HANTU MUKA DUA
SATU
KURA-KURA raksasa itu tengah melayang pesat ke arah utara dan siap menukik menuju satu kawasan di mana terletak sebuah goa disebut Goa Pualam Lamerah. Mendadak binatang ini keluarkan suara menguik keras. Di bawah sana, dari kelebatan rimba belantara tiba-tiba melesat satu cahaya putih. Kalau saja penunggangnya tidak cepat bertindak, menarik kepala kura-kura ke belakang niscaya kepala binatang itu akan hancur!
"Ada pembokong jahat di dalam rimba!" kata si penunggang kura-kura raksasa dengan rahang menggembung dan mata melotot tak berkesip.
Dia adalah seorang gadis berparas cantik, rambut digulung di atas kepala, mengenakan pakaian berwarna Jingga. Gadis ini rundukkan kepalanya lalu berbisik pada binatang tunggangannya.
"Laecoklat, lekas kau melayang turun ke arah timur lalu berbalik dan terbang ke jurusan datangnya cahaya serangan tadi…"
Seolah mengerti kura-kura raksasa bernama Laecoklat itu kepakkan sayapnya demikian rupa hingga tubuhnya berputar ke arah timur. Di satu tempat kura-kura terbang ini berbalik dan melesat ke bawah. Menjelang mendekati kawasan dari arah mana tadi ada cahaya putih menyambar, gadis di atas kura-kura angkat tangan kanannya.
"Aku mau tahu siapa yang kurang ajar berani mencari perkara!" Lalu gadis ini pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar Jingga menggebubu.
Di bawah sana kelihatan daun-daun dan ranting pepohonan amblas bermentalan. Sebelum daundaun itu luruh ke tanah, kura-kura raksasa telah mendarat di satu tempat. Gadis di atasnya dengan cepat melompat turun lalu menyelinap sebat di antara pepohonan. Belum jauh bergerak, si gadis hentikan larinya. Mukanya merah mengetam pertanda geram. Dua tangannya dikepal. Dari mulutnya serta merta keluar suara bentakan.
"Memang sudah kuduga!! Kau rupanya biang racunnya! Tapi sungguh tidak kusangka! Bangsa Peri itu ternyata makhluk pengecut yang tega mencelakai orang dengan jalan membokong!"
Orang yang dibentak tertawa tawar. Sesaat dia usap kepala angsa raksasa di atas mana dia berada lalu melompat turun. Sambil rangkapkan dua tangannya yang bagus di atas dada, orang ini, yang adalah seorang gadis cantik bermata biru berkata dengan suara datar tenang-tenang saja.
"Gadis genit dan pongah Luhjelita! Wahai! Tak ada yang berlaku pengecut, tak ada yang berniat membokong! Kalau memang ada niat mencelakai pukulan sakti sinar putihku tadi pasti tak akan meleset!"
Mendengar ucapan orang, dara berpakaian Jingga jadi tambah penasaran. "Peri Angsa Putih! Katakan apa maumu?! Apa tamparanku beberapa waktu lalu masih kurang nyaman dan kau minta digebuk sekali lagi?!"
Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Hantu Tangan Empat antara Luhjelita dan Peri Angsa Putih telah terjadi bentrokan cukup hebat Luhjelita kemudian membawa Wiro dengan kura-kura terbangnya, meninggalkan Peri Angsa Putih dengan perasaan dendam penasaran. Dapat dimengerti kalau kini sang Peri menghadangnya di kawasan rimba belantara itu
Peri Angsa Putih tertawa panjang. "Luhjelita, aku mencegatmu di tempat ini untuk menanyakan sesuatu. Kemana kau bawa pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Apa yang telah kau lakukan terhadapnya!"
"Astaga! Jadi hati serta pikiranmu rupanya masih belum lepas dari mengingat pemuda satu itu!" Luhjelita geleng-gelengkan kepalanya. "Bukankah sudah jelas jelas kukatakan dia tidak menaruh hati padamu! Buktinya dia mau ikut bersamaku dan kau ditinggal begitu saja! Sungguh aku tidak mengerti. Lelaki itu suami mu bukan, kekasih juga bukan! Mengapa merepotkan diri mencarinya?!"
Merah padam paras Peri Angsa Putih mendengar ucapan Luhjelita. Rasanya ingin dia melabrak gadis itu saat itu juga.
"Luhjelita, jika pemuda itu ikut bersama mu apa kau mengira dia suka padamu? Kau memang pandai merayu, kau menjual kecantikanmu dengan bedak genit dan bujuk rayu. Selain itu kau juga mempergunakan ilmu kepandaianmu secara keji, memaksanya ikut bersamamu! Setelah itu pasti kau melakukan perbuatan tidak senonoh terhadapnya!"
Luhjelita tertawa sambil sepasang alisnya dinaikkan ke atas dan hidungnya dipencongkan. "Cemburu! Kau tidak dapat menyembunyikan rasa cemburu mu wahai Peri Angsa Putih. Padahal pemuda itu bukan suami bukan kekasihmu! Hik hik hik! Sungguh malang nasibmu wahaiPeri Angsa Putih. Tak mendapatkan cinta di atas langit sana, sampai-sampai keleleran ke Negeri Latanahsilam!"
"Gadis bejat berhati busuk! Dulu kukira hanya kaum lelaki di negerimu saja yang mendapat julukan hidung belang! Ternyata para gadisnya juga pantas mendapat julukan itu! Satu di antaranya adalah kau! Semua lelaki kau anggap bisa jatuh berlutut dihadapanmu! Satu hari kelak kau bakal kena batunya! Huh! Tak layak bagiku bicara lebih lama dengan manusia rendah sepertimu!" Habis berkata begitu Peri Angsa Putih balikkan tubuhnya, melangkah menuju ke Laeputih, angsa raksasa tunggangannya.
"Peri sinting! Kau yang mencari pangkal sengketa memancingku di rimba ini! Kalau pelajaranku tempo hari belum cukup biar kuberi pelajaran sekali lagi agar mulutmu tidak lancang! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara lancang menghina jika mukamu sudah kurobah menjadi muka setan!"
Sosok Luhjelita tiba-tiba melesat ke arah Peri Angsa Putih. Sepuluh jari tangannya yang memiliki kuku-kuku cukup panjang menyambar ke depan. Dari ujung-ujung kuku itu menderu kepulan asap berwarna Jingga! Yang diserang adalah wajah sang Peri!
"Sepuluh Kuku Iblis Menggurat Langit" seru Peri Angsa Putih kaget. Dia tahu betul keganasan ilmu yang dipergunakan Luhjelita untuk menyerangnya itu. Jangankan muka orang, batu keras sekalipun bisa hancur terkena cakaran sepuluh kuku itu!
Sambil berseru keras Peri Angsa Putih cepat menyingkir selamatkan wajahnya. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya menyembur dua larik sinar biru! Kini Luhjelita yang terkejut terkesiap dan buru-buru bersurut sambil tarik pulang serangannya.
"Wusss! Wusss!"
Dua larik sinar biru memapas satu jengkal di atas jari-jari Luhjelita Walau dia berhasil selamatkan dua tangannya namun tak urung Luhjelita jadi terhuyung-huyung karena kuda-kuda sepasang kakinya sempat goyah. Selagi dia berusaha mengimbangi diri Peri Angsa Putih memburu dan tangan kanannya berkelebat sangat cepat.
"Gadis binal tukang rayu! Aku kembalikan hadiah yang pernah kau berikan tempo hari!" Peri Angsa Putih berseru keras. Lalu...
"Plaaakk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Luhjelita. Gadis ini terpekik dan jatuh terduduk di tanah!
Darah berlelehan dari sudut bibirnya yang pecah. Pemandangannya sesaat berkunang-kunang. Tiba-tiba didahului suara menggembor Luhjelita melompat bangkit. Dua kakinya dikembangkan dan sedikit menekuk. Mulutnya komat-kamit sementara tangan kanannya yang diangkat ke atas diputar ke kanan. Angin sedahsyat puting beliung dan memancarkan sinar merah menderu keluar dari telapak tangan Luhjelita, membuat Peri Angsa Putih tersentak kaget.
"Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi" teriak Peri Angsa Putih. "Dari mana kau dapatkan ilmu itu kalau bukan dari Hantu Muka Dua!"
"Dari mana aku dapatkan boleh kau tanyakan pada setan di neraka langit ke tujuh!" jawab Luhjelita lalu tertawa bergelak.
Peri Angsa Putih palangkan dua lengannya didepan dada. Sepasang matanya memandang tak berkesip. Begitu dia anggukkan kepala dari tangan yang bersilang menyambar keluar satu gelombang sinar biru, menghantam laksana air bah memapasi sinar merah serangan Luhjelita! Inilah ilmu kesaktian bernama Membalik Langit Menggulung Bumi, merupakan satu ilmu langka yang dimiliki para Peri dan jarang sekali dikeluarkan kalau tidak dalam keadaan terdesak.
Seperti diketahui ilmu pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi yang dilancarkan Luhjelita adalah satu ilmu ganas yang bisa membuat musuh menemui ajal dengan sekujur tubuh terkelupas hingga tinggal tulang belulang. Di lain pihak ilmu Membalik Langit Menggulung Bumi yang dilancarkan Peri Angsa Putih memiliki kehebatan yang sanggup menggulung setiap serangan lawan yang datang lalu membalikkannya pada si penyerang.
Jika hal itu sampai terjadi maka Luhjelita akan mengalami nasib 'senjata makan tuan' yakni menemui ajal oleh ilmu kesaktiannya sendiri. Kini yang menentukan ialah tingkat kekuatan tenaga dalam masing-masing. Jika tenaga dalam Luhjelita lebih hebat maka Peri Angsa Putih akan menemui ajal secara mengerikan. Sebaliknya jika tenaga dalam sang Peri berada di atas lawan maka Luhjelita akan menemui nasib mengenaskan!
Dalam keadaan sangat menegangkan begitu rupa tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat disertai bentakan menggelegar menggetarkan seantero rimba belantara.
"Dua perawan tolol! Kawin saja belum! Mengapa nekad mencari mati?!"
"Wussss!" Satu sinar putih panas dan menyilaukan berkiblat di antara sinar pukulan sakti Luhjelita dan Peri Angsa Putih. Dua gadis itu sama-sama terpekik dan terpental.
Luhjelita menyangsrang di antara semak belukar. Lelehan darah di mulutnya tampak bertambah banyak. Kakinya terkangkang demikian rupa hingga auratnya terpampang tak karuan rupa. Peri Angsa Putih terguling di tanah. Dada pakaiannya tersingkap robek!dadanya mendenyut sakit.
Untuk beberapa lamanya ke dua gadis ini tak bisa bergerak, saling melotot lalu sama-sama berpaling ke satu arah di mana saat itu tampak seorang pemuda berambut gondrong terduduk menyeringai di tanah sambil garuk-garuk kepala.
DUA
Sepasang mata Luhjelita dan Peri Angsa Putih sama-sama terbuka lebar. Sementara itu dari atas hancuran rerantingan dan daun-daun pepohonan dalam keadaan hangus melayang jatuh menutupi bahu serta badan orang yang mereka pandangi.
"Pendekar 212…" desis Peri Angsa Putih.
"Wiro Sableng…" desah Luhjelita. Dalam hati gadis satu ini membatin agak gelisah. "Dia muncul disini. Jangan-jangan dia sudah tahu apa yang terjadi di tepi sungai kecil tempo hari…"
Pemuda yang jatuh terduduk di tanah itu memang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya. Saat itu dadanya mendenyut sakit dan jalan darahnya tidak teratur akibat bentrokan dengan kekuatan tenaga dalam dua gadis berkepandaian tinggi itu. Dia masih menjelepok di tanah seperti orang kesakitan. Padahal saat itu sebenarnya diam-diam matanya jelalatan melihat pemandangan yang tak mungkin terhindarkan.
Luhjelita masih melesak terkangkang di dalam semak belukar. Lalu di sebelah sana Peri Angsa Putih terguling dengan dada terbuka. Sang Peri sadar terlebih dulu. Dia segera rapatkan pakaiannya yang robek lalu berdiri. Luhjelita melompat keluar dari semak belukar lalu membenahi pakaiannya yang tersingkap awut-awutan di sebelah bawah.
Dua gadis cantik ini sama-sama memaklumi, kalau Wiro tidak muncul menengahi adu kekuatan tenaga dalam mereka, salah satu dari mereka saat itu pasti menemui ajal dan yang lainnya terluka hebat!
"Pemandangan asyik. Gila… Putih amat! Tapi sayang singkat sekali…" kata sang pendekar konyol sambil tersenyum lalu bangkit berdiri tak lupa garuk-garuk kepala.
"Kalian berdua," ujar Wiro. "Pasal lantaran apa maka hendak saling berbunuhan?"
Luhjelita yang cerdik dan pandai merayu segera berbuat sesuatu mendahului Peri Angsa Putih. Dia melangkah mendekati Wiro dan pegang lengan sang pendekar lalu bertanya, "Wiro, kau… Kau tak apa-apa? Maafkan diriku. Aku…"
Mendapat Perlakuan semesra itu tentu saja hati Pendekar 212 menjadi lebih menaruh perhatian pada Luhjelita. Namun karena tidak mau terpengaruh begitu saja Wiro mengulangi ucapannya tadi.
"Aku bertanya. Kalian masih tidak mau menceritakan silang sengketa apa yang ada di antara kalian?"
Peri Angsa Putih geleng-gelengkan kepala. Dia hendak menjawab namun lagi-lagi didahului oleh Luhjelita.
"Kau tahu sifatku wahai Wiro. Tak mungkin aku mencari lantai terjungkat membuat silang sengketa. Kalau tidak karena sangat terpaksa, bagiku sangat tidak layak melayani Peri dari langit ke tujuh ini. Kejadian di tepi telaga tempo hari, rupanya dia menaruh dendam lalu menghadangku di rimba belantara Ini. Bahkan sempat hendak membunuhku dengan cara membokong. Wahai, kalau saja tadi kau tidak muncul dan menolong kami dengan pukulan saktimu, niscaya peri jahat ini sudah kubuat melayang rohnya ke langit di atas sana!"
"Wiro, jangan percaya ucapannya!" kata Peri Angsa Putih setengah berteriak. "Walau hatiku memang sakit menerima perlakuannya namun tidak ada niat untuk membunuhnya, apa lagi secara membokong! Aku hanya ingin memberi peringatan pada gadis ini agar dia tidak bicara, bertingkah dan berbuat sembarangan! Ternyata sampai saat ini dia masih saja pandai bermanis mulut padahal diam-diam dia menebar bisa kejahatan di mana-mana!"
Luhjelita tertawa. "Mudah-mudahan pemuda sahabatku ini mau percaya akan apa yang kau ucapkan. Wahai, mengapa tidak kau katakan sekalian padanya bahwa kau tengah mencari-cari dirinya? Padahal seperti yang aku katakan padamu, dia bukan suami bukan pula kekasihmu!"
Wiro jadi heran mendengar kata-kata Luhjelita itu. Dilihatnya wajah Peri Angsa Putih menjadi merah. Sebenarnya dia punya banyak pertanyaan pada dua orang gadis itu tapi karena mereka saling berperang mulut pendekar kita hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Dia memang bukan kekasih juga bukan suamiku!" Peri Angsa Putih menyahuti ucapan Luhjelita. "Apapun hubunganku dengan dirinya bukan urusanmu! Aku tidak menyembunyikan sesuatu. Sebaliknya kau membekal niat buruk dalam hatimu. Bukankah kau sebenarnya kaki tangan Hantu Muka Dua?"
Luhjelita mendengus. "Lagi-lagi kau menyebut Hantu Muka Dua. Peri Angsa Putih, sungguh pandai kau bermain kata memutar lidah. Bukankah kau yang punya maksud jahat terhadap pemuda ini? Aku tahu semua tentang bunga mawar kuning yang hanyut di sungai kecil di satu bukit. Kalau bukan lindungan dari Para Dewa, sahabatku ini pasti sudah menemui ajal secara mengenaskan."
Kening Pendekar 212 jadi mengerenyit. Kata-kata Luhjelita itu mengingatkan Wiro pada kejadian beberapa waktu lalu. Dia segera bertanya. "Luhjelita, apa yang kau ketahui tentang bunga mawar kuning beracun itu?"
Luhjelita mencibir ke arah Peri Angsa Putih. "Tanyakan saja padanya. Dia yang punya pekerjaan! Tapi aku yakin dia akan menyangkal dengan seribu cara…"
Wiro berpaling pada Peri Angsa Putih. Setelah menatap wajah cantik berwarna biru itu sesaat dia lantas berkata. "Peri Angsa Putih, kita cukup lama bersahabat. Aku telah menanam budi padamu. Banyak pertolonganmu yang belum dapat aku balas. Sekarang, apakah kau mau mengatakan perihal mawar kuning beracun yang hampir mencelakai diriku itu?"
"Wiro, aku tidak tahu menahu perihal yang kau tanyakan itu. Bunga mawar kuning. Aku tidak mengerti…"
Luhjelita tertawa. Sambil kembali memegang lengan Pendekar 212 dia berkata. "Kau lihat dan dengar sendiri wahai Wiro. Bagaimana liciknya Peri ini. Masih bisa berpura-pura pada saat perbuatan kejinya sudah ketahuan!"
"Gadis bermulut busuk berhati culas! Perbuatan keji apa yang telah aku lakukan terhadap dirinya?!" kata Peri Angsa Putih hampir berteriak saking geramnya.
"Jika kau mau mendengar akan kubuka kedok kejahatanmu!" kata Luhjelita pula sambil mengerling dan tersenyum pada Wiro. Namun sebelum gadis ini meneruskan ucapannya. Wiro mengangkat tangan dan cepat berkata. "Luhjelita, biar aku yang menjelaskan padanya." Lalu Wiro memandang pada Peri Angsa Putih.
Sambil bicara dia memperhatikan sepasang mata biru si gadis untuk menjajagi apakah benar Peri cantik ini tidak tahu menahu perihal bunga mawar kuning yang hampir merenggut jiwanya itu.
"Tak lama setelah aku meninggalkanmu, aku sampai di sebuah bukit. Di situ ada telaga dan aliran sungai kecil. Ketika berada di tepi sungai kulihat sekuntum bunga mawar berwarna kuning dihanyutkan arus sungai. Karena belum pernah melihat bunga mawar berwarna kuning, apa lagi bentuknya indah sekali, bunga Itu kuambil. Ketika bunga kudekatkan ke hidung dan kucium, mendadak aku tidak sadarkan diri. Ketika siuman ternyata ada seorang kakek aneh berkepandaian tinggi menolongku… Menurut si kakek, bunga mawar kuning itu hanya tumbuh di lapisan langit ke tujuh dan merupakan bunga tanaman atau peliharaan bangsa Peri. Mendengar penjelasan itu aku menaruh syak wasangka bahwa ada seseorang yang bermaksud meracunku dengan bunga itu. Lalu karena bunga itu hanya tumbuh di negeri Para Peri, aku jadi… hemmm…"
Wiro tidak teruskan ucapannya. Dia garuk-garuk kepala dan tersenyum namun tetap mengawasi air muka terutama dua mata Peri Angsa Putih.
Mengenai bunga mawar kuning yang hampir mencelakai Pendekar 212 harap baca serial sebelumnya berjudul Hantu Tangan Empat
"Wahai… Aku tahu terusan ucapanmu Wiro. Karena bunga mawar kuning itu hanya tumbuh dinegeri kami kecurigaanmu tentu jatuh pada kami bangsa Peri…"
"Dan karena saat itu kau satu-satunya Peri yang berada di Negeri Latanahsilam maka jelas kaulah pelakunya. Bukankah begitu wahai sahabatku Pendekar 212 Wiro Sableng?" ujar Luhjelita pula memojokkan Peri Angsa Putih hingga sang Peri menjadi merah padam wajahnya. Sambil bicara Luhjelita kembali memegang lengan murid Sinto Gendeng.
Setelah menenangkan hatinya yang bergejolak marah Peri Angsa Putih berucap. Seperti Wiro tadi dia pun bicara dengan memandang tajam ke mata sang pendekar. Pertanda bahwa dia tidak bergeming untuk menyatakan kebenaran apa yang diucapkannya.
"Wiro, kalau aku boleh bertanya. Ketika kau meninggalkan diriku, dengan siapakah kau pergi dan kemanakah kau menuju?"
"Wiro, hati-hati dengan pertanyaannya! Dia pasti bersilat lidah memutar balik kenyataan!" Luhjelita langsung menimpali ucapan Peri Angsa Putih.
Peri Angsa Putih tetap mengarahkan pandangannya ke mata Wiro. Dengan tenang dia berkata. "Aku bicara padamu wahai sahabatku Wiro. Bukan dengan gadis itu. Jangan pegangannya pada lenganmu membuat hatimu menjadi luluh dan otakmu menjadi tumpul! Kebenaran tidak akan terkubur dengan rayuan semesra apapun!"
Wiro garuk-garuk kepala, memandang pada Luhjelita. Dia hendak menarik tangannya tapi pegangan Luhjelita justru tambah kuat sementara senyum dan kerling matanya tambah memikat.
"Wiro…" kata Luhjelita setengah berbisik. "Tidak ada gunanya bicara dengan Peri jahat ini. Ayo kita pergi saja dari sini "
"Wahai! Kau yang membuka pangkal cerita berbisa. Ketika bisa itu hendak berbalik menerkam dirimu kau buru-buru hendak tinggalkan tempat ini. Kau merasa takut kini Luhjelita?"
"Peri busuk! Siapa takutkan dirimu!" bentak Luhjelita dengan mata membelalang.
Peri Angsa Putih tersenyum. "Kau memang gadis pemberani. Terutama pada lelaki. Kau memang tidak takut padaku. Tapi kau takut kalau kedokmu terbuka sendiri!"
"Hai! Bagaimana ini!" ujar Wiro. Dia memandang pada dua gadis itu berganti-ganti.
"Jangan bingung sendiri wahai pemuda asing," ujar Peri Angsa Putih pula. "Jawab saja pertanyaanku tadi. Nanti kau akan tahu apa yang sebenarnya terjadi…"
"Tak sulit bagiku untuk menjawab!" kata murid Sinto Gendeng pula.
"Kalau begitu jawablah. Dengan siapa kau pergi, kemana kau menuju?" Peri Angsa Putih mengulangi pertanyaannya.
"Kau tahu sendiri karena kau juga melihat. Hemmm…"
Wiro garuk-garuk kepalanya dan memandang pada Luhjelita. Si gadis ini kembali layangkan senyum manja dan mesra seraya berbisik. "Kita pergi saja sekarang juga Wiro…"
"Aku pergi dengan dia…" kata Wiro pada Peri Angsa Putih.
"Kau pergi dengan gadis itu. Pergi kemana Wiro? Kau tentu bisa dan mau mengatakan," kata Peri Angsa Putih pula seolah menuntun.
"Waktu itu dia mengajakku pergi ke Goa Pualam Lamerah. Namun aku menolak dan akhirnya kami pergi ke sebuah bukit. Di situ ada telaga serta anak sungai yang kusebutkan…"
"Wahai, ingatanmu sangat jernih sekali Wiro. Jadi yang ada di tempat itu adalah kau dengan dia. Apakah aku juga ada di tempat itu?"
Pendekar kita gelengkan kepala.
"Berarti hanya kau dan dia yang berada di tempat itu. Jika kemudian ada bunga mawar kuning dihanyutkan air sungai, apakah mungkin aku yang menghanyutkannya padahal aku tidak ada di sana?"
"Mungkin saja kau muncul secara diam-diam. Dengan kepandaianmu kau bisa saja melakukan hal itu!" menukas Luhjelita.
"Kau tidak tuli wahai Luhjelita. Pemuda itu mengatakan di situ hanya ada kau dan dia…" kata Peri Angsa Putih.
"Pada saat kejadian itu, aku tidak lagi bersama-sama denganmu Wiro. Bukankah saat itu aku pergi mandi di telaga dan kau entah berada di mana! Kalau aku berniat jahat, mengapa tidak aku lakukan pada saat kau bersamaku?!"
"Luhjelita, kau memang betul. Aku tidak mengikutimu sampai di telaga…" kata Wiro pula.
"Berarti pada saat antara aku pergi dan kau berada sendiri di tepi sungai kecil, Peri ini muncul dan membuang bunga mawar beracun itu ke dalam aliran sungai karena dia tahu kau ada di tepi sungai, pasti kau akan melihat bunga itu dan mengambilnya"
"Wiro," kata Peri Angsa Putih masih dengan segala ketenangan, "Bunga mawar kuning itu katamu dihanyutkan arus sungai kecil. Apakah kau tahu dari mana atau di sebelah mana anak sungai itu berasal?"
"Kalau aku tidak salah dari telaga di lereng bukit…"
"Wahai, kau menjawab jujur dan polos. Lalu siapakah yang mandi saat itu di telaga di lereng bukit itu?"
Wiro terdiam tapi kemudian segera berpaling memandang ke arah Luhjelita. Di saat yang sama Luhjelita berteriak keras dan melompat ke arah Peri Angsa Putih. "Dasar Peri jahat! Kau putar balikkan kenyataan! Kau yang melakukan kebusukan malah kini menuduh diriku!" Tangan kanan Luhjelita berkelebat ke depan, melancarkan satu jotosan keras ke arah dada Peri Angsa Putih.
"Luhjelita! Siapa yang tidak kenal dirimu! Kau menebar bujuk rayu cinta di mana-mana. Tapi diam-diam kau membekal maksud busuk dalam hatimu!" balas berteriak Peri Angsa Putih. Dengan sebat dia hantamkan pula tangan kanannya ke depan.
"Bukkk!"
Dua lengan saling beradu keras. Dua gadis sama-sama terpekik dan mundur dua langkah. Peri Angsa Putih pegangi lengan kanannya yang tampak bengkak. Luhjelita terbungkuk-bungkuk menahan sakit. Di sela bibirnya terlihat darah mengucur pertanda dia mengalami luka dalam yang cukup berbahaya. Sambil terus melangkah mundur Luhjelita memandang penuh geram pada Peri Angsa Putih.
" Peri jahat! Kalau saat ini aku terpaksa pergi bukan karena aku takut! Jangan mengira kau telah mengalahkan aku! Lain waktu kalau bertemu aku akan menghajarmu habis-habisan! Jangan harap kau bisa menginjakkan kaki lagi di Tanah silam ini!"
"Luhjelita! Tunggu! Kau mau kemana?!" berseru Wiro.
"Wiro, mari sama-sama kita tinggalkan tempat ini. Jangan kau sampai terpengaruh dan tertipu oleh Peri jahat itu!"
"Harap maafkan aku Luhjelita. Kali ini aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Justru aku ingin kau tetap berada di sini agar masalah yang kita bicarakan bisa menjadi jelas "
Luhjelita kelihatan sangat kecewa. "Tak apa... Aku tahu kau mencurigai diriku. Kau telah termakan ucapan Peri jahat itu. Kuharap satu waktu kau akan sadar. Di balik wajahnya yang cantik itu ada maksud busuk yang akan mencelakai dirimu. Di balik sinar matanya yang biru bagus itu ada kobaran api yang akan membakarmu…" Dengan wajah sedih Luhjelita memutar tubuhnya. Ketika dia hendak melangkah pergi tiba-tiba ada dua sosok bayangan berkelebat. Luhjelita tampak kaget. Peri Angsa Putih tak kalah kejutnya tapi masih mampu berlaku tenang. Sebaliknya Pendekar 212 tegak terheran-heran.
"Luhjelita, kau memang harus segera meninggalkan tempat ini!" Tiba-tiba salah seorang yang barusan berkelebat muncul berkata. "Hantu Muka Dua sudah sejak lama mencarimu!"
Luhjelita pandangi orang yang bicara padanya itu sesaat lalu berkata. "Kemana aku mau pergi adalah urusanku sendiri…"
"Wahai! Aku khawatir Hantu Muka Dua tak sedap makan tak nyenyak tidur karena sudah lama tidak melihatmu. Jangan tunggu sampai dia jatuh sakit…"
"Memangnya aku ada hubungan apa dengan Hantu Muka Dua?!" hardik Luhjelita. Gadis ini keluarkan suara mendengus lalu berkelebat pergi dari tempat Itu.
"Wahai, galak amat dara satu itu. Pantas Hantu Muka Dua suka padanya. Hik hik hik!" Orang yang barusan bicara pada Luhjelita kini berpaling ke arah Peri Angsa Putih lalu tertawa bergolak.
"Sahabat-sahabatku, tidak sangka Peri yang hendak kita bunuh ini cantik sekali wajahnya. Kulitnya sehalus sutera. Putih dan mulus. Senyumnya semanis madu. Ha ha ha…! Kalau kalian berdua setuju biar kuperpanjang sedikit umurnya agar aku bisa bersenang-senang! Aku tidak takut kutukan Para Peri! Ha ha ha!" Orang ini ulurkan lidahnya berulang kali. Salah satu teman yang diajak bicara menjawabi.
"Dalam usia setua dan dosa karatan sekujur tubuh, aku tidak menampik menambah sedikit dosa. Apakah kau mau berbagi kesenangan denganku wahai sahabat?" Orang-orang yang barusan muncul itu lalu sama-sama tertawa bergelak.
TIGA
Orang yang berdiri paling dekat dihadapan Wiro dan Peri Angsa Putih saat itu adalah seorang kakek berkepala botak berwarna hitam. Hidungnya luar biasa besar hampir menutupi sebagian mukanya yang keriput. Orang ke dua juga seorang kakek, bertubuh kurus kering berambut seperti ijuk. Matanya cuma satu, yang satu lagi yakni yang sebelah kanan terkatup picak dan sengaja dipoles dengan cat warna merah.
Yang hebatnya, kakek ini tegak sambil mendukung seorang kakek lain di atas bahunya. Kakek ini juga memiliki rambut seperti ijuk tapi putih semua. Sambil duduk di bahu, si kakek tidak hentinya meniup sebuah seruling yang ujungnya ditancapi sebuah tengkorak. Suara tiupan seruling itu sember tak karuan.
Tapi si kakek tampak begitu asyik dan dia seperti tidak peduli tengahberada di mana, tidak acuh keadaan sekitarnya. Hidungnya kembang kempis dan pipinya terkempot-kempot. Setiap dia meniup, dari mulut, hidung, dua telinga dan sepasang mata tengkorak mengepul asap hitam!
Wiro dekati Peri Angsa Putih dan berbisik. "Dari omongan mereka aku menduga keras mereka adalah kaki tangan Hantu Muka Dua. Apa kau kenal siapa-siapa mereka ini?"
Belum sempat Peri Angsa Putih menjawab, kakek yang kepalanya botak hitam membuka mulut." Sobatku mata picak, apakah pemuda ini yang menurut pesan Hantu Muka Dua harus kita pesiangi dan kuras darahnya lewat ubun-ubun di kepalanya yang gondrong?!"
Yang ditanya kedap-kedipkan mata kirinya beberapa kali baru menjawab. "Wahai! Dari potongan tubuh dan ciri-cirinya memang tak salah!"
Mendengar ucapan orang murid Sinto Gendeng maklum kalau kakek-kakek itu jelas membawa niat yang tidak baik terhadapnya. Dia memandang pada kakek picak lalu kedap-kedipkan matanya meniru. Kemudian sambil sunggingkan seringai mengejek dia berkata,
"Matamu cuma satu, apa kau tidak keliru melihat bahwa aku orang yang dimaksudkan Hantu Muka Dua?!"
"Kau pandai melucu!" menyahuti kakek mata picak.
"Setelah urusan kami dengan Peri Angsa Putih selesai, kau akan kukirim ke tempat setan neraka melawak!"
"Wah! Hebat sekali! Baru kali ini aku tahu kalau di neraka sana ada tempat khusus untuk para setan melawak! Apa kau pernah mampir atau mungkin sudah melihat sendiri?!" Murid Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.
"Manusia tidak waras! Biar kubunuh kau sekarang Juga!" bentak kakek picak marah. Namun kakek botak kepala hitam cepat memberi isyarat.
"Sobatku, jangan kesusu. Jangan merusak suasana. Biarkan aku bersuka-suka lebih dulu dengan Peri cantik jelita ini!"
Lalu si kakek langsung saja mendekati Peri Angsa Putih sambil senyum-senyum dan kedip-kedipkan mata sementara kakek yang berada di atas bahu si picak terus saja meniup suling tengkoraknya. Asap hitam membumbung ke udara.
Pendekar 212 cepat menghadang."Kakek hidung cendawan, tunggu dulu! Jelas kau dan dua kawanmu Ini adalah kaki tangan Hantu Muka Dua! Heran, di usia sudah bau tanah begini rupa mengapa kalian masih saja mau berbuat jahat mencelakai orang lain?!"
"Hik hik hik…! Sahabatku Lahidung besar! Dengar pemuda itu! Enak saja kau disebutnya kakek hidung cendawan! Hik hik hik! Lucu memang tapi apa kau tidak jadi jengkel? Lekas katakan padanya kita bukan mau berbuat jahat! Tapi justru mencari pahala! Hik hik hik!" Yang bicara adalah kakek mata picak si pendukung kakek yang asyik meniup suling tengkorak.
Kakek yang dipanggil dengan nama Lahidung besar tertawa panjang. "Anak muda, kami membunuhmu bukan berarti berlaku jahat berbuat dosa. Tapi justru mencari pahala! Menurut Hantu Muka Dua kau telah membunuh seorang anak buahnya bernama Hantu Api Biru. Gara-gara kau dia juga kehilangan seorang pembantu utama bernama Si Pelawak Sinting. Apa tidak pantas kalau Hantu Muka Dua memerintahkan kami membalas dendam mencabut nyawamu, menguras darahmu lewat ubun-ubun. Kabarnya konon darahmu dan dua temanmu mujarab untuk menjadi peredam senjata hingga mampu menjadi senjata sakti mandraguna!"
"Ha ha ha!" Kakek mata picak tertawa. Lalu membentak."Sekarang agar kawanku Si Lahidung besar memberi sedikit pengampunan dan mencabut nyawamu secara enak, lekas kau beri tahu di mana dua kawanmu berada!"
"Makhluk-makhluk geblek!" maki Wiro. "Aku sudah bersumpah untuk membunuh Hantu Muka Dua! Karena kalian kaki tangannya ada baiknya kalian kutumpas lebih dulu!"
"Wahai sombongnya!" kata kakek mata picak.
"Hai! Kau majulah! Biar kuremas hidung cendawanmu sampai hancur!" Mengejek Wiro. Membuat Lahidung besar keluarkan suara menggeram marah.
Peri Angsa Putih mendekati Wiro dan cepat berbisik. "Jangan kau anggap enteng ke tiga kakek itu. Yang barusan kau tantang memiliki kepandaian hampir setingkat kakekku Hantu Tangan Empat "
"Apa?" ujar Pendekar 212 terkesiap kaget.
"Si botak itu sangat tinggi ilmunya. Kakek yang picak itu bernama Lapicakkanan. Ilmunya sulit dijajagi. Tapi yang sangat berbahaya adalah kakek berambut putih yang didukung di atas bahunya. Asap hitam dari suling tengkoraknya jika sampai masuk ke dalam tubuh bisa membuat aliran darah menjadi beku! Kakek satu ini setahuku bernama Lasulingmaut."
"Siapa takutkan mereka!" kata Wiro pula walau dia jadi garuk-garuk kepala dan tengkuknya mendadak menjadi dingin.
"Ikuti aku, melompat ke atas angsa putih. Kita harus cepat-cepat tinggalkan tempat ini sebelum terlambat!"
Mendengar bisikan Peri Angsa Putih, Wiro menjadi bimbang. Tapi akhirnya dia menjawab. "Kalau kau mau pergi silakan saja. Aku tetap di sini menghadapi tiga kakek sambal itu!"
"Wahai… Bagaimana ini?!" Peri Angsa Putih jadi bingung. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap berada di situ."
"Hai, kenapa tidak pergi!" Wiro menegur sementara Lahidungbesar dengan menyeringai telah bergerak mendekati Peri Angsa Putih. Sambil melangkah dia berkata,
"Lapicakkanan, kau bereskan si gondrong Ini. Aku akan meringkus Peri cantik ini. Kalau berhasil kau pasti akan mendapat bagian!"
Lapicakkanan tertawa bergelak lalu basahi bibirnya berulang kali sedang mata kirinya dikedipkan tiada henti. Di atas bahunya kakek yang bernama Lasulingmaut terus saja meniup sulingnya. Kelihatannya tambah asyik karena matanya sampai terpejam-pejam. Tiba-tiba Lahidungbesar menyergap ke depan.
Tangan kanannya menyambar ke arah Peri Angsa Putih. Gerakannya seperti orang hendak menotok. Ini adalah aneh karena setahu Wiro tidak satu orangpun di Negeri Latanahsilam memiliki ilmu menotok. Dengan cepat Wiro menghadang gerakan si kakek. Dia berhasil menelikung pinggang orang.
Sementara itu tanpa ada yang mengetahui, di atas sebuah pohon besar berdaun rimbun hingga sulit terlihat dari bawah, mendekam seorang berpakaian rumput kering warna hitam. Orang ini sulit dilihat wajah aslinya karena seluruh mukanya dilumuri dengan sejenis tanah liat. Lalu tanah liat ini masih dilapisi pula dengan sejenis jelaga berwarna hitam. Walau siang bolong begitu sosoknya tidak beda dengan sosok hantu. Entah sejak kapan dia berada di atas pohon itu. Yang jelas orang ini merasa sangat cemas menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana.
"Peri Angsa Putih, ilmunya tinggi. Mungkin tidak sulit baginya menghadapi kakek berhidung besar itu. Namun jika dikeroyok tiga dan kalau sampai kakek di atas dukungan turun tangan, wahai aku khawatir dia bisa kelabakan. Bahkan bakal cidera berat. Lalu pemuda asing berambut gondrong itu. Sampai di mana kehebatannya? Berdua dengan Peri Angsa Putih apa mungkin mereka menghadapi tiga kakek sakti kaki tangan Hantu Muka Dua? Aku ingin sekali menolongnya tetapi firasat menyuruh aku harus menunggu dulu sampai aku tahu siapa adanya sosok yang sembunyi di balik sayap angsa putih di sebelah sana. Tapi apakah aku bisa menunggu, kalau sampai salah satudari dua orang itu mendapat celaka berarti hidupku tambah tidak tenteram! Wahai mengapa nasibku jadi begini. Sementara orang yang kucari masih belum juga kutemukan"
Orang di atas pohon mendadak berkaca-kaca ke dua matanya. Dia cepat pergunakan tangan untuk mengusap mata lalu tetapkan hati. Sambil memperhatikan apa yang terjadi di bawah pohon sesekali dia mengerling memperhatikan sosok Laeputih, yakni angsa putih raksasa milik Peri Angsa Putih. Ada siapa sebenarnya di bawah salah satu sayap angsa raksasa ini?
Sesaat setelah orang bermuka hitam mendekam di atas pohon, secara tak sengaja dia melihat sepasang kaki putih muncul di balik sayap sebelah kiri angsa putih. Dari bentuk sepasang kaki itu dia bisa menduga itu adalah kaki milik seorang perempuan. Lebih dari itu dia tak bisa menerka namun mendadak saja dadanya berdebar. Kalau saja dia bisa melihat raut wajah perempuan yang sembunyi di balik sayap angsa itu.
"Anehnya, setahuku angsa putih itu galak terhadap siapa saja yang bukan tuannya. Tapi mengapa orang itu bisa enak-enakan sembunyi di bawah sayapnya tanpa si angsa menjadi marah…?" Orang di atas pohon kembali memperhatikan pergumulan antara Wiro dengan Lahidungbesar.
Begitu berhasil mencekal pinggang lawannya, dengan mempergunakan jurus Kincir Padi Berputar, Wiro angkat tubuh si kakek, siap untuk dibantingkan ke tanah. Tapi alangkah kagetnya murid Eyang Sinto Gendeng ketika mendadak dirasakannya sosok kepala botak hitam berhidung besar itu laksana seberat gunung! Dia tidak mampu mengangkatnya! Penasaran Wiro kerahkan tenaga luar dalam dan mencoba sekali lagi. Keringat sebesar-besar jagung bercucuran di keningnya.
"Kerahkan seluruh tenagamu anak muda! Keluarkan semua ilmu kesaktian yang kau miliki! Asal jangan kau keluarkan isi perutmu! Ha ha ha!" mengejek Lahidungbesar.
"Sialan, sebentar lagi kubanting kau sampai remuk!" kata Wiro dalam hati. Dia kerahkan tenaga habis-habisan.
Sosok Lahidungbesar terangkat tapi cuma setengah jengkal. Dan saat itu dari tubuh sebelah bawah murid Sinto Gendeng tiba-tiba saja keluar angin yang bersuara nyaring.
"Bruuuttt!"
"Brengsek! Mengapa aku sampai kentut!" Wiro memaki diri sendiri.
Lapicakkanan tertawa mengekeh. "Bangsat kurang ajar!" Lahidungbesar meludah dan memaki karena angin yang keluar dari bagian bawah si pemuda menyambar hidungnya dan baunya membuat dia mau muntah. Tiba-tiba kakek ini membuat gerakan aneh. Tahu-tahu kini Wirolah yang dicekalnya, ditarik keatas bahu lalu "braakk!" Pendekar 212 dibantingnya ke tanah!
EMPAT
Untuk sesaat lamanya pemandangan Wiro jadi berkunang-kunang. Tulang punggung serasa hancur. Selagi dia tidak berdaya seperti itu tiba-tiba Lapicakkanan melompat dan hunjamkan kaki kanannya ke dada Wiro!
"Amblas dadamu! Hancur jantungmu!" teriak Lahidungbesar.
Sesaat lagi kaki kanan Lahidungbesar benar-benar akan menghancur remuk tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng, tiba-tiba sebuah benda panjang berwarna biru yang menebar bau harum laksana seekor ular besar melesat antara telapak kaki Lahidungbesar dan permukaan dada murid Sinto Gendeng.
"Dessss!"
Lahidungbesar laksana menginjak lapisan karet yang kenyal. Kakinya terpental ke atas. Tubuhnya ikut melambung setinggi dua tombak. Ketika dia turun kembali dilihatnya Wiro telah berguling selamatkan diri dan sesaat kemudian tegak memasang kuda-kuda siap menghadapinya. Dengan geram Lahidungbesar berpaling ke kiri. Di situ dilihatnya Peri Angsa Putih tegak sambil memegang selendang sutera biru. Selendang inilah tadi yang dipergunakan sang Peri untuk menyelamatkan Wiro.
"Wahai! Peri Angsa Putih menolong pemuda asing. Ck… ck… ck…." Lahidungbesar decakkan lidahnya berulang-ulang. "Kalau tak ada hubungan apa-apa antara kalian berdua pasti kau tidak akan bertindak seperti itu wahai Peri Angsa Putih. Hemmm… aku membaui hal yang tidak enak. Lapicakkanan, lekas kau bunuh pemuda itu. Aku akan meringkus Peri bermata biru itu hidup-hidup!"
"Botak hitam hidung besar! Kalau kau berani mendekati Peri Angsa Putih kupanggang tubuhmu saat ini juga!" Wiro membentak sambil Periahan-lahan tangan kanannya diangkat.
Lahidungbesar tertawa bergelak. "Barusan kau hampir mampus di tanganku! Selamatkan diri saja belum mampu bagaimana kau bersombong diri hendak menolong Peri ini?!"
Walau tertawa dan menganggap enteng Pendekar 212 namun diam-diam Lahidungbesar merasa kaget ketika memperhatikan bagaimana tangan kanan pemuda berambut gondrong di hadapannya tiba-tiba bergetar dan berubah menjadi putih menyilaukan seolah terbungkus seduhan perak! Lahidungbesar bukan seorang penakut atau mudah menjadi kecut. Namun karena ingin cepat-cepat menguasai Peri Angsa Putih maka dia memilih berlaku cerdik.
"Lapicakkanan!" seru Lahidungbesar pada kakek yang mendukung LasulingmauL "Aku tak begitu bernafsu menghadapi si gondrong itu! Aku lebih bernafsu menghadapi Peri Angsa Putih!"
Habis berkata begitu tanpa tunggulebih lama si hidung cendawan itu melesat ke hadapan Peri Angsa Putih. Seperti tadi tangan kanannya bergerak seolah hendakmenotok. Peri Angsa Putih mundur dua langkah lalu kebutkan selendang sutera di tangan kanannya.
"Wutttt!" Sinar biru bertabur di udara. Laksana sebuah jala besar siap melibas sosok Lahidungbesar. Tapi si hidung besar ini tertawa bergelak. Begitu selendang sutera biru menyambar dia sengaja susupkan diri, masuk ke dalam selubungan selendang. Selanjutnya dia membuat gerakan bergulung ke arah lawan.
Peri Angsa Putih berseru kaget ketika tahu-tahu lawan telah berada hanya satu langkah di hadapannya. Dengan cepat gadis ini hantamkan tangan kanannya kebatok kepala Lahidungbesar. Ini adalah satu serangan dahsyat yang jika mengenai sasaran akan membuat rengkahnya batok kepala. Namun gerakan Peri Angsa Putih masih kalah cepat dengan gerakan tangan kanan Lahidungbesar. Begitu tangan kanan kakek botak itu menyambar didepan lehernya, Peri Angsa Putih merasakan ada satu sambaran angin yang menusuk urat besar ditenggorokannya. Selendang biru di tangan kirinya terlepas jatuh.
Lehernya seperti dicekik. Tubuhnya serta meria menjadi lemas. Sang Peri cepat kerahkan tenaga dalam serta alirkan darah ke leher tapi sia-sia saja. Diatakmampu membebaskan diri dari kekuatan yang menguasai dirinya. Di atas pohon, orang yang mukanya dilumuri tanah liat hitam mendesah penuh kaget.
"Wahai! Ternyata Lahidungbesar benar-benar telah memiliki Ilmu Menjirat Urat. Aku harus cepat menolong Peri itu!"
Orang ini segera hendak melayang turun. Namun hentikan gerakannya ketika tiba-tiba di bawah sana dilihatnya pemuda berambut gondrong melompat mendekati Lahidungbesar yang telah memanggul tubuh Peri Angsa Putih di bahu kirinya.
"Hidung besar hidung belang! Turunkan gadis itu! Kalau tidak kutambus tubuhmu saat ini juga!"
Lahidungbesar tertawa mengejek. "Kau mau menembus tubuhku! Silakan saja! Wahai sungguh senang mati berdua sambil memeluk gadis jelita ini!"
Meski kelihatannya menganggap enteng lawan namun diam-diam kakek kepala botak berhidung besar ini merasa was-was juga ketika melihat bagaimana tangan kanan Wiro berubah menjadi putih menyilaukan seperti seduhan perak tertimpa sinar matahari. Maka cepat dia berkata pada Lapicakkanan.
"Kau hadapi si gondrong itu! Aku akan membawa Peri ini ke Istana Kebahagiaan. Kutunggu kau di sana…"
"Pergi saja cepat! Pemuda otak miring ini biar aku dan Lasulingmaut yang membereskan!" menjawab Lapicakkanan.
Lahidungbesar cepat berkelebat namun gerakannya tertahan karena di hadapannya telah menghadang Pendekar 212.
"Tua bangka jahanam berhidung besar! Kau membuat aku nekad!" Habis membentak murid Sinto Gendeng langsung saja hantamkan tangan kanannya.
Sinar putih menyilaukan berkiblat. Hawa panas menerpa Seantero tempat. Beberapa mulut keluarkan teriakan kaget. Orang di atas pohon tersentak!
"Pemuda gila! Walaupun dia berhasil membunuh kakek itu, apa dia tidaksadar pukulannya juga akan menghabisi Peri Angsa Putih?!"
Orang di atas pohon serta merta melompat turun sambil tangan kanannya dipukulkan ke bawah. Namun lagi-lagi gerakannya tertahan karena tiba-tiba kakek yang ada di atas dukungan Lapicakkanan dan sejak tadi asyik terus meniup suling tengkoraknya, mendadak cabut suling tengkoraknya lalu disapukan ke bawah!
Asap hitam menggebubu keluar dari setiap lobang yang adadi tengkorak, menyambar dahsyat menghantam cahaya putih panas pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Blaaarrr! Blaaar! Blaaarr!"
Letupan keras disertai pancaran bunga api terang benderang menggema tiga kali berturut-turut. Wiro terpental dan bergulingan di tanah. Mulutnya terasa asin. Ketika dia meludah, ludahnya kelihatan merah bercampur darah pertanda ada bagian tubuhnya yang terluka di sebelah dalam. Dia ingat ucapan Peri Angsa Putih.
Yaitu bahwa asap hitam yang keluar dari dalam tengkorak yang menancap di seruling Lasulingmaut sanggup membuat darah lawan menjadi beku. Wiro segera bangkit, gerakkan tangan dan kakinya. Dia merasa lega karena walau di dalam ada luka tapi lebih dari itu keadaannya tidak kurang suatu apa. Namun murid Eyang Sinto Gendeng ini melengak kaget ketika dilihatnya kakek bernama Lahidungbesar tak ada lagi di tempat itu.
"Celaka! Jahanam hidung besar itu kabur bersama Peri Angsa Putih!"
Baru saja Wiro berkata begitu di samping kanan terdengar suara tawa mengekeh disusul oleh tiupan seruling sember. Wiro menoleh. Kakek picak memandangnya dengan seringai serta tawa mengejek. Di atas dukungannya kakek berambut putih tampak asyik meniup suling tengkoraknya seolah di tempat itu tidak terjadi apa-apa. Walau memperhatikan hanya sebentar dan diselimuti hawa marah namun murid Sinto Gendeng melihat satu keanehan. Tadi-tadi tengkorak di ujung seruling itu selalu mengepulkan asap hitam. Namun sekali ini tidak sedikitpun tampak asap hitam.
"Apa yang hendak dilakukan jahanam satu ini. Aku harus berhati-hati…" kata Wiro membatin. Rahangnya menggembung. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan. Tubuhnya bergetar tanda kali ini Wiro siap mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
Lapicakkanan tertawa mengekeh lalu kembali sunggingkan seringai mengejek. "Pemuda gondrong! Kuras seluruh tenaga dalam yang kau miliki! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan orang dari negeri yang katanya seribu dua ratus tahun lebih maju!"
"Jangan terpancing! Jangan lakukan apa yang dikatakannya! Jangan kerahkan seluruh tenaga dalam! Semakin kau mengerahkan semakin mudah baginya melumat dirimu!"
Tiba-tiba satu suara menggema dari atas pohon. Wiro belum sempat berpaling Lapicakkanan dongakkan kepala dan gerakkan mata kanannya yang picak tertutup cat merah. Selarik sinar merah menderu.
"Wussss!"
Pohon besar di atas sana mendadak sontak dilamun kobaran api. Lebih dari setengah bagian atas pohon ini kini tampak gundul hangus. Tapi orang yang tadi berada di tempat itu telah berkelebat lenyap. Lapicakkanan menggeram marah. Dia mendongak pada orang yang didukungnya.
"Wahai Lasulingmaut, siapa menurutmu bangsat di atas pohon tadi yang tahu kelemahan ilmu Asap Iblis Pembeku Darah milikmu itu?!"
Kakek di atas dukungan lepaskan ujung suling dari mulutnya. Lalu keluarkan suara jawaban bergumam yang hanya diketahui dan dimengerti oleh kakek pendukung. "Kau betul, pasti keparat berjuluk Penolong Budiman. Sudah dua kali dengan ini dia menggerecoki kita. Kita harus segera mencarinya!"
Kakek di atas dukungan kembali keluarkan suara bergumam. Kakek yang mendukungnya tampak kecewa tapi berucap. "Kau benar. Memang bukan saatnya mengejar bangsat satu itu…"
Kakek di atas dukungan tiba-tiba rundukkan kepalanya. Mulutnya meniup ke arah Wiro. Kalau tadi asap hitam menderu keluar dari semua lobang yang ada di tengkorak, kini asap itu menyambar dahsyat dari mulutnya yang meniup.
Sesaat murid Eyang Sinto Gendeng jadi bingung apa yang hendak diperbuatnya. Kalau dia ingat akan ucapan orang di atas pohon tadi dia tidak boleh menyambuti serangan asap maut Itu dengan pengerahan tenaga dalam. Tapi apa masuk akal? Dengan tenaga dalam tinggi saja tadi dia tidak mampu menghadapi serangan asap. Apa lagi tanpa tenaga dalam sama sekali!
Dalam bingungnya Wiro akhirnya cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Begitu tenaga dalam disalurkan ke senjata mustika itu dia langsung membabat. Sinar putih panas disertai gaungan seolah ada seribu tawon mengamuk seperti hendak meruntuhkan langit membelah bumi!
"Pemuda tolol! Mempergunakan senjata sakti itu sudah betul! Tapi dia masih saja mengerahkan tenaga dalam!" Orang bermuka tanah liat hitam memaki sendiri melihat apa yang dilakukan Wiro.
Ucapan itu terdengar di balik serumpunan semak belukar. Seperti ada petir menghantam bumi, rimba belantara itu sesaat terang benderang. Tanah terbongkar. Nyala api disertai gulungan asap hitam menggebu. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari tangan Wiro. Di atas bahu kawannya kakek berambut putih kembali meniup.
"Wussss!"
Semburan asap hitam menyambar ke arah Wiro yang saat itu berusaha menangkap kapak saktinya yang tengah melayang jatuh ke bawah.
"Benar-benar tolol! Mencari mati!" Dari balik semak belukar kembali terdengar suara orang. Lalu...
"Seetttt… seett!" Menyambar selarik sinar hitam yang mengembang berbentuk kipas. Sinar hitam ini bukan sinar hitam biasa karena disertai serpihan-serpihan aneh berbentuk bunga-bunga api yang memancarkan cahaya berkilauan.
"Pukulan Menebar Budi Hari Ke tiga!" seru Lapicakkanan dengan tampang berubah sementara di atasnya kakek berambut ijuk warna putih menggumam keras. Keduanya kaget dan kecut ketika melihat bagaimana cahaya hitam berbentuk kipas itu mendorong dengan dahsyat pukulan Asap Iblis Pembeku Darah yang disemburkan Lasulingmaut. Dua kakek terdorong ke belakang. Tubuh mereka bergetar hebat.
Kakek di sebelah atas cepat melintangkan suling tengkoraknya di depan dada. Lalu benda ini diputarnya seperti titiran. Walau dia dan kawannya masih merasakan adanya tekanan cahaya hitam lawan yang tak kelihatan namun dua kakek aneh itu merasa lega karena mereka mampu meredam serangan mematikan itu. Ketika cahaya hitam yang disebut Pukulan Menebar Budi Hari Ke tiga itu menyapu lewat di bawah kaki mereka si kakek sebelah atas keluarkan lagi suara bergumam. Kali ini lebih keras.
"Aku tahu, aku sudah dengar Lasulingmaut! Walau hatiku panas memang ada baiknya kita tinggalkan tempat ini! Urusan dengan pemuda gondrong itu biar kita selesaikan lain waktu. Sialan… Keparat betul! Dia muncul lagi! Seperti dulu setiap muncul dia tak pernah memperlihatkan diri!"
Lapicakkanan pegang pinggang kakek yang didukungnya lalu bersiap memutar diri untuk tinggalkan tempat itu. Namun baru membuat setengah lingkaran tiba-tiba satu cahaya menyilaukan menyambar ke arah dadanya. Bersamaan dengan itu ada suara menggaung aneh disertai hantaman hawa luar biasa panas.
Sambil berteriak keras kakek bermata picak ini melompat mundur. Kakek yang didukungnya menggumam keras lalu cepat-cepat kembangkan dua kakinya. Sambaran sinar menyilaukan yang bukan lain adalah sabetan Kapak Maut Naga Geni 212 lewat di dada Lapicakkanan dan hanya seujung kuku memapas di atas dua kaki Lasulingmaut.
"Pemuda keparat! Mampus kau!" teriak Lapicakkanan marah sekali. Matanya yang picak digerakkan.
Namun belum sempat dia menyemburkan api merah dari matanya itu kapak sakti warisan Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede kembali membabat. Sekali ini Lapicakkanan tak bisa mengelak. Kaki kirinya sebatas paha amblas papas dimakan Kapak Maut Naga Geni 212. Darah menyembur. Tubuhnya mendadak sontak digerogoti hawa panas.
Lapicakkanan meraung keras. Lasulingmaut yang ada di atasnya melompat turun sambil tangannya melemparkan sesuatu. Saat itu juga terdengar letupan keras lalu asap pekat kelabu menutupi pemandangan. Ketika asap itu lenyap, dua kakek aneh tak ada lagi di tempat itu.
Wiro hentakkan kaki penuh geram. Dia memandang berkeliling. Mencari-cari. Tidak tampak siapa-siapa. Bahkan orang di atas pohon dan kemudian bersembunyi di balik semak belukar, yakni orang yang tadi menolongnya dari serangan Asap Iblis Pembeku Darah juga tidak kelihatan. Di udara terdengar suara menguik. Wiro cepat mendongak. Dia melihat Laeputih melayang terbang menuju ke timur. Di punggungnya duduk perempuan berambut lepas, panjang terurai ditiup angin.
"Aneh, angsa putih raksasa itu adalah milik Peri Angsa Putih. Lalu siapa perempuan yang menungganginya itu. Hendak dibawanya kemana angsa itu? Mengapa Laeputih bersikap jinak?"
Selagi Wiro memperhatikan sambil bertanya-tanya, tiba-tiba di arah barat tampak melayang kura-kura raksasa ditunggangi perempuan berpakaian Jingga.
"Luhjelita," desis Wiro. "Ternyata dia masih ada di sekitar sini. Melihat arah terbangnya jelas dia seperti mengikuti angsa putih. Aku harus menolong Peri Angsa Putih! Kakek keparat bernama Lahidungbesar Itu pasti membawanya ke Istana Kebahagiaan! Aku akan menyusul ke sana. Tapi bagaimana dengan Naga Kuning dan Si Setan Ngompol? Apakah mereka telah berhasil mendapat kesembuhan dari Hantu Raja Obat?"
Sesaat Wiro jadi bimbang. Akhirnya dia tetap mengambil Keputusan untuk berangkat menuju Istana Kebahagiaan. Ketika dia hendak bergerak pergi mendadak pandangannya membentur selendang biru milik Peri Angsa Putih yang tadi terjatuh di tanah. Wiro segera ambil selendang ini, melipatnya lalu memasukkannya kebalik pakaiannya.
********************
LIMA
Diatas sebuah pembaringan batu yang dialasi permadani dan bantal-bantal empuk terbuat dari rumput kering, Hantu Muka Dua berbaring dengan mata terpejam, ditemani setengah lusin gadis cantik berpakaian serba minim. Diantara mereka ada yang memijat-mijat tangan atau kaki, ada pula yang memijit-mijit kepalanya. Seorang gadis bermuka bulat berbadan sintal sesekali menyuapkan sejenis buah menyerupai anggur ke dalam mulut Hantu Muka Dua yang saat itu terbaring dengan penampilan wajah seorang lelaki separuh baya.
Sudah beberapa kali gadis ini berusaha memasukkan buah itu kedalam mulut Hantu Muka Dua, namun Hantu Muka Dua enitah apa sebabnya sejak tadi selalu mengatupkan mulut. Di sisi kanan bersimpuh gadis ke enam, gadis paling cantik dari semua gadis yang ada di ruangan itu. Gadis ini memegang sehelai kipas daun yang dikipas-kipaskannya ke arah Hantu Muka Dua dan menebar bau harum. Beberapa waktu berlalu tanpa ada yang berani bicara dan Hantu Muka Dua masih saja berbaring dengan mata terpejam.
Gadis yang memegang kipas bernama Luhkiniki. Diantara semua gadis yang ada di Istana Kebahagiaan Itu memang yang satu ini adalah kesayangan Hantu Muka Dua dan lebih berani dari yang lain-lainnya.
"Wahai Hantu Muka Dua, Junjungan kami para penghuni Istana Kebahagiaan, Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam. Sejak tadi kau berbaring berdiam diri pejamkan mata. Mungkinkah sakit menjangkit badan atau adakah sesuatu yang kurang mengenakkan? Kalau memang berkenan di hati sudilah Junjungan memberi jawaban."
"Jangan ganggu aku dengan berbagai ucapan dan pertanyaan. Aku tidak sakit! Tapi sedang kalut pikiran. Banyak yang aku pikirkan saat ini! Kalian lakukan saja apa kewajiban kalian! Dan awas! Jangan suapi lagi aku dengan buah celaka itu! Jangan berani berisik apa lagi bertanya!"
"Wahai Junjungan, maafkan kami kalau berlaku menyakiti hatimu. Tidak maksud hati berlaku kurang ajar. Kalau memang ada kekalutan pikiran dan kau mau menceritakan, siapa tahu kami bisa membantu…" berucap gadis yang memegang kipas.
"Luhkiniki, aku sayang padamu. Tapi saat kalut begini jangan kau berbanyak mulut! Jangan kira aku tidak tega menampar mukamu yang cantik itu!"
Mendengar kata-kata Hantu Muka Dua itu, gadis bernama Luhkiniki memandang pada lima kawannya lalu tutup mulutnya tak berani bersuara lagi. Beberapa waktu lagi berlalu. Sesekali Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti mendengkur. Tapi semua gadis itu tahu sang Junjungan bukan tengah tertidur lelap. Tiba-tiba Hantu Muka Dua bergumam. Lalu mulutnya terbuka.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin!"
Dua wajah Hantu Muka Dua depan belakang tampak mengucurkan keringat sebesar butiran-butiran jagung. Kalau saja tidak takut kena marah, Luhkiniki sebenarnya ingin bertanya apa yang tidak mungkin itu. Namun karena takut gadis ini dan kawan-kawannya lebih baik memilih diam. Mendadak Hantu Muka Dua bangkit dari berbaring. Duduk di pembaringan, memandang berkeliling. Lalu berkata lagi.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin Lakasipo! Tidak mungkin kau saudaraku! Tanda berbentuk gambar bunga dalam lingkaran yang ada di bawah lengan dekat ketiak kananmu itu mungkin hanya satu kebetulan saja! Kita tidak bersaudara. Haram bagiku bersaudara denganmu! Seharusnya aku bunuh kau saat itu Lakasipo! Tapi jahanam betul! Mengapa aku berlaku tolol! Mengapa tidak aku lakukan!"
Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jati Landak di sebuah pulau terjadi pertarungan hidup mati antara Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dengan Hantu Muka Dua. Saat itu Hantu Muka Dua hendak menghabisi Lakasipo. Hampir Hantu Muka Dua akan merenggut nyawa lawannya itu tiba-tiba dia melihat tanda seperti jarahan berupa gambar bunga dalam lingkaran di lengan sebelah dalam dekat ketiakkanan Lakasipo.
Dia serta merta ingat pada tanda yang sama yang ada pada lengannya sebelah dalam dekat ketiak kanan. Terbayang oleh Hantu Muka Dua wajah seorang kakek bernama Lamanyala. Terngiang di telinganya ucapan orang tua itu.
"Ketahuilah, kau memiliki tiga orang saudara. Semuanya laki-laki. Ketika banjir besar melanda daerah tempat kediamanmu puluhan tahunsilam, kalian berempat dihanyutkan air bah ke empat penjuru angin. Semua saudaramu masih hidup. Begitu kabar yang aku sirap. Namun di mana mereka berada tidak aku ketahui dan tidak aku selidiki. Satu hal yang aku ketahui kalian berempat memiliki tanda aneh di bawah lengan kanan sebelah atas, dekat ketiak. Tanda itu berupa gambar setangkai bunga dalam lingkaran…"
Hantu Muka Dua memandang berkeliling. Pandangannya berhenti pada wajah jelita Luhkiniki. Memberanikan diri gadis ini berkata. "Wahai Hantu Muka Dua, Raja Diraja Segala Hantu, penguasa Kerajaan yang berpusat pada Istana Kebahagiaan, hal apakah yang tengah kau alami? Tadi matamu terpejam tapi kau tidak tidur. Kau tiba-tiba bicara sesuatu tetapi kau tidak mengigau. Kau menyebut-nyebut tidak mungkin. Apa yang tidak mungkin wahai Hantu Muka Dua. Tidak dapatkah kami menolongmu dari kekalutan yang membuncah pikiranmu?"
Hantu Muka Dua sesaat masih menetap Luhkiniki. Kemudian dia memandang ke pintu. "Sudah belasan hari mereka pergi. Sampai saat ini apakah masih belum kembali?"
"Wahai, gerangan siapa yang Junjungan pertanyakan? Sudilah menyebut nama agar kami bisa menjawab…" berkata Luhkiniki.
"Yang kutanyakan adalah tiga sahabat tangan kananku diIstana Kebahagiaan ini. Si Lahidungbesar, Lapicakkanan dan Lasulingmaut!" jawab Hantu Muka Dua pula dengan suara agak berang.
Baru saja Hantu Muka Dua selesai berucap tiba-tiba di luar ruangan ada orang berseru. "Hantu Muka Dua Junjungan Penguasa Istana Kebahagiaan! Kami bertiga yang kau tanyakan ada di luar sini! Mohon waktu untuk menghadap! Kami membawa kabar buruk!"
Dua wajah Hantu Muka Dua sesaat berubah menjadi wajah kakek-kakek pucat. Setelah hatinya tenang wajahnya depan belakang kembali pada wajah dua lelaki separuh baya.
"Pintu batu tidak dikunci. Dorong dan masuklah!" Hantu Muka Dua berkata. Matanya memandang tak berkesip ke ujung ruangan.
Dinding ruangan itu perlahan-lahan bergerak ke kiri. Dua orang kakek kelihatan tegak di seberang sana. Salah seorang di antaranya mendukung satu sosok yang paha kirinya buntung. Dari kutungan tubuh ini kelihatan darah masih mengucur. Enam gadis yang ada di ruangan itu menjerit ngeri.
Membuat Hantu Muka Dua jadi tergagau kaget dalam kejutnya. "Gadis-gadis jahanam! Keluar kalian semua! Tinggalkan ruangan ini!" hardik Hantu Muka Dua.
Enam gadis cantik serta merta menghambur lari dan menghilang lewat sebuah pintu yang ada di balik tiang besar berukir. Dua kakek di ambang pintu bertindak hendak melangkah masuk.
"Jahanam! Jangan berani masuk mengotori kamar ketiduranku dengan darah busuk!"
Hantu Muka Dua kembali berteriak marah. Dia melompat ke arah pintu yang terbuka. Saat itu dua wajahnya telah berubah menjadi muka raksasa yang menakutkan. Hidung besar, mulut berbibir tebal, taring mencuat dan rambut, kumis serta janggut lebat awut-awutan! Sepasang matanya yang besar memandang seperti mau menelan dua kakek di depannya. Lalu dia memperhatikan kakek buntung paha yang ada dalam dukungan kakek berhidung besar berkepala botak hitam.
Dengan suara bergetar menahan amarah Hantu Muka Dua bertanya. "Apa yang terjadi dengan Lapicakkanan?! Lasulingmaut! Lahidungbesar! Jawab!"
Kakek di sebelah kanan yang berambut seperti ijuk berwarna putih keluarkan suara bergumam lalu masukkan ujung suling yang ditancapi tengkorak dan meniup satu kali. Suling itu keluarkan suara sember disertai mengepulnya asap hitam dari lobang mata, hidung, mulut dan telinga tengkorak.
"Keparat! Lasulingmaut! Apa kau tak bisa bicara wajar?!" menghardik Hantu Muka Dua. Rambut di kepalanya dan kumis tebal di bawah hidungnya sampai naik berjingkrak!
Yang dihardik, yakni kakek yang membawa suling,kembali meniup sulingnya. Suara sember terdengar lagi dan asap hitam kembali mengepul.
"Jahanam! Kau mau membunuh aku dengan asap beracun itu! Kau memang sialan! Tak pernah bisa bicara wajar!" Hantu Muka Dua berpaling pada kakek yang mendukung orang tua buntung paha. "Kau juga tidak bisa bicara wajar? Atau Perlu kurobek dulu mulutmu?! Lahidungbesar! Ayo ceritakan apa yang terjadi!"
"Maafkan kami wahai Hantu Muka Dua. Maafkan aku! Sesuai perintahmu kami berhasil menghadang Peri Angsa Putih bahkan sekaligus menemukan kekasihmu Luhjelita!"
Mendengar kata-kata kakek yang hidungnya besar itu dua wajah Hantu Muka Dua depan belakang berubah menjadi muka lelaki separuh baya kembali. Dia mendesah sambil pejamkan mata. "Wahai Luhjelita kekasihku… Bagaimana keadaannya? Lama nian dia tidak menyambangiku. Lama nian aku tidak melihat wajahnya yang jelita. Lama nian aku tidak melihat lekuk tubuhnya yang bagus putih dan kencang…"
"Luhjelita ada baik-baik saja wahai Hantu Muka Dua," jawab Lahidungbesar. Lalu dia melanjutkan.
"Keberuntungan kami malah lebih besar dari yang kami duga. Di tempat di mana Luhjelita dan Peri Angsa Putih berada, di situ juga ada pemuda asing dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang yang kau suruh bunuh itu!"
"Maksudmu pemuda gondrong sinting bernama Wiro Sableng itu?"
"Benar sekali wahai Hantu Muka Dua. Tapi seperti katamu, pemuda itu tidak lagi bersosok kerdil. Tidak setinggi lutut! Tubuhnya sama besar dengan kita!"
"Jahanam! Siapa yang menolongnya hingga bisa jadi besar begitu rupa?!"
"Kami tidak tahu. Kami tidak sempat menyelidik…"
"Apa dua kawannya juga ada di situ? Seorang bocah banyak tingkah dan seorang kakek bau pesing?"
Lahidungbesar gelengkan kepala. Hantu Muka Dua menatap tajam pada kakek bernama Lahidungbesar lalu pandangannya turun pada sosok buntung paha yang digendong si kakek.
"Aku sudah bisa menduga-duga apa yang terjadi! Tapi kau harus menerangkan mengapa Lapicakkanan berada dalam keadaan seperti ini! Siapa yang mencelakainya. Peri Angsa Putih atau pemuda bernama Wiro Sableng itu?!"
Kakek mata picak dalam gendongan kakek hidung besar keluarkan erangan panjang sementara darah masih mengucur dari pahanya yang buntung. "Hantu Muka Dua. Aku tak tahan. Sekujur tubuhku terasa panas… Panas sekali "
Hantu Muka Dua perhatikan buntungan di paha Lapicakkanan. "Ini bukan luka biasa. Sebagian pahanya yang masih bersisa kelihatan hangus seperti dipanggang…"
"Kakek bernama Lasulingmaut mendongak. Matanya berkaca-kaca. Dari mulutnya keluar suara bergumam. Setelah meniup sulingnya satu kali kakek ini usut air matanya.
"Wahai Hantu Muka Dua. Sahabatku ini terkena sambaran kapak sakti milik pemuda bernama Wiro Sableng itu..."
"Jahanam besar! Kalian bertiga ternyata tidak becus!" Dua muka Hantu Muka Dua kembali berubah menjadi wajah-wajah raksasa menggidikkan.
"Sebenarnya hal mudah bagi kami untuk membereskan pemuda itu. Malah Peri Angsa Putih telah kami tawan…"
"Apa?!" Hantu Muka Dua tersentak. "Di mana Peri itu sekarang?"
"Aku sembunyikan di sebuah sumur melintang dekat jalan masuk ke Istana Kebahagiaan di sebelah utara…"
"Jangan bermain culas denganku Lahidungbesar. Gadis itu harus kau bawa ke hadapanku! Aku sudah lama menyarang dendam terhadapnya. Walau aku tidak boleh membunuhnya tapi aku sudah lama berniat untuk merampas kehormatannya. Bahkan aku akan membuatnya hamil mengandung! Agar segala kutuk jatuh pada dirinya!"
Hantu Muka Dua basahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Rangkungannya turun naik dan dua wajahnya berubah menjadi wajah dua orang pemuda gagah. Ini pertanda bahwa dirinya telah dirasuki nafsu birahi kotor!
"Hantu Muka Dua, wahai! Kau tentu tidak lupa. Bukankah kita sudah membuat perjanjian? Jika aku berhasil meringkus Peri Angsa Putih maka Peri itu akan menjadi bagianku untuk bersuka-suka sebelum kau masukkan ke dalam ruang penyiksaan, Ruangan Obor Tunggal!"
"Memang kita sudah membuat perjanjian. Tapi aku kuasa untuk merubah segala perjanjian! Apa seorang Raja Diraja seperti aku harus mendapatkan barang bekas? Kau mau memberi sisa padaku Lahidungbesar? Katakan berapa nyawa yang kau miliki!" Tampang raksasa kembali muncul didua wajah Hantu Muka Dua.
"Wahai Hantu Muka Dua, kau adalah Junjungan dan Raja Diraja Segala Hantu, pembangun Kerajaan Kebahagiaan, Penguasa Tunggal di Istana Kebahagiaan, mana aku berani membantah. Jika kau memang menginginkan Peri Angsa Putih, aku akan membawanya ke sini!"
"Peri itu telah menghancurkan tempat kediamanku terdahulu. Dia menimbun dengan lahar panas…."
Baca riwayat Hantu Muka Dua sebelumnya dalam serial Wiro Sableng berjudul Peri Angsa Putih
"Apa perintahmu akan kami patuhi wahai Hantu Muka Dua," kata kakek bernama Lahidungbesar.
"Panas… sekujur tubuhku terasa panas. Hantu Muka Dua, aku tak tahan…" ucapan itu kembali meluncur dari mulut kakek bernama Lapicakkanan.
"Sekujur tubuhnya dijalari racun senjata sakti berbentuk kapak milik pemuda bernama Wiro Sableng itu…" menjelaskan Lahidungbesar.
"Tak usah khawatir. Aku akan mengobatinya. Aku akan memberikan kesembuhan padanya!" kata Hantu Muka Dua. Dia melangkah mendekati Lahidungbesar yang mendukung kakek buntung Lapicakkanan. Tangan kanannya diangkat ke atas. Lalu secepat kilat diayunkan ke bawah.
"Praaakkk!" Kepala Lapicakkanan langsung pecah!
"Manusia tak berguna! Apa guna hidup berlama-lama!" kata Hantu Muka Dua.
Saat itu wajahnya beberapa ketika berubah menjadi muka raksasa kemudian kembali kemuka lelaki separuh baya. Lahidungbesar merasakan tengkuknya menjadi dingin. Sosok Lapicakkanan yang telah jadi mayat terlepas dari gendongannya. Tapi sebelum menyentuh lantai kaki kanan Hantu Muka Dua telah menendang hingga mayat itu mencelat mental sampai beberapa tombak. Hantu Muka Dua usap-usap telapak tangannya satu sama lain. Dia melirik pada Lasulingmaut lalu berpaling pada Lahidungbesar.
"Tadi kau mengatakan sebenarnya kalian dengan mudah bisa membereskan pemuda dari negeri asing itu. Nyatanya kalian memang tidak mampu! Apa yang terjadi?!" Hantu Muka Dua membentak membeliak.
"Ada seorang berkepandaian tinggi menolong pemuda itu," jawab Lahidungbesar.
"Kau tahu siapa?!"
Lasulingmaut bergumam keras lalu tiup suling tengkoraknya. Matanya tampak berkaca-kaca seperti tadi.
"Jangan cengeng!" bentak Hantu Muka Dua pada kakek berambut ijuk putih yang selama ini kemana-mana selalu didukung oleh Lapicakkanan. Hantu Muka Dua berpaling pada Lahidungbesar. "Kau tahu atau tidak tahu siapa adanya orang yang membantu Wiro?!"
"Orangnya tidak menunjukkan diri. Tapi kami berdua yakin dia adalah orang yang selama ini menjadi tanda tanya besar di Negeri Latanahsilam yaitu Si Penolong Budiman."
Tampang Hantu Muka Dua mendadak sontak berubah menjadi tampang kakek-kakek pucat. Ini satu pertanda selain kaget dia juga merasa tidak enak.
"Bagaimana kau bisa yakin wahai hidung besar…?" Hantu Muka Dua ajukan pertanyaan.
"Orang itu lepaskan pukulan berupa tebaran sinar hitam yang ada serpihan-serpihan aneh. Apa lagi kalau bukan Pukulan Menebar Budi. Yang dihantamkannya saat itu adalah Pukulan Menebar Budi Hari Ke tiga!"
Mendengar keterangan Lahidungbesar itu sepasang mata Hantu Muka Dua mendelik besar. Lalu dia usap-usap mukanya sebelah depan berulang kali. Dalam hati dia membatin.
"Pukulan Menebar Budi Hari Ke tiga saja sudah membuat anak buahku kelabakan. Belum lagi Pukulan Menebar Budi Hari Ke empat, Ke lima, Ke enam dan Ke tujuh! Siapa adanya manusia satu ini harus diselidiki, diringkus dan dihabisi. Tapi mungkinkah dia Dewa yang turun ke bumi melakukan penyamaran?"
Hantu Muka Dua memandang pada dua kakek di hadapannya lalu berkata, "Aku melihat pertanda buruk. Sudah sebelas malam aku seolah melihat wajah-wajah aneh. Beberapa kali aku melihat gambar bunga dalam lingkaran. Sayang Lagandrung dan Lagandring sudah mampus! Kalau mereka masih hidup mungkin bisa memberi keterangan yang aku harapkan. Selama ini kabut rahasia selalu menyelubungi kehidupanku. Aku tak pernah tahu asal usulku. Aku tak pernah tahu siapa ayah siapa ibuku! Wahai!" Sambil bicara rawan seperti itu Hantu Muka Dua usap-usap bagian bawah lengan dekat ketiak kanannya di mana terdapat tanda berbentuk bunga dalam lingkaran!
"Junjungan, Raja Diraja Segala Hantu, mengapa kau bicara seolah memperlihatkan kelemahan hati kerendahan jiwa?"
Ucapan Lahidungbesar itu membuat Hantu Muka Dua seolah tersadar." Kau betul wahai Lahidungbesar. Percuma aku mengaku diri sebagai Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam, percuma aku membangun Istana Kebahagiaan sebagai pusat kekuasaan Kerajaan baru! Percuma aku dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu! Ha ha ha!"
Sebelum kita lanjutkan apa yang akan dilakukan Hantu Muka Dua terhadap Peri Angsa Putih yang kena ditawan oleh Lahidungbesar, dalam Bab berikutnya kita ikuti dulu serangkaian kejadian di masa puluhan tahun silam.
********************
ENAM
Lelaki yang membekal parang terbuat dari batu biru di tangan kanannya itu hentikan lari di ujung jurang. Memandang ke bawah sesaat dia jadi tercekat.
"Jurang batu… Dalam sekali! Celaka! Tak mungkin kuterjuni…"
Dia silangkan parang di depan dada lalu berpaling ke belakang. Belum selesai dia membuat gerakan tiba-tiba sesosok tubuh melayang di udara, membuat gerakan berjumpalitan dua kali. Di lain kejap sosok ini sudah tegak di hadapannya dengan muka menyeringai garang dan membersitkan nafas menyapu panas sampai ke permukaan wajahnya.
"Latumpangan! Tempat larimu sudah putus! Kau hanya punya tiga pilihan! Mampus bunuh diri menerjuni jurang! Mati di tanganku atau menyerahkan Jimat Hati Dewa padaku!"
"Orang yang memegang parang biru mendengus lalu meludah ke tanah. "Selama Parang Langit Biru masih berada di tanganku, jangan kau berani mencari mati wahai Lasedayu!"
Lasedayu si muka garang tertawa bergelak. "Parang Langit Biru hanya ciptaan alam. Apakah sanggup melawan diriku Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam ini?!"
"Kau bermimpi atau mungkin juga mengigau! Sudah sejak dua puluh tahun lalu kau tidak lagi menjadi Wakil Para Dewa di muka bumi ini! Hak Perwakilanmu telah dicabut karena Para Dewa meragukan kesetiaan dan kelurusan hatimu! Buktinya saat ini kau sengaja mengejar aku, memaksa untuk mendapatkan benda yang bukan hakmu!"
"Aku memaksa, kau tidak mau menyerahkan! Wahai! Sungguh buruk bakai jadinya bagi dirimu wahai Latumpangan!" ujar Lasedayu pula.
"Terserah padamu! Aku sudah siap berjibaku sampai tetes darah terakhir, sampai hembusan nafas penghabisan!" Latumpangan geser dua kakinya memasang kuda-kuda kokoh.
"Sayang sekali otakmu dirasuk seribu kebodohan dan hatimu dihantui seribu kepicikan! Kau memilih mati dari pada menyerahkan benda yang kuminta. Tapi aku masih memberi kesempatan sekali lagi agar kau mau berpikir. Kau mau menyerahkan Jimat Hati Dewa itu padaku agar bisa selamat?"
Latumpangan menggeleng. "Jimat ini adalah titipan Dewa. Aku tidak akan menyerahkan pada siapapun!"
"Wahai! Benar-benar sangat disayangkan!" Lasedayu gerakkan sepuluh jari tangan kanannya. Jari-jari tangan itu keluarkan suara berkeretekan. Bersamaan dengan itu mulutnya membentuk seringai buruk. "Serahkan Jimat Hati Dewa!"
Lasedayu membentak sambil ulurkan tangan kanannya. Meminta! Suara bentakannya menggelegar sampai ke dalam jurang. Sepasang matanya membelalang menyeramkan. Namun Latumpangan tidak takut.
"Bukan jimat yang akan kau dapat! Makan mata parangku!" Tangan kanan Latumpangan berkelebat.
"Wuuutttt!"
Sinar biru berkiblat begitu Parang Langit Biru membabat ke depan. Lasedayu cepat tarik tangannya yang diulurkan. Sambaran angin pedang terasa dingin dan membuat tubuhnya sebelah depan tergetar, memaksa kakinya bergeser lersurut setengah langkah. Dalam hati dia berkata,
"Parang Langit Biru boleh juga! Tapi persetan! Siapa takut!"
Kaki kanan Lasedayu menyapu ke depan, berusaha menendang betis kiri Latumpangan. Yang diserang membuat babatan menukik untuk menangkis sekaligus membacok kaki lawan. Namun serangan Lasedayu itu hanya tipuan belaka. Begitu sinar biru pedang bertabur ke bawah, dia hentakkan kaki kirinya. Saat itu juga tubuhnya melesat setinggi dua tombak. Sambaran parang batu lewat menderu. Dari atas, tangan kanan Lasedayu menyambar ke arah batok kepala Latumpangan dalam kecepatan luar biasa.
"Pecah kepalamu!" teriak Lasedayu.
Latumpangan rundukkan kepalanya. Sambil selamatkan diri dia tusukkan Parang Langit Biru kearah dada lawan yang mengambang di atasnya. Lasedayu kertakkan rahang, menggeram marah karena dia tahu bagaimanapun cepatnya hantaman tangannya ke kepala Latumpangan, ujung parang lawan akan menembus dadanya lebih dulu!
Masih melayang di udara Lasedayu pergunakan kaki kiri untuk menendang. Namun luput! Sementara itu parang biru terus menusuk ke atas! Lasedayu keluarkan teriakan keras. Bersamaan dengan itu dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya seolah terbanting ke samping. Latumpangan percepat gerakannya menusuk.
"Rasakan!" teriaknya. Parang biru amblas ditubuh sebelah kanan Lasedayu. Ternyata hanya menusuk di celah sempit antara ketiak dan rusuk lawan! Walau selamat tapi Lasedayu tahu betul bahaya besar yang mengancamnya. Jika lawan bertindak cepat dan sigap, mata parang yang sangat tajam itu bisamerobek tembus daging dan memutus tulang-tulang iganya. Dan memang itulah sepertinya yang akan dilakukan Latumpangan. Tangan kanannya diputar demikian rupa tapi bukan untuk menyayat ke arah tubuh melainkan dibabatkan ke belakang untuk memutus lengan kanan Lasedayu!
Lasedayu yang tahu bahaya segera jatuhkan tubuhnya ke bawah. Parang lawan yang ada di ketiaknya seolah dijadikan tempat luncuran. Sebelum, bagian tajam mata parang berputar, dengan tangan kirinya Lasedayu mencekal pergelangan tangan kanan Latumpangan. Sesaat kemudian tangan kiri Lasedayu ikut meremas jari-jari lawan. Lalu...
"kraakkk..kraakkk!"
Dua kali suara patahan tulang hampir tak terdengar karena lenyap ditindih jeritan Latumpangan. Parang Langit Biru jatuh tercampak berkerontangan di tanah yang berbatu-batu. Latumpangan sendiri tersurut beberapa langkah sambil matanya melotot memandangi tangan kirinya yang memegangi lengan dan jari-jari tangan kanannya yang telah hancur.
"Remasan Sepuluh Jari Hantu…!" desis Latumpangan menyebut ilmu lawan yang menciderainya. Tiba-tiba seperti kalap Latumpangan berteriak keras. Lalu tangan kirinya laksana kilat menghantam berulang kali ke depan.
"Bukkk! Bukkkk! Bukkkk!"
Tubuh Lasedayu terangkat sampai tiga kali berturut-turut begitu jotosan Latumpangan mendarat susul menyusul di dadanya. "Puaskan hatimu Latumpangan! Pukul terus sesukamu!" kata Lasedayu sambil menyeringai buruk.
"Bukkk! Bukkk! Bukkkk!"
Kembali Latumpangan menghujani tubuh lawan dengan pukulan-pukulan keras. Kembali sosok Lasedayu terangkat ke udara bahkan kini dari mulutnya kelihatan ada darah mengucur. Tapi dia masih saja menyeringai.
"Cukup Latumpangan!" Tiba-tiba Lasedayu berteriak. Tangannya kiri kanan berkelebat ke sekujur tubuh lawan, mulai dari kepala sampai ke dada.
"Kraaakk…kraaakkk… kraaakk!"
Suara patah dan hancurnya tulangterdengar mengerikan berulang kali. Remasan Sepuluh Jari Hantu! Bertubi-tubi menghantam Latumpangan! Sosok Latumpangan terhuyung-huyung tak karuan dan dari mulutnya keluar jerit kesakitan tak berkeputusan. Tulang batok kepalanya amblas. Tulang kening dan tulang pipinya sebelah kanan hancur. Darah berselemak menutupi wajahnya. Itu masih ditambah lagi dengan tulang bahu kiri kanan yang remuk serta dua tulang iga melesak patah.
Lasedayu tertawa bergelak. "Aku menawarkan madu, kau lebih suka racun! Wahai! Silakan kau teguk sendiri!"
"Lasedayu keparat! Aku pasrah mati! Tapi kau juga harus ikut mampus bersamaku!" kata Latumpangan dengan suara keras namun sember bergetar.
Tiba-tiba Latumpangan melompat nekad merangkul tubuh Lasedayu. Lalu dengan sekuat tenaga dia menarik Lasedayu ke tepi jurang. Niatnya rupanya adalah untuk menjatuhkan diri bersama-sama lawannya ke dalam jurang batu! Tentu saja Lasedayu tidak mau mati konyol begitu rupa.
Dengan tumit kirinya Lasedayu memijak gagang Parang Langit Biru yang tergeletak di tanah. Begitu parang melesat mental ke atas segera disambarnya dengan tangan kiri. Setelah itu terdengar jeritan Latumpangan. Matanya terpentang besar, membeliak ke udara. Rangkulannya pada tubuh Lasedayu terlepas. Sosok Latumpangan Periahan-lahan melosoh ke bawah lalu terkapar tertelentang di tanah. Parang Langit Biru miliknya menancap di tubuhnya. Menembus pinggangnya dan kiri ke kanan!
Pada saat itu di langit sebelah utara mendadak menggelegar suara guntur dibarengi kilatan cahaya terang. Sesaat Lasedayu terkesiap. "Aneh, langit cerah. Tak ada mendung apa lagi hujan. Mengapa ada gelegar guntur dan sambaran petir…" Membatin Lasedayu.
Namun dia tidak mau memikirkan keanehan itu lebih lanjut. Dengan cepat dia jongkok di samping mayat Latumpangan, menggeledah ke balik pakaian orang itu. Di pinggang pakaian Latumpangan yang terbuat dari kulit kayu sangat tebal dia menemukan benda yang dicarinya, sebuah kantong sebesar kepalan tangan, terbuat dari sejenis daun yang sangat liat.
Lasedayu pergunakan kuku-kuku jarinya yang panjang hitam untuk merobek kantong daun. Dari dalamkantong itu muncul sebuah benda berbentuk segumpal daging berwarna kemerah-merahan. Gumpalan daging ini bergerak berdenyut-denyut seolah hidup!
"Jimat Hati Dewa…" desis Lasedayu dengan suara serta tangan bergetar. Seringai menyeruak di mulutnya.
Namun laksana direnggut setan seringai itu lenyap ketika tiba-tiba dari langit sebelah utara dimana tadi menggelegar suara guntur disertai berkiblatnya petir, melesat sebuah benda berwarna merah. Belum habis kejut Lasedayutahu-tahu seorang kakek yang kulit muka dan tubuhnya berwarna merah telah tegak di hadapannya.
Kakek ini memegang sebatang tongkat aneh yang mulai dari pangkal sampai ke ujungnya dikobari nyala api berwarna merah. Sepasang mata si kakek yang juga seolah dikobari api menatap tajam pada Lasedayu. Begitu dia membuka mulut dan bicara, lidahnya tampak seperti dibuat dari api.
"Lasedayu, lekas kau serahkan Jimat Hati Dewa Itu padaku!"
"Wahai! Kau siapa?" tanya Lasedayu. Suaranya keras dan dalam hati dia menduga-duga siapa adanya makhluk aneh di hadapannya itu.
TUJUH
Kobar api di dua mata dan lidah si kakek yang muncul dari atas langit menjilat ke depan. "Aku Wakil atau Utusan Para Dewa!Datang diperintahkan untuk mengambil Jimat Hati Dewa yang kini kau pegang itu…" Si kakek ulurkan tangan kirinya. Ternyata telapak dan jari-jari tangannya itu juga dijilati api!
Terkejutlah Lasedayu mendengar ucapan si kakek. "Tunggu dulu! Aku juga Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam ini! Antara kita berada dalam kedudukan sama! Jangan kau berani memerintah diriku!"
"Lasedayu, kedudukanmu sebagai Wakil Para Dewa, seperti dikatakan Latumpangan telah dicabut sejak dua puluh tahun lalu. Para Dewa sudarj banyak murka padamu sejak lama. Hari ini kau membunuh Latumpangan dan punya niat jahat hendak menguasai Jimat Hati Dewa yang bukan menjadi hakmu! Aku tidak sudi bicara berpanjang-panjang. Serahkan Jimat itu! Sekarang!"
"Kau tidak sudi bicara berpanjang-panjang. Aku tidak sudi menyerahkan benda yang kau minta!"
"Lasedayu, kau berani menantang Wakil Para Dewa?" suara si kakek bernada mengancam.
"Aku mau tahu kau hendak berbuat apa padaku!" menantang Lasedayu.
Si kakek angkat tangan kirinya yang memegang tongkat.
"Wusssss!"
Tongkat di tangan si kakek berubah menjadi sebuah cambuk api "Kau berani membangkang, kau akan menerima azab!" Si kakek yang mengaku Wakil Para Dewa kembali gerakkan tangan kirinya.
"Wusss!"
Petir api menggelegar dahsyat mengerikan, berputar di udara lalu menghantam ke arah kaki orang dihadapannya. Lasedayu berteriak kaget dan cepat melompat. Kaki celana kulit kayu sebelah kiri hangus. Daging kakinya tampak terkelupas merah.
"Jahanam! Berani kau menciderai diriku!" teriak Lasedayu. Dia hantamkan tangan kanannya. Lepaskan satu pukulan tangan kosong. Si kakek cepat menyingkir ketika melihat satu sinar kuning berkiblat menyambarnya. Sambil mengelak dia gerakan cambuk apinya.
"Wusss! Taaarrrrr!"
Nyala api panjang menembus kiblatan cahaya kuning. Saat itu juga cahaya kuning bertabur berantakan dengan mengeluarkan suara letusan keras! Tangan kiri si kakek bergetar keras. Cambuk api yang dipegangnya mental ke udara. Dia cepat menguasai senjata itu sementara Lasedayu terjajar sampai tiga langkah. Mukanya pucat. Tangan kanannya seperti kaku.
"Kakek itu mampu menghancurkan Pukulan Tangan Dewa Warna Kuning…" Diam-diam Lasedayu menjadi kecut. "Akan kucoba dengan Pukulan Tangan Dewa Warna Biru yang paling hebat!"
Lasedayu lalu kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan tanpa menunggu lebih lama dia segera menghantam. Si kakek rupanya sudah tahu apa yang hendak dilakukan Lasedayu. Sambil menekuk lutut dan miringkan tubuh ke kiri, dia putar cambuk apinya begitu melihat cahaya biru menderu keluar dari tangan kanan lawan.
"Wussss!" Cambuk api menderu di udara. "Taarrr! Byaaaarrr!"
Lasedayu berseru kaget. Cepat dia gulingkan diri di tanah ketika melihat cambuk api di tangan lawan menghancurkan Pukulan Dewa Warna Biru yang tadi dilepaskan.
"Taarrr! Taaarrr! Taaarrr!"
Cambuk api mengejar dan menghantam ke arah Lasedayu tiga kali berturut-turut. Dua batu besar yang terkena hantaman cambuk api hancur berentakan dan hancurannya berubah menjadi keping-keping merah membara!
Dua kali Lasedayu berhasil lolos dari hantaman cambuk api, namun kali yang ke tiga dia tak mampu lolos. Cambuk itu mendarat melintang di permukaan dadanya, mulai dari bahu kiri bersilang ke pinggang kanan. Tubuhnya terpental ke udara sampai dua tombak. Lasedayu terbanting dan terkapar di tanah. Di sampingnya tanah yang tadi terkena hantaman cambuk kelihatan terbelah dalam dan hangus.
Kakek Wakil Para Dewa sesaat tatap sosok Lasedayu yang tak berkutik itu. Dia mendengus dan berkata. "Kematian semudah dan secepat membalik tangan. Mengapa manusia masih memperlihatkan ketinggian hati yang sebenarnya hanyalah satu kebodohan belaka?!"
Kakek ini gerakkan tangan kirinya. Cambuk apinya kembali berubah ke bentuk semula yakni sebatang tongkat berapi. Lalu dengan mulut komat kamit dia melangkah mendekati sosok tak bergerak Lasedayu. Ketika dia membungkuk hendak mengambil Jimat Hati Dewa yang masih berada dalam genggaman tangan kiri Lasedayu tiba-tiba tidak disangka-sangka kaki kanan orang yang diduga telah menemui ajal itu melesat ke arah dada si kakek.
"Bukkkk!"
Sang Wakil Para Dewa menjerit keras. Tubuhnya terpental tiga tombak, terbanting jatuh punggung pada sebuah batu besardan dari mulutnya menyembur darah kental!
"Wahai, mengapa aku bertindak lengah! Belum mati jahanam itu rupanya!" keluh si kakek. Memandang ke depan dilihatnya Lasedayu terbungkuk-bungkuk berusaha bangkit berdiri. Walau dadanya serasa hancur si kakek cepat bangun. Tangan kirinya digerakkan. Tongkat api kembali berubah menjadi cambuk menyala.
"Kali ini harus kuputus lehernya! Harus kutanggalkan kepalanya!"
Si kakek berkomat kamit sambil putar pergelangan tangan kirinya. Cambuk api bergetar, meliuk-liuk laksana sosok ular hidup. Begitu dia menyentak maka cambuk api itu melesat ganas ke udara, mengeluarkan suara menggidikkan disertai nyala api seperti hendak membakar langit!
Di depan sana, ketika cambuk api membuat dua kali putaran di udara dengan segala kedahsyatannya, Lasedayu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya. Jimat Hati Dewa yang berupa gumpalan daging merah hidup itu dimasukkannya kedalam mulutnya lalu dikunyahnya mentah-mentah!
Kakek Wakil Para Dewa berteriak kaget. "Tidak! Jangan lakukan itu!"
Seperti orang kesurupan Lasedayu mempercepat kunyahannya. Daging yang dikunyah keluarkan darah merah kehitaman dan mengucur dari dalam mulutnya. Dari tenggorokannya ada suara seperti srigala menggeram tak berkeputusan. Sepasang matanya menatap membeliak dan garang pada si kakek.
"Jangan! Lasedayu! Jangan kau telan benda dalam mulutmu! Semburkan keluar!"
Lasedayu tidak peduli. Kunyahannya semakin cepat. Darahyang keluar dari mulutnya bertambah banyak. Lalu gluk… gluk… gluk! Haaaaah! Jimat Hati Dewa ditelannya, amblas ke dalam perut lewat tenggorokannya. Begitu sang jimat berada dalam tubuh Lasedayu, terjadilah satu hal luar biasa. Justru inilah yang sejak tadi ditakutkan si kakek.
"Celaka wahai Para Dewa! Celakalah Negeri ini! Ampuni diriku! Aku tak sanggup mencegah! Jimat itu berada dalam perutnya. Hawa sakti telah mengalir dan bersatu dalam darahnya!" Wakil Para Dewa menjerit sambil jatuhkan diri.
Sosok Lasedayu tampak bergetar hebat. Lalu dari dalam tubuhnya seolah ada satu cahaya biru membersit Ketika cahaya itu lenyap, luka menganga yang melintang mengerikan di dada Lasedayu secara aneh mendadak sontak lenyap tak berbekas. Di saat yang sama lelaki ini merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan. Di dalam badannya ada satu kekuatan sangat dahsyat yang siap meledak setiap saat!
Ketika dia menggeserkan duakakinya dan tak sengaja mengalirkan tenaga dalam ke kaki itu, tanah berbatu yang dipijaknya amblas sampai satu jengkal dan keluarkan kepulan asap. Dari mulut yang bercelemongan darah membersit suara menggereng. Matanya menyorot ganas memperhatikan cambuk api yang menderu dahsyat di udara lalu menyambar ke arah lehernya!
Jika saja Lasedayu tidak menelan Jimat Hati Dewa, pada saat cambuk api melilit dan disentakkan dari lehernya, pastilah leher itu akan hancur putus dan kepalanya akan menggelinding di tanah! Namun yang terjadi justru sebaliknya. Cambuk api keluarkan suara "dess… desss… desss" berulang kali disertai kepulan asapseolah diguyur air.
Lalu kelihatan bagaimana cambuk itu terputus-putus menjadi beberapa bagian. Begitu si kakek melompat kaget dia lihat dan dapatkan cambuk apinya telah berubah kembali menjadi se batang tongkat yang kini panjangnya hanya tinggal dua jengkal!
"Kakek yang mengaku Wakil Para Dewa! Takdir telah berbalik menentukan lain! Hari ini kau terpaksa serahkan nyawamu padaku!" Lasedayu maju mendekat sambil tertawa bergelak.
"Kau akan terkutuk seumur-umur jika berani membunuhku!" kata si kakek seraya melemparkan potongan tongkatnya ke arah Lasedayu.
Benda berapi ini melesat menyambar ketenggorokan Lasedayu. Sekali Lasedayu mengangkat tangan kirinya, tongkat itu berhasil ditangkapnya lalu diremasnya hingga hancur. Jarak antara ke dua orang itu bertambah dekat. Hanya terpisah satu tombak tiba-tiba Lasedayu pukulkan tangan kanan. Serangkum angin yang memancarkan cahaya kuning berkiblat ganas, menyambar ke arah si kakek!
Pukulan Tangan Dewa Warna Kuning sebelumnya pernah dipergunakan Lasedayu untuk menyerang lawannya itu dan amblas tak berdaya ditangkis cambuk api milik si kakek. Namun kali ini si kakek tidak lagi memiliki tongkat ajaib atau cambuk saktinya. Selain itu Jimat Hati Dewa yang kini telah menyatu dalam tubuh Lasedayu dan menjadi satu kekuatan dahsyat membuat pukulan itu jadi berlipat ganda kehebatannya.
Begitu cahaya kuning menghantam langsung si kakek terpental. Masih melayang diudara tubuh sebelah kanannya yang terkena sambaran pukulan hancur di bagian bahu sampai ke sisi sebelah kanan. Sisi kanan si kakek kini hanya tinggal satu gerakan atau lobang besar. Tulang-tulang iganya serta sebagian isi dada dan perutnya bisa terlihat dengan jelas. Darah mengucur menggidikkan. Tapi aneh dan luar biasanya si kakek Wakil Para Dewa itu sama sekali tidak menemui ajal.
Sesaat dia masih berusaha berdiri. Dengan langkah sempoyongan dia mendekati mayat Latumpangan lalu mencabut Pedang Langit Biru yang menembus tubuh orang itu. Semula Lasedayu mengira si kakek akan pergunakan senjata itu untuk menyerangnya. Ternyata kemudian Perlahan-lahan tubuhnya yang kini nyaris tinggal separoh itu melayang ke atas.
Lasedayu berusaha mengejar sambil lepaskan satu pukulan lagi yakni Pukulan Tangan Dewa Warna Biru. Seperti diketahui pukulan ini jauh lebih dahsyat dari pukulan Tangan Dewa Warna Kuning. Akan tetapi saat itu sosok si kakek sudah berada jauh di luar daya capai pukulan.
Namun Lasedayu sudah cukup puas. Dia bukan saja telah menciderai lawan, yang lebih penting saat itu Jimat Hati Dewa telah mendarah daging dalam tubuhnya hingga kini dia menjadi seorang sakti mandraguna luar dalam. Sebelum berkelebat menghilang ke ufuk langit arah utara si kakek di atas sana keluarkan ucapan yang ditujukan pada Lasedayu.
"Wahai anak manusia berhati jahat. Apa yang kau lakukan hari ini terhadapku kelak akan membuat jatuhnya kutukan Para Dewa terhadapmu! Dua pertiga dari hidupmu akan kau jalani dalam kesengsaraan. Aku akan meminta kepada Para Dewa agar hidup keluargamu morat marit dalam sengsara. Jika kelak kau punya anak maka kau tidak akan memiliki mereka. Si bungsu yang paling kau sayangi justru akan menjadi musuhmu paling besar di alam ini!"
Kakek gila! Wahai! Kau boleh mengoceh meminta kutukan Dewa. Siapa takut!"
Lasedayu lepaskan pukulan Tangan Dewa Warna Biru. Namun tidak sanggup mencapai sasaran sementara si kakek yang tubuhnya nyaris tinggal sebelah sudah melesat lebih jauh ke atas dan akhirnya lenyap di langit sebelah utara.
********************
DELAPAN
Beberapa belas tahun setelah kejadian di tepi jurang… "Wahai istriku Luhpingitan, aku akan meninggalkanmu dan anak-anak. Aku pergi tak akan lama, hanya sekitar sepuluh tahunan. Jika aku kembali maka aku akan membawa kalian ke Lembah Bulan Sabit. Di situ aku sudah membangun satu rumah besar untuk tempat tinggalkita yang baru…"
Perempuan bernama Luhpingitan memandang sedih pada suaminya. Walau masa sepuluh tahun di Negeri Latanahsilam sama dengan setahun di tanah Jawa namun seolah tak sanggup dia menatap mata sang suami, perempuan itu alihkan pandangannya ke arah tempat tidur besar terbuat dari batu berlapiskan jerami kering. Di atas tempat tidur itu terbaring empat anak laki-laki masing-masing berusia setahun, dua tahun, tiga tahun dan empat tahun sesuai ukuran usia di Negeri Latanahsilam yang tidak sama dengan negeri lainnya pada masa itu. Keempat anak itu tengah tertidur nyenyak dalam dinginnya udara menjelang pagi.
"Lasedayu wahai suamiku. Sebelum kau pergi, apakah kau tidak akan memberi nama dulu pada ke empat anak kita?"
Mendengar pertanyaan istrinya itu Lasedayu tersenyum. Sambil memegang bahu Luhpingitan dia menjawab. "Istriku, jangan kau merasa sedih. Aku memang sudah menyiapkan masing-masing sebuah nama untuk mereka. Nama-nama itu akan kusebut dan beritahu padamu kelak jika aku kembali sepuluh tahun mendatang…"
"Suamiku, sebenarnya sejak beberapa waktu belakangan ini muncul banyak kekhawatiran dalam diriku. Aku sering mimpi buruk tentang dirimu, tentang ke empat anak kita. Mereka…"
"Luhpingitan, orang di Negeri Latanahsilam ini menyebut mimpi adalah rampai bunganya tidur. Buruk atau baiknya yang akan terjadi adalah suratan Para Dewa di atas langit…"
"Justru aku juga telah beberapa kali kedatangan Dewa dalam mimpiku wahai Lasedayu. Sepertinya ada yang tidak disenangi Para Dewa terhadap kita sekeluarga…"
Lasedayu tersenyum namun diam-diam dia teringat pada kejadian belasan tahun silam ketika dia berkelahi dengan Wakil Para Dewa dan berhasil menciderai kakek itu. Walau hatinya mendadak tidak enak, pada istrinya Lasedayu tetap saja berkata lembut dan menghibur.
“Sudahlah Luhpingitan, aku akan berangkat sekarang. Tenangkan hatimu. Lihat anak-anak kita. Mereka tidur nyenyak, mereka gemuk-gemuk semua tanda sehat. Dan lihat tanda bunga dalam lingkaran yang ada di bawah lengan kanan dekat ketiak mereka. Itu adalah tanda dari Para Dewa bahwa kelak mereka akan menjadi orang-orang gagah di Negeri ini. Empat putera Lasedayu dari istri bernama Luhpingitan akan menjadi orang-orang hebat tanpa tandingan. Wahai, aku pergi,jaga mereka baik-baik…”
“Lasedayu…” kata Luhpingitan sambil memegang tangan suaminya. Matanya entah mengapa mendadak saja berkaca-kaca begitu menatap ke empat anaknya. “Anak-anak itu. Aku…”
Lasedayu merangkul istrinya lalu berbisik. “Jika kau masih khawatir aku akan usahakan mempersingkat perjalanan. Aku berjanji akan kembali dalam waktu lima tahun…”
Luhpingitan sandarkan kepalanya ke dada Lasedayu. “Kalau begitu janjimu alangkah gembiranya hatiku. Pergilah wahai suamiku. Jaga dirimu baik-baik…”
Di malam dingin menjelang pagi Lasedayu tinggalkan anak istrinya di tempat kediaman mereka yang terletak di satu kaki bukit dekat aliran sebuah sungai besar. Lasedayu sampai di tepi sungai pada saat langit di ufuk timur kelihatan terang pertanda sang surya segera akan muncul menerangi jagat Dia menarik nafas dalam-dalam. Hawa segar memenuhi rongga dadanya.
Belum sempat lelaki ini menghembuskan nafas dari dadanya tiba-tiba telinganya menangkap suara menggemuruh dari arah hulu sungai. Lalu mendadak langit yang tadi mulai terang kini kembali menghitam. Dua kali kilat menyambar disusul oleh gelegar guruh yang menggetarkan tanah!
“Wahai, Ini satu pertanda alam yang tidak baik. Apa yang bakal terjadi?!” membatin Lasedayu. Hatinya serta merta terasa tidak enak. Suara menggemuruh semakin keras dan dahsyat. “Sepertinya ada air bah datang melanda dari hulu!”
Baru saja Lasedayu berkata begitu angin keras bertiup. Tubuhnya sampai terpental dua tombak. Dengan cepat lelaki ini menggapai satu pohon besar tapi...
“Kraakk!” Pohon itu tumbang dihantam angin.
Langit tambah kelam. Gelegar guruh tiada henti. Hujan lebat mendadak turun. Air sungai bergerak aneh. Lalu dari arah hulu tiba-tiba menderu gelombang air bah yang bukan olah-olah dahysatnya. Jangankan semak belukar, dan pepohonan. Batu-batu besar yang ada di sepanjang tepi sungai porak poranda dihantam air.
“Banjir tiga ratus tahun!” seru Lasedayu menyebut air bah yang biasanya terjadi sekali dalam tiga ratus tahun. Wajahnya tegang sekali. Dia memandang ke arah barat, ke jurusan tempat kediamannya. “Anak istriku! Aku harus kembali!”
Laksana terbang Lasedayu melompat ke sebuah batu besar yang bergulingan dihantam air bah. Dari atas batu ini dia melayang daninjakkan kaki di atas tumbangan pohon besar. Sesaat dia bingung. Kemana lagi dia hendak melompat. Kemana mata memandang hanya gelombang air yang terlihat. Tiba-tiba satu putaran air menghantam batang kayu di atas mana Lasedayu berada.
“Celaka!” seru Lasedayu.
Pada saat batang kayu yang dipijaknya mencelat mental dia cepat melompat. Di udara dia jungkir balik satu kali lalu sebelum batang kayu tadi tenggelam di dalam air dengan cepat dia menggapai, memegang batang kayu itu erat-erat. Malangnya batang kayu ini meluncur deras ke arah sebuah batu besar.
Benturan tak dapat dihindarkan. Lasedayu menjerit keras. Tulang punggungnya terasa seperti hancur luluh ketika tubuhnya sebelah belakang beradu keras dengan batu besar. Lelaki ini langsung jatuh pingsan namun dua tangannya masih tetap memeluk erat batang kayu yang merupakan satu-satunya benda penyelamat nyawanya!
********************
Lasedayu duduk terbungkuk-bungkuk di tanah yang becek. Sekujur tubuhnya terutama di sebelah belakang mendenyut sakit Mukanya pucat dan pandangan matanya sayu. Kalau saja dia bisa meminta rasanya saat itu dia lebih suka memilih mati. Perlahan-lahan dia turunkan tangan kanan yang sejak tadi dipergunakan untuk menopang keningnya. Memandang ke depan dia hanya melihat tanah rata yang disana-sini masih digenangi air.
Lasedayu sampai di tempat itu malam tadi. Dan kini matahari menjelang tenggelam. Berarti hampir satu hari penuh dia terduduk di situ, didera oleh rasa sakit di sekujur tubuh serta perasaan hancur di dalam hati. Otaknya seperti mau gila menghadapi kenyataan ini.
"Rata semua…. Rumahku, lenyap tak berbekas. Para Dewa… Wahai tunjukkan padaku dimana mereka berada. Mengapa kau jatuhkan cobaan maha berat ini padaku! Anak istriku… Luhpingitan, anak-anakku. Apakah mereka masih hidup? Dimana mereka sekarang?"
Tenggorokan Lasedayu turun naik. Dadanya terasa sesak. Matanya berkaca-kaca. Suara isakannya tak bisa ditahan. Isakan ini kemudian berubah menjadi ratap tangis memilukan.
"Wahai… Apa kesalahanku. Apa kesalahan anak istriku… Luhpingitan, anak-anakku! Dimana kalian?!" Lasedayu kembali letakkan tangan kanannya di atas kening. "Kalau saja aku tidak pergi mungkin aku masih bisa menolong mereka…"
Lasedayu kembali meratap. Dia tundukkan kepalanya hampir menyentuh tanah yang becek. Rasanya ingin dia menghunjamkan dirinya ke dalam tanah dan mati terkubur di tempat bekas rumahnya itu. Lasedayu menarik nafas dalam. Pandangannya jauh ke depan tapi kosong. Dia ingat sesuatu! Tiba-tiba pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung dan pandangan matanya menjadi beringas. Dua tangannya dikepalkan di atas paha. Dari mulutnya keluar suara memaki.
"Jahanam! Ini pasti akibat ulah ucapan keji Wakil Para Dewa itu!" Seolah terngiang, Lasedayu mendengar kembali ucapan Wakil Para Dewa di masa kejadian belasan tahun silam.
“Wahai anak manusia berhati jahat. Apa yang kau lakukan hari ini terhadapku kelak akan membuat jatuhnya kutukan Para Dewa terhadapmu! Dua pertiga dari hidupmu akan kau jalani dalam kesengsaraan. Aku akan memohon pada Para Dewa agar hidup keluargamu morat-marit dalam sengsara. Jika kelak kau punya anak maka kau tidak akan memiliki mereka. Si bungsu yang paling kau sayangi justru akan menjadi musuhmu paling besar di alam ini!"
Sosok Lasedayu bergeletar. "Ucapan keji itu agaknya telah menjadi kenyataan. Kutukan Dewa telah jatuh atas diriku!"
Sesaat setelah matahari tenggelam dan tempat itu diselimuti kegelapan mendadak Lasedayu mendengar suara bisikanhalus, seolah datang dari lubuk hatinya.
"Wahai Lasedayu, tiada gunanya kau berhiba diri duduk di tempat ini. Sampai seratus tahun pun kau di sini kau tak mungkin menemukan istri dan empat anakmu. Bangkitlah! Tinggalkan tempat ini! Cari anak istrimu walau kau harus berjalan jutaan tombak dan menghabiskan waktu ratusan tahun!"
"Wahai! Siapa kau yang bicara padaku seperti itu?!" Lasedayu keluarkan suara seraya memandang berkeliling. "Aku suara hati nuranimu. Aku ada di dalam hatimu!"
Suara jawaban itu menggema di dalam dada Lasedayu. Lelaki ini usap mukanya berulang kali. Dia memandang lagi berkeliling. Lalu Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
********************
SEMBILAN
Pulau karang kecil di pantai barat Negeri Latanahsilam itu adalah pusat arus air laut berputar. Tidak mengherankan kalau sepanjang hari sepanjang tahun di sekitar pulau selalu terdengar suara seperti mengaung. Suara ini ditimbulkan oleh kencangnya arus yang berputar dan ditepis oleh derasnya tiupan angin laut.
Serombongan burung camar melayang di udara. Beberapa diantara burung-burung ini memisahkan diri lalu menukik turun ketengah pulau di mana terdapat satu tonjolan batu karang rata. Burung-burung ini, yang membawa rumput-rumput segar dalam jepitan paruh mereka hinggap di atas satu gundukan batu berwarna kehijauan berselimut lumut. Burung-burung camar itu kemudian mulai menggesek-gesekkan kaki masing-masing pada gundukan tempat mereka hinggap sambil mengeluarkan kicau berisik.
Tiba-tiba gundukan berlumut itu bergerak. Di sebelah tengah ada bagian menyerupai sepasang tangan. Lalu di sebelah atas dua lobang kecil membuka, menyerupai mata! Astaga, benda berupa gundukan berlumut ini ternyata satu benda hidup adanya! Dan ketika satu lobang lagi membuka dibagian atas di bawah dua lobang kecil tadi, terdengarlah suara orang bicara!
"Kawan-kawanku….Wahai camar laut. Kalian datang lagi membawa makanan untukku… Aku sangat berterima kasih pada kalian. Sejak kakek yang memeliharaku meninggal dunia, jasa kalian tidak terhingga! Kalau kalian tidak selalu datang membawa rumput-rumput segar untuk makananku pasti sudah sejak lama aku menjadi bangkai tulang belulang berserakan di puncak pulau karang ini!"
Burung-burung camar kembali menggesekkan kaki mereka di atas kepala makhluk aneh yang duduk di atas batu karang sambil keluarkan suara kicau tiada henti. Makhluk berlumut gerakkan tangan kanannya. Satu persatu dia mengambil rerumputan segar yang terjepit di paruh burung-burung itu lalu memasukkannya kedalam mulut dan mulai mengunyah memakannya. Sambil makan rumput dia pergunakan tangan kiri untuk mengusap dan membelai binatang-binatang yang selalu datang membawakan makanan untuknya itu.
"Kalian berjasa besar. Kalian memberikan nafas kehidupan padaku. Wahai burung-burung camar, aku tidak bakal melupakan budi kalian seumur-umur…"
Burung-burung di atas kepala makhluk aneh itu keluarkan kicau riuh. Sesaat setelah semua rumput segar yang mereka bawa diambil dan habis dimakan, binatang-binatang itu merentangkan sayapnya lalu terbang ke udara diikuti pandangan sepasang mata si makhluk aneh. Dari mulutnya keluar ucapan setengah berdesah.
"Terima kasih… Terima kasih wahai kawan-kawanku. Enam puluh tahun… Sudah enam puluh tahun aku berada di tempat ini. Kalau menuruti kata-kata si kakek yang sudah meninggal itu aku harus berada di sini sepuluh tahun lagi. Setelah itu aku harus masuk ke alam pengembaraan, menjajal segala ilmu kepandaian yang kumiliki sambil mencari tahu dimana dan siapa adanya ayah bundaku…"
"Wahai makhluk di puncak batu karang tempat arus berputar! Jika kau mengikuti petunjukku, kau takperlu harus menunggu sampai sepuluh tahun lagi! Sebelum sang surya tenggelam hari ini, kau sudah boleh meninggalkan pulau karang!"
Makhluk di atas batu karang tersentak kaget. Dia mendongak ke atas. Di antara silaunya sinar matahari dia melihat ada sebuah benda berwarna merah melayang turun dari sebelah utara. Belum sempat dia berkejap, benda ini tahu-tahu sudah sampai di hadapannya! Kejut si makhluk aneh bukan alang kepalang!
Sosok yang tegak di depannya saat itu adalah sosok seorang kakek yang keadaannya sungguh mengerikan. Sekujur badannya dikobari nyala api. Namun sosok sebelah kanan yaitu bagian bahu sampai ke pinggang hanya merupakan satu lobang besar menggidikkan. Makhluk berlumut di atas batu bisa melihat isi dada dan perut serta genangan darah di dalamnya.
"Makhluk api yang sosokmu hanya tinggal sebelah! Siapa kau adanya! Apa maksud ucapanmu tadi?!" Yang ditanya menyeringai. Lidah api membersit dari mulutnya. Sepasang matanya juga memancarkan nyala api.
"Namaku Lamanyala. Sejak dua ratus tahun silam aku adalah Wakil Para Dewa di Negeri ini. Kau sendiri, apakah kau bisa menerangkan siapa adanya dirimu wahai makhluk berlumut?!"
Yang ditanya tergagau lalu bungkam tak bisa menyahut. Makhluk berapi yang mengaku bernama Lamanyala tertawa mengekeh hingga lidah api keluar dari mulut, mata dan sepasang telinganya.
"Enam puluh tahun hidup di tempat terpencil ini! Kau tidak tahu dirimu sendiri. Bahkan kau tidak punya nama. Sungguh malang hidupmu wahai makhluk berlumut! Untuk mengurangi kemalangan itu biar saat ini aku memberi nama padamu. Agar kau mengenali dirimu sendiri dan aku mudah menyebut memanggilmu. Wahai apakah kau suka kupilihkan sebuah nama untukmu?" Makhluk berlumut masih membisu. Kakek bertubuh api melanjutkan. "Aku akan namakan kau Labahala."
Makhluk berlumut yang sampai saat itu masih duduk di atas batu karang dongakkan kepalanya. Dua matanya memandang tak berkesip pada si makhluk api. "Wahai! Nama yang kau berikan padaku sungguh tak sedap didengar dan buruk sekali arti maknanya! Apa tak ada nama yang lebih baik dari itu!"
Si kakek bernama Lamanyala dan mengaku Wakil Para Dewa tertawa bergelak. "Berpuluh tahun bahkan sejak kau masih ada di rahim ibumu, aku sudah menyirap memperhatikan keadaan dirimu serta meramal keadaanmu di masa mendatang. Mengingat siapa dirimu maka nama itu adalah yang paling tepat untukmu!"
"Kau bukan ayahku bukan pula kerabat keluarga! Apa hakmu memberi aku nama?!"
Kembali Lamanyala tertawa panjang. "Makhluk berlumut, kau tahu apa tentang ayahmu! Kau tahu apa tentang kerabatmu! Satu-satunya makhluk yang kau kenal adalah kakek gurumu yang sudah mati itu! Satu-satunya kerabat yang dekat denganmu hanyalah burung-burung camar yang selalu datang membawakan rumput makanan bagimu! Dan kau tidak tahu burung-burung itu sebenarnya adalah suruhan Para Dewa hingga kau tidak menemui ajal percuma di pulau terpencil ini! Sekarang apakah kau tidak berterima kasih pada Para Penguasa di atas sana?! Berani menolak nama pilihan yang kuberikan?!"
Terkejutlah makhluk berlumut. Sesaat dia hanya bisa berdiam diri.
"Labahala, kau dengar baik-baik. Kehidupan masa depanmu sudah ada dalam bayangan benakku! Aku akan memberi petunjuk dan kau hanya tinggal menjalankan!"
"Kalau aku tidak mau mengikuti dan menjalani petunjukmu, kau mau berbuat apa wahai Lamanyala?"
"Tidak ada makhluk setololmu di muka bumi ini! Jika kau masih terus mendekam di tempat ini apa yang akan kau dapat? Dan jika Para Dewa menghentikan anugerahnya melalui burung-burung camar itu, apa kau bisa bertahan hidup sampai satu tahun di muka? Di tempat ini kau hanya mendapatkan angin, embun, terik panas matahari dan lumut!"
"Guruku telah mengajarkan berbagai ilmu padaku! Itu sudah memberikan kepuasan tiada tara padaku!"
"Kau punya ilmu katamu, bagus! Tapi kapan kau mempergunakan ilmu itu? Apa yang kau dapat dari ilmumu itu? Kau tidak lebih dari seekor cacing tanah terpencil di pulau celaka ini! Apakah kau akan menghabiskan hidupmu seumur-umur di tempat ini? Sebaliknya jikakau ikut petunjukku, kelak kau akan mendapatkan berbagai ilmu kesaktian mandraguna, yang akan menjadikanmu makhluk tiada tandingan."
"Menurut guru. Sepuluh tahun lagi aku boleh meninggalkan pulau. Mengembara kemana aku suka sambil memanfaatkan semua Ilmu yang kumiliki! Aku sudah cukup puas dengan ilmu yang aku miliki! Aku tidak Periu ilmu tambahan. Juga tidak dari kau wahai makhluk api!"
"Wahai, sungguh picik jalan pikiranmu. Rupanya lumut bukan hanya menutupi tubuhmu sebelah luar tapi juga sudah membungkus otakmu! Ha ha ha!"
"Wahai! Jangan keliwat menghina makhluk api! Akan ku perlihatkan padamu bahwa aku bukan makhluk bodoh!" Habis berkata begitu makhluk berlumut yang oleh Wakil atau Utusan Para Dewa diberi nama Labahala hantamkan tangan kanannya ke batu karang datar yang ada di depannya.
"Braaakkk!"
Batu karang amblas membentuk lobang besar sementara pecahannya berkeping-keping melayang ke udara. Makhluk berlumut meniup. Pecahan-pecahan batu karang yang ternyata sebenarnya telah hancur itu berubah, beterbangan menjadi debu dan luruh ke tanah!
"Kau bisa menghancurkan, tapi apakah kau sanggup mengembalikan debu karang itu kebentuknya semula?" bertanya kakek api Lamanyala.
"Aku tidak mengerti…" jawab makhluk berlumut.
"Kau tidak mengerti! Ha ha ha! Lihat apa yang aku lakukan!"
Kakek api ulurkan tangan kanannya lalu disapukan ke tanah. Debu hancuran batu karang yang tadi dipukul makhluk berlumut membubung ke udara, menyatu kembali secara aneh. Si kakek gerakan tangan kanannya dua kali, kali ketiga dia seperti memukul ke arah lobang di depan makhluk berlumut.
"Wuuttt! Seetttt! Setttt! Bluuupppp!"
Lobang besar akibat hantaman pukulan tadi kini tertutup oleh gumpalan debu, rata tak berbekas seperti keadaan semula! Labahala hanya bisa leletkan lidah menyaksikan kejadian itu. Kakek api menyeringai lebar lalu berkata,
"Sungguh hebat ilmu pukulan Menghancur Karang Membentuk debu yang kau perlihatkan padaku. Wahai, bukankah itu nama pukulan yang barusan kau Perlihatkan padaku? Hik hik hik!"
Makhluk berlumut terkesiap kaget. Tidak mengerti bagaimana si kakek api tahu nama pukulan yang barusan dikeluarkannya.
"Makhluk berlumut yang aku beri nama Labahala, jika kau mengikuti petunjukku kau akan dapatkan berbagai ilmu yang jauh lebih hebat dari yang barusan kau Perlihatkan. Kau tak Periu menunggu sepuluh tahun. Sebelum sang surya tenggelam hari ini kau sudah boleh meninggalkan pulau ini! Terserah apakah kau mau menerima berkah atau tetap jadi cacing tanah dengan sejuta ketololan!"
Makhluk berlumut merenung sejenak. Lalu dia bertanya. "Petunjuk apa yang hendak kau berikan padaku wahai kakek api?"
"Pertama, kau akan kuwariskan beberapa ilmu kepandaian yang akan membuatmu kelak menjadi makhluk tanpa tandingan di Negeri Latanahsilam. Semua akan tunduk padamu dan kau akan menjadi Raja Di Raja Segala Makhluk bergelar Hantu yang ada di Negeri itu…"
"Dari guru saya pernah mendengar bahwa Para Hantu di Negeri Latanahsilam adalah para tokoh sakti mandraguna yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya"
"Kau tak usah khawatir! Dengan ilmu yang aku berikan mereka akan tunduk di bawah telapak kakimu! Kau akan menjadi Raja Di Raja! Untuk itu kelak kau harus membangun satu Kerajaan yang berpusat pada satu istana yang harus kau beri nama Istana Kebahagiaan. Di dalam istana itu kau akan menemukan kesaktian dan kehebatanmu. Di dalam istana itu kau akan menemukan kebahagiaan dunia tiada taranya. Karena di istanamu itu akan berkumpul semua perempuan cantik delapan penjuru angin. Hik hik hik! Aku tanya apa kau tidak suka hidup seperti itu…?!"
Si makhluk berlumut leletkan lidahnya di ujung bibir. Perbuatannya ini sudah cukup memberi tanda pada kakek api bahwa orang di hadapannya itu menyukai apa yang didengarnya dan berarti bersedia mengikuti apa-apa yang dikatakannya.
" Labahala, begitu kau menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam maka kau berhak menyandang gelar Hantu Muka Dua, dan dirimu adalah pelambang makhluk Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu! Ha ha ha…!"
Labahala kerenyitkan kening. Gelar dan pelambang yang dikatakan si kakek api sungguh angker terdengar di telinganya. "Kakek Lamanyala, gelar dan pelambang yang kau sebutkan barusan"
Si kakek angkat tangan kanannya yang dikobari api mulai dari bahu sampai ke telapak. "Aku tahu apa yang ada dalam benak dan hatimu. Gelar dan pelambang yang kusebutkan tadi adalah yang paling cocok untukmu karena aku akan membuatmu demikian rupa hingga keadaanmu menjadi memiliki satu kepala dengan dua muka seumur hidupmu!"
"Kek, aku…"
"Jangan bicara! Jangan memutus ucapanku sebelum selesai!" Kakek api membentak. Kobaran api di muka dan matanya menjilat ke depan membuat makhluk berlumut cepat-cepat tarik kepalanya ke belakang takut terbakar. "Dengar Labahala, sebelum kau tinggalkan pulau ini kau wajib membersihkan diri di pantai pulau sebelah timur. Lalu begitu kau berada di Negeri Latanahsilam maka kau akan memiliki kepala dengan empat pasang macam muka. Muka Pertama adalah muka aslimu yakni muka lelaki separuh baya. Putih di sebelah depan. Itu muka jahatmu. Lalu hitam di sebelah belakang, itu muka baikmu. Muka ke dua adalah muka seorang kakek pucat pasi, sama warna depan dan belakang. Kau akan memiliki muka ini jika kau berada dalam keadaan kaget atau takut. Muka ke tiga akan muncul jika kau sedang bergairah atau naik nafsu terhadap lawan jenismu. Kau akan memiliki dua muka anak muda yang sangat tampan. Putih di sebelah depan, hitam di bagian belakang. Muka terakhir adalah mukamu yang paling dahsyat. Wajahmu depan belakang akan berubah menjadi wajah raksasa jika kau sedang marah!"
Tidak terasa si makhluk berlumut usap mukanya sebelah depan dan gosok-gosok kepalanya sebelah belakang. Lamanyala tertawa.
"Belum, kepalamu masih belum berubah wahai Labahala. Kepalamu masih tetap memiliki satu wajah. Ha ha ha! Sekarang dengar apa yang harus kau lakukan begitu berada di Negeri Latanahsilam. Pertama sekali kau harus mencari makhluk sakti bernama Hantu Tangan Empat. Dia memiliki beberapa ilmu kesaktian. Satu yang paling hebat adalah ilmu pukulan bernama Tangan Hantu Tanpa Suara. Kau harus merampas ilmu itu dari tangannya. Dengan akal kejimu kau harus menundukkan Hantu Tangan Empat karena saat ini dialah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Selesai urusanmu dengan Hantu Tangan Empat kau harus mencari seorang berjuluk Hantu Lumpur Hijau. Makhluk ini diam di satu tempat bernama Kubangan Lalumpur. Dari dia kau harus merampas ilmu kesaktian bernama Hantu Hijau Penjungkir Roh. Bilamana dua tugas itu sudah kau selesaikan maka kau harus pergi ke satu lembah di selatan Negeri Latanahsilam. Lembah ini bernama Lembah Seribu Kabut. Di situ ada seorang pertapa bernama Lasedayu. Kesaktiannya konon lebih tinggi dari Hantu Tangan Empat. Jadi kau harus hati-hati terhadap makhluk satu ini. Dia memiliki banyak ilmu kepandaian. Satu diantaranya adalah pukulan ganas bernama Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Semua ilmu yang dimiliki Lasedayu dengan mudah bisa kau dapati hanya dengan jalan mencungkil dan merampas pusarnya! Kau paham wahai Labahala?"
"Aku paham wahai Lamanyala. Namun jika Lasedayu memiliki kepandaian tinggi tentu sulit untuk mencungkil merampas pusarnya..."
"Kau benar. Tapi jika kau mempergunakan alat ini pekerjaan itu akan jadi mudah…"
Kakek api lalu masukkan tangan kirinya ke dalam lobang di sisi kanan tubuhnya. Dari dalam rongga ini dikeluarkannya sebuah benda yang diselimuti darah kental.
SEPULUH
Labahala kernyitkan kening. Dia tidak tahu benda apa yang dipegang si kakek api Wakil Para Dewa itu. Si kakek mendongak ke langit, pejamkan matanya lalu meniup. Serta merta darah yang melumuri benda yang dipegangnya lenyap. Kini kelihatan ujud benda itu, ternyata adalah sebuah sendok aneh bergagang pendek, terbuat dari emas murni memancarkan cahaya kuning berkilauan.
"Ini adalah Sendok Pelangkah Nasib. Dengan benda ini dengan mudah kau bisa mengorek pusar Lasedayu. Ambillah, simpan baik-baik. Benda ini hanya boleh kau keluarkan pada saat kau siap mencungkil pusar Lasedayu. Jika telah selesai kau harus pergi ke tepi pantai, menghadap ke utara lalu buang Sendok Pelangkah Nasib ke dalam laut Secara gaib sendok ini akan kembali padaku…"
Si kakek api ulurkan tangannya yang menyala. Dengan hati-hati Labahala ambil benda itu. Tangannya bergetar begitu memegang sendok emas dan kuduknya terasa dingin. Setelah memperhatikan sejenak Sendok Pelangkah Nasib dimasukkannya kebalik sosoknya yang penuh lumut.
"Labahala, kelak kau akan menjadi Raja Di Raja Para Hantu di Negeri Latanahsilam. Dalam perjalanan hidupmu ada satu pantangan yang harus kau ingat baik-baik. Yaitu kau sekali-kali tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa. Termasuk binatang yang betina…"
"Wahai, mengapa begitu Kek?" tanya makhluk berlumut
"Pantangan sudah begitu kejadiannya. Tak ada pertanyaan untuk hal itu dan tak ada jawabnya bagimu!" kata Lamanyala pula. "Ada beberapa hal lagi yang harus kau lakukan wahai Labahala. Begitu Hantu Tangan Empat jatuh dalam kekuasaanmu, kau harus memerintahkannya untuk pergi ke Negeri Seribu Dua Ratus Mendatang. Negeri itu disebut Tanah Jawa. Hantu Tangan Empat satu-satunya makhluk di Latanahsilam yang punya kesaktian untuk menembus jarak serta perbedaan waktu. Di Tanah Jawa dia harus mencari tiga manusia. Yang pertama bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Yang ke dua seorang bocah aneh dipanggil dengan sebutan Naga Kuning atau Naga Cilik. Yang ke tiga seorang kakek berjuluk Si Setan Ngompol. Salah satu dari ke tiga orang itu memiliki sebuah batu sakti bernama Batu Pembalik Waktu. Batu itu harus kau dapatkan untuk mencegah orang-orang di Tanah Jawa bisa masuk ke dalam alammu. Sebaliknya dengan memiliki batu itu kau bisa masuk ke dalam alam seribu dua ratus tahun mendatang. Bilamana kau berhasil menjejakkan kaki di Tanah Jawa, segudang ilmu kepandaian akan mudah kau dapatkan. Lebih dari itu kau bisa pula menjadi Raja Di Raja di Negeri asing itu…"
"Kakek Lamanyala, aku sangat berterima kasih atas semua petunjuk dan apa yang kau berikan padaku. Setelah membersihkan diri aku segera akan berangkat menuju Lembah Seribu Kabut tempat kediaman Lasedayu. Namun wahai Kakek Lamanyala, jika aku boleh bertanya mengapa sampai aku yang terpilih menerima semua berkah ini?"
Si kakek api tertawa lebar. Ketika mulutnya terbuka kobaran api menjilat-jilat keluar. "Takdir dan perjalanan nasibmu sudah begitu Labahala. Kau terpilih menerima rezeki besar. Sekarang dengar, masih ada satu dua petunjuk lagi yang harus kau dengar dariku wahai Labahala. Tiga manusia yang kusebutkan tadi bisa menjadi bencana bagimu karena itu harus kau bunuh mereka setiap ada kesempatan. Tetapi mereka juga memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Darah yang mengalir di tubuh mereka bisa kau jadikan cairan sakti peredam senjata apa saja yang kau inginkan hingga senjatamu itu menjadi satu senjata mustika sakti mandraguna. Jadi bunuh dia tapi ambil darahnya! Petunjuk selanjutnya akan sampai kepadamu melalui mimpi-mimpi."
"Terima kasih atas petunjukmu Kek," kata makhluk berlumut lalu rundukkan tubuhnya ke depan sampai keningnya hampir menyentuh tanah.
Si kakek api tertawa senang. Dia ulurkan tangan kirinya menepuk-nepuk bahu Labahala. Karuan saja makhluk berlumut ini kelojotan karena kobaran api yang ada di tangan si kakek langsung membakar bahunya, membuat lumut di bagian tubuh itu hangus kering.
"Aku pergi sekarang wahai Labahala. Sudah tiba saatmu untuk mandi membersih diri!"
Habis berkata begitu si kakek ulurkah tangan kanannya mencekal kuduk Labahala. Sekali dia menyentakkan tangan itu maka melesatlah sosok makhluk berlumut itu, melayang di udara dan akhirnya jatuh di dalam laut dangkal di pantai timur pulau karang.
"Labahala! Bersihkan tubuhmu dari selimut lumut! Setelah itu pergi ke pantai sebelah selatan. Kau akan menemukan sebuah perahu. Kayuh perahu itu menuju daratan Negeri Latanahsilam. Selamat jalan wahai Raja Di Raja Segala Hantu! Selamat jalan wahai Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"
Di dalam air laut Labahala memandang berkeliling. Dia mendengar suara itu tapi sama sekali tidak melihat sosok si kakek api. Anehnya ketika dia mengusap lengannya, lumut hijau yang telah bertahun-tahun membungkus tubuhnya hingga menyerupai lapisan batu terkelupas rontok. Labahala terkesiap. Digosoknya bagian tubuh yang lain. Hal yang sama terjadi. Labahala mengusap wajahnya. Beberapa kali mengusapsaja seluruh wajahnya serta mertamenjadi bersih! Kembali ke pulau karang ternyata kakek Wakil ParaDewa di Negeri Latanahsilam masih berada di tempatnya semula. Seringai lebar menguak di wajahnya. Dari mulutnya meluncur ucapan.
"Lasedayu, dendamku puluhan tahun silam akan segera terbalaskan! Kau tidak pernah tahu siapa sebenarnya yang mencelakai dirimu! Kau akan hidup sengsara terkutuk seumur-umur! Celakalah kau Lasedayu!"
Kakek yang tubuhnya geroak dan terbungkus nyala api itu tertawa panjang dan puas. Namun tawanya mendadak sontak lenyap ketika di langit ada cahaya putih disusul suara mengiang di kedua telinganya.
"Lamanyala, Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Kami memang menginginkan hukuman dijatuhkan atas diri Lasedayu. Namun bukan dengan cara seperti yang telah kau kerjakan. Pelaksanaan hukuman bukan berarti membakar dan menebar dendam. Apa lagi kau sadar penuh siapa adanya Lasedayu dan siapa pula adanya makhluk berlumut yang kau beri nama Labahala itu!"
Si kakek api menatap ke langit. Lalu rapatkan dua tangan dan letakkan di atas kening. Lututnya ditekuk sedikit
"Wahai Junjungan Dari Atas Langit, mohon maaf kalau aku telah keliru bertindak. Namun bukan maksud hati membakar dan menebar dendam. Kalau Junjungan melihat keadaan diriku yang sengsara dan mengerikan begini rupa, hukuman apakah yang akan setimpal sebagai balasan atas kejahatan Lasedayu terhadap diriku puluhan tahun silam? Selain itu wahai Junjungan, bukankah karena perbuatan Lasedayu pula maka Jimat Hati Dewa raib selama-lamanya, tak mungkin kembali lagi ke tangan para Junjungan?"
"Lamanyala, sebenarnya kami telah menyiapkan satu hukuman yang setimpal terhadap Lasedayu. Namun kedahuluan oleh tindakanmu. Sungguh disayangkan kau mengambil keputusan dan bertindak sendiri, tidak menaruh hormat dan berunding dulu dengankami. Karenanya segala apa yang kelak terjadi sepenuhnya akan menjadi tanggung jawabmu!"
Rahang si kakek api menggembung. Telinganya panas dan hatinya meradang. "Wahai Para Junjungan, sudah nasib diri kami manusia di bumi ini. Jika salah langsung diterpa, jika celaka tidak pernah diambil kira. Puluhan tahun aku hidup dengan sosok hanya tinggal sebelah! Siapa yang peduli akan kesembuhanku? Manusia di bumi tidak, para Dewa di langit juga tidak! Tapi ketika aku mengambil keputusan memperkarakan makhluk jahat bernama Lasedayu, kesalahan justru ditimpakan pada diriku! Wahai Junjungan, seperti katamu, aku akan bertanggung jawab akan segala apa yang terjadi sebagai akibat perbuatanku! Tapi ketahuilah, mulai saat ini jangan disebut lagi diriku ini sebagai Wakil Para Dewa Di Negeri Latanahsilam! Kelak Labahala tidak hanya akan membuat kegegeran di permukaan bumi Latanahsilam tapi juga akan membuat heboh Para Dewa di ataslangit sana!"
Si kakek tundukkan kepala, tekuk lututnya lalu berkelebat tinggalkantempat itu. Di langit sinar putih menyambar ke atas pulau namun Lamanyala telah lenyap tanpa bekas!
********************
SEBELAS
Kita kembali ke Istana Kebahagiaan. Seperti dituturkan dalam Bab Lima kakek sakti bernama Lapicakkanan yang buntung paha kirinya akibat tebasan Kapak Maut Naga Geni 212 akhirnya menemui ajal dibunuh Hantu Muka Dua karena menganggap kakek itu tidak ada gunanya lagi. Saat itu matahari mulai naik. Udara tampak cerah.
Dari sebuah jalan rahasia di sebelah timur Istana Kebahagiaan kelihatan seorang kakek berkelebat cepat, lari sambil mendukung seorang kakek di atas bahunya. Kakek yang berlari adalah Lahidungbesar sedang yangdidukung sudah dapat ditebak ialah Lasulingmaut adanya. Seperti biasanya sambil didukung Lasulingmaut tiup suling tengkoraknya yang mengeluarkan suara sember dan mengepulkan asap hitam.
"Lasulingmaut!" sambil berlari Lahidungbesar berkata. "Ini kali pertama dan kali terakhir aku mendukungmu! Jangan samakan aku dengan Lapicakkanan. Aku tidak sudi mendukungmu kemana aku pergi. Aku bukan keledai tunggangan!"
Lasulingmaut si kakek aneh yang tak pernah bicara menyeringai lalu tiup sulingnya yang mengeluarkan suara sember. Setelah itu dia bergumam beberapa kali.
"Aku tahu kau marah! Wahai terserah padamu! Apapun yang terjadi! Apapun yang kau lakukan, jika urusan ini selesai aku tetap tidak akan mau mendukungmu lagi! Sialan!"
Lasulingmaut tiup lagi suling tengkoraknya hingga asap hitam berkepulan. Tiba-tiba suling itu melesat ke arah wajah kakek hidung besar. Kali ini tak ada kepulan asap. Tapi ujung suling berkelebat mengarah ke mata kanan Lahidungbesar!
Lahidungbesar menggembor marah dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Siap untuk memukul hancur suling yang ditancapi tengkorak itu. Kakek yang didukungnya menggumam keras lalu gerakkan tangannya sedikit. Suling yang dipegangnya serta merta melenceng ke kiri. Hantaman tangan Lahidungbesar hanya mengenai udara kosong. Untuk pertama kalinya Si Lasulingmaut keluarkan suara tertawa aneh bergumam.
"Lasulingmaut jahanam keparat! Wahai! Kau hendak menusuk mataku! Membuat aku picak seperti Lapicakkanan!" teriak Lahidungbesar marah.
Di belakang ke dua orang itu, empat orang lelaki bertubuh tegap, mengenakan pakaian kulit kayu berbentuk jubah coklat dilengkapi kopiah tinggi juga berwarna coklat berlari sebat membawa sebuah tandu terbuka. Pada bagian pertengahan tandu itu berbentuk kursi. Di atas kursi ini duduklah Raja Diraja Segala Hantu, penguasa Istana Kebahagiaan yang disebut Junjungan alias Hantu Muka Dua.
"Kalian berdua di depan sana!" Tiba-tiba Hantu Muka Dua berseru pada dua kakek yang tengah bertengkar.
"Kita tengah menghadapi satu urusan besar! Jika tidak segera berhenti bertengkar, jangan salahkan kalau kepala kalian kupecahkan seperti aku memecahkan kepala Lapicakkanan!"
Hidung besar kakek bernama Lahidungbesar mengembang tambah besar. Mulutnya menggerutu lalu diam. Di atasnya Lasulingmaut bergumam keras lalu tiup suling tengkoraknya.
Disebuah lereng bukit berbatu-batu Lahidungbesar hentikan larinya. Yang disebut sumur melintang seperti dikatakan oleh kakek itu ternyata adalah sebuah goa batu di lamping bukit sedalam tiga tombak. Sepanjang bagian dasar goa ada hamparan batu rata setinggi pinggul hingga goa itu tidak bedanya merupakan sebuah pembaringan. Karena saat itu sinar sang surya berada di sisi lain dari lereng bukit maka bagian dalam goa batu tersebut tidak terlihat jelas.
"Wahai Junjungan Hantu Muka Dua, ini sumur melintang tempat aku meninggalkan Peri Angsa Putih," berkata Lahidungbesar, memberi tahu Hantu Muka Dua.
Hantu Muka Dua memberi isyarat. Empat pengusung tandu segera turunkan tandu ke tanah. Sepasang mata Hantu Muka Dua membesar berbinar-binar. Tatapannya tidak beralih ke arah goa yang gelap.
"Kau tunggu apalagi Lahidungbesar! Lekas keluarkan Peri itu dari dalam sumur melintang. Pastikan dia masih berada di bawah pengaruh Ilmu Menjirat Urat yang aku ajarkan padamu!"
"Jangan khawatir Junjungan. Sampai saat ini dia pasti berada dalam keadaan tidak berdaya."
Lahidungbesar diam-diam merasa menyesal telah memberitahu bahwa Peri Angsa Putih berada di dalam goa itu. Padahal sebenarnya dia sudah punya niat keji untuk mengumbar nafsu merusak kehormatan sang Peri. Perlahan-lahan Lahidungbesar turunkan Lasulingmaut dari dukungannya. Lalu dia melangkah ke mulut goa, membungkuk, terus masuk merangkak sejauh setengah tombak. Begitu tangannya menyentuh dua kaki dia tidak segera menarik tapi diusap-usapnya lebih dulu. Usapannya naik ke betis. Nafas Lahidungbesar memburu dilanda nafsu. Hidungnya yang besar tambah mengembang. Kalau saja Hantu Muka Dua tidak ada di situ, pasti tangannya akan menggerayang lebih ke atas.
"Lahidungbesar! Apa yang kau lakukan berlama-lama di dalam sumur itu!" Hantu Muka Dua berteriak tidak sabaran.
"Sebentar wahai Junjungan. Sumur ini agak sempit…" jawab Lahidungbesar yang disambut dengan suara tiupan suling sember oleh Lasulingmaut. Kakek satu ini agaknya sudah tahu apa yang tengah dilakukan kawannya itu.
Ketika menarik sepasang kaki itu dalam gelap Lahidungbesar merasa heran dan membatin. "Aneh, mengapa sosok Peri ini jadi sangat berat. Waktu kakinya kupegang terasa kasar. Lalu mengapa betisnya seperti ada bulu-bulunya. Keras berotot. Seharusnya halus dan lembut." Sesaat kakek hidung besar ini berhenti menarik. Dia mengendus-endus. Lalu kembali berkata dalam hati. "Seingatku sosok Peri Angsa Putih menebar bau harum mewangi. Saat ini aku seperti mencium bau keringat. Ada yang tidak beres"
Walau hatinya kini mendadak merasa tidak enak Lahidungbesar kembali menarik dua kaki. Ketika dia sampai di ujung sumur melintang, pada bagian yang terang dia melihat ke bawah, memperhatikan.
"Wahai!" Lahidungbesar berseru. Tampangnya berubah pucat tanda terkejut amat sangat
"Lahidungbesar! Ada apa?!" bertanya Hantu Muka Dua.
Lasulingmaut turunkan sulingnya dari mulut, menatap tajam ke arah mulut goa.
"Ka… kaki itu…" jawab Lahidungbesar. Namun ucapannya terputus dan berubah menjadi jerit kesakitan setinggi langit ketika satu tendangan menghantam dadanya keras luar biasa!
Darah menyembur merah dari mulut kakek itu. Karena sebagian mulutnya tertutup oleh hidungnya yang besar maka muncratan darah bersibak membasahi separuh muka, leher dan bajunya. Tubuh Lahidungbesar terbanting ke lamping batu lalu roboh terduduk di tanah! Mukanya sepucat kain kafan! Lasulingmaut melompat empat langkah menjauhi mulut goasambil keluarkan suara bergumam. Hantu Muka Dua berteriak marah.
"Jahanam di dalam sumur melintang! Siapa kau!"
Dua kaki yang terjuntai di mulut goa bergerak ke atas ke bawah, menimbulkan dua gelombang angin deras, membuat semua orang yangada di depan goa cepat-cepat menyingkir. Sesaat kemudian orang yang ada dalam goa itu melompat keluar sambil tertawa bergelak.
"Kurang ajar! Pendekar 212 Wiro Sableng! Kau rupanya!" teriak Hantu Muka Dua marah.
Walau marah namun diam-diam hatinya jadi tidak enak. Maksud kedatangannya jauh-jauh ke tempat itu adalah untuk menemui Peri Angsa Putih, musuh besarnya. Tapi kini yang keluar dari dalam sumur melintang itu adalah orang lain yang juga merupakan musuh besarnya yang selama ini telah berkali-kali ingin dibunuhnya! Hantu Muka Dua memandang mendelik pada Lasulingmaut, lalu pada Lahidungbesar dan membentak.
"Lahidungbesar! Bagaimana bisa pemuda asing jahanam ini yang ada di dalam sumur melintang! Mana Peri Angsa Putih yang kau katakan itu?! Kalian mempermainkan aku hah?!" Wajah Hantu Muka Dua depan belakang langsung berubah menjadi wajah-wajah raksasa menggidikkan. Sepasang matanya mendelik pada dua kakek didepannya.
Lasulingmaut hanya gembungkan mulut lalu bergumam, membuat Hantu Muka Dua tambah marah. Lahidungbesar gelengkan kepala dengan dada sesak. Dia coba membuka mulut hendak menjawab tapi yang keluar dari mulutnya bukan ucapan melainkan semburan darah.
Di depan goa, orang yang barusan melompat keluar tegak dengan kaki terkembang, tangan dilipat di depan dada dan mulut sunggingkan seringai mengejek. Suara tertawa lalu keluar dari mulutnya. Mula-mula Perlahan lalu mengeras. Seperti disaksikan semua orang yang ada di situ, orang ini memang adalah Pendekar212 Wiro Sableng!
"Hantu Muka Dua! Sungguh sial nasibmu! Maksud hati mencari Peri, tak tahunya hanya datang mencari mati!"
Rahang Hantu Muka Dua menggembung. Gerahamnya mengeluarkan suara bergemeretakan. "Pemuda asing! Jangan bicara sombong di hadapan Raja Diraja Segala Hantu, penguasa tunggal Istana Kebahagiaan! Aku memang sudah lama mencarimu! Hari ini jangan harap kau bisa lolos dari kematian! Jangan mimpi bisa kembali hidup-hidup ke negeri asalmu!"
Setelah membentak Hantu Muka Dua masih sempat berpikir apa sebenarnya yang telah terjadi dan dimana beradanya Peri Angsa Putih. Hal yang sama juga menjadi tanda tanya di diri Lahidungbesar sementara Lasulingmaut seperti biasanya unjukkan sikap tidak acuh. Hal ini membuat kemarahan Hantu Muka Dua menjadi tambah menggelegak. Dia berpaling pada Lahidungbesar dan berkata,
"Kalian yang punya pekerjaan! Kalian yang bertanggung jawab! Lekas bunuh pemuda asing itu! Dan tunjukkan padaku dimana Peri Angsa Putih!"
Lahidungbesar tak bisa menjawab karena dia memang tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Mengapa tahu-tahu Pendekar 212 telah berada di tempat itu dan juga tidak tahu dimana beradanya Peri Angsa Putih saat itu. Selain itu Lahidungbesar berada dalam keadaan terluka parah di dalam akibat tendangan Wiro. Nafasnya megap-megap dan tulang dada serta beberapa iganya ada yang hancur.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada suara perempuan berseru. "Hantu Muka Dua, kau mencari diriku?! Aku ada di sini!"
Hantu Muka Dua dan semua orang yang ada di lereng bukit batu itu kecuali Wiro palingkan kepala ke arah datangnya suara. Di atas sebuah batu besar di tempat ketinggian kelihatan Peri Angsa Putih tegak di samping Laeputih angsa raksasa tunggangannya. Ternyata di situ dia tidak sendirian. Di sebelahnya tegak seorang gadis ramping tinggi semampai mengenakan pakaian biru. Di keningnya menempel sekuntum bunga tanjung kuning. Semua orang terpesona melihat kecantikan gadis satu ini yang tak kalah anggun dengan Peri Angsa Putih.
"Luhcinta…" desis Hantu Muka Dua. "Bagaimana dia bisa bergabung dengan Peri Angsa Putih. Apa hubungan antara dua gadis itu…"
Penguasa Istana Kebahagiaan ini lantas ingat pada peristiwa ketika dia berhasil menjebak dan membawa gadis itu ke tempat kediamannya di bawah Telaga Lasituhitam sebelum digusur oleh Peri Angsa Putih beberapa waktu lalu. Kemunculannya pasti membawa dendam. Karena Hantu Muka Dua tahu Luhcinta bukan gadis sembarangan dan merupakan murid seorang nenek sakti bernama Hantu Lembah Laekatakhijau dan juga merupakan cucu kandung nenek sakti lainnya yang dijuluki Hantu Penjunjung Roh.
Mengingat sampai di situ Hantu Muka Dua diam-diam menjadi was-was. Apalagi dia mempunyai pantangan membunuh perempuan. Akan cukup sulit baginya untuk menghadapi langsung dua gadis jelita berkepandaian tinggi itu. Dia memandang berkeliling, menghitung jumlah orang dan mengukur kekuatan di pihaknya. Walau dia tidak meremehkan kemampuan dua kakek sakti yang ada bersamanya namun Hantu Muka Dua tetap saja merasa khawatir.
Kakek hidung besar jelas tidak bisa diandalkan lagi. Maka makhluk yang mengaku Raja Diraja Segala Hantu ini lantas memberi isyarat pada empat orang lelaki berjubah yang menjadi pengusungnya.
Melihat tanda ini keempat orang itu segera keluarkan suitan keras. Dua kali berturut-turut. Hanya beberapa saat setelah suitan menyentak keras maka tiga sosok berkelebat dan muncul tegak di samping Hantu Muka Dua.
Siapa adanya Luhcinta, riwayatnya bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Rahasia Bayi Tergantung
Sosok pertama adalah seorang nenek berkaki pendek sebelah, mengenakan pakaian kulit kayu warna-warni. Walau dia jelas berambut panjang riap-riapan dan memakai anting di dua telinganya, namun perempuan tua ini di bawah bibirnya ditumbuhi bulu-bulu menyerupai kumis lelaki! Yang angkernya dari nenek ini ialah dia mempunyai sepasang tangan berkuku panjang, berwarna hitam dan dilebati rambut-rambut hitam berjingkrak!
Si nenek adalah salah satu kaki tangan Hantu Muka Dua yang dikenal dengan julukan Si Pembedoi Usus! Julukan ini sesuai dengan kebiasaannya yang selalu membunuh lawannya dengan cara merobek perut membetot usus!
Peri Angsa Putih yang mengenali siapa adanya nenek satu ini diam-diam merasa terkejut karena tidak menyangka si nenek yang selama ini memang tidak disenangi oleh Para Peri dan Dewa ternyata telah bergabung di Istana Kebahagiaan menjadi kaki tangan Hantu Muka Dua!
Orang ke dua adalah seorang lelaki separuh baya yang mukanya diberi pupur tebal, alis terang dan gincu merah mencorong. Rambutnya keriting aneh, panjang menjulai sampai bahu. Walau dia mengenakan pakaian laki-laki namun sikap tingkahnya seperti perempuan, sebentar-sebentar tersenyum dan mematik-matik rambutnya. Di hidungnya dia memakai sebentuk subang bermata yang memancarkan cahaya berkilat-kilat.
Sesekali dia mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng dan kedip-kedipkan matanya lalu mencibir pada Lasulingmaut yang memperhatikannya dengan pandangan mengejek sambil keluarkan suara bergumam. Di Negeri Latanahsilam orang ini dikenal dengan nama Si Betina Bercula. Nama ini cukup menjadi pertanda bahwa dia sebenarnya adalah seorang lelaki yang punya kelainan dan menjalani hidup sebagai perempuan. Konon selama belasan tahun dia lenyap tak diketahui kemana perginya. Begitu muncul tahu-tahu dia sudah menjadi orang kepercayaan Hantu Muka Dua.
Kalau Luhcinta tidak mengetahui siapa adanya Si Betina Bercula, lain halnya dengan Peri Angsa Putih. Melihat Si Betina Bercula dia langsung merasa khawatir terhadap keselamatan Pendekar 212 Wiro Sableng. Apalagi dari sikapnya dia jelas mengincar pemuda asing itu.
Orang ke tiga yang muncul bersama nenek Si Pembedol Usus dan Si Betina Bercula dikenali Wiro bukan lain adalah Si Pelawak Sinting. Seorang kakek aneh yang pernah menunjukkan sikap baik menolong sang pendekar tetapi kemudian menjebloskannya ke sebuah lobang maut dan ternyata dia adalah kaki tangan Hantu MukaDua. Namun saat itu Wiro menjadi bingung dan sulit menerka apakah Si Pelawak Sinting yang muncul ini adalah yang palsu atau yang asli.
Seperti diceritakan dalam serial terdahulu berjudul Hantu Tangan Empat Pelawak Sinting yang asli adalah seorang kakek baik-baik.
Kakek ini mempunyai kesukaan bernyanyi sambil menari. Kemana-mana selalu membawa payung daun yang diletakkan di atas kepala serta membekal sebuah tambur terbuat dari batang kayu yang dilubangi lalu salah satu sisinya ditutup dengan kulit binatang yang dikeringkan. Selain itu caranya berpakaian selalu mendodorkan celananya bagian belakang ke bawah hingga pantatnya yang hitam dan kasap tersingkap ke mana-mana.
"Sialan benar!" kata Wiro memaki dalam hati sambil menggaruk-garuk kepala. "Bagaimana aku mengetahui kakek ini Pelawak Sinting asli yang baik atau Pejawak Sinting palsu yang jahat! Dulu Pelawak Sinting yang asli telah merampas payung serta tambur itu dari Si Pelawak Sinting palsu. Pelawak Sinting palsu adalah kakak kembar yang asli. Tapi sekarang kakek itu muncul membawa payung dan tambur seperti milik Pelawak Sinting. Apakah dia yang asli atau yang palsu tapi berhasil mendapatkan atau membuat sendiri payung daun dan tambur itu?!" Pendekar 212 coba mengingat-ingat.
"Antara dua kakek sinting kembar itu memang sulit dibedakan. Mulutnya sama-sama tonggos, mata sama belok dan hidung sama pesek. Lalu pantat juga sama-sama hitam burik! Bahkan suaranya tidak beda sedikitpun. Suara… suara… Aku ingat sekarang. Pelawak Sinting yang asli tidak bisa menyebut namaku dengan lempang. Dia tidak bisa menyebut Wiro seolah lidahnya kelu melafatkan huruf 'er'. Selain itu diasuka cegukan seperti anak kecil. Walau aku yakin kakek ini adalah Si Pelawak Sinting palsu tapi ada baiknya aku menguji dulu agar tidak kesalahan tangan.
"Sobatku kakek Pelawak Sinting!" Wiro berseru. "Aku gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apa kau masih ingat namaku…?"
Payung di atas kepala Si Pelawak Sinting mumbul ke atas. Kakek ini monyongkan mulutnya yang tonggos. "Aku masih belum buta! Bukankah kau pemuda asing bernama Wiro Sableng itu? Tidak sangka aku mendapat perintah untuk membunuhmu kembali!"
Telinga Wiro seperti mengiang. "Dia mampu menyebut namaku dengan benar. Berarti dia memang Si Pelawak Sinting palsu sialan itu!" Wiro membatin. Lalu dia berkata lagi. "Walau kau sudah mendapat hajaran dari adikmu rupanya kau belum kapok! Apa kali ini kau akan menjebloskan aku lagi ke dalam lubang?!"
Belum sempat Si Pelawak Sinting palsu yang bernama Labodong itu menjawab, Betina Bercula goyangkan pinggulnya. Sambil mematik merapikan rambutnya dia berkata,
"Wahai…. Hik… hik…hik...! Kalau kau memang ingin masuk lobang biar sekali ini aku yang mencarikanlobang untukmu. Hik hik hik Orang muda bertampang gagah. Mari aku bisikkan sesuatu padamu!"
Habis berkata begitu Si Betina Bercula melompat kehadapan Pendekar 212. Wiro segera mundur menjauh. Tapi lengannya sudah terpegang dan tahu-tahu mulut Betina Bercula sudah berada dekat telinga kirinya. Wiro cepat tarik tangan dan jauhkan kepalanya. Namun Betina Bercula masih sempat menjilat daun telinga sang pendekar. Sambil tertawa cekikikan lelaki yang berperangai banci ini kembali ke tempatnya semula.
"Wahai! Telingamu pahit-pahit asin. Tapi lumayan! Enak juga! Hik hik hik!"
Wiro usap telinganya yang barusan dijilat tengkuknya terasa merinding. Dalam hati dia memaki panjang pendek.
"Kalian semua dengar!" Tiba-tiba Hantu Muka Dua membentak. "Kita kemari bukan untuk bergurau. Tapi untuk menangkap Peri itu hidup-hidup, juga kawannya yang berpakaian biru itu. Tugas paling utama adalah membunuh pemuda asing bernama Wiro Sableng itu!"
"Penguasa tertinggi Istana Kebahagiaan! Kami siap melakukan!" kata Lahidungbesar sambil mencoba tegak tapi terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk.
"Makhluk tak berguna! Lebih baik aku pecahkan saja kepalamu seperti Lapicakkanan!" kata Hantu Muka Dua.
Lasulingmaut bergumam panjang. Dia angkat suling tengkoraknya. Sambil mengerahkan tenaga dalam ujung suling itu ditusuk-tusukkannya ke beberapa bagian tubuh kakek kawannya. Walau apa yang dilakukan si kakek tidak menyembuhkan luka dalam Lahidungbesar namun hebatnya Lahidungbesar kini merasa ada satu kekuatan besar masuk ke dalam badannya yang membuat dia mampu bangkit berdiri. Begitu kakek ini berdiri, Lasulingmaut segera melompat naik ke atas bahunya.
Nenek berjuluk Si Pembedol Usus kembangkan dua tangannya lalu keluarkan pekik keras. Sekali berkelebat dia sudah mendahului melesat ke arah ketinggian dan jejakkan kaki dua. tombak di depan batu besar di mana Peri Angsa Putih dan Luhcinta berada. Si Pelawak Sinting palsu berkelebat pula mengikuti gerakan si nenek. Ketika Lahidungbesar hendak melompati Pendekar 212, Si Betina Bercula cepat berkata,
"Pemuda satu itu bagianku! Jangan ada yang berani menyentuhnya!"
"Jangan kau berani main-main di hadapan Junjungan kita!" bentak Lahidungbesar sementara di atasnya Lasulingmaut mulai tiup suling tengkoraknya dan kepulkan asap beracun yang sanggup membuat beku aliran darah!
Lahidungbesar kelihatan marah tapi sebenarnya dia merasa gembira karena dalam keadaan terluka di dalam seperti itu dia tidak Perlu turun tangan melakukan serangan. Tapi di atas pundaknya Lasulingmaut yang sudah gatal ingin segera turun tangan bergumam marah.
"Siapa main-main! Lihat bagaimana aku membunuhnya!" balas berteriak Si Betina Bercula. Tubuhnya melesat melewati dua kakek itu dan sesaat kemudian tangan kirinya menyambar ke arah leher Wiro dalam gerakan menabas yang sangat ganas! Tentu saja murid Eyang Sinto Gendeng segera menyingkir selamatkan diri. Tapi baru saja dia bergerak tiba-tiba tangan kanan Betina Bercula melesat ke bawah perutnya!
"Sialan!" maki Wiro. Karena tidak menyangka dan lagi pula gerakannya mengelak tertahan oleh lamping batu yang ada di belakangnya sementara serangan lawan datangnya seperti kilat, Wiro hampir tak punya kesempatan untuk selamatkan diri. Tapi gilanya ternyata apa yang dilakukan Betina Bercula hanyalah meraba bagian tubuh di bawah pusar Pendekar 212 lalu melompat menjauh. Sambil tertawa cekikikan dia usapkan tangannya yang barusan meraba ke hidungnya sendiri!
"Banci kurang ajar!" rutuk Pendekar 212 marah sekali dan merinding kuduknya. Sambil kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dia melompat dan menghantam kearah Si Betina Bercula.
Namun saat itu pula Lahidungbesar yang dihardik oleh Hantu Muka Dua berkelebat dari samping menghadangnya. Dari atas dukungannya Lasulingmaut bergumam keras lalu babatkan suling tengkoraknya. Asap hitam mengepul menyambar ke kepala murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini!
********************
DUA BELAS
Kita ceritakan sedikit bagaimana Luhcinta sampai berada di tempat itu. Sesaat setelah Peri Angsa Putih dibawa kabur oleh Lahidungbesar, Luhcinta yang tengah melanjutkan perjalanan sambil melakukan penyelidikan tentang asal usul dirinya sampai di tempat berlangsungnya perkelahian. Hatinya gembira karena dia melihat Pendekar 212 di kejauhan.
Namun pemandangan lain membuat gadis ini merasa tidak enak. Selain itu sudah sejak beberapa hari ini Luhcinta merasa seolah ada seseorang yang selalu membayangi perjalanannya dari jauh. Luhcinta menemukan Laeputihangsa milik Peri Angsa Putih di balik batu-batu bukit tapi si pemiliknya sendiri tidak kelihatan di tempat itu. Ketika dia mendekati binatang ini, dia melihat ada sepasang kaki putih tersembul di bawah sayap angsa.
"Ada perempuan bersembunyi di bawah sayap angsa itu. Mungkinkah sang Peri? Jangan-jangan sesuatu terjadi dengan dirinya," pikir Luhcinta.
Dia mempercepat langkahnya. Belum sempat dia mencapai Laeputih tiba-tiba seorang gadis berpakaian ungu menyelinap keluar dari balik sayap angsa. Gerakannya cepat sekali. Luhcinta hendak memanggil, tapi gadis itu telah berkelebat lenyap di balik bebatuan.
"Siapa gadis itu? Mengapa dia sembunyi lalu melarikan diri kalau tidak membekal maksud kurang baik?" Luhcinta sampai di samping angsa raksasa.
"Laeputih, mana Peri Angsa Putih. Mengapa kau seperti memencilkan diri di balik batu?" Luhcinta bertanya dan usap-usap leher angsa putih itu.
Laeputih rundukkan kepalanya sambil keluarkan suara mendesah halus. Dua sayapnya direntang dan digesek-gesekkan ke bawah. Luhcinta menduga-duga apa kira-kira yang hendak disampaikan binatang itu kepadanya. Laeputih kemudian mematuk-matuk bebatuan di depannya dan sayapnya dikepakkan berulang kali.
"Hemmm… Laeputih, mungkin kau menyuruhku naik ke atas punggungmu dan mengajakku terbang. Baik… baik, aku akan menunggangimu…" Luhcinta ingat pada Wiro dan hentikan ucapannya. Dia memandang ke arah kejauhan. Wiro dilihatnya masih berada di tempat tadi, tegak seorang diri sambil memegang sehelai selendang berwarna biru.
"Kalau aku tidak salah menduga, selendang itu adalah milik Peri Angsa Putih. Apakah sang Peri memberikannya pada Wiro…?" Luhcinta merenung sambil gigit-gigit bibirnya. Laeputih kembali mematuk-matuk dan keluarkan suara mendesah tanda tidak sabaran.
"Wahai, kau sudah tidak sabar rupanya sahabatku. Baik, aku akan naik kepunggungmu. Tapi aku harus berhati-hati. Jangan sampai aku jatuh wahai Laeputih. Terbangkan aku ke tempat di mana beradanya Peri Angsa Putih"
Sekali melompat Luhcinta telah berada di atas angsa putih itu. Tanpa menunggu lebih lama Laeputih segera melesat terbang ke arah timur. Wiro yang berada dibawah sempat melihat Laeputih bertanya-tanya siapa adanya penunggang berbaju biru yang jelas bukan Peri Angsa Putih adanya.
Selagi dia bertanya-tanya seperti itu tak lama kemudian Wiro melihat seekor kura-kura terbang melintas di udara. Dari arah yang ditujunya agaknya kura-kura itu mengikuti angsa putih dari kejauhan. Wiro sudah tahu siapa adanya penunggang kura-kura terbang itu. Yakni bukan lain dara cantik bernama Luhjelita.
Saat itu Wiro ingat dan ingin sekali menemui dua temannya yaitu Naga Kuning dan Setan Ngompol. Pada saat ditinggal mereka masih menunggui obat yang diberikan oleh Hantu Raja Obat agar tubuh mereka juga bisa dibesarkan seperti keadaannya sekarang. Namun akhirnya Wiro mengambil keputusan untuk segera menuju ke Istana Kebahagiaan. Karena dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Peri Angsa Putih. Selain itu dia hendak mencari kejelasan mengenai siapa sebenarnya orang yang hendak meracuninya dengan bunga mawar kuning. Peri Angsa Putih atau Luhjelita.
Sebelum Wiro meninggalkan tempat itu menuju Istana Kebahagiaan yang menjadi sarang Hantu Muka Dua, orang bermuka tanah liat hitam yang oleh Lahidungbesar dan kawan-kawan diduga adalah Si Penolong Budiman, telah lebih dulu meninggalkan tempat itu. Seperti Wiro diapun hendak menuju Istana Kebahagiaan. Namun sepanjang jalan dia selalu melihat ke udara memperhatikan angsa putih yang terbang ditunggangi gadis berpakaian biru. Sambil lari dia membatin. Setiap dia membatin detak jantungnya mengeras dan hatinya berdebar.
"Sayang, aku tidak sempat melihat wajah perempuan yang terbang bersama angsa putih itu. Melihat keadaan tubuhnya mungkin dia gadis yang selama ini kucari. Wahai… Kalau saja Para Dewa menolong dan aku bisa menemukannya, mungkin derita batin selama puluhan tahun ini bisa terobati. Bagaimanapun aku harus bertemu, harus melihatnya sebelum kematian menjadi bagianku…"
Sepasang mata orang aneh ini tampak berkaca-kaca. Ketika dia memandang lagi ke udara dilihatnya ada seekor kura-kura raksasa terbang mengikuti angsa putih di kejauhan.
Ternyata Laeputih membawa Luhcinta ke lereng bukit dimana terletak sumur melintang. Bagaimanapun cerdiknya angsa putih itu namun tak mungkin baginya untuk memberi tahu bahwa Peri Angsa Putih ada di dalam goa itu. Binatang ini hanya hinggap di lereng batu yang terdekat sambil sesekali menjulurkan kepalanya ke arah goa dan keluarkan suara menguik halus. Karena terlindung oleh satu batu besar Luhcinta tidak dapat melihat mulut goa.
Selagi dia berpikir-pikir coba mengertikan petunjuk apa yang berusaha diberikan oleh angsa putih itu, tiba-tiba di bawah sana dilihatnya Wiro berlari mendaki lereng bukit berbatu-batu. Saking gembiranya gadis ini hendak berseru memanggil sang pendekar. Namun maksudnya dibatalkan ketika di salah satu lamping bukit sebelah barat dia melihat satu sosok hitam mendekam memperhatikan. Ketika dia memandang ke jurusan itu, orang di balik batu segera menyelinap menghilang.
"Pasti itu orang yang mengikutiku sejak beberapa hari ini…" kata Luhcinta dalam hati.
Setelah berpikir sejenak gadis ini akhirnya menuruni lereng bukit menemui Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sendiri sebenarnya telah melihat sosok angsa putih di atas bukit batu sana. Dia tidak menduga kalau penunggangnya adalah dara cantik bernama Luhcinta yang sejak pertemuan mereka pertama kali selalu dikenangnya. Apalagi kakek gendut Si Hantu Raja Obat yang menolong membesarkannya pernah membisikkan kata-kata yang kadang-kadang terngiang di telinganya: "Ratusan orang akan jatuh cinta pada gadis itu. Tapi hanya ada satu pemuda yang berkenan di hatinya. Kau!"
"Aku senang bertemu denganmu Wiro. Apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya Luhcinta.
"Aku juga gembira bisa melihatmu lagi. Kau sendiri apa yang kau lakukan di sini? Kau datang menunggang angsa milik Peri Angsa Putih," ujar Pendekar 212.
"Agaknya kita tengah mencari orang yang sama. Peri pemilik angsa itu…"
"Peri itu ditawan dan dibawa kabur oleh anak buah Hantu Muka Dua. Aku tengah dalam perjalanan menuju Istana Kebahagiaan, sarangnya Hantu Muka Dua…" menerangkan Wiro.
Luhcinta terkejut mendengar penjelasan Wiro itu. "Angsa putih itu secara aneh menurunkan aku di lereng bukit ini. Berkali-kali dia menjulurkan kepalanya ke arah sana. Aku tidak tahu… Tapi agaknya dia berusaha memberitahukan sesuatu…"
Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Luhcinta. Seperti si gadis pandangannya juga terhalang oleh batu besar di lamping bukit
"Ada satu hal ingin kukatakan. Seseorang mengikutiku sampai di lereng bukit batu ini," memberitahu Luhcinta.
"Aku tahu. Aku melihatnya dari bawah. Seorang penunggang kura-kura terbang. Aku kenal orangnya. Seorang gadis bernama Luhjelita "
"Kalau begitu ada dua orang yang mengikutiku," kata Luhcinta pula. Lalu gadis ini menunjuk ke arah kejauhan dan menceritakan tentang sosok hitam yang dilihatnya.
"Tak ada siapa-siapa di situ…" kata Wiro memperhatikan.
"Orang itu sudah sejak beberapa hari ini menguntitku. Pasti dia mempunyai maksud tidak baik. Gadis penunggang kura-kura itu juga tidak kelihatan lagi. Aneh…"
"Kalau begitu kau harus berhati-hati," kata Wiro lalu dia memperhatikan gerakan-gerakan yang dibuat oleh angsa putih. "Binatang itu selalu menjulurkan kepalanya ke arah batu besar di bawah sana. Coba kuselidiki. Mungkin ada sesuatu di balik batu itu. Apakah kau membaui sesuatu?" Wiro bertanya sambil mendongak, berusaha membaui aliran udara.
"Aku seperti mencium bau harum…" kata Luhcinta.
"Betul! Itu adalah harum bau tubuhdan pakaian Peri Angsa Putih!" kata Wiro pula. "Kau tunggu di sini. Aku akan memeriksa ke balik batu besar itu."
Sambil memperhatikan Wiro menuruni lereng bukit, dalam hati Luhcinta berkata. "Sampai sedekat mana hubungan pemuda itu dengan Peri Angsa Putih. Bagaimana dia bisa mengenali harum bau tubuh dan pakaian sang Peri…? Wahai…. Mengapa aku berpikir sampai ke situ. Kalaupun antara mereka ada jalinan hubungan tertentu kurasa wajar-wajar saja. Bukankah Peri bermata biru itu sangat cantik dan baik budi perilakunya?" Luhcinta termangu sesaat. Dia tersentak ketika mendengar teriakan Wiro dari balik batu.
"Luhcinta! Lekas kemari! Aku menemukan Peri Angsa Putih!"
Luhcinta segera menuruni lereng bukit batu. Wiro dilihatnya berdiri di depan sebuah goa. Ketika dia merunduk dan memperhatikan ke dalam goa benar saja. Di dalam sana terbujur sosok perempuan berpakaian sutera putih dan menebar bau harum.
"Jangan-jangan dia sudah jadi mayat. Mati dibunuh…" kata Luhcinta dengan wajah cemas.
"Waktu tadi kusentuh kakinya masih terasa panas. Tolong aku menarik tubuhnya keluar dari dalam goa."
Dua orang itu kemudian menarik tubuh Peri Angsa Putih yang ada dalam goa atau sumur melintang lalu membaringkannya di satu tempat datar. "Dia masih bernafas, tapi tubuhnya tidak bergerak. Mungkin pingsan…"
Wiro gelengkan kepala lalu menceritakan apa yang terjadi dengan Peri Angsa Putih waktu berkelahi melawan kakek bernama Lahidungbesar.
"Berarti dia terkena ilmu penyirap tubuh yang disebut Ilmu Menjirat Urat. Orang yang berada di bawah pengaruh ilmu ini akan menjadi seperti pingsan, mata terpejam tubuh tak bisa digerakkan. Setahuku itu adalah salah satu ilmu yang dimiliki Hantu Muka Dua."
"Hantu Muka Dua pasti telah mengajarkannya pada Lahidungbesar," kata Wiro. Lalu dia berlutut di samping tubuh Peri Angsa Putih. Di leher sang Peri sebelah kanan kelihatan tanda kebiru-biruan. "Ilmu totokan tanpa menyentuh…" kata Wiro dalam hati.
Lalu dia ulurkan tangannya, siap untuk menotok urat besar di lehersang Peri. Di sampingnya Luhcinta mengeluarkan suara tertahan. Wiro berpaling. Dilihatnya gadis itu memandang padanya dengan wajah kemerahan.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala lalu tertawa. Dalam hati dia membatin. "Mungkin gadis ini cemburu kalau aku menyentuh Peri Angsa Putih." Memikir begitu maka Wiro berkata. "Luhcinta, hanya ada satu cara untuk membebaskan Peri Angsa Putih dari sirapan Ilmu Menjirat Urat. Yaitu menotok uratnya yang kelihatan biru itu…"
Paras Luhcinta mendadak tambah merah. Gadis ini palingkan mukanya ke jurusan lain.
"Walah, apalagi yang salah ini…?" pikir Wiro sambil garuk-garuk kepala. Begitu dia ingat meledak tawanya.
"Mengapa kau tertawa?" tanya Luhcinta heran.
"Aku melihat wajahmu merah sampai ke telinga. Aku tahu sebabnya. Kau mungkin menganggap aku kurang ajar. Bukankah totok di negeri ini berarti payudara perempuan? Ha ha ha…"
"Kau! Kalau sudah tahu mengapa masih menyebut?!" tanya Luhcinta merengut. Tapi mulutnya mengembang, bibirnya bergetar lalu tawanya menyembur tak tertahankan lagi. Karena malu gadis ini akhirnya tutup wajahnya dengan dua tangan.
"Seharusnya aku mengatakan tutuk. Bukan to…"
"Sudah! Kita harus segera menolong Peri Angsa Putih…" kata Luhcinta pula.
"Kau yang melakukan, aku akan memberi tahu caranya." Lalu Wiro luruskan dua jari tangan kanannya. "Kerahkan tenaga dalammu ke tangan. Dua ujung jari yang diluruskan harus menutuk urat besar di leher itu. Tapi ingat, pada saat jari menutuk, tenaga dalam harus sudah sampai di ujung-ujung jari. Bukan sebelum atau sesudahnya…"
"Aku takut kesalahan. Kau saja yang melakukan," kata Luhcinta sambil menggeleng.
Wiro pegang tangan kanan si gadis. "Luruskan dua jarimu. Yang tengah dan yang telunjuk."
Luhcinta diam saja. Dia pandangi tangan Wiro yang memegangi lengannya. Tangannya bergetar aneh. Getaran itu terasa sampai ke dada. Membuatnya seolah tenggelam dalam satu kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah dirasakan. Seumur hidup baru sekali itu Luhcinta dipegang tangannya oleh seorang lelaki. Dia ingin menarik, tetapi seperti ada yang mendorong agar dia tidak melakukan hal itu.
"Hai, katamu kita harus segera menolong Peri ini. Kau tunggu apa lagi Luhcinta?"
Sementara itu tanpa setahu ke dua orang yang sedang berpegangan tangan ini, di balik sebuah batu besar seorang gadis berpakaian Jingga menggigit bibirnya memperhatikan Wiro dan Luhcinta.
"Aku memang sudah menduga. Ternyata gadis bernama Luhcinta itu lebih berbahaya dari pada Peri Angsa Putih…"
Tidak tahan melihat Wiro berpegang-pegangan dengan Luhcinta, gadis dibalik batu itu yang bukan lain Luhjeiita adanya akhirnya balikan diri, tinggalkan lereng bukit itu menuju ke satu tempat yang dikelilingi batu-batu tinggi di mana dia meninggalkan kura-kura raksasa tunggangannya. Baru saja dia duduk di punggung kura-kura coklat itu tiba-tiba sudut matanya melihat satu bayangan berkelebat dekat batu besar di sebelah kiri.
Luhjelita berpaling. Dia agak tergagau ketika melihat di atas batu besar yang hanya terpisah kurang dari sepuluh tombak di sebelah kirinya tegak seorang berpakaian serba hitam. Mukanya tertutup oleh sejenis tanah liat yang dicat hitam hingga siapa adanya orang ini atau bagaimana wajah aslinya sulit dikenali.
"Setan alas gentayangan siang bolong!" Luhjelita memaki sendiri lalu menggebrak tunggangannya.
"Tunggu! Katakan, apakah kau gadis anak murid Nenek sakti dari Lembah Laekatakhijau bernama Luhmasigi?!"
Karena masih berada dalam keadaan kesal. Luhjelita yang biasanya genit dan pandai merayu ini menjawab seenaknya. "Setan hitam di siang bolong! Kalau bertanya tentang katak, jangan bicara denganku. Tapi bicara dengan kodok! Hik hik hik!"
Habis berkata begitu Luhjelita tepuk keras-keras punggung Laecoklat kura-kura tunggangannya. Binatang ini serta merta melesat ke udara meninggalkan sosok serba hitam diatas batu sana.
Kembali pada Wiro dan Luhcinta.
"Sekarang alirkan tenaga dalammu"
Luhcinta bukannya melakukan apa yang dikatakan Wiro, tapi malah pandangi pemuda itu dengan matanya yang bening bagus. Dipandangi seperti itu pendekar kita jadi bingung sendiri.
"Kalau begini, sampai pagi tak akan jadi-jadinya aku menolong Peri Angsa Putih."
Lalu Wiro kerahkan tenaga dalamnya. Aliran hawa sakti itu menyusup masuk ke dalam dua jari Luhcinta. Begitu ujung jari si gadis bergetar tanda tenaga dalam yang dialirkan sudah mencapai ujung-ujung jari, Wiro segera tusukkan jari-jari itu ke bagian leher Peri Angsa Putih yang kebiru-biruan. Saat itu juga Peri Angsa Putih buka sepasang matanya yang biru. Dia melihat langit. Lalu melihat Luhcinta dan terakhir sekali pandangannya membentur Wiro.
"Di mana aku. Apa yang terjadi? Wahai Luhcinta…"
Peri Angsa Putih bangkit dan duduk. Matanya kemudian melihat tangan Wiro yang masih memegangi tangan Luhcinta. Luhcinta cepat-cepat menarik lengannya sementara Wiro coba tersenyum sambil garuk-garuk kepala. Dilihatnya paras Peri Angsa Putih berubah.
"Kalian berdua… sedang apa di sini?" tanya sang Peri perlahan dan ada nada kecemburuan dalam pertanyaannya itu.
Wiro tak bisa menjawab. Luhcinta juga tidak mengeluarkan suara. Dalam hatinya gadis ini berkata. "Jangan-jangan Peri ini menduga aku tengah berbuat yang bukan-bukan di tempat ini bersama Wiro."
"Wiro, bagaimana aku… kita bisa berada di sini?" Peri Angsa Putih kembali bertanya.
"Nanti saja aku ceritakan. Sekarang kita harus melakukan sesuatu untuk menjebak orang yang membawamu ke mari. Kau dan Luhcinta sembunyi di balik bebatuan. Biar aku yang masuk kedalam goa itu."
Ternyata seperti yang diceritakan sebelumnya Lahidungbesar memang kena dijebak ketika dia muncul lagi di tempat itu bersama rombongan orang-orang Istana Kebahagiaan. Bukan saja dijebak malah dadanya sempat dihantam tendangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
********************
TIGA BELAS
Sekarang kita ikuti apa yang terjadi dengan Luhcinta dan Peri Angsa Putih. Begitu nenek Si Pembedol Usus dan Pelawak Sinting berkelebat ke hadapan mereka Luhcinta segera menyongsong. Dengan suara lembut dia menegur.
"Sepasang kakek dan nenek, kami tahu kalian adalah orang baik-baik. Di dalam hati kalian pasti ada apa yang dinamakan kasih sayang. Lalu mengapa tega hendak menyerang kami? Kalau hanya karena alasan kalian adalah kaki tangan Hantu Muka Dua dan mengharapkan imbal jasa berupa harta atau kedudukan, ketahuilah kalian telah tertipu. Imbalan kasih sayang tidak sebagus dan seindah imbalan kejahatan. Bukankah lebih baik bagi kalian meninggalkan tempat ini, meninggalkan Istana Kebahagiaan dan Hantu Muka Dua. Berbuat baik di jalan yang penuh kasih antara sesama…?"
Nenek berkumis halus pandangi Luhcinta sesaat, lalu sambil menuding dengan telunjuk tangan kanannya dia tertawa cekikikan. "Aku yang tua hendak diberi pelajaran oleh seekor cecunguk hijau! Hik hik hik! Sungguh menggelikan. Di ujung kematian kau masih bisa bersyair wahai gadis yang keningnya ada bunga tanjung!"
Di sebelah si nenek, kakek bernama Si Pelawak Sinting menyahuti. "Tapi sahabatku, syair gadis itu lumayan bagus. Bisa kujadikan bahan nyanyian pengiring tarianku!" Lalu kakek Ini pukul tamburnya, dan menari berjingkat-jingkat dan mulai menyanyi. "Na…na… na ..Ni._ ni… ni "
Peri Angsa Putih yang tidak sabaran melihat kelakuan kakek inisegera membentak. "Pelawak Sinting, adik kembarmu pernah memberi pengampunan padamu! Pemuda asing bernama Wiro Sableng itu tempo hari juga batal dari niat membunuhmu! Nyatanya kau tidak kapok! Masih memalsukan diri sebagai Pelawak Sinting dan masih jadi kaki tangan Mantu Muka Dua! Hari ini biar aku yang memberi pelajaran padamu agar kau bisa kapok seumur hidup!"
"Na… na… na... Ni… ni… ni!" Si Pelawak Sinting bernyanyi lalu mencibir. "Peri Angsa Putih, tempatmu di langit di atas sana! Mengapa turut campur urusan orang di Negeri Latanahsilam?!"
"Wahai kakek bernama Pelawak Sinting. Di dalam otakmu aku yakin tidak ada kesintingan. Di dalam hatimu pasti ada kasih. Jangan lihat siapa adanya Peri sahabatku ini. Tapi dengar apa ujarnya. Pergilah dari sini sebelum terlambat "
"Pelawak Sinting! Jangan dengar ucapan gadis hijau bau susu ini!" bentak si nenek Pembedol Usus.
Habis membentak dia langsung menerjang Luhcinta. Tangan kanannya yang hitam dan berbulu panjang melesat ke perut si gadis. Dari cara orang menyeran jelas nenek itu memang hendak membobol perutnya!
Luhcinta masih sempat menarik nafas dalam tanda kecewa. Lalu dia cepat melompat ke samping menghindarkan diri dari serangan si nenek. Tapi alangkah kagetnya gadis ini ketika tangan kanan Si Pembedol Usus meluncur tambah panjang seolah bisa diulur! Luhcinta terpekik kaget.
"Na… na… na…. Ni… ni… ni…!" Si Pelawak Sinting terus bernyanyi dan memukul tamburnya namun sepasang matanya yang belok melirik tajam ke arah Peri Angsa Putih.
Peri Angsa Putih yang tahu ketinggian ilmu dan keganasan nenek berkumis halus berkaki pendek sebelah itu, apa lagi ketika melihat bagaimana sekali menggebrak saja dia siap untuk menghantam jebol perut Luhcinta, tanpa tunggu lebih lama segera goyangkan kepalanya. Dua larik sinar biru menderu keluar dari sepasang matanya, membeset ke arah nenek Si Pembedol Usus!
"Peri sesat! Kau telah banyak mencelakai kawan-kawanku! Hari ini aku mewakili mereka menghukummu!" teriak Si Pembedol Usus. Nenek ini marah sekali.
Karena dua larik sinar biru dari mata sang Peri memaksa dia menarik pulang serangannya yang tadi dianggapnya dapat merobek perut Luhcinta. Didahului pekik melengking sosok si nenek melesatdua tombak ke atas. Tapi aneh dan mengerikannya dua tangannya yang hitam melayang tertinggal di sebelah bawah seolah tanggal dari persendian, melesat menyambar keperut sang Peri.
"Dua Tangan Pembetot Roh!" seru Peri Angsa Putih mengenali serangan ganas yang dilancarkan si nenek.
Dengan tenang dia membuat gerakan mengelak. Namun tidak disangka, dari sebelah atas kaki kanan lawan yang tadi melayang ke udara, menderu mengincar batok kepalanya sebelah belakang! Dan lebih celakanya lagi di saat yang sama payung daun milik Si Pelawak Sinting berputar melayang, menyambar ke arah leher kanan Peri Angsa Putih.
Seperti diketahui payung itu walauterbuat dari daun kering namun memiliki kehebatan luar biasa Jangankan tubuh manusia, pohon atau batu saja pasti akan putus jika sampai kena tersambar. Diserang dari tiga jurusan seperti itu sungguh sulit bagi Peri Angsa Putih untuk selamatkan diri. Salah satu dari tiga serangan pasti akan bersarang di tubuhnya yaitu dua sambaran tangan yang akan merobek dan membedol ususnya, tendangan pada bagian belakang kepala atau terabasan payung daun!
Luhcinta kaget besar. Peri Angsa Putih yang barusan menolongnya dari serangan si nenek kini malah dikeroyok ganas seperti itu. "Wahai! Jika kasih tidak lagi dapat menyejukkan hati menyehatkan pikiran, jangan salahkan kalau kekerasan merupakan jalan keluar yang tidak enak!" Gadis itu berseru. Tubuhnya bergerak seperti sosok seorang penari. Dua tangannya dengan lemah gemulai didorongkan ke arah Si Pelawak Sinting.
"Pelawak Sinting! Awas! Serangan Tangan Dewa Merajam Bumi" Yang berteriak memberi ingat Si Pelawak Sinting adalah Hantu Muka Dua.
Tapi terlambat. Di depan sana payung yang hendak membabat putus bahu kanan Peri Angsa Putih mental hancur bertaburan. Tamburnya ikut terlempar berantakan. Di saat yang sama Si Pelawak Sinting terpental jauh. Mulutnya muntahkan darah segar. Tubuhnya terbanting ke atas tanah berbatu-batu. Menggerung kakek ini segera berkelebat bangkit. Tapi dia hanya bisa keluarkan suara gerungan karena dapatkan sekujur tubuhnya lumpuh tak berdaya, tak bisa lagi digerakkan barang sedikitpun!
Itulah keganasan serangan Tangan Dewa Merajam Bumi yang dilancarkan Luhcinta. Siapa saja yang sampai terkena maka tubuhnya akan menjadi lumpuh tak berdaya, sulit disembuhkan alias bakalan cacat seumur hidup. Selama ini Luhcinta jarang sekali mengeluarkan Ilmu itu. Dia lebih suka menasehati lawan agar insaf dan bertobat. Namun jika lawan tidak bisa lagi diajak bicara dan tetap membangkang malah nekad maka tak ada jalan lain!
"Gadis setan alas! Hari ini biar aku mencabut pantangan membunuh perempuan asal kau bisa kuhabisi!" teriak Hantu Muka Dua marah besar melihat apa yang terjadi dengan Si Pelawak Sinting. Sampai-sampai dia punya niat menyalahi larangan. Manusia berwajah dua yang saat itu menampilkan muka-muka raksasa angkat dua tangannya. Yang satu siap melepas pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh satunya lagi hendak menghantamkan pukulan Tangan Hantu Tanpa Suara.
Ilmu kesaktian bernama Hantu Hijau Penjungkir Roh itu merupakan satu sinar hijau berbentuk segi tiga yang bisa membuat sasaran menjadi leleh lunak seperti lumpur. Aslinya ilmu yang dirampasnya dari Hantu Lumpur Hijau itu melesat keluar dari sepasang mata. Namun belakangan Hantu Muka Dua mampu mengeluarkan dari tangan kiri atau kanan hingga kehebatannya menjadi berlipat ganda. Selain itu pukulan Tangan Hantu Tanpa Suara yang dirampas Hantu Muka Dua dari Hantu Tangan Empat bisa membuat sosok Luhcinta tersedot sebelum dihancur luluhkan!
Pada saat yang sangat menegangkan begitu rupa tiba-tiba Betina Bercula berkelebat ke hadapan Hantu Muka Dua dan berseru, "Wahai Junjungan Raja Diraja Segala Hantu! Mengapa bertindak bodoh mau menyengsarakan diri sendiri melanggar pantangan membunuh perempuan?! Biar aku yang akan menghabisi gadis binal berpakaian biru itu! Tapi aku mohon jangan kau suruh bunuh dulu pemuda asing bernama Wiro Sableng itu! Kau tahu maksudku bukan? Aku sudah jatuh hati padanya pada pandangan pertama! Hik hik hik!"
Hantu Muka Dua tersadar. Sambil turunkan dua tangannya dia membentak. "Banci sialan! Lekas kau habisi gadis bernama Luhcinta itu!" Hantu Muka Dua lalu berpaling pada empat lelaki bertubuh besar yang menjadi pengusungnya.
Dan berteriak berikan perintah."Kurung pemuda asing itu. Jangan biarkan dia lolos. Beri tahu dua kakek itu agar tidak membunuhnya!"
Empat lelaki pengusung tandu hentakkan kaki kanan ke tanah membuat bukit batu bergetar. Lalu... "sreet… sreettt." Mereka cabut kain coklat penutup kepala dan kibaskan di udara. Kain itu serta merta berubah bentuk seperti sebuah segi tiga dan menjadi kaku seperti sebilah besi sehingga merupakan sebuah senjata berbahaya!
Melihat sang Junjungan kabulkan permintaannya, Betina Bercula jatuhkan diri berlutut. "Terima kasih wahai Junjungan. Kau mengabulkan permintaanku!"
Sikap Betina Bercula benar-benar seperti menghormat dan berterimakasih. Tapi sambil menjura dan berkata dua tangannya enak saja meluncur ke depan memegangi paha Hantu Muka Dua. Tangannya lalu mengusap naik ke atas.
"Banci jahanam! Jangan sampai aku berubah pikiran dan menggebuk batok kepalamu!" bentak Hantu Muka Dua.
Betina Bercula cepat melompat bangkit tersenyum cengengesan sambil usap-usap rambutnya yang keriting lalu tertawa cekikikan. Dia segera berpaling ke arah Luhcinta. Namun sebelum sempat bergerak lebih jauh tiba-tiba terdengar satu jeritan merobek langit.
Dua tangan aneh nenek Si Pembedol Usus yang melayang di udara kelihatan berselomotan darah. Dalam genggamannya melingkar berkelojotan usus manusia. Mengerikan luar biasa untuk disaksikan. Luhcinta keluarkan suara seperti mau muntah. Betina Bercula terpekik ngeri. Apa yang terjadi? Jangan-jangan Peri Angsa Putih telah jadi korban keganasan nenek satu itu!
********************
EMPAT BELAS
Pada waktu Lasulingmaut menggebukkan suling tengkoraknya dan asap beracun mengepul ganas, Pendekar 212 Wiro Sableng segera tutup jalan nafas dan rundukkan kepala seraya balas menghantam dengan pukulan Segalung Ombak Menerpa Karang. Wiro berlaku cerdik. Yang digempurnya bukan kakek di atas dukungan tetapi justru kakek yang mendukung yakni Si Lahidungbesar.
Seperti diketahui Lahidungbesar sebelumnya telah terluka parah di bagian dada sebelah dalam akibat tendangan Wiro. Tulang dada dan beberapa iganya remuk. Walau dia telah diberi tambahan kekuatan oleh Lasulingmaut namun keadaan lukanya yang cukup parah membuat Lahidungbesar hanya bisa bertahan selama empat jurus. Di jurus-jurus selanjutnya dia mulai kelabakan menjadi bulan-bulanan serangan Wiro. Apa lagi Wiro sengaja menghantam dengan pukulan-pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi.
Lahidungbesar mulai terhuyung-huyung. Dua kakinya tidak mampu lagi membentuk kuda-kuda bertahan apalagi menyerang. Menyadari keadaan kawan yang mendukungnya seperti itu Lasulingmaut keluarkan suara bergumam keras. Dia sedot sulingnya menghirup asap beracun dalam tengkorak. Lalu asap itu disemburkannya berulang kali ke arah Pendekar 212. Sambil menyembur tangan kanannya bergerak menghantamkan suling tengkorak. Sesekali tubuhnya melesat ke udara lalu menukik lancarkan serangan berupa gebukan yang selalu diarahkan ke kepala Wiro. Selesai menggebuk dia kembali hinggap di bahu Lahidungbesar.
Untuk beberapa jurus Wiro terpaksa bertahan menghadapi serangan beruntun yang dilancarkan kakek berambut putih itu. Walau dia mampu menahan nafas menjaga diri dari rasukan asap beracun namun lama-lama ada juga asap yang menembus jalan pernafasan Pendekar 212 Wiro Sableng. Akibatnya aliran darah sang pendekar mulai tidak teratur.
"Celaka!" keluh Wiro dalam hati. Dia segera kerahkan hawa sakti untuk mengatur jalan darah dan raba Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghindari diri dari keracunan.
Seperti diketahui selama digembleng oleh Eyang Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede, Wiro telah dibekali berbagai ilmu antaranya ilmu kebal racun. Namun kehebatan luar biasa dari asap tengkorak Lasulingmaut masih sanggup menembus benteng pertahanannya walau tidak sampai membuat dirinya jatuh celaka. Lasulingmaut memang bukan kakek sembarangan. Kakek yang tidak mampu berjalan jauh dengan kakinya sendiri juga tidak bisa bicara ini satu kali berhasil menipu Wiro. Ujung sulingnya membeset di bahu kiri sang pendekar.
"Breettt!" Baju putih Pendekar 212 robek besar. Kulit bahunya ikut terkelupas. Darah mengucur. Di saat yang sama di kakek menyembur ke depan.
"Wussss!" Asap hitam beracun melabrak ke arah wajah Wiro.
Sambil tutup jalan nafas Wiro jatuhkan diri berlutut. Tangan kiri lepaskan pukulan Sinar Matahari. Diarahkan pada Lasulingmaut. Selagi cahaya putih menyilaukan dan panas berkiblat diudara Wiro berguling di tanah. Begitu bangkit dia hanya tinggal setengah langkah dari hadapan Lahidungbesar.
Kakek berhidung besar itu menggertak beringas. Kaki kanannya diangkat untuk menendang kepala Wiro. Justru ini adalah satu kesalahan besar. Dalam keadaan semakin lemah seperti itu dan masih mendukung kawannya di atas bahu, dia kehilangan keseimbangan. Bukan saja tendangannya tidak mengenai sasaran tapi ketika Wiro keluarkan jurus silat bernama Ular Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa yang diwarisinya dari Tua Gila di Pulau Andalas, Lahidungbesar tak mampu lagi selamatkan diri.
Lasulingmaut yang tahu bahaya serta meria melompat cari selamat dan hinggap di atas sebuah batu besar dengan mulut menggembung keluarkan suara menggumam. Matanya melotot memperhatikan apa yang terjadi dengan temannya.
Saat itu Wiro berhasil menangkap pinggang Lahidung besar. Ketika dia siap untuk menjotos si kakek diarah hidungnya yang besar tiba-tiba matanya sempat melihat bahaya besar mengancam Peri Angsa Putih. Dua tangan aneh Si Pembedol Usus melayang di udara siap untuk merobek perut dan membedol usus Peri itu tanpa terelakkan. Di saat yang sama serangan payung berputar dan tendangan kaki di belakang kepala datang pula dengan segala keganasannya.
Walau serangan di kepala dapat dielakkan dengan merunduk cepat dan serangan payung dihancurkan oleh Luhcinta namun serangan dua tangan aneh yang mengapung di udara tak mungkin dihindarkan. Sesaat lagi dua tangan Si Pembedol Usus akan merobek perut Peri Angsa Putih dan membetot semua isi yang ada di dalamya tiba-tiba sesosok tubuh melayang di depan tubuh sang Peri.
Di atas sana si nenek Pembedol Usus berseru kaget Dia tidak mampu menahan gerak dua tangannya yang mengapung di udara
"Breettt!" Terdengar suara robeknya perut menyusul jeritan setinggi langit.
Peri Angsa Putih terjajar ke belakang. Lalu terpekik dan memandang ke bawah ke arahperutnya. Mukanya yang barusan pucat seperti mayat jadi berdarah ketika menyadari bahwa bukan perutnya yang robek dan bukan ususnya yang bergelantungan dalam genggaman dua tangan di depan sana.
"Braaakk!" Sosok yang tadi melayang di depan sang Peri roboh ke tanah. Itulah tubuh kakek bernama Lahidungbesar yang tadi dilemparkan Wiro untuk membenteng melindungi Peri Angsa Putih dari serangan dua tangan si nenek Pembedol Usus.
Tiga orang menggerung marah menyaksikan kejadian itu. Yang pertama tentu saja pemilik dua tangan yang kesalahan menjebol perut dan membunuh kawan sendiri yaitu nenek Si Pembedol Usus. Yang ke dua adalah Hantu Muka Dua dan yang ke tiga kakek berambut putih Lasulingmaut. Karena tidak mampu lagi berjalan atau berlari dengan kaki sendiri kakek ini gulingkan dirinya ke bawah. Sambil menggelinding dari lereng batu dia lemparkan tongkat tengkoraknya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu Wiro yang telah kerasukan oleh asap hitam beracun di samping terkesiap sendiri melihat apa yang terjadi dengan Lahidungbesar yang tadi dilemparkannya, sesaat berada dalam keadaan lengah. Dia baru sadar kalau dirinya diserang orang pada saat suling tengkorak itu hanya tinggal tiga jengkal lagi dari pelipis kirinya. Pada saat yang genting itu tiba-tiba dari balik batu besar di samping kiri melesat satu bayangan hitam. Luar biasa sekali gerakan orang ini karena dia mampu menangkap suling tengkorak yang sesaat lagi akan menghantam kepala Pendekar 212!
Wiro melengak kaget. Berpaling diadapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang berpakaian serba hitam. Wajah orang ini tertutup sejenis tanah liat yang juga berwarna hitam.
"Makhluk hitam, aku tidak tahu kau ini setan kesiangan atau manusia sepertiku! Yang aku tahu kau barusan telah menyelamatkan jiwaku. Aku berhutang budi berhutang nyawa padamu. Aku menghaturkan terima kasih " Wiro lalu membungkuk dalam-dalam.
"Kraaakk! Kraaakkk!"
Tangan hitam yang mencekal suling tengkorak bergerak meremas secara aneh. Suling dan tengkorak hancur berkeping-keping. Asap hitam mengepul tapi sudah kehilangan racun jahatnya.
" Astaga’" Pendekar 212 tercekat kaget. "Sahabatku, aku melihat sendiri! Kau menghancurkan suling dan tengkorak itu dengan ilmu mematah tulang bernama Koppo! Bagaimana mungkin?! Dari mana kau mendapatkan ilmu itu? Siapa kau sebenarnya? Harap sudi memberitahu…"
Seperti diketahui Wiro sendiri memiliki ilmu yang sama yang didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura. Di balik wajahnya yang tebal tertutup tanah liat hitam, orang berpakaian hitam tersenyum,
"kau menyebutnya ilmu Koppo. Aku menamakannya ilmu Keppeng. Mungkin bersumber dari orang dan negeri yang sama"
Sambil bicara si hitam ini memandang ke jurusan Peri Angsa Putih dan Luhcinta. "Wahai sahabat, sebenarnya aku ingin sekali menemui salah seorang dari kalian di sini. Namun agaknya kali ini bukan saat yang tepat. Aku khawatir orang yang akan kutemui akan salah menduga…"
"Katakan apa ke perluanmu. Aku pasti membantu!" kata Wiro.
Si hitam gelengkan kepala. Dia membuang hancuran suling dan tengkorak lalu menggosok-gosok telapak tangannya satu sama lain. "Jika umur sama panjang kita pasti bertemu lagi wahai sahabat. Mungkin pada saat itulah aku minta tolong padamu!"
"Aku akan menolongmu kapan saja. Sekarang!" kata Pendekar 212.
Orang bersosok serba hitam ini memandang lagi ke jurusan Peri Angsa Putih dan Luhcinta. Lalu berpaling pada Wiro. "Selamat tinggal sahabat…" Baru saja dia berucap sosoknya lantas berkelebat lenyap.
"Luar biasa cepat gerakannya…" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.
Saat itu tiba-tiba Luhcinta berlari dari ketinggian lereng bukit sana disusul oleh Peri Angsa Putih.
"Wiro, orang serba hitam tadi! Dia yang selama ini menguntit membayangi aku…"
"Astaga! Mengapa kau tidak cepat memberitahu!" ujar Wiro pula. "Dia sudah pergi. Tapi jika melihat caranya bicara dan bagaimana dia barusan menyelamatkan diriku, aku punya dugaan dia tidak bermaksud jahat padamu…"
"Lalu mengapa dia selalu mengikutiku?"
"Mungkin itu satu hal yang harus kau selidiki. Siapa tahu dia ada sangkut pautnya dengan masalah yang tengah kau selidiki. Tentang asal usulmu…"
Berubahlah paras Luhcinta mendengar ucapan Wiro. Suaranya bergetar ketika berkata. "Kau mungkin benar. Kalau begitu aku akan mengejar ke jurusan dia lenyap tadi…"
"Jangan, jika dia punya kepentingan pasti dia yang akan mencarimu. Lagi pula urusan di tempat ini belum selesai. Apakah kau akan meninggalkan aku begitu saja"
Luhcinta tertegun karena tidak menyangka ucapan Itu akan keluar dari mulut pemuda yang selama ini diam-diam selalu dikenangnya. Ketika Wiro berucap begitu, Peri Angsa Putih sampai pula di tempat itu. Gadis bermata biru ini seperti Luhcinta juga jadi tertegun mendengar kata-kata Wiro itu. Namun dasar perasaan mereka saling berbeda. Kalau Luhcinta tertegun saking gembiranya maka Peri Angsa Putih tertegun karena tiba-tiba saja muncul rasa cemburu di lubuk hatinya.
"Aku mendengar sendiri ucapan pemuda itu begitu mesra dan Luhcinta menatap Wiro tak kalah mesranya. Wahai, sampai sejauh mana sebenarnya hubungan ke dua orang ini. Jangan-jangan aku hanya…" Peri Angsa Putih gigit bibirnya sendiri.
Ketika tiba-tiba tiga orang muncul di tempat itu dan semua perhatian orang tertuju pada si pendatang ini diam-diam Peri Angsa Putih balikkan tubuh, berlari ke puncak bukit dan lenyap di balik bebatuan.
LIMA BELAS
Walau amarah Hantu Muka Dua, Lasulingmaut dan nenek Si Pembedol Usus meluap luar biasa melihat kematian Lahidungbesar namun ke dua orang ini jadi terpaksa menahan diri ketika melihat munculnya sosok orang serba hitam yang selama ini menjadi nomor satu di kalangan orang Istana Kebahagiaan, apa lagi begitu muncul langsung menangkap dan meremas hancur suling tengkorak.
Selain itu empat orang pengusung tandu yang barusan diperintah untuk mengurung Pendekar 212 saat itu sama-sama terkesiap dan ciut nyali masing-masing begitu melihat Lahidungbesar meregang nyawa dengan cara sangat mengerikan. Apa lagi saat itu Si Pelawak Sinting terkapar di tanah dalam keadaan lumpuh tidak berdaya. Betina Bercula, walaupun tak kurang suatu apa tapi nyalinya telah leleh. Banci satu ini tengah berpikir bagaimana bisa meninggalkan tempat itu dengan aman. Tidak ketahuan Hantu Muka Dua juga tidak ketahuan pihak lawan.
" Penolong Budiman…" desis Hantu Muka Dua dan Lasulingmaut hampir berbarengan.
"Jadi ini ujud sosoknya. Naga-naganya urusan bisa tidak karuan kalau aku meneruskan apa mauku. Jahanam betul! Yang hendak dibunuh tak dapat dilaksanakan, yang hendak diculik tak dapat dilakukan! Hari ini terpaksa aku harus mengalah lagi!"
Hantu Muka Dua memberi isyarat pada empat pengusung tandu agar segera mengangkatnya. Namun mendadak terjadi perubahan. Orang serba hitam sehabis bicara dengan Wiro pergi begitu saja. Nyali Hantu Muka Dua kembali bangkit. Dia memberi isyarat lagi pada empat pengusung tandu, juga pada Betina Bercula. Dia sendiri segera turun dari tandu, siap untuk memimpin serangan terhadap Wiro dan kawan-kawan.
Si nenek Pembedol Usus melayang turun dan cepat hendak memasang kembali dua tangannya yang tadi ditanggalkannya secara aneh. Namun belum sempat dia bergerak tiba-tiba tiga orang melesat muncul dari balik batu-batu besar di lereng bukit itu. Salah seorang di antara mereka berteriak.
"Kencingi cepat! Kencingi! Biar tidak bisa kembali ke tempat asalnya!"
Berdesir darah si nenek Pembedol Usus. Wajahnya langsung pucat mendengar teriakan itu. Dengan cepat dia melayang turun menyambar dua tangannya yang masih mengapung di udara dan masih berlumuran darah sementara isi perut Lahidungbesar yang tadi dibedolnya berhamparandi tanah!
Namun si nenek kalah cepat. Seorang bocah berambut jabrik berpakaian serba hitam telah lebih dulu mencekal dua potongan tangan lalu melemparkannya pada seorang kakek berkuping lebar yang tegak dekat sebuah batu besar. Begitu dua potongan tangan jatuh di hadapannya kakek ini berbalik, rorotkan celananya ke bawah lalu...
"Serrr….!" Dia kencingi dua tangan yang tergeletak di tanah itu. Nenek Si Pembedol Usus meraung keras. Dari kutungan tangannya mengepul asap disertai kucuran darah.
Selagi semua orang terkesiap melihat kejadian itu, Pendekar 212Wiro Sableng berseru gembira. "Naga Kuning! Kakek Setan Ngompol!"
Naga Kuning yang sosok tubuhnya kini sudah menjadi besar lambaikan tangan pada Wiro. Si Setan Ngompol tarik celana bututnya ke atas baru berbalik dan tertawa mengekeh. Lupa akan suasana yang dihadapinya Wiro melompat menemui ke dua orang itu.
"Wiro, kami berhasil! Hantu Raja Obat menepati janjinya. Lihat! Kami sekarang sama sebesar dengan kau!" kata Naga Kuning bangga.
Wiro tertawa bergelak. Setan Ngompol mulai jelalafan matanya memperhatikan Peri Angsa Putih dan Luhcinta. Nenek Si Pembedol Usus yang sudah jejakkan kakinya di tanah tiba-tiba membentak.
"Gendut keparat! Pasti kau yang memberi tahu pada orang-orang dari negeri asing itu! Pasti kau yang menyuruh mereka mengencingi dua tanganku hingga tak mungkin lagi kupasangkan ke badan! Jahanam betul! Aku bersumpah akan membunuhmu!"
Seorang kakek gendut yang mukanya bulat dan ada tompel besar di pipi kiri saat itu duduk uncang-uncang kaki di atas sebuah batu besar tertawa mengekeh hingga perut dan dadanya yang gembrot berguncang-guncang. Inilah Si Hantu Raja Obat, makhluk aneh yang telah mengobati Wiro hingga sosoknya menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam. Ternyata dia juga telah mengobati dua kawan Wiro yakni Naga Kuning dan kakek berjuluk Si Setan Ngompol.
"Kalau kau sudah tahu dan ingin membunuhku, apakah kau mau melakukannya sekarang?!"
Hantu Raja Obat bertanya sambil melirik pada Luhcinta lalu tersenyum dan kedipkan matanya. Antara Luhcinta dan Hantu Raja Obat memang sudah saling mengenal dan kakek gendut ini pernah berhutang budi terhadap si gadis. Mendengar ucapan Hantu Raja Obat, Si Pembedol Usus hanya menggerutu panjang pendek.
"Kalau kau memang masih butuh dua tanganmu itu, silakan ambil saja!" kata Setan Ngompol ikut bicara.
"Tua bangka sialan! Kau juga akan kubunuh nanti! Dua tangan itu tak ada gunanya! Tak bisa dipasangkan lagi ke tubuhku! Jahanam!"
"Bisa atau tidak bisa baiknya diambil saja Nek. Di buat sop dan disantap kurasa masih cukup enak!" kata Naga Kuning pula membuat si nenek tambah meluap amarahnya tapi tak berani berbuat apa karena jerih pada Hantu Raja Obat. Dia melirik pada Hantu Muka Dua, lalu tanpa banyak cerita lagi segera tinggalkan tempat itu.
Hantu Muka Dua sendiri menggeram panjang pendek. Tadi dia merasa lega dengan perginya Penolong Budiman yang berkepandaian sangat tinggi itu. Tapi kini muncul Hantu Raja Obat yang diketahuinya bersifat aneh dan memiliki ilmu sulit dijajagi. Dari pada cari perkara dia segera naik ke atas tandu. Tapi Hantu Raja Obat cepat menegur.
"Kerabatku Hantu Muka Dua! Jangan pergi dulu. Aku ingin bicara beberapa hal padamu! Satu di antaranya tentang tanda bunga dalam lingkaran!"
Pucatlah dua wajah Hantu Muka Dua mendengar kata-kata Hantu Raja Obat itu. "Aku tak ada waktu melayanimu!" jawabnya.
"Percayalah, sahabatku ini orang baik-baik!" berkata Wiro. "Dia tidak akan mengencingi tangan atau kakimu!"
Hantu Raja Obat tertawa mengekeh. "Betul! Apa yang dibilang pemuda ini memang betul! Ha ha ha!"
Hantu Muka Dua memaki habis-habisan. Wajahnya depan belakang berubah menjadi wajah raksasa. Dia gerakkan tangannya ke pinggang. Ketika tangan itu diangkat terdengar satu letusan kecil lalu asap hijau menggebubu menutup pemandangan.
"Hantu pengecut! Pasti dia kabur sudah!" teriak Hantu Raja Obat.
Benar saja, begitu asap hijau luruhlenyap, sosok Hantu Muka Dua tak kelihatan lagi di atas tandu. Melihat kejadian ini empat orang anak buah yang mengusungnya serta merta melarikan diri berserabutan.
"Hantu Muka Dua! Jangan tinggalkan aku!" seru kakek rambut putih Lasulingmaut.
Setan Ngompol dekati kakek ini lalu usap-usap rambutnya yang putih. "Kau mau kukencingi atau kutampar? Kau membuat susah sahabatku si pemuda itu ya?!"
"Kita sama-sama tua, mengapa berani dalam keadaan aku tidak berdaya?" kata Lasulingmaut.
"Kau pandai bicara! Sudah, biar kutampar saja mulutmu sampai perot!" Setan Ngompol usap-usap telapak tangannya satu sama lain lalu yang kanan bergerak.
"Plaakkk! Byaaar!"
Si kakek tidak menampar Lasulingmaut tapi menampar sebuah batu di samping kakek itu. Batu hancur berantakan. Tentu saja Lasulingmaut menjadi kecut. Wajahnya langsung pucat memasi.
"Ayo jawab, kau mau kutampar atau kukencingi?!" bentak Setan Ngompol sambil jambak rambut putih si kakek.
"Aku… aku memilih dikencingi saja…" jawab Lasulingmaut ketakutan setengah mati.
Semua orang yang ada di situ tertawa bergelak. Dan suara tawa makin menjadi-jadi ketika gilanya Si Setan Ngompol benar-benar mengencingi kepala Lasulingmaut. Selagi semua orang tertawa riuh sambil memperhatikan perbuatan Setan Ngompol, Betina Bercula pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Sayang mata Si Setan Ngompol sempat melihat. Tanpa membetulkan celananya dia segera melompat mengejar dan mencekal leher orang.
"Ah, ternyata kau lumayan cantik. Aku tidak akan mengencingimu. Kau mau aku apakan?" tanya si kakek seraya sunggingkan senyum dan kedipkan matanya. Setan Ngompol sama sekali tidak tahu kalau yang dihadapinya bukan perempuan sungguhan.
"Kau kencingipun aku suka…" jawab Betina Bercula sambil balas tersenyum genit membuat Setan Ngompol jadi blingsatan. "Tapi kalau mau mengencingiku jangan di depan orang banyak ini. Kita cari tempat yang enak…"
"Jangan bercanda! Kau mau menjajalku atau bagaimana?!" tanya Setan Ngompol.
"Aku sungguhan. Masakan berani bercanda dengan kakek segagah ini?"
Makin blingsatan Setan Ngompol mendengar pujian itu. Apalagi sambil bicara Betina Bercula lingkarkan tangannya dengan mesra di pinggang Setan Ngompol dan menuntunnya ke balik sebuah batu besar.
"Kek!" Wiro berseru. "Orang itu bukan per…" Wiro mengingatkan.
Tapi Naga Kuning cepat menyikut iganya. "Biar saja. Sebentar lagi kakek gatal itu pasti tahu rasa!" kata Naga Kuning sambil menahan tawa.
Betul saja. Tak lama setelah Setan Ngompol lenyap di balik batu besar tiba-tiba terdengar teriakannya.
"Aduh! Aduuhhh! Perempuan gila! Kau apakan aku! Kau kira aku ini kelapa yang mau diremas jadi santan! Aduuhhh!"
Ketika Wiro, Hantu Raja Obat dan Naga Kuning melompat ke balik batu mereka dapatkan Si Setan Ngompol terbaring di tanah sambil tekapi bawah perutnya menahan sakit. Betina Bercula tak kelihatan karena memang sudah kabur melarikan diri.
"Enak Kek?!" tanya Wiro.
"Sialan kau! Enak bapak moyangmu! Mau pecah rasanya kepalaku atas bawah!"
Suara tawa meledak lagi di tempat itu...
Bersambung...