LIMA IBLIS DARI NANKING
SATU
DI BAWAH pemerintahan Cu Goan Ciang yang berhasil mengusir kaum penjajah Mongol didirikanlah kerajaan Tiongkok baru yang diberi nama Kerajaan Beng. Sebagai raja Cu Goan Ciang lebih dikenal dengan sebutan Kaisar Thaycu. Ibukota kerajaan yang dulu terletak di Peking (Ibukota Utara) dipindahkan ke Nanking (Ibukota Selatan).
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan serangan tak terduga dari bangsa Mongol. Di samping itu sejumlah balatentara besar ditempatkan di Peking dan sebagai panglima tertinggi di Peking merangkap wakil langsung Kaisar di Nanking, oleh Kaisar Thaycu diangkatlah putera kandungnya yang bernama Cu Yung Lo.
Sebelum meninggal dunia Kaisar Thaycu yang bertahta di istana Nanking mengangkat Hui Ti sebagai penggantinya. Hui Ti adalah cucu yang amat disayangi Kaisar, merupakan putera dari anak sulungnya, jadi adalah keponakan langsung Pangeran Yung Lo. Pengangkatan Hui Ti sebagai Kaisar baru inilah yang kemudian menjadi pangkal silang sengketa dan malapetaka dalam Kerajaan Beng.
Sebagai anak kandung atau putera Kaisar Thaycu, Pangeran Yung Lo merasa lebih berhak untuk menjadi Kaisar dibanding dengan Hui Ti yang hanya seorang cucu. Hal ini kemudian berubah menjadi pertentangan dan perpecahan dan pada puncaknya mengakibatkan perang saudara yang hebat. Pangeran Yung Lo dengan sejumlah balatentara besar menyerbu Nanking.
Peperangan tak dapat dihindar dan peperangan ini bertambah dahsyat karena tidak saja melibatkan balatentara kedua belah pihak tetapi juga melibatkan banyak tokoh-tokoh dunia kangouw (persilatan) Pihak Selatan dengan mati-matian berusaha mempertahankan diri dari serbuan yang hebat itu.
Namun segala upaya sia-sia belaka. Balatentara Pangeran Yung Lo laksana air bah. Selatan kalah, Nanking jatuh dan Kaisar Hui Ti tertawan hidup-hidup. Dia dijebloskan ke dalam penjara, masih untung tidak dijatuhi hukuman gantung atau pancung.
Meskipun kemudian perang sudah lama berakhir, tetapi keamanan negeri tidak keseluruhannya dapat ditanggulangi. Di mana-mana sisa-sisa pasukan yang masih setia pada Kaisar Hui Ti mengadakan kekacauan, menimbulkan kerusuhan-kerusuhan, perampokan dan pembunuhan.
Pos-pos tentara yang tak begitu kuat dan terutama yang terletak di tempat terpencil menjadi korban penyerbuan. Dalam suasana Kerajaan Beng seperti saat itulah kisah silat ini dimulai.
********************
Suatu hari, sebulan setelah Kaisar Hui Ti ditumbangkan, serombongan pasukan Kerajaan di bawah pimpinan seorang perwira muda berkepandaian tinggi tampak bergerak meninggalkan Nanking. Mereka tengah mengawal sebuah kereta berisi emas milik bekas Kaisar Hui Ti untuk di bawa ke Peking atas perintah Kaisar Yung Lo.
Dua hari berlalu. Rombongan telah jauh meninggalkan Nanking namun Peking yang menjadi tujuan masih amat jauh di sebelah Utara. Karena matahari tidak bersinar terlalu terik dan angin sejuk bertiup sepanjang perjalanan, kusir kereta memegang tali les sambil bernyanyi kecil.
Di sebelahnya duduk seorang pengawal berusia agak lanjut tetapi memiliki ilmu silat bukan sembarangan, bahkan kepandaiannya setingkat lebih tinggi dari perwira muda yang menjadi pimpinan rombongan itu. Pengawal tua ini bernama Thian Gay dan dikenal dengan julukan Thian Gay Si Tangan Baja.
Di sebelah depan kereta yang membawa emas dan juga di sebelah belakang terdapat masing-masing enam orang pengawal hingga keseluruhan rombongan berjumlah 15 orang. Karena mereka membawa emas yang tak ternilai harganya maka keberangkatan rombongan ini sangat dirahasiakan.
Sampai hari ke tiga perjalanan berjalan lancar tanpa suatu halangan. Akan tetapi pada hari ke empat, sewaktu rombongan mengambil jalan memotong terdekat memasuki sebuah hutan di kaki bukit terjadilah hal yang mengejutkan. Jalan di hadapan perwira muda pemimpin rombongan tiba-tiba saja runtuh amblas!
Ternyata di situ telah digali sebuah lobang besar yang diganjal dengan ranting-ranting kecil dan kemudian ditutup kembali baik-baik dengan tanah serta dedaunan. Tak ampun lagi kuda yang ditunggangi sang perwira, termasuk enam pengawal di belakangnya terperosok dan terjebak masuk ke dalam lobang yang dalamnya hampir lima kaki.
Jika enam pengawal berseru kaget kalang kabut maka perwira muda tadi masih dapat menguasai diri. Dengan sikap tenang tapi gesit dan mengandalkan gingkangnya (ilmu meringankan tubuh) yang lihay dia melesat dari punggung kuda. Sebelum kedua kakinya menginjak tanah, tiba-tiba telinganya menangkap suara berdesing. Menyusul kemudian terdengar jerit kematian yang mengerikan!
Enam pengawal yang barusan berhamburan masuk lobang bersama beberapa ekor kuda tunggangan mereka, menggapai-gapai mencoba keluar dari lobang tersebut. Ada yang patah tulang bahu, tulang kaki atau tangan. Dalam keadaan seperti itu, belum mampu mereka keluar dari lobang, selusin golok terbang menderu, menancap di dada, ada yang di leher atau perut, bahkan ada yang menancap di kening, membuat ke enam pengawal itu roboh, mengerang sebentar lalu mati!
Kuda-kuda yang meringkik hingar bingar juga ikut menjadi korban golok-golok terbang yang ganas itu. Akan keadaan kereta pembawa emas, bila saja kusir tidak cepat menahan tali kekang, pastilah kereta itu akan ikut menghambur terperosok masuk ke dalam lobang. Orang tua di samping kusir kelihatan kerenyitkan kulit kening. Lalu dia keluarkan seruan keras.
"Semua siap sedia! Ada tangan-tangan jahat yang menjebak kita di tempat ini!" Selesai berteriak tangan kanannya lalu dihantamkan ke atas, ke arah sebatang pohon besar.
"Bangsat yang berani berlaku kurang ajar tunjukkan tampang-tampang kalian!" Serangkum angin menderu keluar dari tangan Thian Gay Si Tangan Baja dan...
"Kraakkk...!"
Batang pohon di sebelah atas patah. Cabang dan ranting-ranting serta dedaunan melayang gugur. Detik itu pula terdengar suara tertawa bekakakan yang menggetarkan seantero hutan dan membuat bergemetarnya mereka yang mendengar. Lima sosok tubuh berkelebat dari atas pohon yang tumbang dan serentak dengan itu enam batang golok terbang bersiuran ke arah Thian Gay!
Karena tidak menduga akan mendapat serangan mendadak begitu rupa sedangkan dia baru saja melepas pukulan, Thian Gay menjadi cukup kaget. Dua golok terbang dihantamnya dengan tangan kanan. Begitu tangan kanannya beradu dengan golok-golok oleh dua golok tadi melabrak baja dan patah. Tak percuma dia mendapat julukan Si Tangan Baja. Dengan menjatuhkan diri ke samping dua buah golok lainnya berhasil dielakkan. Golok kelima dapat ditangkis dengan tendangan tepat pada gagang golok. Namun serangan golok ke enam agak terlambat dikelitnya.
"Brettt...!"
Bagian tajam golok merobek bahu pakaiannya, melukai daging tubuh di bagian itu. Paras Thian Gay berubah. Jika dia masih dapat dihantam oleh senjata lawan yang keenam sudah dapat dipastikannya bahwa penyerang bukan manusia tingkat rendahan. Mengingat tanggung jawabnya dalam pengawalan kereta Thian Gay tak mau berlaku ayal. Dia melirik pada perwira muda di sampingnya yang saat itu sudah cabut pedang dan tengah menghadapi lima manusia yang baru saja melayang turun dari atas pohon.
Kelimanya berjubah hitam. Empat berambut gondrong awut-awutan Sedang yang kelima berkepala botak berkilat. Tampang mereka buas seperti singa lapar, penuh berewok dan menyeramkan. Pandangan mata mereka membersitkan kegarangan, haus darah dan maut!
Lelaki gondrong yang tegak paling ujung sebelah kanan keluarkan suara tertawa. Tubuhnya tinggi kurus. Seputar pinggang jubahnya melilit belasan golok terbang. Bila dia bergerak senjata-senjata itu bergesekan dan mengeluarkan suara gemerisik menggidikkan. Manusia ini dikenal dengan panggilan Gui-kun Kui-to alias Gui Kun Si Golok Iblis. Dialah tadi yang telah melemparkan golok-golok terbang merenggut nyawa enam pengawal dan juga menyerang Thian Gay.
Di sebelah Gui-kun Kui-to berdiri kambratnya yang memiliki rambut merah gondrong paling panjang menyela sampai ke punggung. Rambut ini bukan sembarang rambut karena bisa dipergunakan sebagai senjata maut! Rambutnya inilah yang membuat dia mendapat julukan Iblis Rambut Merah atau Ang-mo It-kui.
Orang yang ketiga berdiri sambil rangkapkan tangan di depan dada. Kepalanya botak licin dan berkilat. Tubuhnya pendek gemuk. Dia terkenal dengan panggilan Tiat-thou-kui atau Iblis Kepala Besi. Kalau kawannya tadi mengandalkan rambut sebagai senjata maka yang satu ini mengandalkan kepalanya sebagai senjata maut. Boleh dikatakan sebagian besar musuhnya menemui kematian di tanduk atau disodok dengan kepalanya yang botak keras laksana bola besi itu!
Manusia berjubah hitam yang keempat tegak dengan sikap angker, lebih seram dari yang lain-lainnya. Tubuhnya paling tinggi dan paling besar. Dialah yang dikenal dengan gelaran Nan-king Kui-ong atau Raja Iblis dari Nanking. Dan dialah yang menjadi pimpinan dari semua manusia-manusia seram itu. Orang terakhir berdiri di ujung kiri. Dia bertubuh katai. Sepuluh kuku tangannya panjang-panjang dan berwarna hitam. Inilah Tui-hun Hui-mo alias Iblis Pengejar Maut!
Thian Gay Si Tangan Baja memandang dengan mata terpentang lebar pada kelima manusia berjubah itu. Dia berusaha menekan debaran jantungnya. "Nan-king Ngo-kui..." desisnya membisiki perwira muda yang tegak di sebelahnya.
Mendengar bisikan itu berubahlan paras si perwira yang bernama Ex Cu Liong. Sedang enam pengawal lainnya begitu mendengar siapa manusia-manusia yang ada di depan mereka jadi bergetar lutut masing-masing dan paras mereka laksana kain kafan. Siapa yang tidak kenal dengan Nan-king Ngo-kui atau Lima Iblis dari Nanking. Lima datuk iblis golongan hitam yang berkepandaian tinggi.
Pada masa perang saudara dulu mereka dikenal sebagai pembantu utama Kaisar Hui Ti. Begitu perang berakhir dan Hui Ti ditawan, kelimanya melenyapkan diri. Tahu-tahu kini muncul dalam keadaan begitu rupa. Melihat cara mereka muncul dengan menyebar maut, jelas kelimanya mempunyai maksud jahat dan keji.
Diam-diam Thian Gay mengeluh. Meskipun perwira Cu Liong berkepandaian tidak rendah akan tetapi menghadapi lima manusia iblis itu sama saja dengan usaha hendak lolos dari lubang jarum. Jago tua Thian Gay sudah mencium maut kematiannya sendiri!
DUA
Kalau tadi perwira muda Cu Liong hendak naik pitam melihat kematian enam anak buahnya, kini setelah mengetahui siapa adanya lawan yang dihadapi mau tak mau dia harus menekan amarah dan tidak boleh bertindak gegabah. Cu Liong membuka mulut.
"Sungguh tidak disangka hari ini kami akan bertemu dengan Nan-king Ngo-Kui yang terkenal. Mengingat perang telah lama usai dan pihak Pemerintah juga tidak pernah mengutik-utik diri ngo-wi locianpwe sekalian meskipun dulu diketahui ngo-wi membantu pemberontak Hui Ti, maka adalah menjadi tanda tanya bagi kami mengapa hari ini begitu muncul ngo-wi langsung menjatuhkan tangan maut pada anak-anak buahku yang tidak berdosa?"
Gui-kun Kui-to, orang ke lima dalam urutan lima manusia iblis itu batuk-batuk beberapa kali lalu menyahuti. "Perwira anjing peliharaan Yung Lo! Kau dengarlah baik-baik. Perang memang sudah lama selesai tetapi akibatnya masih tetap akan terasa, malah mungkin lebih hebat dari peperangan itu sendiri! Kau menyebut Kaisar Hui Ti sebagai pemberontak. Kotor dan lancang sekali mulutmu. Kaisar Thaycu sendiri yang mengangkatnya untuk menduduki tahta kerajaan Beng. Dan si Yung Lo yang temahak busuk itulah yang telah melakukan pengkhianatan, memberontak! Sekarang kalian sebagai kaki tangan Yung Lo keparat itu boleh merasa menang. Tapi ingat, akan datang harinya kalian akan menerima pembalasan!"
Merah paras perwira Cu Liong yang dimaki anjing. "Memandang nama besar ngo-wi sekalian aku masih mau memberi maaf atas kata-kata yang bersifat menghina diriku. Tapi penghinaan kurang ajar terhadap Kaisar Yung Lo benar-benar tak bisa diberi ampun!"
"Oh begitu?" ujar Gui-kun Kui-to. Si botak Tiat-thou-kui menimpali. "Kalau tak bisa diberi ampun, lalu apakah kau akan menangkap kami berlima?" Habis bertanya begitu si botak lantas tertawa mengejek.
"Rasanya belum terlambat bagi kalian berlima untuk kembali ke jalan benar. Bila kalian bersedia ikut ke Kotaraja menghadap Kaisar Yung Lo, aku bersedia memintakan ampun bagi kalian dan bukan mustahil Kaisar mau mengambil kalian-kalian sebagai pembantu-pembantunya..."
"Dijadikan anjing peliharaannya seperti dirimu?" tukas Tiat-thou-kui pula dan bersama kawan-kawannya dia tertawa gelak-gelak.
Thian Gay Si Tangan Baja yang sejak tadi bungkam mendehem beberapa kali lalu berkata, "Memang tak mungkin bagi kami memaksa ngo-wi ikut ke Kotaraja. Sebaiknya lupakan saja apa yang barusan kita perbincangkan dan sekarang masing-masing kita sama meninggalkan tempat ini dengan aman."
Cu Liong hendak membuka mulut membantah ucapan Thian Gay itu. Mana mungkin kematian enam anak buahnya dapat dilupakan begitu saja. Bagaimana pertanggunganjawabnya nanti terhadap atasannya di Kotaraja? Namun ketika melihat isyarat mata yang diberikan Thian Gay terpaksalah perwira muda ini membatalkan niatnya.
"Tua bangka Thian Gay, kau memang pandai bicara," berkata Nan-king Kui-ong, pentolan kepala lima manusia iblis itu. "Tetapi kenapa kau dan orang-orangmu buru-buru hendak pergi?"
Saat itu Thian Gay sudah membalikkan diri melangkah mendekati kereta. Langkahnya tertahan. Dalam batin dia bertanya apakah manusia-manusia iblis itu sudah mengetahui apa isi kereta? Di dengarnya suara Nan-king Kui-ong kembali,
"Bagus kalau kau mau melupakan apa yang telah terjadi. Sekarang bagaimana kalau kau dan perwira muda ini masuk saja ke pihak kami?!"
"Siapa sudi!" bentak Cu Liong dengan keras.
Sebaliknya Thian Gay menjawab dengan bijaksana. "Tawaranmu itu biarlah kupertimbangkan dulu. Nanti kukirim orang untuk menemui kalian berlima."
"Eh, mana bisa begitu aturannya," kata Ang-mo It-kui, orang keempat dari Lima Iblis. "Tanya sekarang harus jawab sekarang!"
Thian Gay jadi serba salah. "Maaf, kalau kalian keliwat memaksa, mana mungkin..."
Ang-mo It-kui berpaling pada Nan-king Kui-ong. "Kalau begitu kita tak perlu bicara panjang lebar lagi dengan cecunguk-cecunguk ini!"
Nan-king Kui-ong menyeringai lalu mengangguk dan berkata, "Bunuh mereka. Semua!"
Maka Ang-mo It-kui lantas maju menerjang Cu Liong sedang Gui-kun Kui-to menyerbu ke arah Thian Gay Si Tangan Baja.
"Hai apakah kalian tidak akan membantu tuan-tuan besar kalian?" berteriak Tui hun Hui mo pada enam pengawal yang masih tegak tertegun di depan kereta.
Para pengawal mengerti kalau mereka tak bakal hidup lama. Memikir sampai di situ rasanya saat itu mereka mau ambil langkah seribu. Namun mengingat tugas dan pengabdian terhadap Kaisar, keenamnya memutuskan untuk cabut senjata dan bergerak maju membantu Cu Liong serta Thian Gay.
Sambil tertawa mengekeh Tui-hun Hui-mo jentikkan kuku-kuku jarinya yang panjang dan berwarna hitam. Lima pengawal menjerit lalu roboh bergelimpangan kena sambaran lima larik sinar hitam yang keluar dari ujung-ujung kuku Tui-hun Hui-mo alias Iblis Pengejar Maut. Pengawal yang keenam bernasib lebih buruk. Tubuhnya mencelat dimakan tendangan manusia iblis itu hingga dadanya hancur. Sementara itu perkelahian antara Gui-kun Kui-to Si Golok Iblis berkecamuk melawan Thian Gay dengan hebatnya.
Satu kali lengan mereka saling beradu keras. Thian Gay Si Tangan Baja tersurut empat langkah sedang Gui-kun Kui-to terpental tiga langkah dan lengannya terasa seperti hancur. Daging lengan di bagian yang beradu kelihatan membengkak merah kebiruan. Nyatanya julukan Si Tangan Baja yang dimiliki Thian Gay bukan julukan kosong.
Pukulannya datang bertubi-tubi membuat Gui-kun Kui-to jago kelima dari Nan-king Ngo-kui harus mengeluarkan kegesitannya berkelebat kian kemari untuk mengelakkan serangan lawan. Menangkis kini dia tak berani. Sekali salah satu bagian tubuhnya kena dihantam tangan lawan pasti celaka. Setelah dua puluh jurus masih saja dia menjadi bulan-bulanan serangan lawan, Gui-kun Kui-to jadi penasaran.
Tanpa malu-malu dia menghunus golok besar yang terselip di pinggang kirinya. Sekali dia memutar senjata itu, anginnya saja membuat Thian Gay harus bertindak waspada. Dengan golok di tangan tampaknya Gui-kun Kui-to berhasil menahan serangan tangan kosong lawan. Merasa mulai berada di atas angin manusia iblis ini lancarkan serangan-serangan ganas.
Namun satu kali sewaktu tubuhnya kehilangan keseimbangan karena begitu bernafsu membacok dan ternyata hanya menghantam tempat kosong, dari samping Thian Gay memukul badan golok hingga senjata itu terlepas mental dan patah dua! Gui-kun Kui-to bersurut mundur. Melihat hal ini Nan-king Kui-ong segera berteriak,
"Tiat-thou-kui! Kau bantulah Gui Kun!"
Tiat-thou-kui, orang ketiga dari Nan-king Ngo-kui yang berkepala botak itu menggerang. Dia usap-usap kepala botaknya sambil bergerak memasuki kalangan perkelahian. Di saat yang sama Gui-kun Kui-to kembali maju. Dan kini terjadilah perkelahian dua lawan satu. Dikeroyok begitu rupa mula-mula Thian Gay bisa bertahan beberapa jurus.
Namun kemudian dia mulai tampak terdesak. Selain memiliki pukulan-pukulan tangan kosong yang deras Iblis Kepala Besi itu ternyata amat berbahaya kepalanya yang botak. Thian Gay sudah pasang tekad. Kalaupun dia menemui ajal di tangan pengeroyok, paling tidak salah satu lawannya harus ikut mati bersamanya.
Namun tekadnya itu sama sekali tidak menjadi kenyataan. Karena beberapa saat kemudian, dalam satu jurus yang hebat, selagi dia berusaha mengelakkan pukulan dan tendangan Gui-kun Kui-to, tahu-tahu dari samping Tiat-thou-kui kirimkan satu serangan ganas. Kepalanya yang lebih keras dari besi melesat ke dada Thian Gay.
Jago Kaisar ini berusaha mengelak sambil memukul kepala lawan dengan tangan kanannya. Dia begitu yakin bahwa tangannya yang atos akan sanggup menghancurkan kepala lawan. Mana mungkin besi bisa menang lawan baja!
Tetapi sesaat lagi ubun-ubun Tiat-thou-kui akan kena digeprak, seperti seekor ular kobra tahu-tahu kepala manusia iblis itu melesat ke bawah, menyelusup menghantam perut Thian Gay. Thian Gay Si Tangan Baja terdengar menjerit. Tubuhnya mencelat jauh. Terhampar di tanah tanpa bergerak dan tak bernyawa lagi. Mati dengan perut pecah!
Sambil bersihkan darah yang mengotori kepala botaknya Tiat thou kui tertawa gelak-gelak. Sementara itu perkelahian antara Iblis Rambut Merah alias Ang-mo It-kui melawan perwira muda Cu Liong telah memasuki jurus ke 29. Meski sang perwira memegang pedang dan mengurung lawan dengan serangan menderu-deru namun sebegitu jauh pedangnya masih belum mampu menyentuh tubuh lawan.
Sebaliknya setiap kali Ang-mo It-kui menggoyangkan rambutnya maka menghamburlah angin serangan yang berbahaya dan rambut panjang manusia iblis ini seolah-olah berubah menjadi pedang yang memapas atau menusuk dan membuat Cu Liong terkesiap.
"Ang-mo It-kui!" terdengar seruan Nan-king Kui-ong, pimpinan dari lima manusia iblis itu. "Jangan beri malu nama besar Nan-king Ngo-kui. Masakan menghadapi cacing tanah yang masih ingusan begitu saja kau tak sanggup membereskannya dengan cepat?"
Mendengar teguran itu Ang-mo It-kui menjawab, "Harap maafkan pangcu. Bukan maksudku untuk main-main. Tapi tubuh ini sudah lama tidak bergerak badan. Aku ingin mencari sedikit kesegaran. Tapi baiklah. Kau lihatlah ini!"
Habis berkata begitu Ang-mo It-kui mengeluarkan suara tertawa aneh. Kepalanya digoyangkan. Sebagian rambutnya yang menjela bahu melesat ke depan membelit pedang Cu Liong yang datang menyambar. Perwira Kerajaan ini coba menarik pedangnya. Dia jadi terkejut. Karena semakin ditarik, semakin kuat libatan rambut merah itu!
Ang-mo It-kui menyentakkan rambutnya. Cu Liong berusaha mempertahankan pedang. Tapi dia kalah kuat. Tubuhnya terbetot ke depan. Detik itu pula gerombolan rambut yang lain dari Ang-mo It-kui menyambar ke depan, menghantam tepat kening perwira muda itu. Cu Liong hanya dapat keluarkan rintihan pendek. Di keningnya kelihatan lobang besar yang mengeluarkan darah dari kepalanya yang rengkah!
********************
TIGA
Bukit kecil itu terletak dua hari perjalanan kuda dari Hankouw. Di sebuah peladangan gandum yang subur seorang lelaki berusia 40 tahun sibuk menyiapkan hasil ladangnya karena dua hari di muka seorang pembeli dari Hankouw bakal datang memborong seluruh gandumnya. Di tepi ladang seorang anak lelaki berumur 8 tahun asyik membuat puput dari gulungan daun kelapa.
Dia adalah Sun Bi anak pemilik ladang gandum itu sedang sang ayah adalah Ki Hok Bun. Tiba-tiba Hok Bun menghentikan pekerjaannya. Dia berdiri tenang-tenang. Sepasang telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Dia berpaling ke arah bukit. Di lereng tampak lima orang penunggang kuda bergerak menuruni bukit, diikuti oleh tiga ekor kuda yang membawa barang.
"Ada orang datang ayah," kata Sun Bi seraya berlari mendapatkan ayahnya.
Ki Hok Bun mengangguk. Hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Makin dekat rombongan ke lima orang itu makin tidak enak perasaannya. Kelima penunggang kuda berseragam jubah hitam. Di hadapan rumah Ki Hok Bun lima penunggang kuda berhenti dan turun dari kuda masing-masing. Ingat akan istrinya yang ada di rumah. Ki Hok Bun cepat-cepat keluar dari balik kerimbunan pohon-pohon gandum.
Sun Bi berlari kecil mengikutinya dari belakang. Sepuluh langkah dari langkan rumah, orang berjubah hitam yang tubuhnya paling tinggi dan paling besar mengangkat kedua tangannya, tertawa bergelak dan berseru,
"Hok Bun ciangkun!"
Sesaat Ki Hok Bun tertegun dan kaget. Sudah sekian lama tak seorang pun pernah lagi memanggilnya dengan sebutan ciangkun itu. Sebuah sebutan terhormat yang hanya diberikan pada perwira tinggi Kaisar. Dan kini ada orang yang memanggilnya dengan sebutan itu. Namun ketika dia mengenali siapa adanya si tinggi besar itu maka diapun berseru gembira.
"Bu ceng enghiong! Kukira siapa. Sungguh pertemuan yang tidak disangka!"
Keduanya kemudian saling rangkul. Ki Hok Bun lalu berpaling pada empat orang berjubah lainnya dan satu demi satu mereka merangkul pemilik ladang gandum itu.
"Lima sahabat lama berada di sini. Benar-benar membuat aku gembira." Karena suara ribut-ribut di luar, The Cun Giok, istri Ki Hok Bun meninggalkan masakannya di dapur dan menjenguk keluar.
"Ini anak ciangkun...?" orang berjubah tinggi besar yang bukan lain adalah Nan-king Kui-ong bertanya sambil memandang pada Sun Bi.
"Betul."
"Dan gadis itu...?" lelaki berambut merah Ang-mo It-kui menunjuk ke arah pintu.
Mendengar disebutnya gadis yang lain-lain ikut berpaling. "Dia istriku," menerangkan Ki Hok Bun. "Waktu perang ibunya Sun Bi meninggal dunia. Hidup sendirian di peladangan begini sepi sekali. Aku lalu mencari pengganti ibunya Sun Bi."
Bola mata lima manusia iblis itu bersinar-sinar seolah-olah hendak menelanjangi sekujur tubuh Cun Giok. Perempuan yang cantik jelita yang tadinya mereka sangka adalah seorang gadis itu ternyata adalah istrinya Hok Bun. Nan-king Kui-ong basahi bibir dengan ujung lidah lalu berkata,
"Ah, sungguh nasibmu jauh lebih beruntung dari kami, ciangkun. Kau kini hidup tenteram, punya anak, punya ladang luas dan punya istri muda cantik sekali!"
Kui-ong basahi bibirnya kembali dengan uiung lidah dan tenggorokannya tampak turun naik. Diam-diam Hok Bun merasa tidak senang melihat sikap dan cara memandang kelima orang itu terhadap istrinya. Cepat-cepat dia berkata,
"Cun Giok masuklah. Hidangkan anggur harum. Lalu atur meja. Sahabat-sahabatku ini tentu dahaga dan lapar."
Cun Giok segera masuk ke dalam sementara Hok Bun mempersilahkan kelima orang itu masuk ke rumah dan mengambil tempat duduk. Sambil berkipas-kipas sesekali Nan-king Kui-ong yang nama aslinya adalah Bu Ceng melirik ke ruang dalam mengintai istri Hok Bun.
"Kau beruntung sekali ciangkun. Beruntung sekali..." ujar Nan-king Kui-ong.
Hok Bun tersenyum. "Antara kita tak ada lagi ikatan atau hubungan ketentaraan. Karenanya tak usah menyebutku dengan panggilan ciangkun itu..."
"Ah, kau terlalu merendah. Kau tahu dalam waktu singkat kau akan dikembalikan pada jabatan lamamu sebagai perwira tinggi. Bahkan mungkin sebagai seorang jenderal. Dan orang-orang kembali akan memanggilmu dengan sebutan ciangkun. Kau tak usah sungkan-sungkan. Bukankah begitu sahabatku?"
Empat orang yang ditanyai sama mengangguk menanggapi ucapan Nan-king Kui-ong itu.
"Bu Ceng enghiong," kata Hok Bun, "kulihat kau habis mengadakan perjalanan jauh bersama teman-teman. Di luar sana ada tiga kuda membawa peti-peti besar. Apa isi peti-peti itu kalau aku boleh tahu?"
"Begini ciangkun. Eh, kalau kau tak sudi dengan sebutan itu bagaimana jika kami panggil dengan sebutan twako saja?" yang berkata adalah si gundul Tiat-thou-kui. (Twako artinya kakak dan memang di antara mereka Hok Bun berusia paling tua)
"Kami berlima beberapa hari lalu telah menghadang anjing-anjing Kaisar Yung Lo di luar kota Nanking. Memang sedang hoki, rombongan anjing Kaisar itu ternyata membawa sebuah kereta berisi tiga peti emas. Semua anggota rombongan kami bunuh. Dan kini tiga peti emas itu menjadi milik kita bersama!"
"Kita?" ujar Hok Bun tak mengerti. "Kita siapa maksudmu?"
"Ya kita! Kami dan kau twako!" yang menjawab adalah Ang-mo It-kui.
Hok Bun berpaling pada Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong. Sesaat kemudian dia berkata, "Bu Ceng enghiong, sakit hati kita terhadap mereka yang kini berkuasa memang tak mungkin bisa dihapus lenyap untuk selama-lamanya. Namun adalah terlalu berbahaya bagi kau dan teman-teman melakukan perampokan. Apalagi disertai membunuh prajurit Kerajaan dan dua orang perwira. Tokoh-tokoh silat yang berpihak pada pemerintah sekarang, dibantu ratusan perajurit Kerajaan pasti akan mencari cuwi sekalian. Kita semua bisa celaka. Termasuk istri dan anakku."
"Siapa takutkan mereka?" tukas Gui-kun Kui-to seraya betulkan letak golok-golok terbangnya yang berisikan seputar pinggang.
"Memang aku tahu betul para enghiong di sini tidak menaruh takut terhadap mereka. Tetapi alat-alat Kerajaan bisa bikin susah kita semua dan membuat hidup jadi tidak tenteram. Perlu diingat, keadaan sekarang sudah berbeda Bu Ceng enghiong."
"Berbeda bagaimana?" tanya Nanking Kui Ong.
Hok Bun tak menjawab. Setelah menghela nafas panjang dia kemudian bertanya, "Apa gunanya para enghiong di sini melakukan perampokan itu?"
"Karena perang sebenarnya belum berakhir twako dan kita perlu biaya untuk meneruskan peperangan," sahut Bu Ceng pula.
"Ah, lagi-lagi aku tidak mengerti jalan pikiranmu," ujar Hok Bun. "Perang sudah lama berakhir. Sejak lebih dari satu bulan lalu. Sejak jatuhnya Nanking ke tangan orang-orang Kaisar Yung Lo. Sejak Kaisar Hui Ti yang kita hormati dijebloskan dalam penjara. Apakah kau dan kawan-kawan tidak melihat kenyataan ini, sobatku?"
Bu Ceng memandang pada keempat kawannya. Sesaat kemudian kelimanya sama tertawa gelak-gelak. Bu Ceng geleng-gelengkan kepala. "Kau salah twako. Salah besar. Apakah kau tidak melihat kenyataan bahwa di mana-mana sisa-sisa prajurit Kaisar Hui Ti kini tengah melakukan perang gerilya di bawah pimpinan perwira-perwira yang masih setia. Mereka berusaha menumbangkan kekuasaan Kasiar Yung Lo yang kini mengangkat diri sebagai Kaisar Kerajaan Beng, di atas darah dan nyawa, di atas pengkhianatan keji. Inilah yang disebut kenyataan, twako."
"Memang itu adalah kenyataan," jawab Hok Bun pula. "Tapi kenyataan yang tak mungkin bertahan lama. Jumlah mereka yang bergerilya terlalu sedikit dan kekuatan mereka terpencar-pencar, tak mungkin menghadapi balatentara Kerajaan, apalagi hendak menumbangkan Kaisar Yung Lo. Mereka semua akan mati konyol dan perjuangan akan sia-sia. Saat ini di mana musuh berada dalam puncak kekuatan, adalah bunuh diri kalau kita berani angkat senjata."
"Lantas apakah akan dibiarkan begitu saja anjing besar bernama Yung Lo itu bertahta sebagai Kaisar yang bukan haknya? Dirampas secara keji?" ujar orang kedua dari Nan-king Ngo-kui yakni Tui-hun Hui-mo.
"Sudah barang tentu tak dapat dibiarkan. Tetapi juga tidak mungkin untuk menumbangkan kekuasaannya pada saat sekarang ini. Mereka terlalu kuat. Perajurit-perajuritnya saja berjumlah jutaan, belum terhitung perwira-perwira tinggi dan pembantu-pembantu dari kalangan kangouw." (kangouw artinya dunia persilatan)
Bu Ceng kelihatan beringas. Dia bangkit dari kursinya danmelangkah mundar mandir. Cun Giok saat itu keluar membawa enam gelas berikut beberapa guci kecil anggur, lalu masuk kembali ke dalam diikuti sorot mata liar Nan-king Ngo-kui. Tiat-thou-kui menelan liurnya melihat telapak kaki nyonya rumah yang begitu putih.
"Apa yang aku katakan semuanya benar twako" terdengar suara Bu Ceng. "Dan justru karena keadaan yang demikianlah membuat kami datang kemari. Orang-orang terlalu sedikit dan terpencar. Senjata kurang pula. Di samping itu rakyat kurang membantu karena takut terhadap pemerintah. Namun walau bagaimanapun perjuangan ini harus dilanjutkan. Menumbangkan Yung Lo dan mengangkat kembali Kaisar Hui Ti. Perjuangan ini bukan saja memerlukan tenaga tetapi juga biaya. Dan biaya itu rasanya sudah mulai kita dapatkan. Yakni dengan adanya tiga peti besar berisi emas yang tak ternilai harganya itu. Ini baru sebagian kecil saja dari modal kita untuk menghimpun orang-orang yang masih setia terhadap Kaisar Hui Ti. Kita akan mempersenjatai mereka, melatih mereka untuk perang. Dengan kekayaan yang kita miliki bahkan kita dapat membeli orang-orang berkepandaian tinggi untuk menyingkirkan Yung Lo, kaki-kaki tangannya serta cecunguk-cecungguknya!"
"Semua rencanamu itu sama saja dengan mimpi siang bolong, Bu Ceng enghiong. Jika kau terbangun musnahlah mimpi itu. Jika kau nekad untuk meneruskannya maka celaka akan menghadang."
"Setiap perjuangan harus dengan pengorbanan. Kami berlima tidak takut mati, entah twako," tukas Ang-mo It-kui dengan nada pedas.
"Kau betul sekali," menyahuti Hok Bun. "Perjuangan harus dengan pengorbanan. Tapi pengorbanan yang sia-sia apa gunanya? Harap kalian merenungkan hal itu baik-baik."
Nanking Kui Ong menghentikan langkah mondar-mandir. Nadanya agak geram ketika berkata, "Aku dan kawan-kawan datang kemari bukan membawa persoalan untuk direnungkan. Kami datang membawa rencana guna dilaksanakan. Dan kau harus ikut bersama kami twako!"
Hok Bun usap-usap dagunya. "Maafkan aku. Itu tidak mungkin kulakukan. Aku tidak mau melibatkan diri dengan kalian. Aku sudah muak dengan peperangan."
Nan-king Kui-ong dan empat kawannya terkejut mendengar ucapan Hok Bun itu dan saling pandang. Mereka tidak menyangka kalau kata-kata seperti itu bakal keluar dari mulut Ki Hok Bun. Seorang bekas perwira tinggi yang semasa perang dulu menjadi atasan dan pimpinan mereka.
"Ki Hok Bun twako," kata Nanking Kui Ong dengan suara bergetar. "Kau yang dulu dijuluki Kim-hong Kiam-khek atau Pendekar Pedang Pelangi, terkenal dimana-mana, ditakuti lawan di segala penjuru dan disegani serta dihormati teman seperjuangan, apakah kini telah berubah menjadi macan kertas yang paling pengecut di muka bumi ini? Tinggal nama belaka?"
Wajah Hok Bun tampak menjadi merah kelam mendengar kata-kata bekas anak buahnya itu. Lalu dengan menahan emosi dia berkata, "Aku tak akan bicara panjang lebar mengenai rencana ataupun perjuangan kalian. Jika kalian berlima masih menghormatiku sebagai bekas pimpinan maka dengarlah nasihatku. Untuk sementara lupakan segala sesuatu yang berbau perjuangan. Jauhkan keterlibatan dengan perang. Cobalah menempuh hidup yang damai tenteram. Dengan bermodalkan tiga peti emas itu kalian bisa memulai hidup baru yang bahagia bahkan mewah. Bukankah itu lebih baik dari harus mengorbankan diri menantang bahaya api peperangan?"
Ang-mo It-kui geleng-geleng kepala dan menoleh pada Nan-king Kui-Ong. "Pangcu, percuma saja. Ki Hok Bun yang di depan kita ini agaknya sudah bukan lagi manusia gagah yang berjuluk Kim-hong Kiam-khek seperti dulu. Sekarang dia telah berubah menjadi manusia pengecut, banci bahkan mungkin sudah jadi tikus!"
"Tutup mulutmu Ang-mo It-kui! Jangan kurang ajar!" hardik Ki Hok Bun dan...
"Plaakkk...!" Tamparannya dengan keras mendarat di pipi Ang-mo It-Kui. Demikian kerasnya hingga orang keempat dari Nan-king Ngo-kui ini terjajar beberapa langkah, menyeringai kesakitan. Sebenarnya rasa sakit itu tidak begitu dirasakan oleh Ang-mo It-kui. Namun marah dan malu membuat dia jadi kalap mata gelap. Dia berteriak garang. Lalu sambil menggembor seperti harimau luka dia melompat ke depan, menyerang Ki Hok Bun bekas perwira tinggi Kerajaan itu dengan satu jotosan maut ke arah dada di bagian jantung!
EMPAT
Sebagai orang yang pernah menjadi atasan Ang-mo It-Kui dan empat manusia iblis lainnya itu Ki Hok Bun tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian mereka. Namun saat itu dia jadi terkejut menyaksikan angin pukulan Ang-mo It-kui. Jelas mengandung satu kekuatan luar biasa. Yang berarti manusia ini telah jauh maju tenaga dalamnya dalam waktu singkat.
Dan melihat Ang-mo It-kui dalam melancarkan serangan sengaja mengarah bagian yang berbahaya nyatalah bahwa orang ini tidak main-main bahkan ingin membunuhnya! Tanpa berlaku ayal Ki Hok Bun cepat berkelit ke samping. Namun sekonyong-konyong Ang-mo It-kui susul serangannya yang gagal itu dengan serangan baru berupa tendangan dan hantaman tangan kiri.
Ki Hok Bun berseru keras. Melompat ke udara. Pukulan tangan kiri lawan lewat di sampingnya sedangkan tendanyan yang juga berhasil dielakkannya menghantam meja kayu hingga berantakan. Kendi anggur serta gelas yang ada di atasnya berhamburan dan pecah berantakan.
"Ang-mo It-Kui!" hardik Ki Hok Bun. "Jangan kau berani kurang ajar di rumahku! Tinggalkan tempat ini atau kau akan menyesal!" Habis berkata begitu Ki Hok Bun dorongkan tangan kanannya ke arah dada lawan.
Ang-mo It-kui menjadi kaget ketika merasakan bagaimana dari telapak tangan itu keluar satu dorongan kuat laksana sebuah batu besar ratusan kati, mendorongnya dengan hebat. Ang-mo It-kui berusaha pertahankan diri dengan memperkuat kuda-kuda kedua kakinya. Namun ketika Ki Hok Bun datang lebih dekat tak ampun tubuhnya terjengkang dan jatuh terguling di halaman depan rumah. Dengan pelipis bergerak-gerak menahan amarah Ki Hok Bun berpaling pada Nan-king Kui-ong.
"Bu Ceng enghiong," katanya. "Kau bawalah kawan-kawanmu dari sini sebelum aku jadi kalap dan menurunkan tangan salah!"
Nan-king Kui-ong tidak senang melihat kejadian ini. Sepasang matanya membeliak garang. "Terhadap Kerajaan dan Kaisar Yung Lo laknat itu kau menunjukkan kepengecutan. Tetapi terhadap kawan sendiri, bekas anak buahmu, kau memiliki nyali luar biasa besar bahkan tega memukulnya!"
"Aku telah menerima kalian dengan baik. Tapi kalau kalian berlaku memaksa dan kurang ajar, jangan salahkan kalau aku memberi sedikit peringatan..."
"Sedikit peringatan? Memukul Ang-mo It-kui sampai begitu rupa kau sebut sebagai sedikit peringatan...?" ujar Nan-king Kui-ong berang sementara Ang-mo It-kui bangkit dari tanah.
"Sudahlah Bu Ceng, jangan banyak mulut. Lekas pergi dari sini. Bawa anak buahmu. Aku tak ingin melihat tampang-tampang kalian lagi!"
Iblis Kepala Besi Tiat-thou-kui yang sejak tadi sudah tidak sabaran maju ke hadapan Ki Hok Bun dan membuka mulut, "Ki Hok Bun, lagakmu keren amat! Apa ilmumu sudah setinggi langit sedalam lautan hingga berani berkata dan bertindak seenaknya terhadap kami? Dulu kami memang anak-anak buahmu, tapi sekarang keadaan berbeda. Kau tidak lebih tinggi dari kami. Tadi-tadi kami sengaja untuk tetap menghormatimu, tapi nyatanya kau keras kepala..."
"Diam!" sentak Ki Hok Bun. "Sekali aku bilang pergi dari sini ya pergi! Jangan banyak cingcong!"
"Oho... hebatnya! Sombong, keras kepala tapi pengecut!" ejek Gui-Kun Si Golok Iblis sambil menggerakkan tangan seperti orang hendak bertolak pinggang. Tapi tiba-tiba tangan kanan itu mencabut golok besar yang ada di sisi kirinya. Begitu golok keluar dari sarung Gui Kun lantas kirimkan satu serangan ganas.
"Bagus Gui Kun! Kaupun minta digebuk!" teriak Ki Hok Bun marah.Cepat dia membebaskan diri dari serangan golok.
Marah karena serangannya dapat dielak begitu mudah, Gui Kun putar senjatanya dan membabat membalik untuk membacok putus tangan Hok Bun. Tapi bekas perwira yang berpengalaman ini sudah dapat membaca maksud lawan. Sambil merunduk Hok Bun menghantamkan tangan kanarinya ke atas. "Kraakkk...!" Bersamaan dengan terdengarnya suara patahan lengan, terdengar pekik kesakitan Si Golok Iblis Gui Kun. Dia melompat menjauhi lawan dan masih lindungi diri sambil pergunakan tangan kiri untuk lemparkan golok terbang.
Namun Hok Bun sudah lebih dulu melompat ke samping hingga tiga golok terbang hanya mengenai tempat kosong lalu menancap di dinding rumah. Nan-king Kui-ong melengak marah. Dua anak buahnya telah dihajar. Tapi untuk maju sendiri melakukan pembalasan dia merasa bimbang. Bagaimanapun tingkat kepandaian Hok Bun tidak bisa dibuat main. Kalau tidak maju berbarengan sulit untuk menghadapi orang ini. Memikir sampai ke situ lalu diapun berteriak,
"Keroyok bangsat ini!"
Maka Tui-hun Hui-mo Iblis Pengejar Maut dan Ang-mo It-kui serta Tiat-thou-kui dan juga Gui Kun yang kini hanya mengandalkan tangan kiri memegang golok serentak menyerbu ke depan. Sedang Nan-king Kui-ong sendiri membantu dari belakang dengan kiriman pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh yang sangat berbahaya.
Ki Hok Bun kertakkan rahang. "Main keroyok! Nyatanya kalianlah yang pengecut! Majulah lebih dekat biar kucincang kalian lebih cepat!" teriak Hok Bun.
"Maut sudah di depan mata! Kau masih saja bicara sombong dan ngaco! Kawan-kawan mari kita jagal manusia ini cepat-cepat!" balas berteriak Nan-king Kui-ong.
Ki Hok Bun selain memiliki kepandaian silat yang tinggi jelas bukan seorang berjiwa kecil dan pengecut. Pengalamannya amat luas dalam perkelahian ataupun medan peperangan. Karenanya tidak salah dia mendapat julukan Pendekar Pedang Pelangi Kim-hong Kiam-khek, ditakuti lawan disegani kawan. Dibanding dengan kelima pengeroyoknya secara satu-satu lima orang itu bukan apa-apa baginya.
Namun jika Nan-king Ngo-kui bergabung jadi satu dia harus bertindak hati-hati. Dia tahu betul orang-orang itu bukan saja rata-rata memiliki ilmu silat lihay tetapi juga licik penuh tipu muslihat. Kalaupun dia harus mati menghadapi mereka dia tidak takut, namun yang dicemaskannya ialah kalau-kalau terjadi sesuatu dengan anak istrinya.
Rambut merah Ang-mo It-kui berkelebat ganas kian kemari. Terkadang rambut ini laksana seutas cambuk. Namun terkadang dapat berubah seperti sebilah golok atau pedang yang datang membabat atau menusuk atau menotok. Sepuluh jari tangan Tui-hun Hui-mo yang berkuku-kuku panjang hitam laksana cakar burung garuda, berkelebat ganas kian kemari.
Sekali bagian tubuh sempat kena digaruk pastilah akan berbusaian dagingnya. Ditambah dengan golok di tangan kiri Gui-kun Kui-to yang tak kalah berbahayanya serta kepala besi maut dari Tiat- thou-kui lalu serangan tangan kosong jarak jauh dari Nan-king Kui-ong yang datang bertubi-tubi, maka kedudukan Ki Hok Bun benar-benar berbahaya.
Apalagi saat itu dia hanya bertangan kosong, hanya mengandalkan ginkang dan Iwekang belaka. Lima belas jurus berlalu. Dalam keadaan cukup kepepet Ki Hok Bun masih berhasil menunjukkan kehebatannya yaitu memukul dada Gui-kun Kui-to hingga iblis satu ini muntah darah dan terpaksa keluar dari kalangan pertempuran. Namun sebaliknya Hok Bun juga mengalami cidera yang berbahaya. Bahunya sebelah kiri telah terkena sambaran kuku tangan Tui-hun Hui-mo.
Pelipisnya terluka dan mengucurkan darah akibat hantaman rambut Ang-mo It-kui sedang serudukan kepalaTiat-thou-kui sempat satu kali melabrak sisinya hingga dua tulangnya menjadi patah. Ki Hok Bun sadar kalau dirinya dalam bencana besar. Namun untuk menyerah tentu saja tak ada dalam kamus hidupnya. Dia keluarkan seluruh kepandaiannya namun sia-sia belaka.
Tiga lawan mengurung dengan rapat hingga sulit baginya untuk mencapai Nan-king Kui-ong yang secara licik selalu melancarkan pukulan-pukulan jarak jauh dengan berlindung di belakang anak buahnya. Setelah dua puluh jurus lebih bertahan mati-matian, Ki Hok Bun mulai terdesak. Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, sodokan kepala besi, cakaran kuku dan hantaman rambut maut bertubi-tubi melabraknya.
Saat-saat terakhir sebelum roboh Hok Bun berhasil menjambak rambut Ang-mo It-kui dan siap untuk memuntir patah leher lawan yang satu ini. Namun sebelum hal itu dapat dilakukannya satu pukulan Nan-king Kui-ong melanda dari samping. Dia merasakan bahunya seperti remuk. Didahului satu jeritan keras Ki Hok Bun terlempar dan roboh. Tubuhnya penuh darah yang keluar dari bekas luka yang menguak di mana-mana.
Dia sudah pasrah untuk mati. Karenanya dia berteriak, "Manusia-manusia iblis keparat! Aku tidak takut mati! Bahkan kalau kalian tidak membunuhku saat ini juga, kalian akan menyesal seumur hidup karena pembalasanku lebih mengerikan dari apa yang kalian lakukan hari ini terhadapku!"
Nan-king Kui-ong menyeringai. Dia melangkah mendekati Hok Bun yang tidak berdaya. Sambil injak kepala orang ini dia berkata, "Mula-mula kami memang berpikiran bahwa manusia pengecut dan keras kepala sepertimu ini perlu disingkirkan dari muka bumi. Tapi mana kami puas kalau belum menyiksamu lebih dulu. Kau akan segera merasakannya dan..."
Belum habis kata-kata itu tiba-tiba terdengar suara berteriak, "Ayah...! Ayah... apa yang terjadi. Manusia-manusia jahat itu... oh!" Yang berteriak adalah Sun Bi, putera Hok Bun yang berusia 8 tahun. Anak ini datang berlari-lari dan menjatuhkan diri di tanah memeluk tubuh ayahnya.
Tiba-tiba satu tangan besar kasar dan keras menjambak rambutnya dan menyentakkannya hingga Sun Bi terpekik kesakitan dan tubuhnya terangkat ke atas. Dia coba meronta melepaskan diri bahkan menendang Nan-king Kui-ong yang menjambaknya namun mana anak kecil ini sanggup melawan kekuatan manusia iblis seperti Bu Ceng.
"Ki Hok Bun!" seru Bu Ceng. "Manusia pengecut dan pengkhianat teman sepertimu tak layak punya turunan. Karena pasti turunan itu akan menjadi manusia sepertimu pula!"
"Keparat Bu Ceng!" Hok Bun coba bangun tapi rebah kembali ke tanah. "Kau hendak apakan anakku. Lepaskan dia!" Nafas Hok Bun menyengal dan dari mulutnya keluar darah.
"Kau lihat sendiri apa yang bakal terjadi dengan anakmu. Ini pelajaran bagus untukmu yang telah berani melawan Nan-king Ngo-kui." Lalu Bu Ceng angkat tinggi-tinggi tubuh Sun Bie.
"Jangan ganggu anakku!" satu jeritan perempuan terdengar. Yang berteriak adalah The Cun Giok, istri Hok Bun, ibu tiri Sun Bi. Bagi Cun Giok, meski Sun Bi hanya seorang anak tiri namun dia sangat mengasihi anak ini seperti putera kandung sendiri. Cun Giok coba menarik dan merampas Sun Bi dari tangan kepala gerombolan manusia iblis itu.
Namun Ang-mo It-Ku memegang bahunya dan merangkulnya dan belakang. Nan-king Kui-ong sendiri kembali mengangkat tubuh Sun Bi tinggi-tinggi lalu dengan kekejaman luar biasa anak itu dibantingkannya keras-keras ke tanah. Terdengar suara mengerikan ketika kepala Sun Bi membentur tanah. Tanpa suara anak yang malang ini menghembuskan nafas penghabisan diiringi pekik Cun Giok dan seruan tanpa daya Hok Bun.
Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng tertawa mengekeh, memandang pada Hok Bun yang hanya bisa mengutuk dan mengutuk. Tiba-tiba dia hentikan tawanya dan berpaling pada Ang-mo It-kui yang saat itu masih merangkuli tubuh Cun Giok. Ang-mo It-kui bukan hanya merangkul agar perempuan itu tidak lepas namun kini rangkulannya menjadi kurang ajar. Bahkan salah satu tangannya bergerak meraba bagian tubuh sebelah atas Cun G iok. Sepasang mata Bu Ceng kelihatan membesar. Sambil menyeringai dia mendekati kedua orang itu.
"Ang-mo It-kui, enak benar kau mendekap tubuh bagus itu. Serahkan dia padaku!"' Ang-mo It-kui tertawa ha-ha-hehe dan mendorong tubuh Cun Giok ke hadapan Nan-king Kui-ong.
LIMA
Sejak pertama kali melihat istri Hok Bun yang muda dan cantik jelita itu, nafsu kotor telah merasuk Bu Ceng. Namun karena saat itu Hok Bun masih dipandangnya sebagai atasan dan diperlukan tenaganya maka dia berusaha bersikap hormat. Namun kini setelah terjadi perkelahian maka rasa hormat itu dengan sendirinya lenyap. Nafsu kotor kembali bersarang dalam dirinya. Tubuh Cun Giok yang terdorong ke hadapannya segera ditangkapnya. Ciuman beringas di daratkannya bertubi-tubi ke wajah perempuan itu.
Cun Giok meronta dan menjerit coba melepaskan diri. Namun sambil tertawa-tawa disaksikan oleh kawan-kawannya Bu Ceng merobek pakaian Cun Giok hingga perempuan ini akhirnya berada dalam keadaan hampir telanjang. Cun Giok merasakan tubuhnya didukung.
"Bu Ceng manusia iblis! Kau hendak apakan istriku! Lepaskan dia! Cun Giok larilah. Selamatkan dirimu!" Hok Bun berteriak. Dia sudah dapat membayangkan apa yang bakal menimpa istrinya. Namun tidak mungkin bagi Cun Giok untuk melepaskan diri.
"Hok Bun, kau dapat melihat sendiri apa yang bakal kulakukan. Masakan hanya kau saja yang dapat menikmati perempuan secantik ini. Ha-ha-ha...!" Bu Ceng gulingkan tubuh Cun Giok di atas lantai rumah. "Pegangi dia!" perintahnya pada anak buahnya. Ang-mo It-kui dan Tiat-thou-kui membungkuk memegangi tangan Cun Giok.
Bu Ceng kemudian tanpa malu-malu lepaskan pakaian dalamnya dan singsingkan jubahnya lalu jatuhkan diri di atas tubuh Cun Giok yang tak mampu membebaskan diri dan menolak penghinaan keji itu. Hok Bun pejamkan mata. Tak sanggup dia menyaksikan hal itu, darahnya menggelegak. Namun tak satupun yang bisa dilakukannya.
"Bu Ceng, jangan terlalu temahak! Berikan giliran padaku!" Tui-hun Hui-mo berteriak dan tegak di belakang Bu Ceng sambil menyingkapkan jubahnya.
Bu Ceng menyeringai. Dia berdiri sambil seka keringat dan rapikan pakaiannya. "Jangan takut sobat. Kau segera dapat giliran. Tapi jangan lupa pada kawan-kawan."
Begitulah, satu persatu kelima manusia iblis itu melakukan perbuatan terkutuk atas diri The Cun Giok hingga akhirnya perempuan ini pingsan tak sadarkan diri.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Tiat-thou-kui sambil usap kepala botaknya yang basah oleh keringat.
"Bunuh saja perempuan itu. Juga lakinya!" jawab Golok Iblis Gui Kun.
"Ya, memang Hok Bun harus dibunuh. Kalau tidak bisa bikin urusan berabe di kemudian hari," menyetujui Ang-mo It-kui.
"Betul..." sahut Nan-king Kui-ong manggut-manggut.
"Tapi setahuku dia memiliki sebilah pedang mustika. Kim-hong-kiam. Aku harus dapatkan dulu senjata itu..." Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong lantas melangkah mendekati Hok Bun. Dia membungkuk dan menjambak rambut bekas perwira tinggi itu.
"Hok Bun, mungkin aku bisa membatalkan niat untuk menghabisi nyawamu saat ini. Asal saja kau mau memberi tahu di mana kau simpan Kim hong kiam..."
Sepasang mata Ki Hok Bun terbuka sedikit. "Kau inginkan pedang itu...?" desisnya.
"Betul. Dan nyawamu ku ampuni. Bahkan mungkin akan kuberi beberapa batang emas untukmu..."
"Kau ambillah pedang itu di neraka kelak..." kata Ki Hok Bun lalu diludahinya muka Bu Ceng. Air ludah bercampur darah berlepotan di muka Bu Ceng.
"Bangsat haram jadah!" teriak Bu Ceng marah. Kepala Hok Bun dibantingkannya ke tanah hingga lelaki ini pingsan. "Seret dia ke dalam rumah dan bakar hidup-hidup bersama istri dan bangkai anaknya!"
Hok Bun di gotong ke langkan rumah, terpisah beberapa meter dari istri dan anaknya. Ang-mo It-kui kemudian mencari minyak pembakar di dapur lalu menyulut api. Dalam keadaan api berkobar semakin besar kalima manusia iblis itu tinggalkan tempat tersebut.
********************
Ki Hok Bun siuman dari pingsannya sewaktu sebagian rumahnya telah dimakan api. Bagian yang dimakan api itu roboh. Tiang-tiang serta palung-palung kayu berapi jatuh di atas tubuh anak dan istri-nya langsung menembus perempuan yang pingsan ini tanpa dapat diselamatkan. Api kemudian mulai menjilati kaki Hok Bun. Lelaki ini sebenarnya sudah pasrah untuk dilamun api dan menyusul anak istrinya.
Baginya tak guna lagi hidup tanpa kedua orang yang dicintainya itu. Namun bila dia ingat kekejaman perbuatan Nan-king Ngo-kui, terutama Bu Ceng yang menjadi pimpinan maka dendam kesumat yang amat besar membuat hati kecilnya berontak. Tidak, dia tidak boleh mati saat itu! Dia harus hidup. Kemudian mencari Nan-king Ngo-kui dan membunuh mereka satu per satu guna membalaskan dendam kesumat. Hutang nyawa dan darah harus mereka bayar dengan darah dan nyawa pula!
Memikir sampai ke situ Ki Hok Bun kumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada. Dia coba beringsut menjauhi jilatan api. Namun keadaannya saat itu sudah sangat lemah. Sama sekali tiada daya. Tulang belulangnya serasa hancur luluh. Darahnya tertalu banyak keluar. Pemandangan matanya makin lama makin guram. Lelaki ini sama sekali tidak mampu untuk menyelamatkan dirinya. Saat itu satu-satunya yang dianggapnya bisa menolong adalah Tuhan. Karenanya dalam hati Hok Bun membathin,
"Thian, berikan kekuatan pada hamba Mu ini. Biarkan aku hidup terus agar dapat membalas kejahatan dan kebiadaban lima manusia iblis itu. Jangan biarkan aku mati mengenaskan begini rupa..."
Sementara itu kobaran api semakin mengganas. Palang kayu yang membelintang di bagian atap rumah dan tepat di atas kepala Ki Hok Bun berderak patah sewaktu api membakar loteng. Bersamaan dengan bagian loteng palang kayu itu runtuh tepat mengarah tubuh Ki Hok Bun yang menggeletak tiada daya di lantai.
Hok Bun sendiri tidak menyadari hal ini karena sesaat sesudah dia berdoa menyebut nama Tuhan, dia langsung jatuh pingsan. Agaknya akan segera tamatlah riwayat bekas perwira ini dandendam kesumatnya tak akan pernah dapat dibalasnya. Namun sebelum ajal berpantang mati. Maut anak manusia berada dalam tangan Yang Maha Kuasa.
Di saat yang sangat kritis itu tiba-tiba terdengar satu siulan aneh dan nyaring, menyusul berkelebatnya sesosok bayangan putih yang disertai sambaran angin yang luar biasa derasnya. Balok kayu dan loteng yang tadinya akan menimpa dan menimbun tubuh Ki Hok Bun laksana dihantam badai mental jauh. Bahkan sebagian dari rumah yang sudah dilamun api itu ikut ambruk akibat hantaman angin yang entah dari mana datangnya.
Di lain kejap bayanyan putih tadi bekelebat cepat menyambar Ki Hok Bun dan membawanya lari dari tempat itu. Siapa gerangan yang menyelamatkan Ki Hok Bun? Manusia atau malaikat kah dia karena demikian cepat gerakannya hingga cuma bayangannya saja yang kelihatan?
Di puncak bukit dia memperlambat larinya. Nyatanya dia adalah manusia biasa juga. Masih muda, berambut gondrong menyala bahu. Kepalanya diikat dengan sehelai kain putih. Dari mulutnya terus menerus membersit siulan lagu tak menentu. Larinya seperti gerabak gerubuk tetapi laksana kilat. Mukanya seperti wajah seorang tolol, cengar cengir tak tentu juntrungan. Setiup angin berhembus melawan arah larinya. Rambut gondrong pemuda ini melambai-lambai ditiup angin.
Pakaian di bagian dada yang tak terkancing tersibak lebar. Pada dada yang penuh otot itu kelihatan tertera tiga buah angka aneh yakni 212. Pada waktu itu dalam dunia kangouw Tiongkok tersebar berita tentang munculnya seorang pemuda asing bertampang tolol tetapi memiliki kepandaian tinggi luar biasa. Demikian tingginya hingga sulit untuk mengetahui apakah para datuk atau tokoh silat yang terkenal masa itu dapat disejajarkan dengan tingkat kepandaiannya.
Banyak tokoh-tokoh silat golongan hitam yang telah rubuh bahkan terbunuh di tangan pendekar asing itu. Akibatnya dia menjadi momok nomor satu bagi kaum sesat. Sebaliknya para jago silat golongan putih merasa gembira dan banyak yang ingin berkenalan dengan pemuda itu. Namun sulit sekali untuk menemukannya. Dia muncul secara mendadak. Membasmi manusia-manusia jahat secara tak terduga lalu melenyapkan diri hampir tanpa bekas untuk kemudian muncul lagi di tempat lain dan membuat kegemparan.
Pendekar yang menjadi buah tutur di Tionggoan bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng yang tengah melakukan pengembaraan di daratan Tiongkok. Dan dialah yang saat itu menyelamatkan Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi dari kematian.
Sebenarnya bukan satu kebetulan Wiro Sableng berada di tempat itu dan berhasil menyelamatkan Hok Bun. Sudah sejak satu bulan lalu dia mendengar nama Nan-king Ngo-kui yang menggetarkan dan ditakuti. Mereka melakukan pembunuhan dan perampokan di mana-mana. Menculik anak gadis atau istri orang.
Sekalipun dulu mereka dikenal sebagai pembantu-pembantu Kaisar Hui Ti dan berjuang menghadapi balatentara Yung Lo, namun kejahatan dan kebiadaban yang kini mereka lakukan benar-benar sudah melewati batas. Dua hari lalu Wiro berada di Hankouw dan mendengar berita tentang dirampoknya tiga peti emas milik Kaisar Yung Lo. Dua perwira dan selusin prajurit pengawal menemui kematian.
Dari tanda-tanda yang ditemukan di tempat kejadian sudah dapat ditebak bahwa pelaku perampokan dan pembunuhan yang sangat berani itu adalah Nan-king Ngo-kui. Sebelum Kaisar Yung Lo mengirimkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, Wiro Sableng sudah mendahului menuju utara.
Dia berhasil mengetahui ke jurusan mana kelima manusia iblis itu membawa lari barang rampokannya. Namun di sebuah daerah luas yang berbukit-bukit Wiro kehilangan jejak mereka. Sebagai pendekar yang ingin menumpas kejahatan dan membela mereka yang lemah dan tertindas Wiro tidak akan mencampuri urusan peperangan ataupun mempersoalkan tiga peti emas yang dirampok Nan-king Ngo-kui.
Dia mencari kelima manusia iblis itu karena telah mendengar kejahatan dan kemesuman yang mereka lakukan sejak satu bulan terakhir ini. Sudah barang tentu perbuatan seperti itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Wiro juga mengetahui bahwa telah banyak tokoh-tokoh silat golongan putih di Tionggoan yang turun tangan terhadap kelima iblis itu.
Namun sebegitu jauh belum ada hasilnya. Bukan saja karena mereka memang memiliki kepandaian tinggi dan selalu berkelompok dalam setiap saat, tetapi mereka juga licik dan dapat melenyapkan diri dengan cepat setiap habis melakukan kejahatan. Sadar kalau untuk kesekian kalinya dia kehilangan jejak orang-orang yang dikejarnya Wiro mengomel dalam hati dan garuk-garuk kepala. Tapi dia tidak berputus asa.
Di bukit di mana dia berada banyak tumbuh pohon-pohon tinggi. Dia memilih yang paling tinggi lalu memanjatnya. Dari atas pohon ini dia dapat memandang ke segala penjuru sejauh mungkin. Dia mengeluarkan suara bersiul sewaktu di arah selatan dilihatnya kepulan asap hitam bergulung-gulung membumbung ke udara.
"Kebakaran biasa atau...?" Wiro bertanya pada dirinya sendiri. Setelah berpikir sejenak sambil meneliti keadaan di bagian lain akhirnya Wiro memutuskan untuk mendatangi sumber kebakaran itu. Bukan mustahi kebakaran itu ditimbulkan oleh iblis-iblis yang tengah dikuntitnya. Dia cepat-cepat turun dari atas pohon dan dengan pergunakan ilmu larinya dia lari ke arah selatan.
Namun kedatangannya terlambat. Yang ditemuinya hanya bekas kebiadaban yang dilakukan oleh Nan-king Ngo-kui. Kelima manusia jahat itu tak ditemuinya, pasti sudah menghilang jauh. Masih untung dia sempat menyelamatkan seorang lelaki yang dia tidak kenal dan tubuhnya penuh dengan luka-luka.
ENAM
Pendekar 212 Wiro Sableng membawa Ki Hok Bun ke sebuah telaga kecil berair jernih. Bekas perwira kerajaan itu masih berada dalam keadaan pingsan. Wiro mengagumi kekuatannya. Manusia biasa dengan menderita luka-luka seperti itu pasti sudah tidak tertolong nyawanya. Wiro membersihkan sedapatnya luka yang terdapat di tubuh Ki Hok Bun, lalu pada luka itu ditaburinya sedikit obat bubuk.
Setelah menunggu beberapa saat dia telungkupkan tubuh Ki Hok Bun dan tempelkan telapak tangannya di punggung telanjang orang itu dan salurkan hawa dingin sakti ke tubuh Ki Hok Bun. Setengah jam kemudian dia ganti mengalirkan hawa panas lewat dada. Tak berapa lama menjelang matahari akan tenggelam Ki Hok Bun sadar.
Mula-mula dia merasakan denyutan sakit pada kepala dan dadanya. Ternyata rasa sakit tidak hanya di tempat itu saja namun boleh dikata di setiap bagian tubuhnya. Perlahan-lahan dia membuka kedua matanya. Yang dilihatnya adalah langit luas berwarna merah kekuningan akibat tersapu sinar sang surya yang hendak tenggelam. Sesaat matanya tak berkesip. Jalan pikirannya masih belum jernih.
"Di mana aku ini..." pikirnya. Dia coba menggerakkan kepala sedikit dan memandang berkeliling. Tiba-tiba dia ingat pada anak dan istrinya. Langsung berteriak memanggil, "Cun Giok, Sun Bi... kalian di mana?!"
Seperti ada satu kekuatan yang memasuki tubuhnya dia melompat duduk namun kemudian roboh kembali dengan pemandangan berkunang-kunang. Bila kedua matanya mulai jernih kembali maka pemandangannya membentur sosok tubuh Wiro Sableng yang duduk di dekatnya.
"Kau... kau siapa? Mana istriku? Mana Sun Bi... Apa yang terjadi?"
"Twako sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bertanya. Atur jalan darah dan pernafasan. Kau terluka berat. Coba kendalikan tenaga dalammu..."
"Kau orang asing... Logat bicaramu aneh..."
Wiro garuk-garuk kepala dan tersenyum. Dari balik pakaiannya dia keluarkan dua buah pil. Satu berwarna merah dan satunya lagi hitam. "Telan obat ini..."
Wiro hendak masukkan dua butir pil itu ke dalam mulut Hok Bun, tetapi orang ini menjauhkan mulutnya. Pandangan mata dan wajahnya menunjukkan keraguan kalau tidak mau dikatakan curiga. Tentu saja Hok Bun berperasaan demikian karena dia belum pernah kenal atau melihat Wiro sebelumnya.
"Tak usah takut. Percayalah, obat ini akan menolongmu," kata Wiro.
Akhirnya Hok Bun membuka mulut dan menelan juga obat itu walaupun dengan agak susah payah. Wiro kemudian urut pelipis lelaki itu. Perlahan-lahan Hok Bun pulas dan tertidur sampai keesokan harinya. Ketika dia bangun yang dirasakannya bukan lagi sakit tetapi lapar dan haus. Wiro mendudukkannya bersandar pada sebatang pohon di tepi telaga. Lalu menyodorkan dua buah apel, makanan yang dimilikinya. Buah ini cepat sekali dihabisi Hok Bun.
Selesai makan pemandangan dan jalan pikiran lelaki ini menjadi lebih jernih. Dia menatap Wiro Sableng beberapa lama. Kemudian dia ingat apa yang telah menimpa keluarganya. Hok Bun menangis dan tiada henti memanggil-manggil nama istri dan anaknya. Wiro maklum malapetaka besar telah menimpa orang ini karenanya dia membiarkan saja Hok Bun hanyut dalam perasaannya.
Hok Bun akhirnya sadar bahwa menangis tidak akan mendatangkan hasil apa-apa padanya. Karena belum sanggup berjalan, dia merangkak ke tepi telaga dan mencuci mukanya lalu kembali ke tempat semula.
"Twako, apa yang telah terjadi. Aku menemukanmu di rumah yang terbakar..." Wiro membuka mulut bertanya.
Ki Hok Bun menatap ke langit di atasnya. Lalu menghela nafas. "Kau sendiri siapa orang muda? Kulihat jelas kau bukan orang sini," balik bertanya Hok Bun.
"Namaku Wiro Sableng Aku memang orang asing di Tionggoan ini."
Ki Hok Bun kerenyitkan kening. "Wiro Sableng... Aku rasa pernah dengar namamu akhir-akhir ini. Kau seorang pendekar asing yang membuat gempar dunia kangouw. Nyatanya kau adalah in-kong tuan penolongku. Tai-hiap aku berhutang nyawa padamu. Biar aku menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya." Habis berkata begitu Hok Bun merangkak ke hadapan Wiro dan membuat gerakan hendak berlutut. Tetapi Wiro cepat-cepat mencegah.
"Jangan panggil aku dengan sebutan pendekar besar itu twako," ujar Wiro. "Kalau aku boleh tahu apakah sebenarnya yang telah terjadi. Mengapa kau kutemui dalam rumah yang terbakar itu?"
"Mereka yang melakukannya?"
"Mereka siapa?"
"Manusia-manusia iblis itu. Nan-king Ngo-kui!"
"Ah, aku sudah menduga. Aku memang sudah sejak lama mencarinya. Aku berhasil menguntit mereka dari Han-kouw, tetapi kehilangan jejak dan terlambat..."
Ki Hok Bun lalu menceritakan apa yang telah terjadi dan juga tak lupa menerangkan sedikit mengenai riwayat hidupnya.
"Aku tidak mengira kalau berhadapan dengan seorang bekas perwira tinggi kerajaan," kata Wiro dengan sikap hormat.
Hok Bun tersenyum pahit. "Dulu... sekarang aku bukan apa-apa. Sekarang aku seorang lelaki yang sengsara." Hok Bun terdiam sejenak. Kemudian. "Orang muda, seumur hidup mungkin aku tak dapat membalas semua pertolongan dan jasamu. Biarlah hari ini aku menganggapmu sebagai saudara. Sebagai adik..."
"Betul-betul satu kehormatan besar bagiku twako. Terima kasih."
"Satu dua hari di muka aku akan mulai mencari lima manusia iblis itu!" kata Hok Bun dengan nada penuh dendam.
Wiro tersenyum dan gelengkan kepalanya. "Twako, kau masih jauh dari sembuh. Sebelum kesehatanmu luar dalam pulih kembali untuk sementara sebaiknya lupakan soal dendam kesumat itu."
"Lebih cepat aku dapat memenggal kepala manusia-manusia jahanam itu lebih baik rasanya. Pembalasan harus dilakukan dalam waktu cepat!"
"Kau tengah menghadapi persoalan besar twako. Karenanya tak boleh bertindak sembarangan. Sekali salah langkah bisa besar akibatnya, Lima manusia iblis itu bukan saja berkepandaian tinggi tetapi juga licik..."
Hok Bun terdiam. Apa yang dikatakan Wiro itu betul. Akhirnya dia berkata, "Besok aku akan kembali ke tempat kediamanku."
"Sebaiknya jangan. Itu hanya akan mendatangkan pukulan berat pada batinmu," menasihatkan Wiro.
"Tapi aku harus mengurus jenazah dan abu anak istriku."
"Aku sudah membayar orang desa untuk mengurus jenazah mereka," menerangkan Wiro.
Hok Bun menatap wajah pendekar itu lama-lama. Kedua matanya berkaca-kaca. "Kau baik sekali Wiro. Aku benar-benar berhutang budi dan nyawa terhadapmu..."
"Sudahlah, jangan sebut hal itu. Besok pagi sebaiknya kita pergi ke kota terdekat. Mencari penginapan. Di situ kau bisa dirawat lebih baik."
Ki Hok Bun mengangguk. Namun keesokan paginya ketika Wiro bangun didapatkannya lelaki itu tak ada lagi di situ.
********************
Apakah yang telah dilakukan oleh Ki Hok Bun? Ke manakah bekas perwira tinggi kerajaan ini pergi meninggalkan Wiro Sableng yang telah menolongnya?
Malam itu sewaktu Wiro sedang tidur nyenyak dekat perapian di tepi telaga diam-diam Ki Hok Bun bangun. Diperhatikannya pendekar asing itu sesaat. Meskipun dia telah mengangkat saudara terhadap Wiro dan pernah mendengar hal-hal menggemparkan yang dilakukan pendekar itu namun dia masih belum tahu banyak tentang si pemuda. Hal ini disebabkan karena Wiro lebih banyak muncul di utara sedang Ki Hok Bun tinggal di selatan.
Sebetulnya Hok Bun tak ingin meninggalkan Wiro secara diam-diam seperti itu karena ini satu perbuatan dan peradatan yang tidak baik. Namun dia terpaksa melakukan hal itu. Dia harus kembali ke rumahnya yang telah musnah, betapapun hancur hatinya kelak menyaksikan rumah yang telah jadi puing-puing hitam itu. Dia merasa tidak tenteram seumur hidup bahkan sampai ke liang kubur kalau tidak dapat membunuh habis ke lima musuh besarnya itu.
Malam berganti siang. Ketika matahari sudah naik tinggi barulah Hok Bun sampai di lereng bukit. Tubuhnya terasa letih sekali. Tetapi tekad dan semangat balas dendam atas kematian istri dan anaknya membuatnya tidak merasakan semua itu. Dia berlari menuruni lereng bukit. Untuk beberapa lamanya dia tegak termenung di hadapan rumahnya yang kini hanya tinggal puing-puing hitam. Sebagian ladang gandumnya juga terbakar.
Air mata Ki Hok Bun sukar dibendung. Dia menggigit bibir menahan sakit batin. Selagi dia tegak begitu rupa seorang penduduk mendatanginya. Dengan pandangan wajah haru orang ini berkata,
"Saudara Ki, aku datang memberi tahu bahwa jenazah istri dan anakmu telah kami perabukan. Jika kau ingin melihat abunya, ada di rumah abu Thian-an-tang."
Ki Hok Bun mengucapkan terima kasih sambil menganggukkap kepala. Karena tak ingin mengganggu lebih lama orang tadi minta diri dan cepat-cepat berlalu. Beberapa saat kemudian Ki Hok Bun melangkah dari hadapan reruntuhan rumahnva menuju ke sebatang pohon Yang-liu yang tumbuh seratus meter dari bekas rumahnya. Dekat pohon ini terdapat sebuah pilar batu.
Dengan sepotong besi pendek Ki Hok Bun menggali tanah di sebelah kanan pilar. Kira-kira menggali sedalam satu meter ditemuilah sebuah kotak terbuat dari kayu besi yang tahan air dan rayap. Dari dalam kotak ini Ki Hok Bun kemudian mengeluarkan sebilah pedang yang ketika dicabut serta merta memancarkan sinar tujuh warna. Inilah Kim-hong-kiam atau Pedang Pelangi. Sebuah senjata mustika sakti yang kehebatannya telah membuat Ki Hok Bun mendapat julukan Pendekar Pedang Pelangi atau Kim-hong kiam-khek.
Sesaat Ki Hok Bun mendongak ke langit sambil pejamkan mata. Selama perang saudara, sebagai seorang perwira kerajaan yang taat pada atasannya yakni Kaisar Hui Ti dia telah berjuang mati-matian membela kehormatan dan tahta Kaisarnya tanpa pamrih atau pun memikirkan apakah Kaisar Hui Ti berada di pihak yang benar atau bukan. Ketaatannya adalah sama dengan disiplin militer dan jiwa satria.
Sebenarnya sebelum pecah perang nama Ki Hok Bun telah dikenal dan kepadanya telah lama melekat gelar Pendekar Pedang Pelangi. Namun di masa perang saudara itulah justru dia membuktikan kehebatan dan jiwa besarnya. Dalam setiap pertempuran Ki Hok Bun bukannya menghadapi perajurit-prajurit atau para perwira yang pada dasarnya adalah saudara satu bangsanya dan bertempur karena tugas menjalankan perintah atasan.
Justru yang dicari dan dihajarnya habis-habisan adalah mereka yang berperang untuk maksud tertentu, mencari keuntungan sendiri atau memancing di air keruh. Orang-orang itu biasanya adalah tokoh-tokoh silat golongan hitam. Lantas mengapa Ki Hok Bun membasmi tokoh-tokoh silat lawan dari golongan hitam sementara dipihaknya sendiri juga terdapat tokoh-tokoh silat culas golongan hitam seperti Nan-king Ngo-kui?
Sebenarnya Ki Hok Bun tidak suka terhadap Nan-king Ngo-kui yang pada masa perang adalah bawahannya langsung. Namun kalau Kaisar Hui Ti sendiri yang mengangkat dan mengambil mereka sebagai pembantu, mana bisa dia menolak? Lagi pula saat itu kedudukan Kotaraja Selatan (Nan-king) dalam keadaan gawat. Serangan balatentara utara demikian dahsyatrnya hingga mau tak mau orang-orang semacam Nan-king Ngo-kui terpaksa dimanfaatkan tenaganya.
Pada saat Ki Hok Bun memegang pedang pelangi itu bukan semua peristiwa dimasa perang saudara itu yang terbayang di matanya, melainkan adalah tampang-tampang lima manusia iblis yang telah membunuh anak istri dan menghancurkan kehidupannya.
"Mereka harus mati di tanganku!" desis Ki Hok Bun.
Perlahan-lahan kepalanya yang mendongak langit di turunkan dan kedua matanya dibuka kembali. Pedang pelangi dimasukkannya ke dalam sarung lalu disusupkannya di balik punggung pakaian. Dengan hati berat dia meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah rumah abu Thian-an-tang.
Ketika sampai di rumah abu, didapatinyaa banyak orang berkumpul di pintu masuk. Mereka adalah penduduk setempat dan kebanyakan para petani seperti Hok Bun. Melihat Hok Bun datang, salah seorang dari mereka yang agaknya menjadi wakil orang-orang itu maju mendatangi dan menyampaikan rasa berlasungkawa sedalam-dalamnya atas musibah yang telah menimpa lelaki itu.
Kemudian dijelaskan pula bahwa para pemuda desa sudah bermufakat untuk membantu Hok Bun guna mencari Nan-king Ngo-kui. Hok Bun terharu sekali mendengar kata-kata itu. Dipegangnya bahu petani itu dan berkata,
"Lo-pek, aku menghaturkan terima kasih padamu dan juga pada semua saudara-saudara di sini. Soal dendam kesumat terhadap lima manusia iblis itu adalah urusan pribadiku. Aku akan mencari mereka sekalipun ke neraka. Dengan tanganku sendiri akan kuhabisi nyawa mereka satu persatu. Sekali lagi terima kasih. Thian akan membalas kebaikan dan ketulusan budi kalian."
Selesai berkata demikian Ki Hok Bun langsung masuk ke dalam rumah abu. Seorang pegawai mengantarkannya ke tempat di mana dua buah peti kecil berisi abu anak dan istrinya disimpan. Di hadapan peti-peti kecil itu Ki Hok Bun bersembahyang. Selesai sembahyang, sambil bercucuran air mata dia tak dapat lagi menahan diri. Tiba-tiba...
"Srettt...!!" Hok Bun cabut Kim-hong-kiam. Tujuh sinar pelangi berkilauan. Pegawai rumah abu sampai tersurut saking kaget dan takutnya karena disangkanya tiba-tiba saja Ki Hok Bun menjadi mata gelap dan hendak mengamuk.
"Istriku The Cun Giok dan anakku Sun Bie. Kalian dengarlah baik-baik. Aku Ki Hok Bun, suami dan ayahmu bersumpah untuk mencari dan membunuh lima manusia biadab yang telah berlaku keji dan membunuh kalian. Percayalah, kematian mereka akan jauh lebih sengsara dari penderitaan yang telah kalian terima dari mereka. Semoga Thian memberikan tempat yang sebaik-baiknya bagi kalian di alam baka!"
Ki Hok Bun sarungkan pedangnya kembali, putar tubuh dan tinggalkan rumah abu itu.
********************
TUJUH
Saat itu telah memasuki musim semi. Pohon-pohon yang tadinya hanya merupakan cabang-cabang gundul dan rerantingan kini mulai ditumbuhi dedaunan hijau segar. Bunga-bunga kemudian mulai bermekaran dari kuncupnya. Kemanapun mata dilayangkan kehijauan segarlah yang kelihatan menyedapkan mata.
Di tikungan sebuah sungai berair jernih dan dangkal dan dasarnya ditebari batu-batu kecil, lima orang berjubah hitam asyik membersihkan wajah masing-masing. Sekalipun telah dicuci tetap saja tampang-tampang mereka tampak kotor liar berangasan, penuh ditumbuhi cambang bawuk, kumis dan jenggot tak terurus.
Mereka bukan lain adalah Tui-hun Hui-mo, Tiat-thouw-kui, Ang-mo It-kui, Gui-kun Kui-to dan pangcu (pimpinan) mereka biang iblis bernama Bu Ceng bergelar Nan-king Kui-ong. Setelah mencuci muka masing-masing mereka mencari tempat duduk di sekitar perapian yang telah padam untuk menikmati kelinci panggang. Ang-mo It-kui dari tadi tampak tidak tenang. Sebentar-sebentar dipeganginya perutnya.
"Ada apa dengan kau?" bertanya Bu Ceng.
"Perutku sakit," sahut Ang-mo It-kui seraya mengunyah daging kelinci dengan muka berkerenyit.
Perutnya mulas. Entah apa sebabnya. Sejak tadi malam hal ini dirasakannya. Tadi telah dicobanya untuk buang hajat besar tapi tak mau keluar. Berulang kali dia kentut di dalam jubahnya yang hitam dan bau apak itu. Mulas perutnya semakin tidak tertahankan. Agaknya sekali ini dia betul-betul akan buang air besar. Daging kelinci yang belum habis dimakannya dibuangnya ke tanah. Lalu dia berdiri menuju bagian tikungan sungai yang tertutup rapat oleh pohon-pohon dansemak belukar lebat.
"Eh, kau mau kemana lagi?" tanya Gui-kun Kui-to.
"Buang hajat besar!" jawab Ang-mo It-kui tanpa menoleh.
Sesaat kemudian dia sudah lenyap di balik pepohonan dan semak belukar kira-kira sepuluh tombak dari tempat dimana kawan-kawannya berada. Sementara Ang-mo It-kui mendekam di sebelah sana dan kawan-kawannya asyik menyantap daging kelinci panggang, Si Golok Iblis Gui Kun membuka mulut.
"Aku kawatir kalau-kalau tiga peti emas yang kita sembunyikan itu diketahui orang dan digasak habis!"
Sebelumnya, beberapa hari yang lalu, untuk mempercepat perjalanan Bu Ceng telah memutuskan menyembunyikan tiga peti emas rampokan di satu tempat rahasia. Sambil mengunyah daging kelinci panggang dalam mulutnya, Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong berkata,
"Kalau tak ada di antara kita yang berkhianat, sampai kiamat tak ada orang lain yang bakal tahu rahasia itu."
Tiai-thou-kui mengunyah daging kelinci dalam mulutnya dengan segan-seganan. "Lama-lama aku jadi jemu juga dengan kehidupan macam begini..."
Sepasang mata Nan-king Kui-ong membeliak. Dia semburkan makanan dalam mulutnya, meneguk tuak dari buli-buli kecil, menyeka mulut lalu bertanya dengan nada garang.
"Kau bilang apa tadi Tiat-thou-kui?"
Sesaat Tiat-thou-kui jadi kuncup juga nyalinya melihat pandangan mata dan wajah pangcunya itu. Dia tahu Nan-king Kui-ong sangat tersinggung bahkan marah sekali mendengar kata-katanya tadi. Sambill usap-usap kepala botaknya dia berkata,
"Kau jangan buru-buru marah dulu pangcu. Tapi coba kau pikir dengan hati dingin dan otak tenang. Sepanjang hari kita selalu di rongrong oleh kawatir karena alat-alat kerajaan senantiasa melakukan pengejaran dan mencari kita dimana-mana. Belum lagi tokoh-tokoh silat golongan putih atau yang bekerja untuk Yung Lo. Dalam pada itu sampai saat ini sisa-sisa pasukan yang terpecah dan berhasil kita kumpulkan masih sangat kecil. Bahkan kita banyak mendapat tantangan dari orang-orang sendiri. Seperti si Ki Hok Bun itu misalnya..." Tiat-thou-kui menghentikan kata-katanya dan sejenak memandang pada pangcunya.
"Terus... teruskan pidatomu Tiat-thou-kui!" kata Bu Ceng.
"Bukan pidato pangcu. Maafkan aku. Ini Cuma sekedar untuk dipikirkan, Kuperhitungkan, sampai setengah tahun dimuka belum tentu kita dapat mewujudkan apa yang menjadi rencana kita. Kalau kurenungkan dalam-dalam bukankah lebih baik bila emas rampasan yang tiga peti itu kita bagi lima, lalu mencari jalan sendiri-sendiri untuk menempuh hidup baru..."
Nan-king Kui-ong menyeringai aneh. Tiba-tiba dia melompat dan mencekal leher jubah Tiat-thou-kui, sekaligus menyentakkannya hingga si kepala botak itu terangkat tegak.
"Tiat-thou-kui keparat! Dengar baik-baik. Jangan kau berani bicara seperti itu lagi di hadapanku, bahkan jangan kau berani punya jalan pikiran seperti itu. Jangan coba pengaruhi teman-temanmu dengan mulut manis. Atau kau akan kubunuh detik ini juga!"
Sesaat kedua orang itu saling pandang. Nan-king Kui-ong dengan mulut komat kamit entah mengucapkan apa lalu mendorong keras keras dada Tiat-thou-kui hingga si botak ini jatuh terjengkang di tanah. Untuk beberapa lamanya tak satu orangpun yang membuka mulut. Sunyi bahkan siliran tiupan angin pun tidak kedengaran. Namun mendadak sontak kesunyian itu dirobek oleh satu jeritan amat menggidikkan. Suara jeritan Ang-mo It-kui! Keempat orang itu tersentak kaget. Saling pandang sesaat.
"Itu jeritan Ang-mo It-kui..." kata Si Golok Iblis Gui Kun.
Kontan keempat mereka melompat ke arah semak-semak dan pepohonan rapat di ujung kanan dari mana datangnya jeritan itu. Beberapa langkah lagi mereka akan sampai pada deretan pohon-pohon tersebut tiba-tiba dari balik kerimbunan semak belukar melesat sebuah benda merah kehitaman, menyambar deras ke jurusan Nan-king Kui-ong dan tiga kawannya.
Dalam keterkejutan ke empatnya cepat berkelit menghindarkan diri. Benda merah tadi jatuh ke tanah. Begitu mereka perhatikan maka masing-masing empat manusia iblis itu keluarkan seruan keras. Tampang mereka kontan menjadi pucat pasi laksana kain kafan. Betapa tidak. Benda merah kehitaman itu ternyata adalah kepala berwajah merah dan berambut hitam Ang-mo It-kui yang tetah dijagal! Dari bekas potongan lehernya masih menyembur darah segar mengerikan!
"Ang-mo It-kui... Ah. Apa yang terjadi denganmu sobat? Siapa yang membunuhmu?!" desis Tiat-thou-kui dengan suara bergetar dan lutut goyah.
Di antara empat kawannya dia memang paling dekat dengan Ang-mo It-kui. Tentu saja kutungan kepala itu tidak bisa memberikan jawaban. Kesunyian menggidikkan menyungkup tempat itu. Tiba-tiba sepasang mata garang Nan-king Kui-ong melihat suatu gerakan. Didahului suara menggembor dia membentak keras dan hantamkan tangan kanannya ke depan.
"Kraakkk...! Kraakkk...!"
Dua batang pohon patah. Semak belukar rambas berhamburan. Di belakang semak belukar yang rambas itu kelihatan tegak seorang bertubuh tinggi besar, bermuka kotor penuh cambang bawuk serta kumis meliar dan rambut awut-awutan. Sepasang matanya membersitkan sinar menggidikkan. Maut. Di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang mengeluarkan tujuh sinar angker. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi. Kim-hong Kiam-khek!
Apakah yang telah terjadi dengan Ang-mo It-kui orang ke empat dari Nan-king Ngo-kui itu hingga dia menemui kematian amat menyeramkan begitu rupa?
Seperti diceritakan sebelumnya Ang-mo It-kui diserang sakit perut dan membuat dia memisahkan diri dari empat kawannya. Dia pergi ke tepi sungai diantara pohon-pohon dan semak belukar rapat untuk membuang hajat besar. Dia sama sekali tidak menduga justru di tempat itulah maut tengah menantinya!
Sesaat satelah dia turunkan pakaian dalam dan singsingkan jubah lalu berjongkok, tiba-tiba saja seolah-olah keluar dari dalam air muncul sesosok tubuh di hadapannya. Nyawa Ang-mo It-kui serasa terbang. Kalau orang lain yang muncul dia tidak akan demikian kagetnya. Tetapi melihat sosok tubuh Ki Hok Bun di depannya benar-benar membuat manusia iblis yang satu ini seperti sudah berhenti nafasnya detik itu juga!
"Kau...!" Suara Ang-mo It-kui bergetar. Dia melompat bangun. Namun dia lupa pada celana dalam yang melingkar di pergelangan kakinya. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat kakinya terjirat celana dalamnya sendiri dan akibatnya tak ampun lagi tubuhnya tersungkur ke depan. Ang-mo It-kui tahu bahaya apa yang bakal dihadapinya.
Sebetulnya dengan kepandaiannya yang tinggi dia tidak perlu kawatir bakal dapat dirobohkan dalam waktu cepat oleh siapapun. Namun kemunculan Ki Hok Bun benar-benar tidak disangkanya. Dia laksana melihat setan kepala sepuluh. Karenanya Ang-mo It-kui segera buka mulut untuk berteriak memberi tahu kawan-kawannya. Namun Ki Hok Bun telah tahu gelagat.
Sebelum Ang-mo It-kui sempat keluarkan suara dia melompat ke depan dan menotok urat jalan suara di pangkal leher musuh besarnya itu hingga detik itu juga manusia iblis ini sama sekali tidak sanggup keluarkan suara selain haha-huhu macam orang gagu sedang sepasang matanya melotot. Sebenarnya kalau saja dia tidak terlalu dicekam ketakutan luar biasa dan dapat menguasai diri tidak akan terlalu mudah bagi Ki Hok Bun untuk dapat menotoknya begitu rupa.
Ki Hok Bun keluarkan seringai maut. "Jangan harap kau bisa lari selamatkan diri manusia biadab! Hari pembalasan telah datang. Bersiaplah untuk berangkat ke neraka!"
Kedua mata Ang-mo It-kui membeliak. Dia melangkah mundur hendak larikan diri namun secepat kilat Ki Hok Bun sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya.
"Mau lari ke mana binatang?" Di tangan kanan Ki Hok Bun saat itu sudah tergenggam Pedang Tujuh Pelangi.
Ang-mo It-kui angkat kedua tangannya dan goyang-goyangkan kepala. Dia sadar tak mungkin lari. Maut sudah di depan mata. Sekalipun saat itu dia memegang senjata pula belum tentu dia dapat lolos. Bahkan dibantu oleh empat kawannya pun sukar untuk cari selamat karena dia sudah tahu kehebatan pedang mustika di tangan lawan.
"Huk... huk... huk..." Ang-mo It-kui lagi-lagi angkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Dengan berbuat begitu dia bermaksud hendak mengatakan agar Ki Hok Bun jangan membunuhnya.
Tentu saja hal ini suatu hal yang tidak mungkin. Selama beberapa minggu Ki Hok Bun telah menguntit lima musuh besarnya itu. Kini salah seorang dari mereka sudah berada dalam tangannya.
"Iblis-iblis di neraka sudah lama menunggumu manusia keparat! Pergilah ke sana!" Pedang di tangan Ki Hok Bun berkelebat. Tujuh warna sinar pelangi bertabur.
Ang-mo It-kui membuang diri ke samping dan lepaskan satu pukulan tangan kosong tetapi tak menemui sasaran. Seperti diketahui rambut merah panjang Ang-mo It-kui merupakan senjata hebat yang bisa menotok, menusuk, mencekik bahkan melibat dan merampas senjata lawan. Namun menghadapi Pedang Tujuh Pelangi dia tidak berani pergunakan rambutnya untuk melakukan semua itu.
Mati-matian dia keluarkan seluruh kepandaiannya. Untuk lari sudah tidak bisa. Setiap dicobanya setiap kali pula Ki Hok Bun berhasil menghadangnya. Pedang lawan seolah-olah telah berubah jadi puluhan banyaknya dan mengurung dirinya dari berbagai jurusan. Ang-mo It-kui cuma sanggup bertahan selama empat jurus. Jurus kelima Pedang Tujuh Pelangi menyambar putus tangan kirinya kemudian berbalik menusuk dada. Darah seperti mancur dari dua bagian tubuh yang terluka itu.
Pembalasan Ki Hok Bun masih belum berhenti. Di lain saat tangan kanannya jadi sasaran sambaran pedang. Ang-mo It-kui menjerit tapi suaranya hanya sampai di tenggorokan. Dalam keadaan tubuh sempoyongan ujung pedang datang lagi menyambar. Kali ini merobek perutnya hingga isi perut manusia iblis ini berbusaian keluar. Ki Hok Bun tampaknya masih belum puas. Pedangnya dibabatkan ke bagian bawah perut dan...
"Crasss...!"
Putuslah keseluruhan anggota rahasia Ang-mo It-kui yang dulu telah menodai The Cun Giok, istri Ki Hok Bun! Sampai disitu masih juga Ki Hok Bun belum merasa puas. Pembalasannya betul-betul mengerikan. Hanya manusia yang dilanda dendam kesumat seperti dialah yang sanggup melakukan hal seperti itu. Dia ingin mendengar bagaimana jerit kesakitan melanda musuh besarnya itu sebelum dia menghabisi nyawanya.
Maka dengan tangan kirinya dia lepaskan totokan di leher Ang-mo It-kui. Begitu totokan lepas maka menggeledeklah jeritan setinggi langit dari tenggorokan Ang-mo It-kui yang sejak tadi terbendung. Tubuhnya roboh ke tanah dan detik itu pula Pedang Pelangi membabat menyambar batang lehernya. Nyawanya lepas begitu kepalanya menggelinding!
Jeritan Ang-mo It-kui itulah yang membuat terkejut empat manusia iblis lainnya. Sewaktu mereka mendatangi Ki Hok Bun telah menunggu dengan menjambak rambut kepala Ang-mo It-kui di tangan kirinya lalu melemparkan kutungan kepala itu ke arah Nan-king Kui-ong dan tiga kambratnya. Bukan saja menyaksikan kutungan kepala kawan mereka membuat keempat manusia iblis itu menjadi menggerinding ngeri, tetapi yang membuat mereka terkesiap dan kaget sekali adalah menyaksikan berdirinya Ki Hok Bun di hadapan mereka.
"Ki... Ki Hok Bun... Kau?" Suara Nan-king Kui-ong bergetar. Lidahnya terasa kelu dan tenggorokannya seperti tercekik.
Ki Hok Bun alias Kim-hong Kiam-khek mendengus. Sementara Bu Ceng gosok-gosok kedua matanya seperti tak percaya pada pemandangannya sendiri. Kemudian terdengar suara tawa Ki Hok Bun mengekeh. Bagi keempat iblis itu suara kekehan tersebut laksana suara malaikat maut dari liang kubur.
"Ki Hok Bun... bukankah, bukankah kau sudah mampus? Mati ditembus api bersama istri dan anakmu. Dulu...?" Yang buka suara adalah si botak kepala besi Tiat-thou-kui.
"Memang... memang aku sudah mampus iblis botak! Dan yang kalian lihat berdiri di hadapan kalian saat ini adalah setannya Ki Hok Bun. Setannya yang datang dari neraka untuk melakukan pembalasan atas kejahatan biadab yang telah kalian lakukan. Heh... kalian sudah lihat bagaimana cara mampusnya Ang-mo It-kui? Kalau masih belum jelas silahkan lihat lebih terang!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun tendang sosok tubuh tanpa kepala Ang-mo It-kui ke hadapan ke empat musuh besarnya itu. Empat manusia iblis ini saking ngerinya tak berani memandang ke jurusan tubuh kawannya itu.
"Pedang sakti itu. Celaka... Rupanya masih ada padanya," Nan-king Kui-ong mengeluh ketika memandang senjata di tangan Ki Hok Bun. Dia tahu bagaimanapun tingginya ilmu silat tangan kosong bekas perwira tinggi ini namun kalau dia mengeroyok bersama kawan-kawannya pasti dia mampu mengalahkan Ki Hok Bun.
Namun jika pedang sakti itu berada dalam genggaman Ki Hok Bun mau tak mau manusia iblis ini jadi gentar sekalipun dia masih memiliki tiga kawan untuk membantunya.
"Apakah kalian sudah siap untuk mampus menyusul Ang-mo It-kui...?" tanya Ki Hok Bun dengan pandangan mata tak berkedip.
"Twako dengarlah... Mari kita bicara dulu," berkata Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong dan diam-diam dia berikan isyarat pada Si Golok Iblis Gui Kun.
Ki Hok Bun meludah ke tanah. "Kau mau bicara apa manusia iblis biang racun kejahatan? Silahkan bicara dengan pedangku!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun segera menerjang ke depan namun mendadak dari samping kiri menderu setengah lusin golok terbang, mencari sasaran di enam bagian tubuhnya! Ki Hok Bun kertakkan rahang. Pedang Pelangi di tangan kanannya digerakkan. Tujuh warna sinar pelangi bertaburan. Terdengar suara berdentrangan enam kali berturut-turut. Setengah lusin golok terbang yang dilepaskan Si Golok Iblis Gui Kun mental patah dua dihantam Pedang Pelangi.
Di saat yang sama dari jurusan lain Nan-king Kui-ong lepaskan satu pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin deras ke arah lambung Ki Hok Bun. Berbarengan dengan itu menyambar pula sepuluh sinar hitam panjang yang membersit keluar dari jentikan kuku-kuku jari Tui-hun Hui-mo. Sedang dari belakang didahului dengan suara menggembor seperti banteng mengamuk kepala besi Tiat-thou-kui datang menyeruduk!
"Bagus! Kalian main keroyok. Berarti lebih cepat aku dapat mencincang kalian sekaligus!" seru Ki Hok Bun.
Nan-king Kui-ong tertawa mengejek. "Justru kami ingin menolong agar kau lekas-lekas bisa bertemu dengan anak istrimu di akherat!"
Mendidih darah Ki Hok Bun mendengar ucapan itu. Dia berseru keras. Tujuh sinar pelangi berkiblat seputar tubuhnya hingga diri dan pedang sakti itu seolah-olah lenyap dari pemandangan. Sesaat kemudian terdengar seruan kaget susul menyusul keluar dari mulut ke empat pengeroyok. Nan-king Kui-ong tersurut mundur dan cepat-cepat melompat ke samping ketika pukulan hawa saktinya yang membentur sinar pedang mustika seperti membal dan terpental kembali menghantam dirinya sendiri.
Tui-hun Hui-mo yang berbadan katai mundur jumpalitan menjauhi kalangan pertempuran. Wajahnya seputih kertas sewaktu menyaksikan bagaimana dua kuku jarinya sebelah kiri dan tiga lagi di sebelah kanan kena dibabat putus oleh pedang sakti lawan. Kedua tangannya terasa panas. Masih untung bukan jari-jari tangannya yang kena disambar.
Orang ke tiga dari lima iblis itu yakni Gui-Kun Kui-to juga mundur dengan tampang pucat pasi sambil pegangi jubah hitamnya yang robek besar di bagian dada kena dimakan ujung Pedang Pelangi. Sedang Tiat-thou-kui yang menyeruduk dari belakang terpaksa tarik pulang serangannya karena mendadak sontak Ki Hok Bun kirimkan satu tendangan ke belakang. Bagaimanapun atosnya batok kepala Tiat-thou-kui yang terkenal seperti besi itu, namun untuk beradu dengan tendangan kaki seorang berkepandaian tinggi seperti Pendekar Pedang Pelangi dia musti berpikir tiga kali!
Sesaat empat manusia iblis itu diam tak bergerak di tempat masing-masing, mengurung Ki Hok Bun di tengah-tengah. Perlahan-lahan Nan-king Kui-ong susupkan tangan kanannya ke balik jubah. Sesaat kemudian dia telah memegang sebuah senjata aneh. Senjata ini berbentuk hudtim (kebutan) sedang ujungnya yang lain berbentuk tombak besi bermata dua berkilauan.
"Hem... jadi senjata curian itu masih berada di tanganmu, biang iblis?" sentak Hok Bun.
Senjata di tangan Nan-king Kui-ong dulunya adalah milik seorang tokoh silat golongan putih pembantu Kaisar Yung Lo. Dalam satu pertempuran di medan perang tokoh silat itu menemui ajalnya dikeroyok Nan-king Ngo-kui, senjatanya lalu dirampas oleh Nan-king Kui-ong.
"Ha-ha-ha...! Agaknya kau takut menghadapi senjata ini Hok Bun?" ejek Nan-king Kui-ong.
Sebagai jawaban Ki Hok Bun lantas putar pedangnya. Melabrak ganas ke arah pangcu manusia-manusia iblis yang tinggal empat orang itu. Jurus yang dikeluarkan Hok Bun saat itu bernama ko-sing poan-swat atau bintang mengejar rembulan. Tak kalah hebatnya Nan-king Kui-ong keluarkan jurus Pit-bun Ki-khek atau 'Menutup Pintu Menolak Tetamu' guna menangkis serangan ganas lawan.
Gerakan ini sebenarnya dimainkah dalam ilmu silat tangan kosong. Tapi karena Kui-ong berkepandaian tinggi maka dengan senjata di tangan dia membuat gerakan yang amat hebat. Namun bagaimanapun dia tak mau ambil risiko untuk bentrokan senjata dengan pedang sakti di tangan lawan. Karena sebelum ujung tombak mata dua saling beradu dengan Pedang Pelangi, Nan-king Kui-ong membuat gerakan joan-hun ki-gwat atau menyusup awan mengambil rembulan.
Ki Hok Bun bukan pendekar kemarin. Dia maklum kalau lawan takut untuk bentrokan senjata. Maka buru-buru dia kiblatkan pedangnya dalam jurus Tiang-hong Koan-jit atau 'Pelangi Menutup Matahari'. Akibatnya Nan-king Kui-ong tak dapat lagi melihat lawan maupun pedang. Gulungan sinar tujuh warna menyambar deras menyilaukan mata dan mengurungnya. Dia terpaksa mundur dua langkah.
Justru saat itu Hok Bun tidak memberi kesempatan dan susul dengan serangan Thian-sing Tui-sin atau 'Bintang Meluncur Turun'. Pedang Pelangi laksana kilat menyambar deras dari atas ke bawah. Kali ini Nan-king Kui-ong mati langkah. Mau tak mau dia harus menangkis dengan senjatanya untuk selamatkan diri dari bahaya maut. Sambil putar senjata ke depan pangcu manusia-manusia iblis itu berteriak,
"Kawan-kawan bantu aku cepat!"
Maka tiga serangan menggebu ke arah Hok Bun. Namun semuanya luput karena Hok Bun sudah lebih dulu melompat ke atas dan dari atas meneruskan serangannya tadi yang kini jadi lebih dahsyat.
"Tranggg...!"
"Auu!" Nan-king Kui-ong terpekik. Dia melompat mundur jauh-jauh. Salah satu jari tangan kanannya putus sedang senjata hudtimnya hancur berkeping-keping dihantam Pedang Pelangi.
Tiga kawannya yang barusan menyerang kini mundur pula berserabutan ketika Ki Hok Bun kembali kiblatkan pedang saktinya ke arah mereka. Diantara empat iblis itu Iblis Pengejar maut Tui-hun Hui-mo dan Si Golok Iblis Gui Kun sebenarnya sudah runtuh nyalinya. Hanya si botak kepala besi Tiat-thou-kui yang masih cukup berani dan bertekad untuk menghancurkan tubuh lawan dengan serudukan-serudukan kepala besinya.
Nan-king Kui-ong sendiri merasa malu kalau terlalu menunjukkan rasa kawatirnya. Namun dia menyadari bahwa saat itu keadaan sangat tidak menguntungkannya. Malah jika dia tidak mengambil keputusan cepat, mereka berempat bisa mengalami celaka besar menemui kematian satu persatu. Dia berpaling pada Si Golok Iblis Gui Kun dan memberi isyarat.
Gui Kun yang cepat menangkap arti isyarat pangcunya itu menganggukkan kepala dan mengirimkan isyarat yang sama pada Tui-hun Hui-mo. Malang bagi si kepala besi Tiat-thou-kui karena berada di sebelah depan dia tak dapat melihat isyarat-isyarat tersebut. Karenanya terpaksa Nan-ing Kui-ong berseru,
"Kawan-kawan, tinggalkan tempat ini. Lain hari kita buat perhitungan dengan bangsat itu!"
"Ho... ho! Mau lari kemana manusia-manusia keparat?!" teriak Hok Bun seraya melompat memburu. Sambil melompat itu dia kirimkan satu tendangan ke arah si kepala besi Tiat-thou-kui.
Karena memang berada sangat dekat, di samping itu tidak menyangka kalau sambil mengejar ke jurusan lain lawan akan kirimkan tendangan, Tiat-thou-kui agak terlambat mengelak. Akibatnya bahu kirinya kena dihantam tumit Hok Bun hingga remuk dan dia terpelanting jatuh tergelimpang di tanah. Di lain kejap Hok Bun sudah berhasil menghadang tiga manusia iblis lainnya.
"He-he-he... Kalian boleh lari. Tapi tinggalkan nyawa kalian disini!" kata Hok Bun sambil melintangkan pedang sakti di depan dada.
Nan-king Kui-ong dan dua kawannya terkesiap kaget. Hebat sekali gin-kang bekas perwira tinggi itu hingga belum sempat mereka bergerak jauh tahu-tahu sudah kena dihadang. Jika tidak memakai tipu muslihat tak bakal bisa lolos. Demikian Nan-king Kui-ong membatin.
"Hok Bun, jangan terlalu sombong! Aku akan perlihatkan sepucuk surat dari Kaisar Hui Ti untukmu. Surat ini diloloskan lewat penjara..."
"Akal busukmu tak bakal mempan manusia iblis!" kata Hok Bun yang sudah mencium niat licik lawan.
Namun karena disebutnya nama Hui Ti bekas Kaisar kepada siapa dia pernah mengabdi, agak tergerak juga hati Ki Hok Bun. Karena itulah dia hanya tegak berdiam diri. Dari balik jubah pakaiannya Nan-king Kui-ong keluarkan segulung kertas merah mudah yang ujungnya berjumbai-jumbai benang hijau. Kertas dengan jumpai-jumbai seperti itu memang adalah ciri-ciri surat Kaisar Hui Ti. Nan-king Kui-ong membuka gulungan kertas lalu mengangsurkannya ke hadapan Hok Bun seraya berkata,
"Kau bacalah sendiri isinya!" Ketika mengangsurkan surat itu sebuah benda bulat hitam sebesar ujung ibu jari melesat ke udara disertai bunyi mendesis tajam.
Sadarlah kini Hok Bun kalau dia memang telah tertipu. Dia melompat ke depan sambil kiblatkan pedang namun terlambat! Bola kecil hitam itu meledak di udara membersitkan asam hitam pekat bergulung-gulung. Keadaan di tikungan sungai itu menjadi gelap gulita. Pemandangan Hok Bun tertutup. Kemanapun berpaling hanya kehitaman yang kelihatan.
Hok Bun merutuk dalam hati. Dia melompat jauh-jauh ke belakang. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu. Selang beberapa lama asap hitam mulai menipis. Nan-king Kui-ong dan kawan-kawannya telah lenyap. Tetapi ternyata tidak semua mereka sempat melarikan diri. Tiat-thou-kui yang tadi kena dihantam tendangan kelihatan merangkak di tanah sambil pegangi bahu kirinya yang remuk.
"Pangcu...! Kawan-kawan! Jangan tinggalkan aku!" teriak Tiat-thou-kui. Namun sang pangcu dan dua kawannya sudah lari jauh. Sepasang kaki dilihatnya melangkah mendekatinya. Ketika dia mendongak pandangannya membentur wajah Ki Hok Bun yang garang angker.
"Sampai lidahmu copot berteriak, tak ada satu orangpun yang bakal menolong manusia keparat!"
Dengan tubuh menggigil Tiat-thou-kui berdiri tegak. Dihadapannya Ki Hok Bun melangkah semakin dekat dengan pedang terhunus di tangan. Tiba-tiba Hok Bun gerakkan tangan kanannya yang memegang pedang. Tiat-thou-kui mengelak ke kiri, lompat ke kanan, mundur dan melompat berulang kali, berusaha menyelamatkan diri dari sambaran pedang yang datang bertubi-tubi.
Sebagai orang ke tiga di antara Lima Iblis Dari Nan-king Tiat-thou-kui memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. Namun dalam keadaan terluka serta hanya ditinggal sendirian begitu rupa dia jadi mati kutu. Karena melompat terus-terusan lama lama tenaganya jadi kendor dan nafasnya memburu.
Satu kali terdengar teriakan Tiat-thou-kui ketika kepalanya kena digores pedang dan senjata itu terus membabat putus telinga kirinya. Darah mengucur membasahi wajahnya hingga tampangnya benar-benar menyeramkan seperti iblis. Sadar kalau dirinya tak bakal lolos dari tangan musuh tiba-tiba Tiat-thou-kui jatuhkan diri dan berlutut. Setengah meratap dia berkata,
"Twako Kim-hong Kiam-khek, aku menyerah dan pasrahkan diri padamu. Aku mohon padamu sudilah mengampuni selembar nyawa yang hina dina ini. Aku sadar kini kalau sudah tersesat ikut berbuat jahat bersama Bu Ceng dan kawan-kawan. Aku insaf dan tobat. Aku bersedia membantumu membalaskan sakit hati terhadap ketiga orang itu..."
"Cuh!" Hok Bun meludahi muka Tiat-thou-kui. "Tutup mulut busukmu yang banyak akal. Omongan iblis aku tak mau dengar!" lalu tanpa banyak bicara lagi Hok Bun gerakkan pedang pelanginya.
Tiat-thou-kui terpekik dan tekap mukanya dengan kedua tangan. Sambaran pedang tadi telah memutus hidung dan bibirnya hingga tampangnya jadi luar biasa mengerikan. Rasa sakit yang amat sangat membuat si botak ini menjadi kalap. Hilang rasa takutnya. Dia sadar percuma saja minta ampun. Dari pada mati sia-sia lebih baik melawan. Siapa tahu dengan serangan membabi buta dia berhasil merobohkan lawan.
Maka dengan nekad didahului macam suara harimau menggereng Tiat-thou-kui menerjang ke depan, hantamkan tangan kanannya. Angin pukulan deras menyambar Hok Bun tapi segera terpental begitu membentur sinar pedang tujuh warna pelangi dan membalik menyerang tuannya sendiri. Selagi Tiat-thou-kui kalang kabut mengelakkan angin pukulannya sendiri Ki Hok Bun kembali membabatkan pedangnya.
Kali ini Tiat-thou-kui tak punya daya lagi untuk mengelak. Dengan kalap dia sorongkan kepalanya melabrak perut lawan. Ki Hok Bun memutar arah pedangnya sedikit dan cras! Tamatlah riwayat orang ke tiga dari Nan-king Ngo-kui ini. Kepalanya terbacok terbelah sampai ke pangkal leher!
Meski Tiat-thou-kui sudah menggeletak tak bernyawa namun Ki Hok Bun seperti kemasukan setan terus saja membacokkan pedangnya ke sekujur tubuh orang itu. Pembalasan bekas perwira tinggi ini benar-benar sadis. Dua musuh besar telah mati di tangannya. Masih ada tiga orang lagi yang harus dicarinya!
DELAPAN
Pelacuran adalah salah satu macam pekerjaan yang paling tua di dunia. Sama tuanya dengan umur ummat manusia dan terdapat di mana-mana. Umumnya di masa perang dan sesudah perang pelacuran lebih menjadi-jadi dibanding dari masa damai. Hal ini disebabkan karena kesulitan hidup akibat peperangan itu sendiri. Demikian pula yang terjadi di Tiongkok sesudah perang saudara berkecamuk.
Kota-kota seperti Peking, Tien Tsien, Hankouw, Nanking, Shanghai, Ningpo, Kanton dan sebagainya timbul menjadi pusat-pusat hiburan dengan pelacuran pada tingkat teratas. Bahkan gejala buruknya kehidupan sosial ini menjalar pula ke kota-kota kecil, ke pedalaman. Salah satu dari kota-kota kecil yang dilanda pelacuran itu adalah Ankeng di propinsi Kiangsi, kira-kira 20 lie di barat laut Nanking.
Meskipun Ankeng cuma sebuah kota kecil namun karena menjadi pusat pertemuan dari tiga buah jalan raya maka tak urung kota ini senantiasa ramai setiap siang maupun malam. Pelacuran merajalela. Mulai dari kelas murahan di lorong-lorong gelap yang sempit sampai ke tingkat tinggi di gedung-gedung besar dan mewah.
Suatu hari di Ankeng, saat itu matahari pagi baru saja menyingsing naik. Di dalam sebuah kamar pada satu gedung mewah di pusat kota, yakni sebuah gedung pelacuran, terjadi pertengkaran antara seorang pelacur muda dengan lelaki yang telah memakainya semalam suntuk.
"Cis!" pelacur yang bernama Lu Sian Cin mengomel. "Semalam suntuk kau berpuas-puas menikmati diriku. Masakan dibayar sebegini?!"
Lelaki berambut gondrong awut-awutan bertampang seram penuh cambang bawuk liar serta kumis jenggot meranggas sesaat memandang Lu Sian Cin sambil menyeringai sementara kedua tangannya sibuk mengikat ikat pinggang jubah hitamnya yang dekil dan bau.
"Lelaki brengsek. Kalau tak punya uang cukup jangan datang ke tempat ini!" kernbali terdengar omelan Lu Sian Cin.
Sang tamu yang berbadan tinggi jengkel juga mendengar ucapan itu dan berkata, "Kalau tak mau dibayar sebegitu biar kuambil kembali uang itu!"
Lalu diulurkannya tangannya hendak mengambil uang di atas meja. Begitu uang dimasukkannya kembali ke kantong di balik jubahnya tahu-tahu "plak!" Tamparan perempuan lacur itu mendarat di salah satu pipinya.
"Benar-benar lelaki tidak bermalu!"
Mendapat tamparan begitu rupa si berewok yang bukan lain adalah Bu Ceng alias Nan-ing Kui-ong menjadi naik darah. Dijambaknya rambut si pelacur dan sekali tangannya bergerak perempuan itu dilemparkannya keluar pintu. Lu Sian Cin menjerit-jerit kesakitan. Keningnya terantuk dinding pintu kelihatan bengkak dan mengucurkan darah. Seorang lelaki tinggi besar bermuka hitam, entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah berada di tempat itu. Gerakannya enteng tanda dia memiliki ilmu. Sesaat dia memandang pada tetamu berjubah hitam. Lalu berpaling pada Lu Sian.
"Ada apa?" tanya si muka hitam ini. Namanya Song Bun Lip. Dia adalah kepala keamanan di gedung pelacuran itu. Perlu diketahui Lu Sian Cin adalah primadona dari semua pelacur yang ada disitu dan paling muda usianya. Sudah sejak lama Bun Lip menaruh hati pada pelacur ini dan agaknya Lu Sian pun senang padanya. Tentu saja melihat orang, yang disayanginya luka seperti itu Bun Lip jadi marah. Apalagi setelah Lu Sian Cin menerangkan apa yang terjadi. Song Bun Lip membantu Sian Cin berdiri lalu berpaling pada Bu Ceng dan berkata,
"Loya berjubah hitam. Pinceng adalah Song Bun Lip, kepala keamanan di gedung ini. Pinceng dan majikan tak ingin terjadi keributan di sini, karenanya pinceng harap loya suka membayar sewajarnya. Loya telah mendapat hiburan. Bukankah pantas membayar menurut aturan?" (loya artinya tuan besar. pinceng artinya saya)
Nan-king Kui-ong yang penaik darah, ditegur begitu rupa mula-mula hendak melabrak si tinggi besar kepala keamanan itu. Namun melihat Song Bun Lip bersikap tenang dan pandangan matanya tajam diam-diam Bu Ceng jadi tercekat juga. Setelah membetulkan ikat pinggang jubahnya dia berkata,
"Aku kan sudah membayar. Betina sialan ini malah mengomel, memakiku bahkan menampar. Apa kalian di sini tidak memberi pelajaran sopan santun padanya hingga dia tahunya cuma naik ke atas ranjang, mengangkang lalu minta uang dengan cara yang kurang ajar? Sekarang siapapun kau adanya, apapun pangkatmu di tempat ini menyingkirlah. Aku mau pergi!"
Song Bun Lip batuk-batuk beberapa kali. "Setiap saat tentu saja loya boleh pergi. Namun tentunya setelah membayar seperti yang pinceng bilang tadi."
"Hem... berani kau memaksa?!"
"Bukan memaksa loya. Kami di sini cari makan..."
"Kalau tuan besarmu tidak mau bayar, kau mau apa manusia muka hitam?" ejek Bu Ceng.
"Jika demikian adanya, terpaksa pinceng menjalankan apa yang menjadi tugas pinceng," sahut Song Bun Lip.
Bu Ceng tertawa bergelak. "Manusia bermuka hitam macam pantat kuali, rupanya kau tidak melihat gunung Thaysan di depan mata hah?" Sehabis berkata demikian Nanking Kui Ong dorongkan tangan kanannya ke dada kepala keamanan itu.
Song Bun Lip terkejut karena detik itu juga dia merasa dadanya seperti ditindih batu besar. Kontan mukanya berubah pucat. Sebagai kepala keamanan Bun Lip memang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi. Tapi semua yang dimilikinya hanya ilmu luar atau ilmu kasar belaka. Di dalam dia sama sekali tidak mempunyai isi. Sebelum tubuhnya terlempar dan terjengkang, lelaki ini melompat ke samping dan dari samping langsung kirimkan satu jotosan ke pelipis Bu Ceng.
Meski pukulan ini tidak mengandung tenaga dalam namun demikian hebatnya hingga kalau sampai mendarat di kepala Bu Ceng pastilah manusia iblis ini akan rengkah kepalanya! Akan tetapi tentu saja Bu Ceng, manusia pertama dan pimpinan dari Nanking Ngo Kui tidak semudah itu untuk dijatuhkan. Dengan gerakan seperti acuh tak acuh dan sikap memandang rendah Bu Ceng mengelak dan entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu...
"Buukkk...!"
Kepala keamanan tempat pelacuran itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental ke luar kamar, terguling-guling di langkan gedung terus terhampar di halaman depan, muntah darah, mengerang kesakitan tetapi masih sanggup bangun kembali. Song Bun Lip orang yang tahu membaca kehebatan lawan. Dengan tangan kosong tak mungkin dia sanggup melayani si jubah hitam ini. Karenanya dia segera cabut golok.
Dengan mulut berlumuran darah dia melangkah mendekati Bu Ceng. Yang diserang tegak tolak pinggang di tangga gedung. Sementara itu orang mulai banyak berkumpul di depan gedung. Ankeng adalah kota hiburan yang hangat. Setiap perkelahian atau sesuatu yang berbau kekerasan akan segera menarik perhatian orang banyak. Mereka akan menonton dengan senang malah memberi semangat agar perkelahian menjadi lebih hebat.
"Wuuttt...!"
Golok di tangan Bun Lip menyambar ke arah tenggorokan Bu Ceng. Serangan maut ini disambut dengan ganda tertawa oleh Nan-king Kui-ong. "Manusia pantat kuali tak tahu diri. Kau rasakanlah bagaimana senjatamu sendiri akan menembus dadamu!"
Song Bun Lip sudah dapat memastikan bahwa serangan kilatnya yang ganas itu akan membuat bergelindingnya kepala lawan. Tetapi tidak dinyana tahu-tahu sikutnya terasa remuk berderak dan di lain saat lengannya tertekuk hingga ujung goloknya dengan sebat dan tak dapat dihindarinya lagi menusuk keras ke arah badannya sendiri!
Semua orang yang ada disitu bergidik dan menyaksikan dengan mata membeliak ngeri apa yang bakal dialami Song Bun Lip. Saat itu tiba-tiba terdengar jeritan perempuan.
"Lelaki keparat! Kalau kau bunuh dia maka kau sendiri bakal mampus!"
Yang berteriak adalah Lu Sian Cin. Dia mendatangi dengan menggenggam sebilah golok penjagal babi. Senjata ini diayunkannya dari arah samping ke kepala Bu Ceng. Hebatnya Bu Ceng seolah-olah tidak mengacuhkan serangan tersebut dan terus menekan golok dalam genggaman Bun Lip ke dada kepala keamanan itu.
Namun sedetik lagi golok penjagal babi akan mendarat di batok kepalanya, Bu Ceng kebutkan lengan kiri jubahnya. Angin deras menderu. Lu Sian Cin terpekik. Tubuhnya mencelat dan dia terguling muntah darah di tanah, pingsan. Beberapa orang segera datang menolongnya. Song Bun Lip sadar bahwa dia tak bakal menghindari dari goloknya sendiri yang ditusukkan ke arah dadanya.
Ini membuat dia menjadi kalap dan sengaja dorongkan tubuh ke depan sambil menendang ke arah selangkangan lawan. Maksudnya hendak berjibaku. Tapi dengan mempergunakan lututnya Bu Ceng berhasil menahan tendangan maut itu sebaliknya ujung golok sudah menyentuh dada pakaian Bun Lip.
Sedetik lagi ujung golok akan menembus dada Song Bun Lip tiba-tiba terdengarlah satu siulan aneh. Bersamaan dengan itu sebuah benda merah sebesar kepalan melayang di udara.
"Plakkk...!"
Benda itu menghantam tangan kanan Nan-king Kui-ong dan pecah. Ternyata sebuah apel merah. Meski cuma apel belaka tetapi begitu terkena lemparan Nan-king Kui-ong merasakan tangan kanannya seperti lumpuh hingga cekalannya terlepas.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Song Bun Lip untuk meloloskan diri. Namun pukulan tangan kiri Nan-king Kui-ong masih sempat mampir di bahunya hingga dia terbanting ke tanah dengan tulang bahu remuk. Ini adalah lebih baik dari pada ditembus goloknya sendiri! Sambil menguruti tangan kanannya dengan tangan kiri Bu Ceng memandang berkeliling.
"Bangsat rendah dari mana yang berani campur tangan dengan jalan membokong? Lekas tunjukkan tampang!"
Teriakan Bu Ceng ini demikian kerasnya hingga semua orang yang ada disitu tergetar kecut dan mundur beberapa langkah. Sepasang mata kepala manusia iblis ini menyorot berkeliling mencari-cari.
Akhirnya pandangannya membentur seorang pemuda asing berambut gondrong yang duduk ongkang kaki di atas bangku di bawah emper sebuah warung penjual teh pahit. Di bangku di sampingnya ada sebuah keranjang berisi buah-buah apel. Seolah-olah dia cuma berada sendiri di situ dan seperti orang kelaparan pemuda asing tadi yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang tanpa acuh terus saja asyik menggerogoti buah-buah apel yang manis itu.
Pelipis Bu Ceng bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. Karena cuma pemuda asing ini saja yang memegang dan makan apel di sekitar tempat itu maka Bu Ceng yakin sekali dialah tadi yang telah melemparnya dengan buah itu!
"Bangsat rendah yang sedang makan apel! Kemari kau!" bentak Bu Ceng.
Wiro Sableng sesaat hentikan mengunyah apel dalam mulutnya dan berpaling. Sejenak dia memandang pada Bu Ceng dengan sepasang mata disipitkan, garuk-garuk kepala, meludahkan apel yang dalam mulutnya ke tanah lalu acuh kembali mengambil buah apel baru dari dalam keranjang dan memakannya. Tentu saja sikap Wiro ini membuat Bu Ceng naik darah setengah mati.
"Benar-benar minta dihajar bangsat ini!" kertak Bu Ceng. Dengan langkah-langkah besar dia mendatangi Wiro. Sekali tendang bangku kayu yang diduduki murid Sinto Gendeng ini hancur berkeping-keping.
Namun anehnya Wiro sendiri tetap tak bergerak di tempatnya. Jangankan bergerak, bergeming pun tidak. Sikapnya seolah-olah dia masih duduk di atas bangku yang tak kelihatan seperti tadi. Lalu perlahan-lahan tubuhnya merunduk turun ke bawah, duduk menjelepok di tanah sambil terus mengunyah apel!
Kalau tadi orang banyak tampak agak takut menyaksikan keberangan Bu Ceng, maka kini melihat kelakuan si pemuda asing semuanya jadi tersenyum lucu dan ingin menyaksikan bagaimana lanjutan kejadian ini. Bu Ceng yang bermata tajam sadar kalau pemuda asing tak dikenal itu memiliki kepandaian namun amarah membuatnya jadi kalap. Apalagi disaksikan demikian banyak pasang mata. Dia merasa direndahkan dan dipermainkan.
"Budak gondrong keparat! Kau mau jual tampang dan pamer ilmu padaku hah?!"
"Eh muka berewok berjubah hitam kau bau busuk. Kenal pun aku tidak padamu. Mengapa usil menggangguku?" Wiro Sableng menjawab seenaknya.
"Setan alas! Mampuslah!" teriak Bu Ceng yang seumur hidupnya baru sekali itu dihina demikian rupa dan di depan banyak orang pula. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Wiro Sableng.
Orang banyak terkesiap malah ada yang mengeluarkan seruan tertahan karena mengira detik itu juga pastilah kepala si pemuda berambut gondrong yang tidak dikenal akan pecah. Di saat itu justru terdengar suara siulan aneh. Dan tahu-tahu tendangan Bu Ceng hanya mengenai tempat kosong.
Semua orang melongo heran. Bu Ceng sendiri melengak kaget karena dia tidak dapat melihat kapan pemuda yang hendak dibunuhnya itu bergerak dan ketika memandang ke atas tahu-tahu dilihatnya Wiro sudah berada di cabang sebatang pohon besar sambil duduk goyang-goyang kaki dan makan buah apel!
Sebenarnya jika Bu Ceng mau berpikir sedikit jauh dari situ dia harus memaklumi bahwa pemuda asing itu memiliki kepandaian yang bukan sembarangan. Namun amarah sudah membuatnya mata gelap. Dia menghantam ke atas lepaskan satu pukulan sakti yang mengandung tenaga dalam hebat.
Segulung angin laksana hembusan topan melabrak deras ke arah pendekar kita. Bukan saja cabang di mana Wiro duduk hancur berantakan tetapi batang pohon juga ikut patah dan pohon itu tumbang dengan suara menggemuruh disertai pekik orang banyak. Wiro sama sekali tidak kelihatan. Sepasang mata Nan-king Kui-ong bergerak liar mencari-cari.
"Hai!" terdengar suara memanggil.
Bu Ceng berpaling. Setan betul! Pemuda itu tahu-tahu sudah tegak di belakangnya memegang keranjang apel sambil cengar-cengir.
"Jika kuberikan apel satu keranjang ini padamu, maukah kau tidak menggangguku lagi?" tanya Wiro tentu saja mempermainkan.
"Anjing geladak hina dina! Kau rupanya tidak tahu berhadapan dengan siapa! Apakah kau pernah mendengar nama Nan-king Ngo-kui? Lima Iblis Dari Nanking? Akulah pemimpinnya. Aku Nan-king Kui-ong!"
Mendengar kata-kata itu semua orang menjadi gempar dan banyak diantara mereka yang buru-buru tinggalkan tempat itu. Yang masih berani mengintip-intip dari tempat jauh. Siapa yang tidak pernah mendengar nama Lima Iblis Dari Nanking? Dan kini justru kepalanya, biang iblisnya yang muncul!
Bu Ceng sadar kalau dalam marahnya telah ketelepasan mulut mengatakan siapa dirinya. Kalau saja ada alat Kerajaan di tempat itu pasti dia akan menghadapi urusan yang tidak sedap. Wiro Sableng sendiri tak kalah kagetnya ketika mengetahui bahwa manusia berjubah hitam busuk yang sejak tadi dipermainkannya itu adalah pemimpin dari Nan-king Ngo-kui.
"Hm, jadi inilah manusia biang racun yang jadi musuh saudara angkatku Ki Hok Bun!" katanya dalam hati. Dan sekaligus yang selama ini diburunya pula. Sesaat Wiro tertegak diam sambil garuk-garuk kepala. Kemudian dia berkata,
"Ah, mataku sangat buta. Tidak melihat gunung Thaysan di depan mata. Jika kau memang Nan-king Kui-ong, biarlah aku memberikan penghormatan dengan menyerahkan apel-apel ini padamu!"
Setelah berkata begitu Wiro goyangkan keranjang apel yang dipegangnya. Dan empat belas buah apel yang masih ada dalam keranjang itu laksana meteor melesat ke arah 14 bagian tubuh Nanking Kui Ong.
Menyaksikan ini orang banyak yang mengintip dari tempat kelindungan merasa kagum. Pemuda ini rupanya memang berilmu tinggi. Tapi menghadapi Nan-king Kui-ong sama saja mencari mati. Begitu mereka berpikir. Bu Ceng sendiri tak kurang kagetnya. Melemparkan buah apel dalam keranjang tanpa menyentuh langsung buah-buah itu sudah merupakan kepandaian tersendiri, apalagi kalau buah-buah tersebut dijadikan senjata yang ampuh!
Hanya tokoh silat berkepandaian tinggi yang sanggup melakukan hal seperti itu. Menilik kepada tampangnya yang tolol dan sikapnya yang seperti orang miring otak Nanking Kui Ong sulit untuk mempercayai bahwa pemuda berambut gondrong itu telah melakukan kehebatan tersebut. Namun justru itulah kenyataan yang terjadi dan jika dia tidak bertindak cepat niscaya bakal cidera!
Nan-king Kui-ong membentak garang. Sekali kebutkan ujung lengan jubah hitamnya sebelah kanan, enam buah apel mental berhamburan. Enam lainnya dihajar dengan kebutan lengan jubah kiri dan dua sisanya dikelit dengan gerakan cepat.
"Oho...!" seru Wiro yang melihat Bu Ceng membuat gerakan menghantam dan mengelak itu, "Rupanya selain jadi iblis nyatanya kau juga pandai menari! Ha-ha-ha...!"
"Sialan benar. Kalau tidak segera kubunuh bangsat ini bisa membuat darah muncrat dari benakku!" kata Bu Ceng dalam hati.
Sementara itu di hadapannya Wiro kembali membuka mulut. "Hai! Setahuku kalian berjumlah lima orang. Mana empat iblis jejadian lainnya?"
"Makan dulu gebukanku ini baru nanti kujawab!" ujar Bu Ceng lalu melompat ke depan sambil dorongkan kedua tangannya yang dikepal ke arah dada Wiro Sableng. Inilah serangan tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam tinggi bernama Soan-hong hiap-in atau 'Angin Berpusing Mengejar Awan'. Belum lagi dua kepalan itu mengenai sasarannya, angin pukulannya saja sudah membuat pakaian Wiro berkibar-kibar dan dadanya seperti ditekan!
Melihat kehebatan serangan lawan, Wiro Sableng tak mau berlaku ayal walau tampangnya masih tetap cengar cengir. Cepat dia melompat ke samping dan dari arah ini bermaksud lancarkan satu sodokan lutut ke pinggul lawan. Namun serangan angin berpusing mengejar awan mempunyai cahaya yang tidak terduga. Karena begitu dielakkan tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa membalik. Dan kini bukan saja dua tinju yang bergerak menyerang tetapi satu kaki ikut pula berkelebat ke bawah perut Wiro Sableng!
Wiro Sableng keluarkan siulan nyaring. Tubuhnya mengapung sampai dua tombak dan dari atas laksana elang menyambar anak ayam dia menukik. Lima jari tangannya menyambar ke arah kepala Nan-king Kui-ong yang berambut panjang awut-awutan. Nan-king Kui-ong geram sekali. Belum pernah serangannya yang begitu hebat dapat diruntuhkan lawan malah kini mendapat serangan balasan.
Bu Ceng rendahkan kuda-kuda kedua kakinya. Tubuhnya kini merunduk dan serentak dengan itu tangan kirinya memukul ke atas. Sesaat kemudian kedua orang itu sama-sama mengeluarkan seruan. Meskipun sudah merunduk namun jari-jari tangan Wiro masih sempat menjambak putus segenggam rambut di kepala Bu Ceng hingga kulit kepalanya mengeluarkan darah. Sakitnya tentu saja bukan kepalang.
Sebaliknya Wiro pun kena dihantam oleh pukulan Hoan-thian-ciang atau pukulan 'Membalik Langit' yang dilepaskan lawan. Tubuhnya tergetar dan dadanya berdenyut sakit. Cepat-cepat dia jungkir balik dan begitu berdiri di atas kedua kakinya dia segera salurkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang kena dihantam.
Bu Ceng merasakan dan melihat jelas pukulan saktinya tadi tepat mengenai dada lawan. Tapi Wiro masih tegak berdiri tanpa cidera bahkan masih bisa cengar cengir, membuat tokoh terlihai dari Lima Iblis Dari Nanking ini jadi melengak kaget kalau tidak mau dikatakan dingin tengkuknya. Selama ia memiliki ilmu pukulan Hoan-thian-ciang itu, tak ada satupun musuh yang bisa selamat, paling tidak muntah darah atau terluka di dalam.
Sebenarnya ingin sekali Bu Ceng mengetahui siapa adanya pemuda asing berambut gondrong bertampang tolol ini. Namun untuk bertanya dia merasa jatuh harga diri dan akan menunjukkan kekecutan beiaka. Dalam hatinya dia membatin,
"Keparat ini memiliki kepandaian tinggi. Berbahaya. Kalau tidak segera kuhabisi bisa berabe buntut-buntutnya..."
Maka tanpa menunggu lebih lama Nan-king Kui-ong langsung menyerang. Dia kerahkan seluruh kepandaiannya, gunakan gin-kang dan iwekangnya yang tinggi dalam setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkan. Tubuhnya lenyap. Yang kelihatan hanya bayangan jubah hitamnya berkelebat kian kemari.
Demikian hebatnya serbuan Nan-king Kui-ong hingga Wiro merasa seolah-olah ada setengah lusin musuh yang menggempurnya saat itu. Tubuhnya disambar angin serangan dari berbagai penjuru dan sesaat kemudian satu pukulan menyerempet bahunya hingga pendekar ini melintir. Nan-king Kui-ong yang melihat lawan kehilangan keseimbangan kirim tendangan ganas dari samping kiri ke arah perut.
Namun saat itu Wiro sudah dapat menguasai diri. Murid Sinto Gendeng ini membentak nyaring. Saat itu pula tubuhnya lenyap dari pemandangan dan yang ada kini hanya bayangan putih menyambar kian kemari. Kini Nan-king Kui-ong yang ganti kebingungan. Sekilas dilihatnya sosok tubuh Wiro seperti ada di sebelah kanan. Diserangnya ke jurusan itu namun tahu-tahu dia sendiri mendapat serbuan dari sebelah kiri.
Setelah menggempur lima belas jurus tanpa hasil Nan-king Kui-ong mulai gelisah. Jubah hitamnya telah basah oleh keringat dan ini membuat pakaian itu menebar bau yang semakin menjadi-jadi. Seumur hidupnya dia tak pernah kucurkan begitu banyak keringat untuk perkelahian yang masih di bawah dua puluh jurus. Tiba-tiba...
"Buukkk...!"
Nanking Kui Ong mengeluh dan pegangi dadanya yang kena disodok sikut lawan. Belum lagi hilang rasa sakitnya dia harus pula menerima jambakan pada rambutnya. Demikian hebatnya hingga pada bekas rambut yang tercabut itu kelihatan kepalanya seperti botak dan mengucurkan darah. Nan-king Kui-ong meraung kesakitan.
"Setan alas! Aku bersumpah untuk membunuhmu saat ini juga!" teriak Bu Ceng dalam sakit dan marahnya. Dan...
"Wuuttt...!"
Satu sinar biru berkiblat menyambar ke arah Wiro Sableng. Melihat angkernya sinar dan derasnya angin yang menyambar Wiro tak berani bertindak gegabah. Dia melompat mundur. Memandang ke depan dilihatnya lawan memegang sebuah tasbih yang memancarkan sinar biru. Senjata ini adalah senjata mustika hasil rampasan pada masa perang dulu.
Wiro yang bisa menduga hal ini berseru mengejek. "Seorang iblis bersenjata tasbih, sungguh lucu dan tak pantas. Kau curi dari mana tasbih itu?!"
Rahang Bu Ceng menggembung. "Bagaimana keparat asing ini tahu kalau tasbih ini adalah senjata curian," katanya dalam hati.
Tanpa banyak bicara melayani kata-kata Wiro tadi dia langsung saja menyerbu dengan menyabatkan tasbih. Sinar biru yang keluar dari senjata sakti ini menderu menelikung aneh disertai hawa dingin menggidikkan. Wiro cepat berkelit menghindarkan serangan lawan. Namun tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa senjata itu membalik dan kembali menabur sinar biru. Demikian terjadi berulang kali.
Kalau saja Wiro tidak memiliki kegesitan yang ditunjang oleh ilmu meringankan tubuh yang tinggi niscaya sudah beberapa kali dia kena dihantam tasbih mustika, paling tidak terserempet sinarnya yang mengandung hawa dingin. Serangan Nan-king Kui-ong datang bertubi-tubi. Sinar biru dan hawa dingin menggebu-gebu. Menelikung dan mengurung dari berbagai arah, mempersempit ruang gerak Pendekar 212 Wiro Sableng.
Lambat laun hawa dingin itu dirasakannya mulai membuat matanya perih dan menekan denyut jantungnya. "Gila! Lama-lama aku bisa remuk dibuatnya!" kata Wiro.
Lalu dia membentak nyaring. Sikap dan gerakannya seperti hendak mengeluarkan satu serangan balasan yang hebat detik itu juga. Hal ini membuat Nan-king Kui-ong cepat berlaku waspada. Namun justru saat itu Wiro sama sekali tidak melancarkan serangan hebat atau melepas pukulan sakti melainkan seperti seorang gila atau tepatnya seperti seekor monyet terbakar buntut dia melompat-lompat petatang peteteng. Sesekali dia menggelitiki tubuhnya sendiri seperti lutung lalu tertawa gelak sambil garuk-garuk kepala.
"Keparat ini benar-benar miring otaknya!" kertak Nan-king Kui-ong.
Dia salurkan tenaga dalamnya lebih besar hingga tasbih di tangannya memancar lebih terang dan menderu-deru sewaktu dia kembali mulai menggempur. Akan tetapi bagaimanapun dahsyatnya serangan manusia iblis ini tak satupun berhasil mengenai Wiro Sableng padahal lawan kelihatan begitu jelas untuk diserang bahkan ditamatkan riwayatnya.
Ilmu silat yang dikeluarkannya Wiro Sableng saat itu adalah ilmu silat 'Orang Gila' yang dipelajarinya dari gurunya yang kedua yakni Tua Gila. Ilmu silat ini memang aneh dan mempunyai kemampuan luar biasa. Seumur hidupnya manusia berjuluk Nan-king Kui-ong baru kali itu menyaksikan ilmu silat macam begitu. Mau tak mau dia jadi bingung. Lebih-lebih ketika Wiro salurkan hawa sakti pada kedua tangannya hingga setiap serangan tasbih dapat dibendung.
Nan-king Kui-ong hampir hilang kesabarannya ketika dalam satu jurus dia melihat kedudukan lawan dianggapnya lemah. Maka dia tidak membuang kesempatan dan langsung menerjang. Tasbih di tangan kanannya menabur sinar terang menyilaukan, membabat dari samping kiri. Tampaknya hendak menghantam ke jurusan dada Wiro Sableng yang terbuka. Namun sebelum sampai, tiba-tiba senjata itu melesat menghantam ke jurusan kepala!
Orang banyak yang menyaksikan kejadian itu menahan nafas. Wiro terlihat seperti tidak berdaya untuk mengelak. Sekali ini akan hancurlah kepala pemuda asing ini, pikir mereka. Sesaat lagi tasbih itu akan mengenai sasarannya, Pendekar 212 angkat tangan kanannya ke muka. Telapak tangan menghadap ke depan dan jari-jarinya menekuk membentuk cakar. Sambil kerahkan tenaga dalamnya murid Sinto Gendeng ini sudah siap untuk menangkis tasbih dan sekaligus merenggut merampasnya.
Akan tetapi sebelum hal itu terjadi mendadak terdengar suara menderu. Tujuh warna sinar pelangi berkiblat, menyeruak diantara kepala Wiro dan ujung Tasbih. Sedetik kemudian tasbih itu putus hancur bertaburan dengan mengeluarkan suara bergemerincing!
Nan-king Kui-ong berseru kaget dan melompat mundur. Dia masih kurang cepat. Ujung sinar pelangi mengejarnya dan...
"Brettt...!" Pakaiannya di bagian dada robek besar. Pucatlah wajah manusia iblis ini. Di saat itu pula terdengar suara bentakan garang,
"Manusia iblis bernama Bu Ceng! Hari ini kutagih hutang darah dan nyawa! Serahkan kepalamu!"
SEMBILAN
Bu Ceng yang kenali suara menggeledek itu berpaling ke kiri. Wajahnya berubah putih. Dadanya berdebar dan lututnya bergetar goyah. Memandang ke kiri dilihatnya Ki Hok Bun Pendekar Pedang Pelangi tegak dengan muka membersitkan hawa pembunuhan. Di tangan kanannya berkilauan pedang pelangi.
"Celaka, bagaimana dia bisa muncul di sini," keluh Bu Ceng.
"Twako, kukira siapa. Terima kasih kau telah menyelamatkan muka ku yang buruk ini dari hantaman tasbih curian itu!" kata Wiro merendah ketika dia melihat kehadiran Ki Hok Bun di tempat itu.
Melengak Bu Ceng mendengar Wiro memanggil twako terhadap Ki Hok Bun. "Ah, tambah celaka jadinya. Rupanya kedua orang ini sudah saling kenal!"
Bu Ceng jadi bingung dan takut sekali. Menghadapi Wiro Sableng saja dia sudah tak mampu, apalagi kini datang pula Ki Hok Bun untuk membalaskan dendam. Nan-king Kui-ong melangkah mundur sewaktu Ki Hok Bun mendekatinya. Matanya liar ke kiri dan ke kanan. Hok Bun tahu apa yang ada dalam benak manusia iblis ini.
"Larilah jika kau memang mampu!" ujar Hok Bun. Sadar kalau dia tak mungkin melarikan diri Bu Ceng yang banyak akal dan licik ini tiba-tiba jatuhkan diri dan bersujud.
"Ki Hok Bun ciangkun," katanya tanpa mengangkat keningnya dari tanah. "Mengingat hubungan baik kita di masa perang dahulu, sudilah ciangkun mengampunkan selembar nyawaku. Aku sekarang benar-benar insyaf dan bertobat. Aku berjanji akan kembali ke jalan benar."
"Manusia iblis! Kau lupa apa yang telah kau lakukan terhadap anak dan istriku? Sekarang kau mengemis minta ampun!"
Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong angkat kepalanya. Sambil berlutut kini dia berkata, "Ciangkun, aku betul-betul merasa berdosa atas semua perbuatanku di masa lampau. Apapun yang bakal kau lakukan atas diriku akan kuterima asal kau mau mengampunkan nyawaku."
"Enak betul ucapanmu...!" kata Ki Hok Bun. Saat itu dia tak dapat lagi menahan hati. Kaki kanannya menderu menendang dada Bu Ceng.
Pimpinan manusia-manusia iblis itu terlempar. Sambil mengerang dia bangkit berlutut seperti tadi dan kembali merengek minta diampuni. Ki Hok Bun menyeringai. Pedang pelangi di angkatnya tinggi-tinggi. Sebelum memenggal leher musuh besarnya ini dia berniat menebas bagian-bagian tubuh Bu Ceng terlebih dahulu. Namun sebelum pedang itu meluncur turun tiba-tiba didengarnya Wiro Sableng berseru,
"Twako terlalu bodoh untuk cepat-cepat membunuhnya!" Pendekar Pedang Pelangi Ki Hok Bun berpaling. Dilihatnya Wiro kedipkan mata dan berkata, "Waktu manusia iblis ini melakukan perbuatan biadab itu dia tidak sendirian. Ada empat orang kawannya. Kudengar kau telah berhasil membunuh dua di antara mereka. Berarti masih ada dua iblis lainnya. Di mana dua iblis itu berada pasti dia tahu. Kita tak bakal susah-susah mencari mereka..."
Sepasang mata Bu Ceng kelihatan membesar dan bersinar. Sambil mengangkat tangannya dia berkata, "Ciangkun, jika kuberi tahukan di mana mereka berada apakah kau mau mengampuniku? Aku tak perduli apa yang kau akan lakukan terhadap Si Golok Iblis Gui Kun dan Tui-hun Hui-mo..."
"Lekas katakan di mana mereka!" bentak Ki Hok Bun yang merasa bahwa ucapan Wiro ada benarnya. Kalau Bu Ceng dibunuhnya saat itu memang berarti dia berhasil melampiaskan dendam kesumatnya. Akan tetapi dia akan butuh waktu untuk mencari dua manusia iblis lainnya. Tak ada salahnya menunda kematian Nan-king Kui-ong dan pergunakan manusia ini sebagai alat untuk mencari dua kambratnya. "Hai, lekas katakan di mana mereka!" sentak Ki Hok Bun kembali.
"Tapi kau akan mengampuniku bukan...?"
Yang menjawab adalah Wiro. "Soal nyawamu bisa diatur kemudian sobat. Sekarang lebih baik terangkan di mana dua anak buahmu itu berada."
Bu Ceng tak segera menjawab. Dia seperti memikirkan sesuatu. Ki Hok Bun tempelkan ujung pedang ke tenggorokannya. Kontan Bu Ceng membuka mulut, "Baiklah, aku akan katakan. Mereka... mereka berada di sebuah rumah pelacuran. Di Ankeng ini juga. Aku akan tunjukkan pada kalian."
Bu Ceng lalu berdiri. Diiringi Ki Hok Bun dan Wiro Sableng serta orang banyak yang ingin menyaksikan kejadian itu lebih lanjut, dia menuju ke pinggiran kota. Song Bun Lip dan Lu Sian Cin kelihatan diantara rombongan orang yang mengikuti.
"Awas kalau kau menipu kami Bu Ceng," kata Ki Hok Bun memperingatkan.
"Ciangkun, kau percayalah padaku. Bahkan jika kau betul nanti mengampuni jiwaku, kelak tiga peti emas rampokan dulu bisa kita bagi dua. Kau masih ingat pada peti-peti emas itu ciangkun?"
Ki Hok bun muak mendengar kata-kata Bu Ceng itu. Dia membentak, "Sudah, jangan banyak mulut. Jalan terus!"
Wiro Sableng yang mendengar ucapan Bu Ceng itu hanya tertawa menyengir. Siapa yang mau percaya pada kata-kata manusia iblis seperti Bu Ceng? Rumah mesum di mana saat itu Iblis Pengejar Maut Tui-hun Hui-mo dan Golok Iblis Gui Kun berada dan tengah bersenang-senang terletak agak di pinggiran kota Ankeng.
Melihat munculnya seorang berjubah hitam bertampang seram diiringi seorang lelaki separuh baya berwajah penuh berewok serta seorang pemuda asing berambut gondrong, ditambah pula dengan serombongan orang banyak yang mengikuti mereka dari belakang, tentu saja pemilik gedung pelacuran, germo serta tukang pukulnya kaget bercampur heran.
"Ada apakah?" tanya sang germo seorang bertubuh gemuk bermuka merah.
Ki Hok Bun bepaling pada Bu Ceng dan menganggukkan kepalanya. Bu Ceng lantas berkata, "Dua orang kawanku ada di dalam sana. Panggil mereka. Katakan pangcu mereka memanggil!"
"Maksud loya, dua orang berjubah hitam dan berewokan seperti loya?"
"Betul!" Germo itu menatap Bu Ceng sesaat. Hatinya bergetar melihat keangkeran manusia iblis ini. Lalu berpaling pada Ki Hok Bun dan Wiro Sableng.
"Loya... mereka sedang istirahat dan menghibur diri. Mana mungkin aku berani mengganggu mereka?" si germo akhirnya berkata.
Nan-king Kui-ong menunjukkan tampang berang dan membentak, "Apa perlu kami yang langsung masuk?!"
Wiro garuk-garuk kepala sedang Ki Hok Bun pegang gagang pedangnya. Melihat gelagat yang kurang baik ini tukang pukul rumah pelacuran hendak melangkah maju namun cepat ditahan oleh sang germo. Dia sudah berpengalaman dan maklum kalau tiga orang yang ada di depannya itu bukan manusia-manusia biasa. Pasti orang-orang dari rimba hijau (persilatan). Dan dia tak mau mencari urusan dengan orang-orang tersebut.
"Baik loya, aku akan beritahu mereka," kata si germo lalu cepat-cepat masuk ke dalam.
Saat itu Tui-Hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to sedang duduk di atas sebuah kursi besar ditemani dua pelacur sambil meneguk anggur. Si Golok Iblis Gui Kun memangku seorang pelacur berkulit putih bertubuh langsing. Hampir tiada henti dia menciumi pelacur ini. Kalau saja bukan lantaran uang tentu saja si pelacur merasa jijik terhadap manusia ini.
Sementara itu Iblis Pengejar Maut Tui hun asyik mendekapi pelacur pilihannya, seorang perempuan berbadan gemuk dan berambut panjang. Tangannya merayap kian kemari. Kedua anak buah Nan-king Kui-ong ini saat itu sudah siap-siap untuk masuk ke kamar masing-masing ketika germo berbadan gemuk mendatangi.
"Loya berdua harap maafkan. Ada orang mencari loya..."
Merasa terganggu tentu saja kedua orang itu marah sekali. Iblis Pengejar Maut Tui hun membentak sambil bantingkan gelas anggur ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
"Aku sudah bilang berapa kali! Jangan ganggu kalau kami sedang bersenang-senang...!"
"Tapi yang mencari adalah..."
"Sekalipun setan aku tak perduli!" kini Si Golok Iblis Gui Kun yang buka mulut keras.
Sesaat germo itu jadi bingung. Dia tidak mau kehilangan dua orang tamunya ini yang walaupun kasar liar serta bertampang bengis tapi nyatanya punya banyak uang. Namun dia juga tidak mau cari urusan dengan tiga manusia di luar sana. Maka dia memberanikan diri membuka mulut memberi tahu.
"Yang mencari adalah pangcu loya berdua..."
Dua manusia iblis itu sesaat saling pandang. Dengan segan dan sambil menggerutu keduanya bangkit dari kursi setelah terlebih dulu meminta pelacur pilihan masing-masing untuk menunggu. Begitu sampai di luar keduanya kontan melengak kaget setengah mati. Mereka memang melihat pemimpin mereka tegak di halaman rumah, tetapi di samping sang pangcu juga berdiri Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi, yang kemunculannya pasti sudah dapat diterka yaitu untuk membalaskan dendam kesumat.
Selain itu mereka melihat pula seorang pemuda asing berambut gondrong bertampang tolol yang mereka tidak kenal. Lalu orang banyak yang sudah berkumpul di tempat itu. Keduanya heran mengapa ketua mereka tegak agak gelisah dan kelihatannya dialah yang telah membawa Ki Hok Bun serta pemuda asing itu ke tempat tersebut. Sepasang mata Iblis Pengejar Maut Tui-hun memperhatikan robek besar di dada pakaian pemimpinnya. Pasti sesuatu telah terjadi pikirnya. Lalu dia memberi kisikan pada kambrat di sebelahnya.
"Ada yang tidak beres. Kita kabur saja. Naga-naganya kita bisa celaka!"
Si Golok Iblis Gui Kun mengangguk perlahan-lahan. Namun saat itu mereka dikagetkan oleh seruan pangcu mereka, "Ciangkun, tunggu apa lagi. Bunuh saja kedua manusia tak berguna ini!"
"Pangcu!" seru Gui-kun Kui-to. "Jadi kau bersekutu dengan Ki Hok Bun..." Habis berkata begitu dia berpaling pada Tui-hun Hui-mo dan berkata, "Tunggu apa lagi. Mari kabur!"
Kedua orang itu secepat kilat putar tubuh hendak masuk ke dalam rumah dan seterusnya melarikan diri lewat pintu belakang. Namun keduanya serta merta hentikan langkah ketika tahu-tahu di hadapan mereka sudah menghadang pemuda asing berambut gondrong itu sambil tolak pinggang dan cengar cengir. Tidak mengenali siapa adanya orang Si Golok Iblis Gui Kun langsung membentak,
"Bangsat rendah! Kau siapa berani menghalangi kami?! Kepingin mampus?!"
Wiro pencongkan hidungnya. "Mau kabur...? Tempat kabur manusia-manusia iblis macam kalian adalah neraka!"
Tui-Hun Hui-mo marah sekali. Lima kuku jarinya yang hitam panjang dan mengandung racun jahat bekelebat ganas meremas ke arah muka Wiro Sableng. Sebagai orang kedua dari Nan-king Ngo-kui, Tui-hun Hui-mo tentu saja memiliki kepandaian tinggi luar biasa.
Jurus yang barusan dikeluarkannya untuk menyerang Wiro adalah hek-hou wat-sim atau 'Macan Hitam Mengorek Hati'. Sekali kepala lawan kena remas pastilah akan hancur, mata terkorek keluar, hidung dan mulut copot. Belum lagi racun mematikan yang terkandung dalam kuku kuku hitam itu.
Tetapi hebatnya Wiro Sableng melayani serangan musuh itu dengan mengejek seperti orang mempermainkan. "Busyet! Kau ini perempuan atau banci. Pelihara kuku begini panjang? Bagusnya kupotes saja!" Wiro miringkan mukanya yang hendak diremas. Tangan kanannya bergerak dan...
"Pletek... pletek... pletek...!"
Tiga kuku jari Tui-hun Hui-mo patah berpeletekan. Manusia iblis ini meraung kesakitan. Jari-jari tangannya mengucurkan darah? Melihat apa yang terjadi dengan kawannya, Si Golok Iblis Gui Kun tak tinggal diam. Sekali bergerak empat golok terbang dilemparkannya ke arah Wiro Sableng.
Pemuda kita keluarkan siulan tinggi. Tubuhnya bekelebat. Dua golok berhasil dikelit dan menancap pada kusen pintu. Dua golok lainnya dengan sikap acuh tak acuh ditangkapnya lalu...
"Trakk... Traak..." Kedua senjata ini dipatahkannya!
Tentu saja Si Golok Iblis Gui Kun jadi terkesiap setengah mati. Selama hidup baru sekali ini dia menemui lawan yang kepandaiannya begitu tinggi. Sedang Tui-hun Hui-mo menjadi goyah lututnya dan meleleh nyalinya.
Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng yang sebelumnya sudah menyaksikan dan merasakan sendiri kehebatan Wiro saat itu terkesima demikian rupa karena nyatanya pemuda asing berambut gondrong itu benar-benar luar biasa. Dia yakin kalau Ki Hok Bun sendiripun masih ketinggalan jauh. Bahkan gurunya sendiri menurut Bu Ceng paling tidak masih dua tingkat di bawah pemuda itu. Ki Hok Bun sendiri diam-diam tak habis mengagumi kelihayan Wiro. Sulit dipercayanya ada manusia sehebat ini.
Selagi Ki Hok Bun maupun Nanking Kui Ong tertegun begitu rupa Wiro sudah mencekal rambut panjang dua manusia iblis itu lalu mendorongnya dengan keras hingga Tui-hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to jatuh tergelimpang di tanah tepat di hadapan Ki Hok Bun. Keduanya cepat bangun dan bersurut mundur melihat Ki Hok Bun cabut pedang mustikanya.
"Pangcu!" berseru Golok Iblis Gui kun memanggil ketuanya. "Aku tak percaya kau bersekutu dengan musuh besar kita ini. Tapi kenapa kau suruh bunuh kami? Bantu kami menghadapi mereka!"
Bu Ceng tertawa mendengar kata-kata anak buahnya itu dan berkata, "Sobat ku Gui-kun harap maafkan. Saat ini aku bukan pangcu mu lagi. Antara kita tak ada hubungan apa-apa lagi. Tak ada satu orang pun yang sanggup menyelamatkan nyawa kalian dari kematian di tangan Ki Hok Bun ciangkun. Namun ciangkun masih berbaik hati memberi kesempatan pada kalian untuk membela diri!"
"Pengkhianat busuk!" maki Si Golok Iblis Gui Kun.
Tui-hun Hui-mo yang sudah melihat tidak ada jalan lain tiba-tiba berteriak, "Ki Hok Bun! Apakah untuk menghadapi kami berdua yang mengandalkan tangan kosong kau begitu pengecut hendak pergunakan Pedang Pelangi?"
Tui-hun Hui-mo sebetulnya coba mengukur tingkat kepandaian Ki Hok Bun. Dalam tangan kosong jika dikeroyok dua dia merasa pasti akan dapat mengalahkan Ki Hok Bun. Tetapi jika lawan memegang Pedang Pelangi, sulit untuk menyelamatkan diri.
Namun di lain pihak Ki Hok Bun yang berjiwa kesatria sejati begitu mendengar kata-kata salah seorang lawannya segera sarungkan Pedang Pelangi. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia menerjang ke hadapan kedua musuh besarnya itu. Maka terjadilah perkelahian dua lawan satu yang hebat.
Tui-hun Hui-mo meskipun tangannya sebelah kanan terluka namun kehebatannya boleh dibilang hampir tidak berkurang. Serangan-serangannya berupa cakaran dan pukulan serta tendangan datang bertubi-tubi. Demikian pula Gui-kun Hui-to yang bertubuh tinggi kurus itu. Serangannya menggebu-gebu. Walaupun dia cuma jago ke lima di antara lima manusia iblis dari Nanking namun tingkat kepandaiannya tidak boleh dipandang remeh.
Apalagi kedua orang itu sadar kedudukan mereka dalam keadaan terjepit hingga keduanya mengadu nyawa karena lari pun sudah tidak mungkin.
Sepuluh jurus berlalu. Walaupun belum kelihatan Ki Hok Bun terdesak namun dia dibikin repot juga dan hanya sekali-kali mampu balas menyerang. Jika saja pangcu mereka membantu pasti Ki Hok Bun dapat dibereskan. Memikir ke situ Gui-kun Kui-to berteriak,
"Pangcu! Lekas bantu kami!"
Namun Nan-king Kui-ong cuma tersenyum. Saat itu sebenarnya dia berada dalam keadaan tertotok. Pada saat sampai di depan rumah pelacuran Ki Hok Bun telah menotok manusia iblis ini hingga dia hanya mampu buka mulut tapi tak dapat bergerak. Kalaupun dia tidak dalam keadaan tertotok tak juga dia akan membantu kedua anak buahnya itu. Tentu saja dia merasa senang melihat kematian mereka dari pada dirinya sendiri jadi korban. Memang begitulah sifat manusia iblis seperti Bu Ceng. Tak perduli anak buah celaka asal diri sendiri selamat!
Memasuki jurus ke dua puluh karena menyerang terus menerus tanpa hasil, tenaga dua manusia iblis itu mulai mengendor. Kini Ki Hok Bun ambil kesempatan. Di jurus ke dua puluh satu jotosannya menghantam Si Golok Iblis Gui-kun hingga tubuhnya melintir setengah lingkaran Gui-kun pegangi dadanya yang terasa sakit dan nafasnya sesak. Dia merasa seperti mau muntah. Ketika dia meludah, ludahnya bercampur darah!
Tubuhnya terhuyung-huyung seperti hendak roboh ke tanah. Dia berputar-putar, tapi begitu berada tepat di belakang Ki Hok Bun yang tengah menghadapi Tui-hun Hui-mo secepat kilat dia cabut empat buah golok dan melemparkannya ke arah lawan yang membelakang!
"Twako awas serangan curang!" seru Wiro memberi tahu. Dia tak mungkin menolong karena saat itu berada tepat di belakang Ki Hok Bun. Kalau dia menghantam runtuh empat pisau itu dengan pukulan tangan kosong ada kemungkinan satu dari senjata tersebut akan mengenai Ki Hok Bun.
Bekas perwira tinggi Kaisar itu sendiri sudah mendengar suara bersiuran dari arah belakang. Ditambah dengan teriakan peringatan Wiro dia sadar kalau telah diserang secara curang. Secepat kilat Ki Hok Bun jatuhkan diri seraya tangkap sepasang kaki Tui-hun Hui-mo. Meskipun kaget melihat gerakan lawan menjatuhkan diri dan menangkap kakinya namun Tui-hun Hui-mo melihat adanya kesempatan baik untuk mencengkeram kepala dan pundak Ki Hok Bun.
Namun sebelum maksudnya ini kesampaian dua dari empat golok terbang yang dilemparkan Gui kun Kui to menancap tepat di dadanya. Manusia iblis ini menjerit keras. Matanya melotot. Dia tergelimpang di tanah. Golok Iblis Gui-kun bukan kepalang kagetnya ketika menyaksikan bagaimana serangan mautnya tadi justru membunuh kawan sendiri!
Sesaat dia tertegun terkesiap. Justru ini adalah satu kesalahan besar karena saat itu pula laksana seekor singa lapar Ki Hok Bun melompatinya. Sepuluh jari tangannya langsung menyambar batang leher Gui-kun. Gui-kun memberontak, berusaha melepaskan diri. Tapi cekikan itu laksana jepitan baja. Nafasnya menyengal. Lidahnya terjulur keluar. Mulutnya membusah ludah campur darah. Matanya membeliak. Bagian hitamnya makin menghilang.
Sesaat kemudian terdengar suara berderak tanda remuknya tulang leher Gui Kun. Nyawanya lepas. Tubuhnya terkulai. Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan Ki Hok Bun berteriak sambil mencabut Pedang Pelangi. Semua orang yang ada di situ menyaksikan bagaimana tujuh sinar pelangi berkiblat kian kemari membuntal tubuh Gui kun.
Lalu sinar itu berpindah ke arah tubuh Tui-hun Hui-mo. Kemudian kelihatanlah hal yang mendirikan bulu tengkok karena terlalu mengerikan. Tubuh Gui-kun dan Tui-hun Hui-mo kini terkapar di tanah dalam keadaan tidak utuh lagi. Tercincang mulai dari ujung kepala sampai ke ujung kaki!
Wiro sendiri bergidik menyaksikan hal itu sedang Nan-king Kui-ong melengos ke jurusan lain! Nan-king Kui-ong kemudian menyadari bahwa ada seseorang yang mendekatinya dari arah depan. Ketika dia berpaling ke jurusan itu dadanya jadi berdebar. Ki Hok Bun dilihatnya melangkah mendatangi dengan Pedang Pelangi terhunus. Senjata mustika ini penuh lumuran darah. Darah Gui-Kun dan Tui-hun!
"Bu Ceng, katakan di mana kau sembunyikan tiga peti emas itu?" tiba-tiba Ki Hok Bun ajukan pertanyaan.
"Ciangkun... seperti yang aku bilang. Tiga peti emas itu akan kita bagi dua. Kita bisa berangkat ke sana sekarang."
"Baik, tapi aku ingin kau memberitahu dulu di mana tempat kau sembunyikan. Aku tidak mau tertipu..."
"Tapi... ciangkun, apa kau tidak percaya padaku?"
Ki Hok Bun menyeringai. "Jangan banyak tanya Bu Ceng. Katakan lekas. Atau ku cincang kau seperti kawan-kawanmu detik ini juga?"
Tubuh Bu Ceng alias Nanking Kui Ong bergeletar. "Letaknya kira-kira lima puluh lie dari sini. Di sebelah selatan ada sebuah reruntuhan klenteng. Di tanah pada pintu sebelah belakang tiga peti emas itu kupendam..."
"Kau berani dusta terhadapku Bu Ceng?!" hardik Ki Hok Bun.
"Aku tidak dusta ciangkun. Kita ke sana saja sekarang jika ciangkun tidak percaya," sahut Bu Ceng.
Ki Hok Bun anggukkan kepala dan mengerling ke arah Wiro. Melihat isyarat ini Wiro lalu lepaskan totokan di tubuh Bu Ceng seraya berkata, "Manusia tolol. Apakah kau pernah mendengar kalau bangsa iblis dan setan macam mu ini akan ditempatkan Thian di sorga sekalipun dia menyerahkan seratus peti emas?"
Sesaat Bu Ceng tertegun. "Apa maksudmu?" tanya dengan suara besar serak.
"Maksud ku kau tetap harus mampus. Dosa dan kejahatanmu sudah selangit. Malah sudah menerobos langit. Kalau bukan karena kau biang racunnya, istri dan anak saudara angkatku itu tak akan menemui kematian. Nah sekarang kau hadapilah twako ku itu!"
Wajah Bu Ceng yang garang jadi berubah putih kertas. Pucat pasi. "Tapi... tapi... bukankah dia sudah janji memberi ampun dan tiga peti emas itu kami bagi dua?"
"Jangan bicara ngelantur manusia durjana!" hardik Ki Hok Bun. "Siapa sudi memberi ampun padamu. Pengampunan tidak akan menghidupkan kembali anak serta istriku! Soal emas itu kau bisa terima bagianmu di neraka!"
"Jadi... kau sengaja menipuku?!" Mata Bu Ceng melotot.
Kembali Ki Hok Bun menyeringai. "Terserah kau mau bilang apa. Yang jelas kau akan susul empat anak buahmu. Mereka telah tak sabar menunggu mu di neraka. Di dunia kalian sama-sama berbuat kejahatan. Ganjarannya di akhirat juga harus kalian rasakan sama-sama!"
Dendam kesumat yang membara membuat Ki Hok Bun merasa tidak perlu memikirkan segala macam aturan persilatan ataupun jiwa satria terhadap musuh paling besarnya ini. Pedang sakti di tangan kanannya tergenggam erat. Sekali senjata ini menabas maka terpekiklah Bu Ceng. Tangan kanannya putus. Pedang berkelebat lapi. Tangan kirinya kini yang jadi sasaran. Sekali lagi senjata itu menderu. Dan anggota rahasia Bu Ceng amblas putus!
Terdengar suara seperti sapi dipotong keluar dari tenggorokan pimpinan manusia-manusia iblis itu. Tubuhnya jatuh ke tanah tanpa nyawa lagi. Dan seperti tadi, seperti kamasukan setan Ki Hok Bun bacokkan pedangnya berulang kali ke tubuh Bu Ceng hingga tubuh itu tak karuan rupa lagi, hancur luluh!
Sesaat setelah sadar akan dirinya Ki Hok Bun jatuhkan diri di tanah. Mulutnya bergetar ketika berkata, "Istriku The Cun Giok, anakku Sun Bie, hari ini aku Ki Hok Bun telah membalaskan sakit hati kalian atas lima manusia iblis itu. Kuharap kalian berdua bisa tenteram kini di alam baka..." Lalu KI Hok Bun menangis sesenggukan.
"Twako, bangunlah...!" kata Wiro sambil memegang bahu saudara angkatnya itu.
Perlahan-lahan Ki Hok Bun berdiri. Di tatapnya muka pemuda itu lalu berkata, "Terima kasih. Aku berhutang budi bahkan berhutang nyawa terhadap mu. Kau sudah tahu di mana tiga peti emas itu disembunyikan. Pergilah ke sana dan ambillah...!"
Wiro Sableng tersenyum dan geleng-gelengkan kepala. "Sekarang bukan saatnya bicara segala hutang budi hutang nyawa. Soal emas itu, aku mana ada hak untuk memilikinya. Takdir menentukan emas itu harus menjadi milikmu..."
"Kalau begitu tiga peti emas itu ku kembalikan saja pada Kaisar Yung Lo," kata Ki Hok Bun pula.
Wiro jadi mendelik. "Kenapa jadi begitu tolol twako? Kalau pun mau dikembalikan cukup dua saja, yang satu ambil olehmu. Kau sudah kehilangan segala-galanya twako. Anak istri, rumah dan ladang. Kau perlu sesuatu untuk modal masa depan mu!"
Ki Hok Sun merenung. "Kata-katamu akan kupertimbangkan Wiro. Sekarang aku akan menuju ke sana. Kau ikut...?"
"Tidak twako. Aku akan melanjutkan perjalanan. Masih hanyak daerah selatan ini yang belum kudatangi!
"Kalau begitu kita berpisah dan selamat jalan. Selama langit masih biru, hutan masih hijau dan air sungai masih mengalir ke laut, aku tak akan melupakan mu dan kuharap kita bisa berjumpa kembali!"
Wiro mengangguk. "Kudoakan agar kau bahagia twako."
Keduanya saling rangkul beberapa ketika. Lalu Ki Hok Bun tinggalkan tempat itu lebih dulu. Wiro memperhatikan sampai saudara angkatnya itu lenyap di kejauhan. Setelah Ki Hok Bun tak kelihatan lagi dia putar tubuh siap pula untuk pergi. Namun tiba-tiba satu tangan halus memegang lengannya. Dia berpaling. Ternyata pelacur jelita bernama Lu Sian Cin itu.
"Eh, ada apakah nona...?"
"Taihiap, kau telah menolongku. Kalau tak ada kau mungkin aku sudah mati di tangan manusia iblis itu. Aku merasa tidak tenteram sebelum dapat membalas budi besarmu itu..."
"Eh, aku tidak mengharapkan imbalan apa-apa..."
"Terus terang aku pun tak punya harta apa-apa. Kecuali..."
"Kecuali apa maksudmu?"
Lu Sian Cin membisikkan satu kata-kata mesra ke telinga Wiro Sableng membuat pemuda ini jadi merah wajahnya tapi juga senyum-senyum. "Kau mau...?"
Wiro garuk-garuk kepala. Siapa yang tak mau diajak bersenang-senang oleh perempuan secantik Lu Sian Cin ini? Tapi walau bagaimana pun Lu Sian Cin adalah pelacur. Dan ini membuat pendekar kita jadi meragu. Namun untuk menyenangkan hati perempuan itu dia berkata,
"Baiklah, aku akan datang ke tempatmu. Kau berangkat saja lebih dulu. Nanti kususul!" Wiro kedipkan matanya. Lu Sian Cin tersenyum gembira dan setengah berlari tinggalkan tempat itu.
T A M A T