Rahasia Kincir Hantu

Wiro Sableng, Rahasia Kincir Hantu
Sonny Ogawa

RAHASIA KINCIR HANTU

SINOPSIS

Bendera kuning sampai didepan kaki si Hati Baja. Dia siap untuk melompat. Tapi tiba-tiba diatas atap kakek kepala teleng mengeluarkan suitan keras. Bersamaan dengan itu kincir hantu mengeluarkan suara dahsyat. Diantara suara gemuruh yang menegakkan bulu roma itu terdengar suara aneh berkepanjangan.

"Clak-Clak-Clak...!"

Pantulan sinar putih membersit dari pinggiran roda kincir, membuat dua mata Hati Baja sakit dan silau. Dia bermaksud mengusap matanya dengan tangan kiri. Namun, belum kesampaian tiba-tiba jeritan setinggi langit mengumandang keluar dari mulutnya. Dari bawah kakinya kelihatan darah menyembur...


********************

GEMURUH suara kincir raksasa itu terdengar tidak berkeputusan. Pada siang hari saja suaranya begitu ngeri menggetarkan. Apa lagi pada malam hari. Di atas atap rumah kincir seorang kakek berkepala teleng, mengenakan caping bambu duduk uncang-uncang kaki sambil menghisap pipa yang menebar bau serta asap aneh berwarna merah.

Sambil hembuskan asap merah dari mulut dan hidungnya kakek ini memandang berkeliling. Dalam hati dia berkata. "Sudah tiga minggu berlalu sepi-sepi saja. Apakah orang sakti dan pandai di negeri ini sudah habis semua? Atau masih ada tapi tidak punya nyali untuk menjajal kincirku, takut menghadapi tantanganku? Kalau begini naga­naganya urusanku tidak bakal rampung!"

Di puncak bangunan terpancang sebuah bendera dari jerami kering berwarna kuning, melambai-lambai kaku ditiup angin. Kakek teleng hisap dalam-dalam pipanya. "Sial! Lama-lama aku bisa mengantuk!" katanya setengah memaki.

Kakek ini lalu menatap kehalaman luas di depan rumah kincir. Seperti menghitung-hitung dia berucap. "Satu… dua… sembilan… empat belas… ah! Sudah empat belas orang sakti menemui kematian. Sudah tujuh purnama berlalu. Tapi tidak satu pun dari mereka membekal benda yang kucari. Kalau sampai dua purnama lagi benda itu tidak kudapatkan, celaka diriku! Siapa diantara dua makhluk itu yang akan membunuhku lebih dulu?!"

Caping di atas kepala kakek teleng bergerak-gerak tanda si kakek menggeleng-geleng gelisah berulang kali. Sementara itu di atas satu pohon besar di seberang halaman rumah kincir, tiga sosok tubuh mendekam di balik kerimbunan dedaunan tanpa setahu kakek teleng bercaping. Mereka bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, bocah konyol bernama Naga Kuning dan si kakek berjuluk Setan Ngompol.

"Keterangan saudara kita Lakasipo ternyata betul. Kita akhirnya menemukan benda aneh yang disebut Kincir Hantu itu," berkata Naga Kuning dengan suarasangat perlahan.

"Tengkukku mengkirik, aku setengah mati berusaha menahan ngompol. Apa kalian tidak melihat semua keanehan mengerikan yang ada di bawah sana?! Siapa adanya kakek teleng bercaping itu? Tukang jaga atau pemilik Kincir Hantu itu…?" Yang bicara adalah Si Setan Ngompol.

Wiro garuk kepalanya. "Kincir itu berputar karena arus air yang datang dari sebelah kanan. Air dicurahkan ke saluran di sebelah kiri. Kincir biasanya untuk mengairi pesawahan. Tapi aku tidak melihat sawah atau ladang di sekitar sini. Lalu ke mana air itu perginya, untuk apa…? Dan ini yang gila! Empat belas mayat yang sudah jadi jerangkong bergeletakan di halaman rumah kincir. Semua jerangkong tidak memiliki kaki. Putus seperti ditebas sesuatu…"

"Kurasa kakek di atas atap itu yang membunuhi semua orang itu! Lihat saja dia sengaja menancapkan bendera kuning di atas rumah kincir. Bukankah bendera kuning tanda perkabungan, tanda kematian?!"

"Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Aku sudah tidak bisa menahan kencing!" kata Setan Ngompol sambil menepuk bahu Wiro.

"Tunggu dulu!" kata Naga Kuning. "Dari sikapnya kakek itu seperti menunggu seseorang…"

"Mungkin menunggu korban berikutnya," menyahuti Wiro. "Semua korban berkaki putus. Jika memang hendak membunuh orang mengapa tidak menusuk dada atauperut atau menabas lehernya? Sungguh aneh… Kek, sebaiknya kita tunggu agar bisa melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi di tempat angker ini!"

"Kalau begitu biar aku turun. Kalian mau menunggu sampai tujuh hari tujuh malam silahkan saja! Aku tidak mau ikut-ikutan!" kata si kakek. Lalu dia menggeser kakinya, siap hendak melompat turun. Namun niatnya ini jadi urung ketika mendadak satu bayangan berkelebat disertai seruan keras.

"Lateleng! Aku datang untuk menjajal kehebatan Kincir Hantumu!"

Sesaat kemudian seorang lelaki gagah, berjanggut dan berkumis lebat tapi rapi serta mengenakan topi tinggi merah seperti tarbus tahu-tahu sudah tegak di halaman di depan rumah kincir. Matanya menatap ke arah kakek bercaping lalu berpaling memperhatikan kincir besar yang berputar dengan suara gemuruh.

Di atas atap rumah kincir kakek teleng berdiri lalu buka capingnya dan menjura memberi hormat padaorang yang tegak di halaman. "Wahai kerabat yang datang! Aku rasa-rasa mengenal dirimu! Tapi dari pada kesalahan menduga sebaiknya kau suka memberi tahu siapa nama atau gelarmu!"

Orang di depan rumah kincir usap janggutnya, permainkan sebentar ujung kiri kumis lebatnya lalu menjawab. "Aku Lakerashati. Orang di Latanahsilam menyebutku Si Hati Baja! Apakah keteranganku cukup bagimu wahai Lateleleng?"

"Lakerashati! Bergelar Si Hati Baja! Sungguh satu kehormatan kau mau mendatangi tempat burukku ini! Mendengar seruanmu tadi, apa benar kau berniat hendak menjajal kehebatan Kincir Hantu milikku ini?"

Si Hati Baja angkat tangan kanannya dan menjawab. "Itu yang aku inginkan! Tetapi apakah imbalan seperti yang dikabarkan orang itu memang benar adanya? Aku tidak mau tertipu! Aku tidak mau menjadi korban karena ketololan seperti orang-orang ini!" Si Hati Baja memandang seputar halaman dimana berkaparan empat belas jerangkong. Dalam hati dia berkata.

"Jerangkong­-jerangkong ini sepertinya tidak membusuk lebih dulu. Ada sesuatu yang membuat mereka bisa langsung jadi tulang belulang seperti ini!"

Di atas atap rumah kincir kakek bernama Lateleng tertawa mengekeh. "Aku Lateleng seumur hidup tak pernah berdusta! Siapa saja yang sanggup berdiri selama tiga kali putaran di atas Kincir Hantu akan menerima hadiah sebuah kitab berisi ilmu kesaktian yang sanggup membuat seseorang memanggil dan memelihara tujuh macam Jin. Inilah kitabnya!"

Dari balik capingnya kakek teleng itu lalu keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun yang sangat liat. Bagian depan kitab itu ada tulisan berbunyi KESAKTIAN MENGUASAI TUJUH JIN. Kitab itu diacungkannya ke arah Si Hati Baja lalu dimasukkannya kembali ke balik caping.

"Tetapi sesuai dengan syarat yang sudah kutentukan! Segala akibat menjajal Kincir Hantu adalah menjadi tanggung jawab sendiri! Wahai Si Hati Baja, apakah kau menerima syarat itu?"

"Aku menerima!" jawab Si Hati Baja.

"Kuharapkan kakimu benar-benar sekuat baja! Kudoakan agar kau bisa berdiri di atas Kincir Hantu selama tiga kali putaran! Namun ada satu syarat lagi! Ketahuilah siapa saja yang ingin menjajal kehebatannya di atas Kincir Hantu sedikitnya harus berusia enam puluh tahun. Berapakah usiamu wahai Hati Baja?"

"Hampir delapan puluh tahun!"

Lateleng tersenyum. Dalam hati diaberkata. "Kejadian itu empat puluh tahun silam. Berarti ada kemungkinan dia memiliki benda itu!"

"Aneh! Mengapa kakek itu pakai menanya usia segala? Seperti sayembara saja!" kata Naga Kuning yang mendekam di atas pohon bersama Wiro dan Si Setan Ngompol.

"Hati Baja, apakah kau sudah siap?!" Dari atas atap terdengar suara Lateleng bertanya. "Aku sudah siap dari tadi!" jawab Lakerashati alias Si Hati Baja.

"Bagus!" Lateleng tertawa mengekeh. Dia sedot pipanya dalam-dalam lalu kepulkan asap merah. Tanpa menoleh ke belakang dia cabut bendera kuning yang menancap di atas atap. Capingnya kembali diletakkan di atas kepala. Bendera kuning itu diacungkannya ke atas.

"Hati Baja! Bendera ini akan kutancapkan di ruas kincir! Pada saat kincir berputar dan bendera kuning berada di bagian paling atas, kau harus melompat ke atas kincir. Kau harus bertahan sampai bendera kuning mencapai bagian atas kincir sebanyak tiga kali! Jika kau mampu melakukan itumaka kau akan mendapatkan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin!"

Si Hati Baja tertawa jumawa. "Baru tiga kali putaran. Tiga puluh putaran pun aku sanggup!"

Lateleng tertawa lebar. "Ucapanmu membuat aku kagum wahai Hati Baja! Bisakah kita mulai sekarang?!"

"Dengan segala hormat!" jawab Si Hati Baja seraya sunggingkan senyum dan sedikit tundukkan kepala.

"Lihat bendera!" seru Lateleng dari atas atap. Tangannya yang memegang bendera bergerak. Bendera kuning melesat ke bawah lalu menancap dipinggiran kayu yang merupakan roda kincir. Karena kincir berputar ke kiri maka bendera ikut berputar ke jurusan yang sama. Sesaat kemudian bendera kuning itu lenyap di sebelah kiri. Tak lama berselang muncul lagi di sebelah kanan dan ikut naik ke atas sesuai putaran kincir. Sesaat sebelum putaran kincir mengantar bendera kuning ke bagian paling tinggi, Lateleng berseru.

"Hati Baja! Sekarang!"

Lakerashati alias Si Hati Baja gentakkan kaki kanannya ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melesat enteng ke udara dan jatuh tegak tepat di belakang bendera kuning yang menancap di roda kincir yang berputar. Karena roda berputar, agar dia tetap bisabertahan di atas kincir maka Si Hati Baja mulai berlari-lari kecil di atas kepingan­-kepingan kayu besi hitam yang membentuk cegukan dan mengantar air dan sengaja menghadap ke jurusan berlawanan dari arah putaran kincir. Sambil tertawa-tawa Si Hati Baja melakukan hal itu.

"Pekerjaan begini mudah! Anak kecil yang baru belajar ilmu silat kampunganpun sanggup melakukannya!" katanya dalam hati.

Tak selang berapa lama bendera kuning kelihatan muncul di hadapan lelaki bertopi merah tinggi itu, borgerak di atas roda kincir, mendekati sepasang kaki Si Hati Baja yang berlari-lari kecil.

"Satu!" teriak Lateleng dari atas atap.

Si Hati Baja mendongak ke atas dan menyeringai. Lateleng cabut pipanya dari sela bibir. Lalu dengan ujung pipa diketuknya pinggiran kincir. Putaran kincir yang tadi bergerak tidak terlalu cepat kini berubah kencang dan mengeluarkan suara bergemuruh. Untuk mengimbangi Hati Baja mempercepat larinya, hingga walau kincir bergerak lebih cepat dia masih tetap berada di atas kincir tanpa kesulitan apa-apa.

Di atas pohon berdaun rimbun di seberang halaman rumah kincir Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol memperhatikan semua kejadian itu tanpa bergerak tanpa bersuara. Mereka masih terheran-heran apa sebenarnya yang tengah berlangsung. Hanya untuk mendapatkan sebuah buku aneh, seseorang diuji kepandaiannya begitu mudah. Lalu kalau cuma itu yang dilakukan mengapa ada empat belas mayat berkaki buntung berkaparan di halaman sana?!

Keanehan apa sebenarnya yang tersembunyi di balik kaki-kaki buntung itu?! Lalu mengapa kincir itu dinamakan Kincir Hantu? Bendera kuning muncul untuk ke dua kalinya disisi kanan kincir raksasa. Begitu sampai di hadapannya, seperti tadi Lateleng sedot pipanya, kepulkan asap merah lalu cabut pipa itu dan ketukkan ke pinggiran kincir begitu bendera kuning sampai di putaran tertinggi.

"Dua!" berseru kakek kepala teleng itu.

Kincir raksasa bergemuruh lebih keras dan putarannya juga semakin cepat. Tanah halaman bahkan sampai pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya berada bergetar keras.

"Gila! Apa yang terjadi!" Kakek berjuluk Si Setan Ngompol pegangi bagian bawah perutnya yang mendadak basah karena tak dapatmenahan kencing.

Di atas kincir yang berputar Si Hati Baja tetap tenang. Masih tersenyum-senyum dia percepat gerakan kakinya untuk mengimbangi dan menjaga agar diatetap berada di sebelah atas kincir.

"Kek, kalau cuma begitu-begitu saja kukira kau bisa menjajal KincirHantu itu…" kata Naga Kuning pada Si Setan Ngompol. "Cuma sayang, kau sudah keduluan orang memakai tarbus merah itu!"

Setan Ngompol diam saja karena masih tegang memegangi bagian bawah perutnya. Wiro memperhatikan semua yang terjadi di depannya tanpa berkesip. Sudut matanya melihat bendera kuning untuk ke tiga kalinya muncul di sisi kincir sebelah kanan.

"Putaran ke tiga… Orang bertopi merah agaknya segera akan mendapatkan kitab sakti itu!" Naga Kuning kembali berkata dengan suara perlahan.

Si Hati Baja menyeruakkan senyum ketika dia melihat bendera kuning untuk kali ke tiga berputar ke arah tempatnya berlari di tempat di atas roda kincir. Dia mempercepat larinya dan menjaga keseimbangan kaki serta tubuh.

"Lateleng! Sebentar lagi kau harus menyerahkan kitab sakti itu padaku! Ternyata Kincir Hantumu yang digembar-gemborkan ini tidak ada apa-apanya! Ha ha ha!" Si Hati Baja tertawa bergelak. Kakek bercaping di atas atap rumah ikut-ikutan tertawa lalu sedot pipanya dalam-dalam.

"Aku siap menyerahkan kitab sakti ini padamu wahai Hati Baja!" kata si kakek seraya tepuk capingnya, di bawah mana dia menyimpan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin. "Tapi harap kau sedikit bersabar, menunggu sampai bendera kuning mencapai putaran sebelah atas!"

Si Hati Baja menyeringai. Hatinya girang sekali karena bendera kuning hanya tinggal satu langkah didepannya. Begitu dia melompat sedikit dan membiarkan bendera itu lewat di bawahnya maka rampunglah putaran ke tiga. Diam-diam tangan kanannya dialiri tenaga dalam sambil membatin.

"Kalau kakek ini menipuku, akan kuhantam dengan pukulan Baja Panas Meleleh Langit."

Bendera kuning sampai di depan kaki Si Hati Baja. Dia siap untuk melompat. Tapi tiba-tiba di atas atap kakek kepala teleng keluarkan suitan keras. Bersamaan dengan itu Kincir Hantu mengeluarkan suara dahsyat. Di antara gemuruh yang menegakkan bulu roma itu terdengar suara aneh berkepanjangan.

"Clak-Clak-Clak…!"

Pantulan sinar putih membersit dari pinggiran roda kincir, membuat dua mata Hati Baja sakti silau. Dia bermaksud mengusap matanya dengan tangan kiri. Namun belum kesampaian tiba-tiba jeritan setinggi langit mengumandang keluar dari mulutnya. Dari bawah kakinya kelihatan darah menyembur!

Saat itu juga sosok Si Hati Baja seperti terlempar setinggi dua tombak ke udara lalu jatuh bergedebukan di tanah halaman di depan rumah kincir. Dua potong benda menyusul jatuh ke tanah! Air yang mengalir di sisi kiri kincir raksasa tampak berubah merah!

"Astaga! Apa yang terjadi!" ujar Naga Kuning, lalu cepat-cepat tekap mulutnya karena sadar kalau-kalau suaranya terdengar sampai ke atap sana.

Si Setan Ngompol picingkan dua matanya yang belok jereng. Dua tangan langsung pegangi bawah perutnya yang kembali mengucur tak karuan!

Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya. "Gusti Allah!" Dia mengucap. "Sepasang kaki orang itu!"

Di atas atap kakek bernama Lateleng tegak berdiri, membuka capingnya dan menjura ke bawah, ke arah Si Hati Baja yang terkapar di tanah, mengerang sambil menggeliat-geliat.

"Wahai Hati Baja, ternyata kakimu tidak terbuat dari baja! Kau tidak mampu mencapai tiga kali putaran. Sayang… sayang sekali!"

"Manusia jahanam! Kau menipuku!" teriak Si Hati Baja.

"Aku menipumu katamu? Tipuan apa yang kulakukan padamu?!" tanya si kakek sambil tenggerkan kembali capingnya di atas kepala.

"Apa yang kau sembunyikan di permukaan kincir jahanam itu!" Si kakek geleng-gelengkan kepala lalu berkata. "Jangan berpikir, apa lagi menuduh yang bukan-bukan wahai Hati Baja! Seharusnya kau berhati polos. Mengakui kau tidak mampu berdiri selama tiga kali putaran di atas kincirku!"

"Bangsat tua?! Aku…"

Tubuh Si Hati Baja mendadak menggigil lalu kelojotan. Dia coba kerahkan tenaga dalam ke tangankanan. Maksudnya hendak menghantam si kakek yang ada di atas atap dengan satu pukulan sakti. Namun dia tak punya kemampuan mengangkat tangan. Sementara dua kakinya yang kini buntung sebatas pergelangan tersentak­-sentak.

Di atas atap Lateleng tertawa mengekeh. Sekali dia mengenjot dua kaki maka seperti seekor burung besar tubuhnya melayang turun ke tanah. Jatuh tegak tepat di samping sosok Si Hati Baja.

"Hati Baja… Hati Baja, wahai! Nasibmu malang amat! Akan kulihat apakah kaju memang membekal benda yang aku cari?!"

Habis berkata begitu si kakek sedot pipanya dalam­-dalam. Begitu mulutnya penuh dengan asap merah, asap itu lalu disemburkannya ke sekujur tubuh si Hati Baja mulai dari kepala sampai ke kaki yang buntung. Juga pada dua potong kaki Si Hati Baja yang tergeletak tak jauh dari situ.Hal itu dilakukannya sampai tiga kali. Di atas pohon Wiro dan dua kawannya kembali tersentak kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi.

"Lihat!" kata Wiro dengan muka pucat seraya menunjuk ke halaman sana. "Sosok lelaki berjanggut itu berubah menjadi jerangkong putih!"

Naga Kuning melongo seperti tak percaya. Kakek Si Setan Ngompol cepat-cepat palingkan muka tak berani memandang. Namun tak urung kencingnya sudah mengucur! Wiro dan Naga Kuning terus memperhatikan.

Kakek kepala teleng melangkah lebih dekat ke sosok Si Hati Baja yang telah berubah menjadi tulang belulang. Lalu dia membungkuk. Mengangkat kaki kiri orang itu. Si kakek tampak gelengkan kepala. Kaki yang barusan dipegangnya dilepas begitu saja. Kini dia mengangkat kaki kanan yang buntung. Seperti tadi dia kelihatan seperti memeriksa ke dalam rongga tulangkaki itu lalu kembali mencampakkannya. Kini dia memungut dua kutungan kaki Si Hati Baja. Memeriksa dan membalik­-balikkannya.

"Kurang ajar! Aku tidak menemukan benda yang kucari! Lagi-lagi sialan!" Dua kaki buntung yang kini hanya merupakan tulang putih itu dibantingkannya ke tanah hingga menancap amblas sampai setengahnya!

Dengan penuh perasaan jengkel Lateleng tegak berkacak pinggang. Di bawah caping sepasang matanya memandang tajam ke arah pohon besar. Dia tidak melihat apa-apa, kecuali tetesan-tetesan air yang jatuh dari sela-sela daun.

"Hemm… Tak ada hujan tak mungkin ada embun. Mengapa ada air menetes dari atas pohon?"

Si kakek bergumam. Dia putar badannya lalu melesat ke atas atap rumah kincir. Dia menunggu sampai roda kincir yang berputar mengantar bendera kuning ke atas. Begitu sampai di atas, bendera ini dicabutnya lalu ditancapkannya di tempat semula yakni di atas atap. Sekali lagi matanya memandang tajam ke arah pohon besar di seberang halaman.

Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning dan si kakek Setan Ngompol terkesiap kaget dan serasa terbang nyawa masing-masing ketika mendadak dari atas atap si kakek teleng berseru.

"Tiga makhluk yang sembunyi di atas pohon! Silahkan turun ke tanah perlihatkan diri! Siang bolong begini sembunyikan diri sungguh tidak pantas!"

"Celaka! Kakek itu sudah tahu kita sembunyi disini!" kata Naga Kuning.

"Bagaimana dia bisa tahu…" kata Setan Ngompol masih tetap berpaling dan dengan suara serta tubuh gemetaran.

Wiro memandang berkeliling. Daun-daun pohon besar dimana mereka bersembunyi sangat lebat. Sekalipun kakek itu tadi berada di halaman bawah sana sulit baginya untuk melihat Namun! Pandangan Wiro membentur pada sehelai daun yang bergoyang-goyang karena kejatuhan tetesan-tetesan air dari atas. Wiro mengurut pandangannya ke atas. Matanya sampai pada sosok Si Setan Ngompol yang basah di bagian bawah.

"Sial! Kek, kau yang membuat apes!" kata Wiro.

"Eh, mengapa aku yang kau salahkan?!" jawab Si Setan Ngompol seraya pelototkan matanya yang jereng.

Wiro tak sempat berdebat karena saat itu Naga Kuning berteriak. "Awas! Kakek itu menyerang kita!"

Pendekar 212 dan Si Setan Ngompol palingkan kepala ke arah rumah kincir. Benar apa yang diteriakkan Naga Kuning. Dari jurusan bangunan tersebut, sementara kincir hantu masih terus berputar menggemuruh, kelihatan menyambar tiga buah benda sebesar kepalan, berbentuk bulat merah. Selagi melayang di udara, tepat di atas halaman di depan rumah kincir, tiga benda itu berpijar terang lalu meletus keras dan berubah bentuk.

Kalau tadi merupakan tiga buah bola-bola merah muka kini menjadi larikan asap berwarna merah dan membeset ke arah tiga jurusan yang semuanya mengarah ke pohon besar di mana Wiro dan kawan-kawannya bersembunyi. Jelas tiga larikan asap merah itu satu persatu di arahkan pada Pendekar 212, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol. "Lompat!" teriak Wiro.

Tiga sosok berkelebat jungkir balik dari atas pohon, melompat ke tanah. Begitu injakkan kaki di tanah Wiro berguling sampai beberapa tombak, menjauh dari pohon besar. Hal yang sama dilakukan pula oleh si Setan Ngompol dan Naga Kuning.

"Wusss! Wusss!"

"Wusss!" Tiga larik asap merah melabrak pohon besar.

Semula Wiro dan kawan-kawannya mengira pohon besar itu akan segera hancur berantakan atau dilalap kobaran api. Ternyata tidak. Apa yang mereka saksikan membuat mereka jadi merinding. Pohon besar itu kini berubah menjadi pohon mati yang walau masih tegak tapi berada dalam keadaan memutih mulai dari ujung ranting sampai ke akar yang tersembul di atas tanah!

Dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan Wiro, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kalau sampai kena dihantam oleh tiga larik asap merah itu! Mereka bisa berubah menjadi jerangkong seperti yang tadi mereka saksikan apa yang terjadi dengan diri Si Hati Baja! Setan Ngompol megap-megap seperti orang mau tenggelam. Di atas matanya melotot besar sedang di bawah kencingnya mancur tidak ketolongan!

"Tua bangka kepala teleng itu! Dia hendak menjadikan kita tulang belulang alias jerangkong! Aku nekad untuk menghajarnya!"

Lalu kakek ini kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan, siap menghantam dengan pukulan bernama Setan Ngompol Mengencingi Bumi. Padahal saat itu celananya sudah basah kuyup di sebelah bawah!

"Aku juga!" berseru Naga Kuning. Bocah yang sebenarnya adalah kakek berusia seratus tahun lebih ini angkat tangan kanannya. Lima jari ditekuk seperti mau mencengkeram. Tangannya perlahan-lahan ber­ubah menjadi kebiruan. Naga Kuning hendak melepas satu pukulan sakti bernama Naga Murka Merobek Langit. Selama ini jarang sekali bocah ini keluarkan pukulan sakti tersebut. Ini satu pertanda bahwa dia benar-benar marah.

"Tahan!" Pendekar 212 cepat berseru lalu cepat melompat ke hadapan dua orang itu, menghalangi gerakan mereka.

"Apa-apaan ini?!" teriak Naga Kuning.

"Kau sudah gila? Mau mampus dimakan seranganku?!" membentak Si Setan Ngompol.

"Sahabatku, harap kalian bersabar. Jangan berlaku nekad! Kalau diturutkan hawa amarah, sudah tadi-tadi aku mendahului kalian menghajar kakek di atas atap itu! Kita bertiga dia sendirian masakan kita bisa kalah! Tapi kalau sampai kakek itu bisa lolos dari hantaman kita dan balas menyerang, kita bisa celaka. Kepandaiannya sulit diukur! Biar aku bicara dulu! Kalian berdua berjaga-jaga! Naga Kuning, kuharap kau mau mengeluarkan kesaktianmu yang bernama Naga Hantu Dari Langit Ke Tujuh. Ingat dulu bagaimana Hantu Tangan Empat setengah mati ketakutan melihat Ilmumu itu?"

Naga Kuning mengangguk perlahan. "Akan aku lakukan Wiro," katanya. "Tapi jika kau keburu mati duluan dihantam kakek teleng itu jangan salahkan diriku!"

Wiro berbalik lalu melangkah ke tengah lapangan. Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti di kiri kanannya. Sampai di tengah lapangan murid Sinto Gendeng hentikan langkah lalu lambaikan tangan kirinya ke arah kakek teleng di atas atap. Tangan kanan yang sudah dialiri tenaga dalam setiap saat siap melepaskan Pukulan Sinar Matahari.

"Orang tua di atas atap!" Wiro berseru. "Kami bukan seterumu! Kami datang bukan mencari permusuhan! Kami datang bersahabat! Kami tiga perantau jauh yang tertarik dan ingin melihat sendiri kehebatan Kincir Hantumu! Mohon maaf jika kehadiran kami terasa mengganggumu!"

Lateleng tidak segera menjawab. Dari bawah capingnya dia pandangi tiga orang itu. Dia hisap pipanya dalam-dalam. Setelah menghembuskan asap merah ke udara kakek ini lalu tertawa mengekeh.

"Tiga perantau asing! Datang dari jauh! Wahai! Sungguh hebat! Yang satu berambut gondrong pandai bicara! Satunya lagi bocah ingusan berlagak orang gagah! Yang terakhir kakek-kakek yang mengencingi pohon rindangku! Apa itu namanya kedatangan yang bersahabat?"

"Mohon maafmu orang tua! Kakek sahabatku ini punya penyakit sukangompol!" menjelaskan Wiro.

"Apa itu ngompol?!" tanya Lateleng tidak mengerti.

"Suka kencing tak karuan karena per di selang­kangannya sudah dol!" menjawab Naga Kuning.

Lateleng geleng-gelengkan kepala. Dia menuding ke arah Pendekar 212. "Kau tadi bilang ingin melihat sendiri Kincir Hantuku! Hemmm… Berarti kalian hendak mencoba menjajal kincirku. Rupanya masih ada makhluk yang lebih tolol dari pada manusia berjuluk Hati Baja yang sudah mampus dan kini tinggal jerangkong itu!"

Setan Ngompol terus saja mengucur air kencingnya mendengar ucapan Lateleng itu. "Maaf Kek! Maksud kami bukan itu…!"

"Kau gondrong, masih muda! Juga kawanmu yang belia itu. Belum cukup umur untuk menjajal Kincir Hantu. Tinggal tua bangka yang satu itu. Harap kenalkan diri! Apa kau sudah siap untuk menjajal Kincir Hantuku dan mengharap imbalan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin?!"

Setan Ngompol cepat gelengkan kepala dan goyang­-goyangkan ke dua tangannya. Di sebelah bawah semakin keras kucuran air kencingnya! Sementara itu Kincir Hantu mulai bergerak perlahan dan akhirnya berhenti.

"Orang tua di atas atap," Wiro cepat menjawab. "Kami bertiga, apa lagi kakek sahabatku ini mana berani bertindak congkak menjajal kehebatan kincirmu! Terus terang kami sangat kagum. Itu saja! Kami tidak ada maksud untuk menjajalnya!"

Kakek teleng cuma menyeringai sinis mendengar ucapan Wiro. "Kalau kau tidak bermaksud, wahai! Bagaimana sekarang kalau aku yang mengundang?!" ujar Lateleng pula lalu membuka capingnya dan menjura kearah Si Setan Ngompol.

"Tidak… Jangan! Maafkan aku! Maafkan kami bertiga!" kata Setan Ngompol dengan muka pucat.

"Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Aku dan kawan­kawan akan segera meninggalkan tempat ini. Kami mohon maafmu. Kami segera pergi…" Si Setan Ngompol cepat balikkan diri.

"Tunggu!" Lateleng membentak. "Dua kawanmu yang belum cukup umur itu boleh pergi. Tapi kau yang bau kencing kuda harus tinggal di tempat! Jangan berani bergerak apa lagi melangkah!"

"Celaka! Mati aku!" keluh Si Setan Ngompol dan serrr…. Air kencingnya semakin banyak tumpah membasahi celananya yang memang sudah kuyup!

"Orang tua!" seru Wiro. "Kami tidak punya niat melayanimu. Kau bisa menunggu lain orang saja. Mohon maaf. Biarkan kami pergi dengan aman!"

"Pemuda gondrong banyak cakap! Kalau begitu biar kau yang kuundang naik ke atas kincir ini! Hari ini aku mencabut aturan bahwa hanya orang berusia paling rendah enam puluh tahun saja yang boleh menjajal kehebatan Kincir Hantu!"

Wajah murid Sinto Gendeng jadi berubah. Tangan kirinya pulang balik menggaruk kepala. "Maaf Kek! Lain kali saja aku penuhi undanganmu! Aku dan kawan-kawan masih ada keperluan lain. Kami sudah cukup puas sudah melihat kincirmu yang hebat!"

"Mana bisa begitu!" Kakek diatas atap meradang "Berani kau bergerak satu langkah, nyawamu tertolong! Kecuali jika kau mau mengaku kau adalah manusia paling pengecut dan tidak berani menerima tantangan orang!"

Terbakarlah darah Pendekar 212 mendengar ucapan si kakek. Namun masih bersabar dan sambil menyeringai dia menjawab. "Terserah kau mau bilang apa! Aku tidak berminat melayani undanganmu!"

"Wiro," kata Naga Kuning. "Biar aku saja yang melayani kakek sombong kepala teleng itu! Kalau dia masih banyak mulut akan kuhantam dengan pukulan Naga Hantu dari Langit Ke Tujuh!"

"Ha ha ha! Bocah ingusan itu ternyata lebih punya nyali dari padamu pemuda perantau berambut gondrong! Sungguh memalukan!" Dari atas atap kakek bercaping berteriak mengejek lalu tertawa mengekeh.

"Kakek kepala teleng! Aku terima tantanganmu!" teriak Wiro.

Kesabarannya buyar. Dia terpancing. Naga Kuning dan Setan Ngompol cepat memberi ingat tapi sang pendekar sudah melesat ke atas dan di lain kejap sudah berdiri di atas roda kincir. Begitu berada di atas kincir Wiro cepat perhatikan roda yang berputar. Memeriksa. Dia tidak melihat hal-hal yang mencurigakan. Semua bagian roda itu seperti kincir biasa adanya, terbuat dari kayu besi berwarna kehitaman. Tak ada sesuatu yang berbentuk benda tajam terbuat dari logam. Lalu benda apa yang telah menabas putus sepasang kaki Si Hati Baja?! Serta juga kaki-kaki empat belas orang lainnya itu tentunya?!

"Celaka! Aku punya firasat dia bakal mendapat celaka besar!" kata Si Setan Ngompol sambil pegangi bagian bawah perutnya.

Naga Kuning walau tidak menjawab tapi diam-diam bocah ini merasa sangat khawatir. Dia memberi isyarat pada kakek bermata jereng itu. Ke dua orang ini segera menyiapkan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi ditangan kanan masing-masing. Jika terjadi sesuatu dengan Wiro mereka langsung akan menghantam kakek bercaping di atas atap. Diatas atap Lateleng tegak berdiri, buka capingnya membungkuk menjura.

"Orang muda! Apakah kau sudah siap?!"

“Kau boleh mulai!" jawab Wiro. Tapi matanya masih memperhatikan roda kincir. "Gila! Tidak ada apa-apanya “ kata Wiro dalam hati. "Aku yakin keparat kepala teleng ini menyembunyikan sesuatu!"

Lateleng tersenyum. Dia melirik ke tangan kanan wiro lalu sambil berkata. “Tangan kananmu bergetar halus. Bukankah itu satu pertanda bahwa kau tengah mengerahkan tenaga dalam?”

“Matamu tajam! jawab Pendekar 212 sambil menahan rasa kaget karena tidak menyangka kakek kepala teleng itu tahu apa yang tengah dilakukannya. “Terus terang aku tidak percaya padamu! Aku harus menjaga segala kemungkinan. Apa kau takut?!"

Lateleng tertawa lebar. "Aku penguasa tunggal di tempat ini! Kincir Hantu adalah milikku! Sebenarnya kau yang takut! Kalau tidak mengapa menyiapkan pukulan sakti untuk menyerang?!"

"Orang tua! Dari tadi kau bicara saja! Kapan akan mulai!" Menantang Pendekar 212 Wiro Sableng.

Si kakek kembali menjura. "Dengan segala senang hati! Kita akan mulai sekarang! Jika kau bisa bertahan di atas kincir sebanyak tiga kali putaran, kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin jadi milikmu!"

"Aku tidak butuh segala kitab begituan!" jawab Wiro. "Aku ingin membuat perjanjian denganmu!"

"Oohooo! Apa yang ada dalam benakmu wahai pemuda dari rantau jauh?!" tanya si kakek teleng. Untuk pertama kalinya sepasang matanya kelihatan membeliak.

"Jika aku sanggup bertahan sampai tiga kali putaran, Kincir Hantu ini menjadi milikku! Kau boleh angkat kaki dari sini!"

Orang tua di atas atap tertawa bergelak. "Kau cerdik tapi licik!"

"Jadi kau takut menerima permintaanku?!"

"Wahai! Siapa bilang! Kau terlalu takabur anak muda! Itu berarti separuh dari nyawamu sudah kau berikan padaku! Ha ha ha!"

Lateleng cabut bendera kuning di atas atap lalu ditancapkannya di kayu roda kincir. Bersamaan dengan itu kincir raksasa itu keluarkan suara menderu dan mulai bergerak ke kiri! Di halaman di bawah sana Naga Kuning dan Setan Ngompol memperhatikan dengan penuh tegang.

Ketika kincir mulai bergerak dan berputar ke kiri Pendekar 212 segera berlari-lari kecil ke arah berlawanan. Setiap ke dua kakinya menjejak kayu roda, dia kerahkan tenaga dalam. Maksudnya hendak mencoba menjebol kayu kincir untuk melihat apa yang tersembunyi di sebelah bawah. Luar biasanya ternyata kayu itu atos sekali! Selagi Wiro mencari akal apa yang harus dilakukannya tiba-tiba kakek teleng ketukkan pipanya kepinggiran kincir seraya berseru.

"Satu!"

Kincir bergetar lalu menggemuruh berputar lebih cepat. Di sebelah depannya Wiro melihat bendera kuning bergerak menuju ke arahnya lalu lewat di bawah ke dua kakinya. Wiro melirik tajam pada si kakek, memandang ke bawah ke arah dua temannya lalu kembali memperhatikan kincir yangberputar semakin cepat, membuat dia harus berlari lebih cepat pula. Tak lama kemudian bendera kuning muncul kembali untuk ke dua kalinya.

Kincir berputar semakin kencang. Dengan Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya Pendekar 212 tidak perlu merasa khawatir akan kehilangan keseimbangan bagaimanapun cepatnya kincir itu berputar. Malah seenaknya pemuda konyol ini berlari melompat-lompat di atas kincir sambil bersiul-siul kecil. Namun karena dia masih belum dapat memecahkan teka teki atau rahasia yang tersembunyi di balik keangkeran kincir itu tetap saja hatinya merasa tidak enak.

"Pemuda konyol sombong!" Kakek bercaping mendumal dalam hati. "Sekarang kau masih bisa bersiul-siul. Sebentar lagi baru kau tahu rasa!"

"Dua!" berteriak Lateleng. Seperti tadi kembali dia ketukkan pipanya ke pinggiran roda kincir. Kincir itu sekali lagi bergetar keras diantara suara gemuruhnya. Si kakek balikkan capingnya dan perlihatkan pada Wiro kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin.

"Kurang dari satu putaran lagi anak muda! Kitab ini akan jadi milikmu!"

Wiro tidak perdulikan ucapan si kakek. Sambil berlari sepasang matanya terus memperhatikan kincir yang berputar. Di langit sang surya bersinar terik. Di sebelah depan bendera kuning muncul untuk kali ke tiga! Wiro mendadak merasa tambah tegang. Di halaman rumah kincir Naga Kuning dan Setan Ngompol memperhatikan tidak berkesip. Bergerak dari sisi kanan menuju ke kiri, mendekati dua kaki Pendekar 212! Lateleng sedot pipanya dalam-dalam. Lalu pipa dicabut dan diketukkan ke pinggiran kincir.

"Tiga!" berseru kakek kepala teleng itu.

Kincir Hantu menggemuruh dahsyat seolah di situ memang ada puluhan hantu yang tengah menggereng marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol tampak tegang. Mereka memandang penuh tegang ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Si kakek sudah tidak memegangi bagian bawah perutnya lagi. Percuma saja.

Dalam keadaan sangat tegang seperti itu dipegangpun kencingnya tetap mengucur tak berkeputusan. Wiro sendiri berusaha menguasai diri. Matanya memperhatikan keadaan penuh waspada. Dadanya bergetar ketika kemudian dari bagian bawah roda kincir sebelah kanan bendera kuning menyembul muncul dan bergerak cepat ke arahnya!

Lateleng kembali acungkan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin sambil berseru. "Wahai anak muda! Kau hebat sekali! Kitab ini agaknya memang berjodoh denganmu!"

Wiro tidak perdulikan seruan orang. "Kakek itu sepertinya sengaja hendak mengalihkan perhatianku!" Membatin Pendekar 212. Hanya satu langkah lagi bendera kuning akan lewat di bawah dua kaki Wiro tiba-tiba terdengar suara aneh berkepanjangan.

"Clakk-Clakk-Clakk!"

"Suara aneh itu!" seru Naga Kuning tercekat. Dia Ingat betul. Suara seperti itu terdengar sebelum dua kaki Si Hati Baja terpapas buntung! Berarti Wiro berada dalam bahaya.

"Wiro! Awas! Kakimu!" teriak Naga Kuning. Murid Eyang Sinto Gendeng memang sudah memasang telinga dan berlaku waspada sejak tadi-tadi. Namun dia tidak tahu apa yang bakal terjadi.

Tiba-tiba dari arah pinggiran roda kincir membersit sinar putih menyebabkan Pendekar 212 kesilauan dan untuk sesaat tidak dapat melihat apa-apa lagi. Sambaran sinar putih menyilaukan ini juga melesat secara aneh ke arah Naga Kuning dan Setan Ngompol. Ke dua orang ini berseru kaget dan terpaksa lindungi mata dengan tangan masing-masing.

"Aku tidak dapat melihat apa-apa!" seru Naga Kuning.

"Aku juga! Aneh, sinar menyilaukan itu membuat kencingku terasa lebih panas! Anuku sampai bergeletar!" menyahuti Setan Ngompol dengan mata terjereng-jereng.

Di atas roda kincir Pendekar 212 berseru kaget ketika mendadak dua kakinya terasa sangat berat. Bagaimanapun dia kerahkan tenaga berusaha melompat, dia hanya mampu mengangkat kakinya ke atas sejarak seujung kuku!

"Celaka! Apa yang terjadi!" Wiro kerahkan tenaga dalam. Terbayang olehnya apa yang terjadi dengan Si Hati Baja.

"Clakk!"

Tanpa terlihat oleh Pendekar 212 yang masih kesilauan, sebuah benda putih menyilaukan menderu memapas ke arah kaki kanannya. Saat itulah tiba-tiba terjadi satu keanehan yang berlangsung sangat cepat. Satu tangan menyambar ke bawah, merangkul dada dan ketiak Wiro. Ber­samaan dengan itu tubuhnya terangkat keatas. Wiro merasa seolah dibetot ke atas menembus langit.

Ketika dua matanya bisa melihat wajar kembali, dia dapatkan dirinya tergolek dan berada di satu tempat di balik serumpunan semak belukar. Sepasang mata sang pendekar terpentang lebar ketika melihat siapa yang tegak di hadapannya. Murid Sinto Gendeng segera melompat bangkit.

"Luhrinjani…" desis Pendekar 212. Belum lagi habis rasa tegangnya atas apa yang barusan dialaminya di atas sana, kini tengkuknya jadi merinding. Karena dia tahu sosok yang ada di hadapannya saat itu sebenarnya telah mati beberapa waktu yang silam!

"Kau…!"

"Kita tidak banyak waktu. Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kakek di atas rumah kincir turun ke tanah lancarkan serangan. Kawan-kawanmu juga harus cepat angkat kaki dari sini!"

"Tapi bagaimana…"

Sosok perempuan berwajah ayu, mengenakan pakaian panjang terbuat dari sebentuk sutera putih, rambut tergerai lepas dan melambai-lambai ditiup angin perlihatkan wajah tidak sabaran. Dengan tangan kirinya makhluk ini mencekal leher baju Pendekar212. Sekali dia bergerak Wiro seolah diajak melayang terbang. Di dekat pohon besar perempuan itu menukik menyambar Naga Kuning dan Setan Ngompol. Luar biasa sekali. Seperti menenteng tiga anak kucing, perempuan berpakaian putih bergerak cepat seolah melayang.

Di atas atap kincir kakek kepala teleng tidak tinggal diam. Dia cepat kenakan capingnya di atas kepala lalu menggembor marah menyaksikan apa yang terjadi. Tangan kanannya digoyangkan tiga kali berturut-turut. Tiga larik asap merah menyambar ke bawah.

"Kita serang!" teriak Naga Kuning yang pertama kali melihat datangnya tiga larik asap merah itu. Si setan Ngompol mancur air kencingnya. Wiro yang sudah menyaksikan keganasan asap merah serangan Kakek teleng itu segera menghantam lepaskan pukulan Sinar Matahari.

"Bummm! Bummm! Bummm!"

Tiga dentuman dahsyat menggetarkan seantero tempat. Sosok perempuan berpakaian putih bergoyang keras lalu melayang jatuh ke tanah, tapi tetap dalam keadaan tegak. Wiro merasakan sekujur tangan kanannya berdenyut sakit dan kaku. Di atas atap rumah kincir Lateleng delikkan mata.

"Wahai! Aku hanya melihat selarik sinar putih menyilaukan. Lalu ada hawa panas menyambar. Tiga larik asap merahku buyar walau cahayaputih itu berhasil dihancurkan. Wahai! Siapa yang menghantam! Perempuan jejadian itu atau pemuda berambut gondrong?! Jahanam betul! Aku harus menyelidik ke bawah. Mengejar dan membantai mereka semua!" Lalu seperti seekor alap-alap kakek itu terjunkan diri dan melayang ke bawah.

"Kita dikejar!" kata Naga Kuning setengah berteriak.

Wiro kembali siapkan pukulan Sinar Matahari. Perempuan berpakaian putih cepat berucap." Kalian bertiga lekas tegak lurus-lurus. Jangan bergerak, jangan bersuara. Jika kalian mengikuti apa yang kukatakan, niscaya kakek itu tidakakan melihat kita!"

"Kakek itu tidak buta! Siang bolong begini masakan dia tidak bisa melihat kita!" ujar Naga Kuning. Seperti Wiro dia juga siapkan satu pukulan sakti di tangan kanan.

"Wahai! Jangan berlaku bodoh! Jika mau selamat ikuti ucapanku!" kata Luhrinjani pula, perempuan berpakaian putih itu.

"Ikuti saja apa yang dikatakannya…" bisik Wiro karena dia tahu perempuan berpakaian putih itu bukan makhluk sembarangan tapi mayat hidup yang memiliki kepandaian tinggi berkat pertolongan Para Peri Dari Langit Ke Tujuh. Hal ini diketahuinya dari Lakasipo beberapa waktu lalu.

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol lalu tegak lurus-lurus, tidak bergerak dan tidak bersuara. Hanya mata mereka saja yang jeialatan memperhatikan Lateleng. Kakek pemilik Kincir Hantu ini begitu menjejakkan kaki di halaman luas segera berkelebat kian ke mari, mencari-cari sambil mulutnya terus menerus mengeluarkan suara mengomel.

"Barusan mereka ada di sekitar sini! Bagaimana mungkin bisa lenyap seperti ditelan bumi!" Si kakek buka capingnya. Untuk beberapa lamanya dia berdiri diam. Hanya kepalanya yang dipalingkan kian kemari disertai mata membeliak. "Kurang ajar betul! Mereka benar-benar lenyap!" Lateleng menggeram marah.

Apa yang terjadi? Berkat ilmu kesaktian yang dimiliki Luhrinjani si kakek tidak melihat ke empat orang itu. Padahal saat itu Wiro dan dua kawannya serta perempuan berpakaian putih hanya satu langkah saja di samping kirinya. Seandainya si kakek menggerakkan tangannya ke samping pasti dia akan menyentuh sosok Si Setan Ngompol yang saat itu tegak tak bergerak di bawah pohon tapi air kencingnya mengucur jatuh.

Ilmu kesaktian yang dimiliki Luhrinjani itu bernama Menutup Mata Memutus Pandang. Konon itu adalah salah satu dari beberapa ilmu kesaktian yang diturunkan Para Peri Dari Negeri Atas Langit kepada perempuan bernasib malang itu.

Namun bagaimanapun hebatnya kesaktian tersebut celakanya kesaktian ini tidak membuat Luhrinjani mampu melenyapkan kencing Si Setan Ngompol dari pandangan mata Lateleng. Sambil dekapkan capingnya di depan dada sepasang mata kakek teleng itu perhatikan tanah yang basah tepat di antara ke dua kaki Si Setan Ngompol.

Lateleng mendekat lalu berjongkokdi depan tanah yang basah. Si Setan Ngompol pejamkan mata. Untung dia masih ingat ucapan Luhrinjani agar tidak bergerak. Padahal tadi ketika melihat Lateleng mendekatinya, malah jongkok di depannya nyawanya serasa terbang dan dia hampir saja gerakkan tangan hendak memegangi bagian bawah perutnya!

Naga Kuning berdiri laksana patung sambil menggigit bagian bawah bibirnya. Berusaha menahan ketegangan. Pendekar 212 berdiri menahan nafas. Kepalanya terasa gatal dan dia hampir tak dapat menahan diri hendak menggaruk. Luhrinjani satu-satunya yang berdiri dengan sikap tenang sambil memperhatikan gerak-gerik Lateleng.

Setelah jongkok di depan Setan Ngompol, Lateleng ulurkan tangan, menepuk-nepuk tanah yang basaholeh air kencing Si Setan Ngompol. Lalu jari-jarinya yang basah didekatkannya ke hidungnya.

"Hue!" Si kakek keluarkan suara seperti orang mau muntah. Dia meludah habis-habisan. "Bau pesing jahanam!"

Makinya. Dia mendongak ke atas. Saat itu kebetulan di salah satu cabang pohon kelihatan seekor tupai besar sedang kencing. Selesai kencing binatang ini melompat ke cabang pohon lainnya dan lenyap dari pemandangan.

"Tupai celaka! Kau rupanya!" Lateleng kembali memaki. Lalu dia berdiri dan melesat kembali ke atas atap. Dari atas atap rumah kincir ini dia memeriksa Kincir Hantunya dan merasa lega karena tidak ada bagian yang rusak akibat bentrokan asap merah saktinya dengan pukulan Sinar Matahari tadi.

Setan Ngompol menarik nafas lega. "Tupai kencing di atas pohon itu telah menyelamatkanku dan kawan-kawan! Bagaimana aku membalas budi binatang itu," kata si kakek jereng dalam hati.

"Kita aman sekarang," Luhrinjani berkata dengan suara perlahan."Ikuti langkahku. Kita bergerak tiga tangkah lurus ke depan, lalu berbelok tiga langkah ke kanan, berbelok lagi tiga langkah ke kiri. Lalu lurus lagi sampai kita melewati pohon cempedak hutan di depan sana…"

Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol mengikuti apa yang dikatakan Luhrinjani. Setelah melewati pohon cempedak hutan Luhrinjani hentikan langkah dan berpaling pada ke tiga orang itu.

"Saat ini kita berada cukup jauh dari kawasan Kincir Hantu. Wahai, aku gembira bertemu dengan kalian bertiga. Gembira tapi juga heran. Terakhir sekali aku melihat kalian, sosok kalian hanya sebesar jari. Bagaimana sekarang bisa berubah sebesar ini?"

Wiro lalu menceritakan pertemuannya dengan luhcinta serta Hantu Raja Obat.

"Kalian beruntung!" kata Luhrinjani. Dia menatap Pendekar 212 sesaat lalu meneruskan ucapannya. "Dan kau tiga kali beruntung…"

"Apa maksudmu Luhrinjani?" tanya Wiro pula.

"Keuntungan pertama, kau selamat dan diobati oleh Hantu Raja Obat. Keuntungan ke dua, kaki kananmu tak sampai putus dibabat Kincir Hantu. Coba kau lihat apa yang telah terjadi dengan kasutmu sebelah kanan…"

Wiro angkat kaki kanannya sedikit lalu perhatikan kasut yang dikenakannya. Berubahlah paras sang pendekar. Bagian tapak kasut yang terbuat dari kulit Itu ternyata telah terbabat putus sampai setengahnya. Wiro memandang pada Luhrinjani.

"Kalau kau terlambat menolongku, berarti kakiku yang putus. Aku dan Juga kawan-kawan sangat berterima kasih padamu Luhrinjani. Sekarang apakah kau mau mengatakan keuntungan ketiga itu?"

Yang ditanya tersenyum. "Tak mungkin kukatakan di depan dua sahabatmu ini. Nanti saja aku ceritakan kalau ada kesempatan…"

"Antara kami bertiga tidak ada rahasia. Mengapa tidak diceritakan sekarang saja?" kata Wiro.

Semen­tara Naga Kuning mendekati Si Setan Ngompol lalu membisiki kakek ini. "Aku khawatir, jangan-jangan perempuan ini telah jatuh cinta pada sang pangeran sableng sahabat kita ini!"

Setan Ngompol menyeringai dan menyahuti. "Buruk nian nasib kita kalau begitu. Semua perempuan cantik naksir padanya. Kita lalu kebagian apa?! Hik hik hik…!"

Luhrinjani menatap Pendekar 212 sesaat lalu menggeleng. "Ketahuilah, Hantu Raja Obat adalah makhluk aneh yang hati dan jalan pikirannya bisa berubah dalam sekejapan mata! Apa kalian pernah mendengar berapa banyak manusia yang tidak di­senanginya dijadikan godokan obat lalu dijarang dalam periuk tanah di atas kepalanya yang bersorban?"

Wiro mengangguk. Naga Kuning jadi merinding. Setan Ngompol langsung mulas perutnya. Apa yang dikatakan Luhrinjani memang benar adanya dan pernah ada orang yang memberi tahu sebelumnya.

"Luhrinjani, Lakasipo telah menganggap kami sebagai saudara angkat. Berarti kaupun adalah saudara kami. Kami bertiga menghaturkan terima kasih. Kau telah menyelamatkan kami dari tangan kakek teleng pemilik Kincir Hantu itu…"

Luhrinjani anggukkan kepalanya dengan perlahan. Parasnya yang cantik kemudian tampak berubah sayu. Dia menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong.

"Luhrinjani, kulihat perubahan pada wajahmu. Seolah ada satu ganjalan kesedihan di hatimu. Apakah…"

Luhrinjani menghela nafas panjang. "Langkahku jauh sampai ke sini karena menyirap kabar bahwa suamiku Lakasipo ada bersama kalian. Namun wahai, aku tidak menemukannya. Mungkin kau dan kawan-kawan mengetahui gerangan dimana Lakasipo berada?"

Yang menjawab Naga Kuning. "Terakhir kami bersamanya ketika bertemu dengan Hantu Raja Obat. Saat Itu dia mengatakan hendak pergi menemui seseorang. Tapi dia tidak menyebut siapa orangnya, hanya menyebut tempat di mana orang itu berada…"

Luhrinjani mendongak ke langit lalu pejamkan mata­nya sesaat. Dia berpaling pada Naga Kuning. "Mungkin suamiku menyebut nama sebuah gunung…?"

"Betul sekali!" sahut Naga Kuning.

Wiro menyambung. "Aku ingat, kalau tidak salah Lakasipo menyebut nama gunung itu. Gunung La­batuhitam…"

"Wahai!" Wajah Luhrinjani tampak berubah. Suaranya bergetar ketika berkata. "Demi Para Dewa dan para Peri. Demi segala Roh yang tergantung antara langit dan bumi. Jangan-jangan memang benar firasatku. Dia menemui perempuan itu…"

"Perempuan siapa maksudmu Luhrinjani?" tanya Si Setan Ngompol yang bersuara setelah sejak tadi diam saja.

"Tak bisa kukatakan. Wahai, aku harus pergi sekarang… Tapi ada satu lagi pertanyaanku. Apakah kalian pernah mendengar nama Hantu Santet Laknat?"

"Kami pernah mendengar dari Lakasipo," jawab Wiro. "Menurut Lakasipo dukun jahat itulah yang mencelakai dirinya atas permintaan Lahopeng…" (Baca Bola Bola Iblis)

"Tahu dimana dukun itu berada?"

Wiro dan dua kawannya sama-sama gelengkan kepala.

"Karena tak ada yang ingin kutanyakan lagi, aku harus pergi sekarang," kata Luhrinjani pula.

"Kakak sahabatku! Tunggu dulu!" berkata Naga Kuning. "Bolehkah aku menanyakan ilmu apa yang kau pergunakan tadi hingga kakek teleng pemilik Kincir Hantu itu tidak mampu melihat kita semua?"

"Aku tidak dapat memberi tahu padamu. Tidak sekarang, entah nanti…" jawab Luhrinjani. Perempuan ini segera balikkan badan dan tinggalkan tempat itu.

Wiro menunggu sampai Luhrinjani terpisah agak jauh dari Naga Kuning dan Si Setan Ngompol, lalu dengan cepat dia menyusul. "Luhrinjani, aku terpaksa bersikap keras kepala. Aku ingin kau mengatakan apa keberuntunganku yang ke tiga. Dua sahabatku itu tidak akan mendengar jika kau mengatakannya sekarang…"

Luhrinjani menatap dalam-dalam kemata Pendekar 212. Membuat murid Eyang Sinto Gendeng ini menjadi agak tercekat, apa lagi kalau dia ingat yang di hadapannya itu sebenarnya adalah roh halus dari orang yang sudah lama mati!

"Wahai! Kau memaksa rupanya. Tapi baiklah. Akan kukatakan padamu. Keberuntunganmu yang ke tiga ialah ada seorang gadis cantik berhati baik jatuh cinta padamu…"

"Siapa?!" tanya Wiro kaget karena tidak menyang­ka hal itu yang akan diucapkan Luhrinjani.

"Kau terkalah sendiri…" jawab Luhrinjani sambil tersenyum.

"Peri Angsa Putih…?" tanya Wiro.

Luhrinjani tidak menjawab dan masih tetap mengulum senyum. "Luhjelita?" tanya Wiro lagi.

Luhrinjani masih tersenyum seperti tadi. "Kami kaum perempuan tidak ingin membuka rahasia pribadi isi hati sesama kami. Cobalah kau Ingat-ingat! Ada seorang lain yang sebelumnya telah mengatakan padamu," jawab Luhrinjani. Lalu perempuan berpakaian serba putihini melangkah pergi.

Wiro kembali mengejar. Tapi aneh! Sekali ini wa laupun dia berjalan setengah berlari tetap saja dia tak mampu mendekati perempuan itu. Ketika dia perhatikan bagian bawah kaki Luhrinjani, serta merta Pendekar 212 hentikan langkahnya. Sepasang kaki luhrinjani ternyata tidak menginjak tanah! Ketika Wiro memandang lagi ke depan, perempuan itu telah lenyap seperti ditelan bumi!

Mengenai Luhrinjani harap baca serial Wiro Sableng berjudul Bola Bola Iblis

Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. "Ada seorang lain yang sebelumnya telah mengatakan padamu…" kata­kata Luhrinjani itu terngiang kembali di telinga Wiro. "Siapa...?"

Wiro coba mengingat-ingat. Namun sebelum dia mampu mendapatkan jawaban tiba-tiba satu makhluk raksasa putih muncul di udara lalu menukik ke bawah dan sesaat kemudian telah bersimpuh di tanah, beberapa langkah di hadapan Pendekar 212. Tapi karena saat itu pikiran sang pendekar masih dicekat oleh rasa menduga-duga maka dia seolah tidak melihat makhluk putih itu.

“Wahai sahabat bernama Wiro yang konon berjuluk Pendekar 212, gerangan apakah yang meresapi pikiranmu hingga mata seolah tertutup kabut dan telinga seperti terhalang angin?"

Wiro tersentak kaget. "Peri Angsa Putih…" katanya begitu dia menyadari siapa yang duduk di atas punggung angsa putih raksasa. "Maafkan, aku sampai tidak…"

"Teka teki hidup yang tidak terjawab memang membuat seseorang bisa bingung, jadi lupa diri dan lupa keadaan sekelilingnya…"

Wiro coba tersenyum dan garuk-garuk kepala. Dalam hati dia membatin. "Apakah Peri cantik ini sempat mendengar percakapanku dengan Luhrinjani tadi?"

Saat itu Naga Kuning dan Si Setan Ngompol telah berada pula di tempat itu. Keduanya menjura memberi penghormatan.

"Sahabatku Peri cantik bermata biru, kami senang bisa bertemu lagi denganmu," kata Naga Kuning.

"Aku juga merasa gembira bisa melihat kalian semua," jawab Peri Angsa Putih sambil tersenyum lalu melirik pada Wiro. "Kuharap kalian semua baik baik saja…"

"Peri Angsa Putih, apakah pertemuan ini suatu kebetulan saja atau memang kau sudah kangen lalu punya niat menemui kami? Eh, maksudku kangen pada sahabatku Wiro?" tanya Naga Kuning sambil senyum-senyum.

Di lain pihak Wiro menduga kemunculan sang Peri adalah untuk membicarakan masalah bunga mawar beracun tempo hari. Pertanyaan Naga Kuning itu membuat wajah Peri Angsa Putih bersemu merah sedang Wiro ulurkan tangan mencubit punggung Naga Kuning hingga bocah Ini melintir kesakitan.

Sebenarnya sejak beberapa waktu lalu Peri Angsa Putih memang berusaha mencari Wiro. Dia ingin menemui sang pendekar untuk menjernihkan persoalan bunga mawar beracun yang hampir merenggut nyawa Wiro dan yang menurut Luhjelita berasal dari dirinya.

Mengenai perselisihan segitiga antara Wiro, Peri Angsa Putih dan Luhjelita harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Tangan Empat dan Hantu Muka Dua

Namun niatnya untuk membicarakan hal itu menjadi sirna ketika tadi secara tidak sengaja dia sempat mendengar ucapan-ucapan Luhrinjani yang menyebut tentang seorang gadis cantik berhati baik yang jatuh cinta pada Wiro. Untuk menutupi rasa malu dan sekaligus kekecewaannya untung Peri Angsa Putih dapat mencari akal mengeluarkan jawaban.

"Wahai, sebagai sahabat tentu saja aku selalu Ingin bertemu dengan kalian. Namun selain itu memang aku ingin menemui Wiro…"

"Nah! Apa kataku!" ujar Naga Kuning pula sambil menepuk bahu Si Setan Ngompol hingga kakek ini tersentak kaget dan langsung terkencing.

Wiro menatap wajah sang Peri. "Kau ingin membicarakan perihal bunga mawar kuning itu…" tanya Pendekar 212.

Peri Angsa Putih goyangkan tangannya dan gelengkan kepala. "Kalau bukan itu mungkin perihal kesalahanmu memukul diriku waktu bertengkar dengan Luhjelita," kata Wiro pula.

"Bukan, bukan itu," jawab Peri Angsa Putih. "Aku mencarimu untuk meminta kembali selendang sutera biruku yang terjatuh sewaktu terjadi perkelahian dengan anak buah Hantu Muka Dua beberapa waktu lalu." (baca Hantu Muka Dua)

Sesaat Wiro jadi terpana dan tatap Peri Angsa Putih dengan pandangan penuh tanda tanya. "Aku punya firasat sebenarnya dia bukan mencari selendang itu," kata murid Sinto Gendeng dalam hati. Lalu dia berucap.

"Selendang itu memang ada padaku. Kau tentu ingat selendang itu terjatuh di tanah. Sementara kau pergi begitu saja. Aku…"

Wiro tidak melanjutkan ucapannya. Sebenarnya dia ingin selendang milik Peri Angsa Putih itu tetap ada padanya. Namun yang empunya datang meminta. Apapun alasannya dia harus mengembalikan.

"Sebenarnya aku…" Lagi-lagi Pendekar 212 tidak bisa lanjutkan kata-katanya. Ketika dia berusaha menatap mata biru Peri Angsa Putih, dia merasa seolah yang berada di hadapannya saat itu adalah Ratu Duyung, penguasa kawasan samudera di tanah Jawa yang juga memiliki sepasang mata berwarna biru.

Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan selendang biru milik Peri Angsa Putih dalam keadaan terlipat rapi serta menebar bau harum semerbak.

"Selama selendang ini ada padaku, aku merasakan satu kesejukan dalam diriku," kata Wiro seraya meluruskan lipatan selendang biru.

"Dengan selendang ini dulu kau menyelamatkan jiwaku. Sebenarnya… aku ingin selendang ini tetap berada ditanganku…"

Peri Angsa Putih terkejut karena tidak menyangka Wiro akan berkata seperti itu. Sesaat dia jadi bingung sendiri karena sebenarnya dia memang bukan muncul untuk mencari selendang itu.

"Wahai, tidak kusangka dia akan mengatakan perasaan hatinya begitu polos. Menyesal aku meminta selendang itu kembali…" kata Peri Angsa Putih dalam hati.

"Tapi aku sadar selendang ini bukan milikku. Selama ini aku menyimpannya baik-baik. Jika ada bagiannnya yang rusak atau kotor aku mohon maaf. Ku seerahkan kembali selendang ini padamu, Peri Ang­an Putih. Terimalah…"

"Ya… ya! Selendang itu memang harus dikembalikan!" kata Naga Kuning menggoda Wiro.

SI Setan Ngompol sambil senyum-senyum dan terjereng-Jereng menyambungi. "Selendang pakaiannya orang perempuan. Masak laki-laki ke mana-mana membawa selendang. Milik orang lain pula! Hik hik hik! sungguh tidak pantas!"

Wiro delikkan mata pada ke dua kawannya itu. Lalu dia ulurkan tangan kanannya yang memegang selendang. Sesaat Peri Angsa Putih hanya berdiam diri, Diam-diam dia menyesali segala perbuatan dan ucapanya tadi.

"Aku telah berlaku tolol!" kata Peri Angsa Putih dalam hati. "Seharusnya tidak perlu kuminta kembali selendang itu. Jika selendang itu tetap ada padanya bukankah berarti setiap saat dia akan selalu Ingat padaku!"

Setelah berdiam diri cukup lama akhirnya dengan berat hati Peri Angsa Putih ulurkan tangan menerima selendang biru tersebut. Kemudian untuk beberapa lamanya gadis ini masih tegak berdiri menatap dengan pandangan sayu pada Pendekar 212 sementara Wiro sendiri menatap sang peri dengan pandangan kecewa.

Naga Kuning dan Si Setan Ngompol kini diam-diam ikut merasakan ada sesuatu yang saling mengganjal di antara ke dua orang itu.

"Wiro," Peri Angsa Putih berucap perlahan. "Mungkin kau masih mengira akulah yang hendak meracuni dirimu dengan bunga mawar kuning itu. Saat ini aku bersumpah demi Para Dewa dan Para Peri serta semua roh antara langit dan bumi. Aku tidak melakukan hal itu. Aku ingin mendengar tanggapan langsung dari dirimu sendiri saat Ini juga. Katakanlah sesuatu…"

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Namun…"

"Namun apa Wiro?" Peri Angsa Putih bertanya dengan nada tidak sabaran.

"Seandainya Luhjelita juga mengucapkan sumpah seperti sumpahmu tadi, lalu siapa di atara kalian yang bisa ku percaya?"

Mendengar ucapan Wiro itu sepasang mata Peri Angsa Putih tampak berkaca-kaca. "Wahai, kalau hal itu kau tanyakan padaku maka jawabku adalah ini. Percayailah sumpahnya. Jangan percaya pada sumpah seorang Peri sepertiku!"

Habis berkata begitu Peri Angsa Putih balikkan diri lalu tinggalkan tempat itu. Wiro seperti tersadar dan hendak memanggil tapi yang dilakukannya hanya diam tak bergerak.

"Anak tolol! Mengapa kau berucap seperti itu pada Peri Angsa Putih!" Tiba-tiba kakek Setan Ngompol berkata.

"Kek, apa maksudmu?" tanya Wiro.

"Kau tahu! Tidak ada satu gadispun di dunia ini yang mau dibanding-bandingkan dengan gadis lain oleh seorang pemuda yang diam-diam disukainya…"

"Maksudmu Peri Angsa Putih menyukaiku?" tanya Wiro.

Naga Kuning pencongkan mulutnya. "Aku yang bocah saja bisa melihat. Kau yang punya diri tidak tahu diri! Jika kau tidak suka pada gadis itu dan kebetulan dia suka padaku, jangan nanti kau jadi menyesal!"

"Anak muda," kata Setan Ngompol menyambung bicara. "Apa kau tidak melihat bagaimana dua mata Putri Angsa Putih jadi berkaca-kaca ketika kau membandingkannya dengan Luhjelita, perawan genit yang gentayangan ke mana-mana memikat lelaki itu?"

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku… Ah, sebenarnya aku juga menyukai Peri Angsa Putih," kata Wiro pula. Dia diam sejenak. "Tapi…"

"Nah, tapinya ini yang bikin brengsek! Suka tapi masih ada tapi!" kata Naga Kuning lalu pasang muka merengut.

Sementara itu tanpa setahu ke tiga orang itu, disatu tempat yang terlindung, seorang perempuan berwajah putih jelita kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik ke atas ketika mendengar ucapan Wiro yang mengatakan sebenarnya dia juga menyukai Peri Angsa Putih, Dalam hati dia berkata lirih.

"Kalau hati pemuda asing Itu benar sudah tertambat pada Peri Angsa Putih, agaknya buruk nian nasib diriku. Padahal aku sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan duniaku kalau saja aku mendapatkan dirinya. Aku telah berusaha. Namun agaknya aku tidak mendapat restu. Mungkin cara yang kutempuh salah. Ah…"

Leher jenjang perempuan cantik itu tampak bergerak turun naik. Dia menggigit bibirnya kencang-kencang untuk menahan linangan air mata. Setelah mengusap bagian bawah cuping hidungnya perempuan ini lalu berkelebat pergi ke arah sang surya yang memancarkan sinar terik menyilaukan. Kalaupun Wiro dan Naga Kuning serta Setan Ngompol melihat bayangannya maka mereka hanya akan melihat seberkas cahaya biru yang serta merta lenyap tanpa mereka bisa melihat dengan jelas apa adanya.

"Aku tidak bermaksud menyakiti hati Peri Angsa Putih. Kalian tahu, banyak hutang budi kita padanya…"

"Dia sudah pergi. Apa gunanya bicara begitu?" ujar Naga Kuning.

"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Setan Ngompol.

"Aku akan menunggu sampai malam datang…" kata Wiro.

"Eh, apa yang ada di benakmu wahai Kakak Wiro?" tanya Naga Kuning sambil miringkan kepalanya. Kata­kata dan gerakannya jelas meledek sang pendekar.

"Begitu malam datang aku akan kembali ke tempat Kincir Hantu itu!"

"Gila! Apa yang hendak kau lakukan?!" tanya Naga Kuning.

"Aku mau menyelidik. Rahasia apa sebenarnya yang ada di balik kincir itu…"

"Serrr!" Kencing Si Setan Ngompol mengucur begitu mendengar kata-kata Wiro. "Kakimu hampir amblas! Kita semua hampir jadi jerangkong! Dan kau bilang mau pergi kesana kembali! sungguh edan!"

"Terserah kalian mau bilang apa! Niatku sudah tetap. Aku harus menyelidik. Belasan orang mati mengerikan. Jika kalian tidak mau ikut jangan banyak omong!"

"Kami memang tidak mau ikut! Akhir-akhir ini ucapan dan tindakanmu kami lihat banyak anehnya!" kata Naga Kuning pula, bocah yang sesungguhnya adalah kakek berusia lebih dari seratus tahun.

Mengenal Naga Kuning harap baca serial Wiro Sableng berjudul Tua Gila Dari Andalas terdiri dari 11 Episode

Naga Kuning berpaling pada Setan Ngompol. Sesaat kedua orang ini saling pandang. Si kakek hanya diam saja.

********************

Tiga orang itu tegak di bawah pohon besar, memandang tak berkesip ke arah lapangan. Sekeliling mereka dicekam kegelapan malam.

"Wiro, apa kita tidak kesasar ke tempat yang salah?" Naga Kuning keluarkan suara. Dari suaranya jelas bocah ini berada dalam keadaan tercekat.

"Ini pohon besar yang dihantam kakek bercaping itu. Di depan kita terbentang halaman luas. Tempatnya jelas sama! Tapi memang adalah aneh kalau rumah kincir dan kincirnya tak kelihatan lagi di depan sana!" kata Wiro.

"Rumah dan Kincir Hantu bisa lenyap! Ada yang tak beres. Aku khawatir ada bahaya mengancam kita! Menyesal aku ikut bersama kalian!" kata Setan Ngompol dan seperti biasa dua tangannya cepat pegangi bagian bawah perutnya.

"Aku tidak mengerti. Rumah dan kincir sebesar itu tahu­-tahu bisa lenyap! Mungkin sengaja dipindah?" berucap Naga Kuning.

"Orang sakti manapun tidak mungkin memindahkan bangunan sebesar itu!" kata Si Setan Ngompol.

"Mungkin ini salah satu rahasia Kincir Hantu yang harus kita pecahkan. Siang hari masih nongkrong di depan sana. Malam hari tahu-tahu lenyap. Mungkin kakek itu punya ilmu seperti yang dimiliki Luhrinjani? Aku perlu menyelidik lebih dekat ke sana…"

Naga Kuning pegang pinggang celana Wiro. "Jangan gegabah. Keanehan di dalam kegelapan. Bagaimana kalau ini semua hanya merupakan satu jebakan. Sebelum kau sampai ke ujung lapangan sana mungkin berbagai senjata rahasia akan bertabur menembus tubuhmu. Bukan mustahil kakek kepala teleng itu mendekam di tempat gelap sana. Lalu kalau ada yang datang, dalam jarak dekat dia akan semburkan asap pipanya! Apa kita semua mau jadi jerangkong?"

"Kau betul juga!" kata Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Segera pergi saja dari tempat celaka ini!" kata Si Setan Ngompol yang sejak tadi sudah dilamun rasa takut dan berusaha menahan kencingnya. Naga Kuning mengatakan hal yang sama. Tapi Pendekar 212 masih penasaran. Dia dekati satu pohon kecil setinggi kepalanya. Dengan sekali hantam saja pertengahan batang pohon itu patah dua. Lalu Wiro lemparkan bagian atas pohon ke arah di mana sebelumnya rumah dan kincir berada.

"Braaakk!"

Pohon jatuh di ujung lapangan. Tidak ada gerakan. tak ada suara. Tidak terjadi apa-apa. Wiro berpaling pada dua kawannya. Naga Kuning dan Setan Ngompol unikkan apa arti pandangan itu.

"Kalau kau tetap keras kepala, silakan saja menyelidik ke sana…" kata Naga Kuning pula. "Aku dan kakek Ini menunggu di sini."

Wiro anggukkan kepala. Dia mulai melangkah. Dia berjalan tidak langsung menempuh lapangan terbuka dari arah depan, tapi bergerak dulu ke kanan, menyisi sepanjang tepi lapangan lalu membelok ke kiri. Di ujung sana dia membelok lagi ke kiri. Kini bergerak ke arah di mana sebelumnya rumah kincir dan Kincir Hantu berada.

Sebegitu jauh tak terjadi apa-apa. Namun ketika murid SintoGendeng hanya tinggal satu tombak saja lagi dari perkiraan letak bangunan, mendadak dalam kegelapan malam berkiblat dua buah sinar kebiru-biruan, menderu ke arah Pendekar 212.

"Senjata rahasia! Wiro awas!" teriak Naga Kuning memperingatkan.

Wiro memang sudah mendengar kemudian mellhat gerakan dua benda bersinar biru itu. Sambil jatuhkan diri Wiro hantamkan tangan kanannya melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera.Dua benda biru terpental. Namun!

"Blaaarr!" Blaaarr!"

Dua ledakan dahsyat menggema di udara malam. Dua buah benda biru hancur bertaburan membentuk keping-keping aneh. Keping-keping ini kemudian berubah menjadi larikan-larikan panjang. Lalu laksana tangan­tangan gurita, larikan-larikan sinar biru itu menyambar mencengkeram ke arah Pendekar 212.

Wiro gulingkan dirinya di tanah. Menyingkir kesisi lapangan sebelah kanan dari arah mana tadi dia datang lalu kembali lepaskan satu pukulan sakti ber­nama Dewa Topan Menggusur Gunung. Sepuluh larik sinar biru yang seperti tangan-tangan gurita yang tadi hendak mencengkeramnya mencelat buyar ke udara.

Namun luar biasanya, buyaran yang berjumlah dua puluh empat ini berubah menjadi seperti dua benda biru yang pertama kali menyerang Wiro, menderu dengan kecepatan setan dalam gelapnya malam, menyambar ke arah sosok Pendekar 212!

"Celaka!" ujar Setan Ngompol melihat apa yang terjadi. Kakek ini serta merta gerakkan tangan kanannya. Serangkum angin menebar bau pesing menderu ke ujung lapangan. Inilah pukulan Setan Ngompol Mengencingi Langit.

Naga Kuning tidak tinggal diam. Begitu melihat Wiro berada dalam keadaan bahaya dia segera menghantam tangan kanannya. Sinar biru panjang menderu dalam kegelapan malam, memapaki gerakan dua puluh empat benda biru yang menyerbu Pendekar 212.

Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya yang sudah disiapkan untuk melepas pukulan Sinar Matahari berkelebat ke depan. Selarik sinar putih menyilaukan disertai hamparan hawa panas laksana sambaran kilat menyambar ke depan. Tiga pukulan sakti menggempur dua puluh empat benda biru.

Letusan-letusan seperti hendak mengoyak gendang-gendang telinga berdentuman di tempat itu.Tanah bergetar. Pepohonan berderak. Semak-semak berserabutan dan debu serta pasir beterbangan ke udara. Ketika keadaan tenang kembali Wiro dan kawan­kawannya sudah menjauhkan diri dari tanah lapang.

Setan Ngompol terbatuk-batuk sambil pegangi bawah perutnya. Naga Kuning tegak dengan tubuh gemetar karena tangannya yang tadi dipakai untuk menghantam benda-benda biru itu kini terasa seperti kaku dan panas. Wiro sendiri yang melepas pukulan Sinar Matahari dengan mengerahkan hampir sepertiga tenaga dalamnya merasakan dadanya berdebar dan aliran darahnya tak karuan.

"Sebaiknya kita tinggalkan tempat celaka ini! Kendali jika ada diantara kalian yang mau mampus percuma!" kata Si Setan Ngompol pula yang kembali kuyup celananya.

Wiro dan Naga Kuning sepakat untuk pergi dari tempat Itu. Namun baru sama bergerak satu langkah tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat dari balik gundukan tanah tinggi disertai suara membentak.

"Kalian bertiga memang sudah ditakdirkan mampus percuma!"

Belum habis kejut Wiro dan kawan-kawannya melihat kelebatan bayangan hitam yang disusul bentakan garang itu, mendadak tiga buah benda bercahaya merah menyerupai bara api melesat ke arah mereka!

"Sialan! Siapa lagi yang punya pekerjaan ini!" teriak Wiro. Dia cepat melompat selamatkan diri sambil mendorong dua kawannya.

Tiga benda merah melesat di samping mereka lalu amblas ke dalam sebuah batu besar di dekat rerumpunan semak belukar. Batu itu serta merta dikobari api lalu bergemeretak pecah menjadi empat bagian, hangus menghitam dan kepulkan asap. Setan Ngompol jatuh terduduk di tanah.

Naga Kuning tertelungkup dengan muka pucat Wiro memandang ke arah kegelapan, kejurusan datangnya serangan tadi. Dia melihat sesosok tubuh tinggi besar. Salah satu tangannya buntung. Di bagian perut orang ini sebelah dalam seolah ada sesuatu yang mengeluarkan cahaya kemerahan.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Untuk sementara waktu kita tinggalkan dulu Wiro dan dua sahabatnya yang tengah mendapat serangan di malam gelapoleh seseorang yang belum diketahui siapa adanya.

Dalam Episode Hantu Muka Dua telah diceritakan bagaimana kakek utusan Para Dewa bernama Lamanyala menemui putera bungsu Lasedayu yang tengah bertapa di sebuah pulau karang.

Lamanyala memberi tahu, jika pemuda itu mengikuti apa yang dikatakannya maka kelak dia akan menjadi seorang sakti mandraguna, dijuluki Hantu Muka Dua karena nantinya dia akan menjalani hidup dengan memiliki dua muka kembar. Selanjutnya dia akan menjadi pelambang Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu.

Untuk mendapatkan semua itu maka pertapa muda Itu harus pergi ke Negeri Latanahsilam. Dia harus menemui beberapa tokoh sakti di negeri itu dan merampas ilmu kesaktian yang mereka miliki. Kemudian si pemuda yang oleh Lamanyala diberi nama Labahala harus pergi ke Lembah Seribu Kabut. Disitu bertapa seorang sakti yang bukan lain adalah Lasedayu dan sebenarnya adalah ayah kandung Labahala sendiri.

Konon pada masa itu Lasedayu adalah yang paling sakti di seluruh negeri, melebihi kehebatan Hantu Tangan Empat yang merupakan dedengkot para Hantu sakti yang ada. Untuk menundukkan Lasedayu, Labahala harus mencungkil dan merampas pusar orang sakti itu. Lamanyala kemudian membekali Labahala dengan sebuah benda yakni sendok aneh bergagang pendek dan terbuat dari emas murni.

Sendok ini merupakan satu benda sakti dan diberi nama Sendok Pemasung Nasib. Dengan sendok inilah Labahala harus mencungkil pusar Lasedayu. Labahala tidak pernah tahu bahwapertapa sakti di Lembah Seribu Kabut yang akan didatanginya itu adalah ayah kandungnya sendiri. Lamanyala sengaja mengatur semua itu karena dendam kesumatnya terhadap Lasedayu.

Bukan saja Lasedayu telah meng­ambil Jimat Hati Dewa titipan Para Dewa, tetapi juga karena Lasedayu telah membuat kakek itumenjadi mengerikan seumur hidup. Sosok tubuhnya sebelah kanan hancur dan tinggal merupakan satu gerakan besar begitu rupa sehingga tulang iga, sebagian isi dada dan isi perutnya terlihat dengan jelas, luar biasa seram mengerikan!

Selain itu antara Lamanyala dengan Para Dewa di Atas Langit telah terjadi perselisihan hebat. Para Dewa tidak menyukai cara yang ditempuh Lamanyala dalam menjatuhkan hukuman atas diri Lasedayu yang dianggap semata-mata hanya merupakan pelampiasan dendam pribadi. Dalam amarahnya Lamanyala akhirnya menyatakan tidak bersedia lagi menjadi Utusan Para Dewa di Negeri Latanahsilam. Dengan demikian dia bebas melakukan apa saja menurut kehendak hatinya.

Lembah Seribu Kabut…

Saat itu malam baru saja sampai keujungnya. Udara terasa dingin mencucuk dan kegelapan masih mencekam di semua penjuru. Di kawasan selatan Negeri Latanahsilam satu bayangan berkelebat cepat ke arah timur dimana terletak satu kawasan yang disebut Lembah Seribu Kabut. Lembah ini diberi nama demikian karena jangankan malam atau pagihari, pada siang hari saja selagi matahari bersinar terik, kabut menyungkup seantero lembah menutup pemandangan.

Bayangan tadi berlari cepat menembus kegelapan dan udara dingin, langsung ke pusat lembah. Di satu tempat dia hentikan langkah. Di kejauhan terdengar suara lolongan binatang buas penghuni lembah. Orang ini memandang berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa, kecuali pepohonan, semak belukar, bebatuan. Semua menghitam dalam kegelapan. Kabut dan kegelapan malam membuat pandangannya sangat terbatas.

"Sunyi… gelap dan dingin. Di mana aku harus mencari orang sakti bernama Lasedayu itu…"

Orang Ini berkata dan bertanya-tanya dalam hati. Sekali lagi dia memandang berkeliling. Pandangannya membentur sebuah batu besar. Rasa letih membuat dia melangkah mendekati batu lalu duduk di sana.

"Mungkin aku harus menunggu sampai matahari terbit. Jika hari sudah terang aku akan memeriksa seluruh lembah ini. Bukan mustahil dia tinggal di dalam sebuah goa…"

Karena batu yang didudukinya itu agak datar maka orang ini baringkan dirinya. Perjalanan jauh membuat sekujur tubuhnya letih. Sesaat antara tertidur dan jaga tiba-tiba dia bangkit dan duduk di atas batu. Ada suara seperti langkah kaki di sebelah kanan. Namun memandang ke jurusan itu dia tidak melihat siapa-siapa. Rasa tegang perlahan-lahan merayapi hati orang ini.

"Mungkin berbahaya kalau aku sampai ketiduran…" pikir orang itu. Lalu dia duduk bersila di atas batu.

Sesaat terbayang di pelupuk matanya wajah kakek sakti bernama Lamanyala itu. Dia coba membayangkan bagaimana kira-kira sosok dan tampang manusia bernama Lasedayu. Dalam keadaan seperti itu orang ini tidak mengetahui kalau dari sebelah atas, sebuah benda besar perlahan­lahan melayang turun ke arah kepalanya. Dia baru menyadari ketika serangkum angin sangat halus menyapu tengkuknya.

Saat itu bibir lembah di sebelah timur kelihatan mulai terang pertanda sang surya siap memperlihatkan dirinya kembali di muka bumi. Orang yang duduk di atas batu dongakkan kepalanya ke atas. Tapi! Astaga! Sebuah benda tiba-tiba menekan dari atas, membuat dia tidak bisa mendongak atau memutar kepala. Dia kerahkan tenaga bahkan tenaga dalam, tetap saja dia tak sanggup melepaskan diri dari tindihan benda di atas kepalanya itu.

"Makhluk kurang ajar! Siapapun kau adanya pantas kubantai saat ini juga!" Orang di atas batu membentak lalu secepat kilat tangan kanannya dipukulkan ke atas!

Selarik sinar hijau berkiblat dalam keremangan di akhir malam yang segera berganti siang itu. Tindihan di atas kepala orang ini mendadak lenyap. Satu bayangan berkelebat dua tombak ke atas. Serangan yang dilancarkan orang di atas bahu cepat luar biasa.

Tapi sasaran yang diserang bergerak lebih cepat untuk selamatkan diri. Sinar hijau setelah menembus kabut dan udara kosong menghantam satu pohon hcsar. Pohon ini langsung berubah menjadi Hijau Ialu meleleh tumbang seolah berubah menjadi lumpur hijau! Benar-benar luar biasa mengerikan.

" Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh!" Satu suara berseru di sebelah atas.

Orang yang lepaskan pukulan melompat turun dari batu. Ketika dia memandang ke atas, kakinya langsung tersurut. Sejarak tiga tombak di atas batu dia melihat seorang tua dalam sikap duduk bersila, mengapung di udara sambil rangkapkan dua tangan di muka dada. Sepasang matanya memandang tajam pada orang di bawahnya. Satu tangan kemudian bergerak mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut panjang warna kelabu.

"Bukan main! Orang tua itu memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa! Juga ilmu meringankan tubuh yang sangat langka! Dia mampu mengapung di udara seperti duduk enak-enakan di lantai yang lembut!"

"Anak muda yang muncul di penghujung malam, Malam kabut dan udara dingin. Wahai, siapa kau adanya. Apakah kau berpunya nama?"

Orang di depan batu sesaat tegak diam tak menjawab. Apa perlu dia menjawab pertanyaan orang itu. Tapi dia harus mengetahui jelas siapa adanya orang tersebut. Jadi dia memang perlu membuka mulut untuk bicara.

"Guruku yang pertama memberi aku nama Lajundai. Guruku yang ke dua menamakan aku Labahala!. Terserah kau mau memanggil aku siapa! Tapi pantas kau ketahui aku muncul menyandang satu gelar besar! sebelum kukatakan gelar itu harap beri tahu apakah kau makhluknya yang bernama. Lasedayu, penghuni dan penguasa Lembah Seribu Kabut ini?!"

Orang tua di atas sana kerenyitkan kening. Alis matanya yang lebat tebal mencuat ke atas. Lalu tampak dia menyeringai. Kembali dua tangannya disilangkan di atas dada.

"Kau punya dua orang guru. Tentu kau adalah seorang pemuda sakti. Wahai anak muda, coba kau beri tahu siapa nama gurumu yang pertama dan ke dua itu!"

"Kau tak layak bertanya dan aku tak layak menjawab!"

Orang yang mengapung di udara tertawa datar.

"Jangan tertawa! Tak ada yang lucu, katakan saja apa kau orangnya yang bernama Lasedayu?!" menghardik Lajundai alias Labahala.

"Kau seperti orang yang kesusu. Ada sesuatu yang membuat kau tidak sabaran! Jangan kau keliwat memaksa anak muda! Pukulan yang tadi kau lepaskan adalah Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh. Setahuku pukulan itu hanya dimiliki oleh seorang tokoh bernama Hantu Lumpur Hijau yang diam di Kubangan Lumpur. Bagaimana kau bisa memilikinya. Apa kau murid atau punya hubungan tertentu dengan dirinya?!"

Labahala tertawa lebar. Sambil angkat tangan acungkan tinju dia berkata. "Aku bukan murid bukan kerabat Hantu Lumpur Hijau. Ilmu Pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh itu aku rampas dari Hantu Lumpur Hijau!"

"Kau rampas dari Hantu Lumpur Hijau? Wahai! Kau tentu bergurau…"

"Siapa bilang aku bergurau! Lihat! Aku juga telah merampas beberapa kesaktian yang dimiliki Hantu Tangan Empat. Saksikan ini! Apa kau mengenali ilmu kesaktian yang akan kuperlihatkan ini?!"

Begltu berucap maka tubuh Labahala berubah menjadi asap berwarna merah lalu tanpa mengeluarkan suara, bergulung berputar seperti gasing, membentuk kerucut terbalik.

Orang tua di atas sana buka dua tangannya yang disilangkan di depan dada. Dia terkejut besar ketika merasakan tubuhnya mulai tersedot ke arah kerucut asap itu! Buru-buru dia mengapung naik sampai setinggi tiga tombak!

"Ilmu Tangan Hantu Tanpa Suara!" seru orang diatas sana dengan airmuka berubah.

Di bawahnya Labahala hentikan putaran tubuhnya lalu dia kembali ke ujudnya semula. "Sekarang kau percaya aku tidak berdusta wahai makhluk berjanggut kelabu?! Dan apakah kau masih belum mau memberi tahu apakah kau ini Lasedayu atau bukan?!"

"Aku akan memberi tahu siapa diriku. Tapi aku perlu tahu dulu bagaimana kau bisa mendapatkan semua Ilmu milik para Hantu di Tanahsilam itu?!"

"Sudah kukatakan! Aku merampas semua ilmu itu" jawab Labahala.

********************

Perlahan-lahan orang yang duduk mengapung di udara bergerak turun hingga kini dia hanya lima jengkal saja dari atas batu datar di hadapan Labahala.

"Aku memang orang yang bernama Lasedayu. Penguasa Tujuh Penjuru Angin Negeri Latanahsilam. Aku tidak membenarkan perbuatanmu merampas ilmu kesaktian para Hantu yang berada di bawah kekuasaanku. Kau harus kembalikan semua ilmu rampasan itu dengan cara menyerahkan dua tanganmu kiri kanan padaku! Lekas ulurkan dua tanganmu!"

Labahala tertawa bergelak mendengar kata-kata orang bernama Lasedayu yang bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri. "Lasedayu, aku memang sudah mendengar nama besarmu! Tapi bukan berarti aku harus tunduk dan dapat kau perlakukan seperti Para Hantu lainnya! Aku justru datang untuk memaklumkan bahwa mulai hari ini kau berada dalam kekuasaanku! Aku adalah Raja Diraja Para Hantu di Negeri Latanahsilam! Aku pelambang Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"

"Siapapun kau adanya aku tidak peduli! Lekas ulurkan dua tanganmu!" membentak Lasedayu. Tubuhnya yang mengapung bergerak satu langkah mendekati Labahala.

"Lasedayu, kau punya mata tapi tidak melihat tingginya Gunung Latinggimeru. Kau bisa melihat tapi tidak menampak dan tidak tahu dalamnya lautan Lasamuderahijau! Lihat wajahku baik-baik!"

Labahala lalu usap wajahnya. Saat itu juga kepalanya berubah jadi memiliki dua muka berbentuk muka raksasa berwarna merah! Hidung besar, bibir tebal dilengkapi taring yang mencuat. Rambut panjang awut-awutan dan sepasang mata melotot besar berwarna merah seperti api!

Lasedayu tersentak kaget, sampai-sampai melambung satu tombak ke atas. "Makhluk jejadian! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Lasedayu.

"Aku bukan makhluk jejadian! Aku adalah Hantu Muka Dua! Raja Diraja Para Hantu Tujuh Penjuru Angin Negeri Latanahsilam! Jangan kau berani bertingkah dihadapanku!"

Dalam kagetnya Lasedayu menyadari bahwa dia tidak boleh berlaku ayal. Dia maklum kalau makhluk di hadapannya itu punya maksud jahat. Maka sebelum terjadi hal yang tidak diingini dia memutuskan untuk menghantam Labahala lebih dulu! Tanpa tunggu lebih lama dia segera lepaskan satu pukulan, mengantar Ilmu kesaktian yang disebut Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Perut Bumi!

Serangkum angin sedahsyat puting beliung dan memancarkan sinar merah menderu ke bawah. Labahala yang tidak menyangka bakal diserang secara mendadak begitu rupa berteriak marah dalam kagetnya dan buru-buru selamatkan diri. Dia melesat ke kiri lalu membuat gerakan berputar dan tahu-tahu sudah berada di belakang batu besar!

Di depan sana dia menyaksikan bagaimana pukulan Lasedayu yang tidak mengenai sasarannya menghantam sebuah pohon besar. Pohon ini serta merta terkelupas seluruh permukaan kulitnya hingga dalam waktu sekejapan mata hanya tinggal bagiannya yang berwarna putih, lalu roboh tumbang dengan suara bergemuruh!

Sesaat bulu kuduk Labahala mau tak mau jadi merinding juga. Dalam hati dia membatin. "Mungkin ini ilmu yang menurut Lamanyala bernama Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumil Luar biasa! Jika manusia sampai kena sasarannya pasti akan menemui ajal dengan tubuh hanya tinggal tulang belulang saja! Aku harus dapatkan ilmu kesaktian itu! Semua petunjuk Lamanyala ternyata benar adanya!"

Kejut Lasedayu bukan kepalang. Bukan saja ketika melihat lawan sanggup selamatkan diri dari ilmu kesaktian yang sangat diandalkannya itu, tetapi juga ketika menyaksikan bagaimana Labahala tahu-tahu sudah berada di sebelah belakangnya, di balik batu besar. Cepat Lasedayu berbalik. Saat itu sinar sang surya yang baru terbit telah mencapai bibir sebelah timur Lembah Seribu Kabut. Sinar terangnya jatuh ke pusat lembah, memantul pada sebuah benda kuning yang berada dalam genggaman Labahala.

Lasedayu lindungi dua matanya ketika sinar kuning itu menyapu mukanya dan membuat pemandangannya sesaat menjadi gelap. Dalam keadaan masih mengapung di udara dia melesat ke kiri. Ketika dia bisa melihat dengan jelas kembali kagetnya bukan alang kepalang. Pemuda bernama Labahala dengan muka raksasa kembar mengerikan itu sudah berada di depannya. Dalam jarak sedekat itu baru Lasedayu melihat benda apa yang ada di tangan Labahala.

"Sendok Emas Pemasung Nasib!" teriak Lasedayu. Kaki kanannya langsung dihantamkan ke arah kepala Labahala. Namun gerakannya kalah cepat. Sendok emas di tangan lawan menderu laksana kilat ke arah perutnya.

"Settttt…. Craaasss!"

Lasedayu menjerit setinggi langit. Darah menyembur dari pertengahan perutnya. Dia segera pergunakan dua telapak tangan untuk menutup luka besar di perut, membendung muncratan darah. Dengan tubuh sempoyongan dia melayang turun dan jejakkan kaki di tanah. Memandang ke depan Lasedayu melihat pemuda bermuka raksasa kembar itu tegak sambil menyeringai.

Di tangan kanannya, di atas sendok emas bergagang pendek melekat sebuah benda sebesar ujung ibu jari kaki, berbentuk daging merah hidup bergerak-gerak! Itulah pusar Lasedayu yang berhasil dicungkil oleh Labahala dengan Sendok Pemasung Nasib yang didapatnya dari kakek bernama Lamanyala!

Dengan kesaktian yang dimilikinya Lasedayu mampu menutup luka besar di bagian pertengahan perutnya. Namun sesaat kemudian tubuhnya mulai bergeletar. Dua kakinya goyah. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut di tanah. Kesaktian yang dimilikinya berangsur-angsur sirna.

Pandangan matanya yang membeliak besar dan galak kepada Labahala berubah kuyu dan sayu. Sekujur tubuhnya lemas seolah tidak memiliki tulang, urat dan otot lagi. Mukanya berubah pucat dan menjadi tiga kali lebih tua, seolah telah menjadi kakek-kakek!

Labahala tertawa mengekeh sambilacungkan sendok yang ditempeli pusar Lasedayu. Daging pusar yangtadi hidup berdenyut-denyut kini diam dan seolah berubah menjadi batu, menyatu dengan sendok emas itu!

Labahala tertawa bergelak."Lasedayu! Pusarmu sudah berada di tanganku! Kesaktianmu seluruhnya berpindah ke dalam tubuhku! Ha ha ha!"

Labahala gerakkan tangan kanannya, siap untuk menyimpan sendok emas dan pusar Lasedayu ke balik pakaian kulit kayu yang dikenakannya

. "Selamat tinggal Lasedayu! Ha ha ha…!"

Sambil memutar badan untuk berkelebat pergi Labahala masukkan sendok emas ke balik pakaiannya. Namun mendadak terjadi hal yang tidak terduga. Didahului satu siuran angin serta satu gelombang kabut yang menutupi pemandangan, di udara ber­kelebat satu bayangan serba putih. Lasedayu mencelat dan terbanting ke tanah oleh sambaran angin itu sementara Labahala sempat terjajar sempoyongan sampai beberapa langkah.

Selagi dia berusaha mengimbangi diri tiba-tiba satu tangan laksana kilat menyambar ke arah lehernya, seperti pedang yang hendak membabat putus. Ketika dia berusaha mengelak sambil palangkan tangan kiri tahu-tahu ada lagi satu tangan menyambar. Labahala tersentak kaget ketika menyadari sendok emas yang masih ditempeli pusar Lasedayu tak ada lagi dalam genggaman tangan kanannya!

"Jahanam berani mati!" teriak Labahala marah sekali.

Dia hantamkan tangan kiri kanan. Yang kiri lepaskan pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh sedang tangan kanan menghantam pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Pukulan ke dua ini baru saja dirampasnya dari Lasedayu. Walau belum mantap namun kekuatannya sanggup membuat lawan berubah menjadi tulang belulang!

Bayangan putih yang diserang membuat gerakan aneh. Tubuhnya melesat ke atas namun di sebelah bawah, ujung pakaiannya yang berbentuk seperti jubah memapas dahsyat, mengeluarkan angin deras, membuat tanah laksana dilanda gempa.

"Plaakk… plakkkk… plaakk!"

Dua larik angin pukulan sakti yang dilepaskan Labahala terpental. Labahala sendiri terbanting ke tanah. Begitu dia melompat bangkit bayangan putih tadi telah berkelebat ke arah matahari terbit dan akhirnya lenyap dalam sinar menyilaukan yang membutakan pemandangan. Dua muka raksasa Labahala menggeram. Dua pasang matanya seperti mau melompat keluar dan taring-taring dalam mulutnya mencuat bergemeletakan!

"Jahanam! Dia merampas sendok emas itu! Kurang ajar! Aku bersumpah mencari tahu siapa adanya bangsat pencuri itu!" Labahala marah besar. Seperti orang kalap dia menghantam kian ke mari, menghancurkan apa saja yang ada di dekatnya! Lalu tanpa pedulikan lagi Lasedayu yang tergeletak tak bergerak di tanah, Lajundai alias Labahala segera tinggalkan tempat itu.

Matahari pagi bergerak naik. Kabut melayang turun ke bagian paling bawah Lembah Seribu Kabut. Lasedayu mengerang panjang. Sambil pegangi perutnya yang luka dia berusaha bangkit dan duduk menjelepok di tanah. Selagi dia berusaha mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya lalu mencoba bangun berdiri tiba-tiba dari arah barat bibir lembah kelihatan nyala api aneh bergerak cepat menuruni lembah. Demikian cepatnya hingga dalam waktu dua kejapan mata benda ini sudah berada di hadapan Lasedayu.

Lasedayu terkesiap kaget ketika mengenali siapa adanya makhluk yang tubuhnya dikobari api itu. Diabukan lain adalah Lamanyala, kakek sakti yang dulu pernah menjadi Utusan Para Dewa. Sisi kanan tubuhnya berlubang besar mengerikan. Kakek ini tegak berkacak pinggang di hadapan Lasedayu yang megap-megap mencoba berdiri.

"Wahai Lasedayu, apakah kau sadar bagaimana kutukanku beberapa puluh tahun silam kini telah menjadi kenyataan?!"

"Tua bangka jahanam. Kau rupanya! Apa maksud ucapanmu barusan?!" suara Lasedayu masih keras dan garang.

"Hidup keluargamu morat marit! Kau tak tahu dimana istrimu berada. Kau juga tidak tahu dimana ke empat anakmu! Si bungsu anakmu yang ke empat telah menjadi musuh besarmu! Kau telah kehilangan seluruh kesaktianmu! Kau sekarang tidak beda dengan bangkai hidup tak ada gunanya! Ha ha ha! Dan sekarang kutukan paling menyiksa akan kau alami!"

Kakek bernama Lamanyala itu angkat tangan kirinya. Telapak tangan dibuka dikembangkan dan diarahkan pada Lasedayu. "Bangkit… Tegak! Berdirilah Lasedayu. Tapi jangan berdiri dengan dua kakimu! Mulai hari ini kau akan hidup menyungsang. Kaki ke atas kepala ke bawah. Kau akan berjalan dengan dua tanganmu! Kau akan jadi makhluk tersiksa seumur-umur! Ha ha ha!"

Lamanyala gerakkan tangan kirinya. Secara aneh sosok Lasedayu yang tadi susah payah berdiri kini bangkit tegak. Lalu perlahan-lahan tubuh itu naik ke atas, berputar dengan kepala menghadap ke tanah. Mau tak mau Lasedayu harus ulurkan tangan menjaga agar bukan kepalanya yang menempel ditanah.

"Bagus Lasedayu! Wahai bagus sekali! Kau sudah mengerti rupanya! Ha ha ha! Kaki ke atas kepala ke bawah. Dua tangan dijadikan pengganti kaki untuk berjalan! Itulah kehidupan barumu Lasedayu! Ha ha ha!"

Lasedayu keluarkan suara menggembor. Tiba-tiba dia mengejar ke arah si kakek. Seperti yang dikatakan Lamanyala tadi, Lasedayu benar-benar pergunakan dua tangannya sebagai kaki.

Lamanyala tertawa terkekeh-kekeh. "Selamat tinggal Lasedayu! Ha ha ha!" Sekali berkelebat si kakek lenyap ke balik kabut yang menggantung di dasar lembah.

********************

Orang tua berjubah putih itu melompat ke dalam perahu yang rupanya memang sudah menunggunya di tikungan sungai. Walau tubuhnya tinggi besar dan jarak pinggiran sungai ke perahu cukup jauh namun sedikit pun perahu itu tidak bergerak. Jelas dia seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam sangat tinggi.

Selain itu ada satu hal sangat aneh dan sangat mengerikan pada orang ini yakni bagian kepalanya. Otaknya tidak berada di dalam batok kepala melainkan berada dan terlihat menyembul di luar kepala mulai dariatas kening sampai ubun-ubun. Otak ini terbungkus oleh sejenis selubung bening seperti lapisan kaca dan terlihat selalu bergerak hidup!

Pemilik perahu, seorang lelaki muda bermuka hitam penuh ketakutan segera saja mengayuh perahunya menuju ke hilir. Di satu tempat sebelum mencapai sebuah tikungan perahu membelok menyeberang lalu merapat di tepian sungai di mana terdapat sebuah gubuk keciltak berdinding. Tanpa berkata apa-apa, orang tua berjubah melompat ke daratan.

Tubuhnya melayang laksana terbang melewati atap gubuk lalu lenyap diantara kerapatan pepohonan. Waktu membuat gerakan melompat meninggalkan perahu tadi lagi-lagi perahu itu tidak bergeming sedikitpun. Pemilik perahu yang kini merasa lega gelengkan kepala.

"Manusia aneh mengerikan! Seumur-umur baru kali ini aku melihat manusia otaknya berbungkah di luar kepala! Manusia aneh! Tapi apa betul dia manusia sungguhan? Ihhh! Datang dan pergi bicara.hanya dengan isyarat tangan dan gerakan mata! Wahai... Bahkan dia tidak memberi upah sama sekali!"

Orang ini menghela nafas panjang. Mendadak pandangannya membentur sebuah benda berkilauan yang menancap di pinggiran perahu. Diraba-rabanya benda Itu sesaat lalu dicabutnya. Begitu memperhatikan satu seruan kecil keluar dari mulutnya.

"Orang tua aneh. Benar-benar aneh! Aku telah berburuk sangka. Ternyata dia meninggalkan lempengan perak ini sebagai sewa dan upah perahu! Siapa kah gerangan. Aku pernah menyirap kabar dulu ada seorang tua tinggal di pedalaman sana. Memiliki ilmu kesaktian yang hampir setingkat kesaktian Para Dewa. Apa dia orangnya?"

Pemilik perahu itu timang-timang lempengan perak lalu menciumnya berulang kali. Orang tua berjubah putih yang otaknya terletak diluar batok kepala itu berlari laksana angin. Rambutnya yang panjang putih bukan saja menutupi kepala bagian belakang sampai ke punggung, tapi juga menjulai di sebelah depan menutupi wajahnya.

Walau matanya terhalang namun dia mampu berlari dengan kecepatan luar biasa. Sesekali dia sengaja menerjang pepohonan yang menghadang di depannya seperti tidak sabar untuk menghindar. Saat itu dia memang tengah berpacu dengan waktu. Dia sedang menghadapi urusan genting.

Kemampuannya untuk sampai di tujuan dalam waktu secepat mungkin akan menyelamatkan nyawa seseorang. Sambil lari sesekali dia mendongak ke atas memperhatikan matahari. Kalau dia sampai di tujuan pada saat matahari mencapai titik tertingginya berarti dia akan gagal menyelamatkan nyawa sahabatnya itu.

Sambil berlari dalam hati tiada putusnya dia mengucap. "Lawungu! Jangan kau mati dulu! Wahai Para Dewa, Para Peri dan semua roh yang ada antara bumi dan langit! Tolong sahabatku itu!" Otak di atas kepalanya berdenyut keras.

Berlari sejauh lima ratus tombak orang tua ini sampai di satu kawasan hutan yang banyak ditebari batu-batu besar. Di satu tempat dia membelok ke kiri dan sampai di hadapan sebuah lobang besar yang merupakan mulut sebuah goa. Tanpa ragu orang tua ini masuk ke dalam goa itu. Di dalam goa yang hanya diterangi oleh sebuah obor kecil, tergolek sesosok tubuh. Kaki kanannya mulai dari telapak sampai ke lutut diselimuti luka besar yang telah memborok dan menebar bau sangat busuk.

"Sahabatku Lawungu, aku merasa bahagia! Hari ini aku dapat melunasi hutang nyawa itu!" Si orang tua berucap lalu membungkuk.

Sosok di lantai goa tidak bergerak. Orang tua ini sesaat menjadi kecut. Jangan-jangan dia terlambat! Orang yang hendak ditolongnya telah keburu menemui ajal. Celaka!

"Lawungu!" Orang tua itu pegang dada Lawungu, orang yang tergolek di lantai. Dia menjadi lega begitu merasakan masih ada denyutan jantung walau sangat perlahan dan lemah. Lalu dia kerahkan tenaga dalam dan alirkan ke dalam tubuh orang itu. Sesaat kemudian orang tua bernama Lawungu keluarkan suara mengerang.

"Lawungu! Buka matamu! Aku datang!"

Lawungu buka dua matanya yang sejak tadi terpejam. Mengerikan sekali. Sepasang mata itu tertutupgenangan nanah! Orang tua berjubah putih tercekat kaget! Walau tidak melihat namun Lawungu masih bisa mengenali siapa yang ada di dekatnya dari suaranya. Mulutnya terbuka. Suaranya bergetar.

"Wahai sahabatku Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, apakah kau berhasil mendapatkan satu-satunya benda yang mampu menyembuhkan borok, membunuh racun ular dalam darahku dan menyelamatkan jiwaku?!"

"AkU berhasil sahabatku! Aku membawanya Lawungu!"

Lalu orang tua berjubah putih yang ternyata adalah Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang sangat terkenal di Negeri Latanahsilam sebagai makhluk berkepandaian sangat tinggi keluarkan sendok emas dari balik jubahnya. Karena sahabatnyatidak bisa melihat maka Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menggenggamkan sendok emas itu ke tangan kanan Lawungu.

Begitu sendok emas sakti itu berada dalam genggaman Lawungu, satu hawa aneh menjalarmasuk kedalam tubuhnya lalu mengalir ke dua jurusan yakni kakikanan dan sepasang matanya. Seperti bara api kejatuhan tetesan air dua mata serta kaki kanan busuk Berborok dari Lawungu keluarkan suara...

"Cess-Cess-Cess!" Lalu ada kepulan asap. Genangan nanah di duamata orang tua itu seperti mendidih! Tubuh Lawungu menggeliat dan gerahamnya bergemeletakan menahan sakit yang amat sangat. Namun penuh harapan Lawungu genggam erat-erat sendok emas itu.

"Sendok Pemasung Nasib…" desis orang tua ini yang usianya hampir seumur Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. "Sahabatku! Kau tahu apa yang harus kau kerjakan. Cepat lakukan. Aku telah lama menunggu saat ini. Aku sudah siap! Semoga Para Dewa memberkahimu wahai sahabatku!"

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab luruskan kaki kanan Lawungu yangtelah membusuk. Dia menekan urat besar di beberapa bagian kaki sebelah atas.

"Tabahkan hatimu wahai sahabatku!" kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. "Aku tahu sakitnya seperti ditusuk besi panas! Tapi wahai sahabatku, bertahanlah! Kesembuhan akan menjadi bagianmu! Para Dewa akan menolongmu!"

" Lakukan cepat! Aku sudah siap sahabatku!" kata Lawungu pula.

Dengan menggigit bibir Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tusukkan Sendok Pemasung Nasib ke telapak kaki kanan Lawungu.

"Crosss!" Darah bercampur nanah dan daging yang telah membusuk muncrat mengerikan dan menjijikkan. Sendok emas yang ditusukkan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dengan mengerahkan tenaga dalam amblaske dalam kaki kanan Lawungu, masuk menembus tulang sampai sebatas pergelangan kaki!

Lawungu menjerit setinggi langit. Dinding dan langit-langit goa laksana mau runtuh. Lalu dia jatuh pingsan. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sendiri terduduk terkulai di lantai, tersandar ke dinding goa. Keringat membasahi sekujur tubuhnya.

"Hantu Sejuta Tanya… Sahabatku…" Lawungu berucap sambil putar kepalanya ke kiri dan ke kanan.

"Mataku! Aku bisa melihat kembali!"

Kakek berjubah putih sibakkan rambut yang menjulai di depan mukanya lalu memperhatikan dua mata Lawungu. Sepasang mata yang tadinya tertutup nanah. itu kini kelihatan putih bening dengan dua bola mata hitam, menatap berseri ke arahnya.

"Terima kasih Dewa!" seru Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

"Hantu Sejuta Tanya! Lihat! Kaki kananku juga sembuh!" berseru Lawungu sambil angkat kaki kanannya lalu melompat berdiri!

Memang sungguh luar biasa. Berkat Sendok Pemasung Nasib yang kini berada dalam kaki Lawungu, kaki kanan orang tua ituyang tadinya hanya merupakan borok membusuk kini kembali utuh seperti semula. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ikut berseru gembira lalu melompat dan memeluk sahabatnya itu. Untuk beberapa lamanya dua orang tua ini saling berangkulan.

"Kau telah menolongku. Kau menyelamatkanku dari kematian yang mengerikan!"

Apa yang diucapkan Lawungu memang benar. Kalau sampai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab terlambat menolongnya maka dia akan menemui ajal secara tersiksa karena sebelum menemui kematian tubuhnya akan membusuk dulu secara perlahan-lahan.

"Jangan kau berkata begitu wahai sahabatku Lawungu! Kau pun pernah menyelamatkan nyawaku. Kau sembuh berkat pertolongan Para Dewa. Sekarang, seumur hidupmu kau akan ke mana-mana membawa sendok sakti itu di dalam kaki kananmu. Kecuali Para Dewa menginginkan sendok itu keluar dari tubuhmu tanpa mengurangi kekuatan dan melenyapkan kesembuhanmu! Aku yakin sendok itu akan melipatgandakan tenaga dalam serta kesaktianmu!"

"Setelah sengsara sekian lama kini aku jadi makhluk paling beruntung!" kata Lawungu pula. Dia menggosok matanya dan goyang-goyangkan kaki kanannya berulang kali.

"Setelah mendapat kesembuhan, apa yang akan kau lakukan wahai Lawungu?" tanya Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

"Apakah aku perlu mengatakan? Lalu apa artinya kau dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"

Kakek berjubah putih tertawa datar. "Aku tahu kau akan mencari nenek berjuluk Hantu Santet Laknat itu!"

"Perempuan celaka itu akan kuhajar habis-habisan sebelum nyawanya kubuat minggat dari tubuh!" kata Lawungu dengan rahang menggembung dan mata membeliak besar. "Aku tahu, dia yang mengirimkan ular hitam berbisa itu untuk mencelakaiku! Dendam di masa muda dibalaskannya di usia tua! Perempuan gila! Tunggu bagianmu!" Saking marahnya Lawungu tendangkan kaki kanannya.

"Braakkk!"

Dinding goa yang terkena tendangan serta merta hancur, membentuk satu lobang besar. Lawungu ter­belalak dan terkejut sendiri melihat hal itu. Karena sebelumnya walau ilmu kesaktiannya tinggi namun untuk menjebol dinding goa batu yang sangat tebal itu dengan tendangan tak bakal mampu dilakukannya. Kini dia sanggup membuat dinding goa itu berlobang besar hanya dengan satu tendangan yang dilakukan secara tidak sengaja!

********************

Didalam bangunan batu di puncak bukit yang kelak di kemudian hari akan dibangun apa yang dikenal sebagai Istana Kebahagiaan, Lajundai alias Labahala alias Hantu Muka Dua tengah bermesra-mesraan dengan empat orang gadis jelita. Seorang pembantu memberitahu bahwa tamu yang sejak lama ditunggu sudah berada di halaman, menunggu izin untuk masuk.

Biasanya dalam keadaan seperti itu Hantu Muka Dua akan marah besar jika diganggu. Namun tamu yang datang memang seorang penting yang sudah ditunggunya sejak lama. Dia telah menebar selusin orang suruhan untuk mencari dan menemukan orang Itu. Satu tahun berlalu baru mereka berhasil. Dengan cepat Hantu Muka Dua mengenakan pakaiannya, lalu bergegas keluar.

Saat itu matahari yang baru tenggelam masih meninggalkan sinar kuning keemasan di langit dan menyapu puncak bukit. Di bawah sinar kekuningan yang mulai pupus berubah menjadi kegelapan, di bawah bayang-bayang satu batu besar berbentuk pilar tegak berdiri seorang kakek berwajah tirus, berpakaian compang camping. Di tangan kirinya ada sebuah tongkat terbuat dari batu yang memancarkan sinar biru redup.

"Hantu Muka Dua," sang tamu menegur. "Sebelum pembicaraan dimulai, aku harap jangan sekali-kali menyebut nama atau gelarku! Batu dan pohon bisa punya telinga. Bumi dan langit bisa mendengar. Angin yang bertiup menebar kabar ke delapan penjuru. Aku tak ingin ada orang di luar tahu kedatanganku ke tempat ini!"

Hantu Muka Dua yang saat itu berpenampilan dalam wajah lelaki separuh baya berkulit kuning di sebelah depan dan hitam pekat di sebelah belakang diam sejenak mendengar kata-kata tamunya itu. Lalu perlahan-lahan dia mulai tertawa. Lama-lama tawanya itu berubah menjadi kekehan panjang.

"Wahai! Tertawa terkadang bisa menyehatkan tubuh. Tapi bukan mustahil suatu ketika tertawa bisa membuat seseorang berumur pendek!" kata kakek berwajah tirus yang rupanya tidak suka mendengar tawa Hantu Muka Dua.

Kalau saja orang lain yang berkata seperti itu, mungkin Hantu Muka Dua sudah melompatinya dan menghajarnya habis-habisan. Dia adalah Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam. Tidak bisa orang lain bicara seenaknya terhadapnya. Tapi karena dia memerlukan orang itu maka Hantu Muka Dua menahan luapan amarahnya. Wajahnya depan belakang tidak sempat berubah menjadi sepasang wajah raksasa yang biasanya terjadi kalau dia sedang marah. Hantu Muka Dua hentikan tawanya.

"Kau tak mau disebut namamu! Apa susahnya! Biar aku memanggilmu dengan nama Kera Sakti Tak Bernama. Kau setuju?!"

Wajah tirus si kakek yang memegang tongkat batu biru sesaat tampak berubah. "Kalau kau menyebut aku Kera Sakti Tak Bernama maka mulai sekarang aku akan memanggilmu Orang Hutan Tak Berekor. Kau setuju…?"

Amarah Hantu Muka Dua hampir meledak. Dalam menahan didihan kemarahannya, dua kakinya sampai melesak satu jengkal ke dalam tanah. Dalam hati dia berkata. "Kalau urusan ini sudah selesai, akan kusuruh orang mencincang tubuh jahanam satu ini sampai lumat!"

"Aku setuju saja. Karena semua orang tahu Orang Hutan jauh lebih pandai dan cerdik dari pada kera biasa!"

Hantu Muka Dua akhirnya lontarkan ucapan Itu lalu sunggingkan seringai mengejek. Orang tua yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama balas menyeringai lalu berkata,

"Sekarang katakan padaku apa keperluanmu meminta aku datang ke tempat ini. Tapi! Sebelum kau memberitahu aku ingin agar kau lebih dulu membunuh dua belas orang anak buahmu yang telah kau tugaskan untuk mencariku. Kau harus melakukannya saat ini juga, di tempat ini di hadapanku!"

Kejut Hantu Muka Dua bukan alang kepalang. Kemarahannya tidak tertahankan lagi. Mukanya yang dua langsung berubah menjadi muka raksasa berwarna merah dan garang!

"Hemmmm!" Kakek yang disebut Kera Sakti Tak Bernama bergumam." Kau kulihat marah. Tak ada satu orang pun boleh marah padaku! Itu aturanku sejak puluhan tahun lalu. Aku tidak merasa perlu membuat urusan denganmu! Selamat tinggal Orang Hutan Tak Berekor!"

"Wahai! Tunggu! Jangan salah sangka! Jangan bercepat marah!"

Hantu Muka Dua berseru. Dua mukanya yang tadi berbentuk raksasa kini berubah kembali menjadi wajah lelaki separuh baya. Kakek bermuka tirus hentikan gerakannya yang sempat hendak berbalik pergi itu. Dua alisnya naik ke atas. Tatapannya seperti hendak menembus batok kepala Hantu Muka Dua.

"Sahabatku," kata Hantu Muka Dua pula dengan suara bergetar karena terpaksa harus menindih amarah. Sebagai orang yang dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan Segala Nafsu dia benar-benar merasa dikurang ajari dan direndahkan oleh si kakek di hadapannya itu.

"Kuharap kau mau bersabar untuk mendengar satu cerita mengapa aku sampai memintamu datang ke mari."

"Saat ini aku tidak butuh ceritamu! Aku ingin kau segera memenuhi permintaanku tadi. Dua belas orang anak buahmu itu harus dilenyapkan! Kalau kau tidak melakukan, pembicaraan kita cukup sampai di sini!"

"Mudah saja memenuhi permintaanmu itu! Tapi apa perlunya?" Hantu Muka Dua jadi penasaran.

"Tadi sudah kukatakan! Batu dan pohon bisa punya telinga. Bumi dan langit bisa mendengar! Angin bisa menebar kabar! Apalagi manusia! Punya telinga, mata dan mulut! Dan jumlah mereka dua belas orang pula! Kau terima permintaanku atau kau boleh masuk kembali ke sarangmu di bangunan batu itu!"

"Aku bisa menerima permintaanmu!" jawab Hantu Muka Dua walau dalam hati dia memaki habis-habisan. Setelah berucap begitu Hantu Muka Dua bertepuk tangan tiga kali. Seorang gadis berambut panjang muncul. Dia menjura lalu tegak menunduk menunggu perintah.

"Dua belas orang yang berada di dalam kebun di belakang bangunan batu, lekas kau suruh mereka segera ke sini!"

Si gadis rundukkan tubuhnya sedikit, menjura lalu tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dua belas orang lelaki muncul di tempatitu. Hantu Muka Dua meminta mereka tegak berjejer di depan satu dinding batu.

"Kalian telah berjasa besar berhasil menemui dan meminta kakek ini datang ke sini. Hari ini aku akan memberi hadiah besar pada kalian!"

Mendengar ucapan Hantu Muka Dua tentu saja dua belas orang itumenjadi sangat gembira. Sebelumnya mereka memang telah menerima hadiah dari Hantu Muka Dua karena bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Kini diberitahu bahwa mereka akan mendapat hadiah besar, tentu saja semuanya merasa senang.

Maka ke dua belas orang itu tegak berjejer dengan sikap gagah dan wajah berseri-seri. Hantu Muka Dua gerakkan ke dua tangannya seperti hendak mengambil sesuatu di balik pakaian kulit kayu yang dikenakannya. Tapi sekonyong-konyong dua tangan itu dipukulkannya ke depan. Dua larik sinar merah berkiblat disusul menderunya dua gelombang angin dahsyat.

Dua belas orang yang berjejer di depan dinding batu keluarkan seruan kaget. Beberapa di antara mereka yang mengenali pukulan maut itu segera melompatcari selamat. Namun tidak satu orang pun yang bisa meloloskan diri. Dua belas anak buah Hantu Muka Dua itu terpental menghantam dinding batu di belakang mereka lalu jatuh berkaparan.

Tubuh mereka mengepulkan asap merah. Begitu asap sirna kelihatanlah satu pemandangan mengerikan. Sosok dua belas orang itu kini hanya tinggal tulang belulang berserakan! Hantu Muka Dua berpaling pada kakek di depannya.

"Kera Sakti Tak Bernama, kau saksikan sendiri kehebatan pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi. Aku sudah melakukan apa yang,kau minta! Apa kau puas?!"

Orang tua itu silangkan tongkat birunya di depan dada, menyeringai sesaat lalu berkata. "Kau sudah melaksanakan pinta. Sekarang silakan bicara. Apa yang hendak kau ceritakan padaku. Apa yang kau tanyakan dan apa yang hendak kau suruh aku melakukan!"

"Kau pernah mendengar sebuah benda yang disebut Sendok Pemasung Nasib?" bertanya Hantu Muka Dua.

Kakek yang dipanggil dengan sebutan Kera Sakti Tak Bernama mendongak ke langit hitam kelam. Sesaat kemudian terdengar dia berucap. "Puluhan tahun silam benda milik Para Dewa itu dibawa seseorang ke Negeri Latanahsilam. Ada kabar yang mengatakan sendok tersebut sebelum lenyap dipergunakan untuk mencelakai seorang sakti bernama Lasedayu hingga orang itu kini menjadi seorang kakek pikun, berjalan dengan mempergunakan dua kakinya dan dijuluki Hantu Langit Terjungkir…"

"Wahai, pengetahuanmu ternyata cukup luas!" memuji Hantu Muka Dua.

Si kakek menatap lekat-lekat ke wajah Hantu Muka Dua. "Di antara kabar yang kusirap menyatakan kau adalah murid Lasedayu. Apa benar wahai Orang Hutan Tak Berekor?!"

Hantu Muka Dua meludah ke tanah. "Aku tidak berguru pada orang setolol Lasedayu! Justru aku telah merampas semua ilmu yang dimilikinya karena makhluk tolol seperti dia tidak layak memiliki berbagai ilmu kesaktian!" Hantu Muka Dua berkata sambil busungkan dada. "Kau tadi mengatakan sendok sakti itu lenyap. Kau tahu ke mana lenyapnya sendok itu? Siapa yang mencurinya atau di mana beradanya sekarang?"

Kakek di hadapan Hantu Muka Dua gelengkan kepala.

"Ketahuilah wahai Kera Sakti Tak Bernama! Aku memintamu ke sini guna menugaskanmu mencari Sendok Pemasung Nasib itu sampai dapat lalu menyerahkannya padaku! Aku mendapat kabar bahwa Hantu Langit Terjungkir juga tengah berupaya mendapatkannya! Jadi kau punya dua tugas. Mencari Sendok Emas Pemasung Nasib dan membunuh orang bernama Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir itu! Terserah mana yang hendak kau lakukan lebih dulu!"

"Apakah Lasedayu masih diam di Lembah Seribu Kabut?" tanya si kakek.

"Setahuku dia lenyap dari lembah itu sejak empat puluh tahun silam! Tugasmu untuk mencari tahu di mana dia berada…"

Kera Sakti Tak Bernama menyeringai lalu berkata. "Diriku adalah diriku! Aku bukan bangsa manusia yang suka diperintah oleh orang lain. Aku tidak akan mengerjakan apa-apa sebelum tahu apa imbalan balas yang kau berikan padaku…"

Hantu Muka Dua tersenyum walau dalam hati dia keluarkan rutukan. "Ketahuilah, sejak aku mempermaklumkan diri sebagai Raja Diraja di Negeri Latanahsilam ini segala sesuatunya berada dalam genggaman kekuasaanku, termasuk dirimu! Jika ada orang merasa dan menganggap diri paling sakti di negeri ini, aku akan menjungkir balikkannya dan melempar rohnya hingga tergantung antara langit dan bumi semudah aku membalikkan telapak tangan! Tapi terhadap mereka yang mau membantuku, tersedia imbalan yang luar biasa besarnya. Untukmu aku telah menyiapkan satu jabatan tinggi dalam Istana Kebahagiaan. Selain itu kau akan kuberikan kekuasaan penuh di wilayah Negeri Latanahsilam sebelah timur. Harta kekayaan berlimpah ruah akan mengelilingimu. Lalu aku tidak lupa menyediakan kesenangan hidup yang selalu didambakan setiap lelaki. Wahai Kera Sakti Tak Bernama, harap kau suka mengikuti aku masuk ke dalam bangunan batu…"

Hantu Muka Dua putar tubuhnya lalu berjalan ke arah bangunan batu. Si kakek mengikuti dari belakang namun diam-diam dia siapkan satu pukulan sakti di tangan kiri sedang ke tongkat batu biru yang ada di tangan kanannya dia alirkan tenaga dalam. Bagai­manapun dia masih belum mempercayai manusia bermuka dua yang dijuluki sebagai Hantu Segala Keji, Segala Tipu dan Segala Nafsu ini.

Masuk ke dalam bangunan mereka sampai ke sebuah ruangan di mana sebelumnya Hantu Muka Dua bersenang-senang dengan empat orang gadis cantik. Saat itu ke empat gadis tersebut masih ada diruangan tersebut dalam keadaan nyaris tidak berpakaian. Melihat kemunculan Hantu Muka Dua mereka menyangka lelaki itu hendak melanjutkan bermesraan dengan mereka. Namun betapa terkejutnya ke empat gadis ini ketika Hantu Muka Dua berkata,

" Harap kalian suka melayani kakek sahabatku ini!"

Kakek yang diberi nama Kera Sakti Tak Bernama itu sesaat diam tegak tak bergerak seolah dia tidak tertarik pada ke empat gadis jelita itu. Tapi begitu Hantu Muka Dua lenyap di balik sehelai tirai kayu si kakek segera melompati gadis paling dekat, langsung memeluk dan menciuminya.

Dari balik tirai Hantu Muka Dua mengintai menyeringai. "Bandot tua, puaskan nafsumu! Lain hari begitu kau dapatkan Sendok Pemasung Nasib, dirimu akan kujadikan bangkai tak berguna!"

********************

Kita kembali kepada apa yang terjadi dengan tiga sekawan Pendekar 212 Wiro Sableng, Naga Kuning serta kakek berjuluk Si Setan Ngompol. Ketika orang itu memandang tak berkedip pada sosok tubuh dalam kegelapan yang barusan menyerang mereka dengan tiga benda menyala seperti bara api.

"Astaga!" kata Naga Kuning sambil menggamit Wiro. "Makhluk bertangan buntung itu, bukankah dia yang bernama Latandai alias Hantu Bara Kaliatus?!"

"Memang dia," jawab Wiro.

Setan Ngompol pegang erat-erat bagian bawah perutnya. "Bagaimana dia bisa muncul di sini. Bukankah waktu itu dia sudah dikutuk Peri Bunda dan melarikan diri bersama walet terbang…"

"Lihat perutnya," balas berbisik Wiro. "Ada cahaya kemerahan. Berarti bara api yang jadi senjata andalannya masih mendekam di situ. Luar biasa kalau dia masih bisa hidup!"

Sosok yang tegak dalam kegelapan itu memang Latandai yang berjuluk Hantu Bara Kaliatus adanya. Seperti dituturkan sebelumnya (baca Serial Wiro Sableng berjudul Hantu Bara Kaliatus) karena melakukan siasat keji terhadap istrinya yang bernama Luhsantini, Hantu Bara Kaliatus oleh Peri Bunda dikutuk.

Bara api yang ada di kepala dan tubuhnya dimasukkan sang Peri ke dalam perutnya. Dalam keadaan menderita luar biasa Hantu Bara Kaliatus melarikan diri, terbang bersama walet raksasa tunggangannya. Ternyata Hantu Bara Kaliatus pergi memencilkan diri ke satu tempat. Di sini dia bersamadi siang malam di bawah terik sinar matahari serta dinginnya udara malam. Tak kenal panas tak peduli hujan.

Samadinya yang luar biasa membuat Para Peri menjadi khawatir karena bukan mustahil Hantu Bara Kaliatus akan mendapat satu kekuatan baru hingga mampu memiliki kesaktian dan menjadikan bara menyala yang ada dalam perutnya sebagai senjata dahsyat seperti sebelumnya.

Dugaan Para Peri tidak meleset malah secara tidak terduga muncul Hantu Santet Laknat Nenek sakti berhati jahat yang merupakan guru Latandai ini membantu muridnya hingga Latandai berhasil mendapatkan kesaktian baru. Puluhan bara api yang mendekam dalam perutnya mampu dilontarkannya keluar lewat mulutnya, dijadikan senjata dahsyat!

Berarti apa yang selama ini disebut ilmu Bara Setan Penghancur Jagat akan muncul kembali di rimba persilatan Negeri Latanahsilam. Bedanya kalau dulu bara itu berada dikepala dan bagian luar tubuh Hantu Bara Kaliatus maka sekarang berada dalam perutnya!

Pada pertemuan dengan muridnya Itu si nenek Hantu Santet Laknat tidak lupa menegaskan kembali perintah yang pernah diberikannya pada Hantu Bara Kaliatus.

"Dari beberapa tugas yang aku berikan padamu, baru satu yang kau laksanakan. Kau hanya bisa membunuh Lasingar! Wahai! Bagaimana dengan tugas-tugas lainnya, Latandai?!" tanya si nenek dengan pandangan mata tajam seperti memantek batok kepala Latandai.

"Mohon maafmu Nek. Aku memang belum melaksanakan dua tugas lainnya yaitu membunuh Luhsantini istriku sendiri dan manusia bernama Lakasipo alias Hantu Kaki Batu itu. Aku mendapat halangan besar ketika hendak melakukannya…"

"Peduli setan segala macam halangan! Bagaimana pun juga kau harus membunuh mereka atau kau yang akan kubuat meregang nyawa!"

"Aku akan membunuh mereka sesuai perintah…"

"Harus kau lakukan! Apalagi istrimu Luhsantini telah bercinta dengan Lakasipo!"

Berubahlah paras Hantu Bara Kaliatus mendengar ucapan si nenek. Rahangnya menggembung, gerahamnya bergemeletakan dan darahnya seperti mendidih.

"Mereka berdua pasti kubunuh Nek. Pasti!" Hantu Bara Kaliatus menggeram dan kepalkan dua tinjunya. Nyala bara api yang memancar di perutnya kelihatan lebih terang.

"Jangan lupa seorang pemuda asing dari negeri seribu dua ratus mendatang bernama Wiro Sableng! Kau juga harus membunuhnya dan dua kawannya!"

"Akan aku lakukan Nek," kata Hantu Bara Kaliatus.

"Bagus, lebih cepat kau melakukan lebih baik. Tapi awas dan ingat! Jika kau sampai tidak melaksanakan, hukuman dariku lebih hebat dari kutukan Peri Bunda!"

"Aku mengerti Nek, semua perintahmu akan aku laksanakan!" kata Hantu Bara Kaliatus pula seraya membungkuk. Sambil meninggalkan tawa cekikikan Hantu Santet Laknat tinggalkan Latandai.

Hantu Bara Kaliatus pandangi tiga orang di hadapannya dengan mata berkilat-kilat dan pelipis bergerak-gerak. Lalu dia membentak, "Kalian tiga makhluk yang dulu kerdil. Sebelum kubunuh kalian bertiga lekas beritahu di mana beradanya kawan kalian bernama Lakasipo alias Hantu Kaki Batu!"

"Kami tidak tahu!" Naga Kuning yang menjawab.

"Bagus! Kalau begitu kau yang mati duluan!" Hantu Bara Kaliatus buka mulutnya lebar-lebar. Otot perutnya menyentak. Cahaya merah bergerak dari perutnya, meluncur ke dada terus ke tenggorokan. Di lain kejap.

"Wussss!"

Sebuah bara api melesat ke arah kepala Naga Kuning. Bocah ini berseru keras, jatuhkan diri ke tanah seraya hantamkan tangan kirinya, membalas serangan orang. Selarik sinar biru menyambar ke arah perut Hantu Bara Kaliatus. Serangan Naga Kuning mendarat telak di perut Hantu Bara Kaliatus.

"Deessss!"

Naga Kuning, juga Wiro serta Setan Ngompol melengak kaget ketika melihat bukan saja perut Hantu Bara Kaliatus tidak mempan dihantam pukulan sakti yang memancarkan sinar biru itu, tetapi sinar biru itu sendiri malah berbalik menghantam ke arah Setan Ngompol. Kakek ini berteriak kaget, selamatkan diri jungkir balik. Air kencingnya muncrat ke mana-mana!

Melihat ilmu kesaktian Hantu Bara Kaliatus seperti berlipat ganda dari sebelumnya, Pendekar 212 tak mau berlaku ayal. Dia segera menyergap dan lancarkan serangan tangan kosong. Hantu Bara Kaliatus menggeram berang. Dia balas menghantam. Perkelahian seru berlangsung hebat. Masing-masing pihak merasa asing dengan jurus-jurus silat yang dimainkan lawan hingga ke duanya saling berhati-hati.

Lewat tujuh jurus Hantu Bara Kaliatus yang hanya memiliki satu tangan itu karena tangan kirinya buntung sebatas siku (akibat jotosan Luhsantini, istrinya sendiri) mulai terdesak. Lebih-lebih sewaktu Wiro mulai keluarkan ilmu silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya melesat aneh kian ke mari. Gerakannya seperti orang mabok. Seolah mudah dipukul oleh lawan tapi ternyata setiap serangan Hantu Bara Kaliatus selalu meleset.

Dada Hantu Bara Kaliatus mulai jadi bulan-bulanan pukulan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun lawan memiliki kekuatan luar biasa. Walau tubuhnya sampai beberapa kali terpental oleh jotosan Wiro, namun dia sanggup berdiri lagi, memasang kuda-kuda baru dan lancarkan serangan balasan. Satu kali Wiro sengaja menghantam bagian perut lawan yang memancarkan sinar merah.

Pendekar 212 berseru kaget karena begitu tangannya menyentuh kulit perut lawan, hawa panas luar biasa menyengat. Ketika diperhatikan jari-jari dan sebagian punggung telapak tangannya ternyata telah menjadi lecet merah seperti terpanggang. Hantu Bara Kaliatus tertawa mengejek. Lalu dia buka lebar-lebar mulutnya.

"Wiro! Awas!" teriak Naga Kuning.

Tanpa diberitahu pun Wiro sudah maklum apa yang hendak dilakukan lawan. Dengan cepat pemuda ini melompat ke kiri. Dari samping dia kemudian siap lepaskan satu pukulan sakti. Namun saat itu Si Setan Ngompol sudah mendahului. Apa yang dilakukan kakek ini sungguh gila!

Pada saat air kencingnya mancur akibat ketegangan luar biasa dia sengaja menampungnya dengan dua tangan. Lalu dengan jurus yang disebut Setan Ngompol Mengencingi Pusara air kencing itu dicipratkannya ke arah Hantu BaraKaliatus. Walau cuma air tapi karena diberi kekuatan tenaga dalam maka tetesan-tetesan yang terkecil sekalipun akan sanggup menembus batu!

Hantu Bara Kaliatus tidak mau berlaku sembrono. Dia tahu ke tiga orang itu adalah orang-orang yang datang dari negeri seribu dua ratus tahun lebih maju. Maka begitu air kencing menyiprat dia segera berkelebat menjauhkan diri. Namun masih ada air kencing yang sempat mengenai perutnya.

"Cesss! Cesss! Cessss!"

Suara seperti benda berapi terpercik air terdengar berkepanjangan. Asap mengepul dari perut Hantu Bara Kaliatus. Ternyata air kencing Si Setan Ngompol tidak mampu menciderai perut lawan, apalagi sampai menembusnya!

Sebaliknya Hantu Bara Kaliatus malah tertawa bergelak. Sekali dia membuka mulutnya, tiga bara api sekaligus melesat keluar, melesat ke arah tiga bagian tubuh Si Setan Ngompol yaitu kepala, dada dan bagian bawah perut!

Mendapat serangan tak terduga dan mengarah tiga bagian tubuhnya itusi kakek jadi kalang kabut. Walau dia bergerak luar biasa cepat, dia hanya mampu menghindari serangan bara api yang menyambar ke kepala dan dadanya. Bara api ke tiga, yang menyambar ke arah bagian bawah perutnya tidak sanggup dielakannya.

"Celaka perabotanku!" seru Si Setan Ngompol dengan muka pucat. Dia telah berusaha melompat sambil kangkangkan ke dua kakinya mengharap bara api itu akan lewat di bawah selangkangannya, tapi percuma saja!

Naga Kuning dalam kagetnya tak sempat berbuat apa-apa. Pendekar 212 Wiro Sableng sendiri berusaha mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari pinggangnya, namun terlambat. Dia akhirnya memutuskan untuk menghantam lawan dengan Pukulan Sinar Matahari. Masih tetap terlambat tak ada gunanya!

Dalam keadaan luar biasa gentingnya itu tiba-tiba dari balik pohon besar berkelebat mengapung satu bayangan besar disertai bentakan garang.

"Siapa berani mencelakai tiga saudaraku!" Satu ringkikan keras menggelegar. Lalu...

"Tranggg!"

Bara api yang menyambar selangkangan Si Setan Ngompol terpental. Sebuah benda berbentuk bola hitam somplak. Sosok yang mengapung di udara terdorong sampai setengah tombak tapi masih bisa jatuhkan diri di tanah dan pasang kuda-kuda pertahanan yang secepat kilat bisa berubah menjadi kuda-kuda menyerang!

Setan Ngompol jatuh terduduk di tanah. Sambil usap-usap bagian bawah perutnya dia berulang kali mengucap. "Nasibmu masih untung buyung! Ada orang yang menolongmu!"

"Serrrrrr...!" Karena diusap-usap dan masih dalam keadaan cemas tegang, sibuyung akhirnya kembali memancur!

Hantu Bara Kaliatus menggeram marah ketika melihat siapa yang berdiri di depannya. Sebaliknya Wiro dan dua temannya sama-sama menunjukkan kegembiraan karena yang muncul dan yang barusan menolong Si Setan Ngompol adalah Hantu Kaki Batu Lakasipo. Dengan hantaman bola batu di kaki kanannya Lakasipo berhasil membuat mental bara api yang hendak merenggut nyawa Si Setan Ngompol. Bola batu yang disebut sebagai Bola Bola Iblis itu kelihatan gompal besar di salah satu sisinya.

Sejak bentrokan di Gunung Labatuhitam dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus telah menaruh dendam kesumat terhadap Lakasipo. Apalagi dari gurunya Hantu Santet Laknat dia mendapat kabar kalau Luhsantini, bekas istrinya telah bermain cinta dengan musuh besarnya itu! Kemarahan Hantu Bara Kaliatus jadi berlipat ganda ketika dia melihat siapa perempuan berpakaian merah yang tegak di samping Lakasipo saat itu. Bukan lain adalah Luhsantini, bekas istrinya sendiri!

Bara api dalam perut Hantu Bara Kaliatus pancarkan cahaya terang. Dari tenggorokan orang ini keluar suara menggembor. Dia memandang membeliak pada Lakasipo.

"Makhluk keparat! Aku memang sedang mencarimu! Sekarang kau datang sendiri antarkan nyawa!"

Lakasipo menyeringai lalu menjawab. "Kau salah menduga wahai makhluk bermuka manusia tapi berhati iblis! Aku datang justru hendak menjemput nyawamu!"

"Jahanam terkutuk!" maki Hantu Bara Kaliatus. Dia alihkan pandangannya pada Luhsantini dan tumpahkan kemarahannya pada perempuan ini. "Wahai! Benar rupanya kabar yang kusirap! Kau telah menjadi gendak lelaki berkaki batu ini! Istri yang dulu sangat kupuja ternyata tidak lebih dari seorang pelacur!"

Wajah cantik Luhsantini menjadi merah padam. Perempuan ini segera membuka mulut menukas. "Latandai! Jangan bermimpi menganggap aku masih istrimu! Perbuatan kejimu telah menyebabkan kita mencari jalan sendiri-sendiri! Ternyata bukan hanya hatimu yang berbisa! Mulutmu juga penuh racun! Sungguh menjijikkan kau masih menyebutku sebagai istri! Wahai! Apa kau lupa kau pernah hendak membunuhku sampai dua kali? Apa kau lupa juga telah mencelakai anak kandung darah dagingmu sendiri? Hingga Lamatahati menjadi cacat seumur hidupnya? Apa kau lupa bagaimana para Peri mengutukmu?! Wahai! Dosamu selangit tembus sedalam dasar samudera!"

"Masih untung anak itu cuma cacat! Mauku dia harus mati! Karena dia adalah anak haram jadah hasil hubunganmu dengan pemuda bernama Lasingar yang sudah kuhabisi itu! Kau juga memberikan tubuhmu pada Hantu Muka Dua! Dan wahai! Kini kau menjadi gendak peliharaan laki-laki berkaki batu itu!"

"Mulutmu beracun! Hatimu berbisa! Otakmu kotor penuh pikiran keji! Dulu aku berharap agar Lamatahati, anakmu sendiri yang kelak akan membunuhmu! Tapi saat ini aku memutuskan biar tanganku sendiri menamatkan riwayatmu! Kekejianmu terhadap kami ibu dan anak sudah melewati takaran! Semua roh yang tergantung antara langit dan bumi sudah lama menunggu rohmu!"

Habis berkata begitu Luhsantini lalu melompat kehadapan Hantu Bara Kaliatus seraya lepaskan pukulan sakti bernama Di Balik Labukit Menghancur Lagunung. Kehebatan pukulan ini, bagian depan sasaran yang kena dipukul tidak akan mengalami cidera atau cacat sedikit pun. Namun bagian belakang sebaliknya akan mengalami kehancuran mengerikan!

"Perempuan jalang tak berguna! Mampuslah kau!” teriak Hantu Bara Kaliatus.

Dia menganggap enteng serangan bekas istrinya itu. Namun jadi tersentak kaget ketika merasakan sambaran angin yang sangat dahsyat menghantam ke arahnya. Hantu Bara Kaliatus segera maklum kalau ilmu kepandaian Luhsantini kini jauh lebih tinggi dari sebelumnya! Maka tanpa berlaku ayal dia segera balas menghantam dengan pukulan Selusin Bianglala Hitam. Dua belas larik sinar hitam menggebubu ke arah Luhsantini. Pukulan sakti inilah yang dulu mencelakai anaknya sendiri yang masih bayi.

Lakasipo cepat dorong Luhsantini ke samping hingga perempuan itu terjajar sampai satu tombak. Bersamaan dengan itu Lakasipo hantamkan kaki kanannya. Bola batu membabat ke perut Hantu Bara Kaliatus.

Walau kesaktiannya berpusat pada bagian perut dan perut itu seolah kebal atos namun Hantu Bara Kaliatus tidak mau cari penyakit. Bola batu yang membungkus dua kaki Lakasipo bukan bola batu biasa. Itu adalah hasil pekerjaan santet si dukun keji jahat bernama Hantu Santet Laknat yang juga adalah gurunya sendiri.

Dua belas larik sinar hitam menyambar udara kosong. Sementara itu tendangan Lakasipo berhasil dielakkan oleh Hantu Bara Kaliatus. Begitu selamat dari hantaman bola batu, Hantu Bara Kaliatus segera semburkan dua bara api. Dia membuat gerakan seperti hendak menyerang Lakasipo. Tapi tiba-tiba dia mem­balik dan arahkan semburan bara apinya pada Luhsantini.

"Luhsantini awas!" teriak Lakasipo. Dia cepat melompat lalu hantamkan kaki batunya.

Namun dua bara api itu luput. Untung Wiro yang telah bersiap siaga cepat bertindak. Murid Sinto Gendeng melompat sambil lepaskan pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang. Pukulan sakti yang mengerahkan dua pertiga tenaga dalam ini berhasil membuat mental salah satu dari dua bara api. Celakanya, bara api yang satu lagi masih terus melesat ke jurusan Luhsantini walau kini arahnya agak meleset.

Didahului teriakan keras Luhsantini melompat selamatkan diri. Namun seperti hidup dan punya mata bara api yang satu ini mengejarnya. Si Setan Ngompol yang berada di dekat situ segera ulurkan tangan membetot Luhsantini hingga perempuan ini terpelanting jungkir balik.

"Wusssss!"

Bara Setan penghancur Jagat itu masih sempat menyerempet bahu kiri pakaian merah yang dikenakan Luhsantini hingga kejap itu juga bahu kiri pakaiannya dikobari api. Luhsantini menjerit keras. Naga Kuning cepat menolong. Sambil melompat dia kerahkan tenaga dalam ke mulutnya lalu meniup. Kobaran api yang membakar pakaian Luhsantini serta merta padam.

"Luhsantini! Kau tak apa-apa?!" teriak Lakasipo.

Perempuan itu tidak menjawab, melainkan terus menerjang ke arah Hantu Bara Kaliatus, lancarkan serangan bertubi-tubi. Lakasipo segera pula bergabung. Dikeroyok dua Hantu Bara Kaliatus jadi kelabakan. Lakasipo bukan saja menggempur dengan serangan Kaki Roh Pengantar Mauf tapi juga pergunakan tangan kosong, bertubi-tubi menghantamkan pukulan Lima Kutuk Dari Langit.

Luhsantini yang selama memencilkan diri di Gunung Labatuhitam ternyata telah mendapat gemblengan dari seorang tokoh rahasia hingga kalau dulu dia hanya seorang perempuan yang tidak tahu apa-apa kini berubah menjadi pendekar berkepandaian tinggi dan menghujani Lakasipo dengan serangan-serangan gencar. Membuat lawan tidak sempat melancarkan serangan dengan bara api yang ada dalam perut.

Lama kelamaan Hantu Bara Kaliatus tidak dapat lagi mengimbangi serbuan ke dua orang itu. Dia hanya bisa melakukan gerakan mengelak atau mundur terus­terusan. Kalau sampai Wiro atau salah satu dari dua temannya ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran celakalah dirinya. Apalagi beberapakali pukulan Luhsantini menyerempet tubuhnya.

Walau tidak mengalami cidera berarti namun tubuhnya terasa sakit­sakit terserempet pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung itu. Sadar kalau bahaya besar bakal mengancamnya maka Hantu Bara Kaliatus keluarkan satu suitan keras. Dalam gelapnya malam, di udara tiba-tiba melayang satu makhluk besar menebar bau busuk. Ternyata makhluk ini adalah walet raksasa tunggangan Hantu Bara Kaliatus.

Kepakan sayap binatang ini menimbulkan angin luar biasa kerasnya. Selagi orang-orang yang ada di bawah sana tergontai-gontai bertahan agar tidak jatuh terpelanting, Hantu Bara Kaliatus melesat ke punggung walet raksasa. Luhsantini cepat mengenjot tanah. Sebelum Hantu Bara Kaliatus melesat kabur dia masih sempat daratkan satu pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung di paha kiri bekas suaminya Itu.

Karena dalam keadaan bergerak pukulan tersebut tidak berapa telak namun masih sempat terdengar keluhan kesakitan keluar dari mulut Hantu Bara Kaliatus. Walet hitam juga keluarkan pekik kesakitan pertanda pukulan yang dilepaskan Luhsantini ikut mengenai tubuh binatang itu! Luhsantini melompat turun di tanah, tegak mendongak ke langit penuh gemas. Satu tangan memegang bahu perempuan ini.

"Tak usah kecewa. Satu saat pembalasan akan menjadi bagian makhluk durjana itu. Kau tidak apa-apa wahai Luhsantini?" Yang bertanya adalah Lakasipo. Lelaki ini cepat memeriksa bahu di balik pakaian yang terbakar. Dia merasa lega karena kulit bahu itu hanya lecet saja.

Luhsantini palingkan wajahnya. Dia tersenyum pada Lakasipo yang barusan bicara dan mengkhawatirkan, keselamatan dirinya. Sejak lelaki itu menolongnya di Gunung Labatuhitam tempo hari (baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Bara Kaliatus) walau mereka lama tidak bertemu namun antara ke dua orang ini telah terjalin satu sambung rasa yang hari demi hari semakin mendalam.

Melihat keadaan ke dua kaki Lakasipo serta me­ngetahui riwayat lelaki itu di masa lalu timbullah rasa hiba Luhsantini terhadap lelaki berkaki batu ini. Rasa hiba berubah menjadi suka dan selanjutnya rasa suka itu berganti dengan perasaan cinta kasih sayang.

Lakasipo bukan tidak tahu kalau Luhsantini jatuh hati terhadapnya. Selain itu dia juga mengetahui riwayat perkawinan Luhsantini dengan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. Nasib seolah mempersatukan mereka. Dia tidak bisa menipu diri bahwa dia pun mengasihani dan menyukai Luhsantini. Namun dalam diri Lakasipo terkadang muncul rasa kebimbangan. Luhsantini memiliki paras jelita.

Namun hati Lakasipo seolah bercabang-cabang. Setiap rasa kasihnya menggelora terhadap perempuan ini dan dia ingin menemuinya di Gunung Labatuhitam, ingatan dan perasaan Lakasipo terbagi pada Peri Angsa Putih dan Luhjelita. Malah belakangan ini entah mengapa dia selalu terkenang pada dara cantik bernama Luhcinta.

Selain itu ada rasa khawatir kalau-kalau mendiang roh istrinya yakni Luhrinjani muncul secara mendadak. Di balik semua itu ada pula perasaan rendah diri menyamak di hati Lakasipo mengingat keadaan kakinya yang terbungkus bola batu. Walau bola-bola batu itu membuat dia menjadi seorang sakti mandraguna namun dia merasa seolah-olah itu juga merupakan satu cacat pada dirinya.

Dia telah berusaha dengan berbagai cara untuk menghancurkan bola-bola batu itu. Tapi tidak ada satu benda atau senjata pun yang sanggup membelah batu tersebut. Satu-satunya jalan adalah mencariHantu Santet Laknat dan meminta nenek jahat itu untuk mengobati memusnahkan santetnya.

Wiro walau gembira melihat kedatangan Lakasipo namun karena lelaki itu datang bersama Luhsantini maka dia merasa khawatir kalau Luhrinjani yang belum lama pergi akan muncul kembali di tempat itu secara tidak terduga. Ingin memberi tahu pada saudara ang­katnya itu Luhsantini berada terlalu dekat.

Selagi dia mencari akal bagaimana cara memberi tahu pada Lakasipo, Lakasipo bertanya padanya bagaimana dia dan kawan-kawan bisa berada di tempat itu. Wiro lalu menceritakan. Mulai dari kabar yang mereka dengar yang membuat mereka berkeinginan untuk melihat dengan mata kepala sendiri Kincir Hantu itu, sampai pengalaman pahit yang mereka alami sepanjang siang dan awal malam tadi.

"Katamu kincir itu lenyap begitu malam datang. Wahai aku yakin kincir itu masih tetap di tempatnya semula. Tak mungkin ada yang memindahkan…" kata Lakasipo.

Luhsantini ikut bicara. "Mungkin sekali ada satu kekuatan sakti menyungkupi rumah dan kincir itu, membuat mata kita tidak mampu melihatnya. Bukankah orang bernama Lateleng itu memiliki semacam ilmu asap?"

Lakasipo anggukkan kepala menyetujui pendapat Luhsantini. "Sejak beberapa waktu lalu aku memang sudah mendengar cerita mengenai kincir itu. Kita tunggu sampai pagi hari. Aku juga ingin menyelidik rahasia apa yang ada dibalik kincir itu. Aku punya firasat, jika terjadi satu peristiwa besar dinegeri ini yang berkaitan dengan keanehan dan keanehan itu berakhir pada kematian maka biasanya di belakangnya Hantu Muka Dua-lah yang punya pekerjaan. Sekitar empat puluh tahun silam pernah tersiar berita tentang lenyapnya seorang sakti bernama Lasedayu yang diam di Lembah Seribu Kabut. Lalu muncul seorang kakek yang digelari HantuLangit Terjungkir. Ada yang me­ngatakan orang tua ini sebenarnya adalah Lasedayu itu. Tapi bukti-bukti tak cukup menunjang. Kemudian setahun lalu tersiar pula berita menghilangnya seorang kakek sakti yang biasa dipanggil dengan se­butan Si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Kakek ini konon punya kebiasaan mengelana ke berbagai pelosok negeri untuk melakukan pekerjaan aneh-aneh. Mulai dari orang baik sampai yang jahat. Berita menarik paling akhir yang kudengar ialah rencana seorang tokoh bernama Lawungu hendak membuat perhitungan dengan Hantu Santet Laknat yang juga adalah musuh besarku! Di balik semua itu tersiar pula kabar bahwa tentu Muka Dua mengaku-aku kalau Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab adalah gurunya. Sementara Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab sendiri tidak pernah muncul seolah menyembunyikan diri. Lalu di balik semua keanehan itu muncul Kincir Hantu dan pemiliknya seorang mengaku bernama Lateleng. Siapa Lateleng ini adalah satu hal sangatmenarik untuk diketahui bisa jadi dia sebenarnya adalah Lasedayu. Tapi bukan mustahil pula Lateleng ini sebenarnya adalah Si Tongkat Biru Pengukir Bumi. Bagaimana memecahkan semua rahasia ini sungguh soal yang pelik…"

"Kelihatannya memang begitu, Lakasipo," kata Wiro. "Karenanya sebaiknya kita lebih dulu mulai dengan menyingkap rahasia yang ada di balik Kincir Hantu itu. Dari gerak gerik Lateleng yang kulihat siang tadi, dia seperti mencari sesuatu pada diri orang-orang yang jadi korbannya. Aku curiga, kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin adalah cerita kosong belaka! Hanya dipakai untuk menarik perhatian agar orang-orang berdatangan ke sini untuk menjajal Kincir Hantu itu. Mereka dijebak dan menemui ajal dalam jebakan itu!"

"Tapi setahuku kitab itu memang pernah ada. Hanya saja dikabarkan lenyap lima puluh tahun lalu. Bukan mustahil Lateleng memang memilikinya…" kata Lakasipo pula. "Lalu apa sebenarnya yang dicari kakek teleng itu? Hingga tega membunuh orang-orang yang datang ke tempatnya?!"

"Dia sulit dituduh melakukan pembunuhan. Bukankah orang-orang itu datang sengaja untuk menjajal kehebatan Kincir Hantu. Apalagi dengan janji akan diberikan kitab sakti kepada siapa yang berhasil bertahan sampai tiga kali putaran di atas roda kincir…" jawab Lakasipo pula. Sejenak dia berpikir lalu baru melanjutkan ucapannya. "Menurutmu, seperti yang kau saksikan dan malah kau alami sendiri, ada keanehan di atas roda kincir itu. Pertama kakimu mendadak terasa berat, tak bisa melompat..."

"Keanehan itu bisa saja hasil perbuatan Lateleng dengan mengerahkan tenaga dalam membuat siapa saja yang ada di atas roda kincir menjadi merasa berat ke dua kakinya. Tak sanggup melompat, tak sanggup menghindari benda yang kemudian menabas dua kakinya…" ujar Wiro.

"Benda yang menabas kaki itu!" kata Lakasipo pula. "Kau coba menyelidiki apa adanya. Tapi tidak berhasil. Waktu hal itu akan terjadi, lebih dulu sepasang matamu silau oleh pantulan sinar matahari yang jatuh di atas roda kincir…"

"Aku curiga roda itu dipasangi sesuatu benda yang berkilauan saat kejatuhan sinar sang surya. Sayang aku tak bisa mencari tahu benda apa itu adanya. Aku coba menghancurkan kayu roda kincir dengan kakiku. Ternyata kayu itu seatos baja! Tapi…"

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Pada saat korban terakhir, lelaki berjuluk Si Hati Baja menemui ajal, sebelumnya kami menyaksikan ada sinar melesat dari roda kincir yang membuat dia kesilauan. Hal yang sama juga terjadi dengan diriku. Jika sinar menyilaukan itu merupakan satu hal yang diandalkan maka aku bisa menduga Lateleng hanya melayani orang-orang yang datang pada siang hari. Karena pada malam hari tidak ada sang surya!"

Wiro pandangi sepasang kakinya. Sambil gelengkan kepala dia berkata. "Kalau saja Luhrinjani tidak muncul secara tiba­-tiba menolongku, mungkin saat ini aku sudah menjadi jerangkong seperti yang lain-lainnya itu."

Lakasipo melirik ke arah Luhsantini dan diam-diam menahan rasa kejut mendengar ucapan Pendekar 212 tadi. Dia ingin menanyakan sesuatu tapi merasa segan karena Luhsantini berada di dekat situ. Sebaliknya Luhsantini jadi merasa kurang enak. Kalau sampai roh mendiang istri lelaki yang dikasihinya itu muncul lagi di tempat itu secara tidak terduga, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi.

Wiro memandang pada dua kakinya yang hampir amblas di atas putaran roda Kincir Hantu. Kemudian dia perhatikan sepasang kaki Lakasipo. Otaknya bekerja. Lalu dia berkata. "Aku sepakat denganmu. Besok pagi kita lakukan penyelidikan. Tapi hati-hati. Lateleng dan Kincir Hantunya bisa menebar maut secara tak terduga…"

"Aku mencari tempat untuk istirahat dulu. Kalian jangan ke mana-mana," berkata Luhsantini lalu dia tinggalkan orang-orang itu.

Baru saja perempuan itu lenyap di balik rerumpunan semak belukar tiba-tiba di udara terdengar suara menguik. Lalu satu makhluk besar melayang turun dalam kegelapan malam. Ketika Wiro mengenali siapa yang datang, dia segera membisiki Lakasipo.

"Hantu Kaki Batu, kau punya tamu yang tidak terduga. Sungguh bahagia malam ini kau bakal ditemani dua orang perempuan cantik…"

"Jangan kau berkata begitu. Bisa saja dia muncul bukan mencariku, tapi mencarimu," sahut Lakasipo.

"Kita lihat saja," kata Setan Ngompol pula. "Jika kalian tidak mau menerimanya, aku tidak keberatan untuk menemaninya ngobrol sampai pagi hari! Malah kalau perlu mengobrol sampai mengompol!" Setan Ngompol lalu tertawa cekikikan.

"Tua bangka gendeng tak tahu diri!" maki Naga Kuning.

Makhluk besar yang melayang turun itu ternyata adalah seekor kura-kura terbang berwarna coklat. Penunggangnya sudah bisa diterka. Yaitu bukan lain gadis cantik genit Luhjelita. Sambil tertawa lebar gadis ini melompat turun dari atas punggung kura-kura coklat. Sebelumnya secara diam-diam dia telah menguntit perjalanan Wiro.

Gadis ini merasa perlu menemui pemuda itu untuk menjernihkan perselisihan yang terjadi antara dia dengan Peri Angsa Putih yang juga menyangkut diri Wiro. Dia berhasil mengetahui kalau Wiro dan dua kawannya tengah dalam perjalanan menuju suatu tempat dimana Kincir Hantu terletak. Maka dia segera mengejar ke sana. Namun dia tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada Lakasipo.

Seperti telah dituturkan sebelumnya dalam episode Peri Angsa Putih sebenarnya Luhjelita pernah jatuh hati pada Lakasipo. Namun setelah Pendekar 212 berubah sosok menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam, kegagahan sang pendekar membuat hati si gadis kini jadi terpaut pada pemuda itu.

Karena tadi Luhsantini telah beranjak pergi, Luhjelita tidak tahu kalau perempuan itu juga adadi tempat itu. Selagi Luhjelita tegak kikuk di bawah pandangan Wiro dan Lakasipo, Si Setan Ngompol mendatangi gadis itu.

"Sahabatku dara jelita berpakaian Jingga bernama Luhjelita. Ini satu pertemuan tidak disangka. Banyak orang gagah di tempat ini. Siapakah yang kau cari?"

"Jelas bukan mencarimu! Karena kau tidak termasuk orang gagah!" menyahuti Naga Kuning sambil monyongkan mulutnya pada si kakek lalu tekap hidung menahan tawa.

Setan Ngompol delikkan mata dan cubit pinggang si bocah hingga Naga Kuning meringis kesakitan.

Luhjelita tersenyum. "Aku gembira melihat banyak sahabat di sini. Aku…" Gadis itu memandang pada Wiro. "Aku ingin bicara denganmu. Wahai…"

"Sebelum kalian berdua bicara, aku perlu bicara denganmu lebih dulu, Luhjelita," kata Lakasipo.

Sementara itu Luhsantini yang semula hendak beristirahat membaringkan badan telah beradadi tempat itu, terbangun oleh suara menguik dan deru sosok Laecoklat, kura-kura raksasa tunggangan Luhjelita. Dia segera bangkit berdiri mendatangi. Begitu melihat Luhjelita, Luhsantini ingin sekali menemui dan merangkul gadis itu.

Sewaktu dulu Latandai alias Hantu Bara Kaliatus hendak membunuhnya di kawah Gunung Latinggimeru, Luhjelita-lah yang menyelamatkannya walau bayi yang ada dalam dukungannya akhirnya yang kena celaka. Dia berhutang budi dan nyawa pada gadis berpakaian Jingga itu. Namun ketika mendengar percakapan Lakasipo dengan Luhjelita, Luhsantini batalkan niatnya menemui gadis itu. Dadanya berdebar dan rasa cemburu membuat parasnya serta merta menjadi merah. Berat dugaannya antara Lakasipo dan Luhjelita ada hubungan yang agaknya bukan Cuma hubungan biasa.

"Wahai Lakasipo, orang gagah dan sakti di Negeri Latanahsilam, gerangan apakah yang hendak kau bicarakan dengan diriku!" Luhjelita bertanya.

"Peristiwa ketika aku ikut bersamamu ke Goa Pualam Lamerah…" jawab Lakasipo.

"Ah, celaka! Dia masih ingat peristiwa itu. Bagaimana aku harus bicara…" Luhjelita jadi merasa tidak enak. Namun sambil lontarkan senyum genit dia berkata, "Kukira hanya aku saja yang mengingat-ingat peristiwa itu. Ternyata kau tidak pernah melupakan. Aku sudah lama tidak ke goa itu. Mungkin sudah saatnya aku harus ke sana. Mungkin bersamamu…?"

Lakasipo gembungkan rahangnya pertanda lelaki ini tidak senang dengan ucapan Luhjelita barusan. "Aku ingin kau berterus terang wahai Luhjelita. Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku di Goa Pualam Lamerah itu?"

Wajah Luhjelita kelihatan berubah. Sepasang matanya terbuka lebar dan dua alisnya yang hitam naik keatas. "Wahai, Lakasipo. Nada pernyataanmu seperti menuduh! Memangnya apa yang telah aku lakukan terhadapmu? Kau datang dan pergi tanpa cidera barang sedikit pun!"

"Bukan mustahil kau sengaja memancing menjebakku ke goa itu. Karena sebelumnya kau telah berserikat dengan Hantu Muka Dua. Buktinya Hantu Muka Dua tahu­-tahu muncul di tempat itu. Berniat jahat hendak membunuhku. Sementara kau sendiri lenyap entah ke mana!"

"Terus terang aku memang melarikan diri. Tapi aku tidak memancing atau menjebakmu. Kau tertidur di dalam goa. Mungkin karena keletihan perjalanan jauh. Aku meninggalkanmu di satu ruangan yang aman lalu melarikan diri karena Hantu Muka Dua hendak membunuhku!"

"Hantu Muka Dua hendak membunuhmu? Wahai! Tak percaya aku! Bukankah dia kekasihmu?!"

Wajah Luhjelita menjadi sangat merah. Dia menggigit bibir menahan gelora hatinya. Di batinnya dia berkata. "Kalau kau tahu wahai Lakasipo, walau sekarang aku tidak lagi tertarik padamu, tapi waktu itu aku benar-benar jatuh cinta padamu…"

"Mungkin aku bukan gadis baik-baik Lakasipo. Tapi untuk menjadikan Hantu Muka Dua sebagai kekasihku, walau kiamat Negeri Latanahsilam ini sampai tujuh kali rasanya hal itu tidak mungkin terjadi…"

"Lalu apakah kau tidak mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di goa itu?!" tukas Lakasipo.

Luhjelita melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini gelengkan kepala. "Tidak ada. Tidak ada terjadi apa-apa di dalam goa itu. Jangan kau berburuk sangka terhadapku. Apa kau kira aku telah melakukan sesuatu yang tidak senonoh terhadap dirimu?! Aku tahu di luaran orang menyebut aku sebagai gadis binal tukang rayu dan tukang bujuk, menebar cinta palsu murahan. Aku tidak sehina itu. Apalagi terhadap dirimu yang aku…" Luhjelita seolah tersadar. Cepat dia putuskan ucapannya lalu tutupkan dua tangannya kemukanya.

Lakasipo terdiam. Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara. Lalu terdengar suara Luhjelita menahan sesenggukan. Di balik semak belukar gelap, Luhsantini tegak tak bergerak walau ada gemuruh di dadanya. Dari pembicaraan antara Lakasipo dan Luhjelita semakin keras dugaan perempuan itu bahwa antara ke dua orang tersebut sebelumnya pernah terjalin satu hubungan.

"Goa Pualam Lamerah…" kata Luhsantini dalam hati. "Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sikap dan cara bicara Lakasipo tadi seolah menunjukkan ketidaksenangan terhadap gadis itu. Apakah ini merupakan satu perubahan yang mendadak sejak dia berada di dekatku? Kasihan gadis itu… Aku merasa berdosa kalau mungkin aku merebut kekasihnya…" Memikir sampai ke situ Luhsantini akhirnya balikkan diri, tinggalkan tempat itu.

Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning saling bertukar pandang dengan Setan Ngompol. Naga Ku­ning berbisik pada kakek ini.

"Aku jadi kepingin tahu apa kelanjutan ucapan gadis itu. Jangan-jangan dia telah jatuh cinta pada saudara kita itu…"

"Hussss! Jangan kau berlancang mulut! Melihat gerak-geriknya aku yakin bukan Lakasipo yang disukainya tapi kawan kita si sableng satu ini!" ujar Si Setan Ngompol.

"Masih lega aku kalau dia mencintai Wiro, bukannya kau!" kata Naga Kuning kembali menggoda lalu tundukkan kepala menahan tawa.

Merasa tidak ada gunanya dia berada lebih lama lagi di tempat itu sementara dia tidak mampu menahan gejolak hatinya, Luhjelita segera putar tubuh hendak berlalu. Namun suara Wiro membuat langkahnya tertahan.

"Sahabatku Luhjelita, tunggu dulu…"

Si gadis turunkan dua tangannya, menatap ke arah Wiro. Dia diam menunggu apa yang hendak dikatakan Wiro selanjutnya. Hatinya berdebar. Dia tahu sejak beberapa waktu lalu pendekar itu menaruh syak wasangka besar terhadapnya. Apakah seperti Lakasipo Wiro juga hendak membicarakan hal itu di depan orang banyak? Menambah kekecewaan dan sakit hatinya?

"Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi tidak tepat waktunya kalau dibicarakan sekarang…"

Luhjelita jadi lega. "Pemuda ini jauh lebih punya perasaan dibanding dengan lelaki berkaki batu bernama Lakasipo itu," kata si gadis dalam hati.

"Tongkat biru itu," Pendekar 212 berkata seraya menunjuk ke sebuah tongkat batu yang memancarkan warna biru redup dan terselip di pinggang Luhjelita. "Setahuku kau tidak pernah membawa tongkat atau memiliki senjata seperti itu. Kalau aku boleh bertanya, sejak kapan kau memiliki benda itu. Apa memang itu milikmu?"

Pertanyaan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat terkejut dua orang. Yang pertama tentu saja Luhjelita sendiri dan yang ke dua adalah Lakasipo. Hantu Kaki Batu segera berbisik pada Wiro.

"Wahai, kalau kau tidak menyebut aku sampai tidak memperhatikan tongkat itu. Ingat ceritaku sebelumnya tentang seorang tokoh sakti berjuluk Si Tongkat Biru Pengukur Bumi? Yang lenyap tanpa diketahui ke mana perginya?"

Wiro anggukkan kepala. Sepasang matanya tetap menatap Luhjelita. Dia menatap dengan pandangan biasa-biasa saja, tidak menyorot apalagi menunjukkan hawa amarah atau kebencian. Hal itu membuat Luhjelita agak lega sedikit. Maka gadis cantik dengan rambut tergulung di atas kepala itu menjawab polos.

"Tongkat ini memang bukan milikku. Aku menemukannya di satu tempat"

"Apakah kau tahu siapa pemiliknya?"

"Kalau aku tak salah menduga tongkat batu biru ini adalah milik seorang bergelar Tongkat Biru Pengukur Bumi…"

Wiro melirik pada Lakasipo membuat Luhjelita menduga-duga apa arti lirikan itu. "Kalau aku boleh bertanya lagi, di manakah pemilik tongkat itu sekarang berada?" ujar Wiro pula.

"Orang tua itu kutemukan sudah jadi mayat. Tubuhnya" Luhjelita tidak meneruskan ucapannya, dia cepat beralih kata. "Tongkat ini kutemukan tak jauh dari jenazahnya."

"Terima kasih atas keteranganmu," kata Wiro lalu tersenyum.

Senyuman itu membuat hati Luhjelita seperti diguyur air yang sangat sejuk. Dia tidak menyangka akan menerima senyuman itu dari pemuda yang dianggapnya telah membenci dirinya.

"Aku…" Luhjelita tidak tahu mau bicara apa. Lalu dicabutnya tongkat batu biru dari pinggangnya. "Tongkat ini bukan milikku. Aku tidak membutuhkannya. Mungkin lebih tepat jika berada di tangan kalian!" Walau Luhjelita menyebut 'kalian' namun tongkat biru itu dilemparkannya ke arah Wiro.

Pendekar 212 cepat menangkapnya. Pada saat tongkat itu berada dalam genggaman Wiro, saat itu pula Luhjelita lenyap dalam kegelapan. Yang terdengar kemudian adalah gemuruh kepakan sayap kura-kura terbang tunggangannya.

********************

Lima orang yang berlindung di balik semak belukar itu memandang tegang tak berkedip ke arah Kincir Hantu yang mulai berputar menggemuruh begitu sang surya muncul terang di ufuk timur.

"Kincir sudah berputar, aku masih belum melihat kakek bernama Lateleng itu…" kata Lakasipo. Sambil bicara dia melirik ke arah Luhsantini yang sejak pagi tadi takbanyak bicara.

"Itu muncul orangnya!" kata Naga Kuning tiba-tiba seraya menunjuk ke depan. "Dia ada di atas atap rumah kincir!"

Semua mata serta merta memandang ke atas rumah kincir. Menang benar. Di atas atap kelihatan seorang yang wajah tuanya hanya sebagian kelihatan karena tertutup caping. Di mulutnya terselip sebuah pipa mengepulkan asap merah. Di atas atap di sebelah belakangnya menancap sebuah bendera berwarna kuning.

Wiro memandang pada semua orang yang ada di situ. "Kalian sudah siap semua?"

Semua yang ditanya termasuk Luhsantini anggukan kepala. Lima orang itu lalu keluar dari balik semak belukar, menyeberangi lapangan. Bergerak menuju Kincir Hantu. Sambil melangkah Lakasipo berkata pada Wiro.

"Melihat pipa dan warna asap yang mengepul, aku ingat pada seorang tokoh langka berjuluk Si Penghembus Roh. Setahuku dia satu-satunya yang memiliki ilmu kesaktian sangat ganas. Dengan cara meniup asap dia bisa merubah sosok manusia menjadi jerangkong seperti yang berserakan di ujung lapangan sana…"

"Kalau begitu bangsat tua di atas atap itu pastilah Si Penghembus Roh itu!" kata Wiro pula.

"Aku ragu. Ciri-cirinya tidak seperti tokoh langka itu…" jawab Lakasipo pula. Lalu dia hentikan aliran tenaga dalamnya yang menuju ke kaki. Akibatnya "duk… dukk… dukk!" Bola-bola batu yang membungkus kaki Lakasipo mengeluarkan suara keras. Tanah bergetar dan membentuk lobang-lobang.

Tiba-tiba kakek bercaping di atas atap rumah kincir bangkit berdiri. Lima orang itu yang berjalan di tanah lapang serta merta hentikan langkah. Si Setan Ngompol belum apa-apa sudah mulai basah bagian bawah celananya karena tegang. Di atas atap rumah kincir, kakek bernama Lateleng sedot pipanya lalu hembuskan asap merah tinggi­-tinggi ke udara. Setelah itu dia buka capingnya dan menjura ke arah orang-orang yang berdiri di tanah lapang di depan Kincir Hantu.

"Ada serombongan tamu datang berkunjung! Aku Lateleng sungguh mendapat kehormatan besar! Tapi mataku belum lamur apalagi buta. Kalian ke sini bukan mencari kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin! Kau yang berambut gondrong dan kau kakek berkuping lebar serta kau budak konyol berpakaian serba hitam berambut seperti ijuk! Bukankah kalian bertiga perantau asing yang kemarin muncul di sini dan sempat membuatku jengkel? Ada gerangan apa kalian masih berani kembali unjukkan muka di tempat ini?! Kalau hari ini aku marah besar jangan harap kalian bertiga bisa melihat matahari tenggelam sore nanti!"

Pendekar 212 angkat tangan kirinya lalu menjawab. "Aku datang membawa dua teman. Mereka ingin mencoba kepandaian menjajal kehebatan Kincir Hantumu! Apa kau berani menerima tantangan?!"

Kakek di atas rumah kincir menatap tajam pada Lakasipo yang berkaki batu dan Luhsantini. Dalam hati dia menggeram. "Jahanam berambut gondrong itu! Dia benar-benar membuat kesulitan besar padaku! Si kaki batu itu mungkin saja dia menyembunyikan benda yang aku cari di salah satu kakinya. Tapi aku tahu betul kehebatan batu yang dijuluki Bola Bola Iblis itu. Apa aku sanggup menghancurkannya? Lalu perempuan berpakaian serba merah itu. Dia pantas jadi temanku bersenang-senang. Tapi kini malah bisa menimbulkan bahaya bagiku!"

Walau hatinya merasa tidak enak namun kakek. kepala teleng umbartawa bergelak. "Wahai kalian berlima dengar ucapanku baik-baik! Pagi ini aku masih merasa segar dan berhati senang. Tapi dalam sekejap pikiranku bisa berubah. Sebelum pikiranku berubah aku perintahkan pada kalian semua agar segera angkat kaki tinggalkan tempat ini. Kecuali perempuan berpakaian merah! Dia boleh tetap berada di sini menemaniku!"

Lakasipo mendengus keras. Luhsantini perlihatkan muka geram sementara Naga Kuning mencibir dan Si Setan Ngompol bersungut-sungut Wiro diam sesaat. Lalu sambil menggaruk kepala dia membatin.

"Aku ingat sekarang. Suara kakek teleng itu seperti pernah kudengar sebelumnya…"

"Lakasipo, kakek teleng itu agaknya jerih melihat bola-bola iblis di ke dua kakimu," bisik Naga Kuning.

Wiro menggaruk kepalanya kembali seraya berkata. "Dia mengincar Luhsantini. Tapi bukan mustahil dia menyembunyikan sesuatu… Kalau dugaanku betul…"

Sementara itu Kincir Hantu berputar terus dengan suara menggemuruh menggetarkan tanah lapangan.

"Kakek di atas rumah kincir!" Pendekar 212 berteriak. "Perempuan cantik baju merah ini menjadi milikmu jika kau mengizinkan kawanku yang berkaki batu ini menjajal kehebatan kincirmu!"

"Wiro, lancang sekali mulutmu!" teriak Luhsantini marah. Naga Kuning dan Setan Ngompol melongo.

Lakasipo pelototkan mata. Tangan kirinya langsung mencekal tengkuk baju Pendekar 212. Suaranya menggeram marah ketika berkata setengah berteriak. "Jangan kau berani menjual sahabat! Perlu apa memaksa kalau si kepala teleng itu takut menerima tantangan kita?!"

Wiro menyeringai. "Kalau dia memang takut lebih baik kita tinggalkan tempat ini! Tapi apa tidak sebaiknya sebelum pergi kita hancurkan dulu Kincir Hantu itu! Rumah kincirnya sekaligus! Kalau perlu si teleng pengecut di atas atap itu sekalian!"

"Weehh! Kemarin garang amat! Sekarang kecut seperti banci!" mengejek Naga Kuning lalu tertawagelak-gelak.

"Mungkin dia perlu diberi semangat! Diberi minum air kencingku!" menyambung Si Setan Ngompol yang akhiri kata-katanya dengan tawa cekikikan.

Menggelegak amarah Lateleng mendengar ucapan­ ucapan Wiro dan kawan-kawannya. Tapi dia pandai menutupi sikap. Dia sengaja mengumbar tawa bergelak. Di bawah sana Wiro ikut-ikutan tertawa. Tapi tawa penuh ejek. Lakasipo juga keluarkan suara mengekeh. Naga Kuning, Setan Ngompol dan Luhsantini susul menyusul keluarkan tawa.

"Sudah teleng ternyata pengecut!" berteriak Naga Kuning.

"Kepala atas teleng tapi kepala bawah tahu perempuan cantik! Hik hik hik!" berseru Si Setan Ngompol.

"Rupanya di sini tidak ada kaca! Membuat tua bangka itu tidak tahu dia buruk rupa!" menyusul teriakan Luhsantini.

Ditertawai, diejek dan dicaci maki seperti itu menggeletarlah sekujur tubuh Lateleng. Amarahnya meluap.Darahnya seperti mendidih dan dadanya seolah terbakar. Berulangkali dia mengusap mukanya depan belakang seolah ada sesuatu yang berusaha ditahannya.

"Manusia-manusia jahanam! Siapa pengecut! Siapa penakut! Aku bukan makhluk banci! Manusia kaki batu! Aku terima kesombonganmu! Silakan melompat ke atas kincir! Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu!"

Orang tua di atas atap rumah kincir akhirnya terpancing marah dan menerima tantangan. Padahal semua ucapan dan ulah Wiro serta kawan-kawannya tadi hanya sandiwara belaka yang sudah diatur demikian rupa memang untuk menjebak si kakek teleng itu. Begitu pancingan mereka mengena tanpa tunggu lebih lama Lakasipo segera melesat ke atas kincir!

Dua kaki batunya hinggap diatas permukaan roda kincir tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, membuat Lateleng merasa jerih lalu diam-diam alirkan tenaga dalam ke tangan kirinya. Di saat yang sama Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol serta Luhsantini telah melesat pula ke atas atap rumah kincir.

"Kalian mau apa?! Lekas turun!" teriak Lateleng marah.

"Kami hanya mau menyaksikan permainan gila ini dilakukan tanpa kecurangan!" jawab Wiro seenaknya tapi tangan kanannya meraba pinggang kiri di mana terselip Kapak Maut Naga Geni 212. Sepasang matanya meneliti seputar atap rumah kincir. Pandangannya membentur sebuah tonjolan kayu yang menyembul keluar dari permukaan atap dan berada tak jauh dari kaki Lateleng.

Murid Sinto Gendeng yang cukup punya pengalaman tentang berbagai peralatan rahasia segera saja mencurigai tonjolan kayu itu adalah satu peralatan yang ada hubungannya dengan Kincir Hantu. Mulai saat itu gerak-gerik kaki Lateleng serta tonjolan kayu itu tidak lepas dari perhatian Pendekar 212.

Si Setan Ngompol tegak di atas atap sambil pegangi bawah perutnya yang mengucur habis-habisan. Dia menyeringai kecut, ketika Lateleng melotot padanya. "Aku tidak mau berbuat apa-apa. Bukankah aku sahabatmu yang akan memberimu minuman penyegar jika kau kehausan? Lihat saja! Bukankah matahari pagi mulai bersinar terik?" Sambil berucap kakek bermata jereng ini siapkan pukulan sakti Setan Ngompol Mengencingi Pusara.

Kakek teleng bantingkan capingnya di atas kepala dan memaki panjang pendek dalam hati.Dia berpaling pada Naga Kuning. Anak ini tegak tak acuh sambil mengorek hidungnya, begitu asyik hingga matanya meram melek.

"Aku naik ke atap cuma pingin tahu permainan sulap apa yang ada di tempat ini!"

Naga Kuning berucap sambil melirik pada Lateleng yang memelototinya. Padahal saat itu di tangan kirinya dia sudah menyiapkan pukulan Naga Kuning Merobek Langit. Ketika Lateleng berpaling ke arah Luhsantini, perempuan cantik ini lemparkan senyum manis lalu berkata dengan suara merdu.

"Wahai kakek gagah pemilik Kincir Hantu. Bukankah kau minta aku menemanimu? Bukankah temanku si gondrong itu menjanjikan diriku untukmu jika kau menerima tantangan si kaki batu itu? Sekarang aku adalah milikmu."

Selagi si kakek teleng kelihatan seperti terkesiap, Luhsantini cabut bendera kuning di atas atap lalu serahkan pada si kakek. Mau tak mau Lateleng terima bendera itu namun dalam hati dia membatin.

"Orang-orang ini. Agaknya mereka merencanakan sesuatu. Gila! Mungkin aku sudah terperangkap dalam jebakan mereka! Jahanam betul! Untung sampai saat ini mereka masih belum tahu siapa diriku sebenarnya. Awas kalian! Yang empat orang itu akan kuhabisi sebentar lagi!"

"Kakek gagah, apakah kita bisa mulai?" bertanya Luhsantini dengan suara merdu serta layangkan senyum.

"Ya… ya! Kita segera mulai!" jawab Lateleng. Lalu dia berpaling pada Lakasipo. "Makhluk berkaki batu, aku belum tahu namamu. Harap suka memberitahu karena aku tidak ingin kau menemui kematian tanpa aku tahu siapa dirimu sebenarnya!"

"Aku Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu!" jawab Lakasipo.

"Hemmmm…" Lateleng bergumam. Dalam hati dia merutuk. "Hantu keparat, aku sudah tahu siapa kau sebenarnya! Bersiaplah menerima Kematian!" Lateleng pindahkan pipanya ke tangan kiri.

Wiro memperhatikan tangan kanan kakek itu mengeluarkan getaran, pertanda dia telah mengerahkan tenaga dalam. Dengan tangan kanan berada di hulu kapak, Pendekar 212 siapkan pukulan Sinar Matahari di tangan kiri. Lateleng tancapkan bendera kuning di roda kincir yang berputar. Lalu kakek ini ketukkan pipanya ke pinggiran roda kincir seraya berseru.

"Satu!"

Kincir Hantu menggemuruh dan berputar kencang. Lakasipo mulai berlari-lari di atas roda kincir. Semua orang yang ada di tempat itu menjadi tegang tapi diam-diam sama menyiapkan pukulan-pukulan sakti. Atap rumah kincir itu agaknya dalam waktu tidak berapa lama lagi akan menjadi ajang perkelahian dahsyat!

Gemuruh suara Kincir Hantu seolah masuk menggelegar didalam tubuh orang-orang yang ada di tempat itu, terutama Lakasipo yang berlari melawan putaran roda. Tak lama kemudian bendera kuning muncul di sisi kanan kincir, bergerak mendekati kaki Lakasipo.Dengan gerakan enteng Lakasipo melompat. Bendera kuning lewat dibawahnya bersama kucuran air menuju ke sisi kiri.

Mulut Lateleng tampak menyeringai namun dibawah caping yang melindungi sebagian mukanya, sepasang mata kakek ini melirik tajam kian ke mari, memperhatikan Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawannya.

"Dua!" seru Lateleng sambil ketukkan pipa ke pinggiran roda kincir begitu bendera kuning lewat di bawah kaki Lakasipo.

Putaran kincir berubah tambah kencang. Suara gemuruhnya menggetarkan rumah kincir serta lapangan di bawah sana. Lakasipo mempercepat larinya. Setiap saat lelaki ini saling memberi isyarat mata dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tapi semua gerak-gerik ke dua orang ini tidak lepas dari perhatian si kakek teleng. Tak selang berapa lama bendera kuning muncul lagi di sisi kanan. Lateleng cabut pipanya lalu kepulkan asap merah ke udara.

“Tiga!" Kincir Hantu berderak keras lalu berputar lebih kencang. Gemuruh suaranya kali ini seolah hendak meruntuhkan langit dan menjungkir balikkan rumah kincir, membuat orang-orang yang ada diatas atap bangunan tergontai-gontai dan sesekali terlonjak ke atas.

"Lakasipo! Kau harus bertahan! Putaran kincir hanya tinggal sedikit lagi! Kitab sakti itu akan segera menjadi milikmu! Kau benar-benar luar biasa! Aku tidak kecewa menyerahkan kitab langka itu kepadamu!"

Lakasipo tidak acuhkan ucapan orang. Dia sudah mendapat peringatan dari Wiro bahwa kakek itu berusaha mengalihkan perhatian dengan ucapan-ucapan serta gelak tawanya. Lakasipo malah kerahkan tenaga dalam ke arah kaki. Terjadilah hal yang hebat. Kaki-kaki batu itu menghantam kayu hitam roda kincir, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk berkepanjangan diseling suara berderak seolah kincir itu siap untuk runtuh hancur berantakan. Walau demikian, luar biasanya tidak ada bagian kincir yang pecah atau rusak.

Lateleng sesaat menjadi cemas. Namun seringai segera tersungging di mulutnya ketika bendera kuning muncul kembali di sisi kanan sebagai penutup putaran yang akan berakhir begitu mencapai sepasang kaki batu Lakasipo.

"Saatmu akan segera sampai Lakasipo! Nyawamu tak akan tertolong!" kata Lateleng dalam hati. Dia sedot pipanya dalam-dalam seraya melirik pada empat orang yang ada di atas atap.

Walaupun dua kaki batu itu tampak berat sekali menghunjam roda kincir namun dengan kesaktiannya yang ditunjang tenaga dalam tinggi Lakasipo mampu berlari ringan. Dia kelihatan tenang-tenang saja padahal dadanya menggemuruh dilanda kecemasan. Wiro dan yang lain-lainnya saat itu telah berada di puncak ketegangan. Bendera kuning bergerak cepat. Hanya tinggal dua langkah dari sepasang kaki Lakasipo.

"Lakasipo! Kau memang hebat! Aku tidak menyesal menyerahkan kitab Kesaktian Menguasai Jin padamu!" berseru Lateleng.

Lalu kakek ini keluarkan suitan keras dan panjang. Bersamaan dengan itu secepat kilat kaki kirinya bergerak menginjak tonjolan kayu yang menyembul di atas rumah. Kincir Hantu keluarkan suara gemuruh dahsyat menyeramkan. Di antara suara gemuruh itu terdengar suara aneh.

"Clak! Clak! Clakk!"

Dari pinggiran roda kereta mendadak mencuat sinar putih menyilaukan, menyambar wajah Lakasipo, membutakan pemandangannya. Luar biasanya cuatan sinar menyilaukan itu juga menyambar ke arah mata semua orang yang ada di atas atap. Sebelum sinar menyilaukan itu sempat membutakan pemandangan mereka keempat orang di atas atap telah lebih dulu bergerak.

"Celaka! Aku tidak bisa mengangkat dua kakiku!" teriak Lakasipo.

Lalu... "Traannggg!" Kaki batunya sebelah kiri dihantam benda keras tajam berkilat hingga terbelah dua.

Lateleng buka mulutnya lebar-lebar lalu semburkan asap merah ke arah Wiro dan kawan-kawannya. Tangan kanannya ikut bergerak menghantam. Selarik sinar hijau menderu ke arah tiga sasaran yakni, Wiro, Naga Kuning dan Setan Ngompol. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Hantu Hijau Penjungkir Roh. Siapa saja yang terkena akan menemui ajal dengan tubuh hijau meleleh seperti lumpur!

Walau semua itu terjadi dengan cepat namun Wiro sempat menyadari bahwa Lateleng sama sekali tidak menyerang Luhsantini! Apakah ini karena dia memang tidak ingin menciderai perempuan yang dijadikannya teman bersenang-senang itu atau ada alasan lain.

Wiro dan tiga orang lainnya yang sejak tadi sudah mengambil sikap penuh waspada, begitu melihat Lateleng berkelebat gerakkan kaki kiri menginjak tonjolan kayu, ke empat orang ini segera menghantam ke arah Lateleng yang saat itu telah pula melancarkan pukulan sakti Hantu Hijau Penjungkir Langit.

Wiro lepaskan pukulan Sinar Matahari lalu jatuhkan diri dan bergulingan di atas atap. Kapak Naga Geni 212 yang sudah ada di tangan kanannya dibacokkan ke arah tonjolan kayu yang dipijak Lateleng. Bukan saja dia hendak menghancurkan alat rahasia di atas atap itu tapi sekaligus dia juga ingin membabat putus kaki kiri Lateleng. Namun si kakek bertindak cepat selamatkan kakinya.

Ketika kakinya hendak dipergunakan untuk menendang kepala Wiro, Si Setan Ngompol dan Naga Kuning telah lebih dulu menyeruduk tubuhnya hingga tak ampun lagi kakek ini terdorong jatuh ke bawah. Bahunya menghantam pinggiran roda kincir. Satu jeritan dahsyat menggelegar dari mulut Lateleng.

Darah tampak mengucur dari bahu kirinya akibat benturan dengan lempengan benda tajam putih yang mencuat di pinggiran roda kincir. Ketika jatuh ke tanah sialnya mukanya jatuh terhimpit selangkangan Si Setan Ngompol hingga wajahnya dan kepalanya basah kuyup oleh kucuran air kencing!

Di atas atap rumah kincir letusan-letusan dahsyat menggelegar seperti mau meruntuhkan langit. Pukulan sakti yang dilepaskan Lateleng serta semburan asap merahnya yang bisa merontokkan daging tubuh Itu bentrokan dengan pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Wiro, pukulan Setan Ngompol Mengencingi Pusara yang dilepaskan Setan Ngompol serta pukulan Naga Kuning Merobek Langit yang dihantamkan Naga Kuning. Ditambah pula dengan pukulan Di Balik Labukit Menghancur Lagunung yang dilepaskan Luhsantini.

Atap rumah kincir hancur berantakan dan beterbangan di udara. Rumah kincir roboh bergemuruh. Kincir Hantu bergetar hebat lalu ambruk jadi tiga bagian, menggelinding di tanah lapang. Pada saat letusan menggelegar Lakasipo cepat mencekal lengan Luhsantini. Lalu ke duanya membuat gerakan jungkir balik di udara, melayang turun ke tanah dengan kaki lebih dulu. Tubuh dan pakaian mereka kotor oleh hancuran atap dan bangunan rumah kincir.

Di bagian lapangan yang lain Pendekar 212 Wiro Sableng yang telah lebih dulu melompat ke tanah simpan Kapak Naga Geni 212-nya lalu lari ke arah Setan Ngompol dan Naga Kuning yang sedang bergumul dengan Lateleng. Saat itu kakek ini tidak lagi mengenakan capingnya yang telah mental hancur akibat tersambar letusan di atas atap. Kitab yang ada di bawah caping itu ikut musnah dan tidak diketahui apakah benar-benar kitab asli atau hanya tiruan belaka.

Digumul berdua Lateleng menghantam kian kemari, membuat Setan Ngompol dan Naga Kuning berpelantingan ke tanah. Ke dua orang ini cepat bangkit menyerang. Mereka tidak mau kehilangan si kakek teleng yang jelas hendak coba melarikan diri. Naga Kuning hanya sempat menarik celana panjang si kakek hingga Lateleng melarikan diri cuma mengenakan baju dan celana dalam. Namun kakek ini tidak peduli. Dia kelabakan dengan luka di bahu kirinya.

"Bahuku… darah… Aku terlukai Wahai!" Sambil lari Lateleng mengeluh tak berkeputusan. Tangan kanannya memegangi bahukiri sementara tangan kiri yang terluka itu dicobanya untuk mengusapi kepalanya depan belakang.

Lakasipo dan Wiro berusaha mengejar. Namun gerakan mereka mendadak tertahan ketika memperhatikan ke depan, kepala Lateleng telah berubah. Kakek itu kini memiliki satu kepala dengan dua muka. Berupa muka kakek-kakek berwajah pucat pasi!

"Astaga! Hantu Muka Dua! Dia Hantu Muka Dua!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Jahanam! Kau mau lari ke mana!" teriak Lakasipo lalu lepaskan pukulan Lima Kutuk Dari Langit.

Lima larik sinar hitam menderu ganas. Tapi di depan sana Lateleng yang memang sebenarnya adalah Hantu Muka Dua yang menyamar telah lenyap. Hanya noda-noda kucuran darahnya yang masih tertinggal di tanah. Wiro dan Lakasipo sama-sama terduduk di tanah. Selagi Lakasipo pandangi batu di kaki kanannya yang kini hanya tinggal sebelah Pendekar 212 bangkit berdiri. Dia melangkah menghampiri salah satu hancuran roda kincir.

Ketika Wiro memeriksa ternyata di sepanjang pinggiran roda sebelah atas penuh dipasangi lempengan baja putih berbentuk empat persegi yang ujungnya sangat tajam. Dengan menekan alat rahasia berupa tonjolan kayu di atas atap, baja-baja putih itu mencuat keluar dari balik lapisan kayu, memantulkan sinar menyilaukan begitu kejatuhan sinar matahari dan menabas kaki orang yang ada di atasnya!

"Cerdik dan keji!" ujar Wiro sambil geleng-geleng kepala. "Yang aku belum mengerti mengapa Hantu Muka Dua melakukan kegilaan itu! Apa sebenarnya yang dicari bangsat kepala dua itu? Senjata sakti mandraguna…?"

Sambil garuk-garuk kepala Pendekar 212 ambil satu kepingan baja putih dari reruntuhan roda kincir lalu melangkah mendapatkan Lakasipo untuk memperlihatkan lempengan benda maut itu. Namun langkah sang pendekar terhenti ketika tiba-tiba seorang kakek berpakaian ungu gelap penuh debu.

Entah dari mana munculnya tahu-tahu sudah berada di tengahlapangan. Melangkah perlahan mendekati Lakasipo yang masih terduduk di tanah, didampingi Naga Kuning, Luhsantini dan Si Setan Ngompol.

Kakek tak dikenal itu berhenti di hadapan Lakasipo, sesaat menatap wajah Hantu Kaki Batu itu lalu setelah melirik pada sepasang kaki batu Lakasipo dia berkata,

"Puluhan hari aku habisi untuk melakukan perjalanan ini. Ternyata tidak sia-sia. Wahai, apakah kau orang yang bernama Lakasipo, bergelar Hantu Kaki Batu?"

Lakasipo tidak segera menjawab. Dia menaruh curiga pada kakek tak dikenalnya itu. Khawatir kalau-kalau si kakek adalah kaki tangan atau anak buah Hantu Muka Dua. Wiro membuka mulut memberi jawaban.

"Dia memang Lakasipo. Kau sendiri siapa adanya Kek?"

Yang ditanya palingkan kepalanya ke arah Wiro, pandangi Pendekar 212 mulai dari kepala sampai ke kaki lalu berkata. "Orang muda kaua dalah manusia hebat dalam kesederhanaan. Hidupmu penuh suka karena begitu banyak gadis yang jatuh hati padamu. Penuh suka walau ujian dan bahaya mengancam di mana-mana. Aku senang bertemu denganmu..."

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Kek, apa mungkin kau seorang juru ramal?!" tanya Wiro pula.

Kakek berpakaian ungu itu tersenyum. "Aku datang dari jauh mencari Lakasipo untuk menyerahkan satu benda sangat berharga yang telah kubawa ke mana-mana selama beberapa tahun."

Habis berkata begitu si kakek lalu duduk di hadapan Lakasipo. Dia singsingkan bagian bawah pakaiannya yang berbentuk jubah dan ulurkan kaki kanannya. Tidak terduga oleh semua orang yang ada di situ, si kakek hantamkan tangan kanannya ke pergelangan kaki kanan.

"Praaakk!" Kaki hancur dan tulangnya patah. Anehnya tak ada darah yang mengucur!

Enak saja kakek ini tarik kakinya yang patah itu lalu dari dalam rongga tulang kakinya dia mengeluarkan sebuah benda berupa sendok bergagang pendek terbuat dari emas. Pada bagian sendok yang ceguk ada sebuah benda kemerah-merahan yang sudah membatu dan menempel erat kedasar sendok. Semua orang jadi merinding menyaksikan apa yang dilakukan si kakek.

"Sendok ini bukan benda sembarangan. Bernama Sendok Pemasung Nasib. Kau ambillah dan serahkan pada seorang bernama Lasedayu yang dikenal dengan julukan Hantu Langit Terjungkir. Dia pernah tinggal di Lembah Seribu Kabut. Di mana dia berada sekarang tidak kuketahui…"

Tidak peduli orang yang jadi kaget mendengar kata-katanya, dan tidak peduli apakah orang mau memenuhi permintaannya si kakek masukkan sendok emas itu ke dalam genggaman tangan kanan Lakasipo. Lakasipo sendiri dalam terkesiapnya tidak berusaha menolak. Malah dia memperhatikan apa yang kemudian dilakukan kakek yang duduk di depannya itu. Enak saja si kakek sambung kembali kakinya yang hancur patah. Lalu dia mengusap satu kali, meniup satu kali. Kaki yang hancur patah itu utuh kembali!

Wiro garuk-garuk kepala. Naga Kuning melongo monyong. Si Setan Ngompol mendelik menahan kencing sedang Luhsantini tekap mulutnya dan menatap ke arah tangan kanan Lakasipo.

"Kek, siapa kau ini adanya?" tanya Lakasipo ketika dilihatnya kakek itu bangkit berdiri. Dia segera pula bangun dari duduknya.

Si kakek tersenyum. "Wahai! Namaku bukan satu hal yang penting. Selamat tinggal orang-orang gagah…" Sekali dia membalikkan tubuh tahu-tahu kakek itu sudah berada di ujung lapangan lalu lenyap.

"Gila!" Pendekar 212 berkata setengah berseru.

"Eh, siapa yang gila?!" tanya Naga Kuning.

"Hantu Muka Dua! Untuk mendapatkan sendok butut itu saja dia sampai membunuh lima belas orang. Aku dan Lakasipo hampir jadi korbannya!" Wiro garuk-garuk kepala.

"Walau Hantu Muka Dua gila atau edan tapi masih sempat meninggalkan satu kenang-kenangan untuk sahabatnya Si Setan Ngompol ini!" berucap Naga Kuning.

"Apa maksudmu bocah geblek?!" kata Setan Ngompol sambil delikkan mata.

Dari balik punggungnya Naga Kuning keluarkan celana milik Hantu Muka Dua yang berhasil dibetotnya hingga lepas tertinggal. "Kek," kata Naga Kuning pula sambil tersenyum pada Setan Ngompol. "Hantu Muka Dua sengaja meninggalkan celana ini karena dia tahu kau tidak punya celana. Yang sekarang kau pakai selain tak pantas disebut celana juga sudah leleh bau pesing! Nah ambillah celana pemberiannya ini, segera pakai. Tak usah malu-malu!"

Habis berkata begitu Naga Kuning tertawa cekikikan dan lemparkan celana Hantu Muka Dua hingga menyangkut di bahu kiri Si Setan Ngompol.

"Anak kurang ajar! Berani kau mempermainkan aku! Siapa sudi memakai celana makhluk jahat itu!" kata Setan Ngompol dengan mata mendelik besar.

"Yang jahat Hantu Muka Dua. Celananya kan tidak Kek!" jawab Naga Kuning pula.

"Bocah sialan!" mengomel si kakek tapi tangannya kemudian mengambil celana itu dari bahunya. Lalu masih pelototkan mata pada Naga Kuning dia melangkah ke balik semak-semak.

Semua orang yang ada di tempat itu tertawa bergelak. Tak lama kemudian sebuah benda melayang di udara dan jatuh menyungkup kepala Naga Kuning. Bocah ini kelagapan kalang kabut dan memaki panjang pendek. Ternyata yang menyungkup kepalanya itu adalah celana basah kuyup bau pesing milik Si Setan Ngompol...!

Bersambung...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.