Bayi Titisan
BAB SATU
SEJAK Ken Permata ketitisan roh Nyi Harum Sarti, Datuk Rao Basaluang Ameh melihat banyak perubahan terjadi atas diri bayi yang berusia hampir dua tahun itu. Dari hari ke sehari tubuh anak perempuan Nyi Retno Mantili dari suaminya yang mendiang Patih Kerajaan bernama Wira Bumi itu mengalami pertumbuhan pesat. Tubuh bertambah besar dan bertambah tinggi.
Dalam waktu beberapa bulan saja keadaan Ken Permata tidak beda dengan seorang anak yang telah berusia lima tahun. Bicaranya lancar. Ucapan-ucapan cerdik seperti seorang dewasa. Apa yang terjadi dengan anak itu tidak lepas dari perhatian Mande Saleha, perempuan yang menjaga Ken Permata sejak masih orok.
Suatu hari ketika anak perempuan itu bermain-main di luar ditemani harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau, Mande Saleha menemui Datuk Rao Basaluang Ameh di dalam goa batu pualam. Sebenarnya dia ingin membawa serta Baiduri, Ibu Susu Ken Permata. Tapi perempuan separuh baya ini akhirnya memutuskan untuk datang seorang diri saja. Ketika dia masuk ke dalam goa batu pualam, sang Datuk tengah membaca khidmat sebuah kitab bertuliskan huruf Arab yang beberapa hari lalu didapatnya dari seorang sahabat, seorang pedagang bangsa Parsi.
Setelah menunggu sampai Datuk Rao menyelesai-kan bacaan dan menutup kitab, baru Mande Saleha berani keluarkan ucapan. "Datuk, saya datang mengganggu untuk membicarakan hal diri anak awak Ken Permata. Sebenarnya saya sudah sejak lama ingin menemui dan bicara dengan Datuk. Namun saya takut Datuk kurang berkenan di hati…"
Datuk Rao Basaluang Ameh beberapa ketika menatap perempuan dihadapannya itu dengan sepasang matanya yang kelabu ke biru-biruan. "Mande Saleha, aku sudah maklum. Kegelisahanmu kegelisahanku juga. Kekawatiranmu kekawatiranku juga. Langsung saja, apa yang hendak kau sampaikan?”
"Datuk maafkan saya kalau seolah berlaku lebih prihatin dari Datuk. Saya kira Datuk melihat sendiri perubahan yang terjadi atas keadaan diri Ken Permata. Usianya belum dua tahun namun keadaannya menyamai anak perempuan yang telah berusia lima-enam tahun. Dia tumbuh dewasa lebih cepat dari kodrat Allah dan kemauan alam. Tapi bagi saya bukan perubahan keadaan bentuk badan itu saja yang mengawatirkan. Yang saya cemaskan adalah perubahan sifat dan bicaranya. Sekarang dia lebih suka tidur sendiri daripada bersama saya. Dia menolak kalau saya rangkul apa lagi saya dukung. Dia lebih suka tidur di atas tikar di lantai rumah gadang daripada bergolek satu ketiduran dengan saya. Kadang-kadang, kalau saya tersentak bangun tengah malam, saya dapati anak itu tidak ada di dalam kamar. Ketika saya cari ternyata dia berada di halaman samping, duduk atau membaringkan diri di atas lesung. Atau duduk di tangga rumah kecil tempat menyimpan padi. Sesekali sebelum saya menemuinya, saya coba mengintai. Pernah kedapatan oleh saya mulutnya bergerak-gerak. Dia seperti bicara dengan seseorang. Tapi suaranya tidak terdengar dan orang yang diajaknya bicara tidak kelihatan. Saya benar-benar cemas Datuk. Saya kawatir penitisan yang terjadi atas Ken Permata telah merusak pikiran anak itu.”
Datuk Rao Basaluang Ameh terdiam baberapa jurus. Setelah mengusap wajah yang barsih kelimis orang tua ini berkata. “Sejak beberapa waktu belakangan ini ada roh yang berusaha mendekati anak itu."
"Apakah itu tidak berbahaya Datuk?"
“Berbahaya, sangat berbahaya. Itu sebabnya aku telah mamagari tempat kediaman kita ini sampai seputar Danau Maninjau dangan Ilmu Selusin Jaring Penolak Bala. Selain itu setiap malam aku sembanyang Tahajjud, aku memohon perlindungan atas diri anak itu dari Yang Maha Kuasa.”
“Saya tahu, Ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu pastilah sangat hebat. Mudah-mudahan iImu itu bisa melindungi Ken Permata. Tidak sampai terjadi seperti dahulu. Ketika dia diculik orang, dilarikan ke tanah Jawa. Datuk sampai-sampai meminta pertolongan para Datuk sahabat dari berbagai penjuru pulau Andalas..."
"Selain itu pada Datuk Rao Bamato Hijau telah aku pesankan agar menjaga dan mengawasi Ken Permata baik siang apa lagi di waktu malam." Ucap Datuk Rao Basaluang Ameh.
Apa yang dikatakan dan dikawatirkan perempuan dihadapannya memang cukup beralasan. Beberapa waktu lalu Ken Permata berhasil dilarikan Wira Bumi bersama gurunya Nyai Tumbal Jiwo dengan cara menyamar sebagai harimau putih peliharaan sang Datuk dan suami Baiduri.
"Apa masih ada hal lain yang hendak kau katakan atau masih kau cemaskan Mande Saleha?"
"Terus terang Datuk, rasa cemas saya memang tidak berkeputusan. Bagi saya Ken Permata sudah sebagai anak darah daging saya sendiri. Datuk, saya ingin memberi tahu. Ken Permata beberapa kali entah sadar entah tidak berkata pada saya. Bahwa dia ingin meninggalkan Danau Maninjau namun hatinya masih terkait sayang pada rumah gadang dan Datuk, pada saya dan pada ibu susunya. Ucapannya seperti orang dewasa. Bukan seperti ucapan anak-anak, apalagi ucapan seorang bayi berusia belum dua tahun. Katanya lagi, walau dia belum mau pergi, namun kalau orang yang menjemput sudah datang maka dia terpaksa akan pergi juga..."
Raut muka Datuk Rao Basaluang Ameh berubah. "Mande Saleha, apakah anak itu mengatakan siapa yang akan menjemputnya?"
Mande Saleha menggeleng. Lalu berkata. "Saya pernah bertanya siapa orang itu atau bagaimana ciri-cirinya, lelaki atau perempuan. Tapi Ken Permata menjawab, “Nantilah Mande, nanti akan saya ceritakan pada Mande.” Selain itu Ken Permata juga menceritakan. Orang itu acap kali menemuinya pada malam hari ketika dia antara jaga dan tidur. Orang itu banyak menceritakan tentang dirinya, siapa ibunya, siapa ayahnya. Bahwa ayahnya telah menemui kematian. Dia juga diberi tahu siapa yang telah membunuh ayahnya."
"Jika cerita anak itu memang benar, berarti satu malapetaka besar akan terjadi. Dia akan mencari pembunuh ayahnya. Orang yang membunuhnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng..." Datuk Rao Basaluang Ameh gelengkan kepala sambil mengucap menyebut nama Tuhan berulang kali. "Saleha, kau bisa menduga siapa orang itu?" tanya Datuk kemudian.
"Kalau menduga saya bisa saja tapi tak berani mengatakan. Mungkin Datuk lebih bisa menerka."
"Kau ingat kejadian yang kau ceritakan padaku beberapa waktu lalu? Sebelum penitisan gaib terjadi atas diri Ken Permata?"
"Saya ingat Datuk."
"Ada seorang perempuan tua bertubuh tinggi berambut putih. Masuk ke dalam kamar tempatmu dan Ken Permata tidur. Dia mengenakan pakaian panjang kuning berbunga-bunga. Ada seperangkat sunting pendek di kepalanya. Dialah orang yang dimaksud Ken Permata. (Baca Janda Pulau Cingkuk) Yang kelak akan datang menjemputnya. Namun bisa juga yang muncul adalah roh yang menitis ke dalam tubuhnya. Bekas Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum Sarti. Tapi Saleha, hal lain bisa saja terjadi..."
"Hal lain bagaimana maksud Datuk?" tanya Mande Saleha pula.
"Bisa saja anak itu pergi sendirian, meninggalkan tempat ini, mengikuti dorongan gaib tanpa menunggu kedatangan perempuan tua tadi."
"Saya benar-benar takut kalau hal itu terjadi. Saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, meminta perlindungan atas diri anak itu. Dia sebenarnya tidak tahu apa-apa. Ada kekuatan gaib di luar dirinya yang mengatur jalan nasibnya."
"Itulah yang dinamakan takdir. Manusia masih bisa merubah dan melawan nasib. Tapi tidak ada manusia yang bisa melawan takdir." Ucap Datuk Rao Basaluang Ameh yang saat itu pula teringat pada Laras Parantili, kekasih di masa mudanya yang telah bertindak sebagai pelindung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata.
"Mungkin... mungkin kita harus cepat-cepat mempertemukan anak itu dengan ibu kandungnya Datuk. Kita tidak bisa hanya menunggu sampai Pendekar 212 menjemputnya ke sini sebagaimana yang Datuk inginkan. Apalagi kenyataannya dia telah mengetahui siapa pembunuh ayahnya."
"Kau mungkin betul Saleha. Mungkin itu yang harus kita lakukan." Kata Datuk Rao pula. "Panggil anak itu. Bawa dia ke sini. Kita bisa bicara mengajuk hatinya..."
"Akan saya panggil dan bawa dia ke sini Datuk." Kata Mande Saleha lalu cepat-cepat keluar dari goa. Tak lama kemudian perempuan ini muncul kembali dengan wajah pucat dan nafas mengengah.
“Ada apa Saleha?" tanya sang Datuk heran tak bersyak wasangka.
"Ken Permata! Anak itu ada di pucuk pohon Kayu Manis besar di tepi danau. Harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau tidak bisa barbuat apa-apa. Hanya barputar-putar dan menggereng di sakitar bawah pohon. Dia menunggu, kawatir Ken Permata tergelincir jatuh.”
“Ken permata di pucuk pohon Kayu Manis! Bagaimana mungkin?" ujar Datuk Rao lalu dengan serta merta melompat keluar goa diikuti Mande Salaha.
Ketika Datuk Rao Basaluang Ameh sampai di tepi Danau Maninjau sebelah timur, orang tua ini berhenti berlari, tegak terpana penuh perasaan tak percaya. Seperti yang dikatakan Mande Saleha, harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau melangkah memutari pohon kayu manis besar. Sekali-sekali kepalanya mendongak ke atas pohon. Di atas pohon ini, pada pucuk yang paling ujung, di satu dahan yang tidak seberapa besar, sambil berpegangan ke ranting pohon, berdiri Ken Permata, anak perempuan yang belum berusia dua tahun tapi memiliki bentuk badan seukuran anak berumur lima tahun. Sambil menggoyang-goyang kaki dan mengayun-ayunkan tubuh, anak ini bernyanyi-nyanyi tiada henti. Datuk Rao mengucap berulang kali.
"Allah Maha Besar! Aneh! Dia memiliki ilmu meringankan tubuh. Dia mempunyai ilmu kesaktian. Ilmu titisan!"
Mande Saleha berteriak cemas berulang kali, memanggil-manggil anak perempuan itu, Datuk Rao berseru. "Cucu Datuk Ken Permata! Kau gembira sekali hari ini. Sampai-sampai menyanyi di atas pohon. Turunlah, menyanyi di dekatku agar Datuk bisa lebih jelas mendengar bagusnya suaramu...!
Tanpa menoleh ke bawah dari atas pohon Ken Permata menyahuti. "Datuk di sini lebih enak. Udaranya nyaman, pemandangan indah. Mengapa Datuk tidak naik saja ke atas pohon? Jangan lupa membawa serta Mande Saleha. Kita bernyanyi bersama-sama!"
"Celaka Datuk. Kalau kakinya sampai terpeleset tergerajai, anak itu akan jatuh ke tanah. Tolong dia Datuk. Cepat diturunkan..."
"Tenang Saleha, aku akan menurunkannya..." Kata Datuk Rao pula.
Sekali menjejak kaki kanan ke tanah, orang tua sakti ini melesat ke atas pohon kayu manis. Begitu sampai di atas cabang tempat Ken Permata berdiri Datuk Rao cepat ulurkan tangan untuk menangkap pinggang si anak. Tapi...
"Wuutt!" Dia hanya menangkap angin! Karena sesaat sebelum Datuk Rao mengulurkan tangan Ken Permata lebih dulu meluncurkan diri ke bawah, tertawa gelak-gelak lalu melompat dari satu cabang ke cabang lain. Tak lama kemudian terdengar suara anak itu di bawah pohon.
"Datuk! Saya sudah turun ke bawah! Habis Datuk lama sekali saya tunggu tidak mau naik-naik, tidak mau menyanyi bersama saya di atas pohon!"
Datuk Rao mengucap kaget. Memandang ke bawah memang dilihatnya Ken Permata sudah berada di bawah pohon. Berdiri di samping Mande Saleha. Anak ini tertawa-tawa girang sambil mengelus tengkuk harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau. Datuk Rao Basaluang Ameh cepat melayang turun ke tanah.
"Cucu Datuk hebat sekali!" memuji Datuk Rao Basaluang Ameh sambil membelai kepala Ken Permata. "Cucuku, ceritakan pada kakekmu ini bagaimana kau bisa naik dan turun lagi dari pohon besar itu."
"Ada orang yang membawa saya Kek," jawab Ken Permata.
Mande Saleha merasa kuduknya dingin merinding. Perempuan ini memandang berkeliling lalu mendongak ke atas pohon besar. Lalu dia berbisik pada Datuk. "Hantu Haru-haru. Pasti mahluk itu hendak menculik Ken Permata."
Hantu Haru-haru adalah sejenis mahluk halus yang pada masa itu banyak gentayangan di Pulau Andalas, suka menculik anak kecil dan membawanya ke atas pohon tinggi antara lain pohon kelapa.
"Bukan, bukan Hantu Haru-haru... Ada mahluk lain," jawab Datuk Rao Basaluang Ameh lalu tidak menunggu lebih lama segera mendukung Ken Permata, setengah berlari membawanya ke goa batu pualam.
Begitu sampai di dalam goa Datuk Rao Basaluang Ameh bertanya pada Ken Permata. "Cucu Datuk... Orang yang membawamu naik ke atas pohon tadi, apakah dia seorang lelaki atau seorang perempuan?"
"Perempuan Kek. Orangnya cantik rancak..."
Datuk Rao Basaluang Ameh tercengang mendengar jawaban Ken Permata. “Otak dan jalan pikirannya bukan seperti anak-anak lagi. Dia sudah lebih dewasa dari usia sebenarnya. Pasti roh perempuan yang pernah menjadi Ratu Laut Utara, Nyi Harum Sarti…" Datuk menatap ke luar goa. Lalu mulutnya berucap perlahan. Ada nada kekecewaan pada suaranya. “Laras Parantili, aku sungguh sedih kau sampai mau menjadi pelindung terjadinya penitisan atas diri anak ini. Apakah kau tak bisa menduga kalau kelak di kemudian hari akan timbul bencana besar akibat penitisan roh seorang manusia berhati jahat ke dalam diri seorang anak perempuan yang masih bersih dan suci?"
Kita telah mengetahui apa yang telah terjadi dengan Ken Permata. Sekarang mari kita ikuti perjalanan sang ibu yakni Nyi Retno Mantili setelah dibawa oleh Manusia Paku Sandaka Arto Gampito. Dalam serial berjudul Perjodohan Berdarah diceritakan setelah menyelamatkan Nyi Retno Mantili dari Serikat Tiga Momok yang hendak merobek tubuh dan menyantap hati, ginjal serta jantungnya. Manusia Paku berhasil membujuk dan membawa perempuan malang itu ketempat kediaman gurunya di satu goa yang terletak pada sisi barat jurang batu pualam.
Di dalam serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku diceritakan bagaimana setelah sekian lama dijadikan budak nafsu, dengan mempergunakan Kapak Geni 212 milik Wiro, Manusia Paku Sandaka Arto Gampito pada akhirnya berhasil membunuh Dewi Ular. Dalam keadaan tubuh penuh luka bergelimang darah Dewi Ular ditendang masuk ke dalam sebuah jurang batu mengandung pualam. Namun entah apa yang ada di benak Manusia Paku, sesaat setelah Dewi Ular jatuh ke dalam jurang diapun ikut pula menyusul menghambur diri terjun ke dalam jurang yang sama.
Rupanya benar ujar-ujar yang mengatakan sebelum ajal berpantang mati. Ini yang terjadi dengan Sandaka. Seorang sakti yang diam di dalam sebuah goa di dinding barat jurang batu pualam menyelamatkan pemuda itu. Setelah mendengar penuturan Sandaka mengenai riwayat dirinya, si orang tua sakti menaruh hiba lalu mengambilnya menjadi murid, diajak tinggal bersama di dalam goa.
Sang guru yang dalam rimba persilatan dikenal dengan nama Datuk Sipatoka kabarnya berasal dari Pulau Andalas sebelah Utara. Setelah puluhan tahun menghuni goa di jurang batu pualam itu dia kemudian dikenal juga dengan nama Datuk Batu Pualam. Sebagai orang sakti Datuk Sipatoka mengetahui bahwa di dasar jurang di mana terdapat satu kawah sempit tersimpan sepasang keris sakti tak bersarung yang diduga milik Kerajaan, bernama Keris Nagasona.
Konon salah satu kesaktian keris yang satu jantan satu betina ini adalah mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Karenanya Datuk Sipatoka menaruh keyakinan bahwa sepasang senjata sakti itu juga mampu melenyapkan puluhan baja putih yang me-nancap di tubuh muridnya. Hal itu diberitahukannya pada Sandaka.
Namun tidak mudah untuk mendapatkan sepasang keris sakti tersebut. Sang Datuk menyirap berita yang berasal dari sebuah kitab bernama Kitab Seribu Petunjuk Kuna dan memberitahu pada muridnya bahwa pada malam Sekatan yang akan datang, didahului dangan tanda munculnya Bintang Kalimukus di langit maka saat itulah sapasang keris sakti akan keluar dari tempat pertapaannya selama belasan tahun di dasar kawah jurang batu pualam. Sepasang keris itu sendiri konon telah berusia dua ratus tahun.
Bagaimana dengan Dewi Ular? Apakah benar-benar menemui ajal pada saat dirinya terpental ke dalam jurang batu pualam akibat tendangan Sandaka? Dalam keadaan tubuh penuh luka bekas bacokan kapak sakti bergelimang darah dan siap meregang nyawa Dewi Ular melayang jatuh ke dalam jurang. Tidak disangka-sangka dari dalam sebuah goa di dinding timur muncul seorang perempuan sakti menyelematkannya.
Perempuan bertubuh gemuk ini bernama Kunti Rao, merupakan musuh bebuyutan Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam yang tinggal dalam goa di dinding barat jurang. Dewi Ular bukan saja diselamatkan tapi juga diambil jadi murid. Namun sang guru bernasib buruk. Dewi Ular yang culas secara keji kemudian membunuh Kunti Rao mempergunakan paku emas yang telah berubah hitam yang ditusukkan ke pusarnya oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika di Kotaraja tengah berlangsung perayaan Sekaten, pada malam harinya di langit di atas jurang benar-benar muncul, Bintang Kalimukus. Di sekitar mulut jurang batu pualam saat itu telah berkumpul serombongan tokoh dari Keraton di bawah pimpinan Pangeran Ipong Nalakudra. Pangeran ini telah sekian lama menderita menyakit lumpuh. Dia percaya sepasang keris sakti Nagasona mampu memberi kesembuhan pada penyakitnya. Itu sebabnya bersama pengiringnya yang terdiri dari tokoh-tokoh silat Kerajaan dia mendatangi jurang batu pualam untuk mendapatkan dua keris sakti.
Ternyata yang datang ke tempat itu bukan cuma rombongan dari Keraton, tapi juga Ratu Ular bersama sang murid, Dewi Ular yang telah lebih dulu berada di tempat itu. Lalu tidak terduga datang pula tokoh sakti utama rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Si Raja Penidur. Tokoh yang jarang muncul ini dan sepanjang tahun boleh dikatakan selalu tidur, sekali memperlihatkan diri maka ini merupakan pertanda bahwa satu peristiwa besar akan terjadi di tempat itu.
Sementara itu Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Anggini murid Dewa Tuak juga telah berada di sekitar jurang batu pualam. Sepasang pendekar muda mudi ini dicurigai oleh Pangeran Ipong dan para pengikutnya sebagai hendak merampas keris Nagasona. Padahal keduanya tidak tahu-menahu keberadaan senjata sakti itu. Mereka datang ke jurang batu pualam justru karena mencurigai bahwa Dewi Ular sebenarnya masih hidup sambil mencari tahu apa yang terjadi dengan Manusia Paku Sandaka.
Ketika malam itu akhirnya Bintang Kalimukus muncul di langit, di dasar jurang dua keris sakti Nagasona mencuat keluar dari dalam kawah dan para tokoh rimba persilatan berkelahi hebat untuk mendapatkan. Ternyata yang beruntung adalah Ratu Ular. Begitu dia berhasil menangkap sepasang keris sakti dengan cepat Ratu Ular sapukan dua keris ke tubuh muridnya hingga tubuh Dewi Ular yang tadinya penuh cacat luka bekas hantaman Kapak Naga Geni 212 sembuh dengan seketika. Kekuatan, tenaga dalam serta kesaktiannya pulih.
Dengan mengandalkan dua keris sakti Ratu Ular kemudian berusaha menghabisi semua tokoh silat yang ada di tempat itu. Dia nyaris hampir membunuh Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam. Ketika dia mengejar dan hendak menghabisi Manusia Paku Sandaka Pendekar 212 Wiro Sableng segera masuk ke dalam kancah pertarungan dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan. Ternyata kapak mustika sakti tidak mampu menghadapi sepasang keris pusaka. Wiro terpental, kapak sakti lepas dari pegangannya.
Sesaat lagi Ratu Ular hendak melancarkan serangan yang mematikan tiba-tiba Si Raja Penidur jatuhkan diri di dasar jurang tapi dalam keadaan mata terpejam mulut mengorok alias tidur lelap! Di mulutnya masih terselip pipa berasap! Enak saja dia menggolekkan diri di atas satu batu besar. Selagi semua orang terkesiap melihat kemunculan tokoh utama rimba persilatan yang berperilaku aneh ini, Wiro cepat mengambil Kapak Naga Geni 212 yang tercampak di batu jurang.
Melihat kemunculan Si Raja Penidur, apa lagi ketika Wiro membangunkan tokoh rimba persilatan yang memiliki kesaktian luar biasa ini, Ratu Ular tampak gelisah. Dia segera membisiki Dewi Ular untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun ketika guru dan murid bersiap kabur, tahu-tahu Si Raja Penidur sudah menghadang. Setelah hembuskan asap pipa dan menguap lebar Si Raja Penidur menegur.
"Untari, kau masih saja berkelakuan macam-macam. Apa kekecewaan masa muda masih menghantui dirimu?"
Semua orang yang ada di atas permukaan kawah di dalam jurang batu pualam terheran-heran mendengar kata-kata si gemuk, tapi tak ada yang berani bertanya. Siapa yang bernama Untari itu? Ratu Ular? Lalu mereka melihat perubahan pada wajah Ratu Ular. Sikapnya kini menunjukkan rasa gelisah kalau tidak mau dikatakan takut. Takut pada siapa?
"Raja Penidur," tiba-tiba Ratu Ular berucap. "Urusan masa lalu tidak perlu diungkit-ungkit..."
"Ah! Jadi dialah yang bernama Untari! Sang Ratu Ular!" bisik Pendekar 212 Wiro Sableng pada Anggini.
"Kalau begitu katamu, baiklah. Kau boleh pergi. Tapi ada dua hal yang harus kau tinggalkan,” kata Si Raja Penidur.
"Hemmm, dua hal apakah itu?" tanya Ratu Ular.
Si Raja Penidur menyedot pipa dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke udara hingga tempat itu dipenuhi bau tembakau yang tidak sedap. Setelah menguap dan mengucak kedua matanya baru dia menjawab.
"Pertama serahkan padaku sepasang keris Nagasona. Dua senjata mustika sakti itu bukan milikmu."
"Lalu apakah dua keris ini milikmu?" tukas Ratu Ular dengan wajah sunggingkan seringai sinis.
"Memang jelas bukan milikku. Aku hanya jadi perantara untuk mengembalikan pada pemiliknya. Sebentar lagi utusan pemilik akan datang untuk mengambil..."
Ratu Ular tertawa panjang. "Ceritamu enak sekali didengarnya. Rupanya kau sekarang telah jadi seorang perantara. Bagiku seorang perantara tidak lebih dari seorang kacung."
Si Raja Penidur tenang saja mendengar dirinya dikatakan sebagai kacung. Setelah meniup pipa dalam-dalam dan menghembuskan asap ke udara dia menjawab. "Aku hanya memberi tahu. Aku tidak bicara dusta. Tidak pernah..."
"Kecuali terhadapku?" Ratu Ular cepat potong ucapan Si Raja Penidur.
Si Raja Penidur sesaat berubah parasnya lalu terkekeh perlahan. "Kau tadi mengatakan urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit. Menurutku ini adalah penyelesaian yang paling baik."
"Kau belum mengatakan hal yang kedua." Ratu Ular alihkan pembicaraan.
"Hal kedua yang harus kau tinggalkan di tempat ini adalah perempuan muda berjuluk Dewi Ular itu...”
Sepasang alis Ratu Ular berjingkat. Dua bola mata membesar. "Apa urusanmu dengan diri muridku? Kau hendak memperlakukannya seperti yang kau perbuat padaku puluhan tahun silam?"
Pendekar 212 dan semua orang yang ada di tempat itu jadi saling pandang mendengar ucapan Ratu Ular. Rupanya ada jalinan hubungan sangat dekat antara Ratu Ular dan Raja Penidur di masa puluhan tahun silam. Si Raja Penidur batuk-batuk beberapa kali lalu menguap lebar-lebar.
"Aku sudah mengatakan dua hal permintaanku. Terserah padamu mau memenuhi atau tidak.”
"Aku harus tahu dulu apa yang hendak kau lakukan terhadap muridku.”
"Aneh kalau kau masih bertanya. Apa kau tidak menyadari kesalahan besar yang telah dibuatnya? Dosanya setinggi langit sedalam lautan. Mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki! Membunuh tokoh-tokoh rimba persilatan tak berdosa. Bahkan teganya membunuh gurunya sendiri! Kau kira dia bisa lolos begitu saja dari hukuman? Tapi mengingat hubunganmu dengan diriku, aku tidak akan bertindak terlalu keras padanya. Aku bersedia melindungi dirinya dari balas dendam orang-orang rimba persilatan yang mengerikan. Aku akan mengatur hukuman yang terbaik bagi dirinya.”
"Hukuman terbaik bagi dirinya adalah ikut bersamaku. Sekarang juga! Jangan ada yang berani mengganggu menghalangi!" kata Ratu Ular pula tegas.
"Terserah padamu. Aku sudah menawarkan yang terbaik. Mataku sudah mulai mengantuk. Aku ingin menyelesaikan urusan ini sebelum aku tidur lagi.”
"Aku tidak akan memenuhi permintaanmu, Raja Penidur! Seperti kau tidak pernah memenuhi apa-apa terhadap diriku! Kau mau tidur silahkan. Aku tidak perduli sekalipun kau tidak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya!"
"Ah, sayang sekali kalau begitu," kata Raja Penidur lalu menguap tak acuh.
Ratu Ular memberi isyarat pada Dewi Ular. Kedua perempuan itu segera melangkah pergi. Namun baru berjalan dua tindak tiba-tiba dari atas ada cahaya putih melayang turun. Ketika cahaya mencapai pertengahan jurang, semua orang yang ada di tempat itu jadi tertegun. Yang melayang turun adalah seorang gadis sangat cantik. Berpakaian lilitan kain sutera putih halus. Kalau saja lilitan kain tidak tebal maka pakaian itu nyaris tembus pandang memperlihatkan tubuhnya yang putih elok. Udara di dasar kawah kini dipenuh bau harum semerbak yang keluar dari tubuh dan pakaian si gadis.
Raja Penidur cabut pipa dari sela bibir, menguap lebar-lebar lalu berpaling pada Ratu Ular. "Utusan yang ditunggu telah datang. Aku tidak bisa membantumu lagi, Untari…"
Ratu Ular terkesiap. Dewi Ular tampak tegang. Gadis cantik berpakaian sutera putih melayang turun dan berdiri di hadapan Ratu Ular. Wiro dan Anggini melihat bagaimana dua kaki putih bagus si gadis sama sekali tidak menjejak batu di dasar jurang. Walau kagum melihat kecantikan dan keelokan tubuh orang namun diam-diam Wiro merasa tengkuknya dingin. Dia segera maklum kalau gadis ini bukan manusia biasa.
Si gadis yang oleh Raja Penidur disebut sebagai utusan menjemput dua keris sakti anggukkan kepala seraya ulurkan dua tangan. Memberi isyarat pada Ratu Ular agar segera menyerahkan keris Nagasona. Ratu Ular melangkah mundur. Tangan kiri mengusap kepala ular besar yang bergelung di lehernya, tangan kanan memberi tanda pada Dewi Ular. Sang murid yang mengerti isyarat ini segera siapkan paku hitam. Didahului teriakan keras Ratu Ular maka guru dan murid lancarkan tiga serangan ganas.
Serangan pertama adalah serangan ular besar yang menggelantung di leher Ratu Ular. Binatang ini melesat laksana anak panah mematuk ke arah gadis cantik berpakaian sutera putih. Serangan kedua berupa cahaya kuning yang keluar dari paku hitam di tangan Dewi Ular. Paku hitam ini dulunya adalah paku emas yang didapat Wiro dari Eyang Sinto Gendeng untuk melumpuhkan Dewi Ular. Oleh Dewi Ular paku ini kemudian dijadikan senjata sakti mandraguna. Walau keadaannya sekarang hitam namun sinar maut yang dipancarkannya tetap berwarna kuning emas.
Serangan ketiga inilah serangan yang terhebat datang menghambur dari sepasang keris sakti berupa hamparan dua cahaya kuning terang benderang menyilaukan sekaligus menggidikkan. Manusia biasa, betapapun tinggi ilmu silat dan kesaktiannya, dihantam tiga serangan sakaligus seperti itu akan sulit lolos selamatkan diri.
Si Raja Penidur tampak kerenyitkan kening melihat datangnya serangan sambil siap membantu kalau sampai gadis cantik berpakaian sutera putih tidak sanggup menahan hantaman tiga serangan. Wiro sendiri sudah merapal ajian Pukulan Sakti Sinar Matahari. Tangan kanannya sebatas siku ke bawah telah berubah menjadi putih perak. Malah dengan jengkel dia berteriak. Memaki Ratu Ular dan Dewi Ular sebagai pengecut.
Namun gadis jelita yang dua kakinya tidak berpijak ke dasar kawah tampak tenang saja. Sambil tersenyum dan lemparkan lirikan ke arah murid Sinto Gendeng dia membuat gerakan lemah gemulai laksana seorang penari padahal yang dihadapi adalah serangan maut! Si gadis lambaikan tangan kiri dengan gerakan perlahan. Tiga serangan yang menyambar ke arahnya seolah-olah disedot masuk ke dalam telapak tangan kiri yang dikembangkan. Tiga larik sinar kuning dari sepasang keris sakti dan satu lagi dari paku hitam di tangan Dewi Ular lenyap pupus seperti asap dihembus angin.
"Cleepp!" Bersamaan dengan itu kapala ular besar menempel di telapak tangan kiri gadis berpakaian sutera putih. Binatang ini mendesis keras. Menggeliat berusaha melepaskan diri. Namun sekali lima jari tangan si gadis meremas maka kepala binatang jahat berbisa itu hancur remuk. Tubuh sampai ke ekor yang masih utuh dalam keadaan menggelepar-gelepar, dilempar amblas ke dalam dasar kawah jurang batu pualam. Sekali gadis cantik meniup maka tangannya yang berlumuran darah ular bersih kembali.
Masih dengan gerakan seperti penari, tangan kanan gadis cantik yang oleh Raja Penidur disebut sebagai utusan untuk mengambil sepasang keris Nagasona, bergerak melambai ke depan. Ratu Ular merasa satu kekuatan dahsyat menerpa membuat dua kakinya goyah dan tubuh terjajar ke belakang. Belum sempat mengimbangi diri dia melihat sesuatu berkelebat di depannya, lalu tahu-tahu dua keris sakti yang dipegangnya di tangan kiri kanan telah berpindah ke tangan kanan gadis cantik di hadapannya.
Ratu Ular berteriak keras. Dia menerjang ke depan. Dalam jarak begitu dekat dua tangan bukan saja melancarkan serangan tangan kosong ganas tapi dua tangan itu tiba-tiba berubah menjadi sepasang tombak dengan kepala berbentuk ular senduk hijau! Dua mata gadis cantik membesar, dua alis naik ke atas. Tangan kiri digerakkan. Gerakan lembut tapi mengandung tenaga dahsyat!
"Trakk! Traakk!"
Bukan cuma dua tombak berbentuk kepala ular kobra jejadian yang hancur tapi dua tangan Ratu Ular ikut patah dan remuk mulai dari pertengahan lengan sampai ke ujung jari. Raungan keras perempuan ini menggelepar di dalam jurang batu. Melihat gurunya celaka begitu rupa didahului jeritan tak kalah kerasnya Dewi Ular kembali menyerbu dengan paku hitam bertuah. Gadis yang diserang lagi-lagi lambaikan tangan kiri.
"Kraakk!" Paku hitam hancur luluh. Begitu juga tangan kanan Dewi Ular yang tadi memegang senjata itu. Guru dan murid sama terhuyung lalu tubuh mereka saling berbenturan.
"Dewi, kita tak mungkin keluar hidup-hidup dari tempat ini. Kalaupun mampu tak ada gunanya hidup dalam keadaan cacat seperti ini. Ikuti apa yang aku lakukan."
"Saya mengerti Ratu. Saya siap..." sahut Dewi Ular. Dengan cepat diam-diam dia kerahkan ilmu kesaktian bernama Membalik Mata Menipu Pandang.
Tidak ada satu orangpun yang menduga, tidak ada yang menyangka maupun mampu mencegah ketika Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan keras sama-sama lari lalu menghujamkan kepala masing-masing ke dinding jurang batu pualam. Suara remuknya kepala kedua orang ini terdengar luar biasa menggidikkan! Tubuh mereka tergelimpang tak bernyawa di atas gundukan batu di samping kawah di dasar jurang. Untuk beberapa lama keadaan di tempat itu dipagut kesunyian.
Gadis cantik berpakaian sutera putih palingkan kepala ke arah Raja Penidur. Datuk rimba persilatan ini maklum arti pandangan itu. Si gadis akan segera meninggalkan jurang batu pualam. Sebelum pergi, atas permintaan Si Raja Penidur gadis cantik berpakaian sutera putih mengusapkan sepasang keris Nagasona ke tubuh Datuk Sipatoka dan Manusia Paku Sandaka.
Saat itu juga luka dalam yang dialami Datuk Sipatoka akibat hantaman Ratu Ular tadi serta merta menjadi sembuh. Sementara sapuan dua keris sakti membuat tiga puluh paku baja putih yang menancap di sekujur kepala, muka dan tubuh Sandaka tercabut bermentalan, jatuh ke dalam dasar jurang. Tubuh Sandaka kepulkan asap berbau busuk. Si Raja Penidur menguap lalu kucak mata dan berkata.
"Terima kasih, kau telah mengobati dua sahabat kami. Gadis utusan penjemput sepasang keris sakti, kau boleh pergi. Serahkan keris Nagasona pada pemiliknya di pantai selatan. Jika sebentar nanti kau berada di atas jurang, ada seorang Pangeran yang telah puluhan tahun menderita lumpuh. Tolong sembuhkan penyakitnya dengan keris sakti itu. Sampaikan salamku pada Sang Penguasa Agung Samudera Selatan.”
Gadis yang diajak bicara hanya menjawab dengan anggukan kepala. Ketika dia memutar tubuh siap hendak melesat ke atas jurang, tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru,
"Gadis cantik! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku juga menderita sakit. Mungkin luka dalam. Tolong sembuhkan. Usapkan keris sakti itu ke dadaku..." Lalu Wiro cepat-cepat buka kancing bajunya dan melangkah mendekati si gadis sambil sodorkan dada.
Si gadis tertegun sesaat lalu tersenyum. Si Raja Penidur cabut pipa dari sela bibir. Jaraknya dengan Wiro saat itu cukup jauh tapi seperti bisa mulur tangan itu menjadi panjang dan pipa lalu diketukkan ke kepala murid Sinto Gendeng.
"Anak sableng! Jangan berani macam-macam! Siapa tidak tahu akal bulusmu! Minta diusap segala!"
"Plettaaakk!" Pipa Si Raja Penidur mandarat di kening Pendekar 212 hingga saat itu juga jidat Wiro jadi benjut banjol sebesar telur ayam. Sakitnya bukan main karena Si Raja Penidur memang sengaja mengalirkan hawa sakti ke ujung pipa yang bisa membuat orang kesakitan setengah mati. Tapi Wiro juga tidak tinggal diam. Sebelum ujung pipa mendarat di keningnya dia kerahkan tenaga dalam mengandung hawa lembut. Walau keningnya tetap benjol tapi ujung pipa Si Raja Penidur jadi bengkok! Membuat manusia gemuk sakti ini mendelik sesaat lalu kembali sepasang matanya redup dan dia menguap lebar-Iebar.
Gadis cantik berpakaian sutera putih tertawa. Lalu dia meniup ke arah wajah Wiro. Saat itu juga benjol besar di kening sang pendekar dan rasa sakit serta merta lenyap! Selagi Wiro tertegun si gadis sudah melesat ke atas jurang.
"Ah, tidak diusap pun tak jadi apa. Nafasnya segar dan sejuk seperti embun pagi, seharum kembang melati! Rugi kau tidak merasakan tiupannya Kek!" Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kelakuan konyolmu masih tidak berubah!" kata Si Raja Penidur sambil berusaha meluruskan pipanya yang bengkok. "Gadis hendak kau permainkan tadi bisa saja dia adalah si pemilik sapasang keris Nagasona yang sebenarnya..."
Sambil mengusap kaning murid Sinto Gendeng bertanya. "Kalau begitu gadis tadi itu siapa sebenarnya Kek?"
"Bagaimana kalau dia adalah Ratu Penguasa Samudera Selatan... "
"Maksudmu Kek, Nyai Roro Kidul?" tanya Wiro lagi.
"Apa ada Ratu lain yang jadi penguasa di kawasan itu?" tukas Raja Penidur.
"Ah...!" Wiro jadi garuk-garuk kepala.
Raja Penidur masih terus berusaha meluruskan pipanya yang bengkok tapi tidak bisa-bisa. Lalu dia mengomel, memaki pada Wiro. "Lihat pekerjaan kurang ajarmu, kalau pipa ini tidak bisa kupergunakan lagi, aku akan membetot lepas menanggalkan salah satu tangannya. Tulang tanganmu akan kujadikan pipa pengganti pipa bengkok sialan ini!"
Wiro tertawa. Lalu membungkuk, ulurkan kepala dan meniup. Saat itu juga pipa yang bengkok lurus kembali.
"Dasar anak setan!" Semprot Si Raja Penidur. Wiro tertawa gelak-gelak.
Tepat empat puluh hari setelah peristiwa hebat di dasar jurang batu pualam di mana Ratu Ular dan Dewi Ular menemui kematian, pagi hari ketika Sandaka Arto Gampito terbangun dari tidurnya pemuda ini tersentak kaget lalu berteriak keras. Dia dapati tiga puluh paku baja murni yang sebelumnya telah lenyap dari kepala dan tubuhnya kini muncul dan ada lagi.
Teriakan sang murid membuat Datuk Sipatoka mendatangi. Orang tua ini tertegun begitu melihat apa yang terjadi dengan si pemuda. “Sandaka, seperti apa yang sudah aku katakan padamu, seharusnya pagi ini kau boleh meninggalkan goa. Tapi dengan adanya kejadian ini…"
"Datuk, bagaimana hal ini bisa terjadi. Bagaimana paku-paku jahanam ini muncul lagi dan menancap di kepala, muka serta tubuhku? Apakah ini pekerjaan jahat roh Datuk Bululawang yang dulu menancapkan paku-paku celaka ini?"
Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam merenung sejenak lalu gelengkan kepala. Mulutnya berucap perlahan. "Ini bukan pekerjaan roh Datuk Bululawang. Aku lebih menduga ini adalah perbuatan roh Ratu Ular atau Dewi Ular atau kedua-duanya. Sandaka, ikuti aku!"
Sandaka ikuti gurunya keluar dari goa lalu turun ke dasar jurang. Mereka pergi ke bagian kawah di mana dulu atas tekanan Si Raja Penidur Ratu Ular dan Dewi Ular tewas melakukan bunuh diri. Dasar kawah diselimuti bau busuk. Dan di situ mereka hanya menemui satu mayat yang telah sangat rusak. Dari sisa-sisa pakaiannya jelas bahwa mayat itu adalah mayat Ratu Ular.
"Ini mayat Ratu Ular! Di mana mayat Dewi Ular?!" Sandaka berkata sambil memandang berkeliling.
"Muridku, dugaanku tidak salah. Apa yang terjadi atas dirimu adalah perbuatan Dewi ular. Perempuan iblis itu tidak mati sungguhan. Dia pasti menggunakan satu ilmu kesaktian untuk menipu semua orang ketika dia mengikuti gurunya melakukan bunuh diri dengan membenturkan kepala ke dinding batu jurang."
"Jadi Dewi Ular saat ini masih hidup?"
Datuk Sipatoka anggukkan kepala. "Aku berlaku lalai. Seharusnya aku sudah dulu-dulu turun ke dasar jurang ini untuk menyelidiki keadaan." Sang Datuk menarik nafas dalam lalu menyambung ucapan. "Sandaka, aku terpaksa membatalkan rencana kepergianmu. Aku ingin kalau kau meninggalkan jurang batu ini keadaanmu bersih tanpa paku. Paling tidak aku mendapat petunjuk bagaimana cara menyembuhkan dirimu.”
"Mungkin aku harus pergi ke laut selatan. Mencari gadis berpakaian sutera putih itu. Meminta agar dia mau menolong diriku sekali lagi dengan sepasang keris Nagasona.”
Datuk gelengkan kepala. "Sampai kiamat mungkin kau tak akan bisa menemui gadis itu, Kalaupun kau bisa menemuinya, belum tentu keris sakti Nagasona bisa dipergunakan untuk penyembuhan penyakit yang sama untuk kedua kalinya...”
"Kalau begitu biar aku mencari Dewi Ular. Aku akan membunuh perempuan iblis itu. Akan aku cerai beraikan sekujur tubuhnya!"
"Muridku, hal yang terbaik adalah memohon dan meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa."
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Datuk?"
"Mari kita bersemedi."
Setelah guru dan murid sama-sama bertapa salama dua puluh satu hari tanpa makan dan minum hingga tubuh meraka nyaris seperti jerangkong, akhirnya sang guru mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Petunjuk itu agak aneh, tapi bagaimanapun juga itulah hasil yang didapat dan harus dilakukan demi kesembuhan sang murid.
"Sandaka, Yang Maha Kuasa telah memberi petunjuk padaku. Mungkin kau juga sudah merasakan getarannya di dalam tubuhmu."
"Datuk, aku memang merasakan sesuatu dalam diriku. Aku mohon Datuk mau menjelaskan apa petunjuk yang Datuk dapat sekarang juga."
Setelah menatap wajah muridnya yang malang itu sejurus, Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam memberi tahu bahwa keadaan diri Sandaka Arto Gampito bisa disembuhkan, puluhan paku dapat dilenyapkan kalau pemuda itu nikah dengan seorang perempuan berkepandaian tinggi berotak miring! Masih menurut petunjuk, bilamana Manusia Paku telah melakukan hubungan badan dengan perempuan yang dinikahinya itu sebanyak 21 kali maka seluruh paku yang menancap di tubuhnya akan rontok dan musnah.
Lama Sandaka termenung. "Siapa perempuannya yang mau dinikahi oleh lelaki seperti diriku ini?" Ucap si pemuda lirih.
Datuk Sipatoka terdiam sesaat. Hatinya merasa terenyuh mendengar ucapan sang murid. "Perempuan gila alias sinting itu petunjuk yang aku dapat. Datangnya dari Yang Di Atas. Kau tak perlu meragukan..." kata Datuk Sipatoka pula.
Maka pada suatu hari atas perkenan sang guru Manusia Paku pergi meninggalkan jurang batu pualam disertai pesan bahwa dia tidak boleh kembali kecuali menemukan dan membawa perempuan dimaksud. Selain itu dia juga tidak boleh mempergunakan semua ilmu silat dan ilmu kesaktian yang didapatnya dari sang guru secara sembarangan terutama sebelum dirinya mengalami kesembuhan dari paku baja putih.
Ternyata tidak mudah bagi Manusia Paku Sandaka mencari dan mendapatkan perempuan seperti yang disyaratkan oleh sang guru. Memang dia bisa menemukan perempuan gila di mana-mana, mulai dari yang muda sampai tua renta. Namun yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itulah yang sulit dicari. Setelah menghabiskan waktu hampir dua tahun mencari dan dalam keadaan putus asa akhirnya suatu hari dari suami istri pedagang mainan anak di Kotaraja Sandaka mendengar cerita tentang seorang perempuan muda berwajah cantik, berotak tidak waras tapi memiliki ilmu silat dan kasaktian tinggi.
Sandaka melakukan penyelidikan sampai dia mendapatkan kabar yang lebih jelas tentang keberadaan perempuan muda berotak miring itu. Dari kabar yang disirapnya diketahui perempuan itu bernama Nyi Retno Mantili tinggal di tempat kediaman seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede dan ada dugaan bahwa sang Kiai menjadi pelindung bahkan telah mengambil perempuan itu menjadi muridnya.nMaka Manusia Paku Sandaka segera berangkat menuju puncak Gunung Gede.
Seperti yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Perjodohan Berdarah. Manusia Paku sampai di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas ketika sang Kiai tengah bicara dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung parihal perjodohan mereka. Karena tidak menemui Nyi Retno Mantili dan tidak punya urusan dengan segala perjodohan sang pendekar sahabatnya itu diam-diam tanpa diketahui siapapun Manusia Paku tinggalkan tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Mungkin memang sudah berjodoh bahwa dia akhirnya akan bertemu dengan orang yang dicarinya. Suatu hari ketika kejadian Nyi Retno Mantili dikeroyok kedua kalinya oleh Tiga Momok yang hendak membunuh dan mengorek isi tubuhnya, Manusia Paku menyelamatkan perempuan itu. Merasa orang telah menyelamatkan nyawa Nyi Retno Mantili bersikap bersahabat dengan Manusia Paku dan mau saja diajak ikut untuk menemui Datuk Sipatoka.
Dalam perjalanan berkali-kali Nyi Retno Mantili mengatakan bahwa ayah dari Kemuning, boneka kayu yang dianggapnya sebagai anak, adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Manusia Paku yang kenal baik dengan Wiro hanya tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Nyi Retno Mantili. Saat itu Manusia Paku Sandaka berkata.
"Aku tahu, kau memang punya suami. Mustahil kau punya anak tapi anakmu tidak punya ayah. Suamimu adalah Patih Kerajaan bernama Wira Bumi. Tapi bukankah dia sudah menemui ajal? Tewas di tangan Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu hendak menyelamatkan bayimu?"
"Kau sama saja gilanya dengan yang lain-lain!" Kata Nyi Retno Mantili dengan nada kesal dan wajah cemberut.
"Maksudmu?" tanya Sandaka sambil usap wajahnya yang penuh ditancapi paku baja putih.
"Aku tidak pernah jadi istri Wira Bumi! Aku tidak kenal siapa itu Wira Bumi! Aku tidak punya bayi selain Kemuning! Ayah Kemuning bukan Wira Bumi! Bukan Patih Kerajaan!"
"Lalu siapa?!"
"Pendekar 212 Wiro Sableng."
Manusia Paku kaget sampai hentikan lari. Dia turunkan Nyi Retno Mantili dari panggulannya dan bertanya. "Siapa? Kau tadi menyebut siapa?!"
"Apa kau tuli?!"
"Tidak. Aku tidak tuli. Tapi coba katakan sekali lagi!"
Nyi Retno Mantili runcingkan bibirnya yang mungil. "Ayah Kemuning itu Pendekar 212 Wiro Sableng! Nah dengar sekarang? Ngerti sekarang?"
Manusia Paku menatap wajah Nyi Retno Mantili beberapa ketika lalu tertawa gelak-gelak.
Ketika beberapa waktu kemudian Manusia Paku Sandaka sampai di goa batu pualam dengan membawa Nyi Retno Mantili, pemuda ini mengalami hal yang sungguh tidak terduga. Di dalam goa dia tidak menemukan Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam sang guru, tapi yang dijumpainya di situ sesosok jerangkong tengkorak manusia, tergeletak di lantai goa tersandar ke dinding.
"Jerangkong siapa?" tanya Nyi Retno Mantili begitu diturunkan dari panggulan bahu kiri. "Anakku Kemuning bisa sakit ketakutan." Lalu perempuan ini mendekapkan boneka kayu ke dadanya. Dia memandang berkeliling. Lalu bertanya lagi. "Mana gurumu? Apa jerangkong ini gurumu?"
"Diam dulu Nyi Retno.” Kata Manusia Paku dengan suara bergetar. "Jangan banyak bertanya. Aku... sesuatu terjadi di dalam goa ini, Aku tidak tahu apa ini jerangkong guru atau siapa... " Kata Manusia Paku pula sambil sepasang matanya memperhatikan sekujur jerangkong mulai dari kepala sampai ke kaki.
Ketika dia memperhatikan leher dan tangan kiri jerangkong, pemuda ini berteriak keras. Di leher jerangkong melingkar sebuah kalung dan di lengan kiri ada gelang hitam. Keduanya terbuat dari akar bahar. Dia sangat mengenali. Kalung dan gelang itu adalah milik gurunya semasa hidup. Berarti jerangkong yang ada dihadapannya itu adalah jerangkong Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam.
Manusia Paku berteriak sekali lagi hingga seantero goa batu bergetar dan Nyi Retno Mantili sampai terhuyung-huyung, cepat-cepat menutup dua telinganya yang terasa sakit.
"Guru! Apa yang terjadi dengan dirimu?!” Teriak Manusia Paku Sandaka sambil jatuhkan diri dan merabai jerangkong mulai dari tengkorak kepala sampai ke pinggang. Mulut terisak menahan tangis. "Guru, siapa yang melakukan perbuatan keji ini?! Siapa yang membunuhmu?!"
Sambil berteriak Manusia Paku pukulkan tinju kanannya berulang kali ke lantai goa hingga lantai batu itu pecah-pecah dan melesak.
“Manusia sinting. Mengapa kau menangisi jerangkong yang belum ketahuan gurumu atau bukan..." Nyi Retno Mantili menegur.
"Diam!" teriak Manusia Paku marah menggeledek hingga Nyi Retno Mantili tersurut mundur. "Aku pasti sekali ini jenazah guruku! Aku mengenali kalung dan gelang akar bahar yang masih melekat di leher dan lengan kirinya! Jangan kau berani mengacau jalan pikiranku dengan ucapan macam-macam!"
“Siapa yang membuat pikiranmu kacau. Pikiranmu justru kacau sendiri! Hik hik hik! Bagaimana kalau jerangkong ini bukan jerangkong gurumu tapi jerangkong orang lain. Lalu ada lagi seorang lain yang menggantungkan kalung di leher dan melingkarkan gelang di tangan. Apa tidak kacau?! Kau tidak bisa meyakini ini jerangkong gurumu atau bukan! Hik hik hik!"
"Diam!" Sandaka kembali menghardik. Sepasang matanya tampak menyala merah dan basah oleh air mata. "Aku yakin ini adalah jerangkong Datuk Sipatoka!"
"Hik hik hik, aku sudah sering melihat orang menangisi jenazah. Tapi kalau yang menangisi jerangkong baru sekali ini!"
"Perempuan sinting! Sekali lagi kau berani bicara ngaco, kupatahkan batang lehermu!" Teriak Manusia Paku lalu melompat dan mencekik leher Nyi Retno Mantili.
"Hik hik hik! Kalau begini sifat manusia yang mau menikahi diriku lebih baik aku minggat! Sudah seram mengerikan tak karuan rupa, bau, kasar pula! Kemuning, mari kita tinggalkan tempat ini! Mari kita cari ayahmu!"
Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili tendangkan kaki kanannya ke perut Manusia Paku. Kelihatannya tendangan asal-asalan saja tapi sebenarnya mengandung tenaga dalam tinggi pemberian Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Bukkk!" Tubuh tinggi besar Manusia Paku Sandaka terpental, punggung terbanting ke dinding. Perutnya walau tidak cidera tapi sakit bukan kepalang seperti mau pecah. Aneh dia tidak unjukkan tampang marah. Seperti sadar mendengar ucapan orang, Sandaka jatuh berlutut di lantai goa. Ketika dia melihat Nyi Retno Mantili memutar tubuh hendak melangkah keluar goa, dengan suara sayu pemuda ini berkata.
"Aku mohon, jangan pergi…"
Nyi Retno Mantili hentikan langkah. Dia mengusap kepala boneka seraya berkata. "Kemuning, ada lelaki cengeng meminta kita jangan pergi. Bagaimana menurutmu? Apa kita tinggalkan saja dia?"
"Nyi Retno, kau harapanku satu-satunya untuk mendapatkan kesembuhan. Aku mohon jangan pergi…"
"Hemmm... Untung anakku menggelengkan kepala tanda dia tidak mau pergi. Aku mengikuti apa katanya. Baiklah, aku tidak mau pergi. Asal kau tidak kasar lagi padaku...”
"Nyi Retno, aku berjanji tidak akan kasar lagi padamu. Dan aku berterima kasih kau tidak meninggalkan diriku. Aku akan memeriksa jenazah guruku sekali lagi."
"Buat apa periksa lagi. Dia sudah menemui ajal. Mungkin sudah lebih dari setahun lalu dia menghembuskan nafas jadi mayat..."
"Mungkin lebih dari itu. Mungkin dua tahun lalu. Tak lama setelah aku meninggalkannya, pergi mencarimu. Aku hanya ingin mengetahui apa yang menyebabkan kematian guru."
"Apa kau tidak melihat ada tanda berupa bintik kebiru-biruan di pertengahan keningnya?" Ucap Nyi Retno Mantili pula.
Manusia Paku Sandaka terkejut. Dia perhatikan kening tengkorak. "Aku tidak melihat bintik biru yang kau katakan itu." Berkata Sandaka.
"Coba kau bersihkan tengkorak dibagian kening."
Sandaka memperhatikan. Bagian kening tengkorak memang kotor, diselimuti lumut tipis dan debu yang banyak beterbangan di musim kering seperti itu. Perlahan-Iahan Sandaka usap-usap kening tengkorak. Begitu debu dan lumut tipis pupus dia memang menemukan satu bintik biru bahkan bukan cuma bintik tapi membentuk lobang kecil seujung jari kelingking. Sandaka berpaling kagum pada Nyi Retno.
"Matamu tajam karena kau memiliki kesaktian yang orang lain tidak memiliki. Yang Kuasa memang telah memberi petunjuk bahwa kaulah satu-satunya orang yang bisa menjadi penyembuh keadaan diriku..."
Tiba-tiba dari lobang itu mencuat keluar kepala seekor ular hitam belang coklat bermata merah. Begitu keluar dari lobang tengkorak binatang ini berubah besar dan dengan gerakan kilat meliuk menyambar ke arah kepala Manusia Paku Sandaka.
"Awas!" teriak Nyi Retno Mantili memperingatkan. Walau tidak melihat tapi Sandaka bisa mendengar suara mendesis. Dia tahu ada bahaya besar mengancam. Dengan cepat dia bergerak mundur sambil palingkan kepala. Saat itulah dia melihat ular hitam besar belang coklat.
"Mahluk jahanam! Pasti kau yang membunuh guruku!"
"Settt!" Mulut ular hitam belang coklat yang memiliki gigi-gigi runcing berbisa mematuk keras tepat di pertengahan kening Manusia Paku.
"Plaaakk!"
Manusia Paku Sandaka terlempar, jatuh terduduk di lantai goa. Kepala ular terpental, darah mengucur dari mulutnya yang hancur. Apa yang terjadi? Ketika patukan maut mendarat di kening Manusia Paku,saat itu juga kening pemuda itu berubah menjadi lapisan batu pualam putih keabu-abuan, keras atos luar biasa.
Ilmu yang selama ini dituntut dari Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam keluar dengan sendirinya, melindungi si pemuda dari ancaman maut! Selagi ular besar terhuyung-huyung keluarkan desis kesakitan Manusia Paku gerakkan tangan kiri.
"Kraakkk!" Kepala ular hancur dalam remasan tangan kiri Sandaka. Bangkai ular kemudian dilempar ke luar goa, masuk ke dalam jurang. Sebelum menyentuh dasar jurang, selagi melayang di udara bangkai itu tiba-tiba membentuk bola api lalu meledak bertaburan.
"Ular jejadian!" Ucap Nyi Retno Mantili. Perempuan muda ini usap kepala boneka kayu. "Kemuning tempat ini sangat berbahaya bagi diri kita. Manusia paku bruntalan! Aku ingin kau membawaku keluar dari sini sekarang juga! Lupakan segala macam pernikahan!"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tawa perempuan. "Sandaka! Ternyata kau masih tetap perkasa. Malah lebih perkasa dari dua tahun silam! Hanya sayang kau melakukan hal yang aku tidak suka! Kau datang membawa seorang calon istri, perempuan sinting gila! Jika kau mau membunuh perempuan itu di hadapanku, kuampuni selembar nyawamu! Dan kita berdua akan hidup berdampingan kembali!"
Nyi Retno Mantili tersentak kaget. Dia balas tertawa. Suara tawanya melengking panjang dan dalam sampai ke dasar jurang. "Kemuning ada mahluk betina jejadian ingin orang membunuh ibumu! Sungguh aku ingin melihat tampangnya. Kalau bicaranya ngacok, tampangnya pasti jelek tidak karuan! Hik hik hik!"
Manusia Paku sendiri, yang mengenali suara itu terkejut besar. Dia memandang berkeliling. Lari ke mulut goa tapi tidak melihat siapa-siapa. "Perempuan yang barusan bicara! Aku tahu kau siapa! Aku mengenali suaramu!"
Sebagai jawaban kembali terdengar suara tertawa panjang. "Sandaka! Aku benar-benar merasa bahagia. Kau masih mengenali suaraku. Itu tak lain satu pertanda bahwa kau masih mencintai diriku!"
"Dewi Ular! Perlihatkan dirimu!" teriak Sandaka. Rahang menggembung, mata menyala.
Tiba-tiba dari dasar jurang batu mencuat keluar satu cahaya hitam dan wuss! Cahaya ini melesat di depan mulut goa, membentuk ujud mahluk yang membuat Nyi Retno Mantili terpekik dan cepat-cepat memeluk erat boneka kayu dalam gendongannya.
Didepan mulut goa berdiri sosok perempuan berpakaian hijau panjang. Rambut tergerai awut-awutan. Tubuh sebatas pinggang ke bawah berbentuk ular berwarna hijau belang hitam. Wajahnya yang sebenarnya cantik terlihat mengerikan karena bagian kening rengkah, hidung dan mata kiri melesak.
Di atas kepala ada sebuah mahkota kecil terbuat dari emas berupa kepala ular dalam keadaan penyok setengah hancur dan melesak ke dalam batok kepala. Tangan kanan yang tertutup lengan pakaian buntung sebatas pergelangan. Buntungan ini disambung tangan besi dengan lima jari membentuk kepala ular.
Begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya untuk sesaat Sandaka jadi tertegun. Betul apa yang dikatakan mendiang gurunya dua tahun silam. Dewi Ular masih hidup! Sandaka membentak.
"Dewi Ular! Akui terus terang! Kau telah membunuh guruku Datuk Sipatoka! Dan kau juga yang mencelakai diriku dengan paku-paku keparat ini!"
Perempuan setengah manusia setengah ular di depan goa menyeringai lalu dongakkan kepala. Setelah menghambur tawa panjang dia menjawab bentakan Manusia Paku Sandaka. "Aku membunuh siapa saja yang menyatakan diri sebagai musuhku. Aku mencelakakan siapa saja yang mencelakakan diriku! Lihat! Buka matamu lebar-lebar! Lihat! Apa yang terjadi dengan diriku! Ini semua gara-gara perbuatan terkutukmu bersama teman-temanmu tokoh rimba persilatan! Aku memang telah membunuh gurumu tua bangka busuk bernama Datuk Sipatoka itu! Kalau aku sudah membunuh sang guru, apa salahnya saat ini aku juga membunuh muridnya. Sekaligus bersama gendak perempuan sinting yang hendak kau nikahi!"
"Perempuan iblis! Dosamu selangit tembus sedalam lautan! Kau tak layak hidup lebih lama di muka bumi ini!"
Dewi Ular tertawa tinggi. "Aku mau lihat kau mau berbuat apa!"
Habis berkata begitu sosok Dewi Ular meluncur ke atas. Dalam keadaan mengambang di depan mulut goa tiba-tiba laksana kilat, wuutt! Ekornya menyambar ke depan. Sambaran ekor yang sanggup menghancurkan batu sebesar rumah ini melesat ke depan. Yang diserang bukannya Manusia Paku Sandaka tapi justru Nyi Retno Mantili!
"Nyi Retno! Awas!" teriak Sandaka melompat ke depan. Tangan kiri menarik Nyi Retno Mantili ke dalam goa, tangan kanan menangkis serangan ekor ular.
Sesaat lagi ekor ular siap menggebuk hancur tangan kanan Sandaka, tiba-tiba tangan itu mulai dari ujung jari sampai sebatas bahu berubah menjadi putih kelabu.
"Plaakk! Blaaarrr!"
Lapisan batu pualam sakti yang menyelubungi tangan Manusia Paku Sandaka hancur berkeping-keping. Pemuda ini terjengkang di lantai goa, nyaris menghimpit tubuh Nyi Retno Mantili yang sudah lebih dulu tergeletak di lantai goa setelah ditarik Sandaka.
Dewi Ular menjerit keras. Bukan saja karena marah melihat Sandaka tidak mengalami cidera tapi juga ketika melihat ekornya yang berbentuk ular luka besar nyaris buntung. "Manusia jahanam! Aku mau lihat apa Ilmu Batu Pualammu sanggup menghadapi Ilmu Tujuh Api Siluman!"
Habis berteriak Dewi Ular gembungkan mulut lalu menghembus. Dari sepasang mata, dua lubang hidung, mulut dan dua liang telinga menyembur keluar tujuh gelombang api, membuntal membentuk kepala mahluk siluman mengerikan.
Nyi Retno Mantili menjerit. Dalam ketakutan dan marahnya perempuan ini remas pinggang boneka kayu. Dua larik sinar putih mencuat dahsyat dari dua mata boneka kayu, melabrak ke arah dua siluman api. Ilmu Sepasang Cahaya Batu Kumala!
Dua siluman api menggerung keras, hancur berkeping-keping. Dua siluman api lainnya segera menyerbu Nyi Retno tapi dihantam dengan dua larik sinar hijau yang menyembur keluar dari sepasang matanya. Tiga siluman api yang masih ada menggembor keras. Satu menyerang ke arah Nyi Retno Mantili, dua lainnya menerjang Sandaka.
Saat itu tiga mahluk siluman ini telah merubah diri menjadi buntalan bola api yang serta merta memenuhi goa dan siap membakar kedua orang itu. Sandaka cepat terapkan Ilmu Batu Pualam pemberian Datuk Sipatoka. Saat itu juga seluruh tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki berubah putih ke abu-abuan berlapis batu pualam. Dia bisa bertahan walau mungkin tidak lama. Tapi bagaimana dengan Nyi Retno?
"Nyi Retno lekas tinggalkan goa! Aku akan membantumu." teriak Sandaka.
"Tidak, apapun yang terjadi aku tetap di sini bersamamu!" jawab Nyi Retno Mantili yang membuat Manusia Paku Sandaka jadi terkesiap dan haru. Dia memeluk perempuan itu bersama boneka kayunya.
"Kalian berdua rupanya sudah saling mencintai" Dewi Ular berseru. Dia mendengar apa yang tadi dikatakan Nyi Retno. "Kalian harus bersyukur dan berterima kasih padaku karena memberi kesempatan bagi kalian untuk mati bersama!"
Sandaka berbisik pada Nyi Retno. "Kita harus dapat membunuh perempuan iblis itu! Tapi sosoknya tidak kelihatan. Aku harus memancing untuk mengetahui di mana dia berada! Aku perlu bonekamu!"
"Untuk apa?" tanya Nyi Retno.
"Lihat saja nanti."
"Akan kuserahkan. Tapi aku mau tanya satu hal dulu. Hik hik hik. Kau pasti marah.”
"Nyi Retno, ini bukan saatnya untuk bergurau!"
"Aku tahu, tapi ini urusan penting!"
"Cepat katakan apa yang mau kau tanya?!"
"Gurumu sudah jadi jerangkong alias sudah mati. Apa kau masih hendak menikahi diriku?!"
"Itu urusan nanti! Yang penting sekarang kita harus bisa keluar dari goa ini dalam keadaan selamat!" Jawab Sandaka. "Boneka kayu…"
Nyi Retno serahkan boneka kayu pada Sandaka seraya berkata. "Hati-hati, itu bukan boneka tapi anakku Kemuning. Satu saja rambutnya kau buat rontok aku hajar kau sampai setengah mati!"
Sandaka kerahkan tenaga dalam ke arah sepasang matanya dan saat itu juga dua mata berubah warna menjadi kehijau-hijauan. Tangan kiri memegang pinggang boneka kayu erat-erat.
"Kunti Ambiri!" Sandaka berteriak memanggil nama asli Dewi Ular. "Kalau kau menghentikan serangan api siluman dan membiarkan kami berdua keluar dari goa ini, aku akan memberikan sepasang keris Nagasona padamu. Dengan senjata sakti itu kau bisa menyembuhkan seluruh cacat dan luka yang ada di wajah serta tubuh ularmu!"
"Manusia tolol! Kau kira kau bisa menipuku?! Keris Nagasona ada di pantai selatan!"
"Setahun lalu guruku Datuk Sipatoka dipercaya Ratu Laut Selatan untuk memegang sepasang keris mustika sakti itu! Aku membawanya sekarang!"
Dewi Ular tertawa panjang. "Kalau keris sakti itu ada padamu mengapa tubuhmu masih ditancapi paku? Mengapa kau tidak mampu menyembuhkan diri sendiri?!"
"Keris Nagasona tidak bisa menyembuhkan penyakit yang sama pada diri seseorang sampai dua kali."
"Aku tetap tidak percaya padamu! Kau punya dendam kesumat besar terhadapku! Pasti kau mau menipuku! Kalau kau sudah lebur dimakan api bersama gendakmu itu, aku akan tetap mendapatkan keris Nagasona..." Dewi Ular meniup ke depan. Kobaran api menggemuruh, bergerak mendekati Sandaka dan Nyi Retno Mantili.
"Perempuan setan! Aku ingin membunuhnya sekarang juga!" Maki Nyi Retno Mantili seraya berusaha mengambil boneka kayu dari tangan Sandaka.
"Jangan berlaku sembrono! Ikuti apa yang sudah aku katakan!" kata Sandaka penuh kawatir Nyi Retno akan bertindak gegabah yang bisa membuat mereka tidak sanggup selamatkan diri dari tambusan api siluman.
"Kau keliru Kunti Ambiri!" Teriak Sandaka. "Keris Nagasona tidak punya kemampuan melawan api. Keris ini akan leleh dan kau tidak punya kesempatan untuk menyembuhkan diri. Apa kau tidak ingin hidup sampai seratus tahun lagi bahkan seribu tahun lagi dalam keadaan usia tetap muda, wajah tetap cantik dan tubuh elok tidak setengah manusia setengah ular seperti sekarang ini?!"
Dewi Ular terdiam sesaat. Lalu dia berteriak. "Kalau begitu lemparkan sepasang keris sakti itu ke arahku!"
"Aku tidak bisa melihat kau berada di mana!" balas berteriak Sandaka. Tiba-tiba gelombang api siluman mereda. Namun Sandaka masih belum melihat perempuan itu. "Kunti! Aku belum melihatmu!"
"Aku di sini!"
Gelombang api menyurut turun sampai sebatas dada. Sandaka melihat tangan kanan Dewi Ular yang disambung tangan palsu dari besi diacungkan ke atas. Lalu dia melihat kepala dan sebagian tubuh perempuan itu.
"Kunti! Aku akan melemparkan keris Nagasona ke arahmu!" teriak Sandaka.
"Lakukan cepat!"
"Kau berjanji akan membiarkan aku dan Nyi Retno Mantili keluar dari goa ini dalam keadaan selamat!"
"Itu janjiku dan jangan banyak bicara lagi! Cepat lemparkan keris Nagasona!"
Manusia Paku Sandaka angkat tangan kirinya. Yang ada di tangan itu bukan sepasang keris Nagasona tetapi boneka kayu milik Nyi Retno.Sementara itu cahaya hijau yang ada dalam sepasang mata si pemuda memancar menyorot terang.
"Hai! Mana kerisnya?! teriak Dewi Ular sambil mengapungkan diri ke atas. Saat itulah dia melihat sepasang mata Sandaka yang memancarkan cahaya hijau! "Manusia jahanam kurang ajar! Kau menipuku!" Dewi Ular gerakkan tangan kanannya.
Manusia Paku mendahului. Secepat kilat Sandaka memencet pinggang boneka. Dua larik cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang mata boneka. Bersamaan dengan itu dari dua mata Sandaka menyembur pula dua larik sinar hijau. Dewi Ular yang agak tertutup pemandangannya oleh nyala kobaran api baru menyadari apa yang terjadi ketika empat larik sinar maut sudah berada di depan matanya!
Dewi Ular hanya mampu berteriak marah, masih berusaha menyingkir selamatkan diri namun terlambat. Tubuhnya tercabik kutung pada bagian kepala, dada, perut dan sepasang kaki. Tidak menunggu lebih lama Sandaka segera melesat keluar goa sambil mendukung tubuh Nyi Retno Mantili, melayang di atas jurang batu pualam.
Namun hawa panas api siluman telah menguras tenaga luarnya, mempengaruhi sebagian kekuatan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Pemuda ini tidak mampu mencapai pinggiran jurang sebelah atas. Tubuhnya melayang ke bawah. Karena diberati sosok Nyi Retno Mantili maka daya jatuh ke bawah jadi dua kali lebih cepat.
Sandaka berusaha melentingkan tubuh ke dinding jurang sebelah kanan. Namun gerakannya tidak leluasa, apalagi saat itu tubuhnya masih terbungkus lapisan kaku batu pualam. Gerakan melenting yang dilakukannya malah membuat dirinya terlempar ke arah tonjolan batu besar runcing di pertengahan dinding jurang!
"Braakk!" Punggung dan batu yang menonjol beradu keras. Sandaka merasa tubuhnya sebelah belakang hancur luluh. Rangkulannya ditubuh Nyi Retno Mantili terlepas.
"Nyi Retno. Maafkan diriku. Aku tidak bisa menyelamatkanmu!" Sandaka berseru lalu pemuda ini jatuh pingsan. Tubuhnya melayang ke dasar jurang.
Nyi Retno Mantili menjerit keras. Dia bukan berusaha menyelamatkan diri tapi malah melesat ke bawah menyusul jatuhnya Sandaka. Dia berusaha menggapai tubuh pemuda itu, namun jarak mereka terlalu jauh.
"Nyi Retno! Jangan perdulikan diriku! Selamatkan dirimu!" Teriak Sandaka.
"Jika aku selamat sedangkan kau tidak buat apa?! Aku dan Kemuning lebih suka memilih mati bersamamu!" Teriak Nyi Retno Mantili pula. Adalah aneh Nyi Retno Mantili yang selama ini diketahui memiliki otak tidak waras tapi saat itu menyatakan ingin mati bersama dengan Manusia Paku Sandaka!
Hanya beberapa kejapan mata tubuh Sandaka akan terhempas di dasar jurang yang dipenuhi batu pualam keras dan runcing, hanya beberapa saat saja kepala Nyi Retno Mantili akan membentur dinding jurang, tiba-tiba di atas jurang ada teriakan teriakan keras. Lalu tampak dua orang berkelebat terjun ke dalam jurang. Gerakan mereka ringan dan sebat sekali. Laksana dua ekor burung raksasa keduanya melayang menuju dasar jurang batu pualam.
Yang satu menyambar ke arah tubuh Manusia Paku Sandaka, satunya lagi ke jurusan jatuhnya Nyi Retno Mantili. Dengan gerakan kilat yang sukar dipercaya kedua orang itu berhasil menangkap tubuh-tubuh yang melayang jatuh lalu membaringkan di tanah datar di sela-sela bebatuan di dasar jurang.
“Syukur… syukur kita bisa menyelamatkan mereka. Tadinya waktu masih di pinggir jurang aku merasa sangsi. Apa lagi ketika melayang turun. Ketiakku terasa dingin. Kukira bulu ketiakku rontok semua. Ternyata masih utuh. Hik hik hik."
Yang bicara ini adalah seorang perempuan gemuk gembrot mengenakan pakaian berupa celana monyet warna hitam tanpa lengan hingga bulu ketiaknya yang lebat tebal hitam tersembul keluar. Dia yang barusan menyelamatkan Sandaka. Perempuan ini berwajah aneh. Mukanya yang tembam biru bergaris-garis kuning. Telinga dicanteli anting-anting besar dari perak. Rambut seperti lidi, tegak mencuat di atas kepala. Di bahu kanan ada jarahan bunga mawar merah.
Orang kedua yang menolong Nyi Retno Mantili adalah pemuda gondrong berpakaian dan berikat kepala putih. Sambil memperhatikan si gemuk gembrot dia senyum-senyum. Sesekali dia usap kepala Nyi Retno Mantili. "Aku tidak pernah terjun seperti tadi. Selangkanganku terasa dingin. Kantong menyanku seperti hilang! Waktu kuraba untung masih ada!"
Perempuan gemuk dan pemuda gondrong lalu tertawa mengakak. Siapa mereka adanya yang dalam keadaan seperti itu masih bisa bicara tidak karuan dan tertawa gelak-gelak?
Yang gondrong bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng sedang perempuan gemuk gembrot adalah Denok Tuba Biru alias Momok Ketiga yang dulu bersama komplotannya pernah hendak membunuh Nyi Retno Mantili untuk diambil jantung, hati dan ginjalnya. Bagaimana Wiro dan Denok Tuba Biru bisa berada di tempat itu dan sama-sama memberi pertolongan?
Seperti diceritakan sebelumnya (baca serial Wiro Sableng Janda Pulau Cingkuk) Pendekar 212 menerima penjelasan dari Bujang Gila Tapak Sakti bahwa Nyi Retno Mantili dibawa oleh Manusia Paku Sandaka ke tempat kediaman gurunya dan ada maksud kalau Sandaka akan menikahi perempuan ltu untuk melenyapkan puluhan paku yang menancap di kepala, wajah dan tubuhnya.
Karena Wiro memang sedang mencari Nyi Retno Mantili untuk dibawa menemui puterinya Ken Permata yang ada di tempat kediaman Datuk Rao Basaluang Ameh di Danau Maninjau, dan dia tahu pula di mana letak jurang kediaman guru Sandaka maka setelah Bujang Gila Tapak Sakti ikut bersama Nenek Cempaka ke dasar laut selatan, murid Sinto Gendeng segera berangkat menuju jurang batu pualam tempat kediaman guru Sandaka.
Dalam perjalanan yang cukup jauh dan lama Wiro tidak sengaja bertemu dengan Denok Tuba Biru yang juga tengah menuju ke tempat yang sama guna menyambangi Sandaka yang pernah mengampuni jiwanya sewaktu tertangkap tangan hendak membunuh Nyi Retno Mantili. (Lihat serial Wiro Sableng berjudul Perjodohan Berdarah)
Wiro sendiri sebelumnya juga telah pernah bertemu dengan Denok Tuba Siru sewaktu perempuan gemuk ini bersama dua temannya pertama kali mencelakai Nyi Retno Mantili. Waktu itu Nenek Kembaran Ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu ikut membantu Wiro menyelamatkan Nyi Retno. (Baca Si Cantik Gila Dari Gunung Gede)
Mula-mula Wiro merasa curiga melihat si gembrot berbulu ketiak tebal ini. Dia mengira perempuan aneh berdada besar dan berperut gembrot serta berpaha gempal ini telah memata-matai perjalanannya dan punya niat jahat.
"Gembrot! Kalau kau punya niat jahat macam-macam terhadapku, mukamu yang tembam akan kugebuk biar tambah tembam! Rambut dan bulu ketiakmu aku cabuti sampai botak!"
Mendengar ancaman Wiro, Denok Tuba Biru bersurut mundur dan tekap ketiaknya kiri kanan. "Pendekar, kau mau menggebuki diriku sampai bonyok aku pasrah-pasrah saja. Tapi jangan cabuti bulu ketiakku! Banyak lelaki yang suka! Mengelus dan mencium! Kalau kau mau boleh saja!"
Lalu si gembrot ini singkapkan dua ketiaknya yang berbulu tebal hitam sambil tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya yang gembrot dari dada sampai ke bawah perut bergoyang-goyang.
Wiro akhirnya bersedia melakukan perjalanan bersama perempuan itu. Ternyata kedua orang ini cukup cocok, terutama dalam pembicaraan yang lucu dan jorok-jorok!
Ketika Wiro dan Denok Tuba Biru sampai di jurang batu pualam, tiba-tiba dari dalam jurang mereka mendengar suara jeritan perempuan. Wiro mengenali itu adalah suara Nyi Retno Mantili. Begitu melihat ada dua tubuh melayang jatuh ke dasar jurang, tidak tunggu lebih lama Wiro dan Denok Tuba Biru segera terjun ke dalam jurang.
Dengan ilmu kesaktian yang mereka miliki secara luar biasa keduanya berhasil menyelamatkan Nyi Retno Mantili dan Sandaka. Nyi Retno Mantili walau masih pingsan tampaknya tidak mengalami cidera. Lain halnya dengan Sandaka. Bagian tubuh sebelah belakang Manusia Paku ini tampak memar kebiru-biruan. Pemuda ini beruntung melindungi dirinya dengan Ilmu Lapisan Batu Pualam.
Sehingga ketika punggungnya menghantam tonjolan batu runcing di dinding jurang lapisan batu pualam hancur berkep-ing-keping namun tubuhnya masih bisa tersela-matkan. Walau demikian setelah siuman ternyata pemuda ini tidak mampu duduk apa lagi berdiri. Diabhanya bisa bicara dan menggerakkan dua tangan. Wiro dan Denok Tuba Biru berusaha menolong dengan mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti namun tidak berhasil.
"Kalau saja aku tidak mempergunakan Ilmu Batu Pualam seharusnya aku sudah mati saat ini. Mati akan lebih baik dari pada hidup seperti ini." Sandaka keluarkan ucapan menyesali nasib.
"Sobatku Sandaka, jangan berputus asa, Kau hanya mengalami kelumpuhan sementara akibat benturan keras. Dalam waktu beberapa hari kau akan segera sembuh." Wiro menghibur.
"Aku berterima kasih kalian telah datang menolong. Bagaimana keadaan Nyi Retno. Aku kawatir dia telah tiada. Aku tidak mampu menyelamatkannya. Kalaupun aku hidup tapi dia sudah tiada, paku-paku celaka ini tidak akan pernah lenyap dari tubuhku."
"Kau tak usah kawatir. Dia ada di sini dalam keadaan selamat. Tapi masih pingsan." Menerangkan Denok Tuba Biru.
Sementara perempuan gemuk ini berusaha menyadarkan Nyi Retno Mantili, Sandaka menceritakan apa yang telah terjadi. "Aku tidak yakin apa perempuan iblis Dewi Ular itu benar-benar telah menemui ajal. Bukan mustahil dia bisa muncul kembali dalam ujud mahluk jahat Lainnya.”
Tak selang berapa lama terdengar suara tarikan nafas panjang. Lalu disusul jeritan keras. Itulah jeritan Nyi Retno Mantili yang baru sadar dari pingsan.
"Sandaka...” Ucapan itu pertama kali keluar dari mulut Nyi Retno Mantili. Lalu perempuan ini bergerak duduk. "Kemuning..." Nyi Retno menyebut nama anaknya si boneka kayu lalu memandang berkeliling. Belum sempat melihat sosok Sandaka yang terbujur dia telah lebih dulu melihat Wiro. Perempuan ini kembali menjerit. "Kemuning! Ayahmu ada di sini!"
Denok Tuba Biru mengernyit heran mendengar ucapan Nyi Retno Mantili. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi Wiro memberi isyarat agar diam saja.
"Kemuning! Ayahmu! Lekas cium ayahmu! Ayo!" Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu dari balik dada pakaiannya lalu kepala boneka itu diusap-usapkannya ke pipi Pendekar 212.
"Anak manis, kau pasti kangen sama ayahmu. Kau tidak menangis. Bagus... bagus. Aku memang tidak suka punya anak cengeng. Hik hik hik."
Mau tak mau Sandaka dan Denok Tuba Biru jadi terharu menyaksikan perilaku Nyi Retno Mantill itu. Wiro belai belakang kepala Nyi Retno.
"Nyi Retno aku senang bisa menemuimu walau dalam keadaan seperti ini. Aku bersyukur kau selamat, Sandaka telah menceritakan apa yang terjadi..."
"Sandaka!" Nyi Retno kembali menjerit. "Dimana dia?!"
"Nyi Retno, aku ada di sini. Sahabat-sahabatmu telah menyelamatkan diriku. Telah menyelamatkan kita berdua. Aku sangat berterima kasih. Aku bersyukur pada Yang Maha Kuasa. Dia masih mengasihi diriku. Walau cidera berat tapi aku masih bernafas..."
Nyi Retno Mantili serahkan boneka kayu pada Wiro lalu dia jatuhkan diri di samping Manusia Paku Sandaka. "Aku bersumpah akan membunuh perempuan ular itu! Aku bersumpah!"
"Dewi Ular sudah menemui ajal. Kita berdua yang membunuhnya waktu di goa. Apa kau tidak ingat?"
"Ya aku ingat..." Nyi Retno anggukkan kepala. Tiba-tiba sepasang mata Nyi Retno Mantili terpentang lebar. Kepala mendongak. Dari mulutnya keluar jeritan keras. Tangan kiri menunjuk ke arah dinding jurang sebelah kiri.
"Ada apa Nyi Retno? "tanya Wiro.
Denok Tuba Biru memandang berkeliling. Dia merasa kehadiran sesuatu tapi tidak melihat apa-apa. "Lihat! Perempuan iblis itu masih hidup! Dia di sana!" Teriak Nyi Retno Mantili.
Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung. Ketika dia melihat ke arah yang ditunjuk Nyi Retno Mantili astaga! Murid Sinto Gendeng tercekat. Tengkuknya terasa dingin. "Gila! Bagaimana mungkin!"
Yang disaksikan Pendekar 212 memang luar biasa. Mengapung didepan dinding jurang sebelah timur. Tampak sosok Dewi Ular dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali. Tubuh bugil itu mengeluarkan cahaya kebiruan menggidikan. Wajahnya yang cantik pucat pasi seperti mayat. Dan sepasang mata, dua liang telinga dan dua lobang hidung serta dari mulut, menggeliat-geliat ular merah berbelang hitam. Binatang yang sama juga keluar dari pusar, aurat serta lobang duburnya!
"Mati... Mati! Siapapun yang ada di tempat ini harus mati! Harus ikut bersamaku ke alam arwah! Matiii! Hik hik hik!”
Sosok bugil Dewi Ular lalu melesat ke arah Wiro dan yang lain-lainnya yang berada di dasar jurang. Dari sepuluh mulut ular merah belang hitam menyembur keluar larikan sinar merah. Sabagian dasar jurang batu pualam serta merta tenggelam dalam cahaya merah.
Dengan gerakan kilat Nyi Retno Mantili melompat, mengambil boneka kayu dari tangan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekali dia meremas pinggang boneka maka dua cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang mata boneka kayu, menyambar ke arah datangnya serangan Dewi Ular.
Wiro tidak tinggal diam. Tangan kanan yang sudah berubah menjadi putih perak dihantamkan ke depan. Selarik gelombang ca-haya putih luar biasa panas menderu, mendorong Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala yang tadi dilepaskan Nyi Retno Mantili. Itulah Pukulan Sakti Sinar Matahari!
"Bummm! Bummmm!"
Dua letusan hebat menggelegar di dalam jurang. Hawa panas menghampar dahsyat. Beberapa bagian dinding jurang rontok berhamburan. Batu-batu di dasar jurang terbelah. Air kawah menggelegat dan muncrat setinggi dua tombak. Di dalam jurang terdengar suara jeritan perempuan menyerupai lolongan srigala gurun pasir!
Denok Tuba Biru cepat jatuhkan diri mendekap tubuh Sandaka agar tidak terpental sementara Nyi Retno Mantili jatuh terduduk di tanah jurang dengan wajah pucat pasi. Dada mendenyut sakit. Wiro sendiri jatuh berlutut sambil dua tangan dipentangkan ke depan untuk mengimbangi tubuh dari goncangan yang hebat.
Cahaya menyilaukan Pukulan Sinar Matahari dan Sepasang Batu Kumala lenyap bersamaan dengan musnahnya cahaya merah yang keluar dari ular jejadian. Sosok sepuluh ekor ular jejadian dan tubuh Dewi Ular lenyap tanpa bekas. Di dalam jurang kini menghampar bau kemenyan yang membuat semua orang jadi bergidik mengkirik.
Sandaka berbisik pada Denok Tuba Biru. "Apa yang terjadi?”
"Aku tidak melihat apa-apa, Aku mendengar Nyi Retno menjerit lalu ada cahaya merah. Wiro dan Nyi Retno lancarkan serangan dahsyat. Lalu ada suara jeritan perempuan seperti loloogan srigala. Sekarang ada bau kemenyan."
"Dewi Ular...” ucap Sandaka. "Kali ini dia akan tenggelam di alam arwah untuk selama-lamanya. Dia tidak akan mampu muncul lagi ke permukaan bumi. Aku tahu betul rahasia hidupnya. Lolongan srigala dan bau kemenyan menjadi akhir riwayatnya. Rohnya akan terkatung-katung sampai kiamat di alam gaib dalam ujud seekor srigala..."
"Aneh, mengapa bukan dalam bentuk ular?" tanya Denok Tuba Biru.
"Ayah Dewi Ular konon seekor srigala. Ibunya seekor ular. Keduanya mahluk jejadian yang sudah lama mendekam di alam gaib.” Menerangkan Sandaka.
"Ternyata ada mahluk yang lebih kapiran dari diriku... Hik hik hik!" Si gembrot bermuka biru tertawa cekikikan.
Wiro menolong Nyi Retno Mantili berdiri sambil berkata. "Kita harus segera meninggalkan jurang ini. Keadaan di sini mungkin belum seluruhnya aman.”
"Kau benar Wiro. Pergilah kalian samua. Tinggalkan aku di tempat ini.”
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau aku pergi kau juga harus ikut!" kata Nyi Retno Mantili pula.
"Nyi Retno, kau dan Wiro saja yang pergi. Aku akan menunggui Sandaka di tempat ini sampai dia sembuh dari kelumpuhan." Berkata Denok Tuba Biru.
"Nyi Retno, Denok Tuba Biru. Aku berterima kasih kalian mau memperhatikan diriku. Tapi..."
"Aku akan menggendongmu asal kau mau berjanji." Nyi Retno Mantili memotong ucapan Sandaka.
Sandaka tersenyum. "Berjanji apa Nyi Retno?" "Kalau kau sudah keluar dari jurang ini dan sudah sembuh, kau tidak akan menikahiku!"
Sandaka terdiam. Denok Tuba Biru hanya bisa menatap. Wiro garuk-garuk kepala.
"Selama ini aku selalu menginginkan kesembuhan dari sengsara paku-paku celaka ini. Tekadku untuk hidup sebagai manusia wajar sangat besar. Namun takdir agaknya menentukan lain. Nyi Retno, kau satu-satunya harapan hidupku. Tapi jika kau memang tidak berkeinginan aku nikahi, aku hanya bisa pasrah. Aku memang sudah menduga kalau tidak akan pernah bisa hidup dengan tubuh wajar lagi untuk selama-lamanya. Aku mohon kalian semua meninggalkan diriku. Jika umur sama panjang, jika Yang Maha Kuasa mengijinkan di lain ketika kita pasti akan bertemu lagi."
Denok Tuba Biru mendekati Wiro dan berkata. "Aku akan tetap di sini. Aku akan berusaha mengobati sebisaku sampai cidera di punggung Sandaka sembuh dan dia mampu berjalan. Kau pergilah bersama Nyi Retno Mantili. Bukankah kau punya niat hendak membawanya menemui anaknya yang bernama Ken Permata itu demi kesembuhan sakit ingatannya?"
"Aku bingung..." kata Wiro sambil menggaruk kepala. "Aku juga menginginkan kesembuhan sahabatku Sandaka dari kesengsaraan yang dideritanya selama bertahun-tahun..." Wiro lalu berpaling pada Nyi Retno Mantili. "Nyi Retno..."
"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan.” Menukas Nyi Retno Mantili. "Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan dia. Kau sudah menjadi ayah anakku Kemuning."
"Nyi Retno, semua jalan pikiranmu keliru. Aku..."
"Jadi kau menolak mengakui sebagai ayah Kemuning?!" Suara Nyi Retno Mantili setengah membentak. "Lalu selama ini siapa kau sebenarnya?!"
Pendekar 212 garuk kepala, tersenyum, menggeleng beberapa kali lalu berkata. "Baiklah, aku mau saja dan tidak menolak kau sebutkan sebagai ayah Kemuning. Tapi apakah kau tidak punya keinginan menolong Sandaka. Jauh-lauh kau mau diajaknya ke tempat ini. Setelah sampai di sini kau menolak. Lihat keadaan Sandaka, apa kau tidak kasihan?"
"Aku hanya mau diajak ke sini. Tapi tidak pernah bilang mau nikah dengan dia!"
Untuk beberapa lama suasana di dasar jurang batu pualam itu menjadi sunyi karena tidak ada satu orangpun yang bicara. Semua terdiam. Sandaka sangat sedih. Lalu terdengar suara Nyi Retno Mantili memecah kesunyian.
"Selama ini tidak ada orang yang kasihan pada diriku. sudah aku katakan. Aku akan menggendong Sandaka keluar dari dalam jurang ini.”
"Nyi Retno, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Apapun yang terjadi. Kau pergilah bersama Wiro. Ada satu urusan sangat penting yang harus kalian selesaikan berdua. Biar Denok Tuba Biru yang menungguiku di tempat ini."
"Aku merasa tidak ada urusan dengan ayah Kemuning. Kalau kau tidak mau pergi, aku juga tidak akan meninggalkan tempat ini!" kata Nyi Retna Mantili lalu dudukkan diri di atas satu gundukan batu.
Semua orang jadi bingung mendengar ucapan dan melihat sikap Nyi Retno Mantili. Namun karena menyadari kalau perempuan ini menderita kelainan jiwa dan pikiran mereka hanya diam saja. Denok Tuba Biru kemudian mendekati Wiro lalu berbisik.
"Kau pernah menceritakan riwayat kesembuhan Sandaka. Bagaimana kalau aku yang dinikahinya? Begitu saja repot!"
Wiro menatap si gembrot berwajah biru itu beberapa ketika. Dia hendak tertawa terbahak-bahak tapi batalkan niat dan balas berbisik. "Kau tahu, perempuan yang harus dinikahi Sandaka adalah seerang perempuan sakti berkepandaian tinggi..."
"Lalu apa aku bukan perempuan? Banci? Hik hik hik! Apa aku tidak punya kesaktian dan kepandaian tinggi?" tanya Denok Tuba Biru sambil tusuk-tusuk rusuk kiri Wiro dengan ujung jari tangan kanan hingga murid Sinto Gendeng menggeliat kegelian.
"Bukan cuma itu. Perempuannya juga harus yang otaknya tidak waras alias gila alias sinting!"
"Hemm... Aku memang belum gila dan sinting beneran. Tapi gejala-gejalanya sudah ada. iya kan?! Aku punya bulu ketiak lebat Nyi Retno tidak..."
Wiro tertawa. "Gembrot! Kau bukannya sinting tapi tolol! Ini bukan urusan bulu ketiak!"
Denok Tuba Biru tertawa haha-hihi. "Kau suka pada pemuda itu?" Wiro bertanya.
"Terserah kau mau menilai bagaimana. Tapi aku menginginkan dia bisa sembuh dan lepas dari azab tiga puluh paku celaka itu! Kalau tidak nikah dengan
dia denganmu pun aku mau! Hik hik!" Wiro menyeringai. Balas menusuk-nusuk pusar Denok Tuba Biru hingga perempuan gendut itu kini yang ganti menggeliat kegelian dan tertawa cekikikan. "Gembrot muka biru, aku tidak tahu mau menjawab apa, Kau tanyakan saja pada Sandaka, Kalau dia mau nikah denganmu maka semua urusan pelik dan edan ini bisa dibereskan. Tapi yang penting apakah dia bisa mendapatkan kesembuhan dari pernikahan denganmu? Bagaimana kalau penyakitnya malah ketambahan?!"
Denok Tuba Biru yang tadinya bersemangat kini menjadi bimbang setelah mendengar kata-kata terakhir Pendekar212. "Sudah, aku lebih baik mendekam di dasar jurang ini saja menungguinya sambil berusaha mengobati." Kata si gembrot berbulu ketiak lebat.
"Aku punya pikiran lain. Pertama kita sama-sama menggotong Sandaka keluar dari dalam jurang. Sampai di atas sana kita carikan satu tempat yang baik untuknya. Dalam perjalanan ke sini aku melihat ada satu gubuk tua tak jauh dari jurang. Kita bisa membawanya ke sana. Sementara kau menjajagi, aku akan berusaha mencari seseorang untuk mengobatinya..."
"Aku menurut saja, Tapi bagaimana dengan Nyi Retno Mantili. Apa dia mau ikut bersama kita?"
"Kalau Sandaka kita bawa ke atas jurang masakan dia tidak akan mengikuti. Biar aku yang bicara padanya."
Setelah dibujuk ternyata Nyi Retno Mantili mau diajak meninggalkan tempat itu. Malah dengan kesaktian yang dimilikinya perempuan ini membantu menggotong tubuh Sandaka di bagian pinggang. Denok Tuba Biru di sebelah punggung dan kepala, Wiro di bagian kaki. Sekali ketiganya mengerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sosok lumpuh Manusia Paku Sandaka diusung melesat ke atas jurang.
Tak berapa jauh dari jurang batu pualam memang terdapat sebuah gubuk tua yang biasa dipakai oleh para penebang kayu di hutan untuk beristirahat. Sandaka di bawa ke gubuk ini. Setelah berbaring beberapa saat Sandaka berkata.
"Terima kasih pada kalian semua. Aku kini berada di tempat yang aman dan baik. Wiro dan Nyi Mantili, sekarang kalian tidak usah memikirkan diriku lagi. Pergilah ke danau Maninjau untuk menemui Ken Permata. Denok Tuba Biru akan menungguiku di sini. Aku berdoa semoga Nyi Retno Mantili bisa sembuh..."
"Gila! Yang sakit memangnya aku atau kau?!" ucap Nyi Retno Mantili dengan mata melotot.
Sandaka memberi isyarat agar Wiro mendekat lalu berbisik. "Kau harus menotok Nyi Retno. Baru bisa membawanya pergi dari sini."
"Danau Maninjau sangat jauh. Di pulau seberang. Pulau Andalas. Aku perlu waktu cepat untuk membawanya ke sana." Jawab Wiro sambil menggaruk kepala. Wiro ingat pada batu sakti milik Ratu Laut Selatan. Dia menceritakan pada Sandaka riwayat batu itu. "Kalau saja Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru masih ada padaku..."
"Walau tidak dengan batu itu kau pasti punya cara lain untuk pergi ke sana. Aku dengar kau punya ilmu kesaktian yang disebut Meraga Sukma...”
Wiro merenung sejenak lalu kembangkan telapak tangan kanan. Telapak tangan ditiup sambil mulut berucap perlahan. "Datuk Rao Bamato Hijau, datanglah. Aku perlu pertolonganmu."
Saat itu juga pada telapak tangan kanan Pendekar 212 muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. Sesaat kemudian terdengar suara menggereng. Tanah bergetar. Gubuk tua di mana Wiro dan yang lain-lain berada berderak-derak seperti hendak roboh. Tiba-tiba di halaman samping kiri gubuk telah muncul seekor harimau putih besar bermata hijau. Datuk Rao Bamato Hijau.
Harimau sakti peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang diam di Danau Maninjau dan selama ini memelihara Ken Permata, bayi yang dilahirkan Nyi Retno Mantili hasil perkawinan dengan Wira Bumi mendiang Patih Kerajaan. Begitu Wiro mendatangi harimau putih segera menjilati tangan sang pendekar. Wiro mengusap tengkuk harimau putih, jongkok di sampingnya sambil berkata.
"Datuk, aku sangat berterima kasih kau mau datang. Aku butuh pertolonganmu. Bawa aku dan Nyi Retno Mantili ke tempat Datuk Rao Basaluang Ameh."
Harimau putih menggereng perlahan. Mendadak terdengar jeritan Nyi Retno Mantili. "Wiro, binatang celaka apa yang kau bawa ke sini! Lihat, anakku Kemuning menangis ketakutan setengah mati!" Habis berteriak secepat kilat Nyi Retno Mantili menghambur tinggalkan tempat itu.
"Nyi Retno! Tunggu!" teriak Wiro lalu cepat mengejar.
Denok Tuba Biru telah lebih dulu berkelebat sambil lepaskan totokan jarak jauh bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernafasan. Dua larik sinar biru menusuk punggung dan betis kiri Nyi Retno Mantili membuat perempuan ini serta merta tertegun kaku walau mulutnya masih terus berteriak-teriak. Wiro cepat usap urat besar di leher kiri kanan Nyi Retno Mantili hingga dia tidak bisa lagi keluarkan suara. Lalu dengan cepat dia mendukung perempuan itu dan melompat ke punggung Datuk Rao Bamato Hijau. Sebelum harimau sakti putih melesat meninggalkan tempat itu Wiro berkata pada Sandaka.
"Sobatku, apa kau benar-benar ikhlas kelak jika Nyi Retno Mantili akan sembuh setelah bertemu dengan bayinya maka kau tidak mungkin lagi dapat melenyapkan tiga puluh paku bala yang menancap di tubuhmu?"
Sandaka menghela nafas dalam. "Nasib manusia ada di tangan Tuhan. Kita semua hanya berusaha. Bagiku jika Nyi Retno Mantili bisa disembuhkan, maka kebahagiaan akan menjadi bagian diriku dan mungkin itu merupakan setengah dari kesembuhan diriku. Paling tidak kesembuhan batin."
"Kau orang hebat!" ucap Wiro polos. "Aku akan kembali ke sini secepat yang bisa aku lakukan. Aku berjanji apapun yang terjadi aku akan membawa Nyi Retno Mantili menemuimu. Semoga Tuhan melindungi dan memberkahi kita semua.”
Sandaka lambaikan tangan kanan. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Datuk Rao Bamato Hijau menggereng keras. Tanah kembali bergetar dan gubuk tua berderak-derak. Sesaat kemudian harimau sakti itu melesat ke udara laksana hendak menembus langit lalu lenyap dari pemandangan bersama dua penunggangnya.
Ditepi danau Maninjau Ken Permata duduk diatas batu, dua kaki dijuntaikan ke dalam air. Di samping anak perempuan itu duduk Mande Saleha, perempuan yang menjaga dan mengasuhnya. Sesekali angin dari tengah danaubbertiup sejuk. Ikan-ikan bilis berkerumun jinak tak jauh dari batu tempat kedua orang itu duduk.
"Anak Mande Ken Permata, anak rancak parmato hati, Hari sudah rembang petang. Lihat matahari sudah merah warnanya. Tak lama lagi akan tenggelam. Saatnya kita pulang ke rumah gadang. Berlama-lama di sini Datuk pasti akan mencari.”
Anak perempuan yang belum mencapai usia dua tahun itu dengan suara lincah menjawab. “Mande tenang-tenang sajalah di sini. Datuk tidak akan mencari kita. Beliau tadi ada di balik pohon besar sana memperhatikan kita. Sekarang Datuk sudah kembali ke goa pertapaannya."
Dengan perasaan heran Mande Saleha berpaling ke arah pohon besar tak jauh dari tepi danau. Dia tidak melihat siapa-siapa. Sambil memeluk anak yang kini memiliki tubuh lebih besar dari usianya, Mande Saleha barkata.
"Mande tidak melihat Datuk. Kalaupun tadi memang Datuk ada di balik pohon kita berdua tetap harus kambali ke rumah gadang."
"Mande, saya tidak akan pulang sebelum orang yang akan menemui saya datang."
Terkejut Manda Saleha mendengar ucapan Ken Permata. "Anakku, apa yang kau bicarakan ini. Siapa yang akan datang menemuimu?"
"Kalau Mande mau melihat orangnya, duduk saja di sini bersama saya..."
Mande Saleha menatap anak perempuan itu beberapa lama. Kalau tadi dia hanya memeluk, kini anak itu dipangku sambil terus dipeluk erat-erat. Ada kekawatiran dalam diri perempuan ini. Mande Saleha memandang berkeliling. Dia tidak melihat orang lain di tempat itu. Di tengah danau juga tidak ada biduk yang berlayar mencari ikan.
"Anakku, kita harus pulang sekarang juga.” Mande Saleha lalu turun dari batu, melangkah ke tepi telaga sambil terus mendukung Ken Permata.
Tapi dengan hanya bergerak sedikit saja anak perempuan itu telah meluncur turun ke tanah, lalu lari kembali ke tepi danau. Mande Saleha cepat mengejar dan memegang bahu anak itu. Ketika dia hendak mendukung kembali sang pengasuh merasa heran. Tubuh Ken Permata berat sekali hingga jangankan untuk mendukung, mengangkat saja dia tidak mampu.
"Anakku, apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa tubuhmu menjadi seberat batu raksasa?"
Ken Permata tersenyum, tidak menjawab pertanyaan pengasuhnya, malah berkata. "Mande, orang yang hendak menemui saya sudah datang." Ken Permata bicara sambil sepasang mata beningnya menatap ke arah danau.
Mande Saleha cepat memperhatikan ke arah danau. Tidak kelihatan satu orang pun, juga tidak ada perahu. Namun kemudian dia melihat sebuah batangan kayu mengapung di permukaan danau, bergerak perlahan dibawa arus ke jurusan tepi danau di mana dia dan Ken Permata berdiri. Bersamaan dengan itu te-linganya menangkap suara tiupan serunai. Jantung Mande Saleha berdetak, dada berdebar.
"Serunai itu... Aku pernah mendengar sebelumnya. Ketika Datuk kedatangan tamu. Ah... Apakah memang dia lagi yang muncul?" Mande Saleha berucap dalam hati. Lalu perempuan ini membungkuk sedikit dan berbisik ke telinga si anak perempuan. "Nak, mana orang yang katamu hendak menemui dirimu?"
"Ah Mande ini bagaimana. Masakan sebesar itu orangnya Mande tidak bisa melihat. Itu di tengah danau..."
Mande Saleha memperhatikan ke arah danau. "Anakku, Mande tidak melihat apa-apa. Yang Mande lihat hanya batang kayu terapung."
"Aduh Mande, orang itu berada di atas batang kayu itu Mande. Masakan Mande tidak melihat?" ujar Ken Permata.
Mande Saleha membuka mata lebar-Iebar. Mengucak beberapa kali. Tetap saja dia tidak melihat orang yang dikatakan Ken Permata. Bulu kuduk Mande Saleha merinding. "Anakku, jangan-jangan kau melihat mahluk halus. Sebelum kau keteguran dan menyebabkan kau bisa jatuh sakit, mari kita tinggalkan tempat ini..." Perempuan itu lalu menarik tangan Ken Permata.
Tapi seperti tadi, bobotnya yang luar biasa berat menye-babkan Mande Saleha tidak mampu membuatnya bergerak sedikitpun. "Mande, orang itu melambaikan tangan memanggil. Saya harus menemuinya..."
"Tidak, kau tidak boleh ke mana-mana. Kau harus tetap di sini bersama Mande!" Mande Saleha lalu mendekap Ken Permata erat-erat.
Tapi dengan mudah anak perempuan itu menyelinap lalu lari ke tepi danau. Selanjutnya sulit dipercaya tubuh Ken Permata melayang di udara, melesat ke arah batang kayu terapung dipermukaan danau dan berdiri di atas batang kayu itu! Mande Saleha berteriak memanggil. Dia merasa heran luar biasa. Bagaimana mungkin anak sekecil itu, yang masih bayi belum berusia dua tahun mampu melesat di udara, lalu berdiri di atas batang kayu yang terapung di permukaan air danau! Orang dewasa saja tidak semudah itu mampu melakukan kalau tidak memiliki kepandaian tinggi.
"Onde mande! Ya Allah! Ilmu kepandaian siapo didapat anak ini hingga dia bisa melompat dan berdiri di atas batang kayu terapung seperti itu, Awak tahu Datuk tidak pernah mengajarkan ilmu silat apa lagi kesaktian padanya."
Mande Saleha lalu berteriak memanggil-manggil Ken Permata sampai suaranya serak. Tak lama kemudian sang pengasuh jadi terperangah. Di atas batang kayu, di depan Ken Permata dia melihat ada sosok seseorang. Mula-mula samar, perlahan-lahan berubah bertambah jelas. Perempuan tua ini menepuk-nepuk bahu Ken Permata, sementara batang kayu bergerak menjauh ke tengah danau. Mande Saleha berteriak sejadi-jadinya namun clepp! Tiba-tiba suaranya lenyap. Ada sesuatu yang tiba-tiba menekan tenggorokannya dan saat itu juga dia tidak bisa mengeluarkan suara, apa lagi berteriak.
"Nenek itu..." ucap Mande Saleha hanya di dalam hati sementara mata terpentang lebar ke arah danau. Setelah sosok itu tampak lebih jelas, Mande Saleha lantas saja dapat mengenali perempuan tua yang ada di atas batang kayu bersama Ken Permata. Detak jantung dan dugaannya ternyata benar. "Memang dia..." desis Mande Saleha.
Nenek tua yang berdiri di hadapan Ken Permata di atas batang kayu terapung bukan lain adalah nenek yang suatu malam beberapa waktu lalu pernah menyelinap masuk ke dalam rumah gadang. Wajah bulat, kepala yang berambut putih perak digulung dihias lima sunting rendah terbuat dari suasa. Pakaian kebaya panjang kuning bersulam bebungaan perak, bercelana hitam. Sehelai selendang biru melingkar di leher. Laras Parantili! Kekasih Datuk Rao Basaluang Ameh di masa muda.
Dalam episode Janda Pulau Cingkuk dituturkan bahwa pada suatu malam Laras Parantili mendatangi Datuk Rao Basaluang Ameh, memberi tahu bahwa Ken Permata akan ketitisan roh Nyi Harum Sarti yang pernah menduduki tahta Kerajaan menjadi Ratu Laut Utara.
Datuk Rao mencegah penitisan itu namun dia kena ditipu oleh bekas kekasih di masa mudanya itu dengan racun kuning sehingga sang datuk pingsan tak sadarkan diri. Kejadian ini membuat Datuk Rao tidak mampu mencegah terjadinya penitisan. Mande Saleha sendiri sempat melihat Laras Parantili dan sempat pula menyaksikan berlangsungnya penitisan.
"Dia muncul lagi. Ya Allah ya Rabbi, pasti dia hendak berbuat jahat lagi. Celaka apa yang hendak dilakukannya terhadap anakku itu. Ya Tuhan, baa iko! Lindungi anak itu, lindungi Ken Permata.
Mande Saleha terduduk di tanah. Dia tak kuasa berteriak lagi. Suaranya hilang, tubuh lunglai. Tiba-tiba ada satu cahaya putih berkelebat ke arahnya. Sesaat kemudian dia mendengar suara.
"Perempuan pengasuh bayi titisan. Berucaplah kepada siapa saja yang kau temui sesudah ini. Katakanlah: Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi besok tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri"
Beberapa totokan kemudian mendarat di kepala Mande Saleha. Yang pertama pada kening kiri kanan, lalu pada bagian bawah dagu dekat tenggorokan.Yang terakhir ada usapan di bagian mulutnya. Satu keanehan kemudian terjadi. Mulai saat itu Mande Saleha seperti orang kurang ingatan mengeluarkan ucapan yang selalu diulang-ulang: "Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri."
Suara jeritan Mande Saleha membuat berhamburan keluar penghuni rumah gadang yang terletak tak jauh dari tepian Danau Maninjau. Sebelum orang-orang itu sampai di tempat Mande Saleha berada, Datuk Rao Basaluang Ameh sudah lebih dulu tiba di tempat itu. Dia terkejut sekali melihat keadaan perempuan pengasuh Ken Permata ini. Lebih-lebih ketika menyaksikan dan mendengar Mande Saleha yang bicara terus mengulang ucapan yang sama seperti orang kemasukan roh gaib.
"Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri."
Datuk Rao Basaluang Ameh mengucap istigfar berulang Kali. "Saleha, kau ini keteguran mahluk halus atau bagaimana?" Sang Datuk pegang bahu perempuan itu lalu menggoncang tubuhnya.
Tapi Mande Saleha terus saja bicara seperti tadi, mengulang-ulang ucapannya. Datuk Rao perhatikan wajah, terutama sepasang mata Mande Saleha. Dua mata perempuan itu lebih banyak nyalang daripada mengedip. Bagian hitamnya nyaris tidak bergerak. Lalu dia melihat ada tanda kebiruan di pelipis kiri kanan sarta tenggorokan samentara mulut bicara terus mangulang-ulang ucapan.
"Totokan Pelupa Diri Pematik Bicara! Pasti ini pakerjaan Laras Parantili! Tanpa sadar perempuan ini bisa bicara terus sampai kehabisan nafas!"
Dengan cepat Datuk Rao Basaluang Ameh ambil saluang (semacam seruling) emas yang terselip di pinggangnya, siap untuk memusnahkan totokan di tubuh Mande Saleha. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan putih melesat disertai suara orang berucap.
"Datuk, dia menyebut nama saya. Biar saya yang melepas totokannya!"
Belum sempat Datuk Rao Basaluang Ameh ber-paling tahu-tahu desss... dess... dess!
Dua tusukan jari tangan di dua pelipis serta satu tusukan lagi di tenggorokan membuat totokan yang menguasai Mande Saleha buyar musnah. Begitu lepas dari totokan perempuan ini mengeluh panjang, menggeliat lalu terguling di tanah. Muka pucat pasi. Nafas megap-megap. Mata nyalang tak berkesip. Datuk Rao usap kepala dan wajah Mande Saleha.
Mulai sadar akan dirinya pengasuh Ken Permata ini menggerung menangis. Datuk Rao sengaja membiarkan hingga Mande Saleha menghentikan tangisnya sendiri. Orang tua ini berpaling ke kanan di mana berdiri sosok tegap pemuda berambut gondrong berpakaian putih yang saat itu cepat-cepat membungkuk hormat, menyalami dan mencium tangannya.
"Datuk, saya muridmu. Terima salam hormat saya dan mohon dimaafkan kalau tadi saya telah berbuat lancang mendahului maksud Datuk hendak menolong Ibu ini..."
Orang tua sakti dari Pulau Andalas itu pegang bahu si pemuda. "Pendekar dari tanah Jawa, aku memang sudah lama mengharap kedatanganmu. Hanya saja kau datang ke sini dalam keadaan kurang menggembirakan..."
Sang Datuk melirik ke arah harimau putih bermata hijau peliharaannya yang tegak di samping si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Diatas punggung binatang sakti ini terbujur melintang menelungkup seorang perempuan bertubuh mungil dalam keadaan seperti tertidur pulas.
"Perempuan itu, apakah istri Patih Kerajaan tanah Jawa?" Bertanya Datuk Rao.
Wiro mengangguk lalu kembali meminta maaf atas kelancangannya meminta tolong Datuk Rao Bamato Hijau menjemput dan membawanya ke Danau Ma-ninjau ini. Saya..."
"Anak muda, kau tidak perlu meminta maaf. Untuk berbuat baik yang diridohi Allah seseorang wajib mengambil keputusan yang benar. Alhamdullillah Nyi Retno sudah berada di sini untuk kita pertemukan dengan bayinya. Hanya sayang sesuatu telah terjadi."
"Datuk, apa yang telah terjadi?" tanya murid Sinto Gendeng.
"Ken Permata diculik orang. Hanya beberapa ketika sebelum kau sampai di sini."
Wiro terkejut. Sulit dia bisa mempercayai kalau sampai dua kali bayi Nyi Retno diculik orang dari pengawasan orang tua berkepandaian tinggi seperti Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah memberikan banyak ilmu kesaktian padanya dan telah dihormatinya sebagai guru. Seperti diketahui sebelumnya Ken Permata pernah diculik oleh Wira Bumi dibantu oleh Nyai Tumbal Jiwo namun dengan bantuan tiga datuk sahabat Datuk Rao Basaluang Ameh bayi itu dapat diselamatkan. (Baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Bayi Satu Suro)
"Datuk, apakah Datuk tahu siapa yang menculik bayi Nyi Retno Mantili?"
Datuk Rao Basaluang Ameh anggukkan kepala. "Aku sudah bisa menduga karena hanya satu orang yang bisa menembus ilmu kesaktian Selusin Jaring Penolak Bala yang aku pergunakan untuk melindungi bayi itu. Agar lebih jelas mari kita tanyakan pada Mande Saleha apa yang telah terjadi. Dia sudah ber-henti menangis, keadaannya sudah mulai tenang."
"Saya juga ingin menanyai mengapa dia menyebut-nyebut nama saya. Meminta saya datang seorang diri ke Tunggul Hitam di lereng Gunung Merapi kalau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan se-lamat."
"Orang jahat tengah memasang jebakan untuk kita, terutama dirimu.”
"Siapa Datuk?" tanya Wiro pula.
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Diikuti Wiro Datuk Rao Basaluang Ameh mendatangi Mande Saleha. Setelah mengusap kepala perempuan itu sang Datuk berkata. "Saleha, hentikan tangismu! Katakan apa yang terjadi."
"Saya mohon ampun Datuk. Entah Datuk mau menghukum saya bagaimana. Saya telah berusaha menjaga Ken Permata. Kami berada di tepi danau. Lalu muncul or... orang itu Datuk. Dia datang lagi... Saya tidak mampu mencegah. Ken Permata lepas dari dekapan saya lalu melompat melayang ke tengah danau dan berdiri di samping perempuan tua itu, di atas batang kayu terapung. Dia membawa KenPermata ke tengah danau lalu keduanya tak kelihatan lagi."
"Orang itu, perempuan tua yang kau katakan, siapa dia Saleha? Apa kau mengenalinya?"tanya Datuk Rao.
"Dia perempuan tua bersunting suasa yang muncul di rumah gadang waktu terjadi penitisan atas diri Ken Permata."
Datuk Rao menghela nafas panjang. Wajahnya yang kelimis langsung berubah. "Ternyata memang dia..." ucap Datuk Rao Basaluang Ameh berdesah. "Laras Parantili."
"Laras Parantili. Siapa dia Datuk? Saya tidak pernah mendengar nama orang ini sebelumnya," Tanya Wiro yang sejak tadi ingin tahu. Dia kawatir jangan-jangan roh Wira Bumi atau Nyai Tumbal Jiwo yang muncul kembali. "Saya juga heran mendengar keterangan Ibu ini. Ken Permata, bayi yang menurut saya belum berusia dua tahun, mampu melompat ke tengah danau dan berdiri di atas batang kayu terapung. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang berkepandaian silat tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai puncaknya. Bagaimana bisa terjadi?"
"Laras Parantili." Datuk Rao Basaluang Ameh menyebut nama sang kekasih di masa muda dengan suara bergetar. "Aku sudah menduga. Bagaimana mungkin. Aku telah melindungi seputar tempat ini dengan ilmu Selusin Jaring Penolak Bala. Ternyata dia masih bisa menembusnya. Mungkin dia memiliki bubuk bunga sakti penangkal ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu?" Si orang tua merenung sejenak lalu berpaling pada Wiro. "Laras Parantili adalah kekasihku di masa muda. Kami tidak kunjung jadi menikah karena berbagai kendala yang muncul secara tak terduga. Selain itu aku diam-diam mengetahui kalau kekasihku itu memiliki hati yang tidak seputih wajahnya tidak pula sebersih pakaian yang dikenakannya. Aku menunggu dan menunggu sampai dia bisa berubah. Namun kenyataannya hal itu tidak terjadi. Malah dengan kemunculannya menjadi pelindung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata dia telah membuktikan kalau dirinya tidak berubah, dia tetap culas seperti di masa lalu."
"Datuk, saya ikut merasa sedih mendengar cerita Datuk. Tapi ada yang tidak saya mengerti. Ken Permata ketitisan. Ketitisan roh siapa?"
"Bayi itu ketitisan roh seorang perempuan muda yang mengaku Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum Sarti..."
Kejut Pendekar 212 bukan kepalang. "Perempuan iblis itu rupanya yang punya pekerjaan. Saya tahu, dia memang pernah mengancam akan melakukan penitisan atas diri Ken Permata! Jahat sekali! Mengapa berbuat keji pada seorang bayi yang tidak berdosa?"
(Mengenai sumpah titisan Ratu Laut Utara alias Nyi Harum Sarti bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Cinta Tiga Ratu)
"Ken Permata kini bukan keadaan seperti bayi dua tahun lagi. Tubuhnya tumbuh besar menyerupai anak lima tahun. Selain itu secara aneh dia memiliki ilmu kesaktian. Ilmu kesaktian itu berasal dari roh yang menitis atas dirinya."
"Sangat berbahaya..." ucap Wiro sambil menggaruk kepala. Lalu dia berpaling pada perempuan pengasuh Ken Permata yang tegak di samping Datuk Rao. Sambil menolong perempuan ini berdiri Wiro bertanya. "Ibu coba kau tunjukkan jelas-jelas di arah mana menghilangnya Ken Permata bersama perempuan yang menculiknya itu."
Setelah memandang berkeliling perempuan itu menunjuk ke tengah danau. "Keduanya berada di atas sebuah batang kayu. Meluncur ke tengah danau. Lalu ada cahaya putih menyelubungi sekujur tubuh saya. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saya bicara terus tapi saya tidak tahu apa yang saya katakan..."
Datuk Rao Basaluang Ameh dan Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan sekeliling danau, Mereka tidak melihat batang kayu yang dikatakan Mande Saleha. Wiro bertanya lagi.
"Ibu, Ken Permata dan perempuan tua bersunting itu, apakah dia lenyap masuk ke dalam danau atau melayang naik ke udara?"
"Saya tidak tahu... saya tidak melihat. Tiba-tiba saja keduanya lenyap."
"Datuk, kalau Datuk mengizinkan dan memberi petunjuk saya akan segera menuju lereng barat Gunung Merapi. Dari ucapan Ibu ini jelas penculik tidak membawa Ken Permata ke dasar Danau Maninjau tapi ke satu tempat bernama Tunggul Hitam. Saya harus mendapatkan bayi itu kembali. Saya titip Nyi Retno Mantili..."
"Kita pergi berdua..." kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula.
"Tapi bukankah Datuk mendengar sendiri ibu ini tadi terus menerus berucap saya harus datang seorang diri jika ingin Ken Permata selamat?"
Datuk Rao mengangguk. Dia sapukan saluang emas ke arah Nyi Retno Mantili yang masih terbaring menelungkup diatas punggung harimau putih sakti bermata hijau. Lalu berkata pada Wiro.
"Totokanmu pada tubuh perempuan itu sudah aku lenyapkan. Mulai sekarang dia akan tidur sepanjang hari. Dia akan terbangun pada saat kita kembali." Datuk Rao berkata pada Mande Saleha dan harimau putih. "Kembalilah kau ke rumah gadang. Jaga perempuan itu. Dan kau Datuk Rao Bamato Hijau, awasi kawasan ini. Jika terjadi sesuatu lekas temui diriku."
Harimau putih merunduk dan menggereng perlahan. Wiro mengusap tengkuknya lalu berkelebat mengikuti Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah lebih dulu berkelebat ke arah timur di mana di kejauhan Gunung Merapi tegak menjulang tinggi dengan puncak disaput awan putih kelabu.
Tepat tengah hari keesokannya, hujan lebat mengguyur Gunung Merapi ketika Wiro sampai dilereng barat. Dia berhenti di satu lamping gunung di mana terdapat dinding batu berwarna kuning dan merah pekat. Di beberapa tempat dinding batu ini membentuk tonjolan-tonjolan berwarna hitam. Sambil memandang berkeliling Wiro keluarkan ucapan.
"Datuk, apakah Datuk ada di sekitar sini?"
Terdengar suara jawaban pertahan, hampir merupakan bisikan di telinga kiri sang pendekar. "Aku ada di dekatmu. Mulai saat ini kau tidak boleh bicara…”
“Tapi Datuk, saya perlu petunjuk di mana tepat berdanya Tunggul Hitam itu. Apakah ini nama suatu tempat atau nama benda…”
“Naiklah ke atas dinding batu merah kuning. Terus mendaki sampai kau menemukan satu pedataran kecil ditumbuhi semak belukar berduri, Di sekitar pedataran kau akan melihat batu-batu hitam bertebaran dalam berbagai bentuk. Pada bagian tengah pedataran ada sebuah batu hitam besar, berbentuk batang kayu bercabang dua, besarnya sepemeluk tangan, tinggi tiga tombak. Itulah Tunggul Hitam. Cepat pergi ke sana dan jangan bicara lagi karena aku tidak akah menjawab apapun yang kau tanyakan. Aku tidak ingin urusan ini menjadi kacau sebelum kita melihat dan mendapatkan bayi itu. Selain itu kita masih belum tahu siapa saja yang berada bersama Ken Permata. Satu hal harus kau ingat baik-baik, jangan sekali-kali terpikat atau tertipu dengan apa yang kau lihat!”
Wiro mengangguk kepalanya yang basah riap-riapan. Dalam hati dia berkata. "Eh, memangnya aku mau melihat apa? Perawan bugil? Nenek peot tidak berpakaian? Atau dua ekor kucing lagi kawin?" Wiro tertawa-tawa seorang diri.
Ketika memperhatikan ke atas dia melihat lamping batu hitam kuning cukup terjal dan licin. Selain tertutup lumut tipis, air hujan membuat batu-batu itu menjadi sangat licin. Kelihatannya memang tidak ada cara lain mencapai pedataran di atas sana kecuali harus melewati hamparan batu yang membentuk dinding terjal licin.
Setelah memusatkan pikiran dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar 212 melesat ke udara. Begitu sampai di puncak ketinggian dia cepat menjejakkan kaki di salah satu tonjolan batu berwarna hitam, lalu melentingkan diri ke atas. Tiga kali dia berbuat begitu baru dia berhasil sampai di bagian atas dinding batu terjal dan dapatkan dirinya berada di ujung satu pedataran luas yang ditumbuhi semak belukar setinggi dada.
Semak belukar ini bukan semak belukar biasa, tapi penuh dengan duri yang laksana hidup bergerak-gerak menyambar ke berbagai arah. Hujan dan tiupan angin yang cukup kencang membuat semak belukar berduri itu sangat berbahaya. Sementara dia masih memperhatikan keadaan ditempat aneh itu, pakaian putih Wiro sudah robek terkait duri di bagian pinggang kiri dan bahu kanan.
Goresan duri di bahu kanan melukai kulit bahu. Dalam udara dingin Wiro serta merta merasakan ada hawa panas pada goresan luka. Wiro menguak lebih besar robekan di bahu lalu memperhatikan. Ternyata goresan duri telah membuat kulitnya menggembung kebiruan! Mendadak dia merasa tubuhnya agak lemas!
"Kurang ajar! Duri semak belukar ini mengandung racun! Betul ucapan Datuk. Orang hendak menjebak mencelakai diriku. Apakah Datuk tidak tahu kalau duri di tempat ini mengandung racun? Atau mungkin ada orang yang belum lama menabur racun di peda-taran ini. Benar-benar kurang ajar!"
Pendekar 212 cepat kerahkan tenaga dalam serta hawa sakti yang disalurkan dari Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya. Sebenarnya seperti diketahui Wiro memiliki kekebalan terhadap racun namun dia tidak mau berlaku ayal. Melindungi diri lebih dulu adalah lebih baik dari pada mengobati.
Hujan mulai mereda. Sesekali Guntur menggelepar dan kilat menyabung di langit. Wiro memperhatikan ke depan. Dia melihat banyak gundukan batu menyembul di antara semak belukar berduri. Gundukan batu itu kebanyakan berbentuk bulat namun ada pula yang menyerupai binatang besar. Di salah satu bagian pedataran tersembul batu hitam berbentuk pohon bercabang dua. Tingginya ternyata tidak sampai tiga tombak.
"Tunggul Hitam! Tapi mengapa tidak setinggi seperti yang dikatakan Datuk?" ucap Wiro. Dia lalu ingat. Dia tidak boleh tertipu pada apa yang dilihatnya. Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat satu orangpun di tempat itu. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Tetap saja dia tidak bisa melihat apa-apa.
Tiba-tiba Wiro merasa tanah gunung yang dipijaknya bergetar. Lalu ada suara berdesing panjang. Sepasang mata sang pendekar terpentang lebar ketika di depan sana batu yang disebut Tunggul Hitam perlahan-lahan bergerak naik ke atas, makin tinggi hingga akhirnya mencapai tiga tombak! Getaran di tanah dan suara berdesing serta merta lenyap begitu Tunggul Hitam berhenti bergerak naik.
Sesaat kemudian samar-samar Wiro melihat bayangan tiga orang berdiri di atas Tunggul Hitam. Dua orang dewasa, satu anak kecil. Dua orang dewasa berdiri di cabang kiri kanan. Orang yang kecil duduk berjuntai di atas puncak Tunggul Hitam yang rata.
"Ken Permata, yang kecil itu pasti Ken Permata!" ucap Wiro dalam hati. Dia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh, siap melesat ke batu hitam besar yang ada sejarak dua belas langkah dari hadapan Tunggul Hitam. Namun baru saja dua kakinya bergerak ke udara tiba-tiba rimbunan semak belukar di hadapannya laksana mahluk hidup mencuat tegak. Puluhan duri menyambar ke depan seperti tangan setan mencakar!
"Brett! Brettt! Breetttt!"
Baju Wiro robek besar pada tiga tempat di bagian dada dan perut. Membuat sang pendekar bersurut dan cepat memeriksa. Untung cakaran semak berduri hanya merobek baju, tidak sampai menyentuh kulit atau daging dada dan perutnya.
"Semak belukar keparat! Jangan harap kalian masih bisa mencelakaiku lagi!" Habis berkata begitu dia angkat dua tangan ke udara sambi! berteriak. "Kapak Naga Geni 212! Batu Sakti Hitam!" Kejapan itu juga kapak dan batu sakti yang ada dalam tubuh Wiro tahu-tahu telah berada di tangan kanan dan tangan kiri.
Seperti dikisahkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Lentera Iblis Kiai Gede Tapa Pamungkas secara gaib telah memasukkan dua senjata sakti itu ke dalam tubuh Pendekar 212. Dengan cara berseru menyebut nama kedua senjata itu maka kapak dan batu secara gaib pula keluar dari dalam tubuh Wiro dan langsung tergenggam di tangan. Dengan mengerahkan lebih dari setengah tenaga dalam yang dimiliki, Wiro menggosokkan batu hitam sakti ke mata Kapak Naga Geni 212.
"Wusss!" Satu gelombang api yang bukan olah-olah besarnya menderu melanda pedataran yang dipenuhi semak belukar berduri. Walau semak belukar itu dalam keadaan basah karena baru kejatuhan hujan namun gelombang api yang luar biasa dahsyatnya membakar musnah semak belukar itu hanya dalam beberapa kejapan mata saja!
Kini di pedataran luas itu hanya terlihat gundukan-gundukan batu hitam besar ber-bagai bentuk dan ukuran serta Tunggul Hitam yang menjulang setinggi tiga tombak. Kepulan asap untuk beberapa lama bergulung-gulung di atas bebatuan. Begitu kepulan asap sirna, kapak dan batu sakti lenyap pula. Tiga orang yang berada di atas Tunggul Hitam kini terlihat jelas.
Yang pertama adalah Ken Permata. Bayi yang belum berusia dua tahun tapi memiliki perawakan seperti anak lima tahun ini duduk di bagian atas Tunggul Hitam yang rata sambil uncang-uncang kaki tanpa rasa gamang ataupun takut. Wiro merasa heran melihat keberanian dan keadaan bayi ini.
Orang kedua seorang nenek tua mengenakan ke-baya panjang kuning bersulam bunga perak, bercelana panjang hitam. Rambutnya yang putih seperti perak digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting pendek terbuat dari suasa merah kekuningan. Ujung selendang biru yang melingkar di lehernya melambai-lambai di tiup angin. Wajahnya walau sudah lanjut masih ada bayangan kecantikan di masa muda, anggun namun ada pancaran sifat keangkuhan. Nenek ini berdiri di cabang Tunggul Hitam sebelah kanan.
"Nenek bersunting itu pasti Laras Parantili, kekasih Datuk. Heran, mengapa dia mau-mauan menjadi pelindung sang penitis! Berseberangan dengan Datuk, padahal di masa muda mereka pernah menjalin kasih. Tapi... cinta memang bisa berubah jadi macam-macam!"
Murid Sinto Gendeng tertawa cengengesan. Sambil garuk-garuk kepala dia perhatikan orang ke tiga yang berdiri di atas batu berbentuk pohon yang disebut batu Tunggul Hitam pada cabang sebelah kiri. Pada pakaiannya ada noda merah melintang panjang di dada. Walau wajahnya cacat di bagian mulut dan pipi kiri serta agak teleng namun Wiro masih bisa mengenali perempuan muda ini adalah Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. Wiro juga melihat bagaimana sepasang telapak kaki Nyi Harum Sarti sama sekali tidak menginjak cabang batu Tunggul Hitam. Pertanda bahwa perempuan ini adalah roh yang muncul secara jejadian.
"Kepala teleng, mulut hancur-hancuran. Pasti itu bekas tendangan Bidadari Angin Timur," membathin Wiro.
Dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Cinta Tiga Ratu dituturkan bagaimana dalam keadaan meregang nyawa setelah dibelah dadanya dengan Pedang Naga Suci 212 oleh Ratu Duyung, Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu ditendang kepalanya oleh Bidadari Angin Timur hingga mulutnya hancur, tulang leher bergeser menyebabkan kepalanya menjadi teleng.
Gadis cantik berambut pirang itu melakukan hal tersebut karena merasa sangat marah dan dendam besar terhadap Nyi Harum Sarti yang telah melontarkan kata-kata di hadapan sekian banyak tokoh rimba persilatan bahwa Bidadari Angin Timur adalah janda dari kepala pasukan Kesultanan Cirebon.
Setelah memperhatikan, tidak tunggu lebih lama Wiro cepat melompat ke atas batu hitam besar berbentuk kerbau berbaring, yang hanya terpisah sejarak sekitar dua belas langkah dari batu Tunggul Hitam.
Nenek bernama Laras Parantili dan ujud jejadian Nyi Harum Sarti tidak bergerak. Hanya sepasang bola mata mereka saja yang tampak berputar mengawasi. Di puncak batu Tunggul Hitam Ken Permata duduk tertawa-tawa, masih uncang-uncang ke dua kaki.
"Kalian semua yang di atas batu Tunggul Hitam!" Wiro yang sudah tidak sabaran berteriak keras. "Aku sudah datang ke tempat ini seorang diri! Lekas serahkan bayi di atas Tunggul Hitam."
Sunyi sesaat lalu si nenek dan perempuan bermuka cacat berkepala teleng umbar tawa bergelak.
"Pemuda gondrong muka gemblong! Siapa kau?! Sudah kesasar datang ke sini berteriak pula tak karuan macam orang kemasukan!"
Mata Pendekar 212 mendelik membeliak. Jengkel penasaran dirinya dikatakan kesasar, muka gemblong dan kemasukan! Tapi dasar sableng enak saja dia menyahuti. "Kalian berdua! Yang tua seperti walang sangit kurang makan! Yang berkepala teleng seperti ayam keselak jagung! Ha ha ha! Aku mencium bau tidak sedap. Apa kalian berdua tadi pagi sudah beol tapi tidak sempat cebok? Kalian juga bermata lamur rupanya! Tidak bisa membedakan gemblong dengan lontong! Atau kalian berdua inginnya singkong? Pantas kau bau Jigong! Ha ha ha!" Habis berteriak begitu Wiro lalu tertawa gelak-gelak sambil hidung dipencet dengan dua jari tangan kiri dan mulut meludah-ludah.
Laras Parantili kerenyitkan kening. Nyi Harum Sarti keluarkan makian menggerendeng sementara Ken Permata di atas puncak Tunggul Hitam masih terus duduk tertawa-tawa sambil uncang-uncang kaki.
"Pemuda sinting! Kami tidak suka melihat kehadiranmu di sini. Lekas angkat kaki atau kau akan mati sia-sia!" Nyi Harum Sarti kini yang berteriak.
"Oala!" Wiro pencongkan mulut, telengkan kepala meniru telengnya kepala roh perempuan jejadian itu. "Kalian mempermainkanku! Itu tidak lucu! Aku bisa-bisa bukannya tertawa melihat kelakuan kalian, tapi malah kentut! Ha ha ha! Kalian mengirim pesan melalui perempuan bernama Mande Saleha yang kalian siksa dengan ilmu keji kalian! Sekarang aku sudah di sini, kalian mau berlagak aneh macam orang sinting. Kalian berjanji akan menyerahkan bayi itu! Kalian berlagak tidak suka padaku. Kalian pasti berpura-pura. Padahal paling tidak salah satu dari kalian pasti suka padaku! Ha ha ha!" Wiro menatap ke arah Nyi Harum Sarti dan kedip-kedipkan mata.
Wajah cacat roh jejadian Nyi Harum Sarti berubah merah mendengar kata-kata Wiro. Sebelumnya dia memang telah jatuh cinta pada sang pendekar dan hal ini dikatakannya terus terang di hadapan banyak tokoh rimba persilatan. Kalau sekarang dia bersikap bermusuhan maka ini adalah suatu keanehan.
"Aku ingin kalian segera menyerahkan bayi itu! Sekarang juga! Atau kalian akan menyesal!" Wiro angkat tangan kanannya yang serta merta berubah warna menjadi putih perak sebatas siku ke bawah. Sang pendekar siap melepas Pukulan Matahari.
Si nenek Laras Parantili angkat tangan kirinya. "Tunggu dulu!" serunya. Lalu dia berpaling pada Nyi Harum Sarti yang berada di cabang kiri Tunggul Hitam. "Ratu Laut Utara..." Ah! Si nenek masih memanggil Nyi Harum Sarti dengan sebutan Ratu Laut Utara! "Apa benar pemuda gondrong ini yang bernama Wiro Sableng barjuluk Pendekar 212?"
"Memang dia orangnya!" Jawab Nyi Harum Sarti dengan suara datar dan wajah cacat dingin.
Mendengar jawaban Nyi Harum Sarti, Laras Parantili bertanya. "Pemuda gondrong! Apakah kau datang ke sini seorang diri?!"
"Kalian yang minta begitu! Aku hanya melakukan! Sekarang malah banyak tanya segala!" jawab Wiro kesal.
Si nenek tertawa. Tiba-tiba dia lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah sebuah batu besar sejarak sepuluh langkah dari samping kiri Wiro.
"Wuuuttt! Braaakkk!"
Serangkum angin dahsyat menderu, membuat hancur berkeping-keping batu besar yang dihantam. Saat itu juga dari hancuran batu berkelebat sosok seorang tua berpakaian putih! Datuk Rao Basaluang Ameh!
"Ah, ternyata kau berdusta! Kau datang bersama orang yang tidak kami ingini! Berarti kau tidak akan mendapatkan bayi itu dalam keadaan selamat!" Sambil bicara Laras Parantili melirik memperhatikan Datuk Basaluang Ameh yang kini berdiri di atas sebuah batu besar di arah kanan Wiro sambi! menimang saluang emas.
"Kalian kira cuma kalian yang bisa membuat aturan?! Kalian punya aturan! Aku juga punya aturan sendiri! Aku mau datang dengan siapa itu urusanku! Lagi pula yang datang bersamaku bukan orang sembarangan. Aku tidak yakin kau bisa melupakan atau mau berpura-pura lupa. Apakah kau tidak mengenali orang tua berpakaian putih ini? Kekasihmu tercinta di masa muda?! Yang aku sebut namanya adalah Datuk Rao Basaluang Ameh!"
Raut wajah Laras Parantili berubah merah seperti saga.
"Ah, wajahmu berubah merah! Pertanda kau memang masih mencinta dirinya. Tapi mengapa berpura-pura? Malah kini berserikat dengan perempuan teleng itu, memusuhi Datuk?"
"Pemuda edan! Bicara tak karuan macam orang sinting. Itulah kalau gurunya gendeng muridnya sableng beneran!"
"Tua bangka kurang ajar!" bentak Wiro marah. "Kau berani menghina guruku Sinto Gendeng! Luar biasa sombong! Sikapmu seperti orang hebat berpikiran waras. Padahal sebenarnya otakmu ada di dengkul. Selain sombong kau juga culas! Khianat apa yang telah kau perbuat terhadap guruku Datuk Rao Basaluang Ameh! Sudah peot kisut begini apa kau kira bisa dapat lelaki muda lebih baik dari Datuk? Puahhh!"
"Pemuda sinting! Kurobek mulutmu berani bicara soal hubunganku dengan Datuk Rao!"
Wiro jerengkan mata dan cibirkan bibir. Lima sunting suasa di kepala Laras Parantili berjingkrak tegang dan kepulkan asap tipis pertanda si nenek dilanda amarah luar biasa. Rahang menggembung, mata berkilat-kilat.
Datuk Rao Basaluang Ameh yang sejak tadi diam sa]a, setelah berdehem beberapa kali lantas berkata berusaha menyurutkan ketegangan yang siap meledak. "Laras Parantili, aku memang tidak diundang datang ke sini. Namun aku punya kewajiban untuk hadir. Karena segala perbuatan yang kau lakukan telah menyimpang dari kelayakan sebagai seorang pendekar golongan putih rimba persilatan. Atau mungkin kini kau telah berubah hitam, menjadi pelindung mahluk roh jejadian yang kau sebut sebagai Ratu Laut Utara itu? Sungguh disayangkan. Di usia selanjut ini, apa sebenarnya yang masih kau harapkan dalam kehidupanmu? Bukankah mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan hal yang paling baik dari pada berbuat kemungkaran? Jika kau mau keluar dari jalan sesat dan menyerahkan bayi bernama Ken Permata itu maka aku dan Pendekar 212 akan tinggalkan tempat ini. Dan aku akan mengakhiri urusan penculikan bayi ini sampai di sini."
Laras Parantili tersenyum, rangkapkan dua tangan di depan dada lalu berkata. "Datuk, bicaramu seperti khotbah saja. Enak juga didengar. Tapi kau bukan siapa-siapa lagi bagiku. Kau tidak layak mengatur diriku karena kau tidak mampu mengatur diri sendiri. Soal bayi bernama Ken Permata dia bukan anak bukan cucumu. Tak ada sangkut paut darah daging antara kalian berdua. Setahuku kau tidak lebih dari pada kacung yang ketitipan untuk menjaganya. Masa pengasuhanmu sudah berakhir. Kami datang untuk mengambil..."
"Tua bangka sialan! Berani kau menghina Datuk! Hatimu kotor, mulutmu sebusuk comberan!" Wiro yang sudah tidak sabaran untuk menghajar si nenek kembali hendak menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun Datuk Rao cepat memberi tanda mencegah.
"Laras, lalu apa perlunya kau meminta muridku datang ke sini, menjanjikan keselamatan bagi bayi bernama Ken Permata itu? Jika kau bermaksud jahat hendak menjebak, mungkin kau akan lebih dulu masuk lobang perangkap!" kata Datuk Rao pula.
"Janji keselamatan tidak berlaku lagi. Kalian berdua sudah melanggar aturan yang kami tetapkan!"
"Aturan kentut busuk!" teriak Wiro. "Kau berani menghina guruku. Aku akan menjadikan kau babu seumur-umur di negeri neraka!" Habis berteriak Pendekar 212 segera melompat tinggi ke udara, melesat ke arah Tunggul Hitam yang berupa pohon batu setinggi tiga tombak.
Melihat gerakan yang dibuat Wiro, dalam marahnya karena dibilang mau dijadikan babu neraka Laras Parantili segera berseru pada Nyi Harum Sarti. "Ratu, apa lagi yang kita tunggu!"
Mendengar seruan si nenek Nyi Harum Sarti yang menyebut diri masih sebagai Ratu Laut Utara segera mendongak ke arah bayi di puncak batu Tunggul Hitam. "Ken Permata! Bayi titisan roh sukmaku! Bunuh orang berambut gondrong itu! Dia manusianya yang telah membunuh ayahmu!"
Habis berteriak Nyi Harum Sarti sapukan tangan kanannya ke atas. Selarik sinar kelabu menyapu sekujur tubuh Ken Permata, mulai dari kepala sampai ke kaki. Satu keanehan terjadi. Sosok bayi berusia kurang dua tahun dan berpenampilan seperti anak lima tahun itu tundukkan kepala. Lalu tubuh sang bayi tiba-tiba berubah menjadi luar biasa besar. Begitu dia melompat turun, kaki menjejak tanah, pedataran bergetar, kepala hampir setinggi batu Tunggul Hitam. Ken Permata telah berubah menjadi seorang bayi raksasa. Wiro dan Datuk Rao hanya setinggi pusarnya!
Kejut kedua orang ini bukan alang kepalang! Ketika bayi raksasa ini menyeringai, kelihatan barisan gigi dan caling panjang runcing! Belum pupus kejut Pendekar 212, bayi raksasa Ken Permata telah menyerbunya dengan satu pukulan jarak jauh yang menebar sinar hijau.
"Pukulan Mambang Laut Utara!" ucap Wiro tersentak. Ilmu kesaktian itu adalah milik Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. "Berarti bayi itu bukan saja ketitisan sifat tapi juga menguasai ilmu kesaktian yang dimiliki roh Nyi Harum Sarti!"
Secepat kilat Wiro selamatkan diri dengan melesat ke kiri, jatuhkan diri ke tanah. Sambil berguling murid Sinto Gendeng melepas Pukulan Sinar Matahari tapi tidak diarahkan pada bayi raksasa melainkan dihantamkan ke cabang kiri batu Tunggul Hitam di mana roh jejadian Nyi Harum Sarti berada. Bagi Wiro walaupun jelas bayi aneh itu yang menyerang namun dia tidak mau membalas serangan. Kawatir kalau hantamannya akan mencelakai sang bayi. Nyi Harum Sarti yang menjadi sumber kekuatan bayi raksasa, mahluk yang harus dimusnahkan lebih dulu.
Sinar putih Pukulan Matahari berkiblat panas menyilaukan. Datuk Rao Basaluang Ameh tidak tinggal diam. Dia sapukan saluang emas ke atas. Cahaya kuning laksana kipas mengembang menderu di udara disertai suara desingan seruling mencucuk pendengaran. Seperti Wiro, orang tua ini tidak mengarahkan serangannya ke arah bayi raksasa melainkan yang dituju adalah Laras Parantili yang berdiri di cabang kanan Tunggul Hitam.
Mendapat serangan pukulan sakti yang menggegerkan rimba persilatan Nyi Harum Sarti di atas cabang kiri batu Tunggul Hitam tidak bergerak sedikitpun. Malah sambil tertawa melengking dia menggoyang tubuh dan kepalanya yang teleng. Sembilan rangkum gelombang angin memancarkan cahaya biru mencuat keluar dari tubuhnya, langsung menyergap cahaya putih panas Pukulan Sinar Matahari. Begitu Saling bertabrakan satu letusan dahsyat menggelegar. Lereng barat Gunung Merapi laksana dilanda gempa. Ujung pedataran di sebelah selatan runtuh longsor.
Beberapa batu besar hitam di pedataran hancur berkeping-keping. Tapi anehnya batu Tunggul Hitam tidak rusak sedikitpun. Ini karena Nyi Harum Sarti telah menerapkan ilmu yang bernama Dinding Gaib Laut Utara. Dengan ilmu ini dia mampu melindungi setiap benda mati dari serangan atau hantaman yang datang dari luar.
Kalau akibat bentrokan dahsyat itu Pendekar 212 Wiro Sableng sampai jatuh terhenyak di tanah pedataran maka di atas cabang kiri batu Tunggul Hitam sosok jejadian Hitam Nyi Harum Sarti hanya tergontai-gontai beberapa kali. Begitu tubuhnya terjengkang di tanah, Wiro melihat bayi raksasa melompat ke arahnya lalu hunjamkan kaki kanan ke arah dada.
"Gila!" Wiro berteriak. Secepat kilat dia berguling ke kiri.
"Bruuuukkk!" Hujaman kaki kanan Ken Permata membuat lobang besar sedalam betis ditanah pedataran.
Menyaksikan itu Wiro merasa nyawanya seperti terbang. Ketika bayi raksasa hendak menyerbunya kembali, kali ini dengan tendangan kaki kiri, secepat kilat dia melesat selamatkan diri, melompat ke atas sebuah batu hitam. Bayi raksasa rundukkan tubuh sambil dua tangan dengan sangat cepat menyambar ke arah dada pakaian Wiro. Kali ini Wiro tidak sempat lagi mengelak, dia juga merasa ragu melancarkan serangan. Takut menciderai ken Permata.
Akibatnya tubuh Wiro diangkat tinggi-tinggi lalu dibantingkan ke tanah. Sebelum jatuh Wiro masih berusaha berjungkir balik. Namun tetap saja dia jatuh dengan punggung menghantam tanah. Wiro merasa tulang belulangnya seperti hancur. Darah meleleh di sela bibir. Untuk beberapa lama dia terkapar tak bergerak.
"Bayi jahanam! Kalau aku serang apa lagi kalau sampai mati berarti Nyi Retno Mantili tidak akan pernah bertemu bayinya ini. Dia tidak akan pernah dapat disembuhkan dari penyakit jiwanya! Gila! Apa yang harus aku lakukan?!"
Wiro kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti. Terapkan ilmu meringankan tubuh. Ketika bayi raksasa kembali mendekat dia telah mampu berdiri, melompat ke punggung si bayi lalu menotok bayi ltu di bagian ubun-ubun, leher dan punggung. Tiga totokan sekaligus. Tokoh silat berkepandaian tinggi sekalipun, apa lagi manusia biasa akan rubuh, paling tidak kaku tegang terkena tiga totokan itu.
Namun si bayi raksasa hanya menyeringai. Bagian yang ditotok menggembung sebentar lalu surut kembali. Ternyata totokan Wiro tidak satupun yang mempan. Tidak sanggup melumpuhkan sang bayi! Sang bayi kembali ulurkan kedua tangan. Berusaha menangkap dua kaki Wiro yang masih menginjak punggungnya. Kalau si bayi berhasil menangkap dua kaki Wiro lalu membantingkan sang pendekar ke bawah dengan kepala menghujam tanah lebih dulu maka tamatlah riwayat murid Sinto Gendeng ini!
"Aku terpaksa harus bertindak lebih keras. Kalau tidak bisa konyol sendiri!" Pikir Wiro.
Dengan menerapkan Ilmu Belut Menyusup Tanah hingga dua kakinya menjadi licin Wiro berhasil lolos dari cekalan bayi raksasa. Dia cepat melompat ke bawah. Begitu menginjak tanah dengan cepat Wiro menjotos pinggang si bayi. Lagi-lagi karena kawatir dia sengaja hanya mengandalkan sedikit tenaga dalam. Bayi raksasa menggeliat. Memekik keras lalu memutar tubuh. Wiro tidak memberi kesempatan. Dia kembali memukul. Kali ini pukulannya ditujukan ke perut bayi.
"Bukkk!" Bayi yang dipukul terjajar beberapa langkah, menggerung pendek. Lalu menyeringai. Wiro jadi jengkel. Kini dia bermaksud hendak menghantam lebih keras dengan pengerahan tenaga dalam lebih banyak. Yang diarah adalah bagian bawah perut. Namun ada rasa tidak tega.
Selagi Wiro dalam keadaan bimbang dari atas ca-bang kiri batu Tunggul Hitam Nyi Harum Sarti membuat gerakan aneh. Tubuhnya berputar ke bawah. Dua kaki menggelantung di cabang batu Tunggul Hitam. Dua tangan kemudian dihantamkan ke arah Wiro. Larikan sinar hitam menderu tiada henti. Wiro menangkis dengan balas melepas pukulan jarak pendek. Namun karena dari samping kiri dia melihat bayi raksasa siap hendak menyerangnya. Murid Datuk Rao dan Sinto Gendeng ini dengan cepat melompat ke atas puncak Tunggul Hitam. Dari sini dia melepas dua pukulan. Tangan kiri lancarkan serangan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Tangan kanan lepaskan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Api.
Merasa belum puas dengan dua pukulan sakti itu. Wiro kerahkan tenaga dalam ke arah mata. Saat itu juga dari kedua matanya melesat keluar dua larik cahaya hijau membentuk sepasang pedang panjang menggidikkan. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Pedang Dewa. Ketiga ilmu kesaktian yang dipergunakan untuk menyerang Nyi Harum Sarti didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh melalui Kitab Putih Wasiat Dewa yang dipelajarinya secara tekun. Adapun Ilmu Sepasang Pedang Dewa karena keganasannya maka dia hanya boleh mempergunakan dua kali dalam satu tahun.
Nyi Harum Sarti kembali putar tubuhnya. Kali ini luar biasa cepat hingga tubuh itu laksana kitiran. Dua tangan ikut berputar tak ubah seperti dua bilah pedang. Tiba-tiba tubuh yang berputar pada cabang kiri batu Tunggul Hitam melesat lepas. Menyambar ke arah Wiro.
"Plaakk!" Pinggiran telapak tangan kanan Nyi Harum Sarti berhasil menghantam dada Wiro membuat Pendekar 212 mencelat hampir setengah tombak dan terhempas ke tanah. Dadanya laksana terbelah. Sakitnya bukan kepalang. Dalam keadaan nafas megap-megap dari mulut sang pendekar menyembur darah segar!
Wiro menggeliat. Coba berdiri. "Gila! Jangan-jangan dadaku sudah belah!" Wiro usap dadanya. Begitu bisa berdiri dia cepat totok tubuhnya sendiri di beberapa tempat. Rasa sakit berkurang dan kucuran darah serta merta berhenti.
Walau berhasil menciderai Wiro cukup parah, namun mahluk alam roh Nyi Harum Sarti harus membayar mahal. Salah satu dari dua serangan berupa pukulan tangan kosong yang dilancarkan Wiro menghantam dada kirinya dengan telak hingga Nyi Harum Sarti menjerit setinggi langit. Dadanya remuk sampai ke punggung. Selagi tubuhnya terkulai limbung dan siap jatuh ke tanah, salah satu larikan sinar hijau Sepasang Pedang Dewa memapas lehernya!
"Crasss!" Leher putus! Tubuh jatuh terbanting ke tanah. Setelah memijarkan cahaya hitam tubuh ini berubah menjadi kepulan asap yang dengan cepat membubung ke udara. Hal yang sama terjadi dengan kutungan kepala berwajah cacat Nyi Harum Sarti. Kepala mahluk alam roh ini terpelanting ke cabang kiri batu Tunggul Hitam. Sebelum mengeluarkan pijaran cahaya hitam dan berubah jadi asap, mulut pencong keluarkan ucapan lantang disusul suara tawa cekikikan.
"Aku belum mati! Aku tidak kalah! Mahluk titisanku akan menghabisi kalian berdua! Aku akan muncul lagi! Hik hik hik!"
Kutungan kepala melesat ke udara, berpijar hitam, berubah jadi asap dan melesat di udara. Di satu ketinggian kepulan asap hitam yang berasal dari tubuh dan kepala mahluk alam roh Nyi Harum Sarti bergabung satu sama lain. Sesaat kemudian di udara tampak sosok utuh Nyi Harum Sarti. Mahluk jejadian ini melesat ke arah langit dan lenyap dari pemandangan.
Bayi titisan Ken Permata keluarkan teriakan keras. Gigi besar dan taring panjang mencuat keluar. Walau sampai saat itu tidak satu patah katapun keluar dari mulutnya namun jelas dia menaruh amarah terhadap Wiro. Dengan sebat dia melompat menyergap sang pendekar.
Sekarang kita lihat pertarungan yang terjadi antara Datuk Rao Basaluang Ameh dengan sang kekasih di masa muda yaitu Laras Parantili. Datuk Rao berkali-kali berteriak agar Laras Parantili hentikan serangan, hentikan pertarungan.
"Laras! Mahluk roh yang menjadi sahabatmu itu sudah musnah! Hentikan serangan! Mari kita bicara!" Teriak Datuk Rao sambil kibaskan seruling emas menangkis serangan lawan.
Walau si nenek menyerang mengandalkan tangan kosong namun dua tangannya tidak beda seperti dua batangan besi keras. Setiap terjadi bentrokan tangan dengan seruling terdengar suara berdentrangan dan bunga api bewarna kuning berpijar di udara, Lama-lama sang datuk merasa kawatir suling saktinya akan menjadi rusak. Maka seperti tadi dia mengulangi teriakannya, berusaha membujuk Laras Parantili. Hanya sayang yang dibujuk semakin beringasan dan memperhebat gem-puran!
"Kalau sahabatku musnah apa kau kira aku takut menghadapi kalian sendirian?! Saat ini aku yang telah menjadi pewaris tunggal kerajaan Laut Utara sebelum aku serahkan pada Ken Permata lima belas tahun di muka!"
Datuk Rao Basaluang Ameh terkesiap mendengar ucapan Laras Parantili. Begitu juga Pendekar 212 Wiro Sableng yang ikut mendengar. Jadi inilah alasan si nenek mengapa dia melindungi terjadinya penitisan dan berpihak pada mahluk roh Nyi Harum Sarti. Dia ingin memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Laut Utara! Lupa dia sudah berapa usianya!
"Laras! Kau telah berbuat keliru! Pemegang tahta Kerajaan Laut Utara adalah Ayu Lestari! Nyi Harum Sarti Ratu palsu yang merampas tahta dari Ayu Lestari!"
"Tua bangka tolol! Tutup mulutmu! Mari kita bertarung sampai seribu jurus! Saat ini juga harus ditentukan aku atau kau yang bakalan menemui ajal!"
"Laras, sadar dan bertobatlah! Kalau kau mau mengikuti nasihatku, aku berjanji kita akan bisa hidup bersama. Jika kau suka kita akan melakukannya mulai hari ini melalui pernikahan yang syah! Segala sesuatunya belum terlambat."
Laras Parantili tertawa panjang. Hidung mendengus, mulut dipencongkan. Lontarkan seringai mengejek pada sang Datuk. "Tua bangka tak tahu diri. Kau mimpi setengah jalan Datuk! Kambing saja tidak sudi kawin denganmu, apalagi aku! Kau boleh kawin dengan setan hantu pelayangan!" teriak Laras Parantili lalu kembali menggempur si kakek.
"Setan perempuan kurang ajar! Beraninya kau menghina guruku!" Teriak Pendekar 212 Wiro Sableng yang menjadi marah besar mendengar ucapan sangat menghina yang dikeluarkan si nenek. "Aku bersumpah akan membuatmu malu seumur hidup saat ini juga! Kau yang akan aku buat jadi kambing betina! Kalau perlu aku cabuti seluruh bulu di tubuhmu!"
Begitu berteriak Wiro berkelebat ke arah Laras Parantili yang saat itu tengah menggempur Datuk Rao dengan serangan tangan kosong, pukulan berantai. Karena sang datuk melawan setengah hati mengingat kecintaannya pada si nenek maka tak urung dua pukulan lawan bersarang di dada dan satu lagi menghajar telak keningnya hingga bengkak lebam sampai ke mata. Pada saat itulah Wiro menyergapnya dari belakang. Lalu...
"Breett! Brett!" Punggung pakaian sampai ke pinggang dan malah sampai ke bagian lebih bawah yaitu celana panjang hitam si nenek robek besar, merosot ke bawah!
Laras Parantili memekik keras. Datuk Rao berseru kaget. Selagi si nenek kelabakan menutupi auratnya sebelah belakang, Wiro bertindak lebih gila.
"Tua bangka bermulut comberan! Makan tanganku ini!"
"Plaak! Plaakk!"
Wiro tampar pipi Laras Parantili kiri kanan. Selagi si nenek sempoyongan Wiro ulurkan tangan kiri. Breetttt! Dia tarik pakaian si nenek mulai dari dada sampai ke bawah. Kini keadaan si nenek yang pakaiannya robek depan belakang nyaris bugil!
"Kambing betina bugil! Rasakan kau sekarang!" ucap Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Laras Parantili menjerit sekali lagi. Dengan nekad dia tendangkan kaki kanannya yang tepat mengenai perut Pendekar 212 hingga Wiro terpental dan jatuh duduk di tanah. Mulutnya mengeluarkan suara seperti mau muntah tapi yang keluar semburan darah! Dalam keadaan seperti itu walau dia ingin sekali menghabisi Wiro namun Laras Parantili tidak sanggup menahan malu. Nenek ini putar tubuh, lalu secepat kilat berkelebat tinggalkan pedataran Tunggul Hitam.
Sebelum jatuh terguling ke tanah Wiro masih sempat berbuat jahil, menjambret pinggang celana panjang hitam Laras Parantili. Sekali tarik saja maka tanggallah celana yang sudah tidak karuan rupa itu!
Kutuk serapah menghambur dari mulut Laras Parantili. Rasa malu luar biasa membuat si nenek memang tidak sanggup bertahan lebih lama di tempat itu. Sekali berkelebat dia sudah lenyap dari pedataran Tunggul Hitam!
“Wiro, tidak seharusnya kau berbuat begitu…" kata Datuk Rao Basaluang Ameh sambil menyeka darah yang mengucur dari luka di keningnya.
Wiro tak bisa menjawab. Tubuhnya terkapar tertelentang. Perut sakit sekali seperti mau pecah akibat tendangan Laras Parantili tadi. Dada laksana terbelah oleh hantaman pinggiran tangan kanan Nyi Harum Sarti. Darah masih mengucur dari mulutnya. Datuk Rao membungkuk, berusaha menolong Wiro berdiri. Namun saat itu dari belakang melompat bayi raksasa Ken Permata.
"Datuk, awas...!" Wiro berteriak. Namun suaranya begitu lemah dan peringatannya agak terlambat.
Saat itu tendangan bayi raksasa telah menghantam pantat sang Datuk, Orang tua ini mencelat sampai dua tombak. Wiro berusaha menyambuti tubuh itu tapi malah ikut terpental dan terguling di tanah lalu sama-sama terbujur berdampingan.
Bayi raksasa menyeringai. Memekik keras lalu melompat dan berdiri di antara kedua orang yang berada dalam keadaan tak berdaya itu. Dia berpaling ke kiri dan ke kanan seolah-olah mau memilih. Yang mana antara Wiro dan sang Datuk yang akan dihabisi lebih dulu. Ternyata bayi titisan roh jahat Nyi Harum Sarti ini memilih ke dua-duanya. Kaki kanan diangkat, siap diinjakkan ke kepala Pendekar 212 Wiro Sableng.
Bersamaan dengan itu tangan kanan bergerak melepas pukulan maut bernama Tiga Tombak Utara Memantek Nyawa. Ilmu kesaktian ini adalah yang didapat Ken Permata dari penitisan yang dilakukan Nyi Harum Sarti. Cahaya hitam berkiblat, lalu memecah menjadi tiga larikan berbentuk tiga kepala tombak, melesat ke arah kepala, dada dan perut Pendekar 212!
"Datuk, aku tidak pernah mengira akan mati bersebelahan dengan dirimu!" ucap Wiro.
"Muridku! Jangan pasrah putus asa!" teriak Datuk Rao Basaluang Ameh. "Tangkis dengan Pukulan Harimau Dewa! Aku akan membantu dengan aliran tenaga dalam!" Lalu Datuk Rao Basaluang Ameh pukulkan telapak tangan kanannya ke tanah. Saat itu juga dari tangan itu mengalir keluar tenaga dalam dan hawa sakti, langsung masuk ke dalam tubuh Wiro.
Tidak menunggu lebih lama Pendekar 212 segera tiup tangan kanannya. Saat itu juga pada telapak tangan itu muncul gambar harimau putih bermata hijau. Wiro lalu dorongkan tangan kanan ke arah datangnya serangan yang dilepas oleh bayi raksasa. Dari telapak tangan kanan Wiro mencuat keluar suara deru angin luar biasa dahsyat disertai suara gerengan harimau.
"Trang! Trang!"
Dua kepala tombak hitam mencelat mental hancur berkeping-keping. Tapi celakanya kepala tombak ke tiga dari Tiga Tombak Laut Utara Memantek Nyawa masih bisa lolos. Menderu tepat ke arah jantung Pendekar 212!
Sekejap lagi ujung tombak ke tiga akan menancap di dada dan menembus sampai ke jantung Pendekar 212 tiba-tiba satu benda putih melayang di udara disertai deru angin sangat kencang. Lalu terdengar ada perem-lpuan berteriak.
"Kemuning! Ada bayi aneh hendak membunuh ayahmu!"
Bersamaan dengan menggemanya suara teriakan maka dua larik sinar putih berkiblat di udara.
"Traangg!" Tombak Laut Utara Memantek Nyawa yang siap menghabisi riwayat Pendekar 212 patah berkeping-keping, mencelat ke udara.
Di pedataran kini tampak harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau. Bina-tang ini lari menghampiri Wiro, lalu berdiri dengan sikap melindungi sang pendekar. Tak jauh dari situ berdiri Nyi Retno Mantili dengan mata berkilat sambil pegangi boneka kayu. Dia melirik sebentar ke arah Wiro lalu alihkan pandangan pada bayi raksasa yang juga tengah menatap ke arahnya dengan pandangan aneh.
Tiba-tiba Nyi Retno Mantili berteriak keras. Tangan kanan yang memegang boneka kayu diangkat ditujukan pada bayi raksasa. Lima jari memencet keras. Dua larik sinar putih Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala berkiblat ke arah bayi raksasa.
"Nyi Retno! Jangan menyerang bayi raksasa! Dia anakmu!" teriak Wiro. Lalu seperti mendapat satu kekuatan Wiro melompat. Da masih sempat mendorong tangan kanan Nyi Retno Mantili ke atas hingga dua larik cahaya putih yang mengarah pada bayi raksasa bergeser jauh dari sasaran.
"Kemuning! Ayahmu pasti sudah gila menolong mahluk aneh yang hendak membunuhnya!" teriak Nyi Retno Mantili.
"Nyi Retno, tenang. Dengar baik-baik, Bayi besar perempuan itu bukan musuhku, bukan pula musuhmu. Dia adalah anakmu Ken Permata!"
Nyi Retno Mantili menatap Wiro sejenak lalu tertawa cekikikan. "Gilamu kumat lagi! Aku tidak kenal siapa itu Ken Permata! Aku tidak pernah merasa punya anak bernama Ken Permata. Anakku dia! Kemuning!" Nyi Retno Mantili acungkan boneka kayu ke arah Wiro.
Bagaimana kejadiannya Nyi Retno Mantili bisa sampai ke pedataran Tunggul Hitam dibawa oleh ha-rimau putih sakti? Seperti diceritakan sebelumnya Datuk Rao telah melepas totokan di tubuh perempuan itu lalu membuatnya tertidur dan baru akan terban-gun kalau mereka kembali ke Danau Maninjau. Ternyata Nyi Retno Mantili bangun lebih cepat dari yang diduga. Perempuan ini langsung berteriak-teriak mencari Wiro.
Mande Saleha yang ketakutan akan terjadi apa-apa meminta harimau putih untuk membawa Nyi Retno Mantili ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi di mana Wiro dan Datuk Aao berada. Saat itu Datuk Aao Basaluang Ameh telah berdiri dan melangkah mendekati Nyi Retno. Harimau putih bermata hijau bergerak, melangkah berputar-putar mengelilingi bayi raksasa.
Si bayi sendiri tegak diam tak bergerak. Sepasang matanya masih terus memandang sayu ke arah Nyi Retno. Seperti ada sesuatu di jalan pikirannya. Kalau saja dia bisa bicara pasti dia akan mengatakan sesuatu. Sejak tubuhnya menjadi besar aneh seperti itu dia sama sekali tidak bisa mengeluarkan sepotong katapun!
"Nyi Retno," tegur Datuk Rao Basaluang Ameh begitu berdiri di hadapan Nyi Retno. "Banyak kejadian yang telah menimbulkan kedukaan dan kesengsaraan. Termasuk derita yang kau alami..."
"Eh, kakek yang matanya bengkak ini siapa?" Nyi Retno bertanya pada Wiro.
"Dia Datuk Rao Basaluang Ameh, guruku." Menerangkan Wiro.
"Oala! Kemuning! Ayahmu ini bicara apa. Kita tahu gurunya adalah nenek keriput berkulit hitam bau pesing bernama Sinto Gendeng! Sekarang kenapa dia mengaku-aku kakek ini sebagai gurunya?"
"Nyi Retno mengenai aku ini siapa tidak perlu dipersoalkan." Kata Datuk Rao dengan suara lembut sambil meletakkan tangannya di bahu kiri Nyi Retno dan diam-diam mengalirkan hawa sakti sejuk, "Yang penting saat ini adalah kau telah bertemu dengan bayimu bernama Ken Permata. Bayi dari hasil perkawinanmu dengan Wira Bumi. Bayi yang diselamatkan oleh pembatumu bernama Djaka Tua. Kau ingat Nyi Retno...?"
"Hik hik hik! Orang tua ini pandai sekali bercerita. Tapi sebagian ceritanya dusta!" Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan sambil usap-usap wajah boneka kayu.
"Kalau aku dusta, aku minta maaf padamu Nyi Retno. Tapi ceritaku yang mana yang kau anggap dusta?" tanya Datuk Rao sambil kini tangannya mengusap kepala Nyi Retno Mantili dan kembali mengalirkan hawa sakti sejuk.
Nyi Retno kibaskan tangan yang mengusap kepalanya. "Wiro ayah Kemuning saja tidak pernah memegang kepalaku. Kau yang aku tidak kenal siapa berani-beraninya..."
Datuk Rao tersenyum. "Nyi Retno, maafkan kalau aku yang tua ini telah berlaku lancang. Selama ini aku begitu dekat dengan puterimu Ken Permata. Aku telah menganggap dirinya sebagai cucu sendiri. Dan kau aku anggap sebagai anak. Namun..."
"Orang ditempat ini gila semua rupanya!" Kata Nyi Retno Mantili dengan muka cemberut. "Aku sudah bilang tidak pernah punya anak, punya bayi atau puteri bernama Ken Permata!"
Wiro menggaruk kepala. Datuk Rao masih tersenyum. Keduanya berpaling ke arah batu Tunggul Hitam. Mereka melihat kejadian aneh. Bayi raksasa Ken Permata yang tadi begitu ganas hendak membunuh Wiro kini duduk diam menjelepok di tanah. Sepasang matanya tidak lagi beringas tapi menatap sayu tak berkesip ke arah Nyi Retno Mantili.
"Wiro, apakah kau melihat satu keanehan pada pandangan mata bayi itu...? Dia seperti mengharapkan sesuatu, mendambakan sesuatu..."
"Benar Datuk. Saya dapat merasakan..." jawab Wiro. "Anak itu sepertinya merasa ada getaran batin dalam dirinya. Mungkin Yang Maha Kuasa tengah memberikan satu petunjuk padanya. Mungkinkah bayi itu punya rasa kalau Nyi Retno Mantili adalah ibu kandungnya..."
Datuk Rao terdiam mendengar ucapan Wiro. Dia tidak menyangka si pemuda mempunyai perasaan yang begitu halus hingga menangkap getaran batin antara sang bayi dengan ibunya. Datuk Rao berpaling pada Nyi Retno. "Nyi Retno, kau belum menjawab ceritaku yang mana yang kau katakan dusta."
Nyi Retno Mantili timang-timang boneka kayu beberapa ketika lalu menjawab. "Aku tidak pernah kawin dengan orang bernama Wira Bumi. Aku tidak pernah punya anak bernama Ken Permata. Itu kedustaanmu orang tua. Tapi kau tidak dusta soal pembantuku yang bernama Djaka Tua. Eh, apa kau tahu kalau pembantuku itu sudah mati digantung orang-orang Kerajaan?"
Datuk Rao mengangguk. "Nasibnya malang sekali. Semoga Tuhan memberikan tempat yang paling baik baginya di alam akhirat.”
Nyi Retno memandang berkeliling. Dia tertawa cekikikan ketika melihat bayi raksasa perempuan yang duduk menjelepok di tanah di depan batu Tunggul Hitam. Lalu perempuan ini berkata pada boneka kayu. "Kemuning, kau lihat bayi besar itu. Lucu sekali. Makannya pasti sepuluh bakul! Hik hik hik!" Nyi Retno kemudian berkata pada Wiro. "Aku tidak suka kau membawaku ke sini. Perlu apa? Di mana ini? Aku ingin kembali ke tanah Jawa. Aku ingin menemui Sandaka..."
"Nyi Retno, kau dan Wiro akan segera kembali ke tanah Jawa. Sebelum pergi apakah kau tak ingin memegang atau mengusap kepala bayi raksasa ini?" tanya Datuk Rao pula.
"Ihh... Perlu apa aku mengusap kepalanya. Lihat, giginya besar-besar. Calingnya panjang runcing. Bisa-bisa nanti aku digeragotnya!"
"Bayi ini bayi baik. Dia tidak akan berbuat jahat padamu. Dia sebaik anakmu Kemuning. Karena sebenarnya dia dan Kemuning masih barsaudara." Kata Wiro pula.
"Geblek! Mana mungkin Kemuning bersaudara dengan bayi aneh itu!" kata Nyi Retno Mantili.
"Nyi Retno, tidakkah kau menyadari? Bayi besar itu dari tadi memandangmu. Dia akan sangat bahagia kalau kau mengusap kepalanya..."
"Kalian berdua sama rewelnya. Baiklah aku akan mengusap kepala bayi bercaling itu. Tapi satu kali saja!"
"Satu kalipun tak jadi apa Nyi Retno. Mari kugendong agar kau bisa mengusap kepalanya." Wiro lalu mendukung Nyi Retno Mantili di bahu kanannya. Agak takut-takut dia kemudian membawa perempuan itu ke hadapan bayi raksasa. "Nah, sekarang ulurkan tanganmu. Usap kepalanya..."
Nyi Retno tidak segera melakukan apa yang dikatakan Wiro, sementara Datuk Rao memperhatikan dengan perasaan cemas. Persentuhan lahir merupakan kunci dari persentuhan batin. Dengan kunci itu-lah Datuk Rao akan coba membuka ingatan Nyi Retno kembali. Bayi besar sendiri yang kini benar-benar berubah sikapnya dongakkan kepala, menatap Nyi Retno MantiIi.
Wiro pegang lengan Nyi Retno. "Usap Nyi Retno, usap kepalanya. Sesudah itu kita akan meninggalkan tempat ini...“
Nyi Retno Mantili akhirnya ulurkan tangan kanan. Telapak tangan diletakkan di atas rambut bayi raksasa lalu dia mengusap satu kali. Saat itu juga terjadi satu keanehan. Nyi Retno Mantili terpekik. Wiro dan Datuk Rao keluarkan seruan tertahan. Bayi besar yang menyeramkan itu begitu diusap satu kali kepalanya oleh Nyi Retno Mantili tiba-tiba berubah kembali menjadi bayi sebesar aslinya yakni Ken Permata seusia kurang dari dua tahun. Gigi besar dan taring di dalam mulutnya lenyap! Begitu berubah bayi ini langsung menangis. Dua tangan diulurkan ke arah Nyi Retno Mantili. Nyi Retno bersurut mundur.
"Nyi Retno, bayi itu suka padamu. Dia minta digendong." kata Wiro.
"Aku tak mau menggendongmu! Kau bukan Kemuning! Kau bukan anakku!" Kata Nyi Retno pula.
"Nyi Retno, gendonglah barang sebentar. Sampai dia berhenti menangis. Kelihatannya dia suka padamu, juga suka pada Kemuning..." Berkata Datuk Rao.
"Aku tidak mau. Aku takut Kemuning marah..."
"Tidak, Kemuning tidak akan marah. Malah lihat. Kemuning ingin menciumnya..." Wiro lalu menarik boneka kayu yang dipegang Nyi Retno Mantili dan menempelkan wajah boneka kayu itu di pipi Ken Permata. "Nah, apa kataku! Kemuning tidak marah. Lihat, Kemuning malah tertawa-tawa."
Nyi Retno Mantili tersenyum. "Boneka ini lucu juga. Siapa namanya?" Tanya Nyi Retno.
"Dia bukan boneka. Dia manusia sungguhan. Namanya Ken Permata. Bayi cantik. Milikmu...”
"Milikku?"
"Benar Nyi Retno. Dia milikmu. Apakah kau mau membawanya serta ke tanah Jawa?"
Nyi Retno menggeleng. "Tidak. Nanti merepotkan saja..."
"Dia anak baik. Dia akan jadi teman bermain Kemuning. Sekarang gendonglah. Sebentar saja…"
"Dia cengeng! Dari tadi menangis terus."
"Itu karena dia kepingin kau gendong, Nyi Retno." kata Datuk Rao.
Wiro gendong bayi kecil Ken Permata lalu diulurkan pada Nyi Retno Mantili. Nyi Retno diam saja. Tapi matanya menatap wajah bayi cantik yang menangis itu. Sepasang mata mereka saling beradu pandang. Sepasang mata ibu dan anak. Nyi Retno sisipkan boneka kayu ke punggung pakaiannya. Lalu perlahan-lahan perempuan ini ulurkan tangan.
"Aku tak mau menggendong lama-lama. Aku akan menggendong sebentar saja." Ucap Nyi Retno Mantili.
Begitu si bayi berada dalam dukungan Nyi Retno Mantili, satu cahaya hitam melesat keluar dari tubuh Ken Permata.
"Roh titisan meninggalkan tubuh bayi itu..." bisik Datuk Rao pada Wiro. "Kekuatan kasih sayang sang Ibu memusnahkan semua kejahatan yang ada dalam tubuh bayi itu..."
"Tapi apakah Nyi Retno bisa kembali waras. Bisa menyadari kalau Ken Permata adalah anak kandungnya?"
"Kita tunggu saja. Aku merasa sesuatu akan terjadi…" jawab Datuk Rao Basaluang Ameh. "Bantu aku berdoa pada Yang Maha Kuasa."
Wiro dan Datuk Rao memperhatikan. Nyi Retno Mantili yang tadi hanya mau mendukung si bayi sebentar saja kini ternyata masih terus mendekapnya sementara si bayi memeluknya sambil menangis. Dua jantung saling balas berdetak. Dua aliran darah saling menggetarkan rasa. Ketika Nyi Retno Mantili mengangkat kepalanya, Wiro dan Datuk Rao melihat bagaimana sepasang mata bening perempuan cantik bertubuh mungil itu kini tampak berkaca-kaca.
"Nyi Retno, apakah kau sudah puas menggendongnya? Kalau sudah serahkan kembali bayi itu padaku." Kata Datuk Rao pula yang sebenarnya ingin menjajagi hati dan perasaan Nyi Retno Mantili.
"Aku masih ingin menggendongnya. Dia anak baik. Hatiku merasa tenteram saat memeluknya. Siapa nama bayi ini...?"
"Ken Permata," jawab Wiro.
"Bayi ini..." Nyi Retno usap wajah si bayi yang basah oleh air mata. "Bayi ini..." Nyi Retno memandang ke arah Wiro. "Katamu dia bayiku. Anakku. Kau…kau tidak dusta?"
"Tidak Nyi Retno, aku tidak berdusta."
Nyi Retno berpaling pada Datuk Rao. Orang tua ini cepat berkata. "Aku juga tidak berdusta. Bayi bernama Ken Permata itu adalah anak yang lahir dari rahimmu dan pernah lenyap sewaktu diselamatkan oleh pem-bantumu..."
"Nyi Retno, coba kau perhatikan.” Kata Wiro pula. "Cantiknya bayi itu sama dengan cantiknya wajahmu. Hidung, alis serta bibirnya juga sama denganmu..."
Nyi Retno terdiam. Diam memandang ke arah kejauhan seperti coba merenung. Perlahan-lahan ingatan masa silam sedikit demi sedikit muncul membayang dalam benaknya. Namun memang tidak mudah mengembalikan kewarasan seseorang yang pernah hilang dan telah menderita selama hampir dua tahun hanya dengan cerita walau saat itu dia melihat sendiri sang bayi.
"Lalu Kemuning?"
Wiro menggaruk kepala. Saling pandang dengan Datuk Rao. "Kemuning saudara Ken Permata. Keduanya sama-sama anakmu, Nyi Retno.” Datuk Rao yang bicara.
"Jadi aku punya dua anak?"
"Betul..." jawab Wiro.
"Dua-duanya perempuan?"
"Betul.." Menyahuti sang Datuk.
"Dan kau ayahnya juga? Ayah Kemuning dan ayah Ken Permata?"
Wiro menggaruk kepala. "Benar, aku ayah mereka..."
"Aku punya dua anak... Aku gembira..." Nyi Retno tertawa sebentar lalu menangis. Wajahnya berubah tidak seperti biasa. Pandangan matanya juga kini lain. Suara dan nada ucapannya jauh berbeda.
"Ya Allah, turunkan rakhmatmu. Beri kesembuhan pada perempuan ini," ucap Datuk Rao dalam hati sambil mengucapkan istigfar berulang kali.
"Wiro, aku mau membawa anak-anakku pulang ke tanah Jawa. Aku, aku juga ingin melihat Sandaka. Akan aku katakan padanya kalau aku sebenarnya punya dua anak. Ken Permata dan Kemuning. Dulu dia hanya tahu kalau aku cuma punya satu orang anak. Kemuning ini..."
Nyi Retno lalu mengambil boneka kayu yang disisipkannya di punggung pakaian. Lama dia menatap boneka kayu itu sementara air mata jatuh bercucuran. Boneka kayu kemudian dicium berulang kali.
"Wiro, Nyi Retno belum sembuh sempurna. Tapi wajah, sikap serta bicaranya menunjukkan sudah jauh berubah. Kau harus segera membawanya ke tanah Jawa. Bawa dia pulang ke tempat kediamannya. Jika dia melihat semua benda atau tempat, apa saja yang ada di masa lalunya, kiranya itu akan membawa kesembuhan yang lebih cepat dalam dirinya."
"Saya akan melakukan apa yang Datuk katakan. Bisakah saya membawa mereka sekarang juga? Saya butuh bantuan sahabat Datuk Rao Bamato Hijau..."
Baru saja Wire mengucapkan kata-kata itu harimau putih bermata hijau segera mendatangi lalu rundukkan tubuh di depan Wiro dan Nyi Retno Mantili.
Gubuk tua dalam rimba belantara tak jauh dari jurang batu pualam. Manusia Paku Sandaka terbaring di lantai gubuk, ditemani Denok Tuba Biru.
"Aku mendengar suara sesuatu melayang di udara. Mendatangi ke arah gubuk ini..." kata Sandaka. Baru saja dia berucap tiba-tiba ada sahutan.
"Sahabat, kami memang sudah sampai di sini!"
Lalu seekor harimau putih besar muncul, menggereng perlahan di depan gubuk, ditunggangi Wiro, Nyi Retno Mantili, Ken Permata dan boneka kayu Kemuning. Tentu saja Sandaka dan si gembrot Denok Tuba Biru merasa gembira. Ternyata Wiro dan Nyi Retno hanya pergi kurang dari dua hari.
"Sahabat berdua, aku gembira bisa bertemu lagi dengan kalian. Bagaimana keadaan kalian?”
Sandaka dan Denok Tuba Biru terheran-heran. Ada perubahan pada diri perempuan mungil ini.
"Sakit pada punggungku sudah jauh berkurang. Jika dipaksakan rasanya aku sudah bisa duduk..." Jawab Sandaka.
"Bayi cantik ini, apakah dia yang bernama Ken Permata?" tanya Denok Tuba Biru sambil mengusap pipi merah si bayi.
Yang menjawab Nyi Retno sendiri. "Benar, dia anakku. Sekarang aku punya dua anak. Ken Permata dan Kemuning."
Sandaka tertawa. Berpaling ke arah Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mendekat. Lalu Sandaka berbisik. "Apakah Nyi Retno mengalami kesembuhan setelah bertemu bayinya?"
Wiro mengangguk dan diam-diam merasa sedih karena dengan kesembuhan Nyi Retno berarti paku-paku yang ada di kepala dan tubuh Sandaka tidak dapat dilenyapkan.
"Sekarang otaknya sudah waras, tidak gila lagi?" Sandaka bertanya lagi ingin meyakinkan.
"Benar," jawab Wiro.
"Aku bersyukur..."
"Sandaka walau aku gembira ada kesembuhan pada diri Nyi Retno Mantili, tapi aku sedih mengingat keadaan dirimu. Berarti syarat untuk melenyapkan tiga puluh paku di tubuhnya tidak mungkin dilaksanakan. Tapi biar semua kita serahkan pada Yang Kuasa Gusti Allah."
"Aku juga sudah pasrah. Ini semua sudah kehendak Yang Kuasa. Sudah takdir..."
"Tapi bagaimana kalau aku bicara dulu dengan Nyi Retno Mantili. Lalu menanyakan padanya apakah dia masih bersedia nikah denganmu?"
Sandaka tertawa. "Waktu tidak waras saja dia tidak mau nikah denganku. Apa lagi setelah waras, Kau ini mau membanyol yang tidak-tidak saja..."
"Kau tunggu saja di sini. Aku akan menemuinya. Aku akan bicara dulu dengannya. Kau berdoa saja di sini...”
"Kalau ada Malaikat mendengar ucapanmu, Malaikat pasti tertawa." Kata Sandaka pula.
"Ssttt. Jangan sebut-sebut Malaikat. Setahuku Malaikat itu tidak pernah tertawa. Tapi mampu memberikan rakhmat pada manusia. Nah, kau tunggu di sini..."
Wiro lalu membawa Nyi Retno Mantili keluar gubuk. Keduanya bicara cukup lama. Ketika akhirnya Wiro masuk kembali ke dalam gubuk bersama Nyi Retno Sandaka berusaha tenang walau hatinya sebenarnya sangat cemas. Apalagi dilihatnya Wiro berulang kali menggelengkan kepala.
Sesaat kemudian Wiro, Nyi Retno Mantili yang menggendong Ken Permata dan membawa boneka kayu, serta Tuba Biru sudah duduk di samping San-daka. Wiro mengusap wajah berulang kali, menggaruk kepala tiada henti, menambah kecemasan yang ada dalam diri Sandaka.
"Sahabatku," Wiro mulai bicara. "Aku hanya melakukan apa yang aku bisa. Selebih dari itu semuanya berada di tangan Gusti Allah."
Sandaka merasa benar-benar putus harapan. Dia menatap ke atap gubuk. Berusaha mengendalikan perasaan hingga tubuhnya bergetar dan dadanya turun naik. "Aku mengerti Wiro, kau sahabat baik. Aku sangat berterima kasih padamu. Manusia tidak bisa menolak kehendak Yang Kuasa." Berucap Sandaka dengan suara bergetar.
"Benar sahabatku. Manusia tidak bisa menolak kehendak Yang Kuasa." Jawab Wiro. Lalu dia berpaling pada Nyi Retno Mantili. "Nyi Retno, sampaikan pada sahabatku Sandaka apa yang hendak kau katakan..."
Nyi Retno Mantili usap kepala boneka kayu lalu membelai rambut Ken Permata. Matanya kemudian menatap ke arah Sandaka. Tapi mulutnya tidak mengeluarkan ucapan apa-apa.
Wiro jadi garuk kepala. "Nyi Retno. Kau sudah berjanji tadi. Sekarang ka-takan saja..."
Setelah masih diam beberapa lama akhirnya Nyi Retno Mantili berkata. "Sandaka, aku bersedia dinikahkan dan menjadi istrimu."
Kejut Manusia Paku Sandaka Arto Gampito bukan alang kepalang. Si gembrot Denok Tuba Biru terperangah. Saking kaget dan juga gembiranya Sandaka tiba-tiba berteriak keras. Lupa akan sakit di punggungnya pemuda ini melompat ke atas hingga menjebol atap gubuk. Ketika dia menjejakkan kaki di halaman, tiga puluh paku yang menancap di kepala, wajah serta sekujur tubuhnya telah lenyap! Kuasa Tuhan memang di atas segala-galanya. Walau Nyi Retno Mantili kini sudah berubah menjadi orang waras namun keikhlasannya untuk bersedia menjadi istri Sandaka membuat pemuda ini tetap mendapat kesembuhan.
Perlahan-lahan Sandaka jatuhkan diri berlutut lalu bersujud di tanah. Mulutnya berucap. "Terima kasih Gusti Allah. Terima kasih atas pertolonganMU hingga saya mendapatkan kesembuhan. Saya berjanji akan mengasihi dan menjaga baik-baik istri saya, Nyi Retno Mantili. Saya berjanji akan menyayangi dua anaknya, Ken Permata dan boneka kayu Kemuning..."
Pada saat Sandaka jatuhkan diri berlutut, Nyi Retno Mantili cepat-cepat keluar dari dalam gubuk yang atapnya sudah jebol. Wiro segera mengikuti. Tapi Denok Tuba Biru cepat memegang tangannya.
"Wiro, sekarang giliranku untuk mengatakan bahwa aku bersedia kau nikahi dan menjadi istrimu..."
"Apa?!" Dua mata Pendekar 212 mendelik besar.
Si gembrot Denok Tuba Biru tertawa gelak-gelak lalu enak saja merangkulkan dua tangannya ke bahu sang pendekar hingga bulu ketiaknya yang lebat bersembulan menyentuh leher Wiro, membuat murid Sinto Gendeng merinding kegelian!
Sudah pernahkah anda membaca Satria Lonceng Dewa - Dia dilahirkan dari ayah seorang Pangeran Bunga Bangkai dan ibu yang menyerupai Dewi Loro Jonggrang. Tetapi anehnya mereka sebagai suami isteri yang tidak pernah bertemu secara nyata. Bagaimana ini dapat terjadi??? Silakan baca kisah selengkapnya dalam serial SATRIA LONCENG DEWA karya Bastian Tito
Dalam waktu beberapa bulan saja keadaan Ken Permata tidak beda dengan seorang anak yang telah berusia lima tahun. Bicaranya lancar. Ucapan-ucapan cerdik seperti seorang dewasa. Apa yang terjadi dengan anak itu tidak lepas dari perhatian Mande Saleha, perempuan yang menjaga Ken Permata sejak masih orok.
Suatu hari ketika anak perempuan itu bermain-main di luar ditemani harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau, Mande Saleha menemui Datuk Rao Basaluang Ameh di dalam goa batu pualam. Sebenarnya dia ingin membawa serta Baiduri, Ibu Susu Ken Permata. Tapi perempuan separuh baya ini akhirnya memutuskan untuk datang seorang diri saja. Ketika dia masuk ke dalam goa batu pualam, sang Datuk tengah membaca khidmat sebuah kitab bertuliskan huruf Arab yang beberapa hari lalu didapatnya dari seorang sahabat, seorang pedagang bangsa Parsi.
Setelah menunggu sampai Datuk Rao menyelesai-kan bacaan dan menutup kitab, baru Mande Saleha berani keluarkan ucapan. "Datuk, saya datang mengganggu untuk membicarakan hal diri anak awak Ken Permata. Sebenarnya saya sudah sejak lama ingin menemui dan bicara dengan Datuk. Namun saya takut Datuk kurang berkenan di hati…"
Datuk Rao Basaluang Ameh beberapa ketika menatap perempuan dihadapannya itu dengan sepasang matanya yang kelabu ke biru-biruan. "Mande Saleha, aku sudah maklum. Kegelisahanmu kegelisahanku juga. Kekawatiranmu kekawatiranku juga. Langsung saja, apa yang hendak kau sampaikan?”
"Datuk maafkan saya kalau seolah berlaku lebih prihatin dari Datuk. Saya kira Datuk melihat sendiri perubahan yang terjadi atas keadaan diri Ken Permata. Usianya belum dua tahun namun keadaannya menyamai anak perempuan yang telah berusia lima-enam tahun. Dia tumbuh dewasa lebih cepat dari kodrat Allah dan kemauan alam. Tapi bagi saya bukan perubahan keadaan bentuk badan itu saja yang mengawatirkan. Yang saya cemaskan adalah perubahan sifat dan bicaranya. Sekarang dia lebih suka tidur sendiri daripada bersama saya. Dia menolak kalau saya rangkul apa lagi saya dukung. Dia lebih suka tidur di atas tikar di lantai rumah gadang daripada bergolek satu ketiduran dengan saya. Kadang-kadang, kalau saya tersentak bangun tengah malam, saya dapati anak itu tidak ada di dalam kamar. Ketika saya cari ternyata dia berada di halaman samping, duduk atau membaringkan diri di atas lesung. Atau duduk di tangga rumah kecil tempat menyimpan padi. Sesekali sebelum saya menemuinya, saya coba mengintai. Pernah kedapatan oleh saya mulutnya bergerak-gerak. Dia seperti bicara dengan seseorang. Tapi suaranya tidak terdengar dan orang yang diajaknya bicara tidak kelihatan. Saya benar-benar cemas Datuk. Saya kawatir penitisan yang terjadi atas Ken Permata telah merusak pikiran anak itu.”
Datuk Rao Basaluang Ameh terdiam baberapa jurus. Setelah mengusap wajah yang barsih kelimis orang tua ini berkata. “Sejak beberapa waktu belakangan ini ada roh yang berusaha mendekati anak itu."
"Apakah itu tidak berbahaya Datuk?"
“Berbahaya, sangat berbahaya. Itu sebabnya aku telah mamagari tempat kediaman kita ini sampai seputar Danau Maninjau dangan Ilmu Selusin Jaring Penolak Bala. Selain itu setiap malam aku sembanyang Tahajjud, aku memohon perlindungan atas diri anak itu dari Yang Maha Kuasa.”
“Saya tahu, Ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu pastilah sangat hebat. Mudah-mudahan iImu itu bisa melindungi Ken Permata. Tidak sampai terjadi seperti dahulu. Ketika dia diculik orang, dilarikan ke tanah Jawa. Datuk sampai-sampai meminta pertolongan para Datuk sahabat dari berbagai penjuru pulau Andalas..."
"Selain itu pada Datuk Rao Bamato Hijau telah aku pesankan agar menjaga dan mengawasi Ken Permata baik siang apa lagi di waktu malam." Ucap Datuk Rao Basaluang Ameh.
Apa yang dikatakan dan dikawatirkan perempuan dihadapannya memang cukup beralasan. Beberapa waktu lalu Ken Permata berhasil dilarikan Wira Bumi bersama gurunya Nyai Tumbal Jiwo dengan cara menyamar sebagai harimau putih peliharaan sang Datuk dan suami Baiduri.
"Apa masih ada hal lain yang hendak kau katakan atau masih kau cemaskan Mande Saleha?"
"Terus terang Datuk, rasa cemas saya memang tidak berkeputusan. Bagi saya Ken Permata sudah sebagai anak darah daging saya sendiri. Datuk, saya ingin memberi tahu. Ken Permata beberapa kali entah sadar entah tidak berkata pada saya. Bahwa dia ingin meninggalkan Danau Maninjau namun hatinya masih terkait sayang pada rumah gadang dan Datuk, pada saya dan pada ibu susunya. Ucapannya seperti orang dewasa. Bukan seperti ucapan anak-anak, apalagi ucapan seorang bayi berusia belum dua tahun. Katanya lagi, walau dia belum mau pergi, namun kalau orang yang menjemput sudah datang maka dia terpaksa akan pergi juga..."
Raut muka Datuk Rao Basaluang Ameh berubah. "Mande Saleha, apakah anak itu mengatakan siapa yang akan menjemputnya?"
Mande Saleha menggeleng. Lalu berkata. "Saya pernah bertanya siapa orang itu atau bagaimana ciri-cirinya, lelaki atau perempuan. Tapi Ken Permata menjawab, “Nantilah Mande, nanti akan saya ceritakan pada Mande.” Selain itu Ken Permata juga menceritakan. Orang itu acap kali menemuinya pada malam hari ketika dia antara jaga dan tidur. Orang itu banyak menceritakan tentang dirinya, siapa ibunya, siapa ayahnya. Bahwa ayahnya telah menemui kematian. Dia juga diberi tahu siapa yang telah membunuh ayahnya."
"Jika cerita anak itu memang benar, berarti satu malapetaka besar akan terjadi. Dia akan mencari pembunuh ayahnya. Orang yang membunuhnya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng..." Datuk Rao Basaluang Ameh gelengkan kepala sambil mengucap menyebut nama Tuhan berulang kali. "Saleha, kau bisa menduga siapa orang itu?" tanya Datuk kemudian.
"Kalau menduga saya bisa saja tapi tak berani mengatakan. Mungkin Datuk lebih bisa menerka."
"Kau ingat kejadian yang kau ceritakan padaku beberapa waktu lalu? Sebelum penitisan gaib terjadi atas diri Ken Permata?"
"Saya ingat Datuk."
"Ada seorang perempuan tua bertubuh tinggi berambut putih. Masuk ke dalam kamar tempatmu dan Ken Permata tidur. Dia mengenakan pakaian panjang kuning berbunga-bunga. Ada seperangkat sunting pendek di kepalanya. Dialah orang yang dimaksud Ken Permata. (Baca Janda Pulau Cingkuk) Yang kelak akan datang menjemputnya. Namun bisa juga yang muncul adalah roh yang menitis ke dalam tubuhnya. Bekas Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum Sarti. Tapi Saleha, hal lain bisa saja terjadi..."
"Hal lain bagaimana maksud Datuk?" tanya Mande Saleha pula.
"Bisa saja anak itu pergi sendirian, meninggalkan tempat ini, mengikuti dorongan gaib tanpa menunggu kedatangan perempuan tua tadi."
"Saya benar-benar takut kalau hal itu terjadi. Saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, meminta perlindungan atas diri anak itu. Dia sebenarnya tidak tahu apa-apa. Ada kekuatan gaib di luar dirinya yang mengatur jalan nasibnya."
"Itulah yang dinamakan takdir. Manusia masih bisa merubah dan melawan nasib. Tapi tidak ada manusia yang bisa melawan takdir." Ucap Datuk Rao Basaluang Ameh yang saat itu pula teringat pada Laras Parantili, kekasih di masa mudanya yang telah bertindak sebagai pelindung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata.
"Mungkin... mungkin kita harus cepat-cepat mempertemukan anak itu dengan ibu kandungnya Datuk. Kita tidak bisa hanya menunggu sampai Pendekar 212 menjemputnya ke sini sebagaimana yang Datuk inginkan. Apalagi kenyataannya dia telah mengetahui siapa pembunuh ayahnya."
"Kau mungkin betul Saleha. Mungkin itu yang harus kita lakukan." Kata Datuk Rao pula. "Panggil anak itu. Bawa dia ke sini. Kita bisa bicara mengajuk hatinya..."
"Akan saya panggil dan bawa dia ke sini Datuk." Kata Mande Saleha lalu cepat-cepat keluar dari goa. Tak lama kemudian perempuan ini muncul kembali dengan wajah pucat dan nafas mengengah.
“Ada apa Saleha?" tanya sang Datuk heran tak bersyak wasangka.
"Ken Permata! Anak itu ada di pucuk pohon Kayu Manis besar di tepi danau. Harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau tidak bisa barbuat apa-apa. Hanya barputar-putar dan menggereng di sakitar bawah pohon. Dia menunggu, kawatir Ken Permata tergelincir jatuh.”
“Ken permata di pucuk pohon Kayu Manis! Bagaimana mungkin?" ujar Datuk Rao lalu dengan serta merta melompat keluar goa diikuti Mande Salaha.
Ketika Datuk Rao Basaluang Ameh sampai di tepi Danau Maninjau sebelah timur, orang tua ini berhenti berlari, tegak terpana penuh perasaan tak percaya. Seperti yang dikatakan Mande Saleha, harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau melangkah memutari pohon kayu manis besar. Sekali-sekali kepalanya mendongak ke atas pohon. Di atas pohon ini, pada pucuk yang paling ujung, di satu dahan yang tidak seberapa besar, sambil berpegangan ke ranting pohon, berdiri Ken Permata, anak perempuan yang belum berusia dua tahun tapi memiliki bentuk badan seukuran anak berumur lima tahun. Sambil menggoyang-goyang kaki dan mengayun-ayunkan tubuh, anak ini bernyanyi-nyanyi tiada henti. Datuk Rao mengucap berulang kali.
"Allah Maha Besar! Aneh! Dia memiliki ilmu meringankan tubuh. Dia mempunyai ilmu kesaktian. Ilmu titisan!"
Mande Saleha berteriak cemas berulang kali, memanggil-manggil anak perempuan itu, Datuk Rao berseru. "Cucu Datuk Ken Permata! Kau gembira sekali hari ini. Sampai-sampai menyanyi di atas pohon. Turunlah, menyanyi di dekatku agar Datuk bisa lebih jelas mendengar bagusnya suaramu...!
Tanpa menoleh ke bawah dari atas pohon Ken Permata menyahuti. "Datuk di sini lebih enak. Udaranya nyaman, pemandangan indah. Mengapa Datuk tidak naik saja ke atas pohon? Jangan lupa membawa serta Mande Saleha. Kita bernyanyi bersama-sama!"
"Celaka Datuk. Kalau kakinya sampai terpeleset tergerajai, anak itu akan jatuh ke tanah. Tolong dia Datuk. Cepat diturunkan..."
"Tenang Saleha, aku akan menurunkannya..." Kata Datuk Rao pula.
Sekali menjejak kaki kanan ke tanah, orang tua sakti ini melesat ke atas pohon kayu manis. Begitu sampai di atas cabang tempat Ken Permata berdiri Datuk Rao cepat ulurkan tangan untuk menangkap pinggang si anak. Tapi...
"Wuutt!" Dia hanya menangkap angin! Karena sesaat sebelum Datuk Rao mengulurkan tangan Ken Permata lebih dulu meluncurkan diri ke bawah, tertawa gelak-gelak lalu melompat dari satu cabang ke cabang lain. Tak lama kemudian terdengar suara anak itu di bawah pohon.
"Datuk! Saya sudah turun ke bawah! Habis Datuk lama sekali saya tunggu tidak mau naik-naik, tidak mau menyanyi bersama saya di atas pohon!"
Datuk Rao mengucap kaget. Memandang ke bawah memang dilihatnya Ken Permata sudah berada di bawah pohon. Berdiri di samping Mande Saleha. Anak ini tertawa-tawa girang sambil mengelus tengkuk harimau putih Datuk Rao Bamato Hijau. Datuk Rao Basaluang Ameh cepat melayang turun ke tanah.
"Cucu Datuk hebat sekali!" memuji Datuk Rao Basaluang Ameh sambil membelai kepala Ken Permata. "Cucuku, ceritakan pada kakekmu ini bagaimana kau bisa naik dan turun lagi dari pohon besar itu."
"Ada orang yang membawa saya Kek," jawab Ken Permata.
Mande Saleha merasa kuduknya dingin merinding. Perempuan ini memandang berkeliling lalu mendongak ke atas pohon besar. Lalu dia berbisik pada Datuk. "Hantu Haru-haru. Pasti mahluk itu hendak menculik Ken Permata."
Hantu Haru-haru adalah sejenis mahluk halus yang pada masa itu banyak gentayangan di Pulau Andalas, suka menculik anak kecil dan membawanya ke atas pohon tinggi antara lain pohon kelapa.
"Bukan, bukan Hantu Haru-haru... Ada mahluk lain," jawab Datuk Rao Basaluang Ameh lalu tidak menunggu lebih lama segera mendukung Ken Permata, setengah berlari membawanya ke goa batu pualam.
Begitu sampai di dalam goa Datuk Rao Basaluang Ameh bertanya pada Ken Permata. "Cucu Datuk... Orang yang membawamu naik ke atas pohon tadi, apakah dia seorang lelaki atau seorang perempuan?"
"Perempuan Kek. Orangnya cantik rancak..."
Datuk Rao Basaluang Ameh tercengang mendengar jawaban Ken Permata. “Otak dan jalan pikirannya bukan seperti anak-anak lagi. Dia sudah lebih dewasa dari usia sebenarnya. Pasti roh perempuan yang pernah menjadi Ratu Laut Utara, Nyi Harum Sarti…" Datuk menatap ke luar goa. Lalu mulutnya berucap perlahan. Ada nada kekecewaan pada suaranya. “Laras Parantili, aku sungguh sedih kau sampai mau menjadi pelindung terjadinya penitisan atas diri anak ini. Apakah kau tak bisa menduga kalau kelak di kemudian hari akan timbul bencana besar akibat penitisan roh seorang manusia berhati jahat ke dalam diri seorang anak perempuan yang masih bersih dan suci?"
********************
BAB DUA
Kita telah mengetahui apa yang telah terjadi dengan Ken Permata. Sekarang mari kita ikuti perjalanan sang ibu yakni Nyi Retno Mantili setelah dibawa oleh Manusia Paku Sandaka Arto Gampito. Dalam serial berjudul Perjodohan Berdarah diceritakan setelah menyelamatkan Nyi Retno Mantili dari Serikat Tiga Momok yang hendak merobek tubuh dan menyantap hati, ginjal serta jantungnya. Manusia Paku berhasil membujuk dan membawa perempuan malang itu ketempat kediaman gurunya di satu goa yang terletak pada sisi barat jurang batu pualam.
Di dalam serial Wiro Sableng berjudul Dendam Manusia Paku diceritakan bagaimana setelah sekian lama dijadikan budak nafsu, dengan mempergunakan Kapak Geni 212 milik Wiro, Manusia Paku Sandaka Arto Gampito pada akhirnya berhasil membunuh Dewi Ular. Dalam keadaan tubuh penuh luka bergelimang darah Dewi Ular ditendang masuk ke dalam sebuah jurang batu mengandung pualam. Namun entah apa yang ada di benak Manusia Paku, sesaat setelah Dewi Ular jatuh ke dalam jurang diapun ikut pula menyusul menghambur diri terjun ke dalam jurang yang sama.
Rupanya benar ujar-ujar yang mengatakan sebelum ajal berpantang mati. Ini yang terjadi dengan Sandaka. Seorang sakti yang diam di dalam sebuah goa di dinding barat jurang batu pualam menyelamatkan pemuda itu. Setelah mendengar penuturan Sandaka mengenai riwayat dirinya, si orang tua sakti menaruh hiba lalu mengambilnya menjadi murid, diajak tinggal bersama di dalam goa.
Sang guru yang dalam rimba persilatan dikenal dengan nama Datuk Sipatoka kabarnya berasal dari Pulau Andalas sebelah Utara. Setelah puluhan tahun menghuni goa di jurang batu pualam itu dia kemudian dikenal juga dengan nama Datuk Batu Pualam. Sebagai orang sakti Datuk Sipatoka mengetahui bahwa di dasar jurang di mana terdapat satu kawah sempit tersimpan sepasang keris sakti tak bersarung yang diduga milik Kerajaan, bernama Keris Nagasona.
Konon salah satu kesaktian keris yang satu jantan satu betina ini adalah mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Karenanya Datuk Sipatoka menaruh keyakinan bahwa sepasang senjata sakti itu juga mampu melenyapkan puluhan baja putih yang me-nancap di tubuh muridnya. Hal itu diberitahukannya pada Sandaka.
Namun tidak mudah untuk mendapatkan sepasang keris sakti tersebut. Sang Datuk menyirap berita yang berasal dari sebuah kitab bernama Kitab Seribu Petunjuk Kuna dan memberitahu pada muridnya bahwa pada malam Sekatan yang akan datang, didahului dangan tanda munculnya Bintang Kalimukus di langit maka saat itulah sapasang keris sakti akan keluar dari tempat pertapaannya selama belasan tahun di dasar kawah jurang batu pualam. Sepasang keris itu sendiri konon telah berusia dua ratus tahun.
Bagaimana dengan Dewi Ular? Apakah benar-benar menemui ajal pada saat dirinya terpental ke dalam jurang batu pualam akibat tendangan Sandaka? Dalam keadaan tubuh penuh luka bekas bacokan kapak sakti bergelimang darah dan siap meregang nyawa Dewi Ular melayang jatuh ke dalam jurang. Tidak disangka-sangka dari dalam sebuah goa di dinding timur muncul seorang perempuan sakti menyelematkannya.
Perempuan bertubuh gemuk ini bernama Kunti Rao, merupakan musuh bebuyutan Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam yang tinggal dalam goa di dinding barat jurang. Dewi Ular bukan saja diselamatkan tapi juga diambil jadi murid. Namun sang guru bernasib buruk. Dewi Ular yang culas secara keji kemudian membunuh Kunti Rao mempergunakan paku emas yang telah berubah hitam yang ditusukkan ke pusarnya oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika di Kotaraja tengah berlangsung perayaan Sekaten, pada malam harinya di langit di atas jurang benar-benar muncul, Bintang Kalimukus. Di sekitar mulut jurang batu pualam saat itu telah berkumpul serombongan tokoh dari Keraton di bawah pimpinan Pangeran Ipong Nalakudra. Pangeran ini telah sekian lama menderita menyakit lumpuh. Dia percaya sepasang keris sakti Nagasona mampu memberi kesembuhan pada penyakitnya. Itu sebabnya bersama pengiringnya yang terdiri dari tokoh-tokoh silat Kerajaan dia mendatangi jurang batu pualam untuk mendapatkan dua keris sakti.
Ternyata yang datang ke tempat itu bukan cuma rombongan dari Keraton, tapi juga Ratu Ular bersama sang murid, Dewi Ular yang telah lebih dulu berada di tempat itu. Lalu tidak terduga datang pula tokoh sakti utama rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Si Raja Penidur. Tokoh yang jarang muncul ini dan sepanjang tahun boleh dikatakan selalu tidur, sekali memperlihatkan diri maka ini merupakan pertanda bahwa satu peristiwa besar akan terjadi di tempat itu.
Sementara itu Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Anggini murid Dewa Tuak juga telah berada di sekitar jurang batu pualam. Sepasang pendekar muda mudi ini dicurigai oleh Pangeran Ipong dan para pengikutnya sebagai hendak merampas keris Nagasona. Padahal keduanya tidak tahu-menahu keberadaan senjata sakti itu. Mereka datang ke jurang batu pualam justru karena mencurigai bahwa Dewi Ular sebenarnya masih hidup sambil mencari tahu apa yang terjadi dengan Manusia Paku Sandaka.
Ketika malam itu akhirnya Bintang Kalimukus muncul di langit, di dasar jurang dua keris sakti Nagasona mencuat keluar dari dalam kawah dan para tokoh rimba persilatan berkelahi hebat untuk mendapatkan. Ternyata yang beruntung adalah Ratu Ular. Begitu dia berhasil menangkap sepasang keris sakti dengan cepat Ratu Ular sapukan dua keris ke tubuh muridnya hingga tubuh Dewi Ular yang tadinya penuh cacat luka bekas hantaman Kapak Naga Geni 212 sembuh dengan seketika. Kekuatan, tenaga dalam serta kesaktiannya pulih.
Dengan mengandalkan dua keris sakti Ratu Ular kemudian berusaha menghabisi semua tokoh silat yang ada di tempat itu. Dia nyaris hampir membunuh Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam. Ketika dia mengejar dan hendak menghabisi Manusia Paku Sandaka Pendekar 212 Wiro Sableng segera masuk ke dalam kancah pertarungan dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan. Ternyata kapak mustika sakti tidak mampu menghadapi sepasang keris pusaka. Wiro terpental, kapak sakti lepas dari pegangannya.
Sesaat lagi Ratu Ular hendak melancarkan serangan yang mematikan tiba-tiba Si Raja Penidur jatuhkan diri di dasar jurang tapi dalam keadaan mata terpejam mulut mengorok alias tidur lelap! Di mulutnya masih terselip pipa berasap! Enak saja dia menggolekkan diri di atas satu batu besar. Selagi semua orang terkesiap melihat kemunculan tokoh utama rimba persilatan yang berperilaku aneh ini, Wiro cepat mengambil Kapak Naga Geni 212 yang tercampak di batu jurang.
Melihat kemunculan Si Raja Penidur, apa lagi ketika Wiro membangunkan tokoh rimba persilatan yang memiliki kesaktian luar biasa ini, Ratu Ular tampak gelisah. Dia segera membisiki Dewi Ular untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun ketika guru dan murid bersiap kabur, tahu-tahu Si Raja Penidur sudah menghadang. Setelah hembuskan asap pipa dan menguap lebar Si Raja Penidur menegur.
"Untari, kau masih saja berkelakuan macam-macam. Apa kekecewaan masa muda masih menghantui dirimu?"
Semua orang yang ada di atas permukaan kawah di dalam jurang batu pualam terheran-heran mendengar kata-kata si gemuk, tapi tak ada yang berani bertanya. Siapa yang bernama Untari itu? Ratu Ular? Lalu mereka melihat perubahan pada wajah Ratu Ular. Sikapnya kini menunjukkan rasa gelisah kalau tidak mau dikatakan takut. Takut pada siapa?
"Raja Penidur," tiba-tiba Ratu Ular berucap. "Urusan masa lalu tidak perlu diungkit-ungkit..."
"Ah! Jadi dialah yang bernama Untari! Sang Ratu Ular!" bisik Pendekar 212 Wiro Sableng pada Anggini.
"Kalau begitu katamu, baiklah. Kau boleh pergi. Tapi ada dua hal yang harus kau tinggalkan,” kata Si Raja Penidur.
"Hemmm, dua hal apakah itu?" tanya Ratu Ular.
Si Raja Penidur menyedot pipa dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke udara hingga tempat itu dipenuhi bau tembakau yang tidak sedap. Setelah menguap dan mengucak kedua matanya baru dia menjawab.
"Pertama serahkan padaku sepasang keris Nagasona. Dua senjata mustika sakti itu bukan milikmu."
"Lalu apakah dua keris ini milikmu?" tukas Ratu Ular dengan wajah sunggingkan seringai sinis.
"Memang jelas bukan milikku. Aku hanya jadi perantara untuk mengembalikan pada pemiliknya. Sebentar lagi utusan pemilik akan datang untuk mengambil..."
Ratu Ular tertawa panjang. "Ceritamu enak sekali didengarnya. Rupanya kau sekarang telah jadi seorang perantara. Bagiku seorang perantara tidak lebih dari seorang kacung."
Si Raja Penidur tenang saja mendengar dirinya dikatakan sebagai kacung. Setelah meniup pipa dalam-dalam dan menghembuskan asap ke udara dia menjawab. "Aku hanya memberi tahu. Aku tidak bicara dusta. Tidak pernah..."
"Kecuali terhadapku?" Ratu Ular cepat potong ucapan Si Raja Penidur.
Si Raja Penidur sesaat berubah parasnya lalu terkekeh perlahan. "Kau tadi mengatakan urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit. Menurutku ini adalah penyelesaian yang paling baik."
"Kau belum mengatakan hal yang kedua." Ratu Ular alihkan pembicaraan.
"Hal kedua yang harus kau tinggalkan di tempat ini adalah perempuan muda berjuluk Dewi Ular itu...”
Sepasang alis Ratu Ular berjingkat. Dua bola mata membesar. "Apa urusanmu dengan diri muridku? Kau hendak memperlakukannya seperti yang kau perbuat padaku puluhan tahun silam?"
Pendekar 212 dan semua orang yang ada di tempat itu jadi saling pandang mendengar ucapan Ratu Ular. Rupanya ada jalinan hubungan sangat dekat antara Ratu Ular dan Raja Penidur di masa puluhan tahun silam. Si Raja Penidur batuk-batuk beberapa kali lalu menguap lebar-lebar.
"Aku sudah mengatakan dua hal permintaanku. Terserah padamu mau memenuhi atau tidak.”
"Aku harus tahu dulu apa yang hendak kau lakukan terhadap muridku.”
"Aneh kalau kau masih bertanya. Apa kau tidak menyadari kesalahan besar yang telah dibuatnya? Dosanya setinggi langit sedalam lautan. Mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki! Membunuh tokoh-tokoh rimba persilatan tak berdosa. Bahkan teganya membunuh gurunya sendiri! Kau kira dia bisa lolos begitu saja dari hukuman? Tapi mengingat hubunganmu dengan diriku, aku tidak akan bertindak terlalu keras padanya. Aku bersedia melindungi dirinya dari balas dendam orang-orang rimba persilatan yang mengerikan. Aku akan mengatur hukuman yang terbaik bagi dirinya.”
"Hukuman terbaik bagi dirinya adalah ikut bersamaku. Sekarang juga! Jangan ada yang berani mengganggu menghalangi!" kata Ratu Ular pula tegas.
"Terserah padamu. Aku sudah menawarkan yang terbaik. Mataku sudah mulai mengantuk. Aku ingin menyelesaikan urusan ini sebelum aku tidur lagi.”
"Aku tidak akan memenuhi permintaanmu, Raja Penidur! Seperti kau tidak pernah memenuhi apa-apa terhadap diriku! Kau mau tidur silahkan. Aku tidak perduli sekalipun kau tidak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya!"
"Ah, sayang sekali kalau begitu," kata Raja Penidur lalu menguap tak acuh.
Ratu Ular memberi isyarat pada Dewi Ular. Kedua perempuan itu segera melangkah pergi. Namun baru berjalan dua tindak tiba-tiba dari atas ada cahaya putih melayang turun. Ketika cahaya mencapai pertengahan jurang, semua orang yang ada di tempat itu jadi tertegun. Yang melayang turun adalah seorang gadis sangat cantik. Berpakaian lilitan kain sutera putih halus. Kalau saja lilitan kain tidak tebal maka pakaian itu nyaris tembus pandang memperlihatkan tubuhnya yang putih elok. Udara di dasar kawah kini dipenuh bau harum semerbak yang keluar dari tubuh dan pakaian si gadis.
Raja Penidur cabut pipa dari sela bibir, menguap lebar-lebar lalu berpaling pada Ratu Ular. "Utusan yang ditunggu telah datang. Aku tidak bisa membantumu lagi, Untari…"
Ratu Ular terkesiap. Dewi Ular tampak tegang. Gadis cantik berpakaian sutera putih melayang turun dan berdiri di hadapan Ratu Ular. Wiro dan Anggini melihat bagaimana dua kaki putih bagus si gadis sama sekali tidak menjejak batu di dasar jurang. Walau kagum melihat kecantikan dan keelokan tubuh orang namun diam-diam Wiro merasa tengkuknya dingin. Dia segera maklum kalau gadis ini bukan manusia biasa.
Si gadis yang oleh Raja Penidur disebut sebagai utusan menjemput dua keris sakti anggukkan kepala seraya ulurkan dua tangan. Memberi isyarat pada Ratu Ular agar segera menyerahkan keris Nagasona. Ratu Ular melangkah mundur. Tangan kiri mengusap kepala ular besar yang bergelung di lehernya, tangan kanan memberi tanda pada Dewi Ular. Sang murid yang mengerti isyarat ini segera siapkan paku hitam. Didahului teriakan keras Ratu Ular maka guru dan murid lancarkan tiga serangan ganas.
BAB TIGA
Serangan pertama adalah serangan ular besar yang menggelantung di leher Ratu Ular. Binatang ini melesat laksana anak panah mematuk ke arah gadis cantik berpakaian sutera putih. Serangan kedua berupa cahaya kuning yang keluar dari paku hitam di tangan Dewi Ular. Paku hitam ini dulunya adalah paku emas yang didapat Wiro dari Eyang Sinto Gendeng untuk melumpuhkan Dewi Ular. Oleh Dewi Ular paku ini kemudian dijadikan senjata sakti mandraguna. Walau keadaannya sekarang hitam namun sinar maut yang dipancarkannya tetap berwarna kuning emas.
Serangan ketiga inilah serangan yang terhebat datang menghambur dari sepasang keris sakti berupa hamparan dua cahaya kuning terang benderang menyilaukan sekaligus menggidikkan. Manusia biasa, betapapun tinggi ilmu silat dan kesaktiannya, dihantam tiga serangan sakaligus seperti itu akan sulit lolos selamatkan diri.
Si Raja Penidur tampak kerenyitkan kening melihat datangnya serangan sambil siap membantu kalau sampai gadis cantik berpakaian sutera putih tidak sanggup menahan hantaman tiga serangan. Wiro sendiri sudah merapal ajian Pukulan Sakti Sinar Matahari. Tangan kanannya sebatas siku ke bawah telah berubah menjadi putih perak. Malah dengan jengkel dia berteriak. Memaki Ratu Ular dan Dewi Ular sebagai pengecut.
Namun gadis jelita yang dua kakinya tidak berpijak ke dasar kawah tampak tenang saja. Sambil tersenyum dan lemparkan lirikan ke arah murid Sinto Gendeng dia membuat gerakan lemah gemulai laksana seorang penari padahal yang dihadapi adalah serangan maut! Si gadis lambaikan tangan kiri dengan gerakan perlahan. Tiga serangan yang menyambar ke arahnya seolah-olah disedot masuk ke dalam telapak tangan kiri yang dikembangkan. Tiga larik sinar kuning dari sepasang keris sakti dan satu lagi dari paku hitam di tangan Dewi Ular lenyap pupus seperti asap dihembus angin.
"Cleepp!" Bersamaan dengan itu kapala ular besar menempel di telapak tangan kiri gadis berpakaian sutera putih. Binatang ini mendesis keras. Menggeliat berusaha melepaskan diri. Namun sekali lima jari tangan si gadis meremas maka kepala binatang jahat berbisa itu hancur remuk. Tubuh sampai ke ekor yang masih utuh dalam keadaan menggelepar-gelepar, dilempar amblas ke dalam dasar kawah jurang batu pualam. Sekali gadis cantik meniup maka tangannya yang berlumuran darah ular bersih kembali.
Masih dengan gerakan seperti penari, tangan kanan gadis cantik yang oleh Raja Penidur disebut sebagai utusan untuk mengambil sepasang keris Nagasona, bergerak melambai ke depan. Ratu Ular merasa satu kekuatan dahsyat menerpa membuat dua kakinya goyah dan tubuh terjajar ke belakang. Belum sempat mengimbangi diri dia melihat sesuatu berkelebat di depannya, lalu tahu-tahu dua keris sakti yang dipegangnya di tangan kiri kanan telah berpindah ke tangan kanan gadis cantik di hadapannya.
Ratu Ular berteriak keras. Dia menerjang ke depan. Dalam jarak begitu dekat dua tangan bukan saja melancarkan serangan tangan kosong ganas tapi dua tangan itu tiba-tiba berubah menjadi sepasang tombak dengan kepala berbentuk ular senduk hijau! Dua mata gadis cantik membesar, dua alis naik ke atas. Tangan kiri digerakkan. Gerakan lembut tapi mengandung tenaga dahsyat!
"Trakk! Traakk!"
Bukan cuma dua tombak berbentuk kepala ular kobra jejadian yang hancur tapi dua tangan Ratu Ular ikut patah dan remuk mulai dari pertengahan lengan sampai ke ujung jari. Raungan keras perempuan ini menggelepar di dalam jurang batu. Melihat gurunya celaka begitu rupa didahului jeritan tak kalah kerasnya Dewi Ular kembali menyerbu dengan paku hitam bertuah. Gadis yang diserang lagi-lagi lambaikan tangan kiri.
"Kraakk!" Paku hitam hancur luluh. Begitu juga tangan kanan Dewi Ular yang tadi memegang senjata itu. Guru dan murid sama terhuyung lalu tubuh mereka saling berbenturan.
"Dewi, kita tak mungkin keluar hidup-hidup dari tempat ini. Kalaupun mampu tak ada gunanya hidup dalam keadaan cacat seperti ini. Ikuti apa yang aku lakukan."
"Saya mengerti Ratu. Saya siap..." sahut Dewi Ular. Dengan cepat diam-diam dia kerahkan ilmu kesaktian bernama Membalik Mata Menipu Pandang.
Tidak ada satu orangpun yang menduga, tidak ada yang menyangka maupun mampu mencegah ketika Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan keras sama-sama lari lalu menghujamkan kepala masing-masing ke dinding jurang batu pualam. Suara remuknya kepala kedua orang ini terdengar luar biasa menggidikkan! Tubuh mereka tergelimpang tak bernyawa di atas gundukan batu di samping kawah di dasar jurang. Untuk beberapa lama keadaan di tempat itu dipagut kesunyian.
Gadis cantik berpakaian sutera putih palingkan kepala ke arah Raja Penidur. Datuk rimba persilatan ini maklum arti pandangan itu. Si gadis akan segera meninggalkan jurang batu pualam. Sebelum pergi, atas permintaan Si Raja Penidur gadis cantik berpakaian sutera putih mengusapkan sepasang keris Nagasona ke tubuh Datuk Sipatoka dan Manusia Paku Sandaka.
Saat itu juga luka dalam yang dialami Datuk Sipatoka akibat hantaman Ratu Ular tadi serta merta menjadi sembuh. Sementara sapuan dua keris sakti membuat tiga puluh paku baja putih yang menancap di sekujur kepala, muka dan tubuh Sandaka tercabut bermentalan, jatuh ke dalam dasar jurang. Tubuh Sandaka kepulkan asap berbau busuk. Si Raja Penidur menguap lalu kucak mata dan berkata.
"Terima kasih, kau telah mengobati dua sahabat kami. Gadis utusan penjemput sepasang keris sakti, kau boleh pergi. Serahkan keris Nagasona pada pemiliknya di pantai selatan. Jika sebentar nanti kau berada di atas jurang, ada seorang Pangeran yang telah puluhan tahun menderita lumpuh. Tolong sembuhkan penyakitnya dengan keris sakti itu. Sampaikan salamku pada Sang Penguasa Agung Samudera Selatan.”
Gadis yang diajak bicara hanya menjawab dengan anggukan kepala. Ketika dia memutar tubuh siap hendak melesat ke atas jurang, tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru,
"Gadis cantik! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku juga menderita sakit. Mungkin luka dalam. Tolong sembuhkan. Usapkan keris sakti itu ke dadaku..." Lalu Wiro cepat-cepat buka kancing bajunya dan melangkah mendekati si gadis sambil sodorkan dada.
Si gadis tertegun sesaat lalu tersenyum. Si Raja Penidur cabut pipa dari sela bibir. Jaraknya dengan Wiro saat itu cukup jauh tapi seperti bisa mulur tangan itu menjadi panjang dan pipa lalu diketukkan ke kepala murid Sinto Gendeng.
"Anak sableng! Jangan berani macam-macam! Siapa tidak tahu akal bulusmu! Minta diusap segala!"
"Plettaaakk!" Pipa Si Raja Penidur mandarat di kening Pendekar 212 hingga saat itu juga jidat Wiro jadi benjut banjol sebesar telur ayam. Sakitnya bukan main karena Si Raja Penidur memang sengaja mengalirkan hawa sakti ke ujung pipa yang bisa membuat orang kesakitan setengah mati. Tapi Wiro juga tidak tinggal diam. Sebelum ujung pipa mendarat di keningnya dia kerahkan tenaga dalam mengandung hawa lembut. Walau keningnya tetap benjol tapi ujung pipa Si Raja Penidur jadi bengkok! Membuat manusia gemuk sakti ini mendelik sesaat lalu kembali sepasang matanya redup dan dia menguap lebar-Iebar.
Gadis cantik berpakaian sutera putih tertawa. Lalu dia meniup ke arah wajah Wiro. Saat itu juga benjol besar di kening sang pendekar dan rasa sakit serta merta lenyap! Selagi Wiro tertegun si gadis sudah melesat ke atas jurang.
"Ah, tidak diusap pun tak jadi apa. Nafasnya segar dan sejuk seperti embun pagi, seharum kembang melati! Rugi kau tidak merasakan tiupannya Kek!" Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kelakuan konyolmu masih tidak berubah!" kata Si Raja Penidur sambil berusaha meluruskan pipanya yang bengkok. "Gadis hendak kau permainkan tadi bisa saja dia adalah si pemilik sapasang keris Nagasona yang sebenarnya..."
Sambil mengusap kaning murid Sinto Gendeng bertanya. "Kalau begitu gadis tadi itu siapa sebenarnya Kek?"
"Bagaimana kalau dia adalah Ratu Penguasa Samudera Selatan... "
"Maksudmu Kek, Nyai Roro Kidul?" tanya Wiro lagi.
"Apa ada Ratu lain yang jadi penguasa di kawasan itu?" tukas Raja Penidur.
"Ah...!" Wiro jadi garuk-garuk kepala.
Raja Penidur masih terus berusaha meluruskan pipanya yang bengkok tapi tidak bisa-bisa. Lalu dia mengomel, memaki pada Wiro. "Lihat pekerjaan kurang ajarmu, kalau pipa ini tidak bisa kupergunakan lagi, aku akan membetot lepas menanggalkan salah satu tangannya. Tulang tanganmu akan kujadikan pipa pengganti pipa bengkok sialan ini!"
Wiro tertawa. Lalu membungkuk, ulurkan kepala dan meniup. Saat itu juga pipa yang bengkok lurus kembali.
"Dasar anak setan!" Semprot Si Raja Penidur. Wiro tertawa gelak-gelak.
********************
BAB EMPAT
Tepat empat puluh hari setelah peristiwa hebat di dasar jurang batu pualam di mana Ratu Ular dan Dewi Ular menemui kematian, pagi hari ketika Sandaka Arto Gampito terbangun dari tidurnya pemuda ini tersentak kaget lalu berteriak keras. Dia dapati tiga puluh paku baja murni yang sebelumnya telah lenyap dari kepala dan tubuhnya kini muncul dan ada lagi.
Teriakan sang murid membuat Datuk Sipatoka mendatangi. Orang tua ini tertegun begitu melihat apa yang terjadi dengan si pemuda. “Sandaka, seperti apa yang sudah aku katakan padamu, seharusnya pagi ini kau boleh meninggalkan goa. Tapi dengan adanya kejadian ini…"
"Datuk, bagaimana hal ini bisa terjadi. Bagaimana paku-paku jahanam ini muncul lagi dan menancap di kepala, muka serta tubuhku? Apakah ini pekerjaan jahat roh Datuk Bululawang yang dulu menancapkan paku-paku celaka ini?"
Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam merenung sejenak lalu gelengkan kepala. Mulutnya berucap perlahan. "Ini bukan pekerjaan roh Datuk Bululawang. Aku lebih menduga ini adalah perbuatan roh Ratu Ular atau Dewi Ular atau kedua-duanya. Sandaka, ikuti aku!"
Sandaka ikuti gurunya keluar dari goa lalu turun ke dasar jurang. Mereka pergi ke bagian kawah di mana dulu atas tekanan Si Raja Penidur Ratu Ular dan Dewi Ular tewas melakukan bunuh diri. Dasar kawah diselimuti bau busuk. Dan di situ mereka hanya menemui satu mayat yang telah sangat rusak. Dari sisa-sisa pakaiannya jelas bahwa mayat itu adalah mayat Ratu Ular.
"Ini mayat Ratu Ular! Di mana mayat Dewi Ular?!" Sandaka berkata sambil memandang berkeliling.
"Muridku, dugaanku tidak salah. Apa yang terjadi atas dirimu adalah perbuatan Dewi ular. Perempuan iblis itu tidak mati sungguhan. Dia pasti menggunakan satu ilmu kesaktian untuk menipu semua orang ketika dia mengikuti gurunya melakukan bunuh diri dengan membenturkan kepala ke dinding batu jurang."
"Jadi Dewi Ular saat ini masih hidup?"
Datuk Sipatoka anggukkan kepala. "Aku berlaku lalai. Seharusnya aku sudah dulu-dulu turun ke dasar jurang ini untuk menyelidiki keadaan." Sang Datuk menarik nafas dalam lalu menyambung ucapan. "Sandaka, aku terpaksa membatalkan rencana kepergianmu. Aku ingin kalau kau meninggalkan jurang batu ini keadaanmu bersih tanpa paku. Paling tidak aku mendapat petunjuk bagaimana cara menyembuhkan dirimu.”
"Mungkin aku harus pergi ke laut selatan. Mencari gadis berpakaian sutera putih itu. Meminta agar dia mau menolong diriku sekali lagi dengan sepasang keris Nagasona.”
Datuk gelengkan kepala. "Sampai kiamat mungkin kau tak akan bisa menemui gadis itu, Kalaupun kau bisa menemuinya, belum tentu keris sakti Nagasona bisa dipergunakan untuk penyembuhan penyakit yang sama untuk kedua kalinya...”
"Kalau begitu biar aku mencari Dewi Ular. Aku akan membunuh perempuan iblis itu. Akan aku cerai beraikan sekujur tubuhnya!"
"Muridku, hal yang terbaik adalah memohon dan meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa."
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Datuk?"
"Mari kita bersemedi."
Setelah guru dan murid sama-sama bertapa salama dua puluh satu hari tanpa makan dan minum hingga tubuh meraka nyaris seperti jerangkong, akhirnya sang guru mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Petunjuk itu agak aneh, tapi bagaimanapun juga itulah hasil yang didapat dan harus dilakukan demi kesembuhan sang murid.
"Sandaka, Yang Maha Kuasa telah memberi petunjuk padaku. Mungkin kau juga sudah merasakan getarannya di dalam tubuhmu."
"Datuk, aku memang merasakan sesuatu dalam diriku. Aku mohon Datuk mau menjelaskan apa petunjuk yang Datuk dapat sekarang juga."
Setelah menatap wajah muridnya yang malang itu sejurus, Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam memberi tahu bahwa keadaan diri Sandaka Arto Gampito bisa disembuhkan, puluhan paku dapat dilenyapkan kalau pemuda itu nikah dengan seorang perempuan berkepandaian tinggi berotak miring! Masih menurut petunjuk, bilamana Manusia Paku telah melakukan hubungan badan dengan perempuan yang dinikahinya itu sebanyak 21 kali maka seluruh paku yang menancap di tubuhnya akan rontok dan musnah.
Lama Sandaka termenung. "Siapa perempuannya yang mau dinikahi oleh lelaki seperti diriku ini?" Ucap si pemuda lirih.
Datuk Sipatoka terdiam sesaat. Hatinya merasa terenyuh mendengar ucapan sang murid. "Perempuan gila alias sinting itu petunjuk yang aku dapat. Datangnya dari Yang Di Atas. Kau tak perlu meragukan..." kata Datuk Sipatoka pula.
Maka pada suatu hari atas perkenan sang guru Manusia Paku pergi meninggalkan jurang batu pualam disertai pesan bahwa dia tidak boleh kembali kecuali menemukan dan membawa perempuan dimaksud. Selain itu dia juga tidak boleh mempergunakan semua ilmu silat dan ilmu kesaktian yang didapatnya dari sang guru secara sembarangan terutama sebelum dirinya mengalami kesembuhan dari paku baja putih.
Ternyata tidak mudah bagi Manusia Paku Sandaka mencari dan mendapatkan perempuan seperti yang disyaratkan oleh sang guru. Memang dia bisa menemukan perempuan gila di mana-mana, mulai dari yang muda sampai tua renta. Namun yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itulah yang sulit dicari. Setelah menghabiskan waktu hampir dua tahun mencari dan dalam keadaan putus asa akhirnya suatu hari dari suami istri pedagang mainan anak di Kotaraja Sandaka mendengar cerita tentang seorang perempuan muda berwajah cantik, berotak tidak waras tapi memiliki ilmu silat dan kasaktian tinggi.
Sandaka melakukan penyelidikan sampai dia mendapatkan kabar yang lebih jelas tentang keberadaan perempuan muda berotak miring itu. Dari kabar yang disirapnya diketahui perempuan itu bernama Nyi Retno Mantili tinggal di tempat kediaman seorang kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas di puncak Gunung Gede dan ada dugaan bahwa sang Kiai menjadi pelindung bahkan telah mengambil perempuan itu menjadi muridnya.nMaka Manusia Paku Sandaka segera berangkat menuju puncak Gunung Gede.
Seperti yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Perjodohan Berdarah. Manusia Paku sampai di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas ketika sang Kiai tengah bicara dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung parihal perjodohan mereka. Karena tidak menemui Nyi Retno Mantili dan tidak punya urusan dengan segala perjodohan sang pendekar sahabatnya itu diam-diam tanpa diketahui siapapun Manusia Paku tinggalkan tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Mungkin memang sudah berjodoh bahwa dia akhirnya akan bertemu dengan orang yang dicarinya. Suatu hari ketika kejadian Nyi Retno Mantili dikeroyok kedua kalinya oleh Tiga Momok yang hendak membunuh dan mengorek isi tubuhnya, Manusia Paku menyelamatkan perempuan itu. Merasa orang telah menyelamatkan nyawa Nyi Retno Mantili bersikap bersahabat dengan Manusia Paku dan mau saja diajak ikut untuk menemui Datuk Sipatoka.
Dalam perjalanan berkali-kali Nyi Retno Mantili mengatakan bahwa ayah dari Kemuning, boneka kayu yang dianggapnya sebagai anak, adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Manusia Paku yang kenal baik dengan Wiro hanya tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Nyi Retno Mantili. Saat itu Manusia Paku Sandaka berkata.
"Aku tahu, kau memang punya suami. Mustahil kau punya anak tapi anakmu tidak punya ayah. Suamimu adalah Patih Kerajaan bernama Wira Bumi. Tapi bukankah dia sudah menemui ajal? Tewas di tangan Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu hendak menyelamatkan bayimu?"
"Kau sama saja gilanya dengan yang lain-lain!" Kata Nyi Retno Mantili dengan nada kesal dan wajah cemberut.
"Maksudmu?" tanya Sandaka sambil usap wajahnya yang penuh ditancapi paku baja putih.
"Aku tidak pernah jadi istri Wira Bumi! Aku tidak kenal siapa itu Wira Bumi! Aku tidak punya bayi selain Kemuning! Ayah Kemuning bukan Wira Bumi! Bukan Patih Kerajaan!"
"Lalu siapa?!"
"Pendekar 212 Wiro Sableng."
Manusia Paku kaget sampai hentikan lari. Dia turunkan Nyi Retno Mantili dari panggulannya dan bertanya. "Siapa? Kau tadi menyebut siapa?!"
"Apa kau tuli?!"
"Tidak. Aku tidak tuli. Tapi coba katakan sekali lagi!"
Nyi Retno Mantili runcingkan bibirnya yang mungil. "Ayah Kemuning itu Pendekar 212 Wiro Sableng! Nah dengar sekarang? Ngerti sekarang?"
Manusia Paku menatap wajah Nyi Retno Mantili beberapa ketika lalu tertawa gelak-gelak.
********************
Ketika beberapa waktu kemudian Manusia Paku Sandaka sampai di goa batu pualam dengan membawa Nyi Retno Mantili, pemuda ini mengalami hal yang sungguh tidak terduga. Di dalam goa dia tidak menemukan Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam sang guru, tapi yang dijumpainya di situ sesosok jerangkong tengkorak manusia, tergeletak di lantai goa tersandar ke dinding.
"Jerangkong siapa?" tanya Nyi Retno Mantili begitu diturunkan dari panggulan bahu kiri. "Anakku Kemuning bisa sakit ketakutan." Lalu perempuan ini mendekapkan boneka kayu ke dadanya. Dia memandang berkeliling. Lalu bertanya lagi. "Mana gurumu? Apa jerangkong ini gurumu?"
"Diam dulu Nyi Retno.” Kata Manusia Paku dengan suara bergetar. "Jangan banyak bertanya. Aku... sesuatu terjadi di dalam goa ini, Aku tidak tahu apa ini jerangkong guru atau siapa... " Kata Manusia Paku pula sambil sepasang matanya memperhatikan sekujur jerangkong mulai dari kepala sampai ke kaki.
Ketika dia memperhatikan leher dan tangan kiri jerangkong, pemuda ini berteriak keras. Di leher jerangkong melingkar sebuah kalung dan di lengan kiri ada gelang hitam. Keduanya terbuat dari akar bahar. Dia sangat mengenali. Kalung dan gelang itu adalah milik gurunya semasa hidup. Berarti jerangkong yang ada dihadapannya itu adalah jerangkong Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam.
Manusia Paku berteriak sekali lagi hingga seantero goa batu bergetar dan Nyi Retno Mantili sampai terhuyung-huyung, cepat-cepat menutup dua telinganya yang terasa sakit.
"Guru! Apa yang terjadi dengan dirimu?!” Teriak Manusia Paku Sandaka sambil jatuhkan diri dan merabai jerangkong mulai dari tengkorak kepala sampai ke pinggang. Mulut terisak menahan tangis. "Guru, siapa yang melakukan perbuatan keji ini?! Siapa yang membunuhmu?!"
Sambil berteriak Manusia Paku pukulkan tinju kanannya berulang kali ke lantai goa hingga lantai batu itu pecah-pecah dan melesak.
BAB LIMA
“Manusia sinting. Mengapa kau menangisi jerangkong yang belum ketahuan gurumu atau bukan..." Nyi Retno Mantili menegur.
"Diam!" teriak Manusia Paku marah menggeledek hingga Nyi Retno Mantili tersurut mundur. "Aku pasti sekali ini jenazah guruku! Aku mengenali kalung dan gelang akar bahar yang masih melekat di leher dan lengan kirinya! Jangan kau berani mengacau jalan pikiranku dengan ucapan macam-macam!"
“Siapa yang membuat pikiranmu kacau. Pikiranmu justru kacau sendiri! Hik hik hik! Bagaimana kalau jerangkong ini bukan jerangkong gurumu tapi jerangkong orang lain. Lalu ada lagi seorang lain yang menggantungkan kalung di leher dan melingkarkan gelang di tangan. Apa tidak kacau?! Kau tidak bisa meyakini ini jerangkong gurumu atau bukan! Hik hik hik!"
"Diam!" Sandaka kembali menghardik. Sepasang matanya tampak menyala merah dan basah oleh air mata. "Aku yakin ini adalah jerangkong Datuk Sipatoka!"
"Hik hik hik, aku sudah sering melihat orang menangisi jenazah. Tapi kalau yang menangisi jerangkong baru sekali ini!"
"Perempuan sinting! Sekali lagi kau berani bicara ngaco, kupatahkan batang lehermu!" Teriak Manusia Paku lalu melompat dan mencekik leher Nyi Retno Mantili.
"Hik hik hik! Kalau begini sifat manusia yang mau menikahi diriku lebih baik aku minggat! Sudah seram mengerikan tak karuan rupa, bau, kasar pula! Kemuning, mari kita tinggalkan tempat ini! Mari kita cari ayahmu!"
Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili tendangkan kaki kanannya ke perut Manusia Paku. Kelihatannya tendangan asal-asalan saja tapi sebenarnya mengandung tenaga dalam tinggi pemberian Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Bukkk!" Tubuh tinggi besar Manusia Paku Sandaka terpental, punggung terbanting ke dinding. Perutnya walau tidak cidera tapi sakit bukan kepalang seperti mau pecah. Aneh dia tidak unjukkan tampang marah. Seperti sadar mendengar ucapan orang, Sandaka jatuh berlutut di lantai goa. Ketika dia melihat Nyi Retno Mantili memutar tubuh hendak melangkah keluar goa, dengan suara sayu pemuda ini berkata.
"Aku mohon, jangan pergi…"
Nyi Retno Mantili hentikan langkah. Dia mengusap kepala boneka seraya berkata. "Kemuning, ada lelaki cengeng meminta kita jangan pergi. Bagaimana menurutmu? Apa kita tinggalkan saja dia?"
"Nyi Retno, kau harapanku satu-satunya untuk mendapatkan kesembuhan. Aku mohon jangan pergi…"
"Hemmm... Untung anakku menggelengkan kepala tanda dia tidak mau pergi. Aku mengikuti apa katanya. Baiklah, aku tidak mau pergi. Asal kau tidak kasar lagi padaku...”
"Nyi Retno, aku berjanji tidak akan kasar lagi padamu. Dan aku berterima kasih kau tidak meninggalkan diriku. Aku akan memeriksa jenazah guruku sekali lagi."
"Buat apa periksa lagi. Dia sudah menemui ajal. Mungkin sudah lebih dari setahun lalu dia menghembuskan nafas jadi mayat..."
"Mungkin lebih dari itu. Mungkin dua tahun lalu. Tak lama setelah aku meninggalkannya, pergi mencarimu. Aku hanya ingin mengetahui apa yang menyebabkan kematian guru."
"Apa kau tidak melihat ada tanda berupa bintik kebiru-biruan di pertengahan keningnya?" Ucap Nyi Retno Mantili pula.
Manusia Paku Sandaka terkejut. Dia perhatikan kening tengkorak. "Aku tidak melihat bintik biru yang kau katakan itu." Berkata Sandaka.
"Coba kau bersihkan tengkorak dibagian kening."
Sandaka memperhatikan. Bagian kening tengkorak memang kotor, diselimuti lumut tipis dan debu yang banyak beterbangan di musim kering seperti itu. Perlahan-Iahan Sandaka usap-usap kening tengkorak. Begitu debu dan lumut tipis pupus dia memang menemukan satu bintik biru bahkan bukan cuma bintik tapi membentuk lobang kecil seujung jari kelingking. Sandaka berpaling kagum pada Nyi Retno.
"Matamu tajam karena kau memiliki kesaktian yang orang lain tidak memiliki. Yang Kuasa memang telah memberi petunjuk bahwa kaulah satu-satunya orang yang bisa menjadi penyembuh keadaan diriku..."
Tiba-tiba dari lobang itu mencuat keluar kepala seekor ular hitam belang coklat bermata merah. Begitu keluar dari lobang tengkorak binatang ini berubah besar dan dengan gerakan kilat meliuk menyambar ke arah kepala Manusia Paku Sandaka.
"Awas!" teriak Nyi Retno Mantili memperingatkan. Walau tidak melihat tapi Sandaka bisa mendengar suara mendesis. Dia tahu ada bahaya besar mengancam. Dengan cepat dia bergerak mundur sambil palingkan kepala. Saat itulah dia melihat ular hitam besar belang coklat.
"Mahluk jahanam! Pasti kau yang membunuh guruku!"
"Settt!" Mulut ular hitam belang coklat yang memiliki gigi-gigi runcing berbisa mematuk keras tepat di pertengahan kening Manusia Paku.
"Plaaakk!"
Manusia Paku Sandaka terlempar, jatuh terduduk di lantai goa. Kepala ular terpental, darah mengucur dari mulutnya yang hancur. Apa yang terjadi? Ketika patukan maut mendarat di kening Manusia Paku,saat itu juga kening pemuda itu berubah menjadi lapisan batu pualam putih keabu-abuan, keras atos luar biasa.
Ilmu yang selama ini dituntut dari Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam keluar dengan sendirinya, melindungi si pemuda dari ancaman maut! Selagi ular besar terhuyung-huyung keluarkan desis kesakitan Manusia Paku gerakkan tangan kiri.
"Kraakkk!" Kepala ular hancur dalam remasan tangan kiri Sandaka. Bangkai ular kemudian dilempar ke luar goa, masuk ke dalam jurang. Sebelum menyentuh dasar jurang, selagi melayang di udara bangkai itu tiba-tiba membentuk bola api lalu meledak bertaburan.
"Ular jejadian!" Ucap Nyi Retno Mantili. Perempuan muda ini usap kepala boneka kayu. "Kemuning tempat ini sangat berbahaya bagi diri kita. Manusia paku bruntalan! Aku ingin kau membawaku keluar dari sini sekarang juga! Lupakan segala macam pernikahan!"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tawa perempuan. "Sandaka! Ternyata kau masih tetap perkasa. Malah lebih perkasa dari dua tahun silam! Hanya sayang kau melakukan hal yang aku tidak suka! Kau datang membawa seorang calon istri, perempuan sinting gila! Jika kau mau membunuh perempuan itu di hadapanku, kuampuni selembar nyawamu! Dan kita berdua akan hidup berdampingan kembali!"
Nyi Retno Mantili tersentak kaget. Dia balas tertawa. Suara tawanya melengking panjang dan dalam sampai ke dasar jurang. "Kemuning ada mahluk betina jejadian ingin orang membunuh ibumu! Sungguh aku ingin melihat tampangnya. Kalau bicaranya ngacok, tampangnya pasti jelek tidak karuan! Hik hik hik!"
Manusia Paku sendiri, yang mengenali suara itu terkejut besar. Dia memandang berkeliling. Lari ke mulut goa tapi tidak melihat siapa-siapa. "Perempuan yang barusan bicara! Aku tahu kau siapa! Aku mengenali suaramu!"
Sebagai jawaban kembali terdengar suara tertawa panjang. "Sandaka! Aku benar-benar merasa bahagia. Kau masih mengenali suaraku. Itu tak lain satu pertanda bahwa kau masih mencintai diriku!"
"Dewi Ular! Perlihatkan dirimu!" teriak Sandaka. Rahang menggembung, mata menyala.
Tiba-tiba dari dasar jurang batu mencuat keluar satu cahaya hitam dan wuss! Cahaya ini melesat di depan mulut goa, membentuk ujud mahluk yang membuat Nyi Retno Mantili terpekik dan cepat-cepat memeluk erat boneka kayu dalam gendongannya.
BAB ENAM
Didepan mulut goa berdiri sosok perempuan berpakaian hijau panjang. Rambut tergerai awut-awutan. Tubuh sebatas pinggang ke bawah berbentuk ular berwarna hijau belang hitam. Wajahnya yang sebenarnya cantik terlihat mengerikan karena bagian kening rengkah, hidung dan mata kiri melesak.
Di atas kepala ada sebuah mahkota kecil terbuat dari emas berupa kepala ular dalam keadaan penyok setengah hancur dan melesak ke dalam batok kepala. Tangan kanan yang tertutup lengan pakaian buntung sebatas pergelangan. Buntungan ini disambung tangan besi dengan lima jari membentuk kepala ular.
Begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya untuk sesaat Sandaka jadi tertegun. Betul apa yang dikatakan mendiang gurunya dua tahun silam. Dewi Ular masih hidup! Sandaka membentak.
"Dewi Ular! Akui terus terang! Kau telah membunuh guruku Datuk Sipatoka! Dan kau juga yang mencelakai diriku dengan paku-paku keparat ini!"
Perempuan setengah manusia setengah ular di depan goa menyeringai lalu dongakkan kepala. Setelah menghambur tawa panjang dia menjawab bentakan Manusia Paku Sandaka. "Aku membunuh siapa saja yang menyatakan diri sebagai musuhku. Aku mencelakakan siapa saja yang mencelakakan diriku! Lihat! Buka matamu lebar-lebar! Lihat! Apa yang terjadi dengan diriku! Ini semua gara-gara perbuatan terkutukmu bersama teman-temanmu tokoh rimba persilatan! Aku memang telah membunuh gurumu tua bangka busuk bernama Datuk Sipatoka itu! Kalau aku sudah membunuh sang guru, apa salahnya saat ini aku juga membunuh muridnya. Sekaligus bersama gendak perempuan sinting yang hendak kau nikahi!"
"Perempuan iblis! Dosamu selangit tembus sedalam lautan! Kau tak layak hidup lebih lama di muka bumi ini!"
Dewi Ular tertawa tinggi. "Aku mau lihat kau mau berbuat apa!"
Habis berkata begitu sosok Dewi Ular meluncur ke atas. Dalam keadaan mengambang di depan mulut goa tiba-tiba laksana kilat, wuutt! Ekornya menyambar ke depan. Sambaran ekor yang sanggup menghancurkan batu sebesar rumah ini melesat ke depan. Yang diserang bukannya Manusia Paku Sandaka tapi justru Nyi Retno Mantili!
"Nyi Retno! Awas!" teriak Sandaka melompat ke depan. Tangan kiri menarik Nyi Retno Mantili ke dalam goa, tangan kanan menangkis serangan ekor ular.
Sesaat lagi ekor ular siap menggebuk hancur tangan kanan Sandaka, tiba-tiba tangan itu mulai dari ujung jari sampai sebatas bahu berubah menjadi putih kelabu.
"Plaakk! Blaaarrr!"
Lapisan batu pualam sakti yang menyelubungi tangan Manusia Paku Sandaka hancur berkeping-keping. Pemuda ini terjengkang di lantai goa, nyaris menghimpit tubuh Nyi Retno Mantili yang sudah lebih dulu tergeletak di lantai goa setelah ditarik Sandaka.
Dewi Ular menjerit keras. Bukan saja karena marah melihat Sandaka tidak mengalami cidera tapi juga ketika melihat ekornya yang berbentuk ular luka besar nyaris buntung. "Manusia jahanam! Aku mau lihat apa Ilmu Batu Pualammu sanggup menghadapi Ilmu Tujuh Api Siluman!"
Habis berteriak Dewi Ular gembungkan mulut lalu menghembus. Dari sepasang mata, dua lubang hidung, mulut dan dua liang telinga menyembur keluar tujuh gelombang api, membuntal membentuk kepala mahluk siluman mengerikan.
Nyi Retno Mantili menjerit. Dalam ketakutan dan marahnya perempuan ini remas pinggang boneka kayu. Dua larik sinar putih mencuat dahsyat dari dua mata boneka kayu, melabrak ke arah dua siluman api. Ilmu Sepasang Cahaya Batu Kumala!
Dua siluman api menggerung keras, hancur berkeping-keping. Dua siluman api lainnya segera menyerbu Nyi Retno tapi dihantam dengan dua larik sinar hijau yang menyembur keluar dari sepasang matanya. Tiga siluman api yang masih ada menggembor keras. Satu menyerang ke arah Nyi Retno Mantili, dua lainnya menerjang Sandaka.
Saat itu tiga mahluk siluman ini telah merubah diri menjadi buntalan bola api yang serta merta memenuhi goa dan siap membakar kedua orang itu. Sandaka cepat terapkan Ilmu Batu Pualam pemberian Datuk Sipatoka. Saat itu juga seluruh tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki berubah putih ke abu-abuan berlapis batu pualam. Dia bisa bertahan walau mungkin tidak lama. Tapi bagaimana dengan Nyi Retno?
"Nyi Retno lekas tinggalkan goa! Aku akan membantumu." teriak Sandaka.
"Tidak, apapun yang terjadi aku tetap di sini bersamamu!" jawab Nyi Retno Mantili yang membuat Manusia Paku Sandaka jadi terkesiap dan haru. Dia memeluk perempuan itu bersama boneka kayunya.
"Kalian berdua rupanya sudah saling mencintai" Dewi Ular berseru. Dia mendengar apa yang tadi dikatakan Nyi Retno. "Kalian harus bersyukur dan berterima kasih padaku karena memberi kesempatan bagi kalian untuk mati bersama!"
Sandaka berbisik pada Nyi Retno. "Kita harus dapat membunuh perempuan iblis itu! Tapi sosoknya tidak kelihatan. Aku harus memancing untuk mengetahui di mana dia berada! Aku perlu bonekamu!"
"Untuk apa?" tanya Nyi Retno.
"Lihat saja nanti."
"Akan kuserahkan. Tapi aku mau tanya satu hal dulu. Hik hik hik. Kau pasti marah.”
"Nyi Retno, ini bukan saatnya untuk bergurau!"
"Aku tahu, tapi ini urusan penting!"
"Cepat katakan apa yang mau kau tanya?!"
"Gurumu sudah jadi jerangkong alias sudah mati. Apa kau masih hendak menikahi diriku?!"
"Itu urusan nanti! Yang penting sekarang kita harus bisa keluar dari goa ini dalam keadaan selamat!" Jawab Sandaka. "Boneka kayu…"
Nyi Retno serahkan boneka kayu pada Sandaka seraya berkata. "Hati-hati, itu bukan boneka tapi anakku Kemuning. Satu saja rambutnya kau buat rontok aku hajar kau sampai setengah mati!"
Sandaka kerahkan tenaga dalam ke arah sepasang matanya dan saat itu juga dua mata berubah warna menjadi kehijau-hijauan. Tangan kiri memegang pinggang boneka kayu erat-erat.
"Kunti Ambiri!" Sandaka berteriak memanggil nama asli Dewi Ular. "Kalau kau menghentikan serangan api siluman dan membiarkan kami berdua keluar dari goa ini, aku akan memberikan sepasang keris Nagasona padamu. Dengan senjata sakti itu kau bisa menyembuhkan seluruh cacat dan luka yang ada di wajah serta tubuh ularmu!"
"Manusia tolol! Kau kira kau bisa menipuku?! Keris Nagasona ada di pantai selatan!"
"Setahun lalu guruku Datuk Sipatoka dipercaya Ratu Laut Selatan untuk memegang sepasang keris mustika sakti itu! Aku membawanya sekarang!"
Dewi Ular tertawa panjang. "Kalau keris sakti itu ada padamu mengapa tubuhmu masih ditancapi paku? Mengapa kau tidak mampu menyembuhkan diri sendiri?!"
"Keris Nagasona tidak bisa menyembuhkan penyakit yang sama pada diri seseorang sampai dua kali."
"Aku tetap tidak percaya padamu! Kau punya dendam kesumat besar terhadapku! Pasti kau mau menipuku! Kalau kau sudah lebur dimakan api bersama gendakmu itu, aku akan tetap mendapatkan keris Nagasona..." Dewi Ular meniup ke depan. Kobaran api menggemuruh, bergerak mendekati Sandaka dan Nyi Retno Mantili.
"Perempuan setan! Aku ingin membunuhnya sekarang juga!" Maki Nyi Retno Mantili seraya berusaha mengambil boneka kayu dari tangan Sandaka.
"Jangan berlaku sembrono! Ikuti apa yang sudah aku katakan!" kata Sandaka penuh kawatir Nyi Retno akan bertindak gegabah yang bisa membuat mereka tidak sanggup selamatkan diri dari tambusan api siluman.
"Kau keliru Kunti Ambiri!" Teriak Sandaka. "Keris Nagasona tidak punya kemampuan melawan api. Keris ini akan leleh dan kau tidak punya kesempatan untuk menyembuhkan diri. Apa kau tidak ingin hidup sampai seratus tahun lagi bahkan seribu tahun lagi dalam keadaan usia tetap muda, wajah tetap cantik dan tubuh elok tidak setengah manusia setengah ular seperti sekarang ini?!"
Dewi Ular terdiam sesaat. Lalu dia berteriak. "Kalau begitu lemparkan sepasang keris sakti itu ke arahku!"
"Aku tidak bisa melihat kau berada di mana!" balas berteriak Sandaka. Tiba-tiba gelombang api siluman mereda. Namun Sandaka masih belum melihat perempuan itu. "Kunti! Aku belum melihatmu!"
"Aku di sini!"
Gelombang api menyurut turun sampai sebatas dada. Sandaka melihat tangan kanan Dewi Ular yang disambung tangan palsu dari besi diacungkan ke atas. Lalu dia melihat kepala dan sebagian tubuh perempuan itu.
"Kunti! Aku akan melemparkan keris Nagasona ke arahmu!" teriak Sandaka.
"Lakukan cepat!"
"Kau berjanji akan membiarkan aku dan Nyi Retno Mantili keluar dari goa ini dalam keadaan selamat!"
"Itu janjiku dan jangan banyak bicara lagi! Cepat lemparkan keris Nagasona!"
Manusia Paku Sandaka angkat tangan kirinya. Yang ada di tangan itu bukan sepasang keris Nagasona tetapi boneka kayu milik Nyi Retno.Sementara itu cahaya hijau yang ada dalam sepasang mata si pemuda memancar menyorot terang.
"Hai! Mana kerisnya?! teriak Dewi Ular sambil mengapungkan diri ke atas. Saat itulah dia melihat sepasang mata Sandaka yang memancarkan cahaya hijau! "Manusia jahanam kurang ajar! Kau menipuku!" Dewi Ular gerakkan tangan kanannya.
Manusia Paku mendahului. Secepat kilat Sandaka memencet pinggang boneka. Dua larik cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang mata boneka. Bersamaan dengan itu dari dua mata Sandaka menyembur pula dua larik sinar hijau. Dewi Ular yang agak tertutup pemandangannya oleh nyala kobaran api baru menyadari apa yang terjadi ketika empat larik sinar maut sudah berada di depan matanya!
Dewi Ular hanya mampu berteriak marah, masih berusaha menyingkir selamatkan diri namun terlambat. Tubuhnya tercabik kutung pada bagian kepala, dada, perut dan sepasang kaki. Tidak menunggu lebih lama Sandaka segera melesat keluar goa sambil mendukung tubuh Nyi Retno Mantili, melayang di atas jurang batu pualam.
Namun hawa panas api siluman telah menguras tenaga luarnya, mempengaruhi sebagian kekuatan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Pemuda ini tidak mampu mencapai pinggiran jurang sebelah atas. Tubuhnya melayang ke bawah. Karena diberati sosok Nyi Retno Mantili maka daya jatuh ke bawah jadi dua kali lebih cepat.
Sandaka berusaha melentingkan tubuh ke dinding jurang sebelah kanan. Namun gerakannya tidak leluasa, apalagi saat itu tubuhnya masih terbungkus lapisan kaku batu pualam. Gerakan melenting yang dilakukannya malah membuat dirinya terlempar ke arah tonjolan batu besar runcing di pertengahan dinding jurang!
"Braakk!" Punggung dan batu yang menonjol beradu keras. Sandaka merasa tubuhnya sebelah belakang hancur luluh. Rangkulannya ditubuh Nyi Retno Mantili terlepas.
"Nyi Retno. Maafkan diriku. Aku tidak bisa menyelamatkanmu!" Sandaka berseru lalu pemuda ini jatuh pingsan. Tubuhnya melayang ke dasar jurang.
Nyi Retno Mantili menjerit keras. Dia bukan berusaha menyelamatkan diri tapi malah melesat ke bawah menyusul jatuhnya Sandaka. Dia berusaha menggapai tubuh pemuda itu, namun jarak mereka terlalu jauh.
"Nyi Retno! Jangan perdulikan diriku! Selamatkan dirimu!" Teriak Sandaka.
"Jika aku selamat sedangkan kau tidak buat apa?! Aku dan Kemuning lebih suka memilih mati bersamamu!" Teriak Nyi Retno Mantili pula. Adalah aneh Nyi Retno Mantili yang selama ini diketahui memiliki otak tidak waras tapi saat itu menyatakan ingin mati bersama dengan Manusia Paku Sandaka!
BAB TUJUH
Hanya beberapa kejapan mata tubuh Sandaka akan terhempas di dasar jurang yang dipenuhi batu pualam keras dan runcing, hanya beberapa saat saja kepala Nyi Retno Mantili akan membentur dinding jurang, tiba-tiba di atas jurang ada teriakan teriakan keras. Lalu tampak dua orang berkelebat terjun ke dalam jurang. Gerakan mereka ringan dan sebat sekali. Laksana dua ekor burung raksasa keduanya melayang menuju dasar jurang batu pualam.
Yang satu menyambar ke arah tubuh Manusia Paku Sandaka, satunya lagi ke jurusan jatuhnya Nyi Retno Mantili. Dengan gerakan kilat yang sukar dipercaya kedua orang itu berhasil menangkap tubuh-tubuh yang melayang jatuh lalu membaringkan di tanah datar di sela-sela bebatuan di dasar jurang.
“Syukur… syukur kita bisa menyelamatkan mereka. Tadinya waktu masih di pinggir jurang aku merasa sangsi. Apa lagi ketika melayang turun. Ketiakku terasa dingin. Kukira bulu ketiakku rontok semua. Ternyata masih utuh. Hik hik hik."
Yang bicara ini adalah seorang perempuan gemuk gembrot mengenakan pakaian berupa celana monyet warna hitam tanpa lengan hingga bulu ketiaknya yang lebat tebal hitam tersembul keluar. Dia yang barusan menyelamatkan Sandaka. Perempuan ini berwajah aneh. Mukanya yang tembam biru bergaris-garis kuning. Telinga dicanteli anting-anting besar dari perak. Rambut seperti lidi, tegak mencuat di atas kepala. Di bahu kanan ada jarahan bunga mawar merah.
Orang kedua yang menolong Nyi Retno Mantili adalah pemuda gondrong berpakaian dan berikat kepala putih. Sambil memperhatikan si gemuk gembrot dia senyum-senyum. Sesekali dia usap kepala Nyi Retno Mantili. "Aku tidak pernah terjun seperti tadi. Selangkanganku terasa dingin. Kantong menyanku seperti hilang! Waktu kuraba untung masih ada!"
Perempuan gemuk dan pemuda gondrong lalu tertawa mengakak. Siapa mereka adanya yang dalam keadaan seperti itu masih bisa bicara tidak karuan dan tertawa gelak-gelak?
Yang gondrong bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng sedang perempuan gemuk gembrot adalah Denok Tuba Biru alias Momok Ketiga yang dulu bersama komplotannya pernah hendak membunuh Nyi Retno Mantili untuk diambil jantung, hati dan ginjalnya. Bagaimana Wiro dan Denok Tuba Biru bisa berada di tempat itu dan sama-sama memberi pertolongan?
Seperti diceritakan sebelumnya (baca serial Wiro Sableng Janda Pulau Cingkuk) Pendekar 212 menerima penjelasan dari Bujang Gila Tapak Sakti bahwa Nyi Retno Mantili dibawa oleh Manusia Paku Sandaka ke tempat kediaman gurunya dan ada maksud kalau Sandaka akan menikahi perempuan ltu untuk melenyapkan puluhan paku yang menancap di kepala, wajah dan tubuhnya.
Karena Wiro memang sedang mencari Nyi Retno Mantili untuk dibawa menemui puterinya Ken Permata yang ada di tempat kediaman Datuk Rao Basaluang Ameh di Danau Maninjau, dan dia tahu pula di mana letak jurang kediaman guru Sandaka maka setelah Bujang Gila Tapak Sakti ikut bersama Nenek Cempaka ke dasar laut selatan, murid Sinto Gendeng segera berangkat menuju jurang batu pualam tempat kediaman guru Sandaka.
Dalam perjalanan yang cukup jauh dan lama Wiro tidak sengaja bertemu dengan Denok Tuba Biru yang juga tengah menuju ke tempat yang sama guna menyambangi Sandaka yang pernah mengampuni jiwanya sewaktu tertangkap tangan hendak membunuh Nyi Retno Mantili. (Lihat serial Wiro Sableng berjudul Perjodohan Berdarah)
Wiro sendiri sebelumnya juga telah pernah bertemu dengan Denok Tuba Siru sewaktu perempuan gemuk ini bersama dua temannya pertama kali mencelakai Nyi Retno Mantili. Waktu itu Nenek Kembaran Ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu ikut membantu Wiro menyelamatkan Nyi Retno. (Baca Si Cantik Gila Dari Gunung Gede)
Mula-mula Wiro merasa curiga melihat si gembrot berbulu ketiak tebal ini. Dia mengira perempuan aneh berdada besar dan berperut gembrot serta berpaha gempal ini telah memata-matai perjalanannya dan punya niat jahat.
"Gembrot! Kalau kau punya niat jahat macam-macam terhadapku, mukamu yang tembam akan kugebuk biar tambah tembam! Rambut dan bulu ketiakmu aku cabuti sampai botak!"
Mendengar ancaman Wiro, Denok Tuba Biru bersurut mundur dan tekap ketiaknya kiri kanan. "Pendekar, kau mau menggebuki diriku sampai bonyok aku pasrah-pasrah saja. Tapi jangan cabuti bulu ketiakku! Banyak lelaki yang suka! Mengelus dan mencium! Kalau kau mau boleh saja!"
Lalu si gembrot ini singkapkan dua ketiaknya yang berbulu tebal hitam sambil tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya yang gembrot dari dada sampai ke bawah perut bergoyang-goyang.
Wiro akhirnya bersedia melakukan perjalanan bersama perempuan itu. Ternyata kedua orang ini cukup cocok, terutama dalam pembicaraan yang lucu dan jorok-jorok!
Ketika Wiro dan Denok Tuba Biru sampai di jurang batu pualam, tiba-tiba dari dalam jurang mereka mendengar suara jeritan perempuan. Wiro mengenali itu adalah suara Nyi Retno Mantili. Begitu melihat ada dua tubuh melayang jatuh ke dasar jurang, tidak tunggu lebih lama Wiro dan Denok Tuba Biru segera terjun ke dalam jurang.
Dengan ilmu kesaktian yang mereka miliki secara luar biasa keduanya berhasil menyelamatkan Nyi Retno Mantili dan Sandaka. Nyi Retno Mantili walau masih pingsan tampaknya tidak mengalami cidera. Lain halnya dengan Sandaka. Bagian tubuh sebelah belakang Manusia Paku ini tampak memar kebiru-biruan. Pemuda ini beruntung melindungi dirinya dengan Ilmu Lapisan Batu Pualam.
Sehingga ketika punggungnya menghantam tonjolan batu runcing di dinding jurang lapisan batu pualam hancur berkep-ing-keping namun tubuhnya masih bisa tersela-matkan. Walau demikian setelah siuman ternyata pemuda ini tidak mampu duduk apa lagi berdiri. Diabhanya bisa bicara dan menggerakkan dua tangan. Wiro dan Denok Tuba Biru berusaha menolong dengan mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti namun tidak berhasil.
"Kalau saja aku tidak mempergunakan Ilmu Batu Pualam seharusnya aku sudah mati saat ini. Mati akan lebih baik dari pada hidup seperti ini." Sandaka keluarkan ucapan menyesali nasib.
"Sobatku Sandaka, jangan berputus asa, Kau hanya mengalami kelumpuhan sementara akibat benturan keras. Dalam waktu beberapa hari kau akan segera sembuh." Wiro menghibur.
"Aku berterima kasih kalian telah datang menolong. Bagaimana keadaan Nyi Retno. Aku kawatir dia telah tiada. Aku tidak mampu menyelamatkannya. Kalaupun aku hidup tapi dia sudah tiada, paku-paku celaka ini tidak akan pernah lenyap dari tubuhku."
"Kau tak usah kawatir. Dia ada di sini dalam keadaan selamat. Tapi masih pingsan." Menerangkan Denok Tuba Biru.
Sementara perempuan gemuk ini berusaha menyadarkan Nyi Retno Mantili, Sandaka menceritakan apa yang telah terjadi. "Aku tidak yakin apa perempuan iblis Dewi Ular itu benar-benar telah menemui ajal. Bukan mustahil dia bisa muncul kembali dalam ujud mahluk jahat Lainnya.”
Tak selang berapa lama terdengar suara tarikan nafas panjang. Lalu disusul jeritan keras. Itulah jeritan Nyi Retno Mantili yang baru sadar dari pingsan.
"Sandaka...” Ucapan itu pertama kali keluar dari mulut Nyi Retno Mantili. Lalu perempuan ini bergerak duduk. "Kemuning..." Nyi Retno menyebut nama anaknya si boneka kayu lalu memandang berkeliling. Belum sempat melihat sosok Sandaka yang terbujur dia telah lebih dulu melihat Wiro. Perempuan ini kembali menjerit. "Kemuning! Ayahmu ada di sini!"
Denok Tuba Biru mengernyit heran mendengar ucapan Nyi Retno Mantili. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi Wiro memberi isyarat agar diam saja.
"Kemuning! Ayahmu! Lekas cium ayahmu! Ayo!" Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu dari balik dada pakaiannya lalu kepala boneka itu diusap-usapkannya ke pipi Pendekar 212.
"Anak manis, kau pasti kangen sama ayahmu. Kau tidak menangis. Bagus... bagus. Aku memang tidak suka punya anak cengeng. Hik hik hik."
Mau tak mau Sandaka dan Denok Tuba Biru jadi terharu menyaksikan perilaku Nyi Retno Mantill itu. Wiro belai belakang kepala Nyi Retno.
"Nyi Retno aku senang bisa menemuimu walau dalam keadaan seperti ini. Aku bersyukur kau selamat, Sandaka telah menceritakan apa yang terjadi..."
"Sandaka!" Nyi Retno kembali menjerit. "Dimana dia?!"
"Nyi Retno, aku ada di sini. Sahabat-sahabatmu telah menyelamatkan diriku. Telah menyelamatkan kita berdua. Aku sangat berterima kasih. Aku bersyukur pada Yang Maha Kuasa. Dia masih mengasihi diriku. Walau cidera berat tapi aku masih bernafas..."
Nyi Retno Mantili serahkan boneka kayu pada Wiro lalu dia jatuhkan diri di samping Manusia Paku Sandaka. "Aku bersumpah akan membunuh perempuan ular itu! Aku bersumpah!"
"Dewi Ular sudah menemui ajal. Kita berdua yang membunuhnya waktu di goa. Apa kau tidak ingat?"
"Ya aku ingat..." Nyi Retno anggukkan kepala. Tiba-tiba sepasang mata Nyi Retno Mantili terpentang lebar. Kepala mendongak. Dari mulutnya keluar jeritan keras. Tangan kiri menunjuk ke arah dinding jurang sebelah kiri.
"Ada apa Nyi Retno? "tanya Wiro.
Denok Tuba Biru memandang berkeliling. Dia merasa kehadiran sesuatu tapi tidak melihat apa-apa. "Lihat! Perempuan iblis itu masih hidup! Dia di sana!" Teriak Nyi Retno Mantili.
Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu Duyung. Ketika dia melihat ke arah yang ditunjuk Nyi Retno Mantili astaga! Murid Sinto Gendeng tercekat. Tengkuknya terasa dingin. "Gila! Bagaimana mungkin!"
BAB DELAPAN
Yang disaksikan Pendekar 212 memang luar biasa. Mengapung didepan dinding jurang sebelah timur. Tampak sosok Dewi Ular dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali. Tubuh bugil itu mengeluarkan cahaya kebiruan menggidikan. Wajahnya yang cantik pucat pasi seperti mayat. Dan sepasang mata, dua liang telinga dan dua lobang hidung serta dari mulut, menggeliat-geliat ular merah berbelang hitam. Binatang yang sama juga keluar dari pusar, aurat serta lobang duburnya!
"Mati... Mati! Siapapun yang ada di tempat ini harus mati! Harus ikut bersamaku ke alam arwah! Matiii! Hik hik hik!”
Sosok bugil Dewi Ular lalu melesat ke arah Wiro dan yang lain-lainnya yang berada di dasar jurang. Dari sepuluh mulut ular merah belang hitam menyembur keluar larikan sinar merah. Sabagian dasar jurang batu pualam serta merta tenggelam dalam cahaya merah.
Dengan gerakan kilat Nyi Retno Mantili melompat, mengambil boneka kayu dari tangan Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekali dia meremas pinggang boneka maka dua cahaya putih menyilaukan melesat keluar dari sepasang mata boneka kayu, menyambar ke arah datangnya serangan Dewi Ular.
Wiro tidak tinggal diam. Tangan kanan yang sudah berubah menjadi putih perak dihantamkan ke depan. Selarik gelombang ca-haya putih luar biasa panas menderu, mendorong Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala yang tadi dilepaskan Nyi Retno Mantili. Itulah Pukulan Sakti Sinar Matahari!
"Bummm! Bummmm!"
Dua letusan hebat menggelegar di dalam jurang. Hawa panas menghampar dahsyat. Beberapa bagian dinding jurang rontok berhamburan. Batu-batu di dasar jurang terbelah. Air kawah menggelegat dan muncrat setinggi dua tombak. Di dalam jurang terdengar suara jeritan perempuan menyerupai lolongan srigala gurun pasir!
Denok Tuba Biru cepat jatuhkan diri mendekap tubuh Sandaka agar tidak terpental sementara Nyi Retno Mantili jatuh terduduk di tanah jurang dengan wajah pucat pasi. Dada mendenyut sakit. Wiro sendiri jatuh berlutut sambil dua tangan dipentangkan ke depan untuk mengimbangi tubuh dari goncangan yang hebat.
Cahaya menyilaukan Pukulan Sinar Matahari dan Sepasang Batu Kumala lenyap bersamaan dengan musnahnya cahaya merah yang keluar dari ular jejadian. Sosok sepuluh ekor ular jejadian dan tubuh Dewi Ular lenyap tanpa bekas. Di dalam jurang kini menghampar bau kemenyan yang membuat semua orang jadi bergidik mengkirik.
Sandaka berbisik pada Denok Tuba Biru. "Apa yang terjadi?”
"Aku tidak melihat apa-apa, Aku mendengar Nyi Retno menjerit lalu ada cahaya merah. Wiro dan Nyi Retno lancarkan serangan dahsyat. Lalu ada suara jeritan perempuan seperti loloogan srigala. Sekarang ada bau kemenyan."
"Dewi Ular...” ucap Sandaka. "Kali ini dia akan tenggelam di alam arwah untuk selama-lamanya. Dia tidak akan mampu muncul lagi ke permukaan bumi. Aku tahu betul rahasia hidupnya. Lolongan srigala dan bau kemenyan menjadi akhir riwayatnya. Rohnya akan terkatung-katung sampai kiamat di alam gaib dalam ujud seekor srigala..."
"Aneh, mengapa bukan dalam bentuk ular?" tanya Denok Tuba Biru.
"Ayah Dewi Ular konon seekor srigala. Ibunya seekor ular. Keduanya mahluk jejadian yang sudah lama mendekam di alam gaib.” Menerangkan Sandaka.
"Ternyata ada mahluk yang lebih kapiran dari diriku... Hik hik hik!" Si gembrot bermuka biru tertawa cekikikan.
Wiro menolong Nyi Retno Mantili berdiri sambil berkata. "Kita harus segera meninggalkan jurang ini. Keadaan di sini mungkin belum seluruhnya aman.”
"Kau benar Wiro. Pergilah kalian samua. Tinggalkan aku di tempat ini.”
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau aku pergi kau juga harus ikut!" kata Nyi Retno Mantili pula.
"Nyi Retno, kau dan Wiro saja yang pergi. Aku akan menunggui Sandaka di tempat ini sampai dia sembuh dari kelumpuhan." Berkata Denok Tuba Biru.
"Nyi Retno, Denok Tuba Biru. Aku berterima kasih kalian mau memperhatikan diriku. Tapi..."
"Aku akan menggendongmu asal kau mau berjanji." Nyi Retno Mantili memotong ucapan Sandaka.
Sandaka tersenyum. "Berjanji apa Nyi Retno?" "Kalau kau sudah keluar dari jurang ini dan sudah sembuh, kau tidak akan menikahiku!"
Sandaka terdiam. Denok Tuba Biru hanya bisa menatap. Wiro garuk-garuk kepala.
"Selama ini aku selalu menginginkan kesembuhan dari sengsara paku-paku celaka ini. Tekadku untuk hidup sebagai manusia wajar sangat besar. Namun takdir agaknya menentukan lain. Nyi Retno, kau satu-satunya harapan hidupku. Tapi jika kau memang tidak berkeinginan aku nikahi, aku hanya bisa pasrah. Aku memang sudah menduga kalau tidak akan pernah bisa hidup dengan tubuh wajar lagi untuk selama-lamanya. Aku mohon kalian semua meninggalkan diriku. Jika umur sama panjang, jika Yang Maha Kuasa mengijinkan di lain ketika kita pasti akan bertemu lagi."
Denok Tuba Biru mendekati Wiro dan berkata. "Aku akan tetap di sini. Aku akan berusaha mengobati sebisaku sampai cidera di punggung Sandaka sembuh dan dia mampu berjalan. Kau pergilah bersama Nyi Retno Mantili. Bukankah kau punya niat hendak membawanya menemui anaknya yang bernama Ken Permata itu demi kesembuhan sakit ingatannya?"
"Aku bingung..." kata Wiro sambil menggaruk kepala. "Aku juga menginginkan kesembuhan sahabatku Sandaka dari kesengsaraan yang dideritanya selama bertahun-tahun..." Wiro lalu berpaling pada Nyi Retno Mantili. "Nyi Retno..."
"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan.” Menukas Nyi Retno Mantili. "Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan dia. Kau sudah menjadi ayah anakku Kemuning."
"Nyi Retno, semua jalan pikiranmu keliru. Aku..."
"Jadi kau menolak mengakui sebagai ayah Kemuning?!" Suara Nyi Retno Mantili setengah membentak. "Lalu selama ini siapa kau sebenarnya?!"
Pendekar 212 garuk kepala, tersenyum, menggeleng beberapa kali lalu berkata. "Baiklah, aku mau saja dan tidak menolak kau sebutkan sebagai ayah Kemuning. Tapi apakah kau tidak punya keinginan menolong Sandaka. Jauh-lauh kau mau diajaknya ke tempat ini. Setelah sampai di sini kau menolak. Lihat keadaan Sandaka, apa kau tidak kasihan?"
"Aku hanya mau diajak ke sini. Tapi tidak pernah bilang mau nikah dengan dia!"
Untuk beberapa lama suasana di dasar jurang batu pualam itu menjadi sunyi karena tidak ada satu orangpun yang bicara. Semua terdiam. Sandaka sangat sedih. Lalu terdengar suara Nyi Retno Mantili memecah kesunyian.
"Selama ini tidak ada orang yang kasihan pada diriku. sudah aku katakan. Aku akan menggendong Sandaka keluar dari dalam jurang ini.”
"Nyi Retno, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Apapun yang terjadi. Kau pergilah bersama Wiro. Ada satu urusan sangat penting yang harus kalian selesaikan berdua. Biar Denok Tuba Biru yang menungguiku di tempat ini."
"Aku merasa tidak ada urusan dengan ayah Kemuning. Kalau kau tidak mau pergi, aku juga tidak akan meninggalkan tempat ini!" kata Nyi Retna Mantili lalu dudukkan diri di atas satu gundukan batu.
Semua orang jadi bingung mendengar ucapan dan melihat sikap Nyi Retno Mantili. Namun karena menyadari kalau perempuan ini menderita kelainan jiwa dan pikiran mereka hanya diam saja. Denok Tuba Biru kemudian mendekati Wiro lalu berbisik.
"Kau pernah menceritakan riwayat kesembuhan Sandaka. Bagaimana kalau aku yang dinikahinya? Begitu saja repot!"
Wiro menatap si gembrot berwajah biru itu beberapa ketika. Dia hendak tertawa terbahak-bahak tapi batalkan niat dan balas berbisik. "Kau tahu, perempuan yang harus dinikahi Sandaka adalah seerang perempuan sakti berkepandaian tinggi..."
"Lalu apa aku bukan perempuan? Banci? Hik hik hik! Apa aku tidak punya kesaktian dan kepandaian tinggi?" tanya Denok Tuba Biru sambil tusuk-tusuk rusuk kiri Wiro dengan ujung jari tangan kanan hingga murid Sinto Gendeng menggeliat kegelian.
"Bukan cuma itu. Perempuannya juga harus yang otaknya tidak waras alias gila alias sinting!"
"Hemm... Aku memang belum gila dan sinting beneran. Tapi gejala-gejalanya sudah ada. iya kan?! Aku punya bulu ketiak lebat Nyi Retno tidak..."
Wiro tertawa. "Gembrot! Kau bukannya sinting tapi tolol! Ini bukan urusan bulu ketiak!"
Denok Tuba Biru tertawa haha-hihi. "Kau suka pada pemuda itu?" Wiro bertanya.
"Terserah kau mau menilai bagaimana. Tapi aku menginginkan dia bisa sembuh dan lepas dari azab tiga puluh paku celaka itu! Kalau tidak nikah dengan
dia denganmu pun aku mau! Hik hik!" Wiro menyeringai. Balas menusuk-nusuk pusar Denok Tuba Biru hingga perempuan gendut itu kini yang ganti menggeliat kegelian dan tertawa cekikikan. "Gembrot muka biru, aku tidak tahu mau menjawab apa, Kau tanyakan saja pada Sandaka, Kalau dia mau nikah denganmu maka semua urusan pelik dan edan ini bisa dibereskan. Tapi yang penting apakah dia bisa mendapatkan kesembuhan dari pernikahan denganmu? Bagaimana kalau penyakitnya malah ketambahan?!"
Denok Tuba Biru yang tadinya bersemangat kini menjadi bimbang setelah mendengar kata-kata terakhir Pendekar212. "Sudah, aku lebih baik mendekam di dasar jurang ini saja menungguinya sambil berusaha mengobati." Kata si gembrot berbulu ketiak lebat.
"Aku punya pikiran lain. Pertama kita sama-sama menggotong Sandaka keluar dari dalam jurang. Sampai di atas sana kita carikan satu tempat yang baik untuknya. Dalam perjalanan ke sini aku melihat ada satu gubuk tua tak jauh dari jurang. Kita bisa membawanya ke sana. Sementara kau menjajagi, aku akan berusaha mencari seseorang untuk mengobatinya..."
"Aku menurut saja, Tapi bagaimana dengan Nyi Retno Mantili. Apa dia mau ikut bersama kita?"
"Kalau Sandaka kita bawa ke atas jurang masakan dia tidak akan mengikuti. Biar aku yang bicara padanya."
Setelah dibujuk ternyata Nyi Retno Mantili mau diajak meninggalkan tempat itu. Malah dengan kesaktian yang dimilikinya perempuan ini membantu menggotong tubuh Sandaka di bagian pinggang. Denok Tuba Biru di sebelah punggung dan kepala, Wiro di bagian kaki. Sekali ketiganya mengerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sosok lumpuh Manusia Paku Sandaka diusung melesat ke atas jurang.
Tak berapa jauh dari jurang batu pualam memang terdapat sebuah gubuk tua yang biasa dipakai oleh para penebang kayu di hutan untuk beristirahat. Sandaka di bawa ke gubuk ini. Setelah berbaring beberapa saat Sandaka berkata.
"Terima kasih pada kalian semua. Aku kini berada di tempat yang aman dan baik. Wiro dan Nyi Mantili, sekarang kalian tidak usah memikirkan diriku lagi. Pergilah ke danau Maninjau untuk menemui Ken Permata. Denok Tuba Biru akan menungguiku di sini. Aku berdoa semoga Nyi Retno Mantili bisa sembuh..."
"Gila! Yang sakit memangnya aku atau kau?!" ucap Nyi Retno Mantili dengan mata melotot.
Sandaka memberi isyarat agar Wiro mendekat lalu berbisik. "Kau harus menotok Nyi Retno. Baru bisa membawanya pergi dari sini."
"Danau Maninjau sangat jauh. Di pulau seberang. Pulau Andalas. Aku perlu waktu cepat untuk membawanya ke sana." Jawab Wiro sambil menggaruk kepala. Wiro ingat pada batu sakti milik Ratu Laut Selatan. Dia menceritakan pada Sandaka riwayat batu itu. "Kalau saja Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru masih ada padaku..."
"Walau tidak dengan batu itu kau pasti punya cara lain untuk pergi ke sana. Aku dengar kau punya ilmu kesaktian yang disebut Meraga Sukma...”
Wiro merenung sejenak lalu kembangkan telapak tangan kanan. Telapak tangan ditiup sambil mulut berucap perlahan. "Datuk Rao Bamato Hijau, datanglah. Aku perlu pertolonganmu."
Saat itu juga pada telapak tangan kanan Pendekar 212 muncul gambar kepala harimau putih bermata hijau. Sesaat kemudian terdengar suara menggereng. Tanah bergetar. Gubuk tua di mana Wiro dan yang lain-lain berada berderak-derak seperti hendak roboh. Tiba-tiba di halaman samping kiri gubuk telah muncul seekor harimau putih besar bermata hijau. Datuk Rao Bamato Hijau.
Harimau sakti peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang diam di Danau Maninjau dan selama ini memelihara Ken Permata, bayi yang dilahirkan Nyi Retno Mantili hasil perkawinan dengan Wira Bumi mendiang Patih Kerajaan. Begitu Wiro mendatangi harimau putih segera menjilati tangan sang pendekar. Wiro mengusap tengkuk harimau putih, jongkok di sampingnya sambil berkata.
"Datuk, aku sangat berterima kasih kau mau datang. Aku butuh pertolonganmu. Bawa aku dan Nyi Retno Mantili ke tempat Datuk Rao Basaluang Ameh."
Harimau putih menggereng perlahan. Mendadak terdengar jeritan Nyi Retno Mantili. "Wiro, binatang celaka apa yang kau bawa ke sini! Lihat, anakku Kemuning menangis ketakutan setengah mati!" Habis berteriak secepat kilat Nyi Retno Mantili menghambur tinggalkan tempat itu.
"Nyi Retno! Tunggu!" teriak Wiro lalu cepat mengejar.
Denok Tuba Biru telah lebih dulu berkelebat sambil lepaskan totokan jarak jauh bernama Menutup Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernafasan. Dua larik sinar biru menusuk punggung dan betis kiri Nyi Retno Mantili membuat perempuan ini serta merta tertegun kaku walau mulutnya masih terus berteriak-teriak. Wiro cepat usap urat besar di leher kiri kanan Nyi Retno Mantili hingga dia tidak bisa lagi keluarkan suara. Lalu dengan cepat dia mendukung perempuan itu dan melompat ke punggung Datuk Rao Bamato Hijau. Sebelum harimau sakti putih melesat meninggalkan tempat itu Wiro berkata pada Sandaka.
"Sobatku, apa kau benar-benar ikhlas kelak jika Nyi Retno Mantili akan sembuh setelah bertemu dengan bayinya maka kau tidak mungkin lagi dapat melenyapkan tiga puluh paku bala yang menancap di tubuhmu?"
Sandaka menghela nafas dalam. "Nasib manusia ada di tangan Tuhan. Kita semua hanya berusaha. Bagiku jika Nyi Retno Mantili bisa disembuhkan, maka kebahagiaan akan menjadi bagian diriku dan mungkin itu merupakan setengah dari kesembuhan diriku. Paling tidak kesembuhan batin."
"Kau orang hebat!" ucap Wiro polos. "Aku akan kembali ke sini secepat yang bisa aku lakukan. Aku berjanji apapun yang terjadi aku akan membawa Nyi Retno Mantili menemuimu. Semoga Tuhan melindungi dan memberkahi kita semua.”
Sandaka lambaikan tangan kanan. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Datuk Rao Bamato Hijau menggereng keras. Tanah kembali bergetar dan gubuk tua berderak-derak. Sesaat kemudian harimau sakti itu melesat ke udara laksana hendak menembus langit lalu lenyap dari pemandangan bersama dua penunggangnya.
********************
BAB SEMBILAN
Ditepi danau Maninjau Ken Permata duduk diatas batu, dua kaki dijuntaikan ke dalam air. Di samping anak perempuan itu duduk Mande Saleha, perempuan yang menjaga dan mengasuhnya. Sesekali angin dari tengah danaubbertiup sejuk. Ikan-ikan bilis berkerumun jinak tak jauh dari batu tempat kedua orang itu duduk.
"Anak Mande Ken Permata, anak rancak parmato hati, Hari sudah rembang petang. Lihat matahari sudah merah warnanya. Tak lama lagi akan tenggelam. Saatnya kita pulang ke rumah gadang. Berlama-lama di sini Datuk pasti akan mencari.”
Anak perempuan yang belum mencapai usia dua tahun itu dengan suara lincah menjawab. “Mande tenang-tenang sajalah di sini. Datuk tidak akan mencari kita. Beliau tadi ada di balik pohon besar sana memperhatikan kita. Sekarang Datuk sudah kembali ke goa pertapaannya."
Dengan perasaan heran Mande Saleha berpaling ke arah pohon besar tak jauh dari tepi danau. Dia tidak melihat siapa-siapa. Sambil memeluk anak yang kini memiliki tubuh lebih besar dari usianya, Mande Saleha barkata.
"Mande tidak melihat Datuk. Kalaupun tadi memang Datuk ada di balik pohon kita berdua tetap harus kambali ke rumah gadang."
"Mande, saya tidak akan pulang sebelum orang yang akan menemui saya datang."
Terkejut Manda Saleha mendengar ucapan Ken Permata. "Anakku, apa yang kau bicarakan ini. Siapa yang akan datang menemuimu?"
"Kalau Mande mau melihat orangnya, duduk saja di sini bersama saya..."
Mande Saleha menatap anak perempuan itu beberapa lama. Kalau tadi dia hanya memeluk, kini anak itu dipangku sambil terus dipeluk erat-erat. Ada kekawatiran dalam diri perempuan ini. Mande Saleha memandang berkeliling. Dia tidak melihat orang lain di tempat itu. Di tengah danau juga tidak ada biduk yang berlayar mencari ikan.
"Anakku, kita harus pulang sekarang juga.” Mande Saleha lalu turun dari batu, melangkah ke tepi telaga sambil terus mendukung Ken Permata.
Tapi dengan hanya bergerak sedikit saja anak perempuan itu telah meluncur turun ke tanah, lalu lari kembali ke tepi danau. Mande Saleha cepat mengejar dan memegang bahu anak itu. Ketika dia hendak mendukung kembali sang pengasuh merasa heran. Tubuh Ken Permata berat sekali hingga jangankan untuk mendukung, mengangkat saja dia tidak mampu.
"Anakku, apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa tubuhmu menjadi seberat batu raksasa?"
Ken Permata tersenyum, tidak menjawab pertanyaan pengasuhnya, malah berkata. "Mande, orang yang hendak menemui saya sudah datang." Ken Permata bicara sambil sepasang mata beningnya menatap ke arah danau.
Mande Saleha cepat memperhatikan ke arah danau. Tidak kelihatan satu orang pun, juga tidak ada perahu. Namun kemudian dia melihat sebuah batangan kayu mengapung di permukaan danau, bergerak perlahan dibawa arus ke jurusan tepi danau di mana dia dan Ken Permata berdiri. Bersamaan dengan itu te-linganya menangkap suara tiupan serunai. Jantung Mande Saleha berdetak, dada berdebar.
"Serunai itu... Aku pernah mendengar sebelumnya. Ketika Datuk kedatangan tamu. Ah... Apakah memang dia lagi yang muncul?" Mande Saleha berucap dalam hati. Lalu perempuan ini membungkuk sedikit dan berbisik ke telinga si anak perempuan. "Nak, mana orang yang katamu hendak menemui dirimu?"
"Ah Mande ini bagaimana. Masakan sebesar itu orangnya Mande tidak bisa melihat. Itu di tengah danau..."
Mande Saleha memperhatikan ke arah danau. "Anakku, Mande tidak melihat apa-apa. Yang Mande lihat hanya batang kayu terapung."
"Aduh Mande, orang itu berada di atas batang kayu itu Mande. Masakan Mande tidak melihat?" ujar Ken Permata.
Mande Saleha membuka mata lebar-Iebar. Mengucak beberapa kali. Tetap saja dia tidak melihat orang yang dikatakan Ken Permata. Bulu kuduk Mande Saleha merinding. "Anakku, jangan-jangan kau melihat mahluk halus. Sebelum kau keteguran dan menyebabkan kau bisa jatuh sakit, mari kita tinggalkan tempat ini..." Perempuan itu lalu menarik tangan Ken Permata.
Tapi seperti tadi, bobotnya yang luar biasa berat menye-babkan Mande Saleha tidak mampu membuatnya bergerak sedikitpun. "Mande, orang itu melambaikan tangan memanggil. Saya harus menemuinya..."
"Tidak, kau tidak boleh ke mana-mana. Kau harus tetap di sini bersama Mande!" Mande Saleha lalu mendekap Ken Permata erat-erat.
Tapi dengan mudah anak perempuan itu menyelinap lalu lari ke tepi danau. Selanjutnya sulit dipercaya tubuh Ken Permata melayang di udara, melesat ke arah batang kayu terapung dipermukaan danau dan berdiri di atas batang kayu itu! Mande Saleha berteriak memanggil. Dia merasa heran luar biasa. Bagaimana mungkin anak sekecil itu, yang masih bayi belum berusia dua tahun mampu melesat di udara, lalu berdiri di atas batang kayu yang terapung di permukaan air danau! Orang dewasa saja tidak semudah itu mampu melakukan kalau tidak memiliki kepandaian tinggi.
"Onde mande! Ya Allah! Ilmu kepandaian siapo didapat anak ini hingga dia bisa melompat dan berdiri di atas batang kayu terapung seperti itu, Awak tahu Datuk tidak pernah mengajarkan ilmu silat apa lagi kesaktian padanya."
Mande Saleha lalu berteriak memanggil-manggil Ken Permata sampai suaranya serak. Tak lama kemudian sang pengasuh jadi terperangah. Di atas batang kayu, di depan Ken Permata dia melihat ada sosok seseorang. Mula-mula samar, perlahan-lahan berubah bertambah jelas. Perempuan tua ini menepuk-nepuk bahu Ken Permata, sementara batang kayu bergerak menjauh ke tengah danau. Mande Saleha berteriak sejadi-jadinya namun clepp! Tiba-tiba suaranya lenyap. Ada sesuatu yang tiba-tiba menekan tenggorokannya dan saat itu juga dia tidak bisa mengeluarkan suara, apa lagi berteriak.
"Nenek itu..." ucap Mande Saleha hanya di dalam hati sementara mata terpentang lebar ke arah danau. Setelah sosok itu tampak lebih jelas, Mande Saleha lantas saja dapat mengenali perempuan tua yang ada di atas batang kayu bersama Ken Permata. Detak jantung dan dugaannya ternyata benar. "Memang dia..." desis Mande Saleha.
Nenek tua yang berdiri di hadapan Ken Permata di atas batang kayu terapung bukan lain adalah nenek yang suatu malam beberapa waktu lalu pernah menyelinap masuk ke dalam rumah gadang. Wajah bulat, kepala yang berambut putih perak digulung dihias lima sunting rendah terbuat dari suasa. Pakaian kebaya panjang kuning bersulam bebungaan perak, bercelana hitam. Sehelai selendang biru melingkar di leher. Laras Parantili! Kekasih Datuk Rao Basaluang Ameh di masa muda.
Dalam episode Janda Pulau Cingkuk dituturkan bahwa pada suatu malam Laras Parantili mendatangi Datuk Rao Basaluang Ameh, memberi tahu bahwa Ken Permata akan ketitisan roh Nyi Harum Sarti yang pernah menduduki tahta Kerajaan menjadi Ratu Laut Utara.
Datuk Rao mencegah penitisan itu namun dia kena ditipu oleh bekas kekasih di masa mudanya itu dengan racun kuning sehingga sang datuk pingsan tak sadarkan diri. Kejadian ini membuat Datuk Rao tidak mampu mencegah terjadinya penitisan. Mande Saleha sendiri sempat melihat Laras Parantili dan sempat pula menyaksikan berlangsungnya penitisan.
"Dia muncul lagi. Ya Allah ya Rabbi, pasti dia hendak berbuat jahat lagi. Celaka apa yang hendak dilakukannya terhadap anakku itu. Ya Tuhan, baa iko! Lindungi anak itu, lindungi Ken Permata.
Mande Saleha terduduk di tanah. Dia tak kuasa berteriak lagi. Suaranya hilang, tubuh lunglai. Tiba-tiba ada satu cahaya putih berkelebat ke arahnya. Sesaat kemudian dia mendengar suara.
"Perempuan pengasuh bayi titisan. Berucaplah kepada siapa saja yang kau temui sesudah ini. Katakanlah: Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi besok tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri"
Beberapa totokan kemudian mendarat di kepala Mande Saleha. Yang pertama pada kening kiri kanan, lalu pada bagian bawah dagu dekat tenggorokan.Yang terakhir ada usapan di bagian mulutnya. Satu keanehan kemudian terjadi. Mulai saat itu Mande Saleha seperti orang kurang ingatan mengeluarkan ucapan yang selalu diulang-ulang: "Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri."
BAB SEPULUH
Suara jeritan Mande Saleha membuat berhamburan keluar penghuni rumah gadang yang terletak tak jauh dari tepian Danau Maninjau. Sebelum orang-orang itu sampai di tempat Mande Saleha berada, Datuk Rao Basaluang Ameh sudah lebih dulu tiba di tempat itu. Dia terkejut sekali melihat keadaan perempuan pengasuh Ken Permata ini. Lebih-lebih ketika menyaksikan dan mendengar Mande Saleha yang bicara terus mengulang ucapan yang sama seperti orang kemasukan roh gaib.
"Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri."
Datuk Rao Basaluang Ameh mengucap istigfar berulang Kali. "Saleha, kau ini keteguran mahluk halus atau bagaimana?" Sang Datuk pegang bahu perempuan itu lalu menggoncang tubuhnya.
Tapi Mande Saleha terus saja bicara seperti tadi, mengulang-ulang ucapannya. Datuk Rao perhatikan wajah, terutama sepasang mata Mande Saleha. Dua mata perempuan itu lebih banyak nyalang daripada mengedip. Bagian hitamnya nyaris tidak bergerak. Lalu dia melihat ada tanda kebiruan di pelipis kiri kanan sarta tenggorokan samentara mulut bicara terus mangulang-ulang ucapan.
"Totokan Pelupa Diri Pematik Bicara! Pasti ini pakerjaan Laras Parantili! Tanpa sadar perempuan ini bisa bicara terus sampai kehabisan nafas!"
Dengan cepat Datuk Rao Basaluang Ameh ambil saluang (semacam seruling) emas yang terselip di pinggangnya, siap untuk memusnahkan totokan di tubuh Mande Saleha. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan putih melesat disertai suara orang berucap.
"Datuk, dia menyebut nama saya. Biar saya yang melepas totokannya!"
Belum sempat Datuk Rao Basaluang Ameh ber-paling tahu-tahu desss... dess... dess!
Dua tusukan jari tangan di dua pelipis serta satu tusukan lagi di tenggorokan membuat totokan yang menguasai Mande Saleha buyar musnah. Begitu lepas dari totokan perempuan ini mengeluh panjang, menggeliat lalu terguling di tanah. Muka pucat pasi. Nafas megap-megap. Mata nyalang tak berkesip. Datuk Rao usap kepala dan wajah Mande Saleha.
Mulai sadar akan dirinya pengasuh Ken Permata ini menggerung menangis. Datuk Rao sengaja membiarkan hingga Mande Saleha menghentikan tangisnya sendiri. Orang tua ini berpaling ke kanan di mana berdiri sosok tegap pemuda berambut gondrong berpakaian putih yang saat itu cepat-cepat membungkuk hormat, menyalami dan mencium tangannya.
"Datuk, saya muridmu. Terima salam hormat saya dan mohon dimaafkan kalau tadi saya telah berbuat lancang mendahului maksud Datuk hendak menolong Ibu ini..."
Orang tua sakti dari Pulau Andalas itu pegang bahu si pemuda. "Pendekar dari tanah Jawa, aku memang sudah lama mengharap kedatanganmu. Hanya saja kau datang ke sini dalam keadaan kurang menggembirakan..."
Sang Datuk melirik ke arah harimau putih bermata hijau peliharaannya yang tegak di samping si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Diatas punggung binatang sakti ini terbujur melintang menelungkup seorang perempuan bertubuh mungil dalam keadaan seperti tertidur pulas.
"Perempuan itu, apakah istri Patih Kerajaan tanah Jawa?" Bertanya Datuk Rao.
Wiro mengangguk lalu kembali meminta maaf atas kelancangannya meminta tolong Datuk Rao Bamato Hijau menjemput dan membawanya ke Danau Ma-ninjau ini. Saya..."
"Anak muda, kau tidak perlu meminta maaf. Untuk berbuat baik yang diridohi Allah seseorang wajib mengambil keputusan yang benar. Alhamdullillah Nyi Retno sudah berada di sini untuk kita pertemukan dengan bayinya. Hanya sayang sesuatu telah terjadi."
"Datuk, apa yang telah terjadi?" tanya murid Sinto Gendeng.
"Ken Permata diculik orang. Hanya beberapa ketika sebelum kau sampai di sini."
Wiro terkejut. Sulit dia bisa mempercayai kalau sampai dua kali bayi Nyi Retno diculik orang dari pengawasan orang tua berkepandaian tinggi seperti Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah memberikan banyak ilmu kesaktian padanya dan telah dihormatinya sebagai guru. Seperti diketahui sebelumnya Ken Permata pernah diculik oleh Wira Bumi dibantu oleh Nyai Tumbal Jiwo namun dengan bantuan tiga datuk sahabat Datuk Rao Basaluang Ameh bayi itu dapat diselamatkan. (Baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Bayi Satu Suro)
"Datuk, apakah Datuk tahu siapa yang menculik bayi Nyi Retno Mantili?"
Datuk Rao Basaluang Ameh anggukkan kepala. "Aku sudah bisa menduga karena hanya satu orang yang bisa menembus ilmu kesaktian Selusin Jaring Penolak Bala yang aku pergunakan untuk melindungi bayi itu. Agar lebih jelas mari kita tanyakan pada Mande Saleha apa yang telah terjadi. Dia sudah ber-henti menangis, keadaannya sudah mulai tenang."
"Saya juga ingin menanyai mengapa dia menyebut-nyebut nama saya. Meminta saya datang seorang diri ke Tunggul Hitam di lereng Gunung Merapi kalau ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan se-lamat."
"Orang jahat tengah memasang jebakan untuk kita, terutama dirimu.”
"Siapa Datuk?" tanya Wiro pula.
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Diikuti Wiro Datuk Rao Basaluang Ameh mendatangi Mande Saleha. Setelah mengusap kepala perempuan itu sang Datuk berkata. "Saleha, hentikan tangismu! Katakan apa yang terjadi."
"Saya mohon ampun Datuk. Entah Datuk mau menghukum saya bagaimana. Saya telah berusaha menjaga Ken Permata. Kami berada di tepi danau. Lalu muncul or... orang itu Datuk. Dia datang lagi... Saya tidak mampu mencegah. Ken Permata lepas dari dekapan saya lalu melompat melayang ke tengah danau dan berdiri di samping perempuan tua itu, di atas batang kayu terapung. Dia membawa KenPermata ke tengah danau lalu keduanya tak kelihatan lagi."
"Orang itu, perempuan tua yang kau katakan, siapa dia Saleha? Apa kau mengenalinya?"tanya Datuk Rao.
"Dia perempuan tua bersunting suasa yang muncul di rumah gadang waktu terjadi penitisan atas diri Ken Permata."
Datuk Rao menghela nafas panjang. Wajahnya yang kelimis langsung berubah. "Ternyata memang dia..." ucap Datuk Rao Basaluang Ameh berdesah. "Laras Parantili."
"Laras Parantili. Siapa dia Datuk? Saya tidak pernah mendengar nama orang ini sebelumnya," Tanya Wiro yang sejak tadi ingin tahu. Dia kawatir jangan-jangan roh Wira Bumi atau Nyai Tumbal Jiwo yang muncul kembali. "Saya juga heran mendengar keterangan Ibu ini. Ken Permata, bayi yang menurut saya belum berusia dua tahun, mampu melompat ke tengah danau dan berdiri di atas batang kayu terapung. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang berkepandaian silat tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai puncaknya. Bagaimana bisa terjadi?"
"Laras Parantili." Datuk Rao Basaluang Ameh menyebut nama sang kekasih di masa muda dengan suara bergetar. "Aku sudah menduga. Bagaimana mungkin. Aku telah melindungi seputar tempat ini dengan ilmu Selusin Jaring Penolak Bala. Ternyata dia masih bisa menembusnya. Mungkin dia memiliki bubuk bunga sakti penangkal ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu?" Si orang tua merenung sejenak lalu berpaling pada Wiro. "Laras Parantili adalah kekasihku di masa muda. Kami tidak kunjung jadi menikah karena berbagai kendala yang muncul secara tak terduga. Selain itu aku diam-diam mengetahui kalau kekasihku itu memiliki hati yang tidak seputih wajahnya tidak pula sebersih pakaian yang dikenakannya. Aku menunggu dan menunggu sampai dia bisa berubah. Namun kenyataannya hal itu tidak terjadi. Malah dengan kemunculannya menjadi pelindung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata dia telah membuktikan kalau dirinya tidak berubah, dia tetap culas seperti di masa lalu."
"Datuk, saya ikut merasa sedih mendengar cerita Datuk. Tapi ada yang tidak saya mengerti. Ken Permata ketitisan. Ketitisan roh siapa?"
"Bayi itu ketitisan roh seorang perempuan muda yang mengaku Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum Sarti..."
Kejut Pendekar 212 bukan kepalang. "Perempuan iblis itu rupanya yang punya pekerjaan. Saya tahu, dia memang pernah mengancam akan melakukan penitisan atas diri Ken Permata! Jahat sekali! Mengapa berbuat keji pada seorang bayi yang tidak berdosa?"
(Mengenai sumpah titisan Ratu Laut Utara alias Nyi Harum Sarti bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Cinta Tiga Ratu)
"Ken Permata kini bukan keadaan seperti bayi dua tahun lagi. Tubuhnya tumbuh besar menyerupai anak lima tahun. Selain itu secara aneh dia memiliki ilmu kesaktian. Ilmu kesaktian itu berasal dari roh yang menitis atas dirinya."
"Sangat berbahaya..." ucap Wiro sambil menggaruk kepala. Lalu dia berpaling pada perempuan pengasuh Ken Permata yang tegak di samping Datuk Rao. Sambil menolong perempuan ini berdiri Wiro bertanya. "Ibu coba kau tunjukkan jelas-jelas di arah mana menghilangnya Ken Permata bersama perempuan yang menculiknya itu."
Setelah memandang berkeliling perempuan itu menunjuk ke tengah danau. "Keduanya berada di atas sebuah batang kayu. Meluncur ke tengah danau. Lalu ada cahaya putih menyelubungi sekujur tubuh saya. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saya bicara terus tapi saya tidak tahu apa yang saya katakan..."
Datuk Rao Basaluang Ameh dan Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan sekeliling danau, Mereka tidak melihat batang kayu yang dikatakan Mande Saleha. Wiro bertanya lagi.
"Ibu, Ken Permata dan perempuan tua bersunting itu, apakah dia lenyap masuk ke dalam danau atau melayang naik ke udara?"
"Saya tidak tahu... saya tidak melihat. Tiba-tiba saja keduanya lenyap."
"Datuk, kalau Datuk mengizinkan dan memberi petunjuk saya akan segera menuju lereng barat Gunung Merapi. Dari ucapan Ibu ini jelas penculik tidak membawa Ken Permata ke dasar Danau Maninjau tapi ke satu tempat bernama Tunggul Hitam. Saya harus mendapatkan bayi itu kembali. Saya titip Nyi Retno Mantili..."
"Kita pergi berdua..." kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula.
"Tapi bukankah Datuk mendengar sendiri ibu ini tadi terus menerus berucap saya harus datang seorang diri jika ingin Ken Permata selamat?"
Datuk Rao mengangguk. Dia sapukan saluang emas ke arah Nyi Retno Mantili yang masih terbaring menelungkup diatas punggung harimau putih sakti bermata hijau. Lalu berkata pada Wiro.
"Totokanmu pada tubuh perempuan itu sudah aku lenyapkan. Mulai sekarang dia akan tidur sepanjang hari. Dia akan terbangun pada saat kita kembali." Datuk Rao berkata pada Mande Saleha dan harimau putih. "Kembalilah kau ke rumah gadang. Jaga perempuan itu. Dan kau Datuk Rao Bamato Hijau, awasi kawasan ini. Jika terjadi sesuatu lekas temui diriku."
Harimau putih merunduk dan menggereng perlahan. Wiro mengusap tengkuknya lalu berkelebat mengikuti Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah lebih dulu berkelebat ke arah timur di mana di kejauhan Gunung Merapi tegak menjulang tinggi dengan puncak disaput awan putih kelabu.
********************
BAB SEBELAS
Tepat tengah hari keesokannya, hujan lebat mengguyur Gunung Merapi ketika Wiro sampai dilereng barat. Dia berhenti di satu lamping gunung di mana terdapat dinding batu berwarna kuning dan merah pekat. Di beberapa tempat dinding batu ini membentuk tonjolan-tonjolan berwarna hitam. Sambil memandang berkeliling Wiro keluarkan ucapan.
"Datuk, apakah Datuk ada di sekitar sini?"
Terdengar suara jawaban pertahan, hampir merupakan bisikan di telinga kiri sang pendekar. "Aku ada di dekatmu. Mulai saat ini kau tidak boleh bicara…”
“Tapi Datuk, saya perlu petunjuk di mana tepat berdanya Tunggul Hitam itu. Apakah ini nama suatu tempat atau nama benda…”
“Naiklah ke atas dinding batu merah kuning. Terus mendaki sampai kau menemukan satu pedataran kecil ditumbuhi semak belukar berduri, Di sekitar pedataran kau akan melihat batu-batu hitam bertebaran dalam berbagai bentuk. Pada bagian tengah pedataran ada sebuah batu hitam besar, berbentuk batang kayu bercabang dua, besarnya sepemeluk tangan, tinggi tiga tombak. Itulah Tunggul Hitam. Cepat pergi ke sana dan jangan bicara lagi karena aku tidak akah menjawab apapun yang kau tanyakan. Aku tidak ingin urusan ini menjadi kacau sebelum kita melihat dan mendapatkan bayi itu. Selain itu kita masih belum tahu siapa saja yang berada bersama Ken Permata. Satu hal harus kau ingat baik-baik, jangan sekali-kali terpikat atau tertipu dengan apa yang kau lihat!”
Wiro mengangguk kepalanya yang basah riap-riapan. Dalam hati dia berkata. "Eh, memangnya aku mau melihat apa? Perawan bugil? Nenek peot tidak berpakaian? Atau dua ekor kucing lagi kawin?" Wiro tertawa-tawa seorang diri.
Ketika memperhatikan ke atas dia melihat lamping batu hitam kuning cukup terjal dan licin. Selain tertutup lumut tipis, air hujan membuat batu-batu itu menjadi sangat licin. Kelihatannya memang tidak ada cara lain mencapai pedataran di atas sana kecuali harus melewati hamparan batu yang membentuk dinding terjal licin.
Setelah memusatkan pikiran dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar 212 melesat ke udara. Begitu sampai di puncak ketinggian dia cepat menjejakkan kaki di salah satu tonjolan batu berwarna hitam, lalu melentingkan diri ke atas. Tiga kali dia berbuat begitu baru dia berhasil sampai di bagian atas dinding batu terjal dan dapatkan dirinya berada di ujung satu pedataran luas yang ditumbuhi semak belukar setinggi dada.
Semak belukar ini bukan semak belukar biasa, tapi penuh dengan duri yang laksana hidup bergerak-gerak menyambar ke berbagai arah. Hujan dan tiupan angin yang cukup kencang membuat semak belukar berduri itu sangat berbahaya. Sementara dia masih memperhatikan keadaan ditempat aneh itu, pakaian putih Wiro sudah robek terkait duri di bagian pinggang kiri dan bahu kanan.
Goresan duri di bahu kanan melukai kulit bahu. Dalam udara dingin Wiro serta merta merasakan ada hawa panas pada goresan luka. Wiro menguak lebih besar robekan di bahu lalu memperhatikan. Ternyata goresan duri telah membuat kulitnya menggembung kebiruan! Mendadak dia merasa tubuhnya agak lemas!
"Kurang ajar! Duri semak belukar ini mengandung racun! Betul ucapan Datuk. Orang hendak menjebak mencelakai diriku. Apakah Datuk tidak tahu kalau duri di tempat ini mengandung racun? Atau mungkin ada orang yang belum lama menabur racun di peda-taran ini. Benar-benar kurang ajar!"
Pendekar 212 cepat kerahkan tenaga dalam serta hawa sakti yang disalurkan dari Kapak Naga Geni 212 yang ada di dalam tubuhnya. Sebenarnya seperti diketahui Wiro memiliki kekebalan terhadap racun namun dia tidak mau berlaku ayal. Melindungi diri lebih dulu adalah lebih baik dari pada mengobati.
Hujan mulai mereda. Sesekali Guntur menggelepar dan kilat menyabung di langit. Wiro memperhatikan ke depan. Dia melihat banyak gundukan batu menyembul di antara semak belukar berduri. Gundukan batu itu kebanyakan berbentuk bulat namun ada pula yang menyerupai binatang besar. Di salah satu bagian pedataran tersembul batu hitam berbentuk pohon bercabang dua. Tingginya ternyata tidak sampai tiga tombak.
"Tunggul Hitam! Tapi mengapa tidak setinggi seperti yang dikatakan Datuk?" ucap Wiro. Dia lalu ingat. Dia tidak boleh tertipu pada apa yang dilihatnya. Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat satu orangpun di tempat itu. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Tetap saja dia tidak bisa melihat apa-apa.
Tiba-tiba Wiro merasa tanah gunung yang dipijaknya bergetar. Lalu ada suara berdesing panjang. Sepasang mata sang pendekar terpentang lebar ketika di depan sana batu yang disebut Tunggul Hitam perlahan-lahan bergerak naik ke atas, makin tinggi hingga akhirnya mencapai tiga tombak! Getaran di tanah dan suara berdesing serta merta lenyap begitu Tunggul Hitam berhenti bergerak naik.
Sesaat kemudian samar-samar Wiro melihat bayangan tiga orang berdiri di atas Tunggul Hitam. Dua orang dewasa, satu anak kecil. Dua orang dewasa berdiri di cabang kiri kanan. Orang yang kecil duduk berjuntai di atas puncak Tunggul Hitam yang rata.
"Ken Permata, yang kecil itu pasti Ken Permata!" ucap Wiro dalam hati. Dia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh, siap melesat ke batu hitam besar yang ada sejarak dua belas langkah dari hadapan Tunggul Hitam. Namun baru saja dua kakinya bergerak ke udara tiba-tiba rimbunan semak belukar di hadapannya laksana mahluk hidup mencuat tegak. Puluhan duri menyambar ke depan seperti tangan setan mencakar!
"Brett! Brettt! Breetttt!"
Baju Wiro robek besar pada tiga tempat di bagian dada dan perut. Membuat sang pendekar bersurut dan cepat memeriksa. Untung cakaran semak berduri hanya merobek baju, tidak sampai menyentuh kulit atau daging dada dan perutnya.
"Semak belukar keparat! Jangan harap kalian masih bisa mencelakaiku lagi!" Habis berkata begitu dia angkat dua tangan ke udara sambi! berteriak. "Kapak Naga Geni 212! Batu Sakti Hitam!" Kejapan itu juga kapak dan batu sakti yang ada dalam tubuh Wiro tahu-tahu telah berada di tangan kanan dan tangan kiri.
Seperti dikisahkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Lentera Iblis Kiai Gede Tapa Pamungkas secara gaib telah memasukkan dua senjata sakti itu ke dalam tubuh Pendekar 212. Dengan cara berseru menyebut nama kedua senjata itu maka kapak dan batu secara gaib pula keluar dari dalam tubuh Wiro dan langsung tergenggam di tangan. Dengan mengerahkan lebih dari setengah tenaga dalam yang dimiliki, Wiro menggosokkan batu hitam sakti ke mata Kapak Naga Geni 212.
"Wusss!" Satu gelombang api yang bukan olah-olah besarnya menderu melanda pedataran yang dipenuhi semak belukar berduri. Walau semak belukar itu dalam keadaan basah karena baru kejatuhan hujan namun gelombang api yang luar biasa dahsyatnya membakar musnah semak belukar itu hanya dalam beberapa kejapan mata saja!
Kini di pedataran luas itu hanya terlihat gundukan-gundukan batu hitam besar ber-bagai bentuk dan ukuran serta Tunggul Hitam yang menjulang setinggi tiga tombak. Kepulan asap untuk beberapa lama bergulung-gulung di atas bebatuan. Begitu kepulan asap sirna, kapak dan batu sakti lenyap pula. Tiga orang yang berada di atas Tunggul Hitam kini terlihat jelas.
Yang pertama adalah Ken Permata. Bayi yang belum berusia dua tahun tapi memiliki perawakan seperti anak lima tahun ini duduk di bagian atas Tunggul Hitam yang rata sambil uncang-uncang kaki tanpa rasa gamang ataupun takut. Wiro merasa heran melihat keberanian dan keadaan bayi ini.
Orang kedua seorang nenek tua mengenakan ke-baya panjang kuning bersulam bunga perak, bercelana panjang hitam. Rambutnya yang putih seperti perak digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting pendek terbuat dari suasa merah kekuningan. Ujung selendang biru yang melingkar di lehernya melambai-lambai di tiup angin. Wajahnya walau sudah lanjut masih ada bayangan kecantikan di masa muda, anggun namun ada pancaran sifat keangkuhan. Nenek ini berdiri di cabang Tunggul Hitam sebelah kanan.
"Nenek bersunting itu pasti Laras Parantili, kekasih Datuk. Heran, mengapa dia mau-mauan menjadi pelindung sang penitis! Berseberangan dengan Datuk, padahal di masa muda mereka pernah menjalin kasih. Tapi... cinta memang bisa berubah jadi macam-macam!"
Murid Sinto Gendeng tertawa cengengesan. Sambil garuk-garuk kepala dia perhatikan orang ke tiga yang berdiri di atas batu berbentuk pohon yang disebut batu Tunggul Hitam pada cabang sebelah kiri. Pada pakaiannya ada noda merah melintang panjang di dada. Walau wajahnya cacat di bagian mulut dan pipi kiri serta agak teleng namun Wiro masih bisa mengenali perempuan muda ini adalah Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. Wiro juga melihat bagaimana sepasang telapak kaki Nyi Harum Sarti sama sekali tidak menginjak cabang batu Tunggul Hitam. Pertanda bahwa perempuan ini adalah roh yang muncul secara jejadian.
"Kepala teleng, mulut hancur-hancuran. Pasti itu bekas tendangan Bidadari Angin Timur," membathin Wiro.
Dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Cinta Tiga Ratu dituturkan bagaimana dalam keadaan meregang nyawa setelah dibelah dadanya dengan Pedang Naga Suci 212 oleh Ratu Duyung, Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu ditendang kepalanya oleh Bidadari Angin Timur hingga mulutnya hancur, tulang leher bergeser menyebabkan kepalanya menjadi teleng.
Gadis cantik berambut pirang itu melakukan hal tersebut karena merasa sangat marah dan dendam besar terhadap Nyi Harum Sarti yang telah melontarkan kata-kata di hadapan sekian banyak tokoh rimba persilatan bahwa Bidadari Angin Timur adalah janda dari kepala pasukan Kesultanan Cirebon.
Setelah memperhatikan, tidak tunggu lebih lama Wiro cepat melompat ke atas batu hitam besar berbentuk kerbau berbaring, yang hanya terpisah sejarak sekitar dua belas langkah dari batu Tunggul Hitam.
Nenek bernama Laras Parantili dan ujud jejadian Nyi Harum Sarti tidak bergerak. Hanya sepasang bola mata mereka saja yang tampak berputar mengawasi. Di puncak batu Tunggul Hitam Ken Permata duduk tertawa-tawa, masih uncang-uncang ke dua kaki.
"Kalian semua yang di atas batu Tunggul Hitam!" Wiro yang sudah tidak sabaran berteriak keras. "Aku sudah datang ke tempat ini seorang diri! Lekas serahkan bayi di atas Tunggul Hitam."
Sunyi sesaat lalu si nenek dan perempuan bermuka cacat berkepala teleng umbar tawa bergelak.
"Pemuda gondrong muka gemblong! Siapa kau?! Sudah kesasar datang ke sini berteriak pula tak karuan macam orang kemasukan!"
BAB DUA BELAS
Mata Pendekar 212 mendelik membeliak. Jengkel penasaran dirinya dikatakan kesasar, muka gemblong dan kemasukan! Tapi dasar sableng enak saja dia menyahuti. "Kalian berdua! Yang tua seperti walang sangit kurang makan! Yang berkepala teleng seperti ayam keselak jagung! Ha ha ha! Aku mencium bau tidak sedap. Apa kalian berdua tadi pagi sudah beol tapi tidak sempat cebok? Kalian juga bermata lamur rupanya! Tidak bisa membedakan gemblong dengan lontong! Atau kalian berdua inginnya singkong? Pantas kau bau Jigong! Ha ha ha!" Habis berteriak begitu Wiro lalu tertawa gelak-gelak sambil hidung dipencet dengan dua jari tangan kiri dan mulut meludah-ludah.
Laras Parantili kerenyitkan kening. Nyi Harum Sarti keluarkan makian menggerendeng sementara Ken Permata di atas puncak Tunggul Hitam masih terus duduk tertawa-tawa sambil uncang-uncang kaki.
"Pemuda sinting! Kami tidak suka melihat kehadiranmu di sini. Lekas angkat kaki atau kau akan mati sia-sia!" Nyi Harum Sarti kini yang berteriak.
"Oala!" Wiro pencongkan mulut, telengkan kepala meniru telengnya kepala roh perempuan jejadian itu. "Kalian mempermainkanku! Itu tidak lucu! Aku bisa-bisa bukannya tertawa melihat kelakuan kalian, tapi malah kentut! Ha ha ha! Kalian mengirim pesan melalui perempuan bernama Mande Saleha yang kalian siksa dengan ilmu keji kalian! Sekarang aku sudah di sini, kalian mau berlagak aneh macam orang sinting. Kalian berjanji akan menyerahkan bayi itu! Kalian berlagak tidak suka padaku. Kalian pasti berpura-pura. Padahal paling tidak salah satu dari kalian pasti suka padaku! Ha ha ha!" Wiro menatap ke arah Nyi Harum Sarti dan kedip-kedipkan mata.
Wajah cacat roh jejadian Nyi Harum Sarti berubah merah mendengar kata-kata Wiro. Sebelumnya dia memang telah jatuh cinta pada sang pendekar dan hal ini dikatakannya terus terang di hadapan banyak tokoh rimba persilatan. Kalau sekarang dia bersikap bermusuhan maka ini adalah suatu keanehan.
"Aku ingin kalian segera menyerahkan bayi itu! Sekarang juga! Atau kalian akan menyesal!" Wiro angkat tangan kanannya yang serta merta berubah warna menjadi putih perak sebatas siku ke bawah. Sang pendekar siap melepas Pukulan Matahari.
Si nenek Laras Parantili angkat tangan kirinya. "Tunggu dulu!" serunya. Lalu dia berpaling pada Nyi Harum Sarti yang berada di cabang kiri Tunggul Hitam. "Ratu Laut Utara..." Ah! Si nenek masih memanggil Nyi Harum Sarti dengan sebutan Ratu Laut Utara! "Apa benar pemuda gondrong ini yang bernama Wiro Sableng barjuluk Pendekar 212?"
"Memang dia orangnya!" Jawab Nyi Harum Sarti dengan suara datar dan wajah cacat dingin.
Mendengar jawaban Nyi Harum Sarti, Laras Parantili bertanya. "Pemuda gondrong! Apakah kau datang ke sini seorang diri?!"
"Kalian yang minta begitu! Aku hanya melakukan! Sekarang malah banyak tanya segala!" jawab Wiro kesal.
Si nenek tertawa. Tiba-tiba dia lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah sebuah batu besar sejarak sepuluh langkah dari samping kiri Wiro.
"Wuuuttt! Braaakkk!"
Serangkum angin dahsyat menderu, membuat hancur berkeping-keping batu besar yang dihantam. Saat itu juga dari hancuran batu berkelebat sosok seorang tua berpakaian putih! Datuk Rao Basaluang Ameh!
"Ah, ternyata kau berdusta! Kau datang bersama orang yang tidak kami ingini! Berarti kau tidak akan mendapatkan bayi itu dalam keadaan selamat!" Sambil bicara Laras Parantili melirik memperhatikan Datuk Basaluang Ameh yang kini berdiri di atas sebuah batu besar di arah kanan Wiro sambi! menimang saluang emas.
"Kalian kira cuma kalian yang bisa membuat aturan?! Kalian punya aturan! Aku juga punya aturan sendiri! Aku mau datang dengan siapa itu urusanku! Lagi pula yang datang bersamaku bukan orang sembarangan. Aku tidak yakin kau bisa melupakan atau mau berpura-pura lupa. Apakah kau tidak mengenali orang tua berpakaian putih ini? Kekasihmu tercinta di masa muda?! Yang aku sebut namanya adalah Datuk Rao Basaluang Ameh!"
Raut wajah Laras Parantili berubah merah seperti saga.
"Ah, wajahmu berubah merah! Pertanda kau memang masih mencinta dirinya. Tapi mengapa berpura-pura? Malah kini berserikat dengan perempuan teleng itu, memusuhi Datuk?"
"Pemuda edan! Bicara tak karuan macam orang sinting. Itulah kalau gurunya gendeng muridnya sableng beneran!"
"Tua bangka kurang ajar!" bentak Wiro marah. "Kau berani menghina guruku Sinto Gendeng! Luar biasa sombong! Sikapmu seperti orang hebat berpikiran waras. Padahal sebenarnya otakmu ada di dengkul. Selain sombong kau juga culas! Khianat apa yang telah kau perbuat terhadap guruku Datuk Rao Basaluang Ameh! Sudah peot kisut begini apa kau kira bisa dapat lelaki muda lebih baik dari Datuk? Puahhh!"
"Pemuda sinting! Kurobek mulutmu berani bicara soal hubunganku dengan Datuk Rao!"
Wiro jerengkan mata dan cibirkan bibir. Lima sunting suasa di kepala Laras Parantili berjingkrak tegang dan kepulkan asap tipis pertanda si nenek dilanda amarah luar biasa. Rahang menggembung, mata berkilat-kilat.
Datuk Rao Basaluang Ameh yang sejak tadi diam sa]a, setelah berdehem beberapa kali lantas berkata berusaha menyurutkan ketegangan yang siap meledak. "Laras Parantili, aku memang tidak diundang datang ke sini. Namun aku punya kewajiban untuk hadir. Karena segala perbuatan yang kau lakukan telah menyimpang dari kelayakan sebagai seorang pendekar golongan putih rimba persilatan. Atau mungkin kini kau telah berubah hitam, menjadi pelindung mahluk roh jejadian yang kau sebut sebagai Ratu Laut Utara itu? Sungguh disayangkan. Di usia selanjut ini, apa sebenarnya yang masih kau harapkan dalam kehidupanmu? Bukankah mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan hal yang paling baik dari pada berbuat kemungkaran? Jika kau mau keluar dari jalan sesat dan menyerahkan bayi bernama Ken Permata itu maka aku dan Pendekar 212 akan tinggalkan tempat ini. Dan aku akan mengakhiri urusan penculikan bayi ini sampai di sini."
Laras Parantili tersenyum, rangkapkan dua tangan di depan dada lalu berkata. "Datuk, bicaramu seperti khotbah saja. Enak juga didengar. Tapi kau bukan siapa-siapa lagi bagiku. Kau tidak layak mengatur diriku karena kau tidak mampu mengatur diri sendiri. Soal bayi bernama Ken Permata dia bukan anak bukan cucumu. Tak ada sangkut paut darah daging antara kalian berdua. Setahuku kau tidak lebih dari pada kacung yang ketitipan untuk menjaganya. Masa pengasuhanmu sudah berakhir. Kami datang untuk mengambil..."
"Tua bangka sialan! Berani kau menghina Datuk! Hatimu kotor, mulutmu sebusuk comberan!" Wiro yang sudah tidak sabaran untuk menghajar si nenek kembali hendak menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun Datuk Rao cepat memberi tanda mencegah.
"Laras, lalu apa perlunya kau meminta muridku datang ke sini, menjanjikan keselamatan bagi bayi bernama Ken Permata itu? Jika kau bermaksud jahat hendak menjebak, mungkin kau akan lebih dulu masuk lobang perangkap!" kata Datuk Rao pula.
"Janji keselamatan tidak berlaku lagi. Kalian berdua sudah melanggar aturan yang kami tetapkan!"
"Aturan kentut busuk!" teriak Wiro. "Kau berani menghina guruku. Aku akan menjadikan kau babu seumur-umur di negeri neraka!" Habis berteriak Pendekar 212 segera melompat tinggi ke udara, melesat ke arah Tunggul Hitam yang berupa pohon batu setinggi tiga tombak.
Melihat gerakan yang dibuat Wiro, dalam marahnya karena dibilang mau dijadikan babu neraka Laras Parantili segera berseru pada Nyi Harum Sarti. "Ratu, apa lagi yang kita tunggu!"
Mendengar seruan si nenek Nyi Harum Sarti yang menyebut diri masih sebagai Ratu Laut Utara segera mendongak ke arah bayi di puncak batu Tunggul Hitam. "Ken Permata! Bayi titisan roh sukmaku! Bunuh orang berambut gondrong itu! Dia manusianya yang telah membunuh ayahmu!"
Habis berteriak Nyi Harum Sarti sapukan tangan kanannya ke atas. Selarik sinar kelabu menyapu sekujur tubuh Ken Permata, mulai dari kepala sampai ke kaki. Satu keanehan terjadi. Sosok bayi berusia kurang dua tahun dan berpenampilan seperti anak lima tahun itu tundukkan kepala. Lalu tubuh sang bayi tiba-tiba berubah menjadi luar biasa besar. Begitu dia melompat turun, kaki menjejak tanah, pedataran bergetar, kepala hampir setinggi batu Tunggul Hitam. Ken Permata telah berubah menjadi seorang bayi raksasa. Wiro dan Datuk Rao hanya setinggi pusarnya!
Kejut kedua orang ini bukan alang kepalang! Ketika bayi raksasa ini menyeringai, kelihatan barisan gigi dan caling panjang runcing! Belum pupus kejut Pendekar 212, bayi raksasa Ken Permata telah menyerbunya dengan satu pukulan jarak jauh yang menebar sinar hijau.
"Pukulan Mambang Laut Utara!" ucap Wiro tersentak. Ilmu kesaktian itu adalah milik Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. "Berarti bayi itu bukan saja ketitisan sifat tapi juga menguasai ilmu kesaktian yang dimiliki roh Nyi Harum Sarti!"
Secepat kilat Wiro selamatkan diri dengan melesat ke kiri, jatuhkan diri ke tanah. Sambil berguling murid Sinto Gendeng melepas Pukulan Sinar Matahari tapi tidak diarahkan pada bayi raksasa melainkan dihantamkan ke cabang kiri batu Tunggul Hitam di mana roh jejadian Nyi Harum Sarti berada. Bagi Wiro walaupun jelas bayi aneh itu yang menyerang namun dia tidak mau membalas serangan. Kawatir kalau hantamannya akan mencelakai sang bayi. Nyi Harum Sarti yang menjadi sumber kekuatan bayi raksasa, mahluk yang harus dimusnahkan lebih dulu.
Sinar putih Pukulan Matahari berkiblat panas menyilaukan. Datuk Rao Basaluang Ameh tidak tinggal diam. Dia sapukan saluang emas ke atas. Cahaya kuning laksana kipas mengembang menderu di udara disertai suara desingan seruling mencucuk pendengaran. Seperti Wiro, orang tua ini tidak mengarahkan serangannya ke arah bayi raksasa melainkan yang dituju adalah Laras Parantili yang berdiri di cabang kanan Tunggul Hitam.
Mendapat serangan pukulan sakti yang menggegerkan rimba persilatan Nyi Harum Sarti di atas cabang kiri batu Tunggul Hitam tidak bergerak sedikitpun. Malah sambil tertawa melengking dia menggoyang tubuh dan kepalanya yang teleng. Sembilan rangkum gelombang angin memancarkan cahaya biru mencuat keluar dari tubuhnya, langsung menyergap cahaya putih panas Pukulan Sinar Matahari. Begitu Saling bertabrakan satu letusan dahsyat menggelegar. Lereng barat Gunung Merapi laksana dilanda gempa. Ujung pedataran di sebelah selatan runtuh longsor.
Beberapa batu besar hitam di pedataran hancur berkeping-keping. Tapi anehnya batu Tunggul Hitam tidak rusak sedikitpun. Ini karena Nyi Harum Sarti telah menerapkan ilmu yang bernama Dinding Gaib Laut Utara. Dengan ilmu ini dia mampu melindungi setiap benda mati dari serangan atau hantaman yang datang dari luar.
Kalau akibat bentrokan dahsyat itu Pendekar 212 Wiro Sableng sampai jatuh terhenyak di tanah pedataran maka di atas cabang kiri batu Tunggul Hitam sosok jejadian Hitam Nyi Harum Sarti hanya tergontai-gontai beberapa kali. Begitu tubuhnya terjengkang di tanah, Wiro melihat bayi raksasa melompat ke arahnya lalu hunjamkan kaki kanan ke arah dada.
"Gila!" Wiro berteriak. Secepat kilat dia berguling ke kiri.
"Bruuuukkk!" Hujaman kaki kanan Ken Permata membuat lobang besar sedalam betis ditanah pedataran.
BAB TIGA BELAS
Menyaksikan itu Wiro merasa nyawanya seperti terbang. Ketika bayi raksasa hendak menyerbunya kembali, kali ini dengan tendangan kaki kiri, secepat kilat dia melesat selamatkan diri, melompat ke atas sebuah batu hitam. Bayi raksasa rundukkan tubuh sambil dua tangan dengan sangat cepat menyambar ke arah dada pakaian Wiro. Kali ini Wiro tidak sempat lagi mengelak, dia juga merasa ragu melancarkan serangan. Takut menciderai ken Permata.
Akibatnya tubuh Wiro diangkat tinggi-tinggi lalu dibantingkan ke tanah. Sebelum jatuh Wiro masih berusaha berjungkir balik. Namun tetap saja dia jatuh dengan punggung menghantam tanah. Wiro merasa tulang belulangnya seperti hancur. Darah meleleh di sela bibir. Untuk beberapa lama dia terkapar tak bergerak.
"Bayi jahanam! Kalau aku serang apa lagi kalau sampai mati berarti Nyi Retno Mantili tidak akan pernah bertemu bayinya ini. Dia tidak akan pernah dapat disembuhkan dari penyakit jiwanya! Gila! Apa yang harus aku lakukan?!"
Wiro kerahkan tenaga dalam, alirkan hawa sakti. Terapkan ilmu meringankan tubuh. Ketika bayi raksasa kembali mendekat dia telah mampu berdiri, melompat ke punggung si bayi lalu menotok bayi ltu di bagian ubun-ubun, leher dan punggung. Tiga totokan sekaligus. Tokoh silat berkepandaian tinggi sekalipun, apa lagi manusia biasa akan rubuh, paling tidak kaku tegang terkena tiga totokan itu.
Namun si bayi raksasa hanya menyeringai. Bagian yang ditotok menggembung sebentar lalu surut kembali. Ternyata totokan Wiro tidak satupun yang mempan. Tidak sanggup melumpuhkan sang bayi! Sang bayi kembali ulurkan kedua tangan. Berusaha menangkap dua kaki Wiro yang masih menginjak punggungnya. Kalau si bayi berhasil menangkap dua kaki Wiro lalu membantingkan sang pendekar ke bawah dengan kepala menghujam tanah lebih dulu maka tamatlah riwayat murid Sinto Gendeng ini!
"Aku terpaksa harus bertindak lebih keras. Kalau tidak bisa konyol sendiri!" Pikir Wiro.
Dengan menerapkan Ilmu Belut Menyusup Tanah hingga dua kakinya menjadi licin Wiro berhasil lolos dari cekalan bayi raksasa. Dia cepat melompat ke bawah. Begitu menginjak tanah dengan cepat Wiro menjotos pinggang si bayi. Lagi-lagi karena kawatir dia sengaja hanya mengandalkan sedikit tenaga dalam. Bayi raksasa menggeliat. Memekik keras lalu memutar tubuh. Wiro tidak memberi kesempatan. Dia kembali memukul. Kali ini pukulannya ditujukan ke perut bayi.
"Bukkk!" Bayi yang dipukul terjajar beberapa langkah, menggerung pendek. Lalu menyeringai. Wiro jadi jengkel. Kini dia bermaksud hendak menghantam lebih keras dengan pengerahan tenaga dalam lebih banyak. Yang diarah adalah bagian bawah perut. Namun ada rasa tidak tega.
Selagi Wiro dalam keadaan bimbang dari atas ca-bang kiri batu Tunggul Hitam Nyi Harum Sarti membuat gerakan aneh. Tubuhnya berputar ke bawah. Dua kaki menggelantung di cabang batu Tunggul Hitam. Dua tangan kemudian dihantamkan ke arah Wiro. Larikan sinar hitam menderu tiada henti. Wiro menangkis dengan balas melepas pukulan jarak pendek. Namun karena dari samping kiri dia melihat bayi raksasa siap hendak menyerangnya. Murid Datuk Rao dan Sinto Gendeng ini dengan cepat melompat ke atas puncak Tunggul Hitam. Dari sini dia melepas dua pukulan. Tangan kiri lancarkan serangan Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Tangan kanan lepaskan Pukulan Tangan Dewa Menghantam Api.
Merasa belum puas dengan dua pukulan sakti itu. Wiro kerahkan tenaga dalam ke arah mata. Saat itu juga dari kedua matanya melesat keluar dua larik cahaya hijau membentuk sepasang pedang panjang menggidikkan. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Pedang Dewa. Ketiga ilmu kesaktian yang dipergunakan untuk menyerang Nyi Harum Sarti didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh melalui Kitab Putih Wasiat Dewa yang dipelajarinya secara tekun. Adapun Ilmu Sepasang Pedang Dewa karena keganasannya maka dia hanya boleh mempergunakan dua kali dalam satu tahun.
Nyi Harum Sarti kembali putar tubuhnya. Kali ini luar biasa cepat hingga tubuh itu laksana kitiran. Dua tangan ikut berputar tak ubah seperti dua bilah pedang. Tiba-tiba tubuh yang berputar pada cabang kiri batu Tunggul Hitam melesat lepas. Menyambar ke arah Wiro.
"Plaakk!" Pinggiran telapak tangan kanan Nyi Harum Sarti berhasil menghantam dada Wiro membuat Pendekar 212 mencelat hampir setengah tombak dan terhempas ke tanah. Dadanya laksana terbelah. Sakitnya bukan kepalang. Dalam keadaan nafas megap-megap dari mulut sang pendekar menyembur darah segar!
Wiro menggeliat. Coba berdiri. "Gila! Jangan-jangan dadaku sudah belah!" Wiro usap dadanya. Begitu bisa berdiri dia cepat totok tubuhnya sendiri di beberapa tempat. Rasa sakit berkurang dan kucuran darah serta merta berhenti.
Walau berhasil menciderai Wiro cukup parah, namun mahluk alam roh Nyi Harum Sarti harus membayar mahal. Salah satu dari dua serangan berupa pukulan tangan kosong yang dilancarkan Wiro menghantam dada kirinya dengan telak hingga Nyi Harum Sarti menjerit setinggi langit. Dadanya remuk sampai ke punggung. Selagi tubuhnya terkulai limbung dan siap jatuh ke tanah, salah satu larikan sinar hijau Sepasang Pedang Dewa memapas lehernya!
"Crasss!" Leher putus! Tubuh jatuh terbanting ke tanah. Setelah memijarkan cahaya hitam tubuh ini berubah menjadi kepulan asap yang dengan cepat membubung ke udara. Hal yang sama terjadi dengan kutungan kepala berwajah cacat Nyi Harum Sarti. Kepala mahluk alam roh ini terpelanting ke cabang kiri batu Tunggul Hitam. Sebelum mengeluarkan pijaran cahaya hitam dan berubah jadi asap, mulut pencong keluarkan ucapan lantang disusul suara tawa cekikikan.
"Aku belum mati! Aku tidak kalah! Mahluk titisanku akan menghabisi kalian berdua! Aku akan muncul lagi! Hik hik hik!"
Kutungan kepala melesat ke udara, berpijar hitam, berubah jadi asap dan melesat di udara. Di satu ketinggian kepulan asap hitam yang berasal dari tubuh dan kepala mahluk alam roh Nyi Harum Sarti bergabung satu sama lain. Sesaat kemudian di udara tampak sosok utuh Nyi Harum Sarti. Mahluk jejadian ini melesat ke arah langit dan lenyap dari pemandangan.
Bayi titisan Ken Permata keluarkan teriakan keras. Gigi besar dan taring panjang mencuat keluar. Walau sampai saat itu tidak satu patah katapun keluar dari mulutnya namun jelas dia menaruh amarah terhadap Wiro. Dengan sebat dia melompat menyergap sang pendekar.
Sekarang kita lihat pertarungan yang terjadi antara Datuk Rao Basaluang Ameh dengan sang kekasih di masa muda yaitu Laras Parantili. Datuk Rao berkali-kali berteriak agar Laras Parantili hentikan serangan, hentikan pertarungan.
"Laras! Mahluk roh yang menjadi sahabatmu itu sudah musnah! Hentikan serangan! Mari kita bicara!" Teriak Datuk Rao sambil kibaskan seruling emas menangkis serangan lawan.
Walau si nenek menyerang mengandalkan tangan kosong namun dua tangannya tidak beda seperti dua batangan besi keras. Setiap terjadi bentrokan tangan dengan seruling terdengar suara berdentrangan dan bunga api bewarna kuning berpijar di udara, Lama-lama sang datuk merasa kawatir suling saktinya akan menjadi rusak. Maka seperti tadi dia mengulangi teriakannya, berusaha membujuk Laras Parantili. Hanya sayang yang dibujuk semakin beringasan dan memperhebat gem-puran!
"Kalau sahabatku musnah apa kau kira aku takut menghadapi kalian sendirian?! Saat ini aku yang telah menjadi pewaris tunggal kerajaan Laut Utara sebelum aku serahkan pada Ken Permata lima belas tahun di muka!"
Datuk Rao Basaluang Ameh terkesiap mendengar ucapan Laras Parantili. Begitu juga Pendekar 212 Wiro Sableng yang ikut mendengar. Jadi inilah alasan si nenek mengapa dia melindungi terjadinya penitisan dan berpihak pada mahluk roh Nyi Harum Sarti. Dia ingin memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Laut Utara! Lupa dia sudah berapa usianya!
"Laras! Kau telah berbuat keliru! Pemegang tahta Kerajaan Laut Utara adalah Ayu Lestari! Nyi Harum Sarti Ratu palsu yang merampas tahta dari Ayu Lestari!"
"Tua bangka tolol! Tutup mulutmu! Mari kita bertarung sampai seribu jurus! Saat ini juga harus ditentukan aku atau kau yang bakalan menemui ajal!"
"Laras, sadar dan bertobatlah! Kalau kau mau mengikuti nasihatku, aku berjanji kita akan bisa hidup bersama. Jika kau suka kita akan melakukannya mulai hari ini melalui pernikahan yang syah! Segala sesuatunya belum terlambat."
Laras Parantili tertawa panjang. Hidung mendengus, mulut dipencongkan. Lontarkan seringai mengejek pada sang Datuk. "Tua bangka tak tahu diri. Kau mimpi setengah jalan Datuk! Kambing saja tidak sudi kawin denganmu, apalagi aku! Kau boleh kawin dengan setan hantu pelayangan!" teriak Laras Parantili lalu kembali menggempur si kakek.
"Setan perempuan kurang ajar! Beraninya kau menghina guruku!" Teriak Pendekar 212 Wiro Sableng yang menjadi marah besar mendengar ucapan sangat menghina yang dikeluarkan si nenek. "Aku bersumpah akan membuatmu malu seumur hidup saat ini juga! Kau yang akan aku buat jadi kambing betina! Kalau perlu aku cabuti seluruh bulu di tubuhmu!"
Begitu berteriak Wiro berkelebat ke arah Laras Parantili yang saat itu tengah menggempur Datuk Rao dengan serangan tangan kosong, pukulan berantai. Karena sang datuk melawan setengah hati mengingat kecintaannya pada si nenek maka tak urung dua pukulan lawan bersarang di dada dan satu lagi menghajar telak keningnya hingga bengkak lebam sampai ke mata. Pada saat itulah Wiro menyergapnya dari belakang. Lalu...
"Breett! Brett!" Punggung pakaian sampai ke pinggang dan malah sampai ke bagian lebih bawah yaitu celana panjang hitam si nenek robek besar, merosot ke bawah!
Laras Parantili memekik keras. Datuk Rao berseru kaget. Selagi si nenek kelabakan menutupi auratnya sebelah belakang, Wiro bertindak lebih gila.
"Tua bangka bermulut comberan! Makan tanganku ini!"
"Plaak! Plaakk!"
Wiro tampar pipi Laras Parantili kiri kanan. Selagi si nenek sempoyongan Wiro ulurkan tangan kiri. Breetttt! Dia tarik pakaian si nenek mulai dari dada sampai ke bawah. Kini keadaan si nenek yang pakaiannya robek depan belakang nyaris bugil!
"Kambing betina bugil! Rasakan kau sekarang!" ucap Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Laras Parantili menjerit sekali lagi. Dengan nekad dia tendangkan kaki kanannya yang tepat mengenai perut Pendekar 212 hingga Wiro terpental dan jatuh duduk di tanah. Mulutnya mengeluarkan suara seperti mau muntah tapi yang keluar semburan darah! Dalam keadaan seperti itu walau dia ingin sekali menghabisi Wiro namun Laras Parantili tidak sanggup menahan malu. Nenek ini putar tubuh, lalu secepat kilat berkelebat tinggalkan pedataran Tunggul Hitam.
Sebelum jatuh terguling ke tanah Wiro masih sempat berbuat jahil, menjambret pinggang celana panjang hitam Laras Parantili. Sekali tarik saja maka tanggallah celana yang sudah tidak karuan rupa itu!
Kutuk serapah menghambur dari mulut Laras Parantili. Rasa malu luar biasa membuat si nenek memang tidak sanggup bertahan lebih lama di tempat itu. Sekali berkelebat dia sudah lenyap dari pedataran Tunggul Hitam!
“Wiro, tidak seharusnya kau berbuat begitu…" kata Datuk Rao Basaluang Ameh sambil menyeka darah yang mengucur dari luka di keningnya.
Wiro tak bisa menjawab. Tubuhnya terkapar tertelentang. Perut sakit sekali seperti mau pecah akibat tendangan Laras Parantili tadi. Dada laksana terbelah oleh hantaman pinggiran tangan kanan Nyi Harum Sarti. Darah masih mengucur dari mulutnya. Datuk Rao membungkuk, berusaha menolong Wiro berdiri. Namun saat itu dari belakang melompat bayi raksasa Ken Permata.
"Datuk, awas...!" Wiro berteriak. Namun suaranya begitu lemah dan peringatannya agak terlambat.
Saat itu tendangan bayi raksasa telah menghantam pantat sang Datuk, Orang tua ini mencelat sampai dua tombak. Wiro berusaha menyambuti tubuh itu tapi malah ikut terpental dan terguling di tanah lalu sama-sama terbujur berdampingan.
Bayi raksasa menyeringai. Memekik keras lalu melompat dan berdiri di antara kedua orang yang berada dalam keadaan tak berdaya itu. Dia berpaling ke kiri dan ke kanan seolah-olah mau memilih. Yang mana antara Wiro dan sang Datuk yang akan dihabisi lebih dulu. Ternyata bayi titisan roh jahat Nyi Harum Sarti ini memilih ke dua-duanya. Kaki kanan diangkat, siap diinjakkan ke kepala Pendekar 212 Wiro Sableng.
Bersamaan dengan itu tangan kanan bergerak melepas pukulan maut bernama Tiga Tombak Utara Memantek Nyawa. Ilmu kesaktian ini adalah yang didapat Ken Permata dari penitisan yang dilakukan Nyi Harum Sarti. Cahaya hitam berkiblat, lalu memecah menjadi tiga larikan berbentuk tiga kepala tombak, melesat ke arah kepala, dada dan perut Pendekar 212!
"Datuk, aku tidak pernah mengira akan mati bersebelahan dengan dirimu!" ucap Wiro.
"Muridku! Jangan pasrah putus asa!" teriak Datuk Rao Basaluang Ameh. "Tangkis dengan Pukulan Harimau Dewa! Aku akan membantu dengan aliran tenaga dalam!" Lalu Datuk Rao Basaluang Ameh pukulkan telapak tangan kanannya ke tanah. Saat itu juga dari tangan itu mengalir keluar tenaga dalam dan hawa sakti, langsung masuk ke dalam tubuh Wiro.
Tidak menunggu lebih lama Pendekar 212 segera tiup tangan kanannya. Saat itu juga pada telapak tangan itu muncul gambar harimau putih bermata hijau. Wiro lalu dorongkan tangan kanan ke arah datangnya serangan yang dilepas oleh bayi raksasa. Dari telapak tangan kanan Wiro mencuat keluar suara deru angin luar biasa dahsyat disertai suara gerengan harimau.
"Trang! Trang!"
Dua kepala tombak hitam mencelat mental hancur berkeping-keping. Tapi celakanya kepala tombak ke tiga dari Tiga Tombak Laut Utara Memantek Nyawa masih bisa lolos. Menderu tepat ke arah jantung Pendekar 212!
BAB EMPAT BELAS
Sekejap lagi ujung tombak ke tiga akan menancap di dada dan menembus sampai ke jantung Pendekar 212 tiba-tiba satu benda putih melayang di udara disertai deru angin sangat kencang. Lalu terdengar ada perem-lpuan berteriak.
"Kemuning! Ada bayi aneh hendak membunuh ayahmu!"
Bersamaan dengan menggemanya suara teriakan maka dua larik sinar putih berkiblat di udara.
"Traangg!" Tombak Laut Utara Memantek Nyawa yang siap menghabisi riwayat Pendekar 212 patah berkeping-keping, mencelat ke udara.
Di pedataran kini tampak harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau. Bina-tang ini lari menghampiri Wiro, lalu berdiri dengan sikap melindungi sang pendekar. Tak jauh dari situ berdiri Nyi Retno Mantili dengan mata berkilat sambil pegangi boneka kayu. Dia melirik sebentar ke arah Wiro lalu alihkan pandangan pada bayi raksasa yang juga tengah menatap ke arahnya dengan pandangan aneh.
Tiba-tiba Nyi Retno Mantili berteriak keras. Tangan kanan yang memegang boneka kayu diangkat ditujukan pada bayi raksasa. Lima jari memencet keras. Dua larik sinar putih Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala berkiblat ke arah bayi raksasa.
"Nyi Retno! Jangan menyerang bayi raksasa! Dia anakmu!" teriak Wiro. Lalu seperti mendapat satu kekuatan Wiro melompat. Da masih sempat mendorong tangan kanan Nyi Retno Mantili ke atas hingga dua larik cahaya putih yang mengarah pada bayi raksasa bergeser jauh dari sasaran.
"Kemuning! Ayahmu pasti sudah gila menolong mahluk aneh yang hendak membunuhnya!" teriak Nyi Retno Mantili.
"Nyi Retno, tenang. Dengar baik-baik, Bayi besar perempuan itu bukan musuhku, bukan pula musuhmu. Dia adalah anakmu Ken Permata!"
Nyi Retno Mantili menatap Wiro sejenak lalu tertawa cekikikan. "Gilamu kumat lagi! Aku tidak kenal siapa itu Ken Permata! Aku tidak pernah merasa punya anak bernama Ken Permata. Anakku dia! Kemuning!" Nyi Retno Mantili acungkan boneka kayu ke arah Wiro.
Bagaimana kejadiannya Nyi Retno Mantili bisa sampai ke pedataran Tunggul Hitam dibawa oleh ha-rimau putih sakti? Seperti diceritakan sebelumnya Datuk Rao telah melepas totokan di tubuh perempuan itu lalu membuatnya tertidur dan baru akan terban-gun kalau mereka kembali ke Danau Maninjau. Ternyata Nyi Retno Mantili bangun lebih cepat dari yang diduga. Perempuan ini langsung berteriak-teriak mencari Wiro.
Mande Saleha yang ketakutan akan terjadi apa-apa meminta harimau putih untuk membawa Nyi Retno Mantili ke Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi di mana Wiro dan Datuk Aao berada. Saat itu Datuk Aao Basaluang Ameh telah berdiri dan melangkah mendekati Nyi Retno. Harimau putih bermata hijau bergerak, melangkah berputar-putar mengelilingi bayi raksasa.
Si bayi sendiri tegak diam tak bergerak. Sepasang matanya masih terus memandang sayu ke arah Nyi Retno. Seperti ada sesuatu di jalan pikirannya. Kalau saja dia bisa bicara pasti dia akan mengatakan sesuatu. Sejak tubuhnya menjadi besar aneh seperti itu dia sama sekali tidak bisa mengeluarkan sepotong katapun!
"Nyi Retno," tegur Datuk Rao Basaluang Ameh begitu berdiri di hadapan Nyi Retno. "Banyak kejadian yang telah menimbulkan kedukaan dan kesengsaraan. Termasuk derita yang kau alami..."
"Eh, kakek yang matanya bengkak ini siapa?" Nyi Retno bertanya pada Wiro.
"Dia Datuk Rao Basaluang Ameh, guruku." Menerangkan Wiro.
"Oala! Kemuning! Ayahmu ini bicara apa. Kita tahu gurunya adalah nenek keriput berkulit hitam bau pesing bernama Sinto Gendeng! Sekarang kenapa dia mengaku-aku kakek ini sebagai gurunya?"
"Nyi Retno mengenai aku ini siapa tidak perlu dipersoalkan." Kata Datuk Rao dengan suara lembut sambil meletakkan tangannya di bahu kiri Nyi Retno dan diam-diam mengalirkan hawa sakti sejuk, "Yang penting saat ini adalah kau telah bertemu dengan bayimu bernama Ken Permata. Bayi dari hasil perkawinanmu dengan Wira Bumi. Bayi yang diselamatkan oleh pembatumu bernama Djaka Tua. Kau ingat Nyi Retno...?"
"Hik hik hik! Orang tua ini pandai sekali bercerita. Tapi sebagian ceritanya dusta!" Nyi Retno Mantili keluarkan ucapan sambil usap-usap wajah boneka kayu.
"Kalau aku dusta, aku minta maaf padamu Nyi Retno. Tapi ceritaku yang mana yang kau anggap dusta?" tanya Datuk Rao sambil kini tangannya mengusap kepala Nyi Retno Mantili dan kembali mengalirkan hawa sakti sejuk.
Nyi Retno kibaskan tangan yang mengusap kepalanya. "Wiro ayah Kemuning saja tidak pernah memegang kepalaku. Kau yang aku tidak kenal siapa berani-beraninya..."
Datuk Rao tersenyum. "Nyi Retno, maafkan kalau aku yang tua ini telah berlaku lancang. Selama ini aku begitu dekat dengan puterimu Ken Permata. Aku telah menganggap dirinya sebagai cucu sendiri. Dan kau aku anggap sebagai anak. Namun..."
"Orang ditempat ini gila semua rupanya!" Kata Nyi Retno Mantili dengan muka cemberut. "Aku sudah bilang tidak pernah punya anak, punya bayi atau puteri bernama Ken Permata!"
Wiro menggaruk kepala. Datuk Rao masih tersenyum. Keduanya berpaling ke arah batu Tunggul Hitam. Mereka melihat kejadian aneh. Bayi raksasa Ken Permata yang tadi begitu ganas hendak membunuh Wiro kini duduk diam menjelepok di tanah. Sepasang matanya tidak lagi beringas tapi menatap sayu tak berkesip ke arah Nyi Retno Mantili.
"Wiro, apakah kau melihat satu keanehan pada pandangan mata bayi itu...? Dia seperti mengharapkan sesuatu, mendambakan sesuatu..."
"Benar Datuk. Saya dapat merasakan..." jawab Wiro. "Anak itu sepertinya merasa ada getaran batin dalam dirinya. Mungkin Yang Maha Kuasa tengah memberikan satu petunjuk padanya. Mungkinkah bayi itu punya rasa kalau Nyi Retno Mantili adalah ibu kandungnya..."
Datuk Rao terdiam mendengar ucapan Wiro. Dia tidak menyangka si pemuda mempunyai perasaan yang begitu halus hingga menangkap getaran batin antara sang bayi dengan ibunya. Datuk Rao berpaling pada Nyi Retno. "Nyi Retno, kau belum menjawab ceritaku yang mana yang kau katakan dusta."
Nyi Retno Mantili timang-timang boneka kayu beberapa ketika lalu menjawab. "Aku tidak pernah kawin dengan orang bernama Wira Bumi. Aku tidak pernah punya anak bernama Ken Permata. Itu kedustaanmu orang tua. Tapi kau tidak dusta soal pembantuku yang bernama Djaka Tua. Eh, apa kau tahu kalau pembantuku itu sudah mati digantung orang-orang Kerajaan?"
Datuk Rao mengangguk. "Nasibnya malang sekali. Semoga Tuhan memberikan tempat yang paling baik baginya di alam akhirat.”
Nyi Retno memandang berkeliling. Dia tertawa cekikikan ketika melihat bayi raksasa perempuan yang duduk menjelepok di tanah di depan batu Tunggul Hitam. Lalu perempuan ini berkata pada boneka kayu. "Kemuning, kau lihat bayi besar itu. Lucu sekali. Makannya pasti sepuluh bakul! Hik hik hik!" Nyi Retno kemudian berkata pada Wiro. "Aku tidak suka kau membawaku ke sini. Perlu apa? Di mana ini? Aku ingin kembali ke tanah Jawa. Aku ingin menemui Sandaka..."
"Nyi Retno, kau dan Wiro akan segera kembali ke tanah Jawa. Sebelum pergi apakah kau tak ingin memegang atau mengusap kepala bayi raksasa ini?" tanya Datuk Rao pula.
"Ihh... Perlu apa aku mengusap kepalanya. Lihat, giginya besar-besar. Calingnya panjang runcing. Bisa-bisa nanti aku digeragotnya!"
"Bayi ini bayi baik. Dia tidak akan berbuat jahat padamu. Dia sebaik anakmu Kemuning. Karena sebenarnya dia dan Kemuning masih barsaudara." Kata Wiro pula.
"Geblek! Mana mungkin Kemuning bersaudara dengan bayi aneh itu!" kata Nyi Retno Mantili.
"Nyi Retno, tidakkah kau menyadari? Bayi besar itu dari tadi memandangmu. Dia akan sangat bahagia kalau kau mengusap kepalanya..."
"Kalian berdua sama rewelnya. Baiklah aku akan mengusap kepala bayi bercaling itu. Tapi satu kali saja!"
"Satu kalipun tak jadi apa Nyi Retno. Mari kugendong agar kau bisa mengusap kepalanya." Wiro lalu mendukung Nyi Retno Mantili di bahu kanannya. Agak takut-takut dia kemudian membawa perempuan itu ke hadapan bayi raksasa. "Nah, sekarang ulurkan tanganmu. Usap kepalanya..."
Nyi Retno tidak segera melakukan apa yang dikatakan Wiro, sementara Datuk Rao memperhatikan dengan perasaan cemas. Persentuhan lahir merupakan kunci dari persentuhan batin. Dengan kunci itu-lah Datuk Rao akan coba membuka ingatan Nyi Retno kembali. Bayi besar sendiri yang kini benar-benar berubah sikapnya dongakkan kepala, menatap Nyi Retno MantiIi.
Wiro pegang lengan Nyi Retno. "Usap Nyi Retno, usap kepalanya. Sesudah itu kita akan meninggalkan tempat ini...“
Nyi Retno Mantili akhirnya ulurkan tangan kanan. Telapak tangan diletakkan di atas rambut bayi raksasa lalu dia mengusap satu kali. Saat itu juga terjadi satu keanehan. Nyi Retno Mantili terpekik. Wiro dan Datuk Rao keluarkan seruan tertahan. Bayi besar yang menyeramkan itu begitu diusap satu kali kepalanya oleh Nyi Retno Mantili tiba-tiba berubah kembali menjadi bayi sebesar aslinya yakni Ken Permata seusia kurang dari dua tahun. Gigi besar dan taring di dalam mulutnya lenyap! Begitu berubah bayi ini langsung menangis. Dua tangan diulurkan ke arah Nyi Retno Mantili. Nyi Retno bersurut mundur.
"Nyi Retno, bayi itu suka padamu. Dia minta digendong." kata Wiro.
"Aku tak mau menggendongmu! Kau bukan Kemuning! Kau bukan anakku!" Kata Nyi Retno pula.
"Nyi Retno, gendonglah barang sebentar. Sampai dia berhenti menangis. Kelihatannya dia suka padamu, juga suka pada Kemuning..." Berkata Datuk Rao.
"Aku tidak mau. Aku takut Kemuning marah..."
"Tidak, Kemuning tidak akan marah. Malah lihat. Kemuning ingin menciumnya..." Wiro lalu menarik boneka kayu yang dipegang Nyi Retno Mantili dan menempelkan wajah boneka kayu itu di pipi Ken Permata. "Nah, apa kataku! Kemuning tidak marah. Lihat, Kemuning malah tertawa-tawa."
Nyi Retno Mantili tersenyum. "Boneka ini lucu juga. Siapa namanya?" Tanya Nyi Retno.
"Dia bukan boneka. Dia manusia sungguhan. Namanya Ken Permata. Bayi cantik. Milikmu...”
"Milikku?"
"Benar Nyi Retno. Dia milikmu. Apakah kau mau membawanya serta ke tanah Jawa?"
Nyi Retno menggeleng. "Tidak. Nanti merepotkan saja..."
"Dia anak baik. Dia akan jadi teman bermain Kemuning. Sekarang gendonglah. Sebentar saja…"
"Dia cengeng! Dari tadi menangis terus."
"Itu karena dia kepingin kau gendong, Nyi Retno." kata Datuk Rao.
Wiro gendong bayi kecil Ken Permata lalu diulurkan pada Nyi Retno Mantili. Nyi Retno diam saja. Tapi matanya menatap wajah bayi cantik yang menangis itu. Sepasang mata mereka saling beradu pandang. Sepasang mata ibu dan anak. Nyi Retno sisipkan boneka kayu ke punggung pakaiannya. Lalu perlahan-lahan perempuan ini ulurkan tangan.
"Aku tak mau menggendong lama-lama. Aku akan menggendong sebentar saja." Ucap Nyi Retno Mantili.
Begitu si bayi berada dalam dukungan Nyi Retno Mantili, satu cahaya hitam melesat keluar dari tubuh Ken Permata.
"Roh titisan meninggalkan tubuh bayi itu..." bisik Datuk Rao pada Wiro. "Kekuatan kasih sayang sang Ibu memusnahkan semua kejahatan yang ada dalam tubuh bayi itu..."
"Tapi apakah Nyi Retno bisa kembali waras. Bisa menyadari kalau Ken Permata adalah anak kandungnya?"
"Kita tunggu saja. Aku merasa sesuatu akan terjadi…" jawab Datuk Rao Basaluang Ameh. "Bantu aku berdoa pada Yang Maha Kuasa."
Wiro dan Datuk Rao memperhatikan. Nyi Retno Mantili yang tadi hanya mau mendukung si bayi sebentar saja kini ternyata masih terus mendekapnya sementara si bayi memeluknya sambil menangis. Dua jantung saling balas berdetak. Dua aliran darah saling menggetarkan rasa. Ketika Nyi Retno Mantili mengangkat kepalanya, Wiro dan Datuk Rao melihat bagaimana sepasang mata bening perempuan cantik bertubuh mungil itu kini tampak berkaca-kaca.
"Nyi Retno, apakah kau sudah puas menggendongnya? Kalau sudah serahkan kembali bayi itu padaku." Kata Datuk Rao pula yang sebenarnya ingin menjajagi hati dan perasaan Nyi Retno Mantili.
"Aku masih ingin menggendongnya. Dia anak baik. Hatiku merasa tenteram saat memeluknya. Siapa nama bayi ini...?"
"Ken Permata," jawab Wiro.
"Bayi ini..." Nyi Retno usap wajah si bayi yang basah oleh air mata. "Bayi ini..." Nyi Retno memandang ke arah Wiro. "Katamu dia bayiku. Anakku. Kau…kau tidak dusta?"
"Tidak Nyi Retno, aku tidak berdusta."
Nyi Retno berpaling pada Datuk Rao. Orang tua ini cepat berkata. "Aku juga tidak berdusta. Bayi bernama Ken Permata itu adalah anak yang lahir dari rahimmu dan pernah lenyap sewaktu diselamatkan oleh pem-bantumu..."
"Nyi Retno, coba kau perhatikan.” Kata Wiro pula. "Cantiknya bayi itu sama dengan cantiknya wajahmu. Hidung, alis serta bibirnya juga sama denganmu..."
Nyi Retno terdiam. Diam memandang ke arah kejauhan seperti coba merenung. Perlahan-lahan ingatan masa silam sedikit demi sedikit muncul membayang dalam benaknya. Namun memang tidak mudah mengembalikan kewarasan seseorang yang pernah hilang dan telah menderita selama hampir dua tahun hanya dengan cerita walau saat itu dia melihat sendiri sang bayi.
"Lalu Kemuning?"
Wiro menggaruk kepala. Saling pandang dengan Datuk Rao. "Kemuning saudara Ken Permata. Keduanya sama-sama anakmu, Nyi Retno.” Datuk Rao yang bicara.
"Jadi aku punya dua anak?"
"Betul..." jawab Wiro.
"Dua-duanya perempuan?"
"Betul.." Menyahuti sang Datuk.
"Dan kau ayahnya juga? Ayah Kemuning dan ayah Ken Permata?"
Wiro menggaruk kepala. "Benar, aku ayah mereka..."
"Aku punya dua anak... Aku gembira..." Nyi Retno tertawa sebentar lalu menangis. Wajahnya berubah tidak seperti biasa. Pandangan matanya juga kini lain. Suara dan nada ucapannya jauh berbeda.
"Ya Allah, turunkan rakhmatmu. Beri kesembuhan pada perempuan ini," ucap Datuk Rao dalam hati sambil mengucapkan istigfar berulang kali.
"Wiro, aku mau membawa anak-anakku pulang ke tanah Jawa. Aku, aku juga ingin melihat Sandaka. Akan aku katakan padanya kalau aku sebenarnya punya dua anak. Ken Permata dan Kemuning. Dulu dia hanya tahu kalau aku cuma punya satu orang anak. Kemuning ini..."
Nyi Retno lalu mengambil boneka kayu yang disisipkannya di punggung pakaian. Lama dia menatap boneka kayu itu sementara air mata jatuh bercucuran. Boneka kayu kemudian dicium berulang kali.
"Wiro, Nyi Retno belum sembuh sempurna. Tapi wajah, sikap serta bicaranya menunjukkan sudah jauh berubah. Kau harus segera membawanya ke tanah Jawa. Bawa dia pulang ke tempat kediamannya. Jika dia melihat semua benda atau tempat, apa saja yang ada di masa lalunya, kiranya itu akan membawa kesembuhan yang lebih cepat dalam dirinya."
"Saya akan melakukan apa yang Datuk katakan. Bisakah saya membawa mereka sekarang juga? Saya butuh bantuan sahabat Datuk Rao Bamato Hijau..."
Baru saja Wire mengucapkan kata-kata itu harimau putih bermata hijau segera mendatangi lalu rundukkan tubuh di depan Wiro dan Nyi Retno Mantili.
********************
Gubuk tua dalam rimba belantara tak jauh dari jurang batu pualam. Manusia Paku Sandaka terbaring di lantai gubuk, ditemani Denok Tuba Biru.
"Aku mendengar suara sesuatu melayang di udara. Mendatangi ke arah gubuk ini..." kata Sandaka. Baru saja dia berucap tiba-tiba ada sahutan.
"Sahabat, kami memang sudah sampai di sini!"
Lalu seekor harimau putih besar muncul, menggereng perlahan di depan gubuk, ditunggangi Wiro, Nyi Retno Mantili, Ken Permata dan boneka kayu Kemuning. Tentu saja Sandaka dan si gembrot Denok Tuba Biru merasa gembira. Ternyata Wiro dan Nyi Retno hanya pergi kurang dari dua hari.
"Sahabat berdua, aku gembira bisa bertemu lagi dengan kalian. Bagaimana keadaan kalian?”
Sandaka dan Denok Tuba Biru terheran-heran. Ada perubahan pada diri perempuan mungil ini.
"Sakit pada punggungku sudah jauh berkurang. Jika dipaksakan rasanya aku sudah bisa duduk..." Jawab Sandaka.
"Bayi cantik ini, apakah dia yang bernama Ken Permata?" tanya Denok Tuba Biru sambil mengusap pipi merah si bayi.
Yang menjawab Nyi Retno sendiri. "Benar, dia anakku. Sekarang aku punya dua anak. Ken Permata dan Kemuning."
Sandaka tertawa. Berpaling ke arah Wiro dan memberi isyarat agar Wiro mendekat. Lalu Sandaka berbisik. "Apakah Nyi Retno mengalami kesembuhan setelah bertemu bayinya?"
Wiro mengangguk dan diam-diam merasa sedih karena dengan kesembuhan Nyi Retno berarti paku-paku yang ada di kepala dan tubuh Sandaka tidak dapat dilenyapkan.
"Sekarang otaknya sudah waras, tidak gila lagi?" Sandaka bertanya lagi ingin meyakinkan.
"Benar," jawab Wiro.
"Aku bersyukur..."
"Sandaka walau aku gembira ada kesembuhan pada diri Nyi Retno Mantili, tapi aku sedih mengingat keadaan dirimu. Berarti syarat untuk melenyapkan tiga puluh paku di tubuhnya tidak mungkin dilaksanakan. Tapi biar semua kita serahkan pada Yang Kuasa Gusti Allah."
"Aku juga sudah pasrah. Ini semua sudah kehendak Yang Kuasa. Sudah takdir..."
"Tapi bagaimana kalau aku bicara dulu dengan Nyi Retno Mantili. Lalu menanyakan padanya apakah dia masih bersedia nikah denganmu?"
Sandaka tertawa. "Waktu tidak waras saja dia tidak mau nikah denganku. Apa lagi setelah waras, Kau ini mau membanyol yang tidak-tidak saja..."
"Kau tunggu saja di sini. Aku akan menemuinya. Aku akan bicara dulu dengannya. Kau berdoa saja di sini...”
"Kalau ada Malaikat mendengar ucapanmu, Malaikat pasti tertawa." Kata Sandaka pula.
"Ssttt. Jangan sebut-sebut Malaikat. Setahuku Malaikat itu tidak pernah tertawa. Tapi mampu memberikan rakhmat pada manusia. Nah, kau tunggu di sini..."
Wiro lalu membawa Nyi Retno Mantili keluar gubuk. Keduanya bicara cukup lama. Ketika akhirnya Wiro masuk kembali ke dalam gubuk bersama Nyi Retno Sandaka berusaha tenang walau hatinya sebenarnya sangat cemas. Apalagi dilihatnya Wiro berulang kali menggelengkan kepala.
Sesaat kemudian Wiro, Nyi Retno Mantili yang menggendong Ken Permata dan membawa boneka kayu, serta Tuba Biru sudah duduk di samping San-daka. Wiro mengusap wajah berulang kali, menggaruk kepala tiada henti, menambah kecemasan yang ada dalam diri Sandaka.
"Sahabatku," Wiro mulai bicara. "Aku hanya melakukan apa yang aku bisa. Selebih dari itu semuanya berada di tangan Gusti Allah."
Sandaka merasa benar-benar putus harapan. Dia menatap ke atap gubuk. Berusaha mengendalikan perasaan hingga tubuhnya bergetar dan dadanya turun naik. "Aku mengerti Wiro, kau sahabat baik. Aku sangat berterima kasih padamu. Manusia tidak bisa menolak kehendak Yang Kuasa." Berucap Sandaka dengan suara bergetar.
"Benar sahabatku. Manusia tidak bisa menolak kehendak Yang Kuasa." Jawab Wiro. Lalu dia berpaling pada Nyi Retno Mantili. "Nyi Retno, sampaikan pada sahabatku Sandaka apa yang hendak kau katakan..."
Nyi Retno Mantili usap kepala boneka kayu lalu membelai rambut Ken Permata. Matanya kemudian menatap ke arah Sandaka. Tapi mulutnya tidak mengeluarkan ucapan apa-apa.
Wiro jadi garuk kepala. "Nyi Retno. Kau sudah berjanji tadi. Sekarang ka-takan saja..."
Setelah masih diam beberapa lama akhirnya Nyi Retno Mantili berkata. "Sandaka, aku bersedia dinikahkan dan menjadi istrimu."
Kejut Manusia Paku Sandaka Arto Gampito bukan alang kepalang. Si gembrot Denok Tuba Biru terperangah. Saking kaget dan juga gembiranya Sandaka tiba-tiba berteriak keras. Lupa akan sakit di punggungnya pemuda ini melompat ke atas hingga menjebol atap gubuk. Ketika dia menjejakkan kaki di halaman, tiga puluh paku yang menancap di kepala, wajah serta sekujur tubuhnya telah lenyap! Kuasa Tuhan memang di atas segala-galanya. Walau Nyi Retno Mantili kini sudah berubah menjadi orang waras namun keikhlasannya untuk bersedia menjadi istri Sandaka membuat pemuda ini tetap mendapat kesembuhan.
Perlahan-lahan Sandaka jatuhkan diri berlutut lalu bersujud di tanah. Mulutnya berucap. "Terima kasih Gusti Allah. Terima kasih atas pertolonganMU hingga saya mendapatkan kesembuhan. Saya berjanji akan mengasihi dan menjaga baik-baik istri saya, Nyi Retno Mantili. Saya berjanji akan menyayangi dua anaknya, Ken Permata dan boneka kayu Kemuning..."
Pada saat Sandaka jatuhkan diri berlutut, Nyi Retno Mantili cepat-cepat keluar dari dalam gubuk yang atapnya sudah jebol. Wiro segera mengikuti. Tapi Denok Tuba Biru cepat memegang tangannya.
"Wiro, sekarang giliranku untuk mengatakan bahwa aku bersedia kau nikahi dan menjadi istrimu..."
"Apa?!" Dua mata Pendekar 212 mendelik besar.
Si gembrot Denok Tuba Biru tertawa gelak-gelak lalu enak saja merangkulkan dua tangannya ke bahu sang pendekar hingga bulu ketiaknya yang lebat bersembulan menyentuh leher Wiro, membuat murid Sinto Gendeng merinding kegelian!
T A M A T
**********
Sudah pernahkah anda membaca Satria Lonceng Dewa - Dia dilahirkan dari ayah seorang Pangeran Bunga Bangkai dan ibu yang menyerupai Dewi Loro Jonggrang. Tetapi anehnya mereka sebagai suami isteri yang tidak pernah bertemu secara nyata. Bagaimana ini dapat terjadi??? Silakan baca kisah selengkapnya dalam serial SATRIA LONCENG DEWA karya Bastian Tito