Rahasia Perkawinan Wiro

Wiro Sableng, Rahasia Perkawinan Wiro
Sonny Ogawa

RAHASIA PERKAWINAN WIRO

SATU

"Celaka!" kata Luhsantini setengah berseru. "Jangan-jangan kita datang terlambat! Percepat larimu Luhcinta!"

Luhcinta dan Luhsantini sampai di puncak bukit batu kawin. Luhcinta serta merta hendak menghambur ke hadapan orang-orang yang berada didekat ranjang batu. Tapi luhsantini cepat memegang erat lengannya dan menarik gadis ini ke balik sebuah batu besar yang tertutup semak belukar lebat.

"Kita memang terlambat Luhcinta. Upacara pernikahan sudah dilaksanakan. Mereka telah berpegangan tangan…"

"Mereka siapa?" tanya Luhcinta dengan suara gemetar. Gadis ini sibakkan semak belukar lalu memandang ke depan. Saat itu terdengar suara lantang sang juru nikah lamahila.

"Wiro Sableng dan Luhrembulan! Kalian berdua telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan didengar oleh para Dewa dan semua Roh yang tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri!"

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

SATU

KUDA raksasa berkaki enam itu berlari kencang di bawah siraman sang surya yang tengah menggelincir menuju ufuk tenggelamnya. Bulunya yang hitam pekat seolah menebar pantulan kekuning-kuningan. Di atas punggungnya dua sosok manusia tergantung dalam dua buah jala. ltulah sosok Lakasipo dan Luhsantini yang terjebak tak berdaya di dalam jaring api biru akibat perbuatan jahat Hantu Bara Kaliatus.

Orang ke tiga di atas kuda raksasa itu adalah seorang kakek yang berdiri di punggung kuda dengan dua tangan di sebelah bawah dan dua kaki di sebelah atas. Rambut, janggut dan kumis putihnya melambai-lambai disapu angin. Walau kuda hitam bernama Laekakienam berlari secepat setan menyambar namun di atas punggungnya si kakek tampak tegak tenang tanpa bergeming sedikitpun. Sudah dapat diduga kakek ini bukan lain adalah Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.

"Huuii…!" Kakek di atas kuda berseru panjang.

"Kuda hitam gagah perkasa, kita berhenti dulu di sini! Aku perlu bicara dengan dua insan di dalam jaring!"

Habis berkata begitu sosok si kakek melesat ke udara. Dua tangannya menyambar cabang satu pohon besar. Sesaat tubuhnya berputar sebat dua kali dicabang pohon itu lalu melayang turun, menjejakkan dua tangannya yang dijadikan kaki di tanah tanpa keluarkan suara sedikitpun.

Kuda hitam yang memiliki dua tanduk di atas kepalanya meringkik keras lalu hentikan larinya. Debu beterbangan di belakangnya. Setelah meringkik sekali lagi binatang ini lalu melangkah mendekati si kakek dan menjilat-jilat kaki orang tua itu dengan ujung lidahnya.

"Kuda hebat! Aku berterima kasih padamu! Seumur hidup baru kali ini aku menunggang kuda. Aku serasa mau kencing menahan gamang. Tapi nikmat! Ha ha ha…!"

Si kakek tepuk-tepuk pinggul Laekakienam lalu dia bergerak mendekati Lakasipo dan Luhsantini yang berada di dalam dua jaring terpisah. Kakek ini pergunakan dua kakinya untuk mengait jaring. Lalu perlahan-lahan, enak saja dia turunkan dua jaring itu ke tanah. Di dalam jaring Lakasipo dan Luhsantini cepat bangkit lalu bersila ditanah.

"Kakek Hantu Langit Terjungkir! Kami berdua menghaturkan terima kasih. Kau telah membawa kami keluar dari tempat penuh bencana itu!" Luhsantini pertama sekali keluarkan ucapan.

Hantu Langit Terjungkir alias Lasedayu sibakkan rambut putih menjulai yang menutupi mukanya lalu tatap wajah Luhsantini beberapa lamanya. Sesaat kemudian dia palingkan kepala memandang pada Lakasipo.

Dipandang seperti itu Lakasipo merasa jangan-jangan orang tua ini masih membekal amarah karena tindakannya yang lalai tempo hari sehingga sendok emas sakti yang bisa menjadi penyembuh bagi si kakek lenyap dirampas orang. Maka sebelum ditegur Lakasipo berkata duluan.

"Kek, apakah kau masih marah padaku karena kesalahanku menghilangkan Sendok Pemasung Nasib itu…? Aku sekali lagi mohon maafmu. Janjiku tetap akan kupenuhi. Aku akan mencari benda itu sampai dapat walau harus menebus dengan nyawaku sendiri."

Lasedayu menghela nafas dalam lalu menyeringai. "Wahai, bagaimana kau bisa mencari sendok sakti. Sementara dirimu berada dalam jaring iblis api biru itu!"

Lakasipo terdiam mendengar kata-kata si kakek. Dia memandang pada Luhsantini seperti meminta pendapat Perempuan ini segera membuka mulut. "Supaya kami bisa menebus kesalahan itu harap kau mau menolong kami keluar dari jaring ini."

"Betul, Kek," menyambung Lakasipo. "Kami bukan cuma memikirkan keselamatan diri sendiri. Tapi begitu bebas kami akan segera kembali ke lembah untuk menolong kawan-kawan kami. Mereka berada dalam bahaya besar…"

Lasedayu gelengkan kepala. "Tak ada hal lain yang bisa kuperbuat. Aku hanya berkemampuan merubah jaring ini dari jaring api menjadi jaring tali biasa. Lebih dari itu aku tak bisa. Seperti penjelasanku dulu, hanya ada beberapa orang saja di Negeri Latanahsilam ini yang mampu memutus jaring api biru ini…”

Kisah bagaimana Lakasipo dan Luhsantini terjebak dalam jaring api biru baca Episode Hantu Santet Laknat

"Berarti kita bisa seumur-umur mendekam di dalam jaring celaka ini! Mungkin ajal lebih dulu datang menjemput sebelum ada yang membebaskan kita!" kata Luhsantini.

"Kek, kalau aku tidak salah mengingat, kau pernah mengatakan siapa-siapa saja orang yang mampu menjebol jaring ini. Siapa tahu ada orang yang bisa menemui mereka untuk dimintai bantuannya..."

"Aku tidak yakin. Orang-orang itu seperti setan. Ada bernama tapi sulit dicari bahkan entah masih hidup atau sudah menjadi satu dengan tanah. Seorang di antara mereka adalah Hantu Seribu Obat. Tapi manusia satu ini aneh angin-anginan. Kalau hatinya sedang senang apapun yang diminta orang akan diberikannya sekalipun orang meminta telinga atau matanya! Tapi kalau syarafnya terganggu, sedang tidak karuan hati dan pikirannya, salah sedikit saja dalam bicara isi perut kita bisa dibedolnya untuk dijadikan ramuan obat!"

"Tunggu dulu!" ucap Lakasipo setengah berseru. "Aku pernah bertemu dengan Hantu Seribu Obat. Dialah yang menolong dua saudara angkatku hingga sosoknya menjadi sebesar sosok orang-orang di negeri ini…" berkata Lakasipo.

"Mungkin waktu itu hatinya sedang senang. Tapi jika bertemu sekali lagi aku tidak dapat menjamin dia akan bersikap sama," kata Lasedayu pula.

"Siapa orang lainnya yang menurutmu mampu menolong kami Kek?" bertanya Luhsantini.

"Seorang nenek berjuluk Hantu Lembah Laekatak hijau. Nenek satu ini lebih kacau. Di tempat kediamannya yang sulit diketahui dimana letaknya, dia memelihara ribuan kodok. Bahkan konon kabarnya sekujur tubuhnya diselimuti binatang itu. Kalau dia ingin sesuatu yang menyenangkan, si nenek bisa saja menyuruh kodok-kodok peliharaannya untuk mempesiangi orang hingga dalam waktu sesaat saja orang itu bisa hanya tinggal tulang memutik!"

Lakasipo menatap ke arah Luhsantini dan berkata perlahan. "Agaknya tidak ada yang bisa kita lakukan.Tidak ada orang yang dapat menolong kita. Kalau saja nenek tukang kentut berjuluk Hantu Selaksa Angin itu mau menolong kita…"

"Dia punya kemampuan," menyahuti Luhsantini.

"Tapi apakah dia harus menghantami kita dengan pukulan sakti agar semua tali-tali ini bisa putus? Jangan-jangan kita lebih dulu remuk jadi bangkai sebelum dia bisa mengeluarkan kita dari dalam jaring celaka ini! Jika aku bisa lolos, aku bersumpah akan menguliti Hantu Bara Kaliatus makhluk keji biadab itu!"

Hantu Langit Terjungkir mendehem beberapa kali lalu berkata. "Sebenarnya aku melarikan kalian bukan cuma karena ingin menyelamatkan kalian, tapi lebih dari itu ada satu perkara besar yang ingin aku bicarakan. ini menyangkut dirimu dan diriku, Lakasipo…"

"Maksudmu sendok emas itu Kek?" tanya Lakasipo.

"Lupakan sendok celaka itu!" jawab si kakek.

Lalu dia melangkah ke belakang Lakasipo yang sampai saat itu masih duduk bersila di tanah. Sepasang mata sikakek memandang tak berkesip ke arah lengan kanan sebelah belakang Lakasipo. Seperti diketahui di situ terdapat tanda berbentuk sekuntum bunga dalamlingkaran berwarna kebiru-biruan.

"Hal yang hendak aku bicarakan ini jauh lebih penting dan lebih berharga dari sendok emas itu! Aku malah menganggap jauh lebih penting dari nyawa ataupun masa depanku..."

Lasedayu kembali berdiri di hadapan Lakasipo. Dari balik juntaian rambut putihnya diapandangi wajah lelaki itu dengan perasaan yang sulit untuk dikatakan. Saat itu dia seolah ingin menghamburkan sejuta kata sejuta cerita. Bahkan lebih dari itu ingin memeluk merangkul Lakasipo.

"Lakasipo, di belakang lengan kananmu sebelah atas, dekat ketiak, ada satu tanda kecil. Seperti jarahan. Berbentuk bunga dalam lingkaran…"

"Apa Kek?!" ujar Lakasipo. Wajahnya menyatakan rasa heran. "Tanda bunga dalam lingkaran...? Dekat ketiak kananku sebelah belakang?"

Lakasipo angkat tangan kanannya, mencari-cari. Dia berhasil melihat tanda kecil seperti yang dikatakan si kakek. Bunga dalam lingkaran. "Aku tak-pernah tahu kalau ada tanda seperti ini di lenganku. Juga tak ada orang yang mengatakan kalau aku punya tanda seperti ini."

Lakasipo menatap wajah si kakek lalu bertanya. "Kek, apa pentingnya tanda di balik lenganku ini bagimu? Apa mengandung satu arti?"

"Tanda itu sangat penting bagiku wahai Lakasipo. Lebih penting dari nyawaku sendiri…"

"Aku tidak mengerti. Tunggu. Aku coba mengingat-ingat. Rasanya aku pernah melihat tanda seperti yang kau katakan itu di lengan belakang seseorang…"

"Ucapanmu membuat aku berdebar Lakasipo!" kata Hantu Langit Terjungkir.

"Pusatkan pikiranmu, pusatkan ingatanmu! Siapa orang yang punya tanda seperti tanda di dekat ketiak kananmu itu?!"

Lakasipo memijit-mijit keningnya berulang-ulang. Berusaha untuk mengingat. Tiba-tiba ditepuknya keningnya. "Aku ingat Kek!" katanya dengan suara keras.

"Siapa?!" tanya Hantu Langit Terjungkir tak kalah kerasnya.

"Latandai alias Hantu Bara Kaliatus!"

Si kakek tersurut satu langkah mendengar ucapan Lakasipo itu. Sementara Luhsantini keluarkan seruan tertahan karena tidak menyangka nama bekas suaminya itu yang bakal diucapkan Lakasipo.

"Aku sudah menduga…" kata Hantu Langit Terjungkir dengan suara bergetar. Sepasang matanya sekilas tampak berkaca-kaca. Ada satu perasaan besar yang seperti coba ditekannya.

"Aku sendiri memang pernah melihat tanda itu di lengan kanan sebelah belakang Hantu Bara Kaliatus…" Orang tua ini kemudian berpaling pada Luhsantini. "Kau adalah istri Hantu Bara Kaliatus…"

"Saat ini aku tidak lagi jadi istri manusia keji jahat itu!" menukas Luhsantini.

"Aku tahu perasaanmu wahai Luhsantini. Tapi bagaimanapun kau pernah menjadi istrinya. Yang aku ingin tanyakan, apakah kau pernah tahu, melihat atau menyadari bahwa Hantu Bara Kaliatus memang memiliki tanda seperti yang ada di lengan kanan Lakasipo?"

"Aku… Hemm… rasanya ku memang pernah melihat. Tapi aku tidak begitu memperhatikan. Aku tidak pernah menanyakan atau memberitahu padanya. Mungkin dia sendiri tidak tahu. Kek, apa arti semua pembicaraan ini?" bertanya Luhsantini.

Dada Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir bergemuruh. Sepasang matanya tampak semakin berkaca-kaca dan sekujur tubuhnya kelihatan bergetar.

"Kek, ada apa dengan dirimu. Apakah kau sakit?" tanya Lakasipo.

"Kek, apapun yang terjadi dengan dirimu harap kau menjawab pertanyaanku tadi!" ujar Luhsantini.

"Apa artinya semua pembicaraanmu itu! Kau, matamu basah. Bibirmu bergetar. Kau hendak mengatakan sesuatu Kek?"

"Aku…" Si kakek tampak agak sempoyongan. Dia sandarkan punggungnya ke tubuh Laekakienam. Dia menarik nafas panjang sampai dua kali baru membuka mulut.

"Dengar baik-baik apa yang akan aku ucapkan Lakasipo. Kalian berdua adalah…"

"Kalian berdua siapa maksudmu Kek," tanya Lakasipo ketika si kakek hentikan ucapannya seolah lidahnya mendadak menjadi kelu.

"Maksudku… kau… kau dan Latandai adalah…" Gelora jiwa dan gejolak hati yang seolah membadai membuat orang tua itusulit untuk berucap. Dalam hati dia berdoa.

"Wahai para Dewa, beri aku kekuatan untuk menyampaikan kebenaran ini. Aku harus mengatakan sekarang juga! karena mugkin hidupku ini hanya tinggal beberapa hitungan jengkal saja. Aku…"

Hantu Langit Terjungkir usap lelehan air mata yang menggelinding jatuh ke pipinya yang keriput.

"Lakasipo, dengar baik-baik. Kau dan Latandai adalah dua…"

Belum sempat si kakek menyelesaikan ucapannya tiba-tiba di udara menggema suara seperti petir menyambar. Lalu ada hawa panas menyungkup. Ketika semua orang memandang ke atas kagetlah mereka. Di udara melayang turun cepat sekali sebuah jaring besar berwarna biru seolah terbuat dari kobaran api!

"Api lblis Penjaring Roh!" teriak Lakasipo lalu jatuhkan diri dan berguling sejauh yang bisa dilakukannya. Hal yang sama segera pula diiakukan Luhsantini. Hantu Langit Terjungkir hantamkan kakinya kiri kanan ke atas dua kali berturut-turut. Dua gelombang angin berwarna kebiruan menggebubu.

"Bummm! Buuum!"

Dua ledakan dahsyat menggoncang seantero tempat! Laekakienam meringkik keras! Debu dan pasir beterbangan ke udara. Sebaliknya dari atas berjatuhan puluhan daun-daun pepohonan yang tumbuh di sekitar tempat itu. Ranting berderak patah lalu ikut melayang jatuh ke tanah.

DUA

Laekakienam, kuda hitam berkaki enam milik Lakasipo bergulingan bergemuruh kian kemari sambil melejang-lejangkan kaki. Debu dan pasir semakin banyak beterbangan ke udara. Dua pohon patah dan sebuah batu besar terbelah berkeping-keping dihantam tendangan binatang raksasa itu. Bau sangit daging terbakar memenuhi udara. Kuda bertanduk dua itu meringkik sekali lagi lalu...

"Brakk!"

Tubuhnya menghantam sebatang pohon besar. Pohon ini berderak keras lalu tumbang dengan suara menggemuruh. Di bawah pohon Laekakienam terkapar melejang-lejang. Sekujur tubuhnya yang penuh guratan luka sangat dalam, berselemak darah, mengepulkan asap, berada dalam jiratan jaring api biru.

"Lae! Lae! Kudaku… Kudaku!" teriak Lakasipo melihat apa yang terjadi dengan binatang tunggangannya itu.

Lalu seperti orang kalap dia hendak mengamuk. Kakinya diangkat untuk bisa menginjak putus jaring di bagian bawah tapi tidak berhasil. Tangannya lalu digerakkan untuk melepas pukulan Lima Kutuk Dari Langit. Kaget Lakasipo bukan kepalang. Apa yang terjadi dengan dirinya. Dia tak mampu mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti ke tangan kanannya! Sekian lama berada dalam jaring api biru kekuatannya seolah tersedot!

Lakasipo meraung keras lalu bersujud di tanah, menangis panjang. Luhsantini yang ada di tempat itu, setelah terpental beberapa kali kini terduduk dengan muka pucat lalu tutup kandua tangan di depan wajahnya karena tidak sanggup melihat kengerian yang terjadi atas Laekakienam.

Hantu Langit Terjungkir sendiri saat itu tegak dengan tubuh bergoncang keras dan wajah kaku membesi. Sewaktu jala yang disebut Api lblis Penjaring Roh itu menebar turun laksana kilat menyambar, si kakek masih mampu berusaha menangkis dengan dua tendangan yang mengeluarkan gelombang angin sakti.

Bersamaan dengan itu dengan kecepatan luar biasa dia segera menyingkir karena maklum serangan yang datang dari atas langit itu bukan olah-olah dahsyat berbahayanya! Dia berhasil menyelamatkan diri. Tapi kuda hitam besar Laekakienam yang tadi disandarinya tertimpa jaring, langsung dibuntal dicabik-cabik hangus sekujur tubuhnya!

Untuk beberapa lamanya tempat itu dilanda kesunyian mencekam. Lalu dirobek oleh suara raungan Lakasipo. Namun suara raungan ini lenyap begitu ada suara tawa mengekeh mengumandang di tempat itu! Lakasipo angkat sosoknya yang bersujud. Luhsantini turunkan dua tangannya yang menutupi wajah. Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut yang menutupi mukanya. Semua mata ditujukan ke arah datangnya suara tawa mengekeh.

Di depan sana berdiri seorang berjubah hitam. Tidak dapat dipastikan apakah dia seorang manusia atau penjelmaan roh yang gentayangan. Kepala dan mukanya berbentuk tengkorak. Anehnya di batok kepalanya bertumbuhan rambut-rambut warna putih. Matanya yang hanya berupa rongga besar memancarkan cahaya merah angker. Dua tangannya yang tersembul keluar dari ujung lengan jubah hitam merupakan tulang-tulang putih.

Tiba-tiba rambut-rambut putih itu berjingkrak kaku ke atas seperti kawat. Dari rongga matanya cahaya merah memancar keluar laksana lidah api. Lalu dari mulutnya yang penuh susunan gigI-gigi besar mengerikan kembali keluar suara tawa mengekeh.

"Makhluk jerangkong…" desis Hantu Langit Terjungkir.

"Kalau aku tidak salah menduga dia adalah jahanam yang dipanggil dengan sebutan Junjungan.Yang konon kabarnya adalah guru Hantu Santet Laknat. Pasti tadi dia yang melancarkan serangan Api lblis Penjaring Roh! Astaga, lihat siapa yang berdiri di sampingnya!"

Hantu Langit Terjungkir buka matanya lebar-lebar. Yang saat itu tegak disebelah makhluk jerangkong sang Junjungan bukan lain adalah Hantu Bara Kaliatus, murid Hantu Santet Laknat. Bekas suami Luhsentini!

"Cucu muridku Hantu Bara Kaliatus! Orang-orang yang kita cari sudah ditemukan! Kematian sudah menjadi bagian mereka Kau tunggu apalagi?!"

Sang Junjungan keuarkan ucapan. Lalu tangan kirinya yang hanya merupakan tulang-tulang putih itu diusapnya kepunggung Hantu Bara Kaliatus.Usapan ini bukan usapan biasa karena bersamaan dengan itu makhluk jerangkong susupkan sebagian hawa sakti ke dalam tubuh Hantu Bara Kaliatus. Saat itu juga Hantu Bara Kaliatus merasa tubuhnya lebih ringan namun sekaligus darahnya menggejolak aneh, membawa amarah luar biasa. Ketika dia menyeringai dan mulutnya terbuka kelihatan ada kobaran api di dalam mulut itu. Seperti diketahui sampai saat itu di dalam perut Hantu Bara Kaliatus masih mendekam puluhan bara api yang sebelumnya berada di kepala, dada dan perutnya.

"Tunggu dulu!" tiba-tiba Hantu Langit Terjungkir berseru ketika dilihatnya Hantu Bara Kaliatus melangkah mendekati Lakasipo dengan tangan kiri yang disambung besi warna biru dipentang di atas kepala, siap untuk dipukulkan.

"Hantu Bara Kaliatus! Pasal lantaran apa kau hendak membunuh Lakasipo?!"

"Cucu muridku Hantu Bara Kaliatus, kau tak usah menjawab pertanyaan tua bangka gila itu! Lekas bunuh Lakasipo! Biar aku yang menghadapi monyet tua itu!" Berkata sang Junjungan.

"Terima kasih kau mau membantuku sang Junjungan. Tapi jika kau tidak keberatan wahai Junjungan biar aku beritahu padanya pasal lantaran apa aku ingin menghabisi keparat bernama Lakasipo ini!"

Sang Junjungan kelihatan tidak begitu senang dengan ucapan Latandai alias Hantu Bara Kaliatus itu. Tapi dia akhirnya anggukkan kepala. Hantu Bara Kaliatus lalu berpaling pada Hantu Langit Terjungkir.

"Agar kau tahu!" kata Hantu Bara Kaliatus pula. "Makhluk bernama Lakasipo yang sepasang kakinya ditancapi Bola-Bola lblis itu sudah sejak lama menjadi musuh besarku. Belum sempat aku membalaskan sakit hati dendam kesumat, tahu-tahu dia main gila bergendak-gendak dengan istriku. Dia merampas Luhsantini dari tanganku!"

"Mulutmu kotor! Tuduhanmu keji!" teriak Lakasipo dari dalam jaring. "Aku tidak pernah merampas Luhsantini! Perempuan itu meninggalkan dirimu karena kau berniat hendak membunuhnya! Otakmu sudah jadi gila karena dicuci oleh dukun jahat Hantu Santet Laknat! Kau bahkan tega hendak membunuh anak kandungmu sendiri!"

"Makhluk culas bermulut keji!" Luhsantini ganti mendamprat dari dalam jaring api biru. "Aku bukan istrimu dan aku tidak pernah berbuat mesum dengan lelaki itu! Kau makhluk bejat pencelaka pembunuh anak sendiri!"

"Ha ha ha!" Makhluk muka tengkorak tertawa bergelak. "Kau mendapat sanggahan serta caci maki yang menyakitkan hati wahai cucu muridku! Apa jawabmu? Apa tindakanmu?!"

Rahang Hantu Bara Kaliatus menggembung. "Perempuan jalang!Tunggulah! Kau bakal menerima bagian setelah kekasih gelapmu ini kuhabisi!"

"Manusia rendah pengecut busuk! Lakasipo di dalam jaring tidak berdaya! Jika kau memang jantankeluarkan dia lebih dulu dari dalam jaring baru kau menghadapinya! Aku mau lihat apakau punya keberanian!”

Hantu Bara Kaliatus menyeringai. "Buat apa mencari susah kalau aku bisa membunuhnya semudah membalikkan tangan!"

Lalu sambil semburkan dua bara api dari mulutnya Hantu Bara Kaliatus menerjang ke arah Lakasipo yang saat itu sudah tegak berdiri tapi masih terbungkus di dalam jaring api biru. Begitu melihat dua bara api melesat ke arahnya Lakasipo cepat jatuhkan diri. Dia berguling menjauh. Namun dia tidak mampu bergerak cepat. Lawan segera mengejar mendatangi. Baru saja dia berusaha bangkit, Hantu Bara Kaliatus telah menghantamkan tangan kirinya yang disambung dengan logam biru serta dipenuhi tonjolan-tonjolan lancip!

Dari dalam jala dimana dirinya terkurung Luhsantini berusaha menyerang Hantu Bara Kaliatus dengan serangan tangan kosong jarak jauh. Tapi gerakannya tertahan. Lebih dari itu anehnya dia juga tidak mampu menghimpun tenaga dalamnya. Dia mengalami hal yang sama seperti yang terjadi dengan Lakasipo. Kekuatannya tak mampu dikerahkan seolah telah disedot sirna oleh jaring api biru!

"Celaka! Kalau tidak ada yang menolong, Lakasipo pasti akan menemui ajal di tangan makhluk durjana itu!"

Luhsantini meratap tegang dalam hatinya. Saat itu Hantu Langit Terjungkir yang telah melihat bahaya yang mengancam Lakasipo dengan satu gerakan kilat melesat ke arah Hantu Bara Kaliatus sambil tendangkan kaki kanannya. Selarik gelombang angin yang memancarkan hawa dingin serta sinar kebiruan menyambar. Semula Hantu Bara Kaliatus menganggap enteng dan tetap teruskan pukulannya sambil menggeser kedudukannya sedikit.

Tapi ketika dirasakannya tubuhnya disengat hawa dingin luar biasa dan lututnya menjadi goyah kagetlah dia. Dengan cepat Hantu Bara Kaliatus buka mulutnya lalu menyambar Lidah api menggebubu. Tiga bara menyala melesat ke arah kepala, dada dan perut Hantu Langit Terjungkir. Kakek yang berdiri kaki ke atas tangan ke bawah ini melompat ke udara. Sambil meniup, tubuhnya membuat gerakan jungkir balik demikian rupa hingga dua serangan bara api sanggup dikelitnya.

"Cesss!"

Bara api ke tiga dipukul mental dengan tangan kiri. Tapi akibatnya tangan kiri Hantu Langit Terjungkir luka hangus, kulitnya terkelupas. Kobaran api yang menggebubu keluar dari mulut Hantu Bara Kaliatus dihadang oleh angin biru yang melesat dari mulut Hantu Langit Terjungkir. Bentrokan hebat tidak terhindar lagi. Hantu Bara Kaliatus menjerit dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Dari mulutnya membusa darah.

Hantu Langit Terjungkir sendiri cidera tak kalah parahnya. Kumis dan janggutnya terbakar hangus sedang daging sekitar mulutnya tampak menggembung merah. Didahului oleh bentakan marah Hantu Langit Terjungkir menerjang ke arah Hantu Bara Kaliatus.

"Hebat juga makhluk celaka itu!" membatin sang Junjungan.

"Aku sengaja menambah hawa sakti kedalam tubuh Hantu Bara Kaliatus, ternyata dia masih bisa menciderai cucu muridku itu!"

Sekali berkelebat makhluk jerangkong itu telah memotong gerakan Hantu Langit Terjungkir. Entah dari mana dia mengambilnya tahu-tahu sebuah tongkat terbuat dari tulang putih telah tergenggam di tangan kanannya. Ujung tongkat itu dimasukkannya ke salah satu matanya yang hanya merupakan rongga yang memancarkan sinar merah. Tiba-tiba menyembur kobaran api menjilat ujung tongkat.

"Wusss!" Di ujung tongkat kini kelihatan ada api menyala! Barisan gigi-gigi sang Junjungan sunggingkan seringai aneh. Dia hantamkan tongkatnya ke depan.

”Wuuuttttt”

Satu lingkaran api luar biasa panasnya membuntal ke arah Hantu Langit Terjungkir. Yang diserang tidak tinggal diam. Dua kaki digerakkan melancarkan serangan balasan. Sementara tangan kanan menyelinap melancarkan pukulan ke arah badan tongkat tulang. Lingkaran api yang hendak menggulung Hantu Langit Terjungkir serta merta buyar begitu terkena sapuan angin dingin biru yang melesat keluar dari dua kaki Hantu Langit Terjungkir.

Melihat dia mampu menghancurkan serangan lawan Hantu Langit Terjungkir jadi bersemangat. Tenaga dalamnya dilipat gandakan ke arah tangan yang tengah berusaha memukul tongkat tulang. Sang Junjungan putar tangan kanannya. Tongkat tulang yang ujungnya ada apinya berputar secara aneh.

"Kraaakk!"

Hantu Langit Terjungkir berhasil memukul tongkat tulang itu lalu terdengar suara benda patah. Bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan keras dari mulut Hantu Langit Terjungkir. Ternyata tulang lengan kanan kakek ini telah remuk terkena sabetan tongkat lawan! Karena tangannya itu juga dipergunakan sebagai kaki maka cidera yang dialami Hantu Langit Terjungkir tentu saja sangat membahayakan dirinya. Menyadari hal ini Hantu Langit Terjungkir segera lesatkan diri menjauhi lawan.

Sang Junjungan tertawa mengekeh. Tangan kanannya yang memegang tongkat tulang putih digerakkan. Api di ujung tongkat menjilat panjang. Bergulung membuntal ke arah Hantu Langit Terjungkir. Kakek yang sedang dilanda kesakitan irii dan kini hanya mampu berdiri dengan tangan kiri menjadi kelabakan. Dia bergerak cepat kian kemari untuk hindari diri dari sundutan api. Sambil menghindar dia kerahkan hawa sakti yang memancarkan hawa dingin biru.

Namun sambaran gulungan api demikian hebatnya hingga dia terkurung rapat. Kemanapun dia berusaha menyingkir kobaran api datang membuntal. Sebagian rambut dan pakaiannya sudah ada yang kena disulut api!

Luhsantini yang melihat kejadian ini jadi serba bingung. Dia tidak mampu menolong. Lagi pula kalaupun dia bisa memberikan bantuan,siapa yang harus ditolongnya dan apa yang bisa dilakukannya. Karena saat itu Lakasipo juga sedang terancam nyawanya. Kepalanya siap menjadi sasaran tangan kiri Hantu Bara Kaliatus yang terbuat dari logam keras penuh tonjolan-tonjolan runcing! Akhirnya dari dalam jala Luhsantini hanya bisa berteriak memohon.

"Hantu Bara Kaliatus! Jangan bunuh Lakasipo! Aku mohon! Jangan bunuh dia!"

"Ha ha ha…!" Hantu Bara Kaliatus tertawa bergelak "Kau takut kehilangan gendakmu ini! Lihat! Buka matamu lebar-lebar Luhsantini! Lihat bagaimana kekasih gelapmu ini menemui kematian!"

Tangan kiri Hantu Bara Kaliatus laksana pentungan besi menghantam ke batok kepala Lakasipo. Sementara itu dalam keadaan terdesak hebat, pakaian dan tubuhnya dikobari api yang disulut tongkat sang Junjungan, Hantu Langit Terjungkir tidak perdulikan lagi keselamatan dirinya. Melihat bagaimana Lakasipo sesaat lagi akan menemui ajal secara mengerikan di tangan Hantu Bara Kaliatus maka kakek ini cepat berteriak keras.

"Latandai! Jangan bunuh Lakasipo! Dia saudara kandungmu!"

TIGA

Seandainya ada petir menyambar di depan hidungnya saat itu mungkin tidak demikian hebat kejut Latandai alias Hantu Bara Kaliatus. Gerakan tangan kirinya hendak menghabisi Lakasipo serta merta tertahan. Dua matanya mendelik besar memandangi Hantu Bara Kaliatus lalu berpaling pada Hantu Langit Terjungkir.

Yang terkejut bukan cuma Hantu Bara Kaliatus. Lakasipo yang sebelumnya sudah pasrah menghadapi kematian tersentak kaget, memandang pada Hantu Bara Kaliatus lalu menoleh pada Hantu Langit Terjungkir. Di dalam jaring Luhsantini tekapkan salah satu tangannya ke mulut, menahan seruan kaget yang hampir meluncur dari mulutnya.

"Hantu Bara Kaliatus saudara kandung Lakasipo? Bagaimana mungkin?!"

Luhsantini melihat Hantu Langit Terjungkir dongakkan kepala ke langit. Dua matanya terpejam. Mulutnya berkomat kamit. Orang tua itu seperti tengah berdoa. "Jangan-jangan orang tua itu benar-benar miring otaknya!" pikir Luhsantini.

Sang Junjungan termasuk orang yang ikut terkejut. Walau keterkejutan itu tidak terlihat pada muka tengkoraknya, gerakan tertahan dari tangan kanannya yang memegang tongkat tulang berapi jelas memperlihatkan hal itu. Namun makhluk ini cepat kuasai diri. Dia berteriak keras.

"Hantu Bara Kaliatus! Jangan dengar ucapan tua bangka gila yang sebentar lagi akan gosong dimakan api tongkatku! Bunuh Lakasipo! Cepat! Dia bukan saudaramu! Jangan kau kena ditipu! Bunuh Lakasipo!"

"Jangan! Latandai! Jangan bunuh Lakasipo! Demi para Dewa! Aku bersumpah! Lakasipo benar-benar saudara kandungmu!" teriak Hantu Langit Terjungkir.

"Hantu Bara Kaliatus! Jangan dengarkan tua bangka gila ini!" sang Junjungan kembali berteriak lalu...

"Bukkk!"

kaki kanannya ditendangkan ke perut Hantu Langit Terjungkir. Kakek yang pakaiannya telah dimangsa api ini terpental satu tombak, terguling-guling di tanah.Makhluk muka tengkorak cepat mengejar. Pada saat tubuh HantuLangit Terjungkir berhenti berguling dia tusukkan ujung tongkat berapinya ke leher si kakek!

Sementara itu untuk sesaat Hantu Bara Kaliatus masih tertegun dalan keterkejutannya. Namun di lain kejap begitu dendam kesumat kembali melanda dirinya, apalagi mendengar teriakan sang Junjungan berulangkali, tanpa ragu dia teruskan hantaman tangan kirinya yang terbuat dari besi biru ke kepala Lakasipo.

Hanya tinggal sejengkal lagi tangan besi itu akan merengkahkan kepala Lakasipo tiba-tiba ada sebuah benda biru melesat dari atas. Cepat sekali benda ini menggulung jala api biru lalu menariknya ke udara. Akibatnya hantaman Hantu Bara Kaliatus hanya mengenai tempat kosong.

Marah sekali Hantu Bara Kaliatus mendongak ke atas untuk melihat siapa kiranya yang telah meyelamatkan Lakasipo. Tangan kanannya siap melepaskan pukulan Selusin Bianglala Hitam. Begitu dia melihatsiapa di atas sana menggelegarlah bentakan Hantu Bara Kaliatus.

"Peri Angsa Putih! Peri jahanam! Lagi-lagi kau mencampuri urusanku! Aku tahu kau menaruh hati pada manusia satu ini! Jangan-harap kau bakal mendapatkannya hidup-hidup!"

Habis berteriak penuh marah begitu Hantu Bara Kaliatus pukulkan tangan kanannya. Masih kurang puas dia barengi serangan tangan itu dengan semburan dua buah bara api! Selusin sinar hitam berkiblat menyambar ke arah sosok Lakasipo yang berada dalam jaring api biru, tergantung-gantung di udara. lnilah pukulan ganas bernama Selusin Bianglala Hitam. Dengan pukulan inilah puluhan tahun lalu Hantu Bara Kaliatus mencelakai anaknya yang saat itu masih seorang bayi.

Baca Episode berjudul Hantu Bara Kaliatus

Namun pukulan sakti serta semburan dua bara api tidak mampu mengenai Lakasipo karena jala api biru di dalam mana Lakasipo berada dan tergantung telah lebih dulu ditarik tinggi ke udara. Di atas sana, Peri Angsa Putih yang duduk di atas angsa putih melayang berputar dua kali lalu turunkan Lakasipo di satu tempat yang dianggapnya aman.

Tidak berhasil menyerang Peri Angsa Putih, Hantu Bara Kaliatus tumpahkan amarahnya pada Luhsantini. Sekali menyergap dia langsung hamburkan lima bara api ke arah bekas istrinya itu. Luhsantini keluarkan jeritan keras. Jeritannya ini bukan sepenuhnya jerit ketakutan tapi lebih banyak merupakan jerit penyesalan karena belum sempat membalaskan sakit hati dendam kesumat terhadap lelaki itu.

Kini justru dia sendiri yang bakal menemui kematian secara mengenaskan! Sambil menjerit Luhsantini cepat jatuhkan diri. Dia berhasil menghindarkan dua sambaran bara api, namun tiga bara api lainnya yang melesat ke arah dada dan perutnya, tak sanggup dikelit apalagi ditangkis!

Sebelum ajal berpantang mati. ltulah yang terjadi dengan Luhsantini. Sesaat lagi tiga Bara Setan Penghancur Jagat yang disemburkan Hantu Bara Kaliatus akan menembus tubuh perempuan itu, tiba-tiba serangkum sambaran angin melanda sosok Hantu Bara Kaliatus. Demikian hebatnya sambaran ini hingga membuat Hantu Bara Kaliatus terpental dua tombak lalu terjengkang di tanah.

Ketika dia memperhatikan keadaan sekelilingnya, terkejutlah dia. Tanah di tempat mana dia barusan jatuh terbanting melesak sampai setengah jengkal. Tapi dia sendiri tidak merasa sakit. Tidak ada bagian tubuhnya yang cidera. Hantu Bara Kaliatus cepat bangkit berdiri. Memandang ke depan kemudian dia melihat seorang gadis tinggi semampai, berparas cantik jelita tegak sambil tersenyum dingin padanya. Di keningnya melekat sekuntum bunga tanjung kuning. Jelas si baju biru bukan lain adalah Luhcinta.

"Aku rasa-rasa pernah melihat dia di mana. Jika tadi dia berniat jahat aku pasti sudah cidera berat," membatin Hantu Bara Kaliatus. "Kerabat berpakaian biru, apa hubunganmu dengan perempuan laknat bernama Luhsantini itu hingga mau-mauan menolongnya? Lekas terangkan siapa dirimu adanya!"

Luhcinta kembali tersenyum. "Semua insan di dunia ini dilahirkan dari dan di dalam kasih sayang. Mengapa kau berpikiran dangkal membunuh seorang perempuan yang sesungguhnya adalah bagian dari kasih sayang itu sendiri?"

Sesaat Hantu Bara Kaliatus jadi terkesima mendengar kata-kata gadis cantik berpakaian biru itu. Namun kemudian amarahnya timbul kembali. "Aku tidak mengerti maksud ucapanmu! Tapi ingin kukatakan, kau tidak tahu siapa adanya perempuan yang barusan kau tolong itu! Dia adalah seorang istri sesat, pengkhianat suami! Kabur dan menjadi gendak lelaki bernama Lakasipo yang barusan ditolong oleh Peri celaka itu!"

Hantu Bara Kaliatus menunjuk ke arah kejauhan di mana Peri Angsa Putih menurunkan sosok Lakasipo. "Kemarahan bisa membuat seseorang sesat bicara. Dendam kesumat bisa membuat insan melupakan kasih. Hasutan bisa menimbulkan bencana. Kalau benar perempuan itu adalah seorang istri sesat, dan kalau aku boleh bertanya, siapa gerangan suaminya sebelumnya?"

Air muka Hantu Bara Kaliatus berubah, tegang membesi. Rahangnya menggembung dan gerahamnya mengeluarkan suara bergemeletak. Untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa membuka mulut dan hanya memandang pada gadis baju biru dengan mendelik besar.

"Wahai, kau tidak menjawab, berarti mungkin kaulah bekas suaminya. Benar begitu?"

Hantu Bara Kaliatus masih membungkam. Lalu dia maju satu langkah. Sambil menuding tepat-tepat pada gadis baju biru dia bekata. "Lekas kau menyingkir dari tempat ini! Jangan mengira aku tidak tega membuatmu celaka!"

"Hawa amarah masih menguasai dirimu. Padahal aku yakin di lubuk hatimu masih ada rasa kasihan. Baik, aku akan pergi dari sini. Tapi aku akan membawa serta perempuan dalam jala itu!"

"Kalau begitu biar kau sekalian kupasung dalam jala api biru!" Hantu Bara Kaliatus lalu pukulkan tangan kirinya. Maka dari tonjolan-tonjolan yang ada di tangan besinya melesat keluar larikan-larikan sinar biru menyala. Larikan-larikan sinar yang panas luar biasa ini bergerak membentuk jaring lalu menebar kearah gadis berpakaian biru!

"Wahai, jaringmu sungguh hebat. Tak pernah kulihat ilmu langka ini sebelumnya. Sayang kau miliki dan kau pergunakan untuk perbuatan sesat!"

Habis berkata begitu gadis baju biru ini angkat dua tangannya ke atas lalu didorongkan. Dorongannya perlahan saja. Sambil mendorong dua tumitnya berjingkat. Gerakannya lemah gemulai seperti seorang penari. Namun kekuatan yang kepuar dari dorongan tangan itu sungguh luar biasa. Jaring Api lblis Penjaring Roh yang hendak melibas dirinya terangkat ke atas. Si gadis gerakkan lagi dua tangannya. Seperti mengikuti gerakan dua tangan si gadis jaring itu melayang ke kiri lalu di satu tempat diturunkan ke tanah.

Kejut Hantu Bara Kaliatus bukan alang kepalang. Jika gadis itu mampu mengendalikan jala Api lblis Penjaring Roh, dan jika dia mau, bukan mustahil dia bisa menjebloskan dirinya ke dalam jala miliknya sendiri! Walau bisa berpikir seperti itu namun Hantu Bara Kaliatus masih jauh dari rasa sadar.

"Kau punya ilmu! Aku mau lihat apakah kau bisa menerima ini!"

Didahului bentakan keras Hantu Bara Kaliatus semburkan lima bara menyala. Dua tangannya ikut bekerja. Melepas serangan Selusin Bianglala Hitam. Dua puluh empat larik sinar hitam dengan dahsyatnya menghantam ke arah gadis berpakaian biru.

Melihat serangan luar biasa begitu rupa, Luhcinta tak mau berlaku ayal. Dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya melesat miring ke atas. Lima bara menyalalewat di sisi kiri kanan. Bersamaan dengan itu dua tangannya dipukulkan ke depan. Tak ada terdengar deru angin, tak ada kelihatan cahaya berwarna. Namun dua serangan tangan kiri kanan Hantu Bara Kaliatus yang memancarkan dua puluh empat larikan kelihatan tertahan di udara.

Si gadis tukikkan dua tangannya ke bawah ke arah tanah. Dua puluh empat larikan sinar hitam ikut luruh kearah bawah dan menghujam amblas di tanah. Meninggalkan kepulan asap hitam setinggi dua tombak!

Hantu Bara Kaliatus berteriak marah. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya lalu tumit kirinya dihentakkan ke tanah hingga kakinya melesak sampai satu jengkal. Akibat hentakan ini secara aneh dua dari dua puluh empat larikan hitam. Selusin Bianglala Hitam yang telah dilumpuhkan dan luruh ke tanah, tiba-tiba melesat ke atas lalu menderu kearah Luhcinta. Tidak menyangka akan kejadian seperti itu si gadis terlambat menghindar.

"Wusss! Wusss!"

Dua larik sinar hitam menyambar tubuh Luhcinta di bagian pinggul dan bahu sebelah kanan. Si gadis terpekik kaget. Mukanya langsung pucat. Pakaiannya terbakar pada dua tempat yang barusan dilanda serangan. Dia cepat menepuk-nepuk memadamkan api. Begitu api padam, dari robekan hangus pakaiannya di dua tempat tersembul kulitnya yang seharusnya putih mulus itu kini kelihatan berbercak kehitam-hitaman. Masih untung kulitnya tidak terluka sampai ke dalam. Walau orang sudah menciderai dirinya namun si gadis masih bisa berucap.

"Sayang… Sungguh sayang. Lagi-lagi kepandaian dan limu tinggi dipergunakan dalam kesesatan. Hantu Bara Kaliatus, kau perlu istirahat Kau perlu memicingkan mata barang beberapa jenak agar otak dan hatimu bersih."

Selesai mengeluarkan ucapan itu si gadis mengusap mukanya sendiri lalu meniup ke arah Hantu Bara Kaliatus.

EMPAT

Gadis baju biru, Aku ingat! Kau bernama Luhcinta!" tiba-tiba Hantu Bara Kaliatus berteriak. "llmu kepandaianmu boleh tinggi tapi jangan harap kau bisa menenung diriku!"

Habis berkata begiti Hantu Bara Kaliatus siap hendak menghantam kembali. Tapi tiba-tiba dia merasakan matanya menjadi berat. Kantuk yang amat sangat menyerangnya tak tertahankan. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati sebatang pohon. Sebelum sampai ke pohon itu tubuhnya sudah limbung lalu perlahan-lahan jatuh ke tanah.

"Gadis kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadap cucu muridku?!"

Satu suara membentak. Satu bayangan hitam berkelebat. ltulah sosok sang Junjungan yang saat itu sebenarnya sudah siap untuk kabur dari tempat itu. Tapi melihat Hantu Sara Kaliatus jatuh tergeletak di tanah dan tak bergerak lagi dia menyempatkan diri untuk menyelidiki. Gadis yang dibentak tidak segera menjawab karena keburu tergagau ketika melihat siapa dan bagaimana keadaan orang yang barusan membentaknya.

"Kau! Waktu Api lblis Penjaring Roh menyerangmu, kau menangkis dan mematahkannya dengan llmu Tangan Dewa Merajam Bumi! Lalu waktu dua puluh empat sinar hitam pukulan Selusin Bianglala Hitam menggempurmu kau menangkis dengan jurus pukulan bernama Kasih Mendorong Bumi! Lekas katakan apa hubunganmu dengan seorang nenek sakti berjuluk Hantu Lembah Laekatak hijau?!"

Walau rasa terkejut mendengar si muka tengkorak menyebut nama gurunya bahkan mengetahui jurus-jurus ilmu serangan sakti yang tadi dilancarkannya menghadapi serangan Hantu Bara Kaliatus, namun Luhcinta layangkan senyum. Dengan demikian dia berhasil menutupi perubahan di wajahnya yang jelita.

"Makhluk bermuka tengkorak, matamu sungguh tajam pertanda pengalamanmu sangat luas. Sayang aku tidak kenal siapa kau adanya. Tadi kau berniat hendak pergi dari sini. Mengapa tidak diteruskan?"

Sang Junjungan merasa jengkel karena pertanyaannya tidak dijawab. Namun dia tak mau menghabiskan waktu bicara berpanjang-panjang. Dia berpaling pada Hantu Bara Kaliatus. Makhluk Jerangkong berjubah hitam itu merasa heran karena dia melihat cucu muridnya itu mati tidak, pingsan juga tidak. Tapi tertidur lelap!

"Aku menghadapi orang-orang berkepandaian tinggi. Walau sakit hati, hari ini sebaiknya aku mengalah!" membatin sang Junjungan. Lalu dengan tongkat tulang putih yang tak kelihatan lagi nyala api di ujungnya makhluk jerangkong ini menuding kearah Luhcinta.

"Hari ini untuk pertama kali aku melihatmu. Jika kita bertemu lagi di kali ke dua mungkin urusan tidak semudah ini bagimu! Kecantikan dan kebagusan tubuhmu tidak meluruhkan hatiku untuk tidak membakarmu hidup-hidup!"

Habis berkata begitu makhluk jerangkong sorongkan ujung tongkat tulangnya ke kuduk pakaian Hantu Bara Kaliatus. Sekali dia gerakkan tangannya maka sosok besar Hantu Bara Kaliatus jatuh tertelungkup di atas bahu kirinya. Saat itu juga ada orang berteriak.

"Mahkluk jerangkong! Jangan kau berani membawa orang itu. Tinggalkan dia di tempat ini!"

Yang berteriak ternyata adalah Hantu Langit Terjungkir. Saat itu dia terduduk di tanah sambil pegangi lengannya yang patah. Luka-luka bakar memenuhi sebagian tubuhnya. Ketika Luhcinta memandang ke arah si kakek kagetlah gadis ini. Karena disamping Hantu Bara Kaliatus saat itu berdiri seorang berjubah hitam yang mukanya tertutup oleh tanah liat dan diberi jelaga hitam.

"Orang itu. Dia muncul kembali…" kata Luhcinta dalam hati. "Mungkin sekali ini aku terpaksa bicara keras terhadapnya. Tapi apakah kasih memang mengajarkan aku harus berlaku seperti itu?!"

Sang Junjungan tidak perdulikan teriakan Hantu Bara Kaliatus. Dengan cepat dia berkelebat hendak tinggalkan tempat itu. Tapi Luhcinta cepat menghadangnya.

"Menyingkirlah atau kugebuk mukamu yang cantik sampai cacat!"

Mahkluk jerangkong mengancam dan angkat tongkat tulang di tangan kirinya ke atas, siap dipukulkan ke wajah Luhcinta. Si gadis tetap tenang. Malah berkata,

"Kau dengar orang meminta. Mengapa sosok yang kau panggul itu tidak segera kau turunkan saja? Perlu apa berjalan dengan beban seberat itu?"

Makhluk jerangkong menyeringai. Dia melirik ke arah orang bermuka hitam di sebelah si gadis. Agaknya bukan ucapan Luhcinta tadi yang jadi bahan pertimbangannya.

"Ucapanmu yang terakhir mungkin benar. Kau inginkan orang ini silahkan ambil!"

Sang Junjungan gerakkan bahu kirinya. Sosok Hantu Bara Kaliatus terlempar ke arah Luhcinta. Selagi gadis ini kebingungan apakah akan menanggapi sosok Hantu Bara Kaliatus atau membiarkannya saja jatuh bergedebuk di tanah, makhluk jerangkong secepat kilat menggebukkan tongkat putihnya ke wajah si gadis!

Mendapat serangan seperti itu Luhcinta segera gerakkan dua tangannya kedepan. Bersamaan dengan itu dia sambut sosok Hantu Bara Kaliatus dengan bahu kirinya. Begitu bahunya digoyangkan maka tubuh Hantu Bara Kaliatus terjatuh ke depan. Dengan kaki kanannya Luhcinta sambut tubuh itu lalu sambil meneruskan gerakan dua tangannya, tubuh Hantu Bara Kaliatus diletakkannya di tanah!

Makhluk jerangkong berseru kaget ketika tahu-tahu dapatkan tongkat tulang putihnya tidak ada lagi di tangannya. Memandang ke depan dilihatnya benda itu sudah berada dalam genggaman gadis berbaju biru!

"Dia mampu melakukan dua gerakan sekaligus! Menanggapi sosok yang kulemparkan dan merampas tongkat tulangku!" Si muka tengkorak berjubah hitam membatin lalu lagi-lagi dia melirik ke arah orang bermuka hitam.

"Lebih baik aku cari selamat! Perduli amat dengan Latandai!" Tanpa banyak bicara lagi sang Junjungan segera berkelebat tinggalkan tempat itu. Untuk meminta tongkatnya kembalipun dia tidak ingat.

Sebaliknya Luhcinta yang memang tidak memerlukan tongkat tersebut segera melemparkan nya ke arah makhluk jerangkong.

"Wuuuttt.. sett!" Tongkat tulang itu menyusup di sisi kiri jubah hitam sang Junjungan, terus menembus sampai ke bagian kanan. Akibatnya gerakan larinya itu terjegal terserimpung. Tak ampun lagi dia tersungkur tunggang langgang. Muka tengkoraknya berkelukuran di tanah. Sambil menyumpah panjang pendek orang ini bangkit berdiri lalu tinggalkan tempat itu diiringi suara tawa cekikikan Luhcinta.

"Luhcinta, aku perlu bicara dengan Hantu Bara Kaliatus. Harap kau buat dia bangun dari tidurnya!"

Ucapan Hantu Langit Terjungkir itu membuat Luhcinta hentikan tawanya. Gadis ini menatap ke arah Hantu Bara Kaliatus lalu usap mukanya dua kali dan meniup. Saat itu juga sosok Hantu Bara Kaliatus tampak bergerak. Dia bangkit berdiri sambil memandang berkeliling, berpikir-pikir dan berusaha mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya. Dia dapatkan sang Junjungan tak ada lagi di tempat itu.

Malah di samping Luhcinta kini berdiri orang yang mukanya dilapisi tanah liat hitam, dikenal dengan julukan Si Penolong Budiman. Jauh di sebelah sana Peri Angsa Putih kelihatan tegak di samping Lakasipo. Terpincang-pincang karena kini hanya pergunakan satu tangan sebagai kaki, Hantu Langit Terjungkir mendekati Hantu Bara Kaliatus.

"Latandai, ikuti aku ke tempat Lakasipo berada. Kita bertiga perlu bicara," berkata Hantu Langit Terjungkir. Dia memandang pada Luhsantini dan Luhcinta lalu juga pada si muka tanah liat. "Tidak ada salahnya kalian turut mendengar apa yang hendak kami bicarakan. Kelak kalian semua bisa menjadi saksi dari satu kenyataan hidup yang gelap dan selama ini tersembunyi seolah terpuruk di kerak bumi."

"Tua bangka buruk! Aku tidak ada urusan denganmu!" Hantu Bara Kaliatus menjawab. Tanpa banyak bicara dia segera hendak berkelebat pergi.

Hantu Langit Terjungkir cepat menghalangi. "Latandai, ini bukan urusan main-main…"

"Kau menyebut begitu! Kau tua bangka gila! Kalian di sini gila semua!" Saking marahnya karena merasa dihalangi Hantu Bara Kaliatus lalu tendangkan kaki kanannya ke bawah. Karena orang tua ini tegak dengan kaki ke atas kepala ke bawah maka dengan sendirinya tendangan itu mengarah ke kepalanya.

Dalam keadaan tangan kanan patah dan tubuh penuh luka, Hantu Langit Terjungkir tidak mampu berbuat banyak. Gerakannya menghindar terlalu lambat Kaki kanan Hantu Bara Kaliatus meluncur deras dan ganas ke kepalanya. Orang berjubah hitam yang wajahnya dilapisi tanah liat hitam cepat hendak bergerak berikan pertolongan. Tapi Luhcinta mendahului dengan satu teriakan...

"Latandai! Jangan berlaku bodoh! Mungkin orang tua yang hendak kau bunuh itu adalah ayah kandungmu sendiri!"

Kaget Hantu Bara Kaliatus bukan alang kepalang. Gerakannya menendang jadi tertahan. Dia membeliak besar ke arah Luhcinta. "Jangan kau berani mengada-ada!Apa maksud ucapanmu tadi?!" bentak Hantu Bara Kaliatus.

"Kalau kau ingin tahu jawabnya, penuhi permintaan orang tua itu. Dia mengajakmu bicara dengan Lakasipo. Antara kalian agaknya ada pertalian darah yang bukan main-main…"

"Apapun yang ada di balik semua kegilaan ini aku tidak akan pernah mengakui bangsat tua ini adalah ayahku! Juga tidak akan pernah mengakui Lakasipo adalah saudaraku!" Habis berkata begitu Hantu Bara Kaliatus meludah ke tanah lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

"Latandai!" seru Hantu Langit Terjungkir memanggil. Terpincang-pincang jatuh bangun dia berusaha mengejar Hantu Bara Kaliatus tetapi Luhcinta cepat mencegahnya.

"Kek, sia-sia saat ini kau memaksa bicara dengan Hantu Bara Kaliatus. Hati dan pikirannya dibungkus oleh perasaan sombong serta hawa amarah yang membuat dia tidak mau mengerti perasaan orang lain…"

"Aku…" Hantu Langit Terjungkir gulingkan badan nya ke bawah. Dia tak kuasa melanjutkan ucapannya karena tenggorokannya keburu diganjal oleh sesenggukan. Setengah meratap orang tua ini berucap.

"Aku tidak menyalahkan dirinya. Kenyataan ini sung guh berat untuk diterima oleh siapapun…"

"Kek," kata Luhcinta pula.

"Mungkin aku telah mengeluarkan ucapan salah. Tadi aku mengatakan kau mungkin adalah ayahnya sendiri. Agaknya itu yang membuat Hantu Bara Kaliatus marah besar. Aku tidak mengerti mengapa sampai bicara begitu. Aku mohon maafmu. Tapi terus terang seperti ada satu alur perasaan dalam hatiku yang tiba-tiba menyatu dengan alur perasaan yang ada dalam dirimu..."

"Kau tidak bersalah wahai gadis bernama Luhcinta. Latandai, seperti Lakasipo adalah anakku. Anak kandung darah dagingku. Aku yakin benar hal itu. Tanda yang ada di lengan Latandai, juga yang terdapat di lengan Lakasipo tak dapat dipungkiri…" Air mata bercucuran di pipi orang tua itu.

"Kek, untuk sementara biar kau menenangkan diri. Tanganmu cidera. Sekujur tubuhmu penuh luka bakar. Aku akan berusaha menolongmu sebisaku…"

"Terima kasih. Kau anak baik. Hatimu tulus dan penuh kasih. Kalau saja aku punya anak perempuan atau menantu sepertimu, hidupku tentu penuh bahagia. Tapi aku ingin kau membawa aku lebih dulu menemui Lakasipo di bukit kecil sana…"

Hantu Langit Terjungkir menunjuk ke arah kejauhan di mana tadi Peri Angsa Putih menurunkan sosok Lakasipo. Tapi ketika semua orang memandang kesana mereka jadi terkejut Peri Angsa Putih dan juga Lakasipo tak ada lagi di tempat itu.

"Anak itu… Kemana dia pergi. Dia tak mungkin berjalan sendiri. Ada seseorang yang membawanya. Aku masih belum berkesempatan untuk menerang kan padanya… Lakasipo anakku…" Kembali Hantu Langit Terjungkir menangis terisak-isak.

"Kek, biar aku mendukungmu, membawa ke tempat lebih baik untuk dirawat," orang berjubah hitam bermuka tanah liat tiba-tiba mendekat lalu mendukung si kakek di bahu kirinya.

"Tak jauh dari sini ada sebuah telaga di kaki bukit kecil. Untuk sementara kurasa itu tempat yang baik bagimu." Si muka tanah liat berpaling pada Luhcinta.

"Aku mendukung kakek ini, harap kau menolong perempuan di dalamjaring…"

"Orang bermuka aneh, aku tahu tadi kau yang menolong aku dari bahaya maut tangan ganas makhluk muka tengkorak itu. Dia begitu ketakutan melihat Pukulan Menebar Budi yang kau lepaskan untuk menyelamatkan nyawaku. Pukulan itu menandakan kau adalah yang selama ini dijuluki Si Penolong Budiman. Tapi wahai, siapakah kau sebenarnya?"

Dibalik tanah liat yang membungkus wajahnya si jubah hitam tersenyum rawan. Dengan suara perlahan dia berkata. "Kita orang-orang bernasib sama. Derita gelap kehidupan kita sama beratnya. Rahasia yang membalut dirimu telah mulai terungkap. Sedang aku entah kapan mendapat berkah para Dewa untuk dapat pula menyingkapnya…"

Di ujung ucapannya si muka tanah liat melirik pada Luhcinta. Luhcinta yang dilirik jadi berdebar. Dalam hati dia membatin. "betapapun aku tidak suka diikutinya terus menerus tapi mungkin dia memang menyimpan satu rahasia besar yang ada sangkut pautnya dengan diriku. Bagaimana aku harus bertindak…?"

"Penolong Budiman, tidak kusangka kau menyembunyikan satu ganjalan hati yang berat dibalik wajahmu yang terbungkus tanah liat itu. Aku tahu diri. Aku tak akan menanyakan apa-apa padamu. Eh, mengapa kau mendadak diam saja? Katamu kau hendak membawaku ke satu telaga kecil…"

"Ah, maafkan diriku. Kita berangkat sekarang juga Kek," kata si muka tanah liat. Dia mulai bergerak melangkah. Tiba-tiba langkahnya tertahan.

"Ada apalagi? Kau mendadak hentikan langkah…" tanya Hantu Langit Terjungkir.

"Gadis berpakaian serba biru itu. Dia tak ada lagi di sini. Perempuan di dalam jala juga ikut lenyap!" jawab Si Penolog Budiman.

"Hemm… aku bisa membaca. Mudah-mudahan apa yang terbaca tidak keliru. Agaknya gadis itu sengaja menjauhkan diri darimu. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan rahasia hidupmu?"

Si Penolong Budiman menarik nafas dalam. Tanpa menjawab pertanyaan si kakek dia segera melangkah tinggalkan tempat itu.

********************

LIMA

Pendekar 212 Wiro Sableng tidak bisa menduga kemana sebenarnya dan apa tujuan Hantu Santet Laknat membawanya. Sebelumnya dukun jahat itu bicara baik-baik padanya seperti orang berhati mulia. Dia bicara ingin membalas budi karena Wiro pernah menyelamatkannya. Tapi siapa percaya makhluk seperti nenek satu ini. Yang menyantet dan membunuh orang seenaknya? Karena tak tahan berdiam diri dan rasa was-was Wiro akhirnya ajukan pertanyaan.

"Nek, kau mau bawa aku kemana sebenarnya?"

Hantu Santet Laknat gebuk pantat Wiro dengan tangan kirinya. "Sudah berapa kali kau bertanya. Tidak pernah aku melihat orang secerewet dirimu ini! Biasanya yang cerewet adalah nenek-nenek sepertiku ini! Masih muda kau sudah begini cerewetnya, apalagi nanti sudah jadi kakek! Hi hik hik!"

Mendapat jawaban seperti itu Wiro akhirnya hanya diam saja. Dia berusaha mengerahkan tenaga untuk memusnahkan kelumpuhan aneh yang menguasai dirinya. Tapi sia-sia saja. Rupanya Hantu Santet Laknat mengetahui apa yang dilakukan Wiro. Maka nenek ini berkata.

"Kau boleh punya kesaktian setinggi langit sedalam samudera. Jangan harap kau bisa membebaskan diri dari ilmu Membuhul Urat Mengikat Otot yang menguasai dirimu. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab menghabiskan waktu lima puluh tahun untuk menyakini ilmu yang membuat orang kaku tegang tak berdaya seperti yang kau rasakan sekarang ini!"

"Hantu Santet Laknat, kau telah mencuri kapak saktiku…" Wiro ingat pada Kapak Maut Naga Geni212.

"Sudah kubilang, aku tidak mencuri senjata itu. Aku mengambil semata-mata karena ingin merasa dekat denganmu…"

"Aku tak perduli apapun alasanmu. Kau bisa menyebutkan seribu alasan. Mana kapak itu sekarang?"

"Kusimpan di balik jubah hitamku."

"Serahkan padaku!"

"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya si nenek sambil terus berlari.

"Senjata itu bisa menolong diriku dari luka dalam yang kuderita…"

"Kapakmu memang senjata luar biasa. Aku pernah mencobanya dan berhasil. Ketika diriku cidera berat dihantam lawan dan menderita luka dalam. Tapi luka dalam yang kau derita bukan cidera biasa! Kapak saktimu tak akan mampu menolong. Lagi pula jika kuserahkan padamu, apa kau bisa memegang senjata itu? Kau berada dalam keadaan lumpuh. Apa kau bisa mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti yang kau miliki?"

"Berarti, seumur-umur aku akan berada dalam keadaan seperti ini?"

Si nenek tertawa panjang. Wiro memaki dalam hati. Dalam keadaan seperti itu si nenek masih bisa tertawa. Kemudian didengarnya Hantu Santet Laknat berkata,

"Pemuda tolol, kalau aku ingin kau menderita sengsara seumur-umur, tidak akan aku membawamu saat ini..."

"Tapi kau tidak mau memberitahu kemana kau membawa diriku…"

"Sudahlah, jangan banyak bertanya. Hari mulai gelap. Kalau kau ajak bicara terus aku bisa lari menabrak pohon. Kalau kepalamu yang mendarat. di batang kayu lebih dulu, apa kau tidak celaka? Nanti kau menuduh diriku sengaja mencelakai dirimu…"

Wiro menggerendeng dalam hati. Dadanya men denyut sakit sekali. Tubuhnya saat demi saat terasa semakin lemah. Hantu Santet Laknat pegang pundak pemuda ini.

"Tubuhmu mulai dingin. Racun tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mulai bekerja. Aku harus bertindak cepat…"

Si nenek percepat larinya. Baru berlalu beberapa saat tiba-tiba Wiro merasakan dadanya sesak. Dia membuka mulut lebar-lebar agar bisa bernafas. Tapi dari mulutnya menghambur darah segar. Saat itu juga murid Eyang Sito Gendeng ini jatuh pingsan tak sadarkan diri lagi!

"Celaka! Celaka!" kata Hantu Santet Laknat berulang kali. Dia percepat larinya. Dalam udara yang mulai gelap sosoknya kelihatan seperti bayang-bayang, berkelebat ke arah matahari tenggelam. Tujuannya adalah sebuah bukit kecil yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan mengandung obat mujarab bagi penyembuhan luka dalam yang disertai racun.

Di puncak bukit itu ternyata ada sebuah gubuk reot beratap daun kelapa kering. Di dalam gubuk terdapat tiga batang pohon kelapa yang dipotong-potong rata dan disusun demikian rupa membentuk pembaringan. Hantu Santet Laknat baringkan Wiro di atas batang-batang kelapa itu.

Lalu dia mencari beberapa ranting kering, digabung jadi satu. Ujung ranting-ranting itu dilumasinya dengan hancuran sejenis daun. Ketika dibakar maka ujung ranting itu berubah menjadi obor. Walau hanya apinya kecil saja tapi sudah cukup untuk menerangi seluruh gubuk.

Hantu Santet Laknat berlutut di samping sosok Wiro. Dengan cepat dibukanya baju pemuda ini. Muka burungnya berubah dan sepasang matanya yang aneh membeliak besar ketika melihat tanda kebiruan berbentuk kaki di dada kiri Wiro. Itu adalah tanda kaki bekas tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

"Tendangan Hantu Racun Tujuh… Tepat di arah jantung. Tidak mudah mengobatinya..." desis Hantu Santet Laknat.

"Aku harus mencari tujuh jenis daun obat. Mungkin membutuhkan waktu lama. Apakah dia sanggup bertahan…" Si nenek letakkan telinga kirinya di atas dada kiri Wiro. "Masih ada detak jantungnya. Tidak terlalu keras. Para Dewa… Aku mohon pertolonganmu. Beri kekuatan pada orang ini agar dia bisa bertahan. Paling tidak sampai aku dapat mengumpulkan tujuh daun obat yang diperlukan…"

Hantu Santet Laknat letakkan dua telapak tangannya di dada kiri Pendekar 212. Lalu dia pejamkan mata. Perlahan-lahan si nenek mulai alirkan hawa sakti ke dada murid Eyang Sinto Gendeng. Cukup lama sampai tubuhnya keringatan karena dari dada pemuda itu seolah ada hawa lain yang keluar menolak masuknya hawa sakti si nenek. ltulah hawa jahat racun tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!

"Wiro…" bisik Hantu Santet Laknat. "Walau kelak aku tidak mendapatkan dirimu, aku merasa puas jika bisa menyelamatkan jiwamu. Kehadiranmu membuat aku mulai menyadari betapa hidup di dalam kesesatan itu hanya akan membakar diri sendiri…"

Si nenek belai pipi Wiro lalu bangkit berdiri. Dia harus bertindak cepat. Sebelum keluar dari dalam gubuk dia mengambil ranting-ranting yang dijadikan obor. Mencari tujuh daun obat di malam gelap seperti itu bukan pekerjaan mudah. Obor kecil itu bisa menolongnya sebagai penerang jalan. Baru satu langkah Hantu Santet Laknat meninggalkan bagian depan gubuk tiba-tiba di dalam gelap terdengar suara tawa cekikikan.

Kaget si nenek bukan alang kepalang. Memandang kedepan dia melihat dua gadis cantik berpakaian serba putih menyeruak keluar dari kegelapan,tegak berkacak pinggang, memandang ke arahnya sambil tertawa-tawa.

"Sepasang Gadis Bahagia!" kata si nenek dalam hati. "Apakah sudah lama mereka berada di tempat ini? Apakah mereka melihat apa yang tadi aku lakukan di dalam sana? Ah, menyaksikan mereka berdua-dua seperti ini membuat rasa penyesalan dalam diriku jadi semakin bertambah. Kalau sang Junjungan tidak memerintahkan aku... Tapi bagaimana dengan berita yang tersiar di luaran. Wiro dikabarkan telah merusak kehormatan mereka dan menganiaya keduanya. Jika melihat mereka saat ini tampaknya seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan mereka…"

Siapa adanya Sepasang Gadis Bahagia harap baca Episode sebelumnya berjudul Hantu Langit Terjungkir

"Hantu Santet Laknat!" gadis kembar di sebelah kanan bernama Luhkemboja menegur. "Apa yang kau lakukan di dalam gubuk barusan? Hik hik hik!"

"Dia benar-benar beruntung! Hik hik hik!" menimpali gadis satunya yakni Luhkenanga sang adik Hantu Santet Laknat tidak mau layani ucapan dua gadis kembar itu. Dia membentak keras.

"Dua gadis liar! Perlu apa malam-malam begini berada di tempat ini! Jika kau mengikuti diriku dan punya niat tidak baik, jangan kira aku tidak tega membuat kalian celaka seumur-umur!"

"Hik hik hik! Kak, kau dengar, dia mengancam kita!"

"Dia takut ketahuan apa yang barusan diperbuatnya di dalam sana dengan pemuda gagah yang digilainya itu!" ujar Luhkemboja.

Lalu dua gadis itu kembali tertawa panjang. "Nek, kami tadi mengintip kau hendak menelanjangi pemuda itu di dalam gubuk!" kata Luhkenanga.

"Kau membelai kepalanya. Mengapa tidak membelai bagian tubuh lainnya?!"

"Gadis-gadis sesat bermulut keji! Kalau kau tidak menjaga ucapan akan kurobek mulut kalian saat ini juga!" Hantu Santet Laknat marah besar.

"Hik hik hik! Dia takut kita mau mengambil pemuda itu!" kata Luhkenanga pula.

"Hemm… Kalian suka pada pemuda itu! Silahkan masuk ke dalam gubuk! Lakukan apa yang kalian mau!" Hantu Santet Laknat berkata seraya maju selangkah.

"Kami tidak berselera! Apa lagi pemuda itu siap menjadi bangkai tak berguna! Siapa sudi!" jawab Luhkenanga.

Seperti diketahui dua gadis kembar cucu-cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini memang mempunyai kelainan. Yakni hanya suka pada kaum sejenis.

"Kalau kalian tidak punya kepentingan lekas menyingkir! Atau api di ujung ranting ini akan merusak wajah kalian!"

Habis berkata begitu Hantu Santet Laknat membuat lompatan, menyergap dua gadis kembar seraya babatkan ujung ranting berapi ke wajah mereka. Sepasang Gadis Bahagia tahu sekali siapa adanya Hantu Santet Laknat. Mereka tidak mau mencari celaka. Dengan sigap keduanya membuat gerakan melesat ke udara. Dalam melompat tinggi sosok mereka seolah-olah bersikap duduk enak-enakan.

lnilah jurus yang disebut Bahagia Naik Ke Pelaminan. Sesaat kemudian keduanya lenyap dalam kegelapan. Hanya suara tawa mereka yang terdengar di kejauhan. Setelah memastikan dua gadis itu telah pergi jauh Hantu Santet Laknat segera tinggalkan tempat tersebut. Namun hatinya was-was.

"Dua gadis itu, aku tidak percaya pada mereka. Sejak keadaan mereka menjadi seperti itu benak dan hati mereka telah dilumuri segala macam kekejian. Aku harus melakukan sesuatu…"

Si nenek angkat tangan kirinya tinggi-tinggi keatas. Telapak tangan dipentang terbuka kearah gubuk. Matanya membesar tak berkesip.

"Wussss!"

Kepulan asap hitam melesat keluar dari lima jari dan telapak tangan si nenek. Asap itu membuntal ke arah gubuk. Tepat seperti yang diduga Hantu Santet Laknat, tak selang berapa lama Sepasang Gadis Bahagia muncul kembali. Mereka memandang berkeliling dalam gelap.

"Aneh, rasanya kita sudah sampai di tempat gubuk itu berada sebelumnya. Tapi mengapa gubuknya tak ada lagi...?" berucap Luhkenanga.

"Pohon besar itu," kata Luhkemboja sambil memandang pada pohon besar beberapa langkah di hadapannya. "Apakah pohon ini sebelumnya memang ada di sini?"

"Aku tak dapat memastikan," jawab Luhhkenanga. "Perasaanku tidak enak. Jika dukun jahat itu membokong kita di malam gelap gulita begini rupa, kita bisa celaka. Sebaiknya kita pergi saja. bukankah kita ingin menyirap kabar bagaimana keadaan dan apa yang dilakukan kakek kita Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"

"Ya, kita pergi saja. Kalau bertemu kakek kita beritahu bahwa pemuda asing dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu berada di kawasan bukit kecil ini."

"Tapi bagaimana kalau dia tahu kita mendustainya tentang tongkat batu biru itu?" ujar Luhkenanga.

Luhkemboja jadi terdiam sesaat Akhirnya dia berkata. "Sudah, lupakan dulu mencari kakek. Yang penting kita lekas pergi dari tempat ini!"

Seperti ditelan bumi dan gelapnya malam, dua gadis itu kemudian berkelebat lenyap dari tempat itu.

********************

ENAM

Langit malam laksana runtuh, tak dapat menahan curahan hujan yang sangat lebat. Gubuk tua itu seperti akan hancur luluh. Petir sabung menyabung. Guntur menggelegar menggetarkan puncak bukit. Dinding gubuk yang banyak berlubang membuat angin dingin menerobos masuk dengan mudah.

Pendekar 21 2 Wiro Sableng terbaring tak bergerak di atas tempat tidur terbuatdari susunan-batang pohon kelapa. Hanya dua bola matanya memandang berputar. Tubuhnya terasa dingin diterpa angin yang masuk dari luar. Tampisan air hujan dari atap dan dinding membasahi dirinya.

Untuk kesekian kalinya petir menyambar. Gelegar guntur membuat batang-batang pohon kelapa yang ditiduri Wiro bergetar keras. Tiba-tiba Wiro melihat cahaya terang di atas gubuk. Lalu terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Sesaat kemudian...

"Braakk!"

Atap gubuk jebol ambruk. Bersamaan dengan guyuran air hujen satu sosok putih melayang turun ke dalam gubuk! Dalam kejutnya Wiro berusaha bangkit. Tapi sekujur tubuhnya laksana direkat kebatang pohon kelapa. Matanya membeliak besar ketika mengenali siapa adanya sosok tinggi besar berjubah putih basah kuyup yang tegak di sampingnya. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!

"Pemuda terkutuk dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang! Aku mau melihat sampai dimana kesaktianmu! Apa kali ini kau sanggup menyelamatkan diri dari kematian? Roh teman-temanmu tidak sabar menunggu kedatanganmu untuk bergabung!"

Murid Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut besar. "A… apa?! Jadi kau... kau telah membunuh Naga Kuning dan Setan Ngompol?!"

Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tertawa bergelak. Tiba-tiba dia gerakkan dua tangannya. Dua tangan itu serta merta menjadi panjang dan berkelebat ke arah leher Wiro. Satu cekikan yang sangat kuat membuat lidah Wiro langsung terjulur. Dia tidak bisa melakukan apapun. Tangannya tak bisa digerakkan. Dia tidak ada daya untuk menyelamatkan diri! Suara tawa Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab semakin keras. Lidah Wiro semakin panjang terjulur. Ludah bercampur darah berbusa di mulutnya. Nafasnya tidak keluar lagi dari mulut ataupun hidung!

"Tidak… ! Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!" teriak Wiro. Dia berusaha mengerahkan tenaga. Tiba-tiba entah bagaimana, dia mampu menggerakkan tangan dan kakinya. Langsung dia menendang dan memukul. Tapi sosok Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab seperti bayang-bayang. Wiro hanya memukul angin!

"Aku tidak mau mati! Tidaakk! Kau yang harus mati! Kau… kau… kau!" Wiro berteriak lagi lalu kembali dia memukul dan menendang kalap.

Mendadak pintu gubuk ditendang orang dari luar. Satu sosok hitam menghambur masuk. Di kepitan tangan kirinya dia membawa berbagai macam dedaunan. Di tangan kanan orang ini memegang obor ranting kayu. Hantu Santet Laknat!

"Wiro! Apa yang terjadi?!" si nenek bertanya kaget dan heran melihat keadaan Wiro begitu rupa.

"Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Kau yang harus mati! Kau… kau… kau!"

"Kau… kau siapa maksud pemuda ini? Diriku? Dia ingin aku mati?"

Si nenek sisipkan obor di sudut gubuk. Dedaunan dibuangnya ke lantai lalu cepat dia mendekati Wiro. Begitu dia menyentuh tubuhsi pemuda terasa sangat panas.

"Kau mimpi! kau barusan bermimpi Wiro! Sekaligus diserang demam panas akibat racun tendangan…"

Bola mata Pendekar 212 memandang seputar gubuk. "Mana dia? Mana dia manusia jahat yang hendak membunuhku itu?!"

"Manusia jahat siapa? Tidak ada orang lain di sini kecuali kita berdua…" Menjelaskan Hantu Santet Laknat.

"Tidak mungkin! Aku lihat sendiri dia menerobos masuk dari atas atap sana! Basah kuyup karena diluar sedang hujan lebat!"

Hantu Santet Laknat memandang ke arah atap yang ditunjuk Wiro. "Aku tidak melihat apa-apa. Coba kau perhatikan baik-baik. Atap gubuk itu tidak ada yang jebol. Di luar tidak ada hujan…"

"Tidak mungkin! Jangan mempermainkan aku!"

Si nenek gelengkan kepala. "Kataku kau bermimpi…"

"Kalau aku bermimpi bagaimana aku bisa menendang dan memukul?"

Hantu Santet Laknat tertawa. "Waktu aku masuk aku dapatkan kau terbaring keringatan tapi masih dalam keadaan kaku di atas batang-batang kelapa itu. Kalau kau tidak percaya coba gerakkan tangan atau kakimu!"

Wiro melakukan apa yang dikatakan si nenek. Ternyata dia tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya.

"Kau masih berada dalam kelumpuhan akibat perbuatan Hantu SejutaTanya Sejuta Jawab. Sekarang apa kau percaya bahwa kau tadi hanya bermimpi? Kalau kau mimpi berarti kau sempat tidur. Itu sangat menolong memulihkan kekuatanmu. Tapi kau masih belum terlepas dari bahaya. Pejamkan matamu. Jangan memikirkan apa-apa. Aku pernah mendengar dari seseorang bahwa kau mempunyai Tuhan yang disebut Allah. Aku tidak mengerti, tidak tahu siapa Dia adanya. Tapi kudengar Dia Maha Kuasa Maha Penolong dan Maha Pengasih. Kalau begitu mengapa kau tidak berdoa padaNya agar kau mendapat pertolonganNya. Aku akan berdoa untukmu pada para Dewa. Lalu menyiapkan ramuan obat Tetap berbaring di sini sampai aku kembali!"

Setelah Hantu Santet Laknat keluar dari gubuk dan Pendekar 212 tinggal sendirian, murid Sinto Gendeng ini memperhatikan seputar gubuk sambil berpikir-pikir.

"Mungkin benar aku bermimpi. Atap itu tak ada yang jebol. Di luar ternyata tidak ada hujan. Nenek bernama Hantu Santet Laknat itu... Aneh, mengapa dia berubah sebaik itu padaku? Dia hendak meramu obat katanya? Dia memberitahu agar aku berdoa pada Allah. Astaga… Aku memang sudah banyak berdosa karena sejak lama tidak pernah mengingat-ingat Dia…" Wiro usap mukanya yang keringatan berulang-ulang.

"Gusti Allah, ampuni diriku!" Wiro pejamkan matanya. Dadanya kembali menyentak sakit.

********************

Di dalam gubuk itu waktu terasa seperti merayap. Wiro seolah sudah menunggu berhari-hari. Matanya hampir terpicing ketika akhirnya Hantu Santet Laknat muncul kembali. Di tangannya dia membawa daun talas yang dibentuk demikian rupa tempat menam pung remasan tujuh macam daun yang meng hasilkan semacam cairan kental.

"Aku datang membawa obatmu! Kau berdoalah pada Tuhanmu. Aku memohon pada para Dewa untuk kesembuhanmu. Sekarang buka mulutmu lebar-lebar!"

"Hantu Santet Laknat, apa yang ada di dalam daun itu?"

"Obatmu! Jangan banyak bertanya lagi! Jangan membuang waktu. Jangan membuat aku kesal!" Karena Wiro tidak mau membuka mulutnya, nenek berwajah seperti burung gagak hitam itu jadi tak sabaran lalu pencet pipi si pemuda. Begitu mulut Wiro terbuka Hantu Santet Laknat segera tuangkan cairan kental di dalam daun keladi. Wiro masih berusaha bertahan dengan tidak mau menelan cairan obat itu karena ada kekhawatiran dalam dirinya si nenek bukan memberinya obat tetapi racun jahat yang bisa mencelakainya!

Terpaksa Hantu Santet Laknat memijat pipi Wiro kembali. "gluk… gluk… gluk!" Ketika cairan ramuan obat lewat di tenggorokannya, Wiro merasa seperti menelan cairan timah panas. Mulutnya mengepulkan asap. Wiro berteriak setinggi langit. Matanya mendelik lalu terkatup. Mulut terkancing. Hantu Santet Laknat tertawa panjang.

********************

Perlahan-lahan Pendekar 212 buka sepasang matanya. Dia memandang berkeliling dan dapatkan. dirinya ternyata masih berada dalam gubuk. Di sudut gubuk masih menyala api di ujung tumpukan ranting kayu yang kini hanya tinggal dua jengkal panjangnya. Wiro coba memasang telinga. Selain kesunyian sesekali terdengar suara jengkerik di kejauhan pertanda saat itu malam hari.

"Malam hari, apakah masih malam yang sama pertama kali aku dibawa ke sini? Aku masih berada dalam gubuk ini. Mana si nenek dukun itu… ?" Wiro berucap dalam hati. "Aneh, tubuhku terasa ringan. Dadaku lega, tak ada rasa sakit…"

Tak sadar Wiro gerakkantangan kanannya. Astaga! Ternyata dia bisa menggerakkan tangan. Ganti tangan kiri digerakkan. Lalu digeserkan dua kakinya.

"Gusti Allah! Kau telah menolongku! Aku sembuh! Aku bisa bergerak!" Masih kurang percaya, murid sinto Gendeng ini bergerak bangkit. Dia keluarkan seruan tertahan ketika melihat dia benar-benar bisa duduk di atas pembaringan terbuat dari batang kelapa itu! Wiro perhatikan dada kirinya. Sebelumnya disitu ada tanda kebiru-biruan bekas tendangan kaki beracun Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tapi saat itu tak ada lagi, lenyap tak berbekas.

"Tuhan Maha Besar!" Wiro bersujud di atas pembaringan. "Terima kasih Tuhan. Terima kasih Gusti Allah. Jika pertolongan dan kesembuhanku ini Kau berikan melalui kebaikan seseorang maka berilah orang itu berkah sebesar-besarnya! Berilah kepadaku kemampuan untuk membalas budinya!" Setelah bersujud tak bergerak beberapa lamanya sambil mengucap puji syukur berkepan-jangan Wiro turun dari pembaringan. "Aku harus mencari nenek itu…"

Hanya mengenakan celana putih tanpa baju dia melangkah ke pintu. Pintu gubuk mengeluarkan suara berkereketan ketika dibuka. Di luar kegelapan hitam menyambutnya. Setelah memperhatikan keadaan sesaat, Wiro kemudian melangkah. Dia memeriksa sekitar gubuk malah lebih jauh lagi. Tapi dia tidak menemukan Hantu Santet Laknat

"Jangan-jangan dia telah pergi entah kemana. Dia masih membawa kapak saktiku. Kemana aku harus mencarinya?!" Wiro angkat tangan kanannya menggaruk kepala. "Ah, sudah lama aku tidak menggaruk. Enak sekali rasanya!"

Murid Sinto Gendeng lalu pergunakan dua tangan untuk menggaruk kepalanya habis-habisan sambil tersenyum-senyum. Tapi bila dia ingat kembali pada Hantu Santet Laknat dan kapak saktinya, senyumnya hilang, gerakan menggaruk terhenti. Kemudian disadarinya dia tidak mengenakan baju.

"Aku harus kembali ke gubuk. Mengambil baju dan memeriksa. Siapa tahu nenek itu meninggalkan kapak saktiku disatu tempat di dalam gubuk itu!"

Wiro setengah mengharap walau sebenarnya dia tidak yakin HantuSantet Laknat akan meninggalkanKapak Maut Naga Geni 212 begitusaja tanpa memberitahu padanya. Wiro cepat-cepat melangkah kembali ke gubuk. Setengah jalan di satu. tempat langkahnya tertahan. Telinganya tiba-tiba mendengar suara sesuatu.

"Suara orang terisak-isak..." kata Wiro dalam hati. "Siapa pula yang malam-malam begini menangis di tempat ini?"

Dia memandang berkeliling. Matanya melihat sesuatu beberapa belas langkah di depan sana. Di bawah bayang-bayang gelap sebuah pohon besar, di atas akar pohon yang menyembul tinggi di permukaan tanah dia melihat seseorang duduk bersandar. Seorang perempuan berpakaian putih panjang.

********************

TUJUH

Peri Angsa Putih… Bagaimana dia bisa berada di sini. Apa yang membuat hatinya sedih hingga menangis terisak-isak?"

Wiro menyelinap ke balik serumpunan semak belukar hingga berada lebih dekat dengan pohon besar. Dari tempat itu dia bisa melihat lebih jelas dan jadi terkejut ketika menda patkan perempuan berpakaian putih panjang itu ternyata bukanlah Peri Angsa Putih. Wiro menduga-duga siapa adanya perempuan ini.

"Tak pernah kulihat gadis bertubuh langsing ini sebelumnya. Wajahnya sungguh luar biasa. Bulat berseri seperti bulan empatbelas hari. Paras yang tidak kalahcantik dengan para gadis yang pernah kulihat di Negeri Latanahsilam ini. Rambutnya sungguh hitam dan panjang sampai sepinggang. Kulitnya tak kalah putih dengan Peri Angsa Putih. Mungkinkah dia seorang Peri yang sela ma ini tidak pernahmemunculkan diri? Tapi Kalau Peri biasanya tubuh serta pakaiannya mengeluarkan bau harum semerbak."

Selagi Wiro berpikir-pikir apakah dia segera saja keluar dari balik semak belukaratau menunggu sampai gadis itu pergi dan dia lalu mengikutinya, tiba-tiba ada suara berdesir menembus semak belukar. Dia hampir keluarkan seruan tertahan sewaktu meiihatseekor ular hitam besar panjang hampir dua tombak melata cepat di tanah, melesat ke arah si gadis duduk.

Wiro hampir berteriak hendak memberikan ingat karena menyangka binatang yang tubuhnya meman carkan cahaya aneh itu hendak menyerang atau mematuk si gadis. Tapi dia jadi ternganga sewaktu menyaksikan bagaimana ular besar itu meluncur di akar pohon yang menyembul tinggi lalu naik ke atas tubuh si gadis dan bergelung di pangkuannya!

"Wahai sahabatku Laepanjanghitam," Terdengar si gadis berucap. "Tidak sangka kau datang malam malam begini…"

Ular hitam di pangkuan si gadis tegakkan kepalanya dan julurkan lidahnya yang memancarkan sinar terang kebiruan lalu Keluarkan suara mendesis halus. Si gadis usap-usap kepala ular besar itu dengan tangan kirinya. Sang ular kedap-kedipkan sepasang matanya yang berwarna hitam pekat.

"Sahabatku, saat ini aku tidak memerlukanmu. Mungkin aku tidakakan meminta pertolonganmu dalam waktu lama. Mungkin juga kita tak akan bertemu lagi. Walaubegitu di alam seribu gaib kita akan tetap bersahabat Jika kau memerlukan diriku aku bisa muncul. Jika aku membutuhkanmu aku akan memanggilmu. Langit di sebelah timur mulai kelihatan terang. Sebentar lagi pagi akan segera datang. Wahai sahabatku, pergilah…"

Ular di pangkuan si gadis kembali keluarkan suara mendesis halus lalu gelungkan tubuhnya di leher dan dada gadis itu. Setelah mengusapkan kepalanya ke pipi sigadis seolah membelai, binatang ini meluncur turun dari pangkuannya lalu melata di tanahdan menghilang di arah matahari terbit.

Tak lama setelah binatang itu lenyap gadis langsing berpakaian putih bangkit berdiri. Dia merapikan rambutnya yang tergerai sampai di pinggang, termenung sesaat. Sambil mengusap pipinya gadis ini balikkan diri, melangkah ke balik pohon besar tempat sebelumnya dia tadi duduk.

Wiro yang setengah tercekat menyaksikan semua kejadian itu segera keluar dari balik semak belukar dan mengejar ke balik pohon besar. Tapi gadis cantik berpakaian putih berambut panjang itu tak kelihatan lagi.

"Lenyap!" kata Wiro sambil memandang berkeliling dan garuk-garuk kepala. "Mungkin dia sebangsa hantu penghuni kawasan ini. Kalau manusia biasa. masakan bersahabat dengan seekor ular besar begitu rupa?"

Pendekar 212 memandang ke timur. Langit semakin terang. "Aku harus kembali ke gubuk. Mungkin Hantu Santet Laknat sudah ada di sana. Aku harus mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali. Aku harus mencari kawan-kawanku. Aku harus menolong Lakasipo dan Luhsantini. Terakhir sewaktu di lembah mereka masih berada dalam jaring aneh itu..."

Wiro lalu ingat dengan orang-orang yang hendak menurunkan tangan jahat terhadapnya. Seperti Lawungu, Hantu Tangan Empat dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.

"Persetan dengan mereka!" Wiro memaki sendiri lalu balikkan badan, kembali menuju ke gubuk. Hampir sepeminuman teh berlalu, pendekar kita mulai heran dan garuk-garuk kepala. "Aneh, waktu pergi tadi rasanya aku tidak jauh-jauh. Mengapa sekarang membutuhkan waktu begini lama mencari gubuk sialan itu?!"

Wiro memandang berkeliling. Sementara itu langit sudah terang karena malam telah berganti siang. Ketika dia menoleh ke kiri kagetlah Wiro. Gubuk yang dicarinya itu ada di sana. Hanya belasan tombak saja dari tempatnya berdiri.

"Sialan. Mungkin aku masih ingat-ingat gadis cantik tadi. Hingga gubuk di depan mata aku tidak melihat!"

Wiro segera melangkah menuju gubuk. Namun kakinya berhenti berjalan ketika tiba-tiba pintu gubuk dilihatnya terbuka. Seorang berpakaian serba biru keluar dari dalam gubuk. Dia membawa sehelai pakaian putih yang sengaja ditekapkannya ke dadanya.

"Luhcinta..." desis Pendekar 212. Setengah berlari dia segera menuju ke gubuk.

Sementara itu gadis di depan pintu gubuk kelihatan gugup dan berubah wajahnya. Pakaian putih yang didekapnya ke dada cepat cepat diturunkannya. Pakaian itu ternyata adalah baju milik Wiro. Begitu berhadap-hadapan kedua orang ini sesaat hanya saling pandang, tak ada yang keluarkan ucapan. Luhcinta lalu ingat pada baju Wiroyang dipegangnya. Diulurkannya tangannya menyerahkan pakaian itu. Si gadis berusaha tersenyum.

"Bajumu... Kutemukan di dalam gubuk. Aku…"

Wiro melihat bekas robekan hangus pada bahu kanan dan pinggul Luhcinta. "Ada robekan di pakaianmu. Apa yang terjadi…?"

"Hantu Bara Kaliatus. Dia menyerangku dengan bara-bara apinya. Untung tidak apa-apa. Hanya pakaianku yang robek…" menerangkan Luhcinta dan merasa senang karena si pemuda memperhatikan dirinya.

"Syukur kalau begitu. Aku gembira kita bisa bertemu di sini. Walau sulit menduga bagaimana kau bisa sampai di tempat ini," kata Wiro.

Mendengar ucapan Wiro, si gadis merasa bahagia. Dia jadi ceria. "Panjang ceritanya, mungkin juga hanya satu kebetulan. Aku akan tuturkan padamu secara singkat. Setelah kau dilarikan Hantu Santet Laknat aku tersesat ke satu tempat dimana tengah terjadi perkelahian antara Hantu Bara Kaliatus dengan Hantu Langit Terjungkir, Luhsantini juga ada di situ. Seperti Lakasipo dia masih terbungkus dalam jaring aneh. Hantu Bara Kaliatus dibantuoleh satu makhluk berjubah hitam bermuka jerangkong yang dipanggil dengan sebutan Junjungan. Ternyata makhluk ini memiliki kepandaian tinggi. Hantu Bara Kaliatus hampir membunuh Lakasipo kalau tidak ditolong oleh Peri Angsa Putih. Hantu Langit Terjungkir sendiri hampir tamat riwayatnya kalau tidak ditolong oleh seorang aneh bermuka tanah liat yang selama ini dikenal dengan sebutan Si Penolong Budiman…"

"Orang itu, bukankah yang menurutmu selalu mengikutimu..."

Luhcinta mengangguk. "Sampai saat ini dia masih saja mengikutiku. Aku akan ceritakan mengenai dirinya nanti. Biar kulanjutkan dulu cerita tadi. Dalam perkelahian hidup mati itu Hantu Langit Terjungkir sempat mengatakan pada Hantu Bara Kaliatus bahwa Lakasipo adalah saudara kandungnya. Kemudian tersingkap singkap pula rahasia bahwa Hantu Langit Terjungkir itu sebenarnya adalah ayah kandungHantu Bara Kaliatus. Tapi Hantu Bara Kaliatus tidak mempercayai. Malah marah besar. Dia kemudian meninggalkan tempat itu. Makhluk muka tengkorak menyusul pergi. Kemudian kami ketahui pula bahwa Peri Angsa Putih tak ada lagi di tempat itu. Lakasipo lenyap. Besar dugaan Peri Angsa Putih yang membawanya. Aku kemudian membawa Luhsantini. Si Penolong Budiman menolong Hantu Langit Terjungkir yang cidera patah lengan kanannya. Kami kemudian berpisah…"

"Luhsantini, apakah dia sudah bisa dikeluarkan dari dalam jala?" tanya Wiro.

Luhcinta menggeleng. "Tak ada satu kekuatanpun yang sanggup menjebol jaring itu. Tapi aku akan berusaha terus…"

"Kau belum menerangkan bagaimana kau tahu-tahu pagi ini bisa tersesat ke sini," kata Wiro pula. Dia ingat gada baju yang dipegangnya. Cepat-cepat Wiro mengenakan pakaian itu.

"Secara kebetulan saja…" jawab Luhcinta. "Setelah kau lenyap dibawa Hantu Santet Laknat dan kami tidak tahu dimana beradanya dua sahabatmu benama Naga Kuning dan Setan Ngompol itu, timbul perasaan khawatir. Jangan-jangan kau sudah dicelakai oleh nenek jahat itu…"

"Tidak, malah sebaliknya…" Wiro memotong.

"Apa maksudmu tidak dan malah sebaliknya?" tanya Luhcinta.

"Teruskan ceritamu. Nanti aku jelaskan," jawab Wiro.

Si gadis tatap wajah Pendekar 212 sejurus baru meneruskan penuturannya. "Beberapa hari laluaku menemukan sebuah gua. Luhsantini kubaringkan di dalam gua yang ternyata cukup bersih dan ada mata air di dalamnya…"

"Bagaimana dengan Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman?" Wiro memotong dengan pertanyaan.

"Aku tak tahu pasti mereka berada di mana. Tapi sebelum berpisah Si Penolong Budiman mengatakan akan membawa kakek itu ke sebuah telaga tak jauh dari tempat itu. Ternyata kemudian kuketahui, gua dimana aku dan Luhsantini berada terletak tak jauh dari telaga, sama-sama tidak jauh pula dari bukit ini. Pagi tadi, begitu fajar mulai menyingsing aku berjalan-jalan ke puncak bukit ini. Tak sengaja aku menemukan gubuk ini. Kuperiksa. Kosong. Tapi didalamnya aku melihat tanda-tanda sebelumnya ada orang di sini. Lalu aku melihat sehelai baju putih. Aku yakin sekali pakaian itu adalah milikmu. Berarti sebelumnya kau ada di dalam gubuk. Aku memutuskan untuk menunggu. Tapi tak ada yang muncul. Aku keluar dari gubuk. Tepat pada saat kau tengah menuju ke sini…"

"Aku memang berada di gubuk ini. Aku tak ingat pasti berapa lama atau berapa malam aku berada disini. Sebelumnya aku menderita luka dalam yang amat parah. Tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membuat sekujur badanku lumpuh. Hantu Santet Laknat membawaku ke sini. Dia mengobati diriku hingga sembuh begini rupa…"

Tentu saja Luhcinta merasa terkejut mendengar keterangan Wiro. Dia menatap dengan pandangan tidak percaya. "Kau diculik Hantu Santet Laknat, dia juga yang mencuri kapak saktimu. Lalu kau katakan dia mengobati menyembuhkan luka dalam serta kelumpuhan akibat tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"

"Benar!" jawab Wiro. "Maksudku, semua ini tentu saja atas kehendak Gusti Allah yang Maha Kuasa. Si nenek…"

"Sulit kupercaya Hantu Santet Laknat mau berlaku sebaik itu…" kata Luhcinta pula. Lalu dalam hati dia berkata. "Jangan-jangan dukun jahat itu menyembunyikan sesuatu dibalik semua kebaikan ini…"

"Kau agaknya tidak percaya kalau Hantu Santet Laknat benar-benar telah berubah dan menolongku?" tanya Wiro ketika melihat cara memandang si gadis.

"Aku percaya. Mudah-mudahan kasih yang tulus dan budi pertolongan yang kudus telah tumbuh di lubuk hati nenek itu. Aku turut bergembira. Walau demikian aku sarankan agar kau tetap berlaku hati-hati, waspada. Dibalik sesuatu kebaikan mungkin tersembunyi satu maksud jahat. Di belakang yang putih mungkin mendekam sesuatu yang hitam. Dibalik budi pertolongan bisa saja berlindung satu niat buruk yang tidak terduga. Tapi Kalau kasih sudah menjadi bagian hati seseorang rasanya kebaikan akan terpancar dalam segala tindakannya. ltulah yang kuharapkan terjadi dengan Hantu Santet Laknat…"

"Kau menduga nenek itu menaruh hati culas terhadapku?" tanya Wiro.

"Aku tidak mengatakan demikian. Aku minta agar kau tetap berlaku hati-hati. Terhadap siapapun…"

"Termasuk terhadapmu?" tanya Wiro sambil tersenyum.

"Bisa saja!" jawab Luhcinta. Lalu dia berkata. "Aku harus kembali ke gua. Kau mau ikut bersamaku? Mungkin kita berdua bisa melakukan sesuatu untuk melepaskan Luhsantini dari dalam jala api biru."

"Aku ingin sekali ikut bersamamu. Menolong Luhsantini juga menjadi keinginanku. Tapi tidak sekarang. Tunjukkan saja di mana kira-kira letak gua itu." Luhcinta merasa kecewa mendengar Wiro tak mau ikut saat itu juga bersamanya.

"Kau turuni kaki bukit ini ke arah matahari tenggelam. Kau pasti akan menemukan gua itu Tidak sulit mencarinya."

"Aku akan menyusul…"

"Apa yang hendak kau lakukan hingga tidak bisa berangkat bersamaku ke gua?" bertanya Luhcinta.

"Aku,, aku harus menunggu sampai Hantu Santet Laknat datang. Dia adalah orang yang telah menolongku. Rasanya tidak baik kalau aku pergi sebelum bertemu dan mengucapkan terimakasih. Lagi pula aku ingin mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali..."

"Aku mengerti. Aku tunggu kau di gua." Kata Luhcinta pula.

Wiro menggangguk dan memperhatikan kepergian Luhcinta sambil dalam hati berkata. "Beberapa orang mengatakan gadis itu mencintai diriku. Mungkin benar. Dibalik kekhawatirannya terhadap si nenek dukun, tersembunyi rasa cemburu. Aneh, gadis secantik itu bisa cemburu terhadap seorang nenek buruk bermuka burung gagak hitam!"

Setelah Luhcinta lenyap di balik pepohonan Pendekar 212 segera masuk ke dalam gubuk. Dia memeriksa setiap sudut gubuk itu. Namun tidak menemukan kapak saktinya.

"Nenek itu pasti membawanya. Di mana dia sekarang? Agaknya akuharus menunggu sampai dia datang. Tapi untuk berapa lama? Bagaimana kalau dia tidak muncul lagi?"

Wiro garuk-garuk kepala lalu keluar dari gubuk. Langkahnya hampir tersurut karena kaget. Karena begitu keluar dari dalam gubuk sosok Hantu Santet Laknat tahu-tahu telah berdiri di depannya. Tangan kanannya berada di belakang pinggang. Pandangan mata burungnya yang menyembul hitam, tajam tak berkesip. Membuat Pendekar 212 merasa tidak enak.

DELAPAN

”Apa yang ada dalam pikiran nenek ini. Jangan- jangan hati jahatnya muncul kembali. Dia berdiri menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya…" membatin murid Sinto Gendeng.

Dalam khawatirnya dia segera siapkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia merasa lega ternyata kesembuhannya memang menyeluruh, termasuk kemampuan mengerahkan hawa sakti yang dimilikinya.

"Kau mencari benda ini?" tiba-tiba Hantu Santet Laknat ajukan pertanyaan. Lalu nenek ini gerakkan tangan kanannya yang sejak tadi dikebelakangkan. Ternyata di tangan itu dia memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar matahari pagi membuat senjata sakti itu memancarkan sinar menyilaukan.

"Nek, berkat pertolonganmu aku sudah sembuh!" Wiro mengalihkan pembicaraan walau saat itu dia ingin sekali mengambil kapak saktinya dari tangan si nenek. "Aku berterima kasih padamu Nek," kata Wiro lagi sambil memegang bahu si nenek kiri kanan. Hantu Santet Laknat pandangi wajah Wiro lalu memperhatikan dua tangan yang mendekap bahunya itu. Si nenek kemudian tersenyum.

"Tak perlu kau mengucapkan terima kasih. Kalaupun kau merasa perlu, sampaikan pada Tuhanmu. Aku sudah memuji syukur semalaman tadi pada para Dewa..." Hantu Santet Laknat kemudian ulurkan tangannya yang memegang kapak. "Berat hatiku mengembalikan senjata ini padamu. Tapi aku tahu itu bukan milikku. Kau bukan saja sebagai orang yang mempunyai tapi aku tahu senjata itu banyak kegunaannya jika berada di tanganmu. Ambillah kembali. Maafkan kalau kau merasa aku pernah mencurinya darimu..."

Hantu Santet Laknat dekatkan mata kapak ke wajahnya. Untuk beberapa saat lamanya dia tempelkan senjata itu di pipinya sambil memejamkan mata. Masih dalam keadaan mata terpejam Kapak Maut Naga Geni 212 diserahkannya pada Wiro.

"Nek, kau orang baik. Waiau dulu kau pernah mengecewakan diriku dengan perbuatanmu yang aneh-aneh, tapi belakangan ini aku banyak berhutang budi padamu..."

Wiro ambil kapak saktidari tangan si nenek. Setelah memeriksanya sesaat senjata itu segera diselipkan di balik pakaiannya. Dia benar-benar merasa lega kini.

"Terima kasih Nek," kata Wiro pada Hantu Santet Laknat sambil tersenyum. Hantu Santet Laknat tertawa panjang. "Kau bicara soalbudi! Hik hik hik! Urusan budi baik hanya ada di negeri asal usulmu yang kau sebut sebagai tanah Jawa itu. Di Latanahsilam, antara budi dengan kejahatan hanya terpisah setipis kabut pagi. Tapi aku banyak belajar mengenai budiluhur darimu. Aku tak akan melupakan hal itu !”

Habis berkata begitu si nenek memandang berkeliling. Lalu dia memperhatikan tanah di bagian depan gubuk, menghirup udara beberapa kali dan berkata.

"Kalau tidak salah aku menduga, agaknya belum lama ini tempat ini telah kedatangan seorang tamu…"

Wiro tertawa lebar. "Kemampuanmu melacak tanda dan hawa sungguh membuat aku kagum!" Wiro memuji.

"Jika kau mau, ilmu itu akan kuberikan. Tapi wajahmu harus berubah jadi wajah buruk gagak hitam sepertiku! Hik hik huk!" Hantu Santet Laknat tertawa cekikikan. "Kau mau mengatakan siapa tamumu itu?"

"Aku rasa dengan ketinggian ilmumu kau sudah tahu siapa orangnya. Tapi baik aku katakan. Aku tak mau berdusta pada sahabat sendiri..."

"Wahai! Kau kini menganggap diriku sebagai sahabat? Sungguhan?!" tanya si nenek.

Wiro mengangguk. Sepasang mata hitam dan menonjol si nenek kelihatan berbinar-binar lalu kembali dia tertawa panjang.

"Kau kenal orangnya. Seorang gadis bernama Luhcinta," Wiro menerangkan.

Hantu Santet Laknat tampak agak tercekat sesaat lalu anggukkan kepala. "Gadis itu! Yang kecantikannya membuat iri para Peri di Negeri Atas Angin. Wahai, gerangan apakah yang membuat dia sampai terpesat ke puncak bukit ini?"

"Dia muncul secara tidak sengaja. Sejak beberapa hari lalu dia dan Luhsantini berada di satu gua di kaki bukit. Perempuan malang bekas istri Hantu Bara Kaliatus itu masih terkurung dalam jaring api biru." Sampai di situ Wiro ingat sesuatu dan hentikan ucapannya. Dia menatap wajah burung gagak Hantu Santet Laknat.

"Apa yang ada di benakmu Wiro?" tanya Hantu Santet Laknat.

"Nek, maafkan kalau aku harus membicarakan hal ini padamu…"

"Aku sudah dapat membaca hatimu dan melihat isi benakmu. Katakan saja lewat ucapanmu!" kata Hantu Santet Laknat pula.

"Luhsantini dan Lakasipo. Mereka terjebak dalam jala api biru. Kabarnya tak ada yang bisa menolong mengeluarkan mereka dari jala itu. Hantu Bara Kaliatus yang mencelakai mereka. Banyak yang mengetahui Latandai alias Hantu Bara Kaliatus adalah muridmu. Dia mendapatkan ilmu jala api biru itu pasti darimu. Berarti selain dia, kau salah seorang yang mampu memusnahkan jala itu dan menolong membebaskan mereka. Nek, apakah kau mau menolong mereka? Luhsantini istri yang malang dan menderita sengsara selama bertahun-tahun akibat perlakuan jahat Hantu Bara Kaliatus. Lakasipo adalah saudara angkatku. Dia juga mengalami nasib sama. Bertahun-tahun dia tersiksa karena dua kakinya tenggelam dalam dua bola batu walau kemudian kaki-kakinya itu bisa dijadikan senjata sangat ampuh…"

"Apakah kau mengetahui bahwa Lakasipo menderita seperti itu juga karena perbuatanku...?" tanya Hantu Santet Laknat.

Murid Eyang Sinto Gendeng setengah terkesiap, mendengar pertanyaan yang merupakan pengakuan itu. "Ah, agaknya nenek satu ini benar-benar telah berubah," kata Wiro dalam hati.

"Lakasipo pernah menceritakan hal itu padaku. Tapi itu terjadi sebelum aku dan kawan-kawan berada di negeri ini. Aku tidak akan mengungkit-ungkit hal itu. Lagi pula Lahopeng, orang yang menjadi biang racun kesengsaraan Lakasipo sudah menemui ajal di tangan Lakasipo sendiri. Tapi aku akan berterima kasih besar jika kau mau menolong mereka semua."

Lama Hantu Santet Laknat terdiam. Setelah menarik nafas panjang nenek ini berkata. "Aku berjanji akan menolong Luhsantini dan Lakasipo keluar dari jaring api biru. Tapi untuk melenyapkan dua bola batu di kaki Lakasipo memakan waktu lama. Bisa sampai tiga atau empat tahun…"

"Kalau begitu kerjakan apa yang segera bisa kau lakukan."

Hantu Santet Laknat mengangguk. "Aku berjanji menolong mereka. Sekarang aku harus pergi. Sebelum pergi aku ada satu pertanyaan dan satu permintaan. Kuharap kau mau menjawab satu pertanyaan itu dan memenuhi satu permintaan itu!"

Wiro garuk kepalanya. "Kalau pertanyaanmu tidak sulit pasti akan kujawab. Kalau permintaanmu tidak sukar pasti akan kupenuhi."

"Dalam rimba persilatan Negeri Latanahsilam tersiar kabar buruk mengenai dirimu. Kau dikatakan telah memperkosa Sepasang Gadis Bahagia cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Sehabis merusak kehormatan mereka kau juga dituduh menganiaya dua gadis kembar itu. Lalu kau dituduh sebagai pencuri sebuah tongkat sakti terbuat dari batu biru yang juga milik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Kemudian tersiar pula berita bahwa kau telah berbuat mesum dengan Luhjelita. Terakhir sekali yang sangat menghebohkan kau dituduh telah menghamili Peri Bunda! Pertanyaanku, apakah semua itu betul adanya?"

Wiro tatap wajah burung gagak hitam Hantu Santet Laknat lalu garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia berkata. "Untung nenek ini tidak menanyakan siapa gadis yang aku cintai di Negeri Latanahsilam ini! Atau lebih gila lagi, apakah aku mencintai dirinya!"

Masih sambil menggaruk kepala, Wiro berkata "Nek, bagaimana aku harus menjawab. Kalau kubilang aku tidak melakukan semua itu mungkin tidak ada yang percaya. Badai fitnah telah menimpa diriku. Tetapi jika kau tidak keberatan, aku mau mengingatkanmu pada kejadian sewaktu kau berubah diri menjadi Luhtinti dan berusaha untuk memikatku melakukan hubungan badan. Apakah saat itu aku mau memenuhi permintaanmu? Padahal keadaan serba memungkinkan… Tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat..."

Kalau saja wajah si nenek bukan berupa muka burung gagak yang tertutup bulu hitam, pasti saat itu akan terlihat bagaimana parasnya berubah semerah saga. Tapi diam-diam otaknya bekerja. Dalam hati dia berkata,

"Kalau benar dia merusak kehormatan dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab, mengapa ketika dua gadis itu datang ke gubuk mereka tidak menjatuhkan tangan jahat. Padahal Wiro dalam keadaan tidak berdaya! Tidak mungkin dua gadis yang dihantui dendam kesumat begitu besar tidak melakukan apa-apa. Lagi pula di wajah atau tubuhnya tidak tampak tanda-tanda bekas penganiayaan. Sulit aku menduga siapa yang berdusta. Dua gadis itu atau pemuda ini. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mustahil mengarang cerita..." Sejurus kemudian si nenek berkata.

"Aku percaya padamu. Kau tidak melakukan semua yang dituduhkan itu," kata Hantu Santet Laknat. "Tapi perihal tuduhan kau telah menghamili Peri Bunda jangan kau anggap soal kecil. Jika mereka tidak tidak punya bukti-bukti tidak mungkin mereka menjatuhkan tuduhan. Para Peri telah mengutus Peri Angsa Putih untuk mencarimu…"

"Apakah menurutmu bangsa Peri itu tidak pernak membuat kesalahan dan kekeliruan? Apakah para Peri itu hatinya tidak pernah tersentuh rasa iri, dengki hasut dan fitnah. Mereka tidak jauh berbeda dengan kita bangsa manusia. Malah pada saat yang tidak terduga mereka bisa lebih jahat dari kita!"

Hantu Santet Laknat terdiam mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Wiro melanjutkan. "Aku tidak perduli siapa yang mencariku. Peri Angsa Putih atau Merah atau Hitam! Aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu…"

"Sekarang mengenai permintaanku," kata Hantu Santet Laknat pula. "lngat, beberapa waktu lalu aku pernah mengatakan padamu agar kau menemui aku di Tebing Batu Terjal di selatan Bukit Batu Kawin…"

"Aku ingat…" jawab Wiro. "Kau masih menginginkan aku ke sana?"

"Kau mau memenuhi permintaankuitu?"

"Akan kupenuhi. Katakan saja kapan aku harus berada di sana…"

"Kau tidak lebih dulu hendak menanyakan apa keperluanku meminta kau datang ke sana?" tanya Hantu Santet Laknat.

Wiro garuk kepala. Lalu sambil tersenyum dia menggeleng. "Aku percaya kau hanya punya satu niat. Niat baik," kata Wiro kemudian.

"Kalau begitu datanglah pada dua malam mendatang. Aku akan menungggu di sana..."

"Aku pasti datang."

"Aku pergi sekarang!"

"Baik, tapi tunggu! Ada satu hal yang hendak kusampaikan padamu," kata Wiro.

Si nenek balikkan tubuhnya yang tadi setengah berputar siap meiangkah pergi. Dia tegak memandang Wiro, menunggu apa yang hendak disampaikan pemuda.itu. Dadanya mendadak berdebar.

SEMBILAN

"Malam tadi, menjelang dinihari, aku terbangun dan dapatkan diriku telah sembuh. Kau tak ada dalam gubuk. Diliputi perasaan gembira aku keluar. Di bawah satu pohon besar tak jauh dari sini aku melihat seorang gadis berambut panjang sepinggang, berpakaian putih tengah duduk menangis. Kemudian muncul seekor ular hitam besar. Gadis itu memangku ular tersebut, bicara dengan binatang itu. Ular kemudian pergi. Tak lama berselang gadis itu pergi pula. Aku berusaha mengejarnya tapi dia lenyap cepat sekali…"

"Kau tidak bermimpi seperti malam tempo hari?" tanya Hantu Santet Laknat.

"Aku yakin aku tidak bermimpi. Karena tak berhasil menemukan gadis itu aku kembali ke gubuk ini menjelang pagi. Nek, kau pasti kenal betul kawasan ini. Apakah kau tahu atau bisa menduga siapa adanya gadis yang kulihat itu? Mungkin dia memang tinggal di sekitar kawasan ini?"

"Sulit aku menduga," jawab Hantu Santet Laknat. "Dia muncul malam menjelang dinihari. Berpakaian putih dan menangis. Bersahabat seekor ular besar. Mungkin saja yang kau lihat makhluk jejadian…"

"Semula aku menduga begitu. Tapi ketika aku memeriksa sekitar bawah pohon besar, gadis itu bukan makhluk jejadian. Ada bekas-bekas kakinya di bawah pohon…"

"Kalau begitu mungkin ada Peri yang turun kesasar ke tempat ini!" kata si nenek pula.

"Aku yakin makhluk itu bukan seorang Peri."

"Wahai, agaknya kau tertarik pada gadis cantik berpakaian putih itu. Kau ingin aku menyelidikdan mencarinya?" tanya Hantu Santet Laknat lalu tertawa cekikikan.

Wiro hanya bisa tersenyum dan garuk-garuk kepala.

"Ada hal lain yang hendak kau sampaikan padaku?"

"Sekali lagi aku berterima kasih padamu Nek," kata Wiro pula.

Hantu Santet Laknat tertawa panjang. Dia lambaikan tangan. "Jangan lupa, dua malam mendatang. Di Tebing Batu Terjal!"

"Aku pasti datang Nek," kata Wiro. Setelah si nenek lenyap Wiro berucap seorang diri. "Sulit menduga. Apa benar nenek jahat itu kini telah berubah menjadi makhluk sangat baik?"

Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Dia duduk bersila di tanah. Mata kapak ditempelkannya ke dadanya. Lalu setelah pejamkan mata murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai atur jalan nafas serta aliran darah. Setelah itu dia mengatur pula gerakan hawa sakti yang berpusat di pusarnya.

Dibalik serumpunan semak belukar, tanpa setahu Wiro Luhcinta memperhatikan. Si gadis sudah sejak tadi berada di tempat itu dan sempat mendengar semua pembicaraan si pemuda dengan dengan Hantu Santet Laknat.

”Tebing batu terjal di selatan bukit batu kawin... mungkin akuperlu hadir secara diam-diam di tempat itu ” Luhcinta berkata dan mengambil keputusan dalam hatinya. "Jangan-jangan betul kabar yang tersiar di luaran. Dua orang ini sudah menjalin cinta gila.!” Luhcinta pegang keningnya yang terasa mendadak berat.

********************

Malam itu adalah satu hari setelah pertemuan Luhcinta dengan Wiro. Di dalam gua di kaki bukit Luhcinta dan Luhsantini tertidur pulas. Di langit bulan sabit bersinar redup dan sesekali menghilang di balik saputan awan hitam. Ketika awan hitam menutupi bulan sabit itu untuk kesekian kalinya dan suasana kaki bukit kembali menjadi gelap gulita serta diselimuti kesunyian dan udara dingin mencekam.

Saat itulah tiba-tiba dari arah timur kaki bukit. berkelebat satu bayangan hitam. Gerakannya cepat seperti bayang-bayang. Di satu tempat sosok ini hentikan gerakannya. Dia berdiri tak bergerak. lalu memandang berkekeliling seperdi mencari sesuatu. Matanya yang tajam akhirnya menemui apa yang dicarinya yakni mulut gua di dalam mana Luhsantini dan Luhcinta tengah tertidur nyenyak. Segera saja orang ini hendak melangkah cepat menuju mulut gua. Tapi mendadak telinganya mendengar sambaran angin di kejauhan.

"ltu bukan desir daun pepohonan, bukan suara kepak binatang malam. Ada seseorang berkepandaian tinggi tengah menuju ke sini!" Cepat-cepat orang itu menyelinap ke balik sebatang pohon besar.

Tak lama kemudian satu bayangan lain berkelebat pula dalam kegelapan malam. Laksana seekor burung besar yang terbang rendah dia melesat ke mulut gua. Sesaat dia tegak memasang mata mementang telinga. Lalu tubuhnya lenyap masuk ke dalam gua.Tapi tidak lama. Beberapa saat kemudian diakelihatan keluar lagi, melangkah mundur terbungkuk-bungkuk. Ternyata dia tengah menyeret sosok Luhsantini yang ada di dalam jaring api biru.

"Aneh, diseret begitu rupa Luhsantini tidak terbangun dari tidurnya. Jangan-jangan orang itu telah menyirapnya terlebih dulu. Malam gelap sekali. Aku tak bisa memastikan siapa adanya orang itu. Sulit menduga-duga dari jarak sejauh ini. Jika dia berniat jahat pasti dia telah melakukannya di dalam gua. Tapi tidak ada salahnya aku bersiap siaga!"

Orang di balik pohon besar berkata dalam hati lalu salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Di depan gua, orang yang barusan menyeret sosok Luhsantini tegak tak bergerak. Mulutnya komat kamit. Mungkin tengah membaca mantera. Lalu dia meniup ke arah kepala Luhsantini, terus ke kaki.

Dari kaki kembali dia meniup naik sampai ke kepala. Selesai meniup pulang balik begitu rupa, orang ini masukkan ibu jari tangan kanannya ke mulut. Ketika dikeluarkan, ujung ibu jari yang basah itu kelihatan memancarkan cahaya biru. Orang ini kemudian membungkuk. Ujung ibu jari tangan kanannya lalu ditempelkan ke tali jala dekat pinggang Luhsantini.

Satu kepulan asap menggebubu diudara. Bersamaan dengan itu selarik cahaya biru memyap ke seluruh permukaan tali jala! Luhsantini yang sejak tadi diam tak bergerak tiba-tiba tersentak bangun dan berteriak keras. Dia dapatkan jala api biru yang selama ini melibat dirinya telah lenyap entah kemana.

Pada saat ada asap menggebubu ke udara, orang di balik pohon merasa yakin bahwa sosok manusia di depan sana memang hendak mencelakai Luhsantini. Maka tanpa menunggu lebih lama dia segera hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar hitam berbentuk kipas yang ditaburi serpihan-serpihan memancarkan cahaya berkilauan seperti bunga api, menderu ke arah sosok hitam yang jongkok di samping Luhsantini.

"Wusss! Braaak!"

Satu jeritan kaget dan lebih merupakan makian kemarahan terdengar di udara malam yang menjadi lebih gelap akibat bertaburnya debu dan kerikil yang berasal dari hancurnya mulut gua. Sosok hitam yang tadi ada dekat Luhsantini lenyap.

Dari dalam gua Luhcinta tersentak bangun dan cepat melompat ke luar. Sesaat pemandangannya tertutup oleh tebaran kerikil dan debu yang masih menggantung di depan mulut gua. Begitu keadaan agak terang terlihatlah sosok Luhsantini berdiri dengan wajah pucat, tubuh bergetar dan dua tangan ditekapkan ke mulut. Tak jauh dari Luhsantini berdiri pula satu sosok hitam yang segera dikenali Luhcinta bukan lain adalah makhluk muka tanah liat si Penolong Budiman.

Luhcinta segera dekati Luhsantini dan rangkul tubuh perempuan itu. "Ada apa… Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa lolos? Kemana perginya jaring api biru yang melibatmu?!"

"Aku tidak tahu pasti…" jawab Luhsantini dengan wajah masih pucat dan suara agak bergetar. "Aku tersentak bangun ketika ada suara meletup. Kulihat asap aneh mengepul seolah keluar dari tubuhku. Lalu jaring di sekujur badanku mengeluarkan cahaya biru! Aku melihat satu sosok hitam di dekatku. Belum sempat aku mengenali siapa dia adanya tiba-tiba ada cahaya hitam bertabur bunga api menghantam kearah orang di dekatku. Hantaman sinar aneh lewat disamping orang itu lalu menghantam mulut gua..."

Luhcinta melirik ke arah Si Penolong Budiman yang saat itu mendatangi. "Aku khawatir, jangan-jangan aku telah kesalahan melepas tangan," kata Si Penolong Budiman. "Aku mengira orang yang ada di dekat Luhsantini hendak berniat jahat. Itu sebabnya aku cepat melancarkan serangan dari kejauhan. Maksudku untuk menyelamatkan Luhsantini. Tapi aku salah menduga. Orang itu justru berniat baik. Hendak menolong membebaskan Luhsantini dari sergapan jaring api biru. Mudah-mudahan saja dia tidak mengalami cidera…" Si Penolong Budiman merasa sangat menyesal.

Luhcinta memandang pada Luhsantini. "Orang yang menolongmu itu aku yakin adalah Hantu Santet Laknat. Dia yang memusnahkan jala api biru"

"Bagaimana kau bisa berkata sepasti itu Luhcinta?" tanya Si Penolong Budiman.

"Dia dikenal sebagai dukun jahat yang menganggap nyawa binatang lebih berharga dari nyawa manusia! Bagaimana mungkin dia menolong diriku?" ikut bicara Luhsantini.

"Ada kalanya hati yang sangat jahat itu bisa berubah setelah tersentuh oleh apa yang dinamakan kasih…" jawab Luhcinta.

Luhsantini tidak mengerti maksud kata-kata si gadis sedang Si Penolong Budiman kernyitkan wajah tanah liatnya, menduga-duga apa arti ucapan Luhcinta barusan. Tentu saja Luhcinta tidak mau menerangkan bahwa dia telah melihat pertemuan dan mendengar pembicaraan antara Hantu Santet Laknat dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini berpaling pada si muka tanah liat lalu ajukan pertanyaan.

"Kau sendiri, bagaimana bisa berada di tempat ini?"

Si Penolong Budiman tidak bisa menjawab. Sebenarnya malam itudia memang sengaja meninggalkantelaga untuk menyelidik dimana beradanya gua tempat Luhcinta membawa Luhsantini.

"Mana kakek bernama Hantu Langit Terjungkir itu?" Luhcinta kembali bertanya.

"Ada, di tepi telaga…" jawab Si Penolong Budiman.

"Kau seharusnya tidak meninggalkan orang tua itu. Bukankah kau berjanji menolong merawatnya? Kini dalam keadaan cidera kau tinggalkan dia seorang diri. Wahai, kasih dan tanggung jawab macam mana yang kau miliki?!"

"Maafkan aku. Aku akan kembali ke telaga…" kata Si Penolong Budiman. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia segera tinggalkan tempat itu.

"Luhsantini, lekas kita tinggalkan tempat ini," Luhcinta mengajak.

"Aku ikut apa yang kau katakan," jawab Luhsantini.

"Tapi kalau aku boleh bertanya, apa bukan tidak mungkin sebenarnya lelaki bermuka tanah liat tadi itulah yang telah menolong diriku?"

Luhcinta menjawab dengan gelengan kepala. "ilmu Api lblis Penjaring Roh setahuku hanya dimiliki oleh tiga orang. Pertama seorang bermuka tengkorak disebut Sang Junjungan. Konon dia dianggap sebagai makhluk aneh yang menguasai diri Hantu Santet Laknat. Orang ke dua adalah Hantu Santet Laknat sendiri dan yang ke tiga adalah Hantu Bara Kaliatus. Sang Junjungan, apalagi Hantu Bara Kaliatus tidak mungkin menolongmu. Berarti Hantu Santet Laknatlah yang melakukan…"

"Aneh, sungguh aneh…" Luhsantini masih tidak percaya dan geleng-gelengkan kepala.

Luhcinta tersenyum dan berkata. "Disitulah letak kebesaran dan keagungan kasih. Kita tidak pernah bisa menduga apa yang bisa dilakukannya..."

"Kau berulang kali menyebut kasih dalam setiap penampilan dirimu. Tapi kuiihat kau tidak begitu menyukai orang yang mukanya dibungkus tanah liat itu. Bagaimana ini...? Lalu kalau benar Hantu Santet Laknat telah berubah karena sentuhan kasih, siapa yang mengasihinya? Siapa yang dikasihinya?"

Luhcinta hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Luhsantini. Tanpa berikan jawaban dia cepat-cepat menarik tangan perempuan itu. Keduanya serta merta menghilang di dalam kegelapan malam.

********************

SEPULUH

Tebing Batu Terjal. Tebing ini berada dalam kawasan bebukitan dimana di sebelah utara terletak bukit yang disebut Bukit Batu Kawin. Seperti yang pernah diceritakan di di dalam Eposide pertama berjudul Bola-Bola Iblis, Bukit Batu Kawin bagi orang-orang di Negeri Latanahsilam merupakan satu bukit yang sangat sakral.

Karena di bukit itulah setiap upacara perkawinan dilakukan. Dipimpin oleh seorang nenek berambut putih riap-riapan bernama Lamahila yang dikenal sebagai sang juru nikah. Malam itu Tebing Batu Terjal diselimuti kesunyian dan kegelap gulitaan. Sesekali terdengar suaragelepar kelelawar yang terbang di udara kelam. Kadang-kadang angin yang bertiup kencang membuat dedaunan saling bergesek mengeluarkan suara berdesir aneh.

Bukit ini disebut Tebing Batu Terjal karena lebih dari setengahnya merupakan batu datar membentuk dinding curam. Pada dinding curam ini terdapat tiga susunan batu mendatar lebar seperti susunan sawah bertingkat atau seperti anak tangga. Di susunan batu ke dua saat itu tampak tiga orang duduk bersila. Mereka duduk membentuk satu barisan lurus, menghadap ke lamping bukit yang terbuka dan gelap.

Tak satupun bersuara. Tak ada yang bergerak. Mereka duduk diam sambil sesekali saling pandang namun masing-masing memasang telinga. Di langit bulan sabit muncul begitu awan hitam yang sejak tadi menghalanginya bergerak menjauh. Keadaan di Tebing Batu Terjal untuk beberapa lamanya menjadi agak terang. Namun begitu awan muncul kembali menutupi, suasana serta merta menjadi pekat menghitam kembali.

Orang yang duduk di ujung kiri adalah seorang lelaki berusia agak lanjut, bernama Laduliu. Di samping kanan Laduliu duduklah nenek berambut putih riap-riapan yang bukan lain adalah Lamahila, sang juru nikah. Lalu di ujung kanan, di sebelah Lamahila duduk sosok berjubah hitam yang memiliki wajah seekor burung gagak dan sudah diterka siapa adanya yaitu Hantu Santet Laknat.

Lamahila mengerling pada Laduliu lalu menatap Hantu Santet Laknat Si nenek muka burung gagak yang mengerti arti tatapan itu menjadi gelisah. Dia memandang ke depan, menyusuri lereng bukit sampai ke bawah sana. Dia hanya melihat kegelapan yang menambah kecemasan hatinya.

"Wahai, hampir tengah malam…" kata si nenek bernama Lamahila. "Yang kita tunggu orang belum juga muncul…"

Lamahila termasuk orang-orang tua di Negeri Latanahsilam yang kalau bicara susunan kata-katanya suka terbalik-balik. Lelaki bernama Laduliu ikut bicara.

"Hantu Santet Laknat, kau yakin orang itu akan datang ke sini?"

"Harap kalian mau bersabar. Aku yakin dia akan memenuhi janji." Menjawab Hantu Santet Laknat. Baru saja nenek muka burung gagak ini berkata begitu tiba-tibadi bawah bukit sana samar-samar kelihatan satu bayangan putih berkelebat.

"Dia datang!" kata Hantu Santet Laknat. "Laduliu, lekas beri tanda agar dia tahu kalau kita berada di sini!"

Dari balik pakaiannya Laduliu keluarkan sebuah batu bulat. Benda ini dilemparkannya di dinding terjal di atasnya. begitu batu dan dinding beradu maka terdengar letupan keras disertai memerciknya tebaran bunga api yang membuat tempat itu sesaat menjadi terang. Bayangan putih dibawah sana berhenti berkelebat.

Dia memandang ke atas, memperhatikan percikan bunga api. Sebelum suasana menjadi gelap kembali orang ini telah melesat ke atas bukit. Gerakannya hebat sekali hingga sebelum tujuh hitungan dia sudah berada di susunan ke dua Tebing Batu Terjal. Orang yang baru datang ini segera mengenali Hantu Santet Laknat tadinya dia mengira si nenek hanya sendirian di tempat itu.

"Wiro, kau tak usah khawatir. Dua orang ini adalah kerabat baikku," kata Hantu Santet Laknat. "gembira kau datang memenuhi permintaanku."

Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede garuk kepalanya lalu berkata. "Aku sudah datang memenuhi janji. Sekarang harap kau mau menerangkan apa maksud pertemuan ini."

Nenek Lamahila batuk-batuk beberapa kali. Lalu membuka mulut. "Pemuda asing bernama Wiro Sambleng..."

"Wiro Sableng! Bukan Sambleng!" kata pendekar 212 pula dengan mulut dipencongkan.

"Maafkan aku. Lidah tua ini sukar menyebut nama anehmu. Kalau aku bilang Sableng padahal sableng artinya di negeri ini adalah kencing kuda. Hik hik hik! Wahai anak muda, negeri sebelum kami mengungkapkan maksud pertemuan ini, biarlah Nenek Hantu Santet Laknat menceritakan sesuatu menyangkut dirinya. Ini sangat penting. Karena tanpa kau mengetahui siapa dia adanya, sukar bagimu untuk menerima kenyataan…"

"Aku tidak mengerti…" ujar Wiro sambil garuk kepala. "Walaupun tidak lama mengenal tapi rasanya aku sudah tahu siapa adanya nenek ini. Lahirnya memang jelek, tapi hatinya ternyata baik..."

Hantu Santet Laknat menyeringai mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. "Terima kasih, kau mau mengatakan apa adanya. Mukaku memang jelek tapi hatiku sekarang mungkin tidak seperti yang kau katakan itu. Untuk menyingkat waktu biarlah aku mulai saja."

Hantu Santet Laknat memberi isyarat agar Wiro duduk bersila di hadapannya. Setelah Wiro duduk di batu maka nenek inipun memulai penuturannya.

"Aku dilahirkan tanpa mengenal siapa ayahku siapa ibuku. Juga aku tidak pernah tahu apakah aku mempunyai kakak atau adik. Aku dipelihara dan dirawat oleh seorang perempuan tua bernama Lamagundala yang kemudian kuketahui adalah seorang saudara sepupu dari nenek Lamahila yang duduk di sebelahku ini. Menurut orang yang mengetahui, ketika aku dilahirkan keadaanku tiada beda seperti bayi-bayi anak manusia yang dilahirkan ke muka bumi ini…"

"Tapi mengapa...." Wiro memotong penuturan si nenek.

Hantu Santet Laknat angkat tangan kanannya. "Aku tahu maksud ucapanmu. Biarlah aku meneruskan cerita." Wiro garuk kepala, si nenek melanjutkan kisahnya. "Aku dilahirkan tiada beda dengan bayi-bayi lainnya. Tanpa cacat, tanpa kelainan apapun. Namun memasuki hari ke empat puluh dan seterusnya terjadi perubahan pada wajahku. Sedikit demi sedikit mukaku mulai ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna hitam. Hidung dan mulutku menyatu, lalu berubah membentuk paruh burung. Sepasang mataku mengecil dan bola mata menyembul hitam keluar. Rambut tipis di kepalaku berubah menjadi bulu-bulu kasar. Ketika aku berusia tiga ratus enam puluh hari, kepala dan keseluruhan wajahku telah berubah menjadi wajah seekor burung gagak, seperti yang kau lihat saat ini…"

Pendekar 21 2 sampai ternganga mendengar-cerita si nenek. "Nek, apa kau atau orang lain, mengetahui mengapa bisa terjadi perubahan aneh atas wajahmu itu?"

"Lamagundala, orang yang merawatku, yang kini telah tiada memberitahu. Perubahan yang kualami adalah akibat dosa warisan yang menjadi kutuk turun temurun. Konon jika kelak aku mempunyai anak maka anak itu akan memiliki wajah seperti wajahku. Aku tidak tahu dosa apa yang telah diperbuat kedua orang tuaku. Dosa apa yang telah dilakukan kedua orang tua mereka dan seterusnya. Kini aku anak cucu mereka yang akan kejatuhan warisan kutuk ini. Selama dunia terkembang, selama roh masih tergantung antara langit dan bumi maka konon selama itu pula dosa warisan itu akan menimpa keturunan kami."

Pendekar 212 jadi merinding. Dia garuk-garuk kepala, menatap pada si nenek Ada rasa kasihan tapi juga ada rasa ngeri dalam hatinya. "Nek, apakah tidak ada orang pandai, atau mungkin para Peri dan para Dewa yang dapat melepaskan dirimu dari dosa warisan atau kutuk yang kau alami?"

Hantu Santet Laknat mamandang pada sang juru nikah Lamahila. Nenek berambut riap-riapan ini anggukan kepala. Hantu Santet Laknat lalu bersuara menjawab pertanyaan Pendekar 212 tadi.

"Kutuk yang jatuh pada diriku sulit untuk ditelusuri pangkal sebabnya. Selain itu tidak ada satu makhluk pun baik di bumi maupun di atas langit sana yang mampu membebaskan diriku dari dosa warisan kutuk celaka ini. Kutuk telah merubah hatiku, merubah jalan pikiranku. Lebih lanjut merubah diriku menjadi seorang buruk rupa dan jahat hati. Aku melakukan kekejian apa saja menurut sukaku. Apa lagi jika ada yang mendorong. Lebih celaka ketika aku jatuh ke tangan Hantu Muka Dua dan sempat menjadi budak suruhannya…"

"Kalau begitu, mungkin Hantu Muka Dua yang bisa menolongmu lepas dari kutuk dosa warisan itu," kata Wiro pula.

Hantu Santet Laknat gelengkan kepala. "Aku pernah mendapat petunjuk yang datangnya dalam mimpi. Konon kutuk tersebut bisa disingkirkan sementara pada waktu-waktu tertentu. Yakni ketika otak keji dan hati jahatku berubah bersih, atau aku tenggelam dalam penyesalan mendalam. Atau ketika kasih suci memasuki diriku…"

"Kalau begitu bukankah gampang bagimu untuk bisa melepaskan diridari kutukan itu? Kau hanya tinggal merubah semua sifatmu, meninggalkan jalan sesa.t Berbuat baik dan mengasihi sesama insan…" kata Wiro pula.

Wajah burung gagak Hantu Santet Laknat mendongak ke langit kelam. "Tidak semudah itu melakukan apa yang kau katakan. Hati jahatku sudah mengakar sedalam samudra. Otak kejiku sudah menjulang setinggi langit. Namun sesekali ketika tabir gelap itu tersingkap secara aneh, aku menyadari bahwa semua yang aku telah perbuat sungguh merupakan dosa besar, maka ketika penyesalan menyelinap ke dalam hatiku dan ada kehendak untuk ingin hidup baik, pada saat itulah kutukan tersebut lenyap. Wajah burukku berubah ke wajah asli. Tapi tidak bertahan lama. Paling lama sejarak jatuh dan mengeringnya air mata penyesalan..."

"Nek, dari kebaikan yang telah kau lakukan terhadapku, aku yakin kau memang sudah sampai pada titik penyesalan itu…"

"Memang sudah, dan aku berhasil. Tapi seperti kataku tadi hanya selama jatuh sampai keringnya airmata di pipiku…"

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Memang, kau tentu saja tidak bisa menangis terus seumur-umur…"

"Pemuda asing," tiba-tiba nenek juru nikah Lamahila membuka mulut. "Sentuhan kasih telah merubah hati kerabatku ini. Jika kau mau, aku bisa menolong dirinya hingga kutuk dosa warisan akan lenyap dari dirinya untuk selama-lamanya. Aku percaya, aku sudah menyelidik, kau bisa menolongnya…"

"Menolong bagaimana?" tanya Wiro

"Kau mau menolongnya?"

"Tentu saja," jawab Wiro

"Benarkan? Kau berdusta tidak?" menegaskan Lamahila.

"Masakan aku mau berselingkuh janji menolong orang yang telah menyelamatkan diriku," jawab Wiro pula. Tapi hati kecilnya mulai bertanya-tanya apa maksud semua kata-kata si nenek juru nikah itu.

Tiba-tiba meluncur pertanyaan berikutnya dari mulut Lamahila. "Kau bersedia menikahinya?"

Pendekar 212 tersurut dua langkah mendengar pertanyaan Lamahila itu.

SEBELAS

Lamahila tertawa datar. Wiro pandangi nenek berambut putih itu sesaat lalu menoleh pada Hantu Santet Laknat Pemuda ini akhirnya geleng-gelengkan kepala.

"Aku tidak mengira kau akan menanyakan hal itu. Tentu saja aku tidak bisa. Tidak mungkin aku kawin dengan Hantu Santet Laknat!"

Lamahila melirik pada Hantu Santet Laknat yang saat itu serta merta tundukkan kepala begitu mendengar ucapan Pendekar 212. Hatinya terpukul. Matanya yang hitam kecil menonjol tampak mulai berkaca-kaca.

"Mengapa tidak bisa. Mengapa tidak mungkin? Bukankah kau sudah berkata akan bersedia menolongnya?" Lamahila berucap.

"Betul, tapi mana aku menduga pertolongan yang kau maksudkan itu adalah dengan cara mengawininya. Aku…"

"Aku tahu, kau tidak mau karena kerabatku ini adalah seorang nenek buruk bermuka burung gagak hitam. Tapi anak muda sebentar tagi kau akan melihat bentuk tubuh dan raut wajahnya yang sebenarnya. Saat ini dia berada dalam kesedihan yang mendalam mendengar kata-katamu tadi. Dia menyadari dirinya sebenarnya siapa. Walau penyesalan dan niat untuk kembali ke jalan baik sudah memasuki hati nuraninya namun dia hanya mampu bertahan sementara. Lihat dirinya wahai pemuda asing. Pandang baik-baik. Apakah kau nanti masih tega untuk menampik permintaan kami…?"

Wiro memandang ke arah Hantu Santet Laknat. Saat itu si nenek masih tundukkan kepala. Bahunya bergetar. Air mata mulai meluncur ke pipinya yang tertutup bulu. Mulutnya ingin mengeluarkan seribu ucapan tapi dia tidak kuasa menyampaikan.

"Wahai makhluk bermuka buruk. Puluhan tahun kau hidup tersiksa dalam kutuk yang jatuh menimpa dirimu bukan karena mau dan bukan karena kesalahanmu. Puluhan tahun kau tenggelam dalam kesesatan. Menyantet dan membunuh orang-orang yang takberdosa. Kini ketika sentuhan kasih membuka mata dan menyingkap hatimu, ketika kau mengambil keputusan bahwa kau bisa meninggalkan jalan sesat dan memilih hidup baik, ternyata tidak ada orang yang mau menolongmu.Wahai makhluk tua berwajah buruk. Sudah takdir dirimu kau akan berada dalam keadaan sengsara begini rupa seumur bumi terbentang, seusia langit terkembang..."

Hantu Santet Laknat seka deraian air mata yang jatuh ke pipinya. Pada saat itulah Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan. Matanya membeliak besar, memandang si nenek tak berkesip. Kakinya kembali bergerak tersurut.

"Apa yang terjadi? Mengapa bisa begini? Jangan-jangan dia pergunakan ilmu hitam untuk merubah dirinya. Tapi... Astaga, bukankah dia…"

Di hadapan Wiro, Lamahila dan Laduliu, sosok Hantu Santet Laknat perlahan-lahan mengalami perubahan. Mula-mula pakaiannya. Jubah hitamnya berubah menjadi sehelai baju panjang berwarna putih. Lalu perubahan terjadi pada rambutnya. Rambutnya yang pendek acak-acakan dan sebagian telah berwarna kelabu berganti dengan rambut hitam panjang, berkilat bagus dan tergerai lepas sampai ke pinggang.

Sosoknya yang seperti pohon lapuk penuh keriput kini berganti menjadi sosok yang bagus mulus, langsing semampai. Dan yang membuat Pendekar 212jadi tercekat besar adalah ketika menyaksikan perubahan pada wajah si nenek. Wajah yang sebelumnya berupa wajah burung gagak hitam kini berubah menjadi wajah seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Wiro garuk-garuk kepala. Matanya masih tak berkedip.

"Kau... Kau! Wajahmu sama dengan wajah gadis berpakaian putih yang kulihat beberapa malam lalu di dekat gubuk di puncak bukit! Apa... apa kau gadis yang sama?"

Hantu Santet Laknat yang berubah sosok dan bentuk itu tidak menjawab. Dia hanya menatap dengan pandangan kuyu pada pendekar 212. Lalu terdengar suara Lamahila.

"Pemuda asing, gadis berpakaian putih yang kau lihat beberapa malam lalu di puncak bukit itu memang sama dan adalah juga gadis yang kini duduk di hadapanmu. Namanya sebenarnya adalah Luhrembulan. Perhatikan baik-baik. Karena begitu air matanya mengering, sosok dan wajahnya akan kembali ke bentuk semula, buruk menjijikkan. Mudah-mudahan apa yang kau saksikan dapat menyentuh hatimu untuk menolongnya secara tulus..."

Wiro gigit-gigit bibirnya sendiri seolah untuk memastikan dia masih merasa sakit pertanda bahwa dia tidak bermimpi. Lalu tangannya mulai menggaruk. Dia hendak mengusap matanya tapi saat itu sosok dan wajah gadis cantik di hadapannya telah berubah kembali ke sosok dan wajah Hantu Santet Laknat.

"Anak muda, setelah menyaksikan kenyataan ini, apakah sekarang hatimu bisa berubah? Apakah kau masih tega untuk tidak mau menolongnya?" Lamahila bertanya.

Masih menggaruk kepala dan masih menatap kearah Hantu Santet Laknat, Wiro menjawab. "Aku menyaksikan satu keanehan yang menyentuh hati. Tapi aku juga tahu kepandaian Hantu Santet Laknat Dia bisa merubah ujudnya menjadi apa saja yang dikehendakinya..."

"Memang dia mempunyai ilmu hitam yang disebut llmu Bersalin Wajah Tapi aku bersumpah demi segala roh yang tergantung di antara langit dan bumi, demi para Peri dan para Dewa. Yang kau saksikan tadi adalah satu kenyataan. Hantu Santet Laknat tidak menipumu dengan ilmu hitamnya. Apakah hatimu masih membeku dan perasaanmu masih bimbang untuk memenuhi permintaanku demi menolongnya? Kau bisa membayangkan bagaimana sengsaranya dia. Puluhan tahun hidup tersiksa dalam kutuk akibat dosa warisan nenek moyangnya yang dia sendiri tidak tahu siapa mereka adanya atau dosa apa yang telah mereka lakukan!"

"Demi Tuhan, aku ingin menolong. Tapi tidak dengan cara mengawininya..." Wiro garuk kepala lalu bangkit berdiri dan melangkah mundar-mandir di hadapan tiga orang yang masih terus duduk bersila di atas batu.

Si nenek bernama Lamahila tertawa perlahan tapi panjang. "Pemuda asing, jangan kau salah mengerti. Aku tidak meminta kau mengawininya, tapi menikahinya!"

Pendekar212 hentikan langkah. Dia menatap pada si nenek juru nikah. "Aku tidak mengerti. Memangnya nikah dan kawin ada bedanya?!" tanya Wiro. "Bagiku sama saja. Tapi di negeriku di tanah Jawa memang ada mulut-mulut nakal berolok-olok. Katanya kalau nikah pakai surat. Entah surat apa. Mungkin surat dari Pamong Desa Lalu kalau kawin pakai urat! Ha ha ha!"

Lamahila ikut tertawa. "Aku suka mendengar olok-olok lucu itu. Orang memang bisa kawin tanpa nikah. Tapi orang juga bisa nikah tanpa kawin. Terserah padamu nanti. Kami di sini tidak punya surat. Setelah nikah nanti kau mau mempergunakan urat atau bagaimana terserah dirimu. Hik hik hik. Yang jelas dengan pernikahan ini kau bisa menolong nenek kerabatku ini kembali ke ujud asalnya untuk selama-lamanya..."

"Nek, apapun istilah yang kau katakan, apakah kawin atau nikah, tetap aku tidak mungkin melakukannya."

"Setahuku kau masih bujangan. Belum pernah menikah, entah kalau kawin. Hik hik hik! Orang yang hendak kau nikahi memiliki kecantikan melebihi peri. Apa yang membuatmu tak mau menolong? Apakah kau telah mempunyai kekasih di Negeri Latanahsilam ini? Apa kau tak pernah memikirkan bahwa mungkin kau tak pernah bisa kembali ke negeri asalmu?"

Wiro jadi terdiam mendengar kata-kata sang juru nikah itu. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian dia kembali gelengkan kepala. "Maafkan aku Hantu Santet Laknat . Aku ingin menolong. Mungkin ada cara lain…"

Wiro memandang pada Hantu Santet Laknat Si nenek balas menatapnya dengan pandangan sayu. Ketika matanya berkaca-kaca kembali wajah aslinya membayang. Hampir raut wajah itu akan sempurna tiba-tiba lenyap kembali. Lamahila melirik pada Laduliu yang duduk di sebelahnya. Lelaki ini balas melirik lalu anggukan kepalanya.

"Kalau hatimu begitu teguh dan tak bisa dirubah wahai pemuda asing, aku ataupun Hantu Santet Laknat tak dapat memaksa. Berarti pertemuan kita berakhir di tempat ini. Malang nasibmu wahai kerabatku Hantu Santet Laknat. Entah sampai kapan kau akan tetap berada dalam keadaan ujudmu sekarang ini. Sebentar lagi masing-masing kita akan segera meninggalkan Tebing Batu Terjal ini. Namun sebelum berpisah, agar hati sama bersih, tiada perasaan yang jadi ganjalan, tak ada rasa sakit hati apalagi dendam kesumat, ada baiknya kita sama sama meneguk air suci yang di sebut embun murni”

Kata-kata Lamahila itu membuat hati dan perasaan Hantu santer laknat jadi terenyuh. Dia berusaha menabahkan diri agar tidak mengucurkan air mata. “Kerabatku Laduliu, harap kau segera mengeluarkan empat piala perak yang kau bawa."

Mendengar ucapan Lamahila, lelaki bernama Laduliu segera keluarkan empat buah-piala kecil terbuat dari perak dari dalam sebuah kantong jerami yang sejak tadi terletak di atas pangkuannya. Empat piala itu diletakkannya di atas batu. Sementara itu dari balik punggungnya Lamahila keluarkan sebuah batangan bambu.

Ketika penyumpal bambu dibukanya, serangkum asap tipis keluar dari dalam bambu menyusul menebarnya bau yang harum segar. Bau ini mengingatkan Wiro pada Tuak Kayangan minuman kakek saki berjuluk Dewa Tuak yang selalu dibawanya kemana-mana dalam dua buah tabung bambu besar.

Dari dalam bambu Lamahila tuangkan sejenis cairan yang sangat bening dan mengeluarkan cahaya berkilauan walau tempat itu diselimuti kegelapan malam. Empat piala terisi penuh. Lamahila gosok-gosok telapak tangannya satu sama lain lalu berkata,

"Semua kerabat yang ada di sini. Sebentar lagi masing-masing kita akan meninggalkan Tebing Batu Terjal ini. Sebelum pergi mari kita sama meneguk air suci Embun Murni ini agar hati kita sama-sama bersih…"

Si nenek yang pertama sekali mengambil piala perak yang terletak di depannya. Diikuti Hantu Santet Laknat dan Laduliu. Kini tinggal satu piala di atas pedataran batu.

"Wahai pemuda asing, kalau kau tak mau menolong sahabat kami, apakah kau begitu tega dan sampai hati tidak mau sama-sama meneguk air suci Embun Murni?"

Wiro garuk kepalanya. Saat itu dia masih berdiri dan memandang pada tiga orang yang duduk di pedataran batu, yang balas memandang padanya

"Mungkin dia takut kita akan meracuninya!" berkata Laduliu.

"Kalau begitu sebaiknya kau tak usah menyentuh minuman itu. Jika benar kami berniat jahat dan minuman ini mengandung racun, biarlah kami bertiga menemui ajal lebih dulu!"

Habis berkata begitu Lamahila diikuti oleh Hantu Santet Laknat dan Laduliu segera teguk habis isi piala. Wajah si nenek dan Laduliu kelihatan merah segar. sedang Hantu Santet Laknat tampak bercahaya sepasang mata hitamnya. Melihat itu Wiro jadi merasa tidak enak.

"Kalau cuma minum air dalam piala itu kurasa tak ada salahnya. Bau minuman itu harum menyegarkan. Jadi pasti bukan air kencing si nenek rambut putih ini," kata murid Sinto Gendeng dalam hati.

Dia garuk kepala lalu duduk bersila di pedataran batu. Dengan tangan kanannya diambilnya piala perak lalu air putih bening dan sejuk di dalam piala ini diteguknya sampai habis. Selesai meneguk air Embun Murni di dalam piala, wajah Pendekar 212 kelihatan segar kemerah-merahan.

Di dalam tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala mengalir hawa aneh sejuk yang menimbulkan gerasaan gembira bahagia. Pedataran batu di samping Tebing Batu Terjal itu terasa sangat lapang. Hidungnya menghirup hawa harum semerbak seolah dia berada di dalam taman yang penuh dengan bunga-bunga harum tengah berkembang. Wiro memandang berkeliling sambil mengulum senyum. Hatinya membatin.

"Aneh, segala sesuatunya tampak indah di mataku. Orang-orang yang ada dihadapanku, mereka semua menunjukkan wajah bahagia dan senang terhadapku. Mereka begitu baik, mengapa aku tidak membalas kebaikan dengan kebaikan pula? Ah, hatiku sangat hiba dan kasihan terhadap mereka. Terutama terhadap nenek berwajah burung gagak ini. Betapa sengsara dirinya. Aku harus berbuat sesuatu untuk menolongnya."

"Terima kasih, kau telah mau minum bersama kami," kata Hantu Santet Laknat Lalu nenek ini bangkit berdiri. Pada Lamahila dan Laduliu dia berkata. "Kalian telah berusaha menolong, tapi nasib diriku yang buruk pinta. Aku tetap berterima kasih atas jerih payah kalian. Semoga rahmat daripara Dewa akan menjadi bagian kalian. lzinkan aku meminta diri."

"Tunggu dulu wahai kerabatku! Sebelum kau pergi, sebelum kita berpisah di malam kelam gulita ini, ingin aku menanyakan sekali lagi pada pemuda ini. Mungkin hatinya telah berubah. Mungkin perasa annya telah berbalik. Wahai anak muda, apakah kau tega membiarkan nenek malang itu pergi tanpa kau mau menolongnya dengan memenuhi permintaan kami untuk menikahinya? Aku yakin, dalam hatimu pasti ada rasa hiba betas kasihan..."

Pendekar 212 diam seperti merenung. Akhirnya dia berucap. "Menolong sesama manusia adalah satu kebaikan. Aku banyak menerima budi besar dari nenek ini. Kurasa kurang pantas rasanyakalau aku membiarkan dirinya sengsara seumur-umur. Padahal aku bisa dan mampu menolongnya…"

"Jadi kau bersedia aku nikahkan dengan Hantu Santet Laknat?"

"Tidak dengan Hantu Santet Laknat. Tapi dengan gadis berpakaian serba putih yang kau sebut dengan nama Luhrembulan itu…" jawab Wiro.

Hantu Santet Laknat keluarkan pekik halus. Dua tangannya dinaikkan ke atas dengan telapak terbuka. Matanya dipejamkan dan mulutnya yang berbentuk paruh burung gagak bergetar. Makhluk ini kelihatan seperti tengah menghaturkan doa. Perlahan-lahan air mata mengucur ke pipinya yang tertutup bulu hitam. Lamahila bangkit berdiri dari duduknya, diikuti Laduliu. Dipegangnya bahu Pendekar 212 seraya berkata,

"Budimu sungguh luhur! Lihatlah, gadis bernama Luhrembulan itu telah menunjukkan ujudnya di hadapanmu. Pertanda sentuhan kasih sayang darimu telah mampu mengembalikan dirinya ke bentuk sebenarnya…"

Wiro berpaling. Apa yang dikatakan Lamahila memang betul. Saat itu sosok Hantu Santet Laknat telah berubah kembali menjadi sosok Luhrembulan yang berwajah cantik jelita. Mau tak mau hati Pendekar 212 jadi tergerak.

"Berdirilah anak muda. Kita berangkat sekarang juga menuju Bukit Batu Kawin." Lamahila berkata. Dipegangnya lengan Wiro. Wiro bangkit berdiri. Lalu melangkah mengikuti si nenek juru nikah. Dibelakangnya menyusul Luhrembulan dan Laduliu.

DUA BELAS

Bukit Batu Kawin. Sunyi senyap diselimuti kegelapan. Hawa dingin mencucuk sampai ke tulang sungsum. Empat sosok duduk di hadapan sebuah batu besar setinggi lutut, menyerupai ranjang ketiduran. Di ujung sebelah kiri ada dua buah gundukan batu rata-rata seperti dua buah bantal. Di ujung ranjang batu ada perapian kecil.

Nenek rambut putih Lamahila masukkan sebongkah benda putih ke dalam perapian. Saat itu juga udara di tempat itu dipenuhi bau sangat harum. Hantu Santet Laknat yang saat itu berada dalam ujud wajah burung gagaknya, duduk tundukkan kepala. Laduliu memandang ke langit dengan mata terpejam.

Pendekar 212 Wiro Sableng perhatikan ke tiga orang itu satu persatu. Sesekali dia menggaruk kepala. Perasaannya kosong. Dia diam tak bergerak menyaksikan semua apa yang terjadi di hadapannya. Lalu dari mulut Lamahila keluar suara panjang meracau tak berkeputusan. Si nenek agaknya tengah merapal semacam mantera. Perapian keluarkan letupan-letupan kecil dan bau harum semakin santar memenuhi bukit itu.

"Kalian semua harap bersabar. Begitu langit di sebelah timur mulai terang tanda menyingsing sang fajar, upacara pernikahan ini akan segera kita laksanakan. Tak pernah hatiku sebahagia ini. Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang sudah aku nikahkan di bukit sakral ini. Tapi rasanya tidak ada yang seindah upacara kali ini..."

Lalu si nenek kembali meracau mantera. Ketika seberkas sinar terang memancar di langit sebelah timur, Lamahila hentikan rapalannya. Laduliu turunkan kepalanya yang sejak tadi mendongak. Hantu Santet Laknat menatap berdebar pada Wiro lalu memandang pada sang juru nikah. Pendekar 212 sendiri masih tetap tak bergerak dan perhatikan orang-orang itu dengan pandangan tetap kosong.

"Fajar telah menyingsing. Upacara akan segera kita mulai. Semoga para Dewa memberkahi acara pernikahan ini!"

********************

Tak lama setelah Lamahila, Wiro, Laduliu dan Hantu Santet Laknat meninggalkan Tebing Batu Terjal, di udara malam yang gelap dan bertambah dingin itu kelihatan berkelebat dua bayangan. Setelah bergerak ke berbagai jurusan beberapa lamanya, di satu tempat dua bayangan itu berhenti. Mereka ternyata adalah dua perempuan cantik. Satu mengenakan pakaian serba merah, satu lagi berpakaian biru gelap. Yang berpakaian biru gelap berkata.

"Luhsantini, kau yakin tempat di mana kita berada ini adalah-yang disebut Tebing Batu Terjal?"

"Aku yakin sekali, Luhcinta. Aku telah sering ke tempat ini sebelumnya. Banyak orang di Latanahsilam datang kemari."

"Tempat apa bukit batu ini sebenarnya? Mengapa banyak didatangi orang?" tanya Luhcinta.

"lni bukit doa. Di sini orang-orang berdoa meminta sesuatu, memohon agar keinginannya dikabulkan oleh para Dewa," menerangkan Luhsantini.

Luhcinta memandang berkeliling. "Kita telah menyelidik hampir seluruh tebing batu ini. Orang yang kita cari tidak ada. Mungkin ada gua tersembunyi di sekitar sini?"

"Tidak ada gua di sini. Jangan-jangan ke dua orang itu membatalkan pertemuan di tempat ini…"

"Mungkin saja," kata Luhcinta. "Tapi aku kurang yakin. Coba kita menyelidik sekali lagi."

"Tunggu dulu!" kata Luhsantini seraya memegang tangan Luhcinta. "Tidakkah hidungmu membaui sesuatu?"

Luhcinta menghirup udara di tempat itu dalam-dalam. "Aku mencium bau harum aneh…" kata gadis cantik yang keningnya ditempeli sekuntum bunga tanjung kuning ini.

"lkuti aku," kata Luhsantini. Dia bergerak ke kanan. Tiba-tiba tak sengaja kakinya menyentuh sesuatu. Terdengar suara berkerontangan di pedataran batu itu. "Aku menendang sesuatu…" kata Luhsantini sambil memandang ke bawah.

Luhcinta lebih cepat. Saat itu dia telah mengambil benda yang tersentuh kaki Luhsantini tadi lalu memperlihatkannya pada Luhsantini.

"Piala perak..." desis Luhsantini. "Aku rasa-rasa pernah melihat piala seperti ini sebelumnya. Dimana… kapan...?" Luhsantini dekatkan piala perak itu ke hidungnya. Dia menghirup bau minuman aneh. Mungkinkah minuman suci bernama Embun Murni?" Lalu berulang-ulang perempuan ini menyebut. "Tebing Batu Terjal… Piala perak. Wiro... Hantu Santet Laknat... Agaknya telah terjadi satu upacara pemanjatan doa di tempat ini. Doa khusus karena jarang yang mempergunakan piala dari perak. Biasanya cukup piala dari tanah…"

"Luhsantini, lihat! Ada tiga piala lagi bertebaran di tempat ini!" berseru Luhcinta lalu menunjuk pada tiga buah piala yang bertebaran di pedataran batu yang gelap itu.

"Tiga piala perak. Empat dengan yang kupegang. Berarti ada empat orang melakukan satu upacara di tempat ini. Wiro, Hantu Santet Laknat Lalu siapa dua orang lagi?" Luhsantini coba berpikir menduga-duga. Dalam hati dia membatin. "Hanya ada satu kemungkinan. Dua orang itu mungkin Lamahila dan pembantunya si Laduliu…" Paras Luhsantini mendadak berubah.

"Aku khawatir terjadi sesuatu dengan pemuda itu," kata Luhcinta.

"Sebelumnya .dia berjanji akan datang ke gua dimana kita berada. Tapi dia tak pernah muncul. Hai, aku ingat sesuatu. Ketika aku mencuri dengar pembicaraan Wiro dengan Hantu Santet Laknat tentang rencana pertemuan mereka, nenek itu selain menyebut Tebing Batu Terjal dia juga menyebut nama satu bukit. Kalau aku tidak salah ingat bukit bernama Bukit Batu Kawin. Menurut si nenek Tebing Batu Terjal ini terletak di selatan Bukit Batu Kawin. Aku kira..."

"Cukup!" kata Luhsantini tiba-tiba seraya menarik tangan Luhcinta. "Untung kau ingat dan menyebut nama bukit itu! Letaknya tak jauh dari sini. Kita menuju ke sana sekarang juga!"

"Wahai, menurutmu apakah Wiro dan Hantu Santet Laknat pergi ke bukit itu!"

"Aku khawatir, mereka bukan cuma pergi ke sana! Tapi jangan-jangan telah melakukan satu upacara!"

Paras Luhcinta dalam gelap mendadak berubah. "Upacara apa?" tanya si Luhcinta pula. Lalu dia menjawab sendiri dengan berkata. "Kalau memang mereka melakukan upacara, setahuku Bukit Batu Kawin adalah satu-satunya tempat mengadakan upacara perkawinan! Tapi siapa yang kawin?!" Mendadak gadis itu merasa tidak enak. Mukanya berubah lagi menjad pucat.

"Sudah! Jangan membuang waktu! Lekas kita ke sana sekarang juga!" kata Luhsantini lalu cepat-cepat menarik tangan gadis itu.

********************

Dibawah cahaya fajar menyingsing Bukit Batu Kawin tampak indah sekali dari kejauhan. Dua perempuan berpakaian merah dan biru yang bukan lain adalah Luhsantini dan Luhcinta datang berlari dari arah tenggara, naik ke puncak bukit secepat yang bisa mereka lakukan. Ketika mereka sampai di puncak Bukit Batu Kawin hari telah terang. Dalam kesunyian yang hanya disaput oleh sapuan suara angin di kejauhan terdengar suara orang berucap lantang.

"Disaksikan oleh matahari penerang jagat, disirami oleh cahaya yang hangat bersih pertanda membawa keberuntungan bagi setiap insan. Aku Lamahila, juru nikah di Negeri Latanahsilam ingin menanyakan pada kalian.Tapi sebelum pertanyaan diajukan terlebih dahulu harap kalian menerangkan nama kalian satu persatu!"

"Aku Wiro Sableng!"

"Aku Luhrembulan!" kata Hantu Santet Laknat yang saat itu masih berujud burung gagak hitam.

"Celaka!" kata Luhsantini setengah berseru. "Jangan-jangan kita datang terlambat! Percepat larimu Luhcinta!"

Luhcinta yang sejak dari Tebing Batu terjal sudah merasa khawatir, mendengar ucapan Luhsantini segera kerahkan seluruh kemampuannya. Dia melesat sebat dan tinggalkan Luhsantini beberapa tombak di belakangnya.

"Pengantin lelaki bemama Wiro Sableng. Pengantin perempuan bemama Luhrembulan. Berdirilah kalian. Mendekatlah satu sama lain. Letakkan dua tangan Kalian diata satu dengan yang lainnya. Lalu genggam erat-erat”

Lamahila menatap tajam pada dua orang di hadapannya itu. Sementara matahari mulai naik dan keadaan di puncak bukit Batu Kawin bertambah terang. Wiro bangkit berdiri. Begitu juga Hantu Santet Laknat. Keduanya lalu bergerak saling mendekat.

Dalam jarak hanya terpisah setengah langkah di nenek ulurkan dua tangannya. wiro menyambuti. Empat tangan saling bertindih lalu menggenggam satu sama lain. Kalau wiro memandang kosong ke wajah burung gagak dihadapannya. Maka Hantu santet laknat menatap dengan mata berkaca-kaca.

”Wahai wiro sableng, apakah kau bersedia aku nikahkan dengan gadis yang terlahir dengan nama Luhrembulan yang kini dua tangannya berada dalam genggaman dua tanganmu?"

Sebelum menjawab Wiro hendak tarik tangan kirinya untuk menggaruk kepala.

"Anak manusia bernama Wiro Sableng! Jawab saja pertanyaanku! Jangan pakai menggaruk kepala segala! Apakah kau bersedia aku nikahkan dengan Luhrembulan?"

"Aku bersedia” jawab Wiro, keras tapi agak tercekik.

Air mata mengucur deras dari dua mata burung Gagak Hantu Santet Laknat. Tubuhnya bergetar.

"Wahai mahluk malang terlahir dengan nama Luhrembulan, apakah kau bersedia aku nikahkan dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng yang jari-jarinya kau genggam dengan penuh khidmat?"

"Aku bersedia, karena aku mengasihinya dengan sepenuh hati!" Jawab Hantu Santet Laknat.

Saat itu juga satu cahaya biru memancar di tubuh Hantu Santet Laknat. Sosoknya mulai dari kepala sampai ke kaki mendadak sontak berubah. Jubah hitam kumalnya kini menjadi sehelai pakaian putih panjang. Muka burung gagaknya berganti dengan wajah seorang gadis cantik jelita. Air mata mengucur dari dua matanya yang bagus. Rambut hitam panjangnya bergoyang indah dihembus angin pagi.

Luhcinta dan Luhsantini sampai di puncak Bukit Batu Kawin. Luhcinta serta merta hendak menghambur ke hadapan orang-orang yang ada di dekat ranjang batu. Tapi Luhsantini cepat memegang erat tangannya dan menarik gadis ini ke balik sebuah batu besar yang tertutup semak belukar lebat.

"Kita memang terlambat Luhcinta. Upacara pernikahan sudah dilaksanakan. Mereka telah berpegangan tangan…"

"Mereka siapa?" tanya Luhcinta dengan suara gemetar. Gadis ini sibakkan semak belukar lalu memandang ke depan. Saat itu terdengar suara lantang sang juru nikah Lamahila.

"Wiro Sableng dan Luhrembulan! Kalian berdua telah aku nikahkan disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan di dengar oleh para Dewa dan semua roh yang tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah. Saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri!"

"Menjadi suami istri?" Wiro kerenyitkan kening lalu garuk-garuk kepala.

Di balik batu besar dan semak belukar, Luhcinta merasa lututnya goyah. Tanah yang dipijaknya seolah runtuh. Sosoknya niscaya jatuh terduduk kalau tidak lekas dipegang oleh huhsanthi.

"Siapa gadis berpakaian putih itu… Siapa dia?" Ucapan itu berulang kali keluar dari mulut Luhcinta.

"Luhcinta, ada apa dengan kau? Astaga... kau menangis! Tubuhmu berguncang! Kau sakit atau bagaimana?" Luhsantini bicara seperlahan mungkin agar tidak terdengar orang-orang di sebelah sana.

"Luhsantini, tolong aku. Bawa aku meninggalkan bukit ini. cepat! Seolah ada sejuta jarum menusuk jantung dan hatiku... Aku… aku tidak mau menyaksikan semua ini. Aku tidak sanggup mendengar ucapan nenek berambut putih itu! Aku ingin pergi dari sini. Bawa aku pergi Luhsantini. Aku ingin mati saja! Aku ingin mati saja!"

Luhsantini menjadi bingung. Dia hendak bertanya, dia hendak mengguncang tubuh gadis itu. Tapi saat itu mendadak sosok Luhcinta berubah lunglai. Sebelum gadis ini jatuh terjerembab di tanah Luhsantini cepat rangkul pinggangnya. Dia berusaha menyadarkan gadis itu dengan menepuk-nepuk pipinya.

"Astaga! Dia pingsan!" Luhsantini memandang ke tempat Wiro dan yang lain-lainnya berada. Sulit kuduga, sulit kuduga. Ada apa sebenarnya di antara mereka!" Luhsantini cepat mendukung sosok Luhcinta lalu tinggalkan puncak Bukit Batu Kawin.

"Wahai Wiro dan Luhrembulan, sekarang kalian berdua telah menjadi sepasang suami istri yang saling mencinta. Aku dan Laduliu tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Ranjang perkawinan telah tersedia. Selagi matahari belum panas menyengat, selagi hawa pagi begini segar dan keharuman masih menebar tempat ini, mengapa kalian berdua tidak segera bersenang-senang, melaksanakan hajat sebagai suami istri? Selamat tinggal wahai sepasang pengantin!" Lamahila memberi isyarat pada Laduliu. Lalu kedua orang ini segera tinggalkan tempat itu.

Kini tinggal Wiro dan Luhrembulan berdua. Angin sejuk di puncak Bukit Batu Kawin bertiup lembut. Luhrembulan menatap tersenyum pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Aku sangat berterima kasih. Aku benar-benar merasa bahagia. Budimu tak akan kulupakan sepanjang masa. Berkat pertolonganmu aku telah kembali ke ujud asliku seperti yang kau lihat…"

"Kau cantik sekali. Belum pernah aku melihat gadis secantikmu di negeri ini…" memuji Wiro sambil tersenyum.

"Kecantikanku, apapun yang ada di diriku, bukankah semua kini menjadi milikmu?" ujar Luhrembulan, gadis yang berubah ujud itu. Lalu dia menyambung ucapannya. "Aku akan abdikan diriku menjadi seorang istri yang baik dan setia…"

"Seorang istri memang seharusnya begitu. Tapi kalau aku boleh bertanya kau akan mengabdikan diri pada siapa?"

Pertanyaan Wiro terasa aneh di telinga Luhrembulan. Karena menganggap Wiro bergurau dia pun menjawab. "Kepada siapa lagi, kalau bukan kepadamu, suamiku."

"Aku suamimu?!" Wiro tertawa lebar. "Kau bergurau, Luhrembulan. Eh, betul namamu Luhrembulan?"

"Kau yang bergurau wahai suamiku. Bukankah barusan saja kita melangsungkan upacara pernikahan di Bukit Batu Kawin ini…"

"Upacara pernikahan? Siapa yang nikah? Kita?!"

Luhrembulan semakin merasa aneh melihat sikap ,dan mendengar ucapan-ucapan Wiro. Dalam hati dia membatin. "Dia tidak seperti bergurau. Apa yang terjadi dengan dirinya? Tidak mungkin! Bagaimana dia bisa berucap aneh seperti itu!"

‘”Wiro! Nenek Lamahila disaksikan oleh pembantunya Laduliu telah menikahkan kita di tempat ini! Kau dan aku resmi menjadi suami istri. Kau mau menikahiku karena hatimu tulus bersih untuk menolongku kembali ke ujud asliku! Kini kau lihat sendiri keadaanku! Aku bukan lagi nenek buruk benwajah burung gagak hitam bernama Hantu Santet Laknat itu! Aku kini adalah Luhrembulan. Istrimu!"

Wiro garuk kepala. "Lamahila menikahan kita! Dan kau kini adalah istriku! Gusti Allah! Bagaimana semua ini bisa terjadi?!"

Pada saat Wiro menyebut nama Tuhan, tiba-tiba menggelegar suara guntur. Puncak Bukit Batu Kawin bergeletar seperti digoncang gempa. Di langit menyambar halilintar dua kali berturut-turut. Langit pagi yang tadinya cerah mendadak berubah gelap. Hujan deras disertai gemuruh angin dahsyat menyapu puncak bukit

"Wiro!" Luhrembulan berteriak memanggil. Udara tambah gelap. Gadis itu tak dapat melihat lebih jauh dari tiga langkah. "Wiro!" teriak Luhrembulan lebih keras.

Tapi suaranya lenyap tenggelam ditelan gemuruh deru angin. Lalu satu gelombang angin yang sangat kencang datang menerpa. Gadis ini terpelanting sampai beberapa tombak. Untung dia masih sempat menyambar dan mendekap sebatang pohon besar. Kalau tidak niscaya dirinya terlempar masuk ke dalam jurang batu sedalam seratus tombak. Di jurang inilah dulu Luhrinjani, istri Lakasipo menemui ajal bunuh diri. (Baca Episode pertama berjudul Bola bola lblis)

Angin laksana badai masih terus melanda puncak Bukit Batu Kawin. Pohon besar tempat Luhrembulan berlindung berderak-derak. "Kalau pohon ini tumbang celaka diriku!" Luhrembulan berpaling dibelakang dimana membentang jurang dalam dan gelap menggidikkan. "Wiro suamiku…! Dimana kau! Wahai para Dewa, tolong dia. Selamatkan dirinya!"

Tak selang berapa lama angin deras mulai reda. Udara yang tadinya gelap perlahan-lahan kembali terang. Luhrembulan keluar dari balik batang pohon besar tempat dia berlindung. Dia memandang ke seantero puncak Bukit Batu Kawin. Tapi Wiro tak ada lagi di situ. Tak seorangpun kelihatan ditempat itu.

********************

TIGA BELAS

Kita tinggalkan Luhrembulan yang kehilangan Pendekar 212 Wiro Sableng di puncak Bukit Batu Kawin. Kita kembali kepada Lakasipo yang nyawanya telah diselamatkan oleh Peri Angsa Putih dari tangan maut Latandai alias Hantu Bara Kaliatus yang adalah saudara kandungnya sendiri. Sang Peri yang menunggangi angsa putih raksasa ternyata membawa Lakasipo ke satu tempat tak jauh dari telaga dimana Si Penolong Budiman dan Hantu Langit Terjungkir berada.

"Peri Angsa Putih, aku berterima kasih kau lagi lagi telah menyelamatkan diriku dari bahaya maut!" berkata Lakasipo begitu dirinya yang masih terbungkus jala api biru diturunkan ke tanah.

"Tak perlu berterima kasih padaku. Karena nasib baik sebenarnya yang telah menolong dirimu!" jawab Peri Angsa Putih sambil tegak membelakangi Lakasipo.

"Aneh sekali sikapnya kali ini," kata Lakasipo dalam hati. "Suaranya ketus dan dia bicara tidak mau melihat padaku…"

"Kau tahu!" Peri Angsa Putih kembali membuka mulut sambil tetap berdiri membelakangi Lakasipo. "Aku menolongmu karena aku butuh satu keterangan penting!"

"Kita bersahabat. Jangankan satu, seribu keterangan pun kalau kau tanya dan aku bisa menjawab pasti akan kujawab!"

Peri Angsa Putih keluarkan suara mendengus. "Kau bisa bicara begitu tapi pertanyaan yang satu inipun aku sangsikan apa kau mau menjawab!"

"Katakan saja! Aku pasti menjawab!"

"Dimana pemuda bernama Wiro Sableng sahabatmu itu berada?"

Lakasipo tatap punggung sang Peri. Ketika dia tidak segera menjawab tiba-tiba Peri Angsa Putih membalik dan membentak.

"Terbukti kau tidak mau menjawab! Kau tidak memberitahu! Kau sama saja busuk menjijikkan seperti dua sahabat Wiro bernama Setan Ngompol dan Naga Kuning!"

"Peri Angsa Putih, kita bersahabat. Aku banyak menerima budi pertolongan darimu. Sungguh aku tidak menyangka kau akan bicara seperti itu padaku!"

"Saat ini memang baru mulutku bicara! Jangan sampai dua tanganku ikut bicara!"

"Peri Angsa Putih..."

"Jawab saja pertanyaanku! Dimana Pendekar 212 Wiro Sableng berada?!"

"Aku tidak tahu! Dia dibawa kabur oleh nenek bernama Hantu Santet Laknat," jawab Lakasipo.

"Aku tidak percaya!"

Lakasipo habis kesabarannya. "Kau bertanya. Aku menjawab memberitahu! Jika kau tidak percaya itu adalah urusanmu!"

Peri Angsa Putih kembali keluarkan suara mendengus. Sambil memutar tubuh dengan airmuka mengejek dia berkata. "Jangan harapkan aku akan menolong dirimu keluar dari dalam jala itu, Lakasipo! Aku datang bukan untuk menolongmu! Aku datang mencari saudaramu bernama Wiro Sableng itu! Dia telah menghamili Peri Bunda!"

Lakasipo sesaat jadi terkesiap mendengar kata-kata sang Peri. Rasa jengkel membuat hilang sikap hormatnya pada Peri Angsa Putih. Maka diapun membuka mulut dengan suara lantang. "Aku tidak akan mengemis meminta tolong padamu! Aku tidak akan menjatuhkan diri di bawah lututmu agar kau melepaskan diriku dari dalam jaring ini! Dan aku tidak perduli dengan ucapanmu tentang saudara angkatku! Karena aku berani bersumpah kaki ke atas kepala ke bawah, biar kau mati dengan roh tersiksa seumur dunia, saudaraku Wiro Sableng tidak akan pernah melakukan perbuatan mesum itu! Siapapun yang menghamili Peri Bunda, perbuatan itu pasti tidak dilakukan secara paksa. Pasti terjadi atas dasar suka sama suka!"

"Lakasipo! Jaga mulutmu! Jangan memandang rendah kami bangsa Peri!" bentak Peri Angsa Putih.

"Aku tidak pernah memandang rendah siapapun! Tapi bukan rahasia lagi kalian bangsa Peri sejak bertahun-tahun belakangan ini telah terpengaruh akan kehidupan wajar sebagaimana kami bangsa manusia! Kalian mendambakan cinta kasih. lngin dikasihi dan ingin mengasihi! Jika salah seorang dari kalian melakukan kesalahan karena tak dapat menahan diri, masuk ke dalam kehidupan berkasih sayang, kalian lantas mengutuk dan mengucilkannya! Bukankah itu yang telah kalian lakukan terhadap Hantu Jatilandak? Bayi yang terlahir dari perkawinan seorang Peri dengan Lahambalang! Padahal bayi itu tidak menanggung dosa tidak menanggung kesalahan! Kehidupan hebat seperti itukah yang kau banggakan wahai Peri Angsa Putih?! Sekarang menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak ingin melihat dirimu! Aku tidak ingin bicara lagi denganmu! Kalian bangsa Peri hidup dengan lain kata lain perbuatan! Sungguh memalukan! Kalian hidup bersembunyi dibalik topeng kesucian! Padahal apa yang kami lakukan bangsa manusia juga ingin kalian lakukan! Bercinta berkasih sayang! Kawin!"

Mengenai Hantu Jatitandak dan Lahambalang baca Episode berjudul Hantu Jatilandak

Wajah Peri Angsa Putih menjadi marah seperti saga mendengar kata-kata Lakasipo itu. Didorong oleh hawa amarah yang menggelegak, tanpa disadarinya Peri Angsa Putih tendangkan kaki kanannya. Lakasipo dan jala api biru yang membungkusnya terpental sampai dua Iombak. Walau tadi sang Peri menendang tidak sepenuh hati hingga dia tidak sampai semburkan darah, tapi tetap saja Lakasipo merasa dadanya seperti hancur.

Sakitnya bukan main. Namun sakit badan tidak seberapa jika dibandingkan dengan rasa sakit hati. Dia berusaha bangkit dan duduk di tanah. Matanya memandang tak berkesip pada Peri Angsa Putih yang tegak terkesima seolah menyesal telah menendang lelaki itu.

"Peri Angsa Putih, aku tidak akan melupakan apa yang hari ini kau lakukan terhadapku!" kata Lakasipo dengan suara bergetar menahan amarah dan sakit. "Apa yang terjadi dengan Negeri Atas Langit. Apakah sudah terjungkir balik hingga kau menjatuhkan tangan sejahat ini kepadaku?!"

Tiga bayangan tiba-tiba berkelebat. Menyusul suara berucap. "Lakasipo, kami saudara-saudara angkatmu juga tidak melupakan apa yang kami lihat hari ini!"

Lakasipo berpaling dan melihat Naga Kuning serta Setan Ngompol tegak di sampingnya. Di dekat mereka berdiri pula banci berkepandaian tinggi yang dikenal.dengan nama Betina Bercula.

"Kalian..." ujar Lakasipo. "Apa kalian juga mendengar apa yang telah diucapkannya tentang saudara kita Wiro Sableng?"

"Kami sudah mendengar. Sebelumnya dalam satu pertemuan dia juga telah mengatakan hal itu! Tapi siapa yang percaya! Seperti katamu tadi kehidupan, para Peri kini jauh dari suci! Entah siapa yang menghamili, Wiro yang difitnah! Keterlaluan!" Yang bicara adalah Naga Kuning.

"Bocah konyol bermulut seenaknya! Jika kalian tidak percaya silahkan datang ke Puri Kebahagiaan! Kalian saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Peri Bunda. Dia terbaring menderita malu besar dan sengsara berat!"

"Jika Peri Bunda memang hamil tanpa adanya keributan, berarti dia sendiri ikut senang melakukan perbuatan itu! Mengapa kini persoalannya dibesar-besarkan? Bukankah kau menambah malu kaummu sendiri?"

"Jika terbukti Peri Bunda berlaku seperti itu dia pasti mendapat hukuman. Tapi sahabatmu Wiro Sableng tidak akan lolos dari tangan kami!"

Sambil pegang bahu Lakasipo Si Setan Ngompol memandang pada Peri Angsa Putih dan berkata. "Peri Angsa Putih, kau memang wajib menyelidiki persoalan ini sampai tuntas. Mencari tahu siapa yang telah menyebabkan hamilnya Peri Bunda. Tapi jika seandainya orang itu tidak berhasil diketahui dan tidak dapat ditemukan, aku Setan Ngompol bersedia dengan hati ikhlas menjadi ayah pengganti calon bayi yang akan dilahirkan. Kasihan Kalau bayi itu sampai lahir tanpa punya ayah! Tapi kuharap kalian para Peri segera memberi persetujuan jauh hari sebelum sang bayi lahir."

Habis berkata begitu si kakek berpaling pada Naga Kuning lalu kedipkan matanya. Ke dua orang ini kemudian tertawa gelak-gelak. Si Betina Bercula ikut tertawa cekikikan. Di dalam jala Lakasipo akhimya tak dapat pula menahan ledakan tawanya. Peri Angsa Putih tak dapat lagi menahan amarahnya. Tangan kanannya diangkat dan siap dihantamkan ke arah orang-orang yang ada di tempat itu. Namun tiba-tiba satu tangan halus mencekal lengan nya hingga sang Peri tak mampu menggerakkan tangan barang sedikitpun. Ketika dia berpaling terkejutlah Peri Angsa Putih.

"Luhrinjani…" desis sang Peri.

"Wahai, kau sudah tahu namaku. Berarti aku tidak perlu menerangkan lagi siapa diriku!"

Yang muncul dan memegang tangan Peri Angsa Putih memang adalah Luhrinjani, makhluk setengah manusia setengah roh jejadian yang dulunya adalah istri Lakasipo, tapi kemudian menemui ajal karena bunuh diri di jurang Bukit Batu Kawin. (Baca Bola Bola Iblis).

"Luhrinjani, kau lagi-lagi berani mencampuri urusanku dan menghalangi diriku yang hendak mengambil tindakan! Sungguh kurang ajar perbuatanmu! Apa kau lupa kalau kami bangsa Peri yang memberikan kehidupan baru padamu setelah kau menemui kematian di dalam jurang batu?! Kau makhluk rendah yang tidak tahu berterima kasih!"

"Wahai Peri Angsa Putih, aku Luhrinjani tidak pernah melupakan pertolongan kalian bangsa Peri. Aku juga bukan makhluk yang tidak tahu berterima kasih. Tetapi itu bukan berarti aku akan menelan mentah-mentah semua perbuatanmu. Bukan berarti aku harus diam mematung kalau kau hendak mencelakai para sahabat dan suamiku sendiri. Kau tadi menendang Lakasipo. Padahal dia terada dalam keadaan tidak berdaya? Apa itu satu perbuatan berbudi luhur? Atau memang begitu kini cara hidup kalian bangsa Peri dari Negeri Atas Langit!"

Peri Angsa Putih kerahkan tenaga untuk lepaskan lengannya yang dicekal. Tapi tidak berhasil. Luhrinjani tersenyum. Perlahan-lahan dia kendurkan cekalannya hingga Peri Angsa Putih bisa melepaskan diri. Begitu tangannya bebas tanpa banyak cerita lagi Peri ini segera melompat ke atas punggung angsa putih tunggangannya dan melesat terbang meninggalkan tempat itu.

"Peri geblek!" kata Naga Kuning begitu angsa putih dan penunggangnya lenyap dikejauhan.

"Makhluk-makhluk tolol!" Betina Bercula berucap.

"Siapa yang tolol! Apa maksudmu?!" tanya Naga Kuning.

"Soal Peri hamil saja diributkan! Kuda atau sapi bunting tidak pernah jadi masalah! Tidak pernah dicari siapa yang menghamili! Hik hik hik! Sebenarnya, wahai! Bagaimana rasanya kalau hamil itu! Ingin, sekali aku merasakannya! Apakah di antara kalian ada yang mau menghamili diriku?!"

Orang-orang yang ada disitu sama memandang temganga ke arah Betina Bercula. Lalu semuanya tertawa gelak-gelak. Tidak terduga tiba-tiba enak saja tangan-lelaki banci berkepandaian tinggi ini bergerak ke bawah pusar Setan Ngompol yang sedang meleng karena sibuk menahan kencing.

"Kek! Awas kantong menyanmu mau disambar!" Naga Kuning mengingatkan.

Setan Ngompol cepat menyingkir sambil memaki panjang pendek. "Banci kalengan! Kau selalu saja mencari kesempatan!"

Betina Bercula tertawa cekikikan. Julurkan lidahnya sambil menowel-nowel puncak hidungnya dengan ujung telunjuk tangan kanan.
Bersambung...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.