HANTU SANTET LAKNAT
SINOPSIS
Luhtinti tertawa. Dengan manja dia turun dari pangkuan Wiro. Walau keadaan didalam goa redup agak gelap. Namun Wiro masih bisa melihat bahwa saat itu disebelah atas Luhtinti tidak mengenakan apa-apa lagi.
"Wiro, seperti aku katakan tadi, Aku ingat ada satu cara yang bisa membuat kita mampu keluar dari rimba belantara terkutuk ini"
"Kalau begitu lekas katakan..."
"Caranya sangat sederhana Wiro," Kata si gadis dengan wajah ditengadahkan disertai layangan senyum. "Kau mengawini aku, mengambil aku jadi istrimu..."
Pendekar 212 tersentak mendengar kata-kata Luhtinti itu. Si gadis sebaliknya malah tertawa panjang...
SATU
LANGIT malam bertambah gelap ketika bulan sabit tertutup lenyap dibalik awan hitam. Di kejauhan terdengar suara auman binatang buas dari arah rimba belantara Lasesat buntu. Suara tiupan angin berdesir dingin. Tiba-tiba ada suara sayap menggelepar di udara. Lalu tampak dua titik merah bercahaya melayang dari jurusan Gunung Latinggimeru.
Dua titik merah ini ternyata adalah sepasang mata seekor kelelawar besar yang terbang menuju puncak sebuah bukit batu berbentuk kerucut tumpul. Di atas bukit batu ini tampak mendekam duduk satu sosok tubuh kurus kering memiliki wajah seperti seekor burung gagak hitam. Mulut dan hidungnya jadi satu membentuk paruh. Sepasang matanya kecil tanpa alis. Tubuhnya mengenakan sehelai pakaian dari jerami kering warna hitam.
Dari sikapnya duduk makhluk ini seperti tengah bersemadi. Tapi anehnya sementara dua tangannya diletakkan di atas batu, dua kakinya dinaikkan ke atas disilangkan di atas bahu kiri kanan.Orang ini adalah dukun seribu jahat seribu keji yang di Negeri Latanahsilam dikenal dengan nama Hantu Santet Laknat. Banyak orang telah jadi korban kejahatannya. Antara lain Lakasipo.
aca Bola Bola Iblis) dan Lawungu (baca Rahasia Kincir Hantu
Kemudian nenek dukun jahat ini juga telah menguasai Latandai hingga orang berjuluk Hantu Bara Kaliatus ini menjadi kaki tangannya yang mau melakukan apa saja termasuk membunuh istrinya sendiri karena si nenek sudah mencuci otaknya (baca Episode Wiro di Negeri Latanahsilam berjudul Hantu Bara Kaliatus)
Kelelawar bermata merah bercahaya berputar dua kali di sebelah Timur lalu melesat ke arah puncak batu kerucut tumpul. Suara kepakan sayap binatang ini masuk ke telinga si nenek Membuat dia segera buka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan. Bibirnya bergetar ketika dia mengucap.
"Junjungan telah datang…"
Kelelawar hitam keluarkan suara pekikan aneh. Hantu Santet Laknat turunkan dua kakinya. Lalu dia bersujud di atas batu. Ketika dia bangkit kembali kelelawar bermata merah telah mengapung di udara, hanya satu tombak di sebelah depan atas kepalanya. Kepakan sayapnya yang menimbulkan angin deras membuat rambut dan pakaian si nenek melambai-lambai.
"Junjungan selamat datang aku ucapkan! Sudilah Junjungan memberi tahu maksud kedatangan!"
Si nenek kembali bersujud hingga keningnya menempel di batu lalu dia duduk tak bergerak, menatap ke atas, menunggu Kelelawar hitam yang mengapung di udara keluarkan suara memekik halus. Sayapnya berhenti bergerak. Lalu sosok hitamnya mengepul, berubah menjadi asap. Asap ini secara aneh kemudian membentuk satu sosok sangat angker.
Hantu Santet Laknat yang juga bertampang angker tetap saja mengkirik kuduknya walau sebelumnya sudah beberapa kali dia melihat sosok seram tersebut. Makhluk yang mengapung dalam kegelapan malam di atas bukit batu berbentuk kerucut tumpul itua dalah satu sosok berjubah hitam yang wajahnya berupa tengkorak. Tangan dan kakinya yang tersembul dari bagian bawah jubahserta ujung lengan jubah berupa jerangkong tulang belulang putih. Sepasang mata tengkorak yang hanya merupakan lobang besar mengeluarkan cahaya kemerahan.
Di atas batok kepala yang putih bertumbuhan rambut-rambut putih panjang, melambai-lambai ditiup angin malam. Tiba-tiba rambut yang menjulai ke bawah itu berjingkrak ke atas, tegak berdiri, kaku laksana kawat. Dua bolongan mata pancarkan cahaya merah lebih terang. Mulut tengkorak yang didereti barisan gigi-gigi besar bergerak membentuk seringai menggidikkan. Dari sela-sela giginya keluar kepulan asap. Sesaat kemudian makhluk muka tengkorak tubuh jerangkongyang tertutup jubah hitam itu keluarkan ucapan. Suaranya bergema aneh, seolah keluar dari satu liang dalam.
"Hantu Santet Laknat, tiada kekecewaan paling hebat selain kekecewaan terhadap dirimu. Semua apa yang kau lakukan menemui kegagalan! Aku sudah cukup bersabar diri. Mungkin sudah saatnya kau meninggalkan Negeri Latanahsilam. Kukirim kembali ke tempat asalmu di dasar Samudera Labiruhijau!"
Si nenek bernama Hantu Santet Laknat keluarkan suara tercekat dari hidung dan mulutnya yang jadisatu berbentuk paruh burung. Lalu buru-buru dia jatuhkan diri, bersujud di hadapan makhluk yang disebutnya dengan panggilan junjungan.
"Wahai Junjungan, bukan aku membela diri. Semua tugas telah aku laksanakan. Namun apa yang kemudian terjadi sungguh di luar dugaan…"
Makhluk muka tengkorak menyeringai. Dari mulutnya berhembus keluar asap putih. "Hantu Santet Laknat, kau memang tidak mebela diri. Tapi kaupandai mencari akal untuk berdalih! Aku ingin tahu apa yang kau maksudkan dengan kejadian di luardugaan itu!"
"Junjungan, kalau kau mau mendengar, akan kuterangkan satu persatu," kata Hantu Santet Laknat Lalu nenek bermuka burung gagak hitam ini angkat kepalanya yang sejak tadi bersujud menempel di atas batu.
"Kejadian pertama, menyangkut Lakasipo yang kemudian dijuluki Hantu Kaki Batu itu. Junjungan pasti tahu bagaimana aku berhasil membangkitkan roh istrinya yang bernama Luhrinjani. Lalu kusuruh dia menjebak suaminya sendiri hingga sepasang kaki Lakasipo tenggelam dalam cairan yang berubah menjadi batu! Tapi kemudian tak terduga ada seorang makhluk aneh bersama dua kawannya muncul menolong Lakasipo. Jika Junjungan mau mendengar, biar aku menceritakan apa yang terjadi sejelas-jelasnya..."
Makhluk muka tengkorak berambut putih riap riapan menyeringai. Dari hidung dan mulutnya kembali mengepul asap putih. Sedangkan dari dua matanya memancar cahaya kemerahan. Dia keluarkan suara mendengus lalu berkata,
"Tak ada salahnya aku mendengar ceritamu, Hantu Santet Laknat. Paling tidak aku mau membandingkan apa yang kau bilang sama dengan apa yang aku ketahui. Jika kau berdusta, kau tahu apa akibatnya!"
"Aku tidak berdusta wahai Junjungan. Akan kuceritakan semua padamu…" Lalu si nenek bermuka burung gagak hitam itu memulai penuturannya…
********************
Dalam keadaan sang surya yang sebentar lagi akan tenggelam Lakasipo mendukung jenazah Luhrinjani, istrinya yang menemui ajal, mati bunuh diri di jurang batutak jauh dari Bukit Batu Kawin. Dia melangkah mendekati lubang batu yang telah disiapkannya sebagai makam sang istri. Jenazah perempuan yang hanya sempat dikawininya selama tiga hari itu dengan hati-hati dimasukkannya ke dalam lubang.
Tak ada orang lain di tempat itu. Hanya alam semata yang menyaksikan penguburan Luhrinjani. Mendadak cuaca berubah. Gulungan awan hitam entah dari mana datangnya muncul menutupi langit Petir mendera sabung menyabung, guntur menggelegar. Lalu hujan lebat turun membasahi bumi. Lakasipo merasa tidak enak.
Dia memandang ke langit Gelap. Sesaat gerakannya menurunkan jenazah ke dalam lubang jadi tertahan. Kilat menyambar. Sekejapan udara menjadi terang benderang. Saat itulah Lakasipo melihat bagaimana sepasang mata jenazah Luhrinjani yang barusan dibaringkannya di liang batu dan sejak tadi tertutup tiba-tiba kelihatan membuka.
Bukan itu saja! Wajah perempuan yang sudah jadi mayat itu juga tampak tersenyum! "Luhrinjani...! desis Lakasipo.
Tubuhnya bergetar. Cahaya kilat lenyap. Bukit batu Latinggihijau kembali diselimuti kegelapan. Sesaat Lakasipo asih terkesiap. Namun begitu sadar dia cepat mengambil sebuah batu besar berbentuk pipih dan menutupkannya di atas lubang makam. Enam buah batu kemudian disusunnya di atas batu pipih penutup makam itu. Sebelum bertindak pergi, di bawah hujan lebat dan dalam keadaan basah kuyup Lakasipo pandangi makam istrinya. Lalu mulutnya berucap perlahan...
"Wahai Luhrinjani… Apapun yang telah kau lakukan sebelum ajalmu, aku Lakasipo telah melupakan dan memaafkan semuanya… Kau lihat sendiri Luhrinjani, aku sudah menyiapkan satu makam untuk diriku di samping makammu." Lakasipo melirik kearah sebuah makam kosong yang sebelumnya sengaja dibuatnya di sebelah kubur sang istri.
"Aku akan meninggalkanmu Luhrinjani. Aku akan sering-sering melihatmu. Tenanglah dalam peristirahatanmu. Para Dewa dan para Peri akan menghiburmu. Selamat tinggal wahai Luhrinjani…"
Lakasipo cium batu makam di bagian kepala lalu bangkit berdiri. Hujan mulai reda tapi cuaca masih kelam. Lakasipo turuni bukit Latinggihijau, berjalan ke tempat dia meninggalkan Laekakienam, kuda tunggangannya. Belum lama menunggangi kuda itu, tiba-tiba Lakasipo melihat ada satu bayangan putih berkelebat di hadapannya. Kuda hitam berkaki enam bertanduk dua itu angkat empat dari enam kakinya lalu meringkik keras. Sepasang matanya yang merah pancarkan sinar aneh. Lakasipo cepat usap tengkuk tunggangannya,
”Tenang Lae… Tenang. Tak ada yang perlu kau takutkan."
Lakasipo memandang berkeliling. Saat itu dia sudah mencapai kaki bukit Latinggihijau. Sudut matanya menangkap sesuatu di arah kiri. Laekakienam kembali menunjukkan gelagat gelisah. Lakasipo cepat berpaling. Bayangan putih itu kembali muncul dikejauhan sana. Diantara deretan pepohonan. Ada satu sosok perempuan berpakaian putih. Meliuk-liuk seperti asap tertiup angin. Ketika dia memperhatikan wajah perempuan itu tersiraplah darah Lakasipo! Wajah itu adalah wajah Luhrinjani!
"Luhrinjani…" desis Lakasipo. "Bagaimana mungkin! Barusan saja aku menguburkanmu di makam batu…"
Sosok putih di antara deretan pepohonan tiba-tiba lambaikan tangan seolah memanggil Lakasipo. Lalu lapat-lapat ada suara.
"Lakasipo… Lakasipo suamiku. Datanglah keari. Tolong diriku. Keluarkan aku dari alam gelap. Lakasipo…"
"Wajah itu wajah Luhrinjai! Suara itu suara Luhrinjani…" desis Lakasipo.
"Lakasipo… Turun dari kudamu. Kemarilah… Tolong diriku wahai suamiku…" Mula-mula Lakasipo masih diselimuti rasa takut dan heran. Lalu dia mulai bimbang. Matanya digosok berulang kali.
"Aku tidak bermimpi. Sosok itu memang Luhrinjani," Lakasipo segera turun dari kudanya. Setengah berlari dia menghampiri sosok Luhrinjani. Dia berlari di sela-sela pepohonan melompati semak belukar, tidak lagi memperhatikan jalan yang dilaluinya.
"Wahai Lakasipo suamiku… Lekaslah. Lari lebih cepat Jarak kita hanya tinggal dekat…" Sosok Luhrinjani kembali memanggil-manggil.
Lakasipo lompati serumpunan semak belukar pendek. Namun begitu turun ke tanah, dua kakinya amblas masuk ke dalam dua buah lubang sedalam pangkal betis. Kalau tidak cepat dia imbangi diri pasti akan tersungkur di tanah. Dia tarik dua kakinya. Tapi alangkah terkejutnya Lakasipo. Dia sama sekali tidak sanggup mengeluarkan kedua kakinya. Lalu dia mendengar suara menggelegak seperti air mendidih. Ketika dia memandang ke bawah mukanya jadi pucat. Dua kakinya dilihatnya terpendam dalam cairan aneh berwarna kelabu berbuih-buih. Begitu gejolakbuih berhenti, cairan telah berubah menjadi keras, memendam sepasang kaki Lakasipo ke tanah.
"Apa yang terjadi…?!" Lakasipo membungkuk Meraba cairan beku yang memendam dua kakinya.
"Betul!" ujar Lakasipo dengan suara bergetar. "Tidak mungkin!"
Dia gerakkan kakinya berusaha melepas diri. Sia-sia saja. Dia memukul dengan dua tangannya berulang kali. Pukulan yang sanggup menghancurkan batu karang itu bahkan tidak sanggup membuat bergeming batu keras yang memendam dua kakinya. Lakasipo segera keluarkan ilmu pukulan sakti bernama Lima Kutuk Dari Langit. Lima lariksinar hitam menggidikkan menghantam batu.
"Wuusss! Bummmm!"
Sinar hitam berbalik mental ke udara disertai dentuman keras. Tapi dua kakinya tetap saja terpendam dalam batu keras yangtidak hancur, retakpun tidak. Lakasipo penasaran. Dia kembali kerahkan ilmunya. Hawa Sakti dikerahkan pada dua kakinya. Dia keluarkan kesaktian bernama Kaki Roh Pengantar Maut. Cahaya hitam memancar dari kakinya kiri kanan. Tapi segera meredup. Dan celakanya hawa sakti yang tadi dikerahkannya seolah berbalik mencengkeram dua kakinya. Sakitnya bukan kepalang.
"Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Pasti ada orang jahat…" Lakasipo ingat pada sosok Luhrinjani. Ketika dia memandang ke depan justru dilihatnya sosok itu bergerak seperti melayang datang ke arahnya. "Luhrinjani…"
Tiba-tiba terdengar suara berdentrangan. Sosok Luhrinjani ternyata memegang sebuah rantai ditangan kanannya. Pada kedua ujung rantai ada sebentuk jopitan besi besar.
"Luhrinjani! Betul kau yang ada dihadapanku ini?" tanya Lakasipo.
Luhrinjani menyeringai. Wajah itu mendadak berubah. Mula-mula pada mulutnya. Mulut ini mencuat enonjolkan gigi-gigi mengerikan. Lalu kulit wajahnya seolah leleh hingga membentuk tulang tengkorak. Dua mata berubah menjadi sepasang rongga mengerikan. Rambutnya yang hitam juga lenyap. Kepalanya kini telah menjadi sebuah kepala tengkorak putih. Lalu dua tangan yang tersembul dari balik pakaian putih bergantian pula menjadi tulang belulang mengerikan.
Lakasipo keluarkan seruan tertahan saking kagetnya. Sosok tengkorak merunduk. Dengan satu gerakan sangat cepat makhluk ini mejapit pangkal betis Lakasipo kiri kanan.
"Kau! kau bukan Luhrinjani! kau makhluk jahat jejadian!" teriak Lakasipo.
Sosok tengkorak tertawa melengking. "Takdir buruk telah jatuh atas dirimu Lakasipo! Kau akan terpendam dalam dua batu seumur hidupmu. Tubuhmu akan rusak, busuk dan hancur luar dalam. Kau akan mengalami siksaan hebat sebelum menemui ajal!"
"Makhluk jahanam! Kau pasti suruhan orang jahat! Katakan siapa yang menyuruhmu?!" teriak Lakasipo.
"Kau akan mendapatkan jawaban lama sekali Lakasipo," jawab makhluk muka tengkorak. "Setelah sosokmu berubah menjadi jerangkong dan rohmu melayang dilangit hampa!"
Lakasipo hantamkan tangan kanannya. Pukulan Lima Kutuk Dari Langit menderu. Lima larik sinar hitam berkiblat
"Bummmm!"
Pukulan sakti menghantam telak sosok putih di depan sana.
"Braaakkk! Byaaarrr!"
Sosok putih hancur berantakan. Serpihan tulang tengkorak dan tulang jerangkong bertaburan di udara. Lalu berubah menjadi asap lenyap tanpa bekas. Lakasipo meraung keras. Dia hantamkan pukulan sakti bertubi-tubi. Namun akhirnya dia lemas sendiri dan jatuh terduduk di tanah.
Secara lebih lengkap kisah di atas dapat Anda baca dalam Petualangan Wiro di Negeri Latanahsilam berjudul Bola Bola Iblis
********************
DUA
Si nenek bermuka burung gagak hitam bersujud di batu. Begitu bangkit dia langsung berkata. "Wahai Junjungan, itulah kisah bagaimana aku telah mencelakai Lakasipo. Aku berhasil melakukannya sesuai dengan permintaan Lahopeng, musuh besar Lakasipo. Junjungan, bukankah aku juga telah memberi tahu padamu sebelum aku menyantet Lakasipo melalui roh istrinya hingga dua kakinya tenggelam dalam dua buah batu. Namun seperti kataku tadi, secaratidak terduga muncul satu makhluk dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Walau sosoknya hanya sejari kelingking tapi dia mampu menolong Lakasipo…"
Makhluk yang dipanggil dengan sebutan Junjungan menyeringai buruk lalu rangkapkan dua tangan jerangkongnya. "Hantu Santet Laknat aku tahu sebetulnya kau lebih banyak dipengaruhi oleh Lahopeng hingga menempuh cara keliru dalam menyantet Lakasipo. Sebenarnya kau bisa membunuh orang itu dengan ilmu Lintah Penyedot Jantung! Dalam waktu sepenanakan nasi saja Lakasipo pasti sudah menemui ajal! Mengapa harus memakai jalan sulit berbelit, menyantet lewat roh halus segala?!"
Hantu Santet Laknat terdiam. Lalu dia buru-buru jatuhkan diri bersujud dan berkata, "Kalau caraku memang keliru, aku mohon maafmu wahai Junjungan…"
"Apa yang kau terima dari Lahopeng sebagai upah?" Sang Junjungan bertanya.
"Dia memberikan beberapa butir batu permata. Semua sudah kutelan," jawab si nenek bermuka gagak hitam.
Sang Junjungan menyeringai. "Kau sengaja menelan batu-batu permata itu. Berarti kau masih ingin mempertahankan llmu Bersalin Wajah yang kau miliki…"
"Kira-kira memang begitu wahai Junjungan," jawab Hantu Santet Laknat
"Sekarang aku ingin kau menerangkan tentang makhluk dari negeri seribu dua ratus tahunmendatang, yang katamu muncul tak terduga menolong Lakasipo…"
" Aku akan terangkan padamu wahai Junjungan. Aku akan terangkan…" kata Hantu Santet Laknat pula setelah lebih dulu bersujud tempelkan keningnya di atas batu.
"Orang itu masih muda. Namanya Wiro Sableng, konon dia berjuluk Pendekar 212…"
"Dua satu dua…" mengulang sang Junjungan. "Apa artinya itu?"
"Mohon maafmu wahai Junjungan. Aku sendiri tidak mengerti apa arti tiga buah angka itu…"
"Kau harus menyelidikinya nanti. Mungkin di situ terletak kehebatannya. Tapi bisa juga sekaligus letak kelemahannya… Teruskan keteranganmu Hantu Santet Laknat!"
"Pemuda itu muncul bersama dua temannya. Yang satu seorang bocah bernama Naga Kuning. Satu lagi seorang kakek bau pesing karena selalu kencing di celana. Dipanggil dengan sebutan Setan Ngompol."
"Air kencing…" berkata sang Junjungan. "lngat hal itu Hantu Santet Laknat. Cairan itu salah satu benda terlarang yang bisa mencelakai dirimu…"
"Aku selalu ingat hal itu wahai Junjungan," kata Hantu Santet Laknat pula. Lalu dia lanjutkan keterangannya. "Wiro bertemu dengan Lakasipo dalam rimba belantara. Tadinya Lakasipo hendak membunuh pemuda itu dan dua kawannya. Tapi entah bagaimana mereka kemudian jadi bersahabat. Bahkan pemuda inilah yang kemudian menolong Lakasipo. Mula-mula ia pergunakan sebuah senjata aneh. Sebilah kapak bermata dua…”
"Sebilah kapak bermata dua katamu?"
"Betul sekali Junjungan," jawab si nenek.
”Tunggu, coba kusirap dulu senjata itu adanya. Sampai dimana kehebatannya…"
Makhluk tengkorak berjubah hitam dongakkan kepalanya. Dua tangan dirangkapkan di depan dada. Dari dua rongga matanya memancar cahaya kemerahan sedang dari hidung dan sela mulutnya membersit keluar asap putih. Sesaat kemudiaan dia berucap.
"Kapak itu menyimpan banyak kesaktian. Semua berasal pada kekuatan api putih. Kau harus berhati hati. Kau harus mengusahakan untuk mendapatkannya…"
"Akan aku lakukan Junjungan…!"
Sang Junjungan kembali mendongak. Matanya kembali memancarkan cahaya merah dan asap putih lagi-lagi berhembus keluar dari hidung dan mulutnya.
"Tapi Hantu Santet Laknat… Menurut apa yang aku sirap dari alam gaib, bukan kapak itu yang mampu membebaskan Lakasipo! Dalam alam gaib kulihat ada sesosok binatang berbulu putih polos. Seekor harimau…"
"Benar Junjungan. Setelah gagal membebaskan Lakasipo dengan dua larik sinar hijau yang keluar dari matanya, pemuda itu lantas keluarkan satu ilmu kesaktian aneh. Dia memelihara seekor harimau putih bermata hijau. Harimau jejadian inilah yang kemudian mampu memutus rantai besi pengikat kaki Lakasipo. Juga binatang ini menggali tanah batu tempat Lakasipo terpendam hingga akhirnya dia bisa keluar dari dalam tanah!"
"Aku harus menyirap kembali ke alam gaib!" kata sang Junjungan. Lagi-lagi dia mendongak ke langit dan rangkapkan dua tangan di atas dada jubah hitam. Sesaat kemudian dia memandang pada Hantu Santet Laknat. Rambut putih di atas kepalanya kelihatan tegak kaku seperti kawat
"Nenek bermuka burung gagak!" katanya. "Kau benar-benar menemui seorang lawan tangguh. Dua larik sinar hijau yang katamu keluar dari sepasang matanya adalah senjata sakti gaib bernama Sepasang Pedang Dewa! Aku tidak bisa menduga Dewa dari mana yang memberikan ilmu itu padanya. Ketika dia menolong Lakasipo bukankah keadaan dirinya masih sebesar kelingking?"
"Benar Junjungan…"
"Karena sosoknya yang kecil, dia tidak mampu menghimpun kekuatan. Tapi sekarang sosoknya sama besar dengan mahkluk di Negeri Latanahsilam. Kehebatan Sepasang Pedang Dewa tidak bisa dianggap enteng. Kau benar-benar harus hati-hati terhadap orang itu Hantu Santet Laknat. Lalu harimau putih yang kau sebutkan itu, binatang gaib tersebut memang pelindung yang mengikutinya kemana dia pergi. Walau dia tidak bisa menghancurkan dua batu bundar yang membungkus kaki Lakasipo tapi harimau putih itu sangat berbahaya!"
Hantu Santet Laknat terdiam sejenak Lalu berkata. "Sebenarnya aku tidak takut pada pemuda itu wahai Junjungan. Aku yakin bisa membunuhnya jika berhadapan!"
"Jangan menganggap enteng makhluk satu ini Hantu Santet Laknat. Dia bukan saja punya ilmu kesaktian hebat, tapi juga memiliki akal dan otak cerdik!"
"Kalau begitu aku minta petunjukmu wahai Junjungan," memohon Hantu Santet Laknat
"Dengar baik-baik apa yang aku ucapkan!" kata sang Junjungan pula. "Jika seseorang merasa sanggup menguasai musuh, maka dia harus menghancurkan musuh itu. Tapi jika dia merasa belum atau tidak sanggup maka dia harus merangkul musuh tersebut, menjadikannya sahabat. Pada saatnya dia merasa mampu maka baru dia menghancurkan sang musuh!"
"Aku mengerti apa yang kau katakan itu Junjungan. Tapi yang belum jelas, apa yang harus aku lakukan terhadap pemuda bernama Wiro Sableng itu?" tanya Hantu Santet Laknat pula.
"Kau harus menjebaknya agar dia tidak bisa kembali pulang ke negerinya! Aku tahu kau punya otak cerdik dan akal panjang! Kau harus menjebak pemuda itu masuk ke dalam Rimba Lasesatbuntu. Buat dia tak bisa keluar lagi. Buat dia mendekam seumur hidupnya dalam rimba belantara itu. Dengan demikian segala apa yang kau lakukan tidak akan mendapat gangguan…"
Hantu Santet Laknat mengangguk-angguk. "Kalau begitu petunjukmu akan aku lakukan…"
"Tapi! Seperti ucapanku tadi!" berkata sang Junjungan. "Jika kau menghadapi perlawanan dan kau tidak sanggup melawannya, kau harus menjalankan rencana ke dua. Kau harus merangkul musuh berbahaya itu! Kau harus memperlakukannya sebagai suami! Kau harus mengawininya!"
Sosok si nenek Hantu Santet Laknat tersentak saking kagetnya mendengar ucapan sang Junjungan. "Wahai Junjungan, bagaimana mungkin aku mengawini pemuda itu…?"
"Mengapa tidak mungkin? Dia laki-laki, kau perempuan? Apa kesulitannya? Lain halnya kalau kalian sama-sama lelaki atau kalian dua-duanya perempuan!"
"Maksudku… Maksudku bukan itu wahai Junjungan! Tekadku sudah bulat untuk membunuhnya dari pada di belakang hari menimbulkan malapetaka bagi diriku. Tapi untuk mengawininya…"
"Hantu Santet Laknat, apa kau pernah melihat sendiri? Pernah bertemu muka dengan pemuda bernama Wiro itu?" tanya sang Junjungan pula.
"Selama ini memang belum pernah Junjungan."
"Makin cepat kau bertemu dengan pemuda itu makin baik! Lihat saja nanti bagaimana sikap dan perasaanmu setelah melihatnya!"
"Junjungan, kalau maksudmu aku akan tertarik padanya mungkin jauh panggang dari api. Bukankah kau tahu bahwa hanya ada satu orang yang aku cintai di dunia ini? Yaitu Hantu Muka Dua."
Muka tengkorak sang Junjungan menyeringai. Dari mulutnya mengepul asap putih. "AKu tidak ingin kau memutus cinta dengan Hantu Muka Dua. Tapi jika aku jadimu sudah sejak lama aku tinggalkan makhluk keji satu itu. Setiap hari dia bergelimang dosa dengan gadis cantik, Apa kau merasa dirimu bisa bersaing dengan gadis-gadis itu walau kau punya llmu Bersalin Wajah? Karena itu lagi-lagi kuminta agar kau segera mencari pemuda bernama Wiro itu. Jika kau memang tidak suka padanya dan tidak ingin merangkulnya, tidak ingin berselingkuh dengan kekasihmu si Hantu Muka Dua, maka kau tinggal menjebloskan Wiro ke dalam rimba Lasesatbuntu."
"Aku akan lakukan apa katamu wahai Junjungan," kata Hantu Santet Laknat mengambil sikap mengalah.
"Sekarang mengenai muridmu bernama Latandai alias Hantu Bara Kaliatus itu!" kata makhluk muka tengkorak dan jerangkong berjubah hitam. "Bukankah kau telah memerintahkannya untuk membunuh Lakasipo dan istrinya sendiri yang bernama Luhsantini itu? Jangan kau berdusta! Semua tugas itu belum terlaksana!"
"Aku mohon maafmu Junjungan. Hantu Bara Kaliatus memang sedangku cari-cari karena sejak beberapa lama ini dia tidak muncul. Setahuku dia memang pernah hendak mencoba membunuh istrinya Luhsantini. Tapi muncul seorang gadis sakti penunggang kura-kura terbang bernama Luhjelita. Gadis ini menolong Luhsantini hingga maksud Hantu Bara Kaliatus membunuh istrinya gagal. Dia juga gagal membunuh Lakasipo!"
"Murid seperti itu tidak ada gunanya. Kau harus cari dia! Perintahkan sekali lagi untuk membunuh Lakasipo dan Luhsantini. Jika dia gagal lagi aku perintahkan padamu untuk membunuh murid tak berguna itu! Kau harus sadar Hantu Santet Laknat! Lakasipo adalah salah satu musuh besarmu yang selalu berusaha mencari dan membunuhmu. Karena dia sudah tahu kaulah yang menyantet dirinya!"
Hantu Santet Laknat mengangguk perlahan. "Akan aku lakukan apa katamu wahai Junjungan."
"Sekarang mengenai manusia bernama Lawungu!" berucap sang Junjungan. "Kau gagal membunuh manusia satu itu padahal sekujur tubuhnya sampai tulang belulangnya telah diselubungi luka borok membusuk akibat santetanmu! Mengapa kau gagal membunuh manusia itu?! Apa yang telah terjadi?!"
"Aku mohon maafmu wahai Junjungan. Seperti kejadian yang lain-lainnya, peristiwa satu inipun gagal akibat ulah tak terduga. Padahal racun ular yang aku susupkan ke tubuh Lawungu adalah racun paling jahat! Kali ini yang punya pekerjaan adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab…"
"Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!" mengulang makhluk muka tengkorak. "Aku sudah lama mendengar kalau dia memang bersekutu dengan Lawungu dan juga Lasedayu! Tapi kesaktiannya tidak cukup mampu untuk menyembuhkan santetanmu terhadap Lawungu. Kecuali ada satu kekuatan atau kesaktian lain…"
"Aku menyirap kabar dia menemukan sendok emas sakti bernama Sendok Pelangkah atau Sendok Pemasung Nasib. Dengan benda itu dia mengobati Lawungu!" Menjelaskan Hantu Santet Laknat
Harap baca Episode sebelumnya berjudul Rahasia Kincir Hantu
"Aku kecewa! Benar-benar kecewa! Semua ilmu kepandaian yang aku berikan kepadamu seolah tidak ada artinya dan gunanya. Sendok sakti itu! Bagaimana bisa jatuh ke tangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
"Dari kabar yang aku sirap, konon Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab merampasnya dari tangan Hantu Muka Dua!"
"Kalau Hantu Muka Dua bisa diperdaya seperti itu berarti memang benar kabar yang aku dengar bahwa Hantu Sejuta TanyaSejuta Jawab adalah makhluk paling tinggi kepandaiannya di Negeri Latanahsilam. Wahai, kau harus memutar otak, mempergunakan kelicikan untuk menyingkirkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tapi buat dulu dia menderita tersiksa batin sebelum kau habisi…"
"Caranya bagaimana wahai Junjungan?" tanya Hantu Santet Laknat.
"Kudengar dia punya dua orang cucu yang cantik-cantik. Bernama Luhkemboja dan Luhkenanga. Mungkin kau bisa melakukan sesuatu atas diri mereka. Biar Hantu Sejuta Tanya Hantu Sejuta Jawab tahu rasa! Sekarang apa kau tahu dimana beradanya Sendok Pemasung Nasib itu?"
"Aku memang tengah menyelidik dan menyirap kabar. Aku akan berusaha mendapatkannya…"
"Sendok emas sakti itu harus kau dapatkan. Tapi yang penting bagimu saat ini adalah mencari pemuda asing bernama Wiro itu!"
"Aku akan segera melakukannya wahai Junjungan," kata Hantu Santet Laknat pula.
"Jangan lupa menyelesaikan urusan nyawa dengan Lakasipo dan Luhsantini. Aku akan mengawasi prilaku serta semua perbuatanmu di Negeri Latanahsilam. Sekali lagi kau mengecewakan aku, riwayatmu akan kuakhiri selama-lamanya. lngat hal itu Hantu Santet Laknat! Jika aku masih merasa kasihan padamu mungkin aku hanya akan mencabut semua kepandaian yang pernah aku berikan padamu. Tapi itu baru kemungkinan saja. Karena aku lebih suka melihat kau terjelapak tanpa nyawa! lngat itu baik-baik!"
Kuduk Hantu Santet Laknat terasa dingin. "Aku akan ingat, wahai Junjungan," kata si nenek muka gagak lalu sujud di atas batu. Ketika dia mengangkat kepalanya kembali makhluk kepala tengkorak badan jerangkong sudah tidak ada lagi.
********************
TIGA
Kuda hitam berkaki enam dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya tegak di puncak bukit batu dengan sikap gagah. Di atasnya duduk Hantu Kaki Batu, memandang ke arah lembah batu dibawahnya. Di kejauhan menjulang Gunung Labatuhitam.
"Sunyi, tak kelihatan ada makhluk apapun di bawah sana. Apakah sejak berpisah denganku tempo hari dia memang kembali ke sini atau pergi ke tempat lain?" Hantu Kaki Batu alias Lakasipo bertanya-tanya dalam hati.
"Kalau dia memang tidak ada di tempat ini kemana aku harus mencari?" Lakasipo memandang seputar lembah yang dipenuhi bebatuan hitam berbagai bentuk dan ukuran sambil usap-usap tengkuk laekakienam, kuda raksasa tunggangannya.
"Lae, keluarkan ringkikanmu. Beri tanda bahwa kita berada di tempat ini!" kata Lakasipo berucap pada kuda hitamnya.
Mendengar ucapan itu kuda hitam berkaki enam angkat empat kaki depannya lalu keluarkan suara ringkikan keras, menggelegar dan bergema di seantero kawasan bukit dan lembah batu. Begitu suara gema ringkikan kuda lenyap, suasana di tempat itu kembali sunyi. Lakasipo memandang lagi, menyelidik ke setiap sudut lembah.
"Mungkin aku harus turun menyelidik ke lembah. Setahuku di bawah sana ada satu goa. Mungkin dia tengah melatih ilmu atau bersemadi hingga tidak mendengar suara ringkikan Laekakienam."
Berpikir begitu Lakasipo segera tepuk pinggul kudanya. Namun sebelum binatang bermata merah ini bergerak melangkah tiba-tiba dari arah langit sebelah utara terdengar suara suitan keras. Mendongak ke atas Lakasipo melihat satu makhluk hitam bersayap lebar, melesat terbang ke arah bukit di mana dia berada, ditunggangi seorang lelaki berambut panjang melambai-lambai.
"Walet raksasa!" desis Lakasipo. "Penunggangnya pasti si jahanam Latandai! Masih hidup rupanya makhluk keji satu itu!"
Baru saja Lakasipo berkata begitu tiba-tiba dari atas sana melesat dua buah benda berapi yang mengeluarkan cahaya merah seperti ekor panjang. Satu menghantam ke arah kepala Laekakienam, satu lagi menyambar ke jurusan kepala Lakasipo.
Lakasipo keluarkan seruan keras. Tangan kirinya menepuk pinggul Laekakienam. Kuda hitam raksasa ini meringkik dahsyat lalu melompat ke kiri. Binatang ini selamat karena benda merah berbuntut api lewat hanya setengah jengkal dari sisi kiri kepalanya. Benda ini yang ternyata adalah sebuah bara menyala amblas masuk ke dalam lamping batu. Lamping batu kepulkan asap tebal lalu...
"krakkk! Byaaarr!"
Dinding batu itu hancur berantakan! Ketika menggebrak pinggul kudanya Lakasipo sendiri saat itu telah melesat dari punggung kuda, membuat gerakan jungkir balik Sambil melayang turun dia hantamkan kaki kanannya yang terbungkus batu berbentuk bola.
"Byaaarr!"
Benda merah menyala yang hendak menghantam kepalanya mencelat mental, hancur bertaburan. Lakasipo sendiri merasa kakinya seperti disengat api. Termiring- miring dia tegak di atas batu bukit Ketika diperhatikan temyata ada bagian batu yang membungkus kakinya telah menjadi gompal dan hangus di salah satu bagian.
Di udara, penunggang walet raksasa tertawa bergelak, Setelah berputar dua kali walet hitam itu menukik turun. Saat itulah Lakasipo hantamkan tangan kanannya. Lima jari tangan menjentik keras. Lima larik sinar hitam membeset keudara, menggempur walet raksasa dan penunggangnya dari lima jurusan.
Seperti tahu bahaya walet raksasa menggebrakkan sayapnya. Binatang ini menukik tajam sementara penunggangnya melompat sebat, lalu laksana terbang dia melayang ke bawah dan turun di atas bukit batu, terpisah sejarak dua belas langkah dari hadapan Lakasipo.
Sepasang alisnya menjungkat ke atas ketika mendengar suara walet hitam menguik di udara pertanda binatang itu mengalami kesakitan hebat. Nyatanya, salah satu dari lima larikan sinar hitam berhasil menghantam sayapnya, merobek hangus bagian kulitnya dan menghancurkan jaringan tulang-tulangnya. Sebagian dari sayap itu kelihatan menciut pendek. Dalam keadaan oleng dan sayap mengepulkan asap walet hitam ini mendarat di atas sebuah batu berbentuk miring. dari mulutnya tiada henti keluar suara menguik kesakitan.
"Hantu Kaki Batu jahanam!" merutuk orang yang barusan melompat dari punggung walet hitam dan berhasil selamatkan diri dari serangan larikan sinar hitam. Rahangnya menggembung. "llmu Lima Kutuk dari Langit yang dimilikinya benar-benar berbahaya!”
“Dia harus bayar mahal apa yang telah dilakukannya! Dia telah melukai walet tungganganku!"
Orang yang tegak di hadapan Lakasipo itu bertubuh tinggi besar tapi tidak sekekar Lakasipo. Berdirinya agak terbungkuk seolah ada sesuatu yang berat di bawah perutnya. Gerakannya walau kelihatan hebat, tapi mata orang pandai akan melihat bahwa sebenarnya dia bergerak lamban. Rambutnya panjang acak-acakan. Pipi kirinya ada cacat besar bekas luka.
Tangan kirinya sebatas siku ke bawah disambung dengan sejenis logam biru yang dipenuhi tonjolan-tonjolan runcing. Yang hebat dan juga aneh ialah keadaan bagian tubuhnya di sebelah dada sampai ke perut. Seolah ada api di sebelah dalam, bagian tubuhnya itu meancarkan cahaya kemerah-merahan. Cahaya ini berasal dari bara menyala yang mendekam di dalam tubuhnya.
Beberapa waktu silam dari dukun jahat si nenek Hantu Santet Laknat dia pernah mendapatkan satu ilmu dahsyat yang disebut Bara Setan Penghancur Jagat. Di kepala, dada dan perutnya menempel dua ratus bara menyala yang bisa dijadikannya senjata ganas luar biasa. Kejahatan dan kekejian yang dibuatnya menyebabkan Peri Bunda menjatuhkan kutuk. Bara menyala yang tadinya ada di luar tubuh dimasukkan ke dalam perutnya! Membuat dia menderita tersiksa setengah mati.
Dalam keadaan antara hidup dan mati dia melakukan tapa di satu tempat terpencil hingga akhirnya dia mampu meredam panasnya bara menyala yang ada di dalam tubuhnya. Malah kemudian bara menyala itu kembali dapat dipergunakannya sebagai senjata seperti barusan yang dilakukannya terhadap Laekakienam dan Lakasipo.
"Hantu Kaki Batu! Kau masih berani datang ke tempat ini mencari istriku Luhsantini! Benar-benar berani mati!"
Lakasipo tertawa bergelak. "Hantu Bara Kaliatus ternyata kau masih hidup! Tapi sayang, otakmu sudah miring! Apa kau tidak sadar, sejak kau hendak membunuhnya yang ke dua kali, sejak itu pula dia tidak sudi lagi menjadi istrimu?! Baginya kau tidak lebih dari pada iblis biadab dari pusaran neraka jahanam!"
Mendidih amarah Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. "Makhluk jahanam! Perampas istri orang! Kalau Luhsantini ada di sini biar perempuan celaka itu menyaksikan bagaimana aku memanggang tubuhmu sampai gosong!"
"Jangan bicara terlalu sombong hantu laknat! Cacat di pipi kirimu bekas hantaman rantai kakiku, serta cacat di lengan kirimu bekas hajaran Luhsantini masih membekas nyata! Apa kau mau minta tambahan hajaran baru dariku?! Atau mungkin kau minta barang di bawah perutmu aku buat tambah besar dari yang ada sekarang?!"
Seperti dituturkan dalam Episode berjudul Hantu Bara Kaliatus atas nasihat nakal Naga Kuning Lakasipo telah menotok urat besar di pangkal paha Hantu Bara Kaliatus. Akibatnya anggota rahasia lelaki itu menjadi gembung besar seperti orang kondor. lnilah yang membuat gerakannya menjadi lamban
Tambah mendidih amarah Hantu Bara Kaliatus mendengar kata-kata Lakasipo itu. Rahangnya menggembung, mulutnya berkomat-kamit. Dia angkat tangan kirinya tinggi-tinggi melewati kepala.
"Bleeepp… Bleepp… Bleeppp!"
Dari belasan tonjolan runcing yang ada di sekujur lengan besi Hantu Bara Kaliatus membersit nyala api berwarna biru gelap mengeluarkan suara mendesis tak berkeputusan.
"Hantu Kaki Batu, sayang sekali! Kau tidak menyadari bahwa kau akan menemui kematian lebih cepat dari yang kau duga!"
"Nyawa manusia tidak berada dalam kuasa manusia lainnya! Karenanya jangan bicara berpongah diri! Mungkin kau yang lebih dulu akan kujebloskan ke alam Roh!"
Bersamaan dengan selesai ucapannya Hantu Kaki Batu melompat. Kaki kirinya yang terbungkus bola batu berdesing mencari sasaran di pinggul Hantu Bara Kaliatus dalam jurus yang disebut Kaki Roh Pengantar Maut. Dari kaki serta bulatan batu membersit sinar hitam. Bersamaan dengan itu tangan kanannya lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit!
Hantu Bara Kaliatus seolah menganggap enteng serangan maut yang dilancarkan lawan. Sambil tertawa mengejek dia gerakkan tangan kirinya. Terjadilah hal yang membuat kejut Hantu Kaki Batu bukan alang kepalang. Begitu Hantu Bara Kaliatus menggerakkan tangan kirinya yang sebagian terbuat dari logam aneh, dari belasan tonjolan runcing, bergulung keluar larikan larikan api panjang berwarna biru, sangat panas. Gulungan api ini berbentuk demikian rupa seperti jaringan besar yang dengan cepat menghantam dan menggulung ke arah Hantu Kaki Batu!
"Api lblis Penjaring Roh!" teriak Lakasipo menyebut ilmu yang dikeluarkan lawannya itu. "Setahuku ilmu ini hanya dimiliki oleh Hantu Santet Laknat! Celaka! Bagaimana jahanam ini bisa memilikinya!"
"Dress!"
Bola batu di kaki kiri Lakasipo terpental. Tubuhnya ikut terpelanting sampai tiga tombak. Lalu jatuh terbanting di tanah.
"Wuss! Wusssss! Wusssss! wussssss!"
Lima larik sinar hitam pukulan sakti Lima Kutuk Dari Langit yang tadi dihantamkan Lakasipo hancur bertaburan berubah menjadi asap begitu saling bentur dengan jaringan api biru. Dengan muka pucat dan sekujur tubuh sakit Lakasipo cepat bangkit berdiri. Namun...
"Wuuutttt!" Jaringan Api lblis cepat berkelebat menggulung dan membungkus tubuhnya.
"Cessss! Cessss! Cessss!"
Tubuh Lakasipo terpanggang hangus di beberapa bagian. Lelaki ini menjerit kesakitan. Dia berusaha lepaskan diri dari jaring api biru tapi sia-sia saja. Semakin dicoba semakin banyak bagian tubuhnya yang terluka hangus!
"Celaka! Aku tak bisa membebaskan diriku! Aku akan terpanggang hancur dalam jaring api ini!"
Di hadapan Lakasipo. Hantu Bara Kaliatus berkacak pinggang dan tertawa bergelak. Sekali dia meniup maka api biru yang membersit dari tonjolan tonjolan runcing di tangan kirinya pun padam. Tapi jaring api biru masih tetap membungkus sosok Lakasipo dan semakin panas hingga Lakasipo merasa tubuhnya seolah mulai meleleh!
"Bara Kaliatus keparat! Apa hubunganmu dengan Hantu Santet Laknat?!" Berteriak Laksipo.
"Ha ha ha! Jadi kau rupanya mengenali ilmu kesaktian yang kini menjaring sekujur tubuhmu! Ha ha ha! Dengar baik-baik wahai makhluk malang! Aku adalah murid si nenek sakti berjuluk Hantu Santet laknat yang kau tanyakan itu! Ha ha ha ha!"
Dalam sakitnya Lakasipo terkejut bukan main. Lebih-lebih ketika mendengar Hantu Bara Kaliatus meneruskan ucapannya.
"Dendam kesumatku terhadapmu hari ini terbalas sudah! Sekaligus aku berhasil pula melaksanakan tugas dari guruku! Selamat tinggal Hantu Kaki Batu! Sebelum matahari tenggelam sekujur tubuhmu akan berubah menjadi bangkai meleleh!"
Lakasipo mendongak langit. Saat itu sang surya telah jauh menggelincir ke arah barat. Tak lama lagi matahari akan segera tenggelam. Berarti umurnya memang tak akan lama. Dia coba gerakkan tangan untuk menghantam tapi...
"Cesss!" Sedikit saja dia bergerak, jaring api melukai dan menghanguskan tubuhnya! "Hantu Bara Kaliatus jahanam! Kelak para Dewa akan menjatuhkan hukuman atas dirimu!"
Hantu Bara Kaliatus yang sudah berjalan beberapa langkah menghampiri walet tunggangannya balikkan diri. Sambil menyeringai dia berkata,
"Kalau kau merasa punya Dewa, panggillah! Berteriak minta tolong! Agar kau bisa keluar dari Api lblis Penjaring Roh! Ha ha ha!" Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak lalu tinggalkan tempat itu.
"Terkutuk kau Latandai! Terkutuk kau Hantu Bara Kaliatus!" teriak Lakasipo.
Latandai alias Hantu Bara Kaliatus tidak perdulikan teriakan caci maki Lakasipo. Sambil terus tertawa dia menghampiri walet hitam. Dia tahu walau binatang itu menderita cidera akibat hantaman Lakasipo tadi, sang walet masih bisa menerbangkannya meninggalkan lembah batu itu.
Namun tiga langkah di hadapan walet raksasa, kaki Hantu Bara Kaliatus seolah terpantek ke tanah. Matanya membeliak begitu menyaksikan bagaimana kepala walet tunggangannya berada dalam keadaan hancur. Dua sayap dan kakinya menggelepar dan melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Hantu Bara kaliatus berteriak marah.
"Jahanam berani mati! Siapa membunuh waletku?!"
Sebagai jawaban tiba-tiba menggema suara cekikikan dari balik sebuah batu besar di samping kiri Hantu Bara Kaliatus. Lelaki ini segera membalik dan menghantam dengan pukulan Selusin Bianglala Hitam!. Dengan ilmu kesaktian inilah dulu dia hendak membunuh istrinya atas suruhan Hantu Santet Laknat! Dua belas sinar hitam menderu angker. Dua belas lobang kelihatan di batu itu. Asap mengepul lalu...
"Braakk! Byaaarrr!"
Batu besar hancur berantakan berkeping-keping. Pecahan dan debunya beterbangan ke udara menutupi pemandangan. Ketika kepingan batu dan debu surut jatuh ke tanah dan keadaan terang kembali, di depan sana tampak berdiri dua orang. Yang pertama seorang kakek yang berdiri terbalik secara aneh yakni dua tangan dijadikan kaki sedang sepasang kaki berada di sebelah atas.
Orang ke dua seorang perempuan cantik berpakaian serba merah. Saat itu Lakasipo berada di dalam keadaan cidera berat. Hampir sekujur tubuhnya hangus akibat bersentuhan dengan Api lblis Penjaring Roh. Sakitnya bukan olah-olah. Lututnya sudah goyah, pemandangannya berkunang-kunang. Walau samar-samar dia masih bisa mengenali siapa adanya dua orang di seberang sana.
EMPAT
Mulut Lakasipo bergetar ketika perlahan, antara terdengar dan tiada dia menyebut nama kedua orang itu. "Hantu Langit Terjungkir… Luhsantini…"
Kakek yang tegak di atas dua tangannya itu memang Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir adanya. Sedang perempuan cantik berpakaian serba merah adalah Luhsantini, bekas istri Hantu Bara Kaliatus.
Melihat kemunculan istrinya, Hantu Bara Kaliatus yang sedang marah karena menemukan walet terbang tunggangannya dalam keadaan mati pecah kepala jadi bertambah marah. Sekali lompat saja dia telah berada di hadapan Luhsantini.
"Perempuan laknat! lstri celaka! Pasti kau yang telah membunuh walet tungganganku! Kepalanya hancur!"
"Makhluk keji tak mengenal tobat! Tangan kirimu sudah kuhancurkan! Apa itu tidak cukup menjadi pelajaran? Rupanya kau memang minta kuhancurkan kepalamu seperti aku menghancurkan kepala walet hitam itu!" Balas mendamprat Luhsantini.
Hantu Bara Kaliatus keluarkan suara menggembor. Mulutnya berteriak. "lstri celaka! Dicari-cari tidak bertemu! Sekarang malah muncul sendiri mengantar nyawa!" Rahang Hantu Bara Kaliatus menggembung lalu begitu dia meniup ke depan, dua buah bara menyala melesat menyerang Luhsantini. Tapi Luhsantini cepat menyingkir selamatkan diri
"Makhluk keji! Haram bagimu menyebut diriku istri!"
"Kalau begitu biar kusebut kau gendak Lakasipo alias Hantu Kaki Batu! Mungkin kau lebih senang dipanggil begitu!"
Penuh luapan amarah kembali Hantu Bara Kaliatus menyergap Luhsantini. Dia melompat sambil kembali semburkan dua bara api yang ada dalam perutnya. Jelas sekali dia benar-benar ingin membunuh Luhsantini.
Perempuan ini cepat berkelebat dan siap balas menyerang. Namun dari samping kakek yang tegak kepala ke bawah kaki di atas gerakkan dua kakinya. Dua larik angin dahsyat berwarna ke biruan menebar hawa dingin melabrak ke depan.
Latandai alias Hantu Bara Kaliatus tersentak kaget ketika hantaman angin itu sanggup membuat dua bara api yang disemburkannya terpental kesamping hingga Luhsantini selamat dari serangannya. Selain itu sambaran angin tadi sempat membuat dia terhuyung huyung sampai dua langkah.
"Tua bangka jahanam! Siapa kau!" teriak Hantu Bara Kaliatus walau diam-diam dia sudah bisa menduga siapa adanya kakek aneh berpakaian compang camping dan berdiri kaki ke atas kepala ke bawah ini. Kakek yang dibentak keluarkan suara mengekeh. Dua kakinya digerakkan kembali, siap untuk menghantam, tapi di sebelahnya Luhsantini berkata,
"Kakek Hantu Langit Terjungkir, harap kau suka menolong lelaki dalam jaring api biru itu! Biar aku melayani jahaman sesat yang otaknya sudah dicuci oleh si dukun santet Hantu Santet Laknat ini!"
Mendengar ucapan Luhsantini Hantu Langit Terjungkir berkata. "Hati-hatilah. Perhatikan gerak tangan kirinya! llmu jaring api birunya sangat berbahaya!"
Sehabis memberi ingat begitu si kakek segera berkelebat ke arah sosok yang terjebak dalam jaring api. Dari jauh dia tidak begitu jelas dan tidak mengenali siapa adanya orang itu. Tapi begitu berdekatan, terkejutlah si orang tua.
"Lakasipo…" Katanya menyebut nama itu dengan suara bergetar. "Kau rupanya… Aku memang tengah mencarimu. Sejak kau datang ke Lembah Seribu Kabut, aku selalu teringat padamu dan ingin bertemu denganmu…"
"Kek, aku tak dapat menyalahkanmu," jawab Lakasipo. Saat itu tubuhnya yang penuh luka dan hangus sudah mulai goyah. Tegaknya menghuyung. Pemandangannya seperti kabur. Dia kumpulkan seluruh tenaga untuk bisa keluarkan ucapan menyambung kata katanya tadi.
"Kau tentu masih merasa sangat penasaran. Karena kebodohan dan kelalaianku hingga sendok emas sakti yang bisa mengembalikan kesaktianmu amblas dilarikan orang!"
Kepala si kakek yang berada di sebelah bawah kelihatan digelengkan beberapa kali. "Wahai… Bukan! Sendok sakti itu memang sangat penting artinya bagi penyembuhan diriku yang menderita tersiksa penuh sengsara ini. Tapi jauh lebih penting ada hal lain yang hendak aku bicarakan denganmu. Menyangkut rahasia aku sebagai seorang ayah dan…"
"Kek, aku…" Belum habis Hantu Langit Terjungkir bicara Lakasipo sudah memotong. Saat itu sosoknya yang berada di dalam jaring api biru tersandar ke belakang.
"Cesss!” Daging punggungnya yang bersentuhan dengan jaring api langsung luka. Lakasipo keluarkan jerit kesakitan. Tulang-tulang di sekujur tubuhnya seolah leleh. Dia jatuh terkulai. Pingsan tak sadarkan diri.
"Jaring jahanam! Kalau tidak kutolong sesaat lagi dia pasti akan hangus menemui ajal! Para Dewa beri aku kemampuan menolong dirinya!"
Enteng sekali, laksana kabut mengambang di udara, sosok Hantu Langit Terjungkir naik ke atas. Lalu laksanakan kilat gerakannya berubah cepat luar biasa, melompat ke bagian atas jaring Api lblis Penjaring Roh lalu mencengkram!
"Cesss! Cesssss!"
Telapak tangan kiri kanan Hantu Langit Terjungkir hangus terkelupas. Sakitnya bukan kepalang tapi si kakek cuma kelihatan menyeringai. Dia kerahkan tenaga dalamnya yang secara aneh berpusat di kening. Dari tubuhnya kelihatan memancar asap kebiru-biruan. Ketika mulutnya meniup ke bawah maka menyemburlah cahaya biru menebar hawa dingin luar biasa.
"Ceeessssssss!"
Jaring Api lblis Penjaring Roh yang merupakan pancaran api biru panas luar biasa keluarkan suara mendesis panjang laksana diguyur air es. Asap biru membubung ke udara. Warna birunya bukan saja menjadi redup tapi hawa panasnya serta merta lenyap. Jaring biru itu kini tidak bedanya seperti terbuat dari tali biasa. Lakasipo selamat dari kematian walau hampir sekujur tubuhnya hangus terkelupas dan saat itu dia masih tergeletak tak sadarkan diri.
Dengan dua tangannya Hantu Langit Terjungkir berusaha merobek putus jaring api biru. Tapi luar biasanya jaring yang sudah berubah dingin itu atos sekali. Bagaimanapun si kakek mengerahkan kesaktiannya tetap saja dia tidak mampu menjebol jaring guna mengeluarkan Lakasipo yang masih terjerat.
"Jaring jahanam! Setahuku Hantu Santet Laknat tidak memiliki kepandaian menciptakan jaring seperti ini. Kalau tadi makhluk bertangan logam itu mengaku murid si nenek, niscaya dukun jahat itu dapatkan ilmu keparat ini dari seseorang. Aku harus mencari tahu siapa adanya… Tapi perduli setan! Yang penting saat ini anak itu sudah berhasil aku selamatkan. Kalau perlu aku akan membawanya dalam keadaan masih berada dalam jaring itu. Mungkin benar kabar yang pernahku dengar. Hanya ada beberapa orang saja di Negeri Latanahsilam ini yang sanggup menjebol jaring celaka itu. Satu diantaranya si nenek berjuluk Hantu Lembah Laekatakhijau. Tapi tak bisa kuduga apa nenek itu masih hidup. Yang kedua seorang setengah waras berjuluk Hantu Raja Obat atau Hantu Seribu Obat. Tapi salah-salah meminta bisa isi perutku dibedolnya dijadikan ramuan obat!"
Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu pandangi sosok Lakasipo yang melingkar di dalam jaring api biru. Mata orang tua ini tampak berkaca-kaca. Perlahan-lahan tubuhnya melayang ke bawah. Dari sisi kanan kembali dia memperhatikan. Kini pandangan matanya dipusatkan pada bagian belakang atas tangan kanan Lakasipo.
Di antara daging yang terluka dan hangus dia masih bisa melihat tanda aneh dekat ketiak lelaki itu. Yakni tanda menyerupai sekuntum bunga dalam lingkaran. Tetesan airmata jatuh membasahi kening Hantu Langit Terjungkir.
"Aku yakin… Yakin sekali. Dia salah seorang dari mereka. Wahai Dewa… Beri aku petunjuk. Yang penting saat ini selamatkan nyawanya. Sembuhkan luka lukanya…" Baru saja Hantu Langit Terjungkir berucap seperti itu tiba-tiba disampingnya ada suara orang berkata.
"Tua bangka tolol! Memakai tangan sebagai kaki! Kau menangis meneteskan air mata! Apa orang didalam jaring itu sudah menemui ajal? Menyingkirlah! Aku mau tahu siapa yang mampus! Orang atau binatang! Jangan-jangan dia! Kalau benar dia, sungguh sial nasib diriku!" Setelah itu... "buuuut…!"
Ada suara orang kentut! Lalu ada satu tangan mendorong. Seperti diketahui walau Hantu Langit Terjungkir telah kehilangan banyak ilmu kesaktian akibat dirampas oleh Hantu Muka Dua, namun sewaktu berada di Lembah Seribu Kabut dia berhasil menghimpun tenaga dalam baru dan menciptakan ilmu kesaktian. Tidak mudah untuk mendorong sosok tubuhnya.
Tapi gerakan orang barusan ternyata mampu membuat si kakek terhuyung-huyung dan sepasang tangannya tergeser satu jengkal ke kiri! Satu sosok berpakaian kuning kemudian lewat disamping Hantu Langit Terjungkir, ulurkan kepala memperhatikan ke dalam jaring api biru.
"Huh! Hanya seekor kadal raksasa mati hangus! Apa perlunya ditangiskan?!" Si baju kuning berkata lalu tertawa cekikikan. Kemudian
"Buuuuttt!"
LIMA
Hantu Langit Terjungkir delikan matanya. Yang tegak di depan jaring ternyata seorang nenek yang sekujur tubuhnya serba kuning mulai dari rambut sampai kekaki. Dipunggungnya dia memanggul sebuah keranjang besar terbuat dari rotan penuh dengan bulu dan kotoran ayam. Saking marahnya mendengar Lakasipo dianggap seekor kadal raksasa si kakek membentak.
"Matamu kuning belekan! Pantas! Manusia hidup kau katakan kadal! Kalau bisamu cuma mengigau dan kentut lekas angkat kaki dari tempat ini!"
Tanpa berpaling pada Hantu Langit Terjungkir si nenek muka kuning yang bukan lain adalah Luhkentut alias Nenek Selaksa Angin alias Selaksa Kentut songgengkan pantatnya lalu... "Buuutttt!"
Dia kentut seenaknya! Setelah itu dia tertawa cekikikan. Sepasang matanya yang kuning sesaat melirik ke arah Hantu Langit Terjungkir. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan mukanya yang kuning kelihatan berkerenyit.
"Heh... Rasa-rasanya aku pernah melihat tampangmu sebelumnya. Apakah aku pernah mengenal dirimu?!"
"Lebih baik kau tidak kenal diriku! Siapa sudi kenal dengan nenek-nenek busuk sepertimu!"
Luhkentut alias Nenek Selaksa Angin alias Hantu Sclaksa Angin tertawa lalu... "buutt!" Dia kembali terkentut-kentut.
"Tua bangka tidak tahu diri! Jangan kira cuma kau saja yang bisa kentut! Aku juga bisa!" Teriak Hantu Langit Terjungkir. Lalu dari mulutnya dia keluarkan suara... "buuuttlt!"
Hantu Selaksa Angin mendongak kelangit lalu tertawa gelak-gelak. "Kau memang hebat dalam keanehanmu! Pertama kulihat kau pergunakan tangan sebagai kaki, sementara kaki cuma diuncang-uncang di udara! Lalu kalau aku kentut dari pantat kau pandai kentut dari mulut! Apa tidak aneh dan hebat?! Hik hik hik!"
Hantu Langit Terjunkir memaki panjang pendek. Sebelumnya dia memang sudah mendengar sifat dan kelakuan nenek satu ini. Maka dia berucap. ”Tidak heran kalau penyakit kentutmu tidak pernah sembuh! Sifat, ucapan dan perbuatanmu selalu seperti orang tidak waras!"
"Siapa bilang aku tidak bisa sembuh! Ada seorang pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang tengah menolongku! Aku pasti sembuh! Buktinya sekarang kentutku sudah tidak panjang lagi seperti dulu!"
"Tua bangka tolol! Masih banyak urusanku di tempat ini. Lekas menyingkir dari sini! Jangan mengganggu orang dengan mulut dan pantatmu!"
"Huh! Bicara sombongnya! Wahai! Kalau tidak kebetulan lewat di sini,dan mengira kadal hangus itu pemuda penolongku, perlu apa aku berada di tempat ini!" Si nenek cibirkan bibirnya. Dia melirik pada si kakek, lalu perhatikan acuh tak acuh perkelahian yang terjadi antara Luhsantini dengan Hantu Bara Kaliatus. Si nenek kembali songgengkan pantatnya dan... "buuttt!" Lalu dia putar tubuh hendak pergi.
"Tunggu!" Hantu Langit Terjungkir berseru. "Pemuda asing yang kau katakan itu. Apakah namanya Wiro Sableng?"
"Apa perdulimu! Siapapun namanya apa urusanmu?!" tukas Luhkentut.
"Buuuttt!" saking geramnya Hantu Langit Terjungkir keluarkan suara seperti orang kentut dari mulutnya. "Aku memang harus perduli. Pemuda itu pernah menyelamatkan diriku! Dengar kau nenek buruk muka kuning! Jika kau berani mencelakai pemuda itu, akan kurajam tubuhmu! Akan kubuat kau jadi matang seperti ikan asap!"
Si nenek songgengkan pantatnya. Kembali hendak keluarkan kentut. Tapi tak jadi. Seperti tadi mukanya yang kuning kembali tampak mengerinyit. "lkan asap..." ujar si nenek mengulang. "Aku pernah mendengar nama hidangan itu. lkan pindang! Itu nama lainnya! Wahai... Apakah aku pernah mengenal dirimu sebelumnya kakek aneh yang pergunakan dua tangan sebagai kaki?!"
"Sudah kubilang aku tidak sudi kenal denganmu! Lekas angkat kaki dari tempat ini!" teriak Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
Si nenek menyeringai. "Aku akan pergi. Kau tak usah khawatir. Siapa sudi berlama-lama di tempat celaka ini! Tapi sebelum pergi aku mau lihat dulu tampangnya yang tertutup janggut dan kumis menjulai itu! Siapa tahu aku memang pernah kenal dirimu!"
Lalu dengan satu gerakan cepat Nenek Selaksa Kentut alias Selaksa Angin menyambar dua kaki Hantu Langit Terjungkir. Maksudnya dia hendak membalikkan tubuh si kakek sebagaimana mestinya yaitu kepala ke atas kaki ke bawah. Dengan demikian dia bisa melihat lebih jelassosok serta wajah si kakek.
Namun sebelum sempat hal itu dilakukannya tiba-tiba di arah kiri terdengar suara bergemuruh seperti ada pohon yang tumbang lalu menyusul jeritan perempuan. Gerakan si nenek jadi tertahan sementara Hantu Langit Terjungkir begitu mendengar suara jeritan serta merta berkelebat ke kiri. Apa yang terjadi?
Sesaat setelah tadi Hantu Langit Terjungkir meninggalkan Luhsantini karena hendak menolong Lakasipo yang terjerat dalam jaring api biru, tanpa menunggu lebih lama Latandai alias Hantu Bara Kaliatus menyergap ke arah Luhsantini yang bekas istrinya itu.
"Perempuan laknat, istri terkutuk! Sebelum kubunuh kau lekas katakan dimana berada anakku si Lamatahati?!"
Mendendar ucapan Hantu Bara Kaliatus itu Luhsantini langsung mendamprat! "Jangan kau berani menyebut Lamatahati sebagai anakmu! Bukankah dulu kau hendak membunuhnya bersama diriku di tepi kawah Gunung Latinggimeru?! Manusia durjana! Sebelum kau membunuhku biar aku lebih dulu mencabut nyawamu! Biar kemudian para Dewa menggiring Rohmu ke pusaran neraka atas langit"
Habis berkata begitu Luhsantini berkelebat. Tangan kanannya laksana kilat menyambar ke arah dada Hantu Bara Kaliatus. Dari sambaran angin yang mendahului datangnya pukulan, Hantu Bara Kaliatus maklum kalau serangan Luhsantini tidak bisa dianggap remeh. Karena dia tidak bisa bergerak cepat akibat tubuhnya sebelah bawah yang menggembung besar maka Hantu Bara Kaliatus langsung jatuhkan diri, jatuh punggung ke tanah.
"Bukkkk!"
Pukulan Luhsantini menghantam lamping batu Di sebelah depan batu itu tidak kelihatan bergeming sedikitpun, apa lagi retak atau jebol. Tapi luar biasanya, disebelah belakang lamping batu keluarkan suara berderak lalu retak-retak. Satu persatu retakan itu kemudian berderai jatuh, mengepulkan asap seperti hangus!
lnilah kehebatan lima pukulan yang selama ini dipelajari dan diyakini Luhsantini, disebut Di balik Labukit Menghancurkan Lagunung! Melihat serangannya luput, Luhsantini tak tinggal diam. Selagi Hantu Bara Kaliatus masih tertelentang di tanah dia cepat mengejar dengan serangan ke dua. Kalau tadi tenaganya yang bekerja maka kini kaki kanannya membuat gerakan menghunjam. Tumit Luhsantini menderu ke arah kening Hantu Bara Kaliatus.
"lstri laknat perempuan jahanam!" teriak Hantu Bara Kaliatus seraya gulingkan diri ke kanan. "Terima kematianmu!" Sambil bangkit, dalam keadaan setengah duduk Hantu Bara Kaliatus kerahkan tenaga dalam lalu menyambar.
"Wuutt! Wuuuuttt!"
Latandai keluarkan ilmu Bara Setan Penghancur jagat. Tiga bara merah menyala menyambar cepat dan ganas ke arah Luhsantini. Satu mengarah kepala. Yang kedua mencari sasaran di dadanya, sedang bara ke tiga menderu ke bagian bawah perutnya.
Melihat tiga serangan dahsyat mengancam dirinya mau tak mau Luhsantini batalkan gerakannya menghantam kepala lawan. Dengan cepat perempuan ini berkelebat kekanan sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong. Luhsantini berhasil menghantam mental bara menyala yang menyerang ke arah kepalanya. Walau serangan sangat berbahaya itu dapat ditangkis, namun tak urung tangan kanannya bergetar hebat sedang ujung lengan panjang pakaian merahnya kepulkan asap. Ujung lengan itu ternyata telah hangus!
Dengan melompat tadi, Luhsantini juga berhasil menghindari batu bara ke dua yang melesat ke arah dadanya, Namun serangan ke tiga masih sempat menyerempet pinggulnya. Perempuan ini terpekik kesakitan. Bukan saja pinggul pakaian merahnya robek hangus tapi daging pinggulnya ikut terserempet luka! Selagi Luhsantini tertegak menahan sakit, Hantu Bara Kaliatus telah berada di hadapannya. Menyeringai sambil angkat tangan kirinya yang disambung dengan logam.
"Gendakmu sudah kujebloskan dalam jaring api biru! Sekarang giliranmu!" Hantu Bara Kaliatus kertakkan rahang. Tangan kirinya digerakkan. Dari pentolan pentolan runcing di sepanjang lengan palsu yang terbuat dari logam itu, melesat keluar larikan-larikan sinarbiru, bergulung membentuk jaring. Lalu menyambar ke arah Luhsantini! Perempuan itu cepat menghindar, melompat dan berlindung ke balik sebatang pohon.
"Wuuusss!"
Jaring api yang disebut Api lblis Penjaring Roh menyambar. Laksana senjata tajam membelah air begitulah kelihatan jaring api itu melewati batang pohon. Begitu lewat batang pohon serta merta berubah hangus hitam kebiru-biruan lalu tumbang dengan suara bergemuruh. Luhsantini cepat menyingkir namun dia terkesiap kaget ketika tiba-tiba saja, cepat sekali. Di atasnya jaring api biru telah menyambar ke bawah, siap menjerat tubuhnya!
Perempuan ini keluarkan pekik ngeri seraya cobamenghantam dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun sia-sia saja! Sekejapan lagi Luhsantini akan dilibas Api lblis Penjaring Roh tiba-tiba menyambar satu gelombang kabut memencarkan warna kebiru-biruan dan menebar hawa dingin luar biasa. Begitu kabut ini bersentuhan dengan jaring api biru terdengar suara...
"Ceesss! Cessss" berkepanjangan. Cahaya jaring biru kelihatan menjadi redup. Hawa panasnya serta merta menjadi lenyap. Tapi gerakan jaring yang hendak menjerat sosok Luhsantini tetap tidak tertahankan. Sesaat kemudian perempuan itu sudah terlibat dalam jaring. Masih untung larikan-larikan api jaring telah berubah menjadi seperti tali-tali biasa. Kalau tidak niscaya sekujur wajah dan tubuh Luhsantini akan menjadi terbakar hangus!
"Celaka!" Di sebelah sana Hantu Langit Terjungkir berseru kaget melihat bagaimana Luhsantini telah masuk dalam libatan jaring. Bagaimana pun dia berusaha meloloskan diri tetap saja tidak berhasil. Si kakek sendiri saat itu tengah berusaha mengatur jalan darah dan pernafasannya. Bentrokan antara kabut saktinya tadi dengan api jaring biru telah membuat tubuhnya tergoncang hebat luar dalam. Begitu keadaannya pulih kembali, cepat dia berkelebat mendekati Luhsantini. Tangannya bergerak kian kemari untuk merobek dan memutus jaring. Sia-sia belaka! Hantu Bara Kaliatus keluarkan suara tawa bergelak.
"Jangan harap dia bisa keluar dari dalam jaring itu! Tidak ada satu makhlukpun bisa membebaskannya! Aku memang tidak berhasil membunuh mereka. Tapi aku sudah cukup puas menjebloskan keduanya seumur hidup dalam Api lblis Penjaring Roh Ha ha ha!" Hantu Bara Kaliatus balikkan badannya lalu tinggalkan tempat itu.
"Makhluk keparat!" teriak Hantu Langit Terjungkir. "Kemana kau lari akan kukejar! Tapi sebelum kau mati di tanganku ada sesuatu yang perlu kutanyakan!"
Melihat si kakek hendak mengejar Hantu Bara Kaliatus jadi marah tapi juga khawatir. "Kakek yang tegak menyungsang ini memiliki kepandaian tinggi! Keadaanku membuat aku tak bisa bergerak cepat. Dia pasti mampu mengejarku! Jahanam! Aku harus dapat mencegahnya!"
Hantu Bara Kaliatus buka mulutnya lebar-lebarlalu meniup ke arah si kakek. Yang keluar kali ini bukan lesatan bara api tetapi satu gelombang api. Hantu Langit Terjungkir berseru kaget ketika dia dapatkan dirinya tiba-tiba terkurung kobaran api. Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam yang ada di kening ke kaki kanannya. Satu larikan besar kabut dingin membeset udara begitu si kakek tendangkan kaki kanannya. Kabut ini lalu bergulung-gulung menyambar kobaran api.
"Wusss! Wussss!" Kobaran api lenyap. Namun Hantu Bara Kaliatus tak ada lagi di tempat itu.
"Kurang ajar!" Hantu Langit Terjungkir memaki. Dia memandang berkeliling. Memperhatikan Lakasipo yang ada dalam jaring. Melihat pada nenek bermuka dan berpakaian serba kuning. Sesaat dia tampak bimbang.
"Apa yang harus aku lakukan… Lakasipo sementara dalam keadaan aman walau masih dilibat jaring. Nenek muka kuning itu nanti saja kuselidiki siapa dirinya. Biar aku mengejar Hantu Bara Kaliatus. Aku tadi sempat melihat ada tanda bunga dalam lingkaran di lengan kanannya sebelah belakang. Wahai, bagaimana mungkin ada darah dagingku sejahat dirinya? Seganas itukah kutuk Dewa terhadap diriku? Aku harus menyelidiki, harus tahu siapa dia sebenarnya sebelum aku salah menjatuhkan tangan maut!" Habis berkata begitu Hantu Langit Terjungkir segera berkelebat ke arah yang diduganya lenyapnya Hantu Bara Kaliatus.
"Kek! Jangan pergi!" teriak Luhsantini ketika melihat Hantu Langit Terjungkir berkelebat pergi. Saat itu dia masih terus berusaha menjebol jaring agar bisa lolos. Tapi si kakek keburu lenyap. Luhsantini alihkan pandangannya pada nenek muka kuning.
"Wahai! Menurut penglihatanku kau adalah seorang berkepandaian tinggi. Mengapa tidak mencoba membebaskan diriku dan menolong pemuda itu?!"
"Buuttt!" si nenek menjawab dengan terkentut lalu tertawa cekikikan membuat Luhsantini menjadi merah wajahnya dan menggerutu marah.
"Kalau bisamu cuma kentut melulu, harap pergi saja dari sini!"
Nenek Selaksa Angin pencongkan mulutnya. "Aku memang mau pergi. Aku mau mengejar kakek aneh tadi! Aku harus harus mencari jawab apa aku kenal padanya atau tidak!"
"Perempuan tua tidak bermalu! Kakek itu jelas tidak sudi berkenalan denganmu, mengapa kau kejar-kejar? Jangan-jangan kau bangsa tua bangka gatal!" Luhsantini mendamprat saking marahnya.
Dimaki seperti itu si nenek jadi marah. Tangan kanannya bergerak dan "plaak!" Tamparannya melayang kepipi kanan Luhsantini. Tamparan yang cukup keras itu membuat Luhsantini terbanting dan terguling-guling dalam jaring. Pipi kanannya serasa lebam dan tulangnya seolah pecah.
Terhuyung-huyung Luhsantini bangkit dan menggapai-gapai dalam libatan jaring. Dalam sakit dan juga marahnya tiba-tiba dia melihat salah satu tali jaring di bagian mana tadi tamparan si nenek mendarat berada dalam keadaan putus! Berarti nenek muka kuning itu memiliki kesaktian yang mampu memutus jaring!
"Tua bangka gatal! Mengapa kau cuma menamparku satu kali?! Ayo tampar lagi! Lakukan sepuasmu!" Tiba-tiba Luhsantini berteriak.
Si nenek pelototkan matanya. Dia hendak bergerak maju dan benar-benar hendak menampar Luhsantini. Tapi tiba-tiba dia hentikan gerakannya dan menyeringai. Setelah kentut dua kali dia berkata,
"Jangan kira aku tidak tahu akal busukmu! Kau minta aku menampar agar bisa memutus tali-tali jaring!"
"Buutt!" Si nenek kentut. "Perlu apa menolongmu. Lebih baik aku mencari kibul ayam jantan. Tinggal enam belas ekor lagi! Aku akan segera sembuh! Hik hik hik!" Si nenek songgengkan pantatnya ke arah Luhsantini lalu kentut lagi duakali berturut-turut. Setelah itu sekali berkelebat perempuan tua itupun lenyap.
Luhsantini memaki habis-habisan. "Nenek otak miring! Mencari kibul ayam jantan katanya! Apa artinya kibul? Tua bangka tidak berbudi!" Luhsantini kemudian periksa bagian jaring yang putus. Dia coba menarik-narik dan memasukkan kepalanya. Tapi lobang di jaring masih sangat kecil. Jangankan kepalanya, kepalannya saja tak bisa disusupkan.
Dalam bingungnya karena tidak tahu apa yang hendak dilakukan Luhsantini memandang ke arah sosok Lakasipo yang masih terjerat di dalam jaring satunya. Dia tak dapat memastikan apakah lelaki itu hanya pingsan saja atau sudah menemui ajal.
"Lakasipo! Lakasipo!" Luhsantini memanggil berulang-ulang.
Namun sosok Lakasipo tidak bergerak. Hanya ada suara erangan pendek keluar dari mulutnya. Setelah itu keadaan di tempat itu kembali sunyi senyap. Sementara di langit sang surya semakin mendekati ufuk tenggelamnya. Sebentar lagi tempat itu akan menjadi gelap. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba semak belukar di sebelah kiri terkuak. Tiga sosok muncul dan salah satu diantaranya berucap.
"Seruan yang memanggil-manggil nama Lakasipo tadi pasti datang dari tempat ini! Tapi tak ada siapa siapa di sini!"
"Hei! Lihat di sebelah sana! Ada orang tergeletak di dalam jaring aneh!" Suara ke dua berseru Menyusul orang ke tiga ikut berteriak.
"Di sebelah situ juga ada jaring satu lagi! Ada orang terjebak di dalamnya!"
"Kawan-kawan! Kau lekas memeriksa orang di dalam jaring sebelah sana! Aku akan berusaha menolong orang satunya!"
Ketika orang yang bicara ini melompat ke hadapan jaring dimana Luhsantini berada kagetlah dia karena dia masih bisa mengenali siapa adanya perempuan itu.
"Bukankah... Bukankah kau orangnya yang bernama Luhsantini?" orang itu bertanya sambil garuk garuk kepala.
Luhsantini memperhatikan dari dalam jaring. Matanya penuh selidik. "Kau siapa?"
"Aku Wiro, saudara angkat Lakasipo. Mungkin kau tidak mengenali diriku. Karena pertama kali bertemu dengan kawan-kawan sosok kami bertiga masih sebesar jari!"
Sepasang mata Luhsantini pandangi Pendekar 212. Dia melirik pada sosok dua orang di sebelah sana yakni Naga Kuning dan Si Setan Ngompol. "Wahai! Aku ingat riwayat kalian bertiga!"
"Apa yang terjadi denganmu? Siapa orang yang ada di dalam jaring sebelah sana…"
"Dia Lakasipo."
Terkejutlah Wiro mendengar jawaban Luhsantini itu. Dia memandang berkeliling. Lalu bertanya. "Aku harus menolongmu! Ceritakan bagaimana kejadiannya sampai dirimu terjebak dalam jaring aneh ini!"
"Jangan perdulikan diriku. Lebih baik kau menolong Lakasipo lebih dulu. Keadaannya gawat…" kata Luhsantini.
"Kalau begitu..." Wiro garuk kepalanya lalu melangkah cepat menghampiri Lakasipo yang tergeletak di tanah, berada dalam jaring.
Naga Kuning dan Si Setan Ngompol berusaha membebaskan lelaki itu. Namun akhirnya mereka bingung sendiri karena apapun yang mereka coba tidak sanggup memutus jaring api biru.
"Wiro! Keluarkan kapakmu. Mungkin itu bisa dipakai memutus jaring celaka ini..."
Dari balik jaring tiba-tiba terdengar suara orang berucap. Suara Lakasipo. Tanpa banyak cerita murid Sinto Gendeng segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Cahaya matahari yang hendak tenggelam memantul kuning kemerahan di permukaan dua mata kapak. Ketika Wiro hendak membungkuk mencari bagian yang baik di sebelah kaki jaring untuk dibacok dengan kapak sakti, tiba-tiba ada satu bayangan biru berkelebat dan tegak di hadapan Wiro. Pendekar 212 angkat kepalanya.
"Luhcinta!" ujar murid Eyang Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang berdiri dihadapannya. Tentu saja Pendekar 212 merasa gembira dapat bertemu kembali dengan gadis cantik jelita itu. Namun dibalik kecantikan si gadis saat itu Wiro melihat ada satu bayangan rasa gelisah.
"Wiro, ada satu hal sangat penting ingin kubicarakan denganmu. Harap kau sudi mengikutiku...!"
Suara Luhcinta terdengar lirih pertanda memang ada satu tekanan batin yang tengah dialaminya saat itu. Si gadis tahu Wiro akan memenuhi kehendaknya. Karenanya tanpa menunggu jawaban Wiro dia segera berkelebat pergi.
"Kalian berdua tunggu di sini. Aku tidak akan lama," kata Pendekar 21 2. Lalu dia segera berkelebat pula ke arah lenyapnya Luhcinta.
"Seharusnya dia tinggalkan kapak saki itu. Agar kita bisa menolong Lakasipo!" kata Naga Kuning.
"Dia segera kembali. Dia sendiri bilang tak bakal lama!" menyahut SiSetan Ngompol.
"Kau orang tua yang seperti tidak pernah muda saja Kek! Seorang pemuda dan seorang pemudi berdua-dua di satu tempat sunyi, mana mungkin mau sebentar saja. Apa lagi Luhcinta kelihatannya seperti punya masalah besar!"
Apa yang dikhawatirkan Naga Kuning, bocah aneh yang sebenarnya adalah kakek berusia 120 tahun itu menjadi kenyataan, Sampai matahari tenggelam dan kegelapan mencekam di lembah batu itu, Pendekar 212 tak kunjung muncul.
"Apa kataku. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan Wiro! Kek, kau tunggu di sini. Aku akan menyelidik!"
Si Setan Ngompol yang takut ditinggal sendirian langsung terkencing. "Aku ikut bersama!" katanya pada Naga Kuning seraya pegangi celana si bocah. Berjalan beberapa tindak Naga Kuning hentikan langkahnya.
"Bagaimana dengan Luhsantini dan Lakasipo?" Anak ini bertanya pada Si Setan Ngompol lalu memandang pada Luhsantini. Dari balik jaring terdengar perempuan itu berucap.
"Jangan perdulikan diriku! Lekas cari Wiro. Lakasipo perlu lekas ditolong. Keadaannya gawat!"
"Kami segera mencarinya! Bertahanlah!" berkata Setan Ngompol. Lalu tetap masih sambil pegangi pantat celana Naga Kuning dia berkata.
"Ayo jalan duluan! Arah sana! Aku lihat si gondrong itu tadi menuju ke sana!" Si kakek menunjuk ke arah deretan pohon-pohon besar dan semak belukar yang merupakan bagian luar atau tepi rimba belantara yang disebut Lasesatbuntu.
********************
ENAM
Pendekar 212 berlari cepat melewati deretan pepohonan dan semak belukar tinggi. Luhcinta berada di sebelah depannya. Walau saat itu cahaya sang surya yang hendak tenggelam mulai redup namun karena Luhcinta tak berapa jauh di depannya dengan mudah Wiro bisa mengikuti lari si gadis.
Sebentar saja kedua orang itu telah masuk jauh ke dalam rimba belantara. Di satu tempat sosok Luhcinta lenyap. Wiro hentikan larinya, memandang berkeliling.
"Luhcinta! Dimana kau?!" Wiro memanggil. Suaranya bergema dalam rimba belantara yang mulai gelap itu. Tak ada jawaban. Wiro menunggu. Sesekali terdengar suara desir dedaunan yang saling gesek oleh tiupan angin. "Luhcinta?!" Wiro memanggil kembali.
Setelah ditunggu tetap tak ada jawaban Wiro bersiap untuk mengerahkan Ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. Namun tak jadi karena saat itu lapat-lapat mendadak dia mendengar suara orang menangis.
"ltu seperti suara Luhcinta! Ada apa dia menangis..." Wiro sibakkan serumpunan semak belukar lalu bergerak cepat ke arah datangnya suara orang menangis. Suara tangisan itu terdengar semakin jelas tanda semakin dekat.
Namun sampai sekian lama Wiro masih belum juga menemukan Luhcinta. Sementara itu tanpa disadarinya Wiro telah masuk makin jauh ke dalam rimba belantara Lasesatbuntu. Di satu tempat Wiro akhirnya hentikan langkah. Udara bertambah kelam. Wiro mulai menyadari keanehan yang dihadapinya.
"Suara tangis gadis itu dekat sekali. Aku seperti bisa merabanya jika tanganku kuulurkan. Tapi sosoknya tetap tidak kelihatan..."
"Luhcinta! Kau berada di mana?!" Wiro berteriak.
"Wiro... Aku di sini... Di balik pohon," ada suara perempuan menjawab.
Di samping kiri Wiro memang ada sebuah pohon besar yang akar gantungnya menjulai sarat menimbulkan satu pemandangan angker. Pendekar 212 segera mendekati pohon ini, sibakkan akar-akar gantung di sekitarnya. Begitu dia sampai di balik pohon besar, memang benar di situ dilihatnya Luhcinta duduk di atas akar besar yang menonjol di tanah. Gadis ini duduk dengan bahu tersentak-sentak menahan sesenggukan. Wajahnya ditutup dengan kedua tangan.
"Luhcinta..." Wiro pegang bahu si gadis. "Ada apa sampai kau menangis. Kalau memang mau bicara mengapajauh-jauh masuk ke dalam hutan. Di sini keadaannya gelap. Hawanya tidak enak. Mari kita kembali ke lembah batu sana. Kalau memang ada sesuatu, kau bisa mengatakannya panjang lebar di sana. Selain itu ada dua orang sahabat yang perlu kita tolong."
"Wiro, biar kita berdua-dua dulu di sini barang sesaat. Memang ada ganjalan hati yang hendak aku keluarkan agar kau tahu," kata Luhcinta pula.
"Kalau begitu maumu baiklah," jawab Wiro. Sang pemuda menduga jangan-jangan gadis ini hendak membicarakan peristiwa belum lama berselang. Menyangkut hubungannya dengan Luhjelita, Peri Angsa Putih serta Peri Bunda. Sambil membelai rambut Luhcinta dia berkata,
"Usap air matamu, turunkan dua tanganmu biar aku bisa melihat wajahmu yang cantik. Setelah itu katakanlah apa yang hendak kau sampaikan..."
Luhcinta hentikan suara isaknya. Perlahan-lahan dia turunkan kedua tangannya. Saat itu seolah datang dari atas pohon mendadak terdengar suara tawa bergelak. Demikian hebatnya tawa itu hingga Wiro merasa tanah di sekitar pohon bergetar seperti ada lindu. Dalam kejutnya murid Sinto Gendeng serta merta mendongak memandang ke atas pohon. Tapi dia tidak melihat siapa-siapa di situ.
"Aneh!" pikir Wiro. "Luhcinta, kau mendengar suara orang tertawa tadi?" bertanya Wiro seraya palingkan kepala, memandang kepada Luhcinta kembali.
Seperti melihat setan kepala tujuh begitulah kagetnya sang pendekar ketika melihat baik sosok maupun wajah yang duduk dihadapannya saat itu bukan lagi Luhcinta. Tapi satu sosok seorang nenek berjubah hitam. Wajahnya luar biasa angker karena hidung dan mulutnya menjadi satu membentuk paruh burung. Sepasang matanya yang kecil menyembul tanpa allis berputar-putar memandangi Wiro. Sesaat kemudian nenek ini keluarkan suara tawa bergelak yang sama dengan suara bergelak sebelumnya.
"Siapa kau?!" bentak Wiro. "Luhcinta! Kau tengah bergurau mempermainkanku atau bagaimana?"
"Hik hik hik! Siapa bernama Luhcinta! Siapa bergurau mempermainkanmu! Hik hik hik!" Suara si nenek tinggi kecil, mendenging dan menyentak.
Wiro yang mulai mencium adanya bahaya di balik keanehan ini segera kerahkan tenaga dalamnya untuk sewaktu-waktu bisa menghantam.
"jika kau bukan Luhcinta berarti kau setan rimba belantara! Makhluk jejadian! Jangan berani mempermainkan, apalagi bermaksud jahat mencelakaiku!"
Si nenek kembali tertawa panjang. Sambil tertawa dia bangkit berdiri. Wiro mundur beberapa langkah. Astaga, si nenek kurus hitam dan agak bungkuk ini ternyata satu kepala lebih tinggi dari dia.
"Pendekar 212 Wiro Sableng, saat ini kau memang sudah celaka!"
"Nenek sialan! Apa maksudmu?! Siapa kau sebenarnya? Mana Luhcinta?!"
"Luhcinta tak pernah ada di tempat ini! Hik hik hik! Yang ada hanyalah aku. Hantu Santet Laknat!"
"Hantu Santet Laknat!" Wiro berseru tegang. Kejapan itu juga dia ingat semua penuturan Lakasipo. Juga kejadian yang menimpa Lawungu.
"Kau menipuku! Kau memperdayaiku masuk ke dalam rimba belantara ini!"
"Kau memang sudah tertipu. Sudah terjebak dalam rimba Lasesatbuntu! Seumur hidup kau tak bakal bisa keluar lagi dari tempat ini! Dewa sekalipun tak bakal bisa menolongmu! Hik hik hik! Nasibmu memang malang anak muda!"
Hantu Santet Laknat tertawa panjang lalu melangkah mundur. Sebaliknya Wiro cepat bergerak. Sekali lompat saja dia sudah mencekal rambut putih di kepala si nenek dengan tangan kiri sementara tangan kanan mencengkeram di leher.
"Tua bangka keparat! Aku memang sudah lama mendengar kejahatanmu! Antara kita tidak ada permusuhan! Mengapa kau hendak mencelakai aku? Siapa menyuruhmu?!"
Si nenek hanya menjawab dengan tawa cekikikan. Wiro gerakan dua tangannya. Sosok si nenek dibantingkannya ke tanah hingga mengeluarkan suara bergedebukan. Tapi hebatnya si nenek cepat bangkit dan kembali tertawa panjang melengking-lengking. Dengan dua tangannya Wiro tangkap leher si nenek. Namun dia tak mampu meneruskan gerakannya untuk mencekik atau mematahkan leher kurus itu. Seperti ada satu kekuatan aneh membendung apa yang hendak dibuatnya. Tiba-tiba si nenek gerakkan kedua tangannya.
"Bukk! Bukkk! Bukkk!" Jotosan keras melanda dada Pendekar 21 2.
Berteriak kesakitan Wiro terpaksa lepaskan cengkeramannya di leher si nenek. Terhuyung-huyung dia cepat imbangi diri lalu tidak menunggu lebih lama Wiro menghantam tubuh si nenek dengan pukulan sakti Segulung Ombak Menerpa Karang. Serangkum angin sedahsyat prahara melabrak tubuh si nenek. Jangankan tubuh manusia, sesuai dengan hebatnya nama pukulan sakti itu, batu karangpun bisa dihancur leburkannya.
Sosok Hantu Santet Laknat mencelat ke udara. Pukulan Wiro yang terus melabrak pohon besar di belakang si nenek membuat pohon itu bergoncang keras. Batangnya berderak, di sebelah bawah akar-akarnya bergeletar lalu "braakk!" Pohon besar miring bergemuruh dan tumbang setelah batangnya terlebih dulu hancur berkeping-keping.
Wiro melompat, mencari sosok Hantu Santet Laknat yang dipastikannya sudah ikut hancur dan berkaparan di sekitar tumbangan pohon. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Pendekar 212 memaki panjang pendek. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa, panjang melengking-lengking dibelakangnya. Wiro berbalik. Hendak menghantam dengan pukulan Sinar Matahari. Tapi dia sama sekali tidak melihat sosok si nenek. Dalam keadaan seperti itu Wiro merasa ada cairan meleleh di bibirnya. Ketika dia mengusap dan memperhatikan ternyata darah.
"Aku terluka di dalam..." kata Wiro dalam hati dan kini baru ingat kalau tadi dadanya telah dihantam bertubi-tubi oleh Hantu Santet Laknat "Nenek jahanam itu. Kalau mau dia bisa membunuhku dengan pukulannya. Tapi dia tidak melakukan! Pasti dia menyembunyikan maksud lebih jahat dan lebih keji terhadapku!"
Murid Sinto Gendeng usap dadanya yang mendenyut sakit. Perlahan-lahan dia duduk di tanah. Mengatur jalan darah, pernafasan dan kerahkan tenaga dalam ke dadanya yang sakit
********************
Dalam gelapnya malam, di atas pohon di pinggir kawasan rimba Lasesatbuntu, Hantu Santet Laknat mendekam tak bergerak. Sepasang matanya yang tanpa alis terpejam. Paruh burungnya bergerak-gerak. Saat itu pikirannya sedang kacau. Hatinya terus menerus membatin.
"Betul apa yang diucapkan Junjungan. Ternyata pemuda itu memiliki wajah cakap serta perawakan gagah sempurna. Wahai… Bersyukur aku masih bisa menahan diri hingga pukulanku tadi tidak sampai merenggut nyawanya. Wahai, apakah hatiku telah tergoda? Junjungan, apakah aku benar harus mengikuti ucapanmu? Mengawini pemuda itu, menjadikannya sebagai suamiku? tapi bagaimana mungkin? Keadaan rupaku yang seperti ini tidak memberi jalan baginya untuk menyukai diriku. Apalagi dia sudah mengetahui kejahatan yang aku lakukan terhadapnya. Aku memang memiliki ilmu kesaktian bernama llmu Bersalin Wajah. Dengan ilmu ituaku bisa merubah diri setiap saat aku suka. Merubah wajah dengan wajah siapa saja yang aku suka. Tetapi hal itu tak bisa abadi. Apa yang harus aku lakukan?"
Hantu Santet Laknat duduk tak bergerak, mendekam sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Wajah Pendekar 212 Wiro Sableng selalu terbayang sekalipun dia memejamkan kedua matanya.
"Pemuda itu... lakasipo dan Hantu Muka Dua tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dirinya. Mungkin aku harus mengurangi, menarik sebagian manteraku agar dia tidak celaka di dalam hutan. Setelah itu apa yang harus kuperbuat? Menemuinya? Bercinta dengannya? Aku harus tahu siapa gadis idamannya. Untuk bersalin wajah menjadi Luhcinta rasanya teralu berbahaya. Aku harus mencari wajah seorang lain yang disukainya. Mungkin Luhjelita…?"
TUJUH
Dalam gelapnya malam Wiro berusaha mencari jalan keluar dari rimba belantara gelap itu. Bukan saja dia tidak berhasil keluar tanpa disadarinya dia malah tersesat semakin dalam ke dalam hutan. Di satu tempat Wiro menemukan sebuah telaga kecil. Dia berhenti di sini dan memutuskan untuk tetap berada di tempat itu sampai matahari terbit Malam terasa lama.
Udara mencucuk dingin. Kesunyian menimbulkan rasa tidak enak bagi Wiro selain saat itu dadanya masih mendenyut sakit. Sesekali terdengar suara aneh dikejauhan. Entah suara binatang buas entah suara makhluk halus penghuni rimba belantara. Sepanjang malam Wiro tak bisa tidur karena selalu diganggu oleh puluhan bahkan mungkin ratusan nyamuk hutan yang seperti berlomba-lomba ingin menghisap darahnya.
Menjelang pagi, serasa matanya, mau terpejam karena tak sanggup menahan kantuk tiba-tiba Wiro melihat sesuatu bergerak di seberang telaga kecil.
"Manusia, seperti perempuan. Dalam gelap tubuhnya kelihatan putih. Astaga... Perempuan itu nyaris tidak berpakaian di sebelah atas..."
Wiro bangkit berdiri. Melihat Wiro bergerak orang di seberang telaga serta merta menyelinap ke balik semak belukar.
"Tunggu! jangan lari! Aku bukan orang jahat!" Berseru Wiro. Cepat dia memutari telaga. Namun ketika sampai di balik semak belukar sosok itu tak ada di sana.
"Jangan-jangan yang kulihat tadi hantu penghuni rimba belantara ini…” pikir Wiro dengan tengkuk merinding.
Dia kembali ke tempatnya semula. Menunggu kalau-kalau sosok tadi terlihat kembali. Tapi orang itu ternyata tidak muncul lagi. Wiro memandang ke arah timur. Langit masih tampak gelap pertanda sang surya masih lama baru akan terbit.
Tiba-tiba terdengar suara seperti ada satu benda meluncur di dalam air. Wiro palingkan kepalanya menatap tajam-tajam ke dalam telaga. Kejut pemuda ini bukan alang kepalang ketika tiba-tiba pandangannya membentur satu sosok panjang, hitam berkilat melesat keluar dari dalam telaga, langsung menyambar ke arahnya!
"Ular besar!" seru Wiro. Dia jatuhkan diri ke tanah lalu berguling menjauhi tepi telaga. Namun dari arah kanan tiba-tiba ada yang menyambar.
”Wuuuuttt! Bukkkk!"
Wiro mengeluh tinggi. Tulang pinggulnya serasa hancur. Binatang panjang yang keluar dari dalam telaga ternyata telah menghantamnya dengan ujung ekornya. Lalu binatang ini yang memang menyerupai ular tapi memiliki dua kepala keluarkan desisan keras, kembali melesat ke arah Wiro. Kali ini Wiro tak tinggal diam. Sambil tekuk lututnya sedikit dan menahan sakit pada pinggulnya Wiro hantamkan satu jotosan ke pangkal leher ular kepala dua.
"Bukkkk!"
Pukulan yang dilancarkan dengan jurus bernama Kepala Naga menyusup Awan itu dengan telak mendarat di leher ular kepala dua Jangankan benda hidup, batu sekalipun pasti akan hancur berantakan dihantam pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi itu. Namun justru saat itu Wiro sendiri yang jatuh terkapar dan mengeluh kesakitan. Tangan kanannya dikibas-kibaskan. Sakit bukan main seolah jari-jarinya ada yang remuk!
"Ular kepala dua ini pasti binatang jejadian!" pikir Wiro. "Ular biasa pasti sudah mampus kena hantamanku tadi!"
Saat itu Wiro tak bisa berpikir lebih lama. Dalam gelap ular kepala dua yang tadi hanya sempoyongan dilanda pukulan Wiro sambil keluarkan suara mendesis kembali menyerang. Tubuhnya yang hitam berkilat berubah lurus. Laksana tombak besi yang dilemparkan dengan sebat, binatang ini melesat ke arah selangkangan Wiro.
"Kurang ajar! Mengapa barangku yang diincarnya!" maki Pendekar 212. Dengan cepat dia melompat. Lalu dari atas kirimkan tendangan ke kepala ular. Hebat sekali binatang ini bukan saja mampu mengelak dengan cara rundukkan kepala, tapi tiba-tiba sekali bagian belakang tubuhnya berkelebat demikian rupa.
"Wuuuutttt!"
Sebelum dia sadar apa yang terjadi tahu-tahu Wiro dapatkan dirinya sudah dilibat ular hitam besar itu mulai dari pinggang sampai ke dada. Kepalanya dan kepala ular saling berhadap-hadapan. Binatang berkepala dua ini buka mulutnya lebar-lebar. Dalam gelap Wiro dapat melihat bagian dalam dua mulut ular, Lidahnya merah bercabang. Gigi-giginya panjang runcing, memancarkan sinar aneh.
"Wuuuuttt!"
Dua kepala ular menyambar ubun-ubun pendekar 212. Wiro hantamkan dua tangannya ke atas. Satu memukul, satu lagi berusaha mencekal leher binatang itu. Celakanya, dua gerakan tangan Wiro itu tidak satupun menemui sasaran!
"Tamat riwayatku!"
Wiro masih berusaha menggerakkan kepalanya ke samping untuk menghindarkan patukan ular. Namun sia-sia saja! Sesaat lagi ubun-ubun di batok kepala Pendekar 212 akan jebol dihantam patukan dua kepala ular, tiba-tiba dari kegelapan melesat selarik sinar hitam. Laksana pedang sinar itu membabat pangkal leher ular kepala dua.
”Crassss”
Leher itu putus. Darah muncrat menyembur kepala dan pakaian Wiro. Tidak tunggu lebih lama Wiro segera betot tubuh ular yang melingkar menggulung dirinya lalu dibantingkannya ke sebuah batu ditepi telaga. Lalu dia memandang berkeliling. Dia tak melihat siapa-siapa.
"Orang pandai yang barusan menolongku!" Wiro berseru. "Harap sudi perlihatkan diri untuk menerima ucapan terima kasihku!"
Tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Wiro seka kepala dan mukanya yang berselomotan darahular. Dia hendak membungkuk ke telaga, bermaksud mencuci mukanya. Tapi khawatir kalau kalau ada lagi ular seperti tadi, pendekar ini segera urungkan niatnya.
"Lebih baik aku menjauh dari telaga keparat ini!" Wiro lantas mencari tempat yang dirasakannya lebih aman. Di atas sebatang pohon yang tidaK terlalu tinggi dan berdaun jarang akhirnya dia duduk di salah satu cabang. Kantuknya sudah lenyap sejak tadi-tadi.
"Hantu Santet Laknat! Ini semua gara-gara nenek keparat itu! Aku tidak ada permusuhan dengan dia. Mengapa dia mencelakai diriku seperti ini. Jangan-jangan…!" Wiro garukk kepalanya. "Mungkin karena aku sahabat atau saudara angkat Lakasipo. Mungkin dia tahu aku pernah menolong lelaki itu. Jadi menganggap aku sebagai musuhnya. Gila betul!"
Sementara itu di tempat lain dalam gelap dan dinginnya malam menjelang pagi Hantu Santet Laknat mendekam tak bergerak dibalik sebuah batu berlumut. Saat itu dia dibayangi rasa takut
"Kalau Junjungan mengetahui aku tadi telah menyelamatkan pemuda itu, bukan saja aku akan kena damprat. Hukuman berat pasti akan dijatuhkannya atas diriku!" pikir si nenek. Namun hati kecilnya menyahuti. "Perlu apa takut pada Junjungan. Bukankah dia sendiri menyuruhku agar mengawini pemuda itu? Menjadikannya sebagai suamiku?! Kalau siang tiba kau harus melakukan sesuatu! Kau harus dapatkan pemuda itu! Lupakan Hantu Muka Dua! Kau hanya tergila seorang diri padanya! Bertepuk sebelah tangan! Kau harus mendapatkan pemuda bernama Wiro itu! Harus!"
********************
"Rimba belantara aneh…" kata Wiro yang saat itu masih mendekam di atas pohon berdaun jarang. "Suara kicau burungpun terdengar menyeramkan!"
Dia memandang ke arah timur. Langit di ufuk sana mulai kelihatan terang pertanda sang surya sebentar lagi akan muncul memperlihatkan diri menerangi jagat. Dari atas pohon Wiro memandang ke arah telaga kecil. Di tepi telaga tampak bangkai besar ular hitam masih tergeletak. Kicau burung semakin riuh. Di kejauhan ayam hutan mulai berkotek bersahut-sahutan. Langit di sebelah timur semakin terang.
Wiro melompat turun dari atas pohon melangkah menuju telaga. Bangkai ular ditendangnya dengan kaki kiri hingga terpental jauh. Dia memperhatikan keadaan didalam dan sekitar telaga. Setelah memastikan tempat itu benar-benar aman baru dia masuk ke dalam telaga untuk membersihkan diri. Ketika dia keluar dari telaga Wiro dapatkan matahari telah muncul disebelah timur.
"Aku harus keluar dari hutan celaka ini!" kata Wiro dalam hati.
Karena tidak tahu arah mana yang harus ditempuhnya, Wiro lalu memilih berjalan ke jurusan timur. Menyongsong sang surya yang baru terbit Dia berjalan cepat di antara pepohonan dan semak belukar lebat. Di satu tempat terbuka berupa pedataran yang ditumbuhi rumput liar Wiro hentikan langkahnya. Cahaya matahari yang sedang bergerak naik saat itu baru mencapai ujung pedataran.
Wiro kemudian sengaja melangkah ke ujung pedataran ini agar dirinya bisa tersiram sinar matahari. Sebagian pakaian dan rambut di kepalanya saat itu masih basah kuyup sehabis dicuci di telaga. Hatinya merasa lega sedikit karena saat itu sakit di dadanya telah jauh berkurang. Hanya pikirannya masih dibungkus oleh teka-teki siapa kira-kira orang yang telah menolongnya dari serangan maut ular kepala dua tadi malam.
"Mungkinkah Peri Angsa Putih, atau Peri Bunda...?"
Ketika Wiro mencapai ujung pedataran, sewaktu sinar matahari menyentuh dirinya terjadilah hal yang tidak terduga dan benar-benar mengejutkan. Pakaian putih yang dikenakannya mendadak sontak mengepulkan asap laksana terbakar. Di lain kejap seluruh pakaian itu lenyap tidak berbekas!
Kini dia berdiri dalam keadaan bugil polos. Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya jatuh ke tanah. Wiro jadi kalang kabut. Cepat-cepat dia mengambil dua benda sakti itu lalu cepat-cepat pula dia menutup auratnya sebelah bawah dengan tangan kiri.
"Gila! Apa yang terjadi? Mana mungkin sinar matahari bisa membuat sirna pakaianku!" Dia memandang berkeliling. "Untung tak ada orang lain! Benar-Benar gila! Bagaimana mungkin aku berkeliaran dalam hutan ini, mencari jalan keluar, bertelanjang bulat seperti ini?! Kalau sampai bertemu orang lain, orang perempuan matilah aku! Kemana aku sembunyikan perabotan di bawah perutku!"
Wiro hendak menggaruk kepalanya dengan tangan kiri. Tapi tak jadi. Karena kalau tangan kirinya diangkat ke atas berarti aurat di bawah perut yang ditutupinya akan terbuka melompong!
"Gila! Aku harus bagaimana?!" Wiro memaki panjang pendek "Jangan-jangan ini lagi-lagi pekerjaannya Hantu Santet Laknat! Nenek celaka jahanam!"
********************
DELAPAN
Setiap kali Naga Kuning menepuk lepas tangan si Setan Ngompol yang selalu memegang celananya, kembali si kakek menjambret pakaian bocah itu.
"Kakek geblek! Bagaimana aku bisa berlari cepat kalau kau selalu memegangi pantat celanaku!" Naga Kuning mengomel.
"Jangan salahkan diriku!" jawab Setan Ngompol. "Aku menaruh firasat hutan ini celaka! Kita bakal menghadapi bahaya tak terduga! Sudah satu malaman kita di dalam hutan! Kita seperti berputar-putar tak karuan. Wiro tak kunjung ditemukan!" Jawab Setan Ngompol sambil tangan kirinya ditekapkan ke bawah perut. "Naga Kuning, baiknya kita kembali saja ke lembah batu…"
"Tidak bisa! Kita harus mencari Wiro sampai dapat. Aku juga punya firasat kalau si sableng itu sedang dihadang marabahaya!"
"Malam gelap, dingin. Di dalam rimba seram begini rupa! Aku..." Serrrr. Si kakek tak sanggup lagi menahan kencingnya. Dia beser sambil terus lari mengikuti Naga Kuning.
"Sebentar lagi bakal siang. Apa tidak kau lihat langit di sebelah timur sudah mulai terang?!" Bocah ini pukul lengan orang tua itu hingga lepas. Tapi kembali si kakek ulurkan tangan pegangi pantat celana Naga Kuning.
"Kek! Lebih baik kau berteriak-teriak memanggil Wiro. Mungkin bisa menolong menemukannya lebih cepat!"
"Di dalam rimba belantara angker begini rupa aku tak berani berteriak. Salah-salah leherku bisa dicekik dedemit penghuni hutan!"
Saking kesalnya Naga Kuning menjawab. "Kalau di sini memang ada dedemit bukan lehermu sebelah atas yang dicekiknya. Tapi lehermu sebelah bawah yang peot bau pesing itu!"
"Anak sambal! Jangan Kau menakut-nakuti diriku!" kata si kakek pula dan perkencang pegangannya pada pakaian si bocah. Tak lama kemudian mentari mulai kelihatan muncul di ufuk timur. Keadaan yang tadinya gelapkini menjadi terang, membuat lega hati si Setan Ngompol.
"Ada pedataran berumput di sebelah sana!" Naga Kuning berseru sambil menunjuk ke arah barat. "Kita menuju ke sana! Aku perlu istirahat! Dadaku sudah sesak. Nafasku tinggal satu-satu!"
Kedua orang itu berjalan cepat di sela-sela kerapatan pepohonan dan menyeruak di antara semak belukar. Hanya tinggal beberapa tombak lagi mereka akan sampai diujung pedataran rumput liar tiba-tiba ada satu hawa aneh datang dari depan, mendorong mereka hingga Naga Kuning yang berada di sebelah depan terhuyung keras ke belakang, mendorong si kakek, membuatnya hampir jatuh!
Menyangka si bocah sengaja hendak bercanda lagi, si Setan Ngompol mengomel marah. "Anak geblek! Masih berani kau main-main! Jangan kau kira perbuatanmu barusan lucu! Kalau aku sampai jatuh dan pantatku cidera, kupencet barang bututmu!"
"Siapa main-main? Apa maksudmu?!" Naga Kuning mendamprat tak kalah marahnya
"Mengapa kau barusan pura-pura terhuyung-huyung? kalau bukan sengaja mau mendorongku sampai jatuh!"
"Siapa pura-pura! Perlu apa mendorong tubuh rongsokan macam kau! Kau tahu, ada angin aneh menyambar dari depan!"
"Dusta besar! Aku tidak merasa apa-apa!"
"Kalau tidak percaya majulah. Jalan ke arah sana..."
Setan Ngompol menyeringai. Masih menganggap si bocah bergurau. Dia melangkah ke depan. Baru berjalan tiga langkah tiba-tiba ada angin menyambar keras, membuatnya terpental dan jatuh duduk di tanah, langsung terkencing-kencing. Mukanya pucat
"Ada yang tidak beres. Tempat ini pasti tempat angker. Lekas pergi dari sini …" kata Setan Ngompol seraya bangkit berdiri.
Naga Kuning memandang berkeliling. Meski hatinya mulai was-was namun dia ingin mencoba sekali lagi. Kali ini dia tidak berjalan cepat tapi melangkah perlahan-lahan. Pada langkah ke empat tubuhnya seperti membentur sebuah tembok yang tidak kelihatan. Dia tidak bisa meneruskan langkah. Dua tangannya diacungkan ke depan. Dia menyentuh sesuatu yang kerastapi tidak berujud. Dia coba mendorong. Daya dorongnya membalik ke arah dirinya sendiri. Makin keras dia mendorong makin keras daya balik mendera tubuhnya.
"Ada apa...?" bertanya Setan Ngompol ketika dilihatnya wajah Naga Kuning bukan saja keringatan tapi juga memutih pucat.
"Ada kekuatan aneh. Seperti ada tembok kaca yang tak terlihat menghalang di depan sini...”
"Coba kau hantam dengan pukulan sakti! Masakan tidak jebol! Mana ada tembok yang tidak kelihatan! Kau punya bisa-bisa sendiri Naga Kuning!" kata Setan Ngomnpol sambil menahan kencing karena kakek ini memang sudah ketakutan.
"Kau saja yang memukul!" sahut Naga Kuning. Karena kesal terus-terusan tidak dipercaya anak ini lantas dorong punggung si kakek hingga Setan Ngompol hampir tersungkur dan pancarkan air kencing.
"Bocah sialan!" maki Setan Ngompol. Tapi diam-diam dia kerahkan juga tenaga dalam ke tangan kanan lalu memukul ke depan.
"Bukkk!"
Jotosan Setan Ngompol menghantam sesuatu yang tidak kelihatan. Si kakek terpekik kesakitan. Tangan yang tadi memukul dikibas-kibas sementara tangan kiri buru-buru menekap bagian bawah perut tapi air kencingnya sudah keduluan mancur.
"Kalau sudah tahu rasa baru percaya!" kata Naga Kuning sambil mencibir. Lalu dia memandang ke jurusan depan. Tiba-Tiba anak ini berteriak. "Kek! Lihat!"
"Ada apa lagi?!" sembur Setan Ngompol yang masih kesakitan.
"Lihat si sableng itu! Dia ada di sana! Mengapa dia telanjang begitu rupa? Sudah benar-benar sableng dia rupanya!"
Mendengar ucapan Naga Kuning si kakek Setan Ngompol segera palingkan kepala, memandang ke jurusan yang ditunjuk. "Astaga!" Kagetlah si Kakek. "Apa yang terjadi dengan anak itu! Jangan-Jangan dia sudah dipukau setan hingga jadi gila! Bertelanjang bulat begitu rupa! Lihat, perabotannya gundal-gandil kemana-mana! Gila betul! Wiro! Hai! Wiro!" Setan Ngompol berteriak.
Suara teriakannya keras dan menggema di seantero rimba belantara karena dia berteriak disertai pengerahan tenaga dalam. Naga Kuning juga ikut berteriak memanggil-manggil Wiro. Malah anak ini berlari kedepan, tapi terhempas kembali seolah ada dinding yang tak kelihatan telah ditabraknya.
"Wiro!" teriak Naga Kuning sambil lambai-lambaikan tangan.
"Wiro! Anak sableng!" Setan Ngompol kembali berteriak.
Di ujung sana, dekat pedataran rumput liar, Pendekar 212 kelihatan berjalan kian kemari seperti orang bingung. Dia memandang ke langit, berpaling ke kiri atau ke kanan, memandang berkeliling. Sekali-sekali tangannya menggaruk-garuk kepala. Agaknya dia sama sekali tidak mendengar teriakan Naga Kuning dan Setan Ngompol!
Dan memang aneh luar biasa bagi Setan Ngompol dan Naga Kuning karena saat itu Wiro sama sekali tidak mengenakan pakaian. Dia berjalan polos kian kemari sambil memegang kapak sakti dan batu hitam.
"Aneh! Masakan dia tidak mendengar teriakan kita!" ujar Setan Ngompol.
Naga Kuning juga terheran heran. "Sepertinya ada sesuatu yang membatasi antara kita dengan dia. Dinding tak kelihatan itu... Kita bukan saja tak bisa melintasi tempat ini, malah suara kita juga tidak bisa tembus ke sebelah sana!" kata Naga Kuning. Otaknya bekerja. Dia melihat sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini diambilnya lalu dilemparkannya ke arah Wiro di ujung lapangan.
Tapi "blukkk!" Batu sebesar kepalan itu mental kembali. Kalau tidak lekas merunduk batu itu akan medarat di kening Setan Ngompol. Terkencing-kencing si kakek memaki panjang pendek.
"Bocah edan! Kau mau membuat somplak kepalaku!"
"Wiro! Hai! Kau budek atau tuli? Torek hah?!" Naga Kuning kembali berteriak Tapi sia-sia saja. Wiro tetap tidak mendengar padahal jarak mereka hanya terpisah kurang dari tujuh tombak.
"Jangan-jangan anak itu sudah dicium setan congek hingga telinganya jadi tuli!" kata Naga Kuning
"Aku khawatir dia bukan cuma tuli, tapi matanya juga ikut-ikutan tidak beres. Masakan kita berada sedekat ini dia tidak bisa melihat!" ujar Setan Ngompol pula.
"Kita cari jalan berputar. Mungkin bisa tembus! Jalan ke ujung sana baru membelok ke arah pedataran rumput!" kata Naga Kuning.
Setan Ngompol setuju. Dua orang itu lari ke ujung timur. Setelah cukup jauh mereka membelok ke kiri. Tapi "buukk.. bukkk!" Kembali sosok mereka menghantam dinding yang tidak kelihatan. Selagi terhuyung-huyung tiba-tiba Naga Kuning berseru.
"Dia lenyap! Wiro lenyap!"
Saat itu Pendekar 212 yang tadi berada di dekat lapangan sebelah sana kini memang lenyap tak kelihatan lagi.
"Kemana kita harus mencari? Apa yang terjadi dengan anak itu?!" Setan Ngompol tampak bingung sekali dan tak putus-putusnya menekapkan tangan ke bawah perut.
"Aku tidak percaya pada segala macam setan, jin atau dedemit!" berkata Naga Kuning.
"Jangan-jangan ada orang jahat berkepandaian tinggi menguasai kawasan rimba belantara ini sengaja hendak mencelakai Wiro!" berbisik Naga Kuning.
"Kalau cuma masih namanya manusia, bagaimana pun tinggi kepandaiannya pasti bisa kita tembus. Kau boleh saja tidak percaya. Tapi kurasa kita tengah berhadapan dengan sebarisan jin atau dedemit penguasa hutan! Kita harus mencari seseorang untuk minta bantuan. Aku punya firasat kalau tidak ditolong si Wiro itu tak bakal bisa keluar dari hutan ini sampai kiamat dan kita tak bisa tembus masuk ke dalam!"
"Kalau mau minta tolong pada siapa?" tanya Naga Kuning.
"Nanti kita selidiki. Yang penting kita harus tinggalkan tempat ini sebelum kita berdua juga ditelanjangi!"
Walau dia sendiri yang berkata begitu tapi rasa takut tak bisa dibendungnya. Begitu Naga Kuning lari meninggalkan tempat itu si kakek segera mengikuti sambil terkencing-kencing.
********************
SEMBILAN
Wiro duduk dengan paha dirapatkan. Kapak Naga geni 212 dan batu hitam diletakkannya di atas pangkuan. Memandang ke langit dilihatnya matahari mulai menggelincir ke barat Sampai saat itu dia masih bingung karena tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan dirinya. Apa lagi setelah hampir setengah harian dia mengelilingi rimba belantara itu namun tidak kunjung bisa keluar.
Tanpa setahunya sepasang mata mengintip dari balik serumpunan semak belukar lebat. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah benda hijau melayang di udara lalu jatuh di tanah, beberapa langkah di hadapannya. Pendekar 212 tidak segera memperhatikan benda apa yang jatuh di tanah itu. Sebaliknya perhatiannya lebih tertuju pada arah datangnya benda tersebut.
Saat itu dia melihat ujung semak belukar di sebelah sana tampak bergerak-gerak. Tanpa sadar akan keadaan dirinya dan mengira ada orang bermaksud jahat padanya dia cepat melompat ke arah semak belukar sambil putar Kapak Maut Naga Geni 212 di atas kepala. Sinar putih berkilauan bergulung di udara, suara seperti tawon mengamuk menderu.
Begitu Wiro menjejakkan kaki di tanah di balik semak belukar, satu pekikan perempuan melengking keras di tempat itu. Memandang ke depan Wiro dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang gadis cantik berkulit hitam manis. Karena hanya mengenakan pakaian terbuat dari daun-daun hijau yang disambung-sambung, maka lekuk-lekuk tubuhnya yang bagus dan kencang terlihat cukup jelas.
Ketika melihat Wiro yang tanpa pakaian tegak di hadapannya, kembali si gadis terpekik keras dan balikkan badannya lalu lari ke balik semak belukar lain di sebelah kiri. Murid Eyang Sinto Gendeng baru sadar akan keadaan dirinya dan jadi kalang kabut berusaha menutupi aurat. Dalam bingungnya dia hampir hendak lari, berlindung ke balik semak belukar yang sama di mana gadis tadi bersembunyi.
"Gila! Apa yang terjadi dengan diriku! Aku takut dan malu bertemu orang. Malah kini bertemu seorang gadis. Siapa dia?! Manusia sungguhan atau makhluk halus jejadian? Jangan-jangan dia Hantu Santet Laknat yang kembali merubah diri hendak mencelakaiku! Mungkin juga dia sosok orang yang kulihat malam tadi...?"
Wiro lalu berlindung ke belakang semak belukar dimana sebelumnya gadis berbaju daun hijau tadi pertama kali sembunyi. Dari sini dia bisa melihat benda hijau yang masih tergeletak di tanah. Ketika diperhatikannya sekali lagi baru dia menyadari. Benda hijau itu adalah rangkaian daun-daun hijau yang dibentuk demikian rupa hingga merupakan sehelai celana pendek walau agak mekar di sebelah bawah, menyerupai pakaian perempuan.
"Jangan-Jangan gadis itu hendak berbuat baik. Sengaja melemparkan pakaian dari daun itu untukku! Ah!" Wiro garuk garuk kepala. Dia memandang ke arah semak belukar di seberang sana.
Sigadis agaknya masih sembunyi ditempat itu. Wiro perhatikan kembali pakaian dari daun lalu berjingkat-jingkat sambil dua tangan yang memegang kapak dan batu hitam ditutupkan ke auratnya sebelah bawah, dia melangkah mendekati pakaian itu. Ketika dia membungkuk hendak mengambil pakaian dari daun itu tiba-tiba dari balik sermak belukar terdengar si gadis berseru.
"Tunggu!"
"Sial!" Wiro memaki karena terkejut dan hentikan langkahnya. Dia cepat tutup auratnya sebelah bawah lalu berpaling ke arah semak belukar.
"Ada apa ini sebenarnya? Kau siapa?! Apa celana dari daun itu bukan untukku?!"
Dari balik semak belukar terdengar jawaban. "Celana itu memang untukmu! Tetapi kau tidak boleh menyentuh dengan tanganmu! Ambil celana dengan jalan menjepit dengan jari-jari kaki kananmu! Lalu lemparkan ke udara. Sebelum jatuh sambut dengan kepalamu! Jika celana itu memang ditakdirkan menjadi pakaianmu, celana itu akan langsung melekat di tubuhmu!"
Wiro tentu saja terheran-heran mendengar penjelasan itu. Sambil garuk-garuk kepala dia membatin. "Aneh-aneh saja! Ambil celana musti dengan kaki segala!" Lalu Wiro berkata ditujukan pada gadis di belakang semak belukar. "Aku tidak tahu apa kau tengah menolangku, sedang mempermainkan diriku atau menyembunyikan kejahatan dibalik semua ke keanehan ini! Orang gila saja pasti tahu mana ada orang mengenakan celana dengan cara menjepit dan melemparkannya ke udara! Gila dan aneh! Aneh dan gila! Mengapa musti begitu?!"
Dari balik semak belukar di seberang sana kembali terdengar suara orang menjawab. "Kau berada di dalam rimba Lasesatbuntu…"
"Hutan Lasesatbuntu!" ujar Wiro. Dia ingat, Lakasipo pernah menuturkan keangkeran hutan ini. Lalu dia ajukan pertanyaaan. "Apa kau penguasa rimba belantara ini?"
"Bukan! Kita senasib…"
"Apa maksudmu senasib?!" tanya Wiro lagi.
"Jangan banyak bertanya dulu. Dengar, sebagian dari kawasan hutan Lasesatbuntu ini berada di bawah pengaruh ilmu hitam. Tak tembus pandang, tak tembus suara. Para Peri dan para Dewa pun tidak sanggup menembus, melihat dan mendengar apa yang terjadi di sini! Jika celana itu memang layak bagimu maka begitu menyentuh kepalamu dia akan bergerak turun menutupi tubuhmu dari pinggang ke bawah."
Wiro terdiam sesaat. Pakaian dari daun itu terletak di tanah di tempat terbuka. Jika dia melakukan apa yang dikatakan si gadis, dari tempatnya bersembunyi gadis itu akan dapat melihatnya jelas sekali.
"Aku akan lakukan apa yang kau katakan! Tapi harap kau jangan memperhatikan!"
"Siapa sudi memperhatikan! Dari tadipun aku sudah membalikkan diri!" jawab si gadis dari balik rerumpunan semak belukar.
Wiro ulurkan kaki kanannya. "Sialan! Mengapa aku jadi keluarkan keringat dingin!"
Murid Sinto Gendeng ini memaki sendiri didalam hati. Pakaian dari daun itu dijepitnya dengan jari-jari kaki kanan lalu seperti yang dikatakan gadis berkulit hitam manis itu Wiro lemparkan benda itu ke udara. Begitu melayang jatuh dia cepat sambut dengan kepalanya.
”wuuuttt! Seettt!”
Pakaian dari daun itu melewati kepala Wiro, turun ke dada terus ke perut seolah dia tidak memiliki dua tangan yang menghalangi gerak. Sesaat kemudian pakaian itu telah melingkar menutupi auratnya mulai dari pinggang sampai ke paha.
"Aneh! Benar-benar aneh! Seperti sulap saja!" kata Wiro sambil garuk kepala. Dia ingat pada gadis yang sembunyi di balik semak belukar. "Aku sudah berpakaian! Terima kasih kau sudah menolongku! Aku akan menemuimu!"
Di belakang semak belukar Wiro kembali berhadap-hadapan dengan gadis berkulit hitam manis tadi.
"Aku tidak mengenalmu. Kau telah memberikan pakaian dari daun aneh ini padaku! Siapa kau sebenarnya. Apa maksudmu dengan Ucapan kita senasib tadi?"
"Namaku Luhtinti. Aku sahabat Lakasipo. Laki-laki itu pernah menolongku dari tangan jahat Hantu Muka Dua!"
"Namaku Wiro. Aku juga sahabat Lakasipo!"
Luhtinti mengangguk. "Aku pernah mendengar riwayat dirimu dan dua sahabatmu dari Laksipo," kata si gadis pula.
Tiba-tiba Wiro ingat. "Aku harus keluar dari hutan ini. Lakasipo dalam bahaya! Dia masuk dalam sebuah jaring iblis milik nenek jahat berjuluk Hantu Santet Laknat! Aku harus menolongnya.
"Kau tak bisa berbuat apa-apa... Kau tak mungkin bisa keluar dari dalam rimba belantara ini. Kau berada di bawah pengaruh dan kekuasaan ilmu hitam Hantu Santet Laknat!"
Wiro terkejut. ”Apa?! Bagaimana kau bisa tahu?! Jangan-jangan kau adalah kaki tangan nenek jahat itu!"
"Aku senasib denganmu! Hantu Santet Laknat menjebloskaan aku ke dalam rimba belantara ini atas perintah Hantu Muka Dua. Dulu aku adalah budak Hantu Muka Dua yang dipaksa menjadi kaki tangan pembantunya bersama empat orang gadis lain. Ketika aku melarikan diri bersama Lakasipo, dia menuduh aku sebagai pengkhianat Karena dia punya pantangan membunuh maka dia menyuruh Hantu Santet Laknat untuk menghukumku. Aku dijebloskan ke dalam rimba belantara ini! Tak mungkin bisa keluar lagi untuk selama-lamanya. Ketika pertama aku dijebloskan kedalam rimba ini, hal yang kau alami juga terjadi atas diriku. Pakaianku musnah secara aneh begitu tersentuh sinar matahari. Aku membuat dua pakaian dari daun. Satu kupakai sendiri, satu lagi yang kau kenakan itu..."
Mengenai riwayat Luhtinti baca Episode berjudul Peri Angsa Putih
"Celaka… celaka…" Wiro berucap berulang kali. Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti diselipkannya ke pinggang celana yang terbuat dari sambungan-sambungan daun-daun hijau itu yang ternyata selain tebal juga cukup kuat.
"Kita memang telah dilanda celaka dihantam bala!" menyahuti Luhtinti.
"Apa benar katamu, kita selama-lamanya akan terpendam dalam rimba belantara ini. Tak bisa keluardan orang dari luar juga tak bisa menolong kita termasuk para Peri dan Dewa?!”
"ltulah nasib kita…" jawab Luhtinti sedih.
"Aku tidak percaya! Pasti ada cara! Pasti ada jalan! Setiap ilmu hitam bagaimanapun hebatnya pasti ada titik kelemahannya! Pada titik kelemahan itu kita dapat menghancurkannya!"
"Aku sudah tiga purnama berada dalam rimba celaka ini. Gerak dan pandanganku terbatas. Setiap aku coba mencari jalan keluar, aku hanya berputar-putar dan selalu kembali ke tempat semula. Aku ingin menjerit, ingin menangis! Bahkan kadang-kadang timbul jalan sesat dalam benak dan hatiku! lngin bunuh diri saja! Tapi…"
Murid Eyang Sinto Gendeng pandangi wajah dan sosok Luhtinti. Jika tidak dalam keadaan seperti itu dia akan menyadari betapa gadis berkulit hitam manis ini bukan saja memiliki wajah cantik jelita tapi juga tubuh yang sangat bagus dan tersingkap di sana-sini penuh menggairahkan.
Sebaliknya Luhtinti yang berada dalam keadaan lebih tenang setiap dia menatap paras sang pendekar dadanya terasa berdebar. Dia harus mengakui, tidak ada pemuda di Negeri Latanahsilam yang memiliki wajah segagah pemuda asing ini.
Wiro kepalkan dua tangannya. Lalu dia ingat akan llmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. Pada Luhtinti dia berkata,
"Kita pasti bisa keluar dari sini! Aku akan berusaha!" Lalu Wiro salurkan tenaga dalamnya ke kepala. Matanya dikedipkan dua kali berturut-turut. Dia memandang berkeliling.
Seperti diketahui dengan ilmu itu Wiro bisa melihat apa saja dikejauhan sekalipun terhalang sesuatu. Namun saat itu sampai dia cucurkan keringat dingin dan sepasang matanya menjadi perih dia tidak mampu melihat apa-apa. Yang terlihat tetap saja semak belukar, pohon-pohon dan benda-benda lain yang ada di sekelilingnya.
"Aku tak mampu…" ujar Wiro perlahan antara kecewa dan marah.
"Wahai, sudah nasib kita seperti ini…"
"Aku tak mau menyerah pada nasib!" kata Wiro keras. "Kalaupun aku harus menemui ajal di dalam rimba celaka ini, nenek jahat bernama Hantu Santet Laknat itu harus kuhabisi lebih dulu!"
Tiba-tiba Wiro mencium bau aneh. Nafasnya mendadak menjadi sesak. Dadanya mendenyut sakit. Tenggorokannya terasa panas. Dia batuk-batuk berulang kali. Lalu ada cairan mengalir keluar dari hidungnya. Wiro meraba ke bawah bibir.
"Hidungku berdarah!" kata Wiro terkejut. Hal yang sama juga terjadi dengan Luhtinti. Tapi dia tampak lebih tenang.
"Hawa aneh itu datang lagi…" katasi gadis. Dia memberi isyarat pada Wiro agar cepat mengikutinya meninggalkan tempat itu. Tak lamakemudian setelah berjalan cukup jauh bau aneh itu lenyap. "Hawa aneh itu…" menerangkan Luhtinti. "Bisa muncul setiap saat secara tak terduga. Dan itu bukan cuma satu-satunya siksaan yang bakal kau alami. Ada hawa aneh yang membuat mata menjadi perih berair serta hidung dan telinga mengeluarkan cairan. Ada hawa aneh yang membuat kulit terasa gatal. Ketika digaruk rasa gatal berubah menjadi rasa melepuh. Lalu belum lagi gangguan binatang-binatang jejadian…"
"Tadi malam aku diserang ular aneh kepala dua. Pasti semua ini perbuatannya Hantu Santet Laknat!"
"Siapa lagi kalau bukan dia…"
"Kau berjalan terus. Kita ini mau kemana?" bertanya Wiro.
"Dalam rimba belantara ini ada satu tempat yang sedikit agak aman. Sebuah goa batu. Masih jauh dari sini. Cepat ikuti aku..."
Tak lama berjalan mengikuti Luhtinti sekonyong-konyong Wiro mendengar ada suara orang memanggil-manggil dibelakangnya.
"Wiro! Wiro!"
"Wiro! Hai! Kami ada di sini!"
Pendekar 212 segera hendak berpaling. Tapi Luhtinti cepat berteriak. "Jangan menoleh! Jangan menyahuti!"
"Memangnya kenapa?" tanya Wiro heran.
"Yang memanggilmu itu adalah suara gaib dari alam roh jahat yang berada dalam kekuasaan Hantu Santet Laknat!"
"Mana mungkin!" sahut Wiro.
"Aku kenali betul! Itu suara dua sahabatku! Naga Kuning dan kakek berjuluk si Setan Ngompol."
"Percaya padaku wahai sahabat! Kita berada dalam rimba Lasesatbuntu! Rimba seribu celaka seribu petaka. Kita berada di bawah kekuasaan Hantu Santet Laknat! Suara-Suara yang kau dengar itu adalah tipuan jahat semata!"
"Kalau… kalau aku menoleh apa yang terjadi?" tanya Wiro.
"Jika kau sampai menjawab apa lagi menoleh, kepalamu akan berubah tempat. Bagian muka akan berada di sebelah belakang, yang belakang akan menghadap kedepan. Kau akan tersiksa begini rupa selama tiga puluh hari tiga puluh malam!"
"Aku tidak percaya!" kata Wiro.
"Aku pernah mengalami sendiri pertama kali dijebloskan kedalam rimba belantara ini!" menerangkan Luhtinti.
Di belakang sana masih terdengar suara Naga Kuning dan Setan Ngompol memanggil-manggil.
"Tapi bagaimana kalau suara itu sungguhan suara sahabat-sahabatku. Mereka mungkin dalam bahaya!"
"Percaya padaku Wiro!"
"Tapi Luhtinti..."
"Kalau kau tidak percaya dan tidak mau ikuti nasehatku, silakan saja. Menolehlah! Berpaling ke belakang! Tapi nanti jangan menyesal!" kata Luhtinti dengan muka pucat.
Murid Eyang Sinto Gendeng gerakkan kepalanya. Tapi setengah jalan dia merasa jerih juga dan hentikan gerakannya. Luhtinti hembuskan nafas lega.
"Ayo, lekas ikuti aku! Goa itu masih jauh dari sini."
Wiro geleng-geleng kepala dan kembali berjalan mengikuti si gadis. Baru saja mereka melangkah pergi di belakang sana terdengar suara tawa keras, melengking tinggi menggetarkan seantero rimba belantara.
"Gila…" rutuk Pendekar 212. Setelah berjalan cukup jauh Wiro beranikan diri ajukan pertanyaan. "Kalau tadi aku menoleh, apa hanya kepalaku sebelah atas saja yang berubah tempat? Kepala sebelah bawah apa juga ikut berpindah ke belakang?"
"Aku tak mengerti maksudmu. Coba ulangi pertanyaanmu..." kata Luhtinti.
Wiro menyeringai. Dia diam saja tidak mengulangi pertanyaannya.
"Hai, apa yang kau tanyakan tadi?"
"Tidak, tidak apa-apa...!" jawab Pendekar 212.
Luhtinti hentikan langkahnya dan menatap sejurus pada Wiro. Wajah si gadis kemudian tampak bersemu merah. Cepat-Cepat dia palingkan kepala dan melangkah pergi. Wiro kembali menyeringai seraya garuk-garuk kepala. Di sebelah depan Luhtinti berkata dalam hati.
"Lakasipo memang pernah menuturkan riwayat dan sifat-sifat pemuda asing ini. Tapi tidak kusangka, dalam keadaan seperti ini dia masih bisa bicara kurang ajar! Sableng… Wiro Sableng. Kata orang di negeri sana Sableng artinya sinting, tidak waras. Di sini artinya kencing kuda. dua-duanya betul. Otak pemuda ini memang agaknya sedikit kurang waras dan mulutnya bicara meluncur seperti kencing kuda!" Luhtinti tertawa sendiri.
"Kulihat kau tertawa. Ada apa Luhtinti…?" bertanya Wiro.
"Tidak, tidak ada apa-apa," jawab si gadis.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Ah, dia ganti membalas rupanya!" kata Wiro dalam hati.
SEPULUH
Wiro pegang lengan Luhtinti. Sambil memandang berkeliling dia berkata. "Keadaan di tempat ini aneh sekali. Barusan saja aku masih melihat matahari di langit dan cuaca terang benderang. Mengapa tahu-tahu di sini keadaan redup, matahari mendadak lenyap, udara berubah gelap seolah-olah siang telah berganti dengan malam. Atau saat ini hari sebenarnya memang telah malam? Aku menangkap suara jengkerik tiada henti di sekitar sini. Lalu ada suara kodok…"
Disentuh lengannya begitu rupa membuat Luhtinti jadi berdebar. Si gadis balas letakkan jari jari tangannya yang halus di atas tangan Wiro. "lnilah kawasan yang kukatakan sedikit aman bagi kita. Di luar sana sebenarnya hari masih siang. Tapi di sini siang malam sama saja. Suara jengkerik dan kodok tak pernah putus..."
"Katamu ada sebuah goa. Aku tidak melihat apa-apa," kata Wiro pula.
Luhtinti menunjuk pada tiga pohon besar yang tumbuh berdampingan. "Di balik pohon besar sebelah kanan ada satu gundukan tanah tertutup semak belukar liar. Lalu ada barisan batu-batu besar. Di bawah salah satu batu besar sebelah tengah ada sebuah lobang setinggi kepala manusia. ltulah pintu goa…"
"Menurutmu tempat ini cukup aman bagi kita. Memangnya Hantu Santet Laknat tidak bisa memburu kita sampai ke sini?"
"Nenek jahat itu bisa saja gentayangan sampai kesini. Tapi setahuku dia tidak begitu suka mendatangi tempat ini. Selama aku berada di tempat ini, apalagi di dalam goa, seolah-olah kekuatan jahatnya tidak bisa menyentuh diriku."
"Tapi kau tak bisa mendekam terus menerus di dalam goa itu!" kata Wiro.
"Betul, tapi selama aku tidak tahu cara lain untuk menyelamatkan diri maka goa ini satu-satunya tempataku berlindung. Ikuti aku. Di luar sana sebentar lagi hari akan memasuki senja. Senja akan berubah menjadi malam. Jika malam tiba Hantu Santet Laknat selalu gentayangan membuat hal-hal aneh untuk mencelakai diriku..."
Luhtinti dan Wiro melewati deretan tiga pohon besar. Sementara itu suara jengkerik dankodok serta binatang malam lainnya terdengar semakin keras dan berada di mana-mana. Seperti yang dikatakan si gadis, di bawah salah satu batu besar itu kelihatan sebuah lobang setinggi manusia. Tanpa ragu-ragu Luhtinti segera memasuki lobang yang merupakan mulut goa. Wiro bimbang sejenak. Tiba-Tiba ada hawa dingin menerpa sekujur tubuhnya, membuat Wiro menggeletar menggigil.
"Hawa aneh, pasti perbuatan jahat Hantu Santet Laknat..." pikir Wiro. Cepat-Cepat dia masuk ke dalam goa. Walau keadaan di dalam goa redup namun disini udara terasa lebih hangat.
"Kau tidak memiliki lampu minyak atau obor?" bertanya Wiro pada Luhtinti.
"Api adalah kawannya makhluk jahat seperti Hantu Santet Laknat. Aku tidak pernah menyalakan apapun di dalam goa ini."
"Lalu di dalam sini apa yang akan kita lakukan?" tanya Wiro.
"Kita berlindung dari ilmu hitamnya Hantu Santet Laknat. Paling tidak kau bisa beristirahat…"
"Mana mungkin aku beristirahat?" Aku harus mencari jalan menyelamatkan diri. Lalu menolong Lakasipo dan sahabatnya bernama Luhsantini yang terjebak dalam jaring Hantu Santet Laknat!"
Luhtinti menarik nafas dalam. "Dulu, hari-hari pertama aku tersesat ke dalam rimba belantara celaka ini, aku juga selalu berusaha mencari jalan untuk keluar dari hutan ini. Tapi setelah berminggu-minggu tidak membawa hasil aku sadar. Yang harus aku lakukan ialah bagaimana bisa mempertahankan hidup dan menjaga agar tidak berubah pikiran alias gila! Menyelamatkan diri sendiri saja tidak bisa, apalagi hendak menolong orang di luar sana!"
Wiro terdiam walau kurang setuju dengan ucapan gadis berkulit hitam manis itu. Di luar suara berisik binatang malam masih terus terdengar berkepanjangan masuk dan bergaung sampai ke dalam goa. Bersamaan dengan masuknya suara binatang binatang malam tanpa disadari kedua orang itu, ikut bersama hembusan angin masuk pula satu hawa aneh.
"Aku letih dan ingin istirahat…" kata Luhtinti dari sudut goa. Lalu dia menguap.
"Aku juga letih. Perutku lapar…" jawab Wiro. Mulutnya terbuka. Seperti Luhtinti dia juga ikut-ikutan menguap.
********************
Pendekar 212 Wiro Sableng tidak tahu berapa lama dia terbaring lelap di lantai goa. Ketika terbangun dia dapati ada satu sosok hangat dan harum terbaring rapat disebelahnya. Satu tangan halus melintang merangkul di atas dadanya. Darah sang pendekar mengalir lebih cepat. Badannya terasa panas dan kencang. Setiap dia menghela nafas, bau harum tadi masuk ke dalam alur pernafasannya, membangkitkan rangsangan aneh.
Wiro berusaha memalingkan kepala untuk mengetahui siapa gerangan yang tidur di sebelahnya sambil memeluk tubuhnya. Sebelum dia sempat melihat wajah orang, satu suara berbisik hangat di telinganya.
"Wiro, kau sudah bangun…?" Lalu ada satu benda lembut, hangat dan basah menjilati daun telinganya, membuat Pendekar 212 jadi merinding menggeliat.
"Luhtinti?" Wiro menyebut nama gadis itu karena suara yang barusan didengar dan dikenalinya adalah suara Luhtinti. Cepat-cepat Wiro bangkit dan duduk. Karena si gadis tidak mau melepaskan rangkulannya, sosoknya jadi ikut bangkit dan kini terduduk diatas pangkuan Wiro.
"Wiro, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku lupa memberi tahu sebelumnya..."
"Aku... Luhtinti aku..."
"Aku ingat satu cara yang bisa membuat kita keluar dari dalam rimba Lasesatbuntu ini..."
"Katakanlah," jawab Wiro ketika Luhtinti hentikan ucapannya.
"Tapi harap kau duduk di lantai. Kalau kau duduk di pangkuanku rasanya aku tak bisa bernafas!"
Luhtinti tertawa. Dengan manja dia turun dari pangkuan Wiro, lepaskan rangkulannya dan duduk di lantai. Walau keadaan di dalam goa itu redup dan agak gelap namun Wiro masih bisa melihat bahwa saat itu di sebelah atas Luhtinti tidak mengenakan apa-apa lagi. Dadanya yang polos kencang menantang. Senyumnya tidak berkeputusan dan sepasang matanya menatap tidak lepas-lepas dari wajah Wiro.
"Kau seperti berubah. Ada apa Luhtinti?" tanya Wiro.
"Wahai, aku terlalu bergembira, Wiro. Seperti kau katakan tadi aku ingat ada satu cara yang bisa membuat kita mampu keluar dari rimba belantara terkutuk ini!"
"Kalau begitu lekas kau katakan agar kita secepatnya berusaha melakukan," jawab Wiro. Bau harum yang merebak dari tubuh dan rambut si gadis membuat darah sang pendekar tambah bergejolak. Apalagi jika sesekali dia memberanikan diri memandang ke dada Luhtinti. Kemudian matanya melihat pakaian hijau bagian atas yang sebelumnya di kenakan Luhtinti terletak di lantai goa. Wiro ambil pakaian yang terbuat dari daun-daun ini lalu menutupkannya ke dada si gadis.
"Bicaralah Luhtinti. Katakan bagaimana caranya kita bisa keluar dari rimba belantara Lasesatbuntu ini."
"Caranya sangat sederhana Wiro," kata si gadis dengan wajah ditengadahkan disertai layangan senyum dan mata membesar. "Kau mengawini aku, mengambil aku jadi istrimu..."
Pendekar 21 2 tersentak mendengar kata-kata Lu htinti itu. Si gadis sebaliknya malah tertawa panjang.
"Ucapanku belum selesai. Kau sudah seperti ketakutan..." kata Luhtinti seraya pegang lengan Wiro.
"Perkawinan ini hanya sekedar untuk memusnahkan kekuatan hitam. Hantu Santet Laknat yang mengurung kita di hutan ini. Kau tidak perlu selama-lamanya mengambil diriku sebagai istri. Begitu kekuatan hitam Hantu Santet Laknat musnah, kau boleh saja meninggalkan diriku..."
"Tapi...”
"Dengar dulu," potong Luhtinti. ”Jangan kau mengira perkawinan ini harus melalui segala macam upacara atau meminta izin para Peri dan Dewa. Cukup kita melakukan hubungan sebagai suami istri di dalam goa ini. Itu sudah berarti kau mengawini diriku..."
"Hal itu tidak mungkin kulakukan Luhtinti!" kata Wiro.
"Mengapa tidak mungkin?!"
"Perkawinan adalah sesuatu yang suci dan sakral! Mana mungkin kita kawin seperti kucing atau ayam begitu saja.
Luhtinti tertawa panjang. "Kita ini memang bukan kucing dan bukan juga ayam! Jadi kalau kita kawin bukan berarti kita kawin kucing atau kawin ayam! Lagi pula perkawinan kita adalah demi untuk menyelamatkan diri dari malapetaka yang bisa mencelakai kita sampai kiamat!"
"Aku memilih celaka sampai kiamat…" kata Wiro tegas sambil bangkit berdiri. Dia segera ingat akan peristiwa yang dialaminya di Puri Pelebur Kutuk milik Ratu Duyung ketika berusaha menyelamatkan diri sang Ratu dari kutukan jahat yang akhirnya membuat Wiro kehilangan semua kesaktian.
Mengenai Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Sang Ratu terdiri dari 8 Episode sedang mengenai peristiwa di Puri Pelebur Kutuk dapat diikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul Tua Gila Dari Andalas terdiri dari 11 Episode
Kini untuk bisa selamat dari tangan Hantu Santet Laknat dan keluar dari rimba belantara Lasesatbuntu, apakah memang dia harus melakukan hubungan badan dengan Luhtinti?
Wajah Luhtinti tampak berubah sedih mendengar ucapan Wiro tadi. "Wahai, kenapa kau berpikiran begitu dangkal? Bagiku keselamatan diriku sendiri sudah tidak kupikirkan lagi, Wiro. Aku justru ingin membantu menyelamatkan dirimu. Apalagi kau mengatakan bahwa dua orang sahabatmu di luar sana yang mungkin berada dalam bahaya. Lalu kau sendiri pula yang mengatakan bahwa Lakasipo dan Luhsantini terjerat dalam jaring Hantu Santet Laknat. Kuharap kau mau mempertimbangkan. Semua yang akan kita lakukan bukan mencari kesenangan pribadi. Tapi untuk menolong dirimu dan diri orang lain. Atau mungkin kau tidak ingat lagi untuk kembali ke negeri asalmu di tanah Jawa sana?"
Pendekar 212 pandangi wajah Luhtinti tak berkesip. "Semua yang kau katakan itu benar adanya. Tapi melakukan hubungan badan denganmu tak mungkin aku lakukan..."
Luhtinti tersenyum. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Pakaian daun yang menutupi dadanya jatuh ke lantai goa. Kembali dada gadis ini tersingkap polos. Tubuhnya kemudian dirapatkan ke badan Wiro yang tegak tersandar ke dinding goa. Lalu dua tangan Wiro dibimbingnya ke pinggulnya.
Ketika Wiro menyentuh pinggul gadis itu, dia tidak merasakan apa-apa kecuali memegang kulit yang lembut dan halus. Wiro melirik ke bawah. Dadanya bergoncang. Dia tidak tahu entah kapan dan bagaimana caranya si gadis telah membuka pakaiannya disebelah bawah. Karena saat itu dilihatnya Luhtinti tegak tanpa sehelai daunpun menutupi auratnya!
"Wiro, lakukanlah. Demi keselamatanmu dan sahabat-sahabatmu…" Luhtinti berkata lirih, wajahnya ditengadahkan, lidahnya yang merah basah tergantung antara bibirnya yang seperti delima merekah dan bergetar halus.
"Luhtinti, aku tidak bisa melakukan permintaanmu..." Aku yakin kau bisa. Jika kau mau… Jika tidak , berarti kau bukan saja tega mencelakai diri sendiri tapi juga tega membiarkan sahabat-sahabatmu menemui malapetaka!"
Sambil berkata Luhtinti semakin rapatkan tubuhnya ke badan Wiro. Dua tangannya merangkul ke pinggang dan punggung Pendekar 212. Lalu perlahan-lahan tubuh Wiro dibawanya luruh jatuh ke lantai goa. Ketika gadis itu hendak menanggalkan pakaian di tubuh Wiro, sang Pendekar segera sadar. Dia melompat berdiri dan lari ke luar goa.
"Wiro!" Luhtinti bangkit berdiri, menyambar pakaian daunnya lalu mengejar.
Wiro sengaja menyembunyikan diri di tempat gelap, di antara dua batu besar dibalik serumpunan semak belukar. Di sekelilingnya suara jangkrik ditingkah suara kodok terdengar tidak berkeputusan. Sambil duduk Wiro genggam kapak saki Naga Geni 212 yang diletakkannya di pangkuannya.
"Luhtinti, aku menaruh curiga. Jangan-jangan gadis itu menyembunyikan satu niat jahat. Mengapa dia tiba-tiba menunjukkan sikap jalang? Waktu bertemu pertama kali rambut dan tubuhnya tidak wangi. Tapi tadi baunya harum sekali. Dan bau harum itu merangsang darah di tubuhku. Di sengaja memakai minyak pemikat Gila, hampir saja! Jika dia memang tahu rahasia keluar dari hutan terkutuk ini seharusnya…"
"Wiro…!”
Pendekar 212 tersentak. Memandang ke depan Luhtinti tahu-tahu sudah tegak di hadapannya. Gadis ini telah mengenakan pakaian daunnya.
"Mungkin aku telah melakukan satu kesalahan besar. Aku... Aku harus minta maaf padamu..." Si gadis duduk bersimpuh di tanah di hadapan Wiro.
Murid Sinto Gendeng usap-usap gagang kapak saktinya. "Tak ada yang harus dimaafkan Luhtinti. Aku tahu maksudmu baik Hanya saja aku tidak bisa melakukan apa yang kau minta…"
"Aku tak ingin membicarakan hal itu lagi. Udara di luar sini terasa dingin. Baiknya kita masuk kembali ke dalam goa. Aku berjanji tidak akan menganggumu lagi..."
"Kau saja masuk ke dalam goa," kata Wiro sambil terus mengusap-usap kapaknya dan pandangi lobang lobang senjata itu. Entah mengapa saat itu muncul saja niat di hati murid Eyang Sinto Gendeng untuk meniup kapak itu seperti meniup suling. Apa lagi di sekitarnya suara jangkerik dan kodok masih menggema terus. Wiro angkat kapaknya, dekatkan ujung gagang kapala kapak yang berbentuk kepala naga.
Jika mulut kepala naga itu ditiup, dan lobang-lobangnya ditelusuri dengan jari-jari tangan maka senjata itu memang akan mengeluarkan suara seperti suling. Kalau meniupnya dengan mengerahkan tenaga dalam maka suara yang keluar akan terdengar sangat keras, bisa-bisa memekakkan telinga. Wiro menatap ke arah Luhtinti sebentar lalu berkata.
"Aku ingin berada ditempat ini barang beberapa saat. Aku ingin sendirian..."
Luhtinti merasa tidak enak mendengar ucapan Wiro itu. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Perlahan-lahan gadis ini bangkit berdiri. Tetapi gerakannya tertahan sewaktu melihat Wiro mendekatkan gagang kapak yang berbentuk kepala naga itu ke bibirnya.
"Wahai, apa yang hendak kau lakukan Wiro?" tanya si gadis.
"Senjataku ini memiliki beberapa keandalan. Satu diantaranya bisa ditiup dijadikan suling. Aku ingin menenangkan pikiran. Siapa tahu aku masih ingat beberapa nyanyian lama. Kalau tiupan serulingku buruk, jangan kau tertawakan..."
"Wiro! Jangan kau lakukan itu!" kata Luhtinti tiba-tiba seraya bangkit berdiri. Wajahnya tampak lain.
"Eh, jangan melakukan apa maksudmu?" tanya Wiro heran
"Jangan tiup kapakmu! Jangan keluarkan suara seruling di tempat ini!"
"Memangnya kenapa? Jika kau tidak suka suara tiupan serulingku masuk saja ke dalam goa dan tekap dua telingamu rapat-rapat!" kata Wiro pula. Lalu kembali dia dekatkan mulut naga pada gagang Kapak Maut Maga Geni 212 ke bibirnya.
Belum sempat dia meniup Luhtinti berteriak seraya melompat. "Wiro! Hentikan perbuatan itu! Jangan! Kau mengundang bencana besar!"
"Bencana apa?" tanya Wiro.
"Aku tak bisa mengatakan. Yang penting jangan meniup kapakmu. Simpan senjata itu!"
Melihat air muka si gadis, mendengar nada suaranya yang keras Pendekar 212 Wiro Sableng jadi curiga. Tanpa perdulikan Luhtinti Wiro meniup. Kali ini Luhtinti benar-benar marah rupanya. Sekali dia bergerak tangannya menyambar hendak merampas Kapak Maut Naga Geni 212 dari tangan Wiro.
Namun Wiro tidak tinggal diam. Masih tetap duduk kaki kanannya diajukan ke depan, menahan perut Luhtinti hingga gerakannya merampas tidak bisa dilakukan. Selagi si gadis berusaha menurunkan kaki Wiro sambil memukul, Pendekar 212 tiup kapak saktinya. Karena dia meniup dengan pengerahan tenaga dalam maka suara yang keluar menggema keras menusuk telinga.
"Jangan!" teriak Luhtinti seraya menekap telinganya.
Wiro meniup terus, lebih keras dan tak karuan karena selain masih terus menahan tubuh Luhtinti dengan kakinya agar gadis itu tidak bergerak lebih dekat, dia juga harus mengelak kian kemari karena Luhtinti mulai melepaskan pukulan-pukulan. Ternyata pukulan si gadis bukan sembarangan karena mengeluarkan angin tajam pertanda ada pengerahan tenaga dalam tinggi.
Luhtinti kembali berteriak. Dadanya yang kencang beroncang keras. Dari ubun-ubunnya ada asap putih mengepul tipis. Wajahnya yang cantik tampak mengerenyit mengkirik. Bibirnya bergerak-gerak seperti tengah melafatkan mantera. Sepasang matanya mendelik. Pendekar 212 meniup kapak saktinya lebih keras. Luhtinti menjerit dahsyat!
Di udara yang redup gelap terdengar suara berderak seperti ada benda rengkah dan siap runtuh. Daun pepohonan kelompok demi kelompok tampak jatuh berluruhan. Suara jengkerik dan kodok yang tadi terdengar tidak berkeputusan lenyap seperti ditelan bumi. Lalu di sela-sela jari tangan Luhtinti yang dipakai untuk menekap telinganya kiri kanan kelihatan ada cairan merah mengalir. Darah!
"Aku sudah curiga!" kata Wiro dalam hati. Matanya tak berkesip terus mengawasi Luhtinti. Tiupan serulingnya semakin menggila. Kemudian terjadilah beberapa keanehan. Kawasan sekitar goa yang tadinya redup perlahan-lahan menjadi terang. Pemandangan yang tadinya sangat terbatas berangsur-angsur menjadi luas dan jauh. Lalu yang sama sekali tidak terduga dan membuat pendekar 212 jadi merinding ialah perubahanyang terjadi atas diri Luhtinti.
Pakaian Luhtinti yang sebelumnya berupa daun-daun hijau kini berubah menjadi sehelai jubah hitam. Ketika Wiro melirik dirinya sendiri dia juga kaget karena dapatkan pakaian putihnya yang sebelumnya sirna secara aneh kini telah melekat kembali dibadannya sementara celana yang terbuat dari daun-daun hijau masih menempel diatas pakaian putihnya.
Namun Wiro tidak perdulikan keanehan yang ada pada dirinya karena dia lebih memperhatikan apa yang terjadi pada Luhtinti. Wajah si gadis yang tadinya hitam manis cantik jelita ini berubah menjadi satu wajah menyeramkan dengan sepasang mata kecil menonjol tanpa alis. Mulut dan hidungnya jadi satu membentuk paruh bengkok dan hitam. Kalau tadi rambut serta tubuhnya menebar bau harum semerbak, kini sebaliknya memancarkan bau busuk!
"Hantu Santet Laknat!" teriak Wiro kaget. "Jadi kau rupanya!" Si nenek menyeringai geram.
"Aku menawarkan madu, kau lebih suka minum racun! Aku menawarkan kenikmatan hidup, kau lebih suka menelan azab!"
Habis berkata begitu si nenek keluarkan suara jeritan melengking seperti hendak merobek langit. Dua tangannya lalu didorongkan kedepan!
SEBELAS
Wiro maklum selain memiliki ilmu hitam jahat si nenek juga menguasai ilmu silat dan kesaktian tinggi serta kelicikan tipu daya tak terduga. Karenanya dia bertekad untuk menghadapi Hantu Santet Laknat habis-habisan. Dua gelombang angin menyapu kearahnya. Wiro membentak garang. Sesaat suara tiupan seruling lenyap.
Sambil melompat ke atas dan jungkir balik di udara Wiro yang memegang kapak sakti di tangan kiri kembali meniup senjata itu. Kali ini dengan pengerahan hampir tiga perempat tenaga dalamnya! Wiro maklum sudah kelemahan ilmu hitam Hantu Santet Laknat dalam menyirap kawasan rimba belantara Lasesatbuntu. Yaitu tidak sanggup bertahan dan buyar terhadap kekuatan bunyi yang dahsyat!
Mungkin itu sebabnya dia tidak terlalu suka berada di kawasan sekitar goa yang selalu dihantui suara jangkrik dan kodok terus menerus. Walau suara-suara binatang itu tidak sampai membuyarkan ilmu hitamnya namun hatinya selalu tidak tentram jika telinganya mendengar suara aneh berkepanjangan.
Kawasan rimba belantara dimana dua orang yang bertempur itu berada semakin terang. Daun-daun pepohonan tambah banyak yang rontok. Tanah terasa bergetar. Tapi Hantu Santet Laknat yang menderita cidera pada dua telinganya tidak merasa gentar. Marah besar melihat dua serangannya tadi luput, si nenek kembali menggebrak. Sepasang matanya yang kecil menonjol ke depan mengeluarkan asap.
Wiro mengira dari dua mata itu akan melesat dua larik sinar mematikan. Tapi ternyata tidak. Malah secara tak terduga dari mulut si nenek yang berbentuk paruh melesat keluar dua larik kobaran api berbentuk sinar aneh warna biru. Sinar api ini bergulung-gulung membentuk jaring yang kemudian dengan kecepatan kilat menebar ke arah Pendekar 212.
"Api lblis Penjaring Roh!" seru Pendekar 212 begitu mengenali benda yang melesat ke arahnya itu. Jaring inilah sebelumnya yang telah menjerat Lakasipo dan Luhsantini. Sampai saat itu Wiro tidak mengetahui bagaimana keadaan kedua orang itu. Hantu Santet Laknat keluarkan tawa mengekeh lalu sentakkan mulutnya yang berbentuk paruh.
"Wuusss...!” Jaring api biru menyambar ke arahkepala Pendekar 212.
Wiro hantamkan tangan kanannya, melepas pukulan Sinar Matahari. Sinar putih panas terang benderang berkiblat!
"Bummmm!" Sinar biru dan putih saling bentrokan di udara!
Tanah bergetar seperti dilanda gempa. Pendekar 212 keluarkan seruan keras. Tubuhnya terpental sampai dua tombak lalu terbanting di tanah. Hawa panas mendera seolah badannya diselubungi kobaran api. Ketika dia bangkit berdiri, kagetlah murid Sinto Gendeng ini. Kapak Maut Naga Geni 212 tidak ada lagi di tangan kirinya!
Memandang ke depan, ternyata senjata itu telah berada dalam jaring api biru yang mengambang di udara, dikendalikan oleh Hantu Santet Laknat lewat hidung dan mulutnya yang berbentuk paruh. Walau kapak sakti yang masih berada dalam jaring api biru itu tidak mengalami kerusakan namun sulit bagi Wiro untuk merampasnya kembali.
"Tua bang ka jahat! Kembalikan kapak itu padaku!" Si nenek keluarkan suara tertawa mengekeh.
"Pemuda tolol! Jangan bersombong diri mengira bisa mengalahkanku! Kapak ini akan kukembalikan padamu asal kau mau bersumpah! Bersedia menjadi kekasih peliharaanku!"
"Tua bangka tidak tahu diri! lblis penjaga neraka pun tidak sudi bergendak denganmu! kau akan menyesal jika tidak segera mengembalikan kapak itu padaku!"
"Begitu? Hik hik hik!" si nenek kembali mengekeh.
"Kau inginkan kapak silahkan mengambil sendiri!"
Lalu Hantu Santet Laknat goyangnya kepalanya. Jaring api iblis serta merta lenyap. Kapak Naga Geni 212 kini berada di tangan kiri si nenek. Dengan tangan kanannya Hantu Santet Laknat tiba-tiba merorotkan bagian dada jubah hitamnya sebelah atas hingga dia kini tegak dalam keadaan setengah telanjang. Gagang Kapak Naga Geni 212 diciumnya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Bagian gagang yang berbentuk kepala naga dihisap-hisapnya dengan cara menjijikkan. Lalu senjata itu diletakannya di atas dadanya yang peot. Secara aneh kapak sakti itu menempel di dadanya.
"Wahai! Kau tunggu apa lagi? Kau inginkan kapakmu kembali, silakan ambil!" berseru Hantu Santet Laknat sambil berkacak pinggang dan senyum-senyum genit
"Jahanam!" rutuk Pendekar 212. Sesaat dia hanya bisa tegak dengan mata mendelik.
"Ho… ooo! Kau tak mau mendekati diriku, tak mau mengambil kapak karena takut menyentuh dadaku yang buruk. Jangan takut anak muda! Saat ini aku bukan lagi Hantu Santet Laknat si nenek buruk. Tapi aku adalah gadis-gadis yang mengasihimu! Lihat! Kau tinggal memilih mana yang kau suka! Pandang baik-baik!"
Saat itu Pendekar 212 memang masih memandangi si nenek dengan penuh geram. Tapi mendadak dia berseru kaget dan tersurut beberapa langkah. Sosok dan wajah Hantu Santet Laknat mendadak berubah menjadi wajah sosok setengah telanjang Ratu Duyung, lalu berubah menjadi sosok dan wajah Anggini lalu Pandansuri dan malah Bunga alias Suci, gadis yang telah meninggal di tanah Jawa itu. Begitu terus berganti-ganti.
"Astaga! Bagaimana mungkin dia bisa melakukan itu!" membatin Wiro dengan tubuh bergetar.
"Kau tidak ingin mengambil kapak dan menyentuh dadaku?! Aku kekasihmu! Bidadari Angin Timur!"
Sosok di depan Wiro berucap. Dan saat itu Wiro benar-benar melihat sosok utuh serta wajah cantik Bidadari Angin Timur tegak, tersenyum di hadapannya dalam keadaan dada membusung putih dan polos. Selagi Wiro terpana tak bergerak sepcrrti itu tiba-tiba di udara melesat cahaya biru dan...
"Wuttt!" Hantu Santet Laknat pergunakan kelengahan lawan untuk menyerang. Api lblis Penjaring Roh Kembali melesat, menebar menjirat ke arah Pendekar 212.
"Kau tak akan bisa lolos! Kali ini kau tak akan bisa menyelamatkan diri! Masuk ke dalam jaring! Masuk ke dalam jaring!"
Suara Hantu Santet Laknat mengiang aneh di telinga Wiro. Ternyata nenek jahat ini telah pergunakan ilmu kesaktiannya yang disebut Menyadap Suara Batin. Ucapannya itu masuk ke telinga Wiro, menyerap ke dalam otak dan hatinya. Antara sadar dan tidak murid Sinto Gendeng kini bukan cuma berdiri diam, tapi malah melangkah maju seolah menyambut kedatangan jaring api biru yang hendak menggulung dirinya dari atas!
"Wiro awas!" satu teriakan keras tiba-tiba menggeledek di tempat itu, membuat Pendekar 212 segera sadar dan cepat jatuhkan diri di tanah, bergulingan sambil lepaskan satu pukulan sakti dalam jurus Tangan Dewa Menghantam Rembulan.
Ini adalah salah satu daritujuh inti jurus pukulan sakti yang didapatnya dari sebuah kitab sakti yang diberikan Datuk Rao Basaluang Ameh, makhluk yang dianggap setengah manusia setengah Dewa.
Baca serial Wiro Sableng berjudul Delapan Sabda Dewa yang merupakan Episode ke 4 dari 8 Episode
"Buummmm!"
Satu ledakan dahsyat menggelegar di udara. Sosok Wiro terhenyak amblas sampai satu jengkal ke dalam tanah! Sekujur tubuhnya seperti memar dan tulang belulangnya laksana terpanggang. Dadanya mendenyut sakit Dari sela bibirnya mengalir darah!
Di atas sana jaring api biru terpental sampai dua tombak. Tapi kembali melayang cepat ke bawah. Kali ini tidak menyerang ke arah Wiro, tapi pada orang yang tadi berteriak memberi peringatan padanya.
Terhuyung-huyung Wiro keluar dari dalam lobang di tanah. Ketika dia memandang ke depan terkejutlah Pendekar 212. Semula dia tidak mengenali. Tapi kemudian sadar, orang yang hendak dilibas jaring api biru itu adalah Luhtinti yang kini mengenakan pakaian berwarna hitam. Pakaiannya yang terbuat dari daun daun hijau masih melekat di tubuhnya.
"Celaka Luhtinti! Dia pasti tak bisa menyelamatkan diri dari jaring api itu! Aku tak mungkin menolongnya!" Tiba-tiba Wiro ingat Dari mulutnya keluar seruan keras. "Sepasang Pedang Dewa!"
Saat itu juga dari sepasang mata Pendekar 212 memancar dua larik sinar hijau berbentuk sepasang pedang. Sesaat lagi jaringan api biru akan jatuh menimpa dan menggulung Luhtinti, dua pedang aneh itu berkiblat ganas. Udara dibeset oleh dua larik sinar hijau. Lalu...
"Taar… taarrr!"
Dua ledakan keras menggelegar. Wiro terbanting ke tanah. Luhtinti terpekik dan terguling-guling babak belur tapi selamat. Di sebelah sana Hantu Santet Laknat menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak lalu muntahkan darah hitam. Tertatih-tatih si nenek bangkit berdiri. Dari kepalanya mengepul asap putih.
llmu sepasang Pedang Dewa yang juga didapat Wiro dari Datuk Basaluang Ameh sirna. Jaring api biru lenyap entah kemana. Tapi luar biasanya ternyata si nenek masih memegang Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanannya! Dia meludah ke tanah lalu memandang beringas pada Wiro.
"Jangan kira kau bisa mengalahkan aku, anak muda! Kapak saktimu menjadi milikku! Hik hik hik!" Si nenek kembali meludah. "Lain waktu aku akan kembali! Tidak untuk membunuhmu! Tapi untuk bercinta denganmu! Kau tak akan kulepas sampai hari kiamat sekalipun! Aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu! Hik hik hik! Selamat tinggal anak muda. Selamat tinggal kekasihku! Hik hik hik…!"
Pendekar 212 jadi merinding mendengar kata-kata Hantu Santet Laknat itu. Sosok si nenek berkelebat dan di mata Wiro dia seperti melayang terbang ke udara hingga dia tidak mungkin mengejar. Padahal ini adalah tipuan ilmu hitam belaka karena sebenarnya saat itu Hantu Santet Laknat hanya berjalan biasa meninggalkan tempat itu.
"Kembalikan kapakku!" teriak Wiro. Di udara Wiro melihat Hantu Santet Laknat melayang terbang semakin jauh dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
"Mati aku!" keluh Wiro sambil tepuk keningnya sendiri lalu jatuhkan diri. Untuk beberapa lamanya dia terduduk menjelepok di tanah. Kemudian pandangannya membentur sosok Luhtinti yang tergelimpang pingsan. Ketika tubuh gadis itu bergerak menggeliat Wiro segera mendekati untuk menolong
"Luhtinti... Kau betulan Luhtinti?!" tanya Wiro. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu lagi-lagi adalah jelmaan ilmu hitam Hantu Santet Laknat. Luhtinti buka dua matanya.
"Wiro…" katanya perlahan. "Syukur kau masih hidup. Tadinya aku sudah putus asa…"
"Tunggu! Bagaimana aku tahu kau adalah Luhtinti yang asli. Bukan jejadian Hantu Santet Laknat!" kata Wiro sambil tetap menjaga jarak dan berlaku waspada.
"Aku memang tidak bisa membuktikan…" kata Luhtinti pula. "Tapi jika kau bersangsi, wahai, tinggalkan saja diriku sekarang juga!"
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Kalau begitu biar aku yang membuktikan," kata Wiro pula. Lalu Pendekar 212 ulurkan tangan kanannya ke dada si gadis seraya berkata, "Jika kau masih inginkan kita bersenang-senang didalam goa, apa boleh aku meraba dadamu lebih dulu?"
Berubah paras Luhtinti. Sepasang matanya mendelik. "Aku tidak percaya pada pendengaranku! Bagaimana mungkin kau berbuat dan berucap seperti itu padaku?!"
Wiro menyeringai. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Sekarang aku yakin kau Luhtinti betulan…"
"Aku tak mengerti. Memangnya ada apa...?" tanya si gadis.
"Kalau kau Luhtinti jejadiannya Hantu Santet Laknat, waktu aku katakan hendak meraba dadamu tadi pasti kau sudah membuka pakaianmu dan angsurkan diri!"
Merahlah paras Luhtinti. "Nanti aku ceritakan bagaimana nenek keparat itu hendak mengelabuiku. Sekarang terangkan apa yang terjadi dengan dirimu." Wiro lalu menolong Luhtinti bangkit dan duduk. Maka Luhtinti lantas menuturkan.
"Malam tadi sewaktu kita berada dalam goa. Tiba tiba Hantu Santet Laknat muncul. Dia menginjak ulu hatiku dengan kakinya hingga aku tidak sadar. Ketika tadi aku siuman kudapati diriku dicampakan si nenek di satu tempat tak jauh dari sini. Tubuhku terbungkus pakaianku sendiri yang dulu pernah sirna terkena sentuhan matahari. Selain pakaian ini, seperti kau lihat aku masih mengenakan daun-daun hijau ini."
Luhtinti lalu membuka dan campakkan daun-daun hijau di atas pakaiannya itu. Wiro mengikuti, menanggalkan dan membuang celana daunnya.
"Aku yakin telah terjadi sesuatu yang membuat musnah ilmu hitam si nenek. Lalu aku mendengar suara bentakan-bentakan serta tawa cekikikan Hantu Santet Laknat. Aku cepat-cepat menuju kesini…"
"Aku harus berterima kasih sekali lagi padamu. Kalau tadi kau tidak berteriak memberi ingat, aku pasti sudah dilibas nenek celaka itu di dalam jaring apinya!"
Wiro ingat pada Lakasipo, Luhsantini dan kawan kawannya. "Aku harus meninggalkan tempat ini. Aku musti mencari kawan-kawanku. Menolong Lakasipo dan Luhsantini."
"Aku ikut bersamamu!" kata Luhtinti pula
"Eh..." Wiro pandangi si gadis sambil garuk-garuk kepala.
"Ada apa?" tanya Luhtinti
"Sebenarnya aku lebih suka kau mengenakan pakaian dari daun itu. Dari pada pakaian hitam yang menyembunyikan kebagusan tubuhmu ini!"
"Pemuda bermata gatal!" kata Luhtinti seraya memencet hidung Pendekar 21 2 hingga Wiro terpekik kesakitan.
********************
Meski keadaannya babak belur dan dia tidak dapat menjaring Wiro namun Hantu Santet Laknat masih terhibur karena dia berhasil mendapatkan senjata sakti Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng. Lagi pula seperti yang tadi diucapkannya tanpa malu si nenek memang telah jatuh cinta pada pendekar kita. Sambil berjalan dia berkata sendirian
"Kapak sakti ini akan kubawa ke Gunung Latinggimeru. Akan kubuang ke dalam kawahnya! Biar terpendam seumur-umur! Betapapun aku mencintainya aku tetap harus berjaga-jaga!" Habis berkata begitu si nenek lantas meludah. Ludahnya masih bercampur darah pertanda dia menderita luka di dalam.
Baru saja Hantu Santet Laknat meludah, bahkan ludahnya belum sempat jatuh ke tanah tiba-tiba ada satu suara di belakangnya berkata. "Dari pada jauh-jauh dan susah-susah pergi ke Gunung Latinggimeru untuk membuang kapak itu, lebih baik serahkan saja padaku!"
"Pemiliknya dicintai tapi barangnya mau dibuang! Hik hik hik! Lucu juga nenek peot satu ini!"
Kejut Hantu Santet Laknat bukan kepalang. Dalam hati dia membatin. "Walau keadaanku seperti ini, tapi adalah aneh! Aku sampai tidak tahu dan tidak mendengar kalau ada beberapa orang mengikuti langkahku disebelah belakang! Agaknya mereka memiliki kepandaian tinggi!" Dengan cepat sinenek memutar badan.
********************
DUA BELAS
Karena mengejar setengah hati dan sambil mencari ayam jantan, akhirnya si nenek berjuluk Nenek Selaksa Angin alias Selaksa Kentut itu kehilangan jejak Hantu Langit Terjungkir. Tapi nenek kurang waras ini agaknya tidak begitu perduli. Siang itu dia tampak duduk di bawah sebatang pohon rindang.
Keranjang besar berisi tiga ekor ayam terletak di hadapannya. Di sekitarnya tujuh ekor ayam bergelimpangan mati dengan dubur amblas karena telah dicabuti kibulnya untuk disantap. Si nenek lunjurkan sepasang kakinya. Dadanya sesak turun naik. Sambil usap-usap perutnya dia memandang ke arah keranjang.
"Aku sudah menelan tujuh puluh empat kibul ayam jantan. Tinggal tiga ekor itu. Huh… aku akan sembuh! Pasti sembuh! Kalau tidak, pemuda asing itu akan kucabut duburnya, akan kubetot ususnya! Tiga ekor lagi. Tapi aku benar-benar kenyang! Rasanya mau muntah!" Luhkentut alias Nenek selaksa Kentut usap-usap perutnya yang gembul. Lalu...
"Butt... Prett!"
Dia terkentut! Sekali ini si nenek memandang berkeliling, lalu pegang-pegang pantatnya sendiri. Bola matanya yang kuning berputar-putar.
"Kentutku terdengar aneh sekali ini! Buutnya pendek lalu ada prettnya! Hik hik hik! Enak juga kedengarannya! Jangan-jangan aku memang siap sembuh!"
Girang sekali si nenek jadi bersemangat. Lalu dia ambil salah seekor ayam dalam keranjang. Dengan cepat binatang itu dipesianginya. Dijebol ujung duburnya lalu dimakan mentah-mentah. Begitu habis disambarnya ayam ke dua. Masih megap-megap dia tancap ayam ke tiga! Dengan mata mendelik setelah menelan kibul ayam yang terakhir si nenek berteriak seraya melompat.
"Tujuh puluh tujuh! Aku sudah menelan tujuh puluh tujuh kibul ayam! Aku sudah sembuh!" Si nenek merasakan geli-geli di sekitar duburnya. Lalu... "butt.. prett!" Dia kentut lagi, dengan suara aneh tidak seperti biasanya.
"Heh, bagaimana ini! Aku masih kentut! Berarti belum sembuh! Kurang ajar! Apakah aku telah tertipu! Aku harus mencari anak itu!"
Tiba-tiba semak belukar di samping kiri si nenek bergerak. Luhkentut cepat berbalik seraya hendak menghantam dengan tangan kanannya.
"Nek, jangan! Ini kami!" Satu suara berseru lalu dua sosok berkelebat dan muncul di hadapan Luhkentut!
"Kalian!" hardik si nenek muka kuning dengan mata melotot! "Mana kawanmu yang bernama Wiro Sableng itu?!"
"Kami justru kehilangannya!" jawab salah satu dari dua orang yang barusan datang yang bukan lain adalah Naga Kuning.
"Kami tengah mencarinya! Dia lenyap dan tak muncul lagi setelah mengikuti seorang gadis bernama Luhcinta," menerangkan orang ke dua yaitu si kakek berjuluk si Setan Ngompol.
"Hemm… Dia berani menipuku, sekarang malah asyik bercinta dengan gadis bernama Luhcinta itu! Kurang ajar! Kau bakal menerima pembalasanku Wiro! Aku setengah mati menelan tujuh puluh tujuh kibul ayam jantan! Penyakit kentutku ternyata tidak sembuh!"
"Butt... prett!"
"Nek jangan salahkan sahabat kami! Jika mendengar kentutmu kurasa kau sudah hampir sembuh…"
"Hampir sembuh bagaimana! Apa kau tuli tidak mendengar aku masih kentut-kentut?!" bentak si nenek kepada Setan Ngompol hingga kakek ini terpancar air kencingnya.
"Tunggu Nek," Naga Kuning menyahuti. "Kau memang masih kentut-kentut. Tapi apa kau tidak menghitung? Sekarang kentutmu jauh berkurang. Tidak terus-terusan seperti dulu. Lagi pula kalau dulu kentutmu panjang buuttt... buuuutttt... buuttt! Sekarang kau cuma kentut pendek-pendek saja. Butt! Dan sekali-sekali. Lalu ada tambahan Prett! Apa itu tidak berarti kau sudah hampir sembuh malah kentutmu terdengar indah lucu?!"
"lndah lucu bapak moyangmu! Aku tetap harus mencari pemuda itu! Kalian berdua harus menunjukkan dimana dia berada!"
"Kami tidak tahu Nek, sungguh!" jawab Naga Kuning.
"Sahabatku nenek muka kuning," Setan Ngompol ikut bicara. "Jika kau hendak mencelakai Wiro padahal dia telah menolong menyembuhkan penyakit kentutmu, paling tidak mengurangi, bisa-bisa kau bakal kena kutuk!"
"Kakek mata lebar kuping sumplung! Kena kutuk apa maksudmu? Apa telingamu yang sebelah lagi mau kuambil dan kupindah ke selangkanganmu?!"
"Serrr!" Kencing si kakek langsung terpencar. Tergagap-gagap Setan Ngompol berkata. "Maksud kami berdua baik. Memberi tahu agar kau tidak salah kaprah..."
"Aku tidak mengerti! Apa itu salah kaprah!" bentak Luhkentut.
"Begini Nek," Naga Kuning coba menerangkan. "Sahabat kami Wiro Sableng telah menolongmu. Walau penyakit kentutmu tidak sembuh seluruhnya tapi dibanding dulu sudah jauh berbeda. Kini kau cuma kentut sekali-sekali. Kentutmu jadi pendek. Lalu ada sedikit hiasan Prett dibelakangnya! Kau bukannya berterima kasih pada sahabatku itu, tapi malah mau mencelakainya. Mencelakai orang yang telah menolong bisa-bisa penyakit kentutmu kambuh kembali. Malah lebih parah, lebih panjang! Bagaimana kalau kau nanti kentut sambil kepulkan asap dari duburmu!"
Habis berkata begitu Naga Kuning tekap hidung dan mulutnya mencegah jangan sampai tersembur tawanya. "Anak kurang ajar! Jangan kau berani menakut nakuti diriku! Kuperas peralatanmu baru tahu rasa!" Nenek muka kuning ulurkan tangannya ke bagian bawah perut Naga Kuning.
Si bocah tentu saja cepat-cepat melompat selamatkan diri. Setan Ngompol walau agak takut-takut segera berkata. "Anak itu tidak menakut-nakuti. Kalau kau tidak percaya padanya harap percaya padaku. Kita sama-sama tua..."
"Aku tua wajar, kau tua terjemur, bau dan buruk!" semprot Nenek Selaksa Kentut.
Si Setan Ngompol tersurut dua langkah. Sambil menahan kencing dengan suara perlahan dia berkata. "Terserah padamu. Aku hanya memberi tahu. Kalau kau sampai salah kaprah bisa celaka. Apa kau suka nanti setiap kentut kau juga sekaligus mencret?!"
Naga Kuning membuang muka menahan tawa. Si Setan Ngompol pura-pura membetulkan celananya padahal sudah tidak sanggup menahan kencing. Kedua orang ini melirik ke arah si nenek muka kuning.
Saat itu Luhkentut tampak terdiam seperti berpikir pikir. Diam-diam dia merasa kecut. Apalagi mendengar ucapan si kakek. Bagaimana kalau nanti dia benar-benar kentut dan mencret hanya gara-gara hendak mencelakai pernuda bernama Wiro Sableng itu?
Si nenek melangkah mondar-mandir. Diam-diam dia mengakui dan sebenarnya merasa senang karena kentutnya kini memang hanya tinggal sekali-sekali. Walaupun kentut, suaranya tinggal pendek dan ada tambahan Prett yang oleh si bocah bernama Naga Kuning itu disebut sebagai sesuatau yang 'indah'
Satu senyum akhirnya menyeruak di wajah si nenek. Dia memandang pada dua orang di hadapannya. "Baiklah, aku memang pantas berterima kasih pada sahabatmu bernama Wiro Kencing Kuda itu. Kebaikan seharusnya memang musti dibalas dengan kebaikan. Aku akan mencarinya untuk berterimakasih bukan untuk mencelakainya…"
"Kau memang orang yang rendah hati tinggi budi!" memuji Setan Ngompol
"Baik hati dan engg… Lumayan cakep!" kata Naga Kuning menyambungi.
"Cakep? Apa itu cakep?" tanya Luhkentut tak mengerti.
"Cakep artinya kau cantik selangit tembus!" jawab Naga Kuning.
Si nenek tertawa mengekeh. "Kau pandai memuji Tapi dibalik pujianmu itu kau masih bercanda nakal mempermainku! Mana ada di dunia ini nenek-nenek punya kecantikan selangit tembus! Kau salah berucap. Bukan selangit tembus tapi selangit gosong! Hik hik hik!"
Setelah mendongak ke langit sebentar si nenek berkata. "Kita segera saja mencari sahabatmu itu. Aku khawatir anak murid Hantu Santet Laknat bernama Hantu Bara Kaliatus itu telah berbuat macam-macam mencelakai orang!"
Naga Kuning lalu menceritakan di mana dan bagaimana terakhir kali dia dan Setan Ngompol melihat Wiro dalam keadaan tanpa pakaian berada di satu pedataran liar dalam rimba belantara Lasesatbuntu.
"Kawanmu itu sudah kena sirap nenek dukun jahat itu! Kalau kita sampai terlambat bisa-bisa mereka berdua sudah jadi suami istri!"
"Suami istri?" Naga kuning terkejut.
"Apa?!" Setan Ngompol tersentak kaget, tak percaya pada pendengarannya. "Kurasa anak itu belum cukup gila untuk mau bercinta dengan si nenek buruk bau itu!"
Luhkentut menyeringai. "Hantu Santet Laknat bukan dukun jahat namanya kalau tidak mampu menyirap menipu orang. Setahuku dia punya ilmu hitam yang disebut llmu Bersalin Rupa. Dia bisa merubah diri menjadi gadis paling cantik di muka bumi ini. Apa sahabatmu si Sableng itu tidak akan terangsang?"
"Celaka! Wiro benar-benar dalam bahaya besar!" kata Naga Kuning.
"Aku punya dugaan, kalau Hantu Santet Laknat menjebak pemuda seperti sahabatmu itu, dia pasti punya satu maksud tersembunyi! Kita berangkat sekarang juga ke rimba Lasesatbuntu!"
"Nek, sebelum pergi, aku mau tanya apa potongan kuping kananku masih ada padamu?" bertanya Setan Ngompol harap-harap cemas.
"Aku tak tahu aku simpan dimana kupingmu itu! Entah sudah kubuang entah sudah kujadikan makanan anjing!"
"Celaka!" Setan Ngompol tersurut pucat dan keluarkan kencing. Tangan kanannya mengusap-usap telinga kanannya yang tak ada daunnya lagi karena memang sudah diambil oleh nenek tukang kentut itu waktu berada di goa tempat disembunyikannya patung Luhmintari.
Baca Episode berjudul Hantu Langit Terjungkir
Kemampuan si nenek mengambil dan memindah bagian-bagian tubuh manusia ini dimungkinkan karena dia mempunyai ilmu yang disebut Menahan Darah Memindah Jazad
"Memangnya kenapa kau tanyakan kupingmu itu?!" bertanya Luhkentut.
"Sesuai perjanjian, kuping itu untuk jadi jaminan bahwa kau bisa disembuhkan. Sekarang kau sudah bisa dikatakan sembuh. Lagi pula bukankah kita ini sekarang sudah bersahabat?" Setan Ngompol berkata sambil tersenyum dan kedip-kedipkan matanya.
Si nenek muka kuning tertawa masam. Dia meraba-raba pakaian kuningnya, mencari-cari disetiap sudut sosok tubuhnya. Meraba sampai di bawah perut si nenek berhenti. Matanya yang kuning menatap pada Setan Ngompol lalu dikedipkan. Si nenek kemudian balikkan badannya sambil mengangkat pakaian kuningnya keatas. Sesaat kemudian ketika dia kembali membalik, potongan kuping kanan Setan Ngompol sudah berada di tangan kirinya.
"lni, kau ambillah kembali! Aku memang tidak butuh lagi kupingmu ini!" Setan Ngompol menerima potongan kupingnya. Benda itu terasa hangat, basah dan bau pesing.
"Nek, kau letakkan di mana kupingku ini tadi...?" tanya Setan Ngompol.
"Kakek tolol! Coba kau cium sendiri! Kau pasti sudah tahu kusimpan dimana daun telingamu itu!" jawab si nenek lalu berpaling pada Naga Kuning. Kedua orang ini kemudian sama-sama tertawa cekikikan.
"Aku...!" Setan Ngompol kibas-kibaskan potongan daun telinganya. "Bagaimana ini. Bagaimana aku menempelkannya ke telingaku kembali. Nek!"
Luhkentut ambil daun telinga yang dipegang si kakek lalu ditempelkannya ke telinga kanan Setan Ngompol. Tapi tempelannya ternyata terbalik. Bagian daun telinga yang seharusnya menghadap ke depan diletakkannya di sebelah belakang. Akibatnya Setan Ngompol merasa bising karena telinga kirinya menangkap suara dari depan sedang telinga kanan menangkap suara dari sebelah belakang. Naga Kuning yang mengetahui hal ini diam saja sambil menahan ketawa.
"Sudah?! Kau puas sekarang?!" tanya Luhkentut.
"Pu… puas Nek. Tapi… Ah, aku tak tahu apa yang salah pada diriku! Tempat ini tiba-tiba seperti bising…"
"Kek," kata Naga Kuning. "Kau seperti masih menyesali diri. Seharusnya kau berterima kasih pada nenek itu. Dia telah mengembalikan potongan daun telingamu..."
"Aku memang berterima kasih!" jawab Setan Ngompol. "Tapi kau tahu dimana dia menyimpan kupingku ini?" kata Setan Ngompol dengan mata melotot.
"Sudahlah, mengapa hal itu diributkan. Kau sudah dapatkan telingamu kembali dan sudah dipasangkan ditempatnya semula!"
"Tapi apa kau tidak melihat tadi?! Dia meletakkan kupingku di anunya!"
"Sudahlah Kek, seharusnya kau berterima kasih dan merasa senang. Si nenek sudah menyimpan dan menempatkan daun telingamu di tempat yang paling aman, sedap hangat dan terhormat…"
"Sedap bapak moyangmu! Daun telingaku malah basah dan bau!" kata Setan Ngompol.
Naga Kuning tertawa cekikikan. Tanpa perdulikan si Kakek dia segera melangkah menyusul nenek muka kuning yang sudah berjalan duluan menuju rimba Lasesatbuntu. Di sebelah belakang si kakek berjalan mengikuti. Sesekali dia usap daun telinganya yang basah. Lalu tangannya didekatkan ke lobang hidung.
"Sial... Tapi hemmm… Baunya lama-lama terasa enak-enak sedap. Betul juga omongan bocah sialan itu!" Si kakek lalu mesem-mesem tertawa. Melangkah sambil mengendus-endus jari-jari tangannya.
T A M A T