RAJA SESAT PENYEBAR RACUN
SATU
Pendekar 212 Wiro Sableng memandang berkeliling dengan heran. Betulkan ikat kepala kain putihnya lalu menggaruk rambut.
“Aneh... Setahuku setiap hari Ahad pasar ini selalu ramai oleh penjual dan pembeli. Tapi kali ini jangankan manusia, jangankan orang yang berjualan dan mereka yang mau membeli. Nyamuk dan lalatpun tidak kelihatan! Apa yang terjadi. Perutku sudah lapar, aku membayangkan akan makan ketan bakar di sudut sana. Nyatanya pasar ini sudah berubah jadi kentut! Eh, kentut pun masih ada bunyi-bunyi dan baunya! Tapi disini tak ada bunyi. Sepi! Tak ada bau!”
Wiro menyeringai geleng-geleng kepala. Akhirnya dia tinggalkan pasar itu lanjutkan perjalanan memasuki kampung terdekat di pinggir pasar. Begitu memasuki mulut kampung sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi putih bergerak deras ke arahnya.
“Awas! Minggir! Anakku... istriku... Tolong! Minggir!” teriak orang yang mengemudikan gerobak itu.
Wiro cepat menyingkir ke tepi jalan. Gerobak lewat disampingnya dengan cepat. Sekilas Pedekar 212 melihat dua sosok tubuh terbujur di atas gerobak sapi itu. Yang di sebelah kiri seorang anak lelaki berusia lima tahun, terbaring menelentang tanpa baju. Muka dan terutama bibirnya tampak biru. Kedua matanya membeliak sedang tangan dan kakinya tampak tegang kaku. Sekujur tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Disela bibirnya tampak busah meleleh
Yang kedua seorang perempuan ibu si anak lelaki juga terbaring dengan muka dan bibir biru Dan mulutnya yang berbusah terdengar suara erangan Tubuhnya menggeliat-geliat kejang. Bagian hitam matanya terbalik-balik Awas! Minggir! Tolong! Tolong anak istriku kembali terdengar suara pengemudi gerobak sapi berteriak
Sesaat Wiro masih tertegak heran di tepi jalan. Lalu di depan sana dilihatnya seorang pejalan kaki memandang ke arah lenyapnya gerobak sapi di tikungan jalan. Wiro dekati orang ini yang ternyata seorang kakek mengenakan celana panjang hitam dan kain sarung di bahunya.
“Kek...,” menegur Wiro. “Kau barusan melihat gerobak sapi itu... Kau tahu apa yang terjadi?”
Si kakek menatap sesaat pada Wiro lalu menjawab. “Ah, sampean tentu bukan penduduk sekitar sini. Jadi tidak pernah mendengar apa yang terjadi sejak satu bulan belakangan ini. Dedemit Karang Gontor sedang murka. Puluhan jiwa penduduk telah disedotnya.”
“Dedemit Karang Gontor? Menyedot jiwa penduduk...?”
“Betul anak muda. Anak serta istri orang yang membedal gerobak sapi tadi pastilah korban-korban baru dedemit itu!” berkata si kakek.
Wiro garuk-garuk kepalanya. “Aku tak mengerti kek. Bagaimana bisa ada dedemit menyedot jiwa manusia...”
“Itu karena ulah manusia sendiri, anak muda. Manusia-manusia disini sudah bertumpuk dosanya. Bumi Tuhan menjadi kotor. Dedemit yang bermukim di Karang Gontor jadi gerah, lalu murka. Satu persatu dia mencari korban. Menyedot nyawa korbannya lewat mulut. Itu sebabnya mereka yang jadi korban pada biru bibir dan mukanya sampai ke leher...”
“Gila! Sulit dipercaya! Ada dedemit kegerahan lalu minta nyawa manusia! Gila! ujar Wiro.
“Gila atau tidak, itulah yang terjadi. Dan kau setiap saat bisa saja jadi korbannya! Aku yang sudah tua begini kalau sampai jadi korban tak akan menyesal. Lebih baik cepat mati dari pada hidup menderita...!”
“Kek, apa ada orang yang pernah melihat dedemit yang kau katakan itu...?” Wiro bertanya.
“Anak muda, pertanyaanmu sungguh totol. Tidak melihat saja nyawanya sudah bisa disedot, apalagi kalau sampai melihat! Heh... kau lihat pasar di ujung sana? Sepi. Tak ada yang berani berjualan karena takut akan jadi korban dedemit. Semua orang pada mendekam dalam rumah karena ketakutan. Banyak yang sudah mengungsi ke tempat jauh yang aman. Kampung ini saja hampir kosong tidak didiami lagi!”
“Lalu, orang yang memacu gerobak sapi tadi, mau dibawanya kemana anak dan istrinya itu...?”
“Di kaki bukit sebelah timur sana, ada seorang dukun. Namanya Ki Dukun Japara. Pasti dia membawa anak istrinya kesana untuk minta tolong. Namun seperti yang sudah-sudah, nyawa orang-orang yang kena pencet Dedemit Karang Gontor tak bakal bisa diselamatkan lagi...!”
“Kek, tadi kau bilang dedemit itu menyedot nyawa, kini memencet. Mana yang betul kek...?” tanya Wiro pula.
Si kakek menyeringai. “Dedemit itu kalau inginkan nyawa manusia ya suka-sukanya saja. Mau menyedot lewat bibir atau pantat, mau mencekek leher atau memencet kemaluan korbannya, yah itu terserah dia. Pokoknya korban mati dan dia puas. Kau sendiri mau mati cara mana anak muda...? Di sedot... di cekek... atau dipencet anumu itu...?”
Wiro menjawab. Sambil geleng-geleng kepala dia memutar tubuh lalu berkelebat menuju ke arah lenyapnya gerobak sapi tadi. Si kakek tersentak kaget ketika pemuda dengan siapa dia tadi bicara kini berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah ada di tikungan jalan sana. Pucatlah wajah orang tua ini.
“Astaga...” katanya dengan suara gemetar.
“Jangan-jangan pemuda itu penjelmaan Dedemit Karang Gontor!” Lalu dirabanya ubun-ubunnya. Dipegangnya bibirnya. Disentuhnya lehernya dan terakhir sekali dirabanya bagian bawah perutnya. “Ah... masih ada... Untung anuku tidak dipencetnya!” Dengan terbungkuk-bungkuk orang tua ini bergegas meninggalkan tempat itu.
********************
DUA
Walaupun gerobak sapi itu tidak kelihatan lagi namun dari jejak roda yang membekas jelas di tanah jalanan Pendekar 212 Wiro Sableng dapat mengetahui ke arah mana perginya gerobak itu. Dengan mengandalkan ilmu lari kaki angin warisan Eyang Sinto Gendeng. Wiro berkelebat ke arah timur. Dia sengaja mengambil jalan memotong.
Di satu bukit kecil dia dapat melihai gerobak sapi yang di muati dua orang korban Dedemit Karang Gontor meluncur di jalan berbelok-belok diantara kaki-kaki bebukitan. Di hadapan sebuah rumah panggung yang mulai dari tiang, lantai dan dinding sampai ke atapnya terbuat dari bambu, orang yang memacu sapi hentikan gerobaknya.
“Ki Dukun! Ki Dukun Japara! Tolong Lekas! Tolong istri dan anakku!” berteriak kusir gerobak itu. Lalu dia melompat turun dari gerobak, menarik sosok tubuh anak lelakinya, mendukungnya lalu membawanya naik ke atas rumah panggung.
“Ki Dukun! Tolong...! teriak kusir gerobak itu kembali. Anaknya dibaringkan di lantai rumah bambu, dihadapan sebuah pintu. Pintu ini kemudian digedornya berulang kali sambil terus berteriak.
Pintu terbuka. Seorang tua bermata juling, mengenakan pakaian serta destar hitam keluar sambil memuntir-muntir kumis mablangnya dengan tangan kiri sedang jari-jari tangan kanan mempermainkan sebuah tahi lalat besar yang menonjol di dagu sebelah kanan.
“Astaga! Juminto! Kowe rupanya! Eh, apa yang terjadi...?”
“Anakku Ki Dukun! Tolong! Selamatkan jiwanya Jangan biarkan Dedemit Karang Gontor mengambil nyawanya!” Habis berkata begitu lelaki bernama Juminto itu berbalik lalu lari menuruni tangga bambu
“Hai! Kowe mau kemana Juminto?!” memanggil orang tua bermata juling yang ternyata adalah Ki Dukun Japara.
“Istriku! Istriku juga disedot Dedemit Karang Gontor! Aku akan membawanya ke atas rumah ini Tapi tolong dulu anakku! Selamatkan jiwanya!’
“Ah...Lagi-lagi Dedemit Karang Gontor...” ujar Ki Dukun lalu menghela natas panjang dan tampak masygul. ”Puluhan korban sudah jatuh. Sampai kapan bencana ini akan berakhir...?”
Lalu Ki Dukun Japara berlutut. Dia usap kening serta pegang dada anak lelaki yang terbujur di lantai bambu. Diamatinya bibir si anak, lalu sepasang matanya yang terbalik. Kembali orang tua ini gelengkan kepala dengan wajah masygul.
Saat itu Juminto sudah naik kembali keatas rumah panggung. Kali ini mendukung istrinya dan membaringkannya di lantai disamping anak lelakinya. Berbeda dengan si anak yang tampak kaku tak bergerak, si ibu masih terdengar mengerang dan melejang-lejang.
"Ki Dukun! Tolong! Tolong mereka cepat!” teriak Juminto. “Jangan cuma melihat saja! Tolong, selamatkan anak istriku...!”
“Ki Dukun Japara memeriksa keadaan istri Juminto. Sesaat kemudian dia berpaling pada lelaki itu dan gelengkan kepalanya, lalu berkata, “Juminto, sudah puluhan orang kulihat dalam keadaan seperti ini. Semua tak bisa kutolong. Sekali Dedemit Karang Gontor murka dan minta korban tak ada satu kekuatanpun yang bisa menghalanginya! Sebaiknya kau relakan saja kepergian mereka Juminto...”
Juminto jatuhkan dirinya di lantai bambu. Setengah meratap, dia memohon, “Tolong Ki Dukun. Tolong...!”
“Aku tidak mampu menolongnya, Juminto. Tidak mampu! Jangan memaksa!”
“Ki Dukun... Percuma! Percuma kau jadi dukun kalau tidak bisa menolong!” teriak Juminto. Pemandangannya jadi gelap. Dia melompat dan mencekal leher baju Ki Dukun dengan kedua tanganya. “Kau harus bisa... Kau harus bisa mengobatinya! Harus! Kalau tidak kau akan kubunuh Ki Dukun!” Juminto mengancam dalam kalapnya. “Akan kubunuh! Kau dengar ucapanku?!”
Sepasang mata juling Ki Dukun Japara tampak membeliak dan wajahnya jadi beringas. “Kau boleh membunuhku seratus kali! Tapi sekali aku bilang tidak mampu, aku tetap tidak mampu! Bahkan anakmu kulihat sudah tak punya nafas lagi. Istrimu sebentar lagi pasti juga dibawa Dedemit Karang Gontor itu!
Mendengar ucapan itu Juminto meraung lalu jatuhkan diri ke lantai. Saat itulah terdengar satu suara.
“Jika diizinkan Gusti Allah, mungkin aku bisa menolong istri Juminto itu, Ki Dukun!”
Ki Dukun dan Juminto sama berpaling ke arah tangga. Seorang tidak dikenal tampak menaiki tangga bambu dan akhirnya sampai di atas rumah panggung.
TIGA
Orang yang datang dan barusan bicara adalah seorang pemuda berpakaian putih. Rambutnya gondrong sebahu sedang kepalanya diikat dengan kain putih. Baik Ki Dukun Japara maupun Juminto sama-sama tidak mengenali siapa adanya pemuda ini yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Karena kedua orang itu masih terheran-heran melihat kemunculan pemuda yang tidak dikenal atau belum pernah dilihatnya sebelumnya dan tidak memberikan jawaban apa-apa, maka Wiro langsung berlutut didepan tubuh anak lelaki yang terbujur di-lantai bambu. Dipandanginya anak itu sebentar lalu dia menggaruk kepala dan berpaling pada Juminto, berkata,
”Anakmu tak mungkin kutolong. Dia sudah meninggal. Aku mungkin bisa menolong istrimu. Keadaanya gawat sekali. Tapi Tuhan punya kuasa, biar kucoba...” Wiro beringsut mendekati tubuh Istri Juminto.
“Jangan sentuh istriku!” bentak Juminto dengan garang.
“Ah, kalau kau tak mengijinkan. Akupun tidak berani melakukan apa-apa...” sahut Pendekar 212 pula lalu berdiri.
“Aku tidak kenal siapa dirimu. Tahu-tahu muncul dan bertindak herdak menolong...”
“Aku melihatmu waktu memacu gerobak sapi menuju kemari. Seseorang di tengah jalan memberi tahu bahwa anak istrimu pasti sudah jadi korban Dedemit Karang Gontor. Aku datang kemari hanya ingin tahu apa sebetulnya yang terjadi dan siapa tahu aku bisa menolong...”
“Apa kau seorang dukun, atau tahu seluk beluk pengobatan? Bahkan Ki Dukun Japara disampingku ini tidak mampu mengobati istriku...!” kata Juminto.
“Betul...Tak mungkin bagiku mengobati orang yang jadi korban Dedemit Karang Gontor. Sudah puluhan yang menemui nasib seperti ini. Tak seorang pun yang bisa menolong...”
“Dedemit Karang Gontor! Bukan main...” geleng-geleng kepala pendekar. “Ingin aku melihat bagaimana tampangnya. Bagaimana dia mencelakai korbannya seperti ini...”
“Anak muda!” ujar Ki Dukun Japara dengan kedua mata yang juling mengawasi Wiro mulai dari kepala sampai ke kaki. “Jangan bicara takabur! Sekali Dedemit Karang Gontor mendengarnya, nyawamu tak ketolongan lagi!”
Wiro hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata orang tua bermata juling itu lalu dia berpaling pada Juminto dan berkata, “Menurutku, istrimu bukan dicekik atau disedot Dedemit, setan ataupun jin gandaruwo! Istrimu keracunan!”
Juminto terkesiap kaget sedang Ki Dukun Japara tampak berubah air mukanya.
“Bagaimana kau bisa tahu?!” tanya Juminto. Dia memandang pada istrinya yang masih melejang-lejang, tapi saat demi saat lejangan tubuhnya semakin perlahan.
“Aku memang tidak tahu bagaimana dia keracunan. Tapi dari wajahnya yang membiru sampai ke leher, terutama pada bagian bibir dan ujung-ujung telinga, aku dapat menduga istri dan anakmu ini telah keracunan.”
“Anak muda, siapa kau sebenarnya? Sikap mu bicara seolah-olah sebagai orang yang mengetahui seluk beluk ilmu pengobatan!”
“Namaku Wiro Sableng...”
“Wiro... Sableng?!” ujar Ki Dukun Japara. “Kemunculanmu yang tiba-tiba begitu aneh. Sikap dan bicaramu juga aneh. Dan kini namamu juga ternyata aneh. Wiro Sableng, coba terangkan dari mana kau datang? Apa kau tinggal di sekitar sini?”
“Aku datang dari Gunung Gede...”
“Ah, kalau kau cuma seorang pemuda gunung di udik sana, mana ada kemampuan untuk mengobati istriku!” kata Juminto pula penuh jengkel.
Sementara Ki Dukun Japara menyeringai. Lalu orang tua ini berkata, “Tinggalkan kami berdua. Biar istri orang ini meninggal dengan tenang...”
Wiro memandang pada Juminto. “Waktunya tidak lama lagi, saudara. Jika istrimu tidak segera ditolong maka dia benar-benar akan menemui kematian. Dan kau akan kehilangan dua orang yang sangat kau kasihi...”
“Anak muda, kau seperti orang hendak memaksakan kehendak. Kami tidak memerlukan pertolonganmu!” kata Ki Dukun Japara pula.
“Tidak ada yang memaksa, orang tua. Aku menduga-duga kau sebenarnya mengetahui apa yang dialami perempuan ini. Tapi sengaja memberi keterangan yang salah...”
“Eh! Apa maksudmu dengan ucapanmu itu!” bentak Ki Dukun Japara lalu melangkah mendekati Wiro dan berkacak pinggang dihadapan pemuda ini.
“Kau seorang dukun. Jadi kurasa kau tahu kalau istri orang ini keracunan, bukan dicekik segala macam Dedemit!”
Setelah berkata begitu Wiro memutar tubuh dan melangkah menuju ke tangga. Sesaat Juminto tampak bingung.
“Jangan percaya pemuda tak dikenal itu Juminto! Suratan Tuhan berlaku atas dirimu hari ini. Kau harus merelakan kepergian anak dan istrimu...” terdengar Ki Dukun Japara berkata.
Juminto anggukkan kepalanya. Tapi tiba-tiba dia berpaling dan berseru, “Saudara! Jika kau memang mampu mengobati istriku, tolonglah!”
Wiro yang berada dipertengahan tangga, hentikan langkahnya lalu menjawab, “Aku tidak punya kemampuan apa-apa, saudara. Semua Tuhan yang punya kuasa dan menentukan!”
Lalu Pendekar 212 naik keatas rumah punggung kembali. Langsung berlutut disamping tubuh istri Juminto Dengan jari-jari tangannya dia melakukan totokan pada pangkal leher dan pertengahan dada perempuan itu. Gerakan melejang-lejang perempuan itu serta merta berhenti. Kedua matanya masih membeliak, tapi suara erangan dari mulutnya tak terdengar lagi.
“Mati!” teriak Ki Dukun Japara. “Juminto! Apa kataku! Istrimu malah dibikinnya mati lebih cepat!”
“Bangsat kurang ajar! Penipu keparat!” teriak Juminto marah karena mengira apa yang dikatakan Ki Dukun itu benar. Kaki kanannya langsung ditendangkannya ke punggung Wiro. Namun setengah jalan dia merasa seperti ada angin yang menyambar. Kakinya yang menendang terasa tiba-tiba menjadi seberat batu besar dan mau tak mau kaki itu terhenyak turun kelantai bambu!
Ki Dukun Japara tidak tahu pasti apa yang terjadi dengan Juminto. Sementara itu dilihatnya pemuda bernama Wiro Sableng itu menekankan telapak tangan kanannya pelan-pelan diatas perut istri Juminto. Lalu tekanan itu mendadak disentakkan menjadi keras sekali. Tubuh istri Juminto seperti hendak terlipat. Saat itu terdengar suara menggeru keluar dari perutnya seperti cacing-cacing gelang dalam ususnya. Begitu suara di perut lenyap, kini berganti suara menggeru seperti orang muntah.
Dari mulut perempuan itu menyembur cairan berwarna biru kehitaman dan sangat kental. Bersamaan dengan itu kedua matanya yang tadi terus menerus membeliak, kini tampak menjadi kuyu dan kelopaknya mengendur.
Wiro membalikkan tubuh istri Juminto hingga perempuan itu kini menelungkup. Karena keadaan tubuh serta kepalanya yang menelungkup seperti itu, semakin banyak cairan biru kehitaman mengucur keluar dari mulutnya.
Pendekar 212 garuk kepalanya, mengusap peluh yang mengucur di keningnya lalu bangkit berdiri. “Saudara... Istrimu tertolong. Kalau dia siuman nanti minumkan perasan air daun sirih...”
Penuh rasa tidak percaya Juminto berlutut disamping istrinya, usapi pundak dan kening perempuan itu. Lalu dengan mata berkaca-kaca dia berkata, “Saudara, bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih...”
Wiro tersenyum. Dia tundingkan jari telunjuknya ke atas. “Jangan berterima kasih padaku. Ucapkan puji syukur pada Dia yang diatas sana...”
Juminto mengganguk. “Satu pesanku, saudara. Dan juga berlaku untukmu Ki Dukun. Sebarkan pemberitahuan kepada seluruh penduduk. Di daerah ini tak ada dedemit yang marah, tak ada dedemit yang mencekik dan menyedot nyawa manusia. Barangkali ada wabah penyakit berbahaya berjangkit disini, tetapi kecil sekali kemungkinannya. Yang kulihat kenyataannya adalah anak dan istrimu keracunan sesuatu yang sangat ganas. Mungkin racun belirang, mungkin juga racun daun beludru atau sejenis jelaga renggut jiwo. Karena itu semua orang harus berhati-hati memakan makanan dan meminum air...”
“Anak muda!” tiba-tiba Ki Dukun Japara memotong. Meskipun kau mampu menolong istri Juminto, tapi aku tidak suka kau bertindak lebih jauh. Menyuruh penduduk agar tidak percaya pada bencana yang disebabkan Dedemit Karang Gontor. Malah menyuruh Juminto untuk menyebar luaskan kabar adanya bahaya racun ganas. Kau hendak membuat penduduk tambah gelisah dan ketakutan? Saat ini saja sudah ratusan penduduk yang meninggalkan tempat kediamannya. Mengungsi ke tempat lain, menghindarkan bencana Dedemit karang Gontor...!"
“Ki Dukun... Dedemit yang kau katakan itu, dimanakah sarangnya. Biar kudatangi agar dapat kulihat rupanya!” sahut Pendekar 212 pula mulai jengkel.
“Manusia takabur! Kuharap Dedemit Karang Gontor mendengar ucapanmu tadi. Dan tunggulah nasib celaka yang bakal menimpamu...”
Baru saja Ki Dukun Japara berkata begitu tiba-tiba di bawah sana terdengar suara hiruk pikuk dan teriakan-teriakan disertai derap kaki-kaki kuda dan gemuruh roda-roda kereta serta gerobak.
Wiro berpaling, melangkah cepat ke tangga rumah panggung.dan memandang ke bawah. Hampir tak percaya dia apa yang dilihatnya. Belasan gerobak dan bendi tanpa atap berhenti di pekarangan rumah panggung. Kendaraan-kendaraan itu dipenuhi oleh sosok tubuh yang bergeletakan malang melintang. Ada orang tua, ada lelaki dan perempuan baya sedang anak-anak hampir tak terhitung jumlahnya. Wajah dan bibir mereka sangat biru. Banyak yang bergeletakan tanpa bergerak, entah pingsan entah sudah mati. Yang mengerang terdengar hampir dari semua jurusan.
Orang-orang yang mengemudikan gerobak dan bendi itu berteriak memanggil-manggil Ki Dukun Japara. Banyak diantara mereka yang menyertai rombongan itu dengan berkuda sudah melompat turun lalu menggendong satu demi satu orang-orang yang berada dalam keadaan sekarat itu seraya berseru,
Ki Dukun... Tolong... Selamatkan orang-orang ini!”
Wiro melompati anak tangga. Begitu turun di tanah dia bertanya pada orang terdekat, “Apa yang terjadi?!”
“Dedemit Karang Gontor menjatuhkan bencana di desa kami! Puluhan orang dicekik dan disedot hingga matang biru!”
“Hai! Minggirlah! Jangan menghalangi! Jangan ngobrol! Lebih baik bantu kami menurunkan orang-orang yang kena bencana itu!” seseorang berteriak.
“Ki Dukun... Ki Dukun Japara! Apa kau ada di rumah?!” terdengar lain orang berteriak memanggil.
Lalu ada suara perempuan dan anak-anak menggerung menangis ketika mengetahui suami dan ayah mereka ternyata telah menghembuskan nafas. Mau tak mau untuk sesaat Pendekar 212 jadi terkesima menyaksikan pemandangan yang terjadi di hadapannya.
“Satu desa keracunan begini! Gila! Ada sesuatu yang tidak beres...” ujar Wiro. Lalu dia melompat menghadang orang pertama yang hendak menaiki tangga sambil mendukung dua orang anak kecil sekaligus.
“Bangsat! Jangan menghalangi jalan!” teriak lelaki yang mendukung dua anak.
“Tak ada guna mencari Ki Dukun Japara. Dia tidak mampu menolong kalian! Lekas baringkan semua korban di tanah. Cari daun sirih sebanyak-banyaknya. Aku akan menolong kalian semampunya! berteriak Wiro Sableng. Lalu dalam hati dia mengeluh,
“Celaka, begini banyak yang harus kutolong Ya Tuhan, malapetaka apa sebenarnya yang terjadi ini? Mengapa begini banyak orang yang keracunan...?!”
********************
EMPAT
KERATON BARAT
Hari itu, pagi-pagi sekali Raden Mas Singaranu telah menghadap Sri Baginda Raja yang sengaja menerimanya di taman belakang Keraton karena ada masalah sangat penting yang perlu dilaporkannya. Patih tua berkumis dan berjanggut putih ini membuka pembicaraan dengan berkata,
“Keadaan dibeberapa desa di pinggiran Kotaraja semakin tidak karuan Sri Baginda. Puluhan bahkan ratusan penduduk menemui ajal secara mengenaskan. Mereka mati dalam cara yang sama yaitu kejang-kejang, muka dan bibir membiru. Sesuai petunjuk Sri Baginda orang-orang kita telah melakukan penyelidikan. Tapi hasil yang dicapai masih sangat sedikit. Sementara korban yang berjatuhan semakin banyak. Beberapa kampung malah telah lengang karena ditinggalkan penghuninya. Mereka berada dalam keadaan gelisah dan ketakutan. Hal ini memudahkan masuknya segala macam hasutan yang selama ini ditiup-tiupkan oleh Karaton di Timur. Dan celakanya, penduduk yang mengungsi itu kebanyakan justru pergi ke timur...”
“Apakah sudah diketahui sebab musabab rakyat mati dengan tubuh kejang dan muka membiru itu, Paman Patih...?” bertanya Sri Baginda.
“Ada berbagai petunjuk. Namun semuanya harus diselidiki lebih jauh. Ada petunjuk yang menyatakan bahwa apa yang dialami penduduk adalah akibat penyakit menular yang sangat berbahaya. Setelah diselidiki pendapat itu tidak betul. Lalu saya sudah memerintahkan orang-orang kita melakukan penyelidikan ke Karang Gontor. Saya bahkan mengirimkan dua orang tokoh silat Keraton kesana...”
“Karang Gontor?” mengulang Sri Baginda. “Apa perlunya penyelidikan dilakukan di tempat di pantai selatan itu?”
“Sebagian besar rakyat saat ini mempercayai kalau kematian itu berasal dari kemurkaan Dedemit penghuni Karang Gontor...”
“Kepercayaan gila!” teriak Sri Baginda. “Bagaimana mereka bisa bersikap seperti itu?!”
Patih Raden Mas Singaranu terdiam tak bisa menjawab. “Aku yakin ada yang segaja menebarkan berita kosong itu. Karang Gontor memang tempat angker.
"Tapi selama ini belum pernah ada Dedemit yang murka...”
“Saya sependapat dengan Sri Baginda. Hanya saja ditengah kepercayaan sesat itu, rakyat dicekoki pula dengan hasutan orang-orang Keraton Timur yang mengatakan bahwa melapetaka itu adalah akibat ingkar janjinya Sri Baginda untuk menyerahkan kekuasaan pada Gusti Bandoro Pangeran Harjokusumo...”
“Hasutan busuk! Fitnah jahat! Cerita sesat!” ujar Sri Baginda dengan rahang menggembung. “Kau sendiri tahu Paman Singaranu! Cerita bahwa Raja Tua pernah mengatakan aku harus turun tahta dan menyerahkan kekuasaan pada adikku Harjokusumo itu jika aku sudah berusia enam puluh tahun tak pernah ada. Isapan jempol yang dibuat-buat saja! Berapa lama umurnya manusia? Aku tak mungkin akan memerintah sampai usia seratus tahun!”
“Mungkin sekali adik Sri Baginda Pangeran Harjokusumo itu tidak sabar menunggu datangnya giliran jadi raja. Mungkin juga saat ini kurang puas kalau hanya menjadi Raja Kecil di Keraton Timur yang dianggap masih berada dibawah kekuasaan dan kewenangan Keraton Barat...
“Mungkin sekali begitu. Tapi bukankah adikku itu masih sangat muda? Dia bisa menunggu dan sementara itu banyak belajar dari pada para sesepuh Keraton. Tentang ilmu peperangan, ilmu sastra, ilmu agama, ilmu kebatinan dan kesaktian serta ilmu persilatan. Jika dia menimba ilmu sebanyak-banyaknya saat ini maka kelak tiba saatnya dia dinobatkan menjadi Raja sebagai penggantiku. dia benar-benar akan menjadi seorang Raja yang matang, arif bijaksana, memiliki ilmu dunia dan ilmu akhirat!”
Raden Mas Singaranu merenung sejenak. Lalu berkata, Jalan pikiran Sri Baginda mungkin tidak sama dengan yang dipunyai Pangeran Harjokusumo. Saya rasa dia mempunyai kekawatiran dengan lahirnya putera Sri Baginda...”
Sri Baginda geleng-geleng kepala. “Adikku itu terlalu picik. Puteraku Kanjeng Gusti Pangeran Haryo belum berusia empat puluh hari. Apa yang ditakutkannya? Bukankah tatakrama Keraton kita menjamin haknya sebagai Raja sampai puteraku itu berusia dua puluh satu tahun? Jangan jangan adikku itu mulai punya pikiran macam-macam keserakahan, gila kekuasaan...”
“Bukan itu saja Sri Baginda... Mata-mata kita pernah melihat bahwa balatentara Keraton Timur pernah mendapat petunjuk dan latihan perang-perangan dan sekelompok orang-orang seberang laut yang datang satu kapal penuh...”
Paras Sri Baginda langsung berubah. “Kalau begitu jangan-jangan Keraton Timur tengah menyiapkan satu pemberontakan. Menyiapkan makar untuk merebut tahta Kerajaan secara kekerasan...!
“Itu yang saya dan Kepala Balatentara Raden Mas Janggolo dugakan. Karena itu pula Janggolo telah memperkuat penjagaan di perbatasan...”
“Paman Patih, aku mengharap agar malapetaka yang menimpa rakyat kita cepat disingkapkan sebab musababnya. Itu tugasmu paling utama karena kekuatan kita bersumber pada rakyat. Kalau rakyat kacau, Kerajaan akan ikut kacau dan kaum penyusup, mereka yang tidak senang akan mengambil keuntungan. Tugas kedua awasi dengan ketat gerak gerik orang-orang di Keraton Timur. Kalau perlu selinap-kan seorang atau beberapa orang mata-mata langsung ke dalam Keraton!”
“Tugas akan saya jalankan Sri Baginda.” Raden Mas Singaranu bangkit dari bangku taman yang didudukinya, membungkuk dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu.
KERATON TIMUR.
Tumenggung Jalak Karso membungkuk dalam-dalam di hadapan Gusti Bandoro Pangeran Harjokusumo lalu berkata, “Ada kabar penting yang perlu saya beritahukan pada Sri Baginda.”
Pangeran Harjokusumo lalu memberi isyarat pada permaisuri yang duduk disampingnya agar masuk ke ruangan dalam. Setelah hanya tinggal mereka berdua saja ditempat itu maka sang Tumenggung baru membuka mulut.
“Rakyat di Barat berada dalam keadaan gelisah ketakutan. Ratusan orang menemui ajal secara aneh. Muka dan bibir biru, mata mendelik dan tubuh kejang kaku. Mereka mempercayai bahwa itu adalah akibat kemurkaan Dedemit penghuni Karang Gontor. Banyak pengungsi yang terpaksa ditampung di desa-desa sekitar perbatasan...”
Pangeran Harjokusumo, Raja Kecil di Keraton wilayah Timur termenung sesaat lalu berucap, “Ya...apa yang harus kukatakan. Kakakku yang berkuasa di Barat tidak baik hubungannya dengan kita disini. Aku cuma bisa merasa kasihan. Mungkin apa yang terjadi disana merupakan satu kutukan atas keingkarannya terhadap pesan Raja Tua.” Sang Raja diam sejenak lalu bertanya, “Apa keluarga Keraton ada yang turut menjadi korban?”
“Sebegitu jauh dari beberapa keluarga abdi dalem telah ikut jadi korban...” menerangkan Jalak Karso.
"Tumenggung, walau kita prihatin atas apa yang terjadi di Barat, namun itu adalah urusan orang-orang disana. Mereka punya Raja yang tentunya akan bertindak melakukan sesuatu Kita di Timur ini harus selalu waspada. Pasukan disekitar perbatasan harus lebih meningkatkan penjagaan. Mengenai para pengungsi biarkan mereka masuk dan menetap di wilayah kita. Tapi mereka harus tunduk pada peraturan dan perintah kita. Kelak jika tenaga mereka diperlukan untuk diambil sebagai prajurit, mereka harus siap tempur. Kalau tidak sebaiknya pagi-pagi mereka diusir masuk kembali ke Barat...’
"Saya mengerti Sri Baginda. Saya akan meneruskan perintah ini pada seluruh jajaran pasukan kata Tumenggung Jalak Karso."
Bagaimana dengan latihan ketentaraan? Apakah ada kemajuan...?
Banyak sekali Sri Baginda Daium waktu satu bulan dimuka segala sesuatunya akan rampung dan para pelatih itu bisa meninggalkan kita...”
Satu bulan terlalu lama Tumenggung. Sesuatu bisa terjadi secara cepat. Apalagi saat ini seperti yanq kau laporkan tengah terjadi kekacauan di kalangan penduduk wilayah Baiat Katakan pada pucuk pimpinan pelatih agar jadwal latihan dapat diselesai dalam waktu tiga minggu dimuka
“Akan saya sampaikan Sri Baginda.” Lalu Tumenggung Jalak Karso menjura dalam-dalam dan berlalu dari hadapan Pangeran Harjokusumo.
********************
LIMA
Rumah panggung Ki Dukun Japara nampak gelap gulita. Di kolong rumah mendekam sosok tubuh hampir tak bergerak. Sikapnya seperti orang bersamadi. Namun ternyata sosok ini sengaja duduk tak bergerak di atas sebuah kayu potongan batang pohon. Dia bukan lain adalah Ki Dukun Japara sendiri. Dia tengah menunggu kedatangan seseorang.
Malam berlalu dengan cepat. Dingin dan sunyi. Dikejauhan terdengar salak anjing. Sejak beberapa hari belakangan ini tak ada lagi penduduk yang datang untuk minta pertolongan karena memang semua penghuni desa dan kampung sekitar situ sudah meninggalkan tempat kediaman masing-masing tanpa dapat dicegah.
Kematian aneh yang berturut-turut dialami oleh keluarga mereka membuat penduduk menjadi sangat takut untuk menetap lebih lama. Lagi pula sebagian besar penduduk disitu sudah mengetahui bahwa dalam menghadapi malapetaka kematian aneh itu Ki Dukun tidak mampu memberikan pertolongan.
Di kejauhan kembali terdengar salakan anjing. Sunyi kembali. Lalu lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda. Makin lama makin keras tanda makin dekat. Tak lama kemudian sosok kuda bersama penunggangnya muncul memasuki pekarangan rumah Ki Dukun Japara. Orang tua bermata juling ini cepat bangkit berdiri dan menyongsong kedatangan si penunggang kuda, yang saat itu telah berhenti sejarak sepuluh langkah dibawah bayang-bayang gelap pohon besar disamping rumah panggung.
“Saya menunggu petunjukmu lebih lanjut, Ki Sanak...” berkata Ki Dukun Japara begitu sampai di hadapan si penunggang kuda yang berpakaian serba hitam dan ternyata menutup kepalanya dengan sehelai kain hitam hingga hanya sepasang matanya saja yang kelihatan.
“Apakah kau menjalankan tugasmu dengan baik Ki Dukun Japara?” Orang diatas kuda bertanya dengan suara datar.
“Sesuai permintaan Ki Sanak tempo hari, semua sudah saya lakukan...”
“Berapa korban yang kau dapat...?”
“Keseluruhannya seharusnya dua ratus sembilan belas orang. Namun tiga puluh dua orang diselamatkan dan dapat hidup kembali...”
Sepasang mata penunggang kuda nampak membeliak. “Apa maksudmu tiga puluh orang diselamatkan dan hidup kembali?!” Suara orang yang wajahnya tidak kelihatan itu menyentak dan berubah galak.
“Sesuatu terjadi empat malam lalu,” menerangkan Ki Dukun Japara. “Ada sekitar lima lusin penduduk datang kemari untuk minta pertolongan. Seperti petunjukmu, saya mengatakan tak bisa menolong karena ini adalah perbuatan Dedemit Karang Gontor yang tengah murka. Namun saat itu tiba-tiba saja muncul seorang pemuda tak dikenal yang mampu menolong lebih dari separoh korban yang berdatangan kemari...”
“Siapa adanya pemuda itu?!”
“Saya tidak mengenal sebelumnya. Dia mengaku orang gunung. Bernama Wiro Sableng...”
“Kau melakukan kesalahan besar Ki Dukun...!” Orang di atas kuda mendengus.
“Ke...kesalahan apa yang saya buat Ki Sanak?” tanya Ki Dukun Japara dengan suara tercekat.
“Mengapa kau biarkan orang itu memberikan pertolongan?!”
“Saya sudah berusaha mencegahnya Ki Sanak, namun dia bertindak cepat sekali. Dan celakanya keluarga para korban ikut membantu...”
“Jelaskan bagaimana caranya pemuda itu memberikan pertolongan? Apa dia membawa obat atau apa...?”
“Mula-mula dia menotok tubuh para korban di beberapa bagian. Lalu menekan bagian perut hingga korban siuman dan memuntahkan ludah hitam pekat. Setelah itu dia memberikan air perasan daun sirih...!”
“Menotok! Memberi minuman air sirih! Dan kau diamkan saja melakukan itu!”
“Saya mencegahnya Ki Sanak. Tapi tak berhasil. Lagi pula saat itu si pemuda tampaknya mulai curiga pada saya. Dia banyak bertanya pada orang-orang yang ditolongnya. Dan dia mengatakan bahwa apa yang dialami orang-orang itu bukan karena dicekik atau disedot dedemit, melainkan karena keracunan!”
“Ki Dukun Japara...” Suara orang diatas kuda bergetar menahan amarah. “Kau harus mencari pemuda itu dan membunuhnya! Kau harus melakukan hal itu dalam waktu tujuh hari! Kalau tidak lidahmu terpaksa kucabut agar kau tidak bisa membuka mulut! Itu yang paling ringan hukuman bagimu. Jangan kira aku tidak mau menebas batang lehermu!”
Ki Dukun Japara tertunduk dan lututnya terasa goyah.
“Apakah kau telah mendapatkan para pembantu seperti yang kuperintahkan tempo hari...?” Orang diatas kuda bertanya.
“Sudah Ki Sanak, Saya mendapatkan tiga orang. Mereka telah menyebar kemana-mana...”
“Tiga orang masih kurang. Paling tidak kau harus mendapatkan sepuluh orang. Dan masing-masing satu dari sepuluh itu harus mendapatkan lagi paling tidak lima pembantu! Kau mengerti Ki Dukun Japara?!”
“Saya mengerti Ki Sanak...” jawab orang tua bermata juling itu.
Dari kantong besar di pelana kudanya orang berpakaian serba hitam mengeluarkan sebuah kantong kain yang tampak berat lalu melemparkan di depan kaki Ki Dukun Japara. “Itu bekal tugasmu yang baru. Bagikan pada semua pembantumu. Mulai saat ini gerakan kalian bukan hanya di pinggiran Kotaraja, bukan cuma di desa-desa atau di kampung-kampung, tapi harus menyusup ke dalam Kotaraja. Dan jika kau mampu masuk ke dalam Keraton di Barat, imbalan bagimu akan kulipat gandakan sampai lima kali!”
Ki Dukun Japara tak berani menjawab karena dia tahu adalah mustahil baginya menyusup ke dalam Keraton melakukan apa yang diinginkan orang itu.
Dari balik pakaiannya si penunggang kuda mengeluarkan sebuah kantong kecil yang ketika dipegang terdengar mengeluarkan suara berdering.
“Karena telah membuat kesalahan, imbalanmu kali ini hanya sepertiga dari yang dijanjikan. Itu masih lebih baik dari pada kau menerima hukuman!”
Kantong kain kecil berisi uang itu dilemparkan ke muka Ki Dukun Japara. Karena tak berani menyambuti, kantong, itu jatuh ke tanah. Ketika si penunggang kuda hendak berlalu, Ki Dukun Japara beranikan diri membuka mulut.
“Ki Sanak, aku mengulangi lagi pertanyaanku tempo hari. Siapakah kau ini sebenarnya...?!”
“Ki Dukun Japara, jika aku datang sekali lagi dan kau berani mengulangi pertanyaan itu kembali, maka hanya ada satu hukuman bagimu. Mampus!”
Habis berkata begitu orang berpakaian serba hitam yang wajahnya tersembunyi dibalik kain hentakkan Tali kekang kudanya. Binatang itu menghambur ke depan, menyerempet Ki Dukun Japara hingga orang tua itu terpelanting dan jatuh jungkir balik di tanah. Ketika dengan kesakitan dia berusaha bangkit si penunggang kuda sudah lenyap.
Tertatih-tatih Ki Dukun Japara mengambil kantong besar dan kantong kecil berisi uang. Sesaat dia tertegak diam. Lalu kantong uang dimasukkannya ke balik pinggang pakaian. Dengan tangan gemetar dia kemudian membuka ikatan kantong kain yang besar. Meskipun halaman itu gelap namun benda yang ada di dalam kantong, berupa bubuk putih kelabu nampak berkilauan.
“Bubuk racun celaka...” desis Ki Dukun Japara.
“Ah, mengapa aku jadi terlibat dalam urusan jahanam ini...” Dia menghela nafas panjang berulang kali. Namun disadarinya tak ada gunanya menyesal. Ratusan rakyat yang tidak berdosa telah jadi korbannya dan para pembantunya!
********************
ENAM
Angin laut selatan bertiup kencang dari arah teluk. Menerpa ke daratan, melewati pucuk-pucuk pepohonan kelapa lalu menghantam bukit batu yang menghitam angker dalam kegelapan malam. Di atas bukit batu paling tinggi tampak sebuah batu karang besar. Selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun batu karang itu tegak menjulang di tempat tersebut, dikikis angin setiap saat, diterpa panas pada siang hari, dihantam hujan, sehingga akhirnya secara aneh alam membentuk batu karang itu menyerupai seorang lelaki memakai caping dan duduk menghadap ke laut.
Ombak di teluk selalu besar dan deras sepanjang tahun. Itu sebabnya tak kelihatan sebuahpun rumah penduduk disitu. Bagian teluk yang hanya dipenuhi oleh bebukitan batu itu membuat hampir tak ada orang yang datang kesitu. Bukan saja karena memang sulit untuk mendaki bukit batu tersebut, namun juga disebabkan oleh tersiarnya cerita bahwa daerah tersebut adalah tempat bercokol atau sarangnya dedemit. Penduduk menyebut bukit itu dengan nama Karang Gontor dan dengan sendirinya dedemit yang menghuninya disebut juga Dedemit Karang Gontor.
Walau tadi dikatakan Karang Gontor hampir tak pernah didatangi manusia, namun adalah satu keluar kebiasaan kalau hari Kamis malam Jum’at Kliwon itu tampak dua penunggang kuda melesat diatas kuda masing-masing menuju kaki bukit. Disalah satu bagian bukit mereka meninggalkan tunggangan mereka lalu meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Dan arah yang mereka tuju adalah justru puncak bukit tertinggi. Puncak Karang Gontor!
Melihat pada cara mereka mendaki bukit batu yang setengah berlari, jelas kedua orang itu memiliki ilmu lari serta ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Ketika bulan di langit muncul dibalik awan kelabu, wajah kedua orang itu kelihatan lebih jelas. Ternyata mereka adalah dua orang tua lanjut usia yang telah sama-sama berambut putih. Yang satu memakai pakaian ringkas berwarna biru muda. Satunya lagi biru gelap dan membawa sebuah bungkusan.
Ketika kembali rembulan disaput awan dan keadaan di Seantero bukit batu menjadi gelap. Dua orang tua itu mempercepat lari masing-masing hingga tak berapa lama kemudian keduanya sampai di puncak bukit batu dimana terdapat batu karang tinggi besar berbentuk orang duduk memakai caping.
Terpaan angin keras sekali dan dingin bukan main. Tapi dua orang tua itu tenang-tenang saja. Pakaian dan rambut putih mereka tampak berkibar-kibar. Untuk beberapa lamanya mereka memandangi batu karang besar di depan mereka. Lalu memandang berkeliling.
Orang tua di sebelah kanan, yang berpakaian biru muda memandang ke arah teluk. Laut tampak hitam dalam kegelapan. Ombak besar mendebur keras diatas pasir teluk. Orang tua ini berpaling pada kawan disampingnya lalu bertanya,
“Bagaimana, bisa kita mulai...?
“Sebaiknya kita mulai saja. Agar cepat selesai dan kembali ke Kotaraja...”
“Terus terang aku menyangsikan adanya mahluk halus yang mendekam di sini. Kalau bukan Sri Baginda yang memerintahkan, jangan harap aku mau melaksanakannya!”
“Apa yang kau katakan juga merupakan pendapatku, Suro Markum,” menyahuti kakek satunya. Lalu orang tua berpakaian biru gelap ini membuka bungkusan yang dibawanya. Isinya ternyata sebuah pendupaan lengkap dengan arangnya. Pendupaan itu diletakkannya di atas batu, tepat di hadapan batu karang besar tinggi.
Lalu dibantu oleh kawannya, dengan susah payah dia mulai menyalakan arang di dalam potong arang dapat dibakar hidup. Potongan arang yang telah hidup merembet membakar potongan-potongan arang lainnya hingga kesudahannya seluruh arang dalam pendupaan itu menyala terang.
Dari dalam saku pakaiannya orang tua bernama Suro Markum mengeluarkan sebongkah kemenyan. Benda ini diremasnya hingga menjadi kepingan-kepingan kecil lalu dengan mulut komat kamit membacakan sesuatu, hancuran kemenyan itu ditebarkannya diatas bara yang menyala. Sekejapan saja Seantero puncak Karang Gontor itu telah tenggelam dalam bau kemenyan hingga suasana ditempat itu menjadi terasa sangat angker.
Orang tua bernama Suro Markum berbisik pada kawannya “Tapak Jingga, kau membaca doa pertama dan ketiga, aku doa kedua dan ke empat. Lalu-kita sama-sama mengakhiri dengan doa kelima...”
Orang tua bernama Tapak Jingga mengangguk. Lalu dua orang itu duduk bersila di atas batu, letakkan tangan diatas ujung lutut dengan tapak membuka menghadap ke atas. Masing-masing sama memejamkan mata dan Tapak Jingga mulai melaratkan doa pertama. Selesai doa kelima yang dibacakan bersama-sama Suro Markum angkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas dan mulutnya menyerukan kalimat demi kalimat.
“Penghuni Karang Gontor... Siapapun engkau adanya, mahluk gaib atau mahluk halus, kami berdua Suro Markum dan Tapak Jingga datang membawa salam persahabatan. Jika kau memang mahluk yang disebut Dedemit Karang Gontor maka ketahuilah, kedatangan kami kemari bukan untuk mengganggumu. Kami diutus oleh Sri Baginda Raja untuk menyampaikan pesan, agar kau Dedemit Karang Gontor sudilah untuk tidak lagi mengganggu rakyat Kerajaan. Jika selama ini ada hal-hal yang tidak berkenaan dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, kami mohon maafmu. Kami datang membawa kembang tujuh rupa, telur ayam tujuh butir, madu tujuh mangkuk dan rokok putih tujuh batang..."
Lalu dari bungkusan yang tadi dibawa Tapak Jingga dikeluarkan benda-benda yang disebutkan itu, diletakkan diatas daun beralaskan kain putih dan dikembangkan di atas batu. Suro Markum memberi isyarat pada kawannya. Tapak Jingga lalu mengangkat tangan dan meneruskan kata-kata Suro Markum tadi.
“Dedemit Karang Gontor, Raja kami percaya bahwa kau adalah sahabat Sri Baginda dan Kerajaan. Kami semua percaya kau tidak akan mengganggu lagi rakyat. Kerajaan dengan kematian-kematian aneh itu. Kami minta diri sekarang...”
ketika kedua orang tua itu bersiap-siap untuk bangkit, tiba-tiba ada suara menderu disertai sesuatu yang melesat ke arah pendupaan. Lalu...
"Wuusss! Bara menyala di atas pendupaan padam dan asap mengepul!
“Ada yang menyiramkan air...!” bisik Tapak Jingga dengan suara kelu.
Baik dia maupun kawannya menjadi sama-sama pucat saking kagetnya. “Cerita tentang Dedemit Karang Gontor ternyata bukan isapan jempol belaka...Mahluk itu benar-benar ada!” balas berbisik Suro Markum.
Tengkuk kedua orang tua itu serta merta menjadi dingin! Saat itulah terdengar suara tawa mengekeh dari balik batu karang tinggi besar. Bukan suara tawa mengekeh biasa, karena jelas bukit batu itu terasa bergetar! Makin pucatlah wajah kedua orang tua utusan Sri Baginda itu. Tapak Jingga seperti hendak terkencing di celananya!
“Dedemit Karang Gontor...Rupanya...rupanya kau ada disini. Kau tentu telah mendengar kata-kata kami tadi. Kami datang sebagai sahabat...” berkata Suro Markum.
“Be... benar... Kami datang membawa salam persahabatan dari Sri Baginda...” menimpali Tapak Jingga.
Tawa mengekeh dari balik batu karang besar semakin keras.-Makin keras lalu tiba-tiba lenyap. “Berganti dengan suara membentak yang membahana diantara deru angih dari teluk.
“Dua tua bangka tolol! Sejak kapan Dedemit Karang Gontor doyan makan kembang...!"
Tapak Jingga dan Suro Markum saling pandang dengan muka pucat. “Lekas kau jawab...” bisik Tapak Jingga.
“Dedemit Karang Gontor, harap dimaafkan. Kembang tujuh rupa itu kami bawa memang bukan untuk dimakan”
“Tolol!” terdengar suara memaki dari balik batu. “Lalu telur ayam mentah itu, apa kau kira aku Dedemit Karang Gontor suka makan telur mentah? Kenapa tidak kalian rebus atau goreng lebih dahutu sebelum dibawa kemari?! Tolol!”
“Mohon kami dimaafkan Dedemit...” kata Suro Markum ketakutan.
“Tujuh mangkuk madu racun itu buat apa?! Tolol! Kalian kira aku Dedemit Karang Gontor doyan makan madu tanpa roti?! Tolol!”
“Maafkan kami Dedemit Karang Gontor...” kini Tapak Jingga yang bicara.
“Rokok putih sebesar lidi itu untuk apa? Untuk mengorek telingaku? Tolol! Kalian seharusnya membawa serutu besar! Bukan rokok putih kecil! Biar kusumpalkan tujuh batang rokok itu ke mata kalian!”
“Maafkan kami Dedemit Karang Gontor!” seru Tapak Jingga dan Suro Markum berbarengan seraya beringsut mundur. Masing-masing sama alirkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan. Jika mahluk itu benar-benar hendak mencelakai mereka, tak ada jalan lain. Melawan sebelum dibikin konyol!
“Dua tua bangka tolol” Malam ini aku masih mau mengampunkan tindak-tanduk kalian. Tapi dengan satu syarat. Kalian telan habis semua persembahan yang kalian bawa itu. Kembang, rokok, madu dan telur! Lakukan cepat! Kalau tidak kalian berdua tak akan kembali lagi ke Kotaraja!”
“Celaka kita Suro...” bisik Tapak Jingga.
Suro Markum memberanikan diri berkata, “Kami akan lakukan apa yang kau perintahkan Dedemit Karang Gontor. Madu dan telur akan kami makan habis. Tapi mohon maafmu. Mana mungkin kami menelan rokok dan kembang itu!”
“Kalau begitu biar tubuh kalian berdua yang akan kutelan. Daging kalian pasti sudah alot! Tapi malam-malam lapar dan dingin begini lebih baik dari pada makan angin...”
Terdengar suara tawa mengekeh. Kembali bukit karang itu bergetar. Lalu terdengar suara bergemeletakan seperti suara geraham yang saling bergeseran satu sama lain. Menyusul suara menggeram macam ada harimau yang hendak menerkam!
“Dedemit Karang Gontor!” pekik Tapak Jingga. “Jangan telan kami... Kami akan lakukan apa yang kau katakan...”
Lalu orang tua ini cepat menyambar mangkuk madu. Suro Markum mengikuti apa yang dilakukan kawannya. Satu demi satu madu dalam mangkok mereka minum. Setelah habis mereka lalu pecahkan tujuh butir telur dan telan isinya. Kini tinggal kembang dan rokok!
Dari balik batu karang terdengar suara keras, “Bagus! Sekarang lekas telan kembang lalu rokok itu! Berani membangkang kucabik tubuh kalian!”
Karena benar-benar ketakutan setengah mati Suro Markum dan Tapak Jingga langsung meraup kembang dan menyumpalkannya ke mulut masing-masing. Baru sekali mereka mengunyah dari balik batu karang besar terdengar suara tertawa bergelak. Suara tawa kali ini sangat lain dengan suara mengekeh tadi. Suara tawa yang mereka dengar kini adalah suara tawa manusia!
Bersamaan dengan itu dari balik batu karang muncul sesosok tubuh! Suro Markum dan Tapak Jingga semburkan kembang tujuh rupa yang barusan hendak mereka telan. Memandang tajam-tajam kedepan. Setelah pasti sekali bahwa sosok tubuh yang melangkah sambil tertawa ke hadapan mereka itu adalah manusia biasa adanya, maka membentaklah kedua orang tua ini dengan marah.
“Bangsat siapa kau?!”
TUJUH
Yang dibentak kembali tertawa bergelak. Sementara Tapak Jingga dan Suro Markum memandang dengan mata berapi-api.
“Seperti yang kalian lihat sendiri!” berkata orang yang muncul dari balik batu karang besar. “Aku manusia biasa seperti kalian. Bukan mahluk halus atau mahluk gaib. Bukan pula Dedemit Karang Gontor yang barusan sesajennya kalian lahap! Ha ha ha...!”
Sebagai dua orang tokoh silat istana, walaupun dari tingkat ke tiga, bukan saja dua orang tua itu menjadi sangat malu, namun sekaligus juga menjadi sangat marah karena merasa dipermainkan!
“Anak muda! Kau telah lancang mempermainkan kami! Bersiaplah untuk menerima pembalasan!” teriak Tapak Jingga. Lalu dia melompat ke arah si pemuda dan menghantam dengan tangan kanannya. Suro Markum tidak tinggal diam. Dia menghambur sambil lepaskan satu jotosan!
Dua serangan itu ternyata bukan serangan biasa. Tapi yang bisa membawa risiko kematian. Karena Tapak Jingga menghantam ke arah dada di bagian jantung sedang Suro Markum menggebuk ke arah batok kepala!
“Sabar! Tunggu dulu!” berseru si pemuda. Lalu dengan gerakan aneh, seperti orang mabok terhuyung-huyung dia sudah berpindah tempat, menjauh beberapa tombak. Dua serangan tadi hanya sempat melabrak tempat kosong!
Inilah ilmu silat Orang Gila ciptaan kakek sakti bernama Tua Gila yang merupakan salah seorang datuk silat di pulau Andalas. Ketika berkelana di pulau itu murid Sinto Gendeng sempat bertemu dengan Tua Gila bahkan menerima beberapa jurus utama ilmu silat Orang Gila tersebut. Dalam perkelahian di tempat sempit seperti di puncak bukit karang itu, ilmu silat ini sangat cocok dipakai menghadapi lawan!
Kini kagetlah kedua orang tua itu melihat bagaimana serangan mereka mampu dielakkan lawan dengan gerakan seperti acuh tak acuh saja!
“Kalian berdua dengar dulu!” kembali si pemuda berseru. “Jika kalian berdua memang orang-orang Kerajaan maka kita adalah orang satu golongan! Kenapa ribut-ribut harus berkelahi?!”
“Kami tidak mengenal manusia kurang ajar sepertimu! Apalagi merasa satu golongan!” bentak Suro Markum. Lalu dia berkata pada kawannya. “Tapak Jingga, mari kita bunuh pemuda kurang ajar ini biar rohnya benar-benar jadi dedemit di tempat ini!”
“Walah! Kalau aku jadi dedemit, kalian berdualah yang akan kucari lebih dulu! Kusedot ubun-ubunnya sampai mampus dengan muka biru mata mendelik!"
Suro Markam dan Tapak Jingga yang kembali hendak menyerbu menjadi terkejut dan seseat hentikan serangan mereka.
“Tapak Jingga... Kelihatannya pemuda ini ada sangkut pautnya dengan kematian aneh ratusan rakyat di Kerajaan!”
“Jangan-jangan dialah yang menjadi pangkal bahalanya!” menyahuti Tapak Jingga.
“Pemuda kurang ajar! sebelum nyawamu lepas dan bangkaimu kami buang ke teluk di bawah sana, lekas katakan siapa dirimu. Apa sangkut pautmu dengan kematian aneh penduduk Kerajaan!”
Si pemuda tertawa lebar mendengar bentakan Suro Markum itu. “Aku tidak punya sangkut paut dengan kematian rakyat Kerajaan itu!” jawabnya.
“Beri tahu namamu! Juga gelar kalau kau memilikinya! menghardik Tapak Jingga.
“Namaku Wiro Sableng. Orang sableng macamku tentu saja tidak memiliki gelar!” jawab si pemuda yang ternyata adalah murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
“Pemuda konyol kurang ajar! Jika kau tidak ada sangkut paut dengan malapetaka aneh di Kerajaan, mengapa kau mengetahuinya dan ada keperluan apa kau berada di Karang Gontor ini?!”
“Aku kesini untuk menyelidiki hal ihwal dedemit itu. Tapi caranya tidak sama dengan kalian. Kalian berdua memulai dengan dasar mempercayai bahwa mahluk bernama Dedemit Karang Gontor itu memang ada! Sedang aku untuk membuktikan bahwa mahluk itu sama sekali tidak ada, sekaligus untuk menyelidiki siapa sebenarnya yang menjadi biang keladi, bersembunyi dibalik sandiwara maut ini!”
“Siapa percaya ucapanmu!” bentak Tapak Jingga.
“Siapa minta kau percaya ucapanku!” tukas Pendekar 212 pula. “Dua tokoh silat istana mau-mauan percaya pada dedemit, mengantar sesajen segala, berdoa yang bukan-bukan! Kalau kusebut kalian berdua tolol apakah salah?!”
Merah padam wajah kedua orang tua itu. Karena tak sanggup menahan marah, keduanya kembali menyerbu Wiro. Kembali pendekar itu keluarkan jurus-jurus silat Tua Gila. Tubuhnya sempoyongan, berputar-putar, kadang-kadang berjingkrak kian kemari! Dan semua gerakan aneh serta lucu yang dibuat oleh Wiro selalu berhasil mengelakkan keroyokan serangan dua tokoh silat Kerajaan itu!
Sebelas jurus menyerang terus tanpa hasil lalu lima jurus lagi dan tetap tak berhasil, Suro Markum dan Tapak Jingga saling memberi isyarat. Keduanya keluarkan suitan keras dan dikejapan itu juga tubuh mereka seolah lenyap ditelan kegelapan.
Walau kini kehilangan kedua lawannya namun sepasang telingnga Pendekar 212 dapat mendengar siuran-siuran angin disekitarnya pertanda bahwa dua lawan itu masih ada disitu dan terus menyerangnya. Wiro lindungi diri dengan lepaskan terus rnenerus pukulan sakti bernama Benteng Angin Berhembus Tindih Menindih. Deru angin menggelegar di puncak bukit karang itu.
Dua tokoh silat istana sama terkejut ketika setiap kali berusaha mendekat untuk melancarkan serangan, tubuh mereka terpental disapu oleh angin pukulan lawan!
Sambil berteriak marah Suro Markum dan Tapak Jingga perlihatkan kembali sosok tubuh mereka. Keduanya tidak menyangka ilmu lenyap selaksa yang barusan mereka keluarkan begitu mudah dipatahkan lawan hingga terpaksa keduanya memperlihatkan diri kembali dan lanjutkan serangan-serangan. Jurus-jurus yang mereka pergunakan kali ini adalah jurus serangan berantai yang dilancarkan sambil memutari lawan.
Di tempat sempit seperti di atas bukit,karang tersebut, jurus-jurus serangan ini memang ampuh karena sedikit demi sedikit mereka memperciut lingkaran serangan dan akhirnya Pendekar 212 terjepit di tengah-tengah!
Beberapa kali serangan lawan mulai menyengat menghajar murid sinto Gendeng. Sambil menahan sakit Wiro bergerak menuju pinggiran pedataran batu sebelah kanan. Begitu dia sampai di pinggiran batu, serta merta dua penyerang tak bisa lagi mengelilinginya, kecuali mau jatuh ke teluk dibawah sana!
Suro Markum memaki melihat kecerdikan pemuda ini. Mau tak mau dia dan Tapak Jingga harus berkelahi lagi secara berhadap-hadapan. Namun baik Tapak Jingga maupun Suro Markum mereka kini melihat adanya peluang untuk mencelakakan lawan. Sekalipun mereka sulit untuk menggebuk langsung, asal mereka bisa menggeser kedudukan kedua kaki Wiro ke belakang, maka pemuda itu tak ampun lagi akan jatuh ke dasar teluk!
Itulah sebabnya kini kedua tokoh silat istana itu melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah kedua kaki Wiro. Berulang kali Pendekar 212 harus melompat ke atas sambil membagi serangan balasan pada kedua penyerangnya. Tapi dua orang itu selalu berhasil mengelak bahkan terus menyerbu tak mau memberi kesempatan bagi Wiro untuk dapat menyingkir dari tepi bukit batu.
“Edan, tadi aku mengharap bisa lepas dari serangan melingkar dan menjepit. Kini malah keadaanku tambah berbahaya!” memaki Wiro dalam hati.
Sambil melayani dengan hati-hati serangan dua lawan, Wiro memutar otaknya. Dia sebenarnya tidak ada silang sengketa dengan dua orang tokoh silat istana itu. Tidak ada gunanya melepaskan pukulan-pukulan sakti seperti pukulan Sinar Matahari. Namun jika dia terdesak terus dan tak sanggup keluar dari pinggir bukit batu itu, lambat laun dia pasti kena gebuk atau tergelincir jatuh!
Setelah memutar otak beberapa lama, tiba-tiba Wiro keluarkan bentakan keras. Meskipun dua lawan berpengalaman itu tidak terpengaruh oleh bentakan itu, Wiro teruskan apa yang direncanakannya. Secepat kilat dia jatuhkan diri di pinggiran bukit batu. Bersamaan dengan jatuhnya tubuhnya kebawah, Wiro menelikung kedua kaki Suro Markum dengan tangan kiri sedang kakinya menjepit salah satu kaki Tapak Jingga.
Dua orang itu terkejut ketika tubuh mereka tertarik ke pinggiran bukit batu. Selagi mereka berusaha melepaskan diri. Wiro sudah lebih dulu menotok tubuh Suro Markum hingga orang tua ini jatuh tak berkutik dalam kempitan tangan kirinya. Sebagian tubuh Suro Markum berada diatas batu, sebagiannya lagi yaitu sebatas pinggang ke atas tergantung diatas teluk!
Tentu saja orang tua ini ketakutan setengah mati kalau dirinya dalam keadaan tertotok kaku itu sempat jatuh ke arah batu-batu karang dibawah sana!
Tapak Jingga berhasil lepaskan dirinya dari jepitan kaki Wiro dan siap menghujamkan satu tendangan ke arah bawah perut pendekar itu. Namun orang ini batalkan serangannya. Meskipun dia sempat menciderai Wiro, belum tentu dia bisa menyelamatkan kawannya. Sekali tubuh Wiro mencelat dihantam tendangannya, maka Suro Markum yang ada dalam jepitan tangan kiri Wiro akan ikut mencelat jatuh ke bawah teluk!
Melihat lawan ragu, kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk balikkan tubuh lalu berdiri dengan cepat. Ketika berdiri, tubuh kaku Suro Markum sudah berada di bahu kanannya!
“Tapak Jingga! Sedikit saja kau bergerak hendak menyerangku, kulempar tubuh kawanmu ini ke batu-batu karang dibawah teluk!”
“Manusia licik” maki Tapak Jingga.
Wiro tertawa lebar. “Sekali-kali perlu kelicikan dalam hidup ini! Apa kau dan kawanmu tidak merasa licik? Sebagai tokoh silat istana mengeroyok seorang lawan?!”
Tapak Jingga tidak menjawab. Hanya mukanya saja yang jadi merah dalam kegelapan. Pendekar 212 perlahan-lahan turunkan tubuh kaku dan bisu Suro Markum. Bagitu kedua kaki Suro menginjak tanah, Wiro lepaskan totokan ditubuh orang tua itu lalu mendorongnya kuat-kuat ke arah kawannya. Tapak Jingga cepat menahan tubuh Suro Markum.
“Kau tak apa-apa Suro...?”
“Aku tidak cidera. Siapa sebenarnya pemuda itu? Ilmu silatnya aneh. Kalau dia mau tadi dia bisa melemparkanku ke jurang batu di bawah teluk...” kata Suro Markum pula.
“Aku berniat menyerangnya lagi. Kita belum mencoba jurus-jurus ilmu silat selusin tangan besi...” menyahuti Tapak Jingga.
“Aku tak punya selera lagi meneruskan perkelahian ini Tapak Jingga, lagi pula aku punya firasat, kita berdua belum tentu mampu mengalahkan pemuda gondrong itu...”
“Kalau begitu sebaiknya kita tinggalkan bukit Karang Gontor ini! Aku tidak mau pemuda sableng itu mengejek dan mempermainkan kita seperti tadi!”
Tapak Jingga memberi isyarat pada kawannya. Tapi Suro Markum tetap berdiri di tempatnya bahkan menegur Pendekar 212.
“Anak muda, siapa kau sebenarnya? Tadi kau menyebut sebagai orang segolongan dengan kami. Apa maksudmu...?”
“Bukankah kalian tengah menyelidiki perkara malapetaka kematian begitu banyak penduduk yang terjadi akhir-akhir ini...?”
Tapak Jingga dan Suro Markum sama mengiyakan.
“Nah akupun melakukan hal yang sama. Penyelidikanku memberi kenyataan bahwa semua korban yang mati biru itu bukan karena dicekik atau disedot dedemit. Tapi semua mati keracunan!”
“Keracunan?!” mengulang Suro Markum.
“Ada orang yang sengaja meracun. Entah makanan atau minuman mereka. Karena Dedemit Karang Gontor disebut-sebut dan dikaitkan dengan peristiwa ini maka aku menyelidik sampai disini. Ternyata aku tidak menemukan apa-apa. Kecuali kalian berdua yang mula-mula sempat kusangka kaki tangan dedemit itu!”
“Jika rakyat yang mati memang adalah korban keracunan seperti katamu, ini adalah satu hal aneh luar biasa!” ujar Suro Markum. “Pertama, siapa yang mau-mauan, begitu tega meracuni rakyat? Kedua apa maksud mereka...melakukan peracunan...?”
“Kutambahkan satu pertanyaan lagi!” menyambung Wiro. “Di Kotaraja dan di Keraton begitu banyak ahli pengobatan. Mengapa tak satu orangpun mengetahui dan mengatakan bahwa korban adalah akibat keracunan, bukan dibunuh oleh dedemit!”
Mendengar kata-kata Wiro itu Suro Markum dan Tapak Jingga jadi saling pandang. “Pemuda ini benar, Tapak Jingga. Ada yang tidak beres di Kotaraja. Kita harus cepat kembali...” bisik Suro Markum pada kawannya. Lalu dia berpaling pada Wiro. “Anak muda, malam ini kami yang tua mendapat pelajaran berguna darimu. Kami tidak akan melupakan hal ini. Kami berharap dapat berjumpa denganmu di lain kesempatan...”
“Kalau boleh aku bertanya, untuk siapakah kau bekerja melakukan penyelidikan?” tanya Tapak Jingga.
“Untuk orang-orang yang jadi korban itu. Untuk kebenaran...!” jawab Wiro lalu memutar diri dan tinggalkan kedua erang tua itu lebih dahulu.
DELAPAN
Hujan gerimis turun bersamaan dengan lenyapnya rembulan dibalik awan tebal. Udara dingin mencucuk tulang dan kesunyian mencengkam desa Tanggul Rejo yang terletak jauh di tenggara Kotaraja. Bersamaan dengan bertiupnya angin malam, dari kelokan jalan muncul dua penunggang kuda. Keduanya mengenakan pakaian hitam dan wajah masing-masing ditutup dengan cadar sebatas mata.
Anehnya dua orang ini sengaja menunggang kuda dengan langkah sangat perlahan sehingga derap delapan kaki kuda tunggangan itu hampir tidak terdengar. Sambil bergerak keduanya memandang kekiri dan ke kanan, memperhatikan setiap bidang tanah yang mereka lewati, meneliti rumah-rumah penduduk yang terletak saling berjauhan.
“Kau lihat tambak ikan di sebelah sana...” penunggang kuda disebelah kanan berbisik pada kawannya.
“Ah, matamu tajam sekali kawan. Itu sasaran paling empuk yang kita temui malam ini. Kau atau aku...?”
“Jika kau mau silahkan saja...”
Mendengar ucapan kawannya itu penunggang kuda disebelah kanan segera turun dari kudanya. “Tunggu aku di tempat gelap sana. Awasi keadaan sekitar sini. Jika ada bahaya lekas beri tanda...” kata orang itu begitu turun dari kuda. Lalu dia melangkah mengendap-endap ke arah sebuah tambak ikan. Dikejauhan kelihatan sebuah rumah berada dalam keadaan gelap.
Begitu sampai di-tepi, tambak ikan, orang ini memandang dulu berkeliling. Ketika dirasakannya aman, cepat-cepat dia mengeluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kulit kerbau yang ujungnya diikat kencang dengan seutas tali. Dengan cepat dibukanya tali ini lalu dari dalam kantong yang kini terbuka ditebarkannya sejenis bubuk berwarna putih kelabu ke dalam tambak. Setelah itu kantong kulit diikatnya kuat-kuat lalu dengan cepat dia kembali menemui kawannya.
“Selesai...? bertanya kawan yang menunggu.
“Beres!” jawabnya seraya melompat naik ke atas punggung kuda. Dari situ kedua orang bercadar hitam itu melanjutkan perjalanan memasuki desa Tanggul Rejo lebih ke dalam. ‘Seperti tadi, keduanya tak mau memacu kuda tunggangan, melainkan bergerak perlahan”
“Sebentar lagi sudah lewat tengah malam...” ‘Penunggang kuda di sebelah kiri berkata. “Menurut penyelidikanku ada sekitar empat puluh rumah di desa ini. Berarti ada empat puluh sumur yang harus kita kerjakan. Menurutmu apa kita punya waktu melakukannya...?”
“Sesuai petunjuk, tak perlu semua sumur kita kerjakan. Jika dapat separuhnya saja itu sudah cukup. Nah, lihat. Di depan sana ada rumah. Kulihat sebuah sumur di sebelah belakang. Giliranmu turun tangan, kawan. Aku akan mendatangi rumah di sebelah sana. Lekas bergabung jika pekerjaanmu selesai...”
Dua penunggang kuda berpisah. Satu jalan terus, lainnya membelok ke kanan, memasuki pekarangan besar sebuah rumah, langsung menuju ke halaman belakang dimana terdapat sebuah sumur.
Di tepi sumur, tanpa turun dari kudanya orang itu mengeluarkan sebuah kantong kulit, membuka ikatannya. Lalu bubuk putih kelabu yang ada dalam kantong dituangkannya sedikit ke dalam sumur. Sehabis memasukkan bubuk itu ke dalam sumur, dia cepat-cepat mengikat kantong kulit, simpan kembali kantong itu dibalik pakaiannya lalu bergerak memutar kudanya.
Pada saat itulah terdengar suara anjing menggonggong. Mula-mula hanya seekor saja, namun sesaat kemudian ada setengah lusin anjing yang berlompatan dari tempat gelap. Keenam anjing itu mengerubungi kuda sambil terus menyalak.
“Celaka!” keluh si penunggang kuda. Dia cepat menyentakkan tali kekang kuda tungganggannya. Binatang ini meringkik keras. Hampir bersamaan dengan ringkikan itu, dari arah rumah terdengar suara membentak.
“Siapa diluar?!” Lalu terdengar suara pintu terbuka. Menyusul suara tongtong yang dipukul terus menerus. Suara tongtongan dari arah rumah itu dalam waktu cepat mendapat sambutan dari berbagai jurusan.
Si penunggang kuda menjadi panik. Dia memacu kudanya sekencang-kencangnya tetapi enam ekor anjing tadi ternyata ikut mengejar. Hatinya tercekat ketika di depan sana dilihatnya ada serombongan orang. Tangan kiri memegang obor, tangan kanan. membawa berbagai macam senjata!
Melihat hal ini penunggang kuda itu cepat memutar kudanya ke arah dari mana dia datang sebelumnya. Namun dari arah itupun bermunculan banyak sekali orang yang membawa obor serta senjata! Dari kedua ujung jalan dua rombongan orang itu mendatangi dengan cepat seraya berteriak-teriak.
"Tangkap! Bunuh penebar racun!”
“Cincang sampai lumat!”
“Gantung kaki ke atas kepala ke bawah!”
Jantung si penunggang kuda bercadar serasa copot. Terlebih lagi ketika dilihatnya dari bagian gelap di kiri kanan jalan bermunculan pula orang-orang yang membawa obor dan senjata. Menyadari dirinya terkurung di-tengah-tengah dan terancam bahaya maut mengerikan orang itu menjadi nekad.
Dia menggebrak kudanya berusaha menerobos kepungan orang di sebelah selatan jalan. Dua orang pengurung terjengkang dihantam kaki kuda. Tapi penunggangnya sendiri tak berhasil lolos. Seseorang sempat menarik kakinya hingga tubuhnya terlontar dan jatuh terbanting ke jalanan.
“Cincang!”
“Bunuh!”
Sebatang golok menyambar membabat dada. Sebatang tombak menyorong ke depan.
"Trangg...!"
Golok yang seharusnya membacok kepala itu tertahan oleh batang tombak. Bersamaan dengan itu ada orang yang berteriak.
“Tunggu!”
Ternyata dia adalah Kepala Desa Tanggul Rejo. Kepala Desa ini pula yang tadi menangkis bacokan golok. Orang banyak mengeluarkan suara kemarahan dan kutuk serapah ditujukan pada Kepala Desa itu.
Kepala Desa cepat menguasai keadaan dengan berteriak, “Membunuh keparat penyebar racun ini mudah saja! Aku ingin cepat-cepat menggorok lehernya mencincang kepalanya! Tapi dengar! Kita harus menyelidik! Dia harus dipaksa memberi keterangan mengapa dia menebarkan racun di desa kita! Siapa yang menyuruh!”
Mendengar kata-kata Kepala Desa itu, orang banyak mengendur sedikit kemarahan mereka. Namun seseorang masih sempat membetot lepas kain hitam yang menutupi wajah lelaki yang terbujur di tanah setengah bergelung. Tak satu orangpun mengenali tampang manusia itu. Berarti dia bukan penduduk desa Tanggul Rejo.
Selagi orang desa menahan amarah dan selagi Kepala Desa berbicara, orang yang terguling di jalanan itu tidak sia-siakan kesempatan. Mati disadarinya memang sudah jadi bagiannya. Tapi dia tidak mau mati dicincang dan ditembus puluhan senjata. Maka dengan cepat dia keluarkan kantong kulit yang ada di balik pinggangnya.
Lalu cepat sekali dia menuangkan bubuk putih kelabu yang ada dalam kantong kedalam mulutnya yang dibuka lebar-lebar. Kejadian itu berlangsung cepat sekali, tidak terduga oleh semua orang yang ada di tempat itu.
Tidak perlu menunggu lama. Orang ini mulai melejang-lejang. Mukanya menjadi biru sampai ke bibir. Sepasang mata membeliak. Dari tenggorokannya ada suara menggeru lalu menyembur busah dan air berwarna hitam pekat.
“Kurang ajar! Bangsat itu menenggak racun yang dibawanya sendiri!” teriak seseorang.
“Dia bunuh diri!”
“Kita terlambat!” teriak kepala desa lalu dengan marah ditendangnya kepala orang itu. Apa yang terjadi kemudian sungguh mengerikan. Puluhan macam senjata berkelebat menusuk dan menghunjam di sekujur tubuh orang itu. Mukanya tak bisa dikenali lagi!
“Aku yakin bangsat itu tidak datang sendirian!” seorang lelaki yang hanya mengenakan celana pendek hitam berkata. Dia menurunkan obornya kesalah satu bagian jalanan. Yang jauh dari kerumunan orang banyak. “Lihat!” katanya. “Ditanah ada jejak-jejak lebih dari seekor kuda. Paling tidak ada dua kuda yang lewat disini!”
“Kalau begitu kita harus menyebar lalu memeriksa setiap pelosok desa!” kata Kepala Desa pula
“Aku setuju!” seseorang menyahuti.
“jika bangsat satu itu ketemu, tak perlu diberi waktu untuk bertanya segala. Gorok lehernya! Cincang kepala dan tubuhnya! Habis perkara!” seorang penduduk desa menimpali.
********************
SEMBILAN
Di malam yang sama, di desa Lebak Wangi yang terletak disebelah barat Kotaraja, seorang penunggang kuda sejak tadi mendekam dibalik lumbung padi yang terletak di pekarangan belakang sebuah rumah besar milik seorang hartawan yang puteranya menjadi salah seorang Kepala Pasukan di Keraton Barat.
Di halaman belakang itu, seorang lelaki tua tampak tengah merapikan susunan kayu api. Orang yang mendekam dibalik lumbung padi sudah tidak sabaran. Matanya pulang balik memperhatikan si orang tua dan sumur yang terletak hanya sepuluh tombak saja di sebelah kiri lumbung padi. Tapi karena sumur itu berada di halaman terbuka, jika dia mendekati mustahil orang tua itu tak akan melihatnya.
“Orang tua celaka itu ada-ada saja yang dikerjakan!” memaki si penunggang kuda. “Apa perlu kubereskan saja dia lebih dulu...”
Walaupun sudah punya pikiran seperti itu, nyatanya orang dibalik lumbung memutuskan untuk menunggu saja sampai orang tua di sebelah sana selesai dengan pekerjaanya. “Kalau kayu api itu sudah disusunnya dengan rapi, pasti dia akan masuk ke dalam rumah.“ Begitu orang dibalik lumbung berpikir. Tetapi, setelah selesai merapikan kayu api, orang tua tadi kini malah mengambil sebuah sapu lidi besar dan mulai menyapu.
“Sialan!” runtuk orang dibalik lumbung... Dia raba golok di pinggang kirinya. Lalu bergerak keluar dari balik lumbung.
Orang tua yang tengah menyapu halaman angkat kepalanya dan berpaling ketika mendengar ada suara telapak kaki kuda mendatangi. Disangkanya putera majikannya yang. datang.
“Raden... Kaukah itu...?” tegurnya.
Namun begitu penunggang kuda tersebut sampai di hadapannya terkejutlah orang tua itu. Si penunggang kuda ternyata seorang berpakaian serba hitam yang wajahnya ditutup dengan kain berwarna hitam pula!
“Rampok!” desis orang tua itu. Sapu di tangannya dilemparkan. Dia memutar tubuh untuk lari seraya berteriak.
Namun dia hanya sempat memutar tubuhnya sedikit saja dan sebelum mulutnya bisa berteriak, sebilah golok telah berkelebat dalam kegelapan malam. Orang tua yang malang itu terhuyung nanar sambil menggapai-gapai ke udara. Pangkal lehernya hampir putus. Darah mengucur. Dia berusaha keras untuk berteriak, tapi hanya lidahnya yang terjulur. Setelah itu tubuhnya terhempas jatuh ke tanah!
Orang berkuda sarungkan kembali golok berdarah, lalu bergerak mendekati sumur. Di tepi sumur dia mengeluarkan sebuah benda berbentuk bulat sepanjang satu setengah jengkal yang ternyata adalah sebatang bambu kecil. Dengan cepat dibukanya sumbat kain di salah satu ujung bambu lalu bubuk putih kelabu yang ada dalam bambu itu dipercikkannya ke dalam sumur.
Selagi dia melakukan hal itu tiba-tiba dari dalam sumur melesat keluar dua buah tangan yang langung mencekal pergelangan tangan si penunggang kuda. Penunggang kuda itu berteriak saking kagetnya. Lalu terdengar suara...
"Kraakkk...!"
Untuk kedua kalinya orang di atas kuda berteriak. Kali ini karena tulang lengangnya telah dipatahkan oleh dua tangan yang mencuat keluar dari dalam sumur. Tabung bambu berisi bubuk racun yang dipegangnya terlepas dan jatuh di pinggir sumur. Tubuhnya sendiri terbetot jatuh dari atas punggung kuda. Ketika dia berusaha bangkit berdiri di hadapannya berdiri sesosok tubuh berpakaian serba putih.
“Kurang ajar! Bangsat ini rupanya! Bagaimana dia bisa mendekam sembunyi didalam sumur itu!” meruntuk orang yang patah tangannya. Tadi dia menyangka yang keluar dari dalam sumur itu adalah sebangsa setan atau hantu malam!
“Ha ha ha! Matamu yang juling cukup kukenali! Tapi aku perlu melihat tampangmu!”
Sekali tangannya bergerak, orang berpakaian putih berhasil menjambret lepas kain hitam penutup wajah lelaki di hadapannya.
“Ki Dukun Japara! Benar kau rupanya!”
“Pemuda sableng! Kau ikut campur terlalu jauh! Nyawamu atau jiwaku!” Si pakaian hitam yang ternyata adalah Ki Dukun Japara, pergunakan tangan kirinya untuk mencabut golok. Namun sebelum dia sempat menyentuh senjata itu, satu totokan membuat tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya menjadi bisu.
“Dukun bejat penebar racun! Sekarang kau ikut aku ke Kotaraja! Disitu nanti kau harus bicara banyak sebelum Sri Baginda memerintah memisahkan kepala dan tubuhmu!”
Ki Dukun Japara yang berada dalam keadaan kaku dan gagu hanya bisa memaki dalam hati. Orang berpakaian putih yang ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng memungut tabung bambu yang tercampak di tanah dan menyumpalkan penutupnya. Tabung berisi racun itu disisipkannya di pinggang kiri. Lalu Wiro memanggul tubuh Ki Dukun Japara dan meletakkannya diatas punggung kuda.
Saat itulah melesat sebuah benda dalam kegelapan. Wiro rundukkan kepala. Benda yang melesat lewat seujung kuku dari pipi kanannya lalu menancap tepat di punggung kanan Ki Dukun Japara yang menggeletak melintang di atas kuda! Benda itu ternyata adalah sebatang panah!.
“Pembokong keparat!” maki Wiro. Dia lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam dahsyat ke jurusan dari mana datangnya panah itu. Beberapa pohon kecil dan semak belukar rambas namun si pembokong telah lebih dahulu melarikan diri. Di kejauhan terdengar suara derap kaki kudanya menjauh.
Wiro segera memeriksa keadaan. Ki Dukun Japara dan jadi terkejut ketika melihat wajah orang tua itu berubah kebiruan. Dirobeknya punggung pakaian Ki Dukun. Kulit punggung itupun tampak membiru!
“Panah beracun!” kertak Wiro. Dia menotok lagi beberapa bagian tubuh Ki Dukun Japara. Lalu perlahan-lahan anak panah yang menancap di punggung orang tua itu dicabutnya. Ketika diperhatikannya ujung runcing panah, tampak bagian itu juga berwarna biru kehitaman.
“Aneh, siapa yang menginginkan nyawa dukun keparat ini?” pikir Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. “Dia ternyata menjadi penyebar racun. Pasti cuma kaki tangan atau pelaku biasa saja. Lalu yang jadi biang kerok mengotaki semua kegilaan ini...?! Di Kotaraja semua akan tersingkap. Aku harus membawa dukun sialan ini kesana secepatnya!”
Baru saja Wiro hendak naik ke atas kuda dimana tubuh Ki Dukun Japara menggeletak tiba-tiba dua penunggang kuda muncul di tempat itu. Yang pertama seorang pemuda berseragam Perwira Muda Kerajaan, satunya lagi seorang dara berpakaian jingga yang rambutnya dikuncir dan pada punggungnya tersembul gagang sebilah pedang.
“Hai! Siapa kau?! Apa yang terjadi disini?!” bertanya Perwira Muda itu dengan suara membentak sedang sang dara memandang dengan mata penuh selidik pada murid Sinto Gendeng yang tertegak sambil pegangi anak panah.
********************
SEPULUH
Dara diatas kuda tiba-tiba berseru kaget ketika melihat dan mengenali sosok tubuh yang menggeletak di halaman belakang. “Astaga! Itu si kakek Samino! Apa yang terjadi dengan dirinya?!” Sang dara melompat dari atas kuda, langsung berlari ke arah mayat orang tua yang terbujur di tanah. Lalu terdengar teriaknya. “Kakak Primadi! Pembantu kita ini sudah mati! Ada luka besar dipangkal lehernya!”
Pemuda yang mengenakan seragam Perwira Muda Kerajaan itu jadi terkejut lalu melompat turun dari punggung kudanya. “Jelas dia dibunuh!” desis Perwira Muda bernama Primadi itu.
"Srettt...!"
Gadis berpakaian jingga hunus pedangnya. Meskipun halaman belakang itu agak gelap namun sinar pedang yang berwarna kebiruan jelas terlihat tanda pedang itu adalah sebilah senjata mustika. Dan demikian cepatnya gerakan si gadis, tahu-tahu ujung pedang sudah menempel diperut Pendekar 212!
“Ah...Urusan ini jadi kapiran!” keluh murid Sinto Gendeng dalam hati. “Aku tidak membunuhnya!” kata Wiro pula.
“Kami tidak bertanya! Tapi hanya ada satu orang disini! Kau!” bentak sang dara.
“Itu satu lagi yang menggeletak di atas kuda! Pingsan ditancap panah beracun!” Wiro menuding ke arah tubuh Ki Dukun Japara yang menggeletak diatas kuda dalam keadaan tertotok dan luka di punggungnya.
“Ditancap panah katamu! Tapi mengapa anak panah itu ada ditanganmu, bukan menancap di tubuhnya?!” bertanya si Perwira Muda.
“Aku barusan mencabut anak panah itu dari punggungnya! Panah itu beracun!”
“Bagaimana kau tahu panah itu beracun?!” tanya sang dara baju jingga. Nada suaranya terus saja keras dan galak.
“Kalian lihat saja punggung dan mukanya. Biru kehitaman!” jawab Wiro pula.
Sepasang muda mudi yang ternyata adalah kakak beradik itu saling pandang seketika. Lalu sang dara berkata pada kakaknya “Aku curiga... Jangan-jangan manusia satu ini salah seorang penyebar racun maut itu!”
“Aku juga berpikir begitu,” sahut kakak si gadis. “Dan pasti dia pula yang membunuh pembantu kita itu!”
“Walah! Kalau menuduh jangan keliwatan!” ujar Wiro mulai jengkel tapi diam-diam juga merasa kawatir. Ujung pedang yang diacungkan gadis berbaju jingga itu menempel ketat di perutnya. Membuat Wiro merasa ragu-ragu untuk melakukan sesuatu.
“Orang tua itu dibunuh oleh orang yang ada di atas kuda.” Wiro coba menerangkan.
“Kami tidak melihat, jadi tidak bisa mempercayai ucapanmu!” kata Primadi.
“Kakak sebaiknya cepat kau geledah dia!” ujar si adik. Lalu pada Wiro dia mengancam. “Jika kau berani bergerak, kutembus perutmu dengan pedang ini!”
Dibawah ancaman pedang Pendekar 212 terpaksa biarkan dirinya digeledah oleh Perwira Muda itu. Dan celakanya yang pertama sekali ditemukan oleh sang perwira adalah tabung bambu berisi racun milik Ki Dukun Japara yang diselipkan Wiro di balik pinggangnya!
Perwira itu mengamati tabung yang disumpal dengan kain sebagai tutupnya, berpaling sesaat pada adiknya lalu membuka kain penyumpal. Ketika penutup tabung bambu terbuka, bau yang tajam membersit ke luar. Si Perwira yang sudah tak asing lagi dengan bau seperti itu segera tunggingkan bagian mulut tabung. Sejumlah bubuk.putih kelabu berjatuhan ke tanah.
“Racun merang putih!” seru perwira itu begitu dia mengenali bubuk yang keluar dari tabung. Rupanya dia seorang yang ahli dalam segala macam racun.
“Apa kataku!” teriak dara adik sang perwira. “Aku sudah curiga! Dia pasti adalah manusia jahanam penyebar racun! Kini terbukti!”
“Racun dalam tabung itu bukan milikku. Benda itu dibawa oleh orang yang kini menggeletak di atas kuda sana. Dia yang membunuh pembantu kalian. Lalu ketika dia hendak menuangkan bubuk racun ke dalam sumur dimana saat itu aku bersembunyi, kupatahkan tangannya. Tubuhnya lalu kutotok...”
"Kau bersembunyi di dalam sumur? Ha ha ha! Sungguh gila dan tolol sekali ucapanmu! Mana ada orang bisa bersembunyi didalam sumur, apalagi sumur itu airnya dalam. Paling tidak dua kali tinggi manusia!” ujar dara berbaju jingga.
“Memang hanya orang tolol yang mau mati bersembunyi dalam sumur sedalam itu. Tapi aku tidak tolol! Lihat sendiri apa yang aku palangkan di dalam sumur!”
Mendengar ucapan Wiro itu, Primadi si perwira melangkah ke dekat sumur lalu menjenguk ke dalam. Meskipun bagian dalam sumur cukup gelap, namun matanya yang sudah terlatih masih dapat melihat sebuah batang pohon melintang dipertengahan sumur. Karena makin kebawah sumur itu semakin menyempit, maka batang pohon itu dapat melintang dengan kokoh walau dibebani tubuh manusia.
“Aneh! Bukan pekerjaan mudah menempatkan batang pohon seperti itu dalam sumur...Siapa sebenarnya pemuda berambut gondrong itu?!”
Primadi melangkah mendekati Wiro kembali. Adiknya yang bertanya tidak diacuhkannya. Dia kembali menggeledah Wiro dan kali ini ditemukannya Kapak Maut Naga Geni 212 di belakang pinggang sang pendekar! Sesaat sang perwira dan adiknya terkesiap melihat sinar yang keluar dari mata kapak. Bukan saja membuat mereka merasa angker tapi sinar kapak mustika itu ternyata membuat redup sinar biru yang memancar dari pedang di tangan sang dara!
Primadi memperhatikan senjata ditangannya itu dengan mata tak berkesip. Dia antara mendengar dan tidak kata-kata yang diucapkan Wiro.
“Perwira Muda, kalau senjata itu kau rampas, aku bersumpah membunuh kau dan adikmu!”
Si perwira sesaat masih memandang lekat-lekat pada senjata ditangannya lalu berpaling pada Wiro. “Aku pernah mendengar riwayat besar dari senjata ini. Kau... kau Pendekar 212...?!” Suara sang perwira bergetar dan tangannya yang memegang senjata mustika itu mendadak terasa seperti kesemutan...
Wiro mengangguk perlahan. Perwira itu cepat-cepat kembalikan Kapak Naga Geni 212 lalu menoleh pada adiknya. “Sarungkan pedangmu. Mari kita menghatur maaf pada Pendekar 212 yang punya nama besar di seantero tanah Jawa ini...”
“Pendekar 212...?” mengulang sang adik. “Jadi dia...pendekar sableng yang terkenal itu...?”
Wiro tertawa lepas dan cepat menyambuti kapak yang dikembalikan padanya. “Untung kalian lekas mengenali si manusia jelek ini! Kalau tidak urusan bisa bertele-tele!”
“Pendekar 212, aku Primadi dan adikku Primarani mohon maafmu. Tadi kami sungguh-sungguh tidak tahu berhadapan dengan siapa. Empat tahun yang silam bukankah kau pernah menyelamatkan Kerajaan dari tangan kaum pemberontak. Aku tidak melupakan hal itu. Waktu itu aku masih sebagai kepala penjaga pintu gerbang selatan Kotaraja...”
Wiro kembali tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanan yang juga memegang anak panah yang sebelumnya dicabutnya dari punggung Ki Dukun Japara.
“Eh, itu anak panah yang katamu menancap di punggung orang itu?” bertanya Primadi
Wiro mengangguk. “Boleh kulihat...?
Wiro berikan anak panah yang dipegangnya pada Primadi. Perwira muda ini memeriksanya dengan teliti. Lalu dia berpaling pada adiknya dengan paras berubah.
Wiro melihat perubahan paras ini langsung bertanya. “Perwira, kau mengenali anak panah ini?”
Mula-mula perwira itu tak mau menjawab. Namun setelah adiknya membisikkan sesuatu maka diapun berkata, “Ini adalah anak panah yang biasa dipergunakan oleh Sri Baginda di Kerajaan Timur terutama pada saat berburu. Dan beliau dikenal sebagai ahli panah nomor satu. Aku tahu betul. Ketika hubungan antara Kerajaan Barat dan Timur masih baik, aku sering ikut mengawal Sri Baginda Kerajaan Timur pergi berburu! Karena itu aku mengenali sekali anak panah ini. Lihat, cetakan tiga buah bintang pada besi bagian belakang kepala anak panah. Ini adalah lambang Kerajaan Timur!”
“Lalu jika anak panah yang sama seperti ini yang dipergunakan untuk membunuh manusia penebar racun disana itu, apa kira-kira yang ada dibenakmu Perwira Muda...?” tanya Pendekar 212.
“Aku tak berani menjawab!” Sahut Primadi.
Justru adiknya Primarani yang membuka mulut, Tidak masuk akal kalau Raja di Timur ada sangkut paut dalam peristiwa ini. Tapi...” Sang dara tidak teruskan ucapannya.
“Bukankah antara Sri Baginda di Timur dengan kakaknya di Barat tengah terjadi silang sengketa?” ujar Pendekar 212.
“Betul, tapi tetap aku tidak bisa percaya bahwa Raja di Timur bertindak sejauh ini!”
“Setiap manusia bisa silap. Mungkin karena harta atau pangkat, atau perempuan. Mungkin pula karena tahta dan kekuasaan...”
“Pendekar 212, jika kau memang tengah menyelidiki masalah besar menyangkut kematian, ratusan rakyat karena diracun ini, mari kita bekerjasama. Aku memang ditugaskan untuk melakukan penyelidikan bersama adikku...” Primadi memotong ucapan Wiro.
“Begitu...? Siapa yang menugaskanmu? Sri Baginda Kerajaan Barat...?"
Perwira Muda itu menggeleng. “Mapatih Singaranu...” jawabnya.
Wiro memandang pada Ki Dukun Japara yang ada di atas punggung kuda. “Manusia itu mungkin bisa memberi keterangan. Bagaimana kalau kita bawa dia sekarang juga ke Kotaraja dan dihadapkan pada Sri Baginda?”
“Sri Baginda tak ada di Keraton. Saat ini beliau telah berangkat memimpin ratusan pasukan untuk menyerbu Kerajaan Timur. Aku diperintahkan untuk menghubungi pusat pasukan di selatan. Sebelum menuju kesana aku mampir dulu disini.”
“Kerajaan Barat menyerbu Kerajaan Timur? Berarti perang saudara segera pecah!” ujar Wiro.
“Kita tidak bisa menyalahkan Raja di Barat,” ikut bicara Primarani. “Raja di Barat sudah cukup memberikan kekuasaan dan kepercayaan pada adiknya di Timur. Sang adik ternyata menjadi serakah, ingin menjadi Raja besar di seluruh Kerajaan. Menyebar fitnah serta memutar balikkan kenyataan dan malah diduga keras sebagai melakukan pengacauan di Barat dengan menebar racun pembunuh melalui kaki tangannya. Kini dengan ditemuinya anak panah ini terbukti bahwa dia memang yang jadi dalang kekacauan belakangan ini. Ratusan rakyat yang tidak berdosa menemui kematian akibat keganasannya menebar racun maut! Aku ingin sekali menghajar kaki tangannya yang menggeletak diatas kuda itu!”
“Kau harus bersabar dulu, saudari! kata Wiro pula. “Kita harus mengorek keterangan dan bukti-bukti dari dia. Dan itu harus dilakukan di hadapan Raja. Paling tidak diketahui oleh Mapatih Kerajaan!”
“Pendekar 212 betul! Kita harus segera membawa orang itu ke Kotaraja! Kita pergi bersama-sama!”
“Kau punya tugas menghubungi pasukan di selatan” mengingatkan Primarani.
“Aku punya firasat bahwa ke Kotaraja lebih penting dari pada ke selatan. Kita berangkat sekarang juga!”
********************
SEBELAS
Sebelum matahari terbit Wiro, Primadi dan Primarani yang membawa Ki Dukun Japara dalam keadaan masih kaku dan gagu karena ditotok Pendekar 212 memasuki Kotaraja. Mereka langsung menuju Keraton menemui Patih Raden Mas Singaranu. bisu di atas punggung kuda memasuki Kotaraja Kerajaan Barat.
Keraton nampak sepi, hanya tiga orang pengawal kelihatan di pintu depan. Ketiga orang itu diantar masuk ke dalam sebuah ruangan tertutup. Wiro yang memanggul tubuh Ki Dukun Japara mendudukkan si mata juling ini diatas sebuah kursi besar hingga dia tak beda dengan sebuah patung, tidak bergerak dan tidak berkesip.
Tak lama kemudian Patih Singaranu memasuki ruangan. Dia memandang pada kedua kakak beradik itu sesaat, melirik pada Pendekar 212 lalu berpaling ke arah sosok orang yang duduk di kursi besar. Sesaat patih lanjut usia itu menatap wajah Ki Dukun Japara lalu berpaling pada Perwira Muda disampingnya.
“Perwira Primadi, bukankah kau mendapat tugas menghimpun pasukan di selatan dan membawanya ke timur?” menegur Patih Singaranu.
“Betul sekali Mapatih. Namun ada sesuatu yang lebih penting...” sahut Perwira Muda itu.
“Tunggu dulu! Siapa orang yang kau dudukkan di atas kursi sana? Keadaannya seperti ditotok dan tangan kanannya kulihat seperti patah. Lalu...” sang patih memandang pada Pendekar 212, “Siapa pula pemuda ini? Aku rasa-rasa pernah melihatnya sebelumnya. Atau mungkin aku salah...”
“Tidak Mapatih. Kau tidak salah. Pemuda ini adalah Pendekar 212 dari Gunung Gede. Dialah yang empat tahun lalu ikut menyelamatkan Kerajaan dari kaum pemberontak.”
“Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku tidak pernah melupakan nama yang berjasa besar itu! Benar-benar tidak diduga, dalam Kerajaan seperti ini kau muncul seperti membawa bakti baru menyelamatkan Kerjaan untuk kedua kalinya!” Patih Singaranu melangkah kehadapan Wiro dan memegang bahu Pendekar 212 dengan kedua tangannya. “Sekarang terangkan siapa adanya orang berwajah biru yang duduk di kursi itu!”
“Namanya Ki Dukun Japara,” memberi tahu Primadi lalu meneruskan:
“Dia tertangkap basah oleh Pendekar 212 ketika hendak memasukkan racun ke dalam sumur di rumah kediaman kami!” Perwira itu memperlihatkan tabung bambu berisi racun pada sang patih.
“Ah! Rupanya Pendekar 212 diam-diam juga telah mengikuti apa yang tengah terjadi di Kerajaan!” ujar Patih Singaranu. Lalu dia melangkah kehadapan orang yang duduk di kursi. Memperlihatkannya sejenak. “Perwira! Bagaimana ini! Menurutmu dia menyebarkan racun, tapi dia sendiri keracunan!”
Pendekar 212 lalu menerangkan apa yang terjadi sebelumnya. Setelah mendengar itu, Patih Singaranu yang juga merupakan seorang dedengkot persilatan segera lepaskan totokan-totokan di tubuh Ki Dukun Japara. Begitu totokannya lepas, orang tua itu hampir saja jatuh terjerembab. Dari mulutnya terdengar suara mengerang kesakitan karena tangannya yang patah.
“Namamu Ki Dukun Japara?!” Mapatih menegur. Bukannya menjawab, Ki Dukun Japara malah langsung jatuhkan diri, berlutut memegangi kedua kaki sang patih laiu meratap.
“Mohon ampunmu Mapatih... Mohon ampunmu...!”
“Apa betul kau menyebarkan racun yang telah menimbulkan kekacauan dan menyebabkan kemati-an ratusan rakyat yang tidak berdosa...?”
“Mohon ampunmu Mapatih! Mohon...”
Perwira Muda Primadi jadi jengkel. Dijambaknya rambut orang tua itu lalu membentak. “Jika kau masih terus berucap seperti itu, kupecahkan kepalamu saat ini juga! Jawab pertanyaan Patih Kerajaan! Kau menebarkan racun dimana-mana! Kau pasti salah seorang pentolannya.”
“Memang... memang aku melakukan itu. Tapi... tapi aku hanya orang suruhan saja...” membuka mulut Ki Dukun Japara.
“Siapa yang menyuruhmu?!” tanya Patih Kerajaan.
“Aku... aku... tidak tahu jelas...”
“Jangan coba berdusta Ki Dukun!” yang bicara adalah Wiro. “Racun panah itu masih bekerja dalam tubuhmu. Jika kau mau mengaku akan kami beri obat penawar. Kalau tidak nyawamu tidak akan tertolong. Kau hanya bisa bernafas sampai tengah hari nanti! Dan sebelum mati kau akan sangat menderita!”
Tubuh Ki Dukun Japara menggigil. Dalam keadaan terduduk di lantai dia berkata, “Aku... aku tidak berdusta. Aku tidak tahu orang itu. Kami hanya bertemu tiga kali pada malam hari. Dia menutupi wajahnya dengan kain hitam...”
“Apa yang dilakukan orang itu setiap kali kau menemuinya?!” bertanya Primadi.
“Dia menyerahkan sekantung racun, memberiku uang lalu memberikan perintah-perintah...” jawab Ki Dukun Japara. Lalu dia menyambung. “Aku bersumpah, aku benar-benar tidak tahu siapa orang itu.”
“Kau pasti ingat ciri-cirinya. Jika dia bicara denganmu kau pasti mengenali suaranya jika bertemu lagi dengan dia...” berkata Patih Singaranu.
“Ciri-cirinya tidak jelas. Setiap pertemuan selalu malam hari dan di tempat yang gelap. Suaranya mungkin kukenali lagi jika bertemu...”
“Coba kau ingat-ingat. Pasti ada sesuatu yang bisa kau ingat tentang orang itu...” Patih Singaranu mendesak tapi dengan berpura-pura membujuk.
“Dia... dia selalu mengenakan pakaian hitam. Wajahnya tak kelihatan karena ditutupi kain. Perawakannya sedang-sedang saja. Dia selalu muncul menunggang kuda...” Ki Dukun Japara terdiam sejenak. “Aku ingat...! Orang itu selalu membawa busur dan sekantong anak panah di punggungnya...!”
Perwira Muda Kerajaan itu terkejut dan perlahan-lahan berpaling pada adiknya. Lalu diambilnya anak panah yang sejak tadi diselipkan adiknya pada sarung pedang dan diperlihatkannya pada Patih Singaranu. Sang patih mengambil panah itu, menimang-nimangnya sambil memperlihatkan. Lalu dia berpaling pada Primadi dan berkata dengan suara tegang.
“Hanya ada satu orang yang memiliki anak panah seperti ini. Gusti Bandoro Pangeran Harjokusumo, Raja di Timur!”
“Betul Mapatih. Memang itu yang saya ketahui...” jawab sang perwira pula dan ikut tegang.
“Jika begitu adalah tepat sekali kalau kini Raja kita sampai menyerbu Keraton Timur. Dari situlah sumber bencana maut beracun itu!” kertak Patih Singaranu.
“Saya akan menyusul ke timur bersama Primarani. Saya percaya Pendekar 212 mau bergabung bersama kami...”
“Tunggu! Jangan pergi dulu...!” berseru Ki Dukun Japara.
“Apa maksudmu? Minta diobati lebih dulu?!” tanya Wiro.
Ki Dukun Japara menggeleng. “Aku menyesal. Dihukum matipun aku pasrah! Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku ingat sesuatu...”
Ketika Patih Singaranu memegang dan menimang-nimang anak panah beracun yang pernah menancap di punggungnya itu, Ki Dukun Japara, setiap penunggang kuda bercadar menyerahkan bungkusan racun kepadanya, Perwira Muda Primadi hanya bisa memaki panjang pendek sambil membanting-banting kaki.
********************
DUA BELAS
Di luar Kotaraja sebelum memasuki perbatasan menuju Kerajaan Timur, Patih Raden Mas Singaranu yang menunggang kudanya di sebelah depan mengangkat tangan kanan ke atas, memberi tanda. Seluruh rombongan serta merta berhenti. Dia memutar kudanya dan memandang pada selusin pengawal, lalu pada sosok Ki Dukun Japara yang berada di atas seekor kuda, tergeletak melintang tak berkutik karena sebelum berangkat sang patih telah menotok tubuhnya sampai kaku, tak bisa bergerak. Hanya mulutnya saja yang masih bisa membuka suara.
“Mapatih, mohon petunjukmu. Ada apa kita berhenti?” seorang perajurit kepala ajukan pertanyaan dia selalu memperhatikan tangan kanan orang itu. Antara ibu jari dan jari telunjuknya terdapat sebuah tahi lalat lebar, hitam berbulu.
Ketika hal itu diberitahukannya pada orang-orang yang ada dihadapan-nya, Primadi dan adiknya tampak merenung berpikir-pikir sementara Patih Singaranu sesaat memandang tak berkesip pada Ki Dukun Japara lalu melangkah mundar mandir.
“Tak pernah kulihat ada orang dengan tanda seperti itu. Kau tidak salah lihat...?” tanya sang Patih kemudian.
Ki Dukun Japara gelengkan kepala. Tiba-tiba Patih Raden Mas Singaranu mengambil keputusan. “Perwira Muda Primadi! Ini perintah. Kau dan adikmu serta Pendekar 212 Wiro Sableng tetap berada disini. Keraton perlu dijaga karena semua Perwira dan para tokoh persilatan berada di medan perang bersama Sri Baginda. Lain dari pada itu, Keraton penuh dengan harta pusaka yang harus dijaga baik-baik! Aku sendiri akan berangkat sekarang juga ke timur. Manusia keparat penebar racun ini harus kubawa serta dan akan kuhadapkan pada Sri Baginda. Dia satu-satunya saksi atas segala kejahatan yang dilakukan Raja di Keraton Timur!”
Habis berkata begitu Patih Singaranu berteriak memanggil pengawal. “Siapkan kudaku. Aku butuh selusin pengawal dan angkut orang yang duduk di kursi sana. Kita berangkat ke timur saat ini juga!”
“Mapatih...,” ujar Perwira Muda Primadi. Tapi patih tua itu sudah melangkah cepat meninggalkan mereka.
Hanya beberapa saat saja setelah rombongan Patih Singaranu bergerak meninggalkan Keraton, Pendekar 212 mendekati Primadi dan berkata. “Aku bukan prajurit Kerajaan atau petugas Keraton. Jadi perintah Mapatih tadi tidak berlaku untukku! Aku harus pergi ke Timur!”
“Hai! Mana bisa begitu!” seru Primadi. “Kau harus tetap berada di Keraton ini, Pendekar 212!”
Tapi Wiro tertawa lebar dan lambaikan tangannya. “Kakak Primadi, dia benar. Dia orang luar yang tidak terikat segala atura dan perintah siapapun. Sama dengan aku. Jadi aku akan berangkat bersamanya menuju ke timur!”
Kedua mata Perwira Muda Primadi jadi membelalang mendengar ucapan adik. perempuannya itu. “Kau berada dibawah perintah Primarani! Kau adikku!”
“Aku memang adikmu! Tapi aku bukan bawahanmu!” sahut Primarani lalu tertawa panjang dan berkelebat menyusul Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Manusia keparat penyebar racun itu!” sahut sang patih. “Merepotkan saja membawanya ke timur. Kuputuskan agar nyawanya dihabisi disini saja...!
Mendengar ucapan itu Ki Dukun Japara berseru, “Patih Kerajaan! Aku memang sudah pasrah menerima kematian! Tapi bukankah aku akan dijadikan saksi dihadapan Raja?!”
Patih Singaranu mendengus. “Sri Baginda tidak membutuhkan kesaksian manusia busuk sepertimu!” sahut Singaranu. Lalu dia berteriak, “Perajurit Kepala! Penggal kepala orang itu!”
Perajurit yang diperintahkan segera hunus pedangnya lalu dekati Ki Dukun Japara yang tergeletak tak berdaya. Orang ini hanya bisa pejamkan mata ketika pedang tajam berkilau membabat ke arah lehernya!
Saat itu, entah dari mana datangnya terdengar suara siulan. Lalu patahan sebatang cabang pohon melesat menghantam kepala perajurit yang hendak memancung Ki Dukun Japara. Perajurit ini menjerit keras. Keningnya robek besar dan mengucurkan darah deras. Tubuhnya terjengkang dari atas kuda. Dia jatuh ke tanah bersama pedang yang terlepas dari genggamannya.
Sebelas perajurit terbeliak kaget. Patih Raden Mas Singaranu memandang berkeliling dengan paras membesi. Di saat itu pula sebuah batu melayang menghantam pinggul kuda yang membawa Ki Dukun Japara. Terkejut dan meringkik, binatang ini lalu menghambur dan lari ke arah timur.
“Lekas kejar! Tahan kuda itu!” teriak Patih Singaranu. Namun terlambat. Kuda yang membawa Ki dukun Japara telah mencapai tikungan.
Patih Singaranu hantamkan tangan kanannya. Satu gelombang angin dahsyat menderu ke depan. Merambas semak belukar dan pepohonan di tepi jalan, membuat debu pasir dan bebatuan beterbangan ke udara. Namun Ki Dukun Japara dan kudanya tetap saja lolos. Malah ketika Singaranu dan sebelas perajurit menggebrak kuda masing-masing untuk melakukan pengejaran, dari samping kiri tiba-tiba seperti ada angin punting beliung menyambar.
Dua pohon tumbang menutup jalan. Dua lobang besar membelintang di tengah jalan. Sebelas perajurit terpelanting berkaparan. Sang patih sendiri kalau tidak lekas melompat dari atas kudanya, pasti tak mampu bertahan dari kejatuhan.
“Bangsat rendah siapa yang punya pekerjaan ini?!” menyumpah Singaranu dengan mata merah memandang berkeliling. “Ah... pasti dia! Aku mengenali pukulan sakti tadi. Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera! Pasti dia! Kalau begini, naga-naganya urusan bisa jadi kapiran!”
Patih Singaranu berteriak. Memerintahkan agar sebelas perajurit yang babak belur karena jatuh dari tunggangan mereka agar segera naik ke atas kuda masing-masing. Lalu rombongan itu terpaksa mengambil jalan menyamping untuk menghindari dua pohon yang melintang serta dua lobang besar di tengah jalan.
********************
TIGA BELAS
Seperti telah dituturkan, Keraton Timur hanya merupakan satu pusat Kerajaan Kecil dibandingkan dengan Keraton di Barat yang menjadi pusat Kerajaan Barat, kecil dalam artian wilayah dan juga kekuatan balatentaranya. Karena itu tidak mengherankan ketika pasukan Barat menyerbu, meskipun para perajurit di timur bertahan mati-matian, namun akhirnya mereka terdesak juga.
Saat demi saat pasukan penyerbu semakin mendekati Keraton Timur. Pekik jerit mereka yang terluka, erangan orang-orang yang meregang nyawa, suara teriakan para Kepala Pasukan, ringkikan kuda dan suara beradunya senjata semua bergabung menjadi satu.
Pada saat perang saudara berkecamuk seperti itulah Pendekar 212 Wiro Sableng, Primarani dan Ki Dukun Japara muncul dari arah barat. Dukun tua bermata juling ini tidak lagi berada dalam keadaan tertotok karena sudah dilepaskan oleh Wiro. Bagaimana dia tahu-tahu berada bersama Wiro dan Primarani?
Jawabnya lain tidak karena kedua orang itulah tadi yang menimbulkan halangan bagi rombongan Patih Singaranu, setelah terlebih dahulu Pendekar 212 Wiro Sableng menyelamatkan sang dukun dari tabasan pedang perajurit atas perintah Pafih Singaranu.
Primarani kemudian melempar pinggul kuda Ki Dukun Japara hingga binatang ini menghambur lari. Karena mereka berada di seberang jalan, dengan mudah Wiro serta Primarani memepet kuda yang membawa Ki Dukun Japara lalu melarikannya menuju ke timur, mendahului rombongan Patih Singaranu.
Wiro dan Primarani berusaha mendekati Keraton Timur dari arah yang paling aman yaitu di sebelah selatan. Saat itu pintu gerbang Keraton Timur telah bobol dan pasukan dari Barat mulai memasuki halaman luas Keraton sambil berteriak-teriak.
“Aku tidak melihat Sri Baginda Kerajaan Barat!” berseru Wiro.
Primarani memandang berkeliling lalu menyahuti. “Aku juga tidak! Kita harus cepat menerobos ke dalam Keraton. Kemungkinan besar Sri Baginda bersama para tokoh persilatan sudah menyelusup masuk. Pangeran Harjokusumo pasti sudah terkepung! Kita masuk sekarang Wiro! Jangan tunggu sampai Patih Singaranu muncul disini. Keadaan nanti bisa berubah!”
Wiro mengangguk lalu berpaling pada Ki Dukun Japara. “Dengar kau dukun kampret!” hardik Wiro. “Ikuti kemana kami pergi. Jangan coba melarikan diri karena itu sama saja kau bunuh diri! Racun dalam tubuhmu masih bekerja!”
“Jangan kawatir... Aku tak akan menjadi pengkhianat untuk kedua kali...” jawab Ki Dukun Japara.
Wiro memberi isyarat pada Primarani. “Kau yang tahu seluk beluk Keraton Timur, silakan jalan duluan...”
Ketika ketiga orang itu berhasil menerobos masuk ke dalam Keraton Timur lewat pintu samping, ruangan besar dimana biasanya diadakan pertemuan-pertemuan penting sudah berubah menjadi arena pertempuran yang mengerikan.
Lebih dari dua puluh mayat perajurit kedua belah pihak bergeletakan di lantai. Beberapa orang pengawal Keraton Timur masih berusaha bertahan dibawah pimpinan Tumenggung Jalak Karso, orang kesetiaan Pangeran Harjokusumo. Di hadapan mereka empat tokoh silat Keraton Barat mengamuk menebar maut dan bukan merupakan lawan Tumenggung Harjokusumo serta para pengawal yang tinggal sedikit itu.
Dibelakang kelompok penyerbu tegak seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, berpakaian kebesaran lengkap dengan topi tingginya dan memegang sebilah pedang berlumuran darah di tangan kanannya yang memakai sarung tangan dari kain berwarna merah. Dia tiada hentinya berteriak-teriak memberi semangat para tokoh silat dan dua Perwira Tinggi berhasil mendesak lawannya yaitu pihak Keraton Timur.
“Orang berpakaian mewah dan selalu berteriak-teriak itu, bukankah dia Sri Baginda Keraton Barat?” bertanya Wiro pada Primarani. Sang dara mengangguk. “Air mukanya kulihat pucat. Padahal...” Wiro tidak meneruskan ucapannya karena di ujung sana dilihatnya patih Singaranu muncul dan langsung mendekati Sri Baginda, membisikkan sesuatu seraya menunjuk ke arah Wiro dan Primarani berada.
“Pendekar 212... Patih Singaranu pasti menginginkan kematianku saat ini juga. Aku tidak tahu mengapa. Tapi ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu...”
“Apa dan katakan cepat!” jawab Wiro pula.
“Orang berpakaian mewah itu. Suaranya... sangat sama dengan suara orang yang menemuiku sebanyak tiga kali. Orang yang memberikan perintah menebar racun...!”
“Kau jangan main main Ki Dukun Japara! Kau sama saja menuduh Sri Baginda melakukan kekejian itu...!” bentak Primarani.
“Mungkin dia tidak main-main...” satu suara terdengar dari samping.
Ketiga orang itu berpaling. “Kakak Primadi, bukankah tugasmu menjaga Keraton? Mengapa kau berani muncul disini!? seru Primarani begitu melihat siapa yang ada di sebelahnya.
“Persetan dengan Keraton. Aku bukan kacung penjaga gedung Keraton. Aku ingin menyaksikan sendiri akhirkah semua kegilaan ini!” jawab Perwira Muda Primadi.
Sementara itu Pangeran Harjokusumo, yang mengenakan pakaian serderhana saja bertahan mati-matian sementara satu demi satu para pengawal yang mengelilinginya mulai berguguran. Ketika Tumenggung Jalak Karso akhirnya tersungkur tewas, Pangeran itu dengan putus asa campakkan pedangnya dan berteriak keras,
“Sri Baginda Keraton Barat! Kau yang menginginkan pertumpahan darah ini! Aku ingin agar kau juga yang menghabisi nyawaku saat ini!” Lalu dengan langkah tegap Pangeran yang berusia 29 tahun itu bergerak menuju ke hadapan Sri Baginda Keraton Barat yang bukan lain adalah kakak kandungnya sendiri.
“Pendekar 212...” berbisik Primadi, “ucapanmu tadi benar. Aku tak pernah melihat Sri Baginda berwajah sepucat itu. Memang aku sudah lama tidak pernah bertemu muka dengan dia. Tapi dia kelihatan seperti orang sehat yang sakit. Lalu, aku tak pernah melihat Sri Baginda memakai sarung tangan hitam seperti itu...”
“Astaga! Jangan-jangan suaranya yang sama seperti yang dikatakan Ki Dukun ini ada sangkut pautnya dengan tangan kanan yang disarungi itu! ujar Wiro pula.
“Kau benar!” ujar Primarani. “Tapi bagaimana membuktikannya?”
“Harus ada seseorang yang bisa membetot lepas sarung tangan itu!” sahut Wiro. “Aku akan melakukannya!”
Di depan sana Pangeran harjokusumo telah sampai di hadapan Sri Baginda. Saat itu terdengar Sri Baginda berkata, “Harjokusumo, walau bagaimanapun kau tetap adik kandungku! Tapi dosa dan kesalahanmu sangat besar. Bukan hanya terhadapku, tetapi juga terhadap rakyat dan Kerajaan. Kau membunuh ratusan rakyat dengan jalan menyuruh kaki tanganmu menyebar racun...”
“Itu tak pernah kulakukan! Itu fitnah keji!” teriak Pangeran Harjokusmo.
Sri Baginda tertawa lalu berkata pada Patih Singaranu yang ada disampingnya. “Perlihatkan anak panah yang kau bawa itu, paman Patih.”
Patih Singaranu memperlihatkan anak panah yang ada cap tiga bintangnya. “Ini milikmu! Dipakai untuk membunuh salah seorang kaki tanganmu guna menutup rahasia...!”
“Busuk!” teriak Pangeran Harjokusumo. “Sebuah busur dan sekantong anak panah milikku lenyap secara aneh sebulan yang lalu. Si pencuri pasti menyalah gunakannya...”
“Dalihmu setipis angin pagi, adikku! Kau menginginkan kekuasaan yang lebih besar. Ingin menggulingkan tahtaku dengan membuat kekacauan keji! Membunuh rakyat di timur yang berdosa dengan harapan agar kami menjadi lemah dan kacau. Lalu kau menyusup melakukan penyerbuan. Tapi aku lebih cepat adikku! Kami melumpuhkanmu seperti yang terjadi saat ini!”
“Aku tak ingin mendengar ucapan-ucapanmu lagi Sri Baginda. Aku siap menerima kematian!”
“Itu memang sudah jadi bagianmu!” jawab Sri Baginda. Pedang di tangannya diangkat tinggi-tinggi.
********************
EMPAT BELAS
Selesai mengatakan hendak berusaha menanggalkan sarung tangan hitam yang dipakai Sri baginda, Pendekar 212 Wiro Sableng segera melangkah. Namun baru bergerak dua tindak, tiga orang menghadang jalannya. Mereka bukan lain adalah seorang Perwira Tinggi Kerajaan Timur beserta dua tokoh silat. Dua tokoh silat ini ternyata adalah Tapak Jingga dan Suro Markum!
“Kalian berempat kami tangkap! Jangan berani melawan!” begitu si Perwira Tinggi membentak.
Wiro sadar benar, waktunya sangat sempit untuk menyelamatkan Pangeran Harjokusumo apalagi untuk menanggalkan sarung tangan Sri Baginda. Maka tanpa banyak bicara dia jatuhkan diri seraya berkata,
“Kami tidak tahu melakukan kesalahan apa, tapi sesuai perintahmu aku menyerahkan diri!”
Selesai berkata begitu Wiro dengan satu gerakan kilat cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan hantamkan gagang senjata mustika ini ke perut si Perwira Tinggi. Orang ini menjerit keras, mencelat diantara Tapak Jingga dan Suro Markum lalu tergeletak di lantai tanpa kabarkan diri lagi.
Suro Markum dan Tapak Jingga, walau sudah tahu kehebatan murid Sinto Gendeng, namun tak bisa berbuat lain dari pada tetap harus menyerbu. Dan akibatnya mereka harus merasakan hantaman keras gagang senjata di tangan Wiro. Keduanya roboh menyusul si Perwira Tinggi tadi. Pendekar 212 memang sengaja tidak mau membunuh ketiga orang itu karena dia yakin ada sesuatu yang tidak beres yang nanti perlu dikorek dari mulut mereka.
Ruangan besar dalam Keraton itu menjadi geger ketika Kapak naga Geni 212 berkiblat memancarkan sinar menyilaukan. Udara menjadi panas dan dalam ruangan menderu suara seperti ribuan tawon mengamuk! Tidak kepalang tanggung, Wiro juga lepaskan dua kali pukulan Sinar Matahari ke arah dinding keraton sebelah kiri hingga hancur berantakan.
Dalam keadaan kacau begitu Wiro Sableng melompat ke arah Pangeran Harjokusumo dan mendorong pangeran ini keras-keras kesamping, tepat pada saat pedang di tangan Sri Baginda membabat ke arah lehernya dengan sebat!
“Bangsat rendah! Siapa kau?!” teriak Sri Baginda marah sekali lalu memburu dengan pedangnya ke arah Wiro.
“Ah, dulu pernah kutolong. Hendak mengangkatku jadi Kepala Pasukan Kotaraja sebagai balas jasa! Tapi saat ini dia tidak mengenaliku, malah memburu dengan pedang! Orang ini pasti bukan Sri Baginda! Bangsat!” maki Wiro.
Dia membuang diri kesamping ketika pedang menikam ke dadanya. Sekali lagi Sri Baginda menghunjamkan senjatanya ke arah perut namun saat itu Wiro sudah menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata di tangan Sri Baginda terpental patah dua dan leleh ujung-ujungnya. Sri baginda sendiri terjatuh tumpang tindih dengan Patih Singaranu.
Sang patih walau dalam keadaan jatuh masih sempat lepaskan satu hantaman tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Namun dengan sekali menyapukan kapak mustikanya serangan lawan amblas dan sang patih mengerang karena dadanya seperti ditusuk ratusan jarum panas!
Terhuyung-huyung Sri Baginda mencoba berdiri. Saat itulah Wiro cekal tangan kanannya dan memuntirnya kebelakang. Dengan sekali tarik saja Wiro berhasil menanggalkan sarung tangan hitam di tangan kanan Sri Baginda. Terlihatlah sebuah tahi lalat lebar, hitam dan berbulu!
"Semua yang hadir disini!” Wiro berteriak dengan mengerahkan tenaga dalam hingga semua orang tergagap dan sama berpaling kepadanya.
“Apakah Sri Baginda kalian memiliki tahi lalat seperti ini di tangan kanannya?!“ Wiro lalu acungkan tangan yang dipuntirnya itu ke depan.
Semua orang menatap tajam, lalu saling pandang. Satu demi satu mulai gelengkan kepala dalam herannya.
“Kalau begitu dia bukan Raja kalian. Tapi monyet yang menyamar! Mari kita lihat tampangnya yang asli!”
"Brettt! Brettt! Brettt...!"
Sri Baginda menjerit keras. Entah mengapa Patih Singaranu juga ikut-ikutan berteriak. Semua yang hadir ditempat itu melengak kaget ketika Wiro pergunakan tangan kanannya untuk merobek sehelai topeng yang sangat tipis di wajah Sri Baginda. Begitu topeng tersebut tanggal, kelihatanlah wajahnya yang asli!
“Raden Anom Wiraculo!” semua orang berseru hampir berbarangan. “Aha!” seru Wiro pula. “Ternyata monyet ini bernama Raden Anom Wiraculo! Putera Mapatih Raden Mas Singaranu!”
Wiro lalu lepaskan puntrian tangannya, dorong orang itu kedepan hingga terhuyung-huyung. Puluhan manusia segera menyerbu untuk menghajarnya tapi Pangeran Harjokusumo cepat menghalangi.
“Dia dan ayahnya jelas menjadi dalang pertumpahan darah ini! Niatnya jelas, menginginkan tahta Kerajaan secara sangat licik. Mereka berdua pasti tahu dimana kakakku berada! Lekas katakan dimana Sri Baginda kalian sandera?!”
“Beliau... beliau ada di ruang bawah tanah Keraton Barat jawab Raden Anom Wiraculo.
Terdengar jeritan keras. Semua orang berpaling. Pangeran Harjokusumo berteriak mencegah tapi sia-sia saja. Kalau dia masih bisa melindungi sang putera, namun sang ayah yaitu Patih Singaranu tak sempat lagi diselamatkan. Puluhan senjata menancap di tubuh patih tua itu.
Disuatu sudut Perwira Muda Primadi masih tegak tertegun seakan-akan tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Dia merasa ada seseorang menyelipkan sesuatu di tangan kirinya. Tapi baru beberapa lama kemudian dia menyadari ada sesuatu dalam genggamannya itu. Ketika dia ingat dan memeriksanya, ternyata sehelai surat pendek, berbunyi;
Sahabat, ruangan ini terlalu pengap bau darah dan kematian. Aku pergi dulu mencari tempat yang lebih menyenangkan. Adikmu Primarani ikut menemaniku. Jangan marah...
Wiro Sableng
Perwira Muda Primadi hanya bisa geleng-geleng kepala. “Manusia sableng! Benar-benar sableng! Bagaimana dalam keadaan seperti ini dia masih sempat-sempatnya membuat surat. Dan menggaet adikku...!”
T A M A T