Maut Bermata Satu

Sonny Ogawa

MAUT BERMATA SATU

SATU

HUJAN lebat menggebrak bumi. Guntur menggelegar berkepanjangan. Kilat sambar menyambar. Bumi Tuhan seperti hendak kiamat. Saat itu baru lepas tengah hari. Tapi hujan lebat, gumpalan awan menghitam membuat suasana seperti dicengkram gulitanya malam. Karena sulit melihat jalan yang ditempuh, apalagi mulai mendaki dan berbatu-batu, penunggang kuda itu tidak berani bergerak cepat.

Sesekali binatang tunggangannya yang sudah letih itu tergelincir dan meringkik. Suara ringkik kida, deru hujan yang menggila, gelegar guntur dan kiblatan kilat membentuk suara dahsyat yang menegakkan bulu roma!

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba beberapa tombak di hadapannya, di jalan yang mendaki dan berbatu oadas, penunggang kuda itu melihat cahaya, tepatnya nyala api. Sungguh sulit dipercaya. Dan lebih tak dapat dipercaya lagi, ketika dia mendekati nyala api itu ternyata adalah nyala sebuah obor.

Obor ini dipegang oleh seorang anak kecil seusia dua belas tahun, berpakaian hitam, basah kuyup mulai dari rambutnya yang jabrik sampai ke kakinya yang memakai terompah aneh terbuat dari kayu. Meskipun hanya seorang anak tapi bocah itu menyorotkan tampang galak. Sepasang matanya melotot tak berkesip ke arah si penunggang kuda. Obor di tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Lalu terdengar suaranya membentak melengking.

“Berhenti!”

Kaget dan marah si penunggang kuda hentikan tunggangannya. “Budak kesasar!” bentaknya. “Siapa kau yang berani menyuruh aku berhenti?!”

Si anak tetap tidak kesipkan mata, malah memandang semakin galak. “Kau sendiri siapa berani membentak?!” Si anak membalas bentakan orang dengan suara tandas.

Marahlah penunggang kuda itu. Dia menarik tali kekang kudanya. Binatang ini membuat gerakan miring seolah-olah hendak berbalik menjauhi anak tadi, tapi tiba-tiba kaki kanannya sebelah belakang menendang deras ke arah dada anak yang membawa obor.

"Wuttt...!"

Sekali kaki kuda berladam itu mendarat di dada si anak pastilah tubuhnya akan mental jauh, terjengkang mati dengan dada hancur sampai ke jantung! Tapi anehnya, mendapat serangan seperti itu si anak sama sekali tidak berusaha menghindar atau melompat menyelamatkan diri. Dia tetap tegak di tempatnya tidak bergerak sedikitpun. Bahkan bergemingpun tidak! Malah sepasang matanya seperti menyala.

Tiba-tiba anak ini gerakkan kaki kanannya. Membuat gerakan seperti menendang. Dan terjadilah satu hal yang luar biasa. Kuda bersama penunggangnya tersungkur jungkir balik di atas jalan berbatu-batu itu! Sambil berdiri memegangi kepalanya yang benjut, penunggang kuda tadi memandang ke arah si bocah memegang obor. Kini rasa marahnya berubah menjadi rasa was-was, bahkan cemas dan takut menyamaki hatinya.

“Anak! Siapa kau sebenarnya?!” Ditanya begitu si anak tertawa panjang. “Kenalpun tidak dengan kau. Mengapa menghadang perjalananku?!”

Si anak kembali tertawa. Lalu menjawab. “Kenalpun tidak. Lalu mengapa membentak dan memanggil aku budak?! Pernah bekerja apa aku padamu?!”

“Sikapmu tidak pantas untuk ukuran bocah sepertimu!”

“Begitu... Huh?! Mulutmu lancang! Apakah kau tidak tahu tengah berada dikawasan terlarang?!”

Penunggang kuda tadi terkesima. “Apa maksudmu, anak?!” tanyanya.

“Kau membuat dua kesalahan!” si anak berkata dengan nada dingin.

“Heh...!”

“Pertama! Memasuki daerah terlarang! Kedua tadi kau sengaja mempergunakan kudamu untuk menyerangku. Satu serangan maut! Hukuman setimpal harus dijatuhkan atas dirimu!”

“Aku benar-benar tidak mengerti...”

“Kau tidak mengerti karena tidak tahu diri dan memang tolol!”

Dimaki anak kecil seperti itu, penunggang kuda yang berumur sekitar 40 tahun itu ingin sekali menamparnya. Namun diam-diam dia memaklumi kalau berhadapan dengan seorang bocah aneh yang memiliki kepandaian aneh pula. Buktinya tadi, hanya dengan menggerakkan kaki kanannya saja, kuda tunggangan dan dirinya dibuat tersungkur jungkir balik.

“Kau... kau menyebut ini daerah terlarang. Apakah kau murid atau puteranya Tubagus Jelantik ?”

“Heh... Kau menyebut nama itu seolah kenal sekali dengan orangnya! Apakah kau juga tahu siapa gelar orang itu?” Anak berpakaian hitam memegang obor bertanya. Sejak tadi tangannya memegang obor tetap diangkat tinggi-tinggi, seolah-olah kayu yang kaku tak bergerak-gerak. Sementara itu hujan terus turun mendera.

“Tubagus Jelantik bergelar Maut Bermata Satu. Bukankah begitu...?”

Si anak tertawa. Untuk pertama kalinya tangannya yang memegang obor diturunkan sedikit tapi tiba-tiba diangsurkan ke arah muka orang itu hingga kalau tidak lekas-lekas menghindar wajahnya pasti akan dijilat api obor! Si anak tampak menyeringai melihat orang mundur ketakutan.

“Kau sudah dengar ini daerah terlarang. Kau tahu tentang seorang bergelar Maut Bermata Satu. Berarti memasuki daerah terlarang harus dibayar dengan maut! Kau harus serahkan nyawamu untuk membayar kesalahan!”

“Anak... kau dengar baik-baik. Aku mungkin memang telah memasuki daerah terlarang. Daerah kekuasaan Maut Bermata Satu. Tapi ketahuilah aku datang kemari justru untuk mencarinya...!”

“Begitu...?” si bocah berambut jabrik mendongak ke langit. Sesaat air hujan membasahi mukanya yang galak. “Mungkin dosamu bisa diampunkan. Untuk itu kau harus serahkan kudamu padaku...”

Tanpa pikir panjang orang itu segera menjawab “Kau boleh ambil kuda itu. Sekarang biarkan aku melanjutkan perjalanan ke puncak bukit batu ini...”

Si anak menyeringai. Dia menganggukkan kepala dan berkata “Kau boleh lewat!”

Dengan cepat orang yang tadi di hadang itu melangkah mengikuti jalan berbatu yang mendaki. Sesaat kemudian dia telah berada jauh di sebelah depan. Nyala api obor di belakangnya, ketika dia menoleh, tak tampak lagi.

“Bocah keparat...!” maki orang itu dalam hati. Selang melangkah sekitar lima puluhan tombak, mendadak dia melihat nyala api lagi. Kini tepat di hadapannya. Ketika dia mendekati dan mencapai nyala api itu, serta merta dia berseru kaget. “Kau?!”

DUA

Nyala api itu bukan lain adalah nyala obor tadi. Dan yang memegang obor itu ternyata adalah juga bocah berpakaian hitam berambut jabrik tadi pula!

“Aneh!” membatin orang itu. “Bagaimana anak ini tahu-tahu sudah berada disini? Tadi jelas kutinggalkan jauh di belakang. Juga tidak kulihat dia berjalan atau berlari mendahuluiku...”

Sementara orang tegak keheranan, si anak tegak sambil menyeringai.

“Kembali kau menghadangku, anak...”

“Karena urusan kita belum selesai!”

“Belum selesai bagaimana? Bukankah kau sudah mengambil kudaku untuk syarat selesainya segala urusan tadi...?”

Anak itu geleng-gelengkan kepalanya. “Pertama! Kau belum menerangkan namamu dan datang dari mana! Kedua apa keperluanmu mencari Maut Bermata Satu?!”

“Bocah keparat ini benar-benar menjengkelkan. Dia seperti sengaja hendak memerasku. Diapa dia sebenarnya...?!”

“Hai! Mengapa kau masih belum mengatakan nama dan asal usul serta menerangkan keperluanmu?!” si anak bertanya lancang.

Meskipun jengkel bercampur marah tapi akhirnya orang itu menyahut juga, memberi keterangan. “Aku Joran Kemitir dari desa Punting Biru di pantai utara. Keperluanku menemui orang tua sakti itu adalah untuk satu urusan yang hanya akan ku beritahu pada orangnya...”

Si anak tertawa perlahan. “Jika begitu cakapmu maka kau harus menyerahkan sepotong kecil bagian tubuhmu padaku...!”

“Apa...?” ujar orang yang bernama Joran Kemitir kaget dan terbeliak.

“Kau tidak tuli! Kau harus berikan sepotong kecil salah satu bagian tubuhmu...!”

“Gila!” teriak Joran Kemitir.

“Ini tidak gila!” hardik si bocah dengan mata melotot dan tampang beringas hingga kembali orang di hadapannya menjadi kecut, terlebih lagi ketika bocah ini mulai gerak-gerakkan tangannya yang memegang obor.

“Jika kau tidak tahu harus menyerahkan potongan tubuh yang mana, aku akan mengatakan. Dan kau harus memberikan. Ini adalah perintah dari penguasa bukit batu padas ini!”

“Maksud... maksudmu Maut Bermata Satu...?”

“Siapa lagi!” sahut si anak. Lalu dia mengangkat tangan kirinya. Lima jarinya dikembangkan lurus-lurus. Ketika Joran Kemitir memperhatikan lima jari itu, ternyata jari kelingking tangan kiri anak itu tidak ada alias buntung. Berdesirlah darah Joran Kemitir. Terlebih ketika dilihatnya si anak mengeluarkan sebuah pisau kecil dan melemparkannya ke atas batu di hadapannya.

“Ambil pisau itu!” terdengar si anak memerintah. Potong jari kelingking tangan kirimu pada batas ruas kedua lalu serahkan padaku! Jariku yang buntung ini perlu diganti. Hik hik hik!” anak itu cekikikan aneh.

“Aku tidak akan memotong jariku sendiri! Itu perkerjaan gila! Ini, kuganti dengan ini! Kau ambillah!”

Dari balik pakaiannya Joran Kemitir mengambil sebuah kantong kain berisi beberapa potong perak lalu melemparkannya ke hadapan si anak. Anak itu sama sekali tidak melirik pada kantong kain yang terletak sejengkal dari ujung kakinya yang berterompah kayu.

“Joran Kemitir...!” desisnya, enak saja dia menyebut nama orang yang 28 tahun lebih tua darinya. “Aku tidak butuh harga, tidak perlu uang! Yang kuperlukan adalah jari kelingking tangan kirimu! Kalau kau tidak sudi memberikan maka aku akan minta lebih dari itu. Aku akan mengambil roh busukmu alias nyawamu! Ini semua sesuai perintah penguasa daerah ini!”

Bergetar tubuh Joran Kemitir. Selagi dia masih tegak tak tahu apa yang hendak dilakukan, tiba-tiba anak berpakaian hitam itu mengambil pisau kecil yang tergeletak di atas batu. Tubuhnya kemudian berkelebat. Joran Kemitir merasakan angin menyambarnya lalu ada rasa perih di tangan kirinya. Ketika dia mengangkat tangan itu pucatlah wajahnya. Dan terdengar jeritannya.

Ternyata jari kelingkingnya telah tiada! Putus tepat di ruas kedua dan mengucurkan darah. Memandang ke depan dilihatnya si bocah menancapkan obor ke sela batu. Lalu dengan giginya sendiri digigitnya kelingkingnya yang buntung hingga terpotong dan mengucurkan darah.

Potongan jari kelingking tangan kiri Joran Kemitir yang tadi disayatnya dilekatkannya ke jarinya yang putus. Mulutnya berkomat kamit. Dia meniup jari yang disambung itu beberapa kali. Ketika dia berhenti meniup, potongan jari Joran Kemitir ternyata benar-benar telah melekat dan menempel ke bekas jarinya yang buntung!

“Ilmu sihir...” membatin Joran Kemitir. Wajahnya pucat pasi.

“Joran Kemitir... Kau beruntung. Aku tidak meminta bagian tubuhmu yang lain. Nah, sekarang kau boleh meneruskan perjalanan... Kau akan menemui orang yang kau cari di puncak bukit!”

Habis berkata begitu anak berambut jabrik tadi membalikkan tubuh, mengambil obor lalu seenaknya melangkah di atas batu-batu padas. Suara terompah kayunya beradu dengan batu terdengar jelas, lalu makin perlahan, makin jauh akhirnya lenyap.

Joran Kemitir pandangi jari kelingkingnya yang kini putus. Darah masih mengucur, tapi tidak sebanyak tadi. Masih di bawah hujan deras, dengan menanggung rasa sakit, tertatih-tatih Joran Kemitir menaiki bukit batu itu. Sesekali dia menoleh ke belakang. Si bocah tak kelihatan lagi.

TIGA

Ketika Joran Kemitir mencapai puncak bukit batu padas itu udara mendadak berubah. Hujan berhenti. Angin kencang berhenti bertiup. Langit yang tadi gelap pekat kini berubah terang sehingga Joran Kemitir dapat melihat setiap sudut puncak bukit itu dengan jelas. Ternyata di puncak bukit itu dia sama sekali tidak menemukan sebuah bangunan pun.

Yang dilihatnya hanya gundukan-gundukan batu berbentuk aneh seperti sengaja disusun tangan manusia. Ada yang berbentuk seperti harimau duduk. Ada yang serupa sapi dan ada pula seperti buaya besar. Joran Kemitir mencari-cari dengan sepasang matanya di mana di puncak bukit itu dia dapat menemui orang yang ingin ditemuinya.

Hatinya mulai cemas ketika dia sama sekali tidak melihat tanda-tanda adanya orang yang tinggal di tempat itu. Tapi mengapa bocah aneh tadi mengatakan dia akan dapat menemui Tubagus Jelantik di situ? Matanya terus memandang ke setiap sudut puncak bukit. Sambil memandang dia melangkah mendekati tumpukan-tumpukan batu.

Ketika sampai di tumpukan batu berbentuk harimau duduk dan mengitarinya, matanya menyipit. Ternyata bagian sebelah belakang gundukan batu yang berupa punggung harimau itu, membentuk sebuah lobang besar seukuran tubuh manusia.

“Ah, pasti goa batu ini tempat kediaman orang yang kucari!” kata Joran Kemitir dalam hati. Dia ulurkan kepalanya dan menjenguk ke dalam lobang.

"Wuttt!"

Sebuah benda melesat dari dasar lobang. Kalau tidak cepat Joran Kemitir menarik kepalanya, benda yang melesa itu pastilah akan menancap di kepala atau tenggorokannya. Menoleh ke atas orang ini melihat sebatang besi kecil berbentuk paku menancap pada mulut goa batu sebelah atas. Sedangkan batu padas yang begitu keras dan atos sanggup ditancap paku, bagaimana tubuh atau kepala manusia! Joran Kemitir merasakan tengkuknya dingin.

“Bapak Tubagus Jelantik!” Joran Kemitir berseru setelah dapat menenangkan hatinya. “Apakah di sini tempat kediamanmu? Aku datang dari jauh sengaja untuk menemuimu!”

Seruan Joran Kemitir hanya dijawab oleh keheningan. Namun sesaat kemudian dari dalam lobang terdengar suara seseorang. Suara itu seolah-olah keluar dari perut bukit batu padas itu, bergema panjang sebelum lenyap dengan meninggalkan perasaan bergidik bagi Joran Kemitir yang mendengarnya.

“Kumkum! Apakah itu bangsatnya yang katamu datang menemuiku untuk menyerahkan nyawa busuknya?!”

“Betul sekali Embah!” terdengar jawaban yang gemanya tak kalah menggidikkan. Dan Joran Kemitir mengenali suara itu. Suara si bocah yang menghadangnya dua kali tadi.

“Kalau begitu suruh bangsat itu masuk!”

Terdengar kembali suara pertama. Joran Kemitir mengutuk dalam hati karena disebut dengan kata-kata bangsat. Tiba-tiba dari dalam lobang goa gundukan batu mencelat keluar sesosok tubuh berpakaian hitam, berambut jabrik dan berterompah kayu.

“Dia lagi!” desis Joran Kemitir dalam hati.

Memang benar. Yang muncul keluar dari dalam lobang batu itu ternyata adalah anak lelaki berusia dua belas tahun yang ditemuinya dalam perjalanan mendaki ke puncak bukit.

“Jadi kau muridnya orang bergelar Maut Bermata Satu itu...” menegur Joran Kemitir.

“Aku tidak suruh kau bertanya. Tapi menyuruhmu masuk sesuai perintah penguasa!”

Habis berkata begitu si bocah letakkan kaki kirinya pada sebuah batu. Tumpukan batu yang di bagian bawah lobang gundukan berbentuk harimau duduk itu tampak bergeser. Sesaat kemudian lobang itu terbuka lebar dan ada tangga berlumut menuju ke bawah.

“Masuk!” perintah si bocah.

Ketika Joran Kemitir dilihatnya berdiri bimbang, anak itu dorongkan tangannya ke punggung Joran Kemitir. Tak ampun lagi lelaki ini terpental masuk ke dalam lobang, menggelinding jungkir balik sepanjang tangga batu yang menurun. Ketika akhirnya tubuhnya terhempas di sebuah ruangan redup. Joran Kemitir merasakan sekujur tulang belulangnya seperti hancur luluh. Beberapa bagian tubuhnya lecet, luka berdarah dan benjat benjut. Joran Kemitir memejamkan mata, menggigit bibir menahan sakit.

Ketika kedua matanya dibuka, kejut orang ini bukan alang kepalang. Di hadapannya tegak berdiri sesosok tubuh kurus kering tinggi luar biasa. Ruangan batu itu tingginya lebih dari dua meter dan kepala orang yang tegak memperhatikannya hampir menyondak langit-langit ruangan batu! Tetapi bukan ketinggian manusia itu yang membuat Joran Kemitir kecut. Nyawanya serasa terbang ketika melihat keangkeran wajah yang memandang tepat-tepat ke arahnya dengan hanya satu mata yang dimilikinya.

EMPAT

Manusia kurus dan sangat jangkung itu memiliki rambut kelabu sepanjang bahu. Janggut dan kumisnya yanglebat juga berwarna kelabu. Kedua pipinya sangat cekung. Mukanya yang sangat pucat itu hanya memiliki satu mata yakni di sebelah kanan, besar dan merah. Mata sebelah kiri hanya merupakan sebuah rongga dalam menakutkan. Hidung luar biasa besar tapi penyet pesek, hampir sama rata dengan pipi yang cekung. Dia memiliki sepasang bibir tebal dengan gigi-gigi besar tonggos menonjol dan kotor menjijikkan.

Belum pernah Joran Kemitir melihat manusia seseram ini hingga dia merasa bimbang apakah dia saat ini benar-benar berhadapan dengan manusia atau sebangsa setan atau jin bukit batu!

“Anak manusia! Jika kau tak lekas bangkit dan enak-enakkan berbaring di situ, jangan menyesal kalau kuinjak perutmu sampai jebol!” Si jangkung tiba-tiba keluarkan suara, berat dan parau.

Perlahan-lahan, dengan sekujur tubuh terasa sakit luluh lantak Joran Kemitir bangkit berdiri diikuti sorot pandang satu-satunya mata merah besar si makhluk jangkung. Melirik ke kiri Joran Kemitir melihat bocah berambut jabrik berpakaian hitam itu tegak di sudut ruangan, juga ikut-ikutan memandang ke arahnya dengan tatapan galak.

“Kumkum! Jadi ini manusianya yang kau ceritakan itu?” si jangkung bertanya.

“Betul sekali Embah...” jawab si anak.

Manusia bertampang angker dengan tinggi lebih dari dua meter itu manggut-manggut. Mulutnya yang tak pernah bisa dirapatkan karena giginya yang menjorok keluar membuat wajahnya selalu seperti menyeringai beringas menakutkan.

“Bapak...” Joran Kemitir beranikan diri membuka mulut. “Apakah Bapak yang bernama Tubagus Jelantik, orang sakti bergelar Maut Bermata Satu.

“Manusia lancang!” membentak anak di sudut ruangan. “Kau bukan anak dan beliau bukan ayahmu! Mengapa berani memanggil Bapak?! Lekas minta maaf dan panggil beliau Embah!”

Joran Kemitir buru-buru membungkuk. “Maafkan saya Embah. Maafkan saya. Saya Raden Joran Kemitir, Kepala Desa Punting Biru di pantai utara. Saya menemui Embah karena keperluan sangat penting. Untuk minta tolong...”

“Begitu...?” sang Embah manggut-manggut sambil usap janggutnya yang kelabu. “Kalau kau datang dari tempat begitu jauh, pasti punya urusan penting. Katakan apa keperluanmu!”

“Saya orang yang sengsara Embah...”

“Manusia tolol! Embahku tidak perduli apakah kau sengsara atau apa! Katakan saja kepentinganmu! Kau kira kami di sini punya waktu banyak untuk mendengar celotehmu yang bukan-bukan?!” Anak di sudut ruangan mendamprat.

Joran Kemitir terdiam. Dalam hatinya dia menyerapah. Siapa sebenarnya anak berambut jabrik itu hingga bicaranya seolah-olah menunjukkan dia seperti mewakili sang Embah bahkan seperti lebih berkuasa di tempat itu.

“Maafkan saya Embah...” akhirnya Joran Kemitir berkata kembali. “Saya datang meminta tolongmu. Saya sebenarnya adalah calon tunggal Adipati seluruh kawasan di pantai utara Jawa Tengah. Tapi saya difitnah dituduh sebagai orang yang diselundupkan kaum pemberontak. Keluarga saya ditumpas. Dua orang anak saya mati terbunuh. Istri saya diculik dan diperkosa. Saya dipenjara, disiksa! Untung saja masih dapat melarikan diri...”

“Siapa yang melakukan semua itu. Apa kau sudah tahu?” bertanya Embah Tubagus Jelantik.

“Tahu betul Embah. Orangnya Unggul Jonggrang. Yang sekarang menjadi Adipati di pantai utara.”

“Kenapa kau tidak membalas kejahatannya itu?”

“Saya sudah coba Embah. Dengan cara kasar dengan cara halus. Tapi tak berhasil. Dua tahun saya berusaha. Tetap saja gagal. Unggul Jonggrang memiliki ilmu bela diri dan kesaktian tinggi. Tanpa bekal yang kuat, tak mungkin saya menuntut balas. Embah.”

“Jadi kau ke sini untuk minta bekal?!”

“Betul sekali Embah. Saya percaya Embah mau menolong...”

Kembali terdengar si anak bernama Kumkum membentak. “Jangan takabur! Embah tidak begitu mudah memberi pertolongan...!”

“Kumkum...” si Embah lambaikan tangannya. “Anak manusia satu ini mungkin perlu kita tolong. Tapi aku tidak begitu percaya akan semua keterangannya. Bisa saja dia berdusta agar diberi tolong...”

“Saya bersumpah Embah, saya tidak berdusta...” kata Joran Kemitir.

Sang Embah menyeringai. “Sumpah anak manusia jaman sekarang...” katanya, “tidak lebih dari sumpah setan dalam keadaan terdesak. Bila sudah terlepas dari kesulitan dia akan berubah jadi setan lagi, malah jadi setan kepala tujuh!”

Joran Kemitir terdiam. Tak berani buka mulut karena takut kesalahan. Kalau sampai orang aneh ini tidak mau menolongnya celakalah dirinya. Percuma melakukan perjalanan 14 hari untuk mencapai tempat itu.

“Anak manusia!” terdengar Embah Tubagus Jelantik alias Maut Bermata Satu berkata. “Kau akan kutolong. Aku akan memberikan dua ilmu padamu! Itu sudah lebih dari cukup! Apa jawabmu?!”

“Terima kasih Embah... terima kasih. Saya betul-betul berterima kasih...” jawab Joran Kemitir terbungkuk-bungkuk.

“Mendekat ke mari!” si jangkung bermata satu memerintah.

Joran Kemitir mendekat dan tegak di hadapan orang bermuka mengerikan itu dengan hati berdebar.

“Buka bajumu!”

Sesuai perintah Joran Kemitir buka bajunya. Tubagus Jelantik kemudian tempelkan dua telapak tangannya di dada Joran Kemitir. Mulutnya komat kamit. Matanya yang Cuma satu terpejam. Joran Kemitir merasakan ada hawa panas masuk mengalir ke dalam tubuhnya.

“Apa yang kau rasakan anak manusia?!” tanya si Embah.

“Ada hawa panas masuk. Tubuh saya jadi ringan. Pemandangan mata saya terasa lebih terang...” jawab Joran Kemitir mengatakan apa-apa yang saat itu dirasakannya.

“Menunduk!” perintah Embah Tubagus Jelantik.

Joran Kemitir menunduk. Orang ini menjerit kesakitan ketika tanpa diduganya sang Embah menarik tanggal sekelompok rambut di batok kepalanya. Pada bagian kepala yang kini botak itu Embah Tubagus kemudian meniup tiga kali berturut-turut. Tiupan itu menghambur bau busuk yang membuat Joran Kemitir seperti mau muntah. Dia bertahan dengan berusaha menutup penciumannya.

“Sudah! Sekarang ulurkan kedua tanganmu. Kembangkan telapak kiri kanan!”

Joran Kemitir berdiri tegak. Ulurkan tangan kiri kanan dan buka kedua telapak tangan. Maut Bermata Satu tempelkan telapak tangan Joran Kemitir. Lalu kembali mulutnya komat-kamit. Sekali lagi Joran Kemitir merasa ada hawa panas yang masuk mengalir tapi hanya sampai sebatas kedua bahunya.

“Apa yang kau rasakan anak manusia?”

“Hawa panas mengalir sampai ke bahu saya Embah...”

“Bagus!” Embah Tubagus Jelantik tarik pulang kedua tangannya. “Kau sudah memiliki dua macam ilmu sekarang. Pertama ilmu kebal terhadap segala macam senjata. Termasuk senjata yang beracun. Tapi kau sama sekali tidak kebal terhadap racun yang masuk lewat tenggorokanmu!”

“Terima kasih Embah... Apakah ilmu yang kedua yang Embah berikan?”

“Ilmu yang kedua adalah ilmu pukulan. Siapa atau apa saja yang kena hantaman tanganmu akan menemui kematian atau kehancuran!”

Joran Kemitir gembira sekali. Dia mengucapkan terima kasih berulang kali. Dengan dua bekal ilmu itu kini dia bisa menuntut balas terhadap Unggul Jonggrang, musuh besar yang telah menghancurkan kehidupan dan kehidupan keluarganya. Embah Tubagus Jelantik dapat meraba apa yang ada dalam benak orang dihadapannya itu. Dia bertepuk tangan.

“Kumkum! Kau ujilah kekebalan anak manusia ini!” Tubagus Jelantik tiba-tiba berseru.

Dari sudut ruangan bocah bernama Kumkum itu melesat ke arah Joran Kemitir berdiri. Entah dari mana didapat tahu-tahu di tangannya tergenggam sebilah golok panjang berkilat.

LIMA

Tentu saja Joran Kemitir kaget bukan main. Sebelum dia sempat menghindar, dirinya telah terkurung curahan serangan golok yang sangat ganas. Bacokan, tusukan dan babatan menderu ke arah kepala, bagian tubuh dan kaki. Joran Kmeitir tak kuasa mengelak ataupun menangkis karena dia memang tidak memiliki kepandaian silat apa-apa.

Menyangka dirinya akan tercincang golok habis-habisan, Joran Kemitir dapatkan kenyataan bahwa semua bacokan, tusukan maupun babatan golok sama sekali tidak mencelakai atau melukainya. Terdengar suara bergedebuk ketika senjata tajam itu mendarat di kapala, tubuh ataupun kakinya. Dia hanya merasa seperti ditepuk. Tubuhnya sama sekali tak mempan dibacok! Jika tak mengalami sendiri bagaimana mungkin dia dapat mempercayai kenyataan itu!

“Aku sekarang menjadi manusia hebat! Jadi orang sakti! Tak mempan dibacok! Tak mempan senjata tajam!” begitu Joran Kemitir berseru gembira dalam hati.

Tubagus Jelantik tepukkan tangannya dua kali. Kumkum hentikan serangan goloknya. Anak ini kembali menempatkan diri disudut ruangan itu. Kakek jangkung bermuka angker itu gerakkan tangan kanannya. Sebuah kelapa kering menggelinding ke arah Joran Kemitir.

“Ujian kedua!” seru si mata satu ini. “Pergunakan tangan kananmu! Hantam kelapa itu. Lihat apa yang terjadi!”

Sesaat Joran Kemitir merasa ragu-ragu. Tapi ketika kelapa kering itu hampir menyentuh kakinya, orang ini cepat membungkuk dan mengambilnya dengan tangan kiri. Seola-olah yakin behwa dia kini memang memiliki kehebatan luar biasa maka dengan tangan kanannya dihantamnya kelapa itu.

"Byaarrr...!" Kelapa sebesar kepala itu hancur berantakan tanpa Joran Kemitir merasa sakit pada tangannya yang memukul!

Tubagus Jelantik tertawa mengekeh. “Anak manusia!” katanya. “Sekarang kau sudah memiliki dua macam ilmu dan sudah membuktikannya sendiri! Ketahuilah, kedua ilmu itu hanya bisa kau kuasai selama empat puluh hari. Jika kau merasa perlu untuk memperpanjangnya kau boleh datang lagi ke tampat ini. Apakah kau mendengar anak manusia?!”

“Saya mendengar Embah dan saya berterima kasih atas pemberianmu...”

“Tidak cukup dengan hanya ucapan terima kasih!” Tiba-tiba Kumkum berkata lantang dari sudut di mana dia tegak.

Joran Kemitir melirik ke arah anak itu. Kemudian didengarnya pula suara kakek bermata satu itu.

“Betul Joran Kemitir. Apa yang telah kuberikan tidak cukup hanya diimbal dengan ucapan terima kasih...”

Joran Kemitir cepat tanggap. Buru-buru dia berkata. “Jangan kawatir Embah. Datang dari jauh kemari saya sengaja membawa bekal untuk diserahkan pada Embah...”

Lalu Joran Kemitir keluarkan sebuah kantong kain berisi sepuluh kaping perak dan lima keping emas. Dia melangkah ke hadapan manusia jangkung bertampang angker itu seraya berkata “Ini untuk Embah...”

Sang Embah sama sekali tidak ulurkan tangan untuk menerima pemberian itu. Di sudut ruangan Kumkum terdengar tertawa panjang lalu berkata, “Kami tidak perlu uang atau harta!”

“Betul! Kami tidak perlu uang dan harta!” mengulang Tubagus Jelantik.

Tersirap darah Joran Kemitir. Dadanya berdebar. Dia ingat kejadian di bawah hujan lebat sebelumnya. Waktu itu dia dipaksa menyerahkan jari kelingking tangan kirinya untuk penyambung kelingking si bocah aneh yang buntung. Anak itu sama sekali tidak mau menerima kepingan perak yang diberikannya. Kini ternyata berdua dengan kakek bermata satu itu, merekapun tidak mau menerima pemberiannya.

“Kalau Embah tidak bersedia menerimanya saya harus bagaimana...?"

“Kau harus menyerahkan mata kirimu pada Embah!” Kumkum berkata.

Joran Kemitir tersentak kaget, mundur beberapa langkah dengan wajah pucat.

“Ha ha ha! Kau terkejut anak manusia! Kau kecut!” kekeh Tubagus jelantik. “Apa artinya sebuah mata jika dibandingkan dengan nyawa...”

“Tapi Embah...”

“Kau punya dua mata. Apa sulitnya menyerahkan padaku sebuah. Ha ha ha!"

“Ha ha ha!” Kumkum ikut-ikutan tertawa.

“Saya tak mungkin menyerahkan sebelah mataku, Embah. Saya akan lipat gandakan imbalan perak dan emas ini. Saya akan datang membawanya kemari sebelum bulan purnama mendatang!”

Tubagus Jelantik menggeleng. “Sekalipun kau menyerahkan segudang harta atau segudang uang, aku sama sekali tidak berminat! Jika kau tidak mau menyerahkan mata kirimu, biar aku mengambil sendiri!”

Habis berkata begitu menusia jangkung berwajah setan itu melompat ke hadapan Joran Kemitir. Begitu cepat gerakannya hingga Joran Kemitir tidak mampu menghindar. Tahu-tahu tubuhnya sudah kaku tegang tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Tubagus Jelantik mendongak ke atas, tertawa panjang. Tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak ke mata kiri Joran Kemitir.

"Plukkk...!" Bola mata Joran Kemitir terkeruk lepas dari rongganya. Cepat sekali Tubagus Jelantik memasukkan bola mata itu ke dalam rongga mata kirinya yang bolong.

“Ah... pas betul!” seru Tubagus Jelantik seraya kedip-kedipkan mata kirinya yang baru! “Hem... agak kabur...” katanya. Ditekapnya mata kanannya lalu dia memandang berkeliling dengan mata kiri milik Joran Kemitir. “Tak apa. Karena masih baru, belum biasa maka agak kabur. Nanti pun pasti baik dan aku bisa melihat segala sesuatu dengan jelas! Kumkum, bagaimana tampangku kini setelah punya dua mata?”

“Kau tampak gagah Embah!” jawab si bocah. Tubagus Jelantik tertawa gembira.

“Urusan kita dengan manusia satu ini sudah selesai. Suruh dia pergi Kumkum!”

Kumkum mengambil kantong yang terletak di lantai lalu memasukkannya ke balik pakaian Joran Kemitir. Setelah itu dia mendorong tubuh Joran Kemitir ke arah lobang pintu. Begitu didorong, totokan yang menguasai dirinya terlepas. Saat itulah terdengar raungan Joran Kemitir yang mengerikan karena tak tahan oleh rasa sakit akibat mata kirinya dicungkil!

“Kau tak layak berada lebih lama di tempat ini!” Kumkum membentak.

“Lemparkan dia keluar Kumkum!” berkata Embah Tubagus Jelantik.

Kumkum melompat ke belakang Joran Kemitir. Dengan tangan kirinya dia mendorong punggung lelaki yang masih terus meraung-raung itu dengan wajah penuh bercak darah. Begitu didorong tubuh Joran Kemitir mencelat masuk ke dalam lobang batu, terangkat melewati tangga akhirnya terhempas di luar di udara terbuka!

ENAM

Lelaki berpakaian penuh debu itu berhenti di depan pintu gerbang Kadipaten. Ada sesuatu pada wajah orang ini yang membuat dua pengawal pintu gerbang memperhatikan gerak geriknya dengan rasa curiga. Orang ini memiliki mata kiri yang ditutup dengan sepotong kulit hitam berbentuk bundar. Kulit ini melekat ketat karena seutas tali mengikatnya ke belakang kepala lewat kening dan pipi.

Salah seorang pengawal pintu gerbang melangkah mendekatinya lalu menegur. “Apa perlumu berdiri di depan pintu gerbang Kadipaten?”

Yang ditegur tidak menjawab ataupun berpaling membuat pengawal tadi seolah-olah dianggap angin.

“Kalau dia tidak mau pergi, hajar dengan tombak!” berkata pengawal satunya.

“Nah kau dengar apa yang kawanku bilang? Lekas pergi dari sini kalau tak ingin kepentung dengan batang tombak!”

Seperti tidak mendengar ancaman orang, lelaki bermata satu tadi terus saja memandang ke bagian dalam pintu gerbang, malah bertanya tanpa menoleh “Ini gedung kediaman Adipati?”

“Apa kau kira bapak moyangmu yang tinggal di sini?!” si pengawal membentak karena jengkel.

“Kalau begitu suruh Adipati keluar! Katakan aku ingin bertemu dengan dia!”

Pengawal yang satu jadi tak sabar. Sekali lompat dia sudah ayunkan tombaknya ke batok kepala lelaki bermata satu.

"Bukkk!" Kepala itu memang kena digebuk. Tapi bersamaan dengan itu terdengar pula suara 'trang'. Batang tombak yang dipakai memukul patah dua! Yang dipukul tampak tenang-tenang saja. Seperti tidak merasakan apa-apa! Kagetlah dua pengawal tadi. Antara percaya dan tidak melihat kenyataan itu, pengawal kedua tusukkan tombaknya ke perut orang itu.

"Dukkk...!" Tombak bukan saja tak mampu menembus perut tapi malah terlepas mental dari genggaman si pengawal. Tangannya terasa pedas panas. Kedua pengawal itu serta merta jatuhkan diri dengan muka pucat. Yang satu cepat berkata,

“Orang gagah! Maafkan kami yang tidak melihat siapa gerangan yang datang. Kau tentu orang sakti yang tengah ditunggu-tunggu Adipati. Kau pastilah Munding Tambaksati!”

“Siapa aku kau tak perlu tahu! Lekas panggil Adipatimu! Suruh dia keluar menemuiku!”

“Mohon maafmu orang gagah. Saat ini Adipati Unggul Jonggrang belum kembali dari Kotaraja...”

“Kau berani dusta bangsat?!” Si mata satu jambak rambut pengawal yang barusan bicara hingga pengawal ini mengerenyit kesakitan.

“Dia tidak berudusta,” kawannya cepat berkata. “Adipati pergi sejak tiga hari lalu. Rasanya tiga hari lagi baru kembali!”

Si mata satu dia sejenak. Akhirnya dia berkata, “Baik. Aku akan pergi sekarang. Tiga hari lagi aku kembali kemari. Sebelum pergi aku akan memberikan satu peringatan untuk Adipatimu itu!”

“Peringatan apakah itu, orang gagah?” bertanya si pengawal.

Namun dia tak pernah mendengar jawaban pertanyaan itu. Karena tiba-tiba saja lelaki tak dikenal bermata satu menghantam batok kepalanya dengan pinggiran tangan kanan.

"Praakk...!" Kepala itu rengkah. Tubuhnya bergelimpang di tanah tanpa nyawa lagi. Kawannya menjadi pucat pasi wajahnya, ketakutan setengah mati.

“Katakan pada Adipatimu! Aku akan kembali ke sini. Jika aku datang lagi, kepalanya akan kupecahkan seperti kepala kawanmu itu! Katakan padanya! Dengar?!”

“Sa... saya dengar...” jawab si pengawal sambil membungkuk hampir menyentuh tanah. Dia tak berani memandang wajah orang.

********************

Tiga hari berselang... Rombongan berkuda terdiri dari enam orang itu memasuki halaman gedung Kadipaten. Empat orang perajurit di sebelah belakang. Dua di depan adalah Adipati Unggul Jonggrang. Yang satu lagi seorang lelaki berpakaian biru gelap, bermuka tirus dengan parut bekas luka pada pipi kirinya. Parut ini membuat tampangnya yang seram jadi tambah angker. Di pinggangnya tersisip sebilah pedang pendek yang gagangnya digantungi umbai-umbai berwarna biru.

“Sahabatku Munding, akhirnya kita sampai juga! Syukur kita bertemu di perjalanan. Kalau tidak aku pasti akan menunggumu penuh was-was...” Sambil berkata begitu Unggul Jonggrang melompat turun dari kudanya.

Lelaki separuh baya bermuka cacat yang dipanggil dengan nama Munding menghela nafas dalam, tepuk-tepuk debu dipakaiannya lalu dengan gerakan enteng melompat turun dari kudanya.

“Melihat begini mewahnya gedung kediamanmu, kurasa aku akan betah tinggal disini...” berkata si muka parut yang dikenal dengan nama Munding Tambaksati.

“Aku gembira mendengar ucapanmu itu, Munding. Mari masuk ke dalam. Kita mandi dulu, makan minum lalu istirahat.”

“Mandi, makan minum, istirahat. Apa hanya itu...?” bertanya Munding Tambaksati.

“Maksudmu...?” tanya Unggul Jonggrang sembari menduga-duga.

Yang ditanya menyeringai lebar. Ternyata Munding Tambaksati memiliki seluruh gigi berwarna hitam berkilat. Segumpal tembakau yang selalu dihisap-hisapnya tampak terselip di belakang bibirnya.

“Kulihat udara di sini cukup dingin. Ini menggelisahkanku kalau harus tidur sendirian...”

Mendengar kata-kata kawannya itu Adipati Unggul Jonggrang tertawa bergelak. “Sebagai sahabat tentu saja aku tahu kesukaanmu Munding. Bahkan lebih dari itu. Potongan dan warna kulit yang kau sukaipun aku tahu! Semua sudah kusuruh siapkan Munding. Jangan kawatir..."

Munding ikut tertawa berderai dan tepuk-tepuk bahu Adipati itu. Pada saat kedua orang itu menaiki tangga depan gedung Kadipaten, datang menyambut seorang pengawal. Setelah memberi hormat pengawal itu segera berkata,

“Ada laporan sangat penting harus segera saya sampaikan Adipati...”

“Pengawal gendeng! Nafasku masih sesak, dudukpun belum. Dan kau berani mengganggu!”

“Maafkan saya Adipati. Kalau tidak saya laporkan nanti...”

“Nanti! Nanti saja!” bentak Unggul Jonggrang.

Si pengawal tak berani angkat kepalanya lagi. Sebaliknya Munding Tambaksati tegak sesaat di hadapan si pengawal. Tampaknya dia seperti memikirkan sesuatu. Kemudian orang ini bertanya,

“Katakan padaku apa yang tadi hendak kau laporkan pada Adipati. Apakah betul-betul penting...”

“Sangat penting. Seorang tak dikenal datang kemari. Katanya ingin bertemu Adipati...” Lalu pengawal itu menceritakan apa yang terjadi tiga hari lalu.

Mendengar keterangan itu Unggul Jonggrang tak jadi masuk ke dalam gedung, saling pandang dengan Munding Tambaksati lalu menanyai pengawal itu tentang ciri-ciri orang yang datang dan membunuh kawannya. Si pengawal menerangkan ciri-ciri orang itu. Kembali Unggul Jonggrang dan Munding Tambaksati saling pandang.

“Satu-satunya orang sakti bermata sebelah adalah Tubagus Jelantik, bergelar Maut Bermata Satu. Tapi tempatnya jauh dari sini. Dengan dia aku tak punya silang sengketa...”

“Mungkin manusia bernama Joran Kemitir, yang katamu pernah bersumpah hendak membunuhmu sekeluarga?”

Unggul Jonggrang gelengkan kepala. “Tak bisa jadi,” katanya. “Ciri-ciri orang itu tidak sama dengan Joran. Lagi pula Joran tidak buta sebelah. Tubagus Jelantik juga tak mungkin karena dia berambut kelabu, berjanggut dan berkumis lebat...”

“Lalu siapa yang datang itu? Dan mengapa memberi peringatan dengan cara membunuh pengawal tak berdosa...?” tanya Munding Tambaksati.

“Kita harus menemukan jawabnya malam ini...” ujar Unggul Jonggrang.

“Kau harus berhati-hati. Lipat gandakan pengawalan. Malam ini terpaksa aku tidak tidur dan bersenang-senang. Aku akan melakukan pengintaian.”

“Belum tentu dia datang malam hari Munding. Kenyataannya dia muncul siang bolong dan membunuh seenak udelnya. Ganas! Terus terang, aku benar-benar gembira kau berada di sini.”

Munding Tambaksati tersenyum. “Jangan kawatir sahabat. Malam ini kau boleh istirahat sehabis berjalan jauh. Serahkan semua kesulitanmu padaku!” Munding Tambaksati usap-usap dadanya. Kedua orang itu kemudian masuk ke dalam gedung Kadipaten.

TUJUH

Lelaki berpakaian dekil bermata satu itu duduk berjuntai di cabang pohon rambutan. Berulang kali tangannya memetik dan memakan rambutan yang manis, langsung menelan bersama bijinya. Cabang rambutan hutan itu tak seberapa besar. Bahwa dia bisa duduk di situ tanpa cabang itu melentur runduk menyatakan bahwa siapaun dia adanya, orang ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.

Sambil menyantap rambutan, mata kanannya jelalatan kian kemari. Di sebelah barat tampak kemerahan tanda sang surya sebentar lagi siap akan tenggelam. Burung-burung kelelawat beterbangan liar kian kemari.

“Malam ini... malam ini dendam berdarah akan kutagih! Malam ini bangsat keparat itu akan kutanggalkan kepalanya. Akan kukorek jantung dan hatinya! Akan kuhirup darahnya! Anak-anakku, kalian berdua akan tenteram di alam baka kalau manusia pembunuh itu sudah mampus! Sudah mampus! Malam ini!”

Orang di cabang pohon rambutan itu tiada hentinya mengulang kata-katanya itu. Sikap dan ucapannya seperti orang kurang ingatan. Apa yang diucapkannya itu seperti mendendangkan nyanyian tak karuan. Terkadang raut wajahnya membersitkan dendam kemarahan. Terkadang dia tertawa gelak-gelak. Dan selagi dia mengumbar tawa inilah seorang pemuda tiba-tiba saja muncul dan duduk di cabang sebelah bawah cabang yang diduduki si mata satu.

“Sahabat! Hari ini rupanya kau mendapat rezeki besar hingga girang dan tertawa tiada henti!” Pemuda yang baru datang menegur.

Lelaki bermata satu hentikan nyanyiannya, berpaling ke arah si pendatang lalu bertanya perlahan “Siapa kowe?!”

Pemuda itu berpakaian putih, menggaruk kepalanya lebih dulu beberapa kali, baru menjawab. “Namaku Wiro Sableng. Kau sendiri siapa?”

“Hemm.... Wiro Sableng. Seorang gendeng rupanya!” ujar si mata satu. Lalu tak acuh dia kembali bernyanyi dan tertawa. Selesai bernyanyi tiba-tiba dia bertanya. “Pemuda gondrong! Mengapa kau berada si tempat ini. Kulihat kau bukan orang sekitar sini...”

“Kau betul sahabat! Aku pengelana tolol dan sableng!”

“Apakah kau sahabatnya Unggul Jonggrang?!”

“Siapa itu Unggul Jonggrang?” pemuda berpakaian serba putih yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng balik bertanya.

“Adipati keparat yang malam ini bakal mampus!”

“Heh... Malam ini bakal mampus katamu?”

“Betul! Dia pantas dibunuh!”

“Siapa yang akan membunuh...?” tanya Wiro lagi.

“Aku!” orang itu menepuk dadanya. “Aku Joran Kemitir yang akan membunuhnya! Aku akan mengirimnya menghadap setan neraka!”

“Ck... ck... ck! Rupanya kau punya silang sengketa dengan Adipati itu?”

“Bukan hanya silang sengketa! Tapi dendam berdarah! Dua anakku menemui ajal dibunuhnya. Istriku diculik dan diperkosa... Malam ini! Malam ini dia harus mampus! Aku tahu dia pasti sudah kembali dari Kotaraja!”

“Jika kau membunuh seorang Adipati, pasukan Kadipaten bahkan mungkin pasukan Kerajaan akan memburu dan menangkapmu! Kau akan dihukum pancung!”

Joran Kemitir tertawa bergelak. “Siapa yang akan sanggup memburuku?! Siapa yang sanggup menangkapku! Siapa yang sanggup memancungku! Lihat!” Joran Kemitir gerakkan tangan kanannya memukul batang pohon rambutan yang besar dan keras itu.

"Braakkk...!" Batang itu hancur dan patah!

Wiro tersentak kaget dan buru-buru melompat sebelum pohon rambutan itu tumbang! “Orang sedeng ini nyatanya memang memiliki ilmu tinggi...” berkata Pendekar 212 dalam hati.

“Sahabat! Aku kagum melihat kehebatan ilmu mu. Tapi aku yakin Adipati musuhmu itu juga memiliki kepandaian. Lain dari itu gedung kediamannya pasti dikawal ketat. Dan bukan mustahil dia dikawal pula oleh ahli-ahli silat tingkat tinggi...”

Joran Kemitir menatap wajah Wiro Sableng dengan matanya yang cuma satu. Sesaat kemudian dia menyeringai dan tepuk-tepuk keningnya seraya berkata, “Semua itu sudah ada di sini... sudah ada di benakku! Unggul Jonggrang boleh punya selusin pengawal berkepandaian tinggi! Semua akan kubabat! Akan kubunuh! Heh, apakah kau juga akan melindungi Adipati keparat itu?!”

“Uh! Kenal pun aku tidak dengan dia. Mengapa mencapaikan diri membantu orang. Lagi pula aku punya kepandaian apa untuk menolongnya. Sekali kau pukul kepalaku pasti remuk!” sahut Wiro. “Tapi sebagai sahabat, apakah aku boleh ikut melihat segala apa yang bakal kau lakukan...?”

“Tidak, kita tidak bersahabat! Karenanya kau tidak boleh ikut campur...!” jawab Joran Kemitir.

“Siapa bilang aku ingin ikut campur urusanmu. Aku hanya ingin melihat kehebatanmu yang mengagumkan...”

“Tetap tidak bisa!” kata si mata satu tandas. “Malam ini... Malam ini! Pasti mampus... pasti! Tapi... Ah! Jika kubunuh sekaligus, terlalu enak baginya. Dia tidak akan merasakan bagaimana dicekam rasa takut. Bagaimana sakitnya kehilangan dua anak sekaligus! Bagaimana mengetahui istri diculik dan diperkosa! Tidak... Dia tidak boleh mati sekaligus. Dia harus sekarat setelah menderita lahir batin lebih dulu... Baru mampus! Jadi dia boleh tidak mampus malam ini. Tidak malam ini!”

“Manusia aneh. Kelihatannya agak miring tapi nyatanya otaknya mampu merancang sesuatu yang ganas...” ujar Wiro dalam hati.

“Sahabat, jika kau tidak menganggap aku sahabat dan aku tidak boleh menyaksikan kehebatanmu, biar aku pergi saja. Sebentar lagi malam akan turun. Aku harus melanjutkan perjalanan.”

“Pergilah. Tak ada yang melarangmu...” sahut Joran Kemitir tidak acuh. Dia membungkuk memotesi buah-buah rambutan lalu tinggalkan tempat itu menuju arah berlawanan dari yang diambil Pendekar 212 Wiro Sableng.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Gedung besar Kadipaten tampak suram di sebelah dalam. Tak kelihatan ada lampu atau pelita menyala. Suasana terasa sepi mencekam walau di luar ada dua lampu minyak menyala yaitu di langkan depan dan di pintu gerbang. Tidak seperti biasanya di mana hanya terdapat dua orang pengawal di pintu gerbang, kini kelihatan setengah lusin perajurit Kadipaten bersenjata golok dan tombak berada di situ. Lalu ditambah setengah lusin lagi yang setiap saat bergantian mengelilingi tembok luar dan tembok dalam yang memegari gedung.

Di mata orang awam yang kebetulan lewat dan menyaksikan keadaan gedung, seperti yang digambarkan di atas dia akan melihat. Tetapi di mata seorang berkepandaian tinggi seperti Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu berada di atas atap sebuah bangunan yang terletak di seberang gedung Kadipaten, dia melihat satu pemandangan lain yang tersembunyi dalam gelapnya malam. Yaitu pada wuwungan dengan Kadipaten tampak mendekam sesosok tubuh.

Malam makin larut. Udara bertambah dingin. Wiro Sableng mulai mengantuk dan menguap beberapa kali. Di atas wuwungan bangunan Kadipaten sosok tubuh yang bersembunyi di sana tidak bergerak sedikitpun. Diam seperti sebuah batu. Di kejauhan terdengan suara anjing menggonggong.

Sunyi lalu ada suara derap kaki kuda. Dari tikungan jalan muncul seoran penunggang kuda berpakaian hitam-hitam. Meskipun gelap namun wajahnya masih dapat dilihat dan jelas orang ini hanya memiliki satu mata. Inilah Joran Kemitir!

Tepat di depan pintu gerbang Kadipaten kuda yang berlari kencang itu membelok tajam, membuat putaran seraya dua kaki belakangnya menerjang. Enam perajurit pengawal yang berjaga-jaga di pintu gerbang terkejut tidak menduga. Sebelum mampu berbuat sesuatu dua orang diantara mereka terpental roboh dihantam tendangan kaki kuda. Satu langsung mati karena jebol dadanya, satu lagi mengerang sekarat sambil pegangi perut dan sesaat kemudian juga menemui ajal!

Empat perajurit lainnya, setelah sadar dari kaget dan melihat apa yang terjadi, berteriak marah dan langsung menyerang dengan lemparan tombak. Tiga batang tombak meluncur ke arah si penunggang kuda, satu lagi melest ke arah leher kuda tunggangannya.

Mendapat serangan berbahaya situ si penunggang kuda hanya sedetik terkesiap. Dia gerakkan kedua tangannya dan tendangkan kaki kanan. Tombak yang menyerang leher kuda mental patah dua dihantam kaki kanannya sedang tiga tombak lainnya mencelat begitu dihantam pukulannya. Satu tombak di antaranya patah dua.

"Srettt-Srettt...!"

Empat golok panjang dicabut berbarengan. Empat perajurit pengawal pintu gerbang menyerbu. Sementara itu enam pengawal yang bertugas mengelilingi tembok bangunan Kadipaten tampak datang berlarian.

Dari tempatnya bersembunyi Wiro bertanya-tanya mengapa orang yang mendekam di atas wuwungan gedung Kadipaten masih belum bergerak atau melakukan apa-apa. Padahal dua pengawal sudah meregang nyawa!

DELAPAN

Dikurung sepuluh orang perajurit, orang di atas kuda tampak tenang dan tidak merasa jerih sama sekali. Malah sambil satu tangan berkacak pinggang dia berkata lantang. “Kalian cecunguk-cecunguk Kadipaten memang pantas mampus di tanganku! Tangan-tangan kalian ikut berlumuran darah waktu dulu membunuh dua puteraku! Tapi lebih baik kalian memanggil dulu keparat bernama Unggul Jonggrang! Dia harus menyaksikan kematian kalian!”

“Kau telah membunuh dua kawan kami! Dan masih berani pidato! Mampuslah!”

Seorang perajurit yang rupanya adalah kepala pengawal babatkan goloknya ke pinggang Joran Kemitir. Bersamaan dengan itu sembilan golok ikut pula berkelebat. Menusuk, membacok dan membabat.

"Bak-Buk-Bak-Bukkk...!"

Sepuluh golok menghantam tubuh Joran Kemitir sampai mengeluarkan suara bergedebukan. Tapi tak segores pun tubuh lelaki bermata satu itu terluka atau mengucurkan darah!

“Tidak mempan!” ujar Wiro ikut terkesiap menyaksikan kejadian itu.

Sepuluh perajurit yang menyerang seperti tidak percaya melihat apa yang terjadi. Mereka menyerbu lagi. Kali ini kepala lawan yang dituju. Hasilnya tetap sama! Joran Kemitir tak mempan senjata tajam berkat ilmu kebal yang didaptnya dari Tubagus Jelantik alias Maut Bermata Satu!

Mendapatkan serangan ganas mereka tidak membawa hasil karena lawan di atas kuda itu ternyata tidak mempan dibacok atau ditusuk, sepuluh pengawal Kadipaten menjadi lumer nyalinya. Terlebih lagi ketika satu tendangan Joran Kemitir membuat roboh dan mati salah seorang dari mereka.

“Disuruh memanggil Unggul Jonggrang kalian minta mati percuma!” teriak Joran Kemitir. Sekali lagi kaki kanannya berkelebat dan seorang lagi perajurit Kadipaten mencelat menemui ajal!

Semua perajurit yang masih hidup menjadi geger dan bersurut mundur, dada berdebar takut dan wajah memucat ngeri.

“Lekas kalian panggil Adipati keparat itu! Jangan dia sembunyi di bawah selimut!”

Baru saja Joran Kemitir mengucapkan kata-kata itu satu bentakan menggeledek dan sesosok tubuh laksana seekor burung alap-alap melayang dari wuwungan gedung Kadipaten.

“Bangsat! Siapa yang berani menyebut nama Adipati secara kurang ajar!”

"Brakkk...!"

Kuda tunggangan Joran Kemitir meringkik keras lalu terhemaps roboh ke tanah. Kepalanya pecah. Binatang ini berguling beberapa kali, meringkik sambil melejang-lejangkan keempat kakinya lalu diam tak bergeming lagi!

Ketika tendangan maut itu menghantam kepala kuda, Joran Kemitri cepat lesatkan tubuh ke atas, membuat gerakan salto di udara lalu turun ke tanah dengan kaki lebih dahulu. Begitu memandang ke depan bergetarlah hatinya ketika menyaksikan siapa yang tegak di depannya. Yakni orang yang barusan membunuh kudanya dengan satu tendangan ganas luar biasa!

Orang ini bukan lain yang dikenalnya bernama Munding Tambaksati, salah seorang dati tiga tokoh silat yang dulu ikut menghancurkan keluarganya dan ikut bertanggung jawab atas penculikan istrinya. Selama beberapa tahun Munding Tambaksati lenyap entah kemana dan dua orang tokoh silat lainnya terus menjadi kaki tangan Adipati Unggul Jonggrang untuk melindunginya.

Beberapa kali Joran Kemitir coba menerobos masuk ke dalam Kadipaten atau mencegat Unggul Jonggrang di tengah jalan. Tapi dua tokoh itu selalu melindunginya. Kini di mana kedua tokoh silat itu? Mengapa yang muncul justru Munding Tambaksati yang diketahui salama ini tak pernah kelihatan mata hidungnya.

“Bangsat! Kau masih belum menjawab pertanyaanku!” membentak Munding Tambaksati. Tangan kiri bersitekan pada hulu pedang lurus yang tersisip di pinggangnya.

Meskipun sudah memiliki ilmu kebal dan ilmu pukulan yang hebat, namun menghadapi Munding Tambaksati yang dulu memang ditakutinya, mau tak mau hati Joran Kemitir jadi bergetar juga. Tapi bila kemudian terbayang dua wajah puteranya yang menmui ajal dan terlebih lagi wajah istrinya yang diculik dan kini entah berada dimana, maka amarah Joran Kemitir jadi menggelegak.

Dendam kesumatnya membara. Sekujur tubuhnya bergetar oleh hawa amarah. Tanpa tedeng aling-aling dia acungkan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke muka orang di hadapannya itu seraya membentak.

“Manusia durjana Munding Tambaksati! Kau tidak mengenali diriku lagi...?!”

Tentu saja Munding Tambaksati menjadi terkejut ketika dapatkan orang mengetahui namanya. Sepasang mata manusia bertampang angker ini memandang tak berkesiap pada orang di mukanya. Tetap saja dia tidak mengenali.

“Aku Joran Kemitir! Dua tahun lalu tanganmu ikut berlumuran darah atas kematian dua puteraku! Juga atas penculikan istriku!”

Kembali Munding Tambaksati tersentak kaget. “Joran Kemitir. Kau rupanya!” desis Munding Tambaksati seraya usap mukanya yang cacat. “Jika kau mencari Adipati, dia tidak ada di sini! Aku mewakilinya! Katakan apa maumu! Mengapa kau membunuh perajurit-perajurit tak berdosa itu?!”

“Perajurit-perajurit tak berdosa?!” Joran Kemitir tertawa bergelak.

Dari suara tertawa itu Munding Tambaksati sagera maklum kalau Joran Kemitir dulu tidak sama dengan yang kini dihadapinya. Suara tawa itu mengandung tenaga dalam. Dan tadipun dia menyaksikan kehebatan serta keganasan Joran Kemitir. Lalu ada apa dengan mata kirinya? Mengapa ditutup kulit hitam begitu rupa? Buta sebelah?

“Perajurit-perajurit itu tidak berdosa katamu?! Ha ha ha! Dosa mereka sama saja dengan dosamu! Sama saja dengan dosa si keparat Unggul Jonggrang! Malah dosa kalian lebih biadab lagi! Dan kalian akan menerima balasannya! Malam ini kau yang pertama Munding!”

“Jangan berani menyebut nama Adipati secara keji!” bentak Munding Tambaksati.

“Karena dia memang manusia keji, Munding! Tidak beda dengan dirimu!” Pelipis Munding Tambaksati bergerak-gerak. Rahangnya menggembung manahan amarah.

“Dengar manusia bermata satu. Jika kau memang Joran Kemitir, aku bersedia mengampuni selembar nyawa anjingmu. Asal saja kau lekas angkat kaki dari sini!”

Joran Kemitir tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata Munding Tambaksati itu. Ketika suara tawanya berhenti dia meludah ke tanah!

“Munding keparat! Ketahuilah aku datang kemari salah satu tujuan adalah untuk mecabut nyawa busukmu! Apakah selama beberapa hari ini kau tidak bermimpi buruk atau merasakan tanda-tanda aneh bahwa malam ini kau bakal mampus...?”

“Anjing kurap!” hardik Munding Tambaksati.

“Kau bakal mampus dengan kepala terpisah Munding!”

“Kau yang mampus duluan Joran!” teriak Munding Tambaksati marah sekali lalu menyerbu dengan satu jotosan ke dada Joran Kemitir.

Sambil tertawa Joran Kemitir bertolak pinggang dan pentang dadanya. Malah dia ucapkan kata-kata menantang. “Pilih bagian tubuhku yang empuk Munding!”

“Keparat!” kertak Munding Tambaksati. “Jebol dadamu!”

Tokoh silat tangan kanan Adipati Unggul Jonggrang itu yakin betul akan kehebatan ilmu pukulan yang dimilikinya. Karena itu dia memastikan dada lawan akan remuk sampai ke jantung dilanda jotosannya.

"Bukkk...!"

Joran Kemitir terjajar dua langkah ke belakang dan jatuh duduk. Tapi saat itu pula dia bangkit kembali sambil menyeringai.

“Dadaku tidak jebol Munding. Sekarang giliranku memukul!”

Tinju kanan Joran Kemitir melesat ke depan. Serangan ini sangat mudah dielakkan Munding Tambaksati. Tapi tak terduga dari samping kiri, menderu jotosan tangan kiri Joran Kemitir. Tepat menghantam pelipis kanan Munding Tambaksati. Lelaki bertampang angker ini menjerit keras. Jatuh terbating ke tanah tak bergerak lagi. Keningnya rengkah. Munding mati dengan mata melotot!

Joran Kemitir usap-usap lengan kanannya. Dia melangkah mendekati mayat Munding Tambaksati, menginjak dada dekat leher orang ini lalu membungkuk untuk memutir kepalanya.

"Krakkk...!" Terdengar suara patahnya tulang leher Munding Tambaksati.

Perajurit-perajurit Kadipaten yang menyaksikan hal itu tersurut mundur dengan bulu roma merinding! Dengan tangan kanannya Joran Kemitir menjambak rambut kepala Munding Tambaksati. Lalu dia melangkah sampai di tangga langkan Kadipaten. Di sini dia berhenti dan berteiak keras.

“Unggul Jonggrang! Aku tahu kau ada di gedung! Sembunyilah terus di balik selimut! Besok pagi jika kau membuka pintu dan keluar, sempatkan melihat kepala kacungmu ini! Nasibmu akan lebih jelek dari dia!”

Joran Kemitir lemparkan kepala Munding Tambaksati. Kepala itu menggelinding diatas lantai langkan gedung Kadipaten dan berhenti tepat di pintu depan!

SEMBILAN

Joran Kemitir melangkah meninggalkan halaman gedung Kadipaten dengan puas. Dia telah membuat rasa takut dalam diri Adipati itu. Dia merasa pasti betul akan hal itu. Belasan perajurit pengawal Kadipaten tak satupun yan gberani bergerak ketika dia melangkah menuju pintu gerbang.

Namun ketika melewati pintu gerbang, seseorang menepuk bahunya. Mengira ada yang menyerang Joran Kemitir menghantam ke samping. Dia hanya memukul tempat kosong. Orang yang menepuk ternyata berada di samping lain. Sekali lagi Joran hendak memukul namun setengah jalan batalkan niatnya ketika melihat siapa orang di sampingnya itu.

“Apa keperluanmu muncul di sini?!” menghardik Joran Kemitir. Nada bentakannya lebih menunjukkan rasa heran dari pada marah.

“Aku hanya ingin melihat kehebatanmu, sahabat. Kau benar-benar luar biasa. Tak mempan senjata, memukul mati lawan dalam satu gebrakan. Ingin sekali aku mendapatkan ilmu seperti itu!”

“Jangan ngacok! Aku menaruh curiga kau memata-mataiku! Mungkin kau kaki tangan Unggul Jonggrang!”

“Kau yang ngacok sahabat!” sahut Wiro dengan menyeringai. “Jika aku orangnya Adipati itu sudah tadi-tadi aku menyerangmu. Masakan aku membiarkan kau membunuh orang bernama Munding Tambaksati itu begitu saja...”

Joran Kemitir terdiam sesaat. Namun kemudian dia gelengkan kepala. “Aku tak percaya padamu. Sikapmu konyol! Dan aku tak mau kau mengikuti diriku!”

Selesai berkata begitu Joran Kemitir hantam tangan kanannya ke arah dada Pendekar 212 Wiro Sableng. Serangan itu mengeluarkan suara angin deras membuat murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tersentak kaget. Karena tidak menyangka dia tak keburu melompat menghindar. Maka Wiro menangkis pukulan Joran Kemitir dengan menghantam lengan oran gitu.

"Bukkk...!"

Joran Kemitir terpental tiga langkah dan jatuh duduk di tanah. Tapi dia sama sekali tidak merasa sakit sedikitpun. Dengan cepat dia berdiri dan melangkah mendekati Wiro. Pendekar 212 sendiri meskipun tidak bergerak dari tempatnya berdiri tapi tubuhnya tampak tertatih-tatih terbungkuk-bungkuk menahan sakit yang amat sangat. Lengannya tampak membengkak biru dan selain sakit bukan main dia merasakan seolah-olah tangan kanannya itu lumpuh, tak bisa digerakkan!

Seumur hidup baru kali ini Wiro mengalami cidera seperti itu. Melihat Joran Kemitir mendatangi Wiro segera siapkan pukulan sakti di tangan kiri. Tapi Joran tidak melangkah lebih dekat dan juga tidak menyerangnya kembali. Lelaki ini berkata,

“Itu cukup jadi peringatan bagimu untuk tidak mengikutiku!”

“Kentut busuk!” maki Wiro. “Antara kita tak ada silang sengketa. Dan kau memukulku sampai cidera seperti ini! Mari kita berkelahi sempai seratus jurus!”

Joran Kemitir tertawa sinis. “Satu jurus saja kau sudah cidera, bagaimana mungkin manghadapiku sampai seratus jurus? Ngacok!”

Panas sakali hati Pendekar 212. Tangan kirinya siap menghantam. Tapi Joran Kemitir sudah membalik membelakanginya dan melangkah pergi. Tak mungkin bagi Wiro untuk membokong dari belakang. Selagi dia bermaksud untuk mengejar Joran Kemitir tiba-tiba dua bayangan berkelebat dari tempat gelap. Yang di sebelah kanan terdengar berseru.

“Loh Jenar!” Kita datang terlambat! Sesuatu telah terjadi di sini!”

“Kau benar Ametung ! Lekas menyelidik ke dalam gedung. Aku akan menangkap pemuda berambut gondrong ini ! Pasti dia biang racun penimbul bencana di tempat ini!”

Dikejap itu pula Wiro melihat sosok tubuh kecil dan pendek melesat ke arahnya. Ada angin menyambar bersamaan dengan gerakan orang ini. Memandang ke depan Wiro melihat seorang lelaki bertubuh kecil dan katai, berwajah penuh keriput tanda usianya sudah lanjut.

“Pemuda asing ! Kau pasti suruhannya Joran Kemitir !” Si katai membentak.

Saat itu Wiro masih berada dalam keadaan kesakitan. Untuk menghindari salah sangka dia cepat menjawab. "Aku tidak ada sangkut paut dengan Joran Kemitir. Orang itu baru saja meninggalkan tempat ini. Dia yang membunuh orang bernama Munding Tambaksati...”

Belum habis Wiro memberi keterangan, dari arah langkan gedung Kadipaten terdengar teriakan “Pemuda itu dusta! Pasti dia yang membunuh Munding Tambaksati secara keji dan ganas!” Lalu berkelebat sesosok tubuh lagi di hadapan Wiro.

Orang yang kedua ini tenyata memiliki tubuh tinggi kekar, berpakaian serba hitam, memakai destar hitam dengan hiasan perak berbentuk bintang. Lengan panjang bajunya berumbai-rumbai.

“Aku memang sudah mencurigainya.Kalau bukan suruhan Joran Kemitir mengapa dia berada di sini! Biar kutangkap dia hidup-hidup! Adipati pasti senang dapat mengiris-iris tubuhnya lalu memeraskan jeruk nipis di lukanya!”

Percuma saja Wiro bersilat lidah untuk menerangkan. Lelaki katai berwajah keriput bernama Loh Jenar itu susupkan tangan kanannya ke pinggang. Begitu tangan itu ditarik tampak dia menggenggam seutas tali berwarna putih yang ternyata terbuat dari rotan. Dalam gelapnya tali itu seperti mengeluarkan cahaya aneh. Ketika diputar-putar terasa ada hawa dingin menyebar.

Tiba-tiba tali rotan itu melesat bergelung-gelung. Wiro cepat sambut dengan pukulan tangan kiri sementara tangan kanannya masih terasa sakit dan lumpuh. Hebatnya, dihantam pukulan Wiro, tali rotan laksana seekor ular hidup menghindar ke samping. Wiro kembali menghantam. Kali ini sasarannya langsung ditujukan pada Loh Jenar.

Wiro berhasil memukul rubuh si muka keriput ini hingga terjengkang ditanah dan mengeluh kesakitan sambil pegangi dada dengan tangan kiri. Tapi Wiro saat itu sudah kena dilibat tali rotan. Pendekar ini berusaha lepaskan diri tapi tali rotan yang liat itu malah bertambah kencang meremas bahu dan tangannya.

“Sialan!” maki murid Sinto Gendeng. Kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala Loh Jenar yang masih terduduk di tanah. Namun dari samping orang tinggi besar bernama Ametung menggebrak dengan bacokan senjata tajam berbentuk klewang. Membuat mau tak mau pemuda itu terpaksa tarik pulang kakinya. Di saat yang sama Loh Jenar sentakkan ujung tali rotan. Tak ampun lagi Pendekar 212 terbetot keras lalu tergelimpang di tanah. Saat itu pula Ametung tusukkan ujung klewang ke arah tenggorokan Wiro Sableng.

“Jangan bunuh dia Ametung!” Loh Jenar berteriak sambil kencangkan ikatan tali rotan yang kini membelit bahu sampai betis Wiro. “Nyawanya bagian Adipati! Kita cukup senang nanti menyaksikan bagaimana Adipati mengiris tubuhnya sedikit demi sedikit!”

Ametung tarik tangannya dan sisipkan klewang ke pinggang. Wiro berusaha lepaskan diri dengan kerahkan tenaga dalam. Tapi gagal.

“Kalau kalian tidak segera melepaskanku, kalian akan dapat pembalasan dariku!” Wiro mengancam. “Aku tak ada hubungan dengan Joran Kemitir...”

“Tenang anak muda... tenang!” jawab Loh Jenar seraya usap-usap dadanya yang terasa sakit karena terluka di dalam. “Adipati akan melepaskanmu! Tapi bukan tubuh kasarmu, melainkan nyawa busukmu! Dan kami akan menerima hadiah! Ha ha ha!”

Loh Jenar kemudian bertepuk memanggil pengawal-pengawal Kadipaten yang sejak tadi hanya berani berkumpul di sudut halaman menyaksikan apa yang terjadi. Dia menyuruh pengawal-pengawal itu menggotong tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng ke dalam gedung.

SEPULUH

Adipati Unggul Jonggrang keluar dari dalam kamar dengan membekal sebilah keris terhunus, dikawal dengan enam orang perajurit. Ketika dia sampai di ruangan tengah di mana tampak Loh Jenar dan Ametung, sang Adipati sarungkan kerisnya kembali dan sisipkan di pinggang.

Sesaat dia memperhatikan pemuda berpakaian putih berambut gondrong yang dalam keadaan terikat menggeletak di lantai. Dia sama sekali tidak mengenal siapa adanya pemuda itu. Unggul Jonggrang berpaling pada Ametung dan Loh Jenar. Tampangnya tampak berubah kelam merah.

“Bagus benar kelakuan kalian berdua! Kalian lenyap lebih dari dua minggu! Apa kalian lupa kalau aku membayar kalian untuk menjaga keselamatanku dan keluargaku?! Lihat apa yang terjadi! Munding Tambaksati mati dengan kepala putus! Rupanya kalian menginginkan hal itu terjadi padaku!”

Ametung dan Lor Jenar tercekat diam sejenak. Lalu si tinggi besar Ametung menjura seraya menjawab, “Maafkan kami Adipati. Sama sekali tidak ada maksud untuk melalaikan tugas. Kami pergi karena mengetahui Adipati berangkat ke Kotaraja dan mendapat kawalan Munding Tambaksati...”

“Jangan berani bersilat lidah padaku Ametung! Jika kau tidak suka, kau bisa kusuruh angkat kaki dari sini!”

Ametung diam saja. Dia dan juga Loh Jenar tahu betul kalau Unggul Jonggrang tak akan mengusir salah satu dari mereka. Dalam keadaan keselamatan terancam adalah tolol jika dia melakukan hal itu, apapun alasannya.

“Siapa pemuda gondrong itu?!” akhirnya Unggul Jonggrang ajukan pertanyaan.

“Dia kami sergap dekat pintu gerbang. Pasti dia orangnya Joran Kemitir...”

“Aku tidak ada sangkut paut apapun dengan orang itu. Harap kalian membebaskanku!” Wiro Sableng cepat menukas ucapan Loh Jenar.

“Pemuda keparat! Tak ada yang menyuruh kau membuka mulut!” hardik Loh Jenar. Lalu orang tua katai ini tendang dada Wiro membuat pemuda ini mengeluh kesakitan. Tubuhnya mencelat sampai ke dinding ruangan. Dadanya serasa amblas. Pemandangannya sesaat seperti gelap. Darahnya menggelegak. Tapi dia tak bisa berbuat apa. Tali rotan yang mengikat sungguh luar biasa, membuatnya tak berdaya.

“Aku bersumpah membunuhmu katai!” ujar Wiro dengan geraham bergemeletak.

Loh Jenar malah tertawa mengekeh. “Kau tak akan mampu melakukan hal itu anak muda! Adipati Unggul Jonggrang akan membunuhmu lebih dulu. Bukankah begitu Adipati...?” tanya Loh Jenar seraya berpaling pada Unggul Jonggrang.

“Lebih penting jika kalian menangkap atau membunuh Joran Kemitir. Bukan yang satu ini. Tapi kalau tak dihabisi dia bisa membuat kesulitan! Gotong dia ke halaman belakang. Siapkan jeruk nipis. Kulihat tubuhnya penuh otot. Mungkin aku terpaksa bekerja keras!”

Lalu Unggul Jonggrang menghunus kerisnya kembali dan mengikuti Loh Jenar beserta Ametung yang menggotong tubuh Wiro Sableng ke halaman belakang. Adipati Unggul Jonggrang mempunyai kesenangan mengerikan. Dia selalu membunuh orang-orang yang dianggap berbahaya terhadap dirinya dengan jalan megiris-iris daging tubuh dan muka, lalu memeraskan potongan jeruk nipis ke atas sobekan-sobekan luka itu. Kesukaan yang merupakan penyakit gila ini membuat dia merasa senang, terutama jika mendengar jerit pekik korban. Setelah puas baru akhirnya dia membunuh orang itu dengan satu tusukan ganas di tenggorokan.

Masih dalam keadaan terikat tali rotan Wiro Sableng ditegakkan tersandar ke sebuah pohon di halaman belakang. Adipati Unggul Jonggrang mengelilingi korbannya beberapa kali sambil leletkan lidah seolah-olah hendak menyantap hidangan lezat. Ametung yang tadi pergi kembali lagi membawa lebih dari selusin jeruk nipis.

Sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng membeliak. Di hampir tidak dapat mempercayai kalau nasib celaka seperti itu akan menimpa dirinya. “Adipati! Kau harus percaya padaku! Aku tidak ada sangkut paut apa-apa dengan Joran Kemitir. Aku hanya kebetulan saja berada di pintu gerbang Kadipaten!”

"Plakkk...!" Satu temparan mendarat di muka Pendekar 212 membuat bibirnya pecah.

“Iblis pengecut ! Berani menganiaya orang tidak berdaya!” kutuk Wiro.

Ludah bercampur darah yang ada di mulutnya diludahkan nya ke muka keriput Loh Jenar. Diludahi begitu rupa Loh Jenar jadi naik pitam. Dia melompat untuk menghantam muka Wiro dengan jotosan tangan kiri kanan. Tapi Ametung cepat memegang bahunya.

“Jika orang ini pingsan kena hajaranmu, Adipati tidak akan mendapat kesenangan lagi Loh Jenar!”

“Bangsat!” serapah Loh Jenar seraya menyeka mukanya.

“Aku melihat sesuatu tersisip di belakang punggung pemuda ini...” Tiba-tiba terdengar ucapan Ametung.

Pendekar 212 Wiro Sableng menggeram dalam hati dan memmbatin “Jika keparat ini merampas Kapak Maut Naga Geni 212 milikku, ah! Benar-benar celaka!”

Ametung melangkah mendekati Wiro sementara Unggul Jonggrang merasa jengkel karena apa yang hendak dilakukannya jadi tertunda. Karena hampir sekujur bahu, dada dan punggung terlibat tali rotan, untuk melihat benda apa yang tersisip di belakang punggung Wiro, Ametung harus merobek pakaian putih si pemuda di bagian punggung.

“Astaga! Senjata mustika!” seru Ametung tertegun begitu pakaian Wiro robek besar dan sinar menyilaukan membersit dari mata Kapak Naga Geni 212.

“Kalau itu senjata mustika!” berkata Loh Jenar, dia melangkah mendekati Wiro, “itu pantas menjadi milikku!

Lalu dia memutar ujung tali rotan yang mengikat sekujur tubuh Wiro. Pendekar 212 merasakan libatan tali rotan itu mengendur. Namun masih belum cukup kendur baginya untuk menggerakkan tangan apalagi membebaskan diri. Sementara itu sambil mendorong tubuh Ametung, Loh Jenar melompat dan ulurkan tangannya untuk menarik mata kapak.

Tapi sebelum tangannya menyentuh senjata sakti madraguna warisan Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu, tiba-tiba terdengar suara sesuatu runtuh. Berpaling ke samping kiri semua orang menyaksikan tambok halaman belakang gedung Kadipaten bobol berantakan. Dari lobang besar pada tembok melesat masuk sesosok tubuh berpakaian hitam, membentak garang.

“Bagus! Tiga musuh besarku semua ada di sini! Dua segera menerima mampus. Yang satu biar mati ketakutan dulu!”

“Ini dia manusia sialan yang membuatku jadi sengsara begini!” Pendekar 212 menggeram.

Yang datang bukan lain lelaki bermata satu Joran Kemitir!

SEBELAS

Jika seseorang sanggup menjebol dan menerobos tembok hanya dengan mempergunakan sepasang tangan kosong maka ini adalah satu hal yang benar-benar luar biasa. Mau tak mau Unggul Jonggrang, Loh Jenar dan Ametung kadi terkesiap kaget. Apalagi ketika mereka mengenali bahwa yang muncul dan melakukan hal itu adalah Joran Kemitir yang kini bermata satu dan yang dulu sama sekali tidak memiliki kepandaian apa-apa.

“Apakah kalian sudah menyaksikan kepala Munding Tambaksati menggelinding di langkan Kadipaten...?” Joran Kemitir ajukan pertanyaan. Sambil bertanya dia melangkah mendekati pohon tempat Wiro tersandar tanpa daya.

Loh Jenar dan Ametung bersurut beberapa langkah sementara Unggul Jonggrang tegak dengan wajah pucat.

“Cakapmu keren dan sombong amat Joran Kemitir! Apa kau tidak tahu kedatanganmu kemari hanya mengantar nyawa?!” Yang buka suara adalah Ametung.

“Ha ha ha! Begitu Ametung?! Kau yang bakal mampus duluan malam ini!” tukas Joran Kemitir.

Habis berkata begitu lelaki ini ulurkan tangan menremas tali rotan yang mengikat tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng. Sungguh luar biasa! Tali yang liat kuat itu remuk seperti bubuk di beberapa bagian. Tidak menunggu lama Wiro yang kini bisa menggerakkan tangan kiri segera pergunakan kesempatan untuk membebaskan diri dari sisa-sisa ikatan tali rotan.

Selagi Wiro sibuk dengan tali rotan itu, Joran Kemitir telah melompat ke hadapan Ametung seaya menghantam dengan tangan kanan. Adanya angin deras mendahului datangnya serangan ditambah tadi telah menyaksikan bagaimana Joran Kemitir sanggup menjebol tembok halaman belakang yang tebal dengan tangan kosong, sukup membuat Ametung yang bertubuh tinggi besar itu cepat menghindar untuk selamatkan diri dari serangan lawan.

Sambil mengelak Ametung susupkan satu tendangan keras ke arah perut Joran Kemitir. Tapi tidak berhasil mengenai sasaran. Malah kalau Ametung tidak lekas menarik kakinya, hampir saja lawan dapat menangkap kaki itu.

“Aneh, bagaimana manusia yang dulu tidak memiliki kepandaian silat apalagi kesaktian kini tiba-tiba menjadi luar biasa!” membatin Ametung.

Namun dia tak bisa berpikir lebih panjang karena saat itu Joran Kemitir kembali menyerbunya. Kali ini dengan pukulan kiri kanan. Dengan penguasaan ilmu silat tingkat tinggi serta daya meringankan tubuh yang sudah mantap Ametung dapat mengelakkan diri dari semua serangan itu. Tetapi Joran Kemitir memburunya terus.

“Gila! Aku tak bisa bertahan terus!” maki Ametung. Dia melompat cepat ke kiri. Sesaat tubuhnya seperti lenyap. Lalu dari arah berlawanan dia muncul sambil menghantam. Joran Kemitir sesaat agak bingung karena tak sempat melihat di mana lawan sebenarnya berada.

"Bukkk...!"

Joran Kemitir terhuyung ke kanan ketika jotosan Ametung melanda bahunya. Sebelum dia sempat mengimbangi diri satu tendangan mendarat di pinggangnya. Tak ampun lagi Joran Kemitir roboh telentang di tanah. Jotosan apalagi tendangan yang dapat membunuh itu ternyata sama sekali tidak membuat Joran Kemitir cidera sedikitpun. Mengeluh kesakitanpun tidak.

Merasa penasaran Ametung memburu lagi dengan satu tendangan pada saat Joran mencoba bangun. Sasaran kali ini adalah kepala Joran Kemitir.

"Praakkk...!"

“Hancur kepalamu! Mampus!” teriak Ametung ketika melihat tendangannya menghantam wajah Joran Kemitir dengan tepat. Joran sendiri kembali tebanting ke tanah. Tapi kepala itu tidak hancur! Joran Kemitir tidak mati. Dia bangun kembali sambil menyeringai dan melangkah mendekati Ametung dengan dua tangan terpentang.

Ametung keluarkan keringat dingin. “Kalau kuhantam dengan pukulan wesi panas masakan tidak lumer tubuhnya!” membatin Ametung.

Lelaki berdestar hitam ini luruskan tangan kirinya ke depan sedang tangan kanan ditarik ke belakang melewati punggung. Tiba-tiba tangan kanan itu dipukulkan ke depan. Dari telapak tangan Ametung menderu kaluar angin yang luar biasa panasnya.

Demikian panasnya hingga Pendekar 212 Wiro Sableng yang berada enam langkah dari tempat itu dan baru saja berhasil melepaskan diri dari libatan tali rotan berkat pertolongan Joran Kemitir tadi cepat-cepat menjauh singkirkan diri. Ketika memandang ke samping, tengkuknya merinding.

Saat itu terdengar pekik Ametung. Pukulan sakti mengandung hawa sangat panas yang tadi dilepaskan Ametung hanya sanggup membuat tubuh Joran Kemitir tergontai-gontai sasaat. Jangankan lumer, bahkan pakaiannya sajapun tidak cidera.

Pucatlah paras Ametung. Dalam ketakutan yang amat sangat tiba-tiba dilihatnya Joran Kemitir dorongkan tangan ke arahnya. Angin panas yang tadi dipakainya untuk menyerang kini membalik menghantamnya. Malah jelas dirasa hawa panas itu menderu dengan tingkat panas dan kekuatan berlipat ganda. Ametung menjerit. Dia tak sanggup menyingkir ketika angin panas itu melabrak sekujur dirinya. Tubuhnya hangus hitam seperti digarang api, roboh ketanah tanpa nyawa lagi! Bau sangitnya daging yang terbakar memenuhi udara malam!

Meskipun musuh besarnya itu hanya tinggal rongsokan tulang belulang berselimut daging gosong Joran Kemitir seperti belum puas. Dia berlutut di samping mayat Ametung. Kedua tangannya bergerak ke arah kepala. Lalu...

"Kraakkk...!" Kepala Ametung tanggal dari lehernya! Perlahan-lahan Joran Kemitir bangkit berdiri. Mata kirinya tampak seperti menyala. Kepala gosong itu kemudian dilemparkannya ke arah Adipati Unggul Jonggrang yang saat itu berdiri dengan tubuh menggigil dan wajah sepucat mayat. Kalau tidak cepat dia merunduk pasti kepala Ametung akan menghantam kepalanya!

Ketikan dilihatnya Joran Kemitir melangkah mendekatinya, nyali Adipati itu putus! Dia tak ingin mati. Apalagi mati dengan kepala dipotes seperti yang terjadi dengan Ametung dan Munding Tambaksati. Untuk menghadapi Joran Kemitir, dia tidak memiliki kapandaian apa-apa. Sama sekali tidak mempunyai kemampuan.

Masih ada satu harapan untuk menyelamatkan diri. Dari saku pakaiannya Unggul Jonggrang mengeluarkan sebuah benda berbentuk hitam. Sebelum Joran Kemitir datang lebih dekat, Unggul Jonggrang bantingkan benda hitam itu ke tanah.

"Wusss!" Kepulan asap hitam yang memerihkan mata dan menutup pemandangan bergulung-gulung.

“Kurang ajar! Kau mau lari ke mana Adipati iblis!” teriak Joran Kemitir. Dia melompat menembus kepulan asap hitam gelap. Tapi Unggul Jonggrang sudah tak ada lagi di halamaa belakang itu!

“Keparat! Kau bisa kabur Unggul Jonggrang ! Tapi anak istrimu akan kubunuh! Istrimu akan kuperkosa dulu baru kubunuh!”

Joran Kemitir memutar tubuh dan hendak lari memasuki gedung Kadipaten. Namun dia ingat, satu lagi musuh besarnya masih berada di situ yakni manusia katai bermuka keriput bernama Loh Jenar.

DUA BELAS

Begitu Wiro berhasil melepaskan tali rotan di sekujur tubuhnya, pendekar ini segera melompat ke hadapan si katai Loh Jenar. Orang tua buruk inilah yang telah membuatnya tak berdaya dengan tali rotan anehnya itu. Dan juga dia pula yang telah menyiksanya dalam keadaan terikat.

Menghadapi Pendekar 212 Wiro Sableng si katai Loh Jenar tidak merasa takut sama sekali karena memang ia belum tahu siapa adanya pemuda gondrong itu. Tapi menyaksikan kematian kawannya Ametung tadi, membuat mau tak mau nyalinya menjadi ciut. Maka ketika asap hitam membuntal, dia coba menyelinap ke dalam kepulan asap itu untuk meudian melarikan diri.

Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng yang sudah dapat membaca pikiran orang cepat bertindak. Tangan kirinya dihantamkan ke depan. Angin deras serta merta menggemuruh dan melabrak cerai berai gulungan asap hitam. Itulah pukulan angin puyuh! Halaman belakang gedung Kadipaten itu jadi lebih terang kini. Di mana Loh Jenar berada segera terlihat jelas. Saat itu dia hampir berhasil mencapai tembok belakang sebelah barat. Dengan membuat dua kali lompatan Wiro melesat mengejar.

Ketika Loh Jenar melayang melompati tembok belakang yang cukup tinggi itu, di atas tembok justru Pendekar 212 Wiro Sableng telah menunggu. Loh Jenar jadi kalang kabut. Dia hantamkan kedua tangannya ke arah Wiro yang tegak di tembok. Yang diserang cepat melompat ke atas lalu bergelayutan pada cabang pohon yang tumbuh dekat pinggiran tembok. Di bawahnya tembok tinggi tebal itu tampak ambruk sebagian akibat hantaman tangan kosong Loh Jenar.

Karena tadi melepaskan pukulan selagi tubuhnya dalam keadaan melayang, Loh Jenar kehilangan keseimbangan. Terpaksa dia berjungkir balik di udara lalu melayang turun kembali. Tapi si katai ini jadi tersentak kaget ketika melihat Wiro yang tadi dikiranya masih bergelayutan di cabang pohon tahu-tahu sudah tegak berkacak pinggang, menyeringai di hadapannya!

“Ah! Ternyata bangsat satu ini juga memiliki kepandaian tinggi!” Loh Jenar mengeluh dalam hati. Lalu secepat kilat tangan kanannya menyelinap ke balik pakaian.

Melihat gelagat ini Wiro maklum kalau si katai akan mengeluarkan sesuatu, entah senjata apa, tetapi pasti sangat diandalkannya seperti tali rotan yang aneh itu! Karenanya dengan cepat Pendekar 212 Wiro Sableng mendahului menyerang. Pukulan pertama yang dilancarkan Wiro berhasil ditangkis si katai. Ini membuat tubuhnya yang kecil pendek itu terpental ke atas, sedang tangan kanannya tampak matang biru sementara tangan kiri lawan dilihatnya tidak sidera sama sekali.

Meskipun kesakitan tapi Loh Jenar merasa inilah kesempatan kedua baginya untuk dapat mengeluarkan senjata rahasia berupa jarum beracun berwarna biru yang tersimpan di dalam kantong pakaiannya. Kembali Loh Jenar mengeruk ke pinggang pakaian. Hanya saja sekali ini murid Sinto Gendeng tidak memberi kesempatan lagi.

Tubuhnya melompat ke atas. Tangan kirinya berhasil menangkap pergelangan kaki kanan Loh Jenar. Lalu disentakkan kuat-kuat ke bawah. Tubuh kecil pendek itu menderu menghantam tanah.

"Kraakkk!" Loh Jenar menjerit setinggi langit. Tulang bahunya sebelah kanan patah. Mukanya yang keriput berkelukuran menghantam tanah. Tulang hidungnya ikut patah dan darah mengucur. Wiro mendatangi. Tapi dari samping terdengar teriakan Joran Kemitir.

“Jangan kau bunuh bangsat itu! Nyawanya milikku!” Lebih cepat dari langkah Wiro, Joran Kemitir sudah lebih dulu berada di hadapan tubuh Loh Jenar yang tergeletak di tanah. Kaki kirinya langsung menginjak tenggorokan si katai itu.

“Ampun ! Ampuni selembar jiwaku..... !” Loh Jenar meminta dengan suara parau. Dalam keadaan leher terinjak seperti itu dia merasa sia-sia untuk melawan atau meronta lepaskan diri Sekali Joran Kemitir menekankan kakinya, tamatlah riwayatnya!

“Ha ha ha! Kowe masih punya keberanian untuk minta mapun Loh Jenar menusia katai keparat!”

“Ampuni diriku! Aku benar-benar bertobat! Aku tak akan melakukan kejahatan lagi! Ampuni diriku...!” kembali Loh Jenar meminta.

“Baik... baik! Aku akan mengampuni selembar nyawa anjingmu!” berkata Joran Kemitir.

“Jika si mata satu ini berniat memberi ampun pasti ada sesuatu yang lain di benaknya...” membatin Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Aku akan mengampuni nyawamu. Tapi kau harus menjawab beberapa pertanyaanku...”

“Aku akan menjawab seribu pertanyaanmu Joran...!” sahut Loh Jenar yang merasa punya harapan untuk hidup.

“Bagus! Aku hanya punya dua pertanyaan. Pertama siapa yang menculik dan memperkosa istriku...?!”

Loh Jenar seperti dihenyakkan amblas ke dalam tanah ketika mendengar pertanyaan itu. Untuk sesaat dia hanya bisa diam dengan lidah kelu dan tenggorokan berat tertekan kaki Joran Kemitir.

“Setan pendek! Kenapa kau tak segera menjawab?!” hardik Joran. “Siapa yang menculik dan memperkosa istriku…..?! Lekas jawab!”

“Ka... kami... Kami disuruh oleh Adipati Unggul Jonggrang!”

“Siapa yang kau maksud dengan kami?!”

“Maksudku... Munding Tambaksati. Lalu Ametung...”

“Lalu...?!”

“Aku... aku juga ikut menculik. Tapi semua itu Adipati yang memberi perintah...”

“Lalu kalian memperkosa perempuan itu hah?!”

“Ya... begitu. Begitu...”

Rahang Joran Kemitir nampak menggembung. “Sekarang pertanyaan kedua. Di mana istriku sekarang...?"

“Itu aku ti... tidak tahu Joran. Aku bersumpah tidak tahu. Hanya saja...”

“Hanya saja apa?!” sentak Joran ketika Loh Jenar tidak meneruskan kata-katanya.

“Ametung... Ametung pernah ketelapasan bicara setahun lalu. Atas perintah Adipati, Ametung membunuh istrimu. Mayatnya lalu dibuang di jurang Tombakpasir. Yang satu ini aku tidak ikut campur Joran! Benar-benar tidak ikut campur...”

“Bagus! Kau memang orang jujur! Kau layak mampus dengan tenang! Tapi tetap dengan kepala tanggal!”

“Jangan... akh...”

"Krakkk...!" Tulang leher Loh Jenar hancur ketika Joran Kemitir menginjak keras-keras tenggorokan orang tua katai itu. Nyawanya lepas detik itu juga.

Dan detik itu pula Wiro menyaksikan keganasan pembalasan Joran Kemitir. Seperti yang dilakukannya terhadap Munding Tambaksati dan Ametung, Joran Kemitir memuntir putus leher Loh Jenar. Dengan mulut komat-kamit dan pelipis bergerak-gerak dan tangan kanan menjambak rambut di kepala Loh Jenar, Joran Kemitir berlari menuju gedung Kadipaten.

“Apa yang hendak kau lakukan...?” bertanya Pendekar 212 Wiro Sableng seraya berlari mengikuti Joran Kemitir.

“Aku akan membunuh seluruh keluarga Adipati terkutuk itu! Istrinya akan kuperkosa seperti dia memperkosa istriku!” jawab Joran Kemitir. Lalu dia menghardik “Apa urusanmu!”

“Gila! Anak-anak dan istri Unggul Jonggrang tidak ada sangkut paut dengan kejahatan Adipati itu. Mereka tidak berdosa!”

“Ada sangkut atau tidak, ada dosa atau tidak aku tetap akan melakukan! Jangan kau berani ikut campur urusanku! Sekali lagi aku menggebukmu, aku tidak sayang akan nyawamu!”

Cepat sekali Joran Kemitir sudah masuk ke dalam gedung, tepat pada saat Adipati Unggul Jonggrang keluar dari kamat tidur diiringi dua orang anak lelaki 14 dan 15 tahun, lalu seorang anak perempuan masih berumur 4 tahun. Di belakang mereka tampak istri sang Adipati, menggendong seorang anak berusia sekitar 8 bulan!

Istri Adipati Unggul Jonggrang dan anak-anaknya menjerit ngeri melihat munculnya lelaki bermata satu sambil menenteng kepala Loh Jenar yang bagian lehernya masih meneteskan darah!

“Ha... ha... Kau tak sempat kabur Unggul! Kau tidak bisa kabur! Juga istri dan anak-anakmu! Hari ini pembalasan lebih kejam akan kalian rasakan...!”

Bagaimana Unggul Jonggrang yang tadi melarikan diri tahu-tahu kini berada di dalam gedung? Setelah berhasil melarikan diri, Adipati itu masih sempat mendengar ancaman yang diteriakkan Joran Kemitir yaitu hendak membunuh anak istrinya dan memperkosa istrinya sebelum dibunuh. Maka Adipati itu membatalkan untuk terus kabur. Dia berusaha menyelamatkan anak istrinya lebih dulu baru melarikan diri bersama-sama.

Dia sama sekali merasa tidak punya harapan lagi. Tak seorang perajurit atau pengawal Kadipatenpun yang tampak di tempat itu. Semua telah melarikan diri karena ketakutan. Unggul Jonggrang merasakan lututnya bergetar. Suaranya juga bergetar ketika dia membuka mulut,

“Joran! Anak istriku tak ada sngkut paut dengan apapun yang telah kuperbuat. Biarkan mereka pergi! Aku akan menebus semua dosa-dosaku dan bersedia mati bunuh diri di hadapanmu!” Lalu Adipati itu hunus kerisnya dan langsung diarahkan ke batang lehernya!

“Manusia pengecut!” kertak Joran Kemitir sementara anak istri Unggul Jonggrang masih terus berpekikan.

Wiro segera mendekati meeka dan dengan susah payah membawanya ke sudut ruangan yang lebih aman.

“Aku mohon padamu Joran! Aku mohon!” kata Unggul Jonggrang seraya berlutut. “Jangan ganggu anak istriku! Biar aku sendiri yang menanggung segala dosa!”

Habis berkata begitu Adipati Unggul Jonggrang tusukkan keris di tangan kanannya kuat-kuat ke lehernya. Tapi tendangan Joran Kemitir ke arah kepala datang lebih cepat. Kepala itu hancur dan tanggal dari leher, melayang beberapa tombak lalu menggelinding di lantai.

Istri Unggul Jonggrang terpekik lalu roboh pingsan dengan bayi masih berada dalam dekapannya. Tiga anaknya ikut-ikutan roboh menyaksikan kejadian itu dengan maat terbeliak ngeri!

“Sekarang giliran kalian!” berkata Joran Kemitir seraya berpaling ke sudut ruangan di mana istri dan anak-anak Unggul Jonggrang berada.

“Kalau kau berani membunuh anak-anak dan perempuan itu terpaksa aku turun tangan...!” Wiro berkata seraya memapasi langkah Joran Kemitir.

Joran Kemitir membeliak merah. “Jadi benar dugaanku bahwa kau salah seorang kaki tangan Adipati laknat itu!” kata Joarn Kemitir setengah berteriak. Mukanya beringas dan matanya yang hanya satu membeliak.

“Adipati itu sudah mati! Sudah kau bunuh! Apa lagi?! Kau harus pergi dari sini Joran!”

“Dia memang sudah mampus! Tapi anak istriku teraniaya di tangannya! Perempuan dan anak-anaknya itu layak menerima kematian di tanganku!”

“Kalau begitu biar kau yang kubunuh lebih dulu!” Wiro membentak. Karena tangan kanannya masih cidera dan masih terasa sakit maka dia angkat tangan kirinya dan arahkan lurus-lurus ke depan.

Joran Kemitir mengernyit ketika melihat bagaimana tangan si pemuda mulai dari siku sampai ke ujung-ujung jari menjadi putih menyilaukan. Seolah-olah tangan itu telah berubah terbungkus oleh perak!

“Dengar Joarn Kemitir... Kau boleh punya seribu kehebatan dan ilmu kebal!

Tapi tubuhmu tak akan kebal terhadap pukulan sinar matahari yang siap kulepaskan jika kau masih gila hendak mencelakai orang-orang itu!”

Dalam hatinya sebenarnya Wiro bersangsi apakah benar-benar pukulan saktinya itu akan mampu menghantam kehebatan ilmu kebal yang dimiliki Joran Kemitir. Untuk itu dia perlu membuat orang ini merasa takut. Maka Wiro hantamkan tangan kirinya ke arah dua buah pilar besar di bagian belakang gedung. Dua pilar itu hancur berantakan dengan mengeluarkan kepulan asap. Atap di atasnya ikut runtuh!

Tidak sampai di situ, Wiro sekali lagi lepaskan pukulan sinar matahari. Kali ini dia menghantam lantai di ujung kaki Joran Kemitir. Lantai itu porak poranda dan sebuah lobang besar kini tampak di situ! Joran Kemitir sendiri terlempar sampai satu tombak. Tubuhnya berselimut hancuran batu dan debu lantai. Tapi dia tidak cidera apa-apa.

Namun mau tak mau apa yang telah dilakukan Wiro memberi pengaruh hebat pada Joran Kemitir. Mata kanannya berkilat-kilat tanda dia menahan amarah yang amat sangat. Dia meludah ke lantai lalu membalikkan diri sambil campakkan kepala Loh Jenar yang sejak tadi dijinjingnya. Ketika dia berlari meninggalkan gedung Kadipaten itu, dia sama sekali tidak mengetahui kalau Pendekar 212 Wiro Sableng diam-diam mengikutinya dari belakang.

TIGA BELAS

Kuda yang dipacu Pendekar 212 Wiro Sableng hampir mati kelelahan. Tetapi Joran Kemitir yang berada di sebelah depan terus saja memacu kuda tunggangannya.

“Sialan betul manusia mata satu itu. Hampir sepuluh hari aku mengikutinya terus menerus. Perjalanannya seperti tidak berujung! Ke mana sebenarnya dia menuju?!”

Saat itu sudah rembang petang. Teriknya sang surya mulai meredup. Kuda yang ditunggangi Wiro telah mencapai titik akhir kekuatannya. Binatang ini meringkik pendek lalu tergelimpang di tanah. Lidahnya menjulur dan dia tak kuasa bangkit lagi. Wiro usap-usap tengkuk binatang ini. Hatinya merasa hiba untuk meninggalkan begitu saja.

Memandang ke depan Joran Kemitir sudah lenyap di kejauhan. Di dalam hutan kecil itu Wiro berusaha mendapatkan pohon berdaun lebar. Beruntung dia menemukan sederetan pohon keladi hutan. Berbekal beberapa potong daun keladi yang lebar itu dia kini mencari air untuk minuman kuda yang hampir meregang nyawa karena keletihan itu. Dia hanya menemukan sebuah parit kecil berair jernih. Bagi seekor kuda air kotor itu lebih baik dari pada mati kehausan dan keletihan.

Setelah memberi minum bintang itu, dengan mempergunakan ilmu lari kaki angin Pendekar 212 berkelebat cepat ke arah lenyapnya Joran Kemitir. Sampai dia menemukan sebuah bukit batu, orang yang dikejar tidak kelihatan mata hidungnya. Wiro duduk garuk-garuk kepala di atas Bukit Batu itu diselimuti kesunyian yang terasa mencengkam angker.

“Mungkinkah dia menuju ke puncak bukit sana...?” bertanya Wiro pada diri sendiri.

Setelah menimbang-nimbang sejenak akhirnya Pendekar 212 mulai barlari menaiki bukit batu padas itu. Di lereng bukit dia menemukan kuda tunggangan Joran Kemitir. Hatinya lega sedikit. Berarti orang yang dikejarnya tak berada jauh dari situ. Dia terus mandaki sampai akhirnya mencapai puncak bukit. Angin beritup kencang. Rambut gondrong dan pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng berkibar-kibar ditiup angin.

Tidak ada bangunan apapun tampak di puncak bukit itu. Tapi seorang pendekar berkepandaian tinggi seperti Wiro tidak bisa ditipu. Firasatnya mengatakan bahwa bagian dalam puncak bukit batu itu menyembunyikan suatu rahasia. Maka diapun mulai menyelidik dengan hati-hati dan teliti.

Sementara itu di sebelah bawah puncak bukit batu, Joran Kemitir menuruni tangga batu dan akhirnya sampai di sebuah ruangan yang empat puluh hari lalu pernah didatanginya. Ruangan itu tidak berbeda. Dan para penghuninya masih tetap sama seperti dulu. Yakni kakek berambut kelabu bertampang sangat angker yang dikenal dengan nama Tubagus Jelantik alias Maut Bermata Satu dengan tinggi tubuh lebih dari dua meter!

Di salah satu sudut anak lelaki berambut jabrik bernama Kumkum tegak bersandar dengan kedua tangan bersidekap di depan dada dan kaki memakai terompah aneh.

“Embah...! Saya datang sesuai perjanjian!” Joran Kemitir keluarkan suara lalu duduk bersila di hadapan Tubagus Jelantik.

Dari sudutnya Kumkum berseru, “Embah, orangmu sudah datang! Satu hari lebih cepat dari perjanjian!”

“Bagus... bagus!” Embah Tubagus Jelantik mengangguk-angguk dan memandangi Joran Kemitir dengan sepasang matanya. Mata yang satu sebenarnya milik Joran Kemitir. “Apakah semua urusan balas dendammu sudah selesai anak manusia?!”

“Sudah Embah. Berkat ilmu yang Embah berikan saya sduah berhasil menyelesaikan urusan. Adipati Unggul Jonggrang dan kaki tangannya semua mati ditangan saya...”

“Bagus... bagus!” berkata lagi sang Embah.

“Memang bagus Embah!” Kumkum menyeletuk. “Tetapi dia datang tidak sendirian! Dia datang membawa seseorang di luar sana!"

Embah Tubagus Jelantik mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah Joran Kemitir. Joran Kemitir sendiri heran terkejut. Dia memandang tak mengerti pada Kumukum. Anak berambut jabrik berpakaian serba hitam itu balik memandang dengan mata melotot.

“Saya tidak mengerti. Saya datang kemari hanya seorang diri. Tidak membawa kawan atau siapapun!”

Embah Tubagus Jelantik tertawa mengekeh. Kumkum ikut tertawa tinggi dan panjang. “Kau nanti akan mengerti. Nanti akan kuundang orang di luar sana masuk ke tempat ini. Sekarang kita selesaikan dulu urusan kita. Apakah maksud kedatanganmu untuk menyerahkan kembali ilmu kepandaian yang dulu kuberikan atau kau ingin memperpanjangnya empat puluh hari lagi...?”

“Urusan saya sudah selesai. Apa yang saya inginkan sudah tercapai. Karena itu saya berniat untuk mengembalikan dua ilmu kepandaian yang Embah berikan dulu...”

“Hem... begitu. Kumkum, apakah kau setuju anak manusia itu mengembalikan ilmu itu kepadaku...” Embah Tubagus Jelantik minta pertimbangan bocah berusia 12 tahun itu.

“Saya setuju Embah. Urusan kita dengan dia bisa diselesaikan hari ini. Tentunya jika dia memenuhi permintaan kita...”

Embah Tubagus Jelantik memandang kepada Joran Kemitir. “Kau dengar itu anak manusia. Ada permintaan dalam soal mengembalikan ilmu itu...”

“Apakah itu Embah? Kalau soal uang atau harta, saya memang sudah menyiapakannya...” Lalu Joran Kemitir mengeluarkan sebuah kantong besar.

“Ah, kau memang punya pengertian mendalam anak manusia. Letakkan kantong itu di lantai dan buka pakaianmu. Lalu mendekat padaku. Aku akan mengambil dua macam ilmu yang kuberikan padamu dulu...”

Joran Kemitir meletakkan kantong berisi uang di lantai lalu membuka pakaiannya. Setelah itu dia melangkah mendekati Embah Tubagus Jelantik.

“Ulurkan kedua tanganmu anak manusia!” perintah si Embah.

Joran Kemitir ulurkan kedua tangannya. Tapi tiba-tiba sekali tangan sebelah kanan melesat ke muka Embah Jelantik. Dan terdengar pekik orang tua itu ketika seperti yang dilakukannya dulu terhadap Joran Kemitir, kini jari-jari Joran Kemitir mencengkeram dan mengorek mata kirinya!

Bagitu mata itu keluar dari rongganya, Joran cepat membuka kulit hitam penutup mata kirinya. Lalu mata yang barusan dikoreknya dimasukkannya ke dalam rongga mata sebelah kiri yang menjadi bolong sejak empat puluh hari lalu. Kumkum tersentak kaget. Dia melompat ke muka. Tapi embah Tubagus Jelantik bergerak lebih dulu. Sambil meraung antara sakit dan marah dia hantamkan tinju kanannya ke dada Joran Kemitir.

"Bukkk...!"

Joran Kemitir terjengkang jatuh di lantai batu padas. Tapi berkat ilmu kebal yang masih dimilikinya dan yang hanya tinggal satu hari itu, dia tidak mendapat cidera apa-apa, bangkit kembali sambil usap darah yang mengucur dari mata kirinya.

Kumkum berteriak marah. Selagi Joran Kemitir mencoba berdiri bocah ini tendangkan kaki kanannya yang berterompah kayu. Tendangan itu hebat sekali. Belum sampai di sasaran tapi terompah sudah melesat lebih dulu menghantam ulu hati Joran Kemitir. Untuk kedua kalinya Joran Kemitir terjungkal. Tapi lagi-lagi tidak cidera. Dia bangkit kembali dan saat itu justru tendangan kaki kanan Kumkum sampai.

"Bukkk...!"

Joran Kemitir hanya keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya terbanting ke dinding ruangan. Pemandangan mata kirinya masih belum begitu jelas. Tapi mata ini, bersama-sama dengan mata kanan kelihatan membersit beringas. Lalu tampak dia maju mendekati dua lawan yang mengurung dan hantamkan tangan kanannya. Serangannya meleset melabrak dinding batu. Dinding itu hancur, meninggalkan lobang dalam.

“Embah!” teriak Kumkum. “Cepat kau lafatkan mantera pemusnah ilmu kebal dan ilmu pukulannya! Jika tidak kita tak akan mampu menghukum murid murtad ini!”

“Anak manusia ini memang tidak tahu terima kasih!” menyahuti Tubagus Jelantik. “Diberi pertolongan malah kini berani menyerang dan merampas mataku!”

“Kau yang duluan merampas mataku Embah! Patut aku mengambilnya kembali!”

“Bagus! Bagus...! Hari ini aku akan mengambil lagi berikut nyawawamu!” jawab Embah Tubagus Jelantik yang kini memang cocok dengan gelar Maut Bermata Satu. Mulutnya komat-kamit. Matanya sebelah kanan menatap tak berkesiap ke arah Joran Kemitir.

Sadar apa yang hendak dilakukan orang terhadapnya dan tak mau kehilangan ilmu kebal seta ilmu pukulannya di saat-saat berbahaya itu, Joran Kemitir segera menghantam ke arah Tubagus Jelantik. Yang diarahnya adalah bagian perut di bawah pusat kakek bertubuh jangkung ini. Tetapi Joran jadi terkejut ketika tiba-tiba dia merasakan tubuhnya kehilangan bobot dan melayang. Tangannya menjadi ringan dan pukulannya tidak ubah seperti lambaian belaka!

“Celaka! Apa yang terjadi! Aku kehilangan ilmu pukulanku!” berseru Joran Kemitir dalam hati.

“Ilmu pukulannya sudah lenyap Embah!” terdengar Kumkum berteriak begitu melihat apa yang terjadi dengan Joran Kemitir. “Lekas lenyapkan ilmu kebalnya! Biar kita dapat membunuhnya saat ini juga!”

Kembali mulut Embah Tubagus Jelantik tampak komat kamit. Joran Kemitir tidak tahu mau berbuat apa. Hendak menyerang dia sadar kini tidak lagi memiliki ilmu pukulan. Berada terus di situ, sekali ilmu kebalnya lenyap, nyawanya pasti tak akan tertolong lagi. Karena itu sesaat kemudian tanpa pikir panjang lagi dia melompat menuju tangga batu. Maksudnya segera melarikan diri. Tapi sebelum lari dia masih sempat menyambar kantong berisi uang.

Kalau sebelumnya Joran Kemitir memiliki kegesitan luar biasa, kini setelah ilmu pukulannya lenyap dan ilmu kebalnya sedikit demi sedikit memunah, maka dia tidak mampu berlari kencang. Baru saja dia berhasil mencapai anak tangga terbawah, dia merasakan kedua kakinya bergetar dan berat untuk diangkat.

Saat itulah Kumkum dan Embah Tubagus Jelantik mendatangi dan dari jarak dua tombak orang ini lepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat! Dua larik gelombang angin menderu menghantam tubuh Joran Kemitir. Nyawanya tidak akan tertolong lagi!

EMPAT BELAS

Tapi tidak disangka-sangka ketika dua pukulan maut itu siap merengut nyawa Joran Kemitir, dari tangga batu terdengar suara bergaung. Satu gelombang angin sedahsyat topan prahara menyambar di lorong tangga, melewati kepala Joran Kemitir lalu memapasi dua rangkum angin pukulan Kumkum dan Tubagus Jelantik! Ruangan batu padas itu bergeletar keras seperti hendak runtuh digoncang gempa!

Dinding, lantai dan langit-langit retak-retak. Joran Kemitir tersungkur ke tangga. Kepalanya menghantam sanding anak tangga. Kali ini terdengar dia mengeluh. Luka di keningnya mengucurkan darah dan kini dia merasakan sakit setelah ilmu kebalnya lenyap.

Di bagian lain si anak berambut jabrik dan orang tua berambut kelabu tampak tergelimpang berguling-guling di lantai. Wiro yang melepaskan pukulan sakti bernama benteng topan melanda samudra tadi melengak heran ketika melihat dua orang itu bangkit berdiri tanpa dapatkan cidera apa-apa.

“Mereka memiliki ilmu kebal luar biasa!” berkata Wiro dalam hati. Kumkum dan Tubagus Jelantik memandang marah ke arah Pendekar 212. Ini rupanya bangsat yang dibawa anak manusia keparat itu!” berteriak Tubagus Jelantik.

Sekali ini Joran Kemitir tidak berani mengatakan bahwa dia tidak membawa pemuda gondrong itu ke tempat itu. Keselamtannya justru berada di tangan si pemuda. Tapi sanggupkah dia menolongnya?

“Monyet gondrong lekas katakan sebelum kau mampus! Siapa kau sebenarnya?!” Kumkum berteriak. Anak ini cukup cerdik. Dia telah menyaksikan kehebatan pukulan sakti Pendekar 212 Wiro Sableng. Kalau tidak memiliki tenaga dalam sangat tinggi tak mungkin lawan tak dikenal ini sanggup lepaskan pukulan dahsyat begitu rupa. “Datanglah mendekat biar lebih jelas kulihat tampangmu!” Kembali Kumkum bersuara.

Tapi Wiro Sablengpun berlaku cerdik. Kalau Joran Kemitir bisa memiliki ilmu pukulan yang sanggup menciderai dan melumpuhkan tangan kanannya, maka sebagai pemilik asli ilmu pukulan itu, kedua orang tersebut tentu memiliki kekuatan lebih hebat dan lebih ganas. Karenanya Wiro tak berani mendekat. Malah sambil siap dengan pukulan dinding angin berhembus tindih menindih untuk menjaga segala kemungkinan dia berkata mengejek.

“Kakek bau dan bocah jelek siapa sudi dekat-dekat dengan kalian. Antara kita tidak ada silang sengketa. Jika kau membiarkan kawanku ini pergi dengan bebas, aku bersedia menganggap urusan kita selesai sampai di sini!”

Embah Tubagus Jelantik tertawa mengekeh. Seperti biasa Kumkum pun ikut-ikutan tertawa aneh.

“Tak ada urusan yang akan selesai sebelum kau dan anak manusia itu mampus di tanganku!” berkata Tubagus Jelantik. Lalu dia melesat ke arah Wiro seraya lepaskan pukulan dengan tangan kanan dan kiri. Kumkum tidak tinggal diam. Bocah berambut jabrik ini kirimkan tendangan terompah kiri ke arah kepala Pendekar 212!

Maka Wiro pun lepaskan pukulan sakti lewat tangan kirinya. Mula-mula terdengar suara angin seperti tiupan seruling. Lalu berubah menjadi suara gelegar seprti bajir besar melanda bumi. Tubagus Jelantik seperti megnapung di udara. Tak bisa maju tak bisa mundur. Dia tak sanggup menerobas angin deras yang memapasi dirinya. Setelah kerahkan tenaga dalam sehabis yang bisa dimilikinya, akhirnya tubuhnya melorot ke bawah dan jatuh berlutut dengan nafas terengah-engah.

Wajahnya yang angker tampak memucat. Tetapi tidak demikian dengan terompah aneh milik Kumkum. Terompah ini seperti tidak terpengaruh oleh kehebatan pukulan sakti yang dilepaskan Wiro, terus menerobas gelombang angin dan berdesing ke arah kepala Pendekar 212!

“Edan!” maki Wiro dalam hati. Dia cepat rundukkan kepala. Hampir terlambat. Terompah kayu itu masih sempat menyambar rambut gondrongnya. Rambut itu seperti tersambar pisau amat tajam dan panas, terbabat putus dan keluarkan bau sangit! Terompah itu sendiri kemudian menghantam dinding batu di sampingnya, menancap sampai setengah. Batu di sekeliling tancapan tampak menjadi lebih hitam karena hangus!

Mau tak mau murid Sinto Gendeng jadi leletkan lidah. Seumur hidupnya tak pernah dia melihat senjata aneh seperti terompah kayu bocah berambut jabrik itu!

Melihat serangan terompahnya hanya mampu “memangkas” sedikit rambut lawan, Kumkum berteriak gusar.

“Embah! Lekas kau habisi si gondrong itu! Aku akan menyaksikan dari sudut persemedian!” Kumkum berteriak. Lalu anak ini melompat ke sudut ruangan sebelah kiri. Di sini dia tegak pejamkan mata sambil rangkapkan sepasang tangan di atas dada.

Tubagus Jelantik yang maklum apa yang akan dilakukan oleh anak itu, sesuai perintah segera menyerang Wiro dengan pukulan-pukulan jarak dekat. Wiro sambut dengan balas menyerang. Pendekar ini cabut terompah kayu yang menancap di dinding lalu lemparkan ke arah Tubagus Jelantik. Karena sambil memegang terompah Wiro salurkan tenaga dalamnya maka terompah itu serta merta menjadi sangat panas dan menderu dalam kecepatan luar biasa ke arah si jangkung tua berambut kelabu!

Dari sudut tempatnya berada, meskipun matanya terpejam tapi Kumkum seolah-olah dapat menyaksikan apa yang terjadi. Bocah ini meniup ke depan. Terompah kayu seperti melabrak batu karang dan hancur berkeping-keping sebelum sempat mengenai Tubagus Jelantik. Menyaksikan hal itu Pendekar 212 segera maklum dan cepat membaca situasi.

Orang tua yang dipanggil Wmbah itu hanya sekedar pengacau untuk menarik perhatian. Serangan sebenarnya justru akan datang dari si bocah aneh! Maka ketika Tubagus Jelantik menyerbu untuk kedua kalinya, Wiro lepaskan pukulan sakti untuk membendung gerakannya, tetapi dalam lain kejapan dia hantamkan pukulan sinar matahari ke arah Kumkum.

Semedi bocah ini serta merta buyar ketika kilatan sinar putih yang menyilaukan dan sangat panas berkiblat di ruangan batu padas itu seperti hantaman kilat datang dari langit!

Kumkum berteriak memberi peringatan pada Tubagus Jelantik lalu melompat ke langit-langit ruangan. Lantai dan dinding tempatnya tadi berdiri hancur berantakan dihantam pukulan sinar matahari. Sinar pukulan sakti ini memantul dan menyambar ke arah Tubagus Jelantik. Hal inilah yang sudah lebih dahulu terbaca di benak Kumkum maka dia tadi berteriak memberi ingat. Tapi terlambat.

Pantulan pukulan sinar matahari yang masih panas membara itu menghantam pinggul kirinya. Orang tua berambut kelabu ini berteriak keras. Sebagian tubuhnya hangus menghitam. Dagingnya seperti dipanggang. Dalam keadaan sekarat dia bersandar ke dinding. Diam-diam tangan kanannya menyelinap ke pinggang.

Lima buah senjata rahasia berbentuk paku rebana berwarna hitam tergenggam di tangannya. Lima senjata mengandung racun jahat ini langsung dilemparkan ke arah Wiro Sableng. Demikian derasnya daya lesat lemparan itu hingga suara desingannya saja terdengar sedang bentuknya sama sekali tidak kelihatan.

Bagi orang silat berkepandaian tinggi justru suara saja sudah cukup membuat dia waspada. Begitu juga dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu mendengar suara berdesing, tanpa menoleh dia menghantam ke atas dengan tangan kiri.

"Tringg-Tringg-Tringg-Tringg-Tringg...!"

Lima senjata rahasia paku rebana mental kian kemari. Celakanya satu diantara lima senjata beracun itu mental dan menancap tepat di pangakl leher Joran Kemitir yang saat itu tergeletak dekat kaki tangga batu. Joran keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya menggeliat sesaat. Lehernya tampak menjadi sangat biru. Nafasnya putus sesaat kemudian. Dia mati dengan mata melotot.

Di dinding sebelah kiri Embah Tubagus Jelantik merasakan ada hawa sangat panas yang merangsak ke seluruh bagian tubuhnya. Kedua kakinya tak sanggup lagi bertahan. Tubuhnya terbating ke lantai. Nyawanya melayang!

Dan terjadilah satu keanehan. Dari tubuh yang tidak bernyawa itu lagi tampak memancar cahaya redup berwarna kuning. Cahaya ini berbentuk seperti sosok tubuh anak kecil, melayang ke sudut ruangan di mana Kumkum berdiri. Cahaya itu seperti masuk ke dalam tubuh anak itu. Sesaat Kumkum tampak bergeletaran lalu tenang kembali. Wiro tercengang menyaksikan kejadian itu.

“Ilmu memindahkan sukma...” desisinya. Jelas kalau Embah Tubagus Jelantik sebenarnya tidak memiliki ilmu kepandaian apa-apa. Semua kehebatannya didapat dari anak berusia 12 tahun itu. Dan ilmu kepandaian itu kembali ke pemiliknya semula setelah Tubagus Jelantik menemui kematian.

“Anak luar biasa... Bagaimana sekecil ini dia bisa memiliki ilmu kesaktian sehebat itu!” kembali Wiro membatin.

Kumkum sendiri saat itu tampak tenang. Berbeda dengan sikapnya sebelumnya yang lekas marah dan banyak mulut. Sesaat dia memandang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Kalau tidak salah, bukankah tadi kau melepaskan pukulan sinar matahari...?” si anak bertanya.

“Heh...! Wiro terkesiap. Mana dia menyangka kalau si anak bisa mengenali pukulan saktinya itu.

“Hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu itu dalam dunia persilatan. Yaitu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Jadi kaukah orangnya...?”

Wiro hanya bisa terdiam. Walau tidak menerima jawaban tapi Kumkum sudah tahu bahwa dugaanya tidak meleset. Anak ini tiba-tiba menjura.

“Aku menghormati pendekar sepertimu walau kita berbeda haluan. Antara kita tidak ada silang sengketa. Mari kita menganggap segala urusan selesai sampai di sini. Sebenarnya aku menyayangkan pertemuan yang hanya sebentar ini. Di lain kesempatan aku ingin mendapat pelajaran lebih banyak darimu. Apa pendapatmu Pendekar 212...?"

“Kau bocah kurang ajar!” jawab Wiro. “Usia kita terpaut jauh. Dan kau enak saja memperaku diri dan mengkamu-kamukan aku yang lebih tua!”

Kumkum tertawa panjang. “Dunia ini memang aneh,” katanya. “Kita harus berbuat banyak untuk menyingkap keanehan itu. Apa yang disaksikan dengan mata telanjang belum tentu itulah keadaan yang sebenarnya...”

“Apa maksudmu...?” tanya Wiro.

“Kau pecahkan sendiri pendekar.” Habis berkata begitu sekali lagi Kumkum menjura. Lalu dia berkelebat ke arah tangga. Di lain kejap sosok tubuhnya pun lenyap.

Wiro menghela napas panjang. Memandang berkeliling dia melihat kantong berisi uang dan perhiasan yang tadi dibawa Joran Kemitir tergeletak di dekat anak tangga. Pendekar ini garuk-garuk kepalanya.

“Kalau tidak aku ambil, akan ada orang lain yang akan mengambilnya. Lebih baik aku ambil saja!”

Lalu Wiro membungkuk mengambil kantong itu. Selangkah demi selangkah dia menaiki tangga batu. Udara di luar tampak mulai gelap. Ketika dia sampai di anak tangga terakhir, tersa ada yang bersiur di sampingnya. Wiro cepat menghantam. Tapi hanya memukul tampat kosong. Dalam pada itu kantong kain di tangan kanannya terbetot lepas!

“Penjambret edan! Kau minta mampus!” teriak Wiro seraya berpaling.

Terdengar suara tertawa. Suara tertawa Kumkum. Memandang ke depan, sekitar sepuluh langkah di depannya memang tampak anak itu berdiri seraya mengacungkan kantong kain berisi uang dan perhiasan.

“Jadi manusia tidak boleh serakah. Jika dapat rejeki harus dibagi-bagi!” terdengar bocah itu berkata sambil tangannya membuka ikatan kantong kain. Lalu sebagian uang dan perhiasan dalam kantong dituangnya di atas batu padas. Dia memandang pada Wiro. “Itu bagianmu. Yang dalam kantong bagianku. Ha ha ha!”

“Anak licik! Konyol!” maki Wiro.

Kumkum tertawa nyaring. Dia lambaikan tangannya. Lalu sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu. Wiro garuk-garuk kepala.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.