Dewi Lembah Bangkai

Sonny Ogawa

DEWI LEMBAH BANGKAI

SATU

LIMA prajurit berkuda berderap memasuki halaman rumah yang penuh ditumbuhi pohon singkong. Mereka memiliki tampang-tampang galak, membekal golok besar di pinggang masing-masing. Begitu sampai di depan rumah papan beratap rumbia, kelimanya langsung melompat turun. Yang didepan sekali menendang pintu rumah sambil berteriak,

“Adi Sara! Kami perajurit Kadipaten datang membawa surat perintah penangkapan!”

Pintu rumah terpental tanggal. Perajurit yang menendang langsung masuk diikuti dua orang temannya. Dua lagi menunggu di luar berjaga-jaga dengan tangan menekan hulu golok.

Di dalam rumah, ketika dikejauhan terdengar derap kaki lima perajurit Kadipaten itu, seorang lelaki tua berambut putih memegang bahu seorang pemuda berusia dua puluh tahun seraya berkata,

“Anakku Adi! mimpiku semalam mungkin akan menjadi kenyataan. Aku dengar suara derap kaki-kaki kuda dikejauhan. Menuju ke rumah kita ini. Hampir pasti itu adalah orang-orang Kadipaten. Aku tidak menyesali perbuatanmu bercinta dengan puteri Adipati itu. Namun jurang antara dirimu dengan dirinya terlalu besar. Kalaupun kau bisa melompatinya, masih ada bahaya lain yang menghadang ditepi jurang lainnya. Dan ternyata kau tidak mampu melompati jurang itu anakku. Aku ayahmu juga tidak berkekuatan untuk menolongmu. Adipati pasti akan menyuruh anak-anak buahnya untuk menangkapmu...”

“Menangkapku ayah? Apa salahku? Apakah seseorang bisa ditangkap karena mencinta dan dicintai oleh orang lain?!” Adi Sara pemuda berwajah tampan itu bertanya.

Sang ayah tertawa, tapi wajahnya menunjukkan kemuraman. “Adipati bisa mempergunakan seribu alasan untuk menangkapmu, Adi. Bisa atau tidaknya seseorang ditangkap tergantung siapa yang memegang kekuasaan. Dan kekuasaan itu ada di tangan Adipati Sawung Glingging. Cepat kau tinggalkan rumah ini. Tinggalkan desa. Menghilanglah, tinggalkan desa dan jangan kembali-kembali lagi...”

“Aku tidak akan melakukan hal itu ayah! Kalaupun aku harus pergi, kita musti pergi sama-sama!” jawab Adi Sara.

“Jangan turutkan pikiran tololmu anakku! Pergilah! Sekarang juga! Selamatkan dirimu! Cepat...!”

Wajah Adi Sara tampak bimbang. Dia tahu bahaya besar yang mengancamnya. Lalu dia bertanya, “Bagaimana dengan dirimu sendiri ayah?”

“Jangan pikirkan tua bangka ini! Pergi lekas! Sambangi makam ibumu sebelum meninggalkan desa! Lekas Adi!”

Di luar sana lima penunggang kuda sudah memasuki pekarangan.

Adi Sara memegang tangan ayahnya, mencium tangan orang tua itu lalu bergerak meninggalkan rumah lewat pintu belakang. Sebelum menghilang dibalik pohon-pohon besar di belakang rumah dia masih sempat mendengar suara pintu depan ditendang bobol. Hal ini membuat langkahnya terhenti. Dia menyelinap dibalik sebatang pohon besar.

Di dalam rumah, Sara Jingga ayah Adi keluar dari kamar tepat pada saat tiga perajurit bersenjatakan golok masuk dan sampai dihadapannya.

“Kami mencari Adi Sara! Mana pemuda itu?!” perajurit di sebelah depan membentak.

“Anak itu tidak ada disini! Sejak semalam dia tidak pulang!” jawab Sara Jingga.

“Jangan dusta!”

“Sarungkan golok kalian! Bicara biasa-biasa saja! Senjata tidak akan membantu kalian menemukan anak itu! Karena dia memang tidak ada disini!”

“Kami membawa surat perintah dari Adipati Tawang Merto untuk menangkap pemuda itu!”

Terkejutlah Sara Jingga mendengar keterangan si perajurit. “Wilayah ini dibawah kekuasaan Adipati Sawung Glingging! Mengapa Adipati Tawang Merto yang mengeluarkan surat perintah penangkapan? Dan aku perlu tahu apa salah anakku hingga dia mau ditangkap!”

Si perajurit mendengus. “Siapa saja yang mengeluarkan surat perintah penangkapan bukan soal! Adipati Sawung Glingging dan Adipati Tawang Merto toh akan saling menjadi besan!”

Mendengar keterangan itu pahamlah kini Sara Jingga. Rupanya benar putera Adipati Tawang Merto hendak dijodohkan dengan puteri Adipati Sawung Glingging. Disitu pula pangkal sebabnya mengapa anaknya hendak ditangkap.

“Kalian boleh geledah rumah ini. Adi Sara tak ada disini! Katakan apa salah anak itu. Kalian belum menjelaskan!”

“Anakmu diketahui menjadi anggota kelompok garong Warok Bekontoro! Apa perlu ditanya lagi mengapa kami datang menangkapnya?!”

“Fitnah! Anakku keluar desa pun belum pernah. Bagaimana mungkin dia jadi anak buah Bekontoro!”

Si perajurit tidak menjawab. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. Kedua orang ini lalu melakukan penggeledahan. Adi Sara tidak ditemukan. Keduanya kembali dan memberi tahu kawannya tadi.

“Kalau pemuda itu tidak ada disini, kau jadi gantinya orang tua! Kau kami tangkap!”

“Aku tidak bersalah, tidak berdosa! Jangan pergunakan kekuasaan kalian untuk berlaku semena-mena!” ujar Sara Jingga dengan suara tandas.

Namun untuk ucapannya itu satu hantaman gagang golok harus diterimanya di bagian kepala. Orang tua ini menjerit kesakitan, lalu terhuyung antara sadar dan tiada. Tubuhnya kemudian di seret keluar rumah. Saat itulah terdengar bentakan penuh marah disertai berkelebatnya seseorang.

“Perajurit-perajurit biadab! Lepaskan ayahku!” Lima perajurit cepat berpaling.

“Adi Sara!” seru perajurit yang jadi pimpinan. “Akhirnya muncul juga anak yang katanya tidak pulang sedari tadi malam! Kau tak usah kawatir! Ayahmu akan kami lepaskan, tapi kau harus kami tangkap!”

Adi Sara melihat bagian kening ayahnya terkoyak dan ada darah yang mengucur. Ini membuatnya kalap. “Bangsat! Kalian apakan ayahku!” teriak pemuda ini lalu melompati perajurit terdekat.

Pemuda ini tidak memiliki kepandaian bela diri apapun, apalagi ilmu silat tinggi. Modalnya hanya keberanian dan kenekatan yang dibakar oleh kemarahan. Dia berhasil merampas golok salah seorang perajurit. Namun sebelum senjata itu sempat dihunusnya, dua hantaman pada punggung dan belakang kepalanya membuat Adi Sara tersungkur ke depan. Lalu datang tendangan bertubi-tubi menghajar muka dan tubuhnya. Wajahnya bengkak membiru. Dari hidung dan mulutnya mengucur darah. Dua tulang iganya patah. Pemuda ini terguling pingsan di samping sosok tubuh ayahnya.

“Kita bunuh saja pemuda ini!” berkata seorang perajurit.

“Jangan! Ingat perintah Adipati Tawang Merto. Dia harus kita buang ke Lembah Bangkai!”

“Kenapa mencapaikan diri membuangnya jauh-jauh kesana?” salah seorang perajurit membuka mulut bertanya.

“Kau pergilah tanyakan sendiri pada Adipati Tawang Merto! Jika kau tidak mau menjalankan perintah, bersiaplah untuk dihukum dan dipecat!”

Dalam keadaan pingsan tubuh Adi Sara akhirnya dinaikkan ke atas kuda. Lima perajurit itu kemudian segera tinggalkan tempat tersebut.

SATU

DUA

Aku mulai mencium bau busuk itu. Kita segera sampai ditempat tujuan! Tutup hidung kalian...”

Perajurit yang berkuda di sebelah depan memberi tahu dan cepat keluarkan sehelai sapu tangan dari saku pakaiannya. Sapu tangan ini diikatkannya ke mukanya hingga menutupi hidung dan mulutnya. Empat kawannya segera mengikuti apa yang dilakukannya. Bau busuk semakin keras setiap langkah mereka maju bergerak. Jalan yang mereka tempuh mulai mendaki.

Di ujung pendakian, kelimanya berhenti. Disitu menghadang sebuah lembah yang lebih tepat dikatakan sebuah jurang sedalam lima belas tombak. Batu-batu besar menyembul diantara kerapatan pepohonan dan semak belukar. Bau busuk menghampar santar. Bau busuknya bangkai!

Lima perajurit itu merasakan nafas masing-masing seperti sesak. Tengkuk menjadi dingin oleh rasa angker yang muncul sejak tadi.

“Lemparkan pemuda itu ke lembah, lalu lekas tinggalkan tempat ini!” perajurit pemimpin memberi perintah.

Dia memandang berkeliling, berusaha mencari-cari dimana sumber yang menebar bau busuknya mayat itu. Jika memang ada bangkai binatang atau mayat manusia, mengapa dia tidak melihatnya dibawah sana?

Mendadak tubuhnya bergetar dan sekujur badannya keluarkan keringat dingin. Dibalik kerapatan dedaunan pepohonan dan semak belukar di dalam lembah, dia melihat belasan sosok tubuh yang telah membusuk, ada yang hanya tinggal tulang-belulang saja, tergantung di cabang-cabang pohon! Mayat-mayat manusia! Itulah bangkai yang menebar bau busuk menyesakkan jalan pernafasan!

“Lekas lemparkan pemuda itu!” teriak perajurit itu.

Rupanya empat kawannya juga sudah melihat mayat-mayat busuk bergantungan di pepohonan itu dan langsung dirasuk ketakutan setengah mati hingga melupakan apa yang harus mereka kerjakan. Dua diantara mereka segera menurunkan tubuh Adi Sara. Satu mencekal kedua kakinya, yang lain menjambak bahu pakaiannya. Tubuh pemuda itu kemudian dilemparkan ke dalam lembah. Adi Sara terguling-guling ke bawah, lenyap diantara semak belukar dan lebatnya daun-daun pepohonan.

“Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak perajurit yang jadi pimpinan.

Dua perajurit segera melompat ke atas punggung kuda masing-masing. Pada saat itulah tiba-tiba dari dalam lembah terdengar suara sesuatu. Suara ini mempunyai pengaruh yang amat hebat karena ke lima perajurit itu begitu mendengar begitu terpukau dan seperti tidak ingat lagi untuk bergerak meninggalkan tempat itu. Atau memang karena tiba-tiba saja mereka tidak mampu bergerak, termasuk ke lima ekor kuda yang mereka tunggangi!

"Suara itu... Suara apa itu...?” bisik seorang perajurit.

“Suara kecapi...” yang lain balas berbisik.

“Aneh, siapa yang main kecapi di lembah itu?” Wajah lima perajurit mendadak sontak menjadi pucat! Makin lama suara petikan kecapi semakin jelas. Pada puncaknya tiba-tiba ada suara nyanyian yang mengalun ditimpali suara kecapi tadi. Suara nyanyian itu terdengar merdu sekali. Tetapi syair yang dibawakan membuat lima perajurit Kadipaten jadi berdiri bulu tengkuk mereka.

Lembah Bangkai lembah kematian.
Jangankan menjejakkan kaki.
Melihatnya sajapun sudah cukup alasan Untuk mati!
Tak ada yang datang dan bisa pergi
Tak ada yang pergi membawa nyawa di badan
Lembah Bangkai lembah kematian
Siapa yang datang tak bisa kembali pulang!


Suara nyanyian lenyap, tapi suara kecapi terus berdentringan.

“Hai! Lihat...! Apa itu yang melesat diudara?!” tiba-tiba salah seorang perajurit berteriak seraya menunjuk ke arah lembah.

Saat itu dari bawah lembah melesat seutas tali yang ujungnya dibuhul berbentuk lingkaran. Baru saja perajurit itu berteriak begitu, tahu-tahu ujung tali yang berbentuk lingkaran telah melesat ke arahnya lalu menjirat batang lehernya. Sebelum dia bisa berbuat apa-apa, tubuhnya sudah terbetot dari atas kuda, jatuh ke bibir lembah lalu tertarik dan terseret sepanjang lereng lembah akhirnya lenyap diantara semak belukar dan kerapatan pepohonan.

Melihat hal ini empat perajurit lainnya merasakan seperti putus nyawa masing-masing. Serentak mereka baru sadar dan cepat membedal kuda tinggalkan tempat itu. Namun tiga orang terlambat, hanya satu yang sempat kabur. Dari bawah lembah tampak melesat sebat empat utas tali yang ujungnya berbentuk lingkaran.

Tiga tali maut ini langsung menjirat leher tiga perajurit, satunya membentur pohon dan ini menyelamatkan perajurit ke empat tadi. Di lain saat tubuh tiga perajurit tersentak keras lalu jatuh dari punggung kuda masing-masing. Selanjutnya tampak tiga tubuh itu terseret ke dasar lembah dan lenyap!

Bersamaan dengan itu suara petikan kecapi lenyap. Lembah angker kembali diselimuti kesunyian. Hanya bau busuk bangkai yang masih terus menghampar bersama siliran angin. Dan bau ini tak akan pernah lenyap selama lembah angker itu berada disitu!

TIGA

Dara pakaian hijau itu mengetuk dinding gua sebelah luar tiga kali berturut-turut. Dia menunggu sesaat. Lalu dari dalam gua menggema suara halus. Suara perempuan.

“Masuklah...”

Di atas sebuah kesetan dara berpakaian hijau membersihkan kedua kakinya terlebih dahulu, lalu baru masuk ke dalam gua batu. Ternyata gua itu tidak panjang. Melangkah sebelas langkah sang dara sampai di sebuah ruangan kecil yang diterangi oleh sebuah pelita. Di tengah gua tampak duduk seorang perempuan berpakaian hijau. Wajahnya sulit untuk dilihat karena tertutup sehelai kain hijau tipis.

Namun dari balik cadar yang tipis itu, sepasang matanya seperti menyorotkan sinar tajam yang membuat siapa saja merasa risih untuk berani menatap. Di atas pangkuannya terletak sebuah kecapi. Rupanya orang inilah tadi yang memetik kecapi, mungkin dia juga yang menyanyi.

Kalau seluruh lembah dibuncah oleh bau busuknya bangkai, maka di dalam gua ini sama sekali tidak tersentuh oleh bau busuk yang menyesakkan nafas itu. Malah disitu merambas bau harum semerbak seperti harumnya bau bunga mawar dipagi yang cerah dan segar.

“Hijau Satu, berita apa yang hendak kau sampaikan padaku...?”

Dara berpakaian hijau yang dipanggil dengan nama Hijau Satu menjura hormat lalu duduk bersimpuh di hadapan perempuan yang memangku kecapi.

“Kita mendapatkan empat tambahan pajangan untuk pepohonan di lembah, Dewi...”

Wajah dibalik cadar hijau tersenyum. “Bagus... Siapa orang-orang itu?”

“Mereka adalah perajurit-perajurit Kadipaten. Saya tidak mengetahui dari Kadipaten mana. Sebetulnya mereka muncul lima orang. Tapi yang satu sempat kabur. Harap maafkan atas kelalaian ini Dewi... Kebetulan hanya saya sendiri yang ada di Lembah. Hijau Dua dan Hijau Tiga masih belum kembali...”

Sang Dewi anggukkan kepala. “Dalam waktu singkat lembah ini akan menjadi momok nomor satu dalam dunia persilatan. Lalu tokoh-tokoh persilatan akan muncul disini! Mereka datang dengan alasan untuk membasmi angkara murka, menghancurkan kejahatan! Tapi mereka akan kita sapu habis-habisan! Memang tidak semua mereka melakukan kesalahan dan berdosa besar terhadap diriku!

Tapi dendamku setinggi langit sedalam lautan! Mereka yang katanya ingin menegakkan kebenaran, menolong orang-orang tertindas, ternyata semua omong kosong belaka! Aku telah jadi korban dari omong kosong itu!”

Sang Dewi tutup kata-katanya dengan menjentikkan jari-jari tangannya diatas kawat-kawat kecapi. Terdengar suara berdentringan disertai berkiblatnya enam sinar yang menyilaukan. Goa kecil itu terasa bergetar. Hijau Satu merasakan tubuhnya terhuyung-huyung dan cepat mengimbangi diri agar tidak jatuh. Setelah getaran dalam gua berhenti, Hijau Satu baru membuka mulut kembali.

“Ada kejadian lain yang perlu saya beritahukan Dewi.”

“Ya, katakanlah...”

“Sebelum perajurit-perajurit Kadipaten itu muncul membawa seorang pemuda. Dalam keadaan pingsan pemuda ini mereka lemparkan ke dalam lembah. Pemuda itu berada dalam keadaan sakarat. Mukanya babak belur dan berselimut darah. Beberapa tulang iganya patah. Bagian belakang kepalanya ada luka besar. Saya tidak berani berbuat suatu apa tanpa izin Dewi...”

“Hijau Satu, bukankah ketentuan yang sudah kuberikan begitu pasti? Siapa saja yang berani berada didekat lembah, apalagi kalau sampai masuk ke dalam lembah harus dibunuh dan digantung mayatnya dipepohonan?!”

“Saya mengerti Dewi dan tahu sekali akan aturan itu. Maafkan saya kalau sudah bertindak salah. Saya tidak membunuh pemuda itu karena dia muncul dilembah bukan karena kemauannya sendiri. Dia dibawa oleh perajurit-perajurit Kadipaten dan dilemparkan ke lembah dalam keadaan pingsan...”

“Bagaimana kalau kemudian pemuda itu sadar dari pingsannya, melihat wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang bagus dibalik pakaian hijaumu yang tipis itu. Lalu dia merayumu dan memperkosamu seperti kejadian dulu atas dirimu, atas Hijau Dua dan Hijau Tiga, juga atas diriku!”

Mendengar ucapan itu Hijau Satu terdiam. Wajahnya sesaat pucat. Lalu dengan suara perlahan dia berkata, “Maafkan saya Dewi. Saya mengaku bersalah tidak menuruti perintah...”

“Katakan, apa ada alasan lain sampai kau tidak membunuh pemuda itu...”

Hijau Satu tidak bisa menjawab. Tapi sang Dewi diam-diam sudah dapat meraba apa yang menjadi alasan anak buahnya itu. Maka diapun berkata, “Bawa pemuda itu kemari...!”

Walaupun terkejut mendengar ucapan pimpinannya, namun Hijau Satu cepat berdiri dan tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali mendukung sosok tubuh Adi Sara lalu membujurkan-nya di atas lantai gua, dihadapkan sang Dewi.

Sesaat perempuan bercadar itu menatap wajah si pemuda yang tertutup darah mengering. “Ambil kain basah dan bersihkan wajahnya...” sang Dewi memerintah.

Hijau Satu kembali keluar dari dalam gua. Ketika masuk dia sudah membawa sehelai kain basah dan langsung membersihkan darah yang mengering di wajah Adi Sara. Begitu wajah itu menjadi bersih kelihatanlah wajah Adi Sara. Sang Dewi terkesiap dan terdengar menarik nafas kaget. Hijau Satu ingin sekali melihat apa yang terjadi, namun dia tak berani menatap wajah pimpinannya itu.

“Sekarang aku tahu. Dugaan ku tidak meleset. Hijau Satu tidak membunuh pemuda ini karena dia memiliki wajah begini tampan. Dan ya Tuhan... Mengapa wajahnya begitu mirip dengan... Kalau saja dia ada disini pasti akan sulit dilihat perbedaannya! Ah, bagaimana ini? Bagaimana aku harus mengambil keputusan...?!”

Lama sang Dewi terdiam. Lalu dia berpaling pada Hijau Satu. “Hijau Satu. Kau harus melakukan sesuatu terhadap pemuda ini!” terdengar suara sang Dewi.

“Saya siap untuk membunuhnya dan menggantung mayatnya di pepohonan, Dewi...”

“Tidak...” berucap sang Dewi dengan suara perlahan. “Kali ini kau kuperintahkan untuk mengobati dirinya!”

Hijau Satu angkat kepalanya tapi cepat-cepat menunduk. “Perintahmu akan saya laksanakan Dewi...” katanya. Lalu cepat-cepat dia mendukung tubuh Adi Sara dan meninggalkan gua itu, membawanya kesebuah gua lain yang tidak jauh dari gua dimana sang Dewi berada.

SATU

EMPAT

Ketika pimpinan perajurit itu muncul, Adipati Tawang Merto dan Adipati Sawung Glingging saling pandang sesaat. Lalu Tawang Merto membuka mulut. “Rundono, melihat tampang dan gerak gerikmu muncul saat ini, agaknya ada yang tidak beres! Apakah kau sudah menjalankan tugasmu? Lalu mana empat orang anak buahmu?!”

“Sesuai perintah, Adi Sara berhasil kami ringkus. Dalam keadaan pingsan pemuda itu kami bawa ke timur dan lemparkan ke Lembah Bangkai! Namun sebelum kami meninggalkan tempat itu, dari bawah lembah melesat sebuah tali berbentuk jiratan. Seorang perajurit langsung terjirat lehernya dan tubuhnya kemudian tertarik ke dasar lembah! Lalu ada empat tali lagi yang datang melesat. Saya masih sempat menyelamatkan diri. Namun tiga anak buah saya menemui nasib sama. Mereka kena dijirat dan lenyap di tarik ke dalam lembah!”

Kalau bukan saja Rundono yang menjadi orang kepercayaan mereka yang menuturkan keterangan itu, Adipati Tawang Merto dan Sawung Glingging mungkin tak akan mau mempercayainya. Kembali kedua Adipati ini saling pandang.

“Aku sendiri belum pernah berada di sekitar Lembah Bangkai itu,” berkata Tawang Merto. Namun berita yang sampai ketelingaku mengenai Lembah Bangkai itu macam-macam. Mulai dari baunya yang busuk sampai pada adanya mayat-mayat yang bergelantungan di cabang-cabang pohon. Lalu suara-suara aneh dan angker pada siang apalagi malam hari. Apakah semua itu benar-benar ada. Bukan hanya lamunan seorang penakut?!”

“Rundono telah menyaksikan sesuatu yang mengerikan. Dia telah mencium sendiri bau busuk yang luar biasa! Semua itu bukan lamunan atau cerita bohong sahabatku. Aku punya niat untuk menyelidiki sendiri keadaan lembah yang disebut Lembah Bangkai itu. Ada suatu keanehan di tempat itu. Siapa tahu dibalik keanehan itu ada satu keberuntungan...”

“Calon besanku,” menukas Sawung Glingging. “Kau bicara ngacok! Apa maksudmu dengan keberuntungan?”

“Bukan mustahil disitu ada seorang berkepandaian tinggi. Jika aku bertemu dengannya siapa tahu aku kebagian ilmu yang aneh-aneh!” sahut Adipati Tawang Merto pula.

Sawung Glingging tahu betul sifat sahabat dan calon besannya itu. Sejak muda Tawang Merto memang gemar berkelana untu mencari dan belajar berbagai ilmu, mulai dari ilmu silat sampai ilmu kesaktian. Bahkan dia juga memiliki banyak ilmu hitam. Termasuk benda-benda sakti mandraguna.

“Siapapun tidak melarangmu untuk mencari ilmu kepandaian walau saat ini kau sudah memilikinya sekarung penuh! Tapi menyelidik dan pergi ke Lembah Bangkai kurasa terlalu besar bahayanya sahabatku!”

“Tawang Merto tidak pernah takut dengan siapapun!” jawab sang sahabat sambil menyeringai dan usap-usap dadanya.

“Maksudku bukan soal takut dan berani sahabat. Tapi ingat, kita tengah merencanakan pesta besar. Pesta perkawinan anak-anak kita! Apakah kau mau membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak berguna seperti itu...?”

“Hemm... Sebenarnya ini bukan suatu hal yang tidak berguna. Tapi baiklah. Pada saat hendak mengatur hari perkawinan anak-anak kita, tidak pada tempatnya memang kalau aku mempunyai rencana lain. Biar maksudku menyelidiki Lembah Bangkai itu diundur dulu sampai hari perkawinan anak-anak kita...”

Adipati Sawung Glingging tersenyum gembira. Sambil menepuk bahu sahabat yang akan menjadi besannya itu dia berkata, “Seharusnya memang begitu. Sekarang mari kita masuk untuk membicarakan rencana besar ini bersama istri-istri kita. Jangan biarkan orang orang perempuan itu menunggu terlalu lama. Nanti bisa-bisa mereka mengatur rencana sendiri!”

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Adi Sara duduk di depan gua. Udara pagi terasa segar. Embun di dedaunan masih belum pupus. Dia mengusap dadanya yang masih diberi lapisan papan tipis untuk menjaga agar tulang iganya yang telah dipertautkan tidak bergeser. Pemuda itu menghirup udara dalam-dalam. Namun cepat sekali jalan nafasnya menjadi sesak begitu bau bangkai merasuk masuk ke dalam penciumannya. Ketika dia beranjak untuk masuk kembali ke dalam gua, dara berpakaian hijau itu tahu-tahu sudah berada di hadapannya.

“Hijau Satu!” seru Adi Sara seraya cepat bangkit.

“Kau sudah bisa keluar goa sendiri. Itu tanda kau sudah mulai sembuh. Benar begitu...?”

“Aku harapkan begitu Hijau Satu. Sembuh dan cepat bisa meninggalkan tempat ini. Aku tidak mau membuatmu susah lebih lama...”

“Susah bagaimana maksudmu?”

“Ah, apakah bukan susah namanya karena selama ini kau merawat luka-lukaku? Menyediakan makanan dan buah-buahan...”

“Semua itu bukan suatu kesusahan bagiku. Lagi pula semua sesuai perintah...”

“Pasti perintah dari Dewimu itu, bukan?” Hijau Satu mengangguk.

“Aku sangat berterima kasih padamu Hijau Satu. Aku ingin sekali bertemu dengan Dewimu itu...”

“Belum saatnya Adi Sara. Belum saatnya. Tunggu sampai kau sembuh benar.”

“Berarti berapa lama lagi aku harus berada disini?”

“Aku tidak tahu. Dewi nanti yang akan menentukan,” jawab Hijau Satu. Dalam hatinya dara ini berkata: “Aku kawatir Adi Sara, jangan-jangan Dewi tidak mengizinkanmu meninggalkan lembah...”

“Hijau Satu... Aku ada beberapa pertanyaan!” Adi Sara berkata.

“Tanyakanlah. Jika aku bisa menjawab akan aku jawab. Jika kurasa Dewi tidak berkenan aku memberi jawaban, maka aku tidak akan menjawab.”

“Baiklah, Dewi mu itu tentu seorang yang sangat agung dan berkuasa. Hingga segala sesuatunya kau harus tunduk padanya.”

“Dia pimpinan kami disini. Siapa saja harus tunduk pada pimpinan.”

“Kami...? Maksudmu kau tidak sendirian disini?” tanya Adi Sara. “Aku tidak melihat siapa-siapa disini!”

“Dewi punya tiga orang anak buah. Aku Hijau Satu, Hijau Dua dan Hijau Tiga...”

“Hemm...Semua bernama Hijau...Hijau. Mana kawanmu yang dua orang itu?”

“Mereka tengah menjalankan tugas di luar...”

“Kau menyebut dirimu Hijau Satu. Siapa namamu sebenarnya? Apakah kau tidak punya nama? Ah, pasti kau punya nama. Kikuk bagiku memanggilmu dengan nama Hijau Satu itu!”

Hijau Satu tersenyum. “Apa artinya nama? Aku tidak punya nama lain. Namaku ya itu. Hijau Satu...”

Adi Sara geleng-geleng kepala. “Pasti Dewimu itu lagi yang melarangmu memberi tahu nama aslimu. Tapi baiklah, tak jadi apa. Sekarang pertanyaanku berikutnya. Dimana aku ini berada sebenarnya?”

“Kau berada di Lembah Bangkai,” memberi tahu Hijau Satu.

“Lembah Bangkai! Nama aneh dan menggidikkan. Pantas sejak keluar dari gua aku mencium bau yang sangat busuk. Bau bangkai... Nafasku menjadi sesak dan dadakku mendenyut sakit jika aku menghirup udara dalam-dalam...”

“Sebetulnya kau belum boleh keluar dari dalam gua itu, Adi Sara. Dan ingat satu pesanku. Ini perintah Dewi. Kau tidak boleh meninggalkan gua lebih dari sepuluh langkah...”

“Eh, kenapa begitu?”

“Itu perintah dan tidak semestinya ditanya!” sahut Hijau Satu.

Lalu dari balik pakaian hijaunya dia mengeluarkan sebuah benda kecil, ternyata potongan batang bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang satu jengkal. Pada ujung bambu terdapat penyumpal terbuat dari kayu kecil. Hijau Satu tarik kayu penyumpal lalu menyuruh Adi Sara mengulurkan tangan kirinya. Hijau Satu kemudian menempelkan ujung bambu ke balik telapak tangan si pemuda. Sejenis minyak yang sangat harum leleh ke atas permukaan tangan Adi Sara.

“Gosokkan minyak itu kelobang hidungmu. Seumur-umur kau tak akan mencium lagi bau busuknya bangkai!” Hijau Satu menutup bambu kecil lalu menyimpannya kembali ke balik pakaiannya. Adi Sara melakukan apa yang dikatakan. Telapak tangannya yang berminyak diusapkannya ke lobang hidungnya. Tercium bau yang sangat harum. Perlahan-lahan bau itu sirna. Tapi kini Adi Sara tidak lagi mencium busuknya bau bangkai.

“Minyak ajaib!” ujar Adi Sara sambil memandang keheranan pada Hijau Satu.

“Jika kau tak ada lagi pertanyaan, masuklah kembali ke dalam goa. Dan jangan sekali-kali keluar jika tidak kuizinkan...”

“Masih kurang jelas bagiku, mengapa tahu-tahu aku berada disini. Yang aku ingat adalah kemunculan lima orang perajurit Kadipaten. Mereka menganiaya ayahku. Aku menyerang mereka. Setelah itu aku tak ingat lagi...”

“Memang perajurit-perajurit Kadipaten itulah yang telah membawamu ke sini lalu melemparkan tubuhmu ke dalam Lembah Bangkai... Katakan mengapa mereka melakukan hal itu terhadapmu...?”

Adi Sara tidak menjawab. Ada dua bayangan wajah yang muncul dipelupuk matanya saat itu. Pertama wajah ayahnya yang tua. Dia ingat sekali karena melihat bagaimana orang tua itu diseret dan dipukuli oleh lima perajurit Kadipaten. Bagaimana keadaan ayahnya saat ini? Dibawa ke Kadipaten, dipenjarakan atau sudah dibunuh oleh orang-orang Tawang Merto?!

Lalu wajah yang kedua adalah wajah Ningrum, kekasih yang sangat dicintainya dan juga mencintai dirinya. Hanya sayang percintaan mereka dan rencana untuk membangun rumah tangga terhalang oleh jurang lebar. Ningrum adalah puteri Adipati Sawung yang oleh orang tuanya ternyata dijodohkan dengan Tubagus Kolokaping, putera Adipati Tawang Metro, sahabat Sawung.

Ketika Ningrum menolak untuk dikawinkan dengan Tubagus dan dengan berani menyatakan bahwa calon suaminya satu-satunya hanyalah Adi Sara, putera petani miskin di desa Sumber Urip itu, maka marahlah Tawang Merto. Bersama Adipati Sawung Glingging dia menyusun rencana untuk menangkap, menghukum dan memenjarakan Adi Sara dengan tuduhan sebagai ikut terlibat menjadi anak buah kelompok garong Warok Bekontoro.

Tapi dalam pelaksanaannya kemudian Adi Sara tidak ditangkap dan dipenjarakan, melainkan dibuang ke Lembah Bangkai karena dengan demikian jejak kematian dan lenyapnya pemuda itu tidak akan diketahui orang lain.

“Aku harus meninggalkan tempat ini!” kata Adi Sara. Bagaimanapun juga dia harus menolong ayahnya.

“Itu tidak mungkin dilakukan!” jawab Hijau Satu.

“Mengapa tidak? Hemm... Aku tahu. Kalau begitu apakah kau bisa menemukan aku pada Dewimu itu?”

Hijau Satu menggeleng. “Selain aku dan Hijau Dua serta Hijau Tiga tidak orang lain pun boleh menemui Dewi. Kecuali Dewi memberi tahukan lain...”

“Jika begitu aku terpaksa melarikan diri dari sini!” jawab Adi Sara tandas.

Hijau Satu tersenyum. “Tidak satu orangpun bisa keluar hidup-hidup dari Lembah Bangkai...” katanya.

Ketika dia hendak beranjak pergi, dua sosok bayangan hijau berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu sudah berdiri dua orang dara berpakaian hijau seperti yang dikenakan Hijau Satu. Wajah keduanya tak kalah cantik dengan wajah Hijau Satu.

“Hijau Dua dan Hijau Tiga” Bagus, kalian sudah kembali. Dewi menunggu kedatangan kalian!”

Dua dara yang baru datang tidak segera menjawab teguran sahabatnya itu, keduanya justru menatap tajam-tajam pada Adi Sara.

Hijau Tiga bertanya, “Siapa pemuda berwajah pucat ini?!”

“Namanya Adi Sara. Seminggu lalu dia dilemparkan orang-orang Kadipaten ke dalam lembah” menerangkan Hijau Satu.

“Lalu kenapa dia dibiarkan hidup? Tidak segera dibunuh?!” tanya Hijau Dua.

“Dewi memerintahkan aku untuk tidak membunuhnya malah merawatnya,” jawab Hijau Satu.

Hijau Dua dan Hijau Tiga saling pandang.

“Hmmm... sungguh sulit dipercaya kalau Dewi yang memerintahkan begitu!”

Dua dara itu menatap tajam-tajam pada Hijau Satu.

“Aku yakin ada hubungan tertentu antara kau dan pemuda ini, Hijau satu...”

“Maksudmu?!”

“Kau bisa menjawabnya sendiri! Kau berlaku tidak jujur! Kau menyukai pemuda ini! Betul kan?!”

“Kau bicara melantur! Jika kau menuduhku begitu berarti kau juga menuduh Dewi seperti itu. Jaga mulutmu Hijau Dua!”

Hijau Dua terdiam dan ada rasa takut dalam hatinya karena telah ketelepasan bicara seperti itu. Kawannya Hijau Tiga mengusap wajahnya sesaat lalu berkata,

“Rupanya peraturan di Lembah Bangkai sudah berubah...?”

“Dengar kalian berdua. Yang berkuasa disini adalah Dewi dan dia pimpinan kita. Hitam katanya berarti hitam! Putih harus putih! Sebaiknya kau tidak menghabiskan waktu untuk mengobrol yang bukan-bukan di tempat ini! Lekas melapor pada Dewi!”

Walau Hijau Dua dan Hijau Tiga tidak suka atas ucapan Hijau Satu itu, bagaimanapun juga kedudukan Hijau Satu adalah diatas mereka maka mau tak mau keduanya segera meninggalkan tempat itu setelah sekali lagi mengerling pada Adi Sara.

“Jangan-jangan Dewi terpikat pada pemuda itu,” bisik Hijau Dua. “Wajahnya memang tampan...”

“Sssst... Jangan bicara terlalu keras. Kalau Dewi sempat mendengar celaka kita berdua...” ujar Hijau Tiga pula.

LIMA

Di hadapan Dewi bercadar hijau dan memangku kecapi, Hijau Dua dan Hijau Tiga menjura memberi hormat lalu duduk dengan khidmat. Hijau dua kemudian membuka mulut bertindak sebagai juru bicara pemberi laporan.

“Sesuai perintah kami telah menyerbu markas Datuk Sora Gamanda. Tapi orang itu tidak ada di sana. Kami disambut oleh enam anak muridnya. Semua kami musnahkan. Tak ada yang bersisa hidup dan markas Datuk itu kami bakar!”

“Bagus!” Dewi bercadar hijau diam sejenak. “Apakah kalian juga meninggalkan pesan disana!”

“Sesuai perintah Dewi, pesanpun kami tancapkan pada sebatang pohon, diatas secarik kain hijau bertulis huruf-huruf putih...”

“Coba sebutkan pesan yang kalian tinggalkan itu bunyinya bagaimana?” tanya Dewi pula.

“Jika ingin menuntut balas datanglah ke Lembah Bangkai!”

Dewi bercadar angguk-anggukkan kepala. “Mulai sekarang kita bersiap-siap untuk menyambut munculnya Datuk keparat itu. Lalu bagaimana dengan dua tugas kalian yang lain?”

“Itu pun sudah kami laksanakan Dewi. Pendekar Kaki Satu kami buntungkan kakinya yang masih utuh sedang kaki kayunya kami hancurkan. Tiga muridnya tewas. Dua melarikan diri. Sehabis menyelesaikan urusan dengan Pendekar Kaki Satu kami tidak lupa menancapkan pesan. Setelah itu kami menyerbu bukit Walang di selatan namun tidak menemui Si Pedang Iblis. Kami justru disambut oleh perempuan simpanannya yang dikenal dengan julukan Nenek Kelabang Biru...”

Wajah Dewi dibalik cadar tampak berubah. “Pendekar Pedang Iblis yang berusia tiga puluh tahun itu, kumpul kebo dengan seorang nenek-nenek berusia hampir tujuh puluh tahun? Sulit kupercaya!”

Sebenarnya bukan itu yang mengejutkan sang Dewi. Diam-diam dia mengetahui kalau Nenek Kelabang Biru adalah salah seorang momok golongan hitam yang sejak sepuluh tahun terakhir ini malang melintang didaerah selatan. Kabarnya dia juga mengepalai para bajak yang gentayangan di pantai selatan.

“Kalian bentrokan dengan nenek itu?” tanya Dewi.

Hijau Dua mengangguk. “Kami kemudian mengundurkan diri. Bukan saja karena memang tidak ada urusan dengan dia, tapi ternyata ilmu kepandaiannya sungguh luar biasa. Kami mengeroyoknya berdua. Dalam tiga jurus dia bisa mendesak dengan serangan-serangan berbahaya...”

Dewi mengusap dagunya lalu berkata, “Itu sebabnya aku harus cepat-cepat menurunkan lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai. Kalian harus sudah menguasainya sebelum para tetamu yang minta mampus itu berdatangan di lembah ini. Dan jangan lupa, lipat gandakan meminum ramuan kulit pohon yang kuberikan agar tenaga dalam kalian meningkat dengan cepat!”

“Kami perhatikan hal itu Dewi dan terima kasih atas maksudmu menurunkan lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai.”

“Jika tak ada lagi yang hendak kalian sampaikan atau tanyakan, aku ingin beristirahat dulu...”

“Ada satu hal yang ingin kami tanyakan Dewi,” sahut Hijau Dua.

“Katakan!”

“Apakah aturan di Lembah Bangkai ini mengalami perubahan?” bertanya Hijau Dua.

“Maksudmu?”

“Waktu sampai kemari tadi, kami menemui seorang pemuda bernama Adi Sara tengah berbincang-bincang dengan Hijau Satu. Menurut aturan pemuda itu siapapun dia dan bagaimanapun caranya dia sampai disini haruslah dibunuh. Justru menurut Hijau Satu dia telah menyelamatkannya bahkan merawatnya dari luka-lukanya...”

Sesaat sang Dewi agak terkesiap juga mendengar pertanyaan itu, namun akhirnya dia menjawab juga. "Tak ada peraturan yang berubah di Lembah Bangkai ini. Orang luar yang datang harus dibunuh, terutama kaum laki-laki. Namun untuk maksud dan tujuan kita, ada kalanya kita harus memperhatikan keadaan. Lagi pula...”

Belum selesai Dewi Lembah Bangkai mengucapkan kata-katanya tiba-tiba ditempat itu muncul Adi Sara. Melihat kedatangan si pemuda Hijau Dua dan Hijau Tiga cepat berdiri. Salah satu dari mereka membentak.

”Manusia lancang! Apakah kau tidak tahu bahwa tidak seorangpun boleh masuk ke tempat ini tanpa izin Dewi?!”

Hijau Tiga menimpali, “Lagi-lagi Hijau Satu berlaku teledor! Pemuda ini berada dibawah pengawasannya. Mengapa bisa masuk kemari?!”

Saat itu pula Hijau Satu muncul disitu. “Apa penjelasanmu Hijau Satu?!” Dewi bertanya. Suaranya tetap halus tapi mengandung ancaman.

“Maafkan saya Dewi. Ketika pemuda ini sudah masuk ke dalam goa, saya kira dia tak akan keluar lagi. Karena saya sudah memesankan aturan di Lembah Bangkai ini. Tapi ternyata dia menyelinap dan tahu-tahu sudah ada disini. Saya siap menerima hukuman!”

Hijau Dua dan Hijau Tiga yang rupanya pada dasarnya memang tidak senang terhadap Hijau Satu mencibirkan bibir, berharap sang Dewi segera menjatuhkan hukuman. Tapi diluar dugaan pimpinan mereka itu justru berpaling pada Adi Sara dan berkata,

“Pemuda, kau menyalahi aturan. Memasuki tempat orang tanpa izin. Memasuki Lembah Bangkai saja berarti mati! Apalagi berani memasuki tempat ini. Apa kepentinganmu? Lekas katakan!”

“Pertama harap jangan salahkan Hijau Satu. Sesuai perintah Dewi dia telah merawatku hingga saat ini meski belum sembuh tapi keadaanku jauh lebih baik! Aku berhutang budi dan nyawa bukan saja padanya, tetapi terutama sekali pada Dewi. Setelah Dewi menyelamatkan nyawaku, aku tidak yakin Dewi kemudian akan mengambilnya kembali dengan jalan membunuhku!”

“Dewi! Pemuda ini pandai bicara! Mulutnya berbisa!” teriak Hijau Dua.

Dewi lambaikan tangan. “Dia belum menjawab pertanyaanku mengapa dia berani masuk kemari!”

“Untuk itu aku mohon maafmu Dewi! Aku mengerti bahwa tempat ini adalah sangat pribadi. Apalagi semua yang ada disini adalah orang-orang perempuan. Hijau Satu sudah memberi tahu dan melarangku keluar dari gua perawatan. Namun aku terpaksa kemari karena harus memberi tahu bahwa aku akan meninggalkan tempat ini untuk menolong ayahku! Orang-orang Kadipaten telah menganiayanya. Aku harus mengetahui bagaimana keadaannya sekarang...”

“Mengapa orang-orang Kadipaten menganiaya ayahmu?” tanya sang Dewi pula.

“Waktu itu mereka sebenarnya hendak menangkapku. Tapi karena yang ada di rumah cuma ayah, maka mereka menyeret dan memukuli orang tua itu. Aku harus pergi. Terima kasih atas...”

“Tunggu dulu! Kau harus menerangkan mengapa orang-orang Kadipaten hendak menangkapmu?!”

“Yang jadi biang racunnya adalah Adipati Tawang Merto dan Adipati Sawung Glingging. Semua gara-gara aku bermaksud mengawini Ningrum, puteri Adipati Sawung yang ternyata diam-diam sudah dijodohkan ayahnya dengan putera Adipati Tawang yang bernama Tubagus Kolokaping. Aku lalu difitnah sebagai ikut berkomplot dengan Warok Bekontroro, ditangkap, dianiaya lalu dibuang ke Lembah Bangkai ini...”

“Apakah kau sangat mencintai gadis bernama Ningrum itu?” tanya Dewi.

“Kami benar-benar saling mencinta. Aku akan menempuh cara apa saja untuk mendapatkannya. Tetapi kemampuan dan kekuatanku tidak mungkin untuk menghadapi kekuasaan kedua Adipati itu...”

Paras dibalik cadar hijau itu tampak berubah sesaat, begitu juga paras Hijau Satu.

“Hemm...” terdengar sang Dewi menggumam. “Kapan hari perkawinan Ningrum dengan Tubagus itu?”

“Hari ke lima bulan enam. Jadi tiga hari lagi. Begitu yang aku dengar,” sahut Adi Sara.

Sang Dewi tampak berpikir-pikir. Akhirnya terdengar kembali suaranya, “Mengenai diri Ningrum kau tidak usah kawatir. Gadis itu akan dibawa kemari...”

Terkejutlah Adi Sara. Dan lebih terkejut lagi adalah ketiga gadis berpakaian hijau. Sang Dewi sebaliknya tetap tenang. “Hijau Dua, tugasmu untuk menculik gadis itu dan membawanya kemari. Untuk menghadapi para tetamu yang bakal datang menyerbu kita masih membutuhkan satu atau dua gadis lagi sebagai anak buahku. Ningrum kujadikan Hijau Empat... Ada yang berkeberatan?”

Baik Hijau Satu maupun Dua dan Tiga tidak berani membuka mulut. Justru yang terdengar adalah suara Adi sara.

“Dewi, jika maksudmu itu sungguhan, aku benar-benar mengucapkan banyak terima kasih...Tapi jika gadis itu diculik, ayahku akan jadi sasaran. Keadaannya sekarang entah bagaimana, dia pasti akan disiksa dan dibunuh seperti yang mereka lakukan terhadapku!”

“Hijau Tiga akan mengurus orang tuamu itu,” jawab Dewi pula. Lalu dia berpaling pada Hijau Satu. “Bawa dia ke dalam goa mu kembali! Sekali ini aku tidak ingin melihatnya meninggalkan goa itu tanpa izinku!”

Hijau Satu menjura. Lalu dia memberi isyarat pada Adi Sara untuk mengikutinya. Sebelum meninggalkan goa kediaman sang Dewi, Adi Sara menjura pada gadis bercadar itu, juga pada Hijau Dua dan Hijau Tiga.

“Terima kasih. Ternyata kalian adalah manusia-manusia berbudi tinggi. Aku siap berbakti pada kalian...”

“Lupakan hal itu! Disini tidak diperlukan bakti orang laki-laki!” sahut Dewi pula.

Setelah Hijau Satu dan Adi Sara tak ada lagi di situ sang Dewi berpaling pada Hijau Dua dan berkata, “Penculikan itu harus kau lakukan pada malam pesta perkawinan. Jangan lupa meninggalkan pesan. Adipati Tawang dan Sawung Glingging termasuk kaum laki-laki yang harus dibasmi. Aku tahu betul Tawang Merto memiliki tiga istri dan lebih dari setengah lusin gundik peliharaan! Sawung Glingging tidak lebih baik dari pada calon besannya itu. Walau tidak punya istri lebih dari satu dan tidak punya gundik, tapi anak istri orang banyak yang digerayanginya! Malam ini pelajaran lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai akan kita mulai. Sampaikan pada Hijau Satu. Dan kalian harus punya waktu untuk beristirahat karena pelajaran itu akan sangat menguras tenaga...”

“Kami mohon diri dulu Dewi,” kata Hijau Dua dan Hijau Tiga berbarengan.

********************

ENAM

Pesta perkawinan putera-puteri Adipati itu berlangsung sangat meriah dan penuh kemewahan. Tamu-tamu yang datang bukan orang sembarangan, bukan saja kaum bangsawan dan hartawan tapi banyak pula pejabat-pejabat serta tokoh-tokoh penting dari Kotaraja. Hiburan yang menyemarakan pesta perkawinan itupun merupakan hiburan kelas satu yaitu serombongan pemain gamelan terkenal yang pada menjelang tengah malam akan disambung dengan permainan wayang kulit oleh ki dalang Ronggo Suwito dari Madiun.

Selagi para tetamu siap untuk mengambil santap malam yang disediakan di sebuah bangsal besar, perhatian banyak orang tertarik oleh munculnya seorang tetamu gadis jelita berpakaian hijau. Hampir semua orang terutama kaum lelaki merasakan nafas mereka seperti tertahan. Bukan saja oleh kecantikan dan kemulusan kulit sang dara, tetapi lebih banyak oleh pakaian hijau yang dikenakannya. Pakaian itu begitu tipis sehingga liku-liku bentuk auratnya terlihat dengan jelas!

Sepasang pengantin dan orang-tua masing-masing yang mengapit mereka ikut terkesiap dan tahu-tahu tamu tunggal itu sudah berada di depan pelaminan!

“Bidadari dari manakah yang turun ketempat pesta perkawinan anakku ini!” ujar Adipati Tawang Merto. Kedua bola matanya terbuka lebar menggerayangi dada dan bagian perut yang membayang dibalik pakaian hijau tipis itu. Tenggorokannya tampak turun naik. Adipati yang memang mata keranjang ini basahi bibirnya dengan ujung lidah. Ketika Tawang Merto hendak menegur, sang tamu jelita lebih dulu membuka mulut.

“Aku datang bukan untuk memberi ucapan selamat. Tapi untuk menjemput pengantin perempuan. Ningrum tidak layak menjadi suami istri Tubagus Kolokaping!”

Bersamaan dengan itu lampu besar di tengah bangsal hancur berantakan. Dalam keadaan yang tiba-tiba menjadi redup gelap terdengar pekik pengantin perempuan. Lalu suara bentakan disusul dengan mentalnya beberapa sosok tubuh.

“Penculik! Kejar!”

“Pengantin perempuan diculik!”

Adipati Tawang Merto yang barusan terjajar hampir jatuh ke lantai cepat berdiri dan mengejar. Dua kali membuat lompatan dia sudah berada di ujung bangsal dan menghadang si baju hijau.

“Gadis gila! Berani kau mengacaukan pesta perkawinan anakku! Berani kau menculik puteriku! Rasakan!”

Seperti diketahui Tawang Merto memang memiliki ilmu silat dan kesaktian. Maka sekali dia menggebrak serangannya yang mengeluarkan angin keras membuat Hijau Dua terkejut! Gadis ini cepat mengelak dan susupkan satu tendangan. Tapi dengan mudah Tawang Merto menghindari tendangan itu malah kini tinjunya berkelebat ke arah kepala Hijau Dua.

Sang dara segera maklum kalau Adipati itu memiliki kepandaian silat tinggi, Dalam pada itu beberapa orang sudah mendatangi tempat itu dan mengurung. Beberapa pengawal yang bertugas berjaga-jaga disitu telah pula menghunus senjata masing-masing.

Sebagai anak buah Dewi Lembah Bangkai, Hijau Dua tidak takut menghadapi orang-orang itu. Namun yang lebih penting baginya adalah menyelesaikan tugas dengan baik yaitu membawa Ningrum dalam keadaan selamat ke Lembah Bangkai sesuai perintah pimpinannya. Memikir sampai disitu Hijau Dua putar tubuhnya dan menghantam ke kiri dimana Adipati Tawang Merto berada.

Sang Adipati yang berada dalam keadaan kalap langsung menyongsong serangan si gadis dengan satu jotosan keras. Dua pukulan saling beradu. Tawang Merto mengeluh kesakitan. Hijau Dua terhuyung hampir jatuh. Disaat itu dari samping ada yang menyerang dengan hantaman kursi. Ternyata Adipati Sawung Glingging.

Melihat keadaan tidak menguntungkannya, apalagi setelah mengetahui bahwa Tawang Merto memiliki tenaga dalam jauh lebih tinggi darinya, Hijau Dua memutuskan untuk melarikan diri saja.

Kursi kayu yang dihantamkan sawung Glingging tidak mengenai sasaran karena Hijau Dua cepat mengelak. Sambil keluarkan suara tertawa aneh, dara ini kebutkan lengan baju hijaunya yang panjang. Serta merta menghamparlah bau busuk yang amat sangat di tempat itu.

Semua orang merasakan nafas menjadi sesak dan dada sakit mendenyut. Satu demi satu mereka tampak terhuyung-huyung lalu berjatuhan, tergelimpang dalam keadaan tubuh lemas lunglai. Satu-satunya yang masih mampu tegak berdiri walaupun dengan nafas menyengat adalah Adipati Tawang Merto. Adipati ini memburu Hijau Dua dengan satu jotosan ke arah dada. Namun yang diserang sudah memutar tubuh dan berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.

“Bangsat penculik! Jangan kira kau bisa kabur!” teriak Tawang Merto. Dia hantamkan tangan kanannya. Serangkum angin deras menderu. Tapi kekuatan pukulan sakti ini hanya mencapai setengahnya saja karena keadaan tubuhnya yang menjadi lemas akibat kebutan lengan pakaian Hijau Dua yang menyebarkan bau mayat busuk tadi.

Saat itu Hijau Dua sendiri sudah lari jauh. Yang terdengar hanya teriakannya dalam kegelapan malam. “Tawang Merto! Kalau kau masih inginkan anak mantumu, datanglah ke Lembah Bangkai!”

“Kurang ajar haram jadah!” kertak Adipati Tawang Merto dengan dua tangan terkepal. Perlahan-lahan tubuhnya terduduk di tanah. Pesta perkawinan yang tadinya begitu semarak dan penuh kemewahan kini berubah menjadi kacau dan geger!

********************

TUJUH

Rasa takut disertai goncangan jiwa yang keras membuat Ningrum jatuh pingsan selama dilarikan oleh Hijau Daun setengah malaman. Sebelum mata hari terbit anak buah Dewi Lembah Bangkai itu berharap sudah bisa sampai di lembah, namun dalam berlari digelapnya malam ada satu kegelisahan merasuk dirinya. Dia merasa ada seseorang yang membuntutinya dan dia yakin siapapun adanya orang ini bukanlah orang dari Kadipaten karena si penguntit muncul setelah dia jauh meninggalkan Kadipaten.

Dan kesanggupan menguntit sejauh itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, paling tidak mempunyai ilmu lari yang ampuh. Namun yang membuat Hijau Dua menjadi sebal ialah setiap dia menoleh ke belakang, dia sama sekali tidak melihat si pengejar. Seolah-olah orang itu sengaja menyembunyikan diri. Maka timbullah niat dalam diri dara itu untuk menjebak.

Di sebuah tikungan jalan, Hijau Dua jatuhkan selendang milik pengantin perempuan yang sejak tadi terlibat di leher Ningrum. Lalu dia merambas semak belukar di kanan jalan kemudian secepatnya menyeberang ke kiri jalan dan mendekam di balik serumpunan pohon bambu. Menunggu dengan mempertajam telinga dan sepanjang mata tak berkesip.

Ternyata Hijau Dua tidak menunggu lama. Mula-mula terdengar suara kaki berlari. Perlahan sekali padahal orang itu berlari kencang. Ini sudah satu pertanda bahwa dia bukan saja memiliki ilmu lari cepat tapi sekaligus ilmu meringankan tubuh.

Sesaat kemudian muncul satu sosok tubuh berpakaian putih. Orang ini berbadan tegap tanda usianya masih mudah. Rambutnya gondrong menjulai bahu. Dia mengenakan ikat kepala putih. Sambil menggaruk-garuk kepala orang ini memandang berkeliling. Ketika berpaling ke jurusan pohon bambu Hijau Dua segera dapat melihat raut wajahnya yang setengah terlindung oleh kegelapan.

“Hemm... Seorang pemuda bertampang keren. Tapi lagaknya celangak celinguk seperti orang tolol!” berkata Hijau Dua dalam hati. Lalu dilihatnya pemuda itu membungkuk memungut selendang pengantin.

Hijau Dua mengomel dalam hati ketika melihat si pemuda menciumi selendang itu berulang kali. “Jangan-jangan pemuda ini salah seorang yang tergila-gila pada Ningrum,” pikir Hijau Dua. Dia memperhatikan terus.

Pemuda berpakaian putih tampak melangkah ke arah semak belukar yang tadi dirambas Hijau Dua. Dia masuk ke balik semak belukar itu, memandang berkeliling. Tapi tidak menemukan apa yang dicarinya.

“Aneh, tak mungkin si jelita itu amblas ke dalam bumi! Tapi kemana perginya? Mengapa bisa lenyap? Dan selendang ini, apakah sengaja ditinggal sebagai tanda dia memang suka diikuti...?!”

“Pemuda geblek! Siapa suka padamu! Kenalpun tidak!” Hijau Dua mendamprat dalam hati. Kemudian didengarnya lagi pemuda tak dikenal itu berkata.

“Biasanya pemuda yang menculik gadis. Sekarang malah gadis menculik gadis! Mau dijadikan apa? Ha ha ha... Semakin aneh dunia ini rupanya!”

“Pemuda sialan! Dikiranya aku ini menculik Ningrum untuk dijadikan apa!” Kembali Hijau Dua mengomel. Kalau diperturutkannya hatinya yang memberingas mau dia keluar dari balik pohon bambu saat itu juga dan menghajar pemuda bermulut seenaknya itu.

“Ah, nasibku sial! Mungkin dia sudah kabur! Baiknya aku kembali saja ke Kadipaten...!” Si gondrong kalungkan selendang pengantin di lehernya lalu berbalik dan tinggalkan tempat itu ke arah mana dia datang sebelumnya. Setelah menunggu beberapa lama dan yakin pemuda tadi benar-benar telah meninggalkan tempat itu, Hijau Dua keluar dari balik rerumpunan pohon bambu lalu meneruskan perjalanan menuju Lembah Bangkai.

Dibalik sebatang pohon jati tua, terdengar suara tertawa perlahan. Lalu keluar sosok tubuh pemuda tadi.

“Penipu tertipu! Mana ada pemuda sepertiku ini bisa ditipu semudah itu...!” Dia kembali tertawa lalu mulai mengejar ke jurusan lenyapnya Hijau Dua yang memanggul tubuh Ningrum.

DELAPAN

Udara pagi yang seharusnya penuh kesegaran itu justru sama sekali tidak dirasakan Pendekar 212 Wiro Sableng ketika pengejarannya berakhir di pinggir lembah yang merupakan jurang dalam penuh semak belukar dan batu-batu besar bertonjolan disana-sini. Hidungnya mencium bau busuk yang amat sangat. Wiro memandang ke arah lembah.

“Gadis ini lenyap di sekitar tempat ini! Apakah dia kabur menuruni lembah busuk ini?” Murid Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede itu meneliti kembali. Kemudian melengaklah sang pendekar ketika kedua matanya melihat sosok-sosok mayat yang bergelantungan dicabang-cabang pepohonan!

“Gila! Tempat apa ini? Siapa yang digantung dan siapa yang menggantung?!” Dia berpikir-pikir apakah akan segera saja menuruni lembah meneruskan penyelidikan. Selagi dia menimbang-nimbang begitu rupa tiba-tiba terdengar suara nyanyian dari arah lembah, ditimpali petikan kecapi.

Lembah Bangkai lembah kematian
Jangankan menjejakkan kaki
Melihatnya sajapun sudah cukup alasan untuk mati!
Tak ada yang datang dan bisa pergi
Tak ada yang pergi membawa nyawa di badan
Lembah Bangkai lembah kematian
Siapa yang datang tak bisa kembali pulang!


“Ah, ini baru kejutan!” ujar Wiro sambil garuk kepala. Kedua matanya memandang tajam ke arah lembah. “Ada mahluk bermukim di dasar lembah sana. Mungkin jin mungkin manusia aneh! Petikan kecapi, suara nyanyian... Jelas mengandung tenaga dalam. Kalau tidak mana bisa sampai terdengar sejauh ini...!”

Selagi Wiro bicara sendirian seperti itu tiba-tiba dia melihat sesuatu melesat sangat cepat dari dasar lembah. Ketika diperhatikan benda itu ternyata seutas tali yang ujungnya berbentuk buhul besar. Dalam waktu sekejapan saja buhul besar itu telah menyambar ke arah kepala Wiro. Dalam keterkejutannya masih untung pemuda ini sempat jatuhkan diri.

Tali lewat di atas kepalanya, jatuh melibat sebatang pohon kecil. Begitu tali melibat pohon, terdengar suara berderak. Batang pohon terangkat ke atas, akarnya tercabut berserabutan. Sesaat kemudian pohon itu terbetot ke bawah, meluncur ke dalam lembah! Wiro dapat membayangkan kalau batang lehernya tadi sempat dilibat tali aneh itu!

“Ada orang sakti di dalam lembah yang pergunakan kepandaiannya untuk mencelakai dan membunuh sesama manusia!” ujar Wiro dalam hati. “Gadis berbaju hijau yang menculik pengantin perempuan itu...?!”

Menduga sampai disitu membuat semakin bulat tekad sang pendekar untuk turun ke dalam lembah. Sementara itu dari bawah sana kembali terdengar suara nyanyian dan petikan kecapi. Wiro menunggu sampai suara nyanyian dan petikan kecapi itu berhenti. Lalu pendekar ini pentang mulut keluarkan suara nyanyian. Nadanya sungguh tidak sedap karena sumbang. Tapi syair seenaknya yang dinyanyikannya justru membuat penghuni lembah dibawah sana menjadi tidak enak dan marah.

Lembah indah ciptaan Tuhan
Berselimut bau busuk ciptaan insan
Sungguh memalukan pekerjaan yang kau lakukan
Bukan mensyukuri keindahan alam ciptaan Tuhan
Tapi mengotori dengan mayat dan kebusukan
Urusan kematian adalah urusan Gusti Allah
Manusia jangan sombong merasa perkasa
Bila ajal sampai sudah
Kaupun akan berkubur di liang tanah


Lembah Bangkai diselimuti kesunyian begitu gema nyanyian Pendekar 212 lenyap. Tapi sepasang mata murid Sinto Gendeng tak bisa ditipu. Tersamar diantara kehijauan daun-daun pepohonan dia melihat dua bayangan hijau bergerak cepat menuju bagian atas lembah. Wiro menunggu. Tapi dua bayangan itu mendadak berhenti di lereng lembah, dan mendekam di suatu tempat seolah-olah menunggu sesuatu.

Di saat yang sama Wiro mendengar suara derap kaki kuda di belakangnya. Ketika dia berpaling dilihatnya Adipati Tawang Merto dan Adipati Sawung Glingging sudah berada di tepi lembah beserta lebih dari dua puluh perajurit bersenjata lengkap.

“Orang muda! Siapa kau?! Apakah kau penghuni di tempat ini?!” Tawang Merto mendekati Wiro sambil menutup hidung, tak tahan mencium bau busuknya mayat.

“Aku baru saja sampai di lembah ini!” jawab Wird.

“Hem... apa yang kau lakukan pagi-pagi disini?!” yang bertanya kini adalah Adipati Sawung Glingging.

“Aku mencari seseorang,” jawab Wiro lagi.

“Hemm... gerak gerikmu mencurigakan! Jangan-jangan kau anggota komplotan penculik anakku!”

Wiro tersenyum dan menyahuti, “Adipati, jangan asal menuduh saja. Kau saksikan sendiri tempat ini. Angker dan menebar bau busuk! Inilah Lembah Bangkai!”

“Nah, kau tahu nama lembah ini, pasti kau penghuni disini!”

“Ayah! Aku yakin manusia satu ini terlibat dalam penculikan istriku!” seorang pemuda yang juga menunggang kuda menyeruak kedepan lalu berteriak, “Pasukan Kadipaten! Tangkap pemuda ini!”

Sepuluh perajurit segera melompat turun dari kuda mereka.

“Kalian gila semua atau bagaimana? Tidak ada ujung pangkal hendak menangkapku?!” teriak Wiro jadi gusar.

Tapi sepuluh perajurit itu merangsak maju.

“Bunuh dia kalau berani melawan!” berkata pemuda diatas kuda. Dia bukan lain adalah Tubagus Kolokaping, putera Adipati Tawang Merto. Kehilangan istrinya disaat bersanding dipelaminan membuatnya ingin membunuh siapa saja saat itu.

Ketika perajurit-perajurit Kadipaten itu hanya tinggal tiga langkah lagi dari hadapan Wiro, tiba-tiba dari dasar lembah terdengar alunan nyanyian dan petikan kecapi. Adipati Tawang Merto dan calon besannya Sawung Glingging terkesiap dan saling pandang. Sepuluh perajurit yang hendak meringkus Wiro seolah-olah terpukau dan hentikan gerakan mereka.

“Betul apa yang dikatakan Rundono tempo hari. Lembah Bangkai. Ada bau busuk. Ada suara nyanyian aneh dan petikan kecapi yang menggidikkan...” berbisik Sawung Glingging.

“Jangan kita terpengaruh oleh pendengaran yang bukan-bukan. Tidak ada jin atau setan yang pandai menyanyi dan main kecapi! Itu pasti manusia juga. Aku yakin ini markas penculik keparat itu!” ujar Tawang Merto. Dia bersiap-siap mencari jalan untuk menuruni lembah dan memberi isyarat pada perajurit-perajurit yang ada dibelakangnya.

“Perajurit-perajurit tolol! Mengapa kalian diam saja?! Lekas tangkap pemuda gondrong itu!” terdengar Tubagus Kolokaping berteriak marah ketika dilihatnya perajurir-perajurit yang tadi sudah siap untuk meringkus Wirio kini malah tegak seperti terpukau!

Dibentak begitu rupa sepuluh perajurit itu seperti sadar. Sambil berteriak mereka melompati Pendekar 212 Wiro Sableng. Adipati Tawang Merto yang sudah siap menuruni bibir lembah jadi menahan tali kekang kudanya ketika dia melihat enam dari sepuluh perajurit Kadipaten yang hendak menangkap pemuda berambut gondrog itu mencelat dan berkaparan di tepi lembah sambil mengerang kesakitan. Empat lainnya tertegun ketakutan.

Marahlah orang-orang Kadipaten itu, terutama Tawung Merto, anaknya Tubagus Kolokaping dan Adipati Sawung Glingging. Langsung saja Tawang Merto memerintahkan agar Wiro dibunuh saat itu juga! Belasan senjata dihunus. Tubagus Kolokaping mencekal sebilah golok panjang erat-erat. Selain ayahnya, dialah yang paling mendendam atas penculikan terhadap Ningrum.

Tawang Merto melompat dari kudanya. Justru inilah yang menyelamatkannya dari seutas tali yang tiba-tiba melesat dari dasar lembah. Buhul besar yang tadinya akan menyambar kepalanya, kini hanya sempat menjirat leher kuda tunggangan. Binatang ini meringkik keras, melejang-lejangkan keempat kakinya. Lalu dalam keadaan seperti itu tubuhnya terseret menggelinding ke dalam lembah!

Walau apa yang terjadi dengan kuda tunggangannya itu sempat membuat kuduk Tawang Merto mengkirik, namun saat itu dia lebih mementingkan pada tekadnya bersama yang lain-lain untuk membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.

Disaat yang menegangkan itu tiba-tiba muncul dua bayangan hijau. Udara di bibir lembah serta merta menjadi busuk luar biasa. Semua orang merasakan nafas menjadi sesak. Yang memiliki kepandaian tinggi seperti dua Adipati dan puteranya serta Wiro Sableng segera menutup jalan penciuman. Tetapi perajurit-perajurit yang belasan jumlahnya mulai batuk-batuk, sakit mendenyut pada dada masing-masing dan kedua kaki bergetar lemas, hampir tak kuasa lagi menunjang tubuh mereka.

Sementara itu puluhan kuda tunggangan yang ada disitu mulai resah, meringkik tiada henti bahkan ada yang sudah menghambur lari dari tempat itu.

Melihat munculnya dua gadis berpakaian tipis berwarna hijau, perhatian semua orang terhadap Wiro Sableng menjadi beralih.

“Bangsat penculik! Dikejar kau datang sendiri! Mana puteriku?!” teriak Adipati Sawung Glingging.

Hijau Dua, dara berpakaian hijau tipis yang tegak berkacak pinggang tersenyum mencibir. “Kau rupanya ayah gadis itu! Sesuai permohonan anakmu, Dewi telah memberi putusan mengampuni jiwamu! Nah, kau tunggu apa lagi! Lekas minggat dari sini!”

“Dewi...Dewi siapa maksudmu, penculik keparat?!” teriak Tubagus Kolokaping.

"Plaakkk...!"

Satu tamparan keras melabrak pipi pengantin yang kecurian istri itu. Tubuhnya berputar terhuyung-huyung lalu terbanting ke tanah. Bibirnya pecah mengucurkan darah. Melihat hal ini sang Ayah, Adipati Tawang Merto menggerung marah dan lepaskan satu jotosan ke wajah Hijau Dua. Dari samping Hijau Satu memapasi serangan Adipati itu dengan satu tendangan ke arah perut. Membuat Tawang Merto terpaksa batalkan serangannya pada Hijau Dua lalu membalik, maksudnya untuk menggebuk Hijau Satu.

Akibatnya bentrokan dua lengan tidak terhindarkan. Hijau Satu terpekik. Tubuhnya terhuyung, lengan kanannya terasa seperti patah. Sebaliknya Tawang Merto jatuh duduk di tanah. Wajahnya pucat. Adipati ini cepat melompat bangkit. Kalau tadi dia mengerahkan hanya setengah bagian saja dari tenaga dalamya, maka kini dia kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.

Akan halnya Wiro, karena merasa orang sudah melupakan dirinya maka pemuda ini melompat ke cabang sebatang pohon dan memutuskan untuk menonton saja apa yang terjadi dibibir Lembah Bangkai itu!

Tidak percuma Tawang Merto mempelajari berbagai ilmu silat dan kesaktian selama belasan tahun. Serangan-serangan yang dilancarkannya menimbulkan deru angin, dibelakang kedua kakinya, debu beterbangan.

Dalam waktu singkat dia berhasil mendesak Hijau Dua. Sebetulnya dalam ilmu silat gadis muda anak buah Dewi Lembah Bangkai itu tidak berada dibawah tingkat kepandaian sang Adipati. Namun tenaga dalam yang dikerahkan penuh oleh lawan membuat Hijau Dua harus berhati-hati dan memilih lebih baik mundur atau berkelit pada saat dia merasakan tidak mungkin mengadu kekuatan.

Berlainan dengan Tawang Merto yang menunjukkan kehebatannya maka Adipati Sawung Glingging yang dibantu oleh tubagus Kolokaping sama sekali tidak berdaya menghadapi serangan-serangan Hijau Satu. Sesuai dengan pesan yang diterimanya dari sang Dewi, Hijau Satu tidak mau menciderai Sawung Glingging yang ayah Ningrum itu, sebaliknya serangannya dititik beratkan pada sang calon pengantin pria yang sial. Akibatnya Tubagus Kolokaping menjadi bulan-bulanan hantaman Hijau Satu. Dalam empat jurus saja pemuda itu sudah babak belur dan tergelimpang di tanah.

Sawung Glingging yang menjadi kecut berteriak pada perajurit-perajurit Kadipaten. Setengah lusin perajurit maju. Keenam perajurit ini dibikin babak belur dalam tiga jurus. Sawung Glingging melompat mundur dengan muka pucat.

“Sekali lagi aku memberi kesempatan. Apakah kau masih tidak mau minggat dari tempat ini?!”

Mendengar ucapan Hijau Satu dan menyadari bahwa dia tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi gadis baju hijau itu sendirian. Adipati Sawung Glingging melompat ke atas punggung seekor kuda lalu menggebrak binatang itu meninggalkan lembah.

Beberapa perajurit yang juga sudah meleleh nyalinya termasuk Tubagus Kolokaping melakukan hal yang sama. Hingga kini tinggallah Adipati Tawung Merto seorang diri, masih ditunggui oleh sebelas perajurit yang rata-rata berada dalam keadaan ketakutan.

Perkelahian antara Hijau Dua dan Tawang Merto semakin hebat. Masing-masing mengeluarkan kepandaian. Tawang Merto andalkan tenaga dalam yang tinggi dan pukulan-pukulan sakti tangan kosong. Sebaliknya Hijau Dua andalkan kegesitan serta pukulan-pukulan ujung lengan baju hitamnya yang membersitkan angin deras mengandung hawa busuk menyesakkan. Meskipun dia dapat membendung semua serangan lawan namun lama-lama Hijau Dua yang kurang pengalaman itu mulai terdesak dan beberapa kali dia hampir kena hantaman pukulan lawan yang mengandung jebakan-jebakan mematikan.

Melihat hal ini, Hijau Satu keluarkan suara suitan nyaring. Dari dalam lembah tiba-tiba melesat seutas tali yang ujungnya membentuk lingkaran maut. Ujung tali ini menderu ke arah kepala Tawang Merto yang saat itu sama sekali tidak menyadari karena dengan segala dendam dan kemarahan berusaha menghabisi Hijau Dua. Ketika tali maut itu hampir lolos melewati kepalanya untuk menjirat lehernya, tiba-tiba sebatang patahan cabang kecil melayang ke udara. Tali yang siap menjirat dan menyeret tubuh Tawang Merto terpukul mental. Sang Adipati selamat dari maut.

“Bedebah minta mampus! Siapa yang berani mencampuri urusan orang-orang Lembah Bangkai!” teriak Hijau Satu marah.

Sebagai jawaban terdengar suara tawa mengekeh. Hijau Satu berpaling dan kagetlah gadis ini!

********************

SEMBILAN

Tegak sepuluh langkah di sebelah kirinya, Hijau Tiga melihat seorang nenek berpakaian kuning bermuka hitam. Didada pakaiannya terpampang gambar kelabang berwarna biru. Inilah Nenek Kelabang Biru tokoh silat golongan hitam yang ditempur Hijau Tiga dan Hijau Dua beberapa waktu lalu.

Kehebatan si nenek membuat dua anak buah Dewi Lembah Bangkai terpaksa mengundurkan diri. Disamping si nenek berdiri seorang lelaki berwajah tampan tapi bersikap sombong. Sebilah pedang tersisip di pinggangnya sebelah kanan. Orang inilah yang diketahui hidup sebagai suami istri dengan si nenek dan bergelar Pendekar Pedang Iblis. Si nenek masih terus tertawa mengekeh. Ketika hentikan tawa terdengar suaranya yang nyaring.

“Begini-begini saja keadaan Lembah Bangkai! Busuk bau! Ternyata tidak ada apa-apanya. Kecuali mayat-mayat tak berguna bergelantungan disana sini untuk menakuti binatang hutan! Hik hik hik! Beberapa waktu lalu kalian berdua mengunjungiku di bukit Walang. Menjajal kehebatanku lalu lari. Hik hik hik! Saat ini aku membawa serta kekasihku! Bukankah dia yang kalian cari?!”

“Kalian berdua tunggulah sampai kami menyelesaikan urusan dengan Adipati Tawang Merto! Jangan mencoba kabur! Sekali datang di Lembah Bangkai tak ada lagi jalan pulang!” menjawab Hijau Tiga. Lalu dia berkelebat membantu Hijau Dua yang tengah didesak oleh Tawang Merto.

Mendapat dua lawan tangguh begitu rupa betapapun hebatnya sang Adipati, dalam waktu tiga jurus dia segera terdesak hebat. Dengan mengertakkan geraham Tawang Merto cabut senjata mustika yang disimpannya dibalik pakaian. Senjata ini adalah sebilah pisau bermata dua yang berlobang di bagian badannya, memancarkan sinar redup kehitaman tanda mengandung racun jahat.

Melihat lawan keluarkan senjata berbahaya Hijau Dua dan Hijau Tiga segera loloskan selendang yang dijadikan ikat pinggang. Selendang hijau ini dikebut demikian rupa sehingga setiap Tawang Merto menikam atau membabatkan pisaunya dia merasakan seperti ada dorongan angin keras menderanya.

Lama-lama Adipati ini menjadi kalang kabut sendiri. Beberapa kali ujung selendang kedua lawannya berhasil menghantam tubuhnya. Sang Adipati merasakan ada hawa aneh yang menjalari dirinya. Keringat dingin mengucur disekujur badannya.

Selagi terdesak seperti itu, dia berteriak pada sebelas perajurit yang masih ada disitu agar membantu. Namun semua perajurit tidak ada yang berani bergerak!

“Perajurit-perajurit pengecut! Kelak kalian akan kuhukum gantung satu persatu “teriak Tawang Merto marah.

“Jika kami berdua menjadi perajurit-perajurit yang berani, hadiah apa yang akan kau berikan pada kami Adipati?!” terdengar suara nenek Kelabang Biru.

Adipati Tawang Merto melompat mundur menjauhi kedua lawannya dan berpaling. Dia tidak mengenali siapa adanya lelaki disamping si nenek. Tetapi melihat si nenek dia rasa-rasa pernah berjumpa sebelumnya. Berpikir sejenak lalu dia ingat.

“Hai, orang tua keren, bukankah kau Nenek Kelabang Biru yang dulu pernah membantu pasukan Kerajaan ketika membasmi kaum pemberontak di selatan?!”

“Ah... ah... ah! Kau masih tidak melupakan jasa yang dibuat kekasihku!” menyahuti Si Pedang Iblis. “Kau belum menjawab pertanyaannya tadi!”

“Aku... Sekotak penuh perhiasan emas dan batu-batu permata, sepuluh ringgit emas menantimu di Kadipaten jika kau dan kekasihmu itu mau membantuku menyingkirkan dua gadis keparat ini!”

“Nenek Kelabang Biru! Jangan kau berani mencampuri urusan kami!” teriak Hijau Dua memperingatkan.

“Ah, sudah terlanjur! Sudah terlanjur! Seharusnya kau memberi kehormatan pada kami. Bukankah secara tidak langsung kalian berdua telah mengundang kami untuk datang kemari?!”

Kawatir si nenek dan kekasihnya akan berubah pikiran maka Adipati Tawang Merto cepat berkata, “Tidak perlu bertutur cakap dengan gadis-gadis sesat ini! Mari kita sama-sama membasminya!”

“Aku sudah siap!” jawab si Nenek Kelabang Biru. Dia merangkul Pedang Iblis, mencium pipinya lalu bertanya. “Kekasihku! Kau sudah siap pula?!”

“Tentu, tentu! Sahut Pedang Iblis. Lalu mengecup bibir si nenek lumat-lumat, membuat Hijau Dua dan Hijau Tiga merasa jijik melihatnya. Di atas pohon Pendekar 212 Wiro Sableng hampir tidak dapat menahan tawa melihat kelakuan lelaki muda dan nenek renta itu!

“Gila gendeng! Tapi biar aku ikut-ikut gila bersama orang orang sedeng itu!” kata Wiro. Ketika Nenek Kelabang Biru dan Pedang Iblis bergerak maju mengurung, Wiro melompat turun dari atas cabang pohon.

Saat itu sebenarnya Hijau Dua dan Hijau Tiga diam-diam merasa bimbang apakah mereka berdua mampu menghadapi tiga lawan sekaligus. Yang mereka risaukan bukannya Adipati Tawang Merto, tapi justru si nenek dan kekasih mudanya itu!

“Berkelahi tiga lawan dua bukan saja tidak seimbang tapi bisa dianggap pengecut main keroyok! Biar aku membantumu gadis-gadis jelita!” Wiro berseru lalu di udara dia membuat jumpalitan dua kali berturut-turut. Ketika menjejakkan kaki di tanah, pendekar ini tegak diantara Hijau Dua dan Hijau Tiga.

“Eh, tadi kulihat dua kekasih itu berciuman dulu sebelum masuk kalangan pertempuran. Apakah kita bertiga tidak berciuman pula?!” ujar Wiro seraya berpaling pada Hijau Dua dan Hijau Tiga lalu tertawa gelak-gelak.

Tentu saja paras Hijau Dua dan Hijau Tiga menjadi merah. Sebaliknya si nenek dan kekasihnya yang merasa tersinggung dengan ejekan itu sama membesi wajah masing-masing.

“Pemuda bertampang tolol!” bentak si nenek. “Aku berani bertaruh, dua gadis itu tidak akan mau menciummu. Tubuhmu saja apeknya tercium sampai kemari!” Lalu Nenek Kelabang Biru tertawa gelak-gelak.

Meskipun hatinya dongkol setengah mati, namun kehadiran pemuda tak dikenal itu mau tak mau dirasakan sebagai pertolongan yang tidak terduga oleh Hijau Dua dan Hijau Tiga. Melihat caranya tadi melompat dari atas cabang pohon yang tinggi jelas dia memiliki kepandaian. Tapi sampai ditingkat mana kepandaiannya itu? Apakah mampu menghadapi tiga lawan, terutama si Nenek Kelabang Biru yang berbahaya dan ganas itu?!

“Soal cium mencium dengan dua gadis ini kita lupakan saja!” ujar Wiro. “Tapi kalau kalian bertiga nanti sampai jatuh di tangan kami, apakah kau akan mau menciumku nek?!” Lagi-lagi Wiro mengejek.

Si nenek terdengar menggereng. “Jangankan mukamu, pantatmu pun akan kucium jika aku sampai kalah olehmu!” kata si nenek saking marahnya.

“Ha ha ha! Bagus! Semua mendengar! Semua jadi saksi!” seru Wiro.

Nenek Kelabang Biru memberi isyarat pada kekasihnya. Pedang Iblis segera hunus senjata andalannya yakni sebilah pedang panjang yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari pagi. Senjata itu diputar dua kali berturut-turut! Dan terjadilah hal yang hebat! Belasan daun pepohonan yang terkena sambaran pedang runtuh ke tanah. Gagang-gagang daun tampak putus seperti ditebas benda tajam!

Melihat hal ini diam-diam Pendekar 212 Wiro Sableng mau tak mau jadi tercekat juga sedang Hijau Dua dan Hijau Tiga merasa gelisah. Dari apa yang dipamerkan Pedang Iblis ternyata lelaki itu memiliki kepandaian diatas si nenek kekasihnya.

Padahal beberapa waktu lalu mereka berdua pernah menempur si nenek dan mengundurkan diri sebelum mendapat celaka. Hijau Dua berusaha membangkitkan semangat diri sendiri dan semangat kawannya dengan berbisik,

“Tak usah takut Hijau Tiga! Ini saatnya kita mengeluarkan lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai yang diajarkan Dewi!”

Hijau Tiga mengangguk. Keduanya alirkan tenaga dalam ke lengan kanan, terus disalurkan ke selendang hijau yang mereka pegang. Selendang yang tadi lemah gemulai itu tiba-tiba berubah seperti sebuah pentungan besi. Tapi bila dikehendaki dalam sekejap mata kembali menjadi lemas dan bisa membelit atau menjirat! Inilah salah satu kehebatan ilmu silat yang diajarkan Dewi Lembah Bangkai pada ke dua anak buahnya itu.

“Kekasihku, apa lagi yang ditunggu! Mari kita berpesta pora!” seru Nenek Kelabang Biru. Dia berpaling pada Tawang Merto. “Adipati, jangan bengong saja! Pilih salah satu dara jelita itu jadi lawanmu. Yang satu lagi biar kekasihku yang melayani! Pemuda tolol bau apak ini biar aku yang akan menguliti tubuhnya!”

Habis berkata begitu Nenek Kelabang Biru melompat ke arah Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng sempat melihat bagaimana kedua tangan si nenek yang tadinya hitam keriputan tiba-tiba berubah menjadi biru kelam tanda sudah dialiri tenaga dalam yang menyalurkan racun jahat! Dua tangan menggapai kedepan. Cepat sekali. Satu tangan tahu-tahu sudah mencengkeram ke arah tenggorokan sedang satunya menusuk ke jurusan perut!

Pendekar 212 berkelit ke kiri lalu putar tubuhnya dan mainkan ilmu silat orang gila yang didapatnya dari tua gila karena menurutnya jurus-jurus silat yang seperti orang mabuk itulah yang sanggup menghadapi serangan lawan yang mengandalkan sepasang tangan beracun.

Hijau Tiga tanpa menunggu lebih lama langsung menghambur ke arah Tawang Merto. Selendangnya berkelebat kian kemari, berusaha mementahkan setiap tusukan atau sambaran pisau di tangan sang Adipati.

Sementara itu Hijau dua sudah terlibat dalam perkelahian yang hebat dengan Pedang Iblis, Keganasan ilmu pedang lelaki berusia tiga puluh tahun itu seolah-olah terbendung oleh kehebatan selendang di tangan Hijau Dua yang bisa meliuk mematuk seperti ular atau menderu membelit siap menjirat tangan atau senjata lawan tapi juga bisa berubah seperti sebuah tongkat baja yang keras.

Pedang Iblis kertakkan rahang. Dia tidak menyangka sama sekali kalau gadis jelita yang hanya bersenjatakan sehelai selendang hijau itu akan sanggup menghadapi pedang mustikanya yang tersohor di delapan penjuru angin! Maka sambil membentak garang, Pedang Iblis rubah permainan pedangnya. Senjata itu kini lenyap berubah menjadi sebuah sinar yang menusuk, membabat atau membacok dalam gerakan kilat yang sulit diduga.

Beberapa kali Hijau Dua terpekik karena ujung selendangnya berhasil dirobek atau dibabat putus oleh senjata lawan. Lambat laun selendang itu hanya tinggal tiga jengkal saja lagi. Hijau Dua mulai terdesak. Dalam keadaan kepepet begitu rupa Hijau Dua segera keluarkan lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai yang baru saja dipelajarinya dari Dewi Lembah Bangkai. Setiap kedua lengannya bergerak, dari ujung lengan pakaian hijaunya menghambur angin deras yang mengeluarkan hawa dingin disertai sambaran bau busuk luar biasa!

Pedang Iblis merasakan kepalanya pusing dan nafasnya sesak. Sepasang matanya mulai kabur. Cepat-cepat lelaki ini menutup penciumannya lalu kerahkan tenaga dalam untuk meredam hawa beracun yang coba menguasai dirinya. Pedang saktinya diputar dengan sebat, namun sampai lima jurus dimuka tetap saja dia tidak sanggup menerobos pertahanan Hijau Dua.

Marahlah lelaki ini. Tangan kirinya diangkat. Setiap dia melancarkan serangan dengan pedang, tangan kirinya ikut menggempur. Hijau Dua merasa seolah-olah dia dijepit dari kiri kanan, Ilmu silat Lembah Bangkai yang baru dikuasainya menjadi kacau. Perlahan-lahan tetapi pasti dara ini terpaksa bertindak mundur terus-terusan dan bertahan mati-matian.

Lain halnya perkelahian antara Tawang Merto dengan Hijau Tiga. Empat jurus berlalu. Mula-mula terlihat perkelahian berjalan seimbang. Namun memasuki jurus kelima Adipati berkepandaian tinggi itu membuat gebrakan-gebrakan beruntun. Hijau tiga terpekik ketika pisau di tangan lawan merobek besar dada pakaiannya. Payudaranya yang putih dan kencang tersingkap lebar membuat sesaat Tawang Merto yang memang doyan perempuan itu jadi terkesiap.

Dengan cepat Hijau Tiga tutupi dadanya dengan selendang hijau, Akibatnya dia kini tidak bersenjata. Didalam hati Adipati Tawang Merto timbullah maksud kotor. Dengan pisaunya dia akan merobek-robek seluruh pakaian gadis itu. Maka dia menyerbu kembali. Tapi sang Adipati kecele. Saat itu Hijau Tiga sudah mulai keluarkan lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai. Bau busuk menghampar dan melabrak kearah Tawang Merto membuat Adipati ini sulit bernafas.

“Edan!” teriak Tawang Merto marah. Tangan kirinya dipukulkan ke depan. Serangkum angin panas menderu.

Hijau Tiga menekuk kedua lututnya. Berbarengan dengan itu kedua tangannya dipukulkan ke depan menyongsong serangan lawan. Kedua pihak yang mengadu kekuatan tenaga dalam lewat pukulan sakti sama-sama keluarkan seruan tinggi. Tawang Merto terjajar beberapa langkah. Dadanya mendenyut sakit. Wajahnya sepucat kertas.

Di depannya Hijau Tiga jatuh terduduk di tanah dengan wajah juga pucat pasi dan ada darah membersit disela bibirnya. Melihat lawan terluka di dalam Tawang Merto cepat memburu. Pisau beracun di tangan kanannya ditusukkan ke leher Hijau Tiga. Gadis ini tak mampu mengelak. Dia coba memukul tangan lawan yang memegang senjata maut dengan tangan kiri karena tangan kanan dipakai bersrtekan ketanah agar tidak jatuh. Pukulan tangan kiri itupun luput! Ujung pisau beracun terus meluncur deras ke arah lehernya!

Terdengar pekik Hijau Tiga menyambut kematian yang tak bisa dihindarinya. Sebaliknya Tawang Merto sendiri tiba-tiba saja merasakan seperti ada satu tembok besar yang menghantam tubuhnya hingga dia tersapu ke kiri dan jatuh teguling di tanah! Itulah pukulan sakti Benteng Topan Melanda Samudera yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng yang masih sempat melihat bahaya maut mengancam Hijau Tiga.

Tawang Merto berdiri tertatih-tatih, Sebagian tubuhnya terasa seperti hancur. Dalam keadaan seperti itu dia sadar benar tak ada gunanya meneruskan pertempuran. Maka Adipati ini cepat menghampiri seekor kuda besar. Namun sebelum dia sempat naik ke atas punggung binatang ini, tiba-tiba seutas tali menyambar dari belakang. Terdengar suara patahnya tulang leher Adipati ini ketika jeratan tali menyentak dan tubuhnya diseret oleh satu kekuatan besar masuk terjerumus ke dalam Lembah Bangkai!

SEPULUH

Karena berusaha menolong Hijau tiga, berarti Wiro tidak dapat memusatkan seluruh pematiannya dalam menghadapi Nenek Kelabang Biru. Kesempatan ini tidak disia-siakan lawan. Dengan gerakan kilat perempuan tua itu melesat ke depan. Dua tangan kembali mencengkeram sedang lutut kanan dilipat dan sesaat kemudian kaki kanan itu menendang ke arah dada.

Pendekar 212 terkesiap. Dari tiga serangan lawan dia tahu pasti cengkeraman tangan kiri kanan si nenek adalah yang paling berbahaya karena mengandung racun kelabang yang ganas dan mematikan. Dengan gerakan ilmu silat orang gila yang aneh Wiro berhasil selamatkan kepala dan lehernya dari serangan dua tangan. Untuk menghindarkan tendangan ke arah dada pendekar ini jatuhkan diri ke belakang.

Ketika si nenek memburu dengan geram karena tiga serangannya luput, Wiro angkat kakinya sebelah kiri dan selusupkan ke selangkangan si nenek.

“Manusia kurang ajar!” teriak Nenek Kelabang Biru marah sekali. Sambil membuang diri kesamping dia menghantam dengan tangan kanan. Satu sinar biru menderu bergemuruh!

“Mampus!” teriak si nenek karena yakin dengan pukulan sakti yang selama ini tidak bisa dihadapi siapapun dia akan mampu menamatkan riwayat Pendekar 212.

Mencium bau amis dan angkernya sinar pukulan sakti itu, murid Sinto gendeng sudah maklum keganasan serangan lawan. Maka tanpa pikir panjang lagi dia balas menghantam dengan pukulan sakti Orang Gila Mengebut Lalat. Tangan kanannya bergerak tiada henti ke kiri dan ke kanan.

Sinar biru pukulan Nenek Kelabang Biru seolah-olah terbelah dan terpental ke samping, menghantam pepohonan dan sebuah gundukan tanah. Pohon itu langsung menjadi biru sedang gundukan tanah muncrat beterbangan laksana dilanda angin puyuh. Karena masih berusaha bertahan untuk melancarkan serangan susulan, si nenek merasakan tubuhnya terhuyung ke kiri dan ke kanan. Sebelum jatuh, sambil memaki perempuan tua ini cepat melompat mundur.

“Bangsat! Siapa kau sebenarnya?!” teriak Nenek Kelabang Biru. Seumur hidup baru sekali ini dia menghadapi musuh begini luar biasa dan masih sangat muda pula hingga dia merasa dipermalukan. Dan didepan mata kekasihnya pula!

“Kau barusan memanggilku bangsat! Nah, anggap saja itu namaku!” sahut Wiro seraya pasang kuda-kuda baru. “nek, sebelum kau kurobohkan lebih baik cepat-cepat saja mencium pantatku lalu bawa pacarmu itu meninggalkan tempat ini!”

“Sombongnya!” teriak Nenek Kelabang Biru lalu meludah ke tanah. “Aku bersumpah akan membunuhmu dan memperkosa mayatmu!”

“Ih...!” Wiro berseru. Dia hendak tertawa gelak-gelak mendengar ucapan si nenek tapi dia melihat sinar yang memancarkan maut di kedua mata si nenek. “Tua bangka jelek ini tidak main-main agaknya,” pikir Wiro. Baru saja dia bersiap-siap untuk menghadapi lawan tiba-tiba si nenek sudah berteriak nyaring dan hantamkan tangan kanannya.

Tidak terdengar suara deru kekuatan tenaga dalam. Tidak terdengar siuran angin sakti. Namun saat itu Wiro melihat ada tiga buah benda aneh berwarna biru menyerbu ke arahnya. Ketika diperhatikan kagetlah murid Sinto Gendeng ini. Tiga benda itu ternyata adalah tiga ekor kelabang berwarna biru!

Karena tidak menduga akan mendapat serangan senjata rahasia berupa binatang-binatang beracun begitu rupa, Pendekar 212 tidak mampu menyelamatkan diri. Kelabang pertama sempat dihantamnya dengan pukulan tangan kosong mengandung aji kesaktian hingga hancur bermentalan di udara. Kelabang kedua terlempar ke samping tapi secara aneh tiba-tiba membalik dan menancap di bahu kirinya. Selagi pemuda ini berteriak kesakitan, kelabang ketiga melesat ke arah dada kirinya, searah jantung. Inilah serangan yang sangat berbahaya! Dan Wiro tak dapat menyelamatkan diri sama sekali!

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara jentringan kecapi. Selarik sinar putih menyilaukan berkiblat. Kelabang biru yang sesaat lagi akan menancap di dada Wiro terus menembus jantungnya hancur berantakan dihantam sinar putih tadi, Wiro selamat namun racun kelabang yang menancap di bahunya mulai bekerja. Tubuhnya mulai terasa panas. Pandangan matanya mengabur. Samar samar dia melihat ada dua sosok bayangan hijau berkelebat di tempat itu. Lalu lapat-lapat sebelum jatuh pingsan dia mendengar suara perempuan berkata,

“Hijau Satu! Tolong pemuda itu! Bawa ke goa ku dan berikan obat penawar racun!”

Wiro melihat wajah cantik mendekati dirinya. Samar-samar sekali. Lalu ada totokan di dadanya, keras dan sakit. Setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi!

Di hadapan Nenek Kelabang Biru tegak berdiri seorang dara yang wajahnya ditutup cadar hijau tipis. Pakaian hijau yang menutupi tubuhnya yang tinggi semampai bergoyang-goyang ditiup angin pagi. Di tangan kirinya dara ini memeluk sebuah kecapi.

Nenek Kelabang Biru memperhatikan sejenak. Lalu terdengar kekehannya disusul ucapan, “Ah! Jadi inilah Dewi Lembah Bangkai itu! Gadis tolol yang ingin menyombongkan diri dengan perbuatannya yang aneh-aneh! Sungguh tidak disangka ternyata dia hanya seorang pengamen yang kemana-mana bernyanyi dan main kecapi! Hai, cobalah kau menyanyi dan mainkan kecapimu! Pasti aku akan membayar mahal! Hik hik hik...!”

“Tua bangka dajal! Jangan kau kira aku tidak tahu siapa kau sebenarnya!” Dewi Lembah Bangkai menyeringai dibalik cadarnya. “Diluar kau memang tampak seperti nenek! Tapi didalam kau adalah dajal lelaki yang berbuat mesum dimana-mana, menyukai sesama lelaki tapi juga memperkosa orang-orang perempuan!”

Nenek Kelabang Biru tersurut dua langkah. Wajahnya membesi. Tubuhnya bergetar. Kedua matanya membeliak dan memandang tak berkesip ke arah Dewi Lembah Bangkai. Yang dipandang tetap berlaku tenang. Malah tanpa berpaling dia berkata pada anak buahnya yang tengah didesak habis-habisan oleh Pedang Iblis.

“Hijau Dua mundurlah. Tidak ada gunanya menghabiskan waktu melayani lelaki yang menyediakan auratnya untuk si tua bangka yang sama jenisnya ini!”

Mendengar ucapan pimpinannya itu, Hijau Dua melompat mundur sementara Pendekar Pedang Iblis sambil berteriak marah hendak menyerbu Dewi Lembah Bangkai, tapi cepat dicegah oleh kekasihnya.

“Betina bercadar! Mulutmu kotor! Jalan pikiranmu busuk sebusuk tempat kediamanmu! Sebelum kau mampus dalam kebusukan itu, katakan siapa kau sebenarnya?!” Nenek Kelabang Biru bertanya sementara kedua tangannya disilangkan di depan dada.

Dewi Lembah Bangkai melihat bahwa kedua tangan si nenek masih berwarna biru tanda setiap saat dia bisa saja melepaskan senjata rahasianya yaitu kelabang-kelabang maut berwarna biru.

“Siapa aku tidak penting. Yang lebih penting ialah apa yang menjadi tugas dan tujuan hidupku di dunia ini...!”

“Sompret!” memaki Pedang Iblis. “Kau bicara seperti malaikat saja!”

“Mungkin aku memang malaikat maut yang bakal mencabut nyawamu! Manusia yang suka bercampur dengan manusia sejenisnya kabarnya paling cocok jadi kayu neraka!”

Si Pedang Iblis tak dapat lagi menahan amarahnya. Tanpa bisa dicegah oleh si nenek, lelaki ini menyerbu ke depan. Pedang iblisnya berkiblat ke arah batang leher Dewi Lembah Bangkai. Sang Dewi angkat kecapinya. Jari tangannya bergerak. Terdengar suara berjentringan. Tiga sinar putih menyilaukan membelah udara.

"Trangg...!"

Pedang di tangan kekasih Nenek Kelabang Biru terpental dan patah dua! Si Pedang Iblis sendiri terbanting ke kiri, sempoyongan. Tangan kanannya terasa panas dan kaku. Mukanya sepucat kain kafan. Nenek Kelabang Biru tertegun tak berkesip menyaksikan kejadian itu.

“Gadis semuda ini, tidak dikenal dalam dunia persilatan, bagaimana bisa memiliki ilmu kepandaian sehebat ini?!” Memikir sampai disitu si nenek mendekati kekasihnya dan berbisik. “Aku tidak yakin betina bercadar ini memiliki kepandaian silat. Andalannya adalah kecapi itu. Kita serbu dia dan rampas kecapinya...!”

Si Pedang Iblis mengangguk tanda setuju. Lalu dengan serentak keduanya menyerbu. Si nenek lepaskan enam kelabang beracun sedang sang kekasih menyusupkan dua pukulan sakti sambil coba merampas kecapi di tangan Dewi Lembah Bangkai!

Sang Dewi kebutkan ujung lengan pakaiannya sebelah kiri. Tampak sinar hijau membubung ke udara disertai hawa busuk luar biasa. Pedang Iblis terpental sambil pegangi dada. Nafasnya sesak. Disaat yang bersamaan ketika tadi dia mengebutkan lengan kiri,

Dewi Lembah Bangkai petik tali-tali kecapinya dengan jari-jari tangan kanan. Enam kawat kecapi berdenting. Enam sinar putih berkiblat ke udara. Enam kelabang biru maut hancur berkeping-keping!

Putuslah nyali si nenek dan kekasihnya melihat kejadian ini. Si nenek cepat menarik lengan Pedang Iblis seraya berbisik, “Kita kabur saja. Tak ada jalan lain...”

Kedua kekasih itu lalu putar tubuh dan ambil langkah seribu. Tapi dari dasar lembah saat itu tiba-tiba tampak melesat dua gulungan tali yang ujungnya berbentuk jiratan. Pedang Iblis keluarkan teriakan tercekik. Lalu tubuhnya tertarik kebelakang, terguling di tanah dan terseret masuk ke dalam lembah.

Si Nenek Kelabang Biru berteriak menggerung. Dia lari mengejar kekasihnya. Tapi salah satu kakinya sudah masuk dalam jiratan. Lalu seperti sang kekasih, tubuhnya pun terseret ke dalam lembah. Pekiknya terdengar menggema. Pakaiannya hancur robek-robek. Ketika kemudian mayatnya digantung kaki ke atas kepala kebawah dicabang pohon, jelaslah dia memang seorang laki-laki, bukan seorang nenek sebagaimana penampilannya yang palsu!

********************

SEBELAS

Dewi Lembah Bangkai menatap ayah dan anak itu beberapa lama lalu berkata, “Adi Sara, aku menghargai maksudmu yang tidak ingin meninggalkan lembah ini setelah kau berkumpul lagi dengan ayahmu, bahkan mendapatkan kembali kekasihmu Ningrum. Memang tidak satu orangpun boleh meninggalkan tempat ini sebelum semua urusan selesai. Dan kau Ningrum, berlatihlah dengan keras agar kau mampu menguasai lima jurus ilmu silat itu. Dan minum ramuan perangsang penimbul tenaga dalam itu pada waktu waktu yang telah ditentukan...”

“Akan saya perhatikan Dewi. Kami bertiga bukan saja berhutang budi tapi juga berhutang nyawa dan masa depan,” menjawab Ningrum. Sebelumnya dia sudah diberi tahu bahwa ayahnya Adipati Sawung Glingging telah kembali ke Kadipaten dalam keadaan tidak kurang suatu apa sedang Adipati Tawang Merto telah menemui ajal.

Dewi Lembah Bangkai tinggalkan ketiga orang itu, masuk ke dalam goanya. Selama tiga hari dia tidak tidur di dalam goa yang dijadikan tempat perawatan Pendekar 212 Wiro Sableng. Hijau Satu yang bertugas merawat Wiro mendatangi sang Dewi.

“Bagaimana keadaannya?” bertanya Dewi Lembah Bangkai.

“Panasnya masih tinggi. Dia masih sering mengigau. Tapi racun yang berbahaya itu telah musnah oleh obat yang Dewi berikan...” menerangkan Hijau Satu.

“Apakah igauannya masih menyebut-nyebut pemuda bernama Panji Kondang itu...?”

“Masih...Walau tidak sesering satu hari sebelumnya,” jawab Hijau Satu pula. “Saya mohon petunjukmu lebih lanjut Dewi...”

“Bergabunglah bersama kawan-kawanmu yang lain. Lanjutkan melatih lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai itu. Hari pembalasan yang aku tunggu-tunggu akan segera datang, cepat atau lambat!”

Hijau Satu menjura lalu tinggalkan gua tersebut. Diluar sana dilihatnya Adi Sara tengah bercakap-cakap dengan ayah dan kekasihnya.

“Kasihan Dewi... Aku tahu dia menyukai pemuda itu. Tapi anehnya dia sendiri yang mengatur penculikan atas diri Ningrum hingga dua kekasih itu berkumpul kembali...”

Di dalam gua Dewi Lembah Bangkai memandangi Kapak Naga Geni 212 milik Wiro Sableng yang digantungkan di dinding gua. Lalu dia menatap kecapi miliknya yang disandarkan tak jauh dari situ.

“Satu kesaktian dari satu sumber yang sama tapi berbeda wujud...” sang Dewi membathin. Lalu dua berpaling memandangi Pendekar 212 yang terbaring di lantai gua beralaskan sehelai tikar jerami tebal.

Ketika malam tiba Wiro bangun dari tidurnya. Dirabanya bahunya sebelah kiri. Masih ada bekas luka mengering dan masih terasa adanya denyutan sakit, namun hatinya lega karena panas ditubuhnya jauh berkurang. Dan ketika dia mencoba bangun, kepalanya tidak pusing lagi serta pemandangannya tidak pula berkunang-kunang.

Kemudian disadarinya dia tidak berada sendirian dalam gua yang diterangi pelita kecil itu. Berpaling ke kiri dilihatnya Dewi Lembah Bangkai tegak bersandar ke dinding, sepasang mata dibalik cadar menatap ke arahnya. Dua pasang mata saling bertemu untuk beberapa saat.

Wiro coba mengingat-ingat sementara perutnya terasa lapar dan tenggorokannya kering. Dimana dia berada saat itu dan sudah berapa lama dia berada disitu. Lalu perempuan bercadar yang mengenakan pakaian tipis hijau itu...? Dia ingat apa yang terjadi. Pertempuran itu!

“Ah, jangan-jangan inilah Dewi Lembah Bangkai yang mendadak tersohor sejak beberapa bulan belakangan ini. Dimana gadis-gadis cantik lainnya...?” Lalu dilihatnya senjata mustika miliknya tergantung di dinding gua. Dia berdiri hendak mengambil senjata itu. Tapi gadis bercadar cepat berkata,

“Tak ada yang akan mengambil kapak mustikamu. Kau berada di tempat aman...”

Wiro menatap sang Dewi sesaat lalu memandang ke bahu kirinya. “Kau pasti Dewi Lembah Bangkai yang cantik dan perkasa itu...”

“Aku tidak suka dipuji!” kata sang Dewi dingin.

“Bagaimanapun itu adalah kenyataan yang aku lihat. Juga dilihat semua orang. Aku yakin kau dan anak buahmu telah menyelamatkan diriku dari kelabang maut nenek keparat itu. Aku menghaturkan terima kasih dan tak tahu bagaimana harus membalas budi.”

“Kaupun telah menyelamatkan salah seorang anak buahku. Walau tidak saling mengharapkan di dunia ini sudah lumrah budi dibalas budi, hutang nyawa dibalas nyawa.” Sang Dewi diam sesaat lalu kembali berkata, “Lembah Bangkai memiliki peraturan. Siapa yang berani datang kemari berarti sudah siap untuk mati. Datang berarti tidak pernah pulang!”

“Rupanya itu yang bakal terjadi dengan diriku?” tanya Wiro.

Dewi Lembah Bangkai tak segera menjawab. Jari-jari tangannya digerakkan diatas kawat-kawat kecapi. Suara kecap menggema dalam gua itu. Dinding terasa bergetar dan api pelita bergoyang-goyang.

“Sampai beberapa waktu lalu aturan itu memang masih berlaku. Namun keadaan menentukan lain. Kau akan menemui beberapa orang lain di luar sana. Mereka juga tidak kubunuh. Aku ada beberapa pertanyaan untukmu Pendekar 212...”

“Jadi kau sudah tahu siapa aku?”

“Kapak itu yang memberi tahu,” sahut Dewi Lembah Bangkai. “Pertanyaan pertama Kau mengikuti anak buahku Hijau Dua dari Kadipaten! Apa maksudmu?! Apakah ada yang membayarmu untuk membebaskan pengantin perempuan itu?!”

Wiro garuk-garuk kepala. Perutnya lapar sekali dan tenggorokannya kering serta haus. Maka dia terus terang berkata, “Aku tidak tahu berapa lama aku terbaring pingsan atau tidur. Tapi saat ini yang kuketahui perutku sangat lapar dan haus sekali...”

“Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan setelah menjawab pertanyaan-pertanyaanku!” jawab Dewi Lembah Bangkai.

“Hemm... Rupanya aku tidak ada pilihan lain. Tinggal di tempat orang harus tahu diri. Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu tadi. Maksudku mengikuti Hijau Dua hanya ingin tahu saja. Aku berada di Kadipaten secara kebetulan. Sama sekali bukan tamu pesta perkawinan. Ketika pengantin perempuan diculik oleh seorang perempuan muda yang cantik jelita, bagiku ini adalah satu keanehan. Pertama ternyata gadis itu memiliki kepandaian tinggi. Kedua, biasanya lelaki yang menculik gadis. Kini nyatanya gadis menculik gadis! Nah, ini membuatku ingin tahu apa sesungguhnya yang terjadi. Dan pertanyaanmu yang lain, sama sekali tidak ada yang membayar atau menyuruhku mengejar anak buahmu!”

“Apakah bukan karena kau mempunyai maksud kotor terhadap anak buahku? Karena dia mengenakan pakaian yang begitu tipis merangsang...?”

Wiro tertawa lebar. “Lelaki normal memang harus terangsang melihat yang begituan. Tapi tidak selalu. Buktinya aku mengagumi wajahmu yang tersembunyi dibalik cadar tipis itu. Juga bentuk tubuhmu yang bagus dan dapat kulihat karena ditembus cahaya pelita...”

Dewi Lembah Bangkai lambaikan tangannya. Api pelita padam dan ruangan gua itu serta merta menjadi gelap gulita.

“Dewi, apakah pembicaraan kita habis sampai disini?” bertanya Wiro.

“Manusia bicara dengan mulut, bukan dengan mata. Walaupun gelap kau bisa meneruskan kata-katamu...”

Dalam gelap Wiro garuk-garuk kepala. “Baiklah Dewi, kau dengar baik-baik. Wajahmu yang cantik, auratmu yang bagus sama sekali tidak merangsangku. Mengapa? Karena aku menghormatimu, karena kau dan anak buahmulah maka aku masih hidup saat ini. Masakan aku mempunyai pikiran kotor yang tidak-tidak?”

“Jika kami tidak menolongmu, berarti pikiran itu akan menancap di benakmu!” ujar Dewi Lembah Bangkai dalam gelap.

Wiro menarik nafas dalam. “Aku bukan manusia suci, apalagi Malaikat. Tapi seingatku tak pernah aku memperkosa anak gadis orang, tak pernah aku merusak kehormatan istri orang!”

“Siapa yang bisa membuktikan omonganmu!”

“Memang tidak! Namun paling tidak aku telah membuktikannya ditempat ini! Jika Dewi menganggapku manusia kotor, aku siap untuk pergi. Apapun prangsangka burukmu terhadapku, itu tetap tidak mengurangi rasa hormatku terhadapmu. Tidak menghilangkan rasa terima kasih atas jasa dan budi besarmu menolongku!”

Habis berkata begitu, walaupun tubuhnya masih lemah, Wiro Sableng berdiri dengan cepat lalu melangkah ke dinding gua dimana Kapak Naga Geni 212 tergantung. Ketika dia mengulurkan tangan hendak mengambil senjata itu, satu tangan memegang lengannya. Tangan itu terasa halus dan dingin sejuk. Tapi bagaimanapun dia mencoba, Wiro tak mampu melepaskan pegangan tersebut hingga dia tak bisa mengambil kapaknya.

“Jangan pergi dulu. Masih ada satu pertanyaan penting yang ingin kudapatkan jawabannya dari mu...”

Wiro berpaling. Saat itu dia tegak dekat sekali dengan sang Dewi, hingga dia dapat merasakan hembusan nafas yang hangat dan bau tubuh yang luar biasa harumnya. Dilain keadaan mungkin sang pendekar bisa terangsang. Tapi saat itu justru dia berkata,

“Dewi aku tidak terangsang dengan keharuman tubuhmu! Aku tetap menghormatimu. Izinkan aku pergi...”

Pegangan tangan sang Dewi tidak lepas. Dia juga tidak berusaha menjauh. “Ini sangat penting Pendekar 212. Aku perlu jawabanmu atas satu hal...”

“Katakanlah!”

“Selama kau terbaring sakit dan dilanda demam panas akibat racun kelabang, kau mengigau berulang kali. Diantara kata-kata yang kau ucapkan dalam igauanmu adalah seorang sahabat bernama Panji Kondang. Berulang kali kau mengatakan bahwa sahabatmu itu harus mencari kekasihnya sampai dapat dan mengatakan agar mengawininya, apapun yang telah terjadi. Katakan apa kau kenal dengan orang bernama Panji Kondang itu?!”

Wiro terdiam sesaat. Dia berpikir-pikir. “Memang aku kenal padanya. Tapi tidak lama. Kami bertemu disebuah rumah makan. Saat itu keadaannya seperti orang linglung. Pakaiannya kumal, mukanya tak tercukur dan dia kehabisan bekal. Dia menceritakan tentang kekasihnya yang memiliki kepandaian silat tinggi. Tapi kemudian melenyapkan diri karena ternyata gurunya telah merusak kehormatannya...”

“Apakah Panji Kondang menyebutkan siapa nama kekasihnya itu?”

“Ya... Kalau tidak salah kekasihnya itu bernama Prantisari. Ya, Prantisari...”

Wiro merasakan pegangan sang Dewi di tangannya lepas. Bersamaan dengan itu sang Dewi meluncur jatuh terduduk di lantai gua.

“Eh, ada apa denganmu Dewi? Kau mendadak jatuh. Apakah kau sakit...?”

“Tidak. Katakan Pendekar 212... Apalagi yang dikatakan Panji Kondang dalam pertemuan yang singkat itu...”

“Katanya dia berniat untuk mengarungi seluruh jagat ini guna mencari kekasihnya itu. Kalau bertemu dia tetap akan mencintainya dan akan mengawininya...”

“Tetapi apakah... apakah Panji Kodang mengetahui kalau kekasihnya itu kini telah berbadan dua...?!”

“Heh... Bagaimana kau bisa berkata begitu Dewi?!” tanya Wiro heran.

“Karena... Karena akulah Prantisari itu...!” Habis berkata begitu Dewi Lembah Bangkai terdengar sesenggukan. Lalu suara tangisnya memenuhi gua itu.

Lama Wiro termenung mendengar pengakuan sang dara disampingnya. Lalu dengan suara meyakinkan dia berkata, “Melihat kesungguhan hati kekasihmu itu mencarimu aku yakin sekali dia tetap mencintaimu! Tetap akan memperistrikanmu sekalipun kemudian dia mengetahui bahwa kau hamil akibat perbuatan bejat gurumu itu! Aneh... benar-benar aneh. Bagaimana aku bisa berada dalam semua kejadian ini?” Wiro lalu ikut-ikutan duduk dilantai gua disamping Dewi Lembah Bangkai.

“Terakhir sekali menurut katamu Panji berada di Kadipaten. Sekarang entah dimana dia berada...”

“Dia mengatakan tujuannya padaku. Jika kau mau aku bersedia mengantarkanmu kesana...”

“Tidak, aku tidak akan meninggalkan Lembah ini sebelum mencabut nyawa manusia terkutuk itu!”

“Kau, kau akan membunuh gurumu sendiri?!” tanya Wiro pula.

“Ya! Dan manusia terkutuk itu pasti akan datang mengantarkan nyawanya sendiri kemari! Aku dan anak buahku telah menyiapkan penyambutan. Hijau Satu, Dua dan Tiga adalah gadis-gadis yang mengalami nasib sama sepertiku. Bedanya mereka dirayu oleh kekasih masing-masing lalu ditinggal begitu saja. Mereka masih untung karena tak satupun yang hamil. Namun itu tidak mengurangi dendam kesumat mereka terhadap laki-laki. Karenanya jangan coba berlaku usil terhadap mereka!”

“Bagaimana kalau mereka yang berlaku usil terhadapku?!” tanya Wiro.

“Mungkin mulutmu perlu ditampar agar tidak bergurau dalam keadaan seperti ini!” tukas Dewi Lembah Bangkai yang bernama Prantisari.

“Apakah kau bakal sanggup mengalahkan gurumu jika terjadi perkelahian?” bertanya Wiro. “Bagaimanapun dia pasti lebih tinggi ilmu kepandaiannya!”

“Kau benar. Tapi aku memiliki sesuatu yang tidak mudah dikalahkan!”

“Apa itu? Keberanian atau kenekatan?” tanya Wiro pula.

Dalam gelap Dewi Lembah Bangkai mengambil kecapinya, meletakkan dipangkuan dan memetiknya beberapa kali. Alat bebunyian itu mengeluarkan suara berjentringan yang menggetarkan seantero gua, membuat telinga sakit dan ada sinar putih menyilaukan serta panas keluar dari setiap kawat kecapi.

“Sinar panas yang menyilaukan itu berasal dari sumber yang sama dengan ilmu pukulan Sinar Matahari yang kau miliki. Bedanya pukulan Sinar Matahari disalurkan melalui tangan sedang yang ini melalui tali-tali kawat sebanyak enam buah...”

Wiro berdecak kagum mendengar keterangan itu. Dia memang menyaksikan bagaimana Dewi Lembah Bangkai menghajar patah pedang milik Pendekar Pedang Iblis, dan juga kelabang-kelabang maut si nenek sakti itu sebelum pingsan.

Dewi Lembah Bangkai menyeka air matanya lalu berdiri. “Hijau Satu akan membawakan makanan serta minuman untukmu.”

“Terima kasih. Juga jangan lupa katakan padanya untuk menyalakan pelita di dalam gua ini. Hanya tikus yang suka makan di tempat gelap!” jawab Wiro lalu tertawa sendirian walau sang Dewi sudah berlalu dari situ.

********************

DUA BELAS

Siang itu teriknya matahari bukan alang kepalang. Seolah-olah hendak membakar bumi dan membuat busuknya bau mayat di dalam lembah menjadi jadi. Satu Hijau yang sedang berlatih jurus lima bersama Hijau Dua Hijau Tiga dan Ningrum mendadak hentikan latihan.

“Ada apa?” tanya Hijau dua.

Yang menjawab adalah Wiro Sableng yang berada tak jauh dari situ bersama Adi Sara dan Sara Jingga ayah Adi Sara.

“Ada orang datang!”

Semuanya memandang ke arah yang ditunjuk Pendekar 212. Di ujung lembah sebelah timur tampak tiga orang penunggang kuda duduk di punggung kuda masing-masing, memandang tajam ke dalam lembah sambil menutup hidung masing-masing dengan telapak tangan. Salah seorang diantara mereka tampak batuk-batuk karena tak tahan oleh busuknya udara.

“Aku akan beri tahu Dewi. Kalian semua tetap disini dan berpura-pura tidak melihat rombongan di atas sana!” Hijau Satu tinggalkan tempat itu.

Ketika laporan kemunculan tiga orang di tepi lembah disampaikan pada Dewi Lembah Bangkai, gadis ini melangkah keluar gua dan memandang jauh-jauh ke arah timur lembah. Dia segera mengenali sosok penunggang kuda yang disebelah tengah.

“Hijau Satu! Orang yang kita tunggu sudah tiba. Kau dan Hijau tiga lakukan penyambutan seperti yang sudah aku atur. Hijau Dua dan Ningrum agar berjaga-jaga di pedataran. Yang lain-lainnya jangan ada yang berani ikut campur urusan ini!”

Hijau Satu menjura dan cepat berkelebat tinggalkan tempat itu. Di atas lembah tiga orang penunggang kuda masih duduk di kuda masing-masing sambil tiada hentinya meneliti. Yang di sebelah kanan adalah seorang kakek yang buntung kedua kakinya. Dia kini mengenakan kaki palsu dari kayu. Dua batang tongkat kayu tergantung di leher kudanya. Orang kedua yang disebelah tengah mengenakan jubah putih, bertutup kepala putih. Meskipun usianya sudah lanjut tapi kumis dan janggutnya masih tetap berwarna hitam. Lelaki yang ketiga juga seorang kakek berwajah klimis, berpakaian biru muda yang pinggangnya dililit seutas rantai perak berwarna putih.

“Aku yakin inilah Lembah Bangkai yang membuat geger dunia persilatan itu. Bau busuknya sudah tercium sampai kemari. Tapi mengapa orang yang katamu mengundang tidak melakukan penyambutan?!” membuka suara kakek berpakaian biru muda.

Baru saja dia berucap begitu, dua bayangan hijau berkelebat dan dua gadis berpakaian hijau tipis berwajah cantik tetapi galak muncul didepan mereka, seolah-olah keluar dari dalam perut lembah!

“Ah... ah... ah! Panjang umurnya! Baru disebut sudah datang! Kaliankah penghuni Lembah Bangkai ini?!” kakek yang berjubah putih bertanya. Matanya berkilat-kilat melihat pakaian yang tembus pandang itu.

“Kami berdua memang mendapat tugas menyambut para tetamu dari jauh! Silahkan turun dari kuda! Kami akan membawa kalian menemui Dewi!”

“Dewi...? Ha Ha Ha! Ingin sekali aku melihat bagaimana tampang Dewi kalian itu!” kata si jubah putih pula lalu turun dari kudanya.

Kakek kaki kayu tampak sedari tadi membeliak. Bukan karena melihat tubuh dua gadis yang kentara jelas dibalik pakaian hijaunya yang tipis, tapi karena dia mengenali. “Hai! Tunggu dulu! Salah satu dari kalian adalah yang dulu menyerbu markasku dan membuntungi kakiku! Rupanya kau yang punya kerja. Kau harus ganti kaki kayuku dengan kedua kakimu yang mulus bagus!”

Lalu kakek ini sambar dua tongkat dileher kuda dan dengan gerakan cepat dia melompat turun dari punggung binatang itu. Begitu menjejak tanah langsung menyerang Hijau tiga!

“Pendekar Kaki Kayu... Harap bersabar dulu! Saat pembalasan pasti tiba! Apa sulitnya bagi kita untuk menarik lepas sepasang kaki yang bagus itu pengganti kedua kakimu. Biarkan kita bertemu dengan sang Dewi dulu. Ingin aku melihat siapa dia sebenarnya? Berbulan-bulan membuat kegegeran di dunia persilatan. Membunuh dan membunuh! Menculik...!”

“Orang tua berjubah putih! Jika kau bicara terus satu harian di tempat ini kau tak akan segera bertemu pimpinan kami! Percayalah, penyambutan untukmu pribadi pasti yang paling meriah!” ujar Hijau Satu pula.

Dia menunjuk ke sebuah jalan kecil berbatu-batu yang selama ini tersembunyi dikerimbunan semak belukar.

“Ikuti jalan menurun itu sampai kalian mencapai sebuah pedataran di dasar lembah. Selama perjalanan kebawah akan kami perlihatkan pemandangan yang indah dimana kalian dapat bertemu dengan beberapa sahabat. Hanya sayang kalian tidak bisa bertanya apa-apa pada sahabat-sahabat itu. Mereka semua sudah jadi mayat busuk!”

Kakek berpakaian biru tampak kerenyitkan kening. Si kaki kayu mengomel panjang pendek sedang si jubah putih dengan tenang mulai melangkah turun mengikuti Hijau Satu disusul Si Kaki Kayu lalu si pakaian biru. Disebelah belakang mengikuti Hijau tiga.

Menjelang mencapai dasar lembah mereka mulai melihat sosok-sosok tubuh yang bergelantungan. Ada yang hanya tinggal tulang belulang alias jerangkong, ada yang sudah hancur membusuk, tapi masih ada yang baru-baru.

“Yang ini manusia kotor berjuluk Nenek Kelabang Biru!” ujar Hijau Satu sambil menunjuk pada mayat yang tergantung di cabang pohon kaki ke atas kepala kebawah.

Kakek berbaju biru seperti mau muntah. Berulang kali dia coba menutup jalan penciuman tapi tetap saja bau busuk menembus hidungnya. Kini melihat mayat itu perutnya mendadak menjadi mual. Si jubah putih tetap tenang walau hatinya terasa berdebar sedang si kaki kayu seperti tak acuh. Sesekali dia berpaling kebelakang seperti hendak menyerbu Hijau Tiga saat itu juga.

“Yang itu jagoan keji bergelar Pendekar Pedang Iblis! Kekasih nenek Kelabang Biru!” kembali Hijau Satu membuka mulut seraya menunjuk ke sebuah cabang pohon dimana tergantung mayat Pedang Iblis yang sudah membusuk dan belatungan kedua rongga matanya.

“Tempat ini seperti neraka!” bisik kakek baju biru.

“Yang disitu mayat Adipati Tawang Merto, kalian pasti tak mengenalinya karena sudah sangat rusak...” Kembali Hijau Satu menjelaskan seraya menunjuk pada mayat yang tergantung di pohon sebelah kiri jalan menurun. “Yang di ujung sana, yang hanya tinggal gumpalan-gumpalan potongan daging adalah mayat Warok Suro Blebek, raja diraja rampok di utara! Lalu yang itu... yang hanya tinggal tulang belulang putih adalah mayat Sabrang Lor, seorang pendekar yang lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Cabul Pemetik Bunga! Ah, sayang jalan begini pendek. Kita sudah sampai di pedataran yang dituju!”

Saat itu mereka memang sudah sampai di dasar lembah dimana terdapat sebuah pedataran batu selebar delapan tombak persegi, diapit oleh tiga mulut goa. Disitu telah menunggu Hijau Dua dan Ningrum.

Begitu melihat Hijau Dua, Pendekar Kaki Kayu segera saja berteriak, “Ini dia iblis betina satunya! Kau tunggulah! Sebentar lagi aku akan mengambil kedua kakimu!”

Orang tua berjubah putih memandang berkeliling. Di salah satu mulut gua dia melihat ada tiga orang lelaki. Mereka bukan lain adalah Adi Sara, Sara Jingga dan Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Ha ha ha... Ternyata disini pun terdapat orang-orang lelaki untuk memberi kehangatan pada kalian di tempat yang busuk ini!” berteriak si jubah putih.

Baru saja suaranya sirap, dari salah satu mulut goa terdengar sahutan halus.

“Memang disini ada orang laki-laki! Tapi bukan bangsa manusia keji bernafsu kotor yang tega memperkosa murid sendiri” lalu terdengar suara jentringan kecapi.

Paras si jubah putih berobah merah. Dia memandang ke mulut goa sebelah kanan. Saat itu tampak sesosok tubuh berpakaian hijau, memakai cadar tipis dan membawa sebuah kecapi keluar dari mulut goa.

“Hemm... Jadi ini rupanya Dewi Lembah Bangkai yang tersohor itu?!” ujar si jubah putih.

“Orang-orang memanggilku Dewi. Tapi aku tetap manusia biasa! Datuk Sora Gamanda, apakah kau tidak mengenali diriku?!”

“Siapa kenal pada dirimu yang ditutup dengan cadar begitu rupa!” jawab kakek berjubah putih dengan rasa kaget dalam hati karena orang mengetahui namanya. “Hanya satu yang kuketahui, kau membunuh seluruh murid perguruanku! Hari ini aku datang memenuhi undanganmu! Hutang darah dibayar darah, hutang nyawa dibayar nyawa!”

“Bagaimana dengan hutang kehormatan? Apakah kau bisa membayarnya Datuk cabul?!”

“Perempuan bermulut kotor! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?!” teriak Datuk Sora Gamanda. Tubuhnya bergetar karena marah.

Dewi Lembah Bangkai tertawa panjang. Tutup tawanya dengan jentringan kecapi. Lalu perlahan-lahan dia membuka cadar hijau yang menutupi wajahnya.

“Prantisari!” teriak sang Datuk terkejut bukan kepalang.

Dewi Lembah Bangkai kembali tertawa panjang. "Ternyata kau belum lupa siapa aku! Pasti kau juga belum lupa apa yang telah kau lakukan terhadapku! Memperkosa murid sendiri! Manusia terkutuk! Apakah kau sudah bersiap untuk mati?!”

“Muridku...”

“Tua bangka bangsat! Aku bukan muridmu!” bentak Dewi Lembah Bangkai.

“Dengar...dengar dulu. Aku mengaku bersalah. Aku mengaku berdosa. Waktu itu aku benar-benar khilaf. Malam itu aku bermaksud membangunkanmu untuk menyuruh berlatih jurus-jurus silat baru. Kutemui kau terbaring di atas ranjang dengan kain tersingkap. Aku dihasut setan... Aku melakukan itu diluar sadar, muridku. Maafkan gurumu ini...”

Datuk Sora Gamanda melangkah hendak mendekati muridnya tapi Dewi Lembah Bangkai menyambutnya dengan menjentikkan kecapi. Benda itu berjentring keras, sinar putih menyilaukan menyambar dan pedataran batu di depan kaki DatuK Sora Gandama terbongkar. Hancuran batu dan debu berhamburan mengotori jubah putih sang datuk.

“Enak betul hidup didunia ini jika semuanya berakhir dengan maaf...! Datuk bejat! Jika kau masih punya Tuhan minta maaflah pada Tuhanmu. Tapi pada aku anak manusia tak ada ampun dan maaf bagimu!”

“Urusan apa sebenarnya yang berlangsung saat ini?!” kakek berbaju biru menyeletuk.

Segera saja dia mendapat dampratan dari Dewi Lembah Bangkai. “Orang tua pakaian biru, aku tahu kau adalah Pendekar Alam Sakti yang datang kemari karena diajak oleh manusia sundal bergelar Datuk Sora Gamanda ini! Aku juga tahu kehidupanmu selama ini bersih tiada cacat. Karenanya kuberikan waktu padamu untuk meninggalkan Lembah Bangkai saat ini juga!”

“Alam Sakti! Jangan dengarkan ocehannya! Kita tidak bisa dilecehkan begitu saja! Serahkan tukang pengumpul mayat ini padaku!” teriak Kaki Kayu.

Dewi Lembah Bangkai berpaling pada Hijau Satu dan Hijau Dua. “Habisi manusia kotor satu itu!” memerintah sang Dewi. Maka Hijau Satu dan Hijau Dua segera berkelebat.

Perkelahian pertama berkecamuk di pedataran batu itu. Begitu menyerbu kedua anak buah sang Dewi langsung mainkan lima jurus ilmu silat Lembah Bangkai. Dua pasang lengan baju menghantam tiada henti. Bau bangkai menghampar di tempat itu.

Dibakar oleh dendam kesumat si Kaki Kayu berkelahi luar biasa. Kedua kaki palsunya yang terbuat dari kayu setiap saat berubah menjadi senjata yang berbahaya. Belum lagi sepasang tongkat yang berada di kedua tangannya. Tiga jurus berlalu dua anak buah sang Dewi belum mampu mendesak. Namun begitu mereka memainkan jurus ke empat dan ke lima dari ilmu silat yang baru mereka pelajari, terdengar pekik si Kaki Kayu.

Satu tendangan keras membuat kaki kayunya sebelah kiri patah. Tubuhnya terbanting ke pedataran batu. Dia berusaha menusuk perut Hijau Dua dengan tongkat di tangan kanannya namun saat itu kepalanya yang masih menempel di pedataran batu sudah keburu dihantam tendangan Hijau Satu. Kepala ini tanggal dari lehernya, mencelat mental sejauh beberapa tombak.

Pendekar Alam Sakti merasakan tengkuknya dingin. Datuk Sora Gamanda tercekat tak bergerak. Jelas kepandaian dua gadis berbaju hijau itu luar biasa. Tidak dapat tidak pastilah bekas muridnya yang mengajarkan. Tapi dari mana si murid mendapatkan kepandaian itu?

“Bersihkan pendataran!” Dewi Lembah Bangkai berseru.

Hijau Tiga cepat maju. Mayat si Kaki Kayu dilemparkannya kesemak belukar.

“Pendekar Alam Sakti, waktumu hanya tinggal sedikit!” Dewi Lembah Bangkai memberi ingat.

“Dewi... Maafkan diriku. Kau benar, aku kemari karena diajak oleh Datuk Sora. Apa urusan kalian baru disini aku ketahui! Sebagai teman aku tak mungkin meninggalkannya sendirian. Tapi aku tak ingin mencampuri urusan kalian. Biarkan aku tetap disini. Kalau terjadi apa-apa dengan dirinya izinkan aku membawa jenazahnya!”

Dewi Lembah Bangkai tertawa perlahan. “Kau kuizinkan. Tapi ketahuilah. Kau tak akan mendapatkan jenazah utuh!” Lalu sang Dewi berpaling pada Datuk Sora Gamanda. “Waktunya sudah tiba guru bejat!”

Dewi Lembah Bangkai melangkah ke tengah pedataran. Kedua kakinya terkembang. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah bekas gurunya itu. Tak ada jalan lain bagi sang guru selain menerima tantangan sang murid.

“Lakukan apa maumu Prantisari! Aku tak akan melawan!” terdengar Datuk Sora Gamanda berkata. Suaranya bergetar.

“Manusia pengecut! Keluarkan kepandaianmu! Bagaimanapun bejatnya dirimu, aku berikan hak mu untuk membela diri! Sudah bejat jangan jadi manusia pengecut pula!”

Terbakar oleh kata-kata Dewi Lembah Bangkai maka Datuk Sora Gamanda menerkam ke depan. Jurus ilmu silat yang dilancarkan sang datuk sudah terbaca dan diketahui jelas oleh Dewi Lembah Bangkai. Bukan saja dia mampu mengelakkannya dengan mudah, tapi sebelum lawan sempat memasang kuda-kuda baru gadis itu telah menyerbu dengan jurus silat yang pernah diterimanya dari sang datuk.

Hanya saja gerakannya lebih cepat dan ganas. Ketika sang guru membuat gerakan mengelak, Dewi Lembah Bangkai langsung menyerbu dengan jurus pertama ilmu silat Lembah Bangkai ciptaannya.

Sewaktu menjatuhkan si Kaki Kayu tadi Datuk Sora Gamanda telah melihat jurus-jurus ilmu silat itu dimainkan oleh Hijau Satu dan Hijau Tiga. Meski mampu mempelajarinya secara singkat namun sang datuk tidak dapat mengandalkan pengetahuan singkatnya itu untuk dapat menghadapi bekas muridnya itu. Maka sang datuk keluarkan jurus-jurus silat yang selama ini tak pernah diturunkannya pada murid-muridnya, termasuk Prantisari.

“Bagus! Ternyata kau memiliki ilmu simpanan! Keluarkan semua kepandaianmu datuk cabul!” teriak Dewi Lembah Bangkai.

Semakin terbakar amarah sang datuk. Dari mulutnya keluar suara menggembor. Tangannya kiri kanan bergerak. Angin serangannya menderu-deru. Tubuhnya hanya tinggal bayang-bayang putih saja. Sang Dewi tampak seperti terkurung.

Tiba-tiba terdengar Dewi lembah Bangkai berteriak keras, tubuhnya berputar setengah lingkaran. Tangan kirinya menyambar seperti pedang sedang kaki kanan menghantam laksana palu godam. Inilah jurus ketiga ilmu silat Lembah Bangkai. Guru dan murid bertempur hebat dengan niat saling bunuh. Yang satu karena dendam yang satu lagi demi untuk menyelamatkan diri!

Ketika Dewi Lembah Bangkai mainkan jurus ke empat dan kelima, Datuk Sora Gamanda tak sanggup lagi bertahan. Dia melompat mundur sambil keluarkan senjatanya, sebilah golok pendek berhulu gading. Sebagai bekas murid, Dewi Lembah Bangkai tahu betul kehebatan golok tersebut yang merupakan sebuah senjata mustika sakti. Tapi sang dara tidak takut. Dia yakin akan kehebatan kecapi yang dimilikinya. Dia sengaja tegak di tengah pedataran batu, menunggu lawan menyerang.

Datuk Sora Gamanda sendiri hampir tidak mempercayai penglihatannya. Sang bekas murid hendak menghadapi senjata saktinya dengan alat bebunyian itu. Tapi dia tak mau berpikir lama. Perlahan-lahan sang datuk angkat tangan kanannya yang memegang golok. Sinar matahari memantul membuat senjata itu berkilau-kilau. Ketika senjata ini diayunkan ada sinar terang menyambar disertai letupan keras seperti petir menyambar dikejauhan!

Dewi Lembah Bangkai menunggu sampai sang guru datang lebih dekat. Begitu sinar golok menyambar dijarak lima jengkel dihadapannya, Dewi Lembah Bangkai acungkan kecapinya, sekaligus memetik dua tali kawat di sebelah depan. Dua sinar putih panas dan menyilaukan menyambar!

Terdengar jeritan Datuk Sora Gamanda. Tubuhnya terpental. Lengan kanannya putus sebatas siku laksana ditabas senjata tajam. Golok mustikanya tampak seperti meleleh dan jatuh berdentringan di pedataran batu.

“Prantisari...Ampuni selembar nyawaku! Aku mengaku berdosa! Aku mengaku bersalah!” Datuk Sora mencoba berdiri sambil menyembah-nyembah.

“Sudah kukatakan minta ampun pada Tuhan mu. Tapi jangan minta ampun pada diriku!” ujar Dewi Lembah Bangkai dengan pandangan mata dan air muka ganas.

Perlahan-lahan dia melangkah mendekati sang guru. Putus harapan berubah jadi ketakutan. Datuk Sora melangkah mundur. Mundur dan mundur terus. Disatu tempat dia membalikkan diri lalu lari menuju lereng lembah sebelah selatan.

“Manusia bejat! Tak ada tempat lari bagimu...” desis Dewi Lembah Bangkai.

Kecapi itu terdengar berdering! Sinar putih menyambar. Jauh di depan sana terdengar pekik Datuk Sora Gamanda ketika tangan kirinya sebatas bahu putus dihantam sinar putih yang menyambar keluar dari kawat kecapi. Seperti orang gila kakek ini meraung. Tubuhnya melorot kebawah. Tapi dengan segala kekuatan yang ada dia coba mendaki lereng lembah. Kecapi berdentring lagi. Kembali sinar putih menerpa ganas. Kali ini kaki kanan Datuk Sora yang putus. Tubuhnya terguling ke dasar lembah. Dalam keadaan mengerikan seperti itu dia berusaha menggapai-gapai dengan kakinya yang tinggal satu. Lalu kecapi dipetik sekali lagi.

Jeritan Datuk Sora setinggi langit. Tubuhnya hanya merupakan gelondongan saja kini. Kaki kirinya putus. Pendekar Alam Sakti tundukkan kepala. Tak sanggup menyaksikan kengerian ini, sementara tubuh kawannya menyangsrang diantara semak belukar.

Dewi Lembah Bangkai petik tiga tali kecapi sekaligus. Terjadilah hal yang luar biasa. Tiga sinar panas menyilaukan menyambar tubuh Datuk Sora yang menyangsang disemak belukar. Seperti agar-agar yang dibanting ke lantai tubuh itu hancur berkeping-keping!

“Pendekar Alam Sakti, seperti kukatakan tadi, kau tak akan mendapatkan jenazah sahabatmu dalam keadaan utuh. Aku tak ingin melihatmu lebih lama disini. Silahkan pergi!”

Mendengar kata-kata Dewi Lembah Bangkai kali ini, kakek berpakaian biru tak mau berlaku ayal lagi. Cepat-cepat dia mengambil golok bengkok milik Datuk Sora lalu tinggalkan tempat itu melalui jalan yang ditempuhnya sewaktu datang tadi. Kuduknya terasa dingin, hatinya berdebar. Kawatir kalau-kalau Dewi Lembah Bangkai akan menghantam tubuhnya dengan sinar ganas kecapi sakti itu!

Di pedataran batu saat itu Dewi Lembah Bangkai justru terduduk bersimpuh dan tekapan kedua tangannya ke wajah. Dia terdengar sesenggukan. Tak ada yang berani bergerak, tak ada yang berani berbuat sesuatu sampai akhirnya Pendekar 212 mendatangi dan bersimpuh di hadapan sang dewi. Setelah menunggu sampai isakan tangis gadis itu mereda murid Eyang Sinto Gendeng ini lantas berkata,

“Dewi, apa yang kau inginkan telah kau dapati. Saatnya kita semua meninggalkan tempat ini...”

Dewi Lembah Bangkai turunkan kedua tangannya. Dipandanginya wajah pemuda itu sejenak lalu berkata, “Aku tak tahu harus pergi kemana sekarang...”

“Jangan berkata begitu. Apa kau lupakan janjiku? Aku akan membawamu ke tempat dimana Panji Kondang berada. Lebih cepat lebih bagus supaya jangan terlalu jauh kita mengejarnya...”

“Pendekar 212, kau sungguhan mau mengantarku?” tanya Dewi Lembah Maut alias Prasanti.

“Mungkin hanya itu yang bisa kulakukan sebagai pembayar hutang budi dan hutang nyawa padamu Dewi...”

“Dewi...,” desis sang dara. “Aku tak ingin mendengar panggilan itu lagi. “Cerita tentang Lembah Bangkai sudah berakhir sampai disini!”

Ketika Wiro berdiri sambil mengulurkan tangan, sang dara memegang lengan pemuda itu lalu tegak pula sambil mengempit kecapinya. Dia memandang berkeliling lalu berpaling ke arah anak buahnya.

“Hijau Satu, Hijau Dua dan Hijau Tiga! Bersama yang lain-lainnya mari kita tinggalkan tempat ini. Kalian semua bebas kemana mau pergi...”

“Tidak Dewi...” kata Hijau Satu.

“Lupakan panggilan itu. Sebut namaku Prantisari!”

“Kami tetap akan ikut kemana kau pergi. Tentu saja kalau De... maksudku kalau kau mengizinkan... Bukan begitu kawan-kawan?”

Hijau Dua dan Hijau Tiga sama menganggukkan kepala.

Prantisari tersenyum dan usap air matanya yang berderai. “Kalau begitu apa yang aku cita-citakan akan menjadi kenyataan...”

“Eh, apa cita-citamu itu?” bertanya Wiro.

“Aku akan membuka perguruan silat di puncak gunung Lawu. Maksudku, aku dan dua orang gadis sahabatku itu!”

“Kalau begitu aku akan menjadi muridmu yang pertama!” kata Wiro pula lalu menggandeng tangan Prantisari menuju ke lereng lembah sebelah timur, ketika sampai di puncak lembah sebelah timur Wiro berpaling pada Prantisari. Boleh kulihat kecapimu?”

“Boleh saja. Apakah kau pandai memainkannya?” tanya Prantisari sambil menyerahkan kecapinya.

“Entahlah. Mungkin bisa. Tapi petikan kecapiku pasti tidak semerdu petikanmu!”

Wiro ambil kecapi itu dari tangan sang dara. Dia mengarahkannya ke Lembah Bangkai. Diam-diam perutnya mengeras tanda pendekar ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Lalu dia memetik ke enam tali kawat kecapi sekaligus!

Terjadilah hal yang luar biasa! Enam sinar putih menyambar laksana enam petir menghantam bumi. Suaranya menggemuruh seperti hendak meruntuhkan langit. Udara panas membakar bumi. Dibawah sana enam larik sinar kecapi menghantam lereng dan dasar terbawah dari Lembah Bangkai. Tanah, pepohonan dan batu-batu mental setinggi beberapa tombak. Tempat itu laksana kiamat. Masing-masing merasakan tubuh dan lutut mereka bergetar. Lembah Bangkai seperti sirna kini berubah menjadi timbunan tanah dan batu!

Wiro garuk-garuk kepalanya. Sambil menyerahkan kecapi itu kembali kepada Prantisari dia berkata, “Ah, petikan kecapiku ternyata memang tidak semerdu petikanmu. Memalukan saja! Ini aku kembalikan padamu kecapi ini...”

Prantisari tersenyum. “Aku gembira atas apa yang barusan kau lakukan Wiro. Lembah Bangkai lenyap dan benar-benar akan dilupakan orang...”

T A M A T

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.