SINGA GURUN BROMO
SATU
WARUNG nasi Mbok Sinem kecil. Tapi tamunya selalu penuh dari pagi sampai malam. Lezat makanannya terkenal sampai ke mana-mana. Siang itu banyak orang bersantap di sana. Para pengunjung begitu selesai makan cepa-cepat membayar dan pergi. Mereka seperti mengawatirkan sesuatu.
Tapi nyatanya mereka tidak pergi begitu saja melainkan tegak di bawah pohon tak jauh dari warung. Orang-orang ini sengaja berdiri di sini, memandang warung, sepertinya ada sesuatu yang mereka tunggu dan hendak mereka saksikan.
“Kalau Singa Gurun Bromo berani muncul, dia tak bakal lolos!” berkata seorang lelaki muda berbadan langsing. Setelah menyedot rokok kawungnya dalam-dalam dia melanjutkan “Seharusnya dia tak perlu datang ke Kuto Inggil ini. Ah, mengapa dia berlaku setolol itu.”
“Bagaimanapun Kuto Inggil adalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan. Walau ayah dan ibunya sudah tak ada, tak ada sanak tak ada kadang, mana mungkin dia melupakan Kuto Inggil!” menyahuti kawan lelaki muda tadi.
Orang ketiga ikut bicara. “Enam tahun dia menghilang. Kalau dia berani muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat kejadian enam tahun lalu? Waktu dia melumpuhkan para pengawal kadipaten, memberi malu Adipati Dirgo Sampean?”
Orang pertama rangkapkan kedua lengannya di depan dada lalu berkata. “Singa Gurun boleh punya segudang ilmu. Tapi kau lihat berapa orang yang ada di dalam dan di luar warung itu. Lalu siapa-siapa saja mereka? Dulu kalau dia memang tidak bersalah seharusnya dia tak usah melarikan diri!”
“Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum tentu dia kabur karena bersalah. Bisa saja hanya untuk menghidari malapetaka yang lebih besar. Kau tahu sendiri kedua orang tuanya menjadi korban dari masalah yang tidak pernah terjelaskan itu...”
“Yah... Kita lihat saja. Apa yang bakal terjadi kelak.”
Saat itu di dalam warung nasi Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu yang duduk menikmati makan siang terdepat enam orang berpakaian petani. Yang dua bertubuh tegap kekar serta memiliki pandangan mata liar. Mereka adalah dua orang perwira tinggi kerajaan yang bersama perajurit manyamar sebagai petani. Dibalik baju-baju gombrrong yang mereka kenakan, tersembunyi golok.
Di luar warung masih ada delapan perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak jauh dari warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar lima puluh tahun. Sikat mereka tenang tapi pandangan mata keduanya tajam. Mereka adalah tokoh-tokoh silat Istana. Yang pertama dikenal degnan nama Ki Bumi Wirasulo dan satunya Mangku Sanggreng.
Kedua tokoh silat ini muncul di Kuto Inggil atas permintaan Adipati Dirgo Sampean setelah salah seorang dari mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji Argomanik, pemuda yang lebih dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan muncul di Kuto Inggil setelah menghilang selama enam tahun.
Saat itu udara panas sekali. Matahari bersinar terik. Sudah sejak lama hujan tak pernah turun. Bumi Tuhan menjadi gersang. Kalau angin bertiup debu jalanan beterbangan menyakitkan mata dan menyesakkan jalan nafas.
“Lihat! Singa Gurun datang!” Seorang berseru seraya menunjuk ke ujung jalan. Semua mata serta merta memandang ke arah yang ditunjuk.
“Dia benar-benar berani mati!”
Di tikungan jalan saat itu muncul seprang penunggang kuda coklat berpakaian dan berikat kepala putih. Debu beterbangan di belakang kuda tunggangannya. Dalam waktu singkat dia sudah berada di depan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan kudanya pada sebuah tiang bambu sambil bersiul-siul dia melangkah menuju pintu warung. Masuk ke dalam warung dilihatnya hanya ada satu bangku yang masih kosong, tepat di tengah ruangan.
Sesaat pemuda ini tegak mengusap-usap dagunya. Dalam hatinya dia berkata “Aneh satu-satunya bangku kosong berada di tengah ruangan. Sepertinya ada yang sengaja mengatur.”
Setelah melirik ke kiri dan ke kanan pemuda ini lalu melangkah ke arah bangku kosong. Baru saja dia duduk di situ tiba-tiba beberapa orang di sekitar meja berdiri dan terdengar suara-suara senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul suara bentakan-bentakan.
“Singa Gurun Bromo! Jangan kau berani bergerak!”
“Berani melawan amblas nyawamu!”
Pemuda yang barusan duduk di bangku tentu saja menjadi kaget dan memandang berkeliling. Enam orang lelaki tak dikenal mengurung dengan golok di tangan. Yang dua dengan gerakan kilat menyergap ke arahnya. Satu menempelkan ujung golok ke perut dan satunya lagi membelintangkan senjatanya di leher si pemuda.
Setelah sirap kagetnya, si pemuda tampak tenang, malah meyeringai. “Sobat! Kalau kalian hendak merampokku, kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang manusia miskin! Apaku yang hendak kalian rampok?”
Enam orang yang mengurung tampak berubah kelam tampang mereka tanda menahan amarah. Yang menghunuskan goloknya ke leher si pemuda tekankan senjatanya hingga kulit leher pemuda itu teriris luka. Dia berkata dengan suara bergetar.
“Kami bukan perampok. Aku dan kawanku adalah perwira tinggi kerajaan. Empat orang ini perajurit-perajurit kelas satu.”
“Eh, hebat! Lalu apa mau kalian? Hendak menyembelihku?! Aku bukan singa, apalagi kambing!”
“Sebelum mampus memang tak ada salahnya kau bergurau dulu. Nanti kalau sudah di liang kubur buronan Singa Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setan-setan kuburan!”
“Eh, kau menyebut aku buronan? Kau tadi menyebut namaku apa? Singa Gurun...?
“Panji Argomanik! Jangan kau berpura-pura!” bentak orang yang menodong dengna ujung goloknya ke perut si pemuda.
“Nah, nah! Sekarang kau menyebut aku Panji Argomanik! Kalian ini aneh-aneh saja! Sudah pergi sana! Aku ke sini mau mengisi perut bukan ikut-ikutan sandiwara konyolmu ini!”
“Siapa yang konyol dan siapa yang main sandiwara!” bentak salah seorang dari perwira tinggi itu. “Aku Kunto Areng. Perwira Kerajaan. Mengikuti amarah aku bisa mencincangmu saat ini juga. Tapi Sri Baginda dan Adipati ingin melihat kau mampus di tiang gantungan!”
“Mencincangku? Memangnya aku daging perkedel?!” semprot si pemuda lalu menyeringai lebar.
“Setan alas!” maki Kunto Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerak cepat menusuk ke arah dada si pemuda untuk menotok. Tapi dengan cepat si pemuda itu angkat tangan kanannya. Sekali bergerak dia berhasil menangkap lengan Kunto Areng.
“Orang gila!” desis pemuda itu. “Siapapun kau adanya, aku muak melihat tampangmu! Aku bukan Panji Argomanik, juga bukan singa Gurun Bromo! Pergi!” si pemuda tahan tangan kanan Kunto Areng yang memegang golok dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya dengan cepat membuat gerakan aneh.
Tahu-tahu tubuh perwira tinggi kerajaan itu terlempar ke atas. Dari mulut Kunto Areng keluar suara jerit kesakitan. Sambungan siku dan sambungan tulang bahunya berderak. Melihat kejadian ini, Jalak Toga, perwira tinggi yang satu lagi segera tusukkan goloknya ke perut si pemuda. Namun dia kalah cepat.
Si pemuda sudah dapat menerka apa yang bakal dilakukan orang itu. karenanya sebelum tusukan datang dia sudah berkelit ke samping. Dari samping dia hantam tengkuk Jalak Toga dengan pukulan tangan kiri. Rupanya perwira ini juga sudha maklum datangnya serangan balasan itu. dia membungkuk sambil membabatkan goloknya.
“Bretttt!”
Pinggang baju putih si pemuda robek besar disamber golok Jalak Toga tapi dirinya sendiri selamat. Warung nasi itu serta merta menjadi kacau balau. Kunto Areng yang masih dalam keadaan kesakitan, pindahkan goloknya ke tangan kiri. Dia memberi isyarat pada empat perajurit di dekatnya.
Kini pemuda berpakaian puih itu dikeroyok habis-habisan. Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai penjuru. Si pemuda yang meamang memiliki kepandaian tinggi dan saat itu hanya mengandalkan tangan kosong menangkis dan mengelak dengan cekatan. Satu kali dia berhasil menjotos keras muka salah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit ini terpental dengan muka yang bersimbah darah karena hidung dan mulutnya pecah dihantam tinju si pemuda.
Meskipun dikeroyok begitu rupa di mana serangan golok datang silih berganti, namun si pemuda tampaknya seperti sengaja mempermainkan para penyerangnya. Dia berkelebat kian kemari. Kadang-kadang naik ke ujung bangku panjang dengan gerakan keras hingga ujung bangku yang lain mencuat naik menjadi perisainya. Terkadang dia melompat ke atas meja yang masih dipenuhi makanan. Lalu enak saja dia menendangi makanan-makanan itu hingga mencelat melumuri pakaian atau muka para pengeroyok.
“Kawan-kawan!” Kunto Areng berteriak marah setelah sebutir telur bercabe menghantam mata kirinya sehingga dia jadi kalang kabut kesakitan dan keperihan. “Aku perintahkan kalian untuk mencincang manusia satu ini!”
Lalu dia memberi isyarat pada Jalak Toga. Melihat isyarat ini Jalak Toga segera robah permainan goloknya, mengikuti gerakan-gerakan Kunto Areng. Memang kedua orang ini memiliki ilmu golok hebat yang khusus dimainkan secara berpasangan. Serangan mereka datang laksana curahan air hujan, membuat si pemudai kini tak berani lagi petantang petenteng dan harus bertindak hati-hati kalau tak mau tubuhnya terkuntung-kuntung. Selain itu masih ada serangan tiga perajurit lainnya yang menambah beratnya tekanan para pengeroyok.
Dua jurus berlalu cepat. Lalu dua jurus lagi. Kunto Areng dan Jala Toga mulai saling melirik. Keduanya sama-sama heran melihat kenyataan bahwa setelah keluarkan ilmu golok andalan dan masih dibantu oleh tiga perajurit yang berkepandaian tidak rendah, ternyata senjata-senjata mereka masih belum dapat menyerntuh tubuh lawan, bahkan bajunyapun tidak!
“Kunto...” berkata jalak Toga. “Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang dimainkan pemuda ini bukan ilmu silat Singa Gurun. Jangan-jangan...”
“Mengapa musti ragu!” balas Kunto Areng. “Enam tahun menghilang bukan mustahil dia telah mendapatkan ilmu baru! Memang terus terang kita belum pernah melihat jelas tampang pemuda ini di masa lalu! Tapi aku yakin kita tiak menghadapi orang lain. Dia pasti Singa Gurun Bromo!”
Baru saja kedua orang itu selesai bicara tiba-tiba pemuda yang mereka keroyok kembali melompat ke atas meja makan panjang. Di sini dia tegak tolak pinggang sambil cengar cengir. Lalu seperti seorang gila dia melenggak lenggok kian kemari. Sesekali tubuhnya terhuyung seperti orang mabok hendak jatuh. Sesekali dia melompat sambil tertawa mengekeh lalu membuat gerakan seperti hendak jatuh duduk.
Dengan gemas para pengeroyok menyerbu karena mereka menyangka tengah diejek dan melihat si pemuda kini merupakan sasaran empuk. Tetapi para pengeroyok terutama dua perwira tinggi itu diam-diam jadi terkejut ketika mereka dapatkan justru dengan membuat gerakan-gerakan aneh itu si pemuda semakin sulit untuk dirobohkan.
Malah dalam satu gebrakan hebat, kaki kiri lawan berhasil menghantam kepala seorang perajurit hingga tak ampun lagi perajurit ini terpelanting, terkapar di atas salah satu meja, tak berkutik lagi. Rahang kirinya remuk. Dua perajurit lainnya menjadi ciut nyalinya masing-masing sementara dua perwira tinggi walaupun tercekat melihat kejadian itu tetap harus terus menggempur.
“Para sahabat! Biar kami bantu kalian meringkus tikus comberan ini!” Satu suara terdengar dari luar warung. Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat masuk. Mereka ternyata adalah dua tokoh silat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo.
DUA
Sebenarnya baik Kunto Areng maupun Jalak Toga merasa agak malu menerima bantuan itu karena hal ini menunjukkan ketidak mampuan mereka merobohkan atau meringkus si pemuda. Namun dari pada urusan menjadi kapiran di mana mereka mungkin akan mendapat malu lebih besar maka keduanya diam saja dan menerima bantuan kedua tokoh silat itu. Agar tidak terlalu malu maka Mangku Sangreng sengaja berkata dengan suara dikeraskan.
"Memang tugas kita semua untuk membekuk cacing tanah ini! Tapi aku ingin dia dicincang di tempat ini juga!”
Ki Bumi Wirasulo menyeringai. “Sesuai pesan, dia justu harus ditangkap hidup-hidup. Bukankah Sri Baginda dan Adipati Dirgo Sampean ingin menyaksikan kematiannya d tiang gantungan?!”
“Perintah atasan, apalagi perintah raja memang harus dijalankan. Aku mengikuti apa mau kalian berdua saja!” berkata Kunto Areng.
Dengan masuknya dua orang tokoh berkepandaian tinggi itu jalannya perkelahian kini menjadi berat sebelah. Tapi konyolnya, pemdua yang dikeroyok tetap saja cengar cengir. Memang sampai dua jurus di muka si pemuda masih belum tersentuh tangan atau senjata lawan. Namun sedikit demi sedikit keadaanya semakin terjepit. Di satu sudut warung dia harus bertahan mati-matian dengan hanya mengandalkan sebuah kursi kayu. Dalam waktu singkat kursi kayu ini musnah berantakan dibabat golok Kunto Areng dan Jalak Toga!
“Sialan!” maki si pemuda. Kedua tangannya segera diangkat.
Mangku Sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo segera maklum kalau lawan hendak menghantam dengan pukulan tangan kosong jarak jauh yang mengandung kesaktian dan tenaga dalam. Kedua tokoh silat ini saling memberikan isyarat. Tangan mereka tampak bergerak ke pinggang. Ketika diangkat ternyata mereka memegang seutas tali halus berwarna putih. Si pemuda maklum kalau lawan hendak menjirat atau mengikatnya.
Maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tiba ada asap kelabu mengepul menutupi pemandangan. Di lain kejap dia merasakan ada sesuatu yang menggelung kedua lengannya. Ketika asap kelabu sirna, si pemuda dapatkan kedua tangannya telah terikat ketat oleh tali halus putih itu!
“Celaka!” keluh si pemuda. Dia kerahkan tenaga untuk meloloskan atau memutuskan ikatan tali halus. Tapi sia-sia saja. Selagi dia sibuk berusaha membebaskan diri, Mangku Sanggreng berkelebat menotok punggungnya dari belakang. Tak ampun lagi pemuda itu menjadi kaku tegang tak bisa berkutik ataupun bersuara!
“Gotong dia! Lemparkan ke dalam gerobak!” perintah Mangku Sanggreng.
Empat orang perajurit segera menggotong pemuda yang tertotok itu keluar lalu melemparkannya ke dalam sebuah gerobak yang telah menunggu di halaman depan warung. Orang-orang kerajaan dan dua tokoh silat Istana menyusul keluar. Sampai diluar Kunto Areng mendekati Ki Bumi Wirasulo.
“Sesuai pesan begitu tertangkap Singa Gurun Bromo harus segera di bawa ke Kotaraja. Tapi kalau kita langsung berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan sampai. Bagaimana kalau kita mampir dulu di kadipaten. Selain melapor bukankah Adipati juga ingin lebih dulu menghajar pemuda keparat itu?”
Ki Bumi Wirasulo tak segera menjawab. Dia melirik pada Mangku Sanggreng seolah minta pendapat. Mangku Sanggreng kemudian berkata. “Tangkapan besar sudah kita dapat. Rasa tegang kini jelas seudah berkurang. Di samping itu kita perlu sedikit istirahat. Bagaimana kalau kita menuju ke kadipaten saja dulu. Menginap disana lalu pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan!” Habis berkata begitu mangku Sanggreng mendekatkan mukanya ke muka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.
“Aku sudah beberapa bulan tidak melihat tubuh telanjang Ni Suri Arni, perempuan penghibur di kadipaten itu. Kau tentu akan mencari kesempatan pula menemui pacarmu si gemuk Larawati, bagaimana...?”
Ki Bumi Wirasulo tersenyum. Lalu dia berpaling pada dua perwira kerajaan dan berkata. “Aku setuju kita mampir dan menginap di kadipaten. Besok pagi-pagi sekali baru kita berangkat menuju Kotaraja.”
Tepat dengan turunnya malam rombongan yang membawa tawanan bernama Panji Argomanik dan berjuluk Singa Gurun Bromo itu memasuki kawasan luar Kadipaten Lumajang. Saat itu hujan yang sudah lama tidak turun tiba-tiba saja jatuh rintik-rintik. Udara siang yang tadi panas membakar kulit kini berubah menjadi dingin. Waktu rombongan berada di kaki sebuah bukit kecil. Di balik bukit itulah terletak Lumajang yang menjadi tujuan.
“Percepat jalan! Aku tak mau basah kuyup kehujanan!” berteriak Mangku Sanggreng.
Setiap anggota rombongan menggebrak kuda-kuda masing-masing. Sais gerobak mencambuk dua kuda penarik gerobak agar binatang-binatang itu menghambur lebih cepat. Kunto Areng yang berkuda di sebelah depan tiba-tiba berseru.
“Lihat! Ada nyala api di dalam hutan sana!”
“Rombongan berhenti!” teriak Mangku Sanggreng. Lalu mereka sama memperhatikan ke arah hutan kecil di tepi kiri jalan.
“Aneh,” kata Ki Bumi Wirasulo.
“Ya, memang aneh!” menyahuti Jalak Toga. “Setahuku hutan ini jarang didatangi orang. Hari gerimis pula. Siapa yang menyalakan api itu? Kelihatannya seperti api unggun.”
“Mungkin kelompok penjahat pimpinan Warok Keling!” ikut bicara Kunto Areng.
Saat itu tercium bau daging panggang yang sedap dan harum sekali. Hal ini membuat setiap anggota rombongan seolah baru menyadari bahwa perut mereka memang minta diisi.
“Hemm, dugaanmu kurasa betul, Kunto.” Kata Ki Bumi Wirasulo. “Gembong penjahat itu justru sedang dicari-cari. Tidak ada salahnya kita saat ini berbuat pahala untuk kerajaan. Kalau kita berhasil meangkapnya Sri Baginda tentu sangat berbesar hati. Bagaimana kalau kita menyelidiki?”
Mangku Sanggreng menengadahkan kepalanya lalu menghirup udara malam yang gerimis itu dalam-dalam. “Aku setuju kita melakukan penyelidikan. Tapi hati-hati. Warok Keling memiliki kepandaian tidak lebih rendah dari Singa Gurun Bromo!”
Sebenarnya Kunto Areng merasa segan untuk ikut menyelidiki karena saat itu keadaan bahu dan sambungan sikunya masih terasa sakit akibat pelintiran Singa Gurun Bromo waktu terjadi perkelahian di warung siang tadi. Namun takut dianggap pengecut Kunto terpaksa menyetujui maksud pawan-kawannya itu.
Dua perwira tinggi dan dua tokoh silat Istana berunding. Kemudian mereka turun dari kuda masing-masing mendekati nyala api dari jurusan yang berbeda. Dua orang perajurit diajak serta, enam lainnya termasuk dua yang cidera sengaja ditinggal untuk menjaga gerobak berisi Singa Gurun Bromo.
Semakin dekat ke nyala api di dalam hutan, semakin santar dan harum bau daging panggang. Tak lama kemudian enam orang itu sudah mengurung perapian. Mereka melihat ada binatang yang sudah dikuliti tengah dipanggang di atas nyala api. Mungkin kelinci besar atau anak rusa. Tapi mereka tidak menemukan satu orangpun di tempat itu. tak ada kuda, tak ada kantong-kantong perbekalan atau tikar untuk tidur.
“Aneh, daging itu sudah hampir hangus. Tapi tak ada siapapun di tempat ini!” kata Ki Bumi Wirasulo.
“Mungkin orang yang memanggangnya sedang ke tempat lain...” kata Jalak Toga.
“Tak masuk akal,” sahut Mangku Sanggreng. “Sama sekali tidak ada tanda-tanda orang berkemah di tempat ini!”
“Lalu bagaimana? Kita sembunyi menunggu sampai ada yang muncul? Kurasa sabaiknya kita tinggalkan tempat ini!” berkata Kunto Areng yang memang ingin cepat-cepat pergi saja.
“Kita tunggu sebentar. Kalau memang tidak ada yang muncul kita akan pergi!” jawab Mangku Sanggreng. “Tapi daging panggang itu tak ada salahnya kita sikat dulu untuk mengganjal perut!”
lalu dia mendekati nyala api. Dengan sepotong ranting dia mengorek daging panggang lalu menyantapnya. Beberapa orang lainnya ikut mencicipi daging panggang itu. Hanya Kunto Areng dan dua orang perajurit yang tidak ikut makan. Selesai menghabiskan daging panggang orang-orang itu lalu bersembunyi di balik pohon atau semak belukar.
Waktu berjalan. Tunggu punya tunggu tetap tak ada yang muncul. Kunto Areng berpaling pada Ki Bumi Wirasulo. “Bagaimana?” tanyanya.
Yang ditanya berpaling pada Mangku Sanggreng. “Ya sudah. Kita kembali saja melanjutkan perjalanan ke Kadipaten.” Kata Mangku Sanggreng pula.
Orang-orang itu segera kembali ke tempat mereka meninggalkan kuda dan gerobak. Begitu sampai di tempat semula semuanya menjadi terkejut dan berseru tegang!
TIGA
Enam orang perajurit yang mengawal gerobak kelihatan terbujur malang melintang di tanah. Dua di antaranya tersandar ke sebatang pohon dan roda gerobak. Empat sudah tak bernyawa lagi. Mereka sudah menjadi mayat dengan kepala hancur. Yang dua dalam keadaan sekarat. Kuda-kuda tunggangan tak seekorpun di tempat itu. hanya dua kuda penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke dalam gerobak ternyata Singa Gurun Bromo tak ada lagi di situ!
“Kita tertipu!” teriak Jalak Toga dengan muka berubah pucat.
Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng dan yang lain-lainnya ikut pucat tampang mereka. Mereka sadar bahwa mereka telah tertipu.
“Celaka! Susah-susah kita menangkap manusia itu, tahu-tahu kini dia lenyap begitu saja!” ujar Mangku Sanggreng.
Ki Bumi Wirasulo walaupun sangat terpukul dan tak mampu mengeluarkan sepotong ucapanpun tapi otaknya coba berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Singa Gurun Bromo berada dalam keadaan tertotok. Jelas tak mungkin dia melarikan diri. Pasti ada yang menolongnya. Lalu siapa si penolong itu? Orang yang menyalakan api dan membakar daging hanya untuk sekedar menipu?
“Begitu mudahnya kita tertipu...!” Kunto Areng membuka mulut. “Kalau saja kita tidak menyelidiki apa yang ada di sini, tidak akan pemuda buronan itu bisa melarikan diri. Pasti ada orang pandai yang telah menolongnya!”
“Jelas memang begitu. Tapi siapa orangnya?!” tanya Mangku Sanggreng pula. Tak ada yang bisa memberikan jawaban.
“Gara-gara ingin tahu beginilah jadinya!” gerutu Jalak Toga. “Apa yang akan kita lakukan sekarang? Meneruskan perjalanan ke Kadipaten lalu ke Kotaraja. Memberi laporan bahwa kita kebobolan? Kita semua pasti akan didamprat habis-habisan. Aku akan kehilangan jabatan sebagai perwira. Kalian semua bakal mengalami hal yang sama! Kalau sudah begitu...”
“Tutup mulutmu Jalak!” bentak Ki Bumi Wirasulo tiba-tiba. “Tak ada gunanya memaki dan menggerutu panjang lebar. Semua salah kita...”
“Siapa tadi yang punya usul untuk melakukan penyelidikan?!” memotong Kunto Areng. “Dia yang bertanggung jawab!”
Semua mata lantas ditujukan pada Ki Bumi Wirasulo. Memang dialah tadi yang mula-mula mengajak untuk menyelidik nyala api di dalam hutan itu.
Paras tokoh silat Istana itu jadi berubah mengelam. “Jadi kalian menuduh aku yang salah dan harus bertanggung jawab? Bangsat! Aku memang mengajak tapi kalian semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harus ikut bertanggung jawab!”
“Sudah tak perlu kita bertengkar di tempat ini!” Mangku Sanggreng menengahi. “Adipati dan Sri Baginda yang nanti akan menjatuhkan putusan. Kita harus melanjutkan perjalanan. Aku dan Wirasulo akan mempergunakan dua ekor kuda penarik gerobak itu agar bisa berangkat lebih dulu dan melapor dengan cepat! Kalian agaknya terpaksa harus jalan kaki. Tapi kadipaten tak berapa jauh lagi...”
“Kau memilih enakmu saja!” memotong Jalak Toga. “Kalau kami harus jalan kaki semua harus jalan kaki!” Lalu dia cabut goloknya. Dengan senjata ini diputuskan tali-tali pengikat dua ekor kuda ke gerobak. Lalu digebraknya binatang-binatang itu hingga menghambur lari dalam kegelapan malam.
“Keparat kau Jalak Toga! Apa maksudmu melakukan hal itu?!” bentak Ki Bumi Wirasulo seraya melompat ke hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudah siap menyambuti sergapan orang dengan hantaman tinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan cepat menengahi.
“Kalian tolol semua! Mengapa bertengkar dan saling gebuk? Kita berangkat sama-sama, sampai di tujuan harus sama-sama. Ayo semua jalan kaki!” lalu dengan langkah terhuyung-huyung karena bahu dan sikunya masih sakit Kunto Areng melangkah lebih dulu.
Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng masih memandang melotot pada Jalak Toga. Terdengar Ki Bumi kemudian berkata dengan suara ketus. “Kalian perwira-perwira kerajaan memang sejak dulu merasa iri melihat Sri Baginda lebih memperhatikan kami tokoh-tokoh silat Istana. Itu semua karena ketololan kalian sendiri yang mabuk pangkat...”
Jalak Toga menyeringai. “Setelah kejadian ini, kita akan lihat Ki Bumi. Apakah Sri Baginda akan tetap memanjakan kalian tokoh-tokoh silat yang kerjanya lebih banyak petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa main perempuan!”
“Kurang ajar kau Jalak! Jaga mulutmu!” teriak Mangku Sanggreng marah lalu melompat ke hadapan Jalak Toga hendak menampar muka perwira tinggi Kerajaan itu.
Jalak Toga cepat cabut goloknya seraya mengancam. “Teruskan gerakanmu. Kutebas putus tangan celakamu!”
Rahang Mangku Sanggreng menggembung. Ki Bumi Wirasulo memegang bahunya. “Sudah Mangku. Sabarlah sedikit hatimu. Masih ada waktu untuk memberi pelajaran sopan santun pada cacing tanah ini!”
“Aku bersumpah untuk menghajarmu agar kau bisa bicara lebih tahu peradatan!” kata Mangku Sanggreng pula.
Jalak Toga menjawab dengan meludah ke tanah lalu memutar tubuh dan melangkah menyusul kawannya Kunto Areng.
“Aku ingin membunuh bangsat itu malam ini juga!” kata Mangku Sanggreng begitu Jalak Toga berlalu.
“Sama, aku juga!” jawab Ki Bumi Wirasulo. “Tapi jangan sekarang. Kita harus mencari saat yang baik...”
Apa sebenarnya yang telah terjadi sewaktu Ki Bumi Wirasulo dan anggota rombongan lainnya memasuki hutan untuk menyelidiki nyala api?
Hanya beberapa saat setelah orang-orang itu melangkah pergi masuk ke dalam rimba belantara, dari balik sebuah pohon besar di tepi jalan keluar satu bayangan putih. Sosok ini bergerak cepat menuju gerobak di mana tergeletak pemuda yang dituduh sebagai Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo.
Ketika dia hendak melompat ke dalam gerobak, dua orang perajurit pengawal sempat melihatnya dan berteriak. Bersama dua orang kawannya perajurit ini segera melompat dengan golok di tanan. Orang yang hendak melompati gerobak itu ternyata seorang pemuda berpakaian serba putih dengan ikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.
“Siapa kau?!” hardik salah seorang perajurit.
Baru saja dia membentak begitu, kaki kanan pemuda itu tiba-tiba melesat.
“Krakkk!” perajurit yang barusan membentak terpental dan roboh tanpa nyawa lagi. Mukanya hancur dimakan tendangan!
Tentu saja tiga kawannya menjadi marah. Dua lainnya yang berada dalam keadaan cidera juga tidak tinggal diam. Mereka cabut golok masing-masing dan ikut membantu kawannya mengeroyok si pemuda.
Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda tak dikenal itu melompat ke atas kereta. Lalu dari atas kereta tendangan-tendangannya berkelebat menebar maut. Tiga perajurit menemui kematian dilanda tendangan kakinya yang memang luar biasa. Dua perajurit lainnya masih untung hanya cidera muntah darah, namun agaknya nyawa mereka pun tak bakal lama. Bagian tubuh mereka di sebelah dalam ada yang pecah.
Setelah menghajar keenam perajurit itu, pemuda tadi berbalik ke arah Singa Gurun Bromo yang tergeletak di lantai gerobak. Dia telah sempat menyaksikan kehebatan pemuda tak dikenal ini menghajar enam perajurit tadi.
Si rambut coklat membungkuk. Dia memeriksa tubuh Singa Gurun Bromo dengan cepat lalu membalikkannya. Dengan ujung-ujung jarinya dia kemudian lepaskan totokan di punggung pemuda itu.
“Terima kasih! Kau siapa?!” tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.
“Nanti saja kujawab pertanyaanmu,” jawab si pemuda. “Kita tak ada waktu banyak. Harus lekas pergi dari sini sebelum orang-orang itu kembali!”
“Sesudah kau tolong begini aku justru ingin mencari keparat-keparat itu. Ingin aku menggebuk mereka satu persatu. Enak saja aku diperlakukannya seperti ini!”
Pemuda penolong tersenyum. “Kau mau ikut aku atau tidak?”
“Tidak! Kecuali kau terangkan siapa dirimu!”
“Baiklah. Aku Panji Argomanik orang yang mereka juluki Singa Gurun Bromo!” kata pemuda itu pada akhirnya.
Si gondrong yang satu jadi melengak kaget, garuk kepala dan mendamprat. “Sialan! Gara-gara kau aku jadi dibuat babak belur begini!”
“Aku sudah tahu apa yang terjadi dengan dirimu sejak awal. Itu sebabnya aku menguntit perjalanan rombongan. Aku yang membuat nyala api di dalam hutan dan memanggang seekor kelinci besar sebagai tipuan. Begitu mereka menyelidi masuk ke dalam hutan aku segera keluar dari persembunyian!”
“Sialan! Lalu bagaimana orang-orang itu tidak bisa membedakan aku dengan kau?!”
“Usia kita sebaya. Potongan tubuh agak serupa. Lagi pula orang-orang itu tidak pernah mengenal jelas tampangku. Apalagi setelah enam tahun aku menghilang!”
“Sialan!” maki si rambut gondrong sambil menggaruk kepalanya kembali. “Dari tadi kau hanya memaki saja sobat. Coba katakan dulu siapa namamu!”
“Aku Wiro Sableng!”
“Namamu boleh juga. Kuharap kau tidak sableng beneran!” kata Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo yang asli.
“Kenapa kau menolongku?” tanya Wiro.
“Aku tidak tega. Kau hanya korban ketololan orang-orang itu. Mereka mencari aku tapi menyangka kaulah Singa Gurun Bromo itu. Masakan aku sampai hati membiarkan kau digantung tanpa salah dan dosa!”
“Ah, kau orang baik. Aku ikut denganmu!” kata Wiro
“Bagus. Cepatlah. Orang-orang itu agaknya segera akan kembali ke tempat ini!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk kepalanya. Sambil menggeleng dia berkata. “Gila! Bagaimana aku bisa mendapat pengalaman pahit seperti ini. Kalau tidak kau tolong pasti aku akan jadi mayat di tiang gantungan!”
“Sudah jangan mengoceh juga. Mari!” Singa Gurun Bromo berrkelebat turun dari atas gerobak. Murid Sinto Gendeng bergerak mengikuti. Di satu tempat Wiro bertanya.
“Apa dosamu hingga ada Adipati bahkan Raja ingin menggantungmu?!”
“Kita cari tempat yang baik. Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus menemui seseorang dulu di Kuto Inggil!”
“Orang tuamu?”
Singa Gurun Bromo menggeleng. “Mereka sudah meninggal.”
“Hem... Kalau begitu pasti kau menemui seorang perempuan. Kekasihmu! Betul?!”
Sambil berlari Panji Argomanik berpaling “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja. Jika dalam keadaan berbahaya seorang pemuda masih memerlukan menemui orang lain, pasti yang ditemuinya itu adalah kekasihnya!”
“Rupanya dalam soal perempuan otakmu cerdik juga!” kata Panji Argomanik pula yang disambut gelak tawa oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Astaga! Janagn kau tertawa keras-keras. Sekali terdengar oleh orang-orang itu bisa berbahaya...”
“Siapa takutkkan mereka? Terus terang aku penasaran hendak menjajal kepandaian mereka. Sialan! Mereka menipuku dengan asap kelabu itu. Tahu-tahu kedua tanganku sudah terikat!”
“Dua orang yang muncul kemudian itulah dua tokoh silat Istana. Ki Bumi Wirasulo dan Mangku sanggreng. Mereka selalu berkelahi berpasangan. Mereka berasal dari satu guru. Kepandaian mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi. Namun mereka memiliki kecerdikan luar biasa dan senjata-senjata aneh. Di antaranya Benang Dewa yang sempat membuatmu tak berdaya itu!”
Diam-diam Wiro mengagumi ilmu lari yang dimiliki Singa Gurun Bromo. Namun jika dia mengerahkan seluruh kepandaiannya pasti Singa Gurun Bromo itu sanggup ditinggalkannya sampai sejauh seratus langkah di balakangnya. Tapi murid Sinto Gendeng tidak ingin membuat pemuda itu kecewa. Lagi pula selain menyukainya, Wiro juga ingin tahu mengapa dia sampai jadi buronan para penguasa. Lalu karena dia yang menjadi pimpinan dalam pelarian itu maka Wiro biarkan sahabat barunya itu berlari di sebelah depan.
EMPAT
Dua pemuda yang baru saling kenal itu lari ke arah Barat Kuto Inggil di mana terletak sebuah kampung kecil bernama Telogosari.
“Hatiku tidak enak...” Kata Panji Argomanik begitu mereka memasuki pinggiran kampung. “Lihat ada kepulan asap di sebelah sana...?”
Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Panji dan mengangguk. “Sepertinya barusan saja ada kebakaran.” Kata murid Sinto Gendeng pula.
Panji Argomanik lari laksana terbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka masuk ke Telogosari lewat jalan kecil di sebelah Selatan. Beberapa buah rumah kayu dalam keadaan gelap gulita mereka lewati. Di ujung jalan, dekat sebuah gubuk kosong Panji hentikan larinya. Tangannya berpegang pada tiang bambu. Mukanya yang merah karena berlari tampak berubah pucat.
“Ya Tuhan...” Pemuda ini mengucap.
Murid Sinto Gendeng tak perlu bertanya. Dia memperhatikan ke arah yang dipandang Panji. Di ujung jalan sebuah rumah kayu baru saja musnah dimakan api.
“Rumah kekasihmu...?”
Panji tak menjawab. Dia lari sambil berteriak. “Larasati...!”
Panji Argomanik tegak dengan tubuh gemetar di depan puing-puing rumah yang terbakar. Dia berteriak lagi. Tak ada yang menjawab. Sebuah palang kayu yang dimakan api berderak patah lalu jatuh. Panji hendak melompat ke dalam rumah yang masih dikobari api itu. Wiro cepat memegang tangannya.
“Jangan lakukan. Semua sudah musnah!”
“Aku kawatir Larasati ikut terbakar...” kata Panji dan jatuh berlutut.
Wiro memandang berkeliling. “Aneh,” katanya dalam hati. “Rumah satu ini terbakar. Tapi penduduknya yang diam di sekitar sini tak ada satupun yang keluar untuk memberikan pertolongan ataupun sekedar melihat. Ini bukan kebiasaan orang kampung!” Wiro lalu katakan rasa herannya itu pada Panji Argomanik.
“Aku yakin ini bukan kebakaran biasa!” kata pemuda berambut coklat itu. “Rumah ini sengaja dibakar! Jika penduduk tak ada yang berani keluar untuk menolong, pasti ada yang mereka takutkan!”
“Siapa menurutmu yang punya pekerjaan biadab ini Panji?”
“Tak dapat dipastikan. Tapi pangkal dari segala malapetaka ini hanya disebabkan oleh satu orang!”
“Siapa?”
“Adipati Lumajang. Dirgo Sampenan!”
“Kalau begitu kita bisa menyelidik ke Kadipaten.”
Panji mengangguk. “Aku memang sudah bersumpah untuk mematahkan batang leher adipati keparat itu dengan tanganku sendiri. Dia yang membuatku harus kabur dari Kuto Inggil. Juga dia penyebab kematian kedua orang tuaku. Pasti dia juga yang menyuruh bakar rumah ini. Larasati. Di mana kau Larasati...? Keparat! Jangan-jangan dia telah membakar kekasihku bersama rumah ini!” Panji Argomanik melompat berdiri. Rahangnya menggembung. “Aku harus memastikan dulu!” katanya. Lalu dia mengelilingi ruamh yang kobaran apinya mulai mengecil. Tiba-tiba terdengar teriakan Panji Argomanik.
Wiro cepat mendatangi. “Ada apa...?”
“Lihat di balik gedek yan masih terbakar itu...”
Wiro merasakan tengkuknya merinding. Di balik dinding kajang yang hampir musnah menyembul sepasang kaki yang belum sempat dimakan api. Di atas kaki ada sepotong hangusan kain panjang yang menyatakan si pemilik kaki adalah seorang perempuan.
“Mereka membakar Larasati! Mereka membunuh kekasihku!” teriak Panji Argomanik seperti gila. Dia hendak melompat ke dalam reruntuhan rumah yang terbakar. Lagi-lagi Wiro mencegahnya dengan memegang tangan pemdua itu erat-erat.
“Kita bisa mengambil tubuh yang terbakar itu Panji. Tapi tidak perlu dengan menyabung nyawa melompat masuk ke dalam api!”
Wiro lalu ambil sebatang bambu yang tersandar dekat sumur. Pada ujung bambu ini dikaitkannya seutas kawat yang dibentuk berupa lingkaran. Lalu dengan galah berkawat itu dia coba menjirat salah satu kaki yang terjulur di bawah dinding kajang. Bukan pekerjaan mudah, apalagi nyala api yang menyengat panas.
Dengan tubuh dan pakaian kuyup oleh keringat Wiro berhasil memasukkan lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah kajang. Lalu dengan tengkuk masih merinding, disaksikan dengan tegang oleh Panji Argomanik, murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai menarik kaki itu dengan hati-hati dan perlahan-lahan.
Sedikit demi sedikit sosok tubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar. Mula-mula kelihatan sepasang betis yang sudah hangus hitam. Lalu... Wiro mengerenyit. Panji pejamkan kedua matanya. Bagian tubuh di atas betis sampai ke pinggang bahkan sampai ke dada hanya tinggal tulang belulang gosong yang tak dapat dikenali lagi.
“Demi Tuhan... Teruskan Wiro. Tarik lagi. Aku ingin memastikan. Aku ingin melihat bagian kepalanya...” kata Panji Argomanik dengan suara gemeteran.
Dengan hati-hati Wiro kembali menarik galah bambu itu. Bagian dagu sosok yang terbakar mulai kelihatan. Tapi celakanya saat itu des! Lingkaran kawat yang dipakai untuk mengait pergelangan kaki putus tak tahan panas. Wiro terduduk. Panji Argomanik mengusap mukanya berulang kali.
“Wiro lakukan sesuatu! Aku harus melihat wajah orang itu!” teriak Panji seperti mau gila.
“Kalau sebagian tubuhnya sudah gsong, apa kau masih bisa mengenali tengkorak kepalanya yang mungkin sudah jadi debu?!”
“Tidak! Jangan ucapkan itu! Lakukan sesuatu! Demi Tuhan lakukan sesuatu atau aku akan melompat ke dalam api itu!” teriak panji Argomanik lagi.
Wiro berdiri. Perlahan-lahan dijangkaunya galah bambu tadi lalu berdiri, melangkah dan mencoba mendekati runtuhan rumah yang masih terbakar. Dengan ujung bambu dicobanya mendorong dan membalikkan sisa-sisa dinding kajang. Sekali, dua kali dan sampai tiga kali tidak berhasil. Wiro maju lagi beberapa langkah. Panasnya api bukan alang kepalang.
Wiro coba bertahan dengan segala kekuatan yang ada dia coba lagi membalikkan dinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding kajang yang terbakar terbalik ke kiri membuat nyala api serta debu hitam menggebubu ke atas. Di tanah, di antara puing-puing hitam reruntuhan yang terbakar tampak satu kepala yang sudah hitam dan tak dapat dikenali lagi. Di atas kepala masih tersisa sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.
“Ya Tuhan... Ya Tuhan...!” Nafas Panji Argomanik memburu dan dadanya turun naik. “Bukan dia Wiro. Bukan Larasati. Mayat ini berambut putih... aku yakin itu mayat Bibi kanoman yang selama ini memelihara Larasati...”
Wiro menarik nafas lega. Kalau itu mayat orang lain, lalu di mana kekasih sahabat barunya itu? Wiro tak berani mengucapkan hal itu.
“Kalau penjahat yang melakukan hal ini pasti Larasati diculik...”
“Mungkin kekasihmu tidak ada di rumah ketika rumah ini dibakar. Berarti dia dalam keadaan selamat.”
“Tak dapat kupastikan Wiro…. Aku harus menyelidikinya. Aku harus mendatangi gedung Adipati Dirgo Sampean! Biadab!”
Wiro memandang berkeliling. “Aku yakin ada satu atau dua tetangga di sekitar sini yang mengetahui apa yang telah terjadi. Aku akan gedor dan tanyai mereka!”
Pendekar 212 mendatangi sebuah rumah terdekat lalu mengetuk pintu rumah itu dengan keras. Digedor berulang kali tak ada yang menjawab apalagi muncul membuka pintu.
“Sialan!” Wiro memaki. Dia tendang pintu itu sampai jebol lalu pindah kerumah di sebelahnya. Setelah menggedor berulang kali akhirnya terdengar langkah kaki di sebelah dalam. Lalu muncul seorang lelaki separuh baya dengan muka pucat ketakutan.
“Kami... Kami tidak punya apa-apa. Kami petani miskin. Tak ada barang berharga yang bisa kuserahkan pada kalian...”
“Sialan! Aku bukan perampok!” hardik Wiro seraya menjambak sarung orang itu lalu menariknya keluar. “Tapi aku akan mematahkan batang lehermu kalau kau tidak menceritakan apa yang terjadi. Siapa yang membakar rumah itu!”
“Saya... saya...”
“Plakkk!” Wiro tampar orang itu dengan keras hingga dia terjajar nanar. Saat itu Panji Argomanik sudah berdiri di samping Wiro. Begitu orang bersarung melihat pemuda ini, kedua matanya menjadi besar. Rupanya dia mengenali siapa adanya pemuda ini.
“Kau... Panji... Kaulah yang mereka cari! Di desa tersiar kabar bahwa kau akan kembali ke Kuto Inggil. Mereka menyangka kau pasti akan datang ke sini. Tapi begitu mereka tidak menemukan kau, mereka terus membakar rumah. Membunuh Ibu Kanoman...”
“Bagaimana dengan Larasati?!” tanya Panji memotong.
“Mereka menculiknya. Mereka membawa lari kekasihmu. Kami penduduk tak berani menolong. Mereka berjumlah sekitar sepuluh orang...”
“Kau mengenali siapa mereka...?” Tanya Wiro.
Orang yang ditanya menggeleng. “Gerombolan rampok Warok Keling?” tanya Panji Argomanik.
“Tidak bisa saya ketahui Panji. Mereka menutupi wajah dengan kain... Mereka menunggangi kuda. Mereka melarikan diri setelah mendapatkan Larasati...”
Panji Argomanik mendengarkan keterangan itu dengan kedua tinju terkepal. “Kalau…. Kalau tak ada lagi yang hendak ditanyakan, izinkan aku masuk. Di dalam anak istriku setengah mati ketakutan...”
Wiro menarik tangan Panji Argomanik, mengajaknya meninggalkan tempat itu. “Kita harus mencari petunjuk siapa orang-orang yang menculik kekasihmu, Panji.”
“Kalau mereka bertopeng siapa yang bisa mengenali?!” ujar Panji hampir putus asa.
“Apa silang sengketamu sebenarnya dengan kerajaan dan Adipati Lumajang?”
“Aku dituduh membunuh seorang putera Pangeran yang tergila-gila pada Larasati dan ingin mengambilnya jadi istri. Adipati Lumajang yang paling marah atas kejadian itu karena berlangsung di wilayah kekuasaannya. Dia sengaja memburuku karena ingin berbuat pahala pada Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangeran dan Sri Baginda!”
“Aku ingat keterangan orang tadi. Katanya rombongan itu datang karena menyangka kau ada di rumah kekasihmu. Berarti mereka adalah suruhan sang Pangeran atau petugas-petugas Kerajaan. Berarti Sri baginda sendiri atau Adipati Lumajang yang menyuruh mereka untuk turun tangan!”
“Mungkin begitu. Tetapi mengapa mereka harus menutupi muka dengan kain segala? Berati mereka takut wajah masing-masing dikenal penduduk Telogosari!” menjawab Panji.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Matanya kemudian tertumpuk pada sebuah benda yag tergeletak di tanah. Dia melangkah mendekati dan memungutnya lalu memperlihatkannya pada Panji Argomanik. Benda itu ternyata adalah sebuah ladam kuda.
“Mungkin ini bisa dijadikan bahan pengusutan...” kata Wiro.
Panji tidak memberikan jawaban. Pemuda ini berkata. “Aku akan menyelidik ke gedung Kadipaten lebih dulu. Jika berangkat sekarang menjelang pagi aku bisa sampai ke sana.”
“Aku ikut bersamamu,” kata Wiro pula.
LIMA
Karena mampu berlari cepat menjelang dini hari Singa Gurun Bromo dan Pendekar 212 Wiro Sableng sudah memasuki Kadipaten. Panji Argomanik langsung menuju gedung Kadipaten yang terletak di depan sebuah alun-alun. Mereka sengaja datang dari bagian belakang gedung agar tidak melewati lapangan terbuka di mana mereka akan mudah terlihat oleh para pengawal.
Setelah memanjat halaman belakang kedua pemuda ini menyelinap di balik jambangan-jambangan besar lalu menyusup ke halaman samping yang gelap. Saat itu di dalam gedung ada cahaya terang lampu tanda penghuninya ada yang belum tidur. Begitu Wiro dan Panji bergerak ke dekat jendela, di dalam gedung terdengar suara orang bercakap-cakap lalu langkah-langkah kaki menuju ruang depan. Pintu depan terbuka.
Adipati Dirgo Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima orang ini membungkuk hormat sebelum turun dari tangga gedung Kadipaten. Mereka berjalan menemui lima orang lainnya yang rupanya tidak ikut masuk dan sengaja menunggu di halaman depan. Tak lama kemudian kesepuluh orang itu tampak meninggalkan kadipaten dan lenyap ditelah kegelapan malam.
“Hatiku berdetak, jangan-jangan rombongan sepuluh orang itu yang membakar rumah dan menculik Larasati...” Kata Panji Argomanik pada Wiro.
“Dugaanmu mungkin betul. Di sebelah sana ada kandang kuda. Kita bisa mengambil dua kuda tunggangan dan mengejar rombongan tadi...”
“Aku setuju. Kita harus bergerak cepat!” kata Panji pula.
Baru saja kedua pendekar ini endak meninggalkan halaman samping itu tiba-tiba di halaman depan terlihat enam orang memasuki pintu gerbang kadipaten. Seorang penjaga mendatangi. Begitu mengenali siapa yang datang dengan cepat penjaga ini masuk ke dalam gedung. Tak lama kemudiaan penjaga tadi muncul kembali dan mempersilahkan masuk empat dari enam orang yang datang. Keempat orang yang masuk ini bukan lain adalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu Kunto Areng dan Jalak Toga.
Melihat kemunculan orang-orang ini yang datang tanpa kuda dan pakaian serta tubuh basah oleh keringat, lalu muka dan rambut kusut masai Adipati Dirgo Sampean yang baru saja hendak masuk ke dalam kamar tidurnya jadi terheran-heran. Sesuatu pasti telah terjadi dengan orang-orang ini pikirnya. Maka tanpa mempersilahkan keempat orang itu duduk dia langsung saja bertanya seraya menyapu wajah keempat orang itu dengan pandangan tajam.
“Ada apa?!”
“Waktu hendak menuju kemari, di tengah jalan kami, kami berpapasan dengan serombongan orang. Apakah mereka barusan datang dari sini?” yang membuka mulut adalah Ki Bumi Wirasulo.
Rahang sang Adipati tampak menggembung. “Ki Bumi! Kau seperti orang yang tidak tahu peradatan saja! Aku mengajukan pertanyaan. Kau bukannya menjawab malah balik bertanya. Kalian datang kemari untuk melapor atau menanyaiku!”
“Harap maafkan saya, Adipati,” jawab Ki Bumi Wirasulo dengan wajah merah. “Bukan maksud kami berlaku kurang ajar. Tapi kami melihat orang-orang itu rata-rata berwajah garang dan kami tidak mengenali mereka. Kami kawatir...”
“Siapa adanya orang-orang itu bukan urusan kalian. Ki Bumi, kau mewakili kawan-kawanmu. Katakan saja apa yang telah terjadi! Aku mencium bau tak enak saat ini!” kata Adipati Dirgo Sampean dengan suara keras.
Ki Bumi Wirasulo jadi panas hatinya. Dia berpaling pada Mangku Sanggreng dan berkata. “Kau saja yang menerangkan apa yang telah terjadi.”
Mangku Sanggreng batuk-batuk dulu beberapa kali. Baru membuka mulut. “Kami mengalami nasib apes Adipati. Sebenarnya kami telah berhasil meringkus Singa Gurun Bromo di Kuto Inggil. Pemuda itu kami sergap di warung nasi Mbok Sinten. Dalam perjalanan kemari kami melihat ada nyala api yang mencurigakan dalam hutan belantara. Kami coba menyelidik karena bukan mustahil gerombolan Warok Keling yang berkemah di tempat itu...”
Mangku Sanggreng kemudian menuturkan apa yang terjadi selanjutnya. Tampang Adipati Lumajang itu tampak kelam membesi begitu mendengar seluruh keterangan yang disampaikan Mangku Sanggreng.
Sesaat sang Adipati tertegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang memandang melotot dan beringas pada keempat orang itu. Perlahan-perlahan kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ck... Ck... Ck...! Bukan main!” kata Dirgo Sampean pula. “Dua orang tokoh silat Istana berkepandaian tinggi. Dia orang perwira tinggi Kerajaan. Ditambah delapan orang perajurit! Gila! Tolol dan menggelikan. Kalian sampai bisa ditipu orang seperti itu! Aku tidak mau melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda. Kalian harus tanggung jawab sendiri dan berangkat sekarang juga ke Kotaraja!”
Keempat orang itu terdiam. “Kalau begitu perintah Adipati, kami akan mematuhinya. Tapi harap jangan bicara terlalu keras!” berkata mangku Sanggreng.
“Apa maksudmu?!” tanya Dirgo Sampean dengan mata kembali membeliak.
“Kami bekerja di bawah perintah Sri Baginda. Tidak layak Adipati mengeluarkan kata-kata kasar begitu rupa. Terhadap dua orang perwira ini silahkan saja. Menggebuk merekapun kami tidak mau tahu karena memang bekerja untuk kerajaan dan berada di bawah pimpinan Adipati...!”
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. “Jika kalian berdua berkata begitu, silahkan angkat kaki dari gedung ini saat ini juga!” Lalu Adipati Lumajang itu bergegas ke pintu. Pintu depan dibukanya lebar-lebar dan dia memberi isyarat dengan goyangkan kepala pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.
Sebelum keluar kedua tokoh silat Istana itu masih sempat melihat Jalak Toga dan Kunto Areng lontarkan seringai sinis ke arah mereka. Adipati Dirgo Sampean membantingkan pintu. Lalu berpaling pada dua perwira tinggi yang tegak tak bergerak dengan wajah kuncup.
“Kalian berdua tidak usah takut. Aku tidak marah pada kalian. Aku hanya melepaskan kebencianku pada dua orang tadi.”
Mendengar ucapan Adipati itu Kunto Areng dan Jalak Toga menjadi lega dan berdarah kembali wajah masing-masing. “Mereka sedikit bekerja tapi hidup enak. Mendapat kesenangan dari Istana. Kita yang telah mengabdi pada kerajaan sekian puluh tahun malah tidak diperhatikan. Kaum penjilat seperti mereka sekali-sekali memang harus diberi pelajaran!”
“Ah, rupanya bukan kami saja yang punya pendapat begitu. Syukur kalau Adipati mengetahui hal itu...” kata Jalak Toga.
“Kalian boleh bermalam di sini. Besok ada tugas untuk kalian!”
“Terima kasih, Adipati masih mempercayai kami!” kata Kunto Areng seraya membungkuk.
“Kita orang-orang satu kelompok harus saling menghormat dan bekerja sama,” kata Adipati pula sambil menepuk bahu perwira tinggi itu.
Di halaman samping begitu melihat Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng meninggalkan halaman Kadipaten, Pendekar 212 segera hendak bergerak.
“Itu mereka! Kurasa ini saat yang baik untuk menjajal kembali kehebatan keduanya!”
“Baik bagimu tidak bagiku sobat!” kata Panji seraa menarik celana sang pendekar. “Apa yang hendak kau lakukan bisa merusak rencanaku untuk mengusut dimana Larasati saat ini berada dan siapa yang telah menculiknya.”
“Ingat ladam kuda yang kita temui itu? ujar Wiro. “Tunggu saja sampai pagi . Kau hanya tinggal menunjukkan padaku di mana orang biasa mengupah memperbaiki atau memasang ladam kudanya...”
“Cuma ada satu di Kuto Inggil. Bengkel kuda Karjo Lugu.” Jawab Panji.
“Bagus kalau cuma satu. Berarti kita tidak perlu menghabiskan waktu menyelidik ke mana-mana.”
Kedua orang itu menunggu sampai seorang pengawal yang melakukan penjagaan keliling lenyap di ujung gedung. Lalu cepat-cepat mereka menuju halaman belakang, memanjat tembok dan lenyap ditelan kegelapan malam dan udara dingin menjelang pagi itu.
********************
ENAM
Di bengkel kuda milik Karjo Lugu para pemilik kuda dapat membeli segala keperluan yang berhubungan dengan kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda, tali kekang, pelana dan juga ladam. Di samping itu Karjo Lugu juga mengerjakan perbaikan ladam atau tapal besi, perbaikan pelana maupun injakan kaki.
Pagi itu Wiro dan Panji sampai di sana Karjo Lugu sudah tampak sibuk di bengkelnya. Karjo Lugu seorang lelaki berambut putih berusia hampir enam puluh tahun. Walaupun berusia lanjut tapi otot-otot badannya masih tampak kukuh. Seperti namanya, orang ini memang bersifat lugu dan murah senyum. Karjo Lugu menyambut salam yang diucapkan Panji. Namun ketika dia mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang datang, berubahlah paras orang tua ini.
“Pak Lugu...” kata Panji, begitu orang biasa memanggil Karjo Lugu. “Kau kelihatan seperti terkejut melihatku. Apakah wajahku sudah berubah jadi setan?!”
“Anak muda, apa kau tak tahu dirimu dalam bahaya berani datang ke sini?” “Rupanya kau sudah mendengar apa yang terjadi siang kemarin di warung Mbok Sinem,” kata Panji pula dengan tersenyum.
“Tentu saja. Berita itu tersiar cepat. Kau dikabarkan sudah diringkus dan dibawa ke Kotaraja. Bagaimana tahu-tahu kau bisa muncul di sini?”
“Kau tak usah merisaukan hal itu Pak Lugu. Aku baik-baik dan sehat-sehat saja...”
“Siapa anak muda ini?” tanya Karjo Lugu pada Panji Argomanik.
“Sahabatku,” jawab Panji.
“Panji, sebaiknya kau cepat pergi dari sini. Kalau ada mata-mata yang melihat dan melaporkan kau muncul serta berbincang-bincang denganku, aku bisa celaka...”
“Ada hal penting yang hendak kami tanyakan padamu Pak Lugu.” Kata Wiro pula.
“Eng...” pemilik bengkel kuda itu tampak serba salah.
“Pak Lugu,” kata Panji. “Semasa hidupnya kau bersahabat baik dengan ayahku. Sekarang kami butuh bantuanmu. Apa kau melupakan begitu saja persahabatan dengan ayahku?”
“Tentu saja bukan begitu. Tapi kau adalah orang buronan. Jika ada yang. Sudahlah. Ikuti aku. Kita bicara di dalam saja.” Orang tua itu menunjuk ke arah pintu. Panji dan Wiro segea masuk ke dalam ruangan di balik pintu itu. Karjo Lugu memandang dulu ke arah jalan, lalu pada beberapa bangunan di sekitarnya. Bila dirasakannya aman maka orang tua ini segera masuk ke dalam rumahnya. Sampai didalam dia bertanya pada kedua pemuda itu.
“Hal penting apa yang hendak kalian tanyakan?”
Wiro yang menjawab. “Tadi malam rumah Larasati, kekasih sahabatku ini dibakar orang. Seorang perempuan bernama Bibi kanoman ditemui sudah jadi mayat terbakar hangus...”
“Ya Tuhan, belum kudengar berita itu...” seru Karjo Lugu.
“Larasati lenyap diculik orang...”
“Gusti Allah!” mengucap Karjo Lugu.
Wiro meneruskan. “Kami tidak tahu siapa manusia-manusia biadab yang melakukan perbuatan laknat itu. Namun kami menemukan benda ini di dekat rumah yang terbakar.”
Wiro keluarkan ladam kuda yang ditemuinya dan diperlihatkannya pada Karjo Lugu. “Apa hubungan ladam ini dengan hal penting yang hendak kalian tanyakan itu?”
Yang menjawab kini adalah Panji Argomanik. “Kami yakin ladam kuda ini adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang membakar rumah dan menculik Larasati. Malam tadi, atau pagi-pagi sebelum kami datang, apakah ada seseorang yang datang membawa kudanya yang salah satu kakinya tidak berladam. Lalu minta dipasangkan ladam baru...”
Paras Karjo Lugu jadi berubah. Wiro dan Panji maklum sudah. Keduanya menunggu. “Pagi buta tadi...” Kata Karjo Lugu. “Ada orang menggedor bengkelku. Ketika kubuka orang ini tenyata datang bersama dua orang temannya. Tampang-tampang tak dapat kukenal karena tertutup kain menyerupai topeng. Salah seorang dari mereka minta agar aku memasangkan ladam baru pada kaki kudanya sebelah kiri belakang. Aku bilang besok saja kalau bengkel sudah buka. Tapi orang-orang itu mengancam akan menggorok leherku kalau aku tidak melakukannya malam itu juga. Masih dalam keadaan mengantuk aku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang yang punya kuda membayar cukup tinggi. Tapi sebelum dia pergi dia berpesan...”
“Berpesan? Pesan apa?” tanya Panji.
“Agar aku tidak mengaakan pada siapapun kedatangan mereka ke bengkelku...!”
“Hem...,” Wiro bergumam sambil garuk-garuk kepala. Kalau begitu mereka merasa kawatir kau mengenali salah satu dari mereka. Walau mereka menutupi wajah masing-masing dengan kain. Coba kau ingat-ingat Pak Lugu. Mungkin ada benda atau tanda-tanda pada ketiga orang itu, di tubuh mereka atau pada kuda-kuda mereka. Tanda-tanda yang bisa mmberi petunjuk siapa mereka sebenarnya.”
Karjo Lugu mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut pendek berwarna putih. “Rasan-rasanya memang ada. Waktu itu aku tidak memperhatikan. Tapi setelah kau mengatakannya aku teringat sesuatu. Salah seorang dari ketiga yang datang itu mengenakan baju berlengan sangat pendek. Di tangannya sebelah atas, dekat bahu ada sebuah rajah. Rajah itu bergambar seekor kelelawar yang tengah mengembangkan sayapnya...”
“Itu rajah tanda komplotan rampok Warok Keling” kata Paji hampir berteriak. “Terima kasih Pak Lugu. Keteranganmu sangat berharga.” Pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu menarik lengan Wiro, cepat-cepat mengajaknya meninggalkan tempat itu.
“Aku tahu sarang penjahat keparat itu. Kita menuju ke sana sekarang juga! Larasati pasti berada di tangan mereka!”
“Mendatangi sarang penjahat siang-siang begini apa tidak terlalu berbahaya, Panji?”
“Aku sudah siap mati untuk menyelamatkan Larasati”! jawab Panji Argomanik alian Singa Gurun Bromo pula. “Kalau kau takut kau boleh saja tidak ikut dan kita berpisah sampai di sini.”
Wiro menyeringai. “Aku tidak bisa menjelaskannya. Tapi aku punya firasat ada satu rahasia di balik semua kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia ini!”
Hanya beberapa saat setelah kedua pemuda itu meninggalkan bengkel Karjo Lugu, tiga orang penunggang kuda tiba-tiba muncul. Si orang tua terkejut ketika memperhatikan. Ternyata mereka adalah tiga orang yang tadi malam mendatangi untuk dipasangkan ladam baru. Wajah mereka masih ditutupi secarik kain. Karjo Lugu mendadak merasa tidak enak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.
“Ah, kalian rupanya. Apa lagi yang bisa kubantu?"
Lelaki yang lengan sebelah atasnya memiliki rajah turun dari kudanya. “Malam tadi kami lupa membayar harga ladam dan ongkos pemasangannya. Kebetulan kami lewat lagi di sini. Saat ini kami hendak membayarnya.”
“Wah, kalian orang baik-baik rupanya. Tidak dibayarpun tidak jadi apa asal kita bisa jadi langganan.” Kata Karjo Lugu pula.
Lelaki yang lengannya dirajah bergambar kelelawar tersenyum. Dia menggerakkan tangan kirinya ke arah pinggang seperti layaknya orang hendak mengambil uang. Tetapi ketika tangan itu keluar lagi dari balik pakaian, yang kelihatan bukan kantong uang tetapi sebilah pisau berkilat yang panjang matanya hampir dua jengkal. Sebelum Karjo Lugu menyadari apa yang akan dilakukan orang itu, tiba-tiba pisau sudah menghujam dalam ke perutnya. Karjo Lugu menjerit tapi lehernya cepat dicekik hingga suara teriakannya menjadi tertahan dan lenyap.
“Tua bangka keparat! Kau tidak menepati pesanku. Kau pasti telah memberitahu sesuatu tentang kami pada kedua orang pemuda itu. Benar?!”
“Ha ha ha...!”
Karjo Lugu tidak bisa menjawab karena lehernya masih dicekik sementara perutnya yang bersimbah darah terasa sakit bukan kepalang. Lelaki berajah itu lemparkan tubuh Karjo Lugu ke atas meja tempat penempaan besi. Orang tua itu mengeluh tingi. Dia berusaha manarik nafas panjang tapi nafasnya justru putus!
TUJUH
Dua pendekar nekad itu memacu kuda masing-masing menuju ke Selatan kaki Pegunungan Maha Meru. Selewatnya Candipuro mereka membelok memasuki sebuah dataran tinggi. Di balik pedataran itu terbentang sebuah rimba belantara sarang segala binatang buas dan manusia jahat. Dulunya terdapat beberapa kelompok penjahat mendekam dan bersarang di tempat itu.
Namun setelah Warok Keling muncul, dia menggabungkan semua kelompok gerombolan itu ke dalam kelompoknya. Siapa yang tidak mau tunuduk padanya ditumpasnya sampai habis. Saat itu Warok Keling menjadi raja di raja perampok yang memiliki anak buah hampir seratus orang.
Bersama kelompoknya dia mendirikan sebuah kawasan perumahan di dalam hutan itu. walaupun hutan tapi keadaannya subur sekali. Air bersih mudah didapat. Begitu juga buah serta binatang buruan yang bisa disantap.
Menjelang tengah hari mereka sampai di bagian hutan yang tanahnya meninggi. Wiro dan Panji terus mendaki menuju puncak tertinggi. Begitu sampai di puncak kelihatanlah belasan rumah kayu yang dipagar dengan tiang-tiang terbuat dari batang-batang pohon yang ujungnya dibabat runding.
Pada jarak-jarak tertentu di atas pagar itu terdapat sebuah pondok tempat pengawal melakukan tugasnya berjaga-jaga mengawasi daerah sekitarnya. Begitu Wiro dan Panji muncul mendekati pagar kayu satu suitan nyaring terdengar dari sebelah Timur kawasan. Lalu sekitar sepuluh orang muncul di atas pagar. Mereka memegang busur dan panah yang siap dibidikkan ke arah kedua pemuda itu.
Di sebelah belakang Wiro dan Panji mendengar suara menggeresek. Ketika berpaling mereka melihat ada kira-kira sepuluh orang meluncur dari atas pohon. Di cabang-cabang terendah mereka berhenti dan dari sini mereka membidikkan pula panah atau sumpritan ke arah Wiro dan Panji.
“Kita terkurung!” kata Wiro.
“Tenang saja. Jangan membuat gerakan-gerakan yang mencurigakan. Anak-anak panah dan sumpritan itu beracun!” kata Panji. Lalu dia membawa kudanya mendahului Wiro menuju satu tempat terbuka hingga semua orang di atas pagar kayu meupun di atas pohon dapat melihatnya dengan jelas. Wiro menyusul bergerak ke samping Panji.
Panji Argomanik kemudian mengangkat tangannya. Lalu dia berseru. “Aku Panji Argomanik dan seorang sahabat ingin menemui pimpinan kalian!”
Dari atas rumah penjaggan terdengar jawaban. “Dua cacing tanah seperti kalian mana cukup pantas menemui pimpinan kami!”
“Keparat!” maki Wiro.
“Diam saja!” tukas Panji. Lalu dia berseru lagi. “Kami memohon sekali lagi! Ada hal penting yang hendak kami bicarakan!”
“Bicaralah dengan setan-setan rimba belantara ini! Harap kalian berdua segera meninggalkan tempat ini atau tubuh kalian akan kami tambus dengan panah-panah beracun!”
“Edan!” Kini Panji yang keluarkan suara makian. “Kalau kita tidak diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berarti kita terpaksa menyusup malam hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluar dari sarangnya. Tapi semua itu memakan waktu. Sementara itu banyak hal bisa terjadi pada Larasati...”
“Agaknya kita tak ada pilihan lain. Mari...” kata Wiro.
Kedua orang itu memutar kuda masing-masing. Sementara itu di atas bangunan pagar, sorang bertubuh tinggi luar biasa, berkulit sangat hitam dan mengenakan pakaian merah gelap serta memakai semacam sorban berwarna merah di atas kepalanya muncul di atas salah satu rumah penjagaan.
“Aku mendengar suara suitan lalu suara orang berteriak-teriak. Apa yang terjadi?” tanya orang berkulit hitam legam itu. Suaranya parau dan sember. Inilah manusianya yang bernama Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa itu.
Seorang anak buahnya segera menerangkan. “Ada dua pemuda tak dikenal muncul dan minta bertemu dengan Warok...”
“Ah, begitu lama aku jadi pemimpin kalian baru sekali terjadi hal seperti ini. Dua pemuda itu rupanya punya nyali besar. Apa mereka menyebutkan nama atau gelar?”
“Gelar tidak, tapi yang seorang memperkenalkan diri dangan nama Panji Argomanik!”
“Panji Argomanik...” mengulang Warok Keling sambil mengusap dagunya yang klimis. Biasanya gembong penjahat selalu memelihara janggut atau berewok dan kumis tebal melintang. Tapi Warok Keling justru memelihara wajah kelimis dan wajahnya yang hitam cukup keren. “Panji Argomanik... Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat dulu... Hem... Jangan-jangan... Hai, coba kau tanyakan pada orang yang bernama Argomanik itu. apakah dia orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?”
“Keduanya sudah pergi Warok.”jawab si anak buah.
“Beri tanda pada kawan-kawanmu di luar pagar agar menyuruh kedua orang itu kembali.”
Anggota penjahat itu keluarkan dua kali sutian berturut-turut, lalu dua kali lagi. Di dalam rimba belantara di luar pagar empat anak buah Warok Keling meluncur turun dari atas pohon. Mereka melompat ke tanah lalu mencegat Wiro dan Panji sambil membidikkan panah-panah beracun.
“Pimpinan kami meminta kalian kembali!” kata salah seorang di antara mereka.
Wiro dan Panji saling pandang. “Ada apa kami disuruh kembali?!” bertanya Panji Argomanik.
“Apa kau orangnya yang bernama Panji Argomanik, bergelar Singa Gurun Bromo?”
Panji mengangkat tangannya dan berteriak membenarkan ucapan itu.
“Kalau begitu kau boleh masuk. Tapi kawanmu tetap tinggal di tempat! Dia tidak cukup layak menginjakkan kaki di tempat kami!”
“Sialan! Aku lagi yang dihinanya!” maki Wiro. Saat itu pintu gerbang kayu tampak terbuka.
“Kau masuklah. Aku biar menunggu di sini,” kata Wiro.
Panji Argomanik mengangkat tangannya. “Aku tidak akan masuk kalau temanku ini tidak diperbolehkan ikut serta!”
Dari atas rumah penjagaan terdengar orang bertanya. “Siapa nama kawanmu itu. apa dia punya julukan?!”
“Namanya Wiro Sableng!” berteriak Panji.
Sunyi sejenak. Lalu dari atas rumah penjaggan terdengar suara orang berteriak, bertanya. “Apa orang gila itu punya julukan?!”
Panji Argomanik berpaling pada Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. “Tidak! Dia tidak...”
Wiro tekap mulut Panji Argomanik lalu dia sendiri berteriak. “Gelarku Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Kedua mata Panji Argomanik membeliak besar. Ketika Wiro menurunkan tangannya pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu berseru. “Kau...! Jadi kau pendekar dari Gunung Gede yang terkenal itu?!”
“Aku tidak lebih hebat dari kau Singa Gurun Bromo!”
“Jangan merendah! Aku banyak mendengar riwayatmu yang hebat-hebat!”
Wiro tertawa. “Orang selalu menambah bumbu dalam setiap cerita...” katanya.
Dari atas rumah penjagaan tiba-tiba terdengar suaa teriakan. “Kalian berdua boleh masuk!”
Pintu gerbang terbuka. Kali ini lebih besar. Wiro dan Panji masuk ke dalam. Pintu menutup kembali. Begitu masuk ke dalam dua orang bertubuh besar menghampiri mereka. Keduanya dipersilahkan turun dari kuda masing-masing lalu binatang-binatang itu dibawa ke satu tempat untuk ditambatkan. Kemudian seorang lelaki muncul, membawa mereka ke sebuah rumah besar dari kayu bertingkat dua.
Wiro melangkah sambil memandang kian kemari. Dia melihat banyak anak-anak tengah bermain di halaman luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk di bawah pohon. Ada yang tengah merenda, ada yang tengah bercakap-cakap. Keadaan di tempat itu bukan seperti di sarang perampok tapi tidak beda dengan kampung biasa.
Wiro dan Panji dibawa ke tingkat rumah kayu besar. Lalu diminta duduk pada dua buah kursi kayu. Di antara dua kursi itu terdapat sebuah kursi ketiga yang lebih besar dan lebih tinggi. Keduanya diminta menunggu.
Tak lama kemudian muncullah Warok Keling. Dia masih mengenakan sorban merahnya. Tapi dia kini telah berganti pakaian dengan sebuah jubah terbuat dari kain sangat tebal yang beratnya hampir lima puluh kati. Bersamanya mengikuti empat orang pengawal bertampang bengis dan membawa golok besar-besar.
Warok Keling duduk di kursi besar. Dia melambaikan tangan pada keempat pengawalnya. Keempat orang ini tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka sang Warok lantas berkata. “Kalian pergi saja. Mereka adalah teman-temanku!”
Mendengar ucapan itu keempat pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji merasa heran karena tidak menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.
“Dua sahabat muda. Kuucapkan selamat datang di tempatku yang buruk ini. seumur hidup baru kali ini ada dua orang tokoh silat yang punya nama besar menyambangiku di sini. Kalian ingin kusuguhkan apa?”
“Kami orang biasa-biasa saja. Jangan Warok keliwat memuji,” kata Panji.
“Terus terang kami memang haus. Tapi kami tak ingin merepotkanmu.”
“Kau bagaimana?” tanya Warok Keling pada Wiro.
“Aku memang haus sekali. Aku tiak malu-malu minta minum apa saja. Kawanku juga...”
Warok Keling tertawa lebar. “Kau orang jujur. Aku suka pada aorang yang terus terang dan polos!” Warok Keling lalu bertepuk dua kali. Seorang gadis berwajah cantik muncul. “Ini puteriku, Jayengsari...” Warok Keling memberitahu.
Dalam hatinya Wiro berkata. “Sulit dipercaya. Manusia buruk hitam begini rupa punya puteri secantik ini dan berkulit kuning langsat! Ibunya pasti seroang bidadari yang tertangkap hidup-hidup dan tak dapat kembali ke dunianya!”
“Anakku. Kita kedatangan dua orang tamu penting. Harap sediakan tuak manis dan jangan lupa talas rebus makanan utama kita yang paling lezat!”
Jayengsari mengangguk. Dia melirik ke arah Pendekar 212 sekilas lalu masuk ke dalam dengan langkah-langkah lincah.
“Sobat-sobatku muda! Semetara menunggu hidangan dan minuman, sekarang ceriakan apa hal penting yang hendak kau bicarakan denganku!” kata Warok Keling.
“Kami, maksudku aku mengalami kesulitan...”
Warok Keling tersenyum “Aku pernah mendengar kesulitanmu. Enam tahun kau menghilang gara-gara tuduhan membunuh putera Pangeran Sendoyo...”
“Bagaimana kau bisa tahu Warok?” tanya Panji heran.
“Aku dan anak buahku memang tinggal jauh di hutan. Tapi kami punya mata dan telinga di mana-mana. Nah, sekarang ceritakan apa kesulitanmu yang lain!”
“Kesulitanku, selain jadi buronan Sri Baginda dan Adipati Lumajang, saat ini aku butuh bantuanmu dan kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati. Rumahnya dibakar kemarin malam. Bibinya tewas dan Larasati diculik orang!”
“Larasati diculik orang. Lalu mengapa kau datang kemari? Eh, tadi kudengar kau meminta aku agar bersedia mengembalikan anak gadis itu padamu. Apa kau kira...”
“Maafkan aku Warok. Aku tidak menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada orang memberi kesaksian bahwa salah seorang penjahat yang membakar dan menculik gadis itu memiliki lengan dengan rajah burung kelelawar!”
Warok Keling menggulung lengan bajunya sebelah kiri sampai ke bahu. Lalu dia memperlihatkan rajah kelelawar di bahunya itu. “Rajah seperti ini?”
“Kira-kira begitu Warok.”
“Seperti ini?” Sang Warok buka kancing bajunya. Di dadanya kelihatan lagi sebuah rajah kelelawar yang lebih besar. Panji mengangguk.
Paras Warok Keling berubah semakin hitam. “Singa Gurun Bromo...” katanya dengan suara bergetar. “Jika tuduhanmu itu tidak benar, tubuhmu akan kulempar ke luar pagar tanpa kepala!” Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. “Kau juga!” hardiknya sehingga pendekar 212 tersentak kaget. “Siapa yang memberikan kesaksian padamu?”
“Karjo Lugu. Pemilik bengkel kuda di Kuto Inggil.”
“Aku akan perintahkan anak buahku untuk menyelidik. Tapi ada satu hal yang perlu kuceritakan pada kalian!” Saat itu Jayengsari keluar membawakan minuman tak dalam tabung bambu pendek serta rebusan talas yang diurap dengan kelapa parut. “Aku tahu kalian pasti haus dan juga lapar...”
Wiro ulurkan tangan hendak mengambil tabung bambu. Tapi Warok Keling segera mengepret tangannya.
“Aku tidak akan menyuruh kalian minum dan makan sebelum kalian mendengar dulu keteranganku.” Kata Warok Keling dengan mata berkilat-kilat. “Aku sudah tiga puluh tahun lebih jadi raja diraja penjahat dikawasan Timur ini. Selama aku malang melintang ratusan orang telah menjadi korbanku. Kurampok habis-habisan dan kubunuh jika mereka melawan. Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Mereka yang jadi korbanku adalah orang-orang kaya yang tidak mau memberi hartanya pada rakyat jelata. Atau pejabat-pejabat rakus yang kekayaannya seabrek-abrek tapi tak pernah bersedekah pada orang-orang miskin. Padahal kekayaan itu mereka dapatkan dari hasil menipu! Kaum pedagang yang terlalu rakus mencari keuntungan juga kujadikan korban dan kuburu di manapun mereka berada. Tapi dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat jelata! Dengar lagi baik-baik! Aku tidak pernah menculik dan melarikan anak istri orang! Waktu datang kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang perempuan. Anak-anak bermain-main. Orang-orang perempuan duduk merenda atau melakukan pekerjaan lain sambil ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang dikawin sah oleh anak-anak buahku. Dan anak-anak itu bukan anak-anak haram! Ini memang perkampungan sarang perampok. Tetapi di sini kehidupan lebih baik dari pada di luar sana! Jadi ingat! Kami bukan tukang culik apalagi tukang perkosa orang-orang perempuan, jika anak buahku bertemu seorang perempuan yang disukainya, dia akan mengajaknya baik-baik dan tinggal di sini. Jika mereka menolak, mereka dilepas dengan aman. Bahkan diantar pulang sampai ke kampung dan rumah mereka! Karena cara-cara kami itulah maka tidak ada orang dari dunia persilatan yang memusuhi kami. Tapi mereka juga sungkan untuk mendekati kami, tidak seperti yang saat ini kalian lakukan. Kalian orang-orang muda sungguh bisa dibuat contoh. Lalu, pihak kerajaanpun tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kami. Kami memang penjahat tapi sebenarnya kami lebih cocok dikatakan sebagai tangan jahil yang merampas sedikit harta benda yang berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!”
Panji terdiam mendengar kata-kata Warok Keling itu sementara itu Wiro hanya bisa garuk-garuk kepala!
“Aku tidak bisa percaya akan penjelasan bahwa ada anak buahku terlibat penculikan Larasati. Tetapi aku berjanji akan menyelidik. Jika betul anak buahku dia akan kuhukum berat dan Larasati akan kembali padamu dengan selamat! Sekarang kalian boleh meneguk minuman dan mencicipi hidangan!”
Wiro dan Panji segera mengulurkan tangan untuk mengambil tabung tuak masing-masing. Tapi ketika diangkat ternyata tabung-tabung bambu itu tidak bergerak sedikitpun. Seolah-olah melekat ke kayu meja. Semakin dikerahkan tenaga untuk mengangkatnya semakin melekat keras kedua tabung bambu itu.
Wiro dan Panji segera maklum bahwa tuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi mereka hanya mengerahkan tenaga kasar atau tenaga luar maka kini diam-diam keduanya mengerahkan tenaga dalam. Di atas kursinya Warok Keling yang tadi tampak duduk sambil menyeringai kini kelihatan mengernyit. Keningnya dipenuhi percikan keringat. Tubuhnya yang besar tampak bergetar.
“Hem... Dua anak muda ini memiliki kekuatan tenaga dalam yang bukan main-main!” kata sang Warok dalam hati. Dia lalu kerahkan seluruh tenaga dalamnya pula.
Tuak di dalam tabung bambu itu beriak seperti mendidih. Wiro dan Panji merasakan tangan mereka seperti diserang hawa panas. Tapi keduanya tetap bertahan. Di samping mereka perlahan-lahan tubuh Warok Keling tampak terangkat ke atas sampai setinggi tiga jengkal. Wiro kedipkan matanya ke arah Panji. Kedua pemuda ini tiba-tiba secara serentak lepaskan pegangan mereka pada tabung bambu. Dan terjadilah satu hal yang hebat tapi lucu.
Karena tenaga dalam wang Warok kini lepas menghantam tempat kosong maka tak ampun lagi tubuhnya yang tadi terangkat dengan tiba-tiba dan keras luar biasa terbanting jatuh ke atas kursi yang didudukinya.
“Brakkk!”
Kursi kayu yang kokoh itu patah keempat kakinya. Tak ampun lagi tubuh tinggi besar Warok Keling jatuh ke lantai!
Empat orang pengawal keluar dari ruangan dalam sambil menghunus golok dan siap untuk menyerang Wiro dan Panji. Tapi Warok Keling cepat bersiri dan tertawa mengekeh. Dia melambaikan tangannya pada keempat pengawalnya itu.
“Pergi saja! Tak ada apa-apa di sini. Kami hanya bersendau gurau! Ambillah aku kursi baru!”
Walau ragu-ragu keempat orang pengawal itu segera ke dalam lalu keluar lagi membawa kursi baru. Kursi yang patah mereka singkirkan. Warok Keling seka keringat yang membasahi mukanya.
“Kalian orang-orang muda yang hebat. Kalau kalian mau, tadi kalian bisa mengirimku ke akhirat. Kini cukup jlas bagiku. Kalian datang bukan mencari silang sengketa. Ayo, lekas minum tuaknya. Cicipi talas rebus yang lezat itu!”
Wiro dan Panji segear ulurkan tangan kembali untuk mengambil tabung berisi tuak. Setelah meneguk minuman yang lezat sejuk itu mereka mencicipi talas rebus yang dihidangkan. Hanya sesaat setelah sepotong besar talas amblas masuk ke dalam perut mereka, kedua pemuda itu mendadak merasakan mulut mereka menjadi gatal. Makin digaruk makin gatal.
“Bibirmu bengkak besar!” kata Panji seraya menunjuk ke mlut Wiro.
“Mulutmu juga bengkak!” ujar Wiro pula.
Kedua pemuda itu sama-sama memegangi mulut masing-masing. Dan menggaruk tiada henti. Lalu sama memandang pada Warok Keling dengan rasa curiga. Sebaliknya sng Warok tertawa gelak-gelak.
“Warok, apa yang kau perbuat terhadap kami?!” tanya Wiro sambil mengusap lagi bibirnya yang semakin melendung.
Gelak sang Warok semakin keras. “Dulu, waktu aku dan anak buahku pertama kali makan talas, bibir kami bengkak dan gatal-gatal seperti kalian. Tapi lama kelamaan kami jadi kebal karena terbiasa! Maaf saja kalau saat ini kalian mengalami nasib sama. Itu bukan disengaja. Ha ha ha! Kalian berdua jangan marah pada siapapun!”
Panji berdiri dari duduknya. Wiro mengikuti. “Warok, kami minta diri...”
“Silahkan. Aku gembira mendapat kunjungan kalian. Satu hal agar kalian ketahui. Jika suatu waktu kalian ingin bergabung dengan kami, pintu selalu terbuka!”
Kedua pemuda itu menyeringai. Karena mulut mereka pada bengkak, ketika menyeringai tampang-tampang mereka menjadi lucu dan ini membuat sang Warok jadi terpingkal-pingkal!
DELAPAN
Keluar dari rimba belantara hujan deras turun memaksa Wiro dan Panji mencari tempat untuk berlindung. Untungnya mereka menemukan sebuah gubuk reyot tak jauh dari situ. Keduanya segera berteduh di dalam gubuk tanpa dinding dan atapnya penuh lobang itu.
“Sobat, kurasa sekarang saat yang baik kau menuturkan riwayatmu. Kau bilang terpaksa kabur dari Kuto Inggil enam tahun lalu. Lalu punya silang sengketa dengan kerajaan dan Adipati Lumajang. Apa betul kau membunuh putera Pangeran Sendoyo?”
Panji meraba rambutnya yang coklat yang kejatuhan tirisan air hujan. Digelengkannya kepalanya. “Tidak, tidak betul. Ada orang yang mengatur fitnah. Menjebakku demikian rupa hingga tuduhan jatuhan padaku. Aku akan ceritakan padamu awal malapetaka enam tahun yang lalu itu...”
********************
Larasati bunga Kuto Inggil baru berusia lima belas tahun. Kecantikannya yang memang luar biasa telah dibawa angin keharuman sampai di Kotaraja. Seorang pangeran bernama Sendoyo yang mendengar kecantikan Larasati itu telah sengaja menyempatkan diri untuk datang ke Kuto Inggil. Dia menemui Bibi Kanoman untuk melamar Larasati agar dapat dipersunting oleh puteranya yang bernama Tayu jenggolo.
Bibi Kanoman yang maklum akan kekuasaan sang Pangeran tentu saja tak berani menolak walau dia tidak suka akan lamaran itu. dia sudah sejak lama mendengar bahwa putera Pangeran Sendoyo itu suka berjudi, penyabung ayam, suka mengganggu anak istri orang dan pantat botol alias suka minuman keras. Secara halus dia menyerahkan persoalannya pada Larasati. Si gadis, yang sebenarnya telah menjalin cinta dengan Panji Argomanik dengan tegas menolak lamaran itu.
Sang Pangeran kembali ke Kotaraja dengan perasaan malu, tersinggung dan marah. Diam-diam dia berusaha mencari jalan untuk mendapatkan Larasati, bagaimanapun caranya. Untuk itu dia meminta bantuan Dirgo Sampean, adipati Lumajang yang membawahi Kuto Inggil. Dirgo Sampean mau membantu karena dijanjikan akan diberikan satu kedudukan tinggi di Istana kelak.
Hari itu merupakan hari pasar di Kuto Inggil. Pasar raya yang berlangsung di alun-alun ramai dikunjungi orang. Rumah makan dan tempat-tempat minum penuh oleh manusia. Para perjaka dan para gadis mempergunakan hari ini sebagai kesempatan untuk bertemu dan berandai-andai.
Siang itu Panji memerlukan datang ke pasar untuk mencari seorang teman karibnya. Belum sampai ke pasar di tengah jalan dia berpapasan degnan Tayub Jenggolo diiringi oleh tiga orang temannya. Keempat pemuda itu sedang mabuk sehabis menenggak banyak minuman di satu rumah minum. Tapi yang terparah adalah putera Pangeran Sendoyo itu.
Begitu melihat Panji, Tayu Jenggolo seperti kemasukan setan dan berteriak marah. Dia mencaci maki Panji dengan kata-kata kotor. Walau telinga dan hatinya jadi panas mendengar caci maki itu namun karena tahu Tayub Jenggolo sedang mabuk maka Panji tidak melayani. Dia terus saja melangkah menuju ke pasar. Tapi begitu berhadap-hadapan tiba-tiba Tayub Jenggolo mencabut sebuah pisau besar dari pinggangnya. Panji Argomanik terkejut sekali ketika melihat pisau yang digenggam Tayub Jenggolo adalah pisau miliknya yang diketahuinya telah hilang sejak tiga hari lalu.
“Aneh, bagaimana pisau itu bisa berada di tangan putera Pangeran ini?” pikir Panji. Tapi pemuda ini tidak bisa berrpikir lebih jauh karena saat itu Tayub sudah menyerangnya. Dengan cepat Panji mengelak.
Tayub membalik, “Bangsat kau Panji! Kau yang hendak merampas Larasati dari tanganku! Kau tak bakal dapat memperistrikannya! Kau akan kawin dengan cacing-cacing tanah di liang kubur! Kau boleh bawa gelar besarmu Singa Gurun Bromo itu ke liang kubur!”
Tayub Jenddolo kembali menyerbu. Karena saat itu dia sedang mabuk dan Panji sendiri sudah menguasai ilmu silat dari seorang sakti yang diam di sebuah goa di Gurun Bromo sehingga dia mendapat julukan Singa Gurun Bromo, dengan mudah Panji menghadapi setiap serangan lawan. Sementara itu tiga orang kawan Tayub Jenggolo yang juga dalam keadaan mabuk berteriak-teriak ketakutan. Ketiganya lalu melarikan diri entah kemana.
Beberapa lama kemudian, seorang pedagang sayur yang tengah memikul dagangannya ke pasar menemukan sosok Tayub Jenggolo tergeletak di tengah jalan dalam keadaan mandi darah. Muka dan beberapa bagian tubuhnya penuh dengan luka-luka. Sebuah pisau besar pisau milik Panji Argomanik menancap di pertengahan dadanya! Panji sendiri lenyap entah kemana!
Setelah kejadian itu serombongan pasukan dari kadipaten mendatangi rumah kediaman Panji. Ketika mereka tidak menemukan si pemuda di sana maka mereka menangkap ayah Panji Argomanik. Di sebuah rumah kayu mereka menyekap orang tua itu, menyiksanya setiap hari. Di luar disebar kabar jika Panji tidak muncul menyerahkan diri maka ayahnya akan dijadikan tumbal di tiang gantungan.
Suatu pagi Panji Argomanik akhirnya muncul di kadipaten untuk menyerahkan diri. Ayahnya dilepas. Tapi dua hari kembali ke rumah, orang tua ini menghembuskan nafas karena luka-luka dan cidera berat yang dideritanya. Kabar kematian ayahnya itu disampaikan seorang kawan Panji di tempat dia disekap. Panji seperti hendak gila.
Apalagi ketika dia mendengar bahwa dirinya akan digantung dalam dua hari mendatang. Kesalahannya telah terbukti pisau yang menancap ditubuh Tayub Jenggolo adalah pisau miliknya. Lalu ada seorang pedagang di Kuto Inggil bernama Janar Gandewo memberi kesaksian bahwa dia melihat memang Panji Argomanik yang menusukkan pisau ke tubuh Tayub jenggolo.
Selama satu hari satu malam Panji bersemedi meminta petunjuk pada Yang Kuasa. Suatu malam seperti mendapat kekuatan gaib, pemuda ini menghancurkan dinding papan tebal dan kokoh ruang tahanannya. Dia menghantam roboh dua orang pengawal di tempat itu. Lalu dengan seekor kuda curian dia melarikan diri menuju keUtara.
Larinya Panji Argomanik segera dilaporkan kepada Adipati Lumajang. Rombongan pengejar yang terdiri dari dua puluh perajurit dipimpin langsung oleh Adipati Dirgo Sampean. Karena mereka memiliki seorang ahli pencari jejak maka larinya Singa Gurun Bromo segera dapat diketahui. Di pedataran pasir sebelah Utara, rombongan pengejar berhasil mengejar pemuda itu. Di satu tempat Panji Argomanik dikurung lalu dikeroyok.
Panji mengamuk hebat untuk mempertahankan diri dan kehormatannya. Tapi musuh terlalu banyak dan Adipati Dirgo ternyata memiliki kepandaian tinggi pula. Meskipun berhasil merobohkan enam orang perajurit yang mengeroyoknya namun dalam keadaan mandi darah pemuda itu akhirnya jatuh tersungkur di tanah.
Adipati Dirgo Sampean menyambar tombak yang tersisip di leher kudanya lalu melompat turun. Tombak itu dihujamkannya ke arah tenggorokan Panji Argomanik yang berada dalam keadaan tak berdaya antara sadar dan tiada.
Sesaat lagi mata tombak akan menembus leher Panji tiba-tiba sebauh benda bulat menghantam pertengahan batang tombak hingga senjata itu patah dua dan terlepas mental dari genggaman Adipati Dirgo Sampean. Sang Adipati merasakan
tangannya seperti disengat api. Penuh rasa kejut dia memandang sekeliling. Hal sama juga dilakukan oleh para perajurit yang ada di tempat itu. Mereka semua melihat ada seorang tua berjubah putih berambut panjang putih yang melambai-lambai ditiup angin. Orang tua itu duduk di atas punggung seekor kuda hitam. Tapi mereka hanya melihat sekejapan saja.
Karena ketika orang tua itu memukulkan kedua tangannya ke depan, terdengar deru keras seperti munculnya topan prahara. Pasir gurun beterbangan menutupi pemandangan Adipati Dirgo dan semua perajurit yang ada di sana berusaha bertahan dengan susah payah agar tubuh mereka tidak roboh.
Pemandangan mereka tertutup oleh pasir-pasir yang beterbangan. Ketika gelombang angin mereda dan pasir yang beterbangan luruh ke tanah kembali semua orang terkejut. Tubuh Panji Argomanik yang tadi tergeletak di atas pasir tak ada lagi di situ. Memandang ke arah kiri mereka dapatkan kakek penunggang kuda hitampun sudah lenyap entah kemana!
Para perajurit yang ada di tempat itu jadi merinding. Adipati Dirgo Sampean diam-diam ikut merasa takut. Dia memang tidak penah mendengar adanya setan atau hantu gurun pasir. Tetapi kalau bukan setan mana mungkin orang tua itu bisa muncul dan lenyap bersama hilangnya tubuh Panji.
“Pasukan! Kita kembali ke Lumajang!” seru Adipati itu pada para perajuritnya.
********************
Ketika siuman, mula-mula Panji merasa heran dan bertanya-tanya dimana dia berada saat itu. Secara perlahan-lahan begitu ingatannya pulih kembali dia segera mengenali tempat itu dan ingat kalau dulu dia pernah berada di situ selama beberapa tahun. Dengan mengumpulkan tenaga walau sekujur tubuh dan persendiannya terasa sakit Panji berusaha bangkit. Dia memandang berkeliling. Dia hanya sendirian dalam goa itu.
“Guru...?!” Suara Panji bergema dan memantul pada dinding-dinding goa.
Di ruang sebelah dalam goa batu yang terletak di gurun pasir Bromo itu terdengar suara batuk-batuk. Lalu sesosok tubuh tua muncul.
“Kau sudah siuman Panji....?”
“Sudah guru. Saya tahu pasti. Guru yang telah menyelamatkan saya dari orang-orang itu. Saya berterima kasih padamu guru.”
“Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang masih memanjangkan umurmu,” kata orang tua sambil memegang bahu muridnya. Lalu dia bertanya. “Mengapa mereka mengejar dan ingin membunuhmu?”
Panji lalu menceritakan apa yang terjadi. Si orang tua menarik nafas panjang. “Ada orang atau orang-orang yang sengaja menjebakmu muridku. Dan kau belum sanggup menghadapi mereka. Jika kau berani muncul di Kuto Inggil, mereka akan membunuhmu!”
“Saya mohon petunjukmu guru.”
Si orang tua tersenyum kecut. “Itu sebabnya dulu kukatakan padamu, kalau berguru jangan kepalang tanggung. Belum selesai semua kepandaian kuwariskan padamu kau sudah seperti anak kecil minta-minta diizinkan pulang. Tenaga dalammu masih rendah. Ilmu meringankan tubuhmu masih cetek. Kau memang telah menyandang julukan hebat. Singa Gurun Bromo. Tapi kau hanya keberatan gelar muridku!”
“Maafkan segala tindakan saya di masa lampau guru.” Kata Panji. “Kalau guru tidak keberatan saya ingin menyambung pelajaran lagi di sini...”
“Pengalaman pahit itu rupanya menjadi guru terbaik bagimu. Mungkin kau memang berjodoh untuk meneruskan pelajaran silatmu di sini. Kau akan kugembleng selama enam tahun. Jika kau berani minta pergi hanya ada satu syarat dariku. Aku tak akan mengajarkan apa-apa lagi padamu. Dan aku tidak ingin melihat mukamu lagi!”
“Saya berani mematuhi semua peraturan guru...” Jawab Panji.
“Kalau begitu kau teruskan dulu beristirahat. Besok pagi-pagi pelajaran pertama akan dimulai.”
“Terima kasih guru,” kata Panji Argomanik. Dipegangnya tangan orang tua itu lalu diciumnya penuh hormat dan terima kasih.
********************
Hujan deras telah berhenti. Kini udara dingin luar biasa datang menyungkup. Pendekar 212 Wiro Sabelng rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Nah, itu kisahku enam tahun lalu,” kata Panji menyudahi riwayatnya. “Kini aku muncul untuk meluruskan segala tuduhan keji itu. Aku harus mencari tahu siapa biang racun di balik semua kejadian ini. Aku curiga terhadap Pangeran Sendoyo. Kematian ayahku perlu aku balaskan. Dan yang paling penting aku harus segera menemukan Larasati kembali!”
“Kau tidak menceritakan tentang ibumu setelah ayahmu meninggal.” Kata Wiro.
“Ah, itu satu sisi gelap lagi dari kehidupanku yang malang. Waktu aku masih mengikuti guru, aku mendapat kabar dari seseorang. Beliau menyusul ayah sebulan kemudian.”
Wiro terdiam sesaat. “Boleh aku tahu siapa nama gurumu itu?”
“Dia tidak pernah memberitahu namanya. Dia memiliki gelar sama denganku. Singa Gurun Bromo. Ketika dia melepas aku enam tahun lalu, dia menyuruh aku memakai gelar itu.”
Sunyi sesaat di dalam gubuk itu. “Kita harus berangkat sekarang Wiro.”
“Ya. Tapi kemana tujuan kita?”
“Aku akan mencari Janar Gandewo pedagang keliling yang memberi kesaksian palsu itu.”
Pendekar 212 mengangguk. Kedua pemuda itu lalu naik ke atas kuda masing-masing.
SEMBILAN
Hari hampir malam ketika mereka memasuki Kuto Inggil dari arah Selatan. Setelah melewati sebuah lereng bukit yang ditumbuhi pohon-pohon karet keduanya menemui sebuah kali kecil. Sebelumnya kali ini merupakan parit kering akibat musim panas yang panjang. Kini setelah hujan turun kali itu tampak berair kembali walaupun sangat dangkal dan kotor.
Panji Argomanik menunggangi kudanya di sebelah depan diikuti oleh Pendekar 212 dari belakang. Di kejauhan kelihatan nyala sebuah lampu minyak.
“Itu rumah Janar Gandewo,” kata Panji seraya menunjuk ke arah lampu.
Lalu dia mempercepat lari kudanya. Di satu tempat kira-kira lima puluh langkah dari rumah kecil di daerah terpencil itu Panji turun dari kudanya. Dia memberi isyarat pada Wiro agar terus mengikuti dengan jalan kaki. Tinggal beberapa belas langkah lagi dari rumah yang dituju Wiro berbisik.
“Kau duluan saja Panji. Aku mau kencing dulu... Dari tadi aku berusaha menahan. Sekarang tak sanggup lagi!”
“Sialan! Ada-ada saja kelakuanmu!” maki Panji jengkel sekali. Dia tidak lagi memperdulikan Wiro dan bergerak sendirian dalam rumah kecil yang lantainya berkolong rendah.
“Ada nyala lampu berrarti ada orangnya,” kata Panji dalam hati. Dia melangkah ke pintu depan lalu berseru. “Janar Gandewo! Aku mencarimu! Lekas keluar!”
Tak ada jawaban dari dlam rumah itu.
“Janar!”
“Si... siapa di luar?!” Tiba-tiba ada yang bertaya dari dalam rumah.
“Aku Panji Argomanik!”
“Tung... tunggu sebentar...”
“Suaranya seperti gemetar dan gagap. Ada sesuatu yang ditakutinya,” kata Panji dalam hati..Dia menunggu sesaat.
Tiba-tiba nyala lampu dalam rumah padam. Panji jadi curiga dan melompat ke balik sebatang pohon. Dia tak menunggu lama. Pintu belakang rumah kecil kelihatan terbuka lalu seorang lelaki bertubuh tinggi langsung melompat keluar, dengan cepat menyelinap hendak melarikan diri. Panji segera mengejar dan menghadang. Sekali sergap saja dia berhasil membengbeng leher pakaian orang itu.
“Mau kabur ke mana Janar?!”
“Si.. siapa bilang aku mau kabur...?” Janar Gandewo si pedagang keliling menjawab tapi jelas dia berdusta dan sangat ketakutan.
Panji tarik leher pakaian orang itu lalu membantingkannya hingga punggungnya terhempas ke dinding rumah. Janar Gandewo merintih kesakitan. Tulang punggungnya seperti luluh.
“Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini...?”
“Ini belum seberapa!” kertak Panji. “Aku tak segan-segan menghancurkan batok kepalamu!”
“A... apa salahku?!”
“Keparat! Kau pandai berpura-pura!” Tangan kiri Panji bergerak meninju muka Janar Gandewo hingga bibirnya pecah dan dua giginya rontok! Janar meraung kesakitan. “Kau mau minta mampus sekarang juga?!” bentak Panji lalu kedua tangannya dicekikkan ke leher orang itu.
“Jang... jangan... Jangan bunuh aku. Apa salahku...”
“Siapa yang menyuruhmu memberi kesaksian palsu enam tahun lalu. Kau bersaksi melihat aku membunuh Tayub Jenggolo putera Pangeran Sendoyo!”
“Aku...”
“Bangsat! Jawab cepat!” Panji angkat lagi tangan kanannya.
“Aku... Aku terpaksa. Aku disuruh. Kalau tidak kemaluanku akan dipotong! Aku akan dikebiri!”
“Siapa yang menyuruhmu? Siapa yang mau mengebirimu?!” teriak Panji.
“Walang Daksi...”
“Walang Daksi...? Dukun Iblis di Lembah Waru?!”
Janar Gandewo mengangguk.
“Aku tidak percaya! Kau membual! Biar kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
“Aku tidak dusta! Aku tidak berbohong Panji. Aku tahu Walang Daksi juga disuruh orang lain...”
“Siapa?!”
“Su... Sur...”
Belum sempat Janar Gandewo menyebutkan sabuah nama tiba-tiba terdengar suara berdesing. Panji berpaling. Sebatang anak panah melesat dan menancap tepat di mata kiri Janar Gandewo. Orang ini meraung setinggi langit. Lidahnya terjulur. Mukanya kelihatan menjadi biru.
“Panah beracun!” desis Panji serta merta lepaskan cekikannya. Tubuh Janar terkulai lalu roboh ke tanah tanpa nyawa lagi!
Dalam keadaan masih terkesiap Panji tidak menyadari bahwa saat itu sebuah anak panah lagi melesat dan kali ini sasarannya adalah dirinya sendiri. Dia mendengar suara berdesing namun perhatiannya masih tertuju pada kematian Janar hingga dia bertindak lengah. Sesaat lagi anak panah itu akan menancap di punggungnya tiba-tiba sebuah benda hitam melesat dalam kegelapan malam, memotong luncuran anak panah dan...
"Trakkk!" Anak panah mental patah dua. Panji melompat. Saat itulah dia baru sadar kalau dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut!
Sesosok tubuh melompat ke hadapan panji. Pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini berkelebat dan siap untuk menghantam. Tapi dia cepat tarik serangannya ketika dilihatnya yang datang adalah Wiro.
“Ada untungnya aku kencing tadi,” kata Pendekar 212. “Kalau tidak mungkin kita berdua sudah jadi mayat. Yang dituju si pembokong adalah kau, bukan kunyuk jangkung itu!”
Lalu Wiro membungkuk mengambil sebuah benda yakni batu hitam sakti yang merupakan pasangan kapak Maut Naga Geni 212. Selain memungut batu hitamnya Wiro juga mengambil patahan anak panah yang tadi dihantamnya dengan batu hitam itu.
“Aku mengenali mata panah ini. Bagaimana pendapatmu, Sobat?” tanya Wiro.
Panji memperhatikan anak panah itu. Dia juga segea mengenali “Sama dengan anak panah milik orang-orangnya Warok Keling...” Katanya. “Berarti bangsat itu memang terlibat dalam urusan ini! Keparat!” dalam amarahnya Panji kemudian ingat. “Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku.” Dia memandang ke arah mayat Janar Gandewo. “Manusia sialan itu tadi menyebutkan nama seseorang. Orang yang katanya menyuruh dia melakukan kesaksian palsu. Sur... entah Sur siapa. Dia juga menyebutkan nama seorang dukun di Lembah Waru. Aku akan mencari dukun itu sekarang juga!”
“Kau dengar suara derap kaki kuda di kejauhan itu?”
“Ya...”
“Apa maksudmu Wiro?”
“Itu derap kaki kuda si pembokong. Dia belum lari jauh. Kita masih punya kesempatan untuk mengejarnya! Kau harus memilih satu di antara dua. Mengejar si pembokong atau pergi ke Lembah Waru.”
“Si pembokong itu lebih dulu!” jawab Panji.
“Tepat!” sahut Wiro seraya acungkan ibu jari tangan kanannya. Kedua pendekar ini segera berkelebat ke tepat di mana mereka meninggalkan kuda sebelumnya.
Di malam yang gelap dan dingin itu memang tidak mudah untuk mengejar seseorang yang melarikan diri dengan menunggang kuda. Satu-satunya petunjuk ke arah mana larinya si pembokong adalah suara derap kaki kudanya. Tapi celakanya disatu tempat suara derap kaki kuda orang yang dikejar itu lenyap!
“Keparat!” maki Panji. “Dia menghilang!”
Pendekar 212 tidak menjawab. Telinganya dipasang baik-baik. “Aku mendengar suara kaki-kaki kuda di air...”
“Kau ingat kali kecil itu?!” ujar Panji.
“Dia pasti tengah menyebrangi kali dangkal itu! Pantas derap kaki kudanya lenyap. Ayo kita kejar!”
Kedua pendekar ini memacu kuda masing-masing ke arah kiri. Tak lama kemudian mereka sampai di satu tempat ketinggian. Di bawah sana kelihatan kali kecil berair dangkal. Di seberang kali tampak seorang penunggang kuda baru saja menyeberangi kali itu.
“Itu bangsatnya!” kertak Panji. “Aku akan memintas jalannya dari arah kiri. Kau memotong dari arah kanan. Dia pasti tidak bisa lolos. Apalagi di seberang sana merupakan kawasan terbuka!”
Panji membedal kudanya. Wiro menyentakkan tali kekang tunggangannya. Kedua orang ini melesat dalam kegelapan malam. Selewatnya kali dangkal mereka berpencar menggunting larinya orang yang mereka kejar dari dua arah. Tepat dipertengahan pelataran terbuka, Panji telah berada di depan, Wiro menjepit dari belakang.
Orang yang dikejar mengenakan pakaian ringkas warna gelap. Kepalanya ditutupi sebuah topi berbentuk aneh dan wajahnya tersembunyi di balik sehelai cadar. Tahu kalau ada dua orang mengejarnya si penunggang kuda tadi segera membelok kekiri dan memacu kudanya sepanjang lereng pedataran. Namun dia tidak bisa lari jauh karena dalam waktu singkat Wiro dan Panji berhasil mengejarnya. Dari jarak sepuluh langkah di sebelah kiri, Singa Gurun Bromo yang sudah tidak tahan lagi lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Yang diarah adalah pinggang orang itu.
Selarik angin keras menderu. Membabat ke arah pinggang laksana sambaran sebilah mata pedang. Inilah pukulan sakti yang disebut Kilat Manyapu Gurun Bromo. Jangankan tubuh manusia, batang pohon pun akan terbabat putus bila kena hantaman pukulan sakti ini!
Rupanya orang di atas kuda sudah tahu kalau dirinya terancam maut. Dari balik cadarnya dia keluarkan suara mendengus. Lalu tubuhnya tiba-tiba melesat ke atas. Serangan Singa Gurun Bromo lewat di bawah kedua kakinya. Hebatnya, karena kedua tangannya masih memegang tali kekang kuda, ketika melompat turun kembali dia membuat gerakan jungkir balik, di lain kejap dia sudah duduk kembali di atas pelana kuda dan menghambur menjauhi kedua pengejarnya.
Pendekar 212 leletkan lidah mengagumi kehebatan orang itu. Sebaliknya Panji Argomanik walaupun terkesiap tapi kemarahannya memuncak. Sebenarnya dia harus dapat menangkap orang ini hidup-hidup untuk mendapatkan keterangan mengapa dia memanah mati Janar Gandewo lalu hendak membunuh dirinya pula. Tetapi amarah lebih mempengaruhi hingga Panji ingin membunuh orang ini saat itu juga!
Begitu serangan pertamanya gagal Singa Gurun Bromo menggebrak kudanya dan mengejar kembali. Tapi sekali ini gerakannya tertahan karena sambil melarikan diri orang yang dikejar lambaikan tangan kanannya. Puluhan benda sebessar-besar pasir beterbangan di udara mengeluarkan kilauan aneh.
“Awas pasir beracun!” teriak Pendekar 212 yang mengenali apa adanya benda-benda yang melesat ke arah sahabatnya itu.
Singa Gurun Bromo menggertak marah. Tangan kanannya diangkat.
“Wusss!” Satu gelombang sinar putih kebiruan menderu dahsyat. Pasir beracun tersapu habis. Sinar serangan Panji Argomanik terus menerpa ke arah orang bercadar. Orang ini cepat angkat tangan kanannya guna melepaskan pukulan tangan kosong. Dua kekuatan dahsyat saling bentrokan di udara. Terdengar suara berdentum disusul oleh suara ringkikan tiga ekor kuda!
Singa Gurun Bromo merasakan sekujur tubuhnya seperti tergontai-gontai sedang kuda tunggangannya menjadi liar dan meringkik tiada henti. Pendekar 212 yang berada tak jauh dari Panji dan sempat tersapu angin serangan juga merasakan getaran hebat menjalari tuuhnya. Kuda tunggangannya seperti sempoyongan dan meringkik beberapa kali.
Yang bernasib buruk adalah orang yang dikejar tadi. Tubuhnya terhempas kesamping lalu jatuh ke tanah. Kudanya meringkik keras dan lari meninggalkannya. Puluhan langkah di depan sana baru binatang ini berhenti. Melihat orang buruannya jatuh ke tanah, Singa Gurun Bromo segera melompat turun dari atas kuda dan kirimkan tendangan ke arah dada orang itu. Yang diserang gerakkan tangan kanannya ke pinggang.
“Wuuttt!”
Lalu sebilah golok menyambar tak terduga. Ujungnya menderu di perut Singa Gurun Bromo membuat pendekar ini terkejut dan cepat melompat. Tak urung sebagian bajunya di sebelah perut masih kena tersambar ujung senjata lawan hingga robek.
Singa Gurun Bromo melompat mundur sambil pegangi perutnya. Parasnya berubah mengelam tanda amarahnya sudah mencapai di puncaknya. Di depannya orang bercadar tegak sambil putar-putar goloknya. Dalam gelapnya malam senjata itu lenyap dari pemandangan hanya suaranya saja yang terdengar menderu-deru.
Selangkah demi selangkah, sambil terus memutar goloknya orang ini mendekati Singa Gurun Bromo. Tiba-tiba dia menyergap ke depan. Goloknya berkiblat dalam satu bacokan deras. Singa Gurun Bromo mundur satu langkah. Kedua lututnya menekuk.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya menyusup ke atas. Begitu dia berhasil mencekal lengan yang memegang golok itu secepat kilat dia jatuhkan dirinya ke tanah. Kaki kanannya menendang ke arah perut lawan. Orang bercadar terangkat ke atas lalu tertarik keras. Goloknya terlepas dan tubuhnya terbanting ke tanah. Dari balik cadar terdengar suara pekikan. Suara pekik perempuan!
SEPULUH
Pendekar 212 dan Singa Gurun Bromo tentu saja tersentak kaget begitu mendengar suara jeritan orang itu adalah suara perempuan. Sekali lompat saja Singa Gurun Bromo sudah berdiri di samping tubuh yang tergeletak di tanah becek. Kaki kanannya menginjak leher lalu dia membungkuk dan membetot lepas cadar yang menutupi wajah orang itu.
“Kau!” keluar teriakan kaget dari mulut Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo.
Pendekar 212 sendiri tertegun dengan mulut ternganga seperti tak percaya pada penglihatannya. Akhirnya dia hanya bisa garuk-garuk kepala.
“Jadi kau rupanya! Bapaknya perampok besar. Ternyata anaknya juga penjahat keji! Mengapa kau hendak membunuhku? Mengapa kau membunuh Janar Gandewo! Pasti bapakmu yang menyuruh!”
“Mulutmu lancang! Belum tahu urusan sudah mendamprat! Jika kau ada persoalan denganku jangan hina orang tuaku!” bentak perempuan yang tergeletak ditanah dan lehernya masih diinjak oleh Singa Gurun Bromo. Dia bukan lain adalah Jayengsari, puteri Warok Keling, raja diraja para perampok!
“Baik! Sekarang jawab dulu pertanyaanku tadi. Kalau kau tidak menjawab kuinjak hancur batang lehermu!” ancam Singa Gurun Bromo.
“Siapa yang hendak membunuhmu? Siapa itu Janar Gandewo?” balik membentak Jayengsari. Lalu dengan mata membelalang gadis ini berkata. “Aku itdak takut mati! Kau mau bunuh aku saat ini juga silahkan! Ayo injak leherku!”
“Akalmu selicik akal bapak moyangmu!”
“Kurang ajar! Kalau kau punya nyali lepaskan injakanmu. Mari kita berkelahi sampai seratus jurus! Buktikan bahwa kau yang punya gelar Singa Gurun Bromo bukan seorang pendekar banci yang hanya berani melawan perempuan!”
Amarah Singa Gurun Bromo jadi mendidih lagi mendengar kata-kata Jayengsari itu. “Manusia sepertimu tidak perlu dihormati! Matipun kau aku tak merugi! Nah, mampuslah!”
Singa Gurun Bromo injakkan kaki kanannya kuat-kuat ke leher si gadis. Namun sebelum hal itu terjadi, murid Eyang Sinto Gendeng cepat mendorongnya hingga injakkannya lepas dan tubuhnya terhuyung-huyung.
“Wiro! Kau hendak membelanya?! Kau bersekutu dengan gadis iblis ini?!” teriak Singa Gurun Bromo marah.
“Tenang Panji, sabar dulu sedikit,” kata Wiro. “Apa untungku membela gadis cantik ini...!”
“Gila! Kau masih bisa menyebut gadis yang hendak membunuh sahabatmu ini dengan kata-kata gadis cantik!” semakin naik darah Singa Gurun Bromo mendengar pujian Wiro itu.
“Aku tidak memujinya berlebihan sobat. Tapi memang kenyataannya dia cantikkan?” Wiro berpaling pada si gadis sambil kedipkan matanya dia berkata. “Jayeng, berdirilah...”
Puteri Warok Keling itu tampak merengut walau hatinya sempat berbunga-bunga mendengar pujian Wiro atas kecantikan wajahnya.
“Wiro, katakan apa maumu?!” tanya Panji Argomanik dengan suara bergetar menahan amarah.
“Dengar Panji, aku punya dugaan bukan dia yang membunuh janar Gandewo dan juga bukan dia yang tadi hendak membunuhmu dengan panah beracun itu!”
“Hebat! Bagaimana kau bisa berkata begitu sobatku?!”
“Kau lihat sendiri. Dia tidak membawa busur ataupun kantong panah!”
“Aku sudah katakan. Gadis seperti dia sudah terdidik untuk berbuat jahat dan mengandalkan tipu daya! Bisa saja dia membuang busur dan kantong panahnya di tengah jalan!”
Jayengsari terdengar mendengus. Saat itu dia sudah berdiri di hadapan Wiro dan Panji. “Aku memang tidak membawa panah dan busur!” katanya.
“Baik! Sekarang katakan bagaimana kau tahu-tahu muncul di tempat ini! Apa keperluanmu! Kalau kau memang tidak berniat jahat mengapa melarikan diri ketika kami kejar dan mengapa kau menyerang kami? Dengar, anak panah yang membunuh Janar Gandewo jelas anak panah buatan komplotan ayahmu!”
“Soal panah memanah aku tidak menahu. Perduli setan! Aku tak mau membicarakannya! Aku tidak tahu kalau kalian tadi yang mengejarku! Aku menyerangmu karena menyangka kalian orang-orang jahat!”
“Kau dengar Wiro. Seorang anak penjahat enak saja mengatakan kita orang-orang jahat!”
“Jangan tolol!” bentak Jayengsari. “Malam begini gelap dan kalian tahu-tahu muncul di belakangku!”
“Kalau kau tidak bermaksud culas mengapa kau menutupi wajahmu dengan cadar?!” sentak Singa Gurun Bromo.
“Hem... Kau ingin tahu sebabnya? Jika kau punya saudara perempuan apa kau merasa tenang mengetahui dia berjalan seorang diri dalam pakaian dan dandanan perempuan?!”
Panji Argomanik terdiam.
“Jayeng,” Wiro menengahi. “Coba katakan saja mengapa kau ada di sini. Kalau memang bukan kau yang membunuh Janar Gandewo, mungkin kau tau siapa pelakunya?”
“Aku, aku ditugaskan ayah ke Kuto Inggil.” Jawab gadis itu. “Sebetulnya bukan ditugaskan. Tapi aku sendiri yang minta...”
“Apa keperluanmu ke Kuto Inggil?” tanya Wiro pula. Kelihatannya si gadis mau dan lebih terbuka bicara dengannya. Hal ini membuat Panji Argomanik menjadi tidak sabaran dan merasa sangat jengkel terhadap sahabatnya itu.
“Aku sebenarnya bermaksud menemui kalian guna menyampaikan pesan ayah.” Jawab Jayengsari. “Jejak kalian berhasil kuketahui dan kuikuti sampai di tempat kediaman Janar Gandewo. Aku sampai di situ ketika seorang penunggang kuda berusaha melarikan diri. Kurasa dialah yang membunuh pedagang keliling itu dan juga hendak membunuhmu...”
“Kau mengarang cerita!” potong Singa Gurun Bromo.
“Kalau kau berpendapat begitu boleh saja! Penjelasanku cukup sampai di sini. Kau pendekar gagah bergelar hebat. Silahkan kau selesaikan sendiri urusanmu!”
Jayengsari segera membalikkan diri. Tapi Wiro cepat menghampirinya dan memegang lengannya. “Jangan pergi dulu. Kau jangan marah padaku...” kata Wiro membujuk.
“Aku tidak marah padamu. Tapi jengkel pada manusia satu itu. Tidak tahu ditolong orang malah memaki, menuduh dan mendamprat seenaknya!” jawab Jayengsari.
“Maafkan dia. Pikirannya sedang kalut...” Wiro enak saja menciumi jari-jari tangan gadis itu.
Jayengsari cepat menariknya sambil berseru. “Ihhhh!”
Murid Eyang Sinto Gendeng menyengir. Dia yakin kalau Panji tak ada di situ si gadis pasti akan senang dipegang dan dicium.
“Kau sama saja kurang ajarnya dengan dia. Malah lebih kurang ajar!” bentak Jayengsari.
Wiro menyengir lagi. “Aku hanya bergurau,” katanya. Lalu, “Sekarang coba kau katakan apa pesan ayahmu itu. Pesan untuk sahabatku Panji atau untukku sendiri? Ah, kalau pesan itu untukku aku berharap-harap ayahmu memanggilku mungkin untuk membicarakan soal perjodohan kita!”
Jayengsari terpekik marah sedang Panji Argomanik segera membentak. “Wiro! Tidak pantas dalam keadaan seperti ini kau masih bisa membanyol!”
Wiro senyum-senyum. “Banyolanku tadi memang tidak lucu,” katanya. Dia berpaling kembali pada Jayengsari. “Kau mau meneruskan keteranganmu tadi?”
Jayengsari tampak merengut. Namun kemudian dia melanjutkan keterangannya. “Aku berusaha mengejar orang yang membunuh dengan panah itu. Tapi dia keburu melarikan diri. Kudanya kencang sekali. Tungganganku yang sudah keletihan tidak berhasil mengejarnya. Di seberang kali kecil dia menghilang. Justru begitu dia lenyap kalian berdua muncul mengejarku!”
“Sayang bangsat itu lolos. Tapi mungkin kau dapat mengenali sosok atau perawakannya meskipun gelap?” tanya Wiro.
“Wajahnya memang tidak sempat kulihat. Tapi potongan tubuhnya aku hampir yakin dia adalah Daruka...”
“Siapa Daruka?” tanya Wiro.
“Salah seorang anak buah ayahku. Dialah yang dicurigai melakukan penculikan atas diri Larasati. Tapi nyatanya nanti ceritanya jadi lain...”
“Hem... Kalau begini jelas ada seseorang dibelakang Daruka.” Kata Wiro.
“Menurut Janar Gandewo sebelum mati, dia disuruh oleh Walang Daksi. Walang Daksi disuruh oleh Suryaning. Lalu mengapa Daruka membunuh Janar dan ingin membunuhku juga? Berarti bukan Suryaning yang menyuruh Daruka! Tapi seorang lain. Mungkin Pangeran Sendoyo?” Panji memandang pada Wiro.
Wiro menggeleng. “Sang Pangeran punya kelompok sendiri. Dua tokoh silat Istana dan dua perwira kerajaan itu. berarti ada orang lain Panji. Aku mulai mencium baunya. Nanti saja kukatakan. Mungkin kau akan tahu dengan sendirinya. Sekarang kita harus mencari tahu di mana Suryaning menyekap Larasati.” Wiro memandang pada puteri Warok Keling itu. Kelihatannya si gadis masih jengkel. Maka Wiro mengalihkan pembicaraan. “Kau masih meneruskan keteranganmu yang terputus tadi?”
“Tak lama setelah kalian pergi ayah segera mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala kelompok untuk menyelidiki siapa di antara para anggota yang berada di luar perkampungan. Kemudian segera diketahui bahwa seorang anak buah ayah sejak beberapa waktu lalu tidak ada di kampung. Namanya Daruka. Dia berada di luar tanpa setahu ayah ataupun pimpinan kelompok dan tanpa suatu tugas apapun. Mungkin sekali dialah yang telah membunuh Karjo Lugu pemilik bengkel kuda diKuto Inggil itu. Ayah mengirim dua orang anak buahnya untuk menyelidik lebih jelas. Seorang lain ditugaskan ayah untuk menemui kalian. Tapi aku meminta agar aku yang pergi. Kami berhasil menemui Daruka di satu tempat. Setelah dipaksa dia mengaku memang dia yang telah membakar dan membunuh perempuan bernama Bibi kanoman dna Karjo Lugu. Celakanya Daruka sempat melarikan diri. Namun satu pengakuan penting sudah diucapkannya. Yaitu bahwa bukan dia yang menculik Larasati. Gadis itu telah diculik lebih dulu oleh seseorang...”
“Siapa?!” tanya Panji cepat.
“Tunggu dulu!” ujar Jayengsari. “Apa hubunganmu dengan seorang dukun perempuan bernama Walang Daksi?”
“Eh, mengapa kau bertanya begitu?!” balik bertanya Panji Argomanik. “Dukun itu ditemui mati di rumahnya. Ada yang menggantungnya!” Panji berpaling pada Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Berarti kita tidak bisa mencari tahu siapa orang yang disebutkan Janar Gandewo. Kita hanya tahu sepotong nama depannya. Sur... Bisa Surga, bisa Susur... bisa...”
“Sudah! Kau jangan ngacok!” potong Panji dengan suara keras.
“Mungkin aku tahu kelengkapan sepotong nama yang barusan kau sebut itu. Rasa-rasanya orangnya sama dengan yang tadi hendak kuberitahukan...”
“Siapa?” tanya Wiro dan Panji hampir berbarengan.
“Suryaning...” jawab Jayengsari.
“Suryaning?” ujar Panji dengan nada terkejut dan wajah berubah. “Hanya ada satu orang bernama Suryaning. Dia adalah puteri Adipati Lumajang!”
“Justru dia yang menculik Larasati kekasihmu!”
“Hah?! Apa katamu?! Suryaning puteri Adipati Dirgo Sampean yang menculik Larasati?!” sepasang mata Singa Gurun Bromo membeliak.
Jayengsari mengangguk. “Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin!” kata Panji masih tidak berkedip.
“Perempuan menculik perempuan! Apa perlunya? Apa untungnya?!” ujar Wiro pula. “Kalau aku menculikmu atau kau menculik aku, nah itu masih masuk akal...”
“Kurang ajar! Siapa mau menculikmu!” damprat Jayengsari dengan mata melotot sedang Wiro menutup mulut menahan tawa.
Panji mendekati Wiro lalu berbisik. “Aku punya dugaan gadis ini sengaja menipu kita. Dia punya maksud buruk terhadap kita... Larasati tidak punya silang sengketa dengan puteri Adipati itu. Mengapa dia menculiknya?”
“Yang juga tidak jelas. Siapa yang membunuh dukun perempuan bernama Walang Daksi itu.”
Panji memandang Jayengsari. Lalu dia bertanya. “Bagaimana kau tahu kalau puteri Adipati itu yang menculik Larasati?”
Jayengsari menyeringai. “Aku bukan cuma tahu hal itu, aku malah juga tahu di mana kekasihmu sekarang disekap!”
“Kalau begitu lekas kau beritahu padaku tempatnya!”
Kembali Jayengsari menyeringai. “Kau cari tahulah sendiri!” katanya.
Rupanya dia masih dendam atas perlakuan Panji sebelumnya. Habis berkata begitu gadis ini segera hendak tinggalkan tempat itu. terpaksa Wiro kembali membujuknya.
“Sobatku cantik. Jika kau mau menolong orang jangan kepalang tanggung. Ayo kita pergi sama-sama ke tempat Larasati disekap. Kau jalan duluan memberi petunjuk biar kubawa kudamu kemari.”
Sebelum gadis itu bisa menolak Wiro sudah lari ke tempat di mana kuda tunggangan Jayengsari berada. Lalu membawa binatang ini pada pemiliknya dan mengulurkan tali kekang pada si gadis. Dia memandang pada Jayengsari sambil tersenyum. Mau tak mau hati si gadis jadi luluh dan lembut juga.
Sebenarnya dia memang tertarik pada murid Eyang Sinto Gendeng ini sejak pertama kali melihatnya di perkampungan. Gadis ini tundukkan kepala. Baru saat itu disadarinya kalau seluruh pakaiannya basah dan kotor oleh tanah becek akibat jatuh tadi. Wiro maklum apa yang dipikirkan gadis itu. Maka dia cepat berkata.
“Gadis secantikmu tentu saja tidak pantas berpakaian kotor basah begini. Aku ada salinan di kantong perbekalan. Kau bisa ganti pakaian saat ini juga...”
“Tak perlu,” jawab Jayengsari cept. “Aku tidak percaya pada manusia macammu...”
“Eh, maksudmu apa?” tanya Wiro.
“Waktu aku ganti pakaian kau pasti mengintip!”
Pendekar 212 tertawa bergelak. Panji Argomanik mau tak mau juga jadi tertawa. Jayengsari memandang pada pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini lalu berkata sambil cemberut. “Ih... Ikut-ikutan tertawa...!” ucapan Jayengsari membuat gelak tawa Wiro semakin menjadi.
SEBELAS
Walaupun malam gelap namun dari bibir lembah, pondok kayu itu masih dapat terlihat cukup jelas. Jayengsari hentikan kudanya lalu menunjuk ke arah pondok. “Itu tempatnya.” Katanya dengan nada dingin.
“Aku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri!” berucap Singa Gurun Bromo. Lalu disentakkannya tali kekang kuda. Dia mendahului Wiro dan Jayengsari menuruni lembah. Dalam waktu singkat ketiga orang itu sudah berada di depan pondok kayu. Singa Gurun Bromo di depan sekali dan lebih dulu melompat dari kudanya.
Di dalam pondok yang hanya merupakan satu ruangan terbuka dan diterangi oleh sebuah lampu minyak berkelap kelip karena kehabisan minyaknya, soerang gadis yang kecantikannya terbungkus rasa takut duduk terikat di atas sebuah kursi kayu. Dia mengenakan baju dan celana panjang warna biru muda. Kedua kaki celananya tampak penuh robek sampai sebatas lutut.
Dari robekan itu kelihatan sepasang kakinya yang penuh dengan guratan-guratan luka. Gadis ini terduduk dengan muka pucat dan ada air mata jatuh di atas pipinya. Di hadapannya melangkah mundar mandir seorang gadis lain berpakaian serba merah yang saat itu memegang seutas cambuk. Gadis satu ini menutupi kepalanya dengan sehelai kain tipis hingga parasnya hanya kelihatan samar-samar.
“Jadi namamu Larasati huh?!” Mulut di bali kain tipis berucap dengan nada ketus. Tiba-tiba dia angkat tangannya. Cambuk yang dipegangnya berkelebat. Terdengar suara keras menggidikkan ketika cambuk itu menghantam kedua kaki gadis yang duduk terikat di kursi. Si gadis menjerit kesakitan. Luka baru kelihatan mengoyak kakinya.
Gadis yang melakukan cambukan tertawa mengekeh. “Sakit? Hik hik hik! Kau menjerit?! Kau menangis?! Gadis cengeng! Sakit yang kau rasakan tidak ada artinya dibandin dengan sakit hati yang kualami selama ini!”
“Persetan dengan sakit hatimu! Mengapa kau menculik dan memperlakukan aku seperti ini?! Kau manusia biadab!” teriak gadis di kursi.
“Diam!” Lalu cambuk itu menghantam kembali. Gadis di kursi kembali menjerit. Kedua kakinya luka lagi. Darah semakin banyak mengucur.
“Namamu Larasati! Kau bakal benar-benar mengalami lara seumur hidup! Jangan harap kau bakal mendapatkan pemuda itu! Jika aku tidak bisa mendapatkan Panji Argomanik, kau juga tidak bakal bisa memiliki pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu!”
“Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau menutupi wajahmu dengan cadar?! Kau perempuan iblis...!”
Gadis yang memegang cambuk tertawa panjang. “Aku memang manusia iblis. Bahkan biasa lebih buas dari iblis! Sebentar lagi pekerjaanku akan selesai. Setelah wajahmu kurusak aku mau lihat apakah kekasihmu itu masih mencintaimu! Hik hik hik!”
“Manusia celaka! Apa yang hendak kau lakukan?!”
“Sabar, jangan banyak tanya dulu. Nanti kau akan tahu sendiri!” lalu gadis yang kepalanya ditutup kain tipis memutar-mutar cambuknya. Dari mulutnya kemudian terdengar suara teriakan keras. Bersamaan dengan itu cambuk di tangan kanannya menghantam ke arah wajah gadis di atas kursi.
Larasati menjerit. Saat itu pula pintu pondok hancur berantakan diterjang orang dari luar. Seseorang bekelebat masuk dan melompat ke hadapan gadis bercadar. Sekali dia mengulurkan tangan, dia berhasil menangkap ujung cambuk yang hendak menghantam wajah Larasati!
Gadis yang memegang cambuk tampak terkejut. Dia segera menyentakkan cambuk agar terlepas dari pegangan Singa Gurun Bromo. Tapi pegangan sang pendekar begitu kuat hingga sekalipun dia mengerahkan tenaga sekuatnya, cambuk itu tak bisa lepas. Sebaliknya dengan sekuat tenaga pula Singa Gurun Bromo menarik cambuk hingga si gadis terbetot ke depan. Agar dirinya tidak tertarik lebih jauh gadis ini mau tak mau harus lepaskan cambuk yang dipegangnya. Lalu dia melompat kedinding pondok, menajuhi Singa Gurun Bromo.
“Siapa kau?!” bentak Singa Gurun Bromo dengna mata membelalang.
“Mengapa kau menculik Larasati?!”
Gadis bercadar tertawa tinggi. “Kau mana mau pernah mengenalku. Kau mana pernah mau mengingat-ingat diriku. Dia kekasihmu, ya? Hik hik hik!”
“Diam! Jawab pertanyaanku!” hardik Singa Gurun Bromo. Dia ingat pada Larasati. Cambuk yang dipegangnya dibantingkannya ke lantai lalu dia segera menghampiri Larasati, memeluk gadis itu sesaat.
Selagi Panji Argomanik membuka ikatan Larasati, kesempatan ini dipergunakan oleh gadis bercadar untuk melarikan diri. Dia melompat ke pintu. Tapi di pintu saat itu sudah menghadang Pendekar 212. Di belakangnya berdiri Jayengsari.
“Eh, kau mau pergi ke mana?” tegur Wiro. Tangan kanannya diulurkan untuk menarik pinggang si gadis.
Tapi tiba-tiba gadis bercadar ini keluarkan sebilah keris dan menusukkannya ke dada Wiro. Dari caranya menikam serta gerakan serangan yang tidak mengeluarkan angin Wiro tahu kalau orang itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat, apalagi tenaga dalam. Karenanya dengan mudah Wiro dapat meringkusnya. Gadis ini berteriak-teriak berusaha melepaskan diri.
“Wiro, lepaskan dia!” kata Panji Argomanik. “Aku akan menanyainya. Jika dia tidak mau membuka mulut akan kupatahkan batang lehernya!” Lalu pemuda itu melangkah ke hadapan si gadis bercadar yang saat itu bersurut dan baru berhenti begitu punggungnya tertahan dinding pondok.
“Lekas katakan siapa dirimu! Mengapa kau menculik Larasati! Jawab! Buka cadarmu!”
Gadis bercadar hanya menjawab dengan suara mendengus. Panji Argomanik mulai hilang sabarnya. Dia mengambil cambuk yang tadi dicampakkannya.
“Tadi kau hendak merusak muka kekasihku! Sekarang biar wajahmu dulu yang akan kurusak!”
Anehnya si gadis bercadar malah keluarkan suara tertawa nyaring dan panjang. “Kau hendak merusak mukaku?!” katanya menantang dan sambil maju selangkah. “Lakukanlah!” tiba-tiba gadis ini merenggutkan cadar yang menutupi kepalanya.
Larasati yang berada di sudut pondok terpekik ngeri. Jayengsari keluarkan seruan tertahan. Panji Argomanik sendiri tampak mengernyit bergidik. Sedang Wiro sipitkan kedua mata, memandang tak berkedip dengan kuduk terasa dingin.
Wajah yang tadi tersembunyi di balik cadar itu kini tersingkap jelas mengerikan. Wajah itu bukan wajah seorang gadis tapi merupakan wajah yang sangat seram. Hidungnya gerumpung. Mata kirinya menyembul membeliak. Kening dan pipinya penuh guratan luka yang dalam. Bibirnya sebelah atas robek sedang yang sebelah bawah menggelantung hampir copot!
“Mahluk bermuka setan! Siapa kau?!” teriak Panji Argomanik sambil mundur satu langkah.
Orang itu keluarkan suara tertawa panjang. “Tentu saja kau tidak mengenali diriku Panji. Tidak ada satu orangpun yang mau mengenalku. Bahkan ayah dan ibukupun benci padaku! Aku adalah Suryaning, puteri dan anak tunggal Adipati Dirgo Sampean dari Lumajang!”
Semua orang di dalam pondok itu tersentak kaget dan sekaligus juga diselimuti rasa ngeri melihat wajah seram yang tidak pernah mereka sangkakan sedikitpun.
“Kalian ngeri? Takut atau jijik melihatku?!”
Suryaning membuka mulut dan maju beberapa langkah hingga kini berada di tengah-tengah ruangan. Sebaliknya Larasati dan Panji serta Wiro dan Jayengsari justru bergeser ke sudut-sudut pondok. Puteri Adipati iu tertawa panjang.
“Kalian, seperti juga semua orang tidak pernah menyangka wajah seorang puteri Adipati seperti wajahku yang kalian lihat saat ini! Nasibku memang malang! Ketika berusia delapan tahun ayah membawaku ke Hutan Jatiroto, ikut berburu. Ketika berkemah, ayah dan para pengawal berlaku lengah. Tiba-tiba ada seekor harimau menyerbu kemah pada saat aku terbaring tidur keletihan. Binatang itu memang berhasil diusir tapi dia sempat mencakar wajahku hingga jadi rusak begini. Semua orang mengira aku akan mati. Bahkan ayah dan ibuku berharap aku mati saja. Ternyata aku bertahan hidup. Tapi selama bertahun-tahun mereka menyembunyikan diriku. Mereka mengurungku di sebuah kamar. Hanya karena kabaikan para pengawal yang merasa iba terhadapku aku bisa menyelinap keluar pada malam hari. Setiap kesempatan ada kupergunakan untuk mendekati rumah kediamanmu Panji. Ketika kau menjadi buronan dan menghilang selama enam tahun, aku seperti mau mati rasanya...”
Semua orang yang ada di tempat itu jadi terdiam mendengar penuturan Suryaning itu.
“Dengar...” kata Panji Argomanik dengan suara gemetar. “Siapapun kau adanya, mengapa kau menculik Larasati. Mengapa kau menganiaya dan hendak merusak wajahnya? Karena kau iri? Karena parasnya cantik dan wajahmu seburuk setan?!”
Dari mulut Suryaning keluar suara menggembor. “Kau betul Panji! Aku memang iri! Aku cemburu! Aku ingin kau adalah milikku sendiri! Aku tidak ingin dia merampasmu dari tanganku!”
“Apa maksudmu...?” tanya Panji heran.
“Aku sudah lama mencintaimu Panji. Tapi kau tak pernah membalasnya. Tidak secara nyata, juga tidak dalam mimpi!”
Panji berpaling pada Larasati, lalu menoleh pada Wiro dan Jayengsari. “Gadis ini pasti tidak waras! Bertemupun sebelumnya aku tidak pernah...”
“Memang Panji, kita memang tidak pernah bertemu. Kau tak pernah melihatku. Tapi aku sering melihatmu. Hampir setiap malam aku memimpikanmu. Tapi aku tahu diri. Keadaanku yang begini tidak memungkinkan aku bisa memperlihatkan rupa padamu. Apalagi mendapatkan cinta darimu! Karena itu aku bersumpah. Kalau aku tidak bisa memilikimu, tidak seorang gadis lainpun boleh memilikimu! Tidak juga gadis itu!”
Suryaning menunjuk tepat-tepat ke arah Larasti yang membuat Larasati seperti terbang nyawanya.
“Jadi karena itu kau menculiknya lalu hendak merusak tubuh dan wajahnya!” kata Panji pula.
“Betul! Memang itu yang hendak kulakukan!” jawab Suryaning. “Tapi ketahuilah, aku bukan hanya tak mau gadis itu jadi milikmu, tapi juga tidak ingin melihat dia jadi istri muda ayahku!”
Terkejutlah semua orang yang ada di situ. Semua mata ditujukan pada Larasati. Gadis ini sesaat menutupi wajahnya lalu terdengar suaranya di antara isakan.
“Adipati Lumajang memang pernah melamarku pada Bibi Kanoman. Waktu itu aku baru berusia empat belas tahun. Kami menolak dengan halus. Kurasa hal itu telah berakhir sampai di situ saja...”
“Bagimu dan bagi bibimu mungkin begitu. Tapi bagi ayahku tidak. Dia sudah tergila-gila padamu! Dia sudah bertekad apapun yang terjadi, jalan apapun akan ditempuhnya untuk mendapatkanmu. Ketika Pangeran Sendoyo setahun kemudian meminta ayahku untuk melamarmu guna dijadikan istri puteranya yang bernama Tayub Jenggolo, ayahku melihat ada satu kesempatan untuk memanfaatkan keadaan. Bibimu menolak pinangan sang Pangeran. Pangeran Sendoyo tersinggung. Ayahku memperuncing keadaan dengan mengatakan bahwa sebenarnya pinangan itu ditolak karena Larasati sudah mempunyai seorang kekasih bernama Panji Argomanik yang di Kuto Inggil dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo. Ayah lalu membujuk Pangeran agar melenyapkan Panji. Sekaligus dia akan mendapatkan keuntungan. Jika Panji mati, dia bisa mengulang maksudnya untuk mengawinimu....” Sampai di situ Suryaning menatap ke arah Larasati. Yang ditatap hanya bisa tundukkan kepala.
“Apa yang kemudian dilakukan Adipati dan Pangeran Sendoyo?” tanya Panji.
“Ayah mengumpan putera sang Pangeran yaitu Tayub Jenggolo yang dalam keadaan mabuk agar memancing keributan dengan Panji. Ayah sengaja membayar tiga orang pemuda kawan-kawan tayub berpura-pura mabuk lalu mencegat Pnaji di satu tempat. Begitu mereka berkelahi ketiga pemuda itu melarikan diri. Lalu sewaktu tayub tergeletak di tengah jalan, seorang penjahat yang dibayar ayahku menusuk putera Pangeran itu sampai mati. Mayatnya ditinggalkan di tengah jalan...”
Pelipis Panji Argomanik tampak bergeark-gerak. Rahangnya menggembung. “Tayub ditemukan dengan pisau milikku menancap di tubuhnya. Kau tahu bagaimana pisau itu berada di tangan Tayub yang kemudian dijadikan senjata pembunuhnya dan dijadikan bukti bahwa akulah yang telah menghabisi putera Pangeran itu?!”
Suryaning berpaling pada Panji. Sambil menundukkan kepala gadis ini berkata. “Itu juga sebagian dari siasat ayahku agar kau bisa ditangkap dan digantung. Pisau itu disuruhnya curi ketika kau tidak ada dirumah!”
“Manusia keji!” rutuk Panji sambil kepalkan tinju. “Siapa yang melakukan pencurian itu? Kau tahu juga siapa yang sebenarnya membunuh Tayub Jenggolo?”
“Orangnya sama...”
“Aku sudah dapat memastikan siapa orangnya!” memotong Jayengsari. “Pasti Daruka!”
Suryaning menoleh pada puteri Warok Keling itu lalu menganggukkan kepalanya.
“Kau tahu siapa yang membakar rumah dan membunuh Bibi Kanoman?” tanya Larasati.
“Daruka juga. Adipati yang menyuruh dengan bayaran tinggi. Daruka kemudian membawa beberapa orang penjahat dari Barat. Maksud semula adalah untuk menculikmu. Ketika Daruka dan para penjahat itu tidak menemukan dirimu, mereka membakar rumahmu dan membunuh Bibi Kanoman. Kemudian Daruka juga...”
Belum sempat Suryaning melanjutkan ucapannya tiba-tiba di luar pondok terdengar suara orang membentak. “Anak tak tahu diri! Apa yang talah kau ceritakan pada manusia-manusia keparat itu!”
Paras setan Suryaning tampak tercekat. “Ayahku...” desisnya.
Lalu di atas atap ada nyala terang. “Mereka membakar pondok!” teriak Jayengsari.
Semua orang lari berserabutan ke arah pintu. Tapi Pendekar 212 cepat menghalangi. “Jangan lari lewat pintu depan! Ikuti aku!” teiak Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke bagian belakang pondok. Dengan pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah dia menghantam dinding belakang pondok hingga hancur berantakan. Lewat dinding yang porak poranda itu semua orang lalu menghambur keluar pondok.
Apa yang dilakukan Pendekar 212 Wiro Sableng memang sangat tepat. Jika seandainya mereka keluar lewat satu-satunya pintu maka tubuh mereka akan disambut oleh panah-panah beracun yang sudah disiapkan oleh Daruka dan delapan orang kawan-kawannya!
DUA BELAS
Kelima orang itu bersembunyi di balik semak belukar lebat. Dalam waktu singkat sebagian dari pondok kayu sudah musnah dimakan api. Beberapa orang penunggang kuda mengitari pondok yang terbakar. Mereka adalah penjahat-penjahat dari Barat yang dibawa serta oleh Daruka untuk membantunya.
Saat itu mereka tidak lagi mengenakan kain penutup muka. Daruka sendiri kelihatan di seberang sana bersama Adipati Dirgo dan beberapa orang anak buahnya serta sekelompok perajurit kadipaten. Dalam gelap mereka juga melihat dua orang di bawah sebatang pohon. Wiro segera mengenali keduanya dan berbisik pada Panji.
“Kunto Areng dan Jalak Toga ada di antara mereka.” Seorang anak buah Daruka memberitahu bahwa di dalam pondok tidak kelihatan satu orangpun.
“Mereka pasti bersembunyi di sekitar sini. Mereka tidak bisa lari. Kuda-kuda mereka sudah kita preteli...” Yang bicara adalah Adipati Dirgo Sampean. “Pimpin anak buahmu melakukan pencarian! Ingat tak ada satu orangpun yang boleh lolos. Bunuh mereka semua. Termasuk anakku!”
“Orang tua bangsat!” terdengar Suryaning memaki dalam gelap. Lalu dia bergerak.
Wiro cepat memegang tangannya. “Kau mau kemana?” tanya Wiro.
“Aku ingin membunuh ayahku dengan tanganku sendiri!” jawab Suryaning.
“Betapapun kesalahan ayahmu, dia tetap orang tuamu. Jangan jadi anak durhaka. Ayahmu serahkan pada kami...”
Suryaning jadi terdiam. Tapi dari kedua matanya yang cacad samar-samar tampak melelehkan air mata. Saat itu Daruka dan tiga orang anak buahnya lewat di depan mereka, memandang kian kemari. Terangnya nyala api yang membakar pondok kayu memaksa Wiro dan empat orang lainnya itu menajuh dan mencari tempat terlindung yang lebih gelap.
“Itu pasti Daruka...” desis Singa Gurun Bromo. “Aku ingin mengorek jantungnya saat ini juga!”
“Tidak bisa! Dia bagianku! Dia harus menerima hukuman dari ayah. Saat ini aku yang mewakili ayahku Warok Keling!” kata Jayengsari.
Kedua orang itu sama-sama berdiri lalu sama-sama saling pandang. Sesaat wajah si gadis tampak merengut. Lalu sekali tubuhnya berkelebat dia sudah menghambur dari balik semak belukar.
Daruka terkejut ketika melihat ada seseorang tiba-tiba berkelebat dari tempat gelap dan berusaha membetot tali kekang kuda. Dia lebih terkejut lagi ketika mengenali bahwa orang itu ternyata seroang gadis dan bukan lain adalah Jayengsari puteri pimpinannya.
“Kau terkejut melihatku Daruka?!” seringai Jayengsari.
Saat itu Singa Gurun Bromo sudah melompat pula ke depan Daruka. Melihat munculnya sang pendekar mau tak mau Daruka jadi bergeming juga nyalinya. Dia berteriak,
“Adipati! Mereka di sini!” Lalu pada tiga orang anak buahnya dia memerintahkan “Cincang orang berikat kepala merah ini! Aku ingin menyelesaikan urusan lebih dulu dengan gadis ini!”
Tiga orang lelaki berbadan tegap dengan bersenjatakan golok segear menggerakkan kuda masing-masing menyerbu Singa Gurun Bromo. Tiga golok menderu dalam gelapnya malam. Singa Gurun Bromo yang sudah sampai di puncak amarahnya tidak tinggal diam. Jotosannya menghantam kepala kuda di sebelah kanan. Binatang ini meringkik kesakitan dan melemparkan penunggangnya hingga jatuh terbanting ke tanah.
Serangan golok yang datang dari sebelah kiri dapat dielakkannya. Begitu golok mendesing di atas kepalanya Singa Gurun Bromo melompat ke depan. Kedua tangannya menyambar lengan anak buah Daruka yang ketiga. Orang ini terbetot kedepan. Saat itu juga Singa Gurun Bromo lipat tangannya hingga golok yang dipegangnya menghujam menembus perutnya sendiri!
“Jayengsari... Bagaimana kau bisa berada di sini?!” tanya Daruka.
“Kau tak layak bertanya! Kau tahu kau sudah membuat banyak kesalahan. Warok Keling menugaskanku untuk membawa kepalamu ke hadapannya!”
“Kau anak yang baik. Tapi aku yakin kau bisa jadi kekasih atau istri yang baik!”
“Bangsat! Apa maksud mulut kotormu?!” hardik Jayengsari.
“Dengar gadis cantik. Aku sudah lama diam-diam menyukaimu. Bagaimana kalau saat ini kau bergabung bersamaku. Kalau urusan sudah selesai kau ikut aku. Kita bisa hidup sebagai sepasang kekasih!”
Paras Jayengsari kelihatan merah gelap. “Bagus! Kuterima usulmu! Aku bersedia bergabung! Tapi terima dulu ini!”
Sebagai anak Warok Keling, Jayengsari memang telah mendapat gemblengan berbagai ilmu langsung oleh ayahnya sendiri. Dibanding dengan Daruka, kepandaiannya lebih tinggi dua tingkat. Karenanya sewaktu gadis ini melancarkan satu jotosan keras ke pinggangnya Daruka cepat mengelak selamatkan diri.
Walaupun saat itu dia memegang sebilah golok namun rasa sukanya terhadap Jayengsari membuat Daruka tidak tega untuk mengirimkan bacokan. Dengan tumit kirinya dia coba menendang bahu Jayengsari. Justru inilah kesalahan besar yang akan merenggut nyawanya.
Sambil membungkuk Jayengsari berhasil menangkap pergelangan kaki Daruka lalu ditariknya kuat-kuat ke bawah hingga Daruka yang bertubuh tinggi besar itu jatuh dari punggung kudanya. Belum lagi dia sampai di tanah jotosan tangan kiri Jayengsari melabrak perutnya. Daruka mengeluarkan suara seperti mau muntah.
Selagi dia tegak terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya, dari samping kiri Singa Gurun Bromo yang baru saja menghajar tiga orang pengeroyoknya ayunkan tinju menghantam batok kepalanya.
“Praaaak!”
Batok kepala Daruka rengkah. Tubuhnya terhempas ke tanah, menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
Beberapa orang berkuda menghambur datang ke tempat itu. di depan sekali adalah Adipati Lumajang Dirgo Sampean. Dibelakangnya enam penunggang kuda, tiga di antaranya adalah anak buah Daruka, tiga lainnya perajurit kadipaten. Keenam orang ini merentang busur menarik panah beracun yang ditujukan tepat-tepat pada Jayengsari dan Singa Gurun Bromo.
“Jika kalian ingin segera mampus silahkan bergerak. Anak-anak panah itu beracun!”
“Adipati keparat! Kau kira aku takut mati!” teriak Singa Gurun Bromo.
Adipati Dirgo Sampean menyeringai. Dia berpaling pada Jayengsari lalu tersenyum lebar. “Bukan main! Puteri Warok Keling ternyata berkomplot dengan manusia buronan ini! rejekiku besar sekali malam ini! mendapatkan buronan pembunuh putera Pangeran Sendoyo, sekaligus mendapatkan puteri raja diraja kepala rampok!” Adipati berpaling ke belakang. “Bunuh pemuda ini sekarang juga! Gadis ini tangkap hidup-hidup!”
Tiga orang anak buah Daruka yang merentang busur serta merta menarik anak-anak panah lebih ke belakang dan siap melepaskan ke arah Singa Gurun Bromo. Pada saat itu, di tempat gelap di mana Wiro dan Suryaning bersembunyi kelihatan sinar terang. Dua gadis itu sama berpaling ke arah Wiro dan terheran-heran ketika melihat tangan kanan sang pendekar berubah putih menyilaukan.
“Apa yang hendak kau lakukan...?” Bertanya Larasati.
Sebagai jawaban Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah tiga orang anak buah Daruka yang siap melepaskan panah-panah beracun. Saat itu juga terdengar suara menderu disertai berkiblatnya sinar terang menyilaukan. Hawa panas menghampar di tempat itu. kuda-kuda yang ada di tempat itu meringkik keras. Adipati Dirgo Sampean berteriak keras lalu melompat turun dari atas kudanya. Sinar panas menyilaukan tadi lewat di atasnya. Lalu terdengar jeritan tiga orang dibelakangnya. Ketiganya mencelat ke udara sampai dua tombak. Begitu jatuh ke tanah mereka sudah tak bernafas lagi. Mati dengan tubuh gosong!
Tiga perajurit yang juda tengah mengancam Jayengsari dengan panah-panah beracun dan tadinya bersiap-siap untuk meringkus gadis itu berlompatan dari kuda masing-masing begitu pukulan Sinar Matahari menyambar di udara. Mereka bergulingan di tanah. Panah dan busur lepas entah kemana.
Ketiganya menyangka sudah selamat tapi selagi mencoba bangkit, tendangan demi tendangan menghantam kepala, dada dan perut mereka. Ketiganya bergelimpangan malang melintang. Yang kena tendang kepalanya menemui ajal saat itu juga. Yang kena hantaman di bagian dada muntah darah dan siap untuk sekarat. Satunya lagi terkapar mengerang dengan perut pecah!
“Gadis Iblis! Tak dapat menggantung ayahmu, kau juga sudah cukup pantas!”
Dua penunggang kuda muncul di tempat itu. merka adalah Kunto Areng dan yang berteriak adalah Jalak Toga. Keduanya bukan lain adalah perwira-perwira kerajaan kaki tangan Adipati Dirgo Sampean. Mereka sama melompat turun dari kuda masing-masing, lalu menyerbu Jayengsari dengna bersenjatakan golok.
“Bagus! Aku kenal siapa kalian!” teriak Jayengsari. “Perwira-perwira culas macam kalian harus disingkirkan dari kerajaan!” dengan mengandalkan tangan kosong puteri Warok Keling ini tanpa rasa jerih sama sekali menyongsong serangan kedua lawannya yang berkepandaian tinggi itu.
Begitu jatuh di tanah dan berdiri, Adipati Dirgo Sampean langsung disergap Singa Gurun Bromo. Keduanya sama-sama mengandalkan tangan kosong. Berarti sama-sama mengerahkan pukulan-pukulan sakti dan tenaga dalam. Dengan kepandaiannya yang masih rendah enam tahun lalu Singa Gurun Bromo berhasil melarikan diri dari tempat sang Adipati menyekapnya.
Kini setelah digembleng lagi selama enam tahun, tingkat kepandaian Singa Gurun Bromo tentu saja semakin tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Dirgo Sampean. Karenanya dalam waktu singkat Adipati itu segera terdesak hebat. Beberapa pukulan Singa Gurun Bromo berhasil mendarat di tubuhnya.
Satu mampir di pinggiran matanya sebelah kiri hingga robek dan mengucurkan darah. Dengan menggertakkan rahang menahan sakit Adipati Dirgo Sampean kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Asap hitam aneh tiba-tiba menggebubu dari telapaknya disertai hawa busuk bukan main.
“Awas asap beracun!” satu teriakan perempuan keluar dari tempat gelap.
Panji Argomanik cepat tutup jalan pernafasannya. Kalau saja bukan karena teriakan tadi mungkin sang Adipati akan meneruskan serangan asap beracunnya yang bisa mencelakakan Singa Gurun Bromo. Namun dia terkejut sekali ketika mengenali suara yang berteriak tadi adalah suara puterinya sendiri. Disamping terkejut dia juga jadi sangat marah. Serta merta dia melompat ke balik semak belukar dari mana datangnya teriakan tadi.
“Hem, kalian berdua lengkap sudah berada di sini!” kata Adipati Dirgo Sampean sambil memandang melotot pada puterinya dan Larasati.
“Bertiga dengan aku!” kata Wiro seraya melompat bangkit dan kirimkan satu jotosan ke arah perut sang Adipati.
Karena masih mempelototi anaknya dan gadis yang digilainya itu ketika serangan datang Adipati Dirgo seperti tak acuh hanya menepis dengan tangan kirinya. Tepi begitu lengan dengan lengan beradu, menjeritlah Adipati ini. Tulang lengannya serasa patah. Selagi dia kesakitan setengah mati seperti ini puterinya berseru,
“Ayah, sebaiknya kau menyerah saja! Itu lebih baik bagimu!”
“Anak setan! Kau berkomplot dengan keparat-keparat ini...”
Tadinya masih ada sedikit rasa kasihan dalam diri Suryaning terhadap ayahnya. Tetapi setelah dimaki begitu rupa gadis bermuka cacat dan seram ini jadi mendidih amarahnya.
“Kau keparat! Kau yang berkomplot dengan para panjahat untuk mendapatkan gadis itu dan membunuh Janar Gandewo! Membunuh Bibi Kanoman...”
“Anak sundal! Seharusnya dulu kubiarkan kau mati di rimba belantara itu!”
Suryaning menjawab tak kalah sengitnya. “Kau menyesal punya anak seburukku! Aku juga menyesal punya ayah sejahatmu!”
Adipati Dirgo tak dapat lagi menahan amarahnya. Dia melompat ke hadapan puterinya itu sambil menghantamkan tangan kanannya ke muka Suryaning. Namun jotosannya itu tidak sampai di sasaran karena saat itu Pendekar 212 telah lebih dulu menggebuknya dengan pukulan tangan kiri ke arah dadanya.
Selagi Adipati ini melintir kesakitan Singa Gurun Bromo yang tadi hampir celaka oleh semburan asap hitamnya melompat dari samping. Dengan kedua tangannya dia hendak mematahkan leher Adipati Dirgo. Begitu bernafsunya pendekar ini untuk dapat menghabisi musuh besarnya saat itu juga, dia tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Saat itu jalak Toga dan Kunto Areng berhasil mendesak Jayengsari ke dekat sebuah pohon besar. Tanpa sengaja jalak Toga melihat Singa Gurun Bromo tengah berlari untuk menerkam Adipati Dirgo Sampean tanpa memperhatikan lagi keadaan sekeliling ataupun dirinya sendiri. Jalak toga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. golok ditangannya dilemparkannya ke arah Singa Gurun Bromo.
“Panji awas!” terdengar suara orang berteriak. Orangnya bukan lain adalah Suryaning puteri sang Adipati.
Kesempatan bagi Singa Gurun Bromo untuk mengelak hampir tidak ada. Wiro sendiri terhalang oleh tubuh Adipati Dirgo. Dalam saat yang sangat menentukan itu, tanpa pikir panjang Suryaning melompat ke hadapan Singa Gurun Bromo, merangkul tubuh pemuda ini. Kejap itu pula golok yang dilemparkan Jalak Toga sampai.
Senjata yang seharusnya menancap di pangkal leher Panji Argomanik itu kini menancap di punggung kiri Suryaning, terus tembus sampai ke jantungnya! Dari mulut gadis malang ini hanya keluar satu keluhan pendek. Nafasnya putus dalam keadaan masih memeluk pendekar yang diam-diam sangat dicintainya itu!
Adipati Dirgo Sampean berteriak setinggi langit. Betapapun bencinya dia pada Suryaning, namun kematian anak darah dagingnya sendiri di depan mata begitu rupa sangat mengguncang dirinya. Dia meraung dan memegang tubuh anaknya yang perlahan-lahan merosot jatuh dari tubuh Panji yang dirangkulnya.
Dengan tubuh bergetar Adipati Dirgo perlahan-lahan membaringkan jenazah anak tunggalnya itu di tanah. Sesaat dia seperti hendak menangis. Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah satu raungan dahsyat. Kedua matanya tampak tiba-tiba berubah merah. Dia memandang pada Panji Argomanik.
“Bangsat!” kertaknya. Seperti seekor harimau tubuhnya melompat ke hadapan Panji. Singa Gurun Bromo menyongsong dengan menghantamkan kedua tangannya.
“Bukkk! Bukkk...!”
Tinju kiri kanan Singa Gurun Bromo mendarat di dada sang Adipati. Tak ampun lagi tubuhnya terjengkang jatuh. Dari mulutnya keluar darah segar. Seharusnya pukulan itu bisa membuatnya mati paling tidak pingsan. Namun dengan segala tenaga yang ada Adipati Lumajang ini bangkit berdiri kembali dengan terhuyung-huyung.
Singa Gurun Bromo siap menghantamkan tinjunya sekali lagi, namun saat itu tiba-tiba muncul dua orang penuggang kuda disertai serombongan pasukan dari Kotaraja. Orang di sebelah kiri berteriak keras.
“Atas nama kerajaan hentikan perkelahian!”
Singa Gurun Bromo batalkan serangannya. Adipati Dirgo tertegun lemas. Pendekar 212 Wiro Sableng yang hendak melabrak Jalak Toga juga hentikan gerakannya. Hanya Kunto Areng yang sepertinya tidak mau perduli. Saat itu perwira ini tengah mendesak Jayengsari habis-habisan dan siap untuk mengirimkan satu bacokan maut. Dia sama sekali tidak mau menghentikan serangannya.
Sebaliknya Jayengsari hanya bisa tertegun diam seperti tidak menyadari kalau kematian mengancam dirinya. Melihat hal ini Wiro dengan kecepatan luar biasa angkat tubuh Jalak Toga lalu dilemparkannya ke arah Kunto Areng, tepat pada saat Kunto Areng tengah membacokkan goloknya.
Tak ampun lagi golok yang seharusnya bersarang di kepala Jayengsari itu kini menghantam rusuk kiri Jalak Toga. Perwira tinggi ini menjerit setinggi langit. Tubuhnya terhempas ke tanah. Darah memebasahi pakaiannya. Tapi nyawanya masih tertolong karena hanya bagian luar tubuhnya saja yang terluka ditambah dua tulang iga terbabat putus!
Kunto Areng yang seperti tak percaya dengan apa yang terjadi untuk sesaat lamanya tertegun terkesiap. Tubuhnya mendadak terasa lemas lalu akhirnya jatuh terduduk di tanah.
“Hentikan perkelahian!” terdengar suara teriakan seperti tadi sekali lagi.
Semua mata dipalingkan. Dua penunggang kuda yag barusan muncul ternyata adalah tokoh silat Istana yaitu Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng. Keduanya memandang berkeliling dan pandangan mereka terhenti ketika melihat Penekar 212.
“Mangku, kunyuk gondrong itu ternyata ada di sini. Bagaimana pendapatmu?” “Isi surat Sri Baginda tidak menyebut-nyebut namanya. Lagi pula kita sudah mengetahui dia bukan Singa Gurun Bromo yang sebenarnya,” jawab Mangku Sanggreng.
“Lekas kau bacakan saja surat Sri Baginda.”
Ki Bumi Wirasulo lalu merentangkan gulungan surat yang dibawanya. Dengan suara keras dia membaca. “Atas nama kerajaan dan keadilan Sri Baginda memerintahkan untuk menangkap Adipati Lumajang Dirgo Sampean. Yang bersangkutan terbukti menjadi perencana keji sehingga terbunuhnya Tayub Jenggolo, putera Pangeran Sendoyo. Dua orang perwira kerajaan masing-masing Kunto Areng dan Jalak Toga juga dinyatakan ditangkap karena terbukti berkomplot membantu Adipati Lumajang. Kepada pemuda yang bernama Panji Argomanik dikenal dengan gelaran Singa Gurun Bromo dinyatakan bebas dari segala tuduhan dan kesalahan"
Tertanda Sri Baginda.
Ki Bumi Wirasulo menggulung surat itu kembali. Jalak Toga yang ketika surat Sri Baginda dibacakan menguatkan diri untuk dapat bangun. Tapi begitu mendengar isi surat langsung rebah kembali dan pingsan. Adipati Dirgo Sampean tampaknya pasrah saja karena dia tidak bergeak sedikitpun dan hanya bisa memandang kuyu pada Panji argomanik yang berdiri di depannya.
Lain halnya dengan Kunto Aeng. Begitu mendengar dirinya dinyatakan ditangkap tiba-tiba dia melompat bangkit melarikan diri. Namun satu tangan tiba-tiba menahan jidatnya. Bagaimanapun dia berusaha mengumpulkan tenaga untuk melarikan diri, jidatnya tetap saja tertahan tangan itu.
“Bangsat keparat! Makan pisauku!” teriak Kunto Areng marah lalu mencabut sebilah belati berkeluk dari pinggangnya.
Senjata ini ditusakkannya sekuat tenaga keperut orang yang sejak tadi memegang jidatnya. Namun tangan yang menahan jidatnya itu tiba-tiba melesat ke atas lalu turun lagi mengemplang ubun-ubunnya! Kunto Areng mengeluh kesakitan. Kedua matanya mendelik jereng dan tubuhnya berputar-putar.
Pendekar 212 yang tadi memukul kepala perwira itu pergunakan tumit kirinya untuk mendorong pinggul Kunto Areng. Orang ini roboh ke tanah, mukanya jatuh tepat di atas pantat salah seorang perajurit kadipaten. Panji Argomanik masih tertegak tak bergerak ketika Larasati berlari mendatanginya lalu memeluk tubuhnya dan menangis tersedu-sedu.
“Hentikan tangismu Laras. Semua sudah berakhir...” bisik Panji.
Wiro sendiri celingak celinguk mencari seseorang. Yang dicarinya adalah jayengsari. Puteri Warok Keling itu tiba-tiba lenyap begitu saja.
“Kau mencari aku, Wiro?”
Satu suara menegur di belakangnya. Dia berpaling. Astaga, ternyata gadis itu bersembunyi di balik punggungnya!
“Lihat mereka itu,” kata Wiro sambil menunjuk pada Panji dan Larasati.
“Tidakkah kau ingin merangkul aku seperti itu...?”
“Pemuda nakal bermulut usil! Tidak. Aku tidak akan mau memelukmu!” kata Jayengsari.
Wiro tertawa lebar. “Maksudmu tidak, artinya tidak disini kan? Kalau ditempat lain ya mau? Begitu?"
Jeyangsari menjewer telinga kiri Pendekar 212. Lalu telinga itu ditariknya keras-keras hingga Wiro mau tak mau terpaksa melangkah mangikuti gerakan kaki si gadis. Sampai di tempat gelap jayengsari lepaskan jewerannya dan tiba-tiba saja dia memeluk pemuda itu dengan penuh nafsu sehingga murid Eyang Sinto Gendeng itu jadi kelagapan.
“Aku membawa pesan khusus dari ayah,” bisik Jayengsari. “Beliau ingin bicara denganmu. Apa soal aku tidak tahu. Yang jelas kita berangkat sekarang juga...”
“Meninggalkan orang-orang itu begitu saja?!” ujar Wiro.
“Tahanan kerajaan itu sudah ada yang mengurus. Panji dan Larasati bisa mengurus diri mereka berdua. Mereka pasti akan memperhatikan jenazah Suryaning. Mengenai mayat-mayat lain yang bergelimpangan itu peduli setan! Kau ikut aku atau harus kujewer lagi?!”
Wiro tertawa lebar. Digelungkannya tangannya ke pinggang Jayengsari. Kedua insan itu kemudian lenyap ditelan kegelapan dan dinginnya malam.
T A M A T