Peri Angsa Putih

Wiro Sableng Hantu Jati Landak
Sonny Ogawa

PERI ANGSA PUTIH

PROLOG

Hantu Tangan Empat pandangi wajah Peri Angsa Putih sesaat lalu berkata, "Adalah aneh! Wahai! Biasanya para peri yang datang membawa berkah. Kini justru engkau sebagai peri yang memohon berkah pada kakek jelek dan tolol seperti diriku ini!"

"Kek, jangan kau merendah seperti itu. Kalau aku tidak yakin kau bisa menolong, tidak nanti aku datang kemari..."

"Baiklah wahai cucuku. Katakan berkah pertolongan apa yang hendak kau mintakan padaku...?"

Peri Angsa Putih buka gulungan pakaian putihnya disebelah pinggang dimana Wiro dan kawan-kawannya berada. Ketiga orang ini kemudian diletakkannya diatas rumput biru, didepan batu datar dihadapan si kakek.

Hantu Tangan Empat sampai melesat satu tombak keudara saking kagetnya melihat ketiga makhluk kecil diatas rumput itu. Dari atas sambil memandang kebawah dia berkata dengan suara gemetar,

"Wahai cucuku Peri Angsa Putih! Katamu kau datang meminta berkah pertolongan padaku. Tapi tahukah engkau bahwa kau sebenarnya membawa bencana padaku...?"


SATU

Indahnya bulan purnama dengan sinarnya yang lembut terang tidak terlihat di kawasan Telaga Lasituhitam. Air telaga tetap menghitam, suasana dicekam kesunyian dan udara terasa dingin pengap. Angin seolah tidak mau bertiup menyapu permukaan telaga dan kawasan sekitarnya.

Jauh di bawah dasar telaga, dalam sebuah ruangan diterangi dua belas obor, yang disebut Ruang Dua Belas Obor, diatas sebuah tempat ketiduran terbuat dari batu, duduk satu sosok tubuh aneh yang kepalanya memiliki dua muka. Satu di depan satunya lagi di belakang. Muka sebelah depan dan muka sebelah belakang memiliki raut serta bentuk yang sama, yaitu wajah tampan seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan. Bedanya yang di depan berkulit kuning sedang di muka sebelah belakang hitam keling.

Selain keanehan angker pada kepalanya yang bermuka dua itu, makhluk ini memiliki sepasang mata yang masing-masing bola matanya tidak berbentuk bulat melainkan berupa segi tiga berwarna hijau menggidikkan. Konon bentuk segi tiga bola matanya ini menjadi pelambang tiga sifat yang dimilikinya hingga ia dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu.

Di samping kiri dan kanan ranjang batu tempat orang bermuka dua duduk, empat orang gadis cantik bersimpuh di lantai. Mereka mengenakan pakaian dari kulit kayu namun tak ada artinya sebagai penutup aurat. Selain tipis, pakaian itu hanya terdiri dari beberapa potongan kecil yang membuat tubuh keempat gadis itu nyaris terlihat bugil.

Mahluk bermuka dua, yang punya dua pasang aneh dan angker ini, tidak sepasang pun dari mata itu memperhatikankan wajah-wajah cantik dan tubuh-tubuh elok mulus para gadis yang ada di sekitarnya. Ada dua pasang mata di sebelah belakang berputar-putar memandang ke langit-langit ruangan. Sementara dua mata disebelah depan memandang tak berkesip ke arah pekarangan. Di dua muka orang di atas ranjang batu itu jelas terlihat bayangan ketidak sabaran.

Dua mata pada muka sebelah depan sesaat membuka tambah lebar. Dari mulutnya keluar suara mengeluh. “Apa yang dilakukan perempuan celaka itu! Wahai, masakan pekerjaan begitu mudah saja dia pergi berapa lama. Belum muncul sampai saat ini Apa aku harus marah lagi? Minta darah lagi?!"

Dua mata sebelah depan Ini terus membelalak tak berkedip Memandang ke arah pintu masuk. Beda lagi dengan muka ke dua yakni muka berkulit hitam legam disebelah belakang. Mulutnya berkomat kamit. Sesaat kemudian mulutnya berucap,

"Jangan-jangan perempuan satu itu pergunakan kesempatan kabur melarikan diri!"

"Wahai! Kalau itu sampai dilakukannya!" menyahuti mulut sebelah depan. "Alamat dirinya akan menjadi penghuni Ruangan Obor Tunggal"

"Tunggu…!" mulut muka berwajah hitam keling di sebelah belakang berkata. "Tidakkah kau dengar langkah-langkah kaki halus melintas di Ruang Empat Obor. Bergerak menuju ke sini!"

Sesaat kemudian di pintu Ruang Dua Belas Obor melangkah masuk seorang gadis berwajah sangat cantik. Rambutnya yang hitam digulung di atas kepala hingga kuduknya yang putih dan ditumbuhi bulu-bulu halus tersembul memikat. Gadis ini mengenakan pakaian kulit kayu dicelup jelaga berwarna Jingga, dihias dedaunan aneka warna di bagian belakang dan dada.

"Lain yang ditunggu lain yang datang! Wahai!" Mulut sebelah belakang orang di atas ranjang batu berseru.

Wajah di bagian depan tersenyum lebar. "Luhjelita kekasihku! Wahai! Kutunggu-tunggu kau tak pernah muncul. Tidak diharap-harap kau tahu-tahu datang! Wahai! Kau membuat diriku jadi kikuk depan belakang!"

Gadis yang barusan masuk berhenti tiga langkah di samping kanan ranjang batu. Matanya yang bening bagus menyapu pada empatsosok gadis di depannya. Sepasang alis matanya perlahan-lahan naik ke atas. Mulutnya terkatup rapat-rapat.

"Ha ha ha! Kau mulai cemburu!! Wahai!" Mulut sebelah depan orang bermuka dua berseru. Lalu dia tepukkan tangannya tiga kali. Melihat isyarat ini empat gadis cantik yang duduk di lantai serta merta bangkit berdiri dan tinggalkan Ruangan Dua Belas Obor.

"Kekasihku Luhjelita! Wahai! Berucaplah. Katakan padaku apa hatimu sedang senang atau tengah diselimuti kegundahan! Melihat air mukamu, apa yang selama ini kau cari dan kau rahasiakan padaku masih belum kau dapatkan! Wahai! Betulkah dugaanku?!"

Gadis berpakaian Jingga dudukkan dirinya di atas ranjang batu di samping orang bermuka dua. Lalu dengan suara perlahan lirih yang membuat darah bergejolak panas dia berkata,

"Aku datang karena aku rindu sekali padamu, wahai Hantu Muka Dua…"

Orang bermuka dua yang duduk di atas tempat ketiduran batu dan dipanggil dengan nama Hantu Muka Dua tertawa bergelak.

"Wahai! Rindu adalah penyakit maha nikmat orang-orang bercinta! Akupun tak kalah rindu Luhjelita!" Mulut sebelah depan berkata lalu kepala dua muka itu bergerak hendak mencium si gadis.Tapi Luhjelita dengan sikap manja mendorong dada Hantu Muka Dua dan jauhkan kepalanya seraya berkata,

"Jangan kau membakar diriku, wahai Hantu Muka Dua. Kulihat kau telah memiliki teman-teman baru. Siapa empat gadis tadi?"

Hantu Muka Dua pegang lengan Luhjelita. Mulut berwajah hitam di sebelah belakang berkata. "Kita sudah kenal sejak lama. Bagaimana sifatku kau sudah tahu. Mengapa masih bertanya? Bukankah sudah ku katakan Wahai! Boleh ada seribu gadis cantik di taklimku tapi yang terpendam dalam hatiku! Wahai! Hanyalah Luhjelita!"

"Kau pandai merayu!"

Dua mulut Hantu Muka Dua sama-sama tertawa keras Ialu yang sebelah depan berkata. "Kau yang mengajarkan segala rayuan dan kegenitan padaku! Kau yang telah menghangatkan hati dan membakar aliran darahku. Sekarang wahai! Coba kau ceritakan kabar apa sa|a yang kaubawa dari luar."

"Aku mau bertanya dulu," ujar Luhjelita. "Waktu menuju ke sini aku melihat ada satu perempuan mendekam di balik semak belukar. Tak jauh dari mulut goa! Kulitnya hitam manis, kulit yang paling kau gandrungi. Wajahnya cantik dan sosok tubuhnya kencang pertanda usianya masih sangat muda. Sikapnya seperti tengah menyelidiki sesuatu dan sebentar-sebentar mendongak ke langit. Siapa dia?"

"Wahai! Kau tak perlu curiga dan tak usah cemburu," jawab mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua. "Dia adalah Luhtinti, perempuan yang kujadikan mata-mata!"

"Heh… Selain kau jadikan mata-mata, lalu kau jadikan apa lagi? Kau letakkan di bawah mata kakimu heh…?"

Hantu Muka Dua tertawa lebar. "Wahai Luhjelita. Kau tahu diriku…"

"Lebih dari tahu!" jawab Luhjelita dengan wajah merengut sambil menggeser duduk menjauh. "Percuma saja kau dijuluki sebagai si Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu. Memang aku yang bodoh! Sudah tahu masih bertanya!"

"Luhjelita! Wahai! Jangan merajuk. Bukankah sudah kubilang cuma kau seorang yang ada di hatiku," kata Hantu Muka Dua. "Sekarang ceritakan apa saja yang terjadi di luaran sana."

"Aku hanya akan menceritakan yang ada sangkut pautnya dengan tugas yang tengah kujalani…"

Hantu Muka Dua kembali hendak tertawa bergelak. Tapi tak jadi. Dia berkata. "Baiklah. Wahai! Apakah kau berhasil menemui manusia bernama Latandai yang tengah mengejar ilmu di kawah Gunung Latinggimeru itu?"

Luhjelita anggukkan kepala. "Latandai sekarang memakai nama Hantu Bara Kaliatus. Di kepala, sekujur dada dan perutnya penuh dengan bara menyala. Berjumlah dua ratus! Tapi sayangnya setelah kuperiksa ternyata dia hanya punya satu tahi lalat di bawah pusarnya!"

Hantu Muka Dua tak dapat menahan tawanya! “Latandai! Manusia miskin tahi lalat! Ha ha ha! Tapi wahai kekasihku! Kuharap kau jangan putus asa! Cari lagi, cari lagi, dan aku akan terus membantu. Sampai akhirnya kau mendapatkan tujuh lelaki yang punya tiga tahi lalat di bawah pusarnya!"

Mulut sebelah belakang menyambut! ucapan mulut sebelah depan tadi. "Wahai Luhjelita, menurut pengintaianku dalam masa seratus tahun mendatang kau masih akan tetap muda dan cantik. Mengapa kau begitu bernafsu mengejar ilmu. Bukankah kau mencari tujuh lelaki dengan tiga tahi lalat di bawah pusarnya itu sebenarnya ingin mendapatkan ilmu awet muda sepanjang jaman?"

Sepasang mata Luhjelita membesar. "Dari mana kau tahu aku tengah mencari ilmu awet muda?!" tanya si gadis.

"Hantu Muka Dua pandai menduga. Wahai! Dan setiap dugaanku biasanya tak pernah meleset!"

Luhjelita tersenyum lalu mencibir dan berkata. "Aku tidak akan mengiyakan atau menidakkan kebenaran dugaanmu itu wahai Hantu Muka Dua. Aku butuh bantuanmu. Siapa saja lagi yang harus kuselidiki…"

Wajah Hantu Muka Dua depan belakang tersenyum. "Sederet nama dan orang bisa kau selidiki. Mengapa kau tidak berusaha mencari lelaki bernama Lakasipo yang kini punya dua julukan. Bola Bola Iblis dan Hantu Kaki Batu. Tapi aku punya satu pesan. Jika kau menemui lelaki itu dan berhasil menyelidiki, apapun hasil penyelidikanmu aku minta kau membunuhnya! Paling tidak mengetahui kelemahan segala ilmu yang dimilikinya!"

Luhjelita menatap wajah sebelah depan Hantu Muka Dua lalu tersenyum, membuat Hantu Muka Dua tidak sanggup menahan diri dan angsurkan kepalanya hendak mengecup bibir si gadis. Wajah mereka hampir bersentuhan tapi jari tangan kanan Luhjelita telah lebih dulu ditempelkan di atas bibir lelaki Ku hingga tak kesampaian menyentuh bibirnya.

"Wahai Hantu Muka Dua. Turut apa yang aku dengar Hantu Santet Laknat telah turun tangan melakukan hal yang sama. Kabarnya dia telah menguasai otak dan jalan pikiran Latandai. Lalu pergunakan tangan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus untuk membunuh Lakasipo. Mengapa kau harus bersusah payah dan menyuruh aku melakukan hal itu?"

"Terus terang. Wahai! Aku tidak begitu percaya pada Hantu Santet Laknat. Nenek satu itu punya rencana terselubung. Kelihatannya dia ingin…"

"Wahai Hantu Muka Dua, aku tahu maksudmu! Kau takut Hantu Santet Laknat jatuh hati pada Lakasipo. Padahal bukankah nenek itu sejak lama jatuh hati padamu tapi kau seperti tidak pernah mengacuhkan?"

Mendengar kata-kata Luhjelita itu terjadi satu keanehan pada kepala Hantu Muka Dua. Kepalanya yang bermuka dua dan berupa wajah dua lelaki usia empat puluh tahun tiba-tiba berubah menjadi dua wajah orang tua yang air mukanya pucat putih karena terkejut. Dalam hati Hantu Muka Dua berkata,

"Dari mana perempuan satu ini tahu ihwal hubunganku dengan Hantu Santet Laknat…"

Keadaan dua muka Hantu Muka Dua seperti dua orang tua bermuka pucat hanya sesaat. Di lain kejap dua mukanya kembali seperti tadi yaitu wajah dua lelaki berusia sekitar empat puluh tahun, satu hitam satu putih.

"Luhjelita kekasihku! Wahai! Kalau kau sudah tahu tentang sikap Hantu Santet Laknat terhadapku, kuharap kau jangan menebar luas apa yang kau ketahui itu. Aku menyuruhmu membunuh Lakasipo karena aku punya firasat, dimasa mendatang dia akan menjadi seorang tokoh sangat berbahaya di kawasan Latanahsilam. Maukah kau menolongku wahai kekasihku?"

Luhjelita tersenyum membuat hati Hantu Muka Dua menjadi sejuk namun sesaat kemudian darahnya kembali menggelora. Mulutnya sebelah depan berbisik,

"Berbilang waktu telah berlalu. Berbilang lagi yang akan datang. Wahai! Kapan kita bisa bersenang-senang wahai Luhjelita?"

"Saatnya akan tiba, kau harus sabar menunggu…" kata Luhjelita setengah membujuk sambil memegang lengan Hantu Muka Dua. "Selain menyelidik Lakasipo, apa tidak ada orang lain yang menurutmu pantas aku selidiki keadaan dirinya?"

"Pernah kau mendengar seorang bernama Hantu Jatilandak?" tanya Hantu Muka Dua.

"Maksudmu makhluk menghebohkan yang tinggal di kawasan Hutan Lahitam kelam? Beberapa waktu yang lalu dia telah membantai serombongan orang yang kabarnya adalah kaki tangan Hantu Lumpur Hijau yang menguasai sebagian kawasan hutan."

"Betul. Kau selidiki dia. Siapa tahu dia memiliki tiga tahi lalat di bawah pusarnya. Tapi hati-hati wahai kekasihku. Hantu Jatilandak benar-benar makhluk biadab yang sanggup membantai siapa saja dengan Ilmunya yang aneh-aneh…"

Aku akan perhatikan ucapanmu wahai Hantu Muka Dua. Sekarang izinknn aku pergi…"

"Tidak sebelum aku boleh membelai dadamu dan mengecup bibirmu!" kata Hantu Muka Dua pula. Lalu dua tangannya cepat hendak merangkul.

Tapi lagi-lagi Luhjelita mendahului mendorong dada lelaki itu seraya berbisik. "Kalau kau mau bersabar sedikit lagi, kelak aku akan memberikan apa saja yang kau minta…"

"Sayang aku sudah tidak sabar menunggu lebih lama!" jawab Hantu Muka Dua pula.

Sementara dua mulutnya tertawa bergelak dua wajah di kepalanya mendadak berubah menjadi dua wajah anak muda yang sangat tampan. Perubahan ini menjadi pertanda bagi Luhjelita bahwa Hantu Muka Dua tengah mengalami puncak hasrat yang menggelora dan berusaha memikat dengan merubah dirinya sebagai pemuda gagah.

Bersamaan dengan terjadinya perubahan itu tiba-tiba cepat dua kaki Hantu Muka Dua bergerak ke depan dan tahu-tahu dua kaki itu telah menggelung pinggul dan pinggang Luhjelita lalu menariknya hingga hampir saja gadis itu jatuh menindih tubuh Hantu Muka Dua.

"Kau harus belajar punya kesabaran Hantu Muka Dua. Ini hadiah untuk kesabaranmu itu!"

Luhjelita pergunakan tangan kanannya mencubit perut Hantu Muka Dua hingga orang ini menjerit antara kesakitan dan kegelian. Bersamaan dengan itu Luhjelita gerakkan tubuhnya ke belakang hingga rangkulan dua kaki Hantu Muka Dua terlepas.

"Luhjelita tunggu!" berseru Hantu Muka Dua. "Wahai…!"

Tapi Luhjelita telah berkelebat meninggalkan Ruang Dua Belas Obor. Hantu Muka Dua terduduk di atas ranjang batu. Dua mulutnya beberapa lama keluarkan suara menggerendeng. Lalu mulut sebelah depan berucap perlahan.

"Luhjelita. Wahai! Jangan kau kira aku tak tahu apa sebenarnya yang tengah kau lakukan dan kau cari. Aku hanya pura-pura percaya bahwa kau tengah mencari ilmu awet muda. Tapi aku tahu sebenarnya kau tengah mencari satu ilmu kesaktian yang langka dan sangat hebat. Aku akan membantumu mendapatkan ilmu itu. Aku akan mengikuti saja apa maumu Luhjelita! Wahai kekasihku! Tapi begitu kau mendapatkannya aku akan merampasnya dari tanganmu! Ha ha ha…! Percuma aku dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"

Hantu Muka Dua usap perutnya yang merah akibat cubitan Luhjelita tadi. Lalu dia singkapkan pakaiannya di bagian bawah perut. Dia menyeringai memperhatikan tiga buah tahi lalat yang menebar berdekatan tepat di bawah pusarnya. Hantu Muka Dua bertepuk tiga kali.

Empat gadis cantik yang tadi meninggalkan ruangan itu kini muncul kembali. Melihat dua muka Hantu Muka Dua yang telah berubah menjadi wajah pemuda-pemuda tampan, mereka segera maklum. Hantu yang berjuluk Si Segala Nafsu ini ingin bersenang-senang.

"Empat gadis cantik! Wahai! Apa kalian siap melayaniku?"

Empat yang ditanya anggukkan kepala lalu tanpa menunggu lebih lama sama-sama menghambur ke atas tempat tidur batu.

********************

DUA

Bersebelahan dengan Ruang Dua Belas Obor terdapat sebuah ruangan batu redup suram serta bau. Hantu Muka Dua menyebut ruangan ini Ruang Obor Tunggal karena hanya diterangi sebuah obor kecil. Siapa saja yang memasuki atau melewati ruangan itu pertama kali pasti akan merasa heran. Perasaan heran ini kemudian akan segera berubah menjadi ngeri menggidikkan.

Di lantai ruangan yang lembab dan di sana-sini diselubungi lumut, terbaring enam sosok tubuh perempuan. Empat di antaranya sudah sangat tua, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Yang dua lagi masih muda, walau tubuh mereka kelihatan cukup segar namun wajah masing-masing pucat pasi seolah tak berdarah.

Enam sosok perempuan itu terbaring menelentang. Tiga dengan mata terpejam, tiga lagi menatap ke langit-langit ruangan dengan mata nyalang mombelalak dan sangat jarang berkedip. Kalau tidak diperhatikan benar sulit mengetahui apakah enam sosok perempuan itu masih bernafas atau tidak. Selain tidak bergerak, keenamnya terbaring dengan mulut menganga.

Dari langit-langit ruangan pada waktu-waktu tertentu menetes setitik air yang langsung jatuh dan masuk ke dalam mulut keenam perempuan itu. Empat perempuan tua telah puluhan tahun berada di ruangan itu. Dua yang masih muda baru sekitar dua belas kali bulan purnama. Keadaan mereka seolah mati tidak hidup pun tidak. Tetesan-tetesan air telah memanjangkan umur mereka dalam kesengsaraan itu.

Empat perempuan tua yang ada dalam Ruang Obor Tunggal itu dulunya pernah menjadi musuh besar Hantu Muka Dua sedang dua perempuan muda adalah gadis-gadis di sebuah pemukiman di selatan Latanahsilam yang diculik untuk dijadikan budak pemuas nafsu. Berkali-kali dua gadis itu berusaha melarikan diri dan berkali-kali pula mereka bermaksud membunuh Hantu Muka Dua namun selalu gagal.

Hantu Muka Dua akhirnya kehilangan kesabaran lalu menjebloskan keduanya ke Ruang Obor Tunggal. Kalau saja Hantu Muka Dua tidak mempunyai pantangan membunuh perempuan, sudah sejak lama keenam perempuan itu dihabisinya!

Di atas ranjang batu di Ruang Dua Belas Obor, Hantu Muka Dua terbujur mandi keringat. Saat itu dua wajah di kepalanya yang sebelumnya berupa wajah pemuda telah berubah kembali menjadi wajah lelaki separuh baya. Wajah sebelah depan putih sedang sebelah belakang hitam keling.

"Malam semakin larut. Wahai! Mengapa orang suruhan kita masih belum kembali!" Mulut sebelah depan Hantu Muka Dua berucap.

"Mungkin saja perempuan celaka itu benar-benar telah kabur melarikan diri sejak tadi-tadi!" Menyahuti mulut bermuka hitam.

"Wahai! Jika dia berani berkhianat pertanda akan bertambah satu lagi penghuni Ruang Obor Tunggal!"

"Aku sudah berkata sebaiknya berpuas-puas dulu dengan dirinya. Tapi kau malah memberinya tugas di luar goa."

Pada saat seperti itu Hantu Muka Dua seolah-olah berubah menjadi dua orang yang berlainan tetapi memiliki satu tubuh.

"Kau betul," kata mulut sebelah depan. "Kalau dia datang akan kurendam dia sampai pagi. Ha ha ha…!"

"Diam! Jangan tertawa! Aku mendengar langkah-langkah kaki melintas di Ruangan Obor Tunggal!" kata mulut sebelah belakang.

Tak lama kemudian muncullah seorang gadis berkulit hitam legam berwajah ayu. Rambutnya yang hitam panjang tergerai lepas sampai ke pinggul, berkilat-kilat dan menebar bau harum karena diberi semacam minyak wangi. Tubuhnya yang padat melenggok bagus ketika melangkah memasuki Ruang Dua Belas Obor.

"Luhtinti! Wahai!" Mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua berseru. "Apa yang kau lakukan sampai berlama-lama di luar sana!"

Belum sempat perempuan muda berdada busung itu menjawab, mulut di sebelah depan menyusul membentak. "Kau tengah mencari akal hendak melarikan diri Wahai! Apa benar begitu?! Wahai! Jawab!"

Perempuan yang dibentak tampak ketakutan. Lebih lebih ketika melihat dua muka di kepala Hantu Muka Dua mendadak berubah menjadi muka-muka mengerikan. Berupa dua wajah berkulit merah, dilebati kumis, janggut dan cambang bawuk. Hidung dan mulutnya membesar bengkak sedang dua matanya menggembung membeliak. Dari sela bibirnya mencuat sepasang taring. Keadaan dua wajah Hantu Muka Dua saat Itu tidak bedanya sepert iwajah-wajah raksasa yang menakutkan. Perubahan muka ini satu pertanda bahwa Hantu Muka Dua berada dalam keadaan marah.

"Wahai Hantu Muka Dua," gadis bernama Luhtinti cepat berkata. Suaranya gemetar. "Saya, saya tidak bermaksud melarikan diri. Saya melakukan apa yang diperintahkan. Wahai!"

Muka di sebelah belakang menyeringai lalu mendengus. "Kau sudah melakukan perintah! Wahai! Bagus! Sekarang katakan apa yang telah kau lihat di luar sana!"

"Wahai Hantu Muka Dua, sesuai perintah saya menatap ke langit. Saya melihat memang bulan purnama telah muncul menerangi kawasan Telaga Lasituhitam…"

Mulut sebelah muka Hantu Muka Dua menggeram panjang. Taring-taringnya menyembul mengerikan. Sepasang matanya yang memiliki bola mata berbentuk segi tiga hijau membersitkan cahaya menggidikkan. Mulut sebelah belakang berucap.

"Apa kataku! Wahai! Malam ini tepat tiga puluh hari Hantu Tangan Empat kau perintahkan pergi ke dunia luar. Malam ini adalah akhir dari waktu menjalankan perintah! Dan jahanam itu tidak muncul! Wahai tidak kembali! Aku tidak tahu bagaimana hasil urusannya ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang" Muka di sebelah belakang kelihatan bertambah merah.

"Jangan-jangan ada sesuatu terjadi dengannya! Wahai, bukankah aku biasa memberi peluang sampai tujuh hari sebagai tambahan?!" ujar mulut sebelah depan.

Dua mata di sebelah belakang memandang ke langit-langit ruangan, berputar tiada henti. "Aku punya firasat Hantu Tangan Empat telah gagal menjalankan tugas! Dia tidak bisa menemukan Batu Sakti Pembalik Waktu itu! Wahai! Aku yakin dia sudah berada di Negeri Latanahsilam! Tapi sembunyi karena wahai! Dia takut akan mendapat hajaran darimu!

"Wahai! aku menaruh percaya besar padanya! Jika dia berbuat macam-macam malah sembunyikan diri, laknat sengsara akan kujatuhkan atas dirinya!" kata mulut Hantu Muka Dua yang sebelah depan.

"Wahai Hantu Muka Dua," perempuan muda bertubuh bagus berkulit hitam manis berkata. "Jika kau terlalu lama menunggu saya mohon kiranya maafmu! Namun ada sesuatu yang saya lihat di langit malam di luar sana dan harus saya beritahukan padamu…"

"Heh…" Mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua bergumam. Sementara itu perlahan-lahan dua mukanya yang menyeramkan dan berwarna merah berubah kembali ke bentuk dua wajah lelaki usia empat puluhan.

"Katakan apa yang kau lihat! Tapi wahai! Luhtinti! Awas! Kalau kau berani mengarang cerita hanya sekedar membuat diriku senang! Kau tahu, kau lihat apa yang terjadi dengan enam orang perempuan di Ruang Obor Tunggal!"

Ruangan Obor Tunggal terletak di sebelah depan. setiap orang yang menuju atau keluar Ruang Dua Belas Obor harus melewati Ruang Obor Tunggal hingga dia pasti akanmelihat kengerian yang ada di Ruang Obor Tunggal itu.

Perempuan muda di depan tempat tidur batu menjadi pucat parasnya. Betapakan tidak. Dia tahu betul yang dimaksud Hantu Muka Dua dengan enam orang perempuan di Ruang Obor Tunggal ialah enam orang yang tengah menjalani siksaan mengerikan, dijadikan mayat hidup. Ke enamnya tergeletak menelentang di ruangan itu.

Tubuh kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Mulut menganga. Dari atas langit-langit ruangan pada saat-saat tertentu jatuh menetes setitik air, masuk ke dalam mulut keenam perempuan itu. Tetesan-tetesan air itulah yang memberi kehidupan, menyelamatkan nyawa mereka.

Beberapa di antara mereka ada yang telah belasan tahun berada dalam keadaan seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang sangat dlbenci oleh Hantu Muka Dua. Empat dari mereka adalah bekas musuh besarnya. Luhtinti sebenarnya tahu Hantu Muka Dua ingin membunuh mereka semua. Namun karena mempunyai pantangan membunuh perempuan maka terpaksa dia memperlakukan keenam perempuan tersebut seperti itu. Mati tidak hidup pun tak ada artinya, tersiksa sepanjang usia!

"Luhtinti! Lekas bilang apa yang katamu kau lihat di luar sana!"

Tiba-tiba mulut sebelah belakang membentak hingga semua orang yang ada di situ, termasuk empat gadis yang duduk bersimpuh di samping ranjang batu tersentak kaget dan ketakutan.

"Wahai Hantu Muka Dua," ujar Luhtinti. "Saya melihat sebuah benda putih berleher tinggi, bersayap lebar melayang berputar berulang kali di atas telaga…."

"Benda putih di atas telaga. Berleher tinggi. Wahai!" ujar mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua.

Mulut sebelah depan menimpali. "Bersayap lebar. Wahai! Terbang berputar berulang kali di atas telaga! Itu adalah seekor angsa putih raksasa! Luhtinti! Apa kau lihat ada seseorang menunggang benda putih bersayap lebar yang terbang berputar-putar di atas telaga itu?!"

"Memang ada saya lihat wahai Hantu Muka Dua. Seorang berpakaian serba putih. Pakaiannya begitu panjang hingga sesaat menjela ke bumi sesaat lagi melayang tinggi seolah menembus langit. Rambutnya yang hitam panjang berkibar-kibar ditiup angin. Saya juga seperti membaui sesuatu yang harum..."

Sepasang mata sebelah belakang Hantu Muka Dua menatap berputar-putar ke atas. Di sebelah depan sepasang mata lainnya mendongak tak berkedip. Lensa mata yang berbentuk segi tiga hijau kembali membersitkan sinar aneh. Lalu mulut depan dan mulut belakang sama-sama berucap.

"Peri Angsa Putih…!"

"Aku tidak takut!" Mulut belakang berteriak.

"Aku juga tidak takut!" berteriak mulut di sebelah depan.

Sesaat dua muka Hantu Muka Dua kembali berubah menjadi merah dan membentuk tampang-tampang raksasa. Empat taring mencuat. Namun sekali ini perubahan itu hanya sebentar. Begitu amarahnya turun, dua wajah Hantu Muka Dua berubah lagi menjadi wajah-wajah lelaki separuh baya. Hantu Muka Dua kepal dua tangannya.

"Peri satu Itu memang pernah mengancamku! Lihat saja apa yang bisa dilakukannya! Kalau dia sampai masuk ke dalam pelukanku! Hik hik hik! Wahai! Habis kukelupas sekujur tubuhnya dengan lidahku!"

"Taringku akan kutancapkan di bagian-bagian tubuhnya yang menonjol dan empuk!" kata mulut belakang pula lalu tertawa gelak-gelak.

"Luhtinti, aku tadinya berburuk sangka. Ternyata kau menjalankan perintah dengan baik. Wahai! Patut aku memberi hadiah kesenangan padamu!" kata Hantu Muka Dua.

Yang bicara adalah mulutnya sebelah depan Lalu makhluk aneh ini usap mukanya dengan tangan kanan. Saat itu juga muka Hantu Muka Dua sebelah depan berubah menjadi muka seorang pemuda tampan. Pemuda itu tersenyum dan lambaikan tangannya memberi isyarat agar mendekat.

Namun Luhtinti tidak segera bergerak. Sekalipun jelas dia melihat wajah sebelah depan Hantu Muka Dua telah berubah menjadi wajah seorang pemuda yang cakap. Walau matanya terpesona dan hatinya tertarik akan ketampanan dua wajah lelaki muda itu namun Luhtinti merasa bimbang.

Hal ini rupanya diketahui oleh Hantu Muka Dua. Maka mulut depan segera berkata. "Wahai Luhtinti, sekarang mendekatlah. Jangan biarkan darahku menggelora sampai muncrat dari ubun-ubun!" dua tangan Hantu Muka Dua terkembang seperti siap hendak merangkul.

Perlahan-lahan Luhtinti langkahkan kakinya ke depan. Begitu sosoknya sampai di muka tempat tidur batu, Hantu Muka Dua serta merta memeluk gadis berkulit hitam manis ini penuh nafsu. Ketika dia hendak merebahkan tubuh Luhtinti di atas tempat tidur batu tiba-tiba Ruang Dua Belas Obor terasa bergetar.

Dikejauhan terdengar suara menderu seperti ada air mencurah berkepanjangan. Hantu Muka Dua lepaskan pelukannya. Luhtinti dibaringkannya di atas tempat tidur batu lalu dia turun ke lantai.

"Wahai! Gerangan apa yang terjadi?!" bertanya mulut depan.

Getaran di ruangan itu semakin keras. Suara deru air mencurah terdengar semakin kencang. Lalu ada hawa panas yang perlahan-lahan seolah memanggang ruangan itu. Dinding dan langit-langit Ruang Dua Belas Obor berderik. Nyala api dua belas obor bergoyang-goyang padahal tak ada angin bertiup.

Empat perempuan cantik yang sejak tadi duduk bersimpuh di lantai tak dapat menahan rasa takut. Mereka bangkit berdiri, memandang pada Hantu Muka Dua lalu berpaling ke arah jalan keluar. Luhtinti sendiri saat itu telah turun pula dari atas tempat tidur batu, bergabung jadi satu kelompok dengan empat perempuan lainnya.

"Kalian semua tetap di sini! Jangan ada yang berani keluar! Aku akan menyelidik!" Mulut Hantu Muka Dua sebelah belakang berkata.

Lalu Hantu Muka Dua cepat berkelebat meninggalkan tempat itu. Lima orang perempuan yang berada dalam ketakutan mana mau tetap berada dalam ruangan yang semakin digoncang getaran dan semakin panas itu. Kelimanya berhamburan lari menuju jalan ke luar. Luhtinti di depan sekali.

TIGA

Hantu Muka Dua melompat ke atas sebuah gundukan batu di satu tempat ketinggian di sebelah timur Telaga Lasituhitam. Begitu dia melayangkan mata, memandang ke bawah tersentaklah makhluk bermuka dua ini. Dua mata di depan dan dua mata di belakang membeliak. Di samping rasa terkejut yang amat sangat, pada dua wajah Hantu Muka Dua jelas terlihat bayangan amarah.

Dua wajahnya berubah menjadi dua wajah orang tua bermuka pucat pasi. Sesaat kemudian wajah-wajah ini berubah pula menjadi dua muka raksasa berwarna merah menyeramkan. Bola-bola matanya yang berbentuk segitiga menyorotkan sinar hijau angker.

Saat itu terjadi sesuatu yang luar biasa di Telaga Lasituhitam. Di bawah penerangan rembulan, Hantu Muka Dua melihat pinggiran utara telaga yang sebelumnya dipagari batu-batu serta pohon-pohon besar kini seolah jebol. Batu-batu besar lenyap entah kemana sedang pohon-pohon bertumbangan malang melintang.

Sebuah celah selebar dua puluh tombak membentuk parit besar, menurun ke bawah. Melalui parit ini, air telaga hitam mengalir deras. Suara aliran air yang menderu keras inilah yang tadi terdengar dan membuat kawasan itu bergetar hebat sampai ke Ruang Dua Belas Obor di tempat kediaman Hantu Muka Dua yang terletak tepat di bawah telaga.

"Wahai!" Hantu Muka Dua keluarkan suara tertahan. "Apa yang terjadi?! Tidak ada gempa, tidak ada topan dan hujan! Mengapa batas telaga di arah utara jebol begitu rupa!"

"Sebentar lagi telaga ini pasti akan menjadi kering Wahai!" Mulut sebelah belakang Hantu Muka Dua ikut bicara.

Baru saja Hantu Muka Dua berucap seperti itu mendadak dari arah pinggiran telaga sebelah selatan terdengar suara menggemuruh. Hantu Muka Dua palingkan kepala. Serta merta dua mulut makhluk ini berteriak keras. Dua pasang matanya membuka lebar seperti mau memberojol keluar.

"Wahai! Apa Negeri ini mau kiamat!" seru mulut Hantu Muka Dua sebelah depan.

"Aku tidak bisa bertahan lama di sini! Sebentar lagi tempat celaka iniakan jadi neraka! Jahanam betul!"

Saat itu kalau di arah utara air hitam dari telaga mengalir deras hingga dalam waktu singkat Telaga Lasituhitam nyaris kering airnya, maka dari jurusan selatan menggemuruh cairan berbentuk lahar panas!

Sesekali ada lidah api mencuat ke udara disertai batu-batu besar berwarna merah menggelinding dan bersama-sama cairan lahar masuk ke dalam telaga. Telaga yang barusan terkuras airnya dan hampir kering kini digenangi dan dipenuhi cairan panas berwarna merah itu. Udara serta merta menjadi panas luar biasa.

"Lahar panasi Wahai! Dari mana datangnya?" teriak mulut Hantu Muka Dua sebelah depan.

"Lahar seperti itu hanya ada di kawah Gunung Latinggimeru!" menyahuti mulut sebelah belakang. "Pasti lahar ini datang dari sana! Tapi bagaimana hal ini bisa terjadi?!Wahai! Padahal Gunung Latinggimeru tidak meletus!"

"Lihat!" mulut Hantu Muka Dua sebelah depan berteriak seraya tangan kanannya menunjuk ke utara. "Batu-batu besar dan pohon-pohon raksasa di pinggiran telaga sebelah utara kembali muncul! Menutup lompat yang tadi jebol. Menahan cairan lahar!! Uhhh…! Panasnya tempat ini! Sebentar lagi Telaga Lasituhitam akan digenangi lahar merah mendidih! Di sini saja panasnya seperti di neraka! Apa lagi di tempat kediamanku yang terletak di bawah telaga!"

Saat itu sekujur tubuh Hantu Muka Dua basah oleh keringat akibat hawa panas luar biasa yang keluar dari dalam telaga. Makin tinggi cairan lahar mendidih, makin bertambah panasnya udara. Bisingnya deru lahar panas yang mencurah masuk ke dalam telaga tiba-tiba ditingkahi oleh suara menggemuruh dahsyat. Kawasan sekitar telaga bergetar hebat. Lahar panas di bagian tengah telaga menderu ke bawah, seolah memasuki sebuah lobang raksasa.

"Wahai!" teriak mulut Hantu Muka Dua depan belakang. Dua muka raksasanya langsung berubah menjadi dua muka kakek-kakek pucat pasi. "Dasar telaga amblas! Tempat kediamanku tertimbun lahar! Empat gadis itu! Wahai! Luhtinti! Wahai! Mati mereka semua!"

"Apa perduliku!" teriak mulut sebelah belakang. "Apa di negeri begini luas hanya ada Luhtinti dan empat gadis itu? Aku masih bisa mencari gadis-gadis cantik lainnya untuk mengumbar nafsu!"

"Kau betul!" menjawab mulut yang di depan. Lalu dua mulut itu tertawa gelak-gelak.

Sungguh luar biasa. Dalam kengerian mencekam begitu rupa Hantu Muka Dua masih bisa tertawa bergelak. Sudut mata Hantu Muka Dua melihat lima sosok tubuh bergerak mendekati tempat ketinggian itu. Melihat siapa yang datang Hantu Muka Dua pencongkan mulutnya. Mereka ternyata adalah Luhtinti dan empat gadis cantik.

"Mereka lolos! Tak jadi mampus mereka rupanya! Ha ha ha!" Mulut sebelah belakang berucap dan kembali tertawa.

Saat itu dalam keadaan pakaian tidak karuan dan tubuh basah oleh keringat dan dikotori tanah, Luhtinti dan empat gadis yang berhasil keluar selamatkan diri dari Ruang Oua Belas Obor, tersungkur jatuh di kaki batu. Dada mereka yang nyaris tidak tertutup bergerak turun naik sedang wajah masing-masing pucat keringatan. Seolah tidak perduli akan kehadiran lima gadis itu mulut Hantu Muka Dua sebelah depan berkata,

"Ini pasti ada yang punya pekerjaan! Hendak mencelakai diriku! Hendak membunuhku! Siapa bangsat haram jadahnya!"

Mulut sebelah belakang menjawab. "Aku tidak perlu bertanya, tak perlu menduga. Lihat ke langit, ke arah rembulan!"

Hantu Muka Dua dongakkan kepalanya sebelah depan, memandang ke langit. Benar saja, di arah bulan purnama tampak sebuah benda putih mengapung di udara. Benda ini adalah seekor angsa raksasa berwarna putih. Sayapnya bergerak-gerak perlahan tapi sosok tubuhnya tetap tidak bergerak, sengaja mengapung di udara.

Di atas punggung angsa raksasa bermata biru ini duduk seorang gadis berwajah cantik seolah bidadari. Pakaiannya berupa gulungan kain putih halus yang melambai-lambai di udara malam. Rambutnya panjang hitam, tergerai dalam tiupan angin. Bila diperhatikan dekat-dekat ternyata gadis ini memiliki sepasang bola mata berwarna biru.

"Peri Angsa Putih! Wahai! Jadi dia yang punya pekerjaan…" desis mulut Hantu Muka Dua sebelah depan. Sepuluh jari tangannya digerakkan hingga mengeluarkan suara berkeretatan. Lalu teriakan keras menggeledek dari mulutnya.

"Peri Angsa Putih! Wajahmu cantik! Tapi hatimu jahat! Wahai! Mengapa kau rubah Telaga Lasrtuhitam menjadi kawah panas mendidih! Padahal kau tahu Kediamanku berada di bawah telaga itu! Kau telah memusnahkan tempat kediamanku!"

Di atas punggung angsa putih, gadis cantik yang dipanggil dengan nama Peri Angsa Putih mengulum senyum. "Hantu Muka Dua! Berbilang hari berbilang minggu. Berbilang bulan berbilang tahun! Sudah berapa kali aku memberi peringatan padamu agar merubah diri dan jalan hidup! Agar merubah pekerti dan perbuatan! Tapi semua himbauan itu tidak kau dengarkan! Kau punya empat telinga! Tapi seolah tuli! Kau punya empat mata tapi seperti buta! Di usiamu yang sudah ratusan tahun ini kau masih saja berbuat Jahat. Menimbulkan bencana dan aniaya bagi orang-orang tak berdosa. Dengan kehebatan ilmumu kau memperalat orang lain untuk menimbulkan malapetaka! Setiap tarikan nafasmu kau selalu mengagulkan nama besarmu sebagai Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu! Para Dewa dan para Peri telah cukup sabar. Apa yang aku lakukan malam ini merupakan satu peringatan kecil bagimu! Aku telah melakukan atas perintah Peri Bunda, Simpul Agung Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan! Mereka tidak mau melihatmu berdiam di bawah Telaga Lasrtuhitam! Karena itu mereka memerintahkan Dewa Air untuk menguras air Telaga Lasituhitam. Lalu Dewa Gunung diperintahkan menimbun telaga dengan lahar mendidih! Para Dewa dan Peri tidak ingin melihatmu bercokol lebih lama di tempat ini. Pergi dari sini dan jangan berani kembali ke Negeri Latanahsilam. Jika di kemudian hari kau masih belum berubah diri, maka hukuman lebih berat akan dijatuhkan para Dewa dan para Peri atas dirimu!"

"Peri Angsa Putih!" teriak Hantu Muka Dua. Yang berteriak adalah mulutnya sebelah belakang. "Di malam bulan purnama seindah ini, tidak sangka kau tega-teganya menjatuhkan malapetaka atas diriku! Kau tidak sadar! Wahai! Perbuatanmu bukan saja merusak alam, tapi juga kau telah membunuh enam orang perempuan yang ada di bawah telaga! Kau bertanggung jawab atas kematian mereka!"

"Mereka berada di situ sebagai korban kebiadabanmu! Kalau mereka mati maka nyawa mereka adalah tanggung jawabmu! Enam nyawa akan jadi roh yang kelak akan gentayangan mencarimu!"

"Peri busuk! Pandainya kau memutar balik lidah dan ucapan!" teriak Hantu Muka Dua marah. Taring-taring di mulutnya mencuat menggidikkan. Kulit mukanya merahseperti saga dan matanya membelalang memancarkan sinar hijau. Tapi wajah yang marah beringas itu mendadak sontak berubah menjadi tenang, malah kini dihiasi senyum. Dan dua wajah Hantu Muka Dua berubah menjadi dua wajah pemuda gagah.

"Heh…" gumam Peri Angsa Putih dalam hati. "Tipu daya apa yang hendak dilancarkan makhluk terkutuk satu ini."

"Peri Angsa Putih, walau kau seorang Peri tapi aku percaya kau punya hati dan perasaan. Lebih dari itu kau punya kemauan dan hasrat…"

"Apa maksud ucapanmu Hantu Muka Dua?" tanya Peri Angsa Putih.

"Lihat dua wajahku! Pernahkah kau melihat pemuda segagah diriku saat ini?"

"Aku menilai seseorang tidak dari kegagahannya wahai Hantu Muka Dua…"

Hantu Muka Dua tersenyum. "Sebagai makhluk yang punya perasaan dan hasrat, maukah kau bercumbu denganku?"

Paras Peri Angsa Putih menjadi merah padam. Jika menurutkan amarahnya saat itu juga mau dia melabrak Hantu Muka Dua. Tapi dia sadar dalam menjalankan tugas dari Peri Bunda dia memiliki keterbatasan dalam berucap apalagi bertindak. Bukan saja menunjukkan kemarahan, tapi di atas sana Peri Angsa Putih hanya tersenyum mendengar ucapan Hantu Muka Dua itu.

"Nafsu telah membuat dirimu lebih bejat dari kutuk neraka. Nafsu terkutukmu telah menimbulkan malapetaka atas diri banyak perempuan. Yang terakhir perbuatan kejimu terhadap Luhsantini, istri Latandai. Tapi ketahuilah wahai Hantu Muka Dua. Kelak nafsu itu sendiri yang akan membakar dan menghancur leburkan dirimu! Aku akan pergi! Jika aku menyelidik ke sini lagi dan melihat kau kembali membangun tempat kediaman di kawasan ini, hukuman lebih hebat akan menjadi bagianmu Hantu Muka Dua!"

"Wahai! Kau tak akan pernah kembali ke sini Peri Angsa Putih!" teriak Hantu Muka Dua.

"Oh ya? Wahai! Mengapa bisa begitu?" tanya Peri Angsa Putih sambil menaikkan sepasang alisnya hingga wajahnya tampak tambah cantik.

"Karena aku mengambil keputusan membunuhmu liat Ini juga!" jawab Hantu Muka Dua.

DI atas batu yang dipijaknya Hantu Muka Dua lantakkan kepalanya. Bersamaan dengan itu dua larik sinar hijau berbentuk segi tiga berkelebat ke udara. Belum lagi dua kilatan cahaya itu menemui sasarannya, Hantu Muka Dua putar lehernya. Mukanya sebelah balakang didongakkan ke udara. Lalu...

"Set… Set!" Dua kilatan sinar hijau berbentuk segi tiga panjang keluar dari dua mata Hantu Muka Dua, menderu ganas kearah Peri Angsa Putih yang ada di ketinggian belasan tombak di udara!

"Dasar makhluk keji! Diberi pengampunan dan peringatan malah nekat menyerang! Sampai di mana ketinggian ilmumu wahai Hantu Muka Dua?!" berseru Peri Angsa Putih. Lalu dengan tangan kirinya ditepuk pinggul angsa putih yang ditungganginya seraya berkata. "Laeputih! Beri pelajaran pada makhluk tak tahu diri itu!"

Mendengar ucapan sang Peri, angsa putih bernama Laeputih keluarkan suara aneh. Lehernya memanjang lurus ke depan. Bersamaan dengan itu dua sayapnya dikepakkan. Dua gelombang angin sedahsyat topan menggemuruh ke bawah, menyongsong empat larik sinar hijau yang menyambar dari empat bola mata Hantu Muka Dua!

Hantu Muka Dua berteriak kaget. Lima gadis yang ada di dekatnya berpekikan. Pohon-pohon sekitar tempat itu keluarkan suara berderik lalu rubuh bertumbangan. Batu besar tempat tadi Hantu Muka Dua tegak berpijak hancur bertaburan. Lima gadis terpental dan terguling-guling di tanah. Di udara terdengar empat letusan dahsyat. Empal larik sinar hijau berubah menjadi serpihan menyala dan bertaburan kian kemari.

Beberapa serpihan melesat menyambar sayap angsa putih. Binatang raksasa itu keluarkan suara menguik panjang. Di beberapa bagian sayap bulu-bulu putihnya kelihatan rontok berjatuhan. Beberapa diantaranya tampak hangus kehitaman. Binatang yang mengapung di udara ini teroleng-oleng kian kemari.

Peri Angsa Putih menjerit marah. Dia menunjuk ke bawah! Angsa putih panjangkan lehernya. Dua sayap dikepakkan. Saat itu juga binatang raksasa itu menukik cepat ke arah tepian telaga sebelah timur. Di bawah sana sosok Hantu Muka Dua telah lenyap dalam kegelapan. Mata biasa termasuk mata Peri Angsa Putih sekalipun tak dapat menerobos kegelapan malam. Apalagi sekitar tepian telaga sebelah timur penuh ditumbuhi semak belukar dan pohon-pohon besar.

Namun mata Laeputih tak bisa ditipu. Binatang tunggangan Peri Angsa Putih ini walaupun dalam kelam masih sanggup melihat dari ketinggian puluhan tombak. Begitu melihat sosok Hantu Muka Dua yang berkelebat ka arah tenggara, Laeputih cepat mengejar. Namun sosoknya yang besar serta sayapnya yang panjang tidak memungkinkan angsa raksasa ini terbang rendah, melayang menerobos kerapatan pepohonan.

Tahu dirinya dikejar, Hantu Muka Dua percepat talinya dan sengaja memilih jalan yang gelap serta penuh pepohonan. Di satu tempat dia lari memutar maksudnya hendak menipu angsa pengejar. Tapi tak berhasil. Begitu sempat melihat bayangan sosok tubuh yang yang dikejarnya di bawah sana, Laeputih menukik lalu kuncupkan dua sayapnya.

Lima tombak dari sosok Hantu Muka Dua, Laeputih gerakkan kepala dan paruhnya. Sekali bergerak pinggang Hantu Muka Dua masuk ke dalam japitan paruhnya yang panjang. Begitu mulut dikatupkan tak ampun lagi tubuh Hantu Muka Dua pasti akan terkutung dua. Tapi justru saat itu Peri Angsa Putih keluarkan seruan tertahan.

"Laeputih! Benda apa yang kau jepitdi mulutmu?!"

Angsa putih keluarkan suara menguik panjang. Dalam penglihatan Peri Angsa Putih, benda yang digigit laeputih dalam mulutnya adalah batangan potongan kayu, bukan sosok Hantu Muka Dua.

"Lekas kau lepaskan batang kayu tak berguna itu Laeputih Kita harus mengejar Hantu Muka Dua. Jika terlambat bertindak pasti dia berhasil melarikan diri!"

Mendengar kata-kata Peri Angsa Putih kembali Laeputih keluarkan suara menguik pertanda dia sebenarnya tidak suka melakukan apa yang diperintahkan sang Peri namun tak berani membantah. Dari ketinggian tiga tombak Laeputih lepaskan benda yang digigit di paruhnya. Benda ini jatuh bergedebukan ditanah. Laeputih meneruskan terbang rendah dan berputar-putar. Namun sosok Hantu Muka Dua tidak kelihatan lagi.

"Wahai Laeputih! Kita kena dibodohi! Hantu Muka Dua berhasil melarikan diri!"

Laeputih menguik keras.

"Tak usah kecewa Laeputih," kata Peri cantik itu sambil usap leher tunggangannya. "Masih banyak waktu untuk menjatuhkan hukuman pada makhluk jahat itu. Putar terbangmu. Kita kembali saja, tapi terbang sekali lagi di atas telaga Lasituhitam…"

Laeputih tegakkan ekornya ke samping kiri. Angsa raksasa ini berputar di udara, kembali terbang ke arah telaga. Di bawah sana, dalam rimba belantara yang gelap, batang kayu yang tadi dilepaskan Laeputih dari gigitannya kelihatan bergerak. Jika lebih diperhatikan ternyata benda itu bukanlah batang kayu melainkan sosok Hantu Muka Dua. Sambil bergerak bangkit Hantu Muka Dua tertawa mengekeh.

"Peri Angsa Putih, ternyata aku si Hantu Segala Tipu masih bisa memperdayaimu! Ha ha ha! Lain saat kau akan menerima Segala Keji dan Segala Nafsu dariku!"

EMPAT

Matahari belum lama tersembul dipermukaan bumi. Lakasipo tegak terheran-heran di tepi timur Telaga Lasituhitam.

"Aneh… aneh… aneh!" katanya berulang-ulang.

"Apa yang aneh, Lakasipo?" tanya Pendekar 212 Wiro Sableng.

Saat itu bersama Naga Kuning dan Si Setan Ngompol dia berada dalam sebuah jaring akar kayu yang dilekatkan ke bahu kanan Lakasipo. Bukan saja mereka bisa menghirup udara segar serta luas pemandangan tapi yang lebih penting kini mereka bisa bicara dan didengar karena dekat telinga Lakasipo.

"Wahai tiga saudaraku! Apakah kalian tidak melihat keadaan air telaga itu? Ini telaga Lasituhitam. Dulu airnya berwarna hitam. Tapi hari ini kulihat telaga ini isinya adalah lahar mendidih!"

"Mungkin saja di bawah telaga ada kawah gunung api…" kata Setan Ngompol.

"Yang jelas pagi ini kita tak bisa mandi…" kata Lakasipo yang dijuluki Bola Bola Iblis alias Hantu Kaki Batu.

"Duk… duk… duk… dukkk!"

Setiap langkah yang dibuat Lakasipo mengeluarkan suara keras dan menggetarkan tanah. Sekali lagi Lakasipo perhatikan keadaan di sekitarnya. Dia melihat batu-batu di tepi telaga banyak yang hancur dan seolah terbungkus lapisan hijau aneh. Lalu pohon-pohon banyak yang bertumbangan. Selagi dia menduga-duga apa yang telah tarjadi tiba-tiba di sebelah sana kuda tunggangannya Laekakienam meringkik keras.

"Dukkk… duk… dukkk." Lakasipo melangkah mendekati kuda hitam berkaki enam itu. Ternyata binatang ini tengah menjilati sosok seorang gadis berkulit hitam manis berwajah ayu yang tergeletak pingsan di tanah. Di dekat situ masih ada empat gadis lainnya. Berada dalam keadaan sama seperti yang tengah dijilati Laekakienam.

"Wahai! Tambah lagi satu keanehan ditempat ini!" kata Lakasipo. "Lihat! Kudaku menemukan lima orang gadis cantik bergeletakan di tanah!"

"Sebenarnya aku sudah melihat dari tadi…" kata Naga Kuning pula.

"Lalu mengapa tidak kau beri tahu padaku?!" ujar Lakasipo.

"Soalnya siapa mau melewatkan pemandangan luar biasa seperti ini. Lima gadis cantik tergeletak di tanah. Dalam keadaan tubuh hampir tidak tertutup…" Berkata Setan Ngompol sampai tertawa cekikikan dan menahan kencing.

"Kau tua bangka gatal mata! Bagaimana kalau lima gadis itu sampai tidak keburu ditolong dan menemui ajal?!"

"Kami tahu lima gadis itu cuma pingsan," kata murid Sinto Gendeng.

"Wahai! Jelas kalian bertiga sudah bersekongkol rupanya!"

Lakasipo tak mau lagi bicara. Dia dekati gadis yang berkulit hitam manis dan tengah dijilati Laelakienam. Setelah memeriksa keadaan gadis ini Lakasipo berpindah pada empat gadis lainnya. Seperti yang dikatakan Wiro kelima gadis tak dikenal itu memang berada dalam keadaan pingsan.

"Turunkan kami, biar kami bisa ikut menolong!" kata Naga Kuning.

"Bocah tengil! Aku tahu yang ada di benakmu! Kau ingin melihat tubuh mereka lebih dekat. Kalau bisa mau meraba!" tukas Lakasipo.

Naga Kuning cuma bisa cemberut. Setan Ngompol tertawa lebar sedang Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Lalu Wiro berkata,

"Lakasipo, kalau kau mengerahkan tenaga dalam lalu memijat bagian-bagian tertentu tubuh mereka, lima gadis itu pasti akan lebih cepat siuman…"

Lakasipo tidak perdulikan ucapan Wiro. Dia sibuk mencari pohon berdaun lebar. Dengan daun-daun yang kemudian dirangkai-rangkainya satu sama lain dia menutupi bagian-bagian penting tubuh kelima gadis itu. Selesai melakukan itu baru Lakasipo berkata,

"Nah Wiro. Sekarang katakan bagian tubuh mana yang kupijat agar lima gadis cantik ini segera siuman…"

"Baiknya jangan kau beri tahu," bisik Naga Kuning. "Kalau dia berhasil menolong lima gadis itu, paling-paling dia yang bakal dapat puji sanjungan. Kita tetap begini saja!"

"Betul," ikut berbisik Setan Ngompol. "Biar kita saja yang melakukan."

"Kalian bocah dan kakek sama saja konyolnya!" ujar Wiro. Lalu pada Lakasipo dia memberi tahu agar lelaki Itu memijat urat besar di sebelah kiri atau kanan leher kelima gadis.

Setelah mengalirkan tenaga dalamnya ketubuh lima gadis itu, seperti yang dikatakan Wiro, Lakasipo lalu memijat urat besar di leher mereka. Satu persatu mereka sadarkan diri. Setelah memandang berkeliling, dengan terheran-heran mereka menatap Lakasipo.

"Orang gagah berkaki batu," kata gadis berkulit Hitam manis. "Bagaimana kami bisa berada di tempat ini, Kau siapa…?"

"Bagaimana kalian berada di tempat ini mana aku tau. Kalian berlima kutemukan tergeletak pingsan. Coba kalian ingat-ingat. Apa yang terjadi sebelumnya dengan kalian. Dan kau gadis hitam manis, siapa namamu."

"Aku Luhtinti. Malam tadi aku dan empat kerabat ini berada di Ruang Dua Belas Obor di bawah Telaga Lasituhitam…" Lalu Luhtinti menceritakan apa yang masih sempat diingatnya.

"Tidak bisa tidak, semua yang terjadi ini adalah kehendak Para Dewa dan Peri," kata Lakasipo begitu selesai mendengar penuturan Luhtinti.

"Orang berkaki batu, karena kau telah menolongku, aku menghatur banyak terima kasih..."

"Kami juga!" kata empat gadis berbarengan. Lalu salah satu dari mereka berkata, "Sebelumnya kami berada di bawah kekuasaan Hantu Muka Dua. Karena kini kami telah bebas dan kau sebagai tuan penolong, maka kami berempat menyerahkan diri padamu. Terserah kami mau dibawa kemana. Selain itu mohon sudi memberi tahu siapa adanya kau tuan penolong kami."

"Apa kubilang!" kata Naga Kuning sambil menepuk tangan Wiro. "Kita yang memberi tahu cara menolong. Lakasipo yang dapat untung! Empat gadis cantik menyerahkan diri sekaligus padanya! Kita satupun tidak kebagian! Kita dilupakan begitu saja!"

"Menolong dengan mengharap pamrih tidak ada gunanya. Lagi pula jika mereka menyerahkan diri padamu, apa yang bisa kau lakukan? Masuk ke dalam lobang hidungnya? Nongkrong di liang telinganya?!" sahut Pendekar 212. Membuat Naga Kuning dan juga Setan Ngompol terdiam.

"Namaku Lakasipo," kata Lakasipo menjawab pertanyaan Luhtinti tadi. "Luhtinti, jika benar kau dan empat gadis itu sebelumnya berada di tempat kediaman Hantu Muka Dua, kau tahu di mana orang itu kini berada sekarang?"

Luhtinti menggeleng. Gadis yang empat ikut-ikutan menggeleng. "Mungkin ada satu hal yang perlu kuberitahu," kata dara ayu berkulit hitam manis ini. "Sebelum terjadinya peristiwa hebat di telaga, aku diperintahkan Hantu Muka Dua untuk menyelidiki keadaan diluar kediamannya. Apakah bulan purnama muncul malam tadi atau tidak. Ternyata purnama penuh memang kelihatan di langit tadi malam…"

"Apa perlunya Hantu Muka Dua menyelidiki hal itu? Atau ada sesuatu bersangkut paut dengan bulan purnama?"

"Aku mendengar Hantu Muka Dua menyebut-nyebut Hantu Tangan Empat. Agaknya ada satu tugas yang diberikan pada Hantu Tangan Empat. Tapi Hantu Tangan Empat tidak pernah muncul menemui Hantu Muka Dua memberi tahu hasil tugasnya…"

"Mungkin Hantu Tangan Empat gagal menjalankan lugas," kata Lakasipo.

"Kelihatannya begitu…"

Wiro dan kawan-kawannya yang ada di dalam jaring dan sejak tadi sudah gatal untuk bicara segera berseru. "Lakasipo, tanyakan padanya apa dia tahu di mana Hantu Tangan Empat berada?"

Lakasipo tidak acuhkan permintaan Wiro. Baginya ada pertanyaan lain yang lebih penting. "Wahai Luhtinti, kau mungkin mendengar dan tahu, tugas apa yang harus dilakukan Hantu Tangan Empat?"

"Aku mendengar Hantu Muka Dua menyebut-nyebut sebuah benda bernama Batu Sakti Pembalik Waktu…"

Air muka Lakasipo berubah. Tapi yang paling terkejut adalah Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol.

"Lakasipo!" seru Wiro. "Kini tersingkap Hantu Muka Dua menugaskan Hantu Tangan Empat mencari Batu Sakti Pembalik Waktu. Itu sebabnya dia masuk ke alam kami, alam seribu dua ratus tahun di muka alammu yang sekarang. Kau sudah tahu dari kami Hantu Tangan Empat tidak berhasil mendapatkan batu sakti itu. Batu itu sebelumnya ada pada Setan Ngompol. Jatuh di satu tempat, pertama sekali kami bertiga muncul di Negeri Latanahsilam ini…"

"Itu sebabnya kami minta bantuanmu mencari batu itu. Kalau sampai jatuh ke tangan Hantu Tangan Empat apalagi Hantu Muka Dua, jangan harap kami bisa kembali ke dunia kami!"

"Lakasipo, untuk sementara lupakan dulu batu itu," kata Wiro. "Tanyakan pada gadis itu apa dia tahu di mana Hantu Tangan Empat berada."

Sementara itu sejak tadi Luhtinti dan empat gadis cantik terheran-heran melihat kelakuan Lakasipo. Mereka memperhatikan sambil sesekali memandang ke arah bahu kanannya, di mana Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol berada dalam sebuah jaring.

"Lakasipo, dari tadi kami lihat kau bicara seorang diri. Kau bicara dengan siapa sebenarnya?"

"Ya, jelas bukan dengan kami!" kata satu dari empat gadis cantik di samping Luhtinti. "Aku mendengar suara-suara aneh halus. Benda apa yang ada di atas bahumu, wahai Lakasipo?"

"Kalau kuterangkan kalian pasti sulit percaya. Luhtinti, apakah kau atau salah satu dari kalian tahu di mana beradanya Hantu Tangan Empat?"

Baru saja Lakasipo bertanya tiba-tiba di tanah bergerak satu bayang-bayang besar.

"Siapa yang bertanyakan perihal Hantu Tangan Empat?!"

LIMA

Semua orang yang ada di tepi telaga termasuk Wiro dan kawan-kawannya memandang ke langit. Diatas sana kelihatan seekor angsa putih besar terbang berputar-putar. Makin lama makin turun ke bawah lalu di satu tempat mengapung diam di udara. Diatas punggung angsa putih ini duduk seorang gadis cantik luar biasa berpakaian gulungan kain putih. Tubuhnya menebar bau harum.

Sementara Naga Kuning dan Setan Ngompol ternganga heran, Pendekar 212 Wiro Sableng tegak tertegun di atas bahu Lakasipo. Matanya menatap sosok gadis cantik di atas punggung angsa putih.

"Harum bau tubuh dan pakaiannya mengingatkan pada Bidadari Angin Timur…" kata Wiro dalam hati. "Kecantikan dan sepasang matanya yang biru mengingatkan aku pada Ratu Duyung. Ah, bagaimana sebenarnya perjalanan hidupku ini! Melihat semua keanehan gadis cantik di atas angsa terbang itu apa mungkin antara dirinya ada sangkut paut dengan Ratu Duyung? Mungkin, mustahil… Aku terbenam terlalu jauh dalam alam pikiranku. Mereka terpisah dalam jarak waktu seribu dua ratus tahun…"

"Apakah tak ada seorangpun yang mau menjawab pertanyaanku?" Gadis di atas angsa putih yang mengapung di udara kembali bertanya. Matanya yang biru Memandang tajam ke bawah. Dia menatap wajah dan sosok Lakasipo. Lalu dia juga melihat sesuatu yang tak bisa dipastikan benda apa adanya yang terletak di atas bahu Lakasipo.

Seperti tersadar dari sesuatu yang tidak diduga, Lakasipo cepat menjura lalu letakkan dua tangan yang dirapatkan di atas kepala. "Wahai Peri Angsa Putih, Peri Junjungan dan tercantik di tujuh lapisan langit. Mohon kau sudi menerima sembah hormat saya. Kehadiranmu sungguh tidak disangka-sangka. Itu sebabnya saya sampai lupa menjawab pertanyaan. Mohon maafmu wahai Peri Angsa Putih. Saya yang rendah ini bernama Lakasipo dari Negeri Latanahsilam. Adapun hal ihwal yang menyangkut Hantu Tangan Empat dipertanyakan karena ada tiga orang saudara saya membutuhkan pertolongannya."

Sepasang mata biru Peri Angsa Putih kembali menatap wajah dan sosok Lakasipo, lalu seperti tadi pandangannya beralih pada benda yang menempel di bahu kanan lelaki itu. Dalam hati sang Peri berkata. "Lakasipo, sudah lama aku mendengar nama dan riwayat hidupnya. Baru sekali ini aku melihat jelas keadaannya. Ternyata dia seorang lelaki berperawakan kekar, berwajah jantan dan gagah. Tidak heran ada kecemburuan terselubung di hati Hantu Muka Dua. Kalau sampai lelaki ini jatuh ke tangan si nenek Hantu Santet Laknat, heh… Aku melihat dua kaki itu. Walau mungkin menyengsarakan dirinya namun dia memiliki sesuatu yang luar biasa. Sangat disayangkan kalau lelaki segagah ini jatuh ke tangan Hantu Santet Laknat atau mungkin… Aku menyirap kabar seorang gadis sakti bernama Luhjelita menginginkan dirinya. Entah untuk maksud jahat atau maksud baik. Bisa saja Luhjelita berhasil memikat hatinya dibanding dengan Hantu Santet Laknat Mungkin aku perlu menemui Peri Bunda dan berterus terang padanya…"

Di dalam jaring di atas bahu Lakasipo, kakek Setan Ngompol berbisik pada Wiro dan Naga Kuning. "Hai, apakah kalian tidak melihat sejak tadi gadis cantik di atas angsa putih itu memperhatikan diriku?"

Naga Kuning tertawa cekikikan. Wiro tekapkan tangannya ke mulut menahan tawa.

"Tua bangka edan! Kalau sampai Peri itu jatuh cinta padamu, aku berani digantung kaki ke atas kepala ke bawah!"

"Aku berani disunat sekali lagi sampai habis!" kata Wiro pula.

Setan Ngompol tertawa cekikikan. "Kalaupun dia tidak suka padaku, apa kalian mengira Peri itu suka pada salah satu dari kalian? Huh!"

Di atas angsa putih Peri Angsa Putih hendak berkata. Tapi mendadak urungkan niatnya karena tiba-tiba matanya melihat ada sesosok tubuh berpakaian Jingga mendekam sembunyi di bawah sebatang pohon yang dikelilingi semak belukar lebat.

"Heh… Baru disebut sudah muncul. Ternyata dia memang benar-benar mencari Lakasipo. Luhjelita, gerangan apa maksudmu sebenarnya? Jika kau bermaksud baik mungkin kau akan mengecewakan diriku. Jika kau berniat jahat jelas-jelas itu tidak berkenan di hatiku…"

Di balik pohon besar yang dikelilingi semak belukar lebat dan terletak tak jauh dari Lakasipo berada memang mendekam sosok seorang gadis berkulit halus, berwajah cantik yang bukan lain adalah Luhjelita. Di sebelahnya mendekam pula sosok seekor kura-kura raksasa coklat bersayap yang selama ini menjadi tunggangannya.

Seperti dituturkan sebelumnya Hantu Muka Dua yang menganggap gadis itu sebagai kekasihnya telah memerintahkan Luhjelita mencari dan membunuh Lakasipo. Seperti Peri Angsa Putih, selama ini Luhjelita tidak pernah bertemu muka dan melihat jelas sosok dan wajah Lakasipo. Ternyata lelaki itu memiliki wajah gagah walau sepasang kakinya berbentuk aneh, terbungkus oleh bola-bola batu.

"Kalau dia segagah ini, apakah sampai hatiku membunuhnya…?" membatin Luhjelita. "Ah! Bagaimana ini!" Luhjelita garuk-garuk rambutnya berulang kali. Lalu dia memandang ke atas. "Heh… Peri Angsa Putih. Sepertinya dia telah tahu kehadiranku di tempat ini. Apakah aku harus terus bersembunyi atau langsung saja menghadang Lakasipo. Tapi membunuh lelaki itu sepertinya…"

"Lakasipo…" Tiba-tiba terdengar suara Peri Angsa Putih dari atas sana. "Setahuku kau dilahirkan sebagai anak tunggal. Bagaimana sekarang kau bisa berkata punya tiga orang saudara?"

"Panjang ceritanya wahai Peri Angsa Putih. Tapi jika kau sudi mendengarkan penuturan saya…"

Peri Angsa Putih gelengkan kepala. "Tidak sekarang wahai Lakasipo. Pertolongan apa yang dibutuhkan tiga saudaramu itu?"

"Mereka ingin kembali ke dunia mereka. Dunia seribu dua ratus tahun mendatang bagi kita. Jika itu tidak mungkin, mereka ingin agar diri mereka bisa dirubah menjadi sebesar manusia di negeri Latanahsilam ini…"

"Aneh kedengarannya. Saudaramu berasal dari dunia seribu dua ratus tahun setelah dunia kita. Lalu saudaramu ingin dirubah menjadi sebesar kita. Memangnya bagaimana keadaan diri mereka…?"

"Sulit bagi saya memberi tahu wahai Peri Angsa Putih kalau tidak menerangkan dari pangkal ceritanya…"

"Beberapa waktu lalu Peri Bunda pernah menceritakan tentang makhluk aneh sebesar jari kelingking yang entah bagaimana tahu-tahu berada di dunia kita. Merekakah yang dimaksudkan oleh Peri Bunda?"

"Saya yakin memang mereka wahai Peri Angsa Putih…"

Lakasipo lalu ambil jaring akar kayu yang menempel di bahu kanannya. Wiro, Naga Kuning dan setan Ngompol diletakkannya di telapak tangan kiri lalu diperlihatkannya pada Peri Angsa Putih.

Naga Kuning langsung menjura. Setan Ngompol terbungkuk-bungkuk tekap bagian bawah perutnya. Hanya Pendekar 212 Wiro Sableng yang tetap tegak sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.

Pari Angsa Putih tundukkan kepalanya, memantang ke bawah. "Heh… Tiga saudaramu memang aneh-aneh wahai Lakasipo. Ada yang sikapnya tengil, ada yang bau dan ada yang bersikap mau gagah sendiru…"

"Harap maafkan mereka wahai Peri Angsa Putih. Mareka berasal dari alam dunia yang berbeda dengan kita.”

"Jika keadaan dan sikap mereka seperti ini, aku khawatir Hantu Tangan Empat tak akan mau menolong mereka," kata Peri Angsa Putih pula.

Mendengar kata-kata sang Peri hampir terlompat ucapan dari mulut Wiro bahwa Hantu Tangan Empat Mati mau menolong. Karena waktu di alam dunia mereka, dia pernah menolong kakek itu. Tapi karena tadi dirinya sudah disindir sebagai seorang yang bersikap mau gagah sendiri, murid Sinto Gendeng akhirnya memutuskan diam saja.

"Perl Angsa Putih, menurut tiga saudaraku, dan setahuku sendiri, Hantu Tangan Empat selalu bersikap baik pada semua orang. Aku yakin kakek itu mau menolong tiga saudaraku. Kalau saja Peri mau menunjukkan di mana dia berada…"

"Aku tak mungkin memberitahu tanpa ijinnya…" kata Peri Angsa Putih pula.

"Lakasipo!" teriak Wiro. "Dari ucapan Peri Angsa Putih aku yakin dia tahu di mana Hantu Tangan Empat Itu berada. Kau harus memaksanya. Ini kesempatan satu-satunya bagi kami untuk bisa kembali ke dunia kami!"

"Peri Angsa Putih, saya harap kau mau bermurah hati menolong tiga saudaraku ini…"

"Maafkan aku wahai Lakasipo. Saat ini aku belum bisa menjanjikan apa-apa. Entah di kemudian hari…"

Wiro hentakkan kaki kanannya di atas telapak tangan Lakasipo. "Lakasipo! Katakan pada Peri itu, setahuku yang namanya Peri bersifat murah hati, penuh hasrat menolong. Peri yang satu ini Peri sungguhan atau apa…?"

"Aku tak berani memaksanya wahai saudaraku…"

"Kalau begitu biar aku yang bicara dengannya! Angkat diriku lebih ke atas…"

"Jaraknya terlalu jauh Wiro…"

"Kalau begitu minta dia turun lebih dekat ke sini," kata Wiro pula.

Tapi Lakasipo mana berani memerintah Peri Angsa Putih. Di atas punggung tunggangannya Peri Angsa Putih mendengar ucapan-ucapan Lakasipo. Dia menimbang-nimbang seketika lalu ketika dia siap hendak berucap tiba-tiba dari balik semak belukar melompat sosok tubuh seorang gadis berpakaian Jingga.

"Lakasipo! Kita belum pernah bertemu muka! Apakah diriku cukup layak menemuimu untuk membicarakan satu urusan sangat penting?"

"Dukk… dukkk!"

Lakasipo sampai tersurut dua langkah saking kagetnya. Sambaran angin orang yang barusan berkelebat bukan olah-olah kerasnya pertanda dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Memandang ke depan Lakasipo tercekat melihat seorang gadis berpakaian Jingga, berwajah cantik dan memiliki kulit putih mulus serta rambut digulung ke atas. Potongan tubuhnya yang padat elok membuat nafas Lakasipo seolah tertahan beberapa lamanya.

"Wahai gadis berpakaian Jingga. Siapakah engkau dan urusan sangat penting apa yang kau maksudkan?" bertanya Lakasipo.

Di atas sana paras Peri Angsa Putih langsung berubah ketika melihat siapa yang muncul. "Gadis genit tukang rayu itu! Akhirnya berani juga ia memunculkan diri mendahuluiku! Kalau Lakasipo sampai terpikat dia bisa celaka… Bagaimana aku memotong pembicaraan mereka dan memberi ingat lelaki itu."

"Lakasipo!" Peri Angsa Putih berseru. "Pembicaraan kita belum selesai. Harap kau tidak membuat urusan baru dulu!"

Di atas telapak tangan Lakasipo Pendekar 212 Wiro Sableng cepat membaca keadaan. "Heh… Peri Angsa Putih seolah merasa tersisih dengan kemunculan si cantik berpakaian Jingga ini. Mungkin juga ada rasa cemburu. Mungkin aku bisa pergunakan kesempatan agar dia tidak kehilangan muka!"

Habis berpikir begitu Wiro hentakkan kakinya ke telapak tangan Lakasipo lalu berteriak. "Lakasipo! Jika kau tidak perdulikan Peri di atas sana, jangan harap ada yang mampu menolong diriku dan kawan-kawan. Kalau sampai kami tidak tertolong karena ulahmu, jangan kira kami masih mau menganggap dirimu sebagai saudara!"

Diancam seperti itu Lakasipo jadi bingung. Sementara itu didepannya Luhjelita mulai merayu dengan melontarkan senyum-senyum memikat. Malah dengan beraninya sambil memegang lengan Lakasipo gadis ini berkata,

"Lakasipo, namaku Luhjelita. Aku datang untuk memberitahu kabar yang kusirap. Ada seseorang inginkan jiwamu…"

"Siapa?!" tanya Lakasipo.

"Tak bisa kukatakan di sini…"

"Jika kau bermaksud baik mengapa berahasia segala?!" sergah Lakasipo.

"Lakasipo!" Di atas sana Peri Angsa Putih berseru keras. "Jika kau tidak merasa perlu meneruskan pembicaraan denganku, aku siap pergi…"

Wiro kembali hentakkan kaki kanannya ke telapak tangan Lakasipo dan berteriak mengancam. "Lakasipo! Cukup kita bersaudara sampai di sini! Turunkan aku dan kawan-kawan ke tanah! Biar kami memilih jalan sendiri!"

"Wiro, tunggu…" Lakasipo memandang ke depan. "Luhjelita, saat ini aku…"

Gadis cantik di depan Lakasipo tersenyum manis lalu berkata. "Aku tidak akan mengganggumu. Aku tidak mau mengecewakan tiga makhluk aneh yang kau sebut saudaramu itu. Aku akan tinggalkan tempat ini. Tapi satu hari di muka, pada saat matahari terbit kutunggu dirimu di Goa Pualam Lamerah. Kau akan menyesal seumur-umur jika tidak menemuiku…"

Tanpa menunggu jawaban Lakasipo, Luhjelita segera putar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Sebelum berlalu dari tepi telaga dia melirik ke atas sana dan mengulum senyum penuh arti pada Peri Angsa Putih. Dalam hati gadis ini berkata,

"Peri Angsa Putih, dengan segala kecantikan dan kelebihan derajatmu jangan mengira kau bakal mendapatkan Lakasipo. Hatiku terlanjur jatuh padanya pada pandangan pertama…"

Luhjelita kembali ke balik semak belukar lebat di bawah pohon besar, langsung naik ke punggung kura-kura lalu melayang terbang dan lenyap di udara.

ENAM

Diatas punggung angsa putih, Peri Angsa Putih luruskan jari telunjuk tangan kanannya. Jari ini diarahkan pada telapak tangan Lakasipo di atas mana Wiro dan dua kawannya berada. Ketika jari tangan itu tergetar terjadilah satu hal yang luar biasa. Seperti tersedot tubuh Wiro melesat ke atas. Belum sempat sang pendekar sadar apa yang terjadi tahu-tahu dirinya sudah berada di atas telapak tangan kiri Peri Angsa Putih.

Untuk beberapa lamanya sepasang mata biru sang Peri menatap memperhatikan sosok Wiro yang hanya sebesar jari kelingking itu. Melihat keadaan Wiro sedekat dan sejelas itu, sikap Peri Angsa Putih yang semula tidak acuh kini jadi berubah.

"Wahai, rupanya orang ini masih muda belia. Rambutnya gondrong. Wajahnya cakap. Ternyata dia lebih gagah dari Lakasipo. Murah senyum. Kulitnya kuning bersih. Pandangan matanya lucu. Suka garuk-garuk kepala. Tubuhnya penuh otot Heh… ada guratan tiga angka di pertengahan dadanya. Lalu ada sebuah benda terselip di pinggang celananya. Pakaiannya walau dekil tapi bukan terbuat dari kulit kayu atau dedaunan seperti yang dimiliki orang-orang di Latanahsilam. Sikapnya seenaknya saja, malah agak kurang ajar. Terhadap diriku dia seolah menganggap sama rata saja. Tapi mengapa aku mulai tertarik padanya…?"

"Terima kasih, kau tadi telah menyelamatkan mukaku dari malu besar…" kata Peri Angsa Putih.

Hembusan nafasnya waktu bicara tadi membuat Wiro terpental hingga hampir jatuh terjungkal ke tanah. Sang Peri maklum kalau dia harus bicara perlahan di jarak sedekat itu.

"Sosok cebol, makhluk apa kau sebenarnya? Siapa dirimu? Apakah kau punya nama?"

Murid Eyang Sinto Gendeng menyeringai. "Kau boleh memanggil saya Si Cebol, Si Kontet atau Si Katai! Suka-sukamulah wahai Peri Angsa Putih…"

Peri cantik itu tertawa lebar mendengar kata-kata Pendekar 212. "Mendengar tutur bicaramu jelas kau bukan penduduk Latanahsilam, walau kau bicara coba meniru logat orang sini. Pakai wahai segala! Aneh terdengarnya. Apa benar kau berasal dari dunia seribu dua ratus tahun lebih tua dari dunia kami?"

"Saya dan kawan-kawan memang berasal dari dunia lain. Kami kesasar datang ke sini…"

"Bagaimana bisa kesasar?"

"Itu yang masih kami selidiki. Tapi saat ini yang kami inginkan adalah kembali ke dunia kami. Jika tidak mungkin, jika nasib kami harus tetap mendekam di negeri ini maka kami ingin agar sosok kami bisa dibuat sebesar sosok orang-orang yang ada di sini. Kalau tidak, bahaya akan selalu mengikuti kemana kami pergi."

"Katamu kau datang kesasar ke negeri ini. Berarti sulit mencari jalan pulang. Untuk memenuhi keinginanmu menjadi sebesar kami, siapa pula yang bisa melakukannya?"

"Hanya ada satu orang. Hantu Tangan Empat!" jawab Wiro.

"Mengapa kau begitu yakin kakek satu itu bisa menolongmu?" tanya Peri Angsa Putih.

"Kami pernah bertemu dengannya di Tanah Jawa…"

"Tanah Jawa? Di mana itu?" tanya Peri Angsa Putih.

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Negeri asal kami. Sulit bagaimana menerangkannya padamu. Waktu berada di Tanah Jawa, sosok Hantu Tangan Empat sama besarnya dengan sosok tubuh kami. Kalau dia berada di sini tentu sosoknya sama besar dengan orang-orang di sini. Berarti dia punya ilmu membesar dan mengecilkan tubuh…"

"Kau cerdik!" kata Peri Angsa Putih seperti memuji.

"Tidak, itu jalan pikiran wajar-wajar saja," jawab Wiro polos. "Peri Angsa Putih, melihat kepada wajahmu yang cantik dan tutur bicaramu yang sopan, saya tahu kau seorang Peri baik hati. Tetapi mengapa kau tidak mau menolong diriku mempertemukan dengan Hantu Tangan Empat?"

"Soalnya aku tidak tahu di mana dia berada."

Wiro tersenyum. "Tadi saya dengar kau berkata tidak mau membawa saya pada kakek itu tanpa ijinnya. Bagi saya berarti kau tahu di mana Hantu Tangan Empat berada. Malah saya menduga kau punya hubungan dekat dengan orang tua itu. Seingat saya Hantu Tangan Empat hidungnya mancung bagus. Hidungmu juga mancung bagus. Mungkin itu Embahmu atau…"

"Apa itu Embah?" tanya Peri AngsaPutih.

Wiro jadi garuk-garuk kepala lagi. "Maksud saya mungkin dia kakekmu…"

Peri Angsa Putih kembali tertawa. "Kalau aku tidak mau menolongmu, apa yang akan kau lakukan?"

"Ya, bagaimana ya? Tapi saya tidak percaya suara mulutmu sama dengan suara hatimu"

Peri Angsa Putih tersenyum. Makin banyak bicara dengan makhluk di atas telapak tangannya itu makin senang hatinya. "Makhluk cebol yang tak mau memberitahu nama…"

"Nama saya Wiro. Wiro Sableng!" ujar Wiro.

Peri Angsa Putih tertawa cekikikan. "Ada yang lucu wahai Peri Angsa Putih?"

"Kau tahu apa arti sableng di negeri Latanahsilam ini?" tanya Peri Angsa Putih.

Wiro menggeleng.

"Di Latanahsilam sableng artinya kencing kuda! Hik hik hik!" Sang Peri tertawa cekikikan.

"Sialan!" maki Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Masih bagus artinya cuma kencing kuda. Kalau anunya kuda…!"

Kembali Peri Angsa Putih tertawa cekikikan walau kali ini wajahnya kelihatan kemerahan.

"Lakasipo tak pernah memberi tahu," ujar Wiro pula. "Dia cuma memberi tahu kata totok yang artinya dada perempuan. Tapi tidak dijelaskan apa dada gadis yang masih montok bagus atau punyanya nenek-nenek yang sudah peot!"

Walau paras Peri Angsa Putih menjadi merah namun dia tak dapat menyembunyikan tawanya. "Baiklah makhluk aneh bernama Wiro Sableng. Aku berjanji akan mempertemukanmu dengan Hantu Tangan Empat. Mudah-mudahan dia bisa menolongmu. Kita berangkat sekarang…"

"Tunggu!" seru Wiro. "Yang perlu ditolong bukan cuma saya seorang. Tapi juga dua orang kawanku yang masih ada di atas telapak tangan Lakasipo itu…"

Peri Angsa Putih gelengkan kepala. "Wahai! Aku hanya bersedia menolong kau seorang. Perihal dua kawanmu itu biar mereka mencari pertolongan sendiri."

"Maafkan saya wahai Peri Angsa Putih. Kalau dua kawanku tidak ikut, lebih baik aku tidak pergi bersamamu. Lebih baik kami bertiga seumur-umur berada dalam keadaan seperti ini. Jika nasib baik mungkin satu ketika ada yang bisa menolong kami…"

Peri Angsa Putih tatap wajah Pendekar 212 sambil hatinya berkata. "Pemuda cebol ini ternyata berhati luhur. Setia kawan. Padahal tadi aku cuma ingin menyelami budi pekertinya yang sebenarnya. Ternyata dia benar-benar baik."

"Wiro, kau tak usah khawatir. Kalau kau ingin dua kawanmu turut serta tidak jadi masalah. Mereka biar saja ikut bersama Lakasipo. Kau ikut naik angsa bersamaku…"

"Terima kasih Peri Angsa Putih. Tapi mohon maafmu. Jika kau sudi, bawa saya dan dua kawanku sekalian. Kalau tidak biar Lakasipo yang membawa kami bertiga…"

Peri Angsa Putih kembali tatap wajah Wiro. Lalu senyum nampak menyeruak di wajahnya yang cantik. Jari tangannya diluruskan dan diarahkan ke bawah. Sosok Naga Kuning dan Setan Ngompol serta merta tersedot ke udara.

"Wahai Lakasipo, aku akan membawa tiga saudaramu ini ke satu tempat. Kau menyusul dengan kuda kaki enammu. Turuti arah matahari terbenam hingga akhirnya kau menemukan sebuah sungai bercabang dua. Berhenti di cabang sungai sampai kau mendapat petunjuk lebih lanjut. Tapi ada satu hal harus kau ingat wahai Lakasipo. Hindari pertemuan dengan Luhjelita di Goa Pualam Lamerah!"

Rupanya Peri Angsa Putih telah sempat mendengar ucapan Luhjelita tentang rencana pertemuan di satu goa bernama Pualam Lamerah.

"Saya... saya akan perhatikan apa yang kau katakan wahai Peri Angsa Putih," ujar Lakasipo pula.

Sesaat angsa putih dan penunggangnya lenyap di udara. Lakasipo segera melangkah ke tempat dia meninggalkan Laekakienam. Namun baru menindak dua langkah tiba-tiba lima gadis cantik menghadang langkahnya. Mereka ternyata adalah Luhtinti dan empat gadis yang berasal dari tempat kediaman Hantu Muka Dua. Lakasipo hampir lupa kalau mereka masih ada di situ.

"Lakasipo, aku ingin kau membawa aku serta…" kata Luhtinti.

"Kami berempat juga," kata salah satu dari empat gadis. "Kau telah menolong kami. Kini diri kami adalah milikmu. Bawa kami bersamamu!"

"Wahai! Walau kudaku besar tapi enam orang menungganginya sekaligus mana mungkin!" kata Lakasipo. Lalu dia pandangi empat gadis di depannya. "Kalian, bukankah penduduk sekitar sini? Sekarang kalian bebas. Sebaiknya pulang kembali ke tempat asal masing-masing…"

Empat gadis itu sama-sama terdiam. Akhirnya yang satu berkata. "Jika itu kehendakmu, kami menurut saja. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."

Bersama tiga kawannya gadis ini letakkan dua tangan di atas kepala lalu bersurut mundur dan tinggalkan tempat itu.

"Aku tak punya tempat kediaman, tak punya orang tua ataupun sanak saudara. Apakah kau akan menyuruhku pergi juga seperti mereka wahai Lakasipo?" bertanya Luhtinti, si gadis hitam manis.

"Luhtinti, mengadakan perjalanan bersamaku berarti menjatuhkan sebagian bahaya dan malapetaka atas dirimu. Aku tak mau…"

"Kalau tidak kau tolong, aku sudah lama mati di tempat ini wahai Lakasipo. Sekarang apa artinya bahaya atau malapetaka bagiku? Kematian pun jika menghadang akan kuhadapi…"

Lakasipo menarik nafas panjang. Akhirnya dipegangnya pinggul ramping Luhtinti lalu gadis hitam manis ini dinaikkannya ke atas kuda berkaki enam yang jadi tunggangannya.

TUJUH

Karena Goa Pualam Lamerah terletak di satu arah perjalanan yang menuju ke tempat pertemuan yang dikatakan Peri Angsa Putih maka Lakasipo alias Hantu Kaki Batu merasa tidak ada salahnya dia mampir ke goa itu guna menemui gadis cantik bernama Luhjelita.

Ada beberapa hal aneh yang ingin disingkapkan Lakasipo. Pertama mengapa Peri Angsa Putih melarangnya bertemu dengan Luhjelita. Ke dua, siapa Luhjelita sebenarnya dan apakah benar keterangan gadis itu bahwa ada seseorang ingin membunuhnya? Semakin keras terasa panggilan larangan Peri Angsa Putih sebaliknya bertambah kuat pula hasrat Lakasipo untuk menemui Luhjelita.

Saat itu sebenarnya Lakasipo ingin berada sendirian. Namun Luhtinti masih terus saja ikut bersamanya walau sudah didesak berulang kali agar gadis itu kembali ke tempat asal kediamannya atau diantar ke satu tempat. Kalau tidak karena kasihan rasanya mau Lakasipo meninggalkan gadis itu begitu saja di tengah jalan. Kini kehadirannya seolah menjadi beban bagi dirinya.

Beberapa saat setelah matahari terbit pagi itu, udara mendung menyungkup sepanjang perjalanan. Sebelum mencapai tujuannya hujan lebat turun. Karena ingin cepat-cepat sampai di Goa Pualam Lamerah, Lakasipo terus saja memacu kuda kaki enamnya. Di bawah hujan lebat yang mendera, dalam keadaan basah kuyup Lakasipo akhirnya memasuki satu daerah bebukitan penuh dengan batu-batu berwarna putih kelabu. Inilah kawasan bukit batu pualam di mana Goa Pualam Lamerah terletak.

Tidak sulit bagi Lakasipo mencari goa itu karena berada di puncak salah satu bebukitan dan dari kejauhan telah kelihatan batu-batunya yang berwarna merah. Lakasipo tinggalkan kuda kaki hitam enamnya di mulut goa lalu melompat turun. Sebelum masuk ke dalam goa batu merah itu dia mengelus leher kudanya seraya berbisik.

"Laekakienam, harap kau berjaga-jaga di tempat ini. Aku punya firasat kurang enak. Beri tahu aku jika terjadi sesuatu…"

Lakasipo berpaling pada Luhtinti yang masih berada di atas punggung Laekakienam. "Ayo turun. Ikut aku masuk ke dalam goa…"

"Wahai. Aku menunggu di sini saja…"

"Di bawah hujan lebat begini rupa?"

"Tak jadi apa," kata Luhtinti sambil menyibakkan rambutnya yang basah.

Lakasipo pandangi wajah gadis itu. Seolah baru Sadar dia melihat ternyata Luhtinti memiliki wajah cantik dan tubuh bagus. Memandang dari arah samping wajah Luhtinti mengingatkan Lakasipo pada wajah Luhsantini, istri Latandai alias Hantu Bara Kaliatus yang malang itu.

Sebelumnya perempuan itu bersikeras akan ikut kemana Lakasipo pergi. Setelah diberi peringatan, apa lagi keadaannya yang cidera di tangan kanan, dan setelah dijanjikan akan segera ditemui baru Luhsantini mau ditinggalkan di Latanahsilam.

Kuda hitam besar usap bahu Lakasipo dengan ujung lidahnya tanda mengerti apa yang barusan dikatakan Lakasipo.

"Luhtinti, kau dan Laekakienam tunggu di sini. Aku tak akan lama…"

Luhtinti anggukkan kepala. Namun dalam hati dia berkata. "Jika yang kau temui adalah seorang gadis bernama Luhjelita, kau tak akan bisa cepat-cepat meninggalkannya." Ingin Luhtinti memperingatkan lelaki itu agar berhati-hati. Namun entah mengapa ucapan itu tidak keluar dari mulutnya.

Lakasipo balikkan badan lalu melangkah masuk ke dalam goa."Dukk… duukkk… dukkkk". Kaki-kaki batu yang melangkah menimbulkan suara dan getaran keras di lantai goa. Setelah menempuh sebuah lorong sepanjang dua belas tombak dia sampai ke sebuah ruangan batu berwarna merah muda. Ruangan ini kosong melompong. Tak ada pintu tak ada perabotan. Ini adalah ujung buntu dari Goa Pualam Lamerah.

"Kosong, tak ada orang tak ada apapun. Jangan-jangan gadis itu menipuku. Atau mungkin ini satu jebakan? Atau bisa jadi dia belum sampai di tempat ini…" Pikir Lakasipo.

Dia dudukkan diri di lantai batu. Menunggu sesaat sambil mengeringkan rambut dan badannya yang basah. Setelah duduk cukup lama Lakasipo jadi kesal. Di luar goa tidak terdengar lagi suara menderu pertanda hujan telah reda. Lakasipo bangkit berdiri. Ketika dia hendak melangkah meninggalkan ruangan itu tiba-tiba di atasnya ada suara berdesir.

Memandang ke atas Lakasipo terkejut. Sebagian langit-langit batu dilihatnya bergerak turun. Langit-langit yang turun ini berbentuk sebuah tonggak empat persegi panjang setinggi dua tombak. Di atas tonggak batu ini tegak berdiri sosok gadis cantik berpakaian jingga.

Sebelumnya Lakasipo melihat rambutnya tergulung. Kini rambut gadis itu tergerai lepas menutupi bagian dadanya. Kalau saja rambut itu tidak menjulai di depan dada niscaya Lakasipo bisa melihat kelembutan dada yang membukit karena hanya ditutupi dedaunan aneka warna.

"Luhjelita…" desis Lakasipo.

"Wahai gembiranya hati ini. Ternyata kau masih ingat namaku dan sudi menyebutnya…" kata Luhjelita sambil lemparkan senyum dikulum.

Dia membuat gerakan dengan tangan kirinya. Tonggak batu tempat dia berdiri secara aneh secara perlahan-lahan bergerak miring ke kiri. Kini tonggak batu besar itu berubah seolah menjadi tempat ketiduran. Luhjelita duduk di salah satu ujungnya.

"Harap maafkan diriku wahai Lakasipo. Aku telah membuat dirimu bersusah payah, kehujanan dan basah kuyup untuk datang ke sini…"

Lakasipo balas tersenyum.

"Apakah kau datang seorang diri ke Goa Pualam Lamerah ini wahai Lakasipo?"

"Ada seorang gadis menunggu di luar goa bersama kuda hitamku…" jawab Lakasipo.

"Heh… Apakah dia itu seorang Peri atau seorang gadis berkulit hitam manis bernama Luhtinti?"

"Dia Luhtinti…"

"Mengapa kau membiarkannya saja sendirian di luar sana?"

"Aku sudah mengajaknya masuk tapi dia tidak mau..."

"Wahai! Mungkin dia tidak suka melihat diriku!" kata Luhjelita pula lalu tertawa berderai. Dalam hati Luhjelita berkata. "Luhtinti gadis cerdik. Wajahnya cantik. Sebelum dia menjadi sainganku lebih baik siapa dirinya kuberitahu pada Lakasipo."

"Luhjelita, waktu di tepi telaga kemarin kau mengatakan ada seseorang yang ingin membunuhku…"

"Hal itu memang akan kita bicarakan wahai Lakasipo. Duduklah di atas batu ini, di sampingku. Banyak yang akan kita bicarakan. Aku tak mau kau menjadi lelah karena berdiri terus-terusan…"

Lakasipo duduk di atas batu di sebelah Luhjelita. Tapi dia sengaja menjaga jarak, tidak terlalu dekat.

"Sebelum kujelaskan siapa yang ingin membunuhmu, terlebih dahulu perlu kuberitahu siapa adanya Luhtinti, gadis cantik yang berada di luar goa sana. Dia adalah gadis culikan Hantu Muka Dua yang kemudian dipelihara dan diberikan tugas sebagai mata-mata…"

"Mata-mata….? Mata-mata apa maksudmu wahai Luhjelita?"

"Apa kau tidak pernah menyirap kabar bahwa sejak lama Hantu Muka Dua memaklumkan diri sebagai Raja Di Raja segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini?"

"Memang pernah kudengar hal itu. Tapi kukira dia akan mendapat banyak tantangan. Tidak semua para Hantu suka dan mau tunduk padanya," kata Lakasipo.

"Benar. Namun jika ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kepandaian semua Hantu digabung jadi satu, apa daya mereka? Menantang berarti hancur. Luhtinti dijadikan mata-mata untuk menyirap kabar, menyelidik segala sesuatunya. Karena kabarnya Hantu Muka Dua telah membangun satu Istana Batu di mana dia akan bertahta sebagai Raja Di Raja Para Hantu Negeri Latanahsilam. Aku khawatir Luhtinti sengaja ikut denganmu dalam rangka tugasnya sebagai mata-mata Hantu Muka Dua."

Lakasipo terdiam. Dengan suara perlahan dia kemudian berkata."Gadis itu menunjukkan sikap sebagai sangat berhutang budi padaku. Aku menyelamatkannya di Telaga Lasituhitam. Dia seolah ingin memperhambakan diri padaku walau terus terang aku tidak suka…"

"Suka atau tidak suka jangan sampai kau tertipu. Kau tahu salah satu sifat Hantu Muka Dua adalah Segala Tipu. Hal itu pasti sudah diajarkannya pada gadis mata-mata itu."

Saat itu tiba-tiba di luar goa terdengar ringkikan Laekakienam. Lakasipo memandang ke arah lorong keluar. Ketika dia hendak berdiri Luhjelita memegang lengannya.

"Kudamu hanya meringkik karena kedinginan. Mengapa perlu kau risaukan wahai Lakasipo. Pembicaraan kita masih panjang. Apa mau diputus begitu saja? Bahkan aku masih belum memberi tahu siapa yang berniat jahat hendak membunuhmu…"

Mendengar kata-kata Luhjelita itu ditambah sentuhan jari-jari tangan halus dan hangat di lengannya membuat Lakasipo yang hendak berdiri kembali duduk di batu panjang. Luhjelita menggeser duduknya lebih dekat. Tangannya masih memegangi lengan Lakasipo.

"Tidakkah kau merasa dingin Lakasipo?" tanya Luhjelita. Hembusan nafasnya menghangati wajah lelaki itu.

"Aku habis kehujanan. Memang terasa dingin. Tapi sedikit. Tak jadi apa…"

"Jika kau kedinginan dan perutmu terasa lapar, kebetulan aku membawa dua bungkus kecil wajik ketan. Gurih dan manis…" Luhjelita lalu keluarkan dua bungkusan kecildaun pisang dan diperlihatkannya pada Lakasipo. "Ambillah. Kau satu aku satu…"

"Terima kasih wahai Luhjelita. Aku tidak lapar…"

Luhjelita tersenyum. Dua bungkus wajik itu disimpannya kembali.

"Kapan kau akan menceritakan siapa yang ingin membunuhku?" tanya Lakasipo.

"Ohh… soal itu! Pasti akan kuceritakan. Sekarang juga!" Jawab Luhjelita seraya tertawa lebar dan dengan manja letakkan kepalanya di bahu Lakasipo. "Kau kenal nama Hantu Santet Laknat bukan?"

Lakasipo mengangguk.

"Kau juga kenal seorang bernama Latandai yang kemudian dijuluki Hantu Bara Kaliatus?"

"Ya, aku kenal. Lebih dari kenal…" jawab Lakasipo.

"Hantu Bara Kaliatus adalah murid Hantu Santet Laknat. Dia telah mendapatkan satu ilmu kesaktian dahsyat bernama Bara Setan Penghancur Jagat. Itu saja sudah jadi malapetaka bagi Negeri Latahasilam! Tapi yang sangat berbahaya ialah bahwa Hantu Santet Laknat telah mencuci otak lelaki itu. Menjadikannya budak kekuasaannya dan akan melakukan apa saja yang diperintahkannya. Salah satu perintah si nenek Hantu Santet Laknat adalah membunuhmu!"

Berubahlah air muka Lakasipo mendengar keterangan Luhjelita itu. "Aku pernah bertempur melawan Hantu Bara Kaliatus ketika dia hendak membunuh Luhsantini istrinya sendiri. Peri Bunda turun tangan hingga lelaki itu menerima hukuman mengerikan. Dia lenyap entah kemana. Tapi aku tidak pernah mengira kalau Hantu Santet Laknat juga memberi perintah padanya untuk membunuhku!"

"Antara kau dan Hantu Santet Laknat pasti ada satu silang sengketa besar. Coba kau ingat-ingat…"

Lakasipo pandangi wajah cantik jelita di sampingnya. Yang dipandangi membalas dengan senyum mesra dan kembali letakkan kepalanya di bahu Lakasipo. Sesaat Lakasipo elus-elus kepala gadis itu. Lalu berkata,

"Kemungkinan Hantu Santet Laknat merasa khawatir aku akan membalas dendam. Karena keadaan dua kakiku sampai ditimbun bola-bola batu begini rupa adalah akibat pekerjaan santetnya. Seorang pemuda keji bernama Lahopeng telah membayarnya agar aku disantet begini rupa. Yang lebih terkutuk Hantu Santet Laknat memperalat roh istriku untuk mencelakai diriku!"

Baca serial Wiro Sableng berjudul Bola Bola Iblis

Waktu berkata-kata itu dada Lakasipo tampak turun naik pertanda darahnya dibakar oleh dendam kesumat. Lama Luhjelita terdiam. Tidak disangkanya Lakasipo mempunyai riwayat hidup yang begitu hebat tetapi juga menyedihkan. Sebelumnya Luhjelita hanya mendengar sedikit saja dari riwayat Lakasipo. Rasa hiba muncul di hati gadis ini. Semakin jauh dia dari maksud semula yang diperintahkan Hantu Muka Dua yaitu membunuh Lakasipo!

"Aku yakin dugaanmu tidak meleset. Pasti Hantu Santet Laknat memperalat Latandai alias Hantu Bara Kaliatus untuk membunuhmu sebelum kau melakukan pembalasan…" kata Luhjelita pula.

"Wahai Luhjelita, hanya itu semuakah yang hendak kau sampaikan padaku?" bertanya Lakasipo setelah ke duanya sama berdiam diri beberapa lamanya.

"Masih ada satu hal lagi. Ini yang paling penting. Hantu Muka Dua juga ingin membunuhmu…"

Lakasipo sampai bangkit tertegak mendengar kata-kata Luhjelita itu. Sepasang mata mereka saling bertatapan. Kalau Lakasipo memandang dengan perasaan kaget penuh tanda tanya sebaliknya Luhjelita menatapnya dengan senyum dan segala kemesraan.

"Wahai Luhjelita, bagaimana… dari mana kau tahu Hantu Muka Dua inginkan jiwaku?!"

Pertanyaan Lakasipo yang tiba-tiba ini membuat Luhjelita tak segera bisa menjawab. Tentu saja tak mungkin baginya mengatakan bagaimana hubungannya selama ini dengan Hantu Muka Dua. Walau Hantu Muka Dua menganggapnya sebagai kekasih padahal sebenarnya dia tidak menyukai orang itu, mungkin saja perasaan curiga dan tidak enak akan muncul di hati Lakasipo terhadapnya. Karenanya Luhjelita mencari akal dalam memberikan jawaban.

"Gadis yang datang bersamamu itu, seperti kataku dia adalah mata-mata Hantu Muka Dua. Dia pasti tahu lebih banyak dariku… Mengapa tidak kau tanyakan padanya?"

"Heh… Begitu? Akan kutanyakan sekarang Juga!" kata Lakasipo.

Luhjelita cepat lingkarkan dua tangannya di pinggang Lakasipo. "Jangan kesusu wahai Lakasipo. Tenangkan sedikit hatimu. Jika kau bertanya seperti memaksa mungkin kau tidak akan mendapat jawaban yang kau inginkan. Sekarang, apakah kau masih tidak lapar?"

Luhjelita lalu keluarkan kembali dua buah wajik yang dibungkus daun pisang. "Aku perempuan, perutku kecil. Kau ambil wajik yang besar."

Lakasipo tersenyum. "Kau gadis baik. Kau telah memberitahu sesuatu yang sangat berharga, yang bisa membuat aku berlaku hati-hati. Aku tak tahu bagaimana membalas semua budimu…"

Luhjelita tertawa merdu. Dia rangkul pinggang Lakasipo erat-erat lalu tempelkan kepalanya ke perut lelaki itu. Di luar sana kembali terdengar suara ringkikan Laekakienam. Membuat Lakasipo lagi-lagi palingkan kepala. Lalu terdengar suara benda hancur.

"Hatiku tidak enak. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan kudaku…"

"Lakasipo, ambillah wajik yang besar ini. Kau ingin aku membuka bungkus daun pisangnya?" kata Luhjelita seolah tidak mendengar ucapan Lakasipo tadi.

"Biar kubuka sendiri," kata Lakasipo akhirnya sambil mengambil wajik yang diberikan si gadis. Keduanya duduk berdampingan di atas batu besar. Hanya sesaat setelah menelan habis wajik itu Lakasipo berkata,

"Wajikmu enak. Tapi mengapa tubuhku mendadak merasa letih dan kepalaku jadi berat. Mataku seperti mengantuk…"

Luhjelita merangkul tubuh Lakasipo. "Kau kecapaian wahai Lakasipo. Banyak pekerjaan berat yang telah kau lakukan. Kau perlu istirahat. Kalau kau suka kau boleh tidur di atas batu ini. Mari kutolong kau berbaring."

Perlahan-lahan Luhjelita baringkan tubuh Lakasipo di atas batu besar. Gadis ini ikut membaringkan dirinya di samping lelaki itu. Luhjelita gerakkan tangan kirinya. Batu besar keluarkan suara berdesir lalu bergerak naik ke atas langit-langit ruangan.

********************

DELAPAN

Pendekar 212 Wiro Sableng dan Naga Kuning gamang ketakutan setengah mati dibawa terbang angsa putih. Si Setan Ngompol tergeletak pucat seperti mau pingsan. Dari bawah perutnya terus-menerus mengucur air kencing. Saat itu ketiganya berada dalam gulungan kain putih tipis di pinggang Peri Angsa Putih. Ketiganya tak berani memandang kebawah padahal pemandangan dari ketinggian seperti itu indah sekali.

"Mau dibawa kemana kita ini…" Setan Ngompol tiba-tiba bersuara.

"Diam sajalah…" menyahuti Naga Kuning. "Bukankah kau ingin buru-buru kembali ke Tanah Jawa? Peri yang membawa kita berniat hendak menolong kau masih saja banyak tanya!"

Terbang membumbung tinggi di udara beberapa lamanya Laeputih akhirnya turun merendah. Mereka melewati beberapa gugusan bukit-bukit yang tertutup hutan lebat, melayang di atas sebuah sungai besar lalu turun di lamping satu bukit batu terjal di atas mana terdapat lima buah air terjun. Dari lamping batu itu ada satu tangga menuju ke bawah.

Peri Angsa Putih periksa gulungan pakaian di pinggangnya. Wiro dan kawan-kawannya tampak terbujur tak bergerak entah pingsan entah tertidur. Peri Angsa Putih melompat turun dari tunggangannya lalu dengan cepat menuruni tangga batu. Di satu tempat di bawah air terjun di ujung kiri dia berhenti dan memandang berkeliling.

"Bertahun-tahun aku tak pernah ke sini. Memang tak ada perubahan. Tapi apakah aku berada pada air terjun yang benar?" Peri Angsa Putih berkata dalam hati sambil memandang berkeliling. Deru air terjun membuat terbangun Wiro dan dua kawannya.

"Astaga! Berada di mana kita ini!" seru Naga Kuning sementara Setan Ngompol terdiam cemas menahan kencing. Wiro memperhatikan sekelilingnya lalu memandang ke atas.

"Air terjun! Kita berada di bawah air terjun raksasa! Di sebelah sana kulihat ada beberapa air terjun lagi. Apakah ini daerah tempat kediaman Hantu Tangan Empat?"

Pandangan Peri Angsa Putih membentur sebuah tonjolan di lamping batu. "Tonjolan batu itu. Kuharap aku tidak salah."

Gadis bermata biru melangkah mendekati dinding batu. Dengan tangan kanannya yang disertai pengerahan tenaga dalam gadis ini tekan kuat-kuat tonjolan batu itu. Sesaat menunggu terdengar suara benda berat bergeser. Lalu terlihat salah satu bagian dari dinding batu di bawah air terjun kelima di ujung kiri bergeser membentuk sebuah lobang empat persegi seukuran tinggi dan besar sosok manusia.

Selagi Wiro dan kawan-kawannya keheranan melihat apa yang terjadi, Peri Angsa Putih dengan cepat menyelinap masuk ke dalam lobang di dinding batu. Begitu dia berada di sebelah dalam, dinding batu yang tadi bergeser bergerak kembali menutup lobang. Keadaan di tempat itu serta merta menjadi gelap gulita. Tangan di depan matapun tidak kelihatan.

Setan Ngompol tak berani membuka mulut. Tapi kencingnya muncrat terus-terusan.

"Wiro…" terdengar Naga Kuning berbisik. "Bukankah kau memiliki ilmu yang disebut Menembus Pandang. Coba kau pergunakan untuk melihat di mana kita berada. Siapa tahu kau bisa melihat sosok Hantu Tangan Empat yang kita cari…"

"Tak ada gunanya. Sebelumnya waktu mencari Batu Sakti Pembalik Waktu aku pernah pergunakan ilmu itu. Tapi Negeri Latanahsilam ini seolah mempunyai daya tolak aneh hingga aku tak mampu mempergunakan ilmu tembus pandang itu. Atau mungkin keadaan tubuhku yang begini kecil tidak memungkinkan aku mempergunakan kesaktian itu. Kita berharap yang terbaik sajalah sobatku. Aku tidak yakin Peri Angsa Putih mendustai kita…"

"Aku tak berani menduga. Semakin cantik gadis di Negeri Latanahsilamini semakin banyak urusan yang kita hadapi…" kata Naga Kuning pula.

Dalam gelap Peri Angsa Putih berjalan setengah berlari. Makin jauh jarak yang ditempuhnya makin terang keadaan di sekitarnya. Sementara itu di atas terdengar suara seperti ada air yang mengalir terus menerus.

"Kau dengar suara itu?" bisik Naga Kuning.

"Ya, seperti suara aliran air. Kukira ada sungai besar di atas kita…" jawab Wiro.

Ketika keadaan menjadi terang benderang Wiro dan kawan-kawannya dapatkan mereka berada di sebuah bukit ditumbuhi rumput berwarna aneh. Rumput yang biasanya hijau, di sini berwarna biru! Peri Angsa Putih berlari cepat menuju puncak bukit di mana terdapat satu bangunan berbentuk gapura besar.

Pada kiri kanan gapura ada patung lelaki bermuka raksasa yang pada bahunya mendukung seorang perempuan berwajah cantik. Bagi Wiro dan kawan-kawannya patung yang sangat tinggi itu seperti hendak menyapu langit.

Di kejauhan terdengar suara tiupan seruling. Demikian kerasnya bagi Wiro dan kawan-kawannya, hingga telinga mereka menjadi sakit dan terpaksa harus cepat-cepat menekap telinga masing-masing.

Ternyata Peri Angsa Putih berlari ke arah orang yang meniup seruling. Orang ini kelihatannya seperti duduk bersila di atas sebuah batu rata, tetapi jika diperhatikan kenyataannya sosoknya mengapung setinggi setengah jengkal dari atas batu tersebut. Dia meniup suling sambil pejamkan mata seolah benar-benar menikmati permainannya.

Melihat wajah dan sosok orang yang meniup suling, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol menjadi kaget tapi sama berseru kaget.

"Hantu Tangan Empat!"

Yang duduk mengapung di atas batu itu adalah seorang tua berambut, berkumis dan berjenggot putih riap-riapan. Kening, hidung, pipi dan mulut serta dagunya sama rata. Pakaiannya kulit kayu yang dikeringkan. Orang tua berwajah aneh inilah yang dulu pernah ditemui Wiro di Tanah Jawa.

Setan Ngompol dekati Wiro sambil menahan kencing. "Wiro, ketika berada di Jawa dulu aku ingat betul. Kehadirannya dari alam seribu dua ratus tahun lalu adalah untuk membunuh kita! Tapi hal itu urung dilakukannya. Sekarang dia berada di negerinya sendiri. Bukankah mudah saja baginya sekarang menghabiskan kita?!"

Wiro terdiam sesaat mendengar ucapan si kakek. "Bahaya bisa mengancam dari segala penjuru, secara tidak terduga," kata murid Sinto Gendeng pula. "Tapi aku percaya pada Peri Angsa Putih. Kalau dia tidak bermaksud menolong kita apa perlunya dia membawa kita jauh-jauh ke sini…"

"Jangan kau lekas percaya, Pendekar 212. Kalau Peri Angsa Putih membawa kita ke sini justru hendak menyerahkan kita pada Hantu Tangan Empat, bukankah berarti celaka bagi kita semua?"

Hati Pendekar 212 jadi tidak enak mendengar kata-kata Setan Ngompol itu. Memang kalau dipikirnya bukan mustahil hal seperti itu bisa saja terjadi. Namun ketika pandangan matanya membentur gambar ular naga kuning yang ada di dada Naga Kuning maka dia menjawab tenang.

"Sewaktu di Tanah Jawa dulu kakek itu takut setengah mati dan tunduk pada Naga Kuning karena naga siluman yang keluar dari badannya. Kita bisa andalkan ilmu kepandaian anak ini untuk menghadapi Hantu Tangan Empat jika dia memang nanti berniat jahat hendak membunuh kita."

Peri Angsa Putih berdiri tak bergerak di hadapan orang tua yang asyik meniup suling itu. Dia tidak berani mengganggu keasyikan orang maka dia berdiri saja menunggu sampai si kakek selesai meniup sulingnya. Hal itu diketahui oleh Wiro dan kawan-kawannya. Mungkin mereka terpaksa menunggu agak lama. Tapi cepat atau lambat akhirnya kakek itu pasti akan menyudahi permainannya.

Ternyata Hantu Tangan Empat baru menghentikan tiupan sulingnya hampir tengah hari. Padahal Peri Angsa Putih menunggu sejak pagil Dalam keadaan mata masih terpejam orang tua ini selipkan sulingnya di pinggang pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu.

Peri Angsa Putih jatuhkan diri berlutut. Melihat sikap gadis ini Wiro merasa heran. Kedudukan seorang peri bagaimanapun juga adalah jauh lebih tinggi dari seorang manusia seperti si kakek sekalipun punya nama besar dan disebut Hantu Tangan Empat. Lalu mengapa si gadis jatuhkan diri seolah sangat menghormat orang tua itu?

"Wahai kakek yang kusebut dengan nama Hantu Tangan Empat, jika kau telah selesai meniup suling, berkenan kiranya menerima kedatanganku. Aku Peri Angsa Putih."

Sepasang mata si kakek yang duduk mengapung di atas batu perlahan-lahan terbuka. Begitu dia melihat siapa yang berlutut di hadapannya, senyum menyeruak diwajahnya yang rata. Lalu dia berbatuk-batuk beberapa kali.

"Cucuku Peri Angsa Putih! Wahai! Belasan tahun kau tak pernah muncul. Ternyata kau semakin cantik saja. Dan syukur kau tidak tersesat sampai di tempat ini!" Si kakek tertawa mengekeh. "Wahai, angin apa yang melayangkan dirimu hingga muncul hari ini di hadapanku?"

"Angin baik disertai permohonan permintaan berkah darimu wahai kakekku!"

Di dalam gulungan kain putih tipis Naga Kuning berkata. "Peri ini menyebut Hantu Tangan Empat kakek. Si orang tua menyebutnya cucu… Bagaimana ini bisa begitu?"

"Ini satu keanehan yang sudah kuduga sebelumnya," jawab Wiro. "Antara Peri Angsa Putih dan Hantu Tangan Empat ada semacam hubungan atau pertalian darah…"

Hantu Tangan Empat pandangi wajah Peri Angsa Putih sesaat lalu berkata. "Adalah aneh! Wahai! Biasanya para Peri yang datang membawa berkah. Kini justru engkau sebagai Peri yang memohon berkah pada kakek jelek dan tolol seperti diriku ini!"

"Kek, jangan kau merendah seperti itu. Kalau aku tidak yakin kau bisa menolong tidak nanti aku datang kemari…"

"Baiklah wahai cucuku. Katakanlah berkah pertolongan apa yang hendak kau mintakan padaku?" bertanya Hantu Tangan Empat.

Peri Angsa Putih tidak segera menjawab. Dia membuka gulungan pakaian putihnya di sebelah pinggang di mana Wiro dan kawan-kawannya berada. Ke tiga orang ini kemudian diletakkannya di atas rumput biru, di depan batu datar di hadapan si kakek.

Hantu Tangan Empat sampai melesat satu tombak ke udara saking kagetnya melihat ke tiga makhluk kecil di atas rumput itu. Dari atas sambil memandang ke bawah dia berkata dengan suara gemetar.

"Wahai cucuku Peri Angsa Putih. Katamu kau datang meminta berkah pertolongan padaku. Tapi tahukah engkau bahwa kau sebenarnya membawa bencana padaku!"

SEMBILAN

Peri Angsa Putih heran bercampur terkejut melihat sikap dan mendengar kata-kata Hantu Tangan Empat. "Wahai kakekku, gerangan apa yang membuatmu berucap seperti itu? Bencana apa yang bisa ditimbulkan oleh tiga makhluk sebesar jari kelingking ini? Jika mereka berniat jahat terhadapmu, aku yang pertama kali akan turun tangan. Sekali remas saja mereka hancur dalam genggamanku!"

Perlahan-lahan sosok Hantu Tangan Empat yang tadi naik satu tombak ke udara turun ke bawah dan kembali mengapung setengah jengkal dari atas batu rata. Sepasang matanya masih memandang lekat-lekat pada sosok Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang ada di rumput biru.

"Cucuku… Wahai. Aku sengaja memencilkan diri di tempat ini untuk menjauhi kemurkaan Hantu Muka Dua atas diriku. Dan kemurkaan Hantu Muka Dua pada diriku berasal muasal pada diri ke tiga makhluk ini, yang dulu pertama sekali kutemui di Tanah Jawa, tanah yang seribu dua ratus tahun lebih maju dari dunia kita. Aku tak ingin melihat mereka. Singkirkan mereka dari pandangan mataku! Mereka hanya akan menimbulkan celaka bagi diriku. Bagi dirimu juga! Bahkan bagi Negeri dan semua orang yang ada di Latanahsilam ini!"

Mendengar kata-kata Hantu Tangan Empat itu Peri Angsa Putih jadi terdiam. Tapi dua matanya yang biru beralih, kini ditujukan pada Wiro dan kawan-kawannya sementara Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol yang mendengar ucapan si kakek jadi saling pandang dan diam-diam merasa geram. Tiba-tiba Peri Angsa Putih ambil ke tiga orang itu dan letakkan di atas telapak tangannya.

"Tiga makhluk cebol! Kau sudah dengar ucapan Hantu Tangan Empat. Dia tak mau menolong diri kalian. Wahai, aku terpaksa membawa kalian pergi dari sini…"

Naga Kuning membuka mulut hendak berteriak. Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng cepat mendahului. Dia sengaja kerahkan tenaga dalam agar suaranya terdengar oleh Hantu Tangan Empat.

"Peri Angsa Putih, kami sangat berterima kasih padamu. Kau telah bersusah payah membawa kami jauh-jauh ke tempat ini. Jika kakekmu tidak mau menolong kami, padahal kau belum memberi tahu pertolongan apa yang kami minta bagi kami tidak jadi apa. Dunia kami dengan duniamu memang beda. Sifat penduduk di sini dan penduduk di negeri kami juga berbeda. Di negeri kami menolong orang lain adalah satu kehormatan. Tapi di negerimu yang terbelakang seribu dua ratus tahun dari negeri kami menolong orang merupakan satu malapetaka…"

"Kalau perlu orang yang minta tolong harus disingkir dihabisi!" Menimpali Naga Kuning.

Wiro teruskan ucapannya yang terpotong. "Ketahuilah, jika ada yang harus disingkir dihabisi orangnya adalah Hantu Muka Dua. Makhluk itu telah menjadikan kakekmu sebagai budak suruhannya! Hantu Muka Dua menugaskan kakekmu pergi ke dunia kami untuk mencari sebuah batu sakti bernama Batu Sakti Pembalik Waktu. Sekaligus dia juga ditugaskan membunuh kami bertiga. Karena katanya semua rencana itu telah dilihatnya sejak lima ratus tahun lalu! Kebetulan batu sakti itu memang ada pada salah satu dari kami. Tapi kakekmu gagal mendapatkannya. Dia kembali bukan saja dengan berhampa tangan tapi hampir tewas di tangan kawanku Naga Kuning ini. Kalau saja dia tidak berbaik hati berbudi luhur mungkin kakekmu sudah dibunuhnya!"

"Kami meminta tolong kakekmu sekarang bukan sebagai imbalan pengampunan itu!" Naga Kuning kembali bicara. Saat itu kelihatan muka Hantu Tangan Empat menjadi sangat merah.

"Peri Angsa Putih," Wiro lanjutkan lagi kata-katanya. "Aku kasihan pada kakekmu. Saking takutnya pada Hantu Muka Dua dia sampai sembunyikan diri di tempat ini. Apakah dia tidak punya ilmu dan kemampuan melawan makhluk jahat seperti Hantu Muka Dua itu?Apakah semua para Hantu di sini mau menjadi budak Hantu Muka Dua? Apa gunanya kakekmu menyandang nama Hantu Tangan Empat kalau otaknya mungkin cuma dipergunakan seperempat saja!"

Paras Peri Angsa Putih bersemu merah mendengar sindiran yang ditujukan pada kakeknya itu. Hantu Tangan Empat sendiri merah mengelam tampangnya. Rahangnya menggembung tanda dia berusaha menahan gejolak amarah.

"Peri Angsa Putih, kami mohon kau membawa kami keluar dari tempat ini. Antarkan kami ke tempat di mana sungai bercabang dua. Tempat perjanjianmu dengan Lakasipo!"

Saat itu saking geramnya Naga Kuning usap-usap dadanya yang tersingkap dan terasa panas. Pada dada anak ini terpampang gambar seekor naga. Sejak tadi Hantu Tangan Empat tak berani menatap ke arah anak ini. Karena seperti diketahui, dalam serial Wiro Sableng berjudul Bola Bola Iblis ketika kakek ini hendak membunuh Naga Kuning, anak itu singkapkan dadanya.

Gambar atau jarahan naga kuning yang ada di dadanya tiba-tiba laksana hidup bergerak keluar, makin lama makin besar dan siap menerkam Hantu Tangan Empat. Melihat kejadian itu Hantu Tangan Empat ketakutan setengah mati lalu jatuhkan diri mengambil sikap seperti menyembah. Berulangkali kakek ini minta maaf dan mohon ampun. Dia menyebut naga yang keluar dari tubuh Naga Kuning sebagai Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh.

Tapi ular naga itu telah keburu menyerangnya dan membelitnya ke sebatang pohon. Ketika binatang jejadian ini hampir menghancur remuk sosok Hantu Tangan Empat, Wiro berteriak keras meminta agar Naga Kuning jangan membunuh kakek itu. Walau kalap namun Naga Kuning mau juga mendengar teriakan Wiro. Selamatlah nyawa Hantu Tangan Empat!

Wiro sempat memperhatikan gerakan tangan Naga Kuning mengusap dadanya berulang kali. Cepat dia berbisik. "Jangan penolakan Hantu Tangan Empat kau jadikan alasan untuk mengeluarkan ilmumu dan menyerang dirinya. Jika dia tak mau menolong berarti nasib kita yang sial…"

"Sebaliknya kita segera tinggalkan tempat ini Wiro…"

"Ya, sebelum kukencingi habis-habisan tangan Peri yang cantik ini!" kata Setan Ngompol pula.

"Wiro, biar aku membujuk kakekku. Siapa tahu hatinya bisa dilembutkan…" kata Peri Angsa Putih sangat pelan seraya mendekatkan telapak tangannya ke wajahnya hingga dia bisa melihat Pendekar 212 lebih jelas.

Wiro menyeringai. "Terima kasih. Kau baik sekali. Tapi ada satu ujar-ujar di negeri kami. Jangan memaksa orang yang tidak mau. Kalaupun dia akhirnya mau, di dalam hatinya akan ada umpat dan penyesalan dikemudian hari."

Peri Angsa Putih tersenyum. "Aku senang sekali mendengar kata-katamu yang bagus itu wahai Wiro. Tapi apa salahnya kalau aku coba membujuk dirinya. Kurasa kakekku saat ini sedang dalam pikiran kacau…" Peri Angsa Putih kedipkan matanya.

Wiro garuk-garuk kepala. "Apa pendapatmu Naga Kuning?" tanya Wiro.

"Terserah kau saja. Aku muak melihat tampang kakek itu. Ingin kukentuti lobang hidungnya!" jawab Naga Kuning perlahan hingga tidak terdengar oleh Peri Angsa Putih dan Hantu Tangan Empat.

"Kalau aku lebih baik segera saja pergi dari sini!" kata Setan Ngompol.

Peri Angsa Putih dekatkan dirinya pada si kakek lalu berkata. "Kek, aku mohon kau…"

"Sudahlah!" Hantu Tangan Empat memotong ucapan cucunya. "Tanyakan pertolongan apa yang diinginkannya?"

Paras Peri Angsa Putih jadi berseri-seri. Dia angkat tangan kirinya. "Wiro, kakekku bertanya. Pertolongan apa yang kalian inginkan?"

"Kami minta agar bisa dikembalikan ke negeri kami…" Wiro tidak teruskan ucapannya karena tiba-tiba dia melihat wajah sang Peri berubah seperti murung. "Peri Angsa Putih, apakah aku salah berucap hingga hatimu tidak senang?" tanya Wiro.

Si gadis tak menjawab. Wajahnya bersemu merah dan dia coba menyembunyikan perubahan itu dengan tersenyum. Ketika mendengar permintaan yang diucapkan Wiro tadi, entah mengapa hatinya mendadak menjadi seperti sedih.

"Aku suka pada orang-orang ini. Terutama dengan yang bernama Wiro. Wahai bagaimana aku mencegah agar mereka tidak kembali ke dunia mereka…?" Suara itu menyeruak muncul di lubuk hati sang Peri. Diam-diam sang Peri merasa malu sendiri.

"Peri Angsa Putih, mengapakau diam saja?" Wiro bertanya.

Sang Peri tersenyum. Dia berpaling pada Hantu Tangan Empat. "Kek, mereka minta dikembalikan ke negeri asal mereka. Bisakah kau melakukannya?" Kata-kata itu diucapkan Peri Angsa Putih perlahan sekali hampir tak bersemangat.

Hantu Tangan Empat menatap paras cucunya sesaat lalu memandang pada ke tiga orang yang ada di atas telapak tangan kiri Peri Angsa Putih itu. Si kakek gelengkan kepalanya.

"Tidak mungkin… Hal itu tidak mungkin dilakukan. Kecuali kalau Batu Sakti Pembalik Waktu ditemukan…"

"Tapi kakekmu bisa masuk ke dalam duniaku. Jika itu dilakukannya sekali lagi sambil membawa kami…"

Hantu Tangan Empat yang mendengar ucapan Wiro itu berkata. "Ilmu kepandaianku hanya mampu membawa diriku sendiri. Itu pun hanya bisa kulakukan seratus tahun sekali…"

Peri Angsa Putih pejamkan matanya. Dalam hati ia merasa gembira mendengar kata-kata Hantu Tangan Empat itu.

"Kalau begitu… Apakah kau bisa menolong membesarkan tubuh kami. Jadi sebesar sosok orang-orang yang ada di negeri ini?" tanya Wiro.

Sesaat Hantu Tangan Empat terdiam. Membuat Wiro dan dua kawannya jadi berdebar dan tak sabar menunggu jawaban.

"Hal itu hanya bisa kulakukan jika diizinkan oleh Peri Sesepuh dan dia sendiri menyaksikan upacara permohonan itu…" jawab Hantu Tangan Empat.

"Siapakah Peri Sesepuh itu?" tanya Wiro. "Apa sama dengan Peri Bunda?"

"Peri Sesepuh adalah pemimpin dari semua Peri dan adalah atasan Peri Bunda…"

"Kakekmu tampaknya bersedia menolong. Tapi bagaimana memberitahu dan menghadirkan Peri Sesepuh? Apakah kau bisa membantu?" tanya Wiro pada Peri Angsa Putih.

Peri Angsa Putih memandang ke langit. Saat itu matahari tengah menggelincir menuju titik tertingginya. "Waktu kita hanya sedikit. Peri Sesepuh mempunyai kebiasaan melakukan sesuatu sebelum jatuh tengah hari tepat. Akan aku usahakan bicara dengan Peri Sesepuh. Kuharap dia mau menolong. Aku juga akan menghubungi Peri Bunda minta bantuannya membujuk Peri Sesepuh. Peri Sesepuh suka rewel dan sulit diajak bicara…"

Peri Angsa Putih letakkan Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol di atas rumput biru. Lalu dia bangkit berdiri dan melangkah ke satu tempat sunyi di sebelah kanan puncak bukit. Di tempat ini dia berlutut sambil letakkan dua tangan di atas kening. Mulutnya tampak bergerak-gerak namun tidak sedikit suara pun yang terdengar. Sampai lama ditunggu Peri Angsa Putih masih saja terus berlutut di puncak bukit sebelah sana.

"Lama sekali. Apa yang dilakukan Peri itu…? Jangan-jangan dia tidak bisa menghubungi Peri Sesepuh…"

"Mungkin sang Peri Sesepuh sedang pergi kencing di sungai…!" kata murid Sinto Gendeng antara bergurau dan jengkel tidak sabaran.

Sosok Peri Angsa Putih nampak bergerak bangkit. Ketika dia kembali ke tempat Hantu Tangan Empat tubuhnya penuh keringat. Sepertinya dia barusan telah melakukan satu pekerjaan berat dan memakan tenaga.

"Nasib kalian baik. Peri Sesepuh memberi ijin dan bersedia turun kebukit ini untuk menyaksikan pelaksanaan permohonan kalian. Peri Bunda juga tidak keberatan walau tidak bisa menghadiri."

Peri Angsa Putih memberi tahu pada Wiro dan kawan-kawannya sambil membungkuk. Lalu pada Hantu Tangan Empat dia berkata, "Kek, Peri Sesepuh meminta kita menyiapkan segala sesuatunya. Dia memilih batu datar ini sebagai tempat pelaksanaan permohonan."

Hantu Tangan Empat anggukkan kepala. Perlahan-lahan tubuhnya yang masih dalam sikap bersila dan mengapung di udara bergerak melayang lalu duduk di belakang batu datar, menghadap ke arah barat. Peri Angsa Putih angkat Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol ke atas batu datar. Lalu dia sendiri duduk di rumput, di samping kanan si kakek.

Hampir sang surya mencapai titik tertingginya tiba-tiba di langit sebelah timur kelihatan ada satu titik terang berwarna merah. Titik ini makin lama makin besar dan jelas melayang turun ke arah puncak bukit di mana orang-orangitu berada.

"Peri Sesepuh datang…" kata Peri Angsa Putih. Lalu Peri cantik ini angkat tangannya, telapak dirapatkan satu sama lain dan diletakkan di atas kening.

Hantu Tangan Empat lakukan hal yang sama. Melihat Wiro dan dua kawannya tenang-tenang saja di atas batu, Peri Angsa Putih segera berkata,

"Wahai! Lekas tirukan perbuatan kami. Letakkan tangan kalian di atas kening sebagai penghormatan pada Peri Sesepuh yang telah berkenan datang…"

Naga Kuning dan Setan Ngompol saling berpandangan. Wiro berkata, "Ikuti saja apa maunya. Apa susahnya meletakkan tangan di atas kening dengan dua telapak dirapatkan…"

"Betul," sahut Naga Kuning. "Yang susah kalau diletakkan di belakang pantat!" Bocah konyol ini tertawa cekikikan.

"Anak sialan! Jangan kau berani bergurau dalam keadaan seperti ini!" hardik Setan Ngompol dengan mata mendelik marah. Tapi lalu tertawa cekikikan dan terkencing-kencing.

********************

SEPULUH

Tonggak batu berbentuk tempat tidur itu bergerak naik di dalam sebuah rongga batu di bagian atas Goa Pualam Lamerah. Ketika batu itu berhenti bergerak di sebuah ruangan yang bagus, dihias berbagai bunga hidup menebar bau harum semerbak, Lakasipo masih tergeletak tak bergerak seolah tertidur pulas.

Luhjelita pandangi wajah lelaki itu beberapa lamanya. Begitu dia alihkan pandangan pada dua kaki Lakasipo gadis ini geleng-geleng kepala sambil beberapa kali menarik nafas dalam. Ada rasa sedih dan kasihan di hatinya.

"Hantu Santet Laknat…" kata si gadis perlahan. "Kejam nian perbuatanmu! Orang yang membayarmu sudah menemui ajal. Tapi bekas kejahatanmu tidak akan hilang. Sampai kapan? Sepuluh tahun? Lima puluh tahun. Seratus tahun? Lelaki malang. Kasihan kau Lakasipo. Aku akan mencari jalan agar kau terlepas dari dua batu yang membuatmu sengsara. Jika saja aku bisa meminta pertolongan Hantu Muka Dua. Tapi, mungkin dia akan menjatuhkan hukuman berat atas diriku jika tahu aku menyukaimu. Apa lagi menolongmu. Padahal dia sudah memerintahkan diriku untuk membunuhmu…"

Pandangan Luhjelita naik ke atas. Lalu kembali terdengar suaranya. "Maafkan diriku wahai Lakasipo. Aku tidak ingin melakukan hal ini atas dirimu. Namun ada satu tugas berat yang harus kulakukan. Aku…"

Sayup-sayup Luhjelita mendengar suara kuda meringkik disusul suara seperti batu-batu menggelinding dan hancur. "Sesuatu terjadi di luar goa. Aku harus bertindak cepat…"

Dengan tangan gemetar Luhjelita menyibakkan kulit kayu pakaian Lakasipo di bagian pinggang. Dengan hati-hati sambil matanya mengawasi wajah orang karena khawatir lelaki itu tiba-tiba sadar Luhjelita terus menyingkapkan pakaian Lakasipo sampai ke bawah. Ketika matanya kemudian memandang ke bagian bawah pusar Lakasipo berubahlah paras gadis ini. Di situ, tepat di bawah pusar Lakasipo, dia melihat tiga buah tahi lalat menebar. Dua di samping kiri, satu di sebelah kanan.

"Tiga tahi lalat…" desis Luhjelita.

Tubuhnya mendadak bergetar hebat. Lima jari tangan kanannya dikembangkan. Telapak tangan dibuka lebar-lebar. Tangan itu bergoncang keras. Luhjelita kuatkan hati. Perlahan-lahan dia kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan kanan. Lalu perlahan-lahan pula masih dalam keadaan bergetar keras dia ulurkan tangan itu ke bawah pusar Lakasipo. Demikian rupa hingga telapaknya menutupi tiga buah tahi lalat yang ada di bawah pusar.

Dari mulut Luhjelita kemudian keluar suara berkepanjangan yang tidak jelas. Entah dia tengah meracau entah sedang merapal mantera. Keringat membasahi wajah dan sekujur tubuh Luhjelita. Telapak tangannya yang menempel di tubuh Lakasipo terasa panas.

Dia seolah-olah memegang bara api. Dari sela-sela jarinya keluar tiga larik asap hitam, meliuk-liuk ke atas lalu lenyap di salah satu sudut ruangan. Gadis ini tersentak kaget ketika mendadak sosok Lakasipo menggeliat. Dari mulutnya keluar suara seperti binatang menggereng. Dua kakinya bergerak ke atas.

"Duukkk… duukkkk! Byaaaarr!"

Ujung tonggak batu hancur berantakan ketika dua kaki Lakasipo yang berbentuk batu jatuh menghantam. Luhjelita tiba-tiba menjerit. Bukan karena hancurnya tonggak batu yang jadi ketiduran, tapi karena melihat ada darah mengucur keluar dari hidung, mulut dan telinga, bahkan pinggiran mata Lakasipo!

"Wahai! Apa yang terjadi! Matikah dia?! Aku tak bermaksud membunuhnya! Lakasipo! Aku tidak bermaksud membunuhmu!" teriak Luhjelita. Diguncangnya tubuh lelaki itu. Dia seperti hendak menangis. Lalu kepalanya diletakkan di dada Lakasipo. Telinganya ditempelkan diarah jantung.

"Masih ada suara detakan. Dia masih hidup " Luhjelita sesaat menjadi lega. Dia tanggalkan serangkaian bunga-bunga yang melingkar di pinggangnya. Lalu dia pergunakan bunga-bunga itu untuk membersihkan darah di muka Lakasipo. Ketika dia mencampakkan bunga-bunga itu ke lantai ruangan dan mengarahkan pandangannya ke bawah pusar Lakasipo terkejutlah gadis itu.

"Tiga tahi lalat di bawah pusarnya. Lenyap! Hilang kemana?! Wahai!" Setengah tak percaya Luhjelita dekatkan matanya ke tubuh Lakasipo. "Lenyap! Benar-benar tak ada lagi!"

Perlahan-lahan Luhjelita angkat tangan kanannya. Telapak tangan dikembangkan. Gadis ini keluarkan seruan tertahan. Telapak tangannya yang sebelumnya putih bersih dan mulus kini di situ tahu-tahu terdapat tiga buah tahi lalat hitam!

"Tiga tahi lalat itu… Berpindah ke telapak tanganku!" ujar Luhjelita dengan suara bergetar. "Apakah ini satu pertanda baik bahwa para Dewa dan Peri telah memberi jalan padaku untuk mendapatkan ilmu yang kucari itu?"

Sepasang mata Luhjelita berkilat-kilat. Senyum menyeruak di bibirnya yang bagus. Berulang kali tangan kirinya mengusapi telapak tangan yang kini ada tiga tahi lalat itu.

"Tiga tahi lalat…" desis si gadis. "Aku masih harus mencari delapan belas lagi. Wahai! Berarti aku harus mendapatkan enam lelaki lagi…" Luhjelita alihkan pandangannya pada Lakasipo.

"Luhjelita! Di mana kau?! Luhjelita!"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang di bawah sana. Luhjelita tercekat kaget. "Wahai… Itu suara Hantu Muka Dua!Bagaimana dia bisa sampai kemari secepat itu!" Wajah Luhjelita berubah. "Dia pasti marah besar jika dia tahu…"

Terdengar suara benda hancur. Luhjelita pegang dada Lakasipo dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengusap kening dan rambut lelaki ini.

"Wahai Lakasipo, sebenarnya aku tidak ingin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. "Tapi aku harus pergi. Di lain hari aku akan mencarimu lagi. Orang gagah, biar kutinggalkan separoh hatiku di dalam hatimu…" Luhjelita usap dadanya dengan tangan kanan. Lalu tangan itu diusapkannya ke dada Lakasipo. "Aku pergi Lakasipo. Kau akan aman di tempat ini. Tak ada satu kekuatan pun sanggup menerobos masuk ke tempat ini. Hantu Muka Dua sekalipun tidak punya kemampuan…"

Sesaat si gadis pegangi wajah Lakasipo dengan kedua tangannya. Lalu dia bangkit berdiri dan berkelebat ke sudut ruangan sebelah kiri. Sebuah celah membuka di dinding batu. Luhjelita cepat menyelinap masuk ke da lam celah. Begitu dia menghilang celah itu menutup kembali.

Tak lama setelah Luhjelita pergi, sosok Lakasipo di atas batu tampak bergerak. Matanya terbuka. "Wahai, dimana aku. Apa yang terjadi dengan diriku…?"

Lakasipo memandang berkeliling. Lalu matanya perhatikan dirinya sendiri. Memandang ke bawah hatinya bertanya-tanya. Dia melihat sesuatu kelainan namun sulit menduga apa yang telah terjadi.

"Wahai… Mengapa pakaianku di sebelah bawah berkeadaan seperti ini. Apa yang telah terjadi…?" Lakasipo usap perutnya. "Ada satu kelainan. Tapi aku tidak tahu pasti kelainan apa…"

Saat itu Lakasipo tidak menyadari bahwa tiga buah tahi lalat yang sebelumnya ada di bawah pusarnya kini telah lenyap. Yang diingatnya kemudian justru adalah gadis itu.

"Luhjelita…" ucapnya perlahan."Luhjelita! Di mana kau?!" Lakasipo bangkit dan duduk di atas batu. Kaki kanannya jatuh ke lantai.

"Dukkkk!" Lantai ruangan bergetar dan remuk tertimpa kaki batu Lakasipo. Tidak sengaja kaki batu itu menggeser bagian tengah sebelah bawah tonggak batu di mana justru terletak alat rahasia untuk menurunkan batu itu. Terdengar suara berdesir. Batu di atas mana Lakasipo terduduk perlahan-lahan turun ke ruangan bawah. Di ruangan bawah ini telah menunggu Hantu Muka Dua!

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Kita kembali dulu pada beberapa saat sebelum Luhjelita dan Lakasipo masuk ke dalam goa dan naik ke ruangan yang penuh dengan bunga-bunga.

Hujan telah lama reda. Luhtinti masih duduk di punggung kuda kaki enam menahan dingin. Setelah sekian lama menunggu dan Lakasipo tidak juga muncul, timbul rasa was-was dalam hati gadis cantik berkulit hitam manis ini.

"Jangan-jangan terjadi apa-apa dengan lelaki itu. Sifat Luhjelita tidak bisa diduga. Waktu di tepi telaga jelas kulihat pada wajah dan sikapnya bayangan rasa cemburu terhadap Peri Angsa Putih. Pertanda dia menyukai lelaki itu. Kalau sampai terjadi sesuatu, bagaimana dengan diriku…?"

Luhtinti usap-usap kuduk basah Laekakienam lalu berkata. "Kuda hitam berkaki enam, kau tunggulah di sini. Aku akan melihat ke dalam goa…"

Laekakienam putar lehernya dan julurkan lidahnya seraya mengedipkan mata seolah mengerti ucapan si gadis. Luhtinti segera bergerak turun. Namun baru saja kakinya menyentuh tanah tiba-tiba ada sambaran angin dan tahu-tahu sesosok tubuh yang memiliki kepala bermuka dua telah tegak menyeringai di hadapannya.

"Hantu Muka Dua! Wahai…" Paras Luhtinti berubah pucat pertanda takut.

"Luhtinti… Luhtinti…" kata Hantu Muka Dua berulang kali seraya geleng-gelengkan kepala. Saat itu dua wajahnya adalah wajah lelaki separuh baya, putih di sebelah depan dan hitam pekat di sebelah belakang. "Jauh sekali perjalananmu sampai ke sini. Dan agaknya barusan kau menunggangi kuda hitam berkaki enam. Wahai! Tidak aku sangka kau punya hubungan dengan pemilik kuda ini. Wahai mata-mataku. Kau mengkhianati diriku! Kau tahu Lakasipo adalah salah seorang yang masuk dalam daftar kematianyang telah kutentukan!"

Tangan kanan Hantu Muka Dua menjambak rambut basah Luhtinti. Demikian kerasnya jambakan itu hingga banyak rambut yang tercabut. Luhtinti terpekik kesakitan.

"Wahai Hantu Muka Dua… Tidak ada niat mengkhianatimu. Sewaktu terjadi bencana di Telaga Lasituhitam saya sempat jatuh pingsan. Ketika siuman ternyata saya dan empat gadismu telah diselamatkan oleh Lakasipo. Kalau lelaki itu tidak menolong niscaya kami semua bakal menemui kematian. Kami tidak tahu di mana kau berada. Karena Lakasipo menjadi tuan penolong maka kami hanya bisa menyerahkan diri padanya…"

"Bagus betul perbuatanmu Luhtinti!" kata Hantu Muka Dua dengan suara keras menghardik. "Kemana perginya empat gadis itu! Wahai." Aku tidak melihat mereka seorangpun di tempat ini!"

"Mereka kembali ke kampung masing-masing setelah Lakasipo menolak membawa mereka…" menerangkan Luhtinti.

Hantu Muka Dua menyeringai. "Nasibmu rupanya beruntung! Lakasipo mau membawamu! Ha ha ha…! Pasti kau sudah ditidurinya! Mengaku!"

Masih dijambak, Luhtinti gelengkan kepalanya. "Wahai Hantu Muka Dua, kami tidak berbuat apa-apa. Lakasipo tidak…"

"Perempuan laknat! Siapa percaya pada ucapanmu! Aku tahu lelaki macam apa adanya Lakasipo! Kau pantas menerima hukuman dariku wahai Luhtinti!"

Saat bicara penuh amarah itu muka Hantu Muka Dua depan belakang berubah menjadi muka raksasa angker menggidikkan. Tangannya yang menjambak Luhtinti bergerak.

"Kreeeekkkk!"

Luhtinti menjerit. Keras dan panjang. Rambut hitam bagus di kepala gadis itu hampir tercabut keseluruhannya dari kulit kepalanya. Kepala Luhtinti nyaris botak dan darah mengucur dari kulit kepala yang luka. Gadis malang ini terhantar di tanah, mengerang berkepanjangan.

Masih beringas Hantu Muka Dua jongkok di samping Luhtinti seraya cekal lengan gadis itu. "Dengar Luhtinti! Aku tidak akan membunuhmu! Tapi aku tidak segan-segan menanggalkan tanganmu ini…"

"Ampun! Jangan! Jangan lakukan itu wahai Hantu Muka Dua!" jerit Luhtinti ketakutan setengah mati.

Hantu Muka Dua tertawa mengekeh. "Kalau begitu lekas berrtahu. Apakah Lakasipo datang ke goa ini mencari Luhjelita?!"

"Betul sekali wahai Hantu Muka Dua…" jawab Luhtinti lalu suaranya putus berganti erangan. Sesaat kemudian baru dia menyambung. "Menurut Lakasipo, Luhjelita yang memintanya datang ke goa ini…"

Muka seram depan belakang Hantu Muka Dua mengerenyit. Taring-taringnya mencuat. Empat bola matanya yang berbentuk segi tiga memancarkan sinar hijau.

"Kekasihku! Wahai! Apa kau juga telah jadi pengkhianat?! Luhjelita! Di mana kau! Luhjelita!"

Hantu Muka Dua mendongak ke langit lalu berteriak keras. Gaung suaranya menggetarkan kawasan bukit batu. Rambut hitam panjang Luhtinti yang sejak tadi digenggamnya dicampakkannya ke tanah. Dengan kaki kanannya ditendangnya pinggul gadis ini hingga terpental bergulingan.

"Wahai! Kalau saja aku tidak punya pantangan membunuh, sudah kuhabisi nyawamu!"

Masih belum puas, kembali dia hendak menendang gadis yang sudah tidak berdaya dan cidera berat itu. Namun tiba-tiba terdengar ringkik keras Laekakienam. Kuda raksasa milik Lakasipo ini menerjang. Dua kaki depannya menderu ke kepala dan perut Hantu Muka Dua!

"Binatang keparat! Kau minta kugebuk mampus!" bentak Hantu Muka Dua marah.

Sambil melompat setinggi dua tombak dia hantamkan tangan kanannya ke kepala Laekakienam. Sesaat lagi pukulan itu akan menghancurkan kepala sebelah kiri kuda berkaki enam itu mendadak dua mata sebelah depan Hantu Muka Dua sempat melihat bagian bawah di antara dua kaki belakang binatang tersebut.

"Wahai!" Hantu Muka Dua berseru kaget. Dia cepat tarik pulang pukulan mautnya. "Binatang celaka ini ternyata seekor kuda betina! Walau cuma binatang dia tetap adalah perempuan! Aku tak berani kesalahan melanggar pantangan!"

Tendangan dua kaki enam Laekakienam menghantam dinding batu dekat mulut goa hingga hancur bergemuruh. Dengan cepat binatang ini berbalik, siap mencari dan menyerang Hantu Muka Dua kembali. Namun saat itu dari samping Hantu Muka Dua bertindak lebih cepat. Dua tangannya dengan telapak terkembang didorongkan ke arah Laekakienam.

Binatang Ini meringkik keras ketika tubuhnya yang besar laksana dilanda topan prahara terlempar keras lalu terbanting ke mulut goa. Sebagian mulut goa dan dinding batu hancur berantakan. Laekakienam meringkik keras sekali lagi lalu jatuh melosoh. Untuk beberapa lamanya binatang ini tak mampu bergerak tak mampu keluarkan suara. Mulut Hantu Muka Dua depan belakang meludah berulang kali. Lalu dia berkelebat memasuki Goa Pualam Lamerah.

"Luhjelita! Di mana kau! Luhjelita!"

Hantu Muka Dua berteriak memanggil. Suaranya menggema dahsyat di seantero lorong batu. Di satu ruangan Hantu Muka Dua hentikan langkahnya. Telinganya menangkap suara berdesir di atas kepalanya. Ketika dia mendongak, wajahnya yang saat itu masih berujud muka dua raksasa berkerenyit. Empat buah matanya membersitkan sinar hijau.

Di atasnya, langit-langit ruangan membuka lalu muncul sebuah tonggak batu yang perlahan-lahan bergerak turun. Lalu dia melihat bola-bola batu itu. Tampang Hantu-Muka Dua depan belakang mendadak sontak jadi beringas. Dia melangkah mundur. Tepat pada saat punggungnya menyentuh dinding, batu empat persegi panjang mencapai lantai ruangan dan berhenti.

Lakasipo yang berada di atas batu itu terkejut ketika mengetahui dia tidak seorang diri ditempat itu. Luhjelita yang dicarinya tetapi makhluk bermuka dua itu yang ditemuinya.

"Manusia memiliki dua muka. Satu didepan satu di belakang. Dia pasti Hantu Muka Dua yang punya niat hendak membunuhku!" ujar Lakasipo dalam hati.

"Sebelum aku membunuhmu wahai manusia bernama Lakasipo bergelar Hantu Kaki Batu! Beri tahu di mana beradanya kekasihku Luhjelita!" Sambil bicara dua mata Hantu Muka Dua sebelah depan memandang ke arah pusar Lakasipo yang terbuka.

"Sebelum aku menjawab ingin aku tahu! Sebab lantaran apa kau yang dinamai Hantu Muka Dua inginkan nyawaku!" menukas Lakasipo.

SEBELAS

Dua mulut Hantu Muka Dua tertawa bergelak. Lalu dengan garang dia membentak. "Hantu Kaki Batu! Jika tubuh kasarmu tidak mau memberitahu biar nanti rohmu yang akan kutanyai di mana beradanya Luhjelita! Sekarang bersiaplah menerima kematian!"

Habis berkata begitu Hantu Muka Dua keluarkan suara meringkik seperti kuda melihat setan. Bersamaan dengan Ku tangan kanannya dipukulkan ke depan. Tak ada kiblatan sinar. Tak ada sambaran sinar atau cahaya. Namun tahu-tahu Lakasipo merasa ada satu kekuatan dahsyat melabrak dirinya.

"Tangan Hantu Tanpa Suara!" teriak Lakasipo yang pernah mendengar ilmu kesaktian yang dimiliki lawan tapi baru sekali ini melihat dan merasakannya. Cepat-cepat lelaki ini singkirkan diri sampai dua tombak kesamping.

"Braaakkk! Byaaarr!"

Sebagian batu empat persegi panjang dan dinding di belakang Lakasipo hancur berantakan. Asap aneh bercampur dengan kepingan serta hancuran batu berbentuk bubuk memenuhi ruangan dalam Goa Pualam Lamerah itu, menutupi pemandangan.

Lakasipo cepat tutup jalan pernafasannya. Sesaat dia menunggu. Begitu melihat bayangan Hantu Muka Dua di depan sana dia segera menghantam dengan pukulan sakti bernama Lima Kutuk Dari Langit. Lima larik sinar hitam menyambar ke arah Hantu Muka Dua. Ini adalah satu pukulan sakti yang bukan saja membuat lawan menjadi gosong sekujur tubuhnya tapi tubuh yang terkena hantaman pukulan ini akan menjadi ciut atau mengkerut!

Siapa di Negeri Latanahsilam yang tidak mengenal kehebatan dan keganasan ilmu ini. Namun Hantu Muka Dua ganda tertawa ketika melihat lima larik sinar maut yang datang ke arahnya itu. Setengah tombak lagi lima sinar itu akan menghantam tubuhnya tiba-tiba Hantu Muka Dua membuat gerakan aneh. Tubuhnya berputar laksana gasing. Bersamaan dengan itu mulutnya depan belakang meniup keras.

"Wusssss!"

Suara letupan keras dan berkepanjangan menggetarkan ruangan batu. Bersamaan dengan itu muncul asap merah bergulung-gulung berbentuk kerucut, kecil di bawah melebar di sebelah atas. Gulungan asap merah ini bukan saja membentengi dirinya dari Pukulan Lima Kutuk Dari Langit tetapi sekaligus secara aneh menyedot lima larik sinar hitam pukulan sakti yang dilepaskan Lakasipo!

Lakasipo berseru kaget ketika merasakan tubuhnya tertarik dan hampir tersedot masuk ke dalam gulungan sinar merah berbentuk kerucut. Dengan cepat dia kerahkan seluruh tenaga dalam lalu kaki kanannya yang terbungkus batu berbentuk bola ditendangkan ke depan, melepas tendangan yang disebut Kaki Roh Pengantar Maut.

"Wusssss!" Sinar hitam menderu.

"Reeekkkk! Bummmmm!"

Ruang batu dalam Goa Pualam Lamerah itu bergetar hebat. Beberapa bagian langit-langit batu runtuh dan dinding ada yang retak pecah! Lantai mencuat ambrol!

Untuk kedua kalinya tempat itu tertutup oleh asap dan hancuran batu-batu. Ketika keadaan kembali terang kelihatan Lakasipo terduduk di salah satu sudut ruangan. Kaki kanannya yang tadi dipakai menendang kini berada dalam keadaan kaku dan berat tak bisa digerakkan. Dadanya sesak membuat dia sulit bernafas sementara kepalanya berdenyut sakit dan pemandangannya berkunang-kunang. Dari sela bibirnya mengucur darah kental!

Tubuhnya sebelah kanan mulai dari.pipi sampai ke paha kelihatan kemerah-merahan. Salah satu bagian dari bola batu yang membungkus kakinya hancur!

Beberapa langkah di depan Lakasipo, Hantu Muka Dua kelihatan tegak dengan tubuh bergeletar bergoyang-goyang. Makhluk bermuka dua ini keluarkan suara menggereng dan cepat kuasai dirinya. Dua mulutnya menyeringai lalu dia mengerenyit seperti menahan sakit. Ketika dia memandang ke dada kirinya kagetlah Hantu Muka Dua. Serta merta dua muka raksasa di kepalanya berubah menjadi wajah dua kakek yang pucat pasi! Di dada kirinya menancap pecahan runcing batu yang berasal dari bola batu di kaki kanan Lakasipo.

"Lakasipo jahanam!" teriak Hantu Muka Dua marah sekali. Dua wajahnya kembali berubah membentuk tampang raksasa. Sinar hijau membersit dari empat bola matanya yang berbentuk segitiga. Dengan tangan kirinya dia cabut pecahan batu yang menancap di dada kirinya lalu dilemparkan ke arah Lakasipo.

Dalam keadaan tak mampu menggerakkan kaki kanan, Lakasipo pergunakan kaki kiri untuk menangkis serangan batu runcing yang mengarah ke kepalanya.

"Traaakkkk!" Batu runcing hancur berantakan begitu beradu dengan bola batu yang membungkus kaki kiri Lakasipo.

Walau selamat namun seperti yang terjadi dengan kaki kanannya, kembali Lakasipo merasakan kaki itu menjadi berat dan kaku hingga tak bisa digerakkan. Kini Lakasipo benar-benar jadi tidak berdaya. Ketika Hantu Muka Dua melangkah mendekatinya, dia tidak mampu berdiri!

Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan, menjaga segala kemungkinan, mempersiapkan pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Akan tetapi, Hantu Muka Dua bertindak lebih cepat. Dari dua matanya di sebelah depan melesat dua larik sinar hijau berbentuk segitiga panjang!

Inilah serangan maut yang disebut Hantu Hijau Penjungkir Roh! Konon ilmu kesaktian ini dulunya dimiliki oleh seorang dedengkot hantu di Negeri Latanahsilam yang disebut Hantu Lumpur Hijau. Dengan segala kekejian dan tipu daya busuk Hantu Muka Dua berhasil merampas ilmu itu dari Hantu Lumpur Hijau. Hantu Lumpur Hijau sendiri kemudian terpaksa menyelamatkan diri ke dalam rimba belantara yang penuh dengan lumpur dan disebut Kubangan Lalumpur.

Jangankan sosok manusia, pohon besar atau batu sekalipun jika terkena hantaman sinar hijau ini akan hancur mengerikan seperti lumpur dan berwarna hijau!

Lakasipo masih berusaha menangkis dan menghantam dengan pukulan Lima Kutuk Dari Langit seraya miringkan tubuh ke samping. Namun tak ada gunanya. Hantu Muka Dua tertawa mengekeh. Hanya sesaat lagi dua larik sinar hijau yang keluar dari mata Hantu Muka Dua akan menamatkan riwayat Lakasipo tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih. Hantu Muka Dua merasakan tubuhnya bergetar oleh sambaran angin. Dua kakinya tersurut satu langkah. Meski demikian dua larik sinar hijau yang dilepaskannya menghantam tidak bisa ditahan.

"Braaakkk! Braaaaakk!"

Dinding batu dalam Goa Pualam Lamerah untuk kesekian kalinya hancur berantakan. Namun kali ini lebih dahsyat dan lebih mengerikan. Pada dinding terlihat dua buah lobang besar berwarna kehijauan. Pinggiran lobang laksana leleh. Di lantai goa bertaburan pecahan-pecahan batu yang telah berubah menjadi hijau dan lunak seperti lumpur.

Hantu Muka Dua berseru kaget dan juga marah. Karena ketika dia memandang ke depan dan memastikan sosok Lakasipo alias Hantu Kaki Batu telah lumat menjadi lumpur hijau ternyata Lakasipo tidak ada lagi di tempat itu!

"Jahanam!" teriak Hantu Muka Dua marah. Muka raksasanya menjadi semerah bara. Taring-taring mencuat keluar dari dua mulutnya dan dua pasang matanya seperti mau melompat dari rongganya. "Siapa minta mampus berani mencampuri urusan Hantu Muka Dua!"

Hantu Muka Dua bantingkan kaki kanannya hingga lantai goa yang sudah hancur di sana sini itu kini melesak sedalam satu jengkal! Kemarahan Hantu Muka Dua mendadak sontak berubah menjadi rasa kaget ketika dia palingkan mata sebelah belakangnya dia melihat satu sosok tegak sejarak enam langkah di seberang sana.

Sosok aneh ini berupa seorang perempuan muda berparas cantik, mengenakan pakaian terbuat dari bahan menyerupai sutera tipis putih. Sekujur sosoknya bergoyang-goyang seolah dirinya terbuat dari asap atau hanya berupa bayang-bayang samar. Namun saat demi saat sosok dan wajah perempuan ini semakin nyata. Dia berdiri sambil mendukung Lakasipo yang berada dalam keadaan setengah sadar setengah lupa diri. Sepasang matanya menatap dingin tak berkesip ke arah Hantu Muka Dua.

"Sulit aku percaya!" kata Hantu Muka Dua. "Wahai! Apa betul aku melihat Luhrinjani, pengantin muda, istri yang dikabarkan telah tewas bunuh diri di jurang Bukit Batu Kawin puluhan tahun silam!"

Mulut perempuan cantik yang mendukung Lakasipo terbuka. Dia memang adalah penjelmaan Luhrinjani istri Lakasipo yang telah meninggal bunuh diri puluhan tahun silam dan bisa muncul seperti itu berkat kekuatan sakti yang diberikan para Dewa dan para Peri.

"Kau melihat diriku! Kau tidak buta! Wahai! Apa yang kau lihat itulah kenyataan yang ada! Kau mendengar suaraku! Wahai! Apa yang kau dengar itulah kenyataanyang ada!"

"Luhrinjani… Kau muncul secara tidak wajar. Aku…"

"Di negeri ini sudah lama terjadi ketidakwajaran!" menukas sosok Luhrinjani. "Dan kau adalah biang racun segala ketidak wajaran itu! Kau menebar kekejian, tipu dan mengumbar nafsu. Kau merasa berbangga diri dengan julukan Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan Segala Nafsu!"

"Ha ha ha…! Kau tahu jelas siapa diriku! Perempuan dari alam roh! Kalau kemunculanmu hanya sekedar menolong suamimu, aku mungkin bisa memaafkan. Tapi kalau kau sengaja mencari perkara lebih lanjut, aku akan membuat kau tidak bisa kembali ke alammu! Kau akan kugantung antara bumi dan langit!"

"Wahai! Mulutmu berucap keji dan sombong! Apakah ilmu kepandaianmu melebihi kesaktian para Dewa dan para Peri di langit ke tujuh?!"

"Untuk memberi pelajaran padamu, ilmu kepandaian yang sudah kumiliki rasa-rasanya bisa membuatmu kapok seumur jaman!" Hantu Muka Dua sentakkan kepalanya hingga rambutnya yang gondrong acak-acakan tersibak dan kini dua wajahnya yang seram kelihatan jelas.

"Kutuk dan hukum para Dewa dan para Peri akan jatuh atas dirimu! Sekarang menyingkir dari hadapanku!" Luhrinjani melangkah ke pintu lorong yang menuju mulut goa.

Tapi Hantu Muka Dua segera menghadang. "Kau boleh pergi. Tapi tinggalkan laki-laki itu disini!"

"Heh… Begitu?" Luhrinjani tersenyum lalu tertawa perlahan."Baik, kupenuhi permintaanmu wahai Hantu Muka Dua. Lakasipo akan kutinggalkan di dalam goa ini. Aku akan pergi. Tapi sebelum pergi aku minta nyawamu lebih dulu!"

"Makhluk jejadian jahanam!" teriak Hantu Muka Dua. Dua larik sinar hijau berbentuk segi tiga yang ujungnya runcing menyambar ke arah sosok Luhrinjani.

Luhrinjani berseru keras. Tubuh Lakasipo yang berada dalam dukungannya dilemparkan ke atas ruangan lalu dia sendiri cepat berkelebat

"Braaakkk…. Byaaaar!"

Dinding ruangan di belakang Luhrinjani hancur dan berubah menjadi lelehan lumpur.

Bukkk!" Hantu Muka Dua mengeluh tinggi. Satu pukulan keras melanda dadanya hingga dia terjengkang dilantai goa. Sambil menahan sakit dia cepat melompat berdiri lalu menerjang ke arah Luhrinjani. Namun yang diserang seolah ditelan bumi lenyap dari hadapannya. Di lain saat kembali terdengar suara...

"Bukkk!" Kali ini punggung Hantu Muka Dua yang jadi sasaran hingga dia terbanting ke dinding goa. Di saat yang sama tubuh Lakasipo yang tadi dilemparkan ke atas, begitu jatuh dengan cepat disambut oleh Luhrinjani.

"Apa yang terjadi?!" Lakasipo bersuara. Rupanya lelaki ini sudah sadarkan diri. Dia terkejut sekali ketika dapatkan dirinya berada dalam dukungan seseorang. Dan ketika dia memandang ke atas memperhatikan wajah si pendukung tambah kagetlah Lakasipo.

"Luhrinjanil Wahai! Apa yang terjadi?!"

Lakasipo cepat melompat turun dari dukungan Luhrinjani. Goa Pualam Lamerah bergelegar keras begitu dua kaki batunya menginjaklantai goa. Pada saat pandangannya membentur sosok Hantu Muka Dua lelaki ini segera sadar apa yang telah terjadi sebelumnya.

"Hantu Muka Dua makhluk keparat! Saatnya riwayatmu ditamatkan!" Lakasipo menggereng keras. Tubuhnya melesat ke depan. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Hantu Muka Dua.

Walau dengan mudah Hantu Muka Dua bisa mengelakkan serangan itu namun hatinya mulai dilanda rasa kecut. Lakasipo tidak mudah mengalahkannya. Sebaliknya dia merasa mampu membunuh lelaki itu. Namun kehadiran Luhrinjani membuat keadaan bisa berubah. Bagaimanapun amarah kebenciannya terhadap Luhrinjani namun pantangan yang harus dijalaninya tidak memungkinkannya membunuh perempuan itu!

Menyadari keadaan ini Hantu Muka Dua gunakan siasat licik. Serangannya bertubi-tubi diarahkan pada Lakasipo. Pada saat-saat tertentu dia keluarkan ilmu Hantu Hijau Penjungkir Roh. Bagaimanapun cepatnya gerakan Lakasipo untuk mengelakkan serangan lawan serta dahsyatnya dua kaki batu yang dimilikinya setelah beberapa jurus berlalu Lakasipo mulai terdesak.

Melihat kejadian ini Luhrinjani tidak menunggu lebih lama. Dia melompat ke dalam kalangan perkelahian lalu lancarkan serangan berantai dari samping dan belakang. Repotnya bagi Hantu Muka Dua, walau dia bisa melayani semua serangan Luhrinjani namun dia selalu merasa ragu membalas serangan itu secara keras. Khawatir Luhrinjani cidera berat dan menemui ajal.

Sebaliknya begitu melihat lawan mulai bingung Luhrinjani pergunakan kesempatan. Dia memberi isyarat pada Lakasipo. Pada saat yang tepat kedua orang ini melompat ke arah lorong yang menuju mulut goa.

"Kalian mau lari ke mana!" teriak Hantu Muka Dua mengejar. Namun sebelum dia sempat masuk ke dalam lorong batu, Lakasipo dan Luhrinjani telah lebih dulu membobol langit-langit dan dinding terowongan hingga runtuh menggemuruh dan menutup jalan menuju mulut goa!

"Jahanam! Apa kalian mengira aku tidak bisa menembus runtuhan batu-batu ini!" teriak Hantu Muka Dua marah. Dua tangannya didorongkan ke depan. Mulutnya meniup.

Buntalan gelombang angin dahsyat menderu. Batu-batu yang menutupi lorong goa mencelat bermentalan. Hantu Muka Dua cepat melesat di sepanjang reruntuhan lorong. Namun ketika dia sampai di luar Goa Pualam Lamerah, Lakasipo dan Luhrinjani tidak kelihatan. Kuda hitam berkakienam dan Luhtinti juga tidak ada lagi di tempat itu. Hantu Muka Dua menggeram marah.

"Luhjelita! Luhtinti! Perempuan-perempuan pengkhianat! Aku memang tidak bisa membunuh kalian! Tapi awas! Pembalasanku lebih sakit dari pada kematian! Kalian berdua akan kusiksa sepanjang jaman! Tempat penyiksaaan seperti Ruang Obor Tunggal kelak akan menjadi bagian kalian!"

********************

DUA BELAS

Kembali ke puncak bukit berumput biru. Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning dan Setan Ngompol menunggu dengan hati berdebar. Mereka memandang ke langit tinggi di mana mereka melihat ada satu titik merah bergerak turun dari langit di arah timur.

"Aku ingin sekali cepat-cepat melihat bagaimana rupanya Peri Sesepuh yang mau menolong kita itu…" bisik Naga Kuning.

"Pasti sangat cantik dan paling cantik di antara semua Peri yang pernah kita lihat. Kita sudah menyaksikan cantiknya Peri Angsa Putih, sudah melihat wajah Peri Bunda. Peri Sesepuh yang jadi pimpinan segala Peri pasti cantiknya selangit tembus!" kata Setan Ngompol pula.

Titik merah yang turun dari langit makin lama semakin besar. Hantu Tangan Empat menatap dengan mata dibesarkan dan tak pernah berkesip. Ketika titik itu membentuk besarnya telur ayam, Hantu Tangan Empat pergunakan dua tangannya mengusap mukanya.

Saat itu juga mukanya yang tadi rata berubah menjadi satu wajah amat mengerikan. Rambutnya yang sebelumnya putih kini menjadi merah darah, tegak kaku. Dari sela-sela rambut kelihatan asap merah mengepul. Lalu dua matanya yang besar mencuat dan kini seolah tergantung di luar rongga. Hidungnya yang semula rata kini tinggi panjang dan bengkok. Bibirnya berwarna biru pekat. Gigi-giginya berubah panjang dan lancip. Perubahan lain yang membuat keadaan tambah angker ialah jumlah tangannya yang kini menjadi empat.

"Kalian lihat, Hantu Tangan Empat telah merubah tampangnya…" memberi tahu Wiro pada Naga Kuning dan Setan Ngompol. Kalau Naga Kuning hanya melirik dengan rasa ngeri, sebaliknya Setan Ngompol langsung terkencing karena kaget.

Di langit, benda merah berkilauan tadi semakin membesar. Hantu Tangan Empat kembangkan dua tangan di depan dada dengan telapak tangan terbuka menghadap ke langit. Dua tangan lainnya diluruskan ke samping telinga kiri kanan. Lalu dari mulutnya keluar suara seperti orang membaca jampai-jampai terus menerus tidak henti-hentinya. Mukanya yang mengerikan kelihatan bertambah angker. Seperti tadi dua matanya memandang ke langit, tidak pernahberkedip.

Kira-kira lima puluh tombak benda merah tadi berada di atas bukti rumput biru bentuknya mulai jelas. Ternyata benda itu adalah sosok seorang perempuan berpakaian merah yang duduk di atas sebuah batu pualam berwarna merah. Ujung pakaiannya melambai-lambai panjang dan perlahan-lahan turun ke tanah. Bau harum semerbak memenuhi puncak bukit

"Heh… Baunya saja sewangi ini, pasti Peri Sesepuh ini cantik sekali…" bisik Setan Ngompol sambil menyikut Naga Kuning. "Tubuhnya pasti tinggi semampai, langsing dan dadanya heh…" Setan Ngompol senyum-senyum sendiri.

Semakin dekat sosok merah yang turun di langit itu semakin jelas bentuknya. Ketika sosok ini akhirnya sampai di puncak bukit dan menggantung di udara setinggi dua tombak, Setan Ngompol terperangah dan cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya. Apa yang diduga dan diucapkannya ternyata meleset sangat jauh.

Yang bernama Peri Sesepuh itu ternyata seorang perempuan bertubuh luar biasa gemuknya. Wajahnya bulat dan selalu keringatan. Hidungnya lebar pesek. Selain dandanannya sangat mencolok, pada pipi kirinya ada sebuah tahi lalat selebar telur burung merpati. Dagu dan lehernya tidak kelihatan lagi karena gemuk berlemak jadi satu. Rambut di kepalanya disanggul aneh diikat dengan sebuah pita merah. Lalu pada telinga kirinya melingkar sebuah giwang besar berbentuk bulat berwarna merah.

Tubuhnya yang berbobot lebih dari dua ratus lima puluh kati itu dudukdi atas sebuah kursi batu pualam merah. Dia mengenakan lilitan kain sutera merah. Di bagian atas kain merah ini tidak menutupi seluruh dadanya yang gembrot hingga ketiaknya tersingkap lebar. Di sebelah bawah kain sutera itu hanya melingkar sampai pertengahan paha sedang ujungnya bergulung di bagian belakang dan terus menjela ke bawah ke rumput di atas bukit. Ketika sang Peri tersenyum kelihatanlah giginya yang besar-besar.

"Kukira yang datang ini bukan Peri Sesepuh. Tapi Peri Raksesi…!" kata Setan Ngompol yang kecewa besar karena apa yang dia harapkan berbeda dengan kenyataan.

Naga Kuning tertawa cekikikan sedang murid Eyang Sinto Gendeng garuk-garuk kepala pulang balik. Lalu dia cepat berbisik. "Hussss! Bagaimanapun keadaannya kita harus bersyukur dan berterima kasih dia mau menolong kita. Jangan bicara yang bukan-bukan dan jangan bicara keras-keras. Kalau sampai terdengar Peri gembrot itu bisa urung kita jadi orang!"

"Kalau saja kawanmu si Dewa Ketawa atau si Bujang Gila Tapak Sakti yang gendut-gendut itu ada di sini, pasti mereka senang sekali melihat Peri gemuk itu…" menyahuti Naga Kuning.

Setelah mengapung diam di udara beberapa ke tika, Peri Sesepuh dan kursinya bergerak merendah. Pada ketinggian hanya tinggal satu tombak dari atas bukit sang Peri melayang berputar-putar mengelilingi orang-orang yang ada di atas bukit itu. Pada putaran ke tujuh baru dia berhenti. Tepat di hadapan Peri Angsa Putih dan Hantu Tangan Empat lalu perlahan-lahan kursi yang didudukinya turun ke bawah menjejak permukaan bukit yang ditumbuhi rumput biru.

"Astaga!" seru Naga Kuning dengan mata melotot seraya menggamit Wiro dan Setan Ngompol. "Wiro, Setan Ngompol, apa yang aku lihat sudah kalian lihat juga?!"

Wiro mengulum senyum. Walau merasa jengah tapi matanya tidak dialihkan dari apa yang dilihatnya seperti barusan dikatakan Naga Kuning. Setan Ngompol sendiri tertegun dengan mata mendelik, menatap ke arah Peri Sesepuh, tak bisa keluarkan suara, hanya tenggorokannya saja yang naik turun seperti orang ketulangan.

"Peri edan…!" terdengar kembali suara Naga Kuning. "Duduknya ngongkong! Aku bisa melihat jelas sekali dari sini…"

"Aku juga! Benar-benar gila! Dia tidak pakai celana! Mungkin dia tidak punya celana dalam!" kata Setan Ngompol sambil matanya terus mengawasi dan dua tangannya dipakai menekap bagian bawah perut.

"Mungkin di negeri ini memang tidak ada perempuan pakai celana. Celana dalam tidak dikenal di sini! Ha ha ha…!" Wiro tertawa bergelak.

"Dari mana kau tahu?!" ujar Setan Ngompol. "Memangnya kau pernah mengintip perempuan di sini mandi…?!"

Naga Kuning terus menimpali. "Wiro, tadi waktu kita menunggu lama kau bilang mungkin Peri itu sedang kencing di sungai. Mungkin benar. Selesai kencing celananya ketinggalan di sungai! Hik hik hik!"

Wiro usap matanya yang basah karena tertawa terus-terusan kemudian melirik pada Peri Angsa Putih. Lalu berbisik pada teman-temannya. "Lihat Peri Angsa Putih… dia tidak berani memandang ke depan. Mukanya bersemu merah. Berarti dia sudah melihat dan tahu kalau Peri gembrot itu tidak pakai celana!"

"Sssstttt… Coba kalian lihat Hantu Tangan Empat," bisik Naga Kuning pula. Wiro dan Setan Ngompol berpaling.

Saat itu Hantu Tangan Empat sudah tak kedengaran lagi suara racauannya. Tenggorokannya seperti tercekik. Beberapa kali dia batuk-batuk. Sedang dua matanya yang memberojol keluar tampak bertambah besar dan seperti mau melompat. Memandang lurus-lurus ke arah Peri Sesepuh yang duduk di kursi batu hanya empat langkah di hadapannya!

"Dia pasti sudah melihat…" bisik Setan Ngompol.

"Pasti!" bisik Wiro. "Matanya tidak berkedip, tenggorokan dan dadanya turun naik. Di pinggiran mulutnya ada air liur mengalir!"

"Peri Angsa Putih!" Tiba-tiba Peri Sesepuh membuka mulut.

"Orangnya seperti raksesi gendut. Suaranya seperti tikus nyingnying!" celetuk Naga Kuning yang tak bisa diam.

"Apakah persiapan pelaksanaan permohonan sudah rampung?"

Peri Angsa Putih yang sampai saat itu masih meletakkan dua tangannya di atas kepala membungkuk sedikit lalu menjawab. "Wahai Peri Sesepuh, pimpinan dan junjungan dari segala Peri. Pertama sekali kami mengucapkan terima kasih atas kesudian Peri turun ke bukit ini untuk menyaksikan permohonan dan tentunya tidak akan terlaksana tanpa berkah dari Peri. Persiapan memang sudah dirampungkan. Kami segera akan melaksanakan…"

Peri Sesepuh melirik ke arah HantuTangan Empat. "Wahai Hantu Tangan Empat, kau sudah siap?"

Hantu Tangan Empat manggut-manggut. "Siap Wahai Peri Sesepuh," katanya kemudian dengan suara tercekik lalu batuk-batuk.

"Kalau begitu segera laksanakan!" kata Peri Sesepuh pula sambil angkat tangan kanannya lalu menunjuk ke depan.

"Ssttt…" Naga Kuning kembali berbisik. "Waktu Peri itu mengangkat tangannya aku melihat ada ijuk berjubalan di bawah ketiaknya… Hik hik hik!"

"Kau ini! Ada saja yang kau lihat…" kata Setan Ngompol tapi segera mementang mata melihat ke arah ketiak Peri Sesepuh.

"Tunggu dulu!" Tiba-tiba Peri Sesepuh berseru. Tangan kirinya diangkat. Tapi tidak menunjuk seperti tadi melainkan dimasukkan ke salah satu lobang hidungnya lalu enak saja dia mengupil sampai matanya meram melek!

"Celaka! Jangan-jangan Peri itu mendengar apa yang barusan kau katakan Naga Kuning! Dia pasti marah!" ujar Wiro.

Setan Ngompol langsung terkencing. "Sebelum permohonan dilakukan, aku ingin melihat dulu mana tiga makhluk cebol yang ingin minta dibesarkan itu?!"

Peri Angsa Putih berpaling pada Wiro dan dua temannya yang berada di atas batu. Lalu berkata. "Berteriaklah. Kami ada di sini wahai Peri Sesepuh!"

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol segera melakukan apa yang dikatakan Peri Angsa Putih.

"Kami ada di sini wahai Peri Sesepuh…"

Peri gembrot itu keluarkan tangan kirinya dari lobang hidung dan berpaling ke arah batu. Sesaat memandangi dia lalu menyeringai. "Aku mau melihat salah satu dari kalian lebih dekat. Bagaimana bentuk kalian sebenarnya…" Sang Peri gembrot ulurkan tangan kirinya.

Peri Angsa Putih gerakkan tangannya. Wiro cepat menyelinap ke belakang seraya berkata. "Kau saja Naga Kuning!"

"Tidak! Aku melihat sendiri Peri itu tadi mengupil dengan tangan kiri. Kini dengan tangan itu dia hendak memegangku!"

"Kalau begitu kau saja Kek!" kata Wiro seraya mendorong tubuh Setan Ngompol.

Dorongan itu membuat Setan Ngompol terjatuh di depan jari-jari tangan Peri Angsa Putih. Peri itu segera saja mengambil si kakek lalu meletakkannya di telapak tangan Peri Sesepuh. Peri gemuk ini dekatkan tangan kirinya ke depan wajahnya. Sesaat kemudian dia bergumam.

"Heh… Makhluk jelek begini saja maunya macam-macam. Matanya saja juling. Badannya bau pesing… Kalau tidak memandang pada dirimu dan kakekmu wahai Peri Angsa Putih, tidak sudi aku turun dari langit menyaksikan permohonan ini!"

Lalu enak saja dialemparkan Setan Ngompol pada Peri Angsa Putih. Kalau tidak lekas disambuti Peri Angsa Putih, niscaya si kakek terbanting jatuh di atas batu datar!

Sampai di atas batu Setan Ngompol memaki panjang pendek. "Enak saja aku dibilangnya bau. Padahal upilnya yang sebesar tetampah dan masih menempel di jarinya membuat aku mau muntah!"

"Peri Sesepuh, bolehkah kami memulai upacara permohonan ini?" tanya Peri Angsa Putih setelah meletakkan kembali Setan Ngompoldi atas batu.

Peri Sesepuh anggukkan kepalanya lalu membersihkan tangannya yang tadi bekas memegang Setan Ngompol dengan ujung pakaian merahnya.

"Kakek Hantu Tangan Empat, silahkan kau membaca rapalan…" kata Peri Angsa Putih pula.

Ditunggu-tunggu tak ada suara Hantu Tangan Empat terdengar. "Kek…?!" ujar Peri Angsa Putih.

Karena masih belum ada jawaban Peri Angsa Putih berpaling. Ternyata Hantu Tangan Empat tengah menatap tak berkedip ke arah Peri Sesepuh. Dengan wajah bersemu merah Peri Angsa Putih julurkan kakinya menendang paha si kakek. Hantu Tangan Empat baru tersadar lalu cepat-cepat bertanya.

"Ya, apa…?"

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol tertawa cekikikan. "Hantu itu rupanya terpesona melihat pemandangan ajaib yang dibuat Peri Sesepuh!" kata Wiro.

"Hantu Tangan Empat!" Peri Sesepuh tiba-tiba berkata karena menunggu tidak sabaran. "Sebentar lagi matahari akan sampai di titik tertingginya. Aku tidak punya waktu banyak menunggu. Kau akan mulai dengan upacara permohonan ini atau bagaimana?!"

Mendapat teguran itu Hantu Tangan Empat memohon maaf berulang kali. "Maafkan saya wahai Peri Sesepuh. Saya sudah siap…"

"Kalau begitu segera mulai!" ujar Peri Sesepuh seraya menggeser duduknya. Celakanya gerakan ini membuat keadaannya tambah tersingkap. Dua mata Hantu Tangan Empat jadi tambah mendelik.

"Kek! Mulailah! Kau tunggu apa lagi?!" Peri Angsa Putih mulai jengkel dan tidak sabaran. Dia khawatir Peri Sesepuh jadi marah dan meninggalkan tempat itu kembali ke langit.

Hantu Tangan Empat berkomat kamit. Suaranya terdengar seperti tercekik dan sebentar-sebentar dia batuk-batuk sementara dua matanya saja melotot ke arah Peri Sesepuh.

"Hantu Tangan Empat!" kembali Peri gemuk Ku menegur. "Suaramu terdengar aneh. Tak jelas mantera yang kau ucapkan. Sebentar-sebentar kau batuk. Ada apa dengan dirimu?!"

"Maafkan saya wahai Peri Sesepuh… Saya memang sedang kurang sehat. Masuk angin…"

"Kalau kau masuk angin harusnya keluar angin. Bukan melantur membaca mantera!" tukas Peri Sesepuh yang membuat Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sama-sama menyengir.

"Kurasa Hantu Tangan Empat terpengaruh melihat Peri Sesepuh yang duduknya tak karuan seperti itu…" kata Wiro.

"Dia seperti lupa mau berbuat apa. Lupa membaca mantera. Kalau salah kita bisa celaka… Bukannya tubuh kita jadi besar, malah tambah kecil!" ujar Naga Kuning.

"Maafkan saya wahai Peri Sesepuh. Saya segera mulai…" kata Hantu Tangan Empat.

Dia menunduk sesaat dan mulai melafalkan kata-kata dalam bahasa aneh yang tidak dimengerti Wiro dan dua kawannya. Namun kakek ini hanya sesaat saja tundukkan kepala. Di lain saat dia kembali mengangkat kepala dan memandang ke arah Peri Sesepuh. Akibatnya mantera apa yang harus dibacanya di luar kepala jadi kacau.

Sementara itu setelah beberapa saat dibacai mantera, tubuh Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol sedikit demi sedikK menjadi besar. Ketiga orang Ku hendak berteriak gembira saking girangnya. Tapi PeriAngsa Putih cepat memberi tanda agar mereka berdiam diri. Hantu Tangan Empat kembali meneruskan membaca mantera. Sosok Wiro dan dua kawannya semakin besar. Saat itu telah mencapai setinggi lutut orang orang di negeri Latanahsilam.

"Selamat kita! Sebentar lagi kita akan jadi sebesar mereka!" kata Wiro pada dua temannya. Ketiga orang itu saling berangkulan saking girangnya.

"Kalau tubuhku sudah besar, akan kucari anak perempuan bernama Luhkimkim itu…" kata Naga Kuning.

"Aku akan mencari nenek berdandan medok yang katanya sudah kawin beberapa kali itu tapi lakinya mati semua. Ingin tahu aku apa kehebatan perempuan satu itu! Hik hik hik!" kata Setan Ngompol menimpali.

Di atas kursi batu pualam merah Peri Sesepuh menguap lebar. Dua kakinya dijulurkan di atas rumput sedang tubuhnya enak saja digeser ke depan. Dua mata Hantu Tangan Empat berkedap-kedip lalu nyalang besar. Tenggorokannya turun naik. Suaranya merapal kini hilang-hilang timbul. Lalu berhenti sama sekali.

Wiro dan kawan-kawan melepas rangkulan masing-masing. "Apa Hantu Tangan Empat sudah selesai merapal manteranya? Tapi tubuh kita masih setinggi lutut begini!" ujar Wiro.

Peri Angsa Putih berpaling. "Kek…?!"

"Hantu Tangan Empat?!" Di atas kursi merah Peri Sesepuh bertanya. "Sudah selesai kau membaca mantera membesarkan tiga makhluk cebol itu?!"

"Be… belum wahai Peri Sesepuh…" jawab Hantu Tangan Empat tersendat

"Kalau begitu lekas kau lanjutkan!" Peri Sesepuh memandang ke langit

"Cepat Kek!" bisik Peri Angsa Putih. Kembali gadis ini tendang paha kakeknya dengan ujung kaki.

Hantu Tangan Empat kembali merapal. Tapi matanya masih terus nyalang besar.

"Tutup kedua matamu!" kata Peri Angsa Putih yang dengan muka merah maklum apa yang terus-terusan dilihat kakeknya sejak tadi.

"Percuma… Aku tak bisa meneruskan merapal mantera itu di luar kepala…"

"Heh, kenapa tak bisa…?" tanya Peri Angsa Putih.

"Maafkan saya. Saya lupa terusan manteranya. Walau dicoba dan dipaksa tetap saja tidak bisa!" jawab Hantu Tangan Empat.

"Celaka! Hantu Tangan Empat tak bisa meneruskan membaca mantera. Sementara kita masih sebesar ini!" Setan Ngompol berkata setengah menjerit lalu terkencing-kencing.

"Pasti ini gara-gara dia melihat Peri Sesepuh duduk mengongkong!" teriak Naga Kuning banting-banting kaki. "Wiro! Katakan sesuatu! Lakukan apa saja!"

Wiro garuk-garuk kepala. "Nasib kita jelek kawan-kawan. Hantu Tangan Empat terpengaruh oleh apa yang dilihatnya. Dia tak bisa meneruskan membaca mantera! Berarti keadaan kita hanya sebesar ini! Setinggi lutut!"

"Celaka!" seru Naga Kuning.

"Sial nasib kita!" ujar Setan Ngompol.

"Bukan kita yang sial! Tapi Hantu keparat itu yang sialan!" maki Naga Kuning pula.

"Kalau kupikir-pikir bukan si Hantu Tangan Empat yang sial! Penyebab kesialan ini justru adalah Peri Sesepuh! Coba kalau dia tidak duduk seenaknya seperti itu pasti bacaan mantera Hantu Tangan Empat lancar dan kita akan jadi sebesar mereka!" kata Wiro pula.

"Waktuku habis!" Tiba-tiba Peri Sesepuh berkata. Dia menggeliat lalu mengangkat dua tangan. Perlahan-lahan kursi batu pualam merah yang didudukinya bergerak naik ke atas.

"Maafkan saya wahai Peri Sesepuh…" kata Hantu Tangan Empat sambil membungkuk. Ketika Peri Sesepuh mencapai ketinggian sepuluh tombak di udara Hantu Tangan Empat segera berdiri.

"Keki Apa yang terjadi dengan dirimu?! Sekarang kau mau kemana?!" tanya Peri Angsa Putih lalu cepat berdiri.

"Tak ada yang bisa aku lakukan lagi, wahai cucuku. Aku akan pergi ke air terjun. Bersepi diri di sana barang beberapa lama…"

"Saat ini mungkin kau sudah ingat lanjutan mantera itu. Bagaimana kalau kau mengulangi agar tiga orang itu bisa mencapai besar seperti kita?"

Hantu Tangan Empat menggeleng. "Tidak mungkin untuk saat ini wahai Peri Angsa Putih. Selama Peri Sesepuh tidak hadir menyaksikan hal itu tidak mungkin dilakukan…"

"Kalau begitu panggil Peri itu kembali. Ulangi lagi besok sebelum tengah hari!" teriak Wiro.

"Aku khawatir!" berkata Naga Kuning. "Kalau Hantu Tangan Empat membaca mantera yang salah atau terbalik-balik, kita bukannya tambah besar tapi bisa-bisa tubuh dan muka kita jadi morat marit!"

"Benar!" kata Setan Ngompol pula. "Malah mungkin hanya bagian tubuh tertentu saja yang besar. Kalau anuku atau anumu saja yang membesar apa tidak lebih celaka?!"

Wiro terdiam sesaat lalu tertawa gelak-gelak. Naga Kuning dan Setan Ngompol ikut tertawa hingga tempat itu menjadi riuh.

Hantu Tangan Empat berpaling menatap pada ketiga orang yang kini telah berubah menjadi sebesar dan setinggi lutut itu. Perlahan-lahan dia usapkan dua tangannya di depan wajahnya. Serta merta mukanya kembali seperti semula, wajah seorang kakek tua bermuka rata. Tangannya yang empat kini menjadi dua kembali. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia tinggalkan puncak bukit berumput biru itu.

"Kakek Hantu Tangan Empat!" Wiro berteriak memanggil.

Hantu Tangan Empat hentikan langkahnya dan berpaling. "Ada apa…?" tanyanya datar.

"Terima kasih! Bagaimanapun juga kami harus mengucapkan terima kasih padamu. Kau sudah membuat kaki kami, tangan, muka, badan… Apa lagi?" Wiro berpaling pada Naga Kuning.

"Anu kita!" Jawab si bocah enak saja mungkin karena masih kecewa dengan keadaan tubuh yang tidak seperti diharapkan.

"Ya, kau telah membuat tangan, muka, kaki, tubuh dan anu kami menjadi lebih besar! Kami benar-benar berterima kasih…!"

Hantu Tangan Empat mengangguk. Lalu untuk pertama kalinya menyeruak senyum di wajahnya yang rata itu. "Terima kasih kembali. Mudah-mudahan kalian bisa mempergunakan anu kalian sebagaimana mestinya…" katanya.

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol jadi saling pandang lalu tertawa gelak-gelak.

"Tidak disangka hantu tua itu bisa bercanda juga!" kata Wiro.

"Hai, apa yang kalian tertawakan?" tiba-tiba Peri Angsa Putih bertanya sambil duduk di rumput di depan

"Kami barusan bicara soal anu…" jawab Wiro sambil senyum-senyum

"Soal anu? Anu apa?" tanya Peri Angsa Putih.

Ditanya seperti itu kembali ketiga orang itu tertawa gelak-gelak.

"Hai! Kalian Ini bicara apa? Apanya yang anu?" tanya Peri Angsa Putih kembali.

"Ya, anunya si anu yang sekarang sudah jadi sebesar anu!" sahut Setan Ngompol lalu tertawa gelak-gelak dan tentu saja disertai dengan terkencing-kencing...!

Bersambung...
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.