KI AGENG TUNGGUL AKHIRAT
PANGKAL BAHALA
Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Teluk Burung diselimuti kabut tebal. Dalam udara yang buruk itu seorang penunggang kuda berbaju biru dan mengenakan blangkon bergerak di antara batu-batu besar yang terhampar di seantero tempat. Mukanya yang hitam boleh dikatakan bukan wajah manusia. Lebih tepat dikatakan sebagai wajah setan.
Di pipi kirinya ada cacat bekas luka memanjang mulai dari ujung bibir sempai ke mata. Mata ini sendiri tampak terbujur ke luar, kelopak bawah membeliak merah dan selalu basah. Akibat cacat di pipi kiri itu mulut orang ini tertarik ke atas hingga gigi-giginya yang besar-besar menjorok ke luar!
Sebenarnya kuda coklat dan penunggangnya sudah sama-sama sangat letih saat itu. Beberapa kali kaki -kaki kuda terantuk atau terpeleset di bebatuan licin. Si penunggang sendiri dengan segala sisa kekuatan dan harapan untuk hidup mencoba membawa kudanya ke jurusan Timur, sampai di sebuah lamping bukit batu yang solah membentuk dinding panjang dari Timur ke Selatan.
Di salah satu bagian dinding batu, orang ini hentikan kudanya lalu memandang berkeliling. Hujan rintik-rintik telah berhenti. Namun kabut masih kelihatan di mana-mana menutupi pemandangan. Orang ini menunggu dan berusaha untuk sabar. Ketika sang surya muncul kabut di tempat itu perlahan-lahan mulai terkikis habis.
Dalam terangnya udara orang tadi kembali memperhatikan keadaan di sekitarnya. Apa yang dicarinya terlihat di kejauhan. Tepat di pertengahan dinding batu ada satu lobang besar. Sesaat ada rasa tegang dalam diri orang ini. Setelah menabahkan hatinya dia lalu bergerak kea rah lobang tadi yang merupakan mulut sebuah goa.
Di depan goa dia hentikan kudanya lalu turun dengan terhuyung-huyung. Dari kantong perbekalan yang tergantung di leher kuda dia mengambil sebuah bungkusan lalu melangkah hendak memasuki goa. Namun belum sempat kakinya menginjak mulut goa, tiba-tiba dari dalam menggelegar suara bentakan.
“Siapa yang mengantar nyawa berani datang ke tempatku tanpa diundang?!”
Manusia bermuka cacat itu terkejut. Setelah reda kejutnya dia memberanikan diri menjawab. “Aku Ki Ageng Tunggul. Kepala desa Pasirginting. Ingin bertemu dengan orang tua sakti bernama Supit Jagal. Kabarnya beliau adalah penghuni goa ini!”
“Begitu? Katakan apa keperluanmu!” orang di dalam goa bertanya.
“Aku datang untuk mohon diambil jadi murid!”
“Bah! Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat kau punya tampang! Lekas masuk dalam goa!”
Ki Ageng Tunggul cepat melangkah masuk. Ternyata bagian dalam goa batu itu tidak seberapa besar. Di tengah ruangan duduk seorang kakek berpakaian sangat kotor dan penuh tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pipinya sebelah kana nada cacat bekas luka yang amat dalam. Daun telinganya sebelah kanan sumplung sedang sepasang matanya sangat sipit sehingga dia seperti sedang memejam.
“Mukamu seperti setan! Apa kau benar manusia atau makhluk jejadian?!”
“Aku manusia biasa, tak lebih tak kurang…”
Si kakek menyeringai mendengar ucapan itu. “Duduk!” bentaknya kasar.
Ki Ageng Tunggul duduk. Bungkusan yang dibawanya diletakkan di pangkuan. “Aku memang Supit Jagal, orang yang kau cari!” berkata si kakek. “Kau bilang minta diambil jadi murid! Sudah tua bangka begini apa kau sinting?!”
“Soalnya aku terpaksa..."
“Terpaksa ?! Siapa yang memaksa?!"
Ki Ageng Tunggul lalu menerangkan. “Tiga orang jahat berilmu tinggi hendak membunuhku"
“Kau ketakutan lalu minta dijadikan murid agar dapat ilmu!" Supit Jagal tertawa mengekeh. “Anak manusia berwajah setan, coba kau katakan padaku mengapa tiga orang itu hendak membunuhmu?!"
“Dulu mereka adalah kawan-kawanku. Masing-masing bernama Kunto Handoko, Lor Paregreg dan Rah Gludak. Mereka kukhianati hingga dijebloskan masuk penjara. Entah bagaimana ketiganya bisa melarikan diri. Kini mereka mencariku dengan tujuan membunuh. Aku tidak berdaya menghadapi meraka. Ketiganya memiliki kepandaian silat tinggi serta kesaktian."
Mulut Supit Jagal sesaat tampak komat kamit. “Berkhianat sesama kawan adalah perbuatan paling keji. Kini kau tanggung sendiri akibatnya. Aku tidak bisa mengambilmu jadi murid! Sekarang lekas minggat dari hadapanku!"
Ki Ageng Tunggul ambil bungkusan di pangkuannya. Bungkusan ini diletakkannya di lantai goa di hadapan si kakek. Ketika bungkusan dibuka tampaklan puluhan mata uang perak dan beberapa mata uang emas serta seperangkat perhiasan.
“Semua ini untukmu. Asal saja kau mau mengambilku jadi murid dan mangajarkan ilmu silat dan kesaktian,” kata Ki Ageng Tunggul pula.
Si kakek bermata sipit tampak agak terkesiap. “Anak manusia berwajah setan, pemberianmu membuat aku tergiur. Tapi tetap saja aku tidak akan mengambilmu jadi murid. Hanya mungkin ada cara lain untuk menolongmu. Yang jadi soal kini, apakah kau bakal sanggup memenuhi syarat yang akan kutetapkan!”
“Syarat apapun akan kulaksanakan,” jawab Ki Ageng Tunggul tanpa tedeng aling-aling.
“Bagus. Pertanyaanku, apa kau bisa mengatur ketiga musuhmu itu datang kemari? Urusan selanjutnya biar aku yang membereskan!”
“Begitupun aku setuju. Yang penting mereka harus mampus semua! Harap kau mau mengatakan syarat tadi...”
“Kau harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul akan melaksanakan"
“Demi Tuhan saya bersumpah akan melaksanakan..."
“Tolol! Bukan demi Tuhan! Tapi demi aku! Demi Supit Jagal!" membentak si kakek. Matanya membesar. Ia menyangka sudah melotot padahal kedua matanya itu tetap masih sipit-sipit saja.
“Demi Supit Jagal... Aku bersumpah!" ucap Ki Ageng Tunggul.
“Bagus. Kau sudah bersumpah. Sekarang coba telan dulu benda ini!" Supit Jagal melemparkan sebuah benda hitam kepangkuan Ki Ageng Tunggul.
Lelaki ini cepat mengambilnya. "Benda apa ini?"
“Telan saja! Tak perlu banyak tanya!" sentak Supit Jagal.
Mau tak mau Ki Ageng Tunggul segera menelan benda hitam itu yang terasa kesat di mulut dan tenggorokannya.
“Sudah kau telan?!” tanya Supit Jagal.
Ki Ageng Tunggul mengangguk. Si kakek tertawa panjang.
"Kenapa kau tertawa?” tanya Ki Ageng Tunggul.
"Benda hitam yang barusan kau telan adalah racun penghancur usus!”
Pucatlah wajah hitam Ki Ageng Tunggul.
“Racun itu akan bekerja setelah dua hari dari sekarang. Jika kau berhasil melaksanakan syarat yang akan kukatakan, kau boleh kembali ke mari membawa tiga orang musuh besarmu itu. Aku akan memberikan obat penawar racun padamu. Teteapi ingat! Kalau ingkar kau akan mampus dengan usus berantakan!” Supit Jagal kembali tertawa mengekeh.
Ki Ageng Tungul merasakan sekujur tubuhnya menjadi dingin.
“Sekarang akan kukatakan syarat itu!” kata Supit Jagal pula. Ki Ageng Tunggul jadi tegang. “Tepat tengah malam besok yaitu hari Kamis malam Jum'at Kliwon kau harus menggorok leher seorang bayi lalu memandikan ke kepala dan tubuhmu. Upacara ini harus kau lakukan di puncak tertinggi bukit batu ini, kira-kira seratus langkah ke arah Timur!”
Sepasang mata Ki Ageng Tunggul, terutama mata kiri yang dalam keadaan mencelet kini tampak membeliak besar. Jantungnya seperti mau copot dan nyawanya serasa terbang mendengar syarat yang dikatakan Supit Jagal tadi. “Kalau syarat itu tidak kau lakukan, jangan harap umurmu bisa lebih panjang dari dua hari!”
“Kakek, apakah syarat itu bisa diganti? Aku kawatir tidak sanggup melaksanakannya.”
“Kalau begitu cepat angkat kaki dari hadapanku. Tapi tinggalkan bungkusan ini di sini!”
Ki Ageng Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang harus dilakukannya sungguh sangat keji dan mengerikan. Tak sanggup dia melakukan. Namun kalau dia menolak, racun yang mengidap di perutnya akan merengut nyawanya! Tak ada pilihan lain kini. Dia terpaksa memenuhi apa yang dikatakan Supit Jagal tadi.
SUMPAH IBLIS PENUMPAH DARAH
Laksana terbang kuda coklat itu berlari kencang di bawah panas terinya matahari. Dalam waktu singkat kuda dan penunggangnya sudah sampai di kaki bukit terus bergerak menuju lembah sepanjang kaki bukit. Si penunggang yang berwajah seperti setan bukan lain adalah Ki Ageng Tunggul kepala desa Pasirginting yang tengah menjalankan syarat seperti yang ditetapkan manusia iblis Supit Jagal. Lelaki ini mendongak ke langit. Matahari dilihatnya tepat di ubun-ubun kepalanya. Muka setannya langsung berubah.
“Celaka! Aku hanya punya waktu setengah harian lagi. Kalau yang kucari tidak kutemui mampuslah diriku!” Ki Ageng Tunggul membetulkan letak blangkonnya lalu kemabli memacu kudanya. Dari satu tempat ketinggian dia melihat atap-atap rumah yang terletak di sebuah desa kecil. Segera saja dia mengarahkan kudanya menuju ke sana.
Angin dari Timur bertiup kencang merontokkan daun-daun pepohonan ketika Ki Ageng Tunggul memasuki jalan teduh di mulut desa. Dia mulai memperlambat lari kudanya. Kedua matanya yang merah, satu di antaranya membeliak mengerikan, memandang liar kian kemari.Sepasang telingnya dibuka tajam-tajam. Dia berpapasan dengan beberapa penduduk desa.
Orang-orang itu jelas ketakutan ketika melihat tampangnya. Mereka melangkah pergi dengan cepat. Sampai di tengah desa Ki Ageng Tunggul hentikan kudanya. Dia seperti putus asa. Tiba-tiba daun telinganya bergetar. Kedua matanya berputar ke arah kanan. Di sebelah sana, di antara beberapa pohon besar kelihatan sebuah rumah gedek. Di rumah gedek ini terdengar suara tangisan bayi. Inilah yang dicari Ki Ageng Tunggul!
Tanpa menunggu lebih lama orang ini segera menghambur menuju rumah gedek itu. Begitu sampai dia langsung melompat ke pintu lalu menggedor dengan keras. Terdengar langkah-langkah kaki di dalam rumah. Sesaat kemudian pintu terbuka. Perempuan yang menggendong seorang orok lelaki yang masih merah tersurut pucat ketika melihat tampang manusia yang berdiri di hadapannya.
Ki Ageng Tunggul memandang bayi dalam gendongan ibunya itu. Tenggorokannya turun naik dan mulutnya komat kamit. Sesaat dia bingung. Hendak mengatakan sesuatu dulu atau langsung saja merampas bayi dalam gendongan itu.
“Sam.... sampeyan siapa...?” perempuan muda yang menggendong bayi bertanya dengan suara gemetar dan siap-siap hendak menutupkan pintu.
“Aku mencari suamimu.”
“Dia sedang ke sawah. Nanti siang baru kembali...”
Mata Ki Ageng Tunggul menatap bayi dalam dukungan. “Ini anakmu?"
Yang ditanya mengangguk. Tangannya bergerak lagi hendak menutup pintu. Ki Ageng Tunggul cepat manahan daun pintu.
“Dengar,” katanya. “Kemarin aku sudah bicara dengan suamimu. Dia bersedia menjual bayi ini.” Lalu Ki Ageng Tunggul keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang.
Perempuan yang menggendong bayi tampak terkejut mendengar kata-kata tamu bermuka seram yang tidka dikenalnya itu. “Apa? Suamiku...? Tidak! Aku tidak percaya! Kau pasti berdusta! Suamiku tidak bakalan mau menjual anak ini!”
“Ini ambillah...!” kata Ki Ageng Tunggul seraya mengulurkan kantong uang.
“Tidak!” dengan tangan kanannya perempuan itu mendorong pintu kuat-kuat.
Tapi Ki Ageng Tunggu lebih kuat menahan. “Kalau kau tidak mau menjual tidak apa-apa... Berarti kau akan rugi dua kali!”
“Apa maksud sampeyan...?”
Ki Ageng Tunggul menyeringai. Sekali dia bergerak, bayi dalam dukungan si ibu berhasil dirampasnya. Secepat kilat lelaki ini lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan menghambur lenyap.
Ibu si bayi menjerit keras. “Bayiku! Tolong! Bayiku dilarikan orang! Tolong!”
Beberapa orang tetangga berlarian keluar dari rumah masing-masing. Tapi tak seorangpun bisa berbuat sesuatu. Si ibu masih menjerit beberapa kali lalu roboh tak sadarkan diri di depan rumahnya.
********************
Hari Kamis malam Jum’at Kliwon. Hujan gerimis menambah dingin dan angkernya suasana malam. Kuda coklat yang ditunggangi Ki Ageng Tunggul mendaki di lereng bukit, bergerak menuju ke puncak. Dalam kegelapan malam kuda dan penunggangnya ini tidak beda seperti setan yang sedang gentayangan!
Puncak bukit batu yang hendak dicapai tingi sekali. Jalan yang menuju ke situ Sangat sulit. Beberapa kali kuda coklat itu tersandung dan hampir roboh. Lidahnya terjulur, tubuhnya basah oleh keringat bercampur air hujan. Di satu tempat binatang ini tersandung kembali. Sekali ini langsung roboh dan tak mau bangkit lagi. Kutuk serapah keluar dari mulut Ki Ageng Tunggul.
Ketika jatuh tadi untung dia cepat melompat dan menyelamatkan benda yang dibawanya yaitu bukan lain sosok bayi rampasan yang dibuntal dengan sehelai kain. Sambil menggendong bayi itu Ki Ageng Tunggul melanjutkan perjalanan ke puncak bukit batu dengan jalan kaki. Gerakannya cukup sebat. Dia melompat dari satu batu ke batu lain. Tak selang berapa lama lelaki ini sampai di puncak bukit batu paling tinggi. Di sini angin terasa kencang dan dingin sekali.
Ki Ageng Tunggul memandang berkeliling. Mulutnya berkomat kamit. Di kejauhan kilat menyambar. Suasana terang sexta lalu gelap kembali. Bayi dalam buntalan kain menangis dan mengagetkan Ki Ageng Tungul. Cepat-cepat dia membuka buntalan. Sesaat tubuhnya terasa bergeletar. Mulutnya kembali komat kamit seperti merapal sesuatu. Lalu dia mendongak ke langit. Seringai iblis menyeruak di tampangnya yang angker. Bayi di tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Tangisan si bayi semakin keras. Dari mulut Ki Ageng Tunggul kemudian terdengar ucapan.
“Orang sakti dalam goa! Demi sumpah yang kupatuhi! Bersaksi kepada langit di atas keepala! Bersakasi pada batu di bawah kaki! Saat ini aku Siap untuk mandi!”
Habis berseru seperti itu Ki Ageng Tunggul mencabut sebilah golok pendek dari pinggangnya. Saking tajamnya, walaupun malam sensata ini berkilauan dalam kegelapan. Seperti kemasukan setan yang haus darah golok di tangan kanan berkelebat membabat. Sungguh mengerikan. Suara tangisan bayi serta merta lenyap. Darah mengucur.
Dengan darah yang mengucur Ki Ageng Tunggul menyirami kepala, muka dan tubuhnya. Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung dan gerahamnya terdengar bergemeletukan. Kedua matanya berputar liar sedang sekujur tubuhnya bergeletar. Darah berhenti memancur tanda sudah terkuras habis. Kembali Ki Ageng Tunggul mendongak ke langit dan berucap.
“Orang sakti dalam goa! Sumpah sudah dilaksanakan! Aku mohon diri!”
Lalu dalam keadaan basah kuyup oleh darah, keringat dan air hujan Ki Ageng Tunggul mulai menuruni bukit. Di satu tempat golok dibuang ke bawah bukit. Suara senjata ini berkerontangan dalam kesunyian malam. Ki Ageng Tunggul merasakan satu keanehan. Saat itu tubuhnya terasa ringan luar biasa hingga dengan gerakan yang sebat dalam waktu singkat dia sudah sampai di tempat tadi dia meninggalkan kudanya. Begitu sampai di goa, Ki Ageng Tunggul duduk dengan hormat di hadapan Supit Jagal memberitahu kalau dia sudah melaksanakan apa yang diperintahkan.
“Bagus!” kata si kakek dengan seringai iblis di mulutnya. “Sekarang kau harus mencari tiga manusia yang kau bilang mau membunuhmu itu. Bawa dia kemari! Tapi jangan lupa! Begitu urusan selesai kau harus berikan padaku dua kantong berisi uang dan harta perhiasan. Bukan cuma satu kantong! Mengerti?!”
“Aku mengerti kek.”
“Nah Sekarang lekas pergi dari hadapanku!” kata Supit Jagal dengan mimik seolah jijik melihat tampang Ki Ageng Tunggul yang buruk dan seram itu.
“Aku akan pergi. Tapi sebelum minta diri mohon kakek memberikan obat pemusnah racun yang sudah kutelan dua hari lalu. Bukankah begitu sesuai perjanjian?!”
Supit Jagal usap-usap kuping kirinya yang sumplung. Lalu dia tertawa mengekeh. Ki Ageng Tunggul diam-diam jadi merinding ngeri kalau-kalau orang tua aneh ini tidak menepati janjinya. Sesaat kemudian Supit Jagal mengeluarkan sebuah benda putih dari dalam saku bajunya lalu dilemparkannya ke pangkuan Ki Ageng Tunggul.
“Telan dan pergi cepat!”
Ki Ageng Tunggul segera menelan obat pemusnah yang ada dalam perutnya, steelah menjura dia cepat-cepat meninggalkan goa itu.
PERMULAAN SEBUAH DENDAM
Keempat penunggang kuda berhenti di ujung dinding batu di kaki bukit yang terletak di Teluk Burung. Angin laut bertiup keras. Ombak mendebur menggelegar di pantai. Di antara deru angin dan suara deburan ombak penunggang kuda paling depan yaitu Lor Paregreg bertanya pada Ki Ageng Tunggul.
“Mana goanya?!”
“Di sebelah sana. Tepat di pertengahan dinding batu.”
Lelaki bernama Rak Gludak membuka mulut. “Kawan-kawan, aku punya firasat buruk. Si Tunggul keparat ini jangan-jangan menipu kita!”
“Kalau nanti terbukti begitu, tidak akan susah memisahkan tubuh dan kepalanya!” jawab Lor Paregreg.
“Golokku masih cukup tajam!” menyahuti Kunto handoko seraya mencabut goloknya dan memutar-mutar senjata ini di depan hidungnya.
Atas perintah Lor Paregreg, Ki Ageng Tunggul kini berjalan di sebelah depan. Mereka akhirnya sampai di sebuah lobang yang merupakan mulut goa.
“Ini goanya,” kata Ki Ageng Tunggul. “Peti berisi uang dan harta perhiasan itu kusembunyikan di dalam. Belum sepotong pun sempat kuambil. Kalian ambil saja semuanya, bagi tiga. Asalkan diriku diampuni.” Habis berkata begitu Ki Ageng Tunggul hendak turun dari kudanya. Tapi Lor Paregreg mencegah.
“Tetap di punggung kudamu Ki Ageng!” kata Lor Paregreg seraya mendekat. Lalu dengan sangat tiba-tiba dia menusuk punggung Ki Ageng Tunggul. Kejap itu juga Ki Ageng Tunggul tak bisa bergerak lagi. Kaku tertotok! Lor Paregreg berpaling pada kedua kawannya. “Kalian berdua masuk ke dalam memeriksa goa. Aku mengunggu di sini. Beri tahu kalau peti itu memang ada di dalam!”
"Srettt...!"
Kunto handoko kembali cabut goloknya. Bagian tajam itu dengan gerakan cepat ditempelkan ke batang leher Ki Ageng Tunggul hingga orang bermuka setan ini merasa nyawanya seperti terbang saat itu.
“Paregreg, kita sudah sampai ditempat peti itu disembunyikan. Mengapa manusia keparat ini tidak kita bereskan sekarang juga?!”
“Nyawa anjingnya soal mudah Kunto. Lebih penting kau dan Rah Gludak memeriksa dulu. Jika bengsat pengkhianat ini kita habisi dan ternyataa peti itu tidak ada dalam goa, kita bertiga tidak bakal dapat menemukan uang dan harta benda itu untuk selama-selamanya!”
“Kalian harus percaya padaku! Aku tidak menipu!” kta Ki Ageng Tunggul. “Empat perti itu ada di dalam goa! Kalian masuk saja lihat sendiri!” Diam-diam Ki Ageng Tunggul merasa ngeri sekali kalau-kalau Kunto Handoko akan menebas batang lehernya saat itu juga.
Lor Paregreg memberi isyarat pada Rah Gludak dan Kunto Handoko. Kedua orang ini melompat turun dari kuda masing-masing dan melangkah cepat menuju mulut goa. Belum sempat kaki mereka menginjak bagian dalam goa, tiba-tiba terdengar suara menderu. Bersamaan dengan itu selarik angin panas menerpa ke arah Rah Gludak dan Kunto Handoko.
Kedua orang ini berseru kaget dan serentak melompat ke samping selamatkan diri. Sambaran angin menyapu, menghantam kuda yang ditungggangi Lor Paregreg. Binatang ini meringkik keras lalu roboh ke tanah dengan kepala hangus. Setelah melejang-lejang beberapa kali kuda ini akhirnya tewas.
Ketika mendengar deru angin yang keluar dari dalam goa, Lor Paregreg seudah bersiaga. Begitu angin panas menyambar keluar dan menghantam kudanya, dengan cepat dia melompat. Walau selamat tapi wajahnya tampak agak pucat.
“Ki Ageng Tunggul! Kau benar-benar menipu kami!” teriak Lor Paregreg marah. Dia melompat marah. Kedua tangannya dipentangkan menyambar leher Ki Ageng Tunggul yang berada dalam keadaan tertotok kaku di atas kudanya.
Namun saat itu dari dalam goa melesat satu sosok tubuh seorang kakek berbaju tambalan berambut keriting, berkuping sumplung dan mukanya ada guratan cacat sangat dalam. Sekali orang ini mendorong kedua tangannya, Lor Paregreg terhempas ke belakang.
“Ki Ageng Tunggul, apa ini tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup lebih lama dan harus seera disingkirkan dari muka bumi ini?!” si kakek yang bukan lain adalah Supit Jagal bertanya pada Ki Ageng Tunggul.
“Betul!” jawab Ki Ageng Tunggul cepat. “Bunuh ketiganya cepat! Aku akan memberikan satu kantong uang lagi padamu!”
Supit Jagal tertawa bergelak. “Rejekiku sedang besar-besar rupanya,” katanya. Lalu sepasang matanya yang sipit menyapu tampang ketiga orang itu. “Hemmm, wajah mereka memang tidak sedap dipandang. Kehadiran mereka di muka bumi hanya mengotori saja. Mereka memang pantas disingkirkan!” masih tertawa mengekeh Supit Jagal melangkah mendekati Lor Paregreg.
“Apa kataku Paregreg!” Kunto Handoko berteriak. “Keparat ini memang menipu kita!” Lalu Kunto Handoko hantamkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul. Namun sebelum hantaman itu mengenai sasarannya, selarik angin dahsyat menyambar dari samping. Mau tak mau Kunto Handoko terpaksa melompat cari selamat.
“Tua Bangka sialan! Kau yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini lebih dulu!” teriak Lor Paregreg marah. Tangan kanannya mengemplang ke arah kepala si kakek.
Kunto Handoko juga tidak tinggal diam. Dari jarak beberapa kaki dia lemparkan segenggam paku hitam beracun yang merupakan senjata andalannya. Rah Gludak ikut pula beraksi. Goloknya berkelebat kearah supit Jagal.
Walau jelas tiga serangan itu merupakan serangan maut namun si kakek ganda tertawa. Didahului dengan bentakan garang dia mengangkat kedua tangannya ke atas. Rah Guldak, Lor Paregreg dan Kunto Handoko melihat dua larik sinar hitam bergulung membuntal lalu dengan kecepatan luar biasa menghantam ke arah mereka.
Tentu saja ketiga oran ini berserabutan selamatkan nyawa. Namun agaknya mereka tidak punya kesempatan lagi. Sambaran dua larik sinar hitam itu lebih cepat dari gerakan mereka untuk cari selamat. Tak ada hal lain yang bisa mereka lakukan dari pada menjerit menunggu ajal! Di saat yang kritis itu tiba-tiba terdengar satu bentakan keras.
“Supit Jagal! Apa kowe sudah edan hendak membunuh murid-muridku?!” Satu larik angin yang mengeluarkan cahaya biru menyambar. Terdengar suara letupan beberapa kali dan buyarlah asap hitam yang dilepaskan Supit Jagal tadi dan hampir membunuh Lor Paregreg, Kunto Handoko serta Rah Gludak.
Supit Jagal terkesiap. Bukan saja karena serangannya dapat dimusnahkan orang, tapi juga dia mengenali suara orang yang barusan membentak. Dia melompat satu langkah ke samping lalu berpaling. Satu bayangan hitam berkelebat turun dari tebing batu. Yang muncul ternyata seorang kakek bertubuh sangat tinggi, berkulit sangat hitam. Mata kirinya hanya merupakan rongga menganga yang mengerikan.
Supit Jagal segera mengenali orang ini yang ternyata adalah adiknya sendiri. Dia balas berteriak. “Supit Ireng! Apa-apaan kau ini?!”
“Kowe yang apa-apaan!” balas menyemprot Supti Ireng. “Kau hendak membunuh tiga muridku! Sungguh gila!”
“Bah!” Supit Jagal delikkan matanya yang sipit. “Mereka muridmu...? Kalau begitu...” Supit Jagal berpaling pada Ki Ageng Tunggul. “Kalau begitu si keparat ini hendak mengadu domba kita kakak dan adik. Bangsat kurang ajar!” Sekali lompat saja Supit Jagal sudah menjambak rambut Ki Ageng Tunggul lalu menyentakkannya dari atas kuda hingga jatuh terbanting di tanah, masih dalam keadaan tertotok. Manusia muka setan ini tempak ketakutan setengah mati.
“Guru...”
“Anjing kurap! Jangan sebut aku guru! Aku tidak pernah jadi gurumu dan kau tidak pernah jadi muridku!”
“De... dengar. Berjanjilah kau tidak akan mengapa-apakan diriku. Aku berjanji untuk memberikan uang serta harta berlimpah-limpah padamu!”
“Supit Jagal, lepaskan totokannya,” berkata Supit Ireng.
Supit Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul. Begitu totokannya lepas Ki Ageng Tunggul jatuhkan diri berlutut. “Ampuni diriku. Ampuni diriku...” kata Ki Ageng Tunggul setengah meratap sementara Supit Ireng dan Lor Paregreg melangkah ke arahnya.
Sampai di hadapan Ki Ageng Tunggul, Lor Paregreg berkata sambil memegang bahu lelaki itu. “Nyawamu akan kami ampuni. Asal saja kau mau menerangkan di mana empat peti besar berisi uang dan harta benda itu kau sembunyikan!”
“Terima kasih! Terima kasih...” kata Ki Ageng Tunggul sambil manggut-manggut berulang kali.
“Lekas katakan!” teriak Lor Paregreg.
“Peti-peti itu... aku sembunyikan, aku kubur di halaman belakang rumahku di Pasirginting,” kata Ki Ageng Tunggul akhirnya menerangkan.
“Kau dusta!” bentak Kunto Handoko.
“Demi Tuhan! Aku bersumpah! Aku tidak dusta!”
“Jangan percaya keterangannya itu Paregreg!” Rah Gludak berkata.
Lor Paregreg angkat tangannya. “Sekali ini kita harus percaya kawan-kawan...”
“Betul Paregreg, sekali ini aku benar-benar tidak menipu kalian! Cincang tubuhku jika ketahuan aku berdusta!”
Lor Paregreg menyeringai. “aku percaya padamu Ki Ageng Tunggul. Nyawamu diampuni. Kau sekarang bebas pergi. Pergi ke neraka!”
Kaki kanan Lor Paregereg menendang ke arah perut Ki Ageng Tunggul hingga orang ini mencelat dan terjungkal di tanah. Belum lagi dia sempat bangun, masih dalam keadaan merintih sambil pegangi perutnya yang laksana pecah, tendangan Kunto Handoko mendarat di kepalanya. Ki Ageng Tunggul terlempar ke kiri. Kepalanya serasa terbang meninggalkan tubuhnya. Hidungnya yang tepat kena tendangan melesak patah dan mengucurkan darah. Dari mulutnya terdengar suara lolong kesakitan. Rah Gludak tak mau ketinggalan. Tendangannya mematahkan tiga buah tulang-tulang iga Ki Ageng.
“Jangan... Ampuni nyawaku. Kawan-kawan...”
“Kami bukan kawan-kawanmu manusia busuk! Pengkhianat keji! Penipu keparat!” teriak Lor Paregreg. Tendangannya menghantam dada KI Ageng Tunggul hingga kembali orang ini terlempar.
Karena jatuhnya tepat di hadapan Supit Jagal, maka Ki Ageng Tunggul jatuhkan dirinya seraya memohon. “Tolong... kau yang bisa menolongku dari orang-orang ini...”
“Tolong...? Baik, aku akan tolong,” kata Supit Jagal sambil mengangguk-angguk dan seringai bermain di mulut. “Nah, ini pertolongan dariku!” Kaki kiri Supit Jagal melesat mengeluarkan suara berdesing.
"Bukkk...!"
Tendangan itu menghantam telak lambung kiri Ki Ageng Tunggul. Orang ini terpekik, mental dan roboh tergelimpang di tanah. Baru saja jatuh bergedebukan begitu rupa, yang lain ikut pula menendang. Begitu terus bergantian hingga akhirnya Ki Ageng Tunggul menemui ajal dengan muka dan kepala hancur bergelimang darah. Tulang belulangnya berpatahan!
Supit Jagal berpaling pada adiknya. “Supit Ireng, untung kau muncul pada waktunya. Kalau tidak ketiga muridmu pasti sudah kugebuk mati konyol!”
Supit Ireng tertawa pendek. Dia hendak mengatakan sesuatu menjawab ucapan kakaknya tadi. Namun tiba-tiba dia melihat ada serombongan orang muncul di depan sana. “Lihat!” serunya memberi tahu seraya menunjuk.
Semua orang berpaling pada arah yang ditunjuk. Saat itu di sebelah atas dinding batu dan sepanjang pantai Teluk Burung muncul hampir seratur perajurit bersenjata lengkap termasuk tombak dan tameng. Dari cara mengatur kedudukan jelas mereka tengah melakukan pengurungan.
“Ada keperluan apa monyet-monyet Kerajaan itu jual tampang di sini?!” ujar Supit Jagal sementara Lor Paregreg dan dua kawannya tampak gelisah sedang Supit Ireng tenang-tenang saja. Baru Supit Jagal berucap, tiba-tiba dari lamping dinding batu sebelah kiri terdengar seruan keras.
“Lima orang di depan goa lekas menyerah! Kalian sudah terkurung!”
“Itu suara si keparat Brajaseta! Kepala Pasukan Kerajaan! kata Lor Paregreg yang mengenali suara orang.
Rahang Supit Ireng menggembung. Matanya yang hanya satu itu seperti menyala begitu ingat bahwa Kepala Pasukan Kerajaan itulah yang tempo hari memenjarakan dan menyiksa ketiga muridnya. Dia mendongak dan berteriak.
“Brajaseta! Kalau kau punya nyali turun ke bawah sini! Jangan jual lagak dari jauh!” Supit Ireng tutup teriakannya dengan menghantamkan tangan kanannya ke atas.
Sesaat kemudian terdengar suara menggelegar. Salah satu bagian dinding batu sebelah atas hancur berantakan. Tiga orang perajurit jatuh bersama kuda tunggangan mereka. Brajaseta yang diarah sudah dulu melompat selamatkan diri. Tubuhnya jatuh ke bawah seperti bola tapi sampai di tanah kedua kakinya sampai lebih dulu. Begitu berdiri dia berteriak memberi aba-aba menyerbu. Seorang tokoh silat Istana berjuluk Si Kipas Besi ikut melompat turun sambil kebutkan kipas saktinya. Terdengar suara menderu. Debu dan pasir pantai beterbangan menutupi udara beberapa ketika.
Sewaktu udara terang kembali maka kelihatan puluhan perajurit Kerajaan bergerak cepat ke arah sasaran yaitu lima orang di depan goa. Di depan sekali berjejer lima orang Perwira Tinggi. Penyerangan dipimpin langsung oleh Brajaseta dan Si Kipas Besi.
Melihat musuh begitu banyak mulai mendekati untuk menggempur dua bersaudara Supit Jagal dan Supit Ireng masih tenang-tenang saja, malah kelihatan mereka tertawa-tawa.
Pada jarak sepuluh langkah Brajaseta kembali berseru. “Kalian sudah terkurung! Tidak mungkin meloloskan diri! Lekas menyerah kalau sayang nyawa!”
Supit Jagal dan Supit Ireng tertawa bergelak. “Menyerah? Siapa yang sayang nyawa?!” teriak Supit Ireng. Matanya yang cuma satu mulai merah tanda kemarahan mulai menguasai dirinya. “Bangsat bernama Brajaseta! Dengar baik-baik ucapanku! Kau telah memenjarakan dan menyiksa tiga orang muridku ini! Apa yang telah kau lakukan hari ini bakal kau terima balasannya berikut bunganya! Dan kau juga Kipas Besi! Berapa kau dibayar untuk menjadi cecunguk Istana?! Dosamu cukup besar. Kau layak mampus saat ini juga!”
Supit Ireng melompat ke arah Brajaseta. Supit Jagal, Lor Paregreg, Kunto Handoko dan Rah Gludak tak tinggal diam. Keempatnya ikut menyongsong datangnya gempuran. Pukulan-pukulan sakti yang dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng memang luar biasa. Sekelompok para perajurit yang menyerbu roboh mati bergelimpangan.
Tiga orang Perwira Tinggi yang secara nekad coba balas menghantam ikut jadi korban. Duanya lagi jadi terkesiap kalau tak mau dikatakan leleh nyalinya. Brajaseta sendiri diam-diam jadi tercekat. Dia sama sekali tidak menyangka dua tokoh silat golongan hitam itu demikian hebat kepandaiannya. Amukan kedua orang itu tak bisa dibiarkan begitu saja. Brajaseta melompat ke hadapan Supti Jagal dan Supit Ireng yang saat itu tengah mengeroyok Si Kipas Besi. Namun gerakannya dihadang oleh Lor Paregreg, Kunto Handoko dan Rah Gludak.
“Keparat! Biar kalian kubunuh lebih dulu!” bentak Brajaseta. Baru saja dia membentak begitu tiba-tiba dia mendengar seruan Si Kipas Besi. Brajaseta berusaha melirik dan sempat melihat bagaimana dua bersaudara Supit berhasil merampas kipas besi di tangan tokoh silat Istana. Lalu dengan senjata itu Supit Ireng mengepruk batok kepala Si Kipas Besi. Tokoh silat ini meraung keras dan roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!
Brajaseta merasa seperti berada di neraka. Dia cabut pedangnya setelah terlebih dahulu melancarkan satu pukulan tangan kosong keras ke arah tiga pengurungnya. Namun gerakannya terlalu lamban akibat pengaruh menyaksikan kematian Si Kipas Besi tadi. Golok di tangan Lor Paregreg menyambar bahu kanannya lebih cepat. Darah muncrat, pedang yang digenggamnya terlepas jatuh. Bersamaan dengan itu Supit Ireng sudah melompat ke hadapannya dengan tangan terpentang siap untuk menghantam.
“Saatnya kau membayar hutang berikut bunganya Brajaseta!” teriak Supit Ireng.
“Guru!” seru Lor Paregreg. “Sebagai murid tertua biar aku yang menabas batang leher manusia satu itu!”
Supit Ireng menyeringai. “Tentu! Kau dan dua muridku lainnya bakal dapat bagian. Beri aku kesempatan hanya untuk mencungkil salah satu matanya agar tampangnya mirip-mirip aku!” Supit Ireng tertawa mengekeh.
Tubuhnya berkelebat. Dua jari tangan kirinya membeset ke depan, ke arah mata kiri Brajaseta sedang tangan kanan dipentang ke depan untuk menjaga kalau-kalau Kepala Pasukan Kerajaan itu mengirimkan serangan atau berusaha menangkis. Brajaseta sendiri saat itu boleh dikatakan tidak berdaya. Darahnya terlalu banyak keluar dari luka besar di bahunya. Dia masih berusaha untuk merundukkan kepala menghindar cungkilan dua jari tangan Supit Ireng. Tapi itupun tidak ada artinya. Karena seperti kepala ular, dua jari tangan Supti Ireng bergerak mengikuti gerakan kepala Brajaseta.
Di saat menegangkan itu terjadilah hal yang luar biasa. Seolah-olah muncul dari dasar laut terdengar suara menderu dahsyat dan aneh. Teluk Burung laksana dilanda topan prahara. Pasir pantai beterbangan ke udara menutupi pemandangan. Deru ombak tertindih lenyap. Belasan perajurit yang tidak mampu bertahan jatuh terduduk behkan banyak yang berpelantingan. Dua orang Perwira Tinggi Kerajaan coba bertahan tapi keduanya akhirnya jatuh berlutut.
Supit Ireng dan Supit Jagal berdiri tergontai-gontai. Saat itu suara menderu tadi semakin jelas. Laksana suara ratusan tawon mengamuk dan kini malah disertai hamparan hawa panas. Supit Jagal cepat melompat menjauh dan bersandar ke dinding batu. Sebaliknya Supit Ireng yang sudah siap mencungkil mata kiri Brajaseta dengan nekad meneruskan serangannya. Satu cahaya menyilaukan beriblat.
“Craass!”
Supit Ireng menjerit setingi langit. Tangan kirinya putus sebatas pergelangan! Darah mengucur deras. Sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi panas. Dia menjerit sekali lagi lalu jatuh terduduk di atas pasir!
Seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan baju putih tak terkancing tegak di tengah-tengah kalangan pertempuran. Di dadanya kelihatan rajahan angka. Tangan kirinya berkacak pinggang sedang tangan kanan memegang sebilah kapak bermata dua yang kelihatan merah oleh darah Supit Ireng.
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dari Gunung Gede memandang berkeliling. Pandangannya sesaat melekat pada Supit Ireng dan Supit Jagal. “Siapa di antara kalian bernama Supit Jagal?!” Murid sinto Gendeng ini ajukan pertanyaan.
Baik Supit jagal maupun Supit Ireng sama sekali tidak mengetahui siapa adanya pemuda ini. Sebaliknya Brajaseta walaupun barusan telah diselamatkan nyawanya oleh Wiro namun masih mendekam dendam kesumat. Karena ulah Pendekar 212lah beberapa waktu lalu seorang tokoh silat bergelar Malaikat Tak Bernama beserta Jakawulung muridnya berhasil meloloskan diri dari sergapan Pasukan Kerajaan.
Dalam pada itu yang paling membuat Kepala Pasukan Kerajaan ini menjadi sangat sakit hati ialah Wiro pula yang menyebabkan Ning Larasati, puteri Sultan yang dicintainya sempat menghilang lalu ikut bersama Jakawulung dan menjalin cinta dengan pendekar muda ini!
Supit Jagal batuk-batuk beberapa kali. Dia menyeringai memandang pada Pendekar 212 dan berkata. “Kacungku jelek! Ada apa kau mencari majikanmu ini? Aku Supit Jagal orang yang kau cari!”
Pendekar 212 balas menyeringai. “Jadi begini tampang manusia bernama Supit Jagal. Tadinya kukira masih muda dan ganteng, Tidak tahunya mirip-mirip kodok bengkak bermata sipit! Pakaianmu bagus amat banyak tambalan. Dekil dan bau. Paling tidak kau tak pernah mandi selama dua tahun! Betul?”
Tampang hitam Supit Jagal jadi berubah merah. Sebaliknya murid Sinto Gendeng tertawa gelak-gelak.
“Bangsat bosan hidup! Katakan apa keperluanmu mencariku?! Atau kau ingin mati saat ini juga?!” hardik Supit Jagal.
“Aku mewakili seorang tua bernama Empu Pamenang dari Danau Merak Biru. Kau telah membunuh tiga orang muridnya tanpa sebab dan secara keji!”
“Hem... begitu? jadi kau kacung Empu Pamenang rupanya. Berapa upah yang diberikan tua bangka itu padamu? Jika kau mau jadi kacungku, aku bersedia membayar dua kali lipat!”
Wiro menyengir. “Membeli baju yang bagus saja kau tidak punya. Mau membayar aku pula! Tua bangka keblinger!” ejek Wiro.
“Keparat haram jadah! Si Pamenang itu nyatanya tidak punya nyali untuk datang sendiri!”
“Orang tua itu telah memilih hidup suci. Tak mau lagi mengotori tangannya dengan darah dan nyawa. Baliau punya pantangan membunuh. Itu sebabnya aku datang mewakili beliau!”
Supit Jagal menyeringai. “Dusta kentut busuk!” makinya.
Saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan Brajaseta. Tubuhnya jatuh menelungkup ke tanah. Di punggungnya menancap sebilah golok yang menghujam menembus sempai ke dadanya. Begitu jatuh Kepala Pasukan Kerajaan ini langsung tewas. Apa yang telah terjadi?!
Selagi perhatian semua orang tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal, kesempatan licik ini tidak disia-siakan oleh Lor Paregreg. Dengan licik, dari belakng dia menusukkan goloknya ke punggung Kepala Pasukan Kerajaan itu!
Meskipun sebenarnya tidak begitu senang terhadap Brajaseta, namun melihat kematian orang mengenaskan begitu rupa Pendekar 212 Wiro Sableng melompat sambil menyergap Lor Paregreg dengan satu tabasan. Kapak Naga Geni 212 berkiblat menyambar batok kepala Lor Paregreg. Namun saat itu pula dari samping kiri kana dua pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi menyerangnya dalam waktu yang bersamaan.
Wiro bersuit keras. Tubuhnya berkelebat lenyap. Kini yang terlihat hanya kilauan cahaya senjata mustikanya disertai deru keras dan tebaran hawa panas. Melihat guru mereka sudah mulai menyerang, Lor Paregreg, Rah Gludak dan Kunto Handoko tidak tinggal diam. Mereka ikut menyerbu mengeroyok Wiro. Murid Sinto Gendeng kini jadi dikeroyok lima orang. Mereka memiliki kepandaian tinggi namun yang paling berbahaya adalah Supit Jagal dan Supit Ireng.
Sisa-sisa pasukan Kerajaan begitu menyaksikan kematian pimpinan mereka serta merta jadi putus nyali. Di bawah pimpinan dua orang Perwira Tinggi mereka segera bersiap-siap meninggalkan tempat itu dengan membawa mayat Brajaseta yang masih ditancap golok!
Sementara itu di atas dinding batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana. Mereka adalah Empu Pamenang, Jakawulung dan Ning Larasati. Sang Empu sengaja datang untuk menyaksikan sendiri kematian musuh besarnya Supit Jagal.
“Empu, kita tidak bisa tinggal diam. Kita harus segera turun tangan membantu sahabat Wiro.”
Empu Pamenang mengusap dagunya dan menjawab penuh keyakinan. “Tidak perlu Jaka. Pendekar 212 bukan manusia sembarangan. Jika Kapak Naga Geni berada dalam genggamannya, tidak ada musuh yang tidak dapat dimusnahkannya!”
“Tapi satu lawan lima benar-benar perkelahian yang idak adil! Saya kawatir para pengeroyok berlaku curang!” kata Ning Larasati puteri Sultan yang jatuh cinta pada Jakawulung.
“Larasati betul sekali Empu. Biar saya membantu Wiro!” kata Jakawulung.
Ketika dia hendak melompat ke bawah Empu Pamenang memegang bahunya. “Lihat apa yang terjadi di bawah sana Jaka!”
Jakawulung dan Ning Larasati sama memandang ke bawah dinding batu. Saat itu tampak dua dari lima pengeroyok roboh bersimbah darah dimakan Kapak Naga Geni 212. Mereka adalah Rah Gludak dan Kunto Handoko.
Dua jurus kemudian terdengar jeritan Supit Ireng. Darah menyembur dari luka di lehernya yang kena dibabat Kapak Naga Geni 212 hampir putus. Tubuhnya terbanting ke pasir. Menggeliat sedikit lalu diam tak berkutik lagi. Supit Jagal meraung menyaksikan apa yang terjadi dengan adiknya itu dan menyangka Supit Ireng telah tewas. Amarah membuat dia mengamuk seperti setan.
Pukulan-pukulan sakti mengandung enaga dalam tinggi dilepaskan tiada henti ke arah Wiro. Lor Paregreg, satu-satunya kawan yang masih mendampinginya saat itu berkelahi dengan setengah hati karena nyalinya sudah leleh. Manusia satu ini melolong kesakitan dan lari meninggalkan kalangan perempuran ketika senjata di tangan Wio membabat tangan kirinya sebatas bahu hingga buntung.
Wiro tidak perdulikan orang itu karena yang ingin dibereskannya saat itu adalah Supit Jagal. Sebaliknya begitu Lor Paregreg melarikan diri, Ning Larasati yang punya dendam luar biasa terhadap lelaki ini. Dulu hampir saja dia jadi korban perkosaan Lor Paregreg. Larasati segera mengejar setelah lebih dulu menyambar pedang milik Jakawulung dari sarungnya.
“Manusia iblis! Kau mau lari kemana?!” bentak Ning Larasati.
Melihat si gadis menghadang dengan pedang di tanagn, Lor Paregreg berteriak ketakutan. “Jangan... jangan bunuh! Ampuni diriku...”
Pedang di tangan Ning Larasati berkelebat menabas ke arah perut Lor Paregreg. Lelaki ini melolong kesakitan, jatuh terduduk sambil pegangi perutnya yang robek besar. Ususnya menyembul keluar. Tubuhnya menggigil melihat isi perutnya sendiri yang berbusaian. Antara sadar dan tiada tubuhnya jatuh ke tanah. Pedang di tangan Larasati berkelebat sekali lagi. Kali ini menetak lehernya hingga nyaris putus!
Sehabis membunuh Lor Paregreg, Ning Larasati merasakan sekujur tubuhnya mnggigil dingin. Seumur hidup baru sekali ini dia membunuh yang namanya manusia. Untung Jakawulung da Empu Pamenang muncul di tempat itu dan menolongnya. Kalau tidak niscaya gadis ini akan terhantar pingsan di tanah.
Perkelahian antara Supit Jagal dan Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan seru. Namun kakek bermata sipit itu mana sanggup menahan hantaman-hantaman Kapak Naga Geni 212. Setelah bertahan mati-matian selama sembilan jurus akhirnya satu tendangan yang dilepaskan Wiro secara tidak terduga membuat dirinya mencelat mental.
Malang baginya tubuhnya jatuh tepat di depan Empu Pamenang. Tanpa pikir panjang orang tua ini kirimkan pula tendangan ke punggung Supit Jagal. Untuk kedua kalinya tubuh Supit Jagal mencelat, kembali melayang ke arah Wiro. Seperti sebuah bola, tubuh melayang itu disambut oleh murid Sinto Gendeng dengan tendangan kaki kanan.
“Bukkk!”
Sosok Supit Jagal mencelat ke arah laut amblas ditelan ombak. Sesaat kelihatan kedua tangannya menggapai-gapai udara kosong. Kakek jahat ini akhirnya lenyap dari pemandangan.
Empu Pamenang pejamkan kedua matanya. Terbayang murid-muridnya yang telah menemui ajal dibunuh oleh Supit Jagal. Dalam hati orang tua ini berkata. "Murid-muridku pembunuh kalian sudah menemui ajal. Sekarang kuharap kalian semua bisa beristirahat dengan tenang di alam baka...” Ketika membuka mata kembali pandangan Empu Pamenang tertuju pada Wiro. Dia melangkah mendekati pemuda ini.
“Pendekar 212. Aku sangat berterima kasih atas semua bantuanmu...”
Wiro hanya tersenyum dan garuk-garuk kepala. “Tolong menolong dalam dunia persilatan sudah lumrah Empu. Lagi pula apa yang saya lakukan bukan sesuatu yang patut dibesar-besarkan. Kalau boleh saya mohon diri sekarang. Saya ingin melanjutkan perjalanan.”
Empu Pamenang menarik nafas panjang lalu perlahan-lahan menganggukkan kepalanya. Ning Larasati mendekati seorang Perwira Tinggi yang tengah bersiap-siap membawa jenazah Brajaseta.
“Jika kalian kembali ke Kotaraja, beritahu Sultan bahwa aku telah diambil murid oleh Empu Pamenang di Danau Merak Biru. Katakan agar ayahanda tidak usah kawatir. Jika aku sudah mewarisi ilmu kepandaian pasti aku akan kembali ke Istana.”
Perwira Tinggi itu tak bisa menjawab apa-apa hanya menjura dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu. Empu Pamenang memandang pada Jakawulung dan Ning Larasati. Dia lalu celingukan ke kiri dan ke kanan.
“Eh, kemana lenyapnya pemuda itu?!”
Jakawulung dan Ning Larasati baru sadar. Memandang berkeliling Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng tak ada lagi di tempat itu. Sang Empu geleng-gelengkan kepala. Dia memegang lengan sepasang muda mudi itu lalu mengajaknya pergi dari situ.
Belasan mayat bertebaran di tepi pantai Teluk Burung. Deburan ombak dan tiupan angin terdengar aneh seolah menambah keangkeran keadaan tempat itu. Tiba-tiba kesunyian itu dirobek oleh suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian muncullah seorang penunggang kuda berpakaian biru. Di bawah blangkon yang terletak di atas kepalanya kelihatan tampangnya yang seram.
Astaga! Manusia ini memiliki wajah yang sangat sama dengan Ki Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul. Keparat yang satu itu mayatnya masih terkapar di antara tebaran mayat-mayat lainnya. Bahkan orang ini juga memiliki cacat bekas luka di pipi kirinya! Kulitnya sama hitamnya dengan Ki Ageng Tungul. Aneh, bagaimana ada dua manusia begini mirip satu sama lain?
Orang ini hentikan kudanya di antara tebaran mayat. Dia memandang berkeliling. Dia tidak melihat sosok tubuh yang dicarinya. “Tunggul...?!” desisinya.
Untuk memastikan dia turun dari kuda. Satu demi satu ditelitinya mayat-mayat yang berkaparan itu. Dari mulutnya kemudian terdengar suara meraung sewaktu dia menemukan mayat Ki Ageng Tunggul terkapar di tanah, terhimpit oleh sosok mayat seorang perajurit Kerajaan. Orang ini tendang mayat perajurit itu lalu jatuhkan diri sambil merangkul mayat Ki Ageng Tunggul.
“Adikku, mari kita tinggalkan tempat ini. Aku akan menguburkan dirimu. Istirahatlah dengan tenang. Kalau manusia-manusia yang membunuhmu masih hidup aku akan cari mereka sampai dapat! Bahkan aku bersumpah akan membasmi semua orang yang ada sangkut pautnya dengan mereka!” Dengan susah payah orang yang berwajah sangat mirip dengan Ki Ageng Tunggul ini mendukung tubuh Ki Ageng Tunggul dan meletakkannya di atas kuda. Sesaat kemudian dia segera tinggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan menggelincirnya sang surya menuju ke Barat, di permukaan laut Teluk Burung tampak sesosok tubuh berusaha berenang dengan susah payah menuju ke tepi pasir. Sekujur tubuhnya penuh luka, bengkak-bengkak bahkan tulang-tulang iga serta tangannya ada yang patah. Dia berenang seperti tengah berenang dalam neraka!
Keadaannya hampir sekarat ketika dia akhirnya berhasil mencapai pasir pantai lalu merangkak menjauhi ombak. Sungguh luar biasa! Manuisa ini bukan lain adalah Supit Jagal, kakek sakti yang disangka sudah menemui ajal tenggelam di dasar laut. Ternyata dia masih hidup dan berhasil menyelamatkan diri dengan berenang ke tepi pantai.
Di bagian lain dari pantai, di antara tebaran mayat yang berkaparan di sana sini, lapat-lapat terdengar suara erangan. Lalu ada satu sosok tubuh yang bergelimang darah tampak menggeliat dan mencoba bangkit. Manusia ini ternyata adalah Supit Ireng yang disangka telah menemui ajal akibat bacokan Kapak Maut Naga Geni 212 pada bagian lehernya. Sungguh luar biasa dia masih bisa hidup walau sebagian tubuhnya telah menjadi hangus! Samar-samar Supit Ireng melihat ada seseorang yang merangkak di atas pasir. Begitu pandangannya agak menjelas dia segera mengenali orang itu.
“Supit Jagal... Kau masih hidup...?” Supit Ireng berusaha berdiri. Tapi kedua lututnya goyah dan tubuhnya terbanting ke tanah, menggeletak pingsan!
********************
SATU
Gubuk reyot itu terletak tak jauh dari Teluk Burung. Ruangan di dalamnya terbuka begitu saja, tak ada sekat tak ada dinding, apalagi yang disebut kamar. Sebuah obor kecil tergantung di tiang bambu, menerangi dua sosok tubuh kakek-kakek yang tergeletak di atas sebuah balai-balai kayu. Keadaan dua sosok tubuh ini sangguh mengerikan.
Kakek pertama buntung kuping kirinya. Mukanya hancur mengerikan. Pakaiannya yang banyak tambalan kelihatan basah oleh air laut dan darah. Beberapa tulang iganya patah. Tidak jelas apakah manusia ini masih hidup atau sudah jadi mayat. Dia bukan lain adalah Supit Jagal, kakek sakti yang diam di sebuah goa di Teluk Burung.
Di sebelah Supit Jagal menggeletak tubuh kakek kedua yaitu Supit Ireng. Kakek bertubuh jangkung dan berkulit hitam ini kini hanya punya satu tangan yaitu tangan kanan. Tangan kirinya buntung sebatas pergelangan akibat tebasan Kapak Maut Naga Geni 212. Lengan yang buntung itu tampak menghitam hangus sampai ke siku.
Selain pakaiannya yang kuyup oleh darah, di lehernya kelihatan ada sebuah luka terbuka mengerikan. Luka ini juga adalah akibat sambaran senjata mustika Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti kakknya, saat itu tidka jelas apakah Supit Ireng masih hidup atau sudah mati pula.
Pintu gubuk tiba-tiba terbuka disertai suara berkereketan. Seorang tua melangkah terbungkuk-bungkuk diiringi dua orang pemuda. Di depan balai -balai kayu, orang tua ini berhenti lalu berpaling pada dua pemuda.
“Ini dua orang yang kuceritakan itu. Mereka kutemui di antara tebaran mayat di Teluk. Hanya mereka yang masih hidup. Coba kalian periksa keadaannya.”
Dua orang pemuda memperhatikan sosok-sosok manusia yang tergeletak di atas balai-balai kayu itu dengan pandangan penuh ngeri.
“Mereka sudah jadi mayat kek. Buat apa diperiksa lagi,” kata pemuda yang tegak tepat di samping orang tua itu. Namanya Kudo Aru. Dia adalah cucu pertama dari si orang tua yang disebutnya dengan panggilan kakek.
“Aku tidak sependapat!” menjawab si kakek. “Aku yakin dua manusia ini masih hidup. Mereka orang-orang sakti. Karena itu mereka sanggup bertahan hidup. Orang lain pasti sudah tewas menemui ajal!”
“Kakek Pungku,” giliran pemuda yang satu membuka mulut. “Sebenarnya mengapa kau mau bersusah payah mengurusi dua orang ini? Sanak bukan saudara bukan! Biar saja mereka tergeletak di Teluk sampai jadi tengkorak digerogoti elang laut pemakan daging manusia!”
Si orang tua bernama Pungku menghela nafas dalam. “Aku sudah menduga kau bakal berkata begitu Sindak Bumi. Terus terang aku sudah lama kenal dengan yang sebelah kiri ini. Dia tinggal di sebuah goa di teluk. Dia seorang sakti mandraguna. Kalau tidak salah namanya Supit Jagal.”
“Kalau dia orang sakti mengapa bisa babak belur seperti ini?” tanya Sindak Bumi.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Namun keras degaanku dia telah berkelahi melawan orang yang jauh lebih sakti. Karena kenal itu sebabnya aku menolong. Kalaupun dia sudah mati apa salahnya aku mengurusi mayatnya. Kalian hanya kuminta membantu....”
“Lalu kek, apa kau juga kenal dengan mayat yang satu ini?” bertanya Kudo Aru.
“Kalau tidak salah, dia adalah adik dari yang satu ini. Dia juga bukan manusia sembarangan. Tapi kalah perkasa dengan lawannya. Lihat saja tangannya dibikin buntung. Lehernya terluka dalam...”
“Kek, kedua orang ini sudah mati. Lebih baik mereka diseret keluar lalu dibuang ke jurang!” kata Sindak Bumi pula yang tidak mau repot.
“Aku setuju dengan Sindak! Kata Kudo Aru menyambuti.
Kakek Pungku diam sesaat. Akhirnya dia berkata. “Jika itu mau kalian apa boleh buat.” Orang tua ini mengambil obor kecil yang tergantung di dinding lalu berpaling pada kedua cucunya. “Seperti mau kalian, ayo seret satu-satu mayat itu lalu kita buang ke jurang malam ini juga.”
“Kek, Kakek...” kata Sindak Bumi. “Kau ini ada-ada saja. Saya tahu kau ingin berbuat baik. Tapi mengapa harus menyengsarakan diri sendiri?”
Sindak berpaling pada Kudo Aru lalu keduanya melangkah mendekati sosok tubuh di atas balai-balai kayu yang di sebelah kanan. Sosok Supit Ireng. Masing-masing mereka sudah siap unuk mencekal kaki Supit Ireng dan menyeretnya ke luar gubuk, terus dibawa ke jurang yang tak berapa jauh dari sana. Namun belum sempat kedua pemuda ini memegang pergelangan kaki Supit Ireng tiba-tiba menerobos masuk satu bayangan yang mengeluarkan suara deru angin.
“Hai! Siapa ini?!” seru kakek Pungku.
Orang yang masuk ternyata adalah seorang tua berambut putih yang disisir rapi dan berwajah klimis. Dia mengenakan baju hitam yang di bagian dadanya ada lukisan telapak tangan berkuku panjang dalam warna putih. Ketika Pungku dan dua cucunya memperhatikan sepasang jarinya yang memiliki kuku-kuku sangat panjang.
“Orang berambut putih, kau belum menjawab pertanyaanku. Harap jelaskan siapa dirimu dan apa keperluanmu datang ke mari,” berucap Pungku.
“Siapa aku apa perdulimu. Aku ada urusan dengan dua orang ini. Aku mau memeriksa dan menanyai!”
“Eh, kau tentu tidak gila mau menanyai orang yang sudah mati!” ujar Sindak Bumi.
“Sudah! Jangan banyak mulut. Menjauh ke dinding sana! Lihat saja apa yang aku lakukan. Berani membuka mulut aku kepruk mulut kalian!” Lalu orang berkuku panjang itu melangkah ke arah balai-balai kayu.
“Hai! Kau tidak bisa berbuat sesukamu di gubukku!” seru orang tua bungkuk bernama Pungku seraya menghalangi langkah orang.
Paras orang berpakaian hitam itu tampak berubah menyeramkan. “Jangan buat aku marah! Atau kau ingin kubuat seperti ini?!” Kakek berambut putih ini pentang tangan kanannya. Tiba-tiba tangan itu berkelebat ke arah dinding papan. Terdenga suara seperti orang menggergaji! Ketika Pungku dan dua cucunya memandang ke dinding, wajah ketiganya jadi pucat. Dinding kayu itu kelihatan berlubang dalam berbentuk guratan panjang!
Orang tua ini menyeringai. “Apa kalian masih mau bicara rewel denganku?!”
“Maafkan kami,” kata Sindak Bumi cepat-cepat. ”Kami tidak tahu kalau berhadapan dengan orang pandai. Kami memang tidak berkepentingan dengan dua mayat itu. Kau mau mengapakannya silahkan saja. Kami menunggu di luar...”
“Tak usah pakai keluar segala. Kalian boleh lihat sendiri apa yang bakal aku lakukan!”
Orang tua berambut putih rapi dan berwajah klimis itu melangkah mendekati tubuh Supit Ireng yang tergeletak di atas balai-balai kayu sebelah kanan. Dia memperhatikan keadaan orang ini beberapa lama. Tiba-tiba...
"Brettt! Brettt...!"
Dia merobek baju yang dikenakan Supit Ireng hingga dadanya terpentang lebar. Dengan hati-hati orang ini kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Supit Ireng. Lalu dia mulai mengerahkan tenaga dalam yang berpusat di perut. Wajahnya yang klimis tampak menjadi kemerahan. Tubuh dan terutama kedua tangannya kelihatan bergetar. Keringat memrcik di keningnya.
Kaki kanan Supit Ireng tampak bergerak. Menyusul kaki kirinya. Perlahan-lahan kedua matanya terbuka. Merah mengerikan. Tiba-tiba tubuh Supit Ireng bergerak bangkit seperti mau duduk. Kakek Pungku dan dua cucunya tersirap ngeri dan mundur ke dinding gubuk. Tapi Supit Ireng hanya tertegak sesaat lalu tubuhnya jatuh lagi terbanting ke balai-balai kayu. Kedua matanya terpejam kembali. Dia pingsan lagi!
Kakek berambut putih geleng-gelengkan kepala. Sambil menarik nafas panjang dia lepaskan kedua tangannya dari dada Supit Ireng. “Keadaannya parah sekali...” kata orang tua ini dalam hati. “Luka di lengan dan di lehernya yang jadi penyebab. Orang lain mungkin sudah menemui ajal. Benda apa yang telah menghantamnya sampai keadaannya parah seperti ini?”
Dia melirik pada sosok Supit Jagal. “Kalau yang satu inipun tidak bisa kubuat sadar, sia-sia saja aku datang jauh-jauh ke sini...!”
Lalu orang tua ini berpindah kesamping kiri balai-balai. Seperti tadi, kali ini dia juga merobek baju yang dikenakan Supit Jagal. Dia menyeka keningnya yang basah keringatan lalu kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada Supit Jagal. Perlahan-lahan dia mengeluarkan tenaga dalamnya menghangati peredaran darah dan sekujur tubuh Supit Jagal. Hatinya mulai cemas setelah menunggu beberapa saat tidak tampak tanda-tanda Supit Jagal akan siuman dari pingsannya.
“Celaka!” keluh orang tua berambut putih itu. Digesernya sedikit telapak tangan kanannya hinnga kini tepat berada di arah jantung Supit Jagal. Lalu dia mulai mengerahkan lagi tenaga dalamnya dengan segala daya yang dimilikinya.
Tiba- tiba terdengar suara erangan halus. Yang mengerang adalah Supit Jagal. Si orang tua kerahkan seluruh sisa tenaganya. Suara erangan itu semakin keras dan jelas.
“Air... air?”
“Ambilkan air! Cepat!” perintah orang tua rambut putih pada Pungku. Pungku memberi isyarat pada salah satu cucunya. Kudo Aru keluar dari dalam gubuk. Tak lama kemudian dia muncul lagi membawa air dalam mengkok tanah yang pecah salah satu pinggirannya. Air dalam mangkok tanah itu dikucurkan ke mulut Supit Jagal.
Orang tua berambut putih salurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya lalu dia lepaskan tempelan dua telapak tangannya dan tertegak dengan nafas memburu. Di atas balai-balai kayu Supit Jagal tampak telah membuka mata. Pandangannya mengerikan apalagi mukanya sendiri saat itu hancur babak belur.
“Tol... tolong. Di mana aku...” Supit Jagal berucap di antara erangannya.
Melihat hal ini si orang tua segera letakkan tangan kanannya di atas kening Supit Jagal. Kalau tadi dia mengerahkan tenaga dalam yang mengeluarkan hawa panas, kini dia ganti dengan tenaga dalam yang memancarkan hawa sejuk. Supit Jagal merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya berkurang sedikit. Pemandangannya lebih jelas tapi tetap saja dia tidak mengenali orang tua yang tegak di sampingnya.
“Kau siapa... Dimana aku saat ini?” tanyanya. Suaranya lebih keras dan lebih jelas.
“Siapa aku tidak penting. Paling penting adalah menyelamatkan nyawamu saat ini juga. Kau masih ingin hidup...?”
“Aku...” Supit Jagal merasakan lehernya seperti tercekik.
Orang tua tadi cepat-cepat kerahkan lagi tanaga dalam yang mengandung hawa sejuk. “Dengar...” Si orang tua kini berlutut di samping balai-balai kayu. Mulutnya didekatkan ke telinga kanan Supit Jagal. “Aku akan menyelamatkan nyawamu. Juga saudaramu. Tapi dengan satu perjanjian! Dengan satu syarat!”
“Keparat...” terdengar serapah Supit Jagal. “Kau menolong karena mengharapkan sesuatu! Bangsat!”
Orang tua tak dikenal berambut putih itu menyeringai. “Jaman sekarang mana ada pertolongan diberikan cuma-Cuma. Apalagi pertolongan menyangkut nyawa!”
“Apa yang kau harapkan dariku?” tanya Supit Jagal.
“Aku yakin kau mengetahui di mana bekas sobatmu Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul menyembunyikan empat buah peti berisi uang dan harta perhiasan itu!”
“Setan alas! Jadi itu yang ingin kau ketahui...” kembali Supit Jagal merutuk. “Kau tanyakan saja pada setan dan dedemit!”
“Kau lebih sayang uang dan harta dari pada nyawamu sendiri dan nyawa saudaramu!”
“Aku tidak perlu pertolongan manusia macam kau! Aku lebih suka mampus dari pada memberi tahu!”
“Bagus sekali kalau begitu!” kata si orang tua lalu berdiri. “Selamat mampus! Sampaikan salamku pada iblis-iblis akhirat!” Lalu dia membalik dan melangkah cepat menuju pintu.
“Tunggu!” Supit Jagal memanggil.
Orang tau itu berhenti di ambang pintu dan membalik. Lalu bertanya “kau belum pasrah untuk mampus?!”
“Aku mau membuat perjanjian denganmu. Tapi jangan serakah!”
Si orang tua mendekati balai-balai kayu. “Apa perjanjianmu?” tanyanya.
“Kau selamatkan nyawaku dan nyawa saudaraku. Empat peti itu kita bagi dua. Kau dapat dua, aku dapat dua...”
Orang tua itu tampak seperti berpikir-pikir. Sesaat kemudian dia berkata. “Baik. Aku setuju. Sekarang lekas katakan di mana beradanya empat peti itu!”
“Sabar dulu. Bagaimana aku tahu kau tidak akan menipuku?” tenya Supit Jagal pula.
Si orang tua tersenyum. “Kalau kau memang tidak percaya, buat apa mengadakan perjanjian?!” tukasnya. Dia seperti hendak bergerak pergi.
Supit Jagal masih diam beberapa ketika. Akhirnya dia berkata. “Mendekatlah, aku akan beritahu...”
Si orang tua mendekat. Seperti tadi dia berlutut di samping balai-balai kayu dimana Supit Jagal tergeletak menelentang. “Empat peti berharga itu ditanam di...”
Belum sempat Supit Jagal menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba di dalam gubuk melesat satu sosok tubuh. Sambil melesat ke dalam dia melepaskan satu pukulan jarak jauh yang ampuh. Orang tua yang sedang berlutut di samping balai-balai kayu berseru kaget. Tubuhnya terpental begitu angin pukulan menghantamnya!
“Penyerang gelap kurang ajar! Siapa kau!” teriak orang tua berambut putih sambil pegangi dadanya yang masih berdenyut sakit.
DUA
Terdengar suara tawa mengekeh di tengah gubuk, di ujung kanan balai-balai kayu kini tampak berdiri seorang lelaki muda bertubuh tinggi tegap. Rambutnya sangat hitam, keningnya menonjol sedang dagu dan rahangnya tampak kukuh. Walaupun parasnya gagah tapi jelas membayangkan sifat sombong angkuh dan kecongkakan.
Sehelai ikat kepala warna merah melintang di atas keningnya. Dia mengenakan pakaian hitam atas bawah. Dengan adanya orang ini di tempat itu, gubuk kecil itu jadi semakin sempit. Kini ada lima orang di situ, ditambah dengan Supit Jagal dan Supit Irang yang masih tergeletak di atas balai-balai.
Kakek Pungku yang memegang obor berbisik pada dua cucunya, bertanya kalau-kalau mereka mengenali siapa adanya pemuda itu. Tapi Sindak Bumi dan Kudo Aru sama menggelengkan kepala.
“Siapa kau?!” bentak orang tua berambut putih dengan geram karena barusan telah diserang secara mendadak.
Pemuda yang ditanya mendongak lalu kembali keluarkan tawa mengekeh. “Dunia ini terlalu luas rupanya hingga kau tidak tahu siapa tuan besarmu ini!”
“Kurang ajar! Jawab pertanyaanku, jangan bicara bertele-tele!”
“Orang tua jelek bergelar Sepuluh Cakar Setan, apakah kau tidak mengenali gambar di bajuku ini?!”
Orang tua bermbut putih terkejut mendengar orang mengenali dan menyebut namanya. Namun dia lebih terkejut lagi sewaktu melihat gambar yang terpampang di baju hitam yang dikenakan si pemuda. Yaitu gambar Gunung Merapi berwarna kebiruan dengan latar belakang sang surya berwarna merah lengkap dengan garis-garis cahaya juga berwarna merah.
“Pangeran Matahari!” seru si orang tua dengan wajah berubah. Siapa adanya orang di dunia persilatan yang tidak kenal dengan Pangeran Matahari, tokoh silat sakti madraguna yang juga dikenal dengan julukan Pendekar Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik dan Segala Congkak.
Pemuda di tengah gubuk kembali tertawa. Kepalanya yang sejak tadi mendongak kini diturunkan. Kedua matanya memandang lekat-lekat pada orang tua yang bergelar Sepuluh Cakar Setan itu.
“Aku menganggap kau tidak punya kepentingan apa-apa lagi di sini. Karenanya lekas angkat kaki dari sini!” kata Pangeran Matahari dengan suara keras membentak.
“Siapa bilang aku tidak punya kepentingan! Apa pula kepentinganmu berada di sini?!” membentak Sepuluh Cakar Setan.
“Aku datang untuk mengambil dua orang di atas balai-balai kayu itu!” jawab Pangeran Matahari. “Itu kepentingan pertama. Kepentingan kedua ialah membunuhmu jika kau terlalu banyak tingkah di depan tuan besarmu ini!”
“Manusia sombong! Namamu memang besar. Tapi apa kau kira aku takut padamu?!” hardik Sepuluh Cakar Setan. Jari-jari tangannya tampak bergetar tanda diam-diam dia telah bersiap-siap mengerahkan tenaga dalamnya.
Hal ini bukan tidak diketahui oleh Pangeran Matahari. Sambil menyeringai dia menjawab. “Soal takut atau tidak takut tidak menjadi masalah. Yang aku ingin tanya apakah kau punya nyawa rangkap atau nyawa cadangan hingga berani-beranian menentang tuan besarmu ini?!”
“Manusia congkak! Ternyata kau juga punya maksud hendak merampas uang dan harta yang tersembunyi itu! Kau tidak lebih dari seorang maling. Pencuri!”
“Lalu apakah kau lebih baik dariku?!” bentak Pangeran Matahari. Pelipisnya tampak bergerak-gerak sedang rahangnya menggembung. Ini satu pertanda bahwa dia mulai kehilangan kesabarannya. “Dengar tua bangka buruk. Kau mau angkat kaki dari sini atau ingin mampus dalam gubuk ini?!”
Sepuluh Cakar Setan mendengus. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. “Kau akan jadi mayat lebih dulu!” katanya. Dua tangannya yang bersilang bergerak ke samping. Terdengar siuran angin. Sepuluh cahaya putih berkiblat. Sepuluh kuku panjang tiba-tiba menyambar ke arah wajah Pangeran Matahari!
Pangeran Matahari yang sudah cukup lama mendengar kehebatan Sepuluh Cakar Setan dengan sigap melompat hindarkan serangan. Begitu berhasil berkelit dia bukannya balas menyerang tapi tiba-tiba menyambar obor yang dipegang kakek Pungku. Sekali dia meniup, obor kecil itupun padam. Gubuk serta merta berada dalam keadaan gelap gulita.
Lalu terdengar suara bergedebukan disusul seperti suara tulang-tulang berpatahan, dibarengi oleh suara pekik kakek rambut putih berjuluk Sepuluh Cakar Setan. Tak lama kemudian menyusul suara jebolnya dinding gubuk di sebelah belakang. Lalu sunyi.
Kakek Pungku dan dua cucunya saat itu terpuruk di sudut gubuk setengah mati ketakutan. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi karena keadaan dalam gubuk sangat gelap. Setelah menunggu beberapa saat Sindak Bumi memberanikan berbisik.
“Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Melangkah hati-hati ke arah pintu...”
Perlahan-lahan kakek dan dua cucunya itu bangkit berdiri. Dalam gelap mereka berusaha mencari pintu. Kudo Aru menginjak sesuatu. Dia berbisik pada saudaranya. “Aku menginjak sesuatu. Seperti bambu obor...”
“Ambil, nyalakan cepat,” menyahuti Sindak Bumi.
Kudo Aru lalu membungkuk. Benda yang diinjaknya itu memang ternyata obor yang rupanya telah dicampakkan oleh Pangeran Matahari. Benda itu segera dinyalakannya. Begitu keadaan gubuk menjadi terang, kakek dan dua cucunya itu sama-sama melengak kaget.
Kakek berambut putih bergelar Sepuluh Cakar Setan kelihatan tergelimpang di lantai gubuk. Mukanya hancur. Sepuluh jari tangannya tampak patah-patah!
“Dia sudah jadi mayat...” kata kakek Pungku.
Kudo Aru mangangkat obornya lebih tinggi. Balai-balai di atas mana sebelumnya Supit Jagal dan Supit Ireng tergeletak kini terbalik kosong melompong. Lalu di sebelah sana, dinding gubuk tampak jenol.
“Orang yang dipanggil dengan nama Pageran Matahari itu, pasti dia yang melarikan dua sosok tubuh di atas balai-balai!” kata Sindak Bumi.
“Aku kawatir akan terjadi lagi hal-hal yang mengerikan. Mari kita tinggalkan tempat celaka ini!” kata Kudo Aru. Dia memandang pada kakeknya lalu berkata. “Ini gara- garamu kek. Kalau kau tidak membawa dua orang tak dikenal itu ke sini, tidak akan terjadi segala keanehan yang mengerikan ini!”
Kakek Pungku diam saja. Dia mendahului melangkah ke luar gubuk yang nyaris porak poranda itu.
********************
Manusia bermuka setan, kakak kembar Ki Ageng Tunggul Bayana tegak di depan makam adiknya. Saat itu matahari telah redup tanda sebentar lagi akan segera tenggelam.
“Tunggul sekarang kau bisa istirahat dengan tenang. Aku telah bersumpah untuk menuntut balas kematianmu. Semua orang yang menjadi pangkal sebab kematianmu akan menerima balasan!”
Habis berkata begitu orang ini lalu mundur tiga langkah dari hadapan kuburan. Mulutnya berkomat kamit sedang kedua tangannya diletakkan di atas kepala. Sepasang matanya dipejamkan. Tiba-tiba terjadi hal yang aneh. Sekujur tubuh itu bergetar keras dan dari mulutnya terdengar suara seperti menggereng terus menerus.
“Eyang... di alam gaib. Aku mohon kehadiranmu. Aku butuh petunjuk...” orang ini berucap.
Sayup-sayup terdengar suara seperti tiupan angin. Lalu laksana datang dari sebuah lobang yang dalam dan bergema, terdengar suara jawaban.
“Aku sudah ada di hadapanmu Tunggul, apa keperluanmu?!”
“Eyang, aku mohon petunjuk. Dari mana aku harus memulai mencari para pembunuh adikku Ki Ageng Tunggul Bayana...” Saat itu sekujur tubuhnya masih terus bergetar.
“Katakan dulu apa tujuanmu?!” tanya suara yang orangnya tak kelihatan itu.
“Dengan izinmu aku hendak menuntut balas kematian adikku, Eyang...”
“Bagus! Kau memang saudara kembar yang baik. Petunjukku, kembalilah ke Teluk Burung. Cari sebuah gubuk. Di sana kau akan menemukan jawabannya. Tapi kau harus bertindak cepat. Aku kawatir ada orang lain yang bakal mendahuluimu.”
“Kalau begitu aku pergi sekarang juga Eyang...”
“Baik, kau boleh pergi. Tapi dengar dulu ucapanku. Kini kau yang mewakili rohnya di atas dunia ini. Kau layak memakai nama yang menyerupai namanya... Kau bersedia?”
“Tentu aku bersedia Eyang.”
“Mulai saat ini namamu adalah Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tugasmu mengirim ke akhirat orang-orang yang menjadi sebab kematian adikmu. Kau dengar dan mengerti?”
“Aku dengar dan mengerti Eyang.”
“Bagus. Satu hal aku ingatkan. Saat untuk memberikan tumbal hanya tinggal lima belas hari saja. Jangan kau sampai lupa melaksanakannya.”
“Hal itu tidak akan aku lupakan Eyang.”
“Aku pergi sekarang!”
Orang itu cepat menjura. Terdengar suara angin bersiur. Untuk sesaat lamanya sekujur tubuh orang itu masih bergetar. Lalu perlahan-lahan getaran itu berhenti. Dia buka kembali kedua matanya dan turunkan kedua tangan yang diletakkan di atas kepala. Disekanya keringat yang memercik dikeningnya.
Lalu dia melangkah ke tempat di mana dia menambatkan kudanya. Binatang ini dipacunya ke arah Teluk Burung secepat yang bisa dilakukannya sementara matahari mulai tenggelam dan malam akan segera datang. Karena gubuk yang dikatakan suara gaib itu merupakan satu-satunya bangunan di Teluk Burung, tidak sulit bagi Ki Ageng Tunggul Akhirat untuk menemukannya.
Namun seperti yang dikawatirkan oleh suara gaib, dia datang terlambat. Ketika dia sampai di depan gubuk dilihatnya tiga orang tengah melangkah ke luar. Satu di antaranya membawa obor. Ki Ageng Tunggul Akhirat melompat dari kudanya dan menghadang.
“Berhenti!” hardiknya yang membuat kakek Pungku dan dua cucunya menjadi terkejut dan kecut begitu menyaksikan mengerikannya tampang manusia yang tiba-tiba muncul melompat dari kudanya itu.
“Kalian bertiga siapa?! Kulihat kalian barusan keluar dari dalam gubuk!”
“Kau... kau sendiri siapa?” Kudo Aru beranikan diri bertanya.
Ki Ageng Tunggul Akhirat langsung membentak marah. “Haram jadah! Ditanya malah bertanya. Apa aku harus menggebuk dulu salah satu dari kalian sampai mampus dan baru kalian memberi tahu?!”
Kakek Pungku cepat berkata. ”Maafkan cucuku. Kami baru saja mengalami satu peristiwa yang mengerikan. Sesuatu terjadi di dalam sana...” Orang tua itu menunjuk ke arah gubuk.
“Aku akan memeriksa ke dalam gubuk itu. Kalian bertiga tetap di sini. Berani lari akan kubunuh kalian semua!”
Lalu Ki Ageng Tunggul Akhirat menyambar obor di tangan Kudo Aru dan lari ke arah gubuk. Begitu masuk ke dalam gubuk yang salah satu dindingnya sudah jebol itu, sesaat dia jadi tercekat. Di balik balai-balai kayu dia menemukan sesosok tubuh manusia yang sudah jadi mayat. Mukanya hancur tak mungkin dikenali. Namun dari jari-jarinya yang panjang serta gambar telapak tangan berkuku panjang di dada bajunya Ki Ageng Tunggul Akhirat dapat menduga siapa adanya orang itu.
“Sepuluh Cakar Setan. Siapa gerangan yang membunuhnya...?” Ki Ageng Tunggul Akhirat membatin. Dia memandang seputar gubuk, akhirnya keluar dan menemui tiga orang yang tetap berada di tempatnya, tak berani beranjak saking takutnya.
“Ceritakan apa yang terjadi di gubuk sana sebelumnya!” membentak Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Kakek Pungku menerangkan walaupun dengan ucapan terputus-putus.
“Orang yang dipanggil dengan nama Pangeran Matahari itu, apakah dia mengenakan pakaian hitam, berikat kepala kain merah dan bertubuh tinggi kekar?”
Kakek Pungku mengangguk. “Kalian tahu mengapa dia menginginkan dua orang yang berada dalam keadaan pingsan itu?”
“Kami tidak tahu,” jawab kakek Pungku.
“Juga tidak tahu mengapa orang berjuluk Sepuluh Cakar Setan itu berusaha menolong orang-orang pingsan?!”
“Kami mendengar dia menanyakan sesuatu. Tapi tidak begitu jelas...” kata Sindak Bumi.
“Apa yang ditanyakannya? Pada siapa?!”
“Pada salah seorang yang pingsan. Dia berusaha membuatnya sadar lalu menanyakan sesuatu. Kalau tidak salah menyangkut uang dan harta perhiasan...”
Ki Ageng Tunggul Akhirat tampak berubah dan tegang wajah setannya. “Apa dia mendapatkan jawaban?!” tanyanya pada Sindak Bumi.
“Orang yang pingsan hendak mengatakan sesuatu. Tapi terputus sewaktu Pangeran Matahari menerobos masuk...”
Ki Ageng Tungul Akhirat terdiam. “Kalau tak ada pertanyaan lagi, izinkan kami pergi...” kata Kudo Aru pula.
“Tunggu! Kalian tahu kemana Pangeran Matahari membawa kedua orang yang diculiknya itu?!”
Kakek Pungku dan dua cucunya menggeleng. Ki Ageng Tunggul Akhirat memandang pada kakek Pungku yang membuat orang tua ini seperti terbang nyawanya saking ngerinya.
“Orang tua... Tadi kau bilang kau menemukan dua manusia yang masih hidup itu di antara tebaran mayat di pantai Teluk Burung...?”
“Betul... Tapi aku tidak tahu siapa mereka. Aku menolong karena melihat hanya mereka berdua yang masih hidup...”
“Kalian boleh pergi.” Kata Ki Ageng Tungul Akhirat pula.
Lalu dia melompat kepunggung kudanya, memacu binatang itu menuju Teluk Burung. Di pantai dia menunggu sampai hari siang. Begitu paginya sang surya muncul dan pantai menjadi terang dia memeriksa tebaran mayat yang malang melintang di tempat itu.
Setelah memastikan bahwa yang lenyap dari tempat itu adalah sosok tubuh Supit Jagal dan Supit Ireng, Ki Ageng Tunggul Akhirat segera tinggalkan tempat itu. Sementara burung-burung pemakan mayat mulai tampak terbang berputar-putar di atas teluk.
********************
TIGA
Malam gelap sekali. Langit hitam pekat tanpa bintang tanpa rembulan. Gerobak itu meluncur melewati jalan yang mendaki hingga akhirnya sampai di puncak sebuah bukit terjal. Di bawah bukit terbentang sebuah jurang batu. Lapat-lapat dari dasar jurang yang gelap terdengar suara aliran air tanda di situ terdapat sebuah sungai.
Orang yang menjadi sais gerobak hentikan kendaraannya di tepi jurang. Wajahnya yang seram seperti setan menjadi pertanda bahwa dia bukan lain adalah Ki Ageng Tunggul Akhirat, kakak kembar Ki Ageng Tunggul Keparat yang mati dibunuh Supit Jagal dan Supit Ireng.
Di tepi jurang Ki Ageng Tunggul Akhirat sesaat tegak berdiam diri. Kedua matanya, yang satu menyembul merah mengerikan memandang ke dalam jurang yang gelap hitam. Lalu dia mendongak. Mulutnya komat kamit. Kedua tangannya di letakkan di atas kepala. Tak lama kemudian tubuh itu mulai tampak bergetar. Dalam kesunyian malam lalu terdenagr suara Ki Ageng Tunggul Akhirat.
“Eyang, mohon kau segera muncul. Aku datang untuk melaksanakan perjanjian. Membawa tumbal yang kau minta...”
Sunyi sesaat. Suara Ki Ageng Tunggul seperti bergema, memantul dari dasar jurang. Lalu ada suara siurang angin. Tak lama kemudian terdengar suara seolah keluar dari dalam jurang dan bergaung angker.
“Aku sudah berada di hadapanmu. Jika kau memang sudah membawa tumbal, lekas laksanakan perjanjian!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat menjura. Lalu dia memutar tubuh, melangkah ke arah gerobak. Dari atas kendaraan ini dikeluarkannya sesosok tubuh perempuan muda dalam keadaan hamil besar dan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh itu dipanggulnya dibawa ke tepi jurang.
“Eyang, satu tubuh dua nyawa siap dijadikan tumbal!” berseru Ki Ageng Tunggul Akhirat. “Apakah Eyang sudah siap menerima?”
“Aku siap menerima. Lemparkan tumbal itu ke dalam jurang!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat pegang tubuh perempuan hamil pada bagian pinggang dan lehernya. Ketika dia hendak melemparkan sosok tubuh itu ke dalam jurang yang gelap, tiba-tiba dari kiri kanan terdengar bentakan-bentakan keras.
“Manusia keparat! Kali ini kami menangkap basah kamu!”
“Turunkan tubuh perempuan itu ke tanah! Kalau tidak kutabas batang lehermu!”
Sebuah benda tajam tiba-tiba menempel dingin di tengkuk Ki Ageng Tunggul Akhirat. Bentakan ketiga menyusul.
“Nyawa anjingmu tidak tertolong lagi! Bebaskan perempuan hamil itu! Letakkan perlahan-lahan di tanah!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat memandang ke bawah. Sebuah celurit besar menempel di lambungnya. Sekujur tubuhnya yang gemeteran langsung tertegun kaku. Mulutnya berkomat kamit, siap untuk memanggil sang Eyang. Tapi makhluk gaib itu telah lenyap bersamaan dengan putusnya getaran di tubuh Ki Ageng Tunggul.
“Kalian siapa?! Mengapa mencampuri urusanku?!” Ki Ageng Tunggul Akhirat membentak. Rupanya dia memang bukan jenis manusia penakut.
“Aku Jelamat Kuru Seta, dari Kotaraja mewakili Kerajaan!” Orang yang menekankan golok ke tengkuk Ki Ageng Tunggul Akhirat menjawab.
“Aku Tubagus Gamyang, berjuluk Clurit Hantu dari Barat!” Orang kedua perkenalkan diri. Dialah yang menyorongkan clurit besar ke perut Ki Ageng Tunggul Akhirat.
Orang ketiga menyusul membuka mulut. Aku Gambir Seloka dari Timur. Kami bertiga mewakili orang-orang persilatan untuk menamatkan riwayatmu! Menamatkan pekerjaan iblismu!”
“Jika kalian orang-orang persilatan mengapa kalian mengeroyok kawan sendiri?!” tukas Ki Ageng Tunggul Akhirat.
“Cis! Siapa menganggapmu sebagai kawan! Pekerjaanmu terkutuk sepanjang usiamu! Kau mengandalkan ilmu hitam dengan mengorbankan perempuan hamil sebagai tumbal! Kau tidak beda dengan binatang berhati iblis! Budak ilmu hitam terkutuk!” kata Jelamat Kuru Seta.
“Kalian tidak bijaksana! Menuntut ilmu bisa dengan berbagai cara! Lekas kalian pergi dari sini!”
“Dengan manusia laknat macam kau tidak perlu segala kebijaksanaan!” jawab Tubagus Gamyang.
“Bersiaplah untuk mampus. Tapi turunkan dulu perempuan hamil itu!” berkata Gambir Seloka.
Ki Ageng Tunggul Akhirat tertawa perlahan. “Kalau kalian mau perempuan hamil ini silahkan ambil sendiri! Tapi dengar! Sedikit saja kalian berani bergerak, kupatahkan batang leher perempuan ini!”
“Tubagus Gamyang, bagaimana pendapatmu?!” bertanya Gambir Seloka.
“Sekali ini biar kita mengepit kepala harimau. Satu korban tidak jadi apa. Sekali bangsat keparat ini mampus berarti kita menyelamatkan puluhan perempuan hamil lainnya!” jawab Tubagus Gamyang sambil mempererat pegangannya pada hulu Clurit Hantunya.
“Kau dengar sendiri manusia iblis! Kematian sudah di depan mata!” kata Gambir Seloka pula.
Dua senjata bergerak. Satu jotosan keras menderu ke arah jantung. Namun sesaat sebelum semua gerakan itu terjadi, dengan nekad Ki Ageng Tunggul Akhirat membuang dirinya ke dalam jurang. Kedua tangannya yang memegang tubuh perempuan hamil itu secara serentak melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.
“Brettt!”
Clurit Tubagus Gamyang masih sempat merobek pakaian dan melukai perut Ki Ageng Tunggul Akhirat. Darah mengucur. Tapi dia selamat dari tabasan golok dan jotosan maut. Dalam gelap tubuhnya jatuh ke bawah jurang.
Dalam keadaan seperti itu Ki Ageng Tunggul Akhirat letakkan kedua tangannya di atas kepala. Matanya dipejamkan dan mulutnya komat kamit dengan cepat.
“Eyang, aku dalam bahaya! Aku butuh pertolonganmu!” teriak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Sekujur tubuhnya kini bergetar keras.
Sesiur angin menerpa. Lalu Ki Ageng Tunggul Akhirat merasa ada dua tangan yang tidak kelihatan yang menangkap tubuhnya. Seperti diajak melayang, tubuh lelaki ini meluncur ke bagian Timur jurang sementara tubuh perempuan hamil tadi jatuh terhempas di dasar jurang, disambut oleh batu-batu besar. Ki Ageng Tunggul merasakan dua tangan yang tidak kelihatan membaringkannya di tanah, di tepi jurang.
“Terima kasih Eyang, kau menyelamatkanku...” kata Ki Ageng Tunggul Akhirat, lalu dia cepat bangkit dan menjura dalam.
“Tugasmu sekarang adalah membunuh ketiga orang itu Ki Ageng! Lakukan cepat! Manusia-manusia pengacau seperti itu bisa menyusahkanmu dan aku jika tidak segera dihabisi!”
“Akan saya lakukan Eyang. Mohon Eyang menolong luka di perutku ini. Darahnya masih mengucur!”
“Hanya luka kecil saja mengapa harus ditakutkan!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat merasakan satu tangan yang tidak kelihatan mengusap luka bekas sambaran clurit di lambungnya. Aneh! Begitu diusap luka itu sembuh bahkan hampir tanpa bekas sama sekali!
Ki Ageng Tunggul Akhirat menjura kembali seraya mengucapkan terima kasih. Lalu dia berdiri dan bepaling ke arah Barat jurang di mana tiga orang yang tadi hendak membunuhnya berada.
Sementara itu di tepi jurang sebelah Barat, Jelamat Kuru Seta dan dua orang kawannya sama-sama kaget dan tak menduga. Mereka memandang ke arah jurang yang dalam gelap. Mereka tidak mampu menembus kegelapan malam dan tak dapat melihat apa yang terjadi di bawah sana.
“Iblis nekad!” kata Jelamat Kuru Seta bergumam.
“Keparat itu pasti sudah hancur di dasar jurang!” kata Tubagus Gamyang pula yang merasa agak puas karena sebelumnya masih sempat menorehkan cluritnya.
“Aku yakin dia sudah mampus di dasar jurang. Hanya sayang kita tidak sempat menyelamatkan perempuan hamil yang dijadikan tumbal ilmu hitamnya!”
Ketiganya diam sejenak.Akhirnya Tubagus Gamyang mengajak kedua kawannya meninggalkan tampat itu. Mereka hendak menyelinap ke tempat sebelumnya mereka menyembunyikan kuda masing-masing. Namun belum sempat bergerak tiba-tiba satu sosok tubuh menghadang. Laksana melihat setan begitulah kagetnya tiga orang ini.
“Kau!” seru Gambir Seloka.
“Jadi kau belum mampus di dasar jurang sana!” ujar Jelamat Kuru Seta.
Tubagus Gamyang maju selangkah untuk memastikan. “Kalau kau punya nyawa setan, saat ini juga aku akan mengakhiri kebejatanmu!”
Dia cabut cluritnya yang masih berdarah lalu menerjang sambil menabaskan senjata itu ke leher Ki Ageng Tunggul Akhirat. Dua kawannya tidak tinggal diam. Ikut menyerbu!
********************
EMPAT
Begitu clurit bedar di tangan Tubagus Gamyang menyambar ke leher, golok dalam genggaman Jelamat Kuru Seta menyusul menderu ke arah dada. Dari jurusan lain Gambir Seloka yang mengandalkan tangan kosong, menghantamkan satu jotosan ke batok kepala Ki Ageng Tunggul Akhirat!
Yang diserang keluarkan tawa bergelak. Dia letakkan kedua tangan di atas kepala. Mulutnya berkomat kamit. Dalam hatinya dia membatin. “Eyang tolong diriku menghadapi tiga manusia keparat ini!”
Sekujur tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat bergetar. Lalu tubuh itu membuat gerakan luar biasa cepatnya hingga tiga penyerang hanya seperti melihat bayang-bayang dalam kegelapan malam. Tiga serangan mengenai tempat kosong. Golok dan clurit malah sempat saling bentrokan. Ketiga orang itu terkejut dan sama bersurut. Saat itulah terjadi neraka bagi ketiganya.
Gambir Seloka menjerit keras sewaktu satu tendangan menghantam perutnya. Tubuhnya mencelat sejauh dua tombak lalu terkapar di tanah. Anggota badannya tersentak-sentak. Tubhnya di bagian dalam terluka parah.
Tubagus Gamyang berusaha membabatkan cluritnya ke arah bayang-bayang Ki Ageng Tunggul Akhirat yang dilhatnya di sebelah depan. Namun saat itu terasa ada sambaran angin di samping kanannya. Lalu tahu-tahu tangan kanannya ditelikung orang ke belakang. Bagaimanapun dia berusaha melepaskan diri namun sia-sia saja.
“Kraakk!”
Sambungan bahu Tubagus Gamyang berderak tanggal. Tokoh silat dari barat ini menjerit setinggi langit. Suara jeritannya menggema sampai ke dasar jurang. Clurit besar lepas dari pegangannya. Selagi dia terhuyung-huyung kesakitan setengah mati tiba-tiba tubuhnya terasa diangkat orang lalu dilemparkan ke depan, tepat pada saat mana golok di tangan Jelamat Kuru Seta berkelebat!
Tubagus Gamyang berteriak keras. Jelamat Kuru Seta berseru tegang dan berusaha menarik tangannya namun serangannya terlalu deras. Goloknya tanpa bisa ditahan membacok tepat di pangkal leher teman sendiri. Raungan Tubagus Gamyang mengerikan. Darah muncrat dari lehernya yang nyaris putus. Tubuhnya terhuyung sesaat lalu roboh.
“Jahanam!” teriak Jelamat Kuru Seta. Dengan golok berdarah dia membacok ke arah sosok tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat. “Mampus kau!” teriak orang Kerajaan ini.
Dia yakin goloknya akan membuat luka dalam pinggang lawan. Tetapi astaga! Kejutnya bukan alang kepalang. Dia seperti membacok air atau membabat bayang-bayang. Goloknya lewat dengan suara menderu. Bayangan Ki Ageng Tunggul tampak berputar dalam gelap. Lalu terdengar tawa bergelak.
Di lain kejap tahu-tahu batang lehernya dicengkeram keras. Dengan kalap Jelamat Kuru Seta membacokkan goloknya pulang balik. Dia hanya membabat angin. Cekikan di lehernya mengencang hingga lidahnya terjulur dan sepasang matanya mencelat ke luar. Tubuhnya tiba-tiba terangkat lalu,...
“Kreekkkk!”
Dalam keadaan terangkat batang lehernya dipuntir. Tulang lehernya berderak patah. Jelamat Kuru Seta sudah lepas nyawanya sebelum tubuhnya roboh tergelimpang di tanah.
Bayangan tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat kelihatan utuh dan nyata kembali. Dia bergerak menghampiri mayat Tubagus Gamyang dan Jelamat Kuru Seta. Satu demi datu sosok tanpa nyawa itu ditendangnya hingga terjungkal masuk kedalam jurang. Sewaktu dia menghampiri sosok Gambir Seloka, terdengar orang ini berteriak.
“Jangan! Jangan tendang diriku!”
Dalam gelap tampang Ki Ageng Tunggul Akhirat tampak menyeringai. “Belum mampus kau rupanya!” Dia melangkah lebih dekat.
“Jangan bunuh diriku Ki Ageng! Jangan...!” teriak Gambir Seloka ketakutan setengah mati.
“Jangan takut. Kau memang kubiarkan hidup! Untuk menjaga dua mayat temanmu dalam jurang sana! Nah kau susullah mereka!” Kaki kanan Ki Ageng Tunggul Akhirat menendang.
“Dukkk!”
Tubuh Gambir Seloka mencelat dalam gelap. Suara jeritannya menggidikkan ketika tubuhnya melayang ke dasar jurang yang kelam pekat!
“Eyang...” desis Ki Ageng Tunggul Akhirat. “Terima kasih kau telah menolongku!”
Tubuhnya yang keringatan tampak berhenti bergetar. Seperti orang yang baru sadar apa yang telah dilakukannya dia memandang berkeliling, mengusap mukanya beberapa kali lalu melangkah menuju gerobak yang ditinggalkannya tak jauh dari tepi jurang.
********************
LIMA
Dua orang kakek berwajah cacat mengerikan itu bersujud di depan Pangeran Matahari yang duduk di atas sebuah gundukan batu berwarna merah kecoklatan dalam goa dipantai Selatan.
“Kalian boleh duduk kembali!” berkata Pangeran Matahari.
Supit Jagal dan Supit Ireng lantas bangkit dan duduk bersila di depan sang Pangeran.
“Kalian sudah tahu berada di mana, sudah tahu siapa aku, sudah mendengar ceritaku apa yang telah terjadi dengan diri kalian kakak adik. Sebelum aku melanjutkan bicara apakah kalian ingin bertanya atau mengatakan sesuatu?”
Supit Ireng berpaling pada kakaknya yaitu Supit Jagal. “Kau saja yang bicara,” katanya perlahan.
Supit Jagal mendehem beberapa kali lalu membuka mulut. “Kami sudah mendengar apa yang terjadi. Sudah tahu apa yang Pangeran lakukan terhadap kami. Kami tentu saja merasa berhutang budi dan nyawa. Karena itu kami berdua kakak dan adik pantas tunduk menyerahkan diri pada Pangeran...”
“Bagus, kalian adalah tua bangka yang tahu diri!” kata Pangeran Matahari pula.
Pada keadaan yang berbeda, disebut sebagai tua bangka dua kakek berwajah setan itu pasti akan marah, mungkin mengamuk. Namun terhadap sang Pangeran yang telah menyelamatkan nyawa mereka, keduanya bersikap tunduk.
“Penyerahan diri dan sikap tunduk kalian sudah sepantasnya. Aku menerima hal itu. Namun aku tak ingin hanya sampai di situ!” kata Pangeran Matahari pula.
“Apapun yang Pangeran minta dari kami akan kami berikan. Nyawa sekalipun!” kata Supit Ireng.
Pangeran Matahari mendongak lalu terdengar tawanya bergema dalam goa batu itu. “Aku menolong kalian agar bisa hidup. Sesudah hidup masakan aku akan meminta nyawa kalian kembali? Jangan bersikap dan bicara tolol. Aku tidak suka pada manusia-manusia tolol!”
“Maafkan kami Pangeran,” kata Supit Jagal dan Supit Ireng hampir berbarengan.
“Aku menyirap kabar bahwa seorang penjahat bernama Ki Ageng Tunggul menyembunyikan bebrapa peti hasil rampasan berisi harta perhiasan dan uang emas tak ternilai harganya. Kalian pernah tahu siapa adanya manusia itu?”
Dalam hati Supit Jagal dan Supit Ireng merasa heran bagaimana sang Pangeran tahu tentang empat peti yang berisi barang serta uang itu.
“Kami memang kenal orang itu, Pangeran,” menjawab Supit Ireng. “Manusia itu sudah menemui ajal. Tewas di tangan kami berdua...”
“Sayang... sayang sekali,” ujar sang Pangeran. “Tetapi apakah kalian tahu di mana dia menyembunyikan harta kekayaan itu?”
“Harap dimaafkan. Kalau soal harta perhiasan dan uang emas sebanyak empat peti itu kami tidak tahu menahu,” jawab Supit Jagal.
“Hem...” Pengeran Matahari usap-usap dagunya yang kokoh. “Kalian tidak berdusta padaku?”
Pandangan mata Pangeran Matahari yang tajam seperti menusuk membuat dua kakek itu diam-diam jadi berdebat juga. Akhirnya Supit Irang membuka mulut menjawab.
“Pangeran telah menyelamatkan kami. Masakan kami berani berbohong?”
Pangeran Matahari mengangguk-angguk. “Kalian sebentar lagi boleh pergi dengan bebas. Namun ada satu tugas yang harus kalian lakukan untukku!”
“Kami berdua siap menerima dan menjalankan tugas itu. Pangeran tinggal menyebutkan saja,” kata Supit Jagal pula.
“Tugasmu cukup berat. Karena itu aku akan memberikan kekuatan tenaga dalam tambahan pada kalian serta ilmu pukulan Telapak Merapi. Walau kalian hanya mempelajari dalam satu minggu namun dengan pengalaman serta tambahan tenaga dalam kalian pasti bisa mempergunakannya.”
“Terima kasih Pangeran mau dan percaya memberikan tugas pada kami. Kami menunggu...” kata Supit Jagal.
“Kalian berdua aku tugaskan untuk mencari dan membunuh seorang pemuda bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid seorang nenek sakti dari Gunung Gede...”
Supit Jagal dan Supit Ireng sama-sama saling pandang.
“Ada apa?!” menegur Pangeran Matahari. Yang menjawab Supit Jagal. “Justru pemuda satu itu adalah musuh besar yang memang hendak kami singkirkan dari muka bumi. Lihat luka di leher adikku, juga tangan kirinya yang buntung. Pemuda edan itulah yang jadi pangkal bahala!”
Pangeran Matahari tersenyum lebar. “Apa kalian punya musuh-musuh lain?”
“Betul, memang ada Pangeran. Seorang kakek sakti bernama Empu Pamenang. Degnan izin Pangeran kami berniat untuk membunuhnya! Kakek ini punya hubungan cukup dekat dengan Wiro. Wiro sendiri tidak mudah untuk dicari karena selalu gentayangan kian ke mari. Kami mohon petunjuk Pangeran lebih lanjut.”
"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 memang sulit dicari karena tidak pernah diam di satu tempat. Tetapi dengan sedikit akal kita bisa memancingnya keluar. Kau bunuh dulu Empu Pamenang. Dalam waktu singkat dia pasti akan muncul!”
Supit Jagal dan Supit Ireng mengangguk-angguk. Mereka menyatakan pujian atas kecerdikan sang Pangeran.
“Kalian berdua boleh pergi,” kata Pangeran Matahri pula seraya berdiri.
Supit Jagal dan Supit Ireng bersujud di depan kaki Pangeran Matahari. Ketika mereka mengangkat kepala kembali tenyata Pangeran itu tidak ada lagi di dalam goa!
“Dulu aku sering merasa sebagai orang paling jago di dunia. Ternyata di depan Pangeran Matahari aku merasa kecil sekali.”
Supit Jagal tertawa mendengar ucapan adiknya itu. Sambil memegang bahu Supit Jagal dia berkata, “Ada satu ujar-ujar yang mengatakan bahwa di atas langit ada langit lagi!”
Keduanya sampai di luar goa. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Supit Ireng.
“Berjalan saja terus. Kalau sudah jauh dari goa baru kita bicara lagi,” jawab Supit Jagal.
“Hem... kau mengkhawatirkan sesuatu, Jagal?”
“Setan! Kataku nanti saja kita bicara kalau sudah jauh dari goa!” Supit Jagal mendamprat marah lalu mulai berlari. Sang adik jadi diam. Dia segera berlari pula menysul kakaknya.
Setelah meninggalkan goa cukup jauh, begitu memasuki rimba belantara Supit Ireng ajukan pertanyaan. “Apa di sini kau rasa masih kurang aman untuk bicara?”
Supit Jagal hentikan larinya. Sambil melangkah dia berkata. “Ingat ucapan Pangeran Matahri tadi? Dia tidak suka pada orang-orang tolol! Apa dia menyangka kita ini memang tolol?!”
“Apa maksudmu Supit Jagal?”
“Tentang empat buah peti berisi harta perhiasan dan uang itu,” jawab Supit Jagal. “Kita berhasil mengelabuhinya dengan mengatakan tidak tahu menahu tentang barang-barang itu. Dan dia percaya saja. Siapa yang tolol. Dia atau kita?!”
Dua kakek muka setan kakak beradik itu tertawa gelak-gelak. Tapi Supit Ireng segera hentikan tawanya dan berkata. “Apa bisa dijamin bahwa Pangeran Matahari benar-benar percaya pada keterangan kita. Bahwa kita tidak tahu menahu tentang empat peti itu?”
“Eh, apa maksudmu?” tanya Supit Jagal.
“Manusia satu itu berotak cerdik, licin, berilmu tinggi dan panjang akal. Kita harus hati-hati. Wajahnya bisa saja tampak tersenyum tetapi hatinya menjanjikan kematian!”
“Kalau begitu berarti kita harus segera ke Pasirginting,” kata Supit Jagal.
Supit Ireng menggeleng.
“Sialan! Apa maksudmu dengan gelengan itu?”
“Aku khawatir Pangeran Matahari sengaja melepas kita pergi. Lalu diam-diam menguntit. Kalau kita langusng menuju Pasirginting dan mengambil peti-peti berharga itu lalu dia memergoki, tamatlah riwayat kita!”
Supit Jagal terdiam sesaat. “Kupikir-pikir kita berdua dia sendiri. Ilmunya malah diberikannya pada kita. Apa kau kira kita tidak bisa mengalahkannya?”
“Bagaimanpun kita berhutang nyawa padanya Jagal. Jangan lupakan hal itu!”
“Hutang nyawa itu tentu tidak kita lupakan. Itu sebab kita berdua mau menjalankan tugas yang diberikannya. Membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Nah itu balasan dari kita. Kurasa sudah lebih dari cukup. Lalu apakah kita juga harus menyerahkan empat peti harta itu padanya? Jangan jadi orang tolol Supit Ireng!”
“Aku tetap tidak setuju kalau kita langsung ke Pasirginting. Empat peti itu aman di sana karena tidak ada yang tahu. Aku ingin kita mencari Empu Pamenang lebih dulu! Ingat gadis cantik yang ikut bersamanya?” Supit Ireng membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
“Aku lebih tua. Aku kakakmu. Jika gadis itu kita temui, aku yang harus menikmati tubuhnya lebih dulu! Ingat itu Supit Ireng!”
“Kau kakak sialan!” maki Supit Ireng lalu lari meninggalkan Supit Jagal di belakang.
********************
ENAM
Di dalam pondok di pinggir danau Merak Biru Pendekar 212 menyerahkan surat yang dibawanya pada Empu Pamenang disaksikan oleh dua muridnya yaitu Ning Larasati dan Jakawulung.
“Seorang kepercayaan Sultan meminta saya menyampaikan ini pada Empu,” menerangkan Wiro.
Orang tua bungkuk berpakaian selempang kain putih itu menerima surat dengan tenang. Justru Ning Larasati yang puteri Sultan itu tampak tegang sementara Jakawulung bersikap menunggu. Empu Pamenang membaca isi surat dengan cepat. Selesai membaca surat itu dilipatnya kembali lalu dia berpaling pada Ning Larasati.
“Muridku, ayahandamu sedang sakit. Sakitnya sakit biasa saja. Namun kerinduannya padamu bisa-bisa membuat sakitnya jadi berat. Kuminta kau segera berangkat ke Kotaraja. Tunggui dan rawat ayahandamu. Bila beliau sudah sembuh baru kau boleh kembali ke mari lagi melanjutkan ilmu pelajaran.”
Ning Larasati berpaling pada Jakawulung, saudara seperguruan dan juga kekasihnya. Jakawulung yang maklum akan arti pandangan ini cepat berkata, “Dengan izin Empu saya akan mengantarkan Larasati ke Kotaraja.”
Empu Pamenang mengangguk.
“Kalau begitu saya akan segera bersiap-siap,” kata Larasati seraya berdiri. Dia masuk ke dalam sebuah kamar. Tak lama kemudian dia keluar lagi mengenakan pakaian ringkas baju dan celana putih. Rambutnya yang panjang telah disanggul dan ditutup dengan sehelai kain hitam. Sepintas lalu orang akan menyangkanya sebagai seorang pemuda berwajah tampan dan halus.
“Kalau para sahabat disini sudah siap berangkat sayapun ingin minta diri. Tugas saya sudah selesai...” kata Wiro pula.
Empu Pamenang tersenyum. “Sebetulnya ada hal-hal dalam dunia persilatan yang ingin aku bicarakan denganmu anak muda. Namun tidak terlalu penting. Lain hari saja kalau kita bertemu kita ngobrol panjang lebar. Aku tahu orang sepertimu tentu banyak urusan di luar sana.”
Empu Pamenang mengantarkan ketiga orang muda itu sampai di pintu. Mereka meninggalkan Danau Merak Biru dengan menunggang kuda. Setelah ketiganya lenyap di kejauhan Empu Pamenang melangkah ke tepi danau. Saat itu matahari baru saja menggelincir ke arah Barat. Udara siang yang tadi terasa panas kini agak sejuk sedikit. Apalagi angin bertiup cukup banyak.
Di tengah danau saat itu ada sebuah perahu terapung-apung dimainkan ombak-ombak kecil. Jarak antara tepian tempat Empu Pamenang berdiri sampai ke perahu sekitar dua puluh tombak. Di samping Empu Pamenang berdiri terdapat serumpun pohon bambu. Orang tua bungkuk ini memilih salah satu batang bambu yang paling lentur lalu digoyang-goyangkan. Makin lama makin kencang.
Pada puncaknya kekencangan Empu Pamenang angkat kedua kakinya. Bersamaan dengan itu dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sekejap kemudian kelihatan sosok bungkuk berselempang kain putih itu melesat ke tengah danau lalu jatuh tepat di atas perahu yang terapung-apung di air. Sesaat perahu tampak agak oleng sedikit lalu diam tak bergerak lagi.
Perlahan-lahan Empu Pamenang mendudukkan dirinya di atas perahu. Kedua tangannya dirangkapkan di atas dada. Dia mendongak ke atas. Ketika kepalanya diturunkan kedua matanya telah terpejam. Lalu orang tua inipun tenggelam dalam semedi yang khusuk. Semua panca inderanya berhenti bekerja. Bagi Empu Pamenang danau yang sunyi, udara yang segar adalah tempat yang baik untuk melakukan semedi di tengah alam terbuka.
Tidak seperti orang pandai lainnya yang suka melakukan semedi dalam goa tertutup. Biasanya kalau bersemedi di atas perahu seperti itu Empu Pamenang bisa tahan sampai berhari-hari. Selesai bersemedi dia merasakan tubuhnya lebih segar, pendengaran dan penglihatannya lebih tajam.
Kita kembali pada tiga orang pemuda yang tengah melakukan perjalanan menuju Kotaraja di satu tempat, dekat sebuah simpang tiga di dataran rendah di bawah lamping sebiah bukit. Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan kudanya. Dia berpaling pada Ning Larasati dan Jakawulung lalu berkata.
“Para sahabat, kita seiring sampai di sini. Untuk ke Kotaraja kalian berdua harus membelok ke kanan. Aku akan mengambil jalan ke kiri. Bila umur sama panjang kita pasti akan bertemu lagi.”
“Wiro, aku mengucapkan terima kasih. Kau telah bersusah payah mengantarkan surat dari ayahanda...” kata Ning Larasati.
Wiro tertawa lebar. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi urung. Saat itu di sebuah jalan yang terletak di atas lereng bukit kelihatan dua orang penunggang kuda. Selain jarak mereka terpisah cukup jauh, kedua orang itu tampak menutupi wajah masing-masing dengan sehelai kain sampai sebatas mata hingga sulit dikenali siapa mereka adanya.
Entah mengapa Pendekar 212 mendadak saja merasa tidak enak melihat kemunculan kedua orang itu. Dua penunggang kuda tersebut tampak hentikan kuda masing-masing dan saling bicara beberapa lamanya. Karena tempat Wiro dan dua kawannya berhenti berada di bawah lindungan sebatang pohon besar berdaun rimbun, dua penunggang kuda di lereng bukit tak dapat melihat mereka. Larasati dan Jakawulung rupanya juga telah melihat dua penunggang kuda di atas sana.
“Siapa mereka...?” tanya Larasati.
“Tampaknya bukan orang baik-baik. Kalau tidak mengapa mereka sengaja menutupi wajah dengan kain?” ujar Jakawulung pula.
“Kalian berdua teruskan saja perjalanan. Tidak usah memperdulikan dua orang di atas bukit sana,” kata Wiro.
Jakawulung mengangguk lalu memberi isyarat pada Larasati. Kedua orang ini segera melanjutkan perjalanan menuju Kotaraja. Setelah Larasati dan Jakawulung lenyap di kejauhan Wiro kembail memandang ke arah lereng bukit. Dua penunggang kuda bertopeng tadi ternyata tidak ada lagi di situ. Pendekar 212 berpikir sejenak. Akhirnya diarahkannya kudanya menuju lereng bukit itu.
Sampai di atas dia memandang berkeliling. Di kejauhan di sebelah Timur tampak sepintas sosok Larasati dan Jakawulung. Tapi dua penunggang kuda tadi sama sekali tidak kelihatan. Wiro memperhatikan tanah di lereng bukit. Jejak-jejak kaki kuda tunggangan kedua orang tak dikenal tadi jelas kelihatan. Wiro bergerak mengikuti jejak ini. Namun di satu tempat jejak-jejak itu lenyap.
Dua penunggang kuda yang wajahnya ditutup kain hitam sampai di tepi Timur Danau Merak Biru. Perhatian mereka serta merta tertuju pada satu-satunya bangunan yang ada di situ.
“Pasti ini tempat kediaman tua bangka bernama Empu Pamenang itu,” kata penunggang kuda di sebelah kanan. Dia bukan lain adalah Supit Jagal kakek iblis berbaju tambalan, berkuping sumplung dan memiliki cacat panjang serta dalam di wajahnya. Dia melompat turun dari kudanya.
Orang kedua mengikuti gerakannya. Dia tentu saja adalah adik Supit Jagal yaitu Supit Ireng, manusia yang memiliki wajah seangker setan karena tampangnya yang cekung itu dihias dengan rongga bolong besar pada mata kiri sedang mata kanan membeliak merah dan besar. Karena pintu pondok tidak terkunci mereka masuk dengan mudah. Setelah menggeledah seisi pondok dan tidak menemukan seorang di situ, Supit Ireng berkata.
“Kosong, Tak satu orangpun ada di sini. Tidak si tua bangka itu, tidak pula gadis jelita yang membakar nafsuku itu! Bagaimana? Kita tunggu saja sampai mereka kembali?”
“Agar mereka lekas muncul, biar bangunan ini kita bakar saja!” jawab Supit Jagal. Dia keluar untuk mencari kayu pembakar. Namun sewaktu sampai di pintu dan matanya tak sengaja memandang ke arah danau, langkahnya tertahan.
“Ireng! Lekas ke mari!” serunya.
Supit Ireng melompat ke samping kakaknya lalu memandang ke arah yang ditunjuk Supti Jagal yaitu perahu di tengah danau. “Memang dia! Apa yang dikerjakannya di sana!”
“Tampaknya seperti tengah bersemedi. Tak ada perahu lain. Kita harus berenang untuk mendatanginya.”
“Terlalu berbahaya. Aku dengar tua bangka itu raja diraja dalam air. Dia sanggup menyelam dan mendekam dalam air seperti ikan. Satu-satunya jalan ialah menghancurkan perahunya, memancing kemarahan dan membuat dia datang ke daratan sini.”
“Kau benar!” kata Supit Jagal. Dia melangkah ke arah rumunan pohon bambu. “Bambu-bambu ini bisa menolong!”
Lalu dia mengeluarkan sebilah golok. Dengan senjata ini dia memotong empat batang bambu yang kemudian dipotong-potong dibuat runcing salah satu ujungnya. Kedua kakak beradik itu kembali ke tepi danau. Masing-masing mereka memasukkan sebatang potongan bambu ke dalam air. Bagian yang runcing di arahkan ke perahu di tengah danau.
“Kau duluan Jagal!” kata Supit Ireng.
Supit Jagal menyeringai. Dengan tangan kanannya dia menepuk bagian belakang potongan bambu. Karena pukulan itu disertai tenaga dalam yang tinggi maka laksana anak panah, potongan bambu yang runcing menghantam tepat di lambung perahu sebelah kanan, menghancurkan papan dan menimbulkan lobang besar.
Sesaat perahu tampak bergoyang lalu diam kembali. Namun air mulai mengucur masuk ke lantai perahu. Di atas perahu orang tua bungkuk tetap saja duduk tenang seolah apa yang terjadi tidak mengganggu semedinya.
Supit Ireng tak mau kalah. Dia mengarahkan bambu runcingnya ke bagian kiri perahu. Sekali menggebuk potongan bambu itu melesat. Sesaat kemudian tedengar suara braak! Lambung perahu sebelah kiri hancur berkeping-keping, menimbulkan lubang yang lebih besar dari yang di sebelah kanan. Air danau masuk dengan cepat.
Separuh dari lantai perahu telah terisi air dan merendam kedua kaki Empu Pamenang yang duduk bersila. Baigan depan perahu mulai tenggelam ke bawah. Tetapi aneh dan hebatnya si orang tua bungkuk masih saja tampak duduk tak bergerak. Kedua tangan masih dirangkapkan di atas dada bahkan sepasang matanya tidak bergeming apa lagi terbuka sedikitpun!
“Tua bangka itu kebal juga rupanya!” kata Supit Jagal. Dia menurunkan sebatang bambu ke dalam air danau. Kali ini bambu diarahkannya ke bagian depan perahu. Tangan kanannya bergetar tanda dia mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya. Lalu tangan itu menghantam dengan keras. Batangan bambu melesat di permukaan air danau dan menghantam bagian depan perahu.
"Braakkk...!"
Kali ini bagian depan perahu tanggal berantakan. Air danau menggebubu masuk. Perahu menungging ke depan, lalu prlahan-lahan tenggelam ke dalam air danau. Empu Pamenang yang masih duduk bersemedi ikut tenggelam. Air mencapai pinggul, naik ke pinggang, terus ke dada. Perahu semakin dalam amblasnya. Air kini mencapai leher si orang tua.
Hebatnya orang tua ini masih saja tetap tidak bergerak. Kedua matanya masih terus terpejam. Air kini mencapai dagunya. Lalu cepat sekali seluruh kepalanya amblas. Perahu dan sosok tubuh si orang tua tenggelam, lenyap dari pemukaan air danau yang hanya meninggalkan riak-riak berbentuk lingkaran!
“Manusia gila!” teriak Supit Jagal.
“Seharusnya tadi bambu itu kita arahkan ke tubuh atau kepalanya biar dia langusng mampus!” kata Supit Ireng sambil kepalkan tinju kanannya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?!”
“Tunggu saja sampai dia muncul di permukaan air. Langsung kita hantam dengan bambu runcing!” kata Supit Jagal pula.
“Tapi tua bangka itu punya ilmu yang membuat dia mampu mendekam dalam air sampai lama!” ujar Supit Ireng dengan gemas dan pelipis bergerak-gerak.
“Tak ada jalan lain. Bagaimanapun kita harus menunggu sampai dia muncul. Kalau dia masih hidup langsung kita bunuh. Kalau dia sudah jadi mayat itu lebih baik!”
Saat itu sang surya sudah sangat condong ke Barat tanda sebentar lagi akan tenggelam. Keadaan di sekitar danau mulai redup dan meremang gelap. Di tengah danau sama sekali tak ada gerakan. Tak ada suara!
“Setan! Pekerjaan gila macam apa yang kita lakukan ini!” rutuk Supit Ireng sambil mengusap-usap mata kain penutup wajahnya di bagian mata kirinya yang hanya merupakan rongga bolong. Baru saja dia merutuk seperti itu, Supit Jagal tiba-tiba memegang lengan kirinya yang buntung.
“Ada apa...?” tanya Supit Ireng.
“Sssst... Jangan bicara keliwat keras. Apa kau tidak mendengar suara kaki-kaki kuda mendatangi tempat ini?” bisik Supit Jagal. “Lihat ke sana...”
Supit Jagal menunjuk ke depan. Supit Ireng mengikuti arah yang ditunjuk kakaknya itu. Di antara pepohonan tampak seorang penunggang kuda berpakaian dan berikat kepala putih muncul. Orang ini menghentikan kudanya di antara dua batang pohon sambil memandang tajam ke arah pondok. Lalu dia mengarahkan pandangannya ke danau Merak Biru.
“Aneh, semua serba sepi. Seharusnya di danau ada sebuah perahu...” Orang diatas kuda membatin Lalu perlahan-lahan dia majukan kudanya sampai sejarak dua tombak dari pondok kayu. Di sini dia melompat turun dan melangkah ke pintu. Dari balik rerumpunan pohon bambu, Supit Jagal dan Supit Ireng saling pandang.
“Rejeki kita ternyata besar sekali hari ini. Kita tidak perlu bersusah payah! Orang yang kita cari ternyata datang sendiri!” kata Supit Jagal. “Tunggu apalagi! Ayo kita cabut nyawanya! Aku ingin mencoba pukulan sakti Telapak Merapi yang diberikan Pangeran Matahari itu!” kata Supit Ireng. Tenaga dalamnya segera dialirkan ke tangan kanan.
TUJUH
Pemuda berpakaian putih mendorong pintu pondok yang tidak terkunci. Bagian dalam diselimuti kegelapan. “Empu Pamenang, kau ada di dalam...?”
Baru saja dia bertanya begitu tiba-tiba ada suara mendesis disertai menggebubunya hawa panas luar biasa. Pemuda di depan pintu serta merta menjatuhkan dirinya ke tanah dan berguling menjauhi pondok. Ketika dia bangkit kembali dilihatnya pondok Empu Pamenang telah disabung asap dan ada api menyala di balik asap itu. Memandang ke kiri dilihatnya dua sosok tubuh bercadar tegak di bawah kegelapan rerumpunan pohon bambu.
“Pembokong pengecut! Siapa kalian?!” bentak si pemuda. Meskipun dia tidak dapat memastikan namun dari potongan tubuh kedua orang itu dia bisa menduga-duga siapa adanya. “Aneh, kalau memang mereka, bukankah keduanya sudah mampus? Satu dibantai di tepi pantai satunya lagi tenggelam di dalam laut Teluk Burung?”
Dua orang di depan sana keluarkan tawa mengekeh. Yang di sebelah kanan berkata. “Agar kau tambah terkejut biar kubuka kain penutup wajahku!” Lalu orang ini pergunakan tangan kanannya untuk menanggalkan kain hitam yang menutupi mukanya.
“Supit Ireng! Memang kau rupanya atau setanmu yang sedang gentayangan!”
Supit Ireng tertawa. Sambil tangan kanan bertolak pinggang dia berkata, “Yang kau lihat memang setan Supit Ireng! Aku gentayangan untuk mencarimu. Sebentar lagi nyawamu akan kutarik amblas dari tubuhmu! Roh busukmu bisa bertemu dengan roh busuk Empu Pamenang di alam baka!”
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede jadi terkejut. “Apa maksudmu manusia muka setan?!” bentak Wiro.
“Tua bangka sahabatmu itu sudah kami bunuh! Mayatnya bisa nanti kau temui di dasar danau!” Yang menjawab adalah Supit Jagal.
“Bedebah kurang ajar...!” Wiro melompat ke muka.
“Tunggu dulu!” teriak Supit Jagal. “Kami membawa tugas untuk membunuhmu! Tetapi jika kita bisa berunding mungkin selembar nyawa anjingmu akan kuampuni!”
“Setan alas! Kalian sudah membunuh Empu Pamenang, berarti hanya kematian bagi kalian berdua!”
“Jangan bicara takabur dulu...”
“Keparat! Siapa yang menyuruh kalian membunuhku?!” hardik Wiro.
“Siapa orangnya tak perlu kami katakan cepat-cepat. Kami ingin berunding dulu mengenai pengampunan jiwamu! Jika kau mau mengatakan di mana gadis bernama Ning Larasati itu berada, kau akan kami selamatkan. Hanya gadis itu yang bisa menyelamatkan kau dari kematian!”
“Kalian dua tua bangka tidak tahu diri! Setan neraka sekalipun tidak akan mau bergaul dengan kalian. Apalagi seorang puteri raja secantik Larasati! Manusia-manusia edan!”
“Ah, kalau begitu biar tubuhmu kami panggang sampai matang! Diberi pengampunan minta mampus!” kata Supit Jagal. Dia melirik pada adiknya, memberi isyarat.
Supit Ireng angkat tangan kanannya ke atas. Supit Jagal mengangkat kedua tangannya sekaligus. Masing0masing telapak tangan tampak bergetar dan diarahkan pada Wiro Sableng. Lalu terdengar suara mendesis tajam. Angin panas menyambar ganas.
“Pukulan Telapak Merapi!” teriak Wiro kaget luar biasa lalu membuang diri ke samping sambil lepaskan pukulan tangan kosong mengandung aji kesaktian Benteng Topan Melanda Samudra. Segulung angin dahsyat menderu ke depan memapas tiga pukulan Telapak Merapi yang dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng.
Tiga larik pukulan sakti yang dilepaskan dua bersaudara Supit saling bertabrakan dengan pukulan sakti yang dilepaskan Wiro. Akibatnya bentrokan dahsyat ini terdengar suara letusan keras. Debu dan pasir beterbangan. Air danau bergelombang keras. Pendekar 212 terpental sampai satu tombak. Tubuhnya bergetar keras dan ada hawa panas menyengat jangatnya. Ini satu pertanda bahwa kekuatan serangan lawan berada di atas tingkat kekuatan pukulan saktinya!
“Celaka! Bagaimana dua manusia keparat ini menguasai dan membekal ilmu pukulan yang dimiliki Pangeran Matahari itu?!” membatin Wiro dengan perasaan tegang. Didepannya dilihatnya Supit Jagal dan Supit Ireng hanya terpental beberapa langkah lalu bangkit dengan cepat dan tampang garang! Keduanya maklum kalau pukulan Telapak Merapi yang tadi mereka lepaskan telah menggetarkan pemuda berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu.
“Kematian sudah di depan mata! Tapi kami masih bersedia memberi pengampunan. Lekas beri tahu di mana Ning Larasati berada!” kata Supit Jagal seraya maju satu langkah.
Tiba-tiba terdengar suara mencuatnya air danau. Dalam udara yang mulai gelap itu melesat keluar sesosok tubuh dalam selempang kain putih yang basah kuyup. Seorang kakek bungkuk sesaat kemudian sudah tegak di depan Supit Jagal dan Supit Ireng.
“Edan! Bukankah kau sudah mampus dan jadi mayat pendekam dasar danau?!” teriak Supit Jagal kaget ketika mengenali kakek bungkuk di depannya ternyata adalah Empu Pamenang.
Orang tua itu mendongak ke langit lalu berucap. “Jika kalian berdua masih hidup, seharusnya bisa menyadari kebesaran Tuhan dan bertobat untuk jadi orang baik! Sekarang malah kalian berdua muncul membawa dosa baru!”
“Tua bangka buruk! Jangan berkhotbah di hadapanku!” hardik Supit Ireng. Tangan kanannya bergerak. Untuk kesekian kalinya dia lepaskan pukulan Telapak Merapi.
“Empu awas!” teriak Wiro memberi ingat.
Empu Pamenang menyambar ujung kain putih basah yang menyelempang dadanya. Kain ini dikibaskan ke arah datangnya angin pukulan. Terdengar suara dess...! Asap putih menggebubu ke udara. Orang tua itu tampak terhuyung-huyung lalu jatuh berlutut di tanah. Ujung pakaian putihnya kelihatan hangus. Mukanya yag klimis merah menggelap. Dadanya berdenyut.
“Aneh, bagaimana dua manusia iblis ini masih hidup. Dari mana pula mereka mendapatkan kesaktian sehebat ini?” ujar Empu Pamenang dalam hati. Perlahan-lahan dia mencoba bangkit.
Di depannya Supit Jagal dan Supit Ireng saling berbisik. “Kalau satu pukulan saja sanggup menjatuhkannya, mari kita menghantam berbarengan. Pasti dia mampus!” Lalu Supit Jagal segera angkat kedua tangannya.
Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng segera kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lengannya sampai ke ujung jari serta merta berubah putih seperti perak dan memijarkan cahaya angker. Ini satu pertanda dia siap melepaskan pukulan Sinar Matahari.
Di depan sana Supit Jagal dan Supit Ireng sudah lebih dulu menggerakkan tangan menghantam. Serangan balasan yang dilancarkan Pendekar 212 dan Empu Pamenang terlambat. Sinar silau panas pukulan Sinar Matahari terpukul membalik ke arah Wiro dan sang Empu. Ditambah dengan tiga larik pukulan Telapak Merapi maka tempat itu berubah bagai neraka bagi Wiro dan Empu Pamenang!
Sekejap lagi Pendekar 212 dan Empu Pamenang akan disapu lumat oleh pukulan-pukulan lawan tiba-tiba satu sinar merah menjulang laksana jatuh dari langit, menghantam ke bawah!
Keadaan di tepi danau itu seperti dihantam goncangan gempa maha dahsyat disertai letupan-letupan keras seolah merobek langit dan dibarengi pula dengan cahaya-cahaya menyilaukan.
Empat orang berjatuhan ke tanah. Dada masing-masing terasa berdenyut sakit. Telinga laksana tuli beberapa saat lamanya. Pendekar 212 jatuh terduduk. Nafasnya mendadak menyesak dan dadanya terasa sakit. Di sebelah depannya Empu Pamenang berlutut tergontai-gontai. Ada cairan darah kelihatan di sela bibirnya.
Di bgian lain dua bersaudara Supit Jagal dan Supit Ireng terkapar saling tindih. Muka setan mereka sesaat tampak pucat seperti tidak berdarah. Tangan masing-masing bergetar kaku dan sakit seperti ditusuk-tusuk.
Di antara empat orang yang berkaparan di tanah itu tampak tegak seorang lelaki berpakaian biru gelap mengenakan blangkon. Dalam udara yang samakin gelap wajahnya masih bisa terlihat jelas. Dan tampang manusia ini ternyata tidak kalah seram dengan tampang Supit Jagal ataupun Supit Ireng.
Pada pipi kirinya ada cacat panjang sampai ke mata yang membuat mata kirinya mencuat keluar merah mengerikan dan selalu basah. Mulutnya pencong akibat tarikan daging muka yang cacat..Supit Jagal dan Supit Ireng sama-sama melompat kaget.
********************
DELAPAN
Supit Jagal sempat maju dua langkah lalu berhenti. “Kau!” katanya dengan suara agak kelu karena rasa tak percaya. “Kau Ki Ageng Tunggul Keparat! Jadi kau masih hidup?! Bedebah!”
Orang berpakaian biru dan mengenakan blangkon itu tertawa bergelak. Baik Wiro maupun Empu Pamenang ikut heran. Sebelumnya mereka telah menyaksikan bahwa manusia bernama Ki Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul Keparat itu telah tewas. Mayatnya terkapar di antara belasan mayat di Teluk Burung tempo hari.
Bagaimana mungkin kini dia bisa hidup dan muncul di sini. Bahkan lebih mengherankan lagi, dia pula tadi yang membuat kejutan dengan menerobos jalur-jalur pukulan sakti yang saling bentrokaan sehingga sempat menyelamatkan Wiro dan Empu Pamenang dari malapetaka. Bagaimana dia tiba-tiba bisa sehebat ini dan berhasil memusnahkan semua pukulan sakti tanpa diri sendiri cidera sedikitpun?!”
“Ha...ha! Kalian masih ingat wajah ini! Ketahuilah aku bukan Ki Ageng Tunggul Keparat...” kata orang berblangkon itu.
“Lalu kau siapa? Setannya?! Rohnya yang gentayangan?!” tanya Supit Ireng.
“Aku saudara kembarnya. Aku Ki Ageng Tunggul Akhirat! Kalian berdua telah membunuh saudara kembarku itu! Sekarang saatnya kalian menebus dosa dengan nyawa masing-masing!”
“Lagakmu keren amat! Manusia sombong memang harus lekas-lekas disingkirkan!” Habis berkata begitu Supit Jagal hantamkan kedua tangannya. Supit Ireng ikut memukul dengan tangan kanan. Masing-masing mereka kembali lepaskan pukulan sakti Telapak Merapi.
Ki Ageng Tunggul Akhirat membentak garang. Kedua tangannya dipalangkan di depan kepala. Sekujur badannya bergetar. Dari sela bibirnya terdengar suara. “Eyang, hajar kedua manusia ini!”
Kedua tangan Ki Ageng Tunggul Akhirat tiba-tiba menyentak ke depan. Baik Supit Jagal maupun adiknya sama-sama terkejut katika mereka tiba-tiba melihat sepasang tangan Ki Ageng Tunggul Akhirat berubah menjadi dua buah tangan raksasa yang memiliki kuku panjang dan hitam runcing. Mereka lanjutkan menghantam karena yakin pukulan Telapak Merapi yang mereka lepaskan tak akan sanggup di tahan oleh lawan. Namun keduanya salah sangka. Sebelum pukulan Telapak Merapi sempat mereka lepaskan, tangan-tangan berkuku panjang itu telah menyambar lebih dulu.
"Brettt! Brettt! Brettt...!"
Sepasang lengan pakaian Supit Jagal robek besar. Daging lengannya terkelupas berbusaian. Orang ini menjerit setinggi langit. Hal yang sama terjadi dengan Supit Ireng. Tangan kanannya mengucurkan darah dari luka-luka yang mencabik dagingnya. Orang ini meraung sambil muncur.
“Jagal, manusia satu ini bukan lawan kita. Berat dugaanku dia punya ilmu hitam. Lebih baik kita segera melarikan diri!” bisik Supit Ireng.
Supit Jagal yang berada dalam keadaan kesakitan setengah mati dan juga diam-diam merasa takut keluarkan sebuah benda hitam bulat sebesar tinju dari balik pinggangnya.
“Bangsat! Kalian mau lari ke mana?!” kertak Ki Ageng Tunggul Akhirat yang sudah tahu gelagat orang lalu melompat hendak menyergap.
Supit Jagal bergerak lebih cepat. Benda di tangannya dilemparkan ke tanah. Terdengar satu letusan keras. Disusul dengan menggebubunya asap hitam menutup pemandangan sampai sejarak beberapa tombak. Ketika asap itu sirna dua bersaudara Supit sudah lenyap dari tempat itu.
Ki Ageng Tunggul Akhirat menggembor marah. “Kalian berdua boleh lari ke ujung dunia. Tak akan kalian bisa lolos dari kematian di tanganku!” Dia hendak berkelebat mengejar namun ingat pada dua orang di sebelah sana. Dia berpaling dan memandang tajam pada Wiro serta Empu Pamenang.
Saat itu Wiro dan si orang tua sudah berdiri. Sambil terbungkuk-bungkuk Empu Pamenang berkata.”Terima kasih. Kau telah menyelamatkan kami dari serangan maut dua manusia keparat itu!”
“Aku juga berterima kasih dan berhutang nyawa padamu,” kata Wiro pula.
“Kalian punya sangkut paut apa dengan kedua orang itu?” Ki Ageng Tunggul Akhirat ajukan pertanyaan.
“Yang bernama Supit Jagal pernah membunuh tiga orang muridku,” menerangkan Empu Pamenang. “Beberapa waktu lalu kami telah membantai mereka tapi adalah aneh tahu-tahu mereka masih hidup dan muncul hendak membalaskan dendam! Ternyata mereka kini memiliki satu pukulan sakti luar biasa!”
“Hemm... Untung kalian berdua bukan sahabat mereka. Kalau tidak nyawa kalian tak bakal aku ampuni...”
“Apa betul kau saudara kembarnya Ki Ageng Tunggul?” bertanya Empu Pamenang.
Ki Ageng Tunggul Akhirat tidak menjawab. Dia keluarkan suara mendengus lalu berkelebat lenyap dari tempat itu. Empu Pamenang termangu sedang Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala.
“Dunia persilatan semakin kusut rupanya...” kata Empu Pamenang.
“Yang saya tidak habis pikir,” menyahuti Wiro. “Bagaimana dua manusia setan itu bisa memiliki ilmu pukulan Telapak Merapi. Pukulan sakti itu hanya dimiliki oleh Pangeran Matahari!”
“Ada hal-hal saling terkait...” ujar Empu Pamenang. “Siapa tahu Pangeran Matahari kini telah membentuk satu komplotan terdiri dari manusia-manusia jahat seperti dua bersaudara Supit itu. Mereka sengaja dibekali satu dua macam ilmu kepandaian yang sulit ditandingi...”
“Mungkin kau benar Empu.Supit Jagal tadi sesumbar mengatakan bahwa dia membawa tugas untuk membunuhku. Tapi dia tidak mau mengatakan siapa yang menyuruhnya...”
“Aku punya dugaan berat si penyuruh adalah Pangeran Matahari sendiri. Itu sebabnya dia membekali kedua setan itu dengan pukulan sakti. Agaknya kau ada silang sengketa dendam kesumat dengan Pangeran Matahari gila itu?”
“Orang jahat seperti Pangeran Matahari memang banyak musuhnya. Salah satu di antaranya adalah saya. Kami pernah bentrokan beberapa kali. Dia selalu gagal membunuh saya. Saya sendiri sampai saat ini belum dapat menundukkannya,” kata Wiro pula.
“Saya ingat akan maksud bejat dua bersaudara Supit. Mereka datang dengan dua maksud. Pertama hendak membunuh Empu. Kedua hendak menculik Ning Larasati. Mungkin saya akan ke Kotaraja. Gadis itu harus diberi tahu bahwa ada bahaya mengancam dirinya...”
Empu Pamenang mengangguk. “Itu memang hal yang terbaik yang harus kau lakukan. Ada satu hal yang harus kau perhatikan. Manusia bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat itu. Meski dia telah menyelamatkan kita dari serangan maut dua bersaudara Supit, namun jangan mengharap bahwa dia adalah jenis manusia yang bisa dijadikan sahabat. Saudara kembarnya memiliki ilmu hitam. Dia aku yakin sekali pasti juga memiliki ilmu hitam. Kau harus berhati-hati terhadapnya Wiro.”
“Terima kasih atas peringatan Empu,” kata Pendekar 212.
Empu Pamenang membetulkan letak selempang kainnya yang masih basah. Sekali dia berkelebat tubuhnya melayang lalu laksana seekor burung dia hinggap di cabang sebuah pohon besar.
********************
SEMBILAN
Sepanjang malam itu Supit Jagal dan Supit Ireng lari terus ke arah Timur. Menjelang dini hari baru keduanya berhenti dan menggulingkan diri di dalam sebuah dangau yang terletak di tepi daerah pesawahan.
“Tubuhku terasa panas. Jangan-jangan cakar manusia setan itu mengandung racun...” kata Supit Jagal.
“Tubuhku juga panas,” menyahuti Supit Ireng. Dia merogoh ke dalam saku pakaiannya. Tak lama kemudian dikeluarkannya sebuah kantong kecil. Dalam kentong ini terdapat sejenis bubuk yang merupakan obat luka ampuh.
“Bubuk obat ini akan menyelamatkan kita kalau cakar si iblis itu memang mengandung racun. Kau bisa usapkan bubuk ini di kedua lenganmu. Tapi tolong dulu aku...”
Setelah menggosokkan bubuk obat pada luka di lengan masing-masing kedua orang ini merasa agak tenang. Apalagi jelas mereka rasakan hawa panas di tubuh mereka kini mulai berkurang.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang Jagal?” tanya Supit Ireng.
“Kita telah gagal membunuh Pendekar 212. Jika Pangeran Matahari sempat mengetahui pasti dia akan marah besar...”
“Sekali memang kita gagal. Itupun gara-gara munculnya jahanam yangmengaku bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat. Kalau dia tidak ada pasti kita sudah menghabisi pemuda itu dan si tua bangka Empu Pamenang. Kita harus mencari kedua orang itu kembali. Aku yakin Empu Pamenang tidak akan berada jauh dari danau Merak Biru. Soal Pendekar 212 kita pasti akan menemuinya. Jika bertemu untuk kedua kali, nyawanya tak akan tertolong lagi!” Supit Ireng mengusap mukanya beberapa kali.
“Aku berpikir-pikir, buat apa kita bersusah payah mencari dan membunuh kedua orang itu. Bagaimana kalau sementara mereka kita lupakan saja. Yang penting adalah mengambil peti berisi harta dan uang yang ada di belakang rumah Ki Ageng Tunggul Bayana alias Tunggul Keparat di Pasirginting. Bila empat peti itu sudah kita dapat, kita bawa pergi jauh-jauh ke Timur atau ke Barat. Lupakan dunia kita yang sekarang ini. Kita hidup mewah sebagai orang kaya raya...”
“Apa kau kira Pangeran Matahari tidak akan menyatroni kita? Sekali dia menemui kita tamatlah riwayat kita.” Supit Ireng berkata dengan nada meragu.
“Kalau kau takut tinggal di tanah jawa ini kau boleh pergi ke seberang di mana tidak seorangpun tahu siapa dirimu.”
“Tapi jangan lupa Jagal. Tampang-tampang kita ini akan mudah menarik perhatian orang,” kata Supit Ireng pula.
“Terserah padamu Supit Ireng. Aku akan ke Pasirginting. Aku akan mengambil dua dari empat peti itu lalu memlenyapkan diri. Persetan dengan Pangeran Matahari. Persetan dengan Empu Pamenang serta Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku ingin hidup senang sebelum masuk liang kubur!” Habis berkata begitu Supit Jagal bangkit dari tidurnya.
“Heh, kau mau ke mana?” tanya sang adik.
“Aku akan ke Pasirginting sekarang juga. Jika aku bisa mendapatkan kuda paling tidak dua hari di muka aku sudah sampai di sana!” Supit Jagal melompat turun dari atas dangau. “Kau ikut?” tanyanya pada adiknya.
Supit Ireng tampak bimbang. Tapi ketika kakaknya melangkah pergi, dia bergerak pula mengikuti. Hanya sesaat setelah kedua orang itu lenyap, dari balik sebatang pohon besar tak berapa jauh dari dangau keluar satu sosok tinggi besar. Dia memandang ke jurusan perginya Supit Jagal dan Supit Ireng. Seringai bermain di mulutnya. Rambutnya yang menjulai gondrong di belakang tengkuk melambai-lambai ditiup angin. Sekali berkelebat orang ini lenyap ke arah yang sama yang dituju Supit Jagal danSupit Ireng.
Tidak sulit mencari rumah bekas kediaman Ki Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul Keparat yang pernah menjadi Kepala Desa Pasirginting itu. Rumah besar di tengah desa itu kelihatan gelap. Biasanya selalu ada beberapa pengawal berjaga-jaga di sana. Tapi sejak jabatan Kepala Desa diambil alih oleh orang lain rumah itu menjadi sunyi sepi.
Penghuninya yaitu istri muda Ki Ageng Tunggul Bayana yang kini menjadi janda saat itu tertidur lelap dalam pelukan seorang pemuda desa yang diam-diam dijadikannya teman hidupnya. Pemuda ini selalu datang pada malam hari. Menjelang dini hari dia meninggalkan rumah kembali ke tempat kediamannya di pinggir desa sebelah Selatan. Dua buah gerobak memasuki desa hampir tanpa suara lalu berhenti di depan rumah besar itu.
“Kita langsung saja ke halaman belakang,” bisik kusir gerobak yang sebelah kanan yaitu Supit Jagal.
Dua buah gerobak bergerak ke halaman belakang rumah besar. Supit Jagal melompat dari gerobak lalu dengan cepat mengambil sebuah pacul dan linggis. Linggis diberikannya pada Supit Ireng seraya berkata.
”Aku akan macul, kau bantu dengan linggis. Kita harus bekaerja cepat sebelum pagi tiba.”
Supit Ireng mengangguk. Lalu dia turun pula dari atas gerobaknya. Supit Jagal sesaat memandangi halaman belakang yang cukup luas itu. Lalu dia mulai memacul. Adiknya memegang linggis dengan tangan kanannya. Dengan benda ini dia menusuk tanah yang dipaculi kakaknya. Setelah memacul cukup lama dan hampir sebagian halaman belakang itu terkikis, benda yang mereka cari masih belum ditemukan.
“Aku kawatir, ucapan tunggul Bayana pada Lor Paregreg yang sempat kau dengar tempo hari hanya dusta belaka,” kata Supit Ireng.
Supit Jagal berhenti memacul. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat. Dia memandang berkeliling. “Orang yang mati ketakutan dan ingin hidup tak mungkin berdusta!” jawab Supit Jagal.
Tapi hatinya mulai mendua. Dia memandang berkeliling. Pandangannya membentur pada sederetan pohon-pohon pisang yang tumbuh dekat pagar batas halaman di sebelah kiri. Supit Jagal memberi isyarat. Lalu dia melangkah ke arah pohon-pohon pisang itu. Di sini dia mulai menggali. Dan Supit Ireng kembali menusuk-menusuk tanah bekas galian dengan linggis.
“Dukkk!”
Terdengar suara keras tanda ujung linggis membentur sebuah benda. Abang dan adik itu saling berpandangan sesaat.
“Gali lagi! Pacul! Cepat Jagal...” bisik Supit Ireng seraya memegang erat-erat linggis yang menancap di tanah.
Seperti mendapat tenaga baru, penuh semangat Supit Jagal memacul tanah di sekitar linggis. Pada jarak tiga jengkal kedalam paculnya tertahan oleh sebuah benda keras. Supit Jagal lepaskan pacul. Dia berlutut dan pergunakan kedua tangannya untuk mengangkat tanah. Sesaat kemudian dalam gelap dia melihat sebuah papan melintang.
“Ireng...!” desis Supit Jagal. “Kita menemukan peti-peti itu!”
Seperti kesetanan kedua kakak beradik itu memacul dan menggali sampai akhirnya sosok sebuah peti muncul dalam lobang di tanah. Dengan susah payah peti besar itu dikeluarkan dari dalam tanah. Lalu dengan ujung linggis Supit Jagal mendongkel papan penutupnya. Begitu papan terkuak kelihatanlah isinya. Supit Jagal dan Supit Ireng seperti hendak bersorak ketika mereka melihat isi peti itu. Sejumlah perhiasan, uang emas dan perak serta ukiran-ukiran perunggu yang tak terkira nilainya.
“Bantu aku menaikkannya ke gerobak...” kata Supit Jagal. Karena Supit Ireng hanya punya satu tangan, cukup susah juga bagi keduanya menaikkan peti besar itu ke atas gerobak.
“Baru satu peti Ireng. Masih ada tiga lagi!” bisik Supit Jagal.
Kedua kakak beradik ini kembali bekerja keras. Dalam waktu singkat mereka berhasil menemukan peti yang kedua. Peti ini lalu dinaikkan pula ke atas gerobak pertama yaitu gerobak yang tadi di bawa oleh Supit Jagal. Kini kedua orang itu menggali peti yang ketiga.
Di dalam rumah, Suniarsih jada Ki Ageng Tunggl Bayana menggeliat dan terbangun dari tidurnya. Gerakan kaki perempuan ini membuat terbangun pula sang kekasih, pemuda bernama Pintoro.
“Aku tidak tahu kalau ketiduran....” kata Suniarsih seraya merangkul Pintoro dengan tangan dan kakinya.
“Sebenarnya aku ingin membangunkanmu, tapi aku kawatir kau keletihan,” jawab si pemuda dan tangannya mengusapi punggung telanjang Suniarsih, membuat janda ini terangsang dan menyelinapkan tangannya. Gerakan tangan sang janda membuat Pintoro tesentak dan terbakar kejantanannya.
“Kau selalu membuat aku seperti kesetanan Arsih...” bisik Pintoro.
“Justru aku suka kalau kau sudah kesetanan. Ayo Pintoro... lakukanlah..!” Suniarsih menarik tubuh kuat pemuda itu. Sesaat ketika gerakan pemuda ini seperti tertahan.
“Ada apa...?” tanya sang janda.
“Aku mendengar suara...”
“Suara apa?”
“Entahlah. Tak dapat kupastikan...”
“Ah itu mungkin hanya suara angin. Atau suara binatang malam. Mungkin juga tikus atau kucing. Mengapa diperdulikan? Ayolah Pintoro. Jangan siksa aku...”
Lalu Suniarsih tekan pinggang pemuda itu. Tapi Pintoro yang gelisah justru turun dari tempat tidur.
“Kau mau kemana?”
“Aku kawatir orang-orang desa melakukan pengintaian. Kalau mereka menangkap basah kita di kamar ini...”
Mendengar ucapan si pemuda Suniarsih jadi kecut. “Kalau begitu coba kita intai...” Kini janda itu yang mengajak.
“Suara itu datangnya dari halaman belakang. Seperti suara orang menggali tanah,” bisik Pintoro.
Pemuda ini cepat mengenakan celana panjangnya sedang Suniarsih melangkah mengikuti sambil menggelungkan kain panjang ke tubuhnya. Kedua orang ini setengah berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang rumah. Karena dinding belakang rumah terbuat dari gedek dengan mudah Pintoro membuat sebuah lobang lalu mengintai.
“Ada dua buah gerobak. Yang satu berisi dua peti besar. Satunya lagi satu peti besar. Ada dua orang tengah menggali tanah dekat pohon-pohon pisang...” Pintoro menceritakan apa yang dilihatnya, lalu menyuruh Suniarsih mengintai sendiri.
“Astaga, siapa orang-orang itu...” bisik sang janda. “Apa isi peti-peti itu. Mereka pasti pencuri. Maling! Kau harus melakukan sesuatu Pintoro. Ambil parang!”
“Tidak, mereka bukan pencuri atau maling. Mereka bukan penjahat biasa,” jawab Pintoro. “Apa yang mereka lakukan adalah satu pekerjaan rahasia...”
“Jangan-jangan peti-peti itu berisi barang-barang berharga. Mungkin sekali kepunyaan mendiang suamiku... Lekas ambil parang, Pintoro. Atau aku akan berteriak maling saja?”
“Jangan...”
“Kau pengecut!”
Kedua orang itu jadi terlibat dalam pertengkaran. Di halaman belakang Supit Jagal dan Supit Ireng sedang menggotong peti keempat. Di dalam rumah karena bertengkar, tak sengaja tangan Suniarsih menyentuh sebuah kendi yang terletak di meja. Kendi ini jatuh ke lantai mengeluarkan suara berisik.
“Supit Jagal dan Supit Ireng terkejut dan sama memandang ke arah rumah. Pada saat itu mereka melihat pintu rumah terbuka dan dua orang keluar.
“Kita ketahuan Ireng. Habisi kedua orang itu!” kata Supit Jagal.
Supit Ireng segera melompat ke hadapan dua orang yang barusan keluar dari dalam rumah yakni Pintoro dan Suniarsih.
“Siapa kalian?!” bentak Pintoro. Parang di tangannya diangkat tinggi-tinggi, siap untuk membacok. Tapi nyalinya jadi meleleh ketika melihat wajah setan Supit Ireng.
“Kau... kau hantu...?!” Ucapan Pintoro hanya sampai di situ. Tangan kiri Supit Ireng bergerak.
"Praaakk!" Pintoro terpental sampai lima langkah. Tubuhnya tergelimpang di dekat roda gerobak, mati dengan muka rengkah.
Suniarsih menjerit keras. Tapi Supit Jagal yang sudah ada di dekat situ segera menutup mulut perempuan ini. Suniarsih coba meronta berusaha melepaskan diri. Namun yang lepas justru kain panjang yang menutupi tubuhnya. Tak ampun lagi perempuan ini kini berada dalam keadaan bugil. Melihat tubuh putih telanjang seperti itu terbakarlah bafsu Supit Jagal. Supit Irengpun tampak terkesiap. Mata kanannya membeliak besar. Nafasnya langsung memburu.
“Heh, kau mau bawa ke mana perempuan itu?!” seru Supti Ireng ketika dilihatnya kakaknya menggotong Suniarsih ke arah pintu balakang rumah.
“Berminggu-minggu aku tak pernah menyentuh tubuh perempuan Ireng! Pantas kalau aku pergunakan kesempatan untuk bersenang-senang. Kau tunggu saja. Aku tak akan lama. Kalau aku sudah selesai kau bakal dapat giliran!” Supit Jagal tertawa mengekeh.
“Kau gila! Tolol! Jangan cari penyakit! Kalau kau mau bawa saja! Naikkan ke atas gerobak!” kata Supit Ireng.
Supit Jagal tidak menajwab. Dia melangkah terus menuju pintu. Justru saat itu ada suara lain yang menyahuti ucapan Supit Ireng tadi.
SEPULUH
"Kau benar Supit Ireng! Kakakmu itu bukan saja cari penyakit tapi juga tolol dan gila!”
Supit Jagal serta merta hentikan langkahnya ketika mendengar suara itu lalu berpaling. Supit Ireng telah lebih dulu memutar kepala ke arah datangnya suara tadi. Wajah setan kedua orang ini mendadak sontak berubah. Lutut masing-masing terasa bergetar.
“Pangeran Matahari...!” desis Supit Jagal.
Pemuda tinggi besar berjubah hitam itu mendongak ke langit gelap lalu terdengar suara tawanya mengekeh. Kekehan ini perlahan saja namun seperti mencucuk liang telinga terasa oleh Supit Jagal dan Supit Ireng.
“Perempuan itu tak pantas berada dalam dukunganmu Supit Jagal. Lepaskan tekapanmu pada mulutnya. Turunkan tubuhnya dan suruh dia melangkah kehadapanku!”
“Akan... akan saya lakukan Pangeran...” kata Supit Jagal pula. Dengan hati-hati diturunkannya tubuh tanpa pakaian itu ke tanah.
Berdiri di samping Supit Jagal, janda muda itu kini dapat melihat pemuda yang tegak beberapa langkah di depannya. Seorang pemuda bertubuh tinggi kekar, bertampang gagah, jauh lebih gagah dari Pintoro yang sudah jadi mayat itu.
“Lepaskan tekapanmu dari mulutnya!” perintah Pangeran Matahari ketika dilihatnya Supit Jagal masih menekap mulut perempuan itu dengan tangan kirinya.
“Saya kawatir dia akan berteriak, Pangeran. Orang sedesa bisa bangun dan mendatangi tempat ini...”
Pangeran Matahari menyeringai mendengar kata-kata Supit Jagal itu. “Kau takut perempuan itu berteriak. Kau takut orang satu desa datang ke mari. Tapi kau tidak takut mendustai dan menipu aku. Menipu Pangeran Matahari yang telah menyelamatkan kau dari kematian!” Pangeran Matahari melirik pada Supit Ireng. “Kau juga tidak takut bukan?”
Baik Supit Jagal dan Supit Ireng tak ada yang menjawab. Pangeran Matahari kembali tertawa mengekeh. Suara tawanya lenyap. Dia memandang dengan tersenyum pada Suniarsih lalu membentak pada Supit Jagal.
“Lepaskan tekapanmu! Perempuan itu tidak akan menjerit!”
Perlahan-lahan Supit Jagal lepaskan tekapannya pada mulut Suniarsih. Ternyata sang janda memang tidak berteriak. Pangeran Matahari melambaikan tangannya.
“Mari, melangkahlah dan datang ke dekatku. Kau tak pantas dekat-dekat dengan setan itu!” kata sang Pangeran pula.
Ternyata Suniarsih mengikuti ucapan Pangeran Matahari. Memang kalau dilihat tampang dan perawakan tentu saja setiap perempuan akan memilih atau lebih suka berada di dekat sang Pangeran dari pada Supit Jagal. Suniarsih lalu melangkah ke dekat Pangeran Matahari. Bagitu perempuan ini berada di hadapannya, sang Pangeran langsung merangkul dan mencium lehernya. Tubuh Suniarsih diputarnya hingga punggung perempuan ini menempel ke dadanya. Tangan kiri Pangeran Matahari menyelinap ke bawah ketiak kiri Suniarsih. Pemandangan ini membuat tenggorokan Supit Jagal dan Supit Ireng jadi turun naik.
“Tak usah takut. Kau aman bersamaku...” bisik Pangeran Matahari yang mulai terangsang merangkulinya, sedang wajah Suniarsih walaupun hanya seorang perempuan desa tetapi kecantikannya sanggup memikat lelaki manapun, termasuk sang Pangeran. Sang Pangeran kembali mencium kuduk jada itu. “Siapa namamu...?”
“Suni... Suniarsih. Saya... saya takut pada dua orang itu. Tolong saya bawa saya ke tempat yang aman...”
“Tak usah takut. Dua setan itu akan segera kuhabisi,” bisik Pangeran Matahari, sedang dua matanya memandang berkeliling. Dia memperhatikan dua buah gerobak yang masing-masing berisi dua buah peti besar itu. Lalu pandangannya kembali di arahkan pada Supit Jagal dan Supit Ireng.
“Kalian berdua memang manusia setan! Terlalu serakah. Terlalu ingin kaya sendiri! Untuk itu kalian sengaja mendustaiku. Menipuku! Mengatakan tidak tahu menahu tentang empat peti itu! Dulu kutolong nyawamu dari kematian, kini biar aku sendiri yang akan membetot nyawa busuk kalian dari tubuh-tubuh anjing kalian!”
“Pangeran,” kata Supit Jagal cepat. “Jangan salah duga. Waktu di goa tempo hari, ketika kau menanyakan tentang empat peti itu, kami memang belum tahu apa-apa. Tapi beberapa hari lalu kami berhasil mendapatkan rahasia peti-peti ini dari Empu Pamenang sebelum kami membunuhnya dan membuang mayatnya ke dalam danau Merak Biru...”
“Hemm... Betul begitu?” tanya Pangeran Matahari.
“Apa yang dikatakan Supit Jagal memang betul Pangeran!” berkata Supit Ireng.
“Apakah kalian juga sudah menjalankan tugas, membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng?!” tanya Pangeran Matahari pula dengan seringai di bibir.
“Tugas dari Pangeran memang sudah kami laksanakan. Kebetulan Wiro Sableng muncul di danau Merak Biru. Tetapi sebelum dia sempat kami bunuh, seorang berkepandaian tinggi yang menguasai ilmu hitam tiba-tiba muncul! Dia mengaku sebagai saudara kembar Ki Ageng Tunggul Keparat. Dia mengaku bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat!”
Sampai di sini Supit Ireng meneruskan keterangan kakaknya. “Kami menghantam mereka dengan pukulan Telapak Merapi. Tapi pukulan yang dilepaskan manusia bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat itu membuyarkan pukulan-pukulan kami. Bahkan kalau kami tidak segera membuang bola asap mungkin kami berdua sudah celaka!”
“Hebat sekali cerita kalian!” kata Pangeran Matahari pula. “Lalu empat buah peti ini hendak kalian bawa ke mana?”
“Tentu saja hendak kami serahkan pada Pangeran!” jawab Supit Jagal.
Pangeran Matahari tertawa tergelak-gelak. “Kalian sungguh setan-setan yang mencoba berbudi seperti manusia. Untuk itu kalian akan kuberi pengampunan...”
“Terima kasih Pangeran...” kata Supit Jagal.
“Diam! Ucapanku belum selesai!” bentak Pangeran Matahari. “Tadinya aku sudah merencanakan hendak membunh kalian sampai daging dan tulang belulang kalian cerai berai. Tapi mendengar ucapan kalian tadi, aku beri pengampunan dan kalian bisa meregang nyawa dengan tubuh tetap utuh!”
Berubahlan paras Supit Jagal dan Supit Ireng. “Pangeran...” kata Supit Ireng dengan suara bergetar.
“Tutup mulutmu bangsat! Bersiap saja menerima kematian!” hardik Pangeran Matahari. Lalu tangannya kiri kanan diangkat ke atas.
Melihat hal itu Supit Jagal dan Supit Ireng tak bisa berbuat apa-apa selain melompat ke samping seraya mendahului menyerang. Keduanya sengaja melepaskan pukulan sakti Telapak Merapi yang didapatnya dari sang Pangeran. Dua pukulan ini dilakukan dengan mengandalkan tenaga dalam penuh. Didahului dua desisan keras, dua larik angin panas menyambar ke arah Pangeran Matahari yang di depannya masih tegak berdiri Suniarsih dalam keadaan tanpa pakaian itu!
Tampang Pangeran Matahari tampak membesi. Rahangnya menggebung. Pelipisnya bergerak-gerak. Cuping hidungnya mengembang. Kedua tangannya didorongkan ke depan.
“Wuss! Wusss...!”
Dua gelombang angin sedahsyat topan prahara menyambar dari telapak tangan kiri kanan Pangeran Matahari. Dua larik angin pukulan Supit Jagal dan Supit Ireng serta merta terbabat musnah. Dua kakak beradik ini berteriak keras.
“Pangeran! Ampuni kami!” teriak Supit Jagal.
“Pangeran! Jangan bunuh diriku!” jerit Supit Ireng.
Namun pekik jerit itu tak ada gunanya lagi. Dua pukulan Telapak Merapi yang dilepaskan sang Pangeran datang menyambar dengan ganas!
SEBELAS
Sesaat lagi sosok tubuh Supit Jagal dan Supit Ireng akan terpanggang hangus oleh pukulan Telapak Merapi yang dilepaskan Pangeran Matahari, tiba-tiba mencuat satu sinar merah, merambas ke bawah menghantam pukulan sakti sang Pangeran. Tanah bergoncang laksana dilanda gempa bumi. Hawa panas menyungkup dan dentuman keras terdengar sampai dua kali berturut-turut.
Dua ekor kuda penarik gerobak meringkik keras lalu lari manjauh ke halaman samping. Seruan keras keluar dari mulut Pangeran Matahari. Bukan saja karena kaget menyaksikan bagaimana dua larik pukulan saktinya musnah tetapi juga karena saat itu dia merasakan kedua tangannya bergetar keras sedang dadanya berdenyut sakit. Wajahnya jelas agak pucat.
Bersamaan dengan seruan Pangeran Matahari tadi, Suniarsih juga menjerit ketakutan. Pangeran Matahari cepat merangkul janda muda itu lalu melompat jauh ke belakang.
“Berlindung di balik pohon sana,” kata Pangeran Matahari lalu mendorong Suniarsih ke arah sebuah pohon besar.
Setelah getaran di dadanya lenyap dengan mengatur aliran darah serta nafasnya Pangeran Matahari maju tiga langkah. Dia tidak memperdulikan Supit Jagal dan Supit Ireng yang jatuh bergelimpangan di tanah sambil mengeluh kesakitan. Kedua matanya memandang tak berkesip dan membeliak pada seorang kakek berpakaian serba biru, mengenakan blangkon dan bertampang seangker setan!
Saat itu beberapa penduduk yang tinggal di sekitar situ tersentak bangun dari tidur masing-masing. Mereka berlarian ke luar. Mereka mendatangi rumah bekas Kepala Desa itu. Namun ketika mereka melihat wajah-wajah setan yang ada di situ, semuanya serta merta melarikan diri karena menyangka setan betulan sedang mengamuk di malam buta itu!
“Iblis siapa kau?!” hardik Pangeran Matahari.
“Pangeran!” Tiba-tiba Supit Jagal berkata sambil berdiri. “Ini makhluk yang menghalangi kami membunuh Pendekar 212!”
“Hem... Siapa namamu? Apa kau menusia betulan atau sebangsa dedemit jejadian?!”
Orang yang ditanya, yang tentunya sudah dapat diterka yaitu Ki Ageng Tunggul Akhirat tertawa bergelak. “Aku Ki Ageng Tunggul Akhirat! Apakah aku manusia betulan atau sebangsa dedemit terserah kau menilai sendiri!”
“Lagakmu sombong amat!” tukas Pangeran Matahari merasa tersinggung. “Kau tahu berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Siapa dirimu aku tidak merasa ingin mengetahui. Aku hanya tahu satu hal! Dua bangsat bermuka iblis itu nyawanya adalah milikku. Kalau dia mampus maka aku yang berhak membunuhnya! Tidak percuma aku bernama Tunggul Akhirat!”
Ucapan Ki Ageng Tunggul Akhirat itu benar-benar membuat marah Pangeran Matahari. Tapi dia bukan sang Pangeran namanya kalau tidak bisa menahan diri dan berlaku cerdik. Akalnya berjalan, kelicikannya muncul. Dia dapat melihat adanya getaran yang menyungkup sekujur tubuh orang di depannya itu. Satu pertanda bahwa orang ini memang meiliki ilmu hitam seperti yang dikatakan Supit Jagal. Sambil menyeringai Pangeran Matahari berkata.
“Kalau kau memang ada sangkut paut dendam kesumat dengan dua keparat itu, silakan kau selesaikan dulu urusan dengan mereka. Aku bisa sabar menunggu! Aku tidak merasa rugi kalau kau memang mampu membunuh mereka!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat membalas seringai Pangeran Matahari dengan tawa dingin. Dia memutar tubuh berpaling pada Supit Jagal dan Supit Ireng yang saat itu berada dalam keadaan setengah mati.
“Pangeran! Tolong kami!” teriak Supit Jagal.
“Setan keparat! Tak satu orangpun bisa menolong dirimu dan saudaramu!” bentak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tubuhnya bergetar keras.
Supit Jagal dan Supit Ireng yang sudah putus nyali melompat ke jurusan yang berlainan. Masing-masing berusaha melarikan diri.
“Mana bisa kalian lari dariku!” teriak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Kedua tangannya diangkat ke atas.
Selagi dia siap untuk menghantam, tanpa diketahuinya dari belakang dengan licik Pangeran Matahari melepaskan satu pukulan maut bernama Gerhana Matahari. Pukulan sakti ini memancarkan sinar kuning, hitam dan merah! Sekalipun Ki Ageng Tunggul Akhirat memiliki ilmu hitam, namun dibokong dari belakang seperti itu tipis harapan nyawanya akan selamat. Pada saat itulah tiba-tiba ada suara orang berseru menggelegar dalam kegelapan malam.
“Ki Ageng! Awas serangan di belakangmu!”
Ki Ageng Tunggul Akhirat menggembor marah. Dia membalikkan tubuh dan masih sempat melihat tiga larik sinar pukulan maut yang dilepaskan Pangeran Matahari menderu ke arahnya! “Eyang, bunuh manusia itu!” Mulut Ki Ageng Tunggul Akhirat berucap. Kedua tangannya dipukulkan ke depan.
Dua larik sinar merah berkiblat. Halaman belakang itu laksana dihantam halilintar. Tiga letusan menggeletarkan bumi dan seperti merobek langit. Ki Ageng Tunggul Akhirat merasakan kedua kakinya seperti disapu dari tanah yang dipijaknya. Tubuhnya mengapung sampai setengah tombak. Ketika dia jatuh ke tanah kembali sekujur tubuhnya bergelegar keras. Dia masih sanggup berdiri meski kedua kakinya terasa goyah.
Di depan sana Pangeran Matahari tampak terhuyung-huyung. Mukanya pucat seperti kain kafan. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur. Tiba-tiba seperti ada kekuatan baru masuk ke dalam tubuhnya, dia maju sampai tiga langkah ke hadapan Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tangan kanannya yang membentuk tinju diangkat tinggi-tinggi ke atas. Dia siap melepaskan pukulan sakti paling diandalkannya yaitu pukulan Merapi Meletus.
Namun belum sempat tangan itu bergerak lebih jauh dari arah kegelapan terdengar suara bersiur, disusul dengan berkiblatnya sinar berwarna perak menyilaukan disertai hawa panas luar biasa. Pangeran Matahari tersentak kaget.
“Pukulan Sinar Matahari,” desisnya tegang. Dalam saat-saat sangat menegangkan dan menentukan begitu rupa saat pangeran masih sempat memutar otaknya. Dia melompat empat tombak ke belakang, sebatas jarak jangkauan pukulan sakti Sinar Matahari. Dari tempatnya berdiri dengan pengerahan tenaga dalam penuh Pangeran Matahari membuat gerakan seperti mendorong.
Terjadilah hal yang hebat. Pukulan Sinar Matahari laksana terbendung lalu ketika dia memukulkan kedua telapak tangannya dengan keras, pukulan Sinar Matahari dan sekaligus pukulan Merapi Meletus miliknya sendiri membalik menghantam ke arah Ki Ageng Tunggul Akhirat yang tengah berkomat-kamit memanggil Eyang di alam gaib. Namun sekali ini sang Eyang tidak mampu melawan serangan balik yang datang sangat cepat dan tidak terduga.
Ki Ageng Tunggul Akhirat menjerit keras. Tubuhnya terlempar sampai bebrapa tombak. Ketika tubuh itu berhenti menggelinding kelihatan sekujur dagingnya merah laksana dipanggang bahkan di beberapa bagian tulang belulangnya menguak putih mengerikan.
Dari dalam gelap satu bayangan melompat, memburu ke arah Ki Ageng Tunggul Akhirat. Sungguh luar biasa. Walau keadaan tubuhnya leleh mengerikan ternyata dia tidak segera mati. Bahkan salah satu matanya masih bisa melihat sosok tubuh orang yang berdiri di sampingnya.
“Pendekar 212...!” suara Ki Ageng Tunggul Akhirat sember dalam sekarat. “Terima kasih kau berusaha menolongku. Aku...” Ucapan Ki Ageng Tunggul Akhirat terputus sampai di situ. Kepalanya sesaat seperti hendak bergerak bangkit. Namun terhempas kembali ke tanah. Bersamaan dengan itu nyawanya pun melayang.
Wiro palingkan kepala ketika telinga kirinya menangkap suara mengerang di samping kiri. Dilihatnya Pangeran Matahari melangkah tertatih-tatih. Murid Eyang Sinto Gendeng segera mengejar dan menghadang musuh besarnya itu. Sekujur tubuh dan pakaian sang Pangeran tampak hangus. Dari mulutnya masih terus mengucur darah. Tubuhnya di sebelah dalam terluka parah.
Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Kedua matanya tampak membersit sinar ganas. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian terdengar dia berkata. “Antara kita memang ada jurang permusuhan yang dalam. Saat ini aku dalam keadaan tak berdaya! Sebagai orang persilatan apakah kau akan membunuh diriku?!”
“Manusia licik! Kau pergunakan keadaanmu yang tak berdaya untuk belas kasihan!”
Sang Pangeran tertawa dingin. “Siapa minta belas kasihanmu Pendekar 212! Jika kau ingin membunuhku silahkan! Aku tidak akan melawan!”
“Sialan!” maki Wiro dalam hati. “Keparat busuk licik ini tahu betul kalau aku tidak akan mau membunuhnya dalam keadaan seperti ini!”
“Ayo, kau tunggu apa lagi?! Lekas bunuh diriku! Hantam dengan pukulan mataharimu! Atau cabut Kapak Naga Genimu!” teriak Pangeran Matahari.
Saking geramnya murid Eyang Sinto Gendeng maju lebih dekat lalu...
“Plaak!” Tamparannya mendarat di pipi kiri Pangeran Mtahari. Sang Pangeran terpuntir keras lalu jatuh berlutut. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya apalagi tamparan Wiro tadi telah merobek pinggiran bibirnya. Wiro cekal leher pakaian Pangeran Matahari yang hangus lalu meraiknya keatas dengan satu sentakan hingga orang ini tertegak. Begitu berdiri Wiro dorong tubuhnya sampai terhuyung-huyung kedepan.
“Kau boleh pergi membawa nyawa busukmu. Lain kali jangan harap aku mau membiarkanmua pergi dengan nyawa masih di badan!”
Sepasang mata Pangeran Matahari memandang tak berkesip pada Wiro. “Pendekar 212...” katanya dengan suara bergetar. “Kelak kau akan menyesal seumur hidup karena tidak membunuhku saat ini!”
“Setan! Tak perlu bicara ngaco!” hardik Wiro. Kaki kirinya bergerak dan...
“Bukkk!” Dia tendang pantat sang Pangeran. Terbungkuk-bungkuk menahan sakit akibat luka dalam yang parah Pangeran Matahari akhirnya tinggalkan tempat itu.
Wiro seperti tersentak ketika sudut matanya melihat dua bayangan melompat ke atas dua buah gerobak yang masing-masing berisi dua peti besar. Kedua orang ini siap menggebrak kuda-kuda penarik gerobak.
“Setan-setan edan!” teriak Wiro. “Sebenarnya tadi kalian bisa melarikan diri cari selamat! Tapi kalian lebih sayang harta dari pada nyawa!”
Wiro melompat ke atas gerobak di sebelah kanan. Kaki kirinya bergerak menghantam dada. Supit Jagal yang berusaha mencabut golok dan menusukkan senjata ini ke perut Pendekar 212. Supit Jagal terlempar ketanah. Malang baginya, saat itu pula gerobak yang dilarikan Supit Ireng lewat dan menggilas lehernya! Tubuh Supit Jagal tampak menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
“Keparat haram jadah! Terima kematianmu!”teriak Supit Ireng. Dengan tangan kanannya dia lepaskan pukulan Telapak Merapi yang dipelajarinya dari Pangeran Matahari.
Wiro sudah maklum kehebatan ilmu pukulan itu. Dia tak mau menunggu lebih lama dan segera mendahului serangan lawan. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Sesaat kemudian satu sinar menyilaukan membelah kegelapan malam disertai suara seperti ribuan tawon mengamuk.
“Crasss...!”
Tangan kanan Supit Ireng yang hendak melepaskan pukulan sakti putus! Jeritan manusia muka setan ini setinggi langit. Tapi suara jeritan itu tertahan ketika untuk kedua kalinya Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat dan kali ini menetak tepat di ubun-ubunnya.
Tidak mudah bagi Wiro untuk menenangkan dua ekor kuda penarik gerobak. Dengan susah payah akhirnya dia berhasil menggandengkan kuda yang satu dengan bagian belakang gerobak. Wiro tahu pasti bahwa empat buah peti berisi barang-barang berharga serta uang itu adalah milik Kerajaan yaitu yang dirampok komplotan Lor Paregreg beberapa waktu lalu.
Berarti dia punya kewajiban untuk mengembalikan keempat peti itu ke Istana Sultan di Kotaraja. Wiro siap menggebrak kuda penarik gerobak sebelah depan ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil.
“Saudara! Hai! Jangan tinggalkan diriku! Tolong!”
Murid Eyang Sinto Gendeng tertegun sesaat. Dia hentikan kudanya.”Ah, mungkin aku salah pendengaran. Suara angin kukira suara orang memanggil...” Wiro tarik tali kekang kuda.
“Saudara! Tunggu...! Tolong aku... Aku takut!”
“Eh.... Itu suara manusia beneran...” ujar Wiro. Dia memandang ke belakang, ke arah sebatang pohon besar. Suara perempuan yang memanggil itu datang dari balik pohon. Meskipun hatinya agak meragu dia turun juga dari atas gerobak lalu melangkah mendekati pohon besar dari mana datangnya suara yang memanggil tadi.
Begitu dia sampai di balik pohon, sang pendekar kita jadi tergagau kaget dan mundur beberapa langkah. Bagaimana kan tidak. Tak pernah dia menduga bakal melihat satu sosok tubuh perempuan dalam keadaan bugil dengan muka pucat dan rambut riap-riapan.
“Kau... kau setan...” Wiro tergagap-gagap.
“Bukan... Bukan! Aku Suniarsih! Janda Kepala Desa Pasirginting! Tolong... aku takut. Orang-orang yang kau bunuh itu sebelumnya hendak menculik diriku...”
“Aku tidak percaya,” kata Wiro dengan mata membelalak memandang mulai dari atas sampai ke bawah. Jangan-jangan kau kuntilanak...”
“Aku bukan kuntilanak! Kalau tidak percaya lihat! Punggungku tidak bolong!”
Lalu perempuan bugil itu membalikkan tubuhnya memperlihatkan punggungnya, Tapi mata murid Sinto Gendeng bukannya melihat ke punggung melainkan ke bagian bawah pinggang!
Suniarsih membalikkan tubuhnya kembali. Kali ini seperti baru sadar akan keadaannya perempuan ini berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangannya sedapat-dapatnya.
“Aku... Aku percaya kau memang bukan setan. Bukan kuntil anak. Tapi dalam keadaan begini pertolongan apa yang bisa kulakukan...”
“Itu rumahku... Tolong antarkan aku mau mengambil pakaianku. Setelah itu aku akan ikut ke mana kau pergi. Aku tak akan mau lagi tinggal di rumah ini! Aku takut!”
Belum sempat Wiro mengatakan atau berbuat sesuatu tiba-tiba Suniarsih melompat dan merangkul tubuhnya. Kedua kakinya digelungkan ke pinggang Wiro seperti anak kecil minta dukung. Pendekar 212 merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian tubuhnya terasa panas. Sambil melangkah tidak karuan dalam hatinya pendekar ini berkata.
“Mungkin ini pahala bagiku karena tidak punya maksud jahat melarikan empat peti berharga milik Kerajaan itu!”
T A M A T