Manusia Halilintar

MANUSIA HALILINTAR

SATU

HUJAN turun deras, halilintar menyambar ganas dan guntur menggelegar menggoncang bumi. Dalam keadaan seperti itu Kebo Hijo terus melakukan pengejaran atas diri orang yang lari di depannya. Tubuhnya dan pakaiannya bukan saja telah basah kuyup oleh air hujan, tapi juga oleh cucuran keringatnya sendiri.

"Raih Jenar keparat!" memaki Kebo Hijo seraya kepalkan tangan kanannya. "Kowe boleh lari ke ujung dunia! Boleh terbang menembus langit! Atau mencebur ke dalam laut! Tapi jangan harap kau bisa lolos! Sebentar lagi akan kubekuk dan kupatahkan batang lehermu! Awas kalau kotak hitam itu tidak kau serahkan padaku!"

Orang yang dikejar larinya sebat sekali tanda memiliki ilmu yang cukup andal. Namun Kebo Hijo sendiri juga memiliki kepandaian. Dalam waktu singkat dia pasti dapat mengejar orang di depannya itu. Raih Jenar lari seperti setan. Sesekali dia menoleh kebelakang dan orang ini memaki habis-habisan setiap Kali melihat pengejarnya tambah dekat.

Tangan kirinya menekan ke pinggang dimana tersembunyi sebuah kotak hitam terbuat dari batu. Tangan kanannya setiap saat meraba ke bagian lain dan pinggang tempat dia menyisipkan sebilah keras.

"Berani kau mendekat, kukoyak tubuhmu!" mengancam Raih Jenar dalam hati.

Hujan tambah lebat. Kejar mengejar itu semakin seru. Raih Jenar lari ke daerah persawahan di kaki bukit. Sepasang kakinya laksana terbang berlari di atas pematang sawah yang licin. Tiba-tiba untuk kesekian kalinya halilintar menyambar. Sekejapan daerah persawahan itu terang benderang menggidikkan.

Kilauan kilat yang menyambar dari langit menghunjam ke bumi jatuh tepat di persawahan menghantam sosok tubuh Raih Jenar yang sedang lari. Suara jeritan orang ini tenggelam ditelan suara gelegar geledek. Tubuhnya terkapar di pematang sawah. Hangus gosong kehilaman!

Kebo Hijo yang berada lima belas langkah di belakang Raih Jenar yang malang itu merasakan ada getaran keras ketika kilat menyambar. Tubuhnya terpental oleh dorongan satu kekuatan dahsyat. Dadanya mendenyut sakit. Dalam keadaan terduduk di pematang sawah untuk beberapa lama dia tak mampu berbuat apa-apa. Wajahnya pucat dan sepasang matanya melotot memandang ke arah sosok tubuh Raih Jenar.

"Matikah si keparat itu?" Kebo Hijo bertanya pada diri sendiri. Lalu dia ingat pada kotak batu itu. Seolah-olah mendapat satu kekuatan, Kebo Hijo mampu bangkit dan melangkah bergegas mendekati tubuh Raih Jenar yang telah jadi mayat hangus hitam.

Air hujan yang jatuh menimpa tubuh seperti dipanggang dan melepuh panas itu menimbulkan kepulan asap menebar bau daging matang terbakar. Merinding bulu tengkuk Kebo Hijo. Dia menunggu sampai kepulan asap lenyap dari tubuh mayat. Kemudian dengan ujung kakinya dibalikkannya tubuh Raih Jenar hingga terlentang.

Muka mayat itu menggidikkan untuk dilihat. Pada bagian pinggang Raih Jenar tampak sebilah keris yang kini hanya merupakan sebuah benda bengkok leleh akibat hantaman halilintar. Kebo Hijo mencari-cari. Dia tidak melihat benda yang dicarinya itu.

"Celaka! Jangan-jangan kotak dan isinya ikut leleh!" Memikir sampai disitu cepat-cepat Kebo Hijo membungkuk Dan memeriksa tubuh Raih Jenar.

Benda yang dicarinya ternyata masih terselip di pinggang kirinya. Cepat Kebo Hijo ulurkan tangan untuk mengambil oenda itu yakni sebuah kotak terbuat dari batu berwarna hitam: Tapi begitu jarinya menyentuh batu hitam, Kebo Hijo tersentak menjerit dan tarik tangan kanannya. Ketika diperhatikan ternyata beberapa jari tangannya yang tadi sempat menyentuh batu hitam yang masih sangat panas itu kini tampak melepuh!

Kebo Hijo buka belangkonnya. Dengan benda itu dia menciduk air sawah. Air dalam blangkon kemudian diguyurkannya ke atas batu hitam. Batu yang panas itu tampak mengepulkan asap. Setelah melakukan hal itu beberapa kali dan batu hitam menjadi dingin baru Kebo Hijo mengambil batu itu.

"Bukan main!" menggumam kagum Kebo Hijo. "Keris yang terbuat dari besi pilihan saja leleh! Tapi kotak batu ini rusak sajapun tidak!"

Dia memandang berkeliling. Di sebelah timur, beberapa belasan tombak tampak sebuah dangau. Kebo Hijo segera lari menuju dangau itu. Begitu sampai di dangau kotak batu ditelitinya. Pada bagian samping kotak terdapat celah tipis memanjang. Itulah batasan antara bagian bawah dan bagian atas yang menjadi penutup kotak batu. Dengan tangan gemetar Kebo Hijo membuka penutup kotak. Sulit dan keras hingga Kebo Hijo harus mengerahkan tenaga.

Ketika akhirnya kotak itu terbuka didalamnya tampak sehelai kain putih. Dengan tangan gemetar mengambil kain putih itu dan membuka lipatannya. Di atas kain putih itu ternyata ada sederetan tulisan dalam huruf kuno yang dapat dimengerti dan dibaca oleh Kebo Hijo, berbunyi:

Asal manusia dari tanah, air dan api
Api dikodratkan lebih berkuasa dari kekuatan tanah dan air.
Sumber api paling utama adalah kilat atau petir atau halilintar.

Siapa saja manusia sakit atau sakarat, disentuh halilintar setelah padanya dilafatkan kata-kata hikmah dan mujarab sebanyak 10.000 kali maka kehidupan akan menjadi miliknya kembali.

Adapun kata-kata berhikmah itu ialah:

Walakalmati-Walakilhidup
Matiwalakal-Hidupwalakil

Setelah 10.000 kata dilafatkan, usapkan kotak batu hitam ke wajah dan tubuh orang yang sakit atau baru mati. Maka itulah titik mula kehidupan. Bawa dia ke tempat yang tinggi. Letakkan batu hitam di dadanya di arah jantung. Bila halilintar menyambar tubuhnya, kesembuhan dan kehidupan menjadi miliknya kembali.


Kebo Hijo merasa tegang oleh luapan kegembiraan. Dia mendongak ke langit seraya berteriak keras. Lalu dengan suara bergetar dia berkata, "Akhirnya kudapat juga batu berisi jimat kehidupan ini! Aku akan menjadi orang sakti! Bisa menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati!"

Hujan masih turun dengan deras. Kebo Hijo tak mau menunggu sampai hujan reda. Dia sudah memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kain putih kecil dilipatnya kembali lalu dengan hati-hati dimasukkannya ke dalam kotak batu hitam. Kotak kemudian ditutupkannya rapat-rapat lalu diselipkannya di pinggang. Namun baru saja kotak itu menempel di pinggangnya mendadak ada satu suara menegur, membuat Kebo Hijo serasa terbang rohnya saking kagetnya.

"Anak manusia! Serahkan kotak batu itu padaku!"

Kebo Hijo berpaling ke kiri. Astaga! Disitu, di bawah hujan lebat di samping dangau tampak berdiri seorang lelaki tua berambut berjanggut dan berkumis putih. Dia mengenakan jubah putih yang kuyup. Wajahnya klimis tapi mendatangkan rasa angker bagi siapa saja yang memandangnya karena wajah itu putih pucat, seputih kain kafan!

"Manusia atau hantukah mahluk ini?!" membatin Kebo Hijo. Bagaimana mungkin dia yang berilmu sampai tidak dapat mengetahui kemunculan orang tua tak dikenalnya itu dan tiba-tiba saja sudah berada di situ!

"Anak manusia, aku tidak suka mengulang perintah sampai dua kali. Kalau itu kulakukan berarti nyawamu ikut kuminta!" Orang berjubah putih itu kembali angkat bicara. Dia tidak berusaha mengindari terpaan hujan dan terus saja tegak berbasah-basah di tepi dangau.

"Kau, kau meminta apa tadi...?" bertanya Kebo Hijo.

"Kau tidak tuli! Sekali ini aku masih mau memberi tahu. Setelah itu jangan harap kau bisa berdalih! Aku minta batu hitam yang kau ambil dari tubuh Raih Jenar!"

"Eh, bagaimana orang ini bisa tahu kalau aku memgambil kotak batu dari Raih Jenar. Padahal dia tak ada di sini tadi," berpikir Kebo Hijo. Lalu dia bertanya, "Orang tua, siapa kau ini sebenarnya?"

"Siapa aku tidak penting. Lekas serahkan benda yang kuminta!" Lalu si jubah putih ulurkan tangan kanannya, siap menerima barang yang dimintanya.

"Kau keliru! Aku tidak memiliki benda yang kau minta itu. Barang yang kau cari mungkin masih berada pada Raih Jenar. Coba saja kau periksa tubuhnya!" Kebo Hijo menunjuk ke arah mayat Raih Jenar yang tergeletak di pematang sawah, lalu memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu.

Si jubah putih menyeringai. Tangan kirinya di ulurkan memegang bahu Kebo Hijo. Pegangan itu biasa-biasa saja, tapi Kebo Hijo merasa seperti ada gundukan batu besar yang menindih tubuhnya hingga dia keberatan dan tak bisa bergerak.

"Seperti katamu, mungkin aku perlu memeriksa mayat Raih Jenar. Tapi ketahuilah, hari ini bakalan ada dua mayat di tempat ini." Orang tua itu memutar tubuh, bersikap seperti benar-benar hendak pergi mendekati tubuh Raih Jenar. Namun sebelum tubuhnya terputar penuh, tiba-tiba sekali tangan kananya bergerak ke arah batok kepala Kebo Hijo.

"Praakkk...!" Kepala Kebo Hijo rengkah. Darah dan cairan otak muncrat. Tubuhnya rebah ke lantai dangau tak berkutik dan tak beryawa lagi!

Di langit kilat menyambar dan geledek menggemuruh. Si jubah putih menyeringai sambil usap janggul putihnya. Dengan tangan kirinya dia menyibakkan pakaian Kebo Hijo. Kotak batu hitam yang terselip di pinggang Kebo Hijo disambarnya. Lalu dia tinggalkan tempat itu sambil keluarkan suara tawa mengekeh. Dalam waktu singkat sosok tubuhnya telah lenyap di kejauhan dibawah hujan yang masih mendera lebat.

DUA

Ki Dukun Tambak Reso membuka kedua mata dan turunkan sepasang tangannya yang bersidekap di depan dada ketika di pintu terdengar ketukan.

"Siapa...?!" tanyanya.

"Saya, Gusdur. Pembantumu..." terdengar jawaban.

"Jika kau datang membawa apa yang kuinginkan kau boleh masuk. Jika tidak, harap pergi saja dan jangan kembali sebelum kau mendapatkan apa yang kuminta!"

"Saya memang datang membawa apa yang Ki Dukun perintahkan. Saya memanggul seekor anak rusa yang sakarat diterkam harimau!"

"Kalau begitu kau boleh masuk!"

Pintu tampak di dorong. Terdengar suara berkereketan. Lalu masuk sesosok tubuh lelaki, pendek tetapi tegap berotot. Orang ini hanya mengenakan sehelai celana pendek hitam sebatas lutut. Dia memanggul seekor anak rusa yang robek leher serta dadanya. Binatang ini tengah sakarat, beberapa saat lagi pasti mati. Darah mengalir dari luka di tubuh anak rusa dan membasahi bahu, punggung serta dada Gusdur.

"Letakkan binatang itu dihadapanku!" Orang tua berjubah putih bernama Ki Dukun Tambak Reso memerintah lalu menarik sehelai tikar kulit dan menariknya kehadapannya.

Gusdur menurunkan anak rusa dari bahunya lalu meletakkan binatang itu di atas tikar kulit. Ki Dukun memberi isyarat agar si pembantu duduk di sudut ruangan.

"Dua pumama aku menunggu dan menyiapkan diri. Sekarang baru kudapat mahluk yang bisa dijadikan percobaan. Mudah-mudahan hujan dan kilat datang tepat pada waktunya."

Habis berkata begitu Ki Dukun Tambak Reso keluarkan sebuah benda dad saku jubahnya. Benda ini ternyata adalah sebuah kotak yang terbuat dad batu berwarna hitam. Kotak batu di buka dan sehelai kain putih terlipat dikeluarkannya dari dalam kotak lalu dikembangkannya di atas pangkuan. Pada kain putih itu tertera tulisan kuno berbunyi:

Walakalmati Walakalhidup Matiwalakal Hidupwalakil.

Dengan suara perlahan-lahan Ki dukun mulai membaca kata-kata itu berulang kali tiada henti-hentinya. Matanya sedikit demi sedikit terpejam, kepalanya bergoyang-goyang. Gusdur si pembantu memperhatikan dari sudut ruangan. Dia tak berani bergerak, bahkan berkesip pun jarang-jarang. Ada rasa ngeri didalam hatinya. Dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja dia merasa begitu.

Siang berganti sore dan sore mulai memasuki malam. Tambak Reso masih terus melafatkan kata-kata Walakalmati Walakalhidup. Matiwalakal Hidupwalakil. Suaranya tidak berubah sedikitpun tanda hati dan pikirannya sangat yakin atas apa yang tengah dikerjakannya saat itu. Dia seperti tidak menyadari kedatangan malam bahkan ketika di luar sana angin kencang bertiup, udara menjadi dingin dan hujan mulai turun disertai gelegar guntur dan halilintar dia masih saja terus melafatkan kata-kata berhikmah itu.

Hujan masih terus turun, guntur masih menggelegar dan kilat masih menyambar ketika Ki Dukun Tambak Reso selesai melafatkan 10.000 kali rangkaian empat kata bertuah itu. Tubuh dan jubahnya basah oleh keringat.

Perlahan-lahan orang tua ini bukakan kedua matanya. Sesaat dia menatap tubuh anak rusa di atas tikar kulit. Kain putih di atas pangkuan dilipat, dimasukkan ke dalam kotak batu lalu kotak di tutup kembali. Dengan kotak batu itu Ki Dukun Tambak Reso kemudian mengusap kepala dan sekujur tubuh anak rusa, termasuk ke empat kakinya. Lalu cepat-cepat kotak batu dimasukkan ke dalam jubahnya.

"Gusdur!"

Pembantu yang hampir terlelap di sudut ruangan tersentak kaget, cepat-cepat membungkuk seraya menyahuti, "Saya Ki Dukun..."

"Aku akan meninggalkan tempat ini menuju ke bukit Jati Arang..."

"Di luar masih hujan lebat Ki Dukun," mengingatkan Gusdur. Maksudnya baik. Tapi si orang tua cepat menukas.

"Kau tak layak menasihatiku!"

"Maafkan saya Ki Dukun..." ujar Gusdur seraya membungkuk berulang kali.

"Ingat semua pesanku Gusdur! Jangan tinggalkan rumah ini selama aku pergi. Jangan menerima tamu siapapun walaupun seorang malaikat! Dan jangan ceritakan pada siapapun apa yang telah kau lihat di tempat ini! Termasuk kepergianku ke bukit Jati Arang. Kau ingat apa hukumannya jika kau berani melanggar pesan dan perintahku?!"

"Saya ingat Ki Dukun dan saya tak akan melanggarnya," jawab Gusdur pula. Lalu dilihatnya Ki Dukun Tambak Reso mencekal leher anak rusa yang saat itu sudah mati, melangkah ke pintu lalu lenyap ditelan kegelapan malam dan hujan lebat di luar sana. Sesaat udara dingin merambas masuk ke dalam rumah membuat Gusdur menggigil kedinginan. Buru-buru dia menutupkan pintu dan memasang palangnya sekaligus.

Kuduknya merinding ketika matanya membentur noda-noda darah pada tikar kulit bekas tempat anak rusa itu digeletakkan. Beberapa lamanya Gusdur melangkah mundar-mandir di ruangan itu. Dia selalu dibayangi oleh pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam hatinya. Apa sebenarnya yang tengah dilakukan oleh Ki Dukun. Mengapa pula dia malam-malam hujan lebat begitu pergi ke bukit Jati Arang?

Selama ini dia memang sering melihat perbuatan-perbuatan aneh dilakukan orang tua itu. Namun tak ada yang seaneh kali ini. Karena keletihan Gusdur membaringkan dirinya di pojok ruangan. Baru saja dia melunjurkan kaki tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, membuatnya terkejut dan memaki setengah mati. Dia tegak dan melangkah mendekati pintu.

"Siapa?!" bertanya Gusdur.

"Aku..." Ada suara menjawab diantara deru hujan dan angin di luar sana.

"Aku siapa?! membentak Gusdur.

"Aku kesasar dan kemalaman di jalan! Aku ingin berteduh! Tolong bukakan pintu! Pertolonganmu pasti tak akan kulupakan...!"

"Rumah ini bukan tempat berteduh! Apalagi untuk orang kesasar. Cari saja tempat yang lain...!" ujar Gusdur pula.

"Sobat, jangan begitu! Aku sudah sudah basah kuyup dan kedinginan setengah mati! Aku sudah berkeliling, tapi rumah ini satu-satunya bangunan di daerah ini!" Orang diluar sana mendesak.

"Aku tidak kenal padamu! Tak ada kewajiban bagiku untuk menolong! Lagi pula aku tidak mau melanggar pesan majikanku pemilik rumah ini!"

"Eh, apa sih pesan majikanmu itu?!" orang di luar sana bertanya.

Gusdur hendak memaki tapi lelaki pendek kekar ini menjawab juga. "Aku tidak diperkenankan bicara dengan siapapun! Apalagi kalau sampai membawa masuk seseorang ke dalam rumah ini!"

"Apakah majikanmu ada di rumah saat ini?"

"Tidak. Dia sedang pergi..."

"Nah, kalau dia sedang pergi kenapa takut? Dia tak akan mengetahui kedatanganku di rumah ini! Nah, bukalah pintu!"

"Pergi saja! Aku tak bisa menolongmu!"

"Kalau begitu pintu rumah akan kubobol paksa. Kalau majikanmu melihat pintu ini rusak, kau pasti akan dihukumnya! Kau pilih mana? Menolongku atau kena damprat majikanmu...?! Ha ha ha..!"

"Kurang ajar! Berani kau memaksa dan mendesak aku! Ingin kulihat bagaimana tampangmu!" Gusdur menurunkan palang pintu lalu membuka pintu.

Bersamaan dengan menyeruaknya udara dingin dari luar, melompat masuk ke dalam rumah seorang lelaki dalam keadaan basah kuyup. Ternyata dia seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong. Baik rambutnya yang gondrong maupun pakaiannya basah kuyup dan tetesan-tetesan air dari tubuh serta pakaian pemuda ini jatuh ke bawah mambasahi lantai.

"Kau maling atau rampok atau apa?! Lekas kau tinggalkan rumah ini! Aku tak mau menjadi susah karena kehadiranmu disini!"

Melihat pemuda itu tetap saja tegak malah sambil menyeringai dan garuk-garuk kepala, Gusdur jadi gusar. Dia segera menyambar palang pintu dan siap menghantam si pemuda dengan benda itu.

"Sobat, sabar dulu! Jangan cepat saja mengemplang orang!" berkata si pemuda seraya mengangkat tangan kanannya. Tiba-tiba saja Gusdur merasa palang pintu yang dipegangnya menjadi berat luar biasa. Karena tak kuat memegangnya lagi, lelaki pendek ini terpaksa menurunkan palang pintu itu ke lantai.

"Sahabat, aku tahu kau orang baik. Siapa sih nama majikanmu pemilik rumah ini?!" bertanya si pemuda.

Menyangka bila diberi tahu nama majikannya si pemuda akan menjadi takut dan buru-buru tinggalkan tempat itu maka dengan suara keras Gusdur memberi tahu. "Majikanku adalah Ki Dukun Tambak Reso! Dukun sakti yang terkenal di mana-mana! Siapa saja yang berani berlaku kurang ajar terhadapnya pasti akan menyesal seumur hidup. Pemuda macammu ini mudah sekali dibuatnya menjadi seorang pikun atau lumpuh seumur-umur!"

"Wah, wah, hebat sekali majikanmu yang dukun itu. Tapi aku kan tidak berlaku kurang ajar padanya?!"

"Tidak berlaku kurang ajar katamu?! Buktinya saat ini kau memasuki rumahnya tanpa izinnya." tukas Gusdur jengkel dan marah.

Pemuda berambut gondrong itu kucak-kucak rambutnya yang basah. Sambil tertawa dia berkata. "Sobat, bukankah tadi kau sendiri yang membuka pintu rumah..?!"

Mendengar ucapan itu Gusdur hanya bisa pelototkan mata. Si pemuda memandang geli padanya dan bertanya, "Benar majikanmu Ki Dukun Tambak Reso dan ini rumahnya?!"

"Kau kira aku berdusta? Tunggu sajalah sampai dia muncul! Begitu kau dilihatnya celakalah nasibmu!"

Mendengar ucapan Gusdur itu dalam hatinya si pemuda berkata, "Hem... jadi benar rupanya keterangan yang kudapat..." Dia menatap tampang Gusdur sesaat lalu bertanya, "Di mana majikanmu sekarang?!"

"Kau bunuhpun aku tak akan memberi tahu!" sahut Gusdur.

"Aku tidak akan membunuhmu, pendek! Tapi mungkin akan menangkapmu. Juga majikanmu!"

Mendengar kata-kata pemuda itu Gusdur jadi agak terkejut. "Siapa kau ini sebenarnya?!"

"Namaku Wiro. Aku adalah salah seorang Kepala Perajurit Keraton!"

"Aku tidak percaya!" ujar Gusdur. "Kalau kau memang alat Kerajaan mengapa tidak mengenakan pakaian seragam? Dan rambutmu yang gondrong! Mana ada perajurit berambut gondrong sepertimu!"

Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. "Dengar, sebenarnya ini adalah rahasia. Tapi karena aku menganggapmu sebagai seorang kawan maka aku akan katakan padamu. Aku sengaja menyamar. Aku tengah melakukan perjalanan rahasia untuk menangkap orang-orang jahat dan kaki tangan pemberontak! Kalau kau tidak mau bekerjasama, jangan heran kalau malam ini juga kau bisa kuseret ke Kotaraja!"

"Edan! Aku bukan penjahat, apalagi pemberontak!" kata Gusdur setengah berteriak.

"Kau kuanggap orang jahat jika tidak mau mengatakan di mana majikanmu..."

"Benar-benar edan! Ki Dukun akan menghajarku habis-habisan jika alau berani menceritakan di mana dia berada!"

"Kenapa dia menghajarmu? Berarti ada rahasia yang tidak beres di tempat ini!" ujar Wiro seraya menatap tajam pada Gusdur. "Kau mau bicara terang-terangan atau bagaimana?!" Nada suara Wiro keras mengancam.

Gusdur jadi agak takut. Namun rasa takutnya terhadap Ki Dukun Tambak Reso jauh lebih besar. Maka diapun berkata, "Pemuda rambut gondrong! Paling tidak aku telah memberi kesempatan padamu untuk berteduh. Sekarang tinggalkan rumah ini!"

"Aku tidak akan pergi sebelum kau menceritakan rahasia menyangkut diri majikanmu!" sahut Wiro lalu rangkapkan kedua tangan di depan dada dan mulutnya menyeringai dimonyong-monyongkan.

Gusdur jadi kalap. "Jika begitu katamu, kau rasakan ini!" Lalu dia menyambar palang pintu. Seperti tadi dia kembali hendak mengemplang Wiro dengan kayu itu. Tapi lagi-lagi dia mendadak merasakan palang pintu itu menjadi berat hingga dia tidak kuat mengangkatnya. Terpaksa dia lepaskan dan palang pintu jatuh ke lantai. Kini barulah Gusdur sadar kalau dia berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi. Mungkin sama tinggi kepandaiannya dengan Ki Dukun. Maka dengan suara rendah dia berkata, "Orang muda, jangan pergunakan kesaktianmu untuk membuat susah orang kecil sepertiku. Pergilah..."

Wiro pegang bahu Gusdur seraya berkata, "Aku mana tega membuatmu susah. Justru aku akan memberikan kesaktian padamu jika kau mau bicara banyak tentang Ki Dukun. Juga mengatakan di mana dia berada saat ini!"

"Kesaktian? Kesaktian apa..?" tanya Gusdur terheran-heran.

"Lihat ini!" ujar Wiro seraya luruskan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Lalu ke dua ujung jati itu ditekankan ke lantai. Terdengar suara berderak. Perlahan-lahan ujung dua jari itu masuk menembus lantai kayu yang berlubang!

Tentu saja Gusdur jadi melengak kagum melihat kejadian itu.

"Kau juga bisa melakukan seperti yang barusan kulakukan. Cobalah!" ujar Wiro.

Meski tidak percaya tapi si pembantu lakukan juga apa yang dikatakan Wiro. Kedua jarinya diluruskan lalu ditusukkan ke lantai kayu. Gusdur terpekik kesakitan dan kibas-kibaskan tangan kanannya.

"Dusta besar!" teriaknya marah.

Wiro tertawa. "Untuk dapat menembus lantai kayu dengan dua jarimu, tubuhmu perlu diisi dengan kesaktian lebih dahulu. Aku bersedia memberikannya tapi ada syaratnya, sobatku! Tidak sulit syaratnya. Ceritakan di mana majikanmu sekarang. Apa yang dilakukannya selama ini. Dan..." Wiro menoleh ke arah tikar kulit di lantai." Darah apa yang melekat di tikar kulit itu...?"

Gusdur tampak bingung tapi juga berpiki-rpikir. Dia sangat takut terhadap Ki Dukun majikannya itu. Tapi jika dia nanti memiliki kesaktian, apakah masih perlu takut? Pembantu ini akhirnya memilih kesaktian. Maka diapun berpaling pada Wiro dan berkata,

"Baik, asalkan kau tidak menipuku aku bersedia menjawab semua apa yang kau minta. Tapi berikan kesaktian itu lebih dulu, baru kau mendapat keterangan dariku."

Wiro anggukkan kepala, melangkah mendekati Gusdur dan genggam tangan kanan lelaki pendek itu dengan tangan kanannya. Beberapa saat berlalu. Gusdur merasakan ada aliran hangat memasuki jari-jari tangannya, terus ke telapak, terus kelengan dan berhenti sampai di batas siku.

"Apa yang kau rasakan?" tanya Wiro.

"Ada hawa hangat menjalar ke tanganku..."

"Bagus. Kau sudah jadi orang sakti sekarang!"

Gusdur ternganga, tak percaya.

"Coba tusuk lagi lantai itu! Kau akan melihat buktinya!" ujar Wiro.

Gusdur merasakan dadanya berdebar. Dia luruskan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Lalu... kedua jari itu ditusukkan ke lantai kayu.

"Kraakkk...!"

Dua jari tangan Gusdur masuk. Ketika ditarik, di lantai kayu tampak lubang. Sepasang mata Gusdur terbelalak. Dia melompat dan hampir saja berteriak saking girangnya.

"Aku jadi orang sakti! Aku jadi orang sakti...!" desahnya dan berpaling pada Wiro sambil kepalkan tangan kanan dan acungkan tinggi-tinggi ke atas.

"Kau sudah memiliki kesaktian. Sekarang tepati janjimu..." berkata Wiro.

"Akan kutepati. Aku Gusdur berterima kasih padamu. Aku akan menganggapmu sebagai guru! Janji akan kutepati. Aku akan memanggilmu guru! Guru, dengar. Aku akan menceritakan semuanya padamu. Bahkan kalau kau suka, aku akan antarkan kau ke tempat dimana saat ini Ki Dukun Tambak Reso berada! Kau tahu guru, orang tua itu tengah mengamalkan satu ilmu kesaktian hebat luar biasa. Dengan ilmunya itu dia bisa menyembuhkan orang sakit, bahkan menghidupkan mahluk yang sakarat atau sudah mati..."

"Hem, sungguh luar biasa jika itu betul. Agaknya semua keterangan yang kudapat sebelumnya memang cocok dengan apa yang aku dengar dari orang ini." Wiro membatin. Lalu pada Gusdur dia anggukkan kepala seraya berkata. "Antarkan aku ke tempat Ki Dukun itu berada. Sambil jalan kau bisa menerangkan segala sesuatu tentang diri dan ilmu kesaktiannya itu."

Gusdur balas mengangguk. Lalu mendahului melangkah menuju pintu.

********************

TIGA

Untuk mencapai puncak bukit Jati Arang tidak mudah. Apalagi saat itu malam gelap gulita dan hujan turun dengan deras ditambah udara dingin bukan kepalang. Dulunya bukit itu merupakan bukit yang penuh ditumbuhi pohon-pohon jati yang sudah berusia puluhan tahun. Suatu ketika terjadi kebakaran hutan, bukit beserta pohon-pohon jatinya ikut terbakar musnah, berubah menjadi bukit tandus penuh bebatuan hitam dan gersang. Sejak itu bukit ini disebut orang sebagai bukit Jati Arang. Gusdur berjalan di sebelah depan.

'Kesaktian' yang didapatnya dari sang 'guru' membuat lelaki pendek bertubuh kekar ini mendaki bukit penuh semangat walaupun dengan susah payah. Pendekar 212 Wiro Sableng mengikuti dari belakang. Hujan agak mereda, tetapi guntur masih menggelegar dan kilat masih sambung menyambung ketika mereka akhirnya sampai di puncak bukit.

Gusdur berhenti di balik sebuah batu besar lalu menunjuk ke arah atas di mana terdapat sebuah batu besar berbentuk hampir datar. Di depan batu datar yang terpisah beberapa belas tombak itu tampak berdiri seorang tua berjanggut putih, berpakaian jubah putih dalam keadaan basah kuyup. Gusdur menunjuk ke arah orang itu lalu berbisik pada Wiro.

"Itu Ki Dukun Tambak Reso. Lihat apa yang tengah dilakukannya..."

Wiro memang sudah sejak tadi melihat orang di puncak bukit itu, jauh sebelum Gusdur memberi tahu. Orang ini duduk bersila di atas batu datar. Di atas batu di hadapannya menggeletak sosok tubuh anak rusa yang sudah jadi bangkai. Untuk beberapa lamanya orang berjubah ini duduk menundukkan kepala berdiam diri, mungkin tengah membaca mantera atau hanya sekedar mengkhususkan diri.

Kemudian tampak dia mengambil sesuatu dari saku jubahnya. Benda ini diletakkannya di atas tubuh anak rusa yang mati, di bagian dada, tepat di arah jantung. Sesaat dia menatap bangkai bintang itu dengan dada berdebar. Dia memandang berkeliling; lalu turun dari batu datar, melangkah mundur sejauh dua belas langkah.

Gusdur menyentuh lengan Wiro seraya berbisik, "Yang diletakkannya tadi di atas tubuh rusa, itulah batu aneh yang kuceritakan padamu..."

Wiro mengangguk sambil meletakkan jari telunjuknya di atas bibir, memberi tanda agar Gusdur jangan bicara karena saat itu Ki Dukun berada dekat sekali dengan batu besar dibalik mana mereka bersembunyi.

Di kejauhan terdengar guntur menggelegar. Menyusul sambaran kilat di langit. Suara guntur lagi, kini makin dekat dan keras menggetarkan puncak bukit Jati Arang. Lalu halilintar berkiblat dahsyat, menerangi puncak bukit. Ujungnya menghujam ke bawah, menghantam batu datar dimana anak rusa berada. Batu datar dan tubuh anak rusa itu sedikitpun tidak bergeming, padahal Ki Dukun Tambak Reso nampak terbanting jatuh duduk ke tanah. Begitu juga Gusdur dan Wiro Sableng yang sembunyi di belakang batu besar, keduanya rubuh terduduk!

Perlahan-lahan Ki Dukun berdiri sambil kedua matanya memandang tak berkesip ke arah batu datar. Malah kini dengan debaran jantung lebih keras dia melangkah mendekati batu itu. Ada asap tipis menyelubungi tubuh anak rusa di atas batu. Asap ini membubung ke atas lalu lenyap. Di atas batu anak rusa yang jelas-jelas sudah jadi bangkai alias mati tampak menggerakkan dua kaki belakangnya. Menyusul dua kaki depannya ikut bergerak.

Ki Dukun kini merasakan bukan saja jantungnya yang berdebar keras, tapi seluruh tubuhnya ikut bergetar oleh goncangan luapan kegembiraan bercampur rasa hampir tidak percaya melihat kenyataan itu. Dari tempatnya berdiri dia melihat anak rusa membukakan kedua matanya. Luka di tubuh binatang ini tampak meninggalkan bekas hitam. Tiba-tiba terdengar anak rusa ini menguik! Lalu binatang ini melompat dan tegak di atas batu datar. Sesaat memandang kian kemari.

"Sungguh luar biasa! Di mana ada mujizat dan keajaiban seperti ini! Dan aku Ki Dukun Tambak Reso yang melakukannya!" begitu si orang tua jubah putih berucap pada dirinya sendiri.

Dia melangkah lebih dekat ke batu besar. Anak rusa di atas batu itu memandang ke arahnya. Sesaat kemudian, sebelum Ki Dukun melangkah lebih dekat, binatang ini melompat dari atas batu, menghambur dalam kegelapan dan lenyap!

Untuk beberapa lamanya Ki Dukun dan juga Wiro serta Gusdur menatap ke arah gelap di jurusan menghilangnya anak rusa tadi. Di depan batu datar, Ki Dukun kemudian tampak membungkuk untuk mengambil batu kotak batu hitam yang tadi terlempar jatuh sewaktu anak rusa melompat bangun dari kematiannya!

Di balik batu Gusdur berkata, "Aku harus kembali sekarang juga sebelum Ki Dukun sampai. Jika dia mendapatkan aku tak ada di rumah, apalagi sampai mengetahui aku ada di sini aku bisa celaka. Aku pergi sekarang..."

Wiro mengangguk. Gusdur balikkan tubuh lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Begitu Gusdur lenyap, Ki Dukun tampak beranjak dari tempatnya setelah lebih dulu menyimpan baik-baik kotak batu hitam ke dalam saku jubahnya. Saat dia hendak melangkah pergi dalam luapan kegembiraan dan ketakjuban yang tiada henti-hentinya, saat itulah Pendekar 212 Wiro Sableng keluar dari balik batu dan melangkah kehadapannya.

Tentu saja Ki Dukun Tambak Reso sangat terkejut ketika tiba-tiba melihat ada seorang pemuda tak dikenal muncul di hadapannya di bawah hujan dan gelapnya malam serta dinginnya udara di puncak bukit itu. Serta merta dia hentikan langkah dan memandang meneliti. Dia tidak kenal pemuda didepannya ini. Perasaan curiga dan tidak enak menjadi satu bercampur rasa marah karena menyadari rupanya ada orang lain di tempat ini.

"Sejak berapa lama keparat ini berada ditempat ini? Apakah dia mengetahui dan menyaksikan apa yang telah kulakukan? Melihat apa yang aku kerjakan?" Ki Dukun bertanya-tanya dalam hati.

"Orang muda! Siapa kau?!" Ki Dukun Tambak Reso membentak. Suaranya terdengar garang dibawah hujan lebat, tatapan matanya membersitkan kemarahan.

Dibentak keras-keras seperti itu murid Sinto Gendeng sesaat jadi terkesima. Ada kekuatan aneh dalam diri orang tua ini, termasuk dalam suaranya. Meskipun terkesima, namun dalam hatirya Wiro bertanya-tanya pula apakah dia akan menjawab terus terang siapa dirinya, mengutarakan maksud kemunculannya di tempat itu atau lebih dulu coba mempermainkan si jenggot putih ini.

"Orang tua, kau datang ke puncak bukit Jati Arang ini tanpa permisi tanpa izin. Sungguh lancang dan ceroboh tindakanmu!"

Kini Ki Dukun itulah yang terkesima mendengar ucapan orang. "Tanpa permisi? Tanpa izin...? Minta permisi dan izin pada siapa...?! Apa maksudmu?!"

"Minta izin dan permisi padaku! Karena akulah penguasa dan pemilik bukit Jati Arang ini!" sahut Wiro seraya renggangkan kedua kaki dan tangkapkan kedua tangan di depan dada.

Mendengar ucapan itu Ki Dukun Tambak Reso keluarkan suara tertawa bergelak. "Puluhan tahun aku tinggal di daerah ini! Baru malam ini aku mendengar kalau bukit Jati Arang ada pemiliknya, ada penguasanya! Kau melantur atau kau sebenarnya memang seorang berotak tidak waras?!"

"Kau berani menghina dan bermulut kotor pada penguasa bukit Jati Arang! Berarti kau sudah pasrah tubuhmu dijadikan arang! Kecuali..."

"Kecuali apa?!" sentak Ki Dukun Tambak Reso seraya kepalkan kedua tinjunya.

Wiro tak segera menjawab, melainkan menyeringai lebih dulu lalu memencongkan mulutnya baru berkata, "Kecuali jika kau menyerahkan kotak terbuat dari batu hitam itu!"

"Hem... itu rupanya maksud kehadiranmu di sini!" Karena maklum orang sudah mengetahui kalau kotak batu itu ada padanya Ki Dukun tak mau berdalih. Maka diapun bertanya, "Hak apa kau meminta benda itu?!"

"Karena kau ditakdirkan tidak sebagai pemiliknya. Benda itu merupakan salah satu barang pusaka yang paling rahasia dari Keraton. Jadi harus dikembalikan pada Kerajaan!"

"Penipu besar! Aku yakin kau seorang rampok yang memakai dalih Keraton dan kerajaan! Dengar! Jika kau ingin selamat lekas minggat dari hadapanku!" Ki Dukun mengancam dengan kepalkan tinju dan beliakkan kedua mata.

Dari balik pakaiannya Wiro Sableng mengeluarkan sebuah benda bulat berwarna putih berkilat terbuat dari perak murni. Melihat benda itu Ki Dukun Tambak Reso jadi terkejut. Itu adalah cap Kerajaan yang dituangkan di atas lempengan perak bulat. Dan merupakan suatu pertanda bahwa siapa saja yang memegangnya berarti benar-benar tengah menjalankan suatu tugas sangat penting dan sangat rahasia dari Kerajaan!

Tapi apapun alasan dan siapapun adanya Wiro, tentu saja orang tua itu tidak mau menyerahkan percuma kotak batu yang telah dimilikinya. Apalagi dia sudah punya rencana besar dalam otaknya. Dengan memiliki batu mijijat itu dia bisa menjadi seorang besar paling berkuasa, malah lebih berkuasa dari Raja! Dia bisa menjadi seorang Raja Diraja!

"Orang muda, kau boleh menunjukkan seribu tanda apapun padaku! Tapi tak akan aku menyerahkan kotak batu hitam itu padamu! Nah, silahkah pergi!"

Ketika dilihatnya Wiro tidak bergerak dari tempatnya malah cengar-cengir seenaknya, Ki Dukun jadi jengkel. Tapi ada semacam kisikan dalam hatinya agar tidak membuat keributan atau silang sengketa dengan pemuda ini. Maka dengan cepat dia memutar tubuh lalu berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun baru enam langkah bertindak, tahu-tahu si pemuda sudah berada dihadapannya, menghadang, lagi-lagi sambil menyeringai!

Ki Dukun Tambak Reso berkelebat kejurusan lain. Tapi sesaat kemudian dia kembali dapatkan dirinya dihadang oleh si pemuda. Dia mencoba sekali lagi, tetap saja pemuda itu berhasil mencegatnya. Kini marahlah Ki Dukun. Dengan suara bergetar dia membentak keras.

"Orang muda, kau mencari penyakit sendiri! Rasakan bekas tanganku!"

Orang tua itu hantamkan tangan kanannya ke depan, melabrak ke arah dada. Wiro cepat menangkis, malah dia berhasil menangkap lengan lawan. Tapi ketika dia memperhatikan, yang ditangkapnya ternyata sepotong ranting kayu.

"Ilmu sihir gila!" teriak Wiro dalam hati. Memandang ke depan dilihatnya si orang tua sudah berada di kejauhan, lari menuruni bukit dengan cepat. Dengan geram Pendekar 212 segera mengejarnya. Ternyata Ki Dukun tak bisa lari jauh. Dalam waktu sesaat saja dia sudah terkejar dan kembali jalannya terhadang!

"Hem, rupanya peringatanku tadi tidak membuatmu jera!" kertak Ki Dukun geram. "Kau minta mampus maka mampuslah!"

Habis berkata begitu Ki Dukun Tambak Reso jatuhkan tubuhnya hingga tergelimpang di tanah di hadapan Wiro. Menyangka lawan hendang menelikungnya, Pendekar 212 cepat hantamkan tumitnya ke depan. Tapi dia mendadak sontak jadi tergagap kaget ketika yang hendak ditendangnya itu tiba-tiba telah berubah menjadi seekor ular besar yang siap untuk melilitnya!

Pendekar 212 melompat ke atas dan dari atas lepaskan satu pukulan mengandung tenaga dalam panas. Binatang jejadian itu menggeliat dan mental beberapa tombak lalu lenyap di bawah hujan lebat.

"Dukun sihir sialan! Kau mau lari kemana!" rutuk Wiro. Memandang ke depan dilihatnya Ki Dukun Tambak Reso telah berada jauh di sebelah kiri tengah melompat dari atas sebuah batu. Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Angin deras menderu, menghantam batu besar di mana Ki Dukun tampak berdiri siap melompat. Batu itu hancur berantakan. Wiro memburu. Ketika dia sampai di tempat itu sang dukun sudah lenyap!

"Setan alas!" maki Wiro sambil satu tangan mengepal, satu lainnya menggaruk-garuk kepatanya yang basah kuyup.

********************

Hari telah lama siang. Di dalam rumah Gusdur menunggu kedatangan sang majikan. Dia tak tahu kalau Ki Dukun Tambak Reso tak akan pernah kembali ke rumahnya.

Setelah kejadian di puncak bukit Jati Arang orang tua ini menyadari bahwa kotak batu hitam yang ada padanya merupakan suatu benda yang dicari dan dikejar oleh banyak orang. Termasuk pemuda berambut gondrong yang mendapat tugas khusus dan rahasia dad Kerajaan itu. Apa gunanya dia kembali ke tempat kediamannya kalau akan menjadi incaran dan kejaran orang?

Begitulah akhirnya malam itu juga Ki Dukun Tambak Reso memutuskan untuk tidak kembali ke rumahnya.

Ketika perutnya mulai lapar dan hari bertambah siang sedang sang dukun tak juga muncul, Gusdur ingat akan kesaktian yang kini dimilikinya. Timbul niat untuk mencoba kesaktian itu kembali. Dia berlutut di lantai, luruskan dua jari tangan kanannya lalu ditusukkan ke bawah. Begitu jarinya menghantam lantai, langsung Gusdur menjerit kesakitan. Lantai itu bukan saja tidak tembus dan berlubang tapi kedua tulang jarinya hampir patah dan sakitnya bukan kepalang.

"Hai! Kenapa jadi tidak mempan? Kenapa jari-jariku jadi sakit begini?!" ujar Gusdur kesakitan dan terheran-heran.

Dipijit-pijitnya kedua jarinya yang sakit itu. Meskipun sakit tapi karena ingin hendak mencoba lagi maka dia kembali tusukkan kedua jarinya ke lantai papan. Untuk kedua kalinya pula si pendek ini menjerit kesakitan seraya kibas-kibaskan tangan kanannya.

"Tidak mempan! Kesaktianku lenyap! Si Gondrong itu pasti telah menipuku! Kurang ajar! Sialan!"

********************

EMPAT

Empat orang tua ahli pengobatan tegak di sekeliling tempat tidur. Di kepala tempat tidur besar berdiri mapatih Kerajaan yang berusia hampir tujuh puluh tahun yaitu Damar Waruseto.

Di atas tempat tidur terbaring sosok tubuh Sri Baginda. Wajahnya putih pucat, tubuhnya sangat kurus hingga tampak hampir sama rata dengan tempat tidur. Sepasang matanya menatap ke langit-langit kamar, memandang dingin dan kosong. Telah hampir dua purnama Sri Baginda berada dalam keadaan seperti itu.

Sakit yang dideritanya tak kunjung diketahui, karenanya sulit mencarikan obat yang tepat. Jelas sakit Sri Baginda tidak bersangkut paut dengan sakit yang biasa diderita karena ada yang tidak beres dengan tubuh kasar. Sakit Raja kali ini berkaitan erat dengan hal-hal yang lebih bersifat gaib.

Bibir Sri Baginda tampak bergerak. Tak ada suara yang keluar. Tapi semua orang yang ada disitu segera maklum kalau Raja minta diberi minum. Maka salah seorang dari ahli pengobatan itu segera mengambil sebuah gelas besar berisi air putih, dua lainnya menolong menegakkan kepala Raja. Hanya seteguk yang bisa lewat di tenggorokan Sri Baginda. Memang hanya air putih itu sajalah menjadi pengisi perutnya sejak tiga minggu lalu ketika dia mulai tak bisa makan dan sulit minum.

Ketika sepasang mata Sri Baginda mulai kuyu dan merapat tanda dia mulai memasuki alam tidur, mapatih Damar Waruseto memberi isyarat, lalu keluar dari kamar tidur Sri Baginda. Empat orang tua ahli pengobatan segera mengikuti. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan disamping kamar Raja. Pada seorang pengawal mapatih membisikkan sesuatu.

Tak lama kemudian pengawal ini muncul kembali bersama seorang lelaki tua berpakaian biru. Meskipun sudah tua tapi orang ini memiliki tubuh tegap liat. Gerakannya lincah penuh wibawa dan mantap. Dia adalah Gombong Pengestu, salah seorang yang dulunya merupakan seorang abdi dalem yang kemudian diangkat menjadi salah seorang tokoh silat istana yang disegani karena ketinggian ilmu silatnya luar dan dalam.

"Dimas Gombong Pangestu," berkata mapatih Damar Waruseto seraya menutup pintu ruangan dan memandang pada empat orang ahli pengobatan. "Kita semua tahu bahwa sakitnya Sri Baginda bukan merupakan sakit lahir, tapi adalah sakit batin karena tekanan jiwa akibat lenyapnya batu mustika pusaka Keraton bernama Kencono Sukmo. Inilah sumber penderitaan batin dan sumber sakit Sri Baginda. Kita semua tahu apa akibatnya kalau benda mustika itu jatuh ke tangan orang jahat yang mengetahui keandalannya lalu menyalah gunakannya. Bukan saja Keraton yang terancam tapi juga keselamatan Sri Baginda dan keluarganya, keselamatan kita semua bahkan keselamatan dan kelangsungan hidup seluruh Kerajaan. Itulah sebabnya dua bulan yang lalu, sebelum Sri Baginda jatuh sakit akibat memikirkan persoalan ini, beliau telah meminta kita untuk melakukan segala ikhtiar guna mencari dan menemukan Kencono Sukmo itu kembali. Melihat keadaan lahir Sri Baginda saat ini, yang hanya mampu meneguk air, sama sekali tidak bisa makan apapun, aku kawatir beliau hanya bisa bertahan beberapa minggu saja lagi. Sakit Sri baginda ini harus menjadi rahasia bagi kita semua. Kalau sampai musuh dan kaum pemberontak yang masih bercokol di perbatasan mengetahui, berarti kita akan mendapat kesulitan baru. Aku mengerti kalian semua sudah melakukan berbagai macam usaha yang tidak henti-hentinya. Hanya memang petunjuk Gusti Allah masih belum kita dapatkan."

Sampai disitu patih Damar Waruseto berpaling pada Gombong Pangestu. "Dimas, apakah ada perkembangan dengan usahamu meminta bantuan orang-orang rimba persilatan?"

"Aku sudah melakukannya kangmas. Hanya saja beberapa tokoh silat yang kuhubungi pertama kali tidak berhasil mendapatkan keterangan apapun, apalagi mendapat tahu dimana benda pusaka itu berada atau siapa yang menyimpannya sekarang. Kemudian salah seorang tokoh di timur membawa berita bahwa Kencono Sukmo terakhir sekali diketahui berada di tangan Kebo Hijo, seorang tokoh silat yang namanya tidak begitu bersih. Ketika dia melakukan penyelidikan lebih jauh ternyata Kebo Hijo diketahui telah mati terbunuh. Siapa pembunuh tidak diketahui. Namun siapapun adanya pembunuh itu pasti dialah kini yang menguasai batu Kencono Sukmo..."

"Jadi sampai saat ini kita masih tetap belum mengetahui dimana barang pusaka itu berada...?" tanya mapatih Damar Waruseto.

"Memang belum diketahui mapatih. Tetapi satu minggu lalu orang kita berhasil mengadakan kontak dengan dedengkot dunia persilatan yang dikenal dengan nama julukan Dewa Tuak. Kabarnya, bukan kabarnya, maksudku secara pasti Dewa Tuak telah menghubungi salah seorang tokoh silat muda yang dianggapnya sebagai murid sendiri. Pendekar muda itulah yang kini tengah melakukan pengusutan dan pengejaran..."

"Nama Dewa Tuak memang kukenal baik. Beberapa kali dia di masa silam berbuat jasa besar pada Kerajaan. Siapa nama pendekar muda yang ditugasinya melakukan penyelidikan itu, dimas Gombong?"

"Namanya Wiro Sableng. Julukannya Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Kalau tak salah dia adalah murid si nenek sakti bernama Sinto Gendeng yang bermukim di Gunung Gede..."

"Ah, pendekar itu. Akupun pernah bertemu muka dengannya!" kata patih Damar Waruseto pula.

Salah seorang ahli pengobatan membuka mulut. "Maafkan aku, tapi barusan aku mendengar bahwa urusan ini tengah ditangani oleh seorang pendekar bernama Wiro Sableng. Apakah kita bisa mempercayai seorang sableng seperti itu...?"

Mapatih Damar Waruseto tersenyum. "Kau dan mungkin juga para tua ahli pengobatan yang ada disini hanya sibuk dengan urusan obat-mengobat, tidak tahu urusan rimba persilatan. Nama Pendekar 212 Wiro Sableng merupakan momok nomor satu bagi para tokoh silat sesat dan orang-orang jahat. Sebaliknya menjadi tokoh yang sangat dikagumi oleh orang-orang silat golongan putih. Dia masih muda memang, tingkahnya tidak terlepas dari sifat gila orang-orang muda. Namun ilmunya segudang dan kejujurannya dapat dijadikan andalan..."

Juru obat yang tadi bicara hanya bisa angguk-anggukkan kepala mendengar keterangan sang patih.

********************

LIMA

Ki Dukun Tambak Reso menatap pada tamunya yang berpakaian bagus itu sesaat lalu mengerling ke arah kereta kuda yang berhenti di depan pintu pekarangan rumahnya.

"Katakan siapa dirimu dan ceritakan apa keperluanmu," ujar Ki Dukun.

"Nama saya Tapak Lodra, pembantu merangkap pengawal keluarga almarhum Raden Mas Rono Wicula dari Losari di pantai utara..."

"Hemmm... pembantu saja pakaiannya begini mewah. Pasti majikannya orang kaya raya, "kata Ki Dukun dalam hati. Lalu dia bertanya, "Maksud kedatanganmu?"

"Saya tidak datang sendirian, tapi bersama Raden Ayu Tambakdwita, istri almarhum majikan saya. Kami mendengar Ki Dukun memiliki kesaktian yang sanggup menyembuhkan orang sakit bahkan menghidupkan orang yang sudah mati..."

"Dari mana sampeyan mengetahui hal itu?" tanya Ki Dukun pula.

"Saya sendiri tidak paham betul. Raden Ayu Tambakdwita yang mengetahui dan meminta saya datang kemari. Kami mengadakan perjalanan jauh selama tiga hari tiga malam. Syukur dapat menemui Ki Dukun."

"Kau belum mengatakan maksud kedatanganmu!"

"Mengenai hal itu biar Raden Ayu Tambakdwita sendiri yang menuturkan..."

"Di mana majikanmu itu sekarang?"

"Ada di dalam kereta. Dengan perkenan Ki Dukun saya akan memanggiinya dan membawanya kemari..." jawab Tapak Lodra.

Ki Dukun Tambak Reso mengangguk. Setiap langkah yang dibuat Tapak Lodra diikuti dengan pandangan mata hampir tak berkesip oleh Ki Dukun. Sejak dia menyembunyikan diri di tempat itu setiap ada orang yang datang selalu dicurigainya, termasuk yang satu ini. Bukan mustahil mata-mata atau kaki tangan Kerajaan yang berusaha mendapatkan batu hitam itu.

Tapi ketika dari dalam kereta dilihatnya turun seorang perempuan, hatinya menjadi lega. Perempuan ini berusia sekitar setengah abad, namun memiliki wajah yang masih cantik serta tubuh dan kulit yang bagus mulus tanda terawat baik. Ketika sampai di hadapan Ki Dukun, orang tua ini semakin jelas melihat kecantikan itu dan membuatnya menelan ludah beberapa kali.

Sejenak Ki Dukun merenung, kali terakhir dia satu ketiduran dan bersenang-senang dengan perempuan, yakni sembilan tahun yang lalu ketika istrinya yang kedua masih hidup sementara istri pertamanya lari meninggalkannya akibat ulahnya bermain cinta dengan istrinya yang kedua itu.

Berada dekat-dekat begitu Ki Dukun dapat mencium wangi semerbaknya bau tubuh tamunya itu. Ki Dukun mempersilahkan tamunya duduk.

"Apakah saya berhadapan dengan Ki Dukun Tambak Reso yang sakti itu?" tanya sang tamu.

Ki Dukun tersenyum. "Aku hanya manusia biasa, tak punya kelebihan apa-apa," sahut Ki Dukun merendah. Matanya menjelajahi paras dan lekuk dada tamunya yang putih membusung. "Apakah aku berhadapan dengan Raden Ayu Tambakdwita, istri almarhum Raden Mas Rono Wiculo?"

"Ah, betul sekali. rupanya pembantu saya Tapak Lodra telah menceritakan tentang diri saya pada Ki Dukun..."

"Betul, tapi belum menceritakan maksud dan tujuan kedatangan sejauh ini," ujar Ki Dukun pula.

"Saya akan ceritakan."

"Baik, aku akan mendengarkan. Tapi aku ingin kita bicara empat mata saja. Bisa...?"

"Tentu saja bisa," sahut Raden Ayu Tambakdwita. Lalu dia berpaling pada Tapak Lodra yang tegak di tangga rumah dan menganggukkan kepalanya.

Melihat isyarat itu Tapak Lodra segera meninggalkan tempat itu, pergi ke kereta dan duduk di samping kusir. Hatinya merasa tidak enak kalau tidak mau dikatakan tersinggung. Melihat tampang dan sikap sang dukun sebenarnya dia tidak merasa suka terhadap orang itu. Kini melihat majikannya berdua-dua dengan orang tua itu seperti ada rasa cemburu dalam hatinya.

Sebenarnya sejak lama memang Tapak Lodra menaruh hati pada Tambakdwita. Sebagai orang kepercayaan yang telah bertahun-tahun berbakti apalagi dia tidak punya istri, sebenarnya Tapak Lodra memang cukup pantas menjadi pasangan janda cantik itu. Namun karena menyadari dirinya berasal dari kalangan rendah saja maka Tapak Lodra tidak pernah berani mengutarakan maksudnya itu.

"Nah Raden Ayu, ceritakan maksud kedatanganmu," kata Ki Dukun Tambak Reso begitu mereka kini hanya tinggal berdua saja di ruangan depan itu.

"Saya mempunyai seorang putera yang merupakan anak tertua, kini berusia sekitar dua puluh satu tahun, Sejak masih berumur enam belas tahun, selagi ayahnya hidup, anak itu telah diberi berbagai pelajaran termasuk ilmu silat. Ternyata dia memang banyak lebih tertarik pada ilmu silat dan kesaktian hingga meninggalkan begitu saja pelajaran-pelajaran lain. Dia sering meninggalkan rumah berbulan-bulan guna mencari dan mendapatkan ilmu baru. Ilmu silatnya memang tinggi dan kesaktiannya mengagumkan. Namun dua bulan lalu dia jatuh sakit dan tak bisa lagi meninggalkan tempat tidur. Dua minggu lalu keadaannya tambah parah. Matanya selalu tertutup. Keadaannya seperti orang tidur. Mungkin pingsan. Hari demi hari tubuhnya semakin kurus. Ki Dukun, inilah persoalan saya. Bisakah Ki Dukun mengobati putera saya itu? Berbagai tabib dan ahli pengobatan telah berusaha menolongnya, namun dia tetap saja tak bergerak di atas ranjang."

"Menurut para ahli yang telah coba mengobati putera Den Ayu, apakah sudah diketahui apa sakitnya?" bertanya Ki Dukun seraya usap-usap janggut putihnya sementara kedua matanya terus menjelajahi wajah dan dada perempuan cantik di hadapannya.

"Tak satupun mereka bisa memastikan apa penyakit putera saya. Beberapa diantara mereka menduga, kemungkinan besar sakitnya putera sebagai akibat terlalu banyak menguasai ilmu silat dan kesaktian dari berbagai sumber, dicampur-campur satu sama lain yang sebenarnya merupakan pantangan... Saya tidak tahu dan tidak mengerti tentang ilmu silat dan ilmu kesaktian. Bagaimana menurut Ki Dukun sendiri...?"

"Hem..." Ki Dukun menggumam. "Mungkin pendapat itu ada benarnya. Namun harus diperiksa dan diselidiki dulu. Siapakah nama puteramu itu Den Ayu...?"

"Pati Rono," jawab Tambakdwita. Lalu dia bertanya, "Apakah Ki Dukun bersedia melihatnya di Losari...? Perjalanan ke sana memang jauh. Tapi percayalah, semua jerih payah Ki Dukun akan saya beri imbalan yang sesuai. Apalagi kalau Pati Rono bisa disembuhkan..."

"Jangan kawatir..." kata Ki Dukun pula seraya memegang tangan Tambakdwita. "Aku akan datang ke Losari."

"Terima kasih. Saya memang sudah menduga Ki Dukun mau menolong. Karena itu sebelumnya saya sudah menyiapkan sebuah kereta untuk menjemput Ki Dukun. Paling lambat petang nanti penjemput itu sudah sampai disini."

"Sebetulnya sama-sama berangkat dengan Den Ayu saat ini aku tidak keberatan. Tapi tak jadi apa kalau Den Ayu memang sudah mengatur begitu," kata Ki Dukun.

Dari dalam sebuah tas kain yang dibawanya Den Ayu Tambakdwita mengeluarkan sebuah kantong kulit kecil. Ketika kantong itu diletakkan di atas meja terdengar suara berdering tanda berisi uang.

"Itu sebagian dari imbalan yang saya janjikan. Sisanya akan Ki Dukun terima setelah sampai di Losari, lalu ada tambahan istimewa jika Pati Rono bisa disembuhkan..."

"Sebetulnya yang ada dalam kantong itu sudah lebih dari cukup, Den Ayu. Tambahannya tidak perlu berupa harta atau uang."

"Maksud Ki Dukun?" tanya Tambakdwita pula.

"Setelah ditinggal Raden Mas Rono Wiculo dan hidup sendirian bertahun-tahun, apakah Den Ayu tidak mempunyai keinginan untuk mencari pengganti suami yang hilang itu?"

Pertanyaan Ki Dukun Tambak Reso itu membuat wajah Den Ayu Tambakdwita menjadi kemerah-merahan. Apalagi ketika didengarnya si orang tua berkata, "Nama kita sama. Aku Tambak Reso, di situ Tambakdwita. Mungkin ini satu kecocokan yang ditakdirkan Tuhan?"

"Ki Dukun," kata Tambakdwita dengan suara bergetar. Dia tak berani memandang kedua mata orang di hadapannya itu. Karena setiap dia bertemu pandang ada sesuatu kekuatan yang membuatnya bergetar disertai hawa aneh menjalari tubuhnya. "Kalau Ki Dukun tidak keberatan, hal-hal lain bisa kita bicara akan lain kali saja. Saya mohon diri. Kadatangan Ki Dukun saya nantikan di Losari," Lalu Tambakdwita berdiri dan melangkah cepat-cepat menuju kereta.

Ki Dukun Tambak Reso mengantarkannya sampai di tangga sambil mengulum senyum. "Perempuan satu ini harus dapat olehku. Tak pernah ada yang begitu besar daya tariknya, membuatku sampai-sampai keringatan!"

********************

ENAM

Di dalam kamar yang besar dan mewah serta harum itu ada empat orang. Pertama Ki Dukun Tambak Reso, lalu Raden Ayu Tambakdwita bersama Tapak Lodra. Orang yang keempat terbujur di atas tempat tidur berkasur tebal dan berseperai bagus. Orang ini adalah Pati Rono, putera Tambakdwita yang berada dalam keadaan sakit. wajahnya, kedua tangannya yang tersembul di atas selimut pucat pasi seperti tiada berdarah. Wajahnya mengerikan untuk dipandang karena pipi dan rongga matanya sangat cekung serta berwarna kebiruan.

Ki Dukun meraba tangan pemuda itu. Dingin. Lalu meraba wajah dan bagian lehernya. Juga dingin. Ketika ditekan bagian lengannya kiri kanan, juga ketika ditekan urat besar di lehernya, sama sekali tak ada denyutan. Si orang tua lalu membalikkan kelopak mata kanan Pati Rono. Putih, bagian hitam lensa matanya hanya tarlihat sedikit di sebelah bawah. Ki Dukun Tambak Reso berpaling pada ibu si pemuda.

"Bagaimana...?" tanya Tambakdwita dengan suara tercekat.

"Puteramu sudah meninggal sejak beberapa hari lalu," menerangkan sang dukun.

Mendengar itu Tambakdwita langsung menggerung dan menubruk serta merangkul tubuh anaknya. Tapak Lodra tertegun tak percaya dan beberapa kali menarik nafas dalam.

Ki Dukun pegang bahu Tambakdwita dan berkata, "Den Ayu, tak baik menangis. Kalau Gusti Allah sudah menghendaki kau harus rela melepas anakmu..."

"Ada satu hal yang mengherankan Ki Dukun," terdengar Tapak Lodra berucap. "Jika memang Raden Pati meninggal sejak beberapa hari lalu, mengapa jenazahnya tidak menebar bau...?"

Ki Dukun berpaling pada pembantu dan kepala pengawal rumah tangga almarhum Raden Mas Rono Wiculo itu. Pertanyaan Tapak Lodra sebenarnya wajar-wajar saja, namun sang dukun merasakan seperti hendak memojokkannya. Sejak semula memang dia tidak suka pada orang ini. Dan Ki Dukun sendiri, dari pandangan mata Tapak Lodra dia memaklumi kalau lelaki itupun tidak menyukainya. Dengan suara tenang Ki Dukun menjawab pertanyaan Tapak Lodra tadi.

"Ini justru satu keajaiban yang hanya Gusti Allah yang mampu menjawabnya," katanya. Lalu dia menyambung. "Bukan mustahil segala macam obat yang telah diberikan sebelumnya membuat tubuh kasarnya mampu bertahan begini rupa..."

"Tidak...! Tidak! Anakku tidak boleh mati...! Pati... Pati anakku! Kau tidak boleh mati...! terdengar raungan Raden Ayu Tambakdwita yang saat itu masih merangkuli tubuh puteranya sambil menangis dan meraung tiada henti.

"Raden Ayu, sudahlah. Kau dan kita semua harus pasrah menghadapi kenyataan ini..." ujar Tapak Lodra.

"Tidakkkk! Pati tidak boleh mati..."

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang gadis berpakaian serba kuning, berwajah cantik sekali masuk. Dia cepat menanggapi apa yang tengah terjadi. Langsung saja dia melompat ke tepi ranjang, memeluk tubuh Pati Rono dan ikut menangis keras.

"Kakak... kakak...! Mas Pati... Jangan pergi mas...."

Ternyata gadis itu adalah puteri Tambakdwita, adik perempuan Pati Rono. Suasana dalam ruangan itu jadi tambah mencekam. Tiba-tiba Raden Ayu Tambakdwita hentikan tangisnya dan berpaling menghadapi Ki Dukun Tambak Reso.

"Ki Dukun! Bagaimana sekarang?! Kau bisa menghidupkan puteraku? Kau harus bisa! Itu janjimu..." Tambakdwita berteriak seraya memukuli dada Ki Dukun.

Orang tua ini pegang pergelangan tangan perempuan itu lalu berkata, "Tenang Den Ayu... Tenang. Aku tak pernah berjanji tapi aku akan mencoba. Semua tergantung kekuasaan Tuhan. Untuk itu aku minta semua orang meninggalkan kamar ini... Termasuk Den Ayu. Aku akan memulai pekerjaan..."

"Tidak! Aku dan ibu harus menemani mas Pati di sini!" yang berteriak adalah gadis berpakaian kuning, puteri Tambakdwita yang bernama Tambaksari.

Ki Dukun menatap wajah sang dara beberapa ketika. "Ah, gadis ini cantik sekali. Ibunya tentu secantik ini di masa mudanya..." membatin Ki Dukun. Lalu dia berpaling pada Tambakdwita dan anggukkan kepala.

Melihat isyarat ini Tambakdwita menoleh pada puterinya, memegang lengan gadis itu, lalu mengajaknya melangkah menuju ke pintu mengikuti Tapak Lodra. Sebelum Tambakdwita menghilang di balik pintu, Ki Dukun berkata padanya, "Ingat Den Ayu, selama aku bekerja di dalam sini, tak seorangpun boleh masuk dengan alasan atau keperluan apapun. Aku akan akan keluar memberi tahu bilamana pekerjaan telah selesai. Harap kalian menyiapkan sebuah usungan dan kereta. Dan satu hal, jangan coba-coba atau ada yang berani mengintip apa yang aku kerjakan. Akibatnya bisa parah dan puteramu tak mungkin ditolong!"

Begitu pintu kamar ditutupkan Ki Dukun langsung menguncinya dari dalam, lalu dia naik ke atas tempat tidur dan duduk bersila di samping tubuh Pati Rono. Kedua matanya perlahan-lahan dipejamkan. Lalu dia mulai melafatkan kata-kata mujijat Walakalmati - Walakalhidup - Matiwalakal - Hidupwalakil, satu kali...dua kali.. sepuluh kali.. seratus kali dan seterusnya sampai sepuluh ribu kali.

Ketika akhirnya dia selesai merapal sampai sepuluh ribu kali tubuh dan pakaiannya telah basah oleh keringat. Di luar hari telah senja. Raden Ayu Tambakdwita, Tapak Lodra dan Tambaksari menunggu dengan sangat tidak sabar dan harap-harap cemas. Apakah yang tengah dilakukan Ki Dukun Tambak Reso sekian lamanya? Jika menurutkan hatinya mau Tambakdwita melabrak pintu dan menjebol masuk.

Di dalam kamar Ki Dukun buka kedua matanya, menyeka keringat di wajahnya beberapa kali lalu turun dari tempat tidur, berdiri untuk meluruskan kedua kakinya. Kemudian dari saku jubahnya dikeluarkannya benda keramat, batu hitam Kencono Sukmo. Dengan hati-hati batu ini disapukannya ke seluruh wajah dan tubuh Raden Pati Rono. Selesai melakukan itu batu mustika disimpannya kembali, memandang seputar kamar lalu melangkah ke pintu.

********************

TUJUH

Ki Dukun Tambak Reso memegang bahu kusir kereta. Sang kusir yang tahu isyarat ini segera hentikan kereta. Saat itu lewat tengah malam. Angin bertiup kencang. Dari tempat mereka berada terdengar deburan ombak laut di pantai. Ki Dukun memandang bekeliling. Kusir kereta menuju ke sebelah barat di mana tampak menghitam sebuah bukit karang. Angin bertiup lagi lebih kencang.

"Itu satu-satunya bukit karang yang paling tinggi di bagian pantai ini," menerangkan kusir kereta.

Ki Dukun mengangguk. "Cukup kau hanya mengantar aku sampai disini. "Tunggu di tempat ini sampai aku kembali." Lalu orang tua itu turun dari kereta, membuka pintu disebelah belakang, menarik usungan dimana terbaring sosok tubuh Raden Pati Rono.

Kuda penarik kereta terdengar meringkik ketika Ki Dukun menaikkan tubuh pemuda itu ke atas bahunya dan mulai melangkah cepat menuju bukit karang di sebelah barat.

Kusir kereta merasakan bulu kuduknya berdiri. Dia hampir tak berani bergerak saking merasa takut. Juga masih tetap disitu ketika hujan rintik-rintik mulai turun. Memang daerah pantai Losari di bagian itu merupakan suatu daerah bebukitan batu karang yang paling sering turun hujan.

Dari melangkah cepat Ki Dukun kini tampak berlari-lari. Semangatnya jadi berkobar-kobar ketika melihat hujan mulai turun. Ini satu pertanda bahwa kelanjutan usahanya untuk menghidupkan pemuda yang sudah mati di panggulannya itu akan berjalan cepat. Di timur terdengar guntur menggelegar. Lalu kilat mulai menyambar.

Meskipun agak susah payah karena harus mendaki bukit batu karang yang licin berlumut, namun akhirnya Ki Dukun Tambak Reso sampai juga dipuncaknya. Nafasnya meng-engah. Perlahan-lahan tubuh Raden Pati Rono dibaringkannya di bagian batu yang agak rata. Angin laut bertiup kencang dan tajam. Hujan turun makin deras. Ki Dukun menyeringai. Dari dalam saku jubahnya dikeluarkannya kotak batu ham Kencono Sukmo lalu diletakkannya didada mayat, tepat di bagian jantung.

"Anak manusia, kuberikan kehidupan padamu. Hiduplah! Hiduplah! Dan berikan ibumu padaku!" berkata Ki Dukun dengan suara perlahan bergetar.

Lalu dia menuruni bukit karang itu, memilih tempat yang terlindung tapi tidak terlalu jauh. Di sini dia menunggu dengan dada berdebar. Dia pernah menghidupkan seekor binatang, menyembuhkan beberapa orang yang sakit parah. Tetapi baru kali ini dia mencoba menghidupkan seorang yang telah meninggal. Diam-diam bulu romanya terasa berdiri. Guntur menggelegar, kilat sambung menyambung.

"Halilintar... datanglah! Sambar batu dan tubuh itu! Halilintar... datanglah!" ujar Ki Dukun berulang kali.

Tapi dia harus menunggu lama sampai menjelang dini hari, yaitu ketika tubuhnya berada dalam keadaan basah kuyup dan terasa dingin seperti diselimuti es. Saat itu rangkaian halilintar tampak sambar menyambar berkepanjangan dari arah timur. Sambaran yang terakhir berkiblat tepat di atas bukit karang, menghantam ke bawah, menghunjam tepat di atas tubuh Raden Pati Rono!

Tubuh itu tampak terangkat ke atas lalu jatuh kembali ke atas batu karang dan mengeluarkan kepulan asap. Setelah itu terbujur tak bergerak. Tempat itu tiba-tiba saja sunyi seperti di pekuburan. Guntur tak terdengar lagi, kilat atau halilintar tak tampak lagi. Bahkan angin seolah-olah berhenti bertiup dan ombak seperti berhenti berdebur!

Dengan tubuh bergetar Ki Dukun Tambak Reso memanjat menuju bagian alas bukit karang. Dengan mempergunakan sahelai sapu tangan dia memungut batu Kencono Sukmo yang tercampak di atas bukit batu lalu memasukkannya ke dalam saku jubahnya.

Di atas batu karang tubuh Raden Pati Rono tampak tidak bergerak. Ki Dukun memperhatikan dengan seksama dan mata dibesarkan. Darahnya tersirap ketika tiba-tiba dia melihat ibu jari kaki kanan si pemuda bergerak. Perlahan sekali tapi dia jelas melihatnya. Ki Dukun memegang ibu jari yang bergerak itu. Terasa panas.

"Panas adalah api. Api adalah hawa kehidupan..." desis Ki Dukun.

Lalu dipegangnya betis pemuda itu. Kemudian dilihatnya jari-jari kanan Pati Rono juga mulai bergetar. Ki Dukun cepat memegang tangan kanan itu. Tiba-tiba jari-jari Pati Rono menggenggam mencengkeram tangannya. Ki Dukun terpekik kaget dan cepat sentakkan lengannya untuk melepaskan cekalan itu.

Walau di hatinya ada terselip rasa ngeri namun kegembiraan sang dukun juga meluap. "Dia hidup... Dia hidup! Batu hitam itu betul-betul batu mujijat. Gusti Allah Maha Besar!"

Untuk memastikan bahwa Pati Rono benar-benar sudah hidup kembali Ki Dukun membungkuk dan dekatkan telinga kanannya ke dada Pati Rono. Lapat-lapat dia mendengar ada suara yang memukul-mukul di dasar dada itu. Itulah suara degupan jantung!

"Luar biasa... Aku sendiri hampir tak percaya!" ujar Ki Dukun dalam hati. Untuk sesaat dia masih mendekapkan telinga mendengar degupan jantung itu.

Tiba-tiba kedua tangan Pati Rono bergerak menyilang dan punggung Ki Dukun tersikap kencang! Orang tua itu merasakan jiwanya seperti terbang. Dia menggeliat keras-keras, dengan susah payah akhirnya berhasil meloloskan diri dari sikapan tadi. Begitu terlepas, kedua tangan Pati Rono kembali terkulai di kedua sisi.

"Sebelum kekuatannya pulih, aku harus cepat membawanya ke Losari..." pikir Ki Dukun.

Lalu tubuh pemuda itu dipanggulnya di bahu kanan. Dalam perjalanan menuruni bukit karang menuju di mana kereta menunggu Ki Dukun selalu bersikap waspada. Bukan mustahil mayat yang barusan hidup kembali itu tiba-tiba saja bergerak mencekiknya!

********************

Kereta pembawa Pati Rono itu sampai di Losari menjelang senja, disambut oleh Tapak Lodra, Tambakdwita, puterinya dan beberapa pelayan. Ketika usungan diturunkan dari kereta oleh kusir dan Tapak Lodra, kuda penarik kereta tiba-tiba mengangkat kedua kaki depannya dan meringkik keras, membuat semua orang tercekat.

Ketika melewati ruangan tengah rumah besar mendadak terdengar suara mengeong keras. Seekor kucing putih belang hitam melompat dari balik tirai, berusaha lari ke arah usungan.

"Belang... Belang, jangan berisik!" Tambaksari cepat mendukung binatang peliharaannya itu. Dalam dukungan si gadis kucing ini terus mengeong. Kedua matanya memandang tak berkesip ke arah tubuh Pati Rono di atas usungan. Sikapnya garang sekali.

"Heran, tak biasanya kau seperti ini, Belang..." Untuk kesekian kalinya si belang mengeong, menggeliat lalu menghambur dari arah gendongan Tambaksari.

Dengan sangat hati-hati tubuh Pati Rono dibaringkan di atas tempat tidur bertilam indah. Sang ibu duduk di kiri tempat tidur. Yang lain-lain tegak berkeliling. Sambil duduk Tambakdwita tidak hentinya mengusap wajah dan memijiti tangan anaknya. Dia ingin agar anaknya itu segera bangun agar dia melihat kenyataan bahwa Pati Rono benar-benar hidup. Selagi dia memegang-megang tangan puteranya, tiba-tiba tangan itu bergerak. Tambakdwita terpekik. Lima jari tangan Pati Rono mencengkeram lengannya. Kuat dan sulit dilepaskan.

"Tenang saja Den Ayu. Jangan dipaksakan untuk menarik tanganmu. Ada kalanya kehidupan mendatangkan kerinduan. Putera mu tentu sangat rindu padamu. Itu sebabnya tanganmu dipegangnya erat-erat..." Kata-kata itu diucapkan oleh Ki Dukun Tambak Reso walau diam-diam hati kecilnya merasa kawatir kalau-kalau cekalan yang keras itu tidak bisa dilepaskan.

"Lihat! Kedua mata Raden Pati membuka!" berseru kusir kereta yang sampai saat itu masih ikut berada dalam kamar.

Semua orang memandang, memperhatikan. Astaga! Memang betul! Sepasang mata pemuda itu tampak terbuka perlahan-lahan. Mula-mula tampak bagian mata yang berwarna putih. Menyusul bagian bola mata yang berwarna hitam kecoklatan. Tidak! Ternyata bola mata yang seharusnya berwarna hitam kecoklatan itu kini tampak memiliki warna kelabu!

Tapak Lodra tidak sengaja saling berpandangan dengan Tambaksari. Jelas kelihatan bayangan rasa ngeri pada wajah gadis ini. Memang memperhatikan dua mata yang terbuka nyalang tidak berkesip dan berwarna aneh serta membersitkan sinar dingin itu terasa adanya keangkeran. Dua bola mata itu bergerak sedikit, memandang ke arah Tambakdwita. Lalu menyeruak senyum di wajah yang mulai kemerahan itu. Bagi Tapak Lodra senyum itu lebih merupakan sebuah seringai yang mengerikan.

"Pati anakku...!" seru Tambakdwita. "Kau tersenyum padaku Pati. Jadi kau benar-benar kembali! Kau benar-benar hidup lagi! Gusti Allah terima kasih! Terima kasih!" Air mata tampak berlinangan di kedua mata perempuan itu. Tangan kanan anaknya didekatkannya kewajahnya dan diciumnya berulang-ulang.

"Ibu... Aku haus..." Mulut Pati Rono terbuka dan suara minta minum terdengar diucapkannya.

Tambakdwita dan puterinya tersenyum. Sang ibu usut air mata yang berderai di pipinya. Lalu terdengar lagi suara sang putera,

"Aku juga lapar, bu..."

Tambakdwita peluk dan ciumi wajah puteranya. "Kau boleh minta apa saja Pati. Pasti akan ibu berikan..." Perempuan itu ciumi lagi wajah anaknya berulang-ulang.

Lalu dia bangkit dari tempat tidur, memegang lengan puterinya. Ibu dan anak ini meninggalkan kamar untuk mengambilkan sendiri air serta makanan yang diminta Pati Rono.

Pati Rono memandang dengan matanya yang kelabu satu persatu pada kusir kereta, Tapak Lodra dan Ki Dukun Tambak Reso. Pandangan mata yang aneh dan terasa angker ini membuat ketiga yang dipandang jadi merasa tidak enak. Kusir kereta segera tinggalkan kamar. Tapak Lodra menyusul hendak beranjak namun Ki Dukun bergerak lebih dulu. Terpaksa Tapak Lodra tetap berada dalam kamar karena meninggalkan putera majikannya seorang diri di tempat itu kurang sopan dirasakannya.

Untuk menghilangkan kegelisahan akibat pandangan mata Pati Rono, Tapak Lodra pergi membuka jendela kamar. ketika dia hendak menyingkapkan tirai jendela, terdengar suara mengeong keras. Sesuatu melompat ke samping jendela. Ternyata si Belang. Binatang ini siap untuk melompat masuk. Tapi Tapak Lodra cepat mencegah dan mengusirnya.

"Aneh sekali sikap kucing itu..." kata Tapak Lodra dalam hati. "Apa sebenarnya yang dilihat binatang itu...?" Tapak Lodra berpaling ke arah tempat tidur. Ternyata Pati Rono masih menyorotinya dengan pandangan seperti tadi. Dingin angker seperti hendak menembus jantungnya!

********************

DELAPAN

Malam Jum'at kliwon, hujan turun rintik-rintik Losari diselimuti kesunyian. Debur ombak di pantai terdengar di kejauhan. Sesekali ada suara lolongan anjing merobek kesunyian. Dalam ruangan depan di rumah besar itu Raden Ayu Tambakdwita duduk terdiam beberapa lamanya sebelum kemudian dia membuka mulut bertanya,

"Mengapa Ki Dukun tak mau menerima uang dalam kantong itu? Bukankah itu tambahan pembayaran sesuai dengan janji saya...?"

Ki Dukun Tambak Reso tersenyum. Matanya menatap wajah cantik perempuan berusia setengah abad di hadapannya lalu menjawab, "Raden Ayu...! Ah, aku seharusnya memanggilmu Tambakdwita saja..."

"Saya tak keberatan dipanggil seperti itu. Bukankah Ki Dukun memang lebih tua dari saya dan kepada siapa saya menaruh hormat...? Apalagi mengingat jasa besar Ki Dukun..."

"Dengar... Tambakdwita, aku memang tidak mau menerima pemberianmu itu. Bahkan, uang yang kau berikan sebelumnya mungkin akan kukembalikan..."

"Mengapa begitu? Apakah Ki Dukun tak mau menerima karena jumlahnya terlalu kecil? Saya bersedia menambahkan."

Ki Dukun menggeleng. Malam itu, tidak seperli biasanya dia tidak lagi mengenakan jubah putih, melainkan sehelai baju biru dan celana hitam serta sebuah blangkon di atas kepalanya. Dengan pakaian itu dia tampak lebih gagah dan lebih muda.

"Terus terang, bukan uang itu yang aku inginkan Tambakdwita. Aku menginginkan dirimu. Aku memintamu menjadi istriku. Sudah beberapa hari lalu hal itu kusampaikan padamu..."

"Beri saya waktu satu dua minggu lagi untuk mengambil keputusan, Ki Dukun. Saya harus bicara dengan tua-tua keluarga. Di samping itu aku perlu memberi tahu putera saya. Pati Rono sejak beberapa hari ini selalu mengunci diri di kamarnya. Dia menekuni buku-buku silat dan kesaktian, berjilid-jilid banyaknya. Makanan yang disampaikan pembantu hanya disentuhnya sedikit saja. Dia lebih banyak menenguk minuman keras. Ada satu hal saya lihat pada dirinya. Satu hal yang dulu tidak ada. Anak itu membawa sikap dan sifat aneh. Pandangan matanya terasa angker tapi menyembunyikan kekosongan jiwa. Sikap acuh diperlihatkannya pada orang-orang di sekitarnya. Tapi sebagai ibu, di balik keacuhan itu saya merasa ada sesuatu yang disimpannya. Sesuatu yang terasa mengerikan..."

"Tambakdwita, sebaiknya saat ini kita tidak membicarakan soal puteramu itu. Dia sudah kembali padamu. Sembuh dan hidup..."

"Betul Ki Dukun, tapi putera saya yang kembali ini saya rasa bukan putera saya yang dulu..."

"Bagaimana kau bisa berkata begitu Tambakdwita? Pati Rono yang kini hidup adalah puteramu yang dulu juga. Sama sekali tidak ada bedanya..."

"Tubuh kasarnya memang tidak ada beda, Ki Dukun. Tapi jiwa dan perasaannya ada kelainan. Dan itu terpancar pada sepasang matanya yang membersitkan hawa aneh. Dia seolah-olah bukan berada di tengah keluarga sendiri. Seolah-olah berada di satu alam yang sama sekali lain. Dan alam ini saya rasakan sangat mengerikan. Saya takut Ki Dukun..."

"Tak ada yang harus ditakutkan Tambakdwita. Apalagi selama aku berada di dekatmu seperti saat ini. Kau belum menjawab, kau belum memberi putusan tentang permintaanku..."

"Saya bilang beri saya waktu dua atau tiga minggu," sahut Raden Ayu Tambakdwita.

"Satu atau dua minggu bisa berarti jadi tiga minggu. Aku tak bisa menunggu selama itu. Aku ingin memilikimu lebih cepat dari itu. Bahkan malam ini...!" Ki Dukun memegang tangan perempuan itu.

Tambakdwita. berusaha menarik lengannya. Tapi ada hawa aneh menjalari lengannya, terus ke dada dan sekujur tubuhnya Dia merasa sesuatu yang menggairahkan. Ditatapnya wajah Ki Dukun. Wajah itu tampak begitu gagah, agung dan tersenyum padanya.

"Aku ingin tidur bersamamu malam ini, Tambakdwita. Kau mau bukan...?"

Perempuan itu tak menjawab. Dia hanya menundukkan kepala, tak kuasa memandang tatapan Ki Dukun. Melihat ini Ki Dukun berdiri dari kursinya, tegak disamping Tambakdwita lalu membungkukkan. Kepala hendak mencium tengkuk perempuan itu. Namun sebelum ciumannya sampai tiba-tiba terdengar suara ngeongan kucing keras dan mengejutkan.

Ki Dukun terkesiap. Tambakdwita tersentak kaget dengan muka pucat. Ada rasa tak enak dalam diri kedua orang itu. Ki Dukun memandang ke arah jendela. Samar-samar lewat kain tirai jendela dia melihat ada seseorang tegak di luar sana, memperhatikan ke dalam. Ketika Ki Dukun hendak mendatangi, orang itu cepat bergerak pergi dan menghilang.

"Malam sudah larut, sebaiknya Ki Dukun pulang dulu ke rumah tempat menginap..." berkata Tambakdwita. Suaranya terhenti ketika kembali terdengar suara ngeongan kucing. Suara itu datang dari arah kamar di tingkat atas. Dan kamar di tingkat atas adalah kamar tidur Pati Rono.

Ki Dukun diam sesaat. Mantranya tadi sudah hampir mengena kalau tidak terganggu oleh suara ngeongan kucing celaka itu. "Baiklah, aku akan pergi Tambakdwita. Tapi besok aku akan datang lagi kemari. Dan saat itu aku ingin kau sudah bisa memberikan jawaban..."

Janda kaya itu tidak menjawab. Dia melangkah ke pintu depan dan membukakannya untuk Ki Dukun. Seekor kuda tertambat dekat pintu pekarangan. Itulah kuda tunggangan milik Ki Dukun. Ketika orang tua ini tengah melangkah ke arah kudanya, tiba-tiba sebuah benda melayang di udara dan jatuh tepat dekat kakinya. Ki Dukun memandang ke bawah.

Benda yang jatuh itu ternyata adalah seekor kucing putih berbelang hitam. Si Belang, kucing kesayangan Tambaksari! Binatang ini tidak bergerak ataupun mengeluarkan suara. Kapalanya terkulai tanda lehernya patah!

Ki Dukun mendongak ke atas, ke arah kamar di tingkat atas bangunan rumah besar. Dia melihat jendela kamar di tingkat atas itu terbuka dan ada nyala lampu di atas sana. Dia merasa yakin kucing yang mati itu dilemparkan dari kamar itu.

Ki Dukun putar tubuhnya, meneruskan langkah ke arah tempat kudanya tertambat. Sesaat ketika dia hendak menaiki binatang itu, satu tangan yang dingin tiba-tiba memegang pundak kanannya. Ki Dukun terkejut dan menoleh. Dia berhadap-hadapan dengan Tapak Lodra.

"Ada apa?!" tanya Ki Dukun dengan suara garang. Dia tidak suka dipegang seperti itu dan dia sejak lama tidak senang terhadap pengawal rumah kediaman Tambakdwita ini.

"Aku hanya ingin memberikan nasihat padamu, Ki Dukun. Majikanku seorang janda. Tidak pantas kalau kau mengunjunginya sampai larut malam begini!"

Ki Dukun menyeringai. Dia kibaskan tangan Tapak Lodra dan menjawab, "Soal hubunganku dengan majikanmu bukan urusanmu! Sebagai pembantu kau tidak layak mencampurinya. Dan aku tidak butuh segala macam nasihat."

"Aku tahu siapa kau sebenarnya Ki Dukun. Lebih dari itu aku tahu apa yang ada dalam benak serta hatimu. Aku tidak suka padamu!"

"Kau bukan pemilik rumah ini. Jadi tidak pada tempatnya mengatakan suka atau tidak. Dan satu hal harus kau ketahui Tapak Lodra. Akupun tidak suka padamu!"

"Berlalu dari sini Ki Dukun. Cepat!" desis Tapak Lodra.

Ki Dukun Tambak Reso kembali menyeringai. "Ada satu hal yang pantas kau ketahui Tapak Lodra. Bagiku mudah menyembuhkan dan menghidupkan seseorang. Tapi lebih mudah lagi membuat seseorang sakit atau menemui ajalnya! Ingat hal itu baik-baik Tapak Lodra!"

"Aku akan ingat hal itu baik-baik Ki Dukun. Jika terjadi sesuatu dengan penghuni rumah besar ini orang yang pertama-tama kucari adalah dirimu!" habis berkata begitu Tapak Lodra lepaskan tali tambatan kuda dan membantingkannya ke tanah. Ketika Ki Dukun naik ke punggung binatang itu Tapak Lodra sudah berlalu dari situ.

Di halaman depan, Tapak Lodra membungkuk mengangkat bangkai si Belang. "Kasihan kucing ini. Siapa yang begitu tega membunuhnya?" Tatap Lodra mendongak ke atas. Nyala lampu di kamar putera majikannya telah padam. Tapi matanya yang tajam melihat ada sosok tubuh dibelakang jendela tegak memperhatikan ke arahnya.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Raden Ayu Tambakdwita menatap wajah puteranya lekat-lekat. "Pati Rono, ibu tak habis pikir mengapa kau ingin memberhentikan Tapak Lodra..."

Pati Rono melahap jambu klutuk besar lalu dengan mulut penuh dia menjawab, "Aku sudah bilang bu, kita tidak membutuhkan orang itu lagi. Tugasnya sebagai pengawal kuambil alih. Pekerjaannya sebagai penjaga sawah ladang serta peternakan dan perdagangan aku sendiri yang akan menangani. Nah, apa perlunya dia bekerja lagi disini. Tanpa dia bukankah kita bisa menghemat jumlah uang gajinya dan bisa dipergunakan untuk keperluan lain?"

"Gajinya tidak seberapa, Pati. Lagi pula dia telah bekerja puluhan tahun. Sejak ayahmu masih hidup. Bahkan sebelum kau dilahirkan dia sudah ikut bersama kita, mulai dari kakekmu masih ada..."

"Persetan berapa lama dia bekerja di sini! Persetan apapun jasanya. Jika ibu tidak mau atau segan bicara padanya, aku yang akan mengatakan padanya!"

"Jangan lakukan hal itu, anakku..." ujar Tambakdwita.

"Aku tak suka dilarang!" sahut Pati Rono. "Dan apakah ibu sudah menyampaikan pada guru mengaji bau apak itu bahwa dia tak perlu lagi datang ke sini untuk mengajar mengaji dan segala ilmu agama yang membosankan serta dusta besar itu!"

Sepasang mata Tambakdwita membesar. "Pati, jika kau minta aku memberhentikan Tapak Lodra, mungkin masih bisa kucerna. Tapi kalau kau minta berhenti mengaji, ini merupakan satu hal yang tidak ingin aku lakukan. Kau butuh pelajaran agama..."

"Tidak! Aku tidak butuh pelajaran agama! Jelas! Aku tidak sudi lagi melihat guru mengaji itu!" Pati Rono berdiri dari kursinya. Jambu klutuk yang baru setengah dimakannya dibantingkannya ke meja makan!

********************

"Raden Pati," ujar Tapak Lodra dengan suara bergetar. "Ucapanmu bahwa mulai hari ini aku diberhentikan dari segala macam tugas sungguh mengejutkan. Apakah Raden Ayu Tambakdwita mengetahui hal ini dan jika mengetahui bisakah Raden mengatakan apakah kesalahanku maka aku diberhentikan...?"

"Paman Tapak Lodra. Jika aku bicara padamu maka itu adalah aku bicara atas nama keluarga! Bahkan juga berarti atas nama almarhum ayahku. Jadi tidak usah ditanya atau dibantah!"

"Saya benar-benar tidak mengerti Raden..."

"Jika kau tidak mengerti berarti kau seorang tolol! Justru di situlah letak persoalannya! Aku tidak suka manusia tolol semacammu berkeliaran dalam rumah ini! Kau kuberikan waktu untuk mengemasi pakaian dan barang-barangmu. Sebelum tengah hari kau sudah harus pergi dari sini!" Habis berkata begitu Raden Pati Rono tinggalkan pembantu dan pengawal kepercayaan itu, naik ke tingkat atas dan mengunci diri dalam kamarnya.

Karena merasa tidak puas, Tapak Lodra menyusul naik ke tingkat atas dan mengetuk pintu kamar Pati Rono seraya berseru, "Raden, buka pintu. Aku perlu bicara lebih jauh denganmu. Tolong bukakan pintunya, Raden..."

Tak ada jawaban. Pintu juga tidak terbuka. Tapak Lodra mengetuk dan berseru lagi. Tiba-tiba pintu terbuka. Dari balik daun pintu yang terbuka itu mendadak satu jotosan menderu menghantam dada Tapak Lodra. Pengawal tua ini menjerit dan terpental. Untung dia masih sempat bergayut pada sebuah tiang, kalau tidak tubuhnya pasti akan jatuh terjungkal ke bawah! Tapak Lodra merasakan lututnya goyah. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh terduduk di lantai dan dari sela bibirnya tampak darah mengucur. Nafasnya sesak, dadanya sakit bukan main. Pukulan yang menghantamnya bukan pukulan sembarangan.

Di ambang pintu Pati Rono tegak bertolak pinggang. Sepasang matanya memandang yang berwarna kelabu memandang buas pada Tapak Lodra. "Jika kau masih tidak mau pergi dari sini, aku tak akan menyesal mematahkan batang lehermu atau melempar tubuhmu kebawah sana!"

"Raden, aku perlu bicara. Benar-benar harus bicara denganmu. Berikan sedikit waktu dan sedikit pengertian..."

"Aku tak punya waktu dan aku tak punya pengertian! Pergi dari hadapanku...!" Raden Pati Rono melangkah ke hadapan Tapak Lodra lalu menjambak rambut orang tua itu.

Sesaat kemudian tampak tubuh Tapak Lodra melayang jatuh ke bawah lewat jendela. Seorang pelayan yang berada di bawah dan kebetulan melihat kejadian itu menjerit keras. Sebagai seorang berkepandaian tinggi Tapak Lodra meskipun dalam keadaan terluka di dalam masih sanggup bedungkir balik hingga tubuhnya tidak jatuh tergelimpang atau kepala lebih dulu. Dia jatuh dengan kedua kaki menjejak tanah, lalu cepat kerahkan tenaga dalam ke arah dadanya yang terluka.

Di atas rumah Pati Rono menyeringai. "Tak ada salahnya tua bangka itu kujadikan barang percobaan!" katanya dalam hati. Lalu dengan gerakan enteng, seperti seekor burung besar dia melompat dari tingkat atas, melayang ke tanah dan menjejak tanah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun!

"Tapak Lodra! Aku memberikan kesempatan padamu! Jika kau mampu mengalahkanku dalam lima jurus, kau tidak akan kusuruh pergi!"

"Raden...," ujar Tapak Lodra seraya pegangi dadanya. "Aku tidak mau berlaku kurang ajar, berkelahi denganmu..."

"Terserah padamu. Jika ingin tetap bekerja disini turut apa yang kukatakan. Kalau tidak silahkan angkat kaki saat ini juga"

Mendengar kata-kata itu Tapak Lodra tidak melihat jalan lain. "Kalau itu permintaanmu Raden, harap maafkan diriku. Bersiaplah..."

"Kau boleh menyerang lebih dulu Tapak Lodra!" kata Pati Rono seraya berdiri dengan kedua kaki terkembang.

Tapak Lodra menarik nafas dalam. Tubuhnya membungkuk sedikit. Tiba-tiba tubuh itu melesat ke depan dan tangah kanannya menghantam ke arah dada lawan. Pati Rono angkat tangan kirinya, menangkis serangan. Begitu tangan Tapak Lodra bentrok dengan lengannya, kelihatan seperti ada bunga api yang berpijar. Bersamaan dengan itu Tapak Lodra terdengar menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Jari-jari tangan kanannya sampai ke pergelangan tampak berwarna hitam hangus dan mengepulkan asap. Sakitnya seperti dipanggang!

"Raden... ilmu apa yang kau miliki hingga tega mencelakakan diriku sejahat ini..." ujar Tapak Lodra lalu jatuh terduduk di tanah.

Pati Rono tersenyum. "Itulah kekuatan tenaga dalam yang mengandung kekuatan halilintar! Bukan saja mengandung hawa panas yang menghanguskan, tapi mengandung racun ganas. Jika kau tidak memotong tanganmu sebatas lengan, dalam waktu dua hari racun akan merambat ke jantungmu! Nyawamu tidak ketolongan!"

"Kau kejam sekali Raden.. Kejam sekali. Lebih baik kau membunuh diriku saat ini juga!"

Mendengar kata-kata Tapak Lodra itu Pati Rono tertawa bergelak. "Jika memang mati yang kau inginkan, aku bersedia mengabulkannya...!"

Lalu Pati Rono angkat tangan kanannya. Ketika dia hendak menghantam tiba-tiba terdengar teriakan keras.

"Pati! Tahan! Hentikan perbuatanmu itu!"

Yang berteriak dan yang kemudian menghambur memegangi tubuh Pati Rono adalah ibunya sendiri. Perempuan ini mendorong anaknya ke dalam rumah lalu memberi isyarat pada Tapak Lodra agar cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

********************

SEMBILAN

Raden Ayu Tambakdwita menyeka air mata yang mengucur di kedua pipinya. Di hadapannya seorang lelaki tua tampak duduk dengan wajah muram. Dia adalah Ki Guru Sendang Bogayana, guru mengaji keluarga almarhum Rono Wiculo yang telah mengajar di situ selama lebih darisepuluh tahun yakni sejak Raden Pati Rono dan adiknya berusia sekitar sepuluh tahun.

Setelah berdiam diri merenung beberapa lamanya Ki Guru akhirnya berkata, "Jika betul semua apa yang Raden Ayu katakan, memang telah terjadi satu perubahan luar biasa atas diri putera Den Ayu..."

Tambadwita mengangguk. "Sifatnya berubah sekali. Jiwanya seperti kosong dan kekosongan itu diselimuti oleh perasaan aneh. Lebih tepat kalau dikatakan sesuatu yang mengerikan. Perasaannya seperti tidak ada sama sekali. Berganti dengan sikap penuh tega bahkan kejam. Dia membunuh si Belang, kucing kesayangan adiknya. Memberhentikan Tapak Lodra, melukainya bahkan hendak membunuh orang tua yang setia itu kalau saya tidak cepat mencegahnya. Saya khawatir ada hal-hal lain lagi yang akan terjadi. Seisi rumah ini, termasuk saya merasakan seperti tinggal di suatu tempat yang mengerikan. Saya sangat perlu bantuan Ki Guru..."

"Saya mengerti Den Ayu. Saya merasa perlu untuk menemui Ki Dukun Tambak Reso, orang sakti yang katanya telah menyembuhkan dan menghidupkan putera Den Ayu itu. Sebenarnya bagi kita orang-orang beragama memang ada kepercayaan pada orang-orang beragama ada kepercayaan pada orang-orang tertentu akan kemampuannya untuk menyembuhkan, suatu penyakit. Namun untuk menghidupkan seseorang yang telah mati, itu adalah satu hal yang tidak mungkin..."

"Kenyataan itu terjadi pada anak saya Ki Guru. Bagaimana saya tidak mempercayainya..."

Ki Guru Sendang mengusap-usap rambut tipis di bagian belakang kepalanya. "Mungkin kehidupan yang dialami Raden Pati hanya suatu kehidupan semu. Yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan masa lalunya. Itu sebabnya dia memiliki sifat yang sangat berbeda kalau tidak mau dikatakan aneh. Sebelum menemui Ki Dukun Tambak Reso, saya kira saya harus bicara dengan putera Den Ayu itu terlebih dulu."

"Itu yang saya inginkan Ki Guru. Makin cepat makin baik. Saya akan mengatur pertemuan itu sekarang juga."

********************

"Aku tidak ingin bertemu, apalagi bicara dengan guru agama itu," berkata Pati Rono pada ibunya sambil naik ke punggung kuda. Pagi itu seperti biasa dia akan berangkat ke tepi pantai guna melatih ilmu silat dan pukulan saktinya di sebuah teluk yang sepi.

"Tapi anakku, ini penting sekali. Untuk masa depanmu..."

Pati Rono tersenyum mendengar ucapan ibunya itu lalu berkata, "Masa depanku tidak ditentukan oleh guru agama itu. Tapi jika ibu memaksa, suruh dia menemuiku di teluk. Aku akan bicara dengan dia di sana... "

"Kau menyuruh Ki Guru ke sana menemuimu, sungguh tidak pantas anakku!"

"Yang dinamakan kesopanan itu adalah tingkah laku palsu untuk menutupi kebobrokan seseorang. Guru agama itu tidak lebih mulia dari diriku. Jika dia memang ingin bicara silahkan datang ke teluk. Kalau tak sudi, perduli setan!"

Habis berkata begitu Pati Rono menggebrak tali kekang kudanya. Binatang itu melompat dan meninggalkan si ibu sendirian di halaman samping rumah besar. Untuk beberapa lamanya Tambakdwita tertegak di tempat itu. Akhirnya dengan langkah gontai dia masuk ke dalam rumah.

Meskipun masih pagi namun udara di pantai terasa terik. Air laut mendebur ombak di atas pasir teluk. Raden Pati Rono mendengar suara derap kuda di belakangnya tapi dia tidak perduli, menolehpun tidak. Derap kuda berhenti dan pemuda itu tahu kalau si penunggang tengah memperhatikannya.

Di bawah sebatang pohon kelapa di teluk yang sunyi itu terdapat beberapa bangkai perahu yang sudah lama ditinggal dalarn keadaan rusak dan lapuk. Raden Pati berpaling ke arah pohon kelapa itu, perlahan-lahan mengangkat tangan kanannya lalu tangan itu dipukulkan dibarengi oleh satu bentakan.

Terjadi satu hal yang hebat. Begitu tangan bergerak ke depan, satu jengkal diatas tangan Raden Pati berkiblat cahaya terang disertai letupan keras seperti sambaran halilintar kecil. Bersamaan dengan itu pohon kelapa di seberang sana terdengar berderak, lalu tumbang dalam keadaan hangus. Perahu-perahu lapuk yang ada di bawah pohon kelapa mental hancur lebur seperti bubuk arang!

Ki Guru Sendang Bogayana letetkan lidah. Didalam dadanya bukan rasa kagum yang dirasakannya justru ada perasaan kawatir. Kalau ilmu kepandaian itu dipergunakan dalam kesesatan dapat dibayangkan akibatnya. Perlahan-lahan Ki Guru Sendang turun dari kudanya.

Tengah dia melangkah ke arah Pati Rono tiba-tiba pemuda ini membalikkan tubuh seraya mengangkat tangan seolah-olah hendak menghantam guru agama itu. Sang guru terkesiap pucat dan hentikan langkahnya. Raden Pati Rono tertawa gelak-gelak.

"Ki Guru.... kau datang juga ke teluk ini..." ujar Pati Rono seraya bertolak pinggang dan geleng-gelengkan kepalanya. "Pelajaran agama apa yang hendak kau sampaikan padaku hari ini?!"

Meskipun ucapan itu jelas-jelas merupakan ejekan namun Ki Guru Sendang Bogayana berusaha setenang mungkin dan menjawab. "Tidak ada pelajaran agama hari ini, Raden Pati. Aku datang kemari memenuhi permintaan ibumu."

"Hemm, begitu...?" Raden Pati rangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Lalu apa yang ibuku inginkan melaluimu, Ki Guru?"

"Ibumu memberi tahu ada perubahan besar dalam dirimu sejak kau dihi... maksudku sejak kau disembuhkan dari sakit berat tempo hari. Mungkin ibumu keliru Raden. Namun dia memberikan beberapa contoh nyata. Misal tindakanmu membunuh si Belang. Lalu perbuatanmu terhadap Tapak Lodra..."

"Itu baru dua Ki Guru. Yang ketiga ialah tindakanku yang tidak ingin melihatmu lagi datang ke rumah, apalagi memberi pelajaran agama padaku!" memotong Pati Rono dengan suara ketus.

"Raden Pati, yang namanya pelajaran itu, apapun bentuk dan macammu perlu dituntut. Termasuk pelajaran agama. Kudengar kau sering datang kemari untuk berlatih ilmu silat dan kesaktian. Aku saksikan sendiri tadi kau menjajal pukulan sakti itu. Nah, ilmu agama pun tidak kalah pentingnya. Malah menjadi sumber dari segala ilmu yang ada di atas dunia ini..."

Raden Pati Rono tertawa bergelak mendengar kata-kata Ki Guru itu. "Apakah ilmu pelajaranmu bisa membuat aku memiliki pukulan sakti halilintar tadi?"

"Memang tidak Raden Pati. Ilmu kesaktian adalah ilmu dunia. Sebaliknya ilmu agama adalah ilmu untuk dunia dan juga untuk akhirat guna mendapatkan keselamatan."

"Dusta besar yang menyesatkan! Ketika aku sakit apakah ilmu agamamu yang menyembuhkanku?"

"Memang bukan ilmu agama. Tapi Tuhan yang menjadikan agama dan kita semua, Dialah yang menyembuhkan dirimu, Raden!"

"Aku tidak percaya pada Tuhanmu itu Ki Guru!"

"Astagafirullah! Jangan bicara seperti itu Raden. Besar dosanya. Jangan jadi orang murtad! Inilah salah satu kelainan yang kini terdapat pada dirimu Raden. Dulu kau seorang pemuda yang taat pada agama. Rajin sembahyang dan mengaji. Kini mengapa tiba-tiba kau berubah...?"

"Mengapa hal itu tidak kau tanyakan saja pada Tuhanmu?!" tukas Raden Pati.

"Ya Tuhan, ampunilah anak manusia ini atas ucapan-ucapannya..." kata Ki Guru Sendang Bogayana. "Raden Pati, ibumu dan juga aku tidak ingin kau tersesat lebih jauh..."

"Sesat? Aku tidak merasa sesat. Kalian orang-orang bodoh yang sebenarnya berada dalam kesesatan!"

"Hanya orang-orang sesat yang tega membunuh kucing! Bahkan hendak membunuh orang tua yang telah berbakti puluhan tahun pada keluarga!" sahut Ki Guru pula dengan suara lantang karena dia tidak dapat lagi menahan kesabaran dan hawa amarah atas ucapan-ucapan si pemuda.

Rahang Raden Pati tampak menggembung. Kedua bola matanya yang berwarna kelabu membersitkan sinar aneh menggidikkan. Dia maju mendekati Ki Guru. Yang didekati tetap tegak di tempatnya.

"Jika kau menganggap aku manusia sesat tidak jadi apa. Karena itulah saat ini aku tidak merasa bersalah jika harus membunuhmu!"

"Raden! Ingat! Aku ini gurumu yang ingin menolong dan menyelamatkan dirimu!" teriak Ki Guru Sendang Bogayana ketika dilihatnya anak muridnya itu mengangkat tangan kanan sambil tertawa bergelak.

"Jangan bunuh diriku Raden! Ingat Raden!" teriak Ki Guru pula kini seraya melangkah mundur.

Gelak Pati Rono semakin keras. Tiba-tiba dia pukulkan tangan kanannya ke depan. Terdengar suara letupan keras disertai kiblatan cahaya terang. Lalu serangkum angin keras dan luar biasa panasnya menderu. Ki guru Sendang Bogayana terdengar terpekik. Tubuhnya mencelat mental. Ketika tubuh itu tercampak di atas pasir bentuknya tidak seperti tubuh manusia lagi. Berubah menjadi seonggok benda hangus gosong dan hitam serta mengepulkan asap berbau sangit!

********************

SEPULUH

Gombong Pangestu memacu kudanya dengan kencang, mengikuti Pendekar 212 Wiro Sableng yang menunggangi seekor kuda coklat di sebelah depan. Tiba-tiba Wiro menarik tali kekang kudanya kuat-kuat. Binatang ini meringkik keras seraya angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Gombong Pangestu, orang tua tokoh silat istana terkejut dan buru-buru hentikan kudanya.

"Ada apa?!" tanya Gombong Pangestu.

Murid Sinto Gendeng menunjuk ke depan dimana menggeletak sesosok tubuh di tengah jalan, entah sudah mati entah hanya pingsan. Sosok tubuh ini hampir saja diterjang kaki kuda kalau Wiro tidak lekas menghentikan tunggangannya. Wiro dan Gombong Pangestu sama-sama berjongkok dan balikkan orang yang tergeletak ditengah jalan itu.

Ternyata seorang tua yang berada dalam keadaan meregang nyawa. Tangan kanannya tampak hitam pekat sebatas pergelangan. Kedua matanya terpejam. Dari mulutnya terdengar suara rintihan halus. Ketika Wiro membuka kelopak mata kiri orang itu kagetlah dia. Bagian putih matanya ternyata berwarna hitam!

"Racun jahat!" desis Gombong Pangestu. Lalu dia cepat menotok empat jalan darah di tubuh orang itu. Sambil memperhatikan wajah orang dia berkata, "Aku rasa-rasa pernah melihat orang ini sebelumnya. Dia pernah muncul di Keraton beberapa kali. Ah, siapa dia ini..."

"Kurasa jiwanya tak bisa diselamatkan. Yang bisa kita lakukan menunda kematiannya beberapa saat, lalu berusaha mendapatkan keterangan apa yang terjadi alas dirinya," berkata Wiro.

"Jika memang tak bisa ditolong mengapa menyiksa dirinya dan berusaha meminta keterangan..." kata Gombong Pangestu pula.

"Aku justru punya firasat, jangan-jangan orang ini ada sangkut pautnya dengan masalah yang tengah kita selidiki. Bukankah tempat ini terletak di antara pantai utara dan hutan tempat diduga menjadi kediaman Ki Dukun Tambak Reso itu?"

Gombong Pangestu memandang berkeliling. "Hem... mungkin betul juga ucapanmu. Jika kau hendak melakukan sesuatu lekas laksanakan. Jangan sampai dia keburu mati!"

Wiro lantas menambahkan beberapa totokan di tubuh orang yang tergeletak di tengah jalan itu yang bukan lain adalah Tapak Lodra. Lalu dia memijit kedua ibu jari kaki Tapak Lodra dengan tangan kiri kanan. Perlahan-lahan pendekar ini kerahkan tenaga dalam panas melalui kedua tangannya. Mendadak dia terpental dua langkah dan jatuh duduk terjengkang. Mukanya tampak merah.

"Ada apa?! tanya Gombong Pangestu keheranan.

"Aneh, tenaga dalamku seperti didorong dan menghantam diriku sendiri. Ada rasa panas membersit...!" Wiro menjawab sambil garuk-garuk kepala.

Gombong Pangestu merenung sejenak. "Coba kau alirkan tenaga dalam dingin!" katanya sesaat kemudian.

Wiro kembali memijit kedua ibu jari Tapak Lodra. Kalau tadi dia mengerahkan tenaga dalam panas maka kini dicobanya mengalirkan tenaga dalam dingin. Tidak terjadi apa-apa. Malah sesaat kemudian terdengar rintihan orang itu menjadi lebih keras. Wiro kerahkan tenaga dalam penuh! Lalu dia mulai menepuk-nepuk wajah orang dan dekatkan mulutnya ke telinga kanan Tapak Lodra.

"Orang tua lekas katakan apa yang terjadi pada dirimu!"

Orang yang ditanya mengerang panjang. "Siapa bertanya siapa?!" terdengar jawabannya.

"Jiwamu tak bisa ditolong lagi. Jadi jangan banyak tanya. Beri saja keterangan. Siapa namamu?!" yang bertanya kini adalah Gombong Pangestu.

"Aku tidak takutkan kematian! Yang aku takutkan ialah kalau-kalau memberikan keterangan pada manusia-manusia laknat kaki tangan Ki Dukun Tambak Reso atau bangsat bernama Raden Pati Rono...!"

Gombong Pangestu dan Wiro Sableng saling perpandangan. "Hai! Kau belum mengatakan siapa namamu! Apa yang terjadi?!"

"Aku Tapak Lodrat Puluhan tahun mengabdi hanya berakhir pada kematian yang mengenaskan..."

Mendengar orang menyebutkan nama terkejutlah Gombong Pangestu. Dia berseru keras, "Sahabatku Tapak Lodra! Aku Gombong Pangestu! Bagaimana sampai kau mengalami nasib seperti ini? Bukankah kau bekerja pada keluarga almarhum hartawan Rono Wiculo di Losari?"

Tapak Lodra mengerang panjang, baru bisa menjawab, "Ah Gombong, terima kasih Gusti Allah. Kalaupun aku mati ada seorang sahabat yang menyaksikan. Jadi tidak mati seperti anjing buduk di tengah jalan. Gombong, nasibku sungguh buruk di akhir hayat. Aku..."

Tapak Lodra batuk beberapa kali. Bersamaan dengan batuknya itu dia muntahkan darah berwarna hitam. Gombong Pangestu cepat seka darah yang mengotori bibir sahabatnya.

"Kau benar, memang aku bekerja pada keluarga almarhum Rono Wiculo. Dia orang baik. Tapi anaknya yang pernah mati lalu dihidupkan kembali oleh seorang dukun edan, telah berubah menjadi iblis! Dialah yang mencelakaiku. Dia memiliki pukulan sakti aneh, ganas luar biasa..."

"Apakah dukun edan katamu itu adalah Ki Dukun Tambak Reso?" bertanya Wiro.

"Betul...betul sekali. Dialah yang jadi pangkal bahala. Gombong sahabatku. Kau harus menolong janda almarhum Raden Mas Rono Wiculo itu. Ki Dukun keparat itu hendak menguasai dirinya. Dia memaksa memperistrikan perempuan itu. Tapi hati-hati terhadap si Pati Rono. Dia manusia yang dihidupkan kembali sebagai iblis!"

"Kau tahu dimana tempat kediaman dukun sakti itu?" bertanya Pendekar 212.

Tapak Lodra batuk-batuk beberapa kali. Dari mulutnya semakin banyak darah yang keluar. Saat itu dadanya mendenyut menyesak. Lidahnya mulai kelu tanda ajalnya segera putus beberapa saat lagi. Kepala Tapak Lodra tampak menggeleng perlahan. Kalian... kalian bisa menemukannya di rumah almarhum Raden Rono Wiculo. Aku...Hek!"

Kata-kata Tapak Lodra hanya sampai disitu. Dari tenggorokannya keluar suara seperti tercekik. Nyawanya putus sudah!

********************

Raden Ayu Tambakdwita terkejut sekali ketika dia memergoki pelayan perempuan berusia enam belas tahun itu menuruni tangga dari tingkat atas dengan tergopoh-gopoh. Tubuhnya nyaris telanjang karena hanya tertutup sehelai kain panjang yang robek-robek di sana sini. Pada muka, leher dan bahu serta dadanya yang tersingkap tampak luka-luka bekas gigitan dan pukulan.

"Saminten! Dari mana kau?! Apa yang terjadi dengan dirimu?!"

Pelayan itu tergagap kaget. Begitu mengetahui kalau saat itu berhadapan dengan majikannya pelayan ini langsung jatuhkan diri, pegangi kaki Tambakdwita dan menangis keras. Kain di bagian dadanya merosot. Tambakdwita merasa bulu kuduknya berdiri ketika melihat luka besar di salah satu payudara Saminten.

"Mohon ampunan mu Gusti. Duh, Gusti, saya mohon ampunmu..,"

"Katakan apa yang terjadi! Siapa yang menganiayamu seperti ini?!" bertanya Tambakdwita hampir berteriak.

"Saya... saya tak berani mengatakannya Gusti. Saya... saya dipaksa..."

"Kau tak usah takut! Siapa yang memaksamu? Ayo bilang!"

"Duh Gusti... Mohon maafmu. Mohon ampunmu... Putera mu, Raden Pati yang melakukannya. Saya dipaksa melayaninya. Setelah puas sekujur tubuh saya digigit dan dipukulinya..."

Bergetar sekujur tubuh Tambakdwita mendengar keterangan pelayan itu. "Saminten, pergi masuk ke kamarmu. Aku segera menyusul. Jangan ceritakan pada siapapun kejadian ini. Mengerti...?"

"Saya mengerti Gusti Ayu. Tapi saya sudah berniat untuk berhenti bekerja disini..." jawab Saminten.

"Itu bisa kita bicarakan kemudian. Yang penting sekarang masuk dulu ke kamarmu!"

Begitu pelayan itu berlalu, seperti terbang Tambakdwita melompati tangga menuju ke tingkat atas. Di depan pintu kamar anaknya dia mengetuk dan memanggil keras-keras.

"Pati! Buka pintu! Pati...!"

Tak ada jawaban dari dalam. Pintu pun tidak dibukakan. Perempuan itu kembali mengetuk dan berteriak. Lebih keras dan lebih keras. Tiba-tiba pintu terbuka. Satu tangan menyambar keluar, mencekal lengan Tambakdwita. Di lain kejap perempuan ini terbetot masuk ke dalam kamar! Tambakdwita sempat terpekik. Matanya membeliak dan nafasnya memburu ketika dia melihat puteranya tegak di depannya.

"Pati! Apa yang telah kau lakukan terhadap pelayan itu? Katakan apa yang telah kau perbuat?!"

"Bukankah dia telah mengatakan padamu...?" menyahuti Pati Rono. "Jadi betul kau telah mengotori rumah ini dengan perbuatan mesum terkutuk! Kau mencemari nama almarhum ayahmu!"

Pati Rono tertawa. "Apa kau tidak mengotori rumah ini sejak beberapa malam lalu? Ketika ibu berdua-dua di atas ranjang bersama Ki Dukun...?!"

Tambakdwita menjerit keras mendengar kata-kata anak lelakinya itu lalu...

"Plaakkk...!" Tamparannya melayang dengan keras di pipi kiri Pati Rono!

Sepasang mata kelabu Pati Rono tampak bernyala, membersitkan sinar menggidikkan. Dia melangkah mendekati ibunya. Sang ibu yang jadi ketakutan bergerak mundur tapi punggungnya tertahan dinding kamar. Tiba-tiba kedua tangan Pati Rono meluncur ke depan, menyambar batang leher Tambakdwita, langsung mencekiknya kuat-kuat. Perempuan itu masih sempat menjerit sebelum lidahnya terjulur dan kedua matanya membeliak.

Dari tingkat bawah rumah terdengar suara orang berlari menaiki tangga. Lalu menggeledek satu bentakan, "Pati Rono! Kau hendak membunuh ibumu sendiri?!"

Lalu satu angin deras mendorong tubuh si pemuda. Dia terjajar hampir jatuh. Tapi karena cekikannya tidak terlepas maka Tambakdwita ikut tertarik bersamnya. Perempuan itu sudah lemas karena tak bisa bernafas. Jika tidak tertolong dalam waktu singkat, nyawanya pasti putus!

"Pati Rono! Lepaskan! Yang kau cekik adalah dirimu sendiri! Lepaskan!" Kembali suara yang tadi membentak berteriak keras.

Pati Rono terkejut. Yang dilihatnya dihadapannya dan yang dicekiknya dengan kedua tangannya yang kukuh memang adalah dirinya sendiri. Dan dia merasakan lehernya sakit sekali, sulit bernafas. Serta merta dia melemparkan tubuh di depannya itu. Tambakdwita terbanting ke luar pintu, jatuh dekat tangga. Kalau tidak lekas ditolong oleh Ki Dukun Tambak Reso, perempuan ini pasti akan jatuh menggelinding ke tingkat bawah.

"Manusia iblis! Kau hendak membunuh ibumu sendiri!" hardik Ki Dukun.

"Dukun keparat! Kau akan menerima giliranmu!" teriak Pati Rono marah. Lalu membanting pintu kamar.

Ki Dukun cepat menolong Raden Tambakdwita dan menggendongnya ke dalam kamar tidur di tingkat bawah. Beberapa orang berlarian mendatangi, termasuk Tambaksari puterinya. Seseorang diperintahkan mengambil segelas air putih. Setelah membacakan mentera pada air itu dan meminumkannya pada Tambakdwita, janda almarhum Raden Mas Rono Wiculo itu mulai sadar walau wajahnya masih pucat. Sekilas terbayang di pelupuk matanya saat ketika puteranya hendak mencekiknya. Langsung dia menjerit. Ki Dukun cepat mengusap kening perempuan ini.

"Tenang Den Ayu. Kau berada di tempat yang aman. Tak ada yang perlu ditakutkan..." kata Ki Dukun perlahan. Sementara Tambaksari mengelus-elus rambut ibunya tiada henti dan kedua matanya berkaca-kaca.

"Ki Dukun..." terdengar suara Tambakdwita perlahan antara terdengar dan tiada. "Aku menyesal memintamu menghidupkan anak itu. Dia... dia bukan manusia. Dia adalah penjelmaan iblis... Aku ingin... aku ingin kau mematikannya kembali, Ki Dukun. Bunuh anak itu dan tanam mayatnya jauh-jauh dari sini..."

Ki Dukun Tambak Reso tak bisa menjawab apa-apa. Tiba-tiba terdengar Tambaksari menangis keras dan menjatuhkan dirinya di atas dada ibunya.

"Ada apa kau menangis Sari...?" bertanya berbisik sang ibu.

"Mas Pati... Dia memang harus disingkirkan dari rumah ini, bu. Saya takut..." ujar Tambaksari di antara tangisnya.

"Dia melakukan sesuatu terhadapmu Sari...?"

Gadis itu tak segera menjawab melainkan menangis kencang. Setelah tangisnya reda baru terdengar ucapannya. "Satu hari lalu dia mengajak saya ke teluk. Katanya untuk menyaksikan bagaimana dia melatih ilmu kesaktian baru yang disebut pukulan halilintar. Tapi di situ tiba-tiba saja dia hendak memperkosa saya..."

Semua orang yang ada disitu tentu saja sangat terkejut mendengar keterangan si gadis. Air mata tampak mengalir di kedua pipi Tambakdwita.

"Dia benar-benar melakukan perbuatan terkutuk itu, anakku...?"

Tambaksari menggeleng. "Saat itu kebetulan ada dua orang gagah lewat. Satu tua, satu masih muda. Mereka menolong saya. Mereka kemudian hampir bentrokan dengan Mas Pati. Tapi saya lihat keduanya sengaja mengalah dan meninggalkan teluk. Mungkin sekali mereka berada di Losari saat ini..."

Sepasang mata Ki Dukun Tambak Reso tampak membuka lebih lebar. Tiba-tiba saja ada perasaan tak enak dalam hatinya. "Den Ayu Tambaksari... Dapatkah kau menerangkan lebih rinci ciri-ciri kedua orang yang menolongmu itu...?" bertanya Ki Dukun.

"Yang muda berpakaian serba putih. Ikat kepalanya juga putih. Sikapnya konyol, terkadang seperti orang kurang waras..."

"Hemm...aku tak kenal padanya," desis Ki dukun Tambak Reso. "Bagaimana ciri-ciri orang yang satu lagi?"

"Sudah lanjut usia tapi gerakannya sebat sekali. Dia mengenakan pakaian biru..."

Ki Dukun merenung sejenak. Ada beberapa orang tokoh silat yang memiliki ciri-ciri seperti itu. Sejak beberapa waktu lalu dia mendengar kabar bahwa dirinya dicari-cari oleh seorang utusan dan Kotaraja. Hal itu ada sangkut pautnya dengan kotak batu hitam yang kini berada padanya.

"Ki Dukun..." terdengar suara Raden Ayu Tambakdwita. "Kau sudah mendengar permintaanku. Singkirkan anak itu sebelum dia membunuhi penghuni rumah ini satu demi satu..."

"Aku akan mencari jalan sebaik-baiknya Den Ayu..." ujar Ki Dukun. Lalu dia tinggalkan kamar itu.

********************

SEBELAS

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng dan Gombong Pangestu hentikan kuda tak jauh dari pintu pekarangan rumah besar janda almarhum Rono Wiculo. Keduanya sengaja berlindung dibalik dua batang pohon besar di seberang jalan.

"Aku mendengar ada suara perempuan menjerit dari dalam rumah. Di tingkat atas..." ujar Wiro.

Gombong Pangestu anggukkan kepala. Sesaat dia memandang berkeliling. "Kita langsung masuk..?" bertanya Wiro.

"Jangan kesusu. Kita tunggu dulu di sini sambil melihat situasi," jawab Gombong Pangestu, tokoh silat Keraton yang punya segudang pengalaman itu.

Suara jeritan yang tadi mereka dengar adalah jeritan Raden Ayu Tambakdwita ketika dicekik oleh Pati Rono.

"Aku berharap, sesuai keterangan Tapak Lodra, manusia bernama Ki Dukun Tambak Reso itu ada di tempat ini..."

"Aku punya firasat dia memang ada di sini..." sahut Wiro seraya garuk-garuk kepala.

"Sebelum kita berhadapan dengan dukun sakti itu, ada beberapa hal yang harus kau ingat baik-baik pendekar muda. Tambak Reso adalah dukun yang sebenarnya mengandalkan pada ilmu sihir. Karena itu jika berhadapan jangan terlalu memandang ke arah kedua matanya dan sekali-kali jangan mendengar apa yang dikatakannya. Jika dia mengatakan lihat ular, maka kau benar-benar akan melihat ular. Kecuali jika kau tidak memperdulikan maka mantera sihirnya tidak akan jadi. Kita harus mengusahakan mendapatkan batu mustika Kencono Sukmo itu dari tangannya secara baik-baik. Kalau tidak bisa, dengan jalan membunuhnya pun tak jadi apa!"

"Menurut dara baju kuning yang kita tolong di teluk tempo hari, kakak laki-lakinya itu tinggal serumah di tempat ini. Apakah kita masih akan mengalah lagi seperti sehari lalu ketika dia menyerang kita di teluk?"

"Ini memang satu masalah baru bagi kita. Aku melihat ada keanehan pada diri pemuda itu. Pandangan matanya seperti iblis dan wajahnya seperti setan. Dirinya seolah-olah menyimpan satu rahasia yang dahsyat. Dan kedahsyatan itu tercium sebagai maut di hidungku."

"Bagiku dia adalah seorang manusia segala bejat. Kalau tidak masakan tega hendak merusak kehormatan adik sendiri!" ujar Wiro pula.

"Bejat atau bukan yang pasti kita harus berhati-hati setiap saat dia muncul! Ingat penjelasan Tapak Lodra? Pemuda itu memiliki pukulan mengandung racun mematikan. Lagi pula..."

Pendekar 212 mengangkat tangan kirinya memberi tanda lalu berbisik, "Ada seseorang keluar dari pintu depan rumah dan duduk di langkan...Kau kenal padanya?"

Orang yang keluar dari rumah besar dan kemudian duduk di sebuah kursi yang terletak di langkan rumah berpakaian hijau muda, memiliki janggut, kumis serta rambut putih dibawah blangkonnya yang terbuat dari kain bludru berwarna ungu gelap.

"Dia bangsatnya!" kertak Wiro ketika mengenali orang berbaju hijau muda itu. "Dialah orang yang kutemui di puncak bukit Jati Arang!

Manusia yang sanggup menghidupkan rusa yang telah mati dikoyak harimau. Pak tua Gombong Pangestu, orang itu adalah Ki Dukun Tambak Reso yang kita cari-cari!"

"Keterangan Tapak Lodra betul. Ternyata dia ada disini! Mari..." Gombong Pangestu keluar dari balik pohon besar, menyeberangi jalan dan memasuki halaman depan rumah kediaman almarhum Rono Wiculo.

Pendekar 212 Wiro Sableng mengikuti dari belakang. Ketika melihat ada dua penunggang kuda memasuki halaman, orang berbaju hijau muda yang memang adalah Ki Dukun Tambak Reso serta merta berdiri dan melangkah ke ujung langkan, berhenti di anak tangga rumah paling atas.

"Kalian siapa dan ada keperluan apa?!" membentak Ki Dukun.

Kemudian disadarinya bahwa dia rasa-rasa kenal dengan pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih itu. Paling tidak pernah melihatnya sebelumnya. Lalu tiba-tiba saja dia ingat. Keparat gondrong ini adalah orang yang memata-matainya di puncak bukit Jati Arang tempo hari! Yang mengaku membawa tugas dari istana untuk mengambil kotak batu hitam dari tangannya. Otak cerdik dan licin Ki Dukun segera bekerja. Dia sunggingkan tawa lebar dan berkata.

"Ah, kalian pastilah dua orang gagah yang menolong Raden Ayu Tambaksari di teluk satu hari lalu. Ibunda gadis itu memang tengah menunggu-nunggu kalian berdua. Ada hadiah besar hendak diserahkannya pada kalian. Tunggulah..."

"Kami kemari bukan untuk mencari hadiah. Tapi..." ujar Gombong Pangestu.

Namun saat itu Ki Dukun Tambak Reso sudah palingkan tubuh dan melangkah masuk ke dalam rumah. Begitu masuk ke dalam dia tidak pergi menemui Raden Ayu Tambakdwita seperti yang dikatakannya karena itu memang hanya akal bulusnya saja. Dengan cepat dia naik ke tingkat alas di mana kamar Raden Pati Rono berada. Dengan paksa dia mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar. Pati Rono yang ada di dalam kamar itu menggereng marah, langsung melompati Ki Dukun. Orang tua ini cepat mengangkat tangan dan berkata,

"Raden, jangan marah dulu. Di luar ada dua orang tamu mencarimu. Mereka adalah orang-orang yang bentrokan denganmu di teluk satu hari yang lalu..."

"Bangsat! Ada keperluan apa mereka berani datang kemari?!" sentak Pati Rono.

"Mereka bilang urusan di teluk belum selesai. Mereka sengaja datang menantang mu untuk menjajal ilmu pukulan halilintar yang kau miliki. Bukankah waktu di teluk kau tak sempat mempergunakannya?!"

"Mereka mencari mati!" teriak Pati Rono. Tubuh Ki Dukun didorongnya hingga terjajar. Dengan dua kali bergerak saja dia sudah berada di tingkat bawah langsung lari ke bagian depan rumah.

Ki Dukun Tambak Reso menyeringai. "Manusia-manusia tolol!" katanya. "Berkelahilah kalian sampai mampus semua!" Lalu dengan cepat dia menuruni tangga menuju bagian belakang rumah besar.

Ketika Ki Dukun masuk ke dalam tadi, Gombong Pangestu berpaling pada Pendekar 212 dan berkata, "Aku kawatir, jangan-jangan dukun keparat itu melarikan diri lewat pintu belakang."

"Kalau begitu biar aku menyelidik!" ujar Wiro pula.

"Jangan. Biar aku yang melakukan. Manusia satu itu banyak tipu muslihatnya. Kau tetap di sini berjaga-jaga. Jika ada yang kelihatan hendak melarikan diri cepat memberi tanda!"

Wiro mengangguk. Gombong Pangestu memacu kudanya melewati halaman samping, terus menuju bagian belakang rumah. Dia sampai dekat sebuah bangunan kecil, tepat pada saat Ki Dukun Tambak Reso melompat naik ke atas punggung seekor kuda dan membedal binatang ini menuju pintu belakang.

"Ki Dukun! Sampean mau lari kemana?!" seru Gombong Pangestu. Kudanya dipacu ke samping kuda Ki Dukun. Sesaat kemudian tampak tubuhnya melesat di udara, langsung menubruk dan merangkul tubuh Ki Dukun.

Kedua orang tua itu sama-sama jatuh ke tanah. Ki Dukun bangkit berdiri lebih dulu. Begitu berdiri dia langsung kirimkan tendangan ke kepala Gombong Pangestu. Sambil gulingkan diri di tanah tokoh silat Istana itu berhasil mengelak dan membalas dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Tapi luput karena yang diserang sudah berkelit ke kiri.

Sambil berdiri Gombong Pangestu keluarkan sebuah benda dan mengancungkannya ke arah Ki Dukun Tambak Reso. Benda itu berbentuk bulat putih, terbuat dari perak murni, Itulah cap Kerajaan yang dituang dalam bentuk perak.

"Aku utusan Kerajaan. Ditugaskan untuk menangkapmu hidup atau mati!" teriak Gombong Pangestu. "Kecuali jika kau mau menyerahkan benda pusaka kotak batu hitam milik Keraton!"

"Kotak batu hitam milik Keraton?" ujar Ki Dukun terheran-heran. "Jangankan memilikinya, mendengarya pun baru sekali ini!" kata orang tua itu pula. Lalu sambungnya, "Aku orang kebanyakan, mana berani mencuri harta pusaka Kerajaan! Kau pasti mendapat keterangan keliru dan menyesatkan!"

Gombong Pangestu tersenyum. Dia tahu manusia di hadapannya ini banyak akal dan tipu muslihatnya. Maka diapun berkata, "Mari kugeledah dulu tubuh dan pakaianmu!"

Ki Dukun menggeleng. "Aku tidak suka digeledah. Aku bukan maling bukan pencuri! Jangan coba-coba mendekatiku!"

"Kalau kau menolak, terpaksa aku melakukan kekerasan!" mengancam Gombong Pangestu.

"Hemm, begitu?! Silahkan kalau kau mempunyai kemampuan. Tapi ingin kutanyakan apa perlunya kau memegang-megang kalajengking di tangan kananmu?!"

Gombong Pangestu hampir terkena sirapan mantera sihir yang diucapkan Ki Dukun. Tanpa sadar dia memandang ke arah tangan kanannya. Meski sekilas dia sempat melihat bagaimana cap Kerajaan yang dipegangnya dilihatnya sebagai seekor kelajengking hitam yang siap untuk mematuknya. Untung saja dia segera ingat dan berteriak,

"Kalau ini memang milikmu, ambil dan makanlah!" Lalu Gombong Pangestu lemparkan cap Kerajaan di tangan kanannya. Benda ini melesat ke arah Ki Dukun, membuat dia terkejut dan buru-buru melompat selamatkan diri karena ucapan lawan tadi membuat benda itu menjadi seperti kalajengking benaran dimatanya sendiri!

"Tua bangka satu ini berbahaya! Ilmu sihirku tampaknya tak bakal dapat diandalkan menghadapinya!" Ki Dukun memutar otak. Tiba-tiba dia menjura seraya berkata, "Aku maklum tak bakal menang menghadapi orang pandai sepertimu. Memang kotak batu hitam itu ada padaku. Aku tak mau membuat urusan dengan Kerajaan. Biar benda itu kukembalikan saat ini juga..."

Seperti diketahui batu hitam itu diselipkan Ki Dukun di pinggang kirinya. Tapi dia meraba saku jubah hijaunya sebelah kanan di mana terdapat sebuah kitab kecil. Dengan manteranya dia sanggup membuat kitab kecil itu berubah bentuk menjadi seperti batu hitam benda pusaka Keratori. Sekali lagi dia menjura dan mengulurkan kotak batu itu kepada Gombong Pangestu.

"Terimalah. Aku mohon maafmu. Sesudah benda pusaka ini kukembalikan harap aku tidak diganggu lagi..."

Gombong Pangestu merasa lega ketika melihat benda pusaka yang disodorkan Ki Dukun itu. Dia menggerakkan tangan hendak menerimanya. Namun selintas pikiran mendadak muncul dalam benaknya. Mengapa manusia itu tiba-tiba berubah pikiran. Mengapa mendadak semudah itu dia mengembalikan batu Kencono Sukmo?

"Benda palsu kembali ke bentuk aslimu!" teriak Gombong Pangestu lalu dia melompat menyergap Ki Dukun.

Batu hitam di tangan Ki Dukun serta merta berubah ke bentuk aslinya yakni sebuah kitab kecil. Di saat yang sama serangan Gombong Pangestu sampai. Tak ada jalan lain. Ki Dukun campakkan buku kecil itu lalu menangkis. Dua lengan saling beradu. Ki Dukun seperti disengat api sedang Gombong Pangestu terjajar dua langkah dengan dada berdenyut. Perkelahian antara dua jago tua ini memang tak dapat dihindarkan lagi!

DUA BELAS

"Bangsat gondrong! Berani kau datang kemari! Benar-benar mencari mati!" teriak Pati Rono.

Pendekar 212 Wiro Sableng yang enak-enakan duduk di atas kudanya tentu saja terkejut melihat munculnya pemuda ini. "Eh, si tua bangka edan itu lenyap entah kemana! Tahu-tahu kini pemuda sedeng ini yang muncul!" ujar Wiro dalam hati. Hatinya tercekat juga melihat kegarangan dan kesangaran orang.

"Kau bilang hendak menjajal pukulan halilintar! Ini kau makan dan mampuslah!" teriak Pati Rono. Lalu tangan kanannya dipukulkan ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

Murid Eyang sinto Gendeng dari Gunung Gede melihat ada kiblatan menyilaukan keluar dari tangan Pati Rono disertai letupan keras tak bedanya seperti halilintar menyambar dan guntur menggelegar. Tubuhnya yang duduk di atas kuda bergoncang keras. Lalu ada hawa panas luar biasa yang menderu menerpanya. Sadar kalau orang memang hendak membunuhnya dengan pukulan sakti yang ganas, Wiro Sableng berteriak keras dan jatuhkan diri dari punggung kuda.

"Wuttt...!" Kuda coklat itu meringkik keras dan terpental. Terkapar di tanah tanpa berkutik lagi. Tubuhnya sampai ke kaki hangus gosong mengepulkan asap dan menebar bau sangitnya daging yang terpanggang.

Pendekar 212 letetkan lidah dan rasakan tengkuknya merinding. Sempat tubuhnya yang kena di hantam pukulan sakti tadi pasti nyawanya sudah terbang saat itu juga!

"Bagus kau mampu mengelak! Coba ini sekali lagi!" teriak Pati Rono. Sepasang matanya yang kelabu menyorotkan hawa pembunuhan. Mulutnya berkemik seperti hendak menghisap darah Pendekar 212, geraham-gerahamnya bergemeletakan seolah-olah ingin mengunyah kepala murid Sinto Gendeng itu!

Wiro tak mau menunggu sampai lawan menghantamnya untuk kedua kali. Tangan kanannya yang telah berubah menjadi putih berkilau laksana perak karena aji pukulan matahari di angkat. Begitu lawan dilihatnya menggerakkan tangan, Pendekar 212 hantamkan tangan kanannya!

Terjadilah hal yang luar biasa. Letupan dahsyat seperti gunung meletus menggoncang halaman depan rumah besar. Di dalam rumah terdengar pekikan orang ketika ada bagian atap yang ambrol dan runtuh. Dua sosok tubuh lari berusaha menyelamatkan diri. Ternyata mereka adalah Raden Ayu Tambakdwita dan puterinya. Kedua perempuan ini kembali jadi melengak kaget ketika melihat bagaimana tanah dan pasir halaman muncrat berhamburan. Jambangan dan patung-patung batu, rubuh bergulingan. Ada asap putih membubung ke udara menebar bau terbakar yang menyesakkan pernafasan.

Lalu diantara pasir debu dan kepulan asap itu ibu dan anak ini meeihat sosok dua orang pemuda terduduk di tanah, saling terpisah sekitar dua belas langkah satu sama lain. Yang di sebelah kiri bukan lain adalah Pati Rono, terduduk dengan muka pucat laksana mayat. Yang satunya adalah pemuda gondrong yang dikenal Tambaksari sebagai salah satu dari dua orang yang menolongnya di teluk.

"Pati anakku!" seru Tambakdwita. Bagaimanapun bencinya perempuan ini, bahkan menginginkan kematian puteranya itu kembali, tapi hati nurani seorang ibu tidak bisa disembunyikan. Dia berseru sambil hendak berlari mendapatkan Pati Rono.

Namun puterinya cepat memegangi tangannya. "Jangan ibu. Terlalu berbahaya. Jangan mendekat...!"

Terpaksa sang ibu hanya tegak berdiri sambil pandangi anaknya dengan kedua mata berkaca-kaca.

Wiro merasakan dadanya mendenyut sakit. Mulutnya terasa asin. Dia menyeka bibirnya dengan belakang telapak tangan. Ada noda merah di tangan itu. Darah! Sadarlah pendekar ini kalau bentrokan pukulan sakti tadi telah membuatnya terluka di dalam! Dan di hadapannya dilihatnya Pati Rono tegak sambil menyeringai. Tangan kanannya diangkat kembali, siap untuk melepaskan pukulan halilintar.

Pendekar 212 sadar dia tak bakal dapat menghadapi pukulan yang luar biasa hebatnya itu dengan pukulan Sinar Matahari yang juga mengandung hawa panas. Dan pasti akan sia-sia jika dia berusaha menghadapi dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah atau Orang Gila Mengebut Lalat ataupun bertahan dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Semua ilmu pukulan sakti yang dimilikinya itu bertitik tolak pada hawa panas.

Di depannya Pati Rono sudah siap menghantam. Dalam saat yang sangat kritis itu tiba-tiba Wiro ingat pengalamannya sewaktu berusaha menolong Tapak Lodra. Hawa tenaga dalam panas yang coba dialirinya ke tubuh orang itu menimbulkan kekuatan mendorong yang membuatnya terpental. Karena Tapak Lodra sebelumnya telah cidera oleh pukulan halilintar, berarti ada hawa panas pukulan lawan yang masih mendekam dalam tubuhnya bersama racun jahat dan tidak bisa dihadapi dengan tenaga dalam panas pula.

Saat itu atas nasihat Gombong Pangestu dia kemudian mengerahkan tenaga dalam yang bersumber pada hawa dingin dan memang berhasil. Memikir sampai disitu Pendekar 212 segera siapkan diri dengan ilmu pukulan sakti bernama Pukulan Angin Es. Kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke atas, lalu dua tangan itu diputar-putar. Udara disekitar situ mendadak menjadi sejuk lalu tiba-tiba sekali menjadi dingin luar biasa!

Raden Ayu Tambakdwita dan puterinya merasakan tubuh mereka seperti dibungkus es. Ibu dan anak ini langsung jatuh duduk dan menggigil kedinginan. Tambaksari segera menyeret ibunya menjauhi tempat itu, masuk kembali ke dalam rumah dimana hawa dingin tidak sampai mencekam.

Di halaman, Pati Rono gerakkan tangan kanannya melepaskan pukulan halilintar. Ada letupan keras serta kiblatan sinar terang keluar dari tangan kanannya itu, namun gerakannya hanya sampai di situ karena sesaat kemudian tangan itu tak bisa digerakkan lagi, kaku dingin seperti dipendam dalam es!

Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Kedua matanya terpejam. Dia tidak perdulikan denyutan sakit yang menyesakkan dadanya. Keadaan kaku di tangan kanan Pati Rono menjalar ke bagian tubuh yang lain. Gerahamnya bergemeletakan menahan dingin yang luar biasa. Dia berteriak namun mulutnyapun sudah kaku tak bisa digerakkan. Ketika hawa dingin itu mencucuk-cucuk otaknya, pemuda ini langsung tergelimpang rubuh. Kedua matanya terpejam.

Bersamaan dengan itu terdengar pekik Tambakdwita yang menyangka puteranya telah menemui ajal di tangan Wiro Sableng. Perempuan ini diikuti puterinya lari menghambur ke halaman, langsung memeluk tubuh Pati Rono sambil meratap. Tapi tiba-tiba sepasang mata yang terpejam dari Pati Rono membuka kembali. Kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu telah mencekik leher ibunya!

Wiro terkesiap kaget sedang Tambaksari menjerit sambil berusaha menarik kedua tangan kakaknya, agar cekikan pada leher ibunya terlepas. Tapi sia-sia saja. Sepasang tangan Pati Rono laksana sebuah jepitan baja yang dipegang oleh iblis! Wiro berusaha membantu, tetap saja dua tangan yang mencekik itu tidak dapat dilepaskan!

TIGA BELAS

Perkelahian antara Gombong Pangestu dan Tambak Reso berlangsung hebat sekali. Selama dua puluh jurus lagi perkelahian ini berlangsung berimbang. Sebagai seorang dukun yang banyak mengandalkan ilmu-ilmu sihir maka tingkat ilmu silat yang dimiliki oleh Ki Dukun sedikitnya masih berada di bawah kepandaian tokoh silat Istana. Hanya kelicikan dan akal muslihatnya saja yang membuat Ki Dukun Tambak Reso tampak mampu menghadapi lawannya.

Namun itu tidak bertahan lama. Selewatnya jurus kedua puluh lima, orang tua yang kalah pengalaman silat ini mulai terjepit oleh hujan gempuran lawan. Apalagi segala ilmu sihir dan mantera jahatnya tidak mempan lagi terhadap Gombong Pangestu. Maka Ki dukun mulai memutar otak bagaimana caranya agar dapat melarikan diri saja dari tempat itu. Hanya sayang sebelum maksudnya kesampaian satu jotosan keras melabrak ulu hatinya.

Manusia berjubah hijau ini tertegak dengan tubuh tergontai-gontai. Sebelum tubuhnya roboh, Gombong Pangestu sudah menjambak rambut dan mencekal dagunya lalu dipuntir keras-keras.

"Kraakkk...!" Terdengar patahnya tulang leher Ki Dukun Tambak Reso. Nyawanya ikut amblas!

Gombong Pangestu mendorong tubuh tak bernyawa itu hingga bergelimpang di tanah lalu cepat-cepat menggeledah tubuh dan pakaian Ki Dukun. Di pinggang kiri Ki Dukun tokoh silat Istana ini menemukan kotak batu hitam Kencono Sukmo. Benda pusaka Keraton itu diambilnya diletakkannya di atas keningnya seraya berkata,

"Terima kasih Gusti Allah. Dengan perkenanMu, aku berhasil mendapatkan barang pusaka ini kembali. Berarti Sri Baginda segera disembuhkan."

Pada saat itulah Gombong Pangestu mendengar suara jeritan Tambakdwita yang disusul oleh jeritan anak perempuannya. Tanpa pikir panjang lagi sambil masih memegang kotak batu hitam Kencono Sukmo di tangan kanannya, orang tua ini lari menghambur ke halaman depan dan menyaksikan bagaimana Wiro serta Tambaksari berusaha melepaskan cekikan Pati Rono sementara sang ibu semakin lemas. Lidahnya sudah terjulur. Ludah membusah dan sepasang matanya hanya tinggal putihnya saja yang kelihatan.

Tanpa pikir panjang Gombong Pangestu angkat tangan kirinya. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam penuh batok kepala Pati Rono dihantamnya. Jangankan kepala manusia, kepala seekor kerbaupun pasti rengkah dan pecah dihantam pukulan itu. Tapi hebatnya, kepala Pati Rono tidak pecah, malah tangan kiri Gombong Pangestu terpental ke atas seperti menghantam karet dan persendian bahunya serasa copot. Sakitnya bukan main!

"Ibu... lbu!" jerit Tambaksari. "Mas Pati... Lepaskan cekikanmu! Jangan membunuh ibu sendiri! Lepaskan cekikanmu mas...!"

Akhirnya gadis ini jatuh pingsan karena kehabisan tenaga dan putus asa tidak mampu menyelamatkan ibunya. Saat itu karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, secara tidak sadar Gombong Pangestu tusukkan ujung kotak batu hitam ke leher Pati Rono. Walaupun kotak batu ini tumpul, namun karena ditusukkan dengan tenaga luar biasa, kotak itu amblas menembus leher Pati Rono sampai setengahnya!

Terjadilah hal yang aneh. Meskipun saat itu hari terang benderang dan matahari bersinar terik, namun tiba-tiba berkiblat halilintar tiga kali berturut-turut disusul oleh gelegar guntur yang membuat tanah bergetar keras!

Mulut Pati Rono terbuka tebar-lebar. Lalu terdengar jeritannya seperti lolongan srigala. Bersamaan dengan itu tangannya yang mencekik terlepas dan terkulai kebawah. Dengan tangan gemetaran Gombong Pangestu cabut kotak batu hitam dari leher Pati Rono. Pada bekas tusukan kotak batu hitam kelihatan luka besar menganga berbentuk lubang mengerikan. Dari lubang ini mengalir keluar darah berwarna hitam yang menebar bau busuk luar biasa!

Tambaksari menarik tubuh ibunya, mengguncang-guncangnya dengan keras lalu menepuk-nepuk wajah perempuan itu sambil berseru memanggil, "Ibu... Ibu..."

Namun sang ibu tidak menjawab, bahkan tidak mendengar lagi ratap tangis puterinya itu karena rohnya telah meninggalkan jazad kasarnya. Mati di tangan puteranya sendiri. Putera yang sebelumnya diinginkan kehidupannya kembali. Kehidupan yang membawa bencana dan malapetaka bahkan kematian dirinya sendiri!

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.