HARIMAU SINGGALANG
SATU
HARI itu hari ketiga di bulan kedelapan merupakan hari besar bagi penduduk Pagaralam dan sekitarnya. Suara talempong, rabab dan saluang terdengar tiada putus-putusnya. Sejak pagi halaman rumah gadang tempat kediaman Datuk Gampo Alam telah dipenuhi oleh para tetamu yang berdatangan dari berbagai penjuru.
Di barisan kursi sebelah depan, dinaungi oleh payung-payung besar berwarna warni duduklah sang Datuk didampingi keempat istrinya di sebelah kiri sedang di sebelah kanan duduk seorang pemuda tampan kemenakan Datuk Gampo Alam, bernama Andana. Begitu banyaknya tamu yang datang hingga di antara mereka ada yang tidak kebagian tempat duduk.
Namun semuanya dengan senang hati tegak di sekeliling halaman menunggu dimulainya acara perhelatan besar itu. Perhelatan besar ini diadakan sebgaai ungkapan rasa syukur atas kembalinya sang kemenakan setelah beberapa tahu menghilang di negeri orang. Pada kesempatan yang sama perhelatan ini juga sebagai ungkapan rasa duka cita dalam mengenang berpulangnya Datuk Bandaro Sati, ayah dari Andana dan kakak dari Daruk Gampo Alam.
Sesuai dengan berita yang telah didengar orang dari mulut ke mulut, Datuk Bandaro Sati mati dibunuh orang di sekitar Ngarai Sianok beberapa waktu lalu. Siapa pembunuhnya masih belum diketahui. Sementara itu jenazah Datuk Bandaro Sati telah dimakamkan di puncak gunung Singgalang di mana berdiam kakak perempuan almarhum bernama Uning Ramalah.
Kabarnya perempuan yang sudah tua ini merupakan seorang nenek sakti mandraguna yang mempunyai pantangan membunuh. Itu sebabnya dia tidak turun gunung guna menuntut balas atas kematian adiknya. Andana selain tampan dan bertubuh kekar diketahui orang sebagai seorang pandeka (pendekar) berilmu silat tinggi, memiliki tenaga dalam tinggi dan kesaktian yang sulit dicari tandingannya.
Belakangan tersiar kabar bahwa konon pemuda itu telah dijuluki orang sebagai Harimau Singgalang. Di belakang deretan kursi yang diduduki Datuk Gampo Alam dan keluarganya, duduk orang-orang terpandang yang datang dari Pagaruyung dan Batusangkar serta Bukittinggi. Bahkan ada yang datang dari pesisir Pariaman.
Tumenggung Rajo Langit, tokoh besar di Pagaruyung sebenarnya juga diundang tetapi tidak kelihatan hadir. Mungkin ada sangkut pautnya dengan dua kejadian di Pagaralam beberapa waktu lalu antara Tumenggung Rajo Langit dan orang-orangnya di satu pihak dengan Andana dan Pendekar 212 Wiro Sableng di lain pihak.
Di antara orang banyak yang tegak mengelilingi halan rumah gadang kelihatan seorang pemuda mengenakan saluak (kopiah khas Minang), berpakaian bagus berwarna biru. Dia tegak sambil rangkapkan kedua tangan di depan dada. Memandang berkeliling. Jika pandangannya bertemu dengan Andana maka diapun tersenyu lebar dan mengacungkan jari jempolnya.
Orang-orang di sekitar tempat dia berdiri terheran-heran melihat pemuda ini. Mereka tidak mengenali siapa dia. Dan anehnya pemuda ini memiliki potongan badan serta wajah yang mirip dengan Andana kemenakan Datuk Gampo Alam itu.
“Tak mungkin saudaranya Andana,” kata seorang tamu setengah berbisik. “Setahu waden si Andana itu tak punya kakak tak punya adik…” (waden artinya aku)
Sementara itu di salah satu bagian rumah gadang, Bunga sedang didandani oleh seorang juru solek. Di ruangan sebelah yang dipisahkan dengan batas sehelai hordeng terletak berbagai perlengakapan untuk menari termasuk seperangkat carano berisi sirih yang akan dipersembahkan pada Andana selaku tamu kehormatan dalam perhelatan itu.
Sewaktu juru rias tengah membentuk dan mempertebal alis mata Bunga, tak sengaja gadis ini mengerling ke arah ruangan sebelah. Dia melihat seorang perempuan tinggi besar mengenakan baju kurung kuning dan berselendang melangkah mendekati cerana berisi susunan daun sirih yang sudah diisi gambir dan kapur.
Karena tidak pernah melihat perempuan sebesar dan setinggi itu sebelumnya, diam-diam Bunga memperhatikan terus orang ini. Dalam hati dia merasa aneh mengapa justru orang-orang di sekitarnya seolah tidak memperhatikan perempuan tinggi besar ini?
Dari dalam sehelai sapu tangan orang itu mengeluarkan sebuah botol kecil. Isi botol kecil ini berbentuk cairan, ditebarkan di atas sirih. Tampak asap tipis mengepul. Lalu orang ini cepat-cepat meninggalkan tempat itu tanpa bunga sempat melihat wajahnya. Selesai didandani dengan penuh rasa ingin tahu Bunga pergi ke ruangan sebelah.
Diperhatikannya tiga susunan sirih yang ada di atas cerana. Warnanya yang seharusnya hijau segar telah berubah agak kehitaman. Bunga mendekatkan hidungnya ke susunan sirih itu. Gadis ini merasa hidungnya seperti hendak tanggal. Dia batuk-batuk berulang kali. Wajahnya tampak agak pucat. Racun kala hutan... kata Bunga dalam hati. Mengapa perempuan tinggi besar tak dikenal tadi meracuni daun-daun sirih itu?
Siapa yang hendak diracuninya? Andana? Pasti Andana karena sesuai kebiasaan sirih itu nanti akan dipersembahkan pada pemuda tersebut. Andana akan mengunyahnya! Apa yang harus dilakukannya? Membuang semua sirih itu lalu menggantikannya dengan yang baru?
Tak ada jalan lain. Memang hanya itu yang segera dan harus dilakukannya. Karena kalau Andana sampai mengunyah dan memakan daun sirih persembahan yang telah disiram dengan racun kala hutan itu maka nyawanya tidak akan tertolong lagi. Racun kala hutan adalah racun paling jahat yang tidak ada obat pemusnahnya. Seorang perempuan separuh baya muncul dari balik hordeng.
“Bunga, saatmu keluar. Lekas bawa cerana dan turun ke bawah. Para penari lainnya sudah menunggu.”
Dengan agak gugup gadis itu berdiri lalu mengambil cerana di atas meja. Bersamaan dengan itu dia cepat mengambil selembar daun sirih yang masih segar dari atas meja, lalu diberinya gambir dan kapur sirih dan dilipatnya. Sebelum diletakkan di atas cerana Bunga mengambil lagi sehelai daun sirih. Daun kedua ini dipergunakan sabagai alas untuk meletakkan daun sirih yang tadi dilipatnya.
Meskipun sirih yang satu itu terlindung dari racun yang sudah melekat pada sirih-sirih lainnya namun hati Bunga tetap saja merasa kawatir kalau-kalau racun kala hutan bisa merambas menembus daun sirih yang dijadikan alas.
“Hai cepatlah Bunga! Apa yang kau lakukan itu?!” tegur perempuan tadi. “Saya segera turun, Etek...” kata Bunga pula. (Etek artinya panggilan terhadap perempuan lebih tua dan biasanya telah bersuami).
Perhelatan besar dan meriah itu dibuka dengan sambutan pendek yang tak lupa dibumbui dengan pepatah pepitih di samping memuji-muji Datuk Gampo Alam dan kemenakannya.
Selesai sambutan perhelatan dilanjutkan dengan pergelaran Tari Piring. Tarian ini dibawakan oleh dua pasang muda mudi diiringi bunyi-bunyian. Masing-masing penari membawa sebuah piring kaca di tangan kiri kanan. Mereka menari meliuk-liuk terkadang bergerak cepat menghnetak-hentak.
Kemudian keempat menari bergerak mengelilingi tumpukan pecahan kaca yang ditebarkan di atas tanah. Pada puncaknya keempar penari itu menari dengan menjejakkan kaki mereka di atas pecahan kaca tersebut. Kemudain mereka menari sambil bergulingan beberapa kali di atas kaca!
Setelah Tari Piring selesai masuklah rombongan debus memperlihatkan kebolehan mereka dalam ilmu kebal. Ada yang menusuk perut dan dadanya dengan berbagai senjata tajam. Mulai dari pisau sampai keris dan golok bahkan tombak. Ada pula yang mencelupkan kedua tangannya dalam minyak mendidih kemudian membasuh wajahnya dengan minyak panas itu.
Seorang perempuan memperlihatkan kemampuannya memakan kaca dan minum air mendidih. Pertunjukan diakhiri dengan pergaan seorang lelaki muda melompat-lompat dia atas paku sambil memotong-motong lidahnya dengan sebilah pisau. Pertunjukan debus ini disaksikan orang banyak dengan perasaan berdebar. Orang-orang perempuan acap kali terpaksa memalingkan muka mereka karena ngeri.
Pertunjukan puncak adalah penampilan rombongan muda mudi membawakan Tari Gelombang. Di sebelah depan bergerak sembilan orang pemuda berpakaian galembong dan destar hitam. Di sebelah belakang bergerak lima orang penari perempuan yang kesemuanya adalah gadis-gadis cantik berbaju kurung berkain songket.
Rambut mereka dihias dengan sunting berwarna kuning emas. Yang paling cantik di antara semua gadis penari itu adalah yang di depan sebelah tengah. Dia memakai tengkuluk tanduk kerbau di atas kepalanya serta membawa cerana berisi sirih. Gadis ini tentu saja adalah Bunga.
Sejak rombongan penari muncul sepasang mata Datuk Gampo Alam boleh dikatakan tidak berkesip dari memperhatikan wajah dan tubuh Bunga. Duduknya tampak tidak tenang. Lehernya berulang kali disentakkan. Tenggorokannya tampak turun naik beberapa kali kelihatan dia membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Sesekali dia memandang berkeliling seperti mencari-cari seseorang. Zainab istri tua sang Datuk sampai berkata, “Dari tadi saya perhatikan Datuk seperti gelisah, Siapa yang Datuk cari...?”
Datuk Gampo Alam tidak menjawab. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang tegak di tepi halaman di antara orang banyak. Datuk Gampo alam berpaling pada Andana.
“Itu pemuda sahabatmu bernama Wiro...?”
“Betul Paman...”
“Perlu apa dia berada di sini?”
“Dia orang asing di sini. Perhelatan ini tentu saja sangat menarik perhatiannya. Sebagai seorang sahabat apa salahnya dia berada disini menonton pesta. Saya yang mengundangnya datang.”
“Dari mana dia dapat saluak dan pakaian bagus itu?” tanya Datuk Gampo Alam lagi.
“Saya yang meminjamkannya,” jawab Andana.
Tampang Datuk Gampo Alam tampak berkerut dan masam. Dia memandang berkeliling. Orang yang dicarinya akhirnya dilihatnya juga. Palindih. Sang Datuk memberi isyarat agar Palindih mendekatinya. Begitu Palindih sampai di hadapannya Datuk Gampo Alam segera berbisik.
“Gadis yang membawa cerana itu, siapa dia?”
Astaga sudah bangkit pula gatal urang gaek ini! Kata Palindih dalam hati. “Namanya Bunga,” memberi tahu Palindih juga dengan berbisik. Lelaki ini melihat harapan mencari untung. Untuk urusan beginian dia pasti akan mendapat upah atau hadiah besar.
“Agaknya Datuk berhasrat ?” tanya Palindih kembali berbisik.
“Hemm...” Datuk Gampo Alam usap-usap dagunya. Kedua matanya tak lepas dari memandang wajah dan gerakan tubuh Bunga yang tengah menari. Lehernya disentak-sentakkan berulang kali.
“Nama bagus, orangnya cantik secantik bidadari...” kata Datuk Gampo Alam agak keras diluar sadar.
Tiba-tiba saja satu cubitan menyambar pahanya hinga sang Datuk terlonjak di tempat duduknya. Yang mencubit adalah Rukiah, istri Datuk Gampo Alam yang paling muda dan duduk tepat di samping sang Datuk.
“Di saat-saat seperti ini sepantasnya Datuk menjaga mata dan mulut!” hardik Rukiah tapi dengan suara sangat perlahan.
“Ah kau orang perempuan mau tahu saja urusan lelaki!” kata Datuk Gampo Alam dengan muka cemberut.
Rukiah tak kalah cemberutnya malah dengan membelalakkan mata pada Palindih dia berkata, “Pergi kau dari sini! Berani kau menjadi comblang, kusuruh potong burung tekukurmu!”
Palindih memandang pada Datuk Gampo Alam. Dia ragu sesaat. Akhirnya Datuk berkata, “Sudah, pergi sajalah. Aku hanya sekedar bertanya, tak ada maksud apa-apa. Lekas pergi Palindih. Kalau tidak habis aku bengkak-bengkak. Ada kalajengking betina di sini! Aduah...!” Paha Datuk Gampo Alam kembali disambar cubitan. Sakit dan pedas bukan main.
“Ada apa Mamak.....” tanya Andana terheran-heran.
“Tak ada apa-apa. Si Rukiah sudah tak sabar mau segera bersantap siang makan besar! Dasar perempuan urusan perut saja yang diingatnya!” jawab Datuk Gamp Alam berdusta.
Para pemuda yang menarikan Tari Gelombang yang berada di sebelah depan bersibak ke kiri dan ke kanan memberi jalan pada gadis pembawa cerana. Dengan lemah gemulai Bunga maju ke arah Andana selangkah demi selangkah. Kalau Andana mengagumi kepandaian gadis itu menari, maka sebaliknya saat itu Bunga berada dalam keadaan bingung serta takut. Kalau dia bergerak lebih dekat dan memberi tahu bahaya yang mengancam pada si pemuda, jelas Datuk Gampo Alam dan orang-orang di sekitarnya akan mendengar.
Maka sebisa-bisa yang dilakukan Bunga adalah membuat gerakan-gerakan berupa isyarat tangan dan goyangan kepala agar Andana bangkit berdiri lalu melangkah menghampirinya. Hal ini sebenarnya tidak pernah kejadian karena seharusnya sang penarilah yang menghaturkan dan mempersembahkan sirih persembahan kepada orang yang dihormati. Namun agaknya Bunga tak punya jalan atau cara lain.
Sambil terus menari Bunga menggoyangkan kepalanya ke belakang. Kedua matanya menatap lurus pada pemuda itu. Lalu tangan kanannya digerak-gerakkan agar lebih jelas bagi Andana akan isyarat yang diberikannya. Mula-mula Andana tidak memperhatikan.
Namun setelah berulang kali Bunga membuat gerakan yang sama dan menatap padanya, pemuda ini mulai menduga-duga agaknya ada sesuatu yang hendak disampaikan gadis ini lewat isyarat goyangan kepala, tatapan mata dan gerakan tangan itu.
SATU
Datuk Gampo Alam yang duduk di sebelah Andana dan banyak orang lainnya juga sama merasa heran mengapa gadis pembawa sirih persembahan itu belum juga bergerak maju mendekati tamu kehormatan guna memberikan persembahan sekapur sirih. Bunga jadi tambah bingung. Keringat mengucur di kening dan kuduknya.
Andana sendiri perlahan-lahan mulai menangkap isyarat yang dibuat Bunga. Namun hatinya masih meragu. Dia melirik pada Datuk Gampo Alam. Tampaknya sang Paman mulai mencium adanya sesuatu yang tidak beres. Andana kemudian memandang ke jurusan di mana sahabatnya Wiro Sableng berdiri.
Sebenarnya Wiro pun berharap Andana melihat kepadanya karena sejak tadi dia sudah maklum ada sesuatu. Dia ingin pula memberikan isyarat pada Andana agar mengikuti apa yang diinginkan Bunga di balik isyarat yang diberikannya. Bagitu Andana memandang ke padanya, Wiro serta merta menengadahkan telapak tangan kanannya lalu menggerak-gerakkan tangan itu ke atas.
Sehabis membuat gerakan itu Wiro susul dengan gerakan tudingan ibu jari berulang kali. Akhirnya Andana menangkap juga apa maksud Bunga dengan isyarat goyangan kepala serta gerakan tangan. Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Datuk Gampo Alam hendak menegur tapi sang kemenakan sudah melangkah mendekati penari yang membawa cerana berisi sirih persembahan.
Bunga cepat menyongsong. Cerana dipegangnya dengan kedua tangannya. Kedua kakinya ditekuk sedikit dan kepalanya ditengadahkan. Dia memandang tersenyum pada si pemuda. Gemas sekali Datuk Gampo Alam melihat apa yang dilakukan Bunga itu. Rasa cemburu membakar dadanya.
“Ambil sirih paling atas. Yang lainnya mengandung racun!” bisik Bunga seraya mengangsurkan cerana lebih tinggi.
Andana tentu saja terkesiap kaget mendengat bisikan gadis itu. Namun dia cepat menguasai keadaan. Wajahnya yang tadi tampak berubah dihiasnya dengan senyum yang dibalas pula dengan senyum oleh Bunga. Pemuda ini ulurkan tangannya ke arah cerana.
Sesuai dengan apa yang tadi dibisikkan Bunga dia mengambil lipatan sirih segar hijau yang paling atas yang terletak begitu rupa di atas selembar daun sirih. Sepintas dia dapat melihat bagaimana sirih-sirih lainnya berwarna aneh, hijau kehitaman. Dengan sirih di tangan kanannya Andana melangkah mundur, kembali ke tempat duduknya.
“Makanlah sirih persembahan itu, Andana. Sengaja diberikan bukan saja sebagai penghormatan tapi juga sebagai ungakapan syukur bahwa kau akhirnya kembali ke Pagaralam dengan selamat.” Yang berkata adalah Datuk Gampo Alam dengan senyum aneh bermain di mulutnya.
Andana memperhatikan sejenak sirih di tangannya.
“Apa lagi yang kau tunggu Andana? Makanlah...”
Andana menganggukkan kepalanya. Tanpa ragu-ragu sirih itu dimasukkannya ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan mulai dikunyahnya. Dia berpaling pada Datuk Gampo Alam. Sang Paman dilihatnya angguk-anggukkan kepala dan masih tersenyum.
Orang banyak bertepuk tangan dan ada yang bersorak sorai. Sementara itu muda mudi yang menarikan Tari Gelombang tampak terus melenggang meliuk-liuk mengikuti alunan tetabuhan. Datuk Gampo Alam yang tidak habis-habisnya memperhatikan Bunga berkata pada istri mudanya “Rukiah, aku lihat tadi mulut penari pembawa cerana itu bergerak seperti mengatakn sesuatu. Kau dengar apa yang diucapkannya?’
“Mana mungkin telinga saya mendengar. Suara talempong keras sekali. Suara gendang tak kalah kerasnya. Gadis itu mungkin suka pada kemenakan Datuk. Barangkali mereka sudah saling kenal sebelumnya. Lagi pula perduli apa saya akan segala yang diucapkannya?”
Datuk Gampo Alam terdiam. Ingatannya melayang pada beberapa kejadian di masa lalu. Hemmmm... dulu kedua anak ini memang pernah digunjingkan orang. Pernah terlihat bercinta-cintaan di tengah jalan. Kalau begini aku harus bertindak cepat! Datuk Gampo Alam berpaling ke samping. Dilihatnya kemenakannya itu mengunyah sirih dengan tenang.
Sementara itu di atas rumah gadang sepi karena semua orang turun ke bawah untuk melihat dari dekat keramaian itu. Seorang perempuan tinggi besar berbaju kurung kuning dengan selendang yang hampir menutupi seluruh wajah hingga mata kanannya seja yang kelihatan, mengintai dari balik jendela. Anehnya mata orang ini besar dan merah tidak pantas untuk mata seorang wanita.
Satu kali angin bertiup agak kencang. Selendang yang menutupi wajah itu tersingkap lebar hingga kelihatanlah bagian besar wajah perempuan ini. Astaga! Wajah ini ternyata wajah seorang lelaki yang menyeramkan. Mata kirinya buta picak. Kumis dan cambang baeuknya meranggas kasar! Tangan kanannya yang memegang pinggiran selendang tampak merah kehitaman seperti pernah terbakar.
Orang yang menyamar sebagai perempuan inilah tadi yang telah mengguyurkan racun kala hutan di atas daun-daun sirih dalam cerana. Wajahnya yang angker tampak tegang sewaktu menyaksikan bagaimana Andana masih tetap duduk dengan tenang dikursinya, malah beberapa kali melayangkan senyum pada penari pembawa cerana.
Apa yang terjadi. Orang di balik jendela bertanya pada diri sendiri. Jelas dia sudah memakan sirih beracun itu. Mengapa masih belum mati terjengkang?! Apa benar dia memiliki kesaktian luar biasa hingga tak mempan racun? Celaka!
Orang ini pergunakan kedua tangannya untuk memegang selendang. Dengan bergegas dia segera meninggalkan tempat itu. Di bawah rumah gerak gerik orang yang tadi mengintai di balik jendela ternyata sempat terlihat oleh Andana. Dia berbisik pada Datuk Gampo Alam.
“Mamak, ada seseorang di atas rumah gadang. Gerak geriknya mencurigakan. Saya akan coba menyelidik dan mengejar!” (Mamak di sini artinya Paman) Datuk Gampo Alam menoleh ke arah rumah gadang. Dia masih sempat melihat punggung orang yang dikatakan Andana itu. Sesaat parasnya berubah. Lalu cepat dia berkata,
“Tetap saja di sini Andana. Tak ada yang perlu dikawatirkan. Orang berbaju kurung kuning tadi kurasa pastilah salah satu dari juru masak. Lupakan hal itu Andana. Tak sedap pula makan kita nanti.”
Hati Andana tetap tidak tentram. Dia tidak pernah melihat perempuan dengan ukuran badan sebesar dan setinggi orang tadi. Maka diapun berpaling ke arah Wiro berdiri. Namun sahabatnya itu dilihatnya tak ada lagi di situ. Kemana pula sahabatku orang Jawa itu? Pikir Andana.
Dari tempatnya berdiri Wiro Sableng dapat melihat orang yang ada di jendela rumah gadang. Walau wajahnya tidak jelas karena terus-terusan ditutup dengan selendang namun bentuk tubuhnya yang tinggi besar menarik perhatian murid Eyang Sinto Gendeng ini.
Bukan main! Kata Wiro dalam hati. Baru kali ini aku melihat perempuan begini besar dan tinggi. Gerak geriknya terasa aneh. Sebaiknya aku menyelidik ke atas rumah sana. Siapa tahu nasibku mujur. Bertemu perawan cantik. Selagi dia berpikir seperti itu, perempuan berbaju kurung kuning di jendela rumah sudah lenyap.
Tanpa pikir panjang lagi Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu, menyeruak di antara orang banyak. Dia terpaksa mengambil jalan berputar untuk dapat sampai ke tangga di sisi kiri rumah gadang. Ketika Wiro sampai di dekat bangunan lumbung padi, perempuan berbaju kurung kuning itu dilihatnya menuruni anak tangga terakhir lalu berkelebat ke arah barisan pohon-pohon pisang.
Cepat sekali langkah perempuan itu. Eh, malah dia sekarang berlari. Nah... nah, dia berpaling ke arahku. Tak jelas wajahnya. Tapi astaga! Mengapa dia melepas kain panjangnya. Dua mata Wiro membesar ketika melihat di balik kain panjang yang dibuka oleh perempuan tinggi besar itu sambil berlari ternyata dia mengenakan celana galembong hitam. Kedua kakinya kini terlihat jelas. Besar berbulu dan dililiti gelang akar bahar!
Laki-laki! Ternyata dia laki-laki! Eh, banci atau bagaimana?! Jangan-jangan... Kalau dia bukan orang jahat apa perlunya menyelinap ke atas rumah gadang, menyamar seperti perempuan! Wiro berteriak. Tahu kalau dirinya sudah terlihat dan dikejar orang 'perempuan' berbaju kurung kuning itu mempercepat larinya. Wiro segera mengejar. Yang dikejar lenyap di jalan kecil menurun. Lalu terdengar suara kuda digebrak orang ke arah Timur.
Sialan! Gerutu Wiro. Dia memandang berkeliling, mencari-cari kalau-kalau ada kuda di sekitar situ. Pendekar ini hanya bisa banting-banting kaki karena tak seekor kudapun yang kelihatan. Tiba-tiba telinganya menangkap derap kaki kuda. Yang satu ini justru mendatangi ke arahnya. Wiro cepat menyongsong. Seorang lelaki tua muncul di atas punggung seekor kuda. Orang ini berpakaian dan berdestar putih. Di tangan kirinya dia memegang sebuah saluang. Kedua mata Wiro jadi terbelalak ketika dia mengenali orang ini (Saluang artinya suling khas Minang terbuat dari bambu)
Astaga! Si kakek ini adalah orang tua aneh berilmu tinggi yang dulu menghadang jalanku sewaktu bersama Andana. Dia mencelakai diriku hingga selangkangan celanaku robek besar. Lalu kutelanjangi dirinya, kurampas celananya! Sesaat Wiro agak bimbang. Tapi dia perlu kuda tunggangan orang tua itu. Dalam keadaan seperti itu si orang tua hentikan kudanya. Kedua matanya menatap tajam ke arah Pendekar 212. Suling di tangan kanan dimelintangkan di depan dada. Ah, pasti dia marah sekali padaku!
“Pencuri calana! Hari ini kita bertemu lagi! Mana celanaku yang kau rampas tempo hari?!” orang tua itu membentak.
“Sabar, tenang...”
“Sabar! Tenang! Enak betul cakapmu! Kau telanjangi diriku! Kau permalukan aku! Apa sekarang kau hendak menelanjangi aku lagi huh?! Apa kau kira kini aku bisa sabar dan tenang melihat tampangmu?!”
“Saya minta maaf atas kejadian tempo hari! Saya terpaksa melakukannya. Itupun gara-gara kau membuat robek celanaku...”
“Apapun alasanmu kau tetap maling perampas calana! Dan kau tidak bisa mengembalikan celana itu!”
“Akan aku kembalikan nanti. Aku berjanji!”
Orang tua di atas kuda tertawa sinis. Dia keluarkan suara mendengus lalu berkata. “Kulihat kau berpakai dan mengenakan saluak bagus! Hemm... Pasti hasil rampasan pula! Siapa pula yang telah kau telanjangi? Kali ini pasti tidak tanggung-tanggung. Kau rampas seluruh pakaiannya! Kau telanjangi orang sampai bugil!”
“Orang tua dengar...”
“Kau yang harus mendengar padaku! Bukan aku!” hardik si orang tua. “Dan kali ini aku tidak cuma bicara dengan mulut! Tapi juga dengan ini!”
Wiro hendak menggaruk kepalanya karena tak tahu mau bicara apa lagi. Selain itu dia merasa sangat risau karena orang yang dikejarnya tentu sudah semakin jauh. Di hadapannya saat itu sehabis berkata begitu si orang tua lantas ayunkan suling bambunya ke arah kepala Pendekar 212.
"Wuuttt!"
“Pecah kepalamu!” teriak si orang tua.
Wiro berseru keras. Tengkuknya menjadi dingin sewaktu suling bambu di tangan orang tua itu memapas topi kain songket di kepalanya. Padahal dia sudah merunduk dengan gerakan cepat. Topi itu mental dan robek menjadi beberapa potongan!
Ketika orang tua itu membelikkan kudanya dan kembali hendak menghantamkan suling bambunya Pendekar 212 membuat gerakan aneh. Dia menyusup ke bawah perut kuda tunggangan lawan. Tadi dia telah memperhatikan kalau kuda itu adalah seekor kuda jantan. Begitu berada di bawah perut kuda murid Sinto Gendeng ini dengan cepat menyodok biji kemaluan binatang itu. Tidak terlalu keras tapi cukup membuat kuda ini meringkik tinggi, mengangkat kedua kaki depannya ke atas setelah itu menghentak-hentakkan kedua kaki belakangnya!
“Kurang ajar! Kau apakan kudaku!” teriak si orang tua kaget dan cepat berusaha mengimbangi diri.
Namun terlambat. Kuda yang kesakitan itu kembali melejangkan kaki belakangnya. Tak ampun lagi penunggangnya terperosok ke samping lalu jatuh ke tanah. Di saat yang sama dengan kecepatan kilat Wiro melompat ke atas punggung kuda lalu menggebrak binatang ini hingga dalam sakitnya menghambur lebih kencang dari selama ini bisa dilakukannya.
Pendekar 212 hanya senyum-senyum mendengar di belakangnya orang tua itu memaki panjang pendek. Lalu dia mendengar ada suara pepohonan tumbang dan semak belukar rambas di belakangnya. Pasti orang tua itu telah melepaskan satu pukulan sakti. Wiro menelungkup serata mungkin di atas punggung kuda.
Sekeluarnya dari jalan kecil yang berkelok-kelok Wiro sampai ke sebuah lembah kecil menurun. Sesaat dia dapat melihat keadaan di depannya. Di kejauhan dia melihat seorang penunggang kuda berbaju kuning. Jarakku begitu jauh. Tak mungkin mengejarnya jika terus menempuh jalan kecil ini pikir Wiro. Di sebelah kanannya ada sebuah hutan kecil. Jika dia memasuki hutan itu mungkin dia masih mampu memotong jalan orang yang dikejarnya.
Tanpa berpikir panjang lagi Wiro segera memasuki hutan itu. Tak lama kemudian dia berhasil mencapai lereng lembah. Di satu tempat dia berhenti. Orang yang dikejarnya tidak kelihatan tapi telinganya lapat-lapat dapat menangkap suara derap kaki kuda di arah Selatan lembah. Secepat kilat Wiro mengerahkan kudanya ke jurusan itu. Namun anehnya suara derap kuda yang dikejarnya lenyap dengan tiba-tiba.
Tak mungkin orang itu lenyap begitu saja. Wiro memandang berkeliling. Eh! Di sebelah sana dia melihat sehelai pakaian berwarna kuning menyangsang di antara semak belukar. Wiro segera mendatangi. Dipegangnya ujung pakaian itu. Ini baju kurung si manusia banci itu! Pasti dia beraa di sekitar sini! Wiro memandang berkeliling. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan. Tiba-tiba suara tawa bergelak menggeledek di belakang Pendekar 212 sampai sang pendekar tergagau karena terkejut.
“Orang asing! Berani kau mengejarku?! Ini ada hadiah untukmu! Keparat!”
Wiro berpaling dengan cepat. Saat itu pula dua buah pisau terbang melesat ke arahnya. Satu mengarah ke dada, satunya mengarah perut!
“Banci edan!” teriak Wiro marah. Dia tidak sempat melihat jelas orang yang menyerangnya dengan dua bilah pisau terbang itu. Sambil melompat turun dari kuda Wiro lepaskan pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Pisau yang mengarah dada mencelat mental, patah dua. Salah satu patahannya menancap di sebatang pohon. Pisau kedua siap dibikin mental oleh pukulan sakti itu namun tiba-tiba terjadi hal luar biasa. Pisau satu ini membuat gerakan aneh. Meliuk ke kiri dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ular!
“Ha ha ha...!” Orang di depan sana tertawa bergelak lalu berkelebat lenyap.
“Kurang ajar!” damprat Wiro.
Dia cepat menyingkir sambil lepaskan lagi satu pukulan sakti ke arah pisau yang kini berubah menjadi ular dan mematuk secepat setan berkelebat! Bagaimanapun cepatnya Wiro menghindar, serangan tak terduga itu tak dapat dielakkannya. Ular mematuk dan menancap di bahu kirinya! Sehabis mematuk binatang jejadian ini menggelepar lalu jatuh ke tanah, berubah menjadi bubuk hitam yang mengepulkan asap.
Pendekar 212 cepat menotok beberapa bagian tubuhnya begitu dia merasa ada hawa panas menjalar. Selain panas bahunya seperti ditusuk puluhan jarum. Dirobeknya bajung pada bagian bahu kiri. Dengan tangan kanannya dia memencet bagian bahu sekitar patukan ular. Darah mengucur keluar. Bukan berwarna merah tetapi hitam!
Paras sang pendekar menjadi pucat! Cepat-cepat dia keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaian merahnya. Setelah merapal satu mantera pendek dalam keadaan tubuh panas dingin salah satu mata kapak ditempelkannya pada luka bekas patukan ular di bahu kirinya.
Wiro menjerit keras sewaktu asap kelabu mengepul keluar dari bahu yang ditempel senjata mustika sakti itu. Sekujur tubuhnya laksana dirajam. Sesaat mata kapak yang tadinya berwarna putih perak menyilaukan berubah manjadi sangat hitam lalu perlahan-lahan putih kembali ke warna asalnya. Ketika senjata itu diangkat dari bahunya darah hitam masih mengucur terus malah tambah banyak.
Celaka! Racun jahat sekali. Lukaku tak mau berhenti! Murid Sinto Gendeng jadi bingung dan takut. Namun sesaat kemudian hawa panas yang menyungkup tubuhnya mulai reda. Darah yang tersedot keluar oleh kekuatan Kapak Maut Naga Geni 212 perlahan-lahan tampak berubah dari hitam menjadi merah segar.
Murid Eyang Snito Gendeng menarik nafas lega. Dia terduduk di tanah. Dia baru saja selamat dari satu racun maha jahat. Ketika dia teringat pada orang tadi serta merta Wiro melompat bangkit. Dia memandang berkeliling.
Bagaimanapun saktinya manusia tadi tak mungkin dia lenyap amblas ke dalam bumi! Pikir Wiro. Lalu bagaimana dia bisa raib begitu rupa?! Pendekar ini segera memeriksa semak belukan di tempat itu. "Hem... ini rahasianya!" Kata Wiro.
Di balik serumpunan semak belukar lebat, di belakang dua pokok keladi hutan berdaun lebar tampak sebuah lobang besar. Dengan membungkuk Wiro memasuki lobang itu. Hati-hati dia bergerak maju. Kapak Naga Geni 212 tetap berada dalam genggamannya. Baru berjalan sekitar sepuluh langkah, lobang itu bercabang dua. Setelah meragu sejenak Wiro memasuki lobang sebelah kanan. Sepuluh lobang lagi bergerak ke dapan kembali lobang itu bercabang.
Kini bukan Cuma dua tapi tiga. Wiro memandang berkeliling. Keadaan di tempat itu semakin gelap. Bau busuk menusuk hidung. Sadar akan bahaya tak terduga yang mungkin bisa membokongnya sewaktu-waktu secara tidak terduga murid Eyang Sinto Gendeng akhirnya memutar tubuh, keluar dari lobang itu. Di belakangnya mendadak terdengar suara tawa bergelak. Lalu satu suara mengejek.
“Orang asing! Ternyata nyalimu rendah! Kalau jiwamu pengecut mengapa berani merantau sejauh ini? Ha ha ha...!”
“Bangsat!” maki Wiro. Bagitu keluar dari lobang dengan penuh kemarahan murid Sinto Gendeng ini menghantamkan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung kearah lobang itu tiga kali berturut-turut. Lembah itu laksana mau amblas ke perut bumi. Bukit kecil di mana lobang tadi berada longsor dengan suara bergemuruh. Lobang jalan masuk tertimbun tanah tak kelihatan lagi.
Wiro memasukkan Kapak Mau Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. Manusia banci! Aku mau lihat apa kau bisa keluar hidup-hidup dari dalam lobang celaka itu! Habis berkata begitu Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu dengan berjalan kaki karena kuda si orang tua yang tadi dirampasnya tak ada lagi di tempat itu. Meskipun dirinya telah selamat dari racun ular yang sangat jahat tadi namun saat itu dia merasa tubuhnya lemas sekali.
Hanya beberapa saat Wiro teinggalkan tempat itu satu bayangan putih berkelebat. Orang ini memandang berkeliling. Sambil gelengkan kepala dia berkata. Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.” Hemm... anak itu rupanya masih terus mengamalkan ilmu kesaktian itu. Kekuatan tenaga dalamnya sudah jauh lebih tinggi. Gunung Merapipun bisa dibobolnya!"
Orang ini yang ternyata seorang tua usap mukanya beberapa kali. Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik pada bagian belakang kepalanya. Selembar topeng tipis dan rambut palsu tanggal dari kepalanya. Astaga! Di balik topeng itu kelihatan wajahnya yang asli. Cekung hanya tinggal kulit pembalut tulang. Rambut putih di kepalanya tampak jarang. Tapi kumis dan janggutnya kelihatan tebal seputih kapas.
Ketika Wiro sampai ke tempat perhelatan kembali tidak mudah baginya menemui Andana karena saat itu Andana sedang bercakap-cakap dengan Datuk Gampo Alam dana keduanya berada dalam rumah gadang tengah makan. Kali ini Andana berlaku cerdik. Setiap gulai atau ikan dan daging yang dimakan sang Datuk itu pula yang diambilnya. Paling tidak dia berusaha menghindari akan diracuni orang untuk kedua kalinya. Ketika Atun, datang membawakan minuman tambahan untuk Andana, pembantu itu membisikkan sesuatu padanya.
“Eh, kenapa kau jadi makan terburu-buru Andana?” tanya Datuk Gampo Alam ketika dilihatnya kemenakannya itu menyuap dan mengunyah makanannya lebih cepat dari sebelumnya.
“Perut saya tiba-tiba saja tidak enak. Mungkin saya masuk angin karena kurang tidur malam tadi... Paman, izinkan saya ke belakang dulu...” Andana membasuh tangan kanannya lalu cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu menuju ke pancuran di belakang rumah gadang. Namun di satu tempat dia membelok ke jurusan lain, melangkah cepat hingga akhirnya sampai di balik barisan pohon-pohon pisang tak jauh dari lumbung padi. Di situ menunggu Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Ada apa Wiro? Mengapa kau meminta aku datang kemari. Eh, pakainmu robek di bahu. Kulihat mukamu agak pucat...”
Dengan cepat Wiro menceritakan apa yang telah dialaminya.
“Saya memang sudah curiga melihat orang itu waktu dia muncul di jendela rumah gadang. Tapi saya tak mungkin melakukan sesuatu. Ternyata kau bertindak cepat. Kau sempat melihat wajahnya? Yang penting kau benar-benar sudah aman dari racun jahat itu?”
“Saya aman, tak usah kawatir. Mengapa tampang orang itu saya hanya sempat melihatnya sekilas sebelum dia menyelinap masuk ke dalam lobang. Orangnya berkumis dan berewokan. Salah satu matanya kalau aku tak salah ingat yang sebelah kiri buta...”
Andana berpikir-pikir. Lalu pemuda ini gelengkan kepala. “Kau tahu, sekitar tiga tahun aku meninggalkan Pagaralam. Orang jahat datang dan pergi berganti-ganti. Aku tak tahu siapa yang satu ini. Ilmunya tak bisa dibuat main. Nanti akan kutanyakan pada Datuk. Aku merasa yakin ini masih pekerjaannya Tumenggung Rajo Langit...”
Wiro usap-usap dagunya lalu berkata. “Untuk sementara sebaiknya kejadian ini dirahasiakan antara kita berdua...”
“Hem... Kelihatannya kau kurang percaya pada Pamanku Datuk Gampo Alam?”
“Saya tidak mengatakan begitu, sahabat.” Jawab Wiro. “Tapi coba kau pikirkan sendiri dalam-dalam.”
“Aku harus meninggalkan tempat ini sekarang...”
“Kau harus makan dulu. Gulai kambing, rendang pedas menunggumu...”
Wiro tertawa. “Seleraku jadi hilang dengan kejadian ini,” katanya.
Ketika Pendekar 212 meninggalkan tempat itu, di sebuah jendela dekat anjungan rumah gadang Datuk Gampo Alam yang sempat menyaksikan pertemuan antara kemenakannya dengan Wiro bergerak menjauhi jendela. Lehernya disentak-sentakkan dua kali lalu dia kembali ketempat duduknya semula. Menggulung sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam.
********************
TIGA
Palindih masuk ke dalam rumah itu sambil tersenyum-senyum. Sesaat dia memandang pada Mamak Rabiah dan Bunga. Lalu bungkusan yang dibawanya diletakkannya di atas meja.
“Apa itu Palindih?” tanya Mak Rabiah.
“Hadiah dari Datuk Gampo Alam buat anak Etek, Bunga. Cita halus dari negeri Cina, kain songket berbenang emas dari Palembang, sehelai selendang sutera lalu sejumlah uang! Besar nian rejeki abak Etek.”
Mamak Rabiah sesaat saling pandang dengan Bunga.
“Kami tidak meminta. Mengapa Datuk memberikan?” tanya Mamak Rabiah pula.
“Itu tandanya beliau puas. Datuk memuji kepandaian Bunga menari. Bukan itu saja, kecantikan anak Etek itupun disebut-sebutnya terus menerus.”
“Kalau Datuk Gampo Alam memberikan dengan ikhlas, kami menerima dengan ikhlas pula. Sampaikan ucapan terima kasih kami pada Datuk...”
Mamak Rabiah mengira Palindih akan segera pergi namun lelaki itu masih tegak dihadapannya. Mamak Rabiah lalu membuka bungkus yang dibawa Palindih. Di situ memang ada cita, kain songket serta sehelai selendang dan uang dalam kantong kain.
“Banyak sekali uang yang diberikan Datuk Gampo Alam. Kau ambillah sebagian Palindih.” Mamak Rabiah mengangsurkan sejumlah uang pada pembantu Datuk Gampo Alam itu.
“Ah tak usahlah Etek. Saya menolong juga dengan ikhlas...” katanya tapi kedua matanya melirik ke tangan kanan Mamak Rubiah.
“Ambillah...”
“Etek ini ada-ada saja,” kata Palindih. Lalu diambilnya juga uang dan dimasukkan ke dalam sakunya. “Etek Rabiah, ketahuilah selain disuruh menyampaikan hadiah ini, saya juga membawa pesan dari Datuk Gampo Alam.”
“Pesan apa gerangan?” tanya Mamak Rabiah pula.
“Datuk mengundang Etek datang ke rumahnya sore ini juga setelah ba'dal Asar. Kalau Etek suka kita bisa pergi bersama-sama.
“Datukmu mengundang saya datang ke rumah gadang? Agak aneh kedengarannya Palindih. Baru sekali ini kejadain begini. Apa gerangan maksudanya?” tanya Mamak Rabiah pula seraya memandang pada Bunga.
“Saya tidak tahu Etek. Tentu maksud baik semata. Karena itu jangan ditolak undangannya.”
Mamak Rabiah berpikir sejenak lalu berkata. “Kau pergilah lebih dahulu. Biar aku menyusul sendiri kemudian.” Kata perempuan itu seraya membetulkan letak selendangnya.
Begitu Palindih pergi Mamak Rabiah cepat menutupkan pintu lalu dia tegak bersandar pada daun pintu seraya memejamkan matanya. Bunga segera mendekati perempuan ini. “Ada apa Mak? Mamak kurang sehat?”
Tanpa membuka matanya perempuan itu menjawab. “Mamak rasa telah membuat kesalahan besar anakku. Menyetujuimu menjadi gadis penari pembawa sirih persembahan itu...”
“Kalau begitu Mamak tak usah saja datang...” kata Bunga tanpa mau bertanya apa yang membuat Mamak Rabiah berkata begitu.
“Kalau tidak datang salah pula nanti...” jawab Mamak Rabiah lalu menarik nafas panjang.
Datuk Gampo Alam menyambut kedatangan Mamak Rabiah dengan tawa lebar penuh gembira. Perempuan itu dibawanya ke anjungan rumah gadang lalu mereka duduk berhadap-hadapan.
“Istri-istri Datuk kemana....?” tanya Mamak Rabiah ketika melihat hanya sang Datuk saja sebagai tuan rumah yang menemaninya hingga mau tak mau dia merasa kikuk.
“Mereka sibuk semua Mak Rabiah. Terima kasih kau mau datang…”
“Datuk, saya dan Bunga mengucapkan terima kasih atas pemberian Datuk tadi siang…”
“Ah, itu hanya hadiah kecil saja. Tak usah disebut-sebut,” kata Datuk Gampo Alam. Setelah menyentakkan lehernya beberapa kali sang Datuk berkata. “Aku tak pernah tahu kalau kau menyimpan burung bagus luar biasa di sangkar emas...”
“Saya tidak paham maksud Datuk...”
Lelaki itu tertawa lebar. “Maksudku anakmu yang cantik dan pandai menari itu. Bunga…Betul itu namanya?”
“Bunga gadis buruk, keturunan orang tak punya. Maklum saja gadis kampung. Apa yang Datuk kagumi?”
Datuk Gampo Alam kembali tertawa dan menyentak-nyentakkan lehernya. “Kau pandai merendah Rabiah. Kalau Bunga tak jadi penari siang tadi tak pernah aku tahu bahwa ada seorang bidadari di Pagaralam ini!”
Mamak Rabiah terdiam. Datuk Gampo Alam menggeser duduknya. Dengar Rabiah, gadis secantik Bunga tidak pantas tinggal dirumahmu yang sekarang...”
“Mengapa Datuk berkata begitu? Lalu kemana kami hendak pergi? Kami orang miskin...”
“Aku punya beberapa rumah di Pagaralam ini, juga di Pagaruyung. Kau boleh memilih mana yang kau suka. Atau di sini di rumah gadang ini. Masih ada satu kamar tersisa...”
Berdebarlah dada Mamak Rabiah mendengar kata-kata Datuk Gampo Alam itu. Sudah terbayang olehnya kini apa tujuan laki-laki ini menyuruhnya datang.
“Rabiah... Kau faham maksudku bukan?”
“Maafkan, saya tidak mengerti Daruk.” Jawab Rubiah dan dadanya tambah menggemuruh. Mukanya tampak memucat.
“Begini, maksudku, anakmu itu. Aku ingin mengambilnya jadi istri...”
Ya Tuhan, benar rupanya dugaanku! Kata Mamak Rabiah dalam hati. “Datuk, saya...”
“Kau setuju? Bagus!”
“Maksud saya bukan begitu Datuk. Bunga masih kecil. Belum pantas bersuami. Lagi pula, maafkan saya Datuk. Bukankah Datuk sudah punya empat orang istri? Agama dan adat tidak mengijinkan lebih dari itu...”
Datuk Gampo Alam tertawa lebar. “Kalau itu yang kau takutkan, setiap saat aku bisa menceraikan salah seorang dari istriku. Kau sebut saja yang mana. Empat kurang satu ditambah satu kan empat juga jadinya. Ha ha ha...!”
Mamak Rubiah tundukkan kepala. Dadanya seperti siap untuk meledak. “Datuk, saya kurang sehat. Izinkan saya pulang...”
“Tentu, tentu. Palindih akan saya suruh mengantar dengan kereta...”
“Terima kasih. Saya masih mampu berjalan.”
“Baik kalau begitu.Tapi dengar. Besok Jum'at. Pagi-pagi sekali kau harus datang memberikan jawaban. Dan kau tahu jawaban apa yang aku ingin bukan?”
Rabiah tidak menyahut. Dituruninya tangga rumah besar bergonjong itu dengan langkah gontai sempoyongan. Dunia seperti berputar di matanya. Dalam hatinya dia berseru pada Yang Kuasa. Tuhan, beri saya kekuatan. Sampaikan langkah saya ke rumah. Yang lebih penting janganlah semua ini terjadi menurut keinginan manusia yang satu itu..."
Begitu Bunga membukakan pintu, Mamak Rabiah langsung memeluk dan menciumi anak itu. Kedua matanya basah. "Mamak, ada apakah?" Tanya Bunga heran seraya membimbing perempuan itu duduk ke sebuah tempat tidur kayu.
"Nasib kita memang belum lepas dari sengsara Nak. Datuk Gampo alam...” Mamak Rabiah tak dapat meneruskan kata-katanya.
“Datuk Gampo Alam? Mengapa dia Amak?”
“Tak sampai hati Mamak mengatakannya padamu Bunga.”
“Saya sudah bisa menduga walau Mamak tak mau mengatakannya. Tua bangka tak tahu diuntung itu pasti meminta saya jadi istrinya. Bukan begitu Mak?”
Mamak Rabiah mengangguk dan tangisnya mengeras.
“Apa yang Mamak katakan padanya?”
“Tidak ada. Mamak tidak mengatakan apa-apa. Tapi dia meminta Mamak datang lagi memberi kabar. Besok hari Jum'at pagi.”
Bunga berdiri, melangkah ke meja dimana masih terletak bungkusan hadiah dari Datuk Gampo Alam. “Jadi itu sebabnya dia memberi hadiah sebanyak ini! Tua bangka gila! Tak sudi aku menerima pemberiannya ini!”
Bunga lalu melemparkan bungkusan itu ke dinding. Bunga sendiri seperti tak kuasa lagi berdiri, jatuh berlutut dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Lalu terdengar isak tangisnya.
********************
EMPAT
Di rumah gadang sesaat setelah Mamak Rabiah pergi, Rukiah istri termuda Daruk Gampo Alam keluar dari balik pintu. Dia melangkah menemui suaminya dengan muka cemberut.
“Eh, termakan nasi basi atau kacang busuk sampai mukamu asam seperti itu Rukiah! Atau ada hantu gunung Sitoli merasuk ke dalam tubuhmu!”
Rukiah tersenyum pencong. “Saya sudah dengar semua pembiacaraan Datuk dengan Mamak Rabiah tadi...”
Tampang Datuk Gampo Alam berubah. Merah membesi. “Perempuan kurang ajar! Jadi berani kau mencuri dengar pembicaraanku! Setan kau!”
Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya sempai empat kali sedang kedua matanya memandang membeliak pada istri mudanya itu. Kalau saja yang ada di hadapannya itu bukan Rukiah yang memang sangat disayanginya tetapi salah satu dari tiga istrinya yang lain, pasti sang Datuk sudah menjambak rambutnya.
“Bukan saya yang setan!” menjawab Rukiah dengan beraninya. “Tapi Datuk!”
Ucapan itu membuat Datuk Gampo Alam bergeletar seluruh tubuhnya. “Ku tampar mulutmu nanti Rukiah!” mengancam sang Datuk.
Sang istri muda tenang-tenang saja. Malah menyahuti. “Saya sudah bicara dengan kakak-kakak di sini. Kalau Datuk memang mau mengawini Bunga, silahkan. Datuk boleh menceraikan salah satu dari kami berempat. Tapi saya minta Datuk menceraikan saya!”
“Aha! Kau cemburu Rukiah!” kata Datuk sambil tertawa. Diantara keempat istrinya Rukiah sebagai istri muda tentu saja merupakan istri yang paling disayanginya. “Aku tidak akan menceraikan mu apapun yang terjadi!”
“Kalau Datuk tidak mau menceraikan saya, biar saya yang minta cerai dan pergi dari sini! Kami semua tidak suka Datuk mengambil gadis itu sebagai istri. Gadis yang pantas jadi anak Datuk itu akan bernasib buruk dan menderita batin seperti kami-kami di sini!”
“Perempuan setan! Cakapmu benar-benar membuatku marah! Menyingkir dari hadapanku!” kata Datuk Gampo Alam setengah berteriak lalu menyentakkan lehernya.
“Jadi Datuk tetap mau mengawini Bunga?” tanya Rukiah dengan beraninya.
“Setan manapun tak bisa menghalangiku!” jawab Datuk Gampo Alam.
“Kalau begitu saya minta cerai sekarang juga!”
"Plaakkk!"
Tamparan Datuk Gampo Alam membuat Rukiah terpekik. Perempuan muda ini hampir terjatuh nanar. Sambil pegangi pipinya menahan sakit dia berkata. “Laki-laki gila! Umur hanya tinggal sejengkal dari liang kubur masih saja ingin kawin! Kambing tua tidak tahu diri. Kerjanya melahap daun muda saja!”
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali. Pipinya yang cekung tampak menggembung sampai ke rahang. “Perempuan tak tahu diuntung! Kau minta cerai! Baik! Kujatuhkan talak satu padamu! Sekarang angkat kaki dari rumah gadang ini!”
“Talak satu?! Huh! Kenapa Cuma talak satu? Kenapa tidak sekalian talak tiga?!” sentak Rukiah.
“Kalau itu maumu Baik! Kujatuhkan talak tiga! Nah, puas kau sekarang? Ayo cepat lindang dari rumahku ini!” Suata Datuk Gampo Alam demikian kerasnya hingga terdengar oleh orang-orang yang ada di halaman, termasuk Andana. (lindang artinya angkat kaki). Kau datang ke sini hanya membawa sehelai pakaian buruk lekat di badan! Kalau kau pergi jangan harap akan kuperbolehkan membawa lebih dari pada baju yang melekat di tubuhmu itu!”
“Saya tidak tamak harta! Saya tidak akan membawa apa-apa kecuali pakaian ini!” jawab Rukiah.
Lalu ditanggalkannya cincin, gelang dan kalung emasnya. Perhiasan ini kemudian dilemparkannya ke muka Datuk Gampo Alam hingga sang Datuk tersurut kaget tapi juga marah sekali. Sebelum dia sempat menyemprotkan caci maki atau melayangkan tangannya, Rukiah sudah melangkah ke pintu lalu menuruni tangga rumah gadang dengan cepat. Di halaman rumah gadang Andana datang menyongsongnya.
“Saya mendengar suara ribut-ribut tadi. Kini saya lihat Etek seperti terburu-buru. Etek mau kemana?” Sambil bertanya Andana memperhatikan wajah istri Pamannya yang usianya jauh lebih muda dari dirinya. “Astaga, ada apa pipi Etek kelihatan merah?”
Rukiah coba tersenyum. “Andana, jika kau punya kesempatan aku harap kau mau menemuiku di simpang tiga jalan ke sawah. Ada sesuatu yang sangat penting ingin kukatakan.” Setelah berkata begitu Rukiah cepat-cepat berlalu.
Sementara itu dari atas rumah Datuk Gampo Alam menuruni tangga dengan cepat. “Apa yang dikatakan perempuan setan itu padamu?!” tanya Datuk Gampo Alam pada Andana.
“Tidak begitu jelas. Dia bicara terburu-buru. Katanya dia mau pergi...”
“Pergi kemana?!” tanya sang Datuk lagi.
“Saya tidak tahu Paman. Dia hanya bicara sebentar lalu cepat -cepat pergi.” Andana diam sejenak sambil mengusap-usap dagunya. “Mamak, saya sudah menginap malam tadi di rumah gadang. Saya sudah pula menerima kehormatan besar yaitu sebagai penerima sirih persembahan. Samua itu tidak mungkin terjadi kalau bukan Paman yang mempersiapkan dan mengaturnya. Saya mengucapkan ribuan terima kasih Paman. Tiba saatnya hari ini saya minta diri. Mulai hari ini saya akan tinggal di surau.”
“Kau tidak berbasa-basi, Andana?”
Pemuda itu menggeleng. “Bagaimana kalau Tumenggung Rajo Langit mengirimkan orang-orangnya untuk menangkapmu. Kau tidak takut? Jika kau tidak ada di dekatku, aku tak bisa melindungimu.”
“Saya tidak takut pada siapapun Paman. Kecuali pada Yang Satu di atas sana,” jawab Andana sambil menunjuk ke langit. “Lagi pula sebelumnya Tumenggung itu memang sudah mengirim orang-orangnya untuk menangkap saya. Tuhan masih melindungi saya. Pemuda sahabat saya yang menghajar habis semua monyet-monyet Tumenggung Rajo Langit. Tumenggung itu sendiri kalau tidak cepat-cepat lari pasti babak belur untuk kedua kalinya...”
“Untuk kedua kalinya katamu? Jadi sebelumnya dia pernah menghajar Rajo Langit?"
“Betul. Waktu tua bangka itu mencoba mengganggu anak gadis orang...”
Eh, jangan-jangan anak ini menyindirku, pikir Datuk Gampo Alam. “Andana, pemuda kawanmu yang bernama Wiro itu, apa dia memang seorang pendekar berkepandaian tinggi?” bertanya Datuk Gampo Alam.
Yang ditanya mengangguk. “Bagi saya kalau seorang bisa menghadapi lebih dari tiga orang lawan hanya dengan tangan kosong, apalagi lawan bersenjata pula, dia sudah saya anggap sebagai seorang pendeka besar...”
Datuk Gampo Alam terdiam. Dalam hati dia berkata. Orang Jawa ini jelas akan membuatku susah dan rencanaku berantakan. Kalau tidak diambil tindakan dari sekarang urusan bisa tidak karuan. Lalu anak yang di hadapanku ini sendiri sampai dimana pula kehebatannya. Dia sempat berguru dengan Datuk Alis Merah.
“Andana aku yakin kau bisa menghadapi semua kesukaran ini. Sekalipun tanpa pertolongan sahabatmu bernama Wiro itu. Kabarnya kau sudah diberi orang gelar Harimau Singgalang.”
Andana coba tersenyum dan berkata. “Itu hanya cakap gurau orang saja Paman. Mana berani saya memakai gelar sehebat itu...”
“Jadi, kau sungguhan hendak pergi?”
Andana mengangguk. Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dua kali. “Baiklah, aku tak bisa melarang. Namun sebelum pergi naiklah dulu ke atas. Ada beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu.”
“Perihal apakah Paman?” tanya Andana.
“Perihal rumah gadang dan segala isinya. Aku bermaksud menjualnya.”
Terkejut Andana mendengar kata-kata Pamannya itu. Dengan perasaan tidak enak dia menaiki tangga mengikuti Datuk Gampo Alam naik ke atas rumah gadang. Begitu sampai di atas rumah gadang Datuk Gampo Alam masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dia membawa segulung kertas. Setelah duduk di hadapan kemenakannya dibukanya gulungan kertas itu seraya berkata,
“Andana ini adalah Surat Wasiat peninggalan Ayahmu. Isinya bisa kau lihat sendiri nanti. Sekarang biar kubacakan dulu.”
Surat Wasiat. Hari Kamis hari ke dua belas bulan Muharram. Saya Datuk Bandaro Sati, dengan ini berwasiat. Jika terjadi sesuatu apa dengan diri saya yang menyebabkan kematian saya, maka semua harta kekayaan yang tertinggal termasuk rumah gadang yang di Pagaralam dan segala harta pusaka yang ada di dalamnya, ternak dan sawah ladang akan saya wariskan pada dan menjadi hak syah Datuk Gampo Alam, satu-satunya adik kandung saya. Segala urusan selanjutnya dialah yang bertanggung jawab penuh untuk menentukan. Tertanda Datuk Bandaro Sati. Mengetahui Penguasa di Pagaruyung Tumenggung Rajo Langit.
Sehabis membacakan Surat Wasiat itu Datuk Gampo Alam menatap wajah kemenakannya. Anak ini kelihatan tenang saja membatin sang Datuk. Tak ada perubahan pada air mukanya. Datuk Gampo Alam akhirnya menyerahkan Surat Wasiat itu pada Andana.
“Kau baca sendirilah,” katanya.
Andana membaca Surat Wasiat itu. Sesaat kemudian diserahkannya kembali pada pamannya.
“Kau tidak akan mengatakan atau menanyakan sesuatu Andana?”
“Memang ada Paman,” jawab si pemuda. “Pertama kapan Surat Wasiat itu Paman terima dari almarhum Ayahanda?”
“Beberapa waktu lalu. Kalau aku tak salah ingat hanya sekitar tidak empat minggu sebelum dia meninggal. Itulah, seperti yang aku katakan tempo hari. Dia seolah-olah sudah mendapat firasat. Membuat Surat Wasiat ini lalu memberikannya padaku. Bisa kufahami. Kau tak ada di Pagaralam, entah berada dimana. Lalu kakak kami Uning Ramalah seperti kau ketahui tidak mau mengurusi hal-hal seperti ini lagi.”
“Paman, pengetahuan saya sangat dangkal tentang hal-hal yang menyangkut warisan. Tetapi ada sesuatu yang saya ketahui dengan jelas sekali.”
“Hemmm, apakah itu Andana?” tanya Datuk Gampo Alam sambil menyentakkan lehernya dua kali.
“Warisan yang ditinggalkan Ayah saya bukanlah termasuk Pusaka Tinggi. Yaitu pusaka turun temurun dari nenek moyang kita yang tidak boleh dijual atau dibagi-bagikan. Tetapi tetap akan menjadi pusaka untuk bisa dimanfaatkan oleh keturunan sedarah sedaging. Contoh Pusaka Tinggi itu ialah rumah gadang yang di Batusangkar. Tetapi rumah gadang yang ini adalah Pusaka Rendah. Rumah dan segala isinya adalah milik Ayahanda langsung. Hasil pencaharian dan pembeliannya sendiri. Dari keringatnya sendiri. Bukan harta turun temurun. Dengan kata lain sebagai anak kandung satu-satunya maka sayalah yang secara syah menerimanya sebagai warisan, wajib menjaga dan memeliharanya. Secara hukum dan secara adat Surat Wasiat itu adalah keliru. Mungkin yang dimaksudkan Ayahanda adalah rumah gadang pusaka keluarga di Batusangkar.”
“Mana mungkin keliru Andana. Di sini jelas disebutkan rumah gadang di Pagaralam. Rumah gadang dimana aku dan kau saat ini duduk berhadap-hadapan. Jelas di sini dikatakan aku yang ditunjuknya sebagai pewaris dengan segala isi di dalamnya.”
“Paman, saya yakin ada sesuatu yang keliru...” kata Andana lagi.
Datuk Gampo Alam tersenyum. “Andana, kau lihat sendiri tanda tangan Tumenggung Rajo Langit yang mengesahkan Surat Wasiat ini. Apakah kau ingin mengatakan aku memalsukan dan membuat-buat Surat Warisan ini?”
“Saya tidak mengatakan begitu Paman. Jangan Paman salah sangka. Apa yang saya maksudkan cukup jelas. Semua harta pusaka milik Ayah adalah hasil pembelian ayah dari keringatnya sendiri. Bukan berasal dai kakek atau nenek moyangnya. Bukan berasal dari pusaka turun-temurun. Hanya itu saja yang ingin saya katakan. Apa artinya terserah Paman untuk mengkajinya.”
“Ah, aku mengerti sekarang! Jelas kau tidak suka rumah dan harta Ayahmu diberikan kepadaku! Walau jelas-jelas di dalam Surat Wasiat ini Ayahmu mengatakan begitu. Jelas dan ikhlas. Ada saksinya pula. Saksi bukan orang sembarangan. Tapi seorang berpangkat. Seorang Tumenggung penguasa negeri!” Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya dulu baru meneruskan. “Andana, jika aku pikir-pikir mengapa Ayahmu membuat Surat Waisat begini rupa pasti ada sebab musababnya. Mungkin ada sesuatu yang tidak berkenan di hatinya atas dirimu hingga Surat Wasiat ini ditujukannya padaku bukan padamu. Mungkin kau dianggapnya melakukan satu kesalahan besar karena telah meninggalkan Pagaralam sampai bertahun-tahun tanpa kabar berita. Ini rupanya sangat menyakitkan hatinya...”
“Paman biar saya katakan terus terang sekarang. Saya kembali ke Pagaralam ini mengikuti pesan Ayahanda yang saya terima secara gaib. Pesan beliau selamatkan rumah gadang dan harta pusaka di dalamnya...”
“Aneh sekali kedengarannya,” kata Datuk Gampo Alam sambil memandang ke halaman lewat pintu rumah gadang.
“Betul Paman, memang aneh kedengarannya kalau tidak melihat sendiri. Tapi kejadian itu saya alami sendiri, disaksikan oleh guru saya Datuk Alis Merah. Waktu itu kami berada di dekat air terjun kecil di kawasan tempat kediaman Datuk Alis Merah. Ayah tiba-tiba saja muncul dikawal oleh seekor harimau besar. Ayah tegak di atas batu. Berpakaian hijau yang penuh lubang-lubang bekas tusukan. Sekujur tubuhnya berlumuran darah. Saat itulah Ayah memberi tahu agar saya segera pulang ke Pagaralam. Rumah gadang dalam bahaya...”
Untuk beberapa lamanya Datuk Gampo Alam berdiam diri. Terbayang kembali olehnya kejadian di Ngarai Sianok. Ketika dia bersama Hantu Mata Picak mengeroyok Datuk Bandaro Sati lalu membunuh kakaknya itu dengan cara menikamnya bertubi-tubi dengan keris miliknya sendiri yaitu Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Anak ini mengatakan keris sakti bertuah itu tak ada padanya. Dia berdusta. Keris itu kutemukan di bawah bantal dalam kamarnya. Kalau dia banyak ulah dengan senjata itu pula akan kuhabiskan riwayatnya!
“Paman, saya minta diri. Kalau memang Paman yakin Ayah benar-benar mewariskan rumah gadang beserta isinya, termasuk sawah ladang dan ternak peliharaan, berbahagialah Datuk. Saya tidak akan mengungkit atau menuntut. Saya malah berterima kasih Paman mau merawat rumah serta semua peninggalan Ayah...”
Mulutnya berkata begitu tapi siapa tahu isi hatinya, pikir Datuk Gampo Alam. “Begini sajalah Andana. Urusanku akan terlalu banyak nanti. Bagaimana kalau semua sawah ladang dan ternak kuberikan saja padamu.”
“Terima kasih Paman. Ketahuilah, saya datang ke Pagaralam ini bukan untuk mendapatkan segala macam harta warisan. Tujuan saya Cuma satu...”
Andana bangkit dari duduknya. Sebelum menuruni tangga diteruskanna dulu ucapannya yang tergantung tadi. “Tujuan saya ke Pagaralam ini adalah mencari pembunuh Ayah saya. Dan saya yakin saya akan menemukan orangnya!”
Tampang Datuk Gampo Alam berubah. Andana tidak lagi memperdulikan Pamannya itu. Dibalikkannya tubuhnya lalu dia menuruni tangga rumah gadang dengan cepat. Dari jendela Datuk Gampo Alam dapat melihat kemenakannya itu menunggangi kuda ke arah Timur yaitu arah yang ditempuh Rukiah waktu pergi tadi. Sang Datuk menyentakkan lehernya lalu berteriak memanggil tiga orang pengawalnya.
“Ikuti dan selidiki kemana perginya anak itu. Laporkan padaku apa yang kau ketahui!”
********************
LIMA
Simpang tiga itu terletak di kaki bukit kecil yang menurun. Tak jauh dari sana terbentang daerah pesawahan. Sore itu suasana di sekitar tempat itu tampak sepi. Sesekali terdengar kicau burung. Ketika Andana sampai di simpang tiga itu dia tidak melihat Rukiah atau siapapun di situ.
Jangan- jangan perempuan itu mendustaiku. Pikir Andana. Baru saja dia berpikir begitu telinganya menangkap detak suara roda. Dari balik pepohonan dan semak belukar muncul sebuah pedati ditarik dua ekor sapi. Di depannya di sebelah seorang sais tua duduk Rukiah. Perempuan ini menyuruh sais menghentikan pedati lalu dia turun. Dia melambaikan tangan pada Andana agar pemuda itu masuk ke kawasan pepohonan, terlindung dari pemandangan orang yang mungkin lewat di tempat itu.
“Etek, hal penting apakah yang hendak Etek sampaikan pada saya?” tanya Andanan begitu turun dari kudanya.
“Jangan panggil saya dengan sebutan Etek itu. Sudah saya katakan saya muak mendengarnya. Panggil saja nama saya. Rukiah. Bukankah usia kita tak jauh beda? Kau pasti lebih tua dari saya.”
“Baiklah. Nah sekarang saya ingin dengar apa yang hendak kau sampaikan,” kata Andana pula.
“Saya tahu Datuk Gampo Alam telah membuat Surat Wasiat palsu. Dia ingin menguasai rumah gadang serta semua harta pusaka peninggalan mendiang Ayahmu...”
“Saya tidak terkejut...” kata Andana. “Tadi Datuk memperlihatkan pada saya Surat Wasiat itu. Surat itu ditanda tangani oleh Tumenggung Rajo Langit. Tanda tangan itu tidak palsu...”
“Memang tidak palsu. Karena Datuk Gampo Alam berkomplot dengan Tumenggung Rajo Langit. Saya dengar rumah gadang itu berikut isinya akan dijualnya pada si Tumenggung. Lalu Tumenggung Rajo Langit kabarnya akan menjual lagi pada seorang utusan yang datang dari tanah Jawa...”
“Ini hal baru bagi saya Rukiah,” kata Andana. “Tidak seberapa aneh kalau Datuk Gampo Alam mau menjual rumah gadang guna mendapatkan uang. Belakangan ini dagangnya merugi terus. Hutangnya di mana-mana. Biaya rumah tangganya dengan empat istri...”
“Sekarang tinggal tiga. Karena saya sudah minta cerai. Tapi segera akan menjadi empat lagi.”
“Maksudmu?”
“Gaek busuk itu hendak mengambil Bunga menjadi istrinya!”
“Apa?” kejut Andana dengan wajah berubah tegang.
“Mamak Rabiah datang dipanggil Datuk. Saya dengar dia meminta Bunga pada perempuan itu...”
“Apa jawab Mamak Rabiah?”
“Saya intip dan saya lihat air muka perempuan itu. Dia jelas tergoncang. Dia tak bisa memberikan jawaban apa-apa. Datuk minta dia datang hari Jum'at besok untuk memberikan jawaban...”
“Kambing tua bangka yang sudah bau tanah itu masih saja ingin menyantap daun muda!” kertak Andana sambil mengepalkan tinju kanannya. Dia menatap wajah Rukiah sesaat lalu bertanya. “Dari mana kau tahu ihwal rencana penjualan rumah itu?”
“Dari seorang tangan kanan Tumenggung Rajo Langit. Orang ini tergila-gila pada saya sebelum saya diambil istri oleh Datuk Gampo Alam. Dia menceritakannya waktu merayu saya agar mau jadi istrinya. Ketika saya kawin dengan Datuk Gampo alam, orang ini sangat marah. Dia pergi dari Pagaruyung, tak tahu entah berada di mana sekarang. Namanya Rusli...”
Andana tegak termangu beberapa saat lamanya.
“Kau harus menolong Bunga, Andana. Selamatkan dia dari cengkeraman Datuk Gampo Alam. Saya tahu dia mencintaimu. Saya dapat melihat dari sinar matanya sewaktu dia membawakan Tari Gelombang. Saya juga tahu dia telah menyelamatkan dirimu dari sirih yang diracun orang.”
“Saya tahu hal itu Rukiah. Saya akan segera menemuinya untuk mengucapkan terima kasih. Jelas saya berhutang nyawa padanya. Lebih dari itu saya tentu akan menyelamatkannya dari tangan Paman saya yang gila istri itu. Tapi Rukiah, apakah kau tahu siapa yang menaruh racun di sirih dalam cerana itu?”
“Hanya satu orang dugaan saya Andana. Manusia jahat bergelar Hantu Mata Picak. Dia adalah orang kepercayaan Datuk Gampo Alam. Saya yakin dia juga atau anak buahnya yang berusaha membunuhmu dengan ular berbisa tempo hari!”
“Kurang ajar benar!” kata Andana sambil meninju-ninju tapak tangan kirinya dengan tangan kanan. “Berarti Datuk Gampo Alam ada di belakang semua ini!”
“Saya kira begitu! Tapi kau harus menyelidiki dan membuktikannya dulu...”
“Mengenai orang yang berjuluk Hantu Mata Picak ini, di mana sarangnya. Kau tahu dimana saya bisa mencarinya?”
“Mencarinya sama dengan mencari hantu. Dicari susah. Tidak dicari kadang-kadang dia muncul begitu saja. Saya hanya bisa memberitahu ciri-cirinya. Orangnya tinggi besar. Berkumis dan berjanggut tebal. Mata kirinya buta. Kulitnya hitam, dia berkalung dan bergelang akar bahar...”
“Terima kasih. Saya sangat berterima kasih padamu Rukiah. Sekarang kau hendak ke mana?”
“Saya akan kembali ke gubuk orang tua saya di Bonjol.”
“Mau saya antarkan?”
Rukiah tertawa. Dipegangnya jari-jari tangan pemuda itu. “Saya tidak bisa berdusta bahwa saya menyukai dirimu. Tapi saya sendiri saat ini tak lebih dari seorang janda. Jangan kecewakan Bunga. Jangan buat dia cemburu...”
Paras Andana sesaat menjadi merah. Rukiah tertawa lebar. “Ingat peristiwa malam lalu, ketika saya mengajakmu tidur di kamar?”
Wajah Andana semakin memerah.
“Saya masih berharap kau mau memenuhinya. Kalau begitu carilah nanti saya di Bonjol...” Rukiah berjingkat lalu diciumnya pipi kiri pemuda itu.
Andana merangkul punggung janda itu dan bertanya. “Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Ayah saya mati dibunuh orang. Kau mungkin pernah menyirap kabar apa sesungguhnya yang terjadi. Siapa pelaku pemubunhnya.”
“Sayang sekali yang satu ini saya tidak tahu apa-apa Andana.” Jawab Rukiah. “Tapi mungkin kau bisa bertanya pada Sati.”
“Siapa Sati?”
“Dia pedagang cita keliling. Banyak punya hubungan dengan siapa saja. Terakhir sekali saya dengar dia digebuk setengah mati oleh tukang-tukang pukul Datuk Gampo Alam. Dia pasti mendendam dan mencari seribu cara untuk membalaskan sakit hatinya.”
“Di mana saya bisa menemukan orang itu?”
“Pergi saja ke Pasar Gombak. Orang sepasar pasti tahu di mana bisa mencarinya.”
“Saya akan cari orang itu. Sekali lagi saya sangat berterima kasih padamu Rukiah.”
Janda Datuk Gampo Alam mengangguk. Sekali lagi diciumnya pemuda itu lalu bergegas dia kembali ke pedati yang menunggunya. Ketika pedati mulai bergerak mendadak di belakangnya Andana mendengar suara bergemerisik. Dia cepat membalik dan sempat melihat tiga orang berpakaian seragam hitam berlari menuju tiga ekor kuda yang ditambatkan di kejauhan.
“Anak buah Datuk Gampo Alam...” desis Andana. “Mereka tidak melakukan apa-apa terhadapku tapi mungkin akan mencelakai Rukiah. Pasti mereka telah mendengar apa yang dikatakan Rukiah tadi. Ada dua jiwa terancam. Rukiah dan Sati!” Andana cepat melompat ke atas kudanya dan mengejar pedati yang ditumpangi Rukiah.
“Ada apa?” tanya Rukiah ketika dilihatnya Andana memacu kudanya mendatangi.
“Tiga orang anak buah Datuk Gampo Alam ternyata menyelinap mendengar pembicaraan kita. Keselamatanmu terancam Rukiah. Apa ada jalan lain menuju Bonjol? Atau sebaiknya kau jangan ke Bonjol. Mereka pasti mengejarmu. Tidak ditemuinya di jalan akan dicarinya ke rumahmu di Bonjol!”
Rukiah tampak berpikir. Dia berpaling pada sais tua di sebelahnya. “Putar arah. Kita ke Koto Tangah saja. Batal ke Bonjol!” Lalu Rukiah berpaling pada Andana. “Terima kasih. Kau telah menyelamatkan orang buruk ini. Walau sekarang hanya seorang janda tapi saya tetap ingin hidup lebih lama. Punya suami lagi. Tapi tidak dengan lelaki seperti Datuk itu. Tobat rasanya!”
Andana geleng-gelengkan kepalanya. Dia mengangkat tangannya membalas lambaian Rukiah. Tiga orang anak buah Datuk Gampo Alam yang sempat terlihat Andana memang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Namun di satu tempat lelaki sebelah depan membelok ke kiri lalu menghentikan kudanya di antara kelebatan pepohonan.
“Kenapa kau berhenti di sini Luhak?” tanya salah satu temannya.
Orang yang bernama Luhak yang bergigi tonggos dan mulutnya tak pernah terkatup itu memberi isyarat agar kawan-kawannya jangan bicara. Dia juga memberi isyarat agar mereka segera turun dari atas kuda masing- masing lalu bersembunyi di balik semak-semak. Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Andana lewat di depan mereka.
“Apa yang ada di benakmu Luhak? Bukankah kita harus segera melapor pada Datuk? Dia pasti senang mendengar laporan hebat dari kita. Kita bakal diberinya hadiah besar!”
“Dari dulu otakmu tetap saja bodoh Ayub!” jawab Luhak. “Soal lapor melapor bisa menyusul kemudian. Soal hadiah tak akan kemana larinya. Ada rezeki besar di depan mata apa akan dibiarkan lewat begitu saja?”
“Eh kawan, apa pula maksudmu?” tanya orang ketiga yang bernama Kairudin.
Luhak si tonggos tertawa lebar hingga seluruh giginya atas bawah seperti hendak keluar dari mulutnya. “Yang kumaksud dengan rejeki itu adalah si Rukiah itu. Kini dia bukan lagi istri Datuk. Sudah minta cerai dan sudah lari. Dia hanya berteman sais tua itu. Daerah sekitar sini sunyi senyap. Nah, apakah perlu lagi aku jelaskan pada kalian yang bodoh-bodoh ini?”
Sepasang mata kedua orang itu sama-sama membesar. “Kau benar-benar cerdik Luhak!” memuji Kairudin sementara Ayub tampak berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah tanda dia juga sudah menangkap apa yang dimaksudkan oleh Luhak tadi.
Tanpa banyak cerita lagi ketiga orang ini segera melompat ke atas punggung kuda masing-masing. Mereka bergerak ke arah simpang tiga di mana mereka sebelumnya mengintai pertemuan Andana dengan janda Datuk Gampo alam itu. Dari sini ketiganya mengambil jalan yang menuju ke Bonjol. Tapi belum jauh meninggalkan simpang tiga Luhak yang berada di depan melihat jejak-jejak roda pedati di tanah. Dia segera menghentikan kudanya.
“Jelas pedati yang ditumpangi janda Datuk itu berbalik arah di sini...” kata Luhak.
“Tidak sulit mengetahui kemana mereka pergi. Jejak roda pedati yang begini jelas akan menjadi petunjuk bagi kita. Ayo...” Luhak sentakkan tali kekang kudanya.
Pedati yang ditarik dua ekor sapi itu bergerak kencang karena menempuh jalan yang menurun. Namun tiga orang penunggang kuda di belakang mereka bergerak jauh lebih cepat hingga ketika pedati sampai di ujung penurunan, ketiganya sampai pula di sana, langsung mengurung pedati.
Sais tua di samping Rukiah berbisik, “Agaknya mereka muncul bukan dengan maksud baik. Kalau terjadi apa-apa lekas turun dari pedati dan lari selamatkan diri...”
Rukiah memandang pada ketiga orang itu lalu menegur. “Luhak, ada apa kau menyusul kemari.”
“Begini, saya dan kawan-kawan...” Luhak tidak meneruskan kata-katanya melainkan tertawa lebar hingga Rukiah jijik melihat berisan gigi-giginya yang besar-besar kuning dan menjorok ke depan itu. “Tadinya kami kira Etek pergi ke Bonjol, ternyata kini berubah arah...”
“Kemana aku mau pergi apa urusan kalian? Apa Datukmu yang menyuruh memata-mataiku? Katakan padanya aku tidak akan mau kembali ke rumahnya!” Rukiah berpaling pada sais tua di sebelahnya. “Jalankan pedati...”
“Bapak tua, tak perlu cepat-cepat pergi. Perjalananmu cukup sampai di sini. Kami yang akan mengantarkan janda Datuk Gampo Alam ini ke tujuannya...”
Luhak mendekati sais tua itu. Sekali dia merengutkan leher pakaiannya, orang tua ini jatuh dari pedati dan terhantar di tanah. Anak buah Datuk Gampo Alam yang bernama Ayub langsung melompat ke atas pedati dan memegang tali kekang dua ekor sapi.
“Saya tidak percaya padamu. Kalian pasti akan berbuat jahat terhadap perempuan muda ini!” kata sais tua seraya mencoba bangkit. “Lari...! Larilah rangkayo!” (Rangkayo artinya panggilan kehormatan)
"Bukkk!"
Satu tendangan yang keras mendarat di dada sais tua itu. Tak ampun lagi tubuhnya rebah ke tanah. Tak berkutik. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur.
“Manusia jahat! Di mana peri kemanusiaan mu!” teriak Rukiah marah sekali. Dia melompat dari atas pedati. Bukan untuk melarikan diri tapi memukuli pinggang Luhak dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menarik pakaian laki-laki itu.
Karena kehilangan keseimbangan Luhak jatuh ke bawah. Tapi sambil jatuh lelaki ini merangkul bahu Rukiah hingga keduanya jatuh bersamaan ke tanah dan saling tindih!
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Luhak. Langsung saja dia merangkul dan menciumi janda muda itu dengan penuh nafsu hingga Rukiah menjerit-jerit dan berusaha melepaskan dirinya.
“Luhak! Jangan kau makan sendiri!” berseru Kairudin. Lalu diapun melompat turun daru kudanya. Ikut bergulingan di tanah sambil tangannya meraba kian kemari.
Ayub tak mau ketinggalan. Tiga lelaki itu berebutan menggagahi Rukiah. Yang satu meraba dan menciumi. Yang lain meraba sambil berusaha menanggalkan kain yang dikenakan Rukiah. Lalu yang ketiga seperti kemasukan setan merobeki kebaya janda muda itu. Dalam waktu singkat keadaan Rukiah boleh dikatakan hampir bugil. Dia menjerit tiada henti sambil berusaha memukul dan menendang. Namun mana sanggup dia menghadapi tiga lelaki sekaligus. Semakin keras jerit, pukulan dan tendangannya semakin bernafsu Luhak dan kawan-kawannya. Jelas Rukiah tak akan dapat mempertahankan kehormatannya.
“Manusia-manusia bajingan! Hebat juga kelakuan kalian!” tiba-tiba satu bentakan menggeledek di tempat itu.
ENAM
Luhak dan dua kawannya tentu saja terkejut. Ketiga orang ini cepat berpaling.
“Andana...!” desis Luhak tapi kini keterkejutannya bercampur dengan rasa heran. Sebelumnya dia telah melihat pemuda itu meninggalkan kawasan simpang tiga. Kini mengapa tiba-tiba muncul dan berganti pakaian.
“Bukan dia Luhak...” bisik Ayub. “Kalau tak salah aku, dia adalah pemuda Jawa kawan kemenakan Datuk...”
“Hendak kalian apakan perempuan itu?!” pemuda yang datang bertanya sambil bertolak pinggang.
“Hendak kami apakan bukan urusanmu?!” kata Luhak seraya melompat tapi dia lupa kalau tadi dia telah sempat membuka celana hitamnya hingga pakaian itu hampir jatuh ke bawah menelanjangi dirinya sendiri.
“Jangan-jangan dia hendak minta bagian pula Luhak,” berkata Kairudin seraya berdiri lalu tegak di samping kawannya.
Ayub yang masih menindih Rukiah agaknya masih belum mau melepaskan perempuan itu. Dia merasa lebih banyak mendapat kesempatan tanpa menyadari bahwa sesungguhnya bahaya besar mengancam dirinya saat itu.
“Ah, kalau kalian memang berbaik hati mau membagi-bagi rejeki denganku, itu bagus sekali. Coba kusingkirkan dulu orang hutan yang satu ini!”
Habis berkata begitu pemuda berpakaian serba putih yang tahu-tahu saja muncul di tempat itu melompat ke arah Ayub. Sesaat kemudian terdengar suara bergedebuk menyusul raungan Ayub. Tubuh lelaki ini terpental jauh. Dalam keadaan nungging tadi tendangan pemuda berpakaian putih mendarat telak di selangkangannya. Kantong kemaluannya remuk.
Untuk beberapa lamanya Ayub berguling-guling di tanah, melejang-lejangkan kedua kakinya dan memegang bawah perutnya sambil tiada hentinya berteriak. Dia berusaha berdiri tapi jatuh dan jatuh lagi. Tiba-tiba teriakannya lenyap. Tubuhnya terlentang di tanah. Kedua matanya mendelik. Kairudin mendekati kawannya ini.
“Dia mati! Luhak, Ayub mati!” teriak Kariaudin pada Luhak.
“Bedebah jahanam! Berani kau membunuh kawanku!” teriak Luhak marah besar. Dihunusnya golok yang terletak di tanah.
Kairudin juga tidak tinggal diam. Dia melakukan hal yang sama. Keduanya lalu mendekati si pemuda dari samping kiri dan kanan. Sementara Rukiah dengan cepat berusaha bangkit. Sambil membenahi pakaiannya yang robek di sana sini janda ini lari ke balik sebatang pohon besar.
“Bagus! Kalian punya nyali! Majulah!”
“Nyali! Apa itu nyali!” sentak Kairudin yang tak mengerti kata yang barusan diucapkan pemuda berambut gondrong di hadapannya.
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa geli. “Kalau kau mau tahu artinya nyali majulah Ayunkan golokmu!”
“Manusia sombong! Laidangku ini akan memisahkan kepalamu dari badan!” teriak Kairudin. Lalu anak buah Datuk Gampo Alam ini melompat sambil membabatkan goloknya ke leher Wiro. (ladiang artinya golok) Serangan orang ini boleh juga. Deru sambaran senjatanya deras dan gerakannya cepat sekali. Namun yang dilawannya bukan sembarang pendekar.
Akan halnya Luhak melihat kawannya berulang kali hanya membacok tempat kosong, tidak menunggu lebih lama segera pula melompat membantu. Dua golok berkelebat kian kemari dalam gerakan-gerakan silat yang selama ini tidak pernah dilihat Wiro. Sepasang senjata lawan bergulung-gulung menyerang tubuhnya dari kepala sampai ke pinggang.
Hemm... Ilmu silat mereka cuma main atas. Pinggang ke bawah terbuka. Murid Sinto Gendeng tiba-tiba keluarkan bentakan keras. Tubuhnya dijatuhkan ke tanah. Sambil bergulingan dia menendang ke arah kedua kaki Kairudin. Yang ditendang cepat melompat tinggi-tinggi. Ini yang dimaui Wiro. Dari bawah dia lepaskan pukulan tangan kosong Kunyuk Melempar Buah dengan mengandalkan sedikit saja dari tenaga dalamnya. Apa yang terjadi kemudain membuat Luhak terkejut. Kairudin menjerit keras. Selagi tubuhnya melayang di udara, satu gelombang angin laksana sebuah batu besar melesat ke arah selangkangannya.
“Astaga! Apa ini?!” kata Kairudin. Di lain kejap terdengar jeritannya. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Ketika jatuh ke tanah, tubuh itu tidak berkutik lagi. Selangkangannya kelihatan robek dan ada genangan darah mengalir sampai ke tanah. Putuslah nyali Luhak. Dia mengambil keputusan untuk kabur melarikan diri. Sebelum kabur dia lebih dulu mendesak Wiro dengan dua serangan berantai.
“Tonggos! Aku pinjam dulu golokmu!” seru Wiro. Lalu dengan gerakan cepat dia menyelinap di bawah bacokan senjata lawan. Tangan kanannya menyambar keatas.
"Kraakkk...!"
Sambungan siku tangan kanan Luhak tanggal dan remuk. Jerit orang ini setinggi langit. Wiro cepat menangkap goloknya yang terlepas dan mental ke udara.
“Ampun! Jangan dibunuh waden! Jangan dibunuh waden!” teriak Luhak berulang kali seraya mundur. Mukanya pucat. Tangan kirinya diangkat sambil digoyang-goyangkan.
“Siapa mau membunuhmu. Nyawamu cukup diwakili kedua orang kawanmu itu...” kata Wiro. Golok di tangan kanannya bergerak. Gagangnya menghantam keras ke mulut Luhak.
Luhak menjerit keras sekali. Darah muncrat dari mulutnya. Lima giginya yang tonggos di bagian atas dan empat di sebelah bawah rontok. Sebagian terlempar masuk ke dalam mulutnya. Sebagian lagi mental keluar. Luhak terus meraung kesakitan sambil pegangi mulutnya yang berdarah dengan tangan kiri. Lututnya goyah. Dia berlutut terbungkuk-bungkuk. Darah masih terus mengucur dari mulutnya yang pecah serta gusinya yang hancur.
Wiro melangkah ke balik pohon di mana Rukiah bersembunyi ketakutan. Sesaat Wiro terkesiap juga melihat tubuh yang hampir bugil itu. “Maafkan saya,” kata Wiro. “Adik tak apa-apa...”
“Saya... saya tidak apa-apa. Terima kasih kakak sudah menolong saya...”
Wiro mengangguk lalu dia membalik.
“Tunggu, jangan tinggalkan saya....” kata Rukiah menyangka Wiro hendak pergi.
“Tetap saja di situ. Saya akan menyelesaikan urusan dengan anak buah Datuk Gampo Alam ini...” kata Wiro pula. Lalu mayat Ayub dan Kairudin dinaikkannnya ke atas kuda masing-masing. Kini dia mendekati Luhak. Sekali menarik leher pakaian lelaki ini Luhak tertegak dan ketakutan setengah mati.
“Kau boleh kembali ke Pagaralam. Bawa kedua mayat kawanmu itu. Katakan semua yang terjadi di sini pada Datukmu. Sebelum kau naik ke atas kudamu, tanggalkan dulu celanamu!”
“A... apa maksudmu...?” tanya Luhak tergagap dalam ketakutannya.
“Maksudku begini setan!” kata Wiro. Lalu direnggutnya celana hitam laki-laki itu.
Tubuh Luhak kemudian ditunggingkannya kepala di bawah kaki di atas. Celana Luhak ditariknya sampai tanggal. Ketika lelaki ini ditegakkannya kembali dengan sendirinya Luhak hanya mengenakan baju saja alias telanjang di sebelah bawah! Barang antiknya gundal-gandil kian kemari!”
“Naik ke kudamu!” perintah Wiro.
“Onde mak! Jangan! Jangan diperlakukan saya seperti ini! Berikan celana saya...!”
“Boleh! Kau memilih celana atau nyawa?” ujar Wiro pula seraya pura-pura hendak mencekik leher Luhak. Orang ini kembali ketakutan setengah mati.
“Sa... saya memilih hidup saya...” katanya. Lalu naik ke atas kudanya.
Wiro memukul pinggul dua ekor kuda lainnya yang membawa mayat Ayub dan Kairudin. Sesaat setelah orang-orang itu lenyap di kejauhan Wiro kembali ke balik pohon.
“Mereka sudah pergi. Kau aman sekarang...”
“Terima kasih. Pertolonganmu tidak akan saya lupakan. Bukankah kau sahabat Andana?” kata Rukiah dari balik pohon.
“Betul... Nama saya Wiro.”
“Wajah kalian hampir mirip satu sama lain,” kata Rukiah pula. “Tapi kau lebih...” Janda ini tidak meneruskan ucapannya.
“Lebih apa? Lebih kurang ajar?!”
“Maksud saya bukan begitu...” jawab Rukiah. Dalam hati dia berkata. Kau lebih jantan dari Andana.
“Apalagi yang bisa saya tolong sekarang?” bertanya Wiro.
“Di atas pedati ada sebuah peti kayu. Dalam peti itu ada beberapa potong pakaian. Tolong ambilkan petinya kemari. Saya nyaris telanjang. Saya harus berganti pakaian...”
“Saya lebih suka melihat adik seperti sekarang ini...”
“A... apa kata kakak?!” tanya Rukiah hampir tak percaya dengan pendengarannya.
Wiro hanya tertawa sambil garuk-garuk kepala.
“Tak pernah saya mendengar orang baik-baik seperti kakak tega-teganya berkata seperti itu.”
“Saya bukan orang baik-baik,” jawab Wiro pula.
“Ah! Tolonglah ambilkan peti itu. Kalau tidak ambilkan sehelai kain dan sehelai kebaya yang ada di dalamnya.”
Wiro tersenyum. Dia melangkah juga ke pedati. Di dalam sebuah peti kayu di temukannya beberapa potong pakaian. Wiro mengambil sehelai kebaya dan sehelai kain lalu membawanya ke balik pohon.
“Ulurkan saja dari belakang pohon. Jangan melangkah ke sini!” kata Rukiah.
Wiro tertawa. Dilemparkannya kain panjang yang diambilnya dari dalam peti. Tidak ke belakang pohon tetapi beberapa langkah di sebelah depan.
“Mana pakaiannya?” tanya Rukiah.
“Sudah saya lemparkan di depan pohon...”
Rukiah menjulurkan kepalanya dari balik pohon. Lalu terdengar dia mengomel. “Ini bukan saatnya bergurau!”
Wiro membungkuk mengambil kain. Bersama-sama dengan kebaya kain itu dilemparkannya ke belakang pohon. Rukiah segera sibuk berpakaian. Tak lama kemudian janda muda ini keluar dari pohon itu. Yang dilakukannya pertama sekali adalah melihat keadaan sais tua yang menggeletak ditanah.
“Jangan kawatir, orang tua itu belum mati. Cuma pingsan. Tapi dia tidak akan mungkin membawa pedati meneruskan perjalanan...”
“Saya bisa pergi sendiri. Tolong naikkan dia ke atas pedati.”
Wiro menaikkan sais yang masih pingsan dan cidera cukup berat itu ke atas pedati.
“Senja hampir datang. Sebentar lagi malam akan turun. Apakah adik berani melakukan perjalanan sorang diri?” bertanya Wiro.
Rukiah tidak menjawab. Dalam hatinya dia bertanya-tanya apakah pemuda itu hanya sekedar bertanya atau bermaksud mengantarkannya.
“Koto Tangah tidak seberapa jauh dari sini...”
“Saya tidak tahu jauh dekatnya,” kata Wiro pula lalu mengikatkan kudanya di belakang pedati.
“Eh, mengapa pula kakak mengikatkan kuda itu ke pedati?” tanya Rukiah. Wiro tidak menjawab melainkan naik ke atas pedati dan duduk di samping Rukiah.
“Saya senang kakak mau mengantarkan. Tapi apakah saya bisa mempercayai kakak?”
Wiro tertawa lebar. “Sudah saya bilang tadi. Saya bukan orang baik-baik. Tapi dibandingkan dengan Datuk Gampo Alam saya sedikit lebih baik. Dan jauh lebih muda...”
Pemuda satu ini konyol. Sepertinya juga keras kepala. Tapi apa yang dikatakannya betul. Kalau aku tidak bisa mendapatkan Andana, tak ada ruginya mendapatkan yang satu ini. Lagi pula wajah mereka begitu mirip. Dan dia lebih berani, lebih jantan. Rukiah meletakkan tangan kanannya di atas ribaan Pendekar 212.
“Saya percaya pada kakak,” katanya.
Wiro mengambil tali kekang dua ekor sapi penarik pedati. Sesaat kemudian pedati itupun bergerak meninggalkan tempat itu. Di Barat sang surya mulai tenggelam. Di atas pedati Rukiah masih meletakkan tangan kanannya di atas paha Wiro.
********************
Tak dapat dibayangkan begaimana kehebohan yang terjadi di Pagaralam ketika Luhak yang setengah telanjang itu muncul membawa mayat dua orang kawannya. Datuk Gampo Alam seperti orang kemasukan setan saking marahnya. Bukannya dicarikan kain atau apa saja untuk menutupi aurat anak buahnya itu malah sambil menyentak-nyentakkan lehernya dia berteriak.
“Setan bodoh kau Luhak! Biar kutelanjangi sekalian dirimu!” Lalu...
"Brettt! Brettt!"
Tangan kirinya merobek baju hitam Luhak dengan tangan kanannya menampari muka anak buahnya itu dengan kalap.
********************
TUJUH
Pasar sudah agak lenggang ketika Andana sampai di situ. Tapi di tempat orang main Kim suasana masih ramai. (Kim artinya semacam permainan judi memakai nomor-nomor. Siapa yang nomornya paling banyak keluar jadi pemenang)
Setelah bertanya beberapa kali akhirnya seseorang menunjuk pada lelaki berkopiah hitam dan berpakaian putih yang sedang asyik main Kim sambil menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti lagu yang dinyanyikan oleh pemberi tahu nomor. Di sela bibirnya terselip sebatang rokok yang apinya sering mati dan sebentar-sebentar dinyalakannya.
Angku mudo pai ka pasa
Mambao itiak duo-duo
Barangkek kapa di muaro
Maratok suliang limo kali
(Engku muda pergi ke pasar
Membawa itik dua-dua
Berangkat kapal di muara
Meratap suling lima kali)
Mendengar pantun yang dinyanyikan dengan iringan tetabuhan itu lelaki berkopiah hitam mencoret angka 22 dan angka 5 yang ada di kertas Kimnya dengan arang. Kemudaian dia menyedot rokoknya dalam-dalam. Ternyata api rokok itu sudah mati pula. Ketika dia sibuk mencari korek api di saku pakaiannya, tahu-tahu seseorang yang tegak di sebelahnya membantu menyalakan rokok itu. Orang berkopiah menghisap rokoknya dalam-dalam lalu sekilas melirik pada orang yang tegak di sampingnya.
“Sati...?” tanya orang tadi yang bukan lain adalah Andana seraya duduk disebelah si kopiah hitam.
Yang ditegur memang Sati. Pedagang cita keliling ini melirik kembali. Kedua matanya membesar. Dia menatap lekat-lekat. “Kau siapa? Astaga bukankah kau kemenakan Datuk Gampo Alam yang baru kembali ke Pagaralam? Yang kabarnya sudah digelari orang dengan julukan Harimau Singgalang? Yang dinobatkan sebagai tamu terhormat dan dipersembahkan sekapur sirih oleh gadis tercantik di Pagaralam?”
Andana tersenyum. “Perlahan kalau bicara. Karena mungkin tidak semua yang kau katakan itu benar sobat.” Lalu Andana mengambil potongan arang dan mencoret angka di kertas Kim milik Sati yang kebetulan keluar.
“Ada yang ingin saya tanya Sati. Saya sangat memerlukan bantuanmu.”
“Saya sudah maklum. Sebenarnya saya pernah mencari Angku Mudo. Tapi sekarang Angku Mudo sendiri yang datang. Saya sedang asyik main Kim. Bisa Angku Mudo datang malam nanti ke rumah saya?” (Angku Mudo artinya Angku Muda, panggilan kehormatan)
Sebenarnya Andana ingin mendapat keterangan saat itu juga. Tapi dia tidak mau memaksa. Apalagi dilihatnya hari segera memasuki senja. Jadi dia tak akan lama menunggu.
“Beri tahu saya letak rumahmu...”
Sati memberi tahu letak rumahnya. Lalu berkata, “Saya orang dagang. Berarti mata duitan. Segala urusan dengan saya harus ada uangnya...” Sati lalu tertawa mengekeh tapi hampir tanpa suara.
“Jangan takut Sati. Setiap kata yang kau sebutkan, jika memang merupakan keterangan berharga pasti akan saya bayar,” jawab Andana pula.
“Jangan kawatir Angku Mudo. Sekali ini saya keluar dari aturan itu. Angku Mudo tak perlu membayar sepeserpun. Sampai nanti malam. Saya tunggu di rumah.
“Dengar sobat,” bisik Andana seraya memegang bahu pedagang cita keliling itu. “Saya punya firasat nyawamu terancam.” Paras Sati berubah. “Apa maksud Angku Mudo?” “Jangan terus pulang ke rumah. Tunggu saya sampai datang di tempat gelap di ujung Utara jembatan batang kelapa.”
Andana berdiri. Sebelum pergi dia masih sempat mencoret angka ke lima yang ada di kertas Kim di depan Sati.
“Sudah lima angka Sati. Kau menang.”
“Hah, apa?!” Sati memperhatikan kertasnya lalu berteriak gembira. Dia setengah berlari membawa kertas itu ke tempat juru bayar Kim duduk.
********************
Lelaki tinggi besar berwajah seram itu berdiri gelisah di bawah bayang-bayang pohon. Suasananya sekitarnya gelap dan sunyi. Sesekali terdengar suara binatang hutan di kejauhan. Orang ini memelihara kumis dan cambang bawuk lebat menutupi lebih dari sebagian wajahnya. Mata kirinya picak buta sedang telinga kanannya sumplung.
Tampangnya yang seram itu dalam kegelapan kelihatan lebih angker. Pakaiannya serba hitam. Keningnya dililit dengan kain hitam dan rambutnya yang kasar acak-acakan menjulur gondrong sampai ke bahu. Leher dan setiap pergelangan kaki serta tangannya dilingkari kalung dan gelang terbuat dari akar bahar.
Agaknya orang ini yang bukan lain adalah Hantu Mata Picak tengah menunggu kedatangan seseorang. Dalam gelap beberapa kali dia terdengar menggerutu sambil menepuki nyamuk yang banyak berkeliaran dan menyengat kulitnya. Tak selang berapa lama terdengar suara langkah-langkah kaki kuda mendatangi. Hantu Mata Picak mengusap mukanya beberapa kali. Seorang penunggang kuda muncul dari kegelapan.
“Sudah lama saya menunggu Datuk di sini...” kata orang tinggi besar di bawah pohon dengan nada seperti mengomel.
“Setan! Tutup mulutmu!” hardik penunggang kuda. “Bukan kau yang harus bicara lebih dulu tapi aku!”
“Kalau begitu saya menunggu apa yang hendak Datuk katakan...”
“Kau sadar telah beberapa kali membuat kesalahan?!”
“Saya tahu. Tapi semua itu terjadi secara tidak terduga Datuk...”
“Setan kau Daud! Jangan banyak mulut! Jangan mencari-cari alasan! Kurobek mulutmu nanti baru tahu dirasa!”
Orang tinggi besar bertampang angker terpaksa berdiam diri.
“Pertama! Kau memang berhasil membunuh Udin Burik. Tapi tololnya kau meninggalkan bukti! Mengapa kau bunuh orang itu dengan pisau terbang yang hulunya ada ukiran tengkorak?! Apa kau tidak sadar itu berarti meninggalkan jejak?!”
“Saya terpaksa Datuk. Saya bersumpah! Waktu itu Udin Burik siap membuka mulut hendak memberi tahu siapa yang menyogoknya untuk memberi kesaksian palsu di depan Tumenggung Rajo Langit. Jarak saya dengan dia terpaut jauh! Tak ada jalan lain. Dia saya habisi dengan pisau terbang...”
Orang di atas kuda meludah ke tanah. “Untung aku bisa mencuri pisau bergagang tengkorak itu dari Andana. Walaupun begitu dia sudah terlanjur melihat, menyimpan dan mengetahui!”
Daud alias Hantu Mata Picak masih berdiam diri. Orang yang dipanggil Datuk kembali mengeluarkan kemarahannya.
“Ketololanmu yang kedua setan! Kau tidak berhasil membunuh anak itu dengan racun kala hutan. Lekas kau terangkan kenapa sampai bisa begitu. Atau kupuntir kepalamu sampai tanggal sekarang juga!”
“Terus terang saya juga heran Datuk. Saya yakin betul dia telah mengunyah sirih beracun dalam cerana. Hanya ada satu kemungkinan? Pemuda yang bergelar Harimau Singgalang itu kebal racun?”
“Kanciang kau Daud!” maki orang di atas kuda. “Sudah gagal pandai pula kau mencari dalih hendak cuci tangan! Dari jaman nenek moyangku sampai sekarang belum pernah kudengar ada anak manusia yang kebal racun kala hutan! Jangankan manusia, setan sekalipun akan mampus oleh racun jahat itu!” (kanciang artinya makian kotor seperti sundal, pantat) “Kalau kau merasa tidak mampu menjadi pembantuku, katakan saja! Biar saat ini juga kau kupecat! Tapi mukamu akan kutendang lebih dulu. Hidungmu akan kubikin melesak dan matamu yang satu lagi kubikin picak!”
Sepasang mata Datuk Gampo Alam membeliak seperti hendak keluar dari rongganya saking marahnya. “Ingat baik-baik Daud! Jangan sekali lagi kau berani menyebut anak itu dengan gelar keparat sialan itu! Dia tidak punya gelar! Dia tidak berhak menyandang julukan Harimau Singgalang!”
“Tapi di luaran orang banyak kini menyebutnya dengan gelar itu Datuk...”
“Persetan! Kau rupanya memang minta kupecat Daud!”
“Datuk, saya rasa saya sudah berusaha menjalankan tugas yang Datuk berikan sebaik-baiknya. Hanya saja kita tidak mengira bahwa keadaan lain dari yang diduga. Dimulai waktu kita menghadang Datuk Bandaro Sati di tepi Ngarai Sianok. Tiga tulang iga saya sempat patah dan kini agaknya masih belum bertaut utuh. Kalau saya bernafas panjang-panjang ngilu rasanya dada ini. Lalu lihat tangan kanan saya. Masih gembung merah. Akibat pukulan sakti telunjuk penembus raga yang dilepaskan Datuk itu...”
Orang di atas kuda yang bukan lain adalah Datuk Gampo Alam adanya menyeringai. “Menjadi pembantuku berarti siap mengorbankan raga bahkan jiwa! Jika kau tidak suka menyingkirlah dari hadapanku!”
“Saya tidak berkata tidak suka, Datuk. Kalau saja Datuk jauh-jauh hari dulu sudah mengajarkan ilmu belut putih itu pada saya mungkin sudah saya bereskan anak itu. Paling tidak saya tidak akan mengalami nasib sengsara seperti ini...”
Datuk Gampo Alam meludah ke tanah. Lalu menyentakkan lehernya tiga kali. “Kau manusia tidak tahu diri! Jasa baru seujung kuku sudah meminta imbalan sebesar gunung Merapi!”
Daud alias Hantu Mata Picak terdiam sebentar lalu dia berkata. “Ada satu lagi yang ingin saya katakan Datuk. Waktu saya turun dari rumah gadang pada hari perhelatan itu, pemuda Jawa bernama Wiro Sableng itu mengikuti saya. Di satu tempat saya menghadangnya. Menghantamnya dengan dua pisau terbang sekaligus. Serangan saya gagal. Saya susul dengan ilmu hitam ular Bira Satu, dari dua pisau itu berubah menjadi ular dan berhasil mematuknya. Tapi pemuda itu juga berhasil membuat musnah ular jejadian itu. Untung saya masih sempat melarikan diri masuk ke dalam terowongan Si Nago-Nago. Celakanya, entah dengan ilmu pukulan apa dia menghantam salah satu bagian lorong hingga amblas dan menutup jalan masuk. Untung saya bisa menyelamatkan diri lewat lorong rahasia di sebelah Timur. Pemuda itu berbahaya Datuk. Mungkin lebih bahaya dari kemenakan Datuk sendiri...”
“Berbahaya atau tidak, itu termasuk salah satu tugasmu untuk menyingkirkannya.”
“Baik kalau begitu kata Datuk. Apa saya boleh minta diri sekarang.?”
“Setan! Aku belum menyuruhmu pergi. Ada satu tugas untukmu...?"
“Saya tahu. Datuk akan memerintahkan saya untuk mencari dan membunuh Andana kembali...”
“Orang tolol macammu tak akan bisa menjalankan tugas itu. Kau sudah membuktikan ketidak mampuanmu. Biar orang lain yang melaksanakan hal itu. Kau cukup kusuruh menjalankan tugas mudah saja...”
Meski dia merasa kini disepelekan dan dianggap randah namun Hantu Mata Picak masih bertanya. “Tugas apa itu Datuk?”
“Cari Sati. Datangi rumahnya dan bunuh dia pada kejap pertama kau melihatnya. Mengerti?”
“Maksud Datuk Sati pedagang cita keliling itu?”
“Setan! Apa ada dua orang bernama Sati di Pagaralam ini?! Dasar tolol! Dungu! Pandir!” Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya lalu membedal tali kekang kuda tunggangannya.
********************
DELAPAN
Seorang tamu berpakaian bagus, didampingi oleh seorang pengawal menunggu Datuk Gampo Alam di rumah gadang. Dia ternyata adalah Tumenggung Rajo Langit penguasa di wilayah Batusangkar yang membawahi Pagaruyung, Pagaralam dan sekitarnya.
“Harap maafkan saya Tumenggung. Kebetulan ada urusan penting di waktu hampir bersamaan. Sudah lama Tumenggung datang?”
Tumenggung Rajo Langit menekuk mukanya yang sejak tadi tampak asam. Dia senyum terpaksa lalu menjawab berbasa basi. “Belum berapa lama...”
“Rencana Tumenggung jadi dijalankan?”
“Orang-orang sudah saya kirim, mereka tahu di mana mencari anak itu. Sekarang kalau Datuk tidak keberatan saya akan membicarakan hal lain...”
“Tentu saja. Kita bisa bicara panjang lebar sambil menunggu kabar. Namun sebaiknya saya menyuruh orang di dalam menghidangkan kopi panas. Juga penganan kesukaan Tumenggung.”
Tumenggung Rajo Langit mengangguk lalu dia memberi isyarat pada pengawal yang duduk di sebelahnya dan berkata, “kau boleh pergi. Tunggu aku di bawah tangga...”
Tak lama kemudian dua cangkir besar kopi dihidangkan bersama sepiring pisang goreng yang masih panas. Setelah meneguk kopi dan mencicipi goreng pisang Tumenggung Rajo Langit membuka pembicaraan.
“Apakah masih ada persoalan yang menghambat rencana jual beli rumah gadang ini Datuk...?”
“Dari pihak saya tidak. Tapi bagaimana dengan rencana Tumenggung tempo hari?”
“Malam ini saya sudah mengirim selusin orang untuk menangkapnya. Mereka bukan orang sembarangan. Empat diantaranya adalah pasukan dari Bukittinggi. Dua dari mereka membawa senjata panjang bernama bedil yang didatangkan dari Jawa. Selain itu ada seorang gagah berkepandaian tinggi dari Selatan yang dikenal dengan julukan Anduang Mata Api.”
“Saya yakin sekali ini kita bisa menangkapnya. Begitu tertangkap malam ini juga dia akan dibawa ke Batusangkar.”
“Penjara yang kuat sudah disiapkan untuknya. Dia tidak akan bisa lolos lagi!”
“Saya merasa lega Tumenggung mau bersusah payah...” kata Datuk Gampo Alam pula. “Namun ada satu hal yang mungkin sudah Tumenggung ketahui...” kata Datuk Gampo Alam pula. “Kemenakan saya itu datang kemari membawa seorang teman dari Jawa. Ilmu silatnya tinggi. Salah seorang pembantu kepercayaan saya hampir menemui ajal di tangannya.”
Mulut Tumenggung Rajo Langit tampak komat-kamit. “Pemuda keparat itu...” katanya. “Dua kali dia berani mencari perkara dengan saya. Saya bersumpah untuk menangkapnya juga! Membunuhnyapun tidak ada urusan!”
“Ah, jadi benar rupanya kabar yang saya dengar. Dia berani menyerang Tumenggung...”
“Sampai dua kali. Pertama tak jauh dari telaga. Yang kedua di pekuburan. Sewaktu saya menangkap tangan kemenakan Datuk bercinta-cinta dengan anak gadis Mamak Rabiah. Habis anak buah saya dihajarinya. Kalau tidak lekas saya menyingkir...”
“Maksud Tumenggung Bunga?” tanya Datuk Gampo Alam memotong kata-kata sang Tumenggung dengan wajah berubah.
“Betul... Eh, saya lihat wajah Datuk berubah mendengar ucapan saya...”
“Sebetulnya saya sudah bertemu dengan Mamak Rabiah. Saya meminta agar anaknya itu saya jadikan istri. Dulu memang ada pergunjingan mengenai hubungan gelap antara Bunga dan Andana. Tapi waktu itu mereka masih bisa dianggap anak-anak. Kini Bunga sudah dewasa. Saya tidak ingin ada laki-laki berani mengganggu calon istri saya itu...”
Kini paras Tumenggung Rajo Langitlah yang berubah. Dalam hati Tumenggung ini berkata Gila! Siapa menyangka tua bangka yang sudah punya empat istri ini menginginkan gadis itu. Kalau aku tidak lekas bertindak, salah-salah aku bisa kedahuluan! Setelah mendehem beberapa kali sang Tumenggung berkata. “Rupanya kita terpaut pada kembang yang sama Datuk.”
“Apa maksud Tumenggung?”
“Saya tidak tahu kalau Datuk jatuh hati pada gadis itu. Saya sendiri sebenarnya sudah lama tertarik padanya. Tapi kini setelah tahu Datuk suka padanya , saya tidak berani bersaing. Saya hanya ingin mengajukan penawaran...”
Lama Datuk Gampo Alam menatap wajah Tumenggung Rajo Langit dengan mulut setengah ternganga. Seperti orang yang di hadapannya tadi, sang Datuk juga membatin. Mentang-mentang orang berpangkat enak saja dia berkata terang-terangan tertarik pada gadis itu. Apa dia menyangka kekuasaannya bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya? Berbunuhanpun aku tak segan dengan kambing buruk ini.
“Datuk, saya katakan saya ingin mengajukan penawaran,” mengulang Tumenggung Rajo Langit.
“Penawaran apa?” tanya Datuk Gampo Alam.
“Biarkan saya mengawini Bunga. Sebagai ganti rugi akan saya tambah harga jual beli rumah gadang berikut isinya ini...”
Datuk Gampo Alam tersenyum pencong. Tumenggung setan! Kau mencari perkara! Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya beberapa kali lalu berkata. “Kita sudah lama bersahabat. Apalagi mengingat Tumenggung penguasa tertinggi di wilayah ini. Saya tidak berani menolak keinginan Tumenggung memperistri Bunga. Itu adalah urusan pribadi Tumenggung. Saya berterima kasih Tumenggung mau membeli lebih dari yang sudah kita setujui...” Manusia tak tahu diuntung. Habis kau bayar harga rumah gadang ini akan kau rasakan apa yang bakal terjadi atas dirimu.
Tumenggung Rajo Langit angguk-anggukkan kepalanya. Lalu diteguknya kopi sampai habis. Dia tidak menolak sewaktu Datuk Gampo Alam menawarkan secangkir kopi lagi.
“Saya akan mempersiapkan uang pembayaran itu. Paling lambat dalam waktu dua tiga hari di muka Datuk sudah mendengar kabar dari saya.”
Datuk Gampo Alam mengangguk.
********************
Andana tengah melakukan sujud akhir sembahyang Maghrib ketika di luar tiba-tiba menggemuruh suara kaki-kaki kuda. Ada tiga belas orang membanjiri halaman di samping kiri surau. Dua belas orang turun dengan cepat. Sebagian dari mereka langusng menuju pintu surau. Dua diantaranya membawa senjata panjang yakni bedil kocok yang sudah diisi sebutir peluru.
Beberapa lainnya mengurung bangunan itu. Hanya satu orang saja yang turun dari kudanya dengan gerakan tidak terburu-buru. Sikapnya tenang tapi kedua matanya mengawasi setiap sudut dengan penuh waspada. Orang ketiga belas ini ternyata adalah seorang nenek berpakaian galembong hitam yang biasanya dikenakan laki-laki. Mukanya lancip, kedua matanya menonjol merah keluar. Sepintas tampang si nenek tiada beda dengan seekor binyawak! Dialah orang yang dijuluki Anduang Mata Api itu!
Sementara yang lain-lain bergerak sibuk, si nenek hanya tegak di bawah sebatang pohon seraya merangkapkan kedua tangan di depan dadanya. Lima orang memasuki surau dengan cepat. Di saat itu Andana tengah melakukan duduk tahajud akhir. Kekhusukannya bersembahyang membuat dia tidak perduli dengan langkah-langkah berat yang menginjak lantai papan surau. Seolah tidak apa-apa dia terus saja sembahyang. Lalu dia merasakan ada dua buah benda keras dan dingin ditempelkan pada pelipisnya kiri kanan.
“AsyhaduAllahillahaillallah....” Andana terus dengan sembahyangnya. Telunjuk kanannya yang terletak di paha kanan diluruskannya. Ketika dia mengucapkan salam dia tidak bisa memutar kepalanya ke arah kanan ataupun kiri karena kepala itu tertahan oleh dua pucuk moncong bedil! Andana hanya bisa mengucapkan salam tanpa dapat menoleh ke kanan dan ke kiri. Dengan tangan kirinya diusapnya wajahnya. Kedua matanya dengan cepat membaca situasi. Lalu dia menegur dengan sikap tenang.
“Manusia-manusia dari mana yang telah berubah menjadi iblis durhaka! Mengganggu orang dalam sembahyang?!”
“Jangan banyak mulut! Kami mendapat perintah menangkapmu hidup atau mati!”
Orang yang memegang bedil di sebelah kanan membentak. Kawannya yang sebelah kiri mengeluarkan sebuah rantai besi yang ada gemboknya. Benda itu dilemparkannya ke lantai di depan Andana lalu memerintahkan pada salah seorang didekatnya.
“Ikat kedua tangannya! Kalau dia berani bergerak kutabur otak dalam kepalanya!”
Orang yang diperintah masukkan goloknya ke sarung lalu cepat mengambil rantai besi itu. Andana belum pernah melihat orang ditembak bedil. Namun dia pernah mendengar bahwa senjata panjang itu bisa mengoyak dada, merobek perut dan merengkahkan kepala! Dalam keadaan seperti itu yaitu dua moncong bedil sekaligus menempel di kepalanya kiri kanan Andana tak berani berlaku ceroboh.
“Kalian orang-orang Tumenggung Rajo Langit?” bertanya Andana.
“Kambui wa-ang! Kalau sudah tahu siapa kami mengapa masih bertanya!” bentak orang yang memegang bedil di sebelah kanan.
“Jangan banyak cakap. Ulurkan saja kedua tanganmu. Atau otakmu akan bertaburan di lantai surau ini!”
Andana tampak seperti tersenyum. “Rupanya Tumenggung kalian itu masih belum puas. Semua orang di Pagaralam ini tahu bahwa tuduhan pembunuhan atas diriku dulu hanya fitnah busuk belaka...”
Dengan tenang Andana mengulurkan kedua tangannya. Sewaktu rantai besi hendak diikatkan pada kedua lengannya, dalam hati Andana berkata. Kalian hanya menjalankan perintah. Tapi kalau aku tidak memberi pelajaran pada kalian, kalian bisa jadi keras kepala dan sewenang-wenang! Rantai besi mulai dilingkarkan di kedua tangan Andana. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara siulan. Menyusul bentakan keras.
“Manusia-manusia gila! Kalian seperti tidak ber-Tuhan! Menangkap orang di rumah suci!”
Atap surau yang terbuat dari ijuk berderik halus. Lalu tiba-tiba sekali lampu minyak yang tergantung dekat pintu surau padam. Dalam keadaan yang gelap gulita itu Andana serta merta jatuhkan tubuhnya ke lantai papan. Dua letusan menggelegar. Andana merasakan sesuatu yang panas robek bahu kirinya. Dia menghantam sambil menahan sakit. Terdengar suara orang menjerit di susul suara bergedebuk jatuhnya satu sosok tubuh. Di sebelah atas suara seseorang menerobos masuk lewat celah antara atap dan dinding lalu melayang ke bawah.
Setelah itu terlihat satu bayangan putih berkelebat kian kemari. Setiap kaki atau tangannya bergerak satu korban roboh ke lantai. Meski tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang masuk ke dalam surau itu, namun dari gerakannya yang sebat dan mengeluarkan suara menderu serta bentuk potongan tubuhnya, Andana sudah dapat menduga siapa adanya orang ini. Dia segera menyambar sebuah bedil yang tercampak di lantai. Senjata ini dipegangnya di bagian selongosng besinya. Dengan popor senapan itu lalu dia menghantam para penyerang dalam kegelapan.
Tak lama kemudian suara hiruk pikuk perkelahian di dalam surau itu berhenti. Kesunyian mencengkam. Di luar surau nenek berjuluk Anduang Mata Api pencongkan mulutnya beberapa kali. Kedua tangannya masih dilipat di depan dada. Tiba-tiba dari pintu surau melayang keluar satu sosok tubuh. Lalu satu lagi, satu lagi sampai akhirnya kelihatan lima orang bergeletakan di halaman surau tanpa berkutik lagi.
Tiga orang pingsan berat. Satu mengerang dengan kening berlumuran darah. Yang kelima agaknya tengah meregang nyawa. Di dalam surau tadi ketika dia membabatkan goloknya menyerang orang berpakaian putih, tiba-tiba orang itu mendahului dengan satu tendangan yang tepat mengenai lengannya. Golok yang digenggamnya berbalik menghantam perutnya sendiri. Ususnya berbusaian!
Tujuh orang yang berada di halaman surau cepat mendatangi kelima kawan mereka yang dalam keadaan babak belur itu. Mereka bergidik melihat kawan yang tengah meregang nyawa dengan usus menjela-jela. Sementara itu perempuan berjuluk Anduang Mata Api masih tetap tak bergerak ditempatnya di bawah pohon. Hanya kedua alis matanya saja yang tampak bergerak-gerak naik ke atas. Lalu dia berkata dengan suara keras.
“Apakah kalian ingin menjadi kucing buta dan bisu? Empat kawan kalian dihajar orang sampai tak sadarkan diri. Yang satu malah dibunuhi! Kalian hanya berdiri menonton! Jika kalian tidak berbuat sesuatu rasanya lebih baik aku mengepruk kepala kalian satu persatu!”
Mendengar kata-kata si nenek, tujuh orang yang berada di halaman surau serta merta bergerak. Mereka berserabutan menuju pintu surau. Siap menyerang Andana yang ada di dalam sana. Namun tiba-tiba sekali dari dalam surau terdengar suara menderu. Si nenek Anduang Mata Api mengerenyit. Tujuh orang yang coba memasuki surau terlempar ke hadapannya sebelum mereka sempat mencapai pintu seolah-olah disambar angin topan dahsyat!
Ketujuhnya kemudian malang melintang berkaparan di tanah. Meskipun banyak diantara mereka yang cidera namun nasib mereka jauh lebih baik dari lima kawan mereka terdahulu. Yang tujuh ini hanya babak belur tapi tak ada yang sampai menemui ajal!
Anduang Mata Api batuk-batuk beberapa kali ketika dari dalam surau dilihatnya Andana keluar sambil memegang bahu kirinya. Bajunya nampak sobek di bahu dan ada warna merah tanda tubuhnya terluka. Sewaktu menjatuhkan diri menyelamatkan kepalanya dari ancaman dua buah bedil kocok, peluru salah satu bedil itu masih sempat menghajar bahu kirinya. Walaupun meleset tapi peluru senjata itu telah merobek baju dan daging bahunya.
Anduang Mata Api menggigit-gigit bibirnya sendiri sewaktu melihat ternyata ada dua orang pemuda yang keluar dari dalam surau. Sebelumnya dia tidak pernah melihat Andana. Sesaat dia jadi bingung sendiri. Eh, dua pemuda itu punya wajah mirip satu sama lain. Perawakan mereka juga serupa. Sialan kenapa Tumenggung tidak mengatakan kalau ada dua lawan bukan cuma satu! Aku harus minta bayaran lebih besar kalau begini. Tapi... ada juga senangnya aku ikut campur urusan ini. Dua pemuda di hadapanku ini sama-sama punya tampang gagah. Badan mereka sama-sama kukuh.
“Hemm... hasrat mudaku kembali berkobar. Kalau aku dapat salah satu saja di antara mereka...” Begitu si nenek membatin.
Sementara itu Wiro berbisik pada Andana. “Ada perempuan tua bermuka binyawak di depan kita. Hati-hati sahabat. Gerak geriknya menyatakan dia seorang berkepandaian tinggi. Dia pasti dedengkot penyerangan ini!”
“Firasatmu sama denganku. Cuma belum jelas apa dia kaki tangan Tumenggung Rajo Langit atau Pamanku Datuk Gampo Alam.”
“Mungkin dua-duanya,” kata Wiro pula.
Si nenek maju beberapa langkah. Andana dan Wiro lakukan hal yang sama. Mereka sama-sama tegak saling tatap terpisah dalam jarak lebih dari sepuluh langkah. Untuk beberapa saat lamanya suasana di halaman surau yang agak gelap itu dicengkram kesunyian. Tapi ini tidak berjalan lama. Setelah puas memperhatikan dua pemuda gagah itu si nenek tiba-tiba bertanya dengan suara keras.
“Yang mana di antara kalian bernama Andana, kemenakan Datuk Gampo Alam?! Dan punya gelar sombong, menganggap diri bergelar Harimau Singgalang!”
Belum sempat Andana menjawab, Wiro sudah angkat tangan kirinya. “Menurutmu siapa di antara kami yang pantas jadi Harimau Singgalang?!”
Anduang Mata Api melirik pada Wiro lalu tersenyum. “Kau pasti bukan sang kemenakan. Lidahmu seolah terbuat dari seng. Logat bicaramu seperti orang yang tengah makan galamai!” (galamai artinya dodol)
Wiro tertawa. “Nenek, mulutmu pandai bicara dan ternyata otakmu cerdik juga. Kau yang berwajah saperti galamai, jadi kau orangnya yang bertindak sebagai pemimpin dari baruak-baruak yang dua belas orang ini! Siapa yang membayarmu melakukan perbuatan keji ini?!” (baruak artinya monyet)
Anduang Mata Api tentu saja marah sekali wajahnya dikatakan seperti dodol. Tapi si nenek tidak segera mendamprat melainkan mendongakkan kepalanya. Dari mulutnya keluat suara tawa mengekeh disusul ucapan,
“Orang banyak mulut kabarnya lama matinya. Tapi sekali lagi kau berani bicara kurang ajar, umurmu kulipat jadi pendek! Kau dengar itu anak muda?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya dan balas tertawa. Ketika dia hendak membuka mulut di sampingnya Andana mendatangi dan berbisik,
“Sahabat, saya ada urusan sangata penting yang harus dikerjakan.” Rupanya Andana baru ingat akan perjanjiannya dengan Sati. “Saya harap kau tidak keberatan mengurus binyawak perempuan ini. Saya harus pergi sekarang. Hati-hati. Tua bangka ini agaknya bukan galamai atau dodol yang empuk.”
Bisikan Andana itu rupanya terdengar oleh Anduang Mata Api. “Kemenakan Datuk Gampo Alam!” katanya cepat. “Aku mendapat perintah untuk menagkapmu hidup atau mati! Aku masih punya rasa belas kasihan menangkapmu hidup-hidup! Tapi jika kau berani bergerak satu langkah saja, kuhabisi kau kejap ini juga!”
“Siapa yang memberimu perintah?!” tanya Andana tenang.
“Berapa kau dibayar nenek galamai?!” ikut menukas Wiro Sableng sambil menyeringai.
Rahang dan pipi si nenek tampak menggelembung. Kedua matanya menjadi merah laksana bara api di malam gelap. “Siapa memberiku perintah atau berapa aku dibayar bukan urusan kalian! Kau kemenakan Datuk Gampo Alam jelas-jelas manusia buronan yang harus ditangkap dan dijebloskan dalam penjara!”
Wiro keluarkan suara berdecak berulang kali. “Nek, lagakmu sudah keterlaluan. Kau hanya disuruh orang. Tidak mengetahui apakah sahabatku ini benar pembunuh atau bukan!”
Murid Sinto Gendeng ini kemudian berpaling pada Andana. “Pergilah cepat. Jika dia berani menghalangi akan kita lihat apa yang hendak dilakukannya!”
Mendengar ucapan sahabatnya itu tanpa menunggu lagi Andana segera berkelebat namun si nenek dengan kecepatan luar biasa melesat memotong gerakan pendekar bergelar Harimau Singgalang itu. Wiro tak tinggal diam. Dia segera melompat memapas gerakan si nenek sambil mendorongkan dua tangannya ke depan, Anduang Mata Api mendengar deru halus. Dia berseru kaget ketika satu gelombang angin melanda dirinya, membuat dia sempoyongan.
Astaga, anak celaka ini ternyata memiliki tenaga dalam luar biasa! Keluh Anduang Mata Api. Sebelum tubuhnya tersapu pukulan Benteng Topan Melanda Samudera yang dilepaskan Wiro perempuan tua ini cepat menyingkir dengan membuat lompatan ke samping. Dari samping dengan gerakan kilat dia kirimkan satu serangan ke arah Pendekar 212. Tapi sewaktu dilihatnya Andana berkelebat pergi, dia memutuskan membereskan pemuda buruannya itu lebih dulu. Dari tenggorokannya terdengar suara menggembor. Kedua matanya yang merah membara diarahkan pada Andana. Kepalanya digoyangkan.
"Wuttt! Wuttt!"
Dua buah cahaya lurus berwarna merah kebiruan melesat dari sepasang mata si nenek, menyambar ke arah punggung Anadana.
“Andana! Awas! Teriak Wiro.
Tanpa diperingatkanpun sebenarnya putera Datuk Bandaro Sati itu sudah mengetahui bahaya yang mengancam. Sambil melompat ke balik sebatang pohon besar Andana tusukkan telunjuk tangan kanannya kedepan. Dalam gelap terdengar suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya satu sinar biru. Sinar biru ini melesat menyongsong dua larik sinar merah yang keluar dari sepasang mata Anduang Mata Api.
Wiro yang sudah gatal tangan tak tinggal diam. Dia hantamkan tangan kanannya ke arah titik pertemuan sinar-sinar sakti itu. Cahaya putih menyilaukan yang disertai hawa panas menderu menggidikkan. Itulah pukulan Sinar Matahari!
Dentuman dahsyat laksana kepundan meledak menggelegar di tempat itu. Andana terdengar berseru keras lalu tubuhnya lenyap dari balik batang pohon besar. Anduang Mata Api menekapkan kedua tangannya pada kedua matanya yang terasa ditusuk-tusuk. Wiro sendiri berdiri tergontai-gontai.
Daun-daun pepohonan runtuhan berguguran. Ranting dan cabang pohon patah berjatuhan. Pada batang pohon di balik mana tadi Andana berlindung kelihatan dua buah lobang hitam. Lobang-lobang itu terjadi akibat hantaman dua larik sinar merah kebiruan yang keluar dari mata Anduang Mata Api. Dapat dibayangkan kalau sinar itu mendarat di tubuh manusia!
Sadar kalau Andana tak dapat dihalanginya lagi, si nenek menumpahkan seluruh kemarahannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng!
********************
SEMBILAN
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi kemarahan nenek bermuka binyawak bernama Anduang Mata Api itu. Mari kita ikuti kepergian Andana menemui pedagang cita keliling bernama Sati dari siapa dia mengharap dapat mengetahui orang yang telah membunuh Ayahnya.
Begitu Andana muncul di ujung jembatan batang kelapa, Sati segera ekluar dari tempat gelap. “Sudah habis saya dimakan nyamuk. Mengapa lama benar Angku Mudo datang?”
“Orang-orang suruhan Tumenggung Rajo Langit menyerbu saya di surau. Mereka berusaha menangkap saya. Tak perduli hidup atau mati!”
Sati tempak terkejut. “Keji sekali tindakan mereka. Berani berbuat huru hara dalam rumah suci! Astaga, saya lihat bahumu terluka Angku Mudo...”
“Disambar pelor...”
“Pelor? Hampir tak percaya saya...!”
“Ada dua penyerbu membawa bedil yang kabarnya didatangkan dari Jawa.” Andana terdiam sebentar. “Sudahlah, sekarang kita segera ke rumahmu. Saya akan buktikan bahwa benar-benar ada orang yang menginginkan kematianmu.”
Malam merayap perlahan. Dingin dan sunyi. Dalam kegelapan yang menghitam, diantar oleh hembusan angin malam, empat bayangan berkelebat menuju sebuah rumah yang terletak di lembah kelam sunyi. Empat orang ini bergerak tanpa suara seolah menyatu dengan kegelapan malam. Di depan sekali bergerak orang tinggi besar bermuka garang dan hanya puna satu mata serta satu daun telinga.
Dia bukan lain adalah Daud alias Hantu Mata Picak, tangan kanan dan kepercayaan Eatuk Gampo Alam. Tiga orang di belakangnya adalah anak buahnya. Beberapa belas langkah dari rumah di dalam lembah Hantu Mata Picak memberi isyarat. Tiga anak buahnya berhenti. Dia cepat berbisik,
“Ada nyala lampu minyak di dalam rumah. Berarti ada orangnya. Kelian bertiga lekas menyebar. Aku akan masuk dan menabas leher manusia itu. Beri tanda dengan suitan jika ada orang yang datang...”
Tiga anak buah Hantu Mata Picak mengangguk lalu mereka cepat menyebar. Hantu Mata Picak melangkah ke pintu belakang rumah. Lewat celah-celah dinding dia melihat lampu minyak menyala diruangan tengah. Selain dari itu rumah di tengah lembah itu berada dalam keadaan sunyi senyap. Hantu Mata Picak terus mengintai. Di salah satu sudut rumah ada sebuah balai-balai. Di atas balai-balai ini samar-samar tampak sesosok tubuh tengah tidur nyenyak.
Hantu Mata Picak tak menunggu lebih lama. Dikeluarkannya sebilah golok dari balik pinggangnya. Dengan benda ini, tanpa suara sama sekali dia mencongkel pintu belakang lalu menyelinap masuk dengan cepat. Dia langusng menuju balai-balai dimana terbujur sosok tubuh berselubung selimut. Tangan kanannya yang memegang golok diangkat tinggi-tinggi. Senjata itu lalu dibacokkan dengan deras. Yang diarah adalah bagian batang leher.
"Crassss!"
Tubuh di bawah selimut tak bergerak. Tak ada darah yang muncrat membasahi selimut atau mengucuri tempat tidur. Hantu Mata Picak mengeluarkan seruan heran. Dengan tangan kirinya diangkatnya selimut itu. Yang dilihatnya bukan leher manusia yang luka parah apa lagi terbabat putus, melainkan hanya sebuah bantal guling yang robek besar dan ketika diangkat kapuknya berhamburan kian kemari.
“Kurang ajar! Aku kena tertipu!”
Hantu Mata Picak memaki marah. Digeledahnya seluruh rumah. Namun di rumah itu memang tidak ada siapapun. Saking marahnya Hantu Mata Picak menghantami apa saja yang ada di dalam rumah dengan goloknya. Mendengar ribut-ribut tiga orang anak buahnya segera masuk dan bertanya apa yang terjadi.
“Bangsat itu tidak ada di sini! Dia menipu dengan guling yang diselimuti!”
“Berarti dia sudah tahu bahaya mengancam dirinya Daud,” kata salah seorang anak buah Hantu Mata Picak menyebut nama pimpinan mereka itu.
“Kelihatannya ini bukan kerja satu orang,” berkata teman di sebelahnya. “Aku tidak yakin Sati punya akal dan keberanian berbuat begini! Kita bakar saja rumah ini!”kata yang satunya lagi.
Lalu diambilnya lampu minyak yang tergantung di dinding. Ketika minyak hendak diguyurkan ke lantai papan, tiba-tiba entah dari mana munculnya satu tangan yang kokoh menarik lengannya. Di lain kejap anak buah Hantu Mata Picak merasakan tubuhnya dibetot ke samping baru terlempar ke luar rumah lewat jendela yang jebol dan hancur berantakan. Lampu minyak yang tadi dipegangnya, sebelum terlempar jatuh mengguyur pakaiannya.
Celakanya ketika lampu kemudaian terlepas nyala apinya jatuh di bagian pakaian yang telah basah oleh minyak itu. Tak ampun lagi apipun berkobar menyulut pakaian dan tubuh orang itu. Dia berteriak-teriak sambil bergulingan ditanah coba memadamkan api. Namun perut, dada dan pangkal lehernya sedah keburu terbakar sebelum api padam!
Hantu Mata Picak dan dua orang anak buahnya yang masih ada di dalam rumah dan kini dalam keadaan gelap gulita tentu saja terkejut bukan alang kepalang. Sang pemimpin cepat menyadari bahayanya kalau berada di tempat gelap sementara ada seorang musuh mengintai di tempat yang sama serta merta dia menghambur keluar rumah lewat pintu belakang, diikuti salah seorang anak buahnya.
Anak buahnya yang satu lagi melompat lewat jendela. Ketiganya sampai di halaman samping berbarengan. Kaget ketiga orang ini semakin memuncak ketika di halaman itu tahu-tahu mereka berhadapan dengan seorang pemuda berpakaian serba putih, berambut gondrong dan tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada. Di mulutnya tersungging senyum mengejek.
“Harimau Singgalang!” kata salah seorang anak buah Hantu Mata Picak.
Hantu Mata Picak tertawa mengejek. “Anak-anak, gelar tidak pantas bagi seorang pembunuh dan buronan penjara Batusangkar seperti dia!”
Andana menyeringai. “Jadi kau rupanya yang selama ini gentayangan berusaha hendak membunuhku. Mulai dari ular berbisa, picau beracun, lalu sirih yang diberi racun kala hutan! Siapa yang memperbudakmu?!”
“Bangsat! Aku tidak merasa diperbudak siapapun! Manusia seprtimu patut dilenyapkan dari muka bumi. Kehadiranmu di Pagaralam hanya mendatangkan keonaran!”
Andana tertawa pendek mendengar kata-kata Hantu Mata Picak itu. “Dulu kabarnya kau pernah berdandan seperti perempuan, memakai selendang dan baju kurung warna kuning. Apa sekarang kau sudah berhenti jadi banci? Masih untung kau selamat dari tanah bukit yang diruntuhkan kawanku tempo hari. Tapi dasar manusia tak tahu diri. Diberi selamat oleh Tuhan malah kini makin semena-mena! Aku tahu kau adalah kaki tangan Datuk Gampo Alam!”
Hantu Mata Picak mendengus. “Apa yang kau ketahui cukup hanya sampai malam ini Andana! Besok kau boleh bicara banyak di alam barzah!”
Habis berkata begitu Hantu Mata Picak lalu melompat sembari membabatkan goloknya. Serangannya memiliki kuda-kuda yang kuat dan ayunan goloknya mengeluarkan suara menderus serta tebaran angin dingin. Terlambat saja Andana mengelak niscaya bahi kirinya bisa putus dihantam sambaran senjata itu.
Geram melihat serangannya bisa dielakkan lawan, didahului dengan bentakan garang untuk kedua kalinya Hantu Mata Picak melancarkan serangan. Dua orang anak buahnya kini juga tak tinggal diam. Yang satu menghunus sebilah parang berkeluk, yang kedua mengeluarkan sebatang tongkat besi yang ujungnya bercabang dua berbentuk pipih seperti mata pisau.
Tiga serangan yang datang dari tiga jurusan menggempur Harimau Singgalang laksana curahan air hujan. Dua orang lelaki yang iktu mengeroyok memang merupakan orang-orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara sekian banyak anak buah Hantu Mata Picak. Disamping itu Hantu Mata Picak sendiri juga menguasai ilmu golok tingkat tinggi dan gerakannya sangat sebat.
Mau tak mau murid Datuk Alis Merah dari Asahan ini dipaksa harus berhati-hati. Pakaian bahkan rambut di kepalanya sesekali berkibar-kibar disapu angin tiga senjata lawan.
"Breettt! Breettt!"
Memasuki jurus ke tujuh golok di tangan Hantu Mata Picak merobek baju putih Andana di bagian lambung. Robekan kedua terjadi di dekat ketiak kirinya akibat tusukan tongkat besi bermata dua anak buah Hantu Mata Picak. Andana merasa tengkuknya dingin. Terlambat saja dia membuat gerakan mengelak, salah satu serangan itu pasti sudah merobek tubuhnya!
Menyadari keadaan yang sangat berbahaya ini Andana segera keluarkan ilmu silat yang dipelajari dari gurunya Datuk Alis Merah di tanah Asahan. Ilmu silat ini bernama ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai. Ilmu silat Kumango merupakan ilmu silat yang mendasar dan banyak dikuasai para pendekar di tanah Minang bahkan sampai ke pesisir Selatan dan Timur.
Demikian mendasarnya ilmu silat Kumango hingga segala kekuatan maupun kelemahannya banyak diketahui orang. Akibatnya ilmu silat ini dianggap tak banyak berguna dan kemampuannya lagi hingga jarang yang mau mempelajarinya. Tetapi seorang Datuk di Utara yaitu Datuk Alis Merah justru berusaha menegakkan kehebatan ilmu silat ini dengan menciptakan ilmu silat baru yang mendasarkan gerakannya pada ilmu silat Kumango lama.
Dia menyusun tujuh jurus aneh. Dari tujuh jurus ini bisa dikembangkan masing-masing tiga jurus baru hingga keseluruhan jurus berjumlah dua puluh satu. Setiap jurus diolah begitu rupa hingga dasar gerakannya berlawanan dengan dasar gerakan ilmu silat Kumango lama, diberi tambahan dasar kuda-kuda yang kokoh serta gerakan tangan yang disertai tenaga dalam.
Andana memainkan jurus demi jurus menghadapi tiga lawannya yang bersenjata sementara dia sendiri masih mengandalkan tangan kosong. Memasuki jurus keenam belas pemuda ini merasakan serangan lawan mulai dapat ditahannya. Dua anak buah Hantu Mata Picak kelihatan seperti berlomba untuk dapat menyarangkan senjata mereka di tubuh atau kepala Andana.
Namun gerakan mereka sudah dipengaruhi kemarahan berlebihan hingga tidak memakai perhitungan lagi. Hal ini terjadi karena sekian lama menggempur mereka tak sanggup untuk mendekati lawan, apalagi melukainya. Sebaliknya kaki dan tangan Andana acap kali menyusup menembus pertahanan mereka hingga serangan mereka sering menjadi mentah dan gerakan keduanya menjadi kacau.
Hantu Mata Picak yang juga merasakan mengendurnya daya serangannya akibat ilmu silat si pemuda yang sulit diterkanya kini mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya hingga tubuhnya yang besar itu laksana seekor alap-alap, berkelebat kian kemari. Golok di tangannya menyambar menderu-deru. Kelihatannya dia mulai dapat menggoyahkan pertahanan Andana.
Namun Hantu Mata Picak salah menduga. Putera Almarhum Datuk Bandaro Sati itu dengan cerdik mengarahkan serangan-serangan gencarnya pada anak buah Hantu Mata Picak yang memegang tongkat besi bercabang dua. Senjata ini merupakan senjata terpanjang diantara tiga senjata para pengeroyok, jadi merupakan senjata paling berbahaya karena mampu mencapai dirinya dari jarak jauh sekalipun.
Begitu lawan terdesak hebat, Andana susupkan satu tendangan ke perutnya. Selagi lawan terjajar ke belakang sambil meraung kesakitan dan tak berani lagi memasuki kalangan perkelahian, Andana merampas tongkat besinya. Dengan senjata ini kini Andana menghadapi Hantu Mata Picak dan seorang anak buahnya. Pemuda ini mengamuk laksana kesetanan.
Dua jurus menggempur parang berkeluk di tangan anak buah Hantu Mata Picak mentak ke udara. Selagi lawan tampak kebingungan Andana hujamkan ujung tongkat yang berbentuk dua bilah pisau itu ke arah perutnya! Orang ini membuka mulutnya lebar-lebar seperti hendak berteriak. Kedua matanya mendelik. Mimik mukanya mengerikan. Namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Ketika tusukan tongkat besi dilepaskan tubuhnya langsung roboh. Perutnya robek besar dan usus besarnya tampak menggelembung mengerikan. Anak buah Hantu Mata Picak yang tongkat besinya kena dirampas kini berada di tangan Andana terbungkuk-bungkuk berusaha memungut parang berkeluk milik kawannya yang terlepas mental dan tergeletak di tanah.
Tapi gerakannya tidak lepas dari perhatian Andana. Begitu jari-jarinya menyentuh gagang parang, tumit kaki kanan Harimau Singgalang menghantam keningnya dengan telak. Orang ini terjengkang ke tanah. Sesaat kedua tangannya melejang-lejang lalu tubuhnya tak berkutik lagi. Kepalanya rengkah. Darah menggelimangi wajah bercampur lelehan cairan otak!
Harimau Singgalang putar tubuhnya dengan cepat sambil melintangkan tongkat besi di atas kepalanya ketika dia mendengar di belakangnya ada suara menderu. Betul seperti dugaannya. Hantu Mata Picak kirimkan serangan membokong dengan golok besarnya. Dua senjata yang sama-sama terbuat dari besi itu saling bentrokan di udara, mengleluarkan suara keras serta percikan bunga api yang terang di dalam kegelapan malam.
Golok di tangan Hantu Mata Picak patah dua dan terlepas mental dari genggamannya. Sebaliknya tongkat besi yang dipegang Andana hanya gompal sedikit. Andana adalah seorang pendekar sejati. Melihat lawan tidak lagi bersenjata dia segera membuang tongkat besi berujung sepasang pisau itu. Namun ayunan dari bentrokan tadi masih sempat menghantam ke bawah sesaat setelah dia melepaskan senjata ini. Hantaman ini justru mengarah kepala Hantu Mata Picak.
Andana jadi terkesiap dan tidak sempat berbuat apa-apa. Namun di hadapannya Hantu Mata Picak tampak tenang saja. Kedua tangannya diangkat ke atas untuk menangkap tongkat besi itu. Astaga! Ilmu apa yang dimiliki manusia jahat ini! Kedua tangannya merah membara sampai sebatas pergelangan! Andana menyaksikan perubahan kedua tangan manusia bermata satu itu dengan terkejut.
Ketika tongkat besi itu ditangkapnya terdengar suara mendesis panjang. Hantu Mata Picak menyeringai. Tongkat besi yang dipegangnya ikut membara mengepulkan asap. Sekali dia menggerakkan kedua tangannya yang merah membara itu, tongkat besi melengkung membentuk setengah lingkaran.
Hantu Mata Picak tertawa mengekeh. Tongkat besi dicampakkannya ke tanah. Lalu dia melompat menyerang Andana. Kedua tangannya yang telah berubah menjadi bara panas itu berkelebat ke arah leher Harimau Singgalang.
SEPULUH
Kalau besi saja bisa dibuat membara dan leleh, dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan batang leher Andana kalau sampai kena cengkeram sepasang tangan Hantu Mata Picak! Ilmu Bara Neraka! Kata Andana dalam hati. Kedua tangan lawannya berubah menjadi merah membara dan panas luar biasa. Dari mana manusia celaka ini mendapatkan ilmu itu?
Namun Harimau Singgalang tidak dapat berpikir panjang. Dia harus menyelamatkan diri. Dua tangan Hantu Mata Picak berkelebat ganas. Andana cepat melompat mundur ke dekat sebatang pohon. Lawan memburu dengan menebas telapak tangan kanannya. Sekali lagi Andana mengelak. Tabasan tangan melabrak pohon.
"Wusss!"
"Kraaak!" Batang pohon itu bukan saja terbakar dikobari api tapi juga patah lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
“Pemuda keparat!” maki Hantu Mata Picak penuh geram karena lawan untuk kedua kalinya berhasil mengelakkan serangannya. “Apa kau kira bakal bisa lolos dari tanganku? Kau akan mampus dengan tubuh lumat sampai ke tulang belulangmu!” Hantu Mata Picak menutup makiannya sambil mendorongkan kedua tangannya yang membara ke depan.
"Wusss! Wusss!" Dua larik sinar merah menderu ke arah Andana.
Di seberang sana Andana memasang kuda-kuda. Lututnya membengkok sedang tubuhnya agak membungkuk. Tiba-tiba pemuda ini tusukkan jari tangan kiri kanan ke arah datangnya serangan dua larik sinar merah. Dua gelombang lidah api menderu dahsyat mengejutkan Hantu Mata Picak.
Matanya yang cuma satu mendelik besar ketika melihat bagaimana dua gelombang lidah api dari pukulan sakti Inti Api yang dilepaskan Andana menghantam buyar dua larik sinar merah panas pukulan Bara Neraka yang dihantamkannya pada pemuda itu. Hantu Mata Picak kerahkan habis-habisan seluruh tenaga dalamnya agar pukulan Bara Nerakanya bisa bertahan dan menghantam lawan kembali. Namun dia kalah kekuatan.
Ketika Andana mendorongkan dua jari telunjuknya ke depan, dua lidah api menggemuruh. Hantu Mata Picak menjerit keras. Sekujur tubuhnya dikobari api. Dia berusaha memadamkan api yang membakar badannya itu dengan menjatuhkan diri di tanah lalu bergulingan. Nasibnya masih untung karena di dekat sana ada sebuah parit dangkal. Tanpa pikir panjang Hantu Mata Picak mencemplungkan dirinya ke dalam parit. Begitu api padam dia cepat berdiri lalu melarikan diri dari tempat itu.
Andana mengejar. Telunjuk tangan kanannya di arahkan ke punggung orang. Namun pukulan Inti Api tak jadi dilepaskannya. Dia merasa tidak enak membokong seperti itu. Dia pasti mati! Dia tidak bakal bisa selamat dari luka bakar yang dahsyat itu! Kata Andana dalam hati. Dia membungkuk memungut sebuah benda yang tadi jatuh ke tanah sewaktu Hantu Mata Picak bergulingan sambil menjerit-jerit. Benda itu ternyata adalah sebilah pisau yang gagangnya berbentuk ukiran tengkoran manusia.
Hemm... Kini kudapatkan buktinya. Jadi memang dia yang membunuh Udin Burik orang yang bersaksi palsu di hadapan Tumenggung bahwa akulah yang telah membunuh Sarkam! Dia juga yang memasang senjata rahasia ini di rumah gadang untuk membunuhku!
“Angku Mudo,” tiba-tiba terdengar suara Sati si pedagang cita keliling di samping Andana. “Kenapa tidak Angku Mudo bunuh sekalian manusia setan itu! Membiarkannya hidup sangat berbahaya!”
“Luka bakar yang parah itu akan merengut nyawanya. Kalaupun dia bisa hidup dia akan cacat seumur-umur. Siksaan itu lebih ganas dari kematian...”
“Tapi Angku Mudo, justru manusia jahanam itulah yang ikut membantu membunuh Ayah Angku Mudo!” kata Sati pula.
Andana membalikkan tubuhnya. Dia seperti mendengar petir di liang telinganya. “Apa katamu Sati?! Saya mencarimu justru untuk meminta keterangan menyangkut rahasia kematian Ayah saya! Kalau barusan kau katakan Hantu Mata Picak ikut membantu membunuh Ayah saya, lalu siapa yang dibantunya? Siapa sebenarnya yang membunuh Ayah saya? Tumenggung Rajo Langit?!”
Andana terbeliak heran ketika melihat Sati gelengkan kepalanya. Tidak sabaran dipegangnya kedua bahu Sati, digoyang-goyangkannya hingga Sati berteriak kesakitan.
“Lekas katakan siapa pembunuh Ayah saya!”
“Datuk Gampo Alam. Mamak Angku Mudo sendiri!” jawab Sati.
Mulut Andana tampak ternganga. “Saya sudah menduganya tapi saya berusaha untuk tidak mempercayainya! Ternyata kini... Sati, kau melihat sendiri kejadian itu? Ceritakan pada saya!” kata Harimau Singgalang hampir berteriak. Kembali tubuh pedagang cita keliling yang kerempeng itu diguncangnya.
“Saya menyaksikan sendiri Angku Mudo. Saat itu saya dalam perjalanan ke Bukittinggi. Terjadinya di tepi Ngarai Sianok. Saya saksikan Ayah Angku Mudo dikeroyok oleh Hantu Mata Picak dan Datuk Gampo Alam. Satu saat Hantu Mata Picak berhasil menyergap Ayah Angku Mudo dari belakang. Dalam keadaan tidak berdaya seperti itu Datuk Gampo alam datang dari depan. Diambilnya keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Dengan senjata itu ditikamnya tubuh Ayah Angku Mudo bertubi-tubi secara biadab. Darah mengucur mengerikan dari belasan luka menganga. Saya lihat Ayah Angku Mudo roboh ke tanah dengan keris masih menancap di dada Datuk Bandaro Sati. Sementara itu Datuk Gampo Alam dan Hantu Mata Picak sudah melarikan diri.”
“Jahanam! Manusia-manusia biadab itu akan kuhabisi! Tak ada ampunan bagi mereka! Aku bersedia masuk neraka atas dosa membunuh keduanya!” Suara Andana bergetar keras. Tubuhnya seperti menggigil dan wajahnya yang tampan tampak mengelam.
Sati untuk beberapa lamanya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. “Setelah itu saya melihat satu kejadian aneh Angku Mudo,” katanya kemudian.
“Kejadian aneh? Kejadian aneh macam mana maksudmu?” tanya Andana.
“Dari dasar Ngarai Sianok tiba-tiba saya melihat berkelebat satu sosok berpakaian putih ke arah tubuh Datuk Bandaro Sati yang tergeletak di tanah. Tak dapat saya pastikan siapa adanya sosok tubuh ini. Entah malaikat entah setan. Mahluk ini membelakangi saya. Sesaat kemudia dia memandangi tubuh Ayah Angku Mudo. Lalu saya lihat dia membungkuk, mencabut keris yang menancap di dada Ayah Angku Mudo. Juga memungut sarung keris yang tercampak di tanah. Setelah itu seperti terbang dia melesat ke langit. Ke arah matahari. Saya berusaha mengikuti gerakannya. Tapi sinar matahari menyilaukan mata saya. Orang itu lenyap entah kemana. Saya sendiri sudah tidak dapat lagi menahan takut lalu lari dari tempat itu...”
Kedua rahang Andana tampak menggembung. Terbayang kembali di matanya kejadian sewaktu ayahnya muncul di atas batu besar di tempat kediaman Datuk Alis Merah.
“Sati, ada satu hal yang ingin saya tanyakan,” kata Andana setelah berdiam diri beberapa ketika. “Soal rumah gadang. Saya mendapat keterangan bahwa Mamak saya akan menjual rumah itu pada Tumenggung Rajo Langit...”
“Saya tahu hal itu. Semua orang di Pagaralam ini tahu.”
“Menurut Rukiah, istri termuda Datuk Gampo Alam, rumah itu kabarnya akan dijual pada seseorang dari Jawa. Kau tahu juga hal itu Sati?”
Sati mengangguk. “Saya tidak mengerti. Mengapa Mamak saya tidak langsung saja menjualnya pada orang Jawa itu.”
“Karena Paman Angku Mudo itu tidak tahu rahasia yang ada di balik semua itu,” kata Sati pula.
“Rahasia? Rahasia apa maksudmu Sati?” tanya Andana heran.
“Saya mendengar kabar angin. Betul tidaknya Walahualam. Kabar itu mengatakan bahwa tepat di bawah rumah gadang, terkubur dalam tanah, terdapat sejumlah harta karun berupa potongan-potongan emas...”
“Sulit saya mempercayainya!” ujar Andana.
“Orang dari Jawa itu kabarnya memiliki sebuah peta mengenai letak kuburan harta karun itu. Dalam peta ternyata letaknya tepat pada titik dimana rumah gadang berdiri.”
Andana hampir tertawa mendengar keterangan itu. “Dari mana pula asal muasalnya harta karun berupa emas itu Sati?”
“Kabarnya, beberapa puluh tahun yang silam ada keluarga Istana di tanah Jawa yang melarikan diri dari pengejaran kaum pemberontak. Mereka datang ke pulau ini, tersesat di Pagaralam dengan membawa berbagai harta kekayaan yang bisa mereka bawa. Diantaranya potongan-potongan emas itu yang kemudian mereka kubur. Orang-orang dari tanah Jawa itu kemudian lenyap satu persatu secara aneh. Ketika rumah gadang milik Ayah Angku Mudo didirikan, rumah itu dibangun tepat di atas kubur harta karun.”
Andana ternganga dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sulit saya percaya Sati. Benar-benar tidak masuk akal...”
“Dunia jaman sekarang ini Angku Mudo, banyak yang tidak masuk akal. Tapi justru itulah kenyataan...” jawab Sati pula.
********************
Tumenggung Rajo Langit bersiap-siap hendak berpamitan ketika tiba-tiba dari arah halaman terdengar suara gaduh. Menyusul pekik perempuan. Lalu ada seseorang berlari menaiki tangga leksana terbang. Orang ini adalah pengawal sang Tumenggung yang sebelumnya disuruh menunggu di bawah tanga rumah gadang. Mukanya pucat dan dadanya turun naik.
“Astaga! Ada apa pengawal?!” tanya Tumenggung pula sambil berdiri, diikuti oleh Datuk Gampo Alam. Sang Datuk langsung melompat ke arah tangga lalu tergesa-gesa menuruninya. Pekik perempuan tadi dikenalinya sebagai suara salah seorang istrinya. Begitu dia sampai di bawah tangga dilihatnya Zainab, istri tuanya tegak gemetaran dengan muka seputih kafan. Di halaman, tepat di bawah tangga kelihatan tertelungkup sesosok tubuh yang bentuk dan keadaannya sangat mengerikan. Pakaian hitam yang sebelumnya melekat di tubuhnya kini tak berbentuk pakaian lagi. Robek dan hangus. Lalu kulit dan daging tubuhnya tampak merah mengerikan serta membersitkan bau daging yang terpanggang. Mukanya tidak beda dengan muka setan.
Rusak mengerikan. Salah satu matanya mencelet ke luar dan mengucurkan darah. Hidungnya hampir gerumpung!
“Astaghfirullah!” mengucap Datuk Gampo Alam. “Kau Daud? Benar kau Daud?!”
Saat itu Tumenggung Rajo Langit sudah berada pula di tempat itu, memandang penuh ngeri pada sosok tubuh orang yang penuh luka bakar. Orang yang disebut dengan nama Daud alias hantu Mata Picak berusaha bangkit hendak merangkang. Tapi begitu tegak seperti binatang kaki empat langsung ambruk ke tanah.
“Demi Tuhan! Katakan apa yang terjadi denganmu Daud?!” tanya Datuk Gampo Alam setengah berteriak. Lehernya disentak-sentakkan sampai tiga kali.
“Sa... saya ti... tidak berhasil....” ucapan itu terpotong oleh suara seperti tercekik. Orang yang berkelukuran luka bakar itu tak bergerak lagi.
“Daud!” teriak Datuk Gampo Alam.
“Saya yakin dia sudah mati Datuk,” kata Tumenggung Rajo Langit. Dia menarik nafas panjang. “Buruk sekali pengalaman saya hari ini. Lebih baik saya minta diri saja.” Lalu sang Tumenggung memberi isyarat pada pengawalnya. Keduanya segera meninggalkan halaman rumah gadang.
********************
SEBELAS
Kita kembali ke halaman surau di mana Wiro dan nenek bernama Anduang Mata Api saling berhadap-hadapan. Perginya Andana dari tempat itu membuat si nenek bernama Anduang Mata Api menjadi marah luar biasa. Sepasang matanya yang merah menyala seperti bara api. Kini seluruh kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau membuat dia lolos dari tanganku! Sekarang kau yang bertanggung jawab! Aku minta nyawamu! Dengar?!”
Wiro tersenyum sinis. “Nyawaku Cuma satu! Buat apa nyawaku untukmu? Lagi pula kalau kau minta nyawaku, pasti aku akan mati! Kalau aku mati di tempat ini pasti kau tidak mau menguburku. Lalu karena jenazahku tidak terurus, rohku akan gentayangan jadi setan. Kalau sudah begitu kau yang akan kucari pertama sekali!” Habis berkata begitu Wiro tertawa gelak-gelak.
“Anak kanciang! Jangan kau berani bergurau padaku!” bentak Anduang Mata Api marah sekali.
“Siapa suka bergurau dengan perempuan tua bangka bermuka seperti binyawak kali!” jawab Wiro. “Kau lihat sendiri apa yang terjadi dengan semua anak buahmu. Apa kau mau menyusul mereka?!”
“Mandeang! Kau keliwat menghina! Sombong! Kau bakal tahu rasa dan tahu siapa diriku!” bentak Anduang Mata Api.
Kedua matanya menatap garang ke arah Wiro. Lalu kepalanya digoyangkan. Dua larik sinar merah menderu ke arah Wiro. Yang satu ke jurusan kepala, satunya lagi mengarah dada. Murid Eyang Sinto Gendeng sudah menyaksikan kehebatan kesaktian si nenek. Karenanya segera saja dia balas menghantam dengan pukulan Sinar Matahari di tangan kanan den pukulan Benteng Topan Melanda Samudera di tangan kiri.
Dentuman keras untuk kesekian kalinya melanda tempat itu. Daun-daun pepohonan luruh kering, banyak yang terbakar. Begitu juga ranting-rantingnya. Atap surau seperti terbongkar. Salah satu dindingnya jebol dan hangus. Pendekar 212 Wiro Sableng tersurut sampai empat langkah. Sedang si nenek hampir terjengkang kalau tidak lekas membuat lompatan. Namun waktu dia berdiri kembali tubuhnya tampak terhuyung. Saat itulah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera menerpanya.
Tak ampun lagi perempuan tua ini terpental sampai dua tombak. Tubuhnya menyangsrang di serumpunan semak belukar. Dari mulutnya kelihatan darah mengucur. Walau dia jelas-jelas menderita luka di dalam namun tidak kelihatan bayangan rasa sakit di wajahnya. Malah dia tampak bertambah garang. Perlahan-lahan dia membebaskan dirinya dari semak belukar. Sepasang matanya yang merah memandang tak berkesiap.
“Cukup aku melayani orang gila seperti kau! Saatnya kau harus mendekam di penjara kembali. Kau harus bersyukur aku tidak membunuhmu, tapi menyerahkanmu hidup-hidup pada penguasa negeri di Batusangkar!”
Ucapan si nenek itu ditanggapi dengan seringai oleh Wiro bahkan sambil garuk-garuk kepala. Namun seringainya mendadak lenyap dan tangannya yang menggaruk kepala cepat diturunkan. Di tangan si nenek kelihatan sebuah gulungan benda berwarna putih halus. Eh, aku seperti pernah melihat benda ini, pikir Wiro. Di hadapannya tiba-tiba si nenek berseru,
“Lihat benang!”
Benda yang dipegangnya di tangan kanan melesat ke depan. Ternyata segulungan benang yang dengan cepat melesat dan sebelum murid Eyang Sinto Gendeng bisa berbuat apa- apa, benang putih halus itu telah melibat sekujur tubuhnya mulai dari dada sampai ke pergelangan kaki! Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga untuk memutus atau lolos dari gulungan benang itu tetap saja sia-sia.
“Benang Kayangan!” seru Wiro ketika dia tiba-tiba ingat dan mengenali benda yang menggulung sekujur tubuhnya, membuatnya tak berdaya. Kalau ini benar Benang Kayangan jangan-jangan...
“Nenek muka binyawak! Apa hubunganmu dengan Tua Gila!” Wiro ajukan pertanyaan.
Eh, bagaimana anak celaka ini kenal dengan si tua bangka itu? Membatin Anduang Mata Api. Lalu dia berkata, “Dengar anak muda. Kau cukup berharga untuk membuatku bersenang-senang. Sebelum aku serahkan kau pada penguasa negeri di Batusangkar, apa salahnya aku menikmati kehebatan dirimu. Kulihat tubuhmu tegap, ototmu kukuh. Kau tentu dapat menyenangkan diriku. Hik hik hik!"
“Tua bangka sinting! Apa yang hendak kau lakukan padaku?!” bentak Wiro. “Apa yang ada dalam otakmu?!”
Si nenek semakin keras tawanya. “Lihat saja nanti. Lihat saja nanti...!” katanya. “Jika kau memang hebat, mungkin kau akan kubiarkan hidup. Mungkin juga tidak akan kuserahkan pada penguasa di Batusangkar. Hik hik hik. mudah-mudahan rejekiku benar-benar besar kali ini. Hilang harimau singa gantinya! Hik hik hik! aku senang engkau nikmat!”
Si nenek mengumbar tawa panjang. Kedua matanya merah berkilat-kilat. Kilatan itu terasa aneh di mata Wiro. Bukan kilatan karena marah tapi oleh sesuatu yang lain. Rangsangan nafsu! Setelah tertawa panjang dan puas Anduang MataApi memanggul tubuh Pendekar 212 di bahu kirinya. Lalu dengan cepat dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
Udara malam terasa semakin dingin walau saat itu tubuh Wiro hampir kuyup oleh keringat. Apa yang hendak dilakukan manusia ini. Dia punya satu maksud kotor. Dia tidak akan segera membunuhku tapi...
Si nenek berlari kencang sekali. Dalam waktu singkat dia sudah berada di tepi sebuah hutan kecil. Di satu tempat dia membelok ke kiri. Walau dalam hutan sangat gelap namun perempuan tua itu mampu berlari cepat seolah matanya bisa melihat dalam gelap. Tak lama memasuki hutan si nenek berhenti. Wiro merasakan tubuhnya diturunkan. Memandang berkeliling ternyata dia dibaringkan di lantai papan sebuah gubuk tanpa dinding.
“Kita sudah sampai anak muda!” berkata Anduang Mata Api. “Saatnya kau menunjukkan kejantananmu!” Si nenek susupkan tangannya kian kemari di sela-sela benang yang menggulung dan mengikat sekujur tubuh Wiro. Nafasnya memburu. Warna merah pada kedua matanya semakin berkilat.
“Hai! Tua bangka gila! Apa-apaan ini?!” teriak Wiro ketika dilihatnya si nenek membuka celananya lalu menariknya sampai ke lutut. “Kurang ajar! Tua bangka mesum!”
Anduang Mata Api tertawa perlahan. “Memakilah terus! Berteriaklah! Makian dan teriakanmu membuat aku tambah terangsang!” kata perempuan tua itu.
“Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau berani berlaku keji!”
“Ssstttt... soal mati biar kita atur kemudian. Yang penting sekarang kita bersenang-senang dulu...” kata si nenek pula. Lalu dengan cepat ditanggalkannya semua pakaian yang melekat di badannya.
Pendekar 212 kini seolah-olah benar-benar melihat seekor binyawak hitam tegak di depannya. Dia berteriak dan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya tapi sia-sia saja. Ikatan Benang Kayangan tak mampu diputusnya, dibuat kendurpun tidak bisa.
“Anak muda...” si nenek duduk di atas paha Wiro. “Aku tahu kau tidak akan bernafsu. Tidak akan terangsang melihat wajahku yang buruk dan tubuhku yang kurus peot. Jangan kawatir anak muda. Aku akan membuatmu bernafsu dan terangsang! Lihat saja...!”
Anduang Mata Api terdengar seperti merapal sesuatu. Lalu kedua telapak tangannya disapukan ke wajah serta sekujur badannya sampai ke kaki. Astaga! Bagaimana mungkin dia bisa berubah seperti ini?! Ujar Wiro sewaktu dilihatnya muka buruk si nenek telah berubah menjadi wajah seorang perempuan muda yang cantik. Lalu tubuh yang tadi kurus kering dan hitam bugil itu kini berganti dengan sebentuk tubuh bagus, putih berisi. Dua buah payudara besar dan kencang terpentang di depan mata Pendekar 212.
“Kekasihku, bagaimana sekarang...?” tanya si nenek yang telah berubah menjadi seorang perempuan muda cantik jelita, bertubuh bagus mulus dan dalam keadaan bugil! Kedua tangannya merayap ke bawah perut Pendekar 212. “Hik hik hik apa kataku. Kau mulai terangsang! Bagus!” Anduang Mata Api menggeser duduknya ke atas.
“Kurang ajar, kurang ajar kau!”
“Sudahlah, jangan pura-pura memaki. Jangan pura-pura tidak suka. Buktinya kulihat kau sudah siap...!”
Wiro tak berdaya menolak. Bagaimanapun dia harus mengakui bahwa dalam keadaan sepreti itu dirinya telah dibuat terangsang oelh nenek-nenek yang kini berubah menjadi perempuan muda cantik itu. Nafas Anduang Mata Api semakin keras laksana orang mengorok. Tubuh bagus itu bergoyang-goyang di atas tubuh Wiro.
“Seharusnya aku lepaskan kedua tanganmu.” Berkata Anduang Mata Api. “Agar kau bisa memelukku, meraba sekujur tubuhku. Tapi aku kawatir kalau kulepaskan kau akan memukulku dan melarikan diri...”
Pendekar 212 pejamkan kedua matanya. Anduang Mata Api tertawa. “Ah, kau memejamkan mata. Berarti kau juga merasa enak. Nikmat... Kau suka ini. Kau suka!”
Tiba-tiba suara tawa Anduang Mata Api ada yang menimpali. Suara tawa laki-laki!
“Dajal perempuan! Berpuas-puaslah sekenyangmu. Aku bisa menunggu. Kali ini kau tak bakal bisa kabur lagi!”
Kagetnya Anduang Mata Api bukan alang kepalang. Keadaan ini membuat keampuhan ilmunya merubah diri menjadi rontok. Saat itu juga sekujur tubuhnya berubah kembali menjadi satu sosok kurus kering menjijikkan. Sedang mukanya kembali pada ujud aslinya yakni seperti muka binyawak! Wiro kerenyitkan kening bergidik dan berteriak melihat keadaan orang yang duduk di atas perutnya itu.
“Tua bangka jahanam! Berani kau membuntuti aku sampai ke sini!” bentak Anduang Mata Api. Tanpa berusaha mengambil pakaiannya untuk menutupi auratnya perempuan tua ini melompat. Sambil membentak dia putar kepalanya ke arah datangnya suara tadi. Sekali dia menggoyangkan kepalanya dua larik sinar merah menderu dahsyat.
“Ilmu Sepasang Mata Api apa hebatnya!” terdengar suara berseru disertai berkelebatnya satu bayangan putih.
Dua larik sinar merah api menghantam sebuah pohon besar. Tak ampun lagi pohon itu hancur berlobang lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
“Apa kataku!” orang tadi kembali berseru.
Wiro masih belum dapat melihat wajahnya dan sosok tubuhnya karena baik si nenek maupun orang yang bicara berada dibelakang kepalanya sementara dia tetap tak berdaya terlentang di tanah dalam keadaan terikat dan celananya merosot sampai ke bawah!
“Ilmumu tidak berguna. Buktinya tidak mau menyentuh diriku! Ha ha ha...!”
“Manusia sombong! Lihat serangan!” teriak Anduang Mata Api merah sekali, kepalanya digoyangnya berulang kali. Larikan sinar merah melesat bertubi-tubi seolah tidak putus-putusnya.
Orang yang diserang mengelak dengan berkelebat cepat kian kemari. Si nenek berputar-putar tanda dia mengikuti ke arah mana lawannya berada. Saat itu akhirnya Wiro dapat melihat siapa adanya orang itu. Astaga! Dia rupanya!
DUA BELAS
Pendekar 212 Wiro Sableng kini dapat melihat siapa adanya orang yang berkelahi melawan si nenek bermuka binyawak yang saat itu berada dalam keadaan bugil. Dia bukan lain adalah kakek aneh yang dulu pernah menghadang perjalannya dengan Andana. Dan kakek ini pula yang pernah ditelanjangi dicurinya celananya.
Serangan api yang menyembur keluar dari sepasang mata Anduang Mata Api dielakkan oleh si kakek dengan gerakan-gerakan aneh. Kedua kakinya terkadang tampak melompat, sesekali seperti menendang ke kiri dan ke kanan. Di lain saat kedua kakinya itu seperti menari lalu berjingkrak-jingkrak. Tubuhnya gerabak-gerubuk, terhuyung-huyung kian kemari seperti orang mabok sementara kedua tangannya digerakkan demikian rupa seolah-olah orang yang berusaha bertahan agar tidak jatuh.
Ya Tuhan! Aku tidak buta! Gerakan orang tua itu adalah jurus-jurus ilmu silat Orang Gila. Hanya kakek sakti Tua Gila yang memilikinya dan pernah mengajarkannya padaku. Tapi dia jelas bukan Tua Gila! Wiro seperti mendapat semangat. Dia percaya orang tua itu akan menolongnya. Sementara pertolongan belum datang dia berusaha melepaskan diri dari lilitan Benang Kayangan. Tapi tetap tidak berhasil.
Sambil menghadapi serangan maut si nenek, sesekali si kakek berpaling pada Wiro yang tergeletak di tanah dalam keadaan terikat dan juga setengah talanjang karena celananya masih seperti tadi yaitu merosot sampai ke paha! Setiap kali dia berpaling pada Wiro, setiap kali pula dia menyeringai lali mencibir. Ah, jangan-jangan dia masih mendendam padaku atas kejadian tempo hari. Kutelanjangi dirinya lalu pernah pula kurampas kudanya!
“Anak muda, kau tenang-tenang saja di situ. Giliranmu untuk menerima hukuman bakal datang!” si kakek berseru lalu kembali menghadapi lawannya. Gerakannya yang gerabak gerubuk kini sambil melepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh membuat si nenek tampak bergoyang-goyang tanda sang kakek memiliki tenaga dalam luar biasa.
“Betina mesum, saatnya kau mengembalikan barang yang kau curi dariku! Di mana barang itu kau sembunyikan?!” si kakek berseru.
Anduang Mata Api menyeringai. “Kau mau barangmu, cari sendiri!”
“Ah! Kau memang kurang ajar!” si kakek berpaling sebentar pada Wiro, mencibir lalu kembali dia menghadapi si nenek. “aku terpaksa tak akan memberi ampun padamu! Kau bukan cuma pembunuh keji tapi juga pencuri tengik!”
“Ah, aku juga memberikan kenikmatan pada setiap lelaki, hik hik hik. pemuda itu barusan merasakannya! Hik hik hik!”
“Tua bangka sialan!” teriak Wiro.
“Anak muda! Kau bisa jadi kekasihku! Jadi tutup mulut dan tunggu sampai nanti kita bersenang-senang lagi. Biar kubereskan dulu kurcaci rongsokan ini!” kata Anduang Mata Api pula.
Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Serangannya kini bukan saja api yang keluar dari kedua matanya, tetapi juga pukulan-pukulan tangan kosong yang tak kalah hebatnya dengan yang dilancarkan lawannya. Walaupun demikian si nenek tetap saja tidak mampu menyentuh atau membuat cidera si kakek.
Malah ketika lawannya membuat gerakan-gerakan cepat dan berputar-putar, dia seperti kena sirap ikut pula berputar-putar. Si kakek keluarkan suara tertawa panjang. Tubuhnya tiba-tiba melesat ke udara. Lawan berusaha menghantam tapi luput. Kedua kaki si kakek dengan kecepatan luar biasa, dua kaki itu menendang ke arah pipi si nenek dengan keras.
Raungan setinggi langit melesat keluar dari mulut perempuan tua itu. Tubuhnya terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut. Daun telinganya hancur dan darah mengucur dari kedua liangnya. Rahangnya rengkah kiri kanan, tulang pelipisnya remuk! Dia megap-megap beberapa kali lalu tersungkur dan menggeletak di tanah tak berkutik lagi!
“Kek... Hai!” Wiro memanggil.
Tapi yang dipanggil seperti tidak mendengar. Kedua mata kakek itu memperhatikan ujung benang yang mengikat tubuh Pendekar Benang ini lenyap di balik seonggok pakaian, yaitu pakaian milik Anduang Mata Api.
Dengan ujung kakinya si kakek mengungkit dan melemparkan pakaian itu. Di tanah, sebelumnya tertutup oleh pakaian kelihatan sebuah benda. Inilah yang dicarinya. Dengan cepat si kakek mengambilnya. Lalu dia berpaling ke arah Wiro.
“Kek, tolong lepaskan libatan benang ini!” kata Wiro.
Si kakek mendengus. Tiba-tiba dia gerakkan tangannya menyentakkan benang yang menjulai di tanah. Dua kali sentak tubuh Pendekar 212 terbetot keras. Lalu tubuh itu berputar laksana gasing. Benang putih yang menggulung di tubuh Wiro terbuka lepas. Begitu lepas tak ampun lagi Wiro berdebam ke tanah. Hidungnya menyentuh tanah lebih dulu. Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras. Hidungnya serasa remuk. Darah mengucur.
Dalam keadaan sakit dan mengomel Wiro masih bisa ingat diri. Cepat-cepat dia berdiri sambil menarik celananya. Lalu dia mendekati orang tua itu. “Kek, walau kau menyakitiku aku berterima kasih. Kau telah menolongku membebaskan ikatan benang keparat itu...”
“Benang keparat katamu? Sialan! Enak saja kau bicara! Lagi pula siapa yang menolongmu! Aku hanya mengambil benang milikku! Perempuan jahat itu mencurinya dariku beberapa waktu yang lalu...”
“Hem...” Wiro garuk-garukkan kepalanya. “Kek, kau bilang benang itu milikmu? Mana mungkin?!”
“Apa yang mana mungkin?!” hardik si kakek.
“Aku tahu betul, benang itu adalah Benang Kayangan. Cuma ada satu pemiliknya. Seorang kakek sakti menyandang dua julukan yaitu Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Namun dia lebih dikenal dengan sebutan Tua Gila!”
“Kau bisa bicara begitu tentu kau kenal padanya!”
“Aku... aku adalah...” Wiro tak meneruskan kata-katanya.
Si kakek menyeringai. “Kau bicara terlalu banyak. Aku tahu itu hanya untuk mengalihkan perhatianku! Kau kira aku sudah lupa perbuatan kurang ajarmu tempo hari?! Kau telanjangi diriku. Kau curi celanaku. Lalu kau juga merampas kudaku! Malam ini setelah kau bersenang-senang dengan betina busuk itu, tiba saatnya kau menerima hukuman dariku! Aku akan mematahkan lima jari tangan kananmu karena mencuri celana dan menelanjangi diriku. Lalu aku akan mencopot satu kakimu karena telah merampas kudaku...”
“Kek, dengar! Aku akan ganti celana dan kudamu itu!” si kakek menyeringai.
“Celana dan kuda itu tidak seberapa nilainya. Tapi sakit hatiku atas kekurang ajaranmu tak bisa impas dengan apapun!”
Habis berkata begitu si orang tua melompat ke arah Pendekar 212. Tangan kanannya membuat gerakan mencengkeram ke arah jari-jari tangan kanan Wiro sedang kaki kirinya menendang ke pangkal paha!
Tentu saja murid Sinto Gendeng tidak mau menjadi bulan-bulanan serangan. Secepat kilat dia mengelak. Diluar sadar tak sengaja dia mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat Orang Gila. Sekali bergerak dia berhasil mengelakkan dua serangan itu.
“Eh! Anak setan! Kau memainkan ilmu silat apa?! Siapa yang mengajarkan gerakan itu padamu?!” bertanya si kakek.
“Aku akan katakan. Jawabannya ada di telapak tangan kananku,” jawab Wiro.
Si orang tua mengernyit lalu mendekat. “Coba kulihat telapak tanganmu itu!”
Wiro ulurkan tangan kanannya. Si kakek tundukkan kepala. Tiba-tiba tangan Wiro bergerak laksana kilat ke arah wajah si orang tua. Sebelum kakek ini sempat menjauhkan kepalanya, Wiro telah berhasil menarik lepas topeng tipis yang dikenakan orang tua itu. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Mukanya pucat. Pipi dan mata cekung besar, memelihara kumis serta janggut putih. Kepalanya nyaris botak karena rambutnya sangat jarang.
Begitu mengenali wajah orang itu pucatlah paras Pendekar 212. buru-buru dia jatuhkan diri, berlutut di tanah seraya berseru, “Kek! Maafkan muridmu ini! Aku terlanjur berlaku kurang ajar padamu karena tidak tahu kau adalah guru sendiri! Sekarang aku siap menerima hukuman!”
Orang tua di hadapan Wiro menatap tak berkesip. Wajahnya semakin pucat. Wiro menjadi tegang.
“Kek...”
Orang bermuka pucat itu yang bukan lain adalah Tua Gila si kakek sakti paling ditakuti di Pulau Andalas sedikit demi sedikit menyunggingkan senyum. “Anak setan! Kelakuanmu seharusnya memang tidak bisa diampuni. Kalau saja kau bukan muridku. Hem, mau kuapakan kau ini!” tangan kiri Tua Gila hinggap di telinga Pendekar 212 lalu diputar-putarnya ke depan dan ke belakang sambil tertawa mengekeh. Walau sakitnya jeweran itu setengah mati Wiro tak berani bersuara. Si kakek menarik tangannya ke atas hingga Wiro terangkat dan berdiri.
“Ada apa kau jauh-jauh datang kemari?!” bertanya Tua Gila.
“Saya kangen padamu kek. Ingin menyambangimu. Sekalian membawa pesan dan salam Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede...”
“Hem... apakah gurumu si nenek bawel itu ada baik-baik saja?”
“Beliau ada baik-baik dan sehat-sehat.”
“Perjalananmu sekali ini agaknya menemui banyak hal yang tidak menyenangkan, kecuali tadi waktu kau diajak bersuka-suka oleh si nenek itu...” Si kakek lalu terkekeh.
Paras Pendekar 212 jadi merah. Sambil menggaruk-garuk kepala dia berkata. “Tak sengaja saya terlibat dalam satu persoalan yang menimpa sahabat saya bernama Andana. Dia keponakan Datuk Gampo Alam. Yang punya hubungan dekat dengan Tumenggung Rajo Langit di Batusangkar.”
“Tumenggung Rajo Langit punya kekuasaan tapi tak punya ilmu kepandaian berarti. Tak usah takut padanya. Yang harus diperhitungkan justru Datuk Gampo Alam. Dia punya beberapa ilmu kesaktian. Dia memiliki ilmu kepandaian yang disebut ilmu Belut Putih. Lalu ilmu Raja Sebumi. Ilmu ini membuat dia tidak bisa mati selama tubuhnya masih menginjak bumi. Disamping itu dia juga masih punya satu ilmu yang hebat. Dalam keadaan terdesak dia sanggup masuk ke perut bumi. Beri tahu hal itu pada sahabatmu Andana...”
Wiro mengangguk. “Terima kasih atas petunjukmu Kek. Apakah kau mau memaafkan perlakuan saya tempo hari?” Wiro bertanya karena merasa masih ada ganjalan.
“Sudahlah! Malam begini larut. Tubuh rongsokan ini tak sanggup lama-lama berada di luaran. Kalau urusanmu sudah selesai datang ke tempatku...”
“Saya pasti datang Kek...”
Tua Gila memasukkan gulungan Benang Kayangannya ke balik pakaian. Dia hendak melangkah pergi. Tapi tiba-tiba berbalik kembali sambil tersenyum. “Bagaimana pendapatmu tentang janda Datuk Gampo Alam itu...?”
Paras Pendekar 212 untuk kesekian kalinya menjadi merah. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. “Saya... saya baru satu kali menemuinya Kek...”
Tua Gila mengekeh. “Baru satu kali menemuinya atau baru sekali menidurinya...?!”
Wiro menahan nafas. “Anak setan hati-hati kalau berbuat. Sampai anak orang kau hamili, kau tak bakal kembali ke tanah Jawa....” Tua Gila tertawa lagi lalu berkelebat pergi.
Murid Eyang Sinto Gendeng kembali hanya bisa garuk-garuk kepala. “Untung orang tua itu tidak marah. Kalau tidak pasti habis aku dikerjainya!”
********************
TIGA BELAS
Malam itu Datuk Gampo Alam hampir tak bisa memicingkan mata. Kematian Daud alias Hantu Mata Picak yang diandalkannya benar-benar mengenaskan dan merusak semua rencananya. Agaknya kini dia memang harus turun tangan sendiri, tak mungkin meminjam tangan orang lain. Ditambah dengan ucapan Tumenggung Rajo Langit bahwa dia ingin mengambil Bunga jadi istrinya membuat sang Datuk jadi tambah gelisah, mengkal, benci dan marah.
Kalau selesai pembayaran penjualan rumah gadang akan kuhabisi tua bangka keparat itu! Lalu sang Datuk teringat pada Sati. Manusia itu tak bisa dibiarkan hidup lebih lama. Tentu dia akan berceloteh menebar cerita yang bukan-bukan! Mungkin dia mendendam padaku gara-gara dihajar para pembantuku sampai babak belur di Batusangkar tempo hari. Setan!
Hanya ada satu hal yang membuat sang datuk agak terhibur. Yaitu besok pagi dia akan mendengar kabar dari Mamak Rabiah mengenai lamarannya untuk memperistrikan Bunga. Dia tersenyum-senyum seniri di atas tempat tidur. Tak ada yang pernah menolak lamaran Datuk Gampo Alam. Semua gadis di Pagaralam ini ingin kuperistrikan! Termasuk Bunga tentunya.
Menjelang pagi akhirnya Datuk Gampo Alam tertidur juga walau Cuma sebentar. Paginya dia sudah duduk di ruang tengah rumah gadang. Tak lama kemudian perempuan itu tampak di ujung halaman, melangkah menuju rumah gadang, menaiki tangga dan samapi di atasnya.
“Rabiah, kau benar-benar memenuhi janji. Duduklah. Aku ingin sekali cepat-cepat mendengar kabar baik darimu...”
Saat itu Rabiah merasakan tubuhnya lemah dan gontai. Kalau saja dia tidak menguatkan hati mungkin watu menaiki tangga tadi dia sudah terguling ke bawah.
“Kau ingin minum apa Rabiah? Teh manis? Kopi hangat?”
“Terima kasih Datuk. Saya baru saja minum,” jawab Mamak Rabiah.
“Hemmm... kalau begitu kita segera bisa bicara. Kau membawa kabar baik pasti. Bunga bersedia menjadi istriku bukan?”
Sesaat Rabiah tertunduk tak bisa membuka mulut.
“Eh, Rabiah. Ada sesuatu yang perlu kukatakan padamu. Kau maupun Bunga tidak perlu merasa takut akan melanggar adat atau agama. Rukiah telah kuceraikan. Jadi kalau Bunga menjadi istriku, jumlah istriku tetap empat. Tidak lima seperti yang mungkin kalian takutkan. Ha ha ha...!”
“Datuk, sebenarnya saya...”
“Apakah kau sudah mereka-reka hari dan tanggal serta bulan baik perkawinan anakmu dengan aku Datuk Gampo Alam, bengsawan terpandang di Pagaralam ini?”
“Datuk, sebenarnya... Sebenarnya saya ini bukan Ibu kandung Bunga,” ucapan itu keluar dari mulut Mamak Rabiah.
“Ah, kau ini hendak bergurau atau bagaimana. Semua orang di Pagaralam ini tahu kalau kau adalah ibunya Bunga. Ibu kandung. Aneh kalau sekarang kau tidak mengakuinya.”
“Saya tidak berdusta Datuk. Saya memang bukan Ibunya. Saya tidak pernah melahirkannya.”
Datuk Gampo Alam menatap wajah perempuan itu beberapa saat. “Sudahlah Rabiah. Apakah kau Ibunya atau bukan tidak penting bagiku. Yang penting Bunga sudah setuju kujadikan istri. Begitu?”
“Tidak Datuk. Maafkan saya. Saya sudah menyampaikan maksud Datuk pada gadis itu. Tapi maaf sekali lagi. Bunga menolak karena dia merasa belum cukup umur...”
“Belum cukup umur? Alasan buta!” belalak Datuk Gampo Alam sambil menyentakkan lehernya dua kali. Coba kau katakan berapa umur anak itu sekarang?”
“Belum lagi dua puluh...”
“Belum lagi dua puluh. Anak orang lain umur sembilan belas sudah jadi janda! Rabiah, apa aku harus menunggu sampai gadis itu jadi seorang nenek?!” Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya.
Mamak Rabiah tidak bisa menjawab. Kepalanya tertunduk namun dadanya seperti menggemuruh.
“Dengar Rabiah. Penghulu sudah kuhubungi. Pasumandan pengiring pengantin sudah disiapkan. Juru masak dan juru rias sudah diberi tahu. Kau dan Bunga tinggal tahu beres saja! Apa lagi? Apa tidak senang menjadi istri Datuk Gampo Alam?!”
Perlahan-lahan Rabiah mengangkat kepalanya. Kedua matanya tampak basah. Air mata bercucuran di kedua pipinya.
“Gila! Apa pula ini Rabiah?! Mengapa kau menangis?!” Datuk Gampo Alam terheran-heran tapi juga mulai jengkel.
“Datuk... Ingin saya menyampaikan satu rahasia yang selama ini mungkin tidak Datuk ketahui. Sebenarnya Bunga itu adalah...” Ucapan Mamak Rabiah terputus ketika di tengah halaman rumah gadang terdengar suara orang berteriak.
“Datuk Gampo Alam! Turunlah ke halaman! Aku ingin bicara denganmu!” Eh, itu suara si Andana, ada apa dia berteriak seperti itu. Kurang ajar! Setan!"
Datuk Gampo Alam menyentakkan lehernya lalu berdiri dan melangkah cepat ke jendela. Dari jendela dia melihat Andana duduk di atas seekor kuda. Mukanya tampak sangar. Di sebelahnya juga duduk di atas kuda adalah pemuda Jawa bernama Wiro Sableng itu. Sesuatu telah terjadi. Jangan-jangan Sati sudah membuka mulut! Rahang Datuk Gampo Alam menggembung. Dadanya berdebar keras. Namun dia cepat menguasai diri.
“Kemenakanku Andana, mengapa tidak naik ke atas rumah gadang kalau ingin bicara denganku?”
“Aku ingin kau datang kemari. Kita bicara di halaman sini!” jawab Andana.
Kurang ajar. Berani dia bicara beraku-aku denganku! Datuk Gampo Alam tidak dapat menahan amarahnya. Dia melompat menuruni tangga. Begitu sampai di hadapan Andana dia membentak.
“Apapun yang ada di benakmu aku tidak suka melihat kau bicara kurang ajar padaku! Turun dari kuda dan bicara di dalam rumah! Setan apa yang tiba-tiba merasuk dirimu hingga adat sopan santunmu menjadi hilang lenyap?!”
Andana menyeringai sementara Wiro tampak cengar-cengir. “Datuk setan!” bentak Andana tak kalah keras. “Apa masih pantas aku bicara hormat dengan manusia yang telah membunuh Ayahku? Ayo jawab!”
Tampang Datuk Gampo Alam sesaat tampak memutih namun di lain saat berubah menjadi kelam merah. Dia merasa seolah kepalanya menjadi dua. Rahangnya menggembung. Nafasnya seperti meledak-ledak.
“Anak setan! Ayahmu mati jauh dari sini! Dikubur jauh di puncak Singgalang. Sungguh kurang ajar kalau kau berani menuduh aku sebagai pembunuh Ayahmu! Kemenakan keparat! Kau sudah gila rupanya!”
“Kau yang gila!” teriak Andana.
Sang Datuk tersentak seperti dihenyakkan.
“Kau bukan saja membunuh Ayahku. Tapi juga berusaha membunuh diriku dengan menyuruh kaki tanganmu. Aku tahu semua perbuatanmu. Mulai dari pisau terbang beracun itu. Ular berbisa dan sirih dalam cerana! Semua kau yang merencanakan! Kau membunuh Ayahku! Kini giliranmu sudah tiba! Kau ingat dimana kau membunuh Ayahku, Datuk?!”
“Otakmu benar-benar tidak waras! Bicara gila apa ini?!” teriak Datuk Gampo Alam. “Kalau tidak memandang kau anak kakak kandungku, sudah kupecahkan kepalamu sejak tadi-tadi!”
Wiro Sableng batuk-batuk beberapa kali. Suaranya membuat Datuk Gampo alam berpaling padanya dan lantas saja berteriak marah. “Kau juga bangsat! Kau pasti sudah mempengaruhi kemenakanku dengan hasutan-hasutan gila! Kau bakal dapat bagian dariku!”
Wiro tertawa lebar. “Boleh saja kau bilang aku bangsat. Jika aku bangsat maka kau adalah bapak moyangnya bangsat. Kan begitu! Jangan berlagak yang tidak-tidak Datuk! Sahabatku ini ada bukti, ada saksi hidup yang mengatakan bahwa kaulah yang telah membunuh Ayahnya!”
“Anak setan! Kau berani mencampuri urusan aku dan kemenakanku! Rasakan tanganku!”
Datuk Gampo Alam melompat dan melancarkan satu jotosan ke arah pinggang Pendekar 212. Wiro cepat geser kuda tunggangannya lalu palangkan lengan kanannya menangkis serangan Datuk Gampo Alam. Dua lengan beradu. Wiro serasa seperti dihantam pentungan keras sebaliknya sang Datuk seolah digebuk dengan besi.
Lengan masing-masing kelihatan merah. Kalau Wiro terhuyung ke kiri maka Datuk Gampo Alam terpental sampai dua langkah! Ketika sang Datuk dengan penasaran hendak menyerang kembali, Andana cepat menyorongkan kudanya hingga gerakan Datuk Gampo Alam terhalang.
“Kau masih ingat dimana kau membunuh Ayahku?!” ujar Andana sambil menatap tajam pada Mamak atau Pamannya itu. “Di situ pula nyawamu akan kau lepas. Kutunggu kau besok di Ngarai Sianok! Jangan mencoba lari! Selama Merapi dan Singgalang masih tegak menjaga nagari, selama Batang Anai masih mengalir ke laut dan selama air Danau Singkarak masih tetap biru, selama itu pula aku akan mencarimu!”
“Andana! Jangan kau terpancing hasutan orang! Otakmu sedang kacau. Setan mana yang mengatakan padamu bahwa aku yang membunuh Ayahmu! Gila! Aku Datuk Gampo Alam tega membunuh kakak kandung sendiri!”
“Datuk culas! Hatimu lebih jahat dari iblis! Tak ada setan, tak ada hasutan! Tapi ada seorang saksi hidup yang melihat kejadian waktu kau dan Hantu Mata Picak membunuh Ayahku!”
“Ah! Mana mungkin! Ini pasti fitnah belaka! Jangan sampai kau terjebak Andana!” ujar Datuk Gampo Alam sambil mengurut-urut lengannya yang masih terasa sakit.
Rahang Andana menggembung. Dia berpaling kearah sebatang pohon besar di ujung halaman. Lalu berteriak. “Sati! Keluarlah! Berikan kesaksianmu pada Mamak jahanam ini!”
Dari balik pohon keluarlah Sati sambil mengangkat tangannya. Sejarak sepuluh langkah dari orang-orang itu dia berkata keras-keras.
“Demi Allah aku bersumpah! Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri Hantu Mata Picak mencekal Datuk Bandaro Sati dari belakang. Lalu Datuk Gampo Alam merampas keris milik kakaknya. Dengan keris itu dia kemudian menusuk sekujur tubuh Datuk Bandaro Sati bertubi-tubi sampai akhirnya menemui ajal di tepi Ngarai Sianok!”
Datuk Gampo Alam seperti mendengar halilintar. Saat itu terdengar pula dampratan Andana.
“Hanya untuk mendapatkan dan menjual rumah gadang milik Ayahku, kau membuat Surat Wasiat palsu! Kau bunuh Ayahku, kau coba membunuh aku! Datuk keparat! Kelak kau akan jadi puntung neraka!”
“Dusta! Fitnah! Kubunuh kau Sati! Kau mendendam padaku karena pernah dihajar oleh anak buahku! Dan kau Andana menjatuhkan tuduhan palsu karena kau tidak suka aku memperistri Bunga! Kalau kau merasa benar mengapa tidak melapor dan mengadu pada Tumenggung di Batusangkar?!”
Wiro keluarkan suara tertawa. “Tumenggung itu sama saja bengsatnya dengan kau! Bukankah dia yang memenjarakan sahabatku ini sesuai dengan rencana kalian berdua?! Seharusnya kau tidak perlu banyak bicara Datuk. Makin banyak kau bicara makin terungkap kelicikanmu!”
Pelipis Datuk Gampo Alam bergerak-gerak. Dia memandang pada Andana dan berkata, “Andana kemenakanku...”
“Jangan sebut aku kemenekanmu!” sergah Harimau Singgalang. “Hari ini putus hubungan mamak dengan kemenakan! Ingat! Aku tunggu kau di Ngarai Sianok petang ini sebelum matahari tenggelam. Arwah Ayahku akan menyaksikan kematianmu di tempat kau membunuhnya dulu!”
“Anak keparat! Setan haram jadah!” carut Datuk Gampo Alam lalu menyentakkan lehernya dan meludah ke tanah.
Andana memberi isyarat pada Wiro. Keduanya segera meninggalkan tempat itu. Ketika Datuk Gampo Alam naik kembali ke atas rumah gadang, Mamak Rabiah tak ada lagi di situ. Meledaklah kemarahan sang Datuk. Apa saja yang ada di dekatnya langsung ditendang dan dipukulnya! Tiga orang istrinya tentu saja terkejut dan keluar dari kamar masing-masing.
“Ada apa Datuk? Mengapa mengamuk seperti ini?” tanya Zainab istri paling tua.
"Plaakkk!" Jawaban berupa tamparan keras yang dilayangkan Datuk Gampo Alam ke pipi istrinya itu membuat Zaenab terpekik dan tersandar ke dinding.
********************
EMPAT BELAS
Mamak Rabiah tidak lagi hanya melangkah tetapi kini berlari secepat yang bisa dilakukannya. Bunga yang sedang menyisir rambut di dalam rumah sangat terkejut ketika di pintu terdengar ketukan beruntun disertai suara memanggil-manggil.
“Bunga! Bunga! Lekas buka pintu Naaakk!”
Bunga melemparkan sisir ke atas sebuah rak lalu bergegas membuka pintu. “Ada apa Mak? Orang Datuk Gampo Alam menyakiti Mamak karena menolak pinangannya?!”
“Tidak Bunga. Bukan... Ada hal lain yang lebih gawat dari itu. Malapetaka besar akan terjadi kau harus mencegahnya Nak. Hanya kau yang bisa mencegahnya...!”
“Apa yang harus saya cegah Mak? Malapetaka apa maksud Mamak?” tanya Bunga tak mengerti. “Minum dulu Mak, biar Mamak bisa tenang dan bicara jelas...” lalu gadis itu mengambil segelas air putih. Setelah meneguk sampai setengahnya dia berkata. “Nah, sekarang Mamak bisa bicara lebih jelas. Apa melapetaka yang Mamak katakan tadi itu. Lalu apa pula yang harus saya cegah...”
“Kakakmu... Harimau Singgalang... Datuk Gampo Alam...” ucapan perempuan itu tersendat dan terputus-putus.
“Harimau Singgalang? Maksud Mamak Andana? Datuk Gampo Alam? Ada apa dengan mereka Mak?”
“Mereka akan saling berbunuhan. Sore ini! Di Ngarai Sianok. Di situ mereka akan saling berbunuhan sampai salah satu dari mereka mati! Kau harus mencegah hal itu Bunga!”
“Aneh, apa pasal Mamak dan Kemenakan itu saling berbunuhan? Kalau itu betul lalu bagaimana pula saya bisa mencegahnya?”
“Datuk Gampo Alam... Ternyata dia yang membunuh Datuk Bandaro Sati Ayah Andana. Adiknya itu dibunuhnya di Ngarai Sianok. Kini Andana akan menuntut balas. Saat ini mereka tentu sudah berada dalam perjalanan...”
Bunga termenung beberapa lamanya. Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. “Jika mereka memang maunya saling bunuh membunuh biarkan saja Mak. Bukan urusan kita. Lagi pula saya yakin kakak Andana akan menang karena dia berada di pihak yang benar...”
“Justru karena itulah Bunga. Kau harus mencegah agar mereka tidak saling bunuh. Kau harus mencegah kakakmu itu tidak membunuh Datuk Gampo Alam. Karena Datuk itu adalah...”
“Karena Datuk itu adalah apa Mak?” tanya Bunga ketika Mamak Rabiah tidak meneruskan kata-katanya.
Mamak Rabiah tersengguk-sengguk. Air mata bercucuran deras ke pipinya. Diulurkannya kedua tangannya merangkul Bunga. Lalu diantara sedu sedannya dia berkata. “Karena Datuk Gampo Alam sebenarnya Ayah kandungmu sendiri Bunga...”
Si gadis meronta melepaskan diri. Melangkah mundur dan memekik keras. Gelas yang masih dipegangnya lepas terjatuh, pecah berantakan di lantai. Wajahnya tampak pucat sekali.bahunya bergetar menahan goncangan. Dia memandang pada Mamak Rabiah seperti melihat hantu.
“Mamak... Mamak tidak bicara dusta?”
Mamak Rabiah menggelengkan kepala. “Datuk Gampo Alam memang sebenarnya Ayah kandungmu Nak...”
Bunga merasakan seperti tulang belulangnya menjadi luluh. Gadis ini jatuh terduduk di lantai. Mamak Rabiah duduk pula di hadapannya.
“Maafkan Mamak Bunga. Selama ini Mamak selalu merahasiakan hal itu karena Mamak patuh pada pesan Ibumu...”
“Pesan Ibu saya?” kedua mata Bunga membesar. “Pesan apa Mak?” Bunga mengulurkan kedua tangannya lalu menggocang bahu Mamak Rabiah.
Tangis Mamak Rabiah semakin keras. Tidak tahan akhirnya dia memeluk Bunga erat-erat. “Kejadiannya sekitar dua puluh tahun lalu. Waktu itu Datuk Gampo Alam sedang berburu di rimba. Dia tersesat dan terpisah dari teman-temannya. Saat itu dalam keadaan terluka di salah satu kakinya, dia terpesat ke pondok tempat kediaman Ibumu. Selama Datuk sakit terserang demam panas. Ibumulah yang merawatnya. Ketika dia sembuh, Datuk Gampo Alam merasa berhutang budi. Lalu dia mengawini Ibumu. Selama Ibumu mengandung Datuk Gampo Alam tak pernah datang lagi. Ibumu melahirkanmu dalam keadaan sangat menderita. Mamak yang waktu itu bertindak sebagai dukun beranak menolong Ibumu. Hanya sayang Ibumu telah kehabisan daya. Dia banyak mengeluarkan darah dan menghembuskan nafas ketika kau keluar dari rahimnya. Namun sebelum meninggal Ibumu sempat berpesan agar Mamak jangan memberi tahu kepadamu siapa Ayahmu. Juga dia berpesan agar aku mengambilmu sebagai anak sendiri dan merawatmu baik-baik...”
Bunga menjatuhkan dirinya ke dalam pangkuan Mamak Rabiah dan menangis keras-keras. Ketika tangisnya mulai reda, dengan suara parau gadis ini berkata, “Seharusnya saya ikut mati bersama Ibu saat itu...”
“Jangan berkata seperti itu Nak...”
“Mamak, orang seperti Datuk Gampo Alam itu sepantasnya dibiarkan mati dibunuh orang...”
“Jangan berpikiran seperti itu Bunga. Baik atau buruknya dia, bagaimanapun dia adalah Ayah kandungmu. Kau berasal dari tetesan darahnya Nak...”
Bunga menjerit lalu meratap. “Saya tidak perduli pada Datuk Gampo Alam. Saya kini menangisi nasib diri yang hina ini. Kalau Datuk Gampo Alam ayah saya dan Datuk Bandaro Sati Ayah Andana berarti kami saudara sebapak. Berarti kami tidak akan pernah bisa...” Bunga meraung keras.
“Bunga, Mamak dapat merasakan apa yang ada di hatimu. Kini kau menyadari bahwa kau tak akan pernah bisa bersatu dengan pemuda yang kau cintai itu. Pertalian darah antara Ayahmu dan Ayah Andana terlalu kuat. Sekarang kau tahu mengapa Mamak meminta agar kau mencegah mereka saling bunuh. Lakukan sesuatu Bunga. Selamatkan Ayahmu dan juga pemuda yang kau kasihi itu...”
********************
Harimau Singgalang dan Pendekar 212 Wiro Sableng tidak bodoh untuk meninggalkan Datuk Gampo Alam begitu saja. Bukan mustahil Datuk yang licik itu akan melarikan diri. Karena itu kedua pemuda ini bersembunyi di satu tempat kelindungan, memperhatikan rumah gadang dari kejauhan. Dua pendekar ini tidak menunggu lama.
Seorang pelayan kelihatan menuntun seekor kuda hitam ke dekat tangga rumah gadang. Tak lama kemudian kelihatan Datuk Gampo Alam menuruni rumah. Dia mengenakan pakaian galembong serba hitam. Keninngnya diikat dengan sehelai kain hitam pula. Di pinggangsebilah keris terselip sebilah keris emas yang bukan lain adalah keris Tuanku Ameh Nan Sabatang yang dicurinya dari Andana. Di pinggang kanan terselip sebuah saluang (suling khas Minang)
“Datuk keparat itu sudah siap hendak berangkat. Tapi aneh mengapa dia membawa saluang segala?” membuka mulut Andana di tempat yang kelindungan.
“Bukan mustahil itu bukan suling biasa Andana. Pasti ada tuah kesaktiannya...” menyahuti Wiro.
Saat Datuk Gampo Alam naik ke atas kuda hitamnya, tiga istrinya berada di belakang jendela tengah rumah gadang. Zainab istri tua berkata pada dua madunya. “Saya punya firasat, Datuk Gampo Alam tak akan pernah kembali lagi ke rumah gadang ini.”
Begitu Datuk Gampo Alam memacu kudanya meninggalkan Pagaralam, Andana dan Wiro segera menguntit dari kejauhan. Sementara itu dari jurusan lain sebuah kereta tua ditarik oleh seekor kuda besar meluncur kencang ke arah Barat Laut di mana berdiri tegak Gunung Merapi. Saisnya seorang pemuda berkopiah hitam kupluk sedang disebelahnya duduk seorang gadis cantik yang menutupi wajahnya dengan sehelai selendang. Dia bukan lain adalah Bunga anak kandung Datuk Gampo Alam.
Ngarai Sianok diselimuti kesunyian. Sesekali angin bertiup kencang. Di Timur langit tampak kemerahan tanda sang surya berisap-siap untuk masuk ke ufuk tenggelamnya.
Datuk Gampo Alam turun dari kudanya, membiarkan binatang itu merumput. Dia memandang berkeliling lalu melangkah ke tepi Ngarai. Sunyi, tak ada siapa-siapa di tempat itu. Sesaat dia memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan rasa tegang. Anak keparat itu masih belum muncul rupanya. Atau dia memang tak akan muncul?! Baru saja dia membatin begitu tiba-tiba dari balik tanah yang ketinggian muncul dua orang penunggang kuda yang sama-sama mengenakan pakaian putih.
“Kurang ajar!” rutuk Datuk Gampo Alam. “Pemuda Jawa itu apa-apaan dia ikut bersama anak setan ini!”
Begitu Andana dan Wiro sampai dihadapannya Datuk Gampo Alam langsung menegur sinis sambil bertolak pinggang.
“Rupanya kau tidak punya nyali untuk datang sendirian!”
Andana hendak menjawab. Tapi Wiro cepat mendahului. “Kami memang datang berdua, tapi yang punya urusan dengan manusia jelek licik sepertimu ini Cuma satu. Kemenakanmu sendiri. Apa kau merasa ngeri menghadapainya...?”
Tampang Datuk Gampo Alam kelihatan kelam kemerahan. Dia berpaling pada Andana. “Kau inginkan nyawaku. Mengapa masih ongkang-ongkang diatas kuda? Turunlah untuk membuktikan mulut besarmu bahwa kau memang punya kemampuan membunuhku Andana tersenyum. Dia melirik pada Wiro. Murid Sinto Gendeng langsung membuka mulut.
“Rupanya Datuk kita ini ingin cepat-cepat menemui kematiannya. Apa pendapatmu sobat?”
“Aku masih mau memberi kesempatan padanya untuk bertobat dan minta ampun pada Tuhan sebelum meregang nyawa menghadap Penguasa Akhirat!”
Muka Datuk Gampo Alam seperti udang direbus. Lehernya disentakkan. “Anak setan! Kau yang akan jadi cacing tanah lebih dulu!” hardik Datuk Gampo Alam.
Begitu Andana meloncat turun dari kudanya langsung saja dia menyerang dengan jotosan keras ke arah pinggang. Andana tidak tinggal diam. Masih melayang di udara kaki kanannya melesat ke arah kepala Pamannya itu. Mau tak mau Datuk Gampo Alam terpaksa tarik pulang serangannya. Dia membalik ke kiri dengan cepat. Begitu tendangan Andana lewat sang Datuk balas menghantam dengan kaki kanan. Andana berseru kaget.
Kaki sang Datuk menyambar begitu cepat dan tak terduga. Sedang dari mulutnya terdengar suara aneh seperti binatang mencicit. Selanjutnya tubuhnya tampak bergerak kian kemari, melenting-lenting seperti bola, tangan dan kakinya berkelebat aneh dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga, menggapai merobek ganas.
Inilah ilmu silat Tupai Pesisir yang sangat berbahaya. Baru dua jurus mengeluarkan ilmu silat aneh itu terdengar suara pakaian robek. Andana melompat mundur. Pakaian putihnya robek di bagian dada dan kulit dadanya kelihatan tergurat cukup dalam hingga tampak darah mengambang.
“Anak setan! Itu peringatan pertama untukmu!” kata Datuk Gampo Alam. “Sebentar lagi akan kuputus urat lehermu! Kini aku yang memberi kesempatan padamu untuk bertobat sebelum mampus!”
Andana ganda tertawa. Tubuhnya membuat gerakan seperti merunduk. Tiba-tiba kakinya melesat ke atas lalu menderu ke bawah. Datuk Gampo Alam tersentak kaget melihat gerakan silat yang aneh ini. Namun dia tidak berkesempatan memperhatikan lebih lama karena saat itu serangan-serangan si pemuda datang bertubi-tubi. Inilah ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai yang dipelajari Andana dari gurunya Datuk Alis Merah di Asahan.
Dalam ilmu silat Datuk Gampo Alam punya pengetahuan dan pengalaman luas. Dia tahu betul kehebatan dan kelemahan masing-masing ilmu silat. Namun sekali ini dia dibuat tak berdaya dan tak mampu menerka ilmu silat apa yang dimainkan Andana untuk menyerangnya. Saat demi saat dia merasa tekanan yang berat dan membuatnya terdesak.
Satu kali ketika dia terlambat mengelak, pukulan tepi telapak tangan kanan Andana bersarang di bahunya. Sang Datu mengeluh tinggi. Tulang bahunya seperti remuk. Dalam keadaan termiring-miring Datuk Gampo Alam cabut saluang di pinggangnnya.
“Sobatku, jika saluang itu ditiupnya kau boleh menyanyi dan aku akan menari!” Pendekar 212 yang berada di tepi kalangan perkelahian. Sementara itu udara di atas Ngarai Sianok tiba-tiba saja berubah mendung.
“Anak-anak setan!” kata Datuk Gampo Alam. “Kalian boleh mengejek! Lihat saja apa yang akan terjadi dengan diri kalian! Aku sudah mencium kematian kalian!”
Lalu Datuk Gampo Alam meniup saluangya kuat-kuat. Bersamaan dengan terdengarnya suara lengkingan saluang tiba-tiba dari lobang sebelah bawah seruling bambu itu keluar dua buah gelembung yang saat demi saat semakin besar, semakin besar dan akhirnya berubah bentuk menjadi dua mahluk katai berkulit merah dan hanya mengenakan cawat. Kepala botak sedang gigi-gigi serta taring-taring yang runcing panjang kelihatan mengerikan. Jari-jari tangannya pendek-pendek tetapi berkuku panjang berwarna hitam legam!
“Anak-anak, kalian sudah lama tidak menghisap darah. Lekas serang pemuda yang sebelah depan. Jika kawannya berusaha membantu, bunuh keduanya!”
Mahluk katai aneh itu berteriak hingar bingar lalu melesat ke depan, mengeroyok Andana. Gerakan dua mahluk katai ini cepat bukan main. Sepuluh kuku jari mereka berkelebat ganas. Setiap menyerang, mereka berusaha mendekatkan mulut pada perut atau dada dan leher Andana. Jelas mahluk ini memang ingin menyedot darah si pemuda. Dikeroyok dua begitu rupa Andana kembali mainkan jurus-jurus ilmu silat Kumango Tujuh Serangkai.
Dengan ilmu silatnya ini Andana berhasil menggebuk, menjotos dan menendang dua mahluk itu. Tapi anehnya seperti tidak merasa, keduanya tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak setiap kali kena hantaman!
Ilmu iblis! Rutuk Andana dalam hati. Jari tangannya diarahkan lurus-lurus pada dua mahluk katai itu. Ketika didorongkan ke depan, satu larik sinar merah panas menderu ganas ke arah mahluk katai di sebelah kanan. Pohon bahkan batu sekalipun akan hancur berantakan terkena pukulan Inti Api yang barusan dilepaskan Andana.
Namun yang diserang kelihatan tertawa-tawa. Begitu sinar merah menyambar di depan mukanya, dia membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu seperti seorang melahap makanan yang enak begitulah dia menelan sinar api panas pukulan sakti itu. Sementara itu kawannya sambil berjingkrak-jingkrak sesekali bergelantungan pada jalus sinar merah panas seolah benda itu adalah seutas tali! Di sebelah sana Datuk Gampo Alam terus saja tiup saluangnya.
Celaka, aku tak bisa bertahan lebih lama! Keluh Andana dalam hati. Berarti bahaya besar mengancamnya kini. Pemuda ini melirik ke arah Wiro seolah minta dibantu. Dalam keadaan seperti itu Pendekar 212 tidak mau turun tangan dan melakukan pengeroyokan. Setelah berpikir keras murid Sinto Gendeng ini berkata,
“Sobatku Harimau Singgalang. Jika ekornya tak bisa dihancurkan, mengapa tidak kembali ke asalnya?”
Mula-mula Andana tidak mengerti ucapan itu. Namun begitu dia paham maka langsung saja dia melompat ke udara. Dua mahluk katai ikut melompat. Dari atas Andana lepaskan lagi pukulan sakti Inti Api. Sekali ini bukan diarahkan pada dua mahluk katai berkepala botak yang matian-matian berusaha menancapkan taring-taringnya ke bagian tubuh Andana untuk kemudian disedot darahnya. Kini yang menjadi sasaran Andana adalah saluang yang ditiup Datuk Gampo Alam, sari mana dua mahluk tadi keluar secara aneh.
"Wussss! Braaak!!"
Saluang yang ditiup sang Datuk hancur berantakan. Datuk Gampo Alam sendiri terlempar dua langkah dan terduduk di tanah. Salah satu jarinya tampak mengucurkan darah!
LIMA BELAS
Bersamaan dengan hancurnya saluang di tangan Datuk Gampo Alam dua mahluk katai terdengar menjerit keras. Tubuh mereka perlahan-lahan menciut hingga akhirnya hanya tinggal seujung jari kelingking untuk kemudian lenyap tanpa bekas!
Datuk Gampo Alam cepat bangkit berdiri. Mukanya kelam membesi sementara huja mulai turun rintik-rintik di kawasan itu. Dari arah Timur saat itu sebuah kereta meluncur cepat menuju Ngarai Sianok.
“Anak setan!” tiba-tiba Datuk Gampo Alam membentak, tangan kanannya bergerak mencabut keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. “Dulu dengan keris sakti bertuah ini kuhabisi Bapakmu! Rupanya sudah menjadi takdir, kaupun akan menemui ajal di tanganku, dengan keris ini!” begitu senjata itu digerakkan sinar kuning berkiblat.
Andana merasa ada hawa dingin menyambar. Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam dan lepaskan satu pukulan tangan kosong. Sang Datuk merasa seolah didorong oleh satu tembok besar. Karenanya dia kerahkan tenaga dalamnya sampai tangannya yang memegang keris bergetar hebat. Pada puncak bentrokan tenaga dalam dengan cerdik Datuk Gampo Alam membuat gerakan menyusup dari samping. Sinar kuning kembali berkiblat.
Andana merasakan ada hawa dingin menyambar wajahnya. Secepat kilat dia melomapt ke kiri dan balas menyerang. Seperti sudah diketahui dalam ilmu silat meskipun memiliki pengalaman luas, namun Datuk Gampo Alam masih kalah jauh dengan kemenakannya itu.
Karena untuk mempergunakan keris sebagai senjata harus didasari dengan ilmu silat juga maka walau senjata itu sakti bertuah tetap saja Datuk Gampo Alam tak bakal mampu mempecundangi lawannya. Malah dalam satu gebrakan hebat Andana berhasil mennendang lengan kanan Datuk Gampo Alam. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang mencelat ke udara. Andana melompat menyambuti selagi keris itu jatuh ke bawah.
“Saatmu menerima kematian Datuk keparat!” teriak Andana. Smbil melayang turun dia tusukkan keris di tangan kanannya ke arah Datuk Gampo Alam. Keris menyambar dari arah kiri. Datuk Gampo Alam mengelak ke kanan. Mendadak Andana menggebrak ke kanan. Keris sakti bertuah kembali menusuk.
"Breettt!"
Baju Datuk Gampo Alam di bagian bahu kanan robek besar. Namun tubuhnya lolos dari tusukan keris emas itu. Tiba-tiba Datuk Gampo Alam keluarkan suara seperti anjing melolong. Bersamaan dengan itu kedua tangannya mencekal pergelangan tangan kanan Andana lalu ditarik kuat -kuat. Terjadilah satu hal yang tidak bisa diterima akal. Tubuh Datuk Gampo Alam lenyap amblas ke dalam tanah.
Andana berteriak kesakitan sewaktu tangannya yang memegang keris terseret di atas permukaan tanah. Tubuhnya berguling jungkir balik. Dia berusaha melepaskan tangannya namun sia-sia. Pendekar 212 berseru kaget melihat kejadian itu. Ilmu iblis apa yang dimiliki Datuk keparat itu. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam tanah dan menarik tangan Andana.
Pekik Andana semakin keras. Dengan tangan kirinya dia berusaha memukul gunjulan tanah yang bergerak yang rupanya adalah tubuh atau kepala Datuk Gampo Alam. Tapi tidak ada hasilnya. Sementara itu jari-jari tangan dan daging di bagian belakang telapak tangannya telah mengelupas. Dari langit hujan turun mulai lebat. Anak Datuk Bandaro Sati itu tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya guna melepaskan tangannya.
Wiro yang juga dalam keadaan bingung karena tidak tahu harus menolong bagaimana, untuk beberapa saat hanya bisa berlari di samping Andana. Sambil lari akhirnya Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. Dengan senjata ini dihantamnya bagian tanah yang menggunjul dan bergerak. Cahaya putih menyilaukan yang disertai hamparan hawa panas luar biasa dan dibarengi suara seperti tawon mengamuk menggema di tempat itu.
Tanah dan pasir serta batu-batu kerikil muncrat berterbangan. Di tanah kelihatan lobang sedalam satu jengkal. Ternyata hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 tidak menolong walau sudah dipukulkan beberapa kali. Tangan kanan Andana semakin parah. Darah mulai mengucur sedang lapisan kulit dan daging sudah terkelupas dalam.
Satu hal yang masih bisa dilakukannya, keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tidak mau dilepaskannya dari genggamannya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mengaum dahsyat. Dalam udara yang semakin gelap itu sementara hujan bertambah lebat tiba-tiba muncul seekor harimau besar.
Pendekar 212 sampai tersurut saking kagetnya. Andana tidak kalah kejutnya. Namun entah mengapa pemuda ini tiba-tiba saja menjadi tenang. Saling bertatapan begitu dekat Andana membatin. Binatang ini, aku yakin adalah harimau yang muncul mengawal Ayahku waktu di Asahan dulu. Ayah, apakah kau mengirimkannya untuk menolongku?
Binatang jejadian itu mengaum sekali lagi. Lalu tubuhnya menukik ke bawah dan astaga! Harimau besar amblas lenyap ke dalam tanah. Saat itu pula cekalan pada lengan Andana terlepas. Lalu terjadilah hal luar biasa. Di dalam perut bumi terdengar bentakan-bentakan manusia dan auman harimau berulang kali. Seolah tengah terjadi perkelahian antara manusia dengan seekor harimau. Hal itu tidak berlangsung lama.
Didahului oleh satu lolongan panjang dan auman yang menggetarkan tanah, tiba-tiba dari dalam tanah melesat sosok tubuh Datuk Gampo Alam. Tubuh dan kepalanya sampai ke muka penuh berselomotan tanah hingga kelihatan menyeramkan. Di samping itu pada bahu kiri, pangkal leher dan bawah dagu ada luka panjang seperti dicakar.
Untuk kedua kalinya dari dalam tanah melesat keluar harimau besar itu. Telinga kirinya kelihatan mengucurkan darah. Binatang ini memandang Datuk Gampo Alam sesaat, mengaum keras membuat sang datuk tersurut gentar lalu berputar-putar beberapa kali mengelilingi Andana, mengaum sekali lagi dan lenyap!
Pendekar 212 gelengkan kepala dan leletkan lidah. Khawatir kalau musuh besar pembunuh Ayahnya itu akan masuk kembali ke perut bumi Andana yang masih memegang keris Tuanku Ameh Nan Sabatang cepat menyerbu dan kirimkan satu tikaman ke arah batang leher Datuk Gampo Alam. Perkelahian seru terjadi sampai delapan jurus.
Walaupun belum dapat melukai lawannya dengan senjata sakti bertuah itu namun Andana lagi-lagi membuat sang Datuk terdesak hebat. Jahanam, ilmu silat apa yang dimiliki anak setan ini hingga aku tidak bisa memecahkan kelemahannya! Maki sang Datuk. Sebelum Andana menyerbunya kembali dia melompat mundur.
“Kau kira kau bisa lari dari kematianmu Datuk celaka!” teriak Andana.
Datuk Gampo Alam menyeringai. “Siapa yang lari,” jawab Datuk Gampo Alam sambil menyentakkan leher dua kali. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Mulutnya berkomat-kamit. Kedua matanya dikejapkan.
"Wuttt! Wuttt!"
Dari kedua mata itu tiba-tiba melesat sebuah benda putih panjang, meliuk-liuk seperti ular. Selagi Andana dan Wiro terperangah melihat hal itu sang Datuk goyangkan kepalanya. Dua binatang putih lagi melesat keluar. Kini dari telinga kiri kanan. Ketika dia mendengus, maka sepasang berikutnya melesat keluar dari hidung. Datuk Gampo Alam membuka mulutnya lebar-lebar. Benda yang sama dalam ukuran lebih besar menderu keluar dari mulutnya. Benar-benar mengerikan!
“Gila! Ilmu apa ini?!” ujar Wiro sementara Andana memasang kuda-kuda dan menyiapkan pukulan Inti Api di tangan kiri.
Ternyata masih ada lagi dua benda putih panjang keluar dari tubuh sang Datuk. Satu dari anusnya dan satu lagi dari lobang kemaluannya. Ternyata binatang-binatang itu keluar dari setiap lobang yang ada di tubuhnya!
“Kau takut anak setan?!” ujar Datuk Gampo Alam seraya melangkah mendekati Andana. “Ilmu Belut Putih hanya aku yang memiliki di dunia! Kau merupakan korbannya yang pertama!” Habis berkata begitu Datuk Gampo Alam keluarkan suara mendengus dari hidungnya. Dua ekor belut putih yang ada di dua lobang hidungnya melesat ke arah Andana.
Harimau Singgalang berteriak keras. Tangan kirinya dihantamkan. Pukulan Inti Api menyambar belut putih yang di kiri tapi luput. Belut putih yang kedua dibabatnya degnan keris Tuank Ameh Nan Sabatang.
"Crasss!"
Belut itu terkutung dua. Tapi begitu jatuh ke tanah hidup kembali dan menjadi dua ekor, terus menyerang Andana. Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh. Belut putih besar dimulutnya meluncur semakin panjang dengan kepala tegak siap untuk mematuk. Belut putih pertama yang lolos dari pukulan Inti Api melesat ke muka Andana.
Sebelum pemuda ini sempat mengelak binatang ini telah menyusup masuk ke dalam lobang hidung kiri Andana! Pemuda ini jadi gelagapan dan berusaha menarik keluar belut yang masuk ke dalam hidungnya itu. Tapi semakin ditarik semakin dalam masuknya binatang ini. Darah mulai mengucur.
“Celaka!” seru Pendekar 212. tanpa menunggu lebih lama dia segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan melompat ke hadapan Andana. Sinar terang menyilaukan berkiblat di bawah udara gelap dan curahan hujan.
"Crass!"
Belut putih di hidung Andana putus dua, jatuh ke tanah dan hidup lagi! Dua binatang ini kini menyerang Wiro!
“Keparat sialan! Apa yang harus kulakukan!” saat itu salah seekor dari belut putih itu berhasil menancapkan mulutnya di betis kiri Pendekar 212. Wiro hendak merambasnya dengan senjata mustikanya. Tapi percuma saja pikirnya karena itu hanya akan menambah banyaknya jumlah binatang-binatang jejadian itu!
Dengan menggeram Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam. Dia ingat sesuatu. Hatinya meragu. Tadi Andana telah menghantam belut putih itu dengan pukulan Inti Api. Jika dia menghantam dengan batu apinya, apakah akan mempan? Tak ada jalan lain. Dia harus mencoba. Kalau tidak dia akan menemui ajal bersama Andana di tempat itu!
Dari balik pakaiannya murid Sinto Gendeng keluarkan sebuah batu hitam empat persegi yang merupakan pasangan Kapak Maut Naga Geni 212. Batu ini digosokkannya kuat-kuat ke mata kapak dan diarahkan pada Datuk Gampo Alam. Disaat yang sama sang Datuk buka mulutnya lebar-lebar. Belut putih paling besar yang bergelantungan dimulutnya melesat menyambar ke leher Pendekar 212.
"Wusss!"
Lidah api yang luar biasa panasnya menyambar. Belut putih besar yang menyerang Wiro mencelat mental, hancur cerai berai di udara. Ketika jatuh ke tanah ternyata binatang jejadian ini tidak berkembang biak menjadi banyak. Potongan-potongan tubuhnya berubah menjadi asap dan akhirnya sirna.
Datuk Gampo Alam tersentak kaget. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk menghantam lagi dengan gosokan kapak dan batu. Sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sementara andana berusaha melepaskan diri dari gigitan dua ekor belut putih yang menancap di pahanya kiri kanan!
Datuk Gampo Alam berteriak keras ketika satu gelombang api sebesar rumah mengggebubu ke arahnya. Di lain kejap tubuhnya tenggelam dalam kobaran api. Semua belut putih yang ada di tubuhnya hancur cerai berai. Anehnya yang ada di tempat lain seperti yang menancap di kaki Wiro dan Andana ikut-ikutan leleh, berubah jadi asap lalu lenyap!
Dalam kobaran api kelihatan sosok Datuk Gampo Alam melesat ke atas. Begitu kobaran api lenyap kelihatan orang ini tegak menyeringai sambil bertolak pinggang. Tubuhnya tidak cidera sedikitpun. Bahkan pakaiannya sama sekali tidak hangus! Sarung keris emas bertuah yang ada di pinggangnya juga kelihatan tidak mengalami kerusakan. Hanya ilmu Belut Putih-nya saja yang musnah!
Luar biasa! Bagaimana ada manusia sehebat bangsat satu ini! Kertak Wiro. Di sampingnya Andana keluarkan suara menggeram.
“Anak setan! Kau telah ikut campur urusanku! Berarti kau memilih mampus bersama kemenakan durhaka itu!” Datuk Gampo Alam berkata dengan mimik bengis. “Kalian berdua silahkan maju bersamaan agar waktuku tidak terbuang percuma!”
Wiro tertawa gelak-gelak. “Lagakmu hebat amat Datuk! Kau akan mati jadi setan penasaran karena tak dapat mengawini Bunga! Ha ha ha...!”
Mendengar kata-kata Wiro itu mendidihlah amarah Datuk Gampo Alam. Kepalanya disentakkan dua kali lalu didahului bentakan keras dia melompat ke arah Wiro dan Andana.
"Sahabat,” kata Wiro pada Andana. “Kau pergunakan kapak ini. Kerahkan tenaga dalammu setiap kau melakukan serangan!” Wiro melemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada Andana.
ENAM BELAS
Harimau Singgalang ini tak sempat berpikir banyak dan cepat menyambuti senjata mustika itu. Ketika Datuk Gampo Alam melompat ke hadapannya sambil melancarkan satu pukulan tangan kosong, Andana segera menyambut dengan salah satu jurus terhebat ilmu silat Kumango Tujuh Sarangkai, membuat sang Datuk terpaksa bersurut.
Dua jurus menggebrak Kapak Maut Naga Geni 212 berhasil membabat bahu kiri lawan. Datuk Gampo Alam berteriak setinggi langit. Darah muncrat. Bahu kirinya putus dan jatuh ke tanah. Tapi begitu potongan tangan itu menyentuh tanah, tiba-tiba potongan itu melesat kembali ke tempatnya semula di pangkal bahu sang Datuk. Bersamaan dengan itu Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
“Kalian bermimpi kalau menduga bisa membunuh Datuk Gampo Alam!” Habis berkata begitu sang Datuk sorongkan kepalanya ke depan. “Kau boleh menabas batang leherku! Aku tidak akan melawan! Ha ha ha...”
“Kurang ajar!” kertak Andana. Sekali berkelebat dia babatkan Kapak Maut Naga Geni 212. sinar putih menyilaukan berkiblat panas disertai suara keras seperti ratusan tawon mengamuk. Yang dituju Andana benar-benar batang leher Pamannya itu.
"Craaaas!"
Lagi-lagi darah menyembur begitu leher Datuk Gampo Alam putus. Kepalanya jatuh dan menggelinding ke tanah. Dan pada saat kepala itu pula kepala ini melesat kembali ke tempatnya semula! Leher yang putus bersambung kembali tanpa kelihatan sedikit ciderapun!
Datuk Gampo Alam tertawa bergelak sementara Andana dan Wiro Sableng tertegun saling pandang dengan muka pucat. Wiro tiba-tiba ingat pada keterangan kakek sakti Tua Gila. Yaitu bahwa walau ditabas jadi berapa potonganpun Datuk Gampo Alam tidak akan bisa mati selama tubuhnya atau kedua kakinya masih menginjak bumi!
Hujan turun makin lebat. Udara mulai gelap karena di Barat sang surya siapi tenggelam. Sementara itu dari arah Selatan Ngarai Sianok sebuah kereta meluncur cepat ke arah tempat di mana Andana dan Wiro serta Datuk Gampo Alam berada.
“Apa yang harus kita lakukan?” Andana mendekati Wiro dan berbisik.
Murid Eyang Sinto Gendeng usap mukanya yang basah oleh air hujan. “Seseorang pernah memberi tahu kelemahan ilmu manusia iblis ini. Kita harus memancingnya...” Lalu Wiro berpaling pada Datuk Gampo Alam.
“Datuk ilmumu memang tinggi. Tapi sayang cuma sulapan belaka. Apa kau berani untuk ditabas lehernya sekali lagi?!”
Datuk Gampo Alam menyeringai. “Kalian akan segera mampus di tanganku. Tak ada salahnya mengikuti apa kemauan kalian barang sebentar. Silahkan kau mau membacok dan menabas di bagian mana saja yang kau sukai!”
Sambil tertawa memandang enteng dengan sombongnya Datuk Gampo Alam sorongkan kepalanya ke depan. Wiro berpaling pada Andana dan anggukkan kepalanya. Tangan kanan Harimau Singgalang bergerak. Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat. Sinar menyilaukan berkiblat disertai deru keras dan hawa panas.
"Crassss!"
Untuk kedua kalinya leher Datuk Gampo Alam putus. Darah muncrat dan kepalanya menggelinding jatuh di tanah. Saat itu pula Wiro melompat dan menyambar pinggang sang Datuk. Tubuh orang ini kemudian dipanggulnya hingga kedua kakinya tidak menginjak bumi!
Dari kepala yang tercampak di tanah terdengar suara Datuk Gampo Alam. “Turunkan tubuhku! Turunkan aku ke tanah!”
Tubuh yang dipanggul Wiro melejang-lejangkan kaki dan tangannya namun tidak berdaya untuk melancarkan serangan karena gerakannya makin lama makin lemah. Dalam ngeri dan tidak percayanya melihat apa yang terjadi Andana hanya bisa tertegak diam. Suara teriakan Datuk Gampo Alam semakin perlahan dan mendelik. Pada saat itulah sebuah kereta meluncur cepat dan berhenti di tempat itu. Dari atas kereta terdengar jeritan perempuan.
“Bunga!” seru Andana.
Wiro berpaling. Bunga hampir pingsan melihat kepala ayahnya menggeletak ditanah sedang tubuhnya yang lain dipanggul oleh Wiro. Dari kutungan leher kelihatan darah mengucur.
“Demi Tuhan! Ya Allah! Apa yang terjadi! Jangan bunuh! Jangan bunuh dia! Dia Ayah saya...” Habis berteriak begitu Bunga tersungkur jatuh di tanah yang becek.
Dua mata Datuk Gampo Alam yang mendelik berputar ke arah Bunga dan menatap gadis itu dengan pandangan aneh. Mulutnya terbuka. Tapi tak terdengar apa yang diucapkannya.
Akan halnya Wiro, begitu melihat Bunga dan mendengar ucapan gadis tiu, tubuh Datuk Gampo Alam yang dipanggulnya terjatuh lepas. Pada saat dua kaki sang Datuk menyentuh tanah, tiba-tiba kutungan kepalanya melesat menuju lehernya! Sang Datuk hidup kembali!
“Celaka!” seru Wiro. Andana bersurut mundur. Datuk Gampo Alam memandang berkeliling lalu melangkah ke arah Bunga.
“Jangan dekati gadis itu!” teriak Andana.
Datuk Gampo Alam tidak perduli. Dia melangkah terus. Ada rasa takut di hati Bunga ketika melihat Datuk Gampo Alam mendekatinya. Dia cepat berdiri.
“Bunga... Tadi kau mengatakan aku... aku... ini Ayahmu...? Atau telingaku salah mendengar?” Ucapan itu keluar dari mulut Datuk Gampo Alam.
“Manusia jahat sepertimu tidak mungkin menjadi Ayah gadis itu!” teriak Andana seraya mendatangi. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang ditusukkannya ke dada sang Datuk.
“Kakak... Demi Tuhan! Jangan bunuh dia! Sudahi semua permusuhan ini! Datuk Gampo Alam adalah Ayah kandung saya...”
Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. Andana ternganga dan membeliak tak berkesip. Datuk Gampo Alam keluarkan jeritan keras. Lalu putar tubuhnya dan lari ke arah sebuah bukit kecil di ujung Ngarai Sianok.
“Ayah! Kau mau kemana?!” teriak Bunga memanggil. Ketika dia hendak mengejar Andana cepat memegang lengan gadis itu. “Ayah...!”
Datuk Gampo Alam tidak perdulikan teriakan Bunga. Dia lari terus sampai akhirnya tiba di atas bukit kecil. Pada saat itu terdengar guntur menggelegar. Langit terang benderang. Petir tampak menyambar di puncak bukit. Bunga terpekik keras ketika melihat bagaimana petir menghantam tubuh Ayahnya. Tubuh Datuk Gampo Alam kelihatan mengepulkan asap lalu terbanting roboh ke tanah bukit.
“Ayah!” teriak Bunga. Kali ini Andana tak kuasa lagi menahan gadis itu. Dia mengikuti lari Bunga dari belakang. Begitu juga Wiro. Mereka menuju ke puncak bukit.
“Jangan!” kata Andana ketika Bunga hendak menjatuhkan diri memeluk tubuh Datuk Gampo Alam yang masih sangat panas dan mengepulkan asap serta tak karuan bentuknya itu.
Anehnya sarung keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tampak tergeletak tak jauh dari mayat Datuk Gampo Alam. Ketika Bunga mendudukkan dirinya di tanah dan menangis keras. Andana melangkah mengambil sarung keris itu. Lalu dia kembali mendekati Bunga. Beberapa lamanya dipandanginya gadis itu. Lalu terdengar dia berkata,
“Bunga...”
Bunga menurunkan kedua tangannya yang dipakai menutupi wajahnya. “Saya harus pergi sekarang. Sahabat saya Wiro akan mengantarkanmu pulang. Dia juga akan mengurusi jenazah Datuk Gampo Alam kalau dia memang Ayahmu...”
“Kakak hendak kemana?” tanya Bunga dengan lidah kelu.
“Saya belum tahu mau pergi kemana. Saya titipkan rumah gadang dan isinya padamu...”
Gadis itu berusaha berdiri hendak merangkul tubuh Andana. Tapi Harimau Singgalang memutar tubuh dengan cepat dan meninggalkan bukit di tepi Ngarai Sianok itu menuju ke Timur.
********************
Tak ada perubahan pada telaga di Asahan itu. Suasana sejuk terasa menyegarkan. Tiupan angin seolah memberikan kekuatan yang ajaib. Di ujung jalan yang menurun Harimau Singgalang sudah dapat melihat gadis itu duduk membelakanginya, menghadap ke telaga yang jernih.
Seperti punya firasat kalau ada seseorang tegak memperhatikannya dari kejauhan, Halidah berpaling. Sesaat gadis itu tercengang. Bibirnya yang merah segar terbuka dan terdengar suaranya berkata antara percaya dan tidak.
“Betul Abang yang saya lihat ini...?”
Andana tertawa lebar. Dia melangkah cepat-cepat sambil mengembangkan kedua tangannya. Halidah tak dapat menahan hatinya lagi. Gadis ini berteriak lalu tenggelam ke dalam pelukan hangat Andana.
“Jangan pergi lagi Bang. Jangan tinggalkan saya lagi untuk selama-selamanya...” bisik Halidah. Air matanya terasa hangat di dada Andana.
“Abang tak akan pergi lagi Halidah. Tak akan Abang tinggalkan lagi kau untuk selama-lamanya,” bisik Andana lalu mencium dalam-dalam rambut hitam Halidah.
T A M A T