Hantu Jatilandak

Wiro Sableng, Hantu Jatilandak
Sonny Ogawa

HANTU JATI LANDAK

SINOPSIS

Diatas runtuhan batu karang saat itu berdiri satu sosok tinggi kurus berwujud manusia yang hanya mengenakan sehelai cawat kecil terbuat dari kulit kayu. Sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai kekaki menyerupai warna pohon jati. Namun ditumbuhi bulu-bulu tebal keras dan panjang serta runcing seperti bulu landak.

Sepasang matanya diteduhi dua alis hitam tebal dibawah hidungnya yang selalu kembang kempis menekuk kumis lebat. Daun telinganya panjang dan lebar, juga ditumbuhi duri-duri seperti bulu landak. Sekali dia meludah ketanah. Ludahnya berwarna kuning pekat!

"Makhluk berbulu landak! Wahai! Tidak dapat tidak kau pastilah makhluk yang tujuh puluh tahun silam kuberi nama Hantu Jatilandak!"

Makhluk diatas batu tidak bergerak dan berkesip. Hanya dari tenggorokannya terdengar suara menggembor. Lalu seperti tadi dia meludah ketanah.

"Hantu.Muka Dua! Aku sudah tahu siapa dirimu dari kakekku Tringgiling Liang Batu! Aku tidak suka kehadiranmu dipulau ini! Lekas kembali keperahumu! Tinggalkan pulau! Atau sekujur tubuhmu akan kutaburi dengan duri beracun!"


SATU

LAUT tenang. Tiupan angin pada layar membuat perahu kecil itu meluncur laju di permukaan air laut. Lelaki bertubuh kekar berambut gondrong yang mukanya ditumbuhi janggut, kumis dan cambang bawuk lebat duduk di bagian haluan. Dua kakinya terbungkus batu berbentuk bola yang beratnya puluhan kati.

Namun anehnya perahu kecil itu tidak terjungkat ke belakang oleh beratnya dua bola batu itu. Lelaki ini duduk tak bergerak, memandang tak berkesip ke depan. Dia adalah Lakasipo, bekas Kepala Negeri Latanahsilam bergelar Bola-Bola Iblis namun lebih dikenal dengan berjuluk Hantu Kaki Batu.

Di bagian depan perahu sosok manusia aneh yang tingginya hanya sebatas lutut Lakasipo duduk saling berpegangan. Di wajah masing-masing jelas terlihat rasa gamang dan khawatir yang amat sangat. Dengan keadaan tubuh mereka sebesar itu, meluncur cepat di atas perahu dan memandang berkeliling hanya hamparan laut yang kelihatan tentu saja ketiganya menjadi ngeri.

Malah kakek yang di ujung kanan sejak tadi terduduk dengan mulut terkancing mata mendelik dan tengkuk dingin sementara dari bawah perutnya mengucur air kencing tak berkeputusan.

Tiga manusia cebol yang ada di bagian depan perahu itu bukan lain adalah si kakek julukan Setan Ngompol, bocah bernama Naga Kuning dan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.

"Sebenarnya aku tidak suka dengan perjalanan ini!" berkata Naga Kuning.

"Aku juga!" kata Setan Ngompol

. "Tapi kau yang memaksa aku agar ikut kek! Padahal aku sudah ada rencana menemui Luhkimkim, gadis di Latanahsilam itu!"

"Kita sudah ada di atas perahu dan dalam perjalanan. Mengapa baru sekarang kalian berkata tidak suka!" menjawab Wiro. "Tapi masih ada kesempatan untuk kembali! Apa kalian berdua bisa berenang?"

"Eh, apa maksudmu Pendekar 212?" tanya Setan Ngompol.

"Mencebur ke dalam laut dan berenang kembali ke daratan Latanahsilam!"

"Kau bicara tidak pakai pikiran!" kata Setan Ngompol dengan muka cemberut.

Naga Kuning berkomat-kamit lalu berpaling ke bagian belakang perahu. "Lakasipo! Kau yang pertama sekali merencanakan perjalanan ini!"

Lakasipo yang sejak tadi memandang ke depan, alihkan pandangannya pada tiga manusia cebol di bagian depan perahu. "Betul sekali wahai saudaraku Naga Kuning! Tapi jangan lupa. Semua ini atas petunjuk berdasarkan cerita Peri Angsa Putih. Kita semua menyetujui sama-sama berangkat! Lalu sekarang apa lagi?!"

"Menurutmu, apakah kita benar-benar bisa mencari dan menemui makhluk bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu?" tanya Wiro.

"Betul," ucap Setan Ngompol. "Laut seluas ini, kita harus mencari satu pulau yang kita tidak tahu dimana letaknya, tak tahu apa namanya. Hanya ada petunjuk samar!"

"Turut cerita Hantu Muka Dua adalah makhluk Jahat luar biasa. Kalau dia seperti itu, gurunya tentu lebih jahat lagi. Dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini adalah guru Hantu Muka Dua! Kita semua pasti celaka!"

"Coba kalian timbang-timbang," kata Setan Ngompol menyambung ucapan Naga Kuning tadi. "Peri Angsa Putih tahu cerita itu dari kakeknya si Hantu Tangan Empat. Menurutku Hantu Tangan Empat tidak begitu suka pada kita bertiga. Jangan-jangan dia sengaja mengarang cerita untuk mencelakai kita semua!"

Wiro garuk-garuk kepala. Apa yang dikatakan teman-temannya itu mungkin betul adanya. Dia berpaling memandang ke arah Lakasipo. Lalu kembali terdengar si Setan Ngompol berkata,

"Lakasipo, selagi belum terlambat ada baiknya kau memutar haluan. Kita kembali ke Latanahsilam!"

"Kalian semua seolah takut melihat bayangan sendiri. Bukankah perjalanan ini kita lakukan demi untuk mencari jalan agar kalian bertiga bisa kembali kenegeri kailan? Bukankah hanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu satu-satunya tempat bertanya? Hantu Tangan Empat sudah kita coba. Dia tak bisa menolong. Kita sudah berusaha mencari Batu Sakti Pembalik Waktu. Tidak berhasil. Ini adalah petunjuk terakhir yang harus kita tempuh. Kalau kalian memaksa mau kembali apa sulitnya bagiku memutar haluan!" Lakasipo celupkan tangan kanannya ke dalam air laut, siap untuk merubah haluan.

"Tunggu!" ujar Pendekar 212 Wiro Sableng. "Peri Angsa Putih tidak akan menipu kita. Hantu Tangan Empat walau kita tidak tahu pasti hatinya tapi kurasa juga tidak punya maksud mencelakai kita. Yang jadi pertanyaan sekarang, seandainya kita berhasil menemui guru Hantu Muka Dua, apakah dia benar-benar mau menolong kita? Jangan perjalanan gila ini hanya menghasilkan satu kesia-siaan!"

"Turut riwayat yang pernah kudengar puluhan tahun silam," kata Lakasipo pula, "Sebenarnya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab itu adalah seorang sakti berhati polos! Otaknya dipenuhi berbagai ilmu pengetahuan. Hantu Muka Dua kemudian mempergunakan kesempatan. Secara licik dia mencari tahu apa-apa yang harus dilakukannya agar bisa menjadi Raja di Raja Segala Hantu di Latanahsilam. Begitu dia mendapatkan apa yang dimaunya, sang guru lalu dibuatnya menjadi tidak berdaya. Dibawa dan dikucilkan di sebuah pulau yang menurut Peri Angsa Putih adalah pulau pertama sehari perjalanan ke arah tenggara. Kalaupun kita tidak berhasil, menurut hematku berbuat sesuatu adalah lebih baik dari pada tidak melakukan apa-apa sama sekali. Kecuali jika kalian memang tidak benar-benar ingin kembali ke negeri kalian. Kau misalnya Naga Kuning. Mungkin kau memilih tetap tinggal di Latanahsilam karena sudah terpikat dengan Luhkimkim. Dan kau kakek Setan Ngompol juga sama karena sudah kecantol pada nenek yang dandanannya menor acak-acakan bernama Luhlampiri itu. Bagaimana dengan kau Wiro?!"

Ditanya begitu Pendekar 212 jadi menyeringai sambil garuk-garuk kepala.

"Mungkin dia terpikat pada Peri Sesepuh yang bertubuh besar gembrot membal dan suka ngongkong itu!" Yang menjawab Naga Kuning lalu bocah ini tertawa cekikikan. "Hik hik hik!"

Setan Ngompol ikut-ikutan geli sambil pegangi bawah perutnya.

"Aku menuruti jalan pikiranmu Lakasipo," Murid Sinto Gendeng berkata, membuat Naga Kuning dan Setan Ngompol jagi cemberut. "Buruk dan baik nasib kita di kemudian hari belum dapat dipastikan. Berharap tanpa berusaha adalah bodoh! Kita teruskan perjalanan!"

"Naga Kuning dan Setan Ngompol! Kalian sama mendengar keputusan saudara kita Wiro Sableng, Mulai sekarang jangan ada diantara kita yang terus-terusan merasa bimbang mengadakan perjalanan ini!"

Baru saja Lakasipo berkata begitu tiba-tiba langit di atas laut tampak berubah mendung. Dari selatan angin kencang bertiup mengeluarkan suara mengerikan. Ombak besar mulai bergulung-gulung di kejauhan. Perahu kecil yang ditumpangi keempat orang itu terbanting kian kamari. Wiro dan Naga Kuning dicekam rasa takut. Setan Ngompol mulai terkencing-kencing lagi.

"Topan badai menyerang laut!" seru Lakasipo. Kalian bertiga lekas ke sini!"

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol cepat lari mendatangi Lakasipo. Oleh Lakasipo ketiga orang ini segera diselipkannya di balik sabuk kulit yang melilit dipinggangnya. Lalu dengan cepat dia menurunkan layar perahu untuk menghindari terpaan angin. Dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung dia mengayuh. Perahu meluncur pesat.

Namun hantaman angin dan ombak raksasa membuat perahu itu mencelat lima tombak ke udara. Ketika jatuh ke permukaan laut, kembali ombak besar menghantam. Perahu hancur berkeping-keping. Sosok Lakasipo yang diberati dua bola batu langsung tenggelam ke dalam amukan air taut. Dia kerahkan tenaga dalam untuk melenyapkan gaya berat pada dua kakinya.

Secara luar biasa Lakasipo berhasil membuat dua kakinya yang terbungkus bola-bola batu mengambang di atas permukaan laut yang dilanda badai itu. Namun setiap kali dia coba menaikkan tubuhnya ke atas, hantaman ombak atau terpaan angin selalu membuat dia kembali tenggelam. Berulang kali dicoba tetap saja sia-sia. Dalam keadaan habis tenaga Lakasipo akhirnya jatuh pingsan dan roboh tenggelam ke dalam air.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Ketika Lakasipo sadar didapati dirinya terkapar tertelentang di atas pasir pantai. Dia mencoba bangkit namun tak berhasil. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan tulang-tulangnya seolah bertanggalan dari persendian. Memandang ke atas dilihatnya langit biru disaputi cahaya kekuningan. Dia tak dapat menduga apakah saat itu pagi atau menjelang sore.

Tiba-tiba Lakasipo ingat pada tiga saudara angkatnya. Dia meraba ke pinggang. Hatinya lega begitu menyentuh tiga sosok tubuh cebol. Setelah mengumpulkan seluruh tenaga akhirnya Lakasipo berhasil bangkit dan duduk di atas pasir. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol memang masih terikat dibalik sabuk kulitnya. Namun ketiga orang ini terkulai tak bergerak.

"Jangan-jangan mereka mati semua!" pikir Lakasipo.

Dengan cepat dia tanggalkan ikat pinggangnya. Begitu ikatan lepas tiga sosok tubuh itu jatuh bergulingan ke atas pangkuannya. Masih tetap tidak ada satupun yang bergerak. Pucatlah wajah Lakasipo.

DUA

"Ceelaka!" membatin Lakasipo. Satu persatu dimbilnya ketiga sosok cebol itu. Diperiksa dan didekatkannya ke telinganya. Dia masih bisa mendengar detak-degup jantung walaupun perlahan.

"Wahai..." Lakasipo pegang Setan Ngompol dan Naga Kuning di tangan kiri. Tangan kanan mencekal sosok Wiro Sableng. Ketiga orang itu dipegangnya kaki ke atas kepala ke bawah. Perlahan-lahan air laut mengucur keluar dari mulut mereka. Masih belum puas Lakasipo tempelkan perut ketiga orang itu ke dadanya.

Begitu dia menekan, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sama keluarkan suara seperti orang muntah. Air kambali mengucur keluar. Lalu ketiganya terdengar batuk-batuk. Penuh perasaan lega Lakasipo baringkan ketiga orang itu di atas pasir. Wiro yang pertama sekali sadar, membuka mata lalu bangkit dan duduk. Dia merasa ngeri melihat ombak yang bergulung lalu memecah di pasir pantai.

Mengingat-ingat apa yang terjadi dia lalu berpaling pada Lakasipo dan bertanya, sementara Naga Kuning dan Setan Ngompol telah mulai siuman dan memandang kian kemari dengan muka pucat. Ketika mendengar deburan ombak di pasir pantai keduanya jadi ketakutan dan berdiri terhuyung-huyung.

"Lakasipo! Kita berada di mana?!" bertanya murid Sinto Gendeng.

Lakasipo memandang berkeliling. Ketika dia membuka mulut hendak menjawab, yang keluar dari mulutnya bukan suara tapi semburan air laut! Celakanya muntahan air itu jatuh mengguyur ketiga orang yang ada di depannya. Setan Ngompol memaki panjang pendek. Naga Kuning menyumpah-nyumpah. Wiro sendiri menggerutu habis-habisan dan cepat seka mukanya yang terguyur muntahan.

"Untung cuma air, tidak bercampur dengan yang lain-lain! Sialan betul!" Wiro mengomel.

"Saudara-saudaraku, maafkan aku! Aku tak sengaja..."

"Kalau bicara jangan menghadap kami! Kulihat perutmu buncit tanda masih banyak air di dalamnya!" teriak Naga Kuning.

Lakasipo batuk-batuk. Benar saja. Dari mulutnya kembali menyembur air. Untung dia mendengar peringatan Naga Kuning tadi. Waktu muntahnya menyembur dia palingkan mukanya ke samping hingga air yang dimuntahkannya tidak menyirami ketiga orang itu. Wiro memandang ke arah barat. Dia melihat sosok mentari tengah menggelincir menuju titik tenggelamnya.

"Lakasipo, kulihat sebentar lagi matahari segera tenggelam. Malam akan tiba. Lekas kau mencari tahu di mana kita berada saat ini..."

Lakasipo memandang berkeliling. "Tak bisa aku menduga wahai Wiro. Melihat pada bentuk pantai yang membelok di ujung kiri dan kanan agaknya kita berada di satu pulau..."

"Pulau tempat kediaman guru Hantu Muka Dua?" tanya Naga Kuning.

"Lagi-lagi aku tak bisa menduga wahai sahabatku..."

"Kalau begitu kita harus segera bergerak mencari tahu. Paling tidak sebelum malam tiba kita ada tempat untuk berlindung!" kata Wiro pula lalu berdiri dan mendahului melangkah dan meninggalkan tempat itu.

Lakasipo cepat mengangkat Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol. Sambil melangkah dia berkata, "Di sebelah sana ada deretan panjang pohon-pohon besar. Kita akan menyelidik ke sana..."

Begitu sampai di deretan pohon-pohon yang tadi dilihatnya di kejauhan, Lakasipo hentikan langkah, memandang dengan muka mengernyit.

"Pohon-pohon aneh! Tumbuhnya rapat sekali! Dan dipenuhi duri mulai dari ranting sampai ke batang!" Berseru Wiro yang ada dalam dukungan Lakasipo.

Lakasipo maju mendekat. "Kau betul Wiro. Seumur hidup baru sekali ini aku melihat pohon-pohon seperti Ini. Bentuknya seperti pohon jati. Tapi mengapa ditumbuhi duri-duri panjang. Tumbuhnya juga rapat. Jika tidak hati-hati sulit bagi seseorang bisa lolos di antara dua pohon..."

"Di belakang deretan pohon-pohon itu hanya ada kegelapan menghitam," berkata Setan Ngompol. "Saat Ini masih siang. Kalau malam tiba pasti sangat gelap Di sebelah sana. Tangan di depan mata mungkin tak bisa kelihatan..."

Lakasipo tampak diam seolah tengah berpikir.

"Lakasipo, mengapa kau diam saja?!" bertanya Naga Kuning.

"Wahai! Aku tengah menghubungkan ucapan-ucapan kalian dengan satu riwayat yang pernah kudengar..." jawab Lakasipo. "Pohon-pohon jati berduri seperti duri bulu landak. Rimba belantara hitam gelap. Kelam... Ini semua mengingatkan aku pada dua hal. pertama Jatilandak. Kedua hutan Lahitamkelam."

"Jatilandak itu, nama orang atau apa?" bertanya Wiro.

"Nama Hantu. Hantu Jatilandak. Salah satu dedengkot Hantu. Tapi kabarnya dia berada di bawah kekuasaan dan taklukan Hantu Muka Dua!" Menerangkan Lakasipo.

"Jangan-jangan pulau ini adalah pulau kediamannya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, gurunya Hantu Muka Dua! Berarti kita sudah berada di pulau tujuan!" kata Naga Kuning setengah berseru.

"Ssst...! Jangan bicara terlalu keras," kata Lakasipo.

"Kita belum bisa memastikan berada di pulau apa. Tapi dugaanku ini bukan pulau kediaman guru Hantu Muka Dua. Aku lebih yakin ini adalah pulau sarangnya Hantu Jatilandak..."

"Lakasipo," kata Wiro sambil pukulkan tangannya ke dada lelaki yang dikenal dengan julukan Hantu Kaki Batu itu. "Di sebelah sana kulihat ada dua pohon yang tumbuh lebih renggang. Mungkin ada jalan atau mungkin kita bisa menemukan petunjuk di tempat itu."

Lakasipo memandang ke arah yang ditunjuk Wiro. Memang benar. Tidak seperti di tempat lain dimana semua pohon jati berduri tumbuh sangat rapat, di sebelah sana ada dua pohon, diikuti pohon-pohon lain di deretan sebelah belakang, tumbuh lebih jarang satu sama lain. Segera saja Lakasipo melangkah cepat menuju tempat itu.

"Duukk... duukkk... duuukkkk!"

Langkah-langkah kaki batu Lakasipo menghunjam di pasir pantai. Mengeluarkan suara keras dan menggetarkan seantero tempat.

"Wahai! Kita memang bisa lewat di sini! Kelihatannya ini jalan setapak yang sengaja dibuat orang." Berkata Lakasipo begitu sampai di antara dua pohon jati besar yang tumbuh renggang. Demikian juga deretan pohon-pohon di sebelah belakang.

"Berarti pulau ini ada penghuninya!" kata Wiro pula.

"Betul, yaitu Hantu Jatilandak..." jawab Lakasipo.

"Apakah makhluk bernama Hantu Jatilandak ini Jahat atau baik?" tanya Naga Kuning.

"Tak dapat kupastikan. Yang jelas dia adalah setengah manusia setengah binatang. Manusia seperti kita bisa saja dijadikan mangsa, dikunyah dan ditelan bulat-bulat. Kita harus berhati-hati!"

Si kakek Setan Ngompol langsung terkencing mendengar kata-kata Lakasipo itu. Lakasipo melangkah melewati dua pohon jati berduri di sebelah depan. Walau pohon-pohon itu tumbuh renggang namun dia harus berhati-hati. Dia berusaha agar tubuhnya jangan sampai tergurat oleh ujung-ujung duri yang tumbuh berserabutan di sekujur batang pohon. Apa lagi kalau duri-duri itu mengandung racun jahat yang bisa mencelakai dirinya bahkan mungkin bisa membunuh!

Hati-hati Lakasipo terus bergerak. Dia melewati deretan pohon jati kedua, ketiga dan keempat. Pada deretan kelima di mana keadaan mulai agak suram Lokasipo hentikan langkahnya. Matanya memandang tak berkesip ke depan. Dia melihat satu keanehan. Keanehan mana juga dilihat oleh tiga sosok cebol yang ada dalam dukungannya.

Pohon-pohon jati di kiri kanan pada deretan kelima dan seterusnya tidak lagi berbentuk pohon jati berduri tapi lebih menyerupai patung kayu bertampang seram setinggi satu setengah kali tinggi Lakasipo. Patung-patung ini berdiri berjajar demikian rupa, membentuk barisan seolah memagari jalan kecil yang ada di sebelah tengah.

"Aneh," bisik Wiro pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. "Bagaimana ada patung di tempat seperti ini. Siapa yang membuat dan menyusunnya begitu rupa. Aku yakin jumlahnya puluhan, mungkin ratusan!"

"Aku ada firasat kita mulai menghadapi bahaya besar Wiro," balas berbisik Setan Ngompol dengan suara bergetar dan menekan bagian bawah perutnya kencang-kencang agar tidak ngompol.

"Lakasipo, apa yang hendak kau lakukan? Tetap di sini, atau kembali ke pantai. Atau kau akan terus melangkah melewati patung-patung itu!" Bertanya Murid Sinto Gendeng.

Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan, menghimpun kesaktian ilmu pukulan Sinar Matahari. Dibanding dengan keadaannya dulu yang sosoknya hanya sebesar jari, kini berubah menjadi sebesar betis, dia merasa lebih leluasa mengerahkan kesaktiannya. Paling tidak jika diserang atau dilepaskannya akan lebih hebat dari pada waktu dia hanya sebesar jari.

"Menurutku jalan antara deretan patung ini menuju ke satu tempat. Aku memilih bergerak maju melewatinya. Bagaimana pendapatmu?" Bertanya Lakasipo.

"Aku setuju kita jalan terus. Tapi hati-hati. Coba kau perhatikan. Patung-patung kayu jati itu bukan patung biasa. Setiap persendiannya dibuat demikian rupa seperti persendian manusia hidup. Berarti patung-patung kayu itu bisa berputar atau bergerak pada bagian leher, tangan, pinggang dan kaki!"

"Astaga! Wahai! Kau memang betul Wiro. Jika kau tidak memberi tahu hal itu tidak sempat menjadi perhatianku. Jadi memang aku, kita semua harus berhati-hati. Awas, kalian semua pasang mata pasang telinga. Aku mulai bergerak melangkah!"

"Dukk... duukkk!" Gerakan langkah kaki Lakasipo menggetarkan tanah. Patung-patung kayu tampak bergoyang.

Lakasipo maju dua langkah. Dia melewati patung kayu deretan pertama di kiri kanan. Ketika dia hampir sampai pada deretan patung kayu kedua tiba-tiba terdengar suara berkereketan. Tangan-tangan patung pada deretan kedua itu bergerak ke atas lalu dengan cepat turun ke bawah mengemplang ke arah batok kepala Lakasipo! Lakasipo berseru kaget, cepat dia membungkuk rundukkan kepala. Baru saja dia berhasil selamatkan diri tiba-tiba terdengar teriakan Wiro.

"Lakasipo! Awas di belakangmu!"

Lakasipo cepat berpaling. Astaga! Ternyata dua patung pada deretan pertama yang barusan dilewatinya tengah melancarkan tendangan. Satu mengarah pinggang, satu menerabas ke arah kaki!

Lakasipo cepat menghindar selamatkan diri. Dia berhasil berkelit dari tendangan yang menghantam ke arah pinggang. Namun kasip menghindari tendangan yang menghajar kakinya.

"Bukkk!"

Tendangan kaki kayu mendarat di kaki kanan lakasipo. Walau kaki itu diselubungi batu yang beratnya puluhan kati tapi tetap saja kaki itu terpental dan tak ampun lagi Lakasipo jatuh terbanting di tanah. Di saat yang sama tiga patung lainnya sama-sama mengangkat kaki lalu serentak dihunjamkan ke perut, dada dan kepala Lakasipo.

"Celaka!" seru Wiro. Dia berteriak. "Lakasipo! Lekas kau buat gerakan berputar. Pergunakan kaki kirimu untuk menghantam!"

Walau saat itu kaki kanannya sakit bukan main namun Lakasipo turuti apa yang dikatakan Wiro. Dengan mengerahkan tenaga dalam, dalam keadaan masih terduduk di tanah Lakasipo membuat gerakan berputar dan menghantam dengan kaki kirinya.

"Wuuuuttttt! Praakkk! Praakkk! Praaakkk!"

Tiga kaki patung kayu yang barusan siap membunuhnya hancur berantakan. Tiga patung terpental dan jatuh berantakan di sela-sela pohon-pohon jati berduri!

Perlahan-lahan sambil memandang berkeliling, penuh waspada Lakasipo bangkit berdiri. "Wiro, bagaimana...? Kita terus memasuki deretan patung-patung kayu ini atau kembali ke pantai?" bertanya Lakasipo.

"Kita kembali saja ke pantai!" menjawab Setan Ngompol.

"Sudah kepalang tanggung! Kita terus saja!" jawab Wiro.

"Ya, aku setuju. Kita jalan terus! Lakasipo, kalau cuma patung kayu kau pasti sanggup menghancurkan jika mereka kembali menyerang!" kata Naga Kuning pula.

Lakasipo tetapkan hati. Dia kembali melangkah.

"Duuukkkk... duukkkk!"

********************

TIGA

Sebelum melanjutkan apa yang terjadi dengan Lakasipo, Wiro dan Naga Kuning serta si Setan Ngompol di pulau itu, kita kembali dulu pada satu peristiwa besar di masa beberapa puluh tahun silam dan terjadi di Negeri Latanahsilam. Negeri 1200 tahun silam...

Peri Bunda menatap rawan dengan sepasang matanya yang bening tapi suram ke arah timur. Lalu dia berpaling pada Peri Sesepuh yang bertubuh gemuk luar biasa dan duduk di kursi batu pualam merah dengan mata terpejam.

"Peri Sesepuh, aku tahu kau tidak tidur. Wahai apa yang ada di dalam benakmu?" Menegur Peri Bunda.

Yang ditanya tidak segera menjawab. Tak selang berapa lama baru terdengar suara Peri Sesepuh. Perlahan dan halus.

"Apa yang ada di benakku sama dengan apa yang ada di benakmu wahai Peri Bunda. Mengapa kau masih bertanya? Bukankah sejak malam tadi kita berada di puncak bukit sepi dan dingin ini, meninjau dan menduga-duga apa yang kiranya telah dan akan terjadi..."

Peri Bunda mengusap wajahnya yang cantik. Beberapa kali dia menghela nafas dalam lalu berkata. "Malam tadi rembulan muncul dengan warna merah seperti darah. Di barat angin bertiup mengeluarkan suara aneh halus seolah suara seruling yang ditiup mengantar kepergian roh ke alam atas langit. Di selatan sayup-sayup terdengar deru gelombang di tengah laut tapi seolah tidak pernah memecah mencapai pantai berpasir. Di utara Gunung Latinggimeru mengeluarkan suara menggemuruh halus. Mungkin ada dinding gunung yeng retak dan lahar panas mengalir ke luar. Mungkin gunung itu siap untuk meletus. Lalu di sebelah timur sampai saat ini tak ada cahaya kuning benderang. Apakah sang surya tidak akan muncul hari ini...?"

Perlahan-lahan Peri Sesepuh membuka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan. Di tempat terbuka dan dingin seperti di puncak bukit itu wajahnya yang gembrot masih saja dibasahi oleh keringat. Dia menatap ke ufuk timur. Arah yang dibelakangi Peri Bunda.

"Sang surya tidak pernah mengingkari janji wahai Peri Bunda. Di ufuk timur dia akan selalu terbit setiap pagi. Putar tubuhmu. Lihatlah ke timur. Fajar telah menyingsing. Sang surya telah terbit. Tapi demi segala Peri dan Dewa, demi semua Roh yang ada diantara langit dan bumi. Lihatlah wahai Peri Bunda! Mengapa sinar sang surya terhalang oleh tabir aneh kehitaman...?!"

Peri Bunda putar tubuh palingkan kepala. Begitu matanya memandang ke jurusan timur sana, berubahlah parasnya. "Kau benar wahai Peri Sesepuh. Sang surya tak pernah ingkar janji. Dia muncul pagi ini seperti jutaan pagi sebelumnya. Tetapi ada tabir hitam seolah menutupi cahayanya yang putih benderang. Pertanda apakah ini wahai Peri Sesepuh? Apakah benar dugaan kita berdua. Bayi pencemar segala tuah yang ditunggu telah lahir malam menjelang pagi tadi?"

"Perasaan dan dugaanku mengatakan begitu..."

"Kalau itu benar telah terjadi, berarti kita harus siap menghadapi segala nista dan petaka."

Peri Sesepuh anggukkan kepala."Wahai Peri Bunda, aku terpaksa harus segera kembali. Para Peri yang lain harus diberitahu agar mereka juga siap. Kau tetap di sini. Tunggu kedatangan Peri Angsa Putih membawa berita."

"Peri Sesepuh, tunggu! Jangan pergi dulu. Nista dan petaka apakah yang akan menimpa Negeri Atas Langit sehubungan dengan kejadian lahirnya bayi pencemar segala tuah itu?"

"Banyak wahai Peri Bunda. Namun tidak semua bisa ku beritahu padamu. Hanya beberapa saja. Misalnya, angin tak akan berhembus lagi selama setahun penuh. Kalaupun masih berhembus angin itu akan disertai hawa pengap dan bau yang tidak sedap. Air akan berhenti mengucur dari tempat ketinggian ke tempat rendah. Berarti ada kawasan yang bakal menderita kekeringan sepanjang tahun. Lalu bunga-bunga akan menjadi layu. Pucuk tak akan menjadi buah. Buah yang ada akan jatuh ke tanah dalam keadaan busuk..."

Peri Bunda jadi terdiam mendengar keterangan Peri Sesepuh itu.

"Aku pergi sekarang wahai Peri Bunda. Susul aku jika kau sudah bertemu dan menerima kabar dari Peri Angsa Putih."

Peri Sesepuh gulungkan kain sutera merah tipis diseputar dadanya yang tersingkap. Lalu perlahan-lahan tubuhnya bersama kursi batu pualam, melayang ke alas, makin tinggi, makin jauh dan akhirnya lenyap riah pemandangan.

"Heran..." kata Peri Bunda perlahan. "Telah beberapa kali hal seperti ini terjadi. Mengapa masih ada saja Peri yang melanggar larangan?"

Peri Bunda tatapkan matanya ke arah timur kembali. Di lurusan itu keadaan semakin terang namun tabir hitam masih menutupi pemandangan. Tiba-tiba melesat sebuah benda aneh yang tidak jelas perwujudannya. Bersamaan dengan itu menggelegar suara keras menggaung panjang dan lama.

"Seperti suara tangisan bayi. Tapi juga menyerupai lolongan srigala..." Peri Bunda usap tengkuknya yang jadi dingin sementara matanya mengikuti benda yang melayang di udara. Demikian cepatnya benda ini melesat hingga sebelum sang Peri sempat berkedip benda itu telah lenyap dari pandangan matanya.

"Benda apa itu wahai gerangan. Aku mencium bau amisnya darah. Jangan-jangan..."

Belum sempat Peri Bunda menyelesaikan ucapan hatinya tiba-tiba di atasnya melayang satu benda putih disertai suara menguik keras. Benda ini dengan cepat bergerak turun dan ternyata adalah seekor angsa raksasa berwarna putih. Dari atas punggung binatang ini melompat turun seorang gadis cantik mengenakan pakaian terbuat dari sejenis kain sutera halus berwarna putih. Tubuh dan pakaiannya menebar bau harum semerbak, nyaris menutup keharuman bau tubuh dan pakaian biru Peri Bunda.

"Wahai Peri Angsa Putih, kau muncul tepat pada saatnya. Apakah kau datang membawa berita yang ditunggu-tunggu?"

Peri Angsa Putih, peri cantik bermata biru anggukkan kepala. "Wahai Peri Bunda. Di mana gerangan Peri Sesepuh?"

"Peri Sesepuh telah lebih dulu kembali. Kau akan memberi keterangan padaku di sini atau kita sama-sama menemui Peri Sesepuh?"

"Aku... Waktuku singkat. Biar kuceritakan saja padamu apa yang terjadi. Nanti kau saja yang menyampaikan pada Peri Sesepuh..."

"Kalau begitu lekas terangkan padaku apa yang telah terjadi. Benarkah semua dugaan dan kira-kira sesuai dengan kenyataan yang ada?"

"Memang benar adanya wahai Peri Bunda. Duga dan sangka tidak jauh meleset dari kenyataan. Pertanda alam kita dan segala tuah akan tercemar sepanjang tahun. Mungkin akan ditambah lagi dengan menebarnya sejenis penyakit menular."

Berubahlah paras Peri Bunda mendengar kata-kata terakhir PeriAngsa Putih itu. "Penyakit menular katamu wahai Peri Angsa Putih?"

Yang ditanya mengangguk.

"Wahai! Peri Sesepuh tidak menyebutkan ihwal penyakit itu. Bagaimana kau bisa tahu?"

"Kakekku yang memberitahu," jawab Peri Angsa Putih.

"Maksudmu Hantu Tangan Empat?" tanya Peri tunda.

Kembali Peri Angsa Putih mengangguk.

"Celaka! Apa jadinya kita semua. Apa jadinya negeri kita."

"Kita harus siap menghadapi apapun yang terjadi wahai Peri Bunda. Bukankah hal semacam ini sudah beberapa kali terjadi? Bahkan mungkin...?" Peri Angsa Pulih tidak teruskan ucapannya.

Peri Bunda yang juga disebut sebagai Simpul Agung Segala Peri atau Peri Junjungan Dari Segala Junjungan menatap lekat-lekat ke wajah Peri Angsa Putih. Pandangan matanya seolah menyelidik jauh ke balik mata dan jalan pikiran Peri cantik itu.

"Kau tidak meneruskan ucapanmu tadi wahai Peri Angsa Putih. Apa maksudmu dengan kata-kata Bahkan mungkin..."

Sesaat Peri Angsa Putih jadi agak terkesiap. Namun dia segera tersenyum untuk menutupi keterkejutannya atas pertanyaan yang tidak terduga itu. "Sudahlah, waktuku tidak banyak. Lagi pula Peri Sesepuh tentu sangat menantikan kedatanganmu. Sebaiknya aku segera saja menuturkan apa yang telah terjadi..."

Tapi Peri Bunda gelengkan kepala. "Penuturanmu memang penting. Tapi bagiku penjelasanmu atas kata-katamu tadi tak kalah pentingnya. Wahai, harap kau sudi memberi jawaban atas pertanyaanku tadi, Peri Angsa Putih."

Setelah berucap diam-diam dalam hatinya Peri Bunda membatin. "Apa maksud ucapan kerabatku ini. Jangan-jangan dia mengetahui apa yang ada dalam hatiku..."

Sebaliknya Peri Angsa Putih diam-diam juga menjadi gelisah danberkata dalam hati. "Peri Bunda pasti telah tahu apa yang akan terjadi di masa puluhan tahun mendatang. Jangan-jangan dia mencurigai diriku..."

"Peri Angsa Putih, kau belum menjawab. Kau belum memberi penjelasan."

"Dari pada dia mendesak, lebih baik aku mendesak duluan!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. Maka diapun berkata. "Hatimu dan hatiku, pikiranmu dan pikiranku, penglihatanmu ke masa depan dan penglihatanku rasanya tidak banyak berbeda wahai Peri Bunda. Namun jika aku salah mohon maafmu. Apa kau sependapat denganku bahwa dunia kita semakin lama semakin mengalami banyak perubahan? Batas antara kita bangsa Peri dan manusia di bawah langit semakin tipis laksana kabut pagi yang mudah pupus ditelan sinar mentari?"

"Peri Angsa Putih! Wahai! Bagaimana kau berani berkata begitu?!" ucap Peri Bunda setengah berseru. Dalam hati dia berkata. "Dugaanku tidak meleset. Dia bisa membaca jauh ke lubuk hatiku! Daripada menjadi urusan lebih baik aku mengalah sementara."

"Wahai Peri Angsa Putih, katamu waktumu singkat. Baiklah. Aku tidak akan mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. Segera saja kau ceritakan apa yang tolah terjadi..."

********************

EMPAT

Gerobak yang ditarik kuda berbulu putih belang hitam itu berhenti di depan bangunan besar terbuat dari kayu besi. Saat itu di penghujung malam menjelang pagi. Perempuan tua yang duduk di samping pemuda sais gerobak melompat turun. Gerakannya gesit dan enteng. Di pinggangnya tergantung satu bungkusan besar. Di depan pintu bangunan dia hentikan langkah, memandang pada lelaki yang keluar menyambutnya. Perempuan tua itu ludahkan gumpalan sirih dan tembakau di dalam mulutnya lalu bertanya.

"Apa aku datang terlambat wahai Lahambalang?"

"Nenek Luhumuntu. Keadaannya gawat sekali. Aku khawatir..."

Perempuan tua itu tidak menunggu sampai lelaki bernama Lahambalang menyelesaikan ucapannya. Dengan cepat dia masuk ke dalam bangunan, langsung menuju ke sebuah kamar dari dalam mana terdengar suara erangan berkepanjangan. Di ambang pintu kamar si nenek mendadak hentikan langkah.

"Lahambalang! Kegilaan apa yang aku lihat ini! Siapa yang mengikat tangan dan kakinya!"

"Tidak ada jalan lain Nek! Dia selalu berontak. Memukul dan menendang. Melihat aku sepertinya dia hendak membunuhku!"

"Gila dan aneh! Perempuan yang hendak melahirkan bisa bersikap seperti itu!"

Luhumuntu masuk ke dalam kamar yang diterangi dua buah obor besar. Tiga langkah dariranjang kayu kembali gerakannya tertahan. Di atas tempat tidur kayu itu tergeletak menelentang seorang perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh keringat serta kerenyit menahan sakit. Dari mulutnya yang terbuka keluarerangan ditingkahi desau nafas yang membersit dari hidung. Perempuan ini memiliki perut besar dan tertutup sehelai rajutan rumput kering. Ketika pandangannya membentur sosok sinenek, dua matanya membeliak besar dan dari mulutnya keluar suara menggereng seperti suara babi hutan.

"Tua bangka buruk! Siapa kau?!"

Lahambalang cepat mendekat dan berkata. "Wahai istriku Luhmintari, nenek ini Luhumuntu, dukun beranak di Latanahsilam yang akan menolongmu melahirkan

"Menolong aku melahirkan?!" Sepasang mata perempuan di atas ranjang kayu semakin membesar dan Wajahnya tambah beringas. "Siapa yang akan melahirkan?! Aku tidak akan melahirkan!"

"Tenanglah Luhmintari. Orang akan menolongmu..."

"Aku tidak akan melahirkan! Aku tidak butuh pertolongan! Tidak akan ada apapun yang keluar dari perutku! Tidak akan ada bayi keluar dari rahimku! Kau dengar wahai Lahambalang?! Kau dengar nenek buruk dukun beranak celaka?!" Habis membentak seperti itu Luhmintari tertawa panjang.

Si nenek dukun beranak jadi merinding. Dia dekati Lahambalang dan berbisik. "Suara istrimu kudengar lain. Tawanya kudengar aneh..."

Baru saja Luhumuntu berkata begitu tiba-tiba dari perut besar Luhmintari terdengar suara gerengan dan bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar suara lolongan anjing hutan. Dukun beranak Luhumuntu tarik rumput kering yang menutupi tubuh Luhmintari. Begitu perut yang hamil besar itu tersingkap, si nenek langsung tersurut. Lahambalang sendiri keluarkan seruan tertahan lalu mundur dua langkah.

Lazimnya perut perempuan hamil, biasanya menggembung besar dan licin. Namun yang dilihat oleh Luhumuntu dan Lahambalang adalah satu perut yang di dalamnya seperti ada puluhan duri. Permukaan perut Luhmintari kelihatan penuh tonjolan-tonjolan runcing dan tiada hentinya bergerak-gerak mengerikan.

"Demi Dewa dan Peri." ujar Lahambalang dengan suara bergetar. "Apa yang terjadi dengan istriku!"

Dukun beranak Luhumuntu angkat tangan kirinya. "Lahambalang, istrimu akan segera kutangani. Harap kau cepat keluar dari kamar ini."

"Nenek Luhumuntu, kalau boleh aku ingin menungguinya sampai dia melahirkan..." kata Lahambalang pula.

"Keluar!" teriak Luhumuntu.

Mau tak mau Lahambalang keluar juga dari kamar itu. Si nenek segera membanting pintu. Ketika dia melangkah mendekati tempat tidur kembali Luhmintari perlihatkan tampang beringas.

"Nenek celaka! Kau juga harus keluar dari kamar ini!"

"Luhmintari, aku akan menolongmu melahirkan! Aku akan melepaskan ikatan pada dua kakimu! Jangan kau berbuat yang bukan-bukan!"

"Kau yang berkata dan akan berbuat yang bukan-bukan!" sentak Luhmintari. "Aku tidak hamil! Aku tidak akan melahirkan! Tak ada bayi dalam perutku! Tak ada bayi yang akan keluar dari rahimku! Hik hik hik!"

"Tenang Luhmintari. Kau jelas hamil besar dan siap melahirkan. Kau akan melahirkan seorang bayi hasil hubungan sebagai suami istri dengan Lahambalang..."

Si nenek mendekati kaki tempat tidur. Dengan hati-hati dia lepaskan ikatan pada dua kaki Luhmintari. Begitu dua kaki lepas, kaki yang kanan bergerak menendang.

"Bukkk!"

Si nenek Luhumuntu terpekik dan terpental ke dinding. Di luar Lahambalang berteriak. "Nenek Luhumuntu! Ada apa?!"

Luhumuntu usap-usap perutnya yang tadi kena tendang. "Tidak apa-apa Lahambalang! Kau tak usah khawatir!" Lalu si nenek memandang pada Luhmintari dan berkata. "Sebagai dukun aku berkewajiban menolongmu melahirkan. Apapun yang akan keluar dari rahimmu aku tidak perduli!"

Lalu dengan cepat si nenek kembangkan dua kaki Luhmintari. Dengan dua tangannya dia menekan perut perempuan itu. Luhmintari meraung keras. Dari dalam perutnya keluar suara menggereng. Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan anjing hutan.

"Jangan sentuh perutku! Pergi!"

Si nenek dukun beranak tidak perdulikan teriakan Luhmintari. Dua tangannya menekan semakin kuat. Luhmintari menjerit keras. Lalu terdengar suara robek besar. Bersamaan dengan itu ada suara tangisan kecil. Seperti suara tangisan bayi tapi disertai gerengan!

Luhumuntu terpekik ketika ada suatu benda melesat dan menyambar perutnya. Nenek ini mundur terhuyung-huyung. Ketika dia memperhatikan keadaan dirinya ternyata di bagian perut ada tiga guratan luka cukup dalam dan mengucurkan darah! Dari sudut kamar terdengar suara tangisan bayi aneh! Di atas ranjang kayu sosok Luhmintari tidak bergerak sedikitpun. Tubuhnya yang penuh keringat perlahan-lahan menjadi dingin.

"Braaakkk!" Pintu kamar terpentang hancur. Lahambalang melompat masuk. Dia tidak perdulikan si nenek dukun beranak yang tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi perutnya yang luka bergelimang darah. Dia melangkah ke arah ranjang. Namun gerakannya serta merta tertahan. Dua kakinya seperti dipantek ke lantai. Matanya membeliak besar. Sosok istrinya tergeletak tidak bergerak. Mata mendelik mulut menganga. Perutnya robek besar dan darah masih mengucur mengerikan!

"Luhmintari!" teriak Lahambalang. Dia memandang seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia kembali berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan istriku! Aku mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"

Sambil sandarkan punggungnya ke dinding kamar si nenek menjawab."Istrimu tewas wahai Lahambalang! Tewas ketika melahirkan bayinya! Bayinya ternyata bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara wajar tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah robek besar!"

"Aku tidak percaya! Kau... kau pasti memakai cara gila! Kau pasti merobek perut istriku dengan pisau!"

"Aku tidak pernah membawa pisau wahai Lahambalang," Jawab si nenek. Tubuhnya melosoh ke lantai. Dua tangannya masih mendekapi perutnya yang luka.

"Mana bayiku! Mana anakku!" teriak Lahambalang.

Si nenek Luhumuntu angkat tangan kirinya. Dengan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar. "Itu... benda yang di sudut sana. Itulah bayimu. Kuharap kau bisa menabahkan diri menghadapi kenyataan ini wahai Lahambalang..."

Lahambalang berpaling ke arah yang ditunjuk. Karena tidak tersentuh cahaya api obor, sudut kamar yang ditunjuk si nenek agak gelap. Namun Lahambalang masih bisa melihat satu benda bergelimang darah tergeletak di sana.

"Anakku..." desis Lahambalang. Dia mendatangi dan membungkuk. Tiba-tiba jeritan keras menggeledek dari mulutnya. "Tidaaaakkkk!"

"Lahambalang, kataku kau harus tabah menghadapi kenyataan..." berucap si nenek dukun beranak.

"Tidaaaakkkk!" teriak Lahambalang sekali lagi. "Itu bukan bayiku! Itu bukan anakku!"

"Lahambalang, betapapun kau tidak mengakui itu bukan anak bukan bayimu! Tapi itulah yang keluar dari perut Istrimu!"

Lahambalang tutupkan dua tangannya ke mukanya lalu menggerung keras. Di sebelah sana, di sudut yang kegelapan terdengar suara tangisan bayi aneh karena disertai suara menggereng halus. Sosok yang menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar itu memang satu sosok menyerupai bayi kecil. Tapi sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki penuh ditumbuhi duri-duri aneh berwarna kecoklatan!

"Lahambalang, Itu anakmu. Itu bayimu! Jangan biarkan dia kedinginan di sudut kamar..." Terdengar nenek Luhumuntu berucap.

Sekujur tubuh Lahambalang bergeletar. Mulutnya mengucapkan sesuatu tapi tidak jelas kedengaran apa yang dikatakannya.

"Lahambalang, ambil anakmu. Dukung bayi itu..."

Lahambalang pejamkan dua matanya. Tenggorokannya turun naik, sesenggukan menahan tangis. "Apa yang terjadi dengan diri kami! Wahai istriku Luhmintari. Nasibmu... nasibku... nasib anak kita. Apa semua ini karena kau melanggar larangan? Karena sebenarnya sebagai seorang Peri kau tidak boleh kawin denganku manusia biasa? Kalau ini memang satu kutukan, sungguh kejam dan jahat!"

Tiba-tiba Lahambalang bangkit berdiri. Mukanya kelihatan menjadi sangat mengerikan. Dadanya bergemuruh turun naik. Dua tangannya mengepal. Satu teriakan dahsyat keluar dari mulutnya.

"Wahai para Peri di atas langit! Kalau ini benar kutukan dari kalian! Mengapa istriku yang kalian bunuh! Mengapa bayi tak berdosa ini yang kalian bikin cacat! Mengapa tidak diriku yang kalian bikin mati! Kejam! Jahat! Peri terkutuk keparat! Aku akan mencari seribu jalan melakukan pembalasan!"

Habis berteriak begitu Lahambalang membungkuk mengambil sosok bayi aneh yang tergeletak di sudut kamar. Lalu dia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil lari tidak henti-hentinya dia berteriak.

"Ini bukan anakku! Ini bukan bayiku! Kalian menukar bayiku dengan makhluk celaka ini! Peri jahat Peri jahanam! Tunggu pembalasanku!"

Dalam gelap dan dinginnya malam menjelang fajar itu Lahambalang lari terus membawa bayi aneh yang tiada hentinya menangis. Lelaki ini baru hentikan larinya ketika dapatkan dirinya tahu-tahu telah berada di ujung sebuah tebing. Di depannya menghadang satu jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Di sebelah timur langit mulai terang tanda sang surya siap memunculkan diri.

"Ini bukan bayiku! Ini bukan anakku! Para Peri di atas langit tunggu pembalasanku!"

Dengan tubuh bergeletar lahambalang angkat bayi bergelimang darah dan penuh duri aneh itu. Sang bayi menangis keras. Di kejauhan seolah datang dari tengah laut terdengar suara lolongan srigala. Di dahului teriakan keras dan panjang Lahambalang lemparkan bayi di tangan kanannya Bayi malang itu melesat jauh ke udara, lenyap dari pemandangan seolah menembus langit. Lahambalang pandangi tangannya berlumuran darah lalu menatap ke langit. Sekali lagi lelaki ini menjerit dahsyat!

********************

LIMA

Lama Peri Bunda termenung mendengar penuturan Peri Angsa Putih itu. Berkali-kali pula dia menghela nafas dalam. Akhirnya sang Peri berkata. "Wahai Peri Angsa Putih, aku akan segera menemui Peri Sesepuh. Sebelum pergi bisakah aku mempercayai dua buah tugas padamu?"

"Aku siap melakukan apa yang menjadi perintahmu wahai Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih walau sebenarnya dia merasa kurang senang.

"Mulai saat ini kau harus memata-matai, apa yang dilakukan Lahambalang. Kemudian harap kau menyelidiki dimana jatuhnya bayi aneh itu. Kau harus mendapatkan dan mengambilnya baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Bayi itu harus cepat dibawa ke alam atas langit dan diserahkan pada Peri Sesepuh."

Peri Angsa Putih mengangguk. Dia membungkuk memberi hormat lalu melompat ke atas Laeputih, angsa raksasa yang jadi tunggangannya. Namun sebelum dia bergerak pergi dilihatnya Peri Bunda mengangkat tangan kanan, menatap padanya dengan mulut terbuka tanpa suara.

"Wahai Peri Bunda, masih adakah sesuatu yang hendak kau katakan?" tanya Peri Angsa Putih.

Peri Bunda masih belum membuka mulut seolah ada kebimbangan di hatinya untuk berucap. Setelah menarik nafas lebih dulu baru dia berkata. "Kau mungkin tidak suka membicarakan walau barang sebentar. Namun jika tidak ada kejelasan rasanya aku seperti diikuti bayang-bayang sendiri..."

"Apakah yang merisaukan hatimu, Wahai Peri Bunda?"

Mulutnya bertanya namun dalam hati Peri Angsa Putih mulai menduga-duga. "Tadi aku sempat membicarakan. Hatiku dan hati mu, pikiranku dan pikiranmu, penglihatanku dan penglihatanmu ke masa depan rasanya tidak banyak berbeda. Lalu kau bilang bahwa dunia kita semakin lama semakin mengalami banyak perubahan. Batas antara kita bangsa Peri dan manusia di bawah langit semakin tipis. Laksana kabut pagi yang mudah pupus ditelan cahaya mentari. Kejadian bangsa Peri kawin dengan manusia biasa telah berulang kali terjadi walau mereka harus menerima hukuman dan kutuk. Kau katakan Malah mungkin. Tapi tidak kau teruskan ucapanmu. Wahai Peri Angsa Putih, kita sama melihat kenyataan dan aku tidak mau berlaku munafik. Kehidupan kita bangsa Peri dalam segala kelebihannya namun masih memiliki serba kekurangan. Jika aku mau menyebut salah satu diantaranya adalah kita tidak memiliki dan hampir jarang merasakan bahagia jalinan kasih sayang. Kasih sayang antara kita dengan kaum lelaki..."

"Wahai Peri Bunda, aku khawatir ada yang mendengar pembicaraan kita ini..." Peri Angsa Putih cepat memotong.

Peri Bunda gelengkan kepala. "Kenyataan tidak bisa dirubah. Akan tetap ada sampai akhir zaman. Peri Angsa Putih, apakah yang aku lihat sama dengan apa yang kau lihat. Apakah firasatku sama dengan firasatmu. Apakah kau mau berterus terang?"

Peri Angsa Putih terdiam sejenak. Perlahan-lahan air mukanya bersemu merah. "Wahai! Kulihat rona wajahmu menjadi merah. Berarti dugaanku tidak salah. Jika kau tidak mau mengungkap, aku tidak akan malu-malu mengatakannya wahai Peri Angsa Putih."

"Kalau begitu sebaiknya biar kau saja yang berterus terang wahai Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih pula.

Peri Bunda menarik nafas dalam dua kali lalu berucap. "Firasat dan penglihatanku melihat. Di masa puluhan tahun mendatang. Entah kapan tepatnya tetapi pasti akan muncul di alam kita lelaki-lelaki gagah kepada siapa kita akan jatuh cinta. Namun bagaimana berbagi rasa dan cinta kalau orang yang kita kasihi itu adalah orang yang sama? Lalu kita akan mengenal hidup berurai air mata. Kita akan mengenal yang disebut rasa cemburu. Rasa rindu dan tidak mungkin terjadi apa yang disebut api dalam sekam. Kalau tiba saatnya meledak alam atas langit tempat kediaman kita akan menjadi geger..."

Dua Peri Ku untuk beberapa lamanya tak satupun yang bicara. Suara silir tiupan angin terdengar jelas saking sunyinya tempat itu.

"Peri Bunda, masa puluhan tahun itu cukup lama bagi kita untuk mempersiapkan diri. Mudah-mudahan kita semua akan lebih dewasa menghadapi perubahan. Memang kita bukan manusia biasa. Namun rasa dan hati kita tak bisa dipendam. Kita tidak mungkin menipu diri sendiri. Bahagia, cinta dan kasih sayang adalah dambaan semua makhluk hidup, termasuk kita bangsa Peri."

Peri Bunda anggukkan kepala. "Kau benar Wahai Peri Angsa Putih. Benar sekali! Aku akan segera kembali. Harap kau melaksanakan tugas yang kuberikan tadi."

Peri Angsa Putih menjura hormat. Lalu dia mengusap leher angsa putih tunggangannya. Binatang raksasa Ini mengepakkan sayap dan melesat ke arah timur.

********************

ENAM

Bayi laki-laki aneh yang sekujur tubuhnya ditumbuhi semacam duri berwarna coklat dan masih berselubung darah itu melesat di udara lalu lenyap ditelan kegelapan malam di sebelah barat. Namun tak selang berapa lama, setelah mencapai titik tertingginya bayi ini melayang ke bawah.

Di saat yang hampir bersamaan, di sebuah pulau di kawasan laut sebelah barat. Fajar yang menyingsing di ufuk timur masih belum mampu menerangi pulau itu. Masih terbungkus kegelapan, di satu bukit yang tertutup rapat oleh pohon-pohon jati berbentuk aneh, dalam sebuah lobang batu tampak melingkar sebuah benda yang tak dapat dipastikan apa adanya.

Benda ini bergulung aneh, tertutup oleh sejenis sisik tebal berwarna hitam pekat. Benda ini bukan benda mati karena ada denyutan tiada henti dan setiap berdenyut sisik yang menutupinya tegak berjingkrak!

Ketika bayi Lahambalang melayang jatuh ke atas pulau, sosok aneh diliang batu itu tiba-tiba bersuit keras dan panjang lalu melesat ke atas. Dan astaga! Ternyata dia adalah satu sosok makhluk hidup yang punya kepala, tangan dan kaki seperti manusia. Namun masih sulit dipastikan apakah makhluk itu benar-benar manusia.

Sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki tertutup sisik tajam yang senantiasa bergerak-gerak, rebah lalu berdiri lalu rebah lagi terus menerus. Wajahnya tidak ketahuan mana mulut mana hidung. Matanya hanya merupakan dua buah tonjolan bulat yang lancip di sebelah tengah, seperti combong putih buah kelapa!

Makhluk bersisik hitam ini mendongak ke langit ketika melihat sosok bayi yang jatuh ke bawah. Lalu dari mulutnya yang tidak ketahuan entah berada di sebelah mana kembali melengking satu jeritan keras seolah merobek langit malam, menembus suara deru angin dan deburan ombak di pantai pulau.

Belum lenyap lengking jeritan itu tiba-tiba terdengar suara bergemuruh mendatangi. Bukit jati di atas pulau itu bergetar aneh. Di lain saat muncullah sepasang makhluk aneh mengerikan. Berupa dua ekor landak raksasa yang berjalan cepat dengan empat kakinya. Namun begitu sampai di hadapan makhluk bersisik, dua ekor landak ini pergunakan dua kaki belakangnya seperti kaki manusia dan dua kaki depan sebagai tangan. Lalu dua binatang ini membungkuk seolah memberi hormat pada makhluk bersisik.

Makhluk bersisik di tepi liang batu angkat tangan kanannya. Sambil menjerit keras dia menunjuk ke langit. Ke arah sosok bayi Lahambalang yang tengah melayang jatuh ke atas pulau. Dua ekor landak yang ternyata satu jantan satu betina palingkan kepala ke arah yang ditunjuk lalu sama-sama keluarkan jeritan keras.

"Laeruncing dan Laelancip! Apa yang aku lihat puluhan tahun silam dan pernah kukatakan pada kalian kini menjadi kenyataan! Selamatkan bayi itu!"

Satu suara menyerupai suara manusia menggema di tempat itu. Siapakah yang bicara? Ternyata makhluk bersisik di tepi liang batu!

Mendengar ucapan itu dua ekor landak raksasa, Laeruncing yang jantan dan Laelancip yang betina keluarkan pekik keras. Lalu sekali mereka cakarkan dua kaki ke tanah, saat itu juga tubuh mereka laksana sambaran kilat melesat ke udara! Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Dua landak raksasa itu melesat demikian rupa menyongsong ke arah melayang jatuhnya bayi Lahambalang. Di satu titik di udara, ketiganya bertemu.

"Seettt... settt!"

Dua landak raksasa melesat dan bergerak demikian rupa, tahu-tahu telah mengapit dan menjepit sosok bayi di tengah-tengah. Di udara dua ekor landak ini membuat gerakan berputar tujuh kali lalu melesat turun ke arah pulau. Dalam waktu singkat dua ekor landak itu telah mendarat di tanah dekat liang batu, di hadapan makhluk yang tubuhnya tertutup sisik. Bayi Lahambalang yang beberapa saat sempat diam kini mulai menangis.

"Wahai Laeruncing dan Laelancip! Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik!" Dua ekor landak raksasa keluarkan suara gerengan halus. Makhluk bersisik kembali berkata. "Apa yang aku lihat puluhan tahun silam kini menjadi kenyataan. Wahai Laeruncing dan Laelancip! Bayi laki-laki yang bentuk tubuhnya penuh ditumbuhi tanduk-tanduk kecil seperti tubuh kalian itu sesungguhnya itulah bayi yang kalian tunggu-tunggu selama tiga ratus tahun! Bayi itu adalah anak kalian berdua!"

Dua ekor landak kembali menggereng. Mereka bergerak mendekati si bayi lalu ulurkan kepala dan mulai menjilati sosok bayi itu. Anehnya begitu dijilati sang bayi segera saja berhenti menangis!

"Laeruncing dan Laelancip! Kalian sudah mendapatkan anak yang kalian dambakan selama ratusan tahun Sekarang menjadi kewajiban kalian untuk memelihara dan membesarkannya. Ajarkan semua ilmu kepandaian yang kalian punya. Kecuali satu ilmu yang kalian tidak miliki. Yaitu bagaimana caranya bicara. Aku yang akan mengajarkan ilmu berbicara itu pada anak kalian! Dan kepadanya wahai Laeruncing dan Laelancip aku akan memberikan nama. Sesuai dengan keadaan pulau ini yang penuh ditumbuhi pohon-pohon jati berduri seperi bulu landak, sesuai pula dengan keadaan dan bentuk kalian aku akan menamakan anak Hantu Jatilandak!"

Laeruncing dan Laelancip ulurkan dua tangan ke depan dan angguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

"Kailan berdua boleh pergi. Jaga anak itu baik-baik. Jika ada apa-apa yang kalian tidak mengerti, temui aku di Liang Batu Hitam ini! Aku Tringgiling Liang Batu adalah kakek dari bayi itu!"

Dua ekor landak menggereng halus, kembali anggukanggukkan kepala. Laeruncing, landak yang jantan pergunakan mulutnya untuk mengangkat bayi yang diberi nama Hantu jatilandak itu ke atas punggung betinanya yaitu Laelancip. Baru saja dua landak raksasa ini hendak bertindak pergi tiba-tiba di langit ada benda pulih menyambar turun disertai teriakan memerintah.

"Semua makhluk di atas pulau! Jangan ada yang berani bergerak! Aku datang membawa perintah!"

"Wuuuttt.. wuttt!" Ada dua sayap raksasa mengepak deras membuat pohon-pohon jati berduri bergoyang-goyang.

Sesaat kemudian seekor angsa putih telah mendarat di atas sebuah batu besar, tak jauh dari makhluk bersisik berdiri dan hanya beberapa tombak dari dua ekor landak raksasa. Bau sangat harum memenuhi tempat itu.

Laeruncing dan Laelancip keluarkan suara menggereng. Bayi di atas landak betina tiba-tiba keluarkan tangisan. Makhluk bersisik putar kepalanya. Dua mata combongnya bergerak-gerak. Dari balik sisik di mukanya keluar ucapannya.

"Berabad-abad telah berlalu. Tak pernah selama ini seorang Peri pun muncul datang ke pulau dan singgah di hutan Lahitamkelam. Gerangan angin apakah wahai Peri cantik yang aku lupa namanya datang ke tempat ini? Perintah apa yang kau bawa bersama kemunculanmu?"

Gadis cantik berpakaian sutera putih di atas punggung angsa raksasa menatap makhluk bersisik itu beberapa saat lamanya. Lalu dia melirik pada dua ekor landak raksasa. Dalam hati dia berkata. "Aku tidak melihat bayi yang kucari. Tapi di atas salah seekor landak raksasa itu ada satu makhluk kecil yang tubuhnya ditumbuhi duri-duri seperti bulu landak. Dan sosok kecil ini menangis antara suara bayi dan suara binatang. Mungkin itu bayinya Lahambalang dan Luhmintari?"

Peri Angsa Putih kembali memandang ke arah makhluk bersisik lebat, kaku dan keras. "Aku Peri Angsa Putih dari Negeri Atas Langit. Kedatanganku membawa tugas. Tugas yang menjadi perintah bagi kalian yang ada di sini. Patuh akan perintah wahai! Itulah segala rahasia hidup tanpa bencana. Aku datang untuk mengambil sosok kecil yang ada di atas punggung landak raksasa itu!"

Mendengar kata-kata Peri Angsa Putih, sepasang mata makhluk bersisik yang bernama Tringgiling Liang Batu seperti hendak melompat. Sisik di sekujur tubuhnya berjingkrak kaku. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor.

Di tempat lain, dua ekor landak raksasa menggarang keras. Yang jantan langsung tegak berdiri membelakangi betinanya. Sepasang matanya yang hitam kecoklatan membersitkan sinar menggidikkan. Dua tangannya dipentang ke depan. Kakinya bergerak melangkah mendekati angsa putih.

TUJUH

"Laeruncing!" Tegur Tringgiling Liang Batu. "Tetap di tempatmu!" Lalu makhluk ini berpaling pada Peri Angsa Putih. "Peri Angsa Putih, bagiku adalah aneh seorang Peri dari Negeri Atas Langit menginginkan satu bayi yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya! Siapa gerangan yang memberimu tugas tak masuk akal itu wahai Peri Angsa Putih?!"

"Justru karena bayi berduri itu ada sangkut pautnya dengan kami para Peri dari Negeri Atas Langit maka kami ingin mengambilnya!"

"Wahai! Mungkin kau bisa memberi keterangan lebih rinci hingga aku tidak menduga keliru!"

"Baik, jika itu maumu. Bayi yang tubuhnya berduri itu dilahirkan dari rahim seorang Peri yang tersesat kawin dengan manusia bernama Lahambalang! Ibunya meninggal ketika melahirkan. Sang ayah telah menjadi gila. Berarti tidak ada yang memelihara bayi itu. Kami para Peri mengambil alih tanggung jawab merawat anak tersebut!"

Tringgiling Liang Batu angguk-anggukkan kepala. "Sungguh baik budi para Peri Negeri Atas Angin. Tapi apa kau lupa, atau tidak tahu, atau mungkin pura-pura tidak tahu. Semua kejadian menyangkut Peri sesat dan suaminya yang bernama Lahambalang itu, sampai lahirnya bayi yang malang itu! Adalah pekerjaan jahat para Peri Negeri Atas Langit! Termasuk kau! Kalian telah menjatuhkan hukum dan kutuk keji! Sekarang apa perlunya kalian ingin mengambil orok itu!"

Berubahlah paras Peri Angsa Putih mendengar kata kata Tringgiling Liang Batu itu. Setelah dadanya yang tergoncang tenang kembali, maka berkatalah Peri cantik ini.

"Setiap kesalahan ada hukumannya. Setiap masalah ada jalan keluarnya! Kami punya aturan sendiri yang harus ditaati dan dipatuhi. Siapa saja yang melanggar akan terkena hukuman. Di dalam tubuh bayi itu mengalir darah Peri. Kami tidak akan membiarkannya hidup di dunia ini..."

"Peri Angsa Putih, kau dan teman-temanmu di atas sana bukan saja telah berbuat terlalu jauh, tapi kini malah bertindak teramat jauh. Bayi itu adalah cucuku. Orok itu adalah anak dari Laeruncing dan Laelancip, dua landak raksasa yang ada di hadapanmu. Kalau kau berani menyentuhnya sekalipun sisikku akan terkelupas dan rohku akan terpendam di dasar laut menjadi ganjalan pulau ini, aku tidak akan menyerahkannya kepada siapapun!"

"Kalau begitu terpaksa aku mempergunakan kekerasan. Aku tidak suka. Tapi wahai! Apa boleh buat!"

Habis berkata begitu Peri Angsa Putih melesat ke arah Laelancip si landak betina. Tangan kanannya menyambar ke punggung landak. Namun di saat itu pula laeruncing si landak jantan melompat ke depan dan hantamkan tangannya yang berduri ke arah lengan Perl Angsa Putih. Melihat datangnya serangan berbahaya ini Peri Angsa Putih cepat tarik tangan kanannya. Tapi terlambat...

"Breett!" Lengan bajunya yang terbuat dari sutera putih robek besar disambar duri-duri lancip tangan Laeruncing. Marahlah Peri Angsa Putih. Sambil menghantamkan kaki kirinya ke kepala Laeruncing, tangan kanannya lepaskan satu pukulan tangan kosong. Sinar putih berkelebat.

Tahu kalau serangan tangan kosong itu lebih berbahaya dari pada tendangan kaki, Laeruncing cepat bergerak hindari serangan sambaran sinar putih.

"Bukkk!" Tendangan Peri Angsa Putih mendarat telak di bahu kanan Laeruncing.

Landak raksasa menggereng keras sementara tubuhnya terpental sampai dua tombak tapi tidak mengalami cidera. Sebaliknya Peri Angsa Putih keluarkan keluhan tertahan dan cepat melangkah mundur. Ketika dia meneliti kaki kirinya ternyata ada dua duri landak menancap. Satu pada kaki pakaiannya, satu lagi dekat tumitnya. Sang Peri cepat cabut dua duri yang panjangnya hampir dua jengkal itu.

Baru saja dia mencabut tiba-tiba dibelakangnya Laelancip, si landak betina menyerangnya dengan ganas. Belum lagi serangan itu sampai, di dahului gerengan keras Laeruncing telah menyerbu pula. Kalau yang jantan menyerang dengan tubuh berduri seperti manusia maka Laelancip si betina menyerang melompat-lompat, lebih banyak mempergunakan mulutnya yang bertaring dari pada dua kaki depannya. Bayi yang ada di punggungnya menangis makin keras.

Walau berilmu tinggi ternyata tidak mudah bagi Peri Angsa Putih menghadapi dua lawan itu. Namun begitu kesabarannya hilang dan berpikir buat apa membuang-buang waktu, maka dia segera saja keluarkan ilmu kesaktian yang berpusat pada sepasang matanya. Dua mata sang Peri yang berwarna biru tiba-tiba melesatkan dua larik sinar biru. Satu menghantam ke arah laeruncing, satunya lagi ke arah Laelancip.

Melihat serangan yang sangat berbahaya itu Tringgiling Uang Batu berseru keras. Tubuhnya melesat ke udara. Sambil melesat tubuh itu bergulung melingkar lalu menggelinding ke arah Peri Angsa Putih. Seluruh Sisik yang ada di kepala dan tubuhnya berdiri tegak seolah ratusan pisau yang siap membantai.

Sadar ganasnya serangan Tringgiling Liang Batu, Peri Angsa Putih terpaksa melompat sebelum serangan dua larik sinar birunya sempat menghantam lawan. Tak urung sisik-sisik di punggung Tringgiling Liang Batu masih sempat merobek ujung pakaiannya. Ketika dia menjejakkan kaki di tanah kembali dilihatnya makhluk bersisik itu telah tegak sambil mendukung bayi berduri di tangan kirinya!

"Kau inginkan orok ini wahai Peri Angsa Putih! Silakan ambil dari tanganku kalau kau mampu! Tapi jika kau berpikir tidak mampu melakukannya sebaiknya lekas tinggalkan pulau ini!"

Merasa ditantang dan dianggap enteng Peri Angsa Pulih kerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Dari dua matanya kembali melesat cahaya. Kali ini sangat biru dan menyilaukan.

"Rrrtttttt! Rrrrttttr!"

Dua larik cahaya biru itu mendarat bertubi-tubi, menghantam kepala dan tubuh Tringgiling Liang Batu. Asap hitam yang berasal dari tubuhnya serta asap biru dari dua larik sinar sakti yang keluar dari mata Peri Angsa Putih mengepul keluarkan letupan-letupan Keras.

Tringgiling Liang Batu mendongak lalu tertawa panjang. "Satu hari satu malam kau boleh menyerangku dengan seluruh ilmu yang kau punya! Sampai matamu melompat copot kau tidak akan mampu membunuhku wahai Peri Angsa Putih. Jadi jangan harap kau bisa dapatkan orok cucuku ini!"

"Sisik Baja Dewa!" kata Peri Angsa Putih dalam hati menyebut ilmu yang dimiliki Tringgiling Liang Batu. "Ini satu lagi kelemahan para Dewi di Negeri Atas Langit! Kalau bukan para Peri yang membujuk, tidak nanti para Dewa akan memberikan ilmu kesaktian itu pada makhluk satu ini. Sekarang lihat akibatnya! Sisik yang melindungi kepala dan sekujur tubuhnya benar-benar atos laksana baja! Aku tidak mampu menghadapinya!"

Peri Angsa Putih terus kerahkan seluruh kesaktiannya hingga dua sinar yang keluar dari matanya membesar dan tambah menyilaukan. Namun di depan sana Tringgiling Liang Batu tetap saja tegak tak bergeming sambil mendukung sang cucu bernama Lajatilandak!

Tiba-tiba makhluk bersisik itu angkat tangan kanannya lalu diputar secara aneh. Dua larik sinar serangan yang keluar dari sepasang mata sang Peri ikut berputar menuruti gerakan tangannya. Ketika si makhluk pukulkan tangan ke arah Laeputih, angsa raksasa tunggangan Peri Angsa Putih ini menguik keras dan tahu-tahu sekujur tubuhnya telah terikat oleh gulungan sinar biru! Membuat angsa raksasa ini tak mampu lagi menggerakkan tubuhnya barang sedikitpun. Hanya kepalanya yang berleher panjang masih bisa digerak-gerakkan sambil keluarkan suara seperti merintih lirih.

"Peri Angsa Putih, jika kau masih keras kepala menjalankan tugas dan perintah gila itu! Seumur-umur kau tidak akan dapat meninggalkan pulau ini! Terserah padamu!"

Lalu Tringgiling Liang Batu membuat gerakan dengan lima jari tangan kanannya. Lima jari itu membengkok ke dalam seperti meremas. Laeputih menguik keras. Sinar biru yang mengikat tubuhnya seolah-olah merangsak mengencang.

Peri Angsa Putih maklum, dengan segala kenekatannya Tringgiling Liang Batu mampu membunuh angsa tunggangannya. Sang Peri segera angkat tangan kirinya. "Dalam kepicikan dan juga kesombonganmu kau telah merasa menang makhluk bersisik! Aku akan tinggalkan pulau ini dengan berhampa tangan. Tapi wahai satu hari kelak pembalasan kami para Peri Negeri Atas Langit akan jatuh atas dirimu! Saat itu kau tak akan mampu menghindari kematian! Rohmu akan tergantung antara langit dan bumi! Kau akan menderita selama sang surya dan rembulan muncul di jagat raya inil"

Trenggiling Liang Batu gerakkan tangan kanannya. Gulungan sinar biru yang mengikat sekujur tubuh angsa putih terlepas lalu melesat masuk kembali ke dalam sepasang mata Peri Angsa Putih.

"Kau boleh pergi dengan aman wahai Peri Angsa Pulih! Jangan mengeluarkan suara barang sepatahpun鈥?

Peri Angsa Putih mendengus lalu melompat naik ke atas punggung Laeputih. Sesaat kemudian angsa raksasa itu telah terbang dan melesat tinggi ke udara, di atas punggungnya Peri Angsa Putih duduk sambil kepalkan dua tinjunya. Dia merasa sangat malu, terhina dan juga marah. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di bawahnya, kelihatan sebuah biduk meluncur sangat cepat menuju pantai barat pulau.

Sambil bertanya-tanya dalam hati siapa adanya penumpang biduk itu, Peri Angsa Putih turunkan sedikit angsa tunggangannya lalu terbang berputar-putar di atas biduk. Namun dia tidak bisa melihat wajah penumpang tunggal di atas perahu itu karena orang itu mengenakan caping bambu sangat lebar. Hanya ada satu hal yang masih bisa disaksikan oleh sang Peri.

Orang di atas perahu sama sekali tidak mempergunakan dayung ataupun layar untuk meluncurkan perahunya. Dia mempergunakan kaki kiri atau kaki kanan. Setiap kaki kiri atau kaki kanan dihentakkan ke lantai perahu maka secara luar biasa perahu itu meluncur deras membelah air laut. Hingga tidak selang beberapa lama perahu itu telah sampai di pantai barat pulau.

"Meluncurkan perahu di tengah laut dengan hentakan kaki! Wahai! Baru sekali ini aku melihat ilmu demikian hebat! Ingin aku mengetahui siapa adanya orang yang berkepandaian tinggi itu. Sayang aku harus segera menemui Peri Bunda dan Peri Sesepuh..."

DELAPAN

Diatas pulau, di dalam rimba Lahitamkelam, makhluk bersisik seatos baja Tringgiling Liang Batu, baru saja meletakkan bayi berduri di atas punggung Laelancip si landak betina. Tiba-tiba dia berdiri tegak lalu arahkan mukanya ke sebelah barat.

"Wahai! Ada lagi tamu tak diundang tengah menuju ke sini. Laeruncing dan Laelancip, lekas kalian bawa cucuku meninggalkan tempat ini!"

Baru saja makhluk bersisik itu selesai bicara, belum sempat dua ekor landak raksasa bergerak pergi tiba-tiba berkelebat satu bayangan disertai mengumandangnya teriakan keras. Dari ucapannya jelas dia sempat mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu tadi. Padahal Tringgiling bicara tidak terlalu keras. Satu pertanda bahwa orang yang datang, siapapun dia adanya pastilah memiliki kepandaian tinggi.

"Diundang atau tidak, aku sudah menentukan bahwa hari ini aku harus menjejakkan kaki di tempat ini! Dan itu sudah kurencanakan sejak tiga puluh tahun silam"

"Wuuuuttt!"

Suara lenyap dan tahu-tahu delapan langkah di sebelah kanan Tringgiling Liang Batu telah berdiri seorang yang mengenakan pakaian terbuat dari kulit kayu berwarna kecoklat-coklatan. Kepala dan wajahnya tidak kelihatan karena tertutup oleh sebuah caping bambu sangat lebar.

Tringgiling Liang Batu menatap tajam dengan mata combongnya. Laeruncing dan Laelancip memandang tak berkedip.

"Aku tidak kenal dengan sosok manusia satu ini. Entah kalau dia membuka capingnya dan aku bisa melihat wajahnya. Apa maksud kedatangannya juga sama dengan Peri tadi? Hendak mengambil orok itu...?"

Demikian Tringgiling Liang Batu membatin. Lalu dia menegur. "Orang bercaping, aku mengucapkan selamat datang di pulau ini. Selamat datang di rimba Lahitamkelam. Harap kau sudi membuka capingmu hingga aku bisa mengenali siapa adanya dirimu. Setelah itu baru kita bicara perihal kedatanganmu. Apakah membawa maksud jahat atau baik!"

"Makhluk bersisik bernama Tringgiling Liang Batu! Kau bertanya aku menjawab. Kedatanganku membawa kedua hal yang kau sebutkan tadi. Maksud jahat dan maksud baik!"

Tringgiling Liang Batu diam-diam merasa terkejut. "Hee! Dia tahu namaku! Dari ucapannya jelas sebenarnya dia datang membawa maksud tidak baik walau dia berkata ada maksud jahat ada maksud baik!"

"Tamu bercaping, wahai! Aku hanya akan meneruskan pembicaraan jika kau membuka caping unjukkan wajah!"

"Wahai! Apa sulitnya membuka caping!" jawab sang tamu. Lalu sekali dia menggoyangkan kepala caping lebar yang sejak tadi bertengger di kepalanya melesat ke udara dan diam mengapung satu tombak di atas kepala itu!

Tringgiling Liang Batu terkesiap melihat kehebatan tenaga dalam yang dimiliki orang. Namun sekaligus dia mencium adanya bahaya besar yang segera bakal muncul. Terlebih lagi ketika dilihatnya sepasang landak raksasa keluarkan suara menggeram dan bersikap siap untuk melompati orang di hadapannya.

Akan tetapi yang paling membuat makhluk bersisik itu terkejut besar ialah ketika melihat orang di depannya memiliki kepala bermuka dua. Satu di depan satu dibelakang! Dua wajah itu merupakan wajah lelaki berusia sekitar 40 tahun. Wajah sebelah depan putih bersih. Sebaliknya yang sebelah belakang hitam pekat dan keling berkilat! Keanehan lain dari makhluk ini Ialah bola matanya tidak bulat tetapi berbentuk segi tiga berwarna hijau!

"Pasti ini makhluknya yang selama ini dikenal dengan nama Hantu Muka Dua!" kata Tringgiling Liang Batu dalam hati. Perasaannya semakin tidak enak. "Pasti dia datang membawa maksud jahat. Bukankah dia yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"

"Tringgiling Liang Batu," tiba-tiba Hantu Muka Dua berucap. Yang bicara adalah mulutnya sebelah depan. "Aku Hantu Muka Dua datang membawa kabar buruk bagimu dan tiga makhluk hidup yang ada di sebelah sana."

"Buruk baik adalah bagian setiap manusia karena itu sudah merupakan ketentuan hidup. Tapi wahai! Kabar buruk apa yang kau maksudkan Hantu Muka Dua!"

"Pertama, aku memaklumkan diri bahwa cepat atau lambat aku akan menjadi Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam, termasuk pulau dan seluruh kawasan sekitar sini! Kau dan semua yang hidup di pulau ini harus tunduk dan berada di bawah kekuasaanku"

"Hantu Muka Dua..."

"Diam! Ucapanku belum selesai!" Menghardik mulut Hantu Muka Dua sebelah depan sementara mulut sebelah belakang tertawa gelak-gelak. Walau menjadi marah namun Tringgiling Liang Batu mengalah dan berdiam diri. Hantu Muka Dua lanjutkan ucapannya.

"Hal kedua! Orok yang ada di punggung landak betina itu akan kuberi nama Hantu Jatilandak! Dia berada di bawah kekuasaanku dan tunduk pada segala perintahku! Pada masa tujuh puluh tahun mendatang aku akan kembali ke pulau ini. Saat itu dia bukan saja sudah dewasa tapi juga memiliki satu rahasia besar yang harus dikatakannya padaku! Kau sudah mendengar kata-kataku! Sekarang kau boleh bicara!"

"Hantu Muka Dua, kalau kau ingin menjadi Raja Di Raja Segala Hantu itu adalah urusanmu! Tapi perlu kau ketahui. Aku Tringgiling Liang Batu adalah satu-satunya penguasa di pulau ini! Tidak ada siapapun baik di bumi, di lautan maupun di atas langit yang boleh menguasai dan memerintah diriku! Sebelum kau muncul di sini, telah terlebih dulu datang Peri Angsa Putih dari Negeri Atas Langit! Dia ingin mengatur dan menguasai diriku! Dia ingin mengambil bayi yang sudah kuanggap sebagai cucuku sendiri! Peri Angsa Putih pergi dengan tangan hampa setelah aku memberi pelajaran pahit dan keras padanya! Apakah kau berharap aku akan memberikan pelajaran yang sama padamu?!"

Dua mulut Hantu Muka Dua tertawa bergelak mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu Ku. "Kau boleh mengatur seribu Peri seribu Dewa. Tapi jangan berani bicara sombong terhadap Hantu Muka Dua!"

"Kau boleh menganggap diri lebih hebat dari pada Pari dan Dewa wahai Hantu Muka Dua! Tapi karena kau membawa maksud jahat datang kemari, aku sarankan agar kau cepat-cepat angkat kaki dari pulauku. Terhadap Peri Angsa Putih aku masih berbaik hati. Tapi terhadap makhluk sepertimu mungkin sikapku bisa sebaliknya! Lekas menyingkir dari hadapanku!"

Hantu Muka Dua menjadi marah sekali. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor. Bersamaan dengan itu mukanya depan belakang berubah menjadi muka-muka raksasa mengerikan berwarna merah. Empat matanya memandang menyorot pada Tringgiling Liang Batu.

Walau gentar melihat perubahan dua muka makhluk di hadapannya namun Tringgiling Liang Batu tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Dua ekor landak raksasa juga telah mulai bergerak mendekati Hantu Muka Dua.

"Tringgiling Liang Batu! Kau dan dua binatang peliharaanmu tentu punya ilmu yang diandalkan! Tapi Adalah terlalu bodoh jika berani menentang Hantu Muka Dua. Aku tahu kelemahan kalian!"

Makhluk bersisik menggereng keras. Seluruh sisik yang ada di muka dan tubuhnya bergerak bangkit, mencuat laksana pisau-pisau baja! Lalu dari sela-sela sisik itu melesat serpihan-serpihan berbentuk paku hitam, menyambar ke arah Hantu Muka Dua! Puluhan banyaknya!

Di saat yang sama dua ekor landak tidak tinggal diam. Keduanya melompat menyerbu Hantu Muka Dua. Yang betina masih mendukung orok aneh di punggungnya. Duri-duri panjang di tubuhnya mencekal demikian rupa hingga bayi itu tidak jatuh.

"Paku Iblis Liang Batu!" teriak Hantu Muka Dua menyebut nama paku-paku maut yang menyambar ke arahnya. "Siapa takut!"

Lalu Hantu Muka Dua melesat dua tombak ke udara. Ketika melewati caping bambunya, dia segera menyambar benda itu dengan tangan kiri. Lalu sekali dia memukulkan caping lebar itu ke bawah, puluhan paku-paku hitam yang melewati bawah kakinya melesat masuk, amblas ke dalam tanah!

Sambil melayang turun Hantu Muka Dua tertawa bergelak. Memang sungguh hebat. Bukan saja dia berhasil selamatkan diri dari serangan Paku Iblis Liang Batu dan sekaligus membuat amblas senjata aneh itu ke tanah, tetapi dia juga bisa menghindar dari serangan dua ekor landak yang menyerbu dari belakang. Hal ini bisa dilakukannya karena dia mempunyai muka di sebelah belakang dan dapat mengawasi setiap apa yang terjadi di belakangnya.

Melihat serangannya gagal, dua ekor landak menggereng keras. Ternyata mereka berotak cerdik. Karena punya dua muka depan belakang memang sulit untuk menyerang Hantu Muka Dua dari dua arah itu. Maka Laeruncing dan Laelancip kini menyerbu dari samping kiri dan kanan!

Hantu Muka Dua yang masih tertawa-tawa mengejek Tringgiling Liang Batu menjadi kaget ketika tiba-tiba dua ekor landak itu melesat ke arahnya dari dua jurusan. Sambil membentak marah makhluk bermuka dua itu mundur satu langkah lalu pukulkan tangannya kiri kanan ke samping!

Laeruncing si landak jantan menggerung keras ketika tubuhnya kena di gebuk, terpental dan terguling-guling di tanah. Binatang ini cepat berdiri tapi roboh kembali karena tulang pinggulnya sebelah kiri remuk terkena pukulan Hantu Muka Dua.

Sebaliknya Hantu Muka Dua sendiri tertegak sambil mengerenyit kesakitan. Ketika dia memperhatikan ternyata di tangan kirinya telah menancap dua lembar bulu tebal landak jantan itu. Hantu Muka Dua menggeram marah. Dua duri landak dicabutnya, dibantingkan ke tanah hingga melesak amblas. Lalu didahului ledakan menggelegar dia menerjang ke arah Laeruncing yang berada dalam keadaan sempoyongan. Tangan kanannya bergerak menghantam.

"Wuutttt!"

Dari samping melesat sosok Laelancip si landak betina. Puluhan duri yang ada di tubuhnya mencuat tegak dan keras laksana paku-paku baja. Hantu Muka Dua menggembor keras dan terpaksa tarik pulang serangannya. Ketika dia hendak mengejar landak betina itu, Tringgiling Liang Batu telah menghadang gerakannya.

"Kau benar-benar minta mampus!" teriak mulut Hantu Muka Dua sebelah depan.

Taringnya mencuat. Dua matanya mendelik besar. Lalu dari ke dua mata itu melesat dua larik sinar hijau berbentuk segi tiga yang ujung terdepan menyerupai ujung tombak runcing. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Hantu Hijau Penjungkir Roh. Benda apa saja yang terkena hantaman dua larik sinar hijau itu akan menjadi leleh lunak seperti lumpur. Dulunya ilmu kesaktian ini adalah milik seorang tokoh berjuluk Hantu Lumpur Hijau. Dengan segala tipu dan kelicikannya Hantu Muka Dua berhasil merampas ilmu kesaktian itu.

Tringgiling Liang Batu terkejut besar, tidak menyangka kalau Hantu Muka Dua memiliki ilmu kesaktian itu. "Benar Hantu Hijau Penjungkir Roh!" ujar makhluk bersisik dengan suara bergetar. "Dia pasti mencuri ilmu kesaktian itu dari Hantu Lumpur Hijau!"

Tringgiling Liang Batu cepat kerahkan hawa sakti ke sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki. Sisik-sisik hitamnya serta merta bergerak menutup. Begitu dua larik sinar hijau menghantam tubuhnya, makhluk bersisik ini keluarkan suara menggembor keras. Tubuhnya terhuyung-huyung laksana disambar topan. Namun dua kakinya seperti terpancang ke tanah, tetap tak bergeser dari tempatnya! Asap hijau dan hitam mengepul dari sekujur tubuh Tringgiling Liang Batu.

Kaget Hantu Muka Dua bukan kepalang. Dia sampai mundur dua langkah ketika menyaksikan bagaimana ilmu kesaktian yang sangat diandalkan dan selama ini tidak satu lawanpun sanggup menghadapinya, ternyata tidak mampu merobohkan apalagi melumat makhluk bersisik itu menjadi lumpur!

"Hantu Muka Dua!" Tringgiling Liang Batu menegur sambil bertolak pinggang. "Apa kau masih belum mau angkat kaki dari tempat ini?! Apa kau mau pergi setelah dua ekor landak peliharaanku mengupas kulit dan daging sekujur tubuhmu?!"

Wajah Hantu Muka Dua sebelah depan pentang wajah beringas sementara muka sebelah belakang nampak berkomat-kamit mengeluarkan suara menggereng panjang.

"Tringgiling Liang Batu! Jangan bicara pongah dan sudah merasa menang! Kalau kau dan dua binatang keparat peliharaanmu itu tidak mau tunduk dan takluk padaku. Lihat! Apa yang ada di dalam kantong ini! Kalian bisa kubikin sengsara seumur-umur!"

Habis berkata begitu Hantu Muka Dua keluarkan satu kantong kain yang ada bercak-bercak kuningnya, Kantong kain itu digoyang-goyangnya sambil bergelak, Tringgiling Liang Batu menggereng tercekat ketika dia membaui sesuatu yang sangat ditakutinya. Dia cepat melangkah mundur. Dua ekor landak raksasa ikut-ikutan menggeram dan bersurut menjauhi Hantu Muka Dua. Sambil terus mengumbar tawa Hantu Muka Dua buka sedikit kantong kain yang dipegangnya. Begitu dia kembali menggoyang maka bertaburlah bubuk-bubuk kuning!

"Bubuk belerang pelumpuh raga!" teriak Tringgiling Liang Batu. Dua matanya yang putih berbentuk combong kelapa itu mencuat seperti mau melompat dari rongganya. Kalau saja wajahnya tidak diselimuti sisik tebal dan berwajah seperti manusia biasa, pasti saat itu akan terlihat bagaimana air mukanya seputih kain kafan saking takutnya!

"Kau dan dua ekor landak peliharaanmu memilih lumpuh sengsara seumur-umur atau menyatakan patuh pada perintahku dan takluk serta tunduk di bawah kekuasaanku wahai Tringgiling Liang Batu!"

"Aku..." Makhluk bersisik hitam itu tak bisa bicara. Dalam hati dia berkata. "Bagaimana bangsat itu tahu kelemahanku! Pasti ada yang berkhianat memberi tahu! Percuma melawan. Aku rela mati di tangannya tapi Laeruncing dan Laelancip, terutama yang kukhawatirkan cucuku si Lajatilandak itu belum tentu bisa kuselamatkan! Tak ada jalan lain. Jahanam betul! Wahai! Aku terpaksa mengalah!"

"Tringgiling Liang Batu! Kau masih belum menjawab! Apa yang ada di benakmu?!"

"Hantu Muka Dua, aku tidak suka hal ini! Saat ini aku terpaksa mengalah. Aku tunduk dan patuh padamu..."

Tawa Hantu Muka Dua meledak. Dua matanya depan dan belakang sampai keluarkan air mata. "Bagus! Ternyata kau tidak setolol yang aku duga! Ha ha ha! Tapi sebelum mempercayaimu aku harus melakukan sesuatu terlebih dulu! Aku tidak ingin kau menipuku! Ha ha ha..."

Habis berkata begitu Hantu Muka Dua lalu tebarkan bubuk kuning bubuk belerang ke dalam liang batu yang selama puluhan tahun menjadi sarang kediaman dan tempat ketiduran Tringgiling Liang Batu. Walau tubuhnya jadi menggigil saking marah namun makhluk bersisik Ku tidak mampu berbuat apa-apa. Hantu Muka Dua berpaling pada Tringgiling Liang Batu.

"Selama tujuh puluh tahun mendatang kepergianku, selama itu pula kau tidak akan bisa diam di sarangmu, tidak bisa tidur. Kelak jika tujuh puluh tahun kemudian aku datang, kita bisa membuat perhitungan baru!"

"Hantu Muka Dua! Kau benar-benar Hantu Segala Keji! Segala Tipu! Segala Nafsu! Apa maksud tujuanmu dibalik semua kekejian yang kau lakukan terhadapku?!"

"Wahai makhluk bersisik. Jawab pertanyaanmu akan kau dapat tujuh puluh tahun mendatang!" jawab Hantu Muka Dua. Setelah lebih dulu melirik pada bayi di atas punggung Laelancip, Hantu Muka Dua putar tubuhnya. Sekali berkelebat diapun lenyap dari tempat itu.

********************

SEMBILAN

Tujuh puluh tahun kemudian, dikawasan Negeri Latanahsilam. Dua ekor makhluk yang sekujur tubuhnya ditumbuhi duri-duri panjang runcing berwarna coklat merayap di sela-sela bebatuan. Begitu orang yang mendarat di pulau mencapai pinggiran Rimba Lahitamkelam, dua landak raksasa itu keluarkan gerengan keras dan melesat lancarkan serangan.

Lelaki bercaping yang bukan lain Hantu Muka Dua adanya sesaat hentikan langkah, tegak terkesiap. Wajahnya yang semula berupa dua wajah lelaki berusia 40 tahun serta merta berubah menjadi dua wajah raksasa menakutkan.

Lalu begitu melihat dua ekor landak menyerang dirinya serta merta dia menyambar caping lebar di kepala dan lemparkan benda ini ke arah landak raksasa yang menerjang dari arah kanan. Terhadap landak satunya, Hantu Muka Dua kirimkan satu jotosan. Yang di arah adalah bagian bawah perut yang tidak ditumbuhi duri-duri tebal.

"Braaakkk!"

Caping bambu yang melesat di udara itu hancur berantakan begitu menghantam sosok Laelancip si landak betina. Laelancip sendiri terlempar, terguling-guling diatas pasir lalu terbanting di dinding batu karang berlumut. Beberapa helai durinya kelihatan patah bertanggalan. Dari sela mulutnya keluar suara mengerang kesakitan dan juga pertanda marah.

Landak jantan Laeruncing, meski sempat menancapkan tiga durinya dan melukai lengan kanan Hantu Muka Dua, namun hantaman lawan yang tak sempat dihindarkan membuat dia terpental jauh, terguling di pasir dan muntahkan darah kehitaman!

Hantu Muka Dua menggereng beringas. Tiba-tiba mulut sebelah belakang berseru. "Kurang ajar! Duri landak itu ternyata kini mengandung racun!"

Mulut sebelah depan ikut berseru kaget. Hantu Muka Dua cepat cabut bulu-bulu landak yang menancap di lengannya. Lengan itu tampak membengkak kebiruan pertanda memang ada racun yang kini memasuki aliran darah!

Tanpa membuang waktu Hantu Muka Dua cepat pijat urat besar di lengan kirinya. Darah menyembur merah kehitaman. Lalu dengan cepat dia keluarkan sebuah benda hampir menyerupai daun dari balik pinggangnya. Benda ini di kunyahnya lalu hancurannya disemburkan ke cidera luka di lengan kiri.

"Tringgiling Liang Batu!" teriak Hantu Muka Dua. "Wahai! Jadi begini caramu menyambut kedatanganku setelah kau masih kubiarkan hidup selama tujuh puluh tahun! Jangan menyesal kalau hari ini aku datangdan mengirim rohmu minggat ke langit terkembang!"

Habis berkata begitu Hantu Muka Dua segera berkelebat ke arah deretan pohon-pohon jati yang tumbuh rapat di sebelah barat pulau. Namun belum sempat dia bergerak, tiba-tiba dari kerapatan pepohonan menggelinding satu benda berwarna coklat kekuning-kuningan.

Sulit untuk menduga benda apa adanya. Hantu Muka Dua tidak sempat berpikir lebih panjang. Yang dilakukannya adalah segera melompat menghindar dari hantaman gelundungan benda aneh. Tak berhasil menabrak sosok Hantu Muka Dua, benda yang bergulung menyambar batu karang di tepi pasir.

"Braaakk! Byaaarrr!"

Separuh dari batu karang besar dan tajam itu hancur berantakan, membuat Hantu Muka Dua kerenyitkan kening dan membayangkan bagaimana kalau tadi tubuhnya sempat terkena sambaran. Di sebelah sana makhluk yang menggelinding itu berputar, membelok lalu kembali melesat ke arah Hantu Muka Dua. Yang diserang segera bersiap untuk menghantam dengan ilmu Hantu Hijau Penjungkir Langit.

Sepasang matanya di sebelah depan kiblatkan sinar hijau menggidikkan. Tapi ternyata makhluk yang menggelundung tidak melancarkan serangan. Dua langkah dari hadapan Hantu Muka Dua makhluk ini melesat ke udara lalu turun kembali, jejakkan kaki diatas reruntuhan batu karang. Memandang ke depan tersiraplah Hantu Muka Dua. Sesaat dua mukanya berubah menjadi dua wajah pucat pasi. Lalu kembali ke bentuk semula yakni wajah raksasa berkulit merah.

"Makhluk aneh, berbentuk manusia tapi berkulit seperti binatang! Jangan-jangan dialah..." Hantu Muka Dua usap-usap dagu sebelah depan yang ditumbuhi brewok meranggas.

Di atas runtuhan batu karang saat itu berdiri satu sosok tinggi kurus berwujud manusia yang hanya mengenakan sehelai cawat kecil terbuat dari kulit kayu. Sekujur tubuhnya, mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki, menyerupai warna pohon jati. Namun ditumbuhi bulu-bulu tebal keras dan panjang serta runcing seperti bulu landak.

Sepasang matanya diteduhi oleh dua alis hitam tebal. Di bawah hidungnya yang selalu kembang kempis menekuk kumis lebat. Daun telinganya panjang dan lebar, juga ditumbuhi duri-duri seperti bulu landak. Sesekali dia meludah ke tanah. Ludahnya berwarna kuning pekat!

"Makhluk berbulu landak! Wahai! Tidak dapat tidak kau pastilah makhluk yang tujuh puluh tahun silam kuberi nama Hantu Jatilandak!"

Makhluk di atas batu karang tidak bergerak dan tidak berkesip. Hanya dari tenggorokannya terdengar suara menggembor. Lalu seperti tadi dia meludah ke tanah.

"Hantu Jatilandak!" Hantu Muka Dua tiba-tiba menghardik. "Kakekmu si Tringgiling Liang Batu tunduk dan patuh padaku! Berada di bawah kekuasaanku! Berarti kau juga adalah taklukanku yang jauh lebih rendah daripada kakekmu! Lekas jatuhkan diri dan haturkan sembah padaku! Aku adalah Raja Di Raja Segala Hantu di kawasan Negeri Latanahsilam!"

Sosok di atas batu karang tetap tidak bergerak, tidak mengedip apalagi menjawab dan jatuhkan diri sesuai perintah. Malah kembali makhluk itu meludah ke tanah. Merasa ditantang dan dihina marahlah Hantu Muka Dua.

"Saat ini aku belum punya niat membunuhmu! Tapi jika tiba waktunya kau akan kubikin mampus dengan sejuta kesengsaraan!"

"Hantu Muka Dua!" Mendadak makhluk berduri di atas batu karang berucap.

"Wahai! Ternyata kau tidak bisu! Bisa bicara seperti manusia! Ha ha ha! Kuharap kau juga tidak tuli!"

"Hantu Muka Dua! Aku sudah tahu siapa dirimu dari kakekku Tringgiling Liang Batu! Aku tidak suka kehadiranmu di pulau ini! Lekas kembali ke perahumu! Tinggalkan pulau! Atau sekujur tubuhmu akan kutaburi dengan duri beracun!"

Sementara itu dua ekor landak raksasa yang dalam keadaan cidera telah berkumpul satu sama lain dengan cepat mendekam di samping batu karang dekat makhluk berduri tegak berdiri.

Hantu Muka Dua tertawa bergelak mendengar ucapan makhluk dihadapannya itu. "Aku ingin tahu! Ilmu kesaktian apa saja yang telah diajarkan kakekmu dan dua orang tuamu dua ekor landak raksasa itu! Perlihatkan padaku! Aku ingin menjajalnya satu persatu!"

Mendengar ucapan Hantu Muka Dua, makhluk berduri keluarkan suara menggereng lalu kembali meludah. Tiba-tiba dia goyangkan kepala.

"Wuuut... wuutttt... wuuuttt!"

Terjadilah satu hal luar biasa. Puluhan duri coklat yang sebelumnya menancap di mukanya, laksana paku-paku panjang terbuat dari besi melesat ke arah Hantu Muka Dua. Kaget Hantu Muka Dua bukan olah-olah! Secepat kilat dia hantamkan dua tangannya ke depan lalu melompat ke kiri cari selamat. Puluhan duri landak yang tadinya siap menyambar dan menancap di tubuh Hantu Muka Dua mental ke udara. Namun secara aneh duri-duri ini berbalik ke arah pemiliknya dan kembali menancap di tempatnya semula yaitu kepala dan wajahnya!

Apa yang barusan disaksikan Hantu Muka Dua membuat makhluk bermuka dua ini diam-diam menjadi terkesiap namun jauh dari rasa jerih.

"Wahai! Tujuh puluh tahun ternyata telah cukup waktu bagimu untuk menguasai ilmu gila itu! Ha ha ha! Hantu Jatilandak aku punya satu ilmu yang disebut Mengelupas puncak langit mengeruk kerak bumi. Sebelum kuarahkan padamu biar kuperlihatkan dulu kehebatan ilmu itu!"

Sambil tertawa mengekeh Hantu Muka Dua putar tubuhnya. Dia menghadap pada sebatang pohon jati berduri yang terletak sekitar sepuluh langkah di depan sana. Perlahan-lahan Hantu Muka Dua angkat tangan kanannya. Mulutnya sebelah depan menyeringai berkomat-kamit. Pergelangan tangannya diputar setengah lingkaran ke kanan hingga telapaknya menghadap ke arah pohon.

Didahului oleh suara seperti angin punting beliung dari telapak tangan Hantu Muka Dua tiba-tiba melesat selarik sinar merah. Sinar ini dengan kecepatan kilat bertabur di pohon jati berduri yang tingginya tiga tombak itu, dari pucuk tertinggi sampai ke bagian batang di bawah tanah yakni akar pohon.

Ketika sinar merah lenyap terlihatlah bagaimana pohon yang tadi tegak besar kokoh ini telah berubah menjadi hanya sebesar lengan karena kulit dan bagian dalamnya telah terkelupas mulai dari atas sampai ke akar! Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi pada sosok tubuh manusia!

Hantu Muka Dua meniup ke arah pohon. Pohon jati yang malang itu langsung berderak patah dan roboh! Hantu Muka Dua tertawa bergelak dan palingkan kepalanya ke arah makhluk berduri di atas batu karang.

"Hantu Jatilandak! Aku harap kau sanggup menerima pukulan Mengelupas puncak langit mengeruk kerak bumi yang kini akan aku arahkan padamu! Tapi jika kau mau jatuhkan diri, menyembah tanda takluk aku akan batalkan pukulan itu! Wahai! Apa jawabmu!"

Seperti tadi makhluk di atas batu tidak bergeming tidak berkesip. Malah kembali dia meludah ke tanah dua kali berturut-turut!

"Jahanam!" teriak Hantu Muka Dua marah sekali. "Ingin sekali aku membunuhmu saat ini! Tapi cukup aku mengelupas tubuhnya sebelah kanan saja!"

Hantu Muka Dua angkat tangan kanannya ke atas. Mulutnya komat-kamit. Ketika dia hendak memutar pergelangan tangannya membuat gerakan setengah lingkaran, tiba-tiba dari dalam Rimba Lahitamkelam terdengar seruan lantang.

"Cucuku Hantu Jatilandak! Lekas kau kemari! Jangan berani menantang makhluk berjuluk Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu itu!"

Mendengar seruan tersebut, makhluk berduri landak di atas batu karang melesat satu tombak ke udara. Ketika turun tubuhnya telah bergulung dan di lain kejap menggelundung lenyap di antara kerapatan pohonpohon jati berduri Rimba Lahitamkelam! Di belakangnya menyusul Laeruncing dan Laelancip, sepasang landak raksasa itu.

SEPULUH

Hantu Muka Dua palingkan kepalanya ke arah rimba belantara pohon jati berduri aneh. "Wahai, itu adalah suaranya si Tringgiling Liang Batu! Untung dia cepat-cepat memanggil cucunya. Kalau tidak si Hantu Jatilandak itu akan terkelupas seluruh sosoknya sebelah kanan!" Habis berkata begitu Hantu Muka Dua berkelebat ke arah kerapatan pepohonan.

Di dalam Rimba Lahitamkelam, di atas sebuah gundukan batu besar diapit oleh pohon-pohon jati berduri, tidak jauh dari sebuah liang batu yang digenangi air sertaserbuk aneh berwarna kuning. Sosok bersisik itu duduk bersila, tak bergerak. Dia adalah Tringgiling Liang Batu yang selama tujuh puluh tahun belakangan ini hidup tersiksa akibat bubuk belerang yang ditabur Hantu Muka Dua di liang batu sarang kediamannya.

Sepasang matanya yang putih berbentuk combong kelapa kini tampak berwarna kelabu. Di depannya, di bagian batu yang lebih rendah bersila makhluk yang tubuhnya ditumbuhi duri-duri coklat. Dia adalah sang cucu yang semula diberi nama Lajatilandak, oleh Hantu Muka Dua dirubah menjadi Hantu Jatilandak. Di samping Hantu Jatilandak duduk mendekam sepasang landak raksasa.

"Wahai Kakekku Tringgiling Liang Batu," Hantu Jatilandak membuka mulut. "Barusan aku menemui makhluk yang punya dua muka di pantai pulau. Barusan pula kami berlaga mengadu kesaktian. Apakah dia makhluk bernama Hantu Muka Dua yang selama ini kau ceritakan padaku?"

"Cucuku Hantu Jatilandak, benar. Memang makhluk itu adalah Hantu Muka Dua yang kutunggu-tunggu sejak tujuh puluh tahun silam. Dia datang menepati janjinya. Entah berita dan kejadian buruk apa yang akan disampaikannya pada kita!"

"Aku tidak suka padanya wahai Kakek!" kata Hantu Jatilandak pula.

"Aku juga tidak! Tidak ada makhluk di permukaan bumi dan di atas langit yang suka padanya! Tapi kita harus menerima kenyataan. Kita tidak bisa melawannya! Ilmunya tinggi sekali. Lain dari itu dia memiliki bubuk belerang. Benda yang merupakan pangkal kelemahan dan bisa membunuh kita semua! Selama tujuh puluh tahun aku berusaha mencari jalan menyingkirkan bubuk itu dari tempat ini, tapi setiap mendekati taburan bubuk, sisik di tubuhku terkelupas jatuh. Badanku seolah ditusuk puluhan pisau dan ada hawa aneh yang membuat darahku seolah mengalir menyungsang!"

"Menurut Kakek antara kau dan Hantu Muka Dua tidak ada permusuhan! Mengapa dia berlaku jahat seperti itu! Ada apa sebenarnya dibalik semua kekejian yang dilakukannya itu Kek?!"

"Aku tidak tahu wahai cucuku! Namun begitu dia muncul di sini, semua akan segera terjawab!" kata Tringgiling Liang Batu pula.

Baru saja kata-kata itu diucapkan si kakek, tiba-tiba mengumandang tawa bergelak. Disusul seruan. Dan berkelebatnya satu bayangan. Hantu Jatilandak seolah mencium bahaya segera gulung tubuhnya lalu melesat ke atas pohon jati terdekat. Di pohon ini dia buka gulungan tubuhnya dan berjuntai di salah satu cabang, kaki ke atas kepala ke bawah seperti seekor kelelawar.

"Tringgiling Liang Batu! Kau benar! Rahasia selama tujuh puluh tahun hari ini akan segera tersingkap!"

Belum habis gema teriakan lantang itu sosok Hantu Muka Dua dengan segala keangkerannya, karena saat itu dia masih menampakkan diri dengan dua muka seperti raksasa, tahu-tahu telah berdiri tiga langkah di hadapan Tringgiling Liang Batu. Sesaat dia melirik pada Hantu Jatilandak yang bergelantungan di cabang pohon jati duri.

Lalu menoleh pada Laeruncing dan Laelancip, serta tak lupa memandang sekilas ke arah liang batu yang tujuh puluh tahun silam ditaburinya dengan bubuk belerang. Sekian puluh tahun berlalu, bubuk belerang berwarna kuning itu masih menempel di liang batu penuh air itu seolah telah membatu menjadi satu.

Di atas cabang pohon tempatnya berjuntai Hantu Jatilandak meludah ke tanah. Laeruncing dan Laelancip keluarkan suara menggereng. Tringgiling Liang Batu memberi tanda dengan gerakan tangan agar ketiga makhluk itu menahan diri. Lalu dia berpaling pada Hantu Muka Dua dan berkata,

"Tujuh puluh tahun aku menunggu dalam sengsara. Kau muncul, apakah kau akan memperpanjang kesengsaraan ini?!"

Hantu Muka Dua jawab dengan umbaran tawa. Lalu dia usap wajahnya yang serta merta berubah menjadi wajah lelaki separuh baya.

"Wahai Tringgiling Liang Batu! Bagaimanapun kejinya derita sengsara, tapi masih jauh lebih baik dari yang namanya kematian! Aku telah berbaik hati tidak membunuhmu tujuh puluh tahun silam. Mengapa kau dan semua yang ada di sini tidak bersyukur diri dan mengucapkan terima kasih? Ha ha ha!"

Setelah tawa Hantu Muka Dua sirap, Tringgiling Liang Batu segera berucap. "Dulu sebelum kau pergi aku sempat bertanya wahai Hantu Muka Dua. Apa sebenarnya yang membuatmu melakukan kekejian ini terhadap kami yang tidak punya dosa dan kesalahan apa-apa padamu? Waktu itu kau berkata jawabannya akan kau berikan tujuh puluh tahun mendatang jika kau kembali lagi ke tempat ini. Sekarang kau sudah muncul dan berada di sini. Harap kau mau memberi tahu latar belakang perbuatan jahatmu ini!"

Hantu Muka Dua menyeringai. "Tujuh puluh tahun lalu aku mendapat petunjuk dari alam roh! Petunjuk itu mengatakan bahwa lewat sebuah mimpi aku akan mampu menciptakan sebuah senjata sakti mandraguna. Dengan senjata ini aku bisa mempercepat menjadikan diriku Raja Di Raja Segala Hantu di kawasan Latanahsilam. Dengan senjata ini tidak ada satu orang pun bakal sanggup melawanku! Wahai! Hari ini petunjuk dalam mimpi itu akan kudapatkan! Karena orang yang bermimpi itu berada di sini!"

Sisik hitam di wajah Tringgiling Liang Batu mencuat kaku. "Karena perbuatanmu menabur bubuk belerang di liang kediamanku, sejak tujuh puluh tahun silam aku tak pernah dan tak bisa tidur. Bagaimana bisa mengharapkan aku akan bisa bermimpi...!"

"Kau memang tidak! Dua ekor landak raksasa itu juga tidak!" sahut Hantu Muka Dua. Lalu dia memandang ke atas pohon. "Hantu Jatilandak! Aku ingin bicara denganmu! Kalau bicara jangan bersikap gila dan kurang ajar! Turun dari pohon dan duduk bersila di hadapanku!"

Hantu Jatilandak menjawab dengan meludah ke tanah. Membuat Hantu Muka Dua menjadi marah dan dua mukanya langsung berubah menjadi muka-muka raksasa.

鈥淭ringgiling Liang Batu! Kesabaranku habis sudah. Cucu kurang ajarmu ini terpaksa kuberi pelajaran!"

Hantu Muka Dua angkat tangan kanannya. Pergelangan diputar dan mulutnya komat kamit. Kemarahan membuat dia hendak menghantam Hantu Jatilandak dengan pukulan Mengelupas puncak langit mengeruk kerak bumi. Yang di arah adalah dua kaki Hantu Jatilandak mulai dari lutut ke bawah. Maklum pukulan apa yang hendak dilepaskan Hantu Muka Dua Tringgiling Liang Batu cepat berteriak.

"Wahai cucuku Hantu Jatilandak! Lekas turun dari atas pohon. Duduk di hadapan Hantu Muka Dua dan perhatikan setiap apa yang dikatakannya!"

Meski dia tidak suka namun mendengar ucapan sang kakek Hantu Jatilandak gulung tubuhnya ke atas lalu melompat ke bawah. Sesaat kemudian dia telah duduk bersila di hadapan Hantu Muka Dua. Sepasang matanya yang berwarna kuning memandang menyorot pada makhluk bermuka dua di depannya.

Hantu Muka Dua menyeringai. "Nyalimu boleh juga Hantu Jatilandak! Jika saja kau tidak kurang ajar mungkin kelak kau bisa kupergunakan sebagai salah satu orang kepercayaanku!"

Hantu Muka Dua ulurkan tangan kirinya dan tepuk-tepuk bahu Hantu Jatilandak seolah memuji mengagumi. Tapi sebenarnya dia tengah menjajal kekuatan tenaga dalam makhluk berduri ini.

Hantu Jatilandak merasa bahunya seolah kejatuhan batu besar. Kalau dia tidak kerahkan tenaga dan kepandaiannya pasti saat itu dia sudah roboh terhenyak di atas batu. Sebaliknya Hantu Muka Dua diam-diam merasa terkejut menyaksikan bagaimana tepukan tangannya yang sama dengan jatuhan batu seberat seratus kati hanya membuat tubuh Hantu Jatilandak bergoyang-goyang saja, tidak sampai roboh!

Dalam hati Hantu Muka Dua berkata. "Selama puluhan tahun pasti Tringgiling Liang Batu dan dua ekor landak sakti Ku telah menggembleng makhluk ini. Tergantung perkembangan keadaan. Jika dia kelak membahayakan diriku, makin cepat kubunuh makin baik."

Begitulah kekejian Hantu Muka Dua. Meski dia butuh bantuan orang namun niatnya untuk berbuat jahat bisa saja dilaksanakannya tanpa menimbang budi!

"Hantu Jatilandak, aku tahu dua malam lalu kau telah kedatangan satu mimpi. Wahai! Coba kau ingat baik-baik. Katakan padaku apa yang kau lihat dalam mimpi. Jangan ada bagian yang terlupa dan tidak akan kau ceritakan padaku. Mulailah!"

Hantu Jatilandak menatap orang bermuka dua di depannya sesaat. Lalu dia melirik pada kakeknya. Tringgiling Liang Batu anggukkan kepala lalu berkata,

"Cucuku, jika benar kau bermimpi dua malam lalu segera ceritakan pada Hantu Muka Dua apa mimpimu itu..."

"Wahai Kakek, aku memang bermimpi. Tapi mimpi itu kurasa tidak ada sangkut pautnya dengan diri makhluk bermuka dua ini!"

Meledaklah amarah Hantu Muka Dua mendengar kata-kata Hantu Jatilandak itu. Tangan kanannya bergerak menjotos gundukan batu yang diduduki Tringgiling Uang Batu.

"Byaaarrr." Batu besar itu hancur berantakan. Sang kakek cepat melesat ke atas, gulung diri di udara. Waktu jatuh ke tanah dia menggelinding lalu duduk di atas sebuah batu lain tak jauh dari tempatnya duduk semula. Sisik di kepala dan mukanya tampak berjingkrak.

"Hantu Jatilandak!" bentak Hantu Muka Dua sangat gusar. "Aku meminta kau menceritakan apa mimpimu! Bukan mengatakan apa yang kau rasakan! Jahanam keparat! Apa kau ingin aku membuat kau celaka seumur-umur saat ini juga?!"

Dari balik pakaiannya Hantu Muka Dua keluarkan kantong kain berbercak kuning. Tringgiling Liang Batu keluarkan seruan tertahan. Dua ekor landak menggereng sedang Hantu Jatilandak beringsut mundur.

"Sekali bubuk belerang ini aku taburkan di atas kepala dan tubuhmu, seumur dunia kau akan lumpuh tiada daya!"

"Wahai cucuku, lekas ceritakan saja mimpimu padanya!" kata Tringgiling Liang Batu penuh khawatir.

Hantu Jatilandak akhirnya anggukkan kepala. Tanpa menatap pada Hantu Muka Dua dia mulai menutur. "Dua malam lalu, aku gelisah melihat sudah sekian lama kau tidak bisa tidur Kek. Aku coba memicingkan mata. Tapi sulit. Baru menjelang dinihari aku akhirnya bisa memicingkan mata. Tidurku singkat sekali. Tapi justru dalam tidur pendek itu aku bermimpi. Aku melihat tiga sosok aneh muncul di pantai pulau. Tiga manusia katai yang tubuhnya hanya setinggi lutut seolah-olah tersembul keluar dari gulungan ombak..."

"Tiga orang katai yang kau lihat dalam mimpi itu," memotong Hantu Muka Dua. "Apakah mereka lelaki atau perempuan?"

"Ketiganya laki-laki. Satu seorang kakek, satunya lagi seorang pemuda berambut gondrong. Yang ketiga kalau aku tidak salah mengingat seorang anak lelaki..."

"Hemmm... Teruskan ceritamu Hantu Jatilandak!"

"Pada saat tiga orang katai itu berada di pantai tiba-tiba melayang satu sosok tubuh aneh dari atas langit. Wajahnya tak jelas kelihatan tapi sosoknya mengenakan pakaian panjang berwarna putih. Orang yang muncul dari langit ini berkata: Tiga makhluk cebol alam luar dunia seribu dua ratus tahun mendatang! Darah kalian bertiga adalah darah sakti. Jika dipergunakan untuk merendam sebilah keris yang jumlah luknya kurang dari lima selama tiga bulan purnama, maka keris itu akan menjadi senjata sakti bertuah. Jangankan manusia, bangsa Peri dan Dewa sekalipun tak bakal sanggup menghadapinya. Siapa yang memiliki keris itu jadilah dia seorang penguasa di bumi dan di langit! Mendengar ucapan orang berpakaian putih panjang itu, tiga manusia cebol menjerit ketakutan. Saat itulah aku terbangun dari tidur. Memandang ke timur kulihat fajar telah menyingsing..."

"Mimpi hebat! Mimpi bagus! Wahai Hantu Jatilandak, itukah semua mimpi yang kau alami? Tak ada sesuatu yang kau lupakan?!" bertanya mulut Hantu Muka Dua sebelah belakang.

Hantu Jatilandak gelengkan kepala. "Aku sudah menuturkan semua yang aku ingat dalam mimpi..."

Dari balik pakaian kulit kayunya Hantu Muka Dua keluarkan sebuah benda. Ketika diperlihatkannya pada Hantu Jatilandak, benda itu ternyata adalah sebilah keris berluk tiga yang belum memiliki gagang.

"Hantu Jatilandak, keris yang disebut orang dari atas langit dalam mimpimu itu, inilah dia perwujudannya!"

Hantu Jatilandak memperhatikan tak berkedip. Juga Tringgiling Liang Batu dan duaekor landak raksasa sama-sama menatap benda yang ada di tangan Hantu Muka Dua.

"Sekarang dengar baik-baik wahai Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu! Seperti yang kau lihat dalam mimpimu! Keris ini akan menjadi senjata sakti bertuah jika direndam selama tiga purnama dalam darah tiga manusia katai itu! Dengar Hantu Jatilandak! Tiga manusia katai yang ada dalam mimpimu itu akan benar-benar muncul di tempat ini! Aku pernah melihatnya di daratan sana! Mereka berasal dari negeri yang seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri kita! Aku punya firasat dalam waktu beberapa hari ini mereka akan datang ke pulau ini! Mungkin ada seseorang yang mengantar mereka. Orang ini tidak lain bekas Kepala Negeri Latanahsilam yang kini dikenal dengan julukan Hantu Kaki Batu. Begitu mereka muncul kalian berdua harus menangkap dan menjagal leher mereka! Lalu tuangkan darah mereka ke dalam satu tempat! Aku akan membantu membuat jebakan agar mereka tidak berdaya. Pada purnama pertama yang akan muncul tujuh hari dari sekarang aku akan datang ke sini untuk merendam keris ini! Jika Hantu Kaki Batu berbuat ulah menghalangi pekerjaan kalian, jangan ragu-ragu membunuh juga orang itu! Kalian dengar apa perintahku?! Tringgiling Liang Batu?!"

Makhluk bersisik anggukkan kepala.

"Hantu Jatilandak?!"

"Aku mendengar perintahmu!" menyahuti Hantu Jatilandak.

Hantu Muka Dua melompat ke satu gundukan batu yang agak rata dan lebar permukaannya. Tiba-tiba dia hunjamkan tumit kanannya ke batu itu. Seantero tempat bergetar keras. Batu yang dihantam tumit Hantu Muka Dua melesak membentuk lobang ceguk sedalam dua jengkal.

"Dengar kalian semua! Di dalam batu ini ada lobang cukup dalam. Kucurkan darah tiga manusia katai itu ke dalam lobang ini! Tunggu sampai aku datang! Aku pergi sekarang! Awas! Aku tidak ingin kalian gagal melakukan perintah!"

Hantu Muka Dua balikkan tubuh hendak melangkah pergi. "Tunggu dulu!" Tiba-tiba Tringgiling Liang Batu berseru.

"Apa maumu wahai makhluk bersisik?" tanya Hantu Muka Dua.

"Kau berjanji akan membebaskan tempat ini dari bubuk belerang yang bisa meracuni kami! Kuharap kau segera membersihkan bubuk yang kau tebar dalam liang batu itu..."

Hantu Muka Dua palingkan kepala ke arah liang batu berair yang tujuh puluh tahun lalu pernah ditebarinya dengan bubuk belerang. Bubuk kuning ini seolah telah bersatu dengan liang batu dan mempunyai kekuatan sanggup melumpuhkan bahkan membunuh Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak serta dua landak raksasa.

"Aku ingat! Wahai! Tujuh puluh tahun silam memang aku pernah menebar bubuk belerang di tempat ini!" berkata Hantu Muka Dua. Lalu dia keluarkan kantong kain berisi bubuk belerang yang selalu dibawanya ke mana-mana. Penutup kantong dibukanya. Dia melangkah ke tepi liang.

Tringgiling Liang Batu yang jadi curiga segera membentak. "Apa yang hendak kau lakukan?!"

"Betul, apa yang hendak kau lakukan wahai Hantu Muka Dua?" Yang bertanya adalah mulut Hantu Muka Dua sebelah belakang yang berwajah hitam keling berkilat.

Mulut Hantu Muka Dua sebelah depan tertawa mengekeh lalu menjawab. "Siapa yang percaya pada kalian semua! Bukan mustahil kalian tidak melakukan apa yang aku perintahkan! Aku perlu jaminan! Bubuk yang kutebar dulu mungkin kurang banyak! Biar kutambahi! Ha ha ha...!"

Lalu Hantu Muka Dua tebarkan bubuk belerang dalam kantong kain ke dalam liang batu bahkan kini sampai ke pinggir-pinggir lobang. Tringgiling Liang Batu, Hantu Jatilandak, Laeruncing dan Laelancip terpaksa mundur menjauh.

"Tunggu kedatanganku pada malam bulan purnama mendatang! Jika kalian gagal membunuh tiga manusia cebol itu! Jangan paksa aku menambah isi liang batu itu dengan air laut lalu kucampur dengan bubuk belerang. Lalu kalian akan kucelupkan ke dalam liang! Biar mampus semua!"

"Hantu Muka Dua! Sungguh busuk dan keji perbuatanmu!" teriak Tringgiling Liang Batu.

"Kau penipu jahat!" teriak Hantu Jatilandak sementara dua landak raksasa keluarkan suara menggereng keras.

"Wahai! Aku tidak menyalahkan kalian memakiku seperti itu!" jawab Hantu Muka Dua. "Bukankah aku yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Hantu Segala Nafsu?! Ha ha ha!"

********************

SEBELAS

Kita kembali pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Lakasipo, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang terpesat ke pulau dan masuk ke dalam Rimba Lahitamkelam. Seperti diceritakan, begitu memasuki rimba belantara mereka menemukan deretan patung-patung kayu aneh di sisi kiri dan kanan sebuah jalan setapak. Begitu mereka berusaha melewati deretan patung sebelah depan, tiba-tiba patung pada deretan pertama dan kedua bergerak melakukan serangan mematikan. Untung Wiro memperingatkan hingga Lakasipo bergerak cepat. Dengan salah satu kaki batunya lelaki berjuluk Hantu Kaki Batu ini berhasil menghancurkan tiga patung kayu.

Walau mengalami hal berbahaya itu namun Lakasipo dan tiga saudara angkatnya itu memutuskan untuk meneruskan perjalanan, memasuki rimba belantara melalui jalan setapak yang di kiri kanannya dipenuhi deretan patung-patung aneh. Patung-patung ini adalah hasil ciptaan Hantu Muka Dua yang sengaja dibuat untuk menjebak keempat orang itu.

"Dukkk! Dukkkk!"

Kaki-kaki batu Lakasipo bergerak melangkah, menimbulkan getaran keras di tanah rimba. Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berada dalam dukungan tangan kirinya. Melewati deretan patung ketiga, tidak terjadi apa-apa.

"Awas," bisik Wiro. "Barisan patung ketiga bisa aman-aman saja. Jangan percaya pada deretan keempat dan kelima!"

Lakasipo pentang mata lebar-lebar dan pasang telinga tajam-tajam. Dia siap melewati barisan patung keempat. Hampir melewati tiba-tiba patung di barisan kelima jatuh seperti roboh, malang melintang satu sama lain di tanah di hadapan Lakasipo.

"Jangan tertipu! Lihat!" Naga Kuning tiba-tiba berteriak.

Patung di barisan keempat mendadak memukul ke arah kepaladan ulu hati Lakasipo. Ketika Lakasipo menghindar dengan mundur satu langkah, patung di barisan ketiga bergerak. Dua patung ini tidak memukul atau menendang tapi putarkan kepala. Tahu-tahu dari celah yang membuka di dasar leher menyembur ke luar asap hijau!

"Awas! Mungkin asap beracun!" teriak Setan Ngompol.

"Tutup jalan pernafasan!" teriak Lakasipo.

Lalu dia jatuhkan diri, berlutut di tanah. Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Patung kayu di sebelah kanan hancur berantakan. Lakasipo pergunakan kesempatan untuk menerobos masuk sekaligus menghindarkan asap hijau yang membuat pernafasannya jadi sesak. Dengan melangkah cepat Lakasipo berhasil melewati deretan patung-patung kayu kelima sampai kesepuluh tanpa terjadi apa-apa. Tapi tiba-tiba dari atas melayang turun dua buah patung kayu. Satu membawa tameng kayu satunya membawa tongkat berbentuk tombak.

"Nafasku sesak!" teriak Wiro. Dia coba mengatur jalan pernafasan dan aliran darah.

"Aku juga!" kata Naga Kuning.

"Aku tak tahan kencing!" teriak Setan Ngompol.

Lakasipo tidak perhatikan teriakantiga saudara angkatnya itu karena saat itu dari depan patung yang memegang tombak kayu menyergap dengan satu tusukan! Yang di arah adalah kepala.

"Wuuuuttt!"

Lakasipo melompat mundur. Begitu serangan lewat dia cepat kirimkan jotosan ke arah patung kayu yang memegang tombak. Namun patung satunya, yang membawa tameng besar, seolah hidup maju menyong song dan melintangkan tameng menangkis pukulan Lakasipo.

"Braaakkk!"

Tameng kayu hancur berantakan tapi Lakasipo sendiri jatuh punggung di tanah. Wiro dan kawan-kawannya ikut berpelantingan. Saat itulah belasan patung kayu yang ada di deretan sebelah dalam dengan langkah-langkah kaku bergerak mendekati Lakasipo, siap menginjak-injaknya. Dalam keadaan seperti itu Lakasipocepat menolong tiga kawannya namun Wiro berseru,

"Biarkan kami bertiga! Hadapi patung-patung itu. Aku dan kawan-kawan akan berusaha menyelinap. Patung-patung sialan itu pasti digerakkan dengan semacam alat rahasia! Kami bertiga berusaha mencarinya!"

"Jangan kemana-mana! Terlalu berbahaya!" teriak Lakasipo.

"Bukkk! Bukkk!"

Dua patung kayu berhasil menendang paha dan pinggul Lakasipo. Sakit dan marah Lakasipo menggeram lalu melompat bangkit. Dua kakinya menghantam kian kemari. Beberapa patung kayu hancur. Namun dari dalam rimba belantara muncul lagi selusin patung sementara asap hijau kini kelihatan di beberapa tempat. Lakasipo tidak takut pada patung-patung kayu itu walau jumlah mereka bertambah banyak. Namun asap hijau yang menyesakkan membuat dia khawatir atas diri Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.

"Lakasipo!" tiba-tiba terdengar teriakan Wiro. "Kami menemukan alat rahasia pusat kendali patung-patung kayu itu! Lekas ke sini! Kami tak sanggup menghancurkannya!"

Lakasipo cepat melompat ke arah datangnya suara teriakan Wiro. Namun empat patung kayu menghadangnya. "Jahanam!" rutuk Lakasipo. Dia melompat ke atas.

Sambil bergelantungan pada cabang pohon jati berduri tanpa perdulikan tangannya tertusuk luka Lakasipo ayunkan tubuh. Dua kakinya yang terbungkus batu menderu. Empat patung mental hancur berantakan.

"Wiro! Kau dimana?!" teriak Lakasipo.

"Di sini!"

Lakasipo melompat turun, bergerak cepat di antara pohon-pohon jati. Pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu robek-robek terkait duri. Tubuhnya sendiri ikut tergores luka di bahu, dada dan pinggul. Tapi Lakasipo tidak perduli. Dia terus bergerak, menyeruak di antara pohon-pohon jati berduri. Sesekali bila celah antara dua pohon terlalu sempit dan tak bisa dilewati tubuhnya yang kekar besar, Lakasipo pergunakan kaki batunya untuk menghantam roboh pohon itu.

"Lakasipo! Jangan mengamuk macam orang kesetanan! Pohon tumbang bisa menimpa kami!"

Terdengar teriakan Setan Ngompol. Tentu saja disertai pancaran air kencing karena tegang ketakutan. Di satu tempat di balik semak belukar di antara pohon-pohon jati berduri akhirnya Lakasipo temui ketiga orang itu.

"Wahai! Mana alat rahasia itu?"

Wiro dan dua kawannya menunjuk ke atas pepohonan. Hampir sulit terlihat pandangan mata, di atas beberapa pohon jati berduri kelihatan benang-benang halus malang melintang dari satu pohon ke pohon lainnya. Lalu benang-benang ini menjulur ke bawah, menempel di batang-batang pohon.

"Aku tidak menemukan kemana lenyapnya ujung-ujung benang aneh ini!" kata Lakasipo sambil besarkan mata memeriksa.

Murid Sinto Gendeng yang pernah tahu seluk beluk segala macam senjata rahasia memperhatikan berkeliling lalu berkata. "Jika yang digerakkan adalah patung-patung kayu, berarti benang-benang itu berhubungan dengan sosok patung itu!"

"Akan kita selidiki. Tapi benang-benang celaka itu harus kumusnahkan lebih dulu!" kata Lakasipo pula.

Lalu tidak kepalang tanggung manusia bergelar Hantu Kaki Batu ini lepaskan empat kali berturut-turut pukulan sakti bernama Lima Kutuk Dari Langit. Setiap dia menghantam lima larik sinar hitam menderu keluar dari lima ujung jari tangannya. Jangankan benang-benang halus, pohon-pohon jati raksasa pun hancur berantakan. Yang masih berdiri telah berubah hitam dan menciut!

Di saat yang sama terdengar suara menggemuruh di bagian dalam rimba belantara. Dua lusin patung kayu yang disiapkan Hantu Muka Dua untuk menjebak keempat orang itu roboh tumpang tindih karena tidak lagi terkendali oleh alat rahasia berupa benang-benang aneh yang telah berputusan.

"Benar-benar edan!" maki Setan Ngompol seraya tetap bagian bawah perutnya tapi tetap saja sudah terlanjur kencing duluan.

"Kita tetap harus berhati-hati. Bukan mustahil ada jebakan lain yang lebih berbahaya!" kata murid Sirnto Gendeng.

"Menurut kalian siapa yang coba mencelakai kita?" tanya Naga Kuning. "Hantu Jatilandak atau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, gurunya si Hantu Muka Dua itu?"

"Besar kemungkinan Hantu Jatilandak. Karena aku yakin ini adalah pulau kediamannya." Menjawab Lakasipo.

"Kita tidak ada permusuhan dengan dia. Malah bertemu pun belum! Mengapa sejahat itu tindakannya?!" ujar Wiro Sableng.

"Sebentar lagi sore akan segera berubah malam. Baiknya kita segera tinggalkan tempat ini. Kembali ke pantai. Besok pagi-pagi kita teruskan menyelidik keadaan pulau ini." Yang bicara adalah si Setan Ngompol.

Lakasipo berpaling pada Wiro dan Naga Kuning. Akhirnya semua setuju untuk kembali ke pantai. Lakasipo segera memasukkan tiga saudara angkatnya itu ke balik sabuk lalu melangkah ke jurusan dari arah mana dia sebelumnya datang. Tak selang berapa lama, setelah berjalan cukup jauh dan rasa-rasa sudah akan sampai ke pantai tiba-tiba Lakasipo hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling.

"Aneh," kata Lakasipo. "Sepertinya kita berada di tempat ini-ini juga. Wahai! Padahal aku sudah berjalan jauh..."

"Aku mendengar suara debur ombak. Pasti kita berada dekat pantai," ujar Wiro. "Lakasipo, coba kau berjalan ke arah sana. Arah datangnya suara ombak itu!"

Lakasipo lakukan apa yang dikatakan Wiro. Namun setelah beberapa lama berlalu kembali dia hentikan langkah. "Wahai saudara-saudaraku, kita ternyata tidak kemana-mana. Ini tempat yang tadi-tadi juga. Kita berputar-putar tak karuan. Suara ombak jelas terdengar di sebelah sana tapi begitu berjalan ke arah situ, kita malah menjauh. Lalu tahu-tahu ada di sini lagi!"

Wiro garuk-garuk kepala. "Kita coba sekali lagi," katanya. "Tempuh jalan setapak yang sebelumnya dipagari patung-patung kayu itu."

"Hemmm..." Lakasipo bergumam ragu. Tapi akhirnya kembali dia menuruti apa yang dikatakan murid Sinto Gendeng itu. Dia melewati jalan setapak yang penuh dengan rubuhan patung-patung kayu.

"Ah! Sekali ini kita menempuh jalan yang betul. Kita masuk ke dalam hutan, bukan ke arah datangnya suara debur ombak!" Berucap Naga Kuning.

Tetapi tak selang berapa lama Lakasipo keluarkan seruan. "Gila! Lihat! Kita kembali ke tempat tadi lagi!"

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol memandang berkeliling terheran-heran. "Jangan-jangan ini hutan siluman!" kata Naga Kuning.

"Kau jangan bicara menakuti membuat aku jadi terkencing!" kata Setan Ngompol seraya tekap auratnya sebelah bawah.

"Ada yang tidak beres di tempat ini. Tak ada jalan lain. Sampai malam tiba dan pagi datang kita terpaksa tetap berada di sini..." kata Lakasipo lalu duduk di atas runtuhan patung kayu.

"Aku justru merasa was-was kalau kita terus berada di sini. Jika ini semua adalah jebakan, berarti mungkin ini yang dimaui oleh si penjebak. Berarti di tempat ini masih ada bahaya mengintai. Jangan-jangan si penjebak sengaja menunggu sampai malam tiba..."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" ujar Lakasipo. "Diam di sini berbahaya. Berjalan tak ada gunanya..."

Untuk beberapa lamanya tak ada yang bicara. Setan Ngompol tiba-tiba ulurkan tangan kirinya yang sejak tadi ditekapkan ke bawah perut, memegang lengan Wiro.

"Kakek sial! Jangan sentuh lenganku! Tanganmu basah oleh air kencing!"

"Hik hik hik!" Si kakek menyeringai menahan tawa. "Setahuku kau punya ilmu Menembus Pandang yang kau dapat dari Ratu Duyung. Coba kau kerahkan kesaktian untuk menyelidiki seantero tempat ini. Mungkin kau bisa dapatkan satu petunjuk kemana kita harus bergerak..."

"Beberapa waktu lalu aku sudah pernah melakukan. Tapi tidak berhasil," jawab Wiro bersungut-sungut seraya geserkan lengannya yang basah barusan dipegang si kakek. Disebutnya nama Ratu Duyung oleh Setan Ngompol membuat Wiro jadi terkenang pada gadis cantik sakti yang merupakan salah satu penguasa di kawasan laut selatan itu.

Baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Iblis terdiri dari 8 Episode dan Tua Gila Dari Andalas terdiri dari 11 Episode

Perlahan meluncur ucapannya. "Kalau saja Ratu Duyung ada di sini, mungkin dia bisa menolong kita... Ah!" Wiro garuk-garuk kepalanya.

"Tak bisakah kau memanggilnya. Maksudku mengadakan sambung rasa hingga dia bisa memberi petunjuk?" tanya Naga Kuning sementara Lakasipo diam tidak mengerti apa yang dibicarakan sobat-sobatnya itu.

"Kita berada di alam yang berbeda. Terpisah seribu dua ratus tahun. Mana mungkin..."

"Tapi Wiro," kata Naga Kuning pula. "Waktu tempo hari kau mencoba ilmu Menembus Pandang dan gagal, saat itu keadaan tubuh kita masih sebesar jari. Mana mungkin menghimpun tenaga dalam dan alirkan hawa sakti. Kalaupun bisa tak ada arti dan kekuatan apa-apa. Tapi sekarang keadaan tubuh kita sudah lebih besar. Walau belum sebesar Lakasipo, kalau kau coba mengerahkan kesaktian apa salahnya..."

"Naga Kuning betul. Saudaraku Wiro, jika kau memang punya ilmu, wahai mengapa tidak mencobanya!" kata Lakasipo pula.

Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Akan kucoba!" katanya akhirnya. Lalu dia bayangkan wajah Ratu Duyung, perlahan-lahan alirkan tenaga dalam ke arah dua matanya. Dalam keadaan biasa sebenarnya Wiro tidak perlu mengerahkan tenaga dalam. Wiro memandang tak berkesip dan lurus ke depan.

"Aku tidak melihat apa-apa..." kata Wiro.

Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak kecewa. "Kerahkan lagi tenaga dalammu Wiro. Coba memandang ke jurusan lain. Kita harus beranjak dari tempat ini sebelum malam tiba!" kata Setan Ngompol cemas.

"Aku akan membantu jika kekuatan tenaga dalammu tidak bisa kau keluarkan," kata Lakasipo pula.

"Tunggu!" seru Wiro tiba-tiba. "Aku seperti melihat pedataran di kejauhan. Pedataran itu bergerak. Berarti bukan pedataran tapi laut..."

Wiro menggeser pandangannya ke kiri. Samar-samar dia hanya melihat deretan pepohonan dan kegelapan. Dia memutar lagi kepalanya. Tampangnya berubah. "Eh, sepertinya ada bukit-bukit batu diarah timur sana. Ada benda-benda bergerak dikejauhan. Seperti sosok manusia..."

"Berarti kita harus menuju lurus ke timur!" kata Lakasipo. "Wiro, harap kau kerahkan terus ilmu kesaktianmu. Beri tahu kalau langkahku melenceng!"

"Duuukkk... duuukkkk... duukkk!"

"Terus saja Lakasipo! Beberapa puluh tombak lagi kita akan sampai ke bebukitan batu itu. Aku melihat ada dua orang di tempat itu. Tapi... aku juga melihat ada dua benda besar aneh melata di tanah..."

Lakasipo melangkah ke timur. Setelah berjalan sejauh empat puluh tombak tiba-tiba... "kraaakkk!" Ada bunyi seperti kayu patah di bawah injakan kaki Lakasipo.

Lalu tanah yang dipijaknya amblas. Sesaat kemudian sosok Lakasipo terjerumus masuk ke dalam sebuah lobang sedalam satu setengah kali tinggi tubuhnya!

"Celaka! Kita terjebak!" teriak Lakasipo. Dia memandang ke bawah. Ternyata dasar lobang berupa lumpur aneh. Bagaimana pun dia kerahkan tenaga untuk melompat ke atas agar bisa kelua rdari lobang, ke dua kakinya selalu amblas! Sementara itu dari empat sudut lobang mengucur keluar air berwarna hitam dan panas. Kulitnya seperti disengat!

"Saudara-saudaraku!" kata Lakasipo. "Aku tak bisa keluar dari dalam lobang ini! Biar kalian kuselamatkan lebih dulu!"

"Lakasipo! Kita bersaudara! Kalau mati biar kita mati bersama dalam lobang ini!" teriak Pendekar 212.

Sementara Naga Kuning pucat pasi wajahnya dan mulutnya terkancing. Setan Ngompol tak perlu diceritakan. Sejak Lakasipo jeblos ke dalam lobang besernya tak tertahankan lagi!

"Wiro! Kalian semua jangan bodoh! Kalau ada yang hidup di antara kita usahakan mencari pertolongan!"

Lalu dengan cepat Lakasipo lepaskan sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol dari balik sabuknya. Ketiga orang ini kemudian dilemparkan ke atas lobang.

"Menjauh dari lobang! Lekas pergi dari tempat ini!"

"Kau sendiri bagaimana?!" balas berteriak Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Jangan perdulikan diriku! Kalian cepat pergi!" jawab Lakasipo.

Sementara itu air hitam panas yang menyembur keluar dari empat sudut lobang telah naik setinggi betis! Tapi tidaksatupun dari ke tiga orang Ku beranjak dari tepi lobang.

"Hai! Lekas pergi!" teriak Lakasipo.

Naga Kuning dan Setan Ngompol saling pandang. "Kita harus cari akal menolong Lakasipo!" kata Naga Kuning.

Setan Ngompol memandang berkeliling. "Kalau saja kita bisa menemukan akar gantung..."

Wiro memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Otaknya buncah. Tiba-tiba matanya menyipit. Keningnya mengerenyit dan dadanya berdebar.

"Aku melihat ada sosok tubuh aneh menggelinding dari kawasan bebatuan. Menuju ke sini!"

"Pasti siluman penguasa rimba belantara ini!" kata Setan Ngompol dengan suara bergetar lalu semburkan kencing!

DUA BELAS

Air hitam di dalam lobang semakin tinggi. Kini mulai mendekati lutut Lakasipo dan panasnya bukan main. Lakasipo coba angkat kaki kanannya untuk menghantam dinding lobang. Namun kaki sebelah kiri amblas ke dalam dasar lobang hingga tubuhnya hampir terbanting jatuh.

"Wiro!" Lakasipo berteriak. "Air hitam celaka ini panas sekali. Aku tidak tahan! Rasanya seperti direbus!"

"Lakasipo! Bertahanlah! Kami mencari akal menolongmu!" teriak Naga Kuning. Tapi sebenarnya dia sendiri tidak tahu akal apa yang bisa diperbuat sementara si Setan Ngompol tergeletak di tanah terkencing-kencing habis-habisan. Wiro terduduk di tanah. Tangannya kiri kanan menggaruk pulang balik.

"Tak ada tali, tak ada akar gantung. Kalaupun ada tak mungkin aku dan kawan-kawan menarik sosok Lakasipo keluar dari lobang. Kalau air hitam panas itu naik mencapai bagian bawah perutnya celaka besar! Bisa-bisa barangnya berubah jadi dua telor rebus!"

"Hik hik hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan mendengar ucapan Wiro itu. Sebaliknya Setan Ngompol membentak marah ialu terkencing.

"Dalam keadaan begini rupa kalian masih bisa bergurau! Kalian yang bakal celaka!"

Duduk di tanah Wiro masih tampak bingung dan garuk-garuk kepala. "Gusti Allah!" Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini berseru memanggil Tuhan. "Bagaimana ini! Tuhanku! Apa akan kau biarkan Lakasipo menemui ajal dalam lobang itu?! Kami mohon pertolonganMu wahai Tuhan Yang Maha Kuasa!"

Dari dalam lobang Lakasipo yang sempat mendengar ucapan Wiro lantas bertanya. "Kau menyebut nama seseorang! Gusti Allah. Lalu Tuhan! Kau minta tolong padaNya! Memangnya Gusti Allah itu siapa? Temanmu? Gurumu? Atau ayahmu?!"

Kalau bukan dalam keadaan seperti itu mungkin Naga Kuning dan Setan Ngompol sudah memaki.

"Lakasipo makhluk geblek!" murid Sinto Gendeng yang memaki. Tapi cuma dalam hati. Dengan suara keras bergetar dia kemudian berkata. "Gusti Allah sama dengan Tuhan! Dia adalah yang menciptakan langit dan bumi! Menciptakan manusia termasuk aku dan dirimu! Dia Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penolong! Dia adalah Satu. Dia adalah Tunggal. Dia yang menciptakan siang dan malam. Menciptakan susah dan senang. Itu sebabnya guruku Eyang Sinto Gendeng memberi jarahan angka 212 di tubuhku. Agar aku selalu ingat pada Tuhan Maha Kuasa dan percaya bahwa Dia yang menjadikan segala-galanya!"

"Saudaraku Wiro, wahai! Sulit bagiku mencerna semua ucapanmu. Setahuku yang menciptakan diriku adalah ayah dan ibuku. Tapi sudahlah! Jika kau terus menceloteh kapan kau akan menolongku?!" teriak Lakasipo dari dalam lobang. Air hitam panas mulai melewati lututnya. "Kalau Gusti Allah dan Tuhanmu itu Maha Kuasa Maha Penolong, mengapa kau tidak lekas-lekas minta Dia menolongku?!"

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Gusti Allah pasti mendengar. Tuhanku pasti melihat! Dia pasti akan menolongmu, Lakasipo! Bertahanlah! Tabahkan hatimu?" teriak Wiro.

Dia tekapkan dua tangannya ke mukanya. Terus terang dia tidak tahu dan belum menemukan cara bagaimana harus menolong Lakasipo. Dalam hati tidak putus-putusnya dia menyebut nama Tuhan dan memohon pertolongan. Tiba-tiba Wiro melompat bangkit sambil berteriak keras.

"Astaga! Ada apa dengan dirimu Wiro?!" tanya Naga Kuning.

"Jangan-jangan dia sudah kemasukan roh jahat penghuni rimba belantara ini!" kata si Setan Ngompol.

"Tuhan! Beri saya kekuatan!" teriak Wiro. Lalu tangannya bergerak ke pinggang. Di lain kejap sebuah benda berkilauan berada dalam genggamannya.

"Kapak Maut Naga Geni 212!" seru Naga Kuning dan Setan Ngompol berbarengan.

"Bagaimana dia bisa menolong Lakasipo dengan kapak itu?!" ujar Setan Ngompol. "Keadaan tubuhnya hanya sebesar betis. Tenaga dalamnya tak mungkin diharapkan!"

"Kalau mengandalkan kekuatan dirinya sendiri aku juga tidak yakin dia mampu berbuat sesuatu Kek!"

menyahuti Naga Kuning. "Tapi kalau Yang Maha Kuasa turun tangan menolong! Semua pasti bisa menjadi kenyataan!"

Wiro memandang berkeliling. Tiba-tiba dia lari ke arah satu pohon jati di sebelah kiri, dua tombak dari tepi lobang maut. "Terlalu dekat..." Wiro berucap. Dia bergerak ke pohon jati lainnya. Memandang mengukur-ukur.

"Masih terlalu pendek. Ujungnya cuma bisa melintang di atas lobang.Tak bisa digapai Lakasipo..."

Wiro berpaling ke kiri. Dia menghampiri pohon jati ketiga sambil menghitung langkah lalu memandang ke lobang. "Ini pasti bisa tepat..." kata Wiro dalam hati.

Lalu tanpa tunggu lebih lama dia kerahkan tenaga dalam. Dua mata Kapak Maut Naga Geni 212 walau ukurannya masih kecil dibanding dengan segala sesuatu yang ada dialam Negeri Latanahsilam namun tidak terduga aliran tenaga dalam murid Sinto Gendeng itu ternyata sanggup membuat pancaran sinar menyilaukan.

Kalau biasanya Wiro selalu memegang senjata sakti itu dengan satu tangan maka kini dia memegang dengan dua tangan sekaligus. Wiro ayunkan Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat. Suara menggaung seperti ratusan tawon mengamuk memenuhi tempat itu. Naga Kuning berseru gembira. Setan Ngompol bangkit tertegun.

"Craaakkk!"

Bagian batang pohon jati berduri somplak besar pada bagian tiga jengkal di atas tanah dihantam mata kapak sakti. Semangat Pendekar 212 jadi tambah berkobar. Dia menghantam lagi, lagi dan lagi! Tiada henti seolah orang kemasukan setan! Sebelas kali membacok, pohon itu tampak bergetar. Wiro kembali membacok. Kali ini dari jurusan yang berlawanan dari bacokan semula. Terdengar suara berkereketan.

"Kraaaaaakkkk!"

Pohon jati besar berduri itu tumbang, jatuh melintang tepat di atas lobang dengan ujung menghunjam ke bawah, menusuk ke dinding lobang. Lakasipo berteriak keras. Kalau tidak cepat dia merunduk dan jatuhkan diri ke samping niscaya kepalanya kena hantaman pucuk pohon jati!

Naga Kuning dan Setan Ngompol bersorak gembira. Dia kini maklum apa sebenarnya yang telah dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng. Di dalam lobang Lakasipo ulurkan tangannya ke atas. Dia berhasil menjangkau batang pohon yang masuk ke dalam lobang!

"Wiro! Kau yang punya usaha! Tapi ini pasti wahai Tuhan Gusti Alhah mu yang menolong!" teriak Lakasipo. "Tuhanmu hebat! Bisakah aku bertemu denganNya untuk mengucapkan terima kasih?!"

"Lakasipo! Jangan bicara ngawur! Lekas keluar dari lobang itu!" teriak Naga Kuning.

Lakasipo seolah sadar segera ayunkan tubuh melesat ke atas. Namun sebelum dia mendarat di tepi lobang tiba-tiba dari arah timur muncul suara menggemuruh. Sebuah benda kuning kecoklatan menggelinding di sela-sela pohon jati. Sebelum Wiro dan dua kawannya tahu benda apa itu adanya tiba-tiba tubuh mereka masuk dalam cekalan sebuah tangan aneh, kuning coklat dan ditumbuhi duri-duri panjang! Di lain kejap ketiga orang itu dibawa melesat menggelinding ke arah timur rimba belantara Lahitamkelam!

Setan Ngompol menjerit terkencing-kencing. Naga Kuning walau takut setengah mati tapi masih bisa memaki panjang pendek. Wiro sendiri yang telah mencium adanya bahaya besar dan saat itu masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212, tanpa perdulikan arah atau apa yang dihantamnya segera saja bacokkan senjata mustikanya.

"Wuuuttt! Craassss!"

Ada suara benda putus disusul jeritan aneh, setengah jeritan manusia setengah gerengan binatang. Dia membabat sekali lagi. Namun kali ini cekalan di tubuhnya seperti menghancur luluhkan tulang belulangnya. Wiro terkulai mengerang kesakitan. Kapak Maut Naga Geni 212 hampir saja terlepas dari pegangannya. Tiba-tiba gerak menggelinding berhenti. Wiro dan kawan-kawannya yang masih berada dalam cekalan mengeluh tinggi, terhuyung nanar. Penglihatan mereka bukan saja samar tapi juga nanar.

"Wiro... Apa sebenarnya yang terjadi dengan diri kita?!" Naga Kuning buka suara.

"Di mana kita berada... Mana Lakasipo?!" tanya Setan Ngompol.

Sekonyong-konyong cekalan di tubuh ketiga orang itu terlepas. Tapi mereka bukan dilepas baik-baik melainkan dilemparkan ke tanah di antara gundukan-gundukan batu.

"Mati aku!" jerit Naga Kuning yang terbanting tertelentang. Lalu mengerang tapi juga memaki di sela-sela erangannya.

"Pecah kantong menyanku!" jerit Setan Ngompol terus beser. Waktu jatuh dia tertelungkup dan bagian bawah perutnya tepat menghantam jendolan batu! Wiro sendiri merasa pinggulnya sebelah kanan seolah remuk. Terhuyung-huyung dia bangkit berdiri.

Tapi belum sempat tegak, pemuda ini jatuh terduduk dengan muka pucat dan mata mendelik. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat makhluk sedahsyat ini. Entah setan alas atau jin dedemit yang tegak di depannya.

Sosok makhluk ini kurus jangkung. Hanya mengenakan sehelai cawat kulit kayu. Badannya berwarna kuning termasuk sepasang matanya. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala, muka, tubuh sampai ke kaki penuh ditumbuhi duri-duri panjang tajam seperti bulu landak! Saat itu Naga Kuning dan Setan Ngompol telah pula melihat kehadiran makhluk ini. Keduanya langsung melompat bergabung dengan Wiro, gemetar ketakutan setengah mati!

"Kawan-kawan..." bisik Wiro. "Jangan-jangan ini makhluk yang oleh Lakasipo disebut Hantu Jatilandak. Penguasa rimba Lahitamkelam. Kaki tangan Hantu Muka Dua!"

"Celaka! Mati kita semua! Pasti kita akan dikunyahnya mentah-mentah!" kata Setan Ngompol sambil terkencing-kencing.

"Tiga manusia cebol setinggi lutut!" Tiba-tiba makhluk yang tubuhnya ditumbuhi duri dan bukan lain adalah Hantu Jatilandak berucap. Suaranya membuat seantero tempat bergetar dan sosok Wiro serta kawan-kawannya jadi bergoyang-goyang.

"Apakah kalian yang datang dan berasal dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?!"

"Eh, bagaimana dia bisa tahu asal usul kita!" bisik Naga Kuning. "Hati-hati menjawab. Kalau salah jawab kita bertiga bisa langsung dikeletusnya seperti cabe rawit!"

Wiro menjura sehormat mungkin. "Makhluk gagah bertubuh dahsyat, kami bertiga memang berasal dari negeri seribu dua ratus tahun lebih tua dari negeri ini. Namun kami bertiga merasa sangat rendah berhadapan denganmu. Aku bernama Wiro, kakek ini biasa dipanggil dengan julukan si Setan Ngompol. Dan anak satu ini bernama Naga Kuning. Apakah benar saat ini kami berhadapan dengan makhluk hebat bernama Hantu Jatilandak?"

Dua puluh duri di kepala Hantu Jatilandak berjingkrak tegang. Kumis dan sepasang alisnya mencuat. "Siapa yang memberi tahu siapa diriku?!" Hantu Jatilandak bertanya garang lalu meludah ke tanah.

"Claaapp!" Ludahnya yang berwarna kuning mendarat tepat di puncak hidung si Setan Ngompol! Si kakek memaki panjang pendek.

"Hantu sialan! Mengapa mukaku yang kau ludahi! Mana kuning! Mana bau! Huh!"

Seperti mau muntah kakek ini cepat seka ludah di hidungnya itu. Sambil menahan geli melihat apa yang terjadi Wiro menjawab pertanyaan Hantu Jatilandak tadi.

"Kami hanya menduga. Lagi pula makhluk sehebatmu siapa yang tidak pernah mendengar?" jawab Wiro pula.

Hantu Jatilandak mendengus lalu kembali meludah. "Aku mendengar orang-orang negeri kalian pandai bicara bermanis-manis. Padahal dalam hatipunya maksud busuk! Mengapa kalian datang ke pulau ini? Siapa makhluk yang amblas ke dalam lobang jebakan?!"

"Kami datang mencari seseorang untuk minta pertolongan. Pertolongan agar kami bisa kembalike negeri kami. Mengenai orang-orang yang masuk ke dalam lobang jebakan, dia adalah saudara angkat kami. Namanya Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu..."

Seringai mencuat di mulut Hantu Jatilandak. Lalu mengumandang gelak tawanya membahana, menggetarkan seantero kawasan berbatu-batu. "Ternyata semua cocok dengan takdir! Ha ha ha!"

"Takdir, takdir apa maksudmu Hantu Jatilandak?" tanya Wiro.

"Takdir bahwa saat ini juga kalian akan meregang nyawa. Kepala kalian akan kupotes satu demi satu! Darah kalian akan kuperas dan kumasukkan ke dalam lobang batu di atas sana! Itulah takdir atas diri kalian!"

Wiro dan kawan-kawannya langsung menggigil. "Kami tidak berbuat kejahatan di atas pulau ini! Kami tidak punya permusuhan denganmu. Mengapa kau inginkan jiwa kami. Malah hendak melakukan kekejian gila terhadap mayat-mayat kami! Memotes kepala kami! Lalu memasukkan darah kami ke dalam lobang batu! Mengapa sekejam itu? Untuk apa?!" Suara murid Sinto Gendeng keras tapi gemetar.

"Sudah kubilang! Kematian kalian adalah takdir! Darah kalian juga takdir!"

Sambil tekap bagian bawah perutnya yang sudah basah kuyup si Setan Ngompol memandang berkeliling. "Kita harus segera cari kesempatan melarikan diri. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Dalam gelap kita punya kesempatan. Wiro, pergunakan ilmu Menembus Pandang yang kau miliki..."

Baru saja si kakek berkata begitu tiba-tiba terdengar suara bergerubukan seolah ada makhluk berat melangkah di tanah. Menoleh ke kiri Setan Ngompol hampir terpekik. Di sampingnya tahu-tahu telah mendekam seekor landak raksasa. Mulutnya terbuka lebar. Taring-taringnya mencuat siap untuk menerkam. Langsung kakek ini melosoh ke tanah, basah kuyup lagi di bawah perutnya!

"Landak raksasa..." desis Naga Kuning dengan tenggorokan seolah tercekik. "Wiro, lihat... ada satu lagi di sebelah sana! Kita tak mungkin melarikan diri!"

Wiro melirik ke kiri. Apa yang dikatakan Naga Kuning benar adanya. Seekor landak raksasa lagi mendekam hanya tiga langkah disampingnya. Binatang yang satu ini pergunakan dua kaki belakangnya untuk tegak berdiri sedang dua kaki atasnya terpentang ke depan laksana sepasang tangan yang siap mencabik-cabik Wiro dan kawan-kawannya!

"Jangan berharap kalian bisa melarikan diri!" kata Hantu Jatilandak lalu meludah ke tanah. Bersamaan dengan itu dia turun dari gundukan batu, bergerak mendekati ketiga orang itu Wiro ingat, waktu tadi tubuhnya digulung dan digelinding dia sempat pergunakan Kapak Maut Naga Geni212 untuk menghantam putus duri di tubuh Hantu Jatilandak. Kini dalam keadaan terdesak seperti itu mau tak mau dia berjibaku mengeluarkan semua ilmu dan kesaktian yang dimilikinya. Maka sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada dia segera berbisik pada Naga Kuning.

"Kita harus melawan mati-matian. Aku akan menghantam dengan kapak sakti serta pukulan Sinar Matahari. Kau keluarkan sosok naga yang gambarnya ada di dadamu! Katakan pada Setan Ngompol agar dia menghantam dengan pukulan Setan Ngompol Mengencingi Bumi!"

Naga Kuning mengangguk lalu teruskan bisikan Wiro pada si kakek. Ketiga orang itu segera kerahkan tenaga dalam. Namun Hantu Jatilandak tidak terduga bertindak lebih cepat. Sekali tangannya menyapu maka ke tiga orang itu kembali amblas masuk dalam genggaman tangan kirinya, tak bisa berkutik bahkan bernafaspun sulit!

"Pemuda cebol berambut gondrong! Wahai rupanya kau yang jadi otak dari kelompokmu! Kau juga yang tadi melukai dan membabat putus duri-duri di tanganku! Kepalamu akan kupotes lebih dulu!" kata Hantu Jatilandak.

Lalu ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya menghunjam ke batok kepala Pendekar 212. Sekali dua jari itu dipuntir, maka tanggallah leher murid Sinto Gendeng! Di saat sangat genting itu tiba-tiba melesat satu bayangan disertai bentakan keras. Dua buah benda bulat menderu di udara.

"Braaaakkk!" Pohon jati besar berduri di samping kanan patah lalu tumbang bergemuruh.

"Byaaarrr!"

Gundukan batu dua langkah di belakang Hantu Jatilandak hancur berantakan membuat Hantu Jatilandak berseru kaget, melesat ke atas. Di udara dia putar tubuhnya lalu hantamkan tangan kanan. Tapi kembali dia berteriak terkejut ketika ada satu benda bulat menyambar membabat ke arah tangannya!

TIGA BELAS

Sepasang mata Hantu Jatilandak menyorotkan sinar kuning angker. Sekujur duri coklat di kepala dan tubuhnya berjingkrak tanda dia berada dalam keadaan marah besar. Di hadapannya tegak seorang berambut gondrong awut-awutan. Wajah angker dilebati kumis, berewok dan janggut. Dua kakinya terbungkus batu besar berbentuk bulat. Kaki-kaki inilah tadi yang secara ganas mematahkan pohon, menghancurkan batu besar dan melabrak ke arah Hantu Jatilandak.

"Makhluk kesasar berkaki batu! Siapa kau! Berani mati menyerangku! Injakkan kaki di pulau dan memasuki rimba belantara Lahitamkelam!" Hantu Jatilandak membentak.

"Kau tidak tahu siapa diriku! Wahai sebaliknya aku tahu banyak tentang dirimu! Kudengar kau adalah makhluk aneh tapi berhati polos. Mengapa kini aku melihat kenyataan sebaliknya?! Tiga makhluk kecil yang ada dalam genggamanmu itu adalah saudara-saudaraku! Jika kau tidak segera melepaskan mereka, saat ini juga akan kuhancur luluhkan tubuhmu!"

"Manusia kaki batu! Jangan bicara sombong! Jika dugaanku betul maka kau adalah manusianya bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu! Yang ditakdirkan ikut mampus bersama tiga makhluk katai ini! Ha ha ha...!"

Hantu Jatilandak tertawa bergelak lalu meludah ke tanah. Tiba-tiba Hantu Jatilandak goyangkan dadanya. Dua puluh duri landak yang menancap didadanya, laksana pakupanjang melesat menyerang dua puluh sasaran di kepala dan tubuh Lakasipo.

"Lakasipo! Awas! Duri-duri itu beracun!" teriak Pendekar 212 memperingatkan.

Mendapatkan dirinya diserang orang serta mendengar peringatan murid Sinto Gendeng, Lakasipo segera jatuhkan diri sama rata ke tanah. Bersamaan dengan itu dia gerakkan kaki batunya sebelah kanan dalam gerakan seputar lingkaran. Inilah jurus yang disebut Kaki Roh Pengantar Maut!

"Traakkk! Traakkk! Traaakk...!"

Belasan duri landak mental patah dan hancur. Enam buah melesat di udara kosong. Namun dua duri masih sempat menancap di bahu kiri Lakasipo. Serta merta Lakasipo merasakan tubuhnya panas. Cepat dua duri landak itu dicabutnya. Darah menyembur. Lukanya tampak menggembung!

Enam duri landak yang tidak mengenai sasaran secara aneh berbalik dan menancap kembali di dada Hantu Jatilandak. Makhluk ini menggeram marah karena sebagian dadanya kini menjadi gundul akibat hancurnya duri-duri yang terkena hantaman kaki batu Lakasipo.

"Celaka! Duri-duri jahanam itu benar-benar beracun! Apa yang harus kulakukan!" keluh Lakasipo sambil menggigit bibir menahan sakit.

Wiro yang maklum bahaya besar mengancam Lakasipo segera berteriak. "Lakasipo! Lekas luruskan dua jari tangan kananmu! Totok urat besar di permukaan ketiak kiri! Cepat!"

Lakasipo segera lakukan apa yang dikatakan murid Sinto Gendeng. Sementara itu dengan susah payah Wiro serta dua kawannya berusaha keluar dari jepitan tangan Hantu Jatilandak. Begitu ada kesempatan dia segera hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke pergelangan tangan kiri Hantu Jatilandak.

"Craaasss!"

Hantu Jatilandak seperti disengat kalajengking. Sekujur lengannya terasa panas. Darah mengucur dari luka di lengan sementara tiga duri landaknya ikut terbabat putus. Naga Kuning tak tinggal diam. Tangan kanannya dicengkeramkan ke telapak tangan Hantu Jatilandak. Lalu dia alirkan tenaga dalam dan lepaskan ilmu kesaktian yang memancarkan lima larik sinar biru. Hantu Jatilandak terpekik kesakitan.

Di saat yang sama Naga Kuning kerahkan ilmu pelicin tubuh yang disebut ilmu Ikan Paus Putih.Tubuhnya serta merta menjadi licin. Laksana seekor belut bocah ini meliuk ke bawah dan lolos dari genggaman Hantu Jatilandak. Jatuh ke tanah. Celakanya waktu jatuh dia kecemplung masuk ke dalam liang batu berisi air bercampur bubuk belerang! Untung saja dia mampu berenang hingga dengan cepat berhasil menggapai pinggiran liang batu. Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai ke kaki basah kuyup dan berwarna kuning!

Meski sakit kena bacokan Kapak Maut Naga Geni 212 serta dihantam pukulan sakti Naga Kuning namun Hantu Jatilandak masih sanggup mencengkeram dan tidak mau lepaskan sosok Wiro dan Setan Ngompol. Rahangnya menggembung. Gerahamnya bergemeletakan. Tangan kanannya siap meremas untuk menghancur luluhkan dua orang itu.

Pada saat itulah Lakasipo hantamkan dua tangannya sekaligus! Sepuluh larik sinar hitam menggebubu! Hantu Jatilandak tersentak kaget. Tapi karena terlalu takabur menganggap enteng serangan lawan dia tetap berdiri pentang dada malah siap melesatkan lusinan duri landak dari muka dan perutnya! Dia tidak sadar kalau serangan yang dilepaskan Lakasipo alias Hantu Kaki Batu saat itu adalah Lima Kutuk Dari Langit yang akan membuat tubuhnya menjadi gosong dan mengkerut ciut!

Sesaat lagi sepuluh larik sinar hitam itu akan menghantam sosok Hantu Jatilandak, satu bayangan hitam berkelebat laksana kilat mendorong tubuh Hantu Jatilandak hingga terjungkal roboh dan terguling sampai tiga tombak.

Sosok Wiro dan Setan Ngompol yang sejak tadi berada dalam genggamannya terlepas. Lalu seperti yang dialami Naga Kuning, kedua orang ini menggelinding tercebur masuk ke dalam liang batu berisi air campur bubuk belerang. Ke duanya berubah menjadi sosok-sosok basah kuyup berwarna kuning!

"Sialan! Liang apa ini!" memaki Setan Ngompol.

"Airnya asin kuning! Berbau belerang!" teriak Naga Kuning."Lihat! Muka, tubuh dan pakaian kita jadi kuning semua!"

"Naga Kuning! Lekas kita keluar dari tempat sebelum kakek satu ini mencampur air di sini dengan kencingnya!" teriak Wiro.

Setan Ngompol memaki bersungut-sungut. Dia mengikuti dua orang itu memanjat ke atas liang, naik ke darat.

Hantu Jatilandak lolos dari hantaman pukulan Lima Kutuk DaribLangit. Sepuluh larik sinar maut itu kini menghantam sosok yang barusan menolong menyelamatkan Hantu Jatilandak.

"Wuuutttt... wuuutttt! Dessss... desssss! Desssss!"

Sosok yang kena hantam terjungkal roboh tetapi sesaat kemudian bergerak bangkit kembali, memandang ke arah Lakasipo dengan dua mata putih aneh menyorot! Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sendiri tak kalah kaget dan melototnya.

Makhluk yang tegak di depan mereka dan tak mempan dihantam pukulan Lima Kutuk Dari Langit itu tertutup sisik hitam keras laksana baja sekujur kepala, wajah dan tubuhnya sampai ke kaki. Di mukanya tak kelihatan hidung ataupun mulut. Yang ada hanya dua buah mata berbentuk combong kelapa berwarna putih keabu-abuan.

"Naga Kuning, Setan Ngompol..." berkata Wiro. "Jangan-jangan makhluk bersisik ini adalah si Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, guru Hantu Muka Dua yang kita cari..."

Naga Kuning dan Setan Ngompol tak berani menjawab. Kaget dan kecut mereka masih belum surut. Kalau orang bersisik ini bersikap menunggu tak mau mendahului bergerak ataupun bersuara, maka lain halnya dengan Hantu Jatilandak. Penuh dendam dan amarah dia berteriak.

"Laeruncing! Laelancip! Bunuh makhluk berkaki batu itu!"

Mendengar perintah Hantu Jatilandak dua ekor landak raksasa yang sejak tadi berada di tempat itu keluarkan suara menggembor. Kaki belakang menghunjam ke tanah, kaki depan diluruskan ke depan pertanda dua binatang ini siap menerkam Lakasipo. Namun makhluk bersisik angkat tangan kiri memberi tanda agar dua landak raksasa tidak melakukan serangan.

"Kek!" teriak Hantu Jatilandak. "Orang hendak membunuh aku! Kau melarang! Wahai! Apa yang ada di benakmu!"

Makhluk bersisik tidak perdulikan teriakan Hantu Jatilandak. Kembali dia angkat tangannya, menatap kearah Lakasipo lalu berkata. "Di kawasan Negeri Latanahsilam ini hanya ada satu orang memiliki ilmu kesaktian bernama Lima Kutuk DariLangit. Bukankah kau orangnya yang bernama Lakasipo berjuluk Bola-Bola Iblis alias Hantu Kaki Batu?!"

Lakasipo terdiam sejenak. Matanya menatap penuh rasa tak percaya pada makhluk yang tegak di hadapannya. Sesaat kemudian dia berkata. "Di delapan penjuru angin negeri Latanahsilam, hanya ada satu tokoh yang sanggup menahan kekuatan ilmu Lima Kutuk Dari Langit. Bukankah saat ini aku berhadapan dengan orang pandai yang disebut dengan nama Tringgiling Liang Batu?!"

Makhluk bersisik mengangguk lalu menjura. Lakasipo segera berucap. "Dunia kita telah banyak berubah rupanya. Puluhan tahun kau memencilkan diri di pulau ini. Ketika bertemu ternyata kau menjadi penguasa pulau, memiliki makhluk aneh berduri ini serta dua ekor landak raksasa yang siap membunuhku dan kawan-kawan tanpa salah tanpa dosa! Apa yang terjadi dengan dirimu wahai Tringgiling Liang Batu!"

"Takdir buruk telah terjadi atas diri kami! Kutuk keji dari Peri Negeri Atas Langit telah menimpa cucuku hingga keadaannya seperti yang kau lihat saat ini..." jawab Tringgiling Liang Batu.

"Takdir memang tak bisa ditolak. Mengenai kutuk Peri Negeri Atas Langit tak ada kuasaku untuk mencampuri! Tetapi yang menjadi tanda tanya besar, kami telah mengalami hal-hal aneh sejak menjejakkan kaki di pulau ini. Bahkan kami hampir menemui kematian di tangan makhluk aneh yang kau sebut sebagai cucumu itu!"

"Kalian bukan hampir mati! Tapi benar-benar segera akan mati!" teriak Hantu Jatilandak.

Lalu kembali dia berseru pada dua ekor landak raksasa untuk segera membunuh Lakasipo dan tiga manusia katai di tepi liang batu. Lakasipo cepat menyambar ketiga saudara angkatnya itu. Ketika melihat sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang basah kuyup serta penuh dengan belerang kuning, makhluk bersisik, Hantu Jatilandak dan dua ekor landak raksasa keluarkan gerengan tertahan dan beranjak menjauh.

"Aneh, kini mereka seperti ketakutan melihat kita. Mereka bergerak menjauh! Ada apa? Apa yang menyebabkan?" bisik Wiro.

Baik Lakasipo maupun Naga Kuning dan Setan Ngompol walau memang jelas melihat keanehan itu tapi tentu saja tidak bisa menjawab. Wiro usap wajahnya yang basah. Tak sengaja dia kepretkan tangannya yang basah oleh air bercampur belerang. Kembali Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak serta dua landak raksasa bersurut menjauh.

"Mereka takut pada cipratan air ditubuhku..." kata Wiro.

"Kalau cuma air mengapa musti takut! Pasti ada hal lain yang membuat mereka kecut dan menjauh..." ujar Setan Ngompol pula.

"Lakasipo, coba kau melangkah. Dekati mereka..." kata Wiro.

Lakasipo menurut. Dia maju dua langkah mendekati Hantu Jatilandak. Makhluk berduri ini serta merta mundur tiga langkah. Tringgiling Liang Batu cepat mengangkat tangannya seraya berseru.

"Tahan! Hantu Kaki Batu, hentikan gerakanmu! Jangan melangkah lebih dekat!"

"Sejak semula kami tidak punya niat jahat! Mengapa kalian semua seperti melihat setan kepala dua belas?!"

"Makhluk-makhluk katai yang katamu saudara angkatmu itu..." kata Tringgiling Liang Batu. "Tubuh mereka basah oleh air bercampur belerang. Kami... tubuh kami tidak boleh bersentuhan dengan belerang. Kami bisa celaka. Mengalami kelumpuhan seumur hidup bahkan bisa menemui ajal..."

"Kakek!" Hantu Jatilandak berkata dengan suara keras. "Kau menceritakan kelemahan sendiri pada musuh! Manusia berkaki batu ini pasti akan mudah membunuh kita semua!"

"Eh, kau dengar makhluk berduri itu memanggil makhluk bersisik kakeknya," bisik Wiro pada dua kawannya. "Yang aku ingin tahu bagaimana tampang ibu bapak makhluk itu. Apa berduri juga. Kalau betul berduri lalu bagaimana lahirnya? Apa tidak nyangkut di pojokan bawah dekat hik hik hik!"

"Wiro!" sentak Setan Ngompol. "Kita berada dalam bahaya. Mengapa kau masih bisa bicara tidak karuan! Jangan-jangan kau yang bakal mati duluan. Orang mau mati biasanya memang suka ngomong aneh-aneh!"

"Kalau mereka mau membunuh kita, kurasa kau yang duluan mereka pesiangi Kek!" sahut murid Sinto Gendeng. "Habis kau paling jelek dan bau pesing! Hik hik hik!"

Wiro tertawa cekikikan. Naga Kuning pencet hidung sendiri agar tidak tersembur tawanya. Sepasang mata combong Tringgiling Liang Batu menatap ke arah Lakasipo seolah sadar kekeliruannya. Namun melihat tak ada perubahan di wajah manusia berkaki batu ini, dan juga setelah melirik pada Wiro dan dua kawannya, dalam hati Tringgiling Liang Batu berkata,

"Sampai saat ini aku belum menganggap makhluk berkaki batu ini sebagai musuh. Hanya saja aku masih belum tahu apa maksud kedatangannya bersama tiga makhluk katai itu ke sini."

Setelah menatap Lakasipo sejurus, makhluk bersisik lantas berkata. "Tadi kudengar tiga manusia cebol saudaramu itu menyebut nama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Makhluk itu adalah guru Hantu Muka Dua! Apa hubungan kalian dengan Hantu Muka Dua dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"

"Hantu Muka Dua adalah musuh besarku wahai Tringgiling Liang Batu. Dia punya rencana jahat terhadapku dan sejak lama ingin membunuhku! Kami mencari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab adalah untuk meminta tolong. Agar tiga saudara angkatku ini bisa dibesarkan tubuhnya seperti sosok kita. Atau kalau tidak agar mereka bisa dikembalikan ke negeri mereka alam seribu dua ratus tahun dari sekarang. Menurut petunjuk, Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bisa memberi tahu dimana beradanya sebuah batu sakti pembalik waktu. Hanya dengan batu itu mereka bisa kembali ke negeri mereka..."

"Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tidak ada di pulau ini! Kalian kesasar ke tempat yang salah!"

"Kalau begitu kami minta petunjukmu!" kata Wiro setengah berteriak agar suaranya bisa didengar.

Sebelum Tringgiling Liang Batu menjawab Hantu Jatilandak mendahului berkata, "Kek, sesuai perintah Hantu Muka Dua, kita harus menguras darah tiga manusia katai ini dan memasukkannya ke dalam lobang di atas batu sana. Kalau kita gagal memenuhi perintah, celaka kita semua! Hantu Muka Dua pasti akan memendam kita dalam liang batu berisi air bercampur belerang itu!"

Terkejutlah Lakasipo, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol mendengar kata-kata Hantu Jatilandak itu. Si kakek terus saja basah celananya.

"Makhluk berduri, mengapa Hantu Muka Dua inginkan darah kami bertiga?" tanya Pendekar 212.

Hantu Jatilandak tak segera menjawab melainkan memandang dulu pada Tringgiling Liang Batu. Si kakek anggukkan kepala lalu berkata. "Ceritakan pada mereka semua. Agar tidak ada rahasia dan curiga tersembunyi antara kita wahai cucuku Jatilandak."

Mendengar kata-kata si kakek maka Hantu Jatilandak lalu menuturkan. "Di bawah ancaman belerang jahanam itu, kami semua tidak berdaya. Tidak mungkin menolak perintah kecuali kami mau mati percuma! Hantu Muka Dua memiliki sebilah keris berluk tiga yang belum diberi gagang. Menurutnya jika senjata itu dicelup dalam darah kalian bertiga selama tiga bulan purnama maka keris itu akan menjadi satu senjata bertuah sakti mandraguna. Tak satu kekuatan pun sanggup melawannya. Bahkan para Peri dan para Dewa akan tunduk padanya! Dia akan menjadi Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam!"

"Jahanam keji! Wahai! Rencana jahatnya itu harus dibikin gagal!" kata Lakasipo pula. "Ada di antara kalian yang punya akal rencana?!"

Tak satu pun yang bisa segera menjawab. Setan Ngompol termonyong-monyong. Naga Kuning gembungkan rahang. Hantu Jatilandak keretakkan jari-jari tangannya tanda geram. Sepasang landak raksasa mendekam keluarkan suara menggeram sementara Tringgiling Liang Batu mendongak ke langit yang mulai gelap. Wiro garuk-garuk kepala lalu bertanya.

"Apa di pulau ini ada kelinci atau ayam hutan?"

"Anak geblek! Apa hubungannya maksud jahat Hantu Muka Dua dengan ayam hutan dan kelinci?! Kau mau mengundangnya makan ayam dan kelinci panggang?!" berujar si Setan Ngompol.

"Tenang Kek! Otakmu memang tidak begitu encer lagi! Kalau dibarengi sikap mengomel pasti tambah butek!" kata murid Sinto Gendeng pula. Lalu dia bertanya pada makhluk bersisik. "Tringgiling Liang Jamban..."

"Bangsat! Mulutmu keliwat menghina kurang ajar! Kakekku bernama Tringgiling Liang Batu! Bukan Tringgiling Liang Jamban!"

Hantu Jatilandak menghardik lalu meludah ke tanah, membuat Lakasipo, Naga Kuning dan Setan Ngompol membuang muka menahan geli. Si Tringgiling Liang Batu sendiri yang mukanya tertutup sisik tebal tak kelihatan wajahnya apakah marah atau bagaimana. Tapi dari tenggorokannya keluar suara menggereng.

Wiro garuk-garuk kepala. "Maafkan aku!" katanya pada Hantu Jatilandak. Lalu dia ajukan pertanyaan pada makhluk bersisik. "Menurutmu Hantu Muka Dua akan datang tepat bulan purnama mendatang. Kira-kira kapan bulan purnama muncul di pulau ini?!"

"Jika aku tak salah hitung masih tiga hari dimuka," jawab TringgilingLiang Batu.

"Berarti kita masih punya waktu banyak untuk melakukan penyambutan!" kata murid Sinto Gendeng pula.

"Penyambutan bagaimana maksudmu?! Kita tak mungkin melawannya! Apalagi kalau dia sampai menebarkan bubuk belerang!" berucap Hantu Jatilandak.

"Sobatku Hantu Jatilandak! Kau tenang saja. Biar kami yang mengatur," jawab Wiro. Lalu dia berpaling pada Lakasipo. "Harap kau segera mencukur kumis, janggut dan berewokmu!"

"Buat apa?!" tanya Lakasipo. "Aku tidak mau!"

"Kalau kau tidak mau melakukan sendiri, biar dua ekor landak itu yang akan mengunyah habis janggut kumis serta cambang bawukmu!"

"Wahai! Sialan kau Wiro!" rutuk Lakasipo. "Kalau kau mau gila, gila sendiri saja. Jangan mengajak orang!"

Wiro menyengir. Tanpa perdulikan gerutuan Lakasipo dia berkata pada dua sobatnya. "Sobatku Naga Kuning dan Setan Ngompol! Kita bertiga bersihkan liang batu itu dari bubuk belerang. Lalu mandi membersihkan diri ke laut! Apa kalian tidak sadar kalau tampang kalian kuning semua seperti disedu dengan kunyit?! Ha ha ha!"

********************

EMPAT BELAS

Suasana di timur pulau terasa tidak seperti biasanya. Deburan ombak dikejauhan seolah tertahan oleh gaung suara angin yang terdengar aneh. Kegelapan malam menutupi kawasan bebukitan yang dikelilingi pohon-pohon jati rapat berduri. Saputan awan hitam di langit perlahan-lahan bergeser tertiup angin, membuat rembulan empat belas hari menyeruak muncul. Suasana perlahan-lahan menjadi terang.

Beberapa saat berlalu tanpa terjadi suatu apa. Di bagian yang berbukit batu, Tringgiling Liang Batu tegak rangkapkan tangan di depan dada. Sisik di muka dan tubuhnya tampak mencuat pertanda dia berada dalam keadaan tegang. Tiga langkah di sampingnya mendekam Laeruncing dan Laelancip. Lalu agak jauh dari tempat itu, dalam kegelapan di antara gundukan batu dan pohon-pohon jati tergeletak tiga sosok tubuh kecil.

Di bagian yang lain, di balik bayangan sebuah batu besar duduk bersila satu sosok seorang perempuan. Dia duduk menghadap ke arah liang batu. Tangan di atas paha, mata terpejam seolah tengah bersemadi. Dari sela-sela pohon jati berduri tiba-tiba menyeruak muncul satu sosok tinggi yang hanya mengenakan cawat dan tubuhnya dipenuhi duri-duri panjang lancip berwarna coklat. Dia bukan lain adalah Hantu Jatilandak. Orang ini melangkah tanpa suara mendekati makhluk bersisik.

"Kek, menurutmu apakah Hantu Muka Dua benar-benar datang malam bulan purnama ini? Jangan-jangan dia menipu kita!"

"Dia punya kepentingan. Dia pasti datang. Kita tunggu saja dan kuharap kau tetap berwaspada wahai cucuku..."

Baru saja Tringgiling Liang Batu berkata begitu tiba-tiba berkelebat satu bayangan hitam dan tahu-tahu laksana seekor elang malam dia hinggap di gundukan batu tinggi, tepat di depan lobang batu yang digenangi cairan merah. Orang ini bukan lain adalah si makhluk bermuka dua yakni Hantu Muka Dua. Sepasang matanya sebelah depan memandang tajam ke dalam lobang yang digenangi cairan merah.

"Hemmm... Memang kulihat ada darah di dalam lobang!" Wajah Hantu Muka Dua depan belakang yang berupa lelaki separuh baya menyeringai. Dia melirik tajam padaTringgiling Liang Batu lalu sesaat perhatikan Hantu Jatilandak.

"Kalian berdua harap mendekat!" Hantu Muka Dua memerintah. Makhluk bersisik dan makhluk berbulu duri landak segera mendekati Hantu Muka Dua.

"Wahai Hantu Muka Dua, aku dan cucuku sudah melakukan apa yang kau perintahkan. Lobang yang kaubuat di dalam batu itu telah kupenuhi dengan darah tiga manusia cebol bernama Wiro Sableng, Naga Kuning dan Setan Ngompol!"

Hantu Muka Dua kembali menyeringai. Dari dua bola matanya yang berwarna hijau dan berbentuk segi tiga membersit sinar aneh.

"Ada darah di dalam lobang batu! Pertanda niat besar akan menjadi kenyataan. Keris tak bergagang akan menjadi senjata bertuah! Tak ada tandingan di delapan penjuru angin. Negeri Latanahsilam akan berada dalam genggam kekuasaanku! Wahai! Hantu Muka Dua akan menjadi Raja Di Raja Negeri Latanahsilam! Ada darah ada nyawa yang terbang! Ada yang mati berarti ada mayat! Wahai Tringgiling Liang Batu! Wahai Hantu Jatilandak! Aku ingin melihat dimana mayat tiga manusia cebol yang telah kalian pesiangi dan kucurkan darahnya ke dalam lobang batu itu!"

Hantu Jatilandak melirik sekilas pada kakeknya lalu menunjuk ke arah deretan pohon di kegelapan.

"Mayat mereka aku tumpuk di sebelah sana. Silahkan kau memeriksa sendiri wahai Hantu Muka Dua!"

Hantu Muka Dua tatap sesaat tampang Hantu Jatilandak. Lalu dia melesat ke arah yang ditunjuk. Di tanah, di antara semak belukar dan pepohonan memang dia melihat tiga sosok katai tergeletak tak bergerak. Pada bagian lehernya terdapat garis hitam seperti darah mengering.

"Aku sendiri menggorok leher mereka dengan duri-duri di tanganku!" kata Hantu Jatilandak.

"Bagus! Tidak sia-sia aku memberi perintah pada kalian kakek dan cucu!"

Hantu Muka Dua memandang berkeliling. Tangannya siap mengeluarkan keris liuk tiga untuk dimasukkan ke dalam lobang berisi darah. Namun tiba-tiba dia ingat sesuatu.

"Kalian berhasil membunuh tiga manusia katai dari alam seribu dua ratus tahun mendatang itu! Lalu bagaimana dengan orang bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu?! Aku tidak melihat dirinya sejak tadi!"

"Maafkan kami wahai Hantu Muka Dua. Hantu Kaki Batu berhasil melarikan diri ketika kami sergap. Dia menghancurkan patung-patung kayu serta pohon-pohon jati. Dia melarikan diri dalam keadaan terluka parah. Sekali lagi kami mohon maafmu." Menjawab Tringgiling Liang Batu.

"Hemmm, begitu?" ujar Hantu Muka Dua. Sepasang pandangan matanya sebelah depan membentur liang batu yang sebelumnya menjadi sarang makhluk bersisik itu. "Mataku belum lamur, apa lagi buta! Tapi aku sama sekali tidak melihat bubuk kuning belerang di dalam liang ini! Apa yang terjadi?!"

"Dua hari lalu turun hujan lebat. Mungkin bubuk belerang itu ikut hanyut terbawa aliran air hujan..." yang menjawab sang kakek makhluk bersisik.

"Aneh! Tujuh puluh tahun silam aku pernah menebar bubuk belerang. Tak pernah dihanyutkan hujan. Atau mungkin selama tujuh puluh tahun hujan tidak pernah turun di pulau ini?! Ha ha ha! Lalu hanya dua hari lalu ada hujan turun katamu! Dan bubuk belerang sirna tiada berbekas seperti tiupan angin! Wahai! Sungguh aneh!"

Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak saling melempar pandang. Mereka mulai gelisah karena khawatir jangan-jangan Hantu Muka Dua sudah mencium ada yang tidak beres.

"Wahai Hantu Muka Dua, cucuku tidak berkata dusta!" berkata Tringgiling Liang Batu. "Kalaupun bubuk belerang itu lenyap, kurasa tidak ada sangkut pautnya lagi dengan diri kami. Bukankah kami telah menjalankan perintahmu? Kau tinggal memasukkan keris bertuah milikmu ke dalam genangan darah di dalam lobang batu. Kami akan menjaganya sampai tiga kali purnama. Setelah itu kami berharap kau tidak akan mengganggu kami lagi!"

Hantu Muka Dua manggut-manggut. "Jadi selama ini rupanya kalian merasa terganggu! Wahai! Mulai saat ini akan kupertimbangkan apakah aku masih merasa perlu mengganggu kalian atau tidak!" Lalu Hantu Muka Dua cemplungkan keris berluk tiga tanpa gagang yang sejak tadi dipegangnya ke dalam lobang batuberisi genangan darah.

"Ha ha ha! Makhluk bersisik dan makhluk berduri! Keris bertuah sudah kumasukkan ke dalam cairan darah. Tapi wahai! Ketahuilah! Percuma aku memiliki dua muka, dua otak dan empat mata kalau tidak bisa berpikir dan melihat jauh ke muka! Walau kalian sudah melaksanakan tugas dan keris luk tiga sudah kumasukkan ke dalam genangan darah tapi sampai tiga purnama yang akan datang aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja!"

"Apa maksudmu Hantu Muka Dua? Apa kau akan mengingkari janji seperti dulu lagi?!" tanya Hantu Jatilandak.

"Bagi Hantu Muka Dua tidak berlaku apa yang dinamakan janji. Yang berlaku adalah tipu, keji dan nafsu! Dan kalian berada di bawah kekuasaanku! Harus tunduk padaku! Aku mau lihat apa kalian berani menantang jika aku sebarkan lagi bubuk belerang di tempat ini!"

"Hantu Muka Dua! Memang tidak percuma kau dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu! Aku tidak suka pada makhluk sepertimu! Selagi rembulan masih bersinar, selagi jalan menuju ke pantai masih terang, mengapa kau tidak lekas angkat kaki dari pulau ini?!"

Terkejutlah Hantu Muka Dua mendengar ucapan itu. Karena orang yang bicara adalah sosok yang duduk di samping batu besar. Di hadapannya, mulai dari pangkuan sampai tanah selebar satu kali dua tombak tertutup oleh daun-daun dan rerumputan kering. Suaranya walau agak parau tapi menyerupai suara perempuan. Hantu Muka Dua melirik pada Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak. Dua orang ini tampak tenang-tenang saja. Hantu Muka Dua segera maklum ada yang tidak beres. Dua mukanya depan belakang langsung berubah menjadi muka-muka raksasa berkulit merah! Dia membentak.

"Wahai! Ada seorang perempuan gendeng rupanya di tempat ini! Tringgiling Liang Batu! Siapa perempuan yang duduk di samping batu besar itu!"

"Dia adalah istriku wahai Hantu Muka Dua! Terlahir tak bernama tapi dijuluki Hantu Monyong Penggali Liang kubur..."

Hantu Muka Dua kerenyitkan kening lalu tertawa gelak-gelak mendengar nama perempuan yang duduk bersila itu hingga perempuan itu perlahan-lahan buka dua matanya yang sejak tadi terpejam.

"Nama hebat! Aneh dan lucu! Orangnya kukira juga rada-rada sedeng! Ha ha ha! Wahai Tringgiling, apa istrimu memang punya pekerjaan sebagai tukang gali kubur? Ha ha ha! Baru kali ini aku tahu kalau kau punya istri! Hebatnya lagi dia punya nyali menyuruhku pergi dari pulau ini!" kata Hantu Muka Dua seraya melangkah ke dekat batu besar guna melihat lebih dekat perempuan bernama Hantu Monyong Penggali Liang Kubur itu.

Ternyata perempuan ini bertubuh besar, dadanya dan bahunya lebar. Kulitnya agak kehitaman. Di telinganya kiri kanan mencantel dua buah giwang terbuat dari tulang. Wajahnya tertutup bedak kasar setebal dempul. Alisnya tebal tak karuan sedang mulutnya selalu menjorok ke depan alias monyong dengan bibir dipoles sejenis cairan kental berwarna merah.

"Hantu Muka Dua," tiba-tiba perempuan bernama Hantu Monyong Penggali Liang Kubur berucap. "Pekerjaanku memang tukang gali liang kubur! Terus terang, wahai akupun sudah menyiapkan satu liang kubur untukmu! Jika kau berkenan cepat-cepat ingin masuk ke dalamnya. Hik hik hik! Silahkan...!"

Habis berkata begitu Hantu Monyong Penggali Liang Kubur lalu singkapkan rumput dan daun kering di depannya. Maka kelihatanlah satu lobang besar seukuran kubur manusia! Empat mata Hantu Muka Dua depan belakang mendelik besar, merah laksana saga!

"Perempuan bedebah keparat! Kau kira siapa dirimu! Suami dan Hantu Jatilandak saja tunduk padaku! Apa kau lebih hebat dari mereka?! Kau yang akan kupendam lebih dulu dalam liang itu!"

"Aku memang lebih hebat dari dua orang yang kau sebutkan itu Hantu Muka Dua! Kau boleh membunuh mereka semudah membalik telapak tangan! Tapi apa kau punya nyali membunuhku seorang perempuan?! Hik hik hik!"

Tersentaklah Hantu Muka Dua mendengar ucapan Hantu Monyong Penggali Liang Kubur itu. Dia baru ingat kalau dirinya punya satu pantangan besar yakni tidak boleh membunuh perempuan! Hantu Muka Dua menggeram marah. Dia segera merapal aji pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh lalu menghantam ke arah Hantu Jatilandak karena dia tahu pukulan sakti itu tidak sanggup menciderai apa lagi membunuh Tringgiling Liang Batu. Maka dia memilih membunuh Hantu Jatilandak lebih dulu.

Namun Hantu Jatilandak yang telah siap waspada sejak tadi-tadi, begitu melihat Hantu Muka Dua gerakkan tangan secepat kilat melompat ke balik batu besar.

"Braaakkk... Byaaarrr!"

Gundukan batu besar hancur leburdan berubah menjadi hijau lembek seperti lumpur! Walau tengkuknya menjadi dingin namun Hantu Jatilandak tidak tinggal diam. Dari atas dia dorongkan dua tangannya ke bawah. Puluhan duri runcing di sekujur kedua tangannya melesat menyambar ke arah Hantu Muka Dua!

Yang diserang menggerung keras lalu pukulkan tangan kanannya ke atas. Sambil memukul pergelangan tangan diputar demikian rupa hingga telapak menghadap ke atas ke arah Hantu Jatilandak. Deru angin laksana punting beliung menerpa keluar dari telapak tangan Hantu Muka Dua disertai berkiblatnya sinar merah.

"Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi!" teriak Tringgiling Liang Batu. "Jatilandak lekas menghindar!"

Lalu makhluk bersisik ini gerakkan tubuhnya. Sisik-sisik yang ada di tubuhnya mencuat ke atas. Bersamaan dengan itu puluhan paku hitam melesat ke arah Hantu Muka Dua!

Mendapat serangan puluhan duri dan paku bernama Paku Iblis Liang Batu Hantu Muka Dua terpaksa batalkan serangannya. Telapak tangan kirinya dikembangkan lalu dipukulkan ke tanah. Satu gelombang angin mengeluarkan cahaya hitam berputar laksana gasing, membuat tubuh Hantu Muka Dua melesat setinggi tiga tombak ke udara tapi terbungkus dalam gulungan cahaya hitam itu! Inilah ilmu kesaktian yang disebut Neraka Berputar Roh Menjerit! Suara putaran cahaya terdengar menggidikkan laksana jeritan puluhan makhluk yang tidak kelihatan.

"Tring Tringgg Tringgg!"

Paku-paku hitam serangan Tringgiling Liang Batu bermentalan. Beberapa di antaranya menghantam sosok Laeruncing dan Laelancip sepasang landak raksasa. Binatang ini menguik keras, kelojotan beberapa kali lalu bergulingan keras jauhkan diri dalam keadaan terluka cukup parah.

"Traakkk Traakkk Traakkk!"

Belasan duri sepanjang dua jengkal yang melesat dari tubuh Hantu Jatilandak berpelantingan hancur dihantam putaran Neraka Berputar Roh Menjerit dan dengan sendirinya tidak bisa kembali menancap ke tubuh Hantu Jatilandak.

"Wuuutttt!"

Putaran sinar hitam lenyap. Sosok Hantu Muka Dua tegak sambil tangan kiri berkacak pinggang. Mulut mengumbar tawa mengekeh sedang di tangan kanan dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah kantong kain berwarna kuning yang isinya sudah dapat ditebak yakni bubuk belerang kuning!

"Hantu Monyong Penggali Liang Kubur! Pantangan membunuh perempuan memang membuat aku tidak bisa membunuhmu! Tapi apa artinya hidupmu kalau dengan bubuk ini aku akan membuat suamimu Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak menjadi cacat lumpuh seumur hidup. Sekarat dan menemui ajal secara perlahan-lahan!"

Melihat apa yang ada di tangan kanan Hantu Muka Dua, Tringgiling Liang Batu dan Hantu Jatilandak segera melompat, menyelinap ke belakang Hantu Monyong Penggali Liang Kubur.

"Hantu Muka Dua, apa kau bisa melewati mayatku sebelum mencelakai suami dan cucuku?! Hik hik hik!" ujar Hantu Monyong Penggali Liang Kubur. "Lagi pula aku khawatir matamu sudah buta, penciumanmu sudah rusak dan otakmu tidak waras lagi! Apa betul di dalam kantong kain berbercak kuning itu isinya adalah bubuk belerang kuning?! Hik hik hik...! Coba kau periksa dulu isi kantongmu!"

Selagi Hantu Muka Dua terheran tidak mengerti atas apa yang diucapkan perempuan yang duduk bersila di depan lobang itu tiba-tiba tiga sosok kecil berkelebat dari balik semak belukar gelap di celah pepohonan. Satu cahaya putih menyilaukan disertai suara menggaung menghantam kaki kiri Hantu Muka Dua membuat orang ini terlonjak dan berteriak kesakitan.

Kantong kain di tangan kanannya terlepas jatuh. Hampir tak kelihatan, dalam gelapnya malam sesosok tubuh kecil melompat ke udara menyambar kantong kain berisi bubuk belerang itu lalu menggantikannya dengan sebuah kantong kain yang juga berwarna kuning tapi isinya lembek-lembek basah dan menebar bau!

Sementara itu darah mengucur dari luka di pergelangan kakinya. Hawa panas menjalar sampai ke mata kaki. Hantu Muka Dua tidak tahu apa yang barusan menyerangnya. Memandang ke bawah dia melihat ada satu sosok kecil menyelinap kebalik semak belukar. Selain itu tadi dia juga masih sempat melihat satu bayangan kecil menyambar dan tahu-tahu kantong kainnya yang jatuh lenyap entah kemana. Ketika Hantu Muka Dua hendak memandang sosok kecil yang menyelinap di balik semak belukar tiba-tiba dari samping kiri menyembur angin deras yang menebar bau pesing!

"Tiga makhluk katai jahanam! Pasti mereka!" teriak Hantu Muka Dua marah. "Tringgiling Liang Batu! Kau dan cucumu berani mati menipuku!"

Seperti tidak perduli lagi akan pantangannya membunuh perempuan Hantu Muka Dua angkat tangan kiri, siap hendak menghantam dengan pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Yang ditujunya adalah Hantu Jatilandak dan Tringgiling Liang Batu yang saat itu mendekam berlindung di balik sosok Hantu Monyong Penggali Liang Kubur.

Jika Hantu Muka Dua hendak membunuh kedua orang itu mau tak mau dia juga akan menewaskan si Hantu Monyong! Dan ternyata saat itu Wiro, Naga Kuning serta si Setan Ngompol telah menyelinap pula cari selamat di balik sosok perempuan itu.

"Hantu Muka Dua! Rupanya kau telah memilih mati bersamaku! Hik hik hik! Apa kelak rohmu merasa betah tergantung antara langit dan bumi? Hik hik hik! Apa kau melupakan begitu saja rencana besarmu hendak menjadi raja di raja segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini? Hik hik hik! Apa kau akan melupakan begitu saja segala kesenangan dunia? Meninggalkan gadis-gadis cantik peliharaanmu. Membiarkan Luhjelita kekasihmu jatuh ke tangan lelaki lain? Kalau aku laki-laki wahai! Pasti Luhjelita akan kujadikan gendakku seumur hidup! Hik hik hikk!"

Empat mata Hantu Muka Dua yang merah seperti saga laksana mau melompat keluar dari rongganya. Bibirnya yang tebal membuka menggeletar mencuatkan taring-taringnya. "Kalian jahanam semua! Tringgiling Liang Batu! Hantu Jatilandak! Ingat baik-baik! Negeri Latanahsilam memang luas. Tapi bisa juga sesempit genggaman tanganku! Tidak akan sulit bagiku untuk mencari dan membunuh kalian! Dan kalian tiga makhluk katai keparat! Jangan harap kalian bisa kembali ke negeri kalian! Daging dan tulang kalian akan kucincang untuk santapan guruku Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"

Habis berkata begitu Hantu Muka Dua berteriak dahsyat sambil menggebuk dada lalu putar tubuhnya. Tapi mendadak dia ingat pada kantong kain di tangan kanannya. Ketika dia perhatikan dia segera sadar kantong itu bukan kantong yang berisi bubuk belerang miliknya semula. Tapi sebuah kantong berisi cairan yang dari baunya jelas isinya adalah kotoran manusia!

"Jahanam sial dangkalan! Wahai! Siapa yang punya pekerjaan!" teriak Hantu Muka Dua menggeledek. Kantong kain dibantingkannya ke tanah.

Hantu Monyong, Tringgiling Liang Batu, Hantu Jatilandak, Wiro serta Naga Kuning dan Setan Ngompol tertawa terkekeh-kekeh.

"Jahanam! Aku bersumpah akan menguliti kalian semua! Dan kau Hantu Monyong! Kelak kau akan menjadi penghuni Ruang Obor Tunggal di Istanaku yang baru! Kau akan kusiksa, seumur hidup kau akan menderita! Mati tidak hiduppun tidak!" Hantu Muka Dua lantas putar tubuhnya.

"Wahai! Mengapa pergi terburu-buru Hantu Muka Dua!" Hantu Monyong Penggali Liang Kubur berkata. "Apa kau tidak mengambil dulu keris luk tiga milikmu yang tadi kau cemplungkan dalam lobang batu berisi darah?!"

"Mungkin dia takut! Bukankah darah dalam lobang itu adalah darah ayam hutan betina semua?!" kata Wiro pula.

"Jahanam keparat! Kalian semua tunggulah pembalasanku!" ucap Hantu Muka Dua dengan rahang menggembung. Saat itu sepasang kodok hijau besar melompat-lompat dari arah kegelapan. Dari atas tumpukan rumput kering dua binatang yang tengah bermesraan ini tiba-tiba melompat ke pangkuan Lakasipo. Karuan saja lelaki ini jadi tersentak kaget dan gemetaran menahan geli.

"Wahai! Sialan!" maki Lakasipo.

"Ada apa?" tanya Pendekar 212.

"Ada sepasang kodok besar masuk ke dalam selangkanganku! Aku tak kuasa menahan geli!"

"Biar kuambil. Kulempar keluar!" kata Naga Kuning.

"Jangan! Kalau lagi bermesraan kodok-kodok itu sangat buas! Gigitannya beracun sekali!" kata Lakasipo dan tubuhnya tergoncang-goncang menahan geli.

"Celaka! Dia kawin di bawah perutku! Aku benar-benar tidak tahan! Aduh... anuku!" Akhirnya karena tak tahan lagi Lakasipo berterik keras lalu melompat tegak.

Keadaannya ini membuat Hantu Muka Dua melihat jelas sosok bagian bawah Lakasipo, termasuk dua buah batu besar yang membungkus sepasang kakinya!

"Bangsat penipu! Wahai! Hantu Banci! Jadi kau Hantu Kaki Batu Lakasipo adanya!" teriak Hantu Muka Dua. Sekali berkelebat kaki kanannya menghantam dada Lakasipo hingga orang ini jatuh terjengkang tertelentang.

Sebelum Lakasipo sempat bergerak bangkit, Hantu Muka Dua sudah injak tubuh lelaki itu dengan dua kakinya. Tangan kanannya diangkat ke atas siap melepas pukulan maut Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi sedang tangan kiri didorongkan untuk hantamkan pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!

Dalam keadaan dan kejadian yang sangat cepat itu baik Tringgiling Liang Batu, Hantu Jatilandak, sertaWiro dan kawan-kawannya tak mampu memberi pertolongan. Hantu Muka Dua menyeringai.

"Selamat jalan ke alam roh wahai Lakasipo!" katanya. Dua tangannya bergerak.

Tapi tiba-tiba gerakannya tertahan. Mata Hantu Muka Dua menatap membeliak ke arah lengan atas sebelah dalam tangan kanan dekat ketiak Lakasipo.

"Wahai! Apa tidak salah apa yang aku lihat ini?!" ujar Hantu Muka Dua dalam hati. Bibirnya bergetar, dadanya seolah mau meledak akibat debaran keras yang tiba-tiba muncul. "Tanda bunga dalam lingkaran..." desis Hantu Muka Dua. Muka raksasanya yang sebelumnya merah mendadak sontak berubah menjadi dua wajah kakek yang pucat pasi. "Tidak mungkin! Tidak mungkin!" kata Hantu Muka Dua setengah berteriak.

Lalu tanpa menunggu lebih lama makhluk ini putar tubuh, melesat ke arah kegelapan dan lenyap ditelan kelamnya malam!

"Apa yang terjadi...?!" bertanya Tringgiling Liang Batu.

Lakasipo bangkit berdiri sambil pegang perutnya yang sakit bekas injakan Hantu Muka Dua. "Jelas dia hendak membunuhku. Tapi tidak jadi..."

"Dia berkali-kali menyebut kata-kata tidak mungkin. Apa gerangan yang tidak mungkin?" kata Naga Kuning pula.

"Mungkin tadinya dia naksir padamu Lakasipo. Tapi setelah tahu kau ternyata laki-laki dia jadi kecewa besar. Itu sebabnya dia berucap tidak mungkin berulang kali!" kata pendekar 212 Wiro Sableng pula.

Sosok Hantu Monyong Penggali Liang Kubur alias Lakasipo tiba-tiba keluarkan suara tawa bergelak. "Wahai! Nama yang kau berikan padaku wahai Pendekar 212 membuat aku terpaksa terus-terusan memonyongkan mulut! Lalu getah pohon yang kau poleskan sebagai bedak di mukaku ini! Wahai, mau regang seperti besi rasanya kulit wajahku! Dan sepasang kodok celaka yang kawin di selangkanganku itu!"

Semua orang yang ada di situ tertawa gelak-gelak. Naga Kuning menyikut Wiro dan Setan Ngompol. "Lihat si Hantu Jatilandak itu! Tidak sangka pohon hidup itu bisa juga tertawa!"

"Yang aku ingin tahu apa anunya juga ditumbuhi duri landak! Hik hik hik!" kata Wiro pula. "Seram sekali. Kurasa dedemitpun ngeri kawin dengannya! Ha ha ha!"

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol tertawa gelak-gelak.

"Wahai! Apa yang kalian ketawakan?" tanya Lakasipo.

"Anu... Ngggg... Sepasang kodok yang tadi kawin di selangkanganmu itu. Kalau si kodok betina bunting dan punya anak, anaknya tampangnya pasti miripmu! Ha ha ha...!"

Kembali tempat itu dipenuhi gelak tawa berkepanjangan. Hanya Lakasipo seorang yang tampak cemberut termonyong-monyong.

"Sudah! Jangan monyong lagi!" teriak Wiro. "Peranmu sebagai perempuan monyong sudah selesai! Ha ha ha ha!"

"Sialan! Satu hari akan kubalas perlakuanmu ini Wiro!" kata Lakasipo seraya mengikis sisa-sisa getah pohon yang masih tebal menutupi mukanya.

Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ingat sesuatu. "Hai! Bagaimana dengan keris sakti tanpa gagang yang tadi dicemplungkan Hantu Muka Dua ke dalam cairan darah di lobang batu?!"

"Betul?! Senjata sakti itu ditinggalkannya begitu saja!" ujar Naga Kuning.

"Biar aku ambil! Lumayan!" kata si Setan Ngompol pula.

Tringgiling Liang Batu si makhluk bersisik gelengkan kepala. "Hantu Muka Dua makhluk Segala Tipu, Segala Keji, Segala Nafsu! Dia tahu gelagat. Aku tidak yakin dia benar-benar memasukkan keris asli sakti bertuah itu ke dalam lobang darah. Kalau tidak percaya silahkan periksa sendiri!"

Setan Ngompol yang ingin sekali dapatkan keris sakti itu segera melompat lebih dulu. Dia membungkuk di tepi lobang batu yang dipenuhi dengan darah ayam hutan betina lalu tangannya dimasukkan ke dalam.

"Aku dapat!" seru si kakek sesaat kemudian seraya tarik keluar tangannya dari lobang. Dia kini memang kelihatan memegang sebilah keris luk tiga tanpa gagang. "Benar-benar senjata sakti. Enteng sekali dipegangnya..."

"Wahai! Karena benda itu bukan asli dan tidak terbuat dari besi. Tapi cuma tiruannya yang terbuat dari kayu!" kata Tringgiling Liang Batu.

Penuh rasa tidak percaya si Setan Ngompol remas keris yang dipegangnya.

"Kraaaakkk!" Benda itu remuk dalam genggamannya.

"Sialan! Aku tertipu!" maki sikakek, langsung jatuh terduduk dan pancarkan air kencing...!

Bersambung...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.