TOPENG BUAT WIRO SABLENG
KUDA coklat yang ditunggangi gadis jelita berpakaian biru tiba-tiba meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Si gadis cepat rangkul leher binatang itu dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengusap-usap tengkuknya.
“Tenang Guci… tenang! Tak ada yang perlu ditakutkan!” berkata si gadis.
“Tak ada binatang buas di hutan ini. Tak ada binatang berbisa di rimba belantara ini! Ayo jalan lagi. Kita…”
Baru saja si gadis berucap begitu tiba-tiba terdengar suara bergemerisik di atas pohon di samping kirinya. Bersamaan dengan itu terdengar suara tawa bergelak, disusul suara bentakan keras lantang.
“Di rimba ini memang tak ada binatang buas! Tak ada binatang berbisa! Yang ada aku!”
Dua sosok tubuh melayang turun dari atas pohon besar. Begitu menjejak tanah langsung berkacak pinggang sambil menatap tajam pada sang dara yang berada di atas kuda.
Orang di sebelah kanan memiliki tubuh ramping tinggi, berkulit hitam gelap, memelihata kumis melintang dan cambang bawuk. Pada kedua lengannya terdapat gelang bahar hitam besar. Pada lehernya tergantung kalung yang juga terbuat dari akar bahar berwarna hitam. Lelaki kedua lebih pendek, beralis tebal, mukanya cekung, kulitnya juga sangat hitam. Kedua orang ini sama mengenakan pakaian kuning dengan ikat pinggang besar berwarna merah darah.
Walau jelas dari tampang dan gerak-gerik menyatakan mereka bukan orang baik-baik, apalagi menghadang seperti itu tetapi gadis di atas kuda sama sekali tidak menunjukkan wajah cemas ataupun takut. Setelah menatap dengan pandangan dingin, dia lalu menegur.
“Huh! Kalian ini siapa?!”
“Adikku! Orang sudah bertanya, lekas jelaskan siapa adanya kita!” si tinggi ramping berkumis dan bercambang bawuk di sebelah kanan berkata.
Yang dipanggil adik tersenyum lebar. Kedip-kedipkan matanya pada sang dara lalu membuka mulut. “Kami adalah penguasa rimba belantara ini…”
“Hebat!” sang dara berseru seperti memuji tapi pandangan kedua matanya tetap dingin dan mimiknya menunjukkan betapa dia memandang rendah pada kedua orang itu.
“Syukur... kalau di situ tahu kami hebat! Terima kasih atas pujianmu Mirasani…”
“Eh! Bagaimana kau bisa tahu namaku?!” jelas nada suara sang dara menunjukkan rasa terkejut. Tapi wajahnya tetap saja tidak mengalami peubahan.
“Siapa yang tidak tahu Mirasani. Gadis maha cantik di kawasan ini. Memilih…”
“Sudah! Lekas katakan apa mau kalian!” sang dara memotong ucapan orang dengan bentakan.
“Sabar… sabar Mira. Apa mau kami pasti akan kami jelaskan. Hanya aku belum selesai dengan penjelasan tentang diri kami berdua,” menyahut si muka cekung. “Kami dikenal dengan julukan Sepasang Malaikat Kuning…”
“Apa? Sepasang Malaikat Kuning?!” seru sang dara lalu dia tertawa gelak-gelak. “Aku sih memang belum pernah melihat wajahnya malaikat! Tapi aku yakin betul tampang -tampang malaikat tidak seperi muka kalian! Ha ha ha…! Malaikat Kuning? Apa kalian yang kuning? Baju… Ya itu betul! Kurasa gigi kalian juga kuning hah?!”
Dua orang di depan sang dara tampak kerrenyitkan kening lalu ikut-ikutan tertawa gelak-gelak. Si cekung mengangkat tangannya. Lalu pegang bahu si tinggi ramping di sampingnya seraya berkata,
“Ini kakakku. Namanya Tumapel Kuning. Dan yang ini…” si muka cekung tudingkan ibu jari tangan kirinya ke dadanya sendiri, “Adalah Kunapel Kuning! Dan perlu kujelaskan aku adalah calon suamimu!”
Untuk pertama kalinya terlihat wajah si gadis berubah, tapi hanya sekilas. Pandangannya kembali dingin. “Jadi itu rupanya maksud kalian menghadangku! Ketika bulan tujuh diadakan perlombaan mencari jodoh mengapa kau tidak muncul?!”
Kunapel Kuning manggut-manggut. “Waktu itu kami ada keperluan penting! Lagi pula aku bukan bangsa pemuda-pemuda tolol yang mau direndahkan dengan segala macam perlombaan konyol itu!”
“Karena itu kau sengaja menghadangku di sini!”
“Tepat sekali Mira…”
“Jangan sebut namaku! Kau tidak pantas jadi suamiku!” bentak Mirasani.
“Hai!” Kunapel Kuning melengak sementara Tumapel hanya sungingkan seringai. “Tampangku tidak jelek. Lihat, alis mataku saja tebal! Kata orang laki-laki beralis tebal dapat menyenangi istri di atas ranjang! Ha ha ha…!”
“Di mataku kau tak lebih dari seekor kambing bodoh! Pergilah! Kau tidak layak jadi suamiku! Banyak pemuda yang jauh lebih keren darimu dan semua tidak kupandang sebelah mata!”
“Bisa jadi! Tapi kau belum tahu bagaimana bahagianya kalau bermesraan dengan diriku! Jangan bandingkan aku dengan pemuda-pemuda tolol itu Mira…”
“Mungkin kau pandai merayu perempuan…”
“Nah… nah! Kalau kau sudah tahu…”
“Tapi ingat! Calon suami yang aku inginkan bukan yang punya tampang gagah atau pandai merayu! Aku hanya akan memandang kemampuannya dalam ilmu bela diri! Dan mataku melihat kau tidak memiliki kemampuan itu Katapel!”
“Sialan! Nama adikku Kunapel! Bukan Katapel!” membentak Tumapel Kuning.
“Kunapel atau Katapel sama saja! Sama jelek sama tololnya!” jawab Mirasani.
“Kau belum tahu siapa adikku! Selama tiga tahun terkahir sejak dia ikut bersamaku tak seorang lawanpun sanggup menjatuhkannya! Kalau kau berusaha menghindar berarti kau menyalahi sumpah yang selama ini kau gembar-gemborkan!”
“Terus terang sebetulnya aku memberi kesempatan pada adikmu untuk tidak berlaku sembrono dan mampu mengukur diri sendiri. Tapi kalau dia memang mau dibikin babak belur kedua tanganku inipun memang sudah gatal sejak tadi!” jawab Mirasani.
“Kalau adikku sanggup menjatuhkanmu, kau tak akan mengingkari sumpah dan kawin dengannya?!” tanya Tumapel Kuning.
“Itu sumpahku dan itu yang harus kupenuhi!” jawab Mirasani pula.
“Kalau begitu kau turunlah dari kudamu! Biar cepat urusan ini diselesaikan dan kita bisa duduk di pelaminan!” kata Kumapel Kuning pula sambil tertawa lebar.
Sang dara ikut tertawa tapi tawa penuh mengejek. “Untuk mengahdapi orang sepertimu tidak perlu harus turun dari kuda! Lakukan apa maumu! Silahkan menyerang! Jika kau sanggup menjatuhkan aku ke tanah aku akan menyerahkan diri sebagai calon istrimu!”
“Menghina sekali! Terlalu menganggap rendah!” ujar Tumapel Kuning tidak senang.
“Tenang saja kakakku! Aku suka calon istri yang seperti ini! Sekali dia kujatuhkan ketanah akan kurangkul, kupeluk dan kuciumi sekujur auratnya! Ha ha ha!”
Di atas kuda Mirasani mengelus-elus kuduk kuda tunggangannya, membuat agar binatang itu tetap tenang, tidak takut atau terpengaruh oleh serangan orang. “Tenang Guci… Jangan takut. Ikuti isyarat dan perintah yang aku berikan…”
“Mira! Lihat jurus pertama!” Tiba-tiba Kumapel Kuning berseru. Tubuhnya yang kekar melesat ke depan dalam satu lompatan di mana kaki kanan langsung melancarkan serangan tendangan. Orang ini berlaku cerdik.
Yang diserangnya bukanlah kaki atau tubuh Mirasani, melainkan tulang-tulang rusuk kuda tunggangan sang gdara. Menurut perhitungannya, jika tendangannya membuat amblas tulang-tulang rusuk binatang itu hingga tergelimpang jatuh, dengan sendirinya Mirasani akan terbawa jatuh. Di situ dia lalu akan menubruk dan merangkul sang dara, membuatnya tak berdaya!
Apa yang ada dalam benak dan rencana Kunapel Kuning memang masuk akal dan akan berhasil jika saja lawan memiliki kepandaian lebih rendah. Tapi yang kemudian terjadi adalah berlainan dari yang diharapkan si muka cekung itu. Tendangan Kunapel Kuning datang menderu deras, mengarah rusuk kiri kuda coklat bernama Guci.
Di saat yang sama Mirasani tekankan tumit kirinya ke badan kuda. Binatang ini maju satu langkah ke depan dan tiba-tiba sekali kaki belakang sebelah kirinya melesat ke samping.
Kunapel Kuning berseru kaget ketika melihat kaki kuda menyapu ke bawah, laksana pedang membabat ke arah betisnya! Cepat-cepat lelaki ini tarik pulang tendangannya karena begaimanapun betisnya tak akan tahan menghadapi benturan keras dengan kaki kuda. Bersamaan dengan itu tangan kanannya bergerak. Dua jari menusuk ke arah pangkal paha Guci. Ini merupakan satu totokan ganas karena bukan saja dapat membuat kaku sebagian tubuh Guci, malah bisa membuatnya lumpuh seumur hidup!
“Totokan jahat!” desis sang dara dalam hati yang rupanya juga sudah memaklumi bahaya tusukan dua jari kanan lawan.
Kembali tumit kirinya bergerak menekan badan Guci dua kali berturut-turut. Kuda besar coklat itu mendadak memutar tubuhnya setengah lingkaran. Pinggul yang besar dan keras binatang itu menghantam pinggul dan bahu kanan Kunapel Kuning, membuat orang ini terbanting keras dan hampir jatuh tunggang langgang kalau tidak cepat mengimbangi diri dengan gerakan jungkir balik di udara.
Dengan wajah mengelam dan dada turun naik Kunapel Kuning berdiri di samping kakaknya. Kedua tangannya terkepal. Mulutnya bergetar dan pelipisnya menggembung.
“Kehebatan gadis ini bukan omong kosong. Tapi dia hanya menggunakan kudanya. Kekuatannya sendiri belum kujajal!” berkata Kunapel Kuning dalam hati. Maka kini dia siap membuka jurus ketiga dengan menyerang langsung ke arah si gadis. Yang ditujunya adalah bagian pinggang Mirasani.
Tetapi ketika si gadis cepat berkelit, lebih cepat lagi Kunapel Kuning merubah gerakan serangannya. Yang diincarnya kini ialah kaki kiri sang dara. Kedua tangannya melesat ke depan untuk merengut betis Mirasani dan melontarkan gadis itu dari punggung kudanya ke tanah!
Di atas kuda sang dara tusuk badan Guci dengan tumit kiri kuat-kuat hingga binatang ini meringkik lalu sabatkan kaki depan sebelah kiri ke belakang.
"Bukkk...!"
Kunapel Kuning yang tidak menduga akan mendapat serangan berbalik seperti itu tak punya kesempatan untuk mengelak. Lelaki ini mencelat mental dan menjerit keras. Tubuhnya terhantar ke tanah, sulit bergerak ataupun bagkit karena tulang pinggulnya retak besar!
“Aku sudah memperingatkan sebelumnya!” berkata Mirasani. “Kau tidak punya tampang dan kemampuan untuk menjadi calon suamiku! Jadi jangan menyesal!”
Kunapel Kuning keluarkan suara menggereng, entah karena sakit entah karena marah. Dia berpaling pada kakaknya seolah-olah memberi isyarat agar si kakak melakukan sesuatu.
“Adikku!” ujar Tumapel Kuning, “Nasibmu sial sekali. Agaknya akulah yang berjodoh dengan gadis berbaju biru itu…”
“Sial! Kau yang sialan Tumapel!” teriak si adik. Sebelumnya tak ada rencana bahwa kakaknya itu berhasrat terhadap sang dara. Rupanya setelah melihat kecantikan Mirasani Tumapel Kuning tertarik juga dan jadi blingsatan.
“Mirasani!” berseru Tumapel Kuning. “Aku mendapat firasat bahwa kau berjodoh jadi istriku! Maksudku istri paling muda karena sampai saat ini aku sudah punya empat istri dan lebih dari setengah lusin simpanan!”
“Kau laki-laki hebat!” mulut si gadis memuji tapi air mukanya menunjukkan rasa jijik. “Apa yang terjadi dengan adikmu tidak membuka matamu! Kalau kau ingin mengambilku jadi istrimu, majulah cepat!”
“Ha ha ha! Akan kurasakan kehangatan tubuhmu jika bersentuhan!” ujar Tumapel Kuning. Dia kencangkan ikat pinggang merahnya. Lalu melangkah maju mendekat. Dia sengaja datang dari arah kepala kuda. Kedua kakinya menekan ke tanah kuat-kuat, tubuhnya melesat ke udara melewati kepala kuda. Ketika menukik turun tangan kanannya meluncur cepat ke arah dada Mirasani.
“Manusia cabul kurang ajar!” sang dara membentak marah. Pandangan matanya berkilat.
“Aku bukan manusia cabul! Pantas kalau seorang calon suami menjajaki dulu sampai di mana kencangnya tubuh calon istrinya!” menyahuti Tumapel Kuning. Dan gerakan orang ini memang luar biasa cepatnya hingga tahu-tahu ujung jarinya sudah menempel di pakaian biru sang dara.
Ketika tangan itu hendak meremas, di atas punggung kuda Mirasani jatuhkan dirinya ke belakang sama rata di atas punggung kuda. Bersamaan dengan itu kaki kirinya menendang ke atas.
Tumapel Kuning rupanya sudah tahu gelagat. Tangan kanan yang tadi dipergunakannya untuk menjamah payu dara Mirasani kini dipakai sebagai tumpuan pada lutut si gadis. Begitu lutut Mirasani sempat dipegangnya maka lutut itu dipergunakan sebagai tumpuan untuk membuat lompatan ke depan, meluncur sama rata dengan tubuh Mirasani, malah dia berada di sebelah atas!
“Kurang ajar!” teriak sang dara ketika dapatkan tubuhnya hampir kena tindih oleh Tumapel Kuning. Secepat kilat kedua tinjunya dipukulkan ke atas. Satu menghantam ulu hati, satu lagi menderu ke arah dada lawan.
"Bluk-bluk...!" Dua jotosan keras itu tidak dapat mengenai sasarannya karena keburu tertangkap dalam telapak tangan kiri kanan Tumapel Kuning.
“Setan!” maki Mirasani. Perutnya mengumpul tenaga dalam, ketika dia menyentak ke atas tak ampun lagi tubuh Tumapel Kuning yang ada di atasnya terpental, jatuh dua tombak di sebelah kiri. Mirasani sendiri ikut jatuh merosot ke samping kiri sosok tubuh kudanya.
“Curang! Kau menggunakan tenaga dalam!” teriak Tumapel Kuning marah.
“Aku tidak akan pergi! Apa kau lupa kalau kau adalah bakal istri mudaku yang kelima?!”
“Tolol dan keras kepala!” maki Mirasani.
Tumapel Kuning menyeringai. Kencangkan ikat pinggang lalu melangkah memutari sang dara. Mirasani menepuk pinggul kudanya. Binatang ini melangkah menjauh hingga kini dia berhadapan langsung dengan Tumapel Kuning di tengah kalangan perkelahian.
“Ayo seranglah!” teriak Mirasani.
Kembali lelaki itu menyeringai. Dia bergerak mendekat. Saat itu didengarnya adiknya berseru. “Tumapel, jika kau berhasil mengalahkan gadis itu, berikan dia padaku. Aku akan mengganti dengan apa saja yang kau minta!”
“Boleh-boleh saja Kunapel! Tapi malam pertamanya tetap bersamaku!” sahut Tumapel pula lalu dia membuka serangan yang disambut sang dara dengan cepat.
Perkelahian berkecamuk hebat. Ternyata Tumapel Kuning memiliki ilmu silat luar yang tangguh. Dalam empat jurus saja Mirasani tampak terdesak hebat. Hanya saja karena Tumapel menyadari kalau sang dara memiliki kekuatan tenaga dalam lebih tinggi maka dia tak berani melakukan bentrokan langsung. Namun dia yakin paling lambat dalam sepuluh jurus di muka dia akan berhasil merobohkan sang dara. Sebaliknya sang dara sendiri walau terdesak hebat tampak tenang-tenang saja.
Memasuki jurus kedelapan tiba-tiba terjadi perubahan total. Gempuran-gempuran Tumapel Kuning amblas dalam pertahanan tangguh sang dara lalu di jurus kesembilan Tumapel mulai terdesak. Serangan-serangan kaki dan tangan Mirasani merajalela membuat lelaki tinggi ramping itu harus bertahan mati-matian. Di jurus kesebelas tinju kanan Mirasani mendarat di dadanya, membuat Tumapel Kuning terjajar kebelakang dan mengeluh menahan sakit. Jurus kedua belas pelipisnya kena dihantam dari samping hingga mencucurkan darah.
“Gadis binal! Akan kutelanjangi kau di sini juga!” teriak Tumapel Kuning marah. Tangan kirinya bergerak ke balik punggung pakaian kuningnya. Sesaat kemudian sebilah golok sepanjang tiga jengkal lebih melintang berkilat di depan dadanya. “Kau pilih mati atau menyerah!”
“Begini rupanya kemampuanmu! Mengandalkan senjata menghadapi perempuan!”
“Tak ada perjanjian apakah harus dengan tangan kosong atau pakai senjata! Kalau kau punya senjata keluarkan saja!”
“Senjataku hanya ini!” jawab Mirasani seraya mengangkat tangan kanannya.
Sekilas Tumapel Kuning melihat tanda merah pada telapak tangan kanan si gadis itu. Mendadak ada rasa tidak enak ketika melihat tanda itu. Namun karena sudah ditimbun amarah maka dia langsung saja menyerbu dengan goloknya. Senjata itu mengeluarkan suara menderu-deru ketika membelah udara, menghambur serangan ke arah Mirasani.
Dara berbaju biru itu mundur beberapa langkah lalu sambil miringkan tubuh dia kirimkan tendangan terobosan ke arah lambung lawan. Tumapel Kuning membabat ke bawah. Sekali goloknya menabas kaki sang dara pastilah kaki itu terputus kutung!
Tapi Mirasani tidak semudah itu dipecundangi. Sejak masih berumur lima tahun gadis ini telah mendalami ilmu silat yang diramu dari tujuh perguruan terkenal di tanah jawa. Dia membuat gerakan yang menyebabkan mata golok hanya lewat seujung kuku di samping betisnya. Begitu tabasan senjata lawan least kaki yang menendang terus mencua ke atas, terdengarlah pekik Tumapel Kuning disertai suara...
"Kraakkk...!"
Tulang ketiak lelaki tinggi ramping itu remuk dan lengan kanannya kini terkulai. Sakitnya bukan main sementara goloknya mental entah ke mana!
“Manusia-manusia tolol! Kalian sudah menerima bagian masing-masing!” kata sang dara lalu melangkah mndekati kudanya.
“Tunggu! Kita belum mengadu kekuatan tenaga dalam!” tiba-tiba terdengar seruan Kunapel Kuning. Lelaki ini telah berdiri sambil memasang kuda-kuda, siap untuk menghimpun tenaga dalam di tangan kanan.
Mirasani mencibir. “Kudaku saja tak sanggup kau hadapi! Masih berani menantang!” Lalu si gadis itu melompat ke punggung Guci dan membedal kudanya meninggalkan tempat itu.
Suto Klebet duduk berhadap-hadapan dengan istrinya di ruang tengah gedung kediamannya yang besar. Dari wajah mereka jelas kedua suami istri ini sedang diselimuti rasa gundah kalau tidak mau dikatakan cemas. Setelah berdiam diri beberapa lamanya akhirnya Rayu Komala, sang istri, membuka pembicaraan.
“Yang aku kawatir kangmas, kalau-kalau anak kita itu akan menjadi perawan tua karena ulahnya sendiri…” Karena suaminya tidak menyahuti maka Rayu Komala meneruskan ucapannya. “Aku tak habis pikir, apa sebenarnya yang menjadi tujuan Mira. Mengapa dia jadi sampai membawa sifat seperti itu. Ada satu lagi kekawatiranku. Jika muncul seorang jago silat dari golongan hitam, atau tua bangka jahat yang sanggup merobohkannya, apa jadi nasib anak itu bersuamikan orang seperti itu…”
Suto Klebet masih diam saja. Istrinya jadi merengut dan berkata, “Jangan diam saja kangmas. Kita harus mencari jalan. Jangan cuma berpangku tangan…”
“Aku sama sekali tidak berpangku tangan Rayu. Akupun sebenarnya cemas. Ingat apa kata-kata perempuan tua dukun beranak yang menolongmu melahirkan Mira sembilan belas tahun lalu…? Ketika lahir anak itu membawa tanda merah pada telapak tangan kanannya. Dukun beranak itu lalu membisikkan penjelasan bahwa kelak bayimu akan menjadi seorang pesilat ampuh, memiliki watak aneh dan kalau punya suami hanya memilih seorang yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari dia. Ucapan dukun beranak itu sekarang terbukti benar. Seharusnya setelah kita mendapat penjelasan itu kita tidak menyuruhnya berguru pada Ki Demang Juru Gampit. Hampir sebelas tahun orang sakti itu menggemblengnya hingga dia menjadi pendekar perempuan yang tangguh. Kita tak bisa menyalahkan Ki Demang…”
“Betul ucapanmu kangmas. Kita tak bisa menyalahkan orang tua itu. Tapi jika kita bisa bicara dengannya dan meminta pendapatnya, lalu dia memberi petunjuk pada Mira mungkin gadis itu bisa merubah segala tabiatnya. Terutama yang menyangkut perjodohan dirinya. Gadis seusia dia seharusnya sudah bersuami. Paling tidak sudah memiliki calon suami. Dan sekarang kau lihat saja kangmas. Di luar sana ada lagi dua orang pemuda yang menunggunya, berminat untuk menjajal ilmu silatnya. Bukan untuk merendahkan orang, tapi kalau anak kita sampai kawin dengan lelaki yang tidak tahu juntrungan dan keturunannya apa tidak malu. Kita turunan bangsawan, masih punya hubungan dekat dengan Keraton karena salah seorang adikku jadi garwo dalem (istri) Sultan, apa tidak malu kangmas…?”
“Aku sudah berusaha mencari Ki Demang Juru Gampit. Tapi orang tua sakti itu lenyap entah ke mana. Mungkin dia tengah mengelana atau bertapa di satu tempat tersembunyi. Dan tentang dua pemuda yang datang itu, mengapa tidak kau katakan saja anak kita tak ada di rumah, lalu menyuruh mereka pergi?”
“Bukan Mira berulang kali menyampaikan pesan. Jika ada yang datang harus diminta menunggu sampai dia kembali walau itu bisa satu atau dua hari. Kalau kita abaikan pesannya dan dia mengetahui, kita bisa kesalahan lagi…”
Suto Klebet hanya bisa geleng-gelengkan kepala lalu kedua suami istri itu berdiam diri sampai di halaman terdengar suara derap kaki kuda.
“Mira datang…” kata Rayu Komala lalu bangkit dari kursinya.
Suto Klebet mendahului menuju ruang depan. Begitu sampai di langkan depan Mirasani segera melihat dua orang pemuda yang sejak lama berada dan menungu di situ. Pemuda pertama mengenakan pakaian hitam, berikat kepala merah, membekal sebilah keris dipinggangnya. Wajahnya cukup tampan dan potongannya menyatakan dia memang seorang ahli silat.
Pemuda kedua berkulit putih. Sikapnya tampak halus. Karena memelihara rambut panjang wajahnya hampir seperti perempuan. Dia mengenakan pakaian putih sederhana dan memegang sepotong bambu kuning sebesar ibu jari. Sudah tahu apa maksud kedatangan orang, Mira tidak terus ke dalam. Dia langsung menegur.
“Siapa di antara kalian yang datang lebih dulu?”
Pemuda berkulit putih cepat berdiri dan menjura. “Namaku Suryo Kemikis. Aku datang dari selatan gunung Merapi. Anak murid perguruan silat Teratai Putih. Guruku…”
Mira mengangkat tangannya. “Aku tidak butuh keterangan panjang lebar. Aku hanya ingin tahu apakah kau mampu menghadapiku sampai sepuluh jurus! Jika aku kalah aku akan tunduk dan menjadi istrimu…”
Sepasang mata pemuda bernama Suryo Kemikis berkilat-kilat karena dua hal. Pertama karena merasa dianggap enteng mendengar Mirasani menyediakan sepuluh jurus untuknya. Kedua karena melihat kenyataan bahwa gadis yang namanya tersiar ke mana-mana itu bukan saja cantik tetapi juga memiliki potongan tubuh yang menggiurkan. Betapa bahagianya kalau dapat memperistrikannya. Dan turunan bangsawan serta hartawan pula!
Ketika Mirasani mendahului melompat ke halam depan saat itulah kedua orang tuanya muncul. Ibunya langsung berseru, “Mira... Kau pergi dari pagi. Sebaiknya kau membersihkan diri dulu lalu makan. Kau perlu istirahat… anakku!”
“Melayani tamu dua orang ini tidak akan makan waktu lama ibu. Aku akan membuktikannya…” Lalu Mirasani melambaikan tangna, memberi isyarat pada Suryo Kemikis untuk turun ke halaman depan. “Sebelum kita mulai…“ Suryo Kemikis berkata begitu berhadapan dengan Mirasani. “Apakah saya berhadapan dengan den ayu Mirasani? Saya tak mau kesalahan tangan…”
“Bagus! Sikapmu tak mau gegabah, kau memang berhadapan dengan Mirasani. Calon istrimu jika kau mampu mengalahkanku. Kulihat kau membawa tongkat bambu. Apakah kau akan bertanding mengandalkan tongkat itu…?”
Si pemuda tersenyum. “Tongkat ini hanya bawaan iseng saja den ayu. Aku akan mengadu nasib dengan tangan kosong saja.” Lalu Suryo Kemikis sisipkan tongkat bambu kuningnya ke pinggang dan pasang kuda-kuda. “Mohon petunjuk, apakah saya yang mulai menyerang atau den ayu lebih dulu.”
“Karena kau yang minta digebuk, maka kaulah yang harus menyerang lebih dulu!” sahut Mirasani.
Suryo Kemikis tersenyum tapi hati pemuda ini mulai terbakar karena ucapan-ucapan sang dara berbaju biru selalu merendahkannya. Pemdua dari kaki gunung Merapi ini telah mendalami ilmu silat selama empat belas tahun pada perguruan silat yag cukup terkenal yakni Teratai Putih. Perguruan ini merupakan pecahan dari sebuah perguruan silat yang sangat rahasia di mana kabarnya hanya orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan Keraton yang boleh berguru. Ketika Suryo Kemikis bergerak melangkah, membuat gerakan meliuk yang indah pada pinggang sementara kedua tangannya diayun-ayunkan seperti penari maka itulah jurus pertama!
Mirasani menunggu sampai si pemuda berada cukup dekat. Lalu lengan kirinya dikibaskan, memotong gerakan lawan. Dia sengaja mencari bentrokan karena hendak menjajal kekuatan orang. Tapi Suryo Kemikis yang sudah mendengar banyak tentang kehebatan dara ini cepat menarik tangan kanan dan bersamaan dengan itu susupkan tangan kirinya dalam gerakan satu sodokan ke arah ulu hati sang dara. Mirasani yang diserang tiba-tiba memutar tubuh, bergerak satu lingkaran penuh dan...
"Wuttt...!"
Kaki kiri sang dara membabat ke atas, menghantam ke arah kepala Suryo Kemikis! Pemuda itu tersentak kaget. Tidak menyangka daya capai kaki lawan jauh dan begitu cepat pula gerakannya. Secepat kilat dia rundukkan kepala. Kaki lawan lewat setengah jengkal dari batok kepalanya. Sambil miringkan tubuh ke kiri, selagi kaki kiri lawan masih berkelebat di udara dan seluruh berat tubuh Mirasani hanya bertumpu pada kaki kanan, Suryo Kemikis hantamkan kaki kanannya untuk menyapu kaki lawan yang menginjak tanah. Memang kalau labrakan ini mengenai sasaran, tubuh Mirasani pasti akan jatuh!
Tapi betapa terkejutnya Suryo Kemikis ketika kaki yang hendak diterjangnya itu tiba-tiba melompat ke atas. Bersamaan dengan itu tubuh sang dara ikut melesat lalu ada suara menderu di atas kepalanya. Mendongak ke atas si pemuda melihat tangan kanan lawan yang membentuk tinju menjotos deras ke arah batok kepalanya. Untuk kedua kalinya Suryo Kemikis tundukkan kepala dan selamat.
Namun pukulan lawan ternyata terus mengejar ke kanan dan bersarang di bahunya tanpa dia dapat mengelak lagi. Meskipun Suryo Kemikis memiliki sejenis ilmu bertahan yang disebut Meredam Pukulan Membendung Tendangan sehingga ketika pukulan atau tendangan lawan mengena, daya hantamnya yang keras dapat dikurangi, tetapi tetap saja pemuda ini terbanting ke kanan.
Untuk mencegah agar tubuhnya tidak terbanting mencium tanah Suryo Kemikis cabut tongkat bambunya, menunjang tubuhnya dengan tongkat itu lalu berjumpalitan. Di lain kejap dia sudah tegak enam langkah di depan Mirasani. Tangan kiri memegang tongkat dengan tubuh tampak miring ke kanan. Mungkin tulang bahunya yang patah, paling tidak retak akibat hajaran sang dara tadi.
“Kau sanggup mengelakkan jurus Kincir Berputar tapi tidak mampu menghindar jurus Alu Besi Membobol Lesung!” kata Mirasani menyebutkan dua jurus yang tadi dikeluarkannya untuk menempur si pemuda. Mulutnya menyunggingkan senyum mengejek. “Saatnya kau meninggalkan tempat ini Suryo Kemikis!”
“Tidak! Aku belum kalah! Aku belum jatuh menyentuh bumi!” sahut Suryo Kemikis.
“Bukankah syaratmu adalah kalau bagi siapa yang tubuhnya roboh menyentuh tanah….?!”
Mirasani tertawa pendek. “Matamu buta melihat kenyataan! Otakmu tumpul menilai keadaan! Manusia macammu memang tak layak jadi suamiku! Majulah jika kau ingin meneruskan pertandingan! Jangan ragu-ragu mempergunakan tongkat bambumu sebagai senjata!”
Ditantang begitu Suryo Kemikis jadi panas. Rahangnya menggembung. Didahului satu bentakan pemud aini menyerbu sambil putar tongkat ambunya demikian rupa hingga mengeluarkan suara menderu dan cahaya kekuningan bertebar.
“Hemm… Jurus Tabir Kipas itu tak ada gunanya bagimu! Apalagi untuk merobohkanku!” ujar Mirasani.
Suryo Kemikis terkejut ketika mendengar lawan mengetahui bahkan menyebut jurus serangan yang tengah dilancarkannya. Segera dia robah jurus yang baru dilancarkan setengahnya itu. Gerakan tongkatnya kini langsung menghujam lurus ke arah kepala sang dara. Sedikit lagi akan sampai tiba-tiba tongkat itu menukik ke bawah menghujam dada!
“Jurus Gendewa Jatuh!” seru Mirasani menyebut jurus yang dimainkan lawan.
Lagi-lagi hal itu membuat Suryo Kemikis terkesiap sehingga gerakannya menyerang agak terpengaruh. Saat itulah sang dara berkelebat ke depan. Tangan kanannya berputar lurus tapi dalam gerakan agak melintir. Inilah jurus Alu Besi Membobol Lesung yang dilancarkan dalam gerakan lurus. Suryo Kemikis melihat jelas serangan itu namun sama sekali tidak berkesempatan untuk selamatkan dadanya yang jadi sasaran.
"Bukkk...!"
Terdengar keluhan tinggi disertai mentalnya tubuh Suryo Kemikis. Pemuda ini tergelimpang di dekat tangga gedung. Tak berkutik beberapa lamnya. Ketika dia mencoba bangkit dari mulutnya menyembur darah segar. Suryo Kemikis kembali tergelimpang, kali ini pingsan tak sadarkan diri lagi!
Mirasani sama sekali tidak memperdulikan apa yang dialami Suryo Kemikis. Dia berpaling pada pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah yang tegak di anak tangga gedung memandangi sang dara dengan pandangan entah kagum entah kecut.
“Giliranmu sekarang!” berseru Mirasani.
Si baju hitam melangkah tenang. Empat langkah di hadapan Mirasani dia menjura lalu berkata. “Harap maafkan kalau aku terlalu bodoh memberanikan diri mencoba nasib…”
Mirasani tersenyum kecil. “Aku senang melihat sikapmu yang merendah. Tapi kalau bicara soal nasib, ketahulah nasibmu tak bakal lebih baik dari oemuda bernama Suryo Kemikis itu!” Mirasani melangkah pulang balik sambil berkacak pinggang. “Kuliaht kau membawa keris! Kau boleh menggunakan senjata itu menghadapiku!”
“Aku lebih suka kalau diberi petunjuk dengan tangan kosong saja…”
“Hem... Pemuda satu ini sopan sekali sikapnya. Hanya sayang dia pasti tak bisa mengalahkanku,” membatin Mirasani. Lalu dia bertanya “Siapa namamu, kau datang dari mana dan siapa guru silatmu?!”
“Namaku buruk saja den ayu. Jalak Turonggo. Aku datang dari pantai utara. Soal siapa guruku, mohon maaf, aku sudah dipesan untuk tidak menjual nama guru ke mana-mana. Lagi pula kehadiranku di sini adalah kemauanku sendiri…”
“Bagus! Kau memang orang silat sejati. Majulah!”
Meskipun agak sungkan namun pemuda bernama Jaka Turonggo ini bergerak juga melancarkan serangan pertama. Meski sikap dan tutur bicaranya sangat sopan namun serangannya ternyata ganas. Jurus pertama itu dibukanya dengan mengelilingi tubuh si gadis secara cepat lalu tiba-tiba luncurkan serangan ke arah samping kiri Mirasani.
Walau tidak seperti tadi yakni cepat dapat menebak dan menyebut jurus serangan lawan, namun mata Mirasani yang tajam sudah dapat melihat keganasan serangan lawan. Di balik keganasan itu matanya yang jeli dan otaknya yang tajam sekaligus dapat pula melihat sudut kelemahan serangan si pemuda. Maka diapun keluarkan seruan tinggi dan berkelebat.
Perkelahian berkecamuk hebat. Tiga jurus berlalu cepat. Memasuki jurus keempat mendadak Jalak Turonggo berseru kaget ketika dia mendaptkan keris yang sebelumnya terselip di pinggangnya lenyap! Memandang ke depan dilihatnya senjata itu sudah berada dalam genggaman tangan kiri Mirasani! Sadarlah si pemuda, jika sang dara mau pasti dia sudah dapat menyusupkan pukulan berbahaya. Maka Jalak Turonggo rapatkan kedua kakinya, membungkuk sambil merapatkan kedua belah tangan dan berkata,
“Terima kasih atas petunjukmu. Jelas bagiku den ayu bukan tandinganku. Aku terlalu bodoh bercita-cita mendapatkan istri sepertimu…” Pemuda itu membungkuk sekali lagi.
Mirasani tersenyum. Hatinya cukup senang melihat pemuda yang sangat sopan dan tahu diri ini. Maka dikembalikannya keris Jalak Turonggo seraya berkata. “Kau menerima kekalahan dengan hati lapang. Aku suka bersahabat denganmu. Sebagai seorang sahabat aku layak minta tolong…”
“Maksud den ayu?” tanya Jalak Turonggo.
“Tolong bawa tubuh pemuda bernama Suryo Kemikis itu dari sini…”
Jalak Turonggo sebenarnya merasa tidak senang dengan permintaan itu, namun akhirnya dia mengangguk juga lalu memanggul tubuh Suryo Kemikis yang masih pingsan dan pergi dari situ. Baru saja Jalak Turonggo lenyap di kelokan jalan dan Rayu Komala berseru memanggil anaknya agar segera masuk kedalam, Mirasani melangkah cepat ke arah sebuah arca dekat pintu gerbang halaman sebelah kiri.
Di situ tampak duduk seorang pemuda berpakaian seba putih, ikat kepalanya juga putih. Rambutnya yang panjang menjela bahu. Dia duduk sambil menopangkan dagunya pada kedua tangan. Wajahnya sebetulnya gagah tapi lagaknya yang aneh membuat dia seperti seorang pemuda tolol.
“Sejak tadi aku melihat kau duduk di sini. Apa keperluanmu?!” Mirasani menegur.
Si pemuda cepat berdiri, menjura hormat, menggaruk kepalanya, tertawa lebar lalu menjawab. “Maafkan saya datang tidak memberi salam. Semua karena kagum melihat perkelahian hebat tadi…”
“Sudah, tak perlu bicara panjang lebar. Jawab saja apa yang aku tanya!” tukas Mirasani.
“Aku yang tolol ini berniat mengikuti jejak dua pemuda tadi. Siapa tahu…”
“Memang hanya orang tolol yang mau digebuk! Bersiaplah!” sahut sang dara.
Pemuda berpakaian putih itupun tegak bersiap-siap. Caranya berdiri tampak lucu. Tubuh agak miring dan kaki kanan setengah bersilang dengan kaki kiri.
Sikapnya ini membuat Mirasani jadi jengkel. “Silahkan menyerang!” hardiknya.
Si pemuda garuk kepalanya. “Tadi di situ yang berkata mau menggebuk. Biar di situ saja yang lebih dulu menyerang!”
Gusarlah Mirasani. Sekali lompat saja tubuhnya melesat ke depan lalu membalik berputar satu lingkaran dengan kaki menendang deras.
“Jurus Kincir Berputar yang bagus!” seru si gondrong menyebut jurus serangan yang dilakukan sang dara.
Terkejutlah Mirasani. Dara ini langsung hentikan serangannya, bertolak pinggang dan memandang tajam pada si pemuda. “Kau mengenali jurus yang kumainkan! Siapa kau sebenarnya?!”
“Aku pemuda tolol bernama Wiro Sableng, datang kesasar dari puncak gunung Gede di ujung barat pulau Jawa. Guruku seorang nenek benama Sinto Gendeng… Harap dimaafkan kalau aku membuatmu tidak senang…”
“Jadi kau… kau Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!”
“Begitulah orang memberi gelar pada diriku yang jelek dan tolol ini!”
Berubahlah paras Mirasani. Dia pernah mendengar dari gurunya Ki Demang Juru Gampit bahwa di tanah Jawa ini ada beberapa tokoh silat yang berkepandaian sangat tinggi. Banyak di antara mereka yang mengucilkan diri tidak mau dikenal, tidak mau terlalu mencampuri urusan dunia persilatan. Namun ada pula di antara mereka yang malang melintang berbuat kebajikan, menolong orang-orang yang tertindas, membasmi kejahatan.
Salah satu di antaranya adalah yang dikenal bernama Wiro Sableng, seorang yang kabarnya berperangai aneh lucu dan bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Namun tidak pernah disangkanya kalau sang pendekar ternyata adalah seorang pemuda padahal sebelumnya dia menduga pendekar itu pastilah seorang yang sudah kakek tua renta!
“Hai! Kau seperti melamun! Bagaimana ini? Apakah urusan ini bisa diteruskan…?” Wiro berseru.
“Ah, hari ini mungkin hari terakhir ku bertanding. Aku punya firasat tak bakal menang menghadapi pemuda ini!” Mirasani membatin. Lalu dengan menabahkan hati dia melangkah mendekat. Dari jarak tiga langkah gadis ini langsung menyerbu, menghujani Pendekar 212 dengan serangan-serangan cepat dan ganas.
“Jurus Alu Besi Membobol Lesung… ah itu jurus Elang Mematuk Puncak Menara… Eit! Jurus Ular Keluar Sarang Memagut Mangsa dan ini jurus Bintang Memagar Rembulan. Hebat… Semua hebat! Tapi lihat akupun bisa memainkannya!"
Terdengar seruan Wiro berulang kali yang membuat Mirasani kaget tidak kepalang dan lebih kaget lagi ketika dilihatnya pemuda itu memainkan jurus-jurus yang dikelaurkannya hingga dirinya menjadi terdesak dan ketika satu sapuan pada salah satu kakinya membuat dia kehilangan keseimbangan, tak ampun lagi dara inipun jatuh terlentang di tanah!
Di langkan rumah Suto Klebet dan Rayu Komala terbeliak menyaksikan kejadian itu. keduanya saling pandang sesaat.
“Kangmas… Agaknya…”
“Ya… ya! Ini akhir dari segala-galanya. Anak kita telah menentukan pilihannya sendiri!” kata Suto Klebet menyamung ucapan istrinya lalu keduanya turun ke halaman.
Saat itu Mirasani sudah bangkit berdiri sambil merapikan pakaiannya. Wajahnya tampak kemerahan bukan karena malu dikalahan tapi karena jengah menghadapi pemuda yang kini sudah resmi menjadi calon suaminya sesuai dengan apa yang selama ini menjadi kaulnya.
“Kau tahu semua jurus-jurus seranganku! Kau sanggup memainkannya, malah meredam dalam bentuk bertahan dan kalau dipakai menyerang jauh lebih hebat dari yang kumiliki. Apakah kau pernah menjadi murid guruku Ki Demang Juru Gampit?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya lalu menggeleng. “Ki Demang Juru Gampit, gurumu itu adalah seorang tua yang bersih dan alim, hampir mendekati kesucian seorang Wali. Aku yang brandalan ini mana mungkin jadi muridnya!”
“Lalu bagaimana kau bisa tahu semua jurus -jurusku malah memainkannya dan bahkan merubuhkanku dengan jurus Meniup Pelita Mendorong Pohon!”
“Semua hanya kira-kira saja. Tak tahunya kebetulan tepat. Semua jurus itu kumainkan lain tidak karena hanya melihat saja lalu menirukan. Kalau gurumu ada di sini pasti dia melihat kekurangan jurus-jurusku itu!”
“Pemuda ini pandai, tapi dia selalu bersikap merendah. Agaknya dia sengaja menutupi kepandaiannya dengan sikap ketolol-tololan…”
Begitu Mirasani berkata dalam hati. Lalu tanpa sungkan-sungkan dia memegang lengan Wiro dan membawa pemuda ini ke arah kedua orang tuanya yang turun dari langkan gedung.
Atas permintaan Wiro pernikahan dilangsungkan dua hari kemudian. Sama sekali tidak ada pesta susulan. Karenanya tidak ada tokoh persilatan termasuk Ki Demang Juru Gampit dan Eyang Sinto Gendeng. Mirasani berulang kali meminta pada suaminya aga tetap diadakan pesta besar-besaran karena sebagai istri dan juga kedua orang tuanya merasa bangga memiliki seorang suami yang merupakan pendekar terkenal dalam dunia persilatan.
Tapi karena Wiro menolak dengan keras terpaksa akhirnya sama sekali tidak ada pesta ataupun selamatan diadakan, kecuali acara pernikahan yang berlangsung cepat dan sangat sederhana.
Kebahagiaan Mirasani sebagai seorang istri hanya berlangsung selama satu bulan. Setelah itu suaminya mulai menunjukkan tindak tanduk aneh. Berkali-kali Wiro pergi meninggalkannya tanpa pesan atau mengatakan ke mana tujuan ataupun keperluannya. Dua atau tiga minggu kemudian baru sang suami pulang. Meskipun Mira tak pernah mengadukan keadaan suaminya pada kedua orang tuanya, Suto Klebet dan Rayu Komala diam-diam sudah mengetahui apa yang berlangsung dalam rumah tangga baru itu.
Suatu malam Wiro Sableng muncul kembali setelah selama dua minggu menghilang entah ke mana. Sebelum sempat ditanya Wiro meletakkan sebuah kotak berukir di atas meja dan berkata pada istrinya.
“Bukalah. Semuanya untukmu Mira…” Meskipun hatinya tak suka melihat sikap suaminya itu namun Mira membuka juga kotak kayu berukir yang terletak di meja. Begitu dibuka kelihatanlah isi kotak. Sejumput perhiasan emas bertahta permata serta sejumlah ringgit emas!
“Dari mana kau mendapatkan ini kangmas Wiro?”
Yang ditanya tertawa lebar dan usap-usap hidung lalu garuk-garuk kepala. “Pemberian seorang kaya raya di Tegalrojo yang kutolong,” sahut Wiro. Dia menatap paras istrinya sesaat lalu berkata “Kelihatannya kau tidak suka menerima pemberian itu?”
“Tentu saja aku suka kangmas Wiro. Hanya saja sebetulnya yang aku lebih suka adalah jika kau selalu berada di rumah bersamaku. Kita masih pengatin baru. Malam-malam sering kulewati dengan sepi tanpamu. Apakah kau tidak bisa menunda segala kepergian itu…?"
“Kau tahu sendiri Mira. Aku seorang pendekar pengelana. Mana mungkin aku mengeram lama-lama di rumah…”
“Aku mengerti kangmas Wiro. Karena itu aku selalu meminta padamu agar jika kau pergi aku diajak serta…”
“Pengelanaan seperti yang kulakukan bukan pekerjaan seorang istri cantik jelita sepertimu Mira…”
“Tapi kita sama-sama orang persilatan!”
“Tidak Mira. Aku tak akan pernah mengizinkanmu ikut bersamaku. Terlalu besar bahayanya…”
“Jika itu yang kangmas cemaskan, bagaimana dengan usulku tempo hari? Membuka perguruan silat…”
“Itu usul baik. Namun tidak saat ini Mira, urusanku di luaran masih banyak.”
“Jika memikirkan urusan, perguruan itu tak akan pernah jadi. Apa susahnya? Yang akan dijadikan murid hanya orang-orang tertentu. Dari Keraton Sala dan Jogja… Bahkan guruku bersedia membantu…”
“Kalau begitu biar kau saja dengan Ki Demang yang melakukannya. Aku pasti membantu...”
“Justru aku ingin menonjolkan dirimu. Siapa tahu penguasa Keraton tertarik padamu dan memberikan satu jabatan penting. Kepala Pasukan Kotaraja misalnya…”
Wiro Sableng tertawa lalu merangkul dan menciumi istrinya. “Kau istri yang baik, mau memikirkan masa depan suami, tapi Mira ketahulah, aku tidak suka segala macam jabatan di Keraton atau di Kerajaan. Aku tetap seperti ini. Lelaki bernama Wiro Sableng, tolol dan gendeng, mengelana ke mana yang diinginkan, berbuat kebajikan bagi orang banyak. Dengar Mira, aku letih, ingin istrahat dan bermesraan denganmu. Aku begitu kangen. Aku akan mandi lebih dulu lalu kita naik ke atas ranjang.
Mirasani hanya bisa mengangguk. “Besok... pagi-pagi sekali aku harus pergi ke selatan. Kabarnya banyak terjadi kejahatan di wilayah itu. ada tokoh silat golongan hitam yang ikut membantu para penjahat…”
Peringatan seribu hari meninggalnya Tumenggung Campak Wungu dihadiri oleh banyak tetamu terutama dari pihak pejabat Keraton termasuk beberapa orang Pangeran. Di antara para tamu yang datang turut hadir hartawan Suto Klebet dan istrinya berseta puteri mereka Mirasani, istri Pendekar 212 Wiro Sableng.
Malam itu Mira tampak cantik sekali, mengenakan kebaya panjang ungu gelap, kain batik tulis, sanggul berhias tusuk kundai emas dilengkapi giwang besar serta seuntai kalung emas berbetuk bunga mawar dengan sebuah permata di tengah-tengahnya.
Selama upacara selamatan berlangsung sepasang mata janda almarhum Tumenggung Campak Wungu tidak henti-hentinya mengerling pada kalung besar yang melingkar di leher Mirasani. Begitu upacara resmi selesai, sang janda mendekati Mirasani dan kedua orang tuanya, bersalam-salaman sambil bicara berbasa-basi.
Suatu saat Sularesmi, begitu nama sang janda berkata pada Mirasani, “Anakku Mira sungguh bagus kalung emasmu. Di mana kau membelinya? Ah, jika kau bisa memberi tahu siapa pembuatnya tentu aku mau membuat yang seperti ini…”
Mirasani hanya tersenyum tersipu. Yang menjawab adalah ibunya, “Jeng Sularesmi terlalu memuji. Kalung itu biasa-biasa saja. Suaminya yang memberikan…”
“Ah, suami Mira…” ujar Sularesmi seraya memandang berkeliling seperti mencari-cari.
“Suaminya tidak hadir jeng Sula. Harap dimaafkan. Dia masih bertugas di selatan…”
Sularesmi mengangguk-angguk mendengar penjelasan Rayu Komala itu.
Dua hari kemudian, pada suatu siang, dengan mengendarai sebuah kereta, janda almarhum Tumenggung Campak Wungu muncul di rumah kediaman hartawan Suto Klebet, langsung disambut oleh Rayu Komala karena memang saat itu hanya dia sendiri yang berada di gedung besar itu.
“Tidak memberi kabar terlebih dahulu, tahu-tahu sudah datang berkunjung sungguh satu kerhormatan besar bagi saya jeng Sula…” Kata Rayu Komala seraya memeluk tamunya lalu membawanya ke ruangan tamu yang besar dan bagus.
“Apakah jeng Rayu ada baik dan sehat-sehat…?”
“Berkat doa jeng Sula. Terima kasih. Saya akan menyediakan minuman…”
“Tidak usah repot. Saya hanya sebentar jeng.”
“Ah, kenapa begitu buru-buru…”
“Kedatangan saya hanya ingin menyampaikan sesuatu.”
“Sesuatu mengenai apa jeng Sula?”
“Menyangkut kalung bunga mawar itu…”
“Kalung bunga mawar…? Oooo… maksud jeng Sula kalung yang malam selamatan itu dipakai oleh puteri saya?”
“Betul sekali.”
“Ah, rupanya jeng Sula selalu mengingat-ingat perhiasan itu…”
Sularesmi tersenyum lalu berkata dengan suara lebih perlahan seolah-olah takut ada yang bakal mendengar. “Ketahuilah jeng. Kalung itu sama betul dengan kalung milik saya yang hilang dua minggu lalu…”
Paras Rayu Komala serta merta berubah. “Saya tidak mengerti maksud jeng Sularesmi.”
“Dua minggu lalu rumah kediaman kami dibobol maling. Seorang penjaga terbunuh. Sekotak perhiasan dan uang emas amblas dari lemari yang dibongkar paksa. Termasuk kalung emas bunga mawar bertahta permata tunggal itu…”
“Maksud jeng Sula kalung itu…”
“Saya tidak mengatakan bahwa kalung itu adalah milik saya yang hilang. Tapi di dunia ini saya yakin hanya ada satu kalung seperti itu. Jika saya boleh tahu jeng Rayu, dari mana Mirasani mendapatkan perhiasan itu? Kalau tidak salah kata jeng Rayu malam itu... perhiasan itu pemberian suaminya, pendekar gagah bernama Wiro itu. Betul begitu…?”
Rayu Komala mengangguk. Hatinya tiba-tiba saja menjadi tidak enak di samping ada rasa malu yang membuat wajahnya menjadi merah.
“Jeng Rayu…” Kata Sularesmi. “Saya tidak menyangka apalagi menuduh yang bukan-bukan. Hanya saya ingin jeng Rayu membantu saya mencari tahu dari mana asal muasalnya perhiasan itu…”
“Menurut Mira ketika suaminya menghadiahkan perhiasan itu, suaminya menyebut perhiasan itu adalah hadiah dari hartawan di Tegalrejo yang pernah ditolongnya…”
“Tegalrejo daerah tandus. Tak ada seorang hartawan pun diam di sana!” kata Sularesmi pula.
Semakin berubah wajah Rayu Komala, semakin tidak enak hatinya.
“Jeng Rayu…” Kata Sularesmi sambil memegang lengan perempuan itu. “Mungkin saya keliru besar. Anggap saja saya tidak pernah datang kemari. Lupakan semua pembicaraan kita barusan. Saya mohon diri…” Lalu janda Tumenggung itu cepat-cepat berdiri.
Ketika suatu malam Mirasani menuturkan peremuan Sularesmi dengan ibunya yang menyangkut kalung emas bermata berlian itu, sesaat Pendekar 212 Wiro Sableng tampak berubah wajahnya. Namun di lain kejap dia tertawa lebar dan berkata.
“Ada ujar-ujar di dunia ini Mira. Ujar-ujar itu mengatakan Jika kita tidak punya maka kita akan dihina. Tapi jika kita punya maka kita akan difitnah! Itulah agaknya yang terjadi pada diriku. Aku ingin membahagiakan istri sendiri dengan hadiah berupa perhiasan. Tapi orang lain menuduh dan memfitnah yang bukan-bukan…”
“Menurut ibu, janda Tumenggung itu sama sekali tidak menuduh ataupun memfitnah…”
“Lalu apa maksudnya datang kemari dan sengaja menebarkan cerita tak masuk akal itu. Apa cuma dia yang memiliki perhiasan di dunia ini? Jelas dia hendak memecah belah rumah tangga kita. Memberi malu pada diriku! Perempuan macam apa janda Tumenggung itu!”
Mirasani terdiam beberapa lamanya. Lalu dia bekata, “Ada baiknya kangmas memberi penjelasan beserta bukti-bukti pada janda Tumenggung itu mengenai asal usul perhiasan itu. kalau perlu pergi bersama hartawan yang kata kangmas menghadiahkan sekotak perhiasan dan uang itu…”
Wiro menggeleng. Tinjunya yang terkepal diletakkan di atas meja. “Dia telah memberi malu diriku! Menghina dan merendahkan. Memberi malu pada dirimu juga! Memberi malu seisi rumah ini! Aku tidak akan menemuinya, apalagi membawa hartawan itu dan bicara padanya! Ambil kotak berisi perhiasan dan ringgit emas itu Mira! Aku akan melakukan sesuatu menurut caraku sendiri!”
“Apa yang akan kangmas lakukan?!” tanya Mirasani cemas.
“Kau tak usah kawatir istriku! Aku akan melakukan sesuatu yang dapat menghapus malu besar yang dicorengkan perempuan tak berbudi itu! Di mana kotak itu kau simpan. Ambil dan bawa kemari. Jangan ada yang kurang isinya!”
Mau tak mau Mirasani pergi juga mengambil kotak kayu yang diminta Wiro Sableng itu.
Keesokan paginya terjadi kehebohan yang menggegerkan di rumah kediaman almarhum Tumenggung Campak Wungu. Seorang pelayan menemukan Sularesmi telah jadi mayat, menggeletak di atas lantai kamar tidur. Ada bekas cekikan pada lehernya. Perempuan yang malang ini mati dengan lidah agak terjulur dan mata mendelik. Di atas lantai dekat jenazahnya tergeletak, tampak kotak kayu berukir berisi perhiasan dan ringgit emas. Pada dinding kamar yang putih bersih tertera besar-besar tiga deretan angka 212.
Ki Demang Juru Gampit merapikan jubah putihnya lalu mengambil buntalan kecil yang ada di atas balai-balai. Dia berpaling pada anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun yang duduk di sudut rumah dan berkata,
“Kaiman, aku pergi sekali ini cukup lama. Jaga rumah ini baik-baik dan jangan lupa berlatih terus. Jika kau rajin pasti kau akan menguasai seluruh kepandaian yang kuberikan. Seperti pandainya kakakmu yang bernama Mirasani itu…”
“Ucapan itu akan saya perhatikan kek. Sebetulnya ingin sekali saya ikut bersama kakek. Ingin bertemu dengan kakak seperguruan yang kabarnya cantik sekali itu…..” Ki Demang tersenyum. “Belum saatnya muridku. Suatu ketika kau pasti akan bertemu dengannya. Apakah kudaku sudah kau siapkan…?”
“Sudah kek. Hai… betulkan kakak Mirasani itu mempunyai seorang suami yang gagah perkasa. Memiliki ilmu silat dan kesaktian luar biasa? Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…?”
Ki Demang Juru Gampit mengangguk. “Begitu yang kudengar. Aku sendiri belum pernah bertemu muka. Namun nama besarnya menjulang setinggi gunung Merapi. Itulah sebabnya aku berhasrat menyambangi muridku. Bisa bertemu dengan Mirasani dan berjumpa dengan suaminya. Aku pergi sekarang Kaiman. Jaga rumah baik-baik. Jangan lupa sembahyang!”
Habis berkata begitu Ki Demang menuruni tangga kayu rumah kayu sederhana yang terletak di puncak bukit itu. langkahnya tetap dan tegap ketika menuju pohon di mana kudanya ditambatkan. Tetapi langkah ini serta merta tertahan ketika memandang ke depan dia melihat di atas kuda miliknya yang masih tertambat di pohon tampak duduk seorang pemuda berpakaian putih berikat kepala putih, berambut gondrong dan sebatang rokok terselip di sela bibirnya. Setelah pandangi pemuda tak dikenalnya itu beberapa ketika maka Ki Demang pun menegur.
“Anak muda, enak sekali dudukmu di atas punggung kudaku. Siapakah dirimu…?”
“Apakah aku berhadapan dengan orang tua bernama Ki Demang Juru Gampit?” Pemuda yang di tanya bukannya menjawab malah balik bertanya.
Dengan sabar si orang tua menjawab. “Benar. Kau tidak salah. Aku adalah Ki Demang Juru Gampit. Kau datang sengaja mencariku!”
“Aku Wiro Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Murid Sinto Gendeng dari gunung Gede!”
“Astaga!” kagetlah Ki Demang Juru Gampit. “Aku justru tengah bersiap-siap untuk menyambangimu dan muridku! Tahu-tahu kau muncul di sini! Sungguh senang hatiku bertemu dengan Wiro…” Meski mulutnya berkata senang tapi hati si orang tua merasa tidak senang melihat tindak tanduk dan cara bicara si pemuda yang dilihatnya tidak sopan, berbau kurang ajar.
“Turun dari kuda itu. Mari masuk ke rumah agar kita bisa berbincang-bincang. Mungkin kita bisa bersama-sama menuju tempat kediaman kau dan istrimu…” Ki Demang mengundang.
Wiro cabut rokok yang terselip di sela bibirnya lalu mencampakkannya ke tanah. Sekali bergerak saja dia sudah melompat dan turun ke tanah. “Ki Demang, aku kemari bukan untuk berbincang-bincang…”
“Kalau begitu… Apa yang bisa kulakukan. Langsung saja sama-sama pergi saat ini?!”
Wiro gelengkan kepalanya. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada orang tua itu. Mulutnya membuka dan meluncurlah ucapannya. “Aku datang untuk membunuhmu!”
Ki Demang Juru Gampit sesaat terkesiap lalu terdengar gelak tawanya berderai. “Ada-ada saja kau ini Wiro. Kau sadar apa yang kau ucapkan barusan? Pasti kau bergurau!”
“Mengenai urusan kematian, aku tidak pernah bergurau Ki Demang…” Jawab Wiro sambil menyeringai dan garuk-garuk kepalanya.
“Eh, orang satu ini tampaknya memang tidak bergurau…” Kata Ki Demang Juru Gampit dalam hati. Maka diapun memancing. “Soal kematian anak manusia adalah di tangan Tuhan. Kalau hari ini memang takdirku sampai umur, aku akan menerima dengan pasrah. Hanya saja ingin kutanyakan alasan apa yang membuatmu muncul sebagai malaikat pencabut nyawa?”
Wiro tertawa bergelak. “Kalau kau tanya soal alasan, jawabannya bisa seribu satu orang tua. Apakah kau sudah bersiap untuk mati…?”
“Aku sudah siap sejak tadi anak muda! Aku mempunyai firasat kau sebenarnya bukan…”
Sebelum Ki Demang menyelesaikan kalimatnya Pendekar 212 Wiro Sableng telah menyergapnya dengan serangan. Tak bisa berbuat lain Ki Demang Juru Gampit segera menghadapi serangan itu dengan tenang. Mula-mula dia bertahan sampai dua jurus. Pada jurus ketiga guru Mirasani ini mulai balas menyerang. Inilah yang ditunggu Wiro Sableng. Matanya yang tajam memperhatikan gerakan lawan, meredam dan meniru gerakan itu sambil menyebutkan jurus yang dikeluarkan si orang tua.
Ki Demang Juru Gampit tidak kaget melihat lawan bisa menyebut dan mengenali jurus-jurus yang dimainkannya. Karena pastilah semua itu diketahui Wiro dari istrinya. Tetapi orang tua ini merasa kaget sekali ketika dilihatnya Wiro Sableng balas menyerang dengan jurus-jurus ilmu silat yang diciptakannya sendiri! Dan celakanya jurus-jurus serangan yang dilancarkan lawan ternyata lebih ganas dan disertai aliran tenaga dalam tinggi hingga orang tua itu terdesak hebat!
“Luar biasa! Tak bisa dipercaya!” kata Ki Demang Juru Gampit dalam hati. “Terpaksa aku mengeluarkan kesaktian!” Namun orang tua ini tak mendapat kesempatan untuk mengeluarkan pukulan-pukulan saktinya karena serangan lawan datang tiada henti seperti curahan hujan!
“Jurus Alu Besi Membobol Lesung!” teriak Wiro dan tiba-tiba sekali tangan kirinya meluncur menembus pertahanan Ki Demang.
Ki Demang Juru Gampit melihat jelas datangnya serangan itu. dia menangkis dengan menghantamkan lengan ke atas. Tapi kalah cepat. Jotosan Pendekar 212 Wiro Sableng melabrak dadanya denga keras. Orang tua ini terpental, jatuh terlentang di tanah. Tulang dadanya remuk. Dua tulang iganya ikut patah!
Melihat hal ini Kaiman murid Ki Demang yang sejak tadi menyaksikan pertempuran berteriak marah dan berlari ke arah Wiro sambil mengacungkan tinju. “Manusia jahat tak berbudi! Aku akan membalas apa yang kau lakukan terhadap guru!”
Wiro berpaling dan menyeringai. “Bocah tolol! Jadi kau muridnya tua bangka ini! bagus! Guru dan murid akan kubunuh bersama!”
Mendengar ucapan Wiro dan melihat sorotan mata pendekar itu Ki Demang maklum apa yang bakal terjadi. Maka diapun berteriak, “Kaiman! Lari… Lekas lari! Selamatkan dirimu! Dia bukan tandinganmu!”
Sesaat anak berusia dua belas tahun itu hentikan langkahnya. Tapi bila dilihatnya darah yang mengucur di sela bibir gurunya, amarahnya memuncak kembali. Dia tidak takut terhadap Wiro. Dia rela mari bersama gurunya.
“Kaiman! Dengar ucapanku! Lari! Lekas lari!”
“Muridmu hanya akan lari ke neraka Ki Demang!” ujar Wiro. Lalu dia melompat untuk menyergap anak itu.
Ki Demang Juru Gampit kumpulkan sisa kekuatannya, melompat dan menangkap salah satu kaki Wiro Sableng hingga kedua orang itu kemudian sama-sama jatuh bergulingan. Dengan satu sentakan keras Wiro lepaskan kakinya dari cengkeraman orang. Saat itu dilihatnya anak lelaki tadi tak ada lagi di situ. Dengan geram Wiro melangkah mendekati Ki Demang.
Orang tua yang dalam keadaan tak berdaya itu kerahkan tenaga dalamnya. Tangannya bergetar. Mulutnya berkomat -kamit membaca sesuatu. Begitu Wiro datang lebih dekat Ki Demang hantamkan tangan kanannya!
"Wuttt...!"
Angin berwarna kebiruan menderu, menghantam deras ke arah Wiro. Terasa hawa dingin menggidikkan. Pendekar 212 cepat melompat ke samping. Dari samping dia balas menghantam dengan pukulan tangan kanan. Tampak cahaya putih berkilauan. Udara panas menebar. Cahaya itu laksana tombak raksasa menderu menghantam tubuh Ki Demang. Orang tua itu terpekik. Tubuhnya sebelah bawah hangus. Gerahamnya bergemelatakan menahan sakit.
“Pukulan Sinar Matahari…” Desisnya. Dia sudah lama mendengar kehebatan pukulan sakti itu. Siapa menduga kalau hari itu dia akhirnya menemui ajal dengan pukulan itu. Setelah mengerang panjang Ki Demang Juru Gampit tampak tak bergeming lagi. Nafasnya melayang sudah!
Pesantren Tunggul Kencono merupakan pesantren paling besar di Jawa Tengah pada masa itu. Ratusan muridnya bermukiMn di kaki gunung Sumbing, dekat sebuah lembah yang subur. Saat itu baru lepas Maghrib dan anak-anak murid pesantren tengah bertadarus mengaji di bangsal besar bangunan induk sambil menunggu saat sembahyang Isya.
Kiai Bangil Menggolo pimpinan pesantren duduk di tengah bangsal. Kedua matanya terpejam sedang tangan kanannya memegang tasbih. Walau dia tengah berzikir khusuk namun telinganya yang tajam senantiasa dapat mendengar bacaan murid-muridnya yang salah maka sang kiai memberi tahu kesalahan itu dan meminta si murid mengulang kajinya sampai betul.
Di antara ramainya gema suara para murid mengaji tiba-tiba terdengar suara kraak yang disusul oleh patahnya tiang bangsal di ujung kanan serta miringnya atap bangsal di bagian itu!
Suara para murid yang mengaji serta merta sirap. Semua kepala dipalingkan ke arah tiang yang patah dan semua mata ditujukan pada sosok tubuh seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan pakaian putih yang tegak berkacak pinggang di bawah atap yang miring.
Kiai Bangil Menggolo terus saja duduk bersila dan berzikir seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh atau terganggu oleh apa yang terjadi namun sebenarnya semua keadaan yang berubah itu tidak lepas dari mata hatinya.
“Apa yang terjadi…?” Sang Kiai bertanya.
“Seorang pemuda tak dikenal memukul patah tiang bangsal!” salah seorang murid menjawab.
Perlahan-lahan sepasang mata Kiai Bangil Menggolo terbuka dan langsung beradu pandang dengan pemuda berpakaian putih berambut gondrong yang tegak dekat tiang bangsal yang patah.
“Anak muda, betulkah kau yang mematahkan tiang itu?” bertanya Kiai Bangil Menggolo. Suaranya datar dan tenang.
“Memang aku yang melakukannya!” menjawab si pemuda dengan tandas, pongah dan jelas bernada menantang.
“Hemmm…” Kiai Bangil Menggolo bergumam dan angguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.
“Apa salah tiang itu hingga kau memukulnya sampai patah dan merusakbangunan kediaman kami?!”
Yang ditanya menyeringai lalu menjawab. “Tiang itu memang tidak punya salah! Tapi pimpinan pesantren Tunggul Kencono ini yang punya salah dan dosa besar!”
Semua anak murid pesantren terkesiap mendengar ucapan si gondrong tak dikenal itu. Setelah mengusap janggut putihnya beberapa kali Kiai Bangil Menggolo lalu berucap,
“Yang namanya manusia itu tak akan pernah luput dari dosa dan kesalahan. Tapi apakah kau bisa mengatakan dosa dan kesalahanku, anak muda?”
“Kau diketahui berkomplot dengan pemberontak di daerah timur untuk merebut tahta, menghancurkan Kerajaan!” jawab si pemuda.
“Masya Allah!” berucap Kiai Bangil Menggolo. “Menuduh tanpa bukti sama saja dengan memfitnah. Selama bertahun-tahun aku tak pernah meninggalkan pesantren. Selama bertahun-tahun aku tak pernah berhubungan dengan dunia luar. Bagaimana tiba-tiba saja aku dituduh begitu keji? Berkomplot dengan kaum pemberontak!”
“Untuk menyatakan tuduhan saat ini tak perlu aku membawa segala macam bukti. Karena semua bukti sudah berada di tangan Sri Baginda!”
“Kalau begitu, apakah kau utusan Sri Baginda? Alat Negara?”
“Bukan hanya sekedar utusan Kiai! Tapi sekaligus membawa perintah untuk menghukum mati mu saat ini juga!”
Mendengar kata-kata si pemuda, puluhan murid pesantren serta merta berdiri dengan sikap siap melindungi pemimpin mereka bahkan kalau perlu meringkus pamuda tak dikenal itu. Perlu diketahui pesantren Tunggul Kencono adalah pesantren di mana para murid belajar berbagai ilmu agama serta dakwah. Sama sekali tidak mengajarkan ilmu silat apalagi segala macam kesaktian.
Namun demikian melihat pimpinan mereka berada dalam ancaman, para murid pesantren menjadi marah dan bersiap-siap untuk menjaga segala kemungkinan. Melihat hal ini Kiai Bangil Menggolo cepat memberi isyarat, menyuruh muridnya tenang dan duduk kembali.
“Anak muda,” kata Kiai Bangil Menggolo seraya berdiri dari duduknya. “Jika Kerajaan ingin menangkap seseorang apalagi hendak menjatuhkan hukuman, terlebih dulu orang itu dibawa kepersidangan pengadilan. Dia akan ditangkap dengan surat resmi bercap Kerajaan. Dan yang membawa surat penangkapan itu paling tidak adalah sejumlah perajurit berseragam resmi, bersenjata lengkap! Kau datang seorang diri seperti gelandangan tak tahu juntrungan. Siapa sebenarnya kau ini, anak muda?!”
Si gondrong tampakberubah wajahnya mendengar kata-kata Kiai Bangil Menggolo itu. namun kemudian dia keluarkan suara tertawa bergelak.
“Kalau ingin tahu siapa aku, dengar baik-baik Kiai! Namaku Wiro Sableng! Murid tunggal Eyang Sinto Gendeng dari puncak gunung Gede. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”
Mendengar keterangan si pemuda terkejutlah Kiai Bangil Menggolo. “Nama besar mu memang sudah lama kudengar. Aku pun pernah berbincang-bincang dengan gurumu dalam suatu pertemuan beberapa tahun yang silam. Aku yakin ada kekeliruan…”
“Aku yakin tidak ada kekeliruan!” memotong Wiro Sableng. “Apakah kau sudah siap untuk mati?!” Wiro Sableng turunkan tangan kanannya yang sejak tadi bertolak pinggang.
“Kiai!” puluhan murid pesantren berseru tegang dan tanpa depat dicegah mereka sudah mengelilingi Kiai Bangil Menggolo, menghadap ke arah si pemuda dengan pandangan beringas.
“Semua mundur!” seru Kiai Bangil. “Tak ada yang perlu ditakutkan!” orang tua itu lalu mendorong murid-muridnya ke samping sambil melangkah ke arah Wiro berdiri.
Saat itu tiba-tiba Wiro Sableng pukulkan tangan kanannya ke depan sereaya berteriak, “Kiai Bangil! Ajalmu sudah sampai! Terima pukulan Sinar Matahari ini sebagai hukuman mu!”
Sinar putih menderu dari tangan kanan Wiro. Kiai Bangil terpental dua tombak, jatuh ke lantai bangsal dalam keadaan hangus sekujur badannya!
Anak murid pesantren yang puluhan orang itu berpekikan. Sebagian memburu ke arah guru mereka, sebagian lagi melompat ke arah Wiro. Tapi pemuda itu telah lenyap!
Pagi cerah, langit bersih membiru, sang surya bersinar lembut. Embun masih tampak melekat di dedaunan. Dalam udara segar itu di kejauhan terdengar suara orang bersiul. Keras tetapi entah membawakan lagu apa. Tiba-tiba suara siulan itu lenyap ketika dari berbagai arah terdengar suitan keras saling bersahutan. Orang yang bersiul pertama tadi hentikanlangkahnya dan memandang berkeliling. Suara suitan terdengar lagi berulang kali, jelas saling bersahut-sahutan seperti memberi suatu tanda.
Orang yang tadi bersiul kembali memandang berkeliling. “Aneh! Suitan seperti itu biasanya tanda-tanda yang dibuat oleh orang-orang persilatan! Agaknya ada sesuatu terjadi di sekitar sini!” begitu orang ini membatin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong.
Ketika suara suitan-suitan lenyap. Si gondrong siap melanjutkan perjalanan, namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba pula kembali terdengar suara suitan bersahut-sahutan, lebih keras tanda lebih dekat dan lebih riuh tanda lebih banyak.
“Edan! Ada apa ini! suitan itu keras menggetarkan gendang-gendang telinga! Suitan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi!” si gondrong tepuk-tepuk telinganya.
Terdengar suara bergemirisik. Si gondrong cepat membalik. Dari sebatang pohon besar melayang turun sesosok tubuh. Yang muncul ternyata seorang tua renta berjanggut putih sampai ke dada. Dia membawa dua bumbung bambu. Satu dipanggul satunya lagi ditenteng. Melihat orang tua ini si gondrong cepat-cepat menubruk dan jatuhkan diri seraya berkata,
“Dewa Tuak. Sungguh pertemuan yang tidak diduga-duga! Ah, kau tidak seperti tambah tua! Tak pernah tambah tua! Luar biasa!”
Si orang tua tertawa tapi si gondrong melihat ada sesuatu tersembunyi di balik tawa itu. “Pendekar 212 Wiro Sableng! Aku senang bertemu denganmu! Hanya saja keadaan hari ini tidak terlalu menggembirakan. Berdirilah…”
Si gondrong yang ternyata Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri perlahan. “Dewa Tuak, apakah kau sehat-sehat saja…?”
“Aku sehat dan baik,” jawab si orang tua yang disebut dengan gelar Dewa Tuak itu, yang merupakan seorang tokoh silat sangat disegani. “Apakah kau juga baik-baik?”
“Aku sehat, segar bugar!” jawab Wiro seraya mengacungkan kedua tangan tinggi-tinggi dengan jari terkepal.
“Syukur kalau begitu. Tapi sehat tubuhmu tidak sehat bagi banyak orang lain. Dunia persilatan telah geger oleh tindak tandukmu!”
“Apa maksudmu Dewa Tuak…?” Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan Dewa Tuak.
“Kau masih bisa bertanya Pendekar 212? Bertanya setelah apa yang kau lakukan, setelah segala sesuatunya terlambat karena saat ini lebih dari setengah lusin tokoh silat telah mengurung tempat ini! Siap untuk membantaimu?!”
Wiro memandang berkeliling. Astaga! Apa yang dikatakan Dewa Tuak ternyata tidak dusta. Di sekelilingnya tampak tegak tujuh orang, memandang tak berkesip ke arahnya. Beberapa di antaranya orang-orang itu dikenalnya. Yang pertama adalah seorang kakek yang mata kirinya picak. Wiro kenal sekali dengan orang tua ini yaitu Lor Gambir Seta, murid tokoh silat nomor satu Si Raja Penidur.
Yang kedua juga seorang kakek bertubuh tinggi langsing, dikenal dengan gelar Malaikat Tangan Besi Dari Puputan, merupakan tokoh paling ditakuti di kawasan timur. Orang yang ketiga seorang nenek bermata juling, mencekal arit di tangan kiri. Wiro ingat pernah bertemu dengan perempuan tua ini sebelumnya tapi lupa entah di mana.
Orang keempat seorang pemuda berwajah tirus, memegang tongkat besi di tangan kiri, seorang sahabat yang dikenal Wiro dengan gelar Pendekar Besi Hitam. Yang kelima seorang lelaki bertubuh kekar bertelanjang dada bermuka angker karena penuh cambang bawuk dan guratan bekas luka di kedua pipinya. Wiro tak kenal manusia satu ini.
Orang yang keenam berdiri di bawah sebatang pohon, berpakaian serba hitam. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup caping bambu. Tapi dari hulu golok berbentuk kepala harimau yang tersisip di pinggangnya, murid Sinto Gendeng segera mengenalnya yakni seorang tokoh silat dari kawasan barat bernama Menak Jalantra, bergelar Harimau Pemakan Jantung.
Orang yang terakhir seorang nenek bermuka garang. Rambutnya putih jarang, kepalanya hampir sulah. Dia mengenakan jubah putih dekil penuh tambalan dan memegang sebuah kaleng rombeng yang sudah karatan. “Pengemis Hantu…” Desis Wiro Sableng ketika mengenali nenek berwajah angker seperti hantu itu.
Dia tahu betul semua orang yang ada di situ adalah tokoh-tokoh silat golongan putih, satu aliran dengan dirinya sendiri. Tetapi mengapa semua mereka memandang dengan air muka yang menunjukkan permusuhan. Sementara Dewa Tuak dilihatnya beberapa kali menarik nafas panjang.
“Dewa Tuak… Ada apa ini sebenarnya?” tanya Wiro Sableng. “Aku mencium hawa pembunuhan…”
Dewa Tuak kembali menghela nafas dalam-dalam lalu membuka mulut. “Aku tak kuasa menjawab pertanyaanmu, Wiro. Biar para tokoh itu saja ang memberi tahu…”
Lor Gambir Seta maju selangkah. “Empat bulan yang lalu kau membunuh Kiai Bangil Menggolo. Orang tua itu masih keponakan guruku si Raja Penidur. Guru menugaskanku untuk meminta pertanggung jawabmu…”
“Aku membunuh Kiai Bangil Menggolo…?!” Wiro kaget besar dan geleng-gelengkan kepala. Ketika dia hendak membuka mulut kembali, Malaikat Tangan Besi Dari Puputan seudah lebih dulu memotong.
“Tujuh bulan lalu kau membunuh sahabatku Ki Demang Juru Gampit! Nyawanya adalah nyawaku juga! Jika kau membunuhnya maka aku minta kau membunuhku sekalian!”
“Hai! Apa-apaan ini?! Dua orang menuduhku yang bukan-bukan…!” seru Wiro.
Pemuda berwajah tirus maju dua langkah dan tancapkan tongkat besi hitamnya ke tanah. “Aku Pendekar Besi Hitam! Delapan bulan silam kau merampok rumah kediaman bibiku janda almarhum Tumenggung Campak Wungu! Beberapa minggu kemudian kau membunuh perempuan itu dan terang-terangan meninggalkan tanda 212 di dinding rumah!”
“Oooladalah!” Wiro garuk-garuk kepalanya dengan kedua tangan. “Tuduhan keji apalagi yang akan kuterima hari ini…?!” Murid Sinto Gendeng berpaling pada orang-orang yang belum angkat bicara.
Nenek bersenjata arit ayunkan senjatanya beberapa kali lalu bicara dengan suara membentak. “Kau memperkosa dan membunuh murid tunggalku Sintorukmi! Deretan angka 212 kau torehkan di sekujur tubuhnya yang telanjang…! Aku akan menicincang tubuhmu dengan arit ini. Kenalkan diriku Arit Sakti Pencabut Raga!”
“Gusti Allah!” seru Wiro. Hampir jatuh duduk dia mendengar tuduhan itu. “Memperkosa dan membunuh keji itu tak pernah aku lakukan. Demi Tuhan…!”
“Sumpah pendekar murtad sepertimu siapa yang mau percaya!” satu bentakan terdengar. Yang membentak adalah lelaki bertelanjang dada yang wajahnya penuh cambang bawuk dan guratan luka. “Kau membunuh adik kembarku ketika dia bersama rombongan pasukan Kerajaan mengejar dua tokoh pemberontak di selatan lima bulan lalu! Jangan berani membantah! Aku sendiri menyaksikan kejadian itu!”
“Mati aku…! Ya Tuhan urusan gila apa ini semua?!” seru Wiro dengan mulut bergetar.
Harimau Pemakan Jantung gerakkan tangan kanannya ke pinggang. Sreet! Golok berhulu kepala harimau terhunus telanjag dari sarungnya. “Golokku sudah lama tidak minum darah langsung dari jantung! Hari ini kau akan memberinya minuman, Pendekar 212...?”
“Apa… apa pula dosaku padamu…?” Tanya Wiro.
“Kau mengobrak-abrik perguruan silatku dua bulan lalu. Membunuh enam orang muridku. Ingat peristiwa di Lembah Merak Putih…?”
“Lembah Merak Putih?! Mendengarnya pun baru sekali ini, apalagi pernah datang dan melakukan pembunuhan di tempat itu…!”
Harimau Pemakan jantung tertawa. Suara tertawanya seperti harimau menggereng! Wiro berpaling pada orang ketujuh. Nenek sulah bergelar Pengemis Hantu.
“Dan kau nenek… Apa pula yang hendak kau tuduhkan padaku…?” Tanya Wiro.
“Satu bulan lalu kau merampas satu karung uang hasilku mengemis selama bertahun-tahun. Uang itu tidak jadi soal bagiku karena mungkin bukan rejekiku. Tapi kau membunuh serta tiga orang pengemis anak buahku! Menggurat angka 212 di kening mereka! Keji dan sombong!”
“Jika aku membunuh orang tidak mungkin aku berlaku tolol meninggalkan tanda yang mudah dikenal seperti itu…!”
“Tolol atau cerdik yang jelas ketololan dan kecerdikanmu berakhir pada kematian!” jawab si nenek sambil sunggingkan serangai aneh.
“Dewa Tuak!” terdengar suara Lor Gambir Seta. “Kami ingin tahu di mana kau berdiri. Kau telah menolong kami mencari pendekar sesat ini. setelah bertemu apakah kau juga akan turun tangan bersama kami sesuai dengan sumpah ksatria para pendekar golongan putih? Menegakkan keadilan menghancurkan angkara murka?!”
Dewa Tuak meneguk tuaknya beberapa kali lalu batuk- batuk. “Aku sudah tua… Terlalu tua untuk ikut turun tangan bersama kalian. Kalian bertujuh saja sudah cukup, biar aku yang bangka ini menjadi saksi kematian seorang sahabat yang sudah kuanggap anak sendiri. Mati karena perbuatannya yang keji!”
“Jadi kalian semua hendak membunuhku?!” Wiro bertanya sambil memandang berkeliling.
“Seharusnya tadi-tadi kau sudah menyadari bahwa hari ini ajal Pendekar 212!” sahut si nenek bergelar Arit Sakti Pencabut Sukma.
“Kalian semua gila!” teriak murid Sinto Gendeng. Tanpa sadar tenaga dalamnya ikut mengalir. Akibatnya suaranya terasa menggetarkan tanah.
Tujuh orang tokoh silat terkejut, tapi hanya sesaat. Di lain kejap ke tujuhnya sudah menyerbu, tiga senjata berkiblat. Empat orang menyerang dengan tangan kosong. Dalam keadaan seperti itu tangan kosong bisa membunuh lebih cepat dari pada senjata!
Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras. Kedua kakinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat setinggi dua tombak ke udara.
“Ke langit pun kau lari kami kejar!” teriak Arit Sakti Pencabut Raga seraya susul melompat dan babatkan senjatanya ke arah dua kaki Wiro.
Pendekar 212 terpaksa membuang diri berjumpalitan ke kiri. Tapi dari jurusan ini menderu lengan besi Malaikat Tangan Besi Dari Puputan, mencari sasaran di batok kepalanya. Wiro lepaskan pukulan Orang Gila Mengebut Lalat. Malaikat Tangan Besi merasakan tangannya bergetar dan tubuhnya hampir terjengkang ketika angin sakti melabrak lengan dan sebagian tubuhnya.
Cepat dia turunkan diri ke bawah sementara Wiro saat itu harus pula menghadapi sambaran golok Harimau Pemakan Jantung yang ganas sekali menusuk tepat ke arah jantungnya. Di saat yang bersamaan Pengemis Hantu gerakkan kaleng rombeng berkaratnya ke atas. Sepuluh uang logam menderu mencari sasaran di tubuh Pendekar 212.
“Mati aku…!” Teriak Wiro dalam hati. Tangan kirinya segera melepaskan pukulan pertahanan membentengi tubuh yakni Benteng Topan Melanda Samudera. Pemuda cerdik ini sadar sekali kalau pukulan sakti itu tidak mungkin menyelamatkannya dari tujuh serangan maut. Maka secepat kilat tangan kanannya bergerak ke pinggang. Maka berkiblatlah sinar putih menyilaukan di udara pagi yang cerah itu desertai suara gaungan laksana seribu lebah mengamuk!
“Kapak Maut Naga Geni 212! Awas!” teriak Lor Gambir Seta murid si Raja Penidur.
"Tringg-Tringg-Tringg-Tringg...!"
Empat uang logam yang ditabur Pengemis Hantu sempat dihantam Kapak Naga Geni 212. Enam lainnya luruh terkena sambaran angin senjata mustika itu. menyusul suara trang! Kapak sakti beradu badan dengan golok mustika di tangan Harimau Pemakan Jantung. Kagetlah tokoh silat ini ketika dia merasakan tubuhnya bergoncang keras hampir terjungkal. Goloknya bahkan nyaris lepas. Ketika dia meneliti masih untung senjatanya tidak ada yang rompal.
“Kurung yang ketat! Jangan biarkan tukang perkosa, pembunuh dan rampok ini lolos!” teriak Arit Sakti Pencabut Raga. Di antara semua penyerang nenek ini yang paling besar dendam kesumatnya terhadap Wiro.
Wiro putar Kapak Naga Geni dengan sebat. Tenaga dalamnya dikerahkan penuh. Tubuhnya laksana batu karang membendung ombak raksasa. Tampaknya dia akan sanggup menghadapi badai serangan itu. namun tujuh lawannya adalah tokoh-tokoh silat kelas satu yang kepandaian masing-masing rata-rata sama tingginya.
Dikeroyok begitu tupa, meskipun murid Sinto Gendeng sempat menghantam roboh Pendekar Besi Hitam dengan tendangan kaki kanan hingga pemuda itu pingsan dengan empat tulang iga patah, namun dalam kecamuk yang luar biasa hebatnya itu dia tak sempat mengelak atau menangkis bacokan arit si nenek bergelar Arit Sakti Pencabut Sukma! Bahu kanannya luka besar. Darah mengucur deras. Kapak Naga Geni 212 terlepas dan jatuh ke tanah! Langsung disambar oleh Harimau Pemakan Jantung.
Pendekar dari gunung Gede itu sadar apa artinya ini. Dengan tangan kirinya dia cepat lepaskan pukulan Sinar Matahari yang terkenal dahsyat itu. Tujuh orang penyerang serta merta menyingkir begitu melihat ada cahaya putih menyilaukan berkiblat diserta tebaran hawa panas luar biasa.
Ketika sinar putih dan hawa panas sirna tujuh orang yang mengejar sama mengumpat dan memaki. Pendekar 212 telah lenyap dari tempat itu. Semuanya memandang ke arah Dewa Tuak dan diam-diam menyesalkan mengapa kakek sakti itu tidak mau turun tangan membantu!
Kuda coklat itu akhirnya sampai juga ke puncak gunung Gede. “Kita berhenti di sini Guci. Aku sudah melihat gubuk kediaman guru manusia keparat itu. Kau tunggu disini…” Mirasani elus-elus tengkuk kudanya lalu melompat turun. Ketika gubuk kayu di puncak gunung itu diperiksanya ternyata kosong.
“Keparat! Tak ada siapa-siapa di sini!” maki Mirasani. Saking jengkelnya hendak ditendangnya pintu gubuk. Namun tiba-tiba saja ada suara menegur.
“Gadis elok, siapa yang kau cari! Mengapa marah-marah dan hendak menendang pintu gubukku?!”
Mirasani cepat berpaling. Suara itu datang dari atas pohon besar enam langkah di samping kirinya. Ketika mendongak ke atas tampaklah sesosok tubuh kurus kering berbaring di atas cabang pohon, seolah-olah tengah bergolek berleha-leha di atas ranjang. Padahal cabang pohon itu hanya sebesar lengan manusia. Melihat sosok tubuh yang tergolek di cabang pohon itu Mirasani lantas berteriak,
“Kau pasti Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Tubuh di atas cabang pohon tampak bergerak bangkit. Dari sikap berbaring kini tubuh itu duduk berjuntai. Ternyata dia adalah seorang nenek bertubuh tinggi, berkulit sangat hitam. Tubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit pembalut tulang saking kurusnya. Kekurusan dan kehitaman yang luar bisa ini membuat wajahnya angker hampir menyerupai tengkorak.
Apalagi mukanya dan kedua rongga matanya sangat cekung sementara rambut dan alis matanya putih. Rambut di kepalanya sebenarnya tidak dapat lagi dikatakan rambut karena sangat jarang. Anehnya enek angker ini mengenakan lima buah tusuk kundai terbuat dari perak yang disisipkan bukan pada rambut tetapi langsung menancap di kulit kepalanya!
“Ada apa kau mencariku?!” si nenek bertanya. Ternyata dia memang Eyang Sinto Gendeng. Nenek yang berusia hampir seratus tahun dan merupakan tokoh silat paling ditakuti karena ketinggian ilmu dan kesaktiannya.
“Siapa bilang aku mencarimu!” jawab Mirasani dengan ketus dan merengut. “Aku mencari suamiku!”
“Edan! Apa kau kira aku menyembunyikan atau menyekap suamimu di sini? Kau kesasar atau kurang waras?!”
“Muridmu yang tidak waras! Gila! Busuk! Jahat dan keji!”
“Eh, muridku siapa maksudmu?!” sepasang mata Sinto Gendeng berkilat tanda si nenek mulai marah.
“Masih bisa bertanya! Siapa lagi kalau bukan si sableng bernama Wiro itu! apa ada muridmu yang lain?!”
Tubuh yang duduk di cabang pohon tiba-tba saja meluncur ketanah seolah-olah ada tali penggelantungnya. Begitu sampai di tanah, si nenek bukannya berdiri tapi duduk menjelepok.
“Mendekat ke sini gadis bermulut sembrono!” ujar Sinto Gendeng seraya mengoyang-goyangkan jari telunjuknya.
Mirasani hanya mendekat dua langkah.
“Kau mencari muridku atau suamimu?! Bicara yang betul!”
“Muridmu itu ya suamiku itu!”
“Gila! Muridku masih perjaka! Belum kawin! Enak saja kau mengakuinya sebagai suami!”
“Nenek pikun! Kau tahu apa tentang muridmu! Dia mengawiniku sembilan bulan yang lalu! Ternyata dia bukan pendekar sejati. Tapi perampok! Pembunuh dan pemerkosa…”
"Plaakkk...!"
Satu tamparan mendarat di pipi Mirasani. Gadis ini sampai terpekik. Bukan karena sakit tapi karena kaget bercampur heran. Si nenek dan dirinya terpisah hampir tiga langkah dan perempuan tua itu dalam keadaan duduk pula. Bagaimana tangannya tiba-tiba bisa menampar sejauh itu padahal tubuhnya tidak bergerak barang sedikitpun!
“Berani kau bicara tak karuan, kupecahkan batok kepalamu!” mengancam Sinto Gendeng. “Kau telah mengganggu ketenanganku di puncak gunung ini. lekas pergi dari sini. Tempat ini bukan tempat tamasya orang-orang sinting macammu!”
“Guru dan murid sama sedengnya!” damprat Mirasani.
Tangan kanan Sinto Gendeng kembali berkelebat. Tapi kali ini Mirasani lebih waspada. Begitu tangan bergerak dia cepat mengelak lalu lancarkan serangan balasan berupa tendangan ke arah dada si nen. Yang diserang tertawa mengekeh.
“Aku sudah lama tidak berolah raga! Serang sepuasmu! Cari tempat yang empuk. Hik hik hik…!”
Ketika tendangannya hampir sampai mendadak Mirasani merasa seperti ada tenaga yang mendorong kakinya sehingga tendangannya tidak mengena. Dia lipat gandakan tenaganya. Kekuatan yang mendorong berubah berlipat ganda pula. Akibatnya Mira jadi terpental dan jatuh ke tanah!
“Ah… kau bukan kawan yang baik untuk berolah raga! Kalau begitu duduk saja di tanah sana! Dan ceritakan padaku mengapa kau muncul di sini seperti orang gila. Memaki dan bicara yang bukan-bukan tentang muridku!”
Panas dan marahnya Mirasani bukan kepalang. Cepat dia bergerak bangkit tapi astaga! Seperti yang dikatakan si nenek dia hanya bisa duduk di tanah seolah-olah pantatnya menjadi lengket! Betapapun dia berusaha mengerahkan tenaga untuk berdiri tetap saja dia terduduk begitu rupa! Saking kesal akhirnya Mira hanya bisa terisak menangis!
“Itu saja kepandaian kaum perempuan! Menangis! Sungguh memalukan!” mengejek si nenek. “Tubuhmu boleh kaku tapi mulutmu tidak bisu! Ayo katakan maksud kedatanganmu ke mari!”
“Aku mencari muridmu nek…” Jawab Mirasani sesenggukan. “Sembilan bulan lalu kami kawin…”
“Sembilan bulan lalu! Lantas apa sekarang kau jadi bunting! Hik hik hik?!”
Mirasani menggeleng. “Kalau sempat aku hamil, rasanya lebih baik mati saja!”
“Eh, mengapa begitu?!” tanya Sinto Gendeng.
“Aku menyesal menerimanya sebagai suami. Kalau saja aku tidak berkaul, tidak dikalahkannya dalam pertandingan itu…”
“Tunggu dulu! Kau bilang kau dikawini muridku sembilan bulan lalu! Betul…?”
“Betul…”
“Muridku si Wiro Sableng itu?!”
Mirasani mengangguk. “Dusta gila! Muridku betapapun edannya tak akan dia kawin begitu saja tanpa memberi tahuku seperti anjing kawin di jalanan saja!”
“Kau boleh tidak percaya! Tapi demi Tuhan aku tidak berdusta!” Lalu Mirasani menuturkan bagaimana asal muasalnya sampai dia kawin dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Seribu kali kau berkata aku tetap tidak percaya! Muridku tidak segila itu…”
“Terserah padamu nek. Penuturanku belum habis. Beberapa bulan setelah kami kawin baru kuketahui kalau dia ternyata seorang perampok dan pembunuh keji! Salah seorang korbannya adalah guruku sendiri. Ki Demang Juru Gampit!”
“Ah! Ki Demang Juru Gampit katamu?! Dia adalah sahabat lamaku!”
“Dan bukan cuma guruku yang jadi korbannya. Banyak lagi tokoh-tokoh silat. Bahkan dia juga membunuh Kiai Bangil Menggolo, ketua pesantren Tunggul Kencono! Merampok! Menculik anak gadis orang lalu memperkosa dan membunuhnya….!”
“Tidak… Muridku tidak akan pernah jadi dajal seperti itu!” teriak Sinto Gendeng. Tubuhnya yang sejak tadi duduk tiba-tiba saja berdiri. Ternyata nenek itu tinggi sekali. Setelah berdiam diri sesaat maka Sinto Gendeng ajukan pertanyaan. “Apa maksudmu mencarinya…?!”
“Apalagi kalau bukan membunuhnya! Dia meninggalkan diriku begitu saja! Membuat malu kedua orang tuaku! Membunuh guruku…”
“Kalau begitu kau bermaksud hendak membunuh suamimu sendiri?!”
“Dia bukan lagi suamiku, tapi iblis yang harus disingkirkan dari muka bumi!” jawab Mirasani.
“Keliru… Kau pasti keliru…” Si nenek gelengkan kepalanya. “Ada yang tidak beres. Pasti ada yang tidak beres!”
“Kalau ada yang tidak beres, itu adalah muridmu sendiri!” tukas Mirasani. “Lepaskan diriku dari pengaruh yang membuatku kaku ini!”
Sinto Gendeng tidak acuhkan permintaan orang. Dia mendongak ke langit seolah-olah merenung. “Kau tidak dapat membunuhnya. Tidak seorangpun dapat membunuhnya!”
Mirasani mendengus. “Muridmu keparat itu bukan dewa bukan malaikat! Belasan tokoh-tokoh silat dari delapan penjuru angin mencari dan mengejarnya! Semua ingin membunuhnya! Dan kau tahu apa yang terjadi satu setengah bulan lalu? Beberapa tokoh silat termasuk dedengkot bergelar Dewa Tuak berhasil mengepung muridmu itu di kaki sebuah bukit! Memang dia berhasil kabur! Tapi dalam keadaan luka parah dan senjata mustika miliknya yaitu Kapak Naga Geni 212 dirampas!”
Mendengar kata-kata Mirasani itu berubahlah para Eyang Sinto Gendeng. Beberapa lamanya dia melangkah mundar mandir. Lalu berpaling pada Mira dan berkata “Aku tidak senang melihatmu di sini! Aku tidak memerlukan dirimu! Pergilah!”
Habis berkata begitu si nenek lambaikan tangan kirinya lalu melangkah cepat-cepat memasuki gubuk kayu, membanting pintu keras-keras. Lambaian tangan Sinto Gendeng tadi melenyapkan kekuatan aneh yang membuat Mirasani menjadi kaku. Cepat dia bangkit. Sesaat dia memandang ke arah gubuk. Sadar kalau tak satupun yang bisa dilakukannya terhadap si nenek, akhirnya Mira melangkah ke tempat dia meninggalkan Guci, kuda coklatnya.
Di dalam gubuk, Eyang Sinto Gendeng untuk beberapa lamanya duduk bersila pejamkan mata seperti tengah bertepekur. Lalu dia angkat kepala, memandang ke sudut kamar di mana tergantung sebuah sangkar berisi seekor burung merpati abu-abu bermata merah.
“Jantan Apik…” Begitu si nenek menyebut nama si burung. “Empat tahun lebih kau menemani aku di sini dengan setia. Hari in kau boleh kembali ke tempat asalmu di gunung Iyang. Ada satu pesan penting yang kau harus sampaikan pada sahabatku Kunti Kendil…”
Di dalam sangkar Jantan Apik angguk-anggukkan kepalanya sambil mengeluarkan suara menggeru terus menerus. Sinto Gendeng robek bagian terbersih dari pakaiannya yang dekil. Dengan sepotong kayu berwarna merah dia menuliskan sesuatu di atas potongan kain itu. lalu kain digulung dan diikatkan ke kaki kanan Jantan Apik. Setelah mengelus-elus dan menciumi binatang itu, Sinto Gendeng membawanya ke luar gubuk.
“Pergilah Jantan Apik. Terbang tinggi-tinggi agar kau lekas sampai di pegunungan Iyang. Sampaikan pesanku dan temui betinamu!”
Sinto Gendeng lemparkan burung merpati itu ke udara. Jantan Apik melesat laksana anak panah. Burung ini berputar tiga kali di atas kepala si nenek sebelum melayang cepat ke arah timur.
Sinto Gendeng terbaring sakit di atas balai-balai kayu dalam gubuk. Dari mulutnya kerap kali terdengar suara meracau seperti orang mengigau.
“Kalau mati terbunuh anak itu akan ku obrak abrik dunia persilatan! Kalau mati anak itu lihat saja…! Lihat saja…!” Sinto Gendeng batuk-batuk beberapa kali.
Lalu “Ah, mengapa tak ada yang datang. Padahal semua sudah kusiapkan!” Nenek itu mengangkat tangannya yang memegang sebuah benda. Benda ini ternyata adalah sebuah topeng yang terbuat dari bagian terhalus perut rusa betina. Sebulan yang lalu dia sendiri yang menangkap seekor rusa di rimba belantara di kaki gunung Gede, menyembelihnya dan mengambil usus besarnya. Usus itu dikeringkan lalu dijadikan sebuah topeng yang jika dipakai oleh siapa saja tidak akan kentara saking tipisnya.
“Satu bulan sudah berlalu. Gila… Tak ada yang muncul! Apakah Jantan Apik tidak sampai ke sana…? Akan kutunggu tiga hari lagi… Jika tak ada yang datang terpaksa aku turun gunung merancah rimba persilatan, mencari anak itu! Kalau sampai dia mati terbunuh akan ku obrak abrik dunia persilatan! Dewa Tuak… Dewa Tuak! Kau juga tak akan lepas dari hukumanku! Aku tidak yakin anak itu melakukan semua kekejian itu! Aku tidak percaya. Otaknya mungkin sableng, tapi hatinya seputih kapas! Aku tahu betul… Aku tahu betul…”
Begitu Sinto Gendeng meracau berkata-kata seorang diri hampir setiap hari. Dua hari setelah itu, suatu pagi, belum pupus embun di dedaunan pintu gubuk tiba-tiba terbuka. Sinto Gendeng palingkan kepalanya. Tiba-tiba laksana ada kekuatan yang menyembuhkannya si nenek melompat bangkit, duduk di tepi balai-balai. Matanya yang cekung memandang ke arah pintu yang terbuka, mulutnya yang perot menyeringai.
“Gusti Allah! Kau kabulkan permintaan si tua bangka buruk ini! Terima kasih Tuhan! Mahesa Edan! Memang kaulah yang kuharapkan datang…”
Orang yang datang adalah seorang pemuda yang paling tinggi berusia sembilan belas tahun. Wajahnya keren, tapi seperti mengantuk dan sebentar saja berada di situ dia sudah tiga kali menguap!
“Mahesa… Mendekat ke mari!” Sinto Gendeng melambaikan tangannya.
Pemuda itu datang mendekat. Lalu menjura “Eyang, terima salam hormatku!”
“Sudah! Jangan memakai segala macam peradatan. Urusan kita lebih penting! Menyangkut keselamatan dan jiwa muridku si Wiro Sableng! Sahabatmu!”
“Guru menerima pesanmu yang dibawa Jantan Apik. Kebetulan saya berada di puncak Iyang tengah menyambangi guru. Langsung saja guru memerintahkan saya ke mari…”
“Bagus… bagus. Semuanya sesuai dengan petunjuk dan kehendak Tuhan. Ada bantuan sangat besar kumintakan padamu Mahesa…”
Mahesa Edan menguap lebar-lebar. Sambil ucak-ucak matanya yang berair dia bertanya, “Katakan saja Eyang. Tugas darimu sama saja dengan tugas dari guruku Kunti Kendil!”
“Kau tentu sudah mendengar apa yang terjadi di dunia persilatan. Muridku si sableng itu dituduh telah berubah menjadi dajal namaor satu. Merampok dan membunuh! Menculik dan memperkosa…!”
“Memang itu yang saya dengar Eyang! Tapi sulit dipercaya bahwa Wiro akan berbuat seperti itu!”
“Itulah yang tidak masuk akal bagiku Mahesa. Apapun yang terjadi anak sableng itu harus diselamatkan. Ini kewajibanku sebagai guru. Untuk turun tangan sendiri dalam usia yang uzur ini rasanya sudah tak sanggup. Apalagi sakit keparat ini menyerangku sejak dua minggu lalu. Melihat kau datang sembuh rasanya penyakitku…”
“Syukur kalau Eyang bisa sembuh. Katakan apa yang bisa saya lakukan…”
“Kau lihat benda di tanganku ini Mahesa?” Sinto Gendeng membeberkan benda yang dipegangnya.
“Saya melihatnya Eyang. Sehelai topeng aneh…”
Sinto Gendeng lemparkan topeng itu ke arah Mahesa Edan murid Kunti Kendil seorang nenek sakti yang diam di puncak gunung Iyang.
“Bawa topeng itu, cari Wiro. Jika bertemu suruh dia mengenakan topeng itu! wajahnya akan berubah. Wajah aslinya akan tersembunyi. Dengan demikian tak ada lagi yang akan mengenalinya. Tak ada yang akan memburu dan menghadangnya! Kau bisa mencari muridku itu bukan?!”
“Saya akan melakukannya Eyang!”
“Bagus! Nah, selagi hari masih pagi, pergilah!”
“Tidakkah saya harus melakukan sesuatu untuk mengurangi penyakit Eyang?” tanya Mahesa lalu kembali menguap.
“Aku sudah sembuh!” jawab Sinto Gendeng lalu untuk pertama kalinya dia tertawa cekikikan.
Mahesa Edan merasakan tengkuknya dingin. Gurunya si Kunti Kendil memiliki wajah sangat angker. Tapi nenek satu ini jauh luar biasa angkernya. “Eyang tidak ada pesan-pesan lainnya untuk Wiro?”
Si nenek merenung sejenak. Lalu berkata, “Bilang padanya, dalam susah pergunakanlah akal, dalam kesulitan putarlah otak. Tak ada yang dapat mengalahkan kebenaran akal sehat dan otak cerdik!”
“Saya akan sampaikan kata-kata Eyang itu padanya. Saya minta diri Eyang…”
Sinto Gendeng menyeringai. Lalu anggukkan kepala. “Pergilah cepat. Berlarilah seperti dikejar setan. Hik hik hik…”
“Wiro, aku mendengar langkah orang mendekati mulut goa!”
“Aku juga. Sangat samar-samar. Pasti seorang berkepandiaan tinggi. Lekas tiup api pelita…” Balas berbisik si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu dia berada di dalam sebuah goa bersama Anggini murid tunggal Dewa Tuak. Setelah kehilangan Kapak Naga Geni 212 dan terluka parah di bagian bahu, Wiro berhasil melarikan diri tanpa menyadari bahwa Anggini mengikutinya. Sebenarnya gadis itu ikut bersama Dewa Tuak dan tujuh tokoh silat. Namun karena hatinya meragu bahwa Wiro benar-benar telah menjadi seorang manusia jahat maka dia tidak turut mengeroyok si pemuda.
Betapapun juga dia masih mempercayai Wiro yang secara diam-diam dicintainya. Ketika Wiro jatuh tersungkur kelemasan dalam pelariannya, Anggini segera menolong muird Sinto Gendeng ini, menaikkannya ke atas kuda yang sebelumnya memang telah ditinggalkannya di suatu tempat. Walaupun tidak menyaksikan dengan mata kepala mereka namun tujuh tokoh silat sama menduga bahwa Anggini-lah yang telah menolong menyelamatkan orang yang mereka kejar. Kalau tidak masakan pemuda yang dalam keadaan terluka itu bisa lenyap seperti itu. Akibatnya antara para tokoh dengan Dewa Tuak timbul rasa saling tidak enak.
Lebih dari sebulan Anggini merawat dan menyembunyikan Wiro di dalam goa itu hingga lukanya sembuh. Berdampingan sekian lama membuat rasa cinta kasih Anggini terhadap di pendekar bersemi kembali.
Sebaliknya Pendekar 212 lebih banyak menghormati sang dara dan merasa berhutang budi dan nyawa atas pertolongannya. Selain itu Wiro menganggap bahwa saling menolong adalah hal biasa dan kewajiban dalam dunia persilatan. Kalau saja pikirannya tidak kacau memikirkan keadaan dan kapak mustikanya, mungkin murid Sinto Gendeng itu tidak akan seacuh itu.
Pada saat Anggini meniup mati pelita di dalam goa, saat itu pula di mulut goa muncul sosok tubuh seseorang. “Wiro! Aku tahu kau ada di dalam sana!” Orang di mulut goa berseru.
Anggini memberi isyarat agar Wiro tak menjawab. Lalu gadis ini membentak, “Siapa kau?!” Tak ada orang bernama Wiro di sini!”
Orang di mulut goa terkejut karena tidak menyangka akan mendengar jawaban suara perempuan. “Jangan berdusta, aku tahu Pendekar 212 Wiro Sableng ada di dalam sana!”
“Kau pasti tidak tuli! Sudah ditanya mengapa tidak menerangkan diri?!” kembali Anggini membentak.
“Namaku Mahesa Edan! Aku sahabat Pendekar 212. Di utus oleh Eyang Sinto Gendeng untuk menyerahkan sesuatu!”
Anggini saling pandang dengan Wiro. “Mungkin orang itu menipu. Jangan-jangan salah satu dari para tokoh yang mengejarmu…” Berbisik Anggini.
“Aku seperti mengenali suaranya. Suruh dia masuk tiga langkah! Aku akan bersiap-siap dengan pukulan Sinar Matahari…” Bisik Wiro. Lalu angkat tangan kanannya. Terasa sakit di bekas luka yang baru sembuh. Wiro menggigit bibir dan berusaha menahan sakit. Perlahan-lahan tangannya mulai tampak menjadi keputihan tanda pukulan sakti itu muncul dan siap dipukulkan.
“Orang di mulut goa!” seru Anggini. “Maju tiga langkah! Jika kau bukan Mahesa Edan jangan menyesal mampus percuma ditempat ini!”
“Gila! Kalian mencurigaiku!” memaki orang di mulut goa tapi dia masuk juga sejauh tiga langkah.
Setelah lebih dekat begitu rupa Wiro baru dapat melihat wajah orang itu agak jelas dan dia segera mengenalinya. “Sahabatku Mahesa Edan! Selamat datang di tempat persembunyianku ini!” berseru Wiro lalu dia bangkit berdiri.
Begitu berhadapan dua sahabat itu saling berangkulan. Wiro memperkenalkan Anggini pada Mahesa Edan. Murid Kunti Kendil ini tampak terheran-heran dan berkata, “Adalah aneh! Gurunya si Dewa Tuak kuketahui ikut bergabung dengan beberapa tokoh silat mengejarmu! Muridnya justru menolongmu!”
“Pikiran manusia berbeda-beda! Apa anehnya!” sahut Anggini.
Mahesa Edan menyeringai lalu menguap lebar-lebar.
“Bagaimana kau tahu dan bisa mencariku di sini?” tanya Wiro.
“Aku berhasil menyirap kabar dari beberapa sahabat. Setelah malang melintang hampir satu bulan akhirnya sampai ke mari! Nasib mu malang betul sahabat! Betul bukan kau yang jadi dajal penyebar maut dan segala kekejian yang diburu-buru orang itu…?!”
“Jika aku percaya dia dajal yang kau maksudkan itu, sudah dulu-dulu kupenggal batang lehernya!” Yang menjawab adalah Anggini.
“Ya… ya, aku tahu. Hati seorang sahabat bisa lebih bersih menilai. Apalagi seorang gadis. Hatinya tentu putih bersih…”
Paras Anggini memerah di kegelapan. Tanpa disuruh dia kemudian menyalakan pelita kembali. Mahesa Edan kemudian menuturkan riwayat pesan yang disampaikan Eyang Sinto Gendeng.
“Gurumu meminta aku menyerahkan benda ini padamu dan harus segera kau pakai saat ini juga!”
“Apa itu…?” tanya Wiro.
“Topeng!” jawab Mahesa Edan. Lalu diserahkannya topeng yang diselipkan di balik baju.
“Topeng…? Buat apa?!” tanya Wiro lagi.
“Jangan tolol! Saat ini mungkin ada dua lusin tokoh silat yang mencari dan ingin membunuhmu! Tampangmu yang sableng itu dikenal di mana-mana! Apa kau masih bisa petantang-petenteng di luar tanpa dikenali? Atau kau kira kau bisa bersembunyi di goa ini sampai seratus tahun? Sampai kau dan sahabatmu ini jadi kakek dan nenek?!”
Wiro tertawa geli. Dia garuk-garuk kepalanya. “Aku mengerti… Aku tahu apa maksud Eyang Sinto Gendeng. Terima kasih kau telah menyampaikannya dengan bersusah payah…”
Wiro mengambil topeng itu, langsung memakaikannya ke wajahnya. Karena topeng itu terbuat dari usus rusa yang sama warnanya dengan kulit muka Wiro, sulit itu mengetahui kalau saat itu dia memakai topeng.
“Nah… nah… nah! Setan atau malaikat sekalipun kurasa tidak akan mengenalimu lagi Wiro!” kata Mahesa.
Diam-diam Anggini memuji keahlian Eyang Sinto Gendeng membuat topeng seperti itu. Wajah Wiro kini berubah sama sekali. Dia muncul sebagai pemuda lain!
“Ada pesan dari gurumu Wiro. Beliau minta aku menyampaikan ucapan ini Dalam susah pergunakan akal, dalam kesulitan putarlah otak. Tak ada yang dapat mengalahkan kebenaran akal sehat dan otak cerdik!” “Eh, apa maksudnya itu?”
“Mana aku tahu?” jawab Mahesa. “Nah, tugasku sudah selesai. Seharusnya aku bisa minta diri saat ini. Tapi aku lebih suka kalau dapat menyaksikan akhir dari semua kejadian ini! Siapa sebenarnya yang menjadi biang racun! Aku menyirap beberapa potong kabar. Mungkin ada baiknya jika kukatakan padamu. Menurut kabar yang tersiar di rimba persilatan, pemuda yang malang melintang berbuat kejahatan itu mengaku sebagai Pendekar 212 memang memiliki wajah serta cirri-ciri sepertimu…”
“Gila!” maki Wiro sambil kepalkan tinju.
“Bukan itu saja! Dia juga memiliki pukulan sakti Sinar Matahari!”
Wiro hampir terlonjak mendengar keterangan Mahesa Edan itu. “Ilmu kesaktian itu hanya Eyang Sinto gendeng yang memilikinya! Jika ada orang lain yang menguasainya berarti dia mendapatkan dari guruku langsung…”
“Gurumu tak pernah mengambil murid lain. Berarti dia tak pernah mengajarkan pada siapapun ilmu pukulan Sinar Matahari itu…” ujar Mahesa Edan.
Wiro garuk-garuk kepala. “Mungkin dia mencuri ilmu kepandaian itu… Sulit dipercaya! Apa sebenarnya yang terjadi!”
Setelah berdiam sesaat Mahesa Edan melanjutkan bicaranya. “Para tokoh yang melakukan pemburuan terhadap Pendekar 212 palsu selama ini tak satupun yang berhasil menangkapnya hidup atau mati. Bahkan semua tokoh silat yang menghadangnya dikalahkan dan dibunuh! Belasan korban telah jatuh…”
“Akupun jadi korban tuduhan perbuatan bangsat itu!” ujar Wiro geram. “Ada lagi keterangan lain yang hendak kau sampaikan Mahesa.”
Murid Kunti Kendil mengagguk. “Diketahui bahwa Pendekar 212 palsu itu kabarnya mempunyai seorang istri. Puteri seorang hartawan ternama yang tinggal di sebelah timur Kotaraja! Sang istri kabarnya tengah mencari-carinya karena meninggalkannya begitu saja dan membuat dirinya dan kedua orang tuanya malu besar. Gurumu tidak menceritakan apa-apa tentang istri orang itu. tapi ada tersiar kabar bahwa sekitar sebulan lalu istri Wiro palsu itu muncul di puncak gunung Gede…”
“Mengapa guru tidak menghajarnya?!” ujar Wiro seenaknya saking kesalnya.
“Perempuan itu tidak punya salah apa-apa. Malah dia sengaja mencari suaminya untuk membunuhnya…” Ujar Mahesa pula.
“Lalu apa rencana para tokoh silat terhadap keparat itu?” bertanya Wiro.
“Semua menduga bahwa dia meninggalkan istrinya begitu saja, tapi suatu ketika dia pasti akan muncul untuk menyambanginya. Karena memang begitu sifat manusia. Sesekali akan merasa rindu dan ingin berjumpa. Apalagi dia tidak mengetahui kalau istrinya berniat menghajarnya sampai mati…”
“Kalau begitu ada baiknya kita melakukan pengintaian di rumah kediaman istrinya…” Ujar Wiro. “Bagaimana pendapatmu?”
“Justru aku mendengar berita para tokoh silat yang mengejar akan melakukan hal yang sama. Jika kita ikut muncul di sana, kita harus berhati-hati…”
“Kenapa harus berhati-hati? Bukankah mereka tidak mengenali tampangku lagi?! Aku harus datang ke sana! Mereka merampas Kapak Naga Geni milikku!”
“Aku ikut bersamamu! Ingin aku melihat sampai di mana kehebatan pendekar itu, yang mampu menjatuhkan semua tokoh silat!” berkata Mahesa.
“Aku juga ikut!” berkata pula Anggini.
“Jika Dewa Tuak ada di sana, kau akan dicurigainya! Dia pasti menanyakan ke mana kau menghilang satu bulan lebih dan apa saja yang kau lakukan!” Wiro bicara sambil menatap paras gadis jelita berbaju ungu itu.
“Soal guruku si Dewa Tuak itu, serahkan saja padaku! Pokoknya aku harus ikut!”
Wiro pegang bahu Mahesa Edan dan Anggini. Lalu berkata dengan suara agak tercekat. “Aku merasa bersyukur dan berterima kasih. Ketika semua orang di dunia ini mengutuk dan menginginkan kematianku, ternyata masih ada dua orang sahabat yang berpolos hati mau menolong dan ikut bersamaku…”
Mahesa Edan balas menepuk bahu sahabatnya dan menajwab. “Ada sumpah tak terucap di antara para pendekar dunia persilatan. Makan satu piring, tidur di tikar yang sama, mati satu kubur dalam membela kebenaran!”
Rumah besar tempat kediaman hartawan Suto Klebet tampak sepi, kosong dan gelap. Sejak peristiwa menghebohkan hampir setahun silam, yaitu dimulai dengan perampokan dan pembunuhan atas diri janda almarhum Tumenggung Campak Wungu serta perginya Mirasani tanpa diketahui arah tujuannya, maka Suto Klebet telah mengajak istrinya pindah ke rumah mereka yang lain jauh di pedalaman.
Rumah besar yang ditinggalkan dalam keadaan tidak terawat itu bukan saja kini menjadi sunyi dan kotor, tapi jika malam hari diselimuti kegelapan hampir tak beda dengan sebuah rumah hantu.
Selama enam bulan pertama memang ada seorang tua yang menjagai rumah itu, namun kemudian penjaga ini pulang ke kampungnya, hanya sesekali saja menengoki rumah tersebut. Itupun hanya melihat-lihat belaka, tidak membersihkannya atau melakukan apa-apa.
Suatu hari, ketika malam baru saja turun di saat kebetulan penjaga tua itu tengah menengok rumah tersebut dan bersiap-siap untuk pergi, seorang penunggang kuda tampak muncul di pintu gerbang. Orang ini beberapa lama berdiam diri saja dekat pintu itu seperti merasa ragu apakah akan masuk ke dalam atau tidak. Walaupun gelap tapi si penjaga tua segera mengenali siapa adanya penunggang kuda itu. Buru-buru dia mendatangi seraya berseru dan menjura.
“Den Ayu Mirasani! Ya Gusti Allah… Akhirnya den ayu kembali juga…”
Si penunggang kuda memang adalah Mirasani, puteri satu-satunya hartawan Suto Klebet yang diperistrikan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng palsu.
“Apa yang terjadi dengan rumah besar ini…?” tanya Mirasani dengan suara bergetar. Si penjaga menuturkan dengan cepat.
“Kedua orang tua den ayu kini tinggal di rumah di desa Keminung. Saya siap mengantarkan den ayu ke sana…”
“Tidak perlu. Selama rumah ini kosong apakah ada orang yang datang kemari?”
“Banyak den ayu! Banyak sekali!”
“Apa maksudmu banyak? Siapa-siapa mereka?”
“Saya tidak tahu siapa mereka. Semua tak ada yang menerangkan diri masing-masing. Tapi saya tahu mereka adalah orang-orang kalangan persilatan. Tampang dan pakaian mereka aneh-aneh…”
“Apa yang mereka perbuat di sini?”
“Mereka menanyakan den ayu. Tapi yang paling banyak menanyakan suami den ayu. Karena saya memang tidak tahu maka saya jawab tidak tahu. Dua bulan lalu suami den ayu juga muncul di sini. Kebetulan saya berada di sini…”
Kagetlah Mirasani. “Dua bulan lalu…? Apa yang diperbuatnya di sini…?"
“Hanya melihat dan memeriksa sebentar. Lalu pergi. Tapi dia ada meninggalkan pesan. Pada malam hari, hari kelima bulan lima dia akan datang lagi ke mari. Dia berpesan jika saya bertemu dengan den ayu agar mengatakannya pada den ayu…”
“Hari kelima bulan lima. Itu besok malam!” desis Mirasani.
“Astaga! Betul sekali den ayu! Saya sampai lupa menghitung hari! Untung sekali den ayu muncul saat ini hingga saya tidak melalaikan amanat suami den ayu!”
“Jangan sebut-sebut dia suamiku! Sejak satu tahun lalu keparat itu bukan lagi suamiku!” kata Mirasani lalu turun dari kudanya. “Sembunyikan kuda ini di kebun, lalu kau boleh pergi…” Mirasani melangkah menuju ke rumah besar.
Masih terheran-heran mendengar ucapan Mirasani tadi, tanpa berani berkata apa-apa si penjaga tua menuntun Guci menuju kebun jauh di belakang rumah besar yang gelap dan sunyi.
Hari kelima di bulan kelima adalah hari Jum’at kliwon! Sejak sore hujan turun rintik-rintik. Cuaca gelap dan dingin. Kesunyian yang mencengkam sesekali dirobek oleh suara halilintar yag menggelegar di kejauhan. Sebuah kamar yang terletak di samping kanan rumah besar tiba-tiba tampak merambas sinar terang. Lalu pada beberapa pohon besar yang banyak mengelilingi tempat itu terdengar suara berbisik-bisik.
“Ada orang menyalakan lampu…”
“Ya, kita lihat saja…” Ada jawaban berbisik.
“Apa yang kita lakukan sekarang? Langsung menggerebek…?” terdengar suara berbisik lainnya.
“Jangan tolol! Siapapun yang menyalakan lampu, dia pasti bukan orang yang kita cari. Tunggu saja…” Lalu terdengar suara cegluk-cegluk. Suara seperti seseorang tengah minum dengan lahap.
Malam merayap terus. Semakin larut semakin dingin dan tambah gelap. “Ah... jangan-jangan bangsat itu tidak datang. Dia hanya sengaja menyebar kabar tipuan…” Kembali terdengar suara berbisik di atas sebuah pohon.
“Mungkin… Sekarang sudah hampir lewat tengah malam. Biar kita tunggu saja sampai menjelang pagi. Paling tidak sampai orang yang menyalakan lampu pergi dari sini…”
“Apapun yang terjadi kita semua harus tetap di sini. Aku yakin bangsat itu akan muncul di tempat ini. dia tak akan dapat melupakan istrinya yang cantik itu. Walaupun sang istri akan menghadangnya dengan senjata di tangan!”
Suara bisik-bisik lenyap. Suasana kembali sunyi Tiba-tiba. “Ada orang datang!”
“Aih… Memang bangsat itu! Aku kenal sekali tampangnya…!” Cegluk-cegluk-cegluk… “Tunggu sampai dia berada di jurusan kamar yang terang…”
Dari arah pintu gerbang rumah besar tampak melangkah cepat sesosok tubuh berpakaian putih. Rambutnya yang godrong menjela bahu bergoyang-goyang ditiup angin malam. Orang ini melangkah sambil memandang berkeliling, lalu cepat bergerak ke jurusan rumah yang terang dan berhenti di depan sebuah jendela yang tertutup rapat. Di sini orang ini kembali memandang berkeliling. Lalu terdengar suara orang ini memanggil perlahan.
“Mira… Kau di dalam kamar…?”
Sepi. Tak ada jawaban. “Mira… Aku suamimu. Wiro!” orang di depan jendela kembali memanggil.
Lampu di dalam rumah tiba-tiba padam. Bersamaan dengan itu jendela yang tertutup di tendang orang dari dalam hingga hancur berantakan dan terpentang lebar. Satu bayangan melompat melewati jendela. Satu bentakan menggeledek di kegelapan malam.
“Manusia dajal! Aku bukan istrimu! Kau bukan suamiku! Kau manusia penipu! Rampok besar, pembunuh dan pemerkosa! Kau datang kemari menerima mampus!”
Begitu menjejak tanah orang yang melompat langsung menyerang lelaki yang berada dekat jendela.
“Mira… Tenang?! Kau tahu, apapun yang kau lakukan tak bakal dapat mengalahkanku! Mari kita bicara dulu secara baik-baik…”
“Bicaralah nanti dengan malaikat maut!” teriak si penyerang yang bukan lain adalah Mirasani. Di tangan kanannya kini terhunus sebilah pedang berkilat!
Di atas pohon terdengar suara berbisik penuh tegang. “Memang dia!”
“Nyalakan obor dan kurung tempat ini!”
Lalu terdengar suara suitan keras sebagai tanda. Selusin obor tiba-tiba menyala. Lima di atas pohon, tujuh lainnya di bawah di antara semak belukar. Serta merta tempat itu menjadi terang benderang oleh cahaya obor. Dan bukan itu saja. Lebih dari selusin orang telah mengurung halaman samping di mana Mirasani dan si gondrong berpakaian putih berada.
Keduanya terkejut bukan kepalang. Tapi ada lagi tiga orang yang lebih terkejut dan saling pandang. Ketiganya adalah Wiro Sableng, Anggini dan Mahesa Edan yang sejak tadi berada pula di tempat itu dan bersembunyi di tempat gelap. Begitu cahaya obor membuat halaman samping itu terang benderang dan wajah si gondrong berpakaian putih kelihatan jelas, Pendekar 212 Wiro Sableng yang kini mengenakan topeng tipis jadi melengak kaget luar biasa. Potongan tubuh dan wajah si gondrong di seberang sana sama sekali dengan dirinya!
“Gila! Bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak dilahirkan kembar! Mengapa bangsat itu sama sekali tampangnya dengan diriku?!”
Wiro garuk-garuk kepala dan tangannya yang lain mengusap wajahnya sendiri. Namun dia tidak bisa tenggelam dalam keheranan itu karena di depan sana para tokoh silat yang telah mengurung sudah bersiap-siap membuat perhitungan.
Mereka adalah Lor Gambir Seta murid si Raja Penidur, Malaikat Tangan Besi dari Puputan lalu Pendekar Besi Hitam, Menak Jelantra alias Harimau Pemakan Jantung, Pengemis Hantu, Dewa Tuak dan ada lagi beberapa orang yang tak dikenal tapi dari cirri-ciri mereka jelas menunjukkan semuanya adalah orang-orang silat berkepandaian tinggi!
“Setan dari mana yang malam-malam buta kesasar ke tampat ini?!” membentak Mirasani sementara Wiro palsu suaminya tampak tegak tercekat.
Dewa Tuak maju satu langkah. Matanya sejak tadi menatap si gondrong tanpa berkesip. “Urusan kapiran!” katanya dalam hati. “Tidak mungkin ada dua manusia bernama Wiro Sableng di atas dunia ini! tapi mataku menyaksikan sendiri manusia satu ini sama sekali dengan murid si Sinto Gendeng itu!”
Lalu Dewa Tuak berpaling pada Mirasani. Setelah berdeham beberapa kali diapun menjawab. “Kami bukan setan-setan kesasar perempuan muda! Seperti kau pun kami muncul di sini untuk minta nyawa busuk suamimu itu! Kami datang dua belas orang, tiga belas dengan dirimu! Rasanya cukup pantas nyawa dajal ini dibagi tiga belas…!”
“Persetan siapapun kalian! Kalian tidak layak berada di sini! Soal nyawanya hanyalah aku yang berhak membunuhnya!” jawab Mirasani.
“Perempuan sundal!” tiba-tiba nenek bergelar Arit Sakti Pencabut Raga muncul. Sejak tadi dia sengaja berlindung di tempat gelap. “Jangan bicara besar di depanku! Kau pura-pura berseteru dengan dajal itu padahal aku tahu kau pasti akan membelanya! Jika itu kau lakukan, kau akan mampus bersamanya!”
“Nenek busuk bermulut kotor!” balas membentak Mirasani. “Siapa kau?!”
“Siapa aku tak perlu bagimu. Tapi suamimu itu telah menculik dan memperkosa muridku Sintorukmi lalu membunuhnya secara biadab! Katakan apakah kau lebih layak dari aku untuk membunuhnya?! Katakan! Bangsat haram jadah!”
Tidak tahan membendung amarah dan dendam kesumat si nenek langsung menyerang Wiro Sableng palsu dengan senjatanya yaitu sebilah arit. Senjata inilah yang tempo hari berhasil melukai bahu Wiro asli.
Melihat orang menyerang, Wiro palsu cepat berkelebat mengelak. Sepasang matanya memperhatikan gerakan orang. Dua kali lagi si nenek menyerbu. Dua kali pula Wiro palsu berhasil selamatkan diri. Memasuki jurus keempat, dari sikap bertahan tiba-tiba Wiro palsu kirimkan serangan balasan dan...
"Bukkk!- Bukkk...!"
Tinju kiri kanan melabrak dan dan perut si nenek hingga perempuan tua ini terjungkal megap-megap, merangkak di tanah tak bisa berdiri beberapa lamanya!
Belasan pasang mata terbeliak besar. Dewa Tuak sampai ternganga heran. Arit Sakti Pencabut Raga bukanlah tokoh silat kemarin. Selama bertahun-tahun dia dianggap sebagai dedengkot persilatan di daerah barat kali Brantas. Adalah tidak dapat dipercaya, dalam keadaan memegang senjata andalannya dia dapat dirobohkan hanya dalam empat jurus!
Berhasil merobohkan lawan, semangat keberanian Wiro palsu berkobar. Dia memandang bekeliling lalu berkata, “Kalian semua tokoh-tokoh silat gila keblinger! Muncul dengan membawa maksud keji untuk membunuhku! Apa yang telah kulakukan? Kalian pandai mengarang fitnah! Kalaupun aku mati di tangan kalian, guruku Sinto Gendeng tidak akan berlepas tangan!”
“Anjing kurap! Pemuda jahanam itu menyebut guruku sebagai gurunya!” maki Wiro Sableng asli sambil kepalkan tinju. Dia hampir hendak melompat kalau tidak ditahan oleh Mahesa Edan dan Anggini.
Terdengar kembali suara Wiro palsu, “Kalian datang beramai-ramai. Mengeroyok! Itukah jiwa kesatria manusia-manusia yang katanya tokoh persilatan? Kalau kalian memang jantan mari berkelahi satu lawan satu sampai seribu jurus!”
“Manusia iblis! Aku lawanmu yang pertama!” teriak Pendekar Besi Hitam sambil melintangkan tongkat bsei hitam di depan dada.
“Hemm… Aku tidak kenal padamu!” ujar Wiro palsu sambil memperhatikan pendekar muda itu dengan pandangan merendahkan. “Fitnah apa yang hendak kau tuduhkan padaku?!”
“Aku Pendekar Besi Hitam! Setahun lalu kau merampok rumah kediaman bibiku janda almarhum Tumenggung Campak Wungu. Kau juga yang kemudian membunuhnya dan meninggalkan tanda 212 di dinding kamar!”
“Fitnah keji! Aku tidak akan membiarkanmu hidup!” teriak Wiro palsu. Dia seperti hendak menyerang tapi kedua kakinya tetap tak bergerak. Justru saat itu Pendekar Besi Hitam sudah mendahului dengan menghantamkan tongkat besinya ke arah kepala Wiro palsu. Yang diserang cepat mengelak dan keluarkan suara tawa mengejek.
“Tongkat Dewa Memukul Puncak Gunung!” seri Wiro palsu.
Kagetlah Pendekar Besi Hitam ketika mendengar lawan menyebut jurus serangan yang barusan dilakukannya.
“Ha ha ha! Ayo keluarkan seluruh kepandaianmu! Kalau tidak, sebelum empat jurus kau akan melosoh di tanah!”
Dengan hati terbakar dan muka mengelam Pendekar Besi Hitam membentak garang lalu menyerbu kembali. Tongkat besinya mengeluarkan suara menderu dan memancarkan sinar hitam redup tanda dia telah mengerahkan tenaga dalam untuk menyerang itu.
“Tongkat Sakti Menusuk Karang…! Tongkat Sakti Membobol Bendungan…”
Mulut Wiro palsu tiada hentinya menyebutkan jurus-jurus serangan yang dimainkan lawan sementara kedua matanya hampir tidak berkesip melihat gerakan Pendekar Besi Hitam. Memasuki jurus kelima tiba-tiba Wiro palsu membuat gerakan aneh. Terdengar kemudian dia berseru “Lihat! Aku akan menggebukmu dengan jurus silatmu sendiri!”
Tubuh Wiro palsu meliuk ke kanan lalu melesat ke depan. “Tongkat Sakti Menusuk Karang!” teriaknya lalu memainkan jurus serangan yang tadi dilancarkan lawan walaupun hanya menggunakan tangan.
Pendekar Besi Hitam terkejut sekali melihat kejadian itu. Lawan bukan saja memainkan jurus tongkat sakti menusuk karang itu dengan sempurna, malahan gerakannya lebih cepat dan ganas. Lalu...
"Bukkk...!"
Pendekar Besi Hitam terlontar dua tombak sambil semburkan darah segar dari mulutnya. Tulang dadanya hancur. Tubuhnya melingkar di tanah, entah mati dntah pingsan!
Dewa Tuak tak dapat menahan hatinya lagi. Sambil memegang bumbung bambu di tangan kiri dia berkata, “Mari layani aku sejurus dua jurus…”
Wiro palsu tertawa lebar. “Sudah tua bangka begini masih saja mencampuri urusan dunia!”
Dewa Tuak ganda tertawa mendengar ejekan itu lalu teguk tuaknya dua kali. Saat itulah Menak Jalantra alias Harimau Pemakan Jantung maju mendahului.
“Dewa Tuak, biarkan aku yang menghajar dajal keparat ini. Akan kucincang tubuhnya sampai lumat!”
"Srettt...!" Habis berkata begitu Harimau Pemakan Jantung cabut golok saktinya yang berhulu kepala harimau. Melihat orang memaksa, dengan sabar Dewa Tuak terpaksa mundur.
Wiro palsu agak tercekat ketika melihat sinar angker yang memancar dari golok lawan yang berpakaian serba hitam dan mengenakan caping bambu itu.
“Perkenalkan dirimu agar aku bisa menghajarmu pada bagian-bagian tubuhmu yang empuk!”
Terpancing oleh kata-kata mengejek Wiro palsu Harimau Pemakan Jantung sebutkan gelarnya. Begitu mendengar gelar orang, Wiro palsu tertawa bergelak.
“Kau rupanya. Jurus apa yang hendak kau keluarkan manusia harimau bercaping bambu? Jurus harimau keluar dari goa, jurus harimau mencengkeram bola dunia atau jurus macan tutul menyamar rembulan…?”
Kagetlah Harimau Pemakan Jantung begitu mendengar lawannya menyebutkan jurus-jurus paling rahasia dari ilmu silatnya. “Bagus! Kau bisa menyebut jurus-jurus itu dan kau akan mampus dalam jurus-jurus itu!” Harimau Pemakan Jantung mengembor. Suara gemborannya tak beda seperti suara harimau menggereng. Tubuhnya berkelebat, langsung lenyap dan kini hanya sinar goloknya yang tampak berputar.
“Golok Sakti Memburu Harimau Sesat!” teriak Wiro palsu menyebut jurus pembuka serangan yang dilancarkan lawan. Lalu tubuhnya menyelusup ke kiri. Sungguh luar biasa, dia dapat berkelit dari serangan yang ganas itu padahal Harimau Pemakan Jantung telah meyakini jurus itu selama bertahun-tahun.
Dengan kertakkan rahang dia kembali memburu. Enam jurus berlalu cepat. Tubuh Wiro palsu terbungkus sinar golok dan tampaknya dia tidak bisa berbuat suatu apa.
“Kurang ajar!” Wiro palsu menyadari bahaya yang mengancam dirinya.
Tiba-tiba dia berseru keras. Tubuhnya melesat ke kiri, di arah mana Mirasani berdiri. Sebelum tahu apa yang terjadi tahu-tahu Mira merasakan pedang yang dicekalnya terlepas dari tangannya. Di lain kejap di depan sana Wiro palsu tampak sudah berdiri memegang pedang dan menghambur menyongsong serangan Harimau Pemakan Jantung. Tapi dia sama sekali tidak berusaha dekati lawan, malah dari tempatnya berdiri dia mulai mainkan jurus- jurus ilmu silat lawannya sendiri!
Hal ini membuat lawan bukan saja kaget tapi juga bingung karena tak tahu hendak keluarkan jurus apa untuk membobolkan jurusnya sendiri!
“Kau takut? Mengapa diam saja?!” Wiro palsu mengejek.
“Mampus!” teriak Harimau Pemakan Jantung lalu menyerbu dengan jurus simpanan yaitu Datuk Harimau Membelah Jantung. Tapi di depan sana tiba-tiba lawannya bergerak menghantam dengan jurus harimau keluar dari goa lalu macan tutul menusuk matahari!
Harimau Pemakan Jantung seperti tak berdaya dalam ketersiapannya. Pedang di tangan lawan menusuk deras pada leher di bagian bawah dagunya! Tokoh silat ini keluarkan suara seperti ayam dipotong, darah menyembur lalu roboh ke tanah. Kakinya menggelepar-gelepar sesaat setelah itu tak berkutik lagi alias mati!
Wiro tersentak. Bukan ngeri melihat kematian itu tapi karena ingat si Harimau Pemakan Jantung itulah yang dulu mengambil Kapak Naga Geni 212 yang terlepas dari tangannya ketika dia dikeroyok habis-habisan!
“Gila!” terdengar suara Mahesa Edan. “Jika begini terus-terusan tokoh silat yang ada di sini bisa mati konyol semua!” Dia berpaling pada Wiro yang masih memikirkan kapak saktinya. “Bagaimana pendapatmu Wiro?!”
“Manusia satu ini memang luar biasa. Tapi tunggu, aku ingat pesan guru yang kau sampaikan. Dalam susah pergunakan akal. Dalam kesulitan putar otak. Tak ada yang dapat mengalahkan kebenaran akal sehat dan otak cerdik! Jelas si gondrong yang punya tampang sepertiku itu memiliki akal dan otak cerdik…”
“Maksudmu…?” tanya Anggini.
Wiro asli garuk-garuk kepala. “Dia memang luar biasa. Tapi kalian saksikan sendiri. Semua ilmu silat yang dikeluarkannya bukan kepandaian dia sendiri. Tapi dia justru memainkan jurus-jurus silat lawan. Dia menirukannya. Ada sesuatu yang rahasia di balik keluarbiasan itu!”
“Apa maksudmu…?” tanya Mahesa Edan tak mengerti.
Wiro kembali menggaruk kepala dan usap mukanya yang tertutup topeng. “Maksudku... enggg… Pernahkah kau memikirkan bagaimana kalau kita diserang lawan dengan ilmu silat kita sendiri? Kita akan kelabakan! Karena kita memang tidak pernah mempelajari bagaimana cara bertahan jika diserang ilmu silat sendiri. Selama ini semua ilmu silat hanya memusatkan pada bagaimana jika diserang oleh ilmu silat lain. Tentu saja memang begitu karena mana ada pikiran senjata mau makan tuannya sendiri! Kenyataanya kita melihat bangsat yang punya tampang sepertiku itu merobohkan lawan-lawannya dengan mengandalkan ilmu silat lawannya! Dia sendiri mungkin tidak memiliki dasar ilmu silat yang andal. Dia hanya memiliki akal dan otak cerdik! Persis seperti kata Eyang Sinto Gendeng!”
“Kalau begitu apa yang akan kita lakukan. Semua orang yang ada di sini termasuk kita pasti akan dikalahkannya jika berani menghadapinya!” berkata Anggini.
“Tunggu dulu, apa yang aku rasakan belum kusampaikan semua,” kata Wiro pula. “Ada satu keanehan dalam ilmu silat yang dimainkan orang itu. Dia tak pernah melakukan serangan pertama kali. Tidak pernah berani melakukan bentrokan senjata. Juga seperti menghindarkan bentrokan tangan! Mungkin dia tidak memiliki tenaga dalam…”
“Mustahil!” bantah Mahesa. “Kalau tidak memiliki tenaga dalam mengapa dia mampu melepaskan pukulan sakti sinar matahari yang menghanguskan itu!”
“Itu yang kepingin aku menyaksikannya!” kata Wiro.
“Aku berminat sekali untuk menjajalnya!” kata Mahesa Edan pula.
“Aku juga!” berkata Anggini.
“Tunggu, kita diam saja di sini sambil menyaksikan beberapa gebrakan lagi…”
“Kalau hanya diam, dua atau tiga tokoh silat lagi pasti akan dihancurkannya. Aku tak mau guruku ikut jadi korban!” ujar Anggini.
Wiro garuk-garuk kepala. Di depan sana dilihatnya Dewa Tuak dan Pengemis Hantu beserta yang lainnya bergerak dalam bentuk lingkaran, mengurung Wiro palsu.
“Kalian hendak mengeroyokku?! Pengecut!” teriak Wiro palsu yang melihat gelagat berbahaya itu.
Saat itulah Wiro menghambur dari tempat persembunyiannya. “Tak ada yang akan mengeroyokmu Wiro! Aku yang akan menghadapimu. Sendirian! Satu lawan satu!” Wiro asli menyeruak di antara para tokoh silat langsung menghadapi Wiro palsu dalam jarak lima langkah.
“Siapa pula kau anak muda! Wajahmu sepucat mayat! Belum kugorok lehermu kau sudah kelihatan seperti tidak berdarah!”
Wiro asli menyeringai. “Aku pacar istrimu itu. sejak kau meninggalkannya satu tahun silam, dia telah mengambilku jadi pacar, jadi kekasihnya!”
“Edan, apa-apaan si Wiro itu…!” bisik Anggini pada Mahesa Edan.
“Pemuda kurang ajar! Kenalpun tidak! Berani kau mempermalukan aku! Mengatakan aku kekasihmu! Pacarmu!” Mirasani marah sekali.
Sedang Wiro palsu tampak terkesiap sambil usap-usap dagu. Hati kecilnya bertanya-tanya apa betul pemuda pucat berambut gondrong ini kekasih istrinya? Meski jelas tadi Mirasani membantah dengan marah tapi bukan mustahil ada semacam sandiwara dengan kemunculan si muka pucat ini!
“Jika kau mengaku kekasih istriku, lantas apakah ada silang sengketa di antara kita?” bertanya Wiro palsu.
“Pasti ada! Karena setelah satu tahun kabur tiba-tiba kau muncul di sini! Kangen atau kebelet pada isterimu hah?! Sebagai seorang kekasih aku akan mempertahankan dirinya. Kau boleh angkat kaki dari sini!”
“Kau memintaku pergi! Kau takut menghadapiku!” ujar Wiro palsu seraya rangkapkan tangan di muka dada.
Wiro asli juga rangkapkan kedua tangan di dada. “Siapa takutkan dirimu! Jika kau memang punya nyali silahkan menyerang lebih dulu. Kau mau keluarkan jurus apa? Jurus Kunyuk Melempar Buah? Atau Orang Gila Mengebut Lalat? Atau Benteng Topan Melanda Samudera, atau jurus Membuka Jendela Memandang Rembulan yang romantis itu? ha ha ha…!” Wiro sebutkan jurus-jurus ilmu silatnya sendiri lalu tertawa gelak-gelak.
Di depannya Wiro palsu tampak membesi tampangnya. Hatinya panas. Tapi dia tetap tak bergerak di tempatnya. Diam-diam hatinya bertanya-tanya. Siapa sebenarnya pemuda ini. Mengapa dia tahu jurus-jurus silat Pendekar 212 dan apakah dia benar-benar menyangkanya sebagai sebagai Wiro Sableng asli murid Sintto Gendeng dari Gunung Gede?
“Hai! Kau melamun! Atau memang tak berani melawanku!” Wiro asli berseru.
“Keluarkan seluruh kepandaianmu. Silahkan kau memilih bagian tubuhku yang paling lunak!” sahut Wiro palsu dan tetap saja dia tidak bergerak di tempatnya.
“Bangsat satu ini tidak bisa dipancing rupanya!” kata Wiro dalam hati. Lalu diapun mulai pasang kuda-kuda sementara para tokoh yang ada di situ seperti terlupa akan urusan besar mereka dengan Wiro asli, dan hanya tegak memperhatikan apa yang terjadi.
Perlahan-lahan, dengan gerakan yang amat jelas Wiro mulai mainkan beberapa jurus serangan. Tapi dianya sendiri sama sekali tidak melakukan serangan, hanya bersilat di tempat. Lalu sambil bersilat dia menyebutkan jurus-jurus yang dilakukannya itu.
“Jurus Anjing Buduk Kawin Di Pasar!” seru Wiro. Kedua tangannya dihimpitkan satu sama lain, ditusukkan ke depan lalu mulutnya keluarkan suara menggonggong. “Lihat, jurus Monyet Tua Kegatalan!” Lalu Wiro mencak-mencak sambil kedua tangannya menggaruk ke seluruh bagian tubuhnya mulai dari kepala sampai selangkangan! “Dan ini jurus Nenek Sakti Kencing Di Bawah Pohon!”
Kali ini Wiro nampak berjingkrak-jingkrak lalu mengangkat tinggi-tinggi kedua kaki celananya seperti perempuan menyingsingkan kain, setelah itu dia duduk berjongkok dengan kaki terkembang dan dari mulutnya terdengar suara menirukan perempuan kencing Serrr... serrrr… serrrr.
Suasana yang tadinya tegang kini berubah. Beberapa orang tersenyum-senyum menahan geli.
“Kawan kita itu sudah gila agaknya!” Anggini berkata pada Mahesa. “Jurus-jurus itu! Aku tahu betul itu bukan jurus silat Eyang Sinto Gendeng! Apa sebenarnya dilakukan pendekar konyol itu!”
Dewa Tuak tampak komat kamit. “Dalam dunia persilatan hanya ada satu pendekar konyol lucu seperti ini. Ah, apakah dia... Jangan-jangan…?” Orang tua sakti itu memandang ke arah Wiro palsu dan Wiro asli. Dia melihat dua persamaan. Pakaian putih dan rambut gondrong! Tapi wajah jauh berbeda. Ini membuat kembali si kakek menjadi meragu.
“Hai! Ayo serang diriku! Jangan bengong saja!” Wiro asli berteriak pada Wiro palsu.
Wiro palsu menyeringai. Walaupun orang tampak seperti mempermainkannya tapi sepasang matanya tidak berkesip memperhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh si gondrong di depannya itu.
“Manusia pengecut! Kau hanya berani jual lagak memperagakan ilmu silat picisan. Tapi sama sekali tak berani menyerangku! Menyingkir dari hadapanku!” membentak Wiro palsu.
Wiro asli tampak marah. “Pengecut?! Aku pengecut katamu! Lihat, akan kupecahkan kepalamu dalam tiga jurus!" Wiro berkelebat. Kedua kakinya menggelusur di tanah, kedua tangannya yang dihimpitkan satu sama lain ditusukkan ke depan. “Jurus pertama!” serunya. “Anjing buduk kawin di pasar!”
Sesaat Wiro palsu kaget karena dia dapat merasakan tusukan dua tangan yang saling berhimpit itu menebar hawa tenaga dalam yang kuat. Tapi dia tidak takut. Dia sudah melihat jelas setiap liku gerakan lawan. Sambil maju selangkah dia berseru,
“Aku akan menghancurkanmu dengan jurusmu sendiri!” Lalu diapun berkelebat mengirimkan serangan dalam jurus anjing buduk kawin di pasar itu. ternyata gerakannya lebih sebat. Tusukan kedua tangannya datang menghujam lebih dulu ke arah kepala Wiro asli!
“Celaka!” seru Anggini.
“Ah! Dia akan kena gebuk karena kekonyolannya sendiri!” Mahesa Edan ikut keluarkan seruan dan siap melompat dari persembunyiannya untuk membantu.
Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan semua orang. Didahului oleh suara tawa bergelak, Pendekar 212 Wiro Sableng asli tampak membuang diri ke samping. Apa yang disebut jurus Anjing Buduk Kawin Dipasar itu lenyap sama sekali. Kini kelihatan satu gerakan silat yang mantap. Tubuhnya merunduk, tangan kanannya menderu ke depan.
“Jurus Kunyuk Melempar Buah!” teriak Wiro asli.
Wiro palsu terkejut sekali. Sadar kalau dirinya tertipu oleh jurus palsu yang dipakai menyerang tadi dia cepat merubah gerakan, meniru gerakan serangan yang kini dilepaskan Wiro. Tapi kali ini dia sial dan terlambat.
"Bukkk!"
Wiro palsu menjerit keras. Tubuhnya terpental, perut tertekuk ke depan. Wajahnya sepucat kertas. Dia tegak dengan tubuh sempoyongan.
“Jurus monyet tua kegatalan!” teriak Wiro asli.
Dua tangannya menggaruk kian kemari. Dalam keadaan kesakitan dan terperangah Wiro palsu coba meniru gerakan lawan tapi Wiro mendadak sontak telah merubah lagi gerakannya seraya berseru,
“Jurus orang gila mengebut lalat!” Tangan kirinya membabat ke samping, mengemplang bahu Wiro palsu dengan keras. Terdengar suara...
"Kraakkk...!"
Tanda tulang pangkal lengan orang itu patah. Tubuhnya terpental ke kiri, di arah mana Mirasani berdiri. Perempuan muda ini yang sejak tadi tak dapat menahan hatinya lagi melompat ke depan menjambak rambut suaminya itu lalu menariknya keras-keras ke bawah, perempuan ini hantamkan lututnya!
"Prasss...!"
Hidung dan mulut Wiro palsu remuk. Darah berkucuran.
“Jurus nenek sakti kencing di bawah pohon!” terdengar kembali teriakan Wiro asli. Tubuhnya seperti meluncur sedang kedua kakinya terkembang. Kali ini dia sama sekali tidak melakukan tipuan. Apa yang disebut jurus nenek sakti kencing di bawah pohon itu benar-benar dilakukannya. Dengan kedua kakinya dia menjepit tubuh Wiro palsu. Begitu dia membanting diri ke samping maka tubuh Wiro palsu ikut terhempas menghantam tanah. Mukanya makin berkelukuran.
“Mana pukulan sakti Sinar Mataharimu! Keluarkan pukulan saktimu itu!” Wiro asli berteriak. Dia ingin melihat dengan mata kepala sendiri apa benar manusia yang memiliki tampang sama dengan dia itu betul-betul memiliki kesaktian tersebut.
Wiro palsu kertakkan rahangnya. Tangan kirinya yang masih utuh bergerak lamban ke atas. Mulutnya yang hancur mengeluarkan suara seperti menjampai. Lalu dia memukul ke depan. Sinar putih menyilaukan dan menghambur hawa panas menderu ke arah Wiro asli.
Murid Sinto Gendeng tidak terkejut. Yang dilepaskan lawan bukan pukulan Sinar Matahari walau sinar dan panasnya hampir menyerupai. Dan tangan kanan yang melepas pukulan itu sama sekali tidak berubah menjadi seperti perak sebagaimana kalau dia melepaskan pukulan Sinar Matahari yang asli.
Karenanya tanpa tedeng aling-aling Wiro menghantam dengan pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Dia hanya mengerahkan seperempat tenaga dalamnya. Itupun sudah cukup untuk menghancur leburkan pukulan lawan dan membuat Wiro palsu terhempas jauh. Darah mengucur dari mulutnya!
Nenek Arit Sakti Pencabut Raga yang tadi cidera tapi kini sudah mampu bangkit berdiri tak mau ketinggalan. Senjatanya berkilauan dalam cahaya obor.
"Craaassss...!"
Arit yang tajam itu memutus bahu kanan Wiro palsu. Orang ini meraung setinggi langit. Kedua kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya yang sudah hancur-hancuran itu. Namun sebelum tubuhnya benar-benar mencium tanah, dua serangan datang menggebuk.
Yang pertama kaki kanan Mirasani yang mengahancurkan selangkangannya hingga untuk kedua kalinya Wiro palsu menjerit keras dan mata membeliak. Hantaman kedua adalah gebukan kaleng rombeng Pengemis Hantu yang merobek pelipis sampai ke pipi hingga muka Wiro palsu menjadi sangat mengerikan, penuh luka dan kucuran darah!
“Tahan! Jangan menghantam membabi buta! Manusia itu sudah sekarat!” terdengar teriakan Dewa Tuak.
Semua orang seperti tersentak sadar dan kini hanya tegak tak bergerak memandangi tubuh yang terkapar mandi darah dan mengerang. Erangan itu hanya terdengar beberapa saat lalu lenyap tanda nyawa orang itu putus sudah! Kesunyian mencekam. Hanya terdengar beberapa helaan nafas. Di sebelah kiri tampak Mirasani tekapkan kedua tangannya ke wajahnya, berusaha menahan isakan tangis.
Dewa Tuak mendekati Wiro asli. “Anak muda bermuka pucat! Aku kagumi kehebatanmu dapat mengalahkan manusia jahat berilmu tinggi itu!” memuji si kakek. “Aku mengundangmu minum tuak!”
“Terima kasih kek! Sebenarnya orang itu biasa-biasa saja bahkan boleh dikatakan tidak memiliki ilmu silat apa-apa! Tapi dia memiliki satu kehebatan memang! Dia punya akal dan otak cerdik. Dia sanggup memperhatikan dan meniru setiap gerakan silat lawan. Lalu mempergunakan jurus-jurus silat itu untuk menumbangkan lawan!”
Dewa Tuak manggut-manggut. Tiba-tiba dia berkata yang membuat semua orang terkejut dan memandang dengan mata besar. “Anak nakal! Sekarang apakah kau tidak akan menanggalkan topeng yang membungkus wajahmu itu?!”
Wiro asli tersentak kaget. “Dan kau muridku yang suka usilan apakah masih akan terus bersembunyi di tempat gelap bersama sahabatmu itu?!”
Menyadari gurunya telah mengetahui kehadirannya di situ Anggini diiringi Mahesa Edan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dewa Tuak kembali berpaling pada Wiro asli.
“Pemuda gendeng! Ayo lekas kau copot topengmu, tunjukkan tampangmu yang sebenarnya pada semua tokoh silat yang ada di sini!”
Wiro garuk-garuk kepala. Akhirnya kedua tangannya diangkat juga ke muka. Perlahan-lahan dia melepas topeng yang menutupi wajahnya. Begitu wajahnya tersingkap semua orang mengeluarkan seruan tertahan. Bahkan ada yang segera mencekal senjata, siap menyerbu. Mirasani sendiri terpekik keras.
“Kau!” seru Mirasani dan memandang dengan mata terbeliak ke arah Wiro Sableng asli dan Wiro palsu yang sudah jadi mayat. Seperti tak dapat mempercayai kedua matanya sendiri! Begitu juga yang lain-lainnya.
Dewa Tuak tersenyum lebar lalu berkata, “Pemuda konyol satu ini adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang sebenarnya! Yang itu palsu. Hanya takdir saja yang melahirkan mereka memiliki wajah hampir mirip. Dan kemiripan itu dimanfaatkannya untuk menjadi modal berbuat jahat. Ditambah dengan kemampuannya menguasai setiap jurus silat orang lain dengan hanya melihat sekali saja maka jadilah dia biang racun kejahatan yang malang melintang selama satu tahun…”
“Lalu yang kita keroyok tempo hari siapa?” bertanya Arit Sakti Pencabut Raga.
“Memang dia juga…” Jawab Dewa Tuak. “Wiro perlihatkan bekas luka dibahumu…”
Wiro membuka baju putihnya. Mula-mula kelihatan dadanya yang berterakan angka 212. Lalu tampak bahunya yang ada bekas lukanya dan masih belum begitu kering.
“Berarti kita telah kesalahan tangan! Mencelakai kawan segolongan sendiri… Aku menyesal… Aku menyesal!” kata si nenek berulang kali.
Dewa Tuak dan Wiro hanya bisa tersenyum. Ketika dia berpaling ke kiri dilihatnya Mirasani tegak dan menatap lekat-lekat ke wajahnya.
“Sama sekali… sama sekali. Tidak ada bedanya!” desis perempuan yang dengan sendirinya saat itu telah menjadi janda.
“Kalau begitu apakah kau mau mengambilku jadi pengganti suamimu itu…?” bertanya Wiro.
Sepasang mata Mirasani melebar berkilat. “Ternyata kau tidak sama dengan dia…”
“Eh, mengapa begitu katamu sekarang. Tadi kau katakan sama sekali!” ujar Wiro.
“Dia tidak memiliki sifat konyol dan mulut ceplas ceplos sepertimu! Dia tidak suka mengganggu orang! Tapi…”
“Tapi…” meneruskan Dewa Tuak. “Jika dia suka padamu kaupun tentu tidak menolak!”
Semua orang tertawa. Nenek Arit Sakti mendekati Wiro. “Anak muda,” kata si nenek. “Aku menyesal sekali telah melukaimu waktu itu… Aku mohon maafmu!”
“Apa yang terjadi semua karena kesalah pahaman belaka nek. Justru aku yang harus minta maaf padamu!”
“Eh, mengapa terbalik begitu?” bertanya si nenek keheranan.
“Karena terus terang saja, waktu aku menyebutkan dan memainkan jurus konyol bernama nenek sakti kencing di bawah pohon itu, aku membayangkan bahwa dirimulah yang sedang kencing itu!”
“Anak kurang ajar!” maki Arit Sakti Pencabut Raga tapi kemudian bersama semua orang yang ada di situ diapun turut tertawa gelak-gelak.
“Dewa Tuak…” kata Wiro. “Aku ingin minta keterangan. Waktu aku kalian serbu tempo hari, kapak ku kena rampas Harimau Pemakan Jantung. Kau tahu di mana senjata itu sekarang?”
“Jangan kawatir. Aku simpan baik-baik,” jawab Dewa Tuak. Lalu dari balik pakaiannya dikeluarkannya Kapak Maut Naga Geni 212 dan menyerahkannya pada Wiro.
“Terima kasih. Semua telah berakhir kini. Saatnya kita meninggalkan tempat ini!” kata Wiro.
“Memang kami semua akan meninggalkan tempat ini. Tapi kau tetap di sini Wiro…” ujar Dewa Tuak.
Sebelum Wiro sempat bertanya apa maksud kata-kata kakek itu tiba-tiba Dewa Tuak telah menotok punggungnya hingga Wiro jadi tertegun kaku, “Hai! Mengapa kau menotokku Dewa Tuak?!”
“Seperti kataku tadi! Kami semua akan pergi tapi kau tetap di sini. Pertama untuk mengurusi jenazah para sahabat. Kedua, yang lebih penting untuk menemani janda cantik itu. Ha ha ha…!”
“Kalian semua konyol!” teriak Wiro.
“Konyol dan kurang ajar!” teriak Mirasani.
Dewa Tuak keluarkan suitan keras. Semua orang yang ada di tempat itu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan. Obor-obor dibuang dan berjatuhan di tanah. Mirasani berpaling pada Wiro. Pendekar inipun menatap ke arah Mirasani. Dua pandangan saling beradu. Sesaat Mira tampak tegang. Tapi ketika Pendekar 212 tersenyum, diapun ikut tersenyum.
“Tolong lepaskan totokan di punggungku…” Pinta Wiro seraya kedipkan matanya.
“Kau tidak seperti dia kan…?”
“Bukankah kau sendiri tadi mengatakan aku memang tidak sama dengan manusia paslu itu…?”
Perlahan-lahan Mirasani gerakkan tangannya untuk melepaskan totokan di punggung Wiro. “Tunggu, totokan itu tidak bisa dilepaskan kalau tubuhku masih terbungkus pakaian. Kau harus membuka pakaianku dulu, baru melepaskan totokan…”
Percaya apa yang diucapkan Wiro maka Mirasani lalu membuka pakaian si pemuda kemudian baru melepaskan totokan yang bersarang di punggung. Begitu totokannya terlepas Wiro Sableng tertawa gelak-gelak.
“Apa yang kau tertawakan…?” tanya Mirasani heran.
“Kau tertipu…..”
“Tertipu? Tertipu bagaimana?”
“Totokan itu sebenarnya bisa dilepaskan tanpa membuka pakaianku. Aku mendustaimu karena ingin merasakan sentuhan jari-jari tanganmu secara langsung! Ha ha ha…”
“Kalau begitu biar kutotok kau kembali!”
Mirasani gerakkan tangan kanannya dengan cepat. Namun sebelum dia sempat menotok Wiro sudah mencekal lengannya, langsung merangkulnya. Dan Mirasani seperti kena sihir tidak berusaha untuk melepaskan pelukan hangat itu.