GEGER DI PANGANDARAN
SATU
SEPASANG mata 212 sesaat membesar tak berkesip. Dadanya berdebar keras. “Dewi Payung Tujuh! Akhirnya kutemui kau!” kata Wiro menggeram dalam hati.
Kalau dituruti amarahnya, rasanya mau dia menyerbu si gadissaat itu juga. Sambil mengepalkan tinju murid Sinto Gendeng berusaha menekan gejolak dendam yang bersarang dalam dirinya sejak beberapa waktu.
Orang tua pemilik rumah makan menyambut kedatangan Wiro lalu dengan ramah mempersilahkan tamunya ini memilih tempat duduk. Namun sang tamu sama sekali tidak mengacuhkan. Terus saja memandang melotot ke arah gadis berpakaian biru berkembang-kembang kuning yang duduk di sudut rumah makan, asyik menyantap makanan.
“Kalau kuhajar sekarang rasanya kurang pantas. Biarkan dia meneruskan makan dulu. Mungkin ini makan yang terakhir baginya. Akan kutunggu dia di luar!”
Wiro keluar dari rumah makan itu. Dengan cepat dia menyelinap ke balik sebuah bangunan kayu, mendekam di bawah sebatang pohon. Dari sini dia dapat melihat pintu rumah makan hingga orang yang ditunggu tak bakal luput dari pengawasannya.
“Heran… Masuk ke rumah makan lalu keluar lagi. Jangan-jangan tak punya uang. Pemuda geblek..!" Orang tua pemilik rumah makan mengumpat lalu berpaling pada gadis baju biru berbunga-bunga. Dia ingat bagaimana tadi pemuda tak dikenal itu memandang menyorot seolah marah besar.
“Tidak mustahil pemuda tadi punya niat jahat terhadap gadis cantik itu. Lebih baik aku beritahu padanya agar berlaku hati-hati.” Lalu orang ini mendatangi gadis yang tengah bersantap. Setelah membungkuk dia memberitahu kejadian barusan.
“Mungkin cuma seorang pemuda mata keranjang!” kata si gadis dan terus saja menyantap makanannya.
“Bapak sudah tua. Cukup berpengalaman mengartikan pandangan seorang lelaki terhadap perempuan. Pemuda yang Bapak katakan tadi bukan memandang kagum akan kecantikanmu, Nak. Dan kelihatannya bukan seorang pemuda mata keranjang. Dia memandang anak seolah melihat seorang yang dibencinya. Cuping hidungnya mengembang, pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung dan dua matanya tidak berkesip. Urat besar di lehernya kelihatan bergerak-gerak. Dia seolah menahan satu dendam besar terhadapmu.”
“Hemm…”Gadis cantik beralis tebal dan berbulu mata lentik itu bergumam lalu tenang saja meneguk minumannya. Tanpa memandang pada pemilik rumah makan dia berkata. “Bapak, keteranganmu cukup lengkap. Bisakah Bapak menceritakan ciri-ciri orang itu."
“Masih muda, rambut panjang sebegini. Si orang tua meletakkan tangan kiri dibahu. Lalu meneruskan. “Dia mengenakan pakaian serba hitam. Ikat kepala putih.”
“Kulitnya hitam atau putih? tanya si gadis sambil mengunyah makanannya pelan-pelan.
“Tidak putih, Kuning langsat seperti kulit perempuan. Tapi tubuhnya kekar. Tampangnya seperti orang tolol, tapi berbahaya!"
“Tolol tapi berbahaya! Aneh juga!” kata si gadis. Lalu dalam hati dia membatin. “Setahuku dia tidak pernah mengenakan pakaian hitam. Sulit kuduga siapa dia adanya.” Gadis itu menyelesaikan makannya dengan cepat.
Tak lama kemudian dia tampak muncul di ambang pintu rumah makan. Sesaat dia memperhatikan seputar halaman lalu melangkah ketempat di mana dia menambatkan kudanya. Begitu berada di atas punggung tunggangannya, sebelum bergerak pergi terlebih dulu diperiksanya bungkusan besar yang tergantung di leher kuda. Parasnya berubah tanda terkejut. Sekali lihat saja dia sudah maklum sesuatu telah terjadi dengan bungkusannya. Di dalam bungkusan itu dia menyimpan tujuh buah payung tujuh warna. Setelah diperiksa ternyata hanya ada enam payung.
“Seharusnya bungkusan ini kubawa masuk ke dalam. Heran, mengapa aku terlalu tolol! Kini payung merahku lenyap!” kata si gadis dalam hati menyesali diri.
Dia berpikir keras. “Seorang pencuri tidak akan mengambil cuma satu payung! Manusia jahat macam mana yang berani main-main terhadapku!”
Gadis ini memandang berkeliling. Ada beberapa orang lalu-lalang di sekitar situ namun tidak terlihat hal-hal yang mencurigakan.
“Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menemukan payung merahku kembali!”
Si gadis segera hendak turun dari kudanya. Saat itulah dari atas sebatang pohon melayang turun satu sosok tubuh berpakaian hitam.
“Dewi Payung Tujuh! Apakah kau mencari ini?” Orang yang melompat dari atas pohon menegur dengan pertanyaan. Terdengar suara clep! Lalu serangkum angin bergulung-gulung menerpa ke arah gadis di atas kuda.
Gerakan gadis berbaju biru tertahan. Sambil mendorongkan tangan kirinya untuk menangkis serangan angin dia berpaling. Matanya membentur sosok seorang pemuda berpakaian hitam. Di tangan kanannya dia memegang sebuah payung berwarna merah.
“Dugaanku tidak salah. Memang dia rupanya.” kata si gadis yang memang adalah Dewi Payung Tujuh alias Puti Andini. Gadis berkepandaian tinggi dari Pulau Andalas yang muncul di tanah Jawa untuk mencari Kitab Putih Wasiat Dewa.
“Pendekar212!” seru Andini lalu melompat turun dari atas kuda. Wajahnya membentuk perubahan yang sulit diartikan. Dia melangkah maju. Begitu sampai dihadapan Pendekar 212 dia berkata. "Jadi kau rupanya si pencuri payung itu?”
Sekuntum senyum menyeruak hingga wajahnya yang cantik tanpa dihias itu tampak tambah jelita. Sesaat murid Sinto Gendeng jadi salah tingkah. Kebenciannya terhadap gadis itu selangit tembus. Tapi wajah yang begitu cantik mau tak mau membuat rasa terpesona terselip juga di hatinya.
“Kau mau mengembalikan payung itu atau benar-benar hendak mencurinya?” tanya Puti Andini setengah bergurau.
Wiro masih diam. Sesaat kemudian perlahan-lahan dia ulurkan tangannya menyerahkan payung setelah lebih dulu menguncupkannya.
“Terima kasih.” kata Dewi Payung Tujuh begitu menerima kembali payung merahnya. “Lama kita tidak bertemu,apa kabarmu?”
"Seharusnya kau bertanya apakah aku sudah mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Bukankah itu tujuanmu sejak berangkat dari pulau Andalas?”
Sesaat si gadis menatap tajam. Dari cara orang bertanya serta nada suaranya gadis ini segera maklum ada sesuatu. Masih sambil tersenyum, sambil mempermainkan ujung payung merah dia berkata. "Kau sudah tahu hal itu sejak lama. Kalaupun aku bertanya kau pasti tak akan memberitahu. Biar aku menyelidiki terus"
“Dewi Payung Tujuh, aku datang untuk menghukummu!”
Dua bola mata Andini membesar, alisnya yang hitam naik sesaat laludari mulutnya yang berbibir merah keluar suara tawa berderai.
“Menghukumku? Ini adalah aneh! Apa dosa dan kesalahanku? Coba kau beritahu. Kalau aku sudah mendengar lalu hukuman apa yang hendak kau jatuhkan atas diriku?!”
“Hukuman mati! jawab Pendekar 212 tandas.
DUA
Sepasang mata Andini terbelalak. Senyum di wajahnya yang cantik serta merta pupus. “Tak percaya aku akan pendengaranku! Pendekar 212 Wiro Sableng muncul hendak menjatuhkan hukuman mati terhadapku! Hemm…"
Si gadis menyilangkan payung merahnya didepan dada lalu menyambung. “Aku tidak mengungkit cerita lama. Tapi setelah aku menyelamatkan nyawamu dari kematian di tangan Tiga Bayangan Setan, apakah itu balas budimu?”
“Dosamu jauh lebih besar dari hutang nyawa dan budi yang kau tanam terhadapku!”
“Oh begitu? Coba kau sebutkan apa dosaku!” jawab si gadis. Suaranya keras meradang. Parasnya yang jelita tampak mengeras tapi di mata Pendekar 212 justru membuatnya tambah cantik.
“Gila! Gadis ini benar-benar cantik” Mau tak mau dalam hatinya murid Sinto Gandeng ini jadi kembali bimbang. Namun kalau ingat kematian mengenaskan yang dialami Raja Obat Delapan Penjuru Angin, orang tua yang telah berjasa besar dalam mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa serta Bidadari Angin Timur yang hampir menemui ajal mati digantung kaki ke atas kepala ke bawah maka darah Pendekar 212 kembali menggelegak.
“Gadis cantik, jauh-jauh datang dari Andalas kau bukan cuma memburu kitab sakti tapi juga menebar maut secara keji. Sekarang di hadapanku malah berpura-pura! Jangan mengira aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan! Beberapa waktu lalu kau membunuh orang tua bergelar Raja Obat Delapan penjuru Angin dalam sebuah rumah kayu di satu bukit tak jauh dari Kutogede! Lalu kau juga berusaha membunuh seorang gadis berjuluk Bidadari Angin timur dengan cara menggantungnya kaki ke atas kepala ke bawah…!”
Wajah cantik Dewi Payung Tujuh berubah sebentar putih memucat sebentar memerah saga. Mulutnya ternganga. “Ini cerita paling hebat yang pernah aku dengar dalam hidupku! Guruku pernah berpesan agar jangan ragu-ragu membunuh setiap orang jahat yang tak bisa dibuat sadar. Mengenai dua orang yang kau sebutkan itu aku pernah mendengar siapa mereka tapi bertemu pun belum! Kau mengarang cerita dusta agaknya Pendekar 212?!”
“Itu bukan cerita kosong atau dusta! Tapi kenyataan! Jangan kau berani berdalih dan pengecut mengakui kejahatanmu!” bentak Pendekar 212.
“Eh, melihat tampangmu bicara dan nada suaramu agaknya kau tidak main main!” tukas Andini.
“Sialan! Siapa bilang aku main-main!”
“Hemmm…" begitu sang dara tampak tenang saja membuat murid Sinto Gendeng menjadi tambah naik darah. “Kalau aku boleh bertanya apa hubunganmu dengan orang tua berjuluk Raja Obat Delapan Penjuru Angin itu?"
“Dia sudah kuanggap kakek sendiri"
“Lalu gadis yang punya julukan hebat si Bidadari Angin Timur itu punya sangkut paut apa kau dengan dirinya? Kekasihmu?!”
“Apa hubunganku dengan dia bukan urusanmu!”
Dewi Payung Tujuh menghela nafas dalam. Payung merah dimasukkannya ke dalam bungkusan besar di leher kuda. “Aku masih ada urusan lain yang lebih penting! Kau salah alamat menuduhku! Kau harus memutar otak dan bekerja keras untuk mencari siapa pembunuh Raja Obat Delapan Penjuru Angin dan bidadarimu itu…! Aku harus pergi sekarang…!” Enak saja si gadis lantas putar tubuhnya, siap melompat ke atas punggung kuda.
“Perempuan jahat! Kau kira bisa melarikan diri begitu saja?!” bentak Pendekar 212.
Mendengar bentakan itu si gadis urungkan niat naik ke atas kuda. Dia membalik dan balas membentak. “Siapa mau melarikan diri! Aku cuma tidak mau berurusan dengan orang gila yang tidak tahu juntrungan menuduhku membunuh orang!”
Dari balik pakaian hitamnya Wiro mengeluarkan secarik robekan kain merah. Benda itu dilemparkannya ke hadapan Dewi Payung Tujuh.
“Apa ini?!” tanya si gadis sambil memperhatikan robekan kain itu dengan pandangan setengah acuh.
“Itu robekan pakaianmu yang berhasil digigit hingga robek sewaktu hendak membunuh Bidadari Angin Timur!”
“Hebat! Menuduh lengkap dengan bukti! Tapi bukti palsu!” teriak Dewi Payung Tujuh. Dari dalam bungkusan yang tergantung di leher kuda dikeluarkannya sehelai pakaian berwarna merah. Pakaian itu dicampakkannya ke depan kaki Wiro seraya berkata setengah berteriak. “Itu pakaian merahku yang kau sebut-sebut. Silahkan buka matamu lebar-lebar. Lihat apa ada bagian yang robek?!”
"Perlu apa aku melihat pakaian butut itu” jawab Wiro “Kau bisa saja punya selusin pakaian sepert ini!”
“Pendekar 212! Aku kira kau memang sengaja membuat-buat alasan! Apa maumu sebenarnya aku tidak tahu! Tapi kalau kau terus menuduh mungkin aku akan lebih dulu membunuhmu daripada kau meminta nyawaku!”
Wiro menyeringai. "Siapa yang bakalan mati duluan di antara kita hanya malaikat maut yang tahu! Tapi aku harus menegakkan kebenaran! Menghukum manusia jahat, keji dan penuh dosa sepertimu!" Habis berkata begitu Pendekar 212 segera melompat kirimkan serangan. Tinju kanannya melesat ke arah pelipis kiri Dewi Payung Tujuh!
“Hemmm… Pemuda gila ini benar-benar hendak membunuhku! Dia mengarah salah satu titik kematian dikepalaku!” membatin Dewi Payung Tujuh.
Didahului satu teriakan keras Andini berkelebat ke samping. Dengan satu gerakan kilat dia menyambar pakaian merahnya yang tercampak di tanah lalu…
"Wuttt...!"
Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya menyambar sinar merah disertai dorongan angin yang keras sekali. Kalau dia tidak cepat menarik pulang tangannya dan melompat ke belakang niscaya sekujur tubuhnya akan terjebak dalam pakaian merah yang dipergunakan sebagai senjata oleh Andini.
Selagi Wiro terhuyung-huyung mengimbangi diri si gadis cepat melompat ke atas punggung kudanya. Namun sebelum dia sempat menarik tali kekang menggebrak tunggangannya dari samping menderu selarik angin, menggemuruh laksana batu raksasa menggelinding. Ternyata Pendekar 212 telah lepaskan pukulan sakti bernama Kunyuk Melempar Buah"
Andini yang tahu bahaya cepat menyambar kantong perbekalannya berisi tujuh payung. Sebelum melompat setinggi satu setengah tombak ke udara gadis ini tendangkan tumit kaki kirinya ke pinggul. Binatang ini melompat ke depan. Meski bagian belakangnya sempat tersambar angin pukulan yang menyebabkan kuda itu terbanting dan roboh ke kiri namun dia selamat dari hantaman telak yang bisa membuat hancur setengah dari tubuhnya. Setelah meringkik keras, kuda ini menghambur ke balik sebuah bangunan dan meringkik lagi beberapa kali.
Pendekar 212 cepat berpaling ketika tiba-tiba terdengar suara clep… clep beberapa kali. Delapan langkah di hadapannya Dewi Payung Tujuh tegak dengan kaki terkembang. Di atas kepalanya dua buah payung yakni payung warna biru dan kuning terkembang melayang dan berputar mengeluarkan suara bersiuran. Di sebelah kirinya payung hijau dan putih mengambang di udara, berputar kencang.
Lalu di sisi kanan dua payung lagi yaitu hitam dan ungu berputar naik turun ke atas. Andini sendiri memegang payung merah dalam keadaan terkembang dengan ujungnya yang runcing menghadap ke arah Wiro. Sepasang matanya yang berbulu lentik memandang tak berkesip ke arah lawan. Rupanya gadis ini sudah siap untuk menghadapi Pendekar 212 dalam satu perkelahian hidup mati.
“Bagus! Kau sudah siap menerima hukuman! Kau akan mati bertabur kembang tujuh payungmu!”
Andini keluarkan suara mendengus. “Kesombongan dan otak tolol membawa manusia ke liang kubur! Majulah kalau kau ingin segera mencari mati!”
Dewi Payung Tujuh goyangkan kepalanya. Set… set… Enam buah payung yang melayang di udara menukik ke depan. Bagian runcingnya kini menghadap ke arah Wiro dan putarannya bertambah kencang hingga enam payung itu mengeluarkan suara seperti angin prahara yang bertiup membabat dari enam titik kematian!
“Cuma payung kertas siapa takut!”
Baru saja Wiro mengejek enam buah payung melayang di udara, menebar membentuk lingkaran mengurungnya. Di sebelah tengah mengapung di udara tampak Puti Andini bergantung pada payung merah. Tiba-tiba gadis ini jentikkan jari-jari tangannya. Enam buah payung mendadak sontak melesat ke arah Pendekar 212. Tiga membuat gerakan menusuk dengan bagian runcing. Tiga lainnya membabat seperti gergaji berputar yang siap untuk membuat tubuh Wiro terkutung-kutung!
TIGA
Pendekar 212 terbelalak melihat datangnya hujan serangan itu. Sesaat tubuhnya masih terhuyung ke depan. Di lain kejap dia jatuhkan diri di tanah. Dua kaki membagi serangan berupa tendangan. Tangan kiri kanan serentak melepas dua pukulan sakti. Yaitu Benteng Topan Melanda Samudera dengan tangan kiri dan Sinar Matahari dengan tangan kanan.
“Wusss! Wusss!” Dua angin sakti menerpa dahsyat. Satu mengeluarkan sinar panas berkilauan. Satunya tidak terlihat oleh mata!
Puti Andini berteriak nyaring. Tangan kanannya diputar dengan cepat. Terdengar suara clep-clep berulang kali. Enam payung yang terkembang secara aneh serta merta menguncup. Walau payung-payung itu berpelantingan kian kemari namun lolos dari hantaman dahsyat pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Kini tinggal pukulan Sinar Matahari yang oleh Wiro sengaja diarahkan pada Puti Andini.
Untuk kedua kalinya gadis berjuluk Dewi Payung Tujuh itu keluarkan teriakan keras. Sepasang kakinya ditendangkan ke belakang. Tubuhnya menukik ke bawah. Serentak dengan itu gadis ini putar payung merahnya. Sinar merah berkiblat laksana lingkaran setan langsung menggulung sinar putih pukulan sakti Sinar Matahari
“Dess! Dess! Dess...! Bummm...!”
Tempat itu laksana dihantam gelegar petir dihunjam gempa. Di dalam rumah makan orang berteriak dan berlarian keluar! Payung merah hancur berantakan. Setiap hancuran berubah menjadi kepingan-kepingan api yang bertaburan di udara. Dewi Payung Tujuh menjerit keras. Sosoknya mencelat sampai enam tombak. Lengan bajunya tampak terbakar. Mukanya sepucat kain kafan. Hebatnya dalam keadaan seperti itu gadis ini tidak kehilangan akal.
Setelah membuat jungkiran dua kali berturut turut, dengan sigap dia menyambar payung hitam yang mental ke arahnya. Dia menekan tombol pembuka payung. Begitu payung mengembang gadis ini perlahan-lahan melayang turun ke tanah. Lima payung lainnya, dengan jentikan-jentikan jari tangan segera mengembang lalu bersusun di sebelah bawah, melindunginya jika ada serangan dari bawah.
Paras Puti Andini tampak pucat pasi. Di sela bibirnya ada genangan darah tanda dia menderita luka dalam yang cukup parah. Lima payung menancap di tanah lalu clep-clep ke enamnya menguncup. Di tengah-tengah lingkaran payung itu Puti Andini mendarat. Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, Dewi Payung Tujuh alias Puti Andini segera mengatur jalan darah dan tenaga dalam Dadanya mendenyut sakit.
Dia melirik pada tangan kanannya. Lengan pakaiannya hangus tersambar pukulan Sinar Matahari. Masih untung tangannya hanya menderita luka bakar ringan. Untuk beberapa saat lamanya gadis ini tegak dengan tubuh tergontai-gontai, memandang ke arah Wiro dengan bola mata laksana menyala!
Sepuluh langkah di hadapan Puti Andini, Pendekar 212 terkapar di tanah. Muka dan sebagian pakaian hitamnya tampak kemerahan. Ini akibat hantaman hawa yang keluar dari payung merah yang dipergunakan Puti Andini untuk menyerangnya. Muka dan lehernya terasa panas dan seolah ada puluhan jarum menusuk-nusuk.
Walaupun sakit Wiro tidak perduli. Tekadnya sudah bulat untuk membunuh gadis di depannya itu saat itu juga. Sekali bergerak dia sudah melompat.
"Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera tidak menghancurkannya. Pukulan Sinar Matahari tidak membunuhnya! Ini saatnya aku menjajal pukulan Harimau Dewa!”
Wiro dekatkan tangan kanannya ke mulut lalu meniup. Pada saat itulah berkelebat satu bayangan biru disertai suara perempuan keras menegur. “Lawanmu seorang perempuan! Berada dalam keadaan cidera Apakah sudah pantas mengeluarkan ilmu kepandaian untuk melakukan pembunuhan?!”
Murid Sinto Gendeng berpaling ke kiri. “Bidadari Angin Timur!” serunya ketika melihat siapa yang tegak hanya beberapa langkah dari hadapannya. “Kau tahu mengapa aku membunuhnya! Semua demi kau!”
Di tempat itu kini berdiri seorang gadis berambut pirang panjang sepunggung, mengenakan pakaian biru tipis. Bagaimanapun cantiknya Dewi Payung Tujuh Puti Andini namun yang satu ini benar-benar memiliki kecantikan luar biasa. Sepasang mata si gadis naik ke atas, keningnya mengernyit. Dari mulutnya yang bagus keluar ucapan heran.
“Kau membunuhnya demi aku? Ah! Inilah satu keanehan yang tidak pernah kuduga!” kata gadis berbaju biru yang bukan lain memang Bidadari Angin Timur adanya.
“Bidadari! Kau ini bagaimana?!” Kini Pendekar 212 yang jadi heran.
Ketika kedua orang itu bicara, Dewi Payung Tujuh pergunakan kesempatan. Tangannya kiri kanan digerakkan. Lima payung yang menancap di tanah tiba-tiba melesat ke atas lalu melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Lima ujung payung yang runcing menusuk ke arah lima bagian tubuh sang pendekar, dua di kepala, dua di bagian dada dan satu lagi di perut!
“Pembokong licik!” teriak Wiro marah sekali. Dia cepat menyingkir sambil siap menghantam dengan pukulan Sinar Matahari
Pada saat itulah Bidadari Angin Timur berkelebat. Tubuh kasarnya lenyap, berubah menjadi bayang-bayang. Tangannya bergerak sulit untuk dilihat. Ketika dia berhenti berkelebat dan tegak dua langkah di hadapan Dewi Payung Tujuh, lima buah payung yang tadi dipakai menyerang kini tersusun melintang di atas ke dua lengannya yang saat itu tampak diangsurkan pada si gadis berbaju biru berkembang kuning.
Selagi Puti Andini melongo heran. Bidadari Angin Timur berkata, “Ambil payungmu dan pergilah dari sini!”
Untuk beberapa saat lamanya Puti Andini tegak dengan memandang tercengang pada Bidadari Angin Timur. "Bagaimana ini" dia membatin. “Katanya aku yang menggantung dia."
“Kau mendengar apa yang aku ucapkan! Mau menunggu apa lagi?!” Bidadari Angin Timur menegur.
Dewi Payung Tujuh ulurkan tangannya untuk mengambil payung. Namun matanya diarahkan pada Pendekar 212.
“Hemmm Kau bimbang. Agaknya kau mencintai pemuda itu" Paras Dewi Payung Tujuh menjadi sangat merah. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Lalu secepat dia mengambil ke lima payung itu, secepat itu pula dia meninggalkan tempat itu.
“Pembunuh keji! Kau mau lari ke mana?!” teriak Wiro mengejar. Namun gerakannya di halangi Bidadari Angin Timur. Kalau saja bukan gadis yang dicintainya ini yang menghalangi pasti Wiro sudah menerjang bahkan menggebuk.
“Aku tidak mengerti! Betul-betul tidak mengerti!” kata Wiro sambil menggeleng-geleng dan garuk-garuk kepala.
“Apa yang tidak kau mengerti” tanya Bidadari Angin Timur.
Wiro memandang berkeliling. Saat itu tempat tersebut telah penuh dengan kerumunan orang yang menyaksikan apa yang terjadi di situ. “Dengar, kita tak bisa bicara di sini. Kita perlu bicara di tempat lain… Ikuti aku!” Wiro segera tinggalkan tempat itu.
Sesaat Bidadari Angin Timur hanya memandangi. "Heran… Ada apa dengan dirinya?” Setelah berpikir-pikir sejenak akhirnya dia berkelebat mengejar Wiro. Disatu tempat sepi Wiro hentikan larinya. Begitu Bidadari Angin Timur sampai si gadis langsung bertanya.
“Nah sekarang coba katakan apa yang tidak kau mengerti”
“Pertama!” jawab Wiro. “Waktu di air terjun tempo hari mengapa kau pergi meninggalkan aku begitu saja? Seolah-olah setelah mendapatkan kitab itu diriku tak ada harganya lagi dimatamu!”
Gadis di depan Wiro tampak tercengang pertanda heran mendengar ucapan si pemuda. “Kini aku yang tidak mengerti. Kau bicara tentang air terjun. Air terjun dimana? Kau menyebut tentang kitab. Kitab apa?”
“Jangan bergurau Bidadari Angin Timur."
“Kurasa kaulah yang tengah bergurau Pendekar212 Wiro Sableng."
Air muka murid Sinto Gendeng jadi kelam membesi. Dia hendak marah tapi yang keluar justru tawa bergelak. “Dunia ini sudah gila rupanya!” kata Wiro kemudian setengah berteriak. “Waktu itu kau bahkan memberitahu bahwa kau hendak dibunuh oleh gadis itu. Aku menemukan dirimu digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Di sebatang pohon di dalam hutan! Tadi malah kau yang melarang aku membunuhnya! Padahal demi dirimu dan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Raja Obat aku bersumpah untuk membunuhnya! Apa dunia tidak gila menurutmu?!”
Bidadari Angin Timur menggeleng. “Dunia tidak gila. Mungkin otakmu sendiri yang tidak waras!”
“Apa katamu?!" teriak Wiro dengan mata melotot.
“Wiro kau tidak dalam keadaan sakit ingatan bukan?!”
“Gila, Mengapa kau sampai berkata begitu?”
“Karena semua ucapanmu sangat aneh bagiku!”
“Apa yang aneh?! Aku menyesal menyerahkan kitab itu padamu! Tapi aku tidak malu untuk memintanya kembali! Harap kau kembalikan kitab yang aku serahkan tempo hari! Pendekar 212 ulurkan tangannya.
Sepasang mata gadis jelita itu memandangi Wiro mulai dari ujung rambut sampai ke kaki. Ada yang tidak wajar dengan dirinya. "Kapan aku dan kau berada di air terjun! Kitab apa yang pernah kau berikan padaku?! Lalu siapa bilang aku pernah mengatakan bahwa gadis tadi pernah menggantungku di atas pohon! Padahal setelah sekian lama baru kali ini kita bertemu lagi!”
Wiro garuk kepalanya habis-habisan hingga rambutnya yang gondrong acak-acakan tak karuan. “Bidadari Angin Timur, mari kita bicara sebagai orang waras. Bukan bicara seperti orang gila”
Sigadis tertawa cekikikan. “Siapa yang waras dan siapa yang gila Wiro? Aku bilang baru sekarang bertemu denganmu. Dan kau bicara yang aku tidak mengerti!”
“Taruh kata kau lupa semua itu. Lalu apakah kau juga lupa bagaimana kita mandi berdua di telaga dulu? Bagaimana kita berulang kali bercumbu mesra! Bahwa aku mengatakan cinta padamu dan kau...!"
“Kau memang sudah gila!” teriak Bidadari Angin Timur.
“Kau yang gila!” balas berteriak Wiro “Kau mungkin lupa tapi apa kau lupa apa yang kau katakan setelah aku memberikan kitab itu padamu?! Dengar! Aku masih ingat dan akan aku ulang di depanmu saat ini juga. Kau bilang bahwa kau ingin menyerahkan tubuh dan kehormatanmu padaku! Lalu kau merobek pakaianmu hingga berada dalam keadaan setengah tanjang dan..."
"Plaaakk!"
Tamparan keras yang dilayangkan Bidadari Angin Timur mendarat di pipi kiri Pendekar 212 membuat sang pendekar tergagau menahan sakit disertai rasa tidak percaya. Berulang kali diusapnya pipinya yang kena tampar sementara matanya membeliak tidak berkedip memandangi gadis di depannya.
“Kalau kau tidak mau mengembalikan kitab itu tak jadi apa" kata Wiro dengan suara perlahan. “Tapi aku sangat sedih dan tidak pernah mengira diri mu seculas ini. Kau mengatakan cinta padaku"
“Demi Tuhan! Aku tidak pernah mengatakan hal itu padamu! Tidak ada orang yang menggantungku. Aku belum pernah melihat gadis tadi. Aku tidak mau tahu ada urusan atau silang sengketa apa diantara kalian. Tapi aku menyuruh gadis berbaju kembang-kembang itu pergi karena kasihan! Karena dia terluka di dalam! Aku juga tidak tahu kitab apa yang kau maksudkan! Dan ini yang penting! Sejak peristiwa Guci Setan dan terbukanya kedok Ki Ageng Lentut alias Sangkolo Bumi yang bukan lain adalah Pangeran Matahari, aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Baru hari ini...”
(Mengenai pertemuan Wiro Dan Bidadari Angin Timur, baca serial Wiro Sableng berjudul Guci Setan)
“Kau berdusta!” hardik Wiro memotong.
“Apa untungnya aku berdusta?!”
“Mana aku tahu” jawab Wiro. Tubuhnya bergetar menahan amarah. “Kalau saja aku tidak mencintaimu, saat ini juga sudah kuhajar kau habis-habisan!"
Wiro termangu sejenak sementara Bidadari Angin Timur memandanginya dengan wajah merah. Dia seolah tak percaya mendengar ucapan Wiro yang terakhir. “Dia mencintaiku?" kata sigadis dalam hati.
“Sudahlah!" terdengar Wiro berucap perlahan. Nadanya penuh keputus asaan. "Anggap saja aku yang salah. Aku yang memang sudah gila. Kalau saja aku saat ini bisa mampus alangkah enaknya mati sebagai orang gila” Habis berkata begitu Wiro putar tubuhnya siap untuk melangkah pergi.
“Wiro tunggu!” seru Bidadari Angin Timur.
Wiro melangkah terus malah kini mulai berlari. Si gadis cepat berkelebat. Sekejapan saja dia sudah menghadang di depan Wiro.
“Apa maumu…?” tanya Pendekar 212.
“Persoalan di antara kita harus diselesaikan dulu sampai jernih!”
Wiro menggeleng. “Aku orang gila! Otakku tidak waras! Aku tidak pernah menyerahkan kitab sakti itu padamu! Kita tidak pernah berkasih sayang. Aku orang gil Gilaaaa..."
“Wiro! Dengar dan jangan pergi dulu! Ada sesuatu yang tidak beres dibalik semua apa yang kau ucapkan dan kau sangkakan!”
“Betul! Memang ada yang tidak beres! Aku orang gila inilah yang tidak beres! Nah, kuharap kau puas! Jangan menghalangi langkahku! Atau… Wiro kepalkan tinjunya, siap untuk dipukulkan ke muka Bidadari Angin Timur. Si gadis diam tak bergerak. Caranya memandang terasa aneh di mata Wiro.
“Wiro, pertama sekali aku ingin kau menceritakan ciri-ciri gadis itu! Rambutnya, pakaiannya, kulitnya… Apa saja yang kau ingat!”
Mendengar kata-kata Bidadari Angin Timur Wiro membuka mulut. “Rasanya aku ingin berteriak sampai ke langit! Perlu apa aku memberikan keterangan panjang lebar! Orang yang ingin kau tanyakan itu ia di hadapanku saat ini! Kau sendiri"
“Apakah dia mempunyai lesung pipit di kedua pipinya? Seperti yang aku miliki?” bertanya Bidadari Angin Timur tanpa menghiraukan kemarahan Wiro
. “Aku sudah lupa karena otakku kurang waras. Mungkin dia punya sepuluh lesung pipit disetiap pipinya!”
Si gadis sesaat terdiam. Tampaknya dia tengah berpikir keras. Lalu terdengar suaranya berucap perlahan. “Jangan-jangan dia. Tapi bagaimana dia bisa terlepas?"
Wiro yang hendak melangkah pergi, sesaat tertahan gerakannya. Namun kemudian dia cepat-cepat membalikkan tubuh.
“Wiro...! Bidadari Angin Timur berseru. “Aku yakin gadis yang kau temui dan kau anggap diriku itu adalah saudara kembarku!”
Sepasang kaki Pendekar 212 seperti dipantek ke tanah. Langkahnya tertahan. Tubuhnya diputar kembali ke arah si gadis. Matanya membesar penuh selidik namun mulutnya terkancing. Satu senyum aneh kemudian menyeruak dibibirnya.
“Kalau saja, aku juga punya saudara kembar tentu akan lebih hebat segala kejadian di dunia ini!” Habis berkata begitu Wiro segera berkelebat. Tapi bagaimanapun cepat gerakannya, dia tak bisa menandingi kecepatan gerakan si gadis yang sampai membuat dia memberi nama Bidadari Angin Timur itu.
“Kalau kau mau pergi silakan! Tapi aku ingin kau mendengar dulu keteranganku!” kata si gadis pula. “Aku dilahirkan ke dunia bersama adik kembarku. Sejak kecil kami dititipkan pada seorang perempuan yang tinggal bersama seorang pandai di kaki gunung Bromo. Dari orang tua inilah kami mendapat segala ilmu kepandaian. Walau kami kembar namun sejak kecil adikku memiliki sifat sangat berlainan. Setelah dewasa kelainan ini berubah menjadi satu hal yang menakutkan. Karena dia memiliki kesaktian dan ilmu silat yang sangat tinggi dan telah beberapa kali mempergunakannya secara sesat maka guru menghukumnya. Sampai waktu yang tidak ditentukan dia tidak diperkenankan meninggalkan tempat kediaman guru. Dia setengah dipenjara dalam sebuah lembah batu. Kalau kau mengatakan telah bertemu dengan seorang yang sangat sama dengan diriku, pasti dia adalah adik kembarku. Kurasa dia tah melarikan diri dari lembah batu itu...”
Wiro tetap tegak tak bergerak.
“Aku tidak menyalahkanmu kalau kau tidak mempercayai. Hanya saja aku khawatir seseorang telah memperalatnya. Kau mengatakan telah menyerahkan sebuah kitab padanya. Kalau aku boleh bertanya kitab apakah?”
Wiro tetap tidak menjawab.
“Kalau kau tidak mau menerangkan tidak jadi apa! Namun aku sudah bisa mengira-ngira. Aku menyirap kabar bahwa sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa telah muncul dalam dunia persilatan. Sangat santar terdengar bahwa kitab itu berada di tanganmu. Karena kau cuma punya satu nyawa rasanya tidak perlu mengingatkan bahwa tiap kejapan mata nyawamu terancam oleh orang yang menginginkan kitab sakti itu"
“Mereka boleh membunuhku sampai seribu kali. Mereka tidak bakal mendapatkan apa-apa. Seperti kuterangkan kitab itu kuberikan pada Bidadari Angin Timur. Entah engkau orangnya entah benar ada yang lain! Aku merasa benar-benar tertipu...!"
Bidadari Angin Timur tersenyum sinis. “Bukan orang yang menipu tapi kau sendiri yang telah berlaku bodoh. Cinta bisa saja buta, tapi otak jernih tidak perlu digadaikan pada orang lain!”
Wiro terdiam namun si gadis tahu bahwa pemuda ini memaki panjang pendek dalam hatinya. Maka diapun segera menyambung ucapannya. “Maafkan, aku tidak bisa bicara lebih lama. Aku harus mencari adikku. Aku yakin dia berada dalam satu bahaya besar. Bagaimanapun jahatnya dirinya, dia adalah saudaraku sedarah sedaging. Aku wajib menolong menyelamatkannya…! Sebelum pergi ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Kau boleh menjawab boleh tidak. Di luaran tersiar kabar ada satu pertemuan besar para tokoh persilatan pada hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran. Berarti kurang satu bulan dari sekarang. Kau tahu pertemuan macam apa adanya?”
“Aku tak bisa mengatakan. Jika kau merasa sebagai orang persilatan mengapa tidak mencari tahu dan datang sendiri ke sana?”
“Hemm Begitu? Kalau umurmu masih panjang mudah-mudahan aku bisa melihatmu lagi di Pangandaran!”
“Urusan umur manusia ditangan Tuhan. Bukan di tangan manusia ataupun setan!” jawab Wiro saking kesalnya dan merasa terhina oleh ucapan Bidadari Angin Timur itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi si gadis putar tubuhnya.
“Tunggu!” ujar Wiro “Kau tak bisa membuktikan ucapanmu. Aku tidak bisa memastikan bahwa kau memang punya adik kembar. Tapi satu hal harus kau ketahui. Jika memang ada dua Bidadari Angin Timur di dunia ini, maka Bidadari Angin Timur yang kucintai itu adalah dirimu. Karena kaulah yang pertama sekali kukenal.
Ucapan itu membuat gadis di hadapan Wiro diselimuti berbagai perasaan. Sebetulnya dia ingin pertemuan itu berlangsung lebih lama. Tanpa berkata apa-apa Bidadari Angin Timur tinggalkan tempat itu.
Begitu si gadis pergi Wiro kelihatan mengangkat kepala dan mengendus-endus beberapa kali. “Bagaimana aku bisa percaya ucapannya. Bagaimana aku yakin dia punya saudara kembar. Bau harum tubuh dan pakaiannya tidak berbeda dengan Bidadari Angin Timur yang kutemui beberapa waktu lalu"
********************
EMPAT
Pangeran Matahari menjambak rambut pirang gadis itu. Dia menggeram beberapa kali baru berkata. “Aku masih mau memberi pengampunan padamu! Yang pertama dan yang terakhir! Lain kali nyawamu tak akan tertolong! Tapi agar kau tahu pengampunan ini bukan tanpa syarat! Kau dengar ucapanku?!”
“Aku mendengar Pangeran. Harap kau katakan apa syarat pengampunanmu,” kata gadis berpakaian biru yang berada dalam keadaan tidak berdaya dan tampaknya ketakutan sekali.
“Pertama kau harus dapat mencari Pendekar 212 dan membunuhnya sebelum hari sepuluh bulan sepuluh! Membunuh bangsat itu bukan cuma sekedar membunuh, tapi juga mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang asli! Dia pasti menyembunyikan kitab sakti itu di satu tempat dan memberikan yang palsu padamu!”
“Apa syarat yang ke dua?”
“Gadis sialan! Kau tak perlu bertanya! Aku yang akan mengatakan. Untuk berjaga-jaga, jika kau tidak mampu melakukan syarat pertama tadi. Kau harus dapat menemui Delapan Tokoh Kembar yang kabarnya barusan saja kembali setelah tujuh tahun gentayangan di lautan sebelah timur. Bujuk mereka agar mau bergabung dengan kita dan hadir di Pangandaran pada hari sepuluh bulan sepuluh!”
“Setahuku walau mereka tidak terlalu bersih tapi mereka bukan orang-orang golongan hitam. Tidak mudah membujuk mereka"
“Bidadari Angin Timur! Kau punya wajah cantik dan tubuh bagus menggiurkan! Aku dengar Delapan Tokoh Kembar bukanlah manusia-manusia yang punya pantangan bermain-main dengan perempuan!”
Berubahlah paras cantik gadis berambut pirang itu. Pangeran Matahari maklum apa yang ada di benak Bidadari Angin Timur. Sambil menyeringai dia berkata,
“Kau gadis cerdik. Terserah padamu bagaimana melayani mereka. Mau satu-satu atau delapan sekaligus! Ha ha ha…!”
Dalam hatinya gadis berpakaian biru itu menyumpah habis-habisan. “Tidak kusangka dirinya sekeji ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah terlanjur jatuh ke dalam tangannya"
“Pangeran!" kata si gadis pula sementara rambutnya masih terus dijambak. "Apa perintahmu akan kulaksanakan. Kau sudah mengatakan syarat untuk pengampunan diriku. Sekarang giliranku untuk meminta satu syarat...!"
Pangeran Matahari tertawa lebar. “Kau berada dibawah kekuasaanku! Aku yang mengatur dirimu”
“Aku mengerti. Aku hanya ingin menyampaikan dan minta kau mau mendengar. Apakah kau mau memenuhi atau tidak aku tak bisa berbuat apa. Terserah padamu!"
Sang Pangeran menggeram. “Bilang, apa yang kau mau katakan..!" bentaknya.
“Bila semua urusan sudah selesai, aku ingin kau menikahiku sesuai dengan janjimu"
“Itu bisa kita bicarakan nanti!"
“Ketahuilah Pangeran, akibat hubungan kita selama ini, saat ini aku telah berbadan dua. Ada jabang bayi seusia tiga puluh hari dalam rahimku.!"
Pangeran Matahari seperti mendengar sambaran halilintar di depannya mendengar ucapan gadis itu. Jambakannya terlepas. Kakinya tersurut mundur dan sepasang matanya memandang mendelik. “Jahanam! Bagaimana itu bisa terjadi?” teriak sang Pangeran.
“Apakah hal itu perlu kau tanyakan?”ujar Bidadari Angin Timur.
“Aku tidak ingin punya anak! Kandunganmu harus kau gugurkan. Aku tahu orang pandai yang bisa melakukannya. Kalau ti...”
“Kau akan membunuhku! Bukan begitu terusan ucapanmu Pangeran? Aku sudah mengatakan syarat permintaanku. Terserah padamu untuk memikirkan!”
Pangeran Matahari tersenyum. Dengan mesra dibelainya pipi si gadis lalu berkata. “Kau salah menduga kekasihku. Bukan itu terusan ucapanku. Yang betul adalah kalau tidak bisa aku tidak akan lari dari tanggung jawab untuk menikahimu. Kita akan hidup sebagai suami istri, punya anak. Rasanya dalam usiaku yang sekarang ini sudah saatnya aku harus mempunyai pendamping setia dalam hidupku.”
Sepasang mata Bidadari Angin Timur membesar dan berkaca-kaca. “Pangeran, aku benar-benar bangga mendengar ucapanmu itu! Langsung saja gadis ini merangkul Pangeran Matahari. Keduanya saling berpelukan lama sekali. Dua insan bersatu raga seolah berusaha bersatu hati. Namun dalam benak masing-masing saat itu telah muncul benih kebusukan dan kekejian.
Dalam hatinya si gadis membatin. “Aku kenal betul diri dan sifatmu Pangeran. Aku meragukan apa kau benar-benar akan melaksanakan apa yang kau katakan. Aku menaruh firasat kau akan menghabisi diriku begitu urusan besar di Pangandaran selesai. Aku tidak bodoh Pangeran! Aku akan membunuhmu lebih dulu dan merampas Kitab Wasiat dari tanganmu! Kau boleh tertawa saat ini tapi lihat dan tunggu saja saatnya!”
Firasat yang didapat si gadis saat itu memang benar karena sambil merangkul sang Pangeran dalam hatinya berkata, “Gadis tolol! Apa kau kira aku benar-benar ingin menikahimu?! Ha ha ha! Pangeran Matahari mana mau barang rongsokan sepertimu! Umurmu hanya sampai hari sepuluh bulan sepuluh! Begitu urusan di Pangandaran selesai dan aku telah menjadi raja di raja dunia persilatan, saat itu pula riwayatmu akan selesai! Aku Pangeran segala cerdik, segala akal, segala congkak tidak sebodoh yang kau sangkakan! Ha ha ha…!"
Pangeran Matahari mencium kening gadis dalam pelukannya lalu berbisik, “Aku ingin membelai perut yang menyimpan jabang bayi calon anakku bolehkah?"
Si gadis angkat kepalanya sedikit lalu mengangguk. Tangannya bergerak membuka ikat pinggang pakaian birunya. Sesaat kemudian pakaian itu jatuh lepas ke lantai. Dalam pelukan sang Pangeran si gadis tidak lagi mengenakan apa-apa.
********************
Sekali ini agak lama Pangeran Matahari berendam dalam air telaga sejuk dan jernih itu. Kerindangan pohon-pohon besar disekitar telaga menahan sinar sang surya. Pangeran Matahari menyelam dua kali berturut-turut. Tubuhnya terasa segar. Ketika dia hendak menyelam untuk kali terakhir tiba-tiba sudut matanya menangkap satu bayangan di tepi kiri telaga. Di situ, di atas sebuah batu dia telah meninggalkan pakaian hitam dan mantelnya. Tergulung dalam mantel hitam dia menyembunyikan Kitab Wasiat Iblis.
Pangeran Matahari cepat berbalik. Dia hanya sempat melihat satu bayangan putih berkelebat. Sebelum bayangan itu lenyap Pangeran Matahari telah menghantam dengan pukulan Telapak Matahari. Suara angin panas menggemuruh keluar dari telapak tangan kanan sang Pangeran. Batu besar di tebing telaga hancur berkeping-keping hangus menghitam dan mengepulkan asap.
Semak belukar rambas berentakan, musnah terbakar. Sebatang pohon besar langsung tumbang begitu batangnya yang sebesar pemelukan tangan patah dilabrak pukulan sakti. Tanpa perduli akan keadaan dirinya yang tidak mengenakan apa-apa Pangeran Matahari melompat keluar dari dalam telaga. Dia berkelebat ke balik tumbangan pohon di arah mana tadi dilihatnya bayangan putih itu berkelebat.
“Bangsat pencuri! Jangan kira kau bisa lolos dari Kematian ”teriak Pangeran Matahari.
Begitu sampai di balik reruntuhan pohon besar dia lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Siapapun yang bersembunyi di situ dalam keliling lima tombak tak bakal luput dari pukulan maut itu. Udara mendadak redup. Cahaya kuning bercampur merah dan hitam pekat berkiblat menggidikkan.
Suara menggemuruh terdengar laksana ada air bah mengamuk. Hawa panas mendadak sontak menyelubung. Kembali pohon-pohon bertumbangan, semak belukar terbakar berhamburan. Pasir dan debu serta pecahan batu membubung ke udara!
Pada saat itulah terdengar suara tawa bergelak. Di balik saputan pasir dan debu tampak satu bayangan putih melayang turun dari sebatang pohon besar yang barusan tumbang.
“Pangeran Matahari! Pukulan saktimu hebat tanpa cacat! Tapi kewaspadaanmu berkurang dan gerakanmu kulihat lamban!” Suara keras menggetarkan seantero tempat.
Pangeran Matahari tersentak kaget. Kepalanya mendongak dan sepasang matanya memandang tajam tak berkesip kedepan. Begitu pasir, debu dan kerikil surut jatuh ke tanah dan udara kembali terang maka tampaklah jelas sosok tubuh yang tadi melayang dari atas pohon.
Dia ternyata adalah seorang kakek berpakaian putih kotor dan rombeng. Sepasang matanya yang besar menjorok ke dalam cekungan rongga mata yang mengerikan. Mukanya sangat pucat. Mayat sekalipun tidak akan sepucat itu! Mulutnya yang perot kelihatan berkomat-kamit. Orang ini memiliki rambut putih menjela sampai ke punggung dan dia berdiri terbungkuk-bungkuk pertanda keadaannya sudah dimakan usia lanjut. Di kempitan tangan kirinya kelihatan pakaian hitam dan mantel milik Pangeran Matahari.
“Guru!” seru Pangeran Matahari ketika dia mengenali siapa adanya kakek dihadapannya.
Si kakek tertawa panjang dan mendongak lalu goyang-goyangkan kepalanya beberapa kali. Saat itu Pangeran Matahari sudah melompat ke hadapan si orang tua dan membungkuk satu kali.
“Guru! Tidak sangka kau sekonyong-konyong muncul membuat kejutan!”
Si kakek yang memang adalah guru Pangeran Matahari tertawa panjang. Dalam dunia persilatan manusia ini dikenal dengan julukan angker Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat!
“Muridku! Jelas kulihat kewaspadaanmu berkurang dan gerakanmu lamban! Itu satu pertanda bahwa ada bisikan hati yang mempengaruhi jalan pikiranmu! Apa yang terjadi dengan diri Pangeran Anom?”
Sang guru menyebut nama asli Pangeran Matahari yang memang terlahir sebagai seorang Pangeran bernama Anom, putera Raja dari istri ke tiga bernama R. A. Siti Hinggil.
“Terima kasih atas teguranmu Guru. Aku memang tengah menghadapi urusan besar. Tapi aku bisa menghadapi sendiri! Kau tak usah menyusahkan diri ikut campur segala.” Jawaban Pangeran Matahari jelas menunjukkan sikap segala pandai dan segala congkak.
Si Muka Bangkai kembali tertawa bergelak. “Aku senang mendengar jawabanmu. Kau masih seperti dulu! Segala cerdik, segala pandai, segala congkak! Bagus, itu bagus kalau kau memang bisa mengurus diri sendiri! Tapi yang aku saksikan tadi membuat aku ragu apakah kau benar-benar bisa menjaga diri dan menjaga barang berharga itu!”
Habis berkata begitu Si Muka Bangkai lemparkan gulungan pakaian dan mantel hitam Pangeran Matahari yang tadi disambarnya dari atas batu di tepi telaga. Pangeran Matahari cepat menyambuti pakaian, mengenakan baju dan celana hitamnya. Terus mengikatkan mantel hitam ke leher dan mengikatkan Kitab Wasiat Iblis ke dadanya.
“Kau harus mengatakan terus terang apa yang terjadi dengan dirimu. Kau tengah menghadapi urusan besar muridku. Bukan cuma menyelamatkan nyawamu sendiri tapi juga harus memikirkan cara yang mulus untuk menguasai dunia persilatan!”
“Aku sudah memiliki Kitab Wasiat Iblis! Siapa yang sanggup melawanku? Siapa yang berani menghalangi diriku menjadi raja diraja dunia persilatan?!” jawab Pangeran Matahari dengan congkaknya sambil mendongakkan kepala seolah saat itu dia bukan berhadapan dengan guru yang harus dihormatinya.
“Kau betul! Tidak salah! Kitab Wasiat Iblis ada di tanganmu! Siapa yang sanggup melawanmu? Kau hanya tegak berdiam diri, tidak bergerak bahkan tidak bernafas. Dan musuh-musuhmu akan mampus berkaparan. Tapi apakah kau sudah mendengar kabar tentang sebuah kitab sakti lain bernama Kitab Putih Wasiat Dewa? Kitab itu kabarnya sudah jatuh ke tangan musuh besarmu. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
“Aku sudah mendengar. Mungkin lebih dulu tahu dari padamu. Guru. Bahkan aku sudah melakukan sesuatu walau saat itu maksudku belum kesampaian…“
"Hemmm… Harap kau memberitahu padaku apa yang kau lakukan”
“Aku telah menugaskan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan untuk mencari dan membunuh Pendekar 212. Aku juga telah memerintah Bidadari Angin Timur untuk melakukan hal yang sama. Kalaupun mereka gagal aku tetap tidak merasa takut! Kitab Wasiat Iblis segala-galanya diatas dunia ini!”
Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai menarik nafas dalam. “Muridku, bagaimanapun hebatnya dirimu aku tetap merasa khawatir. Pertama sekali kau harus menceritakan apa yang kau alami saat ini hingga gerakanmu begitu lamban, kewaspadaanmu jauh di bawah ukuran seorang berkepandaian tinggi seperti mu”
Pangeran Matahari terdiam beberapa lamanya. Akhirnya dia berkata juga. “Aku telah menghamili seorang gadis. Dia menuntut minta dinikahi!”
“Hemmm Ah… ha ha ha…!” Si Muka Bangkai mula-mula terbatuk-batuk beberapa kali lalu tertawa bergelak. “Hanya urusan sepele begitu sampai otak dan hatimu menjadi mumet!? Tak sanggup merasa, tak sanggup berpikir? Alangkah bodohnya! Aku yakini gadis yang kau katakan itu adalah si cantik yang suka berpakaian biru tipis merangsang itu?”
Pangeran Matahari mengangguk perlahan. Sang guru kembali tertawa gelak-gelak.
“Guru, tak usah mencemooh mentertawai diriku! Aku sudah menemukan jalan untuk menyelesaikan urusan yang satu itu”
“Hemmm… Pasti kau memuslihatinya dan mengakhiri muslihatmu dengan kematian baginya! Ah! Terlalu sayang gadis secantik itu cepat-cepat dikirim ke liang kubur. Serahkan semua urusan padaku asalkan kau mau menghadiahkan dirinya untukku! Atau kita miliki dia bersama-sama sampai akhirnya kita bosan sendiri
“Sekali ini aku tidak bisa memenuhi permintaanmu Guru,” kata Pangeran Matahari. Gadis itu bisa mengundang bahaya yang tidak terduga. Ular kepala dua. Mungkin lebih! Aku tetap memutuskan. Akan membunuhnya setelah hari sepuluh bulan sepuluh!”
“Ah, aku si tua bangka ini jadi kecewa mendengar penolakanmu itu muridku. Kuharap dalam waktu dekat kau bisa berubah pikiran… Aku sudah lama tidak menggauli perempuan. Kalau aku dapat gadis itu walau cuma untuk beberapa hari, hemmm. Apalagi dia sedang hamil muda. Kata orang…" Si Muka Bangkai tidak meneruskan ucapannya melainkan tertawa mengekeh.
“Guru. saat ini aku tengah memusatkan segala daya dan pikiran pada hari sepuluh bulan sepuluh! Apakah kau telah melakukan sesuatu untukku?” ujar Pangeran Matahari.
“Hah! Nyatanya kau tidak melupakan hari itu. Kau tak perlu khawatir. Sesuai permintaanmu dulu aku akan pergi ke Pangandaran untuk membuat segala persiapan agar jalanmu menjadi penguasa rimba persilatan bisa lebih mulus!"
“Apa saja yang akan kau lakukan Guru?” tanya Pangeran Matahari.
“Kau tahu beres sajalah. Mengikuti kemauan dan segala akal licikmu, tiga minggu lalu seorang sakti berjuluk Makhluk Pembawa Bala menemuiku di satu tempat. Keadaan manusia satu ini mengerikan, hanya menunggu hari kematiannya saja. Ada sebatang kayu menancap di ubun-ubun kepalanya! Dia punya dendam kesumat besar terhadap Pendekar212. Ternyata dia punya niat juga untuk memiliki Kitab Putih Wasiat Dewa. Kutipu dirinya dengan mengatakan akan membantunya mendapatkan kitab itu. Karenanya dia mau melakukan apa saja yang aku perintahkan. Dibantu oleh seorang ahli dari Kotaraja dia akan memasang bahan peledak serta berbagai senjata rahasia di salah satu bukit yang akan menjadi tempat berkumpulnya musuh kita”
Pangeran Matahari menyeringai. Aku tahu manusia berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu. Jika dia orangnya memang kita tidak perlu kawatir. Musuh-musuh kita akan menemui ajal sebelum sempat melakukan sesuatu. Terima kasih Guru, kau telah bersusah payah melakukan sesuatu untukku.” Berbasa basi Pangeran Matahari lalu membungkuk dalam-dalam.
Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat tertawa kempot-kempot “Sekarang apakah kau sudah berubah pikiran dan mau menghadiahkan gadis berbaju biru itu padaku?”
“Guru, aku tidak mau mengecewakanmu. Ada satu hadiah memang sudah kusediakan untukmu Masuklah ke ruang dalam. Langsung ke kamar tidur di sebelah kiri.”
Sepasang mata cekung Si Muka Bangkai tampak berkilat. Mulutnya yang perot berkomat-kamit. Tanpa menunggu lebih lama dia masuk ke ruangan dalam. Pintu kamar dibukanya lebar-lebar. Si Muka Bangkai sesaat merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Nafasnya seolah putus! Betapakan tidak. Di atas ranjang putih terbaring sesosok tubuh gadis jelita. Selain rambutnya yang panjang hitam sepinggang gadis ini tidak mengenakan apa-apa lagi. Kakek bungkuk ini tertawa mengekeh. Dengan tumit kaki kirinya ditendangnya pintu kayu dibelakangnya!
********************
LIMA
Hari sepuluh bulan sepuluh hanya tinggal dua minggu. Hari itu pantai selatan tampak tenang. Udara di Teluk Penanjung di mana terletak pantai Pangandaran tampak terang dan cerah. Dua bukit batu karang menjorok sejajar ke arah laut, mengapit sebuah pedataran pasir berbatu-batu selebar lima tombak. Satu sosok tubuh bungkuk berkelebat cepat dari arah utara.
Setelah melewati beberapa gundukan batu karang akhirnya dia sampai di satu tempat ketinggian di mana terpancang sebuah tiang besi. Di ujung tiang besi berkibar sehelai bendera besar berwarna hitam, melambai-lambai ditiup angin. Tepat di bawah bendera itu duduk bersila satu sosok luar biasa mengerikan. Melihat pada keadaannya yang tidak bergerak dan tidak bersuara, jika tidak diperhatikan benar sulit diduga apakah sosok ini sudah jadi mayat atau masih hidup!
Sosok ini hanya mengenakan sehelai cawat rombeng. Sekujur tubuhnya penuh dengan koreng cacar air menebar bau busuk. Beberapa bagian tubuhnya tampak hangus hitam seperti pernah terbakar. Perutnya robek besar. Dari robekan ini membusai usus yang bergerak-gerak setiap dia menarik nafas!
Sepasang kakinya hanya merupakan tulang-tulang menghitam dan hancur di beberapa bagian. Dia duduk termiring-miring karena bagian dadanya tampak aneh seperti pernah putus lalu disambung tetapi tidak pas betul sambungannya. Makhluk ini tidak memiliki tangan sama sekali alias buntung!
Kedua daun telinganya sumplung. Hidung gerumpung. Pipi hancur dan pada lehernya ada guratan luka tertutup darah yang telah mengering. Mulutnya yang hancur membuat bibirnya bergontai-gontai. Salah satu matanya melesak ke dalam. Mata yang lain hanya merupakan lobang besar mengerikan. Yang paling angker ialah menancapnya sebatang kayu di batok kepala orang ini, tepat di ubun-ubun!
Seperti dituturkan sebelumnya dalam episode berjudul Muslihat Cinta Iblis. Batangan kayu itu ditancapkan oleh Iblis Putih Ratu Pesolek sewaktu terjadi pertempuran antara Wiro dengan orang di dalam lobang ini yang bukan lain ialah Makhluk Pembawa Bala.
“Muka Bangkai! Apakah itu kau yang datang?!” tiba-tiba makhluk mengerikan yang duduk di atas batu karang tetapi manusia juga adanya! Suaranya keras tapi sember karena lehernya yang robek.
Tubuh bungkuk yang berkelebat dari arah utara melesat dan jejakkan ke dua kakinya di depan manusia angker yang duduk bersila di atas batu karang. Lalu terdengar suara tawanya keras dan panjang.
“Makhluk Pembawa Bala sobatku bertubuh baja berhati besi! Aku gembira melihat kau tetap berada di sini! Itu satu pertanda kesetiaan yang hebat luar biasa!” Orang tua bungkuk yang barusan datang ternyata adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari!
Makhluk Pembawa Bala mendongak ke langit hingga luka besar pada lehernya terkuak dan darah busuk mengalir keluar. "Sobatku Si Muka Bangkai! Bukankah ada ujar-ujar mengatakan ada ubi ada talas. Ada budi ada balas! Apa yang aku lakukan tidak lepas dari janji yang kau ucapkan tempo hari!
“Sobatku kau tak perlu kawatir. Bagiku Si Muka Bangkai, janji yang diucapkan adalah titipan nyawaku padamu. Kitab Putih Wasiat Dewa akan menjadi milikmu begitu muridku menamatkan riwayat Pendekar 212!”
"Aku percaya pada janjimu! Aku percaya" kata Makhluk Pembawa Bala pula. "Sekarang aku ingin kau melakukan sesuatu!”
“Hemmm… katakanlah!”
“Aku ingin kau mencabut batangan kayu yang menancap dibatok kepalaku!”
Kakek bungkuk Si Muka Bangkai tercekat sesaat. Mulutnya yang perot dipencongkan ke kiri. Dia mendongak ke atas menyembunyikan seringai penuh arti. Dalam hati dia membatin.
“Makhluk Pembawa Bala, aku tahu kalau kayu yang menancap di ubun-ubunmu itu tidak dicabut, nyawamu hanya tinggal dua puluhan hari saja! Hik hik hik! Siapa yang ingin melihat kau hidup lebih lama! Pada hari sepuluh bulan sepuluh begitu urusan di tempat ini selesai, aku tidak butuh dirimu lagi! Kau hanya tinggal menunggu mampus!!”
“Muka Bangkai kau tuli atau bisu hingga tidak melakukan permintaanku tadi!”
“Sobatku Makhluk Pembawa Bala. Sebelum ke sini aku telah menemui seorang dukun besar di Nusa Kambangan. Aku mendapat keterangan dari dia bahwa saat sekarang hampir tidak mungkin untuk mencabut kayu itu dan batok kepalamu…"
“Tidak mungkin? Tidak mungkin kenapa? Kalau aku punya tangan sudah dari dulu-dulu aku melakukannya! Perempuan sundal berjuluk Iblis Putih Ratu Pesolek itu membuat buntung tanganku yang tinggal satu hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa! Tunggu saja! Aku akan membunuhnya dengan cara sangat mengerikan! Aku akan sate tubuhnya dari selangkangan sampai ke ubun-ubun!” Makhluk Pembawa bala keluarkan suara menggerendeng panjang pendek.
“Menurut dukun besar itu jika kayu dicabut sekarang maka otakmu akan ikut tertarik. Akibatnya mengerikan sekali. Hanya satu di antara dua. Kau tetap hidup tapi kehilangan kewarasan atau kau tetap hidup tapi sekujur badanmu lumpuh!”
Sosok tubuh Makhluk Pembawa Bala nampak bergetar begitu mendengar keterangan Si Muka Bangkai. Lama mulutnya yang hancur tak sanggup mengeluarkan suara. Setelah selang beberapa lama akhirnya dia ajukan pertanyaan.
“Lantas apakah kelak aku akan mampus mengenaskan begitu saja?! Lebih baik kau bunuh aku saat ini juga Muka Bangkai!”
Si Muka Bangkai maju selangkah dan pegang bahu Makhluk Pembawa Bala walau diam-diam dia merasa jijik. Lalu dia berkata. “Sobatku tunjukkan hati besimu! Tunjukkan kesabaranmu yang seatos batu karang! Kau masih punya harapan untuk hidup. Satu hari sebelum batas waktu kematian dukun besar itu akan kubawa padamu. Karena menurutnya hanya pada saat itulah kayu bisa dicabutdan nyawamu diselamatkan!” Makhluk Pembawa Bala menarik nafas panjang.
“Sobatku Makhluk Pembawa Bala, selama kau mendekam disini apakah kau pernah melihat Iblis Pemabuk muncul ditempat ini?” tanya Si Muka Bangkai.
Yang ditanya menggeleng.“Ada apa kau tanyakan setan alas satu itu? Kau jerih padanya heh…?!”
Si Muka Bangkai tertawa panjang lalu menjawab. “Puluhan tahun hidup aku tidak pernah merasa takut pada makhluk apapun! Hanya seorang pemabuk seperti dia siapa takutkan! Aku bertanya karena dialah yang jadi biang kerok punya pekerjaan menyebar undangan untuk pesta darah di teluk Penanjung Pangandaran ini! Dia tidak sadar darahnya juga akan tertumpah disini!”
“Muka Bangkai, kau tahu Iblis Pemabuk itu sebenarnya berada dipihak kita atau pihak musuh?”
“Tentu saja dipihak kita, Aku akan mendatangkan beberapa gentong besar berisi minuman keras kesukaannya. Kita akan jamu dia, lalu memperalatnya untuk menghadapi lawan. Dia boleh menenggak minuman keras sampai perutnya ambrol lalu mampus! Ha ha ha!”
Dua orang di puncak bukit karang itu tertawa gelak-gelak.
Makhluk Pembawa Bala hentikan tawanya lalu berkata. “Muka Bangkai, sudah dua hari dua malam aku tidak tidur. Aku ingin beristirahat memicingkan mata barang sejenak. Harap kau jangan mengganggu!”
Habis berkata begitu sosok tubuh Makhluk Pembawa Bala merosot turun ke bawah. Ternyata dia masuk ke dalam sebuah lobang batu. Jadi sejak tadi sebenarnya orang ini duduk di atas lobang! Gerakannya turun berhenti pada saat tinggal kepalanya saja yang kelihatan. Makhluk Pembawa Bala senderkan bagian belakang kepalanya ke pinggiran lobang batu karang. Si Muka Bangkai tidak tahu apakah manusia ini telah memejamkan mata dan tidur karena ke dua matanya hanya merupakan rongga-rongga mengerikan.
********************
ENAM
Setelah cukup lama menunggu akhirnya abdi dalem berusia lanjut yang dinantikan muncul juga di pendopo yang teduh itu.
“Anak muda harap maafkan kalau kau menunggu cukup lama. Kelihatannya kau datang dari jauh. Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” Si abdi dalem menyapa ramah dan duduk bersila di hadapan Wiro.
“Saya butuh beberapa keterangan…"
“Menyangkut kerajaan atau apa?"
“Sedikit menyangkut kerajaan,” jawab Wiro
Orang tua itu mengangguk. “Aku akan menjawab sepanjang kemampuanku dan selama tidak menyangkut rahasia kerajaan serta keluarga kerajaan.”
“Orang tua, apakah kau pernah mengenal seorang Tumenggung bernama Sindu Winoto?”
“Tumenggung Sindu Winoto? Hemm… Sindu Winoto… Sindu Winoto..." Abdi dalem itu menyebut nama tersebut berulang-ulang. Akhirnya dia gelengkan kepala dan berkata. “Ada banyak sekali Tumenggung baik di Keraton maupun yang ditugaskan di berbagai Kadipaten. Tapi seingatku tidak ada yang bernama Sindu Winoto. Ada satu bernama Jarot Winoyo"
"Yang saya cari Sindu Winoto, Bukan Jarot Winoyo” kata Wiro pula.
“Tidak ada Tumenggung dengan nama sepert itu.”
“Kau pasti tahu, orang tua?"
“Pasti sekali. Mengapa kau tanyakan orang yang tidak pernah ada itu? Masih punya hubungan kerabat atau sanak saudara dengan dia?”
Wiro tidak menjawab. “Tumenggung itu mempunyai seorang putera bernama Handoko…”
“Ada seorang bernama Handoko di Keraton. Bukan putera seorang Tumenggung. Tapi pelayan kepala membawahi semua urusan di Kaputeran!"
Wiro terdiam. “Kalau tidak ada lagi yang kau tanya, aku terpaksa harus kembali ke tempat pekerjaanku." kata abdi dalem tua itu.
“Tunggu. Ada satu pertanyaan lagi. Putera sang Tumenggung dikabarkan ditemukan telah jadi mayat di hutan Watuireng. Lehernya digorok hampir putus. Ini tentu merupakan satu peristiwa besar. Apakah kau tahu atau pernah mendengar hal itu? Kejadiannya belum lama berselang…"
“Tidak… tidak pernah ada kudengar kejadian seperti itu” kata siabdi dalem pula. “Kalau memang ada tentu telah terjadi kegegeran di Kotaraja ini.”
“Hanya itu yang ingin saya tanyakan. Terima kasih atas waktumu, orang tua…"
Abdi dalem itu mengangguk lalu berdiri dan meninggalkan pendopo dengan cepat.
********************
Di tempat sepi di bawah pohon Pendekar 212 duduk memikirkan dan menghubung-hubungkan semua keterangan dengan kejadian-kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini.
“Sebelum mati Raja Obat Delapan Penjuru Angin memberi tahu bahwa pembunuhnya adalah gadis berpakaian merah, bernama Andini alias Dewi Payung Tujuh! Gadis itu katanya menceritakan tentang nasib perjodohannya dengan pemuda bernama Handoko yang ditemui mayatnya di hutan Watuireng mati digorok! Handoko katanya putera seorang Tumenggung bernama Sindu Winoto. Tapi setelah aku selidiki tidak ada Tumenggung bernama Sindu Winoto. Tidak ada pemuda bernama Handoko dan juga tidak ada orang yang ditemui mati di hutan Watuireng! Gila! Apa artinya semua ini?”
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala lalu melanjutkan berpikir. “Puti Andini belum lama datang di tanah Jawa ini. Mana mungkin dia menjalin hubungan cinta dengan seorang pemuda bernama Handoko yang ternyata tidak pernah ada? Hemm Siapa pun adanya orang yang mengaku bernama Andini itu pasti telah memalsu diri...”
Lama murid Sinto Gendeng merenung. “Mungkinkah saat itu dalam keadaan meregang nyawa Raja Obat bicara tak karuan hingga memberikan keterangan aneh yang sebenarnya tidak ada? Atau memang benar gadis bernama Andini itu yang telah mencelakainya? Buktinya sebelum aku sempat menghukumnya dia melarikan diri begitu saja! Hemmm… Atau mungkin ada gadis lain punya nama sama dengan Dewi Payung Tujuh? Tidak bisa jadi! Andini yang aku kenal itu datang dari Pulau Andalas memang membawa maksud tertentu. Dia menginginkan Kitab Putih Wasiat Dewa! Itu sebabnya dia membunuh Raja Obat setelah mendapatkan keterangan menyangkut diriku! Urusan gila ini benar-benar berbelit!"
Wiro kembali garuk-garuk kepala. Dia kini teringat pada gadis itu. “Bidadari Angin Timur, teka-teki apa yang kau berikan padaku? Kita bercinta… Kuberikan Kitab Putih Wasiat Dewa padamu. Lalu kau menghilang begitu saja seolah ingin melarikan kitab sakti itu untuk selama-lamanya. Lalu ketika kau tiba-tiba muncul sikapmu aneh.Kau seolah tidak ingat lagi apa-apa yang telah kita lakukan. Dia bahkan menampar mukaku! Bagaimana aku bisa mendapatkan petunjuk bahwa memang gadis itu mempunyai saudara kembar? Lalu bagaimana aku bisa memastikan yang mana Bidadari Angin Timur asli yang membawa kitab itu! Gila… oh gila sekali! Hari sepuluh bulan sepuluh hanya tinggal sepuluh hari lagi! Pangeran Matahari tentu sudah menyiapkan segala sesuatunya. Aku masih saja sibuk dengan persoalan gila ini! Ah… aku benar-benar ingin menemui seseorang yang bisa diajak bicara dan memberi petunjuk! Tapi siapa? Guruku entah berada di mana. Kakek Segala Tahu terlalu sulit untuk dicari. Kalau saja…"
Tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda mendatangi dari arah kiri. Dalam waktu bersamaan dari arah kanan terdengar suara orang menyanyi tak karuan diseling tertawa ha-ha hi-hi.
“Aku punya firasat orang berkuda disebelah kiri dan orang yang menyanyi dari arah kanan akan bertemu di tempat ini. Sesuatu akan terjadi sini!”
Memikir sampai di situ Wiro segera menyelinap di balik serumpunan semak belukar tinggi dan lebat. Penunggang kuda muncul duluan. Malah hentikan kudanya tak jauh dari semak belukar tempat Pendekar 212 bersembunyi. Sepasang mata murid Sinto Gendeng ini terbeliak besar ketika melihat siapa adanya penunggang kuda itu. Seorang gadis berpakaian merah berparas jelita tanpa riasan dan bukan lain adalah Dewi PayungTujuh alias Puti Andini!
Begitu melihat gadis ini Wiro segera saja hendak melompat keluar dari balik semak belukar. “Pembunuh Raja Obat penggantung Bidadari Angin Timur! Kali ini jangan harap bisa lolos dari anganku!” kertaknya sambil kepalkan tangan.
Baru saja Wiro hendak bergerak tiba-tiba Dewi Payung Tujuh melompat turun dari kudanya. Setelah menurunkan bungkusan, binatang itu dihalaunya ke satu tempat. Lalu dengan cepat dia menyelinap ke balik semak belukar di tempat mana murid Sinto Gendeng mendekam!
Sadar kalau di sampingnya ada seorang lain Dewi Payung Tujuh perlahan-lahan palingkan kepala. Gadis ini jatuh terduduk dan beringsut mundur di tanah saking kagetnya ketika melihat siapa yang ada di dekatnya.
Pendekar 212 menyeringai. “Sekalipun kau lari ke ujung dunia, ternyata akhirnya kau datang juga menyerahkan diri untuk menerima hukuman!”
“Pemuda sinting! Siapa bilang aku mau menyerahkan diri!"
"Wuttt…!" Kaki kanan Dewi Payung Tujuh melesat ke arah kepala Pendekar 212. Kalau saja Wiro berlaku ayal dan terlambat menyingkir pasti hidungnya akan remuk dan bibirnya akan pecah dihantam tendangan keras itu. Begitu serangannya meleset Dewi Payung Tujuh cepat bergulingan di tanah dan menyambar bungkusan yang tadi diturunkannya dari atas kuda.
Sesaat kemudian gadis ini telah tegak sambil memegang payung hitam sementara dua payung lainnya hijau dan putih dilemparkannya ke udara langsung mengembang mengapit dirinya satu di kiri satu di kanan. Ketika Wiro bergerak mendekatinya gadis ini membentak.
“Tetap di tempatmu! Tunggu sampai aku menyelesaikan urusan dengan orang gila satunya itu!”
“Eh orang gila satunya siapa yang dimaksudkan gadis ini?!” bertanya Wiro dalam hati.
Saat itu suara orang menyanyi diseling tawa datang semakin dekat. Hanya tinggal beberapa langkah lagi dari depan semak belukar, suara orang bernyanyi dan tertawa mendadak lenyap. Lalu terdengar suara seruan,
“Tidak ada hujan tidak ada panas terik! Mengapa ada dua payung mengapung di udara? Eh setankah yang memegangi payung-payung itu hingga tidak terlihat ujudnya? Hik hik hik! Lucu juga! Coba kuambil yang warna putih”
"Wuttt!"
Terdengar suara orang berkelebat. Satu sosok tubuh muncul di atas rumpun semak belukar sambil mengulurkan tangan untuk menyambar gagang payung putih. Pada saat itu juga Dewi Payung Tujuh jentikkan tangannya dua kali berturut-turut. Payung putih menukik lalu melesat ke depan. Ujung runcingnya menyambar ke arah kepala orang yang barusan hendak mengambilnya. Payung ke dua yang berwarna hijau datang dari samping laksana gerinda besar menyambar ke arah pinggang!
“Oo la la! Hik hik hik! Siapa yang berani mengajak bersenda gurau siang bolong begini?! Siapa yang hendak menjebol batok kepalaku, memutus tubuhku?!"
Orang yang mendapat serangan dua payung keluarkan seruan. Di udara tubuhnya bergerak aneh tak karuan seolah jungkir balik ditiup badai. Sesaat kemudian sosok yang jungkir balik itu laksana batu jatuh dan masuk menyangsrang ke dalam semak belukar!
Payung hijau membabat ujung semak belukar hingga putus mental laksana ditebas golok tajam. Payung putih membalik dan melesat ke udara. Dewi Payung Tujuh begitu melihat serangannya gagal segera menyergap dan tusukkan payung hitamnya yang telah lebih dulu dikuncupkan.
“O la la! Apa lagi ini!” seru orang yang menyangsrang di dalam semak belukar. Tangan kirinya diangkat melindungi kepalanya yang hendak ditusuk, dengan satu gerakan aneh sementara dua kakinya mencak-mencak tak karuan sedang dari mulutnya keluar suara tawa ha-ha hi-hi!
Dewi Payung Tujuh merasakan gerakannya menusuk tertahan. Diakerahkan tenaga dalam. Tapi sia-sia. Payungnya tak bisa bergerak sedikit pun! Malah tiba-tiba dia melihat satu tangan kurus kering menyelinap di bawah payung. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu tahu-tahu tangan kanannya yang memegang payung telah dicengkeram orang! Puti Andini terpekik kaget! Tiba-tiba tubuhnya terangkat melayang ke atas. Sesaat kemudian melayang turun ke bawah sampai ke dua kakinya menjejak tanah.
“Ha ha ha! Sungguh sedap berpayung-payung dengan gadis cantik jelita! Cucuku manis ayo kita menari payung bersama-sama! Aku akan menyanyi sambil kita menari! Ha ha ha!”
Lalu terdengar suara orang menyanyi membawakan lagu tak karuan. Puti Andini berusaha melepaskan diri tapi dirinya laksana dibungkus satu kekuatan yang tak bisa dilawannya. Tangan kanannya terpentang ke atas memegang gagang payung hitam. Lengan kanannya sendiri dipegang orang. Lalu ada satu tangan merangkul pinggangnya. Sesaat kemudian tubuhnya terdorong kian kemari. Dia seperti tidak menginjak tanah dan mengikut saja ke mana tubuhnya didorong dan ditarik! Secara sadar dia mengikut saja melakukan tarian aneh!
Dewi Payung Tujuh untuk pertama kali palingkan kepala melihat siapa yang mengajaknya menari gerabak-gerubuk secara aneh seperti itu. Begitu melihat paras orang maka terpekiklah gadis ini! Paras itu paras seorang kakek yang bukan seperti paras manusia, lebih menyerupai tengkorak karena kulit yang menutupi sekujur mukanya sangat tipis! Di atas pipi dan rongga mata yang sangat cekung bersarang dua buah mata mendelik besar. Di atas muka tak berdaging itu tumbuh rambut putih jarang. Orang ini memelihara kumis dan janggut putih dan mengenakan pakaian serba putih.
Melihat si gadis menjerit ketakutan orang itu lepaskan rangkulannya dan batuk-batuk beberapa kali. “Ah! Kalau mengikuti kemauan rasanya ingin aku menari bersamamu sampai pagi cucuku! Tapi umurku sudah sangat lanjut. Badan rongsokan ini sudah tidak mau lagi diajak berleha-leha! Ha ha ha…! Anak muda! Apakah kau mau meneruskan tarian tadi bersama cucuku ini?! Menyesal kalau kau sampai menolak menggandeng gadis secantik ini! Orang tua bermuka jerangkong itu melambaikan tangannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
TUJUH
Pendekar 212 yang sejak tadi menyaksikan apa yang terjadi di depannya dengan mata melotot tiba-tiba berteriak keras. “Guru!” Lalu dia melompat ke hadapan si orang tua berpakaian putih dan membungkuk dalam.
“Anak tolol! Kusuruh kau menari dengan gadis cantik cucuku itu kau malah berbasa-basi! Hilang sudah kesempatanmu!”
“Tua bangka edan! Aku bukan cucumu!” Puti Andini tiba-tiba berteriak tak kalah kerasnya.
“Oo la la! Bagaimana bisa jadi tidak karuan begini?!”si orang tua berkata sambil tertawa dan usap-usap janggut putihnya. Tubuhnya menghuyung kian kemari seperti ilalang ditiup angin.
“Aku Puti Andini, murid Sabai Nan Rancak dari Gunung Singgalang! Guruku memberi tugas untuk mencari dan membunuhmu!”
“Gadis keji pembunuh Raja Obat! Jangan kau berani kurang ajar di hadapan guruku!” bentak Wiro
“Oh! Jadi tua bangka gila ini gurumu! Bagus! Biar kalian mampus satu kubur berdua!” teriak Dewi Payung Tujuh lalu menyergap dengan tusukan payung hitam.
Si kakek palangkan tangan kirinya yang kurus kering. Payung hitam melenceng ke kiri. “Anak gadis! Mari kita bicara dulu!”
“Siapa sudi bicara dengan orang tua gila. Bicara saja nanti dengan malaikat maut!”
“Gadis bermulut kotor! Biar kurobek mulutmu!’ teriak Wiro. Gerakannya tertahan karena bahunya cepat dipegang oleh orang tua di sebelahnya.
“Tak usah marah! Gadis ini betul! Aku memang orang tua bangka gila! Itu sebabnya aku dipanggil orang Tua Gila!Bukan begitu Ha ha ha!”
“Sudah jangan banyak bicara ngacok! Hadapi kematian dalam kegilaanmu!” kata Dewi Payung Tujuh pula. Dia gerakan tangannya ke arah bungkusan miliknya yang ada di dekat semak belukar. Sekali dia menggerakkan tangan, empat buah payung melesat keluar dari dalam bungkusan itu. Enam buah payung kini mengembang di udara. Satu berada dalam genggamannya.
Wiro memperhatikan. Ternyata kini Puti Andini telah memiliki lagi sebuah payung merah yang dulu pernah dihancurkannya.
“Payung bagus! Oo la la! Payung bagus! Ada enam di udara. Satu di tangan! Siapa yang akan menyanyi kalau aku menari”
Orang tua yang kelihatannya berotak miring itu tertawa gelak-gelak. Dia bukan lain adalah Tua Gila dari pulau Andalas yang dikenal dengan dua julukan yaitu Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa!
Puti Andini membuat gerakan berputar dengan tangan kirinya. Enam payung yang mengambang diudara melayang berputar ke arah Tua Gila, mengeluarkan suara menderu deru. Payung-payung ini bergerak bersusun turun tangga. Berarti ada enam bagian tubuh Tua Gila yang akan menjadi sasarannya.
“Guru Tua Gila Awas!” teriak Wiro memberi ingat. Tangan kanannya serta merta berubah putih menyilaukan tanda dia siap melepas pukulan Sinar Matahari. Namun apa yang kemudian terjadi sangat cepat. Orang tua berpakaian putih itu kelihatan terhuyung-huyung lalu jatuh berdebam ke tanah. Kakinya melejang-lejang. Dua buah gagang payung kena sambaran kakinya, mencelat ke udara. Seperti membal tubuh si orang tua kemudian mencelat ke atas. Tangannya bergerak laksana kilat.
"Settt-Sett-Sett-Sett...!
Empat buah payung dilemparkannya tinggi-tinggi ke udara. Melayang bergabung dengan dua payung lain yang ditendangnya sebelumnya. Apa yang diperbuat Tua Gila tidak cuma sampai di sana. Sambil tertawa haha hi-hi dia jejakkan ke dua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat laksana terbang melewati enam buah payung.
Sambil bernyanyi-nyanyi Tua Gila melayang turun. Dengan lincah sepasang kakinya menjejak dari kepala payung satu ke kepala payung lainnya, terus menerus berganti-ganti. Gerakan tubuhnya walau seperti menari tapi tak karuan. Gerabak gerubuk terhuyung malah kadang-kadang seperti mau terjerembab jatuh atau terperosok tertelentang!
“Hai! Astaga! Hari sudah siang! Aku enak-enak saja menari! Urusanku masih banyak. Cukup bersenang-senang sampai di sini. Aku kawatir ada payung yang rusak. Cucuku pasti akan marah! Ha ha ha!”
Tua Gila melayang turun Tapi tidak turun begitu saja. Sambil turun tangannya kiri kanan bergerak masing-masing tiga kali. Tahu-tahu enam payung sudah berada dalam pegangannya. Begitu sampai di tanah enam payung itu dikuncupkannya. Lalu dia melangkah ke hadapan Dewi Payung Tujuh.
“Terima kasih kau telah meminjamkan payung-payung bagus ini! Silahkan ambil payungmu kembali!" Si kakek ulurkan enam buah payung kepada si gadis.
Puti Andini tegak dengan muka merah padam. Dia tidak bergerak, apalagi mengulurkan tangan mengambil payung-payung yang disodorkan. Hanya sepasang matanya yang bagus memandang menyorot pada Tua Gila.
“Oo la la! Cucuku marah berat padaku!" seru si orang tua. Lalu dia melangkah ke arah Wiro “Kau saja yang menyerahkan payung-payung ini padanya!”
Habis berkata begitu enak saja Tua Gila lemparkan enam buah payung pada Wiro. Mau tak mau Pendekar 212 terpaksa menyambuti. Setelah enam payung berada dalam pegangannya dia jadi bingung sendiri. Bagaimana dia akan menyerahkan payung-payung itu pada Puti Andini yang sudah dianggapnya sebagai musuh besar dan ingin sekali dihajarnya sampai mati?!
“Hai! Ada apa di antara kalian sebenarnya?! Yang perempuan berdiam diri, muka asam cemberut merah padam. Yang lelaki seolah-olah berubah jadi patung tolol!”
“Guru! Gadis itu telah membunuh seorang tokoh rimba persilatan sahabat dan penolongku. Dia juga hendak membunuh seorang gadis sahabatku! Aku bermaksud menghukumnya sampai mati!”
“Sampai mati?! Oo la la! Sungguh hebat kejadian di rimba persilatan akhir-akhir ini! Semakin tua usia dunia semakin banyak terjadi keanehan! Dan hanya manusia-manusia tolol saja yang mau terseret ke dalam keanehan lalu mati dalam keanehan itu” kata Tua Gila Orang tua itu lantas menuding ke arah Puti Andini. "Gadis itu tadi bilang dia ditugaskan gurunya untuk mencari dan membunuhku! Rupanya gurunya berteman dengan malaikat maut. Kau sendiri barusan berkata hendak menghukumnya sampai mati! Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan malaikat maut. Tapi membunuh karena alasan sepele sungguh perbuatan tidak terpuji!"
Puti Andini keluarkan suara mendengus keras hingga si orang tua berpaling ke arahnya. “Aku tahu riwayat hidupmu orang tua! Kau pernah menghabisi nyawa manusia sampai tiga ratus orang! Apa kau punya alasan tepat untuk membunuhi mereka?!”
Paras Tua Gila sesaat tampak tercekat. "Tunggu!” katanya seraya mendongak sementara tubuhnya kembali menghuyung tak karuan. Dia memijat-mijat keningnya seolah tengah berpikir keras. “Cucuku..."
“Aku bukan cucumu! Kau bukan kakekku!” bentak Puti Andini. “Bagaimanapun juga aku tetap akan membunuhmu! Jangan mengira aku takut padamu setelah melihat kehebatanmu memamerkan ilmu kepandaian menari di udara di atas payung-payungku!”
Tua Gila tertawa pendek lalu geleng-gelengkan kepala. “Gadis cantik kau dengar baik-baik. Mengenai riwayatku kau tentu mendengar dari seseorang!"
“Guruku yang menceritakan!”
“Tidak salah dugaanku!” kata Tua Gila pula. “Ketika peristiwa itu terjadi puluhan tahun silam, kau belum lahir. Kau masih jadi angin! Hik hik hik! Kau kemudian mendengar cerita dari gurumu. Apakah dia mengatakan semuanya dengan jujur padamu?”
“Guruku tidak mungkin berdusta!"
“Aku tidak mengatakan gurumu si Sabai Nan Rancak dari Gunung Singgalang itu berdusta. Tapi aku yakin ada kepentingan pribadi yang membuat dia menyisihkan mana yang baik buat dirinya dan menimpakan mana yang buruk bagi orang lain! Urusanku dengan gurumu biar kami yang tua-tua ini menyelesaikan sendiri.”
“Aku tidak akan kembali ke Singgalang berhampa tangan!” jawab Puti Andini keras. Lalu berkelebat kirimkan serangan ganas. Payung hitam disapukan ke udara hingga mengeluarkan angin deras dan sinar redup hitam. Tangan kiri membuat gerakan mencengkeram, diarahkan ke leher Tua Gila.
“Gadis laknat! Ambil payungmu!” Pendekar 212 menerjang ke depan menyongsong serangan Puti Andini. Enam buah payung yang sejak tadi dipegangnya dilemparkan ke arah si gadis. Lemparan ini bukan lemparan biasa karena disertai tenaga dalam. Enam payung berubah menjadi enam senjata maut yang melesat ke arah kepaladan bagian-bagian tubuh Puti Andini!
Si gadis kertakkan rahang. Dia melesat ke udara untuk menghindari serangan payung miliknya sendiri. Dari udara payung hitam dilemparkannya ke arah Wiro. Begitu melempar dia membuat gerakan jungkir balik. Tahu-tahu tubuhnya menukik menyambar ke arah Tua Gila!
“Hebat! Luar biasa!” memuji Tua Gila.
Sementara Wiro melompat menghindari serangan payung hitam. Tua Gila miringkan badan ke samping. Sambaran tangan si gadis lewat di samping telinga kirinya. Ketika dia hendak mencekal tangan itu tiba-tiba kaki kanan lawan menghantam ke arah dadanya.
"Bukkk!"
“Guru!” teriak Wiro ketika melihat Tua Gila terlempar sampai dua tombak akibat tendangan keras yang dilancarkan Puti Andini. Tapi si orang tua sendiri hanya senyum-senyum. Dia mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi memperlihatkan sesuatu.
Puti Andini keluarkan seruan tertahan. Wiro melotot lalu menyeringai sambil garuk-garuk kepala. Di tangan kiri Tua Gila saat itu ada kasut kaki kanan milik si gadis! Tua Gila dekatkan matanya ke kasut yang dipegangnya seolah-olah meneliti.
“Untung tak ada bagian kasut ini yang rusak. Kalau sampai rusak bagaimana aku menggantinya. Kasut seperti ini tentu mahal sekali harganya!”
Tua Gila tersenyum. Dia melangkah kehadapan Puti Andini yang tegak bergerak dengan muka merah padam. Jika orang tua itu tadi mau mencelakainya pasti mudah saja baginya. Semudah dia mencabut kasut di kaki kanannya tanpa dia merasakannya. Di hadapan Puti Andini Tua Gila membungkuk seraya berkata,
“Harap maafkan tua bangka ini. Biar aku tolong mengenakan kasut ini ke kakimu kembali!”
Entah marah entah sangat malu Puti Andini melompat menjauhi Tua Gila. Dia mengumpulkan tujuh payungnya dengan cepat lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berlari kencang meninggalkan tempat itu. Di sudut matanya tampak genangan air mata! Ketika si gadis melarikan diri. Pendekar 212 hendak mengejar tapi lengannya cepat dipegang oleh Tua Gila.
“Tak perlu dikejar. Nanti kau akan bertemu juga dengan dia! Lebih baik kita duduk-duduk dulu di sini. Berbincang-bincang. Bertahun-tahun aku tidak bertemu denganmu. Tentu banyak cerita yang bakal aku dengar darimu!”
“Tua Gila, apakah selama ini kau baik-baik saja?” tanya Wiro
“Ya begitulah. Banyak perubahan terjadi di Pulau Andalas. Banyak perubahan terjadi pada diri tua ini. Semakin lama aku merasa diri yang sudah rongsokan ini tidak ada harganya lagi. Kadang-kadang aku berpikir mengapa aku tidak segera saja mati! Tapi malaikat rupanya selalu kesasar datang mencari namun orang lain yang dicabutnya nyawanya. Ha ha ha…”
“Tua Gila, aku perlu memberitahu padamu walau tadi kau sudah mendengar. Gadis tadi bernama Puti Andini. Dia juga dari Pulau Andalas…"
“Aku sudah tahu siapa dia adanya!” memotong Tua Gila
“Bagus kalau begitu. Siapa pun dia adanya dia adalah pembunuh sahabat dan tuan penolongku Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Dia juga yang hendak menggantung gadis yang kucintai."
Tua Gila batuk-batuk beberapa kali. “Itu berita hebat! Kau punya gadis yang dicintai. Berarti punya kekasih. Punya kekasih berarti punya calon istri! Apakah gurumu si Sinto Gendeng itu sudah kau beritahu?”
“Memang belum. Saatnya akan tiba!”
“Yang penting apakah gadis itu mencintai dirimu?’ tanya Tua Gila seraya senyum-senyum.
“Dia mengaku mencintaiku. Bahkan untuk membuktikan cintanya dia bersedia menyerahkan tubuhnya dan kehormatannya!”
Tua Gila menyeringai. Lalu keluarkan suara berdecak berulang kali. Saat itu hari telah larut petang. Karena tempat itu ditumbuhi banyak pohon-pohon rindang, keteduhan membuat keadaan di situ lebih cepat menjadi gelap. Tanpa diketahui kedua orang yang asyik bercakap-cakap itu sesosok tubuh mengendap-endap lalu mendekam di satu tempat mendengarkan pembicaraan mereka.
DELAPAN
Wiro pandangi orang tua di hadapannya. Lalu bertanya. “Kenapa kau menyeringai Tua Gila. Seperti kau menganggap cinta itu satu ketololan?!”
Tua Gila tertawa mengekeh. Dia menepuk nyamuk yang lewat di depan hidungnya. “Cinta tidak tolol. Cinta sesuatu yang suci jika saja manusia mau berlaku jujur. Justru para manusia yang katanya berotak dan lebih tinggi derajatnya dari binatang itulah yang berlaku tolol!”
“Kau menyindirku!” kata Wiro sambil menggaruk kepala.
“Tidak, tidak menyindir. Tapi sekedar untuk membuat matamu terbuka dan otakmu bekerja”
“Heh, apa maksudmu sebenarnya, Guru?!”
“Kau dengar baik-baik apa yang aku ucapkan! Katamu gadis yang kau cintai itu menyatakan cintanya dengan bersedia menyerahkan tubuh serta kehormatannya padamu! Hal seperti ini tidak akan ditemui dalam dunia percintaan yang wajar. Muridku! Tidak ada seorang gadis akan mau mengeluarkan ucapan seperti itu bagaimanapun dia mencintai seorang pemuda. Kecuali...”
“Kecuali apa?!" tanya Wiro ketika Tua Gila memutus ucapannya.
“Kecuali ada sesuatu di luar wajar dibalik semua itu. Muridku, jika kau tidak keberatan harap kau menceritakan secara jelas apa saja yang sebenarnya telah terjadi...”
“Kalau begitu maumu, baiklah Tua Gila” Lalu Pendekar 212 menceritakan kisah panjang sejak terbunuhnya Raja Obat Delapan Penjuru Angin, ditemuinya Bidadari Angin Timur yang hampir menemui ajal digantung kaki ke atas kepala ke bawah. Lalu lenyapnya Bidadari Angin Timur bersama Kitab Putih Wasiat Dewa, disusul pertempuran dengan Dewi Payung Tujuh di halaman rumah makan dan ditutup dengan pertemuan terakhir kali dengan Bidadari Angin Timur yang dirasakan sangat aneh oleh Wiro.
Mendengar cerita Wiro, Tua Gila geleng-geleng kepala. “Puluhan tahun hidup di dunia baru sekali ini aku mendengar cerita begini hebat! Tapi anak muda, jika aku boleh mengeluarkan pendapat maka terus terang aku katakan siapa pun gadis binal yang membunuh Raja Obat, dia bukanlah Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh!”
“Tua Gila! Kau membela gadis jahanam itu!” kata Wiro dengan suara keras.
“Aku tidak membela siapa pun karena tidak ada untungnya bagiku! Tapi coba kau pikir dalam-dalam. Kau bakal melihat keanehan dan kejanggalan. Mungkin benar ada dua Bidadari Angin Timur, yang satu jahat yang satu baik. Entah yang mana Bidadari yang kau cintai itu. Tapi mungkin pula cuma ada satu saja dan menjalankan peran ganda. Sekarang tergantung pada kepandaianmu menyelidik!”
Wiro menarik nafas panjang dan menggaruk kepala berulang kali.
“Kau masih hendak membunuh gadis dari Pulau Andalas itu” tanyaTua Gila.
Lama baru Wiro menjawab. “Kedatangannya ke tanah Jawa ini jelas hendak mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa dan membunuhku!"
“Tunggu dulu anak muda! Hal yang satu itu jangan kau sangkut pautkan dengan kematian Raja Obat serta penggantungan kekasihmu. Itu adalah dua hal yang berbeda."
“Ah... semakin bingung aku jadinya!" kata Pendekar 212 pula.
“Kalau begitu biar kita alihkan pembicaraan pada hal lain. Aku ingin bertanya. Di luar tersebar kabar akan terjadi satu peristiwa besar di Pengandaran pada hari sepuluh bulan sepuluh! Tolong kau jelaskan kegilaan apa yang hendak dibuat orang-orang rimba persilan kali ini!”
“Aku sendiri mendapat undangan datang ke sana dari Iblis Pemabuk."
“Maksudmu si Dewa Tuak tua bangka geblek yang hendak menjodohkan muridnya denganmu?” tanya Tua Gila lalu tertawa mengekeh.
Wiro menyengir. “Rupanya urusan itu sampai juga ke telingamu! Iblis Pemabuk tidak sama dengan Dewa Tuak. Dia seorang sakti aneh yang membunuh manusia semudah dia mengedipkan mata. Aku sendiri hampir jadi korbannya!”
“Hemmm… Mendengar keteranganmu rupanya semakin banyak orang-orang sakti yang tidak aku kenal bermunculan dirimba persilatan…"
“Di tengah semua kejadian itu aku paling bernasib jelek. Dua senjataku Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya lenyap dirampas kawanan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Senjata-senjata itu diserahkannya pada Pangeran Matahari!"
“Kau menyebut nama itu! kata Tua Gila setengah berteiak. “Aku berani bertaruh mengentuti hidung masing-masing! Pangeran keparat itu racun yang menjadi biang kerok semua ini! Berarti… lalu ada yang mengatur pertemuan kau dengan dia di Pangandaran! Ada yang benar-benar menginginkan kematian Pangeran Matahari, tapi ada yang berusaha mencari untung… Kegegeran besar akan berlangsung disana!”
“Kau mungkin benar Tua Gila...”
“Hari sepuluh bulan sepuluh tidak berapa lama lagi. Apakah kau sudah bersiap-siap Wiro?”
“Itulah yang aku khawatirkan. Pikiranku banyak tersita pada apa yang terjadi belakangan ini. Dua senjata sakti andalanku tak ada ditanganku. Kitab Wasiat Dewa lenyap begitu saja. Lalu Pangeran Matahari telah menguasai Kitab Wasiat Iblis…"
“Tugasmu berat amat. Muridku! Kalau saja nyawamu ada tiga aku tak akan ikut-ikutan bingung." kata Tua Gila dengan nada sedih tapi lantas dia tertawa mengekeh membuat Pendekar 212 jadi jengkel.
“Tiga Bayangan Setan akan menjadi salah satu musuh berat bagiku” kata Wiro. "Dia memiliki ilmu iblis yang membuatnya tidak bisa dikalahkan, tidak bisa mati! Iblis Pemabuk pernah mengatakan padaku kelemahan manusia itu. Tapi aku tak bisa memecahkan petunjuknya!"
“Apa yang dikatakannya padamu?”tanya Tua Gila pula.
“Tepat tengah hari bolong. Pilih yang ditengah.”
“Dasar Iblis Pemabuk! Memberitahu pun tidak karuan!” menggerutu Tua Gila. “Sulit aku memecahkan arti petunjuknya itu. Mungkin aku harus mabuk dulu baru bisa menerka… Tapi! menurut keteranganmu dia memiliki ilmu hitam aneh. Tiga makhluk jejadian berbentuk raksasa keluar dari kepalanya dan.." Ucapan Tua Gila terputus ketika tiba-tiba dia melihat sesosok bayangan berkelebat di kegelapan.
“Ada orang mencuri dengar semua pembicaraan kita” seru si orang tua. Serta merta dia melompat ke arah kegelapan. Wiro mengikuti.
"Sial!” gerutu Tua Gila. Dia berhasil melarikan diri! Sosoknya seperti sosok perempuan! Wiro mendongak lalu menghirup udara berulang kali.
“Kulihat kau seperti babi bunting yang mau beranak!” kata Tua Gila lalu tertawa mengekeh. “Apa yang tengah kau lakukan?”
“Aku berusaha membaui. Kalau Bidadari Angin Timur yang muncul biasanya harum tubuh dan pakaiannya masih tertinggal beberapa lama!"
“Lalu apa kau mencium bau harum itu?"
Wiro menggeleng.
“Berarti bukan bidadarimu itu!” ujar Tua Gila. Dia memandang berkeliling. “Astaga!Ternyata malam sudah tiba. Aku harus meninggalkanmu Muridku"
“Tua Gila, Tunggu dulu!” panggil Wiro. Tapi sang guru sudah lenyap dalam kegelapan malam.
(Mengenai Tua Gila harap baca serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang)
Pendekar 212 dudukkan diri di bekas Tua Gila tadi duduk. Saat itu baru disadarinya betapa letihnya sekujur tubuhnya. Dia berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darah namun tidak mampu memusatkan pikiran. Wajah Bidadari Angin Timur muncul silih berganti dengan paras Dewi Payung Tujuh. Siapa di antara kedua gadis itu yang bisa dipercayanya?
“Puti Andini jelas tak bisa kupercaya. Dia datang membawa tugas untuk membunuhku! Tapi Bidadari Angin Timur sendiri setelah mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa mengapa bersikap aneh terhadapku?! Sampai-sampai aku ditamparnya! Sialan betul!”
Wiro bangkit berdiri. Saat itu terbayang pula paras Ratu Duyung di pelupuk mata Wiro. “Bagaimana keadaan gadis itu? Kasihan kalau dia tidak sampai mendapatkan jalan keluar penyembuhan atas kutukan yang dialaminya. Kalau saja dia ada di sini mungkin banyak petunjuk yang bisa kudapatkan. Mungkinkah dari sini aku dapat melihatnya?"
Pendekar 212 lantas salurkan tenaga dalamnya ke mata. Lalu dia berdiri menghadap ke arah pantai selatan. Kedua matanya dikedipkan dua kali. Dia kini mengerahkan ilmu melihat jauh yang disebut Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung.
“Ratu, perlihatkan dirimu.” Dalam hati Wiro membatin. Mula-mula hanya kegelapan yang terlihat. Lalu samar-samar muncul bentangan laut luas. “Ratu Duyung..." bisik Pendekar 212.
Dadanya berdebar ketika tiba-tiba dia melihat sosok tubuh seorang perempuan berjalan membelakanginya. Di kepalanya ada sebuah mahkota biru. Pakaiannya terbuat dari untaian manik-manik berkilauan.
“Aku berhasil melihatnya. Dia melangkah memasuki sebuah ruangan. Aku pernah berada di ruangan itu. Dia keluar dari ruangan… memasuki sebuah lorong. Ah, sayang aku tidak dapat melihat wajahnya. Di ujung lorong ada satu ruangan aneh… berbentuk bundar. Di tengah ruangan… apa itu? Satu benda setinggi manusia tertutup selubung kain… Ratu Duyung menarik kain penutup. Eh…! Astaga… Aku melihat diriku berdiri di tengah ruangan bundar itu Bukan… bukan diriku. Tapi sebuah patung. Ratu Duyung memeluki patung diriku. Aku…"
Perlahan-lahan Ratu Duyung letakkan kepalanya di dada patung. Tangannya merangkul ke punggung patung. Ketika kepalanya digeserkan ke samping kanan Wiro dapat melihat sebagian paras sang Ratu. Ada air mata menggelinding jatuh ke pipinya yang licin. Wiro merasakan tenggorokannya seperti tercekat. Kepalanya mendenyut. Bayangan ruangan bundar, Ratu Duyung dan patung dirinya lenyap dengan seketika.
“Patung itu...?” kata Wiro dalam hati. Waktu aku di sana tak pernahaku melihat. Berarti sengaja disembunyikan. Sejak kapan diriku dalam bentuk patung berada di tempat itu? Ah anehnya dunia ini!” Wiro bangkit berdiri Dengan pikiran dibuncah oleh berbagai hal dia tinggalkan tempat itu.
********************
SEMBILAN
Delapan bayangan merah berkelebat laksana topan menuju danau Karang pucung yang terletak di tengah rimba belantara sunyi sepi. Di tengah danau yang cukup luas itu terlihat satu bangunan bambu bertingkat dua. Antara tepi danau dengan bangunan bambu sama sekali tidak ada jembatan penghubung. Juga tidak kelihatan perahu atau getek di sekitar situ.
Yang tampak hanya potongan-potongan bambu menyembul setinggi dua jengkal di atas permukaan air danau yang tenang. Potongan bambu ini ditancapkan ke dasar danau demikian rupa berjarak satu tombak satu dengan lainnya, membentuk garis-garis patah, mulai dari salah satu tepi danau sampai ke hadapan bangunan bambu.
Delapan bayangan tadi yang ternyata memiliki keringanan luar biasa, menjejakkan kaki dari satu ujung bambu ke ujung bambu berikutnya hingga akhirnya sampai di serambi bawah rumah bambu. Serambi itu tidak seberapa besar. Namun diberati oleh delapan sosok tubuh tinggi besar berjubah merah darah sedikit pun tidak bergerak apalagi miring.
Delapan manusia ini memiliki kepala botak plontos bercat kuning. Masing-masing kepala dihias dengan satu angka, mulai dari angka 1 sampai angka 8. Luar biasanya delapan orang berjubah dan botak ini memiliki wajah mirip satu dengan lainnya. Mereka inilah yang dijuluki Delapan Tokoh Kembar.
Selama beberapa tahun mereka malang melintang di kawasan timur mencari pengalaman sambil menambah ilmu. Kini mereka muncul di barat setelah mendengar banyak hal-hal menarik dalam rimba persilatan di kawasan ini. Orang yang kepalanya berangka 1 begitu menjejakkan kaki di lantai bambu memberi tanda pada tujuh kawannya yang menyusul satu persatu.
“Jauh-jauh kita datang ke sini, ternyata kita sudah kedahuluan orang" kata si nomor 1. “Ada tamu tak diundang menyusup ke tempat kediaman kita”
Si botak bernomor 4 memandang berkeliling. “Aku sudah punya firasat sejak berada ditepian danau tadi. Kita harus menggeledah seluruh bangunan ini!”
“Mengapa susah-susah menggeledah segala!” kata orang si botak nomor 3. “Mari kita bermain jingrak-jingkrakan. Ingat waktu kita masih kanak-kanak dulu bermain diatas rakit dimuara Kali Jatiroyo?!”
“Kau betul! Mari kita mulai saja!" menjawab si botak nomor 8 yakni Delapan Tokoh Kembar paling bungsu.
Delapan orang berjubah angkat tangan mereka ke atas lurus-lurus. Kepala didongakkan. Lalu serentak mereka meniup. Terjadilah satu hal yang hebat. Angin tiupan mereka menggemuruh laksana puting beliung. Langit di atas danau seperti terbongkar. Bangunan bambu bergoncang keras tetapi anehnya tidak ambruk
“Mulai!” Si Botak nomor 1 berteriak memberi aba-aba!
Delapan pasang kaki di balik jubah merah darah melesat setengah tombak ke atas lalu turun lagi menjejak lantai bambu. Demikian terus berulang ulang hingga bangunan bambu bertingkat itu sebentar oleng ke kiri, sebentar oleng kekanan seolah, mau roboh dan amblas ke dalam danau! Di lain saat bangunan berputar keras hingga air danau bergejolak bergelombang keras. Sambil melompat Delapan Tokoh Kembar ini terus saja meniup.
“Meroboh Langit Membuncah Bumi!” teriak Delapan Tokoh Kembar nomor 1 menyebut nama jurus yang mereka lakukan. Tujuh saudaranya menyambut dengan teriakan keras lalu kembali meniup dan terus berjingkrak-jingkrak. Bangunan bambu berderak-derak. Gelombang air danau semakin membuncah.
“Sambil menyelam minum air! Ha ha ha…! Mencari penyusup memunggah ikan! Lihat kita kejatuhan rezeki!” Si botak nomor 6 berseru sambil menunjuk ke seputar air danau.
Saat itu di permukaan air danau kelihatan mengambang puluhan ikan besar menggelepar-gelepar. Akibat perbuatan Delapan Tokoh Kembar yang seolah membuncah air danau, ikan-ikan yang ada di danau itu menjadi mabuk, naik ke atas air dalam keadaan setengah mati setengah hidup.
“Saudara saudaraku!” tiba-tiba si bungsu nomor 8 berseru. “Tamu gelap kita sudah ikut mabok! Lihat dia melayang turun dari bangunan sebelah atas. Aduh harumnya…!”
Delapan pasang mata ditujukan kebangunan bambu sebelah atas. Dari sebuah jendela yang terbuka tampak melayang turun sosok perempuan berambut pirang, berpakaian biru tipis. Angin kencang menebar bau harum yang keluar dari tubuh dan pakaiannya.
“Amboi! Tamu gelap kita ternyata seorang bidadari!" teriak si botak nomor 1.
“Pakaiannya tipis sekali! Aku dapat melihat setiap lekukan tubuhnya!” seru si botak nomor 7.
Sosok yang melayang itu begitu menjejakkan kaki di lantai bambu segera saja dikurung oleh delapan lelaki botak berjubah merah. Karena bangunan itu tidak seberapa besar maka yang terkurung dan mengurung hanya terpisah beberapa jengkal saja!
Delapan pasang mata membeliak menyaksikan wajah seorang gadis cantik jelita mengenakan pakaian tipis biru tembus pandang. DelapanTokoh Kembar berdiri dengan rangkapkan tangan di muka dada, memandang tak berkesip.
Sementara gadis baju biru itu sesaat tampak tegak dalam keadaan masih menghuyung pertanda jurus Meroboh Langit Membuncah Bumi yang dimainkan oleh Delapan Tokoh Kembar tadi masih mempengaruhinya. Itulah yang menyebabkan dia tidak dapat bertahan lebih lama di bangunan sebelah atas dan terpaksa turun ke bawah.
“Kali semua dengar!” si gadis tiba-tiba berkata sambil rapikan rambutnya yang pirang. “Jangan salah sangka! Aku bukan tamu gelap!"
“Ah! Bagus!” Tokoh Kembar nomor 2 menyahuti. Kalau begitu siapa dirimu! Harap beri tahu nama!”
“Aku datang dengan maksud bersahabat. Mengenai namaku kau boleh saja menyebut diriku Bidadari. Apa kau rasa itu cukup cocok!"
Sambil bertanya gadis berbaju biruitu menarik nafas panjang hingga dadanya yang montok membusung. Apa lagi saat itu bagian atas pakaiannya agak tersingkap hingga semua mata dapat melihat satu pemandangan mencolok yang mendebarkan.
“Cocok! Kau sangat cocok!” berkata si nomor 2.
“Bidadari berambut pirang! Kami ingin tahu maksud kedatanganmu, masuk ke bangunan ini tanpa setahu dan izin kami!” Tokoh Kembar nomor 5 ajukan pertanyaan.
Gadis berpakaian biru lemparkan senyum manis. Lidahnya dijulurkan sedikit untuk membasahi bibirnya. Delapan Tokoh Kembar jadi semakin kelangsangan dan beberapa di antara mereka jadi usap-usap kepala masing-masing.
“Aku datang kemari membawa pesan bersahabat dari Pangeran Matahari!"
“Astaga! Jadi kau orangnya Pangeran yang terkenal itu. Hemmm..." Tokoh Kembar nomor 3 geleng-geleng kepala.
Si botak nomor 1 segera membuka mulut. Selama ini kami tidak pernah berhubungan dengan Pangeran Matahari! Kami tidak menganggapnya sebagai teman juga tidak sebagai musuh. Coba kau katakan apa pesan Pangeranmu itu”
“Kalian sudah mendengar tentang Kitab Wasiat Iblis?”
Delapan kepala botak sama mengangguk.
“Kitab maha sakti itu kini berada ditangan Pangeran Matahari. Ini berarti bahwa sudah ada kepastian bahwa dia akan menjadi raja diraja dunia persilatan!”
Delapan Tokoh Kembar tertawa lalu mendongak dan sama meniup ke atas. Suara menggemuruh merobek danau Karang pucung. Air danau bergelombang.
“Kalian pernah mendengar satu senjata mustika luar biasa bernama Kapak Maut Naga Geni 212?” tanya si gadis.
“Itu senjata sakti milik Pendekar 212 dari Gunung Gede!” menyahuti si botak nomor 3.
“Sekarang tidak lagi! Senjata itu sudah jatuh ke tangan Pangeran Matahari!”
“Uuuuhhh…!” Delapan kepala kembali mendongak dan delapan mulut kembali meniup. Suara bergemuruh kembali menggelagar di seantero danau.
“Apa kalian juga sudah mendengar tentang satu kitab sakti lain bernama Kitab Putih Wasiat Dewa?”
“Justru kami jauh-jauh datang dari timur karena tertarik dengan kitab sakti itu…” jawab Tokoh Kembar nomor 1.
“Kitab itu akan menjadi milik kalian!” kata si gadis baju biru.
“Uhhh…! Apa?!” Delapan mulut bergumam dan bertanya berbarengan.
“Dengar, pada hari sepuluh bulan sepuluh akan ada satu peristiwa menggegerkan di Pangandaran. Pangeran Matahari akan menghabisi tokoh tokoh golongan putih dipimpin oleh Pendekar 212. Pangeran merasa kurang berkenan jika kalian tidak diberitahu dan tidak diminta bantuannya"
“Ah, Pangeran segala cerdik segala licik itu hendak memperalat kita” kata si bungsu nomor 8.
“Jangan salah menduga!” gadis baju biru cepat memotong. “Jasa kalian tidak akan dilupakan. Kalian akan mendapat kedudukan sangat tinggi begitu Pangeran Matahari berkuasa"
“Kami tidak ingin jabatan setinggi apa pun. Kami lebih suka malang melintang ke mana kami senang..."
“Itu bisa diatur..."
“Tidak! Bukan Pangeran mu yang mengatur, tapi kami Delapan Tokoh Kembar!” tukas Tokoh Kembar nomor 1.
“Kalian tidak usah kawatir. Kalau kalian tidak suka jabatan tinggi masih ada imbalan lain yang dijanjikan Pangeran Matahari untuk kalian!”
“Hemmm… apa?” tanya si nomor 1.
“Diriku” jawab si gadis baju biru seraya merapikan rambut pirangnya dan mengangkat bagian bawah pakaiannya hingga kakinya yang putih tersingkap sampai di atas lutut. Delapan pasang mata membeliak menyaksikan kaki putih mulus bagus itu.
“Delapan Tokoh Kembar, selesai urusan besar di Pangandaran kali bisa memiliki diriku sampai kalian bosan!”
Delapan Tokoh Kembar saling pandang satu sama lain. Beberapa di antara mereka usap-usap kepala botak mereka yang berwarna kuning. Lalu tampak mereka berbisik-bisik.
Si gadis maklum kalau jeratnya mulai mengena. Maka dia pun berseru. “Hai! Apa yang kalian bisikkan?! Apa wajahku kurang cantik dan tubuhku tidak menarik”
Habis berkata begitu si gadis angkat lagi pakaiannya lebih tinggi dengan tangan kiri sementara tangan kanan dipakai untuk mengusap-usap perutnya. Delapan pasang mata Delapan Tokoh Kembar seperti silau melihat paha yang tersembul putih hampir sampai ke pangkal! Gerakan mengusap perut yang diperagakan si gadis membakar nafsu mereka!
Tenggorokan Delapan Tokoh Kembar nomor 1 turun naik. “Baik! Kami terima tawaran Pangeran Matahari. Tapi kami inginkan dirimu sekarang juga!"
"Tidak, setelah urusan selesai!”
“Kalian boleh tidak percaya pada Pangeran Matahari. Tapi aku tidak berdusta akan menyerahkan diriku untuk kalian! Aku belum pernah melihat delapan orang gagah seperti kalian. Aku belum pernah merasakan…"
Tokoh Kembar nomor 4 tiba-tiba melompat ke depan hendak merangkul si gadis penuh nafsu.
“Kalau kalian berlaku kurang ajar terpaksa aku meninggalkan tempat ini! Kalian akan menyesal dan kecewa besar!” kata si gadis seraya angkat tangan kirinya dan mendorong ke depan.
Gerakan Tokoh Kembar nomor 4 tertahan. Tubuhnya laksana didorong oleh satu tembok kokoh hingga ke dua kakinya bergetar ketika berusaha bertahan. Walau berhasil menolak niat keji orang namun diam-diam gadis berbaju biru itu merasa ngeri. Kalau semua lelaki botak di sekelilingnya tidak dapat mengendalikan nafsunya, celakalah dirinya.
“Baik!” tokoh nomor 1 kembali membuka suara. “Kami percaya pada janjimu. Tapi untuk meyakinkan kami terpaksa memintamu menelan sesuatu!”
“Menelan apa?!” tanya si gadis. Dadanya mendadak berdebar.
“Obat. Obat ini baru bekerja dua hari setelah hari sepuluh bulan sepuluh. Jika kau mendustai kami kau akan menemui ajal! Tapi kalau tidak kami akan memberikan penangkalnya!”
Tengkuk gadis berbaju biru menjadi dingin mendengar ucapan Tokoh Kembar nomor 1 itu.
“Bidadari! Mengapa kau terdiam?!” si bungsu nomor 8 bertanya. “Jika kau tidak menerima aturan kami berarti memang kau datang ke sini dengan maksud licik!”
“Kalau begitu biar tubuhnya kita pesiangi sekarang juga!” kata sibotak nomor 2 seraya maju mendekati si gadis.
Gadis yang terkurung di tengah-tengah sunggingkan senyum lebar. "Tadi sudah kubilang aku suka kalian… Kalian tuan rumah di sini. Aku harus menerima aturan yang kalian buat. Mana obat itu?”
Baru saja si gadis bertanya si botak nomor 1 jentikkan jari-jari tangan kanannya. Sebuah benda hitam seujung jari kelingking melesat. Sebelum gadis itu sempat mengelak benda itu telah masuk ke dalam mulutnya langsung tertelan!
“Nah urusan pertama sudah selesai! Sekarang katakan ke mana kami harus mengikutimu?” bertanya Tokoh Kembar nomor 1.
“Pengandaran cukup jauh dari sini. Hari sepuluh bulan sepuluh hanya tinggal beberapa hari saja. Sebaiknya kita segera menuju ke sana,” menjawab gadis baju biru.
“Bagus, kalau begitu aku akan jalan duluan. Kau berikutnya dan saudara saudaraku menyusul dibelakang!”
“Tunggu…!" kata si gadis.
Delapan Tokoh Kembar yang siap berkelebat urungkan gerakan mereka. “Ada apa?” tanya si nomor satu dengan pandangan mata menyelidik.
“Saat ini kepalaku masih pusing akibat jurus Meroboh Langit Membuncah Bumi yang kalian mainkan tadi! Kalau boleh aku minta tolong, harap ada seseorang yang menolong menggendongku membawa ke seberang..."
Delapan Tokoh Silat serentak sama-sama maju berebut rejeki. Si gadis memandang berkeliling sambil tersenyum. “Aku memilih saudara kalian yang nomor 4!” katanya.
Si botak nomor 4 tertawa bergelak sambil acung-acungkan tangan kanannya. Tujuh saudaranya tampak kecewa. Si gadis langsung saja sandarkan dirinya ke dada si nomor 4. Tidak tunggu lebih lama lelaki ini segera menggendong gadis cantik jelita yang harum tubuhnya menimbulkan rangsangan. Si gadis sebenarnya hanya berpura-pura. Sejak tadi dia tahu di antara Delapan Tokoh Kembar itu, yang nomor empat adalah yang paling bernafsu terhadap dirinya.
Selagi berada dalam gendongan dan si nomor 4 itu melompat dari satu ujung bambu ke ujung lainnya, gadis berbaju biru berbisik. “Kau tahu, kau adalah yang paling gagah dan kekar di antara saudara-saudaramu. Jika ada kesempatan aku ingin berdua-duaan saja denganmu…"
Si botak berangka 4 ini menyeringai. Cuping hidungnya langsung mengembang dan darahnya menjadi panas. "Jangan khawatir, aku akan mencari kesempatan..."
“Ah, bahagia sekali rasanya membayangkan berdua-dua denganmu. Aku suka lelaki gagah dan kuat sepertimu. Kau pasti sanggup bercumbu berlama-lama"
“Apa maumu akan kuturuti. Kau mau kucumbu, satu hari satu malam tidak ada masalah. Sampai tiga hari tiga malam pun akan kulayani” jawab si nomor 4. Lalu tangan kirinya bergerak mengelus bagian belakang tubuh si gadis.
“Ah, aku benar-benar bahagia menemui seorang lelaki jantan sepertimu. Namun aku punya satu syarat..." kata si gadis sambil balas membelai tengkuk si nomor 4 ini.
"Sebutkan saja apa yang harus kulakukan. Kukira malam ini kita bisa memisahkan diri dengan mereka…”
“Berikan padaku obat penangkal racun yang tadi dimasukkan kakakmu ke dalam mulutku…"
“Ah, itu” suara si nomor 4 setengah mengeluh. Aku tidak punya obat penangkal itu. Yang memiliki hanya kakak sulungku si nomor 1 itu"
“Aku tahu. Tapi kau pasti mampu mencurinya!” tekan si gadis seraya kembali mengusap tengkuk si botak nomor 4 itu.
Kepala kuning si nomor 4 menggeleng. “Tidak mungkin,” katanya. “Kakakku menyimpan obat penangkal itu di dalam mulutnya. Ditempelkan ke langit-langit diatas lidahnya…"
“Jahanam!” maki gadis baju biru. "Sayang sekali kalau begitu, ternyata kau tidak sejantan yang aku duga. Lepaskan diriku! Aku sanggup berjalan sendiri.”
Gadis baju biru lepaskan dirinya dari dukungan si nomor 4. Tubuhnya melesat ke udara dan sesaat kemudian tampak dia berada di belakang Tokoh Kembar nomor 3, melompat dari ujung bambu satu ke ujung bambu lainnya, berkelebat menuju ke tepi danau.
********************
SEPULUH
Hari delapan bulan sepuluh. Makhluk Pembawa Bala masih mendekam di dalam lobang batu. Tak jauh dari lobang batu Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat duduk bersila terbungkuk bungkuk di alas satu gundukan batu karang. Sejak tadi malam dia melakukan samadi dan merencana baru akan menyelesaikan samadinya sebelum matahari terbit pada hari sepuluh.
Saat itu rambutnya yang putih panjang kelihatan bergoyang-goyang. Bukan oleh tiupan angin teluk tetapi oleh kekuatan dahsyat yang keluar dari tubuhnya. Tak lama kemudian kepulan asap tipis berwarna kebiruan tampak mengepul keluar dari batok kepalanya. Ini satu pertanda bahwa orang tua guru Pangeran Matahari ini memiliki satu kekuatan hebat di dalam tubuhnya.
Namun agaknya Si Muka Bangkai tidak akan mampu meneruskan samadinya. Dari arah teluk mendadak lapat-lapat terdengar suara orang menangis. Suara tangis itu walaupun datang dari jauh tetapi mengiang masuk ke telinga dua orang yang ada di bukit batu karang di mana menancap bendera besar warna hitam. Bagaimana pun Makhluk Pembawa Bala dan Si Muka Bangkai menutup jalan pendengarannya tetap saja telinganya seperti tersentak-sentak. Si Muka Bangkai buka sepasang matanya. Mulutnya memaki.
“Jahanam! Makhluk Pembawa Bala, kau dengar suara orang menangis itu”
“Aku dengar sobatku!” jawab Makhluk Pembawa Bala. Tubuhnya masih saja mendekam dalam lobang dan kepalanya mendongak ke arah langit.
“Belum sampai hari sepuluh bulan sepuluh. Sudah ada orang yang minta mampus! Makhluk Pembawa Bala, aku minta kau menyelidik siapa adanya orang itu! Kalau teman harap diberi nasihat agar jangan mengganggu dan minta dia datang bergabung di sini. Kalau musuh kau tahu apa yang harus kau perbuat!”
“Aku cukup tahu sobatku!” kata Makhluk Pembawa Bala pula dengan suaranya yang sember.
“Apa?!” tanya Si Muka Bangkai.
“Membunuhnya!"
Si Muka Bangkai tertawa bergelak. Makhluk Pembawa Bala goyangkan kepalanya yang ditancapi kayu. Lalu tubuhnya melesat keluar dari dalam lobang batu karang. Di udara dia berjumpalitan tiga kali berturut-turut. Pada gerakan berikutnya sepasang kakinya yang hanya merupakan tulang-tulang menghitam menjejak kaki di batu karang. Dia mendongak ke langit. Lalu berkata,
“Dua telingaku memang sumplung! Tapi pendengaranku tak bisa ditipu! Yang menangis itu seorang lelaki tua! Dia berada di teluk! Sobatku Muka Bangkai. Kau tunggu di sini. Aku tak bakal lama!”
“Hati-hati bergerak! Jangan sampai tubuhmu cerai-berai oleh senjata rahasia yang kau pasang sendiri!" memperingatkan Si Muka Bangkai.
Makhluk Pembawa Bala ganda tertawa. “Aku tahu setiap sudut dimana senjata rahasia itu aku pasang! Tak perlu kawatir."
Habis berkata begitu Makhluk Pembawa Balai berkelebat menuruni bukit karang. Tak lama kemudian dia sudah sampai di teluk. Sebuah perahu kecil kelihatan terdampar di atas pasir pantai teluk Penanjung. Mata Makhluk Pembawa Bala yang cuma satu dan melesak ke dalam sesaat berputar-putar. Lalu dengan gerakan cepat dia berkelebat menuju perahu.
Di atas perahu duduk seorang kakek mengenakan pakaian selempang kain putih. Kulitnya hitam legam. Rambutnya digulung dan dikonde di atas kepala. Sepasang alis matanya panjang hitam, menjulai sampai ke pipi. Orang tua inilah yang ternyata tengah menangis tersedu-sedu sedih sekali. Untuk beberapa lamanya Makhluk Pembawa Bala tegak memperhatikan.
“Hemm….! Aku rasa-rasanya pernah mendengar dajal yang punya ciri-ciri seperti dia!” si makhluk membatin. Lalu dia membentak. “Orang gila! Siapa kau! Mengapa kau menangis disini?!”
Suara tangisan serta merta lenyap. Kakek di atas perahu palingkan kepalanya pada Makhluk Pembawa Bala. “Huk huk huk…" dia terisak-isak beberapa kali. Matanya berputar-putar, sebentar menatap ke langit sebentar menatap pada sosok mengerikan Makhluk Pembawa Bala. Tangan kirinya diangkat. Ibu jarinya ditudingkan tepat-tepat kehidung gerumpung Makhluk Pembawa Bala.
“Kau… desis sikakek. Lalu suara tangisnya meledak kembali. Sambil menangis dia mengeluarkan ratapan aneh. “Aku melihat langit. Hik hik hik…! Uhhhh sedihnya dunia…Aku melihat laut… Hik hik hik! Aduh biung sedihnya dunia… Aku melihat bukit-bukit karang… Hemmm… hik hik hik… Uhhhh… Sedihnya dunia! Aku melihat kau! Uhhh…"
Kakek di atas perahu kembali menuding ke arah Makhluk Pembawa Bala lalu meratap keras. “Aku melihat darah… darah… Sedih…sedih sekali! Aku melihat maut gentayangan… Dan kau… Kau bakal anak manusia yang akan mampus pertama kali di tempat ini! Hik hik hik! Sedihnya dunia… Aku sedih… Aku sedih!” Orang tua di atas perahu lantas menangis melolong-lolong.
“Tua bangka jahanam!” teriak Makhluk Pembawa Bala marah sekali. Dia menggembor keras. Lalu melompat setinggi satu tombak. Di udara dia berjungkir balik. Ketika melayang turun kaki kanannya yang hangus hitam melesat ke arah si tua aneh yang menangis dalam perahu.
“Aku sedih… aku sedih… Orang dalam perahu masih terus menangis dan meratap. Lalu tiba-tiba tubuhnya rubuh sama rata dengan lantai perahu. “Aku sedih… Aku sedih…"
"Wuuuttt!" Tendangan Makhluk Pembawa Bala yang sanggup menghancurkan kepala kerbau itu lewat menghantam angin.
“Bangsat rendah! Jangan mengira bisa lolos untuk ke dua kali! Hampir tubuhnya menyentuh air laut Makhluk Pembawa Bala kembali melesat ke atas. Kini tubuhnya kelihatan seolah terbang satu jengkal di atas permukaan air laut. Sesaat kemudian.
"Braakk!" Perahu kayu itu hancur berkeping-keping dihantam tumit kanan Makhluk Pembawa Bala lalu tenggelam masuk kedalam laut.
“Mampus kau sekarang!” ujar si makhluk. “Sebentar lagi mayatmu akan mengambang di permukaan laut!” Dia mengira orang tua dalam perahu ikut tenggelam bersama hancuran debu.
“Aku melihat laut… aku melihat darah! Hik hik hik! Uhh Aku sedih. Sedihnya dunia…! Aku sedih… Aku sedih!”
Makhluk Pembawa Bala tersentak kaget dan cepat berpaling. Orang tua yang disangkanya sudah hancur dan mati tenggelam di dalam air laut ternyata kini kelihatan duduk di satu gundukan batu karang yang banyak bertebaran di teluk! Dan meneruskan tangisnya!
“Aku sedih… Aku sedih…"
“Manusia iblis!” kertak Makhluk Pembawa Bala. Dua kali melompat dia sudah sampai dihadapan orang tua berselempang kain putih itu.
“Tamat riwayatmu sekarang!” Teriak Makhluk Pembawa Bala. Tubuhnya melesat ke udara. Kaki kanannya membabat ke arah tenggorokan orang tua yang tengah menangis.
“Makhluk Pembawa Bala! Tahan seranganmu!”
Tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Makhluk Pembawa Bala terdorong kebelakang beberapa langkah. Dia menggembor keras dan hendak menggebut. Tapi batalkan niatnya ketika melihat yang barusan menghalanginya adalah Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.
“Sobatku! Apa kau sudah berubah ingatan hingga menghalangi aku menghajar pengacau itu?!” teriak Makhluk Pembawa Bala. Matanya yang tinggal satu dan melesak ke dalam berputar-putar mengerikan. Tenggorokannya yang robek bergerak-gerak hingga darah busuk kembali mengucur.
“Jangan tolol! Kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa!” bentak Si Muka Bangkai.
“Eh, memangnya orang tua gila itu siapa…?" Suara Makhluk Pembawa Bala agak merendah sekarang.
“Dia adalah sahabat yang akan membantu kita. Dia tokoh besar dunia persilatan. Pasang baik-baik dua telingamu yang sumplung! Dia adalah tokoh hebat dan terhormat Dewa Sedih!”
Dari tenggorokan Makhluk Pembawa Bala keluar suara tercekat. "Celaka, aku memang sudah sering mendengar nama besar manusia aneh ini. Tapi tidak pernah bertemu. Jadi mana aku bisa mengenal!” membatin Makhluk Pembawa Bala.
Lalu cepat-cepat dia mendekat Si Muka Bangkai dan berbisik. “Kau aturlah urusan dengan dia agar tidak jadi kapiran!"
"Tak usah kawatir aku bisa membujuk orang gila satu ini!” jawab Si Muka Bangkai. Lalu dia melangkah mendekati Dewa Sedih yang duduk di atas batu. Sambil menjura dalam-dalam hingga mukanya hampir menyentuh lutut orang dia berkata setengah meratap.
“Sobatku paduka dewa segala dewa yang aku panggil dengan julukan hormat Dewa Sedih, sedih hatimu melihat langit, lebih sedih lagi hatiku! Sedih hatimu melihat laut, lebih sedih lagi hatiku! Hik hik hik… Sedih hatimu melihat bukit karang, aku terlebih sedih melihat dunia penuh kesedihan hik hik hik…"
Si Muka Bangkai keluarkan suara sesenggukan lalu seolah mengiringi Dewa Sedih dia pun ikut menangis dan meratap. Tiba-tiba Dewa Sedih hentikan tangis. Sambil mengusut kedua matanya dengan belakang telapak tangan dia menatap kearah Si Muka Bangkai. Lalu dari mulutnya terdengar pertanyaan.
“Mayat hidup, siapakah kau yang lebih pandai menangis dari padaku? Hik hik hik!”
“Paduka yang terhormat Dewa Sedih, lama tak bersua menyebabkan lupa, lama tidak bertemu menyebabkan mata menjadi semu. Aku yang rendah tiada lain adalah sahabat lamamu Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Harap dimaafkan kalau aku tidak menyambut kedatanganmu sebagaimana mustinya!"
"Tapi ketahuilah kau adalah tamu pertamaku di Pangandaran ini. Penghormatan terbesar aku berikan padamu…"
“Hemmm… hik… hik!” Dewa Sedih mengangguk sedikit lalu sesenggukan lagi. Dia berpaling ke arah Makhluk Pembawa Bala. Sobatku Muka Bangkai, siapakah sundal yang tubuhnya menebar bau busuk itu?!”
Dalam hati Makhluk Pembawa Bala menggeram dipanggil sebagai sundal. Namun karena sudah tahu gelagat dia terpaksa berdiam diri saja walau matanya yang cuma satu kelihatan berkilat menahan amarah.
“Sobatku, kau tak perlu mengacuhkan dirinya!”
“Kau tahu Muka Bangkai. Aku sedih melihatnya… Aku ingin menangis. Kasihan dia…Huk huk huk…" Lalu Dewa Sedih meraung dan menangis panjang.
“Kasihan bagaimana maksudmu sobatku Dewa Sedih?” tanya Si Muka Bangkai pula.
“Dia… dia… akan jadi korban pertama pada hari sepuluh bulan sepuluh! Hik hik hik!”
Paras pucat Si Muka Bangkai jadi bertambah pucat. Dia melirik sekilas ke arah Makhluk Pembawa Bala dan melihat bagaimana muka angker manusia itu mengelam dan tubuhnya bergetar karena menindih amarah.
“Sobatku Dewa Sedih, udara ditempat ini kurang baik. Angin kencang dan hawa laut menebar garam yang bisa menyesakkan pernafasan. Mari ikut aku ke puncak bukit karang sana. Sambil menunggu hari ke sepuluh ada baiknya kita menghabiskan waktu berbincang-bincang bertukar pikiran"
Si Muka Bangkai tersenyum dan ulurkan tangannya memegang lengan Dewa Sedih.
“Uhh… hik hik hik! Hatiku sedih… Aku sedih… Aku melihat darah… aku sedih…! Aku sedih! Teluk Penanjung akan geger Pengandaran akan geger! Dunia persilatan akan geger! Aku sedih dalam semua kegegeran itu! Hik hik hik.” Sambil berjalan, mengikuti Si Muka Bangkai orang tua itu kembali menangis dan meratap.
SEBELAS
Hari sembilan bulan sepuluh. Dua penunggang kuda bersipacu cepat memasuki Penanjung dari arah utara. Lima tombak sebelum memasuki alur teluk yang diapit oleh dua gugusan bukit karang mereka menghentikan kuda masing-masing. Saat itu matahari sedang terik-teriknya. Sambil menadangkan tangan di depan kening menangkis silaunya matahari mereka memandang berkeliling.
“Ada bendera hitam dipuncak bukit karang sebelah barat...” kata penunggang kuda sebelah kanan. “Sesuai petunjuk itu adalah tanda bukit tempat berkumpulnya orang-orang Pangeran Matahari! Jadi kita harus segera menuju ke sana!”
“Menurutmu apakah Pangeran Matahari sudah berada di sana saat ini?” tanya orang di sebelah kanan.
“Tidak bisa kuduga sebelum kita sampai disana. Kalaupun dia belum datang, kita harus menunggu sampai dia muncul!"
“Terus terang aku kawatir. Apakah dia segera akan menghabisi kita begitu bertemu muka?!”
Kawan si penanya menggeleng. “Dalam urusan besar begini rupa dia membutuhkan kita. Kita tidak usah malu dan takut minta ampun padanya karena kita telah menipunya. Aku akan katakan bahwa kita berdua bersedia menyabung nyawa menghadapi orang-orang golongan putih demi menebus kesalahan kita tempo hari. Menipunya dengan kepala Pendekar 212 bohongan!”
“Kalau begitu katamu aku mengikut saja. Tapi hati-hatilah! Sang Pangeran adalah manusia segala akal segala licik!”
Ke dua orang itu lantas melanjutkan perjalanan menuju bukit karang sebelah kanan di mana tampak berkibar sehelai bendera hitam besar. Ketika mencapai puncak bukit di satu tempat mereka dikejutkan oleh satu bentakan dahsyat.
“Tidak boleh ada binatang mengotori puncak bukit karang itu!”
"Wuuttt! Wuttt!"
Dua gelombang angin laksana prahara menghantam Dua penunggang kuda berseru keras dan cepat melompat selamatkan diri. Kuda-kuda tunggangan mereka meringkik keras. Dua ekor binatang itu kelihatan terlempar. Dari perut mereka yang jebol berbusaian usus dan bermuncratandarah. Binatang binatang yang malang ini akhirnya amblas masuk ke dalam laut.
Keheningan hanya terjadi seketika.Sesaat kemudian terdengar suara mengekeh ramai sekali. Ada dua orang yang tertawa! Mereka bukan lain adalah Si Muka Bangkai dan Makhluk Pembawa Bala. Ketikasuara kekehan lenyap, mendadak terdengar suara orang meratapi.
“Sobatku Elang Setan, jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah!” berkata lelaki tinggi besar di sebelah kanan.
Orang ini mengenakan jubah hitam, mata sebelah kanan mendelik besar sedang mata kiri tertutup seolah terpejam. Kepala sebelah kanan berambut lebat sebaliknya yang kiri sudah plontos. Ditambah dengan brewok cambang bawuk serta tiga guratan aneh di keningnya manusia ini sungguh mengerikan untuk dipandang. Dia bukan lain adalah Tiga Bayangan Setan. Momok golongan hitam yang bersama saudara angkat darahnya berjuluk Elang Setan merupakan makhluk-makhluk ditakuti dan menjadi musuh besar orang-orang golongan putih.
“Dua manusia berwajah setan!” Tiba-tiba ada suara berseru dari puncak bukit karang. “Teruskan langkah kalian ke puncak sini. Kalian tidak datang ke tempat yang salah! Ini adalah tempat yang besok akan menjadi tempat pembantaian para tokoh silat golongan putih!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan saling berpandangan. Baru saja mereka hendak melangkah tiba-tiba di atas bukit sana terdengar suara orang menangis!
“Jahanam! Apa yang kita takutkan!” kertak Tiga Bayangan Setan. “Ayo!”
Dua orang itu lalu berkelebat dan sesaat kemudian keduanya sudah berada di puncak bukit karang. Di situ mereka melihat tiga orang yang membuat mereka jadi kerenyitkan kening karena merasa aneh dan juga ngeri!
Orang pertama hanya kepalanya saja yang terlihat. Sebatas leher ke bawah tenggelam dalam lobang batu. Kepalanya ditancapi sebatang kayu. Mukanya yang seram tertutup darah kering. Bau busuk yang bukan alang kepalang membersit dari kepala dan tubuhnya.
Orang kedua seorang kakek berselempang kain putih yang rambutnya dikonde di atas kepala, duduk di atas gundukan batu karang dan menangis tiada henti. Orang ke tiga kakek bungkuk bermuka seperti mayat hidup.
“Kalian ini siapa?!" membentak Elang Setan. Dia menutup hidungnya dengan belakang telapak tangan kiri. Tidak tahan oleh bau busuk yang keluar dari tubuh dan kepala Makhluk Pembawa Bala.
“Manusia-manusia setan tidak tahu peradatan! Kami yang layak bertanya siapa kalian!”
Elang Setan mendengus sedang Tiga Bayangan Setan menyeringai dan meludah ke tanah. “Sobatku, kau beritahu saja siapa kita agar tua bangka bungkuk ini tahu diri!”
Elang Setan yang mengenakan pakaian tebal dekil dan rombeng busungkan dada dan angkat ke dua tangannya yang berbentuk cakar elang ke atas. “Aku dikenal dengan julukan Elang Setan. Saudaraku ini menyandang gelar Tiga Bayangan Setan!”
“Hemm…! Julukan-julukan bagus?” memuji kakek bungkuk lalu tertawa mengekeh.
“Aku melihat langit. Aku sedih… hik hik hik! Aku melihat laut… Aku sedih…! Aku melihat bukit karang… Ooo sedihnya dunia! Aku sedih… Hik hik hik!” Tiba-tiba Dewa Sedih meratap keras membuat Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan palingkan kepala dan mendelikkan mata.
"Belum pernah aku melihat orang yang gilanya macam begini!" kata Tiga Bayangan Setan.
“Mulutnya pantas disumpal!” tukas Elang Setan!
“Pantas sekali ” sambung Tiga Bayangan Setan. Lalu ke dua orang itu tertawa gelak-gelak. "Hekk! Hekk!"
Suara tawa ke dua orang itu mendadak sontak lenyap. Keduanya pegangi leher masing-masing yang seperti dicekik oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
“Aku sedih… hik hik hik! Aku melihat dua makhluk biadab… Datang mencari mati! Hari sepuluh bulan sepuluh! Di langit malaikat sudah mengukir nyawa mereka! Oo… dunia! Aku sedih…Hik hik hik!”
Dewa Sedih meratap berhiba-hiba. Sambil menangis jari telunjuk tangan kanannya diarahkan lurus-lurus ke leher Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Saat itu muka-muka seram ke dua orang itu telah membiru. Nafas mereka menyesak. Mereka menggapai-gapai berusaha melepaskan cekikan tangan yang tidak kelihatan.
Perlahan-lahan Dewa Sedih turunkan ke dua tangannya ke bawah hingga menyentuh batu di depan kakinya. Bersamaan dengan itu pula kepala Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan seolah ditarik oleh satu kekuatan dahsyat ikut rebah ke batu.
“Bersujud… bersujud… Nah bagus… bagus! Hik hik hik! Kalian telah mencium tanah daerah kematian kalian! Hik hik hik. Aku sedih… benar-benar sedih…!”
Perlahan-lahan Dewa Sedih tarik tangannya. Bersamaan dengan itu tubuh Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan bergelimpangan di atas batu karang. Cekikan pada leher masing-masing lenyap secara aneh. Megap-megap keduanya bangkit berdiri.
Tiga Bayangan Setan memandang dengan mata menyorot pada Dewa Sedih yang kembali meratap. Mulutnya berkomat-kamit. Tiba-tiba Tiga Bayangan Setan kepalkan kedua tinjunya lalu diadu satu sama lain. Tiga guratan di keningnya mengeluarkan kilatan-kilatan aneh. Dari mulut manusia ini kemudian keluar bentakan garang.
“Bunuh!”
Tiga kepulan asap putih kelabu melesat keluar dari kepala Tiga Bayangan Setan. Si kakek yang sudah tahu ilmu andalan lawan, sebelum kepulan asap kelabu berubah menjadi tiga momok yang menakutkan segera dorongkan tangan. Tubuh Tiga Bayangan Setan terjungkal jatuh duduk.
“Anjing tak tahu diri Kau kira kau berhadapan dengan siapa saat ini?!” bentak si bungkuk.
“Setan alas! Memangnya kau siapa?!” balas menghardik Tiga Bayangan Setan. Karena jampai-jampai yang dirapalnya tidak keterusan maka kepulan asap di kepala pupus sirna.
“Aku Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat!Guru Pangeran Matahari! Mendengar ucapan itu. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan menjadi geger. Langsung tampang setan dua manusia di depan kakek bungkuk menjadi berubah. Tiga Bayangan Setan cepat bangkit. Elang Setan segera jatuhkan diri. Keduanya terus membual gerakan seperti menyembah.
“Harap dimaafkan dan mohon ampunanmu! Kami berdua tidak pernah mengenalmu. Kami sendiri adalah teman-teman Pangeran Matahari. Kami datang ke sini untuk menemuinya. Kami yang tidak punya kepandaian apa-apa ini ingin menyumbangkan sedikit tenaga membantunya menghadapi musuh musuhnya pada hari sepuluh besok"
Si Muka Bangkai terdiam sesaat. Bola matanya yang berada dalam rongga mata dan pipi sangat cekung tanpa daging berputar liar. Lalu meledak tawa dari mulutnya.
“Muridku belum datang. Tapi aku mewakilinya untuk menerima kedatangan kalian” Si Muka Bangkai kembali tertawa bergelak. Dewa Sedih semakin keras sementara Makhluk Pembawa Bala mendongak ke langit, mengeluarkan suara menggembor.
DUA BELAS
Hari sembilan bulan sepuluh malam hari. Langit gelap menghitam. Tak ada bulan bahkan bintang-bintang pun seolah takut menampakkan diri. Angin dari teluk bertiup kencang dan dingin, membuat bendera hitam yang menancap di puncak bukit karang Pangandaran berkibar-kibar mengeluarkan suara angker.
Dalam kegelapan malam, laksana setan-setan bergentayangan tampak berkelebat sosok-sosok tubuh manusia. Ada yang bergerak seorang diri, ada yang berteman satu dua orang. Mereka datang dan muncul dari berbagai jurusan.
Begitu sampai di teluk mereka berkelebat memilih salah satu dari dua puncak bukit karang sebagai tujuan. Satu kali terdengar suara aneh. Suara gemeletak roda-roda yang berputar perlahan. Lalu melengking ringkikan kuda. Seolah membangunkan makhluk lainnya, suara ringkikan itu disambut oleh suara lolongan anjing dan suara berbagai binatang malam lainnya.
Malam merayap tenang dan sunyi. Sesekali terusik oleh debur ombak besar yang memecah di pantai teluk. Dibalik ketenangan dan kesunyian itu sosok-sosok tubuh yang berkelebat menyelinap menuju puncak dua bukit karang diam-diam merasakan adanya satu ketegangan menggantungan di udara malam yang hitam pekat dan dingin. Datangnya pagi sekali ini terasa lama dan seolah menunggu sesuatu yang menakutkan! Hari sepuluh bulan sepuluh akhirnya datang!
Beberapa saat sebelum sang surya muncul di timur di puncak bukit karang sebelah timur yaitu di mana menancap bendera hitam sekonyong-konyong terdengar suara aneh. Dikatakan terompet bukannya terompet. Diduga sebagai suara seruling juga bukan. Suara itu mengalun perlahan, tapi menggetarkan telinga siapa saja yang mendengar, mencekam hati dan membuat bulu tengkuk berdiri.
Perlahan-lahan langit di timur tampak kekuningan. Air laut laksana disepuh sinar keemasan yang saat demi saat berubah menjadi putih. Matahari terbit sudah. Dalam terangnya udara pagi ini segala sesuatunya terlihat dengan jelas. Dan tampaklah satu pemandangan luar biasa. Di bukit karang sebelah barat, tepat di bawah kibaran bendera hitam tegak seorang lelaki gemuk pendek.
Mukanya seram dan tambah seram karena warnanya yang merah gelap. Pada cuping hidungnya sebelah kiri mencantel sebuah anting terbuat dari akar bahar. Dia tidak mengenakan baju hingga dada dan perutnya yang gemuk berlemak dan juga berwarna merah kelihatan bergoyang-goyang. Orang ini tegak mendongak langit.
Di mulutnya ada sebuah kendi yang bagian bawahnya diberi berlobang. Kendi yang ditiup si gemuk pendek inilah ternyata yang mengeluarkan suara aneh. Karena di dalam kendi terdapat cairan minuman keras maka alunan suara terdengar naikturun menyengat telinga!
Orang ini memakai sebuah ikat pinggang besar. Dua belas kendi berisi minuman keras bergelantungan seputar ikat pinggang. Dari rambutsampai ke kaki si gemuk pendek ini menebar bau minuman keras. Di belakang si gemuk pendek yang meniup kendi terletak lima buah gentong besar berisi tuak. Di samping si gemuk tegak Elang Setan memegang sebuah gayung.
Sekali-sekali gayung dipakainya untuk menciduk tuak dalam gentong lalu diguyurkan ke kepala si gemuk. Semakin sering minuman keras itu diguyurkan semakin keras tiupan kendi! Di samping kanan Elang Setan tegaklah saudaranya yaitu Tiga Bayangan Setan dengan mata jelalatan kian kemari. Satu bayangan hitam berkelebat. Tiupan kendi si gemuk mencuat laksana mau merobek langit.
“Pangeran datang!” Seseorang berseru.
Si gemuk pendek merah segera berhenti meniup kendi. Dia berputar lalu melangkah mendekati sebuah gentong. Enak saja kemudian dia mencelupkan kepalanya ke dalam gentong berisi minuman keras itu. Dia tidak hanya membasahi kepala tapi juga mereguk tuak keras itu selahap-lahapnya.
Seorang pemuda bertubuh tinggi kekar, berikat kepala merah, mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan mantel tegak dengan kaki direnggangkan dan dua tangan di pinggang. Tampangnya keren tapi penuh keangkuhan dan tak dapat menyembunyikan kelicikan yang menjadi sifatnya mendarah daging. Ketika angin teluk menyingkapkan mantel hitamnya, di pinggang pemuda ini kelihatan terselip Kapak Maut Naga Geni 212.
Begitu mengetahui siapa yang datang Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan segera mendatangi dan jatuhkan diri. “Pangeran! Kami datang kemari untuk minta ampunan darimu!” kata Tiga Bayangan Setan.
Elang Setan lalu menyambung. “Jika diperkenankan kami ingin ikut menyabung nyawa membunuh musuh-musuhmu. Hitung-hitung sebagai penebus dosa mendustaimu tempo hari”
Pangeran Matahari melihat pun tidak kepada kedua orang itu. Kaki kanannya diangkat. Tumitnya diletakkan di kening Tiga BayanganSetan lalu didorongnya hingga orang ini terjengkang menggeletak. Hal yang sama dilakukannya pada Elang Setan.
“Kalian kuampuni! Tapi setelah urusan hari sepuluh bulan sepuluh ini selesai, aku minta kalian dengan suka rela menyerahkan jantung masing masing padaku!”
“Pangeran!” seru Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berbarengan.
“Jangan banyak mulut! Atau kau ingin aku mempercepat kematian kalian?!" bentak Pangeran Matahari.
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan beringsut mundur. Pangeran Matahari memandang ke arah bukit karang di sebelah barat. Seseorang melangkah mendekatinya. Tanpa menoleh Pangeran Matahari sudah tahu siapa yang datang. Maka dia pun berkata,
“Guru, terima kasih kau mau datang!”
“Aku dan teman-teman sengaja datang duluan. Untuk mengatur segala sesuatunya. Membuat mulus jalanmu menjadi raja diraja dunia persilan!”
“Sekali lagi terima kasih. Aku ingin tahu siapa saja teman-teman kita itu”
“Kau sudah melihat si peniup sangkakala tadi. Iblis Pemabuk! Dia salah satu andalan kita! Tidak percuma kita susah payah mengirimkan lima gentong besar berisi tuak keras itu kesini!” Sang guru yaitu Si Muka Bangkai tertawa bergelak.
Pangeran Matahari hanya sunggingkan seringai lalu berkata. “Yang lain lainnya siapa?!”
Si Muka Bangkai angkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu tukikkan kepalanya ke arah lereng bukit karang di sebelah bawahnya. “Teman-teman! Harap perlihatkan dirimu pada Pangeran Matahari!”
Saat itu juga dari balik gundukan batu-batu karang di lereng bukit sebelah bawah bermunculan sepuluh sosok tubuh. Dua perempuan dan delapan orang lelaki. Yang menarik adalah delapan lelaki ini. Mereka semua mengenakan jubah merah darah. Kepala mereka yang botak licin dicat kuning. Tepat pada ubun-ubun masing-masing tergurat dengan cat hitam angka 1 sampai 8. Yang luar biasanya mereka memiliki wajah sama semua!
“Delapan Tokoh Kembar.. " desis Pangeran Matahari dengan senyum dikulum. “Hemm… Dia berpaling ke kiri kearah gundukan batu karang lancip di mana berdiri seorang gadis berpakaian serba biru berambut pirang panjang yang melambai-lambai ditiup angin teluk.
“Dia berhasil membujuk Delapan Tokoh Kembar dan membawanya ke mari. Kematiannya kelak akan kupilihkan yang paling tidak menyakitkan…”
Sang Pangeran lalu palingkan kepalanya ke jurusan kanan. Di situ tegak seorang dara berpakaian merah, membekal sebuah bungkusan berisi tujuh buah payung.
“Hemm… Yang satu itu sungguh tidak terduga! Ini bakal menambah kegegeran di Pangandaran! Hemmm… apa yang membuatnya memilih berada di pihakku? Aku akan membalas jasanya dengan kenikmatan… Kembali senyum tersungging di mulut Pangeran Matahari. Dia berpaling pada Si Muka Bangkai. “Guru, jadi semua teman teman kita"
“Masih ada satu lagi Muridku! Biar aku panggil! Si Muka Bangkai menoleh kebelakang lalu berseru. “Sobatku, harap kau suka keluar dari dalam lobang!”
Baru saja seruan kakek bungkuk itu lenyap sesosok tubuh yang menyebar bau busuk melesat di udara, jungkir balik dua kali berturut-turut lalu... settt. Dia tegak di hadapan Pangeran Matahari dengan segala keseramannya. Dia bukan lain adalah Makhluk Pembawa Bala.
“Tokoh besar maha gagah!” berkata Pangeran Matahari. Satu kehormatan bagiku kau berada di pihakku. Kelak aku akan memberikan satu jabatan tinggi padamu jika aku sudah berada ditampuk tertinggi rimba persilatan…"
“Terima kasih Pangeran!” kata Makhluk Pembawa Bala dengan suara sembernya.
“Jahanam! Belum pernah aku melihat makhluk mengerikan dan busuk luar biasa seperti ini! Rasanya mau kumuntahi mukanya saat ini juga!” menyumpah sang Pangeran dalam hati.
Saat itu Si Muka Bangkai terdengar berkata pada muridnya. “Makhluk Pembawa Bala telah mengatur segala peralatan rahasia di kawasan ini. Musuh-musuhmu akan menemui ajal sebelum mereka sempat menjamahmu!"
“Hemmm… bagus! Hadiah untukmu akan kulipat gandakan. Sekarang harap kau suka menyingkir dari hadapanku dan bersiaplah menentukan korban yang bakal kau cabut nyawanya!”
"Gluk! Gluk! Gluk...!"
“Aku tidak perlu jabatan tinggi. Aku tak perlu hadiah berlipat ganda. Aku hanya tahu minuman keras! Gluk! Gluk! Gluk!"
Pangeran Matahari berpaling mendengar ucapan itu. “Ah! Orang hebat tiada tandingan! Aku benar-benar gembira melihat kau ada di sini membantu perjuanganku! Aku tahu kalau bukan karenamu semua perhelatan besar di Pangandaran yang kelak bakal menggegerkan dunia persilatan tidak bakal kesampaian. Jasamu tidak akan aku lupakan. Begitu urusan di tempat ini selesai aku akan membangunkan satu Istana dikelilingi kolam minuman untukmu. Sekarang, Iblis Pemabuk terimalah hormatku!”
Pangeran Matahari lalu menjura pada Iblis Pemabuk yang duduk berjuntai di salah satu pinggiran gentong. Yang diajak bicara hanya menyeringai lalu jatuhkan diri ke dalam gentong berisi tuak keras itu! Pangeran Matahari hendak melangkah ke kiri ketika tiba-tiba seolah untuk pertama kalinya dia mendengar suara itu. Dia berpaling ke kanan.
“Dewa Sedih! Ternyata kau tidak melupakan diriku!” seru Pangeran Matahari. Laksana terbang dia melompat ke hadapan Dewa Sedih yang duduk diatas satu gundukan batu dalam keadaan menangis.
“Aku melihat langit. Aku sedihi… Aku melihat laut. Aku sedih… Hik hik hik…”
Pangeran Matahari yang sudah tahu gelagat segera memotong. “Apa yang kau lihat, juga terlihat olehku Dewa Sedih. Kesedihanmu adalah juga kesedihanku. Aku akan membuatkan sebuah puri untukmu. Dipenuhi oleh orang-orang yang mau menangis bersamamu seumur hidupmu!”
Tangis Dewa Sedih tersendat-sendat. Dia manggut-manggut beberapa kali lalu kembali menyambung ratapannya. Sang Pangeran geleng-gelengkan kepala lalu beranjak mendekati gurunya.
“Bukit karang di seberang sana! Aku tidak melihat satu orang pun di situ! Apa mereka takut lalu pengecut untuk datang?!”
“Mereka pasti datang. Muridku! Datang untuk menerima kematian” jawab Si Muka Bangkai lalu tertawa gelak-gelak.
Mendadak dia hentikan tawanya dan memandang ke arah bukit batu karang di seberang sana. "Aku mendengar suara sesuatu…" katanya perlahan. Semua mata lalu diarahkan ke bukit batu karang di seberang barat.
Dari balik bukit batu karang di sebelah timur kelihatan muncul sebuah kereta kencana berwarna putih, ditarik oleh dua ekor kuda putih pula. Kusir kereta seorang gadis cantik berpakaian panjang warna hitam yang sangat ketat. Disebelah atas dada pakaiannya dipotong rendah hingga hampir setengah dari payudaranya yang putih tersingkap membusung. Di sebelah bawah pakaian hitam itu dibelah setinggi pinggul.
Duduk di atas kereta dengan sendirinya kakinya mulai dari betis sampai ke paha tersingkap lebat. Di sebelah kusir kereta yang cantik ini duduk seorang gadis yang parasnya tak kalah menawan, mengenakan pakaian yang sama dan memegang sebatang tongkat terbuat dari besi.
Dua mata Pangeran Matahari berputar liar. Rahangnya menggembung. Walaupun belum pernah bertemu tapi sang Pangeran sudah bisa menduga siapa adanya orang di dalam kereta putih. Dia dan juga semua orang yang ada di bukit karang sebelah barat tidak menunggu lama. Tepat di puncak bukit kereta berhenti. Pintu kereta terbuka.
Sesosok tubuh yang bagus terbungkus pakaian ketat terbuat dari manik-manik merah turun darikereta kencana. Di atas keningnya ada sebuah mahkota kecil terbuat dari untaian kerang kerang berwarna biru. Kalung serta gelang yang menjadi hiasannya juga terbuat dari benda yang sama. Sepasang matanya yang sangat bagus berwarna biru berkilat cemerlang.
Wajahnya secantik bidadari. Di tangan kanannya gadis ini memegang sebuah cermin bundar yang memantulkan sinar angker menyilaukan setiap terkena sinar matahari. Dia tegak dengan anggunnya di samping kereta, memandang ke arah bukit di sebelah timur. Semua orang yang ada di bukit karang barat menjadi geger.
“Ratu Duyung…" desis Pangeran Matahari. Suaranya jelas bergetar tanda hatinya tidak enak. “Bertahun-tahun dia tidak pernah muncul di daratan. Kalau kini dia memperlihatkan diri benar-benar tidak terduga. Dia bisa melakukan apa saja merusak keadaan! Perempuan terkutuk! Sejauh mana hubunganmu dengan Pendekar 212 hingga kau mau-mauan keluar dari sarangmu di laut selatan?!”
Apa yang terasa di hati Pangeran Matahari terasa juga di hati sang guru Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. “Kalau sampai Ratu Duyung muncul urusan muridku tidak akan semulus yang aku perkirakan. Aku harus mencari akal melumpuhkan musuh yang satu ini!” Orang tua bungkuk bermuka pucat ini berpaling pada muridnya. Untuk membesarkan hati dan semangat sang Pangeran dia berkata,
“Muridku, gadis itu pantas menjadi pendampingmu seumur hidup…"
“Kesaktiannya sukar dijajagi. Celakanya dia berada di pihak musuh!”
“Dengan Kitab Wasiat Iblis berada di tanganmu apa sulitnya menundukkan dirinya!” bisik Si Muka Bangkai. "Lagipula aku punya satu gagasan. Sebelum pertempuran berdarah yang menggegerkan di Pangandaran ini terjadi aku akan mendatanginya. Aku punya akal untuk mengajaknya menyeberang ke pihak kita”
Tanpa berpaling pada sang guru Pangeran Matahari sunggingkan seringai dan gosok-gosokkan ke dua telapak tangannya. “Aku percaya padamu Guru. Mengapa kau tidak segera saja menyeberang ke bukit sana menemui Ratu Duyung?!”
“Pintamu akan segera aku lakukan, muridku. Namun aku harus memberi nasihat. Harap kau berlaku tabah. Aku mendapat firasat tidak lama lagi akan bermunculan tokoh-tokoh silat golongan putih di bukit sebelah timur sana. Kau tak usah kawatir. Kau sudah ditakdirkan untuk menjadi penguasa tunggal rimba persilatan! Kita akan benar-benar membuat kegegeran di tempat ini! Setelah urusan selesai kuharap kau tidak lagi menolak menyerahkan Bidadarimu itu padaku! Hik hik hik!”
Pangeran Matahari hanya mengangguk perlahan. Hatinya tetap saja tidak tenteram. Sebelum pergi Si Muka Mayat mendekati Makhluk Pembawa Bala lalu berkata,
“Dalam waktu dekat di bukit sana akan segera bermunculan musuh-musuh kita. Harap kau mengawasi baik-baik peralatan rahasiamu. Begitu mereka muncul lekas kau hubungkan kawat-kawat penghidup semua peralatan rahasia dan bola-bola peledak!”
Makhluk Pembawa Bala menyeringai lalu berkata dengan suaranya yang sember, “Kegegeran apa lagi yang paling hebat kalau tidak disertai genangan darah tokoh-tokoh persilatan golongan putih itu!”
T A M A T