PEMBALASAN PENDEKAR BULE
PROLOG
Pendekar 212 Wiro Sableng sesaat berdiri memandangi bangunan besar berbentuk joglo itu. "Bangunan begini besar tapi tidak satu manusia pun kelihatan," kata murid-muridnya Sinto Gendeng dalam hati.
Di samping kanan bangunan tampak sebuah kereta putih. Tak jauh dari situ seekor kuda putih tengah mencari makan dihalaman yang banyak ditumbuhi rumput liar. Binatang ini tampak gelisah. Sebentar-sebentar dia menegakkan kepala lalu meringkik. Wiro mendekati kuda putih ini lalu mengusap-usap lehernya sampai binatang ini tenang kembali, malah menggeser-geserkan pipinya ke bahu sang pendekar
"Nenek Hantu Bulai! Apakah kau ada di rumah?" Wiro berteriak memanggil seseorang yang punya gelar aneh yaitu si pemilik rumah.
Suara sang pendekar menggema sesaat. Dia Menunggu. Tak ada jawaban. Wiro berseru sekali lagi. Tetap hanya kesunyian yang menyambut. Dia lalu memasang telinga. Lapat-lapat dia mendengar suara seperti air mencurah disebelah timur bangunan.
"Agaknya ada air terjun dibelakang sana..." Pikir Wiro.
Lalu dia pun melangkah cepat menuju belakang bangunan. Tanah dibagian belakang bangunan berbentuk joglo itu ternyata menurun tajam membentuk sebuah jurang kecil. Disebelah tengah ada tangga yang dibuat dari susunan batu kali. Dikiri kanan tangga tumbuh rapat semak belukar dipagari oleh pohon-pohon besar. Suara air yang mencurah itu datang dari dasar jurang.
Wiro melangkah menuruni tangga batu demi batu sambil menghitung. Sementara sepasang matanya mengawasi keadaan disekitarnya. Pada hitungan ketiga belas, berarti pada anak tangga atau batu kali yang ketiga belas, pendekar 212 hentikan langkah.
"Angka tiga belas..." membathin pendekar 212. "Aku tidak percaya segala macam tahayul, tapi kaki ku mendadak saja terhenti pada langkah ketiga belas. Hatiku tiba-tiba saja merasa tidak.enak..."
Kedua mata murid Sinto Gendeng menatap tak berkesip lurus-lurus kedepan. Diujung tangga batu melintang sebuah sungai kecil dangkal penuh dengan bebatuan berwarna hitam. Diseberang sungai kecil ini mencurah sebuah air terjun hampir delapan tombak. Yang diperhatikan pendekar 212 bukanlah air terjun itu, melainkan sebatang pohon beringin yang tumbuh disebelahnya.
Dan bukan pula pohon beringin itu yang menjadi pusat pandangan matanya. Melainkan sesosok tubuh berpakaian serba putih, berkulit bulai, yang tergantung diakar pohon, kaki keatas kepala kebawah! Rambutnya yang putih tergerai lepas, melambai-lambai ditiup angin. Kedua tangannya terkulai kebawah!
"Nenek Hantu Bulai!" teriak Wiro tercekat. Tanpa pikir panjang lagi murid Sinto Gendeng ini melompati tangga batu, terjun kedalam sungai dangkal, lari kearah pohon beringin.
"Nenek bulai! Siapa yang berbuat keji begini rupa terhadap mu?" teriak Wiro begitu sampai dihadapan sosok tubuh yang tergantung. Lalu dia segera bertindak untuk memutuskan akar yang mengikat kedua pergelangan kaki perempuan tua itu.
Justru pada saat itu orang yang tergantung membuka kedua matanya. Ternyata orang ini belum mati walau maut tak mungkin dihindarinya dalam waktu beberapa saat lagi! Sepasang mata yang tampak sangat merah tanda banyak darah terkumpul disitu membuka sesaat.
"Katakan siapa kau yang muncul disaat aku sekarat begini?" Tiba-tiba si nenek keluarkan suara sangat perlahan, hampir tidak terdengar diantara deru air terjun.
"Aku Wiro Sableng. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Aku datang membawa pesan guru..."
"Lupakan saja pesan itu. Sebentar lagi aku akan mati..."
"Aku akan menurunkan tubuhmu nek..."
"Tidak usah! Pertolongan tak ada gunanya. Umur ku hanya tinggal beberapa saat..."
Pendekar 212 mana mau perduli. Dia cabut kapak Naga Geni 212 dari pinggangnya. Sinar berkilauan berkiblat disertai suara gaung dasyat.
"Crasss...!"
Sekali tebas saja sembilan akar gantung pohon beringin putus. Tubuh si nenek bulai jatuh ke bawah. Wiro cepat menyambutnya, mendukungnya beberapa langkah, lalu di batu tempat yang bersih dan terlindung dari sinar matahari. Tubuh perempuan tua bergelar Hantu Bulai itu dibaringkan.
Wiro memperhatikan dan diam-diam dia maklum, apa yang dikatakan si nenek adalah benar. Umur perempuan tua ini tak akan lama lagi. Hanya kekuatan luar biasa yang di milikinya membuat kematiannya masih bisa tertunda beberapa saat serta masih sanggup bicara.
Salah satu pakaian nenek bulai tampak robek. Lalu ada beberapa luka mengoyak daging lengan dan punggungnya.
"Nek, sebelum kau menghadap Tuhan, lekas katakan siapa yang melakukan kebiadaban ini atas dirimu...?"
"Murid Sinto Gendeng, apakah kau hendak membalaskan sakit hati dendam kesumat ku...?"
"Aku bersumpah nek...!" sahut Wiro
"Aku tidak meminta, tapi jika kau memang ingin berbuat kebajikan, Aku tidak menolak. Orang itu adalah beberapa tokoh silat kaki tangan Gandaboga, Adipati Karanganyar. Aku tidak tahu nama mereka satu persatu! Mereka berjumlah tiga orang. Tapi aku tahu mereka adalah orang-orangnya Gandaboga..."
"Biadab! Mereka akan menerima kematian lebih mengerikan dari yang kau derita ini nek..."
"Murid Sinto Gendeng, ada satu hal lain yang lebih penting..."
"Cepat katakan nek...!"
"Sesaat sebelum tiga bangsat itu muncul, Aku baru saja melepas murid tunggal ku bernama Padanaran. Dia mewarisi seluruh kepandaianku. Tapi dia belum punya pengalaman mengarungi dunia penuh kelicikan ini. Walau dia tak pernah bicara. Tapi aku tahu dimasa kecilnya orang yang memeliharanya ada silang sengketa dengan Adipati Karanganyar itu. Dan dia pasti akan mencarinya. Satu hal aku mohon padamu, susul dia, bantu agar dia jangan mendapat celaka. Aku..."
Ucapan si nenek cuma sampai disitu. Lidahnya mendadak kelu. Dari tenggorokannya terdengar suara seperti tercekik. Nyawanya lepas meninggalkan tubuh kasar.
Wiro pandangi wajah tua itu sesaat lalu usap dan tutupkan mata si nenek. "Padanaran..." desis Wiro. "Aku tak pernah mengenal murid si nenek ini. Satu-satunya jalan ialah pergi ke Karanganyar dan menyelidik... Silang sengketa. Dunia ini agaknya tak pernah lepas dari silang sengketa dan dendam kesumat...!" Pendekar 212 menghela nafas panjang dan garuk-garuk kepalanya.
Wiro bangkit berdiri, memandang berkeliling mencari-cari tempat yang baik dimana nenek bergelar Hantu Bulai itu dapat dikuburkannya. Selagi dia mencari-cari begitu. Tiba-tiba ada suara berdesing halus disertai kilatan melesat di udara, menyambar kearahnya.
"Pembokong jahanam!" maki pendekar 212. Kapak Maut Naga Geni 212 yang masih digenggamnya ditangan kanan dibabatkan keudara.
"Trangg! Trangg! Trangg...!"
Tiga dari empat buah yang tadi menyambarnya mental berpatahan. Benda keempat terhempas kekiri dan menancap dibatang sebuah pohon. Wiro melihat bayangan seseorang berkelebat diujung tangga batu sebelah atas. Serta merta Wiro hantamkan tangan kirinya melepaskan pukulan Sinar Matahari! Cahaya berkilauan menyambar. Hawa panas menghampar.
"Bummm! Byarrr...!"
Sembilan batu kali yang jadi anak tangga hancur bermentalan. Tanah disekitar situ amblas berhamburan. Pepohonan dan semak belukar yang tersambar hawa panas pukulan sakti itu tampak menghitam seperti dibakar. Tapi bayangan orang yang tadi dilihat Wiro berhasil melarikan diri dan lenyap dari tempat itu.
Wiro memaki dalam hati. Dia ingat pada benda yang menancap dipohon, Cepat balikkan diri dan melangkah kearah pohon itu. Benda yang menancap disitu ternyata adalah senjata rahasia berbentuk sebilah pisau tipis yang kedua pinggirnya bergerigi tajam seperti gergaji.
"Hem..." Gumam Wiro "Pembokong tolol... Kau meninggalkan ciri-ciri mu sendiri...!" Pisau tipis itu dimasukkannya kedalam saku bajunya.
SATU
RIUHNYA suara anak-anak bermain bola rotan bukan alang kepalang. Apalagi kalau ada salah satu pihak yang bertanding berhasil membobolkan gawang lawan yang terbuat dari potongan bambu yang ditancapkan ke tanah. Masing-masing pihak berjumlah delapan anak. Belasan anak lainnya yang tidak ikut main menonton di pinggir lapangan. Justru suara anak-anak yang menonton inilah yang paling ramai.
"Bermain bola harus sebelas lawan sebelas!" berteriak seorang anak dari tepi lapangan.
"Betul!" menimpali kawan disebelahnya. "Sebaiknya ditambah tiga-tiga. Biar ramai!"
Anak-anak yang berada dilapangan mengangkat tangan tanda setuju. Tapi dari pinggir tanah lapangan berumput kasar itu hanya lima anak yang mau ikut bermain.
"Ah, Kurang satu! Masakan yang lain tak Ada yang mau ikut main?!"
"Biar aku yang main!" tiba-tiba terdengar suara seorang anak berteriak seraya berlari mendatangi dari tepi tanah lapang sebelah timur.
Semua anak berpaling. Lalu tampak anak-anak itu mencibir bahkan ada yang mengangkat tangan membentuk tinju. Sesaat kemudian seperti diatur semua anak itu berseru,
"Huuuuuuu...!"
"Bule anak setan! Mana pandai kau main bola rotan!" kata seorang anak.
"Memandang saja tidak becus! Jangan-jangan kaki kami nanti yang kau tendang!" teriak seorang anak.
Terdengar suara anak-anak tertawa dan mencemooh. Seorang anak lain berteriak, "Kami lebih suka kurang satu dari pada main bersamamu!"
"Kulitmu lain dengan kulit kami! Sebaiknya kau main dengan anak-anak tuyul!" Kembali terdengar suara tawa riuh rendah.
"Monyet bulai! Lekas menyingkir ke tepi lapangan! Kalau tidak akan kami gotong kau ramai-ramai dan cemplungkan ke kubangan kotoran kuda!"
Anak lelaki sepuluh tahun yang tadi begitu berharap dapat turut serta bermain bola rotan bersama anak-anak seusianya itu sesaat hanya bisa tegak terdiam. Bola matanya yang kelabu bergerak kian kemari dan tangan kanannya ditudungkan diatas mata karena tak tahan sinar matahari pagi yang mulai terik. Rambutnya sangat pirang, bahkan sepasang alis dan bulu matanya juga pirang. Kulitnya putih bulai penuh bercak-bercak bekas gigitan nyamuk.
"Kawan-kawan! Monyet bulai ini benar-benar ingin kita cemplungkan ke dalam kolam kotoran kuda! Seorang anak berteriak ketika dilihatnya si bulai itu masih berada di lapangan. Beberapa anak segera bergerak mendekati.
Melihat hal ini anak lelaki bulai itu cepat- cepat melangkah ke pinggir lapangan sambil berkata, "Kalau kalian tidak suka aku ikut main tak jadi apa. Biar aku menonton saja dari jauh..."
"Menonton kami bermainpun kau tidak layak! Pergi dari sini!" teriak seorang anak berkulit hitam bermata besar. Namanya Suradadi.
"Ayo pergi dari sini!"
Anak lelaki bulai itu memandang sayu dengan sepasang matanya yang kelabu dan lalu bergerak, lalu perlahan-lahan dia memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba ada suara anak perempuan berkata, "Padanaran, jangan pergi dulu...!"
Si bulai hentikan langkahnya dan berpaling. Dia tersenyum ketika melihat wajah mungil yang manis itu. "Ada apa Tarini?"
Anak perempuan bernama Tarini menjawab, "Kau tetap disini saja Padanaran. Aku mau bertanya pada anak sombong itu!" Lalu anak perempuan ini melangkah ke tengah lapangan, langsung menghadapi Suradadi yang rupanya memang dianggap sebagai pimpinan oleh anak-anak yang ada di tempat itu.
"Suradadi, kau dan kawan-kawanmu tidak mau mengajak Padanaran bermain bola. Kenapa kalian sejahat itu?!"
Bola mata Suradadi yang besar tampak membeliak. Lalu dia berpaling pada kawan-kawannya. Dan meledaklah tawa anak-anak itu.
"Dewi kecil ini hendak bertindak sebagai pembela rupanya!" berteriak seorang anak.
Suradadi letakkan kedua tangannya di pinggang lalu berkata, "Kami tidak suka bermain dengan dia bukan baru sekarang ini. Tapi dari dulu-dulu. Kami tidak sama dengan dia. Kami anak-anak dari orang tua baik-baik. Sedang dia! Ibunya dikawin oleh hantu! Lihat saja kulitnya bule seperti hantu!' Gelak tawa menyusul ucapan Suradadi itu.
Paras Tarini tampak merah sementara Padanaran hanya bisa tegak tertegun. "Mulutmu keji amat Suradadi! Bagaimana kau bisa bicara sejahat itu! Apakah ayah atau Ibumu yang mengajarkan?!" bertanya Tarini.
"Tidak ada yang mengajariku dewi cilik! Tapi semua orang di dukuh Sawahlontar tahu kalau ibu Padanaran adalah manusia tapi ayahnya hantu putih! Bukan begitu kawan-kawan...?!"
"Betul..." jawab semua anak.
"Karena itu si Padanaran kulitnya bulai matanya kelabu rambut dan alisnya pirang!" Lalu kembali terdengar mereka tertawa gelak-gelak.
"Kalian semua sama jahatnya!" teriak Tarini.
Saat itu Padanaran mengulurkan tangan menarik lengan anak perempuan itu seraya berkata, "Sudahlah Tarini. Biarkan saja mereka. Mari kita tinggalkan tempat ini!"
Kawan-kawan! Lihat anak bule ini hendak mengajak Tarini pergi. Hati-hati kau Tarini. Pasti kau akan dibawanya ke sarang hantu kerajaan ayahnya!" berkata Suradadi.
"Tarini, mari..." Padanaran tarik tangan Tarini.
"Kau pergilah duluan. Aku mau bicara ngotot-ngototan dengan anak lelaki yang sombong ini. Mentang-mentang anak kepala dukuh!"
Karena Tarini tak mau diajak pergi maka terpaksa Padanaran tetap pula tegak di tempat itu.
"Kalian tidak memperbolehkannya main bola bersama kalian. Mengapa kalian lalu melarangnya menonton?!" bertanya Tarini.
"Jawabnya gampang saja dewi cilik!" sahut Suradadi.
"Aku dan kawan-kawan tidak suka ditonton oleh anak hantu!"
"Tarini, mari. Jangan layani mereka. Tak ada gunanya. Mereka menganggap aku lebih jelek dari kotoran kuda tidak apa. Jangan sampai mereka juga mempermalukanmu!" Kata Padanaran.
Lalu kembali ditariknya lengan anak perempuan itu. Sebenarnya saat itu Tarini sudah mau mengikuti kata-kata Padanaran dan meninggalkan tempat itu. Justru saat itu Suradadi menarik tangan Tarini yang lain keras-keras hingga anak perempuan ini menjerit kesakitan.
Melihat Tarini kesakitan Padanaran yang sejak tadi bersikap sabar dan merelakan dirinya dihina terus-terusan kini menjadi marah. Dia melompat kesamping dan mendorong dada Suradadi kuat-kuat hingga anak ini jatuh terduduk di tanah.
"Anak Hantu Bule! Berani kau mendorong dan menjatuhkanku!" teriak Suradadi.
Dia berdiri dan menerjang dengan tendangan. Yang menyerang Padanaran kemudian bukan hanya Suradadi seorang tapi belasan kawan-kawannya yang lain juga ikut melayangkan tangan serta tendangan. Anak-anak itu tidak memperdulikan teriakan-teriakan Tarini. Dalam keadaan babak belur hampir pingsan Padanaran mereka gotong dan bawa ke ujung barat tanah lapang.
Disini terdapat sebuah kolam buatan tempat pembuatan pupuk dari kotoran kuda. Tubuh Padanaran mereka lemparkan kedalam kubangan itu. Masih untung kubangan itu dangkal. Walaupun keadaannya benar-benar memelas tapi Padanaran tak sempat tenggelam. Sehabis melemparkan Padanaran ke dalam kubangan kotoran kuda itu Suradadi dan teman-temannya melarikan diri.
"Padanaran! Padanaran...!" terdengar suara Tarini memanggil berulang kali. Di tepi kubangan dia berhenti. Memandang kian kemari. Dilihatnya ada sepotong bambu yang cukup panjang. Potongan bambu ini dimasukkannya ke dalam kubangan. "Pegang ujungnya Padanaran. Pegang... biar kutarik kau dari dalam sana...!"
"Aku ingin mati disini saja, Tarini. Tak usah kau tolong. Di dunia ini memang tak ada orang yang menyukaiku..." terdengar suara Padanaran dari tengah kubangan.
"Jangan tolol Padanaran! Lekas kau pegang ujung bambu itu! Ayo!"
Akhirnya Padanaran memegang dan bergayut pada ujung bambu yang dijulurkan. Dengan susah payah Tarini menarik hingga akhirnya Padanaran berhasil mencapai tepi kubangan dan naik ke tanah. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki penuh dengan kotoran kuda dan busuk.
"Larilah ke sungai! Aku akan menyusul!" kata Tarini pula.
Ketika anak perempuan itu sampai di sungai kecil didapatinya Padanaran tengah sibuk membersihkan tubuh dan pakaiannya. Selesai membersihkan diri anak lelaki itu naik ke darat dalam keadaan basah kuyup. Tarini menghampiri dan bertanya,
"Kau tak apa-apa sekarang...?"
"Sekujur tubuhku sakit-sakit. Tulang-tulangku seperti patah. Kepalaku pusing..."
"Kalau begitu kau harus cepat pulang, ganti pakaian."
"Aku tak berani pulang. Paman pasti akan marah besar dan menggebukku dengan rotan!" jawab Padanaran.
"Kalau kau tak pulang akan lebih celaka lagi, Padanaran! Mari kuantar kau!"
"Kau baik sekali Tarini. Tapi jika paman malihat aku bersamamu hajaran akan berlipat ganda atas diriku!"
"Eh, mengapa begitu?" tanya Tarini heran.
"Kata paman ayahmu pernah mengancamnya. Jika aku berani bermain- main denganmu maka ayahmu akan menyuruh tukang-tukang pukulnya menghajar paman! Sebaiknya kau saja yang pulang duluan, Tarini..."
Anak perempuan itu terdiam beberapa lamanya. Lalu perlahan-lahan gelengkan kepala. "Aku heran..." kata anak perempuan itu tersendat, "mengapa semua orang di dukuh Sawahlontar membencimu. Bahkan pamanmu juga. Dari mana mereka dapat cerita bahwa ayahmu hantu putih..."
"Aku tak pernah mempercayai hal itu Tarini. Tapi ketika setiap mendamprat paman juga selalu berkata begitu, mau tak mau aku jadi punya pikiran jangan-jangan aku ini memang anak hantu. Kalau tidak mengapa bentukku begini berbeda..."
"Orang-orang itu keterlaluan. Anak-anak itu juga! Aku benci mereka semua...! Mana ada hantu bisa beranak!"
"Kau tidak boleh membenci mereka Tarini. Kau tak boleh membenci siapapun..." kata Padanaran pula. Lalu dia berdiri dan memegang lengan anak perempuan itu seraya berkata, "Kita pulang saja Tarini. Kau ambil jalan sebelah kanan, aku sebelah kiri. Kalau ada yang melihat kita berdua-duaan pasti aku akan celaka..."
"Memang kau akan celaka anak hantu haram jadah!" tiba-tiba terdengar suara membentak keras.
DUA
Kedua anak itu sama-sama terkejut dan menoleh ke kiri. Pucatlah wajah bulai Padanaran sementara Tarini merasakan lututnya goyah karena ketakutan. Tapi anak perempuan ini cepat menabahkan hatinya. Dia menunggu dengan tenang apa yang bakal terjadi.
Beberapa langkah di samping kiri tegak dua orang lelaki. Di sebelah depan yang bertubuh tinggi besar dan berkumis melintang adalah Gandaboga, bukan lain ayah Tarini. Wajahnya yang garang tampak marah sekali. Matanya membeliak dan pelipisnya bergerak-gerak. Di dukuh Sawahlontar Gandaboga dikenal sebagai seorang paling kaya karena dialah satu-satunya juragan sayuran dan ternak, teRmasuk pemilik tambak ikan. Kekayaannya membuat dia disegani dan lebih dihormati dari pada kepala desa.
Di sebelah belakang Gandaboga berdiri seorang lelaki yang tampangnya tak kalah garangnya malah menyeramkan karena mata kirinya picak sedang pipi kanannya ada parut atau cacat bekas luka. Orang ini berselempang kain sarung hitam dan di pinggang di balik kain sarung itu tersembul hulu sebilah golok. Dia adalah Jalitanggor, pembantu atau pengawal, atau lebih tepat dikatakan tukang pukul Gandaboga.
Dalam kedudukannya sebagai tukang pukul, Jalitanggor sering ditugasi untuk bertindak sebagai juru tagih. Para pedagang atau siapa saja yang terlambat membayar dagangannya pasti akan didatangi Jalitanggor. Tak jarang orang ini main tendang dan main pukul jika orang yang berhutang belum sanggup melunasi hutangnya. Karenanya lambat laun rasa hormat penduduk terhadap Gandaboga berubah menjadi takut. Apalagi jika Jalitanggor sudah muncul, seolah-olah bumi ini menjadi kiamat rasanya!
"Tarini! Bagus sekali perbuatanmu!" membentak Gandaboga. "Sudah berapa kali aku memberi ingat! Jangan kau sekali-kali bermain dengan anak hantu ini! Ternyata kau berani melanggar perintahku!"
"Ayah, saya..."
"Jangan banyak mulut!" teriak Gandaboga.
"Untung anak bernama Suradadi itu memberi tahu. Kalau tidak pasti kau telah diapa-apakan si bule haram jadah ini!" Tangannya bergerak lalu terdengar pekik Tarini ketika telinganya diputar dengan keras lalu ditarik.
"Pulang sana!"
Tubuh si kecil itu didorong hingga hampir terkapar jatuh. Tarini menggigit bibir agar tidak menangis. Terhuyung-huyung anak ini melangkah pergi. Sebelum menghilang di balik rerumpunan semak belukar dia masih sempat berpaling memandang ke arah Padanaran.
"Maafkan aku Tarini Ini semua salahku hingga kau mendapat hukuman..." berucap Padanaran.
"Bukan salahmu Padanaran! Tapi Suradadi anak jahat itulah yang jadi biang gara-gara!" jawab Tarini lalu melanjutkan langkahnya sambil memogangi telinganya yang sakit.
"Sekarang gili iranmu nenerima hukuman bocah bule tak tahu di untung..." Satu Tangan besar menjambak rambut pirang Padanaran. Sakitnya bukan main membuat anak itu meringis. Yang menjambaknya adalah Gandaboga
"Anak hantu! Apa kau tak sadar kalau tidak layak bermain dengan anak perempuanku? Dan kau berani mengajaknya ketempat sunyi ini! Apakah yang telah kau lakukan terhadap anakku?"
"Saya tidak melakukan apa-apa. Saya pergi mandi dikali sana. Tarini menolong saya..."
"Plaakkk...!"
Satu tamparan keras melabrak wajah Padanaran. Anak ini mengeluh kesakitan. Bibirnya pecah dan darah mengucur. Pemandangannya menjadi gelap dan tedua kakinya terasa lunglai. Kemudian dalan keadaan seperti itu tubuhnya dibantingkan ke tanah.
"Juragan, apa yang harus saya lakukan terhadap bocah sialan ini?!" terdengar Jalitanggor bertanya. Suara besar tapi parau. Tangan kanannya sudah siap untuk menghunus golok.
"Tendang saja ke sungai sana! Lain kali jika dia berani mendekati anakku, aku perintahkah agar kau langsung menyembelihnya!" jawab Gandaboga. lalu tinggalkan tempat itu.
"Anak keparat! ada-ada saja yang menjadikan urusanku!" maki Jalitanggor. Kaki kanannya bergerak, tubuh Padanaran melesat jauh dan rubuh di tengah sungai.
Semak belukar sebelah kanan tiba-tiba tersibak. Dari situ muncul Suradadi bersama enam orang kawannya. Bersorak-sorak mereka berlari ke tepi sungai dimana sosok tubuh Padanaran melingkar tak bergerak.
"Rasakan olehmu tuyul bule!" teriak Suradadi begitu sampai di hadapan Padanaran.
"Anak Hantu mau jual lagak! Masih untung pembantu juragan Gandaboga tidak menggorok batang lehermu! Kalau tidak pasti kau sudah Jadi bangkai saat ini! Ha ha ha...!"
Enam anak lainnya ikut tertawa. Dalam sakitnya Padanaran tak kuasa membuka kedua matanya. Tapi telinganya menangkap jelas dan mengenali bahwa yang bicara itu adalah Suradadi, anak kepala dukuh Sawahlontar.
Sesaat kemudian terdengar suara Suradadi dan kawan-kawan, "Mari kita tinggalkan tempat ini. Langit tampak mendung. Sebentar lagi pasti hujan turun..."
Tak lama setelah Suradadi dan kawan-kawannya pergi Padanaran berusaha bangkit berdiri. Sulit dan sakit terasa sekujur tubuhnya. Di langit kilat menyambar lalu terdengar guruh menggelegar. Hujan kemudian turun deras sekali. Padanaran masih tertegak tak mampu melangkah. Dia tak tahu hendak pergi ke mana. Kalau pulang dalam keadaan babak belur seperti itu pasti akan ditanyai pamannya dan lebih parah lagi dia akan kena hajaran pula. Tapi kalau tidak pulang lantas dia mau pergi kemana?
Apapun yang akan terjadi Padanaran akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah pamannya dimana dia tinggal sejak ibunya meninggal dan ayahnya lenyap entah kemana. Dia tidak pernah melihat apalagi mengenali ayahnya. Kata orang ayahnya melenyapkan diri begitu dia lahir dalam keadaan mengejutkan karena bulai. Ada yang mengatakan ayahnya kabur karena malu. Ada lagi yang menuturkan bahwa ayahnya lari ke sebuah gunung sepi dan mati membunuh diri disitu sementara ibunya karena tidak terawat dengan baik meninggal dunia seminggu setelah melahirkannya.
"Ah, kenapa buruk amat nasibku...?" membatin pilu Padanaran. "Mengapa aku dilahirkan berbeda seperti ini... Betulkah ayahku hantu putih...?"
TIGA
Hujan masih mencurah lebat ketika Padanaran memasuki halaman rumah. Dari halaman dia dapat melihat seorang lelaki berselubung kain sarung duduk di kursi kayu dekat pintu depan sambil menghisap rokok. Itulah Randuwonto sang paman. Padanaran sudah punya firasat akan mengalami sesuatu. Namun dia melangkah terus. Belum lagi dia sampai di bawah cucuran atap, Randuwonto tampak mencampakkan rokoknya ketanah lalu terdengar suaranya.
"Anak hantu! Masih ingat pulang kau rupanya!"
"Paman, maafkan saya. Saya terhalang oleh hujan..." menyahut Padanaran lalu melangkah masuk ke serambi rumah. Pada saat yang sama sang paman sudah berdiri dari duduknya. Matanya menatap besar-besar.
"Hemm... kau terhalang hujan katamu?!" Ujar lelaki berusia hampir setengah abad itu. "Tapi mengapa kulihat pakaianmu kotor berlumpur dan ada yang robek. Tubuhmu bau kotoran kuda. Mukamu benjat benjut dan bibirmu pacah berdarah!"
Padanaran diam saja sambil tundukkan kepala.
"Kau tidak tuli! Lekas katakan apa yang teah kau lakukan?!" bentak Randuwonto.
"Saya dikeroyok anak-anak, paman..." jawab Padanaran akhirnya memberi tahu.
"Kau dikeroyok! Bagus! Berarti kau kembali berkelahi! Sudah berapa kali kukatakan agar kau jangan berkelahi!"
"Saya terpaksa melakukannya paman. Mereka yang mulai lebih dulu. Saya hanya bertahan. Tapi mereka banyak sekali. Saya terlempar kedalam kubangan kotoran kuda...!"
"Hanya itu saja yang terjadi?!" Padanaran terdiam, sulit untuk menjawab. "Anak hantu! Lekas jawab. Hanya itu yang kau alami?!" bentak Randuwonto.
"Tidak paman... Saya juga mendapat hukuman dari juragan Gandaboga serta pembantunya Jalitanggor..." memberi tahu Padanaran.
Terkejutlah Randuwonto mendengar kata-kata Padanaran itu. "Kau hanya menimbulkan silang sengketa diantara kami orang-orang tua! Ceritakan apa yang terjadi!"
"Waktu itu saya berada di sungai membersihkan tubuh dan baju. Lalu datang Tarini anak perempuan juragan Gandaboga. Di saat yang sama juragan itu muncul disana. Saya disangka melakukan apa-apa terhadap anaknya. Saya ditampar olehnya. Pembantunya kemudian menendang saya...."
"Akan lebih baik jika mereka membunuhmu saja saat itu!" ujar Randuwonto.
Saat itu dari dalam rumah muncul seorang perempuan bersama seorang anak lelaki seusia Padanaran. Perempuan itu adalah istri Randuwonto sedang anak lelaki itu adalah anaknya jadi saudara sepupu Padanaran bernama Rangga.
Padanaran hanya tundukkan kepala. Dalam hatinya dia juga menginginkan mengapa Gandaboga dan Jalitanggor tidak membunuhnya saat itu hingga tamat riwayatnya dan berakhir pula penderitaan hidupnya.
"Sepuluh tahun bersama kami kau hanya mendatangkan kesulitan saja! Sebaiknya kau angkat kaki dari sini Padanaran...!"
"Mas Randu..." Istri Randuwonto hendak mengatakan sesuatu tapi segera dibentak dan diperintahkan masuk oleh suaminya. Perempuan adik almarhumah ibu Padanaran itu yang memang sangat takut pada suaminya segera saja masuk kedalam rumah, meninggalkan Rangga seorang diri dekat pintu.
"Maafkan saya paman. Saya tidak bermaksud menyulitkan paman..." terdengar kata-kata Padanaran.
"Tidak bermaksud... Tidak bermaksud! Nyatanya kau selalu memberi kesulitan. Dan kini kesabaranku sudah sampai pada puncaknya anak hantu! Kau telah menyulut silang sengketa dengan juragan Gandaboga! Hubungan dagangan denganku pasti diputuskan. Segala hutangnya pasti akan segera ditagih! Kalau kepalamu ini bisa kupakai untuk menyelesaikan semua urusan itu, sudah kupatahkan batang lehermu saat ini juga!"
"Paman, kalau memang kematian saya bisa menolongmu, saya rela diapakan saja..." berucap Panadaran.
Randuwonto yang tengah melangkah mundar mandir menahan kemarahannya kini jadi meledak mendengar kata-kata keponakan istrinya itu.
"Anak keparat! Kumpulkan pakaianmu! Pergi dari sini! Jangan berani kembali!" teriak Randuwonto.
"Saya... saya harus pergi kemana paman...?"
"Perduli setan kau mau pergi kemana!" sentak Randuwonto. Dijambaknya rambut pirang Panadaran lalu anak itu dilemparkannya keluar serambi.
"Paman... saya mohon maafmu. Tapi jangan usir saya dari sini..."
"Anak setan! Benar-benar keparat! Sekali aku bilang pergi kau harus pergi!" teriak Randuwonto.
Kini kakinya yang bergerak. Tendangannya mendarat di pinggul Padanaran. Anak ini terlempar jauh dan jatuh di halaman yang becek. Bagi Padanaran sakit yang diderita tubuhnya tidak seberapa dibanding dengan kepiluan hati diperlakukan seperti itu. Lalu rasa takut karena tidak tahu harus pergi kemana. Jika orang sudah tidak sudi memeliharanya lagi bagaimana mungkin dia memaksa untuk tetap tinggal di rumah itu.
Tanpa mengambil pakaiannya yang ada di dalam rumah dengan terhuyung-huyung Padanaran melangkah menuju pagar halaman. Saat Itu ada suara orang berlari di belakangnya. Lalu ada suara memanggil.
"Padanaran tunggu dulu..." Padanaran berpaling. Dilihatnya Rangga berlari mendatangi. Adik sepupuhnya ini tegak menundukkan kepala. "Padan... aku tak bisa menolongmu menghalangi kehendak ayah... Maafkan aku Padan..."
Padanaran berusaha tersenyum dan menjawab. "Tidak jadi apa Rangga. Kau saudaraku yang sangat baik. Kau anak yang sangat berbakti pada orang tuamu. Aku harus pergi Rangga. Selamat tinggal..."
"Tunggu Padan..." Dari dalam sakunya Rangga mengeluarkan sebuah benda kehitaman. Ternyata sebuah burung-burungan terbuat dari batu.
"Kau ingat burung-burungan ini? Kau dulu yang mengajarkan bagaimana cara membuatnya. Kau ambillah. Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan..."
Padanaran ragu sesaat. Akhirnya diambilnya juga burung-burungan dari batu itu. "Terima kasih Rangga. Aku pergi sekarang..." Padanaran memasukkan burung-burungan itu kedalam saku pakaiannya, memegang tangan Rangga erat-erat lalu tinggalkan tempat itu.
EMPAT
Hujan masih turun dengan deras. Padanaran berjalan sepembawa kakinya. Pakaiannya basah kuyup, sekujur tubuhnya dingin dan sakit. Di atas langit mengelam tanda sebentar lagi malam akan turun. Di bawah sebatang pohon besar Padanaran akhirnya hentikan langkah dan memandang berkeliling. Saat itulah disadarinya bahwa di depannya ada sebuah jalan kecil becek berlumpur. Lalu diseberang jalan kecil ini terletak pekuburan Jatiwaleh. Pekuburan dimana makam ibunya berada.
Padanaran berpikir ejenak. Akhirnya anak ini memutuskan, sebelum pergi-pergi entah kemana, sebaiknya dia menyambangi pusara Ibunya terlebih dahulu. Maka Padanaranpun melangkah menyeberangi jalan kecil itu. Meski hujan lebat dan cuaca mulai menggelap tidak sulit bagi Padanaran mencari makam ibunya karena dia memang sering datang kesitu, terutama jika hatinya sedang gundah dan sedih menghadapi penderitaan hidup. Tak jarang dia bangun pagi-pagi dan pergi ke makam Itu, bicara seorang diri seolah-olah mengadukan nasib dirinya yang malang pada sang ibu yang berada di alam lain itu.
Kilat menyambar. Pekuburan itu sekejap menjadi terang benderang. Padanaran bersimpuh di samping makam ibunya yang kayu nisannya sudah rusak karena lapuk dan tanahnya penuh ditumbuhi rumput liar.
"Ibu... Aku anakmu datang bersimpuh dihadapanmu. Mungkin ini kali terakhir aku menyambangimu. Aku tidak tahu kapan bisa kembali kemari. Aku harus pergi ibu. Walau aku tidak tahu mau pergi kemana. Aku pergi sekehendak jalan hidupku yang malang. Kalau ibu masih hidup tentu nasibku tidak seperti ini..."
Padanaran diam sejenak. Dia menggigit bibirnya keras-keras. Betapapun derita yang dihadapinya saat itu, dia tak mau hanyut oleh perasaan, pantang menitikkan air mata apalagi sampai menangis!
"Ibu aku tak percaya ayahku adalah hantu putih seperti yang dikatakan teman-teman. Seperti yang juga dikatakan paman. Kalau dia masih hidup aku pasti akan mencarinya. Aku mohon petunjukmu ibu..." Sampai disini anak lelaki itu kembali terhenti menyuarakan suara batinnya. "Ibu... aku harus pergi sekarang. Anakmu mohon doa restumu..."
Padanaran bangkit berdiri perlahan-lahan. Mendadak dia merasakan ada seseorang tegak dlbelakangnya. Sesaat tengkuknya terasa dingin. Dia berpaling. Astaga! "Tarini!" seru Padanaran. "Bagaimana kau bisa berada disini?!"
"Aku... aku menyelinap dari rumah. Aku sangat mengawatirkan dirimu Padanaran. Ayah dan Jalitanggor pasti melakukan apa-apa padamu..."
Padanaran menggeleng. "Tidak, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka pergi setelah kau berlalu jawab Padanaran sengaja berdusta.
"Sampai di rumah aku langsung masuk kamar lalu diam-diam menyelinap lewat jendela. Aku pergi ke sungai. Tapi kau tak ada lagi disitu, Aku mengendap-endap kerumahmu. Rangga mengatakan kau diusir pamanmu. Dia tak tahu kau pergi kemana. Tapi aku seperti bisa menduga kalau kau datang kesini. Bukankah kau pernah bercerita kalau kau sering ke makam Ibumu kalau sedang sedih... Tenyata kau memang ada disini."
"Tarini kau baik sekali padaku. Aku sangat menghargaimu. Tapi harus pulang Tarini. Cepat. Nanti kalau ayahmu atau Jalitanggor mengetahui kau tak ada di rumah, lalu mereka mencarimu dan menemui kita berdua lagi disini, kau pasti akan kena damprat. Pulanglah Tarini, lekas..."
"Aku hanya kepingin tahu, kau mau pergi kemana Padanaran...?" bertanya anak perempuan itu.
"Aku sendiri tidak tahu mau pergi kemana...," jawab Padanaran bingung.
"Kau tidak boleh pergi Padanaran. Kau harus tetap di Sawahlontar ini..."
"Tapi disini tak ada orang yang menyukaiku Tarini. Tak ada yang mau menerimaku. Bahkan pamanku mengusirku..."
"Tidak semua orang benci padamu Padanaran. Mereka adalah orang-orang gila yang tidak punya alasan mengapa harus membencimu. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu. Aku temanmu..."
Padanaran memegang kedua tangan Tarini erat-erat. "Kau temanku yang baik... sangat baik yang pernah kupunyai. Aku tak akan melupakan semua kebaikanmu, semua ucapanmu. Kalau kelak nanti aku kembali ke Sawahlontar ini, kaulah yang kelak akan kucari..."
Tarini hanya bisa diam. Anak ini sadar kalau dia tidak mungkin menahan Padanaran agar tidak pergi. Perlahan-lahan anak lelaki itu lepaskan pegangannya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seperti letusan berulang kali. Lalu suara sesuatu menggelinding ditimpali suara kaki-kaki kuda yang kemudian disusul oleh suara nyanyian. Suara nyanyian perempuan!
Dibawah hujan lebat
Dua sahabat berpegang erat
Satu hendak berangkat
Satunya ditinggal tercekat
Yang pergi berkuat hati
Yang tinggal tabahkan hati
Kalau memang jodoh pasti akan bersatu hati
Aku datang menjemput
Jangan kalian terkejut
Yang lelaki akan kuangkut
Yang perempuan jangan merengut
Lalu kembali terdengar suara seperti letusan, "Tar-Tar-Tar!"
Padanaran dan Tarini berpaling. Dua anak ini bukan saja terkejut tapi tampak seperti ketakutan. Betapakan tidak. Ini adalah satu pemandangan yang luar biasa. Di bawah hujan lebat dan cuaca gelap seperti itu tampak muncul sebuah kereta putih ditarik oleh seekor kuda putih.
Orang yang menjadi saisnya adalah seorang nenek mengenakan jubah serba putih yang basah kuyup. Kepalanya ditutup oleh sehelai selendang putih yang diikatkan seperti topi. Dibawah selendang putih itu tampak tergerai rambut pirang sebahu. Yang membuat orang ini menjadi lebih angker ialah kenyataan bahwa dia memiliki wajah putih bulai beralis mata pirang, berbola mata kelabu! Di tangan kanannya dia memegang sebuah cambuk yang setiap kali dihantamkannya mengeluarkan suara letusan keras dan di ujung cambuk yang menggeledek itu seperti ada percikan api!
Tarini langsung merapatkan diri pada Padanaran seraya berbisik, "Padanaran... apakah kita tengah berhadapan dengan setan kuburan...?"
Padanaran tak berani menjawab. Dia cepat merangkul anak perempuan itu, bertindak melindunginya ketika dilihatnya orang berjubah putih hentikan kereta dan melompat turun ke tanah lalu melangkah ke tempat mereka berdiri.
"Ha ha ha... Sepasang anak baik-baik. Sayang hanya satu yang berjodoh denganku!" Nenek berjubah putih bermuka bulai itu kedip-kedipkan matanya. "Anak lelaki bulai, kau ikut bersamaku....!"
"Ikut... ikut bersamamu...? Ikut kemana?" tanya Padanaran. Berdiri dekat-dekat seperti itu dia melihat bahwa sepasang mata si nenek sama kelabunya dengan kedua bola matanya. Lalu wajah dan sepasang tangannya yang tersembul dari balik jibah juga sama bulai dengan kulitnya.
"Ikut kemana itu tidak jadi urusan. Bukankah kau memang sudah bertekad untuk meninggalkan dukuh Sawahlontar ini...?"
"Eh, bagaimana kau bisa tahu...?!" tanya Padanaran heran.
Si nenek tertawa panjang. Lalu terdengar dia berucap, "Tujuh puluh tahun hidup di dunia, adalah tolol kalau tidak tahu apa yang terjadi di sekitarku! Dengar, namamu Padanaran bukan? Pamanmu bernama Randuwonto. Kawanmu yang cantik ini bernama Tarini, ayah nya bernama Gandaboga... Betul begitu tidak?"
Padanaran dan Tarini hanya bisa tertegun melongo di bawah curahan hujan. Si nenek kembali membuka mulut, "Di Sawahlontar kau tidak punya teman kecuali anak perempuan ini. Di Sawahlontar tak ada yang menyukai dirimu kecuali sahabatmu yang satu ini. Kulitmu sama bulai denganku. Rambutmu sama pirang denganku, matamu sama kelabu seperti mataku. Nah mengapa kita tidak sama-sama pergi, minggat dari desa yang tidak mau menerima kehadiranmu ini...?"
"Nenek, siapapun kau adanya kau tak boleh membawa kawanku ini..." kata Tarini lalu memegang kedua tangan Padanaran kuat-kuat.
Si nenek tertawa lebar dan usap rambut anak perempuan itu. "Anak baik," kata si nenek pula. "Aku membawa sahabatmu itu bukan untuk maksud jahat. Kau tunggu sajalah. Sepuluh tahun dimuka kalau dia kembali menemuimu maka dia telah menjadi seorang pemuda yang hebat luar biasa...!"
"Hebat luar biasa bagaimana nek...?" tanya Tarini pula.
"Ah, kau banyak bertanya anak. Itu berarti kau anak cerdas. Tapi aku tak bisa menjawab pertanyaanmu tadi..."
"Juga kau tidak mau mengatakan siapa dirimu nek? Kau tahu-tahu berada di pekuburan ini seolah-olah muncul dari perut bumi..." ujar Tarini.
"Hik hik hik! Kalian berdua pasti menyangka aku setan hantu yang kesasar dibawah hujan lebat! Hik hik hik. Aku manusia biasa seperti kalian. Tapi mulut manusia yang jahil memberi gelar Hantu Bulai padaku. Hik hik hik..."
Begitu tawa si nenek berakhir dia ulurkan tangannya dan tahu-tahu Padanaran sudah ada dalam kempitan tangan kirinya tanpa bisa berkutik lepaskan diri!
"Nek! Jangan bawa temanku!" seru Tarini. Dia hendak mengejar ke depan. Tapi dengan lalu lompatan aneh si nenek tahu-tahu sudah melompat naik ke atas kereta putih. Di lain kejap kuda penarik kereta itu meringkik keras dan ketika digebrak binatang inipun lari ke jurusan timur pekuburan. Tarini lari mengejar. Namun sesaat kemudian anak ini menyadari dia tak mungkin melakukan pengejaran. Anak ini hentikan larinya dan hanya bisa memandang ke arah kejauhan dimana kereta putih, kuda putih, si nenek berjubah putih dan Padanaran lenyap di kegelapan!
LIMA
Dalam keadaan kedua tangan terikat di belakang Randuwonto dipapah dan didorong ke balik semak belukar itu. Hujan turun rintik-rintik. Empat orang lelaki mengelilinginya. Yang pertama berkumis melintang berbadan tinggi besar yang bukan lain adalah Gandaboga sang juragan kaya dari dukuh Sawahlontar. Di sebelah kanannya berdiri si tukang pukul Jalitanggor. Dua orang lainnya adalah anak buah Jalitanggor.
"Juragan," terdengar suara Randuwonto. "Mengapa kau membawaku ke pekuburan malam-malam begini. Mana gerimis lagi!"
"Diam! Tutup mulutmu! Kalau tidak aku suruh bicara jangan berani bersuara!" bentak Gandaboga. Lalu disepaknya betis Randuwonto hingga lelaki ini hampir roboh.
Gandaboga memandang ke depan lalu berpaling pada Jalitanggor. "Mengapa belum kelihatan anak itu...?" dia bertanya.
"Sebentar lagi dia pasti muncul. Sabar saja, juragan..." jawab sang pembantu. Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari arah pintu masuk pekuburan tampak muncul sesosok tubuh kecil, melangkah dengan cepat tanpa ada rasa takut.
"Dia sudah muncul juragan..." bisik Jalitanggor.
Gandaboga mengangguk. Sepasang matanya tidak berkesip. Dia memandang dengan rasa hampir tak percaya. Anaknya Tarini malam-malam gelap dan gerimis serta angin dingin kencang begini, mendatangi pekuburan itu seorang diri. Sebelumnya sang pembantu Jalitanggor telah memberikan laporan.
Namun dia tak mau percaya begitu saja kalau tidak melihat sendiri. Dan saat itu dia benar-benar menyaksikan apa yang dikatakan oleh pembantunya bahwa Tarini sering datang ke pekuburan, berdiri di dekat sebuah makam lalu berseru berulang-ulang mengatakan sesuatu.
Seperti yang disaksikannya sendiri saat itu dilihatnya anak perempuannya itu tegak di dekat sebuah makam. Anak ini tanpa rasa takut memandang berkeliling lalu dia mengangkat kedua tangannya dan berseru,
"Nenek Hantu Bulai... Datanglah...! Muncullah! Bawa aku serta! Nenek Hantu Bulai... datanglah! Bawa aku bersamamu biar aku bisa bertemu dengan sahabatku Padanaran! Nenek hantu Bulai... mengapa kau tak mau datang...?!"
Capai berseru-seru tanpa ada jawaban Tarini duduk menjelepok di samping makam. Setelah itu dia berdiri lagi lalu kembali berseru seperti tadi.
"Ah Nenek Hantu Bulai... Mengapa kau tak datang membawaku..." Tarini tampak kecewa dan keletihan.
"Randuwonto!" desis Gandaboga. "Kau lihat sendiri anakku seperti kemasukkan setan! Datang ke pekuburan malam-malam. Berteriak memanggil hantu dan minta dirinya di bawa agar bisa bertemu dengan Padanaran! Ini semua gara-gara keponakanmu yang bulai celaka keparat itu!"
"Juragan, saya tidak mengerti dan tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi..." jawab Randuwonto yang menyaksikan semua yang terjadi itu dengan bulu tengkuk merinding. Keponakan saya itu sendiri lenyap sejak beberapa hari lalu..."
"Menurut pembantuku setiap saat datang kemari anakku selalu berdiri dekat makam itu. Katakan makam siapa itu?!" bertanya Gandiboga.
"Kalau saya tidak keliru, itu adalah makam ibu Padanaran..." jawab Randuwonto.
"Kurang ajar! Kalau begitu anakku memang telah kena guna-guna. Ada yang memasukkan roh jahat ke dalam tubuhnya hingga diluar sadarnya dia datang ke tempat ini! Katakan siapa yang dipanggilnya dengan sebutan Hantu Bulai itu?!"
"Mana saya tahu juragan. Saya tidak tahu siapa yang dimaksudkannya..."
"Kau dusta!"
"Plakkk!" Gandaboga menampar pipi kanan Randuwonto hingga orang ini terpekik kesakitan.
Suara pekikannya itu mengejutkan Tarini. Anak ini berpaling. Gandaboga segera memerintahkan Jalitanggor untuk menangkap anak itu. Ketika Jalitanggor keluar dari balik semak-semak dan Tarini melihatnya, anak perempuan ini sementara melarikan diri. Tapi sebentar saja dia segera terkejar dan dipegang oleh Jalitanggor. Tarini berteriak-teriak ketika dipanggul dan dibawa ke tempat ayahnya.
"Juragan... anak ini keluarkan keringat dingin. Pertanda memang ada roh jahat yang masuk dalam tubuhnya..." berkata Jalitanggor.
Padahal keringat dingin itu adalah karena rasa takut yang kemudian ditambah pula dengan air hujan rintik-rintik yang membasahi Tarini. Gandaboga percaya saja pada kata-kata pembantunya.
"Seperti rencana semula, hidupkan obor. Gali makam ibu Padanaran itu. Apapun yang kalian temukan didalamnya segera bakar." Lalu dengan suara lebih perlahan Gandaboga meneruskan ucapannya. "Manusia bernama Randuwonto ini tidak ada gunanya dibiarkan hidup. Hutangnya tak pernah dilunasi sejak tiga bulan ini. Lebih dari itu dia ikut menjadi biang kerok keanehan yang dialami anakku, Bunuh dan masukkan dia dalam kuburan itu"
Dua buah obor dinyalakan. Makam ibu Padanaran digali. Semua itu disaksikan Tarini dalam keadaan keletihan karena tadi terus-menerus berteriak. Tak lama kemudian ditemukan tulang belulang dan sepotong tulang tengkorak. Sesuai perintah Gandaboga tulang-tulang itu diguyur dengan minyak lalu dibakar. Gandaboga kemudian memberi isyarat. Randuwonto diseret ke tepi kuburan. tahu firasat, Randuwonto berteriak ketakutan.
"Apa yang hendak kalian lakukan, terhadapku?!"
Sebagai jawaban Gandaboga mendorong tubuh Randuwonto hingga orang ini jatuh masuk ke dalam liang kubur. Randuwonto berteriak keras. Dalam keadaan kedua tangan terikat tidak mungkin baginya untuk mencoba keluar dari dalam lobang itu. Apalagi saat itu Gandaboga telah menyambar sebatang linggis lalu menghantam kepala Randuwonto dengan benda itu.
Tubuh Randuwonto terkapar di liang kubur. Kepalanya rengkah dan darah membasahi kepala serta wajahnya. Tarini yang ketakutan melihat kejadian itu jatuh pingsan dalam dukungan ayahnya!
"Timbunkan tanah cepat! Kita harus meninggalkan tempat ini sebelum ada orang datang!" perintah Gandaboga.
Dua anak buah Jalitanggor segera menimbun liang kubur. Tak lama kemudian orang-orang itu lompat meninggalkan pekuburan menaiki sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda.
ENAM
Hanya beberapa saat setelah orang-orang itu berlalu dan lenyap di kegelapan malam, tiba-tiba dari balik serumpunan semak belukar melompat keluar sesosok tubuh. Yang melompat ini ternyata seorang anak lelaki kecil dan bukan lain adalah Rangga, putera Randuwonto, saudara sepupu Padanaran.
"Ayah...! Ayah...!" pekik si anak seraya lari menghambur menuju gundukan tanah merah dimana ayahnya dibunuhsecara keji lalu ditimbun.
Rangga jatuhkan diri di atas tanah merah, menangis menjerit memanggil ayahnya. Panggilannya yang mengenaskan itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Suaranya lenyap ditelan hembusan angin sementara hujan gerimis mulai membesar.
Rangga tak menyadari berapa lama dia berada di pekuburan itu. Ketika pakaian dan tubuhnya basah kuyup dan rasa dingin mencucuk tulang-tulangnya, perlahan-lahan anak ini berdiri lalu melangkah pergi sambil terus menangis.
Keesokan paginya dusun Sawahlontar menjadi gempar. Di dalam dan di luar rumah Randuwonto banyak orang berkerumun. Istri Randuwonto menangis sambil memeluki anak lelakinya yaitu Rangga yang kelihatan berwajah pucat dan pakaian kotor serta basah. Pada orang-orang yang ada di situ diceritakannya apa yang telah terjadi yakni sesuai dengan apa yang dilihat Rangga.
"Mas Randu dibawa! Sampai saat ini tidak kembali! Berarti apa yang dikatakan anakku benar. Mas Randuwonto dibunuh dan dikubur di Jatiwaleh...! Dibunuh oleh juragan Gandaboga dan pembantu-pembantunya...!" Begitu istri Randuwonto berucap diantara tangisnya yang memilukan.
Seorang lelaki separuh baya mendekati perempuan itu. Dia mengusap kepala Rangga sesaat lalu berkata, "Bune Rangga, cerita anakmu perlu diselidiki dulu. Apa yang dikatakannya memang begitu. Aku tak habis pikir bagaimana anak sekecil ini malam-malam pergi ke pekuburan lalu katanya dia..."
"Rangga tidak dusta. Anak ini tidak pernah berdusta!" menyahuti istri Randuwonto. "Malam tadi Jalitanggor dan dua orang anak buahnya datang kemari. Dia bicara membentak-bentak lalu memaksa mas Randuwonto mengikutinya mereka. Ternyata mas Randuwonto dibawa ke rumah juragan Gandaboga. Disitu dia dipukuli lalu dibawa ke pekuburan Jatiwaleh. Anakku kemudian menyaksikan ayahnya dibunuh, dipentung dengan batangan besi lalu dipendam...!"
Lelaki separuh baya itu menundukkan kepalanya lalu bertanya pada Rangga, "Rangga kau tidak berdusta. Benar bahwa kau melihat ayahmu dibunuh dan dikubur...?" Rangga menganggukkan kepala lalu memeluk ibunya erat-erat. Anak dan ibu itu kemudian sama-sama bertangisan.
Seorang lelaki berpakaian biru gelap menyeruak diantara orang banyak. Dia adalah Suto Kenongo kepala dukuh Sawahlontar merangkap kepala desa di wilayah itu. Melihat kemunculan kepala desa tangis istri Randowonto semakin mengeras.
"Tenang bune Rangga... Tenang. Hentikan tangismu..." berkata Suto Kenongo. "Dari orang-orang di luar rumah aku mendengar bahwa suamimu dibawa oleh kaki tangannya juragan Gandaboga. Lalu anakmu katanya melihat ayahnya dibunuh dan dikubur di Jatiwaleh tadi malam. Apa semua itu betul adanya, bune Rangga...?"
Ibu Rangga mengangguk.
Suto Kenongo termenung sejurus. Lalu dia berkata, "Ini bukan urusan kecil, bune Rangga. Jika kau menuduh juragan Gandaboga telah membunuh suamimu maka tuduhan itu harus ada buktinya..."
"Anakku yang menyaksikannya!. Dia melihat sendiri ayahnya dipentung dengan besi. Juragan Gandaboga yang melakukan itu. Lalu pembantu-pembantunya memendamnya dalam tanah..."
"Kesaksian anak sekecil ini sulit dijadikan pegangan..." ujar kepala desa pula.
"Kalau tidak percaya..." tiba-tiba membuka mulut si kecil Rangga, "pergi saja ke Jatiwaleh! Bongkar kuburan itu. Pasti mayat ayah akan kita temukan!"
Semua orang yang ada disitu sama tergerak hati mereka dan sama- sama mengeluarkan ucapan setuju. Mereka mendesak agar Suto Kenongo sendiri yang memimpin per- jalanan dan penyelidikan ke pekuburan Jatiwaleh.
"Ah ini urusan kapiran!" kata Suto Kenongo dalam hati sambil mengusap dagunya. Hati kecilnya diam-diam mempercayai apa yang terjadi. Namun karena urusan ini terkait dengan nama Gandaboga, juragan kaya raya sedesa yang sekaligus memiliki kekuasaan besar mau tak mau kepala desa itu merasa tidak tenang. Suto Kenongo berpaling pada orang banyak lalu berkata,
"Baik, kalian pergi duluan ke pekuburan Jatiwaleh. Aku patut memberi tahu urusan ini pada juragan Gandaboga. Aku nanti akan menyusul ke pekuburan..."
********************
Gandaboga duduk dikursi jati berukir sambil mengunyah tebu manis kesukaannya. Di sebelahnya berdiri pembantu kepercayaannya Jalitanggor. Setelah mencampakkan ampas tebu ke halaman rumah, Gandaboga berpaling kearah Suto Kenongo yang saat itu tegak di hadapannya dekat tangga.
"Cerita yang kau dengar itu, apakah kau mempercayainya Suto Kenongo?" bertanya Gandaboga lalu mengambil lagi sepotong tebu manis.
"Saya... Tentu saja saya tidak mempercayainya..." jawab sang kepala desa.
"Bagus! Kalau begitu mengapa kau capai-capai datang kemari?"
"Juragan, apa yang saya percayai tidak sama dengan apa yang dipercayai penduduk. Mereka memaksakan untuk membongkar kubur di Jatiwaleh itu..."
"Suto Kenongo! Jabatanmu adalah kepala dukuh dan kepala desa! Betul begitu...?!" Suara juragan Gandaboga terdengar mulai meradang.
"Betul juragan," menyahuti Suto Kenongo.
"Nah, kalau begitu adalah kewajibanmu untuk membuat penduduk untuk tidak berpikir gila mempercayai apa kata anak dan istri Randuwonto itu! Kau bukannya melakukan itu, malah datang kemari tanpa juntrungan! Seharusnya kau mencegah penduduk untuk tidak ke Jatiwaleh, apalagi kalau sampai membongkar kuburan itu!"
"Saya... Kalau saya tidak segera memberi tahu, jangan-jangan masalahnya bisa..."
"Suto Kenongo! Kau telah menjadi kepala desa selama hampir tujuh tahun. Katakan siapa yang memungkinkan kau mendapatkan jabatan itu?! Ayo jawab!"
"Semua itu karena kekuasaan juragan..." jawab Suto Kenongo.
"Apakah kau masih ingin memiliki jabatan itu Suto?!" tanya Gandaboga pula.
"Tentu juragan. Tentu saja saya menginginkannya."
"Kalau begitu lekas angkat kaki dari sini. Pergi ke Jatiwaleh dan lakukan apa saja. Yang penting penduduk tidak berpikir bahwa kematian Randuwonto ada sangkut pautnya dengan diriku! Cegah mereka membongkar kuburan itu! Kau dengar itu Suto...?"
"Saya dengar juragan. Hanya saja... Bagaimana saya melakukannya? Apa yang harus saya katakan pada penduduk...?"
"Kepala desa tolol!" yang membentak adalah Jalitanggor. "Itu urusanmu! Jangan bertanya pada juragan Ganda!"
Suto Kenongo tundukkan kepala. Setelah memberi hormat dengan membungkuk beberapa kali kepala desa ini segera tinggalkan rumah kediaman juragan Gandaboga dan memacu kudanya menuju pekuburan Jatiwaleh.
Begitu Suto Kenongo berlalu, Gandaboga berpaling pada Jalitanggor. "Ada tugas baru untukmu Jali!"
"Katakan saja juragan. Saya segera akan melakukannya!" jawab sang pembantu.
"Culik anak Randuwonto itu dan bunuh! Sekarang Jali!"
"Sekarang juragan!" jawab Jalitanggor lalu tinggalkan tempat itu.
********************
TUJUH
Ketika Suto Kenongo sampai di pekuburan Jatiwaleh tenyata kuburan telah digali dan mayat Randuwonto kelihatan terhampar menggeletak di dalam lubang kuburan. Walau sebagian wajahnya bercelemong tanah dan ada gelimangan darah namun semua orang yang menyaksikan sama mengenal dan memastikan bahwa yang ada dalam kubur itu memang adalah jenazah Randuwonto.
Di pinggir kubur istri Randuwonto merasakan tanah yang dipijaknya seperti amblas. Dia menjerit lalu menangis. Sambil memeluk anaknya yang ketakutan perempuan ini melangkah sempoyongan, dipapah oleh dua orang. Saat itulah Suto Kenongo turun dari kudanya dan berhadapan dengan ibu serta anak yang malang itu.
"Kepala desa...," ucap istri Randuwonto dengan suara bergetar. "Semua orang sudah menyaksikan kebenaran ucapan anakku. Semua mata melihat bahwa mayat yang ada dalam lobang itu adalah mayat suamiku! Ada darah di kepala dan mukanya. Kepalanya rengkah! Pertanda bahwa dia memang dipentung, dibunuh!"
Suto Kenanga tak tahu apa yang musti dilakukannya. Akhirnya sambil memandang berkeliling dia berteriak menyuruh orang banyak kembali ke Sawahlontar.
"Walau mayat dalam lobang dikenali sebagai ayah Rangga, namun urusan ini belum tuntas. Masih perlu dicari dan dibuktikan siapa pembunuh Randuwonto! Kalian semua kembali ke dukuh!"
Suara orang banyak yang bergumam bahkan setengahnya ada yang memaki pertanda bahwa mereka tidak suka mendengar ucapan dan melihat sikap kepala desa itu.
"Keterangan anak mas Randu jelas benar! Mayat dalam lubang jelas mayat mas Randu! Bukti apa lagi yang diperlukan?!" berkata seseorang.
"Yang harus dilakukan ialah melaporkan kejadian ini pada Adipati!" seorang lain berkata dengan suara keras.
Suto Kenongo melotot dan membentak. "Soal lapor melapor adalah tanggung jawabku! Jangan ada diantara kalian yang berani mendahuluiku! Semua kembali ke dukuh! Tiga orang tetap disini untuk menimbun kubur itu kembali!"
Baru saja kepala desa itu berucap begitu tiba-tiba ada dua ekor kuda dipacu memasuki pekuburan. Penunggangnya sengaja memacu ke arah orang banyak hingga mereka berpencaran takut tertabrak. Dua penunggang kuda ini mengenakan pakaian merah. Wajah dan kepala masing-masing ditutup dengan kain merah pula.
Selagi semua orang, termasuk kepala desa tidak tahu apa yang hendak dilakukan dua penunggang kuda itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka menerjang ke kiri dimana istri Randuwonto dan anak lelakinya berada. Cepat sekali gerakan penunggang kuda satu ini. Tahu-tahu Rangga sudah dirampasnya dari pegangan ibunya lalu dibawa kabur.
"Rangga! Anakku diculik!" teriak ibu si anak.
Orang banyak tentu saja terkejut. Beberapa orang diantaranya berusaha mengejar. Bahkan kepala desa setelah terkesiap sebentar segera melompat ke punggung kudanya. Namun penunggang kuda kedua cepat memintas. Dia bukan saja menghalangi tetapi pergunakan sebatang tongkat kayu untuk menghantam. Dua orang terkapar kena pukulan tongkat. Kepala desa dengan nekad coba melompati penunggang kuda itu. Namun sodokan ujung tongkat pada perutnya membuat kepala desa ini jatuh ke tanah.
"Bangsat penculik!" teriak kepala desa. Dari balik bajunya dia mengeluarkan sebuah pisau kecil. Senjata tajam ini kemudian dilemparkannya ke arah penunggang kuda sebelah belakang yang tadi menyodok perutnya dengan tongkat.
Ternyata orang yang dibokong dari belakang itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Begitu dia mendengar suara berdesing dibelakangnya, tanpa mengurangi kecepatan kuda yang dipacunya dan sama sekali tanpa menoleh dia sabatkan tongkat kayunya kebelakang. Ujung tongkat menghantam pisau hingga mencelat jauh. Dua penunggang kuda itu, satu diantaranya mengempit tubuh Rangga di tangan kiri sesaat kemudian lenyap di ujung pekuburan. Kini hanya tinggal suara orang banyak berteriak-teriak dan suara jerit raung ibu Rangga.
********************
Di sebuah lembah sunyi dua orang yang wajah dan kepalanya ditutupi kain merah itu hentikan kuda masing-masing.
"Kita selesaikan disini saja Jali" penunggang yang mengempit Rangga membuka mulut. Rangga sendiri saat itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri karena ketakutan yang amat sangat sewaktu dilarikan di atas kuda dengan kencang.
Penunggang kuda di sebelah belakang me- mandang seantero lembah. Lalu tangan kirinya membuka kain penutup muka dan kepalanya. Ternyata dia bukan lain adalah Jalitanggor, pembantu dan tangan kanan juragan Gandaboga. Sekali lagi dia memandang berkeliling, mengamati dan memasang telinga. Lalu kepalanya dianggukkan.
Orang di sebelah depan turun dari kudanya, melangkah ke arah sebatang pohon waru. Dia berpaling pada Jalitanggor dan bertanya, "Aku atau kau yang melakukannya Jali...?"
"Aku biasa membunuh orang-orang besar, jago-jago ternama. Masakan kau suruh aku mengotori tangan memancung anak kecil itu! Lakukan sendiri olehmu! Untuk itu kau dibayar!" terdengar Jalitanggor menjawab. Lalu dia lemparkan tongkat di tangan kirinya ke arah orang yang masih mengempit Rangga. "Pentung kepalanya! Selesai urusan kita!"
Orang dibawah pohon menyambut tongkat yang dilemparkan. Tubuh Rangga kemudian dijatuhkannya di kaki pohon. Jatuh di tanah yang keras membuat Rangga siuman dan begitu membuka mata dia terkejut mendapatkan dirinya berada di tempat yang serba asing itu. Di sebelah kiri dilihatnya sosok tubuh Jalitanggor.
Sedang di hadapannya ada orang yang kepala dan mukanya ditutup dengan kain merah. Orang ini menimang-nimang sebuah tongkat di tangan kanannya. Tangan kirinya tampak membetot lepas kain merah yang menutupi kepalanya.
Kelihatanlah satu wajah yang sangat pucat seolah-olah tidak berdarah, laksana wajah mayat. Keseraman tampang manusia ini bertambah lagi karena memiliki dua pipi dan sepasang rongga mata yang cekung. Tampang seram ini tampak menyeringai.
Rangga menjerit ketakutan melihat tampang mengerikan ini. Lalu tiba-tiba dilihatnya si muka cekung menghujamkan tongkat di tangan kanannya kearah kepalanya. Si anak kembali menjerit sambil tekapkan kedua telapak tangannya kemuka. Ujung tongkat menderu ke arah kening Rangga. Anak itu menjerit sekali lagi.
"Wutttt...!" Trakkk...!"
Sebuah batu sebesar kepalan melesat di dekat pohon waru langsung menghantam ujung tongkat kayu yang akan menghunjam di batok kepala Rangga. Ujung tongkat patah sedang tongkat itu sendiri terlepas dari pegangan orang berwajah cekung. Telapak tangannya terasa pedas dan panas. Jalitanggor terkejut, melompat turun dari kudanya dan memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat siapapun.
"Keparat dari mana yang berani main gila!" teriak si muka cekung marah sekali. Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba sebuah benda melayang ke arahnya dan plaak, benda ini menghantam mulutnya hingga dia berteriak kesakitan. Ketika memperhatikan ke bawah, ternyata benda yang barusan menghantam mukanya itu adalah sebuah kulit pisang!
"Jahanam, berani mempermainkan! Berani berlaku kurang ajar terhadapku Si Muka Mayat Dari Goa Kepala Ular!" si muka cekung kembali mendamprat marah.
Dan untuk kedua kalinya pula sebuah kulit pisang menghantam tepat dimulutnya! Manusia yang mengaku bernama Si Muka Mayat ini memaki panjang pendek sambil meludah- ludah. Ludah yang disemburkannya bercampur darah karena lemparan pisang yang keras telah membuat bibirnya pecah! Jalitanggor diam-diam merasa tidak enak. Tapi sikapnya lebih tenang dari pada Si Muka Mayat.
"Muka Mayat, mendekat kemari..," ujar Jalitanggor setengah berbisik. Ketika si muka cekung itu mendekat, Jalitanggor berbisik,
"Ada orang pandai tengah mempermainkan kita. Hati- hati..."
"Jangankan orang pandai, setan atau iblis pandaipun aku tidak takut. Akan kupecahkan kepalanya, kubeset kulitnya dan kupanggang tubuhnya!" jawab Si Muka Mayat Dari Goa Kepala Ular. Kedua tinjunya dikepalkan kuat-kuat.
Baru saja orang itu selesai berucap tiba-tiba dari atas pohon waru berdaun lebat itu terdengar suara berkerontang beberapa kali. Ini adalah seperti suara bebatuan yang berada dalam kaleng lalu digoyang kuat-kuat. Bersamaan dengan itu terdengar pula suara tawa mengekeh. Kemudian dari atas pohon waru tampak meluncur sesosok tubuh
Suara kerontangan itu terdengar lagi beberapa kali. Di lain kejap orang yang meluncur sudah sampai di tanah. Dia tegak membelakangi Jalitanggor dan Si Muka Mayat. Sikapnya seolah-olah tidak melihat atau merasakan kehadiran kedua orang itu di tempat tersebut.
Orang yang turun dari pohon ini memegang sebuah kaleng rombeng di tangan kirinya sementara tangan kanan memegang sebatang tongkat kayu. Kepalanya memakai sebuah caping lebar. Dari bawah caping menjulur rambutnya berwarna kelabu tanda dia adalah seorang lanjut usia. Pakaiannya yang lusuh penuh tambalan.
Orang ini gerakkan tangan kirinya mengguncang kaleng rombeng. Kembali terdengar suara keras yang memekakkan telinga. Di punggung orang bercaping ini ada setandan kecil pisang. Sebagian diantaranya telah dipotesi. Jelas dialah tadi yang melempar Si Muka Mayat dengan kulit pisang dua kali berturut-turut.
"Olala... ladalah... Anak sekecil ini hendak dipateni. Apa salahnya!! apa dosanya! terde ngar orang bercaping berkata. "Nak, mari kugendong. Lalu kau ikut aku...!" Orang itu membungkuk. Ujung tongkat di tangan kanannya diselipkan dibawah pinggang Rangga yang masih tergeletak di tanah dalam keadaan ketakutan. "Huuppp!" Orang bercaping berseru.
Di lain saat Jalitanggor dan Si Muka Mayat melihat bagaimana tubuh Rangga yang tadi terbujur di tanah kini seperti terkait melesat ke atas dan bukk... jatuh tepat di atas bahu kiri orang bercaping!
"Anak, kau tenanglah. Jangan takut. Aku bukan orang jahat seperti dua kunyuk itu!"
si topi caping berkata membujuk dan menenangkan Rangga yang dipanggulnya di bahu kiri. Lalu sambil melangkah pergi membelakangi Jalitanggor dan Si Muka Mayat, orang ini goyang-goyangkan tangan kirinya. Suara batu-batu dalam kaleng rombeng menggema keras menusuk pendengaran.
Jalitanggor dan Si Muka Mayat saling pandang. Sesaat kemudian keduanya melompat menghadang langkah si topi caping.
DELAPAN
Begitu melompat kehadapan orang bercaping Si Muka Mayat langsung hantamkan tangan kanannya mengepruk kepala sedang Jalitanggor membuat gerakan untuk merampas Rangga yang ada dipanggulan bahu kiri. Sementara Rangga hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan mata melotot.
Entah mengapa, meskipun saat itu dia masih merasa takut terhadap Jalitanggor dan Si Muka Mayat namun ada rasa terlindung berada dalam panggulan orang bercaping itu. Tadi dia berusaha mengintip ke bawah caping untuk melihat wajah orang itu. Dan dia ternyata melihat sesuatu yang aneh.
Si Muka Mayat yang tengah lancarkan pukulan maut dan Jalitanggor yang hendak merampas Rangga mendadak sontak hentikan gerakan masing-masing dan sama-sama mundur satu langkah. Di hadapan mereka orang berpakaian tambalan tampak menggoyangkan kepalanya. Caping bambu diatas kepalanya secara aneh tiba-tiba naik ke atas. Kelihatanlah kini wajah orang itu.
Ternyata dia adalah seorang kakek berambut kelabu. Tapi yang anehnya ialah sepasang matanya seperti yang tadi diintip Rangga. Kakek ini seperti tidak memiliki bola mata hitam. Keseluruhan matanya berwarna putih. Dan saat itu dia mendongak ke langit seperti memperhatikan sesuatu dengan matanya yang aneh itu.
"Bangsat tua ini buta atau bagaimana...?" membatin Si Muka Mayat.
Sementara Jalitanggor tegak terkesima dan diam-diam merasa sangat tidak enak. Dia merasa lebih baik tidak membuat urusan dengan orang tua aneh ini karena dia sudah menduga sejak semula orang ini bukan manusia sembarangan. Tapi mengingat tugas yang diberikan juragan Gandaboga padanya, mau tak mau anak bernama Rangga itu harus dirampasnya, harus didapatkannya!
Sementara itu caping bambu yang di kepala si kakek yang tadi secara aneh naik ke atas, perlahan-lahan kini turun kembali.
"Pengemis busuk! Siapa kau adanya?!" Si Muka Mayat membentak. Dia melihat keanehan tapi dia tidak merasa takut. Selama ini dia telah nenyandang nama besar sebagai tokoh silat yang ditakuti di wilayah selatan. Masakan terhadap kakek yang dianggapnya buta dan tak lebih dari seorang pengemis tukang sulap ini dia harus merasa ngeri.
Si kakek tidak menjawab. Hanya kaleng rombeng di tangan kirinya digoyang beberapa kali hingga mengeluarkan suara berkerontangan keras dan membuat Si Muka Mayat dan Jalitanggor merasa liang telinga masing-masing seperti ditusuk. Keduanya tersurut satu langkah.
"Rupanya harus kurobek dulu mulutmu baru mau menjawab!" ujar Si Muka Mayat.
Si kakek kembali kerontangkan kaleng rombengnya. Lalu terdengar suaranya. "Minggirlah kalian. Beri aku jalan! Malam-malam begini mencari urusan! Bukankah lebih baik tidur?!"
Mendengar ucapan kakek ini bukan saja Jalitanggor dan Si Muka Mayat, tapi Rangga pun sempat melengak keheranan.
"Dasar buta tolol! Siang bolong kau bilang malam!" merutuk Jalitanggor.
"Siapa yang tolol?!" Si kakek tertawa mengekeh. "Aku tahu sekali saat ini memang siang bolong. Kita berada di Lembah Batuireng. Kalian mengenakan pakaian merah. Membawa dua ekor kuda coklat. Yang satu jongosnya juragan Gandaboga, satunya lagi pentolan persilatan yang dari bau tubuhnya tak lama lagi akan jadi mayat! Ha ha ha... Apakah aku tua bangka buta yang tolol?!"
Rangga yang ada di atas bahu kiri si kakek jadi terlongong- longong. Bagaimana orang tua yang kelihatan buta ini tahu begitu banyak? Atau mungkin dia hanya pura-pura buta? Di lain pihak Jalitanggor dan Si Muka Mayat tampak berubah wajah masing-masing. Jalitanggor kedipkan matanya pada kawannya. Lalu dia melangkah berputar ke belakang si kakek. Si Muka Mayat membuka mulut, bicara bermanis-manis,
"Ah kakek mata putih, ternyata kau adalah kawan segolongan. Harap maafkan kalau tadi-tadi kami bertindak kasar..."
Di sebelah Jalitanggor bergerak semakin dekat. Tiba-tiba sekali kedua tangannya melesat ke depan untuk menarik tubuh Rangga.
"Kek!" seru Rangga.
Tidak diberitahu seperti itupun kakek buta itu bukanya tidak tahu apa yang terjadi. Tanpa menoleh, tanpa beringsut dia pukulkan tongkat kecilnya ke belakang.
"Wutttt...!"
Terdengar pekik Jalitanggor. Orang ini melompat mundur sambil pegangi lengan kanannya yang tampak mengelupas panjang dan mengucurkan darah. Ujung tongkat si kakek bukan saja memukul tapi secara aneh menggurat luka lengan itu!
Melihat kejadian ini Si Muka Mayat tak dapat lagi menahan amarahnya. Didahului suara menggereng keras dia melompat sambil lepaskan satu pukulan ke arah dada si kakek. Kembali orang tua bercaping ini pergunakan tongkatnya untuk menangkis sementara tangan kirinya mulai menggoyang kaleng rombengnya.
Si Muka Mayat yang tadi menggebrak dengan pukulan ke arah dada secepat kilat tarik serangannya karena memang hanya tipuan belaka. Disaat yang sama kaki kanannya melesat kirimkan tendangan ke selangkangan si kakek sedang dari sebelah belakang Jalitanggor yang masih dalam kesakitan ikut lancarkan serangan, menumbuk dengan kepalan tangan kiri tapi yang diserangnya bukan si kakek, melainkan kepala Rangga. Jelas dia hendak segera membunuh anak ini!
Kakek bercaping goyangkan kalengnya seraya bergerak ke kiri. Kaki kanannya diajukan kemuka memalang di depan tubuhnya sebelah bawah. Serentak dengan itu dia meliukkan pinggang dan tangan kirinya menggebuk kesamping.
"Krontang!" Kaleng dan batu berbunyi keras disusul jeritan Jalitanggor karena kaleng rombeng itu menghantam pelipis kirinya dengan keras. Darah mengucur. Tubuhnya sempoyongan hampir jatuh kalau tidak cepat-cepat menyandarkan diri ke batang pohon waru.
"Keparat bangsat rendah. Kucincang tubuhmu!" menggembor marah Jalitanggor. Seumur-umur baru sekali ini dia menghadapi lawan yang mampu menciderainya dalam dua satu-dua gebrakan saja. Maka dari balik pakaian merahnya diapun menghunus golok besarnya.
Di sebelah depan Si Muka Mayat yang melihat kuda-kuda si kakek kini hanya bertumpu pada kaki kiri, tendangannya yang tadi mengarah ke selangkangan kini dirubah dan diarahkan ke kaki kiri lawan.
Saat itu kakek bercaping tengah memusatkan perhatian pada serangan golok Jalitanggor yang datang membabat dari belakang. Menyangka tendangan Si Muka Mayat tetap mengarah selangkangannya yang sudah terjaga, maka dia biarkan saja serangan itu. Ternyata kaki Si Muka Mayat kini mencari sasaran di kaki kiri yang dijadikannya kuda-kuda. Tak mungkin baginya untuk merunduk atau melompat guna menghindari serangan Si Muka Mayat karena besar bahayanya tabasan golok Jalitanggor akan menghantam punggungnya bahkan mungkin mengenai kepala anak yang ada di bahu kirinya.
"Bukkk...!"
Kaki kiri si kakek terangkat ke atas begitu tendangan Si Muka Mayat mengenai sasarannya. Tak ampun lagi kakek itu jatuh terduduk ditanah. Di saat itu pula tabasan golok datang. Dan betul seperti dugaannya. Senjata maut itu berkelebat ke arah batok kepala Rangga!
Kakek bercaping cepat hantamkan tongkatnya ke belakang. Tapi dari depan lagi-lagi Si Muka Mayat kirimkan tendangan. Kali ini mengarah tangan kanannya seperti sengaja agar dia tidak bisa menangkis tabasan golok Jalitanggor. Mau tak mau orang tua itu dengan cepat pergunakan tangan kirinya yang memegang kaleng untuk menangkis!
"Trangg...!"
Kaleng dan tongkat beradu keras. Si kakek merasakan tangannya perih. Bagian kaleng yang robek terkena hantaman golok melukai pinggiran telapak tangannya. Kaleng rombeng itu terlepas dari pegangannya dan terguling di tanah tapi kepala Rangga selamat dari tabasan golok maut.
Sebaliknya golok Jalitanggor secara aneh tampak menjadi bengkok seperti sepotong kawat yang kena ditekuk! Selagi dia kebingungan melihat keadaan goloknya itu, satu tepukan menghantam paha kirinya. Terjadilah hal yang luar biasa!
Tukang pukul juragan Gandaboga itu merasa seolah-olah kaki kirinya telah berubah menjadi sebuah batu besar yang luar biasa beratnya. Demikian beratnya hingga dia tidak mampu menggerakkannya. Dan sebelah kaki itu laksana tertanam ke dalam tanah!
Di sebelah depan, Si Muka Mayat Dari Goa Ular mendapat bagian yang tak kalah 'sedapnya'. Begitu melihat kaki lawan menendang dan mengacaukan gerakannya untuk menangkis, kakek bercaping yang telah pergunakan kaleng di tangan kiri untuk menangkis, kini susupkan ujung tongkat kedepan.
Secara aneh ujung tongkat ini menggurat diatas permukaan telepak kaki kanan Si Muka Mayat. Serta merta saja saat itu orang ini merasakan rasa geli seperti digelitik terus-terusan. Demikian hebatnya rasa geli itu hingga dia menjatuhkan diri di tanah sambil pegangi kaki dan menjerit- jerit. Digaruknya telapak kakinya, dipencetnya bahkan ditotoknya namun rasa geli itu bukannya lenyap atau berkurang malah semakin menjadi-jadi.
Si Muka Mayat berguling-guling di tanah sambil tiada hentinya menjerit kegelian. Selangkangan celananya kelihatan basah tanda orang ini telah kencing alias ngompol habis-habisan! Perlahan-lahan kakek bercaping bangkit berdiri.
"Sayang aku masih punya pantangan untuk tidak boleh mencelakai orang secara keterlaluan! Kalau tidak kalian berdua akan lebih babak belur lagi dari ini!" Lalu kakek bercaping itu putar tubuhnya tinggalkan tempat itu.
"Kek... kalengmu ketinggalan!" tiba-tiba Rangga mengingatkan.
Si kakek tersenyum dan usap kepala anak itu. "Biarkan saja. Cuma kaleng rombeng! Nanti kita buat lagi yang baru katanya.
"Kek, aku bisa jalan sendiri. Sebaiknya aku turun saja... Tak perlu dipanggul seperti ini!" kata Rangga pula. Sebelum si kakek menjawab dia sudah meluncur turun.
"Anak baik... anak bagus! Melangkahlah terus di depan. Aku akan mengikuti..."
"Kek... Matamu putih semua. Apakah kau buta atau bagaimana? Tapi mengapa bisa tahu keadaan sekelilingmu ...?"
Orang tua itu tertawa lebar. "Itulah satu rahasia Tuhan yang aku tidak bisa menjawabnya, Rangga..."
"Eh, bagaimana kau bisa tahu namaku kek?" tanya Rangga heran. "Siapa sih kau sebenarnya?"
"Aku tidak punya nama. Banyak yang menyebutku pengemis, tukang minta-minta. Ada yang bilang aku ini tukang pijat. Ha ha ha...! Tapi aku adalah aku. Kakek Segala Tahu Ha ha ha..."
********************
SEMBILAN
Kuda yang ditungganginya berwarna hitam. Si penunggang mengenakan pakaian serba putih, memberikan satu pemandangan yang kontras. Apalagi orang muda itu memiliki pula kulit bulai yang kemerahan tersengat sinar matahari.
Ketika dia memasuki dukuh Sawahlontar hari itu kebetulan hari pasar. Kemunculannya menarik perhatian semua orang yang ada di pasar di ujung kampung itu. Mulut berbisik satu sama lain. Gunjing dan cerita bertebaran.
Seorang pedagang sayur berkata, "Jika keponakan almarhum Randuwonto bernama Padanaran itu masih hidup, kira-kira dia seperti dan seusia anak muda penunggang kuda yang lewat tadi!"
"Siapa tahu dia memang Padanaran, keponakan Randuwonto yang lenyap hampir sepuluh tahun silam..." ikut bicara pedagang yang lain disamping pedagang sayur tadi.
"Dari pada menduga tidak karuan, mengapa tidak ada yang mengikutinya, mencari tahu kemana dia menuju?!" seorang pedagang dipasar berkata.
"Eh, betul juga katamu!" membenarkan pedagang ikan. Lalu bersama beberapa orang kawannya dia berlari-lari kecil ke jurusan yang tadi ditempuh pemuda bulai berkuda hitam.
Sementara itu si penunggang kuda telah sampai dihadapan sebuah rumah yang tak pantas lagi disebut rumah, tetapi merupakan sebuah gubuk reyot yang hampir roboh. Dinding dan atapnya penuh lubang.
Penunggang kuda itu sesaat menatap kearah gubuk dengan pandangan sayu. "Kenapa jadi sepi dan begini rupa keadaannya? Kelihatannya rumah ini tidak didiami..." Perlahan-lahan pemuda ini turun dari kudanya. Melangkah ke arah pintu yang tertutup. Tiga langkah dari hadapan pintu gubuk dia berseru.
"Paman! Bibi...! Rangga! Kalian ada didalam...?!"
Tak ada sahutan. Pemuda berkulit bulai itu merasa tidak enak. Dia hendak berseru memanggil sekali lagi ketika tiba-tiba dilihatnya pintu gubug perlahan-lahan terbuka mengeluarkan suara berkereketan. Lalu satu sosok tubuh perempuan berpakaian sangat lusuh dan banyak robeknya muncul di ambang pintu. Perempuan ini lebih tua dari usia sebenarnya.
Tubuhnya kurus tinggal kulit pembalut tulang. Rambutnya yang tidak tersisir dan banyak uban tergerai lepas acak-acakan. Kedua matanya menatap sayu ke arah pemuda, dihadapannya sedang keningnya tampak mengerenyit. Keadaan perempuan ini tidak ubah seperti pengemis. Bola mata kelabu pemuda berkulit bulai tampak seperti membesar. Benarkah ini? Benarkah apa yang disaksikan saat itu?!
"Bibi! Kaukah ini bibi....?!"
Kerenyit di kening perempuan itu tampak semakin banyak. Kedua matanya yang tadi menatap kuyu kini kelihatan membesar. Mulutnya terbuka. Suaranya bergetar. "Padanaran....! Tidak salahkah penglihatan dan dugaanku...?" Digosoknya kedua matanya berulang-ulang. "Padanaran... Benar kau ini yang datang nak?"
"Bibi!" Pemuda bulai itu langsung menghambur dan jatuhkan diri berlutut di hadapan perempuan di ambang pintu sambil pegangi kedua kakinya.
Perempuan itu meraung lalu jatuhkan diri dan peluk erat-erat tubuh si pemuda. Padanaran... Kau kembali juga akhirnya. Kemana kau selama sepuluh tahun ini...Kau menghilang dan tahu-tahu sudah sebesar ini..."
"Kemana saya akan saya ceritakan nanti, bi. Katakan dulu mana paman dan adik saya Rangga..."
Mendengar pertanyaan itu perempuan berpakaian lusuh dan robek-robek itu kembali meraung. Si pemuda membimbingnya lalu membawanya masuk ke dalam gubug. Sampai di dalam dia saksikan sendiri perubahan keadaan rumah itu dengan sepuluh tahun yang lalu. Satu-satunya benda yang ada di dalam gubug itu hanyalah sebuah balai-balai kayu tanpa tikar maupun bantal. Si pemuda mendudukan bibinya di atas balai-balai itu.
Diantara sesenggukannya perempuan itu tanpa diminta kini memberikan penjelasan tentang suaminya dan puteranya bernama Rangga.
"Manusia biadab!" gertak pemuda bulai yang memang Padanaran adanya. "Paman Randuwonto dibunuhnya. Pasti dia juga yang jadi biang keladi penculikan Rangga untuk menghilangkan jejak. Gara-gara aku juga bibi sampai terlantar begini! Gandaboga manusia iblis! Aku bersumpah membunuhmu membalaskan sakit hati paman...!"
Padanaran terdiam sejenak. Lalu terdengar suaranya perlahan. "Rangga adikku... Dimana gerangan kau berada..."
"Sepuluh tahun telah berlalu Padanaran. Bibi merasa anak itu tidak hidup lagi..." berkata ibu Rangga.
Dari dalam saku pakaiannya pemuda itu keluarkan sebuah benda. Diciumnya benda itu beberapa kali. Lalu diperlihatkannya pada ibu Rangga.
"Apa itu Padanaran...?" bertanya ibu Rangga. "Mataku tidak awas lagi sejak beberapa tahun ini..."
"Burung-burungan dari batu bi. Rangga yang membuatnya. Dia memberikannya pada saya waktu pergi sepuluh tahun lalu..."
Perempuan itu mengusap burung-burungan batu itu dengan air mata berlinangan.
"Bibi... Izinkan saya pergi...."
"Kau mau kemana Padanaran?"
"Mencari juragan Gandaboga! Saya harus membalaskan sakit hati paman"
"Selama hidupnya pamanmu tidak bersikap baik terhadapmu. Tak perlu kau memikirkan membalaskan segala rasa sakit hati. Lagi pula Gandaboga bukan seorang juragan lagi sekarang ini. Dia tidak lagi tinggal di dukuh Sawahlontar ini.
"Apa maksud bibi dia tidak jadi juragan lagi? Dimana manusia iblis itu berada sekarang?! Kemanapun dia pergi akan saya cari!"
Ibu Rangga gelengkan kepala dan usut air matanya. "Juragan Gandaboga telah diangkat jadi Adipati Karanganyar sejak dua tahun lalu. Semua ladang dan ternaknya diurus oleh kepala desa Suto Kenongo. Ketika Suto Kenongo dipanggil ke Karanganyar untuk jadi pembantu Gandaboga, anaknya Suradadi menggantikannya sebagai kepala desa..."
"Suradadi..." desis Padanaran. "Anak nakal yang sering mencelakaiku..." Padanaran berpaling pada bibinya lalu berkata: "Bibi..., saya berangkat ke Karanganyar sekarang juga!"
"Jangan Padanaran... Jangan! Berbahaya bagi keselamatan dirimu jika kau berani mencari perkara dengan Adipati Gandaboga"
"Bibi tak usah kawatir. Hukum dan kebenaran harus ditegakkan," jawab Padanaran. Lalu pemuda ini menyerahkan sekeping perak dan digenggamkannya ke tangan bibinya.
"Pergunakan untuk keperluan bibi. Kalau urusan saya selesai, saya akan menjenguk bibi lagi disini"
"Jangan pergi Padanaran... Jangan pergi nak"
Padanaran balikkan tubuhnya. Dia lalu melangkah kepintu. Satu langkah di luar rumah pemuda ini hentikan langkahnya. Di pekarangan rumah hampir sepuluh orang dilihatnya berkerumun seperti memang sengaja menunggu dirinya.
"Pemuda bulai!" tiba-tiba salah seorang dari yang berkerumun menegur. "Dulu di kampung kami ini ada seorang anak bulai bernama Padanaran. Dia lenyap sepuluh tahun silam. Kalau dia masih hidup kira-kira seusiamu. Harap maafkan kalau kami bertanya, apakah kau Padanaran? Kami merasa yakin kau memang Padanaran. Karena dulu dia tinggal di rumah ini!"
"Katakan apa kalian bermaksud baik atau jahat terhadapnya?!" bertanya Padanaran.
"Ah... Kalau mengenang masa kecil memang banyak diantara kami yang nakal dan sering menggangumu. Tapi kini sudah sama-sama besar begini persahabatanlah yang kami cari menjawab salah seorang dari orang-orang yang mengerumuni si bule.
"Kalau begitu jawabmu, aku memang Padanaran!"
Mendengar kata-kata Padanaran itu maka orang banyak lalu mendatanginya. Ada yang menyalami, ada yang merangkul dan ada yang menepuk-nepuk bahunya.
"Kau jadi pemuda gagah sekarang Padanaran. Punya kuda bagus lagi"
"Aku tidak berubah. Buktinya kulitku tetap bule, mataku kelabu dan rambutku pirang!"
Orang-orang yang ada disitu tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Padanaran.
"Sahabat-sahabat... Aku terpaksa meninggalkan kalian. Nanti aku pasti kembali kekampung kita ini...!"
"Ah, kau kelihatan tergesa-gesa. Ada urusan apa rupanya Padanaran?" bertanya lelaki disebelah kanan.
"Aku harus berangkat ke Karanganyar untuk mencari bekas juragan Gandaboga yang sekarang katanya telah jadi Adipati
"Ah Gandaboga," berkata seorang pemuda yang di pasar berjualan daging, kawan sepermainan Padanaran di masa kecil walau tidak akrab. "Dia sekarang jadi Adipati, jadi orang hebat, berkuasa dan tambah kaya. Dulu dia tinggal disini. Tapi setelah jadi Adipati apa yang diperbuatnya untuk kampung kita? Malah dia menaikkan pajak hasil pertanian dan peternakan. Kaki tangannya sering mundar mandir memeras penduduk"
"Apakah pembantunya yang bernama Jalitanggor itu masih ikut bersamanya?" tanya Padanaran.
"Masih dan dia yang jadi momok penduduk nomor satu. Jahat dan kejam. Dia berkomplot dengan kepala desa, memeras rakyat, mengganggu istri dan anak gadis orang"
"Tapi bukankah kepala desa disini sekarang adalah Suradadi, anak kampung asli dukuh Sawahlontar? Masakah dia sejahat itu...?"
Karena melihat tak ada yang berani memberikan jawaban maka Padanaran kembali berkata. "Para sahabat aku minta diri dulu, harus segera ke Karanganyar mencari Adipati itu...!"
Baru saja Padanaran berkata begitu, satu suara bertanya dengan nada kasar dan merendahkan. "Ada keperluan apa seorang pemuda bule jelek mencari Adipati Karanganyar Gandaboga?!"
SEPULUH
Orang-orang yang mengerumuni Padanaran berpaling. Mengetahui siapa yang barusan datang ke tempat itu mereka semua bersurut mundur dan berpencar. Padanaran sendiri melihat seorang pemuda sebayanya, berpakian bagus duduk diatas seekor kuda coklat belang putih. Tampangnya keren tapi jelas memasang mimik merendahkan. Senyumnya bukan dari hati yang bersih tapi penuh ejekan.
Padanaran mengingat-ingat. Dia rasa-rasa mengenali wajah pemuda itu. Ah, benarkah dia...? Terakhir sekali dia melihat orang ini sepuluh tahun lalu, dimasa kanak-kanaknya. Terbayang kejadian itu di mata Padanaran. Ketika dia dilemparkan kedalam kubangan tahi kuda. Memang dia... Tak salah lagi. Hemm... Lagaknya keren amat, tapi tidak mencerminkan seorang kepala desa yang berwibawa, melindungi dan membina penduduknya
"Suradadi! Apa kau tak kenal lagi siapa aku...?!" tegur Padanaran sambil tersenyum polos.
Suradadi, putera Suto Kenongo yang sekarang menjadi kepala desa di usianya yang sangat muda sunggingkan seringai lalu angguk-anggukkan kepala beberapa kali.
"Tentu saja aku ingat dan kenal dirimu bule! Bukankah kau anak yang dilahirkan dari seorang ayah keturunan hantu bulai yang lenyap sepuluh tahun lalu dan tahu-tahu kini muncul eh masih saja tetap berkulit bulai, bermata kelabu dan berambut pirang! Ha ha ha...!" Suradadi tertawa gelak-gelak di atas kudanya.
Orang banyak merasa tidak enak mendengar ucapan Suradadi itu. Baru saja bertemu mengapa bicara menghina seperti itu? Semua kenakalan dimasa kecil mengapa diungkap dan diulang lagi begitu rupa?
Tapi Padanaran sendiri tenang-tenang saja malah sambil tersenyum dia menjawab. "Diriku memang tidak berubah Suradadi. Tapi kampung dan desa kita ini mengalami banyak perubahan!"
"Kau betul! Dukuh Sawahlontar ini kini lebih maju, penduduknya lebih makmur! Semua itu karena aku yang jadi kepala desa sekarang!" Suradadi berkata sambil tudingkan ibu jari tangan kanannya ke dada.
Orang banyak yang ada disitu sama memaki dalam hati. "Kepala desa jahanam! Kerjamu hanya memeras penduduk, mempermainkan anak istri orang!"
"Padanaran, kemunculanmu mencurigakan...!"
"Mencurigakan bagaimana maksudmu?!" tanya Padanaran tidak mengerti.
"Kau tadi kudengar berkata akan pergi ke Karanganyar mencari Adipati Gandaboga. Katakan apa urusanmu?!"
"Urusanku adalah urusanku. Karenanya aku tidak akan menjawab pertanyaanmu, Suradadi!"
"Heh! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa bule jelek hina dina?!" bentak Suradadi.
"Aku tahu, aku tengah berhadapan dengan seorang kepala desa!"
"Bagus! Dulu saja masih anak-anak aku tidak memandangmu sebelah mata. Apalagi kini sebagai kepala desa! Kau tak lebih dari kotoran kuda busuk! Karenanya harus tahu diri dan jangan berani bicara seenak utilmu!" (util=perut)
"Suradadi, kita semua manusia biasa. Kebetulan saja kau jadi kepala desa. Jabatan yang mungkin kau dapat oleh pengangkatan, bukan pilihan penduduk. Kau layak bertanya, aku punya hak tidak menjawab!"
Habis berkata begitu Padanaran berpaling pada orang banyak dan berkata, "Para sahabat, aku pergi sekarang. Lain hari kita bertemu lagi
Merasa dilecehkan dan dihina dihadapan orang banyak Suradadi majukan kudanya tiga langkah lalu kakinya menendang ke arah dada Padanaran. Seperti diketahui sepuluh tahun lalu Padanaran diambil oleh Nenek Hantu Bulai. Selama sepuluh tahun dia digembleng oleh nenek sakti itu. Kepandaiannya kini bukan sembarangan.
Sebaliknya Suradadi juga telah menguasai bermacam-macam ilmu silat. Namun semua lebih banyak pada ilmu silat luar saja. Tenaga dalam boleh dikatakan dia tidak memiliki. Walaupun begitu karena terlatih bertahun-tahun, tendangan maupun pukulannya bisa mencelakakan bahkan mendatangkan maut bagi siapa saja yang diserangnya. Tendangan kaki kanannya tadi, kalau sempat melabrak dada Padanaran pasti tulang dadanya akan amblas, jantungnya akan melesak dan maut tak bisa dihindarkan lagi.
Dengan bergerak sedikit ke samping, Padanaran ulurkan tangan lalu tangkap pergelangan kaki kanan Suradadi. Dapatkan dirinya hendak didorong jatuh, Suradadi lekas hantamkan tangan kanannya ke batok kepala Padanaran. Yang dihantam rundukkan kepala.
Pukulan Suradadi mengenai tempat kosong. Tubuhnya terhuyung kemuka. Ditambah dengan sentakan yang dilakukan Padanaran pada kaki kanannya yang masih dicekalnya, tak ampun lagi Suradadi mental ke atas, jungkir balik di udara tapi ketika jatuh dia terkejut. Dia tidak jatuh di tanah tetapi jatuh dalam pelukan sesosok tubuh berpakian putih, yang menggendongnya demikian rupa seperti menggendong anak orok!
Padanaran dan semua orang yang ada disitu juga terheran-heran. Mereka sama sekali tidak melihat kapan munculnya pemuda itu, tahu-tahu dia sudah muncul disitu dan menggendong kepala desa Suradadi secara lucu seperti menggendong bayi!
Pemuda tak dikenal itu berpakaian serba putih, berikat kepala putih, berambut gondrong dan cengar-cengir seenaknya. Meski semua orang terheran-heran, namun dalam hati mereka, termasuk juga Padanaran, diam-diam bertanya-tanya, jangan-jangan pemuda tak dikenal ini adalah kawan si kepala desa.
Yang paling merasa heran tentunya adalah Suradadi sendiri. Dia sudah bersiap-siap untuk memasang kuda-kuda begitu jatuh di tanah, tapi tahu-tahu ada yang memeluk dan menggendong tubuhnya. Sambil menggeliat dan memutar kepala dia membentak,
"Keparat, siapa kau yang memperhinakanku seperti anak kecil?!"
Orang yang dibentak keluarkan siulan lalu menyeringai. "Kalau memang kau tidak sudi ditolong ya silahkan saja jatuh ke tanah!"
Lalu pemuda berambut gondrong itu lepaskan gendongannya. Tapi dia tidak hanya sekedar melepaskan saja. Karena sambil menjatuhkan dia juga kerahkan tenaga dalam hingga tubuh Suradadi bukan jatuh biasa tapi seperti dihempaskan!
Kepala desa yang masih muda itu terpekik kesakitan ketika punggungnya menghantam tanah. Tulang belakangnya serasa remuk, pemandangannya berkunang karena belakang kepalanya membentur tanah. Sesaat dia diam tak berkutik sambil pejamkan mata. Tapi tiba-tiba didahului satu bentakan keras, Suradadi melompat berdiri. Begitu berdiri tangannya kiri kanan langsung menggebuk. Luar biasa sekali gerakan memukul pemuda ini. Dalam waktu sekejapan enam hantaman tangan kiri kanan melabrak dada si gondrong berbaju putih!
Anehnya yang dipukul tetap saja tegak tak bergeming. Hal ini membuat Suradadi menjadi marah. Jotosan-jotosannya diteruskan bertubi- ubi. Yang dipukul masih tetap tenang-tenang saja, malah tegak sambil menyeringai dan garuk-garuk kepala! Sewaktu Suradadi mulai mengarahkan pukulan kemukanya, barulah si gondrong itu membuat gerakan berkelit. Dibarengi dengan gerakan tangan kanan dan...
"Bukkk...!" Tinju kanannya sengaja dihantamkan ke tinju kanan Suradadi.
Untuk kesekian kalinya kepala desa itu terpekik. Dia melangkah mundur sambil pegangi tangan kanan. Ketika diteliti ternyata dua jarinya patah, bagian tangan lainnya lecet merah! Apa yang dialaminya bukan membuat Suradadi sadar kalau dia tengah berhadapan dengan seorang pendekar cabang atas, tapi kepala desa itu justru diamuk hawa amarah.
"Srettt...!"
Suradadi cabut sebilah golok, langsung menyerbu si gondrong dengan senjata itu. Serangan Suradadi tampak dahsyat. Golok menderu kian kemari, membacok dan membabat serta menusuk. Tapi itu hanya satu jurus saja. Memasuki jurus kedua Suradadi berseru kaget.
Semua orang menyaksikan bagaimana pemuda gondrong dengan gerakan terhuyung-huyung seperti orang mabuk tiba-tiba saja ulurkan tangan kanan dan tahu-tahu golok di tangan Suradadi kena dirampasnya. Begitu cepatnya gerakan si gondrong sehingga Suradadi tidak sempat lagi melihat bagaimana golok itu diputar dan gagangnya kemudian dipukulkan kejidatnya!
Suradadi menjerit. Keningnya benjut dan luka. Darah mengucur. "Bangsat! Bangsat!" teriak Suradadi beringas. Kedua matanya mendelik dan tampak merah. Mulutnya komat kamit seperti orang membaca mantera. Tiba-tiba tangan kirinya tampak sudah memegang sebilah pisau berwarna hitam yang memancarkan sinar redup. Dengan senjata di tangan dia menyerbu si gondrong Saat itulah Padanaran masuk ke dalam kalangan perkelahian seraya berseru,
"Suradadi, hentikan perkelahian ini. Ingat diri, jangan kalap. Kau bisa celaka!"
"Setan! Kau yang bakal celaka duluan! Semua ini gara-gara kamu! Mampuslah!" Suradadi tikamkan pisau hitamnya ke perut Padanaran. Pemuda bulai ini merasakan ada angin yang menyerang mendahului sebelum pisau itu menyambar. Ini satu pertanda bahwa senjata itu ada isinya. Dengan cepat Padanaran bergerak berkelit. Dari samping dia coba memukul sambungan siku Suradadi agar senjatanya terlepas. Tapi Suradadi membalik tak terduga dan kini pisaunya itu menusuk ke arah leher Padanaran!
Murid Nenek Hantu Bulai itu kertakkan rahang. Dia berseru keras dan keluarkan jurus keempat dari ilmu silat yang diajarkan gurunya. Kedua lututnya menekuk. Kedua tangannya melesat ke atas. Satu menangkis serangan pisau, satunya lagi memukul ke arah ulu hati lawan. Inilah jurus yang oleh gurunya disebut dengan nama Macan Putih Keluar Dari Liang Makam.
"Dukkk...!"
Pisau di tangan kiri Suradadi mental ketika tangan kanan Padanaran menghantam tepat pergelangannya.
"Bukkkk...!"
Suradadi terpental, terkapar ditanah sambil merintih-rintih. Ada darah mengalir disela bibirnya. Padanaran dekati pemuda ini. Ketika kemarahannya mengendur, ada rasa kasihan dalam hati pemuda ini. Dia ulurkan tangan untuk bantu membangunkan Suradadi, tapi Suradadi sendiri tidak disangka-sangka tiba-tiba melepaskan satu tendangan keras ke arah selangkangan Padanaran. Jika pemuda bulai ini tidak sanggup selamatkan diri maka tendangan itu akan membuatnya meregang nyawa, paling tidak cacat seumur-umur.
Padanaran bukan tidak punya kesempatan untuk menangkis atau mengelakkan serangan ganas itu, tapi si gondrong yang sangat marah melihat kelicikan kepala desa itu langsung saja menggebrak. Tubuhnya melayang setinggi lutut. Kaki kirinya melesat.
"Bukkk...!"
Suradadi menjerit keras. Tubuhnya terguling enam langkah. Dan semua orang melihat bagaimana pergelangan kaki kanan kepala desa itu patah tulangnya. Kaki itu kini terkulai tergontai-gontai!
"Padanaran kalau kau ingin ke Karanganyar lekas pergi sekarang. Biarkan kepala desa sontoloyo itu aku yang mengurusnya. Ada tiga orang tua di tiga desa yang menginginkan kepalanya karena dia telah merusak anak gadis mereka!"
"Saudara... Kau mengenal namaku. Kau menolong aku dalam urusanku. Siapakah dirimu yang begitu baik ini...?" bertanya Padanaran.
Yang ditanya garuk-garuk kepala."'Namaku Wiro Sableng. Aku hanya menjalankan pesan gurumu..."
"Heh, kau kenal guruku?!"
Si gondrong mengangguk. "Pergilah. Aku akan menyeret Suradadi ke hadapan tiga keluarga itu untuk mempertanggung jawabkan kebejatannya"
"Hati-hati saudara... Kudengar ayahnya tangan kanan Adipati Karanganyar"
Pendekar 212 murid Sinto Gendeng dari gunung Gede tersenyum. "Jika kau tidak takut pada Adipati dan pembantu-pembantunya itu, apakah berarti aku harus takut...?"
Lalu Wiro melangkah ke tempat Suradadi terkapar. Dijambaknya leher pakaian kepala desa ini lalu diseretnya sepanjang jalan!
********************
SEBELAS
Halaman belakang gedung Kadipaten Karanganyar yang luas dihias berbagai macam arca batu dan dipagar dengan tembok setinggi tiga tombak agaknya bakal menjadi tempat pembantaian bagi pemuda berpakaian biru penuh tambalan, mengenakan caping bambu. Di tangan kirinya dia memegang sebuah kaleng rombeng sedang di tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu.
Saat itu pakaian pemuda baju biru tampak robek-robek, kulitnya luka-luka di beberapa bagian. Mata kirinya lebam sedang bibirnya sebelah bawah pecah mengucurkan darah. Tapi caping bambunya masih bertengger di kepalanya seolah-olah dipantek tak bisa lepas.
Pemuda baju biru ini bertahan mati-matian terhadap keroyokan tiga orang penyerang. Yang pertama adalah Jalitanggor, lelaki bertampang menyeramkan dengan tubuh tinggi besar dan memegang sebilah golok. Orang kedua seorang lelaki berpipi dan bermata cekung yang bukan lain adalah Si Muka Mayat Dari Goa Kapala Ular.
Pengeroyok ketiga seorang pemuda bertampang keren yang dari luar tampak halus budi pekertinya tapi ternyata berhati sekejam iblis. Dia bernama Manik Tunggal, pemuda yang konon kabarnya telah dijodohkan dan dicalonkan untuk jadi suami Tarini, anak perempuan Gandaboga.
Meskipun baru berusia 23 tahun tapi ternyata dia telah memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi, melebihi yang dimiliki Jalitanggor. Seperti Si Muka Mayat, Manik Tunggal hanya mengandalkan tangan kosong sedang Jalitanggor bersenjatakan golok.
Pemuda bercaping menghadapi pengeroyok sambil tiada henti menggoyangkan kaleng rombengnya hingga terdengar suara berkerontangan. Ilmu silat yang dimainkannya dengan mengandalkan tongkat kayu di tangan kanan dan sesekali menghantam dengan kaleng rombengnya merupakan ilmu silat yang langka.
Namun agaknya dia hanya memiliki tiga jurus yang selalu diulang-ulangnya dalam mengahadapi para pengeroyok hingga ketiga orang itu berhasil mengetahui kelemahannya dan setelah berkelahi lebih dari dua puluh jurus, meski sempat melukai bagian dada Jalitanggor namun akhirnya pemuda bercaping itu terdesak hebat. Siapakah adanya pemuda ini?
Menjelang pagi empat pengawal di gedung Kadipaten itu memergoki seorang pemuda berbaju biru yang menyusup tengah mencari kamar tidur Adipati Gandaboga. Terjadi perkelahian kilat. Tiga pengawal roboh mandi darah dimakan ujung tongkat dan hantaman kaleng rombeng si pemuda. Tapi pengawal ke empat berhasil membangunkan penghuni gedung lainnya. Maka Si Muka Mayat, Jalitanggor dan Manik Tunggal yang kebetulan menginap di tempat itu segera keluar dari kamar masing-masing, mengurung pemuda bercaping dan langsung mengeroyok.
Ketika perkelahian berkecamuk sepuluh jurus, Adipati Gandaboga keluar dari kamar tidurnya diiringi seorang gadis jelita berbadan sintal yang jadi gendaknya sejak satu bulan belakangan ini. Bersama mereka mengiringi seorang kakek berpakaian merah gombrong yang dipinggangnya melilit sebuah ikat pinggang penuh disisipi pisau-pisau kecil tipis berjumlah seratus pisau. Dia dikenal dengan julukan Pisau Gergaji Terbang karena pisaunya berbentuk mata gergaji pada kedua sisinya yang tajam.
Disamping si kakek melangkah seorang nenek bermuka panjang yang selalu tertawa-tawa seperti orang kurang ingatan. Perempuan tua ini konon adalah kekasih si Pisau Gergaji Terbang yang telah hidup bersama selama tiga puluh tahun tanpa kawin syah. Dia dikenal dengan julukan Sepasang Lengan Iblis karena memiliki sepasang tangan berwarna hitam yang tak mempan senjata tajam dan mengandung racun pembunuh!
Bersama dengan Si Muka Mayat kedua tua bangka kekasih inilah yang mendatangi tempat kediaman Nenek Hantu Bulai atas perintah Gandaboga, membokong nenek sakti itu, menggebuknya babak belur lalu menggantungnya kaki ke atas kepala ke bawah.
Ke empat orang ini melangkah menuju bangku panjang terbuat dari batu yang terletak dekat taman di ujung kiri halaman belakang. Gandaboga duduk sambil memangku gendaknya sedang kakek -nenek itu duduk disampingnya sambil berpegang-pegangan tangan. Mereka duduk menonton perkelahian tiga lawan satu itu.
Saat itu pemuda bercaping sudah terdesak hebat di sudut kanan tembok. Tongkatnya sudah kutung dibabat golok Jalitanggor sementara Si Muka Mayat dan Manik Tunggal kirimkan serangan menggebu tiada putus-putusnya. Tiba-tiba pemuda yang jadi bulan-bulanan pengeroyokan itu berteriak keras. Tubuhnya melesat ke atas.
"Brettt...!"
Cakaran tangan Si Muka Mayat merobek dada pakaiannya. Kulit dada pemuda baju biru ikut terluka. Dari sebelah belakang Manik Tunggal kirimkan satu pukulan ke arah punggung, tapi masih dapat dikelit hingga hanya mengenai pinggul. Dalam keadaan seperti itu pemuda baju biru masih sempat loloskan diri dari kepungan dan lari ke arah Adipati dan gendaknya duduk berpangku-pangkuan.
Pisau Gergaji Terbang dan Sepasang Lengan Iblis cepat berdiri dan menyongsong kedatangan si pemuda sambil siapkan penyerangan. Tapi Adipati Gandaboga mengangkat tangannya dan berkata,
"Biarkan saja! Cecunguk ini seperti hendak mengatakan sesuatu! Hai monyet! Lekas buka mulutmu! Katakan siapa dirimu dan apa maksudmu berani menyusup ke gedung Kadipaten!"
Si baju biru meludah ke tanah. Lalu perlahan-lahan buka caping bambunya. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah Adipati Karanganyar itu penuh kebencian. Mulutnya yang berdarah membuka.
"Manusia durjana! Kau mungkin tidak kenal lagi siapa diriku! Tapi aku tidak pernah melupakan tampang biadabmu!"
"Bangsat rendah! Berani kau bicara kurang ajar terhadap Adipati!" teriak Jalitanggor.
Berbarengan dengan Manik Tunggal dia melompat hendak menerkam si baju biru. Tapi lagi-lagi Gandaboga mengangkat tangan dan berseru.
"Biarkan saja! Ajalnya tak akan lama! Kalian bisa mencincang tubuhnya sebentar lagi sampai puas. Tapi biarkan dia menceloteh dulu! Aku ingin dengar kelanjutan bicaranya! Ayo kunyuk! Teruskan bicaramu! Katakan siapa dirimu!"
"Aku Rangga. Putera Randuwonto yang kau bunuh di pekuburan Jatiwaleh sepuluh tahun silam! Kau juga yang merencanakan penculikan atas diriku karena aku satu-satunya saksi hidup yang melihat pembunuhan atas diri ayahku!"
"Ah! Monyet sialan ini ternyata anak kampung Sawahlontar bernama Rangga! Sepuluh tahun lalu kau lolos dari kematian, mengapa bertindak tolol dan datang sendiri mengantarkan jiwa?!" ujar Gandaboga. Dia bicara sambil mengusap-usap dada gadis yang duduk dipangkuannya.
Pemuda baju biru meludah ketanah. Mengenakan capingnya kembali lalu berkata, "Aku datang kemari untuk minta nyawa anjingmu Adipati keparat!"
Gandaboga tertawa bergelak. Dia memandang ke arah Jalitanggor dan Si Muka Mayat lalu berkata, "Aku ingin melihat dia mampus saat ini juga! Bunuh bangsat ini cepaattt!"
Si Muka mayat dan Jalitanggor bergerak. Manik Tunggal ikut menggebrak dari samping. Kembali tiga pengeroyok berkelebat ganas. Kembali pula Rangga mempertahankan diri. Namun hanya sembilan jurus dia sanggup membalas gebrakan lawan. Jurus kesepuluh kakinya kena disapu tendangan Manik Tunggal. Si Muka Mayat lalu menghantamkan satu jotosan ke arah dagu dan golok Jalitanggor yang membabat ke arah leher kali ini tak mungkin lagi dielakkan oleh Rangga. Dalam keadaan dikejar maut begitu rupa tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak,
"Jangan bunuh! Dia sahabatku diwaktu kecil!"
Semua gerakan maut tertahan dan semua orang palingkan kepala. Dari tangga belakang gedung Kadipaten berlari seorang dara mengenakan pakaian tidur panjang berwarna biru muda berbunga-bunga kuning dan hijau. Wajahnya cantik sekali. Ternyata dia adalah Tarini, puteri dan anak tunggal Adipati Gandaboga.
Melihat anaknya ini Gandaboga segera menegur keras, "Tarini! Lekas masuk ke kamarmu! Ini bukan urusan anak-anak sepertimu!"
"Ayah, saya akan masuk jika ayah melepaskan pemuda itu pergi" sahut Tarini.
"Tidak, dia harus mampus. Dan kau harus masuk ke kamarmu! Manik, bawa calon istrimu ke dalam kamar!"
"Calon istri? Puaaah!" Tarini berteriak lantang. "Aku bukan calon istri siapa-siapa. Apalagi dijodohkan dengan kintel satu ini! Ayah, bukankah sudah berapa kali hal itu saya katakan padamu.. ?"
Gandaboga hilang kesabarannya. Gendak yang sedang dipangkunya diturunkannya lalu dia melangkah cepat ke tempat puterinya berdiri. Gadis ini ditariknya ke kamar tidur secara paksa. Sesaat kemudian Gandaboga kembali ke halaman belakang dan berteriak marah.
"Kalian semua tunggu apa lagi? Bunuh pemuda keparat itu!"
Jalitanggor yang pertama sekali bergerak mengayunkan goloknya. Justru dia pula yang pertama kali mengalami celaka!
Pada saat Jalitanggor mengayunkan goloknya untuk menebas leher Rangga, tiba-tiba dari arah tembok sebelah kiri melesat sebuah benda hitam. Benda ini menyambar deras dan menancap di pergelangan tangan Jalitanggor setelah terlebih dahulu memutus urat-urat nadi. Jalitanggor menjerit kesakitan dan lepaskan goloknya. Dia terhuyung-huyung kebelakang dan menjerit ngeri ketika melihat darah memancur dari urat-urat besarnya yang putus.
Sebuah benda aneh terbuat dari batu hitam berbentuk seekor burung menancap di pergelangan tangannya. Burung-burungan ini menancap pada bagian ekornya yang lancip. Semua orang tersentak kaget tapi tidak satupun yang bertindak menolong Jalitanggor yang kesakitan dan kebingungan itu. Mereka berpaling ke arah tembok halaman belakang sebelah kiri dimana tampak berdiri seorang pemuda berpakaian serba putih berambut pirang dibawah siraman sinar matahari pagi.
Sepasang mata Rangga seperti hendak mendelik ketika pandangannya membentur pemuda bulai di atas tembok. "Padanaran... diakah itu? tanyanya dalam hati. Pasti dia. Burung-burungan batu itu! Ah pasti dia! Ya Tuhan terima kasih kau telah mempertemukan kami kembali. Matipun aku tak menyesal kalau sudah melihat wajahnya!"
Selagi Jalitanggor mencak-mencak kesakitan, Rangga pergunakan kesempatan untuk melompat bangkit dan lari ke arah Padanaran.
"Saudaraku Rangga, mereka telah menganiayamu! Aku akan membalaskan sakit hatimu! Juga membalaskan sakit hati kematian paman!"
"Padanaran, Tuhan Maha Besar. Kita hadapi mereka bersama-sama. Tapi hati-hati. Dua kakek nenek dan si muka cekung itu paling berbahaya..." menerangkan Rangga.
"Bangsat bulai! Kau manusia atau setan?!" teriak Adipati Gandaboga sementara para pembantu kepercayaannya tegak menyebar berjaga-jaga.
Dari caranya dia melemparkan mainan dari batu yang tepat menancap di lengan Jalitanggor itu semua tahu kalau kini ada seorang berkepandaian tinggi yang bukan berada di pihak mereka. Seorang yang kehebatannya jauh lebih tinggi dari Rangga yang muncul untuk membalaskan sakit hati. Apakah pemuda bulai di atas tembok itu juga mempunyai niat yang sama...?
"Aku manusia! Tapi bisa jadi setan yang mampu mencekikmu!" jawab orang di atas tembok.
"Keparat! Jangan bicara ngaco! Lekas katakan siapa dirimu!" teriak Pisau Gergaji Ter bang lalu tangannya bergerak dan dua pisau andalannya meluncur ke arah tembok.
Orang diatas tembok berseru keras, melompat dan melayang turun ke dalam halaman belakang gedung Kadipaten. "Kalau kalian ingin tahu namaku baik, akan kukatakan! Aku Padanaran. Pemuda dari dukuh Sawahlontar. Sepuluh tahun silam kau yang bernama Gandaboga membunuh pamanku Randuwonto. Hari ini aku datang untuk balas meminta nyawamu!"
Gandaboga tertawa gelak-gelak, yang lain-lainnya tegak dengan pandangan mengejek. Tiba-tiba ada satu suara keras yang berteriak menindih suara gelak Gandaboga.
"Aku juga pemuda dari Sawahlontar! Datang mencari tiga pembunuh pengecut...!"
Kalau tadi semua mata memandang ke arah Padanaran, kini semua berpaling ke sisi barat tembok, termasuk Padanaran sendiri. Disitu duduk berjuntai sambil uncang-uncang kedua kakinya seorang pemuda berpakian putih berambut gondrong. Mukanya tiada henti menyeringai sedang dari mulutnya terdengar suara bersiul tiada henti.
"Kurang ajar! Bangsat gila dari mana yang kesasar kemari!" maki Gandaboga lalu dia memerintahkan Pisau Gergaji Terbang untuk mengusir pemuda gondrong itu.
Sebaliknya si kakek berbisik pada sang Adipati, "Biarkan saja pemuda sinting satu itu. Kita tengah menghadapi si bulai. Biar aku membereskannya lebih dulu..."
Adipati Gandaboga akhirnya anggukkan kepala menyetujui. Ketika melihat si gondrong di atas tembok sana Padanaran tak habis pikir bagaimana pemuda yang menolongnya dan mengaku bernama Wiro Sableng itu begitu cepat sampai di tempat.
"Kalau tidak memiliki ilmu lari andal, dia pasti tak akan sampai disini hanya terpaut beberapa saat denganku," begitu Padanaran membatin. Lalu pemuda ini berpaling ke arah Gandaboga, maju beberapa langkah sambil berucap, "Adipati, apakah kau sudah siap menerima kematian?"
Gandaboga memaki panjang pendek. Sambil mendelik marah dia memerintahkan. "Bunuh monyet bulai ini!"
Sepasang Lengan Iblis lebih dulu tertawa cekikikan baru menyerbu. Si Pisau Gergaji Terbang mendengus dua kali lalu melompat kedalam kalangan. Manik Tunggal yang ingin berebut pahala serta nama tak tinggal diam sementara Si Muka Mayat berusaha menolong Jalitanggor tapi terlambat karena pembantu kepercayaan Gandaboga ini sudah keburu menemui ajal karena banyak darahnya yang terbuang.
Sebenarnya Jalitanggor mampu menotok urat besarnya untuk menghentikan darah. Tapi karena begitu ngeri melihat darahnya sendiri, dia sampai bingung dan tidak melakukan apa-apa.
"Bangsat, biar aku yang mencekik leher dan menghancurkan kepala si bulai itu!" teriak Si Muka Mayat
setelah dapatkan kawannya telah menemui ajal! Dia langsung ikut menyerbu. Padanaran kini dikeroyok oleh empat pesilat cabang atas. Dengan mengandalkan ilmu warisan gurunya si Nenek Bulai mungkin sulit bagi empat orang itu untuk mengalahkan atau menciderainya.
Tapi seperti yang dipesankan sang guru kepada Wiro, Padanaran masih hijau dalam pengalaman. Karenanya begitu empat orang menggebrak Pendekar 212 wiro Sableng keluarkan suitan panjang dan melompat turun dari atas tembok.
Sesaat murid Eyang Sinto Gendeng dari puncak gunung Gede ini perhatikan jalannya perkelahian empat lawan satu itu. Lalu tiba-tiba dia melompat ke depan, memotong arus pertempuran. Dia memilih Pisau Gergaji Terbang sebagai lawannya karena dianggapnya manusia satu inilah yang paling tinggi ilmunya dan berbahaya.
Wiro sambut serangan lawan dengan pukulan sakti Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Empat pisau terbang yang melesat ke arahnya mencelat mental membuat kaget si pemilik. Seumur hidup kakek itu belum pernah melihat serangannya dipukul mentah-mentah seperti itu. Didahului dengan jeritan keras dia gerakkan lengan baju gombrangnya. Terdengar suara klik-klik. Dari balik lengan baju kiri kanan menonjol keluar dua buah pisau besar berbentuk gergaji dan berujung lancip.
Setiap si kakek menggerakkan tangannya, pisau-pisau gergaji itu mengeluarkan suara berdesir menggidikkan. Paling tidak dalam tiga jurus pemuda yang dianggapnya sinting itu akan mandi darah dihantam sepasang pisau, begitu si kakek berpikir. Tapi ketika tiga jurus lewat dia tidak mampu menciderai lawan hatinya jadi was-was. Serta merta dia rubah permainan silatnya dengan tubuhnya tiba-tiba lenyap, hanya tinggal bayangan merah pakaian gombrongnya.
Menghadapi lawan dengan gerakan kilat begini rupa Pendekar 212 melompat menjauhi lalu menghantam dengan pukulan-pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Di jurus ke sebelas Wiro berhasil menangkap lengan kanan lawan. Meskipun lengannya sempat terserempet pinggiran pisau dan mengucurkan darah, tapi Wiro berhasil membanting kakek itu keras-keras ke tanah hingga terkapar bergedebukan. Tapi hebatnya begitu jatuh orang tua ini langsung melompat bangkit. Sambil bangkit tangan kirinya sempat berkelebat.
"Brettt...!"
Kaki celana kiri Pendekar 212 robek besar. Betisnya mengucurkan darah. "Setan alas!" maki Wiro. Kaki kanannya melesat ke depan. Tubuh tua yang masih setengah bangkit itu terpental beberapa langkah tapi kembali berusaha bangkit. Hanya kali ini dia tak mampu melakukannya. Perutnya serasa pecah. Pemandangannya gelap.
Pisau Gergaji Terbang hanya bisa terduduk ditanah megap-megap. Wiro mendekati untuk mengirimkan satu tendangan lagi ke kepala lawan. Tapi selintas pikiran muncul' dibenaknya. Dia tidak menendang kepala orang tua ini, melainkan menotok urat besar dipinggangnya hingga si Pisau Gergaji Terbang tak bakal mampu bangkit dan melarikan diri.
Perkelahian antara Padanaran yang dikeroyok Sepasang Lengan Iblis, Si Muka Mayat dan Manik Tunggal berjalan seru. Warisan ilmu yang diberikan nenek Hantu Bulai benar-benar luar biasa. Si Muka Mayat dan Sepasang Lengan Iblis yang sudah makan asam garam ilmu dan dunia persilatan sempat memaki-maki karena beberapa kali hampir saja keduanya kena gebukan tangan atau tendangan Padanaran.
Apalagi ketika Rangga yang tak mau hanya jadi penonton terjun ke dalam kalangan perkelahian. Tiga pengeroyok jadi kalang kabut. Melihat hal ini Gandaboga bawa masuk gendaknya kedalam kamar lalu keluar lagi seorang diri membawa sebilah keris berluk sembilan yang memancarkan warna putih. Ketika dia masuk ke dalam,kalangan pertarungan keadaan serta merta berubah.
Keris di tangan Adipati Karanganyar itu memang bukan senjata sembarangan. Orang hanya mampu mendekati sampai dua langkah. Ada hawa aneh yang memerihkan sekujur tubuh jika lawan berani mendesak mendekati. Akibatnya kalau tadi Padanaran dan Rangga berada di atas angin maka kini dua pemuda ini jadi terdesak hebat.
Pendekar 212 yang sudah gatal tangan tak menunggu lebih lama. Segera pula masuk ke dalam kalangan pertempuran. Dia jadi kaget ketika merasakan sendiri hawa aneh yang keluar dari keris putih di tangan Gandaboga.
"Keris keparat itu harus disingkirkan dulu..." kata Pendekar 212 dalam hati. Tangannya bergerak ke pinggang. Sinar putih menyilaukan tiba-tiba berkiblat. Hawa panas menghampar dan suara seperti ribuan tawon mengamuk menderu. Lalu...
"Trangg...!"
Keris sakti di tangan Gandaboga terpental. Pemiliknya terhuyung-huyung dengan muka pucat. Wiro masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaiannya. Lalu berpaling pada Padanaran dan Rangga dan berkata,
"Kalian berdua hadapi musuh besar kalian itu. Tiga pengeroyok ini biar serahkan padaku...!"
Menyadari bahwa memang Gandaboga adalah musuh besar yang telah membunuh ayah dan paman mereka maka Rangga dan Padanaran segera melompat ke hadapan Gandaboga. Perkelahian seru segera terjadi diantara mereka. Nenek kekasih Si Pisau Gergaji Terbang memandang tak berkesip pada Wiro Sableng.
"Gondrong! Aku tadi melihat kau mengeluarkan sebilah senjata berupa kapak bermata dua. Apakah kau manusianya yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212...?!"
Wiro tak menjawab dengan menghantamkan pukulan Sinar Matahari! Ketiga orang itu terpekik dan melompat mundur. Hawa panas yang hebat menerpa ganas.
"Bummm...!"
Tanah di depan ketiga lawannya berubah menjadi lobang besar berwarna hitam. Debu dan pasir membubung ke udara.
"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Sepasang Lengan Iblis. Serta merta lelehlah nyali nenek ini ketika kini dia benar-benar menyadari siapa adanya pemuda berambut gondrong itu. Tanpa tunggu lebih lama dia melompat ke kiri melarikan diri.
, Wiro tak tinggal diam. Dia yakin si nenek ini adalah salah satu dari tiga orang yang membunuh si nenek Hantu Bulai. Sambil gulingkan diri di tanah, Wiro menyambar tiga pisau tipis di pinggang kakek Pisau Gergaji Terbang. Sesaat kemudian senjata itu melesat di udara mengeluarkan suara bersuit.
Di seberang sana terdengar pekik Sepasang Lengan Iblis. Nenek ini tersungkur jatuh di tanah, menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Tiga pisau menancap di tengkuknya terus menembus leher, di pinggang dan satu lagi membeset lambungnya hingga ususnya membusai keluar. Dia menemui ajal sebelum sempat memperlihatkan kehebatan sepasang lengannya yang hitam.
"Jumilah..." teriak si Pisau Gergaji Terbang ketika melihat kekasihnya menemui ajal seperti itu. Dia berusaha berdiri tapi tak bisa. Kakek ini sesenggukkan lalu menangis seperti anak kecil.
Ketika semua itu terjadi si Muka Mayat pergunakan kesempatan untuk lari tapi Wiro cepat menghadang dan menotok dadanya hingga manusia satu ini tertegak kaku.
Rangga berkelahi menghadapi Manik Tunggal. Walaupun ilmu silat Rangga lebih rendah, tapi berkelahi satu lawan satu begitu rupa tidak mudah bagi Manik Tunggal untuk mengalahkan Rangga. Sebaliknya perkelahian antara Gandaboga dan Padanaran hanya berlangsun seru selama tiga jurus. Jurus keempat Adipati Karanganyar itu kena digebuk bagian dadanya hingga terjungkal tapi masih sempat berpegangan pada sebuah arca. Sebelum dia mampu berdiri tegak tiba-tiba Padanaran telah mendatangi dengan keris putih milik Gandaboga yang dipungutnya dari tanah.
"Jangan bunuh! Demi Tuhan jangan bunuh!" teriak Gandaboga lalu jatuhkan diri berlutut.
"Kau membunuh pamanku! Hari ini kau terima balasannya!" suara Padanaran bergetar. Keris di tangan kanannya ditusukkan.
"Padanaran! Jangan bunuh ayahku! Ampuni selembar nyawanya!" Satu suara berteriak lalu terdengar ada orang yang lari mendatangi.
"Tarini!" seru. Padanaran ketika dilihatnya siapa yang berteriak. Gadis itu kawan baiknya semasa kecil lari mendatangi. Gerakan tangan Padanaran serta merta terhenti. Tapi dari samping tiba- tiba saja Rangga muncul melompat. Kedua tangannya memegang lengan Padanaran yang memegang keris sakti erat-erat lalu didorongkannya kuat-kuat ke depan.
Keris yang dipegang oleh tiga tangan itu menghunjam di leher Gandaboga. Adipati Karanganyar ini keluarkan seruan tertahan. Matanya melotot. Lehernya sampai ke muka dan sebagian dadanya kelihatan menjadi biru tanda ada racun yang menjalar dari keris sakti berwarna putih itu.
Tarini menjerit keras ketika melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Dia lari menubruk Gandaboga, memeluk sayang ayah tapi aneh, tak ada air mata yang keluar dari sepasang matanya yang bagus itu.
"Pembunuh keparat! Kalian membunuh calon mertuaku!" teriak Manik Tunggal lalu berusaha mencekik Rangga. Tapi dari belakang datang Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kalau calon mertuamu memangnya ke napa?! Pergi sana!" bentak Wiro. Lalu buk! Wiro tendang pantat pemuda itu hingga Manik Tunggal jatuh tengkurap di tanah.
Sesaat Padanaran tertegun lalu perlahan-lahan dia lepaskan pegangannya di hulu keris. Tubuh Gandaboga terhuyung dan jatuh menelentang. Lalu pemuda ini usap kepala Tarini dan berkata: "Maafkan aku Tarini..."
Sehabis berkata begitu Padanaran berpaling pada Rangga, memberi isyarat. Lalu kedua pemuda itu melangkah tinggalkan tempat itu. Ketika melewati mayat Jalitanggor, Padanaran merunduk mencabut burung-burungan batu yang masih menancap di lengan orang itu, membersihkan darahnya, berpaling pada Rangga lalu masukkan burung-burungan batu itu ke dalam saku bajunya.
Saat itulah baru terdengar suara tangisan Tarini. Tiba-tiba gadis ini berdiri dan berteriak memanggil. "Padanaran! Aku ikut bersamamu" Gadis ini lari menyusul pendekar bule yang melangkah bersama Rangga, namun begitu mendengar suara si gadis dia berpaling hentikan langkah.
Manik tunggal yang melihat hal itu buru-buru bangkit berdiri. "Tarini! Kembali! Tarini.." Lalu pemuda ini berusaha mengejar. Tapi baru lari tiga langkah datang Wiro dari samping.
"Tarini... Tarini... Ini untukmu!"
"Bukkkk...!"
Untuk kedua kalinya tendangan Wiro mendarat di pantat Manik Tunggal. Pemuda ini terhempas ke tanah. Mukanya mencium tanah keras sekali dan dia pingsan disitu juga. Pendengar 212 garuk kepala beberapa kali. Memandang kearah tiga orang yang melangkah pergi dikejauhan. Akhirnya diapun menyusul ketiga orang itu. Dia lalu memberi tahu Padanaran bahwa nenek Hantu Bulai gurunya telah tiada. Dan dua dari tiga orang pembunuhnya berada dalam keadaan tertotok di halaman belakang gedung Kadipaten.
T A M A T