BETINA PENGHISAP DARAH
SATU
DUA orang penunggang kuda itu menuruni lembah Batusilang dengan cepat. Di sebelah depan adalah seorang lelaki berdestar hitam, berpakaian sederhana dan berusia sekitar 40 tahun. Di belakangnya mengikuti lelaki muda berpakaian bagus yang di kepalanya ada topi tinggi berwarna merah dengan pinggiran kuning, emas, pertanda dia adalah seorang berpangkat. Dua kuda tunggangan melewati sebuah telaga kecil dan akhirnya sampai di hadapan sebuah rumah berdinding kayu beratap rumbia.
"Ini tempatnya," kata lelaki berdestar hitam seraya hentikan kudanya. Lalu dia melompat turun sementara yang satu lagi memandang berkeliling dan tetap di atas punggung kudanya. Orang berdestar melangkah menuju pintu rumah dan mendorong daun pintu yang ternyata tidak dikunci. Terdengar suara berkereketan. Orang itu masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi. "Rumah ini kosong. Dia masih belum datang rupanya."
Orang berpakaian bagus di atas kuda mengangguk. Dia memandang lagi berkeliling. "Kalau memang belum datang aku bisa menunggu, Turangga. Sekalian kita bisa istirahat. Yang aku kawatirkan dia benar-benar tidak datang. Kau tertipu, aku tertipu!"
"Saya yakin dia pasti datang Tumenggung Purboyo. Silahkan Tumenggung turun dan masuk ke dalam. Menunggu sambil istirahat."
Orang yang dipanggil dengan sebutan Tumenggung itu turun dari kudanya. Dia melangkah ke pintu hendak masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya tertahan karena saat itu di bibir lembah terdengar suara ringkik kuda. Tumnggung Purboyo dan Turangga berpaling, memandang ke arah Timur lembah Batusilang. Di kejauhan kelihatan seekor kuda putih berlari menuruni lembah. Penunggarignya seorang berpakaian ungu.
"Ia datang Tumenggung." kata Turangga gembira.
"Hemm..." bergumam Tumenggung Purboyo. Wajahnya juga tampak berseri. "Dia menepati janji. Tidak sia-sia kita meninggalkan Kotaraja jauh-jauh sampai di sini."
"Tadipun saya sudah bilang. Dia pasti datang."
"Sekali lagi aku ingatkan padamu Turangga. Jaga rahasia ini baik-baik. Tidak satu orangpun boleh tahu. Kedua orang tuaku. Orang-orang Istana, apalagi tunangan dan calon mertuaku! Kalau kejadian ini sampai bocor, aku cuma ingin membunuh satu orang. Kau!"
Turangga menyeringai. "Saya sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun pada keluarga Tumenggung. Masakan saya hendak membocorkan rahasia? Dulu pun saya pernah muda Tumenggung."
Penunggang kuda yang datang dari arah Timur lembah itu semakin dekat. Tumenggung Purboyo mengangkat kepalanya sedikit.
"Hemm... Orangnya masih jauh. Tapi bau wewangiannya sudah tercium sampai ke sini."
Turangga ikut-ikutan menengadahkan kepala dan menghirup dalam-dalam. Memang benar. Dia juga dapat mencium wanginya tubuh orang yang datang itu. Kuda putih akhirnya sampai di depan rumah dan berhenti di hadapan kedua lelaki itu. Tumenggung Purboyo terkesiap untuk beberapa saat lamanya.
"Turangga tidak berdusta. Gadis ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku melihat dara secantik ini. Ah, kalau saja aku belum bertunangan pasti aku tak akan ragu mengambilnya sebagai istri!" begitu Tumenggung ini membatin.
Di sana, di atas kuda putih duduk seorang dara berwajah cantik sekali. Tubuhnya yang putih mulus terbungkus oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya yang panjang berhias sebuah pita juga berwarna ungu. Lalu pada lehernya melingkar sehelai selendang lagi-lagi berwarna ungu.
Sepasang mata sang Tumenggung tak berkesip memperhatikan dara itu mulai dari kepala sampai ke kaki. Sadar kalau dia membuat orang menunggu lama, Tumenggung Purboyo membuka topinya dan memberi penghormatan dengan menganggukkan kepala.
"Maafkan, saya sampai lupa mempersilahkan turun dan masuk ke dalam rumah."
Dara di atas kuda tersenyum. Senyumannya seperti panah asmara yang datang menyambar membuat Tumenggung Purboyo tambah blingsatan sementara Turangga tertegak sambil membasahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Lalu Turangga cepat-cepat membuka pintu sementara dara berbaju ungu turun dari kudanya dibantu oleh Tumenggung Purboyo.
"Perjalanan yang begini jauh pasti tidak menyenangkan. Ditambah dengan keadaan di sini. Rumah kayu buruk ini tidak pantas untuk seorang cantik jelita seperti... Ah, maafkan saya. Saya belum tahu namanya."
Dara itu kembali tersenyum. "Saya datang tidak bernama. Dan akan pergi tidak bernama..."
Dalam herannya Tumenggung Purboyo cepat-cepat berkata. "Kalau begitu biar saya panggil Dewi saja? Boleh...?"
"Kalau itu memang cukup pantas mengapa tidak boleh?" Suara sang dara seindah bulu perindu, menyejukkan hati Tumenggung Purboyo tapi sekaligus juga membakar panas darah di tubuhnya. Dia mengikuti gadis itu melangkah menuju ke pintu. Di ambang pintu si gadis berhenti dan memandang ke dalam.
Rumah papan itu berlantai kayu hitam dan sangat bersih. Di sebelah kiri ada sebuah meja diapit dua buah kursi. Di atas meja terdapat seperangkat tempat minum. Lalu di bagian tengah terletak sebuah ranjang dengan tilamnya yang indah dan bantal-bantal yang empuk. Semua ini telah disiapkan Turangga sehari sebelumnya.
"Maafkan kalau keadaan dan isi rumah ini tidak berkenan di hall Dewi," kata Tumenggung Purboyo. Hidungnya mencium dalam-dalam. Bau wangi tubuh dan pakaian si gadis membuatnya ingin menerkam gadis itu saat itu juga.
"Saya suka semua yang ada di sini..." kata si gadis seraya melangkah masuk ke dalam.
"Saya gembira mendengar hal itu," kata Tumenggung Purboyo dan mengikut masuk.
Gadis berbaju ungu sesaat masih memandang sekeliling kamar lalu dia duduk di tepi ranjang. Jantung Tumenggung Purboyo seperti berhenti berdetak.
"Dewi tentu haus. Biar saya ambilkan minuman."
"Tidak usah. Saya tidak punya waktu banyak. Tapi saya berjanji akan memberikan kepuasan pada Tumenggung. Siapa tahu lain kali Tumenggung mau lagi bertemu dengan saya..."
"Melihat keadaan Dewi, terus terang tiap haripun saya ingin bertemu. Hanya saja keadaan memaksa saya harus mengatur waktu sebaik-baiknya.
"Saya mengerti," kata Dewi. "Apakah Tumenggung tidak akan menutupkan pintu?"
"Ah, saya lupa." Tumenggung Purboyo cepat-cepat menutup pintu.
"Apakah pembantu Tumenggung di luar sana bisa dipercaya?"
"Dewi tak usah takut. Turangga bersedia mati jika saya suruh. Dia sangat setia..."
"Sekarang hanya kita berdua di kamar ini. Tidakkah Tumenggung hendak memeluk saya?" tanya gadis berpakaian serba ungu.
Senyumnya membuat sang Tumenggung seperti dibuai ayunan sorga. Segera saja dia melangkah ke hadapan si gadis. Kedua tangannya merangkul erat punggung gadis itu. Hidungnya menyelusur di lehernya yang putih jenjang dan harum.
"Saya tidak menyangka kalau orang yang bernama Tumenggung Purboyo ini masih begini muda dan gagah. Tadinya saya mengira pasti sudah tua renta tapi masih genit dan suka daun muda..." Si gadis terdengar tertawa perlahan. Lalu balas merangkul tubuh lelaki itu.
"Saya tidak cukup pantas untuk gadis secantik Dewi," kata Tumenggung Purboyo pula.
"Tolong bukakan pakaian saya," bisik si gadis.
Tumenggung Purboyo merasakan sekujur tubuhnya bergetar panas. Cepat-cepat kedua tangannya meluncur ke bagian depan tubuh sang dara. Tidak terlihat oleh Tumenggung Purboyo gadis itu tampak tersenyum aneh. Lalu kedua tangannya yang merangkul perlahan-lahan bergerak ke atas.
Bersamaan dengan itu terjadi perubahan aneh pada sepuluh jari tangannya yang halus bersih. Dari ujung-ujung jari mencuat keluar kuku-kuku panjang berwarna merah. Pada ujung-ujung kuku terdapat sebuah lobang kecil sebesar lobang jarum.
Sepuluh jari tangan itu terus bergerak ke atas, mencapai bahu dan kini bergeser ke arah leher Tumenggung Purboyo pada saat dia tengah sibuk membuka kancing-kancing pakaian ungu sang dara.
Mendadak ada suara tertawa aneh menggidikkan. Gerakan tangan Tumenggung Purboyo tiba-tiba terhenti. Bukan oleh suara tawa itu. Tapi oleh sepuluh kuku panjang berlubang yang mencengkeram dan menusuk dalam di batang lehernya. Darah muncrat!
Kedua mata sang Tumenggung mendelik. Dia merasa darah di sekujur tubuhnya seperti disedot. Satu jeritan keras menggeledek keluar dari mulut Tumenggmg ini. Lalu tubuhnya mendadak sontak lemas seperti tidak bertulang lagi. Ketika cengkeraman pada lehernya lepas, tubuhnya tak ampun lagi jatuh terbanting ke lantai kayu hitam!
Di luar rumah, begitu mendengar teriakan tumenggung Purboyo kagetnya Turangga bukan kepalang. Tanpa pikir panjang lagi dia segera melabrak dan menjebol pintu. Begitu pintu terpentang segera dia melompat masuk. Begitu masuk begitu kedua kakinya seperti dipantek ke lantai. Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Mata melotot dan muka seputih kertas.
Di lantai di hadapannya tergeletak sosok tubuh Tumenggung Purboyo. Pada lehernya yang berlumuran darah kelihatan lobang-lobang mengerikan. Kedua matanya terbeliak. Di dekat ranjang tegak gadis cantik berbaju ungu itu yang sekarang di mata Turangga seperti telah berobah menjadi setan yang mengerikan!
Gadis itu tegak dengan baju tersingkap hingga payudaranya kelihatan menyembul. Dia berdiri sambil menyeringai dan menjilati jari-jari tangannya kanan kiri yang bersimbah darah. Wajahnya yang cantik penuh noda darah terutama di bagian mulut. Ketika menyeringai gigi-giginya yang sebelumnya putih kini tampak merah oleh lapisan darah!
"Ya Tuhan, apa yang terjadi! Manusia atau ibliskah yang berdiri di depanku ini?" kata Turangga dalam hati.
"Kacung Tumenggung yang setia. Apa yang kau saksikan?"
Tentu saja Turangga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Ketika dilihatnya gadis berbaju ungu itu bergerak mendekatinya tanpa pikir panjang lagi Turangga segera putar tubuh dan menghambur ke luar kamar. Di belakangnya terdengar sang dara keluarkan suara tertawa melengking lalu melompat mengejar.
Turangga lari ke kudanya. Dia berlaku cerdik. Dia tidak lari mendaki ke arah tebing lembah yang terbuka melainkan menyusup ke bagian lembah yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar lebat yaitu di sebelah belakang rumah kayu.
"Lolos..." desis berbaju ungu. Walaupun bisa tapi dia tidak berusaha mengejar. Dia melangkah ke arah kuda putihnya. Dari mulutnya masih terdengar suara tertawa melengking tinggi mengerikan.
********************
DUA
Minum air jahe hangat dan manis malam-malam dingin begitu terasa nikmat sekali. Sementara menunggu datangnya minuman itu Wiro menyantap singkong rebus. Sambil mengunyah dia memandang berkeliling. Saat itu di kedai kecil di pinggiran desa itu hanya ada tiga orang tamu. Pertama dirinya sendiri lalu seorang lelaki separuh baya yang duduk sambil mengangkat kaki seenaknya, lalu seorang tamu lagi yang duduk menunduk, mengenakan pakaian seperti jubah. Di kepalanya ada semacam kerudung hingga wajahnya tidak kelihatan.
Pemilik kedai yang merangkap pelayan datang membawakan air jahe hangat dan meletakkan minuman itu di atas meja di depan Wiro. Tak sabar menunggu dinginnya minuman Wiro menuangkan air jahe itu di atas tadah. Ketika dia hendak memegang tadah murid Eyang Sinto Gendeng ini jadi kaget. Tadah itu bergerak dan bergeser ke kiri hingga tak terpegang.
"Ah, mungkin mataku yang sudah lamur!" kata Wiro menyalahi dirinya sendiri. Diulurkannya tangannya kembali untuk memegang tadah berisi jahe itu. Hampir tersentuh tiba-tiba kembali tadah itu bergerak. Kali ini berpindah ke kanan. Gerakan tadah ini berpindah cukup cepat namun air jahe di atasnya sama sekali tidak bergoyang apalagi tumpah! Wiro memandang berkeliling. Pandangannya kemudian tertuju pada pemilik kedai.
"Ada apa Den?" tanya pemilik kedai itu melihat tamunya seperti bingung.
"Tidak. Tidak ada apa-apa..." jawab Wiro. Dia memandang lagi berkeliling.
Diperhatikannya tamu yang duduk angkat kaki di sebelahnya. Orang ini asyik menghirup kopi dan mengunyah pisang goreng. Wiro berpaling ke kanan. Tamu berkerudung itu juga tampak asyik menyantap makanannya lalu menghirup kopinya kuat-kuat hingga mengeluarkan suara.
"Brengsek! Apa sebenarnya yang terjadi di tempat ini? Ada setan yang jahil mengganggu tamu?" Karena jengkel merasa dipermainkan Wiro keluarkan ucapan. "Setan konyol, aku makan dan minum membayar. Jadi jangan berani mempermainkan. Jika mau ikut minum silahkan-duduk unjukkan diri. Jangan mengganggu seperti ini!"
"Eh, Raden bicara apa dan sama siapa?" tanya pemilik kedai.
Wiro garuk-garuk kepala. "Tidak... Saya tidak bicara apa-apa..." jawab Wiro.
Pemilik kedai jadi heran. "Jangan-jangan tamu satu ini otaknya kurang beres. Sejak masuk tadi dia sudah cengar-cengir cengengesan. Sebentar-sebentar garuk-garuk kepala. Kini malah ngomong sendirian!"
Wiro duduk tak berkesip memandangi tadah berisi air jahe itu. Dia melirik pada minuman dalam gelas. "Coba kupegang gelasnya. Apa bisa bergerak juga," kata pemuda ini dalam hati. Lalu tangan kanannya diulurkan. Hanya sedikit saja lagi jari-jarinya akan menyentuh badan gelas, tiba-tiba gelas berisi air jahe hangat itu bergerak menjauh! Berubahlah paras Pendekar 212.
"Ada orang pandai mempermainkanku. Tapi siapa...?" Dua tamu yang ada di situ jelas tidak bergerak asyik dengan makanan dan minuman masing-masing. Si pemilik kedai juga tengah mengangkat gorengan pisang dari kuali besar. "Setan... Jangan-jangan benar-benar ada setan di kedai ini!" Wiro gigit bibirnya. Dia memandang lagi pada air jahe di atas tadah. "Coba kutipu," katanya dalam hati. Kedua tangannya pura-pura diturunkan ke bawah. Tapi baru sampai di pinggang dengan cepat diangkatnya kembali. Sekaligus bergerak ke arah tadah di atas meja. "Biar kupecahkan sekalian" kata Wiro dalam hati saking jengkelnya.
Namun tiba-tiba sekali tadah itu melayang ke atas mengarah muka Wiro. Air jahe hangat di atasnya menyiprat membasahi seluruh wajah sang pendekar. Mata disiram air jahe hangat tentu saja sakitnya bukan kepalang! Wiro sampai terpekik dan terlompat dari duduknya. Dua tamu di samping kirinya sampai ternganga karena kaget sedang tamu satunya lagi hanya menoleh sedikit lalu meneruskan meneguk kopinya.
"Ada apa Raden?" tanya pemilik kedai. Ketika dilihatnya muka Wiro basah dan pemuda ini menggosok-gosok kedua matanya tiada henti. Sedang di lantai tadah gelas pecah berantakan. "Ah, itulah Raden. Minuman masih panas sudah mau diminum. Mbok ya sabar ditunggu sampai dingin..."
"Mbok sabar... Mbok sabar!" gerutu Wiro dalam hati. "Mukaku serasa tebal, mataku pedas enak saja bicara mbok... mbok."
Pemilik kedai itu tidak memperhatikan Wiro karena salah satu tamunya telah berdiri dan membayar. Selesai melayani tamunya pemilik kedai bertanya. "Mau tadah baru lagi Den"
"Tidak usah!" jawab Wiro. "Biar panas-panas aku sanggup menenggak air jahe ini!" Lalu saking jengkelnya Wiro teguk air jahe dalam gelas yang masih panas. Mulutnya sampai ternganga kepedasan dan lidahnya terjulur-julur. Dari dalam sakunya dikeluarkannya uang pembayar makanan dan minuman lalu diulurkannya. Tapi orang kedai tidak mau menerimanya. Wiro jadi tambah mengkal.
"Tidak mau dibayar?" bentaknya sambil mengusap mata kirinya yang masih terasa perih.
"Anu Den..."
"Anu... anu! Anumu nanti aku guyur sama air jahe panas baru tahu! Ayo ambil uangnya!"
"Anu Den. Tidak perlu. Sudah dibayar."
"Sudah dibayar? Siapa yang membayar? Jangan main-main!" kata Wiro dengan keras.
"Itu, tamu berjubah tadi..." menjawab pemilik kedai.
Wiro berpaling ke kanan. Tamu yang duduk di situ sudah tidak ada lagi. "Berjubah dan pakai kerudung itu?"
"Betul Den."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Wajahnya tak sempat kulihat. Kenalpun rasanya aku tidak. Mengapa dia membayarkan makanan dan minumanku? Aneh!"
"Tamu tadi, kau kenal padanya? Sering mampir ke kedai ini?" tanya Wiro.
Orang kedai menggeleng. "Baru sekali ini saya melihatnya Den."
"Situ tadi sempat lihat wajahnya?" tanya Wiro pula.
"Hanya sekilas. Wajahnya seram amat..."
"Seram bagaimana?"
"Mukanya seperti tengkorak dan sangat hitam. Kedua matanya sangat cekung..."
"Jangan-jangan dia memang setan!" kata Wiro.
"Apa kata Raden, Setan? Puluhan tahun berjualan di sini belum pernah ada setan di sekitar sini Den. Tapi... Raden mungkin betul. Orang tadi mungkin setan... atau hantu..."
"Coba perlihatkan uang bayarannya tadi," kata Wiro.
Orang kedai keruk saku pakaiannya. Ketika tangannya diulurkan dan genggamannya dibuka, pucatlah wajahnya melihat apa yang ada ditangannya. Bukan sekeping uang logam. Tapi sebuah batu kecil!
Tubuh pemilik kedai itu kini tampak gemetaran. Jelas dia sangat ketakutan. Dengan suara terputus-putus dia berkata. "Maafkan, saya tidak menerima tamu lagi. Saya harus menutup kedai ini cepatcepat sebelum setan tadi kembali lagi!"
Wiro geleng-geleng kepala. "Kalau begitu ambil saja uang ini. Sekalian bayaran makanan dan minuman orang berjubaah tadi. Sialan! Malah kini aku yang membayarkan! Dasar setan!"
Wiro meletakkan uangnya di atas meja lalu cepat-cepat setengah berlari dia berkelebat ke jurusan perginya orang berjubah tadi. Tak lama berlari Wiro berhasil mengejar orang berjubah itu. Tapi aneh, tinggal dalam jarak sekitar lima tombak, bagaimanapun dia mempercepat larinya mengejar tetap saja dia tidak dapat mendekati orang itu. Wiro kerahkan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh serta ilmu larinya. Dia hanya mampu maju mendekat sekitar empat tombak setelah itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
"Saudara berjubah! Hai! Tunggu dulu! Berhenti!" Wiro berteriak memanggil. Matanya memperhatikan kedua kaki orang di depannya. Ternyata kedua kaki itu menjejak tanah. Bergerak seperti melangkah tapi memiliki kecepatan seperti orang berlari! "Ah dia manusia biasa juga. Bukan setan!" kata Wiro melihat kenyataan itu.
Orang yang dipanggil acuh saja. Jangankan berhenti, berpalingpun tidak.
"Sialan!" maki Wiro dalam hati. Dia mempercepat larinya. Tetap saja dia tidak dapat memperpendek jarak. Dia mencari akal. "Biar kubuat marah dia!" Lalu kembali Wiro berteriak. "Manusia jahat penipu! Membayar dengan batu! Mengapa pergunakan ilmu untuk menipu orang kecil!"
Orang di depan Wiro keluarkan suara tawa mengekeh. Lalu tubuhnya lenyap. Wiro hentikan lari. Memandang berkeliling. Hatinya mulai was-was. "Kalau benar tadi itu bukan manusia tapi setan, mati aku dicekiknya di tempat sunyi ini!" Lalu Wiro bersiap membentengi diri dengan pukulan sakti.
Baru saja kumandang suara tawa itu lenyap dalam kegelapan malam, tiba-tiba satu benda melayang turun dari atas cabang sebuah pohon. Wiro menyingkir namun benda yang jatuh itu cepat sekali mendekap leher dan dagunya. Dia merasa seperti ada satu sosok tubuh yang menduduki bahunya. Wiro membungkuk, berusaha membantingkan sosok tubuh yang menduduki bahu dan memagut lehernya itu. Namun tubuh itu laksana lengket jadi satu dengan tubuhnya.
"Keparat sialan!" maki Pendekar 212. Dia kerahkan tenaga dalam lalu menggebuk ke belakang. Dia sengaja lepaskan pukulan sakti dalam jurus yang bernama Dibalik Gunung Memukul Halilintar.
TIGA
Pukulan-pukulan yang bisa menghancurkan tembok batu itu mengeluarkan suara menderu. Namun bukan saja pukulan itu tidak mengenai sasaran orang yang mendekam dibahunya, malah lengan kanannya kena ditangkap. Belum sempat Wiro, membuat gerakan susulan untuk melepaskan cekalan orang sambil menghantam dengan tangan kiri, mendadak lengannya ditarik keras ke depan.
Tubuhnya ikut terseret. Kalau dia tidak ikuti daya tarik seretan itu dan jatuhkan diri di tanah lalu bergulingan, niscaya Wiro akan terbanting dada atau muka lebih dulu mencium tanah. Dengan cepat Wiro bangkit berdiri. Begitu berdiri satu sosok tubuh tahu-tahu sudah tegak di depannya. Serta merta dia hendak menghantam. Orang didepannya keluarkan suara tertawa mengekeh. Seperti mengenali suara tawa itu, Wiro tarik pulang tangannya yang barusan hendak memukul. Kakinya menyurut satu langkah.
"Siapa kau!" bentak Pendekar 212.
"Anak goblok! Kalau musuh beneran yang membokongmu, pasti kau sudah mampus dari tadi!" Orang di depannya menanggalkan jubah di tubuhnya. Di balik jubah itu kini kelihatan satu tubuh kurus tinggi mengenakan kebaya dalam dan panjang dekil. Wiro keluarkan seruan tertahan. Tapi dia belum pasti. Tempat itu gelap sekali. Ketika orang di hadapannya melemparkan kerudung yang menutupi wajahnya baru sang pendekar benarbenar mengenali dan berteriak.
"Eyang Sinto Gendeng!"
Ternyata orang itu adalah guru Pendekar 212 sendiri. Nenek sakti dari Gunung Gede bernama Sinto Gendeng. Wiro cepat hendak jatuhkan diri memberi penghormatan. Si nenek tertawa dan tarik pemuda itu hingga dia kembali berdiri.
"Guru, maafkan murid. Saya tidak tahu kalau..."
"Anak setan! Dirimu sudah kumaafkan!"
"Jadi Eyang rupanya yang tadi mempermainkan tadah minuman di kedai itu!"
Si nenek menyeringai.
"Nek, kau muncul secara mendadak lengkap dengan segala keanehanmu. Tentu ada sesuatu..."
"Nah otakmu ternyata masih jalan. Dengar, memang ada satu hal penting yang ingin kubicarakan denganmu. Kau sudah dengar kegegeran yang terjadi dalam rimba persilatan sejak tiga bulan terakhir ini?"
"Banyak yang terjadi Eyang. Kegegeran yang mana maksud Eyang?" tanya Wiro.
"Sompret! Kau masih bisa bertanya. Apa saja yang kau lakukan selama ini? Bertualang mencari anak perempuan orang?!" Sepasang mata Sinto Gendeng tampak berkilat-kilat.
Wiro garuk-garuk kapalanya. Kalau tidak benar-benar ada satu peristiwa besar pasti gurunya tidak semarah itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda ini hanya bisa tertegak dengan mulut terkancing.
"Kau masih ingat kakek konyol peminum tuak yang bergelar Dewa Tuak?"
"Tentu saya ingat kakek satu Itu Eyang. Ada apa dengan dirinya. Apakah dia sudah mendahului kita?" tanya Wiro.
"Anak setan! Enak saja kau menyebut orang sudah mati!" bentak Eyang Sinto Gendeng marah. "Orang tua itu bakal mengalami kesulitan dan malu besar. Gara-gara perbuatan murid tunggalnya. Gadis Anggini itu!"
Paras Wiro jadi berubah. "Kesulitan dan malu besar. Ah... Agaknya sesuatu sudah terjadi atas diri gadis itu. Eyang, maafkan saya ... Apakah, maksud Eyang apakah gadis itu tahu-tahu bunting?'
Hampir si nenek hendak menampar muka muridnya itu. "Kau benar-benar anak setan! Dari mana kau punya pikiran murid Dewa Tuak bunting! Kau yang membuatnya bunting? Edan!"
"Lalu, lalu apa yang sebenarnya telah terjadi Eyang?"
"Anggini telah menjadi iblis doyan darah! Dia membunuh dimana-mana lalu menghisap darah korbannya!"
"Ya Tuhan!" mengucap Wiro. "Saya memang mendengar tentang munculnya seorang gadis yang dijuluki Betina Penghisap Darah. Saya tengah menyelidiki manusia satu itu. Murid tidak tahu kalau Betina penghisap Darah adalah Anggini, murid Dewa Tuak! Bagaimana saya bisa mempercayai hal ini?!"
"Kau tak perlu mempercayainya. Bukti-bukti sudah lebih dari cukup. Banyak orang yang mengenali dirinya. Sekarang yang kau lakukan adalah mencarinya lalu menyeretnya ke hadapan Dewa Tuak untuk menerima hukuman. Kalau sampai orang-orang rimba persilatan yang turun tangan kau tahu sendiri akibatnya. Mereka akan membunuh gadis itu sampai lumat daging dan tulang-tulangnya.
Sesaat Wiro terdiam. "Saya tidak habis pikir. Gadis yang begitu baik. Murid yang sangat cerdas dan periang. Bagaimana tahu-tahu berubah menjadi mahluk haus darah?
"Banyak hal yang bisa membuat manusia berubah. Aku akan menemui Dewa Tuak. Kau pergi mencari gadis itu..."
Wiro tegak termangu-mangu.
"Anak setan! Kau dengar ucapanku tidak?"
"Saya dengar Eyang. Saya akan mencarinya sampai dapat." Jawab Wiro.
"Tapi ingat satu hal! Jangan kau main gila!"
"Main gila bagaimana maksud Eyang?" tanya Wiro pula.
"Aku tahu gadis itu punya hati terhadapmu dan cantik. Dan kau sendiri... He he he... Coba katakan bagaimana perasaanmu terhadapnya!"
Wiro jadi salah tingkah. "Saya sudah sangat lama tidak bertemu. Dia memang cantik. Saya sangat menghormat Dewa Tuak. Bagaimana mungkin..."
"Anak pandir! Selama laut masih biru dan gunung masih hijau tak ada yang tidak mungkin di dunia ini! Karena itu aku ingatkan padamu. Jika kau mengambil keputusan terhadap gadis itu jangan sampai hatimu mendua. Apalagi sampai kau sempat dirayunya. Sekali kau bisa dikuasainya berarti ajalmu sudah di mata. Kau dengar itu!"
"Saya dengar Eyang," jawab Wiro.
"Sudah! Aku pergi sekarang. Aku akan menemui tua bangka peminum tuak itu!"
"Eyang, saya ada usul..." Wiro berkata cepat ketika dilihatnya si nenek hendak berkelebat pergi.
"Kalau usulmu masuk akal coba katakan!"
"Bagaimana kalau saya yang pergi menemui Dewa Tuak dan Eyang yang mencari Anggini."
Kedua mata Sinto Gendeng membeliak seperti hendak melompat dari rongga matanya yang sangat cekung. Wajahnya yang angker seperti tengkorak itu kelihatan tambah menggidikkan.
"Usulmu usul kurang ajar!" kata si nenek. Tangannya bergerak hendak menampar muka muridnya itu.
Wiro tak berusaha menghindari tamparan itu. Dia tetap tegak tak bergerak, hanya air mukanya saja yang kelihatan tersenyum. "Maafkan saya Eyang. Bukan maksud saya mengajari..." katanya.
Si nenek tarik tangannya, tak jadi menampar. "Sudah, pergi sana! Makin lama kau petatang-peteteng di hadapanku, makin gatal tanganku hendak menamparmu!"
"Saya pergi Eyang..." kata Wiro sambil membungkuk.
Ketika dia hendak melangkah pergi terdengar si nenek memanggil.
"Ada apa Eyang...?"
"Kau punya duit?"
"Maksud Eyang?"
"Maksudku kau punya bekal uang...?"
"Engg... ada Eyang."
"Anak sombong! kalau kau tak punya uang bilang saja! Jangan sok!" Dari balik pakaian dekilnya si nenek keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain. Kantong itu dilemparkannya ke arah Wiro. Terdengar suara berdering. Mau tak mau Wiro segera menanggapi kantong itu.
Ketika kantong berada dalam genggamannya, sang guru sudah tak ada lagi di tempat itu! "Mulutnya konyol, tapi hatinya baik dan polos..." kata Wiro.
Sambil menimang-nimang kantong berisi uang itu pendekar 212 berpikir. Apa betul Anggini murid Dewa Tuak yang cantik dan yang dikenalnya sangat baik itu tiba-tiba telah berubah menjadi makhluk doyan darah hingga dijuluki Betina Penghisap Darah? Kalau bukan gurunya yang memberi tahu, sulit baginya mempercayai. Wiro menarik nafas panjang. Malam mulai dingin. Pendekar ini akhirnya tinggalkan tempat itu.
********************
EMPAT
Rimba belantara itu sunyi senyap, redup menggidikkan. Mencari seorang manusia di tempat seperti itu sama saja dengan mencari seekor semut di rerumputan. Setelah setengah harian berkeliaran dalam rimba akhirnya wajah seram Eyang Sinto Gendeng yang tegang menggidikkan kelihatan menyeringai. Dia mendongakkan kepala beberapa lama, mencium dalam-dalam lalu tertawa mengekeh.
"Dewa Tuak! Aku sudah dapat mencium harumnya bau tuakmu. Buat apa masih bersembunyi? Hik hik hik!"
Belum habis si nenek tertawa tiba-tiba dari atas sebatang pohon besar melayang jatuh sebuah benda bulat panjang. Ternyata benda ini adalah sebuah tabung bambu sepanjang tiga kaki. Tabung bambu ini jatuh demikian rupa dengan bagian bawahnya melesat ke arah batok kepala si nenek. Jelas ini merupakan satu serangan yang mematikan!
Di dalam tabung bambu itu menebar bau sangat harum dari tuak yang memenuhi tabung sampai ujung teratas. Walau penuh tapi ketika melayang jatuh isinya tidak sedikitpun muncrat atau tumpah ke luar. Berarti orang yang melemparkan tabung bambu berisi tuak itu benar-benar memiliki kepandaian luar biasa!
"Walah! Belasan tahun tidak bertemu malah kini mau menghancurkan kepalaku! Sungguh keterlaluan!" berteriak Sinto Gendeng.
Dia miringkan kepala serta bahunya sedikit. Begitu tabung lewat disampingnya segera ditangkapnya. Kepala ditengadahkan sambil menempel ujung bambu sebelah atas ke bibirnya. Lalu cegluk... cegluk si nenek meneguk tuak dalam bambu berlelehan membasahi dagu dan pakalannya.
"Ah, tuak setan ini makin nikmat saja dari tahun ke tahun! Pasti diramu dengan daun ganja!"
Sinto Gendeng teguk lagi tuak dalam bambu sampai mukanya yang menyeramkan seperti tengkorak itu kelihatan menjadi merah. Tubuhnya terasa panas dan kedua lututnya mulai bergetar.
"Gila! Masakan aku bisa mabuk hanya minum beberapa teguk minuman setan ini?!" kata si nenek. Lalu dia memandang berkeliling. "Dewa Tuak! Kalau belum juga kau menampakkan diri kupecahkan tabung bambu keparat ini!" Sinto Gendeng berteriak mengancam.
Saat itu di atas pohon meledak suara tawa bergelak. "Tua bangka bodoh! Sudah tahu tidak tahan minuman keras mengapa kau meneguknya dengan rakus?!"
Suara itu juga datang dari atas pohon. Lalu terdengar suara dedaunan pohon berkeresek. Bersamaan dengan itu sesosok tubuh melayang turun sambil terus mengumbar suara tawa. Di lain kejab sosok tubuh itu sudah berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan Sinto Gendeng.
Dia ternyata seorang kakek-kakek berjanggut putih sepanjang dada. Pakaiannya kain biru yang di-selempangkan seperti pakaian seorang Biksu. Dipunggungnya tergantung sebuah tabung bambu berisi tuak yang bentuknya sama dengan tabung bambu yang saat itu dipegang Sinto Gendeng.
"Sinto, lama tidak bertemu ternyata kau tambah jelek saja!" si kakek yang bukan lain adalah tokoh sakti bergelar Dewa Tuak itu angkat bicara lalu tertawa mengekeh.
"Nasibmu tidak lebih baik, Dewa Tuak!" menyahuti Sinto Gendeng. "Tubuhmu semakin reot dan tampangmu tambah peot! Tua bangka sepertimu ini seharusnya sudah dijadikan umpan cacing di liang kubur! Hik hik hik..."
Kakek nenek tokoh dunia persilatan itu sama-sama tertawa. Si kakek hentikan tawanya lebih dulu. "Sebaiknya kau jangan terlalu banyak minum tuak kayangan itu. Aku tidak kawatir kalau kau sampai mabuk Sinto. Tapi yang aku takutkan nanti kau bisa ngompol terus-terusan tujuh hari tujuh malam!" Dewa Tuak ulurkan tangannya mengambil tabung bambu.
"Ala, minuman busuk begini saja, siapa yang mau minum terlalu banyak!" Sinto Gendeng lemparkan tabung bambu yang dipegangnya. Tabung itu melesat melintang ke arah si kakek, kedua kakinya agak tersurut sedikit. Tapi dadanya selamat dari hantaman tabung bambu miliknya sendiri. Kalau ada orang pandai ke tiga yang menyaksikan kejadian itu, maka dia akan segera memaklumi bahwa tenaga dalam dan kepandaian si nenek tidak berada di bawah Dewa Tuak, malah mungkin sedikit lebih tinggi.
Kalau sebelumnya Dewa Tuak melemparkan tabung bambu dari atas pohon dalam keadaan membujur ke bawah maka tadi si nenek melemparkan tabung bambu yang sama dalam keadaan melintang dan tuak di dalamnya sedikipun tidak tumpah!
Dewa Tuak tancapkan ujung tabung bambu sebelah bawah ke tanah, lalu dia melompat dan duduk di ujung tabung bambu sebelah atas. Begitu duduk terdengar bagian bawah perutnya berbunyi! Buuttttt! Si kakek kentut!
"Sekarang mari kita bicara. Ada keperluan apa kau mencariku Sinto?" bertanya Dewa Tuak.
"Tunggu!" Sepasang mata Sinto Gendeng melotot tak berkesip memandang Dewa Tuak. Kakek ini seperti hendak ditelannya. "Kau barusan kentut di mulut tabung berisi tuak itu. Sebelumnya aku sudah meneguk minuman celaka itu. Apakah sebelumnya kau juga sering kentut di mulut tabung?!"
Dewa Tuak tertawa bergelak. "Apa perlu kujawab?!" katanya menyahuti.
"Kurang ajar! Kakek setan! Kau memberi aku minum tuak yang sudah kau kentuti!"
Marah Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Dia menyumpah-nyumpah sambil meludah berulang kali. Lalu tubuhnya berkelebat seraya kirimkan satu hantaman ke arah Dewa Tuak. Angin hantaman itu dahsyatnya bukan main.
Dewa Tuak tahu betul kalau si nenek kini benar-benar marah. Dia cepat menyingkir sambil cepat-cepat mencabut tabung bambu menyambut serangan Sinto Gendeng. Si nenek ternyata hanya melakukan serangan tipuan. Karena begitu lawan berkelit, serangannya berubah dan kini menjarah ke arah perut Dewa Tuak.
"Bukkk! Byuuur...!"
Dewa Tuak terpental dan jatuh duduk di tanah, tersandar ke sebatang pohon. Sebaliknya Sinto Gendeng tegak terhuyung-huyung sambil mengusapi muka tengkoraknya yang basah kuyup oleh semburan tuak kayangan yang tadi disemburkan si kakek. Dewa Tuak tahu betul. Jika tadi si nenek benar-benar menyerangnya saat itu pasti perutnya sudah bobol dihantam pukulan dan nyawanya tak akan tertolong. Sebaliknya Sinto Gendeng juga menyadari. Kalau si kakek sungguhan membalas serangannya dengan semburan tuak, saat itu pasti mukanya sudah hancur dan nyawanya putus!
Dewa Tuak tarik nafas panjang lalu tertawa gelak-gelak. Sehabis tertawa dia teguk tuaknya dan memandang pada Sinto Gendeng. "Dua tua bangka edan bercanda dalam rimba belantara. Padahal mungkin ada satu perkara besar yang harus dihadapi!"
"Syukur kita sama-sama tahu diri!" kata Sinto Gendeng sambil terus mengeringkan mukanya yang basah kuyup. "Apa yang kau ucapkan tadi memang betul. Ada satu perkara besar yang sedang aku hadapi!"
"Ah!" Dewa Tuak menggeser duduknya hingga lebih enak bersandar ke batang pohon di belakangnya. "Katakan apa perkara besar itu sahabatku!"
"Sebelum aku menyampaikan aku ingin bertanya lebih dulu. Aku tidak melihat Anggini muridmu. Bagaimana keadaannya dan dimana dia saat ini?"
"Anak itu, dia kuharap baik-baik saja..."
"Kuharap katamu? Berarti dia tidak ada bersamamu?"
"Betul Sinto, dia pergi sekitar empat bulan lalu..."
"Kau tahu pergi ke mana?"
"Katanya ingin menyambangi beberapa sahabatnya. Siapa tahu mungkin juga dia tengah mencari muridmu yang sableng itu!"
"Tidak... Dia tidak mencari Wiro. Tapi tengah melakukan sesuatu yang telah menggegerkan rimba persilatan. Empat bulan lalu dia meninggalkanmu. Jika dihitung-hitung memang cocok waktunya dengan semua apa yang terjadi!"
"Eh, kau bicara apa ini Sinto? Apa yang telah dilakukan muridku Anggini?"
"Kau pernah mendengar manusia berjuluk Betina Penghisap Darah yang gentayangan sejak tiga bulan lalu di mana-mana? Melakukan pembunuhan lalu menghisap darah korbannya secara keji!"
"Aku memang sudah mendengar kemunculan manusia biadab itu. Lalu apa hubungan keparat itu dengan muridku Anggini?" bertanya Dewa Tuak.
"Betina Penghisap Darah ternyata adalah Anggini! Muridmu sendiri!"
Terbeliak mata Dewa Tuak. Kalau saat itu ada petir menyambar di depan hidungnya mungkin tidak akan seperti itu dia terkejut. "Kau tidak sedang sinting Sinto?"
"Sialan! Siapa yang sinting!"
"Kau juga tidak ngaco atau bicara dusta?!"
"Edan! Aku tidak mabok! Mana mungkin ngaco dan dusta!"
"Kau tidak memfitnah?!"
"Sompret kau Dewa Tuak!"
"Lalu bagaimana kau bisa mengatakan Betina Penghisap Darah itu adalah muridku?"
"Beberapa tokoh silat mengatakan begitu. Dua diantaranya melihat sendiri. Yang terakhir seorang pembantu Tumenggung di Kotaraja menceritakan ciri-ciri Betina Penghisap Darah itu. Semua cocok dengan ciri-ciri muridmu. Wajahnya, pakaiannya. Semuanya! Nah kau mau bilang apa lagi?!"
Dewa Tuak seperti dihenyakkan ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia duduk terdiam. "Kalau bukan kau sendiri yang datang membawa berita ini dan mengatakannya padaku, aku tak bakalan percaya," berucap Dewa Tuak. Suaranya perlahan dan bergetar. "Apa yang terjadi dengan anak itu...?"
"Aku kawatir dia telah terperangkap dalam satu ilmu sesat. Ilmu yang mewajibkannya harus membunuh dan menghisap darah manusia. Setahuku korban-korbannya hanya orang-orang tertentu. Para bangsawan, para pejabat, tokoh-tokoh silat. Umumnya semua mereka itu masih muda-muda. Lelaki atau perempuan..."
"Gusti Allah..." Dewa Tuak mengucap. Dia memandang pada Sinto Gendeng. "Apa yang harus kulakukan Sinto? Dunia persilatan pasti mengutukku habis-habisan. Maluku hendak disembunyikan kemana?"
"Kau harus mencari anak itu. Membuatnya bertobat lalu menghukumnya. Kalau tidak kau sendiri yang turun tangan, maka pembalasan orang-orang persilatan akan sangat mengerikan. Aku tak bisa membantumu Dewa Tuak."
"Apakah dia demikian saktinya hingga tak seorangpun selama tiga bulan ini sanggup menga-lahkannya?"
"Bekal ilmu silat dan kesaktian yang kau berikan padanya sudah cukup membuat dia menjadi seorang tokoh muda yang disegani. Apalagi kalau dia mendapat tambahan ilmu setan yang sulit dipercaya kehebatannya! Lihat saja, mengapa dia harus minum darah setiap korban yang dibunuhnya? Pasti itu menjadi salah satu keharusan jika dia ingin menguasai terus ilmu yang dimilikinya!"
"Anggini..." Dewa Tuak menyenut nama muridnya dengan nada penuh penyesalan. Perlahan-lahan kakek ini berdiri. Dari balik pakaian birunya dikeluarkannya sebuah benda lalu dia berkata pada Sinto Gendeng. "Sahabatku, kau menjadi saksi tunggal. Aku bersumpah akan mencari anak itu dan membunuhnya. Jika dalam tempo empat puluh hari aku tidak berhasil melakukannya atau aku sampai dikalahkannya, aku lebih baik memilih mati dari pada harus menanggung malu yang menyengsarakan!"
Habis berkata begitu Dewa Tuak masukkan benda yang dipegangnya ke dalam mulut. Sinto Gendeng hendak mencegah tapi terlambat. "Dewa Tuak! Apa yang kau telan itu?!"
"Racun kematian!" jawab Dewa Tuak dengan tegar, "Racun itu akan bekerja pada hari ke empat puluh satu dari sekarang. Jika aku tidak berhasil mencari anak itu. Atau berhasil tapi tak sanggup meringkus dan membunuhnya, maka pada hari ke empat puluh satu aku sudah pasrah menemui kematian."
"Jangan tolol! Aku tahu kau pasti memiliki obat penangkal racun itu di balik pakaianmu. Ayo lekas kau telan obat penangkal itu!"
Dewa Tuak menggeleng. "Aku sudah memutuskan lebih baik mati di hari ke empat puluh satu itu. Dari pada menanggung malu besar!"
"Tua bangka bodoh! Mengapa kau jadi begini tolol dan ikut-ikutan sesat?"
"Terus terang aku sudah terlalu lama hidup di dunia ini. Usiaku sudah lebih dari delapan puluh tahun. Buat apa menghabiskan sisa hidup dengan menanggung malu? Lebih baik mati berkalang tanah!"
Sinto Gendeng terdiam. Dia tidak bisa menyalahkan Dewa Tuak kalau sampai berbuat seperti itu.
"Kau sendiri apa yang hendak kau lakukan Sinto? Sebagai salah seorang sesepuh dunia per-silatan yang ikut menentukan hitam putihnya masa depan dunia persilatan, apakah kau tidak akan turun tangan?"
"Aku lebih banyak memandang pada persahabatan kita. Lagi pula tua bangka sepertiku ini sepantasnya tidak boleh terlalu banyak mengurusi masalah dunia. Aku sudah minta muridku Wiro Sableng untuk mencarinya lalu membawanya padamu. Hanya itu yang bisa kulakukan..."
"Terima kasih sahabat..." kata Dewa Tuak. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Di ujung usiaku ini, sebetulnya aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan tinggal di satu tempat yang sunyi dan tenang. Namun nasibku mengatakan lain..." Dewa Tuak menarik nafas dalam.
Sinto Gendeng mengangguk-angguk. "Kita memang hidup di dunia ini," katanya. "Tapi kehendak Tuhan lebih banyak menentukan dari kemauan kita sendiri!"
Dewa Tuak ambil tabung bambu yang dipangkuannya. Isi tabung itu diteguknya sampai habis. Seperti belum puas diambilnya tabung satu lagi yang tergantung di punggungnya. Lalu isi tabung inipun ditenggaknya sampai habis. Perutnya tampak melembung. Sekujur tubuh terutama mukanya kelihatan merah seperti udang rebus. Kedua matanya juga tampak merah sekali. Perlahan-lahan kakek ini berdiri.
"Kita berpisah di sini Sinto. Kalau umur sama panjang aku merasa senang dapat bertemu de-nganmu lagi..."
"Itu juga menjadi keinginanku. Selesaikan urusanmu dengan baik."
Dewa Tuak mengangguk. Sekali dia berkelebat dirinyapun lenyap dari tempat itu.
********************
LIMA
Rombongan orang-orang yang berburu itu memacu kuda masing-masing menuju ke Timur. Di satu tempat, sebelum memasuki hutan sasaran, Kepik Kuntolo hentikan kuda seraya mengangkat tangan memberi tanda. Pangeran Panji Kenanga dan orang-orang yang ada di belakang penunjuk jalan itu segera hentikan kuda.
"Ada apa Kepik?" tanya Pangeran Panji Kenanga seraya membetulkan letak busur dan kantong panah di pinggangnya.
"Saya mengusulkan sebaiknya kita tidak memasuki hutan ini. Tapi mencari hutan lain saja Pangeran."
"Heh?!" Pangeran Panji merasa heran mendengar ucapan pembantunya itu. "Alasan apa kau berkata begitu Kepik?"
"Saya baru ingat Pangeran. Pihak Istana telah menetapkan kawasan hutan Kemikir ini sebagai daerah berbahaya tingkat tiga."
"Daerah berbahaya tingkat tiga. Hemm... Aku baru mendengarnya. Apa yang telah terjadi? Ada bahaya apa dalam rimba belantara ini yang membuat wajahmu kulihat jadi berubah pucat!"
"Hutan Kemikir diketahui sebagai salah satu daerah gentayangannya mahluk yang dijuluki Betina Penghisap Darah!"
"Ah...! Itu rupanya yang ada dalam benakmu! Cerita isapan jempol begitu siapa yang mau percaya?" Pangeran Panji lalu tertawa gelak-gelak. Anggota rombongan lain yang terdiri dari tiga orang pengawal dan tiga orang kawan-kawan sebaya sang Pangeran ikut-ikutan tertawa.
Salah seorang kawan Pangeran Panji berkata. "Akan kita lihat! Kalau benar ada mahluk itu dalam hutan sana, apakah dia sanggup menahan panah dan tombak Pangeran Panji Kenanga!"
"Kudengar..." kata salah seorang kawan sang Pangeran yang lain, "Makhluk berjuluk seram itu adalah seorang gadis cantik jelita. Nah, kita muda-muda dan gagah semua. Masakan tidak satupun yang akan ditaksirnya?"
Kembali tempat itu menjadi ramai oleh gelak tawa semua orang kecuali Kepik Kuntolo yang kelihatan tetap tegang.
"Kepik," kata Pangeran Panji Kenanga pula. "Hutan Kemikir diketahui paling banyak babi hutannya. Nah apa bukan ini hanya siasat para pejabat tertentu di Istana yang tidak mau orang lain masuk kemari dan menghabisi babi-babi hutan itu hingga mereka takut nanti tidak kebagian lagi?!"
Kepik Kuntolo tidak menjawab. Yang menyahuti malah Jaka Dolok, salah seorang pemuda sahabat sang Pangeran. "Apa yang Pangeran katakan itu mungkin benar. Sudahlah, mengapa kita harus berlama-lama di tempat ini. Biar aku yang duluan masuk ke dalam hutan. Kalau bertemu gadis jelita itu akan aku suruh dia tolong memasakkan hasil buruan kita!"
Pangeran Panji tertawa. Digebraknya kudanya mengikuti Jaka Dolok. Yang lain-lain segera pula bergerak. Kepik Kuntolo sesaat merasa bimbang. Akhirnya diapun mengikuti rombongan itu masuk ke dalam hutan.
Setelah beberapa lama jauh masuk ke dalam hutan dan masih belum menemui binatang buruan, Pangeran Panji berkata. "Aneh, pada kemana semua babi di hutan ini? Satupun tak kelihatan mata hidungnya..."
Baru saja sang Pangeran berkata begitu tibatiba lapat-lapat terdengar suara perempuan menyanyikan pantun.
Hutan Kemikir banyak babinya
Babi diburu diambil dagingnya
Kasihan babi mahluk tak berdosa
Hendak melawan tak punya daya
Kalau dibiarkan pemburu bersuka-suka
Pesta mereka tak akan pernah berhenti
Kutolong babi dari derita
Biarlah pemburu kuhukum mati
"Eh, nyanyian itu seperti ditujukan pada kita?" ujar Pangeran Panji seraya memandang pada orang-orang dalam rombongannya. Yang dipandangi tenang-tenang saja malah ada yang tersenyum sementara Kepik Kuntolo tampak gelisah.
"Kita harus mencari tahu siapa perempuan yang menyanyi itu."
"Suaranya merdu. Orangnya pasti ayu!" kata Jaka Dolok. "Ayo kita mencarinya."
Joko Dolok kembali memimpin rombongan memasuki hutan lebih jauh ke dalam. Kini rombongan itu bergerak ke arah datangnya suara nyanyian tadi. Kepik Kuntolo yang mati ketakutan menunggangi kudanya paling belakang. Sekali-sekali dia menoleh ke belakang, merasa seolah-olah ada orang atau pandangan mata yang mengikuti gerak gerik rombongan itu.
Tujuh ekor kuda tunggangan mendadak menunjukkan sikap aneh. Binatang-binatang ini seperti tak mau melangkah maju. Dari mulut mereka keluar suara mendesis. Lalu. satu demi satu mereka mulai meringkik.
"Tenang! Tenang...!" kata Pangeran Panji menenangkan kudanya sambil mengusap leher binatang Itu. Yang lain-lain melakukan hal yang sama hingga tujuh ekor kuda tunggangan itu kembali tenang dan berhenti meringkik tetapi tetap saja tak mau bergerak.
Tiba-tiba terdengar Jaka Dolok berseru sambil menunjuk ke depan dan hentikan kudanya. "Lihat!"
Semua anggota rombongan sama hentikan kuda dan memandang ke arah yang ditunjuk. Di atas cabang terpendek sebatang pohon kelihatan duduk seorang gadis berwajah cantik sekali mengenakan pakaian ungu. Sehelai selendang yang juga berwarna ungu tergelung di lehernya. Dia duduk bersandar ke batang pohon sedang kedua kakinya dilunjurkan sepanjang cabang yang didudukinya.
Suara nyanyiannya sirap dan kedua matanya memandang ke arah lain seolah tidak mau memperhatikan ke datangan rombongan Pangeran Panji. Yang mengherankan Pangeran Panji dan kawan-kawannya ialah ketika melihat di bawah cabang pohon di mana sang dara duduk, berkeliaran lebih dari selusin babi hutan dan anak-anaknya yang gemukgemuk. Binatang ini berkerumun di bawah pohon seolah-olah binatang peliharaan yang menunggu tuannya.
"Kepik Kuntolo!" kata Pangeran Panji pada penunjuk jalan. "Ini orangnya yang kau sebut Betina Penghisap Darah itu?"
"Saya... Saya tidak dapat memastikan Pangeran." jawab Kepik Kuntolo karena melihat kecantikan si gadis seperti itu hatinya tentu saja bimbang untuk memastikan bahwa gadis itu adalah mahluk jahat penghisap darah yang selama ini dikabarkan gentayangan di hutan Kemikir.
Pangeran Panji tersenyum. Dia memandang pada Jaka Dolok dan berkata dengan suara perlahan. "Memang terasa aneh kalau ada gadis secantik ini berada dalam rimba belantara. Lalu babi-babi hutan itu seperti binatang peliharaannya. Berkeliaran di bawah pohon tempat dia duduk. Apa pendapatmu Jaka?"
"Saat ini yang ingin kulakukan ialah menyapa dirinya lalu berkenalan. Setelah itu... He he he. Kalau aku yang mendapatkannya lebih dulu jangan kalian mengiri." Jaka Dolok kedipkan matanya.
Kudanya dimajukan sampai ke bawah pohon. Binatang ini tidak mau bergerak. Dengan susah payah akhirnya Jaka Dolok berhasil juga membuat kuda ini maju beberapa langkah. Kini kepala Jaka Dolok tepat berada di depan cabang pohon tempat dara berbaju ungu duduk.
"Gadis cantik di atas pohon. Namaku Jaka Dolok. Katakan siapa namamu, mengapa berada di rimba ini. Apakah babi-babi hutan ini peliharaanmu. Lalu yang paling penting apakah aku boleh berkenalan denganmu?"
Si gadis yang sejak tadi memandang ke arah kejauhan palingkan kepalanya. Dia memandang ke bawah. Jaka Dolok kini dapat melihat wajah itu sepenuhnya. Benar-benar cantik sekali hingga dia jadi terkesiap. Namun dalam terpesona begitu pemuda ini melihat ada kilatan sinar aneh pada sepasang mata sang dara.
"Hai...!" kata Jaka Dolok. Dia coba tersenyum. Tangan kanannya diulurkan ke atas hendak meraba betis si gadis yang tersembul putih dan mulus. Si gadis angkat kakinya hingga tangan Jaka Dolok hanya meraba cabang pohon.
"Para pemburu telah tiba. Saat hukuman dijatuhkan!" Gadis di atas pohon terdengar berkata.
"Eh, aku bertanya. Kau malah bicara apa?" kembali Jaka Dolok membuka mulut.
"Pertanyaanmu banyak sekali! Gerakan tanganmu tidak sopan! Pergilah!" kata gadis berpakaian ungu di atas cabang pohon. Tiba- tiba kaki kanannya borgerak cepat sekali.
"Wuttt...!"
"Jaka awas!" teriakPanji Kenanga yang melihat apa yang terjadi dari kejauhan.
"Bukkk...!"
Teriakan itu terlambat sebagaimana terlambatnya Jaka Dolok menghindarkan kepalanya dari tendangan kaki gadis di atas pohon. Tubuhnya terpental sewaktu kepalanya dihantam tendangan dan terkapar jatuh satu langkah dari hadapan rombongan Pangeran Panji. Tujuh ekor kuda meringkik keras. Tubuh Jaka Dolok tidak berkutik lagi. Kepalanya sebelah kanan hancur mengerikan!
"Gadis keparat! Apa yang kau lakukan terhadap temanku?!" teriak Panji Kenanga marah.
"Kau sudah melihat sendiri, mengapa masih bertanya?" menyahuti si gadis di atas pohon. Mendengar jawaban itu kemarahan Pangeran Panji jadi menggelegak. Dicabutnya tombak besi yang tersisip di kantong pada leher kudanya. Senjata ini kemudian digebukkannya ke arah si gadis.
"Traakkk...!"
Hantaman tombak besi hanya mengenai cabang pohon hingga berderak patah. Sedang si gadis sendiri saat itu sudah melompat dari duduknya. Tubuhnya melayang ke atas. Begitu turun kakinya menendang lagi. Kali ini tombak di tangan Pangeran Panji yang jadi sasaran hingga senjata itu mental.
Selagi sang Pangeran merasakan pedas pada telapak dan jari-jari tangan kanannya, dari atas tiba-tiba dara berbaju ungu itu melayang turun. Kedua tangannya meluncur ke arah batang leher Pangeran Panji.
"Pangeran awas!" teriak tiga pengawal dan dua temannya berbarengan.
"Astaga! Lihat! Sepuluh jarinya mengeluarkan kuku panjang merah!" salah seorang anggota rombongan kembali berteriak.
Saat itu Pangeran Panji telah siap mencabut golok yang tersisip di pinggangnya. Namun dia hanya sempat memegang gagang senjata ini. Sepuluh kuku merah yang ada lobang-lobangnya menancap di tenggorokannya. Tubuhnya terangkat ke atas. Pangeran Panji berteriak keras.
Matanya membeliak. Lidahnya terjulur. Darah mengucur deras dari sepuluh lobang pada lehernya yang ditembus sepuluh kuku merah. Tapi lebih banyak lagi darah yang tersedot lewat ujung-ujung kuku berlubang itu!
Pangeran Panji hanya mampu menggeliat-geliat beberapa saat. Tubuh itu kemudian tampak terkulai. Ketika cengkeraman dilepas, tubuh Pangeran Panji jatuh ke bawah dan menyangsang diatas serumpunan semak belukar. Untuk kesekian kalinya kuda-kuda yang ada disitu mengeluarkan suara ringkikan keras.
"Dia... dia benar-benar mahluk berjuluk Betina Penghisap Darah itu..." kata Kepik Kuntolo, dengan suara gemetar dan muka pucat. Karena tidak dapat lagi menahan rasa takutnya penunjuk jalan ini putar kudanya dan menghambur lari dari tempat itu.
Dua orang pemuda kawan Pangeran Panji yang ada dalam rombongan sebenarnya juga sudah dilanda rasa takut. Namun salah seorang dari mereka masih berusaha berteriak pada tiga orang pengawal agar segera membunuh gadis berpakaian ungu itu. Tiga pengawal segera menghunus senjata. Dua mencabut golok, satu menyiapkan tombak. Mereka melompat turun dari kuda masing-masing.
Gadis berbaju ungu berdiri dengan kaki terkembang. Mulutnya dan lidahnya sibuk menjilaii kedua tangannya yang berlumuran darah. Dua golok dan satu tombak berkelebat. Si gadis keluarkan suara tertawa panjang. Tubuhnya berputar membelakangi ke tiga penyerang. Tiga orang pengawal menyangka gadis itu hendak melarikan diri.
Tapi mereka tersentak kaget begitu laksana kilat kaki kanan lawan melesat menghantam kepala mereka satu persatu. Ketiganya mencelat dan terhempas di tanah saling tindih. Masing-masing mengeluarkan suara erangan pendek. Tangan atau kaki mereka menggeliat sesaat setelah itu ketiganya tak bergeming lagi!
Dua orang pemuda yang ada di tempat itu putus nyali mereka. Tidak tunggu lebih lama keduanya sepera memutar kuda untuk melarikan diri. Gadis berpakaian ungu tertawa melengking.
"Kalian mau lari kemana?!" teriaknya. Tubuhnya melesat ke atas cabang pohon. Tepat paaa saat aua pemuda berkuda lewat di bawahnya, dia melompat turun. Kaki kanan menendang, tangan kiri memukul.
"Bukkk...!"
Pemuda di sebelah kanan hancur dadanya dan remuk jantungnya. Darah membersit keluar dari tubuhnya yang melayang terpental. Pemuda kedua siap menerima kematian begitu jotosan tangan kanan gadis berbaju ungu menderu ke arah batok kepalanya. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.
"Anggini! Jangan!"
Sebutan nama itu tidak mengejutkan si gadis. Yang membuat dia kaget adalah keras dan membahananya suara teriakan tadi pertanda orang yang berteriak memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Suara teriakan itu membuat gadis berpakaian ungu tarik pulang serangannya. Pemuda di atas kuda sadar kalau dirinya diselamatkan oleh teriakan yang tiba-tiba tadi, secepat kilat menggebrak kudanya dan lari dari tempat itu.
Seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih berkelebat muncul di antara tebaran mayat. Dia memandang pada gadis berbaju ungu dengan rasa tidak percaya. Tengkuknya bergidik ketika melihat kedua tangan gadis itu berlumuran darah. Darah juga kelihatan menempel di mulut dan wajahnya
"Anggini! Kenapa kau lakukan ini semua?!"
"Siapa kau!" bentak gadis berbaju ungu. Kedua matanya memandang tak berkesip.
"Ah, kau tak mengenali diriku lagi? Aku Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Gurumu Dewa Tuak dan guruku saling bersahabat. Kita memang sudah sangat lama tidak pemah bertemu!"
Mulut yang berlumuran darah itu kelihatan menyeringai. "Untung kau datang sekarang. Kalau tadi-tadi selagi aku masih haus pasti darahmu akan kuminum! Tapi lain kali, jika kau berani muncul lagi di hadapanku akan kuhisap seluruh darah yang ada ditubuhmu!"
Habis berkata begitu gadis berbaju ungu ini berpaling pada belasan ekor babi hutan dan anak-anaknya yang masih berkerumun di bawah pohon, Aneh, binatang-binatang itu sama sekali seperti tidak terusik oleh apa yang terjadi di tempat itu.
"Kalian sudah selamat! Pergilah!" berkata gadis berbaju ungu lalu lambaikan tangannya. Ada satu gelombang angin menyapu tubuh babi-babi hutan itu. Serentak, seperti tersadar binatang-binatang itu keluarkan suara melenguh lalu lari beriringan masuk ke dalam bagian hutan yang lebih lebat.
Si gadis melirik ke arah pemuda di sampingnya. Tubuhnya bergerak dan tahu-tahu dia sudah berkelebat dari tempat itu.
"Anggini! Tunggu!" teriak Wiro sambil mengejar.
Satu gelombang angin sedingin es menghantam Pendekar 212. Wiro berseru kaget dan cepat menyingkir. Sambaran angin dingin yang masih sempat menyapu tubuhnya sebelah kanan membuat dia menjadi kaku beberapa saat dan tidak mampu meneruskan mengejar!
ENAM
Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam yang mengandung hawa panas ke bagian tubuhnya yang kaku dilanda pukulan hawa dingin tadi. "Luar biasa!" katanya dalam hati. "Eyang mewariskan pukulan angin es padaku. Tapi untuk menundukkan musuh dengan pukulan itu membutuhkan waktu. Sebaliknya Anggini mampu melakukannya dengan sangat cepat. Dewa Tuak setahuku tidak memiliki ilmu pukulan hawa dingin seperti itu. Pasti gadis ini mempelajarinya dari orang lain!"
Wiro garuk-garuk kepala. Dia menghela nafas ketika memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. "Heran, kenapa gadis itu berubah menjadi ganas dan jahat? Apa yang dialaminya?"
Wiro melangkah mendekati mayat pengawal yang saling tumpang tindih.Kembali dia memperhatikan mayat sang Pangeran. "Yang satu ini kelihatannya bukan pemuda sembarangan." Wiro membungkuk dan menarik kalung yang masih melingkar di leher yang hancur mengerikan itu. Ketika diperhatikannya kalung itu terkejutlah murid Sinto Gendeng.
Dia mengenali kalung seperti itu hanya dimiliki dan dipakai oleh putera-putera Istana. "Pemuda satu ini pasti seorang Pangeran..." kata Wiro. "Sri Baginda tentu tidak akan tinggal diam. Anggini pasti akan dikejar sampai ke ujung dunia sekalipun. Dan Dewa Tuak akan terseret-seret. Apa yang yang sekarang harus kulakukan? Mengurusi mayat-mayat sebegini banyak? Biar setan-setan hutan saja yang mengurus mereka!" kata Wiro lalu tinggalkan tempat itu.
Rasa penasaran membuat dia bergerak ke arah lenyapnya Anggini tadi. Dia mencoba untuk mengejar gadis itu walau sadar kalau saat itu si gadis sudah berada jauh.
********************
Berita yang disampaikan Kepik Kuntolo dan pemuda kawan Pangeran Panji yang selamat membuat geger Istana. Sri Baginda langsung memanggil beberapa Perwira Tinggi. Dua orang tokoh silat Istana yang kebetulan sedang mengadakan pertemuan di Istana ikut mendampingi para Perwira Itu. Mereka adalah Ki Ageng Timur yang dikenal dengan gelar Si Gelang Setan dan Ki Sambar Tringpali berjuluk Si Cangklong Maut. Kedua tokoh silat Istana ini sama berusia di atas 70 tahun dan telah mengabdi lebih dari 40 tahun hingga mereka sangat disegani baik di dalam maupun di luar Istana.
Abdi Jalakdiri, pemuda teman Pangeran Panji yang berhasil lolos dari tangan Betina Penghisap Darah, melaporkan bahwa dia sempat menyaksikan munculnya seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian dan berikat kepala putih. Pemuda ini memanggil Betina Penghisap Darah dengan nama Anggini. Sedang si pemuda sempat didengarnya memperkenalkan diri sebagai Wiro. Jelas kedua orang itu saling mengenal.
"Satu bernama Anggini. Satunya lagi Wiro," mengulang Sri baginda lalu berpaling pada dua orang tokoh silat Istana. "Kalian pernah mendengar nama-nama itu?"
"Dalam dunia persilatan hanya ada satu orang bernama Wiro," kata Ki Sambar Tringgali. Dia digelari Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Murid tunggal seorang nenek sakti di Gunung. Gede. Setahu saya dia tidak termasuk kelompok orang jahat. Tapi manusia bisa saja berubah."
"Aku minta kalian menangkap orang itu. Tangkap hidup-hidup. Seret ke hadapanku. Bunuh di tempat kalau dia melawan!"
"Akan kami lakukan Sri Baginda," kata Ki Sambar Tringgali alias Si Cangklong Maut. Lalu disedotnya cangklongnya (pipa) dalam-dalam.
"Bagaimana dengan si pembunuh sendiri. Gadis dajal berjuluk Betina Penghisap Darah itu! Namanya sudah diketahui. Anggini. Apa diantara kalian ada yang kenal atau tahu menahu tentang dirinya?"
"Saya tidak berani memastikan. Tapi dari ciri-ciri warna pakaian yang dikenakannya saya bisa menduga. Saya harap tidak meleset," menjawab Ki Ageng Timur alias Si Gelang Setan. Di pinggangnya tergantung lima buah besi pipih tajam berbentuk gelang yang menjadi andalannya dan membuat dia menyandang gelar yang angker itu. "Sri Baginda ingat pada seorang tokoh silat disegani bernama Dewa Tuak?"
"Tentu saja. Orang tua itu pernah beberapa kali membantu Kerajaan menghadapi kaum pemberontak dan para penyerang dari seberang. Apa hubungan Dewa Tuak dengan Anggini?"
"Gadis penghisap darah itu adalah murid Dewa Tuak," jawab Ki Ageng Timur.
Terkejutlah Sri Baginda mendengar hal itu. "Dunia benar-benar telah berubah!" katanya. "Yang putih dan baik bisa berubah menjadi hitam dan jahat! Kalian harus mencari gadis itu. Memandang diri Dewa Tuak kita seharusnya tidak boleh bertindak keras. Tapi mengingat nyawa puteraku telah direnggutnya secara keji, aku perintahkan kalian mencari dan membunuh gadis itu! Kemudian cari Dewa Tuak dan perintahkan dia menghadapku!"
Atas kehendak Sri baginda tiga kelompok besar dibentuk. Kelompok pertama yang ditugaskan untuk mengambil mayat Pangeran Panji Kenanga dan kawan-kawannya serta pengawal hutan Kemikir. Kelompok ini cukup dipimpin oleh seorang Perwira Muda.
Kelompok kedua dipimpin oleh Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali. Mereka ditugaskan untuk mencari Anggini dan Pendekar 212. Dalam kelompok ini ikut serta Kepik Kuntolo si penunjuk jalan dan abdi Jalakdiri kawan Pangeran Panji. Kelompok ke tiga dikepalai oleh seorang Perwira Tinggi dengan tugas mencari Dewa Tuak.
Karena Anggini dan Pendekar 212 sebelumnya diketahui berada di hutan Kemikir maka Kelompok pertama dan kelompok kedua secara bersamaan segera berangkat menuju rimba belantara itu.
Setelah mayat-mayat yang ditemukan dalam hutan dimasukkan ke dalam beberapa peti mati, rombongan yang dipimpin Ki Sambar Tringgali dan Ki Ageng Timur segera melanjutkan perjalanan menembus lebih jauh ke dalam hutan Kemikir. Kepik Kuntolo, menunjuk jalan yang sebelumnya menemani Pangeran Panji berburu ikut dalam rombongan ini ditunjuk sebagai petunjuk jalan karena dia yang mengetahui seluk beluk hutan tersebut.
Saat itu matahari mulai menggelincir ke titik tenggelamnya. Setelah berunding beberapa ketika rombongan memutuskan untuk meneruskan perjalanan dan baru berhenti kalau kegelapan benar-benar tidak memungkinkan untuk ditembus pandangan mata. Tepat ketika matahari lenyap di ufuk Barat, rombongan mendengar suara gemercik air di kejauhan.
"Kita berada dekat aliran anak sungai Opak Kemikir," menerangkan Kepik Kuntolo.
"Kalau begitu kita berkemah di dekat anak sungai itu," kata Ki Sambar Tringgali.
Kepik Kuntolo mengangguk dan meneruskan bergerak di depan rombongan. Tak berapa lama kemudian di kegelapan yang temaram kelihatan sebuah jeram pendek. Air sungai yang jatuh dari bagian atas jeram inilah yang tadi mereka dengar suara gemericiknya.
"Ah, ternyata kita sudah keduluan orang," kata Kepik Kuntolo.
"Betul, memang kelihatan ada seseorang di dekat jeram sana," berkata Ki Ageng Timur sambil menatap jauh ke arah jeram anak sungai Opak Kemikir yang mulai gelap.
"Astaga!" terdengar Abdi Jalakdiri berucap.
"Ada apa?" tanya Ki Sambar Tringgali cepat.
"Orang di dekat jeram itu! Dia adalah pemuda yang saya terangkan. Yang mengaku bernama Wiro dan memanggil gadis berpakaian ungu itu sebagai Anggini!"
"Kau tidak salah lihat anak muda?" tanya Ki Ageng Timur.
"Tidak. Itu memang dia. Saya mengenali rambutnya yang gondrong!" jawab Abdi Jalakdiri.
"Kalau begitu lekas kurung daerah sekitar jeram!" perintah Ki Ageng Timur.
Dua puluh orang perajurit yang ikut dalam rombongan itu, dibawah seorang Perwira Muda segera bergerak dalam kegelapan. Mereka sudah terlatih baik hingga dalam waktu singkat, tanpa mengeluarkan suara daerah sekitar jeram dimana pemuda berambut gondrong itu berada sudah dikurung rapat.
Masing-masing perajurit mencekal golok panjang atau pedang berkeluk. Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali melompat turun dari kuda masing-masing. Kepik Kunolo dan Abdi Jalakdiri juga turun dari tunggangan mereka. Namun kedua orang ini tetap di tempat, tidak bergerak mengikuti langkah dua tokoh silat Istana yang berjalan cepat menuju jeram anak sungai Opak Kemikir.
TUJUH
Pendekar 212 bukan tidak tahu kalau saat itu dia tidak sendiri lagi di sekitar jeram. Semula dia menyangka gerakan-gerakan yang didengarnya didalam gelap adalah gerakan Anggini yang tengah dikejarnya dan mungkin kembali menemuinya. Namun ketika diketahuinya bahwa tidak hanya ada satu orang berada di tempat itu, melainkan lebih dari dari dua puluh orang, murid Sinto Gendeng segera bersiap-siap penuh waspada. Dia membatalkan membasuh mukanya dengan air sungai.
"Harap berikan jawaban. Apakah kami berhadapan dengan Pendekar 212 murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?!" Satu suara menegur.
Wiro berpaling. Diam-diam dia terkejut karena ternyata orang yang bertanya itu sudah berada demikian dekat dengan dia. Hanya terpisah sekitar tujuh langkah dan ternyata seorang tua berjubah kelabu, berikat pinggang merah. Pada ikat pinggangnya mencantel lima buah gelang pipih terbuat dari besi.
Orang tua ini tidak sendirian. Disampingnya tegak pula seorang tua lainnya, mengenakan baju hitam. Kedua tangan dirangkapkan di depan dada sedang dimulutnya terselip sebuah cangklong yang mengepulkan asap terus-terusan. Wiro melirik. Paling tidak sekitar dua puluh orang dilihatnya mendekam dalam gelap, mengurung tempat itu.
"Orang tua, harap beri tahu dulu siapa yang bertanya dan ada keperluan apa mengajukan pertanyaan?"
Semula Ki Ageng Timur hendak marah melihat orang tidak menjawab pertanyaannya tapi malah balik mengajukan pertanyaan. Namun kawan di sebelahnya cepat menyahuti.
"Kawanku ini bernama Ki Ageng Timur, bergelar Si Gelang Setan. Aku sendiri Ki Sambar Tringgali berjuluk Si Cangklong Maut. Kami adalah utusan Istana dengan tugas menangkap dirimu jika kau benar Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Saya memang bernama Wiro. Mengenai gelaran Pendekar 212 itu tidak perlu dibesar-besarkan. Ada persoalan apa Istana mengutus kalian orang-orang tua yang gagah menangkap diriku? Kesalahan apa yang telah saya lakukan terhadap kerajaan?"
"Kawanmu gadis berbaju ungu bernama Anggini itu telah membunuh Pangeran Panji Kenanga, putera Sri baginda!" Terdengar jawaban dari belakang kedua orang tua itu. Yang bicara ternyata adalah Abdi Jalakdiri, sahabat Pangeran Panji.
"Hem... Begitu!" Wiro garuk-garuk kepala sambil memandangi dua wajah orang tua di depannya. "Kalau memang kawanku yang membunuh Pangeran Panji, kenapa aku yang hendak kalian tangkap?"
"Satu orang berbuat jahat, kawannya patut diamankan!" sahut Ki Ageng Timur.
Wiro menyeringai. "Aturan dari mana yang mengatakan begitu Ki Ageng Timur. Jika kawanmu Ki Sambar Tringgali berbuat jahat, apakah kau mau juga ikut-ikutan ditangkap?"
Paras Ki Ageng Timur menjadi merah dalam gelapnya malam. "Sudah! Kau jangan banyak mulut. Sebelum kami tangkap katakan dulu di mana teman perempuanmu yang telah membunuh putera Sri Baginda itu?!"
"Mana saya tahu! Sayapun sedang dalam mengejarnya!"
"Kalau kau mengejarnya, kau pasti tahu kemana dia melarikan diri!" sentak Ki Ageng Timur.
Wiro kembali menyeringai. "Saya seperti bertanya jawab dengan anak kecil. Saya tahu sahabat saya itu telah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji. Sayapun mendapat tugas untuk menangkapnya. Tapi tidak untuk menghadapkannya pada Sri baginda, melainkan membawanya kehadapan gurunya"
"Kau tidak akan berhasil melakukan hal itu, Pendekar 212. Karena saat ini juga kau harus menyerahkan diri. Jika kau mau menyerah secara tanpa perlawanan, aku berjanji tidak akan ada segores lukapun diderita tubuhmu!"
"Kalau saya melawan?" tanya Wiro pada Ki Ageng Timur.
"Tubuhmu akan kami cincang sampai lumat!"
"Ah! Mengerikan sekali!" ujar Wiro sambil sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepalanya. "Kalau kalian minta keterangan tentang sahabat saya itu, saya rasa itu adalah satu hal yang wajar. Tapi kalau kalian menyuruh saya menyerah dan mencincang jika melawan..." Wiro hentikan ucapannya lalu tertawa gelak-gelak. "Hutan ini memang banyak hantu dan setannya. Saya kawatir kalian semua sudah pada kena kesambat hingga meracau dan hendak melakukan tindakan yang bukan-bukan!"
"Pendekar bermulut lancangl" bentak Ki Ageng Timur. "Rupanya kau memang minta dicincang!" Lalu orang tua bergelar Si Gelang Setan ini loloskan lima gelang besi pipih dari ikat pinggangnya. Tanpa banyak cerita lagi sebuah dari senjata itu dilemparkannya ke arah Pendekar 212!
Besi hitam pipih berbentuk gelang itu menoeru dalam gelapnya malam, hampir tak terlihat. Suaranya menderu seperti angin punting beliung dan mengarah ke leher Wiro. Pendekar 212 jatuhkan diri. Karena dia berada di bagian anak sungai yang dangkal maka waktu jatuh sekaligus dia memukulkan telapak tangan kanannya ke atas air. Air sungai muncrat melesat ke arah Ki Ageng Timur.
Orang tua ini tak menyangka akan diberi perlawanan seperti itu tidak sempat menghindar. Akibatnya muka dan jubah kelabunya basah terkena cipratan air. Ki Ageng Timur memaki habis-habisan. Dia mengangkat tangan kanannya. Gelang besi yang tadi tidak mengenai sasarannya secara aneh berputar membalik ke arah Wiro, kini menyerang dari belakang. Inilah kshebatan senjata gelang besi pipih itu hingga tidak percuma Ki Ageng Timur dijuluki Si Gelang Setan. Sulit bagi lawan untuk mencari selamat dari senjata anehnya ini.
Selagi gelang besi pertama menderu dari belakang, Ki Ageng Timur lepaskan gelang kedua. Kini Pendekar 212 diserang dari belakang dan dari depan. Saat itu Wiro tengah bangkit berdiri. Gelang besi pertama yaitu yang datang dari belakang melesat ke arah batok kepalanya. Sedang yang di sebelah depan menyambaf ke arah perutnya.
Satu-satunya jalan bagi Wiro untuk mencari selamat adalah dengan membuang diri ke samping. Akibataya tubuhnya tercebur masuk ke dalam sungail Tapi adalah lebih baik basah kuyup dari pada ditambus gelang besi pipih itu dari belakang dan dari depan.
Begitu serangannya lagi-lagi luput, Ki Ageng Timur angkat kedua tangannya. Seperti tadi secara aneh dua gelang maut itu membalik kembali dan untuk beberapa lamanya berputar-putar diatas permukaan air. Hal ini membuat Pendekar 212 tidak bisa mengeluarkan dirinya dari dalam air sungai! Kecuali kalau dia mau ditabas oleh dua gelang pipih yang luar biasa tajamnya itu.
"Sialan!" maki Wiro. Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu dalam keadaan menelentang di dalam air dia lepaskan pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang dengan pengerahan tenaga dalam tinggi!
"Byuurrr...!"
Air sungai muncrat disambar angin pukulan. Dua buah gelang di atas permukaan air tampak bergetar keras lalu terpental. Wiro cepat melompat ke luar dari dalam air. Masih dalam keadaan setengah membungkuk dia lepaskan lagi satu pukulan tangan kosong yaitu pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung.
Ki Ageng Timur berseru kaget ketika melihat dua buah gelang besi pipihnya sanggup dibuat mental. Tapi dia tidak kawatir karena begitu mental, dua buah gelang maut itu berputar di udara laiu melesat ke arah Wiro kembali! Yang membuat dia terkejut adalah ketika menerima pukulan kedua yang laksana petir menyambar panas ke arah dirinya. Orang tua ini lekas melompat setinggi dua tombak untuk selamatkan diri. Wiro sendiri terkejut bukan kepalang ketika dilihatnya dua buah senjata lawan dengan dahsyat kembali menyerang dirinya.
"Setan!" maki Wro. Terpaksa dia jatuhkan diri dan kembali tercebur ke dalam air. Tidak menunggu lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya. Begitu senjata mustika sakti ini dibabatkan ke atas, semua orang yang ada di tempat itu jadi terkejut ketika mendengar suara menderu seperti ribuan tawon mengamuk. Air sungai kembali muncrat dan kali ini membasahi hampir semua orang yang ada di tempat itu.
"Traang! Traang...!"
Kapak Maut Naga Geni 212 membentur dua gelang maut. Wiro merasakan tangannya yang memegang kapak tergetar keras. Gagang senjata itu hampir terlepas dari tangannya. Sebaliknya dua buah gelang besi milik Ki Ageng Timur patah dua dan bermentalan di udara!
Ki Ageng Timur sendiri sampai berseru kaget saking tidak percaya melihat apa yang terjadi dengan kedua senjata yang sangat diandalkannya itu. Selama ini kalaupun ada lawan yang sanggup menangkis serangan gelang mautnya maka senjata itu hanya bisa dibuat mental tapi tidak dapat dibuat patah berantakan seperti yang kini disaksikannya sendiri.
Selain marah tokoh silat Istana itu juga merasa malu. Maka sekaligus dia loloskan tiga gelang maut yang masih mencantel di pinggangnya. Tiga gelang ini kemudian dilemparkan ke arah Wiro yang saat itu sudah melompat ke tepi anak sungai. Suara deru tiga buah gelang maut itu laksana topan yang datang menggila dari laut.
Ternyata saat itu Wiro bukan hanya menghadapi serangan tiga buah gelang maut, tetapi Ki Sambar Tringgali rupanya telah mulai turun tangan membantu kawannya. Orang tua satu ini berpandangan tajam. Melihat apa yang barusan terjadi dia cukup sadar kalau Ki Ageng Timur tidak akan begitu mudah untuk mengalahkan Pendekar 212. Maka dia sedot cangklongnya dalam-dalam. Asap yang terkumpul di mulut dan leher serta dadanya dihembuskan ke depan, ke arah Wiro. Terjadilah hal yang luar biasa.
Asap berwarna kelabu itu bergulung membuntal-buntal, menyungkup ke arah kepalanya hingga pemandangannya tertutup padahal saat itu pula tiga buah gelang besi pipih yang dilepaskan Ki Ageng Timur melesat ke arah kepala, dada dan kakinya! Di samping itu asap ini mengeluarkan hawa aneh yang bukan saja memerihkan mata dan kulit tetapi jika sempat memasuki jalan napas akan menyerbu masuk ke dalam paru-paru dan membuat tubuh menjadi lemas dengan seketika!
Wiro yang sudah maklum kalau asap caklong orang tua berbaju hitam itu sama berbahayanya dengan serangan tiga buah gelang besi dengan cepat putar Kapak Maut Geni 212 di sekeliling tubuhnya.
Ki Ageng Timur yang tadi sudah melihat kedahsyatan senjata di tangan Pendekar 212 tentu saja tidak mau kehilangan gelang besinya yang kini hanya tinggal tiga. Segera orang tua ini angkat ke dua tangannya. Tiga buah gelang besi yang melesat di udara bergeser bertebaran hingga selamat dari sapuan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan Wiro.
Walau Wiro terhindar dari serangan gelanggelang besi itu namun asap cangklong yang dihembuskan Ki Sambar Tringgali ternyata berhasil menyusup lolos dari terpaan senjata saktinya. Matanya terasa perih. Kulit muka dan kulit tubuhnya laksana dicucuki oleh puluhan jarum-jarum halus.
"Celaka!" keluh murid Eyang Sinto Gendeng. Dia melompat menjauhi serangan asap. Namun terlambat. Walaupun hanya sedikit dia telah sempat menghirup hawa aneh asap kelabu itu. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Dengan nekad dia kerahkan tenaga dalamnya sebanyak mungkin ke tangan kiri lalu lepaskan pukulan Sinar Matahari ke arah Ki Sambar Tringgali.
Orang tua ini berseru kaget. Karena menyangka asap cangklongnya pasti akan merobohkan lawan maka dia berlaku sedikit ayal dan wuutt! Sinar menyilaukan dan panas luar biasa menyambar ke arahnya. Ki Sambar Tringgali cabut cangklongnya dari mulut. Sambil melompat ke belakang dia pukulkan pipanya itu. Angin keras menggebubu dari mulut cangklong disertai melesatnya ratusan serpihan-serpihan tembakau bernyala.
Benda-benda panas yang sanggup menembus daging tubuh dan menyusup sampai ke tulang ini musnah berantakan dihantam gelombang putih panas pukulan sinar matahari. Tangan Ki Sambar Tringgali yang memegang cangklong tergetar keras. Sambil berteriak marah orang tua itu melompat tinggi-tinggi. Dia seperti melayang di atas jalur panas pukulan sinar matahari danhantamkan kepala cangklongnya ke arah kepala Pendekar 212.
Saat itu Wiro sendiri pandangannya masih terhalang oleh kepulan asap kelabu sedang tubuhnya terasa semakin lemas. Selagi dia berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darah saat itu pula hantaman cangklong datang. Di saat yang sama tiga buah gelang besi maut milik Ki Ageng Timur kembali gentayangan mencari sasaran di tiga bagian tubuhnya.
"Celaka! Mati aku sekarang!" jerit Wiro dalam hati. Dengan sisa tenaganya yang ada diangkatnya Kapak Naga Geni 212 ke atas lalu disapukannya. Bersamaan dengan itu dia rundukkan kepala berusaha menghindari hantaman cangklong di tangan ki Sambar Tringgali.
"Trangg...!"
Sebuah dari tiga gelang besi berhasil ditangkis, dibuat mental berpatahan. Tapi yang dua lagi terus melesat ke arah kepala dan kakinya. Pada saat Wiro kehabisan daya untuk menyelamatkan jiwanya tiba-tiba dari arah belakangnya berkelebat satu bayangan ungu. Lalu terdengar suara pekik dahsyat seolah membelah gelapnya langit malam.
Bersamaan dengan itu di udara melesat banyak sekali benda-benda panjang berwarna hitam disertai menebarnya bau amis. Di lain kejap terdengar jeritan Ki Ageng Timur disusul oleh leritan Ki Sambar Tringgali, menyusul pula jeritan-jeritan lainnya hingga tempat itu hiruk pikuk oleh suara jeritan. Ringkikan kudapun kemudian terdeiiyar tiada henti!
Wiro jatuh terduduk di tanah. Kapak Naga Geni 212 tergeletak di pangkuannya. Kedua matanya terbuka besar-besar untuk dapat menyaksikan apa gerangan yang terjadi. Tengkuk murid Sinto Gendeng ini menjadi sedingin es ketika diketahuinya bahwa benda-benda panjang yang tadi lewat di atas kepala dan di kiri kanannya adalah ular-ular berwarna hitam sepanjang satu tombak.
Binatang-binatang yang tidak diketahui dari mana datangnya ini melesat menyerang dan mematuk semua lawan-lawannya. Tak satu orangpun bisa lolos dari patukan berbisa ular-ular itu. Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali dipagut dan dipatuk oleh lima ekor ular. Keduanya menjerit-jerit tiada henti sam pai akhirnya roboh ke tanah dan tewas!
Puluhan perajurit yang ikut dalam rombongan itu juga termasuk Kepik Kuntolo serta Abdi Jalakdiri ikut menjadi korban serangan ular. Tak satupun yang lolos dari maut yang datang secara mendadak tidak terduga ini.
"Ya Tuhan, apapun yang terjadi seseorang telah menolongku!" kata Wiro. Dia berpaling ke belakang dan masih sempat melihat berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian ungu.
"Anggini!" seru Wiro. Namun sosok tubuh itu telah lenyap di kegelapan. Ketika Wiro memandang ke depan kembali matanya jadi mendelak.
Puluhan ular yang tadi menyerbu lawan-lawannya kini tidak kelihatan iagi sementara dua puluh lima mayat manusia bergeletak di hadapannya penuh mengerikan! Saking lemasnya Wiro rebahkan diri menelentang. Kapak Naga Geni 212 diletakkannya di depan hidungnya guna menyedot hawa jahat atau racun yang sempat masuk kedalam tubuhnya.
********************
DELAPAN
Suara-suara jeritan kematian yang terdengar susul menyusul serta suara ringkikan kuda yang menggetarkan rimba belantara di permulaan malam yang gelap itu membuat seorang tua berjanggut putih dan membawa dua buah tabung bambu berisi tuak terkesiap sesaat. Dia berada di pinggiran hutan Kemikir.
"Kalau tidak kuselidiki tidak puas hatiku!" kata orang tua ini dalam hati. Dia berkelebat masuk ke dalam hutan. Meskipun gelapnya hutan bukan alang kepalang, ditambah beban dua buah tabung tuak yang dibawanya, namun orang tua ini sanggup bergerak cepat diantara pepohonan dan semak belukar hingga akhirnya dia sampai di dekat jeram anak sungai Opak Kemikir.
Dalam kegelapan dilihatnya banyak sekali sosok tubuh berkaparan di tanah. Ketika dia hendak mendekati, telinganya menangkap suara hembusan angin. Orang tua ini berpaling. Darahnya tersirap. Dia melihat berkelebat dan lenyapnya cepat sekali satu sosok tubuh. Namun meskipun hanya sesaat matanya yang tajam masih sempat mengenali sosok tubuh dan warna pakaian orang itu.
"Anggini!" seru si orang tua yang bukan lain adalah Dewa Tuak. Dia mengejar ke arah lenyapnya sosok tubuh tadi. Mengejar kira-kira hampir sepeminuman teh di dalam rimba belantara yang gelap itu akhirnya Dewa Tuak berhasil mengejar orang di depannya.
"Ah! Benar kau rupanya Anggini!" kata Dewa Tuak begitu berdiri menghadang di depan gadis berbaju ungu dengan nafas terengah-engah.
"Orang tua buruk! Kau bicara dengan siapa?" gadis di depannya membentak, membuat si orang tua tersirap. Dengan mata mendelik Dewa Tua berkata.
"Muridku, hutan ini memang gelap. Tapi mustahil kau tidak mengenali aku gurumu sendiri!"
Anggini tertawa tinggi. "Di dunia ini memang banyak orang gila. Tapi tidak ada yang segilamu. Muncul dan mengigau mengatakan aku muridmu!. Hik hik hik...! Pergilah, jangan membuat aku marah. Biar kuanggap saja kau sudah pikun dan matamu sudah lamur. Hingga tidak mengenali dan menganggap aku muridmu!"
Dewa Tuak jadi penasaran. Dia melangkah mendekati muridnya. Si gadis justru bersurut mundur menjauhi orang tua itu. Dalam jarak terpisah delapan langkah dia membentak. "Kalau kau berani datang lebih dekat, kuputus nyawamu!"
Dewa Tuak hentikan langkahnya. "Anggini, apa yang terjadi denganmu muridku? Setan mana yang masuk dan menguasai dirimu!"
"Tua bangka keparat! Kau minta mati roasih belum beranjak dari hadapanku!"
"Anggini! Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres dalam dirimu! Di dekat jeram aku menemus puluhan manusia berkaparan jadi mayat! Pasti kau yang membunuh mereka! Kau juga yang membunuhi beberapa tokoh silat dan menghisap darahnya. Kau juga yang membunuh Tumenggung Purboyo. Di Kotaraja aku menyirap kabar kematian Pangeran Panji. Pasti kau yang punya pekerjaan!"
"Tua bangka buruk! Kalau kau sudah tahu apa yang hendak kau lakukan?!"
"Kau layak menerima hukuman atas dosa-dosa beratmu itu!"
Anggini kembali perdengarkan suara tertawa panjang. "Orang tual Aku tidak kenal siapa kau..."
"Setan membalikkan matamu dan iblis mengacaukan otakmu!" sergah Dewa Tuak.
"Dengar tua bangka keparat! Kalau kau segera menyingkir dari hadapanku kuampuni selembar jiwa busukmu. Tapi kalau kau masih berdiri di depanku sampai hitungan ketiga, terpaksa akan kuhisap darahmu sampai habis!"
"Ah! Jadi benar rupanya apa yang aku dengar. Kau telah berubah menjadi seorang gadis iblis penghisap darah!"
"Satu!" teriak Anggini.
Dewa Tuak tidak bergerak di tempatnya.
"Dua!"
"Dewa Tuak menyeringai, masih tak beranjak.
"Tiga!" Anggini meneriakkan hitungan terakhir.
Orang tua itu mendelik dan menggembor. Anggini berkelebat ke arah Dewa Tuak. Tangan kanannya dipukulkan. Angin sedingin es menyapu tubuh orang tua itu dan terkejutlah Dewa Tuak. Sekujur tubuhnya mendadak menjadi dingin kaku!
Cepat-cepat orang tua ini ambil salah satu bumbung bambunya dan teguk tuak di dalamnya sampai tubuhnya terasa panas dan dia bisa mengusir hawa dingin yang membungkus dirinya. Rasa kaku yang menguasai dirinya serta merta lenyap.
"Eh, tua bangka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi. Kalau kuhisap darahnya pasti tenaga dalamku akan berlipat ganda!" Anggini membatin dalam hati. Lalu didahului teriakan nyaring gadis ini kembali menyerbu.
Dewa Tuak tidak tinggal diam. Tuak yang masih bersisa di dalam mulutnya disemburkan ke arah muridnya. Anggini terkejut dan cepat menghindar. Salah satu lengan bajunya masih sempat tersambar beberapa tetes tuak hingga kelihatan berlubang-lubang.
"Tua bangka kurang ajar! Terima kematianmu!" teriak Anggini marah. Sepuluh jari tangannya dipentang ke depan dan sepuluh kuku merah panjang mencuat keluar dari ujung-ujung jarinya. Menyambar ke arah batang leher Dewa Tuak. Karena keliwat bernafsu untuk membunuh dan menyedot darah orang tua itu, Anggini tidak sempat melihat bagaimana Dewa Tuak memutar tabung bambunya lalu menyodokkan benda itu ke perutnya!
"Dukkk...!"
Anggini menjerit. Tubuhnya terpental dan jatuh duduk di tanah. Tapi didahului oleh suara bentakan menggidikkan dia melompat bangkit dan menyerang ke arah orang tua itu kembali.
Dewa Tuak terkejut bukan main. Hantaman ujung bumbung bambunya tadi seharusnya membuat Anggini luka parah dan patah tulang serta menjadikannya tidak berdaya. Tapi nyatanya gadis itu sanggup melompat bangkit dan menyerangnya dengan ganas kembali. Dewa tuak cepat melompat ketika lima jari tangan Anggini menyambar ke arah lehernya. Tapi gerakannya agak terlambat.
"Brettt...!"
Pakaian birunya sempat terenggut dan robek besar di bagian leher. Kulit lehernya bahkan ikut tergaris luka dan mengucurkan darah. Sepasang mata Anggini berkilat-kilat melihat cucuran darah itu. Lidahnya terjulur beberapa kali membasahi bibir. Tenggorokannya terasa kering. Hasrat untuk meneguk darah orang tua itu jadi berkobar-kobar. Didahului oleh suara jeritan keras kembali gadis ini menyerang dengan kedua tangan dipentang ke depan.
"Sepasang tangan anak ini sangat berbahaya!" kata Dewa Tuak dalam hati. Tangannya bergerak ke pinggang. Ketika tangan itu digerakkan untuk kedua kalinya, didalam gelap meluncur selarik benda aneh, membuntal dan bergulung menyambar ke arah ke dua tangan Anggini. Benda ini bukan lain adalah benang sutera halus yang merupakan salah satu senjata andalan si orang tua.
Benang ini melesat dalam kecepatan luar biasa dan segera menggulung mengikat kedua pergeiangan tangan Anggini. Dewa Tuak menggerakkan lagi tangannya. Benang sutera terulur semakin panjang dan terus melibat sampai ke bahu, terus lagi sampai ke tubuh Angginit Membuat gadis itu terikat tak berdaya!
Dewa Tuak menarik nafas lega. Akhirnya berhasil juga dia meringkus murid yang telah menebarkan mala petaka besar itu. Dia melangkah maju. Tapi tiba-tiba di depannya Anggini keluarkan suara tertawa panjang. Di saat yang sama sebuah benda panjang hitam melesat seolah-olah melayang jatuh dari langit. Anggini tertawa lagi. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Benda yang melayang ke bawah itu masuk ke dalam mulutnya dan lenyap!
Dewa tuak tidak dapat memastikan benda apa yang masuk ke dalam mulut muridnya itu. Dia juga tidak bisa menduga ilmu apa sebenarnya kini yang dimiliki Anggini. Lalu dilihatnya sang murid membuka mulutnya lebar-lebar. Dari dalam mulut itu menyeruak keluar kepala dan tubuh seekor ular hitam.
"Ya Tuhan! Jadi ular rupanya yang masuk ke dalam mulutnya tadi!" kata Dewa Tuak dengan mata melotot!
Anggini tertawa. Ketika tawanya lenyap terdengar dia berkata. "Dewi lepaskan ikatanku!" Ular hitam didalam mulut meluncur keluar lalu kepalanya bergerak cepat. Mulutnya mematuk kian kemari. Dalam waktu cepat sekali seluruh ikatan benang sutera sakti yang membuat Anggini tidak berdaya berputusan. Kedua tangan dan sekujur badannya kini bebas dari ikatan benang sutera itu.
Dewa Tuak sampai ternganga dan mendelik besar saking tidak percayanya melihat apa yang terjadi. Kedua kakinya menyurut mundur.
"Saatmu untuk mati tua bangka keparat!" kata Anggini. Dia mengusap tubuh ular hitam yang sebagian badannya masih berada di dalam mulut dan lehernya. "Dewi! Bunuh orang tua itu!" perintahnya pada sang ular. Binatang ini menegakkan kepalanya. Dari mulutnya terdengar suara mendesis. Lidahnya yang berwarna merah berkelebatan mengerikan. "Dewi! Kau tunggu apa lagi?!" bentak Anggini. Ular dalam mulutnya meluncur keluar.
"Anggini! Jangan!" tiba-tiba ada satu teriakkan menggeledek.
Mulut si gadis terkancing, menahan gerakan tubuh ular hitam yang hendak melesat ke arah Dewa Tuak. Gadis ini berpaling ke arah datangnya suara teriakan tadi. Dari dalam gelap dilihatnya muncul pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong itu.
"Kurang ajar! Dia muncul lagi!" kata Anggini dalam hati. Dia memutar tubuh menghadapi pemuda itu. Dielusnya tubuh ular yang ada dalam mulutnya. "Dewi! Sasaranmu berubah. Bunuh pemuda itu!"
Ular hitam didalam mulut kembali tegakkan kepalanya. Begitu dia melesat, pemuda berambut gondrong mendahului menghantam. Dari tangan kanannya berkiblat sinar putih menyilaukan. Hawa panas seperti hendak membakar tempat itu.
"Bumm...!"
Rimba berlantara berguncang keras. Si pemuda cepat menyambar tubuh Dews tuak dan melarikinnya dalam gelap. Orang tua ini berusaha melepaskan diri sambil memaki panjang pendek.
"Aku belum mau jadi pengecut! Mengapa kau larikan aku?!"
"Jangan jadi orang tolol Dewa Tuak!"
"Murid sesat itu harus diringkus dan dihukum!" teriak Dews Tuak.
"Saat ini kita belum sanggup melawannya! Dia memiliki senjata ular-ular hitam yang lebih ganas dari iblis!"
"Sialan! Tuak murniku pasti akan menghancurkan binatang-binatang celaka itu"
"Bagaimana kalau tidak? Tubuhmu yang tua rongsokan ini akan dipatuknya jadi saringan!"
"Sialan! Enak saja kau mengatakan aku orang tua rongsokan!" Dewa Tuak memukul bahu pemuda yang melarikannya itu. "Heh, kau mau melarikan aku sampai sejauh mana Pendekar 212?"
"Sabar saja. Kita harus mencari tempat yang aman. Jauh dari muridmu yang doyan darah itu!"
"Aku tidak mengerti bagaimana Anggini bisa jadi begitu!"
"Sama. Sayapun tidak mengerti. Sebelumnya dia juga hendak membunuh saya..."
"Ya Tuhan..." mengucap Dewa Tuak. "Semoga kau mengampuni dosa muridku itu."
"Tuhan pasti mehgampuni dosa muridmu Dewa Tuak. Tapi dunia persilatan dan Raja tidak akan mengampuninya. Anggini telah membunuh Pangeran Panji, salah seorang putera Sri baginda yang paling dikasihi!"
"Celaka muridku. Celaka tua bangka ini. Ah, mungkin umpama tadi betul, Wiro. Aku memang tua bangka rongsokan yang lebih bagus mampus saja saat ini!"
Wiro tertawa bergelak. Dia turunkan tubuh Dewa Tuak dari panggulannya. "Walau rongsokan tubuhmu ternyata berat juga Dewa Tuak. Berlari jauh memanggulmu membuat saya haus. Saya minta tuakmu!"
Lalu tanpa banyak cerita lagi Wiro ambil salah satu tabung berisi tuak milik orang tua itu. Cegluk... cegluk... cegluk. Tuak itu disikatnya sampai mukanya jadi merah. Tangannya gemetaran ketika mengembalikan bumbung bambu.
Dewa Tuak mengekeh. "Anak sok jago! Aku saja tidak berani meneguk tuak sekaligus sebanyak yang kau lakukan!"
"Aku mabok!" kata Wiro seraya menyandarkan diri ke sebatang pohon.
"Kau bukan cuma mabok! Kau juga sudah ngompol terkencing-kencing!"
"Apa?!" Wiro turunkan tangannya dan meraba ke bawah perutnya. Bagian bawah celananya ternyata memang terasa hangat dan basah! "Sialan!" makinya.
"Dewa Tuak kembali tertawa mengekeh.
"Dewa Tuak! Jangan tertawa keliwat keras. Kalau muridmu sempat mendengar pasti dia akan muncul di sini membawa ularnya dan mernbunuh kita berdua!"
Cup! Dewa Tuak tutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Suara tawanya serta merta lenyap. Rimba belantara itu kini tenggelam dalam kegelapan dan kesunyisenyapan. Sesaat kemudian terdengar suara Dewa Tuak berbisik.
"Pendekar 212, aku tidak betah di tempat gelap begini. Rasanya seperti tikus dalam tanah saja. Aku harus pergi dari sini. Akan kucari lagi anak itu."
"Jangan tolol. Sebelum tahu kelemahannya kau tak bakal bisa meringkusnya," kata Wiro.
"Jika ditunggu sampai kita tahu kelemahannya dan baru turun tangan, rasanya sampai kiamat belum tentu diketahui rahasia kelemahannya. Modalku sekarang hanya nekad saja. Mukaku sudah dicelemongnya dengan lumpur busuk. Aku malu besar menghadapi dunia persilatan. Aku harus pergi, tapi sebelum pergi ada satu hal yang hendak kutanyakan padamu."
"Hal apa?" tanya Wiro.
"Kau tahu, hal ini dulu pernah aku bicarakan dengan gurumu Sinto Gendeng. Tapi nenek konyol itu tidak mau menjawab secara terus terang. Katanya terserah pada dirimu..."
Wiro merasa dadanya berdebar. Diam-diam dia sudah dapat menduga hal apa yang hendak dikatakan oleh Dewa Tuak.
"Dengar, ini menyangkut perjodohanmu dengan Anggini. Setelah kejadian ini rasanya aku tidak terlalu mau mendesak. Bagaimana dengan dirimu? Apakah kau masih menyukai muridku yang telah sesat itu?"
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Kalaupun suka atau tidak suka, rasanya hal itu tidak pada tempatnya kita bicarakan sekarang Dewa Tuak. Usaha kita paling penting adalah menyelamatkan dunia persilatan. Lalu kalau masih ada kesempatan mungkin kita masih bisa menolong Anggini. Jika dia selamat ada satu hal yang bakal jadi hukumannya seumur-umur. Dia harus menyendiri. Dia akan dikucilkan oleh dunia persilatan. Lalu bahaya balas dendam dari keluarga atau karib kerabat orang-orang yang pernah dibunuhnya akan membayanginya seumur hidup. Belum terpikirkan apa yang bakal dilakukan pihak Kerajaan!"
Dewa Tuak menarik nafas dalam. Akhirnya dia berkata. "Aku harus pergi sekarang..."
Karena tak mungkin mencegah, Pendekar 212 terpaksa diam saja. Dewa Tuak menepuk bahu Wiro. Sekali dia berkelebat sosok tubuhnyapun lenyap dalam kegelapan.
Beberapa lamanya Pendekar 212 masih duduk tersandar di batang pohon itu. Bayangan wajah Anggini menyeruak dipelupuk matanya. Dalam hati dia berkata. "Memang sulit mencari gadis secantik dirinya. Tapi apa lagi artinya kecantikan itu kalau dirinya tiba-tiba telah berubah menjadi mahluk ibis penghisap darah!"
Wiro terdiam sesaat. "Heh, kalau mencari kelemahannya tidak mungkin, apakah juga tidak mungkin mencari penyebab mengapa Anggini berubah menjadi manusia jahat penghisap darah? Rasanya mungkin penyelidikan bisa dimulai dari situ. Tapi berapa lama baru bisa diketahui sementara banyak korban lagi yang jatuh ditangannya!" Wiro garuk-garuk kepala kembali. Dengan Wiro huyung-huyung dia bangkit berdiri.
********************
SEMBILAN
Pertunjukan reog Ponorogo itu selesai. Semua penonton satu demi satu meninggalkan tanah lapang luas. Saat itu hari telah rembang petang. Sinar sang surya tidak lagi terik panas seperti sebelumnya. Pendekar 212 masih duduk dibangku kecil penjual kopi manis pikulan. Dia hendak mengulurkan tangan mengambil sebuah pisang rebus ketika tiba-tiba pandangannya membentur sosok tubuh seorang gadis berpakaian ungu yang berada di ujung lapangan sana.
Gadis ini tengah melepaskan ikatan seekor kuda yang ditambatkan pada sebatang pohon. "Anggini," desis Wiro. Dia segera berdiri. Meletakkan uang di atas bangku yang tadi didudukinya lalu lari ke ujung lapangan. Dia sampai di tempat itu sesaat setelah gadis berbaju ungu itu memacu kudanya. Wiro memandang berkeliling. Seorang pemuda dilihatnya tengah mengiring seekor kuda. Cepat Wiro mendekati orang ini. Dia langsung melompat ke atas punggung kuda itu.
"Hai! Apa-apaan ini?!" teriak pemuda pemilik kuda.
"Kupinjam sebentar kudamu! Nanti juga aku kembalikan!" Lalu Wiro menepuk tangan si pemuda yang memegang tali kekang. Begitu tali kekang terlepas murid Sinto Gendeng segera memacu binatang ini ke jurusan lenyapnya gadis berbaju ungu tadi. Di belakangnya pemuda pemilik kuda berteriak tiada henti.
"Pencuri kuda!! Pencuri kuda!"
Di pinggiran kota Pendekar 212 kehilangan jejak orang yang dikejarnya. Terpaksa dia memacu kudanya ke tempat ketinggian. Di sebuah lereng bukit Wiro memandang berkeliling. Jauh di sebelah Timur kelihatan seorang penunggang kuda bergerak menyusuri sebuah kali kecil. Wiro segera menuruni bukit, mengambil jalan memotong hingga akhirnya dia berhasil berada di belakang si gadis.
"Anggini!" teriak Wiro.
Penunggang kuda berpakaian ungu disebelah depan berpaling lalu hentikan kudanya. Wiro sampai di hadapan gadis itu. "Wiro..." si gadis menyebut nama pemuda itu.
Pendekar 212 tersenyum. Dipandanginya wajah sang dara sesaat. Mata yang selama ini dilihatnya selalu menyorotkan sinar menggidikkan kini tampak memandang lembut kepadanya.
"Anggini, kita harus bicara. Turun dari kudamu. Kita cari tempat yang baik untuk bicara."
Anggini gelengkan kepalanya. "Aku tidak mau bicara..."
"Kenapa? Kau tahu bahaya yang mengancam dirimu?"
"Bahaya apa?" tanya si gadis.
"Jangan pura-pura. Semua orang sudah tahu siapa dirimu sejak tiga bulan terakhir ini! Semua orang ingin membunuhmu! Gurumu Dewa Tuak mencarimu ingin menghukummu. Orang-orang Kerajaan juga mencarimu dan mungkin akan menggantungmu!"
Anggini menatap dalam-dalam ke mata Pendekar 212 hingga membuat pemuda itu sesaat jadi terdiam. "Lama tidak bertemu, kukira tadinya kau ingin membicarakan urusan perjodohan itu. Tahu-tahu kini kau membicarakan hal-hal yang tidak kumengerti!"
"Kau ini benar-benar aneh Anggini..."
"Kau yang aneh Wiro!"
"Dengar, kita harus bicara!'
"Tidak!"
Wiro garuk-garuk kepalanya. Ditatapnya wajah gadis itu. Dipandanginya sekujur tubuh Anggini. Dia tidak melihat selendang ungu tergulung di leher si gadis. Dulu, pada salah satu ujung selendang cutera ungu itu, Wiro telah menggurat dengan ujung jarinya angka 212 sebelum mereka berpisah.
"Mana selendang ungumu Anggini?" tanya Wiro.
Si gadis meraba dadanya. "Hilang," jawab si gadis.
"Hilang? Berarti kau tidak menjaganya baik-baik..."
"Buat apa menjaga selendang itu? Orang yang pernah mengguratkan angka kenangan tidak pernah memperdulikan aku!"
Wiro jadi ternganga. "Ah, rupanya dia memang ada hati terhadapku. Dan kini kelihatan marahnya. "Anggini, dengar. Hal itu bisa kita bicarakan kemudian. Sekarang ketahuilah. Aku mendapat tugas untuk membawamu pada gurumu Dewa Tuak!"
"Membawaku pada guruku? Memangnya ada apa?!"
"Anggini, jangan berpura-pura terus-terusan. Dirimu dalam bahaya! Kembali pada gurumu berarti kau masih bisa selamat..."
"Diriku dalam bahaya...?" Anggini bertanya sambil tertawa.
"Ada banyak orang-orang persilatan yang ingin membunuhmu! Pihak Kerajaan juga mencarimu! Apa kau masih hendak berpura-pura?!"
"Kasihan..." tiba-tiba Anggini berkata.
"Kasihan... Apa yang kasihan." tanya Wiro heran.
"Aku tidak menyangka, lama tidak bertemu begitu bertemu kulihat ada sesuatu yang tidak beres dengan otakmu! Bicaramu tidak karuan!"
Tampang Pendekar 212 tampak menjadi merah. "Aku..." Dia tidak bisa meneruskan ucapannya. Dalam hatinya berkata. "Mungkin benar ada ajaran ilmu sesat yang merasuk dalam tubuh gadis ini. Pada saat dia kumat dia berubah menjadi gadis iblis penghisap darah. Pada saat dia kembali pada dirinya yang asli, dia akan jadi seperti ini."
"Aku akan pergi dan jangan coba mengejarku! Kalau kau bertemu dengan guruku, katakan pada orang tua itu tidak perlu mencariku! Bukankah dulu aku pergi dengan seizinnya?"
"Betul! Mungkin itu betul! Tetapi sesuatu telah terjadi dengan dirimu. Kau telah terjerumus... Kau telah melakukan satu perbuatan sesat yang memalukan!"
"Wiro! Kau menuduhku telah berbuat aib?!" bentak Anggini. Dalam marahnya gadis ini tangsung menampar Wiro hingga pinggiran bibir Pendekar 212 luka dan berdarah!
Dari air muka Anggini yang kelihatan berubah jelas terlihat ada tanda penyesalan atas apa yang telah dilakukannya. Namun sesaat kemudian gadis ini telah menyentakkan tali kekang kudanya dan menghambur pergi dari tempat itu. Wiro mana mau tinggal diam. Dia segera mengejar. Keduanya memacu kuda masing-masing saling bersisian. Di sebuah jembatan bambu yang melintasi sungai, Wiro terpaksa memberi jalan lebih dulu pada kuda Anggini, karena jembatan yang kecil itu tidak mungkin dilalui secara berdampingan.
"Aku sudah bilang jangan mengejarku Wiro!" teriak Anggini.
"Aku juga sudah bilang akan membawamu ke pada gurumu Anggini! Aku tidak ingin sesuatu terjadi atas dirimu!"
"Pemuda keras kepala!" teriak si gadis marah. Tangan kanannya mengeruk ke saku pakaian ungunya. Dari tangan itu kemudian melesat dua buah senjata rahasia berupa paku perak sepanjang setengah jengkal. Senjata rahasia ini mendarat tepat pada lutut depan kiri kanan kuda yang ditunggangi Wiro. Binatang ini meringkik keras lalu jatuh terjerambab ke depan. Pendekar 212 cepat melompat. Dia jungkir balik di udara. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah kembali Anggini sudah lenyap!
Wiro hanya bisa geleng-geleng kepala. Digaruknya rambutnya dengan kesal berulang kali. "Masih untung kudaku yang dihantamnya dergan senjata rahasia itu. Kalau dia sempat mengeluarkan ular-ular peliharaannya itu celakalah diriku!"
********************
SEPULUH
Lebih dari tiga bulan sebelumnya, suatu peristiwa aneh telah terjadi. Saat itu hujan turun luar biasa lebatnya. Sesekali kilat menyambar dan guntur menggelegar. Air sungai menimbulkan arus deras. Bagian-bagian tanah yang leguk terendam air. Beberapa rumah yang terlalu dekat dengan sungai tak ampun lagi roboh dan diseret arus ke hilir.
Dalam derasnya curahan hujan dan gelapnya cuaca malam serta dinginnya udara yang seperti mencucuk sampai ke tulang sungsum, sebuah benda bulat dan panjang berwarna hitam berkilat meluncur sepanjang sungai yang tengah banjir. Sulit untuk memastikan benda apa adanya ini. Tetapi ketika kilat menyambar sekali lagi dan tanah menjadi terang benderang, walaupun sekilas telah terlihat apa adanya benda yang meluncur itu. Ternyata seekor ular besar berwarna hitam.
Namun ada keanehan luar biasa yang membuat orang akan bergidik dan lari ketakutan setengah mati jika melihat kepala ular ini. Ternyata binatang ini tidak memiliki kepala sebagai seekor ular melainkan berbentuk kepala manusia! Kepala seorang nenek tua berwajah cekung keriput dengan rambut putih riapriapan basah oleh air hujan!
Di sebuah tikungan binatang aneh ini berhenti melata. Kepalanya ditegakkan. Dia memandang ke tengah sungai seperti menembus pemandangan yang gelap dan tertutup curahan hujan lebat. Sesaat kemudian binatang ini meluncur ke tepi sungai yang banjir besar lalu masuk ke dalam sungal dan meluncur menuju ke seberang. Luar biasa! Tubuhnya yang besar berat itu tidak tenggelam ke dalam air. Kepalanya tegak dan arus air sungai yang deras tidak mampu menyeretnya ke hilir.
Sampai di seberang sungai ular berkepala manusia ini melata cepat memasuki sebuah hutan belantara dan menghilang di kegelapan. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan srigala hutan. Serombongan srigala hutan yang terdiri dan tiga srigala jantan dan seekor srigala betina lari dalam kegelapan malam. Tujuan mereka adalah arah sungai, berlawanan dengan arah yang dilalui oleh ular berkepala manusia tadi.
Di suatu tempat srigala-srigala hutan ini saling bertemu dengan ular berkepala manusia tadi. Keempat srigala itu segera menyalak terus menerus dan mengelilingi ular berkepala manusia. Tiba-tiba serentak keempat srigala itu menerkam ke depan. Kepala ular yang berbentuk kepala nenek angker itu keluarkan suara berdesis. Lidahnya terjulur. Bersamaan dengan itu ekornya melesat berputar.
Plaak! Plaak! Plaak! Plaak!
Empat ekor srigala hutan meraung panjang. Tubuh mereka terlempar jauh berkaparan jatuh di tanah yang becek. Tak satupun diantara mereka yang masih bergerak atau berkutik. Keempat binatang ini mati dengan kepala hancur dihantam ekor ular berkepala manusia itu.
Seperti tidak ada kejadian apa-apa, ular hitam besar itu kembali melata cepat memasuki rimba belantara sementara hujan perlahan-lahan mulai mereda. Di sebuah lobang dekat akar sebatang pohon besar ular berkepala manusia ini meluncur masuk dan lenyap. Tak lama kemudian dia sudah berada di sebuah goa tanah yang besar dan ter letak di bagian hutan yang tanahnya agak tinggi. Di lantai goa bertebaran banyak sekali berbagai macam bunga-bungaan dan ruangan dalam goa itu berbau harum semerbak.
Ular hitam berkepala nenek berambut putih meluncur ke dinding sebelah kiri lalu meluncur dengan sebagian tubuhnya tersandar ke dinding goa. Mulut si nenek tampak komat-kamit entah melafatkan apa. Kemudian perlahan-lahan kedua matanya dipejamkan. Lalu terdengar mulutnya berkata.
"Maha Ratu, saya sudah siap..."
Di luar goa kilat kembali menyambar dan guntur menggelegar: Dinding-dinding dan lantai goa bergetar. Beberapa bagian tanah berjatuhan ke bawah. Pada saat itulah ada cahaya terang datang dari arah mulut goa. Si nenek buka kedua matanya. Dia mengernyit silau. Dia tidak dapat melihat dengan jelas. Apa yang kemudian muncul dilihatnya secara samar-samar.
Yang muncul adalah seekor ular yang luar biasa besarnya. Lingkaran tubuhnya lebih dari sepemelukan tangan. Binatang ini berwarna hitam pekat berbintik-bintik kuning. Ada beberapa keanehan pada diri binatang ini. Dia tidak melata atau meluncur di tanah melainkan berjalan karena dia memiliki sebentuk anggota seperti sepasang kaki kecil. Di bagian dadanya ada dua anggota tubuh serupa sepasang tangan.
Pada tangan sebelah kanan mahluk ini memegang sebuah tongkat kaca yang mengeluarkan cahaya. Cahaya inilah yang menerangi goa dan menyilaukan pandangan mata si nenek ular. Bagian kepala dari ular besar hitam berbintik kuning ternyata juga berupa kepala seorang perempuan. Kalau ular hitam yang tersandar ke dinding goa memiliki kepala berupa seorang nenek buruk berambut hitam riap-riapan maka ular yang datang membawa tongkat kaca bercahaya itu memiliki kepala berupa seorang perempuan muda cantik luar biasa.
Kulit wajahnya putih halus. Sepasang alisnya hitam melengkung seperti bulan sabit. Hidungnya mancung, pipinya kemerah-merahan sedang bibirnya merah seperti delima merekah. Di atas kepalanya yang berambut hitam, terletak sebuah mahkota kecil.
Pada wajah yang cantik itu juga terlihat bayangan wibawa dan keagungan yang tinggi. Kalau tidak melihat pada bentuk tubuhnya setiap lelaki yang memandang pastilah akan terperangah dan bisa jatuh cinta! Inilah mahluk yang dipanggil si nenek bertubuh ular dengan nama Maha Ratu.
"Gintani Aruranti, benar kau sudah siap?" Nenek bertubuh ular bungkukkan kepalanya hingga dagunya menempel ke dada ularnya.
"Saya sudah siap Maha Ratu," katanya.
"Aku gembira mendengar hal itu. Tapi aku juga bersedih karena sebentar lagi kita akan berpisah. Selama empat puluh tahun lebih kau mengabdi padaku tanpa cacat dan kesalahan. Aku menjanjikan padamu bahwa dihari kemudian kau akan kuberikan tempat yang baik..."
"Terima kasih Maha Ratu..." kata Gintani Aruranti lalu kembali dia membungkuk.
"Sebelum kita berpisah, sesuai ketentuan dan sumpah yang mengikat dirimu sejak empat puluh tahun silam, kau harus memberi tahu dan menyebut nama seorang gadis yang kelak akan meneruskan pengabdianmu. Kau tahu sesuai ketentuan gadis itu haruslah anak atau orang yang ada pertalian darahnya dengan dirimu."
Di luar kilat menyambar dan geledek menggetarkan goa itu. Tanah di bagian atas goa kembali berguguran!
"Mengenai hal yang satu ini Maha Ratu, harap maafkan saya. Maha Ratu tahu sendiri kalau saya tidak pernah bersuami, tidak mempunyai anak. Maha Ratu juga tahu kalau saya tidak punya sanak tidak punya kadang dan saudara. Saya hidup sebatang kara..."
Goa itu sunyi sesaat. "Aku memang tahu semua keadaan diri dan pribadimu Gintani Aruranti. Kalau memang sudah begitu keadaannya terpaksa aku menurut ketentuan para sesepuh untuk mencari sendiri seorang gadis yang pantas meneruskan pengabdianmu. Mungkin kau bisa memberi suatu nama atau mengatakan siapa gadisnya?"
"Maafkan saya Maha Ratu. Saya serahkan bagaimana baiknya saja pada Maha Ratu..."
Maha Ratu bertubuh ular tetapi berwajah cantik selangit itu pejamkan kedua matanya dan merenung sejenak. Dalam sikap seperti itu wajahnya kelihatan tambah cantik. Perlahan-lahan kedua mata yang dipejamkan terbuka kembali.
"Kita mendapat petunjuk dari para sesepuh, Gintani. Kau hanya menyebutkan, satu warna yang sangat kau sukai. Urusan selanjutnya para sesepuh dan aku yang akan mengatur."
"Sebuah warna, Maha Ratu?"
"Ya, kau katakan sebuah warna yang sangat kau sukai. Mungkin merah, biru, atau mungkin putih..."
"Saya... Sejak kecil saya suka dengan warna ungu Maha Ratu," kata Gintani Aruranti, si nenek bertubuh ular.
"Bagus. Itu sudah cukup. Sekarang bersiaplah untuk berpisah. Pejamkan matamu."
Sesuai perintah Maha Ratu nenek bertubuh ular itu pejamkan kedua matanya. Perlahan-lahan Maha Ratu angkat tangan kanannya yang memegang tongkat kaca. Bibirnya yang merah bagus bergetar. Sepertinya dia tengah melafatkan sesuatu. Lalu tangan yang memegang tongkat kaca itu diputar secara tiba-tiba ke kanan.
Saat itu juga satu larik sinar putih dan sangat panas melesat ke arah tubuh nenek Gintani Aruranti. Dimulai dari kepala terus ke bagian badan dan terus ke perut lalu terus lagi ke bagian ekor, sosok si nenek perlahan-lahan mencair leleh. Sesaat kemudian kepala dan tubuh itu berubah menjadi seonggok debu. Memanjang membujur dilantai goa.
Lalu perlahan-lahan onggokan debu kelabu itu saling bergeser dan menyatu hingga menjadi satu tumpukan di tengah goa. Setelah bersatu onggokan debu kelabu itu kemudian mengepul menjadi asap untuk kemudian semuanya lenyap tidak berbekas.
Maha Ratu putar tongkat kacanya ke kiri. Sinar putih panas meredup lalu sirna. Perlahan-lahan pula Maha Ratu memutar tubuhnya. Sosok tubuhnya kemudian lenyap tanpa bekas.
********************
Gadis berwajah cantik itu merasa heran. Menurut perhitungannya sudah cukup lama dia ber-jalan tetapi aneh mengapa belum sampai-sampai juga ke rumahnya. Akhirnya dia berhenti di tepi jalan dan memandang berkeliling.
"Heran, dimana aku berada saat ini. Segaia sesuatunya serba asing..."
Selagi dia kebingungan di tepi jalan seperti itu sementara sebentar lagi hari akan segera malam di kejauhan terlihat sebuah kereta. Begitu dekat ternyata saisnya adalah seorang gadis berwajah luar biasa cantiknya dan mengenakan pakaian warna ungu. Pada lehernya tergelung sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Sais kereta hentikan kudanya di depan gadis yang duduk di tepi jalan.
"Gadis bunga desa yang cantik, kau kelihatan seperti orang bingung. Ada apakah maka duduk termenung di tepi jalan. Sebentar lagi hari akan malam. Tidakkah kau takut berada sendirian di tempat yang sepi ini?"
Gadis di tepi jalan berdiri. Sesaat dipandanginya gadis di atas kereta dengan penuh rasa kagum. "Kau cantik sekali... Pakaianmu sangat bagus. Juga selendangmu. Siapakah kau ini sahabat?"
Gadis di atas kereta tertawa lebar. "Kau memanggilku sahabat. Aku gembira mendengarnya. Kau juga seorang gadis cantik. Kau suka pakaianku ini?"
"Tentu saja suka. Tapi orang miskin sepertiku ini entah kapan bakal bisa punya pakaian sebagusmu itu. Mungkin hanya tinggal mimpi seumur hidup..."
Sais cantik jelita itu tersenyum. "Kau akan mendapatkan baju seperti ini. Jika kau memang mau naiklah ke alas kereta. Dudun di sampingku. Aku akan mengantarkan kau pulang ke rumahmu..."
"Terima kasih. Kau baik sekali." Ditawari sebaik itu si gadis di tepi jalan segera naik ke atas kereta dan duduk di samping sais yang cantik itu. Tanpa disadarinya gadis ini duduk tersandar dan akhirnya pejamkan mata tertidur. Dia tidak tahu berapa lama dia telah tertidur. Ketika dia bangun didapatinya dirinya berada disebuah lembah sunyi, tergeletak diatas lantai reruntuhan sebuah candi tua. Di sekitarnya bertebaran berbagai macam bunga yang menebar bau harum. Saat itu sang surya baru saja terbit di sebelah Timur.
"Di mana aku ini...?" tanya si gadis pada dirinya sendiri sambil memandang berkeliling. Ketika dia mencoba bangkit terkejutlah dia. Kedua tangannya cepat menutupi auratnya di.bagian dada. Astaga! Ternyata dia dapatkan dirinya berada dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali!
"Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengan diriku!" kata si gadis setengah menjerit dan juga kela-bakan. "Bagaimana aku akan pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini?!"
Tiba-tiba satu suara terdengar seolah menjawab ucapan gadis itu. "Tidak, kau tidak akan pernah pulang ke rumah seumur hidupmu Anggini!"
SEBELAS
Gadis di bekas reruntuhan candi itu terkejut dan memandang berkeliling. Tidak dilihatnya seorang lainpun di tempat itu. Tapi jelas tadi dia mendengar suara. Suara perempuan!
"Siapa yang bicara..." tanya si gadis ketakutan.
"Aku Maha Ratu. Aku sahabat dan pemimpinmu. Hanya padaku kau harus menurut perintah. Hanya padaku kau harus mengabdi... Kau mengerti Anggini?"
Si gadis tidak menjawab. Lalu ada satu sambaran angin menyapu wajahnya. Sesaat pemandangannya berkunang lalu mendadak dia merasakan satu kesegaran luar biasa dalam dirinya.
"Kau sekarang mengerti Anggini?"
"Saya mengerti Maha Ratu," jawab gadis itu.
"Kalau begitu sebagai tanda tunduk dan pengabdian membungkuklah tiga kali!" kata suara tanpa rupa.
Anggini membungkuk tiga kali. Ketika berdiri lurus-lurus kembali dia ingat sesuatu. Suara itu! "Maha Ratu... Saya mengenali suara itu. Bukankah kau gadis yang mengajakku naik kereta bersama?"
Terdengar suara tertawa perlahan. "Kau cerdik dan daya ingatmu tajam. Yang kau lihat sebagai sais kereta itu memang penjelmaan diriku. Sekarang kita bersahabat. Tapi sebagai pemimpin ada jarak antara kita. Kau harus tunduk pada diriku. Karena kau hanya bisa hidup sesuai dengan petunjuk dan perintahku!"
Angin di penghujung sore memasuki malam itu bertiup keras. Anggini tampak gemetaran kedinginan.
"Kau kedinginan Anggini. Sudah saatnya mengenakan pakaian..."
"Tapi saya mengalami hal aneh Maha Ratu. Sebelumnya saya yakin sekali saya mengenakan pakaian. Tahu-tahu kini mengapa saya berada dalam keadaan seperti ini!"
"Tak usah kawatir... Melangkahlah ke reruntuhan tangga depan candi. Di undakan sebelah tengah kau akan menemukan sehelai baju dan celana ungu. Juga sebuah selendang berwarna ungu..."
"Baju, celana dan selendang. Terima kasih. Tapi Maha Ratu..."
"Tetapi apa Anggini?'"
"Apakah tidak ada pakaian dalamnya...?"
Maha Ratu yang tidak kelihatan terdengar tertawa panjang. "Aku juga perempuan sepertimu Anggini. Jadi tahu apa kebutuhanmu. Jangan takut. Dalam lipatan pakaian itu kau akan menemukan pakaian dalam..."
"Terima kasih kalau begitu Maha Ratu."
"Nah sekarang pergilah ke reruntuhan tangga. Kenakan pakaian ungu itu cepat." Mengendap-endap sambil menutupi auratnya dengan kedua tangan Anggini melangkah ketempat yang dikatakan.
Betul saja. Di undakan tangga ke lima dia melihat pakaian ungu terlipat rapi. Ketika lipatan dibuka memang ditemuinya pula pakaian dalam seperti yang dikatakan Maha Ratu. Cepat-cepat Anggini mengenakan semuanya itu. Selesai berpakaian dia tegak sambil memegangi selendang.
"Cantik sekali kau dalam pakaian ungu itu Anggini. Lingkarkan selendang itu di lehermu. Jangan dipegang saja..."
Anggini melingkarkan selendang ungu dilehernya.
"Dengar baik-baik Anggini. Pakaian ungu itu bukan pakaian biasa. Kau tidak perlu mencuci atau menggantinya seumur hidup. Pakaian itu akan selalu berbau wangi. Wewangian itu akan melekat pula pada dirimu. Kau akan mampu hidup tanpa makan atau minum selama kau kehendaki..."
Anggini terheran-heran mendengar kata-kata itu. "Maha Ratu, setahu saya setiap yang hidup harus dan butuh makan atau minum."
"Kau benar Anggini. Tapi dirimu sekarang mahluk hidup yang luar biasa. Kau hanya akan hidup dengan minum darah manusia lainnya. Kau mampu hidup lebih dari seratus tahun! Tanpa minum darah manusia kau akan menjadi tua keriputan dan akan menemui kematian!"
"Maha Ratu, mana mungkin says melakukan hal itu. Mana mungkin saya minum darah manusia!"
"Ingat Anggini. Jika kau mau hidup terus hal itu harus kau lakukan. Di samping itu jangan lupa aku adalah pemimpinmu yang harus kau ikuti tanpa berani membantah! Kau dengar hal itu Anggini?!"
"Saya dengar Maha Ratu... Tapi bagaimana caranya saya minum darah manusia?" tanya Anggini dengan suara gemetar.
"Mudah saja sahabatku. Coba kau luruskan sepuluh jari tanganmu!"
Anggini luruskan sepuluh jari tangannya.
"Perhatikan baik-baik ke sepuluh jari tanganmu itu!"
Anggini memperhatikan jari-jarinya sendiri dengan dada berdebar. Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh. Dari ujung-ujung jarinya seperti tumbuh mencuat keluar kuku yang lancip itu kelihatan sebentuk lobang sebesar lobang jarum.
"Maha Ratu... Apa yang terjadi?" Anggini bertanya ketakutan.
"Aku akan terangkan sahabatku. Setiap kau meluruskan semua jari-jari tanganmu, maka kukukuku merah panjang itu akan tumbuh keluar. Orang yang akan kau hisap darahnya tinggal kau cengkeram saja bagian tubuhnya. Yang paling cepat adalah di bagian leher. Begitu kuku-kukumu menancap, darah orang itu akan terhisap dengan sendirinya sampai akhirnya dia menggelepar mati!"
"Saya merasa ngeri Maha Ratu. Saya takut!"
"Kau sahabatku! Kau tidak boleh takut..."
"Maha Ratu, bagaimana saya melenyapkan kuku-kuku merah ini?"
"Sangat mudah Anggini. Kau cukup menekukkan jari-jari tanganmu sedikit saja. Sepuluh kuku itu akan menghilang. Kau cobalah!"
Anggini menekukkan jari-jari tangannya. Benar saja. Kesepuluh kuku merah panjang runcing yang ada di ujung jarinya serta merta lenyap!
"Ada satu hal yang harus kau ingat Anggini. Korban yang harus kau hisap darahnya hanya terdiri dari dua jenis manusia, laki atau perempuan. Jenis pertama adalah orang-orang muda berwajah gagah. Dengan minum darahnya kau akan menjadi kuat dan awet muda sepanjang usiamu. Jenis kedua ialah orang-orang atau tokoh-tokoh persilatan. Jika kau berhasil menyedot darah mereka maka kau akan menjadi seorang berkekuatan luar biasa, memiliki tenaga dalam tinggi yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun. Selain itu selendang yang ada di lehermu bisa kau pergunakan sebagai satu senjata yang hebat. Kau bisa menggebuk hancur kepala seekor kerbau atau membobolkan tembok dengan selendang itu. Selain itu dalam tubuhmu saat ini sudah ada satu ilmu kesaktian bernama salju pusaka dewa. Dengan ilmu itu sekali kau memukul lawanmu akan menjadi kaku tegang dan akhirnya mati kedinginan. Jika kau ingin mengeluarkan ilmu itu, kau cukup hanya mengucapkan kata-kata Salju Pusaka Dewa."
"Terima kasih Maha Ratu. Saya berterima kasih kau telah memberi saya ilmu yang hebat..."
"Masih ada ilmu lain yang jauh lebih hebat sahabatku. Dan kau akan memilikinya!"
"Ilmu apakah itu Maha Ratu?" tanya Anggini.
"Kau lihat saja dan jangan merasa takut"
Maha Ratu mengangkat tangannya yang memegang tongkat kaca lalu meniup ke depan. Terdengar suara berdesir ramai sekali. Sesaat kemudian Anggini melihat belasan ekor ular hitam gentayangan laksana terbang berputar-putar disertai bau amis di dalam goa itu. Tubuh gadis ini mulai menggigil dan wajahnya sepucat kertas.
"Kataku tidak usah takut. Ular-ular itu adalah sahabat-sahabatmu..."
"Sahabat-sahabat saya Maha Ratu?"
"Betul! Mereka akan muncul jika kau memanggil. Memanggilnya cukup dalam hati saja dengan berucap. Para Dewi datanglah! Maka mereka akan datang. Sekarang coba kau ucapkan panggilan itu dalam hati."
Anggini ragu sesaat. Kemudian dalam hati dia berkata juga. "Para Dewi datanglah!"
Kembali terdengar riuh. Ular-ular yang melayang di dalam goa itu tiba-tiba melesat dan menempel ke tubuh Anggini. Tak ampun lagi gadis ini menjerit ketakutan dan berusaha melemparkan binatang-binatang yang bergayut di sekujur tubuhnya mulai di leher, dada, pinggang dan sampai ke kaki. Malah ada satu yang bertengger dan bergelung di atas kepalanya!
"Jangan lakukan itu Anggini. Tenang saja. Mereka tidak akan menyakitimu!"
Anggini berdiri dengan tubuh gemetaran.
"Sekarang dengar baik-baik," kata Maha Ratu pula. "Jika kau berada dalam bahaya yang tidak bisa kau hadapi, panggil para Dewi itu. Jika kau menyebut para Dewi maka mereka akan datang dalam jumlah banyak. Jika kau memanggil Dewi saja maka yang muncul adalah salah seekor dari mereka. Begitu mereka dipanggil, ular-ular itu akan melesat dan bergayutan ditubuhmu. Kemudian jika kau suruh mereka menyerang musuhmusuhmu maka mereka akan melesat mematuk siapa saja sampai mati! Kau mengerti Anggini?"
"Saya mengerti Maha Ratu. Tapi bagaimana caranya menyuruh mereka pergi saat ini? Saya masih takut. Sangat takut."
"Katakan begini. Para Dewi silahkan pergi! Cukup dalam hati saja."
"Para Dewi silahkan pergi..." kata Anggini dalam hati.
Belasan ular yang bergelung di tubuh gadis berpakaian ungu itu serta merta menggeliat lalu melesat lenyap entah kemana! Anggini menarik nafas lega. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat.
"Anggini aku segera akan pergi. Ada yang ingin kau katakan atau kau tanyakan?" ''Saat ini saya ingin melihat wajah Maha Ratu," jawab Anggini.
Sang Maha Ratu tertawa. "Kita akan sering bertemu seperti ini Anggini. Namun untuk melihatku kau hanya punya kesempatan sekali dalam sepuluh tahun! Kalau tidak ada pertanyaan lain aku akan pergi sekarang juga!"
"Tunggu, ada satu pertanyaan lagi Maha Ratu. Mengapa saya harus hidup dengan cara seperti ini? Membunuh orang lalu menghisap darahnya!"
"Jawabannya adalah bahwa kau sudah ditakdirkan menerima nasib seperti itu!"
"Masih ada satu pertanyaan lagi Maha Ratu..."
"Katakan lekas!"
"Apakah saya boleh berumah tangga? Maksud saya mempunyai seorang suami?!"
"Tentu saja Anggini. Tapi ada satu perjanjian. Pertama kau tidak boleh punya anak. Sebelum kau mempunyai tiga suami. Kedua pada tahun ketiga setiap perkawinanmu kau harus membunuh suamimu dan menghisap darahnya! Jika kau ingin kau boleh kawin lagi sesukamu. Tapi harus selalu ingat akan perjanjian yang sudah ditentukan itul"
"Maha Ratu..."
"Aku tidak ingin mendengar pertanyaanmu lagi. Membungkuk tiga kali jika aku pergi. Nah aku pergi sekarang!"
Anggini membungkuk tiga kali berturut-turut. Di kejauhan terdengar suara lolongan anjing panjang menggidikkan. Perlahan-lahan gadis itu melangkah. Astaga. Dia merasakan gerakan tubuh dan langkahnya ringan sekali!
********************
DUA BELAS
Pertemuan rahasia itu berlangsung di kaki Gunung Merbabu. Dihadiri oleh sepuluh tokoh silat termasuk Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ikut hadir utusan Kerajaan dari kotaraja.
"Sri Baginda memerintahkan agar kita melakukan segala daya untuk dapat menangkap gadis iblis berjuluk Betina Penghisap Darah itu, hidup atau mati!" kata utusan Istana dalam pertemuan itu.
"Aku mengusulkan agar dibuat jebakan-jebakan hingga gadis iblis itu terpancing dan keluar. Selama ini kita memburunya di mana-mana tapi ia lenyap tanpa jejak. Tahu-tahu dia sudah muncul di tempat lain melakukan pembunuhan!" kata seorang tokoh silat dari Selatan. Dia melirik pada Dewa Tuak dengan pandangan penuh kebencian.
"Aku setuju. Tapi harus diingat. Bahayanya sangat besar," kata Dewa Tuak lalu meneguk tuaknya dari dalam tabung bambu hingga berlelehan di dagunya.
"Kau gurunya! Kau yang bertanggung jawab! Kau sendiri yang harus menghadapi muridmu celaka itu!"
Dewa Tuak mengelus janggutnya dan tidak berkata apa-apa. Maka mereka yang hadir kemudian sibuk mengatur cara-cara menjebak penjahat tunggal berjuluk Betina Penghisap Darah itu. Ketika pertemuan rahasia berakhir dan mereka yang hadir siap meninggalkan tempat itu setelah menerima tugas masing-masing, tiba-tiba di luar terdengar suara berkerontangan beberapa kali berturut-turut.
"Suara apa itu?" tanya seorang tokoh silat.
"Aku curiga. Jangan-jangan itu tipu daya yang dilakukan oleh Betina Penghisap Darah!" kata utusan Kerajaan. Semua yang hadir saling berpandangan. Langsung tempat itu menjadi sunyi. Ketegangan menggantung di udara.
Dewa Tuak memandang pada Wiro. Orang tua ini kedipkan matanya. Wiro balas mengedip. Di luar sana kembali terdengar suara berkerontangan. Suasana dalam ruangan itu semakin tegang. Ketegangan ini tiba-tiba dirobek oleh suara Dewa Tuak dan Wiro Sableng. Keduanya sudah tahu siapa yang ada di luar sana. Tawa Dewa Tuak dan Wiro Sableng karuan saja membuat semua orang menjadi gusar dan mendelik memandang ke arah kedua orang ini!
Utusan dari Istana menggebrak meja seraya membentak. "Apa yang lucu! Sebetulnya kalian berdua tidak pantas berada di tempat ini! Aku curiga kalian berkomplot dengan gadis iblis itu!"
Dewa Tuak dan Wiro bangkit dari kursi masing-masing. Dewa Tuak memandang pada utusan Kerajaan itu lalu berkata perlahan. "Kau hanya seorang utusan. Kita semua disini berunding mencari cara untuk dapat menangkap muridku hidup atau mati!"
"Betul! Jika kau tidak pernah mengambil gadis itu jadi murid, bencana seperti ini tidak akan pernah terjadi!" ujar utusan kerajaan pula dengan mata mendelik.
Dewa Tuak tersehyum. Dia teguk tuaknya beberapa kali sebelum menjawrab. "Kau merasa tidak perlu kehadiran kami berdua tidak jadi apa!"
Lalu Dewa Tuak memberi isyarat pada Pendekar 212. Kedua orang itu melangkah ke pintu. Saat itu di luar sana kembali terdengar-suara berkerontangan. Keras sekali tanda suara itu blerada tepat di depan pintu.
Sewaktu pintu dibuka, di luar kelihatan tegak seorang tua berpakaian compang-camping. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup caping bambu yang lebar. Di tangan kanannya ada sebuah kaleng rombeng berisi batu. Kaleng inilah yang mengeluarkan suara berkerontang berisik ketika si orang tua menggoyang-goyangkannya. Di tangan kirinya orang bercaping ini memegang sebatang tongkat kayu sedang dibahunya dia menyandan? sebuah kantong butut.
"Sahabatku Kakek Segala Tahu, kau datang di waktu yang sangat tepat!" berkata Dewa Tuak. "Tapi saat ini kau tidak beruntung. Di dalam sana tidak ada yang akan menyediakan kopi hangat untukmu! Mari kita cari kedai saja. Kita minum di sana sambil ngobrol!"
"Sahabatku Dewa Tuak! Belasan tahun kita tidak bertemu! Apa kau baik-baik saja?" bertanya si caping lebar. Ternyata dia auaiah tokoh silat tingkat tinggi yang memiliki segala macam ilmu pengetahuan dan punya keahlian meramal yang biasa dipanggil dengan sebutan Kakek Segala Tahu.
"Aku sedang ditimpa musibah!"
"Musibah apa gerangan?"
"Sudah nantilah aku ceritakan." Jawab Dewa Tuak.
"Aku kemari memang tidak mencari kopi hangat. Harumnya bau tuakmu menyambar hidungku dari jauh. Itu sebabnya aku kemari! Aku minta tuakmu barang sedikit!"
Kakek Segala Tahu pergunakan tongkat kecilnya untuk memukul bumbung bambu yang dipegang Dewa Tuak di tangan kiri. Luar biasa sekali. Bumbung bambu itu melayang ke atas dengan bagian mulutnya menungging ke bawah. Dengan ujung tongkatnya Kakek Segala Tahu menahan bibir tabung. Sementara tuak mengucur ke bawah Dewa Tuak berseru keget. Tentu saja dia tak mau tuaknya tumpah percuma. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat dia tertawa gelak-gelak!
Bagitu tuak mengucur jatuh, Kakek Segala Tahu tanggalkan caping bambunya. Curahan tuak ditampungnya dengan caping bambu itu. Setelah penuh, ujung tongkat ditangan kirinya disentakkan. Bumbung bambu melayang ke arah Dewa Tuak. Kakek berjanggut putih ini cepat menyambuti tabungnya.
Memandang ke depan dilihatnya Kakek Segala Tahu asyik meneguk tuak harum itu dari pinggiran caping. Karena kepala dan mukanya tidak terlindung lagi dari caping lebar, semua orang yang ada disitu kecuali Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng terkesiap kaget. Ternyata si kakek berpakaian compang camping itu bermata buta!
"Sahabat, sudah habis hausmu?!" tanya Dewa Tuak ketika dilihatnya tuak secaping sudah habis diteguknya.
"Sudah... sudah. Enak sekali rasanya!" jawab Kakek Segala Tahu lalu enak saja capingnya yang masih basah itu disungkupkannya kembali ke atas kepalanya. Kemudian dipegangnya lengan Dewa Tuak seraya berkata.
"Aku mendengar kau dan anak sableng ini tidak dibutuhkan kehadirannya disini. Apalagi aku kakek-kakek berbaju rombeng, bau dan buta! Ah, lebih baik aku buru-buru pergi sebelum kena usir pula."
Wiro garuk-garuk kepala lalu memegang lengan Kakek Segala Tahu. "Kita pergi sama-sama, Kek!" kata sang pendekar.
"Ya, ya kita, ngobrol di kedai saja. Akan kuramalkan pada kalian di mana bisa menemui Betina Penghisap Dajah itu. Lalu akan kuceritakan pada kalian siapa dia sebenarnya. Ayo, mari kita berangkat!"
Ketigar orang itu, Dewa Tuak, Wiro dan si Kakek Segala Tahu segera tinggalkan tempat itu. Kakek Segala Tahu melangkah sambil menggoyang-goyangkan kalengnya.
"Tunggu!"
Utusan dari Istana berseru lalu mengejar. Dia menghadang langkah Kakek Segala Tahu. "Orang tua, aku minta kau mengatakan semua apa yang kau ketahui tentang gadis iblis itu sekarang jugal Sekaligus harap terangkan apa maksudmu dengan ucapan hendak menerangkan siapa dia sebenarnya!"
Kakek Segala Tahu menyeringai. Dengan ujung tongkatnya dia naikkan pinggiran depan caping di kepalanya. Lalu ujung tongkat itu ditudingkannya tepat-tepat ke muka Utusan Kerajaan itu hingga hampir menyentuh hidungnya.
"Kau tidak membutuhkan dua orang sahabatku ini. Berarti kau tidak membutuhkan aku sahabat mereka! Menyingkirlah! Masakan tega menghadang langkah orang buta sepertiku!"
"Kalau kau tidak mau memberi keterangan, aku anggap kau berserikat dengan gadis iblis itu! teriak sang utusan.
"Baik, aku akan bicara. Tapi kau bicara duluan. Aku mau dengar!" kata Kakek Segala Tahu seraya menggoyangkan tongkatnya sedikit.
Sang utusan membuka mulutnya. Tapi tak ada suara yang keluar. Astaga! Dia tiba-tiba saja menjadi gagu. Dia coba gerakkan kedua tangannya. Kedua Kakinya. Gila sekujur tubuhnya ternyata telah kaku. Ternyata Kakek Segala Tahu telah menotoknya dengan satu gerakan kilat yang tidak terlihat!
"Anak sableng!" kata Kakek Segala Tahu pada Wiro. "Sebutkan siapa nama orang sombong ini biar aku ingat kesombongannya seumur hidup!"
"Namanya Raden Mas Pertolo Sembito, Kek!" jawab Wiro.
"Oooo... Raden Mas rupanya dia. Kukira Ikan Mas...!" Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak lalu melangkah pergi digandeng oleh Wiro dan Dewa Tuak.
Orang-orang yang ada di situ tidak berani menghalangi. Mereka hanya menyesali mengapa hal yang tidak enak itu terjadi. Dan mereka semua diam-diam menyalahkan utusan Kerajaan, yang bertindak terlalu gegabah terhadap tokoh-tokoh silat tingkat tinggi yang biasanya memang suka bersifat aneh!
********************
TIGA BELAS
Kakek Segala Tahu berjalan di tengah diapit oleh Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Si Kakek goyang-goyangkan terus kaleng rombengnya sedang Dewa Tuak tidak habis-habisnya tertawa dan sesekali sambil jalan dia meneguk tuaknya. Pendekar 212 melangkah mengiringi dua orang tua itu sambit cengar-cengir. Tiba-tiba Kakek Segala Tahu hentikan menggoyang kelengnya.
"Ada apa sahabatku?" tanya Dewa Tuak sementara Wiro juga memasang telinga.
"Aku mendengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Mungkin masih di sebelah Utara sana, di kaki bukit," menerangkan Kakek Segala Tahu.
Saat itu Wiro dan Dewa Tuak memang sudah mendengar suara derap kaki kuda itu, namun antara terdengar dan tidak. Berarti jelas bahwa kakek berpakaian compang-camping itu mempunyai pendengaran jauh lebih tajam dari kedua orang tersebut.
"Sebaiknya kita bersembunyi di balik semak-semak. Mengintai siapa yang bakal lewat di tempat in!" kata Wiro.
"Aku setuju usul anak sableng ini," menyahuti Kakek Segala Tahu. "Sambil menunggu yang lewat mungkin aku bisa menerangkan sedikit apa yang ku ketahui mengenai diri gadis berjuluk Betina Penghisap Darah itu."
Dewa Tuak dan Wiro lalu membimbing Kakek Segala Tahu ke balik semak belukar rapat di tepi jalan.
"Kek, sekarang coba kau ceritakan apa yang kau ketahui tentang Betina Penghisap Darah itu." kata Wiro begitu mereka duduk menjelepok di tanah, mendekam di balik semak belukar.
"Yang aku ingin tahu apa betul gadis iblis itu adalah muridku si Anggini!" kata Dewa Tuak yang duduk bersila sambil memangku tabung bambu berisi tuak.
"Tenang, jangan kesusu bertanya," jawab Kakek Segala Tahu. "Sebetulnya gadis itu bukan manusia jahat..."
"Heh!!" Dewa Tuak dan Wiro sama-sama keluarkan seruan heran. "Apa katamu?" bertanya Dewa Tuak.
"Tunggu dulu. Bicaraku belum habis kalian sudah memotong!"
"Kami heran. Nyata-nyata gadis itu menebar maut. Membunuh dan menghisap darah korbannya. Bagaimana kau bisa bilang dia bukan manusia jahat?!" ujar Dewa Tuak.
"Dengar dulu. Dia memang bukan manusia jahat. Dia hanya kejatuhan nasib sengsara. Terkena sumpah turunan yang dibuat oleh orang lain..."
Wiro garuk-garuk kepala dan menyeringai. "Ini baru cerita!" katanya. "Teruskan Kek!"
"Kejahatan seperti itu biasanya dilakukan oleh orang yang makan sumpah. Mungkin dulu kakek atau neneknya memiliki semacam ilmu hitam. Untuk memelihara ilmu itu biasanya ada ketentuan berupa sumpah yaitu dia harus membunuh dan menghisap darah manusia tertentu. Kemudian jika batas waktu kehidupannya habis maka dia harus menurunkan ilmu tersebut pada anaknya. Jika dia tidak punya anak pada saudaranya. Jika dia tidak punya saudara maka harus ada seorang lain yang dijadikan pewaris..."
"Aku mengerti sekarang!" kata Dewa Tuak dengan nada masgul. "Orang yang punya ilmu itu tidak punya anak tidak punya saudara. Sumpahnya dijatuhkan pada diri muridku Anggini yang tidak tahu apa-apa! Kurang ajar! Setan keparat!" Dewa Tuak tampak marah sekali.
"Dewa Tuak," kata Wiro. "Sekarang baru saya mau bicara denganmu. Sebenarnya beberapa waktu lalu saya telah bertemu dengan muridmu itu. Memang saya melihat keanehan pada dirinya. Tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa dia benar-benar telah menjadi gadis momok penghisap darah. Dia kelihatannya seperti tidak sadar siapa dirinya. Dia malah tidak tahu apa yang terjadi dalam rimba persilatan. Dia seolah-olah tidak merasa pernah melakukan kejahatan yang sangat mengerikan itu. Saya coba bicara dengannya tapi dia malah mendamprat saya. Mengatakan otak saya tidak beres. Ketika dia begitu saja hendak pergi, saya berusaha mencegah. Tapi dia menciderai-kaki-kaki kuda tunggangan saya dengan senjata rahasianya dan lenyap!"
"Aneh, apa sebenarnya yang terjadi dengan muridku itu!" kata Dewa Tuak sambil geleng-geleng kepala.
"Ada satu hat lagi. Saya tidak melihat dia membawa selendang ungu yang merupakan salah satu senjata andalannya. Menurut Anggini selendang itu hilang. Aneh! Sebelumnya saya melihat selendang itu ada padanya. Yaitu sehabis dia melakukan pembantaian terhadap Ki Sambar Tringgali dan Ki Ageng Timur. Kau sendiri juga ada di situ dan sempat hendak dibunuhnya, Dewa Tuak!"
"Bukan main. Keanehan apa yang tengah menyengsarakan diriku ini sebenarnya..." keluh Dewa Tuak.
"Kalian akan segera mendapat jawabnya sobat-sobatku!" kata Kakek Segala Tahu sambil membuka capingnya dan mengibas-kipaskan topi bambu lebar itu kemukanya. "Dugaanmu hampir betul. Sebelum aku sampai pada diri muridmu akan kukatakan dulu bahwa yang jadi biang kerok semua ini adalah seorang manusia yang sudah sejak lama mati tetapi hidup dalam penjelmaan seekor ular berkepala manusia. Dia dikenal dengan papggilan Maha Ratu. Sebenarnya dia adalah bekas kekasihmu di masa muda yang pernah kau kecewakan! Rohnya muncul untuk membalaskan sakit hati terhadapmu, sahabatku Dewa Tuak."
Dewa Tuak terlonjak melihat mendengar kata-kata Kakek Segala Tahu itu. Sementara Wiro ternganga dan memandang berganti-ganti pada kedua orang tua yang duduk di hadapannya.
"Bekas kekasihku...?" ujar Dewa Tuak. "Yang mana? Yang namanya siapa? Aku punya banyak kekasih di masa muda!" kata Dewa Tuak blak-blakan.
"Yang aku maksud adalah Juminten Dorojalu," jawab Kakek Segala Tahu.
"Juminten Dorojalu!" seru Dewa Tuak. Kembali tubuhnya terlonjak.
"Maha Ratu memang berusaha mencari muridmu. Tapi yang didapatnya gadis lain. Gadis itu kemudian..."
Ucapan Kakek Segala Tahu terpotong. Suara derap kaki kuda yang tadi terdengar di kejauhan kini menderu keras tanda sudah dekat. Tak lama kemudian serombongan orang berkuda berjumlah lebih dua puluh orang muncul. Di depan sekali adalah seorang yang mengenakan topi tinggi berwajah garang dengan kumis melintang dan janggut meranggas. Dia adalah Tumage Jarandiku seorang pembantu Patih Kerajaan yang sangat dipercaya dan memiliki kepandaian tinggi.
Konon dikabarkan dialah kelak yang bakal dipercayai menduduki jabatan Patih jika Patih yang sekarang mengundurkan diri dari jabatannya karena uzur. Di sebelah belakang bergerak empat orang tokoh silat Istana. Lalu menyusul beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda Kerajaan. Di sebelah belakang mengikuti sekitar selusin perajurit bersenjata lengkap. Masing-masing anggota rombongan ini membawa peluit yang digantungkan di leher.
Beberapa puluh langkah dari tempat Dewa Tuak dan dua orang lainnya itu bersembunyi Tumage Jarandiku hentikan kudanya. Lalu terdengar dia berkata. "Kita akan segera sampai di tempat sasaran. Mata-mata sudah meyakinkan bahwa gadis itu berada dikawasan ini. Aku menduga berat dia hendak mencari korban di kalangan orang-orang yang menghadiri pertemuan rahasia itu. Aku kawatir akan keselamatan Dimas Pertolo Sembito. Saat kita menebar melakukan pengurungan. Beri tanda dengan tiupan peluit jika kalian melihatnya!" Lalu seusai dengan yang sudah diatur sebelumnya rombongan itu meninggalkan tempat itu, menebar jadi beberapa kelompok yang masingmasing terdiri dari dua orang.
Dibalik semak belukar. "Tokoh-tokoh penting dari Istana muncul secara tiba-tiba. Padahal sebelumnya sudah ada utusan Kerajaan di sekitar sini. Hemm..." Kakek Segala Tahu diam sejenak baru menyambung ucapannya. Tadi mereka bicara tentang seorang gadis. Besar dugaanku gadis yang dimaksudkan adalah Betina Penghisap Darah itu!"
"Muridku Anggini!" kata Dewa Tuak pula.
"Bukan," menyahuti Kakek Segala Tahu. "kau lihat saja nanti. Mari kita kembali ke tempat pertemuan tadi! Kurasa di sana semua keanehan berdarah ini akan berakhir... " Si kakek bangkit berdiri. Diikuti oleh Dewa Tuak dan Wiro Sableng.
Ketika mulai melangkah Dewa Tuak sesaat tertegun dan pegangi dada kirinya. "Ada apa Dewa Tuak?" tanya Wiro.
"Ini adalah hari ke 39. Berarti umurku hanya tinggal sehari lagi!" sahut Dewa Tuak.
"Eh, kenapa kau bicara begitu? Apa yang telah kau lakukan sahabatku?" tanya Kakek Segala Tahu sambil hentikan langkah pula.
"Aku telah bersumpah untuk dapat menangkap muridku yang sesat itu dalam waktu 40 hari. Kalau tidak aku sudah siap untuk mati. Aku telah menelan racun yang akan membunuhku pada akhir hari ke 40!"
"Kau nekad! Gila!" semprot Kakek Segala Tahu sementara Wiro juga tampak terkejut bukan main.
"Aku belum gila atau nekad. Hanya tak bakal tahan menanggung malu jika anak itu tidak aku bunuh!"
"Kau bilang umurmu hanya tinggal satu hari. Apakah kau juga membawa obat penawarnya?"
Dewa Tuak mengangguk. "Ada," katanya. "Yang penting sekarang kita segera ke tempat pertemuan itu!"
Ke tiga orang itu segera bergegas meninggalkan tempat itu.
********************
EMPAT BELAS
Begitu Kakek Segala Tahu, Wiro dan Dewa Tuak berlalu, mereka yang tadi menghadiri pertemuan rahasia bertindak cepat untuk membebaskan Pertolo Sembito dari totokannya. Yang paling dekat adalah seorang tokoh silat dari Selatan berjuluk Si Kaki Besi. Orang ini berusia sekitar setengah abad. Kedua kakinya mulai dari pangkal paha berwarna hitam, memiliki kekuatan seperti besi. Tembok bisa dihantamnya sampai jebol. Pohon dapat ditumbangkannya dengan sekali tendang saja. Apalagi jika dia menghantam tubuh manusia.
Baru saja Si Kaki Besi mengulurkan tangan hendak melepaskan totokan di tubuh utusan dari Istana itu, tiba-tiba satu bayangan ungu berkelebat. Tahu-tahu tubuh Pertolo Sembito seperti disambar burung besar dan kelihatan dibawa terbang ke atas sebatang pohon dan ditegakkan pada salah satu cabangnya. Di sebelahnya berdiri seorang gadis berpakaian serba ungu dan sehelai selendang ungu melingkar di lehernya.
"Gadis iblis! Betina Penghisap Darah!" seru beberapa orang hampir bersamaan. Karuan saja tempat itu jadi diliputi suasana tegang. Semua orang yang ada di sana jadi tercekat. Lalu terdengar suara tiupan peluit panjang, disusul oleh tiupan peluit lainnya dari berbagai penjuru. Dalam waktu singkat belasan kelompok masing-masing terdiri dari dua orang bermunculan di tempat itu.
"Kangmas Tumage Jarandiku!" seru Si Kaki Besi. "Syukur kau datang. Lihat! Kita sudah menemukan dan mengurung gadis iblis pembunuh Pangeran Panji itu! Dia di atas sana!"
Rombongan yang baru datang sama melihat ke atas pohon. Di atas pohon gadis berbaju ungu memandang dengan dingin pada orang-orang di bawahnya. Lalu dia tertawa cekikikan. Di kejauhan seperti menyambuti terdengar suara lolongan anjing. Tangan kanan Betina Penghisap Darah yang memegang bahu utusan Kerajaan dan seperti orang merangkul tiba-tiba bergerak ke leher Pertolo Sembito.
"Lihat jari-jari tangannya!" Seseorang di bawah pohon berteriak.
Di atas pohon lima jari tangan kanan gadis berbaju ungu tampak mengeluarkan kuku-kuku panjang runcing berwarna merah. Ketika lima kuku itu dihunjamkan ke leher utusan Kerajaan yang masih dalam keadaan tertotok itu, darah kelihatan muncrat!
Semua orang yang ada di bawah pohon tertegun bergidik. Tubuh Pertolo Sembito tampak bergetar keras. Betina Penghisap darah telah menyedot seluruh darah yang ada dalam tubuh lelaki itu. Tubuh orang ini kelihatan seperti terkulai. Ketika cengkeraman kuku dilepaskan Pertolo Sembito tak ampun lagi melayang ke bawah, jatuh bergedebukan di tanah!
Serta merta tempat itu dilanda kegegeran. Di atas pohon Betina Penghisap Darah tampak menyeringai sambil menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah. Kedua matanya memandang ke bawah siap mencari dan menentukan korban berikutnya. Matanya memperhatikan Tumage Jarandiku.
"Hemm... Manusia satu ini kelihatan seperti orang berpangkat. Kepandaiannya tentu tidak rendah. Tapi aku lebih suka pada yang memiliki kaki hitam itu. Ilmunya pasti lebih tinggi. Jika kusedot darahnya ilmu kesaktianku pasti akan berlipat ganda."
Begitu Iblis Penghisap Darah berpikir. Maka diapun siap-siap melompat turun untuk menyambar Si Kaki Besi. Tapi saat itu dibawah pohon Tumage Jarandiku justru telah memberi isyarat pada orang-orang berkepandaian tinggi di sekitarnya.
"Gadis iblis! Dosamu sudah lewat takaran!" Sudah saatnya kau harus dibunuh! Mayatmu akan kami cincang lalu kami bakar!" Teriak Tumage Jarandiku.
Sekali lagi dia memberi isyarat maka bersama dua orang tokoh silat ditambah dua orang Perwira Tinggi dia melesat ke atas, ke arah cabang pohon di mana Betina Penghisap Darah tegak berdiri, siap-siap hendak melompat turun menyambar Si Kaki Besi.
"Bagus! Kalian punya nyali rupanya! Tentu darah kalian sedap kuteguk?" teriak Betina Penghisap Darah.
Gadis ini lepaskan gulungan setendang ungu yang melingkar di lehernya. Sekali dia mengebutkan selendang yangsalah satu ujungnya itu ada guratan angka 212, maka angin laksana topan prahara menderu. Dua orang Perwira yang ikut melompat ke atas pohon berseru kaget. Tubuh mereka mencelat ke bawah begitu kena tamparan angin pukulan. Yang satu terkapar patah pinggang, meregang nyawa sambil mengerang tiada henti. Satunya lagi langsung tak berkutik karena kepalanya pecah sewaktu jatuh menghantam tanah.
Hanya Tumage Jarandiku serta dua orang tokoh silat lainnya masih mampu menerobos terpaan angin pukulan yang dahsyat itu. Namun tetap saja mereka agak terhuyung-huyung walau berhasil mencapai cabang pohon di mana Betina Penghisap Darah berdiri sambil tertawa-tawa.
Luar biasanya begitu mereka sampai di cabang pohon, semuanya jadi terkejut karena dapatkan gadis iblis itu tidak ada lagi di tempat itu! Memandang ke bawah terkejutlah mereka semua. Saat itu si gadis telah berada di bawah sana tengah menyerang Si Kaki Besi yang dibantu oleh dua orang tokoh silat Istana dan selusin perajurit Kerajaan!
Gerakan-gerakan silat Betina Penghisap Darah sungguh luar biasa. Dalam beberapa gebrakan saja tiga orang perajurit tersungkur roboh kena hantamannya. Seorang Perwira Muda kemudian terpental disambar ujung selendang ungunya. Mata kirinya pecah. Raungan Perwira Muda ini membuat susana jadi tambah tegang.
Melihat orang-orang si pihaknya menemui ajal bergelimpangan Si Kaki Besi jadi marah dan mengamuk. Tubuhnya melayang dan melompat sebat. Kedua kakinya kirimkan tendangan susul menyusul. Yang diarah adalah bagian-bagian kematian lawan yaitu kepala, tenggorokan dan dada! Mendapat serangan dahsyat itu Betina Penghisap Darah jadi terkesiap juga. Dia hantamkan selendangnya ke arah perut Si Kaki Besi. Yang diserang cepat melompat dan balas menghantam dengan tendangan kaki kanan. Ujung selendang tak ampun lagi saling beradu dengan tendangan itu.
"Bukkk...!"
Betina Penghisap Darah keluarkan seruan pendek. Tangan kanannya bergetar dan ujung selendangnya terpental ke samping. Di lain pihak Si Kaki Besi tampak terhuyung-huyuag hampir jatuh. Kaki kanannya sakit bukan kepalang hingga dia tegak terpincang-pincang. Masih untung dilihatnya kakinya tidak cidera. Mendapat perlawanan keras begitu rupa Betina Penghisap Darah berteriak keras. Selendang ungu kembali dikebutnya sedang tangannya sebelah kiri melepaskan pukulan-pukulan aneh yang menebar hawa dingin.
Beberapa orang perajurit dan seorang Perwira Tinggi menjerit keras kena hantaman selendang. Yang lain-lain termasuk Si Kaki Besi terkejut besar ketika mereka merasakan hawa tiba-tiba menjadi sangat dingin hingga tubuh mereka serasa kaku. Perajurit- perajurit Kerajaan yang ilmu kepandaian mereka paling rendah langsung tak bisa bergerak.
Semuanya tertegak tegang kaku. Sekujur tubuh bergetar, rahang menggembung dan gigi-gigi bergemeletukan. Gadis berbaju ungu itu telah lepas kan pukulan sakti bernama Salju Pusaka Dewa.
Si Kaki Iblis dan beberapa tokoh silat lainnya maklum kalau lawan memiliki ilmu aneh yang menimbulkan hawa dingin dan bisa membuat kaku sekujur tubuh serta anggota badan, cepat-cepat alirkan darah dan tenaga dalam hawa panas. Begitu mereka terbebas dari kekakuan kembali mereka menyerbu si gadis. Kali ini beberapa di antaranya sudah menghunus senjata sakti yang mereka miliki. Hanya Si Kaki Besi saja yang masih tetap mengandalkan kedua kakinya.
Di atas pohon sementara itu Tumage Jarandiku keluarkan teriakan keras yang merupakan syarat. Diikuti oleh tokoh-tokoh silat yang ada di cabang pohon dia segera melesat ke bawah. Di bawah sana, beberapa orang tokoh silat Istana yang tadi tidak sempat ikut melesat ke atas pohon kini telah ikut mengurung Betina Penghisap Darah. Gadis ini sekarang dikeroyok hampir oleh dua puluh orang.
Beberapa diantaranya adalah tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Serta merta dirinya terdesak. Nyawanya terancam. Namun gadis itu tampak tenang-tenang saja malah terus menghadapi para pengeroyoknya sambil tersenyum-senyum tapi tetap saja wajahnya seram mengerikan karena bercelemongan darah Pertolo Sembito yang tadi telah jadi korbannya pertama kali.
Dalam keadaan perkelahian berkecamuk hebat demikian rupa itulah rombongan Dewa Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tempat itu. Ketiganya masih sempat merasakan hawa dingin aneh yang mencucuk sampai ke tulang sumsum.
"Anak sesat! Itu dia!" kata Dewa Tuak dengan sangat marah. "Sebentar lagi dia akan menemui ajal di tangan para pengeroyok! Kalau aku tidak segera turun tangan bisa-bisa aku keduluan orangorang itu. Anggini harus mati di tanganku!"
Dewa Tuak hendak melompat ke arah kalangan pertempuran. Tapi Kakek Segala Tahu cepat memegang lengannya lalu berpaling pada pendekar 212.
"Anak Sableng, coba kau katakan dulu padaku apa yang terjadi!" kata Kakek Segala Tahu.
LIMA BELAS
Wiro menggaruk kepalanya. "Anggini, murid Dewa Tuak di keroyok hampir oleh dua puluh orang. Dia mempertahankan diri hanya mengandalkan selendang ungu dan pukulan-pukulan sakti di tangan kanan. Agaknya..."
"Tunggu dulu!" potong Kakek Segala Tahu. "Sebelumnya kau mengatakan bahwa ketika kau bertemu dengan Anggini, gadis itu bilang selendang yang pernah kau berikan padanya hilang. Mengapa tahu-tahu kini selendang itu ada di tangannya?"
"Ini memang satu hal yang saya tidak mengerti Kek," jawab Wiro.
"Dia pasti berdusta! Mungkin takut kau akan memintanya kembali!" Dewa Tuak ikut bicara. "Aku tak bisa menunggu lebih lama! Aku harus segera turun tangan. Anak itu harus kuhukum mati dengan tanganku sendiri. Lepaskan peganganmu!" Dewa Tuak menepiskan tangan Kakek Segala Tahu yang memegang tengannya. Pada saat itu pula terdengar satu suara bentakan keras disusul dengan berkelebatnya satu bayangan ungu.
"Gadis durjana! Kau mencemarkan namaku! Terima kematianmu!"
Lalu sepuluh buah senjata rahasia berbentuk paku perak dengan kepanjangan setengah jengkal melesat di udara, menghantam ke arah sepuluh bagian tubuh Betina Penghisap Darah!
"Hai! Aku mengenali suara orang yang barusan berteriak itu!" seru Dewa Tuak dan cepat berpaling. "Astaga! Kenapa jadi begini!"
"Saya juga mengenali suara itu! Lihat! Gila!" seru Wiro. "Kenapa bisa jadi dua? Apa kembar!?"
"Sialan! Aku tak bisa melihat! Wiro! Lekas katakan apa yang terjadi? Apa yang jadi dua?!" berseru Kakek Segala Tahu. Kalau sejak tadi mendiamkan saja kaleng rombengnya kini dia kini dia goyang-goyangkan benda itu hingga mengeluarkan suara berkerontangan!
"Ada dua dara berpakaian serba ungu, berwajah hampir mirip satu sama lain. Cuma satu memegang selendang, satunya tidak!" Wiro menerangkan dengan cepat.
Kakek Segala Tahu angkat bagian depan caping bambunya sedikit lalu berkata. "Apa kataku! Aku memang sudah duga! Dewa Tuak! Salah satu dari gadis berpakaian ungu itu adalah muridmu! Kau harus tahu mana muridmu yang sebenarnya dan mana gadis yang kejatuhan sumpah turun temurun lewat Maha Ratu!"
Dewa Tuak terbelalak. "Aku bisa pusing!" katanya. "Keduanya hampir tidak berbeda satu sama lain. Biar aku teguk dulu tuakku!" Habis berkata begitu Dewa Tuak teguk tuak dalam bambu sampai wajahnya menjadi merah.
Di depan sana gadis berbaju ungu yang mendapat serangan senjata rahasia dari gadis berpakaian ungu lainnya pukulkan tangan kirinya serta sebatkan selendang ungunya. Delapan senjata rahasia berbentuk paku mental. Tiga diantaranya menghantam para pengeroyoknya. Satu tertembus tepat di keningnya hingga roboh saat itu juga.
Dua menjerit ketika paku-paku perak itu menembus dada dan perut masing-masing. Dua paku perak lainnya sempat merobek ujung selendang di tangan kanan si dara berbaju ungu dan satunya lagi menyambar bahu pakaiannya hingga robek besar. Marahlah gadis ini!
Di dahului dengan teriakan melengking keras dia membuat gerakan demikian rupa untuk dapat membebaskan diri dari para pengeroyoknya. Tujuannya kini adalah menyerang gadis berbaju ungu yang barusan datang dan membunuhnya! Tetapi celakanya para pengeroyok tidak memberi kesempatan. Sepasang mata gadis berbaju ungu itu tampak berapi-api. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
"Dewa Tuak! Apa kau masih belum dapat mengenali mana gadis berbaju ungu muridmu?" bertanya Kakek Segala Tahu.
"Sulit kalau aku tidak bisa mendekat!"
"Barusan aku mendengar ada yang melepas senjata rahasia. Kau lihat siapa yang melakukan?!" bertanya Kakek Segala Tahu.
"Astaga!" seru Wiro. "Bukankah Anggini memiliki senjata rahasia berupa paku perak seperti yang tadi dilepaskan gadis baju ungu yang barusan datang? Berarti gadis ini adalah muridmu Dewa Tuak!"
Dewa Tuak berseru kaget. "Aku sudah pikun. Mustinya aku bisa menerka sendiri tadi! Wiro, kau betul! Yang barusan datang ini adalah muridku Anggini!"
"Apa kataku!" ujar Kakek Segala Tahu. "Sebelumnya aku sudah menduga kalau muridmu tidak melakukan kejahatan biadab itu. Bukan dia yang jadi Betina Penghisap Darah. Hanya saja buktinya belum di dapat. Kini rahasia besar itu sudah mulai tersingkap. Gadis yang memegang selendang harus dibunuh. Dialah Betina Penghisap Darah yang sebenarnya. Maha Ratu sengaja menyarukan dirinya sebagai anak muridmu. Namamu tercemar lalu kau akan membunuh muridmu sendiri atau si betina itu yang akan membunuh kalian berdua, guru dan murid! Kalau itu terjadi berarti terbalas dendam kesumat Maha Ratu alias Juminten Dorojalu kekasihmu di masa muda dulu!"
Bergetar sekujur tubub. Dewa Tuak mendengar hal itu. Tiba-tiba di kalangan pertempuran terdengar suara jeritan-jeritan mengerikan. Benda-benda aneh berlesatan di udara.
"Ada apa lagi ini!?" tanya Kakek Segala Tahu.
Sementara itu orang-orang yang sejak tadi mengeroyok gadis berbaju ungu itu menjadi heran ketika mereka melihat munculnya gadis berbaju ungu lain yang memiliki wajah mirip. Siapa gadis satu ini, lalu yang mana di antara mereka sebenarnya adalah Betina Penghisap Darah?
"Kangmas Jarandiku, bagaimana ini?" tanya Si Kaki Besi.
"Jangan tolol! Jangan tertipu. Orang yang kita keroyok ini adalah Betina Penghisap Darah sebenarnya! Kita sudah saksikan dia membunuh Pertolo Sembito dan menghisap darahnya! Rapatkan kurungan!"
Mendengar teriakan Tumage Jarandiku itu, Si Kaki Besi dan yang lain-lainnya segera memperketat kurungan dan menempur lawan tunggal mereka mati-matian! Wiro menggaruk kepalanya. Selintas pikiran muncul si benaknya.
"Dua gadis berwajah mirip berpakaian sama. Bisa muncul bahaya besar pada diri murid Dewa Tuak!" Wiro lalu buka baju putihnya dan berkelebat ke arah gadis baju ungu yang barusan datang. "Anggini! Lekas kau pakai bajuku ini! Jika nanti orang-orang tidak bisa lagi membedakan mana dirimu dan mana gadis iblis itu, nyawamu pasti terancam!"
Gadis berbaju ungu di hadapan Wiro yang memang adalah Anggini murid Dewa Tuak adanya mengerti jalan pikiran pemuda itu. Cepat-cepat dia mengenakan baju putih yang diberikan Pendekar 212 lalu mengikuti Wiro bergabung dengan Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu.
"Guru, maafkan muridmu ini. Saya..."
"Sudah, sudah! Lupakan segala macam peradatan. Aku merasa ada sesuatu yang hebat tengah terjadi di kalangan pertempuran. Aku mencium bau amis! Wiro lekas katakan apa yang terjadi!" kata Kakek Segala Tahu pula.
Saat itu gadis berjuluk Betina Penghisap Darah berada dalam keadaan terdesak dan terkurung rapat oleh para pengeroyok. Beberapa kali dia mencoba menerobos guna dapat menyerang Anggini yang asli namun selalu gagal. Maka dalam marahnya dia lalu merapal ajian memanggil ular-ular peliharaannya.
"Para Dewi, datanglah!"
Begitu rapal diucapkan maka terdengar suara bersiur riuh sekali disertai bau amis. Seolah-olah datang dari langit, belasan ekor ular hitam melesat ke arah si gadis lalu menempel dan bergelantungan di badannya. Ada yang bergelung di leher, dada, pinggang atau kaki. Dua ekor ular malah mendekam di atas kepalanya. Melihat hal ini tentu saja para pengeroyok menjadi bergidik. Dengan ketakutan mereka melangkah mundur. Yang tadinya belum menghunus senjata kini mencabut senjata masing-masing.
"Sahabat-sahabatku, serang dan bunuh mereka!" perintah Betina Penghisap Darah pada ular-ular itu.
Semua binatang ini lepaskan gelungannya, mendesis keras dan tiba-tiba mereka berlesatan ke arah para pengeroyok. Terjadilah hal yang mengerikan. Puluhan pengeroyok yang berusaha melarikan diri diserang oleh ular-ular jejadian itu. Ada yang digelung hingga hancur luluh tulang leher atau dadanya. Namun kebanyakan menemui ajal karena langsung dipatuk!
Beberapa tokoh silat seperti Tumage Jarandiku dan Si Kaki Besi berusaha membunuh binatang-binatang yang menyerang mereka dengan senjata. Ternyata ular-ular itu tidak mempan di bacok apalagi pukulan! Keduanyapun mati berkaparan dengan belasan patukan berbisa melanda kepala dan tubuh mereka!
"Maut! Ganas! Aku mencium bau maut! Aku merasakan adanya kematian yang ganas! Wiro lekas ceritakan apa yang terjadi!" kata Kakek Segala Tahu tak tahan lagi.
Ketika kemudian Wiro menerangkan, orang tua ini berubah wajahnya. "Itu adalah ular-ular jejadian milik Maha Ratu. Pada gilirannya ular-ular iblis itu pasti akan menyerang kita!"
Wiro terkejut. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Pendekar 212 sementara Anggini juga mulai jadi bergidik dan cepat berjaga-jaga.
Dewa Tuak tampak tegang. Dia siapkan tabung tuaknya. Di depan sana pedataran pertempuran telah menjadi rata. Puluhan mayat bergelimpangan. Ada yang saling tumpang tindih. Gadis berpakaian ungu tegak berkacak pinggang sementara ular-ular yang tadi disuruh menyerang dan membunuh kini kembali bergayutan di tubuhnya.
"Sayang, para tokoh silat itu ikut mati semua hingga aku tak dapat menghisap darah mereka!" kata si gadis dalam hati. Mulutnya menyeringai. Perlahan-lahan dia berpaling ke arah Dma Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng serta Anggini yang tegak di kejauhan.
"Gadis itu memandang ke arah kita." bisik wiro.
"Ah... Giliran kita hendak dijadikannya korban!" kata Kakek Segala Tahu. "Ular-ular jahanam itu! Kita harus dapat melawannya. Tapi bagaimana...? Bagaimana!?"
Sementara itu si gadis mulai berjalan melangkahi tumpukan mayat. Bergerak ke arah empat orang itu. Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212 dan memegangnya erat-erat di tangan kanan. Sedang tangan kiri sudah bergetar dengan aliran tenaga dalam yang tinggi. Dia sudah menyiapkan pukulan Sinar Matahari di tangan itu. Anggini sudah menggenggam selusin senjata rahasia paku peraknya.
Kakek Segala Tahu gelengkan kepala. "Ular-ular itu tidak bakal mempan dengan segala macam senjata yang saat ini kalian pegang..." katanya.
"Lalu apakah kita akan mampus percuma tanpa perlawanan?" tukas Dewa Tusk.
Betina Penghisap Darah melangkah terus sambil menyeringai. Ular-ular di tubuhnya mengeluarkan suara berdesis-desis dan menebar bau amis.
"Kalian semua sudah siap mampus?" tanya gadis iblis itu lalu hentikan langkah. Wajahnya yang cantik jelita telah berubah jadi seseram setan, apalagi masih bercelemongan darah!
"Celaka! Aku masih belum menemukan cara untuk menghadapi ular-ular itu." kata Kakek Segala Tahu. "Otakku seperti buntu!"
"Kek! Goyangkan kaleng rombengmu! Siapa tahu kau bisa segera dapat petunjuk." bisik Wiro.
Kakek Segala Tahu mendongak. Lalu diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi dan goyangkan kaleng yang dipegangnya.
Gadis berbaju ungu di hadapan mereka tertawa bergelak. "Rupanya kau ingin mengantar kematian diri dan teman-temanmu dengan nyanyian kaleng rombeng begitu rupa. Hik hik hik..."
"Sialan! Dia menghina kalengku!" kata Kakek Segala Tahu. Tiba-tiba dia susul ucapannya. "Ular! Binatang itu paling takut dengan api! Kita bisa membunuhnya dengan api!"
Paras Dewa Tuak berubah. "Tuak murniku bisa kujadikan api! Sahabat, kupinjam dulu tongkat bututmu!"
Tanpa menunggu jawaban orang Dewa Tuak, segera mengambil tongkat kayu di tangan kiri Kakek Segala Tahu. Lalu dirobeknya ujung pakaiannya sendiri dan digulungkannya pada ujung tongkat. Ujung tongkat itu kemudian dicelupkannya ke dalam tuak dalam tabung bambu.
"Api, kita butuh api!" kata Dewa Tuak. Matanya membentur Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro. "Heh, apa kau membawa batu hitam pasangan senjata mustika itu?"
Wiro segera mengerti dan cepat keluarkan batu hitam yang tersimpan di pinggangnya. Tanpa disuruh dia segera menghantamkan batu hitam ke salah satu mata kapak. Bunga api memercik terang. Dewa Tuak dekatkan ujung tongkat yang telah digulung kain dan dicelup tuak. Serta merta api menyambar dan membakar ujung tongkat seperti sebuah obor!
Di depan sana Betina Penghisap Darah tertawa tergelak. "Kalian kira api itu bisa menakuti ular-ularku? Bisa membunuh binatang-binatang ini?"
Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu tercekat. "Iblis itu betul. Bagaimana kalau binatang jejadian itu tidak mempan api?" bisik Kakek Segala Tahu.
"Berarti kita semua akan mati di tempat ini!" jawab Wiro dengan muka mulai pucat.
Dewa Tuak teguk tuaknya sampai mulutnya penuh. Minuman itu tidak terus ditelannya melainkan tetap dibiarkannya di dalam mulut. Tangan kirinya memegang tongkat yang ujungnya dikobari api. Betina Penghisap Darah keluarkan suara lengkingan.
"Semua lekas berlindung di belakangku!" perintah Dewa Tuak. Kakek Segala Tahu dan Anggini segera melakukan apa yang diperintahkan. Hanya Wiro yang masih tegak di sebelah kanannya. "Kau sudah ingin segera mampus?" bentak Dewa Tuak.
"Mungkin api kapak dan batu bisa menolong seperti api tuakmu!" jawab Pendekar 212.
"Kau coba saja. Kalau gagal kau tanggung sendiri akibatnya!"
"Sahabat-sahabatku! Serang dan bunuh keempat orang itu!" tiba-tiba gadis berpakaian ungu berikan perintah.
Ular-ular yang bergelayutan di tubuhnya tegakkan kepala dan mendesis keras. Tiba-tiba binatang ini melesat ke depan. Dewa Tuak segera semburkan tuaknya. Begitu menyambar api di ujung tongkat, tuak yang disemburkan itu berubah menjadi buntalan api yang bergulung-gulung menyambut serangan belasan ekor ular hitam. Di sebelah Dewa Tuak Pendekar 212 segera pula gosokkan batu hitam sakti dengan mata Kapak Maut Naga Geni 212. Gelombang api yang sangat panas menderu dan menyambar ke arah ular-ular yang datang menyerang.
Ular-ular hitam itu seperti tahu datangnya bahaya dengan cepat merubah gerakan serangan mereka. Ada yang melesat ke atas lalu menukik meneruskan serangan. Ada pula yang membelok ke kiri atau ke kanan lalu kembali menyerang.
Wiro dan Dewa Tuak menjadi sibuk. Kakek Segala Tahu coba menghantam dengan kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sementara Anggini mulai melepaskan senjata rahasianya. Untuk sementara serangan-serangan ular itu masih dapat ditahan oleh kobaran api sedang pukulan sakti Kakek Segala Tahu dan senjata rahasia Anggini tidak mempan. Lalu sampai seberapa lama Dewa Tuak dan Wiro bisa bertahan?
Bagaimana kalau tuak dalam dua buah tabung itu akhirnya habis dan Wiro keletihan menghantamkan kapak dan batu hitam terus menerus? Ular-ular hitam dengan cerdik melayang-layang di udara, berputar-putar mencari kesempatan. Suatu ketika binatang ini kembali menyerbu. Dewa Tuak dan Wiro semburkan api tapi celakanya salah seekor masih sempat menerobos gelombang api lalu mematuk paha kiri Kakek Segala Tahu.
Orang tua ini berteriak kesakitan dan roboh ke tanah. Wiro tendang tubuh ular yang tadi mematuk. Binatang ini hanya mencelat mental tapi sama sekali tidak cidera! Begitu mental binatang ini menyerang kembali. Dewa Tuak terpaksa menyemburkan lagi dengan tuak berapi.
"Celaka! Tuakku tinggal sedikit." kata Dewa Tuak.
Betina Penghisap Darah tertawa bergelak mendengar ucapan itu. Sementara itu ketika tubuhnya tergelimpangan roboh, sepasang mata Kakek Segala Tahu seolah-olah diberi penglihatan aneh lewat daya ingatnya yang luar biasa. Dalam kebutaannya dia membayangkan Pendekar 212 memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Dia seolah-olah melihat adanya lobang-lobang pada gagang senjata mustika itu.
"Pendekar 212! Suling! Ular-ular itu... Senjatamu... Senjatamu...senjatamu..." Ucapan Kakek Segala Tahu hanya sampai di situ. Orang tua ini jatuh terkulai dan pingsan.
Namun murid Eyang Sinto Gendeng sudah maklum apa yang ingin dikatakan oleh si kakek. Segera dia melompat ke cabang sebatang pohon. Di sini dia duduk bersila dan dekatkan gagang kapak yang berbentuk kepala naga itu ke mukanya. Ketika Wiro mendekatkan bibir naga ke bibirnya sendiri, ular-ular hitam yang melayang di udara menunggu kesempatan tiba-tiba melesat ke arahnya.
Melihat sang pendekar dalam bahaya Dewa Tuak cepat semburkan tuaknya sambil meletakkan tongkat berapi di depan mulut. Tuak murni menyembur membentuk gelombang api yang dahsyat membuat ular-ular hitam Itu terpaksa mundur. Anggini lepaskan lagi sepuluh senjata rahasia. Tapi paku- paku perak itu mental berjatuhan ke tanah begitu mengenai tubuh ular-ular hitam.
Di atas pohon Wiro susun jari-jari tangannya pada enam buah lobang di gagang Kapak Maut Naga geni 212. Senjata mustika ini memang bisa dijadikan sebagai sebuah seruling sakti. Begitu dia meniup dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, menggeledeklah suara melengking yang membuat semua telinga menjadi sakit.
Dewa Tuak dan Anggini cepat tutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Betina Penghisap Darah coba bertahan tapi akhirnya terpaksa juga menutup jalan pendengarannya dengan menusukkan ujung-ujung jari ke dalam liang telinganya kiri kanan. Ular-ular hitam yang melayang-layang di udara tampak terlonjak lalu dongakkan kepala.
Makin keras suara tiupan Seruling yang dimainkan Wiro semakin kacau gerakan-gerakan binatang ini di udara. Daun-daun pepohonan tampak bergerak-gerak. Beberapa di antaranya mulai luruh berjatuhan ke tanah!
Perlahan-lahan Wiro rubah tiupan serulingnya. Kalau tadi melengking tinggi rendah tidak karuan, kini nadanya tetap tinggi tetapi membawakan lagu aneh. Ular-ular hitam yang melayang-layang diudara tampak melenggak-lenggok jinak mengikuti irama seruling yang ditiup Wiro. Tetapi dari telinga dan mulut mata mereka kelihatan keluar tetesan tetesan darah tanda binatang-binatang ini tidak bisa bertahan terhadap getaran-getaran tiupan suling yang memang dahsyat itu.
Satu demi satu ular-ular hitam itu melayang turun ke bawah dan akhirnya berjatuhan di tanah. Tampaknya binatang ini seperti mabok. Namun sesaat kemudian mereka melata di tanah menuju pohon di mana Wiro duduk meniup Kapak Maut Naga Geni 212. Belasan ular kemudian merayap di batang pohon naik mendekati cabang di mana murid Sinto Gendeng berada. Tentu saja Dewa Tuak dan Anggini menjadi cemas.
Apalagi Pendekar 212 sendiri. Kuduknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya mandi keringat. Tapi dia terus saja meniup serulingnya malah menambah kekuatan tenaga dalamnya. Kini belasan ular hitam itu telah mencapai cabang tempat Wiro duduk. Mereka meniti cabang naik ke atas pangkuan Wiro, bergelung ke berbagai bagian tubuh pemuda itu. Walau tidak satupun yang menggigit atau mematuk namun Wiro yang sudah tidak sanggup menahan rasa takut akhirnya terkencing-kencing.
Di bawah pohon Dewa Tuak dan Anggini terheran-heran melihat apa yang terjadi. Belasan ular hitam besar itu hanya bergelung-gelung dan berputar-putar di sekitar tubuh Wiro. Mereka kelihatan menjadi jinak. Di bagian lain di bawah pohon Betina Penghisap Darah menjadi marah melihat kejadian itu. Dia berteriak pada ular-ular memberi perintah.
"Para Dewi! Bunuh pemuda yang meniup suling itu!"
Kalau sebelumnya begitu mendengar perintah binatang jejadian itu langsung menyerbu dan mematuk korbannya maka kali ini perintah itu seperti tidak mereka dengar. Ular-ular ini terus saja bergayut menggelungi tubuh Wiro. Malah ada yang menjilati tubuhnya yang bertelanjang dada itu!
Melihat hal ini Betina Penghisap Darah menjadi tambah marah. Dia turunkan kedua tangannya yang dipakai menutupi telinga. Justru ini adalah satu kesalahan yang mencelakakannya. Begitu liang telinganya tidak terlindung lagi, suara lengkingan seruling yang ditiup Wiro langsung menusuk ke dalam telinganya.
"Dess! Dess...!"
Gendang-gendang telinganya kiri kanan pecah! Darah mengalir ke luar. Gadis ini berteriak kesakitan dan berusaha menekap kedua telinganya kembali. Tentu saja sudah terlambat. Kedua matanyapun kini tampak kelihatan berubah merah. Pemandangannya seperti tertutup kabut. Lalu darah kelihatan pula menetes dari dua lobang hidungnya. Sesaat sebelum dia roboh Betina Penghisap Darah pukulkan ke dua tangannya ke arah Wiro.
Dua gelombang angin dingin menderu. Pukulan salju pusaka dewa menggebubu. Udara menjadi sangat dingin. Wiro merasakan tenggorokannya tercekik. Tiupan sulingnya sesaat terhenti oleh pengaruh hawa dingin luar biasa itu. Jika hal ini terjadi berlama-lama, ular-ular hitam itu akan terbebas dari pengaruh tiupan seruling dan pasti akan menyerbu serta membunuh siapa saja yang ada di situ.
Namun saat itu dari samping Dewa Tuak dan Anggini sama-sama lancarkan serangan. Dewa Tuak semburkan minumannya melewati kobaran api di ujung tongkat. Satu gelombang api menderu ke arah Betina Penghisap Darah.
Selagi dia berusaha melompat menghindari sambaran api, sepuluh senjata rahasia paku perak yang dilepaskan Anggini melesat menghantam tubuhnya. Hanya tiga yang bisa dielakkannya. Tujuh lainnya menancap tepat di berbagai bagian tubuhnya. Saat yang sama gelombang api kembali menyambar.
"Wussss...!"
Betina Penghisap Darah menjerit keras. Tubuhnya sesaat tampak melayang ke atas dengan kobaran api. Ketika tubuh itu terhempas ke tanah keadaannya sudah jadi gosong menghitam.
"Selendangku!" seru Anggini seraya memburu. Tapi selendang pemberian Wiro itu telah ikut jadi abu!
Di atas pohon Wiro merasakan rasa tercekik pada tenggorokannya lenyap. Serta merta die meniup sulingnya kembali. Hal ini membuat Dewa Tuak dan Anggini terpaksa menutup liang telinga mereka kembali. Satu demi satu ular-ular hitam yang meliliti tubuh Pendekar 212 berjatuhan ke tanah.
Binatang ini menggeliat-geliat beberapa lamanya lalu terjadilah hal yang aneh. Belasan ular itu berubah menjadi jejeran debu hitam memanjang, lalu debu hitam ini berubah menjadi asap putih yang perlahan-lahan naik ke udara dan akhirnya lenyap dari pemandangan!
Wiro turunkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari bibirnya. Dia memandang ke bawah. Senjata mustika itu disisipkannya ke pinggangnya. Dua kali dia menggaruk kepala baru pendekar ini melompat turun ke tanah. Wiro melangkah cepat mendekati Dewa Tuak dan Anggini yang tengah memeriksa keadaan Kakek Segala Tahu yang seat itu masih berada dalam keadaan pingsan.
Luka bekas patukan di paha kiri kakek kelihatan telah membengkak dan berwarna kebiruan. Wiro segera keluarkan Kapak saktinya kembali. Salah satu mata kapak di letakkannya di bagian paha yang kena patuk. Lalu murid Sinto Gendeng ini mulai kerahkan tenaga dalamnya untuk menyedot racun yang ada dalam tubuh orang tua itu.
Perlahan-lahan darah kental keluar dari lobang luka. Mula-mula warnanya tampak hitam, lalu berubah agak kebiru-biruan. Setelah beberapa lama darah itu berubah lagi menjadi merah. Wiro menarik nafas lega. Dia hentikan pengerahan tenaga dalam. Racun di tubuh kakek Segala Tahu telah dikuras keluar. Begitu dirinya bebas dari pengaruh racun yang bisa membunuhnya, Kakek Segala Tahu tampak menggeliat. Kedua matanya terbuka. Lalu dia bangkit dan duduk di tanah.
"Heh, habis jalan-jalan kemana aku ini...?" katanya sambil memandang berkeliling. Lagaknya seperti orang yang tidak buta saja!
"Lagakmu keren amat!" kata Dewa Tuak. Dia angsurkan bumbung bambunya. "Ini tuakku masih ada sedikit. Minumlah agar darah di tubuhmu benar-benar segar. Kau tahu, kau hampir saja jalan-jalan ke neraka!"
Kakek Segala Tahu ambil tabung bambu itu lalu meneguk isinya sampai habis! Hal ini tentu saja membuat Dewa Tuak jadi jengkel penasaran tapi hanya bisa geleng-geleng kepala!
"Apakah semuanya sudah berakhir?" tanya Kakek Segala Tahu sambil berdiri. "Aku tidak lagi mendengar suara ular-ular itu gentayangan di udara. Juga tidak ada bau amis..."
"Semuanya memang sudah berakhir Kek..." kata Wiro.
"Eh, mana kaleng rombengku!" berseru Kakek Segala Tahu. "Aku boleh tidak makan seratus hari! Tapi aku tidak bisa hidup tanpa kaleng itu!"
"Ini kalengmu Kek," kata Anggini seraya menyorongkan kaleng milik si kakek ke dalam genggaman orang tua itu.
"Ah... Terima kasih..." Kakek Segala Tahu lalu goyang-goyangkan kalengnya hingga mengeluarkan suara berisik. Lalu dia berpaling pada Dewa Tuak dan berkata. "Kau sudah bertemu dengan muridmu. Kau sudah tahu kalau bukan dia yang jadi Betina Penghisap darah itu. Apakah kau sudah menelan obat penghancur racun dalam tubuhmu?"
Dewa Tuak berseru kaget. "Astaga! Kalau tidak kau ingatkan aku hampir terlupa!" Dewa Tuak cepat meraba saku pakaiannya. Sebelah kiri, lalu sebelah kanan. "Celaka! Obat itu hilang!" serunya dengan muka pucat. "Matilah diriku!"
"Hilang atau kau lupa meletakkannya di mana..." kata Kakek Segala Tahu pula.
"Kau menyembunyikannya?!" menuduh Dewa Tuak.
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. "Buat apa aku menyembunyikan obat tak berguna bagiku itu?"
Dewa Tuak jadi kelabakan. Ketika dia tidak juga menemukan obat penangkal racun yang telah ditelannya itu, orang tua ini akhirnya duduk terhenyak di tanah.
"Kalian pergi saja. Biar aku menunggu ajal di sini!" kata Dewa Tuak dengan suara lemas.
Dia memperhatikan dua tabung bambu tuaknya yang telah kosong dengan tatapan mata sedih. Tiba-tiba pada salah satu pantat tabung dia melihat sebuah benda menempel.
"Sialan! Memang aku yang lupa!" kata Dewa Tuak sambil menepuk keningnya.
Dia melompat dan mengambil benda yang menempel pada bagian bawah tabung bambu. Benda ini adalah segumpal lilin lembut. Begitu gumpalan lilin dibuka, di dalamnya kelihatan sebuah benda hitam bulat sebesar ujung jari kelingking. Dewa Tuak segera menelan benda hitam itu yang bukan lain adalah obat untuk penangkal racun yang telah ditelannya empat puluh hari yang lalu.
"Dewa Tuak, kau yakin benda yang barusan kau telan benar-benar obat pemusnah racun yang ada dalam tubuhmu?" bertanya Wiro.
"Eh, apa maksudmu?" tanya Dewa Tuak dengan wajah berubah. Diam-diam dia jadi merasa takut kalau-kalau yang barusan di telannya memang bukan obat itu.
"Tidak, saya tidak ada maksud apa-apa," sahut Wiro. "Saya hanya kawatir kalau-kalau yang kau telan tadi bukannya obat tapi tahi kambing bulat-bulat!"
"Sialan! Anak kurang ajar!" maki Dewa Tuak.
Wiro, Anggini dan Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak.
T A M A T