Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin

Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
Sonny Ogawa

TIGA SETAN DARAH DAN CAMBUK API ANGIN

SATU

PEMUDA baju biru itu berdiri dengan gagahnya di puncak bukit. Angin dari timur bertiup melambai-lambaikan rambutnya yang gondrong menjela bahu. Sepasang matanya sejak tadi hampir tiada berkesip memandang lekat-lekat ke arah utara di mana berdiri dengan megahnya pintu gerbang Kotaraja.

Sudah hampir setengah hari dia berada di puncak bukit itu. Sudah jemu dan letih matanya memandang terus-terusan ke arah pintu gerbang. Namun manusia-manusia yang ditunggunya belum juga kelihatan muncul. Sebetulnya dia bisa menuruni bukit itu dan langsung memasuki Kotaraja.

Tapi dia ingat pesan gurunya, di Kotaraja penuh dengan hulubalang-hulubalang Baginda, bahkan tokoh-tokoh silat kelas satu pentolan-pentolan Istana, banyak orang sakti berilmu tinggi sehingga menyelesaikan perhitungan di dalam Kotaraja sama saja mencemplungkan diri ke dalam jebakan dimana dia tak mungkin lagi akan keluar. Kalau pun ada jalan ke luar maka itu ialah jalan kepada kematian!

Dia menunggu lagi. Sekali-sekali dia memandang ke jurusan lain untuk menghilangkan kejemuan dan kelesuan matanya. Kemudian bila dia memandang pada dirinya sendiri, memperhatikan tangan kirinya yang buntung sebatas siku maka disaat itu ingatlah dia akan ucapan gurunya sewaktu dia hendak meninggalkan pertapaan.

“Hari ini ku perbolehkan kau meninggalkan tempat ini, Pranajaya. Tapi kelak dikemudian hari kau musti kembali kemari untuk menuntut satu ilmu baru yang sekarang ini kugodok. Kau pergi dari sini dan musti berhasil mencari ketiga manusia yang telah membunuh kau punya bapak. Tempo hari aku sudah pernah terangkan. Kau masih ingat siapa nama julukan ketiga manusia itu?”

“Mereka adalah Tiga Setan Darah, guru,” jawab Pranajaya.

“Betul,” kata sang guru. “Ketiganya berada di Kotaraja. Sudah sejak lama ku ketahui hidup di sana sabagai bergundal-bergundalnya Baginda. Tapi ingat Prana! Sekali-kali jangan selesaikan perhitunganmu dengan mereka di dalam Kotaraja. Itu barbahaya besar karena Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu yang menjadi kaki tangan Baginda“

“Dengan bekal ilmu yang guru, wariskan serta pedang Eka sakti yang guru berikan tak satu lawanpun yang saya takutkan di atas bumi ini. Apalagi saya tahu bahwa saya berada di atas kebenaran!”

Empu Blorok tersenyum dan rangkapkan kedua tangannya dimuka dada. “Aku sedang mendengar ucapan jantanmu,” kata Empu Blorok pula. “Tapi walau bagaimanapun membuat kegaduhan di dalam Kotaraja sangat berbahaya bagi keselamatan jiwamu. Di samping itu aku mengingat pula akan tugas yang hendak kuberikan padamu. Jadi Prana, ringkas kata kau musti membereskan Tiga Setan Darah di luar Kotaraja, bagaimana caranya terserah kau.”

Sang murid manggut-manggutkan kepalanya. “Tadi guru menyebutkan satu tugas untukku... Mohon penjelasan lebih lanjut,” kata Pranajaya.

“Bila perhitunganmu dengan Tiga Setan Darah telah selesai maka kau harus pergi ke Pulau Seribu Maut.”

Pranajaya tak pernah mendengar tentang pulau itu dan tidak pula tahu di mana letaknya. Maka dia pun menanyakannya.

“Pulau itu,” menjawab Empu Blorok, “terletak diujung timur pulau Jawa. Di situ bercokol seorang manusia bernama Bagaspati. Dulunya dia adalah kawan baikku.Tapi kemudian mencuri sebuah senjata mustikaku dan melarikan diri. Dengan senjata mustika itu dia membuat keonaran di mana-mana dan berbuat kejahatan! Kau harus mengambil senjata mustika itu kembali dari tangannya Pranajaya. KaIau dia banyak rewel, kau tahu apa, yang musti dilakukan!"

“Baik guru,” kata Pranajaya lalu tanyanya. “Senjata apakah yang telah dicuri oleh Bagaspati itu?”

“Sebuah cambuk, Prana. Cambuk Api Angin namanya!”

“Tugas dari guru akan aku jalankan. Mohon doa restu,” kata Pranajaya.

Ketika dia hendak pamitan Empu Blorok berkata, “Tunggu sebentar Prana. Masih ada yang hendak kuterangkan padamu.”

”Soal apa guru?”

“Soal dirimu. Kau lihat tangan kirimu yang buntung itu...?”

Prana memperhatikan tangan kirinya lalu mengangguk. Aneh terasa baginya kalau saat itu gurunya bicara soal tangan itu, padahal sudah sejak belasan tahun dia berada bersama Empu Blorok dan sang guru tak pernah bicara apa-apa soal tangannya yang buntung itu.

“Waktu bapakmu dibunuh,” berkata Empu Blorok. “Dia sedang tidur di atas balai-balai di sampingmu. Tiga Setan Darah menyerbu masuk dan salah seorang diantara mereka segera membacokkan sebilah pedang! Bapakmu seorang yang berilmu tinggi. Begitu dia merasakan sambaran angin senjata maut itu dia segera melompat. Dia berhasil mengelakkan bacokan pedang namun akibatnya ujung pedang terus menyambar lenganmu dan membabat putus sikumu. Kau saat itu masih orok, Prana... Bapakmu kemudian dikeroyok bertiga dan menemui ajalnya. Sebelum Tiga Setan Darah mencincangmu, kakakku Empu Krapel berhasil menyelamatkanmu dan menyerahkanmu kepadaku. Sayang kakakku itu sudah menutup mata, kalau tidak tentu dia gembira melihat kau sudah dewasa dan gagah begini!”

Pranajaya terdiam seketika. Dendam membara di lubuk hatinya. Lalu tanyanya, “Yang manakah diantara Tiga Setan Darah yang telah membacok bapakku sewaktu beliau sedang tidur itu. Empu...?”

“Aku kurang tahu, Prana" sahut Empu Blorok.“Keterangan kakakkku waktu membawa kau ke sini kurang jelas"

Karena tak ada lagi yang akan dibicarakan maka Pranajaya berkata, ”Murid minta diri, guru. Muhon, doa restu mu...”

Empu Blorok mengangguk. Dipandanginya muridnya itu sambil akhirnya Pranajaya hilang dikejauhan.

********************

Pranajaya memandang lagi untuk kesekian kalinya kearah pintu gerbang Kotaraja. Suasana tidak berubah seperti tadi-tadi. Dua pengawal berdiri di sisi-sisi pintu gerbang, masing-masing memegang sebatang tombak. Tak ada yang lalu lalang. Pintu gerbang itu diselimuti kesunyian.

“Sampai berapa lama lagi aku musti menunggu?” tanya Pranajaya pada dirinya sendiri.

Hatinya kesal. Sebenarnya dia tidak takut memasuki Kotaraja untuk lekas-lekas membuat perhitungan dengan Tiga Setan Darah. Malah ini adalah satu permulaaan baginya untuk menjajaki sampai di mana ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya yang dimilikinya serta sampai dimana pula kehebatan tokoh-tokoh silat di Kotaraja itu!

Namun dia musti patuh pada pesan gurunya dan tidak boleh bertindak gegabah. Empu Blorok lebih berpemandangan luas. Dan dia musti menunggu terus. Menunggu sampai Tiga Setan Darah keluar dari pintu gerbang Kotaraja.

Menurut keterangan yang didapat Pranajaya dari seorang pengawal istana yang disogoknya dengan sekeping emas, hari itu Tiga Setan Darah akan meninggalkan Kotaraja, pergi ke satu tempat di selatan untuk satu keperluan penting. Atau mungkin pengawal istana itu telah menjual keterangan dusta kepadanya?

Letih berdiri akhirnya Pranajaya duduk di tanah, bersandar ke sebatang pohon. Sepasang matanya senantiasa ditujukan ke pintu gerbang Kotaraja itu.

Sementara itu di Kotaraja Orang itu berdiri di halaman belakang istana. Dia telah menyelidik ke kandang kuda dan tiga ekor kuda yang kulit serta bulu tengkuk dan ekornya dicelup merah telah dilihatnya didalam kandang kuda istana yang besar itu. Hatinya lega. Ini satu pertanda bahwa Tiga Setan Darah masih berada di dalam istana. Orang ini menunggu siambil membayangkan hadiah apa yang kira-kira bakal diberikan Tiga Setan darah kepadanya kelak. Dua pengawal di pintu belakang Istana menjura hormat sewaktu tiga orang berjubah merah, berambut dan bermuka yang dicat merah melewati pintu itu, melangkah cepat menuju kandang kuda. Orang laki-laki tadi segera mendekati Tiga Setan Darah.

Setelah menjura dia berkata, “Bolehkah aku bicara dengan kalian?”

Tiga Setan Darah yang paling tua menghentikan langkahnya dan hendak mendamprat. Saat itu bersama dua orang kawannya dia hendak berangkat untuk satu urusan panting tapi kini ada seseorang yang mengganggu. Ini sangat menggusarkannya. Sewaktu melihat bahwa laki-laki yang berkata tadi itu adalah seorang pengawal Istana yang dikenalnya, Tiga Setan Darah tertua ini surut jugs sedikit amarahnya.

“Ada perlu apa kau?!” tanyanya kasar.

“Ada keterangan penting yang bakal kusampaikan Tiga Setan Darah.”

“Hemm... Coba katakan cepat,” kata Setan Darah tertua sambil mengerling pada dua orang kawannya.

“Seorang asing hendak berbuat jahat tarhadap kalian bertiga....”

“Hah... apa?!”

“Malam tadi aku tengah makan di kedai,” menuturkan pegawai Istana itu. Namanya Camar Pawang. “Lalu ada seorang asing mendekatiku dan berkata jika aku bisa kasih keterangan tentang Tiga Setan Darah dia akan memberikan hadiah sekeping emas. Aku segera maklum bahwa orang asing itu bukan bermaksud baik-baik terhadap kalian bertiga. Kuambil emas itu dan kuberikan sedikit keterangan kepadanya. Keterangan palsu!”

“Apa yang itu orang asing tanya dan apa yang kau terangkan padanya?” tanya Tiga Setan Darah kedua.

“Dia tanya kalau-kalau aku tahu bila kalian bertiga meninggalkan Istana dan keluar dari Kotaraja.”

“Apa, jawabmu?” tanya Setan Darah Ketiga.

“Kuberikan keterangan dusta. Kukatakan bahwa Tiga Setan Darah hari ini akan pergi ke satu tempat di selatan untuk satu urusan penting...“

Setan Darah pertama melototkan mata. Saat itu dia dan kawan-kawannya memang hendak berangkat ke satu tempat untuk menjalankan tugas Baginda, tapi bukan ke selatan melainkan ke daerah barat Kotaraja.

“Aku tidak percaya!” kata Setan Darah pertama, “Coba, mana emas itu, Aku mau Iihat!”

Camar Pawang mengeruk sakunya dan mengeluarkan sekeping kecil emas yang diterimanya dari orang asing itu. Setan Darah pertama mengambil kepingan emas itu, memperhatikannya lalu sambil menimang-nimang emas itu dia bertanya,

“Bagaimana ciri-ciri orang asing itu?!”

“Dia masih muda, Tampangnya cakap, berbaju biru dan tangan kirinya buntung. Di balik baju birunya, disebelah punggung menyembul ujung gagang pedang....”

“Hem...” Setan Darah pertama menggumam. Dia angguk-anggukkan kepala beberapa kali. “Ada lagi yang hendak kau katakan?”

Camar Pawang menggeleng. “Kalau begitu kau tunggu apa lagi?! Cepat berlalu dari hadapan kami!” bentak Setan Darah pertama.

Camar Pawang mundur satu langkah dan memandang pada kepingan emas yang masih ditimang-timang Setan Darah Pertama. “Emas itu..,” kata Camar Pawang.

“Emas bapak moyangmu!” semprot Setan Darah Kedua, “Sudah untung kau tidak kami gebuk, masih mau minta emas! Pergi!”

Camar Pawang memandang pada Setan Darah Pertama. Manusia bermuka merah ini tertawa mengekeh dan membalikkan badannya sambil memasukkan kepingan emas ke dalam saku jubahnya.

Camar Pawang menelan ludah. Sudah dibayangkannya dia bakal mendapat hadiah dari Tiga Setan Darah, tapi malah emas yang diterimanya dari si orang asing kini diambil oleh manusia bermuka merah itu! Camar Pawang menyumpah habis-habisan dalam hatinya dan meninggalkan tempat itu.

Di depan pintu kandang kuda, Setan Darah Pertama hentikan langkah dan bertanya pada kedua orang kawannya. “Apa pendapat kalian?” tanyanya.

Setan Darah kedua mengusap dagunya lalu berkata, “Jika keterangan kunyuk kepala dua itu betul pastilah orang asing itu menunggu kita di satu tempat di daerah selatan...”

“Aku merasa heran juga,” membuka mulut Setan Darah Ketiga,“ seingatku kita tak pernah bikin urusan dengan seorang pemuda bertangan buntung. Apa maksud manusia itu mencari keterangan tentang kita sebenarnya?”

Setan Darah Pertama merenung sejenak. “Kalau mau, kita masih ada waktu untuk menyelidik ke selatan.” Dua orang kawannya menyetujui hal itu. Ketiganya segera mengambit kudanya masing-masing.

DUA

Angin dari timur bertiup lagi melambai-lambaikan rambut dan lengan kiri baju biru yang dikenakan Pranajaya. Bila untuk kesekian kalinya pemuda ini memandang lagi ke arah utara maka membesilah parasnya. Air muka dan hatinya menjadi tegang. Tiga penunggang kuda kelihatan ke luar dari pintu gerbang Kotaraja.

Kuda-kuda dan penunggangnya berwarna merah. Meski jauh sekali, namun melihat kepada jumlah penunggang-penunggang kuda itu dan melihat kepada warna pakaian mereka, Prana segera maklum bahwa mereka bukan lain daripada Tiga Setan Darah yang memang sedang di ttunggu-tunggunya sejak tadi!

Tiga manusia yang telah membunuh ayahnya! Waktu penantian berakhir sudah! Saat pembalasan kini tiba! Tanpa menunggu lebih lama Pranajaya segera berdiri. Kemudian sekali dia gerakkan kedua kakinya, maka pemuda ini sudah lenyap dari puncak bukit. Tubuhnya laksana angin topan berlari kencang menuruni lereng bukit ke arah liku jalan yang kelak bakal dilalui Tiga Setan Darah.

Demikian cepat larinya hingga kedua kakinya laksana tak pernah menginjak bumi! ltu adalah berkat ilmu lari dan ilmu mengentengi tubuh hebat yang telah dikuasainya! Pranajaya sampai di liku jalan lebih dahulu dari Tiga Setan Darah. Pemuda ini menunggu dengan hati tegang tapi tetap tenang. Dia maklum Tiga Setan Darah manusia-manusia berilmu tinggi karenanya dia tidak boleh bertindak ceroboh.

Suara derap kaki kuda terdengar semakin dekat akhirnya muncullah penunggang-penunggang kuda itu satu demi satu di tikungan jalan.

“Berhenti!” teriak Pranajaya sambil angkat tangan kanannya.

Tiga Setan Darah sama-sama hentikan kuda masing-masing dan memandang menyorot pada pemuda yang berdiri ditengah jalan dihadapan mereka. Keterangan Camar Pawang tidak dusta. Benar pemuda yang diterangkan ciri-cirinya itulah yang saat ini menghadang mereka. Parasnya cakap, rambut gondrong, berpakaian biru dan tangan kirinya buntung sebatas siku sedang dibalik punggung kelihatan menyembul gagang pedang.

“Pemuda tangan buntung!,” kata Setan Darah pertama dengan suara keras. “Apa-apaan ini?!”

Pranajaya menyapu tampang-tampang ketiga manusia itu. Lalu tanyanya dengan membentak, “Kalian Tiga Setan Darah?!” Prana bertanya untuk meyakinkan

“Sompret!” maki Setan Darah Kedua. “Sipa kau yang berani menghalangi perjalanan kami! Apa sudah bosan hidup?!”

“Aku Pranajaya!” memberitahu si pemuda.

Setan Darah tertua menyeringai dan mengeluarkan suara mengekeh. “Orang muda, kami memang Tiga Setan Darah yang terkenal itu. Ada maksud apa kau menghadang kami! Dari pegawai Istana yang kau sogok dengan sekeping emas itu kami mendapat keterangan yang kau mau cari urusan! Apa betul!”

Sebelum Pranajaya menjawab, Setan Darah Ketiga sudah membuka mulut, “Orang hina! Lekas angkat kaki dari sini sebelum kupuntir kepalamu!”

“Rupanya dia tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa..!” kata Setan Darah Kedua.

Pranajaya berdiri dengan sepasang kaki terkembang. Sinar di matanya semakin menyorot sedang di air mukanya membayangkan kebencian dan dendam yang meluap!

“Tiga Setan Darah! Kalian tentunya belum melupakan peristiwa beberapa belas tahun yang silam. Ingat waktu kalian mengeroyok dan membunuh secara pengecut seorang bernama Wijaya?!”

Tentu saja Tiga Setan Darah terkejut. Ketiganya saling mengerling kemudian Setan Darah Ketiga menjawab, “Manusia buntung, kami masih ingat. Apa sangkut paut mu dengan peristiwa itu?!”

“Aku adalah anak orang yang kau bunuh itu!” jawab Pranajaya tanpa tedeng aling-aling.

“Oh... begitu?!,”desis Setan Darah Pertama. “Kawan-kawan!” seru Setan Darah Kedua, “tentunya pemuda buruk ini adalah bayi yang kita bacok buntung tangannya dulu itu!”

“Betul!” sahut Prana. Dia maju satu langkah. “Yang mana diantara kalian yang membacok ku?!”

Setan Darah Pertama tertawa bekakakan. “Pemuda ingusan, apakah kemunculanmu kali ini hendak menuntut balas atas kematian kau punya bapak dan karena kehilangan lengan kirimu itu?!!”

Pranajaya menggeleng perlahan.

“Lantas?!” tanya Setan Darah tertua dengan heran.

“Aku datang bukan buat menuntut balas,” kata Pranajaya, “tapi untuk, meminta jiwa busuk kalian!”

Tiga Setan Darah sama-sama tertawa membahak. “Pemuda buntung,” ejek Setan Darah kedua.

“kau mimpi di siang bolong!” Setan Darah Pertama menimpali. “Bapakmu Yang punya dua tangan kami bikin mampus! Kau yang punya satu mau jual tampang!”

Setan Darah Ketiga tidak tinggal diam, “Mungkin kau kepingin cepat-cepat ketemu bapakmu di neraka?” tanyanya.

Dan ketiga manusia bermuka merah itu tertawa lagi terbahak-bahak.

“Manusia-manusia muka kepiting rebus,” sentak Pranajaya dengan geram, ”silahkan turun dari kuda kalian. Atau mungkin kalian mau mampus di atas kuda masing masing...?"

Merahlah Tiga Setan Darah mendengar ucapan Pranajaya itu Setan Darah Pertama kebutkan lengan jarbah sebelah kanan. Serangkum sinar merah menyambar dahsyat ke arah Pranajaya. Pasir dan debu jalanan beterbangan saking hebatnya serangan ini.

Pranajaya cepat menghindar ke samping dan begitu sinar merah lewat di sebelahnya segera pula pemuda ini hantamkan tinju kanannya ke arah Setan Darah Pertama. Satu gelombang angin yang padat dan keras menggumpal menyerang ke arah tenggorokan Setan Darah pertama. Ini adalah pukulan 'Angin sewu'.

Setan Darah pertama tidak mengelak sebaliknya tetap berdiri ditempat dan lambaikan tepi jubah sebelah kiri. Sekali pukul saja maka buyarlah angin pukulan jarak jauh Pranajaya! Tapi betapa kagetnya si muka merah ini karena begitu buyar, buyaran angin pukulan itu kembali menyerangnya. Malah kini lebih dahsyat lagi dari yang pertama tadi karena kali ini pecahan angin pukulan itu sekaligus menyerang ke arah dua belas jalan darah yang mematikan ditubuhnya!

Setan Darah Pertama berseru nyaring lalu melompat tiga tombak ke udara. Laksana seekor alap-alap tubuhnya menukik kearah Pranajaya dan sedetik kemudian kedua orang itu sudah berhadapan dalam jarak tiga langkah.

“Setan Darah Pertama, biar aku yang kermus pemuda keparat itu!,” teriak Setan Darah Ketiga. Setan Darah Pertama tidak ambil perduli. Dengan ganasnya dia menyerang. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya menusuk ke muka.

“Makan jariku ini, laknat!” teriaknya. Serangan ilmu jari 'Pencungkil Karang' memang hebat dan ganas. Jangankan tulang atau daging manusia, batu karang yang atos sekalipun akan berlobang dan hancur kalau ditusuk oleh sepasang jari itu! Dan kini sepasang jari itu menyerang ke mata kiri kanan Pranajaya!

Pranajaya hanya melihat lawan menggerakkan tangan kanannya sedikit dan tahu-tahu sepasang jari lawan sudah di depan hidungnya! Pemuda ini cepat rundukkan kepala. Dia berhasil melewatkan tusukan dua jari yang berbahaya itu dan di saat yang bersamaan sekaligus pukulkan tinju kanannya ke muka! Setan Darah Pertama melihat serangannya yang mematikan tadi dapat dilewati segera pergunakan tepi telapak tangan kanannya uatuk menghantam bahu Pranajaya!

Kedua orang itu sama-sama mempunyai kesempatan untuk mengelak. Namun keduanya lebih menginginkan untuk meneruskan serangan masing-masing dan menghindar secara sambilan saja. Maka dalam kejap yang bersamaan tinju kanan Pranajaya melanda dada lawan sedang tepi telapak tangan kanan Setan Darah Pertama mendarat dengan kerasnya di bahu kiri Pranajaya!

Kedua orang ini sama-sama mengeluh sakit. Pranajaya terguling di tanah. Setan Darah Pertama terjajar beberapa langkah ke belakang den jatuh duduk! Mukanya pucat pasi. Dadanya sakit dan serasa melesak kedalam membuat sesak nafasnya. Cepat-cepat manusia muka merah ini bersila di tanah dan kerahkan tenaga dalamnya serta atur jalan nafas.

Diam-diam dia terkejut melihat Pranajaya dapat berdiri kembali meskipun dengan tubuh termiring-miring! Pukulan telapak tangan kanannya tadi mengandalkan lebih dari separo tenaga dalamnya, tapi si pemuda masih sanggup berdiri dan masih hidup.

Di lain pihak Pranajaya merasakan tuang bahunya laksana patah! Badannya miring ke kiri sewaktu berdiri. Kalau saja dia tidak memiliki kekuatan tenaga dalam yang sempurna pastilah jiwanya sudah melayang! Prana memperhatikan Setan Darah Pertama yang saat itu tegak kembali dengan pandangan mata menyorotkan maut!

Manusia ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi sekali! Pukulan jotos sewu yang disangkakannya akan merenggut nyawa lawan kiranya cuma membuat manusia muka merah itu terhampar jatuh duduk ditanah. Dua orang Setan Darah lainnya yang sudah gatal-gatal tangan mereka untuk segera turun tangan mengurung Pranajaya dari kiri kanan.

“Biar aku yang pecahkan kepala bangsat ini sendirian!” teriak Setan Darah Pertama beringas.

“Ah! Kunyuk buntung ini terlalu bagus untuk mampus ditanganmu sendirian,” jawab Setan Darah Kedua. “Biar kami bantu!”

Maka tanpa menunggu lebih lama kedua orang itu segera menyerbu. Setan Darah Pertama tidak berkata apa-apa. Meski hatinya beringas tapi dia memaklumi dan melihat kenyataan sendiri bahwa pemuda rambut gondrong berbaju biru itu tidak berilmu rendah. Karenanya sewaktu dua kawannya itu menyerbu Setan Darah Pertama diam saja.

Menghadapi tiga lawan tangguh begitu rupa membuat Pranajaya harus bergerak dengan cepat dan berlaku lebih hati-hati. Tubuhnya hampir lenyap dalam telikungan bayangan jubah merah ketiga lawannya. Tiada terasa lima belas jurus telah berlalu. Setan Darah Pertama mengkal bukan main.

“Kawan-kawan ternyata tikus buntung ini punya ilmu yang diandalkan juga!” dia berseru.“Bagaimana kalau kita bentuk barisan tiga bayangan siluman?!”

Setan Darah yang dua orang lainnya menyetujui. Dan pada jurus yang keenam belas itu maka ketiganya segera melancarkan serangan hebat yang dinamakan barisan tiga bayangan siluman. Setan Darah Pertama setengah merunduk. Serangan-serangannya selalu mengarah bagian kedua kaki lawan sedang Setan Darah Kedua menyerang bagian tengah tubuh Prana dan Setan Darah Ketiga seperti seekor burung elang melompat ke atas, menukik ke bawah dan selalu melancarkan serangan ke bagian kepala Pranajaya.

Dalam setiap saat ketiganya bisa berganti tempat dan mengambil alih kedudukan masing-masing, terutama bila salah seorang dari mereka diserang oleh lawan! Begitulah, setiap Pranajaya mengelak atau menyerang salah seorang dari mereka, maka yang dua lainnya dengan cepat sekali datang memburu mengirimkan serangan-serangan maut!

Lima jurus pertama setelah bertempur dengan segala kehebatan yang ada maka sedikit demi sedikit mulai kendurlah perlawanan Pranajaya. Pemuda bertangan satu itu kini bertahan mati-matian, namun tetap dia terkurung rapat dan terdesak hebat. Tiba-tiba Prana ingat pedang dipunggungnya. Dia adalah seorang pemuda berhati jantan kesatria, yang akan menghadapi lawan bertangan kosong dengan tangan kosong pula.

Namun menghadapi pengeroyokan tiga musuh besar itu, di dalam keadaan yang kepepet pula, dia merasa bahwa mencabut pedangnya saat itu bukanlah suatu tindakan yang pengecut. Sambil berteriak, “Lihat pedang!”

Maka Pranajaya cabut pedangnya. Sedetik kemudian satu sinar putih menggebu membabat ketiga jurusan, membuat dengan serta merta buyarnya barisan tiga bayangan siluman!

Sambil bersurut mundur Tiga Setan Darah memperhatikan pedang Ekasakti yang memancarkan sinar putih di tangan Pranajaya. Setan Darah Kedua berbisik pada kawan-kawannya,

“Heh, pedang itu pasti senjata mustika! Kita musti dapat merampasnya !”

“Jangan pikir soal senjata itu dulu” jawab Setan Darah Pertama. “Yang penting tangkap bangsat ini hidup-hidup. Aku ada rencana tersendiri untuk menamatkan riwayatnya. Kalian....“

Setan Darah Pertama tidak sempat mengakhiri ucapannya. Saat itu Pranajaya sudah menyerbu. Sinar putih dari pedang bertabur ganas. Ketiga manusia itu cepat menghindar dan masing-masing mereka segera cabut senjata. Setan Darah Pertama mengeluarkan sepasang tombak bermata dua. Setan Darah Kedua mengeluarkan sepasang gada sedang Setan Darah Ketiga mengeluarkan sepasang golok. Kesemua senjata ini berwarna merah dan kesemuanya merupakan senjata-senjata mustika sakti!

Percaya akan kehebatan pedang Ekasaktinya, Pranajaya teruskan menyerang ketiga lawan itu.

"Trangg... Trangg... Trangg....!"

Tiga kali pedang putih itu beradu dengan senjata-senjata lawan. Bunga api bertebaran dan Pranajaya terkesiap kaget! Senjata-senjata lawan mempunyai kehebatan yang luar biasa. Untung saja pedang Ekasakti dipegangnya erat-erat, kalau tidak dalam bentrokan tiga kali berturut-turut tadi itu pastilah senjatanya akan terlepas!

Sementara itu Tiga Setan darah sudah tegak memencar. Satu lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan Setan Darah Kedua. Maka, tiga manusia muka merah itu dengan serta merta menyerbu kearah Pranajaya!

TIGA

Pertempuran manusia tiga lawan satu itu, kecamukan enam senjata lawan satu pedang berlangsung penuh kehebatan dan mendebarkan. Sedikit saja seseorang membuat gerakan yang salah pastilah salah satu bagian tubuh mereka akan dimakan senjata. Sinar merah jubah dan senjata-senjata Tiga Setan Darah bergulung-gulung membungkus tubuh dan senjata Pranajaya.

Berkali-kali pemuda ini nyaris kena tebasan golok atau tusukan tombak atau hantaman gada ketiga lawannya. Jika saja Pranajaya tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang sempurna serta kegesitan yang luar biasa, sudah sejak tadi-tadi mungkin dia akan menjadi pecundang. Prana berkelebat laksana bayang-bayang. Pedang putihnya membabat kian kemari dalam rangkaian jurus-jurus lihai yang dipelajarinya secara sempurna dari Empu Blorok.

Sepuluh jurus telah berlalu. Kemudian lima jurus lagi dan Tiga Setan Darah masih belum sanggup membuktikan kehebatan nama besar mereka selama ini. Malah pada jurus kedua puluh satu, Setan Darah Ketiga berseru tertahan dan menyurut mundur! Ternyata jubah merahnya robek besar disambar ujung pedang lawan! Masih untung kulit dadanya tidak kena diserempet!

“Bedebah!” rutuk laki-laki itu. “Jangan harap kau bisa bernafas sampai tiga kali kejapan mata!”

Dengan amarah yang meluap Setan Darah Ketiga memutar sepasang goloknya dalam jurus yang aneh dan menyerbu Pranajaya.

“lngat Setan Darah Ketiga!” teriak Setan Darah Pertama. “Pemuda ini aku mau tangkap hidup-hidup!”

“Lebih bagus kalau dicincang lumat saja!” sahut Setan Darah Ketiga.

“Aku yang jadi pemimpin kalian!” teriak Setan Darah Pertama marah. “Kau harus ikut apa yang ku katakan!”

Setan Darah Ketiga menindas kemarahannya sedapat-dapatnya. Menekan luapan amarah karena dia menyadari bahwa dia musti tunduk pada Setan Darah Pertama. Pertempuran seru berkecamuk lagi. Agaknya kini Tiga Setan Darah telah mengeluarkan pula jurus-jurus ilmu silat mereka yang lihai dan banyak tipu-tipu liciknya. Lima jurus berlalu maka Pranajaya mulai pula terdesak.

"Trangg...!"

Pranajaya tak bisa mengelakkan peraduan senjatanya dengan senjata Setan Darah Pertama. Sebelum bunga api yang bergemerlap lenyap, sebelum murid Empu Blorok itu sempat menarik senjatanya maka sepasang gada dan golok Setan Darah lain-lainnya sudah datang menjepit pedang Ekasakti ditangan Pranajaya. Prana kerahkan tenaga dalamnya. Dengan sekuat tenaga dicobanya melepaskan pedang dari jepitan enam senjata lawan!

Tapi sia-sia! Pedang Ekasakti meskipun pedang mustika namun tiada berdaya di jepit oleh enam senjata mustika lawan! Pedang itu laksana lengket. Prana keluar keringat dingin. Dia tahu, tak ada jalan lain baginya kecuali melepaskan pedangnya pada gagang pedang, menyerahkan bulat-bulat senjatanya ke tangan lawan! Setan Darah Pertama tertawa mengekeh.

“Sekarang kau baru tahu siapa kami hah?!”

“Tikus buntung hendak bernyali besar beginilah jadinya!” ejek Setan Darah Ketiga.

Tiba tiba, tiada terduga dengan bergantungan pada gagang pedang yang dijepit lawan, tubuh Pranajaya melesat ke muka. Kaki kanannya menendang dan karena tidak menyangka, Setan Darah Pertama tidak keburu menghindar. Setan Darah Pertama mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat beberapa tombak, terguling di tanah. Dua tulang iganya telah patah dilanda tendangan Pranajaya!

“Anjing buduk!” maki Setan Darah Kedua begitu melihat kawannya kena dihantam lawan.

Tanpa menunggu lebih lama manusia ini segera hantamkan gagang gadanya yang di tangan kanan ke pangkal leher. Ini adalah satu totokan yang dahsyat. Karena tak keburu menghindar tak ampun lagi Pranajaya rebah ke tanah dalam keadaan tubuh kaku laksana patung! Setan Darah Pertama melangkah tertatih-tatih ke hadapan Pranajaya.

“Bagaimana lukamu?” tanya Setan Darah Kedua.

“Bangsat ini telah mematahkan dua tulang igaku,” jawab Setan Darah Pertama setengah menggeram. “Detik ini juga dia akan terima balasannya!”

Habis berkata begitu Setan Darah Pertama lancarkan satu tendangan ke arah tulang rusuk Pranajaya. Pemuda ini menggelinding beberapa tombak jauhnya. Tiga tulang iganya patah! Meski tubuhnya tertotok tiada berdaya namun perasaan masih tetap ada dan mulutnya masih bisa mengeluarkan suara erangan kesakitan!

Setan Darah Pertama masih belum puas. “Ini satu lagi!” katanya dan untuk kedua kalinya.

kaki kanannya mengirimkan satu tendangan. Kali ini yang jadi sasaran adalah muka Pranajaya. Pemuda ini berusaha menahan jeritan yang hendak melesat dari tenggorokannya meski bibirnya pecah, dua buah giginya patah dan hidungnya mengucurkan darah kental panas! Setan Darah Pertama memburu lagi. Ketika dia hendak menendang sekali lagi, Setan Darah Kedua memegang bahunya.

“Kali ini dia bisa mampus! Apa kau lupa akan rencanamu sendiri?!”

Setan Darah Pertama menarik pulang kaki kanannya. Dirabanya sebentar tulang rusuknya yang patah kemudian dia berteriak, “Setan Darah Ketiga, ambil tali!”

Setan Darah Ketiga melemparkan seutas tali kepada laki-laki itu.

“Pemuda edan!” kata Setan Darah Pertama sambil belutut dihadapan Pranajaya yang saat itu megap-megap. “Sebentar lagi kau akan rasakan bagaimana enaknya meluncur di tanah! Kalau tubuhmu kuat kau akan hidup sampai ke Kotaraja. Tapi kalau tidak, kau akan mampus di tengah jalan!”

Habis berkata begitu Setan Darah Pertama segera mengikat pergelangan tangan kanan Pranajaya dengan tali. Ujung tali yang lain diikatkannya ke leher kudanya. Pranajaya keluarkan keringat dingin. Dia tahu nasib apa yang bakal diterimanya! Pemuda ini berteriak,

“Setan Darah keparat! Bunuh aku sekarang juga!”

Setan Darah Pertama tertawa. “Kau memang akan mampus, kunyuk buntung!” jawab Setan Darah Pertama. “Akan mampus, tapi dengan cara perlahan-lahan! Sepanjang jalan menuju ke ajal mu kau dapat saksikan keindahan pemandangan daerah sekitar sini! Bukankah enak mati cara begitu?!”

Setan Darah Pertama naik ke atas kudanya. Tiba-tiba dia ingat sesuatu dan memandang berkeliling. “Mana pedangnya?!”

“Aku sudah ambil!” jawab Setan Darah Ketiga.

“Bagus!”Setan Darah pertama tepuk pinggul kuda merahnya dengan keras. Binatang itu meloncat ke muka siap untuk berlari kencang dan menyeret tubuh Pranajaya mulai dari liku jalan itu sampai ke Kotaraja. Namun disaat itu dari muka kelihatan berkelebat sesosok bayangan putih disertai dengan suara tertawa lantang yang bernada mengejek.

“Kekejamanmu sangat keterlaluan Tiga Setan Darah!” kata pendatang baru ini dengan membentak.

Tiga Setan Darah Pertama dan kedua kawannya dengan serta merta mengehentikan kuda masing-masing. Sepasang mata Tiga Setan Darah Pertama memandang ke muka dengan menyorot. Mulutnya terkatup rapat-rapat dan kedua rahangnya mengatup menonjol!

“Cindur Rampe!” hardik Setan Darah Pertama. “Setahuku kau ada tugas di sselatan yang harus kau jalankan! Silahkan berlalu dan jangan ikut campur urusan kami!”

Cindur Rampe, seorang resi golongan hitam yang juga menjadi kaki tangan pembantu Baginda. Kekejamannya tiada banyak beda dengan Tiga Setan Darah namun antara resi ini dengan ketiga Setan Darah sejak lama terdapat perselisihan-secara diam-diam. Perselisihan ini sebenarnya adalah akibat bersaing ingin menjilat Baginda. Dalam satu pertemuan pernah Cindur Rampe menantang Tiga Setan Darah. Hampir terjadi pertempuran hebat namun tokoh-tokoh istana lainnya berhasil mencegah mereka.

Namun sejak itu pula diantara mereka semakin memuncak permusuhan, laksana api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak. Cindur Rampe mengelus-elus janggutnya yang pendek macam janggut kambing. Sambil sunggingkan senyum mengejak dia berkata,

“Tentu pemuda malang itu akan kau seret ke Kotaraja. Semua orang akan melihat kekejamanmu. Kau akan dapat nama dan kira-kira berapa puluh ringgit pula kau akan dapat upah dari Baginda?!”

Setan Darah Kedua penasaran sekali. Dia majukan kudanya satu langkah.“Soal kekejaman kau tidak lebih baik dari kami resi muka kambing!” sentak Setan Darah Kedua.

Cindur Rampe tertawa dingin.

“Cindur Rampe, kuharap segera berlalu. Aku muak melihat tampangmu!” menyambungi Setan Darah Ketiga.

Resi itu tertawa lagi. Lalu katanya, “Aku sendiri sudah sejak lama kepingin muntah melihat mukamu yang macam kepiting rebus!”

Setan Darah Pertama kertakkan geraham. “Cindur Rampe, agaknya kau sengaja mencari-cari perselisihan terbuka! Mungkin masih belum puas dengan pertengkaran dalam pertemuan tempo hari?!”

“Ah... rupanya kau masih belum lupakan hal itu!” kata Cindur Rampe. Dia melirik sebentar pada Pranajaya yang megap-megap hampir kehabisan nafas. “Selama matahari masih terbit di timur, selama air sungai masih mengalir ke laut. Tiga Setan Darah tak pernah melupakan hal itu!”

“Bagus sekali jika demikian!” menyahuti Cindur Rampe. “Kuharap di lain kesempatan kita bisa menyelesaikannya!”

Setan Darah Pertama mengekeh. “Menentang kami sama dengan menentang angin topan! Menentang Tiga Setan Darah sama dengan menentang gunung karang! Jangan terlalu pongah dan buta resi muka kambing!”

“Nama kalian memang sudah kesohor, apalagi kebejatan dan kekejaman kalian! Tapi kalau cuma cecunguk-cecungkuk macammu, sepuluh orang pun aku akan layani!”

Naiklah darah Tiga Setan Darah. “Rupanya kau mau mampus sekarang juga, resi keparat!” bentak Setan Darah Kedua. Dia melompat ke muka dan kirimkan satu serangan tangan kosong!

Cindur Rampe melompati ke samping sambil tertawa.“Jangan terlalu kesusu monyet muka merah! Ini hari aku masih ada urusan. Di lain ketika aku tak akan sungkan-sungkan lagi untuk menerabas batang lehermu dan dua kambratmu itu! Ini ku kembalikan seranganmu!”

Habis berkata begitu Cindur Rampe kebutkan lengan jubahnya. Selarik angin panas mengebu ke arah Setan Darah Kedua. Pukulan yang dilepaskan Cindur Rampe adalah pukulan ireng weliung yang kehebatannya sudah dimaklumi oleh Tiga Setan Darah. Karenanya Setan Darah Kedua melompat dua tombak ke atas.

“Wuusss...!”

Angin pukulan menghantam pohon kayu di tepi jalan. Kejap itu juga batang kayu itu hangus hitam sampai ke ranting-rantingnya. Terkejutlah Tiga Setan Darah. Rupa-rupanya resi Cindur Rampe betul-betul inginkan jiwa mereka! Setan Darah pertama dan ketiga segera melompat dari kuda masing-masing, siap untuk mengeroyok resi itu. Tapi Cindur Rampe sudah berkelebat cepat dan meninggalkan tempat itu sambil berseru,

“Sampai nanti Tiga Setan Darah. Kuharap kalian suka bersabar menunggu saat kematian kalian!”

“Anjing buduk! Jangan lari!” teriak Setan Darah Kedua. Tapi Cindur Rampe sudah lenyap dari pemandangan.

Setan Darah Pertama memaki dan menyumpah nyumpah. “Lain hari kita tak perlu kasih hati pada si muka kambing itu!” katanya.

Dia melompat kembali ke atas kudanya diikuti oleh dua orang kawan-kawannya. Ketika kuda Setan Darah Pertama bergerak, maka tubuh Pranajaya mulai terseret. Tubuh pemuda murid Empu Blorok ini akan terseret sepanjang perjalanan menuju Kotaraja. Bila Pranajaya bernasib baik, dia akan tetap hidup sampai di Kotaraja. Jika tidak nyawanya akan lepas di tengah jalan dan dia akan menemui kematian dalam keadaan yang mengerikan. Sampai di manakah kekuatan tubuh manusia menahan siksaan yang kejam luar biasa itu?

EMPAT

Kali Welang Manuk telah dua hari yang lalu mereka seberangi. Lembah Manuk Wilis di mana terletak gedung Biara Pensuci Jagat telah jauh di belakang mereka. Kedua orang itu berlari dalam kecepatan yang luar biasa. Kadangkala menyeberangi kali-kali kecil, kadangkala mendaki dan menuruni bukit dan saat itu keduanya barusan saja keluar dari sebuah rimba belantara.

Matahari telah sampai ke ubun-ubun mereka tatkala keduanya sampai di satu persimpangan jalan. Pemuda rambut gondrong hentikan larinya. Orang yang disampingnya juga melakukan hal yang sama. Ketika pemuda itu membalikkan badannya maka sepasang mata merekapun saling bertemu. Si pemuda mengukir senyum dibibirnya dan berkata,

“Agaknya kita terpaksa berpisah di sini, Sekar.”

Si gadis berpakaian ringkas kuning tidak menjawab. Kedua matanya yang bening masih balas menatap pandangan si pemuda. Dan si pemuda segera bisa memaklumi. Dari sinar mata gadis itu diketahuinya bahwa perpisahan itu merupakan satu hal yang berat bagi si gadis.

Sambil tertawa si pemuda berkata, “Di lain ketika aku berharap kita bisa bertemu loagi, Sekar.” Dia menjura sedikit dan berkata lagi, “Jangan lupa sampaikan salam hormatku pada guru mu Empu Tumapel....“

”Wiro...” si gadis membuka mulut untuk pertama kalinya. Suaranya perlahan, setengah berbisik. ”Kau sendiri mau terus ke manakah?” tanyanya.

“Aku... ah... Manusia macam ku ini pergi membawa kakinya saja. Mengembara tiada tentu tujuan.”

“Mengembara adalah satu hal yang ku cita-citakan seja kaku berhasil menuntut balas kematian ibu bapak dan saudara-saudara ku,” kata Sekar pula.

“Tapi kau musti kembali ke tempat gurumu! Kau pernah bilang waktu di tepi sungai tempo hari. Ingat..."

Sekar ingat. Dalam perjalanan mereka meninggalkan Biara Pensuci Jagat suatu malam mereka berkemah di tepi sungai yang banyak sekali ikannya. Sambil menikmati ikan panggang, mereka bicara-bicara dan Sekar telah menceritakan tentang gurunya di Goa Blabak, tentang segala hal mengenai dirinya. Malam sejuk di tepi sungai itu tak akan pernah dilupakan oleh Sekar.

Semenjak hidup, semenjak turun ke dunia luar pada malam itulah dia benar-benar merasakan bahwa dirinya adalah seorang gadis. Seorang gadis yang disaat itu untuk pertama kalinya merasakan betapa indahnya berada di samping seorang pemuda. Betapa romantisnya.

Dan Sekar ingat sewaktu Wiro memegang dan meremas-remas jari tangannya. Waktu, Pendekar 212 itu memeluknya, merangkulnya erat-erat dan sewaktu pemuda itu melumas bibirnya dengan ciuman yang mesra, hangat menyentak-nyentakkan darahnya!

Ingat pula bagaimana dia bergayut dan tak mau melepaskan tubuh si pemuda dan seperti orang mabuk anggur mereka melakukan apa yang mereka bisa lakukan. Semuanya itu kemudian berakhir tanpa penjelasan karena semua itu dimulai dengan kesadaran yang berapi-api!

“Aku bisa menunda kembali kepertapaan,” kata Sekar “Keberatan kalau aku ikut sama-sama dengan kau...?”

Wiro Sableng tertawa. “Tentu saja tidak,” kata Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini meskipun hatinya tidak menyetujui hal itu. “Tapi kau musti ingat Sekar. Mengembara dalam dunia persilatan bukan berarti berjalan-jalan melihat-lihat pemandangan! Pengembaraan didunia persilatan adalah persoalan hidup atau mati!”

“Aku toh juga orang persilatan, Wiro.”

“Betul. Namun kini belum masanya kau memulai pengembaraan. Yang penting kau musti kembali ke tempat gurumu dulu.”

Sekar menggeleng. Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Kemudian katanya, “Sekar, jangan jadi anak kecil. Salah-salah kita bisa bertengkar. Aku berjanji akan menyambangi mu di Goa Blabak. Nah, sekarang kau tempuh jalan yang sebelah kanan dan aku yang sebelah kiri, yang menuju ke Kotaraja.”

“Aku ikut dengan kau ke Kotaraja,” berkata Sekar.

“Busyet!” kata Wiro Sableng dalam hati dan digaruknya lagi kepalanya. “Bisa berabe Sekar. Bisa berabe!” katanya pada gadis itu. “Gadis secantik mu ini kalau masuk ke Kotaraja pasti semua mata laki-laki akan melotot! Kalau terjadi apa-apa dengan dirimu bagaimana...?!“

“Aku tidak takut,” kata gadis sembilan belas tahun itu.

Wiro menghela nafas dalam dan angkat bahu. “Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat kelas satu! Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan kau...”

“Kalau kita tidak berbuat kejahatan kenapa musti takut masuk ke Kotaraja?” ujar si gadis.

Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi dia melangkah memasuki jalan sebalah kiri. Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Segera dia hendak berlalu dari persimpangan jalan itu menempuh jalan sebelah kanan. Tapi hatinya menjadi bimbang. Di pandangnya punggung Sekar. Gadis itu melangkah dengan langkah tetap bahkan kini mulai berlari. Wiro Sableng akhirnya membalikkan langkah dan berlari menyusul Sekar.

Pendekar 212 dan Sekar baru saja keluar dari sebuah kedai sehabis mengisi perut sewaktu di jalan dihadapan mereka menderu derap kaki tiga ekor kuda merah. Tiga penunggangnya laki-laki mengenakan jubah merah, berambut panjang merah dan bermuka merah.

Yang membuat kedua orang ini terkejut bukanlah karena memandang muka-muka yang aneh serta lucu itu tapi adalah sewaktu menyaksikan bagaimana dibelakang kuda yang paling depan ikut terseret sesosok tubuh laki-laki bertangan buntung! Pakaian birunya hancur robek-robek. Kulitnya mengelupas, mukanya tiada dapat dikenali lagi. Keseluruhan tubuh manusia itu bergelimang darah dan debu. Tak dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau sudah mati!

“Biadab!” desis Sekar sewaktu ketiga penunggang kuda itu berlalu. “Aku tak bisa membiarkan kekejaman itu, Wiro!”

Sekar segera hendak melompat ke muka dan mengejar. Tapi Wiro Sableng cepat memegang lengan gadis ini.“Jangan bodoh, Sekar!” katanya. “Kita tidak tahu siapa tiga manusia bermuka merah itu. Juga tidak kenal siapa itu laki-laki yang diseret. Mungkin laki-laki ini seorang jahat!"



“Aku tidak yakin, justru manusia-manusia muka merah itullah yang bertampang buas kejam!"

"Aku tahu, tapi jangan bertindak gegabah, Sekar. Ini Kotaraja!”

“Persetan dengan Kotaraja!” tukas si gadis.

“Sudah tak usah ngomel. Mari kita ikuti mereka!” ujar Wiro pula.

Keduanya segera meninggalkan tempat itu.Tiga penunggang kuda itu memasuki sebuah gedung tua takberapa jauh dari Istana. Laki-laki yang diseret dengan kuda tadi dibawa ke dalam. Kemudian gedung itu pun sunyi senyap.

“Kita masuk ke dalam Wiro,” bisik Sekar.

“Kataku jangan gegabah,” kata Pendekar 212 dengan pelototkan mata. Diseberanginya jalan dan ditemuinya seorang pejalan kaki di seberang jalan itu. “Saudara kau lihat tiga penunggang kuda tadi?” tanya Wiro.

Orang itu mengangguk. Bulu tengkuknya masih meremang mengingat apa yang disaksikannya tadi.

“Siapa ketiga manusia itu?” tanya Wiro Sableng lagi.

“Mereka adalah Tiga Setan Darah.”

“Tiga Setan Darah...?” ujar Wiro. Pasti itu nama julukan mereka pikir Wiro. Dan dari nama julukan ini nyatalah bahwa memang mereka bukan manusia baik-baik! Kemudian tanpa ditanya orang tadi berkata lagi.

“Mereka adalah kaki tangan pembantu-pembantu Baginda. Manusia kejam luar biasa...!”

“Kenapa Baginda memelihara setan-setan macam mereka?!”tanya Wiro.

“Untuk menjaga keamananIstana dan Kerajaan. Tapi Baginda tidak tahu kebejatan pembantu-pembantunya itu...”

“Kenapa rakyat tidak mau kasih tahu?”

“Kalau mau mampus boleh saja!” jawab laki-laki itu.

“Kau kenal siapa itu orang yang diseret dengan kuda?”

Laki-laki itu menggeleng. Wiro Sableng kembali menyeberang jalan menemui Sekar.

“Kau bicara apa dengan dia?”

Wiro menerangkan dengan cepat lalu kedua orang ini segera hendak menyeberang memasuki halaman gedung tua tapi mereka segera berlindung cepat-cepat di balik sebatang pohon besar karena dari samping gedung ketiga penunggang kuda tadi kelihatan memacu kudanya masing-masing meninggalkan gedung!

Begitu mereka lenyap di kejauhan, Wiro dan Sekar segera memasuki halaman gedung. Mereka menuju ke samping dan berhenti dihadapan sebuah pintu kayu.Wiro memandang berkeliling. Suasana sepi sunyi. Tanpa ragu-ragu Pendekar 212 ulurkan tangan mendorong pmtu kayu itu. Aneh sekali!

Meski pintu itu terbuat dari kayu namun Wiro tak berhasil mendorongnya dengan sekuat tenaga luar! Setelah mengerahkan seperempat dari tenaga dalamnya baru pintu kayu itu berkereketan dan terbuka sedikit demi sedikit. Begitu daun pintu kayu itu terbuka lebar maka tiba-tiba dari hadapan mereka berdesing lima buah senjata berbentuk anak panah berwarna merah!

“Sekar! Awas!” teriak Pendekar 212. Cepat cepat pemuda ini menarik lengan si gadis ke samping.

Lima senjata rahasia berbentuk panah berdesing di atas kepala dan di muka hidung mereka. Dua dari panah merah itu menancap dibatang sebuah pohon. Sesaat kemudian batang pohon itu sampai ke cabang-cabang, ranting dan daun-daunnya menjadi merah. Nyatalah bahwa senjata-senjata ratiasia itu mengandung racun yang amat jahat! Paras Sekar berubah pucat sedang Pendekar 212 dengan leletkan lidah berkata pelahan,

“Keparat betul! Tempat ini pasti penuh dengan senjata rahasia. Kita harus hati-hati Sekar.”

Wiro menyuruh gadis itu berdiri lebih ke samping. Kemudian dengan kaki kirinya pendekar ini menendang pintu kayu itu sekuat tenaga. Pintu bobol hancur berantakan dan pada detik itu pula selusin senjata rahasia yang sama bentuknya dengan tadi melesat di depan mereka. Beberapa diantaranya menancap lagi dibatang pohon yang sama!

Pendekar 212 menyeringai. “Lihai juga,” katanya pelahan. “Sebaiknya kau tunggu di sini Sekar...”

“Aku ikut bersamamu!” kata Sekar tegas.

“Di dalam gedung tua ini pasti lebih banyak bahaya. Jangan jadi orang tolol!”

Gadis berbaju kuning ini tidak ambil perduli ucapan si pemuda melainkan tanpa tedeng aling-aling terus masuk melewati pintu yang tadi telah ditendang bobol. Mau tak mau Wiro juga melangkah mengikuti. Seperti suasana di luar, dibagian belakang gedung itupun diselimuti kesunyian. Keseluruhan gedung tidak terpelihara. Tembok hijau berlumut. Halaman ditumbuhi semak-semak dan rumput liar.

Dengan sikap berhati-hati kedua orang ini melangkah menuju ketangga yang berhubungan dengan pintu belakang gedung. Wiro berjalan di depan. Ketika salah satu kakinya menginjak tanah di dekat anak tangga yang terbawah tanah itu dirasakannya mencekung aneh dan lembut. Wiro cepat tarik kakinya dan melangkah mundur!

“Ada apa?” tanya Sekar dengan berbisik.

Pendekar 212 tidak menjawab melainkan melangkah menghampiri sebuah pot bunga besar yang bunganya sudah mati karena tak pernah disiram. Pot bunga yang besar itu dilemparkannya ke tanah di kaki anak tangga yang tadi dipijaknya. Pada detik itu juga terdengar satu ledakan. Tanah di kaki anak tangga bermuncratan ke atas. Anak tangga terbawah hancur berkeping-keping. Wiro meraih pinggang Sekar dan menjatuhkan diri ke tanah. Tubuh mereka kotor tersembur tanah dan kepingan batu tangga!

“Gedung setan apa ini?!” rutuk Wiro sambil berdiri dan membersihkan pakaiannya. Dia berpaling pada Sekar dan berkata, “Aku sudah bilang kau tak usah ikut-ikutan ke Kotaraja. Kini kau lihat sendiri!”

“Tak usah bertengkar terus-terusan, Wiro” menyahuti murid Empu Tumapel itu. “Kita harus cepat mencari laki-laki tangan buntung berbaju biru yang tadi dibawa ke sini!”

Wiro garuk-garuk kepalanya. Dia memandang ke pintu di bagian belakang gedung itu dan berpikir-pikir bahaya apa lagi yang bakal dihadangnya bila dia menaiki anak tangga dan membuka pintu itu! Dalam dia berpikir-pikir demikian tiba-tiba dilihatnya Sekar mengirimkan satu pukulan jarak jauh ke arah pintu belakang gedung. Angin pukulan menderu dahsyat dan...

"Braakkk...!" Pintu itu pecah berantakan. Sekar dan Wiro menunggu. Tak ada terjadi apa-apa.

“Aku tak percaya kalau pintu itu tidak menyembunyikan rahasia maut!” kata Wiro Sableng.

Dijangkaunya sebuah arca kecil yang sudah puntung di dekat tangga sebelah kanan. Arca itu kemudian digelindingkannya di atas lantai yang menuju ke pintu. Begitu arca mencapai pintu, lantai di muka pintu itu terbuka, arca lenyap jatuh ke dalam sebuah lobang dan lantai kembali menutup!

“Gedung edan!” rutuk Wito Sableng. “Kau masih punya nyali untuk masuk kedalamnya?!”

“Mengapa tidak?!” ujar Sekar.

“Aku kagum dengan keberanianmu,” puji Wiro sejujurnya. “Bersialplah, kita melompat ke dalam lewat pintu itu. Kerahkan seluruh ilmu mengentengi tubuhmu. Lantai di dalam gedung itu bukan mustahil perangkap semua!”

Kedua orang ini bersiap-siap untuk menerobos pintu yang sudah bobol. Mendadak pada saat itu pula di halaman depan terdengar derap kaki kuda. Keduanya terkejut.

“Mereka kembali!” bisik Sekar. Gadis ini segera keluarkan senjatanya yaitu besi berantai yang ujungnya diganduli bola besiberduri. Inilah senjata 'Rantai Petaka Bumi' yang dahsyat.

Wiro berpikir cepat. Dia mendapat satu akal lalu menggamit dan berbisik pada Sekar, “Cepat lompat ke atas genteng!”

Si gadis melotot. “Apa kau tidak punya nyali menghadapi mereka? Manusia-manusia terkutuk semacam itu harus dilenyapkan dari muka bumi, Wiro! Kalau kau takut pergilah sendiri ke loteng sana!”

Wiro menggerendeng.“Kita belum tahu siapa yang datang itu! Kalau benar mereka, dari atas genteng kita bisa mengintai bagaimana mereka masuk kedalam gedung!”

Sekar hendak mengatakan sesuatu. Tapi Wiro Sableng sudah membetot lengannya dan melompat ke atas genteng bersama-sama! Keduanya menunggu. Suara kaki kaki kuda berhenti sebentar, lalu terdengar lagi memasuki halaman samping.

“Bukan mereka,” desis Wiro dan Sekar memalingkan kepalanya ke halaman samping.

LIMA

Yang datang ternyata seorang penunggang kuda berkepala gundul. Sepasang matanya juling. Hidungnya sangat pesek, hampir sama rata dengan pipinya yang gembrot. Tangan dan kakinya sangat pendek sedang tubuhnya katai sekali. Yang lucunya manusia ini cuma memakai cawat, kulitnya hitam legam dan pada ketiak sebelah kirinya terkempit sebilah bambu berbentuk pikulan!

“Monyet terlepas dari mana ini?!” bisik Wiro Sableng.

“Dia bukan manusia sembarangan Wiro,” desis Sekar.

“Kau kenal dia?” tanya Wiro.

“Guruku pernah bilang manusia yang berciri-ciri macam dia. Melihat pada senjata yang dikempitnya aku yakin dia mustilah Si Setan Pikulan!”

“Buset! Apa tidak ada gelaran yang lebih jelek dari Setan Pikulan itu?!” seringai Wiro.

Penunggang kuda yang datang itu memang Setan Pikulan. Nama sebenarnya Munding Sura. Dia hentikan kuda di depan lobang besar dimuka tangga pintu belakang. Diperhatikannya lobang itu sebentar lalu dia memandang berkeliling. Diangguk-anggukannya kepalanya. Kemudian diperhatikannya pintu belakang yang hancur sambil mengusap-usap kepalanya yang botak.

“Tiga Setan Darah!” Setan Pikulan berteriak. “Apa kalian ada didalam?!” Suara teriakan Setan Pikulan kerasnya bukan main, menggetarkan seantero halaman belakang gedung tua itu, menggetarkan genteng di mana Wiro dan Sekar berada.

“Tenaga dalamnya hebat sekali,” bisik Wiro pada Sekar.

“Ah, rupanya kalian tak ada di rumah!” terdengar Setan Pikulan berkata. ”Sayang sekali! Sayang sekali! Ada dua orang tamu dari jauh, tuan rumah tidak ada! Sayang sekali!

”Wiro dan Sekar sama terkejut dan saling berpandangan Mereka yakin dua orang tamu yang dimaksudkan oleh manusia kate itu pastilah diri mereka sendiri. Belum habis kejut kedua orang ini dibawah terdengar bentakan Setan Pikulan.

“Cecunguk-cecunguk yang di atas genteng, lekas turun! Mataku yang juling tak bisa ditipu! Ayo turun!”

Sekar segera bergerak hendak melompat turun. Tapi Wiro menarik bajunya kuningnya. “Biar aku yang turun,” kata murid Eyang Sinto Gendeng ini.

Kemudian murid Eyang Sinto Gendeng ini dengan cepat melompat turun. Mata juling Si Setan Pikulan memperhatikan cara dan gerakan melompat si pemuda dan juga memperhatikan ketika sepasang kaki Wiro menginjak tanah. Telinganya yang tajam sama sekali tiada mendengar sedikit suara pun dari beradunya kaki dan tanah.

Wiro Sableng menjura sewajarnya dan dengan senyum ramah dia berkata, “Kalau aku tak salah, bukankah saat ini aku berhadapan dengan orang gagah yang dijuluki Setan Pikulan?”

Setan Pikulan menyeringai. “Rupanya matamu tajam juga orang muda. Harap beritahu siapa kau.”

“Ah... aku ini seperti yang kau katakan tadi, cuma cecunguk biasa saja...” jawab Wiro.

“Kenapa sembunyi di atas atap dan kenapa kawan mu cecunguk yang satu lagi itu tidak mau turun?!”

Wiro tertawa dan berseru, “Sekar, turunlah.”

Sewaktu Sekarturun dan berdiri di samping Wiro Sableng maka menyeringailah Setan Pikulan. “Ternyata seorang gadis cantik!” katanya. Dibasahinya bibirnya dengan ujung lidah sedang kedua matanya yang juling semakin juling karena memandang dekat-dekat pada paras Sekar yang cantik jelita.

“Melihat kepada tindak tanduk mu pastilah kalian datang ke sini bukan dengan maksud baik. Apa lagi penghuni rumah tidak ada. Kalian tahu apa yang bakal dilakukan Tiga Setan Darah jika mereka mengetahui ada cecungkuk-cecunguk yang sembunyi dan membuat kerusuhan di rumahnya?”

“Harap jangan salah sangka Setan Pikulan. Kami ke sini sebetulnya mengejar seorang pencuri. Tapi dia lenyap entah kemana...!” kata Wiro berdusta.

Setan Pikulan tertawa mengekeh. “Sama aku tak usah bicara dusta! Lekas terangkan siapa kalian dan apa maksud kalian ke sini!! Kalian musti tahu bahwa Tiga Setan Darah adalah kambratku dan aku berhak turun tangan menghukum kalian bila kalian ternyata bersalah!”

“Kalau kau kawannya Tiga Setan Darah, tentu kau juga seorang tokoh Istana!” ujar Wiro.

“Apa aku tokoh Istana atau bukan tak perlu tanya!” sentak Setan Pikulah. “Lekas jawab pertanyaanku tadi!”

“Kami cecunguk!” sahut Wiro. “Kau sendiri tadi sudah bilang!”

Marahlah Setan Pikulan. “Seharusnya kubetot putus lidahmu, pemuda hina dina!” hardik Setan Pikulan. “Tapi dengar... kalau kau mau tinggalkan gadis cantik ini buatku, aku tak mau bikin panjang urusan. Aku tak akan laporkan pada Tiga Setan Darah bahwa kalian telah mongobrak-abrik rumahnya ini...!”

Mendengar ini Sekar menjadi naik pitam. “Biar aku betul-betul monyet sekalipun, aku tidak sudi menjadi mangsa bejatmu!”

Setan Pikulan tertawa. Wiro berpikir sebentar lalu dengan ilmu menyusupkan suara dia berkata pada si gadis, “Sekar, aku ada akal. Kita tipu setan kate ini menunjukkan di mana laki-laki buntung itu disekap. Kau musti pura-pura marah...”

Pendekar 212 memandang pada Setan Pikulan lalu berkata, “Aku akan tinggalkan gadis ini padamu. Dia memang tidak berguna. Tapi harus ada imbalannya...!”

“Wiro! Apa kau sudah gila?!” teriak Sekar pura-pura marah dan melototkan mata.

Wiro tak ambil perduli. “Bagaimana?” tanyanya pada Setan Pikulan.

“Katakan mau mu!”

“Seorang kawanku telah dilarikan oleh Tiga Setan Darah dan disekap di gedung tua ini. Aku tak tahu di bagian mana. Gedung ini penuh senjata senjata rahasia dan perangkap-perangkap! Kalau kau mau menunjukkan di mana kawanku itu dan mengeluarkannya dari sini, gadis tak berguna ini kuserahkan padamu...!”

“Baik!” Setan Pikulan terima syarat itu. Untuk kesekian kalinya dibasahinya lagi bibirnya sebelah barah. Sementara itu Sekar memaki-maki Wiro Sableng tiada hentinya. Setan Pikulan melompat dari kudanya.

“Bagaimana aku yakin kalau kalian tidak menipuku?!” tanya manusia kate berkepala gundul ini.

“Kau terlalu curiga, Setan Pikulan! Kalau aku menipu mu berarti aku tak bisa menyelamatkan kawanku yang disekap oleh Tiga Setan Darah.” jawab Wiro Sableng.

“Betul juga,” kata Setan Pikulan. “Tapi untuk benar-benar meyakinkan biar kulakukan ini dulu...”

Dan dengan satu gerakan cepat luar biasa Setan Pikulan menusukkan jari telunjuknya ke urat dipangkal leher Sekar. Saat itujuga tubuh si gadis menjadi kaku tegang tak bisa bergerak. Wiro memaki dalam hati.

“Ikut aku!” Setan Pikulan berkata. Lalu melesat memasuki pintu belakang yang tadi sudah didobrak dengan pukulan jarak jauh oleh Sekar.

“Ruangan dalam ini penuh dengan alat dan senjata rahasia. Perhatikan langkahku!” kata si kate kepala gundul. Dia melangkah enam tindak ke kanan. lalu menyusuri tepi dinding hingga akhirnya sampai dihadapan sebuah pintu berwarna hitam. Pada tepi pintu itu terdapat sebuah titik putih besar setengah kuku jari kelingking. Dengan ujung jarinya Setan Pikulan menunjuk.

“Cepat masuk!” teriak Setan Pikulan.

Wiro Sableng melompat masuk ke dalam kamar itu. Begitu masuk begitu pintu di belakangnya menutup kembali. Manusia kate itu berpaling pada Wiro. “Kau lihat pintu dinding sana?” Wiro mengangguk. “Kalau kau melangkah sepanjang lantai ini ke sana, kau akan kejeblos masuk ke dalam liang batu! Kita harus bergerak sepanjang tepi dinding sebelah kiri! Mari...”

Sambil menyusuri lantai di tepi dinding sebelah kiri Wiro Sableng bertanya, “Mengapa Tiga Setan Darah memasang demikian banyak alat dan senjata rahasia serta perangkap di gedung tua ini?!”

“Itu tak perlu kau tanyakan. Bukan urusanmu!” sahut Setan Pikulan. Setan Pikulan membuka pintu dihadapannya. Kamar kedua itu kosong lagi. Dan dinding sebelah muka mereka kelihatan sebuah pintu lain.

“Kali ini kita musti menyusuri tepi lantai di samping kanan,” kata Setan Pikulan.

Wiro mengikuti tanpa banyak bicara. Kamar ketiga, keempat dan kelima dalam gedung itu kosong semua.

“Mungkin sekali kawanmu itu disekap di ruang batu karang dibawah tanah!” kata Setan Pikulan.

“Apakah kau tahu tempat itu?” tanya Wiro Sableng. Si kate merenung sejenak. “Ikuti aku,” katanya.

Mereka ke luar dari kamar nomer lima itu. Di kamar nomer enam mereka berhenti. Setan Pikulan meneliti lantai kamar dengan sepasang matanya yang juling. Kemudian dia mendongak ke atas. Pada langit-langit kamar kelihatan tergantung sebuah kawat yang ujungnya diganduli lampu minyak yang besar sekali. Setan Pikulan melompat ke atas dan menarik kawat itu satu kali.

Aneh sekali tiba-tiba lantai di samping kanan ruangan membuka dan sebuah tangga batu kelihatan. Keduanya melangkah ke tepi liang itu. Ruang di bawah sana agak gelap hanya diterangi oleh sebuah pelita. Samar-samar Wiro Sableng melihat sesosok tubuh menggeletak di lantai ruangan. Pakaiannya tak kelihatan apa warnanya tapi tangan kirinya buntung.

“Itu kawanmu?” tanya Setan Pikulan.

“Betul.”

“Lekaslah turun, sebelum Tiga Setan Darah kembali ke sini kita musti telah meninggalkan tempat ini!”

Tanpa pikir panjang Wiro Sableng segera menuruni anak tangga. Begitu dia menginjakkan kaki di lantai ruangan batu karang dia terkejut sewaktu di atas didengarnya suara tertawa bergelak Setan Pikulan.

“Manusia tolol geblek! Aku tahu kau mau menipu! Sekarang kau sendiri yang masuk perangkap! Kau akan mampus di ruang batu karang itu! Mayat mu akan busuk!”

“Bedebah keparat!” teriak Wiro. Dia melompat kembali ke atas. Tapi secepat kilat Setan Pikulan melesat ke udara, menarik kawat gantungan lampu dan dengan serta merta lantai di ruangan itu tertutup kembali! Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 masuk perangkap sudah!

ENAM

Setan Pikulan melesat dari pintu menuju ke halaman belakang gedung. Ketika dia melangkah kehadapan Sekar, gadis ini yang tubuhnya masih kaku tegang karena ditotok segera bertanya,

“Mana kawanku?”

Munding Sura alias Setan Pikulan tertawa buruk. “Kalian kira aku ini kambing tolol yang bisa ditipu mentah-mentah?” ujarnya. Dia berdiri dekat-dekat dihadapan Sekar. Kepalanya cuma sampai kepinggang gadis itu. “Dengar gadis molek,” kata Setan Pikulan seraya usap perut Sekar dengan tangan kirinya.

“Manusia kurang ajar!” maki Sekar. “Lepaskan totokan ku, cepat!”

Setan Pikulan tertawa gelak-gelak. “Gadis molek, siapa-siapa manusia yang berani menipuku pasti kukirim ke akherat! Kawanmu telah kujebloskan ke dalam ruang batu karang...!” Setan Pikulan tertawa lagi.

Sekar kaget bukan main mendengar keterangan ini. Dia tahu sendiri bahwa Wiro Sableng bukan pemuda sembarangan. Ilmu Silat dan kesaktiannya tinggi sekali. Dia bahkan telah menyaksikan kehebatan pemuda itu di Biara Pensuci Jagat sewaktu bertempur melawan Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga, tapi kenapa kini diabisa terjebak dan masuk ke dalam perangkap ruang batu? Apakah ilmu Setan Pikulan jauh lebih tinggi dari Wiro? Atau mungkin manusia kate bermuka buruk ini telah membokong dan menipu Wiro secara pengecut?

“Terhadapmu gadis molek...” berkata lagi si kate kepala gundul, dia berjingkat dan mengulurkan tangannya mengelus dagu Sekar.

Gadis ini memaki habis-habisan. Setan Pikulan tertawa bergelak. Dan akhirnya Sekar meludahi muka manusia buruk itu.

“Sompret kau!” bentak Setan Pikulan. Tapi dia tidak sebenar-benarnya marah. Dengan tertawa-tawa ditariknya ujung baju kuning Sekar dan disekanya mukanya yang disembur ludah itu. “Kalau kau tidak secantik ini pasti sudah kuremas hancur kau punya, muka! Kau ku ampuni tapi musti ikut ketempatku! Untuk selanjutnya kau akan jadi perempuan peliharaanku!”

“Bedebah keparat. Lekas lepaskan totokanku kalau tidak kelak jiwamu tak akan ku ampuni!”

Setan Pikulan tertawa gelak-gelak. “Kau galak sekali. Aku mau lihat apakah di tempat tidur kau juga akan segalak ini... He he he...?!”

Sekar memaki dan meludahi lagi muka laki-laki kate itu. Setan Pikulan tak menunggu lebih lama. Dilakukannya lagi satu totokan yang membuat mulut Sekar menjadi bungkam bisu tak bisa mengeluarkan suara lagi! Kemudian secepat kilat manusia kate itu meraih pinggang Sekar, melompat ke atas kudanya dan meninggalkan tempat itu.

Sementara itu di ruangan batu dibawah gedung kediaman Tiga Setan Darah. Begitu Wiro Sableng melompat dan sampai di anak tangga teratas, lantai di atasnya tertutup dengan cepat! Pendekar ini memaki habis-habisan. Diterjangnya lantai di atas tangga itu dengan satu tendangan keras yang disertai aliran tenaga dalam. Jangankan bobol, berbekas pun tendangannya itu tidak!

Penasaran sekali Wiro Sableng alirkan separoh dari tenaga dalamnya ke kaki dan untuk kedua kalinya dia menendang lagi. Lantai karang yang merupakan langit-langit ruang batu itu keras dan atosnya bukan olah-olah. Tendangan Wiro Sableng hanya senggup membuat langit-langit itu tergetar sedikit saja!

“Sialan!” gerutu Pendekar 212.Kini seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke kaki. Dengan bentakan dahsyat pendekar ini menendang ke atas. Ruang batu itu bergoncang! Tapi bagian yang ditendang tidak mengalami perobahan sedikitpun! Wiro menghela nafas dalam. Keringat dingin mengucur dikeningnya. Penuh penasaran pemuda ini salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan sampai tangan itu tergetar. Kedua kakinya merenggang.

Dalam keadaan seperti itu, bila dia berdiri di tanah pastilah kedua kakinya akan melesak sedalam lima atau sepuluh senti. Tapi di atas lantai karang yang atos itu, hal itu tidak terjadi. Perlahan-lahan jari-jari tangan pendekar 212 menekuk membentuk tinju.

“Ciaaattt...!” Didahului dengan bentakan menggeledek itu Wiro Sableng pukulkan tangan kanannya ke atas. Jari-jari yang terkepal membuka. Satu gumpalan angin keras laksana batu besar bergulung-gulung dan melesat menghantam bagian atas ruangan batu didekat kepala tangga!

Inilah pukulan 'Kunyuk Melempar Buah'. Ruang batu itu bergoncang dahsyat. Angin pukulan memantul kembali, memadamkan pelita yang terletak di lantai. Dan ruangan batu kurang itu dengan serta merta menjadi gelap gulita. Tangan didepan matapun tak kelihatan!

Wiro Sableng menggerendeng, memaki diri sendiri, memaki akan ketololannya sendiri. Seharusnya dia memperhitungkan bahwa pukulannya itu tadi akan dapat memadamkan pelita di ruang batu itu. Dia berpikir-pikir untuk melepaskan pukan sinar matahari. Tapi Wiro khawatir kalau-kalau pukulannya itu juga tidak mempan dan akan membalik menghantam dirinya sendiri serta manusia yang menggeletak di ruangan itu!

Sejak masuk ke dalam ruang batu karang itu baru Wiro ingat pada laki-laki bertangan buntung yang tadi hendak ditolongnya. Wiro melangkah perlahan-lahan sampai akhirnya kedua kakinya menyentuh tubuh laki-laki itu. Dia berlutut. Digoyang-goyangnya tubuh laki-laki itu. Tiada suara. Tubuh itu basah oleh keringat dan gelimangan darah. Wiro meletakkan telapak tangan kanannya di dada laki-laki itu. Lama sekali baru dia berhasil merasakan degupan jantung yang sangat halus dan pelahan!

Ternyata manusia itu masih hidup. Dengan cepat Wiro Sableng salurkan tenaga dalamnya melalui dada dan pergelangan tangan kanan laki-laki itu. Seperempat jam berlalu. Masih tak ada reaksi apa-apa. Mungkin manusia itu tak ada harapan lagi untuk diselamatkan jiwanya, pikir Wiro. Tubuhnya sudah keringatan. Mengerahkan tenaga dalam selama seperempat jam tanpa terputus-putus merupakan hal yang sangat berat, kurang hati-hati salah-salah bisa membuat diri sendiri menjadi rusak di dalam!

Ketika sepeminuman teh lewat maka baru terasa laki-laki itu memberikan reaksi. Tubuhnya bergerak sedikit. Kemudian terdengar suara erangannya. Erangan yang hampir tak kedengaran. Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya sampai tubuhnya menjadi lemas. Dia tersandar kedinding dan mengatur jalan nafas serta darahnya. Kemudian telinganya mendengar erangan laki-laki itu lebih keras. Erangan kesakitan yang mengerikan!

“Di mana aku?” lapat-lapat Wiro mendengar laki-laki itu bertanya.

“Sobat, kau sudah siuman?”

“Kau siapa...?” desis laki-laki itu.

“Apa kau bisa membuka matamu?”

“Ya, sedikit. Tapi semua gelap sekali!”

“Ya, ruangan ini memang gelap. Ruang batu karang yang tak beda dengan liang kubur! Kita sama-sama bernasib sial!Disekap di tempat terkutuk ini...”

“Kenapa kita bisa disekap di sini... Siapa yang menjebloskan kita...?"

“Ya. Namaku Pranajaya...”

“Meski kau terkurung di sini, nasibmu sebenarnya masih untung Prana,” kata Wiro. Pranajaya menghela nafas dalam. “Kau kuat sekali. Kurasa jarang ada manusia yang sanggup bertahan dan masih hidup diseret dengan kuda seperti kau.”

“Aku... aku diseret dengan kuda...?” tanya Prana.

“Ya. Sudahlah, sebaiknya kau duduk bersila. Atur jalan nafas, aliran darah dan tenaga dalammu...”

”Tidak mungkin” desis Prana. “Seluruh tubuhku tidak punya tenaga sedikitpun. Tulang-tulangku serasa remuk!”

“Kau begitu berbaring sajalah sementara aku mencari akal bagaimana kita bisa ke luar dari tempat terkutuk ini!” kata Pendekar 212.

“Kau masih belum menerangkan namamu,” ujar Pranajaya.

“Panggil aku Wiro...“

“Kau juga seorang dari dunia persilatan?”

“Sudah, aku bilang berbaring sajalah,” potong Wiro. “Aku musti berpikir. Kita musti ke luar dari tempat celaka ini!”

Pranajaya menutup mulutnya. Sekujur tubuhnya sakit tiada terkirakan. Sedikit demi sedikit dalam keadaan berbaring itu dicobanya mengatur jalan nafas, darah dan tenaga dalamnya.

“Plaakkk...!” Wiro memukul keningnya sendiri. Tangan kanannya mengeruk saku pakaiannya. Dari dalam saku ini diambilnya sebuah kantong kecil berisi beberapa buah pil. Di ambilnya sebutir. “Aku sampai lupa Prana, ngangakan mulutmu. Telan obat ini. Seperempat jam mungkin kau bisa lebih kuatan...”

Dalam gelap itu Pranajaya mengangakan mulutnya dan Wiro mencari-cari dengan tangannya mulut pemuda itu. Bila bertemu maka dimasukkannya pil itu ke dalam mulut Pranajaya. Beberapa menit kemudian...“

Rasa sakitku agak berkurang...” kata Prana pelahan.

“Syukur...”

“Saudara Wiro bagaimana...” Pranajaya tidak meneruskan pertanyaannya. Di dalam gelap itu dirasakannya Wiro berdiri. Kemudian tubuhnya didukung dan dibawa ke salah satu sudut ruangan.

“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Pranajaya.

Wiro tak menjawab. Dia melangkah ke tengah ruangan kembali. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya sebuah batu hitam yang bertuliskan angka 212 serta Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata sakti ini memancarkan sinar yang menerangi ruang batu itu. Meski tidak cukup terang tapi Wiro dapat melihat di mana pelita yang tadi padam terletak. Mata kapak dan batu hitam diadu satu sama lain. Lidah api menyembur ke arah pelita dan pelita itupun menyala kembali.

Ruang batu karang menjadi terang benderang. Kini kedua manusia itu baru bisa meneliti paras dan diri masing-masing. Paras Pranajaya mengerikan untuk dipandang. Kulit mukanya hampir keseluruhannya mengelupas, demikian juga kulit sekujur badannya. Salah satu telinganya hampir sumplung, hidung lecet. Pakaian robek-robek. Kulit kepala ada yang mengelupas dan darah, keringat serta debu membungkus tubuh Pranajaya mulai dari ujung rambut sampai ke kaki!

Pendekar 212 kertakkan rahang menahan hatinya yang seperti terbakar melihat keadaan tubuh laki-laki bertangan buntung itu. Kesalahan apakah yang telah dibuatnya sampai disiksa demikian biadabnya? Wiro tak mau berpikir lebih lama. Saat itu yang musti dilakukan ialah mencari jalan ke luar. Dengan Kapak Naga Geni 212 ditangan Wiro Sableng melangkah menuju ke tangan batu paling atass. Dia memandang pada Pranajaya dan berkata,

“Kalau senjataku ini tiada sanggup menghancurkan langit-langit ruangan batu karang ini berarti kita akan mampus di sini sobat.”

Pranajaya tak berkata apa-apa. Hatinya kecut, dan sedingin es. Wiro mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kapak Naga Geni di putar-putar di atas kepala. Senjata itu mengeluarkan angin yang deras dan suara mengaung laksana deru ribuan tawon. Angin senjata membuat api pelita mati lagi. Pada saat itu terdengar bentakan menggeledek dan di saat yang bersamaan pula terdengar suara...

“Buummm...!”

Ruang batu bergoncang keras. Wiro terhuyung-huyung, tubuhnya dihujani oleh guguran dan puing-puing batu karang. Pranajaya terpelanting dan terhampar di lantai ruang batu. Ketika Wiro memandang ke atas dia berseru girang,

“Prana, kita berhasil...!"

Ternyata batu karang tebal yang atos keras yang menjadi atap ruang batu itu tiada sanggup menghadapi Kapak Naga Geni 212. Sekali Wiro menghantamkan senjata pemberian gurunya itu. Maka hancur leburlah atap batu karang. Lobang besar terbuka tepat di atas anak tangga paling atas.

Pendekar212 memasukkan kapaknya ke balik pinggang kemudian turun ke bawah kembali, mendukung tubuh Pranajaya dan meninggalkan ruangan batu karang itu dengan cepat. Tapi sewaktu mereka sampai di halaman belakang, seorang penunggang kuda bermuka merah, berambut dan berjubah merah tahu-tahu muncul menghadang mereka. Setan Darah Pertama!

TUJUH

Pada waktu Setan Pikulan keluar dari pekarangan gedung tua membawa lari Sekar, maka di ujung jalan dibelakangnya tiga penunggang kuda muncul. Mereka bukan lain Tiga Setan Darah yang baru saja kembali dari luar Kotaraja.

“Hai, kalau aku tak salah lihat itu si kepala gundul Setan Pikulan!” seru Setan Darah Pertama.

“Betul!” menyahut Setan Darah Kedua. “Dia memboyong perempuan dan keluar dari rumah kita! Apa yang telah terjadi?!”

Tiga Setan Darah sama memacu kuda masing-masing lebih cepat namun Setan Pikulan sudah lenyap dari pemandangan mereka sewaktu ketiganya sampai di depan pintu halaman gedung tua.

“Kalian berdua kejar manusia itu,” perintah Setan Darah Pertama. “Aku akan menyelidiki tempat kita. Pasti terjadi apa-apa yang tak di ingini!”

Setan Darah Kedua dan Ketiga segera meninggalkan tempat itu sedang Setan Darah Pertama dengan cepat memasuki halaman gedung kediamannya. Apa yang disangka kannya ternyata betul! Pintu samping ditemuinya melompong bobol. Belasan senjata rahasia berbentuk panah bertebaran di tanah dan beberapa lainnya menancap di batang pohon Setan Darah Pertama memaki dalam hati.

“Apa ini si kate kepala gundul itu yang melakukannya?” manusia bermuka merah ini membathin. “Kalau betul kelak aku akan kasih pelajaran pada manusia Keparat itu!”

Dilewatinya pintu yang telah bobol itu dan ketika sampai di halaman belakang kekagetannya bertambah-tambah sewaktu menyaksikan tanah dari anak tangga sebelah bawah pintu belakang hancur berantakan sedang pintu belakang itu sendiri juga bobol pecah!

“Setan alas! Setan alas!” maki manusia muka merah itu.

Dia memandang berkeliling dan merasa heran karena dia tidak melihat arca yang seharusnya berada di halaman itu! Siapa yang melakukan ini semuanya? Apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan Setan Pikulan yang tadi dilihatnya ke luar dari pintu halaman, memboyong seorang perempuan?!

Sudut mata Setan Darah Pertama menangkap satu gerakan. Cepat-cepat dia palingkan kepala. Sepasang mata Setan Darah Pertama melotot. Di hadapannya berdiri seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian putih-putih. Dia tidak kenal dengan pemuda ini. Yang membuat Setan Darah Pertama begitu terkejut ialah karena pemuda ini memanggul Pranajaya yang sebelumnya telah disekapnya dalam ruang batu karang!

Setan Darah Pertama berpikir cepat. Jika si pemuda asing ini adalah kawan Pranajaya dan menolong Prana keluar dari ruang batu karang, pastilah dia yang telah menghancurkan pintu samping dan pintu belakang gedung kediamannya. Dan di dalam gedung pastipula dia telah membuat kerusakan yang lebih hebat lagi. Lantas, apa pula hubungan Setan Pikulan yang tadi dilihatnya ke luar dari halaman gedung dengan memboyong seorang perempuan?!

Setan Darah Pertama jadi bingung sendiri! Matanya menatap tajam. Kalau betul pemuda belia ini yang telah membebaskan Pranajaya dari dalam ruang batu maka ini adalah hal yang sangat tak bisa dipercaya oleh Setan Darah Pertama. Untuk masuk ke dalam gedung tua saja seseorang harus melalui rintangan-rintangan senjata rahasia yang bisa membawa maut!

Kalaupun dia sanggup masuk ke dalam, belum tentu dia tahu rahasia bagaimana membuka pintu ruang batu karang. Mungkin dia mempergunakan ilmu kesaktian dan membobolkan pintu ruang batu? Selama bertahun-tahun tak ada satu kekuatan pun yang sanggup mendobrak pintu ruang batu karang itu. Apalagi manusia muda bertampang dogol seperti yang saat itu berdiri memanggul tubuh Pranajaya dihadapannya.

Di lain pihak Pendekar 212 Wiro Sableng memandang pula tepat-tepat kepada Setan Darah Pertama. Dia ingat manusia inilah yang telah menyeret Pranajaya tadi sepanjang jalan. Dia tenang-tenang saja dan tidak perlu terkejut melihat si muka merah ini. Cuma yang diam-diam membuat dia khawatir ialah karena saat itu dia sama sekali tidak melihat Sekar! Tak ada dugaan lain selain bahwa gadis itu pasti sudah dilarikan oleh si kate Setan Pikulan!

“Pemuda asing, siapa kau?!” bentak Setan Darah Pertama dengan suara menggeledek. Sekaligus dia hendak menunjukkan bahwa dia bukan manusia sembarangan.

Wiro Sableng cengar cengir seenaknya.

“Jangan cengar cengir tak karuan! Cepat beritahu siapa kau dan mengapa nyalimu begitu besar membuat keonaran di sini?!”

“Wiro...” Pranajaya berbisik. “Manusia muka kepiting rebus ini adalah musuh besarku! Salah satu dari Tiga Setan Darah”. Wiro tertawa mendengar ucapan 'kepiting rebus' itu.

“Setan alas!” sentak Setan Darah Pertama. “Kau kira kau berhadapan dengan siapakah berani tertawa seenak perutmu?!”

“Masakah orang tertawa saja tidak boleh!” sahut Wiro Sableng.

Darah Setan Darah Pertama naik ke kepala “Kalau kau masih bicara bertele, nyawamu akan ku kirim menghadap setan neraka!” ancam Setan Darah Pertama dan tangan kanannya dinaikkan keatas, siap untuk melancarkan satu pukulan tangan kosong!

“Sabar... sabar sobat!” kata Wiro. “Aku adalah kawan pemuda ini. Sebagai kawan, sepantasnya aku menolong bila dia mendapat kesukaran... Bukan begitu Tiga Setan Darah?!”

“Hemm... manusia buruk macammu rupanya sudah tahu juga berhadapan dengan siapa saat ini!” ujar Setan Darah Pertama. “Karena kau kawan pemuda itu, terpaksa kalian berdua kuseret kembali ke ruang batu karang!”

Habis berkata demikian Setan Darah Pertama lentingkan kelima jarinya ke muka. Lima larik sinar merah menyambar ke arah lima bagian tubuh Wiro Sableng! Inilah ilmu totokan jarak jauh bernama totokan lima jari yang sangat lihai sekali!

Pendekar 212 Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Sekali melompat ke samping, lima sinar totokan itu dapat dihindarkannya sekaligus! Ini membuat Setan Darah Pertama menjadi gusar.

“Punya sedikit ilmu saja hendak diandalkan!" ejeknya. “Aku mau lihat sampai di mana kedigjayaan mu bocah konyol!” Serentak dengan itu Setan Darah Pertama melompat dari kudanya. “Silahkan turunkan dulu kunyuk dibahumu itu!” kata Setan Darah Pertama.

“Tiga Setan Darah, meski kau seorang bejat yang sebenarnya tidak pantas hidup di dunia ini, tapi aku tak punya permusuhan dengan mu. Harap minggir beri jalan...!”

“Kentut bapak moyangmu!” teriak Setan Darah Pertama. “Lekas turunkan pemuda itu, dalam satu jurus nyawamu pasti akan minggat dari badan!”

Sebenarnya Wiro bukan tak mau baku hantam dengan manusia terkutuk ini, tapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan Sekar dan musti mencari gadis itu maka sekali ini diusahakannya untuk menghindari pertempuran. Tapi agaknya si muka kepiting rebus tak memberi kesempatan terhadapnya. Dan ini membuat murid Eyang Sinto Gendeng itu mulai luntur pula kesabarannya.

“Iblis muka merah!” bentak Wiro Sableng. “Untuk menghadapi kau kenapa musti susah-susah turunkan tubuh kawanku ini segala?”

Mendidihlah darah Setan Darah Pertama. Seumur hidupnya tak pernah dia mendapat hinaan demikian. “Kalau begitu kalian akan mampus sama-sama!” teriaknya lantang.

Setan Darah Pertama kebutkan kedua lengan jubahnya. Dua angin merah yang amat dahsyat menderu ke arah Wiro Sableng. Dalam jarak dua tombak saja panasnya sudah memerihkan kulit.

“Awas Wiro, pukulan itu beracun!” membisik Pranajaya. Lalu tambahnya, “Manusia ini bukan sembarangan, ilmunya tinggi. Lebih baik kau sandarkan aku ke pohon sana...!”

“Ah, tak usah khawatir sobat..,” jawab Wiro.

Satu tombak dua larikan sinar merah itu menyambar kearahnya dengan membentak nyaring Pendekar 212 berkelebat. Tubuhnya lenyap dari hadapan Setan Darah Pertama. Kaget Setan Darah Pertama bukan main-main. Tak tahu dia gerakan kilat apa yang dipergunakan oleh si pemuda lawannya hingga lebih cepat dari kejapan mata pemuda itu sudah lenyap dari pemandangannya. Cepat-cepat dia membalik. Wiro dan Prana dilihatnya sudah berada di pintu samping.

“Kau mau lari ke mana bedebah?!” bentak Setan Darah Pertama dan memburu dengan cepat seraya lancarkan satu jotosan jarak jauh yang hebat. Serangan ini membuat murid Eyang Sinto Gendeng melompat ke samping lalu membalik.

“Iblis muka merah, kali ini aku tidak ada waktu untuk melayani mu. Kelak di lain hari kita bakal berhadapan kembali!”

“Cuma nyawamu yang bisa pergi dari sini keparat!” teriak Setan Darah Pertama. Dia memburu lagi. Tapi langkahnya terhenti.

Wiro telah melepaskan satu pukulan yang mendatangkan angin yang amat hebat, membuat pasir di halaman itu menggebu laksana kabut tebal menderu ke arah Setan Darah Pertama membuat pemandangannya tertutup. Ketika dia menerobos kabut pasir itu dengan cepat, Wiro Sableng dan Pranajaya sudah lenyap. Setan Darah Pertama menyumpah habis-habisan.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Orang-orang yang berada di tengah jalan cepat-cepat menghindar ke tepi sewaktu Setan Pikulan memacu kudanya dengan kecepatan yang luar biasa. Debu beterbangan di belakang diterpa oleh ke empat kaki kuda tunggangan manusia bertubuh kate itu. Seorang pejalan kaki berkata pada kawannya di tepi jalan.

“Lihat, si kate kepala gundul itu membawa seorang perempuan lagi!”

“Ya, parasnya cantik sekali!” Sahut kawannya. Diangkatnya bahunya lalu berkata lagi, “Manusia dajal itu rupa-rupanya tak pernah bosan dengan perempuan. Di gedungnya sudah belasan perempuan yang jadi peliharaannya! Kini satu lagi bakal menjadi korban kebejatan nafsunya. Kasihan perempuan itu...”

“Aku sangat menyesalkan Baginda. Beliau...”

Laki-laki itu tak meneruskan kata-katanya karena di belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda. Keduanya berpaling.

“Ini lagi...,” kata laki-laki tadi pelahan. “Bergundal-bergundal Baginda. Mereka tidak ada beda dengan Si Setan Pikulan!”

Dua penunggang kuda itu berlalu dengan cepat. Mereka bukan lain dari Setan Darah Kedua dan Ketiga yang tengah mengejar Setan Pikulan! Di sebuah gedung kecil di pinggiran Kotaraja, Munding Sura alias Setan Pikulan menghentikan kudanya.

“Ah, manisku. Kita sudah sampai!” katanya seraya mendukung Sekar dan melompat dari kudanya. Di ruang dalam tiga orang perempuan muda yang cantik-cantik tengah duduk berbicara Mereka adalah sebagian dari peliharaan-peliharaan Setan Pikulan. Ketiganya memandang pada Setan Pikulan dan perempuan yang ada dalam dukungannya. Mereka tak berkata dan tak berbuat apa-apa selain hanya memandang. Dan di dalam hati masing-masing, mereka sudah tahu apa yang bakal dialami parempuan yang dibawa Setan Pikulan itu ketika mereka melihat laki-laki itu melangkah menuju ke kamar di ujung ruangan!

Kemudian pintu kamar itupun tertutuplah. Di dalam kamar. Setan Pikulan menutupkan pintu dengan tumit kakinya. Dengan tertawa mengekeh-ngekeh manusia ini membaringkan Sekar di atas tempat tidur. Kemudian dia melangkah ke meja dan meneguk tuak dari dalam sebuah kendi. Minuman keras ini dengan serta merta menghangati tubuh dan menambah gelora nafsu terkutuk Setan Pikulan. Dengan memegang kendi itu di tangan dia melangkah kembali ke tempat tidur dan duduk di samping Sekar.

“Ah, parasmu yang cantik basah oleh keringat dan debu. Biar aku bersihkan... kata Setan Pikulan.

Lalu dengan tangan kirinya diusapnya kening serta pipi Sekar. Gadis ini memaki dalam hati. Hanya itu, yang bisa dilakukannya. Dia tak bisa membuka mulut ataupun menggerakkan anggota badannya karena telah ditotok. Cuma mimik mukanya yang menyatakan demikian. Setan Pikulan meneguk tuaknya kembali.

“Eh, kau tentu haus” Setan Pikulan mengedipkan matanya beberapa kali. Lalu dibukanya totokan pada tubuh Sekar. Gadis itu kini bisa bicara dan mendengar tapi tubuhnya tetap kaku tak bisa digerakkan.

“Ini, minumlah, kau tentu haus manisku!”

“Manusia biadab! Lepaskan totokanku! Keluarkan aku dari sini!” teriak Sekar.

“Kau masih saja galak,” desis Setan Pikulan dan mencubit dagu Sekar. “Ini minum!,” katanya.

Bibir kendi didekatkannya kebibir gadis itu. Sekar mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tapi kemudian dia mendapat akal. Dibukanya mulutnya sedikit. Tuak didalam kendi itu diteguknya dua kali. Setan Pikulan tertawa gembira. Tapi tiba-tiba...! Tuak yang sudah diteguk tadi tiba-tiba disemburkan kembali oleh Sekar dan karena tidak diduga sama sekali oleh Setan Pikulan, laki-laki, ini tak sempat lagi menghindar!

Dia berteriak kesakitan dan melemparkan kendi di tangannya ke dinding. Kendi pecah berantakan isinya membasahi lantai! Untung saja Sekar dalam keadaan ditotok sehingga dia tak bisa mengalirkan darah dan tenaga dalamnya! Jika saja semburan tuak tadi disertai dengan aliran tenaga dalam niscaya hancur dan butalah mata Setan Pikulan.

Namun demikian semburan tadi sudah cukup membuat matanya sakit sekali dan untuk beberapa saat lamanya tak bisa membuka kedua matanya itu! Sambil mengeringi mukanya yang basah dan mengucak-ngucak kedua matanya Setan Pikulan memaki habis-habisan!

“Gadis gila! Kalau kau tidak sekurang ajar itu terhadapku pasti aku akan perlakukan kau baik-baik. Tapi kini kau akan rasakan sendiri!”

Setan Pikulan mengucak lagi kedua matanya. Pemandangannya sudah terang kini. Kedua matanya yang juling memandang dengan berapi-api. Tiba-tiba dibungkukkannya kepalanya. Maka habislah seluruh tubuh Sekar diciuminya. Gadis itu menjerit tiada henti.

“Menjeritlah sampai lidahmu copot!” kata Setan Pikulan dengan tertawa mengekeh. Ciumannya datang lagi bertubi-tubi. Kemudian bukan hanya ciuman saja lagi. Sepasang tangan manusia kate ini membuat dua kali gerakan.

“Breett-Breett...!" Pakaian kuning yang dikenakan Sekar robek besar. Dadanya tersingkap lebar!

“Dadamu bagus dan putih sekali!” seru Setan Pikulan seperti gila. Dan kemudian betul-betul macam orang gila muka dan bibirnya melumasi dada Sekar yang sampai saat itu masih menjerit-jerit. Sekar menjerit lagi lebih keras sewaktu sepasang tangan Setan Pikulan menggerayang meremasi dadanya.

“Braakkk...!” Pintu kamar terpentang lebar. Salah satu papannya pecah. Kaget Setan Pikulan bukan olah-olah! Sebelum dia berpaling, dari pintu sudah membentak satu suara.

“Munding Sura! Hentikan perbuatan kotor mu itu!”

DELAPAN

Begitu berpaling begitu Setan Pikulan alias Munding Sura hendak mendamprat marah. Tapi sewaktu melihat siapa yang berdiri dihadapannya dia hanya mengeluarkan suara menggerendeng. Dibelakang laki-laki yang masuk ke dalam kamar itu masih ada seorang lainnya. Setan Pikulan bangkit dari tempat tidur.

“Kalau tidak memandang kepada nama besar serta hubungan kita sesama tokoh-tokoh pembantu Baginda, pasti aku sudah tendang kau ke luar dari kamar ini Setan Darah Kedua!”

Setan Darah Kedua tertawa bergumam. Dia rangkapkan tangan di muka dada sementara kawannya melangkah ke sampingnya. Sepasang mata Setan Darah Kedua menatap tubuh yang tergeletak diatas tempat tidur. Hatinya terkesiap juga memandangi paras cantik dengan tubuh dalam keadaan setengah telanjang itu! Seperti Setan Pikulan, diapun seorang yang suka perempuan!

“Setan Darah, lekas katakan apa maksud kedatangan kalian!”

“Sewaktu memasuki ujung jalan kau kelihatan ke luar dari tempat kediaman kami membawa perempuan itu!” kata Setan Darah Kedua. Kepalanya digoyangkannya sedikit ke arah Sekar.

“Ada perlu apa kau ke tempat kami dan siapa ini perempuan?!”

“Siapa ini perempuan bukan urusan mu!” jawab Setar Pikulan.

“Kalau kau memandang muka ku, aku juga masih mau memandang muka padamu, Setan Pikulan,” kata Setan Darah Kedua. “Kuharap kau tak usah bicara kasar!”

Setan Darah Kedua tertawa dingin. Setan Darah Ketiga buka mulut, “Melihat caramu ke luar dari gedung kami dan melarikan perempuan ini jelas sudah kau membuat apa-apa yang tak diingini di tempat kami!”

Setan Pikulan meludah ke lantai. “Aku ke sana sebetulnya untuk menyambangi kalian...”

“Itu satu kehormatan.” memotong Setan Darah Kedua dengan nada sinis.

“Kalian tidak ada. Pintu samping kutemui dalam keadaan hancur. Senjata-senjata rahasia bertancapan di pohon dan bertebaran di tanah. Halaman belakang kacau balau dan pintu belakang gedung kalian juga, kutemui dalam keadaan terpentang bobol...”

“Hemmm...” gumam Setan Darah Ketiga. “Siapa yang melakukannya?!”

“Mana aku tahu!” sahut Setan Pikulan.

“Jangan dusta Munding Sura!” sentak Setan Darah Kedua. "Hanya beberapa orang saja yang tahu rahasia masuk ke gedung itu, diantaranya kau!”

"Jadi kau menuduh aku membuat kerusakan di gedung itu?”

“Aku tanya siapa yang melakukan, bukan menuduh!” sahut Setan Darah Kedua ketus.

“Aku sudah bilang tidak tahu! Dan sekali tidak tahu, tetap tidak tahu. Sekarang silahkan angkat kaki dari sini!”

“Baik Munding Sura. Tapi ingat...” ujar Setan Darah Ketiga. “Bila nanti terbukti kau berbuat...”

“Tak usah mengancam sompret!” maki Setan Pikulan.

Setan Darah Ketiga melangkah maju. Setan Darah Kedua menarik lengan jubahnya dan berkata pada Setan Pikulan, “Sekarang memang baru cuma ancaman. Kelak kalau kami tahu bahwa kau betul-betul telah membuat keonaran di tempat kami, ancaman itu akan menjadi kenyataan, Munding!”

Munding Sura yang bergelar Setan Pikulan tertawa mencemooh! “Dasar manusia-manusia tidak tahu diri!” katanya. ”Kalian tahu, sewaktu aku datang ke sana ada dua cecunguk yang sembunyi di atas genteng! Satu diantaranya gadis ini, yang lain seorang pemuda! Aku paksa mereka turun dan paksa agar memberi keterangan. Mereka menerangkan tengah mencari seorang kawan yang kalian seret ke tempat kalian! Mereka bermaksud membebaskannya! Aku pikir kalau manusia itu adalah musuhmu maka pasti yang dua lainnya adalah kambratnya juga. Si gadis, kutotok dan kawannya kutipu kujebloskan dalam ruang batu karang di dasar gedung! Kalian dengar semua itu?! Seharusnya kalian berterima kasih padaku dan bukan mengoceh tak karuan! Sekarang berlalu dari hadapanku sebelum kesabaran habis!”

Setan Darah Kedua menarik lengan baju kawannya. Keduanya sama-sama melangkah ke pintu. Tapi tiba-tiba Sekar berseru, “Setan Darah! Jangan kena ditipu oleh bangsat kepala botak ini!” Tentu saja kedua Setan Darah itu sama hentikan langkah dan balikkan badan! “Apa yang diterangkannya semua adalah dusta!”

“Heh, begitu...?!”

“Gadis edan apa mulutmu mau kupecahkan?!” bentak Setan Pikulan. “Berani kau bicara lagi betul-betul kupecahkan mulutmu!”

“Biarkan dia bicara, Munding Sura!" kata Setan Darah Kedua.

“Tapi kau lepaskan dulu totokanku!” kata Sekar. “Aku akan terangkan apa yang telah diperbuatnya ditempat mu! Dan bukan itu saja, aku akan bersedia ikut dengan kalian!”

“Ah...,” Setan Darah Kedua mengusap-usapkan kedua telapak tangannya satu sama lain. “Satu usul yang baik! Memang kau telah pantas bersamaku daripada kambratku yeng kate buruk ini!”

Marahlah Setan Pikulan. “Saat ini aku tidak memandang nama besar atau mukamu lagi Setan Darah keparat! Tidak perduli meski kita sama-sama orang Istana!”

“Gadis itu sudah membuka kedok kedustaan mu!"

“Dia yang dusta! Bohong besar!”

“Dusta atau tidak tapi aku percaya omongannya. Dan aku dengar dia sendiri yang mau ikut bersamaku!” Setan Darah Kedua mengekeh.

Mulut Setan Pikulan komat-kamit. “Boleh,” katanya. “Silahkan bawa gadis itu. Tapi begitu tanganmu menyentuh tubuhnya, kepalamu akan hancur lebih dulu!”

Setan Darah Kedua tertawa bergelak. “Nama besar Setan Pikulan memang sudah lama kami dengar,Tapi hendak manantang Tiga Setan Darah yang kesohor sama saja seperti biduk kecil yang hendak melawan gelombang sebesar gunung!”

Kini Setan Pikulan yang tertawa mangekah. “Orang sombong memang terlalu sering lupa diri! Kita walau bagaimanapun masih sama-sama manusia. Aku bukan biduk dan kalian bukan gunung! Bicara jangan ngaco!”

“Agaknya jalan kekerasan tak bisa dihindarkan, Setan Pikulan!” kata Setan Darah Ketiga sambil usut-usut lengan jubahnya.

"Kukira demikian, Lagi pula memang sudah sejak lama aku ingin membuktikan sampai di mana kehebatan nama Tiga Setan Darah itu. Jangan-jangan cuma bangsa kroco bau terasi saja! Apalagi sekarang cuma ada dua orang!”

“Kita akan saksikan siapa yang kroco manusia buruk!” sahut Setan Darah Kedua. Dia berpaling pada kawannya dan berkata, “Kaul epaskan totokan gadis itu, biar aku yang kasih pelajaran pada manusia jenis kacoak ini!”

Setan Darah Ketiga melompat ke arah tempat tidur. Dua jari tangannya siap untuk melepaskan totokan di tubuh Sekar, tapi dari samping Setan Pikulan tidak tinggal diam. Tubuhnya yang kate melasat kemuka, satu tendangan yang dahsyat dilancarkannya ke arah tangan Setan Darah Ketiga.

Tentu saja Setan Darah Ketiga tidak mau ambil risiko hancur tangannya. Cepat-cepat dia tarik pulang tangannya, menggeser kaki dan kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri. Selarik sinar merah menyambar ke arah selangkangan Setan Pikulan. Ini adalah satu serangan yang benar-benar mematikan!

Tapi si kate kepala gundul bukan manusia kemarin. Dia membentak dan melompat ke atas. Dari atas dia kirimkan satu jotosan dan satu tendangan. Setan Darah Ketiga merunduk sementara sinar pukulannya tadi telah melanda dan menghancurkan tembok kamar.

Di ruang sebelah terdengar pekikan beberapa orang perempuan. Serangan gencar Setan Pikulan menjadi batal sewaktu dari samping Setan Darah Kedua tusukkan dua jari tangannya ke rusuk. Setan Pikulan yang tahu betul kehebatan dua jari itu cepat menghindar dan sekaligus dua tangannya dipukulkan ke muka!

Setan Darah Kedua cepat-cepat buang diri ke samping sewaktu melihat dua gelombang angin hitam ke luar dari jotosan-jotosan lawannya. "Ilmu pukulan sepasang tinju hitam mu tiada berguna terhadapku manusia buruk!” ejek Setan Darah Kedua.

Sementara kawannya baku hantam dengan Setan Pikulan. Setan Darah Ketiga pergunakan kesempatan untuk membebaskan Sekar dari totokan. Namun kali yang kedua inipun tidak berhasil karena saat itu Setan Pikulan sudah menyambar senjatanya yang ampuh yang menyebabkan dia sampai dijuluki Si Setan Pikulan dalam dunia persilatan. Senjatanya itu bukan lain ialah sebuah pikulan dari bambu!

Meskipun dari bambu tapi karena merupakan senjata sakti maka kekuatannya lebih hebat dari baja. Setan Darah Ketiga cepat-cepat buang diri ke samping sewaktu ujung pikulan menusuk ke kepalanya. Setan Darah Kedua mengomel.

“Tolol..." makinya, “lepaskan dia dengan totokan jarak jauh!”

Habis berkata begitu Setan Darah Kedua segera keluarkan sanjatanya yaitu sepasang gada. Dalam ilmu mengentengi tubuh dan tenaga dalam serta kegesitan bergerak Setan Pikulan tidak di bawah kedua Setan Darah itu, apalagi saat itu pikulan saktinya sudah berada di tangan.

Namun menghadapi dua lawan yang berada dalam jarak terpisah di mana dia musti pula melindungi Sekar agar jangan sampai gadis itu berhasil dibebaskan lawan dari totokannya maka ini adalah satu hal yang cukup menyulitkan bagi Si Setan Pikulan!

Setiap saat dia harus membagi serangan pada kedua lawan dan melindungi Sekar!Setan Pikulan putar senjatanya laksana titiran. Pikulan itu dimainkan dalam jurus-jurus silat toya. Angin deras dan suara mengaung memenuhi kamar itu. Namun senjata lawan yang dihadapi Setan Pikulan bukan pula senjata biasa.

Bagaimana pun dia mempercepat gerakannya dan mendesak Setan Darah Kedua dengan hebat namun pada jurus kesembilan belas Setan Pikulan tak berhasil menghalangi Setan Darah Ketiga melepaskan satu pukulan tangan kosong jarak jauh yang membuat terlepasnya totokan di tubuh Sekar. Begitu bebas secepat kilat gadis itu merapikan pakaiannya.

“Saudari, kau menghindarlah ke sudut sana! Tunggu sampai kami membereskan monyet kontet ini!,” kata Setan Darah Kedua.

Sekar merasa syukur bahwa hasutannya termakan oleh kedua Setan Darah sehingga kini dia lepas dari totokan. Dia tahu baik Setan Pikulan maupun manusia-manusia bermuka dan berjubah merah itu tiada beda satu sama lain. Dia berpikir-pikir apakah akan masuk ke gelanggang pertempuran untuk turut mengeroyok Setan Pikulan yang telah membuat kekejian terhadapnya atau lebih baik menyingkir dulu dari situ sebelum timbul pula urusan baru dengan manusia-manusia iblis bermuka merah itu!

Si gadis mengambil keputusan yang terakhir. Apa lagi dia ingat bahwa sewaktu dibawa lari oleh Setan Pikulan dari gedung kediaman Tiga Setan Darah tadi, sahabatnya Wiro Sableng masih tertinggal disana, dikurung dalam ruang batu karang. Maka gadis ini cepat-cepat melompat ke pintu. Namun apa lacur! Bersamaan dengan itu sesosok tubuh melompat pula dari luar dan cepat berhadap-hadapan dengan Sekar di ambang pintu itu!

SEMBILAN

Manusia ini berambut gondrong, bermuka dan berjubah merah parsis seperti yang dikenakan dua orang Setan Darah yang tengah bertempur di dalam kamar. Pasti tidak manusia ini adalah kawan dari dua Setan Darah lainnya itu pikir Sekar. Di lain pihak manusia yang berdiri diambang pintu yang memang Setan Darah Pertama adanya menduga keras bahwa Sekar adalah perempuan yang tadi terlihat dilarikan oleh Setan Pikulan dari gedungnya.

Meskipun dia tertarik sekali akan kecantikan si gadis dihadapannya namun saat itu Setan Darah Pertama masih diliputi kemarahan yang meluap yaitu sesudah dia menyaksikan kerusakan-keruasakan di gedungnya serta dibikin seperti main-mainan sewaktu bertempur melawan Pendekar 212.

“Kalian tolol semua!” bantak Setan Darah Pertama sewaktu menyaksikan dua kawannya yang mengeroyok Setan Pikulan tapi mendapat tekanan-tekanan yang hebat bahkan sesungguhnya sudah mulai terdesak.

“Menghadapi si kate keling ini saja tidak mampu!”

Di saat itu Setan Pikulan mengamuk dengan hebatnya. Senjatanya bersiur-siur. Dua ujung pikulan menyambar dan memapas, kadang-kadang menusuk ganas dalam jurus-jurus gencar yang penuh dengan tipu-tipu yang membahayakan keselamatan kedua Setan Darah. Mendengar bentakan Setan Darah Pertama, Setan Darah Ketiga segera cabut sepasang goloknya. Pertempuran dalam kamar itu bertambah hebat.

Tapi sepasang mata Setan Darah Pertama bisa melihat bahwa kedua kambratnya itu masih berada di bawah angin, Si kate kapala gundul berkelebat ganas hampir tak kelihatan. Pikulannya menderu-deru bahkan anginnya sampai mengibar-ngibarkan jubah yang dipakainya!

Tanpa tunggu lebih lama Setan Darah Pertama segera bergerak ke tengah ruangan. Kasempatan ini lekas dipergunakan olah Sekar untuk meninggalkan tempat itu. Tapi Setan Darah Pertama berseru,

“Hai gadis manis! Tunggu dulu! Kau mau ke mana?!”

Sekar tak menyahuti malah tancap gas larikan diri tapi satu sambaran angin menyapu kedua kakinya, membuat kaki gadis itu menjadi kaku tegang dan laksana dipakukan ke lantai tak dapat bergerak lagi. Setan Darah Petema telah melepaskan totokan jarak jauh yang lihai sekali, Sekar sendiri tak tahu kalau dirinya akan diserang dari belakang begitu rupa maka kini dia terpaksa tegak di lantai tak berdaya! Di kerahkannya tenaga dalamnya ke kaki untuk membuyarkan totokan Setan Darah Pertama, tapi sia-sia belaka!

“Tahan dulu! Aku mau bicara!” Setan Darah Pertama berseru.

Kedua orang kawannya segera melompat ke tepi kamar. Dengan pandangan berapi-api Setan Derah Pertama memandang pada Setan Pikulan.

“Munding Sura kaukah yang membuat keonaran ditempatku?!”

Munding Sura alias Setan Pikulan tertawa tawar. “Kau dan dua kambratmu ini sama saja menuduh seenaknya. Kau kira...”

“Setan Darah Pertama,” ujar Setan Darah Kedua. “Kita tak perlu banyak bicara dengan kunyuk hitam ini. Kami sudah tahu memang dia sengaja mencari urusan terhadap kita, Dia telah menyelundup ketempat kita!”

Setan Pikulan tertawa lagi. “Tentu saja nyalimu tambah besar karena satu kambrat mu telah datang, lagi ke sini,” katanya. “Sebelum terlambat apakah kalian masih mau teruskan urusan gila ini?!”

“Kunyuk hitam!” hardik Setan Darah Pertama. “Tiga Setan Darah tak pernah bikin urusan setengah-setengah! Kawan-kawan, bersiap membentuk barisan tiga bayangan siluman!”

Maka Tiga Setan Darah pun segera membentuk barisan yang sangat diandalkan mereka itu. Di lain pihak Setan Pikulan yang sudah memaklumi kehebatan ilmu silat lawan-lawannya itu segera pasang kuda-kuda baru. Dan sebelum barisan tiga bayangan siluman bergerak Setan Pikulan sudah berteriak-keras dan berkelebat bersama senjatanya!

Setan Darah Pertama bergeser ke samping mengelakkan sambaran senjata Setan Pikulan yang melanda ke arah pinggangnya. Manusia bermuka merah ini kemudian merunduk dengan cepat dan kirimkan serangan berantai ke arah kedua kaki lawan. Setan Darah Ketiga melesat ke atas, menukik lagi dan laksana seekor burung elang tiada hentinya melancarkan pukulan-pukulan maut ke kepala Setan Pikulan!

Barisan tiga bayangan siluman ini memang cukup terkenal dikalangan tokoh-tokoh Kotaraja. Setan Pikulan sendiri juga sudah tahu tapi baru kali ini menyaksikannya dan disaat itu dirinya pula yang menjadi bulan-bulanan. Namun Setan Pikulan bukan pula tokoh silat kemarin. Tubuhnya berkelebat laksana bayang-bayang, menerobos dan mengelak diantara hujan serangan lawan sedang senjatanya menderu kian kemari.

Kegesitan ditambah dengan keampuhan jurus-jurus silat yang dimainkannya banyak sekali menolong Setan Pikulan sehingga meski dikeroyok tiga dalam sepuluh jurus dia masih bisa bertahan bahkan dua tiga kali berturut-turut membagi serangan pada ketiga lawannya. Lambat laun Tiga Setan Darah dibikin sibuk. Barisan tiga bayangan siluman tiada berarti lagi. Ketiganya kini mulai terdesak!

Setan Darah Pertama memaki dalam hati. Untung saja pertempuran itu tidak terjadi di tempat terbuka, tidak disaksikan umum! Kalau saja orang luar tahu, pasti nama besar Tiga Setan Darat akan menjadi luntur! Setan Darah Pertama keluarkan sepasang tombak bermata dua dari balik jubahnya. Melihat ini dua Setan Darah yang lain yang tadi sewaktu membentuk tiga bayangan siluman telah memasukkan senjata mereka, kini segera pula mengeluarkan senjata masing-masing kembali!

Setan Pikulan kertakkan rahang. Tiga pasang senjata di tangan musuh-musuhnya itu adalah senjata-senjata mustika sakti. Dia bersangsi apakah kini dia akan sanggup menghadapi manusia-manusia bermuka merah itu! Setan Pikulan coba memancing dengan ucapan agar musuhnya tidak bertempur secara mengeroyok. Maka diapun berkata,

“Nama Tiga Setan Darah memang tersohor! Tapi hari ini aku sendiri menyaksikan bahwa mereka cuma bangsa bunglon-bunglon bernyali rendah bangsa pengecut kelas wahid! Tokoh-tokoh silat yang beraninya main keroyok!”

“Mengocehlah seenak mu manusia kontet! Sebentar lagi gadaku ini akan membuat otakmu bertaburan.” hardik Setan Darah Kedua serayra putar-putarkan gadanya.

“Setan Darah Pertama, tunjukkanlah bahwa kau bukan seorang pengecut! Mari kita bertempur satu lawan satu sampai seribu jurus!”

Setan Darah Pertama tertawa gelak-gelak. “Sampai seribu jurus katamu?! Tiga juruspun kau belum tentu bisa bertahan manusia kecoak!”

“Huh! Betapa memalukan kalau dunia persilatan mengetahui bahwa Tiga Setan Darah beraninya cuma main keroyok! Persis macam anjing-anjing kurap yang mengeroyok seekor kucing yang di takutinya!”

Marahlah Setan Darah Pertama mendengar cacian anjing kurap itu. Dia berikan isyarat pada dua kawannya. Serentak dengan itu ketiganya segera menyerbu Setan Pikulan. Enam senjata laksana taburan hujan menderu mencari sasaran ditubuh Setan Pikulan. Yang dikeroyok mempertahankan diri dengan sebat. Sepuluh jurus berlalu. Keringat telah membasahi tubuh Setan Pikulan yang cuma mengenakan cawat itu!

Gerakan dan putaran pikulannya semakin sebat namun sesungguhnya daya pertahanan manusia ini jurus demi jurus semakin lemah. Beberapa kali ujung-ujung pikulannya beradu dengan salah satu senjata lawan membuat senjata itu kadang-kadang hampir terlepas dan genggamannya yang licin oleh keringat!

“Ha-ha-ha...! Sampai berapa lama lagikah kau akan sanggup bertahan Munding Sura?!” Mengejek Setan Darah Pertama.

“Sampai batok kepalamu hancur oleh ujung senjataku ini!” sahut Setan Pikulan seraya tusukkan ujung pikulannya ke kepala lawan.

Setan Darah Pertama sampokkan tombaknya yang ditangan kanan untuk menangkis tapi senjata lawan berputar cepat dan kini ujung yang lain menotok ke dadanya dengan sangat cepat! Setan Darah Pertama kertakkan rahang. Dia bersurut satu langkah dan dibantu oleh Setan Darah Kedua, keduanya menangkis serangan Setan Pikulan. Tiga senjata bentrokan satu sama lain mengeluarkan suara keras. Tiga tangan tergetar.

Begitu senjatanya membentur senjata lawan, Setan Darah Pertama cepat pergunakan ujung tombaknya yang bermata dua untuk menjepit ujung pikulan. Dia berhasil. Segera tombak hendak diputarnya. Tapi Setan Pikulan tidak bodoh! Pikulan digerakannya dari atas ke bawah. Ujung yang lain menderu ke bawah perut Setan Darah Pertama.

Di saat yang sama pula Setan Pikulan melompat ke atas karena kedua kakinya! Genap dua puluh jurus sudah! Setan Pikulan benar-benar sudah mandi keringat. Tiba-tiba dia menjerit keras. Senjatanya menyapu membuat satu lingkaran sedang dari balik cawatnya dikeluarkannya sejenis senjata rahasia berbentuk paku rebana!

“Awas paku rebana beracun!” teriak Setan Darah Pertama. Tiga Setan Darah masing-masing kebutkan lengan jubah mereka. Sinar merah yang keluar dari ujung lengan jubah itu membuat mental sembilan buah paku-paku rebana yang dilepaskan Setan Pikulan!

“Licik!”maki Setan Darah Pertama.

“Kalian kunyuk-kunyuk muka merah yang pengecut kelas wahid!” semprot Setan Pikulan.

Dan kembali diputarnya senjatanya dengan sebat. Namun serangan-serangannya tiada berarti. Daya tahannya semakin kendur. Pada jurus ke dua puluh sembilan kedua ujung senjatanya sekaligus beradu dengan gada serta tombak lawan. Di detik itu pula sepasang golok Setan Darah Ketiga membabat dari atas ke bawah hendak menetak pangkal lehernya dari dua jurusan.

Tak ada cara lain yang paling baik untuk menghindarkan diri daripada menjatuhkan badan kebawah. Dan memang inilah yang dilakukan oleh si kate Munding Sura. Sambil jatuhkan diri manusiayang berjuluk Setan Pikulan ini kirimkan satu tendangan ke arahbawah perut Setan Darah Ketiga! Setan Darah Ketiga keliwat yakin bahwa bacokan sepasang goloknya akan berhasil sehingga dia melupakan pertahanan dirinya sendiri!

Kecepatan turun golok-golok itu tak dapat mendahului kecepatan jatuhnya tubuh Setan Pikulan. Golok Setan Darah Ketiga beradu satu sama lain sebaliknya tendangan Setan Pikulan cuma sedikit saja dapat dilaksanakannya.

“Buukkk...!”

Tendangan Setan Pikulan mendarat di pinggul kiri Setan Darah Ketiga. Manusia ini terpelanting beberapa tombak dan untuk beberapa lamanya tergelimpang di lantai kamar merintih kesakitan! Meski berhasil mengelakkan serangan golok-golok maut tadi dan membuat Setan Darah Ketiga melingkar di lantai namun posisi Setan Pikulan sendiri di saat itu tidak menguntungkan sama sekali!

Salah satu ujung pikulannya telah dijepit sepasang tombak bermata dua dan dalam keadaan tubuh masih membungkuk di lantai begitu rupa sukar bagi Setan Pikulan untuk melepaskan jepitan senjata lawan atas senjatanya. Hanya ada dua keputusan yang harus diambil oleh Setan Pikulan.

Melepaskan senjatanya atau memutar Pikulan itu sambil mengerahkan tenaga dalam. Setan Pikulan merasa lebih baik memutar senjatanya sekalipun pikulan itu akan patah dari pada menyerahkan senjata tersebut mentah-mentah ke tangan lawan. Setan Pikulan gerakkan kedua tangannya.

“Kraakkk...!” Pikulannya benar-benar patah!

“Bedebah!” maki Setan Pikulan. Salah satu dari patahan pikulan itu dihantamkannya ke arah Setan Darah Pertama tapi dapat dielakkan. Patahan yang kedua ditusukkannya ke muka Setan Darah Kedua, namun dia keliwat kesusu!

Di saat melemparkan patahan senjata yang pertama kepada Setan Darah Pertama, Setan Pikulan tak dapat mengontrol posisinya, tak dapat melihat posisi lawan lainnya. Justru diwaktu dia menyodokkan patahan pikularn maka Setan Darah Kedua lebih cepat dari itu setan Darah Kedua hantamkan ujung gadanya ke dada Setan Pikulan.

“Buuukkk...!”

Setan Pikulan mengeluh tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang tersandar ke dinding lalu melosoh duduk ke lantai, muntahkan darah segar! Mukanya menjadi pucat laksana kain kafan dan nafasnya megap-megap!

Setan Darah Pertama tertawa terkekeh-kekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati Setan Pikulan. “Ha-ha-ha... Nyatanya memang kau cuma manusia jenis kecoak. Apakah saat ini kau masih sanggup memperlihatkan kehebatan mu huh!”

“Setan alas mampuslah!” teriak Setan Pikulan. Tangan kanannya memukul ke muka. Seberkas sinar hitam menyambar kearah Setan Darah Pertama, membuat manusia muka merah ini memaki dan cepat-cepat menghindar ke samping. Setan Pikulan sendiri kembali muntahkan darah segar. Dengan beringas Setan Darah Pertama angkat salah satu tombaknya tinggi-tinggi, siap untuk ditancapkan ke batok kepala Setan Pikulan!

“Tunggu dulu!” Setan Darah Ketiga berseru.

Penasaran Setan Darah Pertama membentak. “Tunggu apa lagi, sompret!”

“Kematian yang begitu cepat terlalu bagus baginya, Setan Darah Pertama!”

“Hem, kau punya rencana apa?!”

“Kau bisa merasakan dan membayangkan bagaimana seorang jago silat yang ditakuti cacat seumur hidup, tak bisa lagi memainkan silat dan ilmu kesaktiannya?! Cacat seumur hidup! Lebih mengerikan dari kematian sobat!”

“Cepat bilang terus terang rencana mu!” tukas Setan Darah Pertama penasaran.

Setan Darah Ketiga tertawa sedingin es. Dia melangkah kehadapan Setan Pikulan yang tersandar di dinding antara sadar dan tiada. “Inilah rencana ku Setan Darah Pertama!” seru Setan Darah Ketiga. Serentak dengan itu sepasang goloknya berkelebat.

“Craasss...!” Buntunglah kedua tangan Setan Pikulan. Darah muncrat. Setan Pikulan meraung keras lalu rubuh di lantai bermandikan darah!

Setan Darah Ketiga tertawa panjang-panjang. Dia memandang pada kedua koleganya dan berkata, “Dia akan hidup terus! Tapi hidupnya akan dirongrong oleh rasa kenyerian! Dendam kesumat yang membara! Namun tak satu apapun yang akan bisa dilakukannya. Karena dia cacat selama-lamanya!”

Meledaklah tawa Tiga Setan Darah itu. Setan Darah Pertama menepuk-nepuk bahu Setan Darah Ketiga. “Betul. Betul sekali katamu! Dia tidak mampus, tapi hidupnya lebih mengerikan dari pada benar-benar mampus! Sekarang mari kita tinggalkan tempat sialan ini! Di luar ada seorang gadis jelita menunggu kita. Kita bawa dia ke gedung dan suruh dia membuka bajunya satu demi satu! Kalau tidak mau kita yang tolong membukanya...!”

Suara tertawa ketiga manusia itu meledak lagi di dalam kamar itu! Ketiganya menuju ke pintu! Setan Darah Pertama tanpa banyak cerita segera menotok tubuh Sekar, sehingga tubuh gadis ini kaku tegang tak bisa bergerak tak bisa buka suara. Tiba-tiba Setan Darah Kedua hentikan langkah.

“Tunggu dulu” katanya. “Kita semua tahu dirumah ini Setan Pikulan punya banyak, perempuan peliharaan! Cantik-cantik. Di mana mereka semua?!”

“Heh?!” Setan Darah Pertama yang memanggul tubuh Sekar kerenyitkan kening. “Terserah kalau kau mau cari perempuan-perempuan itu. Aku tetap yang ini!,” kata Setan Darah Pertama pula kemudian.

Setan Darah Kedua memandang pada kambratnya yang seorang lagi. “Kau bagaimana?,” tanyanya.

“Aku tetap tinggal bersamamu disini,” jawab Setan Darah Ketiga.

Setan Darah Pertama tertawa. “Puaskan dirimu di sini sobat-sobat, tapi jangan lupa untuk datang ke gedung kita. Kita masih ada tugas, mencari Pranajaya, anak si Wijaya keparat itu!”

Kedua Setan Darah anggukkan kepala. Begitu Setan Darah Pertama berlalu bersama Sekar, mereka segera memeriksa kamar-kamar di dalam rumah itu. Dalam kamar yang paling belakang akhirnya mereka menemui juga perempuan-perernpuan peliharaan Setan Pikulan. Semuanya masih muda-muda dan berparas rata-rata cantik, bertubuh montok molek!

Kedua Setan Darah berdiri diambang pintu, memandag kepada mereka dengan hidung kembang kempis dan mata bersinar-sinar. Perempuan-perempuan muda itu berjumlah empat orang semuanya. Mereka memandang dengan ketakutan pada manusia-manusia di ambang pintu itu.

Setan Darah Kedua menyengir. “Kalian tak usah takut pada kami. Kami jauh lebih baik dari pada si kate kepala gundul itu!”

Setan Darah Ketiga yang sudah tak sabaran berbisik, “Masing-masing kita kebagian dua orang. Kau pilih yang mana...?”

Setan Darah Kedua meneliti sebentar lalu menjawab, “Yang baju ungu dan baju biru itu”

“Sompret kau pilih yang cantik semua!”° desis Setan Darah Ketiga. “Begini saja, kau boleh ambil si baju ungu dan salah seorang lainnya, aku si baju biru dan satu orang lainnya pula. Atau sebaliknya!”

“Baik,” Setan Darah Kedua mengangguk. Dia, melompat kemuka. Empat perempuan itu menjerit. Setan Darah Kedua segera merangkul perempuan baju ungu dan salah seorang kawannya sedang Setan Darah Ketiga menarik si baju biru bersrama kawannya yang keempat.

“Disini saja, sobat?!” tanya Setan Darah Kedua.

“Sinting kau! Kau pindah ke kamar sebelah sana!”

Dengan tertawa-tawa Setan Darah Kedua memboyong dua orang perempuan cantik itu dan membawanya ke kamar sebelah!

SEPULUH

Pendekar 212 Wiro Sableng membawa Pranajaya keluar Kotaraja sebelah tenggara. Dia berhenti di tepi sebuah telaga dan membaringkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan. Dia sudah sejak lama siuman tapi keadaannya masih menyedihkan. Wiro memberikan sebutir pil lagi kepada pemuda itu kemudian menyandarkannya ke sebatang pohon. Dengan sehelai sapu tangan yang sudah dibasahkan dengan air telaga dibersihkannya seluruh luka-luka di tubuh Pranajaya.

Setengah jam kemudian disuruhnya pemuda itu mengatur jalan nafas serta darah. Ketika disuruhnya mengatur tenaga dalam Pranajaya masih tak mampu. Wiro Sableng berlutut di belakang pemuda itu. Kedua telapak tangannya ditempelkannya di punggung pemuda itu. Lalu perlahan-lahan Wiro mulai alirkan tenaga dalamnya. Lima menit kemudian.

“Coba kerahkan lagi,” kata Wiro.

Pranajaya kerahkan tenaga dalamnya, memusatkannya kepertengahan perut! Dia berhasil berseru gembira! “Wiro Tenaga dalamku telah pulih!” Murid Empu Blorok ini melompat ke udara berjungkir balik beberapa kali lalu turun kembali dengan kedua kaki lebih dahulu mencapai tanah!

“Gerakan dan ilmu mengentengi tubuhmu hebat sekali Prana,” puji Wiro.

Pranajaya tersenyum jumawa. “Ini semua adalah berkat pertolonganmu. Kalau kau tidak ada pasti aku sudah mampus! Aku berhutang budi dan berhutang nyawa padamu!”

Wiro Sableng bersiul. “Hutang budi dan hutang nyawa itu sebetulnya tak pernah ada di dunia ini, saudara Prana,” sahut Wiro Sableng. ”Kau tahu, budi baik itu Tuhan yang memasukannya ke dalam hati nurani kita. Dan nyawa itu Tuhan yang punya! Jadi kepada Tuhanlah kita semua berhutang!”

Pranajaya tertawa. “Walau bagaimanapun aku tetap merasa berhutang besar sekali padamu. Kuharap Tuhan memanjangkan umurku dan bisa membalas semua pertolongan mu...“

Wiro Sableng geleng-gelengkan kepalanya. Ditepuknya bahu Prana dan berkata, “Di samping nasib baik dan pertolongan Tuhan, tentunya kau seorang tokoh silat yang sakti, Prana.”

“Ah, aku cuma manusia biasa saja. Pemuda gunung yang tak tahu apa-apa...!” jawab Pranajaya rendahkan diri.

Wiro tertawa. “Seorang pemuda gunung yang dogol pasti sudah mampus diseret dengan kuda! Kau tidak dan masih hidup!”

Prana angkat bahu. “Sekarang terangkan kenapa sampai kau mengalami nasib demikian,” kata Wiro Sableng pula.

“Aku dilepas oleh guruku untuk mencari Tiga Setan Darah. Mereka telah membunuh bapakku dan salah seorang dari mereka membacok buntung lengan kiriku ini! Di samping itu. Empu Blorok juga menugaskanku mencari senjata mustika miliknya yang dicuri oleh seorang sahabatnya bernama Bagaspati.”

“Senjata apa yang dicuri itu?” kepingin tahu Wiro.

“Sebuah cambuk bernama Cambuk Api Angin.”

“Namanya hebat, pasti itu senjata dahsyat sekali,” ujar Wiro. “Kau sudah tahu di mana itu si Bagaspati bercokol?” tanya Wiro kemudian.

Pranajaya mengangguk. “Di Pulau Seribu Maut,” jawab pemuda tangan buntung itu.

“Pulau Seribu Maut? Di mana itu? Aku tak pernah dengar!”

“Menurut guruku terletak di ujung timur Pulau Jawa...“

“Cukup jauh dari sini,” kata Wiro.

Prana mengangguk lagi. “Aku bernasib sial,” katanya.

“Tiga Setan Darah ternyata sangat tinggi ilmunya dan belum apa-apa aku sudah kena disikat mereka. Tapi demi arwah ayah, sampai serahkan jiwapun aku tetap musti bisa membereskan ketiga bangsat itu!”

Prana berdiri dari duduknya. “Kau mau ke mana?!” tanya Wiro.

“Kembali ke Kotaraja untuk mencari Tiga Setan Darah!”

Wiro berdiri pula. “Dengan pakaian macam ini kau mau masuk ke Kotaraja?”

Prana memandang ke dirinya. Seluruh pakaian birunya sudah hancur robek-robek, kotor oleh darah dan debu. Pemuda ini menggigit bibir.

Wiro tertawa. “Aku ada satu stel persediaan pakaian,” katanya. Dari balik punggungnya Pendekar 212 mengeluarkan sebuntal pakaian. “Ini, pakailah,” Wiro melemparkan pakaian itu.

Prana menyambutnya. “Terima kasih,” kata pemuda ini lalu cepat-cepat berganti pakaian di balik semak belukar.

“Aku juga akan ke Kotaraja,” kata Wiro “Seorang sahabatku lenyap tak tentu entah ke mana. Aku musti cari dia!”

“Kalau begitu kita pergi sama-sama,” ujar Pranajaya. “Tiga Setan Darah musti mampus ditanganku!,” murid Empu Blorok ini kepalkan tinju tangan kanannya. “Salah seorang dari mereka telah merampas pedang warisan guruku! Mereka musti benar-benar mampus!”

Wiro menepuk bahu Pranajaya. “Sudah sobat, mari kita berangkat!”

Kedua pendekar itu meninggalkan telaga. Dengan ilmu lari cepat masing-masing keduanya menuju kembali ke Kotaraja. Di saat itu matahari telah menggelincir ke ufuk barat.

Diam-diam Pranajaya memperhatikan gerak dan cara lari Wiro Sableng. Pemuda ini bermata tajam dan berpikiran cerdas. Dia segera mengetahui kalau saat itu Wiro hanya mengeluarkan setengah bagian saja dari kecepatan ilmu larinya sedang dia sendiri sudah mempergunakan keseluruhan kecepatan ilmu lari warisan Empu Blorok!

Jika Wiro mau pastilah dia akan ketinggalan jauh di belakang. Diam-diam Pranajaya membathin siapa dan murid guru sakti dari manakah sesungguhnya Wiro? Empu Blorok pernah menerangkan tentang tokoh-tokoh silat ternama dirimba persilatan. Tapi tak pernah menyebut-nyebut seorang pendekar muda bernama Wiro. Dalam berpikir dan berlari itu akhirnya mereka telah sampai di pintu gerbang Kotaraja.

Wiro Sableng memperlambat larinya. “Kulihat ada kelainan di pintu gerbang saat ini,” kata Wiro.

Pranajaya memperhatikan ke arah pintu gerbang. Apa yang diucapkan Wiro memang betul. Pada pintu gerbang Kotaraja kelihatan sepuluh orang pengawal, padahal sebelumnya cuma ada dua orang yang berdiri di situ.

“Aku mendapat firasat mereka hendak membuat urusan dengan kita..,” kata Pranajaya.

“Kita lihat saja. Jika betul tak usah ragu-ragu untuk memberi sedikit hajaran pada mareka, Prana!”

Begitu sampai di pintu gerbang Kerajaan ke sepuluh pengawal pintu gerbang berjejer rapi, masing-masing memalangkan tombak. Salah seorang dari mereka maju membentak.

“Berhenti...!”

Wiro Sableng dan Pranajaya hentikan lari masing-masing. Mereka memperhatikan, rata-rata tampang pengawal-pengawal itu bengis semua. Yang tadi membentak berpaling pada salah seorang kawannya dan bertanya,

“Apakah ini kunyuk-kunyuk yang tadi kau lihat melarikan diri dari Kotaraja?!”

Pengawal yang ditanya mengangguk. Meski sudah berganti pakaian namun pengawal itu masih dapat mengenali Pranajaya dan juga Wiro Sableng. Pengawal yang tadi bertanya palingkan kepala kembali pada Wiro dan Prana. Dia segera hendak buka mulut berikan perintah namun Wiro Sableng dengan cengar cengir mendahului.

“Pengawal, omongmu seenaknya saja! Kau kira kami ini apa pakai memaki kunyuk segala?! Coba kacakan mukamu ditelapak kakiku ini dulu, baru nanti kau tahu apa kami yang kunyuk atau kau yang monyet!”

Habis berkata begitu Wiro Sableng angkat tinggi-tinggi kaki kanannya dan diajukan tepat-tepat ke muka si pengawal yang tadi memaki. Tentu saja marah pengawal ini bukan alang kepalang!

“Bangsat rendah! Kau lebih pantas mampus dari pada ditangkap hidup-hidup!”

Pengawal ini secepat kilat tusukkan tombaknya kepada Wiro Sableng. Pendekar 212 ganda tertawa. “Sompret betul!,” makinya kemudian. “Orang suruh berkaca malah menyerang. Ini makan kakiku!”

Hampir tak kelihatan bagaimana cepatnya gerakan kaki murid Eyang Sinto Gendeng itu, tahu-tahu tendangannya sudah mendarat didagu si pengawal. Pengawal itu terpelanting jauh, tombaknya mental, mulutnya berdarah dan tubuhnya melingkar di muka pintu gerbang tanpa kabarkan diri! Melihat ini sembilan pengawal lainnya segera menyebar mengurung!

“Bedebah laknat!,” kata salah seorang dari mereka, “lebih baik kalian serahkan diri. Kalau tidak nyawa kalian pasti tidak ketolongan!”

“Siapa yang minta tolong soal nyawa padamu tikus pintu gerbang!” damprat Wiro.

“Ulurkan kedua tangan kalian!” perintah pengawal yang seorang itu sambil mengeluarkan segulung tali besar. “Kalian harus kami seret kehadapari Tiga Setan Darah!”

“Oh, jadi manusia-manusia muka kepiting rebus itu yang menyuruh kalian menghadang kami di sini?!” bentak Pranajaya.

“Tak usah banyak bacot! Ulurkan kedua tangan kalian!”

Wiro Sableng, palingkan kepala pada Prana dan kedipkan matanya. Lalu pada pengawal itu dia berkata, “Kalau betul Tiga Setan Darah yang memerintahkan kalian untuk menangkap kami, kami tak bisa berbuat apa-apa selain serahkan diri...”

Dan Pendekar 212 ulurkan kedua tangannya pada pengawal itu seraya berkata, “Tapi saudara, kawan ku cuma punya satu tangan, apakah kau akan ikat juga dia....?!”

“Aku bilang tak usah banyak mulut!” sentak si pengawal.

Tali yang ditangannya dengan cepat digulung dan mengikat kedua pergelangan tangan Wiro Sableng erat-erat. Mendadak sepasang lengan yang sudah terikat itu bergerak. Terdengar satu pekikan. Tubuh si pengawal mental ke udara, terbanting ke atas atap pintu gerbang Kotaraja, mengeluh sebentar lalu merosot jatuh ke tanah dengan mengeluarkan suara bergedebuk!

Delapan pengawal bergerak cepat ke arah Wiro Sableng. Delapan tombak berkiblat, berkilau kuning dibawah sorotan sinar matahari sore! Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa aneh. Kedua tangannya bergerak cepat tiada henti. Disekitarnya terdengar suara,

“Plakkk... Plakkk... Plakkk...” dan hanya dalam tempo lebih dari sekejapan mata sajak kedelapan pengawal itu sudah bertumpukan di tanah, pingsan dihantam tamparan Wiro Sableng!

Pranajaya, si murid Empu Blorok hampir, tak percaya melihat apa yang disaksikannya itu. Delapan orang sekaligus dibikin roboh pingsan dalam tempo demikian singkatnya! Benar-benar dia kagum sekali! Dia berdiri terlongong-longong!

“Sobat!,” Wiro menepuk bahunya. “Jangan jadi patung. Mari! Kau toh mau buru-buru ketemu dengan Tiga Setan Darah?!”

Prana baru sadar. Tanpa banyak bicara segera dia berlari menyusul Wiro Sableng. Tiba-tiba Wiro hentikan larinya.

“Kita bodoh,” katanya, “di Kotaraja ini kita tak boleh berlari. Semua orang tentu akan menujukan perhatiannya pada kita.”

Keduanya meneruskan perjalanan dengan melangkah cepat. Mereka sampai dihadapan gedung tua kediaman Tiga Setan Darah. Dan di saat itu pula Wiro Sableng ingat sesuatu. Dia berpaling pada Pranajaya.

“Sobat, aku baru ingat. Kawanku itu pasti tidak berada di sini! Waktu aku mendukungmu ke luar dari ruang batu, dia telah lenyap. Musti si Setan Pukulan yang telah melarikannya! Keparat betul!”

“Kau tahu ke mana kira-kira kawanmu itu dilarikan?” tanya Prana.

Wiro gelengkan kepala dan menggerendeng, “Aku akan cari keterangan,” katanya. “Sementara itu coba kau selidiki dulu gedung tua ini. Dalam waktu kurang sepeminum teh aku pasti kembali kesini!”

Prana menyetujui usul Wiro. “Hati-hati,” memperingatkan Wiro. “Gedung tua ini banyak jebakan dan senjata rahasianya!”

Pranajaya mengangguk lalu cepat-cepat memasuki halaman gedung kediaman Tiga Setan Darah. Di pintu samping yang sebelumnya telah didobrak Wiro, Pranajaya berhenti dan merenung sejenak. Kalau gedung tua itu banyak jebakan dan alat-alat rahasianya, maka menurut dia jalan yang se aman-amannya untuk masuk ke dalam gedung itu ialah lewat genteng!

Maka tanpa pikir lebih jauh lagi, murid Empu Blorok ini dengan ilmu mengentengi tubuhnya yang cukup sempurna segera melompat ke atas atap gedung tua! Kedua kakinya menginjak genteng gedung tanpa menimbulkan suara sedikitpun!

“Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat terkutuk tukang rusak kehormatan perempuan!”

Habis berteriak begitu Pranajaya menyerbu turun ke dalam. Genteng pecah bertaburan, beberapa papan panglari patah!

SEBELAS

Seperti telah dituturkan Setan Darah Pertama dengan memboyong murid Empu Tumapel meninggalkan tempat kediaman Setan Pikulan. Manusia bermuka merah ini langsung membawa Sekar ke gedungnya, membaringkan gadis itu di lantai salah sebuah kamar. Gedung tua itu hampir tidak berperabotan bahkan satu tempat tidur pun tak terdapat di sana!

Saat itu Sekar masih berada dalam keadaan tertotok. Tak satu pun yang dapat dibuat Sekar sewaktu dengan nafas kembang kempis dan nafsu menggelegak Setan Darah Pertama sambil menyeringai buruk membuka pakaian gadis itu satu demi satu! Gadis itu tertelentang di lantai kamar tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya yang mulus itu kini.

Senjata pemberian Empu Tumapel 'Rantai Petaka Bumi' yang ditemui Setan Darah Pertama melilit dipinggang Sekar, diletakkan Setan Darah Pertama di sudut kamar. Setan Darah Pertama membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sepasang matanya laksana dikobari api, memandang tak berkedip pada tubuh Sekar yang menggeletak di lantai.

“Tubuh bagus... tubuh bagus! He-he-he-he...!”

Setan Darah Pertama menyeringai. Kemudian tanpa menunggu lebih lama manusia bermuka merah ini membuka jubahnya. Jubah itu dilemparkannya ke sudut kamar! Sepasang tombak bermata dua dan pedang milik Pranajaya diletakkannya dekat kepala Sekar. Manusia ini baru saja berbaring dan menggelungi tubuh Sekar dengan kaki dan tangannya sewaktu laksana halilintar di siang hari bolong dia mendengar suara bentakan menggeledek dan bobolnya genteng di atas kamar itu!

“Setan Darah durjana! Rupanya kau bukan cuma tukang jagal manusia tapi juga laknat terkutuk tukang rusak kehormatan perempuan!”

Seperti seekor singa Setan Darah Pertama melompat dan menyambar pedang Ekasakti di atas lantai. Berdiri bulu kuduk Pranajaya menyaksikan manusia yang berdiri tanpa pakaian dihadapannya itu! Berdiri bulu kuduk bukan karena ngeri tapi karenamerasa sangat geramnya !Di lain pihak Setan Darah Pertama tidak pula kurang geramnya.Ternyata manusia yang menerobos masuk lewat genteng kamar bukan lain Pranajaya, pemuda tangan buntung yang memang tengah di cari-carinya!

“Budak bedebah! Dicari-cari tidak ketemu, sekarang datang sendiri antarkan nyawa!”

“Iblis bejat!” balas membentak Pranajaya. “Bertiga dan mengeroyok kau memang unggul, tapi sekarang kita satu lawan satu!”

Setan Darah Pertama tertawa buruk! Di acungkannya pedang Ekasakti yang ditangan kanannya. “Kau lihat pedang ini huh?! Senjata milikmu ini sendiri yang akan menebas kau punya batang leher!”

Habis berkata begitu Setan Darah Pertama menerjang ke muka. Tangannya bergerak, pedang menderu ke arah Pranajaya. Cepat-cepat si pemuda bertangan buntung melompat ke samping dan lepaskan pukulan angin sewu! Setan Darah Pertama yang tahu kehebatan ilmu pukulan tangan kosong ini buru-buru menyingkir dan menyambar jubah merahnya di sudut kamar!

Kesempatan ini dipergunakan oleh Pranajaya untuk mengirimkan pukulan jotos sewu, satu ilmu pukulan yang diwarisinya dari Empu Blorok yang tak kalah hebatnya dengan ilmu pukulan angin sewu tadi! Angin keras pukulan Pranajaya membuat jubah Setan Darah Pertama mental sehingga pemiliknya tak berhasil mengambilnya! Dengan memaki terpaksa Setan Darah Pertama melompat lagi ke samping!

Sewaktu Pranajaya mengintip di atas genteng dan menginjakkan kaki di lantai kamar itu sekaligus dia mengetahui bahwa gadis yang menggeletak di lantai kamar berada dalam keadaan tertotok. Karenanya ketika Setan Darah Pertama melompat ke samping, pemuda ini cepat-cepat pergunakan tangan kirinya untuk melepaskan totokan di tubuh Sekar!

Begitu tubuhnya lepas dari totokan begitu Sekar berteriak, “Saudara awas!”

Pranajaya mendengar suara sambaran angin dibelakangnya.Secepat kilat pemuda ini jatuhkan diri ke muka. Pedang Ekasakti membabat setengah jengkal di atas bahu kanannya! Prana terus menggulingkan diri dan dalam gerakan yang sudah diperhitungkan pemuda ini dalam berguling berhasil menyambar sepasang tombak bermata dua milik Setan Darah Pertama!

Di lain pihak Sekar dengan sangat cepat segera mengenakan pakaiannya yang tadi sudah dipereteli Setan Darah Pertama. Dia merasa heran melihat pemuda bertangan buntung itu masih hidup malah dalam keadaan segar bugar. Apakah Wiro telah berhasil menolong pemuda ini? Tapi Wiro sendiri di mana sekarang?!

Sekar tidak bisa berpikir lama-lama. Begitu mengenakan pakaian, gadis ini segera mengambil Rantai Petaka Bumi miliknya yang diletakkan Setan Darah Pertama di sudut kamar! Sementara itu si pemuda tangan buntung terdengar membentak,

“Iblis muka merah!” Prana acungkan sepasang tombak bermata dua yang keduanya sekaligus digenggamnya di tangan kanan. “Kita sama-sama bersenjata sekarang! Mungkin senjata yang ditanganku ini yang akan lebih dulu mengambil nyawa pemiliknya sendiri!”

Setan Darah Pertama kertakkan geraham. Tubuhnya berkelebat. Pedang di tangan manusia ini menabur sinar putih. Jurus yang dikeluarkan Tiga Setan Darah hebatnya luar biasa sekali karena dalam saat itu juga Pranajaya segera terbungkus serangan-serangan pedang Ekasakti miliknya sendiri!

Pranajaya membentak keras. Gerakan murid Empu Blorok initak kalah sebat. Tubuhnya lenyap laksana bayang-bayang saja kini dan dua tombak bermata dua di tangannya menderu-deru. Dalam jurus pertama yang luar biasa hebatnya itu, senjata-senjata mereka beradu sampai empat kali berturut-turut dan memercikkan bunga api yang menyilaukan mata!

“Saudara! Kuharap kau suka mundur!” tiba-tiba Pranajaya mendengar seruan gadis yang tadi dilepaskannya totokannya.“

Manusia iblis laknat terkutuk ini harus mampus ditanganku!”

Pranajaya mengerling dan melihat Sekar berdiri sambil memutar-mutar sebuah senjata berbentuk rantai yang ujungnya diganduli bola besi berduri. Tanpa perdulikan seruan si gadis Prana terus kirimkan serangan-serangan gencar terhadap Setan Darah Pertama. Dalam pertemuannya pertama kali di luar Kotaraja, Pranajaya memang tiada sanggup menghadapi Setan Darah Pertama, karena dia dikeroyok tiga. Namun, kali ini pertempuran jauh berbeda, satu lawan satu! Dan keluar biasaannya lagi ialah karena mereka bertempur dengan memegang senjata milik lawan masing-masing!

“Saudara! Mundurlah!” seru Sekar tidak sabar sewaktu pertempuran gencar itu memasuki jurus ke tiga. Gadis ini sudah tak dapat menahan kesabaran dan dendam kesumatnya terhadap Setan Darah Pertama, manusia yang telah menelanjangi dan hampir saja merusak kehormatannya!

“Tidak bisa saudari!” seru Pranajaya membalas. “Bangsat yang satu ini musti mampus ditanganku!”

“Nyawanya miliku!” teriak Sekar dan dia melompat ke muka sambil menyabetkan Rantai Petaka Bumi. Senjata itu menderu laksana angin topan, membuat kedua orang yang bertempur terpaksa sama melompat mundur.

Pranajaya penasaran sekali. Dia berpaling. “Saudari kuharap, kau jangan mencampuri urusan ini. Kau telah selamat, sebaiknya lekas-lekas berlalu tinggalkan tempat ini!”

“Berlalu?!” sahut Sekar ketus! “Sebelum kupecahkan kepala bangsat bermuka iblis ini aku tak akan tinggalkan tempat ini!”

”Aku tahu kebejatan yang telah dilakukannya yang membuat kau begitu inginkan jiwanya,” kata Pranajaya. “Tapi itu tak seberapa....”

“Tak seberapa katamu?!” sentak Sekar dengan mata melotot! “Manusia macam apa kau ini?! Perbuatan mesum terkutuk kau katakan hal yang tak seberapa!”

Sementara kedua orang itu berdebat, Setan Darah Pertama memutar otak. Dia cuma seorang diri di situ, menghadapi dua lawan yang sama-sama inginkan jiwanya. Meski kedua lawan itu kini saling bertengkar namun bukan tidak mustahil keduanya akan sama-sama menggempurnya berserabut cepat mencabut jiwanya! Dalam pertempuran beberapa jurus tadi Setan Darah Pertama telah puladapat mengukur kehebatan Pranajaya. Satu lawan satu memang sukar juga baginya untuk menghadapi pemuda tangan buntung itu!

Satu-satunya jalan yang paling baik bagi Setan Darah Pertama saat itu ialah kabur dari situ dan kembali lagi bersama dua orang konco-konconya. Tanpa pikir panjang manusia bermuka merah ini segera menyambar jubahnya dan melompat ke atas genteng.

Tapi kejut Setan Darah Pertama bukan olah-olah sewaktu dari atas genteng dari mana Pranajaya menerobos tadi bersiur angin laksana badai melanda ke arahnya membuat tubuhnya terhempas hampir jatuh duduk di lantai kamar jika dia tidak cepat melompat ke samping dan jungkir balik dua kali berturut-turut. Sebelum dia mendongak ke atas sepasang telinga Setan Darah Pertama mendengar suara tertawa gelak-gelak! Sesosok tubuh muncul diatas atap dan duduk di palang kayu!

“Dua muda mudi bertengkar rebutkan jiwa manusia busuk! Si busuk cari kesempatan untuk larikan diri. ha-ha-ha...!”

Prana dan Sekar menengadah ke atas genteng dan kedua orang ini sama-sama berseru,

“Wiro!” Sekar terkejut sewaktu melihat Pranajaya kenal pada Wiro Sableng. Setan Darah Pertama memandang penuh amarah meluap keatas genteng itu. Orang yang tertawa dan bicara serta duduk diatas itu bukan lain dari pemuda rambut gondrong yang sebelumnya telah membebaskan dan melarikan Pranajaya dari ruang batu karang yang kemudian bertempur sebentar dengan dia lalu larikan diri!

Sambil kenakan jubahnya dengan cepat Setan Darah Pertama yang sebenarnya sudah semakin menciut nyalinya melihat kemunculan lawan baru ini, membentak keras,

“Bagus sekali! Semua musuh-musuhku sudah lengkap di sini! Silahkan turun pemuda sedeng!”

“Mulutmu terlalu besar! Apakah kambrat-kambratmu yang dua orang lainnya juga ada di sini heh?!”

“Tak usah banyak mulut! Jika punya nyali silahkan turun. Kalau tidak lekas minggat dari sini!”

Mendengar ini Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. Penasaran sekali Setan Darah Pertama berteriak memancing. “Kalau kau tak berani baku hantam di sini, aku masih bersedia melayanimu dihalaman luar!”

“Bertempur di halaman luar lalu cari kesempatan untuk larikan diri lagi...?!” Wiro Sableng tertawa lagi gelak-gelak!

Setan Darah Pertama mendamprat dalam hati karena pancingannya diketahui lawan. Agaknya dia tak punya kesempatan lain daripada harus menghadapi ketiga musuh-musuhnya itu atau sekurang-kurangnya salah seorang dari mereka. Diam-diam Setan Darah Pertama salurkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua ujung tangannya. Tiba-tiba dia membentak garang! Satu tangan meninju ke atas, tangan yang lain menjentik ke arah Pranajaya dan Sekar.

Selarik besar sinar merah yang sangat panas menderu ke arah Pendekar 212 yang duduk ongkang-ongkang di atas atap kamar sedang lima larikan kecil sinar merah yang merupakan totokan-totokan beracun menyambar laksana kilat ke arah Sekar dan Pranajaya. Sekar putar Rantai Petaka Bumi, Prana menghindar ke samping sambil kiblatkan sepasang tombak bermata dua milik Setan Darah Pertama!

Di atas genteng Wiro kelihatan gerakkan tangan kirinya. Satu angin dingin menderu memapasi angin merah panas Setan Darah Pertama dan membuat buyar serangan manusia muka merah itu. Penuh beringas Setan Darah Pertama melompat keatas dan menyerang dengan pedang Ekasakti milik Pranajaya!

Kini Wiro Sableng gerakkan tangan kanannya. Gumpalan angin keras menyambar ke arah Setan Darah Pertama. Inilah pukulan kunyuk melempar buah yang tak asing lagi dari Pendekar 212. Meski cuma mempergunakan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya dalam melancarkan pukulan ini, namun tak urung Setan Darah Pertama terkejut hebat dan cepat-cepat menyingkir ke samping dan kembali turun ke lantai.

Keringat dingin memercik di muka manusia yang berwarna merah itu. Nyalinya benar-benar menciut! Ilmu pukulan apakah yang dimiliki dan telah dilepaskan tadi oleh si pemuda di atas genteng itu yang demikian hebatnya sehingga dia tiada sanggup menerimanya?!

“Setan muka merah, apakah kau betul-betul tidak tahu di mana dua kambratmu yang lain berada?!” tanya Wiro Sableng dari atas.

”Dimana mereka berada itu bukan urusanmu!” jawab Setan Darah Pertama keras sekedar untuk melenyapkan rasa bergidiknya.

Wiro tertawa. “Rupanya kau sendiri kurang begitu tahu. Biar aku tunjukkan dimana mereka berada!” kata Pendekar 212 pula.

Kedua tangannya kelihatan ke luar dari lowongan genteng. Sesaat kemudian bila tangan itu bergerak turun maka dua sosok tubuh manusia berjubah merah laksana dua batang pisang melesat ke bawah, jatuh dengan keras di atas lantai kamar dihadapan Setan Darah Pertama. Muka Setan Darah Pertama berubah pucat. Bulu kuduknya berdiri. Kedua kambratnya itu menggeletak di lantai dengan kepala pecah, darah dan otak bermuncratan.

Sewaktu meninggalkan Pranajaya tadi, Wiro berhasil mencari keterangan di mana letak tempat kediaman Setan Pikulan. Karena lebih mengawatirkan keselamatan Sekar maka Pendekar 212 memutuskan lebih baik saat itu saja dia langsung ke tempat si Setan Pikulan. Tapi apa yang ditemuinya di situ mengejutkannya. Setan Pikulan menggeletak disebuah kamar!

Kedua tangannya buntung putus. Manusia ini tiada bergerak-gerak tapi masih hidup megap-megap. Dalam berpikir-pikir apa yang telah terjadi dengan Setan Pikulan dan terus mencari di mana Sekar berada akhirnya dia mendobrak sebuah kamar dan menemui Setan Darah Kedua tengah merusak kehormatan dua orang perempuan muda!

“Setan alas benar!” teriak Wiro.

Hanya dalam dua jurus saja Setan Darah Pertama dibikin tak berdaya di makan totokan Wiro. Mula-mula manusia ini tak mau menerangkan di mana kawannya yang lain berada tapi setelah dipaksa akhirnya Wiro mengetahui juga dan mendapatkan Setan Darah Ketiga di kamar sebelah, juga tengah merusak kehormatan dua orang perempuan muda! Nasib Setan Darah Ketiga tidak beda dengan kawannya yang terdahulu. Satu jurus bertempur manusia ini segera kena ditotok oleh Wiro dan sekligus keduanya dibawa oleh Wiro ke gedung tua tempat kediaman Tiga Setan Darah.

Kedatangannya disana disambut oleh suasana yang tak terduga pula! Sekar dan Prana dilihatnya saling bertengkar sedang Setan Darah Pertama dalam keadaan telanjang bulat siap-siap hendak melarikan diri!

Untuk beberapa lamanya muka Setan Darah Pertama masih memucat dan kedua lututnya goyah menyaksikan kematian dua orang koleganya itu di muka hidungnya sendiri. Putus asa karena mengetahui tak ada jalan untuk lari serta kalap melihat kematian kawan-kawannya, maka Tiga Setan Darah Pertama kiblatkan pedang Ekasakti dan mengamuk menerabas Sekar serta Pranajaya. Maka pertempuran seru segera terjadi.

“Sekar sebaiknya kau mundur saja!” Wiro berseru dari atas genteng.

“Tidak bisa Wiro. Bangsat ini hampir saja merusak kehormatanku!,” jawab Sekar seraya putar senjatanya dengan sebat.

“Aku mengerti. Tapi kau telah diselamatkan oleh Prana sedang Prana mempunyai dendam kesumat belasan tahun terhadap bangsat itu! Ayahnya dibunuh oleh Setan Darah Pertama itu!”

Akhirnya Sekar mengalah juga dan ke luar dari kalangan pertempuran. Keputusaan, kekalapan dan nyali yang telah melumer itulah yang bersarang di diri Setan Darah Pertama. Laksana banteng terluka manusia berjubah merah ini mengamuk hebat dan ganas sekali. Serangan-serangannya berbahaya dan penuh tipu-tipu licik. Namun itu semua tiada arti bagi Pranajaya yang menghadapi musuhnya itu dengan hati panas pula tapi kepala dingin penuh ketenangan. Sembilan belas jurus berlalu cepat.

Wiro bersiul-siul seenaknya. “Pertempuran hebat!” seru pemuda dari gunung Gede itu. “Ayo Prana! Lawan mu sudah mulai kewalahan! Satu dua jurus di muka pasti senjata milik iblis yang ditanganmu itu akan merenggut nyawanya!"

Apa yang dikatakan Pendekar 212 menjadi kenyataan. Dalam jurus kedua puluh satu laksana seorang penari Pranajaya meliuk mengelakkan sambaran pedang Ekasakti yang dibabatkan Setan Darah Pertama kepinggangnya. Pedang itu membalik lagi dengan ganasnya. Prana geser kedua kaki dan tusukkan sekaligus kedua tombak yang dalam genggamannya ke muka Setan Darah Pertama. Iblis bermuka merah ini rundukkan kepala!

Tapi tusukan tadi cuma tipu belaka, karena begitu pedang lawan lewat dan tusukan tombaknya tersorong kemuka dengan serta merta Pranajaya gebukkan sepasang tombak itu ke kepala Setan Darah Pertama! Setan Darah Pertama melompat ke samping! Tapi betapa pun cepatnya dia tetap terlambat. Meski bisa selamatkan kepala namun diatak sanggup menghindarkan bahunya dari hantaman senjata miliknya sendiri itu!

“Kraakkk...!” Tulang bahu Setan Darah Pertama yang sebelah kanan hancur remuk! Setan Darah Pertama melolong macam anjing! Tubuhnya miring dan terjerongkang ke lantai. Dalam keadaan seperti itu dia masih hendak menyapukan pedang di tangan kanannya ke kaki Prana, tapi senjata itu terlepas dari tangannya yang sudah tak ada daya kekuatan lagi.

Empat mata tombak ditekankan oleh Pranajaya ke batang leher Setan Darah Pertama. Tenggorokan manusia muka merah ini kelihatan turun naik. Mukanya mengerenyit dan keringat membasahi sekujur tubuhnya.

“Setan Darah!" desis Pranajaya. “Apa kau masih ingat saat-saat sewaktu kau membunuh ayahku dulu?! Apa kau masih ingat sewaktu tangan kiriku ini kau buntungkan dulu?!”

“Orang muda..." ujar Setan Darah Pertama, “kasihani diriku yang buruk ini! Kalau kau ampunkan jiwaku, kelak aku akan berikan hadiah besar serta jabatan tinggi di Istana!"

Prana tertawa. Wiro Sableng mengekeh. “Jangan dengar mulut kentut iblis itu, Prana!” memperingatkan Wiro.

Pranajaya mengangguk. “Manusia macam dia siapa yang mau percaya!,” menyahuti pemuda bertangan buntung itu. Prana lemparkan ke samping dua tombak milik Setan Darah Pertama dan membungkuk cepat mengambil pedangnya!

Setan Darah Pertama gerakkan tubuhnya sedikit tapi ujung pedang kini menggantikan empat mata tombak yang menekan batang lehernya!

“Apa yang dulu kau lakukan terhadap bapakku, kini akan kau rasakan sendiri, Setan Darah!”

“Craasss...!”

Setan Darah Pertama meraung setinggi langit. Pedang Ekasakti membabat buntung mengerikan! Setan Darah Pertama melejang-lejang! Dia berteriak, “Bunuh aku! Bunuh saja segera!”

“Rupanya kunyuk muka merah itu tidak takut mampus, Prana!” ejek Wiro dari atas genteng.

“Ya, karena dia akan ketemu dengan setan-setan yang jadi kambrat-kambratnya di neraka!” sahut Pranajaya.

Kemudian dengan tak ampun lagi pemuda itu tusukkan ujung pedangnya ke batang leher Setan Darah Pertama. Manusia ini mengeluarkan suara seperti ayam disembelih. Tubuhnya masih melejang-lejang beberapa lama kemudian diam tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh!

“Sobat-sobat, urusan kita di sini sudah selesai. Mari segera tinggalkan tempat sialan ini!” seru Wiro Sableng.

Sekar dan Prana saling berpandangan sebentar, kemudian si gadis melompat ke atas genteng disusul oleh Pranajaya. Namun baru saja ketiga orang itu sampai di halaman luar, terkejutlah mereka. Kira-kira lima puluh orang prajurit Kerajaan telah mengurung tempat itu dan delapan manusia aneh berdiri memencar, memandang dengan pandangan yang menggidikkan ke arah mereka. Salah seorang dari yang delapan ini berteriak. Suaranya melengking macam perempuan.

“Tikus-tikus bermuka manusia. Jangan harap kalian bisa berlalu hidup-hidup dari sini!”

DUA BELAS

Manusia yang berteriak itu adalah seorang laki-laki berkepala sangat besar dan botak tapi berbadan kecil dan pendek. Namanya Gonggoseta. Pandangannya bengis dan membayangkan maut. Pranajaya, Sekar dan Wiro Sableng memandang berkeliling memperhatikan manusia-manusia itu satu demi satu.

“Celaka sobat,” bisik Pranajaya. “Mereka pastilah tokoh-tokoh silat kelas satu, orang-orangnya Istana!”

“Kita memang lagi sialan,” gerendeng Pendekar 212.

Sepasang matanya dengan tenang menyapu delapan sosok tubuh manusia-manusia aneh yang terpencar mengurung mereka. Orang kedua sesudah Gonggoseta ialah seorang kakek-kakek yang hanya mengenakan cawat dan keseluruhan tubuhnya mulai, dari kaki sampai ke muka dicoreng moreng dengan sejenis cat berbagai warna. Tampangnya mengerikan untuk dipandang. Namanya Bagulpraksa tapi dia lebih dikenal dengan julukan Harimau Siluman.

Manusia ketiga bernama Sangaji, bertubuh tinggi langsing kurus dan berjanggut biru. Di dunia persilatan dia dikenal dengan gelar Si Janggut Biru. Yang ke empat, yang berdiri di ujung kanan sendirian agak terpisah dari lain-lainnya ialah seorang nenek-nenek tua keriput bertelinga lebar. Telinganya yang lebar ini membuyut ke bawah dan kelihatan jadi tambah lebar karena diganduli oleh anting-anting aneh yang besar luar biasa dan berbentuk arit. Dia bukan lain tokoh silat Istana yang dikenal dengan nama julukan Si Telinga Arit Sakti.

Wiro sapukan pandangannya pada tokoh silat lain yang berada di sebelah kiri ini berdiri memencar empat orang lainnya. Yang pertama seorang laki-laki berjubah hitam tapi yang mukanya dicat putih sehingga tampangnya cukup menggidikkan untuk dipandang! Jika tidak salah menduga, menurut keterangan yang pernah didengar Pendekar 212 maka manusia ini adalah Hantu Hitam Muka Putih tokoh silat golongan hitam yang berhati sejahat iblis!

Orang yang selanjutnya berdiri dengan tubuh terbungkuk-bungkuk. Sepuluh kuku-kuku jarinya panjang sekali dan berwarna hitam legam. Dialah Si Cakar Iblis tokoh silat yang merajai daerah selatan Jawa Timur!Manusia ke tujuh adalah satu-satunya marusia yang dikenal oleh Pranajaya yaitu Cindur Rampe manusia yang muncul sewaktu dia hendak diseret oleh Tiga Setan Darah ke Kotaraja beberapa waktu yang lalu!

Cindur Rampe seorang resi kejam yang juga memelihara janggut kambing berwarna putih. Manusia terakhir ialah seorang laki-laki bermata picak dan berambut panjang macam perempuan, digulung di atas kepala. Namanya tidak satu orang pun yang tahu. Dia dikenal dengan julukan Si Picak Dari Utara. Jelaslah bahwa ke delapan orang itu bukan manusia-manusia sembarangan. Ini segera diketahui oleh Wiro dan kawan-kawan. Bagi mereka yang delapan ini lebih berbahaya dari lima puluh prajurit-prajurit Kerajaan yang mengurung halaman gedung itu!

Si kepala besar badan kecil. pendek Gonggoseta maju selangkah kehadapan kehadapan ketiga orang itu dan membuka mulut lagi, “Kalian semua musti mampus di sini! Kalian dengar tikus-tikus bermuka manusia?!”

Pendekar 212 Wiro Sableng memandang sebentar pada Sekar dan Pranajaya lalu kembali ia palingkan muka menghadapi Gonggoseta.

Dan disaat itu Gonggoseta kembali membentak, “Kalian hanya diberi kesempatan untuk menerangkan nama masing-masing agar tidak mampus secara penasaran!”

Wiro Sableng mengulum senyum dan buka mulut dengan suara lunak, “Ah, rasa-rasanya kami yang disebutkan tikus-tikus bermuka manusia ini tidak mempunyai permusuhan dengan sobat-sobat semua.”

“Sompret!” semprot Gonggoseta. “Jangan sebut kami sobat-sobatmu!”

Wiro garuk-garuk kepala lalu manggut-manggut. “Lantaran apakah yang membuat kalian semua ingin jiwa kami?! Kenalpun baru hari ini!”

Gonggoseta tertawa melengking dan memandang pada kawan-kawannya. “Sobat-sobatku!” serunya, “kalian dengar omongan tikus gondrong itu?! Mereka tak ada permusuhan dengan kita! Tidak mengerti mengapa kita semua inginkan jiwa mereka! Cuah!” Gonggoseta meludah ke tanah! “Apa kalian masih belum tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!”

“Ah,” Wiro angkat bahu, “justru itu memang yang kami kepingin tahu!”

Gonggoseta kembali keluarkan tertawa melengking. “Aku Gonggoseta...” dia terangkan nama lalu satu demi satu menyebutkan nama atau gelar tujuh orang kawannya. “Kami semua adalah tokoh-tokoh Istana, hulubalang-hulubalang Kerajaan!”

Wiro Sableng manggut-manggut. “Tidak disangka-sangka...” ujar pendekar ini.

“Setan alas, apa yang tidak kau sangka!” sentak Gonggoseta sementara kambrat-kambratnya yang lain tetap menunggu dengan tenang.

“Tidak disangka-sangka kalau hari ini kami akan bertemudengan tokoh-tokoh silat Istana! Dengan tokoh-tokoh yang berjulukan hebat semua! Sungguh satu kehormatan bagi kami!”

Gonggoseta tertawa melengking. Kawan-kawannya terdengar menggerendeng. “Cuma kami belum tahu, urusan apakah yang membuat kalian semua inginkan jiwa kami?!” tanya Wiro.

“Tikus busuk! Jangan pura-pura tidak tahu! Kalian telah membunuh Setan Pikulan dan Tiga Setan Darah. Mereka adalah kawan-kawan kami!”

“Kalian salah sangka!” jawab Wiro cepat. “Kami tidak membunuh Setan Pikulan...”

“Jangan jual kentut!” hardik Gonggoseta.

Wiro Sableng tertawa, “Siapa yang jual kentut!” jawabnya. “Kentut puteri yang paling cantikpun dijagat ini tak ada yang orang akan mau beli!”

Paras Gonggoseta dan tujuh kawannya menegang membesi. Ini adalah satu penghinaan! Mereka dipermain-mainkan. Di lain pihak Pranajaya menggigit bibir! Bagaimana Wiro masih bisa bergurau menghadapi bahaya macam begini?! Pemuda bertangan buntung ini sudah sejak tadi-tadi mengeluh dalam hati. Dia ingat pesan gurunya. Kotaraja penuh dengan tokoh-tokoh silat berilmu tinggi. Berurusan dengan mereka berarti mati! Prana melirik pada Sekar. Gadis baju kuning ini dilihatnya juga berada dalam ketegangan. Gonggoseta maju lagi selangkah!

“Sreettt...!” Dari balik punggungnya manusia kepala besar ini cabut sebilah golok empat persegi panjang yang lebarnya satu setengah jengkal! Senjata ini berkilauan ditimpa sinar matahari sore!“ Sebut nama kalian masing-masing cepat. Atau kalian mampus penasaran!”

“Dengar Gonggoseta,” menyahuti Wiro Sableng. “Kami tidak dusta, kami sama sekali tidak membunuh Setan Pikulan.”

“Jika bukan kalian lantas siapa?! Juga siapa yang membunuh Tiga Setan Darah di dalam sana?!”

Wiro angkat bahu. “Mana kami tahu,” jawabnya. Dia memandang ke langit di sebelah barat. “Gonggoseta, hari sudah sore. Matahari sebentar lagi mau tenggelam. Beri kami jalan. Sebaiknya kalian lekas mencari dan menyelidik siapa sebenarnya pembunuh kawan-kawanmu itu sebelum hari menjadi malam dan sebelum dia lari jauh...”

Tubuh Si Cakar Iblis kelihatan semakin membungkuk kemuka. Dari mulutnya terdengar suara menggerendeng. Lalu katanya, “Gonggoseta, kuku-kuku jariku sudah tak sabar untuk cepat-cepat mengkermus manusia-manusia keparat ini. Kita semua sudah tahu bahwa mereka yang menamatkan riwayat Tiga Setan Darah. Tunggu apa lagi?!”

Habis berkata begitu Si Cakar Iblis menggerendeng keras. Kedua tangannya yang berkuku panjang menyambar ke muka Wiro Sableng! Cepat-cepat Pendekar 212 melompat ke samping! Wiro maklum, walau bagaimana pun kini pertempuran tak dapat dihindarkan. Tujuh orang tokoh-tokoh silat lainnya dilihatnya telah bergerak pula, masing-masing keluarkan senjata. Karenanya Pendekar. 212 ini tidak sungkan-sungkan lagi! Tangan kiri menghantam ke muka ke arah Cakar Iblis sedang tangan kanan menyelinap mencabut Kapak Naga Geni 212 Sekar dan Prana tidak pula tinggal diam melainkan cabut Rantai Petaka Bumi dan Pedang Ekasakti!

Begitu serangannya luput, penuh penasaran Si Cakar Iblis balikkan badan dan kembali menyerang dengan jurus yang lebih hebat dari pertama tadi. Namun betapa kagetnya manusia ini sewaktu tubuhnya menjadi limbung disambar serangkum angin yang ke luar dari pukulan tangan kiri Wiro Sableng. Dua diantara tokoh-tokoh silat Istana itu yakni Si Telinga Arit Sakti dan Hantu Hitam Muka Putih berseru kaget sewaktu melihat senjata yang digenggam Wiro Sableng.

“Kapak Naga Geni 212!” seru mereka hampir bersamaan. Yang lain-lainnya tersentak kaget!

Mereka belum pernah melihat senjata yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu, cuma mendengar-dengar saja! Sungguh tak dapat dipercaya kalau hari ini mereka menyaksikan senjata mustika sakti itu berada dalam tangan seorang pemuda berambut gondrong bertampang dogol anak-anak. Rasa heran tak percaya itu tidak berjalan lama dan berubah menjadi keterkejutan dan kemarahan yang amat sangat sewaktu Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat dan meminta korban pertamaya itu Si Picak Dari Utara!

Si Picak Dari Utara menjerit keras dantubuh dengan dada mandi darah dihantam kapak sakti itu laksana ratusan tawon mengaung, anginnya menderu-deru sedang dari mulut Pendekar 212 mulai terdengar suara siulan yang diseling dengan suara tertawa aneh dan bentakan-bentakan. Bila siulan itu terdengar, bila suara tertawa aneh menyeling inilah satu pertempuran besar yang dahsyat!

Tubuhnya sudah lenyap ditelan kecepatan geraknya dan ditelan bayang-bayang gerakan tujuh pengeroyoknya. Sekar dan Pranajaya putar senjata masing-masing dan menghadapi tiga orang pengeroyok sementara Wiro yang berpunggung-punggungan dengan mereka menghadapi empat pengeroyok lainnya! Lima puluh prajurit Kerajaan mengurung dalam bentuk lingkaran. Mereka memang sudah diberitahu untuk mengambil posisi demikian dan tidak turut menyerang!

“Rapatkan serangan!” teriak Gonggoseta karena sampai lima jurus dimuka tak satupun yang sanggup mereka lakukan untuk membobolkan pertahanan ketiga orang pendekar itu. Dalam jurus ketujuh Harimau Siluman mengurung persis macam harimau dan dari mulutnya mengepul asap tujuh warna yang mengerikan!

“Tutup jalan nafas!” teriak Wiro memberi ingat.

Sekar dan Pranajaya segera melakukan hal itu. Tapi Sekar terlambat. Hidungnya keburu menghendus hawa beracun asap tujuh warna itu. Tak ampun pemandangannya menjadi gelap dan tubuhnya melosoh gontai. Di saat itu Si Janggut Biru secepat kilat tusukkan tongkat besinya ke perut gadis itu.

“Traangg....!“

Bunga api memercik. Tusukan tongkat besi Si Janggut Biru terpapas ke samping karena dilanda badan pedang Ekasakti di tangan Pranajaya! Jurus-jurus berikutnya semakin seru! Lima puluh prajurit hampir tak sanggup melihat dengan jelas gerakan-gerakan mereka yang bertempur itu saking cepatnya! Harimau Siluman masih juga mengeluarkan asap beracunnya dari mulut. Penasaran sekali Wiro Sableng berteriak,

“Harimau Siluman, silahkan makan asapmu sendiri!” Habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kirinya. Pukulan angin puyuh yang dikerah kandengan setengah bagian tenaga dalam itu hebatnya bukan main.

Asap tujuh warna yang dihembuskan Harimau Siluman menjadi buyar berantakan untuk kemudian menyerang pemiliknya sendiri. Harimau Siluman menggerung. Tubuhnya jatuh duduk di tanah, hidung dan mulut serta matanya mengeluarkan darah akibat diterpa racun asap tujuh warna. Manusia ini keluarkan. sebutir pil penawar racun, tapi sebelum pil itu sempat ditelannya, racun asap tujuh warna sudah merambas ke jantung dan paru-parunya. Tak ampun lagi Harimau Siluman menggeletak mati di tanah!Di saat yang sama Wiro Sableng mendengar suara jeritan Pranajaya! Ketika dia menoleh dilihatnya pemuda itu terhuyung-huyung dengan tangan terluka parah dihantam senjata berbentuk arit di tangan Si Telinga Arit Sakti!

“Mampuslah!” teriak Telinga Arit Sakti. Aritnya menyambar keleher Prana yang saat itu sudah tak bersenjata lagi karena tadi telah terlepas sewaktu lengannya dihantam ujung arit!

Prana jatuhkan diri. Dia selamat. Tapi sewaktu arit itu berkiblat membalik kembali, murid Empu Blorok ini tiada sanggup lagi menghindar. Si Telinga Arit Sakti tertawa mengekeh.

“Wuusss...!"

Telinga Arit Sakti berseru kaget dan lompat tujuh tombak keatas. Satu sinar putih telah melabrak ke arah tubuhnya. Panasnya bukan main dan menyilaukan mata. Belum lagi dia turun ke tanah disebelah sana sebelas orang prajurit Kerajaan terdengar menjerit dan rubuh ke tanah dengan tubuh hangus tiada nyawa!

“Pukulan Sinar Matahari!” teriak Si Telinga Arit Sakti. Mukanya masih pucat. Yang lain-lainnya juga mendadak sontak menjadi ngeri!

“Pemuda keparat, apakah kau muridnya Si Sinto Gendeng?!” bentak Hantu Hitam Muka Putih!

“Tanya pada penjaga neraka!” jawab Pendekar 212.

Sekali Kapak Naga Geni di tangannya berkelebat maka terdengarlah pekik Hantu Hitam Muka Putih! Kepalanya hampir terbelah dua. Mukanya yang dicat putih kini menjadi merah ditelan noda darah. Tubuhnya angsrok saat itu juga ke tanah. Gonggoseta menerjang kalap. Golok empat seginya yang amat besar itu membabat empat kali berturut-turut! Sambil mengelak gesit Wiro berteriak,

“Prana, bawa Sekar dari sini! Tunggu aku di tepi telaga di luar Kotaraja. Cepat!”

“Tidak mungkin, Wiro...” jawab Prana “Aku tak sanggup melakukannya. Racun arit perempuan keparat itu telah menyesakkan nafas dan melemahkan sekujur badanku! Sekar sendiri entah masih hidup entah tidak...”

Pendekar 212 kertakkan rahang. Dia melirik pada tubuh Sekar yang melingkar di tanah dan putar Kapak Naga Geninya untuk menerabas serangan tongkat Si Janggut Biru dan cakar maut Si Cakar Iblis! Meski cuma melirik sekilas namun mata Wiro Sableng yang tajam masih bisa memastikan bahwa Sekar saat itu masih bernafas, cuma keadaannya memang kritis akibat telah mencium asap beracun yang dihembuskan oleh Harimau Siluman. Dengan tangan kirinya Wiro cepat mengambil dua butir pildari balik pakaian putihnya.

“Prana!” serunya.“Lekas telah pil ini dan berikan satu kepada Sekar.”

Melihat ini Gonggoseta segera berusaha untuk menghalang! Dua butir pil yang melesat ke arah Prana hendak ditendangnya dengan kaki kanan namun tangan kiri Wiro Sableng bergerak lebih cepat ke arah manusia pendek berkepala besar ini. Selarik sinar menyilaukan menyambar Gonggoseta!

“Pukulan sinar matahari!” seru Si.Telinga Arit Sakti. “Gonggoseta, lekas lompat menghindar!” memperingatkan perempuan sakti ini.

Mendengar peringatan itu dan maklum akan kehebatan pukulan sinar matahari yang tadi sudah disaksikannya sendiri. Gonggoseta cepat menghindar ke samping, namun terlambat! Kaki kanannya kurang lekas ditarik pulang! Terdengar lolongan Gonggoseta, Kaki kanannya itu melepuh hangus dan mengeluarkan asap sewaktu dilanda pukulan sinar matahari.

Tubuhnya terpelanting tiga tombak. Dikerahkannya tenaga dalamnya, dikeluarkannya sejenis obat untuk menolak luka besar dan rangsangan racun yang menjalar dari kaki kanannya! Namun semua itu sia-sia. Tak satu kekuatan apapun agaknya yang sanggup mengobati kakinya yang hangus, tak ada satu obat penawarpun yang sanggup memusnahkan racun pukulan sinar matahari. Gonggoseta meraung-raung dan bergulingan di tanah, kemudian tubuhnya tak bergerak-gerak lagi tanda nyawanya lepas sudah!

Kehebatan pukulan sinar matahari yang dilepaskan Wiro tidak saja hanya meminta korban jiwanya Gonggoseta tapi juga seperti tadi, diseberang sana terdengar lagi pekik kematian enam orang prajurit yang tersambar pukulan sinar matahari! Ke enamnya laksana daun-daun kering disambar angin keras, berpelantingan dan mati seketika itu juga!

Meski dalam keadaan tangan terluka parah, bahkan kalau tidak hati-hati tangannya sendiri bisa tersambar pukulan sinar matahari namun dengan susah payah akhirnya Pranajaya berhasil juga menyambut dua butir pil yang dilemparkan Wiro. Obat itu segera ditelannya dan yang satu lagi dimasukkannya dengan cepat kedalam mulut Sekar.

Melihat kematian kawan mereka yang ke empat itu semakin meluaplah kemarahan dan dendam maut tokoh-tokoh silat lainnya yaitu Si Telinga Arit Sakti, Cindur Rampe, Cakar Iblis serta Si Janggut Biru. Ke empatnya mengurung Wiro dengan rapat. Tongkat besi Si Janggut Biru laksana taburan hujan menderu-deru menyambar ke seluruh tubuh Pendekar 212. Kuku-kuku jari Si Cakar Iblis yang mengandung racun yang sangat dahsyat tiada hentinya mencari sasaran dibagian-bagian tubuh Wiro yang berbahaya.

Arit di tangan Si Telinga Arit Sakti berkelebat cepat memapas kian kemari sedang Cindur Rampe tiada hentinya lepaskan pukulan ireng weliung yang mendatangkan angin dahsyat berwarna hitam dan beracun!

Dan bagaimana keempat tokoh-tokoh silat utama ini tidak menjadi dibikin tambah mengkal karena semua serangan maut mereka itu sampai sepuluh jurus di muka masih belum sanggup merubuhkan Pendekar 212. Jangankan merubuhkan, untuk melukai sedikit saja salah satu bagian tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itupun mereka tiada sanggup!

Dan lebih membuat mereka penasaran betul ialah karena dari mulut Pendekar 212 tiada hentinya ke luar suara siulan yang sekali-sekali diselingi oleh suara tertawa bernada mengejek!

Pil yang diberikan oleh Wiro Sableng kepada Prana memangmengandung khasiat yang luar biasa. Obat itu Eyang Sinto Gendeng sendiri yang meramunya. Pada waktu pertempuran dijurus ke sepuluh berkecamuk hebat-hebatnya maka Prana mulai merasakan keadaan tubuhnya puluh kembali. Lukanya tiada terasa sakit lagi dan darah yang mengucur berhenti. Ketika dia berpaling pada Sekar, dilihatnya gadis itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepala.

“Prana, lekas tinggalkan tempat ini! Bawa Sekar!” Wiro berseru lagi.

Pranajaya mengambil pedang Ekasakti yang tercampak di tanah lalu berdiri. Apa yang dilakukannya bukanlah mengikuti ucapan Wiro melainkan terus menyerbu ke dalam kalangan pertempuran.

“Pemuda tolol!” damprat Wiro.“Disuruh selamatkan diri malah bertempur!”

Prana tidak berkata apa-apa melainkan terus babatkan pedangnya ke arah Cakar Iblis di sebelah kiri Wiro. Kalau sendiri tadi empat tokoh silat Istana itu tiada sanggup menghadapi Wiro maka ditambah dengan munculnya Pranajaya kini keempat tokoh silat itu menjadi terdesak total! Tubuh ke empatnya terbungkus sinar pedang dan sinar kapak dan agaknya pertahanan mereka itu tak akan berjalan lebih lama. Dalam waktu singkat pasti sekurang-kurangnya salah seorang dari mereka akan menjadi korban lagi!

“Tahan! Hentikan pertempuran ini!” teriak Cindur Rampe seraya melompat ke luar dari kalangan. Sejak mulanya dia memang tak mauikut-ikutan membela kematian Tiga Setan Darah karena antara dia dengan Tiga Setan Darah sendiri mempunyai perselisihan yang belum terselesaikan. Namun karena tak ingin dicap pengecut terpaksa juga Cindur Rampe pergi bersama yang lain-lainnya itu untuk membuat perhitungan dengan Wiro dan kawan-kawannya.

“Apa mau mu Cindur Rampe?!” tanya Wiro dengan melintangkan kapak di muka dada sementara Sekar saat itu sudah berdiri disampingnya dengan Rantai Petaka Bumi di tangan kanan.

“Antara kami dan kalian tak ada permusuhan. Karenanya tak perlu pertempuran gila ini diteruskan...!”

Wiro tertawa tawar. “Tadi pun aku sudah bilang! Tapi kalian semua tidak mau dengar! Sayang empat orang kawan kalian sudah melayang jiwanya!”

Cindur Rampe berpaling pada kawan-kawannya dan memberi isyarat untuk berlalu. Si Janggut Biru sudah hendak mengikuti Cindur Rampe tapi tak jadi karena saat itu terdengar bentakan Si Telinga Arit Sakti.

“Cindur Rampe resi keparat! Apakah nyalimu sepengecut begini?! Apa kau relakan begitu saja empat kawan kita menemui kematian?!”

Paras Cindur Rampe menjadi merah. “Perempuan edan!” balasnya membentak, “jangan bicara seenak perutmu! Kalau kau dan yang lain-lainnya mau meneruskan pertempuran ini, silahkan! Kalian mencari mampus!” Cindur Rampe langkahkan kedua kakinya.

“Kalau begitu biar kau yang mampus lebih dulu pengecut!” teriak Telinga Arit Sakti dan perempuan ini segera melabrak Cindur Rampe. Kedua orang itupun terlibatlah dalam satu pertempuran seru.

Wiro tertawa mengekeh. Dia berpaling pada Prana dan Sekar, “Kawan-kawan mari kita tinggalkan tempat ini,” katanya. “Biar saja mereka baku hantam satu sama lain!”

“Kalian tak akan berlalu dari sini tikus-tikus keparat!”

Wiro putar kepala. Yang membentak adalah Si Cakar Iblis. Tubuhnya merunduk, kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang diulurkan ke muka. Di sampingnya Si Janggut Biru berdiri dengan hati bimbang, apakah akan berlalu dari situ atau meneruskan lagi pertempuran. Cakar Iblis menggerung dahsyat! Sepuluh kuku jari tangannya mengeluarkan sinar hitam dan sedetik kemudian sepuluh sinar hitam itu mencurah ke arah Wiro.

Pendekar 212 sabetkan Kapak Naga Geni ke muka. Sepuluh larikan sinar hitam buyar tapi di lain kejapan sepuluh kuku-kuku jari Si Cakar Iblis tahu-tahu sudah berada didepan muka Pendekar 212! Wiro Sableng terkejut sekali dan menyurut kebelakang! Sepuluh kuku hitam itu memburu laksana kilat! Dan terdengar kekeh Si Cakar Iblis,

“Kau tak akan bisa selamatkan jiwamu dari jurus sepuluh ular berbisa berebut buah ini!”katanya.

Wiro memaki. Dia melompat ke belakang tapi secepat lompatannya itu begitu pula cepatnya sepuluh kuku itu memburunya lagi.

“Mampuslah!” Teriak Si Cakar Iblis dan kedua tangannya laksana kilat menggapai ke muka Pendekar 212.

Terdengar satu jeritan. Pendekar 212 usap parasnya dan memperhatikan bagaimana Si Cakar Iblis berdiri terhuyung-huyung! Kedua lengannya terpapas buntung dilanda mata kapak di tangan Wiro dalam satu jurus serangan balasan yang amat luar biasa hebatnya.

“Manusia keparat... maki Si Cakar Iblis. Darah memancur dari kedua pergelangan tangannya. “Sekalipun kau menang, jiwamu tidakakan aman! Aku akan mampus dan akan jadi setan! Akan mencekik batang lehermu....”

“Sialan! Sudah mau mati masih omong besar!” damprat Wiro Sableng. Sekali kaki kanannya bergerak maka mentallah Si Cakar Iblis. Wiro berpaling pada Si Janggut Biru. “Bagaimana? Mau coba-coba rasanya mampus sobat?!” tanya Wiro pula.

Si Janggut Biru meludah ke tanah. Tanpa berkata apa-apa segera ditinggalkannya tempat itu. Wiro memandang pada Si Telinga Arit Sakti yang tengah bertempur hebat dengan Cindur Rampe.

“Bertempurlah terus sampai salah seorang dari kalian mampus!” seru Wiro. Lalu dengan cepat bersama Sekar dan Prana dia berlalu dari situ. Tak satu prajurit. kerajaan pun yang berani dan bernyali menghalangi mereka. Sementara itu Si Telinga Arit Sakti berteriak keras,

“Cindur Rampe! Hentikan pertempuran ini! Kita harus kejar ketiga bangsat itu!”

Cindur Rampe melompat mundur. “Aku masih mau hidup Arit Sakti!” kata Cindur Rampe pula. “Kalau kau mau mengejar mereka silahkan!” Cindur Rampe berkelebat meninggalkan tempat itu.

Si Telinga Arit Sakti memaki habis-habisan. Bila dia tinggal seorang diri dan menyaksikan lima mayat kawan-kawannya yang menggeletak mati di halaman gedung itu, diam-diam dia pun merasa kecut dan menyadari bahwa seorang diri tak akan ada gunanya dia mengejar ketiga manusia itu. Akhirnya perempuan sakti ini berkelebat dan lenyap kejurusan timur!

TIGA BELAS

Waktu mereka menghentikan lari masing-masing, ketiganya telah berada jauh di luar Kotaraja. Mereka saling pandang dan Wiro membuka pembicaraan dengan senyum di bibir.

“Sobat-sobat, kemana kita sekarang?”

Sekar tidak memberikan jawaban. Pranajaya memperhatikah paras gadis ini sebentar lalu berkata,“ Aku akan terus ke timur. Ke Pulau Seribu Maut, mencari Cambuk Api Angin milik guruku yang telah dilarikan oleh Bagaspati!”

Wiro manggut-manggut. Dia merenung sejenak lalu berkata,“ Pulau Seribu Maut, Cambuk Api Angin. Bagaspati... nama-nama yang hebat. Perjalananmu ke ujung Jawa Timur pasti merupakan suatu hal yang menarik. Saudara Prana, kau keberatan bila aku ikut bersamamu...?”

Pranajaya berseru gembira. “Memang itu yang aku harap-harapkan Wiro. Jalan jauh banyak dilihat, kawan seiring sukar didapat!”

Wiro Sableng tertawa. “Bagaimana dengan kau Sekar?” tanya murid Eyang Sinto Gendeng itu.

Prana memandang lekat-lekat pada gadis itu. Di balik pandangannya itu tersembunyi suatu perasaan kecemasan. Dan perasaan itu semakin jelas kelihatan sewaktu Wiro berkata,

“Kau musti kembali ke tempat gurumu...”

Tapi si gadis justru gelengkan kepala. “Aku ikut bersamamu... bersama kalian...” kata Sekar.

Wiro Sableng kerenyitkan kening. “Pengalamanmu di Kotarajakurasa cukup memberikan gambaran bagaimana penuhnya dunia ini.dengan seribu satu macam bahaya dan kejahatan! Perjalanan ke Pulau Seribu Maut pasti lebih berbahaya dari pengalamanmu di Kotaraja.”

“Apakah kau terlalu menganggap aku ini orang perempuan bangsa kurcaci yang takut segala macam bahaya?!” tukas Sekar.

Wiro berpaling pada Pranajaya yang sampai saat itu masih memandang pada Sekar. “Dia memang pintar omong!” kata Wiro pula. “Adatnya keras. Mautnya dia musti maunya juga! Urusan laki-laki mau disamakan dengan urusan perempuan...”

“Sudah!” potong Sekar seraya membalikkan badan memunggungi kedua pemuda itu.

Wiro Sableng tertawa dan garuk-garuk kepalanya. “Yang aku khawatirkan,” kata Pendekar 212 pula, “kalau-kalau gurumu kelak akan salah sangka dan menduga kami yang menjebloskan kau ke dalam persoalan rumit penuh bahaya ini!”

“Soal guruku itu soalku dengan beliau. Yang penting sekarang kita sama-sama pergi ke Pulau Seribu Maut. Apa aku sebagai orang persilatan tidak boleh mencari pengalaman?”

“Tentu saja boleh” sahut Wiro sementara Pranajaya sampai saat itu tak sepatahpun membuka mulut selain memandang seperti tadi-tadi pada Sekar. “Tapi sekarang belum saatnya,” menyambungi Wiro.

“Kau tak berhak melarangku Wiro. Siapapun tak berhak melarang ke mana aku mau pergi...!”

“Berabe! Berabe!”ujar Wiro Sableng. “Bagaimana Prana, kita ajak dia...?”

Pranajaya angkat bahu. “Terserah padamu, Wiro.”

Wiro Sableng tarik dan hembuskan nafas panjang. “Baik Sekar, kau boleh ikut bersama kami! Tapi ingat, kalau terjadi apa-apa dengan kau dan kami tak sanggup menolongmu, jangan kelak menyesalkan kami berdua...!”

Maka tak lama kemudian ketiga orang itupun kelihatan berkelebat dan dengan mengeluarkan ilmu lari masing-masing mereka tinggalkan tempat itu dengan sangat cepat.

********************

Malam itu malam yang ketiga bagi rombongan yang terdiri dari tiga orang itu dalam perjalanan mereka menuju Pulau Seribu Maut diujung timur pulau Jawa. Mereka berhenti di tepi sebuah anak sungai berair jernih. Langit bersih kebiruan. Bintang-bintang bertaburan dan bulan sabit memperindah suasana malam yang sejuk itu.

Pranajaya memasukkan empat potong kayu kering ke dalam api unggun lalu melangkah perlahan ke tepi sungai. Di lihatnya gadis itu duduk di sebuah batu besar, tengah melamun seorang diri. Prana datang mendekat. Untuk beberapa lamanya tidak satupun dari mereka yang bicara. Si pemuda memandang ke langit lepas. Dia mendapat bahan untuk membuka pembicaraan,

“Bagus betul malam yang sekali ini.”

Sekar memandang ke atas, memperhatikan bulan sabit dan bintang-bintang yang bertaburan lalu menganggukkan kepalanya.

“Wiro belum kembali?” tanya gadis itu.

“Belum,” sahut Prana. Hatinya menciut. Sekar lebih banyak memperhatikan seorang lain yang tak ada di situ daripada kehadiran dirinya di sampingnya di atas batu itu. Dan Prana sendiri tidak tahu ke mana pula Wiro pergi. Dua malam yang lalu pun pemuda itu selalu pergi tanpa memberi tahu ke mana. Seakan-akan kepergiannya itu merupakan hal yang disengaja.

Pranajaya berdehem beberapa kali untuk menghilangkan sekatan yang menyesakkan lehernya. Dipandanginya paras jelita Sekar dari samping. Betapa indahnya paras itu dipandang dibawah naungan malam yang disinari bulan sabit dan bintang gumintang.

“Kau masih belum memberikan jawaban apa-apa atas ucapan ku malam pertama yang lalu, Sekar” berkata Pranajaya. Suaranya sekali ini tiada bernada ditelan sendiri oleh gema gemetar suaranya itu. Sekar memandang ke hulu sungai lalu menundukkan kepalanya.

“Apakah tak akan pernah ada balasan?” tanya Pranajaya.

Si gadis memandang lagi ke hulu sungai lalu membuka mulut, “Dalam perjalanan ini bukan persoalan cinta yang musti dipikirkan Prana“ Suara Sekar pelahan, hampir seperti berbisik namun begitu mengiang telinga Pranajaya kedengarannya.

Paras pemuda ini membeku merah. Ditundukkannya kepalanya. “Kurasa bukan disitu sesungguhnya dasar jawabanmu, Sekar,” ujar pemuda itu pula.

“Lalu....?”

“Kau mencintai dia...?” tanya Prana seberani mungkin.

“Dia siapa?”

“Tak usah berpura-pura....”

Sekar memandang pemuda itu sebentar. “Maksudmu Wiro?” tanyanya.

Si pemuda anggukkan kepala. Sekar tertawa.

“Suara tertawamu aneh, Sekar,” bisik Pranajaya. “Seolah-olah membenarkan pertanyaanku tadi.”

Sekar diam. “Aku memang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Wiro...”

“Kau tak usah cemburu Prana”

“Terus terang saja dalam persoalan ini aku cemburu padanya. Aku iri,” kata Pranajaya dengan hati laki-laki. “Tapi kecemburuan dan iri hatiku itu tidak menyebabkan aku menjadi buta atau lupa diri atau mempunyai maksud yang buruk-buruk terhadap kalian berdua. Aku cemburu dan iri pada Wiro, tapi aku menghormati dan menghargainya sebagai seorang sahabat. Sebagai seorang manusia kepada siapa aku berhutang budi serta nyawa. Bahkan lebih dari itu aku mengganggap Wiro bukan orang lain, tapi sudah sebagai saudara kandung sendiri..."

Sekar masih diam dan Pranajaya meneruskan ucapan-ucapannya. “Aku menyadari kenyataan Sekar. Kenyataan bahwa aku bukan apa-apa jika dibandingkan dengan dia. Ilmunya tinggi, parasnya gagah dan jasmaninya tidak mempunyai cacat apa-apa. Yang lebih utama dia adalah seorang laki-laki berhati jantan, luhur dan kudus... Jika kau mau berterus terang Sekar, aku tak akan membuka-buka lagi persoalan ini. Aku akan lebih bahagia dan bangga jika kalian bisa hidup berdua dan berbahagia...”

“Antara aku dan Wiro tak ada hubungan apa-apa, Prana,” memotong Sekar. “Tak sepantasnya kau bicara sampai sejauh itu.”

Pranajaya memandang ke langit di atasnya. Diperhatikannya bulan sabit dan dia berkata, “Mungkin, tapi kau tak bisa menipudirimu sendiri! Sekar. Kau tak bisa mendustai kata hatimu. Kau mencintai dia...”

Sekar tundukkan kepalanya memperhatikan jari-jari kakinya yang mungil bagus. “Aku tak ingin membicarakan persoalan ini lebih lanjut Prana.”

“Jadi tak ada jawaban darimu? Tak ada jawaban berarti suatu penolakan Sekar...”

Sepi menyeling. Pranajaya menunggu sampai beberapa lamanya. Dipandanginya paras Sekar seketika. Dan bila tak ada juga jawaban dari gadis itu maka Prana memutar tubuh dan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Sekar memalingkan kepalanya. Di pandanginya tubuh yang berjalan itu, dipandanginya kaki yang melangkah itu, dipandanginya kepala yang tertunduk itu dan dipandanginya tangan kiri yang buntung itu. Hati gadis ini memukul-mukul. Suaranya serak parau sewaktu mulutnya memanggil, “Prana...”

Panggilan itu laksana satu kekuatan gaib yang membuat kedua kaki Pranajaya berhenti melangkah dan tubuhnya berhenti berjalan. Si pemuda palingkan kepala. Di antara keputus-asaan yang menyelimuti wajahnya di malam sejuk itu kelihatan sekelumit pengharapan. Dan matanya memandang sayu pada si gadis, menunggu ucapan selanjutnya.

“Prana....”

“Ya, Sekar...”

“Bersediakan kau menunda pembicaraanmu ini sampai berakhirnya tugasmu di Pulau Seribu Maut nanti?”

Si pemuda merenung sejenak. Lalu jawabnya, “Aku bersedia Sekar meski aku tahu mungkin tak ada harapan sama sekali bagiku...”

“Mungkin yang orang duga tak selalu mungkin pada kenyataan, Prana,”kata Sekar.“

Pranajaya murid Empu Blorok coba merenungkan ucapan gadis itu. Kemudian sekelumit senyum tersungging dibibirnya

“Kuharapkan saja demikian, Sekar,” kata Prana. Lalu ditinggalkannya tempat itu.

EMPAT BELAS

Di pagi hari yang kesembilan ketiga orang itu kelihatan berdiri di tepi pantai di ujung, timur pulau Jawa. Di laut kelihatan gugusan pulau-pulau. Ada yang berkelompok-kelompok, ada yang terpisah menyendiri. Perahu-perahu nelayan kelihatan di mana-mana. Angin dari laut bertiup, melambai-lambaikan rambut serta pakaian mereka. Pranajaya menunjuk ke sebuah teluk sempit dan berkata,

“Disitu ada perkampungan nelayan. Kita bisa mencari keterangan dimana letak Pulau Seribu Maut dan sekalipun menyewa perahu serta membeli perbekalan.”

Wiro mengangguk. Ketiganya segera menuju ke perkampungan itu. Seorang nelayan tua mereka temui tengah memperbaiki jala diteluk itu. Prana menyalaminya lalu bertanya,

“Bapak, yang manakah diantara pulau-pulau di tengah laut sana yang bernama Pulau Seribu Maut?”

Pertahan-lahan nelayan tua, itu mengangkat kepalanya dan membuka topi pandannya. Dipandanginya Pranajaya, lalu Wiro dan Sekar.

“Kau bertanyakan Pulau Seribu Maut nak?” ujar nelayan tua ini.

Prana mengangguk. “Kalau tak tahu jelasnya kira-kira saja,” berkata Wiro.

Si nelayan hela nafas dalam. “Umur ku enam puluh tahun nak. Dan hari inilah baruku dengar ada seorang yang bertanya di mana letak Pulau Seribu Maut,” Nelayan itu hela nafas dalam sekali lagi. “Apakah kalian hendak menuju ke sana?”

“Betul” sahut Prana.

Mata yang sudah agak mengabur di mana umur dari nelayan tua itu memperhatikan ketiga manusia itu dengan lebih teliti. “Kalian tentunya orang-orang dunia persilatan. Tidak heran kalau kalian bernyali menanyakan letak pulau itu. Urusan apakah gerangan yang membawa kalian begitu berniat menuju ke snna?”

“Ah tak ada apa-apa, pak. Cuma kepingin tahu saja,” jawab Prana.

Si nelayan tertawa. “Kepingin tahu dan menemui kematian disana...? Nak, dengar... hanya manusia-manusaa yang mau lekas-lekas mati saja yang berhajat pergi ke Pulau Seribu Maut...”

“Namanya memang menyeramkan,” kata Wiro sambil usap-usap dagu. “Tapi sebetulnya ada kehebatan apakah di sana sampai pulau itu demikian ditakuti orang-orang?”

“Ah, kalian bukan orang-orang sini. Kalian tidak tahu, Nak... di situ bersarang gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh seorang bernama Bagaspati. Setiap perahu atau kapal yang lewat diselat Madura ini pasti dirampok, manusia-manusianya dibunuhi. Kampungku inipun tak urung menjadi korban kejahatan Bagaspati dan anak buahnya. Perempuan-perempuan kami diambil dan dibawa ke Pulau Seribu Maut. Satu kali seminggu kami musti menyiapkan dan memberikan bahan-bahan makanan kepada mereka. Kami tak bisa berbuat apa-apa nak. Kalau melawan berarti mati...”

“Kenapa tidak pindah ke kampung lain?” tanya Sekar.

“Lebih berabe lagi!” jawab si nelayan. “Kalau kami berani pergi dari sini, semua penghuni kampung dari yang kecil sampai tua macam ku ini akan dibunuh! Begitu Bagaspati mengancam...”

“Pernah berhadapan muka dengan manusia Bagaspati itu?” tanya Prana.

“Pernah dan pernah ditampar. Tiga hari aku tak bisa meninggalkan tempat tidur karena masih pening di landa tamparannya.“

Wiro Sableng mengulum senyum. Diperhatikannya beberapa buah perahu yang berada di tepi pantai itu. “Perahu-perahu bapak?” tanya Wiro.

Si nelayan mengangguk.

“Bisa kami sewa sebuah?”

“Untuk pergi ke Pulau Seribu Maut?!”

“Ya...”

Nelayan tua geleng-gelengkan kepalanya. ”Aku memang sudah tua dan hampir masuk liang kubur. Tapi walau bagaimana pun aku tak mau cari urusan yang bisa mempercepat kematianku! Tak ada satu orangpun yang akan mau menyewakan perahunya ke Pulau Seribu Maut. Tak ada satu pemilik perahu pun yang akan mengantarkan kalian ke sana. Pulau Seribu Maut adalah pulau kematian!”

“Kalau begitu bapak terangkan saja letaknya.“ “Tidak bisa nak... tidak bisa...” Si nelayan lalu cepat-cepat meninggalkan ketiga orang itu.

Yang ditinggalkan saling berpandangan lalu pergi ke pusat kampung. Dan sebagaimana yang dikatakan nelayantua tadi, tak ada seorang pemilik perahupun yang mau menyewakanperahunya, apalagi mengantar mereka ke Pulau Seribu Maut. Juga ketiganya tak berhasil mencari keterangan di mana kira-kira letak pulau angker tersebut.

“Penduduk di sini sialan semua!" gerutu Wiro Sableng. “Pada mati ketakutan! Kurasa mencari dan pergi ke tempat seorang puteri cantik tidak sesukar ini! Cuma mencari Kepala bajak saja begini susah! Geblek!”

“Kita tak bisa salahkan penduduk Wiro,” ujar Prana.

“Kalau begini kita terpaksa bikin perahu sendiri atau rakit!” kata Wiro mengalih pembicaraan.

Prana mengangguk. “Rakit kurasa lebih baik daripada perahu. Ombak di selat ini cukup besar...”

Menjelang tengah hari maka di tengah laut lepas di selat Madura itu kelihatanlah sebuah rakit yang laksana 'terbang' memecah gelombang air laut, melaju dalam kecepatan yang luar biasa, semakin lama semakin jauh dari pantai!

Beberapa nelayan yang perahu mereka kebetulan dilewati oleh rakit itu tersentak kaget. Mereka hampir-hampir tak dapat mempercayai pandangan mata mereka. Apakah mereka telah mengimpi di siang bolong yang panas terik itu atau telah melihat jin-jin laut gentayangan didepan mereka?!

Betapakan tidak! Tiga orang mereka lihat berada di atas rakit itu. Satu diantaranya gadis cantik jelita. Meski ombak tidak besar tapi untuk mengarungi lautan dalam kecepatan yang demikian rupa dan dengan sebuah rakit pula benar-benar mustahil, benar-benar tak bisa mereka percaya!

Dan yang lebih tidak dapat mereka percayai ialah karena dua orang pemuda yang ada di atas rakit itu mempergunakan tangan-tangan mereka sebagai pendayung yang membuat rakit tersebut laksana terbang!

“Jangan-jangan jin-jin laut yang kita lihat ini, Warana,” kata seorang nelayan pada kawannya yang berada dalam sebuah perahu jauh dimuka rakit itu. Dia dan kawannya sama-sama mengusap mata berkali-kali.

“Hai, lihat! Mereka menuju ke sini!” seru Warana.

“Celaka kita! Kayuh yang cepat Warana sebelum jin-jin laut itu datang mencekik kita!”

Warana dan kawannya segera menyambar pendayung. Tapi belum lagi kedua kayu pandayung mereka mencelup ke dalam air laut, rakit yang berisi tiga manusia itu sudah berhenti dihadapan mereka! Paras kedua nelayan itu pucat pasi. Meski yang mereka lihat adalah benar-benar manusia, namun rasa tak percaya tetap membuat mereka menyangka bawa tiga manusia di atas rakit itu adalah jin-jin laut yang datang menganggu mereka!

“Saudara, yang manakah Pulau Seribu Maut?” bertanya laki-laki muda yang bertangan buntung.

Baik Warana maupun nelayan yang satu lagi hanya terduduk bermuka pucat dalam perahu mereka tanpa bisa membuka mutut. Wiro memandang keheranan, juga Sekar.

“Hai, apa kalian tak dengar orang bertanya?!” seru Wiro Sableng.

Warana membuka mulut tapi tak ada suara yang ke luar.

“Kalian seperti orang yang ketakutan!” ujar Wiro.

Prana juga melihat bayangan ketakutan itu pada wajah kedua nelayan tersebut. Dia tak tahu apa sebabnya dan dia tak mau perduli. Dia bertanya lagi,

“Di mana letak Pulau Seribu Maut?!”

“Saudara-saudara... apa kalian... kalian...” Warana tak berani meneruskan ucapannya.

Ketika dilihatnya kawannya mencelupkan pendayung segera dilakukannya hal yang sama. Perahu mereka segera bergerak tapi kemudian terhenti dengan tiba-tiba. Kedua nelayan itu pergunakan seluruh tenaga untuk mendayung namun tetap saja perahunya hanya mengapung dan sedikitpun tak bisa bergerak.

Ternyata Wiro Sableng telah memegang ujung belakang perahu mereka dan semakin menjadi-jadilah takut kedua orang itu. Mereka berteriak-teriak dan lari sana lari sini dalam perahu mereka. Ikan-ikan yang berhasil mereka tangkap berhamburan kembali ke dalam laut!

“Nelayan-nelayan geblek! Apa kalian sudah gila semua teriak-teriak tak karuan?!” bentak Wiro.

“Tolong! Tolong...!” teriak Warana. Kawannya meniru berteriak macam itu pula.

“Saudara-saudara kami bukan rampok atau bajak!” seru Pranajaya.

Wiro garuk-garuk kepalanya dan melangkah kehadapan Warana. “Keblinger betul! Orang tanya Pulau Seribu Maut kenapa jadi teriak-teriak minta tolong?!”

“Tolong jin laut! Tolong... !”

Wiro, Prana dan Sekar saling berpandangan. Sekar kemudian berbisik pada Prana, “Keduanya menyangka kita jin laut...!”

Wiro Sableng menjambak rambut Warana dan menepuk-nepuk pipi nelayan ini. “Kau kira kami ini bukannya manusia apa?! Sompret! Kami manusia-manusia macam kau saudara! Ayo jawab kenapa kalian teriak-teriak dan di mana letak Pulau Seribu Maut?!”

Dijambak demikian rupa Warana semakin memperkeras teriakannya. “Manusia tak berguna pergilah!” sentak Wiro Sableng seraya melepaskan jambakannya. Begitu dilepas begitu Warana sambar pendayung dan bersama kawannya mengayuh cepat meninggalkan rakit itu.

Meledaklah tertawa ketiga orang itu sewaktu Sekar berkata, “Tentu saja, mana mereka mau percaya bahwa kita adalah manusia manusia seperti mereka. Tak ada orang yang berakit di laut dan.dengan kecepatan laksana angin!”

Wiro seka kedua matanya yang basah oleh air mata karena tertawa itu. Dia memandang berkeliling dan tarik nafas dalam. “Agaknya tak ada satu manusia pun yang bisa kasih keterangan dimana letak Pulau itu...” kata Wiro.

“Kita musti cari sampai dapat!” Prana kertakkan rahang.

Wiro memandang pada Sekar. Gadis itu dilihatnya memandang ke arah utara tanpa berkesip. “Apa yang kau perhatikan?” tanya Wiro.

Sekar tak menjawab dan dia masih memandang kejurusan utara itu. Wiro putar kepala mengikuti pandangan Sekar. Jauh ditengah laut lepas di lihatnya dua buah pulau yang besarnya dipemandangan mata mereka cuma sebesar ujung jari kelingking saja.

“Bagaimana kalau kita arahkan rakit kita ke sana?” mengusulkan Sekar.

Wiro dan Prana saling pandang dan sama menyetujui. Dan rakit itu pun menggebulah di atas air laut yang muncrat di belah bagian muka rakit. Detik demi detik kedua pulau itu semakin dekat juga.

“Salah satu dari pulau-pulau itu banyak elang elang lautnya Wiro,” kata Prana.

Wiro Sableng memandang pada pulau yang sebelah kanan. Diatas pulau itu memang keiihatan banyak beterbangan burung-burung. “Itu bukan burung elang, Prana. Tapi gagak hitam pemakan mayat!” seru Wiro tiba-tiba ketika, matanya yang tajam dapat mengenal burung-burung itu.

Prana pelototkan mata. “Sekar, putar kemudi ke arah pulau itu!” kata Prana.

Dan sesaat kemudian rakit itupun meluncur berputar ke arah pulau yang sebelah kanan. Semakin dekat semakin jelas keadaan pulau itu. Beberapa buah perahu besar dan kapal kelihatan berada disekitar teluk yang sempit.

“Hai benda apa itu?!” mendadak sontak Sekar berseru. Wiro dan Prana berpaling ke arah yang ditunjuk Sekar. Sebuah benda hitam yang sangat besar meluncur pesat ke arah mereka.

“Ikan raksasa!” seru Sekar pula.

Wiro Sableng memandang tak berkesip. Benda hitam besar itu memang seperti kepala seekor ikan. Tapi bukan ikan betul-betul. Wiro masih coba meneliti dengan seksama ketika tiba-tiba sekali benda itu lenyap dari permukaan air.

“Aku merasa tidak enak,”desis Prana.

“Kita musti waspada,” kata Wiro.

Baru saja dia habis berkata begini tahu-tahu benda hitam yang luar biasa besarnya itu sudah muncul dihadapan rakit mereka. Bagian tengahnya laksana seekor buaya raksasa membuka dan... “Plup” sekaligus menelan rakit serta ketiga penumpangnya!

“Celaka!” seru Prana. Tapi suaranya lenyap ditelan katupan yang menutup. Wiro memukul lengan tinjunya kian ke mari. Terdengar suara bergetar tapi apa yang dipukulnya itu sama sekali tidak hancur!

“Gila, apa-apa ini!” teriak Pendekar 212.

Dia tak bisa melihat Sekar ataupun Prana. Ruang di mana mereka terkurung sangat gelap bahkan tangan di depan matapun tidak kelihatan. Pendekar 212 keluarkan Kapak Naga Geni dan batu hitam untuk membuat penerangan. Namun sebelum tangannya menyentuh senjata sakti itu tiba-tiba terdengar suara mendesis. Sekejap kelihatan sinar biru. Prana dan Sekar berseru lalu terdengar suara jatuhnya tubuh kedua orang itu!

Sinar biru Ienyap. Wiro yakin itu adalah hawa beracun yang telah disemprotkan ke dalam ruangan gelap itu. Kepalanya terasa pusing dan pemandangannya tak karuan. Dia seperti melihat ribuan bintang begemerlap, seperti melihat tali-tali yang melingkar-lingkar berkilauan dan menusuk-nusuk ke arah matanya. Pendekar 212 segera kerahkan tenaga dalam dan tutup semua inderanya.

Satu menit kemudian dia berhasil menolak hawa beracun itu lalu dengan cepat keluarkan dua butir pil dan dengan merangkak dia berhasil mencari tubuh Sekar dan Prana lalu memasukkan pil anti racun ke dalam mulut keduanya. Mendadak terdengar suara berkereketan dan ruangan itu di mana Wiro berada seperti dihamparkan. Kemudian sebuah pintu terbuka. Pendekar 212 segera jatuhkan diri diantara tubuh Prana dan Sekar. Saat itu keduanya sudah mulai sadar. Wiro segera membisiki,

“Berbuatlah pura-pura pingsan terus! Jangan lakukan apa-apa sebelum ku beritanda!”

Terdengar lagi suara berkereketan kemudian tubuh mereka terasa menggelinding dan jatuh di atas pasir yang panas dihangati oleh sinar matahari. Perlahan-lahan Wiro Sableng buka ke dua matanya. Saat itu terdengar suara seseorang tertawa bergelak.

“Sureng wilis! Jadi inikah manusia-manusianya yang katamu kasak kusuk cari keterangan tentang pulau kita?!”

“Betul pemimpin!” terdengar jawaban seseorang.

Wiro Sableng membuka matanya lebih lebaran. Dan dihadapannya, beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara belasan manusia-manusia berbadan tegap, berdiri seorang laki-laki yang luar biasa tinggi dan besar badannya. Menurut taksiran Wiro manusia ini mungkin lebih dua meter tingginya! Tampangnya beringas buas dan amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat dan berangasan!

Sepasang matanya besar dan merah. Hidung juga besar tapi picak. Dia mengenakan jubah hitam bergaris-garis putih. Di pingggangnya tergantung sebilah pedang panjang. Yang menarik perhatian Wiro ialah tengkorak kepala manusia yang menjadi kalung dan tergantung di leher laki-laki ini.

“Hem...” si tinggi besar berkalung tengkorak manusia itu menggumam. Dia memandang berkeliling, “Apa ada diantara kalian yang kenal pada mereka?!” Tak ada suara jawaban. “Kalau begitu mereka adalah manusia-manusia tidak berguna!” ujar si tinggi besar. “Penggal kepala kedua laki-laki itu! Yang perempuan biarkan hidup! Dia cukup bagus untuk disuruh menari telanjang malam ini dan tidur bersamaku!”

Beberapa kaki kelihatan melangkah kehadapan ketiga orang itu. Wiro berbisik pada kedua kawannya, “Sekarang, sobat-sobat!”

Maka ketiga manusia yang berpura-pura pingsan itu segera melompat dari tanah dimana mereka menggeletak!

LIMA BELAS

Kejut semua orang yang ada di situ bukan kepalang! Tapi anehnya si tinggi kekar malah keluarkan suara tertawa mengekeh.

“Ha-ha-ha...! Kalian kira mataku bisa ditipu huh?!”

Sadarlah Wiro dan kawan-kawannya bahwa ucapan si tinggi kekar memerintahkan anak-anak buahnya untuk memenggal kepala mereka adalah pancingan belaka. Pendekar 212 menggerendeng dalam hati.

“Sebelum kalian mati kuharap kalian mau kasih keterangan,” berkata si tinggi besar yang berjubah hitam bergaris-garis putih. Tangan kanannya ditekankan ke ujung gagang pedang. “Ada keperluan apa kau mencari tempat ini?!”

“Apakah ini Pulau Seribu Maut?!” balas menanya Pranajaya.

Si tinggi kekar tertawa lagi. “Kalian memang sudah berada di Pulau yang kalian cari! Pulau dimana kalian akan melepas nyawa masing-masing?”

Tersiraplah darah Prana dan Sekar. Pendekar 212 tetap tenang-tenang saja. Prana memandang lekat-lekat pada si tinggi kekar.

“Aku mencari manusia bernama Bagaspati. Apakah kau orangnya!”

“Setan alas! Kowe berani sebut nama pemimpin kami seenak perutmu! Terima mampus!” Satu hardikan datang dari samping dan satu sambaran angin menderu ke arah leher Prana.

Pemuda ini cepat-pepat menyingkir kesamping. Ujung sebilah kelewang menderu di muka hidungnya!

“Tahan!” seru laki-laki bertubuh tinggi kekar. Orang yang tadi menyerang dengan kelewang bersurut mundur. Si tinggi kekar pelototkan mata pada Pranajaya. “Manusia tangan buntung!,” katanya. “Aku memang Bagaspati! Menyebut namaku berarti mati! Tapi kau masih punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa kau dan kawan-kawanmu mencari pulau kami!”

“Kedatanganku atas tugas guruku!”

“Hem... Aku sudah duga bahwa kau dan kawan-kawanmu manusia-manusia dari dunia persilatan! Terangkan apa tugasmu dan siapa gurumu!” ujar si tinggi besar Bagaspati.

“Aku diperintahkan untuk mengambil Cambuk Api Angin yang telah kau curi dari guruku!”

Bagaimanapun Bagaspati menekan rasa terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan perubahan. “Apakah kau muridnya Empu Blorok?!” tanyanya membentak.

Prana anggukkan kepala. “Mana cambuk itu?! Lekas serahkan padaku!”

Meledaklah tertawa bekakan Bagaspati. Tanah yang dipijak bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu. “Nyalimu sungguh besar tangan buntung!,” kata Bagaspati seraya melangkah kehadapan Prana.

“Sreettt...!”

Tiba-tiba Bagaspati cabut pedang panjangnya. Senjata ini berwarna hitam legam bersinar yang menggidikkan. Dia hentikan langkahnya dua tombak dihadapan Prana lalu membentak,

“Lekas sebut kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia persilatan tanpa tahu namanya!”

Sebagai jawaban Pranajaya cabut pula pedang Ekasaktinya. Sinar putih berkilau ke luar dari senjata mustika itu. “Aku datang hanya untuk mengambil Cambuk Api Angin. Kalau kau menghadapinya dengan kekerasan tak ada jalan lain daripada menabas batang lehermu!”

“Bedebah sontoloyo!” teriak Bagaspati marah. Pedang hitamnya berkelebat ganas, menderu ke arah tubuh Pranajaya, sekaligus merupakan tiga buah serangan berantai yang dahsyat!

Murid Empu Blorok tidak tinggal diam. Prana segera kiblatkan senjatanya. Pedang putih dan pedang hitam beradu mengeluarkan suara keras dan memercikkan bunga api!Terdengar seruan Prana. Pedang Ekasakti terlepas dan mental dari tangannya. Sekejap kemudian senjata itu sudah berada di tangan kiri Bagaspati!

“Ha-ha-ha... Gurumu keliwat sembrono manusia tangan buntung! Murid masih berilmu cetek disuruh mencari Bagaspati!” Bagaspati angkat tangan kanannya tinggi-tinggi. “Sebut namamu cepat!”perintahnya. Pedang hitam ditangan kanan sementara itu perlahan-lahan mulai turun, siap diletakkan ke kepala Pranajaya.

“Bagaspati,” terdengar satu suara dari samping, “Sebelum kau bunuh kawanku ini, harap beri kesempatan padaku untuk bicara....!”

Bagaspati palingkan kepala dengan penuh kegusaran. “Rambut gondrong, kau bakal terima mampus sesudah kematian kawanmu ini!”

Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum. “Kami datang secara damai untuk meminta kembali pedang yang telah kau pinjam dari Empu Blorok. Apakah pantas seorang bernama besar sepertimu menyambut kedatangan kami dengan perlakuan seperti ini?”

“Pemuda geblek! Pulau ini adalah Pulau Seribu Maut! Kematian bisa terjadi setiap detik! Siapa yang menyebut nama Bagaspati dengan kurang ajar berarti mati!”kata Bagaspati dengan membentak marah dan muka merah.

“Ah... kau masih saja sebut-sebut perkara mati dan mampus,” menukasi Pendekar 212 sambil cengar cengir seenaknya. “Kawanku sudah bilang bahwa kami datang ke sini untuk minta kembali Cambuk Api Angin. Soal mati atau mampus bisa diurus kemudian kalau kau sudah serahkan cambuk itu padanya! Malah-malah kini kau rampas pedang kawanku!”

“Pemimpin! Yang satu ini biar aku yang bereskan!”satu manusia bertubuh tegap maju dengan kapak besar ditangan kanan. Namanya Surengwilis. Dialah yang telah mengetahui kedatangan Prana dan kawan-kawan yang kemudian melaporkan pada Bagaspati.

Bagaspati anggukan kepala. “Lekas bereskan dia, Sureng!”

“Sobat kalau kau punya senjata silahkan keluarkan. Aku tak begitu senang membunuh manusia bertangan kosong!” bentak Sureng wilis yang saat itu sudah berdiri dihadapan Wiro Sableng.

Wiro Sableng garuk kepala. “Aku tak ada senjata. Bisa pinjam pedang hitammu, Bagaspati?!”

Tentu saja kemarahan Bagaspati si kepala bajak laut menjadi naik ke kepala. “Sureng! Lekas bunuh manusia keparat itu!” teriaknya.

Kapak di tangan Surengwilis menderu laksana topan. Detik senjata itu berkiblat, detik itu pulalah terdengar jeritan Surengwilis. Tubuhnya mencelat mental beberapa tombak dan kapak yang tadi dipegangnya tahu-tahu sudah berada di tangan Wiro Sableng!

Semua mata melotot besar seperti tak percaya melihat kejadianitu. Di ujung sana Surengwilis mencoba bangun dari tanah. Dia berdiri gontai seketika sambil memegangi dadanya. Mulutnya membuka seperti hendak mengatakan sesuatu tapi yang ke luar dari mulut itu bukan suara melainkan darah kental dan segar. Sesaat kemudian tubuh Surengwilis melosoh pingsan ke tanah!

“Anak-anak tangkap hidup-hidup keparat ini!” perintah Bagaspati penuh kemarahan. Habis berkata begitu dia segera menyerang Prana dengan pedang di tangan. Satu tusukkan cepat dikirimkannya kepada Prana. Ketika si pemuda bersurut ke samping kanan Bagaspati membabat dengan pedang Ekasakti yang ditangan kirinya.

Namun saat itu satu senjata aneh berkelebat ke arah kepalanya, membuat Bagaspati cepat-cepat urungkan serangan. Ketika dia berpaling senjata aneh itu membalik lagi dan menderu ke perutnya. Yang menyerang pemimpin bajak ini bukan lain Sekar dengan senjata Rantai Petaka Bumi. Kegusaran dan kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Dia membentak keras dan sekaligus tebar serangan pada Prana dan Sekar!

Sewaktu Bagaspati memerintahkan anak-anak buahnya menangkap Pendekar 212 maka lima manusia bertubuh katai maju kemuka. Masing-masing mereka memegang sebuah jala hitam. Satu diantara kelimanya berteriak memberi komando maka lima pasang tangan bergerak dan lima buah jala hitam menebar mulai dari kaki sampai ke kepala Wiro Sableng.

Pendekar 212 gerakkan kedua tangannya sekaligus! Angin deras memapasi lima buah jala itu tapi anehnya jala-jala itu tiada sanggup dibikin mental oleh pukulan dahsyat sang pendekar! Dengan kecepatan luar biasa salah satu dari jala mernjerat tangan Wiro Sableng. Murid Eyang Sinto Gendeng ini betot tangannya untuk menarik jala dan si katai yang memegangnya namun tahu-tahu jala itu bergerak cepat dan kini menjirat sampai ke bahu!

Dikejap yang sama jala kedua menjirat kaki kiri Wiro Sableng. Jala ketiga melibat pinggang, jala ke empat membungkus kepala sampai ke dada, jala ke lima melingkar di betis kaki kanan. Terdengar lagi teriakan salah satu dari lima manusia katai itu dan semua mereka menggerakkan tangan masing-masing. Maka sekali tarik saja tubuh Pendekar 212 tergelimpang dan bergulingan di tanah.

Seluruh tubuh mulai dari kaki sampai ke kepala terjerat jala! Pendekar212 kerahkan tenaga dalam ke ujung dua tangannya. Tapi kejut Wiro Sableng tidak terkirakan sewaktu menghadapi kenyataan bahwa dia tak sanggup merobek atau membobolkan jala itu dengan sepeuluh jari-jari tangannya Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya. Tetap sia-sia belaka. Malah libatan jala semakin ketat. Tubuh Wiro terhempas ke sebuah pohon.

Lima manusia katai anak buah Bagaspati segera mengurungnya. Masing-masing mereka siap membungkuk untuk menotok tubuh Pendekar 212. Wiro pejamkan mata. Mulutnya komat kamit. Pada saat sepuluh ujung jari hendak melanda menotok badannya maka terdengarlah bentakan yang luar biasa kerasnya.

“Ciaaattt...!"

Dua larik sinar putih yang panas dan sangat menyilaukan menderu! Lima manusia katai mencelat dan meraung. Ketika tubuh mereka terhempas ke tanah kelihatanlah bagaimana pakaian dan kulit mereka melepuh hangus dan hitam. Kelimanya tiada berkutik lagi tanda tak satupun saat itu dari manusia-manusia katai ini yang masih bernafas. Wiro telah lepaskan dua pukulan sinar matahari sekaligus.

Melihat Lima Jala Sakti, demikian nama kelima manusia katai itu menemui kematian maka seluruh anak buah Bagaspati segera menggempur Pendekar 212. Di lain pihak Bagaspati sendiri saat itu tengah mendesak hebat Pranajaya yang bertangan kosong dan Sekar yang bersenjatakan Rantai Petaka Bumi. Paling lama kedua muda mudi ini hanya akan sanggup bertahan sebanyak lima jurus!

Pendekar 212 memandang berkeliling. Kira-kira enam puluh orang anak buah Bagaspati yang memegang berbagai macam senjata mengurungnya sangat rapat. Wiro tak dapat menduga sampai di mana kehebatan ilmu silat bajak-bajak laut ini. Jika mereka cuma mengandalkan ilmu silat luaran, jumlah mereka terlalu banyak untuk mengeroyok satu orang musuh. Salah-salah mereka bisa baku hantam membunuh kawan sendiri. Dengan pandangan tenang, Pendekar 212 menyapu muka-muka bajak laut yang semakin maju dan memperketat pengurungan.

“Kalian mau main keroyok?!” kertak Wiro. “Boleh!” kedua telapak tangan dipentang ke muka. “Tapi sebelum kalian mulai, aku masih beri satu peringatan pada kalian! Jika kalian semua berjanji mau hidup menjadi orang baik-baik, menghentikan kerja sebagai bajak laut, niscaya aku ampuni jiwa kalian!”

Seorang bajak berbadan tegap yang cuma memakai celana dan berbadan penuh bulu meludah ke tanah! “Jangan mengigau pemuda keparat!”semprotnya. “Tubuhmu akan tercincang lumat!”

Wiro Sableng tertawa dan keluarkan siulan dari sela bibirnya. “Pulau ini Pulau Seribu Maut! Berat kalian yang keras-keras kepala akan mati dalam seribu cara! Majulah!”

Si dada berbulu memandang berkeliling. “Kawan-kawan! Mari berebut pahala menghabiskan nyawa busuk manusia edan ini!”

Habis berkata begitu dia keluarkan suara melengking hebat dan enam puluh manusia laksana lingkaran air bah datang menyerang. Wiro membentak dahsyat. Pulau itu serasa bergoncang, liang-liang telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun ke enam puluh bajak itu terus juga menyerang!Puluhan senjata berserabutan!

“Manusia-manusia tolol! Pergilah!” teriak Wiro Sableng.

Kedua tangannya diputar diatas kepala, demikian cepatnya laksana titiran. Dari kedua telapak tangan Pendekar 212 menderu-deru angin dahsyat. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur.

Sembilan belas bajak laut yang paling muka merasakan tubuh mereka seperti ditahan oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut mereka bukan main. Dan belum lagi habis kejut itu. Wiro tiba-tiba membentak sekali lagi! Kesembilan belas orang bajak laut itu berpelantingan laksana daun kering disapu angin!

Pukulan yang dikeluarkan Pendekar 21 tadi adalah pukulan angin puyuh! Bajak-bajak yang lain dengan kalap melompat ke muka dan babatkan senjata masing-masing. Wiro Sableng membentak lagi. Dan belasan bajak kembali terpelanting! Suasana menjadi kacau balau kini. Mereka berteriak-teriak tapi tak berani maju ke muka sekalipun saat itu Wiro sudah hentikan pukulan angin puyuhnya!

“Kenapa pada teriak-teriak macam monyet terbakar ekor?!” tanya Wiro mengejek. “Ayo majulah. Bukankah kalian mau mencincang aku?!”

Mendadak Pendekar 212 mendengar suara beradunya senjata dan suara seruan Sekar. Sewaktu dipalingkannya kepalanya, Wiro masih sempat melihat bagaimana pedang hitam ditangan Bagaspati berhasil memapas putus Rantai Petaka Bumi yang menjadi senjata Sekar.

Pedang hitam itu kemudian laksana kilat membabat ke perut si gadis. Sekar tak punya kesempatan mengelak karena saat itu perhatiannya telah terpukau oleh putusnya senjatanya serta rasa sakit yang menjalari lengan kanannya akibat beradu senjata tadi!

Pranajaya yang melihat bahaya itu dengan kalap dan dengan tangan kosong lepaskan pukulan angin sewu ke arah Bagaspati. Tapi tiada guna. Babatan pedang Bagaspati datang terlalu cepat dan Bagaspati sendiri masih sempat putar pedang Ekasakti di tangan kirinya untuk melindungi dirinya dari pukulan angin sewu itu!

Satu jari lagi pedang hitam di tangan kanan Bagaspati akan merobek perut dan membusaikan usus Sekar maka dari samping menderu selarik sinar putih yang dahsyat! Demikian dahsyatnya sehingga Bagaspati terpaksa tarik pulang tangan kanannya dan melompat ke belakang beberapa tombak!

“Wuusss...!”

Pukulan sinar matahari menggebu di depan hidung pemimpin bajak laut itu! Mata Bagaspati kelihatan tambah besar dan tambah merah tapi air mukanya pucat pasi! Dia sadar terlambat sedikit saja dia melompat tadi pastilah dia akan konyol dilanda sinar putih pukulan lawan! Kemarahan Bagaspati tiada terkirakan. Lebih-lebih melihat belasan anak buahnya bergeletakan pingsan di mana-mana dan yang masih hidup berdiri dengan muka pucat di tempat masing-masing, sama sekali tidak menyerang atau mengeroyok Wiro Sableng!

“Keparat! Kenapa kalian melongo semua?! Lekas bereskan setan alas yang satu ini!”

Anggota-anggota bajak laut itu bimbang seketika. Namun karena ngeri pada kemarahan serta hukuman yang kelak bakal mereka terima dari pimpinan mereka, dua puluh orang diantaranya segera maju dan serentak menyerang.

“Manusia tolol! Kalian minta mampus saja!” teriak Wiro. Dengan serta merta dia pukulkan tangan kirinya. Sinar putih untuk kesekian kalinya menderu. Dan pukulan sinar matahari yang sekali ini meminta korban enam belas jiwa bajak-bajak laut itu. Pekik maut terdengar dimana-mana!

“Siapa yang mau mampus dan ikut perintah Bagaspati silahkan maju!” teriak Wiro.

Tak satu anggota bajak pun yang bergerak ditempatnya. Jangankan bergerak, berdiripun lutut mereka sudah goyah. Sementara Bagaspati berpikir-pikir pukulan apakah yang telah dilepaskan Wiro Sableng, maka si pendekar dari Gunung Gede ini palingkan kepalanya pada pemimpin bajak laut itu.

“Bagaspati, jika kau berjanji akan mengembalikan Cambuk Api Angin, dan berjanji membubarkan gerombolan bajak yang kau pimpin selama ini lalu kembali jadi manusia baik-baik, masih belum terlambat bagimu untuk kuberi ampun!”

Bagaspati tertawa mengejek. “Kepongahan mu setinggi gunung!” jawabnya. “Meski ilmumu setinggi langit seluas lautan, Bagaspati takakan sudi menyerah padamu kecuali kalau kau yang terlebih dulu serahkan jiwa padaku!”

Wiro Sableng bersiul dan tertawa gelak-gelak. “Kau bisa juga bersyair Bagaspati. Kalau betul-betul hatimu sekeras batu tidak mempunyai kesadaran, kelak kau terpaksa bersyair di neraka! Silahkan mulai!”

“Cabut senjatamu setan alas!” bentak Bagaspati.

“Ini senjataku Bagaspati!” Wiro acungkan kedua tangannya.

“Kalau begitu kau akan mampus penasaran!”

Bagaspati lemparkan pedang Ekasakti yang di tangan kirinya. Pedang mustika milik Prana itu menderu laksana kilat ke arahnya. Wiro miringkan kepalanya sedikit. Pedang putih lewat di sampingnya dan menancap dibatang pohon kelapa.

Prana cepat mengambilnya. “Wiro, biar aku yang bikin perhitungan dengan manusia ini!”

“Ah, kau tak usah mengotori tangan dengan darah manusia maling ini, Prana,” kata Wiro pula dengan suara keras lantang.

Prana sadar bahwa Wiro telah menolongnya dari satu kedudukan yang merugikan. Dia tahu bahwa dia tak bakal sanggup menghadapi Bagaspati. Dengan berkata demikian Wiro bukan saja telah menolongnya tapi sekaligus membuat dia tidak kehilangan muka sama sekali!

“Ayo seranglah!” teriak Wiro ketika Bagaspati masih dilihatnya berdiri tak bergerak.

“Kau terlalu cepat-cepat ingin mati rupanya setan alas!” desis Bagaspati.

Tubuhnya membungkuk ke muka. Kedua kakinya melesak ke dalam tanah sampai dua dim. Ini satu tanda bahwa dia tengah kerahkan tenaga dalam dan siap untuk melancarkan serangan yang dahsyat. Didahului dengan teriakan macam serigala melolong di malam buta maka Bagaspati melesat ke muka. Dua tendangan dahsyat menderu ke arah perut dan kepala Pendekar 212 sedang pedang hitam membuat satu jurus yang mengandung lima serangan berantai.

“Ciaattt...!"

Wiro lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Meski pukulan ini berhasil membuat tendangan lawa batal namun pukulan itu sendiri kemudian dibikin buyar oleh sambaran angin pedang Bagaspati. Penasaran sekali Wiro dalam jurus kedua membuka serangan dengan jurus 'Membuka Jendela Memanah Rembulan'. Lengan kanan dipukulkan melintang dari atas ke bawah sedang tangan kiri meluncur ke atas dalam gerakan yang cepat laksana kilat sukar dilihat mata dan terdengarlah seruan tertahan Bagaspati!

Betapakan tidak. Detik itu juga dirasakannya pedang hitamnya telah terlepas dari tangan, ditarik oleh satu betotan yang dahsyat! Dan bila dia memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada di tangan Wiro Sableng.

“Ha-ha-ha, bagaimana Bagaspati?! Akan kita lanjutkan pertempuran ini?!”

Muka Bagaspati mengelam merah. “Setan alas. Kau datang ke sini untuk mencari Cambuk Api Angin bukan?! Baik! Aku akan keluarkan senjata itu. Tapi bukan untuk diberikan padamu huh...! Tapi untuk bikin kau mati konyol!”

Bagaspati selinapkan tangan ke dalam jubahnya. Sesaat kemudian maka ditangannya tergenggam sebuah cambuk berhulu gading, berwarna merah. Bagaspati mengekeh.

“Ini ambillah!” Cambuk Api Angin ditangan Bagaspati berkelebat mengeluarkan angin laksana topan dan semburan lidah api yang luar biasa panasnya!

“Prana! Sekar Lekas menyingkir!” teriak Wiro seraya buang diri ke samping beberapa tombak!

Cambuk Api angin menderu dahsyat menghantam pohon kelapa di belakang Wiro. Pohon kelapa ini terbabat putus dan baik putusan yang mental di udara maupun yang masih tinggal tertanam di tanah, semuanya hangus ditelan api. Diam-diam Pendekar 212 leletkan lidah. Di saat itu pula Cambuk Api Angin menderu kembali. Wiro kiblatkan pedang hitam milik Bagaspati.

Sementara itu dia melihat bagaimana anak-anak buah Bagaspati yang ada menyingkir sejauh mungkin! Pedang hitam dan cambuk Api Angin saling bentrokan! Api menyembur! Wiro berseru kaget dan cepat-cepat lepaskan pedang hitam di tangannya. Pedang itu berubah menjadi merah, terbakar api Cambuk sakti!

“Keparat!,” maki Wiro dalam hati. “Hebat sekali Cambuk Api Angin itu!”

Cambuk Api Angin datang bergulung-gulung. Suaranya seperti petir susul menyusul. Pendekar 212 menjadi sibuk. Melompat kian kemari dengan cepat, jungkir balik di udara dan berguling di tanah. Semua itu untuk hindarkan diri dari serangan Cambuk Api Angin yang ganas!

Pranajaya sendiri tiada menduga Cambuk Api Angin demikian hebatnya. Diam-diam pemuda ini merasa khawatir apakah Wiro akan sanggup bertahan sampai lima jurus di muka. Pakaian Wiro dilihatnya sudah kotor dan robek-robek. Rambutnya yang gondrong acak-acakan, mukanya berselemotan tanah. Dan cambuk sakti itu masih juga menderu-deru, mengejar ke mana Wiro berkelebat.

Dua jurus dimuka Pendekar 212 benar-benar dibikin sibuk sekali malah terdesak hebat dan di paksa bertahan mati-matian. Di dalam ketegangan pertempuran yang menyesakkan dada itu tiba-tiba terdengarlah gelak tertawa yang aneh dan suara siulan menggidikkan tak menentu iramanya. Dalam kejap itu pula sinar putih, kelihatan menabur angin yang memerihkan kulit menderu sedang suara seperti ratusan tawon terdengar datang dari segala jurusan dan tubuh Wiro Sableng sendiri lenyap dari pemandangan!

Bagaspati putar Cambuk Api Angin lebih cepat. Dentuman macam suara petir terdengar tiada henti. Angin laksana topan menggebu dan lidah api hampir setiap saat menyembur ganas. Namun kini gerakan gerakan yang dibuat Cambuk sakti itu tidak leluasa seperti tadi lagi. Cambuk Api Angin tertahan dalam telikungan putih sinar Kapak Naga Geni 212 ditangan Wiro Sableng. Bagaimanapun Bagaspati rubah jurus-jurus silat dan percepat permainan cambuknya tetap saja dia merasa semakin kepepet.

“Terima jurus naga sabatkan ekor ini Bagaspati!” seru Wiro.

Bagaspati hanya mendengar suara Wiro saja. Serangan Wiro yang bernama jurus naga sabatkan ekor itu sama sekali tidak sanggup dilihatnya karena cepatnya. Dan tahu-tahu...

“Craasss...!”

Lalu terdengar lolongan Bagaspati. Cambuk Api Angin terlepas dari tangan kanannya. Tangan kanan itu sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat Kapak Maut Naga Geni 212 sampai sebatas bahu. Darah menyembur kental dan merah. Bagaspati macam orang gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak seruduk macam orang celeng!

Racun Kapak Naga Geni mulai menjalari pembuluh-pembuluh darahnya. Ketika pemandangannya berkunang dan lututnya goyah tak ampun lagi pemimpin bajak ini melosoh ke tanah, berguling-guling dan menjerit-jerit tiada henti. Semua anak buahnya memandang dengan penuh ngeri.

“Bunuh saja aku! Bunuh!” teriak Bagaspati karena tidak sanggup merasakan sakit yang menggerogoti dirinya akibat serangan racun yang sudah menyusup ke seluruh tubuhnya!

Bagaspati masih terus berteriak dan berguling-guling sampai beberapa saat di muka namun kemudian ketika nyawanya lepas, maka tubuh itupun menggeletak tak berkutik lagi. Bagaspati mati dengan tubuh menelentang mulut berbusah dan mata melotot ke langit. Sungguh menggidikkan memandang tampangnya!

Pendekar 212 tarik nafas dalam. Sekali tiup saja maka lenyaplah noda darah pada mata Kapak Naga Geni 212. Dia melangkah dan mengambil Cambuk Api Angin.

“Senjata hebat,”katanya sambil geleng kepala. Lalu Cambuk Api Angin itu diberikannya pada Pranajaya.

“Terima kasih Wiro” kata Prana dengan penuh gembira tapi juga haru.

Di saat itu Wiro Sableng sudah melangkah kehadapan anggota-anggota bajak yang masih hidup. Jumlah mereka tak lebih dari tiga puluh lima orang kini.

“Kalian semua sudah lihat sendiri betapa mengerikan kematian itu!” seru Wiro dengan suara lantang. “Kuharap ini menjadi pelajaran yang baik. Berjanjilah bahwa kalian mau meninggalkan pulau ini, berhenti jadi bajak laut dan hidup sebagai manusia baik-baik. Banyak pekerjaan baik seperti jadi nelayan, petani atau berdagang! Dan atas janji kalian itu kami bertiga akan ampunkan nyawa kalian!”

Hening sejenak. Salah seorang anggota bajak tiba-tiba jatuhkan diri berlutut. Kawan-kawannya juga kemudian menyusul berlutut.

Wiro garuk-garuk kepala. “Buset...! Orang suruh berjanji kenapa pada berlutut? Memangnya aku ini Tuhan disembah-sembah. Bangun semua!” teriak Wiro.

Semua anggota banjak itu cepat bangkit berdiri. Pada paras mereka kelihatan rasa tunduk dan kesadaran serta niat untuk kembali hidup sebagai orang baik-baik.

“Tampang-tampang kalian aku kenal semua. Ingat...! Kalau kelak ada diantara kalian yang masih kutemui hidup dalam jalan jahat, kalian tahu hukuman apa yang bakal kalian terima!”

Wiro berpaling pada kedua kawannya. “Sudah saatnya kita tinggalkan tempat ini kawan-kawan.”

Prana dan Sekar mengangguk. Ketika ketiganya hendak berlalu salah seorang bekas anggota bajak berseru,

“Tunggu...!”

“Ada apa?!” tanya Wiro.

“Di pulau ini ada satu gudang besar berisi timbunan barang dan uang. Apa yang akan kami lakukan dengan benda-benda itu?!”

“Busyet kenapa jadi tolol?! Kalian bagi-bagi saja sama rata dan jadikan modal buat hidup baik-baik!” sahut Wiro.

Seorang bekas anak buah Bagaspati lainnya berkata, “Kami tidak keberatan memberikan separoh dari harta dan uang itu pada kalian bertiga!”

Pendekar 212 berpaling pada kedua kawannya lalu tersenyum. “Terima kasih sobat! Kami datang ke sini bukan buat cari harta atau uang, tapi Cambuk Api Angin. Senjata itu telah kami temui dan kami musti pergi!”

Ketika rakit mereka diseret ke tepi pantai, bekas-bekas anak buah Bagaspati itu menawarkan akan mengantarkan mereka kepantai Jawa tapi mereka menolak.

“Rakit ini cukup baik dan lebih cepat jalannya,” jawab Wiro. Dan betapa anehnya bagi bekas anak-anak buah Bagaspati itu sewaktu menyaksikan rakit tersebut meluncur dalam kecepatan luar biasa, padahal tenaga penggeraknya hanya tangan-tangan Wiro dan Prana yang dibuat sebagai pengganti dayung!

********************

Pantai Jawa telah berada dihadapan mereka dan tak lamak emudian, diwaktu sang surya mulai kemerahan warnanya di ufuk barat maka sampailah mereka di ujung timur Pulau Jawa.

“Kita telah sampai sobat-sobat ku!” seru Wiro. Dia yang pertama sekali melompat ke daratan. ”Dan ini adalah saat perpisahan kita.”

Prana dan Sekar sama-sama terkejut. Wiro sebaliknya tertawa. “Tugas mu telah selesai bukan, Prana? Cambuk Api Angin sudah berhasil ditemui...”

“Tapi Wiro...” Ucapan Prana ini dipotong oleh Wiro.

“Di lain hari kelak kita pasti akan jumpa lagi sahabat-sahabat. Ada satu hal yang ingin kukatakan pada kalian.” Wiro memandang Sekar dan Prana berganti-ganti dengan senyum-senyum. “Kalian ingat malam bulan sabit waktu kita berhenti di tepi anak sungai dulu itu?”

Prana dan Sekar saling pandang mengingat-ingat dan begitu ingat masing-masing mereka sama memandang pada Wiro.

“Maaf saja, aku mencuri dengar apa yang percakapkan saat itu...”

Paras Sekar dan Prana menjadi merah dengan serta merta. Keduanya sama tundukkan kepala. Mereka ingat malam di tepi sungai waktu mereka membicarakan soal cinta itu.

“Sobat-sobat ku, kalian boleh saja buat seribu janji. Tapi kalian pertama-tama musti kembali ke tempat guru kalian! Urusan jodoh guru kalian musti diberi tahu...” Paras kedua orang itu semakin memerah. Wiro tertawa bergelak. “Nah sobat-sobatku, selamat tinggal. Kudoakan agar kalian bahagia.”

“Wiro tunggu dulu!” seru Prana dan Sekar hampir bersamaan.

Namun tubuh Pendekar 212 sudah berkelebat. Prana merasakan tepukan pada bahunya sedang Sekar merasa cuilan pada dagunya. Sewaktu memandang berkeliling. Wiro Sableng sudah tiada lagi!

“Aku tak akan melupakan dia.“ desis Prana. “Kelak bila aku punya anak laki-laki, aku akan namakan dia Wiro.”

Prana putar kepalanya. Pandangannya bertemu dengan pandangan Sekar. Meski cuma pandang memandang, tapi semua itu menimbulkan satu kekuatan gaib yang membuat mereka saling melangkah mendekat untuk kemudian saling berpeluk. Laut, langit dan matahari sore menjadi saksi betapa mesranya pelukan itu.

T A M A T

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.