga.
Mendengar itu, para penduduk Desa Loyang mengangguk-angguk. Disadari bahwa tugas yang diemban pemuda itu benar-benar mulia. Meski mereka ingin menahannya lebih lama. Namun apa yang dikatakannya benar. Masih banyak lagi orang-orang yang membutuhkan tenaga dan bantuannya.
S E L E S A I
EPISODE BERIKUTNYA: MANUSIA LUMPUR