Rahasia Patung Menangis

Sonny Ogawa

RAHASIA PATUNG MENANGIS

SINOPSIS

Hantu Jatilandak ingat pada cairan hangat yang tersentuh jari-jari tangannya. Ketika dia memperhatikan wajah patung itu, kaget Hantu Jatilandak bukan kepalang. Ternyata cairan hangat itu keluar dari dua mata patung. Seolah tetesan-tetesan air mata.

"Patung menangis..." desis Hantu Jatilandak. Baru saja Hantu Jatilandak selesai membatin. Tiba-tiba dalam gelapnya malam terdengar dua suara tawa bergelak.

"Manusia buruk rupa! Tidak bisa bercinta dengan manusia, melampiaskan nafsu berpeluk-pelukan dengan patung batu! ha ha ha...!"

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

SATU

DI DALAM kamar yang diterangi dua obor itu, di atas tempat tidur kayu tergeletak menelentang seorang perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh keringat serta kerenyit menahan sakit. Dari mulutnya terus menerus keluar suara erangan, ditingkah desau nafas yang membersit dari hidung. Perempuan ini memiliki perut besar luar biasa, tertutup sehelai kain rajutan terbuat dari rumput kering.

Ketika pandangannya membentur sosok nenek dukun beranak yang hendak menolong melahirkannya, dua mata perempuan itu membeliak besar. Dari mulutnya keluar gerengan seperti suara gerengan babi hutan.

"Tua bangka buruk! Siapa kau?!"

Lahambalang, suami perempuan yang hendak melahirkan itu cepat mendekat dan berkata. "Wahai istriku Luhmintari, nenek Luhumuntu ini, dia dukun beranak yang akan menolongmu melahirkan…"

"Menolong aku melahirkan." Sepasang mata perempuan di atas ranjang kayu semakin membesar dan wajahnya bertambah beringas. "Siapa yang akan melahirkan?! Aku tidak akan melahirkan!"

"Tenanglah Luhmintari. Orang akan menolongmu…"

"Aku tidak akan melahirkan! Aku tidak butuh pertolongan. Tidak akan ada apapun yang keluar dari perutku. Tidak akan ada bayi yang keluar dari rahimku! Kau dengar wahai Lahambalang?! Kau dengar nenek buruk dukun beranak celaka?!" Habis membentak seperti itu Luhmintari tertawa panjang.

Luhumuntu, si nenek dukun beranak jadi merinding. Dia dekati lahambalang lalu berbisik. "Suara istrimu kudengar lain. Tawanya kudengar aneh…"

Baru saja si nenek berkata begitu tiba-tiba dari perut besar Luhmintari terdengar suara gerangan keras. Bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar pula suara lolongan anjing hutan. Si dukun beranak Luhumuntu tarik rumput kering yang menutupi tubuh Luhmintari. Begitu perut yang hamil besar itu tersingkap, si nenek langsung tersurut. Lahambalang sendiri keluarkan seruan tertahan lalu mundur dua langkah!

Lazimnya perut perempuan hamil, biasanya menggembung besar dan licin. Namun yang dilihat oleh Luhumuntu dan Lahambalang adalah satu perut yang didalamnya seperti ada puluhan duri. Permukaan perut Luhmintari tampak penuh tonjolan-tonjolan runcing dan tiada hentinya berdenyut bergerak-gerak mengerikan!

Seumur hidup baru kali ini dukun beranak itu melihat perut yang keadaannya seperti itu. "Demi Dewa dan Peri!" ujar Lahambalang dengan suara tergetar. "Apa yang terjadi dengan istriku! Mengapa perutnya seperti ini?!"

Dukun beranak Luhumuntu angkat tangan kirinya. "Lahambalang, istrimu segera akan kutangani. Harap kau cepat keluar dari kamar ini."

"Nenek Luhumuntu, kalau boleh aku ingin menungguinya sampai dia melahirkan…" kata Lahambalang pula.

"Keluar!" teriak Luhumuntu.

Mau tak mau Lahambalang keluar juga dari kamar itu. Si nenek segera membanting pintu. Ketika dia melangkah mendekati tempat tidur kembali Luhmintari perlihatkan tampang beringas.

"Nenek celaka! Kau juga harus keluar dari kamar ini!"

"Luhmintari, aku akan menolongmu melahirkan. Aku akan melepaskan tali yang diikatkan suamimu pada dua kakimu. Jangan kau berbuat yang bukan-bukan!"

"Kau yang berkata dan akan berbuat yang bukan-bukan!" sentak Luhmintari. "Aku tidak hamil! Aku tidak akan melahirkan! Tidak ada bayi dalam perutku! Tidak ada bayi yang akan keluar dari rahimmu! Hik hik hik!" Luhmintari keluarkan suara seperti tertawa tapi juga setengah menangis.

"Tenang Luhmintari. Kau jelas hamil besar dan siap melahirkan. Kau akan melahirkan seorang bayi hasil hubunganmu sebagai suami istri dengan Lahambalang…"

Si nenek lalu dekati tempat tidur. Dengan hati-hati dia lepaskan ikatan tali pada dua kaki Luhmintari. Begitu dua kakinya bebas, kaki yang kanan tidak terduga bergerak menendang.

"Bukkkk!" Si nenek Luhumuntu terpekik dan terpental ke dinding.

Di luar Lahambalang berteriak. "Nenek Luhumuntu! Ada apa"?!"

Luhumuntu usap-usap perutnya yang barusan kena tendangan. "Tidak ada apa-apa Lahambalang! Kau tak usah khawatir!" Lalu si nenek memandang pada Luhmintari dan berkata. "Sebagai dukun aku berkewajiban menolongmu melahirkan. Apapun yang akan keluar dari rahimmu aku tidak perduli!"

Lalu dengan cepat si nenek kembangkan dua kaki Luhmintari. Dengan dua tangannya dia kemudian menekan perut perempuan itu. Luhmintari meraung keras. Dari dalam perutnya kembali terdengar suara menggereng. Di kejauhan lagi-lagi terdengar suara lolongan anjing hutan.

"Jangan sentuh perutku! Nenek celaka! Pergi kau!"

Si nenek dukun beranak tidak perdulikan hardikan Luhmintari. Dua tangannya terus menekan perut perempuan itu. Semakin kuat. Luhmintari menjerit keras. Lalu terdengar suara robek besar. Bersamaan dengan itu ada suara tangisan kecil. Seperti suara tangisan bayi, tapi anehnya disertai suara gerengan halus!

Luhumuntu terpekik ketika ada suatu benda melesat menyambar perutnya. Nenek ini mundur terhuyung-huyung. Ketika dia memperhatikan keadaan dirinya ternyata di bagian perut ada tiga guratan luka cukup dalam dan mengucurkan darah! Dari sudut kamar terdengar suara tangisan bayi aneh! Di atas ranjang kayu sosok Luhmintari tidak bergerak sedikitpun. Tubuhnya yang tadi hangat dan penuh keringat perlahan-lahan menjadi dingin.

"Braaakkk!" Pintu kamar terpentang hancur. Lahambalang melompat masuk. Dia tidak perdulikan si nenek dukun beranak yang tegak terbungkuk-bungkuk sambil meringis pegangi perutnya yang luka bergelimang darah.

Lahambalang melangkah ke arah tempat tidur. Namun gerakannya serta merta tertahan. Dua kakinya seperti dipantek ke lantai. Matanya membeliak besar. Sosok istrinya tergeletak tak bergerak. Mata mendelik mulut menganga. Perutnya robek besar mengerikan. Dan darah masih mengucur mengerikan!

"Luhmintari!" teriak Lahambalang. Dia memandang seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia kembali berteriak. "Nenek Luhumuntu! Apa yang terjadi dengan istriku?! Aku mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"

Sambil sandarkan punggungnya ke dinding kamar si nenek dukun beranak menjawab. "Istrimu tewas wahai Lahambalang! Tewas ketika melahirkan bayinya! Bayinya… bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara wajar. Tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah! Robek besar!"

"Kau…! Apa katamu?!" Dua mata Lahambalang membeliak besar. "Aku tidak percaya! Kau… kau pasti memakai cara gila! Kau pasti menoreh perut istriku dengan pisau!"

"Aku tidak pernah membawa pisau wahai Lahambalang. Aku tidak pernah menolong orang dengan memakai pisau!" jawab si nenek. Tubuhnya melosoh kelantai. Dua tangannya masih terus menekapi perutnya yang luka.

"Mana bayiku! Mana anakku!" teriak Lahambalang.

Si nenek Luhumuntu angkat tangan kirinya. Dengan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar. "Itu… Benda yang di sudut sana… Itulah bayimu. Kuharap kau bisa menabahkan diri menghadapi kenyataan wahai Lahambalang…"

Lahambalang berpaling ke arah yang ditunjuk si nenek. Karena tidak tersentuh cahaya api obor, sudut kamar yang ditunjuk berada dalam keadaan gelap. Namun Lahambalang masih bisa melihat seonggok benda bergelimang darah tergeletak di sana. Dan dia mendengar suara tangisan bayi. Walau suara itu kedengarannya agak aneh.

"Anakku…" desis Lahambalang. Dia melangkah membungkuk. Satu langkah dari hadapan benda di sudut kamar tiba-tiba satu jeritan keras menggeledek dari mulutnya. "Tidaaakkkk!"

"Lahambalang, kataku kau harus tabah menghadapi kenyataan…" berucap si nenek dukun beranak.

"Tidaakkk!" teriak Lahambalang sekali lagi. "Itu bukan bayiku! Itu bukan anakku!"

"Lahambalang, betapapun kau tidak mau mengakui itu bukan anakmu bukan bayimu! Tapi itulah kenyataan yang keluar dari perut istrimu!" kata Luhumuntu pula.

Lahambalang tekapkan dua tangannya ke muka lalu menggerung keras. Di sebelah sana, di sudut yang kegelapan terdengar suara tangisan bayi aneh karena disertai suara menggereng halus. Sosok yang menggeletak masih berlumuran darah di sudut kamar itu memang satu sosok menyerupai bayi kecil. Tapi sekujur permukaan tubuhnya, mulai dari kepala sampai ke kaki penuh ditumbuhi duri-duri aneh berwarna kecoklatan!

"Lahambalang, itu anakmu. Itu bayimu! Jangan biarkan dia kedinginan di sudut kamar itu…" Luhumuntu si dukun beranak berucap.

Sekujur tubuh Lahambalang bergetar. Mulutnya mengucapkan sesuatu tetapi tidak jelas kedengaran apa yang dikatakannya.

"Lahambalang, ambil anakmu. Dukung bayi itu…"

Lahambalang pejamkan dua matanya. Tenggorokannya turun naik, sesenggukan menahan tangis. Dua tangannya terkepal kencang.

"Apa yang terjadi dengan diri kami! Wahai istriku Luhmintari! Nasibmu… nasibku… nasib anak kita! Apa semua ini karena kau melanggar larangan? Karena sebenarnya sebagai seorang Peri kau tidak boleh kawin denganku manusia biasa? Kalau ini memang satu kutukan, sungguh kejam dan jahat!"

Tiba-tiba Lahambalang bangkit berdiri. Mukanya kelihatan menjadi sangat mengerikan. Dadanya bergemuruh turun naik. Dua tangannya mengepal semakin kencang hingga mengeluarkan suara berkeretakan. Satu teriakan dahsyat kemudian keluar dari mulutnya.

"Wahai para Peri di atas langit! Kalau ini benar kutukan dari kalian! Mengapa istriku yang kalian bunuh! Mengapa bayi tak berdosa ini yang kalian bikin cacat? Mengapa tidak diriku yang kalian bikin mati! Kejam! Jahat Peri keparat terkutuk! Aku akan mencari seribu jalan melakukan pembalasan! Kalian tunggu pembalasanku!"

Habis berteriak begitu Lahambalang membungkuk mengambil sosok bayi aneh yang tergeletak di sudut kamar. Lalu dia lari keluar bangunan. Seperti gila sambil lari tidak henti-hentinya dia berteriak.

"Ini bukan anakku! Ini bukan bayiku! Kalian menukar bayiku dongan makhluk celaka ini! Peri jahat! Peri jahanam! Tunggu pembalasanku!"

Dalam gelap dan dinginnya malam menjelang fajar itu Lahambalang lari terus membawa bayi aneh yang tiada hentinya menangis. Lelaki itu baru hentikan larinya ketika dapatkan dirinya tahu-tahu telah berada di ujung sebuah tebing. Di depannya menghadang satu jurang lebar. Di kejauhan terbentang lautan luas. Di sebelah timur langit mulai terang tanda sang surya siap memunculkan diri.

"Ini bukan bayiku! Ini bukan anakku! Para Peri diatas langit tunggu pembalasanku!"

Dengan tubuh bergetar dan basah oleh keringat Lahambalang angkat bayi bergelimang darah dan penuh duri aneh itu. Sang bayi menangis keras. Di kejauhan seolah datang dari tengah laut terdengar lolongan seperti lolongan anjing hutan. Didahului teriakan keras dan panjang Lahambalang yang seolah sudah kerasukan setan itu lemparkan bayi di tangan kanannya.

Bayi malang itu melesat jauh ke udara, lenyap dari pemandangan seolah menembus langit. Lahambalang pandangi tangannya yang berlumuran darah lalu menatap ke langit. Sekali lagi ia menjerit, meraung dahsyat!

Untuk jelasnya mengenai peristiwa lahirnya bayi aneh ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jatilandak

********************

Lahambalang lari laksana dikejar setan. Walau sekujur tubuhnya telah mandi keringat dan tenaganya hampir terkuras namun dia lari terus. Dalam dukungannya terbujur sosok Luhmintari yang telah jadi mayat, mulai kaku dan dingin. Walau telah berkurang namun masih ada darah yang mengucur dari luka besar di perut perempuan malang ini.

Di satu kawasan bebukitan berbatu-batu, Lahambalang mulai terhuyung. Nafasnya menyengat panas di tenggorokan dan dadanya menggemuruh sesak. Dalam keadaan seperti itu dia masih juga terus berlari. Puncak bukit! Dia berusaha mencapai puncak bukit batu itu!

Tapi ketika satu tonjolan batu menyandung kaki kirinya, tak ampun lagi Lahambalang terguling jatuh. Dengan sosok istrinya masih dalam dukungan, lelaki ini menggelinding belasan tombak ke bawah bukit lalu terhampar di samping sebuah batu besar. Lahambalang mengerang pendek lalu bangkit dan duduk. Mayat istrinya diletakkan di pangkuan. Dia memandang berkeliling.

"Luhmintari istriku! Di mana aku jatuh di situlah tempat perpisahan kita. Mungkin ini satu petunjuk. Agaknya di sini aku harus menyemayamkan dirimu! Wahai Luhmintari, tubuh kasar kita boleh berpisah. Tapi rasanya mungkin tak akan lama kau menunggu. Aku akan menyusulmu. Tunggu aku di alam roh wahai istriku!"

DUA

Dengan hati-hati Lahambalang dudukkan mayat istrinya di tanah, bersandar ke batu besar di belakangnya. Air mata mengucur membasahi dua pipinya yang cekung dan penuh berewok meranggas. Berkali-kali dia mengusap rambut Luhmintari. Berkali-kali pula dia menciumi wajah perempuan itu. Kalau tadi sekujur tubuhnya letih seolah tidak bertulang lagi, namun saat itu tiba-tiba seperti mendapat satu kekuatan, Lahambalang melompat ke atas batu. Dengan dua tangan terkepal dan diacungkan ke langit dia berteriak.

"Para Peri di atas langit! Untuk semua apa yang telah kalian lakukan atas diriku, atas diri istriku dan atas diri anakku! Aku bersumpah akan melakukan pembalasan! Aku bersumpah kutuk jahat akan jatuh atas Negeri Atas Langit dan semua Peri yang ada di sana!"

Begitu Lahambalang selesai berteriak mendadak di atas langit terdengar suara menggelegar disertai berkiblatnya satu cahaya putih yang menyambar ke bawah. Satu hawa yang sangat dingin menyapu ke arah batu di mana Lahambalang berdiri. Lelaki ini terpental dari atas batu lalu jatuh berguling-guling ke kaki bukit. Untuk beberapa lamanya hawa dingin masih menyungkup sekitar batu besar, di dekat mana sosok mayat Luhmintari berada.

Demikian dingin dan anehnya hawa yang turun dari atas langit itu, semua benda cair yang ada di tempat itu menjadi beku. Semua benda keras menjadi tegang kaku berubah bentuk menjadi kelabu kehitaman. Selagi hawa dingin luar biasa membuncah begitu rupa tiba-tiba ada satu benda biru meluncur dari langit sebelah selatan. Benda ini berputar-putar beberapa kali di atas bukit batu sebelum melayang turun mendekati batu besar di mana sebelumnya Lahambalang tegak meneriakkan sumpah dan kutuknya.

"Wahai…" benda biru itu mengeluarkan suara. Ternyata dia adalah sosok Peri Bunda yang mengenakan pakaian sutera biru panjang menjela dan menebar bau harum semerbak. Mahkota kecil ditaburi batu-batu permata di atas kepalanya memantulkan sinar berkilauan. Wajah jelita sang Peri kelihatan berubah ketika dia menatap ke arah batu besar dan memperhatikan sosok perempuan yang ada di belakang batu.

"Wahai… Jangan-jangan para Peri telah keliru dan terlambat menurunkan Hawa Dingin Pembendung Bala itu. Lahambalang lenyap. Yang ada hanya jenazah istrinya. Dan…"

Belum habis Peri Bunda mengucapkan suara hatinya itu tiba-tiba dari langit sebelah timur, di bawah terik silaunya sinar matahari, menukik sebuah benda berwarna putih disertai suara menguik panjang dan suara kepakan yang menimbulkan sambaran angin keras. Peri Bunda segera palingkan kepalanya.

Benda putih yang melayang turun itu adalah seekor angsa putih raksasa. Di atas punggung binatang ini duduk seorang dara berpakaian putih. Keharuman tubuh dan pakaiannya telah menebar ke Seantero tempat walau dia masih puluhan tombak di atas sana. Dialah Peri tercantik di Negeri Atas Langit yang memiliki sepasang mata biru.

"Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan, untung aku lekas menemuimu!" berkata Peri Angsa Putih dari atas punggung Laeputih angsa tunggangannya.

"Wahai Peri Angsa Putih, kulihat kau seperti terburu-buru. Wajahmu agak pucat. Gerangan apakah hingga kau mendadak muncul menyusul aku ke sini selagi aku melakukan tugas menangani satu masalah besar. Apakah kau menaruh syak wasangka kalau-kalau aku turun ke negeri ini untuk menemui pemuda…"

"Wahai Peri Bunda!" Peri Angsa Putih cepat memotong ucapan Peri Bunda. "Ketahuilah, Peri Sesepuh yang memerintahkan aku untuk mencarimu lalu memintamu segera kembali ke Negeri Atas Langit!"

"Hemm… Begitu? Gerangan apa sebab musababnya maka Peri Sesepuh berlaku begitu padahal dia juga yang memberi perintah agar aku turun ke sini?"

"Telah terjadi sesuatu di Negeri Atas Langit!" jawab Peri Angsa Putih.

"Telah terjadi sesuatu? Apa maksudmu Peri Angsa Putih?"

"Negeri dilanda musibah besar. Satu penyakit kulit menyerang semua penghuni Negeri Atas Langit! Lihat kulitku…" Peri Angsa Putih ulurkan dua tangannya.

Ketika Peri Bunda memperhatikan terkejutlah dia. Dua lengan Peri Angsa Putih penuh dengan bercak-bercak putih berair. "Gelembung Air…" desis Peri Bunda dengan muka pucat. Dia menatap paras Peri Angsa Putih sesaat.

"Ada apa, Peri Bunda?" tanya Peri Angsa Putih tidak enak.

"Wajahmu… Gelembung Air itu juga ada pada wajahmu!"

Peri Angsa Putih terpekik mendengar ucapan Peri Bunda dan segera usapkan dua tangannya ke wajahnya yang cantik. Dia merasakan, pada wajahnya yang sebelumnya mulus itu kini ada gelembung-gelembung kecil berair.

Peri Bunda tak sengaja perhatikan pula lengannya yang tersembul dari balik pakaian birunya lalu terpekik ketika melihat gelembung-gelembung kecil itu juga ada pada tangannya!

Selama dua tahun para Peri di Negeri Atas Langit dengan berbagai cara dan bantuan beberapa orang pandai akhirnya mampu melenyapkan penyakit kulit menular yang menyerang. Semua Peri berhasil disembuhkan tanpa meninggalkan cacat di tubuh serta wajah masing-masing.

Namun hawa dingin aneh yang menyungkup kawasan bukit batu tak dapat dilenyapkan dan menyebabkan tempat itu menjadi satu kawasan mengandung rahasia yang hanya bisa diawasi oleh Peri dari kejauhan.

********************

Puluhan tahun berlalu setelah peristiwa Lahambalang melempar bayinya dan terjadinya kegegeran di Negeri Atas Langit...

Di tikungan sungai yang penuh dengan semak belukar, hampir tersamar mendekam seorang berpakaian serba hitam. Wajahnya dilumuri lumpur dan diberi jelaga hitam. Dari keseluruhan mukanya hanya bagian sekitar sepasang bola matanya saja yang masih kelihatan putih. Orang ini tidak putus-putusnya memandang ke arah rimba belantara di depannya.

"Seharian lebih aku berada di sini. Kakek itu masih belum kelihatan. Kalau aku menyelidik ke dalam hutan mungkin aku akan menemuinya. Tapi berarti gadis yang kuperkirakan akan lewat di tempat ini tidak dapat kutemui. Dua orang itu sama-sama pentingnya. Aku harus mengambil keputusan…"

Di dalam hutan suara kicau burung tiba-tiba berhenti dan lenyap. Orang di balik semak belukar memasang telinga dan kembali menatap tajam ke arah depan. Dia berusaha tenang namun tak dapat menahan debar dadanya ketika di depan sana dia melihat satu bayangan putih berkelebat laksana angin, bergerak sejajar dengan tepian sungai.

Tanpa menunggu lebih lama orang di balik semak belukar ini segera melesat keluar. Di lain saat dia telah berada dekat sebuah pohon besar, siap memotong lari orang berjubah putih. Melihat ada orang tak dikenal, berpakaian dan bermuka hitam menghadang jalannya, si jubah putih segera hentikan larinya. Kedua orang itu saling memperhatikan dengan perasaan sama-sama heran.

Si jubah putih merasa heran melihat si penghadang yang mukanya dilumuri tanah liat lalu diberi jelaga hitam. Sebaliknya si muka hitam terkesiap karena tidak menyangka orang yang dicarinya selama ini begitu angker penampilannya. Orang berjubah putih di hadapannya itu ternyata adalah seorang kakek yang otaknya terletak diluar kepala, terbungkus oleh sejenis selubung bening hingga dia dapat melihat otak itu bergerak berdenyut menggidikkan!

Untuk beberapa saat lamanya ke dua orang ini tegak tak bergerak dan saling tatap. Di antara mereka agaknya sama-sama sungkan untuk mulai menegur. Namun si kakek berjubah putih, setelah berdehem beberapa kali akhirnya membuka mulut juga.

"Wahai kerabat tak dikenal. Pakaianmu serba hitam pertanda kau seperti dalam satu perkabungan. Wajahmu sengaja dilumuri tanah liat. Lalu diberi jelaga hitam. Pertanda kau tidak ingin dirimu dikenali siapa adanya. Lalu walau jelas-jelas kehadiranmu sengaja menghadangku tapi kau tidak menegur membuka suara. Pertanda ada satu keraguan mengganjal dalam hatimu! Wahai, apakah betul semua ucapanku…?"

Sepasang mata orang bermuka hitam sesaat membesar lalu redup kembali. "Orang tua berotak di luar kepala ini agaknya tajam dalam pandangan dan pandai dalam mengajuk rasa…" Si muka hitam membatin.

"Orang muka hitam, aku hanya bertanya satu kali. Jika kau tak mau menjawab, aku harap kau jangan menghalangi jalanku lebih lama!"

"Orang tua, aku tidak bermaksud jahat…"

"Wahai! Tidak ada yang menuduhmu begitu. Katakan saja apa keinginanmu!"

"Agar kau tidak kesalahan, pertama sekali aku ingin menanyakan apakah engkau kakek sakti yang di Negeri Latanahsilam ini disebut sebagai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"

Si kakek yang otaknya terletak di luar kepala mengangguk membenarkan. Lalu berkata, "Aku sudah mengiyakan dengan anggukan kepala. Sekarang aku balas bertanya. Apakah kau orangnya yang sejak beberapa lama belakangan ini menebar kebaikan dan budi pertolongan dimana-mana? Hingga kau dikenal dengan julukan Si Penolong Budiman? Yang dianggap bahkan dipuja sebagai penolong yang hebat dan luar biasa?"

Si muka hitam terkejut, karena tidak menyangka kakek berjubah putih itu telah mengetahui siapa dirinya. "Wahai, orang-orang memang menggelariku begitu. Padahal aku merasa sangat tidak pantas mendapat julukan itu. Menolong adalah sifat yang terlahir ada dalam setiap diri manusia. Hanya saja masing-masing orang mempunyai cara serta saat sendiri-sendiri untuk mau melakukan pertolongan atau tidak. Lagi pula aku bukanlah seorang hebat dan luar biasa. Sesuatu yang hebat dan luar biasa itu tidak akan bertahan lama. Yang bisa bertahan adalah sesuatu yang serba sederhana dan terbungkus dalam timbang rasa bijaksana…"

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tatap wajah hitam di depannya. Lalu kakek ini sibakkan rambut putih panjang yang menjulai menutupi wajahnya. Seringai tipis muncul di wajahnya.

"Muka hitam, kau pandai bertutur bicara sepandai kau menutupi wajahmu dengan tanah liat dan jelaga hitam. Tapi apakah kau tahu, seorang yang tidak jujur hidupnya hanya mencari celaka?"

"Wahai, kejujuran bukan segala-galanya. Terkadang seseorang memang harus menjadi seekor burung merpati untuk menunjukkan ketulusan hatinya. Tetapi ada kalanya seseorang harus berubah menjadi secerdik ular untuk menyelamatkan dirinya dari orang lain. Jadi jika kau berniat untuk menanyakan siapa diriku, tak banyak yang bisa kuberikan sebagai jawaban. Sejak lama aku mencarimu. Hanya saja baru pada kesempatan ini aku bisa menemuimu. Mohon maaf jika kau tidak berkenan dengan caraku. Sebagai orang yang dijuluki Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, yang tahu sejuta masalah dan punya sejuta jawaban, ada hal yang ingin kutanyakan padamu…"

"Wahai, aku bukan orang yang tahu segala-galanya. Seseorang yang menganggap dirinya tahu segala-gala sama saja dengan mencari bencana. Karena pengetahuannya itu akan menjadi bayang-bayang yang selalu mengejarnya sepanjang hidup…"

"Wahai, aku tidak sependapat dengan ucapanmu," kata Si Penolong Budiman. "Menurutku, baik buruknya Ilmu pengetahuan tergantung bagaimana seseorang mempergunakannya."

Si kakek tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Ucapan-ucapanku hanya untuk menguji. Ternyata dia memang seorang yang jujur polos dan punya sifat berterus terang untuk mengatakan sesuatu yang tidak selalu benar."

"Wahai kerabat muka hitam. Baiklah, aku menunggu apa gerangan yang hendak kau tanyakan padaku."

"Aku tengah mencari seorang bernama Lajundai alias Labahala yang konon kini dianggap sebagai Raja Diraja Segaia Hantu di Negeri Latanahsilam ini dan dijuluki Hantu Muka Dua. Sebelum melakukan pencarian. Ingin kutanyakan padamu. Di luaran aku menyirap kabar bahwa Hantu Muka Dua adalah muridmu. Apakah hal itu benar wahai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"

Si kakek terdiam, usap mukanya lalu gelak mengekeh. "Dunia luar dunia penuh sejuta keanehan. Salah satu di antaranya adalah berita yang kau dengar itu…" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab gelengkan kepala. "Hantu Muka Dua bukan muridku, aku bukan guru Hantu Muka Dua. Tidak pernah aku mengajarkan secuil ilmupun padanya. Bagaimana hal itu tersebar diluaran setelah kuselidiki ternyata adalah ulah perbuatan Hantu Muka Dua sendiri. Dia sengaja menebar kabar dengan maksud tujuan tertentu.

"Wahai, terima kasih kau telah mau memberi keterangan. Jika kelak aku bertemu dengan Hantu Muka Dua, aku tak akan bersikap ragu dan tak ada ganjalan bagiku untuk menghadapinya…"

"Orang muka hitam, dari penampilan dan tutur bicaramu aku melihat ada satu ganjalan hidup yang penuh teka-teki dalam dirimu. Jika kau tidak bisa memecahkannya kau mungkin akan mengakhiri hayat dalam keadaan kecewa penasaran…"

"Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, penglihatanmu, sungguh tajam, perasaanmu sangat dalam. Aku berterima kasih. Apakah kau mungkin memberikan satu petunjuk yang harus kulakukan?"

Kakek yang otaknya berada di luar batok kepala itu merenung sejenak. Lalu dia berkata. "Sebelum matahari tenggelam pergilah ke arah selatan. Jangan berhenti sekalipun kau harus menempuh perjalanan sekian hari sekian malam. Kau baru berhenti jika sampai di satu kawasan bukit batu dimana udara terasa sangat dingin walau sang surya bersinar terik pada siang hari…"

"Jika aku sampai di tempat itu, apa yang harus kulakukan wahai Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"

Si kakek tersenyum. "Tadi kukatakan, aku bukan manusia yang tahu segalanya. Lakukan saja apa yang kukatakan. Sampai di sana mungkin kau akan mendapat petunjuk dari para Dewa…”

“Kalau begitu, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih,” kata Si Penolong Budiman seraya tundukkan kepala dan menjura. Ketika dia angkat kepalanya kembali, kakek jubah putih itu tidak ada lagi dihadapannya.

********************

TIGA

Gagak hitam itu mengeluarkan suara menguik panjang, terbang berputar-putar di atas hutan jati lalu hinggap di cabang rendah sebuah pohon. Makhluk yang sekujur tubuhnya berwarna kuning serta ditumbuhi duri-duri coklat dan hanya mengenakan cawat itu hentikan larinya, memandang ke atas pohon. Orang ini adalah Hantu Jatilandak, manusia yang lahir dalam kutukan para Peri karena ibunya Luhmintari yang merupakan seorang Peri melanggar pantangan, kawin dengan Lahambalang seorang manusia biasa.

"Gagak hitam itu… Wahai, ada yang kurasa aneh," kata Hantu Jatilandak dalam hati. "Sejak pagi tadi ke mana aku pergi di situ dia muncul. Seperti sengaja mengikuti perjalananku. Apa mungkin kakek Tringgiling Liang Batu yang mengirimnya. Tidak boleh jadi. Kakek tak pernah memelihara burung. Wahai, pertanda apa ini sebenarnya?" Pemuda itu memandang berkeliling, menduga-duga dimana dia berada saat itu. "Mungkin aku harus kembali ke pulau. Menemui kakek di hutan Lahitamkelam…"

Gagak hitam di atas pohon kembali keluarkan suara menguik. Lalu binatang ini kepakkan sayapnya, terbang ke pohon lain dan hinggap di salah satu cabang. Dia memandang ke arah Hantu Jatilandak seperti sengaja menunggu. Gerak-gerik burung ini lama-lama membuat Hantu Jatilandak jadi kesal. Dia segera mematahkan satu ranting kecil lalu dilemparkannya ke arah gagak hitam.

Patahan ranting menancap di cabang pohon. kalau gagak hitam tidak lekas bergerak terbang, ranting itu akan menancap tepat di tenggorokannya. Binatang itu terbang dan hinggap di pohon lain. Ternyata dia tidak terbang jauh dan hinggap diam, memandang ke arah Hantu Jatilandak. Dalam kesalnya Hantu Jatilandak sudah punya niat untuk membunuh burung itu dengan duri-duri coklat yang ada di tubuhnya. Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya.

"Kalau kuperhatikan, gagak itu selalu terbang ke satu arah. Ke selatan. Setiap kuusik dia melarikan diri, tapi tidak terbang jauh. Hinggap di pohon, memandang aneh padaku… Kalau saja dia bisa bicara…" Gagak di atas pohon menguik keras. Lalu melesat ke pohon lain. "Terbang lagi… Tetap ke arah selatan…"

kata Hantu Jatilandak sambil memperhatikan. "Jika aku menuju ke pulau berarti arah yang kutempuh adalah arah berlawanan. Ke utara. Akan kucoba lari ke arah utara. Apa yang terjadi…"

Habis berkata begitu Hantu Jatilandak balikkan tubuhnya, pura-pura lari ke jurusan utara. Burung gagak hitam menguik lagi lalu melesat terbang melintas didepan Hantu Jatilandak, demikian terus berulang kali. Ketika akhirnya pemuda bertubuh kuning dengan duri-duri mengerikan itu hentikan larinya, burung gagak tadi melesat ke pohon di sebelah kanan dan hinggap disalah satu cabangnya. Hantu Jatilandak memperhatikan. Ternyata seperti sebelumnya, gagak hitam itu lagi-lagi berada di arah selatan. Kini ada perasaan di hati Hantu Jatilandak bahwa gagak hitam itu bukan burung biasa.

"Ketika aku lari ke utara, burung itu seperti berusaha menghalangi. Kini akan kucoba lari ke selatan…"

Sekali lompat saja Hantu Jatilandak lalu melesat dua tombak, terus lari secepat yang bisa dilakukannya menuju selatan. Di atas sana, gagak hitam tadi ternyata juga terbang ke arah selatan. Malah seperti sengaja berada di sebelah depan, seolah menuntun lari Hantu Jatilandak. Hantu Jatilandak tidak, tahu berapa lama dan berapa jauh dia lari mengikuti gagak hitam itu. Dia baru sadar ketika dua kakinya mendadak terasa berat dan di barat sang surya hampir menggelincir masuk ke titik tenggelamnya.

Memandang ke depan Hantu Jatilandak melihat gagak hitam melayang turun lalu hinggap di atas sebuah batu besar ditempat ketinggian. Hantu Jatilandak memperhatikan berkeliling. Dia dapatkan dirinya berada di satu bukit penuh bebatuan. Ketika dia memandang lagi ke arah ketinggian di depan sana, gagak hitam itu tak kelihatan lagi di atas batu besar! Sementara udara mulai berangsur gelap. Batu-batu besar di sekelilingnya kelihatan seperti berubah aneh dalam kehitaman malam yang segera turun.

"Burung gagak itu lenyap. Benar-benar aneh…" kata Hantu Jatilandak dalam hati.

Saat itulah dia baru menyadari bahwa tempat dimana dia berada diselimuti hawa dingin luar biasa. Tubuhnya yang tanpa pakaian dan penuh keringatan mulai menggigil. Tak ada pepohonan atau semak belukar untuk berlindung dari hawa dingin. Hantu Jatilandak melangkah mendekati sebuah batu besar. Dalam gelap dia melihat ada sedikit cegukan pada batu itu. Mungkin dia bisa berlindung di cegukan tersebut. Hantu Jatilandak hampiri batu besar itu lalu sandarkan punggungnya.

"Apa yang harus kulakukan di tempat ini? Burung gagak hitam itu lenyap entah kemana. Petunjuk apa yang sebenarnya hendak diberikan binatang itu. Apa aku harus terus berada di sini, menunggu sampai pagi?"

Hantu Jatilandak rangkapkan dua tangan di depan dada menahan dingin yang amat sangat. Sambil berpikir-pikir Hantu Jatilandak ulurkan kepalanya sedikit, memandang berkeliling. Dia dapati ternyata di samping kiri ada sebuah batu yang dalam gelap bentuk dan besarnya menyerupai sosok manusia. Hantu Jatilandak ulurkan tangannya mengusap bagian batu yang menghadap kearahnya.

Dia tersentak kaget tapi juga gembira karena ketika tangannya menyentuh batu ada hawa hangat menjalar masuk ke dalam tubuhnya hingga dia tidak kedinginan dan menggigil seperti tadi. Dari hanya memegang bagian belakang batu itu Hantu Jatilandak alihkan pegangannya ke depan. Jari-jarinya mengusap-usap kian kemari. Baru dia menyadari kalau jari-jarinya bukan seperti menyentuh batu yang keras dan kasar, tetapi seolah mengusap sosok tubuh manusia benaran, halus dan lembut!

Pemuda bersosok aneh itu terus mengusap bagian depan batu. Usapannya naik ke atas. Mendadak dia jadi tersentak ketika jarijarinya terasa basah oleh cairan hangat. Hantu Jatilandak bergerak keluar dari dalam cegukan batu besar. Ketika dia memperhatikan batu yang tadi diusap-usapnya itu terkejutlah dia karena batu itu berbentuk satu sosok patung perempuan berambut terurai.

"Wahai siapa yang membuat patung begini bagus. Halus… benar-benar menyerupai manusia hidup. Aneh! Bagaimana patung ini bisa berada di tempat ini? Mungkin ada seorang pemahat yang tengah mengerjakan pembuatan patung ini pada siang hari. Kalau malam dia pergi untuk istirahat. Tak bisa jadi. Patung ini benar-benar sudah rampung. Bagus dan sangat halus buatannya…"

Hantu Jatilandak ingat pada cairan hangat yang tersentuh jari-jari tangannya. Ketika dia memperhatikan wajah patung itu kaget Hantu Jatilandak bukan kepalang. Ternyata cairan hangat itu keluar dari dua mata patung. Seolah tetesan-tetesan air mata.

"Patung menangis…" desis Hantu Jatilandak. "Bagaimana mungkin… Apa arti semua keanehan ini. Bermula dari burung gagak hitam itu. Lalu sekarang patung ini…" Hantu Jatilandak pegang wajah patung itu dengan dua tangannya. "Benar-benar cantik…" katanya. Lalu anehnya tetesan air mata semakin banyak keluar dari sepasang mata patung.

"Aku harus menunggu sampai pagi! Kalau patung ini memang sedang dikerjakan seseorang, besok pasti aku akan bertemu dengan pemahatnya. Kalau tidak, mungkin aku akan menemukan keanehan lain atau satu petunjuk…"

Baru saja Hantu Jatilandak selesai berucap tiba-tiba entah dari mana datangnya, seolah dari kejauhan bergema satu suara halus. Suara perempuan.

"Wahai anak manusia, kau mengadakan perjalanan siang malam sejauh ini. Di matamu yang kuning terpancar satu ganjalan hati yang selama ini membayangimu kemana kau pergi. Hal apakah yang menjadi onak dan duri dalam hati sanubarimu?"

"Siapa yang barusan bicara?!" kata Hantu Jatilandak setengah berseru. Dia memandang berkeliling menembus kegelapan. Lalu pandangannya tertuju kembali pada patung perempuan cantik di hadapannya. Diperhatikannya mulut patung. Tak ada perubahan, apa lagi bergerak. Tengkuk Hantu Jatilandak terasa merinding.

"Wahai anak malang. Kau tak bersedia menjawab. Tak jadi apa…"

"Tunggu dulu!" kata Hantu Jatilandak. "Dengan siapa aku bicara? Siapa yang bicara dengan diriku! Bagaimana aku bisa bicara dengan seseorang yang tak bisa kulihat!"

"Anak malang, kau bicara dengan hati nuranimu sendiri. Selama kau tidak mau berterus terang dengan dirimu sendiri maka ganjalan hidup akan tetap mendekam dalam dirimu…"

"Wahai, baik… aku bicara. Aku anak manusia yang tidak tahu siapa ayah dan siapa ibuku! Bertahun-tahun aku coba memecahkan teka-teki, mencari tahu siapa mereka adanya dan dimana mereka berada. Tapi sia-sia belaka…"

"Anak malang, kau harus segera meninggalkan tempat ini…" kata suara di kejauhan. Hantu Jatilandak perhatikan mulut patung. Ternyata memang tidak bergerak.

"Tidak, aku akan menunggu sampai pagi. Aku ingin melihat kecantikan dan kemulusan patung ini di bawah sapuan sinar matahari…"

"Wahai anak malang…"

"Kau terus-terusan menyebutku anak malang. Apakah kau mengetahui seluk beluk rahasia diriku?" Hantu Jatilandak bertanya.

"Tak akan kujawab pertanyaanmu wahai anak malang. Karena jawabnya ada dalam dirimu sendiri. Satu hal aku minta padamu, jangan berlama-lama berada di tempat ini. Sesuatu tidak terduga bisa saja terjadi. Sekarang juga tinggalkan tempat ini. Pergilah ke Negeri Latanahtembikar. Temui Kepala Negeri yang bernama Latrubus. Orang ini dulunya bernama Lahambalang. Dialah ayahmu. Jika dia tidak mengakui dirimu sebagai puteranya karena ragu tidak percaya, temuilah seorang nenek dukun beranak bernama Luhumuntu di Negeri Latanahsilam. Dialah satu-satunya saksi yang mengetahui siapa dirimu. Bawa perempuan tua kehadapan Kepala Negeri Latanahtembikar agar lenyap segala keraguan..."

Hantu Jatilandak serasa tidak percaya mendengar ucapan orang yang tak kelihatan itu. Dia memandang berkeliling lalu mendongak ke langit. "Wahai, sungguh ini satu berita yang mengejutkan. Hatiku gembira luar biasa. Namun…"

"Jangan membuat keraguan dalam dirimu sendiri wahai anak malang. Pergilah segera. Semoga Dewa memberkatimu…"

Hantu Jatilandak menyeringai mendengar ucapan terakhir itu. Dia memandang ke arah kegelapan.

"Wajahmu menandakan ada yang tidak berkenan di hatimu. Kau mengalihkan muka ke jurusan lain pertanda ada kekecewaan dalam dirimu. Wahai, jelaskan padaku sebelum kau pergi. Gerangan apa yang kau rasakan saat ini?"

"Kesengsaraan hidup yang aku alami saat ini justru karena kutuk Para Dewa dan Para Peri. Apakah mungkin aku mengharapkan berkah dari para Dewa?"

"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu karena jawabnya ada dalam dirimu sendiri. Sekarang pergilah wahai anak malang. Waktumu hampir habis…"

"Aku ingin menolong seorang sahabat. Dia juga tidak mengetahui siapa dan dimana ayah bundanya. Namanya Luhcinta. Apakah kau bisa menolong memberi petunjuk?"

"Menolong orang lain adalah sangat baik, apa lagi dilakukan dengan hati bersih. Tetapi jika hal itu berada di luar jangkauan kita mengapa harus mempersulit diri sementara diri sendiri diselubungi berbagai kesulitan? Berkah para Dewa juga akan turun pada diri sahabatmu itu. Dia kelak akan mengetahui siapa ibu dan ayahnya. Wahai jangan berada lebih lama di tempat ini. Pergilah. Aku melihat tanda-tanda kurang baik…"

Hantu Jatilandak pandangi patung batu di hadapannya. Suara itu memang datang dari kejauhan dan mulut patung sejak tadi diperhatikannya sedikitpun tidak bergerak. Tapi ada rasa percaya dalam diri pemuda ini bahwa yang barusan bicara padanya adalah patung perempuan itu.

"Aku akan menguji…" kata Hantu Jatilandak dalam hati. Lalu dengan hati-hati dia tempelkan pipinya yang berduri ke pipi patung perempuan itu seraya berbisik. "Patung batu, kau bukan saja cantik tetapi juga baik. Aku tidak menganggapmu patung. Bagiku kau adalah manusia hidup. Jika saja aku memang pernah punya ibu, aku ingin ibuku secantik dan sebaik dirimu. Aku pergi sekarang. Selamat tinggal. Jika ada kesempatan aku pasti akan menemuimu lagi di tempat ini…"

Sekonyong-konyong ada detak aneh di bagian dada patung. Lalu dari dua mata patung itu mengalir deras tetesan air mata. Sepasang mata Hantu Jatilandak membesar

"Berarti… wahai! Berarti dia mendengar, paling tidak patung ini mengerti apa yang aku ucapkan. Aku yakin dia juga tadi yang bicara secara aneh padaku…"

Baru saja Hantu Jatilandak selesai membatin tiba-tiba dalam gelapnya malam terdengar dua suara tawa bergelak. Satu suara tawa lelaki, satunya lagi suara tawa perempuan.

"Manusia buruk rupa! Tidak bisa bercinta dengan manusia, melampiaskan nafsu berpeluk-pelukan dengan patung batu! Ha ha ha!"

********************

EMPAT

Kita tinggalkan sementara Hantu Jatilandak dan patung menangis di bukit berbatu-batu itu. Kita ikuti dulu perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng dan dua temannya yaitu si bocah konyol Naga Kuning dan kakek bau pesing Si Setan Ngompol. Pemilik perahu bertubuh gemuk buntak itu lambaikan tangannya pada tiga orang yang berada di tepi sungai.

"Aku tahu kalian hendak ke Latanahsilam. Perjalanan cukup jauh dari sini. Jika ada perahu mengapa mau berlelahlelah berjalan kaki? Dengan perahu kalian bisa sampai lebih cepat!"

"Bagaimana kerbau buntak itu tahu kita hendak ke Latanahsilam," tanya Wiro pada dua temannya, Naga Kuning dan Si Setan Ngompol.

Di atas perahu si gemuk kembali berseru. "Aku pernah melihat kalian bertiga di Negeri Latanahsilam. Bukankah kalian orang-orang gagah yang kabarnya datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang? Wahai, jika kalian mau naik perahuku biar tidak dibayarpun aku mau! Aku merasa bangga bisa membawa orang-orang hebat seperti kalian…"

"Kalau tidak bayar memang lumayan juga!" kata Naga Kuning.

"Dengan naik perahu bisa mengurangi kencingku.

Berarti menghemat air yang ada dalam tubuhku!" kata Si Setan Ngompol sambil senyum-senyum. Lalu bersama Naga Kuning dia mendahului naik ke atas perahu. Wiro masih tegak di tepi sungai. Memperhatikan pemilik perahu itu sejenak.

"Hai! Kau memilih jalan kaki atau bagaimana?!" seru Naga Kuning.

Akhirnya Pendekar 212 menyusul masuk ke dalam perahu. Sepanjang perjalanan pemilik perahu yang mengaku bernama Labuntalan itu tidak henti-hentinya berceloteh. Menurutnya orang senegeri Latanahsilam mulai mengenal Wiro dan kawan-kawannya sejak tubuh mereka masih merupakan sosok-sosok katai.

"Orang di Latanahsilam mulai mengenal kalian bertiga setelah terjadi Bakucarok, perkelahian hidup mati antara Lahopeng dengan Lakasipodi tanah lapang," kata Labuntalan pula. (Baca Serial Wiro Sableng berjudul Bola-Bola Iblis)

Sambil bercerita pemilik perahu itu terus saja mendayung. Diam-diam Wiro memperhatikan. Sekali dayungnya dikayuh perahu melesat sampai beberapa tombak ke depan. Padahal saat itu mereka melawan arus. Murid Eyang Sinto Gendeng mempunyai kesan bahwa Labuntalan mengayuh perahunya bukan cuma mengandalkan tenaga kasar dan tenaga luar.

"Agaknya si gendut satu ini memiliki tenaga dalam tidak rendah. Aku menaruh curiga jangan-jangan dia bukan tukang penyewa perahu biasa. Setahuku orang di Negeri Latanahsilam pelit-pelit. Adalah aneh kalau dia mau-mauan mengantar sejauh ini ke Latanahsilam tidak usah dibayar. Aku harus mengetahui siapa dia sebenarnya. Aku akan menguji…"

Diam-diam Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam lalu dialirkan ke sebelah bawah tubuhnya. Perahu yang sedang meluncur laju itu perlahan-lahan bergerak turun ke bawah seolah beban yang dibawanya bertambah berat ratusan kati. Sewaktu air sungai hampir mencapai pinggiran perahu baru Naga Kuning dan Si Setan Ngompol menyadari dan sama terkejut.

Namun Wiro cepat memberi tanda. Dia terus memperhatikan si gemuk yang mendayung perahu. Walau perahu itu menjadi sangat berat dan daya luncurnya tertahan namun Labuntalan terus saja mendayung seolah tidak terjadi apa-apa. Kini kecurigaan Pendekar 212 jadi bertambah besar. Saat itu di depan mereka tampak meluncur perlahan sebuah perahu, didayung oleh seorang perempuan. Karena orang ini membelakangi maka wajahnya tidak kelihatan.

"Labuntalan, harap kau suka menepikan perahu," kata Wiro.

"Wahai, ada apa? Kita masih jauh dari tujuan!" ujar pemilik perahu seraya mengayuh lebih kuat hingga perahunya meluncur mendekati perahu di sebelah depan.

"Kami ada keperluan sebentar. Kakek temanku ini kepingin kencing! Kecuali kalau kau membolehkan dia beser di atas perahumu!" kata Naga Kuning pula.

Pada saat perahu yang ditumpangi Wiro berjajar dengan perahu di depannya, perempuan yang mendayung palingkan kepala. Ternyata dia adalah seorang perempuan tua berdandan mencorong. Selagi Wiro dan Naga Kuning rasa-rasa pernah melihat nenek itu, Si Setan Ngompol sudah lebih dulu berseru seraya lambaikan tangan.

"Luhlampiri!"

Si nenek di atas perahu balas melambaikan tangan disertai lontaran senyum yang membuat Si Setan Ngompol jadi belingsatan lupa diri. Langsung saja dia berdiri di atas perahu hingga perahu yang masih berat oleh tenaga dalam Wiro itu bergoyang kian kemari. Air sungai masuk ke dalam perahu.

Si kakek seolah tidak acuh, terus saja lambai-lambaikan tangannya kegirangan. Sebenarnya jika Setan Ngompol mengerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sekalipun dia berjingkrak-jingkrak, perahu itu tidak akan bergoyang sedikitpun.

"Kek, kau mabok atau kesurupan melihat nenek mencorong itu!" berkata Naga Kuning.

"Kurasa mabok belum, kesurupan juga tidak. Tapi kegatalan!" menjawab Pendekar 212.

Si Setan Ngompol tidak perdulikan ejekan dua sahabatnya itu. Sambil terus melambaikan tangan dan senyum-senyum dia berkata. "Luhlampiri, nenek cantik bertubuh montok! Kucari-cari belum sempat bertemu. Tahu-tahu kini kau muncul sendiri seolah diantar malaikat! Bukan main. Kau tambah cantik saja. Kulitmu tambah putih, seperti berkilau!" Si kakek leletkan lidahnya sambil geleng-geleng kepala. Matanya yang jereng berputar-putar.

"Wahai kakek gagah dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang! Apa kau tega membiarkan aku kedinginan seorang diri dalam perahu ini?"

"Wahai! Mana tahan aku mendengar ucapanmu sahabatku cantik!" Si Setan Ngompol kedipkan matanya lalu berpaling pada Wiro dan Naga Kuning. "Rejeki besar ini tidak boleh dilewatkan. Kawan-kawan aku terpaksa meninggalkan kalian. Aku mau pindah perahu! Berdempet-dempet dengan kalian di perahu ini gerah rasanya! Dari pada semaput lebih baik aku pindah ke perahu nenek cantik itu!"

"Kakek sialan…" memaki Naga Kuning.

Si Setan Ngompol siap hendak melompat. Tapi celananya digaet jari-jari Naga Kuning hingga merosot ke bawah. Kalau tidak lekas kakek ini pegangi celananya, auratnya akan tersingkap jelas depan belakang. Di seberang sana si nenek tertawa cekikikan melihat kejadian itu.

"Anak kurang ajar! Kau mau kutendang?!" sentak Si Setan Ngompol sambil menahan kencingnya.

"Kek, apa kau lupa ucapan Lakasipo?!" Wiro cepat menegur.

"Weh! Ucapannya yang mana?!" tanya si kakek.

"Lakasipo pernah menerangkan. Nenek itu pernah kawin dengan… entah sepuluh entah selusin laki-laki. Semua suaminya menemui ajal! Kau mau ikut-ikutan mati?!"

"Anak tolol! Memangnya aku mau kawin sama nenek itu?!" ujar Setan Ngompol seraya pegangi bagian bawah perutnya.

"Kawin betulan memang belum tentu. Tapi kalau ketelanjuran kawin-kawinan berarti kau memang sengaja mencari penyakit…"

"Kalian berdua masih muda-muda tahu apa. Penyakit itu ada dua macam tahu! Pertama penyakit yang benar-benar sakit. Ke dua penyakit sakit-sakit enak. Nah aku mau mendapatkan penyakit yang sakit-sakit enak itu! Aku tahu kalian berdua ngiri! Jangan khawatir dua sobatku. Nenek itu tak mungkin hamil! Ha ha ha!"

Setan Ngompol tertawa bergelak. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia melompat. Tubuhnya melayang di udara, masuk ke dalam perahu yang ditumpangi si nenek.

"Tua bangka edan! Namanya saja Luhlampiri. Masih saudara dengan Nenek Lampir tukang cekik. Kalau sudah dicekik lehernya atas bawah baru kakek geblek itu tahu rasa!" Naga Kuning memaki panjang pendek.

Begitu masuk di dalam perahu, Si Setan Ngompol segera mengambil pendayung dari tangan Luhlampiri. Keduanya bicara sambil tertawa-tawa seolah sudah akrab dan kenal lama. Tiba-tiba perahu itu berbalik berputar arah.

"Eh, mau kemana mereka?!" ujar Wiro keheranan.

"Mereka agaknya tak mau searah dengan kita…" ucap Naga Kuning.

Ketika berpapasan Si Setan Ngompol tempelkan dua jari tangan kanannya di bibir lalu dilayangkan ke depan. "Silahkan meneruskan perjalanan. Tunggu aku di Latanahsilam. Aku mau mencari penyakit enak-enak! Ha ha ha!"

"Benar-benar kakek geblek!" sungut Wiro. "Biarkan saja! Kalau belum kena batunya dia belum kapok! Biar kita meneruskan perjalanan ke Latanahsilam…" Wiro berpaling ke haluan. "Astaga! Si gendut itu lenyap!"

Naga Kuning kaget besar. Dia memutar kepala. Pemilik perahu bernama Labuntalan yang tadi duduk di sebelah belakang mereka tak ada lagi di atas perahu. Pendayung juga ikut lenyap. Sementara itu perahu perlahan-lahan miring ke samping. Air masuk dari lamping sebelah kanan.

"Dinding perahu berlobang besar!" ujar Pendekar 212 sambil meraba dengan kaki kanannya.

"Pasti ini pekerjaan si gendut celaka itu!"

"Aku memang sudah curiga sebelumnya! Tak bisa kuduga siapa dia sebenarnya! Naga Kuning, kita harus segera tinggalkan perahu ini sebelum karam. Sungai ini cukup dalam!"

Wiro dan Naga Kuning kerahkan ilmu meringankan tubuh. Pada saat perahu itu amblas karam ke dalam sungai ke duanya telah melesat di udara, melompat ke tebing sungai.

"Naga Kuning, dengar. Kalau si gendut pemilik perahu itu musuh dalam selimut, aku khawatir jangan-jangan nenek berdandan mencorong itu sama belangnya! Berarti sahabat kita Si Setan Ngompol berada dalam bahaya!"

"Bahaya apa?!" sungut Naga Kuning. "Saat ini jangan-jangan dia sudah mendapatkan penyakit enak-enak itu! Aku tahu betul kelakuan si kakek itu! Pasti sudah dilakukannya-di atas perahu!"

"Aku tidak perduli apa yang dilakukannya! Yang aku khawatirkan nyawanya saat ini tengah terancam! Kita harus mengejarnya!"

"Kita tak punya perahu!"

"Kita mengejar dengan berlari sepanjang tepian sungai!" kata Wiro lalu tidak perdulikan Naga Kuning dia segera lari ke arah lenyapnya Si Setan Ngompol dan Luhlampiri.

Naga Kuning banting-banting kaki kesal. Sebelumnya dia sudah punya rencana begitu sampai di Latanahsilam dia akan segera mencari gadis cantik bernama Luhkimkim yang selalu dikenangnya itu.

********************

LIMA

Diatas perahu pembicaraan antara Si Setan Ngompol dan si nenek bernama Luhlampiri berlangsung meriah. Sesekali diseling gelak tawa. Sikap nenek yang genit membuat Setan Ngompol jadi berani. Tangannya merangkul kian kemari. Hidungnya menciumi wajah si nenek yang berdandan mencorong hingga muka Setan Ngompol berselomotan bedak dan gincu.

Ketika Setan Ngompol hendak menyelinapkan tangannya ke balik kain si nenek, Luhlampiri tertawa cekikikan dan menggeser duduknya menjauhi si kakek tapi ke dua kakinya sengaja diangkat demikian rupa hingga tersingkap mulai dari lutut ke atas. Walau sudah tua ternyata sepasang paha si nenek masih kencang dan putih mulus. Melihat sikap si nenek yang jelas-jelas mengundang hampir saja Setan Ngompol hendak melompati nenek itu.

"Di hutan di tepi sungai sana, ada satu pondokan. Aku sudah lama tidak ke sana. Tempatnya bersih. Agaknya sekali ini bersamamu aku ingin sekali menginap paling tidak tujuh hari tujuh malam! Bagaimana pendapatmu wahai kakek gagah?" Luhlampiri kedipkan matanya dan lontarkan senyum genit.

Sepasang mata jereng Setan Ngompol membuka lebar dan berputar-putar. Nafasnya belum apa-apa sudah memburu dan darahnya menjadi panas. "Jangankan tujuh hari tujuh malam! Tujuh ratus hari tujuh ratus malampun aku mau mendekam di pondok itu bersamamu!"

"Hik hik hik!" Luhlampiri tertawa cekikikan. "Sejak pertama kali aku melihatmu di Tanahsilam dulu, aku sudah menduga kaulah lelaki idaman menjadi kawan hidupku untuk selama-lamanya! Ternyata dugaanku tidak meleset!"

"Dan kau adalah nenek cantik montok. Kau akan kujadikan panutan hati, ganjalan kekasih hidupku siang dan malam…"

"Hik hik hik... Kau kakek nakal! Masakan aku akan kau jadikan ganjalan? Memangnya mau diganjal bagaimana?!" tanya Luhlampiri lalu digigitnya telinga kiri Si Setan Ngompol yang lebar hingga kakek ini menjerit kesakitan dan balas menggigit dada si nenek. Ke duanya lalu tertawa ha-ha-hi-hi. "Kakek gagah kekasihku, lekas dayung dan bawa perahu ke tepi sana…"

Setan Ngompol segera mendayung perahu menuju tepi sungai. Di satu tempat begitu perahu berhenti sepasang kakek nenek ini segera naik ke darat. Tak jauh berjalan memasuki rimba belantara sampailah mereka ke sebuah pondok kayu. Dari keadaan kayu serta bersihnya pondok agaknya bangunan itu belum lama didirikan.

"Aku malu mengatakan," kata Luhlampiri sambil mendorong pintu pondok. "Sebenarnya pondok ini sudah lama kusiapkan, sengaja untuk kita berdua. Begitu lama aku menunggu kau, baru hari ini bertemu dan membawamu ke sini. Aku benar-benar tersiksa dalam kerinduan…"

"Aku tidak tahu begitu besar perhatianmu terhadapku, Luhlampiri…" kata Setan Ngompol seraya peluk nenek itu penuh gairah.

Tanpa menutup pintu si nenek langsung saja melangkah ke satu ranjang kayu di sudut kanan pondok. Dia tegak di samping ranjang, berbalik dan memandang pada Setan Ngompol.

"Tidakkah kau ingin membuka pakaianmu wahai kakek gagah kekasihku?"

"Aku…" ditantang begitu rupa Setan Ngompol jadi kikuk dan terkencing. "Aku justru ingin kau membuka pakaian lebih dulu…"

"Kau orang tua nakal! Maunya untung dan senang sendiri!" kata Luhlampiri. "Tapi tak apa. Kau kekasihku dan aku suka padamu. Demimu apapun akan kulakukan!"

Lalu dengan cepat si nenek buka bajunya yang terbuat dari kulit kayu kering dan lembut itu. Si Setan Ngompol jadi panas dingin. Matanya dipentang tak berkesip. Sebentar lagi dia akan menyaksikan satu tubuh putih montok yang selama ini diimpi-impikannya. Tapi apa yang terjadi kemudian justru tidak seperti yang diduga Si kakek!

Begitu pakaian si nenek terbuka, ternyata di bawah pakaian itu dia masih mengenakan pakaian lain berwarna warni. Tak ada kulit putih dan dada montok yang terlihat. Malah satu pemandangan lain membuat Setan Ngompol kaget tercekat. Setelah membuka baju luarnya kelihatanlah kini, ternyata si nenek memiliki dua tangan palsu yang terbuat dari besi yang sudah karatan mulai dari bahu sampai ke ujung-ujung jari!

"Wahai kekasihku, kulihat mukamu berubah! Ada apakah?!" Luhlampiri bertanya sambil tersenyum. "Ingin sekali aku merangkul tubuhmu dengan dua tanganku ini!"

Si nenek angkat ke dua tangannya. Jari-jarinya runcing tajam seperti mata pisau. Setan Ngompol cepat mundur dan terkencing! Dia memperhatikan sepasang kaki si nenek. Baru disadarinya kalau kaki itu pendek sebelah! Berdebar dada Setan Ngompol.

"Aneh! Waktu di atas perahu kau terus menerus memelukku. Tanganmu menggerayang kian kemari. Sekarang kau seperti ketakutan. Wajahmu pucat. Malah kau mundur menjauhiku! Wahai kekasihku kakek gagah. Hik hik hik! Mengapa kau berubah kaku…?!"

"Luhlampiri… Aku tidak menyangka… Apa yang terjadi dengan ke dua tanganmu?!" tanya Setan Ngompol.

"Kau tidak menyangka…? Wahai! Coba kau perhatikan ini! Kau pasti lebih tidak menyangka!"

Tangan besi sebelah kiri si nenek bergerak ke mukanya.

"Breeettt!"

Satu topeng tipis terbuat dari daun kering robek dan tanggal dari wajah si nenek. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Satu wajah perempuan tua berkumis halus dan ada anting-anting besar mencantel di kedua telinganya.

Kejut Setan Ngompol bukan alang kepalang. Mata jerengnya mendelik besar. Lututnya goyah dan mukanya sepucat kain kafan! Kencingnya mancur membasahi lantai pondok.

"Nenek Pembedol Usus" mulut Si Setan Ngompol bergetar mengucap nama orang yang tegak di depannya sambil bertolak pinggang dan tertawa cekikikan. Tenggorokannya seolah menenggak batu panas!

"Kau memang kekasihku tercinta! Buktinya kau masih ingat siapa diriku! Hik hik hik!"

Si nenek yang tadinya menyaru sebagai Luhlampiri ternyata adalah anak buah Hantu Muka Dua yang dikenal dengan julukan Nenek Pembedol Usus.

"Saat ini, apakah kau masih ingin melihat tubuhku wahai makhluk berasal dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang?"

Setan Ngompol tak menjawab. Dia hanya tegak dengan mata jereng melotot. Kencingnya mengucur tak berkeputusan.

"Hik hik hik! Untuk orang yang akan segera mampus biar aku memberikan satu hadiah besar. Semoga kau bisa menemui ajal sambil ketawa! Hik hik hik!" Si nenek lalu robek dada pakaiannya. Dadanya yang besar tapi peot memberojol keluar bergundal-gundil! "Buka matamu lebar-lebar! Puaskan hatimu melihat tubuhku! Hik hik hik!"

Si nenek lalu berhenti tertawa. Mukanya berubah garang. "Setan Ngompol! Aku akan membuat bukan cuma air kencing yang mengucur dari tubuhmu! Tapi juga darahmu! Ingat peristiwa di sumur melintang beberapa waktu lalu? Waktu terjadi pertempuran kau mengencingi dua tanganku hingga tidak bisa kembali ke asalnya! Hik hik hik! Dua tanganku boleh musnah! Tapi kemampuanku membedol usus manusia tidak pernah lenyap walau kini aku hanya memiliki sepasang tangan palsu! Hik hik hik! Apa kau sudah puas melihat dadaku?!"

Mengenai peristiwa perkelahian Setan Ngompol dengan Nenek Pembedol Usus silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul Hantu Muka Dua

Kalau tadi Si Setan Ngompol memang kecut karena kaget, kini keberaniannya muncul, walau otak kotor masih melekat dikepalanya.

"Perempuan tua, siapapun kau adanya! Peristiwa lama mengapa harus diingat! Semua terjadi karena kau mengambil langkah keliru hingga sempat diperalat orang lain…"

"Tua bangka keparat! Siapa yang memperalat diriku?!" sentak Nenek Pembedol Usus.

"Jangan mencari dalih! Bukankah kau diperalat oleh Hantu Muka Dua? Kalau saat ini kau mau insaf bukankah sebaiknya kita melanjutkan kemesraan sejak di perahu tadi? Aku tidak menampik kalau kau suka…"

Nenek Pembedol Usus meludah ke tanah. "Tua bangka berotak kotor! Baik, aku setuju kita melanjutkan kemesraan. Sekarang biar kau rasakan bagaimana sedapnya kalau auratmu kuusap dengan tangan besi ini!" Didahului suara tawa mengikik Nenek Pembedol Usus melompat ke depan.

"Wuttt!" Tangan besinya menyambar kebawah perut si kakek. Setan Ngompol berseru kaget.

"Breeett!" Celana Si Setan Ngompol yakni celana baru hasil rampasan dari Hantu Muka Dua (baca serial Wiro Sableng berjudul Rahasia Kincir Hantu) robek besar di bagian bawah pusarnya. Walau air kencingnya muncrat kemana-mana namun si kakek masih sempat melompat selamatkan diri.

"Nenek tolol! Jelek-jelek begini tidak semua perempuan aku suka! Kuberi kesempatan untuk bermesra kau malah minta disuguhkan racun! Kalau kuhancurkan dua payudaramu yang peot itu apa kau kira bisa diganti dengan payudara palsu seperti sepasang tanganmu itu?! Ha ha ha!"

Mendengar ejekan Setan Ngompol meledaklah amarah si nenek. Didahului teriakan keras dia melompat kirimkan serangan. Si kakek sambut gebrakan lawan dengan jurus Setan Ngompol Mengencingi Langit. Satu gelombang angin menebar hawa lembab dan bau pesing menghantam si nenek. Membuat tubuh Nenek Pembedol Usus terdorong dan tangan kanannya yang dipakai menyerang terbanting ke kanan.

Namun hebatnya dengan membuat gerakan seperti bersalto, si nenek kembali lancarkan serangan. Kini tangan kirinya yang menyambar. Lalu sambil miringkan tubuh kaki kanannya membeset ke samping. Dengan mudah Setan Ngompol elakkan serangan tangan besi yang menyambar hendak menjebol perutnya. Namun dia tidak mampu meloloskan diri dari tendangan kaki si nenek.

"Buukkk!"

Setan Ngompol terpental begitu kaki lawan mendarat di pinggul kirinya. Dalam keadaan termiring-miring dan menahan sakit lawan kembali menggempur. Dua tangan besi si nenek menyambar ganas. Sepuluh jarinya yang menyerupai pisau berkarat berkelebat dan selalu mengarah ke perut Setan Ngompol. Untuk beberapa jurus si nenek berhasil mendesak Setan Ngompol hingga lawannya ini terkencing-kencing habis-habisan.

Dalam keadaan celana basah kuyup Setan ngompol berusaha keluar dari desakan lawan. Dia mainkan jurus-jurus ilmu silat langka yang dimilikinya dan selama ini jarang dikeluarkan. Setiap serangan mengandalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh hingga sosoknya berkelebat seolah tidak menginjak tanah. Selain itu setiap pukulan yang dilancarkannya selalu menebar hawa lembab pengap dan bau pesing.

Sebelum dirinya terdesak, Nenek Pembedol Usus segera maklum, satu-satunya cara menghadapi lawan ialah dia harus bergerak cepat dan mengatur pernafasan demikian rupa hingga tidak menghirup hawa pengap dan bau pesing itu. Dengan menjerit garang si nenek melesat ke udara. Terjadilah perkelahian hebat antara dua tua renta itu, yang boleh dikatakan jarang kejadian dan jarang disaksikan orang.

Mereka berkelahi serang menyerang, gempur menggempur dengan tubuh berkelebat di udara, hanya sesekali menjejak tanah untuk kemudian melancarkan serangan lagi. Beberapa kali sudah lengan atau kaki mereka saling beradu. Setiap lengannya bentrokan dengan lengan besi si nenek, Setan Ngompol merasa seolah tulang tangannya hancur luluh. Mau tak mau dia terpaksa menghindarkan bentrokan seperti itu.

Sebaliknya setiap dua kaki mereka saling beradu, si neneklah yang menderita kesakitan. Akibatnya setiap dia menjejak tanah gerakannya selalu goyah. Satu kali tendangan Si Setan Ngompol mendarat di tubuhnya. Untuk sesaat lamanya dia tak bisa bergerak. Tulang pinggulnya sebelah kiri ternyata remuk. Dari mulutnya keluar suara mengerang.

"Setan Ngompol… Aku… sebenarnya hanya menguji hatimu. Aku ingin tahu sampai di mana rasa suka yang kau ucapkan. Ternyata kau tega menjatuhkan tangan keras…" Sepasang mata si nenek tampak berkaca-kaca. "Aku pasrah… Aku ingin kau membunuhku saat ini juga. Tapi sebelum aku menemui ajal, ingin kutunjukkan padamu. Sebenarnya aku sejak lama diam-diam mencintaimu…"

Tentu saja Si Setan Ngompol jadi melongo mendengar ucapan si nenek. "Kau… kau mencintaiku sejak lama?"

"Dengan sepenuh hati wahai kekasihku. Penuhi permintaanku. Bunuhlah diriku. Aku akan merasa tenteram di alam roh jika tanganmu sendiri yang merenggut nyawaku…"

"Aku… Tak mungkin aku membunuhmu!" kata Setan Ngompol pula seraya melangkah mendekat.

"Bunuh aku dan peluk diriku sebelum ajalku melayang…"

"Kalau kau memang mencintai diriku, bagaimana mungkin aku membunuhmu! Mari kulihat cidera di pinggulmu. Aku menyesal menjatuhkan tangan keras. Aku akan mengobatimu…"

"Kau berjanji akan mengobatiku wahai kakek gagah kekasihku?"

"Aku bersumpah!"

"Kalau begitu malam nanti, maukah kau jadikan malam pengantin bagi kita berdua?" Sambil berkata begitu si nenek kedap-kedipkan matanya dan layangkan senyum manja. Tangan kirinya bergerak membuka dada pakaiannya yang robek.

Setan Ngompol mengangguk berulang kali. "Aku akan mendukungmu ke dalam pondok…" Sesaat matanya terkesima memandangi dada si nenek.

Si nenek tertawa lepas. "Aku bangga dan bahagia punya kekasih sepertimu. Mendekatlah. Peluk aku sebelum kau dukung," pintanya. Matanya kembali tampak berkaca-kaca.

Penuh haru Setan Ngompol membungkuk, ulurkan dua tangannya untuk merangkul si nenek. "Peluk diriku kekasihku. Pejamkan matamu. Ingin sekali aku mencium wajahmu…" kata si nenek lirih.

"Jangan wajahku. Aku ingin kau mencium bibirku!" kata Si Setan Ngompol masih bisa menawar dalam keadaan seperti itu.

Lalu kakek geblek ini pejamkan matanya sambil monyongkan bibirnya. Perlahan-lahan dia turunkan kepalanya. Dekatkan bibirnya ke bibir si nenek yang juga ikut-ikutan runcingkan mulutnya. Sesaat lagi bibir-bibir dua tua bangka itu akan saling berkecupan, tiba-tiba tangan kanan si nenek yang terbuat dari besi berkarat melesat ke atas! Tepat ke pertengah perut Si Setan Ngompol!

ENAM

Sekejapan lagi perut Setan Ngompol akan jebol dan ususnya dibedol si nenek, tiba-tiba satu sinar putih berkiblat disertai hamparan hawa panas. Dua pekikan keras tenggelam dalam deru dahsyat seperti ribuan tawon mengamuk. Sosok Si Setan Ngompol terpental dan terguling-guling. Bahu bajunya hangus mengepulkan asap. Tertatih-tatih kakek ini bangkit terduduk di tanah. Mukanya yang keriput tampak pucat pasi sedang di sebelah bawah kencingnya mancur habis-habisan!

Dia memandang kian kemari. Celangak-celinguk. Rasa kejutnya kini berganti keheranan. Lucunya sampai saat itu bibirnya yang tadi diruncingkan karena hendak mencium Nenek Pembedol Usus sampai saat itu masih saja dalam keadaan monyong.

"Kekasihku… Di mana kau…?" Si kakek bersuara. Tangan kanannya diletakkan di atas mulut lalu bibirnya diusap-usap berulang kali.

"Tua bangka geblek! Jangan mimpi di siang bolong! Jangan mengigau selagi matamu mendelik!"

Setan Ngompol palingkan kepalanya. Dia merasa heran ketika melihat sosok Naga Kuning berada di hadapannya. "Eh, kau…! Apa maksud ucapanmu barusan?!"

Wiro dekati kakek itu lalu usap-usap jidatnya. "Ingat Kek, sadar! Kau tidak kesambat tidak kesurupan. Juga tidak mimpi! Orang yang kau sebut kekasih itu sudah jadi bangkai gosong! Sedikit saja kami terlambat, perutmu hampir dijebolnya. Ususmu hampir dibusainya!"

Melihat si kakek masih bengong Naga Kuning jadi jengkel. Sosok tanpa nyawa Nenek Pembedol Usus diseretnya lalu diletakkannya di depan Setan Ngompol. Seperti si kakek, sewaktu cahaya putih berkiblat Nenek Pembedol Usus juga terpental. Tubuhnya mencelat ke udara lalu jatuh terbanting ke tanah tak berkutik lagi. Sekujur sosoknya gosong hitam mengepulkan asap. Dua tangannya yang terbuat dari besi tampak merah menyala!

"Pukulan Sinar Matahari… Dia menemui ajal akibat hantaman pukulan Sinar Matahari…" desis si kakek begitu memperhatikan tubuh gosong yang terkapar di tanah dihadapannya.

"Kalau sobatku ini salah memilih sudut pukulan, kaupun akan mengalami nasib seperti itu…" kata Naga Kuning pula.

"Serrrr!" Si kakek langsung terkencing. Kesadarannya pulih. "Jadi kalian berdua telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih…" Setan Ngompol usap mukanya berulang kali. Sekali lagi dipandanginya sosok hangus Nenek Pembedol Usus.

"Nenek ini ternyata memalsu diri. Menyamar menjadi Luhlampiri. Maksudnya hendak membalaskan dendam. Sungguh jahat! Aku bersyukur. Luhlampiri yang asli masih hidup…" Perlahan-lahan si kakek bangkit berdiri lalu melangkah menuju tepian sungai.

"Kek! Kau mau kemana?!" berseru Naga Kuning.

"Ke sungai mencari perahu! Aku mau ke Negeri Latanahsilam. Sudah kukatakan Luhlampiri yang asli masih hidup. Aku ke sana menemuinya!"

"Tua bangka geblek! Benar-benar ngebet edan!" Naga Kuning hendak mengejar.

"Biarkan saja! Otaknya sedang kacau! Dinasihatipun tak ada gunanya!"

Di tepi sungai dia segera menemukan perahu yang sebelumnya ditumpanginya bersama Nenek Pembedol Usus. Tanpa banyak cerita dia melompat masuk ke dalam perahu. Pada saat dia membungkuk menjangkau pendayung, dua tangan kukuh tiba-tiba mencuat dari dalam air. Dengan cepat dua tangan ini mencekal salah satu kaki Setan Ngompol lalu menariknya ke dalam air.

Wiro berpaling pada Naga Kuning. "Aku mendengar suara seperti orang mencebur ke dalam air. Kakek itu pergi mencari perahu atau mencebur mandi!"

Naga Kuning tak menjawab. Wiro berpikir-pikir sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. Serta merta Wiro melompat dan lari menuju tepi sungai. Naga Kuning mengikuti dari belakang. Di tepi sungai Wiro dan Naga Kuning hanya menemukan perahu dalam keadaan mengapung terbalik. Si Setan Ngompol tak kelihatan mata hidungnya. Tiba-tiba Naga Kuning berseru seraya menunjuk ke tengah sungai.

"Wiro! Lihat!" Air sungai di sebelah tengah tampak merah.

"Darah!" ujar Wiro. "Jangan-jangan kakek itu bunuh diri atau dibunuh orang!?"

"Bunuh diri? Apa alasannya? Dibunuh orang, oleh siapa?!" kata Naga Kuning pula.

"Aku akan menyelidik!" Wiro segera hendak melompat terjun ke dalam sungai yang lebar dan dalam itu.

Tapi Naga Kuning cepat menghalangi. "Urusan di dalam air serahkan padaku! Sudah lama aku tidak menyelam!"

Seperti diketahui Naga Kuning sebenarnya adalah seorang kakek sakti yang berusia sekitar 120 tahun. Dia merupakan orang kepercayaan Kiai Gede Tapa Pamungkas, seorang penguasa dan penjaga salah satu kawasan samudera sebelah selatan yang oleh sementara orang dianggap sebagai makhluk setengah manusia setengah roh. Jika Naga Kuning sanggup mengarungi dan menyelami laut luas, maka sungai baginya bukan berarti apa-apa. Sekali melompat maka sosoknya lenyap di bawah permukaan air sungai.

Mengenai asal usul Naga Kuning harap baca serial Wiro Sableng berjudul Tua Gila Dari Andalas terdiri dari 11 Episode

Di dalam sungai, walau air sungai kuning dan agak keruh namun dengan kesaktian yang dimilikinya Naga Kuning bisa melihat cukup jelas. Dua orang dilihatnya tengah bergumul, saling mencekik dan saling menendang. Naga Kuning segera mengenali. Ke dua orang itu bukan lain adalah Si Setan Ngompol dan Labuntalan, si gendut pemilik perahu yang sebelumnya lenyap secara aneh.

Dalam ilmu kesaktian sebenarnya Setan Ngompol jauh berada di atas Labuntalan. Tetapi berkelahi di dalam air tak biasa dilakukan si kakek. Begitu dia diseret lawan masuk ke dasar sungai, kakek ini segera megap-megap. Dengan mudah Labuntalan yang memang memiliki kepandaian berkelahi di dalam air menjadikan si kakek bulan-bulanan jotosan dan tendangannya.

Darah mengucur dari hidung dan mulut Si Setan Ngompol. Darah inilah yang kemudian muncul di permukaan sungai dan terlihat oleh Wiro serta Naga Kuning. Dalam keadaan tak berdaya kakek ini dicekik oleh Labuntalan lalu dibenamkannya ke dasar sungai. Pada saat genting itulah Naga Kuning melesat laksana seekor ikan pesut.

Labuntalan tersentak kaget ketika tiba-tiba rambutnya ada yang mencengkeram. Lalu kepalanya disentakkan ke belakang. Lehernya seperti mau tanggal. Selagi dia masih diselimuti rasa kaget dan kesakitan, mendadak ada sesuatu menyusup di selangkangannya. Satu remasan keras pada anggota rahasia di bawah pusarnya membuat orang ini membuka mulut berteriak keras.

Tapi karena dia berada di dalam air, bukan saja suara teriakannya tidak terdengar, malah air sungai yang masuk ke dalam mulutnya. Labuntalan megap-megap menahan sakit dan sulit bernafas. Dari bawah perutnya kelihatan darah bercampur air mengapung naik ke permukaan sungai.

Naga Kuning lepaskan jambakannya di rambut Labuntalan. Selagi si gendut itu menggapai-gapai sia-sia meregang nyawa di dalam air. Naga Kuning cepat menolong Si Setan Ngompol dan menariknya ke permukaan air sungai. Namun sebelum sempat di bawa ke tepian tiba-tiba terjadilah satu hal yang tak terduga.

Sebuah perahu muncul di balik tikungan meluncur cepat laksana kilat di atas permukaan sungai. Dari atas perahu melesat sebuah benda yang ternyata adalah segulung jala aneh berwarna biru. Jala ini dalam kecepatan luar biasa melibat sekujur tubuh Si Setan Ngompol yang berada dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan.

Kurang dari sekejapan mata perahu itu telah berada belasan tombak di depan sana dan akhirnya lenyap dari pemandangan. Sosok Si Setan Ngompol yang tergulung dalam jala biru ikut melesat lenyap. Demikian cepatnya semua itu terjadi hingga Wiro yang ada di tepi sungai dan Naga Kuning yang masih di dalam air tidak sempat berbuat apa-apa.

"Wiro! Astaga! Apa yang terjadi?!" berseru Naga Kuning seraya berenang cepat dan melompat ke daratan.

"Ada orang berperahu menebar jala! Menculik Setan Ngompol!" jawab Wiro. "Aku tak sempat mengenali siapa orangnya. Gerak perahu dan caranya menebar jala cepat luar biasa!"

"Setan Ngompol dalam bahaya! Kita harus mengejar!" teriak Naga Kuning.

Ke dua orang itu segera melakukan pengejaran dengan berlari di sepanjang tepi sungai. Cukup lama berlari, jangankan menyusul. Melihat perahu dan orang yang menculik si kakek itupun mereka masih belum berhasil.

"Percuma, keparat penculik itu sudah lenyap entah kemana!" kata Wiro lalu hentikan larinya.

Naga Kuning dalam keadaan basah kuyup gelenggelengkan kepala. "Setan Ngompol… Ini semua dia sendiri yang punya gara-gara! Kalau dia tidak mengikuti nenek jahanam si Luhlampiri palsu itu, urusan tidak sampai jadi kapiran begini rupa!" Bocah itu banting-banting kakinya. Tiba-tiba dia hentikan menghentakkan kaki dan tegak tak bergerak. Naga Kuning berpaling pada Wiro.

"Telingamu mendengar sesuatu…?"

"Ya, ada suara orang menyanyi. Seperti suara anak-anak," jawab Wiro. "Datangnya dari sana!" Wiro menunjuk ke arah kejauhan.

Tidak menunggu lebih lama bersama Naga Kuning dia segera lari ke jurusan datangnya suara orang bernyanyi itu. Di satu tempat Naga Kuning hentikan larinya. Sambil pegangi lengan Wiro bocah ini berkata,

"Dengar baik-baik. Perhatikan syair dalam nyanyian itu. Tidakkah aneh kedengarannya…?!"

Ke dua sahabat itu lalu pasang telinga baik-baik. Kalau ingin bertemu sahabatmu terakhir kali. Datanglah ke Perjamuan Pengantar Arwah. Tempatnya sebelah timur lereng Labukit Tanpa Mentari. Saatnya malam hari esok lusa.

Wiro dan Naga Kuning saling pandang. "Bait-bait syair nyanyian itu selalu di ulang-ulang, seperti sengaja ditujukan pada kita!" kata Wiro. "Kita harus segera menemukan anak yang sedang menyanyi itu!"

Wiro dan Naga Kuning kembali lari kejurusan suara anak menyanyi. Baru bergerak beberapa langkah suara nyanyian tiba-tiba lenyap dan berganti dengan suara anak menangis serta ratap ketakutan.

"Tolong…! Aku takuti Aku gamang! Turunkan diriku! Tolong! Aku takut jatuh…!"

Di cabang sebatang pohon tinggi Wiro dan Naga Kuning kemudian menemukan seorang anak berusia sekitar delapan tahun dalam keadaan terikat. Disampingnya terikat sebuah keranjang berisi mempelam. Wiro dan Naga Kuning segera naik ke atas pohon, melepas ikatannya lalu membawa turun ke tanah sekalian dengan keranjang berisi mangga itu.

"Anak, katakan apa yang terjadi denganmu! Bagaimana kau bisa berada di atas pohon dalam keadaan terikat?!" bertanya Wiro.

"Orang jahat itu yang melakukannya!" jawab si anak sambil memandang ke arah sungai penuh takut.

"Orang jahat siapa? Kau mengenalinya?" tanya Naga Kuning.

Si anak menggeleng. "Tidak pernah kulihat orang itu sebelumnya. Rambutnya panjang sepinggang. Tubuhnya bau! Matanya merah. Mukanya bopeng. Giginya besar-besar. Mungkin dia bukan orang tapi roh jahat! Aku takut…!"

"Kau tak usah takut. Ada kami di sini menolongmu. Coba ceritakan pelan-pelan apa yang terjadi…"

Si anak lalu bercerita. "Aku dan kawan-kawan kesasar dalam hutan di tepi sungai. Kami tadinya mencari kelinci hutan. Aku terpisah dengan kawan-kawan. Lalu wahai! Muncul si muka bopeng itu. Dia memberiku sekeranjang mempelam. Padaku dia mengajarkan satu nyanyian. Lalu aku dinaikkannya ke atas pohon. Diikat. Di atas pohon aku harus melantunkan nyanyian yang diajarkannya itu. Kalau tidak mau mempelam akan diambil dan aku akan dijejali ulat bulu…"

"Orang muka bopeng itu tak ada di sini. Kau tahu kemana perginya?" tanya Wiro sambil usap kepala si anak. Yang ditanya menggeleng.

"Kau tahu dimana letak Labukit Tanpa Mentari yang kau sebut dalam nyanyian?" tanya Wiro lagi. Si anak kembali menggeleng.

"Kau masih ingat ke jurusan mana orang muka bopeng itu perginya?" tanya Wiro selanjutnya.

Si anak menunjuk ke arah timur sejajar hilir sungai.

"Anak pandai. Kami akan antarkan kau ke tempat aman!" kata Naga Kuning. Dia berpaling pada Wiro. "Kita harus mencari Lakasipo. Dia yang paling tahu semua kawasan di Negeri ini."

Wiro mengangguk. "Mencari si Kaki Batu itu mungkin sama sulitnya dengan mencari Bukit Tanpa Mentari. Terakhir sekali dia memberi tahu akan mencari Hantu Santet Laknat yang telah mencelakainya…"

Naga Kuning angkat anak lelaki disampingnya lalu dia lemparkan ke arah Wiro. Si anak terpekik kaget dan ketakutan. Tapi begitu Wiro mendukungnya di atas bahu dan membawahnya lari ke arah timur si anak tertawa-tawa kegirangan. Naga Kuning menyambar keranjang berisi mempelam lalu segera lari mengikuti Wiro.

********************

TUJUH

Kita kembali pada Hantu Jatilandak di bukit batu berhawa dingin. Begitu mendengar bentakan dan gelak tawa di belakangnya, pemuda yang muka dan sekujur tubuhnya ditumbuhi duri-duri coklat ini jauhkan kepalanya dari wajah patung dan lepaskan rangkulannya. Dia cepat berpaling. Dalam gelapnya malam dia melihat dua orang tak dikenal tegak berkacak pinggang di atas dua batu besar terpisah kurang dari sepuluh langkah di hadapannya.

Yang pertama adalah seorang nenek berambut awut-awutan berwarna kelabu campur putih. Dia mengenakan pakaian panjang warna hijau tua yang bagian atasnya berbentuk kemben. Ketika menyeringai kelihatan tak satu gigi pun tumbuh di gusinya. Nenek ini berhidung pesek hampir serata pipinya yang keriput. Dia tegak dengan kaki terkembang. Dipinggangnya tergantung sebilah pedang tanpa sarung terbuat dari batu pualam warna merah.

Di batu besar sebelah kiri tegak orang ke dua. Seperti si nenek dia juga memiliki rambut awut-awutan putih kelabu, tidak punya gigi barang satu pun alias ompong reong. Matanya yang kanan kecil sipit sebaliknya mata sebelah kiri melotot besar. Kakek ini berpakaian jubah kuning gelap. Dia juga membekal sebilah pedang batu merah tak bersarung.

Hantu Jatilandak awasi ke dua orang itu tanpa bergerak dan tak bersuara. Dia mengambil sikap diam menunggu sambil berlaku waspada. Setiap saat dia bisa melesatkan duri-duri coklat di muka atau di tubuhnya yang mengandung racun ke arah ke dua orang itu.

"Tak bersuara tak bergerak! Malu rupanya tertangkap tangan bercumbu dengan patung! Hik hik hik!" si nenek buka suara lalu tertawa cekikikan.

Di batu sebelah kiri si kakek memandang berkeliling. "Landak bermuka manusia ini cuma sendirian. Mana teman-temannya?!"

"Dia masih diam seperti gagu! Kita harus segera mendampratnya dengan pertanyaan, baru dengan tangan dan kaki!" kata si nenek pula.

Si kakek anggukkan kepala lalu membentak. "Hantu Jatilandak! Mana sobat jahanammu orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang bernama Wiro Sableng itu!"

Hantu Jatilandak tetap bungkam tidak bersuara, tidak berikan jawaban. Sebaliknya dia bersitkan ludah. Ludah yang berwarna kuning ini jatuh di atas sebuah batu, mengepulkan asap kuning! Meski merasa terhina namun sepasang kakek nenek sama-sama tertawa bergelak.

"Mungkin lidahmu perlu kucabut! Setelah itu wahai! Mau kulihat apakah kau masih bisa meludah! Hik hik hik!" Si nenek tertawa cekikikan.

"Agaknya perlu diberi tahu siapa kita adanya! Agar landak bermuka manusia kuning ini tahu diri! Tidak jual lagak dan meludah segala!" Kakek di atas batu besar sebelah kiri gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Tubuhnya melesat ke depan. Selarik cahaya merah berkiblat.

"Traanngg! Braaakkk!"

Sebuah batu besar yang terletak tiga langkah di hadapan Hantu Jatilandak terbelah dua. Sebelum dua belahan jatuh ke tanah si kakek sudah melesat dan tegak kembali di atas batu tempatnya semula! Orang lain mungkin akan tersentak kaget dan kecut nyalinya melihat kemampuan si kakek dan kehebatan pedang merahnya.

Tapi Hantu Jatilandak yang sudah kesal melihat tingkah laku dua kakek nenek itu tidak pandang sebelah mata. Malah kembali dia semburkan ludahnya. Meledaklah kemarahan sepasang kakek nenek itu. Si kakek acungkan pedang merahnya ke udara seraya berteriak.

"Muridku Lagandrung dan Lagandring! Kami guru kalian! Lajahilio dan Luhjahilio! Kami telah menemukan salah seorang pembunuh kalian! Kalian bisa sedikit bertenang diri di alam roh! Sebentar lagi bangsat pembunuh akan segera kami habisi!"

Hantu Jatilandak kerenyitkan kening begitu mendengar teriakan kakek di atas batu. Ingatannya melayang pada kejadian beberapa waktu lalu. Sewaktu dia dan kakeknya Tringgiling Liang Batu, Wiro dan Pelawak Sinting serta Hantu Tangan Empat bertempur melawan kaki tangan Hantu Muka Dua. Dua orang diantaranya adalah Lagandrung dan Lagandring. Dia berhasil membunuh Lagandring sementara Wiro menghabisi Lagandrung

Baca Episode berjudul Hantu Tangan Empat

Ternyata sepasang kakek nenek ini adalah guru Lagandrung dan Lagandring. Apa lagi maksud kemunculan mereka kalau bukan menuntut balas melampiaskan dendam kematian murid-murid mereka.

"Dua kaki tangan Hantu Muka Dua yang sudah binasa itu tinggi sekali tingkat kepandaiannya. Berarti kakek nenek ini jauh lebih tinggi. Aku tidak takut!" membatin Hantu Jatilandak lalu kembali dia meludah.

"Lajahilio! Tanganku sudah gatal mau mencincang manusia landak ini!" berkata si nenek. "Tapi ada sesuatu yang hendak kusampaikan padamu!"

Lalu Luhjahilio melompat ke batu di samping kiri dan membisikkan sesuatu pada kakek bernama Lajahilio yang sebenarnya adalah kekasihnya. Sejak muda belia mereka malang melintang sehilir semudik. Hidup bersama tanpa kawin hingga mendapat julukan Sepasang Hantu Bercinta. Lajahilio menyeringai mendengar bisikan si nenek. Dia memberi isyarat. Lalu dua kakek nenek ini samasama hunus pedang batu pualam merahnya.

Hantu Jatilandak yang sejak tadi sudah berwaspada begitu melihat dua lawan bergerak serta merta gerakkan dadanya. Dua lusin duri coklat beracun melesat dari tubuhnya. Enam menyambar ke arah Lajahilio, enam lagi ke jurusan Luhjahilio. Dua orang yang diserang putar goloknya. Demikian sebatnya hingga yang kelihatan hanyalah gulungan sinar merah berbentuk lingkaran.

"Craasss! Craaas! Craaas!"

Selusin duri landak bertaburan ke udara. Luruh ke tanah dalam keadaan terbelah hancur. Hantu Jatilandak menggeram marah. Dia goyangkan kepalanya. Sepasang kakek nenek mengira lawan hendak menyerang lagi dengan duri-duri beracun yang ada di mukanya. Ternyata Hantu Jatilandak menggempur dengan dua larik sinar kuning yang keluar dari sepasang matanya!

"Luhjahilio! Awas serangan sinar beracun!" teriak Lajahilio.

Dua kakek nenek ini segera berkelebat selamatkan diri sambil kiblatkan pedang batu merah.

"Blep! Blep!"

Dua kakek nenek itu mencelat mental. Jungkir balik mereka masih bisa mendarat di tanah dengan dua kaki menjejak lebih dulu. Tangan Lajahilio dan Luhjahilio bergetar keras. Pedang merah di tangan mereka berubah oleh bungkusan sinar kuning. Dada masing-masing mendenyut sakit dan jalan nafas seolah tersumbar. Dengan tubuh keringatan dua kakek nenek kerahkan tenaga dalam. Perlahanlahan selubung kuning yang membungkus senjata mereka sirna. Dua pedang itu kembali ke warna semula yakni merah.

"Luhjahilio, menurut penglihatanku manusia landak itu baru mengerahkan setengah tenaga dalamnya waktu melancarkan serangan sinar kuning tadi. Keadaan kita berbahaya. Saatnya melakukan apa yang tadi kau bisikkan. Aku akan menggempurnya habis-habisan!"

Hantu Jatilandak menggeram panjang sewaktu menyaksikan bagaimana sepasang sinar kuning ilmu kesaktiannya yang bernama Mega Kuning Liang Batu, yang selama ini tidak pernah dikeluarkannya ternyata masih bisa ditangkis dengan pedang sakti di tangan lawan. Maka dia segera kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Namun saat itu Lajahilio telah melompat ke arahnya.

Pedang merah di tangan kanan kakek ini pancarkan sinar terang pertanda dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Hantu Jatilandak hendak sambut serangan si kakek dengan sinar Mega Kuning Liang Batu, tapi perhatiannya terbagi pada Luhjahilio yang berkelebat ke kiri sambil membabatkan pedang merahnya. Hantu Jatilandak meraung keras ketika melihat apa yang dilakukan si nenek. Ternyata Luhjahilio babatkan pedang merahnya untuk memapas leher patung perempuan cantik di samping batu besar.

"Craaaasss!"

Aneh, begitu leher patung kena dibabat terdengar suara seperti pedang memapas putus leher sungguhan. Kepala patung jatuh menggelinding ke tanah. Dan lebih aneh lagi! Dari kutungan leher baik yang di badan maupun yang di kepala keluar cairan merah seperti darah!

Luhjahilio berseru Kaget melihat apa yang terjadi. Sebaliknya Hantu Jatilandak meraung marah. Dia tidak lagi memperhatikan sambaran pedang Lajahilio. Masih untung senjata si kakek hanya membabat putus sembilan bulu landak yang ada di punggungnya. Walaupun rasa sakit menggeletari sekujur tubuhnya bagian belakang namun Hantu Jatilandak tidak peduli. Didahului dengan menghantamkan selusin duri landaknya ke arah Luhjahilio, Hantu Jatilandak susul menyerang dengan sinar Mega Kuning Liang Batu.

Luhjahilio terpekik ketika dua duri landak menyusup dikembennya dan menusuk permukaan kulitnya. Nenek ini berkelebat ke balik batu besar. Untung dia berlaku cepat. Walau batu besar itu hancur berantakan dihantam sinar Mega Kuning Liang Batu dan mengepulkan asap kuning beracun namun si nenek masih sempat selamatkan diri dengan membuat dua lompatan cepat.

Seperti tidak sadar kalau saat itu dia tengah menghadapi bahaya besar dari dua musuh berkepandaian sangat tinggi, Hantu Jatilandak jatuhkan diri memungut kutungan kepala patung perempuan cantik.

"Patungku… Patungku… Kasihan lehermu…" Hantu Jatilandak sesenggukan dan dekapkan kepala patung ke dadanya lalu berusaha bangkit.

Pada saat itulah Lajahilio dan Luhjahilio menyergap. Dua pedang merah diarahkan satu ke leher Hantu Jatilandak, satunya tepat di arah jantung. Namun Hantu Jatilandak seperti tidak peduli. Baginya patung batu itu lebih berharga dari nyawanya sendiri!

"Kalian mau membunuhku aku tidak peduli. Tapi wahai! Jangan ciderai patung ini…"

Dua kakek nenek tertawa mengekeh. Hantu Jatilandak tetap tidak peduli. Dia terus berusaha berdiri.

"Izinkan aku meletakkan kepala patung ini di tempatnya semula…" Hantu Jatilandak meminta setengah meratap. Dari dua matanya yang kuning kelihatan tetesan air mata. Gelak tawa Lajahilio dan Luhjahilio semakin keras.

"Makhluk gila ini benar-benar sudah jatuh cinta dengan patung itu!" kata Luhjahilio. Dia memberi isyarat pada si kakek kekasihnya. Lajahilio anggukkan kepala.

Dua pedang merah lalu berkelebat ganas. Pedang di tangan si nenek membacok ke kepala patung yang ada dalam dekapan Hantu Jatilandak. Sementara si kakek membabat ke pangkal leher Hantu Jatilandak! Dalam keadaan seperti itu Hantu Jatilandak sama sekali tidak lagi pedulikan keselamatan jiwanya. Dia masih berusaha menyelamatkan kepala patung dengan merangkul dan mendekapnya erat-erat ke dadanya.

Sesaat lagi kepala patung akan terbelah hancur dihantam bacokan pedang batu pualam merah di tangan Luhjahilio dan leher Hantu Jatilandak akan terbabat putus oleh pedang Lajahilio, sekonyong-konyong dua sinar aneh menyambar merobek kepekatan malam!

DELAPAN

Sambaran sinar pertama berwarna hitam berbentuk kipas terkembang. Di dalam sinar hitam yang menebar ini berkilauan ratusan serpihan-serpihan bunga-bunga api. Nenek bernama Luhjahilio berseru kaget ketika melihat sinar yang melesat ke arah Lajahilio. Dia berteriak memberi peringatan.

"Pukulan Menebar Budi! Lajahilio! Awas!"

Sambil berteriak si nenek berbalik dan lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti dengan tangan kirinya. Gerakannya menghantam ini mau tak mau membuat urung bacokan pedangnya ke kepala patung. Pukulan hawa sakti si nenek memang mampu mendorong sinar hitam yang menyerang Lajahilio dan menyelamatkan kekasihnya. Tapi begitu dua kekuatan sakti tersebut saling bentrokan, satu letusan keras menggelegar. Bunga-bunga api berlesatan seperti senjata rahasia, menderu ke arah si nenek.

Luhjahilio menjerit keras. Tubuhnya terpental sampai setinggi dua tombak. Pedang batu pualam merahnya terlepas mental entah kemana. Darah membersit dari mulutnya. Puluhan percikan bunga api laksana ujung-ujung jarum menancap di tubuhnya!

Pada saat yang sama, selagi tubuhnya melayang turun, sinar ke dua yang menderu dalam kegelapan malam datang menghantam, mendarat di punggungnya dengan telak. Tak ampun lagi tubuh si nenek terlempar ke arah batu besar. Luar biasa dan mengerikan sosok si nenek melesak datar masuk ke dalam batu sampai setengahnya!

Lajahilio sendiri yang tadi hampir membabat putus leher Hantu Jatilandak sangat terkejut dan berteriak keras saksikan apa yang terjadi. Babatan pedangnya ke leher Hantu Jatilandak serta merta terhenti dan senjata itu kini dilemparkannya ke arah kegelapan di mana dia melihat sosok serba hitam yang tadi melepaskan pukulan dahsyat hingga si nenek kekasihnya amblas kedalam batu besar!

Dalam rimba persilatan di Negeri Latanahsilam saat itu hanya ada satu ilmu pukulan yang mampu membuat orang amblas masuk ke dalam tembok atau batu atau pohon yakni yang disebut Pukulan Kasih Mendorong Bumi. Pukulan ini dimiliki oleh gadis masih sangat belia dan berwajah jelita bernama Luhcinta.

Lajahilio pukulkan tangannya berulang kali ke batu besar di mana Luhjahilio terpentang amblas hingga remuk. Lalu dengan mengerahkan tenaga luar dan tenaga dalam dia tarik sosok kekasihnya dari dalam batu.

"Kreeekkk!"

Tubuh yang tertarik dari dalam batu itu keluarkan suara berkrekekan. Si kakek merinding bergidik. Dia memang berhasil menarik mengeluarkan sosok Luhjahilio dari dalam batu tapi keadaannya mengerikan karena sebagian daging di sebelah wajah, dada dan perut si nenek ternyata tertinggal lengket di dalam batu. Wajah perempuan tua yang berada dalam keadaan lumpuh akibat pukulan sakti Kasih Mendorong Bumi yang menghantamnya kini kelihatan tak lagi berdaging, tanpa hidung, kening, alis serta bibir dan dagu!

Lajahilio menggerung keras menyaksikan keadaan kekasihnya itu. Amarahnya meluap. Darah di kepalanya seolah mau muncrat menembus ubun-ubun. Cepat dia menyambar dan mendukung sosok sang kekasih. Sepasang matanya memandang melotot dan menyorot penuh geram ke arah dua orang di kegelapan namun tak berani melakukan apa-apa. Dalam hati kakek ini membatin.

"Dua orang dalam gelap itu pasti dara bernama Luhcinta dan Si Penolong Budiman. Dua pendekar berkepandaian yang sukar dijajagi. Hantu Muka Dua saja belum tentu mampu menghadapi salah satu dari mereka. Aku tak mau cari penyakit walau kelak Hantu Muka Dua akan menjatuhkan hukuman berat padaku!"

Tanpa banyak bicara, dengan darah mendidih si kakek akhirnya putar tubuh. Sebelum berkelebat pergi dan menghilang di kegelapan malam dia masih sempat keluarkan suara.

"Kalian berdua! Aku tidak akan melupakan wajah kalian! Suatu saat kami berdua akan melakukan pembalasan!"

Orang dalam gelap mendengus. Satunya lagi berkata. "Sebelum pergi silahkan ambil dua senjata milik kalian! Kami tidak perlu senjata-senjata laknat ini!"

Terdengar suara berkeretekan lalu dua buah benda melayang jatuh di hadapan Lajahilio. Ternyata adalah dua pedang milik kakek nenek berjuluk Sepasang Hantu Bercinta itu. Ketika si kakek memperhatikan dua pedang batu pualam merah yang dilemparkan orang, dia menggeram keras. Dua senjata itu tak karuan rupa lagi. Gagangnya hancur, bagian tajamnya bergompalan dan badannya ada yang patah tak karuan.

"Jahanam! Dia menghancurkan pedang dengan Ilmu Keppeng. Ilmu mematah tulang! Memang dia rupanya! Bangsat yang membikin geger Negeri Latanahsilam sejak beberapa waktu belakangan ini! Awas, nantikan pembalasanku!" Saking marahnya Lajahilio tendang dua pedang yang sudah hancur itu lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam.

Akan halnya Hantu Jatilandak, seperti tadi dia masih tidak perdulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Kepala patung yang putus sesaat masih didekapnya. Darah aneh yang keluar dari kutungan leher patung belepotan di tubuhnya yang penuh duri. Dengan hati-hati dan terbungkuk-bungkuk dia membawa kutungan kepala patung itu lalu letakkan ke badan patung yang masih terduduk utuh di samping batu besar yang telah hancur.

"Patungku… Kasihan kepalamu…" kata Hantu Jatilandak. Dibelainya rambut patung dan diusapnya wajahnya berulang kali. Lalu dengan hati-hati kepala patung diletakkannya di atas bekas kutungannya hingga bersambung kembali. Begitu leher patung yang putus bersatu kembali, terdengar suara halus dalam gelap.

"Wahai Hantu Jatilandak, sungguh besar arti perbuatanmu menyatukan kembali patung yang buntung itu. Kelak para Dewa akan memberkatimu…"

Hantu Jatilandak tegak tertegun. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. "Suara tanpa ujud, sesuai ucapanmu sebelumnya, aku harus pergi ke Negeri Latanahtembikar. Kalau urusanku selesai aku akan segera kesini. Aku akan mengambil patung ini, membawanya kesatu tempat dan merawatnya baik-baik…"

Angin malam bertiup dingin. Hantu Jatilandak mendengar suara orang menarik nafas dalam dan panjang. Beberapa jenak lamanya ditatapnya wajah dan sosok patung itu. "Walau cuma batu mati tanpa nyawa tapi aku yakin patung inilah yang mengeluarkan semua ucapan yang sampai ke telingaku. Mungkin ada roh masuk ke dalam patung batu ini…"

Dengan perasaan berat Hantu Jatilandak memutar tubuh hendak beranjak pergi dari tempat itu. Namun gerakannya tertahan. Di depannya dalam kegelapan malam dua orang tegak berdiri memandang memperhatikannya. Seperti diketahui ketika tadi dia diserang oleh sepasang kakek nenek bernama Lajahilio dan Luhjahilio pemuda yang tubuhnya penuh duri ini seperti tidak perduli. Tapi sebenarnya dia mengetahui apa yang terjadi. Maka begitu melihat dua orang itu, Hantu Jatilandak segera membungkuk memberi penghormatan.

"Wahai, kalian berdua telah menyelamatkan jiwaku. Aku sangat berterima kasih…" Hantu Jatilandak menatap ke sebelah kanan di mana berdiri seorang dara berpakaian biru. Dalam gelapnya malam wajahnya yang cantik tampak sangat anggun. Hantu Jatilandak kembali menjura. "Wahai sahabatku Luhcinta, ternyata dalam nasib yang sama malang kau masih bisa menurunkan tangan kasih, menolong menyelamatkan diriku. Aku berterima kasih padamu. Aku masih ingat waktu kau menuturkan nasib untung dan perasaanmu tempo hari. Apakah kau sudah berhasil menyingkapkan semua teka-teki hidup dirimu? Apakah kau sudah menemui orang-orang yang dulu pernah kau tanyakan itu?"

Sebenarnya gadis berbaju biru dalam gelap yang memang Luhcinta adanya hendak menjawab. Namun dia sengaja berdiam diri karena di sampingnya, hanya terpisah sekitar tujuh langkah tegak sosok serba hitam orang yang selama ini mengikutinya secara diam-diam. Walau orang ini tadi juga turun tangan membantu menyelamatkan Hantu Jatilandak namun Luhcinta tetap menaruh curiga terhadapnya. Karenanya dia diam saja dan sengaja tidak mau bicara di hadapan orang itu. Karena pertanyaannya tidak mendapat jawaban Hantu Jatilandak lalu berpaling pada sosok yang satu lagi.

"Mungkin kita pernah berjumpa. Maafkan aku kalau salah menduga. Bukankah kau yang disebut orang Si Penolong Budiman? Wahai, sungguh beruntung diriku. Malam ini aku kejatuhan berkat menerima pertolongan darimu. Aku berterima kasih padamu wahai sahabat…"

Begitu Hantu Jatilandak menyebut nama orang di hadapannya itu, terkejutlah gadis berpakaian biru yang ada hiasan bunga tanjung di keningnya. Gadis ini cepat palingkan kepala, menatap tajam pada sosok yang tegak sekitar sepuluh langkah di sisi kanannya.

"Benar dia rupanya. Makhluk muka hitam yang terus-terusan mengikuti. Beberapa waktu lalu aku berhasil menghilang dari kuntitannya. Bagaimana malam ini dia tahu-tahu bisa berada di bukit dingin ini? Sebaiknya aku segera pergi saja…"

Orang bermuka hitam yang maklum akan gerak hati Luhcinta segera maju mendekat sampai tiga langkah lalu berucap. "Wahai gadis, pertemuan ini mungkin tidak menyenangkan bagimu. Sedang bagiku adalah satu harapan yang sangat besar…"

"Harapan apa?" tanya Luhcinta heran. Gadis ini jadi berdebar. Dia membatin. "Setiap harapan yang baik selalu disertai rasa kasih. Apakah orang ini…"

"Gadis bernama Luhcinta, kau tentu masih ingat pertemuan kita terakhir di bukit tempat Peri Angsa Putih disekap dalam sumur melintang…!"

Harap baca Episode berjudul Hantu Muka Dua

"Aku ingat. Malah lebih dari itu. Bukankah kau yang selama ini selalu menguntit diriku secara diam-diam? Jika kau memang membawa satu harapan, apakah begitu caranya memperkenalkan diri? Harapan yang baik selalu berlandaskan kasih. Aku tidak melihat hal itu tercermin dalam wajahmu wahai kerabat. Mungkin karena kau menempuh hidup dengan cara menyembunyikan wajah? Sang Pencipta memberikan wajah kepada setiap orang, entah wajah itu bagus entah buruk. Itu pelambang keadilan dalam kasih sayang. Kau justru menyembunyikan rasa kasih itu…"

Lama orang bermuka hitam tercenung mendengar ucapan Luhcinta. Dalam hati dia berkata. "Wahai gadis bernama Luhcinta. Jika kau tahu nasib perjalanan hidupku. Justru rasa kasih sayang sudah habis ditelan derita. Tapi jauh di lubuk hati ini masih ada setetes kasih sayang yang aku jaga baik-baik agar tidak hilang. Hanya saja kasih sayang itu tidak bisa kuberikan sebelum aku mampu menyingkap teka-teki hidup ini. Bertahun-tahun aku mengelana mencari dan mencari. Sampai saat ini semua itu berakhir pada kesia-siaan…"

"Wahai gadis bernama Luhcinta, cinta kasih yang murni tidak tercermin dari bagus dan buruknya wajah seseorang. Menyembunyikan sesuatu bukan selalu berarti melupakan kasih anugerah Sang Pencipta. Kasih memang harus berada di mana-mana. Dan tempatnya yang terkudus adalah dalam lubuk hati manusia. Tetapi garis nasib seseorang terkadang tidak memungkinkan dia mewujudkan kasih sayangnya seperti yang dikehendaki oleh orang lain. Itulah sebabnya aku berkata, pertemuan denganmu adalah membawa satu harapan besar. Harapan akan tinggal harapan jika kasih yang ada dalam harapan itu tidak mampu mewujudkan diri. Bukan karena mau yang empunya diri, tapi karena keadaan. Sekarang terserah padamu, apakah kau mau memberikan jalan. Pada pertemuan yang lalu aku tidak melihat kesempatan dalam keadaan. Malam ini mungkin saatnya. Namun sekali lagi harapanku hanya tinggal harapan. Semua sangat tergantung pada dirimu…"

Sesaat Luhcinta tampak termangu mendengar ucapan orang bermuka hitam. Lalu gadis ini berucap. "Wahai, rasanya segala sesuatunya tidak semua tergantung pada diriku. Bolehkah aku mengetahui harapan apa yang ada dalam hatimu?"

"Aku akan mulai dengan pertanyaan pertama. Di luaran tersirap kabar bahwa selama ini kau mengelana dan selalu bertanya tentang beberapa orang di balik beberapa nama…"

"Hemmm… Kalau kau sudah tahu aku tidak akan membantah. Tadi pun sahabatku bernama Hantu Jatilandak ini telah mengungkapkannya…" kata Luhcinta sambil berpaling pada Hantu Jatilandak.

Orang bermuka hitam yaitu Si Penolong Budiman berkata. "Sebelumnya aku telah menemui orang pandai bernama Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Dia yang memberi petunjuk agar aku datang ke tempat ini. Ternyata tidak terduga aku menemuimu di tempat ini…"

Hantu Jatilandak berdehem beberapa kali lalu berkata. "Antara kalian berdua ada pembicaraan yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan diriku atau tidak pantas kudengar. Lebih baik aku segera pergi saja dari sini…"

"Wahai Hantu Jatilandak, kuharap kau tetap berada di sini," kata Luhcinta pula. Dia sengaja meminta karena seandainya orang bermuka hitam itu ternyata adalah manusia culas yang punya maksud jahat terhadapnya, jika Hantu Jatilandak masih ada di tempat itu niscaya dia akan menolong.

"Tidak ada salahnya kau tetap berada di sini wahai kerabatku Hantu Jatilandak. Siapa tahu kau bisa membantu disaat kami berdua tidak bisa memecahkan masalah…" berkata Si Penolong Budiman.

Mendengar ucapan orang itu maka Hantu Jatilandak akhirnya bersedia tetap berada di tempat itu. Sebelum dia duduk di atas pecahan batu besar pemuda ini berkata, "Sahabatku Penolong Budiman, kau beruntung bisa bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Aku sudah bertahun-tahun mencarinya. Aku perlu menemuinya untuk mencari tahu riwayat gelap yang menyelubungi diriku."

"Aku berhasil menemuinya hanya secara kebetulan, di satu rimba belantara di pinggir sungai…" jawab Si Penolong Budiman. "Aku turut bersedih mengetahui riwayatmu wahai Hantu Jatilandak. Jika aku bisa membantu pasti akan kulakukan sesuatu untukmu…"

Hantu Jatilandak ucapkan terima kasih lalu duduk di atas batu. Si Penolong Budiman berpaling pada Luhcinta lalu lanjutkan pembicaraannya.

"Dari kabar yang kusirap, kau pernah bertanyakan tentang seorang bernama Lajundai. Apakah benar?"

Sepasang mata Luhcinta membesar dan menatap lekat-lekat pada si muka hitam. Lalu dia anggukkan kepala. "Apakah kau mengetahui orang itu dan di mana beradanya?" bertanya Luhcinta. "Atau mungkin kau ada sangkut paut dengan dirinya?!"

"Wahai…. Orang itu berada di Istana Kebahagiaan!" jawab Si Penolong Budiman.

SEMBILAN

Kagetlah Luhcinta mendengar jawaban itu. "Wahai! Jika ucapanmu itu benar adanya, dapatkah kau memberikan bukti dan kesaksian?"

"Seseorang bisa saja memberikan bukti dan kesaksian. Tetapi bukti dan kesaksian yang terbaik adalah jika orang yang menginginkannya sendiri yang melakukan penyelidikan. Aku hanya cukup memberitahu. Lajundai itu sebelumnya bernama Labahala. Dan dia bukan lain adalah makhluk yang bernama Hantu Muka Dua!"

Luhcinta hampir terlonjak mendengar ucapan Si Penolong Budiman itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Dalam hati yang panas membara dia berkata. "Wahai! Jadi jahanam itu bukan saja pernah hendak berbuat keji terhadap ibuku, tapi juga terhadap diriku. Kalau hidup manusia lebih dikuasai nafsu dari pada kasih, inilah jadinya! Cukup sudah kejahatan yang dibuat Hantu Muka Dua di Negeri Latanahsilam ini. Kalau kasih memang tidak bisa menyadarkannya, aku memohon pada Para Dewa dan Para Peri agar diberi kemampuan untuk membasmi manusia itu…"

"Wahai gadis bernama Luhcinta, kau sekarang sudah mengetahui siapa adanya Lajundai. Kalau aku boleh tahu, gerangan apa yang ada di balik pertanyaanmu terhadap orang itu?"

Luhcinta tidak mau menerangkan hal yang sebenarnya. Gadis ini hanya menjawab. "Kau tentu sudah tahu manusia bagaimana adanya Hantu Muka Dua. JiKa manusia jahat seperti dia tidak segera dibasmi apa jadinya Negeri ini. Secara semena-mena dia telah memaklumkan diri sebagai Raja Diraja Segala Hantu. Menjadikan dirinya sebagai makhluk Segala Keji, Segala Tipu dan Segala Nafsu…"

"Aku setuju dengan pendapatmu wahai kerabat bernama Luhcinta. Aku masih ada beberapa pertanyaan jika kau sudi menjawab…"

"Aku akan menjawab kalau memang bisa kujawab," kata Luhcinta pula.

"Dalam kabar yang kusirap kau juga menanyakan seorang bernama Hantu Penjunjung Roh."

"Tentang nenek sakti itu, aku sudah mendapat jawaban, bahkan aku sudah menemuinya," kata Luhcinta Lalu gadis ini bertanya. "Wahai, apa maksud tujuan di balik semua pertanyaan ini?"

Si Penolong Budiman tidak menjawab malah ajukan lagi satu pertanyaan. "Setelah kau mendapat Jawab dan bertemu sendiri dengan Hantu Penjunjung Roh apakah kau sudah mengetahui siapa nenek itu ada apa hubunganmu dengannya?"

"Wahai, aku tidak akan menjawab pertanyaan Aku mulai curiga. Kutanyakan apa maksud semua tanyaanmu tapi kau tidak menjawab…"

"Kau tidak menjawab, aku tidak memaksa. Ku dengar kau juga menanyakan tentang seorang perempuan bernama Luhpiranti, mengapa? Apa hubunganmu dengan perempuan itu?” tambah Si Penolong Budiman ajukan pertanyaan.

Luhcinta tersenyum tapi gelengkan kepala “ Saat ini aku tak bisa menjawab pertanyaanmu itu…”

“Juga tentang lelaki bernama Latampi yang juga menjadi salah satu pertanyaanmu”

“Hm mungkin aku mau menjawab pertanyaanmu jika kau mau mengatakan siapa dirimu lalu memperlihatkan wajah aslimu”

Si Muka Hitam tersenyum. “Rupanya dasar kasih sayang yang menjadi panutanmu memiliki keterbatasan yang membuat kita sama-sama tidak mau berlaku terbuka, padahal kasih sayang itu memerlukan keterbukaan hati serta kepercayaan semua pihak...”

“Kalau begitu perlihatkan padaku mukamu yang asli. Jangan sembunyikan dibalik tanah liat dan jelaga hitam...“

“Aku akan penuhi permintaanmu wahai gadis bernama Luhcinta. Asalkan kau berjanji memberitahu apa hubunganmu dengan Luhpiranti dan Latampi…”

”Aku berjanji”

“Aku percaya pada janjimu!” Kata Si Penolong Budiman pula, lalu dia pergunakan jari-jari tangannya untuk melepaskan tanah liat yang di cat hitam yang selama ini melekat menutupi wajahnya. Orang ini melangkah mendekati Luhcinta hingga gadis itu dengan jelas dia melihat wajahnya.

"Apakah kau mengenali siapa diriku wahai Luhcinta?"

Luhcinta perhatikan wajah orang itu. Entah mengapa dada gadis ini langsung berdebar. "Wahai, ternyata dia lelaki separuh baya berwajah tampan sekali." Perasaannya semakin aneh ketika sepasang mata mereka saling beradu pandang. Luhcinta tundukkan kepala. "Aku… wahai. Aku tidak mengenali siapa dirimu," kata si gadis akhirnya dengan suara bergetar.

Si Penolong Budiman palingkan wajahnya pada Hantu Jatilandak lalu berkata, "Mungkin kau mengenali siapa aku wahai kerabatku Hantu Jatilandak?"

"Tidak, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Aku tidak kenal wajahmu…"

Orang itu lalu memandang pada Luhcinta. "Aku sudah perlihatkan wajah asliku. Sekarang aku menagih janji. Harap kau mau memberitahu apa hubunganmu dengan Latampi dan Luhpiranti…"

"Ke dua orang itu adalah…"

Belum sempat Luhcinta menyelesaikan ucapannya tiba-tiba di langit kelihatan belasan nyala api laksana barisan obor bergerak turun ke bawah. Barisan obor itu berbentuk lingkaran dan gerakannya turun sangat cepat. Udara yang sudah sangat dingin di tempat itu mendadak bertambah luar biasa dinginnya.

Semua orang yang ada di tempat itu jadi menggigil dan kaku seperti beku sekujur tubuh mereka. Luhcinta, Hantu Jatilandak dan Si Penolong Budiman kerahkan tenaga dalam dan cepat atur jalan darah masing-masing. Tapi tak ada gunanya. Ketiga orang ini tetap saja tak mampu bergerak dan membuka suara.

Pada saat barisan obor berbentuk lingkaran mencapai ketinggian sepuluh tombak dari atas bukit batu, ketiga orang itu baru mampu melihat bahwa yang membawa nyala api itu adalah lima belas sosok perempuan muda berpakaian tipis berwarna abu-abu.

"Peri dari atas langit…" Ke tiga orang itu sama membatin.

Tiba-tiba lima belas nyala api melebar dan menyatu lalu bergerak ke arah patung batu seperti lingkaran tabir. Tidak satu pun dari ke tiga orang yang ada di tempat itu mengetahui apa yang terjadi. Sesaat kemudian dalam gelapnya malam lingkaran tabir api dengan cepat tampak bergerak naik ke atas.

Begitu tabir api berpisah dan kembali membentuk lima belas nyala api berada jauh di atas sana, udara dingin lenyap. Tubuh Hantu Jatilandak, Luhcinta dan Si Penolong Budiman terlepas dari kebekuan. Darah mereka kembali mengalir wajar. Hantu Jatilandak yang pertama sekali berteriak keluarkan suara penuh tegang.

"Patungku! Patung itu lenyap!" Hantu Jatilandak melompat ke dekat batu besar pecah di mana patung perempuan cantik yang bisa mengeluarkan air mata sebelumnya berada. Dia meraba-raba kian kemari seperti orang buta berusaha memegang sesuatu. Ketika menyadari bahwa patung itu memang tak ada lagi di situ, Hantu Jatilandak menggerung keras lalu jatuhkan diri.

"Patungku…"

"Para Peri dari atas langit mengambil patung itu!" seru Luhcinta. Gadis ini lalu cepat dekati Hantu Jatilandak. Sambil memegang bahu Hantu Jatilandak dia berkata. "Wahai kerabatku, patung itu tentu sangat besar artinya bagimu…"

"Patung itu sama dengan nyawaku…" kata Hantu Jatilandak. "Mengapa para Peri mengambilnya! Mereka mencuri patungku!"

"Aku yakin, para Peri tidak mencuri patung itu wahai Hantu Jatilandak…" membujuk Luhcinta. "Jika mereka melakukan sesuatu pasti ada sebabnya. Pasti ada hikmah kasih sayang dibalik kejadian ini…"

Hantu Jatilandak tiba-tiba menggerung lagi lalu melompat tegak. "Aku tidak percaya! Para Peri itu selalu menjatuhkan tangan jahat terhadapku! Karena perbuatan mereka ayahku lenyap tak tentu rimbanya! Ibuku tak diketahui di mana beradanya. Kini satu-satunya benda yang sangat kusayangi mereka ambil! Terkutuk! Jahat!"

Saking marahnya Hantu Jatilandak hantamkan tangan kanannya ke pecahan batu besar yang ada di dekatnya. Batu itu hancur berkeping-keping dan setiap kepingan yang tadinya berwarna kelabu berubah menjadi kekuning-kuningan serta mengepulkan asap!

"Bersabar dan tabahlah wahai kerabatku Hantu Jatilandak," kata Si Penolong Budiman.

"Kesabaran dan ketabahan adalah dua dari sekian banyak kekuatan kasih di atas muka bumi ini…" Luhcinta menambahkan.

Hantu Jatilandak mendengus dan berpaling pada si gadis. "Kita manusia di muka bumi selalu bicara tentang kasih sayang. Tapi para Peri di atas langit sana mengumbar malapetaka! Apa dosa kesalahanku sampai aku diperlakukan seperti ini?! Mengapa derita tidak pernah putus menimpa diriku?!"

Penuh haru Luhcinta gelengkan kepalanya. Hatinya sangat pilu melihat keadaan Hantu Jatilandak hingga dia tak mampu berkata lagi sementara Si Penolong Budiman tegak termangu.

Tiba-tiba dalam gelapnya malam terdengar suara menguik. Lalu ada suara menggelepar dan sambaran angin. Seekor burung gagak hitam entah dari mana munculnya tahu-tahu sudah hinggap di ujung lancip sebuah batu.

"Gagak itu…" desis Hantu Jatilandak. "Makhluk pemberi petunjuk… Dia muncul lagi…"

Gagak di atas batu menguik lagi. Angguk-anggukkan kepalanya ke arah Hantu Jatilandak lalu kepakkan sayapnya. Sesaat binatang ini berputar-putar rendah lalu terbang ke arah timur. Ingat peristiwa sebelumnya di mana si gagak memberi petunjuk hingga dia sampai ke tempat itu, Hantu Jatilandak segera lari mengikuti burung itu. Luhcinta sesaat masih diam. Lalu gadis ini pun berkelebat pula ke arah lenyapnya Hantu Jatilandak.

"Gadis bernama Luhcinta! Tunggu dulu! Kau belum memenuhi janjimu!" berseru Si Penolong Budiman.

Namun Luhcinta telah lenyap ditelan kegelapan malam. Si Penolong Budiman bermaksud hendak mengejar pula. Namun dia sadar keadaan mukanya.

"Aku harus menutupi wajahku lebih dulu. Baru mencari gadis itu. Wajahnya sama benar. Aku yakin dia…" Orang ini menarik nafas dalam lalu tinggalkan kawasan bukit batu itu penuh kecewa.

********************

SEPULUH

Luhcinta hampir kehabisan tenaga karena sepanjang malam dia berlari terus menerus mengikuti Hantu Jatilandak. Di sebelah depan Hantu Jatilandak juga merasakan sekujur tubuhnya seperti mau bertanggalan. Nafasnya megap-megap. Dia lari mengikuti gagak hitam yang terbang rendah di depannya.

Pada saat langit di sebelah timur tampak terang, gagak hitam melesat ke arah selatan, memasuki satu kawasan bebukitan rendah ditumbuhi aneka warna kembang yang sedang mekar. Baik Hantu Jatilandak maupun Luhcinta tidak sempat memperhatikan keindahan disekelilingnya. Mereka lari terus.

Waktu menyeberangi satu anak sungai kecil dan dangkal serta berair sejuk jernih, Hantu Jatilandak pergunakan kesempatan untuk meneguk minum sepuas hatinya lalu lari lagi mengikuti gagak hitam yang berputar-putar seolah sengaja menunggu. Hal yang sama juga dilakukan Luhcinta. Gadis ini cuci mukanya lalu teguk air sejuk itu. Ketika dilihatnya Hantu Jatilandak melanjutkan larinya, dia pun ikut mengejar.

Di salah satu puncak bebukitan yang penuh bungabunga itu, gagak hitam melayang turun dan hinggap di atas sebuah batu runcing berlumut. Di sini binatang ini menguik beberapa kali. Hantu Jatilandak memandang berkeliling.

"Kau mendapat sesuatu petunjuk…?" tanya Luhcinta begitu sampai di sebelah Hantu Jatilandak.

"Burung itu berhenti di sini. Berarti ada sesuatu ditempat ini. Tapi aku belum melihat apa-apa. Semua tempat ditumbuhi bunga-bunga…"

Luhcinta ikut memperhatikan keadaan di tempat itu sementara matahari sudah muncul penuh dan kini keadaan jadi terang benderang.

"Di belakang batu tempat burung itu hinggap…" kata Luhcinta. "Aku melihat bunga-bunga tumbuh agak terkuak. Mungkin ada seseorang sebelumnya melewati tempat itu…"

"Coba kita menyelidik," kata Hantu Jatilandak pula.

Ke dua orang itu bergerak ke balik batu berlumut. Gagak hitam menguik keras beberapa kali.

"Lihat!" Luhcinta berseru, menunjuk ke arah depan.

"Di balik rimbunan bunga-bunga setinggi kepala itu… Ada lobang besar…"

Hantu Jatilandak cepat menyelidik. Apa yang dikatakan Luhcinta ternyata benar. Di balik serumpun bunga-bunga yang batangnya hampir setinggi kepala manusia, ketika disibakkan kelihatan sebuah lobang besar.

"Mulut sebuah goa…" kata Hantu Jatilandak.

Luhcinta mengangguk. "Aku mencium ada bau harum keluar dari dalam sana…"

"Kau tunggu di sini. Aku akan menyelidik masuk ke dalam," kata Hantu Jatilandak.

"Kita masuk sama-sama," kata Luhcinta pula.

Maka ke dua orang itu pun masuk ke dalam. Semula mereka menyangka keadaan dalam goa itu gelap gulita. Ternyata ada cahaya terang di sebelah depan. Berjalan sejauh hampir lima puluh langkah, Hantu Jatilandak keluarkan seruan tertahan dan hentikan langkahnya.

"Ada apa…?" tanya Luhcinta.

Hantu Jatilandak memberi isyarat. "Bicara perlahan. Lihat ke depan sana…" Hantu Jatilandak miringkan tubuh sengaja merapat ke dinding kanan goa agar Luhcinta dapat melihat jelas ke ujung goa.

Sewaktu si gadis memandang ke depan, dia cepat tekap mulut menahan seruan yang hampir keluar dari tenggorokannya. Di depan sana, di ujung goa tampak tegak patung perempuan cantik yang sebelumnya ada di bukit dingin. Tak jauh dari patung ada sebuah obor yang nyala apinya mulai mengecil. Keadaan di dalam goa sejuk sekali dan ada bau harum memenuhi udara.

"Aku seperti pernah mencium bau harum ini sebelumnya…" bisik Luhcinta.

"Aku juga…" jawab Hantu Jatilandak. "Aku tidak mengerti, bagaimana patung perempuan cantik itu berada di sini…"

"Betul. Malam tadi kita lihat sendiri belasan Peri turun dari langit memboyong mencurinya…" kata Luhcinta pula. "Peri-peri itu membawa patung ini ke dalam goa ini?"

"Aku tak bisa menduga. Hati-hatilah Luhcinta. Aku mau mendekat ke ujung sana. Aku punya firasat ada orang lain dalam goa ini. Dia bersembunyi di balik sosok patung…"

"Kau juga hati-hati…" kata Luhcinta yang merasa senasib dengan pemuda malang itu.

Baru saja Hantu Jatilandak bergerak dua langkah tiba-tiba dari balik patung di ujung goa ada suara membentak. "Siapa di sana?!"

"Suara perempuan…" bisik Luhcinta. "Aku seperti mengenali tapi tak bisa memastikan karena suara itu disertai gema pantulan dinding goa…"

"Jika tidak menjawab jangan salahkan kalau aku menjatuhkan tangan jahat!" Suara dari balik patung kembali menggema.

"Aku Hantu Jatilandak!" memberi tahu Hantu Jatilandak.

"Aku Luhcinta!"

"Hantu Jatilandak, berikan satu bukti bahwa kau memang Hantu Jatilandak adanya!"

Si pemuda jadi bingung. Luhcinta berbisik. "Kirimkan satu duri landakmu ke balik patung…"

Hantu Jatilandak gerakkan pipi kanannya. Sebuah duri coklat yang ada di pipi itu melesat ke depan, menancap di dinding goa sebelah sana. Sunyi sejenak. Sesaat kemudian dari balik patung perempuan menangis muncul sesosok tubuh berpakaian serba putih dan menebar bau wangi.

"Peri Angsa Putih!" Hantu Jatilandak dan Luhcinta berseru hampir berbarengan.

Terkejut dan tidak menyangka sama sekali akan menemui sang Peri di tempat itu. Sesaat ke dua orang yang baru masuk ini tegak terpana menatapi wajah Peri Angsa Putih. Aneh, ke dua orang ini melihat ada bekas menangis pada sepasang mata biru sang Peri.

"Kalian datang hanya berdua?" tanya Peri Angsa Putih karena diam-diam dia mengharap Pendekar 212 Wiro Sableng juga muncul bersama mereka. Sang Peri menjadi kecewa karena memang hanya Hantu Jatilandak dan Luhcinta yang masuk ke dalam goa. Apalagi sejak beberapa waktu lagi dia merasa cemburu atas hubungan Wiro dengan Luhcinta.

Dari hanya terkejut Hantu Jatilandak berubah menjadi marah. Kehidupannya yang penuh derita selama ini adalah gara-gara kutukan para Peri. Patung yang sangat disayanginya lenyap dilarikan orang. Ternyata Peri Angsa Putih yang melakukannya!

"Peri Angsa Putih, jadi kau rupanya yang punya pekerjaan! Sungguh aku tidak menyangka! Dari dulu tindakanmu selalu mendatangkan kesengsaraan padaku!" Hantu Jatilandak membentak.

"Wahai, apa maksud ucapanmu Hantu Jatilandak?" tanya Peri Angsa Putih. Suaranya terdengar agak serak.

"Jangan berusaha mencari dalih. Kau seperti ayam putih terbang siang yang tertangkap tangan dan tak mungkin berdusta lagi!"

Peri Angsa Putih memandang pada Luhcinta. "Kerabatku bernama Luhcinta, mungkin kau bisa menerangkan maksud semua ucapan Hantu Jatilandak…"

Luhcinta menjadi kikuk. Gadis ini berkata. "Hantu Jatilandak, harap kau bicara terus terang pada Peri itu. Tak perlu memakai kata-kata berkias. Agar persoalan yang kau hadapi bisa jelas dan tak ada salah menduga satu dengan yang lain."

"Peri Angsa Putih, kau tahu di mana patung perempuan cantik ini sebelumnya berada?" bertanya Hantu Jatilandak.

"Aku tahu. Di bukit batu dingin," jawab Peri Angsa Putih polos.

"Lalu bagaimana patung ini tahu-tahu berada dalam goa ini bersamamu? Apakah patung batu ini punya kaki, bisa berjalan sendiri atau ada yang membawanya ke sini?"

Berubahlah paras Peri Angsa Putih mendengar kata-kata Hantu Jatilandak itu. Sesaat dia memandang ke arah Luhcinta, menunggu kalau-kalau gadis itu akan mengucapkan sesuatu menyambung kata-kata Hantu Jatilandak. Ketika si gadis tidak berkata apa-apa maka Peri Angsa Putih lalu membuka mulut.

"Hidup memang penuh keanehan. Apa yang dilihat dengan mata nyata belum tentu sesuai dengan apa yang diduga. Apa yang dijelaskan dengan kata-kata belum tentu didengar dipercaya. Wahai Hantu Jatilandak, ketahuilah, malam tadi serombongan Peri, entah siapa yang memerintah, turun ke Negeri Latanahsilam untuk mengambil patung ini dari bukit batu dingin. Mereka bermaksud membawa patung ini ke Negeri Atas Langit karena rasa khawatir yang berkelebihan. Mereka takut patung ini bisa menimbulkan sesuatu yang tidak diingini…"

"Patung batu, hanya sebuah benda mati menjadi bahan kekhawatiran ketakutan! Sungguh bodoh sekali para Peri di Negeri Atas Langit itu!" kata Hantu Jatilandak pula. "Aku menduga, salah satu dari para Peri yang mengambil patung ini adalah kau sendiri!"

"Patung itu bukan patung biasa wahai Hantu Jatilandak. Kau mengetahui sendiri. Mana ada patung biasa pandai berkata-kata. Mana ada patung batu bisa mengeluarkan air mata. Mana mungkin patung biasa mengucurkan darah ketika lehernya ditebas. Noda darah itu masih ada pada tubuhmu…"

Hantu Jatilandak pandangi dada dan ke dua tangannya. Memang darah yang mengucur secara aneh dari kutungan leher patung perempuan itu masih melekat di tubuh Hantu Jatilandak.

"Aneh, mengapa kau tahu semua kejadian itu?" tanya Hantu Jatilandak.

"Tidak aneh, karena sejak patung itu berada di bukit batu dingin aku berada tidak jauh dari sana…"

"Apa kepentinganmu wahai Peri Angsa Putih?"

"Sejak lama antara kami bangsa Peri terdapat perselisihan dalam cara berpikir dan bertindak. Tak mungkin dan tak boleh hal ini kujelaskan padamu. Aku salah seorang yang menentang cara berpikir serta tindakan para Peri yang kuanggap kuno dan tidak mau melihat perubahan-perubahan yang terjadi di atas bumi. Namun agaknya aku hanya berjalan sendiri. Para Peri lainnya tidak setuju bahkan marah. Itulah sebabnya setiap hal yang bertentangan dengan para Peri lainnya aku selalu melakukan secara diam-diam…"

"Aku sungguh gembira mendengar kata-katamu wahai Peri Angsa Putih. Tapi menurut kakekku Tringgiling Liang Batu, justru kaulah Peri yang hendak menculik diriku ketika aku dilahirkan dan dilemparkan oleh ayahku sampai jatuh ke pulau kediaman kakekku itu. Sekarang kau bicara lain. Mungkin aku perlu mendengar ucapan Peri lain untuk mengetahui siapa dan bagaimana dirimu sebenarnya…"

Walau hatinya merasa tersinggung atas ucapan Hantu Jatilnndak itu namun Peri Angsa Putih berusaha tersenyum dan menjawab. "Jika kau memang berniat, siapa yang melarangmu untuk bertemu dan bicara dengan para Peri? Wahai, aku berada di sini. Di dalam goa di mana patung perempuan cantik yang kau sayangi juga berada di sini. Ayam putih terbang siang katamu. Aku tertangkap tangan. Tertangkap basah! Tertangkap tangan dan basah bagaimana? Seperti kukatakan tadi dan kau ketahui sendiri. Para Peri sengaja hendak memboyong patung ini ke Negeri Atas Langit. Aku satu-satunya yang tidak menyukai hal itu. Tapi tak mungkin aku menentang Peri sebanyak itu. Satu-satunya jalan adalah bertindak secara diam-diam. Malam tadi dengan menyamar aku mencuri patung ini dan membawanya ke dalam goa ini…"

"Mengapa kau melakukan hal itu wahai Peri Angsa Putih? Menjadi pahlawan untuk sebuah patung benda mati?"

"Terus terang aku tidak suka dengan tindakan para Peri. Mereka telah melangkah terlalu jauh dalam mengurus hal-hal yang tak patut mereka lakukan. Kemudian satu hal yang amat penting, seperti aku katakan tadi patung ini bukan patung biasa. Apakah kau tidak merasa bahwa dalam aliran darahmu, dalam detak jantungmu seperti ada pertalian batin antaramu dengan patung ini…"

"Aku tidak mengerti…"

"Kau menyukai patung ini. Kau menyayangi mengasihinya. Wahai, itulah yang kumaksudkan pertalian batin, sambung rasa. Kau bahkan tidak peduli akan keselamatan tubuh serta jiwamu sendiri demi menyelamatkan patung ini. Itulah rasa kasih sayang sejati. Mengenai kasih sayang pengetahuanku hanya secupak dangkal. Mungkin kerabat Luhcinta bisa menjelaskan…"

Luhcinta diam saja tapi dia tahu kalau Peri Angsa Putih menyindirnya. "Apa pula maksud Peri satu ini menyindirku…" membatin Luhcinta.

"Aku akan membawa patung ini dari sini!" Hantu Jatilandak tiba-tiba berkata.

"Kau memang berhak atas patung ini…" kata Peri Angsa Putih pula. "Tapi jika aku menyarankan, sampai keadaan benar-benar aman biar saja patung ini tetap di sini. Para Peri di Negeri Atas Langit tidak tahu kalau patung ini kusembunyikan di sini…"

"Apa yang dikatakan Peri Angsa Putih mungkin benar. Sebaiknya kau mengikuti nasihatnya," Luhcinta ikut bicara.

"Kalau begitu aku menurut saja. Namun ada satu hal yang perlu kutanyakan padamu wahai Peri Angsa Putih. Menurutmu patung ini bukan patung biasa. Aku juga tahu dan menyadari. Lalu, apakah kau mungkin tahu asal usul patung ini? Tak mungkin tahu-tahu bisa berada di bukit batu dingin. Untuk menemuinya aku mendapat petunjuk aneh dari seekor gagak hitam. Burung itu juga yang memberi petunjuk letak goa ini padaku. Kalau patung ini memang dipahat orang, siapakah pemahatnya? Mengapa setelah selesai patung ditinggalkan begitu saja di bukit sunyi?"

"Wahai…" Peri Angsa Putih menatap sejurus wajah Hantu Jatilandak. "Jika kuceritakan satu kebenaran padamu, apakah kau akan cukup tabah mendengarnya?"

"Penderitaan dan kesengsaraan telah menempa diriku menjadi orang paling tabah di muka bumi ini, wahai Peri Angsa Putih."

Luhcinta lalu menyambung. "Kebenaran adalah salah satu kekuatan paling luar biasa dari kasih sayang. Aku yakin Hantu Jatilandak akan tabah mendengar ceritamu wahai Peri Angsa Putih."

"Kalau begitu baiklah. Patung itu adalah tubuh kasar ibu kandung yang melahirkanmu. Ayahmu yang bernama Lahambalang membawa jenazah ibumu ke bukit batu dingin dan meninggalkannya di sana. Para Peri khawatir satu musibah besar akan menimpa mereka jika jazad ibumu dibiarkan dalam keadaan seperti itu. Maka mereka menurunkan hawa dingin luar biasa hingga sosok ibumu membeku menjadi patung batu. Sosoknya memang berbentuk patung batu. Tapi ketahuilah sesungguhnya dia masih dalam keadaan hidup karena dia mendengar dan punya perasaan. Walau mungkin secara akal sehat kalian tidak bisa menerima kenyataan ini…"

Sekujur tubuh Hantu Jatilandak bergetar. "Tidak!" katanya dengan suara serak. "Aku bisa menerima kenyataan ini. Suara batinku sebelumnya memang sudah menduga begitu." Hantu Jatilandak memandang ke arah patung. Air mata meluncur ke pipinya yang penuh dengan duri-duri panjang berwarna coklat. "Ibu…" Suara Hantu Jatilandak tercekat. Pemuda malang ini lalu jatuhkan diri di lantai goa. Bersimpuh dan mencium kaki patung.

Luhcinta usap ke dua matanya. Peri Angsa Putih tundukkan kepala menahan derai air mata. Hantu Jatilandak baru bergerak ketika bahunya terasa kejatuhan tetesan air hangat. Ketika dia memandang ke atas dilihatnya air mata keluar, jatuh menetes dari sepasang mata patung.

"Ibu…!" Hantu Jatilandak meratap panjang dan peluk serta ciumi patung batu itu.

Tiba-tiba Peri Angsa Putih melangkah ke pintu goa. "Ada orang datang…" bisiknya. "Kalian tetap di tempat. Aku akan menyelidik…" Lalu dengan cepat dia menuju ke mulut goa. Dari balik rerumpunan bunga dia mengintip. Terkejutlah Peri Angsa Putih. Enam orang Peri berpakaian merah muda dilihatnya melangkah menuju rerumpunan bunga-bunga.

"Wahai, bagaimana mereka bisa mengetahui tempat ini. Pasti ada yang jahat membocorkan rahasia. Apa yang harus kulakukan?"

Di depan sana enam orang Peri semakin dekat. Peri paling depan malah telah menyibakkan kelompok bungabunga sebelah depan. Peri Angsa Putih pejamkan mata. Telapak tangannya dikembangkan. Dalam hati dia membaca mantera. Lalu dengan suara sangat perlahan dia mengucap.

"Kebenaran datangnya dari Junjungan Segala Junjungan! Tak ada satu kekuatan pun bisa meruntuhkannya! Tapi bila saat ini kebenaran akan roboh juga, biarlah aku mati terhimpit di cadas paling bawah. Wahai para Dewa, wahai para Peri dan semua roh baik yang tergantung antara langit dan bumi. Tolong diriku. Tolong orang-orang di dalam goa ini!"

Habis mengucap begitu Peri Angsa Putih tiup telapak tangan kanannya. Lalu tangan itu dilambaikannya pulang balik ke mulut goa. Saat itu juga muncullah larikan-larikan benang halus seperti terbuat dari kapas. Benang-benang itu bersusun demikian rupa menutupi mulut goa yang besar, membentuk sarang laba-laba Peri Angsa Putih kembali meniup. Seekor laba-laba besar kemudian muncul mendekam di atas jaring.

Ketika enam orang Peri menyibakkan bunga-bunga di mulut goa, Peri Angsa Putih telah melompat masuk ke dalam goa. Dia masih sempat mendengar salah seorang dari mereka berkata.

"Tidak mungkin patung sebesar itu disembunyikan di dalam goa tanpa memutus dan merusak jaring laba-laba ini. Aku rasa sudah sejak lama goa ini tidak pernah dimasuki manusia atau binatang! Wahai kerabatku, mari kita menyelidik ke tempat lain!"

Peri Angsa Putih merasa lega ketika mengetahui ke enam Peri di luar sana telah pergi meninggalkan tempat itu. Ketika dia berbalik dilihatnya Hantu Jatilandak dan Luhcinta telah berdiri di hadapannya. Hantu Jatilandak tundukkan tubuhnya dalam-dalam dan berkata,

"Wahai, Peri Angsa Putih Peri penolongku. Maafkan kalau sebelumnya ada salah menduga dalam diriku terhadapmu. Aku tidak tahu harus berucap bagaimana untuk menyatakan rasa terima kasihku padamu…"

Dalam harunya Peri Angsa Putih masih bisa tersenyum. Dia ulurkan tangan hendak mengusap rambut Hantu Jatilandak. Tapi menarik tangannya kembali begitu sadar kalau di kepala si pemuda tidak ada rambut, melainkan duri-duri landak yang panjang dan runcing!

********************

SEBELAS

Kuda hitam berkaki enam itu melesat ke dalam senja memasuki malam. Lakasipo yang berada di sebelah depan menunjuk ke arah timur. Sebuah bukit terjal kelihatan menghitam di kejauhan.

"Itu bukit tujuan kita," kata Lakasipo lalu memperlambat lari kudanya. "Yang di arah barat itulah yang disebut Labukit Tanpa Mentari. Pada pagi hari sampai siang bukit itu tidak pernah kena matahari. Waktu matahari beralih ke barat sinarnya juga tidak bisa menyentuh bukit karena ada bukit lain yang lebih tinggi menghalangi."

"Aku heran," kata Naga Kuning yang duduk di paling depan Laekakienam. "Kalau ada orang mau membunuh kakek tukang ngompol itu, mengapa susah-susah mengundang dan mengadakan Perjamuan Pengantar Arwah segala!"

"Nenek berjuluk Hantu Pembedol Usus yang menyamar jadi Luhlampiri itu jelas-jelas adalah kaki tangan Hantu Muka Dua," menyahuti Wiro. "Aku yakin penculikan Si Setan Ngompol ini satu jebakan yang didalangi oleh Hantu Muka Dua!"

"Aku juga menduga begitu," kata Lakasipo yang duduk di sebelah belakang. "Hantu keparat itu tidak akan berhenti menyiasati kita sebelum kita semua menemui ajal!"

Udara mulai terasa dingin. Apalagi Laekakienam si kuda raksasa berlari laksana angin. Tak selang berapa lama mereka sampai di balik bukit besar yang menghalangi bukit kecil di sampingnya. Antara ke dua bukit itu terdapat satu lembah kecil tertutup rimba belantara. Inilah bagian dari daerah yang disebut Labukit Tanpa Mentari.

Suasana gelap dan sunyi mencekam. Saking sepinya suara tiupan angin terdengar jelas. Naga Kuning memandang berkeliling lalu hendak melompat turun. Wiro cepat mencekal leher baju anak ini.

"Jangan bertindak gegabah! Pakai turun segala! Aku merasa bahaya berada di sekitar kita!"

"Tapi aku tidak melihat apa pun kecuali hitam gelap. Telingaku tidak mendengar suara apa pun! Lakasipo, apa benar ini kawasan yang disebut Labukit Tanpa Mentari? Jangan-jangan kita tersesat ke tempat yang keliru!"

"Kita tidak keliru. Aku sudah pernah datang ketempat ini sebelumnya…"

"Jika ada undangan yang disebut makan-makan, apa pun namanya pasti bau makanan sudah sampai ke hidungku. Mungkin juga ada penyambutan yang meriah. Bukankah kita tamu-tamu agung yang perlu dihormati?" Naga Kuning kembali berucap.

"Kita adalah tamu-tamu yang hendak dipesiangi oleh kaki tangan Hantu Muka Dua!" kata Wiro.

Lakasipo hentikan kudanya di satu tempat. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari jerami kering. Lalu dia mengeluarkan tiga butir benda berwarna coklat dan diberikan satu persatu pada Wiro dan Naga Kuning.

"Apa ini? Tahi kambing atau tahi tuyul?!" tanya Naga Kuning sementara Wiro memperhatikan benda yang ada di telapak tangannya itu.

"Obat penangkal racun! Lekas telan! Jika kita diundang makan oleh musuh, sudah pasti makanan atau minuman yang dihidangkan akan mengandung racun mematikan! Jadi kita harus berjaga-jaga…"

"Tapi hidangan dan minuman masih belum kelihatan!" kata Naga Kuning pula.

"Sudah, lekas saja kalian telan!"

Naga Kuning dan Wiro saling pandang sejenak. Tanpa banyak cerita ke dua orang itu lalu masukkan butiran coklat itu ke dalam mulut. Begitu obat masuk ke dalam mulut Wiro keluarkan suara tercekik dan mau muntahkan obat itu yang ternyata pahit sekali. Hal yang sama juga terjadi dengan Naga Kuning. Anak ini langsung mual perutnya dan mau muntah. Tapi Lakasipo cepat tepuk tengkuk ke dua orang ini hingga obat yang ada dalam perut mereka meluncur ke dalam tenggorokan, masuk ke dalam perut.

"Obat dajal! Pahitnya bukan main!" kata Naga Kuning.

Pendekar 212 hanya bisa menyengir lalu meludah beberapa kali. Kesunyian di kawasan antara dua bukit itu dipecah oleh suara bebunyian yang mendadak terdengar dari arah lembah. Wiro memandang ke jurusan rimba belantara gelap di bawahnya.

"Tetabuhan apa itu…?" ujar Naga Kuning.

"Tuan rumah yang mengundang agaknya telah mengetahui kedatangan kita…" kata Lakasipo pula.

"Suara tetabuhan itu seolah dekat sekali. Tapi aku tidak melihat apa-apa…" Wiro bersuara.

Naga Kuning menepuk paha Pendekar 212 lalu berkata. "Coba kau pergunakan ilmu kesaktian Menembus Pandang yang kau dapat dari Ratu Duyung…"

"Kau benar. Akan kucoba," sahut Wiro. Sesaat sang pendekar jadi ingat dan rindu pada Ratu Duyung. Kemudian dia arahkan pandangannya ke rimba belantara gelap, kerahkan tenaga dalam ke mata lalu kedipkan kedua matanya dua kali.

"Apa yang kau lihat?" tanya Naga Kuning tidak sabaran.

"Tunggu…" jawab Wiro. "Pandanganku masih kabur…" Lalu dia lipat gandakan hawa sakti ke kepala.

Sesaat kemudian sang pendekar keluarkan suara berdecak. "Luar biasa…" ujar murid Sinto Gendeng. Dua matanya tidak berkesip. Naga Kuning dan Lakasipo tidak sabaran.

"Aku melihat lebih dua belas gadis, cantik-cantik semua. Mereka duduk mengelilingi meja yang diterangi puluhan kayu-kayu aneh menyala. Mereka mengenakan pakaian kuning muda. Tapi, astaga!"

"Tapi apa?!" Lakasipo bertanya.

"Astaga apa?!" Naga Kuning menyambung.

"Pakaian mereka di sebelah punggung tersingkap lebar. Di sebelah depan sangat rendah. Lalu pada bagian pinggul terbelah tinggi…" Wiro basahi bibirnya dengan ujung lidah. "Dari sini saja sudah terlihat kemulusan dan keputihan tubuh mereka…"

"Jebakan salah-salah bisa membuat kita lupa," kata Lakasipo. "Apa lagi yang kau lihat. Hantu Muka Dua ada di sana?"

Wiro menggeleng. "Manusia Segala Tipu, Segala Keji dan Segala Nafsu itu mana berani unjukkan muka terang-terangan. Dia selalu bersembunyi di balik punggung kaki tangannya. Aku juga tidak melihat kawan kita Si Setan Ngompol. Di atas meja banyak hidangan dan minuman. Namun belum ada satu pun yang menyentuh. Ada dua buah kursi kosong di kiri kanan meja. Rupanya sesuai undangan, untukku dan untuk Naga Kuning… Tunggu dulu. Ada dua orang menggotong sebuah kursi besar. Hemm… Kukira itu kursi untukmu Lakasipo. Aneh, bagaimana mereka bisa mengetahui kehadiranmu?"

"Hantu Muka Dua punya banyak pembantu dan mata-mata. Kalian sudah siap?" tanya Lakasipo.

Wiro dan Naga Kuning anggukkan kepala. Lakasipo tepuk pinggul kuda hitam berkaki enam. Binatang raksasa ini segera melompat lari menuruni lembah kecil. Tak selang berapa lama dalam kegelapan di depan sana kelihatan cahaya terang. Lalu sesaat kemudian mereka sampai di ujung satu pedataran terbuka. Lakasipo hentikan Laekakienam di balik sebatang pohon besar.

Suara tetabuhan masih terus terdengar. Malah tambah keras. Baru saja kedua raksasa itu berhenti tiba-tiba empat belas orang gadis berpakaian kuning bergerak bangkit dari kursi masing-masing, memutar tubuh mereka ke arah pohon besar dan secara bersamaan berucap,

"Para tetamu yang diundang telah datang! Selamat datang di Perjamuan Pengantar Arwah. Mengapa tidak terus menghampiri meja perjamuan dan duduk di antara kami?"

Setelah berkata begitu ke empat belas gadis itu sama-sama bungkukkan tubuh memberi penghormatan. Karena pakaian mereka di sebelah dada terbuka lebar maka waktu membungkuk bagian dada gadis-gadis cantik ini seolah melompat keluar, putih menantang! Lakasipo, Naga Kuning dan Pendekar 212 Wiro Sableng mendelik besar melihat pemandangan itu.

Naga Kuning berucap. "Kita di sini saja. Jangan buru-buru ke sana. Biar mereka membungkuk sampai berulang kali. Sampai kita puas melihat! Hik hik hik!"

"Bocah gendeng! Orang mengincar nyawa kita! Kau masih bicara ngawur!" maki Pendekar 212. "Kalau tidak untuk menyelamatkan kawan kita kakek tukang ngompol itu, jangan harap aku mau-mauan ke sini!"

"Lagakmu! Tadi kau sudah keluar iler melihat punggung dan dada serta paha putih!" menyahuti Naga Kuning.

Jengkel Wiro sentil kuping kiri Naga Kuning hingga bocah ini meringis kesakitan dan mau membalas.

"Jangan bertengkar!" kata Lakasipo menengahi. Lalu dia memberi isyarat. "Kita turun. Ingat semua yang sudah diatur. Kalau selamat kita harus selamat semua. Kalau ada yang celaka, yang lain harus menyabung nyawa untuk menolong."

Lalu Lakasipo melompat turun. Karena dia telah mengerahkan tenaga dalam maka sewaktu kakinya menyentuh tanah sama sekali tidak terdengar suara atau pun getaran.

"Aku tidak percaya kalau belasan gadis cantik itu tega-teganya membunuh kita!" kata Naga Kuning masih bercanda lalu melompat turun dari kuda mengikuti Lakasipo. Wiro turun paling belakang.

Beberapa langkah sebelum mereka mencapai meja besar, enam gadis berpakaian kuning muda segera menyambut lalu mengantarkan mereka ke kursi masingmasing. Naga Kuning duduk sendirian di sisi kanan meja. Bocah ini duduk cengar-cengir dan tiada hentinya memandang penuh kagum pada dua gadis cantik di kiri kanannya.

Di sisi kiri Wiro dan Lakasipo duduk terpisah dua kursi. Suara tetabuhan perlahan-lahan sirna. Gadis yang duduk di ujung meja sebelah kanan bangkit berdiri. Suara tetabuhan perlahan-lahan sirna. Gadis di ujung meja membungkuk ke arah Naga Kuning di sisi kanan dan Wiro serta Lakasipo di sisi kiri meja. Naga Kuning serasa berhenti nafasnya melihat dada putih besar yang seperti hendak membusai keluar itu.

"Gila! Tanganku jadi gatal mau meraba…" kata si bocah dalam hati.

"Atas nama tuan rumah yang mengundang, kami mengucapkan selamat datang pada tiga orang gagah yang telah sudi hadir di tempat ini. Sebagai penghormatan pertama kami persilahkan para tamu agung membasahi tenggorokan, meneguk anggur murni yang ada dalam piala kayu…"

Gadis cantik yang duduk di samping kiri Naga Kuning lalu ambil cangkir kayu berbentuk piala berisi minuman dan menyerahkannya pada anak itu sambil tersenyum kedipkan mata. Naga Kuning seperti melayang di sorga balas tersenyum serta kedipkan dua matanya berulang kali lalu ambil piala kayu. Gadis yang duduk di samping kanan Naga Kuning membantu anak ini mendekatkan piala kayu ke bibirnya.

"Gluk… gluk…." Naga Kuning teguk minuman dalam piala kayu dua kali. Rasa hangat menjalar sampai ke perutnya. Mukanya berubah merah. Bocah ini tersenyum. Kedipkan matanya. Dengan dua tangannya dipegangnya lengan gadis cantik disebelahnya lalu dekatkan piala kayu ke mulut dan teguk kembali anggur di dalamnya. Sesaat kemudian anak ini batuk-batuk lalu tersandar ke kursi. Dua matanya berputar-putar dan mulutnya pencong ke kiri. Air liurnya mulai meleleh.

Di sisi meja yang lain Wiro dan Lakasipo juga mengalami hal yang sama. Dua orang ini tampak seperti melayang-layang seperti meneguk minuman yang disuguhkan. Ke duanya senyum-senyum lalu terduduk dengan mata mendelik tapi sayu hampir seperti orang juling.

"Dari tadi minum melulu!" kata Naga Kuning ketika si cantik di sebelahnya kembali mendekatkan piala kayu ke mulutnya. "Apa aku boleh menyantap makanan di atas meja?"

Dua gadis di sebelahnya tersenyum manis. "Tamu yang mulia, harap sudi menunggu. Hidangan di atas meja belum boleh disentuh sebelum hidangan utama disiapkan dan disajikan."

"Lalu mana hidangan utamanya?!" tanya si bocah sambil julurkan lidahnya.

"Harap bersabar wahai tamu agung! Sebentar lagi makanan utama akan segera dihadirkan. Sambil menunggu harap habiskan minuman dalam piala…"

Ke tiga orang itu seperti setengah dicekoki, diberi minuman dalam piala kayu. Tak selang berapa lama keadaan mereka kelihatan semakin parah. Pendekar 212 Wiro Sableng duduk terkulai. Tangan kanannya ada di atas kepala seperti mau menggaruk. Tapi dia seolah tidak punya daya untuk menggerakkan jari-jarinya! Matanya semakin juling. Mukanya tambah kuyu. Mulutnya komat-kamit termonyong-monyong seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi yang keluar justru adalah suara hembusan angin turun naik seperti orang bengek!

Lakasipo sebentar-sebentar menyedot hidungnya seperti orang ingusan. Matanya berputar jelalatan. Dari mulutnya tiada henti keluar sendawa. Sesekali diseling suara seperti mau muntah. Naga Kuning lain pula keadaannya. Dia tidak lagi duduk di alas kursi tapi pindah ke lengan kursi. Matanya kuyu jereng. Dari mulutnya keluar ludah dibarengi suara cegukan. Setiap cegukan berhenti, dari bagian bawah tubuhnya mengepos keluar suara angin alias kentut!

"Aneh…" bisik seorang gadis berpakaian kuning pada kawan di sebelahnya. Tiga orang itu memperlihatkan gejala aneh. Padahal tegukan ke dua tadi sudah bisa membuat mereka menemui ajal…"

"Wahai, setahuku mereka berilmu tinggi. Mungkin saja bisa bertahan beberapa waktu. Tapi lihat saja sebentar lagi. Selama ini tidak ada satu orang pun bisa lolos dari kematian setelah meneguk Racun Pelibas Usus. Mereka akan menemui ajal dengan usus hancur lebih dulu. Lalu menjerit-jerit seperti orang kemasukan roh jahat. Setelah itu tegang kaku tak bernyawa!"

Naga Kuning dan Wiro Sableng delikkan mata. Tapi ketika para gadis memandang padanya, ke dua orang ini langsung kuyu kembali. Tiba-tiba terdengar suara seperti dua piring kaleng diadu satu dengan lainnya. Lalu muncul sebuah gerobak terbuat dari besi. Seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam yang mukanya bopeng, berambut panjang sepinggang dan bermata merah mendorong kereta itu. Setiap dia menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya besar-besar.

Pada lantai gerobak ada setumpuk kayu bakar menyala. Lalu pada palang besi yang melintang di atas gerobak, hampir tak dapat dipercaya dan sungguh mengerikan terikat sesosok tubuh manusia dilumuri minyak dan hanya mengenakan sehelai cawat kecil. Orang itu ternyata mau dijadikan kambing guling!

Jarak antara sosok orang itu dengan api kayu memang cukup jauh tapi hawanya tetap saja panas bukan kepalang. Sosok tubuh yang malang itu kelihatan merah hampir melepuh. Tidak bergerak dan juga tidak bersuara. Mungkin sekali sudah tidak bernyawa lagi! Dan orangnya bukan lain adalah si kakek berjuluk Si Setan Ngompol! Baik Wiro, maupun Naga Kuning dan Hantu Kaki Batu alias Lakasipo sama sekali tidak memperlihatkan gelagat apa-apa. Ke tiga orang ini tetap saja dalam keadaan seperti tadi.

"Makanan utama sudah datang!" Gadis di ujung meja berseru memberi tahu setelah bertepuk tangan tiga kali.

Orang bermuka garang yang mendorong gerobak besi hentikan gerobak itu di sisi kanan. Lalu dia ambil sebuah sapu pendek terbuat dari jerami yang tergantung dalam sebuah kaleng berisi minyak di salah satu tiang gerobak besi. Minyak ini dipoleskannya ke muka dan sekujur tubuh Si Setan Ngompol. Ketika ujung sapu menyentuh bagian bawah perut si kakek, perut orang tua ini berkedut-kedut lalu...

"Ces… ces… ces. Ada tetesan air jatuh ke atas kayu bakar. Si kakek terkencing! Pertanda dia masih hidup walau mungkin sudah sekarat!

Orang bermuka bopeng dekati gadis diujung meja. Dia membisikkan sesuatu lalu kembali melangkah ke gerobak besi. Si gadis bertepuk tiga kali.

"Hidangan utama Perjamuan Pengantar Arwah yakni seekor kambing muda yang masih belum tumbuh tanduk siap disajikan! Wahai para tamu agung! Juru masak ingin bertanya. Para tamu agung mau mengecap kambing guling ini dalam keadaan mentah, setengah matang atau matang!"

Si gadis memandang pada Wiro, Naga Kuning dan Lakasipo yang duduk terkulai di kursi masing-masing.

"Wahai! Tak ada jawaban! Berarti para tamu minta makanan utama dihidangkan secara matang!" Gadis itu memberi tanda pada juru masak dengan lambaian tangan.

Si muka bopeng menyeringai. Dengan tangan kirinya dia putar palang besi di atas perapian. Sosok Si Setan Ngompol berputar-putar di atas gerobak. Lalu si muka bopeng cabut dua buah benda yang tersisip dipinggangnya yakni sebilah golok penjagal besar, berbentuk empat persegi panjang, putih berkilat dan sebatang besi lancip. Golok digosok-gosokkdnnya berulang kali ke batangan besi hingga mengeluarkan suara gesekan mengerikan.

Di atas gerobak sosok Si Setan Ngompol kembali kucurkan air kencing. Tiba-tiba tangan kiri juru masak bermuka bopeng itu tusukkan besi lancip ke perut Si Setan Ngompol. Tangan kanan yang memegang golok persegi panjang dibacokkan ke pangkal paha si kakek! Serrrr! Air kencing Si Setan Ngompol mancur deras!

DUA BELAS

Hanya tinggal sejengkal ujung besi lancip akan menembus perut dan sekejapan lagi bagian tajam golok penjanggal akan memutus amblas pangkal paha Si Setan Ngompol, tiba-tiba tiga sosok melesat ke udara.

"Braaakkk!"

Sosok pertama mendarat di meja perjamuan. Membuat meja itu hancur berantakan. Semua apa yang ada di atas meja itu mencelat bermentalan. Delapan kaki meja melesak amblas ke dalam tanah! Itulah sosok Hantu Kaki Batu alias Lakasipo. Dia menghancurkan meja perjamuan dengan gebrakan Kaki Roh Pengantar Maut.

Para gadis di sekeliling meja berpekikan lalu saling berhamburan. Namun hanya empat orang saja yang bisa kabur. Karena begitu mereka hendak melarikan diri sosok ke dua yang melesat ke udara yakni Naga Kuning cepat mendorong sosok gadis terdepan. Enam orang langsung jatuh saling tindih. Dua orang coba bangkit berdiri hendak kabur lagi tapi pakaiannya dibetot si bocah.

Dari pada robek dan jadi bugil dua gadis ini memilih diam. Empat gadis lagi, termasuk yang tadi menjadi juru bicara perjamuan tertegun diam tak bisa bergerak. Tubuh mereka kaku tegang dimakan totokan Naga Kuning! Anak ini kemudian melompat ke arah gerobak besi. Dengan cepat dia lepaskan ikatan di tangan dan kaki Si Setan Ngompol lalu seret kakek ini ke tempat aman.

"Anak setan… Aku hampir meregang nyawa! Mungkin jiwaku tidak ketolongan lagi! Mengapa kalian bersikap alon-alon asal kelakon menolongku?!"

"Aku tak bisa menjawab saat ini Kek! Yang penting kami bisa menolongmu walau keadaanmu seperti kambing guling benaran! Lalu yang juga tak kalah pentingnya, kapan lagi bisa berdekatan dan berpegang-pegang tangan dengan gadis-gadis cantik itu! Hik hik hik!"

"Bocah edan! Aku hampir matang dipanggang orang, kau masih saja bisa enak-enakan cari kesempatan!" Setan Ngompol memaki habis-habisan. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan panas.

Di atas meja, begitu membuat meja hancur berantakan Lakasipo langsung melompat ke arah juru masak muka bopeng. Kaki kanannya menderu ke kepala tukang jagal itu. Tapi dengan cepat si muka bopeng jatuhkan diri, berguling di tanah. Tubuhnya secara aneh berubah hijau pekat. Tangan kanannya memukul. Selarik sinar hijau pekat berkiblat. Bau amis menebar!

"Pukulan Kelabang Racun Hantu!" teriak Lakasipo mengenali pukulan itu. "Jadi kau adalah Hantu Kelabang Dari Bukit Racun!" Lakasipo cepat menyingkir selamatkan diri.

Si muka bopeng bergelak. Saat itu dia sudah tegak berdiri dan berkata dengan suara keras. "Sayang kau mengenali diriku di saat ajal sudah di depan mata!" Orang ini kembali hantamkan tangan kanannya.

Lakasipo gembungkan rahang. Tangan kanannya menggempur. Lima larik sinar hitam menderu dahsyat.

"Lima Kutuk Dari Langit!" Kini si muka bopeng yang berjuluk Hantu Kelabang Dari Bukit Racun itu yang berteriak kaget begitu mengenali pukulan yang dilepaskan Lakasipo. Dia cepat melompat ke kiri.

Namun saat itu sosok Pendekar 212 berkelebat. Selarik sinar putih mengeluarkan suara seperti ribuan tawon mengamuk dan menghampar sinar panas berkiblat di tempat itu. Hantu Kelabang Dari Bukit Racun pergunakan besi runcing dan golok penjagal untuk menangkis.

"Traangg! Traaang!"

Si muka bopeng berteriak kesakitan. Dua tangannya melepuh kepulkan asap. Besi runcing dan golok empat persegi terbabat buntung lalu hancur berkeping-keping, hangus mengepulkan asap!

Putuslah nyali Hantu Kelabang Dari Bukit Racun ini. Walau dia masih menyimpan satu ilmu kesaktian namun dia memilih lebih baik selamatkan diri. Tanpa banyak cerita dia segera putar tubuh untuk larikan diri. Tapi di depannya tiba-tiba menghadang Naga Kuning. Melihat cuma seorang bocah yang menghadangnya si muka bopeng langsung melabrak sambil pukulkan tangan kanannya.

Larikan sinar hijau melesat di atas kepala Naga Kuning. Bocah ini seperti kambing bandot mengamuk menyeruduk ke depan. Kelabang Hantu terhenyak ke tanah. Naga Kuning cepat berkelebat hendak menetaknya. Tapi si bocah jadi berseru kaget ketika melihat bagaimana sosok orang itu mulai dari kepala sampai ke kaki berubah menyerupai seekor kelabang. Kelabang raksasa jejadian ini berjingkrak ke udara. Buntutnya melesat menghantam kepala Naga Kuning sedang kepalanya dengan dua tangan sebelah depan menyambar ke leher Lakasipo!

Lakasipo memang bisa mengelak selamatkan diri. Tapi Naga Kuning yang tidak menduga kejadian itu terlambat membuat gerakan selamatkan diri. Ekor beracun kelabang raksasa itu sampai di batok kepalanya! Pada saat itulah sebuah benda putih menerobos laksana kilat, memayungi batok kepala Naga Kuning. Lalu ketika benda putih ini bergerak berputar terdengar suara...

"Craaasss!" Ekor kelabang jejadian putus amblas. Cairan hijau menyembur dibarengi suara raungan aneh.

Naga Kuning jatuhkan diri walau pakaian hitamnya sempat terkena semburan cairan hijau. Ketika dia memandang ke depan dilihatnya sosok Hantu Kelabang Dari Bukit Racun telah berubah kembali menjadi sosok lelaki muka bopeng garang. Namun satu kakinya tak ada lagi, buntung dibabat Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi dipergunakan Wiro untuk melindungi kepala Naga Kuning, sekaligus membabat putus ekor kelabang jejadian yang dalam bentuk aslinya adalah kaki kiri Hantu Kelabang Dari Bukit Racun!

Terhuyung-huyung Hantu Kelabang bangkit berdiri. Kakinya yang buntung diangkat tersentak-sentak. Belum sempat dia berdiri dengan benar satu jotosan mendarat di mukanya!

"Kraaakkk!"

Jotosan dalam jurus Kepala Naga Menyusup Awan yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat hancur hidung Hantu Kelabang. Pipinya melesak ke dalam tengkorak kepalanya! Raungan yang keluar dari mulutnya yang ikut hancur terdengar aneh mengerikan!

Tangan Wiro sekali lagi berkelebat. Sosok Hantu Kelabang mendadak sontak menjadi kaku tegang tak bisa bergerak begitu totokan ampuh dengan telak disarangkan Wiro ke pangkal leher si tukang jagal itu.

"Kambing guling muka bopeng pasti lebih enak dari pada kambing tua tukang ngompol!" kata Wiro. Lalu tubuh kaku Hantu Kelabang Hijau Dari Bukit Racun digotongnya, dibawa ke arah gerobak besi.

"Jahanam! Kau mau bikin apa?!" teriak si muka bopeng walau dalam keadaan kaku tapi masih bisa bicara karena Wiro memang sengaja tidak menotok jalan suaranya.

"Ha ha ha…! Tidak kira kambing ini bisa bicara! Lihat saja apa yang akan kubikin padamu! Ada budi ada talas. Ada keji ada libas! Ha ha ha!"

Sambil tertawa-tawa murid Sinto Gendeng ikat pergelangan tangan dan dua kaki orang itu ke palang besi yang melintang di atas kayu api pada gerobak besi. Wiro lalu putar palang besi itu hingga sosok si muka bopeng ikut berputar. Lalu ke atas tubuh yang berputar ini dia guyurkan minyak dari dalam kaleng yang tergantung pada tiang gerobak. Hantu Kelabang Hijau Dari Bukit Racun berteriak seolah lidah dalam mulutnya yang hancur mau copot!

Semua gadis berpakaian kuning yang tidak sempat melarikan diri palingkan muka, tidak berani menyaksikan apa yang terjadi. Apalagi begitu mereka mulai mencium bau daging yang mulai meleleh terpanggang.

"Tobat! Ampun! Lepaskan aku!" teriak Hantu Kelabang.

Lakasipo datang mendekat. "Siapa biang keladi yang menyuruh kalian melakukan kebiadaban terhadap kakek temanku?! Lekas jawab!" Lakasipo membentak sambil jambak rambut Hantu Kelabang yang mulai berbau sangit dijilat api.

"Ampun! Aku akan bilang! Hantu Muka Dua! Dia yang memerintahkan kami!" jawab Hantu Kelabang Hijau berteriak. "Aduh, tolong! Lepaskan aku! Panas sekali! Tubuhku terbakar!"

Lakasipo menyeringai. "Bagus, aku akan panggil Hantu Muka Dua untuk menolongmu! Sebelum dia datang biar aku menolong membuat tubuhmu jadi sejuk dingin…"

Lakasipo ambil kaleng minyak dari tangan Wiro lalu guyurkan sampai habis. Sosok Hantu Kelabang Hijau kepulkan asap menebar bau menggidikkan. Di bawahnya kayu api pemanggang berkobar lebih besar. Naga Kuning melompat ke hadapan gadis-gadis itu.

"Waktu kakek itu kalian perlakukan dengan keji, semua kalian tersenyum tertawa! Sekarang mengapa kalian palingkan muka memperlihatkan rasa ngeri! Satu-satu kalian akan kami panggang seperti si muka bopeng itu! Kau duluan!" Si bocah menuding ke arah gadis yang tadi bertindak sebagai juru bicara. Gadis ini langsung pucat wajahnya. Dia segera jatuhkan diri. Kawan-kawannya mengikuti.

"Tamu agung! Jangan salahkan kami! Kami hanya orang suruhan!"

"Peduli amat! Mengapa mau disuruh!" kata Naga Kuning seraya dongakkan kepala dan rangkapkan tangan di depan dada sementara dua kaki tegak direnggangkan. Sikapnya seperti seorang pendekar jempolan. Wiro dan Lakasipo cuma menyeringai melihat kelakuan anak itu.

"Kalau kami tidak mau, kami akan dimasukkan ke dalam ruangan penyiksaan oleh Hantu Muka Dua!"

"Betul! Sudah banyak teman kami dijebloskan ke dalam Ruang Obor Tunggal di Istana Kebahagiaan!"

"Dosa kalian sama besarnya dengan dosa Hantu Muka Dua, jadi kami para tamu agung tidak mungkin memberi ampun!"

Si gadis jatuhkan diri hampir bersimpuh. "Aku dan kawan-kawan akan lakukan apa saja asal tidak dipanggang di atas kereta besi itu!" Si gadis memohon.

"Hemmm… begitu?" Naga Kuning turunkan kepalanya. Memandang sambil tersenyum dan kedipkan mata pada si gadis. Lalu dia bertanya. "Coba katakan apa saja yang bisa kau lakukan untukku dan kawan-kawan…"

"Apa saja! Apa saja yang kalian minta!"

"Misalnya?!" tanya Naga Kuning.

Si gadis di sebelah depan berpaling dulu pada teman-teman di belakangnya. Ketika para gadis itu anggukkan kepala baru dia menjawab. "Ada sebuah bangunan rahasia di sebelah timur rimba belantara. Di dalamnya ada dua belas kamar. Kami bisa membawa kalian ke sana sebelum sampai pertengahan malam. Kalian boleh berada di sana sampai sang surya terbit…"

"Tawaran menggiurkan," kata Naga Kuning sambil senyum dan kedip-kedipkan matanya. "Kalau sampai di sana, lalu apa yang mau kalian lakukan?" Si bocah bertanya.

"Terserah para tamu agung. Kami hanya mengikut!"

"Wah, asyik juga! Tapi biar kutanya dulu teman-temanku!" kata Naga Kuning.

Saat itu Lakasipo dan Wiro Sableng sudah melangkah mendekati Naga Kuning. Mereka memandang pada gadis-gadis cantik yang duduk bersimpuh di tanah itu.

"Kalian gadis baik-baik yang bisa kembali ke jalan baik. Jika kalian berjanji mau meninggalkan Istana Kebahagiaan, kami akan melepaskan kalian!"

Gadis-gadis itu langsung jatuhkan diri dan berbarengan berucap. "Kami berjanji!"

"Hai! Janji itu tidak berlaku untukku!" Naga Kuning berteriak.

"Buang pikiran kotor yang ada dalam benakmu Naga Kuning!" kata Wiro.

"Hai! Siapa yang punya pikiran kotor?!" teriak si bocah.

"Aku dan Lakasipo tidak tuli. Kami dengar semua pembicaraanmu. Kami lihat sendiri sikap genitmu! Bocah edan tak tahu diri! Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan!" sentak Pendekar 212.

"Kalian salah sangka! Aku tidak mencari kesempatan dalam kesempitan! Terbalik! Justru aku mencari yang sempit jika ada kesempatan! Hik hik hik!" Naga Kuning tertawa cekikikan lalu melesat ke atas pohon dan duduk di salah satu cabangnya ketika Wiro hendak melabraknya.

"Kalian semua boleh pergi! Jauhkan diri kalian dari Istana Kebahagiaan!" kata Wiro kemudian.

Semua gadis itu tak ada yang bergerak. Mereka dongakkan kepala menatap ke arah Wiro dengan perasaan tidak percaya.

"Sungguhkah? Kami boleh pergi begitu saja…?"

Wiro anggukkan kepala Si gadis bangkit berdiri. Kawan-kawannya mengikuti. Wiro kemudian melepaskan totokan pada beberapa gadis yang tadi dilakukan Naga Kuning.

Gadis cantik di sebelah depan berkata. "Namaku Luhcempaka. Budi kalian tidak akan kami lupakan. Jika ada kesempatan dikemudian hari tentu kami akan membalasnya…"

"Tidak usah memikirkan hal itu. Kalian boleh pergi dengan aman," kata Pendekar 212. Matanya terasa silau melihat sosok-sosok cantik yang pakaiannya tersingkap di sana-sini itu.

Gadis-gadis itu membungkuk. Melihat ini Naga Kuning langsung melompat turun dari cabang pohon. Matanya tidak berkedip memperhatikan belahan dada gadis cantik. Sewaktu hendak bergerak pergi si gadis di sebelah depan memberi isyarat pada teman-temannya. Lalu dari balik pakaian kuningnya dia mengeluarkan satu tabung bambu. Tabung itu diserahkannya pada Wiro.

"Apa ini?" tanya Pendekar 212.

"Di dalam tabung itu ada cairan obat. Bisa kau pergunakan untuk mengoles tubuh kakek yang tadi digarang itu. Dalam waktu tiga hari luka bakarnya pasti akan sembuh!"

"Terima kasih…" kata Wiro sambil tersenyum.

"Hanya itu yang bisa kami lakukan untuk membalas kebaikan kalian. Hanya itu dan ini…"

Lalu si gadis melompat ke depan. Bersama kawan-kawannya secara tidak terduga dia berkelebat, satu persatu menciumi Wiro, Lakasipo dan Naga Kuning. Naga Kuning usap-usap pipinya sambil menatap ke arah kegelapan tempat lenyapnya gadis-gadis cantik berpakaian kuning muda itu.

"Lumayan," katanya. "Dari pada tidak mendapat apa-apa sama sekali! Hik hik hik!"

"Kalian beruntung, aku tetap saja ketiban nasib jelek! Lekas bawa kemari obat dalam tabung itu ke sini!" Dari arah kiri terdengar ucapan si kakek Setan Ngompol.

Wiro memandang pada Naga Kuning lalu serahkan tabung bambu ke tangan si bocah. "Serahkan padanya…" kata Wiro pula.

Naga Kuning ambil tabung bambu itu lalu melangkah mendekati Si Setan Ngompol.

"Ah, kau si bocah setan! Hari ini harap kau mau sedikit berbakti pada kakekmu ini," kata Setan Ngompol begitu melihat Naga Kuning berada di depannya memegang tabung bambu berisi obat. "Tolong usapkan obat itu dengan tanganmu ke tubuhku. Selangkanganku sebelah belakang lebih dulu!"

"Sialan! Siapa sudi!" kata Naga Kuning setengah berteriak dan bantingkan kaki kanannya ke tanah.

Si Setan Ngompol tertawa cekikikan! Lakasipo dan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut tertawa gelak-gelak...
Bersambung...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.