Bayi Satu Suro

Wiro Sableng. Bayi Satu Suro
Sonny Ogawa

Bayi Satu Suro


Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara perhatikan air di dalam nampan. Lalu berkata, ”Nyai Tumbal Jiwo, Patih Wira Bumi, jika memang kalian inginkan bayi itu, sebelum tengah hari besok kita akan mendapatkannya. Ada petunjuk bayi itu akan dibawa ke tanah Jawa. Terserah apa kalian ingin melakukan sekarang atau menunggu sampai bayi berada di tanah Jawa."

Sri Paduka Ratu, kami dikejar waktu. Kalau boleh memohon kami ingin pekerjaan ini dilakukan sekarang juga." Kata Nyai Tumbal Jiwo.

Nyi Kuncup Jingga menghadap lurus-lurus ke arah Nyai Tumbal Jiwo dan Patih Wira Bumi. "Sebagai jaminan kalian tidak berdusta dan tidak akan melanggar janji, atas nama Sri Paduka Ratu maka Patih Kerajaan selaku yang berkepentingan harus menyerahkan mata kirinya!"

Nyai Tumbal Jiwo tersurut satu langkah. Patih Wira Bumi melengak kaget dan pucat wajahnya...


Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

BAB SATU

PESTA besar yang diadakan Wira Bumi di Gedung Kepatihan di maksudkan untuk tanda syukur atas pengangkatan dirinya sebagai Patih Kerajaan berubah menjadi malapetaka. Ditemani Pendekar 212 Wiro Sableng, Nyi Retno Mantili berhasil menyusup ke tempat pesta. Meskipun Wiro dapat mencegah Nyi Retno Mantili membunuh Patih Kerajaan yang adalah suaminya sendiri, namun tiga orang menemui ajal. Korban pertama adalah Cagak Lenting alias Si Mata Elang.

Seperti diceritakan sebelumnya takoh silat ini adalah orang yang membunuh DjakaTua pengasuh Kemuning, boneka yang dalam otaknya yang tidak waras dianggap seperti bayinya sendiri oleh Nyi Retno Mantili. Cagak Lenting dihantam dengan ilmu Sepasang Cahaya Batu Kumala.Yaitu dua larik sinar putih yang keluar dari sepasang mata boneka kayu. Mayatnya dilempar ke panggung pertunjukan, disaksikan orang banyak hingga menimbulkan kegegeran besar.

Korban kedua dan ketiga adalah Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh adat Istana Ki Mulur Jumena. Keduanya juga tewas di tangan Nyi Retno Mantili.Wira Bumi yang merasa ilmu kesaktian yang telah di dapatnya tidak mampu berbuat banyak karena dia masih belum berhasil membunuh bayi yang dilahirkan Nyi Retno Mantili, malam itu juga menghubungi Nyai Tumbal Jiwo. Sang guru ternyata tidak bisa muncul, hanya mengirimkan suara mengiang.

Nenek dari alam roh itu memberi tahu bahwa akibat kekalahannya sewaktu bertarung melawan Purnama, ujud rohnya tercabik-cabik dan dia baru mampu memperlihatkan diri kembali setelah 120 hari. Untuk melindungi murid dan sekaligus kekasih budak nafsunya itu, Nyai Tumbal Jiwo memasukkan lewat dubur sebuah paku sakti ke dalam tubuh Wira Bumi yang konon disebut Paku Merah Penyumbat Bala. Wira Bumi juga dinasihatkan agar untuk sementara pergi dulu mengamankan diri ke Goa Girijati di pantai selatan.

********************

Dua hari kemudian, saat malam menjelang pagi, masih gelap dan dingin. Tiga kuda besar berlari cepat rnenunju pantai selatan. Kuda di sebelah depan penunggangnya adalah Patih Kerajaan Wira Bumi. Kuda kedua di samping kanan ditunggangi searang kakek berjubah ungu, berkulit hitam keling, dikenal sebagai tokoh silat lstana bernama Ki Luwak Ireng. Kuda ke tiga berada di sebelah belakang, ditunggangi lelaki muda bertubuh tegap kekar bernama Bantarangin, diketahui sebagai Kepala Pengawal Gedung Kepatihan.

Di satu kelokan jalan Wira Bumi berpaling pada Ki Luwak Ireng, memberi isyarat dengan gerakan kepala. Lalu hentikan kuda, diikuti dua orang lainnya.

"Saya sudah tahu Kanjeng Patih. Ada orang mengikuti kita." Ucap Ki Luwak Ireng. "Jika Kanjeng Patih mengizinkan..."

"Aku mencium bahaya..." potong Wira Bumi.

Kepala Pengawal Gedung Kepatihan Bantarangin cepat mengambil keputusan. "Kanjeng Patih dan Ki Luwak Ireng Biar saya yang menangani. Saya akan menghadang dan mencari tahu siapa orang yang berani menguntit kita. Pasti dia membekal niat jahat."

"Pergilah, kami menunggu di sini." Kata Ki Luwak Ireng.

Setelah cukup lama ditunggu Kepala Pengawal tak kunjung muncul. Ki Luwak lreng mulai gelisah dan Patih Wira Bumi merasa curiga. "Ki Luwak, ada yang tidak beres." Kata sang Patih. "Aku kawatir sesuatu terjadi dengan Kepala Pengawal”

"Saya akan rnenyelidik," kata tokoh silat lstana itu.

"Pergi cepat. Aku menunggu disini. Jika terjadi sesuatu lekas kembali."

Saat itu satu cahaya merah entah dari rnana datangnya menyusup masuk ke dalam kepala lewat ubun-ubun Wira Bumi. Lalu ada suara mengiang di telinga sang Patih. "Wira Bumi, harap kau berlaku waspada. Dirimu dalam bahaya..."

Wira Bumi kenali suara itu. "Nyai Tumbal Jiwo...”

Tubuh Wira Bumi bergetar. Sesaat kemudian secara aneh wajah dan tubuhnya telah berubah menjadi seorang gadis cantik mengenakan pakaian ringkas warna merah muda. lnilah penampilan penjelmaan yang biasa dilakukan Nyai Tumbal Jiwo jika dia hendak bercinta dengan Wira Bumi. Namun kali ini ilmu kesaktian tersebut dipergunakan untuk melindungi sang murid. Menyadari dirinya berubah tentu saja Wira Bumi menjadi kaget.

"Wira Bumi, kau tak usah kaget atau takut. Dirimu berubah demi keselamatanmu." Suara Nyai Tumbal Jiwo mengiang di telinga Wira Bumi membuat sang Patih merasa lega.

Sesuai perintah Wira Bumi, Ki Luwak Ireng segera menggebrak kuda tunggangannya. Namun di depan sana tiba-tiba muncul seekor kuda hitam, berlari kencang membawa sesosoktubuh berlumuran darah.

"ltu kuda Bantarangin! Apa yang terjadi? Astaga! Orang di punggung kuda itu! Luwak lekas periksa!"

Meskipun ujudnya telah berubah menjadi seorang gadis cantik namun suara sang Patih masih tetap suara laki-laki. Suara Wira Bumi. Ki Luwak lreng cepat melompat dari punggung kuda. Dengan gerakan kilat dia menyambar tali kekang kuda hitam hingga binatang ini tersentak meringkik keras dan berhenti berlari. Sepasang mata Ki Luwak lreng mendelik.Tengkuk dingin merinding. Dia segera mengenali sosok bergelimang darah di punggung kuda hitam dan cepat-cepat menurunkan, lalu dibaringkan di tanah.

"Kanjeng Patih Bantarangin dibunuh!" Ki Luwak, berpaling ke arah patih Kerajaan. "Kanjeng Patih..."

Ki Luwak lreng terperangah kaget.Yang dilihatnya duduk di atas punggung kuda bukan Patih Kerajaan Wira Bumi tetapi seorang gadis cantik berpakaian merah muda berkulit kuning langsat.

"Kau siapa?!" tanya Ki Luwak heran. "Mana Kanjeng Patih Wira Bumi."

Gadis di atas kuda tidak menjawab. Dia memutar kuda siap meninggalkan ternpat itu. Tapi cepat dihalangi oleh Ki Luwak sambil menahan tali kekang kuda. Si gadis pegang tangan tokoh silat lstana itu lalu berkata. Suaranya kini suara perempuan.

"Ki Luwak, aku pergi duluan. Kutunggu kau di Goa Girijati. Ada orang lain mendatangi ke arah tempat ini!"

"Aku tidak mengerti." Ki Luwak berucap. "Orang lain siapa? Kau sendiri siapa?"

Ki Luwak lreng memandang berkeliling tapi dia tidak melihat Patih Kerajaan. Dia memperhatikan kuda yang ditunggangi si gadis. Jelas itu adalah kuda yang sebelumnya ditunggangi sang Patih. Tokoh silat lstana ini tidak bisa berpikir lebih panjang karena saat itu di hadapannya mendatangi seekor kuda coklat, ditunggangi seorang perempuan muda cantik bertubuh kecil dalam bentuk samar!

"Siapa lagi ini! Perempuan bertubuh samar! Edan! Mengapa banyak ke anehan di tempat ini?!" Membatin Ki Luwak Ireng.

Sementara itu gadis berpakaian ringkas merah muda yang sebenarnya adalah Patih Wira Bumi dengan gerakan cepat segera menggebrak kuda meninggalkan tempat itu. Sosok perempuan samar di atas kuda coklat keluarkan pekikan keras. Sementara tubuhnya berubah menjadi lebih jelas, dia melesat ke udara lalu melayang turun menghadang jalan kuda yang ditunggangi gadis berpakaian merah muda yang asli sebenarnya adalah Patih Wira Bumi!

BAB DUA

KETlKA Wira Bumi yang penampilannya sebagai seorang gadis cantik berpakaian merah muda melihat siapa adanya gadis bertubuh kecil yang menghadang ditengah jalan, kagetnya bukan alang kepalang.

”Retno Mantili...” ucap patih Kerajaan dengan suara bergetar dada berdebar. Saat itu si gadis berpakaian merah muda mendengar suara mengiang.

”Wira Bumi, rohku ada dalam tubuhmu. Cepat tinggalkan tempat ini. Segera pergi ke Goa Girijati. Aku sudah membuat benteng perlindungan bagi dirimu di sana."

"Nyai Tumbal Jiwo. Aku harus membunuh perempuan muda yang membawa boneka itu! Kau lihat sendiri! Dia adalah Retno Mantili! Istriku!"

"Kasip! Keadaan sudah kasip! Saatnya tidak tepat. Biar Ki Luwak lreng yang mengurus perempuan itu!" jawab suara mengiang.

Di tengah jalan Nyi Retno Mantili tolakkan tangan kiri ke pinggang sementara tangan kanan memegang boneka kayu. Dua kaki dikembang. Mata memandang berkilat tak berkesip ke arah gadis pakaian merah dan Ki Luwak Ireng.

"Kalian berdua jangan ada yang berani bergerak! Apa lagi berani tinggalkan tempat ini!"

Nyi Retno Mantili mengancam. Tangan yang memegang boneka perlahan-lahan diangkat setinggi dada. "Ki Luwak! Lekas bereskan perempuan sinting itu!" Perintah gadis baju merah muda. Ki Luwak jadi bingung.

"Kanjeng Pa..." Ki Luwak gelengkan kepala.

"Aku..."

Gadis berpakaian merah muda jadi tidak sabaran. Dia menggebrak kuda tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan siap menerjang Nyi Retno Mantili.

"Hik hik! Perempuan di atas kuda! Jangan mengira aku tidak tahu siapa ujudmu sebenarnya!" Nyi Retno umbar suara tertawa.

Ketika terjadi perubahan atas diri Wira Bumi tadi Nyi Retno Mantili sempat melihat dan juga mendengar Ki Luwak lreng masih memanggil gadis berpakaian merah dengan sebutan Kanjeng Patih. Walaupun otaknya tidak waras namun dalam keadaan dan hal-hal tertentu Nyi Retno Mantili mampu berpikir lebih jernih dari orang waras.

Nyi Retno arahkan boneka kayu pada kuda besar yang hendak menabraknya. Jari-jari tangan menekan. Dua larik cahaya putih menyambar keluar dari dalam dua mata boneka kayu. Menghajar telak kuda besar yang ditunggangi gadis berpakaian merah muda. llmu Sepasang Cahaya Batu Kumala! Dada terbelah, kaki kanan buntung. Kuda keras meringkik dahsyat lalu roboh ke tanah.

Wira Bumi dalam ujud gadis berpakaian merah muda cepat selamatkan diri dengan melesat ke udara, jungkir balik lalu melayang turun ke belakang Ki Luwak lreng yang sampai saat itu masih kebingungan. Apa lagi barusan menyaksikan kematian kuda besar dihantam dua cahaya yang keluar dari sepasang mata boneka kayu.

"Ki Luwak Ireng! Aku Patih Kerajaan! Bunuh perempuan yang memegang boneka itu!"

Saat itu fajar telah menyingsing dan keadaan menjadi cukup terang. Ki Luwak berpaling. Dia tetap saja melihat gadis cantik berpakaian merah, bukannya sang Patih Kerajaan. Tokoh silat ini jadi tambah bingung. Di saat yang sama Nyi Retno Lestari sudah melompat ke hadapan kedua orang itu sambil mengacungkan boneka kayu.

"Ki Luwak! Lekas hantam! Tunggu apa lagi." Teriak gadis baju merah muda alias wira Bumi yang jengkel melihat tokoh silat itu hanya tertegak bengong. "Habisi perempuan yang memegang boneka itu! Pasti dia yang telah membunuh Bantarangin!"

Untungnya Ki Luwak lreng cepat sadar dan menguasai diri. Tokoh silat ini memang tidak tahu siapa sebenarnya perempuan cantik bertubuh kecil memegang boneka itu. Dia melompat ke arah Nyi Retno Mantili sambil tangan kanan lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam penuh dalam jurus yang disebut Angin Melanda Puncak Mahameru.

"Wussss!" Angin sedahsyat badai menghantam Nyi Retno Mantili hingga tubuhnya yang kecil terangkat satu tombak ke udara. Ki Luwak lreng susul serangannya tadi dengan pukulan tangan kiri bernama Tombak Akhirat.

Dalam keadaan tak berdaya selagi tubuhnya terangkat ke udara, Nyi Retno Mantili tidak mampu mengelakkan serangan kedua yang jangankan tubuh manusia, tembok batupun bisa jebol!

Pada saat itulah dari tubuh boneka kayu tiba-tiba melesat keluar cahaya berwarna jingga, menebar demikian rupa membentengi tubuh Nyi Retno Mantili di sebeiah depan. Nyi Retno sendiri tidak menyadari hal ini bisa terjadi karena Kiai Gede Tapa Pamungkas secara sengaja dan diam diam telah menyimpan ilmu yang disebut Cahaya Dewa Turun Ke Bumi di dalam boneka kayu untuk sewaktu-waktu melindungi perempuan malang itu.

"Dess! Dess!"

Dua kekuatan balas menerpa pukulan Tombak Akhirat. Ki Luwak lreng berseru kaget. Tubuhnya terjajar ke belakang. Selagi dia berusaha mengimbangi diri, Nyi Retno Mantili gerakkan lima jari yang memegang pinggang boneka kayu.

"Tua bangka. hitam keling! Aku tak ingin membunuhmu! Tapi kau yang sengaja minta mati! Hik hik!"

Lima jari memencet pinggang boneka. Dua larik sinar putih menyambar. Ki Luwak lreng berseru kaget. Dia sudah mendengar bagaimana kematian menimpa dua orang kawannya di Gedung Kepatihan malam tadi. Barusan dia juga melihat tewasnya Bantarangin Kepala Pengawal.

"Jangan-jangan..."

Drettt! Dreettt! Seperti digorok gergaji besar tubuh Ki Luwak lreng terbelah mulai dari bahu kiri sampai kepinggul kanan. Tokoh silat lstana ini keluarkan jeritan panjang sebelum tubuhnya roboh tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Darah menggenang.

Sadar kalau kini dirinya kini yang akan jadi incaran, gadis berpakaian merah muda alias Patih Wira Bumi, walau telah dilarang oleh Nyai Tumbal Jiwo, dalam kekawatirannya segera saja lepaskan pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat ke arah Nyi Retno Mantili. Selarik angin ganas dan luar biasa dingin menyambar ke arah batok kepala perempuan itu.

Bilamana serangan ini mengenai sasaran maka kepala Nyi Retno Mantili akan ditambus hawa dingin laksana dipendam di gunung salju lalu kepala itu akan meledak secara mengerikan!

"Hik hik! Kemuning! Ada orang hendak membunuh kita dengan ilmu setan!"

Satu kekuatan aneh menarik Nyi Retno Mantili hingga terguling di tanah. Bersamaan dengan itu tangan kanan diangkat. Lima jari memencet pinggang boneka kayu yang telah diarahkan pada gadis berpakaian merah muda alias Wira Bumi. Hanya dalam kejapan mata dari dalam dua mata boneka kayu menyambar keluar Sepasang Cahaya Batu Kumala.

"Craasss!" Seperti dibabat golok besar luar biasa tajam leher gadis baju merah muda putus! Tak ada jeritan. Tubuh terbanting jatuh, kepala menggelinding di tanah. Di saat yang bersamaan di kejauhan terdengar suara kambing mengembik. Aneh!

Nyi Retno Mantili tertawa panjang. "Kemuning! Kita berhasil! Lihat! Manusia jahat pembunuh pengasuhmu sudah mampus! Dia kira dengan berganti rupa kita bisa ditipu! Hik hik! Apa kita akan meneguk darahnya? lhhh, jijik Ayo anakku, kita pergi sekarang!"

Nyi Retno Mantili sisipkan boneka kayu ke dalam kain bedongan yang melintang di atas dada, memutar tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

Kalau saja perempuan ini mau menyempatkan diri berada barang beberapa lama di tempat itu maka dia akan menyaksikan satu keanehan yang sulit dipercaya. Dia menyangka telah membunuh Wira Bumi yang merubah diri menjadi gadis cantik berpakaian merah, muda itu. Padahal itu tidak pernah terjadi!

Setelah Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat pembantaian tanpa membawa kuda coklat, dari bangkai kambing yang tergeletak di tanah melesat keluar sosok gadis berpakaian merah muda. Gadis ini melompat ke punggung kuda coklat. Satu cahaya merah berkelebat. Ujud gadis pakaian merah muda berubah menjadi sosok Patih Wira Bumi.

********************

BAB TIGA

SEHABIS membunuh Cagak Lenting alias Si Mata Elang. Perwira Tinggi Suko Daluh dan tokoh silat lstana Ki Wulur Jumena di Gedung Kepatihan, Nyi Retno Mantili meninggalkan Pendekar 212 Wiro Sableng begitu saja. Hal ini karena kesal sebab Wiro mencegah bahkan setengah memaksa agar dia tdak membunuh patih Wira Bumi yang sebenarnya adalah suaminya sendiri.

Wiro berusaha mengejar namun tak berhasil karena perempuan itu menerapkan ilmu kesaktian yang didapatnya dari Kiai Gede Tapa Pamungkas yaitu llmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri.

Setelah merasa berhasil membunuh Wira Bumi yang menyamar diri sebagai gadis cantik berpakaian ringkas merah muda kini Nyi Retno Mantili teringat sendiri pada sang pendekar. Sambil mengelus punggung boneka kayu Nyi Retno berkata,

"Kemuning anakku, kita harus mencari ayahmu itu. Hik hik! Apakah dia memang mau jadi ayahmu? Kita harus memberi tahu bahwa kita sudah berhasil membunuh manusia jahat bernama Wira Bumi. Tapi kita mau cari dia dimana? Jangan-jangan dia marah sama aku, sama kamu! Hik hik. Kalau dia memang marah lebih baik kita pergi saja ke tempat eyang sepuhmu Kiai yang di puncak Gunung Gede itu. Dulu kita pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Kalaupun dia marah, melihat kita datang lagi pasti Kiai merasa senang. Hik hik. Eh, mengapa aku bingung? Mana yang harus aku lakukan. Mencari ayahmu atau pergi ke Gunung Gede?"

Sementara Nyi Retno Mantili berada dalam keadaan bingung, di tempat lain murid Sinto Gendeng juga bingung tidak tahu mau mencari perempuan itu kemana.

"Dua hari dia menghilang. Apakah mungkin dia kembali ke Kotaraja, mengincar Wira Bumi di Gedung Kepatihan?"

Wiro garuk-garuk kepala lalu duduk di bawah sebatang pohon tak jauh dari satu bukit kecil di selatan Kotaraja. Dia kemudian ingat akan ucapan Datuk Rao Basaluang Ameh sewaktu muncul bersama harimau putih sakti membawa bayi Nyi Retno Mantili yang diberi nama Ken Permata.

"Ada baiknya kau dampingi ibunya. Bukan hanya untuk mengharapkan kesembuhan penyakitnya. Tapi juga untuk melindungi perempuan malang itu dari bermacam bahaya yang mengancam."

Dalam hati Wiro berucap sendiri. "Nyi Retno menerima banyak ilmu dari Kiai Gede Tapa Pamungkas. Dia mampu menjaga diri. Namun ada ucapan Datuk Rao yang membuatku merasa punya ganjalan."

Dalam pertemuan itu memang Datuk Rao Basaluang Ameh mengeluarkan kata-kata: "Sebelum pergi ada satu hal yang perlu aku beritahukan... Kau harus mengerti dan bersiap diri. Hadapi dengan bijaksana kalau nanti kau melihat kenyataan bahwa Nyi Retno Mantili, ibu Ken Permata mencintai dirimu..."

Lama Wiro merenung. Perempuan itu memang sering menunjukkan rasa suka dan juga rasa cemburu padaku. Tapi apakah hal itu keluar dari hati dan pikirannya yang waras? Ah, dimana dia sekarang. Mungkin kembali ke tempat Kiai Gede di Gunung Gede?"

Saat itu matahari baru saja tersembul di permukaan bumi. Tiupan angin masih terasa dingin. Wiro merasa letih dan ingin istirahat sekedar memejamkan mata. Tiba-tiba dia mendengar suara kambing mengembik. Mula-mula Wiro tidak mengambil perhatian. Acuh saja dia terus pejamkan kedua matanya. Tapi pikirannya jalan.

"Masih pagi begini rupa apa sudah ada orang mengangon ternak? Suara embikan kambing tadi. Bukan suara embikan biasa. Suara embikan binatang yang ketakutan sewaktu mau dijagal!"

Mendadak lapat-lapat dia kemudian mendengar suara tawa cekikikan. Suara tawa perempuan. Murid Sinto Gendeng langsung melompat dari duduknya. Tegak menggaruk kepala.

"Aku mengenali betul! Itu suara tawa Nyi Retno Mantili!" Tidak menunggu lebih lama Wiro melompat dan lari ke arah terdengarnya suara tawa cekikikan tadi. Dalam kencang-kencangnya berlari Wiro tiba-tiba berhenti. Di hadapannya terpentang satu pemandangan mengerikan. Di tengah jalan berputar-putar seekor kuda besar. Tak jauh dari situ tergelimpang sesosok tubuh bergelimang darah. Wiro cepat mendekati.

"Gila, dadanya terbelah. Siapa orang ini?" Wiro membungkuk. Lalu menarik kalung yang masih tergantung dileher mayat. Kalung itu terbuat dari perunggu, berbentuk bola dunia diapit dua ekor naga bermahkota bintang di atas kepala.

"lni lambang abdi tingkat tinggi Kerajaan..." ucap Wiro. "Orang ini pasti pejabat Kerajaan... dugaan Wiro tidak salah karena mayat yang ditemukannya itu adalah mayat Bantarangin Kepala Pengawal Gedung Kepatihan.

Memandang berkeliling di bagian lain jalan tanah Wiro melihat seekor kuda besar tergeletak Salah satu kaki depan buntung, dada terbelah. Tak jauh dari bangkai binatang ini terkapar sosok seorang kakek berjubah ungu yang telah jadi mayat dengan luka melintang di dada. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala, masih ada satu sosok lagi yang terkapar di tengah jalan. Yaitu seekor kambing dalam keadaan kepala putus. Kutungan kepala tersuruk di kaki semak belukar di pinggir jalan.

"Ada kuda mati dengan dada terbelah kaki buntung. Dua mayat manusia. Dua-duanya tewas dengan tubuh setengah terbelah. Lalu ada kambing yang lehernya dibabat putus! Kambing! Aneh! Mengapa ada kambing di tempat ini? Apa ada orang yang mau menyate?!"

Dua mayat manusia, seekor kuda dan seekor kambing. Tampaknya menemui kematian dengan cara yang sama.

"Mungkin si penjagal menggunakan golok luar biasa besar untuk menebar maut! Tapi mengapa kulihat ada tanda-tanda daging hangus dipinggiran luka yang menguak... Berarti ada tenaga dalam dan hawa saki menyertai serangan yang mematikan."

Wiro perhatikan lagi dua mayat yang tergeletak di tanah sambil menduga-duga siapa adanya kedua orang ini. Tiba-tiba dia mendengar suara orang menangis. Pilu berhiba-hiba. Wiro memandang ke arah kejauhan dari mana datangnya suara tangisan. Dia melangkah mendatangi. Begitu sampai di tempat yang diperkirakan asal suara orang menangis dia tidak menemukan siapa-siapa. Suara tangisan pun tidak terdengar lagi.

"Aneh, suara itu aku yakin tadi datangnya dari sekitar tempat ini." Wiro memandang berkeliling sambil menggaruk kepala.

Tiba-tiba suara tangisan terdengar lagi. Kini datangnya dari balik deretan pepohonan besar yang tumbuh rapat di ujung kiri. Wiro menunggu sebentar. Suara tangisan semakin keras dan memilukan. Setelah memastikan dari mana arah datangnya tangisan itu Wiro berkelebat ke balik deretan pohon besar, menyelinap ke balik serumpunan semak belukar dan mengintip.

Hanya sejarak sekitar sepuluh langkah di hadapannya dia melihat seorang perempuan berpakaian ringkas merah muda duduk di atas gundukan tanah membelakanginya. Kepala ditumpangkan di atas lutut. Wajah ditutup dengan dua tangan. Dari potongan pakaian yang membungkus tubuhnya yang bagus, wiro bisa menduga perempuan yang menangis masih berusia muda. Wiro menggaruk kepala.

"Pagi hari, di tempat sepi begini rupa ada perempuan terpesat dan menangis. Pakaiannya rapi berarti tidak ada orang yang mencelakainya. Perlu juga kucari tahu siapa dia, apa masalah yang tengah dihadapinya. Mudah-mudahan saja dia seorang gadis berwajah cantik. Kalau ternyata dia seorang nenek bertampang buruk, sial diriku. Pagi-pagi sudah melihat pemandangan menyepatkan mata!"

Wiro keluar dari balik semak belukar, mendekati perempuan yang menangis dari arah belakang. Perempuan yang duduk di gundukan tanah hentikan tangis. Lalu terdengar suaranya berucap.

”Suprana, aku tak mau melihatmu lagi! Pergilah! Kau telah menewaskan kudaku! Kau telah membunuh dua pengawalku! Sekalipun kau membunuh diriku, aku tidak akan menyerahkan batu pusaka Widuri Bulan Kembar padamu!" Habis berucap perempuan ini kembali menangis.

Wiro hentikan langkah. Menggaruk kepala lalu sambil tersenyum bertanya. "Apakah orang bernama Suprana itu juga membunuh kambingmu?"

Gadis yang duduk di tanah hentikan tangis. Kepala diangkat tapi dua tangan masih menutupi wajah. "Kau siapa? Suaramu lain. Kau bukan Suprana!"

"Aku memang bukan Suprana. Sahabat, agaknya kau baru mengalami satu peristiwa hebat mengenaskan." Wiro bergerak melangkah.

"Tunggu! Tetap di tempatmu! Aku tidak percaya pada laki-laki yang belum kenal tapi sudah bicara berbaik-baik..."

Wiro tertawa tapi seperti yang dikatakan orang dia hentikan langkah. Perempuan yang duduk di tanah perlahan-lahan bangkit berdiri lalu memutar tubuh. Ketika dua tangannya diturunkan Wiro melihat satu wajah cantik, berpipi dan berbibir merah segar. Sepasang mata coklat menatap penuh pesona.

"Kau siapa? Sudah berapa lama kau mengintipku menangis?" bertanya gadis berbaju merah muda.

"Aku bukan lelaki tukang intip. Kebetulan saja aku mendengar suara tangismu lalu mendatangi ke tempat ini."

"Rambutmu gondrong! Bajumu sengaja dibuka di bagian dada. Itu pertanda kau seorang pemuda nakal!"

Wiro tertawa gelak-gelak. "Kalau kepalaku botak lalu bajuku ditutup rapat seperti pocong, apakah kau akan menilaiku sebagai pemuda baik-baik?"

Si gadis tidak menjawab. Hanya menatap memperhatikan sang pendekar. Dia kemudian menutup wajah dengan kedua tangan seperti hendak menangis kembali.

"Sudah, mengapa menangis terus-terusan. Katakan apa yang telah terjadi. Siapa tahu aku bisa menolong. Tadi kau menyebut-nyebut seorang bernama Suprana. Orang itu membunuh kuda dan dua pengiringmu serta seekor kambing..."

"Kambing itu bukan milikku. Tapi kebetulan lewat dan terkena tendangan nyasar..."

"Ah... Kalau kambing itu terkena tendangan nyasar pasti kepalanya hancur. Tapi mengapa lehernya yang putus?"

"Kau... kau hendak mengatakan aku berdusta? Kau jahat!"

"Tidak, maksudku bukan begitu," jawab Wiro.

"Orang hendak merampas batu Widuri Bulan Kembar milikku. Kalau aku tidak lekas menyelamatkan diri pasti dia juga sudah membunuhku."

"Batu Widuri Bulan Kembar itu pasti sangat berharga."

"Kau tidak pernah mendengar Batu Widuri Bulan Kembar yang bisa membuat orang kebal segala macam senjata dan pukulan sakti musuh?" Bertanya si gadis.

Wiro gelengkan kepala. "Batu itu berasal dari batu pusaka milik satu kerajaan di timur. Kalau aku perlihatkan padamu, apakah kau tidak akan bermaksud jahat merampasnya?"

Wiro tertawa. "Aku bukan pencuri, juga bukan rampok Apa lagi bapak moyangnya rampok!"

"Baik, akan kuperlihatkan padamu. Batu itu diikat dalam bentuk kalung yang tergantung dileherku."

Si gadis maju dua langkah mendekati Wiro lalu menggerakkan dua tangannya. Tadinya murid Sinto Gendeng mengira si gadis akan menarik keluar kalung dari balik pakaiannya. Tapi apa yang dilakukan si gadis sungguh diluar dugaan. Tiba-tiba saja dengan cepat sekali dia membuka lebar-lebar baju merahnya di bagian atas.

Sepasang mata Pendekar 212 membesar. Kalung yang tergantung di leher si gadis ternyata tidak memiliki ikatan mata berupa batu yang disebut Batu Widuri Bulan Kembar.

"Sudah kau lihat batunya?" bertanya si gadis.

"Aku..." Wiro menggaruk kepala. Matanya masih tidak bisa lepas dari memperhatikan pemandangan yang menakjubkan di depannya. "Aku... aku tidak melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Yang aku lihat benda kembar..."

Si gadis tertawa. Wiro ikutan tertawa. Tiba-tiba sekali, tidak disangka-sangka tangan kanan gadis itu melesat ke depan.

"Bukkk!" Wiro terpental lima langkah. Mulut semburkan darah segar. Dua lutut goyah. Tubuh ambruk ke tanah!

Gadis baju merah muda memekik girang. Aku berhasil membunuhnya!" Sebagai jawaban ada suara mengiang di telinga si gadis.

"Bagus! Rimba persilatan tanah Jawa akan geger! Wira Bumi, apa yang telah kau lakukan membuat aku bisa lebih cepat enam puluh hari memperlihatkan ujudku kembali. Tapi lekas tinggalkan tempat ini. Ada seseorang mendatangi."

BAB EMPAT

DUA ORANG berkelebat. Satu dari arah barat, satu lagi dari jurusan timur. Yang dari tirnur sampai duluan di samping sosok Pendekar 212 Wiro Sableng yang tergeletak di tanah. Orang ini terguncang hebat. Mulut langsung keluarkan seruan tertahan. Ternyata dia adalah seorang gadis cantik berambut hitam tebal panjang sepinggang, bermata biru. Telinga di hias anting, leher digantungi kalung dan dua tangan digelung gelang. Semua perhiasan ini terbuat dari kerang hijau dan membuat penampilannya tampak lebih anggun. Ratu Duyung!

Siapa lagi kalau bukan gadis sakti kepercayaan Nyai Roro Kidul penguasa laut selatan! Gadis yang selama ini diketahui mencintai pendekar 212 Wiro Sableng dengan setulus hati. Telah begitu banyak berbagi suka dan duka, saling menaut budi bahkan saling menyelamatkan jiwa.

"Wiro! Apa yang terjadi?!"

Jawaban hanya suara mengerang halus. Berarti Wiro dalam keadaan setengah siuman setengah pingsan dan lemas tiada daya. Ratu Duyung berlutut di tanah, memeriksa keadaan Pendekar 212. Darah yang menodai mulut dan dagu Wiro diseka dengan ujung lengan jubah. Gadis ini kemudian letakkan telinga di dada kiri. Dia masih mendengar detak jantung tapi sangat lemah. Ratu Duyung tempelkan dua telapak tangan di dada Wiro lalu kerahkan tenaga dalam sakti mengandung hawa dingin hingga tubuh Pendekar 212 kepulkan asap putih.

"Wiro sadar! Buka matamu! Wiro!" Ratu Duyung tepuk-tepuk pipi Wiro. Namun dua mata Wiro tetap saja tertutup. Tarikan nafas perlahan sekali dan wajahnya perlahan-lahan tampak agak kebiruan.

"Ada racun jahat dalam tubuhnya. Aku harus mengeluarkan! Tapi bagaimana?! Aku harus melakukan sesuatu! Paling tidak menghambat jalan racun agar tidak masuk ke dalam jantung! Gusti Allah tolong kami!"

Ratu Duyung lalu membuat lima totokan di tubuh Wiro. Dua di pangkal leher kiri kanan. Satu pada pertengahan dada. Dua di dada kiri arah jantung. Selesai menotok Ratu. Duyung tatap sekujur tubuh Wiro lalu kerahkan ilmu Menembus Pandang yang seharusnya tidak boleh dilakukan untuk melihat aurat orang lain apa lagi aurat lawan jenis. Namun dia tidak bisa berbuat lain karena dia harus tahu bagian tubuh mana dari sang pendekar yang cidera, sekaligus mencari tahu dari mana masuknya racun yang kini ada dalam tubuh pemuda itu.

Lewat ilmu yang diterapkan gadis bermata biru ini melihat ada sesuatu di dada Wiro. Dengan cepat dia membuka baju putih yang dikenakan Wiro. Begitu bagian dada tersingkap gadis ini tersentak kaget. Pada dada Wiro sebelah kiri, sedikit di bawah arah jantung dia melihat tanda merah kehitaman berbentuk telapak tangan dengan lima jari terkembang.

Satu bayangan putih tiba tiba berkelebat. Ini adalah orang yang datang dari arah barat. Sesaat kemudian di tempat itu telah berdiri seorang kakek berambut putih panjang riap-riapan. Janggut sedada, kumis menjulai putih. Dua mata gembung rapat seperti buta.

"Pukulan Telapak Roh. Jahat sekali!" Orang tua berpakaian putih keluarkan ucapan. Suaranya bergetar seperti orang menggigil kedinginan.

Ratu Duyung melompat bangkit. Tangan kanan cepat sekali diletakkan di atas batok kepala si orang tua. Tangan yang sudah dipenuhi tenaga dalam tinggi itu siap untuk melancarkan pukulan maut bemama Genta Laut Selatan. Jika pukulan itu sampai dilakukan, si orang tua akan rengkah kepalanya dan nyawa tidak akan tertolong lagi. Namun si orang tua tetap unjukkan sikap tenang, menatap Ratu Duyung sejurus lalu perhatikan sosok wiro dengan pandangan sedih.

"Kau siapa?" tanya Ratu Duyung dengan suara keras mata mendelikdan hati penuh curiga.

"Namaku Ki Balang Kerso. Aku seorang kuncen." Orang tua bermata gembung berpakaian putih menjawab.

"Kuncen?! Setahuku tidak ada makam apa lagi pekuburan di kawasan ini." Ratu Duyung memperhatikan penuh selidik.

"Aku kuncen di pemakaman Kebonagung, di luar Kotaraja!"

"Kau mengetahui nama pukulan yang menciderai pemuda itu. Berarti kau tahu siapa orang yang mencelakai sahabatku ini!"

"Ah... ternyata dia sahabatmu. Aku tahu siapa yang punya ilmu pukulan Tapak Roh itu. Namun belum tentu dia pelakunya..."

"Kuncen, apa maksudmu?!" tanya Ratu Duyung.

"Ilmu Tapak Roh kini dimiliki dua orang. Pertama Nyai Tumbal Jiwo..."

"Aku pernah mendengar nama itu. Bukankah dia nenek jahat dari alam roh?"

Kuncen bernama Ki Balang Kerso anggukkan kepala.

"Siapa pemilik ilmu Tapak Roh yang kedua?"

"Murid Nyai Tumbal Jiwo. Namanya..." Belum sempat Ki Balang Kerso selesaikan ucapan tiba-tiba lima larik sinar merah menyambar mengarah bagian belakang tubuh Ki Balang Kerso.

"Awas, ada yang membokong!" teriak Ratu Duyung lalu jatuhkan diri sambil secepat kilat mendorong tubuh si orang tua hingga keduanya jatuh bergulingan di tanah. Ki Balang Kerso terdengar mengerang.

Empat larik sinar merah menderu di atas tubuh kedua orang itu. Larikan ke lima masih sempat menyerempet bahu kanan Ki Balang Kerso hingga menimbulkan luka besar menguak Darah mengucur deras. Tubuh sang kuncen sebelah kanan tampak menghitam.

"Pukulan Lima Jari Akhirat..." Ucap Ki Balang Kerso diantara erang kesakitan. Terbungkuk-bungkuk dia bangkit lalu dengan tubuh menghuyung dia cepat tinggalkan tempat itu.

"Tunggu!" Teriak Ratu Duyung. "Kau mau kemana?! Kau belum mengatakan pemilik ilmu pukulan Tapak Roh kedua..."

Tanpa berhenti Ki Balang Kerso menyahuti. "Aku lebih mementingkan keselamatan diriku! Kalau aku tidak menemukan obat penangkal sampai tengah hari nanti, sekujur tubuhku akan membusuk!"

Ratu Duyung hendak mengejar. Namun terpaksa batalkan niat karena bagaimanapun juga Wiro harus ditolong lebih dulu. Dia harus berbuat sesuatu. Racun dalam tubuh Wiro harus segera dikeluarkan. Tapi bagaimana caranya? Sambil mengusap kening Pendekar 212 Ratu Duyung berpikir keras. Ketika dia hendak membersihkan sisa darah yang masih melekat di bibir Wiro, gadis ini berpikir.

"Darah keluar dari mulut. Berarti ada racun yang ikut keluar. Kalau aku bisa menguras darah itu dengan cara menyedot..."

Tidak berpikir panjang lagi Ratu Duyung membungkuk. Mulutnya ditempelkan ke mulut Pendekar 212. Belum sempat dia menyedot tiba-tiba ada tawa cekikikan disusul ucapan.

"Hik hik! Apa enaknya berciuman dengan orang pingsan!"

BAB LIMA

Ratu Duyung tersentak kaget sekaligus marah mendengar ucapan orang. Berpaling ke kiri dia melihat bocah berambut jabrik berpakaian hitam Naga Kuning berdiri beberapa langkah di sampingnya.

”Bocah jahil! Enak saja kau bicara! Siapa yang hendak berciuman! Kau lihat sendiri keadaan Wiro yang seperti orang sekarat!” Ucap Ratu Duyung dengan suara keras dan mata melotot.

Bersama Naga Kuning ada nenek muka setan Gondoruwo Patah Hati dan Purnama si cantik dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun silam. Ratu Duyung walau jengkel mendengar ucapan Naga Kuning namun dia lebih merasa tidak enak melihat munculnya Purnama di tempat itu. Apalagi jika dia ingat peristiwa di goa di Teluk Losari ketika Purnama memeluk, menciumi bahkan menindih tubuh Wiro.

(Baca serial Wiro Sableng Topan Di Gurun Tengger)

Namun sadar kalau selama ini dia dan gadis dari alam roh itu sudah senasib sepenanggungan saling berbagi budi maka Ratu Duyung unjukkan wajah jernih dan hati polos.

"Sahabat Purnama, syukur kau datang." Kata Ratu Duyung. "Aku menemukan Wiro tergeletak pingsan. Ada orang menciderainya dengan pukulan mengandung racun bernama pukulan Telapak Roh. Menurut seorang kuncen yang barusan saja meninggalkan tempat ini salah seorang dari dua yang memiliki ilmu pukulan beracun itu adalah seorang nenek jahat bernama NyaiTumbal Jiwo..."

"Apa?" Kejut Purnama bukan alang kepalang. "Aku sudah melabrak nenek jahat itu. Sosoknya sudah tercabik-cabik dan dia tidak bisa keluar dari alam roh selama seratus dua puluh hari..."

"Tapi ada lagi orang lain yang memiliki ilmu itu. Sayangnya si kuncen tidak sempat memberi tahu. Dia buru-buru pergi setelah celaka oleh serangan membokong..." Menerangkan Ratu Duyung. "Aku telah menotok tubuhnya di beberapa tempat untuk mencegah menjalarnya racun. Tapi aku tidak pasti dia bisa selamat sebelum racun dikuras dari aliran darahnya. Itu sebabnya tadi aku hendak menyedot racun langsung dari tubuhnya. Tapi bocah bermulut ember ini menuduhku yang bukan-bukan..."

"Maafkan aku Ratu. Tadi aku hanya bergurau..." kata Naga Kuning.

Gondoruwo Patah Hati berkata. "Bergurau ada tempatnya! Itu sebabnya aku berulang kali minta kau menjaga mulutmu yang seperti kaleng rombeng itu!"

Habis memarahi, si nenek jitak kepala si bocah hingga Naga Kuning meringis kesakitan. Ratu Duyung sibakkan baju Wiro untuk menunjukkan bekas pukulan berbentuk telapak tangan dengan lima jari terkembang.

"Heran, mengapa belakangan ini musibah datang silih berganti menimpa Wiro..." Ucap Purnama.

Ratu Duyung hanya bisa gelengkan kepala lalu berkata." Sahabat, aku tahu, kau hafal semua isi Kitab Seribu Pengobatan. Mungkin kau bisa menemukan cara untuk mengobati Wiro."

"ltu memang yang akan aku lakukan. Berdoalah bagi keselamatan Wiro." jawab Purnama. Lalu gadis ini letakkan tangan kanan di atas dada yang ada tanda pukulan. Setelah merenung sejenak Purnama pejamkan mata. Tak selang berapa lama mulutnya berucap.

"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman Dua Ratus Lima. Pengobatan ke Delapan Ratus Dua Puluh. Barang siapa terkena pukulan beracun yang meninggalkan tanda cidera langsung pada bagian tubuh yang dipukul maka berarti aliran darahnya telah tercemar racun dan menyebabkan nyawanya hanya bisa bertahan paling lama satu minggu. Untuk menolong ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama memohon dan berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Penyembuh agar orang yang cidera disembuhkan dan penyakitnya. Kedua memasukkan tenaga dalam tinggi ke dalam tubuhnya. Ketiga membuat sayatan kecil pada dua ujung ibu jari kaki. Maka darah hitam kental akan keluar. Bilamana darah berubah menjadi merah segar pertanda orang itu sudah selamat dari keganasan racun. Untuk membuat seluruh tubuhnya menjadi lebih bersih, orang tersebut harus minum godokan air sirih dicampur merang selama tiga hari berturut-turut. Namun ada satu hal perlu diingat. Bilamana orang yang cidera memiliki ilmu kebal racun atau mempunyai pegangan berupa benda sakti di dalam tubuhnya, maka jangan sekali-kali memasukkan tenaga dalam tinggi. Sebaliknya justru kekuatan tenaga dalam dipergunakan untuk menyedot kekuatan yang ada di tubuh orang itu atau yang ada dalam benda pegangan lalu dialirkan kembali ke dalam tubuhnya. Setelah kekuatan memancar dan mengalir ke dalam tubuh orang yang cidera maka darahnya akan bersih, semua racun akan keluar melalui sayatan di dua ibu jari kaki..."

Selesai berucap Purnama buka kedua mata, menatap pada Ratu Duyung, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati.

"Kita harus melakukan sekarang juga sesuai petunjuk Kitab." Berkata Gondoruwo Patah Hati.

"Setahuku Wiro punya ilmu kebal racun!" kata Naga Kuning. "Selain itu Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Batu Sakti Hitam berada dalam tubuhnya. Berarti dia sudah punya kekuatan penangkal. Hanya saja tidak bisa di berdayakan karena dia keburu pingsan."

Gondoruwo Patah Hati usap kepala si bocah. "Kowe anak pinter. Berarti kita tidak perlu memasukkan tenaga dalam ke dalam tubuh Wiro. Justru menyedot dan mengandalkan kekuatan yang ada dalam tubuh dan senjata pegangannya."

"Kau juga pinter Nek," jawab Naga Kuning sambil mengusap pantat si nenek. Karuan saja Gondoruwo Patah Hati sikut rusuk si bocah hingga untuk kesekian kali Naga Kuning meringis kesakitan.

"Kurasa sebaiknya kita mulai sekarang juga." Kata Ratu Duyung.

"Aku memilih bagian kepala." Lalu gadis bermata biru ini letakkan telapak tangan kanannya di atas kening Wiro.

"Aku bagian dada." ucap Purnama seraya tempelkan dua tangan sekaligus di dada sang pendekar.

Aku di sini saja," kata Gondoruwo Patah Hati kemudian letakkan dua tangan di atas perut di bawah pusar Wiro.

Melihat hal ini Naga Kuning langsung senyum-senyum dan berkata. "Nek, kau selalu mencari tempat yang enak dan empuk."

"Jangan usil! Kita semua bermaksud menolong. Tidak ada yang punya niat jahil, tahu!" Jawab si nenek yang mukanya menjadi merah kelam karena jengah.

"lya Nek," Kata Naga Kuning yang melihat si nenek marah lalu alihkan pembicaraan. "Siapa yang akan membuat sayatan di ujung ibu jari Wiro? Tentu saja kau Nek. Kau punya sepuluh kuku jari panjang dan lancip. Habis menyayat langsung saja letakkan tanganmu di dua kaki Wiro untuk menyedot tenaga dalam. Aku biar memegang di bagian perut."

"Bocah culas!" Umpat Gondoruwo Patah Hati kembali jengkel.

Naga Kuning senyum-senyum cengengesan. Mau tak mau si nenek angkat tangannya dari bawah pusarwiro lalu dengan kuku tangan yang panjang dia membuat dua sayatan kecil di ujung ibu jari kaki Wiro kiri kanan. Setelah itu masih agak jengkel dia letakkan dua tangannya di paha Wiro pada bagian di atas lutut. Masing-masing saling memberi isyarat lalu semuanya mulai menyedot kekuatan hawa sakti yang ada di dalam tubuh Wiro.

"Dess! Desss! Desss! Desss!"

Tubuh Wiro bergoncang keras. Empat letupan terdengar disertai keluarnya kepulan asap merah dari tubuh sang pendekar. Ratu Duyung dan tiga orang lainnya merasakan ada hawa panas yang tersedot, membuat tangan mereka bergetar. Perlahan-lahan hawa panas berubah menjadi hawa sejuk. Bersamaan dengan lenyapnya getaran pada tangan, dari dua sayatan kecil di ibu jari dua kaki Wiro mengucur keluar darah hitam pekat. Tak lama kemudian warna darah yang keluar sedikit demi sedikit berubah menjadi merah segar lalu kucuran darah berhenti sama sekali. Semua orang menarik nafas lega.

Sepasang mata Wiro masih tertutup. Namun mulut terbuka lalu pemuda ini berucap. "Aku... aku tidak melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Aku melihat dada besar. Nyi Retno Mantili kau berada dimana...?"

BAB ENAM

Karuan saja semua orang jadi terkejut mendengar ucapan Wiro dan saling pandang sementara si bocah Naga Kuning tidak dapat menahan tawa cekikikan.

"Ada yang tidak beres. Pasti ada kejadian hebat sebelum sobat kita ini jatuh pingsan! Mungkin juga dia pingsan karena melihat dua payudara besar, putih dan kencang! Hik hik hik...”

Tawa cekikikan naga kuning terhenti begitu jambakan Gondoruwo Patah Hati mapir di rambutnya yang jabrik.

"Nek, kenapa kau marah! Aku cuma mengulang ucapan sobat kita tadi," kata Naga Kuning sambil meringis kesakitan dan usap-usap kepalanya. "Soal apa yang terjadi nanti tanya saja sama Wiro. Lihat, matanya sudah terbuka tanda dia sudah siuman."

Saat itu Wiro memang telah sadar. Dia tampak terheran-heran melihat dirinya terbaring di tanah, dikelilingi oleh Ratu Duyung, Purnama, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Sambil menggaruk kepala Wiro memandang berkeliling.

"Siapa yang kau cari?" tanya Naga Kuning mulai usil lagi. "Dua dada besar putih dan kencang? Hik hik hik!"

Wiro melongo. Dia belum mengerti arti pertanyaan si bocah jabrik. "Heh. apa yang terjadi. Bagaimana kalian semua bisa ada di sini?"

"Nek, ayo tanya saja sama dia..." Naga Kuning berkata pada Gondoruwo Patah Hati.

Si nenek membuka mulut. Tapi bukan bertanya soal payu dara yang besar putih dan kencang melainkan apa yang terjadi dengan Wiro. Murid Sinto Gendeng menerangkan pertemuannya dengan gadis berpakaian merah muda. Ketika sampai pada kejadian si gadis membuka baju memperlihatkan dada. Wiro tidak meneruskan. Dia berpaling pada anak ini. Naga Kuning cepat berkata.

"Nah Nek, apa kataku,"

Gondoruwo Patah Hati yang diajak bicara diam saja sementara Purnama dan Ratu Duyung saling pandang.

"Naga Kuning. memangnya apa yang terjadi dengan diriku?" bertanya Wiro.

"Sobat, tadi kau seperti orang bermimpi mengigau. Kau berkata begini. Aku tidak melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Kau juga menyebut nama Nyi Retno Mantili. Nah, nah, kau mau menerangkan bagaimana?"

Wiro menatap Naga Kuning sesaat lalu menggaruk kepala. Karena Wiro masih belum memberikan jawaban Naga Kuning kembali membuka mulut.

"Aku yakin kau bukan cuma mengigau. Tapi melihat dada benaran. Aku juga yakin yang kau lihat bukan dada Nyi Retno Mantili. Karena perempuan cantik itu tubuhnya kecil. Berarti dadanya juga kecil. Padahal yang lihat dada besar..."

"Huss! Bocah konyol! Kau ini bicara apa!" Hardik Gondoruwo Patah Hati sambil mencubit pinggang Naga Kuning hingga bocah ini melintir kesakitan.

Setelah pandangi orang-orang yang ada di hadapannya Wiro akhirnya berkata. "Aku memang tidak mimpi. Tidak ngigau. Aku memang melihat dada benaran. Gadis yang aku temui sedang menangis. Gadis itu sendiri yang membuka pakaiannya dan memperlihatkan padaku..."

Naga Kuning tertawa cekikikan, sementara dua gadis dan satu nenek hanya berdiam diri dengan wajah berubah merah.

"Aneh, ceritamu tidak nyambung. Kalau menangis mengapa memperlihatkan dada?" tanya Naga Kuning pula.

"Gadis itu menipuku. Dia sengaja bertindak begitu untuk membuatku lengah. Ketika aku benar-benar lengah dia menghantam dengan satu pukulan keras."

Pukulan Telapak Roh hanya dimiliki Nyai Tumbal Jiwo," kata Ratu Duyung pula. "Tapi turut keteranganmu yang memukulmu adalah seorang gadis."

"Kau tahu siapa adanya gadis berpakaian merah yang mencelakai dirimu itu?" bertanya Purnama. Wiro menggeleng.

"Lalu kenapa kau tadi menyebut-nyebut nama Nyi Retno Mantili?" tanya Gondoruwo Patah Hati.

"Perempuan itu menghilang setelah kuhalangi waktu dia hendak membunuh Wira Bumi Patih Kerajaan. Aku tengah mencarinya. Karena aku merasa bertanggung jawab jika sesuatu sampai terjadi dengan dirinya. Begitu pesan salah seorang guruku."

"Aku menyirap kabar ada tiga orang tokoh berkepandaian tinggi tewas sewaktu berlangsung pesta besar di Gedung Kepatihan. Apakah itu pekerjaan Nyi Retno Mantil?" Bertanya Purnama.

Murid Sinto Gendeng mengangguk. "Wiro, bagaimana perasaanmu sekarang?" bertanya Ratu Duyung.

"Aku merasa sehat. Astaga. Kalian semua telah menolongku. Aku masih belum mengucapkan terimakasih! Jeleknya adatku!" Pendekar 212 lalu membungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang pada ke empat orang itu.

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan? Masih mau mencari Nyi Retno Mantili," tanya Naga Kuning.

Wiro pegang bahu si bocah. ”Aku tidak tahu, Mungkin..."

"Wiro," memotong Ratu Duyung. "Aku hanya sekedar rnengingatkan. Bukankah kita berdua di minta datang ke gunung Gede oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas?"

"Aku ingat. Pesan itu disampaikan melalui Eyang Sinto Gendeng. Tapi kurasa tidak ada perlunya lagi. Kiai Gede Tapa Pamungkas minta kita datang ke tempat kediamannya dengan membawa Pedang Naga Merah yang pernah dimiliki paderi perempuan Loan Nio. Pedang itu sudah diambil oleh Eyang Sinto sewaktu terjadi pertempuran di Gedung Kadipaten Losari. Pasti pedang sudah diantar dan diserahkan sendiri oleh Eyang Sinto pada Kiai!"

"Aku ingat sekali kejadian di Gedung Kadipaten Losari," kata Ratu Duyung pula. "Walau sudah mendapatkan Pedang Naga Merah tapi gurumu yang saat itu bersama kakek Tua Gila sebelum pergi masih berkata agar aku dan kau tetap harus menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Berarti ada alasan lain mengapa Eyang Sinto tetap menyuruh kita menemui Kiai Gede. Kalau kau tidak ingin kesana karena ada urusan lain, aku tetap akan menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas seperti yang dikatakan Eyang Sinto."

Wiro menggaruk kepala. Tak bisa menjawab. Naga Kuning dekati Wiro, berjingkat lalu berbisik. "Wiro, kalau aku jadi kau lebih baik jalan bersama si cantik bermata biru ini. Dari pada mencari perempuan kurang waras yang punya anak kayu itu."

"Mulutmu sama jabriknya dengan rambutmu!" kata Wiro sambil tusukkan telunjuk tangan kanannya ke perut Naga Kuning. Membuat si bocah meliuk kegelian.

Setelah beberapa saat akhirnya Wiro berkata. "Kurasa memang ada perlunya kita menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Namun kalau tidak keberatan Ratu, kau boleh pergi lebih dulu. Aku menyusul beberapa hari berselang."

"Kalau begitu maumu, aku berangkat sekarang juga." Kata Ratu Duyung pula lalu tanpa banyak bicara lagi dia tinggalkan tempat itu.

"Wiro, seharusnya kau pergi sama-sama dengan sahabatmu itu." Berkata Purnama. "Jika kau tak mau jalan bersamanya biar aku yang menemaninya..." Habis berkata begitu gadis dari Latanahsilam ini segera mengejar Ratu Duyung.

Wiro terdiam tapi berpikir. Dalam hati dia berkata. "Aku kawatir, Purnama ingin menemani Ratu Duyung. Jangan-jangan ada yang ingin diketahuinya mengapa Kiai Gede Tapa Pamungkas meminta aku dan Ratu Duyung datang. Dia ingin menyirap kabar. Kalau-kalau..."

"Wiro," kata Naga Kuning. "Aku yakin Ratu Duyung kecewa dengan sikapmu. Bahkan Purnama bisa menyelami hati gadis bermata biru itu."

"Mungkin tindakanku keliru dan menyakitkan hati orang," sahut Wiro. "Tapi saat ini Patih Kerajaan terancam keselamatannya hendak dibunuh oleh Nyi Retno Mantili. Jangan-jangan Patih itu memang sudah dibunuh."

"Apa sebenarnya kepentinganmu sampai membela dan melindungi Patih Kerajaan begitu rupa?" bertanya Gondoruwo Patah Hati. "Setahuku Wira Bumi bukan orang baik. Bukankah kita semua sudah tahu kalau dia berguru pada nenek jahat Nyai Tumbal Jiwo, lalu punya niat keji membunuh bayinya sendiri, juga istrinya sendiri."

"Aku bukan membela dan melindungi Wira Bumi. Justru aku membela Nyi Retno Mantili dan bayinya. Karena seseorang punya pesan padaku. Bayi itu akan diserahkan pada ibunya pada malam Satu Suro mendatang di satu tempat di pantai selatan."

"Satu Suro masih cukup lama dari sekarang" kata Naga Kuning. "Selain itu kau mau-mauan secara tolol mencelakai diri sendiri untuk menolong orang."

"Aku menolong siapa saja yang aku suka. Semua tanpa pamrih. Kukira hal itu sudah menjadi pegangan semua orang-orang rimba persilatan." Jawab Wiro. Lalu menyambung ucapannya. "Aku juga dipesankan menjaga keselamatan Nyi Retno agar kelak bisa bertemu dengan puterinya dan diharapkan sembuh dari penyakit kehilangan ingatan. Kalau perempuan itu keburu mati, apa tidak kasihan pada sang bayi?"

"Kalau aku boleh tahu, dimana bayi itu sekarang?" tanya Gondoruwo Patah Hati pula.

"Di tanah seberang. Di Pulau Andalas. Dalam pemeliharaan seorang Datuk yang diam di dekat Danau Maninjau!" Jawab Wiro.

Tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat dari balik pohon besar.

"Hai! Kau!" Wiro sempat melihat gerakan orang dan cepat mengejar. Namun yang dikejar lenyap seperti ditelan bumi.

"Siapa?" tanya Gondowwo Patah Hati.

"Gadis baju merah muda yang memukulku."

"Pasti dia sembunyi sejak tadi di balik pohon itu. Jangan-jangan dia mendengar semua pembicaraan kita." Kata Gondowwo Patah Hati.

"Kawan-kawan, aku terpaksa meninggalkan kalian berdua." Kata Wiro.

"Kau mau kemana?!" tanya Gondoruwo Patah Hati.

“Aku belum tahu. Tapi aku punya firasat bayi Nyi Retno Mantili dalam bahaya!" jawab Wiro lalu berkelebat pergi ke arah lenyapnya bayangan merah tadi. Sambil lari murid Sinto Gendeng terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia melengak kaget ketika melihat jauh di depan sana seorang nenek berambut merah, bertubuh tinggi kerempeng berlari cepat ke arah selatan tanpa selembar benang pun menutupi auratnya. Wiro percepat lari agar bisa mengejar. Namun di satu lembah kecil dia kehilangan jejak.

"Apakah nenek bugil itu yang memukulku? Tidak mungkin. Aku ingat sekali. Yang memukul seorang gadis cantik..." Wiro akhirnya hentikan lari sambil garuk-garuk kepala. "Nenek itu menuju selatan. Kawasan laut. Apa aku harus menyelidik kesana? Lalu bagaimana dengan Nyi Retno?" Wiro juga ingat Ratu Duyung dan Purnama. Dan tiba-tiba saja dia ingat pada kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu yang terakhir muncul sebagai Dewi Pemikat.

(Baca serial Wiro Sableng Petaka Patung Kamasutra, Misteri Bunga Noda, lnsan Tanpa Wajah, Sang Pemikat, Topan Di Gurun Tengger dan Nyawa Titipan)

"Nek, apa kau ada di sini? Aku ingin ketemu dan bicara denganmu," kata Wiro dengan suara perlahan.

"Wuuuttt!" Satu bayangan hitam berkelebat. Bau pesing menebar. Yang muncul bukan nenek alam roh kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tapi sang guru Eyang Sinto Gendeng ditemani kakek sakti yang dikenal dengan panggilan Tua Gila! Ternyata sang guru masih berdua-dua dengan kekasih lama. Wiro cepat-cepat memberi penghormatan dengan membungkuk dalam-dalam.

"Eyang Sinto, Kakek Tua Gila terima penghormatanku!"

Mulut perot Sinto Gendeng pencong ke kiri. Susur yang tersembul diambil dengan tangan kanan. Lalu keluar ucapannya yang sudah tidak asing lagi.

"Anak setan! Kau ternyata kesasar ke sini. Bukankah aku sudah memberi tahu agar kau segera menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede?"

"Anu Nek, bukankah Pedang Naga Merah sudah nenek ambil sendiri..."

"Anu... anumu geblek! Aku tidak bicara soal Pedang Naga Merah. Aku bicara soal permintaan guruku dan perintah dariku!"

"Ratu Duyung sudah berangkat duluan Nek. Nanti aku menyusul..."

"Dasar tolol! Kau belum budek waktu dulu aku bicara! Kau dan Ratu Duyung harus sama-sama menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas!"

"Kalau begitu aku akan berangkat sekarang juga. Cuma, kalau aku boleh tahu Kiai Gede mau bicara apa, Nek?"

"Mana aku tahu?!"

Tua Gila pegang bahu Sinto Gendeng. "Sinto, sebaiknya kau katakan saja terus terang pada muridmu."

"Begitu?" sepasang mata si nenek berputar lalu mulutnya berucap. "Anak setan. Kalau kau memang ingin tahu lebih dulu baik aku katakan! Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin bicara soal perjodohanmu dengan Ratu Duyung! Selama ini kau petatang peteteng kemana-mana seperti kuda liar. Sudah saatnya kau hidup punya pasangan!"

"Tapi Eyang Sinto..."

"Tapi apa? Dulu kau diributkan sudah kawin bahkan menghamili Wulan Srindi. Di negeri Latanahsilarn konon kau juga sudah kawin dengan nenek jelek yang mukanya seperti burung nazar! Hik hik! Belakangan ini kau kawin dengan perempuan bernama Nyi Retno Mantili dan punya anak boneka kayu! Hik hik... Apa kau mau hidup gila seperti itu terus-terusan?!"

"Nek, aku..."

"Sudah! Aku tahu apa yang hendak kau katakan. Kau mau bilang belum ingin kawin! lya kan?! Kau masih ingin jadi kuda liar punya segudang simpanan gadis cantik..."

"Nek, maksudku bukan begitu..."

"Sudah! Aku tidak mau dengar ucapan apapun darimu. Pokoknya sebelum bulan purnama muncul kau sudah harus menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas!"

Sinto Gendeng tarik tangan Tua Gila. Sepasang kakek nenek sakti itu berkelebat lenyap dari hadapan Wiro. Sang pendekar sendiri jatuhkan diri, duduk di tanah sambil garuk-garuk dan goleng-goleng kepala. Ucapan sang guru terngiang kembali di telinganya.

"Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin bicara soal perjodohanmu dengan Ratu Duyung."

Wiro baringkan diri di tanah, menatap ke langit lepas. Namun yang dilihatnya adalah bayangan wajah-wajah Bunga, Anggini, Bidadari Angin Timur, Purnama dan Nyi Retno Mantili. Hatinya berucap.

"Eyang kau cuma bisa memaksakan kehendak. Menyuruh aku kawin. Kau sendiri seumur-umur sampai jadi tua bangka kisut tidak pernah kawin!"

Sambil pejamkan mata hatinya kembali bicara. "Ratu Duyung, kau seperti memaksa ingin cepat-cepat menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Apakah kau sudah tahu bahwa Kiai akan membicarakan soal perjodohanmu dengan diriku...?"

********************

BAB TUJUH

Di dalam Goa Girijati di pantai selatan. Wira Bumi yang telah kembali ke ujud aslinya, sambil menatap ke arah laut luas berkata, "Ternyata pukulan Telapak Roh tidak membuat Pendekar Dua Satu Dua menemui ajal. Selama dia masih hidup berarti kita akan mengalami kesulitan untuk membunuh Nyi Retno Mantili dan bayinya. Lalu bagaimana dangan keampuhan ilmu kesaktian yang kumiliki?"

Nyai Tumbal Jiwo yang tidak tampak ujudnya menjawab dengan suara mengiang ke telinga sang murid. "Kau tidak perlu kecewa Wira Bumi. Dari ucapan pemuda itu yang kau dengar sendiri, kita sudah mengetahui kira-kira dimana beradanya bayi Nyi Retno Mantili. Mengenai ilmu kesaktianmu, selama aku bisa masuk ke dalam tubuhmu kau tak perlu kawatir."

"Kalau begitu mengapa Nyai tidak pergunakan ilmu kesaktian untuk mengambil dan membawa bayi itu kesini. Bukankah Nyai bisa memindahkan benda yang ada di tempat jauh? Seperti dulu Nyai mampu mengambil golok besar milik saya dari tempat kediaman saya sewaktu masih menjadi Tumenggung?"

"Jangan keliru Wira Bumi. Golok adalah benda mati. Sedang bayi adalah benda hidup, benda bernyawa. llmu kesaktianku tidak punya kemampuan untuk mengambil benda hidup. Selain itu bayi Nyi Retno pasti dipagari satu kekuatan hebat. Tidak sembarang orang bisa mendekatinya. Apa lagi hanya mempergunakan ilmu kesaktian dari jarak jauh. Termasuk golok milikmu yang kini entah berada di mana. Senjata itu sudah dilindungi orang yang menguasainya."

Wira Bumi merasa kecewa. Tapi dia tidak mau mengatakan. Dia mengalihkan pembicaraan. "Nyai, kau tahu sebagai Patih Kerajaan saya tidak mungkin meninggalkan Kotaraja terlalu lama. Besok atau paling lambat lusa saya harus kembali..."

"Aku mengerti. Aku tengah memikirkan sesuatu. Mengatur rencana bagaimana caranya kita bisa mendapatkan bayi itu. Begitu matahari terbenam kita sama-sama bersamadi. Sebelum tengah malam aku yakin kita sudah mendapat jalan. Paginya kita sudah tahu dimana keberadaan bayi itu. Malamnya kau sudah bisa kembali ke Gedung Kepatihan walau sebenarnya tempat ini lebih aman karena sudah kupagari. Tidak ada orang bisa menemui goa ini selain kita berdua."

"Nyai punya rencana apa? Boleh saya tahu?"

"Aku akan menghubungi Ratu Pantai Utara. Kesaktiannya memang tidak sehebat Nyai Roro Kidul, tapi dia bisa kita andalkan untuk minta tolong. Lagi pula kedua orang itu sejak lama telah berseteru. Kita bisa memancing di air keruh."

"Kawasan pantai utara jauh dari sini. Bagaimana mungkin Nyai mampu menghubungi Ratu Pantai Utara dalam waktu cepat?"

Di telinga Wira Bumi terdengar ngiang tawa cekikikan Nyai Tumbal Jiwo. "Kekasihku, serahkan semua padaku. Bila aku berhasil, jumlah hari penantian saat aku mampu unjukkan diri akan berkurang lagi setengahnya. Hik hik. Tiga puluh hari dimuka kita sudah bisa bercumbu bermesraan lagi. Tidakkah kau kangen akan aku yang bagus mulus hangat menggelora...?"

"Saya memang kangen Nyai. Saya serahkan semua pada Nyai. Saya percaya pada Nyai..." jawab Wira Bumi.

********************

KAWASAN lstana Emas tiga menara di dasar samudera selatan. Genta besar berbunyi bertalu-talu. Tanda bahaya! Sesuatu telah terjadi! Semua penghuni geger. Ratusan pengawal bersenjata tombak biru yang terdiri dari gadis-gadis cantik berpakaian minim melesat ke delapan penjuru angin dasar samudera. Menutup jalan keluar dan jalan masuk. Berjaga-jaga sepanjang Tembok Karang Abadi. Jangankan penyusup, seekor ikan pun tidak akan mampu menyelinap tembus. Nyi Roro Manggut, nenek sakti kepercayaan Nyai Roro kidul datang menghadap sang Ratu.

"Nyi Roro Manggut, aku sudah tahu apa yang terjadi. Hanya saja silahkan kau bicara. Aku mau tahu lebih jelas." Kata sang Ratu begitu si nenek membungkuk di hadapannya sambil mangut-manggut.

"Junjungan Ratu Samudera Selatan, mohon maaf beribu maaf. Mohon ampun beribu ampun. Batu mustika Angin Laut Kencana Biru lenyap dari tempat rahasia penyimpanannya."

Seperti diketahui batu sakti bernama Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dapat dipergunakan untuk pergi ke satu tempat jauh hanya dalam bilangan kejapan mata. Nyi Roro Manggut dan Ratu Duyung pernah mempergunakannya ketika menolong pendekar 212.

"Terakhir sekali batu mustika itu dipinjam oleh Ratu Duyung, tapi telah dikembalikan," menjelaskan Nyi Roro Manggut, nenek sakti tangan kanan kepercayaan Nyai Rota Kidul. "Setelah dikembalikan, pagi tadi diketahui batu sakti tersebut lenyap tanpa bekas."

"Jelas ada orang yang mencuri. Sesuai kesaktiannya batu pasti dipergunakan untuk pergi ke satu tempat jauh. Nyi Roro Manggut, telusuri melalui limu Menjajag Raga Menjajag Keringat..."

"Saya sudah melakukan Ratu. Nyatanya orang itu tidak mempunyai raga, tidak meninggalkan jejak. Dia juga tidak berkeringat..."

"Berarti dia bukan manusia biasa. Dia mahluk alam roh. Nyi Roro Manggut kau tahu siapa saja mahluk alam roh yang gentayangan di dunia luar sana?"

Si nenek manggut-manggut dulu beberapa kali baru menjawab. "Saat ini banyak sekali mahluk dari alam roh yang berkeliaran. Sebagian besar dari mereka adalah orang orang dari negeri seribu dua ratus tahun silam yang disebut latanahsilam. Saya tidak tahu mereka satu persatu..."

"Siapa saja yang kau kenal? Aku mencium yang punya perbuatan adalah mahluk alam roh perempuan karena aku mencium bau kembang melati."

"Yang saya tahu adalah mahluk cantik bernama Purnama. Gadis ini dari Latanahsilam. Lalu ada Bunga, gadis alam roh dari tanah Jawa. Kemudian seorang nenek sakti dikenal sebagai kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Lalu ada gadis bernama Luhrembulan. Seperti Purnama dia juga berasal dari negeri Latanahsilam. Masih ada seorang nenek alam roh asal tanah Jawa dikenal dengan panggilan Nyai Tumbal Jiwo. Hanya itu yang saya tahu Junjungan Ratu!"

Nyai Roro Kidul angkat kepala sedikit lalu picingkan mata sekejap dan mencium dalam-dalam. Kemudian penguasa samudera selatan yang luar biasa cantik ini berkata. "Aku mendapat petunjuk dari cahaya dan bebauan. Semua mahluk alam roh itu terkait dengan murid nenek sakti dari Gunung Gede Sinto Gendeng..."

"Maksud Ratu, Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng?" tanya Nyi Roro Manggut.

"Betul. Sahabatmu itu masih saja dikungkung kesulitan. Kurasa lewat dia kau akan mampu menjajagi siapa yang mencuri batu mustika sakti dan kemana dia menuju. Selain itu kau juga harus menerapkan ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak Jantung. Kalaupun dia memang mahluk alam roh kau pasti bisa mengetahui siapa orangnya, dimana beradanya. Lakukanlah, tapi hati-hati Nyi Roro Manggut. Aku punya perasaaan ada seseorang yang tahu seluk beluk keadaan kawasan kita yang ikut berperan dalam lenyapnya batu pusaka itu. Kau juga harus mencari tahu siapa adanya orang ini. Isyarat memberi tahu orang itu berada di sebelah utara."

Nyi Roro Manggut membungkuk dalam-dalam. "Kalau Ratu menyebut orangnya ada di kawasan utara, mungkin saya sudah bisa menduga siapa dia adanya."

Nyai Roro Kidul mengangguk. Dia mengepalkan jari-jari tangan kanan, ketika kepalan jari dibuka di telapak tangannya ada sebuah batu bulat berwarna merah. "Nyi Roro Manggut, masukkan batu ini ke dalam kepalamu lewat ubun-bun. Semoga Gusti Allah melindungi dimana kau berada, apapun yang kau lakukan."

Sepasang mata Nyi Roro Manggut membesar berkilat, kepala manggut-manggut. Mulut yang perot sunggingkan senyum gembira. Dia tahu, jarang sekali sang Ratu menyerahkan batu itu pada orang kepercayaannya.

"Terima kasih Ratu telah mempercayakan Batu Cahaya Rembulan Dan Matahari untuk saya bawa"

Si nenek ambil batu berwana merah, letakkan di atas ubm-ubun. Begitu tangan tekan batu masuk ke dalam kepala.Wajah si nenek tampak cerah dan dia kelihatan jauh lebih muda. Kerut-kerut di wajah dan tangannya hilang. Si nenek terheran-heran, mengusap wajah dan tangan berulang kali.

Nyai Roro Kidul tersenyum. "Nyi Roro Manggut, pergilah."

Si nenek membungkuk. "Saya siap melaksanakan tugas. Saya minta diri dan mohon restu Ratu."

Setelah Nyi Roro Manggut berlalu Nyai Roro Kidul turun dari singgasana. Melangkah ke balik tirai biru yang begemerlap taburan batu-batu permata berkilat. Di ujung ruangan di balik tirai biru terdapat sebuah tembok bening. Seolah kaca tembus pandang di belakang tembok kelihatan pemandangan laut yang indah sekali.

Di bagian tengah tampak sebuah gundukan batu berwarna kuning emas. Di atas gundukan batu emas ini berdiri seorang pemuda berambut panjang sebahu, berpakaian. Putih mernegang sebuah kapak bermata dua di tangan kiri.

"Pendekar Dua Satu Dua...!" ucap Nyai Roro Kidul. "Jadi benar petunjuk yang aku terima. Dirimu terlibat dalam urusan pelik. Bukan cuma urusan nyawa manusia, tetapi juga urusan cinta. Kuharap kau bisa menghadapi semuanya..."

Nyai Roro Kidul melangkah mendekati tembok tembus pandang. Di belakang sana sosok Pendekar 212 turun dari atas gundukan batu emas. Lalu melangkah ke arah tembok, Nyai Roro Kidul memberi isyarat lalu tempelkan telapak tangan kanannya ke tembok tembus pandang. Wiro melakukan hal yang sama. Dua telapak tangan saling bertempelan, terpisah oleh tembok tembus pandang.

Satu kilatan kecil Menyilaukan berpijar di antara dua telapak tangan. Nyai Roro Kidul bersurut satu langkah. Telapak tangan kanan bergetar. Getaran mengalir sejuk masuk ke sekujur tubuh. Sesaat sang Ratu perhatikan telapak tangannya lalu ditempelkan ke hidung.

"Harum segar bau kayu cendana. Ah, ternyata dia masih perjaka." Nyai Roro Kidul tersenyum.

Ketika sosok Pendekar 212 di balik tembok tembus pandang perlahan-lahan berubah samar dan akhirnya lenyap, sang Ratu balikkan tubuh, tinggalkan tempat itu masuk kedalam sebuah kamar besar dan bagus. Sambil berbaring menelentang di atas ranjang yang empuk kembali telapak tangannya diletakkan di atas hidung.

"Luar biasa, benar-benar aku tidak menyangka. Berarti apa yang aku dengar selama ini tentang dirinya hanya gunjing fitnah belaka..." Sang Ratu berucap dalam hati. "Aku menyirap kabar ada orang yang ingin menjodohkannya dengan Ratu Duyung. Apakah hal itu akan benar-benar terjadi? Apa mereka memang saling mencinta?"

********************

BAB DELAPAN

Nyi Kuncup Jingga berlutut dihadapan perempuan yang duduk di kursi. besar berlapis emas dalam ruangan besar terang benderang dan berhawa sejuk. Perempuan ini walau sudah berusia lebih dari empat puluh tahun namun masih memiliki wajah cantik jelita, tubuh bagus dan mulus. Sepasang mata dengan bola mata kelabu memperhatikan segala sesuatu dengan pandangan tajam terkadang dingin. Pakaian biru kelam panjang yang dikenakannya di belah tinggi di sisi kiri kanan hingga menyibakkan Sepasang paha gempal putih sampai ke pangkal pinggul. Di kepala bertahta sebuah mahkota emas bertabur batu permata langka aneka warna.

Nyi Kuncup Jingga sendiri adalah seorang nenek berkepala aneh. Wajah bewarna ungu, bibir tebal dower merah seperti diselomoti darah. Dua mata bengkak seolah terpejam. Kepala di bagian atas lebih kecil dibanding dagu dan pipi. Rambut jarang kelabu. Tidak salah kalau namanya Nyi Kuncup jingga.

"Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara, saya Nyi Kuncup Jingga datang untuk memberi tahu. Ada seorang tamu minta bertemu dengan Sri Paduka Ratu. Tamu itu seorang gadis cantik jelita mengaku bernama Nyi Wulas Pikan. Saat ini dia masih berada di teluk Losari. Dijaga oleh lima orang Abdi Kawal."

Perempuan cantik yang dipanggil Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara bertanya. "Apa kepentingannya?"

"Dia membutuhkan pertolongan Sri Paduka Ratu. Jika Sri Paduka Ratu berkenan menolong maka selesai urusan dia akan menyerahkan sebuah benda sakti mandraguna pada Sri Paduka Ratu. Perlu Sri Paduka Ratu ketahui, dari penjajagan saya gadis itu datang dari kawasan pantai selatan."

Sri Paduka Ratu tersenyum. "Bawa gadis itu ke hadapanku!"

Nyi Kuncup Jingga segera bangkit berdiri, membungkuk lalu sekali berkelebat sosoknya lenyap dari ruangan. Tak selang berapa lama si nenek telah melesat keluar dari dalam laut utara dan rnuncul di Teluk Losari. Saat itu tepat tengah hari.

Sang surya bersinar terik membuat perih jangat walau angin laut bertiup cukup kencang. Di depan sederetan pohon kelapa, lima orang lelaki yang disebut Abdi Kawal mengelilingi seorang gadis cantik berpakaian hijau muda. Melihat kedatangan Nyi Kuncup Jingga, lima pengawal segera membungkuk rnernberi jalan.

"Sri Paduka Ratu telah mengizinkan gadis ini datang menghadap. Kalian boleh pergi."

Lima Abdi Kawal tidak menunggu lebi lama segera melompat masuk ke dalam laut. Nyi Kuncup Jingga memberi tanda agar si gadis mengikutinya.

"Kita akan masuk ke dalam Iaut." Menerangkan Nyi Kuncup Jingga.

"Tapi Nek, aku tidak punya kemampuan berenang apa lagi menyelam..." kata si gadis yang mengaku bernama Nyi Wulas Pikan.

Si nenek tertawa. Bia ulurkan lengan kiri. Pegang tanganku. Setelah itu tak ada yang perlu kau kawatirkan..."

Nyi Wulas Pikan pegang lengan kiri si nenek. Nyi Kuncup Jingga usap tangan si gadis. "Mulus sekali..." katanya sambil senyum-senyum. Lalu cup... cup! Dia-mengecup tangan putih Nyi Wulas Pikan.

"Nek..." Nyi Wulas kegelian juga merasa heran. Si nenek sentakkan lengan, tubuh melesat ke udara. Nyi Wulas Pikan ikut melayang. Sesaat kemudian kedua orang itu lenyap masuk ke dalam laut utara.

********************

Nyi Wulas Pikan melangkah menaiki tangga batu pualam berkilat mengikuti si nenek. Di mana-mana kelihatan banyak pengawal lelaki dan perempuan.

"Nek, apakah saat ini kiia berada di dalam laut?" Bertanya Nyi Wulas Pikan.

"Betul."

"Mengapa tidak ada air laut? Mengapa kita tidak basah?"

Nyi Kuncup Jingga tertawa. "Sudah, jangan banyak bertanya. Kita akan segera masuk ke tempat Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara. Jika kau sampai di hadapannya harap pergunakan peradatan. Cepat-cepat jatuhkan diri berlutut, sebut namamu dan ucapkan salam hormatmu. Apa kau mengerti?"

"Saya mengerti Nek," jawab si gadis berpakaian biru muda. "Ada satu hal lagi yang kau mengerti!" Ucap Nyi Kuncup Jingga.

"Hal apakah itu, Nek?" tanya Nyi Wulas Pikan.

"Jika semua urusanmu sudah selesai, sebelum kembali ke selatan kau harus menginap di tempat kediamanku barang beberapa malam untuk bersenang-senang."

Nyi Wulas Pikan tatap wajah ungu si nenek. Dia hendak bertanya namun di telinganya mengiang satu suara.

"Jawab saja ya. Nenek ini tua bangka aneh yang suka sesama jenis."

"Baik Nek, saya akan menginap di tempat kediamanmu," berkata Nyi Wulas Pikan.

Si nenek tampak gembira. Memasuki sebuah ruangan besar Nyi Wulas Pikan melihat seorang perempuan cantik duduk di atas kursi emas. Si nenek memberi tanda. Begitu sampai di hadapan perempuan yang duduk di kursi, Nyi Wulas Pikan segara berlutut.

"Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara, saya Nyi Wulas Pikan. Terima salam hormat saya. Saya datang dari jauh untuk mohon pertolongan Sri Paduka Ratu."

Perempuan cantik di atas kursi tatap sosok Nyi Wulas Pikan mulai dari ujung rambut sarnpai ke kaki lalu sunggingkan senyum. "Nyi Wulas Pikan, harap kau perlihatkan dulu Sosok dirimu yang sebenarnya! Baru kita bicara!"

Gadis berpakaian biru muda bernama Nyi Wulas Pikan sembunyikan rasa terkejutnya dengan tersenyum. Sementara Nyi Kuncup Jingga terkesiap mendengar ucapan Sri Paduka Ratu.

"Sri Paduka Ratu, harap maafkan kalau saya telah berbuat sesuatu yang kurang menyenangkan. Saya berlaku begitu untuk menjaga keselamatan." Habis berucap Nyi Wulas Pikan goyangkan kepalanya dua kali ke kiri dua kali ke kanan.

"Desss!" Saat itu juga sosok Nyi Wulas Pikan yang tadinya berupa gadis cantik jelita berubah menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar berpakaian bagus. Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara tertawa panjang.

"Manusia berpakaian mewah, bukankah kau Patih Kerajaan selatan bernama Wira Bumi?"

Lelaki yang menjelma dari sosok gadis cantik membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih. Sri Paduka Ratu mengenal diri saya."

"lni satu peristiwa besar! Seorang Patih Kerajaan datang menemui diriku secara menyamar. Apa gerangan yang terjadi? Tapi tunggu! Aku rnerasa ada satu mahluk dalam tubuhmu. Siapa dia?!"

"Maafkan saya Sri Paduka Ratu. Dibanding Sri Paduka Ratu saya bukan apa-apa," kata Patih Kerajaan merendah sambil setengah memuji setengah menjilat. "Yang ada di dalam tubuh saya adalah guru saya."

"Gurumu...?" Sepasang alis mata Sri Paduka Ratu mencuat ke atas. "Apa dia tidak bisa jalan sendiri hingga menumpang dalam tubuhmu?"

"Guru terkena musibah akibat kalah berkelahi melawan seorang mahluk alam roh. Tadinya selama seratus dua puluh hari dia tidak bisa memperlihatkan diri. Saat ini hanya tinggal enam puluh hari."

"Omong kosong! Aku mau lihat siapa gurumu!"

Habis keluarkan ucapan Sri Paduka Ratu lambaikan tangan kanan. Selarik cahaya kuning menuju sekujur tubuh Wira Bumi.

"Dess! Braaak!"

Satu sosok serba merah seorang nenek tinggi kurus tergeletak di lantai batu pualam. Pakaian selempang kain merah. Rambut merah riap-riapan. Muka keriput juga merah, begitu pula mata, alis, lidah dan gigi. Sosok ini berguling di hadapan Sri Paduka Ratu dia bangkit, berlutut lalu membungkuk.

"Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara. Saya mengucap syukur dan terima kasih. Dengan kesaktianmu kau telah menolong diri saya hingga saat ini saya bisa menunjukkan ujud kembali."

"Mahluk muka merah, apakah kau punya nama?" Sang Ratu menegur.

"Maafkan saya, sampai lupa memperkenalkan diri. Orang-orang memanggil saya Nyai Tumbal Jiwo."

"Nyai Tumbal Jiwo! Aku pernah mendengar namamu. Mahluk alam roh yang punya berbagai limu kesaktian menakjubkan. Tinggal di satu goa di kawasan pantai selatan. Mampu mengambil benda mati yang ada di tempat jauh. Punya berbagai pukulan sakti yang sulit dicari banding! Bisa merubah diri menjadi seorang gadis cantik! Menakjubkan kalau hari ini kau datang ke tempatku! Nyai Tumbal Jiwo, katakan apa maksud kedatanganmu bersama muridmu Patih Kerajaan Wira Bumi."

"Sri Paduka Ratu, izinkan saya memberi keterangan." Lalu Nyai Tumbal Jiwo menuturkan riwayat ilmu kesaktian yang dituntut Wira Bumi. Namun ada yang masih jadi ganjalan. Yaitu sesuai dengan ketentuan Wira Bumi harus membunuh bayi yang dilahirkan Nyi Retno Mantili karena dia telah menyalahi pantangan dalam menuntut ilmu kesaktian tersebut..."

"Lalu pertolongan macam apa yang akan kau minta dariku? lmbalan apa yang akan kau berikan padaku?" tanya Sri Paduka Ratu setelah Nyai Tumbal Jiwo menyelesaikan ceritanya.

"Kami ingin Sri Paduka Ratu membantu kami mengambil bayi itu. Kami sudah tahu dimana perkiraan bayi berada. Namun kami kawatir kalau hanya berbekal ilmu kepandaian kami yang dangkal kami belum tentu mampu mendapatkan bayi itu."

"itu urusan kecil. Aku ingin tahu imbalan apa yang akan kalian berikan padaku jika bayi berhasil kalian dapatkan. Aku melihat ada satu cahaya biru di dalam tubuhmu. Pertanda kau membawa satu benda sakti mandraguna."

Nyai Tumbai Jiwo berdiri. Tangan kanan diusapkan tiga kali ke bagian tubuh yang terlihat ada cahaya biru. Setelah mengusap tahu-tahu sebuah benda bulat lonjong sebentuk telur ayam memancarkan warna biru berada di atas telapak tangannya.

Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara terkejut. sampai-sampai bangkit dari duduknya di kursi emas. "Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru!" ucap sang Ratu dengan pandangan hampir tak percaya. Bagaimana batu sakti itu ada padamu?"

"Sri Paduka Ratu, saya rasa Sri Paduka Ratu sudah tahu siapa pemilik batu mustika ini dan dimana disimpannya. Saya berhasil mengambilnya dari lstana Nyai Roro Kidul walau untuk itu saya harus rnengorbankan diri..."

Habis berkata begitu Nyai Tumbal Jiwo singkapkan pakaian merahnya di bagian dada. Dua payu daranya tampak tinggal merupakan dua daging geroak yang masih basah lembab dengan darah. "Sri Paduka Ratu, batu mustika ini akan saya berikan padamu, jika kau mau menolong kami mendapatkan bayi itu."

Sri Padaku Ratu diam sejenak seperti merenung. Setelah itu baru keluarkan ucapan. "Kalian tidak hanya memberikan batu mustika sakti itu padaku, tapi juga harus bersumpah bahwa kalian berdua akan menjadi pengabdi diriku."

"Permintaan Sri Paduka Ratu kami setujui," jawab Nyai Tumbal Jiwo. Lalu diikuti oleh Wira Bumi dia bersujud di hadapan kaki Sri Paduka Ratu.

"Nyai Tumbal Jiwo, katakan apa yang kau ketahui tentang keberadaan bayi itu. Apa bayi itu punya nama?"

"Siapa nama bayi itu saya tidak tahu, Sri Paduka Ratu. Mengenai keberadaannya kami mendapat cerita bahwa si bayi berada di pulau Andalas. Di Kawasan Danau Maninjau. Dipelihara oleh seorang dipanggil Datuk..."

Ratu Laut Utara berpaling pada Nyi Kuncup Jingga. "Ambil Dulang Perak Sejuta Mata. Tuangkan Air Sejuta Warna dan bawa ke sini."

Nyi Kuncup Jingga segera berdiri, melangkah cepat memasuki sebuah lorong menuju satu ruangan rahasia. Tak lama kemudian dia muncul kembali bersama dua orang gadis yang memegang sebuah nampan bulat terbuat dari perak. Di dalam nampan terdapat cairan bening berwarna kebiruan. Nampan dibawa kehadapan Sri Paduka Ratu.

Setelah menatap air di dalam nampan beberapa lamanya, Sri Paduka Ratu kemudian sapukan tangan kanan di atas air. Asap biru mengepul. Begitu asap lenyap sang Ratu rnemperhatikan ke dalam nampan tanpa berkesip. Beberapa lama kemudian dia memberi isyarat pada dua gadis. Keduanya tinggalkan tempat itu dengan membawa dulang.

"Nyai Tumbal Jiwo. Patih Wira Bumi, kita menghadapi satu kekuatan besar. Aku melihat danau aku melihat seorang tua bermata biru, aku melihat seekor harimau putih bermata hijau dan aku memang melihat seorang bayi berusia sekitar lima belas bulan. Jika kau memang inginkan bayi itu, sebelum tengah hari besok kita akan mendapatkanya. Namun tingkat kegagalan cukup gawat. Si bayi memiliki perlindungan hebat. Jika gagal masih ada kesempatan kedua. Ada petunjuk bahwa bayi itu akan dibawa ke tanah Jawa ini. Terserah apa kalian ingin melakukan sekarang atau menunggu sampai bayi berada di tanah Jawa..."

"Sri Paduka Ratu, kami dikejar waktu. Kalau boleh memohon kami ingin pekerjaan ini dilakukan sekarang juga!" kata Nyai Tumbal Jiwo.

Sri Paduka Ratu anggukkan kepala. Lalu berpaling pada Nyi Kuncup Jingga. "Nyi Kuncup Jingga, katakan kebiasaan yang Kita lakukan dalam membuat perjanjian tolong-menolong."

Nyi Kuncup Jingga membungkuk, lalu berdiri lurus-lurus menghadap ke arah Nyi Tumbal Jiwo dan Wira Bumi. "Sebagai jaminan bahwa kalian tidak berdusta dan tidak akan melanggar janji, atas nama Sri Paduka Ratu maka Patih Kerajaan selaku orang yang berkepentingan harus menyerahkan mata kirinya"

Nyai Tumbal Jiwo tersurut satu langkah.

BAB SEMBILAN

PATlH Wira Bumi melengak kaget dan pucat wajahnya.

"Sri Paduka Ratu, apakah..." Ucapan Nyai Tumbal Jiwo dipotong oleh sang Ratu.

"Mata yana diambil akan dikembalikan jika urusan sudah selesai dan kalian memenuhi janji yaitu menjadi pembantu-pembantuku dan menyerahkan batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Jika kalian berkenan katakan ya, kalau tidak silahkan meninggalkan lstanaku tapi batu sakti itu tetap harus diserahkan padaku..."

"Nyai..." Wira Bumi berucap, memandang pada NyaiTumbal Jiwo. Seolah minta pendapat.

"Sri Paduka Ratu. Apakah bisa diganti dengan mataku?"

Sri Paduka Ratu tidak menjawab. Yang menyahut adalah Nyi Kuncup Jingga. "Apa yang sudah ditentukan Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara tidak bisa dirobah. Kalian cuma punya pilihan. Menerima atau pergi dan tinggalkan batu sakti. Bukankah batu itu bukan milik kalian. Kalian telah mencurinya dari lstana Ratu Selatan. Lagi pula kau telah menerima kebajikan dari Sri Paduka Ratu. Kau bisa menunjukkan ujud kembali dan tidak perlu menunggu enam puluh hari. Apa balas budimu pada Sri Paduka Ratu dan Kerajaan Laut Utara?!"

"Tapi Nek, Sri Paduka Ratu..." Wira Bumi tidak lanjutkan ucapannya karena saat itu dia mendengar suara Nyai Tumbal Jiwo mengiang di telinganya.

"Wira Bumi kita telah terjebak. Tidak mungkin mundur. Kita terpaksa menerima apa yang dikatakan orang. Kali ini kita dibikin celaka, nanti akan kita balas!"

Sambil sampaikan ucapan mengiang Nyai Tumbal Jiwo melirik ke arah Sri Paduka Ratu. Dia memperhatikan mata kelabu wanita cantik ini menatap tajam ke arahnya. "Apakah dia tahu dan mendengar apa yang barusan aku ucapkan..." pikir si nenek dan diam-diam merasa kawatir. Tapi sang Ratu tampak tenang-tenang saja.

Wira Bumi keluarkan keringat dingin. Terlebih ketika dia mendengar Nyai Tumbal Jiwo berkata. "Sri Paduka Ratu, kami menerima permintaanmu. Kau boleh mengambil mata kiri Patih Kerajaan."

Sri Paduka Ratu berdiri dari duduknya, memberi isyarat pada Nyi Kuncup Jingga. Nyi Kuncup Jingga selanjutnya memberi tanda pada seorang gadis pengawal yang segera mendatangi sambil membawa sebuah seloki terbuat dari batu pualam licin berkilat yang di dalamnya telah ditaruh air berwarna kemerahan. Orang ini berdiri di sisi kiri Patih Wira Bumi, hanya terpisah sejarak satu langkah.

"Patih Kerajaan, harap berdiri dengan tenang. Jangan bergerak..." Ratu Penguasa Laut Utara berucap. Bersamaan dengan itu tangan kanannya disapukan ke depan. Tangan berubah panjang, lima jari mencuatkan kuku runcing begemerlap putih. Sesaat kemudian.

"Srreett! Craass!"

Bola mata kiri Patih Wira Bumi tercungkil keluar, masuk ke dalam seloki batu pualam yang dipegang gadis yang tegak di sampingnya. Tak ada darah menyembur. Tidak ada jeritan keluar dari mulut Wira Bumi. Namun begitu mata kirinya tercungkil keluar dari rongganya Patih Kerajaan ini langsung ambruk, roboh ke lantai!

Seorang gadis pengawal dengan cepat mengikatkan secarik kain hitam tebal ke kepala Wira Bumi, menutupi matanya yang bolong.

********************

Danau Maninjau di pulau Andalas. Pagi itu walau sang surya belum keseluruhannya tersembul di ufuk timur namun udara tampak cerah. Embun bertabur indah di dedaunan laksana batu permata. Burung-burung berkicauan di ranting pepohonan. Angin bertiup semilir sejuk menyegarkan.

Di satu tempat yang sunyi dan jarang didatangi orang di kawasan timur danau karena dihalangi tebing batu besar, licin dan curam, tersembunyi di balik kerapatan pohon Kayu Manis terdapat sebuah rumah panggung kayu yang atapnya berlapis ijuk berbentuk gonjong lima. Dari bagian depan rumah bisa terlihat Danau Maninjau yang luas berair hijau kebiruan.

Di sekeliling halaman rumah, terdapat delapan tiang bambu yang ujungnya disumpal dengan kain mengandung minyak. Sepintas bambu-bambu ini tampak seperti obor panjang padahal sebenarnya merupakan benda penangkal untuk melindungi rumah panggung dan penghuninya dari segala marabahaya. Tiang-tiang bambu ini juga dipancang di tepi jalan setapak menuju pancuran tempat mandi di tepi Danau Maninjau.

Seorang perempuan berusia setengah abad yang biasa dipanggil dengan nama Mande Saleha (Mande=Ibu) tampak sedang menyapu bagian depan rumah panggung. Ketika dia mendengar suara tangisan bayi di ruang dalam, perempuan ini segera meletakkan sapu, setengah berlari masuk ke dalam rumah.

Tak lama kemudian Mande Saleha keluar sambil menggendong seorang bayi berusia satu setengah tahun. Bayi montok ini berambut hitam lebat, dikuncir lurus di atas kepala. Pipi dan bibir tampak merah. Setengah merengek sang bayi mengusap-usap mata. Bayi ini bukan lain adalah Ken Permata, bayi Nyi Reto Mantili yang dulu diserahkan Djaka Tua pada Datuk Rao Basaluang Ameh.

"Anak rancak anak Mande. Jangan menangis..." kata Mande Saleha sambil mengusap kepala si bayi lalu mencium pipinya kiri kanan berulang kali. (rancak=cantik).

"Anak rancak Ken Permata, kalau matohari ala muncul kita mandi di pancuran. Sudah itu Mande siapkan pisang manis untukmu. Kalau Baiduri Ibu susumu datang kau boleh menyusu sepuas-puasmu. Sekarang mari kita main-main dulu di halaman. Jangan menangis ya. Anak manis tidak boleh menangis..." (ala=sudah).

Ketika mendukung Ken Permata menuruni tangga rumah kayu, seorang perempuan muda tampak berjalan ke arah rumah.

"Hai... itu Ibu susumu sudah datang. Ah, kau mau bermain atau mau menyusu dulu..." Perempuan muda di halaman lambaikan tangan.

Ken Permata yang ada dalam dukungan tertawa-tawa. badannya digoyang-goyang minta diturunkan. Sampai di tanah Mande Saleha turunkan Ken Permata. Dengan langkah tertatih-tatih anak itu berjalan ke arah Baiduri. Perempuan yang menjadi Ibu susu Ken Permata sejak bayi ini cepat merangkul dan mendukungnya."

"Mande, malam tadi saya tidak bisa lalok. Selalu ingat pada bayi ini. Saya takut dia sakit. Makanya saya datang lebih pagi. Saya bersyukur anak ini tidak kurang suatu apa. Biar saya susukan dulu dia." (lalok= tidur) Baiduri lalu menyingkapkan dada pakaian.

Sementara menyusui, Baiduri berkata lagi pada Mande Saleha. "Saya mendengar kabar. Bulan dimuka Ken Permata akan diantar Datuk ke tanah Jawa. Diserahkan pada ibu kandungnya. Saya sedih sekali. Saya sudah menganggap bayi ini seperti anak sendiri..." Perlahan-lahan air mata mengucur membasahi pipi Baiduri.

"Aku juga sudah mendengar kabar itu. Kita sama-sama menyayangi Ken Permata. Entah bagaimana rasanya kalau anak ini nanti tidak di sini lagi bersama kita." Mande Saleha ikut sedih dan matanya berkaca-kaca.

"Mande, coba Mande bujuk Datuk. Minta padanya agar tidak membawa Ken Permata ke Jawa. Kita akan memeliharanya baik-baik sampai dia besar..."

"Mande pernah mendengar cerita Datuk tentang bayi ini. Agaknya Datuk sudah punya keputusan begitu. Atau mungkin ada semacam perjanjian yang harus dilaksanakan Datuk..."

"Kalau begitu minta pada Datuk agar salah satu dari kita atau kita berdua boleh ikut bersama Ken Permata ke Jawa."

"Kalau ada kesempatan hal itu akan Mande sampaikan." Kata Mande Saleha pula sambil mengusap kepala Ken Permata yang asyik menyusu.

Dari balik pohon-pohon Kayu Manis yang banyak tumbuh sekitar danau muncul seekor harimau putih besar bermata hijau. Binatang ini menggereng halus.

"Ken Permata, lihat sahabat kita Datuk Rao Bamato Hijau pagi-pagi juga sudah datang. Tapi mengapa kilau hijau matanya agak redup Mande lihat. Mungkin Datuk sedang sakit? Mengapa ada cahaya biru di dadanya? Hai, Baiduri, kiranya harimau sakti itu datang bersama suamimu Mangkuto Alam."

Baiduri yang masih menyusui bayi Ken Permata berpaling. Dia melihat suaminya Mangkuto Alam jalan beriringan dengan harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau.

"Baiduri, kekawatiranmu jadi kekawatiran Uda juga. Uda merasa belum lega kalau tidak melihat sendiri keadaan anak ini. Ah, syukur dia tampaknya sehat dan baik-baik saja." kata Mangkuto Alam suami Baiduri seorang lelaki bertubuh ramping berkumis kecil dan mengenakan kopiah hitam mengusap kepala Ken Permata.

Mungkin karena sudah puas menyusu Ken Permata mengangkat kepalanya dan berpaling sambil tertawa-tawa pada Mangkuto Alam. (Uda=Kakak).

"Mari Uda dukung dia sebentar. Sudah itu Uda akan kembali ke ladang. Banyak pekerjaan yang belum selesai. Kulit kayu manis belum kering dijemur. Mudah-mudahan cuaca baik, hujan tidak turun hari ini."

Baiduri menyerahkan bayi yang baru disusuinya pada Mangkuto Alam. Entah mengapa begitu berada dalam dukungan lelaki ini, bayi yang tadi masih tertawa-tawa tiba-tiba menjerit dan menangis keras.

"Hai ada apa anakku... jangan menangis." Kata Mangkuto Alam sambil mengusap gunggung dan menggoyang-goyang tubuh Ken Permata. Si bayi bukannya diam malah semakin keras tangisnya.

"Serahkan pada Mande, biar Mande yang mendukung," kata Mande Saleha pula.

Tapi Mangkuto Alam tidak menyerahkan Ken Pemata pada pengasuhnya itu, malah dia membalikkan tubuh dan melompat ke punggung harimau putih bermata hijau. Binatang ini menggereng keras lalu ada cahaya biru memancar dari tubuhnya. Saat itu juga harimau putih bersama Mangkuto Alam yang menggendong Ken Permata melesat ke udara laksana terbang, lenyap di balik kerapatan pepohonan kayu Manis lalu di kejauhan terdengar suara benda berat dan besar masuk mencebur ke dalam Danau Maninjau.

Mande Saleha dan Baiduri berteriak tiada henti. Keduanya berusaha mengejar ke Danau. Namun harimau putih. Mangkuto Alam dan Ken Permata tidak kelihatan lagi. Di danau hanya tampak anak-anak yang bermain-main, dan beberapa biduk yang tengah melabuh kedaratan. Kedua perempuan itu tampak pucat, ketakutan setengah mati.

"Cilako, apa kata Datuk. Pasti kita berdua akan kena berang gadang!" ucap Mande Saleh. (berang gadang=marah besar)

"Mande kita harus segera menemui Datuk. Kita harus memberi tahu apa yang terjadi!" kata Baiduri.

"Tidak masuk diakal Mande suamimu dan Datuk Rao Bamato Hijau akan menculik melarikan bayi itu." Kata Mande Saleha pula dan perempuan usia setengah abad ini berjalan setengah berlari sambil menangis diikuti Baiduri.

"Aku juga tidak mengerti Mande. Suamiku bukan orang jahat. Harimau putih itu adalah peliharaan dan kepercayaan Datuk Rao Basaluang Ameh..." Sahut Baiduri pula.

********************

BAB SEPULUH

DI DALAM goa batu pualam tempat kediaman Datuk Rao Basaluang Ameh. Sehabis menceritakan apa yang terjadi Mande Saleha dan Baiduri jatuhkan diri menangis menggerung-gerung di hadapan Datuk Rao, sambil meratap berulang kali meminta ampun. Si orang tua walau berusaha bersikap tenang namun hatinya sangat kawatir.

“Hentikan tangis kalian. Apa yang telah terjadi tidak perlu disesali. Turut cerita kalian ada keanehan. Karena harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau tidak pernah meninggalkan goa tempat kediamannya. Lalu menurut penglihatanku Mangkuto Alam saat ini tengah bekerja di ladangnya”

Tentu saja Mande Saleha dan Baiduri tercengang mendengar kata-kata sang Datuk sesaat kemudian di mulut goa terdengar suara menggereng halus. Atap, dinding dan lantai goa bergetar. Dua perempuan berpaling dan melihat seekor harimau besar bermata hijau merunduk menutupi mulut goa.

"Bagaimana mungkin...?" ucap Mande Saleha. Lalu dia ingat sesuatu. "Datuk, harimau putih yang membawa lari bayi itu, sepasang matanya memang berwarna hijau. Tapi ambo ingat betul, mata hijaunya tidak berkilat bercahaya seperti mata harimau ini. Lalu sewaktu menggereng tanah tidak bergetar..." (ambo=saya)

"Itu berarti, binatang yang kau lihat sebenarnya adalah mahluk jejadian. Apa lagi yang kau ingat Mande Saleha?"

"Tubuhnya. Ada cahaya kebiruan di salah satu bagian tubuhnya. Di dekat dada..." jawab Mande Saleh.

Sang Datuk mengangguk. "Mahluk harimau jejadian itu menanam benda sakti di dalam tubuhnya..."

Selesai berucap Datuk Rao Basaluang Ameh yang konon merupakan mahluk setengah manusia setengah roh dan telah meninggal dunia seratus tahun silam ini ulurkan tangan ke dinding goa. Jari-jari mencungkil batu dinding. Tiga kepingan batu sebesar ibu jari kini berada dalam genggaman tangannya.

Jangankan dengan jari, mempergunakan pahat sekalipun sulit bagi seseorang untuk mencungkil batu pualam dinding goa itu. Dapat dibayangkan kehebatan tenaga dalam sang Datuk. Setelah tiga kepingan batu pualam ada dalam genggamannya Datuk Rao Basaluang Ameh berdiri. Dia mendongak ke atap goa sambil mulut berucap menyebut tiga nama.

"Datuk Rajo Nan Tongga di puncak Merapi. Datuk Gampo Langit di Tanah Bangko. Datuk Awan Putih di Gunung Sekicau. Aku Datuk Rao Basaluang Ameh butuh bantuanmu. Tutup seratus dua belas jalur langit, bumi dan air."

Habis berkata begitu Datuk Rao Basaluang Ameh lemparkan tiga keping batu pualam ke atap goa.

”Braakkk! Dess! Dess! Dess!"

Tiga batu melesat menembus atap goa, mencuat ke udara lepas dan berkiblat ke tiga arah. Yang pertama menuju Gunung Merapi di utara, yang kedua ke arah tanah Bangko di tenggara dan batu ketiga ke jurusan Gunung sekicau di selatan.

“Kalian berdua pulanglah. Panjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar bayi itu bisa kembali ke sini”

Mande Saleha dan Baiduri sambil terisak-isak bangkit berdiri dan cepat-cepat meninggalkan goa. Namun sang Datuk dan harimau putih lebih dulu sampai di rumah panggung. Datuk Rao Bamato Hijau berdiri di halaman. Matanya yang tajam memperhatikan tiang-tiang bambu yang sengaja ditancap dan diisi dengan ilmu kesaktian untuk melindungi rumah dan penghuninya. ternyata dia dapati semua tiang bambu itu telah dilumuri tumbukan daun sirih bercampur garam.

"Sirih dan garam. llmu penangkal yang biasa dipakai orang sakti dari tanah Jawa," ucap Datuk Rao Basaluang Ameh dengan suara perlahan. "Kalau Mande Saleha mengatakan mendengar suara benda masuk ke dalam danau, berarti para penculik melarikan diri melalui jalur air. Berarti ada orang sakti penguasa air di tanah Jawa yang mereka andalkan. Hanya ada dua orang sakti di sana. Dua-duanya perempuan. Dua-duanya bergelar Ratu." Sang Datuk usap janggut putihnya. "Tidak mungkin Nyai Roro Kidul yang melakukan..."

Datuk Rao Basaluang Ameh naik ke punggung harimau putih. "Datuk, kau tahu kemana kita harus pergi. Kita tunggu para penculik di tanah seberang sebelum mereka sempat mendarat. Aku akan mengirim isyarat pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng agar dia bisa membantu kita. Namun aku kawatir, apakah dia mampu menemui kita dalam waktu cepat?"

Harimau putih bermata hijau menggereng halus. Binatang sakti ini melesat ke udara. Hanya dalam bilangan kejapan mata sosoknya dan sosok sang Datuk sudah tidak kelihatan lagi.

********************

Daratan terujung pulau Jawa sebelah barat. Matahari pagi mulai terasa panas walau angin bertiup cukup kencang. Daun-daun pohon kelapa melambai-lambai mengeluarkan suara bergemerisik. Di kejauhan di tengah laut pulau Krakatau mengepulkan asap tipis kelabu. Ombak besar tiada henti bergulung memecah di pasir pantai.

Tiba-tiba dari dalam laut melesat keluar dua benda. Seekor binatang berbulu putih, satunya lagi seorang lelaki berkopiah hitam menggendong bayi. Tubuh mereka kering semua, tidak basah oleh air laut.

Sesaat kemudian di pasir pantai kelihatan seekor harimau putih melangkah ke arah deretan pohon kelapa. Di punggungnya duduk lelaki berkopiah hitam, Mangkuto Alam, menggendong seorang bayi yang terus menerus menangis. Lelaki itu turun dari punggung harimau besar. Begitu menjejakkan kaki di pasir ujudnya berubah menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar berpakaian bagus, mata kiri dibalut dengan kain hitam. Lelaki ini bukan lain adalah Patih Kerajaan Wira Bumi.

Di saat bersamaan harimau putih berubah pula menjadi sosok nenek muka merah yang sudah dapat diduga adalah Nyai Tumbal Jiwo adanya. Nyai Tumbal Jiwo memandang berkeliling.

"Nyai, kita berada dimana?" tanya Wira Bumi.

Nyai Tumbal Jiwo sekali lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. "Aneh, aku merasa aneh. Seharusnya kita berada di lstana Ratu Utara, paling tidak di sekitar Teluk Losari. Tempat ini asing bagiku..." Sambil menggendong bayi, Wira Bumi memperhatikan dada sang guru.

"Nyai, cahaya biru di dadamu saya lihat redup..."

Si nenek menunduk, perhatikan dadanya. Wajah merah keriput berubah. "Ada orang melakukan penangkalan. Mungkin juga orang itu yang membuat kita terpesat ke sini."

"Nyai Roro Kidul?" Wira Bumi bertanya.

"Mungkin, tapi mungkin juga Datuk yang tinggal di danau itu..." jawab si nenek.

"Kalau begitu bayi ini harus kita habisi sekarang juga!" Kata Wira Bumi.

"Aku setuju. Cepat kau lakukan! Aku akan berjaga-jaga mengawasi. Perasaanku tidak enak sejak kita berada di pantai ini."

Wira Bumi jambak rambut bayi hingga Ken Permata menjerit keras. "Nyai, bagaimana aku melakukan? Kita tidak punya senjata tajam untuk menjagal leher bayi." Patih Kerajaan yang tega hendak membunuh darah dagingnya itu sendiri demi ilmu dan jabatan mendadak merasa bingung.

"Kenapa kau jadi tolol! Kau bisa mencekik sampai hancur leher bayi itu. Atau kau pukulkan tubuhnya kepohon kelapa. Di sebelah sana ada gundukan batu. Kau bisa menghantamkan kepalanya ke batu itu sampai remuk! Atau kau lempar saja ke dalam laut. Habis perkara. Cepat lakukan!"

Bayi dalam dukungan tiba-tiba menangis keras. Seolah tahu nasib apa yang bakal menimpa dirinya sebentar lagi.

"Aku memilih yang terakhir!" kata Wira Bumi lalu melangkah cepat ke tepi laut. Sekali tangan dan jari-jarinya yang menjambak rambut dilepas maka melesatlah sosok bayi tak berdosa Ken Permata ke tengah laut yang tengah dibuncah ombak besar.

BAB SEBELAS

HANYA sesaat lagi tubuh bayi malang itu akan amblas masuk dalam gulungan ombak, tiba-tiba laksana kilat menyambar dari arah selatan berkiblat tiga cahaya putih Seperti malaikat yang turun ke bumi, di atas permukaan laut kelihatan tiga kakek sama mengenakan pakaian jubah dan sorban putih serta sama memelihara janggut dan kumis putih. Wajah mereka licin, segar dan jernih pertanda hati dan jiwa yang bersih.

Kakek di sebelah tengah cepat sambuti tubuh Ken Permata sementara dua kakek lainnya setelah yakin kalau si bayi berhasil diselamatkan segera melesat kepantai dan berdiri di hadapan Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo. Kakek ketiga yang mendukung bayi menyusul dan kemudian tegak di antara dua kakek.

"Tiga tua bangka berjubah dan bersorban putih! Kalian siapa?!" bentak Nyai Tumbal Jiwo. Mata merah mendelik, muka merah unjukkan kemarahan luar biasa. Tangan kanan bergetar pertanda dia berlaku waspada dan setiap saat siap melepas pukulan sakti.

“Orang tua yang di tengah! Serahkan bayi itu padaku!" Ucap Wira Bumi dengan suara keras menghardik.

Kakek yang berdiri di antara dua kakek lainnya kernyitkan kening.bTadi jelas-jelas kau melempar bayi ini ke tengah laut. lngin membunuhnya! Sekarang mengapa diminta kembali?"

"Harimau tidak pernah membunuh sesama kaumnya." Kakek di sebelah kanan keluarkan ucapan.

”Anak manusia tega-teganya membunuh seorang bayi tak berdosa." Menyambung kakek di sebelah kiri.

Lalu dari arah belakang terdengar suara menimpali. ”Memang keterlaluan. Melewati takaran dosa. karena yang hendak dibunuh bukankah anakmu sendiri?!"

Terdengar suara menggereng. Tanah pantai bergetar keras. Ombak bersibak. Di lain kejap muncul seekor harimau putih ditunggangi kakek gagah berselempang kain putih. Datuk Rao Bamato Hijau dan Datuk Rao Basaluang Ameh!

Tiga kakek yang datang lebih dulu segera memberi salam lalu membungkuk. Datuk Rao Basaluang Ameh membalas salam dan penghormatan.

"Datuk Rajo Nan Tongga. Datuk Gampo Langit dan Datuk Awan Putih, aku mengucapkan terima kasih, kalian datang tepat pada waktunya hingga bayi itu berhasil di selamatkan."

"Saling hormat dan saling tolong adalah adat para pandeka di tanah Minang," kata kakek bersorban putih yang menggendong bayi yaitu Datuk Rajo NanTongga. (pandeka=pendekar)

Datuk Rao Basaluang Ameh turun dari punggung harimau putih. Saat itu juga harimau putih menggereng keras, siap menerkam ke arah Nyai Tumbal Jiwo dan Wira Bumi. Datuk Rao Basaluang Ameh cepat usap kuduk harimau sakti.

"Datuk biarkan aku bicara dulu dengan kedua orang ini."

"Kami tidak akan mau bicara denganmu!" jawab Nyai Tumbal Jiwo.

"Aku minta bayi itu! Lekas serahkan!" Wira Bumi melompat ke hadapan Datuk Rajo Nan Tongga, siap hendak merampas Ken Permata. Namun Datuk Rao Bamato Hijau kibaskan ekornya.

"Dess!" Kibasan ekor menghantam kaki Patih Kerajaan hingga lelaki ini jatuh tersungkur. Masih untung kaki itu tidak patah. Tidak sadar tengah berhadapan dengan empat orang tua dan seekor harimau sakti penuh amarah Wira Bumi balikkan tubuh lalu hantamkan tangan kanan melepas pukulan Angin Roh Pengantar Kematian ke arah harimau putih. Hawa panas menghampar di seantero tempat membuat Ken Permata terpekik dan buru-buru didekap oleh Datuk Rajo Nan Tongga.

”Desss" Pukulan sakti yang dilepas Wira Bumi menghantam tubuh harimau putih dengan telak. Binatang ini menggereng keras, terpental dua langkah. Bulunya tampak mengepulkan asap. Sepasang mata memancarkan cahaya hijau menyala. Sekali lompat saja, belum sempat Wira Bumi berdiri, harimau putih ini sudah menerkam lehernya. Darah mengucur oleh tusukan tajam empat gigi besar.

Patih Kerajaan yang mata kirinya dibalut kain hitam ini meraung setinggi langit. ”Tolong!"

Nyai Tumbal Jiwo langsung melompat sambil melepas tendangan Kaki Roh Merobek Langit. Namun dua Datuk bersorban putih segera menghadang. Datuk Awan Putih tudingkan jari telunjuk tangan kanan ke bawah ke arah kaki si nenek. Saat itu juga menyembur satu cahaya putih yang dengan kecepatan kilat berubah menjadi tali menggulung melibat kedua kaki Nyai Tumbal Jiwo mulai dari pergelangan terus ke bahu.

Selagi dia tidak mampu bergerak, dari samping kiri Datuk Gampo Langit membuat gerakan kilat dan telunjuk jari tangan kirinya tahu-tahu sudah menempel di pelipis si nenek. Saat itu juga Nyai Tumbal Jiwo merasakan sekujur tubuhnya mulai dari ubun-ubun sampai ke kepala laksana digarang bara menyala!

Sadar dirinya tak bisa lolos maka Nyai Tumbal Jiwo keluarkan salah satu ilmu andalan yaitu Dibalik Asap Roh Mencari Pahala. Mulut keriputnya menyembur. Asap hitam pekat menebar menutup pemandangan dan memerihkan mata. Biasanya semburan ini akan diikuti dengan tendangan atau pukulan mematikan. Namun saat itu Nyai Tumbal Jiwo memilih lebih baik kabur selamatkan diri. Karena sekujur badan dalam keadaan terikat maka dia pergunakan cara kabur dengan melompat-lompat.

Nenek ini memang hebat. Sekali melompat dia mampu melesat tiga tombak. Namun pada lompatan kedua gerakannya tertahan. Satu benda keras menekan perutnya. Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah ujung seruling emas. Di hadapannya berdiri Datuk Rao Basaluang Ameh sambil sunggingkan senyum. Tengkuk si nenek jadi dingin.

"Jika kau dan muridmu bertobat kalian berdua akan aku bebaskan. Tapi jika keras kepala apa lagi tetap punya niat hendak membunuh bayi maka kalian berkehendak mati saat ini juga!"

"Aku bertobat!" teriak Wira Bumi ketakutan setengah mati karena saat itu masih dicengkeram gigi-gigi Datuk Rao Bamato Hijau. "Ampuni selembar nyawaku!"

"Kau dengar ucapan lelaki itu... kata Datuk Rao Basaluang Ameh sambil memutar sedikit suling emasnya hingga Nyai Tumbal Jiwo merasa perutnya seperti terbongkar dan menjerit kesakitan.

"Aku... aku juga bertobat," ucap si nenek.

Datuk Rao Basaluang Ameh berpaling pada Datuk Awan Putih. "Datuk, tolong ambil benda bercahaya biru yang ada dalam tubuh nenek ini."

"Jangan kelewatan! Itu tidak termasuk dalam perjanjian!" teriak Nyai Tumbal Jiwo marah begitu mendengar ucapan sang Datuk.

”Kau mencuri benda sakti di dalam tubuhmu dari seorang sahabatku di tanah Jawa..."

"Kalau kau mengambilnya berarti kau juga jadi pencuri, "teriak Wira Bumi.

"Aku akan mengembalikan pada pemiliknya." jawab Datuk Rao Basaluang Ameh. "Sekarang kalian berdua dengar baik-baik. Kalau di kemudian hari kalian masih muncul dan tetap ingin melakukan niat jahat terhadap bayi ini, aku tidak akan berbelas kasihan lagi."

Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tanda pada Datuk Awan Putih. Orang tua ini dengan cepat sapukan telapak tangan kanannya satu jengkal di atas dada rata si nenek. Lima jari dikepal. Ketika tangan ditarik kebelakang dengan gerakan membetot, Nyai Tumbal Jiwo menjerit dan hampir terjengkang. Datuk Awan Putih buka kepalan. Di atas telapak tangannya kini ada sebuah benda lonjong seperti telur ayam memancarkan cahaya biru.

Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tanda pada harimau putih sakti. Binatang ini lepaskan gigitan di leher Wira Bumi. Lalu sang Datuk sapukan seruling emasnya.

"Dess! Dess!"

Tubuh Wira Bumi dan si nenek terpental terguling-gulihg di tanah sampai belasan tombak. Begitu bangun, dengan cepat keduanya melarikan diri ke arah timur. Di satu tempat Wira Bumi tidak tahan untuk keluarkan ucapan.

"Nyai! Saya akan celaka seumur hidup! Batu mustika yang harus kita serahkan pada Ratu Laut Utara sekarang sudah diambil Datuk keparat itu! Mata saya tidak akan kembali! Saya akan buta sebelah sampai mati! Ratu keparat itu! Dia menipu kita! Dia sama sekali tidak memberi pertolongan kecuali ilmu merubah diri yang tidak ada apa-apanya!"

”Wira Bumi, tidak perlu bersedih. Keselamatan nyawa kita lebih penting dari batu mustika itu. Selain itu kita masih punya kesempatan untuk menghabisi bayi itu. Bukankah Ratu Laut Utara memberi tahu bahwa bayi itu akan dibawa ke tanah jawa ini? Kita tinggal mencari tahu dimana dan kapan waktunya. Aku punya dugaan kejadiannya tidak akan lama tagi."

Wira Bumi tidak perdulikan ucapan sang guru. Dia tetap mengumpat. ”Tapi mata kiri saya ini Nyai. Saya mana bisa hidup seperti ini. Patih Kerajaan bermata buta sebelah!"

“Walau matamu buta dua-dua aku tetap suka padamu. Mari kita mencari tempat untuk bermesraan..."

"Nyai, dalam keadaan seperti ini sebaiknya lain kali saja hal itu kita lakukan."

”Jika kau tidak mau melayaniku, berarti hubungan kita cukup sampai di sini..."

”Tunggu Nyai jangan pergi. Saya akan memenuhi permintaanmu” kata Wira Bumi pula.

Si nenek tertawa gembira lalu menarik lengan Wira Bumi membawanya ke balik semak belukar. "Kau tahu, darah yang membasahi pakaian dan tubuhmu membuat aku benar-benar terangsang. Akan kuhirup darah yang ada di lehermu!"

BAB DUA BELAS

TAK SELANG berapa lama setelah Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo menggulingkan diri ke balik semak belukar, dua orang berkelebat cepat ke arah barat. Namun salah seorang dari mereka tiba-tiba menarik lengan kawannya seraya berbisik.

”Ada pemandangan asyik...” Yang bicara adalah seorang nenek berambut kelabu berjubah kuning. Telinga dihias anting terbuat dari tulang manusia. Si nenek bukan lain adalah Kembaran Tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu.

"Nek, matamu jetalatan saja. Apa maksudmu? Apa yang kau lihat?" Pemuda gondrong yang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya bertanya.

"Sstt jangan bicara kelewat keras. Nanti mereka tahu. Ayo, membungkuk, ikuti aku."

Wiro ikuti si nenek mengendap-endap ke balik sederetan pohon kelapa.

"Jongkok, lihat ke arah semak belukar sana" bisik kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu yang sebelumnya dikisahkan pernah menjadi Dewi Pemikat.

(baca serial Wiro Sableng mulai dari Petaka Patung Kamasutra sampai Nyawa Titipan)

Wiro jongkok memperhatikan ke arah semak belukar yang ditunjuk si nenek. Matanya membesar. Kepala digaruk. "Astaga. Itu Patih Kerajaan Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo. Gila! Berbuat mesum disiang bolong di tempat terbuka begini! Kenapa mata kirinya dibalut?! Banyak darah di pakaiannya." ucap Wiro.

Si nenek menimpali. "Wah, tua bangka perempuan itu hebat sekali goyangannya! Hemmm, eh lihat! Si nenek membalik. Ujudnya berubah jadi gadis cantik ueehhh! Wah gila! Goyang terus...! Hik hik hik!"

"Nek, aku muak. Kita tinggalkan tempat ini. Kalau mereka ada di sini pasti telah terjadi sesuatu sebelumnya. Kita terlambat. Jangan-jangan mereka sudah membunuh bayi itu."

"Kita hajar saja mereka sekarang?!" tanya si nenek

"Kita harus mencari Datuk Rao Basaluang Ameh lebih dulu. Aku yakin dia ada di sekitar sini. Atau begini saja. Kalau kau masih mau mengintip terus aku pergi saja, tunggu aku di

sini. Awasi dua manusia bejat itu!" "Tidak, aku ikut denganmu. Lama-lama melihat, aku bisa jadi kepingin! Siapa lelaki yang mau jadi lawanku? Kau?! Hik hik hik!" kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa cekikikan lalu buru-buru menarik tangan Wiro.

Tak lama menyusuri pantai ke arah barat. Wiro dan si nenek berpapasan dengan Datuk Rao Basaluang Ameh yang mendukung Ken Permata serta tiga Datuk lainnya dan harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau. Wiro melepas nafas lega. Ternyata Ken Permata masih hidup. Pemuda ini buru-buru jatuhkan diri lalu bangkit menyalami dan mencium tangan Datuk Rao Basaluang Ameh. Dia mencium pipi Ken Permata. Sang bayi langsung saja minta digendong oleh sang pendekar. Wiro juga menyalami tiga Datuk yang ada di tempat itu lalu mengusap harimau putih.

"Datuk, saya mengalami kesulitan untuk bisa cepat datang ke tempat ini. Untung nenek ini mau menolong. Ternyata saya masih terlambat..."

Datuk Rao Basaluang Ameh tersenyum. "Tidak jadi apa. Semua sudah bisa ditangani. Patih Kerajaan dan nenek jahat gurunya itu memang berhasil melarikan Ken Permata. Namun dengan pertolongan tiga Datuk sahabatku ini, Ken Permata bisa kita dapatkan lagi. Aku akan segera membawanya kembali ke Danau Maninjau." Sang Datuk berpaling pada kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. "Anak muda, siapa nenek sakti sahabatmu ini?"

Mendengar orang bertanya perihal dirinya dengan sikap genit si nenek cepat-cepat maju dua langkah, membungkuk lalu berkata. "Maafkan, aku sampai lupa peradatan tidak memperkenalkan diri. Aku nenek jelek dari alam roh. Kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Terakhir sekali orang-orang memberiku nama Dewi Pemikat..."

Si nenek tutup ucapannya dengan tertawa lebar lalu kedip-kedipkan mata pada sang Datuk. Dia juga kedip-kedipkan mata pada tiga Datuk lainnya. Wiro cepat-cepat menyikut rusuk si nenek.

"Aduh!" si nenek terpekik tapi kemudian kembali genit. "Para sahabat orang gagah sekalian yang datang dari tanah seberang. lzinkan aku memperlihatkan ujudku sebagai Dewi Pemikat. Kalau nanti kita bertemu lagi jangan bilang kalian tidak mengenali diriku."

Si nenek lalu putar tubuhnya. Saat itu juga sosoknya berubah menjadi seorang gadis tinggi semampai, berkulit putih berwajah cantik. Dibalut pakaian celana ringkas dan kebaya pendek kuning dengan potongan sangat rendah di bagian dada.

"Nek, jangan berlaku kurang ajar! Ayo cepat ubah ujudmu!" hardik Wiro.

Si gadis tertawa cekikikan. Putar tubuh satu kali hingga ujudnya kembali seperti semula yaitu seorang nenek berambut kelabu, bermata merah dan bemulut perot!

Datuk Rao Basaluang Ameh dan tiga Datuk lainnya senyum-senyum saja. Lalu dia berkata pada sang murid. "Ilmu orang di tanah Jawa hebat-hebat. Aku dan tiga Datuk benar-benar mengagumi" memuji Datuk Rao Basaluang Ameh. Membuat si nenek tersenyum girang, lalu dia berpaling pada Wiro.

"Anak muda, ingat baik-baik. Satu bulan dimuka aku akan membawa bayi dalam dukunganmu itu ke tanah Jawa. Kau harus bisa mendatangkan Nyi Retno Mantili. Untuk sementara rencana pertemuan adalah di pantai selatan kawasan Parangtritis. Di satu pulau kecil bernama Watu Gilang. Harinya malam Satu Suro."

Wiro mengangguk berulang kali. Sang Datuk tatap wajah Pendekar 212 sejurus lalu berkata. "Aku melihat ada ganjalan dalam dirimu. Apakah kau tahu dimana ibu bayi ini berada? Apakah selama ini kau tidak mendampinginya seperti pintaku dulu?"

"Datuk, maafkan saya. Saat ini saya memang tidak tahu dimana Nyi Retno Mantili berada. Dia pergi begitu saja sewaktu saya melarangnya membunuh Patih Kerajaan yang adanya suaminya sendiri."

"Kalau begitu cari perempuan itu sampai dapat. Dia sudah harus bersamamu sebelum malam Satu Suro."

"Baik Datuk, akan saya ingat hal itu baik-baik Datuk," kata Pendekar 212 sambil melirik pada benda lonjong biru yang ada di tangan Datuk Awan Putih.

"Kalau begitu sudah saatnya kami semua meninggalkan tempat ini."

Wiro buru-buru menyalami sang Datuk dan tiga Datuk Iainnya. Setelah mencium Ken Permata bayi ini diserahkan pada Datuk. Wiro juga memeluk harimau putih. Atas permintaan Datuk Rao Basaluang Ameh, Datuk Awan Putih menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pada Pendekar 212 dengan pesan agar nanti diserahkan pada pemiliknya yaitu Nyai Roro Kidul.

Setelah semua orang dari Pulau Andalas meninggalkan pantai, sambil menimang-nimang Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru, Wiro berkata pada kembaran ketiga Eyang Sepuh KembarTilu.

"Nek, kau saja yang memegang batu mustika ini." Wiro serahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pada si nenek yang segera disimpan di balik dada pakaian.

"Nek, kebetulan kita memegang batu sakti ini. Bagaimana kalau kita pergunakan kesempatan untuk menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Bukankah saat bulan purnama muncul akan datang besok malam?"

"Aku ikut saja terserah kemana kau mau pergi. Tapi kau berulang kali menyatakan kekawatiranmu pergi menemui Kiai itu. Kau mengatakan bahwa Kiai akan membicarakan soal perjodohanmu dengan Ratu Duyung. Padahal kau bilang belum mau kawin. Aku yakin itu dalihmu saja. Sebenarnya kau ini mau kawin sama siapa?"

"Kau cemburu Nek?" tanya Wiro.

"Apa? Aku cemburu? Hik hik hik! Aku tahu diri..."

"Aku jadi bingung. Nek..." Wiro garuk-garuk kepala.

"Sudah, dari pada bingung ayo kita intip lagi pekerjaan dua orang mesum itu!" kata si nenek sambil menarik tangan Pendekar 212 Wiro Sableng dan tertawa cekikikan.

********************

BAB TIGA BELAS

MALAM Satu Suro, malam perayaan pergantian tahun, jatuh tepat pada malam Jum'at Kliwon. Kawasan pantai Parangkusumo yang terletak di sisi barat pantai Parangtritis dipenuhi jubalan manusia. Semakin malam semakin banyak orang yang datang walau hujan rintik-rintik sempat turun. Sayup-sayup di kejauhan, di atas sebuah panggung tinggi serombongan pemain gamelan memberikan hiburan.

Para pedagang bertebaran dimana-mana menggelar dagangan. Paling banyak tukang kembang dan penjual kemenyan. Di tepi pantai puluhan perahu menunggu penumpang yang ingin mengarungi Laut Kidul atau menyeberang ke sebuah pulau yang tidak berapa jauh letaknya dari pantai Parangtritis dan Parangkusumo. Di atas pulau ini tampak dua buah bukit karang tinggi menjulang yang oleh penduduk setempat disebut sebagai Watu Gilang. Baik di pantai maupun di pulau tampak banyak sekali umbul-umbul dan bendera besar kecil aneka warna.

Ketika malam tiba, ratusan obor dinyalakan sampai ke tengah laut hingga keadaan terang benderang tidak beda seperti sore hari. Orang banyak yang datang, ada yang berziarah ke makam seorang Syekh, namun biasanya paling banyak berperahu menuju pulau dan naik ke atas watu Gilang. Hanya saja saat itu ombak di tengah laut sabung menyabung besar sekali sementara angin bertiup kencang mengeluarkan suara menguing panjang. Karenanya tidak ada orang yang berperahu ke tengah taut atau menyeberang menuju pulau.

Selagi orang banyak mengharap malam itu cuaca segera pulih dan laut menjadi tenang tiba-tiba dari arah pulau melesat seorang berpakaian hitam. Kelihatannya dia seperti meluncur di atas permukaan laut, naik turun dipermainkan gelombang, meliuk-liuk di antara bambu obor yang di apungkan di permukaan laut. Sebenarnya salah satu kaki orang ini menjajag di atas sopotong papan kecil. Orang ramai di sepanjang pantai bersorak riuh menyaksikan pemandangan ini.

Bahkan ketika ada orang yang berteriak. ”Gusti Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul berkenan datang!" semua orang tersentak hening, banyak yang langsung jatuhkan diri bersujud di pasir.

Ketika orang yang berseluncur sampai di pantai, sebagian orang kembali bersorak dan bertepuk tangan. Namun semua sorak sorai dan tepuk tangan ini serta merta sirna ketika mereka melihat siapa adanya si peluncur yang mendarat!

Ternyata bukan Gusti Kanjeng Nyai Roro Kidul tapi seorang nenek cebol bungkuk berpakaian hitam. Sambil melangkah sepasang matanya yang juling berputar liar. Hidung pesek nyaris sama rata dengan dua pipi keriput. Rambut putih riap-riapan sampai ke lutut. Setiap melangkah kepalanya tiada henti mengangguk-angguk. Nyi Roro Manggut! Nenek cebol ini ternyata bukan lain adalah tangan kanan orang kepercayaan Nyai Roro Kidul, Ratu Penguasa Laut Selatan!

Sejak naik ke darat sambil membawa papan seluncurnya, Nyi Roro Manggut melangkah lurus-lurus dan akhirnya berhenti di hadapan seorang nenek kelabu berjubah kuning yang berjualan kemenyan. Pandangan matanya menyala tak berkesip. Air mukanya seperti hendak melahap si nenek penjual kemenyan. Orang banyak mulai berkerubung.

"Nenek bungkuk, kau memandangku secara aneh. Apakah kau mau membeli kemenyan untuk ziarah? Aku juga menjual pendupaan dan arang menyala. Harga di sini lebih murah dari tempat lain!"

"Tua bangka pencuri! Manis juga mulutmu!" hardik Nyai Roro Manggut membuat nenek penjual kemenyan yang bukan lain adalah kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berjingkrak dan langsung berdiri.

Sambil berkacak pinggang si nenek kembaran ketiga berkata. "Mulutku memang manis. Dan kau boleh tanya pada semua orang di tempat ini. Jelek-jelek begini aku lebih bagus dari kau! Nenek jereng bongkok bau amis. Kalau kau tidak punya uang untuk membeli kemenyan menyingkir dari depan hadapanku! Kau membuat sial daganganku saja!"

Orang semakin banyak mengeliling tempat itu. Ada yang berteriak. "Sudah, cakar saja Nek."

Orang banyak bersorak riuh rendah. Dimaki jereng bongkok dan bau amis Nyai Roro Manggut mendidih amarahnya. Telunjuk tangan kanan ditudingkan ke dada nenek di depannya hingga kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu terjajar satu langkah. Hal ini membuat si nenek kaget.

"Heh, nenek jelek, kau ini siapa sebenarnya? Apa maumu?"

Nyai Roro Manggut delikkan mata, menatap tajam tak berkesip dengan matanya yang jereng. "Tua bangka bermulut perot bapet! Dengar baik-baik kata-kataku karena aku tidak akan mengulang! Serahkan benda bercahaya biru yang ada di balik dada pakaianmu! Sekarang juga!"

Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu karuan saja menjadi kaget karena sampai saat itu dia memang masih menyimpan Batu Mustika Angin laut Kencana Biru yang dititipkan Wiro. Si nenek memandang berkeliling. Matanya ditujukan ke deretan perahu di tepi pantai. Mencari-cari kalau-kalau Wiro ada di sekitar situ.

Sebelumnya mereka memang datang bersama ke pantai Parangtritis. Karena sesuai janji Datuk Rao Basaluang Ameh, bayi Ken Permata akan dibawa ke tempat itu di malam perayaan Satu Suro. Selain itu Wiro mengatakan bahwa dia sudah menyirap kabar kalau Nyi Retno Mantili dan Kemuning si boneka kayu juga akan datang ke tempat itu.

Maklum kalau kejadian pertemuan ini akan banyak halangan bahkan bahaya maka untuk berjaga-jaga si nenek mengawasi keadaan dengan berpura-pura menyamar jadi pedagang kemenyan. Wiro sendiri memisahkan diri menyamar jadi awak perahu sewaan. Sekali-sekali dia meninggalkan perahu, berkeliling mencari apakah Nyi Retno Mantili sudah ada di tempat perayaan itu.

Kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berkata. "Nenek bongkok, kau juga dengar ucapanku. Jika kau seorang sahabat, jangan minta yang bukan-bukan. Benda yang ada di balik pakaianku adalah titipan seseorang. Aku akan mempertahakan walau harus mampus sampai tujuh kali! Hik hik hik! Tapi jika kau seorang musuh seorang begal perempuan mari kita bertarung sampai sama-sama tewas!"

"Tua bangka jahanam! Enak saja mulutmu menuduhku begal perempuan! Aku adalah Nyai Roro Manggut, mewakili Junjungan Ratu Penguasa Laut Selatan. Batu mustika yang ada di balik pakaianmu adalah miliknya!"

"Puah! Setahuku para pembantu Ratu Nyai Roro Kidul cantik-cantik semua. Tidak ada yang jelek dan bau amis sepertimu! Enak saja mengaku-aku!"

Nyai Roro Manggut tak dapat lagi rnenahan kesabaran. Amarah meledak. Di dahului jeritan lantang kakinya menendang. Meja tempat jualan kemenyan dan pendupaan mental hancur berantakan.

Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tidak tinggal diam. Sekali tangan kanannya bergerak breettt! Dada pakaian Nyai Roro Manggut robek dan tersingkap lebar. Semua orang yang ada di tempat itu dan semuanya termasuk si nenek yang jadi lawan melengak kaget.

"Hah?" Nenek kembaran ketiga melengak sambil delikkan mata melihat dada seperti milik perawan saja. Orang banyak berdecak dan memandang tidak berkedip. Sebaliknya tanpa merapikan dulu pakaiannya Nyai Roro Manggut langsung menghantam dengan pukulan Cahaya Surya Menembus Gelombang. Selarik sinar putih kekuningan menyambar.

Nenek kembaran ke tiga tidak tinggal diam. Dia menangkis dengan jurus Roh Putih Menarik Gendewa. Dua tangannya bergerak seperti orang menarik gendewa. Lalu satu kiblatan cahaya merah menggebubu ke depan. Dua nenek sama-sama terpekik karena menyadari diri masing-masing akan sama-sama terluka.

Di saat yang menegangkan itu tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat disertai hembusan angin sedahsyat topan prahara.

"Blaarr!" Cahaya pukulan saki dua nenek mencelat ke atas. Keduanya tegak tergontai-gontai saling pandang dengan muka pucat. Saat itu ada seseorang menepuk bahu keduanya disertai suara berkata.

"Kalian berada di pihak yang sama. Lekas pergi ke Watu Gilang! Datuk sudah datang."

Dua nenek tersentak kaget dan sama berpaling.

"Wiro!" seru nenek jejadian kembaran ke tiga.

"Pendekar Dua Satu Dua!" teriak Nyai Roro Manggut. Lalu dia bertanya." Ada apa di Watu Gilang?"

"Nanti aku ceritakan!" kata nenek kembaran ketiga.

"Ayo ikut aku!" Nenek kembaran ketiga lalu pegang lengan Nyai Roro Manggut. Disaksikan ratusan pasang mata yang tidak bisa percaya akan apa yang mereka lihat dua nenek itu melesat ke udara, lalu melayang ke arah pulau dimana terletak dua batu karang raksasa! Orang banyak benar-benar di buat geger!

Setelah dua nenek pergi orang banyak mengerubungi Wiro. Tapi pendekar ini cepat menghindar. Dia berlari ke arah pantai sebelah timut dimana dilihatnya serombongan anak muda tengah mempermainkan seorang perempuan cantik bertubuh kecil yang bukan lain adalah Nyi Retno Mantili. Kalau mula-mula hanya menganggu dengan ucapan kini para pemuda itu mulai berani meraba-raba tubuh Nyi Retno dan menarik-narik boneka kayu dari bedongan sambil secara kurang ajar mengelus dada Nyi Retno.

Begitu sampai di hadapan para pemuda, tangan dan kaki Pendekar212 bekerja bak buk bak buk. Lima orang pemuda nakal terkapar di tanah. Dua pingsan dengan kepala benjut. Tiga meliuk-liuk sambil pegang hidung dan bibir yang pecah berdarah!

"Kemuning! Bapakmu datang!" teriak Nyi Retno Mantili.

"Nyi Retno, aku benar-benar bersyukur kau mau datang. Tadinya aku kawatir..." Wiro memeluk perempuan itu erat-erat lalu berbisik. "lkut aku jalan-jalan. Aku akan membawamu ke pulau di tengah laut sana..."

"Tapi ombak begitu besar. Kemuning bisa mual dan muntah-muntah."

Wiro tertawa. "Kemuning anak hebat. Karena ibunya seorang bernama Nyi Retno Mantili."

"Dan bapaknya bernama Wiro Sableng!" sambung Nyi Retno Mantili.

"lya... iya..." Wiro manggut-manggut. Menggaruk kepala lalu menarik Nyi Retno Mantili masuk ke dalam sebuah perahu.

********************

BAB EMPAT BELAS

Di tanah datar antara dua bukit karang yang menjulang tinggi, diterangi selusin obor Datuk Rao Basaluang Ameh tegak menggendong Ken Permata yang tertidur lelap. Angin laut membuat janggut sang datuk yang putih panjang melambai-lambai. Di samping kiri tegak harimau putih bermata hijau diapit kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu dan Nyi Roro Manggut.

”Sunyi, keadaan begini tenang. Kesunyian dan ketenangan yang menimbulkan rasa tidak enak..." ucap nenek jejadian kembaran ke tiga dalam hati. Dia memandang ke arah Datuk Rao Basaluang Ameh lalu memperhatikan harimau putih di sampingnya.

"Dua datuk ini tampak tenang-tenang saja... Apakah Patih Kerajaan dan bergundal gendaknya bernama Nyai Tumbal Jiwo tidak mengetahui peristiwa ini? Aku tidak yakin. Tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda mencurigakan..."

Si nenek lalu mendekati Nyai Roro Manggut. Keduanya kini tampak sangat bersahabat. Nenek kembar jejadian telah menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pada Nyai Roro Manggut.

"Nyai, kau merasakan sesuatu...?"

Belum sempat Nyai Roro Manggut menjawab tiba-tiba Wiro dan Nyi Retno Mantili sudah kelihatan di ujung pedataran.

"Nyi Retno, anakmu Ken Permata sudah ada di sini. Lihat bayi yang didukung kakek berpakaian putih itu. Anakmu cantik dan sehat. "Wiro berucap sambil memegang lengan dan perhatikan wajah Nyi Retno.

Tadinya dia mengira perempuan ini seperti yang sudah-sudah akan mengeluarkan suara keras. "itu bukan bayiku, itu bukan anakku. Aku tidak pernah punya anak bernama Ken Permata. Anakku Kemuning."

Tapi saat itu Nyi Retno Mantili diam saja malah tampak tersenyum lalu keluarkan ucapan. "Kalau bayi itu anakku berarti dia juga anakmu. Karena bukankah kau bapaknya?"

Wiro menggaruk kepala. "Dua kali dia menyebut kata bapak. Yang sudah-sudah Nyi Retno selalu mengatakan aku ini ayah Kemuning bukan bapak. Sejak tadi aku perhatikan dia tidak menunjukkan sikap tidak waras. Lalu waktu diganggu lima pemuda dia tidak marah apa lagi menghajar mereka padahal dia sanggup melakukan. Perubahan apa yang terjadi dengan diri Nyi Retno?" Wiro membatin. Lalu dia bertanya. "Nyi Retno, kau gembira bertemu dengan Ken Permata?"

"Hatiku sama gembiranya dengan hatimu. Bukankah begitu?"

Wiro cuma mengangguk-angguk. Sampai di hadapan Datuk Rao Basaluang Ameh Pendekar 212 Wiro Sableng membungkuk hormat lalu menyalami mencium tangan. Nyi Retno Mantili melakukan hal yang sama.

"Jadi inilah Ibu muda yang bernama Nyi Retno Mantili," berkata sang Datuk. "Satu setengah tahun lebih aku bersama Ken Permata. Aku merasa bayi ini sebagai cucuku sendiri. Sekarang saatnya aku menyerahkan Ken Permata kepadamu ibu kandungnya. Aku merasa sedih berpisah dengan anak ini. Jaga dan rawat dia baik-baik..."

Sepasang mata Datuk Rao Basaluang Ameh tampak berkaca-kaca. Datuk Rao Bamato Hijau si harimau sakti keluarkan suara menggereng halus.

"Datuk, saya mengucapkan terima kasih. Semua budi Datuk tidak dapat saya balas. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan membalas..." Nyi Retno lalu mendukung bayi yang masih tidur yang diserahkan Datuk Rao Basaluang Ameh padanya.

Wiro memperhatikan. Hatinya kembali bicara. "Aneh, ada keanehan pada diri Nyi Retno. Masakan tidak ada rasa haru dan air mata saat-saat dia mendapatkan bayinya kembali. Tidak ada sikap yang menunjukkan dia tidak waras. Dia langsung menerima bayi itu adalah anaknya. Apakah dia bisa berobah begitu cepat? Kalau benar maka Tuhan memang benar-benar Maha Kuasa! Tapi..."

Wiro menggaruk kepala, menatap ke arah Datuk Rao Basaluang Ameh tapi sang Datuk tidak memandang ke arahnya. Wiro kembali memperhatikan Nyi Retno Mantili. "Caranya dia menggendong bayi itu. Bukan seperti seorang ibu yang kehilangan bayinya sekian lama. Tidak satu kalipun kulihat dia mencium bayi itu!"

"Nyi Retno, kau ingin kita segera meninggalkan pulau ini?" Wiro bertanya.

"Ya... sebaiknya kita pergi sekarang saja. Aku akan minta diri dulu pada Datuk. Selain itu ada satu hal yang ingin kutanyakan." Jawab Nyi Retno Mantili.

"Datuk, saya dan Ken Permata, juga Kemuning minta diri. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih...”

"Ya, pergilah. Apakah Wiro akan mengantarmu Nyi Retno?"

"Wiro akan mengantar saya." jawab Nyi Retno.

Tiba-tiba bayi yang sejak tadi tertidur lelap terbangun dan menangis. "Ah, jangan-jangan dia haus. Biasanya Baiduri ibu susunya yang menyusuinya..." kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula.

"Nanti akan saya susui. Hanya saja saya kawatir apakah susu saya ada airnya." Ucap Nyi Retno Mantili. Lalu dia menyambung ucapannya. "Datuk, sebelum pergi saya ada satubpertanyaan. Mengenai sebilah golok besar bersarung perak yang dulu pernah diserahkan pembantu saya bernama Djaka Tua. Apakah Datuk masih menyimpannya?"

"Nyi Retno, untung kau bertanya. Aku yang sudah tua ini mulai pikun rupanya..."

Dari balik selempang pakaian putihnya Datuk Rao Basaluang Ameh keluarkan sebilah golok besar yang memang memiliki sarung berlapis perak. Wiro memperhatikan. Otaknya berpikir-pikir. Hatinya bertanya-tanya.bKepala digaruk berulang kali.

"Datuk, tunggu dulu!" Sebelum golok besar berpindah ke tangan NyibRetno Mantili murid Sinto Gendeng melompat menyambar senjata itu. "Maafkan saya Datuk." kata Wiro lalu dia berpaling menghadap pada Nyi Retno.

"Nyi Retno, bagaimana kau tahu asal golok besar ini. Tidak ada seorangpun yang bercerita padamu. Kalaupun kau tahu rasanya keadaan ingatanmu sudah tak mungkin kembali pada senjata ini."

"Wiro, Djaka Tua selagi masih hidup pernah menceritakan padaku tentang lenyapnya senjata ini dari dalam kamar suamiku..."

"Suami? Siapa suamimu Nyi Retno? Tanya Wiro.

"Wiro, mengapa kau bertanya begitu. Hik hik! Bukankah kau suamiku?" Nyi Retno memutar tubuh. Bayi dalam dukungan kembali menangis. Nyi Retno Mantili tidak berusaha menepuk-nepuk atau membujuk. Perempuan itu mulai melangkah. Tidak acuh apakah Wiro akan menyertainya atau tidak.

Namun Wiro tahu-tahu telah berdiri di depannya. Mata menatap tak berkesip, lalu mulut berucap yang membuat semua orang yang ada di tempat itu terkejut. "Kau bukan Nyi Retno Mantili!"

"Srett!" Wiro cabut golok dari dalam sarung. Nyai Roro Manggut dan kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu terkesiap namun cepat bergerak ke kiri kanan Nyi Retno Mantili. Harimau putih bermata hijau menjaga di sebelah belakang sementara Datuk Rao Basaluang Ameh mendatangi dari depan.

"Wiro, apa-apaan ini? Kau suamiku? Kau bapak dari Ken Permata! Kau mau berbuat apa?!"

Wiro gelengkan kepala. "Nyi Retno Mantili tidak pernah menyebut aku sebagai bapak tapi ayah. Katakan siapa kau sebenarnya!"

Tiba-tiba dari arah laut berlari mendatangi seorang lelaki tua berpakaian basah kuyup. Rambut dan janggut panjang putih Dengan nafas megap-megap sambil menunjuk ke arah Nyi Retno Mantili orang ini berteriak, "Dia dia bukan Nyi Retno Mantili. Dia..."

Belum sempat dia selesaikan teriakan tiba-tiba selarik sinar merah menyambar. Orang tua berpakaian putih menjerit keras. Tubuh terpental tiga tombak, terbanting di tanah di salah satu kaki bukit karang. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki hangus merah. Kini bukan saja Wiro tapi semua orang jadi curiga. Pendekar 212 membentak perempuan di depannya.

"Perlihatkan ujud aslimu! Kalau tidak kutabas batang lehermu!"

Wiro melintangkan golok besar di udara. Golok telanjang di tangan sang pendekar berkilauan terkena cahaya belasan obor. Di ancam Wiro seperti itu Nyi Retno Mantili malah tersenyum. Sepertinya otaknya yang tidak waras kembali kambuh. Tapi ternyata tidak.

"Wiro, apa kau sudah gila hendak membunuh istri sendiri? Hendak membunuh ibu dari anakmu Ken Permata?"

"Nyi Retno, serahkan bayi itu kembali padaku!"

Tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Ameh berkata. Tangannya saat itu dia sudah memegang suling yang terbuat dari emas.

"Wiro, Datuk, semua yang ada di sini. Aku tidak mengerti..." Retno berucap sambil memandang berkeliling.

Tiba-tiba tangan kanan perempuan ini menyusup ke pinggang. Sesaat kemudian tangan itu telah memegang sebilah pisau besar berkilat dan langsung ditikamkan ke leher bayi yang mendadak menangis keras. Namun gerakan Nyi Retno kalah cepat dengan ayunan tangan Pendekar 212. Golok besar berkelebat. Nyi Retno Mantili menjerit keras sebelum lehernya terbabat putus. Tapi yang mengherankan suara jeritnya bukan suara jeritan perempuan melainkan suara jeritan laki-laki!

Darah menyembur. Nenek kembaran ke tiga dengan gerakan cepat menyambar bayi dalam dukungan. Begitu bayi berada dalam gendongan si nenek tubuh tanpa kepala Nyi Retno roboh ke tanah. Ketika golok berkelebat ke arah leher Nyi Retno, dari atas bukit karang Watu Gilang menyambar satu cahaya merah. Datuk Rao Basaluang Ameh cepat sapukan suling emasnya ke atas. Selarik sinar kuning berkiblat. Cahaya merah bertabur cerai berai mengeluarkan suara menggelegar dashyat begitu kena dihantam sinar kuning suling emas.

"Terima kasih Datuk, Datuk telah menyelamatkan nyawa saya..." ucap Wiro.

Datuk Rao Basaluang Ameh sapukan suling emasnya di atas tubuh Nyi Retno Mantili. "Perlihatkan ujudmu sebenarnya agar kau tidak sesat dalam perjalanan ke akhirat!"

"Desssss...!"

Satu letupan menggema. Ujud Nyi Retno Mantili perlahan-tahan berubah menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar yang bukan lain adalah sosok Wira Bumi. Di kaki bukit karang kepala Nyi Retno yang menggelinding dalam waktu hampir bersamaan berubah menjadi kepala Wira Bumi dengan mata kiri dibalut kain hitam.

"Celaka! Aku membunuh Patih Kerajaan!" Ucap Wiro, wajahnya sepucat mayat. Golok dan sarung dibuang ke tanah. Lalu kepala digaruk berulang kali.

"Kau tidak membunuh siapa-siapa Wiro. Kau hanya jadi penyebab kematian seorang manusia jahat. Semua telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa," berkata Datuk Rao Basaluang Ameh. Lalu orang tua ini bertanya. "Kau mengenali siapa orang tua yang tadi meneriaki Nyi Retno Mantili palsu...?"

"Saya tidak dapat memastikan Datuk. Tapi ketika satu kali saya dalam keadaan setengah pingsan ditolong Ratu Duyung, saya mengenali suaranya. Mungkin dia adalah Kuncen bernama Ki Balang Kerso. Bekas penjaga makam Nyai Tumbal Jiwo..."

Datuk Rao Basaluang Ameh kemudian melangkah mendekati nenek kembaran ketiga dan mengambil Ken Permata dari dukungan si nenek. "Saat ini sudah ditakdirkan bayi ini kubawa kembali ke Danau Maninjau. Wiro, tugasmu belum selesai. Kau harus mencari ibu bayi ini sampai dapat. Jika bertemu bawa dia ke tempat kediamanku di Danau Maninjau. Kau masih ingat ucapan terakhir kali kita bertemu?"

Wiro gelengkan kepala. "Saat itu kita bicara banyak. Saya tidak ingat. Ucapan Datuk yang mana..."

"Ucapanku bahwa ibu anak ini telah jatuh cinta pada dirimu. Dan saat ini kurasa dia sangat mencintaimu..."

"Say... saya ingat Datuk..." jawab Wiro yang mendadak jadi merasa tidak enak.

Selesai berkata sang Datuk naik ke punggung Datuk Rao Bamato Hijau. Sesaat kemudian orang-orang di pantai Parang tritis, dan Parangkusumo gempar melihat satu benda putih melesat di langit malam yang mulai cerah karena hujan gerimis telah berhenti.

Di pulau Watu Gilang Pendekar 212 Wiro Sableng masih termangu-mangu ketika ditelinganya tiba-tiba ada suara perempuan mengiang.

"Aku Nyai Tumbal Jiwo. Kau telah membunuh kekasihku. Aku akan membalas dendam kematiannya Kecuali jika kau mau menjadi pengganti..."

"Hah! Apa?" Wiro letakkan dua telapak tangan di atas daun telinga lalu digoyang kuat-kuat.

"Wiro ada apa?" tanya nenek kembaran ke tiga. "Kau bicara sendirian!"

"Mungkin dia tiba-tiba menjadi tidak waras karena di tinggal mati Nyi Retno Mantili jejadian!" kata Nyai Roro Manggut pula lalu tertawa cekikikan.

"Nenek berdua, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini."

"Kami tidak akan pergi bersamamu. Kami mau merayakan malam Satu Suro di pantai Parangtritis..."

"Memangnya kenapa kalau kita pergi bertiga?” tanya Wiro.

Dua nenek menjawab berbarangan. "Nanti ada yang marah. Kata Datuk, Nyi Retno Mantili sangat mencintaimu!"

"Kalian cemburu!"

Dua nenek tertawa mengekeh. Keduanya saling berpegangan tangan lalu melesat ke udara.

"Hai tunggu!" Teriak Wiro.

Tapi dua nenek telah lenyap di udara malam. Tinggal sendirian Wiro lari ke tempat dia meninggalkan perahu di tepi pantai pulau. Ketika hendak mengambil kayu pendayung mendadak dia melihat seseorang perempuan muda cantik jelita, berpakaian sangat seronok hingga sebagian besar tubuhnya tersingkap berbaring menelentang di lantai perahu. Dua kaki sengaja dikembang dan diletakkan di atas sisi perahu.

"Kau siapa?!" tanya Wiro.

Si cantik yang ditanya tersenyum. Barisan giginya kelihatan rata dan putih. "Namaku Nyi Wulas Pikan. Mulai malam ini kau adalah kekasihku pengganti Wira Bumi yang telah kau bunuh..." Si cantik dalam perahu tertawa cekikikan lalu sosoknya lenyap dari pemandangan.

"Nyi Wulas Pikan." ucap Wiro sambil menggaruk kepala. "Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi aku ingat. Wajah gadis tadi sama dengan wajah gadis yang ditiduri Wira Bumi di balik semak belukar di pantai. Pasti dia jejadian Nyai Tumbal Jiwo!"

Wiro berbalik. Murid Sinto Gendeng melengak kaget dan menyumpah panjang pendek karena begitu berbalik kakinya menendang sesuatu. Di tanah dilihatnya sosok wira Bumi, tubuh dan kepala sudah tersambung kembali. Namun di lain kejap sosok itu kemudian lenyap dari pemandangan.

"Edan! Edan!" maki Wiro berulang kali.

"Hik hik." Tiba-tiba ada tawa mengiang di telinga Wiro. "ini aku lagi. Kekasihmu. Nyi Wulas Pikan. Setelah aku mengurus mayat Wira Bumi. Apakah malam ini kita bisa bersenang-senang sampai pagi?

"Hik hik Wiro menirukan tawa mengiang. "Gila! Edan!" makinya kemudian.

"Gila! Edan!Yang gila dan yang edan itulah yang paling enak. Kita akan sama-sama merasakan kelak! Kita berdua pasti cocok. Kalau kau sudah merasakan hemmm... Kau tak akan meninggalkan diriku seumur-umur! Dan aku akan setia selalu padamu. Hik hik hik!"

"Setan Perempuan! Mampuslah!" teriak Wiro lalu tidak kepalang tanggung dia lepaskan pukulan Sinar Matahari ke arah datangnya suara mengiang. Namun yang dihantam hanya udara malam kosong. Dua belas obor hancur berantakan. Keadaan di pulau menjadi agak gelap. Wiro usap kuduknya yang terasa dingin. Sialan! Sialan!" maki sang pendekar berulang kali.

"Tidak sial! Tidak sial! Kau beruntung mendapatkan diriku! Aku beruntung mendapatkan dirimu!" Suara mengiang kembali terdengar di telinga Wiro.

"Jahanam! Setan keparat!" Wiro hantamkan kakinya ke tanah. Pasir pantai amblas membentuk lobang dalam dan besar. Saking kesal Wiro jatuhkan diri ke dalam lubang. Dia tetap tidak bergerak sewaktu ombak memecah di pasir dan air laut masuk ke dalam lobang.

********************

SELESAI

Dimana beradanya Nyi Retno Mantili yang asli? Apakah sesuatu telah terjadi dengan dirinya?! Apakah Pendekar 212 Wiro Sableng mampu menghindar dari kejaran penuh nafsu Nyi Wulas Pikan alias Nyai Tumbal Jiwo?! lkuti serial berikutnya berjudul:

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.