Tua Gila Dari Andalas

Sonny Ogawa

TUA GILA DARI ANDALAS

SATU

SEORANG bertubuh tinggi besar berkelebat dalam gelapnya malam menuju lereng timur Gunung Singgalang. Di bahu kiri dia me­manggul sesosok tubuh kurus bersimbah darah mulai dari kepala sampai ke badan. Di sebelah belakang dua orang berlari cepat mengikuti si tinggi besar.

Disatu pedataran sempit di timur gunung, orang di sebelah depan hentikan larinya. Lalu seperti melemparkan batangan kayu tidak berguna orang ini bantingkan sosok tubuh yang dipanggulnya ketanah. Dari mulutnya kemudian keluar seruan.

"Sabai! Kami datang!"

Belum habis gema seruan orang bertubuh tinggi ini tiba-tiba dari arah depan di mana terdapat sebuah goa batu melesat satu bayangan hitam putih! Yang hitam adalah pakaiannya yang berbentuk jubah dalam, seorang yang putih adalah rambutnya yang sepanjang pinggang.

Berdiri di hadapan tiga orang yang baru datang di tempat itu, ternyata adalah seorang nenek bermuka putih. Walau wajahnya sudah keriput namun masih kentara tanda-tanda bahwa di masa mudanya perempuan tua ini adalah seorang gadis cantik jelita. Karenanya tidak salah orang menyebutnya Sabai Nan Rancak yang berarti Sabai Yang Cantik.

Si nenek pandangi tiga orang lelaki dihadapannya seolah hendak menelan mereka. Tanpa memandang pada sosok tubuh yang melingkar di tanah tak jauh dari tempatnya berdiri si nenek bertanya,

"Kalian berhasil?"

"Apakah kami masih perlu menerangkan Sabai?" tanya letaki tinggi besar berusia lebih dari setengah abad. "Kau lihat sendiri apa yang barusan aku lemparkan ke tanah!"

"Hemmm… Begitu…?" Si nenek elus-elus rambutnya yang putih panjang. Dia melirik pada sosok tubuh kurus berpakaian putih bersimbah darah yang tergeletak enam langkah di samping kirinya. Lalu dia menyeringai.

"Kau tidak mempercayai kami?" Lelaki di sebelah kanan si tinggi besar ikut bicara. Orang ini bertubuh cebol memiliki cambang bawuk begitu lebat hingga dari wajahnya yang terlihat hanya ujung hidung, sepasang mata dan sedikit bagian keningnya.

"Dari bau anyir darahnya saja aku tahu kalau mayat yang menggeletak di depan situ memang bukan orangnya!"

"Sabai…" lelaki ketiga, yang paling muda di antara tiga orang yang barusan datang itu maju dua langkah ke arah mayat. "Malam begini gelap, muka mayat tertutup darah. Agaknya sulit bagimu untuk mengenalinya…"

Si nenek tertawa. Dia pandangi lagi tiga orang di depannya seperti tadi seolah mau menelan mereka butat-bulat.

"Katian bertiga hendak mendustaiku atau bagaimana?" Si nenek bertanya. Suaranya perlahan saja tapi mengandung ancaman.

"Sabai! Kau tahu kami siapa! Setelah menerima hadiah darimu masakan kami berani menipu? Kau kira siapa yang kami bunuh? Kau sangka mayat siapa yang kami bawa ke hadapanmu?" Berkata si tinggi besar.

"Bagus kalau kalian memang tidak punya maksud begitu!" Si nenek lalu berpaling pada telaki bertubuh cebol. "Alam Babegah! Coba kau bersihkan muka mayat dari noda darah yang menutupinya!"

Si cebol memandang pada kawannya si tinggi besar. Setelah orang ini mengangguk si cebol mendekati mayat yang tergeletak di tanah. Dengan telapak kaki kirinya dibersihkannya muka mayat yang penuh luka dari selubung darah.

"Sudah aku lakukan Sabai! Nah apa sekarang kau mengenali dan memastikan bahwa dia memang orang yang kau suruh bunuh?" ujar si cebol Alam Babegah.

Nenek berambut putih panjang itu pandangi wajah mayat. "Mata cekung dan lebar memang sama dengan matanya. Hidung seperti burung kakak tua juga sama dengan si keparat itu. Muka tak berdaging seperti tengkorak juga sama. Mmmm…"

"Bagaimana Sabai?" bertanya lelaki tinggi besar. "Sudah jelas bagimu sekarang bahwa itu adalah mayat Tua Gila? Tidak sia-sia kami melakukan permintaanmu sampai-sampai dua sahabat kami menemui ajal dalam melaksanakannya!"

Si nenek rambut putih menyeringai. "Tampang boleh sama tapi belum tentu dia orangnya!" Sabai Nan Rancak patahkan sebatang ranting kering lalu dekati mayat yang terkapar di tanah itu. Dengan ujung ranting ditorehnya punggung pakaian mayat sebelah kiri. Lalu dia memperhatikan dengan mata tak berkesip! Sesaat kemudian terdengar suaranya keras dan marah.

"Kalian benar-benar telah menipuku! Bangsat ini bukan orang yang kumaksud! Tua Gila punya tanda sebuah tahi lalat di punggung kirinya. Orang ini tidak punya tanda itu!"

Tiga orang di depan Sabai Nan Rancak jadi terkesiap. Si tinggi besar masih berusaha membela diri. "Setelah puluhan tahun berlalu bisa saja tahi lalat itu lenyap dengan sendirinya…"

"Traakkk!"

Sabai Nak Rancak hantamkan ranting kayu di tangan kanannya ke mulut orang yang bicara hingga ranting patah. Darah mengucur dari luka besar di bibir si tinggi besar.

"Marang Tongga! Aku tak suka pada orang yang banyak mulut pandai berdalih macammu! Aku sudah katakan orang ini bukan Tua Gila! Kau masih mau berbanyak mulut?"

Marang Tongga si tinggi besar dan dua kawannya yaitu si cebol Alam Babegah serta Sidi Kumango sesaat jadi terdiam. Lalu dengan suara merendah Marang Tongga berkata,

"Kalau memang kami telah kesalahan tangan, itu hanya satu kebetulan saja Sabai. Kami tidak ada niat buruk untuk menipumu…"

"Lalu?!"

"Kami akan turun gunung kembali dan mencari musuh besarmu itu sampai dapat. Lalu membawa mayatnya ke hadapanmu!"

"Tiga bulan lalu kau juga berkata begitu. Apa hasilnya?!"

"Sekali ini kami akan bekerja hati-hati, penuh selidik."

Sabai Nan Rancak tertawa panjang membuat tiga lelaki di hadapannya jadi tidak enak.

"Kepercayaanku pada kalian putus sudah. Kalian boleh turun gunung. Aku tidak akan meminta kalian untuk mengulangi mencari keparat itu. Marang Tongga, sebelum pergi harap kau kembalikan dulu kantong emas yang aku berikan tempo hari!"

"Tapi Sabai…"

Si nenek pelototkan matanya pada Marang Tongga. Air mukanya menjadi sangat menggidikkan. Kepalanya digelengkan beberapa kali. "Tidak ada tapi-tapian Marang. Lekas kembalikan emas itu!" Si nenek lalu ulurkan tangannya.

Sambil gigit-gigit bibirnya sebelah bawah tanda kesal Marang Tongga keluarkan satu kantong kecil dari balik pakaiannya. Kantong berisi emas ini dilemparkannya ke arah Sabai Nan Rancak. Si nenek cepat menyambutnya dan cepat pula berkata,

"Aku belum pikun. Seingatku dulu aku memberikan dua kantong emas padamu. Mengapa kau mengembalikan cuma satu?"

Marang Tongga menyeringai. "Sabai harap kau maklum. Tugas yang kau berikan pada kami bukan saja menghabiskan biaya, waktu tapi juga tenaga dan pikiran. Dua orang sahabat kami bahkan menemui ajal. Jadi aku rasa pantas kalau cuma satu kantong yang aku kembalikan padamu!"

Sepasang mata si nenek tampak memancarkan einar aneh. "Kita tidak pernah membuat perjanjian seperti itu! Bayaran kalian dua kantong emas kalau berhasil membunuh Tua Gila dan membawa mayatnya ke hadapanku! Yang kau bunuh ternyata bukan Tua Gila! Jelas perjanjian menjadi batal! Ayo, cepat serahkan padaku emas yang satu kantong!"

"Emas itu tidak ada lagi padaku. Aku tinggalkan di satu tempat!"

"Jangan berani dusta!" bentak Sabai Nan Rancak. Wajahnya yang putih merah membesi.

"Kalau tidak percaya silahkan geledah!" jawab Marang Tongga.

"Kalau begitu sekantong emas itu terpaksa kau ganti dengan nyawamu sendiri!" kata Sabai Nan Rancak pula. Lalu masih memegang ranting kayu di tangan kanan dia melangkah mendekati Marang Tongga.

Lelaki tinggi besar ini segera mencium bahaya. Maka dia cepat berkata. "Tunggu dulu Sabai! Apa yang hendak kau lakukan?!"

"Apa kau tuli? Tidak dapat kau kembalikan sekantong emas itu, berarti kematian bagimu!"

"Jangan begitu Sabai. Bagaimana kalau kita membuat perjanjian baru? Kami bertiga bersumpah akan mencari Tua Gila sampai dapat membunuhnya dan menyerahkan mayatnya padamu!"

"Janji dan sumpah hari ini tidak laku lagi Marang Tongga! Sekali aku bilang kau harus mati tak dapat ditawar-tawar lagi. Atau mungkin dua kawanmu itu bisa mewakili kematianmu?!"

Berubahlah paras si cebol Alam Babegah dan Sidi Kumango mendengar ucapan si nenek. Se­baliknya Marang Tongga menyeringai lalu berkata,

"Jika kau memang suka nyawa mereka silahkan ambil!"

"Marang Tongga! Kau sudah gila!" teriak Sidi Kumango.

"Dia yang memimpin! Dia yang bertanggung jawab! Dia yang harus kau bunuh!" menimpali Alam Babegah.

Si nenek tertawa panjang. "Dari pada susah-susah menentukan siapa yang harus kubunuh bagusnya kalian bertiga aku habisi saja!"

Sabai Nan Rancak melesat ke depan. Ranting di tangan kanannya menyambar, berubah menjadi tebaran bayangan hitam mengeluarkan suara menderu. Tiga lelaki berseru kaget. Marang Tongga melihat ujung ranting menyambar ke arah keningnya. Cepat dia melompat mundur. Alam Babegah membuang diri ke samping begitu ujung ranting di tangan si nenek membabat ke perutnya. Yang terlambat menyelamatkan diri adalah Sidi Kumango

Ranting kayu menancap telak di batang lehernya sebelah kiri, tembus sampai ke kanan. Dari tenggorokannya terdengar suara seperti ayam dipotong. Ketika Sabai Nan Rancak menarik ranting, darah pun memancur dari lobang luka di leher Sidi Kumango! Tubuhnya terhuyung beberapa kali sebelum roboh dan meng­geletak di tanah tanpa nyawa lagi!

Si nenek tertawa mengekeh. "Kalian sudah tahu! Sabai Nan Rancak tidak bisa dibuat main-main! Sekarang rasakan sendiri akibatnya!" Lalu sepasang mata perempuan tua ini melirik tajam pada Marang Tongga.

"Kalau kulawan tak ada gunanya! Aku masih ingin hidup!" membatin Marang Tongga. Sebelum si nenek kembali menyerbu dia segera berseru. "Sabai! Kita sudahi urusan sampai di sini! Kantong emas yang satu lagi segera aku kembalikan padamu! Ini ambillah!"

Dari balik bajunya Marang Tongga keluarkan sebuah kantong kain lalu dilemparkannya ke arah Sabai Nan Rancak. Si nenek gerakkan tangan kanannya yang memegang ranting. Kantong kain serta merta terkait di ujung ranting.

"Kau sudah mendapatkan kantong emasmu! Jadi tak perlu kami berlama-lama di tempat ini!"

Marang Tongga memberi isyarat pada Alam Babegah. Tanpa tunggu lebih lama kedua orang ini segera berkelebat pergi. Sabai Nan Rancak segera ambil kantong kain dari ujung ranting. Begitu diperiksanya keluarlah caci maki dari mulut perempuan tua ini.

"Batu! Jahanam betul! Berani menipu!" Sabai Nan Rancak bantingkan kantong kain berisi kerikil itu ke tanah. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat itu.

********************

DUA

Marang Tongga dan si cebol Alam Babegah lari menuruni lereng Gunung Singgalang seperti dikejar setan. Mereka sengaja menempuh bagian gunung yang ditumbuhi pepohonan dan semak belukar lebat. Jika si nenek mengejar mereka pandangannya akan terhalang oleh semak dan pohon serta kegelapan malam.

"Rasanya sudah aman! Kita berhenti dulu untuk istirahat!" kata si cebol Alam Babegah lalu berhenti berlari dan megap-megap seperti kehabisan napas.

"Jangan mencari mampus! Kita belum berada di tempat aman! Ayo lari lagi!" bentak Marang Tongga.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak. Nyawa Marang Tongga dan Alam Babegah seolah terbang.

"Manusia-manusia tak berguna! Kalian mau lari kemana?!"

Itu adalah bentakan si nenek Sabai Nan Rancak. Dua lelaki di balik semak belukar serta merta menghambur. Namun gerakan mereka tertahan karena tahu-tahu di depan sudah menghadang nenek berwajah putih itu!

Tak ada jalan lain. Kalau lari tidak bisa terpaksa mengadu nyawa. Maka Marang Tongga dan Alam Babegah sama-sama lepaskan pukulan tangan kotong.

"Kraaaakk! Braaak!"

Sebatang pohon besar tumbang. Semak belukar rambas berhamburan. Si nenek lenyap dari pemandangan. Lalu terdengar suara kekehannya di belakang. Lelaki tinggi besar dan kawannya si cebol segera memutar tubuh dan kembali hantamkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun yang diserang telah lenyap. Kembali terdengar suara tawanya. MarangTongga dan Alam Babegah menghantam ke arah datangnya suara tawa itu. Tapi lagi-lagi mereka menyerang tempat kosong. Ketika mereka berusaha mencari tahu di mana beradanya si nenek tiba­-tiba...

"Bukk! Bukkk!"

Jeritan kaget dan kesakitan keluar dari mulut Marang Tongga dan Alam Babegah. Tubuh keduanya mencelat sampai satu tombak. Marang Tongga mengurut rusuk kirinya. Dua tulang iganya patah. Rasa sakit seolah menusuk ke seluruh tubuh. Menahan sakit dan berpegangan pada sebatang pohon dia bangkit berdiri. Di samping kirinya dilihatnya Alam Babegah menyangsrang diatas serumpunan semak belukar. Kepalanya berlumuran darah. Sepasang matanya membeliak.

"Alam…" bisik Marang Tongga memanggil. Kepala orang yang dipanggil terkulai ke samping. Tubuhnya kemudian rebah, jatuh tepat di depan kaki Marang Tongga.

Saat itu pula terdengar suara tawa panjang nenek muka putih. Tengkuk Marang Tongga menjadi dingin. Dia memandang berkeliling mencari tempat untuk lari. Namun jangankan lari, menindak satu langkah saja rusuknya yang cidera sakit bukan main.

"Marang Tongga manusia penipu! Apa kau sudah siap menyusul teman-temanmu?!" Suara Sabai Nak Rancak menggema dalam rimba belantara. Di lain saat sosoknya muncul dari dalam kegelapan dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan lelaki tinggi besar itu.

"Sreettt!"

Marang Tongga keluarkan sebilah golok bermata dua. Walau suasana gelap, senjata ini menge­luarkan cahaya berkilauan tanda bukan senjata sembarangan.

"Golok Iblis Bermata Dua!" ujar si nenek begitu melihat senjata di tangan Marang Tongga. "Hebat namanya tapi hanya pantas untuk menjagal ayam! Hik hik hik!"

"Tua bangka keparat! Kalaupun aku mati di tanganmu, setanku akan gentayangan mencarimu! Kau akan kucekik sampai mampus!"

"Hebat!" seru si nenek mengejek.

"Rasakan golokku!" teriak Marang Tongga. Dia lancarkan gerakan setengah melompat. Golok di tangannya membabat dari atas ke bawah, membuat gerakan membelah.

"Craaasss!"

Yang terbelah bukannya kepala nenek Sabai Nan Rancak melainkan sebatang cabang pohon yang diangsurkan perempuan tua itu. Lalu terjadilah hal yang tidak diduga Marang Tongga. Batang kayu yang terbelah dan ujungnya masih berada dalam genggaman Sabai Nan Rancak tiba­-tiba berputar menjepit golok iblis Bermata Dua.

Marang Tongga tidak mau kehilangan senjatanya karena itu satu-satunya harapan untuk menyelamatkan jiwanya. Didahului bentakan keras lelaki itu membuat gerakan aneh sambil kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sabai Nan Rancak terhuyung sesaat.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Marang Tongga untuk melepaskan senjatanya dari jepitan belahan kayu. Begitu golok terlepas dengan gerakan kilat dia membabat ke depan. Cahaya golok berkilauan di kegelapan malam.

"Breettt!" Si nenek muka putih terpekik dan cepat melompat mundur. Baju hitamnya di sebelah bahu robek besar. Dia merasa perih pertanda ada bagian tubuhnya yang terluka.

"Jahanam!" rutuk Sabai Nan Rancak. Belahan batang kayu di tangan kanannya dihantamkannya ke tubuh Marang Tongga. Yang diserang cepat mengelak sambil melintangkan golok menangkis serangan lawan. Ujung batang kayu terbabat putus. Tangan Marang Tongga tergetar keras. Goloknya hampir terlepas. Pada saat itulah si nenek muka putih melesat ke depan. Batang kayu di tangan kanannya menderu dan berubah laksana puluhan banyaknya. Lalu,...

"Braaakkk!"

Marang Tongga hanya sempat keluarkan pekikan pendek. Tubuhnya terpental sampai tiga tombak. Mukanya hancur akibat hantaman batang kayu. Nyawanya tidak tertolong lagi. Satu bayangan berkelebat di belakang si nenek. Secepat kilat Sabai Nan Rancak membalik dan hantamkan batang kayu yang masih ada dalam genggamannya.

"Guru! Tahan! Ini aku! Puti Andini!" Orang yang hendak diserang berteriak lalu melompat jauh menghindari serangan maut si nenek. Saat itu si nenek sendiri sudah tarik serangannya. Matanya dibesarkan untuk melihat lebih jelas di dalam gelap.

"Hemmm… Benar dia adanya… Kembali malarn-malam buta begini. Agaknya anak ini datang tidak membawa kabar baik bagiku…" kata Sabai Nan Rancak dalam hati. Lalu dia berkata. "Ikuti aku!"

Habis berkata begitu, si nenek berkelebat ke atas gunung. Puti Andini, gadis yang tadi hendak diserang si nenek terpaksa lari mengikuti. Sampai di pedataran di lereng gunung, Sabai Nan Rancak duduk diatas sebuah batu di depan mnlut goa.

"Aku menaruh firasat kau kembali dengan tangan hampa! Lekas ceritakan padaku apa yang telah terjadi selama beberapa bulan kau berada di tanah Jawa!" Si nenek langsung ajukan pertanyaannya begitu gadis berbaju putih itu duduk bersila di hndapannya dan memberi hormat berulang kali.

"Dugaan guru tidak meleset! Untuk itu, aku murid yang tolol mohon maaf dan ampunanmu!"

"Sudah! Jangan bicara berbasa-basi pakai peradatan segala! Katakan saja apa kau berhasil men­depatkan Kitab Putih Wasiat Dewa? Apa kau juga berhasil membunuh Tua Gila dan Pendekar 212 Wiro Sableng?!"

Sang murid tidak segera menjawab karena perhatiannya tiba-tiba saja tertuju pada sesosok tubuh kurus berpakaian putih bersimbah darah yang menggeletak di pedataran itu. Ketika dia melihat wajah orang itu tanpa disadarinya dia keluarkan seruan tertahan. Mukanya dipalingkan ke arah Sabai Nan Rancak.

"Guru… Bagaimana Tua Gila berada di sini dan sudah jadi mayat? Padahal aku…"

"Buka matamu lebar-lebar. Keparat yang sudah jadi bangkai itu bukan Tua Gila!" kata si nenek dengan suara menyentak. "Dari ucapanmu jelas sudah kau tidak berhasil membunuh tua bangka berotak miring itu! Benar begitu?"

"Murid mohon maaf dan ampun beribu ampun…"

"Kau juga tidak berhasil membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng!"

Si gadis mengangguk.

"Kau juga tidak berhasil mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa!"

Kembali Puti Andini mengangguk.

Saking marahnya tubuh si nenek sampai terlompat. Sambil berkacak pinggang di depan muridnya dia mendamprat! "Lalu apa saja kerjamu berbulan-bulan di tanah Jawa? Hanya berjalan-jalan mencari kesenangan sendiri?!"

"Maaf guru. Biarkan aku menerangkan apa yang telah kualami…" jawab Puti Andini. "Tanah Jawa terlalu keras bagiku! Terlalu banyak orang berkepandaian tinggi. Bukan saja aku telah menemui kegagalan tapi bahkan hampir menemui ajal secara keji kalau tidak diselamatkan oleh Tua Gila musuh besarmu itu…"

Sabai Nan Rancak memandang dengan mata mendelik tak berkesip. Hampir tidak percaya dia atas apa yang dijelaskan muridnya. "Otakmu rupanya sudah dicuci orang. Sampai-sampai kau kini merasa menaruh hutang budi dan nyawa pada musuh besarku!"

"Guru, jangan kau bersalah sangka. Aku telah berusaha membunuhnya tapi gagal. Ilmu kepandaiannya jauh dari yang aku miliki. Jika saja guru berada di Teluk Penanjung di Pangandaran menyaksikan sendiri kegegeran besar yang terjadi di sana, mungkin guru akan berpikir lain. Dalam pada itu aku sempat mencuri dengar percakapan antara Tua Gila dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Bukan mustahil orang terlalu banyak salah duga akan tindak tanduknya dimasa lalu. Bukan mustahil tuduhan terhadap dirinya telah bercampur dengan fitnah yang dilancarkan oleh orang-orang yang iri dan sakit hati. Karena kalau murid berpikir-pikir mana mungkin satu orang bisa membunuh sampai tiga ratus orang seperti yang dituduhkan padanya?"

Sabai Nan Rancak mendengus. "Otakmu benar-benar sudah dicuci orang Andini! Lidahmu sudah dibalik! Hingga jalan pikiranmu kini jadi berbeda dan ucapanmu berubah! Aku merasa menyesal telah mengutusmu ke tanah Jawa. Yang kau hasilkan hanya menambah sakit hati dendam kesumatku terhadap Tua Gila!"

"Guru, aku hanya mengatakan apa yang aku lihat dan aku dengar…"

"Ketika peristiwa itu terjadi kau lahir pun belum! Sungguh menyakitkan kalau seorang murid lebih mempercayai kenyataan di luar daripada apa yang dlkatakan gurunya…"

Puti Andini tundukkan kepala mendengar ucapan gurunya itu. "Guru, sebenarnya…"

"Diam! Jangan terlalu banyak bicara! Pikiranku sedang kusut! Saat ini aku ingin membunuh siapa saja! Temasuk kau!"

"Guru, aku menyadari kesalahanku. Aku siap menerima hukuman. Dibunuh sekalipun rasanya aku ikhlas. Atau mungkin guru ingin aku bunuh diri saja untuk menebus kesalahanku?"

Walau dirinya diselimuti kemarahan namun mendengar kata-kata sang murid Sabai Nan Rancak jadi terperangah juga. Lama dia terdiam. Lalu dengan nada sedih dia bertutur.

"Puluhan tahun lalu ketika aku seusiamu, aku berkenalan dengan seorang pendekar muda bernama Sukat Tandika. Kami sama-sama jatuh cinta dan membina cinta sambil menambah ilmu kepandaian. Suatu ketika pemuda itu berangkat meninggalkan pulau Andalas menuju tanah Jawa guna menambah ilmu kepandaian. Sebelum pergi dia telah berjanji akan segera kembali dan kami akan melangsungkan perkawinan. Aku sangat mempercayai dirinya. Ternyata dia adalah seorang pemuda mata keranjang. Aku mendapat kabar selama berguru pada seorang sakti di tanah Jawa dia menjalin hubungan cinta dengan seorang gadis saudara satu gurunya bernama Sinto Weni yang sekarang dikenal dengan nama Sinto Gendeng, guru Pendekar 212. Seperti, aku, Sinto Weni tentu juga mengharapkan kelak dikemudian hari bisa hidup sebagai suami istri dengan Sukat Tandika. Tapi pemuda itu kembali berlaku culas. Sinto Weni ditinggalkannya mentah-mentah setelah terpikat dengan seorang janda kembang, cantik jelita, puteri Adipati Plered…"

Sabai Nan Rancak hentikan penuturannya sesaat. Dia memandang ke arah kejauhan seola mencoba menembus kegelapan malam. Kemudia dia melanjutkan.

"Akibat hubunganku dengan Sukat, aku mengandung. Lambat laun kandunganku semakin besar. Aku tidak ingin hal memalukan itu diketahu orang-orang dunia persilatan. Aku mengucilkan diri di satu tempat rahasia sambil meminta bantuan beberapa orang teman agar memberitahu keadaan diriku. Dua diantara mereka berhasil menemui Sukat Tandika. Tapi pemuda itu tidak mempercayai kalau aku sudah berbadan dua. Malah dia menuduh aku main gila dengan lelaki lain! Jahanam betul! Bagaimanapun dibujuk dan diberi pengertian namun Sukat Tandika tetap tidak perduli. Apalagi saat itu dia sedang mabuk asmara menjalin cinta dengan puteri Adipati Plered itu. Mereka akhirnya kawin. Ternyata rumah tangga mereka kacau balau. Ka­barnya Adipati Plered dan puterinya hanya menginginkan ilmu kepandaian Sukat Tandika. Begitu dapat maka mereka tidak memerlukan pemuda itu lagi. Sukat Tandika diperlakukan secara hina. Bukan itu saja, ada yang mengatakan bahwa istri Sukat Tandika berbuat serong dengan seorang pemuda dari Blambangan. Tiga bulan berselang sang istri jatuh sakit terus meninggal dunia. Ada yang menduga Sukat Tandika telah meracuni istrinya hingga menemui ajal. Yang jelas sejak istrinya meninggal terjadi kelainan dengan diri Sukat. Dia sering melamun, bicara sendiri, kadang-kadang tertawa tak tahu juntrungan. Lambat laun perilaku menantunya itu membuat muak Adipati Plered. Sukat Tandika diusir dari gedung besar kediaman sang Adipati. Terjadi perkelahian hebat. Sang Adipati yang telah memiliki hampir seluruh ilmu kepandaian Sukat Tandika tidak mudah dikalahkan. Setelah berkelahi puluhan jurus akhirnya Adipati itu tewas! Ini adalah korban pertama dari puluhan bahkan ratusan korban lainnya. Selama belasan tahun Sukat Tandika menghilang. Tidak diketahui apakah dia berada di pulau Andalas ini atau masih mengembara di tanah Jawa. Kemudian ada kabar yang mengatakan bahwa suatu ketika Sukat Tandika muncul di tempat kediaman Sinto Weni di puncak Gunung Gede. Dia mencoba berbaik-baik dan meminta Sinto Weni bersedia dijadikan istrinya. Namun Sinto Weni sudah terlanjur kecewa dan bersumpah tidak akan kawin dengan siapapun termasuk Sukat Tandika yang pernah dicintainya itu. Walau mereka berpisah secara baik-baik tapi Sukat Tandika mengalami goncangan batin yang hebat. Kelainan jiwanya semakin parah. Dalam keadaan seperti itu dia kembali ke pulau Andalas. Beberapa kali dia coba menemuiku. Mengajak menjalin hubungan kembali. Tapi cintaku telah berubah menjadi sakit hati dan dendam kesumat yang hanya bisa pupus kalau dia terbunuh oleh tanganku atau orang suruhanku! Untuk kedua kalinya Sukat Tandika melenyapkan diri dalam dunia persilatan. Belasan tahun lagi berlalu. Aku dan juga tokoh-tokoh silat yang dulu pernah muda telah menjadi tua bangka lapuk tak berguna. Sementara itu aku menyirap kabar bahwa Sukat Tandika menetap di sebuah pulau di pantai barat Andalas. Aku tidak meminta tapi ada kawan-kawan yang coba menyelidik. Namun setelah menyelidik ke beberapa pulau Sukat Tandika tidak ditemukan. Di pantai barat pulau Andalas banyak sekali bertebaran pulau-pulau kecil. Untuk mendatangi dan menyelidikinya satu persatu bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun..."

"Guru, harap maafkan kalau aku memotong dengan satu pertanyaan. Kau belum menerangkan kelanjutan dari kandunganmu…"

"Kita akan sampai ke sana," jawab Sabai Nan Rancak dengan suara perlahan. "Ada beberapa peristiwa yang perlu aku beritahu dulu padamu. Hampir bersamaan dengan lenyapnya Sukat Tandika, dalam dunia persilatan muncul seorang tokoh aneh berotak miring. Dia membuat kekacauan dimana-mana dan melakukan pembunuhan semudah dia membalik telapak tangan. Selama belasan tahun dia malang melintang dalam dunia persilatan menebar maut. Orang-orang persilatan golongan putih merasa tidak senang walau kebanyakan korban yang mati di tangan tokoh ganas berotak tidak waras itu adalah mereka dari golongan hitam atau pejabat pejabat sesat. Ketika orang mengetahui siapa dirinya sebenarnya maka manusia itu dijuluki Pendekar Gila Patah Hati. Ada juga yang menyebutnya Iblis Gila Pencabut Jiwa. Aku lebih mengenalnya dengan se­butan Tua Gila!"

Berubahlah paras Puti Andini mendengar ucapan terakhir gurunya itu. Waktu gurunya menyuruhnya berangkat ke tanah Jawa dengan tugas mencari Kitab Putih Wasiat Dewa, membunuh Pendekar 212 dan mencari serta membunuh Tua Gila, sebenarnya gadis itu telah menduga-duga adanya silang sengketa antara gurunya dengan Tua Gila. Namun dia tidak mengira sehebat itu kejadian di masa lampau. Tidak salah kalau gurunya mendendam luar biasa terhadap Tua Gila.

"Guru harap maafkan kalau aku berlaku kurang ajar. Tapi aku ingin menanyakan sekali lagi mengenai kejadian dirimu setelah kau ditinggal Sukat Tandika dalam keadaan hamil."

"Aku melahirkan seorang anak perempuan. Karena tak sanggup memelihara bayi itu aku serahkan pada penduduk di kaki gunung untuk dirawat baik-baik. Aku setuju saja orang memberinya nama Andam Suri. Setelah dewasa ternyata dia tumbuh menjadi seorang gadis cantik. Dia kemudian menikah dengan seorang yang aku tidak pernah mengenal. Namanya juga tidak aku ketahui. Aku hanya tahu gelarnya. Datuk Paduko Intan.Tak lama setelah kawin anakku melahirkan seorang bayi perempuan. Hanya malang karena sakit-sakitan dan juga mungkin kurang perawatan dan perhatian dari suaminya Andam Suri meninggal dunia sewaktu melahirkan bayinya…"

"Kalau anak itu masih hidup…" ujar Puti Andini.

"Dia memang masih hidup," kata Sabai Nan Rancak.

"Kira-kira sebesar siapakah dia sekarang? Siapa pula namanya?" tanya sang murid.

"Kira-kira seusiamu. Namanya Puti Andini…" jawab si nenek muka putih.

Sang murid seperti mendengar halilintar di depan hidungnya. Wajahnya memucat dan dadanya mendadak saja sesak menggemuruh. "Guru…"

"Kau memang cucuku, Andini," kata si nenek Sepasang matanya berkaca-kaca.

Dalam hati Puti Andini berkata. "Kalau aku cucu mu berarti juga cucu Tua Gila. Pantas setiap bertemu dia selalu memanggil aku cucu. Tak tahunya…" Melihat mata si nenek berkaca-kaca, Puti Andini ikut basah kedua matanya. Entah sadar entah tidak meluncur saja ucapan dari mulut si gadis. "Kalau antara kita memang ada pertalian darah mengapa semua hal di masa lampau itu tidak dilupakan saja…?"

Sabai Nan Rancak usap kedua matanya. Lalu dia memandang melotot pada muridnya. "Kalau kau mampu mengeluarkan suara hatimu seperti itu kurasa kau tidak layak jadi muridku! Kau sudah tahu dan mendengar dariku bagaimana derita sengsara diriku akibat perbuatan Tua Gila! Kesengsaraan itu jatuh pula menimpa dirimu. Kau tak pernah melihat ibumu! Juga tidak pernah mengenal ayahmu! Semua gara-gara Tua Gila keparat!Pantaskah aku berbaik-baik dengan jahanam itu? Jika kau merasa dekat dengan dia pergilah menemuinya. Tinggal bersamanya, Bu­kankah dia kakekmu juga? Jika itu sampai kau lakukan maka mulai sekarang putus hubungan kita sebagai guru dan murid!"

"Mohon dimaafkan guru. Maksudku bukan begitu. Aku melihat sendiri antara Tua Gila dan Sinto Gendeng telah berbaik-baik…"

"Kau lihat dimana?" tanya si nenek muka putih dengan mimik dan nadas uara jelas menunjukkan kecemburuan.

"Waktu di Pangandaran. Mereka bahkan meninggalkan tempat itu berdua-duaan…"

Paras si nenek mengelam. Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Di kejauhan langit sebelah timur tampak terang kekuningan tanda sebentar lagi sang surya akan segera terbit.

"Guru, kau mau ke mana?!" tanya Puti Andini.

"Tampaknya aku terpaksa turun tangan sendiri. Mungkin perlu bantuan dari beberapa orang. Entah kawan entah lawan aku tidak perduli. Tujuanku hanya satu! Tua Gila harus mampus!"

"Kalau begitu aku ikut denganmu," kata Puti Andini pula.

"Tidak, kau tetap di gunung Singgalang ini. Kulihat kau kembali tanpa satu payung pun dalam buntalanmu! Berarti kau memang belum layak berada dalam rimba persilatan!"

Puti Andini sedih sekali mendengar kata-kata gurunya itu. Dalam hati gadis ini berkata. "Dia bisa saja berkata seperti itu. Sejak lima tahun terakhir dia tidak pernah meninggalkan gunung Singgalang. Dia tidak tahu perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam rimba persilatan. Kalau saja dia sempat menjejakkan kaki di tanah Jawa baru dia tahu tingkat ilmu silat dan kesaktian orang! Pikirannya sempit hanya terbatas seputar gunung ini saja. Kalaupun ada yang hebat dalam dirinya, itu adalah dendam kesumatnya terhadap Tua Gila!

Langit di sebelah timur semakin terang. Sabai Nan Rancak telah lama meninggalkan tempat itu. Perlahan-lahan Puti Andini ayunkan kaki, melangkah gontai mendaki lereng gunung. Tubuhnya serasa bayang-bayang. Pikirannya kosong. Namun anehnya di pelupuk matanya tiba-tiba saja muncul bayangan wajah Pendekar 212 Wiro Sableng.

********************

TIGA

Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah sepanjang lorong mengikuti Ratu Duyung hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan berbentuk bundar. Di dalam ruangan itu ada sebuah benda setinggi manusia ditutup dengan sehelai kain berwarna biru gelap. Ratu Duyung memandang sesaat pada Wiro lalu melangkah mendekati benda itu. Dengan tangan kanannya ditariknya kain selubung.

Begitu kain biru tersingkap dan jatuh ke lantai Wiro melihat sosok tubuhnya sendiri tegak di hadapannya. Walau sosok itu hanya merupakan patung namun buatannya begitu halus dan rapi hingga hampir tidak berbeda dengan keadaan dirinya sebenarnya.

Ratu Duyung berpaling pada Wiro. "Kau kulihat mengagumi patung dirimu ini. Tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda terkejut. Berarti kau sudah mengetahui atau melihat patung ini sebelumnya?"

Wiro mpngangguk. "Melalui ilmu menembus pandang yang kau berikan padaku dulu. Bedanya sekarang aku melihat lebih jelas. Benar-benar hebat sekali buatannya. Aku sangat kagum. Tapi… Kalau aku boleh bertanya Ratu, mengapa patung diriku sampai ada di sini. Lalu sejak kapan…?"

Gadis bermata biru itu tersenyum. Ada bayangan rasa keperihan dibalik senyuman itu. "Dirimu muncul pertama kali ketika aku mengetahui dari seseorang tokoh bahwa hanya kau satu­-satunya orang yang dapat menolongku dan anak buahku dari kutukan yang telah dijatuhkan oleh penguasa laut di kawasan ini. Sejak itu setiap ada kesempatan dan jaraknya memungkinkan yaitu bila kau berada di sekitar kawasan ini, aku pergunakan ilmu menembus pandang untuk melihat dirimu, memperhatikan gerak gerikmu. Itu kulakukan selama hampir dua tahun. Hingga aku tahu betul setiap sudut dan liku tubuhmu sebelah luar. Aku lalu memanggil seorang ahli pemahat batu untuk membuat patungmu. Kemudian seorang ahli lainnya melapisi patung itu dengan sejenis mata hingga kulit muka dan tubuhmu benar-benar hidup, menyerupai dirimu. Seorang ahli lainnya menambahkan alis dan rambut buatan serta pakaian. Kau lihat sendiri hasilnya…"

Wiro hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar keterangan Ratu Duyung itu.

"Lambat laun aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta dengan patungmu. Lebih jauh dari itu ada perasaan yang setiap saat mendorongku untuk dapat bertemu dengan dirimu. Bukan saja karena aku tela jatuh cinta tapi karena hanya engkau seorang yang bisa membebaskan diriku dan anak buah dari kutukan. Hingga kami semua terlepas dari wujud kehidupan aneh. Tubuh setengah ikan setengah manusia...

(Mengenai riwayat Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng berjudul Wasiat Sang Ratu)

Lama sang Ratu terdiam sebelum dia kembal berkata. "Sekarang dengan kemauanmu sendiri kau datang ke sini. Aku sangat berterima kasih. Mungkinkah tak lama lagi kutukan atas diriku dan anak buahku benar-benar akan musnah?"

Wiro tak menjawab. Tengkuknya tiba-tiba saja terasa dingin dan degup jantungnya mengeras. Dia lalu ingat pada pertemuannya dengan Eyang Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu waktu berada di Pangandaran tempo hari. Saat itu dia mengajukan pertanyaan.

"Eyang, menurutmu apakah aku harus memenuhi permintaannya. Tidur dengan dia agar dia bisa bebas dari kutukan itu…? Aku berhutang budi dan nyawa padanya. Tapi aku juga takut berdosa…!"

Sinto Gendeng menjawab. "Urusan dosa adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Urusanmu adalah antara manusia dengan manusia. Aku tidak akan mengatakan ya atau tidak. Semua terserah padamu."

Karena belum puas Wiro lantas bertanya lagi pada Kakek Segala Tahu. Tokoh aneh ini belum ditanya malah sudah membuka mulut. "Kau tak usah bertanya. Aku siap memberikan jawaban. Terkadang seseorang harus mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang sudah didapatnya."

(Baca serial Wiro Sableng berjudul Kiamat di Pangandaran

"Apa yang ada di benakmu, Wiro?"

Pendekar 212 tersentak dari alam pikirannya oleh teguran Ratu Duyung itu. Dalam hatinya sang Ratu sangat khawatir kalau pemuda itu akan berubah pikiran. Dia tidak berani menatap ke wajah sang pendekar. Sebagai gantinya dia hanya memandang ke wajah patung. Wiro maklum apa yang ada dilubuk hati gadis cantik bermata biru itu. Maka sambil memegang tangan sang ratu dia berkata.

"Mungkin semua ini sudah suratan takdir kita sebagai makhluk lemah. Saling membutuhkan satu sama lain sesuai kodrat-Nya…"

"Aku gembira mendengar kata-katamu itu. Aku juga bersyukur pada Tuhan." Ratu Duyung membalas pegangan Pendekar 212. Lalu diambilnya kain biru dilantai dan diselubungkannya kembali ke patung Pendekar 212.

"Ratu Duyung…" kata Wiro. "Kalau aku boleh bertanya, siapa gerangan yang memberi tahu padamu bahwa hanya diriku yang bisa membebaskan dirimu dari kutukan itu?"

"Aku tidak pantas memberi tahu. Tapi juga tak ada larangan mengatakannya. Orangnya sahabat yang kau anggap seperti kakek sendiri. Si Raja Penidur!"

"Ah!" Wiro keluarkan seruan tertahan. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata, "Si gendut itu! Kerjanya sepanjang tahun tidur melulu. Bagaimana dia bisa tahu aku orangnya?!"

Ratu Duyung tersenyum. "Kau lupa akan kesaktian tokoh nomor satu dunia persilatan itu? Matanya memang tidur. Namun telinga dan pikirannya bekerja seperti biasa…" Habis berkata begitu Ratu Duyung bertepuk dua kali. Dua orang gadis cantik anak buah sang Ratu muncul.

"Antarkan tamu kita ke tempat bersiram. Berikan pakaian yang baik. Hidangkan segelas minuman. Setelah itu antarkan dia ke Puri Pelebur Kutuk."

Dua orang anak buah Ratu Duyung membungkuk. Lalu dengan sikap hormat memberi tanda pada Pendekar 212 untuk mengikuti mereka.

Yang dinamakan Puri Pelebur Kutuk adalah sebuah bangunan putih beratap merah terletak di puncak sebuah bukit kecil berumput hijau. Di sekeliling puri bertumbuhan berbagai pohon bunga. Karena bunga-bunga sedang berkembang maka pemandangan di tempat itu sungguh sangat indah.

"Kami hanya mengantarmu sampai di sini. Kami dilarang keras masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk," Berkata salah seorang dari dua gadis cantik yang mengawal Wiro sampai di pintu bangunan.

"Dilarang keras? Memangnya ada apa di dalam sana?" tanya Pendekar 212 heran. Saat itu dia telah mengenakan seperangkat pakaian bagus berwarna biru dan memakai ikat kepala kain merah. Tubuhnya terasa segar sehabis mandi. Apalagi anak buah Ratu Duyung memberikan sejenis wewangian pengharum tubuhnya. Dia merasa seperti seorang Pangeran saja saat itu.

"Kami tidak tahu. Kami tidak pernah masuk ke dalam. Kami tidak diperbolehkan masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk ini. Kami harus pergi sekarang. Kami berdoa semoga kau berhasil…"

"Berhasil apa?" tanya Wiro pula.

"Membebaskan kami dari kutukan yang menyiksa itu," jawab si gadis di sebelah kiri. Lalu bersama kawannya cepat-cepat dia meninggalkan lempat itu.

Wiro perhatikan dua gadis itu hingga lenyap di kejauhan. Dia membalikkan badan. Didepannya ada sebuah pintu kayu berwarna merah dalam keadaan lertutup. "Warna merah biasanya menyembunyikan bahaya…" kata murid Sinto Gendeng dalam hati.

Dengan hati-hati daun pintu didorongnya. Perlahan-lahan pintu merah itu bergerak membuka ke arah dalam. Pada saat yang sama terdengar suara berdesir. Telinga Wiro yang tajam dan pendengarannya yang sudah terlatih mendengar berbagai macam suara membuat dia segera mengetahui ada senjata rahasia melesat dari dalam bangunan. Secepat kilat dia jatuhkan diri lalu berguling menjauhi ambang pintu.

Dugaan Wiro tidak meleset. Dari dalam bangunan melesat dua buah benda. Yang pertama lenyap dan jatuh di kejauhan. Satunya lagi menancap di batang pohon sejauh tiga tombak dari pintu. Benda itu ternyata adalah sebilah pisau besar, hampir menyerupai golok kecil. Badan dan gagang golok terbuat dari besi merah.

"Ratu Duyung rupanya menjebakku!" kata Wiro dalam hati lalu dengan cepat bangkit berdiri. Sepasang matanya memandang berkeliling, khawatir kalau tempat itu dipasangi peralatan rahasia lainnya. "Tapi kalau dia ingin membunuhku bukankah sama saja dia mencari celaka sendiri? Kutukan yang menguasai dirinya tidak akan pernah lenyap! Urusan gila macam apa yang aku hadapi saat ini!"

Wiro memandang ke arah pintu yang terbuka. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat jelas bagian dalam bangunan. Berlantai merah lalu ada permadani panjang berwarna biru di sebelah tengah. Ujung permadani ini berakhir pada sebuah tempat tidur tembaga berlapis emas yang bagus sekali. Dikanan tempat tidur terletak sebuah kursi juga terbuat dari tembaga berlapis emas. Bau harum semerbak menghambur keluar dari dalam ruangan.

Murid Si Gendeng jadi tercekat. "Jadi ini tempatnya? Dan Ranjang Pelebur Kutuk…?! Apakah aku harus masuk ke dalam ruangan itu atau lebih baik tetap di sini dulu? Jangan-jangan tempat tidur itu dipasangi alat rahasia. Begitu aku nangkring di atasnya putus anuku!" Wiro garuk-garuk kepala.

Saat itulah tiba-tiba dinding sebelah kiri ruangan seperti bergeser. Lalu tampak Rutu Duyung melangkah anggun mengenakan jubah merah darah. Mahkota kerang warna biru yang biasanya bertengger di kepalanya kini berganti dengan sebuah mahkota besar terbuat dari emas bertabur intan berlian. Ditangan kanannya Ratu Duyung memegang sebuah piala terbuat dari perak. Wiro tak tahu apa isinya. Dari dalam piala ini keluar kepulan asap merah kekuningan.

"Pendekar 212 Wiro Sableng, aku mengundangmu masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk…" Ratu Duyung berkata. Suaranya menggema di dalam ruangan itu.

Wiro tak bergerak. Belum pernah dia melihat sang Ratu seanggun dan secantik seperti saat ini.

"Tidak usah ragu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Silahkan masuk Wiro."

"Ratu, barusan dua golok yang digerakkan oleh senjata rahasia hampir saja menembus tubuhku! Aku tidak mengerti…"

"Itu hanya satu ujian kecil Wiro. Dan kau berhasil lolos."

"Kalau aku gagal berarti apa yang kau inginkan tak akan pernah terkabul!" ujar Wiro.

Ratu Duyung tersenyum. "Apakah kau telah menemui kegagalan?"

Wiro tertawa lebar. "Memang tidak," katanya sambil garuk-garuk kepala. "Kalau aku bertanya apa maksud ujian itu?"

"Untuk membuktikan bahwa kau betul-betul masih perjaka."

"Apa?!" seru Wiro kaget dan mukanya menjadi merah.

"Seorang yang tidak perjaka lagi tidak akan mampu menyelamatkan diri dari dua golok terbang tadi. Kau berhasil menyelamatkan diri. Berarti apa yang pernah kau katakan dulu padaku bukan kedustaan."

Wiro hanya bisa menarik napas dalam dan garuk-garuk kepala lagi.

"Kalau tidak ada yang kau khawatirkan lagi silahkan masuk kedalam sini. Duduklah di kursi sebelah kiri. Aku memilih kursi sebelah kanan."

Wiro langkahkan kaki melewati ambang pintu. Dia merasa lega begitu masuk ke dalam ruangan tanpa terjadi apa-apa. Seperti yang dikatakan Ratu Duyung dia duduk di kursi sebelah kiri tempat tidur. Ratu Duyung menyusul duduk di kursi sebelah kanan. Pada saat itu pintu merah yang tadi terbuka perlahan-lahan menutup.

"Sebelum datang ke tempat ini aku telah mengumpulkan semua anak buahku. Kukatakan pada mereka apa yang akan segera terjadi. Mereka menyambut penjelasanku dengan mata berkaca­-kaca. Banyak yang menangis. Begitu aku meninggalkan mereka, semuanya mulai berdoa memohon pada Yang Kuasa agar kita berhsil…"

"Gila! Urusan begitu masakan harus diberitahu pada anak buahnya segala!" kata Wiro dalam hati.

"Wiro, di dalam piala perak ini ada cairan berasal dari tetesan embun murni yang dikumpulkan selama tiga tahun. Selama tiga tahun pula piala dan isinya diletakkan di satu tempat dan dikeluarkan pada setiap kali sang surya keluar dari ufuk terbitnya. Sentuhan sinar merah kekuningan sang mentari telah membuat tetesan embun di dalam piala secara aneh bergejolak lembut seperti mendidih dan mengepulkan asap merah kekuningan. Air dalam piala sendiri terasa sejuk dalam peganganku dan akan lebih sejuk begitu masuk ke dalam tubuh kita…"

Setelah berkata begitu Ratu Duyung lalu meminum air tetesan embun dalam piala sampai se­tengahnya. Lalu tangan yang memegang piala diangkatnya ke atas. Ketika jari-jari tangannya dilepas piala perak itu tampak seperti menggantung di udara. Ratu Duyung dorongkan dua jari tangannya. Perlahan-lahan piala perak bergerak diudara, melewati sebelah atas tempat tidur dan sampai di hadapan Wiro.

"Aku telah menghabiskan setengah air sejuk itu. Silahkan kau menghabiskan setengah sisanya…"

"Ratu, mengapa kita harus minum air embun ini segala?" tanya Pendekar 212.

"Air embun murni itu akan menyejukan hati, darah dan tubuh kita, sehingga segala nafas kotor dan keji akan lenyap, yang ada hanyalah hasrat untuk saling menolong, rasa cinta kasih murni yang tidak tercemar oleh nafsu kotor. Sehingga kita berbuat sesuai dengan yang dikehendaki, bukan sekedar pemuas nafsu belaka."

"Aneh… aneh… aneh!" kata Pendekar 212 berulang kali dalam hati.

Dia memandang ke dalam piala perak. Dilihatnya air embun bening putih bergejolak perlahan seolah mendidih. Dia berpaling pada sang Ratu. Ratu Duyung anggukkan kepala dan tersenyum. Wiro dekatkan piala perak ke mulutnya lalu meneguk habis isi piala itu. Dia merasakan satu kesejukan luar biasa dalam tubuhnya. Ruangan itu dilihatnya lebih terang. Tubuhnya terasa ringan. Dia berpaling pada Ratu Duyung.

"Angkat ke atas piala perak itu. Lepaskan peganganmu. Biarkan piala melayang ke udara…" Terdengar Ratu Duyung berkata.

Wiro ikuti apa yang dikatakan orang. Begitu piala perak dilepaskannya, benda itu melayang sendiri ke atas. Tepat ketika piala berada di pertengahan ruangan yaitu di atas tempat tidur, Ratu Duyung jentikkan jari tangan kanannya. Terdengar satu letupan halus. Piala perak berubah menjadi asap dan lenyap dari pemandangan.

Wiro berpaling kembali ke arah sang Ratu. Gadis cantik bermata biru itu balas menatap ke arahnya. "Mulai saat ini diriku adalah milikmu, Wiro…" kata Ratu Duyung perlahan hampir berbisik.

Ruangan harum semerbak itu tiba-tiba menjadi suram. Suasana di tempat itu laksana di bawah langit cerah malam hari diterangi sinar rembulan empat belas hari dan taburan bintang gumintang. Ketika Wiro menoleh lagi ke arah Ratu Duyung, gadis itu, ternyata telah membaringkan dirinya di atas tempat tidur. Sepasang matanya terpejam. Dadanya tampak berdegup turun naik.

Wiro garuk-garuk kepala. "Apakah ini saatnya aku harus melakukan…?" pikir Wiro. Semakin dipandangnya wajah sang Ratu semakin cantik paras itu kelihatannya. Wiro bangkit dari kursi. Lututnya bergetar ketika dia melangkah mendekati tempat tidur. Dia menjadi semakin tegang ketika duduk di tepi tempat tidur dan berada demikian dekat dengan Ratu Duyung.

"Ratu… apakah…"

"Wiro! Jangan memikirkan apa-apa selain diri kita berdua. Jangan pikiran menguasai hatimu! Kita sudah masuk di dalam takdir. Tak satu pun diantara kita boleh mundur."

Ratu Duyung memegang bahu Wiro. Sang pendekar merasakan satu getaran hangat menjalari tubuhnya. Perlahan-lahan dia membungkuk merangkul tubuh gadis itu. Sang Ratu balas memeluk erat. Demikian eratnya dua insan ini berangkulan hingga mereka dapat merasakan kerasnya denyutan jantung masing-masing.

Pada saat itulah di luar Puri Pelebur Kutuk tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti suara halilintar. Bersamaan dengan itu pintu merah terpentang lebar. Lalu satu cahaya kuning melesat masuk ke dalam ruangan.

EMPAT

Dua insan yang tengah berpelukan mesra tersentak kaget dan lepaskan rangkulan masing­-masing. Wiro melompat ke tepi tempat tidur. Ratu Duyung dalam keadaan masih terbaring cepat menutupi auratnya dengan pakaian lalu bersurut ke kepala tempat tidur. Satu bau aneh menggidikkan memenuhi ruangan, seolah menelan bau harum semerbak yang ada di situ sebelumnya.

"Bau kembang kenanga!" desis Wiro. Lalu dilihatnya wajah Ratu Duyung pucat seperti ketakutan. Sepasang matanya yang biru membelalak besar ke arah pintu. Dari mulutnya keluar bentak keras.

"Siapa kau?"

Wiro memandang ke arah pintu. Dia tidak melihat siapa di situ. Tetapi mengapa Ratu Duyung seolah melihat seseorang di sana? "Ratu… Ada apa! Apa yang terjadi? Siapa yang barusan kau bentak…?"

Ratu Duyung menunjuk ke arah pintu. "Gadis berbaju kebaya putih panjang itu!" teriaknya.

Wiro kembali berpaling ke arah pintu. "Aku tidak melihat siapa-siapa!"

"Wiro! Awas! Dia bergerak mendekatimu!" jerit Ratu Duyung. Lalu dia pukulkan tangan kanan kearah pintu. Selarik sinar biru berkiblat.

Sebalik dari arah pintu melesat sebuah benda kuning kehijauan, berbentuk bintang, menebar bau mengidikkan. Sinar pukulan sakti yang dilepaskan Ratu Duyung menghantam benda kuning kehijauan tadi. Terdengar letusan keras menggeledek di tempat itu. Pintu Puri Pelebur Kutuk hancur berantakan. Beberapa bagian dinding ruangan bobol.

Di atas ranjang Ratu Duyung duduk tersandar dengan mata melotot. Dari sela bibirnya mengucur darah kental. Wiro sendiri saat itu tergeletak di lantai dalam keadaan tak sadarkan diri. Benda kuning hijau yang hancur akibat pukulan sakti Ratu Duyung tadi bertabur ke arah mukanya. Begitu tersedot jalan pernapasannya tak ampun lagi Wiro oboh pingsan.

"Jangan!" tiba-tiba Ratu Duyung berteriak. Darah menyembur dari mulutnya. "Jangan bawa dia! Demi Tuhan jangan bawa dia!"

Sang Ratu tak mampu berbuat lebih dari itu. Sekujur badannya seolah terikat ke tempat tidur sehingga dia tak bisa bangkit ataupun bergerak. Di depannya sosok makhluk berwajah gadis cantik tapi bermuka pucat dan mengenakan kebaya panjang putih berkelebat lenyap setelah sebelumnya meyambar tubuh Pendekar 212.

"Kembalikan dia! Jangan! Kembalikan dia!" teak Ratu Duyung lagi. Napasnya sesak. Darah makin banyak keluar dari mulutnya. Matanya yang membeliak perlahan-lahan mengecil.

Enam anak buah Ratu Duyung menghambur masuk ke dalam ruangan. Mereka terpekik ketika melihat keadaan pemimpin mereka.

"Kejar!" teriak Ratu Duyung. Lalu kepalanya terkulai ke samping.

Tiga orang anak buahnya segera keluar dari Puri Pelebur Kutuk itu. Yang tiga lagi cepat menutupi tubuh Ratu Duyung, melakukan beberapa kali totokan lalu cepat-cepat membawa sang Ratu kelua, dari tempat itu.

********************

Pendekar 212 Wiro Sableng membuka kedua matanya. Memandang berkeliling dia dapatkan dirinya berada dalam sebuah goa. Udara dalam goa it g sejuk pertanda berada di satu tempat ketinggian. Mungkin gunung atau bukit. Di kejauhan terdengar suara kicau burung.

"Apa yang terjadi dengan diriku? Dimana aku berada saat ini?" pikir Wiro. Dia bangkit dan duduk sambil memandang berkeliling. Penglihatannya tak kurang suatu apa, begitu juga pendengarannya. Namun sosok tubuhnya terasa lemas. Mulutnya terasa kering. Tenggorokannya sakit. Dirabanya bibirnya. Kering. Dengan beringsut Wiro bergerak menuju cahaya terang yaitu dimana mulut goa terletak.

Begitu sampai di ambang mulut goa Wiro menyaksikan satu pemandangan yang sangat indah. Saat itu masih pagi. Sang surya baru saja menyingsing. Titik-titik embun masih menempel di dedaunan. Seperti diduganya goa itu memang berada di satu tempat ketinggian, menghadap ke sebuah lembah subur di bawah mana terbentang sebuah sungai. Jauh di sebelah barat kelihatan menjulang sebuah gunung hijau kebiruan. Melihat titik-titik embun yang melekat di dedaunan Wiro ingat pada piala perak berisi air embun murni.

"Ratu Duyung…" desis Wiro. "Sebelumnya aku berada di tempat Ratu Duyung. Bagaimana tahu-tahu aku berada di sini? Apakah aku telah berhasil menolongnya? Apakah dia telah terbebas dari kutukan Itu?"

Wiro memandangi dirinya. Tak ada luka atau cidera. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian bagus pemberian Ratu Duyung. "Aku ingat betul… Waktu aku jatuh pingsan aku sama sekali tidak berpakaian. Siapa yang telah mengenakan pakaian ini ke tubuhku?"

Wiro berusaha mengingat lebih jauh tapi mendadak perutnya terasa perih. "Lapar... Perutku keroncongan. Mungkin sudah berhari-hari aku tidak makan. Berarti aku pingsan lama sekali. Siapa yang membawaku ke sini…? Waktu itu aku ingat... Ya, aku ingat." Ratu Duyung berteriak memperingatkan ada seseorang mendekatinya. Lalu ada suara letusan dan dia tak ingat apa-apa lagi.

"Gila! Aku tak bisa mengingat cepat. Perutku lapar sekali!" Sambil berpegangan pada batang pohon di sampingnya Wiro bangkit berdiri. Dia coba menarik napas dalam-dalam, menghirup udara pagi yang segar. Tiba-tiba dia memegang tubuhnya di bagian pinggang kiri kanan. Hatinya lega. Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya ternyata masih ada padanya.

"Seseorang telah menolongku. Mungkin bukan menolong. Yang jelas orang itu yang telah membawaku ke tempat ini. Aku dibawanya ke sini. Untuk apa? Jika dia berniat jahat pasti aku saat ini sudah jadi mayat. Kalau dia berniat baik mengapa aku ditinggalkan sendirian di tempat ini? Di mana orangnya sekarang? Sakit kepalaku memikirkan semua ini! Usus dalam perutku mungkin sudah lengket tak pernah disentuh makanan atau air."

Memandang ke arah sungai di bawah sana rasa haus membuat Wiro seperti mau gila. Dengan langkah tertatih-tatih dia tinggalkan goa, berjalan menuruni lembah. Namun baru bergerak sekitar sepuluh tombak, telinganya mendengar sesuatu berkelebat dibelakangnya. Bau harum kembang kenanga memenuhi tempat sekitar situ.

Dengan cepat murid Sinto Gendeng ini menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Dari balik semak belukar dia memperhatikan ke arah mulut goa. Dia yakin barusan ada seseorang menyelinap masuk ke dalam goa itu. Dugaan Wiro benar. Dia tidak menunggu lama. Satu sosok putih keluar dari dalam goa.

"Astaga!" ujar Wiro. "Aku cuma melihat bayang-bayang. Belum sempat memperhatikan dengan baik tahu-tahu sudah lenyap! Atau mungkin pandangan mata menipuku? Karena lemah dan lapar?" Wiro menghirup dalam-dalam. "Bau itu bau kembang kenanga. Mengingatkan aku pada seseorang…" Wajah Pendekar 212 mendadak sontak berubah. Dia memandang berkeliling. Lalu berseru. "Bunga! Kau ada di sini…?"

"Wuuttt...!"

Satu bayangan berkelebat. Harumnya kembang kenanga semakin menjadi-jadi. Wiro tersurut beberapa langkah ketika bayangan itu tahu-tahu muncul dihadapannya. Mula-mula sangat samar­samar. Kemudian perlahan-lahan berubah membentuk sosok seorang gadis cantik berpakaian kebaya putih panjang berenda-renda. Celananya juga putih. Rambutnya yang panjang setengah digulung dan dibentang di depan dada. Sesaat wajah itu masih tampak pucat. Perlahan-lahan baru berubah kemerahan.

"Bunga, benar kau rupanya…!" ujar Wiro seperti mau menghambur ke depan. Tapi kekuatannya tidak menunjang. Tak ampun tubuhnya jatuh terperosok ke depan. Sebelum dia jatuh tersungkur di tanah, dua tangan halus memegang bahunya.

"Bunga…"

"Wiro…"

Pendekar 212 peluk erat-erat gadis dihadapanya. Ketika hendak diciumnya gadis itu jauhkan wajahnya lalu melepas pelukannya.

"Mungkin dia malu karena lama sekali tidak bertemu tapi mungkin ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya," pikir Wiro. Lalu dengan tunjukkan wajah ceria Pendekar 212 bertanya.

"Lama sekali kita tidak bertemu, Bunga. Bagaimana kau bisa berada di tempat ini? Apakah kau yang membawa aku ke sini?"

"Memang lama sekali kita tidak pernah bertemu Wiro. Kau di alam duniamu yang serba mudah. Aku di alam gaibku yang serba kelam. Kau tak pernah mengingat diriku lagi… Waktu dan pikiranmu tersita oleh segala macam urusan dunia. Agaknya kau merupakan orang paling bahagia dalam duniamu. Disukai dan dicintai banyak gadis…"

"Jangan-jangan gadis ini cemburu pada Ratu Duyung," pikir Wiro. Untuk menggembirakan hatinya, Wiro lalu berkata. "Ah, memang aku merasa bersalah. Tapi aku selalu dan sering ingat padamu…"

"Hanya sekedar ingat apa artinya. Kau ingat terakhir kali kita bertemu? Lebih dari setahun lalu. Agaknya kau tidak pernah menginginkan pertemuan lagi denganku…"

"Bunga, aku mungkin bersalah. Tapi dengan jujur aku katakan jangan kau bersalah duga. Setiap aku ingin bertemu denganmu aku merasa aku hanya akan menyusahkanmu saja. Karenanya kalau tidak perlu benar aku tidak ingin mengganggumu."

"Apakah saat ini kehadiranku mengganggumu Wiro?"

"Ah! Ada apa sebenarnya dengan gadis cantik dari alam gaib ini," membatin Pendekar 212. "Dia seperti tidak suka padaku. Tapi mengapa membawaku ke sini? Dia seperti…"

"Aku senang bertemu denganmu Bunga. Benar-benar senang. Lebih dari itu aku berterima kasih kau telah membawaku ke sini. Kau telah menolongku…"

Bunga gelengkan kepalanya. "Aku tidak menolongmu Wiro. Aku hanya menolong diriku sendiri…"

"Aku tidak mengerti maksudmu," kata Wiro pula.

"Aku menolong diriku sendiri dari himpitan perasaan yang membuatku seperti mau gila. Setiap aku mengingat dirimu aku ingin keluar dari alam gaibku menemuimu. Tapi aku khawatir kau tidak menerima kehadiranku dengan senang. Kalaupun kau memperlihatkan sikap suka mungkin hanya karena terpaksa…"

"Semua dugaanmu itu salah belaka Bunga…"

"Mungkin Wiro, tapi aku melihat dengan mata kenyataan. Seorang makhluk gaib sepertiku ini yang oleh orang banyak disebut makhluk jejadian apa menguntungkannya bagimu dibanding dengan seorang gadis dalam sosok asli manusia sejati?"

Wiro mendekati Bunga, memeluk gadis itu dan berbisik. "Kau tahu perasaanku terhadapmu Bunga. Sejak dulu aku ingin selalu dekat denganmu. Banyak jasa dan budi yang telah kau tanam dan tak mungkin aku balas. Kalau aku boleh bertanya, perasaan apa yang selama ini menghimpitmu?"

"Kau sudah tahu jawabannya Wiro. Kau tahu isi hatiku terhadapmu…" jawab Bunga alias Suci yang dalam dunia persilatan dijuluki Dewi Bunga Mayat.

(baca serial Wiro Sableng berjudul Misteri Dewi Bunga Mayat)

Wiro pejamkan kedua matanya. "Aku tahu kau mencintai diriku Bunga…"

"Kau juga tahu selama dunia terkembang, selama alam gaib dan duniawi tidak bisa bersatu, aku tak akan pernah bisa memiliki dirimu…"

"Kau telah memiliki diriku sejak pertama kali kita bertemu…" bisik Wiro sambil membelai rambut panjang hitam si gadis.

"Berlakulah jujur Wiro. Hal itu tidak akan pernah terjadi," kata Bunga pula. "Aku hanya bisa berusaha ke arah itu walau aku sadar tak akan pernah menjadi kenyataan. Itu sebabnya aku menyerbu masuk kedalam Puri Pelebur Kutuk. Di alam gaib aku tidak tahan melihat dirimu berdua-dua dengan Ratu Duyung. Aku tak ingin ada seseorang memilikimu. Aku…"

"Ratu Duyung tidak memiliki ku. Kalau kau arif, kau tentu tahu apa sesungguhnya yang ada di balik hubunganku dengan Ratu Duyung. Aku memang bingung menghadapi kejadian itu. Itu sebabnya aku bertanya pada beberapa tokoh dunia persilatan, Termasuk guruku sendiri…"

"Aku tahu hal itu. Dan mereka membenarkan apa yang hendak kau lakukan. Itulah duniamu Wiro. Jauh berbeda dengan duniaku..." kata Bunga pula.

Wiro menarik napas dalam. "Apapun yang telah terjadi kau telah membuat aku tidak dapat menolong gadis itu. Aku tidak sempat membebaskannya dari sumpah kutukan…"

"Kau telah melakukannya. Kau telah menolong dirinya bebas dari alam kutukan."

Wiro memandang lekat-lekat pada gadis cantik berwajah pucat dihadapannya. "Tidak, aku belum sempat melakukan apa-apa!" kata Pendekar 212.

Bunga tersenyum.

"Kau tidak percaya? Aku berani bersumpah!"

"Baiklah jika kau berkata begitu. Tapi satu waktu kau akan melihat kenyataan bahwa kau benar-benar telah menolong gadis yang malang itu…"

"Maksudmu kelak… kelak jika dia nanti hamil?"

LIMA

Bunga tersenyum. "Hal yang satu itu sulit aku jawab."

Wiro jadi garuk-garuk kepala. Dalam hati dia bertanya-tanya. "Apa betul yang dikatakan Bunga barusan? Aku yakin aku belum sempat memenuhi permintaan Ratu Duyung. Aku belum melakukan esuatu untuk menolongnya. Tetapi mengapa Bunga begitu yakin…"

"Kau masih memikirkan hal itu Wiro?" Teguran Bunga menyadarkan Wiro. Ketika Pendekar 212 diam saja Bunga lalu mengngsurkan sebuah bungkusan.

"Apa ini…?" tanya Wiro.

"Buah-buahan hutan untuk makanmu. Juga ada beberapa potong tebu untuk kau minum airnya. Kau telah pingsan selama enam hari. Kau tentu lapar dan haus sekali…"

"Pingsan enam hari? Aku pingsan selama enam hari?" ujar Wiro dengan mata mendelik. "Pantas perutku perih keroncongan, tenggorokan dan mulutku kering. Sekujur tubuhku lemah."

Wiro segera melahap beberapa jenis buah-buahan yang dibawakan Bunga. Sebentar saja semua buah itu termasuk potongan tebu amblas masuk ke dalam perut Wiro.

"Masih lapar?" tanya Bunga.

"Kalau belum ketemu nasi rasanya belum kenyang!" jawab Wiro lalu tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba ia hentikan tawanya.

"Ada apa?" tanya gadis dari alam gaib itu. "Kau bilang enam hari aku pingsan. Berarti enam hari aku tidak pernah mandi! Celaka! Pantas bau badanku sedap amat! Aku terpaksa meninggalkanmu Bunga. Di lembah sana aku lihat ada sungai. Aku mau mandi dulu, kau tunggu di sini. Jangan kemana mana. Jangan mencoba mengintip!"

Bunga tertawa. "Mana ada ceritanya perempuan mengintip lelaki. Justru lelaki yang suka mengintai perempuan!"

"Aku pergi!" ujar Wiro.

"Pergilah. Selesai mandi segera kembali ke sini. Ada hal penting yang akan kubicarakan denganmu."kata Bunga.

"Eh, hal apa?" tanya Wiro.

"Nanti saja. Sekarang mandilah sepuasmu. Kalau kau sudah bersih dan segar cepat kembali sini…"

Wiro hendak melangkah pergi tapi mendadak dia hentikan langkah dan memandang pada si gadis.

"’Ada apa?"

"Sepertinya percuma saja aku mandi. Sudah bersih dan segar seperti katamu, aku tetap saja­ memakai baju bagus tapi sudah bau ini!"

"Ah! Aku lupa!" ujar bunga. Dia masuk ke dalam goa lalu keluar lagi membawa seperangkat pakaian putih. "Selesai mandi kau boleh mengenakan baju dan celana ini."

Wiro menyambuti pakaian yang diserahkan Bunga dengan perasaan haru. "Lama sekali aku tidak pernah mengenakan pakaian serba putih. Terima kasih Bunga."

Cukup lama menunggu akhirnya. Wiro muncul di depan goa. Pakaian putih yang dikenakan, tampak basah oleh keringat. Dadanya turun naik tanda napasnya sesak sehabis menaiki lembah.

"Kau sudah bersih dan segar sekarang!" sambut Bunga.

Wiro menarik napas panjang. "Ada sesuatu yang tidak beres dengan diriku!" kata Wiro sambil duduk bersila di tanah mengambil sikap siap untuk mengatur jalan napas dan peredaran darah.

Bunga pandangi pemuda itu dengan perasaan sedih. "Dia mulai mengetahui perubahan yang terjadi atas dirinya. Kasihan dia. Rasanya tidak tega untuk memberitahu," kata gadis ini dalam hati.

"Apa maksudmu Wiro. Apa yang tidak beres?" bertanya Bunga kemudian.

"Waktu mendaki bukit ini aku tak mampu berlari. Berjalan cepat saja membuat napasku sesak. Aku cepat berkeringat. Sekujur tubuhku letih begitu sampai di atas sini. Tubuhku seolah tidak bertulang lagi…"

"Wiro, itu sebabnya aku tadi memintamu agar lekas datang ke sini begitu selesai mandi."

"Aku sudah duduk di sini. Kau mengatakan ada sesuatu hal penting yang ingin kau bicarakan dengan diriku."

"Atur dulu jalan napasmu. Kalau kau sudah agak tenang baru nanti kita bicara."

Wiro melakukan apa yang dikatakan Bunga. Sesaat kemudian dia berkata, "Aku sudah siap Bunga. Ayo bicaralah…"

"Kau menyadari ada suatu kelainan dalam dirimu saat ini Wiro?"

"Hemmm… Kalau perasaan lemah aku rasa wajar-wajar saja karena enam hari aku pingsan. Begitu sadar cuma makan buah dan tebu," jawab Wiro sambil tersenyum.

"Tubuhmu terasa lemah, napasmu sesak. Kau telah mengatur peredaran darah serta jalan per­napasanmu. Apakah kau merasa kekuatanmu sudah kembali?"

"Aku tidak mengerti apa maksud semua ucapanmu itu Bunga. Kalau malam nanti aku bisa tidur nyenyak besok pagi pasti aku sudah pulih seperti semula."

"Wiro, aku segan mengatakan hal ini padamu. Tapi kalau tidak aku jelaskan aku khawatir kau bisa mengalami malapetaka yang bisa merenggut jiwamu."

"Bunga, apa sebenarnya yang kau bicarakan ini?!" tanya Wiro. Tambah tidak mengerti tambah terbayang rasa jengkelnya.

"Wiro, ketahuilah. Akibat apa yang kau lakukan dengan Ratu Duyung kau telah kehilangan kekuatan luar dan dalam, juga semua kesaktian yang kau miliki. Itu akan berlangsung selama seratus hari."

Wiro tidak tampak terkejut malah tertawa lebar. "Kau ini ada-ada saja! Memangnya aku telah berbuat apa dengan Ratu Duyung? Tadi sudah kujelaskan bahkan sampai bersumpah! Aku belum memenuhi apa yang dimintanya! Aku memang senang kau bergurau. Tapi jangan yang aneh-aneh…"

"Aku tidak bergurau Wiro. Jika kau tidak percaya coba kau pukul dan patahkan cabang pohon ini."

Sosok gadis dari alam gaib itu berkelebat ke atas. Terdengar suara "Kraakk!" Begitu turun ada sebatang cabang pohon sebesar betis sepanjang lima jengkal. Bunga pegang patahan cabang pohon itu pada ujung-ujungnya.

"Kerahkan tenaga luarmu. Hantam cabang ini dengan tangan kosong."

"Ini namanya permainan anak-anak," kata Wiro pula. Dengan sikap acuh tak acuh dia pukulkan pinggiran telapak tangan kanannya. "Kraaakk!" Cabang pohon itu patah. "Kau lihat sendiri!" ujar Wiro sambil mengusap dengan kanannya. "Cabang pohon itu dengan mudah dapat kupatahkan!"

"Kenyataannya begitu. Tapi aku melihat kerenyit kesakitan pada wajahmu. Lihat tangan kananmu. Merah! Sebentar lagi pasti membengkak! Hal itu tidak akan terjadi jika kau masih memiliki ilmu kesaktian…"

Pendekar 212 jadi terdiam."Jangan-jangan apa yang dikatakan gadis ini benar…" pikir Wiro sambil perhatikan tangan kanannya yang kemerahan dan berdenyut sakit.

"Sekarang kerahkan tenaga dalammu, pukul batang pohon itu! Kau boleh mengeluarkan ilmu pukulan apa saja! Jika kau memang masih memiliki kesaktian dan tenaga dalam tinggi, batang pohon yang tak seberapa besar itu pasti dapat kau hancurkan hingga tumbang!"

Merasa diperlakukan seperti orang bodoh atau seolah seorang yang baru belajar ilmu silat Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Dia siap untuk menghantam batang kayu itu dengan pukulan segulung ombak menerpa karang! Saat itulah dia menyadari bahwa dia tidak bisa menghimpun tenaga dalamnya di bagian pusar, apalagi mengalirkannya ke tangan yang hendak melepas pukulan sakti itu.

"Gila! Aku tidak percaya!" kertak Wiro dalam hati. Dia melompat sambil hantamkan tangan kanannyal ke batang pohon. Pukulannya menghantam telak. Batang kayu itu, tidak bergeming sedikit pun. Hanya kulit kayunya yang sudah lapuk pecah berjatuhan. Wiro berteriak kaget dan kesakitan. Tubuhnya terlempar beberapa langkah. Untung tidak sampai terbanting jatuh punggung.

Terbungkuk­-bungkuk menahan sakit dia pegangi tangan kanannya. Dalam keadaan seperti itu dia memandang tak percaya pada tangan kanannya. Tangannya pecah dan mengucurkan darah. Wiro berpaling pada Bunga, hendak bertanya tapi tak kuasa membuka mulut. Dengan kain pengikat kepalanya Wiro membalut luka di tangan kanannya.

"Sulit kupercaya…" kata Pendekar 212 perlahan. Diam-diam dia coba mengerahkan tenaga dalamnya ke perut. Seperti tadi tidak terjadi apa-apa. Dia tidak mampu melakukan.

"Coba kau kerahkan aji kesaktian menyiapkan pukulan Sinar Matahari," kata Bunga.

Wiro segera melakukan apa yang dikatakan si gadis. Beberapa saat berlalu. Tangan kanannya bergetar. Namun tidak terjadi apa-apa. Biasanya jika dia siap mengeluarkan pukulan Sinar Matahari maka tangannya sebatas siku sampai ke ujung jari akan berubah menjadi seputih perak.

"Aku tidak mampu melakukannya!" kata Wwo setengah berteriak. Mukanya tampak sangat pucat.

Bunga masih belum puas menguji dan membuktikan apa yang terjadi dengan Pendekar 212. Maka dia pun berkata. "Cabut kapak saktimu. Tebas batang pohon didepan sana!"

Kembali Wiro melakukan apa yang dikatakan Bunga. Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 dicabutnya dari balik pinggang dia merasa heran dan berkata, Aneh, kenapa senjata ini yang biasanya ringan kini terasa begitu berat… Wiro mulai kerahkan tenaga dalamnya. Biasanya begitu tenaga dalam mengalir ke tangan sepasang mata kapak akan mengeluarkan sinar terang menyilaukan disertai membersitnya hawa panas.

Tapi kini hal itu sama sekali tidak terjadi. Wiro memaksakan dengan segala daya. Tetap sia-sia malah tubuh dan mukanya jadi mandi keringat sedang senjata yang dipegang terasa bertambah berat. Dalam keadaan seperti itu Wiro masih belum dapat menerima kenyataan yang terjadi atas dirinya. Didahului teriakan keras yang kini tidak memiliki gema hebat karena tidak disertai aliran tenaga dalam dia melompat dan hantamkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke batang pohon di hadapannya.

"Kraaakk!"

Kepingan kayu berpelantingan. Kapak amblas ke batang pohon sedalam seperempat jengkal tapi tidak terduga senjata itu terlepas dari pegangan Wiro dan mental lalu membalik dan menghantam ke arah kepalanya.

"Gila!" maki Pendekar 212. Dia cepat jatuhkan diri untuk menghindari senjata makan tuan yang bisa membunuhnya. Tapi astaga! Gerakannya begitu lamban. Kapak Maut Naga Geni 212 menyambar lebih cepat daripada gerakannya mengelak. "Aku tak mampu mengelak! Kepalaku…!"

Sesaat lagi salah satu mata kapak akan menancap di keningnya tiba-tiba dari samping bea ke­lebat satu bayangan putih. Wiro merasakan sambaran angin yang sangat keras. Sebenarnya sambaran angin itu biasa-biasa saja dan tidak ditujukan ke arahnya. Namun karena dia kini tidak memiliki kekuatan dan kesaktian apa-apa maka sambaran angin tadi sempat membuatnya terpelanting dan jatuh duduk di tanah.

Ketika dia memandang ke depan dilihatnya Bunga tegak sambil memegang senjata mustikanya. Gadis ini lalu melangkah mendekati Wiro dan mengembalikan kapak itu. Wiro meletakkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pangkuannya. Untuk beberapa lamanya kedua matanya memandangi senjata mustika itu tanpa berkedip.

"Apa yang terjadi dengan diriku…" desisnya perlahan. Matanya dipejamkan. Tubuhnya bergetar menahan goncangan perasaan. "Eyang guru! Tuhan! Apa yang terjadi dengan diriku!" teriak Wiro sambil mengangkat kedua tangannya. Lalu kedua tangan itu terkulai lemah ke bawah. "Apa semua ini karena dosaku menggauli Ratu Duyung?! Tuhan, Kau tahu apa yang aku lakukan hanya dengan niat menolong semata. Tidak ada nafsu keji dan kotor! Lagipula bukankah aku belum melakukan apa-apa…"

"Wiro." Satu suara menegurnya dan satu tanga yang lembut membelai rambut di belakang kepalnya.

"Bunga… Aku tidak mengerti semua ini! Mengapa aku jadi begini? Tenaga luarku lenyap. Tenaga dalam musnah! Kesaktian hilang! Aku merasa seolah seperti mati saja!"

"Wiro, dengar ucapanku. Aku akan memberitahu apa yang aku ketahui," kata Bunga pula. "Kau tahu, aku tahu dan Tuhan pun tahu maksud baikmu menolong Ratu Duyung yang telah menanam budi dan jasa serta menyelamatkanmu dari maut. Namun dalam dunia Ratu Duyung berada, bersentuhan badan tanpa terhalang oleh pakaian akan membuat orang luar mengalami malapetaka. Jika dia seorang biasa saja yaitu tidak memiliki tenaga luar yang kuat, tidak mempunyai tenaga dalam serta kesaktian maka malapetaka itu bisa membuat dirinya menemui ajal. Jika dia tidak tewas maka dia akan menjadi lumpuh seumur hidupnya. Sebaliknya jika orang luar itu keadaan seperti dirimu yakni memiliki tenaga dalam dan tenaga luar yang tinggi serta berbagai kesaktian maka semua apa yang dimilikinya itu akan lenyap…"

"Ya Tuhan!" seru Wiro. Pemandangannya menjadi kelam. Tubuhnya menghuyung. Bunga cepat menahan bahu Pendekar 212.

"Tenang Wiro, keteranganku belum selesai."

"Aku saat ini tak lebih dari seorang manusia tidak berguna. Apa gunanya hidup…?"

"Dengar Wiro, semua yang kau miliki itu akan lenyap. Tapi tidak untuk selama-lamanya…"

Wiro seperti tidak mau mendengarkan lagi. Kepalanya digeleng-gelengkan.

"Tenaga luar dan dalam serta kesaktianmu hanya lenyap selama seratus hari Wiro. Setelah itu semua itu akan kembali dengan sendirinya. Hanya saja mungkin kau perlu untuk melatihnya kembali barang sebulan dua bulan…"

"Apakah Ratu Duyung mengetahui akibat yang bakal terjadi atas diriku?"

"Tentu saja dia mengetahui," jawab Bunga.

"Gadis setan! Dia tidak memberitahu padaku!"

Bunga terdiam sesaat lalu berkata dengan suara perlahan. "Terus terang aku cemburu terhadapnya. Cemburu terhadap hubunganmu dengan dia. Tapi dalam hal ini jangan kau salahkan dirinya. Dia tidak mungkin mengatakan hal itu padamu. Karena kalau dikatakannya kau pasti tidak akan mau menolongnya…"

"Tapi…" Wiro menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya dikepalkan. "Aku merasa ditipu!"

"Tidak ada yang menipumu Wiro. Apa yang terjadi memang pahit. Mungkin sudah begitu jalan nasibmu…"

"Ini bukan jalan nasib! Ini gila!" kata Pendekar 212 pula.

"Wiro, dalam keadaanmu seperti ini kau harus segera menghilang dari dunia persilatan. Paling tidak selama seratus hari sebelum kekuatan luar dalam serta kesaktianmu kembali pulih…"

"Aku harus menghilang dari dunia persilatan? Apa maksudmu Bunga?"

"Apa kau tidak menyadari? Tanpa kemampuan apa-apa kau berada dalam bahaya besar. Jika satu saja dari sekian banyak musuhmu mengetahui apa yang terjadi dengan dirimu maka kau pasti akan dicarinya dan dibunuh dengan mudah! Kau tak mungkin menyelamatkan diri!"

Berubahlah paras murid Sinto Gendeng. Lama dia terdiam, sebelum bertanya dengan nada putus asa. "Bunga, apakah tidak ada satu cara untuk dapat mengembalikan kekuatan dan kesaktianku tanpa harus menunggu sampai seratus hari?"

Bunga menggeleng. "Aku ikut sedih atas apa yang kau alami. Tidak seorang pun bisa menolongmu Wiro. Juga aku…"

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Otak ku sepertinya tak bisa berpikir lagi."

"Aku sarankan kau pergi ke tempat kediaman gurumu di Gunung Gede. Itu tempat paling aman bagimu…"

"Kau benar. Tapi dalam keadaanku seperti ini tidak mudah bagiku mengadakan perjalanan sejauh itu…" Wiro memandang berkeliling. "Kita berada dimana saat ini? Apa nama tempat ini."

"Kita berada di Bukit Jatianom. Jauh di sebelah tenggara Gunung Merapi. Jika kau mengira tempat ini aman bagimu, aku tidak bisa menjamin…"

"Apapun yang akan terjadi dengan diriku di tempat ini, rasanya aku tidak akan mau pergi ke mana-mana. Kalaupun aku harus mati biar saja aku menemui ajal di sini…"

Jika itu keputusanmu dan tak bisa dirubah aku tak bisa berbuat apa-apa. Saat ini aku harus kembali ke duniaku…"

Wiro terdiam. Dia merasa lebih aman jika Bunga berada bersamanya di tempat itu.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Sayang aku tidak bisa melakukan. Aku sudah terlalu lama berada dalam duniamu. Aku harus pergi Wiro… Jaga dirimu baik-baik."

Wiro mengangguk.

"Apakah kau masih menyimpan kembang kenanga yang pernah aku berikan dulu?" tanya Bunga. Wiro seperti tersentak. Dia meraba pakaian putihnya.

"Kau tak bakal menemui bunga itu di sana. Aku juga telah memeriksa pakaian yang kau kenakan sebelumnya. Bunga itu pasti tertinggal di tempat Ratu Duyung…"

"Berarti jika aku memerlukanmu aku tidak bisa memanggilmu. Apakah kau bisa memberikan satu lagi padaku?"

"Bunga sakti yang mampu memanggilku itu hanya muncul sekuntum dalam tujuh tahun…"

Wiro seperti dihenyakkan. Jelas kalau terjadi apa-apa dengan dirinya dia tidak mungkin memanggil gadis dari alam gaib itu untuk menolongnya.

"Aku akan berusaha memperhatikan dirimu dari alamku. Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa selama seratus hari mendatang. Aku harus pergi sekarang Wiro…"

Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri. Dia melangkah mendekati si gadis dan ulurkan tangannya untuk merangkul. Namun dia seperti lenyap dari pemandangan. Untuk beberapa lamanya Wiro tegak tertegun. Lalu dia ingat sesuatu dan sekaligus mengomel menyesali diri.

"Mengapa tadi aku tidak meminta tolong pada Bunga agar menemui Eyang Sinto Gendeng. Memberitahu keadaanku saat ini. Ah, otakku seolah tidak bisa bekerja lagi! Untung Pangeran Matahari sudah tewas di Pangandaran. Kalau dia masih hidup dan mengetahui apa yang terjadi dengan diriku, niscaya aku akan menemui ajal secara mudah di tangannya!"

Wiro menghela napas dalam berkali-kali. Dia balikkan tubuhnya dan memandang ke arah goa. Apa aku harus mendekam bersembunyi selama seratus hari di goa itu? Belum apa-apa rasanya sudah seperti mau mati! Daripada mati di dalam goa ini lebih mati di tempat lain!" Wiro alihkan pandangannya ke lembah.

"Astaga!" Tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini ingat akan ilmu Pukulan Harimau Dewa. "Bukankah ilmu kesaktian itu bisa dikeluarkan tanpa mengandalkan tenaga dalam?" pikir Wiro.

Tanpa tunggu lebih lama dia segera tiup tangan karannya. Lalu telapak tangan dikembangkan lebar-lebar. Matanya membeliak dan tengkuknya menjadi dingin ketika pada telapak tangan kanannya sama sekali tidak muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau.

"Datuk Rao Bamato Hijau… Datuk Rao Basaluang Ameh. Apakah kalian juga telah meninggalkan diriku?" ujar Wiro dengan suara bergetar. Dia tidak ingat kapan terakhir sekali mengeluarkan air mata. Yang jelas saat itu dirasakannya kedua matanya berkaca-kaca.

"Se­besar apakah dosa yang telah aku perbuat hingga jatuh kutuk begini hebat terhadapku?" Perlahan­-lahan Wiro duduk di tanah. Sekujur tubuhnya terasa lemah. Terbayang olehnya wajah Eyang Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Setengah mengumpat dia berkata,

Kalian berdua memberi dorongan agar aku menolong Ratu Duyung. Kalian seharusnya tahu apa akibatnya! Kalian menipuku! Menipuku!" Kata terakhir diucapkan Wiro dengan berteriak dan tubuh bergetar!

********************

ENAM

Langit biru disaput awan kelabu di sana-sini. Walau purnama memancarkan sinarnya yang putih terang namun tiupan angin membuat sebentar-sebentar awan kelabu menutupinya. Walau sesekali angin bertiup kencang namun air laut tampak setenang air danau. Sebuah perahu kayu yang layarnya baru saja digulung kelihatan meluncur perlahan memasuki Teluk Siburu.

Penumpangnya seorang kakek berambut putih duduk melunjur, enak-enakan menyandarkan punggung dan kepalanya ke bagian haluan. Sulit untuk diketahui apakah orang tua ini tengah terlelap tidur atau bagaimana. Sepasang matanya membentuk lobang dalam di atas pipinya yang cekung. Wajahnya yang tidak berdaging seolah sebuah tengkorak hidup.

Sayup-sayup dikejauhan terdengar suara ombak memecah. Suaranya agak aneh karena bukan memecah dipasir pantai tetapi memecah setelah menghantam gugusan batu-batu karang tinggi runcing laksana barisan raksasa penjaga pulau.

"Terima kasih Tuhan! Akhirnya kau selamatkan aku sampai ke pulau kukembali!"

Orang tua muka tengkorak usap wajahnya yang ditumbuhi kumis dan janggut putih. Perlahan-lahan dia bangkit dan duduk di lantai perahu. Dia menyeringai ketika melihat deretan batu-batu karang tinggi itu. Apa yang dilihatnya itu membuat dia teringat pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang kini jauh berada di tanah.

Beberapa tahun yang lalu dia telah menggembleng Wiro di salah satu puncak batu karang itu hingga si pemuda memiliki daya tahan yang hebat pada kedua kakinya, bertambah tinggi ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalamnya.

"Anak setan itu rejekinya besar sekali. Setelah memiliki Kitab Putih Wasiat Dewa sulit dicari manusia yang bisa menandinginya. Siapa menyangka semudah itu dia bakal menjadi dedengkot nomor satu menguasai dunia persilatan. Tapi lain sang murid lain sang guru. Sinto Gendeng tua bangka konyol. Tak kuikuti kemauannya pergi ke Gunung Gede dia merajuk marah! Tua bangka masih seperti anak-anak! Jangan harap aku akan menjejakkan kaki lagi di tanah Jawa. Jangan harap aku mau ketemu dia lagi!"

Sepasang mata si orang tua yang cekung lebar tampak tambah lebar dan menggidikkan ketika dia memandang jauh-jauh ke arah deretan batu-batu karang di pantai. Sementara angin kembali meniup awan kelabu menutupi bulan. Keadaan di sekitar pantai menjadi redup gelap.

"Air laut pasang besar. Tak sedap rasanya mendarat di tempat itu. Kalau dulu mungkin aku masih suka berbuat gila. Bermain-main dengan ombak dan batu karang! Sekarang aku harus tahu diri. Tenaga sudah banyak terkuras oleh usia. Hik hik hik! Biar aku mencari tempat mendarat yang empuk. Di bagian pantai sebelah timur. Di antara pohon-pohon bakau…"

Seperti tak acuh kakek ini dorongkan tangan kanannya ke samping perahu. Air laut tampak bergelombang. Perahu kayu itu bergerak ke kiri lalu meluncur menuju bagian pantai di sebelah kiri barisan batu-batu karang. Semakin dekat ke pantai yang ditumbuhi pohon-pohon bakau semakin gembira orang tua itu. Dari mulutnya melengking tinggi suara nyanyian.

Jauh berjalan ke tanah Jawa
Kembalinya ke Andalas juga
Bertemu kekasih di masa muda
Sudah tua tapi masih mau bermanja
Ha ha ha! Hik hik hik!"


Di tepi pantai, di antara kerimbunan pohon bakau dan kegelapan malam seorang perempuan tua bermuka putih keluarkan ucapan merutuk dalam hati.

"Tidak meleset dugaanku! Lelaki bangsat itu pergi ke tanah Jawa untuk menemui gendaknya si Sinto Gendeng!"

Baru saja perempuan ini menggerendeng begitu rupa tiba-tiba ada seseorang mendatanginya dan berbisik.

"Sabai, kau lebih mengenali suara musuh! besar kita. Aku yakin yang datang naik perahu itu memang orang yang kita tunggu-tunggu!"

"Keyakinanmu tidak keliru. Siapkan teman-teman. Tunggu sampai aku memberikan tanda baru menyerbu!"

"Agaknya dia datang hanya sendirian. Tidak membawa muridnya yang jadi musuh besar kami?!"

Sabai Nan Rancak, si nenek muka putih berjubah hitam yang adalah guru Puti Andini si Dewi Payung Tujuh menjawab. "Itu lebih memudahkan bagi kita untuk membantainya. Setelah dia mampus baru kita cari muridnya. Sekarang lekas pergi. Atur siasat dengan teman-teman seperti yang sudah kita bicarakan! Jangan sampai setan tua itu lolos!"

Orang yang berdiri di samping si nenek anggukkan kepala. Tanpa banyak bicara lagi dia segera meninggalkan tempat itu dan lenyap di kegelapan malam. Di atas perahu, kakek berpakaian dan berambut putih kembali menyanyi.

Bagus cantik negeri orang
Buruk kusut negeri sendiri
Lebih baik negeri orang... Eh! Salah! Hik hik hik!
Lebih baik negeri sendiri!

Berlayar kepalang jauh
Tubuh dan tulang yang akan mengumpat
Bercinta dengan orang jauh
Walau sakit terasa nikmat Ha ha ha…!

Air pasang di kelilingi pulau
Air terjun ditengah rimba
Senang sungguh pulang ke pulau
Walau rindu menanggung cinta Siapah! Ha ha ha!


Perahu kecil itu meluncur perlahan, berkelok mencari jalan di antara akar-akar pohon bakau yang bertumbuhan sepanjang pantai.

"Tek-Tek-Tek-Tek-Tek...!"

Tiba-tiba ada sesuatu menyentuh badan perahu, mengeluarkan suara aneh. Semakin jauh perahu kayu itu masuk mendekati tepi pasir semakin sering suara itu terdengar. Orang tua di atas perahu buka matanya lebar-lebar, perhatikan air laut di sekitarnya. Tampangnya yang angker tampak tercekat ketika melihat benda apa yang telah menyentuh badan perahunya hingga mengeluarkan suara berkepanjangan.

"Tengkorak manusia…! Begini banyak! Darimana asalnya kata orang tua tadi. Dia memandang berkeliling. Perasaan heran berubah menjadi galau tidak enak. Puluhan tengkorak kepala manusia mengambang di permukaan air laut. Bergerak kian kemari lalu membentur badan perahu. Ada juga yang terapung-apung di sela-sela akar pohon bakau.

"Tampaknya ini satu penyambutan yang direncanakan. Siapa yang punya pekerjaan…" Orang tua di atas perahu lalu ingat peristiwa hampir setahun silam. Dadanya berdebar keras. "Jangan­jangan ini ulah Datuk Tinggi Raja Di Langit. Tapi bukankah dia sudah dipendam dalam makam tanpa nisan itu? Mana mungkin dia bisa lolos dan masih hidup…!"

(Siapa adanya DatukTinggi Raja Di Langit harap baca serial Wiro Sableng berjudul Makam Tanpa Nisan)

"Tua Gila! Selamat kembali ke pulaumu! Malam ini pulau ini akan menjadi pulau kematianmu!" Satu teriakan menggema di tempat itu.

Orang tua di atas perahu terkesiap. "Itu bukan suara Datuk Tinggi Raja Di Langit…" katanya dalam hati. "Jahanam! Siapa berani berbuat gila di pulau kediamanku!" bentak orang tua di atas perahu yang ternyata adalah tokoh silat si Tua Gila yang paling ditakuti di seantero pulau Andalas, menyandang beberapa julukan. Diantaranya Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut Jiwa.

Bentakan Tua Gila begitu kerasnya hingga air laut tampak beriak dan daun-daun pohon bakau terdengar berdesir. Sebagai jawaban dari sepanjang tepi pasir yang gelap terdengar suara tertawa.

"Kami malaikat maut utusan dari neraka yang ngin mencabut nyawamu!"

"Mengorek jantungmu!"

"Membedol isi perutmu!"

"Cacing-cacing malam! Tanganku jadi gatal! Jangan bertindak pengecut! Perlihatkan diri kalian! Atau aku si Tua Gila akan memecahkan kepala kalian satu persatu!"

Kembali dari arah daratan terdengar suara tertawa. Lalu ada seseorang berseru. "Kami belum merasa perlu memperlihatkan diri. Kehadiran kami sudah diwakili oleh puluhan tengkorak yang mengapung di permukaan air laut! Itu adalah tengkorak orang-orang yang kau bunuh dimasa lalu!"

Tua Gila sempat terkesiap tapi segera pula dia tertawa gelak-gelak. "Kalau yang menyambutku sudah jadi tengkorak, kalian rupanya adalah setan-setan kesasar yang gentayangan minta mati dua kali! Ha ha ha!"

"Sudah mau jadi bangkai masih saja bicara sombong!"

Suara orang kali ini datang dari sebelah atas. Tua Gila cepat mendongak ke atas pohon bakau. Sesosok tubuh berpakaian hitam yang mendekam di atas pohon itu secepat kilat melompat ke pohon bakau lainnya. Tua Gila angkat tangan kanannya, siap untuk melepas satu pukulan sakti. Tapi niatnya dibatalkan. Malah seperti orang tidak beres ingatan dia kembali bernyanyi.

Malam gelap malam gulita
Pulang ke pulau disambut bala
Boleh saja main gila bersama
Asal siap serahkan nyawa Ha ha ha…!


Tiba-tiba terdengar satu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu laksana kelelawar-kelelawar ga­nas dari atas pohon-pohon bakau melayang turun enam sosok tubuh. Tiga senjata berkiblat dalam kegelapan malam. Tiga pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi menderu melepas hawa panas. Dari arah tepi pasir tiga macam senjata rahasia berbentuk paku, pisau terbang dan jarum hitam menggebubu.

Tua Gila berteriak kaget dan marah. "Pengecut-pengecut jahanam!"

Tubuh berpakaian putih itu melesat ke udara lalu jungkir balik, mencelat ke arah rumpunan pohon bakau lebat di sebelah kiri. Dua pekikkan menggelegar. Dua orang yang barusan menyerang dari atas pohon bakau terpental satu tombak lalu tercebur ke dalam laut. Tak muncul lagi karena amblas dengan kepala pecah!

TUJUH

Kesunyian seperti menghantu di tempat itu walau di kejauhan suara ombak yang menghantam batu karang terdengar tidak putus-putusnya. Kematian dua kawan mereka dalam gebrakan pertama mau tak mau membuat para penyerang yang berada di tempat itu jadi terkesiap walau hanya seketika.

Di atas pohon bakau yang gelap Tua Gila bergelantungan tak bergerak. Sebilah pisau terbang menancap di lengan kirinya. Darah mengucur. Beberapa buah jarum hitam berhasil menyusup di pakaian putihnya. Walau tak sempat melukai tubuhnya tapi cukup membuat dedengkot rimba persilatan Andalas ini jadi dingin kuduknya karena dia tahu betul jarum-jarum itu pasti beracun.

Dengan mendengus sambil menahan sakit Tua Gila cabut pisau terbang yang menancap di lengan kirinya. Matanya yang cekung lebar memandang beringas memandang liar ke arah kegelapan. Dia tidak dapat melihat penyerang gelap yang berada di tepi pasir namun dia ingat betul kalau tadi ada enam orang yang menyerang dari atas pohon bakau. Dua berhasil dibunuhnya. Empat lagi lenyap selamatkan diri.

"Yang empat itu tidak terjun ke dalam laut. Mereka pasti mendekam di pepohonan bakau sekitar sini!"

Tua Gila memperhatikan terus kegelapan disekelilingnya lalu mulut kakek bermuka tengkorak ini kelihatan menyeringai. Dia berhasil melihat salah seorang penyerangnya. Bergelantung di balik rerumpunan pohon bakau. Tangan kanan Tua Gila yang memegang pisau bergerak.

Orang yang diserang baru sadar kalau maut mengancamnya ketika pisau terbang itu hanya tinggal sejengkal di depan matanya. Dia berteriak keras. Coba menghindar sambil memukul ke depan. Namun pisau terbang lebih dulu menancap di tenggorokannya.

"Hekkk!"

Dua tangan yang bergelantungan di pohon bakau terlepas. Tubuh orang ini jatuh ke dalam air menggelepar-gelepar beberapa kali lalu lenyap dari permukaan air.

Saat itu pula kembali terdengar suara suitan keras. Dari arah pantai menderu tiga gelomba pukulan sakti. Di bawah kakinya Tua Gila melihat tiga senjata tajam berkilauan membabat ke atas mengarah kaki, paha dan pinggangnya. Pisau terbang dan jarum-jarum hitam tak ketinggalan mencari sasaran di tubuh kakek muka tengkorak ini!

"Jahanam! Dendam apa yang membuat mereka benar-benar hendak membantaiku?!" kertak Tua Gila.

Batang-batang pohon bakau tiba-tiba berputar berserabutan. Secara aneh melindungi sosok Tua Gila dari serangan yang datang dari arah pantai. Batang pepohonan itu hancur berantakan begitu terkena tabrakan angin pukulan sakti. Tua Gila sendiri tergontai-gontai.

Mungkin dia sanggup bertahan dan tetap bergelantungan namun bahayanya terlalu besar. Dia harus menyelamatkan diri dari serangan senjata rahasia berupa pisau terbang dan jarum hitam. Belum lagi tiga senjata yang membabat sebelah bawahi.

"Benar-benar Jahanam." maki Tua Gila.

Dia kerahkan tenaga dalam dan terpaksa biarkan tubuhnya tersapu salah satu angin pukulan lawan. Meski bisa selamatkan nyawa namun orang tua ini tidak dapat menghindari cidera akibat pukulan jarak jauh itu. Tubuhnya terpental dua tombak ke kiri. Pinggul kirinya serasa memar. Sekujur kaki kiri laksana lumpuh. Pisau terbang dan jarum hitam berkesiuran di atas kepala dan kirikanannya. Dua tebasan senjata tajam di sebelah bawah berhasil dielakkannya. Senjata ketiga membabat ke kaki kanan. Tua Gila cepat angkat kakinya yang diserang namun,...

"Breet!" Ujung jubah putihnya masih sempat dimakan ujung senjata lawan hingga robek besar.

"Edan! Kalian main gila! Apa kalian kira aku tidak bisa main gila?"

Tubuh Tua Gila melesat ke kiri. Bergelantungan di serumpunan pohon bakau lalu melesat ke kanan, setelah itu melesat lagi ke jurusan lain. Setiap tubuhnya berkelebat terdengar jeritan-jeritan mengerikan. Dua dari tiga penyerang bersenjata menemui ajal dimakan tendangan kaki kanannya. Yang ketiga disergapnya dari atas.

Selagi dia memuntir kepala orang ini dari arah pantai melesat enam buah pisau terbang. Tua Gila cepat balikkan tubuh dan pergunakan badan orang yang dipuntir kepalanya sebagai tameng. Empat pisau menancap telak di kepala, dada dan perut orang. Dua lainnya melesat menghantam udara kosong!

Tua Gila cepat kerahkan tenaga dalamnya ke lubuh sebelah kiri yang terasa lumpuh. Baru saja rasa sakit hendak sirna tiba-tiba dari arah tepi pasir menyambar satu sinar merah.

"Wuuuss!" Mula-mula sinar itu membentuk garis lurus. Setengah jalan melebar seperti kipas, terus menggebu ke arah mana Tua Gila berada.

"Brakkk!" Dua batu besar yang ada di tepi pasir hancur berantakan dan mengepulkan asap dihantam sinar merah.

"Kraaaakkk...! Wuuusss…!"

Pohon bakau di balik mana Tua Gila berusaha selamatkan diri hancur lebur, langsung dikobari api. Kalau Tua Gila tidak cepat jatuhkan diri ke laut niscaya dia ikut lumat dimakan sinar merah yang luar biasa panasnya itu. Terbakarnya daun dan pohon bakau membuat laut di mana Tua Gila berada menjadi terang benderang hingga para penyerang gelap lebih mudah melihatnya. Kembali dari arah tepi pasir sinar merah menderu.

Pukulan Kipas Neraka!" seru Tua Gila yang sejak hantaman pertama sudah mengenali. "Tak bisa kupercaya! Apa benar dia ikut hendak menjarah nyawaku? Oooo benar-benar gila! Dendamnya di masa lalu tak kunjung habis!" Tebaran sinar merah menderu. Di laut dangkal sedada Tua Gila terpaksa menyusup menyelam ke dalam air, berlindung di balik perahu kayu.

"Hancurkan perahu itu!" Seseorang berteriak. Lalu,...

"Wuuuut!" Satu gelombang angin melesat di atas permukaan air laut.

"Braaakkk!" Perahu kayu milik Tua Gila hancur berkeping-keping. Air laut muncrat setinggi dua tombak. Tua Gila lenyap dari pemandangan.

"Lenyap! Dia lenyap!" Ada orang berteriak. "Dia belum tentu mati! Lekas ke muara!" Seseorang berseru berikan perintah.

Baru saja seruan itu lenyap dari arah laut tampak melesat benda-benda bulat. Dalam kegelapan terdengar suara mengekeh. "Dajal-dajal tolol! Aku kembalikan hadiah penyambutan pada kalian!"

"Awas serangan tengkorak!"

Saat itu di udara yang gelap berlesatan benda-benda bulat putih yang bukan lain adalah tengkorak-tengkorak yang sebelumnya bertebaran di permukaan laut, sengaja disebar oleh orang-orang yang hendak membunuh Tua Gila. Kini si kakek pergunakan tengkorak itu sebagai alat penyerang yang berbahaya hingga orang-orang yang ada di tepi pantai sesaat jadi kalang kabut. Satu orang roboh muntah darah begitu dadanya dihantam sebuah tengkorak.

"Brakk! Brakkk! Braakkk...!"

Beberapa rangkum angin pukulan menderu ke udara. Belasan tengkorak hancur bermentalan.

"Lepaskan buaya di muara! Seseorang berteriak dalam kegelapan malam.

Dua sosok berkelebat ke arah timur dimana terdapat sebuah sungai kecil. Dengan cepat mereka menarik sebuah jaring lebar terbuat dari bambu yang sengaja dipasang di mulut muara. Di belakang jaring bambu ini mendekam lebih dari selusin buaya laut yang lebih dari sepuluh hari tak pernah mendapat makan. Begitu jaring penghalang dibuka binatang-binatang yang kelaparan dan telah mencium bau bangkai segera meluncur ke laut.

Tua Gila melengak kaget ketika melihat munculnya begitu banyak buaya di permukaan laut. Binatang-binatang ini dengan ganas melahap mayat-mayat para penyerang yang telah dibunuh Tua Gila sebelumnya. Namun beberapa ekor di antara mereka segera melesat ke arah si kakek.

"Aku pemilik pulau! Aku penguasa pulau! Kembali ke tempat kalian!" teriak Tua Gila.

Dua ekor buaya tampak seperti menahan gerakan mereka mendengar bentakan Tua Gila. Namun yang tiga ekor lagi tidak mau perduli. Mereka terus saja menyerbu ke arah orang tua itu.

"Makhluk tolol!" teriak Tua Gila. Tangan kanannya ditepukkan ke atas permukaan air laut. Air laut menggelombang muncrat.

Tiga ekor buaya terhempas ke belakang. Tapi segera pula menyerbu kembali dengan lebih ganas. Dua menyusup ke dalam air. Yang ketiga melesat di permukaan. Tua Gila kerahkan tenaga dalam dan melesat keudara setinggi satu tombak. Dia selamat dari serangan dua buaya yang hendak membantainya di bawah permukaan air. Namun buaya ketiga datang menyerbu dengan mulut terbuka dan hantaman ekor. Disaat yang sama dari arah tepi pasir melesat sinar merah. Pukulan Kipas Neraka!

"Oo ladalah! Celaka diri tua keropos ini!" keluh Tua Gila. Salah satu dari dua serangan yaitu serangan buaya atau Kipas Neraka tak dapat tidak akan melabrak tubuh kurus si kakek.

"Bukkk!"

Tua Gila memutuskan lebih baik dia menerima hantaman ekor buaya. Kakek ini terpental sampai enam tombak. Dari keningnya mengucur darah. Tulang pipinya sebelah kiri retak dan terluka dalam akibat hantaman ekor buaya. Sesaat tubuhnya terkapar di atas pasir.

"Lekas ringkus manusia jahanam itu!” Seseorang berseru berikan perintah.

Empat sosok tubuh tinggi besar melompat menyergap ke arah Tua Gila yang saat itu tengah mengusap darah yang menutupi pemandangan mata kirinya. Tiba-tiba Tua Gila dorongkan kedua tangannya ke depan. Empat lelaki yang hendak meringkusnya menjerit keras. Tubuh mereka terpental dan berguling-guling di atas pasir pantai. Dua orang langsung tak berkutik lagi, putus nyawa. Dua lainnya dengan megap-megap mencoba bangkit berdiri. Namun muntahkan darah segar lalu terjungkal roboh. Tua Gila dengan cepat meneliti wajah keempat orang itu.

"Tak satu pun aku kenal. Pasti mereka hanya cecere-cecere yang dijadikan umpan dan korban!" membatin Tua Gila. "Siapa yang jadi dedengkot mereka? Satu aku sudah bisa menerka, tapi di ujung sana kulihat lebih dari sepuluh keparat mendekam dalam kegelapan. Menginginkan kematian diriku! Gila betul!"

Hik hik hik! Tua Gila! Jalan lolos tidak ada bagimu! Jika kau mau serahkan diri, kami berjanji akan mengurus mayatmu secara baik-baik!" Ada seseorang yang berteriak dari arah pantai.

Tua Gila tidak mengenali siapakah yang barusan bicara. Sambil mengusap darah di mukanya yang cekung dia tertawa mengekeh. "Bagaimana mungkin kalian akan mengurusi mayatku! Kalian akan mampus lebih dulu darikul Ha ha ha! Hik hik hik!"

Beberapa orang terdengar menyumpah dalam kegelapan. Lalu,...

"Wuuut!" Sinar merah melesat dari arah pantai.

Bersamaan dengan itu Tua Gila melihat beberapa orang berkelebat kearahnya. Masing-masing lepaskan pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga dalam tinggi. Pantai laksana disapu topan, pasir beterbangan. Air laut bergelombang dan batu-batu yang ada di tepi pantai bergetar keras. Beberapa diantaranya terbongkar dan menggelinding jauh.

Tua Gila jatuhkan diri sama rata dengan pasir pantai. Sambil menelentang di pasir dia balas menghantam ke depan. Tenaga dalamnya yang tinggi bentrokan dengan gabungan beberapa tenaga dalam yang serempak menggempurnya. Terjadilah hal yang hebat. Tubuh Tua Gila laksana sehelai daun dihantam angin puting beliung melesat ke udara. Pakaian putihnya robek hampir di setiap sudut. Dari mata, telinga, hidung dan mulutnya mengucur darah, dalam keadaan seperti itu tubuhnya jatuh terhantar di balik lamping batu karang.

Di arah pantai delapan orang terjengkang di pasir. Dua tak bangun lagi, dua bangkit terhuyung-huyung. Yang empat cepat melompat berdiri seolah-olah tidak menderita atau cidera apa-apa.

Di balik batu karang Tua Gila cepat mengatur jalan darah, pernapasan dan tenaga dalam. Dia hanya sanggup menghentikan kucuran darah. Namun rasa sakit seperti menguliti sekujur badannya. Terbungkuk-bungkuk dia melangkah tertatih-tatih, masuk lebih dalam ke balik batu karang. Denyutan luka akibat hantaman ekor buaya di kepalanya seolah palu godam yang hendak menghancurkan batok kepalanya. Di satu tempat yang dirasakannya aman, di antara celah dua batu karang orang tua ini jatuhkan diri. Dia cepat duduk bersila. Kembali mengatur jalan napas, peredaran darah dan tenaga dalam.

"Ada yang tak beres dengan diriku. Tenaga dalamku sulit dialirkan. Seolah urat-urat besarku terbendung di beberapa bagian. Pukulan Pembendung Tenaga! Kalau bukan karena itu tak mungkin aku begini! Celaka! Apa benar ada pukulan sehebat itu? Siapa diantara mereka yang memiliki? Perempuan celaka itu pasti bukan! Sialan gila! Kalau tahu bakalan begini lebih baik aku mengikuti kata-kata Sinto Gendeng. Jangan buru-buru kembali ke Andalas ini."

"Tua Gila! Kami tahu kau mengalami cidera berat! Apa masih belum mau serahkan diri?" Dari arah pantai terdengar teriakan orang.

"Jahanam!" Tua Gila merutuk. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan mengintai dari balik batu karang. Baru saja kepalanya muncul sedikit dari arah pantai menyembur sinar merah Pukulan Kipas Neraka!

"Wuusss!" Sinar itu dengan dahsyatnya menyebar laksana kipas satu tombak di depan batu karang.

"Braakkk! Byuurrr!"

Batu karang setinggi empat tombak itu laksana ditebas petir. Bagian atasnya yang terkutung mencelat masuk ke dalam laut! Tua Gila merasakan kakinya bergetar dan cepat menjauh dari batu karang yang kini menyerap panas sinar Pukulan Kipas Neraka hingga tak ubahnya seperti bara api. Tua Gila cepat menyingkir ke balik gugusan batu karang lainnya. Dalam kegelapan dia keluarkan senjata yang paling diandalkannya yakni segulung benang yang disebut Benang Kayangan.

"Tua Gila! Kami memberi kesempatan sampai tiga hitungan! Jika kau tidak keluar dari balik batu karang menyerahkan diri! Kami akan menyerbu dan membunuhmu!"

"Masuk! Silahkan masuk! Pintu neraka sudah kubuka lebar-lebar untuk kalian!" teriak Tua Gila lalu masih bisa tertawa gelak-gelak.

Di tepi pantai dalam kegelapan beberapa orang segera berunding. Kebanyakan mereka tidak setuju untuk menyerbu ke balik batu karang dimana musuh bersembunyi. Walau lawan diketahui sudah terluka tetapi terlalu besar bahayanya untuk menyerbu.

"Saatnya kita menjalankan siasat yang sudah diatur!" berkata seseorang di antara mereka.

"Aku setuju!" jawab orang di sebelahnya.

Mereka yang ada di situ sama memandang pada nenek bermuka putih mengenakan jubah hitam seolah menunggu putusan.

"Kurasa memang sudah saatnya kita menjalankan siasat." nenek muka putih Sabai Nan Rancak akhirnya angkat bicara. Matanya melirik ke arah gugusan batu karang. Tiba-tiba dia melihat sesuatu. Serta merta perempuan tua ini berteriak,

"Awas serangan Benang Kayangan!"

DELAPAN

Satu benda halus berkilat melesat dalam kegelapan malam. Sabai Nan Rancak cepat berkelebat menyingkir. Tiga orang di sebelahnya melakukan hal yang sama, berpencar mencari selamat. Dua orang lagi yang tadi cidera akibat bentrokan tenaga dalam dengan Tua Gila bernasib sial. Cidera yang mereka alami membuat mereka bertindak agak lamban. Ujung Benang Kayangan laksana kawat baja menusuk ke tenggorokan orang di sebelah kanan.

Lehernya kemudian terpuntir melintir dan robek besar. Dari mulutnya terdengar suara seperti ayam dipotong. Sebelum tubuhnya roboh ke tanah Benang Kayangan berkelebat ke kanan. Korban ke dua menyusul. Benang sakti itu menusuk kepalanya. Masuk dari pelipis kiri tembus sampai ke pelipis kanan! Tua Gila sentakkan gulungan benang kayangan. Sentakan ini seolah tebasan senjata tajam yang membuat kepala orang hampir terbelah.

Empat orang yang ada di tempat itu termasuk Sabai Nan Rancak berteriak marah. Tua Gila tertawa mengekeh. Gulungan Benang Kayangan kembali disentakkannya. Benang sakti ini menderu ke arah nenek muka putih.

"Tua Gila! Jangan berani menjajal diriku!" teriak Sabai Nan Rancak.

Sambil dorongkan tangan kanannya perempuan tua ini melesat setinggi dua tombak. Dua sinar merah menderu. Tua Gila cepat tarik benang saktinya. Ujung senjata ini kemudian meluncur ke arah kedua pergelangan kaki Sabai Nan Rancak. Tapi si nenek tak kalah cepat. Berlaku cerdik, sambil melipat kakinya ke atas dia kirimkan serangan Kipas Neraka kearah batu karang dibalik mana lawan berada.

Tua Gila terpaksa sentakkan benang saktinya dan cepat-cepat menyingkir dia gerakkan senjatanya demikian rupa hingga benang sakti itu melibat ke arah pinggang si nenek muka putih.

"Wusss! Braakkk!"

Batu karang di depan sana hancur berantakan dihantam Pukulan Kipas Neraka. Tua Gila jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Tangannya digerakkan. Ujung benang sakti yang tadi menyambar ke arah pinggang si nenek kini membeset ke dadanya.

"Siapa takutkan benang keparat ini!" teriak Sabal Nan Rancak. Aji pukulan sakti di tangannya menyambar ke ujung Benang Kayangan.

"Wussss! wussss!"

Benang Kayangan yang putih berkilat berubah menjadi merah lalu berubah menjadi jalur apit. Tua Gila tersentak kaget ketika melihat senjata saktinya terbakar. Cepat dia menarik gulungan benang lalu memutusnya sebelum api menjalar lebih jauh.

Di sebelah sana si nenek muka putih keluarkan pekikan keras ketika dapatkan lengan jubah hitamnya robek dan putus sedang tangannya sendiri tersayat mengucurkan darah. Saking geramnya perempuan ini keluarkan bentakan keras lalu hantamkan Pukulan Kipas Neraka dengan tangan kiri kanan sekaligus!

Pantai itu laksana dilanda badai dan gempa. Tiga ujung batu karang hancur lebur. Pasir dan air laut muncrat ke udara. Di balik batu karang Tua Gila gulingkan diri cari selamat. Darah kembali mengucur dari hidung dan telinganya sedang kedua matanya mendenyut sakit. Dalam keadaan tubuh kuyup oleh air laut dan kotor oleh pasir Tua Gila bangkit berdiri.

Saat itulah di atas hancuran tiga batu karang tampak berdiri tiga sosok tubuh manusia. Sosok pertama yang sangat dikenali oleh Tua Gila adalah sosok si nenek muka putih Sabai Nan Rancak yang tegak dengan kedua telapak tangan terkembang dan memancarkan sinar merah pertanda dia kembali siap melepaskan dua Pukulan Kipas Neraka sekaligus!

"Jadi memang kau rupanya yang punya pekerjaan Sabai!" ujar Tua Gila seraya tegak dan bersandar ke dinding karang.

Si nenek tertawa panjang. "Untung kedua matamu tidak kuhancurkan hingga kau masih bisa mengenali diriku, mengetahui siapa yang membunuhmu sebelum nyawamu kukirim ke neraka!"

Tua Gila ganda tertawa. "Mati di usia setua ini bukan lagi satu hal yang menakutkan bagi diriku!" jawab orang tua itu sambil meludahkan darah yang memenuhi mulutnya. "Kau sendiri apa yang membuatmu masih betah hidup di dunia ini berlama-lama?!"

"Saat penantian memang aku butuhkan. Aku akan tenteram berada di liang kubur kalau kau sudah mampus di tanganku dengan jantung terbongkar, otak berceceran dan isi perut berbusaian!"

Tua Gila tertawa gelak-gelak. "Kukira kau sengaja hidup menanti berlama-lama menunggu ke­hadiranku untuk melamarmu! Ha ha ha…!"

Paras putih Sabai Nan Rancak berubah menjadi merah. Lelaki tinggi besar yang tegak di atas hancuran batu karang sebelah kanan keluarkan suara menggembor lalu berkata,

"Sabai Nan Rancak, jangan terlalu serakah. Kalau kau membongkar jantungnya, menjebol isi perut dan membuat berantakan otaknya lalu aku dapat apa?! Hanya kebagian tahinya? Ha ha ha! Sabai Nan Rancak sahabatku, kau bahkan belum memberi kesempatan padaku untuk mengeluarkan Ilmu Hawa Neraka?"

"Perlu apa kau bersusah payah kalau Pukulan Kipas Neraka ku sudah cukup membuatnya terkencing darah!" jawab Sabai Nan Rancak, membuat dua lelaki yang tegak di dua gugusan batu karang tertawa gelak-gelak.

Tua Gila melirik ke arah orang yang barusan bicara. "Hemmm… Tubuh tua bangka tinggi besar, berkulit hitam seperti arang. Berdestar tinggi merah. Mengenakan pakaian gombrong serba hitam. Janggut dan kumis selebat hutan. Aku tidak kenal siapa adanya keparat ini!"

"Anjing hitam kau siapa?!" Tua Gila membentak.

Orang tua di atas runtuhan batu karang menggereng keras. Kedua tangannya segera digosokkan. Sabai Nan Rancak cepat mengangkat tangan sambil berseru,

"Sobatku, jangan terpancing oleh ucapan tua bangka keparat ini! Bukankah kita sudah berjanji untuk tidak membunuhnya secepat membalikkan telapak tangan? Nyawanya akan kita korek sedikit demi sedikit! Sebelum dia mampus ada baiknya kau terangkan siapa dirimu dan mengapa kau juga menginginkan kematiannya!"

Walau hatinya panas dan geram bukan main, si tinggi besar berdestar tinggi merah ini ikuti juga kata-kata Sabai Nan Rancak. "Tua bangka calon bangkai tak berguna! Kau dengar baik-baik penuturanku! Beberapa tahun lalu kau dan muridmu bernama Wiro Sableng Pendekar 212 menyerbu Istana Sipatoka di Tambun Tulang. Kalian membunuh Datuk Sipatoka dan mencuri harta kekayaan yang ada di tempat itu termasuk empat puluh gadis muda dan cantik! Kabarnya kau juga telah mengubur hidup-hidup di satu tempat Datuk Tinggi Raja Di Langit. Mereka berdua adalah adik-adikku yang malang. Berdasarkan apa yang telah kau lakukan itu apakah aku Datuk Angek Garang tidak punya cukup alasan untuk membunuhmu? Sayang muridmu pendekar sableng itu tidak ada di sini! Tapi dia tak bakal lolos. Cepat atau lambat aku akan memburu nyawanya!"

Tua Gila tertawa lebar. "Ceritamu hebat amat. Sebelum aku bicara lebih banyak aku ingin bertanya. Siapa yang membuatkan pakaian hitam itu untukmu? Orangnya pasti tolol membuatnya kegombrongan seperti itu hingga kau juga tampak tolol seperti pohon hangus diberi pakaian! Ha ha ha!"

"Tua bangka sinting! Kalau kau masih hendak terus bicara keluarkan isi perutmu cepat! Kema­tianmu tidak mungkin ditunda-tunda lebih lama!" bentak Datuk Angek Garang dengan darah mendidih.

"Soal kematian Datuk Si patoka dan Datuk Tinggi Raja Di Langit memang aku yang punya pekerjaan. Manusia-manusia bejat seperti mereka pantas cepat-cepat disingkirkan dari muka bumi…"

Si kakek ulurkan tangannya. Lalu memandang ke kuku ibu jari. Setelah itu dia mendongak pada Datuk Angek Garang. "Dari gambar yang kulihat dalam kukuku, rasanya kaupun bakal tak lama lagi menyusul kedua orang itu! Ha ha ha!"

(Mengenal Datuk Sipatoka harap baca serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang sedang mengenal Datuk Tinggi Raja Di Langit baca Makam Tanpa Nisan)

"Sabai! Aku akan melumat tua bangka keparat ini sekarang juga!" teriak Datuk Angek Garang tak dapat lagi menahan amarahnya.

"Sabar sedikit lagi sobatku!" kata Sabai Nan Rancak dengan cepat. "Kawan kita yang satunya ini belum diberi kesempatan untuk bicara!" Nenek muka putih berpaling ke arah lelaki yang tegak di atas runtuhan batu karang di samping kirinya.

Di sini tegak seorang lelaki berusia enam puluh tahun mengenakan pakaian sangat bagus terbuat dari beludru merah campur hitam diberi umbai-umbai benang emas. Di pinggangnya melingkar sebuah ikat pinggang dari rantai berwarna kuning. Pada ikat pinggang ini terselip sepasang rencong terbuat dari besi berwarna biru pertanda mengandung racun amat jahat.

Di atas kepala orang ini bertengger sebuah topi kuning. Satu batu permata hitam yang memancarkansinar angker menempel di pertengahan topi sebelah depan. Orang ini memiliki kumis panjang menjulai. Pada keningnya ada dua benjolan besar berwarna coklat.

Tua Gila tiba-tiba keluarkan tawa bergelak begitu dia melihat orang berpakaian mewah Ini. "Sabai Nan Rancak, sobatmu yang satu ini memang hebat. Siapa yang kerbau atau sapi diantara kedua orang tuanya? Bapaknya atau ibunya?! Ha ha ha?!"

"Jahanam Tua Bangkai! Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?" bentak si nenek muka putih.

Tua Gila tertawa mengekeh. Lelaki yang keningnya ada dua benjolan tampak mendelik. Pelipisnya bergerak-gerak. Kumisnya yang panjang menjulai berjingkrak ke atas. Tua Gila hentikan tawanya. Sambil menunjuk pada orang di samping si nenek dia berkata,

"Kulihat ada dua benjolan seperti tanduk tumpul di keningnya. Orang yang ibu bapaknya manusia biasa mana mungkin bertanduk seperti dia. Pasti kalau tidak ibunya ya bapaknya yang sapi atau kerbau!"

"Tua bangka bermulut keji! Terima kematianmu saat ini juga!" teriak lelaki bertopi kuning.

"Magek Bagak Baculo Duo!" teriak Sabai Nan Rancak. "Tahan!" Si nenek berusaha mencegah tapi orang itu tidak perduli lagi.

Dari atas gugusan batu karang dia melompat ke bawah. Dua sinar biru membersit angker dalam kegelapan malam pertanda dia telah mencabut sepasang keris sakti beracunnya. Melihat hal ini, takut bakal keduluan maka Sabai Nan Rancak lak mau tinggal diam. Dia jejakkan kedua kakinya ke atas batu karang. Tubuhnya melesat ke bawah laksana tombak melesat di kegelapan malam. Dari tangan kanannya menderu cahaya merah.

Orang bernama Datuk Angek Garang tersentak kaget. "Hai! Bangsat tua itu jangan kalian libas berdua!" teriaknya lalu diapun melesat turun ke bawah sambil gosokkan kedua tangannya. Sinar hitam menderu ke arah Tua Gila. Serta merta di tempat itu menghampar bau busuknya mayat membuat Tua Gila menjadi sesak bernafas. Inilah yang disebut Hawa Neraka.

Tua Gila berteriak keras lalu jatuhkan diri berguling ke batik batu karang terdekat. Tangan kanannya cepat membedal gulungan Benang Kayangan sementara sementara tangan kiri dihantamkan menahan serangan tiga lawan. Ketika ujung benang sakti melibat puncak runcing salah satu batu karang di tempat itu, Tua Gila menyentakkan tangannya, tiga serangan lawan sampai dengan dahsyatnya. Hanya terpisah oleh kejapan mata saja tubuh Tua Gila melesat membal ke udara. Untuk kesekian kalinya hancuran batu pasir dan batu karang serta air laut muncrat ke udara. Lalu terdengar suara...

"Brettt!"

Walau dia selamat dari serangan Hawa Neraka Datuk Angek Garang dan hanya terkena sambaran tipis pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak, namun pakaian putih Tua Gila yang sudah penuh dengan robekan-robekan kini kembali robek ditoreh salah satu keris biru di tangan Magek Bagak Baculo Duo.

"Jangan biarkan dia lolos!" teriak Sabai Nan Rancak begitu sosok Tua Gila lenyap laksana ter­bang dan raib di langit malam. Namun orang tua itu benar-benar lenyap setelah menyelamatkan diri dengan melentingkan diri mengandalkan benang saktinya.

"Jahanam kurang ajar! Dia tak bakal bisa hidup tamat Kerisku telah melukai tubuhnya!" kata Magek Bagak Baculo Duo sambil perhatikan ujung keris di tangan kirinya yang bernoda darah.

Di pantai sebetah timur teluk Siburu, Tua Gila melayang turun. Dengan cepat dia menggulung benang saktinya. Saat itulah dia merasakan perih di perutnya sebelah kanan. Ketika baju putihnya yang robek disibakkan terkejutlah kakek Ini. Di situ ada luka memanjang. Walau luka itu tampaknya tipis saja seolah hanya luka di permukaan kulit namun Tua Gila maklum bahaya apa yang akan dihadapinya.

Dengan cepat dia meremas bagian perut yang luka hingga darah merah kehitaman mengucur keluar. Lalu dia menotok badannya di beberapa bagian. Setelah itu dengan cepat dia menelan sebutir obat. Dengan dada turun naik dan nafasmemburu Tua Gila memandang berkeliling.

"Jahanam! Tiga manusia keparat itu memiliki kepandaian bukan main-main! Sulit bagiku untuk menghadapi mereka bertiga sekaligus. Aku harus mencari akal! Atau mungkin untuk sementara aku menyelinap kabur saja. Mencari kesempatan sampai aku dapat menghajar mereka satu persatu!" Lama Tua Gila termenung. "Sabai Nan Rancak. Kau benar-benar gila! Otakmu lebih miring dari aku! Kalau mau membunuhku mengapa tidak dari dulu-dulu? Apa kau lupa aku ini bapak dari anak yang pernah kau lahirkan?!"

Tiba-tiba di udara terdengar suara teriakan di kejauhan. "Tua Gila! Kau boleh kabur atau sembunyikan diri! Tapi harap lihat dulu apa yang akan terjadi dengan muridmu!"

Tua Gila tersentak kaget. "Itu suara si Sabit Setan, apa yang hendak dilakukannya! Muridku. Muridku yang mana?! Astaga! Jangan-jangan! Otakku benar-benar sudah sinting! Bagaimana aku bisa lupa dengan anak itu!" Serta merta Tua Gila keluar dari tempat persembunyiannya.

Ketika dia kembali ke bagian pantai dimana Sabai Nan Rancak beserta Datuk Angek Garang dan Magek Bagak Baculo Duo berada terkejutlah Tua Gila menyaksikan pemandangan di hadapannya.

SEMBILAN

Datuk Angek Garang tegak dengan kaki terkembang, tangan kanan terkepal sedang tangan kiri menjambak rambut seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun. Anak ini merintih kesakitan. Kedua matanya terpejam dan mukanya lebam babak belur tanda telah dianiaya sebelumnya.

"Jahanam! Apa yang telah kalian lakukan pada muridku!" teriak Tua Gila dan melompat ke hadapan ketiga orang itu.

Mendengar suara Tua Gila si anak paksakan membuka kedua matanya yang bengkak. "Guru…" hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan si anak.

"Malin Sati! Aku bersumpah akan membunuh ketiga jahanam ini!" teriak Tua Gila. Dia maju beberapa langkah tapi Magek Bagak Baculo Duo bergerak lebih cepat.

"Silahkan maju satu langkah lagi tua bangka keparat! Kutembus leher muridmu!" kertak Magek Bagak dan keris beracun ditangan kanannya ditempelkan ke leher Malin Sati murid Tua Gila.

"Apa salah anak itu! Jangan kaitkan urusan kalian dengan dirinya!" teriak Tua Gila. "Lepaskan dia! Hadapi diriku! Bangsat pengecut! Beraninya menganiaya anak kecil!"

"Tua Gila! Kau tidak berada dalam kedudukan mengatur! Kami yang menentukan semuanya!" kata Sabai Nan Rancak dengan seringai mengejek bermain di bibirnya.

"Sabai! Aku mungkin manusia paling jahat di dunia ini! Tapi aku tidak menyangka kalau begini busuk perilakumu!" Mendamprat Tua Gila.

Si nenek muka putih dongakkan kepala dan tertawa panjang. "Aneh, baru hari ini kau menyadari bahwa dirimu manusia paling jahat di dunia. Hari ini pula kau menuduhku berperilaku busuk. Hik hik hik! Pernahkah kau menyadari bahwa kebusukan yang telah kau lakukan terhadapku, terhadap puluhan perempuan lainnya, terhadap orang-orang yang kau bunuh tanpa pasal, tanpa lantaran adalah sejuta lebih busuk daripada apa yang aku lakukan saat ini!"

"Aku memang berbuat jahil terhadap beberapa perempuan. Termasuk dirimu. Aku memang membunuh manusia-manusia seenakku. Tapi itu semua bukan tanpa alasan. Musuh-musuhku membuat fitnah, menuduh aku membunuh ratusan manusia tidak berdosa! Mereka semua gila!"

"Kau yang gila tua bangka keparat!" teriak Datuk Angek Garang sambil hentakkan Jambakannya di rambut Malin Satl hingga anak ini kembali merintih kesakitan.

Tua Gila hendak merangsek menghantam orang ini tapi terpaksa membatalkan niatnya ketika dilihatnya Magek Bagak Baculo Duo menggerakkan tangan kanannya yang menempelkan keris beracun ke leher si anak. Saat itu sesosok bayangan merah berkelebat muncul di tempat itu. Melihat siapa yang datang Sabai Nan Rancak membentak marah.

"Puti Andini! Aku sudah bilang jangan datang ke sini!"

Puti Andini, murid Sabai Nan Rancak yang bergelar Dewi Payung Tujuh melangkah mundur. "Kalau guru memang tidak suka saya kemari, harap maafkan. Saya akan menunggu di tempat yang guru katakan…"

"Cucuku, jangan pergi dulu!" Tua Gila berseru.

Puti Andini hentikan langkahnya dan berpaling ke arah Tua Gila. Sabai Nan Rancak kembali membentak. "Kau berani mendengarkan ucapannya Puti? Lekas pergi dari sini!" Lalu pada Tua Gila dia menghardik. "Jangan kau berani bicara dengan muridku. Dia bukan cucumu!"

Tua Gila menyeringai. "Siapapun adanya diriku, kau tak bisa mengingkari kenyataan. Gadis itu adalah cucuku. Cucumu juga. Di tubuhnya mengalir darah kita berdua…"

"Bangsat! Jangan bicara yang bukan-bukan!" bentak Sabai Nan Rancak dengan muka kelam membesi.

"Cucuku, aku tidak meminta balas jasa karena telah menyelamatkan dirimu waktu di Pangandaran dulu. Tapi tolong kau beri pengertian pada gurumu agar membebaskan anak tidak berdosa itu. Setelah itu dia boleh membunuhku!"

Puti Andini pandangi wajah Tua Gila sesaat. Tiba-tiba dari mulutnya diakeluarkan ludah lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Sabai Nan Rancak tertawa mengekeh. Tua Gila, betul tadi itu cucu darah dagingmu? Hik hik hik! Mengapa dia malah meludahimu, bukan menolongmu?! Hi hik hik!"

"Sabai. sebaiknya kita mulai saja. Tak lama lagi matahari akan terbit. Aku ingin menyelesaikan urusan ini lalu istirahat, lalu pergi dari sini!"

Sabai Nan Rancak memandang pada Magek Bagak Baculo Duo lalu anggukkan kepala. "Tua Gila, pertama sekali lekas kau serahkan Benang Kayangan itu padaku!"

"Apa maksudmu?" tanya Tua Gila dengan mata mendelik.

"Apa kau tuli tidak mendengar apa yang diucapkan Sabai?" bentak Datuk Angek Garang. Tangannya berputar memperkeras jambakannya. Kembali Malin Sati merintih kesakitan.

"Aku akan berikan apa yang kau minta. Bahkan nyawaku! Asal anak itu kau lepaskan!" teriak Tua Gila.

Si nenek tertawa. Magek Bagak dan Datuk Angek Garang mendengus.

"Berikan benang sakti itu lebih dulu. Soal nyawamu bisa diatur kemudian!" kata si nenek muka putih pula.

Tua Gila menggeram dalam hati. Dia terpaksa mengeluarkan gulungan Benang Kayangan dari balik pakaiannya yang robek. Sabai Nan Rancak cepat menyambar benda itu.

"Sekarang kalian harus lepaskan muridku!"

"Sabar Tua Gila. Tenang saja. Permainan belum selesai!" jawab Sabai Nan Rancak sambil buka gulungan Benang Kayangan, "Ingat baik-baik, kalau kau berani bergerak nyawa muridmu tak akan tertolong!"

"Jahanam! Apa yang ada di otak kotormu?!" teriak Tua Gila.

Sabai Nan Rancak tertawa panjang. Tiba-tiba dia gerakkan tangan kanannya.

"Settt! Settt! Sett…!"

Tua Gila memandang ke depan. Magek Bagak Baculo Duo tekankan mata keris ke leher Malin Sati. Mau tak mau terpaksa dia tak berani bergerak. Sabai Nan Rancak melibat sekujur tubuhnya dengan Benang Kayangan miliknya sendiri hingga dia berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali!

Magek Bagak Baculo Duo tertawa gelak-gelak. Dengan tumit kirinya didorongnya tubuh bungkuk Tua Gila hingga kakek ini jatuh terguling di tanah. Datuk Angek Garang bantingkan tubuh Malin Sati ke tanah.

"Sesuai rencana kita menunggu sampai matahari terbit," kata Sabai Nan Rancak.

"Bagaimana kalau orang yang kita tunggu tidak muncul?" bertanya Datuk Angek Garang.

"Apa susahnya? Bangkai tua itu langsung kita pesiangi. Hukum picis akan dimulai terhadap dirinya! Hik hik hik!"

"Kalau begitu kita bertiga bisa mencari tempat yang baik untuk istirahat sekedar melunjurkan kaki." kata Magek Bagak pula.

"Hemmm… Terserah kalian saja," jawab Sabai Nan Rancak.

Sebelumnya mereka telah menunggu delapan hari delapan malam sampai Tua Gila muncul. Tidak heran kalau sebenarnya saat itu mereka merasa sangat letih.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Langit diteluk Siburu mendadak gelap berat padahal kedatangan pagi masih lama. Hujan lebat mengguyur teluk. Angin dari tengah laut menderu kencang. Gelapnya malam dan lebatnya hujan menutup pemandangan. Ketika terakhir sekali Sabai Nan Rancak memandang ke tepi pasir sosok Tua Gila yang terikat dalam keadaan tidak berdaya masih terlihat menggeletak di kejauhan. Muridnya juga tampak terkapar tak jauh dari situ.

Namun ketika hujan mulai reda dan pemandanganmulai terang dua sosok tubuh gurudan murid itu tidak kelihatan lagi ditempat itu. Sabai Nan Rancak berteriak keras membuat Datuk Angek Garang dan Magek Bagak Baculo Duo tersentak dari tidur-tidur ayam mereka.

"Ada apa Sabai?" tanya Magek Bagak sambil keluar dari tempat keteduhan dan mengusap mukahnya yang segera basah olehair hujan.

"Bangsat tua itu melarikan diri! Muridnya juga lenyap!" teriak Sabai Nan Rancak. Mana mungkin Tua Gila bisa kabur! Kita telah mengikatnya dengan Benang Kayangan!" kata Datuk Angek Garang.

Keparat itu punya seribu akal! Kita bertiga telah berlaku ayal!" ujar si nenek muka putih. Lekas lakukan penyelidikan. Kita berpencar. Beri tanda dengan suitan jika salah satu dari kita melihat mereka! Kalaupun keduanya lari pasti belum jauh! Jika kita bergerak sekarang pasti keduanya bisa terkejar!"

Tiga orang itu segera berkelebat di bawah hujan dan gelapnya malam menjelang pagi. Apakah yang terjadi?

SEPULUH

Ketika hujan mulai turun, dari arah pantai yang gelap tampak sesosok tubuh bertiarap bering­sut-ingsut mendekati Tua Gila yang terguling di atas pasir dalam keadaan terikat tidak berdaya. Orang tua ini tengah menggigil menahan sakit dan dingin serta deraan air hujan ketika tiba-tiba disampingnya ada satu suara perlahan.

"Kek… kau pingsan atau bagaimana…?"

"Setan dari mana yang bertanya!" desis Tua Gila sambil buka matanyalebar-lebar. Hanya terpisah satu jengkal di depannya dia melihat wajah cantik bercelemong pasir dan basah oleh air hujan. "Hemmm. cucu kualat. Kau rupanya…" kata Tua Gila begitu dia mengenali yang ada di dekatnya adalah Puti Andini murid Sabai Nan Rancak. "Ada apa kau kemari?!"

"Jangan bicara keliwat keras. Aku datang untuk menolongmu…"

"Aku tidak butuh pertolongan. Aku sudah siap untuk mati. Kalau hatimu memang baik tolong saja muridku…"

"Kalau aku menolong dia apa yang kemudian dia bisa lakukan? Jangan tolol Kek!”

"Sialan! Tadi kau meludahiku! Sekarang memakiku tolol!"

"Itu namanya akal Kek! Agar apapun yang terjadi guruku tidak curiga padaku!" jawab si gadis.

"Bagus. Kalau begitu lekas kau buka ikatanku!"

"Aku tidak tahu bagaimana caranya. Ini bukan benang biasa dan ikatannya juga bukan sembarang ikatan!" kata Puti Andini pula.

"Kau telusuri salah satu ujungnya. Begitu bertemu kedut tiga kali. Setelah itu kau tarik perlahan-lahan. Benang akan meluncur lepas dari tubuhku!"

Puli Andini membuka matanya lebar-lebar memperhatikan ikatan benang sakti di tubuh si kakek.

"Kau tak bakal menemukan ujung benang kalau hanya mempergunakan mata. Urut dengan tanganmu. Ayo lekas sebelum setan-setan itu ada yang melihat ke sini!"

Andini lakukan apa yang dikatakan si kakek.

"Lama betul kau mencari! Sudah ketemu belum…?"

"Su… sudah Kek…"

"Kalau begitu kenapa tidak kau betot?"

"Aku tak bisa Kek! Ujung benang yang kau maksud berada bawah pusarmu. Masuk ke balik celanamu…" Menerangkan Puti Andini.

Tua Gila terkesiap lalu hampir saja dia hendak tertawa bergolak. "Bilang saja kau takut tanganmu menyentuh anuku hah?"

"Bu… bukan begitu Kek." jawab Puti Andini bingung sendiri.

"Sudah, mengapa kau jadi tolol. Tarik bagian yang menyembul di atas bajuku. Ujung benang pasti akan keluar! Kalau sudah dapat baru kau sentakkan tiga kali. Mengerti?"

"Mengerti Kek." Lalu Puti Andini lakukan apa yang dikatakan Tua Gila. Perlahan-lahan benang putih ditariknya ke atas sampai dia berhasil menyentuh ujung benang sakti itu. Seperti dikatakan si kakek, Puti Andini segera menyentakkan ujung benang tiga kali berturut-turut. Benar saja, setelah ditarik begitu benang saktiitu meluncur lepas secara mudah.

"Cucu pintar, kau lekas pergi dari sini! Aku akan menarik muridku ke tempat yang aman…"

"Aku sudah menyiapkan sebuah perahu untuk kalian di pantai sebelah barat. Aku menunggumu disana. Ini aku kembalikan benang sakti bekas ikatanmu…"

Tua Gila cepat menggulung Benang Kayangan itu. Setelah Puti Andini meninggalkan tempat itu dengan cepat dia menarik tubuh Malin Sati. Anak sepuluh tahun yang jadi muridnya itu. Ketika sampai di pantai sebelah barat Puti Andini telah menunggu sambil memegangi sebuah perahu yang siap diluncurkan ke laut.

"Aku sangat berterima kasih dan berhutang nyawa padamu. Andini!’ kata Tua Gila sambil me­letakkan tubuh Malin Sati ke atas lantai perahu.

"Jangan sebut hal itu. Kau pernah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku! Apa kau kira aku tidak memikirkan untuk membalasnya?"

"Tapi kalau gurumu tahu kau akan dibunuhnya!" kata Tua Gila mengingatkan.

"Akal Kek. Kita harus pakai akal!" jawab si gadis pula.

"Apa maksudmu?"

Lekas kau pukuli beberapa bagian mukaku. Lalu totok hingga aku tak bisa bersuara, tak bisa bergerak. Setelah itu lekas naik ke atas perahu dan pergi dari sini..."

"Siapa tega memukuli mukamu. Aku tahu akalmu. Biar kucubit saja! Kau hanya akan merasa sakit sedikit. Tapi bengkaknya seperti bekas digebuki! Hi hik hik…!"

Tua Gila lantas mencubit wajah Puti Andini di bagian pipi, kening serta dagu. Sesaat kemudian bagian-bagian wajah yang dicubit itu kelihatan biru membengkak.

"Hik hik hik! Wajahmu jadi tambah cantik! Aku pergi sekarang! Kalau kelak terjadi bentrokan lagi antara aku dan gurumu kuharap kau jangan memihak siapapun!"

"Itu urusan nanti saja Kek. Tapi satu hal aku peringatkan padamu. Kau tak bakal dapat menghadapi ilmu Pukulan Kipas Neraka yang dimiliki guruku Sabai Nan Rancak…"

"Aku tahu hal itu. Itu sebabnya sekarang lebih baik aku mengalah saja. Aku pergi sekarang. Terima kasihku untukmu…"

"Hati-hati Kek!"

Tua Gila acungkan dua jari tangannya untuk menotok si gadis. Namun tiba-tiba dia ingat sesuatu."Cucuku, apakah kau tidak berkirim salam pada seseorang?"

"Seseorang siapa maksudmu?" tanya Puti Andini agak heran.

"Muridku si geblek Wiro Sableng itu!" jawab Tua Gila.

"Kau ini ada-ada saja!"

"Hai, kau mau berkirim salam atau tidak?"

"Apa dia mau menerima salamku?" ujar Andini.

"Kalau kau yang berkirim tentu dia akan menerima dan gembira! Jadi kusampaikan salammu padanya?"

"Baiklah kalau kau mau menyampaikan…"

"Akan kusampaikan. Salamnya salam apa cucuku?"

Maksudmu?” tanya Puti Andini tidak mengerti.

"Salam itu banyak macamnya. Salam rindu, salam kangen, salam mesra, salam…"

"Kek. pantas kau disebut orang Tua Gila. Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bersenda gurau!"

Tua Gila tertawa mengekeh. "Hidup musti begitu cucuku. Gembira setiap saat di kala duka, kesusahan apa lagi di waktu senang! Hik hik hik!"

Tua Gila menotok tubuh Puti Andini dua kali berturut-turut. Gadis ini roboh ke atas pasir tanpa bisa bersuara maupun bergerak. Sepasang matanya yang bening memperhatikan Tua Gila mengayuh perahu menjauhi pantai di bawah hujan yang mulai mereda. Ketika perahu yang ditumpangi Tua Gila hampir lenyap di kejauhan tiba-tiba terdengar suara menegur kerat.

"Anak gadis murid Sabai Nan Rancak! Apa yang terjadi dengan dirimu?!"

"Hemmm… Salah seorang dari mereka berhasil menemuiku. Untung Tua Gila sudah berada jauh di lengah lautan."

Sesosok tubuh membungkuk di samping tubuh Puti Andini yang terbujur di atas pasir dalam keadaan tertotok tak bisa bersuara tak bisa bergerak. "Anak cantik… Apa yang terjadi dengan dirimu?"

"Itu suara si Magek Bagak Baculo Duo…" pikir Puti Andini yang mengenali suara orang. Tubuh si gadis bergeletar ketika tiba-tiba betisnya yang tersingkap diusap orang. Usapan itu naik sampai ke paha.

"Bangsat jahanam! Apa yang kau lakukan ini." teriak si gadis. Namun teriakan itu hanya menggema di tenggorokannya.

SEBELAS

Rangsangan nafsu bejat membuat Magek Bagak Baculo Duo semakin berani. Dia memang sudah lama mendendam selera terhadap murid Sabai Nan Rancak ini. Tangannya menjalar kebalik pakaian Puti Andini. Ciuman bertubi-tubi mendarat di wajah si gadis. Tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat.

"Manusia jahanam! Apa yang kau lakukan terhadap muridku?!"

"Bukkk! Krakkk!"

Tulang bahu sebelah kanan Magek Bagak Baculo Duo remuk. Tubuhnya mencelat masuk ke dalam air laut. Termiring-miring dia keluar dari dalam air dan memandang mendelik pada Sabai Nan Rancak, Pakaian bagusnya basah kuyup.

"Kau sudah gila menyerang teman sendiri?" sentak lelaki yang keningnya ada dua benjolan itu.

"Kau belum menjawab pertanyaanku manusia culas! Apa yang kau lakukan terhadap muridku?" hardik si nenek muka putih.

"Apa yang aku lakukan? Memangnya aku melakukan apa?"

"Jahanam! Jangan berani dusta!"

"Aku menemukannya dalam keadaan seperti itu. Aku berusaha menelitinya…"

"Menelitinya dengan jalan menciumi? Setan!"

"Aku tidak menciuminya. Aku mendekatkan kepala karena Ingin melihat mengapa wajahnya bengkak. Hari masih gelap! Kalau kepalaku tidak aku dekatkan mana mungkin aku bisa me­nyelidik!"

"Begitu?! Bukankah sudah ada kata sepakat? Siapa saja yang menemukan sesuatu harus memberi tanda dengan suara suitan!"

"Itu betul! Tapi aku mementingkan keselamatan muridmu. Memeriksa keadaannya lebih dulu. Setelah itu baru aku bermaksud memberi tanda."

"Begitu?" Si nenek menyeringai angker. "Baik, kita dengar apa yang bakal dikatakan muridku!"

Paras Magek Bagak Baculo Duo jadi berubah. "Tunggu dulu Sabai!" katanya.

Tapi si nenek telah melepaskan totokan di tubuh muridnya. Begitu dirinya bebas Puti Andini langsung melompat dan menyerang Magek Bagak. Dari mulutnya keluar kutuk serapah.

"Tua bangka busuk! Kau berserikat dengan guruku! Tapi berbuat keji menggunting dalam lipatan!"

Sabai Nan Rancak cepat menyelak diantara kedua orang itu. Mukanya yang putih kelihatan merah sekail. "Sekarang apakah kau masih bisa berdalih manusia sundal?" bentak Sabai Nan Rancak.

"Tunggu dulu Sabai!"

"Nasibmu menyedihkan sekali Magek. Aku sudah terlanjur bersumpah akan membunuh semua lelaki yang melakukan kekejian terhadap kaum perempuan!"

"Sabai! Urusan besar kita belum selesai! Biar aku memberi keterangan lebih dulu!" Sabai Nan Rancak menyeringai.

"Keteranganmu itu bisa kau berikan nanti pada malaikat maut!" jawab si nenek muka putih.

"Kalau kau beritikad jahat padaku, terpaksa aku menghabisimu!" mengancam Magek Bagak Baculo Duo.

"Keluarkan semua ilmumu. Cabut sepasang keris saktimu itu. Aku cuma mengandalkan ini!" kala si nenek pula. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar merah menderu lalu meneba rmenjadi dua kipas api mengerikan.

"Pukulan Kipas Neraka!" teriak Magek Bagak. Dia cepat menyingkir. Tapi terlambat. Tubuhnya terkutung putus pada dua bagian. Dua potongan mencelat ke dalam laut. Potongan ketiga yaitu pinggang ke bawah terbanting di atas pasir. Melejang-lejang beberapa lama lalu diam tak berkutik lagi.

Puti Andini berbalik dan memeluk gurunya lalu menangis sesenggukan.

"Hentikan tangismu! Ceritakan apa yang terjadi!" kata Sabai Nan Rancak setengah membentak.

Sebelum Puti Andini membuka mulut. Datuk Angek Garang berkelebat muncul di tempat itu.

"Apa yang terjadi? Apa Tua Gila sudah ditemukan…"

Ucapannya terhenti ketika sepasang matanya melihat potongan tubuh Magek Bagak yang terkapar di pasir. Seperti tak percaya dia mendekati potongan tubuh itu. Lalu tersurut sendiri karena bergidik ngeri. Tubuh Magek Bagak laksana disayat gergaji raksasa namun bagian yang terpotong gosong hitam seperti dipanggang!

"Sobat kita telah berlaku culas! Dia berusaha menggerayangi muridku!" Menerangkan Sabai Nan Rancak.

"Bagaimana hal itu bisa terjadi?" tanya Datuk Angek Garang.

"Puti, ceritakan apa yang terjadi!" perintah si nenek muka putih pada muridnya.

"Seperti yang diperintahkan, aku menunggu di sini. Tiba-tiba kakek keparat itu muncul sambil menggendong muridnya. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa lolos. Lantas saja aku menyerangnya. Tapi dia terlalu kuat bagiku…" Puti Andini memperlihatkan mukanya yang babak belur seperti kena hantaman.

"Aku tidak mengira! Walau sudah diketahuinya kau adalah cucunya mengapa dia setega itu memukulimu! Apa yang terjadi selanjutnya Puti?" ujar Sabai Nan Rancak.

"Mungkin takut hari keburu siang atau kawatir guru dan kawan-kawan muncul di sini maka dia menotok tubuhku. Kakek keparat itu kemudian melarikan diri dengan perahu bersama muridnya…"

"Jahanam betul!" rutuk Datuk Angek Garang. "Lalu bagaimana sampai Magek Bagak mengalami nasib seperti ini?" tanyanya.

"Dia pertama sekali muncul di tempat ini! Menemui diriku dalam keadaan tidak berdaya, bukannya menolong tapi malah pergunakan kesempatan menggerayangi tubuhku!"

"Kalau aku tidak keburu datang mungkin muridku ini sudah dirusaknya!" kata Sabai Nan Rancak pula.

"Jika memang begitu ceritanya pantas orang gila satu ini dihabisi dengan pukulan Kipas Neraka!" kata Datuk Angek Garang pula. Hanya satu hal yang aku tidak mengerti, bagaimana Tua Gila bisa meloloskan diri dari ikatan Benang Kayangan…?"

"Itu juga yang aku rasa aneh," menyahuti Sabai Nan Rancak. "Tapi jangan lupa, bangsat tua itu punya seribu satu pengalaman dan seribu satu akal. Dia pura-pura tak berdaya. Begitu kita lengah dia melarikan diri. Membawa serta muridnya!"

"Tua bangka itu tidak tahu. Ketika muridnya kubantingkan ke tanah, anak itu sebenarnya sudah tidak bernafas lagi!"

Sabai Nan Rancak tenang saja mendengar ucapan orang itu seolah nyawa si anak tidak lebih berharga dari nyawa binatang. Sebaliknya Puti Andini terpaksa palingkan kepalanya ke jurusan lain untuk menyembunyikan perubahan pada wajahnya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang Sabai?" tanya Datuk Angek Garang.

"Aku dapat menduga ke mana kaburnya tua bangka keparat itu. Pasti dia kembali ke tanah Jawa. Datuk Angek Garang, harap kau segera melakukan pengejaran! Aku dan muridku akan melakukan suatu dipulau ini!"

"Hemmm, apakah yang hendak kalian laku kalau aku boleh bertanya!"

"Kau ingat kisah setahun silam ketika Datuk Tinggi Raja Langit saudaramu itu berusaha menjebak Tua Gila dan Pendekar 212 Wiro Sableng di pulau ini?"

"Tentu saja aku ingat. Terlebih karena adikku tak pernah kembali ke utara. Aku yakin dia memang sudah menemui kematian ditangan tua bangka jahanam itu!"

"Itulah yang akan kuselidiki Datuk. Biar ada kejelasan. Aku tak tahu berapa lama akan berada di pulau ini. Itu sebabnya kuminta bantuanmu untuk mengejar Tua Gila. Aku dan Andini akan menyusul kemudian…"

"Kalau cuma hendak menyelidik apa perlunya? Datuk Tinggi jelas-jelas sudah jadi mayat. Setelah setahun tak pernah muncul setelah berhadapan dengan seorang sakti seperti Tua Gila, apakah seseorang masih bisa dikatakan hidup? Aku menaruh curiga, jangan-jangan ada sesuatu yang lain yang ingin dicari perempuan bermuka putih ini!"

"Apa jawabanmu Datuk Angek Garang? Kau seperti memikirkan sesuatu!"

Datuk Angek Garang anggukkan kepala. "Aku akan menuruti apa kemauanmu. Apapun yang terjadi aku akan menunggumu hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo di timur Candi Mendut. Jika sampai hari ke lima belas kau tidak munculaku tak akan menunggu. Berarti kita mencari jalan sendiri-sendiri."

"Setuju!" kata Sabai Nan Rancak.

Kedua orang itu saling menjura. Datuk Angek Garang melangkah cepat ke balik kerumpunan semak belukar di mana tersembunyi dua perahu layar cukup besar. Dibantu oleh si nenek dan muridnya sang Datuk menarik satu dari dua perahu itu menuju ke laut.

********************

DUA BELAS

Tua Gila bersimpuh di depan gundukan tanah merah makam Malin Sati. Dia berada di sebuah pulau yang tidak diketahuinya pulau apa. Ketika dia menyadari muridnya itu ternyata tidak ber­nafas lagi Tua Gila meraung keras. Setengah harian dia meratap seperti anak kecil. Kemudian dia sadar sekalipun dia menangis sampai keluar air mata darah, sang murid tidak akan bisa hidup lagi.

Di saat matahari bersinar terik di puncak kepalanyaTua Gila putar perahunya ke arah timur dimana dilihatnya sebuah pulau di kejauhan. Di pulau inilah kemudian jenazah Malin Sati dikuburnya.

"Muridku, aku bersumpah akan membunuh manusia-manusia celaka penyebab kematianmu! kata Tua Gila. Perjalananku masih jauh. Aku terpaksa meninggalkanmu Malin. Aku harus pergi sekarang…"

Dengan mata berkaca-kaca si kakek bangkit berdiri. Pada saat itulah baru diketahuinya kalau tempatnya berada itu telah dikurung oleh dua lusin orang bersenjata tombak, berpakaian dari kulit kayu. Di kepala masing-masing mereka mengenakan topi berbentuk mahkota terbuat dari daun nangka hutan. Mata mereka rata-rata berwarna merah dan selalu bergerak liar kian kemari. Hak huk hak huk!

Salah seorang dari penduduk pulau maju mendekati Tua Gila. Mengeluarkan ucapan hak-huk hak-huk yang tidak dimengerti Tua Gila sambil menunjuk-nunjuk ke arah puncak sebuah bukit di kejauhan.

"Aku tidak mengerti apa yang kalian ucapkan!"

"Hak huk hak huk!" Orang tadi kembali berhak-huk hak-huk sambil menunjuk ke arah bukit. Lalu dia ulurkan tangan memegang lengan Tua Gila dan menarik si kakek.

Saat itu Tua Gila sedang kalut pikiran. Ditambah dengan bara dendam kesumat yang membakar dirinya. Kalau saja dia tdak menyadari tengah berhadapan dengan penduduk pulau yang bahasa dan adat sikapnya berlainan mungkin orang yang menarik lengannya itu sudah ditendang atau dipukulnya sampai terjengkang.

Tiba-tiba ada derap kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian seorang pemuda berkulit sawo matang bertampang gagah muncul di tempat itu. Dia juga mengenakan pakaian dari kulit kayu. Memakai topi daun berbentuk mahkota. Bedanya pemuda ini bertubuh bersih penuh otot, tidak dicoreng moreng.

Dia segera melompat turun dari tunggangannya dan mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak diketahui Tua Gila. Mendengar ucapan anak muda itu orang yang memegang tangan TuaGila segera melepaskan pegangannya lalu melangkah mundur. Si anak muda cepat menemui Tua Gila. "Orang tua harap maafkan sikap para perajurit Kerajaan. Mereka selalu bersikap seperti itu terhadap orang luar yang tidak dikenal..."

Tua Gila mengangguk. "Untung dia bisa bicara yang aku mengerti. Kalau tidak apa jadinya." Dalam hati dia merasa heran. "Perajurit Kerajaan…? Memangnya di sini ada Kerajaan? Kerajaan apa?"

"Namaku Datuk Pangeran Rajo Mudo. Aku Putera Mahkota di pulau ini dan pulau sekitarnya. Kedua orang tuaku Raja dan Permaisuri Kerajaan sedang sakit keras. Dukun Kerajaan telah coba mengobati tapi tidak berhasil. Apakah kau tahu ilmu pengobatan, orang tua?"

Tua Gila menggeleng.

"Maukah kau melihat dan memeriksa Raja serta Permaisurinya?"

Tua Gila berpikir sejenak baru menjawab. "Aku akan penuhi permintaanmu. Tapi jika aku tidak bisa menyembuhkan penyakit mereka apakah aku diperbolehkan pergi dengan bebas dari pulau ini?”

"Tentu saja orang tua… Jadi kau mau ikut bersama kami ke Istana?"

"Ya… ya…. Aku mau!"

"Istana kami sangat besar. Kau pasti akan mengaguminya."

"Apa Istanamu punya nama?"

"Tentu. Raja memberinya nama Istana Sipatoka…"

Terkejutlah Tua Gila mendengar nama yang disebutkan itu. Si pemuda sendiri tampak heran melihat perubahan wajah si kakek.

"Apakah Raja ayahandamu itu punya hubungan dengan Datuk Sipatoka yang pernah menjadi Raja di Raja di Tambun Tulang beberapa tahun silam?"

"Nama mungkin bisa sama. Tapi Kerajaan kami tidak ada sangkut pautnya dengan Datuk Sipatoka yang kau sebutkan itu."

Tua Gila menjadi lega. "Aku siap mengikutimu."

"Sebelum kita menuju ke Istana Sipatoka aku harus tahu lebih dulu, siapa yang kau kuburkan di tempat ini?"

"Muridku. Dia meninggal dunia di tengah laut. Aku terpaksa membawa dan menguburnya di sini. Ini adalah pulau terdekat dalam perjalananku…"

"Sebetulnya ada larangan keras bagi seseorang untuk menginjakkan kaki di pulau ini. Apalagi menggali tanah menanam bangkai…"

"Jangan kau sebut muridku bangkai. Dia manusia! Namanya jenazah bukan bangkai!" kata Tua Gila setengah berteriak.

Si pemuda yang mengaku Putera Mahkota bernama Datuk Pangeran Rajo Mudo tersenyum. "Bagi kami manusia atau binatang kalau sudah mati sama saja. Kami sebut bangkai. Itu sebabnya semasa hidupnya manusia harus berperilaku benar-benar seperti manusia, karena kalau sudah mati dia bukan manusia lagi! Orang tua, kau telah berbuat dua kali pelanggaran. Memasuki pulau kami secara diam-diam. Menggali tanah menguburkan muridmu secara diam-diam…"

Tua Gila tertawa mengekeh. Yang disebut para perajurit Kerajaan di sekelilingnya berseru hak-huk hak-huk. "Rupanya begitu menginjakkan kaki di pulau ini aku harus berteriak-teriak. Ketika menggali kubur juga harus berteriak-teriak! Edan! Bumi dan langit serta laut adalah milik Tuhan! Siapa saja boleh pergi kemana dia suka! Anak muda, kau mulai bicara dengan lidah berkait. Tadi kau bilang jika aku tidak bisa menyembuhkan Raja dan Permaisuri aku boleh pergi dengan bebas. Tapi aku punya firasat kau dan orang-orangmu akan melakukan sesuatu padaku! Dengar baik-baik anak muda. Jika hal itu kau lakukan terhadapku kau dan semua yang ada di pulau ini akan kujadikan bangkai! Lalu aku akan berteriak-teriak menguburkan bangkai kalian!"

Habis berkata begitu Tua Gila dekati sebatang pohon kelapa. Dengan tangan kirinya batang pohon itu dihantamnya.

"Kraaak!"

Perajurit-perajurit Kerajaan berteriak kaget dan lari menjauh berserabutan, takut tertimpa tumbangan pohon kelapa yang jatuh bergemuruh. Datuk Pangeran Rajo Mudo sendiri tetap tak bergerak dari tempatnya. Padahal tumbangan pohon kelapa itu jatuh tepat ke atas kepalanya. Dua jengkal lagi batang kelapa akan menghantam kepalanya, Datuk Pangeran Rajo Mudo melompat ke atas sambil angkat tangan kirinya. Dengan tangan kirinya itu dia menahan batang kelapa lalu perlahan-lahan dia melayang turun dan lemparkan batang kelapa itu ke tanah.

"Hak huk hak huk!" Para prajurit Kerajaan Sipatoka berseru dan bertepuk tangan melihat kehebatan Putera Mahkota mereka.

Tua Gila diam-diam merasa kagum melihat kekuatan tenaga si pemuda walau dia tahu yang diperlihatkannya tadi adalah kekuatan tenaga luar atau kekuatan otot, bukan kekuatan tenaga dalam.

"Orang tua, kau berada di tempat kami. Jadi harap kau mengikuti segala aturan di sini. Kalau kau macam-macam aku akan buat lehermu seperti ini!" Datuk Pangeran Rajo Mudo lalu hantamkan tumit kirinya ke batang kelapa yang tergeletak di tanah.

"Kraakk!" Batang kelapa itu hancur putus berkeping-keping.

Tua Gila tersenyum-senyum. "Katamu Raja dan Permaisuri sedang sakit keras. Apakah kau akan terus pamer kekuatan di tempat ini dan membiarkan mereka lebih cepat menemui kematian?"

"Orang tua, kau boleh naik kudaku. Aku akan berlari di depanmu! Kita segera berangkat menuju Istana Sipatoka!"

"Bagaimana kalau kau yang naik kuda disebelah depan dan aku yang mengikuti di sebelah belakang?" ujar Tua Gila pula.

"Orang tua sombong, jika kau menantang jangan-jangan kau yang harus diobati sesampainya di istana. Bukan Raja dan Permaisuri!"

Tua Gila tertawa mengekeh. Begitu Datuk Pangeran Rajo Mudo naik keatas punggung kuda, digebraknya pinggul binatang itu keras-keras. Kuda melompat dan menghambur lari laksana dikejar setan.

"Hak huk hak huk!" Para perajurit berteriak-teriak.

Datuk Pangeran memandang ke belakang karena menyangka si kakek sudah jauh tertinggal. Tapi alangkah terkejutnya dia ketika dapatkan Tua Gila berada persis diekor kudanya. Berlari enak-enakan sambil bernyanyi-nyanyi kecil!

TIGA BELAS

Yang disebut Istana itu ternyata adalah satu bangunan kayu besar sepanjang puluhan tombak dan dibangun bertopang pada pohon-pohon besar yang tumbuh di sekelilingnya.

"Ini Istana kami. Semua rakyat tinggal jadi satu di sini. Di paling ujung sana ruang kediaman Raja dan Permaisuri," menerangkan Datuk Pangeran Rajo Mudo.

Lalu dia mempersilahkan Tua Gila menaiki tangga aneh, terbuat dari kayu lentur semacam rotan setinggi belasan tombak tanpa pegangan. Di bangunan Istana Sipatoka terdapat sepuluh tangga seperti itu. Tua Gila kernyitkan kening melihat bentuk tangga Hu. Dia lebih terperangah ketika melihat para penghuni Istana Sipatoka enak saja turun naik tangga seperti beruk memanjat dengan lincah dan cepat. Melihat si kakek ragu mau menaiki tangga, Datuk Pangeran Rajo Mudo tertawa lebar.

"Orang tua, biar aku membantumu naik ke atas sana!" lalu pemuda itu menangkap pinggang Tua Gila dan siap hendak mendukungnya. Ketika dia hendak dilarikan menaiki tangga, Tua Gila cepat meronta dan melompat ke tanah.

"Datuk Pangeran, kau saja duluan naik ke alat. Aku akan memperhatikan dan nanti menyusul," kata si kakek pula.

"Kalau kau naik sendiri setengah jalan mungkin kau sudah terkencing-kencing! Tapi kalau kau keras kepala aku tidak memaksa!"

Pemuda itu melompat ke arah tangga. Cekatan sekail dia menaiki tangga hingga dalam waktu singkat sudah berada diambang pintu bangunan rumah kayu di atas sana.

"Orang tua, ayo lekat naik ke atas!" berseru Datuk Pangeran Rajo Mudo karena menyangka Tua Gila masih berada di bawah.

"Aku sudah berada di sini, Pangeran…"

Satu suara terdengar di belakang Datuk Pangeran Rajo Mudo. Dia cepat berpaling dan jadi ternganga ketika melihat Tua Gila sudah tegak di depannya.

"Orang tua, bagaimana kau tahu-tahu sudah ada di sini?"

"Tadi aku mengikutimu dari belakang. Cuma waktu hendak melewatimu aku jadi bingung. Lantas aku melompat saja di sebelah atasmu…" Tua Gila tertawa mengekeh.

Si pemuda jadi bingung sendiri. "Orang tua ini seorang saktikah atau dia tengah mempermain­kanku?" pikir Datuk Pangeran.

"Waktuku tidak lama. Lekas antarkan aku ke tempat Raja dan Permaisuri…"

Datuk Pangeran mengangguk. Dia memberi isyarat pada si kakek untuk mengikuti. Berjalan di bangunan tinggi dan sangat panjang itu Tua Gila melihat kamar berderet-deret di kiri kanan. Akhirnya dia sampai diujung bangunan. Ruangan di sini jauh lebih besar dan bertingkat dua. Menaiki sebuah tangga kayu Tua Gila sampai di tingkat atas. Di sini terletak dua buah pembaringan besar.

Di sebelah kanan terbaring seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun. Keseluruhan rambutnya sudah putih dan mukanya pucat cekung. Bibirnya kelihatan kebiruan. Begitu juga cekungan yang melingkari sepasang matanya yang terpejam. Tubuhnya tertutup sehelai kain berwarna hijau. Hanya kepalanya saja yang tersembul. Inilah Raja Kerajaan Sipatoka yang sedang menderita sakit.

Di pembaringan sebelah kiri terbaring sang Permaisuri. Seperti raja tubuhnya juga tertutup kain hijau. Kepalanya tersembul tampak pucat walau telah diberi hiasan mencolok. Bibirnya tampak biru. Warna biru juga kelihatan selingkar kedua matanya.

"Lekas kau periksa kedua orang tuaku. Jika kau sudah tahu penyakitnya lekas kau carikan obat." berbisik sang Putera Mahkota.

Tua Gila masih tetap berdiri di tempatnya. Hidungnya mencium berbagai macam bau. Yang pertama adalah bau aneh yang keluar dari kepulan asap pendupaan yang terletak di sudut ruangan. Dekat pendupaan itu duduk sesosok tubuh berjubah hitam.

Rambutnya putih panjang menjulai sampai ke dada dan menutupi sebagian wajahnya yang penuh corengan-corengan hitam. Kedua matanya terpejam, sedang dari mulutnya tiada henti keluar suara meracau seperti orang membaca mantera.

Tua Gila tidak dapat menerka apakah orang berjubah hitam ini lelaki atau perempuan. Dia mendekati Datuk Pangeran dan berbisik. "Siapa orang yang duduk dekat pendupaan itu?"

"Dukun Sakti Langit Takambang! Dia adalah wakil raja dalam segala perkara merangkap tabib atau dukun Kerajaan…"

"Kalau kalian sudah punya dukun mengapa masih meminta bantuan orang lain?" ujar Tua Gila.

"Sekali ini Dukun Sakti Langit Takambang tidak mampu mengobati Raja dan Permaisuri. Itu sebabnya kami mencari siapa saja yang sanggup menyembuhkan."

Tua Gila melirik ke sudut ruangan sebelah kiri. Dia melihat sebuah gentong besar berwarna coklat. Dari dalam gentong ini mengepul keluar asap tipis dan bau yang tidak sedap.

"Apa isi gentong tanah itu Pangeran?" tanya Tua Gila.

"Ramuan obat yang dibuat Dukun Sakti untuk diminumkan pada Raja dan Permaisuri, jawab Datuk Pangeran Rajo Mudo.

Tua Gila usap-usap janggut putihnya.

"Kau masih belum hendak memeriksa ke dua orang tuaku?" Si pemuda bertanya dengan suara agak keras.

"Apakah Dukun Sakti tidak akan tersinggung kalau aku melangkahinya?"

"Lakukan apa yang aku suruh! Jangan perdulikan siapapun!"

Tua Gila lalu melangkah ke pembaringan sebelah kanan. Tangannya ditempelkan di atas kening Raja. Terasa hawa panas sekali. Lalu dia membungkuk memperhatikan wajah Raja. Suara meracau si Dukun Sakti Langit Takambang mendadak berhenti. Tua Gila melirik. Orang tua itu mendongak ke atas. Matanya masih terpejam dan rambutnya riap-riapan menutupi wajahnya.

"Ada yang tidak beres dengan makhluk satu ini! Aku akan segera mengetahuinya!" kata Tua Gila dalam hati. Dia kembali memeriksa keadaan wajah Raja.

"Aku bukan tabib bukan dukun, bukan ahli pengobatan. Tapi aku hampir yakin orang ini menderita sakit akibat racun ular!"

Tua Gila berpaling pada Datuk Pangeran dan bertanya dengan sangat perlahan. "Apakah Raja pernah dipatuk ular berbisa?"

"Dipatuk ular?" Si pemuda gelengkan kepala.

"Kau pasti?"

"Tentu saja aku pasti karena aku tahu betul."

"Kalau begitu izinkan aku memeriksa sekujur tubuhnya. Harap kau membantu meneliti. Maklum mata tua ini tidak setajam mata orang seusiamu…"

Maka Tua Gila lalu memeriksa setiap sudut tubuh, tangan dan kaki Raja. Dia sama sekali tidak menemukan luka sekecil apapun bekas gigitan atau patukan ular.

"Kau tidak akan memeriksa Permaisuri?" tanya Datuk Pangeran sang Putera Mahkota.

"Tidak perlu. Aku sudah tahu penyakitnya. Sama-sama terkena racun ular… Antar aku memeriksa isi gentong tanah itu."

Kedua orang itu melangkah mendekati gentong tanah di sudut ruangan. Tiba-tiba dari mulut Dukun Sakti Langit Takambang kembali terdengar suara meracau seperti membaca jampai-jampai. Ketika Tua Gila hanya tinggal beberapa langkah saja lagi dari gentong besar, sang dukun mendadak melompat dan tegak menghadang. Kepalanya ditundukkan. Wajahnya tidak kelihatan. Lalu terdengar suaranya melengking tinggi.

"Pelanggaran telah terjadi di Kerajaan dan Istana Sipatoka! Orang luar menginjakkan kaki di pulau, masuk ke dalam Istana tanpa izin aku penguasa Kerajaan setelah Raja. Orang luar telah diminta untuk mengobati Raja dan Permaisuri tanpa persetujuan aku Dukun Sakti Langit Takambang! Pantangan telah dilanggar. Hukuman akan segera jatuh! Mati bagi orang luar!"

"Dukun Sakti Langit Takambang!" Datuk Pangeran membuka mulut. "Angkat kepalamu dan lihat padaku!"

Perlahan-lahan Dukun Sakti itu angkat kepalanya. Wajahnya tetap saja tidak terlihat jelas karena penuh corengan hitam dan tertutup rambut putih. Hanya sepasang matanya kelihatan memandang menyorot ke depan.

"Aku Putera Mahkota Kerajaan Sipatoka. Yang sakit adalah ayah dan ibuku! Aku punya tanggung jawab dan kekuasaan untuk mencari jalan penyembuhan bagi mereka. Orang luar ini aku yang membawanya ke sini…"

"Orang luar tidak berhak mengobati Raja! Itu sudah jadi ketentuan!"

"Persetan dengan ketentuan! Kau sendiri selama dua bulan tidak mampu mengobati Raja dan Permaisuri. Penyakit mereka semakin parah hari demi hari!"

Dukun Sakti berpaling pada Tua Gila lalu berkata. "Orang luar, lekas tinggalkan pulau ini sebelum kutuk jatuh atas dirimu!"

"Jangan perdulikan orang ini!" kata Datuk Pangeran pada Tua Gila. Lalu dengan tangan kirinya pemuda itu mendorong Dukun Sakti hingga terjajar ke samping.

Tua Gila melangkah cepat mendekati gentong. Di dinding tergantung sebuah gayung. Dengan gayung ini dia menciduk cairan dalam gentong lalu diperhatikan dan diciumnya berulang kali. Cairan itu berwarna coklat butak kehitaman. Baunya anyir sekali. Ketika dia berpaling kekanan Dukun Sakti itu tak ada lagi di tempat itu.

"Kemana perginya orang tadi?" tanya Tua Gila. "Jangan perdulikan dia. Yang penting apakah kau sudah tahu apa adanya cairan dalam gentong itu."

"Sebelum aku katakan apa adanya cairan ini, lebih baik kau memberi perintah pada perajurit Kerajaan untuk mengawasi Dukun Sakti itu. Jangan sampai dia melarikan diri…"

"Eh. apa maksudmu orang tua?"

"Cairan obat ini mengandung racun ular mematikan. Takarannya sengaja dibuat encer hingga orang yang meminumnya akan menemui ajal dalam jangka waktu lama secara perlahan-lahan!"

Berubahlah paras Datuk Pangeran. Dari saku celananya dikeluarkannya sepotong bambu. Lalu ditiupnya kuat-kuat berulang kali. Belasan perajurit Kerajaan menghambur masuk ke atas bangunan. Datuk Pangeran mengatakan sesuatu. Mereka cepat tinggalkan tempat itu sambil berteriak hak huk hak huk dan acung-acungkan tombak di tangan masing-masing.

"Orang tua, kau harus membuktikan bahwa cairan dalam gentong ini benar-benar mengandung racun mematikan. Kalau tidak terbukti dan ternyata kau menebar fitnah, kau akan kupancung sebelum matahari tenggelam!"

"Dalam perjalanan ke sini aku banyak melihat tikus hutan berkeliaran di tengah jalan. Harap perintahkan orang-orangmu menangkapnya barang seekor dan bawa ke sini!"

Datuk Pangeran kembali meniup peluit bambunya. Belasan perajurit berdatangan dengan cepat. Setelah mendengar ucapan sang Putera Mahkota mereka segera pergi. Tak berapa lama kemudian lima orang muncul membawa masing-masing seekor tikus hutan.

"Dasar manusia-manusia geblek! Diminta seekor dibawa sampai lima tikus!" kata Tua Gila mengomel dalam hati.

Tua Gila mengambil seekor tikus yang paling besar. Dia memegang binatang ini pada bagian lehernya lalu dipencetnya kuat-kuat. Begitu tikus mencicit dan membuka mulutnya lebar-lebar Tua Gila segera guyurkan cairan dalam gayung ke dalam mulut binatang itu.

Tikus hutan menggelepar-gelepar beberapa kali. Tua Gila meletakkan binatang ini di lantai. Tikus ini berlari kencang. Tapi cuma setengah jalan. Dekat tangga menuju ke tingkat bawah tikus hutan ini menggelepar dan terkapar tak berkutik lagi! Tua Gila berpaling pada Datuk Pangeran.

"Dukun Sakti Langit Takambang! Manusia jahanam! Dia meracuni Raja dan Permaisuri!" teriak Datuk Pangeran marah.

Dia kembali tiup peluit bambunya. Ketika sembilan perajurit muncul dia segara memberi perintah agar mencari Dukun Sakti itu dan menangkapnya hidup­-hidup.

"Orang tua, kau sudah tahu obat yang diberikan Dukun Sakti itu ternyata adalah racun untuk dipakai membunuh kedua orang tuaku! Yang aku perlukan sekarang adalah ramuan obat untuk menyembuhkan mereka!"

Dari balik pakaian putihnya yang robek Tua Gila keluarkan sebuah kantong kecil lalu menyerahkannya pada si pemuda. "Di dalam kantong kain ini ada enam butir obat penangkal segala macam racun. Minumkan pada Raja dan Permaisuri masing-masing satu butir selama tiga hari."

"Aku berterima kasih. Tapi kalau kau berhasrat hendak meninggalkan pulau saat ini aku terpaksa menahanmu sampai tiga hari. Sampai hari terakhir obat ini diberikan pada kedua orang tuaku!"

"Kau sengaja menahanku karena tidak percaya aku benar-benar memberikan obat penyembuh?" Tua Gila melotot. "Kalau begitu berikan enam butir obat itu. Biar aku tenggak semua sekaligus!"

"Orang tua. Jangan kau salah sangka. Aku menahanmu karena begitu Raja dan Permaisuri sembuh kami akan mengadakan pesta besar tanda bersyukur!"

"Memanjatkan syukur dan terima kasih pada Tuhan tidak perlu pakai segala macam pesta. Cukup bersujud padanya dan mengucapkan terima kasih dengan hati yang suci!"

"Aku sangat terkesan pada ucapanmu itu orang tua! Tapi aku tetap tidak mengizinkanmu pergi. Aku ingin agar Raja dan Permaisuri mengucapkan terima kasih mereka langsung padamu begitu mereka sembuh."

"Ah, Aku mau cepat ternyata malah jadi berlama-lama di tempat ini!" gerutu Tua Gila dalam hati.

********************

EMPAT BELAS

Datuk Pangeran Rajo Mudo melangkah di samping Tua Gila. "Pesta besar akan dilangsungkan besok. Apa salahnya kau menunggu satu hari lagi. Sulit diduga kapan kau akan kembali ke pulau ini."

Tua Gila tersenyum. "Bukan aku, tapi kau yang harus keluar dari pulau ini Pangeran. Kau masih muda. Sebelum menjadi raja kau harus melihat dunia dan mencari pengalaman hidup…"

Sang Putera Mahkota terdiam mendengar kata-kata Tua Gila itu. Sebelum dia sempat menyahuti mereka sudah sampai di hadapan Raja dan Permaisuri yang duduk di sebuah kursi panjang besar. Di hadapan mereka ada sebuah meja kecil. Di atas meja ini terletak satu kotak kayu dalam keadaan tertutup.

Raja Kerajaan Sipatoka memeluk Tua Gila erat-erat. "Kami ingin kau tinggal lebih lama di tempat ini. Permaisuri bahkan mengusulkan sejak Dukun Sakti Langit Takambang tidak diketahui ke mana raibnya, kau diharapkan akan jadi penggantinya…"

Tuga Gila tertawa mengekeh. "Kalian Raja dan Permaisuri serta Putra Mahkota sama baiknya. Aku mengucapkan terima kasih…"

"Tidak… Tidak, bukan kau yang mengatakan hal itu. Kami yang telah ditolong yang harus menghaturkan ribuan terima kasih. Sebagai tanda terima kasih yang harap jangan dilihat dari pemberiannya, kami ingin menyampaikan satu bingkisan kecil untukmu. Ini bingkisan tanda persaudaraan dari aku, Raja dan rakyat Kerajaan pulau Sipatoka. Aku Rajo Tuo Datuk Paduko Intan menyerahkan dengan takzim, harap kau sudi menerima…"

Lalu Raja yang baru sembuh dari sakit akibat obat yang diberikan Tua Gila itu mengambil kotak kayu yang terletak di atas meja, membuka tutupnya dan menyodorkannya pada Tua Gila. Si Kakek bungkuk berpakaian putih itu tampak terkesiap. Semua orang menyangka dia terkesiap melihat isi kotak yaitu dua potong besar emas dan sebutir berlian sebesar Ibu jari kaki. Padahal Tua gila terkesiap mendengar nama yang disebutkan sang Raja.

"Raja Tuo Datuk Paduko Intan… Datuk Paduko Intan. Aku pernah mendengar nama itu. Tapi lupa dimana dan kapan…"

"Raja Tuo Datuk Paduko Intan, aku tidak berani menerima hadiahmu. Aku menolong tanpa pamrih. Bahkan sebelumnya aku telah berbuat kesalahan karena menginjakkan kaki ke pulau ini tanpa izin…"

Raja Sipatoka tertawa gelak-gelak. "Kejadian itu membuat aku lebih membuka mata bahwa kehidupan manusia ini saling berkaitan satu sama lain. Segala aturan dan larangan yang keliru akan kupupus habis dari Kerajaan Sipatoka. Kau tahu. Putra Mahkota malam tadi datang menghadapku meminta ijin untuk mengembara barang setahun dua tahun di luar pulau. Nah, terimalah bingkisan ini…"

"Terima kasih Rajo Tuo. Tapi aku tak dapat menerimanya. Aku hanya bisa menyampaikan rasa terima kasih besar atas kebaikanmu…"

Raja Sipatoka geleng-gelengkan kepala. Semua orang yang ada di situ tentu saja tak dapat mempercayai kalau si kakek menolak hadiah yang begitu besar.

"Orang tua, aku jadi ingat pada cerita yang pernah kudengar dari istri pertamaku dulu sebelum dia meninggal dunia waktu melahirkan. Dia sering menceritakan kehebatan seorang jago tua berkepandaian tinggi yang adalah ayahnya sendiri. Orang tua itu punya sifat aneh yaitu sering menolong tapi selalu menolak apa saja yang diberikan orang padanya. Dia begitu mengagumi sang ayah tapi sekaligus juga sangat membencinya. Menurut istriku karena ayahnya itulah maka ibunya menderita seumur hidup. Dan kau percaya atau tidak, istriku itu seumur hidupnya tidak pernah melihat atau mengenal ayahnya!"

Tua Gila mendadak merasakan lututnya bergetar. Dia punya firasat aneh. Maka dia membe­ranikan diri bertanya. "Kalau aku boleh tahu siapakah nama mendiang istrimu itu Rajo Tuo?"

"Andam Suri."

Getaran di lutut Tua Gila menjalar naik ke dada. Tengkuknya terasa dingin. Dia kembali bertanya. "Apa kau tahu siapa nama ayah istrimu itu Rajo Tuo?"

"Kalau aku tidak salah istriku pernah menyebut namanya. Aku hanya ingat nama depannya, lupa nama belakangnya. Namanya Sukat…"

Dada Tua Gila berguncang keras. Parasnya yang pucat seperti mayat itu tampak bertambah pucat.

"Sukat apa aku lupa…" menyambung Rajo Tuo Datuk Paduko Intan. "Tapi aku ingat benar beberapa gelar yang diberikan orang padanya. Ada yang menyebutnya Pendekar Gila Patah Hati. Ada yang menggelarinya Iblis Gila Pencabut Jiwa. Tapi dia lebih dikenal dengan Julukan Tua Gila."

Keringat memercik di kening Tua Gila. "Ya Tuhan apa betul saat ini aku berhadapan dengan menantuku sendiri?! Suami dari anak yang tidak pernah aku lihat seumur hidupku?" Menggemuruh suara hati Tua Gila.

"Agaknya kau kurang senang mendengar kisah hidupku di masa lalu." kata Rajo Tuo. "Biar kita lupakan si Tua Gila itu. Sekarang aku mohon kau menerima hadiah ini."

"Maafkan aku Rajo Tuo. Aku benar-benar tidak bisa menerima pemberianmu ini. Biarlah kebaikanmu tetap menjadi pahala yang besar di hari kemudian."

Rajo Tuo menghela napas dalam. Kotak kayu itu ditutupnya kembali dan diletakkannya di atas meja. Dia memandang pada Tua Gila lama sekali hingga si kakek menjadi kecut kalau-kalau sang raja tahu bahwa dialah Tua Gila yang disebut-sebutnya tadi.

"Orang tua. Jika kau tidak mau menerima hadiah itu, kuharap kau jangan menampik pemberianku yang satu ini," Rajo Tuo berkata sambil berpaling pada istrinya.

Permaisuri Kerajaan Sipatoka menanggalkan sebuah kantong kecil yang tergantung di pinggangnya lalu diserahkannya pada suaminya. Rajo Tuo membuka kantong itu. Dari dalam kantong dikeluarkannya sebuah kotak kecil terbuat dari perak. Dia membuka kotak sambil melangkah mendekati Tua Gila. Dari dalam kotak diambilnya seuntai kalung perak bermata sebuah batu hijau yang redup dan buruk bentuknya.

Barang ini bernama Kalung Permata Kejora. Bentuknya buruk tapi mengandung kekuatan dan khasiat kesaktian luar biasa. Kalung ini diberikan oleh ibu Andam Suri kepada puterinya itu melalui seseorang disertai pesan bahwa dia harus mencari Tua Gila dan membunuhnya dengan kalung ini. Hanya kalung ini yang bisa menewaskan orang tua penyebab segala derita dan penimbul segala bala itu!"

Tua Gila ternganga. Sepasang matanya yang lebar memandang tak berkesip. Dalam hati dia berkata, "Aku pernah mendengar riwayat kalung ini. Kukira hanya cerita kosong belaka tetapi kini aku berhadapan dengan kenyataan…"

"Orang tua, kulihat kau diam saja. Apa kau juga menolak menerima barang pusaka sakti ini?"

Tua Gila mendehem beberapa kali. "Aku orang tolol. Bagaimana membuktikan kalung ini memiliki kekuatan dan khasiat serta kesaktian seperti yang kau katakan itu Rajo Tuo?"

"Aku memang tidak pernah membuktikannya. Tapi aku percaya pada kesaktian yang dimilikinya. Jika kau tidak percaya silahkan kau pegang kalung Ini!"

Rajo Tuo lalu menyerahkan kalung perak bermata batu hijau itu kepada Tua Gila. Si orang tua segara mengambilnya. Tapi dia berseru kaget. Begitu kalung dan matanya berada dalam genggamannya dia merasa seolah memegang sebuah batu raksasa. Tak ampun lagi tubuhnya tertarik daya berat luar biasa dan terbanting ke lantai. Kalung Permata Kejora jatuh di depan kakinya. Tua Gila mengerenyit menahan sakit. Telapak tangannya terasa pedas seperti terbakar. Kedua lututnya seolah remuk.

"Sekarang apakah kau percaya pada kesaktian yang terkandung dalam kalung itu?" Tua Gila meringis dan mengangguk.

"Kalau begitu harap kau ambil kalung itu kembali!"

Dengan tangan gemetar Tua Gila mengambil kalung yang tercampak di lantai. Astaga! Kalung itu kini ternyata ringan sekali dan dengan mudah diangkatnya. Lalu dia berdiri. Rajo Tuo mengambil kalung itu dari tangan Tua Gila, memasukkannya ke dalam kotak perak. Setelah itu kotak perak dimasukkannya lagi ke dalam kantong kain dan akhirnya kantong kain diserahkannya pada Tua Gila.

"Orang tua, dengar baik-baik. Aku meminta bantuanmu untuk mengembalikan Kalung Permata Kejora itu pada ibu mendiang istriku…"

Tua Gila jadi terbelalak. Tapi karena matanya memang sudah lebar maka tidak ada yang mem­perhatikan kelainan wajahnya.

"Perempuan itu sekarang sudah menjadi seorang nenek-nenek kira-kira seusiamu. Namanya Sabai Nan Rancak. Aku menyirap kabar selama bertahun-tahun mertuaku itu berusaha mencari dan membunuh Tua Gila, ayah dari anaknya sendiri yang kini jadi musuh besarnya. Setahuku dia punya satu kendala besar. Tua Gila demikian saktinya hingga tidak bisa dibunuh kalau tidak dengan kalung sakti Ini. Walau kemudian aku menyirap kabar bahwa Sabai Nan Rancak telah memiliki satu ilmu kesaktian yang disebut pukulan Kipas Neraka yang akan sanggup menghabisi Tua Gila, namun aku merasa mempunyai kewajiban untuk mengembalikan Kalung Permata Kejora kepadanya. Nah, maukah kau menolong aku mencari perempuan itu dan menyerahkan kalung ini padanya?"

Tua Gila tak bisa menjawab. Bernafas pun rasanya dia jadi merasa kecut! Sabai Nan Rancak telah menjadi musuh besarnya yang kini tengah mengejarnya dan ingin membunuhnya dengan segala cara! Sekarang Rajo Tuo meminta dia menemui si nenek untuk menyerahkan Kalung Permata Kejora itu!

"Urusan gila! Apa aku jelaskan saja terus terang padanya bahwa aku adalah si Tua Gila itu?"

"Sobatku orang tua, kau belum menjawab permintaanku. Bersediakah kau menolongku mencari Sabai Nan Rancak lalu menyerahkan benda pusaka sakti ini padanya?"

"Rajo Tuo. Kau adalah menantu Sabai Nan Rancak. Mengapa tidak kau saja yang pergi mencari dan menyerahkan benda ini?" ujar Tua Gila berusaha mencari jalan untuk melepas diri dari tugas gila itu.

"Di Kerajaan pulau Sipatoka ini kami punya aturan yang tak boleh dilanggar. Siapapun yang jadi Raja tidak boleh meninggalkan pulau dengan alasan apapun."

"Kalau begitu mengapa tidak puteramu yang gagah ini yang melakukan?"

Rajo Tuo Datuk Paduko Intan tersenyum dan gelengkan kepala. Dia masih terlalu muda. Dunia luar apalagi yang disebut rimba persilatan penuh dengan seribu satu macam tipu daya yang bisa menimbulkan bencana. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan Putera Mahkota Kerajaan Sipatoka… Lain dengan kau. Kau tentu manusia penuh pengalaman dan sanggup menghadapi segala macam tangkal."

Tua Gila menarik napas dalam. "Bagaimana lagi caraku menolak?" pikirnya. Tiba-tiba Datuk Pangeran Rajo Mudo mengambil kantong kain berisi kotak perak dari tangan Raja lalu memasukkannya kedalam genggaman tangan kanan Tua Gila. Lalu pada ayahnya pemuda ini berkata,

"Raja, sahabat kita telah bersedia membawa kalung itu. Tak ada yang perlu kita risaukan lagi…"

"Terima kasihku orang tua…" kata Rajo Tuo pula.

"Mampus aku!" keluh Tua Gila dalam hati. "Rajo Tuo. Bagaimana kalau aku tidak berhasil menemukan Sabai Nan Rancak atau siapa tahu dia sudah meninggal?"

"Jika dalam tiga ratus hari kau tidak berhasil menemui perempuan tua itu, Kalung Permata Kejora menjadi milikmu," jawab Rajo Tuo yang disambut Tua Gila tanpa rasa gembira sama sekali.

Setelah menghela napas panjang sekali lagi, Tua Gila lalu meminta diri. "Rajo Tuo Datuk Paduko Intan dan Permaisuri, jika diizinkan selagi hari masih pagi aku ingin minta diri untuk meneruskan perjalanan."

"Kami melepas kepergianmu dengan rasa sedih tapi juga suka cita. Selamat jalan sahabatku. Setiap saat kau suka kau boleh datang kepulau kami ini… Putera Mahkota dengan segala kebesaran akan mengantarkanmu sampai naik perahu. Kami telah menyediakan satu perahu yang lebih besar untukmu. Lengkap dengan pakaian untuk bersalin dan makanan."

"Terima kasih, terima kasih…" kata Tua Gila dengan tersenyum walau hatinya sangat galau dan pikirannya sangat kacau. Setelah menjura dua kali dia memutar tubuh. Baru tiga langkah berjalan tiba-tiba terdengar Rajo Tuo berseru,

"Orang tua sahabatku, kau belum memberitahu kami siapa namamu?"

Tua Gila tercekat hentikan langkah. "Celaka, bagaimana aku harus menjawab?" Dia batuk­-batuk beberapa kali.

"Sahabatku…?"

"Ah… Ooooh harap maafkan sampai aku lupa memberitahu nama. Namaku Wiro Sableng…" jawab Tua Gila seenaknya. Entah pikiran apa maka meluncur saja lidahnya menyebutkan nama murid Sinto Gendeng itu.

"Wiro Sableng…" mengulang Rajo Tuo. "Kami akan mengenang namamu selama hayat dikandung badan…"

Tua Gila menjura sekali lagi lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu diiringi oleh Datuk Pa­ngeran Rajo Mudo.

********************

Hampir seluruh penghuni pulau itu memenuhi pantai melepas kepergian Tua Gila yang mereka kini kenal dengan nama Wiro Sableng. Semua mereka membawa ranting-ranting berdaun dan melambai-lambaikan daun itu begitu perahu yang ditumpangi Tua Gila bergerak menjauhi pantai.

"Hak huk hak huh!"

"Wiro! Wiro! Wiro Sableng!" Seruan itu menggema di tepi pantai tiada henti-hentinya sampai akhirnya perahu lenyap.

Beberapa kali ditepuknya keningnya. Bekas luka hantaman ekor buaya di pelipis dan pipinya terasa mendenyut kembali. "Bagaimana aku harus menghadapi urusan gila ini?" pikirnya. Lalu menarik napas panjang berulang-ulang.

Angin bertiup menghembus layar perahu. Perahu meluncur lancar di permukaan laut berombak tenang. Tanpa setahu Tua Gila, di dalam laut, sesosok tubuh yang sejak tadi bergelantungan di dasar perahu perlahan-lahan bergerak ke arah haluan.

T A M A T

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.