Muslihat Cinta Iblis

Sonny Ogawa

MUSLIHAT CINTA IBLIS

SATU

DI UJUNG malam di mana cuaca masih gelap dan hawa dingin membungkus serta angin berhembus kencang, laut selatan bergelombang dahsyat tidak seperti biasanya. Dalam keadaan seperti itu sebuah perahu berpenumpang dua orang-seolah tak bisa dipercaya meluncur pesat membelah ombak. Bertindak sebagai juru mudi adalah seorang gadis berparas cantik mengenakan pakaian biru tipis. Rambutnya yang panjang melambai lambai ditiup angin.

Di sebelah depan perahu tegak seorang pmuda bertubuh tinggi kokoh. Keningnya diikat dengan sehelai kain merah. Dia mengenakan sebuah mantel hitam. Dengan cara aneh yakni berdiri dan mempergunakan dua batang bambu panjang besarnya tidak melebihi ibu jari orang ini mendayung perahu. Setiap bambu-bambu itu dicucukkan ke dalam air laut, perahu melesat ke depan.

“Aku melihat satu gundukan benda hitam di depan sebelah kiri. Mungkin itu pulau yang kita cari!” berkata lelaki muda di depan perahu seraya arahkan matanya ang tidak berkedip jauh ke depan.

“Bukannya mungkin, tapi itu memang pulau tujuan kita!” menjawab juru mudi si gadis cantik.

“Bagus! Kita sampai lebih cepat dari dugaan!” ujar pemuda bermantel hitam. “Namun aku menangkap isyarat-isyarat aneh!”

“Isyarat aneh apa?” tanya si gadis

“Sebelumnya aku dan juga kau pernah menyiasati dan menyelidik keadaan pulau itu. Setiap hal itu dilakukan selalu ada kekuatan-kekuatan yang membuyarkan pemusatan pikiran. Sekarang getaran-getaran itu masih terasa. Tapi halus sekali bahkan nyaris sirna…”

“Aku tidak heran,” menjawab si gadis. “Kekuatan dan kesaktian yang kau miliki saat ini mana ada yang bisa menandingi”

Pemuda yang berdiri di depan perahu menyeringai. Cuping hidungnya tampak mengembang oleh pujian itu. Dua bambu panjang di kiri kanan kembali ditusukkan ke dalam air laut. Perahu kecil itu melesat pesat ke depan. Tak selang berapa lama perahu sampai di pulau batu. Dua penumpangnya melompat ke luar sebelum perahu sempat menyentuh dasar pulau.

“Hati-hati”, kata si pemuda. “Di tempat seperti ini bahaya bisa muncul tak terduga. Maut bisa menyambar sebelum kita sempat melihat!”

Sambil memegang tangan pemuda bermantel hitam, gadis berkata. “Kalau aku sendirian di pulau ini mungkin aku merasa khawatir. Tapi bersama pendekar yang menjadi raja diraja di dunia persilatan siapa takut?!”

“Kau pandai memuji. Kalau urusan di pulau ini sudah selesai aku akan membawamu bersenang-senang selama tiga hari tiga malam. Kau suka…?”

sebagai jawaban si gadis memeluk tubuh pemuda lalu mengecup bibirnya. Kalau saja berada di tempat lain mungkin pemuda itu sudah terangsang dan ikut terbuai dalam gelegak nafsu.

“Jangan gila…! si pemuda berbisik dengan suara bergetar. “Urusan dulu baru bersenang-senang!”

“Di tempat sesunyi dan dingin begini, apa yang perlu dikhawatirkan?” Gadis berbaju tipis berkata dan sepertinya tidak mau menghentikan peluk ciumnya. Dia baru terperangah ketika si pemuda menjambak rambutnya lalu mendorong tubuhnya.

“Kekasihku kalau kau tidak mau menuruti kemauanku, sebaiknya kau menyingkir dulu!” Atau mungkin kau lupa pernah menyaksikan bagaimana aku menggebuk babak belur dua gadis cantik kurang ajar tempo hari?”

Mendengar ancaman orang, gadis cantik ini lepaskan rangkulannya. Nafasnya mengengah dan dadanya yang besar tampak turun naik tanda dia berusaha menekan gejolak nafsu yang menguasai dirinya.

Dalam udara yang masih gelap dan angin kencang laksana bayang-bayang dua orang itu berkelebat di pulau batu. Di salah satu puncak bebukitan batu mereka berhenti dan memandang berkeliling.

"Jangan-jangan kita terlambat. Aku hampir yakin pulau ini kosong…!" berkata lelaki bermantel.

"Hari masih gelap. Penglihatan kita terbatas. Sebentar lagi pagi segera datang. Bagusnya kita tunggu sampai hari terang, menjawab gadis berbaju biru tipis. Lalu dia mencari tempat yang rata dan merebahkan tubuhnya. Dari caranya menggolekkan badan serta gayanya memandang jelas dia kembali berusaha memikat si pemuda. Tapi yang hendak dipikat tak bergerak di tempatnya malah bertanya.

"Kekasihku. apa yang membuatmu sampai bertingkah aneh seperti ini?"

"Apa ini salahku? Ingat berapa lama sudah kita tidak bersenang-senang? Sekarang ada kesempatan. Mengapa tidak dipergunakan?"

Pemuda itu membungkuk. mendekatkan kepalanya ke wajah si gadis. Mengira dirinya hendak dicium, si gadis itu gerakkan tangan untuk merangkul. Tapi dengan cepat pemuda di atasnya mengibaskan tangan itu seraya berkata,

"Sekali lagi kau berani melakukan sesuatu yang mengganggu urusanku, kupecahkan kepalamu. Aku tidak main-main"

Si gadis terbelalak. Rahang si pemuda menggembung, pelipisnya bergerak-gerak dan pandangan matanya menyengat angker. Perlahan-lahan dia bangkit dan duduk di alas batu tidak bergerak juga tidak berani keluarkan suara.

Perlahan-lahan langit dan ujung laut di sebelah timur kelihatan mulai terang tanda sang surya akan segera muncul menerangi jagat. Tak lama kemudian pulau itu menjadi terang benderang. Kemanapun mata dilayangkan hanya bebatuan merah yang tampak. Pemuda bermantel memberi isyarat agar gadis yang duduk di atas batu segera bangkit.

“Kita salah menduga. Agaknya bukan cuma kita berdua yang ada di pulau batu merah ini”

Gadis berbaju biru bangkit berdiri. Dalam udara seterang itu jelas terlihat bagaimana tipisnya pakaian yang membalut tubuhnya hingga setiap lekuk auratnya terlihat dengan jelas.

“Bagaimana kau bisa bilang begitu? Kau melihat sesuatu?" bertanya si gadis.

Yang ditanya menggoyangkan kepala ke arah barat. Di tepi pantai pulau batu sebelah barat tampak dua buah perahu terapung-apung di sela-sela batu karang merah.

“Kalau begitu kita harus bertindak cepat mencari orang itu!” kata si gadis pula. Belum selesai dia berucap pemuda bermantel sudah berkelebat. Mula-mula kedua orang itu mengitari pinggiran pulau. Mereka tidak menemukan siapa-siapa kecuali tanda-tanda di sebelah timur bahwa sebelumnya memang ada orang di tempat itu

“Sebaiknya kita menyelidiki ke bagian tengah pulau”, kata orang bermantel pada gadis temannya.

Si gadis mengangguk. Kedua orang itu lalu berkelebat ke pusat pulau. apa yang mereka temukan di pertengahan pulau itu membuat keduanya terkesiap. Di sini mereka menemukan bagian pulau yang hancur porak poranda.

“Ada orang di bawah sana!” si gadis menunjuk.

Lelaki bermantel mengangguk. “Aku melihat tanda-tanda sebelumnya ada sebuah... mungkin dua buah terowongan di bawah sana, batu-batu yang sangat atos ini. Bagaimana dan siapa yang telah menghancurkannya? Ini bukan perbuatan alam. tapi pekerjaan tangan manusia!" Orang ini terdiam sesaat sementara sepasang matanya lurus memeriksa dengan tajam.

"Hemmm… Ada keanehan. Tempat ini hancur berantakan. Batu-batu merah pecah dan rengkah. Tapi aku sama sekali tidak melihat puing atau pecahan batu!"

Paras si mantel hitam mendadak berubah. “Keparat!" keluar kutukan dan mulutnya. “Jangan-jangan kita sudah kedahuluan. Kau tunggu di sini. Aku akan turun menyelidik!"

"Aku ikut!” ujar si gadis. Lalu begitu pemuda bermantel masuk ke dalam lobang dia langsung saja ikut terjun.

“Hemm!… ini terowongan pertama…" kata si pemuda begitu menjejakkan kakinya di dalam lobang dan melihat mulut sebuah terowongan. Dia masuk ke dalam terowongan sampai beberapa belas langkah. "Agaknya terowongan ini berhubungan dengan pantai. Ada angin bertiup ke arah sini… Tak ada apa-apa di sini."

Kedua orang itu segera keluar dari dalam terowongan. Di mulut terowongan mereka perhatikan terusan lobang di sebelah bawah. Keadaan di tempat ini lebih parah dibandingkan dengan lobang sebelah atas. Tanpa berkata apa-apa dia melompat turun. Sesaat kemudian dia sudah menginjakkan kaki di atas lantai lobang batu merah yang pecah dan rengkah. Tidak seperti di atas. Di sini dia melihat ada dinding batu yang jebol dan pecahan-pecahan batu bertebaran di mana-mana. Otaknya yang cerdik serta merta bisa menduga.

"Ada dua orang menjebol tempat ini.Yang pertama menjebol tanpa menebar pecahan batu. Yang kedua daya hantamnya mungkin lebih dahsyat tapi tidak mampu menghindarkan pecahan batu bertebaran ke mana-mana..."

Pemuda ini mengatakan apa yang ada dalam benaknya pada si gadis. Lalu bertanya. "Kau bisa menduga siapa kira-kira dua orang penjebol tempat ini?"

"Sulit menduga” Jawab si gadis lalu menatap wajah pemuda berdagu kukuh itu. “Aku melihat parasmu berubah. Agaknya ada sesuatu yang mendadak menjadi ganjalan?"

"Ini akibat penipuan yang dilakukan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Aku bersumpah akan menguliti tubuh mereka lalu mencincangnya sampal lumat! Pendekar 212 Wiro Sableng belum mati! Aku yakin salah satu dan dua penjebol tempat ini adalah dia!"

"Manusia satu itu bisa kita urus nanti. Sekarang baiknya kita menyelidik ke dalam terowongan sana," kata si gadis pula.

Dengan hati-hati kedua orang ini masuk ke dalam terowongan kedua. Belum jauh masuk tiba-tiba pemuda bermantel hentikan langkahnya sementara si gadis keluarkan seruan tertahan dan tersurut sampai dua langkah. Di lantai terbujur sesosok jerangkong manusia.

"Lagi-lagi aku melihat keanehan. Batu-batu atos di luar sana bisa hancur dan rengkah. Tapi jerangkong lapuk ini seolah tidak tersentuh sedikit pun. Tetap utuh. Tak ada satu tulang pun yang tanggal dari persendiannya!”

Pemuda itu membatin dan memandang dengan mata tak berkedip Rahangnya menggembung, dagunya seolah membatu.

"Tengkorak siapa itu…" terdengar si gadis bertanya.

“Aku yakin itu tengkorak orang Cina yang dikabarkan melarikan diri dari Tiongkok sekitar tujuh puluh tahun silam. Tapi siapa pun jerangkong keparat ini adanya bagiku tidak penting! Jauh lebih penting mencari di mana beradanya kitab itu!”

Nada kesal jelas terdengar pada suara orang bermantel hitam. Beberapa kali dia menjambak dan menyisir-nyisir rambutnya yang hitam dan basah oleh keringat. Si gadis sendiri saat itu pakaiannya telah basah oleh peluh hingga membungkus ketat tubuhnya yang bagus.

“Aku akan menyelidik ke dalam sana. Kau tunggu di sini!” Si pemuda lalu melangkah melewati jerangkong di lantai terowongan. Tak selang berapa lama dia muncul kembali dengan paras membesi.

"Benda yang kita cari tidak ada di sini. kita telah kedahuluan orang. Pasti manusia-manusia yang telah menjebol tempat ini yang mendapatkannya! Keparat!”

"Belum tentu mereka…"

"Lantas siapa? Setan pulau atau jin laut?!" si pemuda membentak.

Dibentak seperti itu gadis berpakaian tipis geleng-gelengkan kepala. "Kau telah memiliki satu kitab sakti. Itu adalah kenyataan. Tapi tentang Kitab Dewa itu. Dari jalinan kisahnya sulit dipercaya kalau kitab itu benar-benar ada. Jangan-jangan hanya cerita kosong yang sengaja disebar untuk mengacaukan dunia persilatan!”

Pemuda di hadapan si gadis menyeringai lalu tertawa. Tawanya seolah dipaksakan. "Kalau begitu banyak tokoh dan dedengkot dunia persilatan merebutkan kitab yang satu itu, kalau Ratu Duyung dikabarkan ikut campur urusan ini dan kalau Pendekar 212 sampai menyabung nyawa, bagiku Kitab Putih Wasiat Dewa bukan cerita kosong!" Si pemuda memandang kearah jerangkong di depannya.

“Keparat jahanam! Sayang kau tidak bisa bicara! Biar kuhancurkan sekalian!"

Habis berkata begitu pemuda ini hentamkan kaki kanannya ke arah jerangkong Karena tendangan itu bukan tendangan bisa maka sekali tendang saja pastilah jerangkong yang sudah sangat lapuk itu akan mental den hancur berantakan. Pada saat tendangan akan mendarat di sosok jerangkong sekonyong-konyong dikejauhan melengking suara tiupan seruling menusuk telinga. Bersamaan dengan itu terdengar suara dahsyst auman harimau menggetarkan seantero tempat itu. Lalu udara di dalam terowongan yang tadinya panas mendadak berubah menjadi sangat dingin.

DUA

Gadis berbaju biru berteriak agar mereka segera keluar dari dalam terowongan. Tapi pemuda bermantel tidak mengacuhkan. Tendangannya tetap diteruskan. Sejengkal lagi kaki kanannya akan menghantam bagian kepala Jerangkong tiba-tiba entah dari mana datangnya, satu tabir kabut putih menutupi terowongan itu.

Dua orang di dalam terowongan tak dapat melihat apa-apa lagi. Tendangan kaki kanan si pemuda melenceng ke samping, menghantam dinding terowongan. Bagian batu yang terkena tendangan langsung hancur berkeping-keping

"Melangkah mundur. Keluar dari tempat ini cepat. Ada kekuatan gaib menguasai tempat ini!” teriak pemuda bermantel. Dia sama sekali tidak merasa takut namun menghadapi musuh atau kekuatan yang tidak terlihat mau tak mau dia merasa kawatir juga lalu melangkah mundur sambil menarik tangan si gadis.

Di dalam lobang di luar terowongan kedua, mereka menunggu namun kabut yang menutupi pemandangan tidak kunjung sirna. Si pemuda meraba baju hitamnya dl bagian dada.

"Aneh…. Ketika ada kekuatan menghalangi, kenapa dia tidak membalas dengan sinar kematian…?Ah! Sekarang semakin jelas bagiku, kesaktian yang kumiliki dari benda di balik pakaianku ini tidak akan keluar kecuali aku mendapat serangan secara langsung!"

Memikir sampai di situ semakin tidak enak hati si pemuda. Lalu sambil memberi isyarat pada si gadis dia mendahului melesat keluar dari lobang. Baru saja mereka menginjakkan kaki masing-masing di luar lobang di permukaan bukit batu merah, kedua orang ini dikejutkan oleh empat sosok tubuh yang berkelebat muncul dan langsung mengurung mereka.

"Siapa kalian?! Jangan berani berniat jahat kecuali ingin jadi bangkai tak berkubur di pulau batu merah ini!" teriak si gadis yang segera melihat gelagat tidak baik.

Sebaliknya lelaki bermantel tetap tenang saja. memandang satu persatu pada keempat orang yang ada di sekelilingnya sambil menyeringai. Dia hanya mengenaI satu saja dari keempat orang itu, yang agaknya sengaja memilih tempat berdiri menjauh dari tiga orang lainnya.

Orang ini bertubuh gemuk pendek, wajahnya merah seram seperti dedemit. Pada cuping hidungnya sebelah kiri melingkar anting aneh terbuat dari akar bahar. Dia hanya mengenakan sehelai celana gombrong putih dekil. Bagian tubuhnya yang tidak tertutup kelihatan merah seperti udang rebus. Sekujur tubuhnya menebar bau minuman keras.

Di pinggangnya melingkar sebuah ikat pinggang besar. Pada ikat pinggang ini bergelantungan selusin kendi terbuat dari tanah, masing-masing penuh berisi tuak keras. Di tangan kirinya ada lagi sebuah kendi yang setiap selang beberapa saat disorongkannya ke mulutnya lalu dengan lahap tuak keras yang ada dalam kendi itu diteguknya.

Kalau berdiri kepalanya tak bisa diam, bergerak kian kemari. Tubuhnya bergoyang-goyang seolah mau rubuh. Dari mulutnya terdengar suara berkepanjangan. Entah meracau entah menyanyi.

"Sobat tua yang aku hormati dan kupanggil dengan gelar besar lblis Pemabuk! Ada apakah! kau muncul membawa tiga gembel jelek ini?!"

Mendengar pemuda bermantel munyebut gelar si gemuk pendek bertelanjang dada yang membawa kendi-kendi tuak terkejutlah gadis di sebelahnya. Alamat urusan menjadi runyam. Kalau tidak ditangani bisa berabe. Aku dengar Iblis Pemabuk memiliki kepandaian tinggi luar biasa begitu si gadis membatin.

Tiga orang yang disebut sebagai gembel jelek kelihatan menjadi merah seperti melepuh tampang masing-masing Dari pakaian dan dekilnya tubuh mereka memang tidak salah ketiganya disebut gembel jelek. Mereka mengenakan pakaian rombeng banyak tambalan.

Yang di sebelah kanan seorang kakek tegak memegang sepotong tongkat butut. Di sampingnya seorang nenek berdiri sambil berkipas-kipas dengan kipas bambu yang selalu dibawanya ke mana-mana. Di sebelah nenek ini berdiri seorang kakek memegang satu batok kelapa yang selalu diulurkan seperti sikap seorang minta sedekah.

Anehnya walau tadi muka mereka menjadi merah diejek namun sesaat kemudian ketiga orang tua aneh ini dongakkan kepala lalu sama keluarkan suara tertawa mangekeh. Begitu kekehan mereka berhenti kakek yang memegang batok kelapa yang rupanya menjadi pimpinan diri tiga manusia aneh itu berpaling pada pemuda bermantel lalu membentak.

“Si gendut pemabuk itu tidak ada sangkut pautnya dengan kami bertiga. Kami datang sendiri dia datang sendiri”

"Oh! Begitu?!” lelaki bermantel kerenyitkan kening. menyeringai lalu angguk-anggukkan kepala.

Ditempat lain si gemuk pendek berjuluk lblis Pemabuk tertawa melengking lalu berkata. "Terima kasih sudah ada yang menerangkan jadi aku tak perlu memberi tahu!”

“Kalau terhadap lblis Pemabuk pemuda bermantel bersikap dan bicara hormat maka tidak begitu halnya dengan tiga tua bangka yang tegak di depannya.”

“Monyet-monyet rombeng! Kalau kalian memang tidak datang berbarengan dengan sobatku Iblis Pemabuk dan tidak ada sangkut pautnya dengan sobat tuaku itu, maka lekas beri tahu siapa kalian dan apa tujuan kalian bersikap menghadang mengurung diriku dan kekasihku ini.”

“Kekasih cantik! Huah! Kapan aku bisa punya kekasih secantik itu!" tiba-tiba lblis Pemabuk berteriak lalu buka mulutnya lebar-lebar dan gluk-gluk-gluk dia tenggak tuak dalam kendi yang dipegangnya. Eh, dia kenal aku, tapi aku tidak kenal dia…! "Anak muda bermantel! Menyebutku sobat tua adalah satu penghinaan! Sekali lagi kau berani memanggilku begitu ambles nyawamu!”

Lelaki bermantel cepat menjura. "Orang gagah. harap maafkan kalau panggilan itu tidak berkenan di hatimu!” Lalu dia berpaling pada tiga orang tua di hadapannya. "Jika kalian bertiga tidak mau mengatakan siapa kalian dan apa tujuan muncul di pulau ini menyingkirlah sebelum kepala kalian aku potes satu demi satu!"

Mendengar kata-kata itu karuan tiga orang tua itu tertawa gelak-gelak. Yang satu bolang-balingkan tongkatnya. Si nenek terus berkipas-kipas sedang kakek satunya lagi ulur tarik tangannya yang memegang batok berulang kali.

Pemuda bermantel habis kesabarannya. Dia maju selangkah tapi kakek yang memegang batok cepat menghadang sambil berkata, "Masih muda jangan cepat mengibas amarah! Orang pemarah bisa mati berdiri! Bukankah begitu leman-teman?"

"Betul!" teriak si nenek sambil berkipas. Kali ini kipasnya mengeluarkan suara menderu-deru seperti kobaran api ditiup angin deras.

"Betul!" seru si kakek satunya sambil goyang-goyangkon tongkatnya di udara hingga mengeluarkan suara seperti cambuk.

“Hemmm… Monyet-monyet tua ini sengaja unjukkan kehebatan. Dikiranya aku takut!" Lalu dia berseru. "Aku memberi kesempatan sekali lagi. Jika kalian bertiga tidak lekas merat dari hadapanku, jangan salahkan kalau kekasihku yang cantik ini akan memberi pelajaran pada kalian!"

"Pelajaran apa?!" tanya kakek yang memegang tongkat dengan nada dan sikap mengejek.

"Mungkin pelajaran bagaimana caranya berciuman! Ha ha ha…!" menimpali kakek yang memegang batok kelapa.

"Kalau memang itu pelajarannya, apa aku boleh pula meminta pelajaran berciuman darimu, anak muda?! Hik hik hikkk!" Si nenek tertawa cekikikan.

Batas kesabaran pemuda bermantel habis sudah. Dia angkat tangan kanannya untuk menghantam tapi kakek yang memegang batok kelapa cepat berseru,

"Tahan! Biar kita bicara baik-baik dulu! Urusan baik kalau memakai cara baik hasilnya tentu baik pula!"

“Tua bangka keparat! Kau masih belum memberi tahu apa kau punya urusan! Kau juga tidak memberi tahu siapa dirimu dan dua kawanmu itu adanya!"

“Wuuuut!"

Si kakek lambaikan batok kelapanya hingga serangkum angin keras menderu namun hal ini bukan merupakan serangan yang ditujukan pada pemuda bermantel.

“Hari sudah siang! Tak ada gunanya bicara bertele-tele. Apa maumu akan kupenuhi. Baik! Aku segera memberi tahu siapa aku dan dua sahabatku. Kami bertiga selalu sungkan memberi tahu nama. Biar kuberi tahu saja julukan kami bertiga. Harap kau memasang telinga dan mendengar baik-baik. Kami adalah Tiga Pengemis Dari Akhirat!”

Gadis berbaju biru jadi ternganga sedang pemuda bermantel hitam walau agak bergetar tapi tetap berlaku terang. Siapa yang tidak mengenal tiga manusia berjuluk Tiga Pengemis Dari Akhirat ini! Sesuai dengan gelaran yang mereka sandang, ketiganya memang merupakan pengemis-pengemis yang hidup dari sedekah orang lain.

Namun mereka bukan pengemis biasa. Selain memiliki kepandaian tinggi mereka terkenal ganas dan kejam. Soal membunuh bagi mereka sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. Bahkan pernah tersiar kabar bahwa ketiganya menerobos masuk ke dalam Keraton dan mengamuk habis-habisan sebelum beberapa perwira tinggi yang dibantu oleh tokoh-tokoh silat istana datang mengusir.

Sambil menyeringai pemuda bermantel berkata, “Aku gembira bisa bertemu muka dengan orang-orang hebat macam kalian. Tapi ada gerangan apa Tiga Pengemis jauh-jauh datang dari Akhirat ke pulau batu merah yang serba gersang ini?“

Kakek yang memegang batok kelapa batuk-baluk beberapa kali lalu menjawab. “Seperti tadi aku bilang. Hari sudah siang. Urusan harus diselesaikan cepat. Tak usah bicara panjang lebar bertele-tele. Dengar baik-baik anak muda. Aku datang ke pulau ini untuk mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Kalian berdua kulihat keluar dari dalam lobang sana. Salah satu dari kalian pasti telah mendapatkan kitab sakti itu saat ini. Lekas serahkan padaku, lalu kalian boleh pergi dengan aman!"

Di sebelah belakang terdengar suara gelegukan berulang kali. Iblis Pemabuk meneguk habis tuak dalam kendi tanah. Begitu seluruh isi ambles ke dalam perut dia tidak segera membuang kendi tanah itu melainkan seperti makan kerupuk garing kendi tanah itu dikunyahnya sampai habis. Kalau tidak terpaku pada urusan Kitab Putih Wasit Dewa semua orang yang ada di situ pasti akan melengak terkesiap melihat apa yang barusan dilakukan Iblis Pemabuk.

"Aku sudah berkata apakah kalian berdua tuli hingga tidak segera menyerahkan benda yang aku minta?!" Pengemis tua yang memegang batok kelapa membentak

"Pengemis tua! Kau dan dua kawanmu jauh-jauh datang dari akhirat hanya membuat ketololan besar. Kau datang ke tempat yang salah. Bicara pada orang yang salah! Berarti kalian kalau mati pun secara salah!"

“Apa maksudmu?!" bentak pengemis tua yang perempuan seraya melotot dan sesaat berhenti berkipas-kipas.

Lelaki bermantel menyeringai. Dia berpaling pada gadis di sebelahnya. “Kekasihku, perlihatkan pada mereka kita bukan bangsa kecoak yang bisa diancam dan ditakut-takuti!"

Gadis berbaju biru tipis tersenyum. Gigi-giginya kelihatan rata putih bercahaya. Bibirnya dikulum. Mulutnya dibuka sedikit. Lidahnya yang basah dijulurkan ke kiri dan ke kanan sedang sepasang matanya terpejam. Selagi Tiga Pengemis Dari Akhirat terpesona melihat sikap yang seolah mengundang itu tiba-tiba tubuh si gadis berkelebat lenyap.

Seruan tertahan terdengar tiga kali berturut-turut. Di lain kejap si gadis telah kembali tegak di samping pemuda bermantel. Dia berdiri sambil memegang batok kelapa. tongkat dan kipas bambu milik Tiga Pengemis Dari Akhirat. Lelaki bermantel tertawa bergelak melihat dua kakek dan satu nenek pengemis di depannya berdiri dengan muka pucat.

"Ah… ah… ah! Kekasihmu, memang telah memberikan pelajaran yang sangat berguna. Kuharap tidak mengecewakan dibanding dengan pelajaran yang barusan kami berikan padanya!"

Tentu saja pemuda bermantel dan gadis di sampingnya jadi heran mendengar ucapan itu sementara Iblis Pemabuk terus saja meneguk minuman keras dari dalam kendi tanah seolah tidak perduli apa yang terjadi di depan hidungnya. Pemuda bermantel berpaling pada gadis di sebelahnya. Si gadis sendiri seperti bingung menunduk memperhatikan dirinya.

Astaga! Dua orang itu sama-sama terperangah. Si gadis seputih kertas wajahnya. Saat itu ternyata pakaiannya di bagian dada tepat di arah jantung telah berlubang Lalu pada pergelangan tangan sebelah kiri tampak guratan panjang. Lebih dari itu pada pakaian biru dibagian bawah pusat kelihatan robekan memanjang.

Jika ketiga orang itu berniat jahat terhadapnya maka tadi-tadi waktu dia merampas tongkat, batok kelapa dan kipas, dirinya pun sebenarnya sudah diancam bahaya maut. Tiga Pengemis Dari Akhirat bisa menusuk hancur jantungnya memutus urat besar di pergelangan tangannya atau menjebol isi perutnya!

Bagaimana pun tabahnya si gadis namun diam-diam dia jadi keluarkan keringat dingin juga. Ketika ketiga orang tua itu mengulurkan tangan, entah sadar entah tidak si gadis menyerahkan kembali tongkat, batok kelapa dan kipas yang tadi dirampasnya dengan kecepatan kilat.

"Kita sudah saling memberikan pelajaran" berucap kakek yang memegang batok kelapa. "Sekarang apakah kalian masih belum mau menyerahkan kitab yang kami minta?!"

"Kami memang masuk ke dalam lobang batu, terus ke dalam terowongan sebelah bawah. Kami hanya menemukan satu sosok jerangkong. Kitab yang kalian inginkan tidak kami temui!" menjawab lelaki bermantel hitam

“Dusta!" bentak kakek yang memegang batok

“Beraninya kau bicara bohong setelah nyawa kekasihmu kami ampuni!” teriak pengemis nenek-nenek.

“Penipu busuk!” hardik kakek yang memegang tongkat.

Ketiganya serentak maju ke depan tapi pemuda bermantel cepat menyongsong. Begitu sampai di hadapan ketiga pengemis, berkepandaian tinggi itu dia kibaskan mantel hitamnya ke belakang. Kini terlihat pakaiannya sebelah dalam. Yakni sehelai baju dan celana hitam. Pada dada baju hitamnya terpampang lukisan puncak gunung Merapi berwarna biru, berlatar belakang sang surya yang memancarkan sinar merah dan kuning.

“Pangeran Matahari” seru Tiga Pengemis Dari Akhirat dengan tenggorokan mendadak kelu dan lidah tercekat. Tampang keriput mereka berubah pucat sedang sepasang kaki masing-masing bersurut mundur.

Mereka sama sekali tidak mengira bahwa orang dengan siapa saat itu mereka membuat urusan adalah momok nomor satu dalam rimba persilatan yaitu pemuda berjuluk Pangeran Matahari yang dikenal sebagai pendekar ganas segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik segala congkak!

Di seberang sana Iblis Pemabuk terus saja menenggak minuman keras dari dalam kendi tanah walau kini beberapa kali sepasang matanya mengerling tajam ke arah si pemuda.

“Tiga Pengemis Dari Akhirat! Buka mata kalian baik-baik! Apa sudah tahu dengan siapa saat ini kalian tengah berhadapan?!"

Dua kakek dan satu nenek saling bertukar pandang. Lalu kakek yang memegang batok kelapa menjura dan mengumbar tawa. “Sungguh tidak disangka. Dan kami bertiga sungguh sangat bersyukur ternyata kami berhadapan dengan tokoh besar rimba persilatan yang kami kenal dengan gelar dahsyatnya yaitu Pangeran Matahari! Kami gembira ternyata kami berhadapan dengan sobat satu golongan!”

“Manusia-manusia haram jadah! Siapa bilang aku sobat kalian!" Pangeran Matahari membentak lalu meludah. Sikap sombong congkak dan ganasnya yang sejak tadi disembunyikan kini keluar.

"Kami tidak menyalahkan kalau Pangeran tidak merasa bersobat dengan kami bertiga. Itu disebabkan kita tak pernah saling jumpa sebelumnya. Karena kita sama-sama satu golongan tentu Pangeran tidak akan terlalu berat hati menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu pada kami, Paling tidak meminjamkannya barang beberapa lama!"

Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. Lalu dengan mata angker melotot dia berkata. "Kalian bertiga lekas angkat kaki dari sini. Kalau tidak aku akan mengirim kalian ke kampung halaman kalian di Akhirat sana!"

“Pangeran, mengapa bersikap sekasar itu dengan kawan-kawan satu golongan?!" Nenek pengemis kini angkat bicara.

"Perempuan sundal. Biar kau kubuat mampus duluan!" bentak Pangeran Matahari. Lalu telapak tangan kanannya didorong ke depan. Perlahan saja. Satu gelombang angin panas mengeluarkan suara desis tajam menyambar.

Nenek pengemis cepat kibaskan kipas bambunya. Bersamaan dengan itu dia menyingkir ke samping. Dari samping perempuan tua ini balas menggempur dengan menusukkan ujung kipasnya ke tenggorokan Pangeran Matahari.

Pada saat itu juga Pangeran Matahari merasakan ada hawa ganas di dadanya di mana terikat Kitab Wasiat Iblis. Di lain kejap selarik sinar hitam disertai aliran angin dahsyat menyapu ke arah nenek pengemis. Satu jeritan menggoncang tempat itu. Tubuh si nenek mencelat beberapa tombak. Ketika tubuh itu jatuh ke atas batu merah keadaannya mengerikan untuk disaksikan. Sosok tubuh si nenek kini telah berubah menjadi tulang belulang berwarna hitam mengepulkan asap!

Sementara dua kakek pengemis menjerit keras menyaksikan kematian sobat mereka. Iblis Pemabuk masih terus asyik dengan tuaknya. Dari mulutnya tiada henti keluar ucapan-ucapan yang tidak jelas sedang tubuhnya terhuyung kian kemari dan sepasang kakinya digesek-gesekkan di atas batu merah.

“Pangeran keparat! Kau telah membunuh salah satu dari kami! Tak ada jalan lain! Serahkan nyawa anjingmu pada kami!” teriak kakek pengemis disebelah kanan. Batok ditangannya digoyangkan. Serangkum sinar kelabu berkiblat, menyambar ke arah Pangeran Matahari.

Kakek pengemis satunya tidak menunggu lebih lama. Tongkatnya ditusukkan ke dada sang Pangeran tepat di arah jantung. ini merupakan dua serangan yang sebelumnya sukar dikelit atau ditangkis lawan karena gerakan dua kakek itu besar-besar cepat luar biasa.

Namun apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa dan mengerikan. Didahului oleh suara menderu keras, dari dada Pangeran Matahari melesat keluar dua larik sinar hitam. Dua kakek membentak nyaring. Meski mereka telah menyaksikan kematian si nenek namun mereka tidak mau menyingkir. Malah keduanya lipat gandakan tenaga serangan. Sinar kelabu yang keluar dari batok kelapa menggelegar. Tusukan tongkat menderu siap untuk menembus dada sampai ke jantung.

Sang Pangeran berdiri tak bergerak. Di wajahnya menyeruak seringai mengejek. Sesaat kemudian terdengarlah jeritan dua kakek pengemis itu. Tubuh mereka yang kurus mengapung di udara lalu jatuh bergedebukan di atas batu merah tak jauh dari kerangka hitam si nenek Keduanya menemui ajal dalam keadaan tidak berbeda. Berubah menjadi tulang-tulang hangus menghitam. Sesaat kesunyian yang mengandung maut menggantung diudara.

Pangeran Matahari melirik ke arah lblis Pemabuk. Manusia gemuk pendek ini tampak duduk menjelepok di atas sebuah gundukan batu merah dan masih terus sibuk dengan kendi tuaknya. Sang Pangeran melangkah mendekati. Tiba-tiba Iblis Pemabuk melompat dan berteriak. Satu langkah lagi kau maju akan kubunuh! Jangan harap aku mau membagi minuman enak ini padamu!"

Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Dia menunggu dan berharap agar Iblis Pemabuk menyerangnya. Ternyata orang itu kembali sibuk dengan minumannya.

"Aku harus memancingnya agar dia benar-benar menyerang!" kata Pangeran Matahari dalam hati. Lalu dia berseru, "Iblis Pemabuk, aku yakin kau yang membawa tiga tua bangka itu kemari. Kau membuat aku tidak senang. Hatiku tidak tenteram kalau aku tidak membunuhmu!"

"Ah…!" lblis Pemabuk seolah terkejut mendengar ucapan lantang Pangeran Matahari itu. Setelah meneguk tuaknya beberapa kali sampai mukanya bertambah merah, kendi diturunkannya lalu dia memandang pada pemuda di depannya. Sambil geleng-gelengkan kepala dia mulai tertawa. "Anak manusia! llmumu memang tinggi! Setan sekalipun bisa kau bunuh sampai tujuh kali! Tapi Jangan mimpi hendak membunuhku! Aku tidak akan terpancing untuk menyerangmu! Ha ha ha!"

Pangeran Matahari jadi terkejut besar. "Apakah manusia pantat botol ini tahu rahasia kesaktian Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik dada pakaianku? membatin Pangeran Matahari. Otak cerdiknya segera diputar lalu berkata. "Harap kau beri maaf. Tadi memang aku sengaja memancing. Tapi setelah tahu kau sebenarnya tidak berniat jahat akupun tak akan memendam maksud tidak baik terhadapmu. Aku malah berniat mengundangmu datang ke puncak Merapi untuk hadir dalam pesta mabuk-mabukan tujuh hari tujuh malam. Kalau kau suka tujuh perempuan cantik akan kusediakan untukmu!"

"Ah undangan bagus! Aku suka minum sampai satu malam suntuk. Apalagi kalau sampai tujuh malam. Tapi aku tidak doyan perempuan! Aku yakin perempuan yang kau berikan padaku adalah bangsa pelacur yang bisa membuat aku ketularan penyakit kotor! Huh!"

"Untukmu kupilihkan para gadis yang masih perawan."

Iblis Pemabuk terdiam dan tampak setengah melongo.

"Bagaimana? Kau terima undanganku?"

Yang ditanya menggeleng lalu tertawa panjang. "Aku harus mengakui kehebatanmu Pangeran. Kalau kau bisa memberikan tujuh perawan padaku, hitung-hitung sudah berapa puluh perawan yang kau lalap sendiri?"

Tampang Pangeran Matahari tampak merah mengelam. Namun dia cepat menekan amarahnya. "Kalau kau tak suka pelacur atau perawan masih banyak perempuan lain. Sebutkan saja yang bagaimana yang kau suka?"

Iblis Pemabuk hentikan tawanya. Dia.meneguk tuak dalam kendi. Tubuhnya kembali terhuyung-huyung. Lalu dia melangkah terseok-seok ke arah gadis baju biru. Tiga langkah di hadapan si gadis dia berhenti. Matanya berputar-putar jelalatan memandang gadis ltu.

"Kau suka padanya? Kalau suka kau boleh menjemputnya di gunung Merapi Tapi kalau kau mau memberitahu di mana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa kau boleh mengambilnya saat ini juga!"

Si gadis berpaling marah dan berteriak. "Jangan Kau berani memperlakukan diriku serendah itu!"

Setengah berbisik Pangeran Matahari berkata. "Kekasihku, jangan kawatir. Si gendut pemabuk ini tidak akan mengiyakan pertanyaan ku"

"Betul… Memang betul! Aku tidak suka padanya!" Iblis Pemabuk berucap. "Dia memang cantik. Wangi tubuhnya mampu mengalahkan harumnya tuakku. Tapi maaf saja. Aku tidak tahu dimana beradanya kitab yang kau tanyakan itu Lagipula aku tidak suka bersenang-senang dengan perempuan bekasmu!"

Wajah si gadis menjadi merah seperti saga mendengar kata-kata itu. Sambil tertawa panjang Iblis Pemabuk balikkan tubuh dan melangkah pergi.

"Kau biarkan bangsat yang menghina diriku dan ilmumu itu pergi begitu saja…?!" teriak si gadis.

"Aku memang ingin membunuhnya. Tapi sengaja kutunda. Siapa tahu kelak dia ada gunanya bagi ku"

Si gadis merengut dan membuang muka ke jurusan lain. Pada saat itulah pandangannya membentur sesuatu di atas batu merah di hadapannya. "Lihat!" teriak si gadis seraya menunjuk ke depan.

Pangeran Matahari maju beberapa langkah dan memperhatikan batu merah yang barusan ditunjuk Di situ tertera tulisan buruk tak karuan tapi masih bisa dibaca, berbunyi: Aku mengundangmu datang ke Pangandaran hari 10 bulan 10. Kalau kau tidak berani datang lebih baik bunuh diri dari sekarang

Pangeran Matahari dan kekasihnya saling pandang. "Pasti Iblis Pemabuk yang membuat tulisan itu. Mempergunakan kuku kakinya…" desis si gadis

"Jelas undangan ltu ditujukan padaku. Ada apa hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran?" Sang Pangeran coba berpikir

"Soal undangan gila itu mengapa musti dipikirkan sekarang. Lagipula hari sepuluh bulan sepuluh masih lama…" berkata si gadis.

"Kau betul kekasihku. Mari kita tinggalkan pulau ini. Ada tugas yang harus benar-benar kau laksanakan" kata Pangeran Matahari pula sambil melingkarkan tangannya di pinggul gadis cantik itu.

********************

TIGA

Gerobak sapi yang sarat dengan padi kering itu meluncur perlahan di jalan mendaki menuju Kotaraja. Kusir gerobak seorang pemuda kurus sesekali melirik ke samping dimana duduk terkantuk-kantuk seorang kakek berjubah putih. Orang ini mengenakan caping lebar hingga sebagian wajahnya tertutup. Dia ikut menumpang dari desa Tambak Lor di kaki sebuah bukit jauh di sebelah Selatan Kotaraja.

Sepanjang perjalanan diatak banyak bicara. Beberapa kali kusir gerobak mencoba mengajaknya bercakap-cakap namun jawabnya pendek-pendek saja. Agaknya dia memang tak mau bicara atau mungkin juga keletihan. Anak muda kusir gerobak itu sama sekali tidak mengetahui kalau mata orang tua yang terpejam itu sebenarnya tidak mengantuk. Sebaliknya sepasang mata itu tiada hentinya memperhatikan keadaan tempat-tempat yang dilalui.

“Banyak perubahan kulihat. ini saja masih Jauh dari Kotaraja. Kalau sudah masuk ke Kotaraja keadaannya tentu lebih banyak berubah. Salah-salah aku bisa kesasar kalau berjalan sendiri. Tujuh puluh tahun memang bukan waktu singkat. Orang-orang seusiaku di Keraton pasti sudah banyak yang mati. Aku masih bersyukur diberi umur panjang. Namun apa gunanya hidup sampai seusia tua renta, begini kalau hanya mendekam dan menahan beban batin.” Kakek bercaping itu bicara sendiri dalam hati lalu menarik nafas panjang.

"Orang tua, kukira kau sudah tertidur pulas." pemuda kusir kereta menegur.

Kepala yang memakai caping itu bergerak sedikit. Dengan tangan kirinya si orang tua mengangkat bagian depan capingnya Dia melihatsesuatu di kejauhan. Untuk pertama kalinya orang tua ini ajukan pertanyaan. "Bukankah itu pintu gerbang menuju Kotaraja?"

"Betul Kek. Bukankah ke sana tujuanmu?"

"Anak muda, maukah kau berbaik hati sekali lagi menolongku?"

"Menolong apa Kek?" tanya kusir gerobak

"Aku tak ingin memasuki Kotaraja. Ambil jalan berputar, membelok ke kanan. Melewati pinggiran timur."

"Wah, berarti kita menyimpang jauh sekali. Aku harus buru-buru sampai di Kotaraja majikanku pemilik padi akan marah besar kalau aku kemalaman dan terlambat sampai di gudangnya”

“Aku mengerti… “ kata orang tua bercaping.

Anak muda kusir gerobak itu merasa hiba juga rupanya Lalu dia berkata, "Bagaimana kalau kau aku turunkan di pintu gerbang lalu kau meneruskan perjalanan dengan jalan kaki atau mencari tumpangan lain?”

“Begitupun tak jadi apa. Tapi aku menumpang gerobak sapimu ini tidak cuma-cuma.”

"Maksudmu Kek?"

Dari balik jubah putihnya orang tua itu mengeluarkan sebuah benda bulat berwarna kuning yang berkilauan terkena sinar matahari petang. Benda itu diletakkannya di atas pangkuan kusir gerobak. Begitu melihat benda tersebut, kusir gerobak segera mengambilnya.

"Uang emas…" katanya lalu berpaling pada si orang tua yang wajahnya selalu terlindung caping lebar itu. "Tak pernah kulihat uang seperti ini sebelumnya. Agaknya ini mata uang lama. Apa betul-betul emas Kek?"

"Itu emas murni. Untukmu, kalau kau mau membawaku ke jurusan timur…"

“Kau tidak bergurau Kek?"

“Apa kau kira aku bergurau?"

"Wah... wah! Untuk uang emas ini aku tidak kawatir dimarahi majikanku. Dipecatpun aku tidak takut!" kata pemuda penarik gerobak. Lalu pecutnya diangkat tinggi-tinggi. Dihantamkan ke punggung Sapi penarik gerobak. Bersamaan dengan itu dia menarik tali kekang. Gerobak berderik keras dan membelok ke arah timur.

Si kakek kembali berdiam diri dan duduk terkantuk-kantuk. Sementara itu sang surya perlahan-lahan merayap ke ufuk tenggelamnya Di satu tempat si kakek angkat bagian depan caping bambunya dan bertanya pada pemuda kusir gerobak.

“Anak muda, tembok panjang dan tinggi di sisi jalan sebelah kiri ini tembok apakah?” si kakek ajukan pertanyaan.

"Orang tua, kau tentunya sudah puluhan tahun tak pernah datang ke Kotaraja, tak pernah melewati jalan ini. Tidak heran kalau kau tidak tahu tembok apa yang ada di sisi kiri jalan. Itu tembok pembatas kawasan makam istana…"

Mendadak saja dada kakek bercaping itu jadi berdebar. Dia berpikir sesaat lalu bertanya lagi. "Di mana pintu masuknya?"

Masih jauh di depan sana…"

“Kalau begitu, turunkan aku selewatnya pintu masuk."

Kusir gerobak itu jadi heran. "Kalau kau hendak menyambangi makam seseorang mengapa tidak turun tepat di depan pintu masuk?" Yang ditanya tidak menjawab. "Lagipula sudah petang begini aku kawatir kau tidak akan diizinkan masuk kawasan makam. Baik oleh juru kunci maupun para pengawal."

Orang tua itu diam saja. Gerobak meluncur terus sampai melewati pintu masuk kawasan makam istana.

"Berhenti di sini." kata si kakek. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia turun dari gerobak. Sesaat dia masih tegak di tepi jalan memperhatikan gerobak sapi berputar. Setelah gerobak itu lenyap di kejauhan baru dia berbalik. Pandangannya segera tertuju pada sebatang pohon besar yang tumbuh di dekat tembok sebelah sana dengan cabang-cabangnya menjuntai masuk melewati tembok kawasan makam.

Meskipun usianya sudah sangat lanjut ternyata orang tua itu masih cukup cekatan untuk memanjat pohon. Dalam waktu singkat dia sudah berada di bagian dalam kawasan makam istana. Dia bergerak cepat dari satu makam ke makam lainnya. Setiap dia berdiri di depan sebuah makam hatinya berdebar.

Dengan cepat dia memperhatikan nama ahli kubur yang dimakamkan di situ. Saking perhatiannya tercurah pada apa yang dilakukannya, orangtua ini sampai tidak menyadari bahwa saat itu seorang pengawal bersenjata tombak tahu-tahu muncul di depannya bersama juru kunci makam.

“Orang tua, kau tahu berada di mana saat ini?" juru kunci makam yang berusia enam puluh tahun itu menegur dengan ramah.

Sebaliknya sang pengawal langsung saja membentak. "Buka capingmu! Aku ingin melihat tampangmu! Jangan-jangan kau seorang gembong pemberontak yang hendak merusak makam Kerajaannya!”

“Kalian petugas-petugas yang cekatan. Aku menurut perintah…" kata si orang tua lalu perlahan-lahan dibukanya caping lebar di atas kepala yang sejak tadi menutupi mukanya.

Begitu caping terbuka juru kunci makam dan si pengawal tersurut sampai tiga langkah. Mereka melihat satu wajah tua berkumis, berambut dan berjanggut putih. Mulutnya komat-kamit mengunyah sirih dan tembakau. Wajah itu wajah tua biasa saja, namun yang membuat kedua orang itu jadi tercekat adalah begitu melihat muka si orang tua belang sebelah. Bagian sebelah kanan berwarna biru.

Saat itu petang hari menjelang matahari hendak tenggelam. Suasana di kawasan makam yang penuh ditumbuhi pohon-pohon besar lebih gelap dan mendatangkan suasana angker.

“Orang tua. siapa kau adanya? Mengapa masuk ke dalam kawasan makam istana tanpa izin?" Orang tua juru kunci makam bertanya. Suaranya bergetar tanda dia berusaha menahan rasa takut.

“Saudara, kau tentu saja tidak mengenali siapa diriku. Aku lahir empat puluh tahun lebih dulu dari kamu. Harap maafkan kalau aku masuk tanpa izin dari kalian berdua. Aku mencari makam seseorang…"

"Orang tua kami harus membawamu ke gardu untuk ditanyai!” pengawal bertombak membuka mulut.

Orang tua bermuka belang yang bukan lain adalah Raja Obat Delapan Penjuru Angin alias Pangeran Soma tidak perdulikan ucapan si prajurit. Dia terus bicara dengan sang juru kunci.

"Raja Tua, ayahanda dari Raja yang bertahta sekarang pernah mempunyai seorang istri bernama Siti Layangsari. Seperti Raja Tua perempuan itu juga telah meninggal dunia. Aku melihat makam besar Raja Tua di sebelah sana. Apakah Siti Layangsari juga dimakamkan di tempat ini?"

"Orang tua!" bentak pengawal makam. "Sungguh lancang kau berani menanyakan peri kehidupan Raja Tua dan istrinya! Aku harus menangkapmu sekarang juga!”

"Pengawal kau rupanya tak bisa diajak bicara secara baik-baik. Terpaksa aku membuatmu jadi patung!” Habis berkata begitu Raja Obat Delapan Penjuru Angin kebutkan caping bambunya

"Hekkk!" Terdengar suara seperti tercekik di tenggorokan pengawal makam. Saat itu juga dia tak sanggup bersuara dan tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi.

“Juru kunci makam, apakah kau ingin kujadikan patung seperti dia?”

Orang tua penjaga makam itu tentu saja menjadi ketakutan.

“Kau kulihat ketakutan. Kalau kau tak mau kuubah jadi patung hidup lekas beri jawaban atas pertanyaanku tadi"

Juru kunci itu menggelengkan kepala berulang kali. "Aku sudah bekerja lebih dari tiga puluh tahun. Aku tahu betul tak ada perempuan bernama Siti Layangsari dimakamkan di tempat ini."

Raja Obat alias Pangeran Soma jadi terdiam mendengar keterangan orang dihadapannya. “Kau yakin sekali hal itu?"

“Yakin sekali. Aku berani bersumpah aku tidak berrdusta!"

"Kau juga tidak pernah mengetahui di mana Siti Layangsari dikebumikan?"

Yang ditanya menggeleng.

“Kau juga tidak pernah mendengar cerita satu peristiwa besar sekitar seratus tahun lalu tentang istri Raja Tua yang dibuang karena melahirkan anak bermuka cacat?"

“Aku tidak tahu banyak tapi aku memang pernah mendengar cerita itu dari seseorang…"

“Siapa orangnya?" tanya Raja Obat.

“Aku tidak ingat. Sudah lama sekali. Mungkin sekitar tiga puluh tahun lalu cerita itu kudengar. Orang yang menceritakan mungkin sudah meninggal…"

"Coba kau ingat siapa orangnya…"

Juru kunci makam lstana itu memutar otaknya, berusaha keras mengingat. Akhirnya sambil menggeleng dia berkata, “Tak bisa kuingat…"

"Akan kusebutkan sebuah nama. Mungkin dia orangnya. Lawunggeni?"

"Astagal Betul! Dia yang pernah menceritakan hal itu padaku!" Tapi dia telah meninggal dunia dua puluh tahun silam. Dikebumikan di kampung halamannya." Sang juru kunci mengangkat kepalanya dan menatap wajah orang tua di hadapannya. Ketika dia melihat wajah yang cacat belang itu tiba-tiba saja dia ingat. "Kau… Seruan sang juru kunci lenyap karena Raja Obat cepat menekap mulutnya.

“Jangan berteriak. Lekas katakan dimana letak kawasan pemakaman rakyat…"

"Ada dua. Satu di selatan. Satu lagi tak jauh dar sini. Hanya terpisah oleh satu sungai kecil…!"

"Terima kasih." Orang tua itu menurunkan tangannya yang menutup mulut juru kunci makam" Lalu sekali berkelebat sosoknyapun lenyap.

********************

EMPAT

Matahari semakin menggelincir jauh ke titik tenggelamnya. Raja Obat berjalan setengah berlari. Di satu tempat dia menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Menunggu sambil memasang mata dan telinga.

“Mataku mungkin sudah lamur, apalagi hari mulai gelap. Tapi telingaku tak mungkin ditipu. Perasaanku tak bisa dikelabui. Ada seseorang mengikutiku… Tapi dia mendadak lenyap…" Raja Obat menunggu sesaat lagi.

Akhirnya dia keluar dari balik semak belukar, sengaja mengambil jalan berputar dan kembali ke jurusan dari mana tadi dia datang dan menyelidik. Namun tetap saja dia tidak melihat atau menemukan siapa-siapa.

“Jangan-jangan aku sudah pikun!" kata Raja Obat dalam hati. Dengan menenteramkan hatinya dia melanjutkan perjalanan.

Ketika Raja Obat sampai di daerah pemakaman di seberang kali kecil itu sang surya hampir tenggelam dan udara bertambah gelap. Kawasan pemakaman tanpa pagar ini tidak terpelihara. Dia segera berkeliling menyelidik, memperhatikan setiap kuburan yang ada satu persatu. Hampir tidak ada papan nisan yang masih utuh. Agaknya sia-sia aku menyelidik. Apa lagi sebentar malam segera datang. Mungkin sampai ajalku aku tak akan pernah menemukan di mana kubur Ibuku…"

Raja Obat tegak termenung dekat serumpun pohon bambu. Berulang kali terdengar dia menarik nafas dalam. Akhirnya orang tua ini memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Langkahnya tertahan ketika sayup-sayup dia mendengar suara seperti seorang perempuan menangis sendu terisak-isak.

"Eh, menjelang malam seperti ini, ditengah pekuburan siapa gerangan yang menangis? Raja Obat memandang berkeliling. "Mungkin ada jenazah yang bangkit lalu menangis? Atau setan kuburan hendak mengganggu diriku…?"

Orang tua berusia seratus tahun lebih itu tegak terdiam. Suara isak tangis itu semakin keras. Datangnya dari pinggiran pekuburan sebelah timur. Raja Obat berpikir sejenak lalu akhirnya melangkah ke jurusan datangnya suara orang menangis. Tak lama kemudian, di balik deretan tiga pohon Kemboja besar dia melihat sebuah makam yang masih merah. Di sebelah kiri badan makam bersimpuh membelakangi sosok seorang perempuan berambut panjang, berpakaian merah. Dua tangannya ditekapkan ke wajahnya. Perempuan inilah yang sedang menangis.

Kubur baru masih merah. Ada perempuan menangis menjelang malam begini. Harum tubuhnya tercium sampai ke sini. Pasti yang dimakamkan di situ seorang sangat dicintainya. Tapi… Apa yang kulihat ini benar-benar seorang anak manusia? Jangan-jangan…"

Raja Obat melangkah melewati tiga pohon Kemboja besar. Lalu bergerak ke seberang kanan makam. Di sini dia diam sesaat sambil memperhatikan orang yang menangis. "Masih muda… Mungkin masih gadis…" membatin Raja Obat.

Tangis orang di samping makam semakin keras. Bahu dan dadanya tampak berguncang-guncang. Raja Obat gelengkan kepala. Dia jadi bingung. Dalam keadaan seperti itu apakah langsung mengusir saja Mau menunggu sampai tangis orang mereda. Karena ditunggu perempuan itu tak kunjung hentikan tangisnya sedang sepasang tangannya terus saja menekap wajahnya akhirnya si orang tua mengeluarkan suara mendehem beberapa kali. Suara tangisan serta merta berhenti. Dua tangan yang menutupi wajah diturunkan.

Raja Obat terkesiap. Orang yang menangis itu ternyata adalah seorang dara berparas cantik sekali. Sebaliknya si gadis tampak terkejut. Seperti ketakutan dia beringsut mundur. Dua matanya yang bagus tapi sembab memandang besar-besar. Seumur hidupnya Raja Obat alias Pangeran Soma belum pernah melihat gadis secantik ini. Apalagi selama tujuh puluh tahun dia hidup menyendiri dipulau batu merah.

Sekalipun usianya sudah seratus tahun lebih namun kewajaran dirinya sebagai seorang lelaki melihat gadis yang begitu jelita tak bisa disembunyikannya. Untuk sesaat orang tua ini terpana. "Anak gadis, kau tak usah takut. Walau tampangku seram dan belang sebelah tapi aku bukan orang jahat. Bukan juga setan yang hendak mengganggumu…"

“Kau… kau.. si… siapa?!" tanya sangdara dengan suara gagap. Bayangan ketakutan masih melekat di wajahnya. "Mengapa malam-malam begini berada di tempat ini?!"

"Aku hanya seorang tua yang malang. Nasib diri membawaku ke tempat ini. Aku mencari makam, seseorang tapi tidak kutemukan."

"Makam siapa? Istrimu…? Anakmu atau cucu mu?"

Raja Obat tersenyum rawan. "Aku tak pernah, punya istri. Jadi tak punya anak apalagi cucu…" Lalu Raja Obat bertanya. "Kau sendiri siapa? Mengapa, malam-malam begini berada di pekuburan? Makam siapa yang kautangisi ini? Dan tanahnya yang masih merah serta bunga-bunga segar yang bertaburan atasnya agaknya makam ini masih baru. Mungkin sekali jenazahnya baru dikuburkan siang tadi…"

"Siapa diriku kau tak perlu tahu. Makam siapa yang aku tangisi ini kau juga tak perlu tahu. Kuharap kau segera saja pergi dari sini. Tinggalkan aku sendirian. Biar aku menangis sampai air mataku kering!"

"Anak gadis, mendengar ucapanmu aku bisa menduga kau adalah seorang gadis yang tabah berhati keras. Kedukaan dan kesedihan cepat atau lambat adalah bagian setiap manusia. Kehilangan seorang yang kita kasihi merupakan takdir yang tak bisa dihindari. Namun apakah kedukaan dan kesedihan itu kita inginkan membuat diri kita menjadi sakit dan sengsara… Rumahmu tentu di sekitar sini Sebaiknya kau pulang saja. Jika hatimu belum puas besok pagi-pagi kau bisa menyambangi lagi makam ini…"

"Orang tua, aku tidak perlu nasihatmu. Kalau aku sakit atau sengsara apa pedulimu?! Jangankan sakit atau sengsara, matipun aku mau saat ini juga. Biar aku segera bisa menyusul dirinya!"

“Hemm… Jika begitu nada ucapanmu mengertilah aku sekarang. Aku bisa menduga siapa yang dimakamkan di tempat ini…"

"Jangan kau berani berlaku lancang orang tua!"

"Aku tidak bermaksud lancang. Maafkan kalau kau menduga seperti itu. Pada dasarnya nasib kita mungkin sama. Sama-sama kehilangan orang yang kita kasihi. Namun kau masih jauh beruntung. Kau masih memiliki makam orang yang kau kasihi. Aku tidak. Sekali lagi kunasihati, pulanglah. Jangan sampai kesedihan yang berlarut-larut membuatmu sengsara. Kau masih muda. Masa depanmu masih panjang. Selamat tinggal anak dara…"

Raja Obat alias Pangeran Soma memutar tubuhnya. Langkahnya tertahan ketika di belakangnya si gadis memanggil. “Orang tua, tunggu!"

Sewaktu orang tua itu berbalik didapatkannya si gadis telah berdiri di samping kuburan.

"Kupikir semua ucapanmu ada benarnya. Kau adalah orang terakhir yang bersikap baik terhadapku. Kalau aku boleh bertanya makam siapakah yang lengah kau cari di tempat ini?"

Aku mencari kubur ibuku. Tapi seperti tadi kukatakan, aku bernasib malang. Aku tidak menemui makam beliau di tempat ini… Hari sudah malam, aku harus pergi…"

“Kemanakah tujuanmu dari sini?" tanya si gadis.

“Aku sendiri tidak tahu. Aku tak punya kadang tidak punya sanak. Mungkin aku akan mencari tumpangan untuk tidur malam ini. Kalau terpaksa aku bisa tidur di mana saja…"

"Rumahku di atas bukit di sebelah timur sana. Tak jauh dari sini. Kalau kau suka kau boleh bermalam di tempatku. Aku tinggal sendirian…"

"Terima kasih atas kebaikanmu. Tapi bagaimanapun juga tidak baik kita berada di satu rumah berduaan sementara kita tidak punya hubungan keluarga…"

“Tak usah merisaukan hal itu. Aku sudah menganggap dirimu sebagai orang tua atau kakek sendiri…”

Raja Obat terdiam sejenak. Paras cantik di depannya tersenyum. Semerbak harum bau baju dan, tubuh sang dara menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Ketika si gadis memegang lengannya akhirnya Raja Obat berkata,

"Baiklah, aku mengucapkan terima kasih atas budi baikmu..." Lalu dia melangkah mengikuti gadis berbaju merah itu.

Ternyata gadis cantik itu memiliki kepandaian berlari cepat. Kalau saja lengannya tidak dicekal terus sudah sejak tadi-tadi Raja Obat tertinggal di belakang. Seumur hidupnya batu sekali ini Raja Obat alias Pangeran Soma berjalan seiring dengan seorang gadis cantik. Apalagi sepanjang jalan si gadis selalu memegang lengannya erat-erat. Ditambah wanginya bau tubuh si gadis orang tua ini merasa seribu bahagia dalam hatinya. Sampai-sampai dalam hati dia menyesali diri sendiri dan membatin.

“Kalau saja aku dilahirkan tujuh puluh tahun lebih cepat dan usiaku saat ini hanya tiga puluh tahun hemm…"

********************

SATU

Gua batu kecil itu terletak di lereng selatan Gunung Merbabu. Meskipun terlindung oleh pepohonan besar berusia ratusan tahun serta semak belukar lebat, namun jika seseorang berdiri di sebuah batu tinggi yang ada di depan gua maka dia dengan jelas akan dapat melihat keindahan kawasan lereng selatan. Nun jauh di sana menjulang Gunung Merapi dengan puncak tertutup awan kelabu. Pendekar 212 Wiro Sableng untuk beberapa saat lamanya masih berdiri di atas batu tinggi, memandang ke arah Gunung Merapi.

“Saat bagiku untuk menyelidik apakah dia berada di sana” membatin murid Sinto Gendeng ini.

Lalu dia kerahkan tenaga dalam, dialirkan ke kepala. Sepasang matanya yang tidak berkedip-kedipkan dua kali. Ternyata saat itu dia lengah mengerahkan ilmu kesaktian yang disebut Menembus Pandang. Mula-mula dia melihat bayangan gelap kelabu. Perlahan-lahan samar-samar muncul warna putih. Dia sanggup menembus deretan pohon-pohon, semak belukar dan bebatuan. Lalu dia melihat sebuah telaga kecil. Pandangannya diarahkan lebih jauh. Samar-samar tampak sebuah bangunan. Lama dia memandang dengan mata tak berkedip. Ternyata bangunan itu kosong.

“Pangeran keparat itu tak ada di sana…" kata Wiro dalam hati.

Hatinya agak lega namun hanya sesaat. Dia segera ingat. Sejak dia berpisah dengan Raja Obat Delapan Penjuru Angin tempo hari dia merasa ada seseorang mengikuti perjalanannya. Sebelum menuju langsung ke lereng Gunung Merbabu dia sengaja mengambil jalan berputar-putar. Namun si penguntit masih tetap saja berada dibelakangnya. Celakanya setiap dia berusaha menjebak atau memergoki, orang itu selalu lenyap seolah ditelan bumi.

"Dia memlliki kepandaian tinggi. Aku harus waspada." membatin Wiro.

Murid Sinto Gendeng merasa curiga yang menguntitnya saat itu adalah si nenek genit berjuluk Iblis Putih Ratu Pesolek, saudara kembar Iblis Tua Ratu Pesolek yang menemui ajal dibunuh Pangeran Matahari di bukit di luar Kartosuro. Sebelumnya si nenek telah muncul di pulau batu merah Walau saat itu dia tidak menunjukkan niat jahat namun siapa tahu diam-diam dia menunggu saat Wiro berhasil mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa.

Wiro sengaja tegak berlama-lama di depan mulut goa menunggu sampai kakinya pegal dan tak satu makhluk pun yang muncul. Akhirnya dia balikkan diri melangkah menuju mulut gua. Saat itulah terdengar suara,

“Kraaaakk!"

"Seseorang menginjak ranting kering” kata Wiro dalam hati. Serta merta Pendekar 212 siapkan pukulan sakti Sinar Matahari seraya cepat berbalik Serta merta dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia tidak mau ambil risiko. Kitab Putih Wasiat Dewa yang saat itu ada padanya harus dijaga baik-baik, diselamatkan sebagaimana dia mengamankan nyawanya sendiri

"Aku yakin siapapun adanya penguntit itu pasti mengincar kitab sakti ini. Aku harus melakukan sesuatu. Kalau tidak diriku bisa celaka dan Kitab Putih Wasiat Dewa bisa jatuh ke tangan orang lain yang tidak bertanggung jawab."

"Orang yang bersembunyi, tidak perlu berlaku pengecut! Unjukkan dirimu! Aku sudah tahu kalau kau sejak lama menguntit perjalananku” Wiro tiba-tiba keluarkan seruan lantang.

Sunyi sejenak. Hanya gema seruannya yang bergaung di lereng gunung itu. Namun sesaat kemudian terdengar suara aneh seperti suara sapi atau binatang digorok.

“Kraaakk!”

Kembali terdengar suara ranting kering terpijak. Di lain kejap semak belukar delapan langkah di hadapan Wiro tersibak. Lalu muncullah satu sosok makhluk yang luar biasa mengerikan. Sekujur tubuhnya yang hanya mengenakan sehelai cawat rombeng penuh dengan koreng masih bernanah dan menebar bau busuk. Sebagian dari tubuh itu hangus kemerahan laksana dipanggang. Bagian perutnya robek besar, usus campur darah membusai menjela-jela.

Dua kakinya tidak beda seperti kayu hangus dan hancur di beberapa bagian. Tubuhnya laksana disambung di bagian dada tapi tidak begitu pas hingga keadaannya termiring-miring. Tangan kirinya buntung sebatas bahu. Kepalanya paling mengerikan. Wajahnya tidak karuan. Hidung mulut dan pipi serta kening hancur. Dua telinga sumplung. Salah satu dari matanya melesak ke dalam sedang satunya tagi memberojol ke luar!

Tengkuk murid Eyang Sinto Gendeng menjadi dingin. "Mustahil siang bolong begini ada setan atau hantu gunung muncul. Makhluk apa sesungguhnya yang ada di hadapanku ini? Gila! Bukankah jahanam ini sudah mampus? Tubuhnya cerai berai ke dalam laut kena hantaman pukulan Sinar Matahariku tempo hari! Jangan-jangan arwahnya yang menjelma jadi setan dan gentayangan hendak menuntut balas!" Mendadak Wiro ingat bau busuk itu. Juga bekas-bekas koreng yang sudah hangus.

"Pendekar 212, kalau Kitab Putih Wasiat Dewa kau serahkan padaku, aku akan mengampuni selembar nyawamu!" Suara makhluk ini sember parau.

Ketika Wiro memperhatikan lagi ternyata tenggorokannya robek besar dan hangus. Ada cairan meleleh dari luka di leher itu. "Makhluk Pembawa Bala. Bukankah tempo hari kau sudah mampus dengan tubuh dan kepala terkutung-kutung!"

Makhluk menyeramkan yang memang adalah Makhluk Pembawa Bala adanya menyeringai mengerikan. Mulutnya yang hancur bergoyang-goyang sedang bola matanya yang memberojol bergerak gundal-gandil. Dia keluarkan suara tertawa menggidikkan.

"Jangan mengira dengan kesaktianmu kau bisa membunuh siapa saja! Di luar langit masih ada langit lain! Buktinya kau saksikan sendiri aku masih hidup, berhasil mengejarmu sampai ke lereng Merbabu ini dan meminta kau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu! Ha ha hak hakkkk!" Suara tawa Makhluk Pembawa Bala tercekik. Lalu dia ulurkan tangan kanannya yang penuh luka korengdan luka bakar serta hangus.

“Kitab itu! Lekas serahkan! Aku tahu kitab itu ada padamu!" Makhluk Pembawa Bala menyentak.

"Sayang kau datang terlambat!" menjawab Wiro.

"Apa maksudmu?!"

“Setan gunung lebih dulu merampas kitab sakti itu dan melarikannya ke langit. Kalau kau benar mempunyai Kemampuan di atas langit masih ada langit, silahkan susul ke langit sana!"

"Jahanam! Kau berani mempermainkan diriku! Putus nyawamu!" Teriak Makhluk Pembawa Bala marah sekali. Tangan kanannya yang hangus hancur tiba-tiba berkelebat cepat ke arah dada Pendekar 212.

Murid Sinto Gendeng yang sejak tadi memang sudah berwaspada melompat mundur tiga langkah sambil hantamkan tangan kanannya Sinar putih panas menyilaukan berkiblat. Inilah kali kedua Pendekar 212 Wiro Sableng lepaskan pukulan sakti Sinar Matahari untuk menghantam Makhluk Pembawa Bala. Kali pertama dulu waktu di pulau batu merah. Tubuh Makhluk Pembawa Bala mencelat hancur berantakan. Wiro Masih belum bisa mengerti bagaimana makhluk itu masih hidup dan muncul kembali walau dalam keadaan morat-marit mengerikan!

"Pukulan Sinar Matahari! Apa hebatnya!" teriak Makhluk Pembawa Bala mengejek.

"Kurang ajar! Jangan harap tubuhmu bisa bersambung kembali!" teriak murid Sinto Gendeng dan lipat gandakan tenaga dalamnya.

Sehingga keadaan di depan gua itu menjadi terang benderang, panas dan menyilaukan. Beberapa pohon patah bertumbangan dan hangus. Semak belukar dan dua gundukan batu gunung hancur lebur. Semua berubah hitam hangus! Namun Makhluk Pembawa Bala tidak kelihatan.

"Gila! Sudah mampus atau bagaimana dia?!" pikir Wiro sambil memandang berkeliling. Kalau mampus mengapa tak terdengar jeritannya. Hancuran tubuhnya juga tidak kelihatan!"

Ketika Wiro memandang ke bawah hatinya tercekat. Enam langkah di hadapannya terlihat sebuah lobang sebesar pemelukan tangan. "Lobang itu tadi tidak ada!"

Wiro mendekati sambil siapkan lagi pukulan Sinar Matahari di tangan kanannya. Mendadak dari dalam lobang terdengar suara tawa bergetak. Lalu sekonyong-konyong muncul satu kepala! Kepala Makhluk Pembawa Bala!

“Jahanam! Belum mampus dia rupanya!"

Secepat kilat Pendekar 212 lepaskan pukulan Sinar Matahari. Cahaya panas terang menyilaukan kembali berkiblat di tempat itu. Tanah terbongkar dalam menghitam. Kepala Makhluk Pembawa Bala tidak kelihatan. Wiro melompat ke arah lobang yang kini telah tertutup oleh timbunan hancuran tanah dan bebatuan. Sekonyong-konyong dibelakangnya terdengar satu suara tertawa keras tapi sember. Suara tawa Makhluk Pembawa Bala!

Wiro berpaling dan jadi melengak. Dari sebuah lobang di tanah perlahan-lahan tampak muncul ke atas kepala Makhluk Pembawa Bala! Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera nyergap dan hantamkan satu tendangan.

“Bukkk!"

Tendangan keras murid Sinto Gendeng tepat menghantam kepala Makhluk Pembawa Bala. Pipi sebelah kiri rengkah. Bola matanya yang membrojol mencelat mental entah kemana. Namun makhluk itu masih belum menemui ajal. Untuk beberapa saat kepala yang muncul dari lobang di tanah bergoyang-goyang sedang dari mulutnya yang hancur mengumbar suara tawa sember.

"Jahanam!" maki Pendekar 212. Walau ada rasa ngeri namun amarah lebih menguasai dirinya. Sekali lompat saja kepala Makhluk Pembawa Bala itu siap untuk dicengkeram lalu dipuntir. Namun sesosok tubuh berkelebat mendahului. Angin yang keluar dari tubuh orang ini membuat gerakan Wiro agak tertahan . Dalam waktu bersamaan satu tangan putih halus dan mulus meleset menusukkan sepotong kayu panjang.

“Crasss!"

Batangan kayu itu menancap ambles sampai setengahnya ke batok kepala Makhluk Pembawa Bala. Darah muncrat dari hidungnya yang gerumpung, telinganya yang sumplung, sepasang matanya yang hanya tinggat rongga dan juga dari mulutnya yang hancur serta tenggorokannya yang robek. Dalam keadaan tersentak kaget Wiro cepat palingkan kepala. Saat itulah dia mendengar satu suara tertawa merdu.

"Ah. kukira gadis yang aku rindukan selama ini.”

“Ternyata dia!" ujar Wiro Dengan mulut ternganga dan masih belum surut kagetnya murid Sinto Gendeng pulang balik garuk-garuk kepala.

ENAM

Dua langkah di hadapan Wiro berdiri berkacak pinggang seorang gadis jelita mengenakan baju panjang hitam berbunga-bunga putih. Sikapnya genit sekali. Sebentar-sebentar pinggulnya digoyangkan dan lidahnya yang merah dipermainkan membasahi bibirnya Wiro segera mengenali siapa adanya gadis ini. Yakni nenek aneh berjuluk Iblis Putih Ratu Pesolek yang tempo hari muncul di pulau batu merah Pendekar 212 keluarkan siulan.

Sang dara tersenyum lebar. "Sobatku cantik jelita! tegur Wiro. Kalau kemunculanmu menolong diriku dari Makhluk Pembawa Bala itu, sungguh aku sangat berterima kasih…"

"Hik hik hik!" Si gadis yang bentuk aslinya sebenarnya adalah seorang nenek keriput berdandan mencorong tertawa cekikikan lalu berkata, “Pertolonganku belum tuntas! Nyawamu masih terancam! Lihat ke lobang!"

Wiro cepat putar kepalanya ke arah lobang. Saat itu dilihatnya kepala yang ditancapi batang kayu dari Makhluk Pembawa Bala tiba-tiba melesat keluar dari lobang. Didahului raungan keras sekujur tubuhnya menyusul meleset keluar dari dalam lobang. Sesaat makhluk mengerikan ini tegak sempoyongan. Dari tenggorokannya yang robek keluar suara menggembor berkepanjangan.

Setindak demi setindak dia melangkah mendekati Pendekar 212 sambil tangan kanannya menggapai-gapai berusaha memegang dan mencabut batang kayu yang menancap di batok kepalanya Makhluk Pembawa Bala berhasil menyentuh batangan kayu. Namun sebelum dia sempat mencabut kayu itu dari samping kiri gadis itu berkelebat menyambar tangan kanannya. Lalu terdengar suara...

"Kraakkk!"

Makhluk Pembawa Bala meraung keras sewaktu tangan kanannya dipuntir patah lalu dibetot lepas dari persendian bahunya. Kini makhluk ini tidak lagi memiliki tangan baik kanan maupun kiri!" Perempuan lblis… Hati-hati kau! Kematianmu sudah kugurat di neraka!”

"Hik hik hik!" Si gadis tertawa panjang mendengar ucapan Makhluk Pembawa Bala itu. "Belum mampus rupanya kau sudah jalan-jalan ke neraka! Lebih bagus kau cepat minggat dari sini. Mencari pertolongan agar ada yang mau mencabut kayu yang menancap di kepalamu itu!"

"Perempuan jahanam! Tunggu pembalasanku! Habis berteriak keras dan sember Makhluk Pembawa Bala putar tubuhnya dan berkelebat lenyap.

"Sobatku cantik, aku berterima kasih atas perlolonganmu," berkata Wiro sambil menjura. Namun dia sengaja menjaga jarak karena belum dapat menerka apa maksud kehadiran lblis Putih Ratu Pesolek kali ini. Si gadis dilihatnya membuka mulut hendak mengatakan sesuatu. Pendekar 212 cepat mendahului. "Ada satu hal yang tidak aku mengerti. Sebagai orang rimba persilatan yang jauh berpengalaman mungkin kau bisa menerangkan…"

"Hemm… Yang kau tanyakan menyangkut diriku atau apa?" balik bertanya Iblis Pulih Ratu Pesolek.

"Menyangkut makhluk jahanam tadi," sahut Wiro “Hemmm… Apa yang ingin kau ketahui. Jika aku bisa menjawab lantas apa imbalan yang bisa kau penuhi!"

Mendengar ucapan orang Pendekar 212 jadi merinding. "Gila! Kalau dia minta imbalan agar aku melayaninya celaka diriku! Walau diluar kelihatan dia gadis cantik mulus begini rupa tapi di dalam akukan sudah tahu!" kata Wiro dalam hati. Mau tak mau dia jadi urungkan niat untuk bertanya.

Melihat si pemuda terdiam, gadis itu tertawa panjang. “Baiklah, kau boleh bertanya. Aku tidak akan minta imbalan apa-apa!"

Murid Eyang Sinto Gendeng jadi lega. “Waktu di pulau batu merah tempo hari aku telah menghajar orang itu dengan satu pukulan sakti. Tubuhnya mencelat ke udara dalam keadaan cerai berai dan masuk ke laut. Jelas-jelas pasti riwayatnya sudah tamat saat itu. Tapi bagaimana tahu-tahu dia muncul iagi. Apa yang tadi itu bukan sosok lahirnya tapi jelmaan arwahnya yang gentayangan jadi setan?!"

"Kau pernah mendengar orang yang punya ilmu kesaktian disebut kebal tanah?" tanya Iblis Pulih Ratu Pesolek yang menjelma sebagai seorang gadis cantik itu. Wiro gelengkan kepala.

“Aku pernah mendengar ilmu kebal tanah itu namun belum pernah menyaksikan sendiri. Katanya. orang yang memiliki ilmu kebal tanah walau tubuhnya hancur berkeping-keping, kepalanya putus, anggota badannya tanggal tapi begitu salah satu bagian tubuhnya yang hancur jatuh dan bersentuhan dengan tanah, secara ajaib tubuhnya akan kembali bersatu. Dia akan hidup lagi walau sambungan tubuhnya tidak karuan dan mengerikan…"

"Jadi Makhluk Pembawa Bala tadi memiliki ilmu kebal tanah itu?" tanya Wiro pula.

Si gadis gelengkan kepala "Dia memiliki sejenis ilmu kesaktian lain. Disebut ilmu kebal air. Kalau tubuhnya hancur lalu ada yang tersentuh air, tubuh itu akan bergabung dan dia hidup kembali. Ingat waktu kau memukulnya sampai hancur di pulau batu merah?!"

Wiro mengangguk. “Aku mengerti sekarang. Begitu potongan tubuhnya menyentuh air laut dia hidup kembali. Muncul dalam keadaan lebih mengerikan! Ilmu gila! Tapi kurasa dia masih punya Ilmu lain yang hebat. Kalau tidak bagaimana mungkin dia masih bisa hidup padahal kepalanya sudah kau pantek dengan kayu!"

"Dugaanmu tidak meleset. Kalau tadi tangannya tidak aku betot lepas, segala ilmu kesaktian yang dimilikinya pasti akan dipergunakannya kembali untuk menyerangmu Kecuali ada yang menolongnya mencabut batang kayu itu dari kepalanya maka umurnya hanya sepanjang seratus hari dari sekarang!"

"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih," kata Pendekar 212 pula.

"Sekarang apakah masih ada hal lain yang hendak kau tanyakan padaku?"

“Tidak”, jawab Wiro cepat. Dia menjawab begitu agar si gadis lekas-lekas meninggalkan tempat itu.

Tapi dia justru kecele. Si gadis rapikan sanggulnya yang bagus. "Waktu di pulau batu merah tempo hari, kau berkata soal bercumbu-cumbuan antara kau dan aku bisa dibicarakan nanti. Apakah yang kau maksud dengan nanti itu sudah bisa kutagih sekarang?”

Wiro mendadak saja merasa tengkuknya menjadi dingin. "Benar apa yang diperingatkan Raja Obat tempo hari. Saat itu aku bicara ngaco. Kini dia bertanya menagih!”

"Heh... apa mendadak mulutmu jadi gagu, Pendekar 212?!"

Anu. Begini…" Wiro jadi gugup dan garuk-garuk kepala. "Terus terang aku mengagumi kecantikanmu…"

"Nah… nah... nah! Berarti harapanku akan terkabul!" ujar si gadis pula. Dia melangkah mendekati.

"Tunggu dulu!" ujar Wiro cepat. Maksudku bukan begitu. Aku masih banyak menghadapi urusan besar. Semua menyangkut nyawaku dan masa depan rimba persilatan. Kalau belum apa-apa aku melakukan sesuatu yang tidak betul aku bisa kualat..."

"Siapa bilang! Kita melakukannya dalam suaana suka sama suka. Betul kan?!"

“Dengar sobatku cantik..." kata Wiro yang mulai merinding. "Aku ini cuma seorang pemuda rendah. Kau seorang tokoh dunia persilatan yang harus kuhormati. Mana mungkin aku bisa menjadi pasanganmu. Bagaimana kalau aku carikan seorang tokoh yang sama tingkat kehebatannya dengan dirimu?"

Si gadis tertawa panjang. “Sejak kapan kau jadi Mak Comblang tukang menjodohkan orang?!"

“Percayalah, aku punya banyak teman dan kenalan para dedengkot dunia persilatan. Salah satu di antara mereka pasti ada yang menyukaimu…"

"Ah, aku tidak janji mau-mauan dengan mereka. Tapi aku ingin tahu. Coba kau sebutkan siapa saja tua bangka yang kau maksudkan itu?"

"Ada Si Raja Penidur…"

Si gadis tertawa cekikikan. “Manusia sebesar gajah itu! Dalam setahun belum tentu dia satu kali melek! Duduk saja dia sulit, bagaimana mau bersuka-suka denganku?"

(Mengenai Si Raja Penidur harap baca serial Wiro Sableng berjudul Siluman Teluk Gonggo)

“Jangan kawatir. Masih ada yang lain. Pernah dengar nama Tua Gila dari Andalas?"

"Hemmm… orang gila berjuluk Pendekar Gila Patah Hati itu? Dia memang orang hebat. Tapi apa enaknya bercumbu dengan orang gila? Hik hik hikkk."

(Mengenai Tua Gila dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang)

"Bagaimana dengan tokoh aneh berjuluk Kakek Segala Tahu?" ujar Wiro pula

"Bisa sengsara aku berteman dengan dia. Mencarinya sesulit kutu dalam comberan!"

"Kalau dengan Dewa Ketawa bagaimana?!" Wiro mencoba lagi.

Si gadis mesem-mesem. "Yang satu itu potongannya memang masih keren. Tapi sayang aku punya dugaan kuat syarafnya ada yang putus. Buang hajat besar saja dia masih bisa tertawa-tawa macam orang sinting!"

(Dewa Ketawa adalah paman sekaligus guru Bujang Gila Tapak Sakti. Harap baca serial Wiro Sableng berjudul Bujang Gila Tapak Sakti)

"Dia punya saudara berjuluk Dewa Sedih..."

“Lebih celaka lagi! Apa enaknya berhubungan dengan orang yang pagi sore sepasang matanya terus ngompol alias nangis terus-terusan…"

Wiro garuk-garuk kepala. "Bagaimana kalau dengan Iblis Pemabuk?"

"Wah berat urusannya! Dia lebih senang memegang pantat botol dari pada. Hik hik hik…!" Si gadis tertawa cekikikan sampai keluar air mata.

Mau tak mau murid Sinto Gendeng jadi ikut tertawa terpingkal-pingkal.

"Sudah? Tak ada lagi teman atau kenalanmu yang hendak kau jodohkan dengan diriku?!" Si gadis bertanya seolah menantang.

Murid Sinto Gendeng kembali garuk-garuk kepala. “Kau sudah bertemu dengan Raja Obat. Kau tidak suka padanya. Hemm… siapa lagi ya?" Wiro berusaha mengingat-ingat. “Hai! Kau pernah dengar nama bssar seorang dedengkot persilatan berjuluk Dewa Tuak?!”

Gadis di hadapan Wiro tertegun dan menatap lekat-lekat ke wajah sang pendekar. Wiro melihat sesaat wajahnya yang cantik berubah ke bentuk aslinya yakni paras seorang nenek yang tertutup dandanan tebal medok! Hanya sesaat. Di lain kejap kembali wajah itu pada bentuk palsunya yakni wajah gadis cantik jelita.

"Apa yang terjadi dengan tua bangka ini? Apa yang ada dalam benaknya? Dia seperti menerawang ke masa lalu," kata Wiro dalam hati.

"Pendekar 212…" kata si gadis. Suaranya perlahan dan bernada rawan. "Apakah dia masih hidup…?"

"Dewa Tuak? Tentu saja dia masih hidup. Masih bernafas. Masakan aku mau memperkenalkan dirimu dengan orang yang sudah ada dalam kubur. Belum selang beberapa lama aku bertemu dengan dia. Ah... Rupanya usulanku kali ini tepat kena batunya… Berkenan di hatimu. Kau suka padanya. Paling tidak pernah mengenalnya. Atau mungkin juga dulu pernah bercinta…"

"Diam!” teriak si gadis menggeledek. Mukanya tampak merah mengelam.

Wiro sampai tersurut satu langkah dibentak seperti itu. “Harap maafkan kalau aku kesalahan bicara. Tapi aku kenal betul orang tua satu itu. Dia sudah seperti kakekku sendiri. Aku banyak berhutang budi bahkan berhutang nyawa padanya…"

"Aku bukan tidak suka pada ucapanmu. Tapi…" Si gadis menarik nafas panjang.

Wiro semakin syak bahwa orang dihadapannya itu pernah kenal dengan Dewa Tuak bahkan pernah menjalin hubungan di masa lalu. Lalu murid Sinto Gendeng melihat sepasang mata si gadis berkaca-kaca.

"Eh. dulu waktu di pulau batu merah dia menangis. Karena saudara kembarnya dibunuh orang. Sekarang lagi-lagi kulihat dia menangis. Apa ada lagi saudara kembarnya yang dibunuh orang?! Rasa hiba yang mendadak muncul di hati Pendekar 212 membuat pemuda ini mengeluarkan sehelai selampai dan menyerahkannya pada si gadis.

"Terima kasih… !" kata si gadis sambil menerima sapu tangan itu lalu menyusut wajah menyeka kedua matanya. "Puluhan tahun lalu aku menyirap kabar Dewa Tuak tewas dalam satu bentrokan besar dengan enam tokoh silat golongan hitam. Bagaimana aku bisa percaya ucapanmu yang mengatakan dia masih hidup…"

"Masakan aku berdusta pada orang sebaikmu?!" kata Wiro pula. "Atau kau ingin aku bersumpah?!"

Si gadis menatap dalam-dalam ke mata Wiro. “Aku percaya padamu…" katanya sambil memegang tangan Pendekar 212. "Mungkin sengaja ada yang menebar kabar palsu…"

"Kalau itu terjadi puluhan tahun lalu, aku masih belum lahir. Memangnya antara kau…"

"Dengar Wiro, kalau kau bertemu dengan si Suro Lesmono itu katakan padanya mulai matahari terbit hari sepuluh bulan sepuluh aku akan menunggunya di Pangandaran…"

“Suro Lesmono? Siapa Suro Lesmono?" Wiro bertanya terheran-heran.

“Ah... kau tidak terlalu mengenaI si kakek rupanya. Suro Lesmono adalah nama sebenarnya Dewa Tuak"

“Ah!" Wiro keluarkan seruan tertahan. "Jika begitu pesanmu aku akan berusaha mentaatinya."

“Aku berterima kasih atas kebaikanmu." kata si gadis pula lalu sepasang matanya memandang tajam ke arah dada Pendekar 212.

Murid Sinto Gendeng jadi berdebar. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah gadis itu mengetahui apa yang tersembunyi di balik dada pakaiannya?

“Pendekar 212… Mulai hari ini kemana kau pergi berlakulah hati-hati…"

"Apa maksudmu? Wiro pura-pura bertanya.

"Maksudku bukan cuma nyawamu yang harus kau selamatkan, tapi belasan bahkan puluhan nyawa orang-orang persilatan akan tergantung atas keselamatan dirimu…"

"Ah! Dia tahu! Pasti dia sudah tahu aku telah memiliki kitab itu! kata Wiro dan dia tidak dapat menyembunyikan perubahan wajahnya. Selagi Pendekar 212 terperangah begitu rupa, tiba-tiba... "cup!" Satu kecupan mendarat di bibirnya.

"Hai!" teriak murid Sinto Gendeng seraya raba bibirnya dengan ujung jari. “Perempuan brengsek! Lagi-lagi aku kecolongan! Gila! Gerakannya seperti waktu di pulau batu merah dulu hampir tak terlihat. Tahu-tahu ciumannya sudah mendarat!” Sambil menggruk kepala murid Sinto Gendeng menarik nafas panjang berulang kali. “Masih untung dia menciumku dalam ujud seorang gadis cantik. Kalau seperti dulu dalam ujud nenek-nenek. puah! Sial sekali nasibku!"

Wiro memandang ke arah lenyapnya si gadis. "Tapi satu hal aku ketahui. Dia tidak menginginkan kitab sakti ini. Dia tidak bermaksud jahat padaku…!"

********************

TUJUH

Rumah kayu di puncak bukit itu berada dalam keadaan gelap. Si gadis segera menyalakan sebuah lampu minyak hingga bangunan yang tidak seberapa besar itu kini menjadi terang. Di situ hanya terdapat perabotan berupa sebuah kursi kayu, tempat tidur beralaskan jerami kering dan sebuah meja di atas mana terletak sebuah kendi berikut dua cangkir dari tanah.

Karena cuaca di bukit itu selalu diselimuti kesejukan dan tidak berdebu maka bagian dalam bangunan kayu termasuk semua perabotan yang ada berada dalam keadaan bersih. Si gadis menuangkan air bening dari kendi ke dalam dua cangkir. Dia meneguk habis air dalam cangkir pertama lalu menyerahkan cangkir satunya pada Raja Obat seraya berkata,

“Orang tua, kau tentu sangat letih. Sebaiknya kau segera tidur saja…”

Saat itu sekujur tubuh Raja Obat alias Pangeran Soma memang tak karuan rasa saking letihnya. Namun mengingat di situ cuma ada satu tempat tidur, walaupun dia sudah tua renta tetap saja dia merasa bagai seorang lelaki yang harus mendahulukan pihak perempuan.

“Tubuhku memang letih, namun keletihan batinku rnelebihi segala-galanya. Aku akan bersemedi dulu di serambi rumah. Kau saja yang tidur…"

Si gadis tersenyum mendengar ucapan Raja Obat. "Orang-orang tua berkata, yang muda jangan sekali-kali berlaku tidak hormat terhadap yang lebih tua. Jadi, dengan kata lain kau lebih pantas tidur di atas ranjang jerami itu. Aku bisa mencari tempat lain. Di kursi pun aku bisa tidur…”

Raja Obat geleng-geleng kepala. "Selama ini ak banyak mendengar tentang kehebatan gadis-gadis pesilat. Tidak sangka hari ini aku akan bertemu dengan salah satu di antaranya. Anak gadis, kata aku boleh bertanya siapa namamu. Apakah kau tinggal menyendiri di tempat ini? Lalu makam siapa yangkau tangisi malam tadi?"

“Pertanyaanmu banyak amat, orang tua. Biarlah aku berlaku lancang sedikit dan menanyaimu lebih dulu. Kau bilang mencari makam ibumu. Melihat usiamu yang sudah lanjut pasti ibumu telah berpulang belasan tahun lalu. Tidak heran kalau kau sulit mencari makamnya di pekuburan yang tidak terpelihara itu. Tapi bagaimana kejadiannya sampai kau sendiri tidak tahu di mana pastinya letak makam lbumu"

"Ah, pertanyaan gadis ini tak mungkin kujawab. Atau apakah sudah saatnya aku berterus terang?” Setelah berpikir sejenak akhirnya Raja Obat berkata. “Seperti aku katakan waktu di pekuburan tadi aku hanya seorangtua malang…"

"Banyak manusia malang di atas dunia ini. Bahkan yang jauh lebih malang dariku ataupun darimu Kau bilang tidak punya istri. Apakah kau seorang pemuka agama atau apa. Sulit bagiku membayangkan cara dan jalan hidupmu. Bahasamu halus dan kau keturunan ningrat atau bangsawan. Sikapmu di perjalanan tadi menunjukkan kau pernah berada di sekitar daerah ini tapi banyak lupanya. Mengapa kau tidak menerangkan siapa dirimu sebenarnya orang tua?"

"Gadis ini bukan saja bermata tajam tapi juga berotak cerdik," membatin Raja Obat. “Apakah aku berterus terang saja mengatakan siapa diriku. Mungkin dia bisa membantu. Tapi… Bagaimana mungkin. Usianya saja paling tidak seperlima usiaku. Mana dia tahu segala kejadian puluhan tahun silam…" Orang tua itu sesaat menjadi bimbang.

Si gadis menarik nafas dalam. Rambutnya yang bagus panjang dilepasnya ke bahu hingga wajahnya kelihatan tambah cantik. "Kalau kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu, aku tidak memaksa. Biar aku menerangkan siapa adanya diriku sendiri. Aku dilahirkan sekitar sembilan belas tahun lalu di satu desa di timur Kotagede. Ketika aku dilahirkan kedua orang tuaku sudah tiada. Menurut paman, mereka menjadi korban keganasan penyakit sampar yang berjangkit pada masa itu. Paman memeliharaku dan memberi aku nama Andini. Aku dibesarkan tanpa saudara, tanpa teman bermain, tanpa kasih sayang sama sekali. Sepertimu, pamanku tidak punya istri. Beliau lebih banyak mengabdikan diri sebagai prajurit Kerajaan. Empat tahun lalu beliau tewas ketika menumpas sekelompok pemberontak di kaki Gunung Merapi…"

Andini hentikan penuturannya sejenak. Kedua matanya dipejamkan. Raja Obat melihat betapa cantik jelita dan anggunnya wajah gadis itu. Kemudian dilihatnya bahu Andini bergoyang-goyang tanda dia berusaha menahan diri agar tidak sesenggukan. Agaknya musibah kematian pamannya merupakan cobaan yang paling berat baginya. Ketika kedua matanya dibuka kelihatan mata itu berkaca-kaca. Lalu si gadis meneruskan.

"Sewaktu usiaku mencapai enam belas tahun aku berkenalan dengan seorang pemuda. Namanya Handoko. Dari perkenalan biasa lama-lama hubungan kami berubah menjadi jalinan cinta. Ketika kami tidak bisa lagi dipisahkan baru aku ketahui bahwa Handoko adalah putra seorang pejabat tinggi pembantu Sultan. Dia putra seorang Tumenggung bernama Caroko Sindu Winoto…“

"Kau beruntung sekali kalau begitu…" kata Raja Obat.

Si gadis menggeleng. Air matanya bercucuran. "Jauh dari beruntung. Malah malapetaka yang datang. Sang Tumenggung marah besar ketika mengetahui hubungan putera tunggalnya dengan diriku yang hanya rakyat jelata dan tidak tahu asal usul, tak punya orang tua, tak punya siapa-siapa. Dia memerintahkan Handoko memutuskan hubungan. Tapi kami telah terlanjur jauh dalam bercinta. Kekasihku nekad. Walaupun ada ancaman dia akan diusir dan tidak diakui sebagai anak lagi dia nekad. Ayahnya berusaha membujuk akan memintakan satu jabatan tinggi pada Sultan bagi putranya itu. Mungkin jabatan Adipati. Asalkan Handoko memutuskan hubungan dengan diriku, lalu segera melangsungkan perkawinan dengan seorang gadis turunan ningrat pilihan kedua orang tuanya. Handoko menolak. Dia memilih yang terburuk. Suatu malam sekitar satu minggu lalu dia lenyap meninggalkan gedung kediamannya. Seorang kepercayaannya memberi tahu bahwa dua hari di muka ini dia akan menemuiku di rumah kayu ini. Tapi kemarin pagi dia ditemukan telah jadi mayat di hutan Watuireng. Lehernya hampir putus akibat gorokan senjata tajam. Tumenggung Sindo Winoto yang sudah tidak mau tahu terhadap puteranya itu bahkan sampai-sampai tega tidak mau mengurus jenazahnya. Beberapa orang kawan dan keluarga terdekatnya lalu menguburkannya di sini. Aku dengar ibunya saat ini sedang sakit keras. Lalu ada kabar lain mengatakan bahwa mungkin jenazah Handoko akan dipindahkanke makam yang lebih pantas di samping kawasan makam istana..."

"Aku sangat sedih mendengar nasib riwayatmu. tapi kau masih muda. Masa depan masih menunggumu…"

“Masa depanku sudah dibawa Handoko ke da kuburnya…" kata Andini pula dan kini gadis itu tak dapat menahan sesenggukannya. Dia menangis sambil duduk di kursi dan membenamkan wajahnya di balik sepasang telapak tangan.

Raja Obat melangkah mendekatinya dan membelai rambut gadis itu. "Aku tahu kau seorang gadis tabah. Kau harus kuat menghadapi cobaan-cobaan besar itu Andini."

“Aku akan berusaha tapi mampukah aku menghadapinya seorang diri. Aku merasa diriku seolah-olah dalam bahaya…"

"Kau akan mampu. Pasti mampu," kata Raja Obat pula sambil terus membelai rambut si gadis. Perlahan-lahan Andini angkat kepalanya. Kedua tangannya digelungkannya ke pinggang Raja Obat orang tua itu dipeluknya erat-erat.

"Jika kau tidak keberatan aku… aku akan menganggap dirimu sebagai pengganti semua orang yang kukasihi itu. Ayahku… lbuku… Paman… Handoko."

Terharu oleh cerita nasib diri gadis cantik itu dan mulut Raja Obat lantas saja meluncur kata-kata mengenai dirinya. Seratus tahun hidup tanpa mengenai ayah maupun ibu, apalagi yang dinamakan kasih sayang dari kedua orang tua. Karena tidak punya saudara, dia tidak mengenai kasih mengasihi antara sesama saudara. Karena hidup dikucilkan dirinya tidak mengenal kebahagiaan hidup berteman.

Masa kecilnya hanya merupakan lembaran hitam. Lalu karena hidup membujang seumur-umur dia tidak pula mengenal kebahagiaan sebagai seorang suami. seorang ayah. Apa yang dinamakan kekasih dia buta sama sekali. Semua itu kini bercampur aduk menjadi satu, membuat dadanya sesak dan tenggorokannya turun naik. Perlahan-lahan sepasang matanya tampak berkaca-kaca.

"Siapa diriku tidak banyak kuketahui…" kata Raja Obat pada akhir penuturannya. Dia tetap merahasiakan jati dirinya sebagai seorang pangeran. "Orang-orang memanggilku Soma. Aku tidak ingat siapa yang memberi nama itu…"

Andini angkat kepalanya. "Siapapun dirimu bagiku kau adalah orang gagah yang telah menempuh kehidupan sulit dengan segala ketabahan. Setelah tahu namamu aku tidak akan memanggilmu lagi dengan sebutan orang tua atau kakek. Bolehkah aku memanggilmu Paman Soma...?"

Raja Obat tersenyum dalam kerawanan wajahnya. "Melihat kepada umur kau pantas menjadi cucuku..."

Si gadis merengut dan menyentakkan tangan Raja Obat. “Aku tidak suka panggilan itu. Biar kau marah aku akan memanggilmu Paman Soma. Dan aku tidak suka melihat lelaki menangis..."

Pangeran Soma semakin lebar tawanya. Tangannya yang membelai kepala turun memegang bahu Andini. Lalu dia berkata, "Kau anak baik…”

"Aku belum seperti yang kau katakan itu. Malam ini aku tidak mampu menyediakan makanan apa-apa untukmu. Kau tentu lapar…"

"Aku sudah biasa hidup dengan perut kosong selama berhari-hari… " jawab Raja Obat.

"Nah, apa kataku! Bukankah itu menunjukkan kau seorang hebat?!" kata si gadis pula seraya melirik kearah bungkusan milik Raja Obat yang terletak di ujung tempat tidur. Dia berdiri dari kursi lalu mengambil bungkusan itu. Si orang tua memperhatikan. Ternyata Andini hanya memindahkan bungkusan dari kaki tempat tidur kayu ke bagian kepala.

"Paman Soma, kau pasti letih, perlu istirahat. Nah sekarang tidurlah. Besok pagi-pagi sekali aku akan membangunkan dirimu dan kita bicara lagi mengenai riwayat kita masing-masing. Jika memang masih ada yang dibicarakan…"

"Bukan aku, tapi kaulah yang harus beristirahat. Seperti tadi kataku, aku akan bersemedi di luar sana…"

Andini tertawa. Tangannya digelungkan ke pinggang Raja Obat lalu sekali dorong saja maka rebahlah orang tua itu di atas ranjang beralaskan jerami kering.

“Hai. Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Raja Obat.

Sesaat si gadis masih terus tertawa. Kemudian dia berkata, "Aku yang muda harus mengalah pada kau yang lebih tua dan kuhormati. Tidur sajalah. Pejamkan matamu. Aku akan memijiti kakimu, punggung dan kepala agar lekas pulas…"

"Tidak usah… Tidak perlu! Jangan! Andini…"

Bagaimanapun orang tua itu menolak namun si gadis terus saja melakukan apa yang dikatakannya. Kedua tangannya dengan cekatan memijat kaki Raja Obat. Mula-mula betis kanan, ketika naik ke lutut orang tua ini menggeliat kegelian. Tapi tubuhnya sebelah bawah tidak bisa digerakkan karena saat itu Andini sudah menduduki sepasang kakinya terus memijiti punggungnya.

Seumur hidupnya orang tua itu tidak pernah dipijiti orang. Juga tidak pernah ada tangan perempuan yang pernah menyentuh auratnya. Kini diperlakukan seperti itu, dalam kegeliannya bagaimanapun juga ada hawa aneh menjalari sekujur tubuh sang pangeran. Apa lagi yang memijat tubuhnya adalah seorang gadis berwajah begitu cantik, memiliki kulit dan potongan tubuh bagus. Sampai-sampai Raja Obat berulang kali beristigfar menyebut nama Tuhan dalam hatinya karena tengkuknya mendadak merinding dan rasa takut mulai menjalari dirinya.

"Andini, cukup! Aku sudah tidak letih lagi Kau boleh pergi, aku sudah bisa tidur…" berkata Raja Obat.

“Tenang dan diam sajalah Paman Soma. Kalau kau mau tidur silahkan saja. Tidurlah, ngorok yang keras" jawab si gadis. Tangannya menyelinap ke balik jubah si orang tua.

Lelaki berusia seratus tahun yang terbaring menelungkup itu laksana disengat kalajengking. Darahnya mendadak panas dan mengalir lebih cepat. Tubuhnya membara seperti dipanggang. Degup jantungnya menggelegar

“Andini… Apa yang kau lakukan terhadapku?!" Suara Raja Obat tenggelam dalam desau nafasnya sendiri. Dia segera membalikkan tubuh Sepasang matanya membelalak. Dia tidak tahu kapan gadis itu menanggalkan pakaiannya. Dilihatnya saat itu tubuh Andini tidak tertutup sehelai benang pun. Orang tua ini cepat tutupkan kedua matanya sementara getaran aneh yang tak pernah dialaminya sebelumnya semakin menjadi-jadi.

Ternyata walau matanya terpejam namun Raja Obat seolah melihat sosok Andini lebih jelas. Tak ada jalan lain. Dia harus melepaskan diri secara paksa. Raja Obat bergerak bangkit. Namun di sebelah atas tubuh polossi gadis menekan dan mendorongnya. Di telinganya terdengar satu bisikan disertai hembusan nafas harum,

"Paman Soma, jangan takut. Aku tidak akan mencelakai dirimu. Malam ini adalah malam bahagia kita berdua. Kau adalah kekasihku. Aku adalah kekasihmu… Tidakkah kau ingin merasakan nikmatnya bercinta?"

********************

DELAPAN

Pada saat perhatian dan pikiran seseorang tertuju penuh pada sesuatu, selalu ada kemungkinan dia akan bertindak kurang waspada terhadap hal-hal lain di sekitarnya. Hal ini disadari sekali oleh murid Sinto Gendeng. Setelah meninggalkan pulau batu merah di pantai selatan tempo hari. baru saat itulah dia merasa tepat waktu dan aman untuk mengeluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa, guna membaca, mendalami dan mempelajari isinya.

Sejak kitab sakti itu berada di tangannya dia merasakan satu ketenangan dalam dirinya. Namun di balik ketenangan itu sikap waspada tak pernah dilupakannya. Cepat atau lambat riwayat kitab itu akan diketahui orang-orang di dalam maupun di luar rimba persilatan. Pada saat itu terjadi maka dirinya akan menjadi orang buruan. Bahaya maut akan mengancam dari mana-mana.

Karenanya bahkan terhadap Raja Obat yang telah membantunya memberi tahu dan mendapatkan kitab itu secara halus dia tidak memberi tahu bahwa kelak dia akan pergi ke tempat itu. Satu tempat yang dianggapnya paling aman untuk menyelami dan mempelajari keseluruhan isi kitab sakti tersebut. Bagaimanapun dia berhati-hati ternyata dua orang telah muncul secara tidak diduga. Yakni nenek sakti berjuluk lblis Putih Ratu Pesolek dan Makhluk Pembawa Bala.

“Aku harus mempelajari isi kitab sakti ini dengan cepat. Kalau perlu besok sebelum matahari terbit aku harus mencari tempat lain yang lebih aman..." kata Wiro dalam hati.

Wiro duduk bersila di lantai gua dengan punggung menghadap ke dinding sebelah dalam Di hadapannya ada sebuah lampu minyak. Nyala api lampu minyak tak bisa diam akibat hembusan angin malam yang datang dari mulut gua.

"Jika nyala api berhenti bergoyang, berarti ada sesuatu yang menutupi pintu gua. Sesuatu Itu bisa saja binatang hutan, tapi bisa juga seseorang yang muncul untuk mendapatkan kitab sakti. Aku benar-benar harus berhati-hati…"

Saat itu murid Sinto Gendeng masih mengenakan baju hitam pemberian Ratu Duyung dulu. Dari balik pakaian ini dengan tangan agak bergetar dan degup jantung mengeras dia keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Sesaat kitab itu diletakkannya di atas keningnya seraya hatinya berucap,

"Tuhan, hanya dengan kehendak dan ridho Mu aku berhasil mendapatkan kitab ini. Karenanya hanya kepada Mu aku meminta perlindungan agar diriku selamat dari segala marabahaya selama kitab sakti ini berada di tanganku. Semoga aku bisa berbakti pada dunia persilatan dalam menegakkan kebenaran dan menghancurkan kejahatan..."

Perlahan-lahan Wiro turunkan kitab yang terbuat dari daun lontar itu lalu diletakkannya di atas pangkuannya. Sesaat dia memperhatikan nyala api lampu minyak. Api lampu seperti tadi masih bergoyang-goyang oleh tiupan angin. Wiro mengusap lambat permukaan kulit depan buka di mana tertera tulisan besar dalam aksara Jawa Kuno berbunyi Kitab Putih Wasiat Dewa. Kulit lontar dibukanya, terpampang kini di hadapannya halaman pertama.

Melihat apa yang tertulis di halaman pertama itu pikiran Wiro melayang pada kejadian beberapa waktu lalu ketika dia secara aneh masuk ke dalam alam gaib masa lampau. Dia seolah berada di satu masa, menjadi bagian dari waktu lampau dan segala apa yang terjadi. Termasuk melihat Kitab Putih Wasiat Dewa itu.

Secara aneh dia memiliki kemampuan mengingat hampir setiap baris rangkaian kalimat pada beberapa halaman kitab. Walau demikian, dengan suara perlahan dia merasa perlu mengulang dan membaca lagi apa yang tersurat di halaman pertama itu.

Bilamana datang kebenaran maka meraunglah para iblis pembawa kejahatan.

Kejahatan mungkin bisa berjaya. Tapi pada saat kebenaran dan keadilan muncul tak ada satu kekuatan lain mampu membendungnya.

Kejahatan membakar dan merusak laksana api. Tetapi api itu sendiri sebenarnya adalah kekuatan dahsyat. Yang diarahkan para Dewa untuk membakar mereka.

Bilamana api memusnahkan mereka, maka penyesalan tiada berguna.


Wiro membalik halaman kedua. Di sini, didalam sebuah lingkaran putih tertera gambar kepala seekor harimau putih. Datuk Rao Bamato Hijau..." desis Wiro.

Baru saja dia menyebut nama itu tiba-tiba entah dari arah mana, di kejauhan menggema suara auman harimau. Di saat yang bersamaan dari sepasang mata harimau pada gambar di halaman kedua Kitab Putih Wasiat Dewa itu melesat keluar dua larik cahaya hijau menyilaukan. Wiro merasa kepalanya seolah tanggal dari persendian dan mencelat lepas. Dua matanya panas dan pemandangannya menjadi gelap walau saat itu dalam keadaan nyalang.

"Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku. Aku mendadak buta!" ujar Wiro. Sepasang matanya digosok berulang kali. Semakin digosok semakin panas kedua matanya dan semakin menghitam pemandangannya. "Mati aku!" keluh Pendekar 212.

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara alunan seruling. Lembut dan sangat menawan selembut terdengarnya suara itu, selembut itu pula rasa panas dan pandangan gelap yang dialami Wiro menjadi sirap. Ketika keadaannya pulih kembali dan dia dapat melihat segala sesuatunya seperti tadi bahkan kini lebih jelas seolah di dalam gua itu bukan cuma ada satu lampu minyak tapi belasan banyaknya!

"Tuhan… Mukjizat atau apakah yang barusan aku alami ini!" ujar Wiro lalu diusapnya Kitab Putih Wasiat Dewa di pangkuannya. Kembali sepasang matanya berbenturan dengan dua mata hijau gambar harimau putih pada daun lontar halaman kedua Kitab Putih Wasiat Dewa.

Saat itulah ada suara mengiang ditelinganya. Semula disangkanya suara Raja Obat yang memang mempunyai kesaktian mengirimkan suara dari jarak jauh. Namun setelah didengarnya baik-baik dia segera maklum suara mengiang itu adalah suara Datuk Rao Basaluang Ameh, orang tua aneh yang muncul membentuk diri dari kabut atau asap putih.

"Anak manusia bernama Wiro Sableng. terlahir bernama Wiro Saksana, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ketahuilah waktu berada di pulau batu merah dulu. Kau telah menerima ilmu kesaktian bernama Pukulan Harimau Dewa. Barusan saja kau telah mendapatkan ilmu kedua yang terkandung di dalam Kitab Putih Wasiat Dewa bernama Sepasang Pedang Dewa. Bilamana keselamatanmu terancam dalam menghadapi senjata lawan yang tak dapat kau hancurkan, kau hanya tinggal menyebut nama ilmu itu maka dari matamu akan melesat keluar dua larik sinar hijau laksana sepasang pedang yang luar biasa tajamnya dan seperti kilat sambarannya. Namun karena ilmu kesaktian ini sangat berbahaya maka penggunaannya sangat terbatas. Dalam waktu 360 hari kau hanya boleh mengeluarkannya sebanyak dua kali. Ingat, hanya dua kali!"

Suara yang mengiang lenyap dari pendengar an Pendekar 212. Untuk beberapa lamanya pemuda dari Gunung Gede ini duduk terpana dengan mulut ternganga. Lalu dia ingat, dia harus berbuat dan melakukan sesuatu. Cepat Wiro membungkuk seraya berkata. "Datuk Rao Basaluang Ameh aku sangat berterima kasih padamu…"

Tak ada jawaban. Perlahan-lahan Wiro luruskan duduknya lalu mendongak ke atap gua seraya berkata. "Tuhan, sungguh maha besar berkah Mu atas diriku. Aku akan menjaga semua kepandaian yang diberikan padaku...”

Api lampu minyak terus bergoyang Wiro kembali menatap halaman kedua Kitab Putih Wasiat Dewa. Di bawah gambar harimau dan lingkaran putih tertera tulisan berbunyi:

Putih lambang kesucian dan kebenaran. Harimau lambang keberanian dan kejantanan

Barang siapa berjodoh dengan kitab ini, maka kemanapun dia pergi harimau putih akan menjadi kekuatan, menjaga dirinya dari segala musuh ilmu hitam dan iblis jahat


Wiro terus membalik halaman berikutnya. Di halaman ketiga seperti yang pernah dilihatnya dalam alam arus waktu masa lampau di situ termuat apa yang disebut Delapan Sabda Dewa yang secara aneh satu persatu sanggup diingatnya walau hanya dibaca seolah dalam mimpi.

Delapan Sabda Dewa

Barang siapa berjodoh dengan Kitab Wasiat Sakti dan mampu mempelajari yang tersurat maupun yang tersirat, menguasai yang lahir dan yang batin maka hendaklah dia men-camkan apa-apa yang telah disabdakan. Delapan Sabda Dewa adalah delapan jalur keselamatan. Tanah... Air… Api… Udara… Bulan... Matahari... Kayu… Batu.


Rangkaian tulisan Delapan Sabda Dewa ini menghabiskan dua halaman sendiri hingga kini Wiro akan sampai ke halaman kelima. Murid Sinto Gendeng lantas ingat. Waktu berada dalam arus waktu masa lampau dia melihat bagaimana Kanjeng Sri Ageng Musalamat tidak mampu menggerakkan tangan untuk membalik halaman kelima. Pada waktu itu muncul Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tahu bahwa dia tidak berjodoh dengan kitab sakti itu. Karenanya dia tidak diperkenankan membuka halaman berikutnya yakni halaman kelima.

"Bagaimana dengan diriku...?" pertanyaan itu muncul di hati Pendekar 212 Wiro Sableng. "Apakah aku mampu membalikkan halaman keempat ini dan melihat ke halaman kelima?"

Dadanya berdebar. Jari-jari tangannya bergetar ketika digerakkan untuk membalik halaman keempat. Hampir halaman kelima tersingkap tiba-tiba kembali terdengar suara auman harimau yang menggetarkan gua batu di lereng Gunung Merbabu itu. Menyusul tiupan saluang. Sesaat Wiro jadi terkesiap. Apakah ini satu pertanda bahwa diapun tidak akan mendapat perkenan melihat halaman kelima?

Pendekar 212 menatap ke depan dan bertanya-tanya dalam hati apakah Datuk Rao Basaluang Ameh dan harimau putihnya akan muncul saat ini? Namun tak ada kabut atau asap putih muncul di tempat itu. Wiro teruskan membalik halaman keempat. Halaman lima Kitab Putih Wasiat Dewa kini terpampang di depan mata Pendekar 212 Ternyata di situ hanya ada serangkaian kalimat berbunyi:

Musuh umat manusia hanya ada dua. Pertama yang datang dari luar. Kedua yang datang dari dalam dirinya sendiri. Kalau Delapan Sabda Dewa dipelajari, dimengerti dan diamalkan. Niscaya manusia akan terlindung dari segala mara bahaya. Mana ada jalan selamat kalau bukan JalanNya Tuhan?

Wiro mengulangi membaca tiga baris kalimat itu sampai beberapa kali. Dalam hati kembali dia melafal satu persatu Delapan Sabda Dewa yang ada di halaman sebelumnya. Kemudian kembali dia tundukkan kepala memperhatikan kitab yang ada dipangkuannya. Menurut apa yang dilihatnya kitab itu hanya memiliki dua halaman yang belum dibuka

"Hanya tinggal dua halaman…" desis Wiro. Apakah semua inti ilmu kesaktian terpendam padadua halaman terakhir kitab ini?" Pikir murid Sinto Gendeng selanjutnya.

Tiba-tiba terdengar suara Datuk Rao Basaluang Ameh di telinganya. “Anak muda jangan ragu. Kitab yang ada padamu hanyalah alat pembimbing menuju satu kesaktian. Kesaktian itu sendiri adalah satu kekuatan gaib yang tidak satu manusiapun sanggup menjelaskan karena semua datang dari Yang Maha Kuasa. Antara kitab itu sebagai benda nyata dan kesaktian sebagai yang gaib ada satu sambung rasa yang hanya kau yang akan menguasainya karena kaulah yang berjodoh dengan kitab itu…"

Keraguan yang tadi memang sempat menyeruak di dalam hati Pendekar 212 serta merta sirna. "Terima kasih Datuk Rao Basaluang Ameh," kata sang pendekar lalu dengan terang dibalikkannya halaman kelima.

Pada halaman keenam yang kini terpampang di depan matanya. Wiro melihat enam lukisan orang lengah melakukan gerakan silat. Masing-masing lukisan diberi nomor mulai dari 1 sampai 6. Bagian halaman yang tersisa penuh dengan tulisan-tulisan kecil hingga untuk membacanya Wiro harus mengangsurkan kitab itu lebih dekat ke lampu minyak yang ada di hadapannya. Dia lalu mulai membaca tulisan demi tulisan:

Menyerang adalah awal kekuatan sedang bertahan adalah akhir kekuatan Ilmu silat. Dalam menghadapi musuh jahat, lebih dahulu bertindak adalah tindakan sempurna dari pada bertahan menunggu datangnya bencana. Musuh pertama manusia adalah yang datang dari luar. Bilamana mereka datang maka mereka akan menyerang dari enam arah, yaitu: atas (1) depan (2), belakang (3), samping kiri (4), samping kanan (5) dan dari sebelah bawah (6).

Sampai di sini Wiro memperhatikan dengan seksama keenam lukisan dan masing-masing arah serangan yang disebutkan. Enam lukisan ini menggambarkan enam gerakan serangan menurut enam arah yang disebut... "Serangan dengan telapak tangan kanan terkembang, tidak mengepal. Tulisan selanjutnya mungkin… hem… Mungkin ini nama-nama jurusnya…" Wiro memperhatikan kelanjutan rangkaian tulisan yang telah dibacanya.

Enam inti Kekuatan Dewa:
1.Tangan Dewa Menghantam Matahari
2.Tangan Dewa Menghantam Batu Karang
3.Tangan Dewa Menghantam Rembulan
4.Tangan Dewa Menghantam Air Bah
5.Tangan Dewa Menghantam Api
6.Tangan Dewa Menghantam Tanah


"Hemmm…" Wiro jadi bergumam sendiri. "Benar, ini enam jurus serangan. Namanya disesuaikan dengan enam dari delapan unsur Sabda Dewa. Penampilan lukisan-lukisannya sederhana sekali tapi seumur hidup baru kali ini aku melihat jurus-jurus begini aneh. Kuda-kuda sepasang kaki lain dari yang lain. Juga gerakan tangan terlihat janggal. Lalu mengapa setiap tangan kanan pada lukisan kelihatan lebih besar…? Tidak mungkin pelukis kitab ini melakukan kesalahan. Pasti ada artinya…"

Wiro coba memecahkan arti telapak tangan kanan yang lebih besar dari tangan kiri ttu. Tapi tidak mampu mengartikannya. Akhirnya untuk beberapa lama dia hanya duduk sambil memandangi telapak tangan kanannya yang sebentar-sebentar dikembangkan, lalu dikepal. Dikembangkan lagi, dikepal lagi. Demikian berulang-ulang.

"Mungkin aku harus minta petunjuk dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Tapi bagaimana cara memanggil orang sakti dari alam gaib itu? Lagi pula sebaiknya biar aku pecahkan sendiri. Kalau semua minta petunjuk bisa-bisa aku dikatakan tak punya otak untuk berpikir…"

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala dengan tangan kiri. Matanya masih memandangi telapak tangan kanannya yang terkembang. Sekonyong-konyong dia ingat. Telapak tangan yang terkembang itu ditiupnya satu kali. Serta merta muncullah gambar kepala harimau putih bermata hijau. inilah gambar kepala Datuk Rao Bamato Hijau, binatang sakti peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah dikatakan sebagai sahabat yang akan melindungi Wiro.

"Aku mengerti sekarang…" membatin murid Sinto Gendeng. Dia mulai dapat memecahkan teka teki dalam lukisan. "Telapak tangan kanan yang terkembang dan lebih lebar melambangkan pukulan yang dilancarkan tidak dengan cara mengepal tapi seolah mendorongkan telapak tangan! Lalu sebelum telapak tangan itu dipakai untuk menyerang tentunya sudah ditiup lebih dulu, diisi dengan kesaktian berlambang kepala harimau putih!"

Wiro menarik nafas lega. Agaknya kehebatan Kitab Putih Wasiat Dewa ini bersumber pada enam jurus serangan yang disebut Enam Inti Kekuatan Dewa itu. Namun apa yang ada di dalam kitab itu tidak akan ada artinya jika dirinya tidak lebih dulu menerima kekuatan dari dua Datuk berupa pukulan sakti yang dapat dilancarkan tanpa pengerahan tenaga dalam sama sekali!

Berarti ada kanan antara benda mati yakni sang kitab yang kini dimilikinya dengan dirinya sendiri selaku pemilik kitab. Ada kaitan antara yang nyala yaitu petunjuk dalam kitab dengan yang gaib yakni kekuatan sakti yang kini tersimpan dalam tubuhnya.

"Cerdik sekali orang yang membuat kitab ini. Seseorang tidak akan menguasai ilmu yang ada dalam kitab tanpa memiliki lebih dulu kesaktiannya. Kesaktian tidak ada artinya jika tidak mengikuti setiap petunjuk di dalam kitab…"

Pada saat itu entah bagaimana Wiro lantas ingat akan Kitab Wasiat Iblis yang kini berada di tangan Pangeran Matahari musuh besarnya. Mau tidak mau dia jadi ingin tahu dan ingin membuktikan mana yang paling hebat di antara dua kekuatan sakti yang mereka miliki.

"Cepat atau lambat saatnya akan datang. Tapi kapan… Di mana…?" Wiro bertanya sendiri dalam hati.

Perlahan-lahan Wiro membalik halaman keenam hingga kini dia sampai pada halaman terakhir dari Kitab Putih Wasiat Dewa yakni halaman ketujuh. Pada halaman ini tertera tulisan:

Musuh manusia yang kedua adalah yang datang dari dalam, yaitu dirinya sendiri.

Musuh ini lebih ganas dan lebih berbahaya dari musuh yang datang dari luar.

Dia bisa muncul dalam berbagai bentuk. Namun semuanya berpangkal pada lupa diri.

Hanya manusia yang bertakwa dan kokoh iman yang sanggup lolos dari malapetaka ini.

Renungkan Delapan Sabda Dewa. Minta tolong dan minta ampun hanya pada Yang Satu.


“Kitab luar biasa…" kata Pendekar 212 sambil mengusap daun lontar halaman terakhir Kitab Putih Wasiat Dewa berulang kali. Tiba-tiba nyala api lampu minyak dihadapannya tidak bergoyang lagi.

"Ada yang datang. Sosok tubuhnya menutup mulut gua, menghalangi tiupan angin!"

Pendekar 212 cepat tutup Kitab Putih Wasiat Dewa dan masukkan ke balik baju hitamnya. Dia bangkit berdiri dan menyelinap ke balik legukan gua di dinding kiri. Matanya membelalak sewaktu yang dilihatnya muncul di mulut gua adalah kepulan asap putih yang serta merta membentuk sosok Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk Rao Bamato Hijau.

“Aneh, keduanya muncul tanpa didahului auman dan tiupan seruling," kata Wiro dalam hati tapi dia cepat-cepat keluar dari balik legukan dinding gua dan membungkuk menghormati kedatangan kedua makhluk dari alam gaib itu.

"Datuk…"

Datuk Rao Basaluang Ameh angkat tongkatnya memberi isyarat agar Wiro tidak meneruskan ucapannya. "Kami datang hanya sesaat. Lekas tinggalkan gua ini. Di satu bukit yang terletak di sebelah timur Kutogede ada sebuah rumah kayu. Raja Obat alias Pangeran Soma berada di situ. Dia berada dalam cengkeraman bahaya besar. Kalau kau tidak lekas datang ke sana menolongnya, aku kawatir nyawanya tidak akan terselamatkan…”

Wiro masih terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan itu sementara Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk Rao Bamato Hijau sudah lenyap dari hadapannya, tanpa auman, tanpa tiupan saluang.

********************

SEMBILAN

Berkat ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung, begitu berada di kaki bukit sebelah timur Kutogede dia segera bisa menjajagi di mana letaknya rumah kayu itu. Tubuhnya bergetar ketika samar-samar di dalam rumah kayu dia melihat sosok Raja Obat tergeletak nyaris tanpa pakaian dalam keadaan sekarat.

"Apa yang terjadi dengan orang tua itu!" pikir Wiro. Laksana terbang dia lari menuju ke atas bukit. Begitu sampai di depan rumah kayu Pendekar 212 melabrak pintu dan melompat masuk. Sepasang kakinya laksana dipantek di lantai rumah. Dua matanya membeliak. Raja Obat tergeletak di atas ranjang beralas jerami kering tanpa pakaian. Jubah putih yang biasa dikenakannya berkerimuk di bagian bawah perut basah oleh darah. Erangan kematian keluar dari mulutnya. Dadanya turun naik dan nafasnya hanya tinggal satu-satu.

"Raja Obat! teriak Wiro seraya melompat mendekati ranjang. "Aku Wiro! Apa yang terjadi?!"

Sepasang mata Raja Obat yang terkatup hanya bergerak sedikit. Pendekar 212 segera tempelkan dua telapak tangannya ke dada orang tua itu lalu alirkan tenaga dalam.

"Raja Obat! Jangan mati sebelum kau mengatakan apa yang terjadi!" kata Pendekar 212 pula seraya berlutut di samping tempat tidur dan mendekatkan mukanya ke wajah si orang tua.

Suara erangan Raja Obat terhenti sesaat. Wiro memandang pada jubah yang menutupi bagian bawah perut orang tua itu. Diulurkannya tangannya. Kerimukan jubah diangkat.

"Jahanam!" teriak Pendekar 212.

Aurat Raja Obat di bagian bawah perut hancur mengerikan. Darah masih mengalir. Wiro tutup bagian itu kembali dengan jubah berdarah. Dia memandang berkeliling. Ketika dilihatnya sebuah bungkusan yang diketahuinya adalah milik orang tua itu segera diambilnya. Dia tahu betul. Sewaktu meninggalkan pulau merah, Raja Obat telah membekali dirinya dengan beberapa keping batu merah yang menurutnya jika diperlukan dapat dipergunakan sebagai obat. Wiro ambil satu keping batu merah lalu meletakkannya ke dalam tangan Raja Obat.

"Raja Obat, Pangeran Soma… Kau bisa mendengar suaraku? Aku Wiro…"

Sepasang mata si orang tua bergerak kembali. Dia seperti berusaha membukanya tapi tidak mampu.

"Raja Obat…"

"Wiro…" Suaranya hampir tidak terdengar kalau Wiro tidak mendekatkan telinganya ke mulut si orang tua. "Aku… aku telah melakukan dosa besar. Terhadap diriku… juga terhadap dirimu…"

"Dosa besar… Dosa besar apa?!" tanya Wiro

"Gadis itu… Andini! Dosa besar… Aku tertipu. Di… dia mengajakku bercinta. Imanku runtuh… Aku tak mampu menolak. Ternyata dia hanya menipu. Dia hanya mencari keterangan tentang dirimu dan Kitab Putih Wasiat Dewa…"

"Andini…? Puti Andini…?" desis Wiro. Matanya membelalak memandangi wajah belang si orang tua. "Raja Obat… Nyawamu harus diselamatkan dulu… Aku meletakkan sekeping batu merah dalam tangan kananmu. Kau merasakan…”

"Aku merasakan… Aku tahu maksudmu. Tak ada gunanya Wiro. Nyawaku tidak mungkin ditolong..."

"Kau harus mencoba hancurkan batu itu. Nanti aku akan menaburkan di lukamu…"

"Keadaanku sudah sangat parah. Malaikat maut sudah di depan mata. Aku mohon maafmu Wiro. Di luar sadar aku telah menceritakan pada gadis itu bahwa Kitab Putih Wasiat Dewa ada di tanganmu. Hati-hatilah… Dia pasti akan mencari dan membunuhmu untuk mendapatkan kitab sakti itu…"

"Tapi…" Wiro terdiam. Ada kebimbangan dalam hatinya. "Raja Obat, kau bisa mengatakan ciri-ciri gadis itu yang katamu bernama Andini itu?”

"Putih… Cantik… Berambut panjang. Mengenakan baju merah…"

"Apakah… Apa dia membawa…"

"Dia kekasih seorang pemuda bernama Handoko, putera seorang Tumenggung bernama Caroko Sindu Winoto… Tapi kurasa dia berdusta…" Dengan susah payah Raja Obat menuturkan riwayat si gadis.

"Raja Obat, aku bersumpah akan mencari gadis itu. Tapi saat ini kau harus kuselamatkan dulu. Remas batu merah itu. Atau tunjukkan padaku bagaimana cara aku menolongmu...?"

Wajah belang Raja Obat alias Pangeran Soma tersenyum aneh. "Aku sudah terlalu lama hidup di dunia ini Wiro. Nasibku buruk. Di saat-saat akhir menjelang kematianku justru aku telah berbuat dosa besar. Aku pantas menerima kematian dengan cara begini…"

"Tidak!" teriak Pendekar 212 Lalu dia tempelkan kedua telapak tangannya kembali ke atas dada orang tua. Tapi sebelum dia mengalirkan tenaga dalam untuk kali yang kedua Raja Obat telah menghembuskan nafas terakhir. Murid Sinto Gendeng memukul dinding rumah sampai hancur lalu terhenyak duduk di lantai.

"Andini… Dewi Payung Tujuh…! Gadis itu yang memunuh Raja Obat?!" Wiro kepalkan kedua tangannya. "Dia memang membekal tugas dari gurunya untuk mencariku dalam menjejaki Kitab Putih Wasiat Dewa. Aku juga tahu bahwa dia akan membunuhku jika aku menolak menyerahkan kitab sakti itu. Tapi kalau dia tega membunuh orang tua ini. Kalau memang dia yang melakukan aku tak akan mengingat segala hutang budi dan nyawa terhadapnya. Bagus! Bagus Andini! Kini kau memberi alasan untuk membunuhmu!"

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Kuda tunggangan dua prajurit Kerajaan itu meringkik keras begitu memasuki hutan jati. Seperti melihat setan binatang-binatang itu mengangkat sepasang kaki depan masing-masing tinggi-tinggi ke atas mencampakkan penunggang mereka hingga jatuh terbanting di tanah lalu menghambur lari. Sambil merintih kesakitan dua prajurit itu mencoba bangkit berdiri. Salah seorang dari mereka menyumpah.

“Binatang jahanam! Setan apa yang merasuki mereka hingga kita dilemparkan begini rupa!"

"Jangan memaki bermulut kotor! ini bukan tempat sembarangan. Kalau mau copot lidahmu ditarik setan rimba belantara!" teriak prajurit satunya sambil memijati pinggulnya yang memar.

"Dasar orang udik! Percaya tahayul!" damprat temannya seraya mencoba berdiri. Pada saat inilah dia tidak sengaja memandang ke atas dan berteriak keras. "Lihat! Ada orang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah!"

Temannya yang selang kesakitan mendongak ke arah yang ditunjuk dan ikut-ikulan kaget. "Apa kataku! Itu akibat mulutmu bicara kotor seenaknya! Yang tergantung di pohon itu pasti setan jejadian!"

"Aku tidak buta! Buka matamu lebar-lebar! Itu sosok perempuan! Apa kau tidak bisa melihat tubuhnya yang tersingkap telanjang karena pakaiannya jatuh terjulai ke bawah?!"

"Terserah kau mau bilang apa! Bagiku itu tetap setan rimba belantara yang hendak mengganggu kita!"

Habis berkata begitu prajurit satu ini dengan terpincang-pincang segera melarikan diri. Temannya sesaat menjadi bingung. Ketika dia hendak kabur pada satu tangan memegang bahunya hingga dia menjerit kaget setengah mati.

"Apa yang terjadi di tempat ini?!" Ada suara orang bertanya.

Ketika dia membalikkan badan prajurit itu melihat seorang pemuda berambut gondrong berpakaian hitam tegak di hadapannya. "Kau… kau bukan setan...?!"

"Prajurit sialan! Orang bertanya malah disangka setan! Kalau aku setan sudah dari tadi-tadi kupencet bijimu!" bentak si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.

"Ka… kalau begitu! Lihat di atas sana…" Prajurit itu menunjuk ke atas, arah sebelah belakang Wiro.

Pendekar 212 cepat berpaling. Wajahnya berubah, sepasang matanya mendelik! Pada cabang sebatang pohon yang cukup tinggi, tergantung sesosok tubuh perempuan kaki ke atas kepala kebawah. Pakaiannya yang berwarna biru terjulai menutupi kepalanya hingga wajahnya tidak kelihatan. Tetapi mulai dari ujung kaki sampai ke lekukan dada tubuh yang mulus elok itu nyaris telanjang, hanya tertutup potongan-potongan pakaian dalam.

“Baju tipis warna biru…" Wiro coba menghirup udara di tempat itu dalam-dalam. "Dari sini aku mencium bau tubuhnya. Jangan-jangan…" Wiro berpaling pada prajurit yang masih ketakutan di depannya lalu berkata. "Kau tetap di sini. Aku akan naik ke atas pohon, coba menurunkan perempuan yang tergantung itu. Waktu aku menurunkan bantu aku menanggapi. Pegang bahunya…"

Tanpa menunggu jawaban orang Pendekar 212 cepat memanjat pohon besar dan naik ke bagian cabang di mana sosok tubuh perempuan itu tergantung.

“Kraaakkk!"

Wiro hantam cabang pohon pada bagian yang terikat tali. Cabang patah dan talinya putus. Dengan cepat Wiro menyambar ujung tali lalu perlahan-lahan menurunkan sosok tubuh yang tergantung. Di sebelah bawah prajurit yang dimintai bantuannya cepat memegang bahu perempuan yang diturunkan. Sesaat dia menahan nafas melihat tubuh setengah telanjang ltu.

Lalu perlahan-lahan tubuh itu dibaringkannya di tanah. Dia mendongak kaget ke atas dan tidak percaya ketika melihat pemuda yang tadi naik ke pohon kini turunnya tidak meluncur melalui batang tapi langsung melompat, jungkir balik di udara dan tahu-tahu sudah berdiri tegak di depannya.

Wiro cepat memeriksa perempuan yang terbujur di tanah. Ketika pakaian biru yang menutupi kepalanya disingkapkan dan ditutupkan ke tubuhnya, Wiro merasa seperti dihenyakkan oleh rasa terkejut.

"Ya Tuhan! Bidadari Angin Timur! Memang dia rupanya!" Wiro tekap wajah gadis itu dengan kedua tangannya. Dadanya sesak dan dia seperti hendak menangis. Sekian lama dia mencari dan merindukan, begitu bertemu ternyata gadis yang diam-diam dicintainya ini telah jadi mayat. Tidak! Kau tidak boleh mati! Tuhan, jangan cabut nyawanya...!"

SEPULUH

Wajah itu ternyata adalah wajah cantik seorang gadis. Rambutnya coklat pirang, panjang sebahu. Anehnya di mulutnya ada secarik robekan kain berwarna merah. Wiro berteriak memerintah prajurit yang tegak bengong agar segera melepaskan ikatan tali pada sepasang kaki si gadis. Lalu dia sendiri meraba denyutan urat besar di pergelangan tangan kiri. Merasa kurang yakin dia letakkan telinganya di atas dada Bidadari Angin Timur.

"Masih ada suara detakan jantung. Nadinya Juga masih berdenyut! Dia masih hidup! Terima kasih Tuhan!"

Pendekar 212 cepat salurkan tenaga dalamnya ke tubuh gadis itu melalui tengah dan dada. Dengan hati-hati dia menarik cabikan kain merah dari mulut si gadis. Wiro tidak menunggu lama. Mula-mula dia melihat kaki kanan gadis itu bergerak. Lalu dan sela bibirnya keluar suara erangan halus. Wiro usap wajah gadis itu berulang kali, mendekatkan wajahnya seraya berbisik,

"Bangun… Bangun… Jangan buat aku jadi ketakutan kehilanganmu!"

Sepasang mata Bidadari Angin Timur terbuka. Mula-mula mata itu menatap lurus-lurus ke langit biru di atasnya. Wiro membelai kening dan rambut pirang si gadis lalu berbisik,

"Bidadari Angin Timur… Lihat ke sini. Tidakkah kau mengenali diriku?"

Dua bola mata yang tadi redup itu kini kelihatan bercahaya bagus, berputar memandang ke arah wajah yang ada di sampingnya. Sesaat mata itu menyipit sedikit lalu membuka lebar-lebar. Satu seruan keluar dari bibirnya yang merah,

"Wiro?!"

"Ini memang aku, Bidadari Angin Timur! Apa yang terjadi dengan dirimu!"

Si gadis tersenyum. Dua lesung pipit muncul di pipinya. Sepasang tangannya tiba-tiba merangkul ke atas memeluk Pendekar 212 erat-erat ke dadanya. Mereka sama-sama dapat merasakan detak jantung masing-masing Pendekar 212 merasa seribu bahagia.

"Aku… aku tidak tahu harus mengatakan apa. Pasti kau yang telah menolong diriku…" bisik Bidadari Angin Timur seraya membelai rambut gondrong Pendekar 212.

Wiro hendak menjawab tapi dia mendadak ingat pada prajurit yang masih berada di tempat itu. "Kau boleh pergi. Aku berterima kasih kau telah memberikan pertolongan…"

Si prajurit masih tertegak bingung menyaksikan apa yang terjadi. Lalu dia angguk-angukkan kepala dan sesaat kemudian tinggalkan tempat itu. Sambil melangkah pergi sesekali dia menoleh ke belakang. Seperti menyesali diri dia mengomeli temannya yang tadi lari duluan. Kalau kawanku itu tidak lari dan aku sempat menolong si gadis, pasti aku yang akan dipeluk dan diciumi gadis itu! Ah, nasibku masih jelek!"

Wiro mendukung Bidadari Angin Timur ke bawah pohon yang rindang. Kalau kau sudah merasa tenangan, maukah kau menceritakan apa yang terjadi?"

Sesaat wajah si gadis tampak kemerahan. Mungkin dia sadar apa yang tadi dilakukannya. Memeluk dan menciumi pemuda itu terdorong rasa terima kasih karena telah diselamatkan.

"Kalau kau tidak mau menceritakan tidak jadi apa," ujar Wiro. "Tapi kalau ada orang yang hendak membunuhmu dengan cara keji seperti tadi ini bukan urusan main-main. Jika dia tahu kau masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan mengulangi kembali…"

Bidadari Angin Timur terdiam.

"Apa kau punya musuh besar? Ada yang mendendam terhadapmu?"

Si gadis masih diam Namun sesaat kemudian dia berusaha mulai. “Terus terang aku merasa malu…"

"Hemm… Mengingat hubungan kita di masa lalu. apa lagi yang harus kau malukan? Ingat peristiwa di telaga tempo hari? Aku tidak pernah bisa melupakan saat-saat penuh bahagia itu." (Baca Episode Wasiat Dewa)

Wajah Bidadari Angin Timur bersemu merah. Wiro tertawa lebar dan berkata. "Aku tahu kau akan menceritakannya padaku. Aku harus tahu siapa yang melakukan perbuatan kurang ajar dan keji ini padamu!"

“Semua ini terjadi karena salahku sendiri!”

"Salahmu sendiri?" ulang Wiro. "Aku jadi tidak mengerti!" Lalu pemuda ini garuk-garuk kepalanya.

"Semua terjadi karena hasratku yang selalu ingin berada dekat denganmu…"

Murid Sinto Gendeng jadi ternganga mendengar ucapan jujur si gadis. "Kalau begitu apa yang terasa di hatiku juga terasa di hatinya. Ah… Gayung bersambut kata berjawab. Aku tidak bertepuk sebelah tangan!" Wiro pandangi wajah jelita itu sejenak. "Aku tidak menyangka. Kalau begitu pemuda jelek ini rupanya yang jadi pangkal bahala!" kata Wiro pula seraya tepuk keningnya sendiri.

Bidadari Angin Timur tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan menambah kecantikannya. Membuat Pendekar 212 ingin mendekap wajah itu dalam kedua tangannya lalu menciumnya habis-habisan.

"Aku tidak mengatakan demikian Wiro. Maksudku… Kita sudah berhubungan sejak lama. Namun bertemu sekali-sekali. Itupun tanpa rencana, tidak terduga. Seperti yang kau akui tadi, sejak pertemuan kita di telaga tempo hari aku… Aku tidak bisa melupakanmu. Tapi aku merasa kawatir, Karena aku tahu banyak gadis yang jauh lebih cantik dari pada diriku menyukai dirimu." Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur tundukkan kepala menyembunyikan wajahnya yang kemerahan.

“Bidadari Angin Timur, mendengar ucapanmu barusan apakah aku bisa mengatakan bahwa kau mencintai diriku?" Murid Sinto Gendeng langsung bicara blak-blakan hingga kembali wajah si gadis bersemu merah.

“Ada ujar-ujar mengatakan begini," kata Bidadari Angin Timur pula. "Seorang gadis jika dia mengatakan tidak berarti mungkin. Jika dia bilang mungkin bisa berarti ya. Kalau dia mengatakan ya maka dia bukan seorang gadis lagi!"

Wiro tertawa gelak-gelak. "Sekarang aku ingin tahu. Kau ini termasuk gadis yang tidak, yang mungkin atau si iya tadi?!"

Satu cubitan keras pada lengannya membuat Wiro Sableng terpekik kesakitan. "Bidadari Angin Timur sebelum kita terus bicara soal hubungan kita dan tertawa ha-ha hi-hi di rimba belantara ini, aku ingin kau menuturkan lebih dulu apa yang terjadi dengan dirimu…"

"Baik, memang kupikir aku harus memberi tahu padamu," jawab Bidadari Angin Timur pula. "Setelah kita berpisah di telaga, aku berusaha menyirap kabar tentang dirimu. Entah mengapa aku selalu mengawatirkan keselamatanmu. ini mungkin karena kau pernah berkata bahwa ada tugas penting yang harus kau laksanakan. Dalam dunia persilatan tersiar kabar tentang sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat Iblis. Aku menduga mungkin kau ikut-ikutan mencari kitab itu agar dapat menjadi tokoh nomor satu dalam dunia persilatan. Aku mencarimu sampai di pantai selatan. Ada yang melihatmu naik perahu menuju ke tengah laut. Aku semakin kawatir. Pantai selatan akhir-akhir ini tidak aman. Ada momok jahat di sana, dipanggil dengan julukan Makhluk Pembawa Bala. Dia akan membunuh siapa saja yang lewat di kawasan itu…"

"Aku memang telah bertemu dengan dia. Makhluk keparat itu telah coba membunuhku beberapa kali!”

Terkejutlah Bidadari Angin Timur mendengar ucapan Wiro itu. "Bagaimana kejadiannya?"

"Sewaktu berada di atas perahu, dia berusaha membunuhku secara membokong. Aku disepitkannya ke lantai perahu yang mulai bocor. Aku tak bisa berteriak, tak bisa bergerak. Padahal saat itu aku memang melihat kau berada di atas perahu, tak berapa jauh dari perahuku. Sayang kau tidak melihat…"

Si gadis sampai menarik nafas panjang saking tercekat mendengar keterangan Wiro.

"Belum lama ini dia muncul kembali hendak membunuhku! Untung aku masih bisa selamat!"

“Kalau dia berniat membunuhmu, pasti ada dendamnya terhadapmu atau mungkin ada sesuatu yang diinginkannya darimu…"

Murid Sinto Gendeng berpikir sejenak. “Apakah akan kukatakan terus terang padanya…?”

"Eh kenapa kau terdiam?" bertanya Bidadari Angin Timur.

“Makhluk Pembawa Bala memang menginginkan sesuatu dariku.” kata Wiro akhirnya

“Apa? Senjata saktimu…? Bukankah Kapak Maut Naga Geni 212 dan pasangannya batu hitam sakti milikmu telah dicuri orang?!"

"Eh, bagaimana kau bisa tahu hal itu?" tanya Wiro terkejut. Lalu menatap tajam ke mata si gadis.

SEBELAS

Bidadari Angin TImur memandang ke langit. "Jika senjata hebat seperti senjata mustika milikmu lenyap dicuri orang apa kau kira dunia persilatan tidak punya telinga menyirap dan memperbincangkannya?!"

Wiro menarik nafas dalam. "Ya. Kapak dan batu sakti itu dicuri oleh dua manusia keparat yaitu Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan…"

"Manusia-manusia jahanam itu! Aku akan membunuhnya! Mereka hampir mencelakai diriku!”

“Astaga! Aku baru ingat kejadian disumur tua di luar Kartosuro! Setelah dua senjataku mereka curi, rupanya mereka juga hendak mencelakai dirimu. Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa lolos dari tangan manusia-manusia jahanam itu?”

“Aku berpura-pura pingsan. Waktu mereka lengah kuhantam keduanya lalu melarikan diri...” jawab si gadis.

"Semakin besar dendam kesumatku pada dua manusia setan itu. Kau tahu kepada siapa senjata-senjata saktiku mereka berikan?"

"Tak bisa kuduga…" kata Bidadari Angin Timur pula."

“Mereka menyerahkan kapak dan batu sakti itu pada Pangeran Matahari di puncak Gunung Merapi!"

"Astaga! Gila!" seru Bidadari Angin Timur dengan mata terbelalak. "Jangan-jangan mereka adalah kaki tangan suruhan Pangeran Laknat itu!"

"Bukan hanya jangan-jangan. Ada bukti yang mengatakan mereka memang kaki tangan suruhan Pangeran Matahari! Antara kita dan mereka sudah ada kaitan silang sengketa dendam kesumat. Berarti kita berdua harus mencari dan membereskan mereka!”

"Aku ingin mengelupas kulit mereka hidup-hidup!” kata Bidadari Angin Timur dengan nada geram.

"Kita akan menemukan mereka. Pasti! Dunia ini terlalu sempit untuk bangsat durjana seperti mereka!” Lalu Wiro bertanya. "Setelah kau tidak menemukan diriku di laut selatan, apa yang kau lakukan?"

"Aku terpaksa kembali ke pantai walau dengan selangit perasaan kawatir. Selain Makhluk Pembawa Bala, pantai selatan juga berada dibawah kekuasaan Ratu Duyung…"

"Justru orang-orang Ratu Duyung yang menyelamatkan diriku dari tangan maut Makhluk Pembawa Bala…"

“Wajah Bidadari Angin Timur menunjukkan keterkejutan "Kau... orang-orang Ratu Duyung menyelamatkan dirimu?" Ketika Wiro mengangguk si gadis bertanya lagi. "Mereka membawamu ke tempat kediaman Ratu Duyung? Kau bertemu dengan sang Ratu?"

Wiro mengangguk lagi.

"Berarti… Apakah Ratu Duyung memintamu melakukan sesuatu untuk memusnahkan kutukan atas dirinya dan anak buahnya?"

"Jadi kau tahu juga cerita yang satu itu…" ujar Wiro. Dia hendak tersenyum namun urung sewaktu dilihatnya paras gadis di sebelahnya berubah.

“Kau telah melakukan hubungan…”

"Sampai saat ini aku masih…"

"Sulit kupercaya. Jika Ratu Duyung menginginkan seseorang untuk melakukan hal itu, orang itu tidak mudah menampiknya."

"Tapi aku berhasil menolak permintaannya..."

"Dan kau dibiarkannya pergi hidup-hidup begitu saja?”

"Kalau aku dibunuhnya apa kau kira aku bisa berada bersamamu saat ini?" ujar Wiro pula.

"Ah, aku tak tahu bagaimana harus mengatakannya…"

"Jika ada hal yang tidak kau senangi katakan saja, biar ada kejelasan.”

"Kalau kelak aku punya suami aku ingin dia hanya milikku seorang sejak nikah sampai mati. Aku akan memberikan sesuatu yang suci padanya dan aku harapkan dia juga masih suci…"

Wiro terdiam mendengar kata-kata Bidadari Angin Timur itu. Si gadis memandang lekat-lekat padanya seolah menyelidik. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala lalu tersenyum. Sambil membelai rambut pirang si gadis dia berkata,

"Kau akan mendapatkan apa yang kau harapkan itu."

"Darimu?"

"Dariku!" jawab Wiro. "Kau percaya?"

Bidadari Angin Timur tersenyum manis dan angkat bahunya.

"Kalau begitu lanjutkan ceritamu yang tadi terpotong"

"Lama aku menyirap kabar mencari tahu di mana kau berada namun tak banyak yang kudapat. Hal itu membuat aku berpikir mungkin sekali kau masih berada di kawasan laut selatan. Kemungkinan telah dijadikan sandera oleh Ratu Duyung…"

"Orang sepertiku tidak ada harganya dijadikan sandera. Untuk ditukar dengan apa...?!” ujar Wiro pula sambil terus membelai rambut si gadis.

“Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh dalam rimba persilatan. Berita-berita aneh juga bersimpang siur…"

"Misalnya?” tanya Pendekar 212 pula.

"Misalnya ya seperti dicurinya dua senjata mustikamu itu. Lalu seorang nenek sakti yang selama ini menghilang tahu-tahu muncul gentayangan kian kemari gara-gara saudara kembarnya mati dibunuh orang…”

"Hemmm… Maksudmu Iblis Putih Ratu Pesolek?"

"Jadi kau sudah tahu dan kenal padanya?" balik bertanya Bidadari Angin Timur.

Pendekar 212 gelengkan kepala berdusta.

"Kau pernah cerita padaku tentang seorang kakek sakti berjuluk Kakek Segala Tahu. Aku berusaha mencarinya guna mendapatkan keterangan tentang di mana beradanya dirimu. Tapi mencari orang tua itu sama saja sulitnya dengan mencarimu. Akhirnya aku tersesat kembali ke sekitar Kotaraja. Pagi tadi waktu berada di kawasan hutan jati ini tiba-tiba seseorang menyerangku secara pengecut. Ternyata dia seorang gadis cantik berpakaian merah yang aku tidak pernah kenal sebelumnya. Aku coba menanyakan mengapa tidak ada pangkal tidak ada sebab dia menyerangku. Gadis itu tidak menjawab. Sepertinya dia habis melakukan sesuatu dan kawatir ada orang lain mengetahui, itu sebabnya dia berniat hendak membunuhku! Namun sekali ini dia ketemu batu, Aku berhasil mendaratkan beberapa pukulan ketubuhnya. Waktu dia mulai terdesak, dari bungkusan yang dibawanya dia mengeluarkan sebuah benda. Ternyata sebuah payung berwarna merah! Dengan payung di tangan dipergunakan sebagai senjata aku dibuat tak berdaya. Serangan-serangan payungnya membuat kepalaku pening. Akhirnya aku roboh. Dalam keadaan setengah sadar gadis itu mengikat kedua kakiku dengan seutas tali. Lalu tubuhku digantungnya di cabang pohon sana kaki ke atas kepala ke bawah Sewaktu dia melakukan perbuatan gila itu dia tidak hentinya mengeluarkan tawa cekikikan. Mulutnya kudengar berucap. Jangan mimpi kau bakal mendapatkan pemuda itu! Sampai matipun kau tak akan memilikinya! Aku telah mengikatnya dengan hutang budi dan nyawa! Kau masih berusaha merampasnya dariku! Sekarang ini hukuman bagimu! Kematian! Apa yang terjadi selanjutnya kau tahu sendiri. Kalau kau datang terlambat mungkin aku sudah jadi mayat dan masih tergantung di pohon sana! Sesaat sebelum dia mengikatku, aku masih sanggup mengumpulkan tenaga dan menggigit bahunya. Tapi luput. Aku hanya sempat menggigit robek pakaian merahnya… Itu sebabnya ketika kau menemui dan menolongku, cabikan pakaian merahnya masih ada dalam gigitanku!”

Wiro memeluk Bidadari Angin Timur erat-erat. Wajahnya mengarah ke depan seolah memandang sesuatu di kejauhan.

"Kau seperti memikirkan sesuatu" kata Bidadari Angin Timur sambil memegang jari-jari tangan Wiro dan menciumnya dengan mesra.

"Tuhan Maha Besar. Masih mempertemukan kita. Ceritamu kurasa ada sangkut pautnya dengan apa yang kualami malam tadi di bukit sana. Seorang tua mati dibunuh secara keji di sebuah rumah kayu di bukit itu…"

"Siapa?"

"Raja Obat Delapan Penjuru Angin…"

"Astaga! Mana mungkin! Bukankah orang itu kabarnya tinggal di satu pulau terpencil di kawasan laut selatan?"

"Betul. Panjang ceritanya bagaimana dia kemudian meninggalkan pulau itu. Yang jelas aku yakin pembunuh Raja Obat adalah sama dengan gadis yang menggantungmu. Namanya Andini. Bergelar Dewi Payung Tujuh. Seorang gadis sakti berasal dari Pulau Andalas!”

Bidadari Angin Timur lepaskan dirinya dari pelukan Wiro. "Jadi kau kenal gadis pembunuh itu?!"

Pendekar 212 anggukkan kepala. "Dia pernah menolongku menyelamatkan jiwaku sewaktu hampir mati akibat keroyokan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan…"

Si gadis seperti tersentak dan berdiri tegak. Dua matanya memandang tajam seolah hendak menembus batok kepala Pendekar 212. "Berarti dirimulah yang dimaksudkannya dengan ucapan-ucapannya waktu menggantung diriku. Berarti hubungan kalian berdua sudah sangat jauh. Dia mencintaimu, tak ingin kehilanganmu, tak ingin aku mengambil dirimu itu sebabnya dia hendak membunuhku secara keji…"

Wiro ikut-ikutan berdiri. "Segala hutang budi dan nyawa itu tidak aku pikirkan lagi saat aku mengetahui dia telah membunuh Raja Obat Apa lagi sekarang aku ketahui bahwa dia juga hendak membunuhmu! Dia telah menentukan kematiannya sendiri!" Wiro angkat kedua tangannya Dengan tanganku sendiri aku akan menghabisi gadis keparat ltu…"

Wajah Bidadari Angin Timur tiba-tiba saja menjadi sayu redup. Setengah terpejam dia menggelengkan kepala. "Dugaanku tidak meleset. Banyak gadis cantik berkepandaian tinggi mencintaimu dan ingin memiliki dirimu. Satu diantaranya yang bernama Andini itu. Diriku yang malang mungkin cuma akan bermimpi seumur hidup. Jangan kau bunuh gadis itu. Dia mencintai dirimu. Aku…!” Si gadis tekap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan tangis. Bidadari Angin Timur.

“Aku bersumpah hanya kau satu-satunya gadis yang aku cintai..." Wiro ulurkan tangan hendak memeluk tapi si gadis cepat bersurut mundur.

“Jangan sentuh diriku Wiro. Aku akan pergi dan jangan coba mencari…”

Apa maksudmu?! Kau…" Wiro terkejut mendengar kata-kata itu.

"Kalau kita memang berjodoh, kita pasti bertemu. Tapi dengan satu syarat Wiro…"

“Apa?! Katakan!"

“Kau harus membunuh gadis bernama Andini bergelar Dewi Payung Tujuh itu!"

"Aku bersumpah akan melakukannya! Tapi selama aku belum melakukan dan kau tidak memperbolehkan aku menemuimu… Itu satu hal yang aku tidak sanggup. Aku aku benar-benar mencintaimu…"

Bidadari Angin Timur tersenyum. “Sudah berapa kali kata-kata seperti itu kau ucapkan pada gadis lain. Pada gadis keparat itu. Pada Ratu Duyung mungkin...?!"

Wajah Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi merah. "Jangan berkata seperti itu Bidadari Angin Timur. Aku sadar aku bukan pemuda baik-baik. Tapi menyangkut soal yang satu itu tidak berdusta. Hanya kau yang ada dalam hatiku…"

“Baik.." kata Bidadari Angin Timur sambil tersenyum. "Tetapi kau harus membuktikan lebih dulu. Membunuh gadis itu!"

“Aku akan lakukan!” jawab Wiro dengan suara keras bergetar.

"Sebelum kita berpisah ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Dan kau harus menjawab dengan jujur!"

"Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Pendekar 212.

“Menurutmu Raja Obat dibunuh di sebuah rumah di satu bukit malam tadi…”

"Setelah dia dijebak melakukan perbuatan mesum!"

"Aku tidak tanyakan hal yang satuitu! Yang aku ingin tahu mengapa gadis itu membunuhnya?!"

"Andini memerlukan beberapa keterangan," jawab Wiro.

"Keterangan apa?" tanya si gadis lagi.

"Mengenai Kitab Putih Wasiat Dewa…"

"Ada apa dengan kitab itu? Si gadis mengejar terus dengan pertanyaan gencar.

"Dia ingin tahu di mana kitab itu beradanya. Di luar sadar Raja Obat memberitahu kitab itu ada padaku…"

"Betul begitu?!"

Murid Sinto Gendeng gelengkan kepala. Bidadari Angin Timur tersenyum. "Kau berdusta padaku Wiro. Aku tahu kitab itu memang ada padamu…"

Paras murid Sinto Gendeng jadi berobah pucat.

"Dengar Wiro. Syarat percintaan kita sekarang bertambah satu. Pertama aku harus bunuh Andini. Kedua kalau kau memang mencintai diriku, aku ingin kau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa padaku…" Habis berkata begitu si gadis balikkan tubuhnya dan berkelebat pergi.

"Bidadari Angin Timur! Jangan pergi!Tunggu!" teriak Wiro. Sambil berusaha mengejar dia buka baju hitamnya di balik mana dia menyimpan Kitab Putih Wasiat Dewa “Bidadari Angin Timur! Tunggu" Demi cintaku aku akan berikan apa yang kau minta! Bidadari Angin Timur!" Wiro keluarkan kitab sakti terbuat dari daun lontar itu dari balik pakaiannya dan terus mengejar kearah lenyapnya si gadis.

Di cabang sebatang pohon besar seorang tua renta berkata pada teman di sampingnya. "Anak setan itu! Cinta membuat dia jadi buta dan mata sampai ke pantat! Lekas kenakan penyamaranmu! Kita harus segera merampas Kitab Putih Wasiat Dewa sebelum diserahkannya bulat-bulat pada gadis itu!"

Sang teman di sebelahnya menyeringai dan menjawab. "Jangan keliwat keras memaki! Di masa muda kitapun mengalami hal seperti itu...!"

“Sialan! Kau juga anak setan rupanya!"

Yang didamprat tertawa terbatuk-batuk. “Sudah! Jangan tertawa saja! Lekas serahkan wewangian itu padaku! Aku kawatir dia mengenali diriku dari bau badanku!"

"Hik hik hik!" Sang teman tertawa lalu keluarkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu berisi minyak wangi. Begitu menerima penutup tabung segera dibuka. Minyak wangi yang ada di dalam tabung langsung diguyurkan ke tubuhnya!

“Ini ambil kembali tabungmu!"

Ketika menerima tabung bambunya kembali, yang empunya segera memeriksa. Wajahnya langsung cemberut. Sial! Kau habiskan semua minyak wangiku!" Orang ini memaki dan mencampakkan tabung bambu itu ke tanah.

"Ala…! Minyak wangi butut saja sampai marah begitu! Nanti aku ganti dengan sebakul tahi kerbau! Hik hik hik!"

Tabung bambu kecil yang dilemparkan dari atas pohon ternyata bukan hanya lemparan biasa. Benda itu melayang ke arah Pendekar 212 yang berlari mengejar Bidadari Angin Timur sambil memanggil-manggil.

DUA BELAS

Tabung bambu kecil bekas tempat minyak wangi yang besarnya hanya sejari kelingking itu melayang jatuh mengenai pinggang sebelah belakang Pendekar 212. Saat itu juga Wiro merasa sekujur tubuhnya sebelah bawah terutama kedua kakinya menjadi lemas. Dia tak mampu berlari secepat sebelumnya. Terseok-seok pemuda ini akhirnya hentikan larinya dan tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi perutnya yang entah apa sebabnya tiba-tiba saja menjadi mulas. Lalu...

"Brutt… Buttt… Buttt!" Angin keras berulang kali keluar dari tubuhnya sebelah bawah.

"Setan alas" Apa yang terjadi dengan diriku?" walau mengeluh Wiro masih bisa memaki.

Dia ingat ada sesuatu barusan jatuh mengenai pinggangnya. Mungkin benda itu penyebabnya Wiro memperhatikan tanah sekitarnya. Matanya membentur tabung bambu kecil itu. Ketika dia melangkah menghampiri untuk mengambil pada saat itulah dari atas sebuah pohon besar melayang turun dua makhluk yang membuat murid Sinto Gendeng jadi tercekat.

"Makhluk-makhluk apa ini? Dibilang pocong bukan! Dibilang hantu mengapa berbentuk aneh begini rupa?!"

Di hadapan Wiro saat itu berdiri dua sosok tubuh berselubung kain putih. Di sebelah bawah kain putih menjulai tidak beda seperti jubah. Sebaliknya di bagian atas yaitu di kepala. kain itu diikat demikian rupa seperti ikatan jenazah. Dari keseluruhan makhluk-makhluk ini hanya sepasang mata mereka sajayang kelihatan karena ada dua lobang kecil yang sengaja dibuat dibagian kepala.

"Kalian siapa?!" bentak Wiro

Dua makhluk menjawab dengan tawa cekikikan.

"Sialan!" maki murid Sinto Gendeng. Cuping hidungnya kembang kempis. Dia mencium bau harum dari sosok makhluk di sebelah kanan “Kalian bukan setan bukan pula hantu kesiangan!"

“Juga bukan dedemit kesasar!" menyahuti makhluk di sebelah kiri. Lalu bersama temannya dia kembali tertawa ha-ha hi-hi!”

"Kalau kalian memang masih bisa disebut manusia tentunya punya niat jahat! Hanya orang-orang berhati busuk yang sengaja menutupi tubuh menyembunyikan wajah!"

"Hik hik hik! Wajah kami memang jelek. Apa lagi kalau dibanding dengan si baju biru tadi! Jadi pantas saja kalau kami menutup wajah! Bukan begitu sobatku?!"

“Betul! Hik hik hik!" Makhluk satunya menjawab sambil tertawa pula cekikikan. Lalu dia menyambung. "Bagus juga sandiwara pendek yang tadi kita lihat! Hik hik hik! Anak muda kau ada bakal jadi pemain ludruk! Hik hik hik!"

"Edan! Apa maksudmu?!" bentak Pendekar 212

"Tadi kami melihat kau dan gadis itu bercumbu mesra. Lalu sepertinya ada yang kurang beres. Gadismu mengajuk akhirnya lari. Kau mengejar sambil memanggil-manggil…”

"Iya... mengejar setengah menangis. Mengeluarkan benda itu dan mau diberikan kegadisnya untuk membujuk! Hik hik hik!"

Paras Wiro menjadi merah gelap. Dia ingat saat itu dia masih memegang Kitab Putih Wasiat Dewa. Cepat-cepat kitab sakti ini dimasukkannya ke balik baju hitamnya. Urusanku dengan gadis itu perlu apa kalian ikut campu?!" bentak Wiro.

"Walah!" Makhluk berselubung kain putih di sebelah kanan berucap setengah berseru. Siapa bilang kami mau ikut campur urusan begituan! Kami cuma bilang tadi telah menyaksikan satu sandiwara pendek! Tidak lebih tidak kurang! Bukan begitu kawanku?!"

Makhluk di sebelah kiri menggoyangkan kepalanya lalu mengiyakan dan tertawa panjang.

“Hemm... Kalian menyembunyikan sosok tubuh dan wajah dibalik kain. Aku juga tahu kalian bicara dengan suara-suara dipalsukan! Jangan-jangan aku mengenaI kalian!"

Dua makhluk berselubung kain putih kembali tertawa ha-ha hi-hi membuat Pendekar 212 menjadi jengkel.

"Jangan membuat aku kehilangan kesabaran! Aku ada urusan yang lebih penting dari pada melayani kalian makhluk-makhluk sial kesasar!"

"Ah, kami juga tahu apa urusan pentingmu itu. Tak lain mengejar gadis cantik tadi. Eh, apa kau memang betulan mencintainya…? Hik hik hik!"

"Jahanam!" hardik Wiro. “Menyingkir dari hadapanku!"

"Kalau kami tidak mau menyingkir lalu bagaimana?!" Makhluk yang sebelah kanan bertanya seperti sengaja menantang.

"Tubuh kalian berdua akan kubuat cerai-berai!" jawab Wiro seraya siapkan pukulan Sinar Matahari. "Salah satu dari kalian tadi melempar aku dengan potongan bambu itu! Jelas kalian punya niat jahat!"

"Ah... orang-orang seperti kami ini selalu ketiban tuduhan jelek. Tidak seperti gadis cantik tadi. Menerima cinta mesra tapi pakai syarat segala! Hik hik hik!”

Untuk kesekian kalinya wajah murid Sinto Gendeng menjadi merah padam. Kesabarannya hilang. Lagi pula dia menaruh curiga besar dua makhluk yang bersembunyi di balik selubung kain putih itu punya niat hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari tangannya.

"Tidak perduli siapapun mereka harus kuhabisi saat ini juga!" kata Wiro. Niatnya semula hendak menghantam dua orang itu dengan pukulan Sinar Matahari dibatalkan. "Ini saat terbaik aku menjajal kehebatan Pukulan Harimau Dewa. Dua musuh ada di depan. Berarti aku harus menghantam dengan jurus kedua Tangan Dewa Menghantam Batu Karang!"

Berpikir sampai di situ Pendekar 212 segera dekatkan tangan kanannya ke mulut. Ketika dia siap untuk meniup, makhluk di sebelah kanan berseru,

"Tunggu!"

"Bangsat! Apa maumu?!" bentak Wiro.

"Jika kami berdua menyingkapkan kain putih ini dan memperlihatkan siapa kami sebenarnya, apakah kau mau menganggap urusan yang tidak enak ini selesai sampai di sini?!"

"Hemmm..." Wiro bergumam lalu berkata dalam hati. "Kalian kira bisa menipuku? Walau aku sudah melihat tampang kalian tetap saja aku akan menghajar kalian sampai modar!" Lalu pada orang yang barusan bicara Wiro berkata. "Baik, silakan saja memperlihatkan diri. Mudah-mudah tampang kalian tidak jelek-jelek amat!"

Dua orang berselubung kain putih tertawa cekikikan. Keduanya membungkuk untuk menarik ke atas bagian terbawah kain putih masing-masing. Begitu bagian kaki tersingkap pada saat itu pula terdengar dua letupan halus.

"Setan alas! Kalian mengerjai diriku!" teriak Wiro marah ketika dia melihat ada kepulan asap kelabu mencuat keluar dari balik kain putih yang menyelubungi dua orang tak dikenal itu. Wiro cepat melompat mundur sambil meniup tangan kanannya. Tapi perbuatannya ini membuat dia lalai untuk menutup jalan nafas. Begitu hawa aneh yang membersit dari kepulan asap kelabu menyentuh hidungnya tak ampun lagi murid Sinto Gendeng ini terhuyung jatuh dan terkapar di tanah!

"Tidak susah memperdayai anak tolol ini" kata orang berselubung disebelah kanan. Bersama temannya dia tidak terlihat lagi karena tertutup oleh kepulan asap kelabu yang semakin lama semakin melebar menyungkup tempat itu. Tak selang berapa lama terdengar salah satu dari mereka berkata,

"Aku mendengar ada yang datang. Lekas kita pergi…!"

“Hemmm… Aku sudah bisa menduga siapa yang akan muncul di sini! Bagaimana kalau kita berikan sedikit pelajaran padanya?!" sang teman bertanya.

“Buat apa membuang waktu percuma. Teman-teman sudah menunggu kita. Persiapan untuk hari sepuluh bulan sepuluh harus segera dirampungkan...”

"Baik, aku mengikut saja! Ayo kita pergi!"

********************

TIGA BELAS

GADIS berpakain biru tipis itu lari terus sampai di satu tempat dia menyadari bahwa si pemuda tidak ada lagi di belakangnya. "Jangan-jangan dia kesal dan tak mau mengejar aku lagi." membatin Bidadari Angin Timur. "Ah. mengapa aku tadi tega memperlakukannya seperti itu? Padahal tadi jelas kudengar dia bersedia menyerahkan kitab yang aku minta."

Gadis ini merenung sejenak. "Sebaiknya aku kembali menemuinya agar urusan ini bisa selesai." Lalu dibalikkannya tubuhnya dan kembali ke arah mana tadi dia datang. Sewaktu Bidadari Angin Timur sampai di tempat dia meninggalkan Wiro didapatinya pemuda itu tergeletak di tanah.

"Celaka! Apa yang terjadi? Jangan-jangan ada orang jahat menciderainya. Aku mencium bau aneh di tempat ini. Semacam hawa beracun yang membuat orang pingsan tak sadarkan diri…"

Si gadis cepat membungkuk di samping tubuh Wiro. Dia memeriksa. Tangan kanannya meraba ke dada. Saat itulah Pendekar 212 siuman dari pingsannya. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu bergerak duduk.

"Bidadari Angin Timur…" desis Pendekar 212 begitu pandangannya membentur si gadis. Kau kembali…? Tak jadi pergi meninggalkan aku?"

Si gadis tersenyum lalu gelengkan kepala. Kedua orang ini langsung saja saling berpelukan. "Apa yang terjadi kekasihku…?” bisik Bidadari Angin Timur.

Ucapan itu terdengar seperti bebunyian yang datang dari sorga di telinga murid Sinto Gendeng. Sambil terus mendekap si gadis Wiro menerangkan. "Tak lama setelah kau pergi ada dua orang melompat dan atas pohon. Mereka sengaja menghadangku”

“Siapa mereka?!"

"Tidak bisa kuduga. Mereka menyelubungi sekujur badan sampai ke kepala dengan kain putih…"

"Hemmm… jelas mereka mempunyai maksud jahat!"

"Betul! kata Wiro pula. “Mereka pasti kabur melarikan diri ketika kau datang ke sini." Wiro tiba-tiba ingat pada Kitab Putih Wasiat Dewa dan cepat meraba dadanya.

“Ada apa?" tanya Bidadari Angin Timur. "Dadamu terkena pukulan?! Mari kuperiksa…!"

Wiro gelengkan kepala dan menarik nafas lega. Ternyata kitab sakti itu masih ada di balik baju hitamnya. Dia tanggalkan kancing pakaiannya lalu keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa. “Kau menginginkan kitab ini, bukan? Ambillah."

Wiro mengangsurkan kitab sakti itu pada si gadis. Bidadari Angin Timur tidak segera mengambilnya.

“Eh. apa yang ada dalam pikiranmu. Bukankah sebelumnya kau inginkan kitab ini? Sebagai salah satu dari dua syarat yang membuktikan bahwa aku mencintaimu?"

Si gadis tertawa lebar. Barisan giginya kelihatan rata bagus dan bercahaya. Pendekar 212 tak dapat menahan hatinya lagi. Segera saja bibir yang merah menawan ltu dikecupnya dengan bernafsu. Bidadari Angin Timur membalas kecupan tak kalah bergairah hingga sepasang muda mudi ini tersendat-sendat nafas masing-masing.

"Sebenarnya tadi aku hanya bergurau tentang kitab ini," kata Bidadari Angin Timur.

"Bergurau bagaimana?"

"Aku tidak sungguhan mengatakan ini sebagai syarat. Tapi untuk kematian gadis bernama Andini itu aku tidak main-main Wiro…”

"Hemm… Jadi kau tidak mau menerima kitab ini?"

“Bukan begitu…”

"Dengar, aku telah menghabiskan waktu panjang dan menyabung nyawa untuk mendapatkan kitab ini. Aku telah membaca seluruh isinya. Jika kau memang menginginkan aku menyerahkan dengan ikhlas...”

"Kau sungguhan?”

"Ya, sungguhan!"

"Tidak menganggap aku macam-macam?”

"Aku mencintaimu Jangankan kitab ini. Nyawakupun kalau kau minta aku berikan…!"

"Aku terharu mendengar kata-katamu itu,” kata si gadis pula lalu kembali memeluk Pendekar 212 erat-erat dan menciumi wajahnya. "Aku bahagia aku tidak salah mencintai dirimu…"

Lalu Bidadari Angin Timur mengambil Kitab Putih Wasiat Dewa yang diserahkan Wiro kepadanya. Kitab sakti ini diletakkannya di pangkuannya. Jari-jari tangannya kemudian bergerak ke dada Wiro. Si pemuda mengira gadis itu hendak mengancingkan kembali bajunya. Tapi ternyata malah membuka kancing-kancing yang lain. Ketika baju itu hendak ditanggalkannya Wiro memegang lengan si gadis dan bertanya.

"Ada apa Bidadari…?

"Kau menyerahkan kitab ini padaku padahal kitab ini tidak mudah kau dapat. Kau bahkan rela menyerahkan nyawa jika aku minta. Wiro… Aku merasa bukan manusia yang punya perasaan kalau semua pengorbananmu itu tidak aku balas…"

"Maksudmu?"

"Aku akan menyerahkan tubuh dan kehormatanku padamu. Untukmu seorang…"

Darah Pendekar 212 menjadi panas dan sekujur tubuhnya bergetar mendengar ucapan itu. Dia ingat kejadian di telaga dulu. Sebenarnya pada saat itupun agaknya Bidadari Angin Timur ikhlas menyerahkan tubuhnya. Namun Wiro tidak sampai lupa daratan. Kini malah si gadis mengatakan secara terbuka dan berani.

"Jangan jangan kau hendak menguji diriku..." bisik Wiro sambil menyelipkan tangannya ke bawah rambut di kuduk si gadis.

"Kekasihku, tidak ada uji menguji saat ini. Aku rela menyerahkan diriku. Kalau kau tidak percaya lihat...!" Tangan kanan Bidadari Angin Timur bergerak. Lalu...

"Brett! Breettt!" Dia merobek pakaiannya sendiri hingga dadanya yang putih kencang terpentang menantang.

Murid Sinto Gendeng seperti kesilauan melihat sepasang payudara yang begitu bagus. Yang agaknya belum pernah tersentuh tangan lelaki Wiro gerakkan keduatangannya ke dada.

Bidadari Angin Timur pejamkan kedua matanya. Namun dia tidak merasakan sentuhan apalagi remasan. Dua tangan Wiro menarik dan merapatkan dada pakaiannya yang robek. Si gadis seperti tersentak dari buka kedua matanya.

"Ada apa Wiro? Kau tiba-tiba benci padaku? Mungkin menganggapku sebagai gadis murahan…?"

Wiro menggeleng. "Dengar kekasihku, tak pernah ada tangan lelaki yang menyentuh tubuhku sebelumnya. Aku ingin hanya kau yang melakukannya..."

Wiro kembali menggeleng. Lalu berkata. "Saat untuk sampai ke situ akan datang juga. Yang aku inginkan saat ini adalah kita bersama-sama mengadakan perjalanan mencari gadis bernama Andini itu. Setelah itu kau akan kuajak ke Gunung Gede…"

"Gunung Gede? Jauh amat? Buat apa kesana segala?" tanya Bidadari Angin Timur

"Itu tempat kediaman guruku. Aku akan memberitahu dan minta izin pada beliau sebelum kita melangsungkan pernikahan."

"Wiro!" Bidadari Angin Timur terpekik. “Kau tidak main-main!"

Siapa berani main-main dengan gadis secantikmu ini?!"

Sang dara tertawa panjang. Lalu berbisik. “Tak jauh dari sini ada satu anak sungai berair jernih. Agak ke timur ada sebuah air terjun kecil. Tempatnya rindang dan sejuk Aku ingin mandi di sana. Kau mau menemani?"

"Tentu saja!" jawab Wiro lalu keduanya sama-sama bangkit berdiri.

Ternyata memang besar tak jauh dari situ ada sebuah anak sungai. Mereka menyusuri sungai kecil ini ke arah timur. Sayup-sayup terdengar suara curahan air diselingi suara kicau burung-burung.

“Luar biasa indahnya!" kata Wiro ketika dia sampai di tebing sungai yang ketinggian dan melihat sebuan air terjun kecil di bawah sana. Dia berpaling pada Bidadari Angin Timur yang tegak di sampingnya Sambil memeluk pinggang gadis ini dia berkata,

"Kau tadi bilang ingin mandi. Nah pergilah mandi. Aku akan menunggu dan berjaga-jaga di sebelah sana. Di atas batu besar itu...!"

"Kau tidak ikut mandi?" tanya si gadis.

"Maunya ya mau. Tapi aku kawatir lupa diri dan melanggar sendiri apa yang aku katakan tadi!"

Bidadari Angin Timur berjingkat lalu mencium leher pemuda itu. "Baiklah, aku akan turun ke air terjun sana. Kau boleh melihat aku mandi sepuasmu dengan matamu yang nakal! Tolong kau pegangkan pakaianku!"

Tanpa malu-malu Bidadari Angin Timur tanggalkan baju birunya. Lalu sambil tertawa panjang dia berlari menuruni tebing sungai kecil. Sesaat kemudian dia sudah ada di bawah air mancur, melambaikan tangan pada Wiro.

Pendekar 212 balas melambai. Dia melangkah ke batu besar pada saat Bidadari Angin Timur masuk ke bawah air terjun dan tubuhnya yang bagus dibasahi oleh air jernih dan sejuk. Di atas batu besar Wiro melihat pakaian biru Bidadari AnginTimur lalu duduk dan memandang ke arah air terjun kecil. Dia tidak melihat si gadis.

"Eh, ke mana gadis itu?" tanya Wiro dalam hati. Dia memperhatikan terus dan menunggu. Kalaupun dia mandi di belakang air terjun pasti masih bisa terlihat. Air terjun itu tidak seberapa besar. Dari sini saja aku bisa melihat bebatuan di sebelah belakangnya.

“Hemm… Pasti dia hendak berbuat nakal. Bersembunyi memperdayaiku…!" Wiro tersenyum. Namun setelah agak lama menunggu dan Bidadari Angin Timur tidak juga kelihatan Wiro segera berdiri. Dia memandang berkeliling. Kembali arahkan matanya ke air terjun lalu berseru,

"Bidadari! Di mana kau?!”

Tak ada jawaban. Wiro berseru lagi lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Sosok si gadis tetap tidak kelihatan. Dengan melompat dari satu batu ke batu lain yang ada di tengah sungai kecil itu Wiro akhirnya sampai di depan air terjun.

"Bidadari Angin Timur…?!" Dia memanggil Ketika tidak didapat jawaban dia menyelinap ke bawah air terjun. Di balik air terjun ternyata ada sebuah telah. Kekasihku! Kau hendak mempermainkan aku? Awas jika kudapat akan kucium kau habis-habisan!" seru Wiro.

Dia melompat memasuki celah batu. Di balik celah yang seperti pintu itu dia menemukan satu jurang tertutup kerimbunan tanaman liar serta bebatuan. Dalam keadaan basah kuyup dia memandang berkeliling.

“Bidadari!” Wiro berteriak sekuat yang bisa dilakukannya. Suara teriakannya menggema di dalam jurang lalu sirna. "Apa yang terjadi? Apa sebenarnya yang lengah dilakukan gadis itu?! Tak mungkin dia bergurau…!"

Wiro pandangi pakaian biru basah milik si gadis yang ada dalam pegangannya. Dia ingat. Waktu gadis itu melangkah pergi menuju air terjun aku tidak melihat dia memegang kitab itu. Tentunya kitab itu ada dalam pakaian ini! Tapi rasa-rasanya tadi aku tidak melihat dan dia tidak menyerahkan kitab itu!"

Wiro buka lipatan pakaian biru milik Bidadari Angin Timur. Pakaian yang basah itu dikembangkannya. Seolah ada yang menyambar sekujur tubuhnya ketika dia memang tidak menemukan Kitab Putih Wasiat Dewa! Selagi dia terkesiap seperti itu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara tawa perempuan.

"Pendekar 212… Jika kau masih mencintai diriku kau boleh meniduri pakaianku! Hik hik hik!“

“Bidadari Angin Timur!" teriak Wiro.

Suara tawa lenyap di kejauhan.

"Jahanam" hanya makian itu yang bisa dikeluarkan oleh Pendekar 212. Tubuhnya terasa gontai. Dia terduduk lemas di atas sebuah batu. Pakaian biru basah dibantingkannya ke tanah. Dua tangannya dikepalkan. Murid Sinto Gendeng sadar kalau orang telah menipunya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kitab Putih Wasiat Dewa amblas dilarikan gadis jahanam itu! Dunia persilatan akan ditimpa malapetaka hebat! Bagaimana aku harus mempertanggungkan hal ini pada guru dan para tokoh silat lainnya?! Tololnya diriku!"

Wiro memukul keningnya sendiri berulang kali. Dia ingat pada kemampuannya melihat jauh. Segera dia kerahkan ilmu Menembus Pandang. Namun tak ada gunanya Orang yang hendak dijejaki sudah berada terlalu jauh dan kawasan itu penuh dengan jurang serta tebing dan dinding batu tebal.

********************

Sosok tubuh tinggi kekar yang duduk di atas kursi dalam bayang-bayang kegelapan itu memalingkan kepalanya ke arah pintu. Cangkir tanah berisi minuman keras di tangan kanannya diangkatnya ke bibir laluisinya diteguk sampai habis. Mukanya yang berdagu kokoh serta merta menjadi kemerahan. Sepasang matanya berputar liar. Sesaat kemudian telinganya mendengar suara langkah-langkah halus. Dia berpaling ke pintu dan berkata,

"Aku sudah punya firasat kau akan datang saat ini! Pintu tidak dikunci! Masuklah!"

Pintu besar yang terbuat dari kayu jati itu bergeser ke samping. Sinar terang merambas masuk ke dalam ruangan. Dari tempatnya berdiri orang yang duduk di atas kursi melihat seorang gadis berpakaian merah tipis tegak di ambang pintu yang terang hingga auratnya terlihat kentara sekali seolah tidak mengenakan apa-apa. Rambutnya yang panjang pirang melambai-lambai ditiup angin yang berhembus dari arah selatan puncak Gunung Merapi.

"Pangeran! Aku berhasil mendapatkan kitab itu!" Gadis di ambang pintu berucap.

Pangeran Matahari, orang yang duduk di atas kursi seperti hendak melonjak saking girangnya mendengar kata-kata itu.

Tapi kecongkakan yang mendarah daging di dalam dirinya hanya membuat dia memberi tanggapan biasa-biasa saja. Dengan sedikit memuji dia berkata. Bagus! Kekasihku, kau memang hebat! Kau memang pantas menjadi Ratu pendampingku dalam merajai dunia persilatan. Melangkahlah kehadapanku dan perlihatkan kitab itu…"

Si gadis melangkah ke hadapan Pangeran Matahari. "Mana kitabnya?"

"Di balik pakaian merahku. Silahkan Pangeran membuka dan mengambilnya sendiri," jawab si gadis

Dua tangan Pangeran Matahari melesat ke depan. Bukan membuka kancing pakaian dan menanggalkan ikat pinggang yang melilit di pinggang si gadis secara wajar, tapi dua tangan itu merobek kian kemari. Hingga dalam waktu singkat pakaian merah yang tadi melekat di tubuh si gadis kini terkapar di lantai dalam keadaan cabik-cabik tak karuan.

Di bawah sepasang payudara yang putih membusung di situlah terikat sebuah kitab. Kali ini Pangeran Matahari berlaku lebih lambat. Tali pengikat kitab sakti itu dibukanya dengan hati-hati dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyambut kitab yang kemudian terlepas Jatuh dari tubuh si gadis.

"Kitab Putih Wasiat Dewa!" Pangeran Matahari membaca tulisan besar dalam aksara dewa Kuna yang terpampang di sampul kitab. "Luar biasa! Benar-benar luar biasa! Aku akan menjadi raja di raja dunia persilatan! Kitab Wasiat Iblis ada ditanganku! Ditambah dengan Kitab Putih Wasiat Dewa! Siapa mampu menundukkan diriku! Ha ha ha!"

Pangeran Matahari menyeringai memandangi gadis yang tegak di depannya. "Kekasihku sebelum kau duduk kepangakuan ku. sebelum kau kubawa ke dalam kamar tolong kau nyalakan empat lampu besar dalam ruangan ini!"

Gadis yang disuruh segera menyalakan empat lampu minyak yang ada di dalam ruangan itu hingga keadaannya kini menjadi terang-benderang. Pangeran Matahari tidak perdulikan tubuh polos yang bagus itu sepasang matanya memperhatikan Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada dalam pegangan tangannya yang gemetar. Sampul kitab dibukanya. Halaman pertama terpentang. Kosong!

"Hemmm…" Walau mereka agak heran sang Pangeran membalik membuka halaman kedua. Kosong! Eh, bagaimana ini?!"

Pangeran Matahari memandang melotot pada gadis di depannya. Si gadis melangkah mendekat Pangeran Matahari kembali membalik halaman berikutnya. Berikutnya dan seterusnya! Semua halaman yang ada hanya merupakan halaman putih kosong, tidak ada apa-apanya!

"Jahanam! Palsu! Kitab ini palsu! Lihat! Tak ada isinya! Semua halaman kosong!"

Saking marahnya Pangeran Matahari bantingkan kitab yang terbuat dari daun lontar itu hingga salah satu ujungnya menancap di lantai batu!

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.