Bulan Sabit Di Bukit Patah
BAB SATU
GOA itu terletak di lereng timur Bukit Siangok. Bagian dalamnya berlapis batu-batu pualam. Bebatuan ini selain memancarkan cahaya terang juga mengeluarkan hawa sejuk di waktu siang dan menebar udara hangat di malam hari. Siapa saja, bahkan lebih dari satu orang bisa tinggal di goa itu untuk jangka waktu lama karena tak berapa jauh dari goa terdapat sebuah perigi dangkal berair jernih.
Di lereng di atas goa ada satu hutan kecil ditumbuhi berbagai pohon buah yang bisa dimakan. Selain itu Juga banyak berkeliaran ayam hutan yang tidak terlalu sulit ditangkap untuk dijadikan santapan. Untuk mencapai goa yang terletak di bagian bukit terpencil ini jalan yang harus ditempuh cukup sulit. Penduduk beberapa dusun di sekitar kaki Bukit Siangok jangankan naik ke bukit, mendekat di sekitar kaki bukit saja tak ada yang berani.
Konon di kawasan bukit banyak berkeliaran harimau besar. Terkadang binatang ini tidak muncul sendirian, ada kalanya berombongan atau anak beranak. Ada yang mempercayai kalau binatang-binatang buas itu merupakan peliharaan orang sakti. Namun siapa orangnya dan di mana tepat tempat kediamannya tidak diketahui. Penduduk hanya menduga-duga bahwa binatang buas itu adalah masih anak buah Inyiek Batino yang dikenal sebagai Ratu Sekalian Harimau Betina di tanah Minangkabau.
Menjelang pertengahan hari dari arah utara kelihatan empat orang berkelebat cepat. Salah seorang dari mereka berlari sambil memanggul sosok perempuan muda berbadan elok, berambut hitam terurai. Keempat orang ini ternyata menuju ke Bukit Siangok yang ditakuti penduduk beberapa dusun itu. Dengan ketinggian ilmu kesaktian yang dimiliki, empat orang itu berlari secepat tiupan angin. Tidak selang beberapa lama mereka telah berada di lereng timur Bukit Siangok, di mana goa tadi berada.
“Ini tempat rahasia yang aku ceritakan.” Berkata orang yang pertama sekali mencapai mulut goa.
Orang ini berusia lebih setengah abad. Mukanya aneh karena ditutupi bulu hitam di sebelah kanan dan bulu putih di bagian kiri. Baju serta celana galembong hitam yang dikenakannya kotor oleh debu dan selepotan tanah. Di pinggang orang ini tergantung sebilah pedang tapi cuma sarungnya saja yang ada. Inilah Tuanku Laras Muko Balang, salah seorang tokoh utama yang terlibat dalam usaha mencari puteri Pangeran Tiongkok bernama Chia Swie Kim yang kemudian diberi nama Puti Bungo Sekuntum, digelari Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok oleh Datuk Marajo Sati, Datuk Pucuk pimpinan Para Datuk Luhak Nan Tigo.
Seperti dituturkan dalam Mayat Kiriman Di Rumah Gadang, pedang sakti Al Kausar miliknya yang terbuat dari perak murni dan konon berasal dari tanah Arab terjatuh di tanah tak sempat diambilnya ketika terjadi perkelahian antara dirinya dengan Wiro dan Si Kamba Mancuang. Masih untung dia bisa melarikan diri selamatkan nyawa sekaligus memboyong Puti Bungo Sekuntum.
Akan halnya gadis cantik Puti Bungo Sekuntum, saat itu tergeletak dalam keadaan tertotok di panggulan bahu kiri seorang lelaki berdestar dan berpakaian serba merah yang bukan lain adalah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Rambut panjang hitam tergerai awut-awutan, wajah pucat dan dua mata tertutup. Sekali-sekali Pandeka Bumi Langit meniup-niup tangan kanannya yang merah melepuh. Sewaktu terjadi pertarungan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan mengandalkan ilmu silat Sitaralak dia berhasil menyarangkan pukulan bernama Tigo Alu Mangupak Lasuang.
Wiro semburkan darah akibat terluka di dalam walau tidak parah. Pandeka Bumi Langit sendiri mengelupas kulit tangan kanannya mulai dari ujung jari sampai ke pergelangan akibat hawa panas yang memancar keluar dari tubuh Wiro berasal dari kapak sakti yang berada dalam badan sang pendekar. (Baca Mayat Kiriman Di Rumah Gadang)
Orang ketiga yang ikut bersama Tuanku Laras Muko Balang tentu saja adalah Ki Bonang Talang Ijo, orang tua sakti dari Kuto Gede di tanah Jawa. Kakek bersorban dan berjubah hijau ini, yang menjadi pimpinan rombongan pencari Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok keadaannya mengenaskan sekaligus menggidikkan. Ketika bertarung melawan Datuk Panglimo Kayo, walau dia berhasil membuat lawan akhirnya menemui ajal, namun Datuk Panglimo Kayo sempat menginjak hancur kening dan mata kanannya. Kini kening dan mata itu dibalut sehelai kain hitam tebal. Blangkon hijau berbunga hijau yang merupakan salah satu senjata andalan masih bertengger di atas kepala.
Tak jauh di sebelah kiri Ki Bonang berdiri seorang lelaki bermata sipit berkulit kuning. Tangan kanan dibalut di bagian siku. Inilah Perwira Muda TengSien yang daun telinga kanannya sumplung dihantam patahan goloknya sendiri sewaktu berkelahi melawan Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti diketahui dia adalah orang kepercayaan Pangeran Chia di daratan Tiongkok yang merupakan ayah dari Chia Swie Kim.
Perwira berkepandaian tinggi ini bersama tiga orang anak buahnya yang telah lebih dulu menemui ajal ditugaskan untuk mengejar dan membawa kembali Chia Swie Kim yang didalam tubuhnya terdapat sebuah benda pusaka keramat milik Kerajaan yaitu Kupu Kupu Mata Dewa. Di dalam menjalankan tugas Perwira Muda itu diberi wewenang untuk menyerahkan hadiah berupa batangan-batangan emas sebanyak dua peti kepada siapa saja yang membantu mendapatkan puteri sang Pangeran.
Satu peti telah diberikan kepada Ki Bonang dan semua orang yang memberikan pertolongan. Sisa satu peti disimpan di satu tempat rahasia dan baru akan diserahkan kalau Chia Swie Kim dalam bentuk seorang gadis ataupun dalam ujud kupu kupu batu giok berhasil ditemukan dan untuk selanjutnya dibawa kembali ke Tiongkok. (Baca episode pertama berjudul Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok)
Dari air muka Teng Sien yang tembam keringatan dan kotor terpancar perasaan jengkel kalau tidak mau dikatakan marah. Dia tengah menghadapi satu hal yang tidak disukainya. Dia telah mencium ada hal-hal yang tidak beres dengan orang-orang yang kini membantunya.
“Kalian semua cepat masuk ke dalam goa. Kita aman di sini. Kita butuh istirahat...” Berkata Tuanku Laras Muko Balang. Lalu dia mendekati Pandeka Bumi Langit untuk mengambil Puti Bungo Sekuntum dari atas bahu dan membawanya masuk ke dalam goa.
Sewaktu Ki Bonang Talang Ijo hendak melangkahkan kaki mengikuti Tuanku Laras, Perwira Muda Teng Sien cepat memegang bahu si kakek dan berkata. “Aku tidak akan masuk ke dalam goa. Bukan ini yang aku inginkan! Bukan begini perjanjian kita! Aku punya tanggung jawab besar pada Pangeran Chia dan Kaisar Tiongkok. Aku harus segera membawa gadis itu ke Tionggoan. Dalam ujudnya seperti sekarang ini atau dalam bentuk kupu kupu Giok! Mengapa orang bermuka belang masih menahan gadis itu? Apa yang hendak dilakukannya? Aku punya kecurigaan.” (Tionggoan adalah Daratan Tiongkok)
“Perwira, sabar... tenang. Kita masuk dulu ke dalam goa. Istirahat barang sebentar apa salahnya. Kita bicara di dalam...” Ki Bonang Talang Ijo menjawab sambil membujuk dan memegang bahu Teng Sien.
Mendengar suara orang bicara di belakang dan kemudian melihat Teng Sien tidak mau beranjak dari tempatnya, Tuanku Laras bertanya pada Ki Bonang Talang Ijo. Orang tua dari Kuto Gede ini memang satu-satunya yang mengerti bahasa Cina di dalam rombongan. Karena itu dia juga bertindak sebagai juru bahasa antara Teng Sien dengan Ki Bonang dan anggota rombongan lainnya.
“Ada apa Ki Bonang? Apa yang dibicarakan Perwira itu?”
Mendengar pertanyaan Tuanku Laras, Ki Bonang dengan polos memberi tahu apa yang dikatakan Teng Sien. Tampang Tuanku Laras berubah meregang. Bulu hitam putih yang tumbuh menyelimuti wajahnya berjingkrak berdiri. “Katakan pada Perwira Cina itu! Jika dia tidak mau masuk atau mau Undang hapus dari tempat ini lebih baik dia pergi saat ini juga!” (Undang hapus: pergi/angkat kaki)
“Tapi ingat!” Tuanku Laras cepat menyambung ucapannya. “Jangan harap aku akan menyerahkan gadis Cina ini padanya. Sebaliknya dia punya kewajiban menyerahkan sisa satu peti emas pada kita! Gara-gara urusan yang dibawanya banyak sahabat kita di negeri ini menemui ajal! Ki Bonang, beri tahu apa yang aku katakan padamu! Nanti aku ingin bicara dengan Ki Bonang melanjutkan pembicaraan yang terputus tempo hari.”
“Sahabatku Tuanku Laras, kita semua tidak pernah menduga kalau dalam membantu Perwira Cina itu akan jatuh begitu banyak korban dan terjadi silang sengketa di negeri ini. Semua rencana telah salah arah. Yang penting sekarang bagaimana urusan ini bisa selesai dengan baik...”
“Ki Bonang, seperti aku, kau terlibat dalam masalah besar ini. Jadi jangan sekarang kau berpura-pura menyesal!”
Ki Bonang Talang Ijo tidak menyahuti ucapan orang tapi dalam hati dia berkata “Manusia satu ini sudah salah kaprah! Apa yang ada di benaknya? Ingin mendapatkan emas tapi tidak mau menyerahkan gadis itu. Perwira Cina itu bicara dan punya jalan pikiran benar. Aku menduga ada satu rencana mencari keuntungan sendiri dalam benak Tuanku Laras. Dia bersikap seolah dialah yang kini jadi pimpinan dalam rombongan. Padahal aku yang mengajaknya serta..."
Tentu saja ki Bonang tidak mau menyampaikan ucapan Tuanku Laras pada Perwira Muda Teng Sien. Karena kalau hal itu diberitahu pastilah Perwira Cina itu akan menjadi marah dan bisa-bisa mengamuk. Maka kembali Ki Bonang membujuk agar Teng Sien mau masuk dulu ke dalam goa. Akhirnya Teng Sien masuk juga diikuti Pandeka Bumi Langit di sebelah belakang.
Goa berlapis batu-batu pualam di lereng timur Bukit Siangok itu ternyata. cukup besar. Gundukan batu-batu pualam putih setinggi pinggul membentuk dan membagi bagian dalam gua menjadi empat ruangan. Tuanku Laras masuk ke dalam ruangan paling ujung. Ki Bonang di ruangan sebelah, lalu Pandeka Bumi Langit di ruangan kiri. Perwira Teng Sien sambil mulut komat-kamit mengeluarkan suara menggerendeng dudukkan diri dengan kesal di lantai batu pada ruangan sebelah kanan yaitu yang paling dekat ke mulut goa. Tak selang beberapa lama terdengar suara Tuanku Laras memanggil Ki Bonang.
“Ki Bonang. Kita harus bicara dan mengambil keputusan sekarang juga!” Kata Tuanku Laras begitu Ki Bonang duduk di depannya.
Sebenarnya tokoh silat dari tanah Jawa ini tidak suka menghadapi sikap Tuanku Laras yang seolah dialah yang jadi pimpinan dalam rombongan. Namun dia diam saja sambil memperhatikan keadaan sekeliling ruangan. Di sebelah kiri Pandeka Langit Bumi pura-pura tidur tapi diam-diam telinganya menguping apa yang dibicarakan ke dua orang itu. Sementara itu Puti Bungo Sekuntum telah dibaringkan di lantai goa masih dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Namun telinga dapat mendengar semua pembicaraan orang yang ada di dalam goa.
“Ki Bonang sahabatku,” berujar Tuanku Laras, “Kau belum memberi jawaban atas rencana yang pernah aku beri tahu. Hal itu tidak bisa ditunda-tunda lagi. Perwira Cina itu sudah saatnya harus dihabisi!”
Ki Bonang Talang Ijo terkejut mendengar kata-kata orang bermuka belang yang duduk dihadapannya itu. Sebelumnya memang Tuanku Laras pernah bicara bahwa dia ingin mengusir Perwira Muda Teng Sien bahkan membunuhnya bilamana perlu. Saat itu Ki Bonang tidak begitu menanggapi. Rupanya si muka belang ini tidak main-main dengan ucapan serta rencananya.
“Tuanku Laras, mengapa kita musti membunuh Perwira Cina itu. Dia datang minta tolong padaku laiu aku minta tolong pada Tuanku Laras dan teman-teman di sini. Kita sudah menerima pembayaran satu peti emas. Kita akan mendapatkan peti kedua setelah menyerahkan gadis itu pada Teng Sien. Bukankah begitu perjanjiannya?”
Rahang Tuanku Laras menggembung. Lalu dia menyeringai dan enak saja meludah di lantai goa. Wajah cacat Ki Bonang Talang Ijo tampak berubah merah. Dia merasa tersinggung dan terhina oleh perilaku meludah yang barusan dilakukan Tuanku Laras. Bukan saja karena dia merasa jauh lebih tua tapi dimatanya Tuanku Laras adalah salah seorang dari bawahan, anak buahnya.
“Ki Bonang, orang minta tolong wajib dibantu.” Ucap Tuanku Laras tanpa memperhatikan raut wajah Ki Bonang yang berubah. “Tapi kalau permintaannya telah menjadi malapetaka bagi kita yang menolong apa kita masih mau melanjutkan pertolongan? Sudah berapa kerabatku menemui ajal. Aku kehilangan pedang sakti Al Kausar. Kau sehdiri. Coba lihat dirimu. Kening hancur mata terpuruk buta! Kau masih mau menolong Perwira Muda itu? Bagaimana kalau dia menggagahi gadis itu ditengah jalan lalu membunuhnya. Apa Ki Bonang mau bertanggung jawab?!”
“Mana dia berani melakukan hal itu. Ke manapun dia pergi pasti akan diburu orang-orang Kerajaan. Dia akan dipancung! Tapi itu biar menjadi urusannya. Urusan kita menyerahkan gadis itu padanya dan dia menyerahkan satu peti emas pada kita. Urusan selesai. Habis perkara. Perwira itu pulang ke Tiongkok, aku pula ke Jawa.”
“Ki Bonang, kita tidak tahu banyak tentang siapa adanya Perwira Muda Teng Sien. Mungkin saja dia sebenarnya adalah penjahat besar di daratan Tiongkok. Sekarang aku ingin bertanya. Apa kau sejalan dengan rencanaku atau tidak?”
“Tuanku Laras, aku...”
“Kalau kita bunuh Perwira itu, emas yang satu peti tinggal kita bagi dua. Kau pulang ke Jawa akan menjadi orang kaya raya!”
Ki Bonang terdiam. Rupanya ucapan Tuanku Laras mendatangkan kebimbangan dalam hatinya. Sesaat kemudian Ki Bonang bertanya. “Saat ini kita tinggal bertiga. Bagaimana dengan sahabat kita Pandeka Bumi Langit?” Bertanya Ki Bonang.
Tuanku Laras tinggikan kepala, memandang ke ruangan di sebelah kiri di mana Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik berada. Saat itu dilihatnya sang Pandeka duduk bersandar ke dinding goa, mata terpejam mulut terbuka dan mengeluarkan suara mengorok perlahan. Setengah berbisik Tuanku Laras kemudian menjawab pertanyaan Ki Bonang Talang Ijo.
“Dia cukup kita beri tambahan satu batang emas saja. Biar nanti aku yang mengatur.”
“Kalau dia menolak?” tanya Ki Bonang.
“Gilirannya kita habisi!” Jawab Tuanku Laras Muko Belang. Ki Bonang Talang Ijo tidak menjawab. “Sekarang katakan padaku di mana satu peti emas itu disimpan Teng Sien. Ki Bonang pernah mengatakan kalau Ki Bonang tahu tentang keberadaan emas itu. Kita bisa pergi sama-sama mengambilnya.”
“Aku memang tahu. Tapi bagaimana mungkin aku menyalahi perjanjian dengan Teng Sien?” kata Ki Bonang pula. Walau hatinya tergoda untuk mendapatkan tambahan batangan emas yang begitu banyak tapi dia tidak akan memberi tahu di mana satu peti batangan emas yang lain berada. Dalam hati orang tua itu membatin. “Kalau aku beri tahu sama saja aku menggadaikan nyawa. Setelah dia nekad membunuh Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit pasti aku pula yang akan dibantainya.”
Apa yang ada di benak Ki Bonang begitu pula yang diperkirakan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang saat itu pura-pura tidur, dalam hati dia berkata. “Ki Bonang, sekali kau memberi tahu di mana emas itu berada maka nyawamu hanya tinggal bilangan hari saja.”
“Aku kecewa mendengar ucapan Ki Bonang...” Tuanku Laras berkata. “Rupanya aku harus bertindak sendiri.”
“Maafkan aku Tuanku Laras. Tapi kita harus berlaku hati-hati agar jangan salah bertindak.” Jawab Ki Bonang. Lalu kakek ini alihkan pembicaraan dengan bertanya. “Berapa lama kita akan berada di tempat ini? Lalu ke mana tujuan kita selanjutnya?” Ki Bonang bertanya mengalihkan pembicaraan.
“Kita melanjutkan perjalanan pada saat matahari tenggelam. Saat ini aku belum bisa memberi tahu ke mana tujuan kita.”
Tuanku Laras tersenyum. Senyuman yang terasa aneh di mata Ki Bonang karena belum pernah dia melihat Tuanku Laras tersenyum polos seperti itu. Biasanya orang ini kalau tersenyum selalu dibayangi air muka menunjukkan sikap sinis atau melecehkan orang. Sambil mendekatkan kepalanya ke samping wajah Ki Bonang, Tuanku Laras berkata setengah berbisik.
“Kau betul. Gadis ini hanya akan menjadi beban saja. Tapi beban yang sangat membahagiakan...”
“Apa maksud Tuanku Laras?” Tanya Ki Bonang sementara hatinya menduga-duga.
“Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Aku tidak akan melepas gadis satu ini. Aku akan mengambilnya menjadi istri.”
Ki Bonang Talang Ijo sampai ternganga saking tercengangnya mendengar ucapan Tuanku Laras. Lalu dia cepat tersenyum dan berkata. “Maafkan diriku Tuanku Laras. Setahu saya bukankah Tuanku Laras sudah punya tiga orang istri...?”
Meskipun matanya membeliak merah dan bulu hitam putih dimukanya berjingkrak tegak Tuanku Laras masih mampu menjawab dengan suara tenang. “Aku bisa beristri sampai empat orang. Siapa yang melarang? Adat membenarkan. Agama mengizinkan!”
“Aku mengerti Tuanku Laras. Hanya saja, kalau Tuanku Laras melakukan hal itu, lantas apa bedanya dengan perbuatan yang telah dilakukan Datuk Marajo Sati?”
Mendidihlah amarah Tuanku Laras Muko Batang mendengar ucapan Ki Bonang Talang Ijo. Mata mendelik merah, rahang meng-gembung dan semua bulu yang menutupi wajahnya berdiri kaku. Tangan kanannya tiba-tiba dipukulkan ke bawah.
“Braakk!” Salah satu gundukan batu pualam putih di lantai gua hancur berkeping-keping. Lantai goa sendiri melesak amblas sampai satu jengkal.
“Ki Bonang! Kalau kau bukan seorang sahabat sudah ku pecahkan kepalamu seperti aku memecahkan batu ini!” Ucap Tuanku Laras setengah berteriak hingga suaranya menggelegar di dalam gua, membuat Pandeka Bumi Langit yang pura-pura tidur membuka kedua matanya sebentar lalu meneruskan tidur bohong-bohongannya.
Di dekat mulut goa Perwira Muda Teng Sien berdiri dari duduknya, memandang ke arah Tuanku Laras dan Ki Bonang lalu duduk kembali di tempatnya sambil geleng-geleng kepala. Hatinya semakin tidak suka. Niatnya untuk segera membawa Puti Bungo Sekuntum semakin besar.
Tuanku Laras Muko Balang yang masih belum reda amarahnya kembali berteriak. “Ki Bonang! Jaga mulutmu kalau bicara! Jangan samakan aku dengan Datuk Marajo Sati keparat itu! Dia menyekap gadis ini sebagai gendak! Aku akan mengawininya! Melalui pernikahan yang syah! Apa kau kira aku ini lelaki mata keranjang yang tidak punya martabat?!”
Ki Bonang hanya bisa mengangguk-angguk kepala beberapa kali. “Tuanku Laras, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu.” Belangkon hijau yang sejak tadi dipegang cepat-cepat dikenakan lalu Ki Bonang berdiri.
“Kau mau ke mana Ki Bonang?” tanya Tuanku Laras.
“Aku mau ke luar goa. Ingin menghirup udara segar...”
“Di dalam goa ini aman dan udaranya sejuk. Apa Ki Bonang tidak merasakan?”
“Aku tidak lama. Sebentar juga masuk kembali.”
“Agaknya Ki Bonang tidak suka aku mengambil Puti Bungo Sekuntum menjadi istri? Rupanya Ki Bonang juga punya hasrat terhadap gadis ini?” Tuanku Laras bertanya sambil mengusap punggung Puti Bungo Sekuntum yang tergolek tak bergerak di lantai.
Ki Bonang tertawa. “Aku sudah tua. Jika aku mau di tanah Jawa aku bisa mempunyai dua belas gundik! Tapi bagiku jaman untuk bercinta mengumbar nafsu sudah lewat...” Ki Bonang berdiri lalu melangkah keluar goa.
“Ki Bonang!” Tuanku Laras memanggil.
Ki Bonang Talang Ijo hentikan langkah, berbalik menoleh ke arah Tuanku Laras. Lelaki bermuka belang itu berkata. “Ki Bonang, kalau kau punya niat hendak meninggalkan tempat ini sebaiknya bicara terus terang!”
Ki Bonang Talang Ijo menyeringai lalu menjawab. “Seperti kata Tuanku Laras tadi, aku ingin menjadi orang kaya raya kalau pulang ke tanah Jawa.”
Tuanku Laras Muko Balang tertawa mengekeh. “Kau sahabatku yang cerdik!” Memuji Tuanku Laras walau dalam hati ini dia punya pikiran, jangan-jangan orang tua dari tanah Jawa ini yang harus dibunuhnya lebih dulu. “Ki Bonang, kau tunggu saja, nyawamu hanya tinggal seujung kuku!”
Ki Bonang rapikan belangkon di atas kepala lalu teruskan langkah ke mulut goa. Namun masih satu langkah kakinya akan mencapai mulut goa tiba-tiba di luar sana terdengar suara angin menderu disusul suara binatang menguik keras. Begitu hebatnya hantaman angin hingga dinding di mulut goa batu bergetar. Satu bayangan putih berkelebat. Di lain kejap satu kaki menderu ke depan.
"Duukk!" Ki Bonang keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terlempar ke dalam goa. Terjengkang di lantai batu, mulut kucurkan darah. Walau menderita cidera luka di dalam yang cukup parah namun orang tua ini dengan cepat melompat bangun. Dalam menahan sakit serta amarah yang menggelegak Ki Bonang merasa sekujur tubuhnya bergeletar ketika melihat siapa yang berdiri menghadang di mulut goa!
DI MULUT goa tegak berdiri seorang berjubah putih. Dagu tertutup janggut hitam yang sebagian telah memutih. Di bahu kiri orang ini bertengger seekor burung elang putih yang patah sayap kirinya. Sepasang mata menatap menyorot ke arah Ki Bonang Talang Ijo, melirik sebentar pada Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit yang saat itu telah melompat berdiri dari kepura-puraan tidurnya.
Mata galak merah si jubah putih juga memperhatikan ke jurusan Tuanku Laras Muko Balang yang dengan gerakan cepat menyambar tubuh Puti Bungo Sekuntum lalu bangkit berdiri. Luar biasanya, orang berjubah putih ini tidak menjejak lantai mulut goa tapi sepasang kaki berdiri di atas segulung sorban putih berumbai, mengambang di udara.
“Manusia-manusia durjana! Akhirnya aku temui juga kalian!” Orang berjubah di mulut goa keluarkan ucapan membentak. Sorban yang bergulung di bawah kaki tiba-tiba melayang ke udara lalu turun menutupi kepalanya. Saat itu juga tubuhnya bergerak turun dan dua kaki yang mengenakan kasut kaki kini menjejak lantai goa.
Tuanku Laras Muko Balang mendengus. Teng Sien menggerendeng panjang. “Urusan lagi! Urusan lagi! Aku sudah bilang apa guna pergi ke tempat ini! Seharusnya aku sudah membawa gadis itu! Seharusnya aku sudah mendapatkan kupu-kupu batu Giok dan kembali ke Tionggoan!”
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik membuka mulut membalas ucapan orang berjubah putih di mulut goa yang ternyata adalah Datuk Marajo Sati. “Datuk Marajo Sati! Pucuk Para Datuk Luhak Nan Tigo! Menyebut kami manusia-manusia durjana! Padahal kau biang segala kedurjanaan di negeri ini!”
“Kau membunuh Datuk Panglima Kayo!” Tuanku Laras berteriak dari ujung goa. Mata memandang membara ke arah Datuk Marajo Sati.
Datuk Marajo Sati delikkan mata. Tubuh bergetar. Alang Putih Rajo Di Langit yang bertengger di bahu menguik keras. Sayap dikembangkan. Siap hendak melesat menyerang Tuanku Laras Muko Balang. Datuk Marajo Sati cepat usap punggung binatang ini.
Ki Bonang yang berdiri di hadapan Datuk Marajo Sati batuk-batuk beberapa kali. Setelah menyeka darah yang meleleh di dagu, orang tua ini berkata. “Datuk Marajo Sati, tanpa sebab kau menyerangku. Aku memaafkan perbuatanmu. Sekarang apakah kita bisa bicara dengan tenang dan baik-baik?”
“Kita baru bicara kalau jahanam bermuka belang itu menyerahkan gadis yang diculik itu!” Menjawab Datuk Marajo Sati sambil menunjuk ke arah Puti Bungo Sekuntum yang berada di atas panggulan bahu kanan Tuanku Laras.
“Ha ha!” Tuanku Laras tertawa keras. “Jadi kau kemari rupanya mencari gendakmu ini! Tua bangka tak tahu diuntung! Sudah punya istri muda dan cantik masih saja mau menyekap daun muda yang satu ini! Belum puas kau rupanya setelah berhari-hari mengurungnya di dalam goa kediamanmu di Ngarai Sianok!”
“Baru beberapa hari kehilangan gendak sudah macam orang gila tidak karuan rupa!” Menimpali Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
Ki Bonang angkat tangan kiri, berusaha menenangkan suasana. Namun Datuk Marajo Sati sudah kehilangan kesabaran. “Alang Putih Rajo Di Langit,” sang Datuk bicara pada burung elang di atas bahu kirinya. “Beri jawaban pada manusia bermulut busuk berhati setan berpakaian dan berdestar merah itu! Aku akan menghajar biang bergundalnya!”
Mendengar ucapan sang Datuk Elang putih menguik keras lalu melesat ke arah Pandeka Bumi Langit. Di saat yang sama Datuk Marajo Sati melompat ke arah Tuanku Laras Muko Balang.
“Ki Bonang! Teng Sien! Bunuh manusia jahanam itu!” teriak Tuanku Laras.
Ki Bonang dan Perwira Muda Teng Sien coba menghalangi terjangan Datuk Marajo Sati. Namun keduanya terpelanting akibat lebih dulu terkena kibasan tubuh besar sang datuk.
“Manusia keparat bernama Tuanku Laras! Aku tahu kau dan kaki tanganmu yang ada di goa ini yang telah membunuh Datuk Panglimo Kayo! Jangan berani memfitnah kejahatan busuk kalian pada diriku!”
Pada saat melompat ke arah Tuanku Laras Muko Balang dari sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati menderu dua belas angin memancarkan cahaya putih, menyambar ke arah Ki Bonang Talang Ijo dan Perwira Muda Teng Sien. Inilah jurus serangan dari ilmu kesaktian bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Siapa saja yang sampai terkena sambarannya pasti akan berubah menjadi patung hidup, tak bisa bergerak tak mampu bersuara! Jika tidak tertolong sampai matahari tenggelam nyawanya akan amblas. Di kepala dan tubuhnya akan muncul lubang luka mengerikan sebanyak dua belas buah!
Begitu mendengar suara deru angin disertai memancarnya larikan cahaya putih, Ki Bonang Talang Ijo cepat kebutkan belangkon hijau. Serangkum angin disertai kerlapan cahaya hijau menyambar menghadang serangan ganas yang datang dari sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati. Dari samping kiri, Teng Sien yang kini membekal sebilah golok baru menyerbu ke arah Datuk Marajo Sati. Lancarkan serangan berupa dua bebatan kilat ke arah tubuh dan satu bacokan ganas ke jurusan leher.
“Blaarr... blaarr... blaarr!”
Letusan keras menggelegar sampai enam kali di dalam goa begitu dua belas cahaya putih yang menyembur dari sorban Datuk Marajo Sati bentrokan saling hantam dengan taburan cahaya hijau yang keluar dari belangkon di tangan kanan Ki Bonang.
Pandeka Bumi Langit yang melihat kesempatan baik segera susupkan pukulan tangan kosong ke arah lawan namun gerakannya tertahan karena kaget oleh sambaran Alang Putih Rajo Di Langit berupa cakaran dua kaki dan patukan paruh.
Goa batu pualam dipenuhi kilatan cahaya putih dan hijau. Perwira Muda Teng Sien cepat merunduk ketika kaki kanan Datuk Marajo Sati melesat ke kepalanya. Ki Bonang berseru kaget sewaktu belangkon hijau di tangan kanan tiba-tiba breett! Robek besar disambar tangan kiri Datuk Marajo Sati lalu... "bukkk!"
Oleh lawan robekan belangkon dihantamkan ke kepala Ki Bonang. Walau dia masih mampu membuat gerakan mengelak namun tak urung potongan belangkon miliknya sendiri masih sempat menyambar menepis telinga kanannya hingga hancur! Lengkap sudah kerusakan di wajah sebelah kanan tokoh silat dari Kuto Gede ini. Sebelumnya kening dan mata kanan hancur, kini telinga kanan remuk tak karuan rupa!
Sebenarnya pukulan menyusup ke arah dada yang dilancarkan Pandeka Bumi Langit akan berhasil mendarat telak di dada Datuk Marajo Sati, kalau saja Elang putih bermata merah peliharaan sang datuk tidak datang menyambar.
“Breett!” Leher baju merah Pandeka Bumi Langit robek besar. Sambaran kuku Elang putih menggores luka kulit dan daging lehernya sementara sayap kanan membeset pipi di bawah mata kiri hingga menimbulkan luka mengucurkan darah. Saat itu juga pipi dan leher Pandeka Bumi Langit menggembung merah kebiruan. Kepalanya terasa panas. Ternyata paruh dan kuku cakar Elang putih mengandung racun jahat!
“Binatang jahanam celaka! Teriak Pandeka Bumi Langit kesakitan sekaligus marah besar. Sambil melompat dua tangan berkelebat ke udara dalam gerakan ilmu silat Sitaralak. Elang putih menguik keras dan berusaha mematuk tangan kanan Pandeka Bumi Langit yang berhasil mencekal kaki kanannya. Sebelum binatang ini bisa membebaskan diri Pandeka Bumi Langit telah menghantamkan tubuh dan kepala binatang ini ke dinding goa!
Alang Putih Rajo Di Langit menguik keras, menggelepar lalu tak bergerak lagi. Walau burung elang itu sudah meregang nyawa dengan kepala dan sebagian tubuh hancur namun seperti kesetanan Pandeka Bumi Langit masih terus menghantamkan tubuhnya berulang kali ke dinding goa hingga akhirnya hancur luluh tak berbentuk lagi!
Datuk Marajo Sati menggembor keras mengetahui apa yang terjadi dengan burung Elang peliharaannya. Namun dia tidak bisa melakukan sesuatu karena saat itu tubuhnya tengah melesat di sepanjang goa, menyambar ke arah sosok Puti Bungo Sekuntum yang ada di bahu kanan Tuanku Laras. Dua tangan sang datuk bergerak cepat. Dari sorban kembali menderu dua belas larikan cahaya putih ke arah musuh.
Gerakan kilat Datuk Marajo Sati agaknya tidak sempat membuat Tuanku Laras menyelamatkan gadis yang dipanggul. Sosok Puti Bungo Sekuntum berhasil disambar Datuk Marajo Sati sementara dua belas cahaya putih Meniup Dua Belas Jalan Darah menghantam kepala dan tubuh Tuanku Laras!
Ki Bonang dan Pandeka Bumi Langit serta Teng Sien sama berseru kaget melihat apa yang terjadi. Namun di lain kejap perasaan terkejut itu menjadi bagian semua orang di dalam goa ketika hantaman dua belas cahaya sorban sakti membuat tubuh Tuanku Laras Muko Balang hancur berkeping-keping lalu berubah menjadi asap.
“Ilmu Bayangan Menipu Mata! Jahanam pengecut!” teriak Datuk Marajo Sati menyebut nama ilmu kesaktian yang dipergunakan Tuanku Laras untuk menyelamatkan diri. Dia berusaha hendak mengejar Tuanku Laras namun membatalkan niat Dia sudah mendapatkan Puti Bungo Sekuntum. Perlu apa lagi mengejar manusia bermuka belang itu. Lebih penting menyelamatkan dan membawa gadis itu ke tempat yang aman.
Namun kejut Datuk Marajo Sati bukan alang kepalang sewaktu tubuh gadis yang dipanggulnya tiba-tiba berubah ringan lalu berderak hancur berkeping-keping dan berubah pula menjadi asap! Lalu ke mana lenyapnya sosok Tuanku Laras dan gadis Cina yang asli?
“Manusia bangsat keparat! Kau bisa menipuku dengan ilmu jahanammu! Tapi kau tidak bisa lolos di tanganku!”
Secepat kilat Datuk Marajo Sati melesat ke ujung goa. Dia yakin di ujung sana ada satu pintu rahasia. Kalau tidak mana mungkin Tuanku Laras melenyapkan diri sekaligus memboyong si Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok!
Dugaan Datuk Marajo Sati tidak keliru. Setelah melewati beberapa tikungan akhirnya dia sampai di ujung goa. Di situ ternyata memang terdapat sebuah pintu rahasia yang berhubungan dengan kawasan Bukit Siangok. Pintu rahasia ini terbuat dari batu. Orang yang tidak bermata tajam tidak dapat membedakannya dengan atap dan dinding goa. Sekali kaki kanan Datuk Marajo Sati menendang pintu batu hancur berantakan.
Keluar dari jebolan pintu rahasia Datuk Marajo Sati hanya disambut desir tiupan angin serta suara bergemerisik daun-daun pepohonan. Sang Datuk menyumpah habis-habisan. Beberapa kali kakinya dihujamkan ke tanah hingga membentuk lobang besar. Beberapa kali dia memukul batang pohon hingga bertumbangan. Sadar kalau tidak bisa mengejar Tuanku Laras, Datuk Marajo Sati ingat pada tiga orang ada di dalam goa.
“Mereka harus bertanggung jawab! Kalau tidak bisa memberi keterangan akan kubantai mereka semua!”
Dengan cepat Datuk Marajo Sati masuk kembali ke dalam goa batu pualam. Namun sampai di dalam dan sampai dia keluar lagi dari mulut goa, Ki Bonang, Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit tidak kelihatan lagi batang hidungnya! Kembali Datuk Marajo Sati menyumpah panjang pendek.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mengaum. Di langit tampak jelas dua ekor harimau kuning belang hitam, ditunggang dua orang gagah, melesat di udara lalu dengan cepat melayang turun di Bukit Siangok, hanya beberapa langkah di hadapan Datuk Marajo Sati yang berdiri di depan mulut goa.
Air muka Datuk Marajo Sati berubah. Yang pertama turun dari atas dua ekor harimau kuning belang hitam ternyata adalah Datuk Kuning Nan Sabatang, Datuk Penguasa dan Penghulu di Luhak Agam. Mukanya yang berwarna kuning tampak tegang membesi. Sepasang mata merah besar menatap tak berkedip. Ujung kumis tebal mencuat ke atas. Tangan kanan mengusap kain sarung yang melintang di bahu sementara tangan kiri bersitekan ke hulu keris yang terselip dipinggang sebelah depan.
Di sebelah Datuk Kuning Nan Sabatang berdiri Datuk Penghulu dari Luhak Lima Puluh Kota yaitu Datuk Bandaro Putih. Wajahnya yang jernih dan selalu tenang kali ini tampak kelam dan garang. Merasa tidak sedap akan kehadiran dua Datuk bawahannya ini, maka Datuk Pucuk Marajo Sati segera menegur.
“Datuk berdua! Ada apa kalian datang ke tempat ini?!”
Datuk Marajo Sati masih marah dan mendendam atas perbuatan dua Datuk ini bersama Datuk Panglimo Kayo tempo hari. Menurut Datuk Marajo Sati, tiga Datuk itu bersama Pakih Jauhari pemuda bekas kekasih istrinya yang bernama Gadih Puti Seruni serta penduduk beberapa dusun telah berkomplot memfitnah dan hendak membunuhnya di Ngarai Sianok. (Baca Fitnah Berdarah Di Tanah Agam)
Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang saling pandang seketika. Lalu Datuk Bandaro Putih palingkan kepala ke arah Datuk Marajo Sati dan berkata. “Justru kamilah yang ingin bertanya dan ingin tahu. Gerangan apa maka Datuk Pucuk sampai berada di tempat ini! Setahu kami ini adalah goa rahasia milik Tuanku Laras Muko Balang.”
“Aku mau berada di mana itu urusanku!” jawab Datuk Marajo Sati. “Kalau kalian sudah tahu ini tempat siapa, maka tidak ada pertanyaan kalian yang pantas aku jawab.”
Habis keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati segera bergerak hendak tinggalkan tempat ini. Namun dua orang Datuk di hadapannya segera pula bergerak menghadang.
“Tunggu, jangan pergi dulu Datuk,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang sementara Datuk Bandaro Putih tegak sambil rangkapkan dua tangan di atas dada.
Marahlah Datuk Marajo Sati. Dia membentak garang. “Kalian berdua hendak berlaku kurang ajar. Berani menghalangi jalanku?! Waktu di Ngarai Sianok, kalau tidak karena ingin menyelamatkan orang lain, kalian sepatutnya sudah kuhajar. Sekarang masih berani kalian menjual lagak di hadapanku!”
“Datuk Pucuk Datuk Marajo Sati, harap tenang. Jangan marah dulu. Kami datang untuk bertanya dan ingin mendapatkan keterangan jujur. Kalau itu tidak kami dapatkan maka kami berdua memilih berkubang darah di tempat ini!”
Sepasang mata Datuk Marajo Sati membeliak mendengar ucapan Datuk Bandaro Putih yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk yang paling tenang dan selalu bicara lembut di antara tiga Datuk Luhak Nan Tigo. “Ucapan hebat! Sejuk di pangkal tapi mengandung api di ujung! Kalian benar-benar membuat aku marah! Apa maksud kalian?!” hardik Datuk Marajo Sati.
“Kami datang membawa kabar buruk!” berkata Datuk Kuning Nan Sabatang.
Datuk Bandaro Putih menyambung, “Saudara kita Datuk Panglimo Kayo mati dibunuh orang. Jenazahnya dikirim ke rumah gadang kediamannya di Batusangkar. Sungguh keji sekali!”
“Aku sudah mendengar kabar itu,” kata Datuk Marajo Sati dengan suara dingin.
“Syukur kalau Datuk sudah tahu. Lalu mengapa Datuk Pucuk tidak datang melayat? Tidak ikut menyampaikan rasa duka cita kepada istri dan kerabat yang ditinggalkan. Tidak pula ikut mengantar jenazah ke kubur.”
“Kelalaianku itu memang menjadi dosa yang akan aku tanggung. Tapi aku melakukan semua itu karena harus mengerjakan sesuatu yang sangat penting. Aku punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan dan mendapatkan kembali gadis Cina yang diculik oleh komplotan orang asing yang dipimpin orang bernama Ki Bonang Talang Ijo. Beberapa tokoh di negeri ini ikut terlibat. Dan kalian berdua bersama Datuk Panglimo Kayo yang seharusnya ikut bertanggung jawab atas keselamatan gadis asing di negeri ini malah bergabung membantu manusia-manusia laknat itu!”
“Sungguh luhur dan sangat tinggi budi Datuk Pucuk Datuk Marajo Sati,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Menyelamatkan seorang gadis asing sementara kerabat yang mati dibunuh orang tidak Datuk acuhkan. Maaf saja Datuk. Kami punya dugaan lain. Bahkan mungkin bukan dugaan. Tapi satu kenyataan! Datuk tidak melayat jenazah Datuk Panglimo Kayo karena Datuklah orang yang membunuhnya!”
Rahang Datuk Marajo Sati menggembung. Sepasang matanya seperti hendak melompat keluar dari rongga. Sorban di atas kepala naik satu jengkal lalu turun lagi. Walau singkat tapi cukup untuk memperlihatkan asap putih yang mengepul dari ubun-ubun sang Datuk!
“Selain itu!” Datuk Kuning Nan Sabatang meneruskan ucapan lantangnya. “Beberapa saat sebelum mayat Datuk Panglimo Kayo muncul, Inyiek harimau sakti tunggangannya terlebih dulu dikirim dalam keadaan mati di rumah gadang. Baik Inyiek maupun Datuk Panglimo Kayo tubuh mereka sama-sama dilibat potongan Rantai Pintu Akhirat! Hanya kita bertiga yang tahu kelemahan ilmu kesaktian Datuk Panglimo Kayo! Kami berdua bersumpah bumi dipijak langit dijunjung! Bukan kami yang mencelakai Datuk Panglimo Kayo! Berarti tinggal Datuk seorang yang menjadi ayam putih terbang siang! Datuk mencelakai dan membunuh Datuk Panglimo Kayo!”
“Datuk Kuning Nan Sabatang! Jaga bicara. Jangan sampai kurobek mulut busukmu! Berani sekali kau menuduh dan memfitnahku sebagai orang yang telah membunuh Datuk Panglimo Kayo!”
“Kami bicara bukan seperti orang barasian di tengah hari.” Yang menjawab Datuk Bandaro Putih. “Kami punya satu bukti kalau memang Datuk yang membunuh Datuk Panglimo Kayo. Robekan sorban Datuk tergenggam di tangan jenazah Datuk Panglimo Kayo. Semua orang di Batusangkar mengetahui hal ini. Berita keji ini bahkan telah tersebar hampir ke seluruh Luhak Tanah Datar!” (barasian = mimpi)
“Astagafirullahhalazim...” Datuk Marajo Sati mengucap berulang kali. Amarah menggelegak. Darah seperti hendak menyembur dari ubun-ubun di atas kepala. Sorban putihnya berulang kali naik turun. “Mulut busuk fitnah keji! Menyingkirlah kalian berdua dari hadapanku! Atau kalian akan jadi bangkai tak terkubur di tempat ini!”
“Jangan meradang! Tahan sedikit amarahmu Datuk Marajo Sati! Pergunakan akal sehat dan hati jernih!” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Ketika Datuk menghabisi Datuk Panglimo Kayo, apa tidak terlintas di benak, tidak tergugah di hati, siapa Datuk Panglimo Kayo itu sebenarnya. Dia bukan saja sahabat kerabat ke mudik dan ke hulu, bahkan dia adalah Mamak dari Gadih Putih Seruni. Yang berarti adalah masih mertua Datuk sendiri! Datuk terlahir sebagai orang beradat, hidup sebagai orang beragama dan dipercayakan menjadi Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo. Setan apa yang masuk ke dalam tubuh Datuk hingga membunuh sahabat dan saudara kami itu!” (Mamak = Paman)
“Kalian berdua sama jahanamnya!” teriak Datuk Marajo Sati. “Aku bersumpah tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo. Kalau aku berdusta neraka jahanam bagianku!”
Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih saling berpandangan sambil sunggingkan senyum mengejek pertanda tidak mempercayai apa yang dikatakan orang di hadapan mereka. Dalam amarah yang menggelegak Datuk Marajo Sati tidak dapat lagi menahan hati. Kesabarannya habis sudah!
“Bett... bett!” Sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati berkelebat dan ujungnya menghantam dua kali berturut-turut ke arah dada dua orang di hadapannya. Jangankan dada manusia, batu gunung pun bisa hancur berkeping-keping jika sampai dihantam ujung Sorban Seribu Sakti itu.
Di antara para Datuk yang ada di Luhak Nan Tigo, sebagai Datuk Pucuk atau Datuk Pimpinan Datuk Marajo Sati memiliki ilmu silat dan kesaktian paling tinggi. Begitu ujung sorbannya menghantam sosok tubuhnya sendiri lenyap dari pemandangan sehingga siapapun yang jadi lawan tidak akan berkesempatan mengerahkan serangan balasan. Inilah jurus silat yang dinamakan Di Balik Kabut Naga Mematuk.
Hanya saja saat itu yang dihadapi Datuk Marajo Sati bukanlah dua lawan berkepandaian rendah. Begitu melihat ujung sorban mencuat ke atas, Datuk Kuning Nan Sabatang cepat kebutkan sarung yang melintang di dada lalu melesat tinggi ke udara dan di lain kejap telah berdiri di cabang sebuah pohon besar.
Datuk Bandaro Putih juga tidak kalah sebat. Secepat kilat dia kebutkan lengan kiri baju hitam, lalu melompat ke atas batu menonjol di atas mulut goa. Dengan demikian kini Datuk Marajo Sati terjepit di tengah-tengah. Sadar akan kedudukannya yang berbahaya. Datuk Marajo Sati segera melompat mundur hingga kini dia bisa melihat jelas dua orang yang menjadi lawannya. Sorban kembali bergulung di atas kepala.
“Pengecut! Mengapa menjauh melarikan diri! Dosa kalian memfitnahku lebih kejam dari pembunuhan! Apa kalian tiba-tiba takut menghadapi kematian?!” teriak Datuk Marajo Sati. “Cabut Karih kalian! Mari bertarung sampai darah berkubang nyawa melayang!” (Karih = Keris)
Habis keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati cabut keris besar yang tersisip di pinggang sebelah depan. Konon keris ini diberi nama Rajo Kaluak Sambilan (Raja Keluk Sembilan) karena memiliki luk sembilan lengkungan. Senjata yang berlapis perak murni ini berkilauan tertimpa cahaya matahari. Di tanah Minang, jika keris sakti atau keris pusaka sudah terhunus keluar dari sarang berarti pertarungan keris melawan keris sampai mati tidak dapat dihindarkan lagi!
Namun di atas cabang pohon Datuk Kuning Nan Sabatang bersikap belum mau melayani tantangan orang. Di dinding goa Datuk Bandaro Putih memperhatikan penuh waspada. Tangan kiri menekan hulu keris tangan kanan siap menghantam jika lawan kembali menyerang.
“Datuk Marajo Sati!” berseru Datuk Kuning Nan Sabatang. “Kalau Allah memang sudah menentukan kami berdua harus menghembuskan nafas di tempat ini, masakan kami mampu mencari selamat. Tapi sebelum kami menemui ajal, ada satu perkara lagi yang kami ingin kejelasan.”
“Jahanam! Aku tidak ingin bicara lagi dengan kalian berdua! Najis!” teriak Datuk Marajo Sati. Pergelangan tangan kanan yang memegang keris bergerak menyentak. Keris besar berluk sembilan itu serta merta pancarkan cahaya putih menyilaukan. Pertanda sang Datuk telah mengerahkan tenaga dalam penuh.
Walau jarak mereka cukup jauh namun keris sakti di tangan Datuk Marajo Sati mampu mencapai lawan karena sang Datuk memiliki ilmu bernama Tangan Sakti Menggapai Puncak Gunung. Melihat sikap Datuk Marajo Sati yang jelas-jelas siap untuk kembali menyerang, Datuk Kuning Nan Sabatang cepat sambung ucapannya tadi.
“Perkara yang kami maksudkan itu, apa benar Datuk telah melakukan perbuatan maksiat, berbuat dosa besar! Melakukan zinah! Berhari-hari menyekap seorang gadis Cina di goa kediaman Datuk di Ngarai Sianok. Kami sempat melihat gadis itu sebelum diculik oleh orang-orang asing. Kami juga sempat memeriksa ke dalam goa Datuk dan menemukan beberapa potong pakaian perempuan serta bedak dan pemerah bibir untuk berhias. Kami tidak percaya Datuk yang mengenakan pakaian itu dan berhias diri seperti perempuan. Ha ha ha. Bukan begitu Datuk Bandaro Putih?!”
Datuk Bandaro Putih angguk-anggukkan kepala lalu tertawa gelak-gelak. Datuk Kuning Nan Sabatang berteriak. “Kami sudah melihat dan sudah mengetahui. Tapi kami ingin pengakuan jujur dari Datuk!”
Air muka Datuk Marajo Sati berubah semerah saga. “Jahanam kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Tidak ada yang harus aku akui! Karena aku tidak pernah melakukan perbuatan keji apapun! Aku malahan semata-mata Lillahi Ta Allah menolong gadis itu. Kalian tidak tahu ceritanya kini justru menuduhku berbuat maksiat! Kalian berdua pasti sudah terkena hasut orang-orang asing itu! Percaya pada pemuda kurang ajar bernama Pakih Jauhari! Percaya pada orang dusun yang tolol! Tebus fitnah busuk kalian dengan kematian!”
Datuk Kuning Nan Sabatang keluarkan tawa bergelak. “Datuk Marajo Sati, kalau memang hasrat mau menolong, banyak orang yang patut ditolong di negeri ini. Mengapa Datuk hanya menolong gadis asing yang cantik? Dengan cara menyekapnya di dalam goa tempat kediaman Datuk? Sungguh naif sekali! Ha ha ha!”
Keris Rajo Kaluak Sambilan di tangan Datuk Marajo Sati pancarkan cahaya benderang menyilaukan.
“Wutttt!” Selarik cahaya putih melesat keluar dari ujung keris sakti. Di udara cahaya ini terbelah menjadi dua. Belahan pertama dengan kecepatan kilat menyambar ke arah Datuk Bandaro Putih di dinding goa, belahan kedua menyambar ke jurusan Datuk Kuning Nan Sabatang di atas cabang pohon. Hanya tinggal beberapa jengkal lagi akan menghantam sasaran tiba-tiba setiap belahan cahaya mencuat berserabut menjadi sembilan ujung tombak panas membara merah!
“Sembilan Tombak Hantu Gunung Berapi” teriak Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang hampir berbarengan! Keduanya dengan cepat hantamkan dua tangan sekaligus untuk menahan serangan lalu menghindar dengan melompat terjun ke tanah!
“Wuss! Wusss!”
Dua ujung lengan kiri baju hitam dua Datuk sama-sama terbakar hangus mengepulkan asap. Walau sepuluh jari tangan sampai ketelapak tampak menjadi hitam hangus namun cidera yang dialami tidak sampai parah karena dua Datuk yang diserang telah lebih dulu memagari diri dengan semacam ilmu kebal.
“Datuk sesat Datuk Keparat! Kami mengadu nyawa denganmu!” teriak Datuk Kuning Nan Sabatang lalu melayang turun ke tanah. Tangan kanan kini sudah menggenggam keris pusaka bernama Datuk Angin Kataun. Begitu dibabatkan senjata ini mengeluarkan suara laksana badai melanda lautan!
Dari arah kiri Datuk Bandaro Putih melesat ke bawah sambil acungkan keris yang menyemburkan nyala api berwarna biru! Konon keris yang bernama Nago Gunung Singgalang ini terbuat dari batu sakti berusia tiga ratus tahun yang terpendam di dasar kawah Gunung Singgalang.
“Traang! Traang!” Bunga api berpijar. Meski tiga bilah keris belum sama sekali saling bersentuhan namun dalam keterpautan jarak senjata-senjata sakti itu sudah saling berlaga dan mengeluarkan suara berdentangan.
Walau memiliki kesaktian dan keris yang lebih besar namun diserang dua orang berkepandaian tinggi membuat Datuk Marajo Sati terjajar sampai tiga langkah ke belakang. Ilmu Sembilan Tombak Hantu Gunung Merapi meredup lenyap. Dada mendenyut sakit. Sang Datuk menggeram marah. Di saat yang sama dua Datuk sudah menjejakkan kaki ke tanah, sengaja menjaga jarak. Keris sudah disarungkan. Wajah mereka tampak pucat.
“Datuk Marajo Sati! Kita sudahi pertarungan sampai di sini. Tidak ada gunanya diteruskan. Siapa menang jadi arang, yang kalah jadi debu! Sebenarnya kami datang membawa surat perintah dari Penghulu Tertinggi tanah Minang, Sri Baginda Raja di Pagaruyung. Tadinya jika Datuk mau bersikap jujur dan berjiwa besar kami tidak merasa perlu mengeluarkan surat itu. Tapi nyatanya Datuk malah mau menang sendiri padahal kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke muka. Datuk pucuk, terimalah surat perintah ini!” (kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke muka = apa yang terjadi sudah nyata)
Dari balik baju hitamnya Datuk Bandaro Putih dari Luhak Lima Puluh Kota keluarkan selembar kain yang tergulung pada sebatang bambu kuning sepanjang dua jengkal. Dengan mengerahkan tenaga dalam Datuk Bandaro Putih lemparkan bambu itu, tapi sengaja tidak diarahkan pada Datuk Marajo Sati melainkan dilempar ke arah dinding batu dekat mulut goa hingga bambu menancap sepertiganya sementara gulungan kain berputar keluar dari lilitan dan menjulai ke bawah.
Datuk Marajo Sati tidak perdulikan surat perintah yang menancap di dinding batu. Wajah beringas menatap garang ke arah dua Datuk. Mulut menggembor keras lalu menggelegar suara teriakan.
“Manusia-manusia durhaka! Mampuslah kalian berdua!”
Masih menggenggam keris sakti di tangan kanan, Datuk Marajo Sati guratkan kaki kanannya keras-keras ke tanah hingga mengeluar-kan kepulan asap angker. Lalu...
“Rerrrrttttttttt!” Debu mengepul ke udara. Tanah di depan kaki Datuk Marajo Sati tiba-tiba mengeluarkan suara berderak lalu terbelah memanjang, menjalar ke arah Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih berdiri. Dua Datuk tersentak kaget.
“Awas! Ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpol” teriak Datuk Bandaro Putih.
Bersama Datuk Kuning Nan Sabatang dengan cepat dia membuat gerakan melompat selamatkan diri. Namun dalam tegang dan kalut keduanya saling melompat ke arah yang bersamaan hingga tubuh mereka saling bentur! Dalam keadaan seperti itu dari tanah yang terbelah menderu suara angin keras, mengeluarkan kekuatan menyedot kencang dan ganas luar biasa. Sebelum dua Datuk sempat mengimbangi diri, tubuh keduanya sudah tertarik ke bawah siap dijepit dan dikubur hidup-hidup oleh tanah yang terbelah.
“Celaka!” teriak Datuk Bandaro Putih.
“Allahu Akbar!” Datuk Kuning Nan Sabatang menyeru nama Tuhan!
Dalam keadaan tegang seperti itu tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat Hanya tinggal dua jengkal saja kaki dua Datuk akan amblas tersedot ke dalam belahan tanah si bayangan hitam dengan gerakan cepat berhasil merangkul pinggang mereka lalu melompat membawa keduanya ke tempat yang aman, menjauhi tanah yang terbelah dan menyedot!
“Hik hik hik!” Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa. “Sahabatku, kau memang hebat! Dua Datuk itu harus berterima kasih padamu! Hik hik hik!”
Tidak menyangka ada orang yang akan menolong, selain merasa bersyukur, dua Datuk tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut mereka. Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang cepat lepaskan diri dari rangkulan orang yang menolong lalu berbalik. Mereka jadi sama-sama kernyitkan kening ketika melihat di depan mereka berdiri seorang pemuda berbaju dan bercelana galembong hitam, berambut panjang sebahu, mengenakan kopiah hitam.
Datuk Bandaro Putih hendak berkata menyampaikan rasa terima kasih namun mulutnya tertahan karena saat itu tiba-tiba berkelebat seorang berpakaian putih dan di lain kejap telah berdiri di samping kiri pemuda gondrong berpakaian hitam. Rambut putih digulung di atas kepala, bagian belakang dibiarkan tergerai. Ketika menyeringai kelihatan barisan gigi yang dilapis perak. Dua tangan memulai di sisi, panjang hampir menyentuh tanah. Di balik punggung pakaian putihnya menyembul gagang sebilah pedang terbuat dari perak.
Dua Datuk tentu saja tercengang melihat kemunculan si nenek yang sangat mereka kenal. Ditambah lagi perempuan tua ini tadi menyeru si pemuda sebagai sahabat.
“Kamba Mancuang Tangan Menjulai!” tegur Datuk Kuning Nan Sabatang. “Tidak salahkah mata kami melihat? Benar kau ini, murid Inyiek Susu Tigo yang berdiri di hadapan kami?!”
Si nenek tersenyum. Pantulan sinar matahari membuat gigi peraknya berkilau. Setelah terlebih dulu kedipkan mata nenek ini baru menjawab. “Pandangan Datuk berdua tidak keliru. Mata kalian tidak salah lihat. Aku ini memang si Kamba Mancuang Tangan Menjulai.”
Walau kini merasa lega namun dua Datuk masih was-was. “Kamba Mancuang, dan terutama kau anak muda berambut panjang, kami berterima kasih kau telah menyelamatkan kami dari serangan keji Datuk sesat itu!” berucap Datuk Bandaro Putih.
Si nenek menyeringai. Pemuda berambut panjang tersenyum sambil anggukkan kepala dan sedikit membungkuk. Kopiah di atas kepala diangkat. Saat itu Wiro mengenakan baju lengan panjang dan celana galembong hitam serta kopiah yang tidak lagi kekecilan pemberian si Kamba Mancuang.
Datuk Kuning Nan Sabatang lantas bertanya pada si nenek. “Pemuda ini, benar dia sahabatmu?”
Si Kamba Mancuang anggukkan kepala lalu berkata, “Namanya Wiro Sableng. Dia berasal dari tanah Jawa...”
Pemuda di samping si nenek yang memang adalah pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum dan kembali membungkuk ke arah dua orang Datuk sambil kopiah hitam di atas kepala sekali lagi diangkat ke atas. Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-sama saling pandang lalu berpaling kembali pada si nenek.
“Kamba Mancuang, kami mendengar kabar yang tidak sedap tentang dirimu. Mudah-mudahan ini tidak benar. Konon kau dan saudara kembarmu terlibat dalam satu komplotan sesat dengan beberapa orang asing. Akibat perbuatan kalian beberapa tokoh di negeri ini menemui ajal. Lalu pemuda sahabatmu ini dikabarkan menjadi salah seorang penyebab semua kerusuhan di negeri ini.”
Si nenek pencongkan mulut. Dia menatap sebentar pada pemuda di sampingnya.
“Jelaskan saja Nek, biar kau tidak menjadi korban salah duga.” Berkata Wiro, “Kalau kau sudah bicara nanti ganti aku yang menjelaskan...”
Si Kamba Mancuang anggukkan kepala. “Datuk berdua, sebagian ucapanmu mungkin benar. Tapi sekarang aku sudah tidak ada urusan lagi dengan segala macam komplotan yang kau sebut sesat itu. Selain itu saudara kembarku telah menemui ajal dibunuh manusia-manusia jahanam itu! Ini sudah cukup menjadi hukuman batin bagiku! Aku...”
Belum sempat Si Kamba Mancuang meneruskan ucapan tiba-tiba Datuk Marajo Sati yang sejak tadi memperhatikan maju selangkah sambil membentak keras.
“Tua bangka busuk bergigi perak! Tidak ada yang perlu kau jelaskan! Aku sudah tahu siapa dirimu. Kau bertanggung jawab atas kematian beberapa tokoh. Termasuk sahabatku Sutan Paduko Alam di pesisir barat. Lekas datang ke hadapanku! Berlutut minta ampun!”
Mendengar dirinya dimaki sebagai tua bangka busuk lalu diminta datang berlutut, karuan saja hati Si Kamba Mancuang menjadi panas. Dia sudah bicara polos tapi orang malah mencaci maki. Dalam marahnya si nenek akhirnya tertawa tergelak-gefak. Aneh juga! Puas tertawa dia gerakkan kaki melangkah ke arah Datuk Marajo Sati.
Namun Wiro cepat menahan bahunya dan berbisik, “Nek, biar aku yang bicara,” Lalu murid Sinto Gendeng mendahului maju ke hadapan Datuk Marajo Sati.
“Datuk yang saya hormati, biarkan saya mewakili nenek sahabatku itu. Saya sudah datang ke hadapanmu. Apa yang hendak kau katakan. Apakah saya harus berlutut juga?!”
Sepasang mata Datuk Marajo Sati membeliak besar berkilat berapi-api, Sorban di kepala naik ke atas pertanda amarahnya meluap besar. Namun dia tersurutdan terkesiap ketika Wiro tiba-tiba mengambil tangan kanannya lalu mendekatkan ke hidung dan mencium tangan itu. Datuk Marajo Sati cepat-cepat menarik tangannya. Dulu ketika pertama kali menemui sang Datuk di dalam goa di Ngarai Sianok hal yang sama yaitu mencium tangannya juga dilakukan Wiro pertanda hatinya memang polos dan bersih tiada niat jahat. Namun jabat dan ciuman tangan itu tidak menyurutkan amarah Datuk Marajo Sati.
“Laki-laki berambut seperti perempuan! Jangan kau berpura-pura beradat bersopan santun! Berlagak sebagai Pandeka Gadang Mantiko Langek Kau lebih busuk dari nenek satu itu! Ingat sewaktu secara kurang ajar kau menyusup ke dalam goa kediamanku di Nagari Sianok? Saat itu aku telah memaafkanmu tapi dengan peringatan. Jika aku masih melihatmu berkeliaran di tanah Minang ini maka aku akan menganggapmu sebagai musuh yang harus dihabisi!” (Pandeka Gadang = Pendekar Besar) (Mantiko langek: Konyol kurang ajar)
“Datuk, saya dan nenek ini sengaja mencari Datuk untuk...” Sebenarnya Wiro hendak, menceritakan pertemuan dan pertarungannya dengan Tuanku Laras dan kawan-kawan di mana akhirnya manusia bermuka belang itu melarikan diri sambil memboyong seorang gadis Cina cantik jelita. Namun Wiro keburu dihardik sang Datuk.
“Tutup mulutmu! Jangan berpura-pura menunjukkan sikap bersahabat padaku! Barusan saja kau membela dua Datuk di sana yang hendak membunuhku!”
"Sudah Datuk, biarkan saya dan nenek itu memberi penjelasan lebih dulu...”
“Pemuda bernama Wiro Sableng!” tiba-tiba Datuk Bandaro Putih berteriak, “Kau ini berada di pihak mana sebenarnya? Menolong kami tapi sekaligus coba berbaik-baik dengan Datuk pembunuh itu! Ular kepala dua kau rupanya!”
“Bukan cuma ular kepala dua! Tapi ular kepala dua belas!” Tiba-tiba ada dua suara berteriak berbarengan.
SESAAT kemudian di tempat itu telah berdiri satu sosok besar aneh. Ujudnya adalah dua pemuda bertubuh dempet di bagian punggung. Satu berkumis biru, yang satu lagi berkumis merah. Tubuh dempet itu mengenakan satu jubah besar berwarna merah gelap. Dua pemuda dempet ini diketahui berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo.
Di tanah Minang selain dikenal sebagai dua mahluk aneh yang punya ilmu kepandaian tinggi juga diketahui senang mengajak perempuan tua apa lagi muda untuk berbuat mesum. Mereka merasa mampu memberi kesenangan lebih karena memiliki bagian-bagian tubuh yang serba dua. Konon banyak perempuan yang memang gatal mencari pemuda ini untuk mendapatkan pengalaman dan kepuasan.
Ternyata jika sudah satu kali sempat berhubungan perempuan itu akan tergila-gila dan mencari mereka. Kelebihan yang mereka miliki dipergunakan oleh Tengku Mudo Sagalo Duo untuk memperalat perempuan itu melakukan apa saja yang mereka inginkan. Salah seorang di antaranya adalah Niniek Panjalo yang kemudian menemui ajal di tangan Wiro. (Baca Episode sebelumnya berjudul Mayat Kiriman di Rumah Gadang)
Kemunculan Tengku Mudo Sagalo Duo sebenarnya adalah mengejar Si Kamba Mancuang. Sejak pertama kali melihat si nenek keduanya sudah sama menaksir. Apa lagi mereka pernah mendengar satu rahasia perihal siapa sebenarnya murid Inyiek Susu Tigo ini. Namun mereka tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada Pendekar 212 yang sebelumnya telah sempat membuat mereka merasa jerih. Karena sudah kepalang tanggung dan keburu terlihat Tengku Mudo Sagalo Duo tidak mungkin bersurut pergi begitu saja.
“Mahluk najis pengacau!” bentak Datuk Marajo Sati. “Urusan apa kau muncul di sini! Lekas menyingkir pergi!”
“Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo yang kami hormati,” pemuda dempet berkumis merah di sisi kanan berkata sambil bungkukkan badan hingga saudara dempetnya tertarik ke atas. Ketika bicara kelihatan barisan gigi yang ternyata juga berwarna merah. Pemuda ini dipanggil orang dengan nama Sunguik Merah. Saudaranya yang berkumis dan bergigi biru bernama Sunguik Biru. (Sunguik = kumis)
“Kami berdua datang bukan untuk mengacau urusan Datuk. Mana berani kami melakukan. Kami justru datang untuk memperingan pekerjaan Datuk. Perihal pemuda berambut seperti padusi itu, dia memang pengacau sesat dari tanah Jawa yang harus dihabisi. Lalu Datuk harus pula menghadapi dua Datuk angkuh pandai memfitnah itu. Padahal mereka harus tunduk dan patuh terhadap Datuk. Bukankah mereka bawahan Datuk? Lalu ditambah satu lagi nenek bergigi perak murid inyiek Susu Tigo. Empat orang yang harus Datuk Lawan sekaligus. Kami tahu dengan ilmu Datuk yang tinggi mereka semua bisa saja Datuk pesiangi. Tapi bagaimana kalau nenek ini kami saja yang menghadapi. Berarti berkurang satu lawan Datuk bertarung. Selain itu kami diberi tugas oleh Tuanku Laras untuk mengambil pedang Al Kausar yang dicuri nenek ini. Kami diminta meringkusnya dan membawa ke hadapan Tuanku Laras Muko Balang!”
Datuk Badaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-sama unjukkan wajah kaget mendengar disebutnya pedang Al Kausar. Datuk Marajo Sati sendiri sesaat terdiam mendengar ucapan Sunguik Merah itu. Kepala didongakkan tapi sepasang mata melirik ke arah belakang punggung Si Kamba Mancuang di mana tersembul sebilah gagang pedang terbuat dari perak yang sebenarnya sejak tadi sudah jadi perhatiannya.
Dari bentuk gagang serta cahaya yang memancar dia maklum kalau senjata itu bukan pedang sembarangan. Menghadapi empat lawan sekaligus, dengan kemampuan yang dimiliki sebenarnya Datuk Marajo Sati sama sekali tidak menaruh rasa takut. Kalaupun dia menemui ajal paling tidak tiga orang lawan akan bersimbah darah!
Namun jika pedang yang ada pada si nenek benar pedang Al Kausar milik Tuanku Laras Muko Balang maka dia harus memperhitungkan keberadaan senjata yang kehebatannya sudah diketahui. Datuk Marajo Sati bukan pula orang yang pendek akal apa lagi tolol dan mau saja mendengar ucapan orang. Dia juga maklum apa maksud sebenarnya dari dua pemuda dempet itu hendak meringkus si nenek. Tak lain hendak berbuat mesum!
Setelah terdiam sejurus maka sang Datuk berkata. “Sunguik Merah, Sunguik Biru! Kalian berdua boleh melakukan apa saja terhadap nenek itu! Aku tidak perduli! Tapi lebih dulu katakan ke mana Tuanku Laras Muko Balang dan kawan-kawannya membawa gadis Cina yang mereka culik!”
Tampang Datuk Bandaro Putih berkerenyut. Setengah berbisik dia berkata pada Datuk Kuning Nan Sabatang. “Hati dan otak Datuk Pucuk benar-benar sudah terpasung pada gadis Cina gendaknya itu. Orang bicara lain dia berucap lain.”
Sementara itu Wiro merasa heran dua pemuda dempet berkumis merah biru masih punya nyali datang ke tempat itu dan bicara sombong hendak meringkus Si Kamba Mancuang. Wiro cepat dekati si nenek dan berbisik.
“Nek, kalau dua pemuda dempet saling kentut ini berani muncul di sini, aku mengira ada sesuatu yang diandalkannya. Aku tidak yakin dia bisa membujuk Datuk Marajo Sati. Dugaanku mereka tidak datang cuma berdua. Pasti ada...”
“Dugaanmu kurasa betul. Lain daripada itu aku rasa mereka mengincar diriku...”
Wiro miringkan mulut lalu tertawa, “Nek, kau jangan membuat aku cemburu...” Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan. “Nek, kalau tiba saatnya akan aku gebuk hancur kepala dua pemuda itu atas bawah...!”
“Kalian berdua!” Di seberang sana Datuk Marajo Sati tiba-tiba membentak sambil delikkan mata ke arah dua pemuda dempet. “Kalau tidak mau memberi tahu ke mana Tuanku Laras jahanam melarikan gadis Cina itu, aku akan sangat-sangat berbaik hati membelah tubuh kalian hingga tidak malakok lagi!” (malakok = dempet)
Enak saja Sunguik Biru menjawab, “Datuk, jika kau ingin tahu di mana gadis Cina itu berada bersama Tuanku Laras, tolong kau rampas dulu pedang Al Kausar dari nenek itu dan serahkan pada kami.”
“Palasik jahanam! Manusia mesum! Berani kau memerintahku!” teriak Datuk Marajo Sati marah luar biasa. (Palasik: di sini merupakan makian kemarahan. Arti sebenarnya adalah semacam mahluk yang kepalanya bisa tanggal dari leher lalu gentayangan mencari korban untuk dihisap darahnya) “Sudah saatnya mahluk najis macam kalian disingkirkan ke dalam neraka ke tujuh!”
Sepasang mata Datuk Marajo Sati memandang berkilat ke arah dua pemuda dempet. Dia berusaha membuat kedua orang ini tidak leluasa bergerak dengan ilmu Mengunci Gerak Tangan Pandangan Mata. Sementara itu Sorban Seribu Sakti di atas kepala Datuk Marajo Sati terbuka dari gulungannya. Tangan kanan sang Datuk cepat menyambar salah satu ujung sorban. Ujung yang lain dikebutkan ke udara dua kali berturut-turut. Inilah jurus sorban maut bernama Duo Kilek Manyemba Gunung Singgalang Merapi! (Dua Kilat menyambar Gunung Singgalang Merapi)
“Taarr!Taarrr!” Dua kilatan menyilaukan berkiblat di udara. Menyambar ke arah kepala dua pemuda dempet yang saat itu akibat pandangan mata yang memancarkan hawa sakti dari Datuk Marajo Sati membuat walau hanya sebentar dua kaki mereka bergetar dan terasa agak berat.
Wiro cepat melompat ke tengah kalangan sambil berseru. “Datuk! Jika dua manusia najis ini tahu di mana gadis Cina itu berada, mengapa hendak dibunuh! Biar saya dan Si Kamba Mancuang mewakili Datuk untuk meringkus mereka dan mengorek keterangan!”
Pendekar 212 dorongkan dua telapak tangan melepas pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan dalam gerak jurus bernama Membuka Jendela Memanah Rembulan. Begitu angin pukulan saling bentrok dengan dua cahaya putih yang keluar dari ujung sorban Datuk Marajo Sati maka...
"Dess... dess!"
Wiro terjajar ke belakang. Ujung lengan baju hitamnya kepulkan asap. Tangan mulai dari ujung jari sampai ke bahu terasa kesemutan. Jari-jari tangan sampai ke telapak tampak membiru. Khawatir dalam keadaan seperti itu ada orang yang menyerang maka Wiro cepat jatuhkan diri ke tanah.
Datuk Marajo Sati sendiri berteriak marah ketika melihat bagaimana ujung sorban saktinya yang terkena sambaran angin pukulan Wiro terpental lalu lepas dari pegangan sementara ada hawa panas menjalar masuk ke dalam tubuh membuat dadanya berdenyut sakit. Dalam keadaan seperti itu dia tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan ketika menyaksikan bagaimana sambil jatuhkan diri ke tanah Wiro tarik ujung sorban putih hingga meleset dan bergulung melingkari kopiah hitam yang ada di atas kepalanya!
Walau yakin Wiro tidak cidera dan malah mampu mempermainkan sorban lawan namun ketika melihat Wiro menjatuhkan diri di tanah, Si Kamba Mancuang yang merasa khawatir, cepat cabut pedang Al Kausar dari balik punggung pakaian. Ternyata senjata yang tidak bersarung ini dibungkus dengan libatan kain putih. Sekali si nenek menyentakkan tangan maka libatan kain putih dengan cepat bergulung membuka. Karena memang tidak akan dipergunakan untuk menyerang orang tapi sekedar melindungi Wiro, maka si nenek hanya berdiri berjaga-jaga di samping Pendekar 212. Justru di saat itu terjadi satu hal yang tidak terduga.
Dua pemuda dempet menjerit keras ketika dua ekor harimau kuning besar entah dari mana datangnya tahu-tahu telah melompat ke arah mereka. Harimau di sisi kanan langsung menyambar menggigit tangan kanan Sunguik Merah dan Sunguik Biru.
“Binatang jahanam! Mampuslah!” teriak Sunguik Merah sambil menghantamkan tangan kiri ke kepala harimau besar. Hal yang sama dilakukan oleh Sunguik Biru.
Sesaat lagi sebelum dua pukulan yang bisa membuat kepala dua harimau besar rengkah mengenai sasarannya tiba-tiba dua bayangan hitam berkelebat dari arah belakang. Keduanya langsung duduk di punggung dua harimau besar sambil salah satu tangan ditusukkan ke ubun-ubun Sunguik Merah dan Sunguik Biru. Ludah membusa dari mulut dua pemuda dempet ini.
Tubuh mereka langsung tersentak kaku tak mampu bergerak. Hanya mulut yang masih bisa keluarkan teriakan-teriakan keras. Dua harimau melesat makin tinggi ke udara. Di atas punggung harimau-harimau sakti ini duduk dua orang berpakaian dan berdestar hitam. Mereka bukan lain adalah Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang.
Mengetahui kalau apa yang terjadi adalah perbuatan Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang, Sunguik Merah segera berteriak. “Datuk berdua! Mengapa Datuk melakukan ini? Menganiaya kami! Apa salah kami?!” Pemuda bernama Sunguik Merah berteriak.
“Siapa yang menganiaya?! Kami hanya ingin membawamu berjalan-jalan barang sebentar!” Menyahuti Datuk Bandaro Putih sambil menyeringai, “Bukankah selama hidup baru sekali ini kalian terbang di udara? Sambil berjalan-jalan melihat keindahan nagari kami ingin bertanya. Kecuali kalau kalian Ingin cepat-cepat turun dengan cara terjun ke bawah!”
“Datuk berdua sudah gila rupanya!” Yang berteriak kini Sunguik Biru. “Kalau ingin bertanya mengapa menyiksa kami seperti ini?! Mengapa membawa kami terbang ke udara! Mengapa tidak bertanya di daratan saja?!”
Dua Datuk cuma tertawa. Datuk Kuning Nan Sabatang lalu berkata, “Dari bicara kalian tadi dengan Datuk Pucuk Marajo Sati rupanya kalian tahu di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang. Katakan kepada kami di mana manusia muka belang berbulu itu dan gadis culikannya berada!”
“Datuk berdua! Apakah menginginkan Tuanku Laras atau gadis Cina itu. Jangan-jangan Datuk berdua telah jatuh hati pula pada wajah yang cantik, kulit putih mulus dan tubuh elok montok...”
“Plaakkk!” Datuk Bandaro Putih tampar pipi Sunguik Biru hingga sudut bibir sebelah kiri robek mengucurkan darah.
“Jangan berani bicara kurang ajar pada kami Datuk pimpinan Luhak!” kata Datuk Bandaro Putih. Tangan kanannya yang tadi menampar masih menggantung di udara dalam keadaan bergetar, siap untuk menampar kembali atau bahkan menjotos batok kepala Sunguik Biru.
Melihat saudara dempetnya ditampar hingga luka Sunguik Merah merasa tidak senang lalu keluarkan ucapan menantang. “Kalau kami tidak mau memberi tahu, Datuk berdua mau berbuat apa?!”
Datuk Bandaro Putih siap hendak menghajar Sunguik Merah. Tapi Datuk Kuning Nan Sabatang memegang lengannya, berpaling pada Sunguik Merah lalu tertawa gelak-gelak. “Jawabnya mudah saja. Aku akan perintahkan dua harimau melepas gigitan di tangan kalian. Kalian boleh bergembira terjun jatuh ke bawah. Coba kalian lihat apa yang ada di bawah sana!”
Mendengar kata-kata Datuk Bandaro Putih dua pemuda berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo itu tukikkan pandangan ke bawah. Saat itu mereka berada di atas sebuah bukit batu hitam yang di puncaknya terdapat beberapa telaga. Dua pemuda dempet ini serta merta mengenali bukit itu. Mereka tahu pula kalau di setiap telaga dihuni oleh lusinan buaya besar yang kelaparan dan jarang bertemu manusia!
“Bukit Batu Lubuk Buaya!” teriak Sunguik Merah. Wajahnya dan wajah saudaranya yang sejak tadi sudah pucat kini jadi tambah tidak berdarah karena ketakutan setengah mati.
“Datuk berdua orang baik orang beragama. Mengapa hendak berbuat sekejam itu menjatuhkan kami ke bukit batu yang banyak buaya laparnya?!” ucap Sunguik Biru dengan suara bergetar.
“Mahluk bejat seperti kalian sebenarnya sudah lama harus disingkirkan dari muka bumi ini! Tapi siapa tahu kalian masih bisa berbuat kebajikan mengurangi dosa-dosa bejat kalian selama ini!” Kata Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Dengar, kami tidak tahu di mana Tuanku Laras berada. Tadi kami hanya bicara membual mengharapkan Datuk Marajo Sati mau merampas pedang Al Kausar dari tangan si nenek.” Memberi tahu Sunguik Merah.
“Betul, sebenarnya kami memang tidak tahu di mana beradanya Tuanku Laras,” Sunguik Biru sambung ucapan Sunguik Merah.
Datuk Kuning Nan Sabatang tepuk pinggul kanan harimau yang ditunggangi. Binatang ini segera lepaskan gigitannya di tangan kanan Sunguik Merah. Tak ampun lagi sosok dua pemuda dempet itu berayun melayang menggantung ke bawah namun masih tertahan karena harimau yang ditunggangi Datuk Bandaro Putih masih menggigit lengan kanan Sunguik Biru. Kedua pemuda dempet itu menjerit-jerit ketakutan. Yang paling keras jeritannya Sunguik Biru karena luka gigitan harimau di lengannya semakin besar menguak.
“Datuk! Ampun! Jangan jatuhkan kami! Kami akan memberi tahu! Kami akan bicara! Tapi turunkan dulu kami ke tanah!” Sunguik Merah berseru. Bagian bawah jubahnya telah basah oleh air kencing yang tidak tertahankan lagi dan terpancar tak karuan.
“Kau hanya menipu!” teriak Datuk Bandaro Putih. Lalu membawa harimau tunggangannya melayang lebih tinggi.
“Demi Tuhan! Kami bersumpah!” teriak Sunguik Biru ketakutan setengah mati.
“Aha! Masih punya Tuhan kalian rupanya!” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang.
Lalu dia memberi isyarat pada Datuk Bandaro Putih. Harimau besar yang masih menggigit tangan kanan Sunguik Biru perlahan-lahan melayang turun ke bawah hingga akhirnya sampai di salah satu puncak bukit batu hitam, hanya dua langkah dari pinggiran sebuah jurang batu terjal sedalam hampir tiga puluh tombak. Di dasar jurang terdapat sebuah telaga dihuni banyak buaya besar berkulit coklat kehitaman yang sudah cukup lama tidak mengenyam makanan lezat apa lagi yang namanya tubuh manusia.
Sambil perhatikan lengan masing-masing yang luka dan berlumuran darah dua pemuda dempet itu menggerung kesakitan. Saat itu keduanya masih dalam keadaan tak mampu bergerak. Tanpa turun dari punggung harimau Datuk Bandaro Putih membentak.
“Sekarang beri tahu di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang atau kami lempar kalian ke dalam jurang...”
“Datuk berdua, sebenarnya... sebenarnya ada keperluan apa menanyakan keberadaan Tuanku Laras. Bukankah...”
Datuk Kuning Nan Sabatang jadi kesal. Dia majukan harimau tunggangan mendekati dua pemuda dempet lalu kaki kiri diangkat, diletakkan di atas dada Sunguik Merah, siap untuk menendang.
“Sunguik Merah! Jawab saja apa yang kami tanya. Kalau kau berani berpanjang mulut, jurang di dekat kalian cukup dalam. Sekali aku tendang dadamu, kau bersama saudara mesummu akan terpental masuk ke dalam jurang. Sampai di dasar kalian sudah berubah lumat. Kalau masih hidup, belasan buaya di dalam telaga siap menyantap kalian hingga tidak ada lagi yang tersisa dari tubuh kalian!”
“Jangan Datuk, jangan! Kami berdua mohon ampun dan kasihan. Apakah... apakah Datuk berdua tidak akan lebih dulu melepaskan ilmu yang membuat kami tak bisa bergerak ini?” Sunguik Biru berkata berhiba-hiba.
Dua Datuk mana mau percaya. “Sekali lagi kau berpanjang bicara, kudongak kalian berdua masuk jurang!” hardik Datuk Kuning Nan Sabatang. Lalu kaki kirinya yang menempel di dada Sunguik Merah didorongkan sehingga dua sosok dempet itu terhuyung-huyung ke arah jurang, (dongak = tendang)
“Onde Mak! Datuk! Tunggu! Jangan menendang!” teriak Sunguik Biru dengan muka pucat. Saat itu tubuhnya memang menghadap ke arah jurang hingga rasa takutnya bukan alang kepalang, nyawa serasa terbang. Lalu dia berkata pada saudara dempetnya. (Onde Mak = Aduh Ibu!)
“Sunguik Merah lekas kau beritahu pada Datuk. Aku belum mau mampus. Apa lagi mati bergulung jatuh ke dasar jurang batu, ditunggu buaya-buaya lapar!”
“Baik... baik... Aku akan bicara,” jawab Sunguik Merah. “Datuk berdua, sebenarnya kami tidak tahu pasti di mana saat ini beradanya Tuanku Laras. Ke mana dia membawa gadis Cina yang kabarnya pernah disekap Datuk Marajo Sati itu. Belum lama ini secara tak sengaja kami bertemu dengan Tuanku Laras. Dia menyuruh kami merampas pedang Al Kausar miliknya yang berada di tangan Si Kamba Mancuang...”
“Pedang Al Kausar bukan senjata sembarangan. Mengapa manusia muka belang itu mempercayai kalian untuk mendapatkannya kembali?” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Dia sibuk mengurusi gadis Cina itu!” jawab Sunguik Biru.
Dua Datuk saling pandang dan diam-diam sama bisa menerima penjelasan Sunguik Biru. “Kalian berdua mau melakukan perintah Tuanku Laras. Mengapa?!” tanya Datuk Bandaro Putih. “Setahu kami selama ini kalian tidak punya hubungan dekat dengan dirinya.”
“Kami dijanjikan, jika berhasil akan diberi satu batangan emas murni,” jawab Sunguik Merah.
“Kalian percaya?!” tanya Datuk Bandaro Putih.
“Tentu saja,” jawab Sunguik Merah. “Tuanku Laras memperlihatkan beberapa batang emas yang ada padanya!”
Dua Datuk kembali saling berpandangan. Ini satu hal yang baru bagi mereka. Dari mana Tuanku Laras mendapatkan batangan emas itu? “Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Jika pedang Al Kausar sudah didapat kami disuruh pergi ke Bukit Batu Patah, di bekas tempat berdirinya Istana lama Kerajaan Pagaruyung. Kami harus mengantarkan pada malam hari ketiga bulan baru. katanya dia akan menunggu di sana.”
“Mengapa di Bukit Batu Patah dan mengapa harus hari ketiga bulan baru?” tanya Datuk Bandaro Putih.
“Itu yang kami tidak tahu,” jawab Sunguik Merah pula.
Dua Datuk terdiam. Sejurus kemudian Datuk Kuning Nan Sabatang berkata, “Kami akan menyelidik. Jika ternyata kalian menipu, umur kalian tidak akan lama. Sebelum bulan setengah lingkaran muncul di langit malam kalian sudah kami temui dan kami habisi!” Selesai keluarkan ucapan dua Datuk siap menggebrak harimau masing-masing.
“Datuk! Tunggu! Bagaimana dengan kami?!” teriak Sunguik Merah. “Tubuh kami masih kaku tak bisa bergerak! Kami tidak mau mati tagang di tempat cilako ini!” (tagang = tegang/kaku) (cilako: celaka)
“Sebelum matahari tenggelam kalian berdua akan bebas dengan sendirinya!” jawab Datuk Bandaro Putih.
Belum sempat dua harimau besar melesat ke udara menerbangkan dua Datuk tiba-tiba dari dalam jurang terdengar suara menderu keras. Batu-batu di dinding jurang runtuh hancur berkeping-keping, debu mengepul ke udara. Di lain kejap tiba-tiba satu sosok aneh yang tadinya melata melesat di dinding jurang kini berdiri di hadapan dua pemuda dempet. Mahluk yang muncul ini sungguh dahsyat!
Sunguik Merah dan Sunguik Biru walaupun berada dalam keadaan kaku tak mampu bergerak namun masih bisa merasakan bagaimana tubuh mereka menjadi bergetar dan tengkuk seperti diguyurai es!
Mahluk yang berdiri di hadapan mereka ujudnya setengah perempuan setengah buaya. Leher ke atas atau bagian kepala berbentuk kepala seekor buaya berkulit putih bermata biru. Di atas kening antara kedua mata melekat sebuah batu permata memancarkan cahaya hijau.
Dari leher ke bawah sosok mahluk ini tidak beda dengan sosok seorang perempuan muda bertubuh bagus dan elok menawari serta berkulit putih mulus. Keelokan dan keputihan ini terlihat jelas karena dari leher sampai ke pusar tubuh itu tidak tertutup apa-apa. Dari pusar ke bawah mahluk perempuan berkepala buaya putih ini mengenakan sehelai kain songket merah setinggi lutut hingga terlihat betisnya yang putih menawan.
Perempuan berkepala buaya ini memiliki dua tangan dan dua kaki tidak beda dengan manusia. Dalam ujud yang seperti itu tubuhnya menebar bau harum mewangi. Dua pemuda dempet sama menelan ludah. Mata menatap tak berkesip, tenggorokan turun naik. Ingatan mereka sekilas kembali pada masa beberapa waktu lalu.
Kemunculan sang mahluk membuat dua Datuk terkejut dan serta merta menahan gerakan harimau tunggangan yang hendak melesat terbang ke udara. Melirik ke arah kiri mereka melihat sepasang pemuda dempet pucat pasi tampang mereka, jelas menunjukkan ketakutan.
“Inyiek Ratu Buayo.” Sunguik Merah dan Sunguik Biru sama-sama keluarkan suara bergetar. Kalau saja dua kaki mereka bisa digerakkan saat itu keduanya sebenarnya sudah memutuskan untuk menghambur lari lintang pukang! (Buayo = Buaya)
“Bagus!” tiba-tiba sosok perempuan muda berkepala buaya berucap. Suaranya menyerupai suara seorang gadis, sejuk dan lembut terdengar di telinga. Padahal kata-katanya cukup membuat bulu kuduk orang yang mendengar jadi berdiri dingin!
“Dua Datuk Luhak sahabatku telah mengantarkan kalian berdua hingga aku tidak perlu susah-susah mencari. Tinggal mempesiangi saja! Hik hik hik!”
Tengku Mudo Sagalo Duo terdiam. Lalu Singuik Merah walaupun nyali mulai leleh coba berkata menegur. “Inyiek Ratu Buayo. Apakah kau baik-baik saja...?”
“Hmm... Jangan berpura-pura menegur berbasa-basi,” menjawab mahluk perempuan setengah telanjang berkepala buaya. “Banyak yang tidak baik dengan diri ini! Semua sebab ulah kalian berdua...”
“Inyiek,” Sunguik Biru berkata setengah berbisik. “Dua Datuk disebelah sana telah membuat kami tak bisa melangkah tak mampu menggerakkan tangan. Tolong Inyiek bebaskan kami...”
Inyiek Ratu Buayo dongakkan kepala lalu tertawa. “Itu hanya satu hukuman kecil. Hukuman dariku jauh lebih besar!”
“Inyiek, kalau kami bisa bebas, kita bisa bersenang-senang kembali seperti dulu-dulu...”
“Bersenang-senang seperti dulu!” Inyeik Ratu Buayo mengulang ucapan Sunguik Merah. Batu permata hijau di keningnya bersinar terang. Sepasang mata yang biru pancarkan cahaya angker.
“Puah!” Tiba-tiba perempuan bertubuh perempuan bertubuh molek berkepala buaya itu meludah. Ludahnya bukan seperti manusia biasa meludah tapi seperti seorang menuang seember air! Ketika ludah itu mengenai satu gundukan batu, batu langsung membuih dan meleleh!
Datuk Bandaro Putih berpaling pada Datuk Kuning Nan Sabatang. “Ludah Hantu Buayo”, bisik Datuk Bandaro Putih menyebut ilmu Inyiek Ratu Buayo.
Menyaksikan sang Inyiek meludah seperti itu bertambah pucatlah wajah dua pemuda dempet. Kalau ludah tadi disemburkan ke kepala atau tubuh mereka dapat dibayangkan apa yang terjadi. Agaknya perempuan muda berkepala buaya itu tidak mungkin dibujuk apa lagi dirayu.
“Inyiek, kami berdua sebenarnya...”
“Tutup mulut! Jangan banyak bicara!” Mahluk kepala buaya membentak memotong ucapan Singuik Biru. “Culas penipu! Busuk bejat dan luar biasa mesum! Katamu hanya aku seorang yang jadi kekasihmu. Ternyata kalian berkeliaran ke mana-mana mengumbar nafsu! Bukan saja kalian sudah meniduri diriku tapi juga menipu mengambil harta perhiasan milikku! Kalaupun dua Datuk itu tidak membawa kalian kemari apa kalian mengira bisa lolos dari pembalasanku?”
Mendengar ucapan Inyiek Ratu Buayo dua Datuk jadi merasa jengah. Sebenarnya mereka ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang sementara urusan sendiri belum selesai. Namun bagaimana pun juga mereka ingin pula mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Inyiek, kami bukan menipu. Bagaimanapun Inyiek tetap satu-satunya kekasih kami sehidup semati di tanah Minang ini. Kami pergi hanya karena ada urusan...”
Mendengar kata-kata Sunguik Merah, perempuan muda berkepala buaya membuka mulut lebar-lebar hingga kelihatan bagian dalam mulutnya yang penuh dengan deretan gigi besar dan runcing mengerikan. Untuk beberapa saat gelak tawa angker menggema keluar dari mulut mahluk kepala buaya.
“Pergi selama enam bulan tidak kabar tidak berita! Sehidup semati! Kalian yang hidup aku yang kalian buat mati jadi bangkai hidup! Satu-satunya kekasih di tanah Minang! Padahal puluhan perempuan sudah kalian gauli kalian tiduri! Hik hik! Manusia-manusia mesum terkutuk, aku pula yang hendak kalian tipu! Kepalaku yang hendak kalian gadai!”
“Inyiek, kalau Inyiek mau mengambil kembali semua perhiasan yang pernah Inyiek berikan pada kami, kami akan segera lakukan. Malah akan kami tambah dengan apa yang kami miliki. Asal Inyiek mau melepas ilmu yang membuat kami tidak bisa bergerak.”
“Baik! Akan aku bebaskan kalian!” kata mahluk perempuan kepala harimau. Dua tangan disilang di atas dada. Lalu disentakkan dengan tiba-tiba.
“Wuutttt!” Dari bagian tubuh sebelah belakang Inyiek Ratu Buayo mencuat keluar sebentuk ekor panjang besar, berwarna coklat kehitaman, bergerigi lentur namun lebih keras dari besi! Rupanya inilah ekor sang Inyiek! Dua pemuda dempet yang dijuluki Tengku Mudo Sagalo Duo tersentak kaget.
“Inyiek Ratu! Mulai saat ini kita bisa bersama-sama lagi. Kami berjanji tidak akan pergi ke mana-mana. Kami tidak akan meninggalkanmu barang sepicingpun!” Sunguik Biru berseru ganti membujuk.
Inyiek Ratu Buayo tertawa panjang. “Kalian berdua memang tidak akan pergi ke mana-mana!”
Habis keluarkan ucapan itu ekor di belakang tubuh Inyiek Ratu Buayo melesat menyambar ke bagian bawah tubuh dua pemuda dempet yang tertutup jubah. Ekor buaya yang walau kelihatan lentur tapi lebih keras dari besi itu menghantam dua pasang kaki. Terdengar suara berderak dibarengi jeritan dua pemuda dempet. Dua pasang kaki buntung bergeletakan di tanah. Kalau tadi dua pasang kaki itu tidak mampu bergerak kini dalam keadaan buntung tampak berkelojotan di atas bebatuan yang telah digenangi darah.
Bersamaan dengan itu tubuh Tengku Mudo Sagalo Duo roboh di atas batu lalu terguling masuk ke dalam jurang! Suara jeritan dua pemuda dempet itu menggelegar menggidikkan. Sunguik Merah masih mampu berteriak.
“Inyiek! Ampun kami! Tolong! Jangan sampai kami jatuh ke dasar jurang! Datuk! Tolong...!”
Lalu suara jeritan lenyap. Hening sesaat. Kemudian terdengar suara air telaga di dasar jurang membuncah. Belasan buaya lapar yang ada di tempat itu bersirebut cepat menyantap dua tubuh dempet. Dua Datuk di atas punggung harimau sampai mengelus kuduk masing-masing saking tercekatnya.
“Dua Datuk penjaga negeri. Jika tidak ada sesuatu yang hendak kalian sampaikan aku merasa tak ada gunanya berada lebih lama di tempat ini.”
Datuk Bandaro Putih mengusap wajah beberapa kali. Lalu berkata. Mata tidak berani menatap ke arah tubuh yang setengah telanjang itu. “Inyiek Ratu Buayo. Kami sudah lama mendengar riwayat dirimu. Beruntung sekali hari ini kami bisa bertemu. Kami ingin berterima kasih karena Inyiek telah mengerjakan apa yang sebelumnya menjadi niat kami.”
Kepala buaya Inyiek Ratu Buayo mengangguk. Matanya yang biru tampak redup. “Kematian mereka sudah nyata. Kematian diriku yang belum jelas. Padahal dosa ini sudah setinggi langit sedalam lautan...” Ucapan mahluk kepala buaya ini seolah menyesali nasib dirinya.
“Inyiek, Allah itu Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jika Inyiek mau minta ampun dan bertobat pasti Allah akan mengampuni segala dosa Inyiek. Seberapapun besarnya...”
“Begitu...?” Kepala berbentuk kepala buaya itu mengangguk-angguk. Lalu terdengar suaranya lirih. “Aku memang sudah lama melupakan Tuhan Seru Sekalian Alam...”
“Ada kalanya manusia memang bersifat seperti itu Inyiek, sering melupakan Tuhan,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Namun yang patut kita ketahui, Tuhan tidak pernah melupakan kita betapapun buruk ujud kita, betapapun besar dosa kita. Itulah kerohimannya Allah.”
Inyiek Ratu Buayo terdiam. Sepasang mata birunya semakin redup. Perlahan-lahan air mata jatuh bercucuran dari kedua mata itu.
Datuk Bandaro Putih menghela nafas dalam. “Sahabatku Inyiek Ratu Buayo. Air mata adalah ungkapan hati nurani penuh kejujuran. Pertanda bahwa Inyiek sudah mendekatkan diri pada Allah Yang Maha Kuasa, pertanda bahwa Inyiek siap bahkan saat ini mungkin sudah menyatakan bertobat...”
“Inyiek, mungkin Inyiek harus meninggalkan tempat ini. Mencoba hidup di tempat lain yang lebih baik...” berkata Datuk Kuning Nan Sabatang menyambung ucapan Datuk Bandaro Putih.
“Mungkin memang harus begitu. Tapi ke mana aku harus pergi. Bagaimana dengan anak-anakku? Lalu apakah orang mau menerima diriku dalam keadaan seperti ini...?”
Dua Datuk maklum apa yang dimaksud Inyiek Ratu Buayo dengan sebutan “anak-anak”. Tidak lain adalah puluhan ekor buaya yang ada di dasar jurang serta beberapa telaga yang terdapat di atas bukit batu.
“Inyiek, serahkan semua kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Allah menciptakan dunia, Allah pula yang akan mengatur segala isi dan kejadiannya. Jika inyiek punya kesempatan datanglah ke Luhak kami. Kami ada amalan baik. Inyiek akan langsung berhadapan dan memohon kepada Tuhan. Mudah-mudahan Inyiek bisa berubah ujud.”
“Datuk berdua, kalian baik sekali. Aku sangat berterimakasih. Sekarang mataku jadi lebih terbuka. Sesungguhnya begitu banyak orang buruk dan jahat di dunia ini, tapi rupanya masih lebih banyak mereka yang berhati putih dan bersifat baik seperti Datuk berdua. Bilakah Datuk berkenan menerima kedatanganku?”
“Secepat yang bisa Inyiek lakukan. Namun kalau bisa datanglah di penghujung bulan di muka...”
“Mengapa begitu lama sekali?” tanya mahluk perempuan muda kepala buaya.
“Karena saat ini kami tengah menghadapi satu urusan besar.” Datuk Bandaro Putih yang menjawab.
Inyiek Ratu Buayo terdiam lalu anggukkan kepala. Dia cukup tahu diri untuk tidak menanyakan apa urusan besar yang tengah dihadapi kedua Datuk tersebut. “Aku benar-benar sangat berterima kasih pada Datuk berdua...”
“Kalau begitu mulai hari ini gantilah pakaian Inyiek. Tutupi aurat. Dan yang paling penting mulai melakukan sholat lima waktu...” kata Datuk Bandaro Putih pula.
Inyiek Ratu Buayo Putih rapatkan mulut, anggukkan kepala. “Tapi ujudku yang seperti ini, lalu keningku yang tak mungkin sujud...”
Dua Datu k tersenyum mendengar kata-kata mahluk kepala buaya itu. “Tuhan tidak pernah menolak sembah sujud umatnya. Sholat seseorang tidak ditentukan oleh baik atau buruk rupanya. Itulah Kebesaran Tuhan.”
Setelah membungkuk memberi penghormatan dan melambaikan tangan dua Datuk melesat ke udara di atas punggung harimau tunggangan masing masing. Inyiek Ratu Buayo usapkan dua tangan di atas kepala. Sepasang mata biru yang berlinangan dipicingkan. Dalam hati dia berkata,
“Tuhan rupanya memang masih sayang padaku. Dia telah mendatangkan dua Datuk itu, memberi jalan dan petunjuk. Terima kasih dua Datuk. Terima kasih Tuhan. Engkau memang Allah Yang Akbar...”
Kita kembali pada Datuk Marajo Sati. Sorban sakti yang bisa dipergunakan sebagai alat tumpangan pembawa terbang tak ada lagi. Harimau kuning belang hitam yang jadi binatang peliharaan dan bisa ditunggangi melayang di udara masih terbujur sakit di Ngarai Sianok akibat serangan racun Ilmu Santuang Panyasek yang dilancarkan Tuanku Laras Muko Balang (baca episode sebelumnya Mayat Di Rumah gadang)
Kerenanya Datuk Marajo Sati kini kerahkan ilmu lari yang selama ini jarang dipergunakan bernama Tabang Di Bumi Malayang Di Langiek (Terbang Di Bumi Melayang Di Langit). Ketika langit di arah timur memancarkan cahaya merah kekuningan pertanda tak lama lagi sang surya akan tenggelam, di satu tempat sepi yang dirasakan aman yaitu di tepi satu anak sungai berair jernih dan dangkal, sang Datuk duduk di atas sebuah batu besar.
Sebuah benda yang sejak tadi diselipkan di pinggang dicabut dikeluarkan. Benda ini bukan lain adalah potongan bambu berlilit secarik kain putih yang merupakan Surat Perintah Sri Baginda Raja Di Pagaruyung. Sebagaimana diketahui Surat Perintah itu dibawa dan dilemparkan oleh Datuk Bandaro Putih hingga menancap di dinding batu dekat mulut goa. Walau sebelumnya tidak mau perduli dengan surat itu namun ketika berkelebat pergi Datuk Marajo Sati mengambilnya dengan sambaran tangan kiri.
Di bawah terang cahaya merah kekuningan sinar matahari Datuk Marajo Sati buka gulungan kain putih yang melilit di batang bambu. Dia berusaha menenangkan diri waktu membaca apa yang tertulis di atas kain itu walau dua tangan yang memegang Surat Perintah tampak sedikit bergetar. Surat Perintah itu didahului dengan kata Basmallah ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab Gundul.
Terhunjuk Datuk Pucuk, Datuk Marajo Sati Datuk Pimpinan Luhak Nan Tigo
Berita buruk mengenai diri Datuk Pucuk telah tersiar dari mulut ke mulut dan telah pula dihembuskan angin sampai ke telinga kami di singgasana Nagari Adat Bertuah, Kerajaan Pagaruyung.
Kebenaran harus di jejak diselidiki agar keadilan bisa ditegakkan. Jangan sampai karena seekor kerbau berkubang, sekandang kena lumpurnya. Jangan karena nilai setitik rusak susu sebelanga. Jangan pula karena perbuatan satu orang kutuk dan azab Allah jatuh menimpa seisi negeri.
Karena urusan ini sangat patut dirahasiakan sampai kebenaran terungkap maka kami memerintahkan agar Datuk Marajo Sati datang ke bekas Istana lama Kerajaan Pagaruyung di Bukit Batu Patah untuk memberi kesaksian pada utusan yang telah kami percaya. Waktunya malam hari bulan sabit malam ketiga.
Bilamana Datuk tidak bersalah maka Allah akan melindungi. Tetapi jika Datuk memang orang berdosa maka Datuk akan menjadi orang teraniaya. Hanya ampun dan tobat Datuk yang menyelamatkan Datuk. Tapi itu adalah Hukum Akhirat. Hukum Dunia tetap Datuk pertanggungjawabkan pada anak Nagari dan Kerajaan.
Semoga Allah melindungi dan memberi rakhmat pada kita semua. Amin.
Sri Baginda Raja Pagaruyung
Yang Dipertuan Raja Muning Alam Syah
Untuk beberapa saat lamanya Datuk Marajo Sati masih duduk di atas batu besar di pinggir batang air (sungai kecil) itu. Namun wajahnya tampak mengelam, tubuh meregang kaku dan bergetar.
“Kalau aku dijadikan orang yang teraniaya. Maka seluruh nagari akan aku buat sengsara! Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang pasti manusia-manusianya yang berada di balik keluarnya Surat Perintah ini.” Dua tangan Datuk Marajo Sati yang masih memegang bambu dan kain putih Surat Perintah meremas gemas.
“Dess! Desss!” Dari genggaman sang Datuk melesat keluar nyala api. Batangan bambu dan kain putih hancur dan musnah dilamun api. Bagian yang masih tersisa berupa arang dan debu dimasukkan ke dalam saku celana galembong hitam. Lalu kepala diangkat menatap ke langit.
“Malam ini bulan malam pertama munculnya bulan sabit. Berarti waktunya dua malam dari sekarang. Wahai Sri Baginda Raja di Pagaruyung. Aku insan tidak bersalah! Mengapa aku harus takut menghadapi perintahmu? Tuhan Seru Sekalian Alam. Kau Maha Mengetahui dan Maha Melihat!”
Perlahan-lahan Datuk Marajo Sati bangkit berdiri. Ternyata batu besar yang tadi didudukinya telah berubah ceguk dan hitam serta mengepulkan asap! Itulah akibat hawa amarah yang keluar tanpa disadari sang Datuk!
Ketika malam itu bulan sabit hari pertama muncul membayang putih di langit, seorang pemuda berpakaian biru gelap mengendap-endap di balik sederetan pohon ambacang, tak jauh dari sebuah rumah besar bergonjong yang terletak di pinggiran timur Kota Gadang. Mata si pemuda menatap ke arah jendela di bagian depan rumah sebelah kanan yang disebut anjungan. Sewaktu bergerak hendak berpindah ke pohon ambacang di sebelah kanan, mendadak langkah pemuda tadi tertahan.
Dada berdebar, wajah berubah pucat. Di hadapannya, hanya beberapa langkah saja ada sebuah kuburan terbuat dari batu pualam kelabu. Bulu kuduk si pemuda meregang dingin ketika telinganya tiba-tiba menangkap ada suara menyerupai orang menggembor ke luar dari kuburan. Sambil membungkuk dan melangkah mundur pemuda itu susun sepuluh jari di atas kening seraya mulut berucap perlahan, suara bergetar.
“Datuk... Datuk Indromo... Saya Pakih Jauhari. Maafkan saya. Tiada maksud hendak mengganggu ketentraman Datuk di alam arwah. Saya datang dengan maksud baik. Kalau Datuk mengizinkan, kalau Tuhan meredhoi saya masih tetap ingin...”
Datuk Indromo adalah ayah kandung Gadih Putih Seruni yang telah meninggal dunia dan dikubur di halaman dekat rumah kediamannya. Konon lelaki ini menghembuskan nafas terakhir setelah terlebih dahulu mengalami sakit akibat rasa sakit hati yang tidak berkenan atas perkawinan anak perempuannya dengan Datuk Marajo Sati.
Ucapan terputus. Si pemuda ternyata adalah Pakih Jauhari bekas kekasih Gadih Putih Seruni yang kemudian diambil menjadi istri oleh Datuk Marajo Sati cepat merapat ke batang pohon besar di sebelahnya. Di halaman kiri rumah rumah besar berkelebat seorang bertubuh tinggi besar berpakaian serba hitam. Cepat sekali dia sudah berada di tangga samping rumah, naik ke atas dan tanpa kesulitan membuka pintu lalu menghilang masuk ke dalam rumah.
Di balik pohon Pakih Jauhari berulang kali berkata. “Aku yakin... Pasti dia... Tapi mengapa tidak memakai sorban. Kepala sulah tersingkap...”
Tidak menunggu lebih lama begitu sosok tinggi besar tadi masuk ke dalam rumah gadang, Pakih Jauhari segera berlari masuk ke dalam kolong. Tepat di bawah kamar ketiduran Gadih Putih Seruni, istri Datuk Marajo Sati yang dulu pernah menjadi kekasihnya dan sampai saat ini masih sangat dicintainya. Pemuda ini berusaha mencuri dengar pembicaraan di atas rumah, namun papan lantai terlalu tebal dan jaraknya terlalu jauh.
Sementara itu di dalam rumah gadang. Di atas pembaringan Gadih Putih Seruni yang sejak beberapa hari ini memang sulit tidur memicingkan mata palingkan kepala ke arah pintu ketika telinganya mendengar suara pintu dibuka orang. Pelita minyak di dalam kamar nyala apinya memang sengaja dikecilkan.
“Ibu...” Gadih Putih Seruni menyangka ibunya yang datang. Ternyata yang masuk ke dalam kamar adalah lelaki tinggi besar yang serta merta dikenalinya.
“Seruni, ini aku. Datuk Marajo Sati. Suamimu.”
Mendengar suara orang Gadih Putih Seruni segera turun dari tempat tidur. Dia hendak membesarkan nyala api pelita minyak tapi segera dicegah oleh Datuk Marajo Sati. “Datuk...” Gadih Putih Seruni terduduk di tepi tempat tidur. Dua tangan memegang dada, wajah pucat merebak hendak menangis. Tapi dia masih bisa menahan dan keluarkan ucapan.
“Datuk... Mengapa Datuk berkeadaan seperti ini. Datang tengah malam hari seperti sembunyi-sembunyi. Mana sorban Datuk...?”
Keadaan Datuk Marajo Sati saat itu memang tidak karuan rupa. Pakaian kotor berdebu, wajah kusut dan kepala yang hampir botak tidak tertutup sorban. Datuk Marajo Sati cepat dekati istrinya, membelai rambut Gadih Putih Seruni lalu berkata,
“Aku mohon maaf, sekian lama tidak mengunjungimu. Sebagai suami dosaku terlalu besar...”
“Saya tidak memikirkan hal itu Datuk. Yang saya khawatirkan adalah diri dan keselamatan Datuk. Saya mendengar berita yang telah tersebar luas di seluruh nagari...”
“Aahh... Syukur kau sudah mengetahui hingga aku tidak perlu menceritakan apa yang telah terjadi. Tapi ada satu hal sangat perlu aku beritahukan. Semua cerita dan pergunjingan tentang diriku adalah fitnah belaka. Semua ini adalah perbuatan Pakih Jauhari, pemuda jahanam itu! Tidak bisa dia mendapatkan dirimu, aku yang dikerjainya! Bersaksi kepada Allah dan RasulNya, aku tidak pernah berbuat zinah dengan gadis Cina yang aku beri nama Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok itu! Demi Allah semua yang aku lakukan adalah untuk menolong semata. Dia dikejar dan hendak dibunuh orang yang datang memburunya dari daratan Cina, dibantu seorang tokoh silat dari Jawa serta beberapa tokoh silat di tanah Minang ini. Sekarang gadis itu entah di mana beradanya. Dibawa lari oleh Tuanku Laras dan kawan-kawannya. Aku punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan jiwa dan kehormatannya. Istriku, apakah kau bisa mempercayai diriku...?”
“Datuk...” Gadih Putih Seruni tidak bisa meneruskan ucapannya. Dua tangan ditutupkan ke wajah lalu terdengar suara tangisnya sesenggukan.
“Istriku, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Raja di Pagaruyung telah mengeluarkan perintah akan mengadili diriku melalui seorang utusan. Hal itu akan dilakukan pada bulan sabit malam ketiga di Bukit Batu Patah, di bekas Istana Pagaruyung lama. Aku tidak gentar menghadapi semuanya...”
“Kalau Raja di Pagaruyung ingin menyidik mengapa tidak dikumpulkan orang cerdik pandai dan para ulama terkemuka se-nagari dan perkaranya digelar di Balairung secara terbuka?”
“Sri Baginda Maharaja agaknya masih bertenggang rasa. Tidak mau membuat perkara ini meruyak besar. Tapi sekali lagi aku katakan. Aku tidak gentar. Karena aku tidak membekal secuil dosa dan kesalahanpun. Bumi bisa berbalik. Ranah Minang ini bisa terjungkir dan keadilan bisa saja berbalik menjauhi diriku. Mungkin aku akan dipancung atau dibuang keluar rantau. Mungkin juga aku akan jadi korban pembunuhan gelap. Jika itu terjadi, tabahkan hatimu, dekatkan diri selalu pada Tuhan dan minta pertolongan serta perlindungan dariNya. Aku pergi sekarang...”
Sekali lagi Datuk Marajo Sati membelai rambut istrinya. Lalu dia membuka jendela dan memilih keluar dengan cara melompat lewat jendela itu daripada melalui pintu dari mana tadi dia masuk. Gadih Putih Seruni tidak tahu berapa lama dia tegak tertegun di belakang jendela, memandang ke arah halaman samping yang gelap ketika tiba-tiba dia mendengar suara pintu kamar terbuka dan ada orang melangkah masuk. Kali ini pasti ibunya yang datang. Tapi ketika dia memutar tubuh dan melihat orang yang berdiri di hadapannya, berubahlah parasnya.
“Uda...” Suara Gadih Putih Seruni bergetar begitu melihat pemuda yang tegak dihadapannya. Mata terbeliak memandang tak percaya. “Sungguh berani sekali Uda datang kemari...” (Uda = Kakak)
Pakih Jauhari tidak bergerak dari tempatnya tegak. Mulut kemudian berucap. “Seruni, rupanya kau tidak senang aku datang menemuimu?”
“Bukan begitu Uda. Saya senang melihat Uda datang, tidak kurang suatu apa. Datuk Marajo Sati baru saja datang ke sini. Baru saja pergi. Kalau sampai dia melihat Uda, Uda pasti akan dibunuhnya!”
“Aku sudah tahu. Aku melihat dia masuk ke rumah itu. Seruni, keadaan diluar sana sudah sangat tegang. Raja di Pagaruyung kabarnya akan mengusut perkara memalukan yang dilakukan Datuk...”
“Datuk tadi memang bercerita begitu. Menurutnya semua ini gara-gara Uda. Uda katanya yang menebar fitnah...”
“Seruni, semua perbuatan Datuk Marajo Sati sudah diketahui orang senagari. Apa yang aku lakukan bukan fitnah tapi kenyataan. Di samping cintaku padamu yang tak mungkin hapus. Datuk Luhak Agam dan Datuk Luhak Lima Puluh Kota tengah mengejarnya. Raja di Pagaruyung telah pula turun tangan...”
“Sudahlah Uda, saya tidak mau mendengar cerita itu berpanjang lebar. Buruk atau baiknya Datuk adalah suami saya walaupun saya tidak pernah mencintainya. Sekarang katakan mengapa Uda datang malam-malam begini menyelinap menemui saya. Kalau selesai cerita Uda, lekas pergi. Saya takut Ibu terbangun dan masuk ke dalam kamar ini...”
“Seruni, aku gembira mendengar ucapanmu bahwa kau tidak mencintai Datuk Marajo Sati. Berarti diriku yang buruk ini masih ada tempat di dalam hatimu. Aku telah lama merencanakan sesuatu. Malam ini kurasa saat yang tepat untuk memberi tahu padamu. Empat hari di muka ada sebuah kapal barang akan berlayar ke tanah Jawa. Beberapa orang anak buah kapal adalah teman-temanku. Mereka bersedia membawa kita ke tanah Jawa. Sampai di tanah Jawa kita akan mencari usaha bagaimana caranya agar ada kadi atau orang tua yang bisa menikahkan kita.”
Sepasang bola mata Gadih Putih Seruni membesar. Menatap tak berkesip ke arah pemuda yang tegakdi hadapannya. “Uda, saya memang tidak pernah mencintai Datuk Marajo Sati. Dan sampai saat ini kasih sayang saya pada Uda tidak pernah pudar. Tapi apa yang barusan Uda katakan sungguh tidak berani saya melakukan. Bagaimanapun juga saya adalah masih istri syah Datuk Marajo Sati. Dosa besar akan menghadang kita dan anak keturunan kita jika kita lakukan apa yang Uda rencanakan itu. Dosa kita akan jauh lebih besar dan lebih berat dari apa yang sekarang dituduhkan orang senagari ini terhadap Datuk. Seandainya saya ini belum menikah dengan Datuk, pergi kawin lari menurutkan kata hati tetap akan saya pikir dulu masak-masak. Saya tidak ingin memberi malu nama baik keluarga, mencoreng arang dikening. Menginjak adat melanggar ajaran agama. Saya tidak ingin arwah ayah saya menjadi tidak tenteram di alam baka...” Waktu bicara sepasang mata Seruni tampak berkaca-kaca dan dadanya turun naik.
“Seruni, aku tahu kau sedang bingung karena kedatangan Datuk tadi. Mungkin juga takut. Selama aku masih berada di dekatmu jangan pernah merasa takut. Aku akan memberi waktu bagimu untuk berpikir. Jika kau menerima apa yang aku katakan, datanglah dua hari lagi ke bekas Istana Pagaruyung di Bukit Batu Patah. Datang malam hari, seorang diri. Aku akan menunggumu di sana. Di tempat itu ada seorang jalan. Mamakku yang bertugas menjaga bekas Istana itu. Dia akan membantu kita sampai kita pergi ke pesisir barat untuk berlayar...” (jalan Mamak = masih Paman)
“Maafkan saya Uda. Saya tidak berani melakukan hal itu...”
Pakih Jauhari melangkah mendekati Gadih Putih Seruni. Memeluk perempuan itu erat-erat lalu mencium keningnya. “Kekasih buah hati, belahan jiwa pengarang jantung, kutunggu kau malam dua hari lagi. Di Bukit Batu Putih. Bekas Istana Kerajaan Pagaruyung di Gudam. Jangan kecewakan hati orang yang sangat mencintaimu ini. Besok pagi, aku akan menyuruh sahabatku si Leman menjemputmu dengan kereta. Perjalanan ke Bukit Batu Patah cukup Jauh...”
“Saya tidak mengerti...” bisik Gadih Putih Seruni.
“Apa yang tidak kau mengerti Seruni?”
“Mengapa harus dua malam lagi. Dan tempatnya musti di Bukit Batu Patah...?”
“Itu tempat yang paling aman. Memangnya ada apa Seruni...?”
Gadih Putih Seruni hanya menggelengkan kepala.
“Aku pergi sekarang Seruni. Jaga dirimu baik-baik...”
Ketika Pakih Jauhari telah keluar dari kamar itu baru Gadih Putih Seruni sadar. “Seharusnya aku katakan padanya bahwa dua malam di muka Datuk Marajo Sati juga akan datang ke Bukit Batu Patah. Ah, mengapa mulut ini tak bisa bicara. Apakah... apakah aku harus memenuhi permintaan pemuda itu. Apa yang akan terjadi jika nanti bertemu dengan Datuk Marajo Sati? Mungkin aku harus menyuruh seseorang menemui pemuda itu bahwa di malam yang sama Datuk Marajo juga akan ada di sana. Bisa-bisa Pakih Jauhari juga akan diadili dengan tuduhan penebar fitnah...”
Gadih Putih Seruni telungkupkan badan di atas pembaringan. Malam itu dia tidak bisa memejamkan mata sepicingpun. Terhuyung-huyung dia baru turun dari suara Azan menggema untuk mengingatkan umat akan kewajiban bersembahyang Subuh. Dalam hati dia membatin.
“Tuhan, aku akan bersujud menghadapmu. Tolong ya Tuhan, lindungi kami semua. Beri saya ketabahan menghadapi segala cobaan ini...”
Pembaca yang budiman. Saatnya kita kembali pada sang Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang menerbangkan Tengku Mudo Sagalo Duo, melesat ke udara dengan menunggang harimau sakti sementara Datuk Marajo Sati juga lenyap entah ke mana, maka murid Sinto Gendeng kini tinggal berdua dengan nenek Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Wiro memperhatikan dinding batu dekat mulut goa. Kain bersurat yang tergulung pada sebatang bambu dan menancap di dinding batu tidak kelihatan lagi. Wiro dan juga si nenek maklum kalau sebelum meninggalkan tempat itu Datuk Marajo Sati telah mengambil surat itu.
Sementara Wiro kemudian menatap ke langit memperhatikan dua harimau yang ditunggangi dua datuk melesat membawa terbang sosok dua pemuda dempet, si nenek sentakkan tangan kanan. Kain putih panjang melesat bergulung melibat pedang Al Kausar. Senjata itu disusupkan kembali ke balik punggung jubah putihnya.
Wiro masih terus menatap ke langit. Mulutnya berkata. “Tadinya kita datang ke sini untuk menjernihkan suasana. Bicara pada dua Datuk Luhak dan Datuk Pucuk. Siapa mengira kejadiannya bisa begini.”
Si nenek mengikuti arah pandangan Wiro lalu bertanya. “Menurutmu mengapa dua Datuk melarikan pemuda dempet itu? Lalu ke mana mereka hendak membawanya?”
Wiro angkat kopiah hitam yang dilingkari sorban, menggaruk kepala lalu menjawab. “Aku punya dugaan begini Nek. Dua Datuk ingin mengorek keterangan dari dua pemuda dempet di mana beradanya Tuanku Laras. Jika tahu di mana manusia muka belang itu berada berarti di situ juga ada gadis Cina yang dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok itu. Mungkin sekali dua Datuk ingin mengetahui langsung dari gadis itu apa benar Datuk Marajo Sati telah melakukan perbuatan mesum terhadap dirinya. Lalu dua Datuk sengaja menerbangkan dua pemuda dempet, menjauhkan dari Datuk Marajo agar Datuk Marajo tidak mendengar apa yang mereka bicarakan dan mengetahui di mana keberadaan gadis Cina itu...”
“Hemmm...” Si Kamba Mancuang tersenyum bergumam. “Otakmu encer juga...”
“Bukan cuma otaknya! Tempurung kepalanya juga akan aku buat encer seperti lilin disambar api!” Tiba-tiba satu suara garang menimpali ucapan si nenek.
SI KAMBA Mancuang tersentak kaget. Pendekar 212 bersurut mundur sambil memegang sorban yang membungkus kopiah hitam dikepalanya.
“Oala! Pasti dia!” Ucap Wiro setengah berbisik pada Si Kamba Mancuang.
Sesaat kemudian di tempat itu muncul seorang bertubuh gemuk besar, tegak dengan kepala tertutup gulungan kain hitam menapak di tanah sementara dua kaki ke atas. Rambut, kumis dan janggut kasar menjulai. Dia hanya mengenakan celana hitam. Dada tertutup bulu lebat namun jelas kelihatan menonjol tiga buah puting susu. Sepuluh jari tangan yang mengenakan cincin batu aneka warna bergerak-gerak tiada henti. Dua telinga dicanteli anting-anting besar terbuat dari suasa. Sepasang mata yang besar memandang membehak ke arah Wiro dan si nenek. Tiba-tiba...
"Weettt! Tubuh besar gemuk itu bergerak. Kejap itu juga dia telah berdiri di atas dua kakinya.
“Inyiek! Guru!” seru Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Sementara murid Sinto Gendeng tertegun setengah melongo. Sambil dalam hati berkata. “Tewas aku! Guru nenek ini pasti akan melanjutkan niatnya membunuh diriku!”
Yang berdiri di hadapan Wiro dan Si Kamba Mancuang memang adalah tokoh silat paling ditakuti di ranah Minang yaitu Inyiek Susu Tigo yang sekaligus merupakan guru Si Kamba Mancuang.
“Kalian berdua! Mengingat apa yang telah kalian lakukan seharusnya aku bunuh kalian saat ini juga!” Inyiek Susu Tigo membuka mulut. “Tapi aku masih berbaik hati. Masih mau mengampuni.” Mata belok Inyiek Susu Tigo berputar menatap ke arah muridnya. “Kamba Mancuang! Serahkan padaku senjata curian yang terselip di punggungmu! Sesudah itu kalian berdua boleh pergi!”
“Inyiek, sebenarnya kami...”
“Pemuda gelandangan berambut seperti perempuan! Tutup mulutmu! Kau juga mencuri sorban milik Datuk Marajo Sati!” Inyiek Susu Tigo membentak Wiro ketika sang pendekar coba keluarkan ucapan.
Kamba Mancuang cepat menengahi. “Inyiek, jika Inyiek berjanji tidak akan mengapa-apa kami, denai siap menyerahkan senjata yang Inyiek minta. Senjata ini memang bukan milik denai...”
Habis berkata begitu si nenek lalu cabut pedang Al Kausar yang terselip di balik pakaian punggung pakaian. Entah mengapa sebelum diserahkan, kain putih panjang yang membalut pedang terlebih dahulu dibuka oleh si nenek. Lalu pedang dalam keadaan telanjang itu baru diserahkan pada sang guru.
Dengan cepat Inyiek Susu Tigo mengambil pedang lalu membentak. “Kalian berdua lekas lindas hapus dari hadapanku! Jika di kemudian hari aku tahu kalian masih berbuat macam-macam akan aku jadikan kalian satu macam alias kucincang sampai lumat dengan pedang ini! Lekas pergi!” (lindas hapus = menyingkir pergi)
Si Kamba Mancuang memberi isyarat pada Wiro. “Kami akan segera pergi Inyiek. Terima kasih Inyiek mengampuni kami berdua. Sebelum pergi apakah Inyiek juga inginkan sorban curian ini?” Wiro lalu buka gulungan sorban milik Datuk Marajo Sati yang melingkar di kopiah hitam di atas kepala.
Sang Inyiek menyambar sorban itu. Tapi bukan untuk diambil melainkan dibanting hingga amblas ke dalam tanah. “Sorban bau seperti ini apa perlunya bagiku!” ucap Inyiek Susu Tigo. “Kalian berdua tunggu apa lagi?!”
Dibentak begitu rupa tidak banyak bicara lagi kedua orang itu segera berlalu dari hadapan Inyiek Susu Tigo. Namun tak berapa lama kemudian tiba-tiba Wiro hentikan lari.
“Nek, aku rasa ada sesuatu yang tidak beres!” kata Pendekar 212 pula.
“Sudah, nanti saja kita bicara. Makin cepat dan makin jauh kita meninggalkan Inyiek makin baik...”
“Tunggu dulu Nek. Tidaklah kau melihat keganjilan pada diri gurumu?”
“Apa maksudmu Wiro?” tanya Si Kamba Mancuang.
“Pertama, seharusnya dia marah besar begitu melihat kita. Aku kabur dari dalam telaga. Kau ada bersamaku. Jelas kau berkhianat terhadapnya. Padahal niatnya semula jelas hendak membunuhku apapun yang terjadi...”
“Dia merasa pedang Al Kausar yang aku berikan padanya merupakan imbalan yang layak. Itu sebabnya dia tidak mengingat lagi hal itu...” berkata si nenek.
“Bisa jadi begitu,” sahut Wiro. “Tapi ada hal lain lagi. Mengapa gurumu tidak menanyakan pada kita di mana keberadaan si gendut Denok Tuba Biru. Padahal bukankah ia setengah mati jatuh hati pada gadis itu dan sudah menganggapnya sebagai istri? Kurasa gadis itu jauh lebih penting dari sebilah pedang. Gurumu bisa uring-uringan dan mati berdiri kalau tidak mendapatkan gadis berbulu ketiak panjang itu!”
(Mengenai bagaimana Inyiek Susu Tigo tergila-gila pada Denok Tuba Biru baca serial sebelumnya berjudul Fitnah Berdarah Di Tanah Agam)
Si Kamba Mancuang termenung. Selagi dia berpikir-pikir sambil menggulung kain putih yang sebelumnya dibalutkan pada pedang Al Kausar Wiro tiba-tiba memegang lengannya. “Nek, aku punya firasat buruk! Kita tidak tahu ke mana perginya gurumu. Tapi ada baiknya kita kembali ke tempat tadi dia mendatangi kita!”
Si nenek tidak berkata apa-apa melainkan mengikuti saja ditarik dan dibawa lari oleh Pendekar 212. Sewaktu tak selang berapa lama mereka sampai ke tempat tadi mereka bertemu dengan Inyiek Susu Tigo, mereka masih melihat satu kenyataan yang mengejutkan walaupun kenyataan itu kemudian segera sirna.
Di tanah tampak kepingan-kepingan aneh tubuh manusia tanpa darah, seperti kepingan patung hancur. Lalu ada robekan kain-kain hitam dan hancuran sepuluh cincin berbatu. Hanya sekejapan kemudian semua benda dalam bentuk ratusan kepingan itu berubah menjadi asap lalu lenyap dari pemandangan!
“Ilmu Bayangan Menipu Mata” ucap Si Kamba Mancuang setengah berteriak dan wajah berubah.
“Tuanku Laras! Jahanam keparat!” Wiro menyumpah.
“Berarti tadi jejadiannya yang muncul menirukan ujud guruku! Kita tertipu Wiro!”
Wiro angkat kopiah hitam lalu garuk kepala habis-habisan. Kemudian dia berusaha membujuk si nenek. “Sudahlah, tidak perlu terlalu dirisaukan. Pedang itu memang bukan milik kita.”
“Bukan soal milik siapa. Tapi jika Tuanku Laras bisa mendapatkan senjata itu kembali akan sulit bagi siapapun untuk menghadapinya!” kata si nenek pula.
“Nek aku percaya di atas langit masih ada langit lagi.”
Si nenek menatap ke langit. “Heh, aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu itu! Ayo coba kau terangkan!”
Wiro tersenyum lalu menjawab, “Artinya banyak perempuan cantik di negeri ini. Tapi yang paling cantik adalah dirimu!”
Si nenek terpekik. Tangan kiri dipukulkan ke dada Wiro. Wiro tertawa gelak-gelak. Mendadak si nenek terdiam. Parasnya yang tadi kemerahan kini berubah memutih. Dada berdebar dan dalam hati dia membatin.
“Apakah... apakah dia mengetahui siapa diriku sebenarnya? Mungkin saudara kembarku Si Kamba Pesek pernah menerangkan atau keterlepasan bicara...?”
“Nek, apa yang harus kita lakukan sekarang...”
“Jangan bicara dulu. Aku tengah memikirkan sesuatu.”
“Kau tahu dirimu cantik. Apa lagi yang perlu dipikirkan?” Wiro kembali menggoda.
Si nenek angkat ke atas tangan kanannya yang memegang kain putih bekas pembungkus pedang Al Kausar. “Inyiek pernah memberikan ilmu untuk mengikuti sebuah benda yang ada di tempat jauh. Tapi aku tidak pernah mempergunakan. Aku juga tidak tahu apa bisa aku terapkan. Dengan kain putih ini aku bisa mengetahui di jurusan mana beradanya pedang Al Kausar karena sebelumnya kain ini telah bersentuhan dengan senjata itu!”
“Hebat!” Puji Wiro. Pinggang si nenek dipeluk lalu tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke atas.
Si nenek tidak berusaha menurunkan diri ke tanah. Dia berkata, “Tapi butuh waktu. Paling tidak lebih dari satu hari satu malam.”
“Kalau begitu lakukan sekarang! Kita cari tempat yang baik.”
Wiro turunkan Si Kamba Mancuang ke tanah. Begitu diturunkan dia langsung mencium pipi dan leher berulang-ulang hingga si nenek terpekik kegelian. Di saat itu, seperti yang pernah dialami sebelumnya walau sekilas Wiro kembali melihat perubahan pada wajah dan raut tubuh si nenek.
“Seperti dulu, paras dan tubuhnya berubah jika aku peluk dan aku cium. Berarti jika ada rangsangan. Kalau nenek ini sebangsa mahluk jejadian, bisa-bisa aku celaka di kemudian hari...”
“Wiro, kau keterlaluan. Kalau ada orang yang melihat...” Si nenek berkata sambil palingkan wajah ke arah lain, tak berani menatap sang pemuda.
“Bukan aku yang keterlaluan Nek.”
“Lalu siapa?”
“Langit!” jawab murid Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.
Si nenek kernyitkan hidung dan selanjutnya hanya bisa mengulum senyum.
Bukit Batu Patah di Gudam. Merupakan sebuah bukit yang dianggap keramat karena di sinilah dulu berdirinya satu bangunan besar yang disebut Rumah Gadang Nan Sambilan Ruang, yakni Istana pertama Kerajaan Pagaruyung. Konon sampai bukit ini diberi nama Bukit Batu Patah dikarenakan di salah satu lerengnya terdapat dua buah batu besar dalam keadaan terpisah seperti patah dan menurut cerita dulunya utuh bersambung menyatu. Meski telah lama ditinggalkan namun bekas bangunan istana itu masih dipelihara dan dijaga oleh seorang lelaki tua bekas perajurit Kerajaan.
Matahari belum tenggelam langit masih benderang dan tentu saja bulan sabit hari ketiga masih jauh dari saat kemunculannya. Dari arah kaki bukit seorang berpakaian dan berikat kepala biru memacu kuda ke lereng bukit. Kuda yang sudah berlari kencang itu masih dicambuk dengan tali kecil agar berlari lebih kencang, agar sampai lebih cepat ke tujuan yakni bukan lain bangunan bekas Istana di lereng bukit sebelah timur.
Orang di atas kuda adalah Pakih Jauhari. Sesuai pintanya pada Gadih Putih Seruni yang merupakan istri Datuk Marajo Sati si pemuda akan menunggu kedatangan kekasihnya itu di bekas bangunan Istana. Dia khawatir terlambat datang. Namun ketika sampai di lereng bukit sebelah timur dia tidak melihat kereta atau pedati. Berarti dia tidak terlambat. Sang kekasih belum sampai. Mudah-mudahan masih dalam perjalanan dan akan segera datang. Begitu melompat turun dari kuda, tanpa menambatkan binatang itu lebih dulu Pakih Jauhari langsung menaiki tangga di samping kanan bangunan. Sampai di atas rumah dia berteriak memanggil.
“Mamak! Mamak Jambek! Saya Pakih sudah datang. Di mana Mamak?” (Mamak = Paman)
Tak ada orang di dalam rumah besar yang lantai dan dinding papannya sudah mulai lapuk. Tak ada suara jawaban. Pakih Jauhari memeriksa di sembilan ruangan namun sang paman tidak ditemukan. Akhirnya pemuda ini keluar dari rumah, turun ke halaman. Dia mencari ke sumur besar dihalaman belakang, memeriksa sekitar bangunan tempat tabuh diletakkan (tabuh = beduk) sang Paman masih belum ditemukan. Pakih Jauhari pindah ke halaman depan rumah besar di mana terdapat tiga buah rangkiang. (rangkiang = tempat penyimpanan/lumbung padi)
Sementara itu cahaya sang surya mulai meredup pertanda akan segera masuk ke ufuk tenggelamnya. Rangkiang pertama dilewati, begitu juga rangkiang kedua. Ketika Pakih Jauhari bergerak ke rangkiang ketiga di paling ujung kiri darahnya tersirap. Di bawah kolong rangkiang Pakih Jauhari melihat satu sosok tergeletak. Pemuda ini segera berlari mendekati dan berteriak keras ketika mengenali sosok itu adalah sosok paman yang tengah dicarinya.
Lelaki yang telah berusia hampir tujuh puluh tahun ini tergeletak dengan mata nyalang menatap ke langit. Baju putih lengan panjang tampak robek besar dan basah merah oleh darah! Di bawah robekan baju yaitu di bagian dada melintang satu luka memanjang.
“Paman Jambek! Apa yang terjadi! Siapa yang melakukan perbuatan kejam ini!” Pakih Jauhari jatuhkan diri ke tanah, cepat meletakkan kepala pamannya di atas paha dan kembali berteriak. Mulut orang tua yang sejak tadi terkancing membuka sedikit. Suaranya antara terdengar dan tiada ketika menyebut nama Allah.
“Allahu Akbar... Lailla... Haillallah. Mataku kabur, aku tidak bisa melihat. Tapi aku mengenali suaramu. Pakih Jauhari anakku, benar kau yang datang?”
“Benar mamak, ini saya Pakih Jauhari...” jawab si pemuda. “Katakan apa yang terjadi. Siapa...”
“Pakih... si... siang tadi ada or... orang datang. Mukanya berbulu putih dan hitam. Dia... dia memaksaku menunjukkan di mana satu... satu pet... peti emas disembunyikan. Aku tidak tahu perihal emas yang dikatakannya. Dia berkata ada orang me... menyimpan satu peti emas di sini. Aku pasti tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak bi... bisa menjawab. Di... dia tidak percaya. Dia lalu meng... aniaya diriku. Aku melawan. Ilmu silatnya tinggi... tinggi sekali. Terakhir sekali dia menca... but sebilah pedang...”
“Mamak, beritahu pada saya siapa adanya orang itu...”
Sepasang mata Mamak Jambek yang menatap nyalang tampak memudar. “Aku tidak tahu Pakih. Dia mengenakan destar dan pakaian hit... am. Dia membawa sebilah pe... pedang sakti terbuat dari perak. Dia... Pakih, saatnya sudah dekat...”
“Mamak... apakah Seruni sudah datang ke sini...?”
Mulut sang paman hanya terbuka menganga. Tak ada lagi suara yang keluar. Pakih Jauhari menggerung keras. “Pembunuh durjana! Akan kucari kau sampai dapat! Akan aku bunuh! Akan aku cincang!”
“Anak muda bermulut besar. Aku pembunuh Mamakmu sudah ada di sini! Aku mau lihat bagaimana caramu mencincang diriku!”
Tiba-tiba ada yang bicara. Pakih Jauhari kaget luar biasa. Ketika berpaling dia melihat lelaki tinggi besar berdestardan berpakaian hitam. Wajahnya tertutup bulu. Bulu hitam di sebelah kanan, bulu putih di sebelah kiri.
“Kau! Kau pasti Tuanku Laras Muko Balang! Manusia durjana!” Pakih Jauhari berteriak marah.
Kepala paman yang dipangku diletakkan di tanah lalu Pakih Jauhari melompat. Secepat kilat tangannya menyambar ke arah pinggang orang di depannya. Maksudnya hendak merampas pedang Al Kausar yang tergantung di pinggang orang. Namun sambaran si pemuda yang hanya berbekal silat kampung dengan mudah dapat dihindari dan sebaliknya dia harus menerima satu jotosan dari lawan yang memang Tuanku Laras Muko Balang adanya.
Pakih Jauhari mengeluh kesakitan. Darah mengucur dari hidung yang dihantam pukulan. Selagi dia terhuyung-huyung, Tuanku Laras Muko Balang sudah mencekik lehernya lalu tubuh pemuda ini diangkat tinggi-tinggi ke udara.
“Kalau Mamakmu tidak tahu di mana peti berisi emas itu disembunyikan, kau pasti tahu! Lekas bicara!”
Sepasang mata Pakih Jauhari membeliak besar. Mulut ternganga dan lidah terjulur. Nafas megap-megap sementara darah masih meleleh keluar dari hidung. Kepala berusaha digeleng-geleng pertanda dia juga tidak tahu mengenai peti berisi emas yang ditanyakan.
“Brukkk!” Tuanku Laras Muko Balang bantingkan pemuda itu ke tanah. Untuk beberapa lama Pakih Jauhari terkapar nanar. Sekujur tulang di bagian belakang tubuhnya seolah remuk. Ketika dia berusaha bangkit dan duduk di tanah tahu-tahu ujung pedang yang runcing sudah menempel di tenggorokan.
“Aku memberi kesempatan sekali lagi padamu! Ada orang menyembunyikan satu peti emas di bekas bangunan Istana. Mungkin juga dikubur di halaman sekitar bangunan. Kau pasti tahu dan mau mengatakan. Atau nasibmu akan sama celaka seperti Mamakmu!”
Muka pucat Pakih Jauhari, basah oleh keringat ketakutan. Tenggorokan dan dada turun naik. Mata mendelik. “Ampun, ambo tidak tahu. Ambo...!” (Ambo = Saya)
“Pemuda keparat! Susul Mamakmu di narako!” Tangan Tuanku Laras Muko Balang yang memegang gagang pedang Al Kausar bergerak.
Saat itulah tiba-tiba berkelebat tiga bayangan. Salah seorang diantaranya berseru. “Tuanku Laras! Jangan bunuh pemuda itu! Seperti pamannya dia memang tidak tahu apa-apa tentang peti emas itu!”
Tuanku Laras Muko Balang terkesiap sebentar. Perlahan-lahan dia tarik pedang Al Kausar lalu berpaling. Mulutnya menyerukan seringai pencong. “Bagus! Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu betul di mana beradanya peti berisi emas itu!” Mulut Tuanku Laras Muko Balang berucap. Kaki kiri bergerak menendang.
“Bukk!” Pakih Jauhari terpental muntah darah. Terguling di tanah. Megap-megap antara sadar dan pingsan.
Sementara itu udara mulai agak gelap. Di langit bulan sabit malam ketiga telah muncul memperlihatkan diri.
TIGA orang yang muncul di halaman bekas Istana lama Kerajaan Pagaruyung adalah Ki Bonang Talang Ijo yang kini tidak lagi mengenakan blangkon hijau, Perwira Muda Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Setelah Tuanku Laras kabur meninggalkan mereka begitu saja sambil membawa gadis Cina Chia Swie Kim alias Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok, ke tiga orang itu berunding apa yang akan mereka lakukan.
Secara berbisik-bisik Ki Bonang mengusulkan pada Teng Sien agar mereka segera menuju ke bangunan Istana lama di Bukit Batu Patah di mana sebelumnya satu peti emas telah disembunyikan. Sebaliknya Teng Sien yang tidak pedulikan benda berharga itu merasa lebih penting mendahulukan mencari dan menemukan Chia Swie Kim. Setelah Pandeka Bumi Langit diajak ikut berunding akhirnya ke tiga orang itu sepakat akan melakukan perjalanan ke Bukit Batu Patah sembari di tengah jalan menyelidiki mencari jejak Tuanku Laras Muko Balang.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik membawa kedua orang itu ke beberapa tempat yang diduga kemungkinan berada dan bersembunyinya Tuanku Laras. Namun dua hari berlalu tanpa hasil. Karena sudah berada cukup dekat dengan Bukit Batu Patah akhirnya Teng Sien menyetujui usul Ki Bonang untuk segera saja lebih dulu memeriksa keberadaan satu peti emas yang disembunyikan sebelumnya di tempat itu, Mereka sampai di permulaan malam.
Ketika tiba di bekas bangunan Istana lama Kerajaan Pagaruyung, kejut Ki Bonang dan Perwira Muda Teng Sien bukan alang kepalang melihat Tuanku Laras Muko Balang berada di tempat itu.
“Dia membunuh Jambek Magang penjaga bangunan Istana. Sekarang hendak membunuh pula kemenakannya. Heran, dari mana dia mengetahui kalau emas yang satu peti itu disembunyikan di kawasan ini?” bisik Ki Bonang pada Teng Sien.
“Rahasia bisa saja bocor,” jawab Teng Sien. “Saat ini aku ingin sekali menabas batang lehernya,” jawab Teng Sien. “Tapi dia datang sendirian. Di mana dia meninggalkan Chia Swie Kim? Celaka besar kalau dia telah membunuh gadis itu.”
“Tuanku Laras tidak akan membunuh gadis itu. Karena dia ingin memperistrikannya. Dia pasti menyembunyikan di satu tempat,” jawab Ki Bonang.
Di samping kedua orang itu Pandeka Bumi Langit berkata, “Ki Bonang kita harus menyelamatkan pemuda itu. Dia hendak dibunuh padahal tidak punya kesalahan.”
Maka ketiga orang itu melompat ke hadapan Tuanku Laras sambil Ki Bonang mengeluarkan seruan agar Tuanku Laras tidak membunuh Pakih Jauhari. Seruan Ki Bonang disambut Tuanku Laras dengan seringai pencong disusul ucapan.
“Bagus! Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu betul di mana beradanya peti berisi emas itu!”
“Tuanku Laras. Mengenai emas itu pasti akan menjadi bagian kita bersama jika gadis Cina itu sudah diserahkan pada Perwira Muda ini. Kami tidak punya maksud untuk menipu Tuanku Laras. Kecuali jika Tuanku Laras berniat serakah hendak memilikinya sendiri!” Menjawab Ki Bonang.
“Kepalamu yang hancur, matamu yang remuk pasti membuat telingamu telah menjadi tuli! Ki Bonang! Apa kau tidak mendengar?! Berapa kali sudah kukatakan. Emas itu lebih dulu baru gadis Cina aku serahkan!”
Teng Sien geleng-gelengkan kepala. Tangan kanannya diletakkan di gagang golok besar yang terselip di pinggang. Dalam bahasa Cina dia berkata pada Ki Bonang. “Aku tidak percaya monyet muka belang ini. Aku ingin membunuh manusia satu ini sekarang juga!”
“Sabar perwira. Kita harus mencari upaya yang terbaik agar Chia Swie Kim selamat, kau mendapatkan Kupu Kupu Giok dan emas itu tidak diserakahi jahanam itu seorang diri...”
Habis membujuk sang perwira Muda Teng Sien Ki Bonang lalu berkata pada Tuanku Laras Muko Balang. “Tuanku Laras, apapun yang terjadi di antara kita sebaiknya dilupakan dulu. Dalam perjalanan ke sini kami melihat ada sebuah kereta dikawal oleh prajurit Kerajaan Pagaruyung dari Istana Baso. Pasti sekali mereka tengah menuju ke sini. Ada gerakan apa...”
“Setan atau iblis sekalipun yang datang berkereta ke tempat ini apa perduliku!” Bentak Tuanku Laras memotong ucapan Ki Bonang.
“Kalau begitu silang sengketa antara kita tidak bisa lagi dihindari! Kalau hidup, hidup bersama. Kalau mati, mati semua!”
Tuanku Laras tertawa gelak-gelak. Dia menunjuk ke arah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik lalu keluarkan ucapan. “Pandeka! Kau berada di pihak mana?! Jika berada di pihakku lekas berdiri di sebelahku! Bunuh kedua jahanam ini!”
Pandeka Bumi Langit tertawa. “Ketika di gua di Bukit Siangok kau menyangka aku tertidur pulas. Padahal aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Ki Bonang. Saat itu kau berkata bahwa untukku cukup tambahan satu batang emas saja. Jika aku menolak maka kau juga akan menghabisi diriku sebagaimana kau hendak membunuh Perwira Cina itu! Apakah Tuanku Laras masih perlu bertanya di pihak mana aku berada?!”
Tuanku Laras pencongkan mulut. “Orang bodoh memang lebih baik memilih mampus lebih dulu!” Sambil berucap Tuanku Laras Muko Balang berkelebat ke arah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Pedang Al Kausar di tangan kanan menderu ganas. Cahaya putih berkiblat di udara yang temaram.
Dengan gerakan cepat Pandeka Bumi Langit melompat mundur. Sambil melompat dia loloskan kain sarung yang menyilang di bahu. Ketika lawan lancarkan serangan jurus kedua Pandeka Bumi Langit kebutkan kain sarung ke udara. Selagi kain sarung membuntal berputar mengeluarkan suara bergemuruh disertai sapuan angin deras, Pandeka Bumi Langit membungkuk dan kaki kanan menyapu menyambar tulang kering kaki kiri Tuanku Laras. Inilah jurus yang disebut Kincir Berputar Alu Menumbuk.
“Brett... breett!” Kain sarung robek besar. Tuanku Laras berseru kaget ketika kaki kanan lawan masih sempat menepis kaki kirinya hingga tubuhnya sedikit terhuyung.
Melihat Tuanku Laras agak hilang keseimbangan dengan nekat Pandeka Bumi Langit menyerbu dengan ilmu silat sitaralak dalam jurus bernama Bumi Dibawah Langit Diatas. Tangan kiri berkelebat ke arah dagu sedang tangan kanan menghantam ke bagian perut. Kalau dua serangan itu sempat mengenai sasaran maka dagu Tuanku Laras akan remuk, tulang leher bergeser dan di sebelah bawah perut bisa terbongkar!
Kenekatan Pandeka Bumi Langit membuat dia lupa bahwa lawan yang dihadapinya adalah seorang tokoh silat besar dengan ketinggian ilmu hampir dua tingkat di atasnya. Itu jika Tuanku Laras mengandalkan tangan kosong. Namun saat itu dia menggenggam pedang sakti Al Kausar yang membuat tingkat kehebatannya menjadi lebih dari dua kali dari kehebatan Pandeka Bumi Langit.
Sebelum dua pukulan sitaralak sempat menyentuh dagu dan perut Tuanku Laras, seperti memiliki mata pedang Al Kausar bergerak aneh, menebas ke arah dua tangan lawan. Kalaupun Pandeka Bumi Langit sanggup mengelak maka tetap saja salah satu tangannya akan kena ditebas putus!
Ki Bonang berseru tegang, Perwira Teng Sien yang memang sudah sangat jengkel dan benci terhadap Tuanku Laras Muko Balang segera cabut golok besar di pinggang lalu secepat kilat dilempar ke arah orang yang mukanya ditumbuhi bulu hitam putih itu.
“Aha! Sekarang ada dua orang yang minta mati cepat! Teng Sien tunggu giliranmu!” Tuanku Laras berteriak. Pedang Al Kausar yang dipegangnya terus menderu ke arah tangan Pandeka Bumi Langit sementara tangan kiri yang memegang sarung pedang dipergunakan untuk menangkis mental serangan golok Teng Sien.
Seperti yang sudah diduga, Pendeka Bumi Langit memang hanya mampu selamatkan salah satu dari dua tangannya. Ketika Pedang Al Kausar siap menebas putus tangan kirinya tiba-tiba terdengar suara berdesir. Sebuah benda panjang yang ternyata adalah kain putih melesat di udara laksana seekor ular terbang. Dengan cepat kain putih itu melibat pedang Al Kausar.
“Bukkk!” Pedang yang seharusnya membabat putus tangan kiri Pandeka Bumi Langit, karena sudah tergulung kain putih kini tak lebih dari sebuah pentungan. Apa lagi sebelum melesat di udara seseorang telah mengisi kain itu dengan tenaga dalam hingga sanggup menahan ketajaman mata pedang sakti.
“Kraakk!” Pandeka Bumi Langit menjerit keras. Lengan kirinya patah. Itu adalah lebih baik daripada putus! Menahan sakit hingga tubuhnya bergetar, Pandeka Bumi Langit jatuhkan diri lalu bergulingan di tanah menjauhi Tuanku Laras.
Dalam keterkejutan, semua orang berpaling ke arah datangnya kain putih panjang tadi. Mereka melihat dua orang berkelebat mendatangi. Keduanya ternyata adalah pemuda berambut seperti padusiyaitu Pendekar 212 Wiro Sableng ditemani Si Kamba Mancuang. Ternyata si nenek ini dengan ilmu yang dipelajarinya dari gurunya Inyiek Susu Tigo, walau menghabiskan waktu satu hari satu malam, dengan kain putih yang pernah bersentuhan dengan pedang Al Kausar berhasil menjajagi dan menunjukkan di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang.
Secara kebetulan hal itu terjadi pada malam bulan sabit hari ke tiga, bersamaan dengan kedatangan Pakih Jauhari, Ki Bonang, Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik ke Bukit Batu Patah yang hendak memeriksa keberadaan satu peti yang disembunyikan jauh hari sebelumnya.
“Ki Bonang!” Tiba-tiba TuanKu Laras berteriak. “Tadi kau mengatakan ada rombongan Kerajaan yang tengah menuju ke sini! Ternyata yang datang adalah kapuyuak muda dan cigak gaek ini!” (kapuyuak=kecoak) (cigak gaek=beruk/monyet tua)
Tiba-tiba di kejauhan terdengar deru suara detak roda kereta dan hentakkan kaki-kaki kuda. Lalu ada suara orang berteriak menyahuti ucapan Tuanku Laras tadi.
“Siamang bermuka belang! Bersabarlah sedikit! Orang yang hendak diadili belum kelihatan di tempat ini. Perlu apa kami datang terburu-buru! Rupanya kau sudah siap-siap menjadi saksi!” (Siamang = monyet besar biasanya berbulu hitam).
Disebut Siamang bulu diwajah Tuanku Laras berjingkrak kaku saking marahnya. “Pedang sakti, coba berikan sambutan selamat datang pada orang bermulut kurang ajar itu!”
“Wuuut!” Tuanku Laras Muko Balang lemparkan pedang Al Kausar ke udara. Senjata sakti ini serta merta menderu berputar-putar dan melesat laksana kilat ke arah datangnya suara orang yang berteriak tadi.
Di lereng di atas goa ada satu hutan kecil ditumbuhi berbagai pohon buah yang bisa dimakan. Selain itu Juga banyak berkeliaran ayam hutan yang tidak terlalu sulit ditangkap untuk dijadikan santapan. Untuk mencapai goa yang terletak di bagian bukit terpencil ini jalan yang harus ditempuh cukup sulit. Penduduk beberapa dusun di sekitar kaki Bukit Siangok jangankan naik ke bukit, mendekat di sekitar kaki bukit saja tak ada yang berani.
Konon di kawasan bukit banyak berkeliaran harimau besar. Terkadang binatang ini tidak muncul sendirian, ada kalanya berombongan atau anak beranak. Ada yang mempercayai kalau binatang-binatang buas itu merupakan peliharaan orang sakti. Namun siapa orangnya dan di mana tepat tempat kediamannya tidak diketahui. Penduduk hanya menduga-duga bahwa binatang buas itu adalah masih anak buah Inyiek Batino yang dikenal sebagai Ratu Sekalian Harimau Betina di tanah Minangkabau.
Menjelang pertengahan hari dari arah utara kelihatan empat orang berkelebat cepat. Salah seorang dari mereka berlari sambil memanggul sosok perempuan muda berbadan elok, berambut hitam terurai. Keempat orang ini ternyata menuju ke Bukit Siangok yang ditakuti penduduk beberapa dusun itu. Dengan ketinggian ilmu kesaktian yang dimiliki, empat orang itu berlari secepat tiupan angin. Tidak selang beberapa lama mereka telah berada di lereng timur Bukit Siangok, di mana goa tadi berada.
“Ini tempat rahasia yang aku ceritakan.” Berkata orang yang pertama sekali mencapai mulut goa.
Orang ini berusia lebih setengah abad. Mukanya aneh karena ditutupi bulu hitam di sebelah kanan dan bulu putih di bagian kiri. Baju serta celana galembong hitam yang dikenakannya kotor oleh debu dan selepotan tanah. Di pinggang orang ini tergantung sebilah pedang tapi cuma sarungnya saja yang ada. Inilah Tuanku Laras Muko Balang, salah seorang tokoh utama yang terlibat dalam usaha mencari puteri Pangeran Tiongkok bernama Chia Swie Kim yang kemudian diberi nama Puti Bungo Sekuntum, digelari Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok oleh Datuk Marajo Sati, Datuk Pucuk pimpinan Para Datuk Luhak Nan Tigo.
Seperti dituturkan dalam Mayat Kiriman Di Rumah Gadang, pedang sakti Al Kausar miliknya yang terbuat dari perak murni dan konon berasal dari tanah Arab terjatuh di tanah tak sempat diambilnya ketika terjadi perkelahian antara dirinya dengan Wiro dan Si Kamba Mancuang. Masih untung dia bisa melarikan diri selamatkan nyawa sekaligus memboyong Puti Bungo Sekuntum.
Akan halnya gadis cantik Puti Bungo Sekuntum, saat itu tergeletak dalam keadaan tertotok di panggulan bahu kiri seorang lelaki berdestar dan berpakaian serba merah yang bukan lain adalah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Rambut panjang hitam tergerai awut-awutan, wajah pucat dan dua mata tertutup. Sekali-sekali Pandeka Bumi Langit meniup-niup tangan kanannya yang merah melepuh. Sewaktu terjadi pertarungan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan mengandalkan ilmu silat Sitaralak dia berhasil menyarangkan pukulan bernama Tigo Alu Mangupak Lasuang.
Wiro semburkan darah akibat terluka di dalam walau tidak parah. Pandeka Bumi Langit sendiri mengelupas kulit tangan kanannya mulai dari ujung jari sampai ke pergelangan akibat hawa panas yang memancar keluar dari tubuh Wiro berasal dari kapak sakti yang berada dalam badan sang pendekar. (Baca Mayat Kiriman Di Rumah Gadang)
Orang ketiga yang ikut bersama Tuanku Laras Muko Balang tentu saja adalah Ki Bonang Talang Ijo, orang tua sakti dari Kuto Gede di tanah Jawa. Kakek bersorban dan berjubah hijau ini, yang menjadi pimpinan rombongan pencari Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok keadaannya mengenaskan sekaligus menggidikkan. Ketika bertarung melawan Datuk Panglimo Kayo, walau dia berhasil membuat lawan akhirnya menemui ajal, namun Datuk Panglimo Kayo sempat menginjak hancur kening dan mata kanannya. Kini kening dan mata itu dibalut sehelai kain hitam tebal. Blangkon hijau berbunga hijau yang merupakan salah satu senjata andalan masih bertengger di atas kepala.
Tak jauh di sebelah kiri Ki Bonang berdiri seorang lelaki bermata sipit berkulit kuning. Tangan kanan dibalut di bagian siku. Inilah Perwira Muda TengSien yang daun telinga kanannya sumplung dihantam patahan goloknya sendiri sewaktu berkelahi melawan Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti diketahui dia adalah orang kepercayaan Pangeran Chia di daratan Tiongkok yang merupakan ayah dari Chia Swie Kim.
Perwira berkepandaian tinggi ini bersama tiga orang anak buahnya yang telah lebih dulu menemui ajal ditugaskan untuk mengejar dan membawa kembali Chia Swie Kim yang didalam tubuhnya terdapat sebuah benda pusaka keramat milik Kerajaan yaitu Kupu Kupu Mata Dewa. Di dalam menjalankan tugas Perwira Muda itu diberi wewenang untuk menyerahkan hadiah berupa batangan-batangan emas sebanyak dua peti kepada siapa saja yang membantu mendapatkan puteri sang Pangeran.
Satu peti telah diberikan kepada Ki Bonang dan semua orang yang memberikan pertolongan. Sisa satu peti disimpan di satu tempat rahasia dan baru akan diserahkan kalau Chia Swie Kim dalam bentuk seorang gadis ataupun dalam ujud kupu kupu batu giok berhasil ditemukan dan untuk selanjutnya dibawa kembali ke Tiongkok. (Baca episode pertama berjudul Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok)
Dari air muka Teng Sien yang tembam keringatan dan kotor terpancar perasaan jengkel kalau tidak mau dikatakan marah. Dia tengah menghadapi satu hal yang tidak disukainya. Dia telah mencium ada hal-hal yang tidak beres dengan orang-orang yang kini membantunya.
“Kalian semua cepat masuk ke dalam goa. Kita aman di sini. Kita butuh istirahat...” Berkata Tuanku Laras Muko Balang. Lalu dia mendekati Pandeka Bumi Langit untuk mengambil Puti Bungo Sekuntum dari atas bahu dan membawanya masuk ke dalam goa.
Sewaktu Ki Bonang Talang Ijo hendak melangkahkan kaki mengikuti Tuanku Laras, Perwira Muda Teng Sien cepat memegang bahu si kakek dan berkata. “Aku tidak akan masuk ke dalam goa. Bukan ini yang aku inginkan! Bukan begini perjanjian kita! Aku punya tanggung jawab besar pada Pangeran Chia dan Kaisar Tiongkok. Aku harus segera membawa gadis itu ke Tionggoan. Dalam ujudnya seperti sekarang ini atau dalam bentuk kupu kupu Giok! Mengapa orang bermuka belang masih menahan gadis itu? Apa yang hendak dilakukannya? Aku punya kecurigaan.” (Tionggoan adalah Daratan Tiongkok)
“Perwira, sabar... tenang. Kita masuk dulu ke dalam goa. Istirahat barang sebentar apa salahnya. Kita bicara di dalam...” Ki Bonang Talang Ijo menjawab sambil membujuk dan memegang bahu Teng Sien.
Mendengar suara orang bicara di belakang dan kemudian melihat Teng Sien tidak mau beranjak dari tempatnya, Tuanku Laras bertanya pada Ki Bonang Talang Ijo. Orang tua dari Kuto Gede ini memang satu-satunya yang mengerti bahasa Cina di dalam rombongan. Karena itu dia juga bertindak sebagai juru bahasa antara Teng Sien dengan Ki Bonang dan anggota rombongan lainnya.
“Ada apa Ki Bonang? Apa yang dibicarakan Perwira itu?”
Mendengar pertanyaan Tuanku Laras, Ki Bonang dengan polos memberi tahu apa yang dikatakan Teng Sien. Tampang Tuanku Laras berubah meregang. Bulu hitam putih yang tumbuh menyelimuti wajahnya berjingkrak berdiri. “Katakan pada Perwira Cina itu! Jika dia tidak mau masuk atau mau Undang hapus dari tempat ini lebih baik dia pergi saat ini juga!” (Undang hapus: pergi/angkat kaki)
“Tapi ingat!” Tuanku Laras cepat menyambung ucapannya. “Jangan harap aku akan menyerahkan gadis Cina ini padanya. Sebaliknya dia punya kewajiban menyerahkan sisa satu peti emas pada kita! Gara-gara urusan yang dibawanya banyak sahabat kita di negeri ini menemui ajal! Ki Bonang, beri tahu apa yang aku katakan padamu! Nanti aku ingin bicara dengan Ki Bonang melanjutkan pembicaraan yang terputus tempo hari.”
“Sahabatku Tuanku Laras, kita semua tidak pernah menduga kalau dalam membantu Perwira Cina itu akan jatuh begitu banyak korban dan terjadi silang sengketa di negeri ini. Semua rencana telah salah arah. Yang penting sekarang bagaimana urusan ini bisa selesai dengan baik...”
“Ki Bonang, seperti aku, kau terlibat dalam masalah besar ini. Jadi jangan sekarang kau berpura-pura menyesal!”
Ki Bonang Talang Ijo tidak menyahuti ucapan orang tapi dalam hati dia berkata “Manusia satu ini sudah salah kaprah! Apa yang ada di benaknya? Ingin mendapatkan emas tapi tidak mau menyerahkan gadis itu. Perwira Cina itu bicara dan punya jalan pikiran benar. Aku menduga ada satu rencana mencari keuntungan sendiri dalam benak Tuanku Laras. Dia bersikap seolah dialah yang kini jadi pimpinan dalam rombongan. Padahal aku yang mengajaknya serta..."
Tentu saja ki Bonang tidak mau menyampaikan ucapan Tuanku Laras pada Perwira Muda Teng Sien. Karena kalau hal itu diberitahu pastilah Perwira Cina itu akan menjadi marah dan bisa-bisa mengamuk. Maka kembali Ki Bonang membujuk agar Teng Sien mau masuk dulu ke dalam goa. Akhirnya Teng Sien masuk juga diikuti Pandeka Bumi Langit di sebelah belakang.
Goa berlapis batu-batu pualam di lereng timur Bukit Siangok itu ternyata. cukup besar. Gundukan batu-batu pualam putih setinggi pinggul membentuk dan membagi bagian dalam gua menjadi empat ruangan. Tuanku Laras masuk ke dalam ruangan paling ujung. Ki Bonang di ruangan sebelah, lalu Pandeka Bumi Langit di ruangan kiri. Perwira Teng Sien sambil mulut komat-kamit mengeluarkan suara menggerendeng dudukkan diri dengan kesal di lantai batu pada ruangan sebelah kanan yaitu yang paling dekat ke mulut goa. Tak selang beberapa lama terdengar suara Tuanku Laras memanggil Ki Bonang.
“Ki Bonang. Kita harus bicara dan mengambil keputusan sekarang juga!” Kata Tuanku Laras begitu Ki Bonang duduk di depannya.
Sebenarnya tokoh silat dari tanah Jawa ini tidak suka menghadapi sikap Tuanku Laras yang seolah dialah yang jadi pimpinan dalam rombongan. Namun dia diam saja sambil memperhatikan keadaan sekeliling ruangan. Di sebelah kiri Pandeka Langit Bumi pura-pura tidur tapi diam-diam telinganya menguping apa yang dibicarakan ke dua orang itu. Sementara itu Puti Bungo Sekuntum telah dibaringkan di lantai goa masih dalam keadaan tertotok tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Namun telinga dapat mendengar semua pembicaraan orang yang ada di dalam goa.
“Ki Bonang sahabatku,” berujar Tuanku Laras, “Kau belum memberi jawaban atas rencana yang pernah aku beri tahu. Hal itu tidak bisa ditunda-tunda lagi. Perwira Cina itu sudah saatnya harus dihabisi!”
Ki Bonang Talang Ijo terkejut mendengar kata-kata orang bermuka belang yang duduk dihadapannya itu. Sebelumnya memang Tuanku Laras pernah bicara bahwa dia ingin mengusir Perwira Muda Teng Sien bahkan membunuhnya bilamana perlu. Saat itu Ki Bonang tidak begitu menanggapi. Rupanya si muka belang ini tidak main-main dengan ucapan serta rencananya.
“Tuanku Laras, mengapa kita musti membunuh Perwira Cina itu. Dia datang minta tolong padaku laiu aku minta tolong pada Tuanku Laras dan teman-teman di sini. Kita sudah menerima pembayaran satu peti emas. Kita akan mendapatkan peti kedua setelah menyerahkan gadis itu pada Teng Sien. Bukankah begitu perjanjiannya?”
Rahang Tuanku Laras menggembung. Lalu dia menyeringai dan enak saja meludah di lantai goa. Wajah cacat Ki Bonang Talang Ijo tampak berubah merah. Dia merasa tersinggung dan terhina oleh perilaku meludah yang barusan dilakukan Tuanku Laras. Bukan saja karena dia merasa jauh lebih tua tapi dimatanya Tuanku Laras adalah salah seorang dari bawahan, anak buahnya.
“Ki Bonang, orang minta tolong wajib dibantu.” Ucap Tuanku Laras tanpa memperhatikan raut wajah Ki Bonang yang berubah. “Tapi kalau permintaannya telah menjadi malapetaka bagi kita yang menolong apa kita masih mau melanjutkan pertolongan? Sudah berapa kerabatku menemui ajal. Aku kehilangan pedang sakti Al Kausar. Kau sehdiri. Coba lihat dirimu. Kening hancur mata terpuruk buta! Kau masih mau menolong Perwira Muda itu? Bagaimana kalau dia menggagahi gadis itu ditengah jalan lalu membunuhnya. Apa Ki Bonang mau bertanggung jawab?!”
“Mana dia berani melakukan hal itu. Ke manapun dia pergi pasti akan diburu orang-orang Kerajaan. Dia akan dipancung! Tapi itu biar menjadi urusannya. Urusan kita menyerahkan gadis itu padanya dan dia menyerahkan satu peti emas pada kita. Urusan selesai. Habis perkara. Perwira itu pulang ke Tiongkok, aku pula ke Jawa.”
“Ki Bonang, kita tidak tahu banyak tentang siapa adanya Perwira Muda Teng Sien. Mungkin saja dia sebenarnya adalah penjahat besar di daratan Tiongkok. Sekarang aku ingin bertanya. Apa kau sejalan dengan rencanaku atau tidak?”
“Tuanku Laras, aku...”
“Kalau kita bunuh Perwira itu, emas yang satu peti tinggal kita bagi dua. Kau pulang ke Jawa akan menjadi orang kaya raya!”
Ki Bonang terdiam. Rupanya ucapan Tuanku Laras mendatangkan kebimbangan dalam hatinya. Sesaat kemudian Ki Bonang bertanya. “Saat ini kita tinggal bertiga. Bagaimana dengan sahabat kita Pandeka Bumi Langit?” Bertanya Ki Bonang.
Tuanku Laras tinggikan kepala, memandang ke ruangan di sebelah kiri di mana Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik berada. Saat itu dilihatnya sang Pandeka duduk bersandar ke dinding goa, mata terpejam mulut terbuka dan mengeluarkan suara mengorok perlahan. Setengah berbisik Tuanku Laras kemudian menjawab pertanyaan Ki Bonang Talang Ijo.
“Dia cukup kita beri tambahan satu batang emas saja. Biar nanti aku yang mengatur.”
“Kalau dia menolak?” tanya Ki Bonang.
“Gilirannya kita habisi!” Jawab Tuanku Laras Muko Belang. Ki Bonang Talang Ijo tidak menjawab. “Sekarang katakan padaku di mana satu peti emas itu disimpan Teng Sien. Ki Bonang pernah mengatakan kalau Ki Bonang tahu tentang keberadaan emas itu. Kita bisa pergi sama-sama mengambilnya.”
“Aku memang tahu. Tapi bagaimana mungkin aku menyalahi perjanjian dengan Teng Sien?” kata Ki Bonang pula. Walau hatinya tergoda untuk mendapatkan tambahan batangan emas yang begitu banyak tapi dia tidak akan memberi tahu di mana satu peti batangan emas yang lain berada. Dalam hati orang tua itu membatin. “Kalau aku beri tahu sama saja aku menggadaikan nyawa. Setelah dia nekad membunuh Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit pasti aku pula yang akan dibantainya.”
Apa yang ada di benak Ki Bonang begitu pula yang diperkirakan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik yang saat itu pura-pura tidur, dalam hati dia berkata. “Ki Bonang, sekali kau memberi tahu di mana emas itu berada maka nyawamu hanya tinggal bilangan hari saja.”
“Aku kecewa mendengar ucapan Ki Bonang...” Tuanku Laras berkata. “Rupanya aku harus bertindak sendiri.”
“Maafkan aku Tuanku Laras. Tapi kita harus berlaku hati-hati agar jangan salah bertindak.” Jawab Ki Bonang. Lalu kakek ini alihkan pembicaraan dengan bertanya. “Berapa lama kita akan berada di tempat ini? Lalu ke mana tujuan kita selanjutnya?” Ki Bonang bertanya mengalihkan pembicaraan.
“Kita melanjutkan perjalanan pada saat matahari tenggelam. Saat ini aku belum bisa memberi tahu ke mana tujuan kita.”
Tuanku Laras tersenyum. Senyuman yang terasa aneh di mata Ki Bonang karena belum pernah dia melihat Tuanku Laras tersenyum polos seperti itu. Biasanya orang ini kalau tersenyum selalu dibayangi air muka menunjukkan sikap sinis atau melecehkan orang. Sambil mendekatkan kepalanya ke samping wajah Ki Bonang, Tuanku Laras berkata setengah berbisik.
“Kau betul. Gadis ini hanya akan menjadi beban saja. Tapi beban yang sangat membahagiakan...”
“Apa maksud Tuanku Laras?” Tanya Ki Bonang sementara hatinya menduga-duga.
“Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Aku tidak akan melepas gadis satu ini. Aku akan mengambilnya menjadi istri.”
Ki Bonang Talang Ijo sampai ternganga saking tercengangnya mendengar ucapan Tuanku Laras. Lalu dia cepat tersenyum dan berkata. “Maafkan diriku Tuanku Laras. Setahu saya bukankah Tuanku Laras sudah punya tiga orang istri...?”
Meskipun matanya membeliak merah dan bulu hitam putih dimukanya berjingkrak tegak Tuanku Laras masih mampu menjawab dengan suara tenang. “Aku bisa beristri sampai empat orang. Siapa yang melarang? Adat membenarkan. Agama mengizinkan!”
“Aku mengerti Tuanku Laras. Hanya saja, kalau Tuanku Laras melakukan hal itu, lantas apa bedanya dengan perbuatan yang telah dilakukan Datuk Marajo Sati?”
Mendidihlah amarah Tuanku Laras Muko Batang mendengar ucapan Ki Bonang Talang Ijo. Mata mendelik merah, rahang meng-gembung dan semua bulu yang menutupi wajahnya berdiri kaku. Tangan kanannya tiba-tiba dipukulkan ke bawah.
“Braakk!” Salah satu gundukan batu pualam putih di lantai gua hancur berkeping-keping. Lantai goa sendiri melesak amblas sampai satu jengkal.
“Ki Bonang! Kalau kau bukan seorang sahabat sudah ku pecahkan kepalamu seperti aku memecahkan batu ini!” Ucap Tuanku Laras setengah berteriak hingga suaranya menggelegar di dalam gua, membuat Pandeka Bumi Langit yang pura-pura tidur membuka kedua matanya sebentar lalu meneruskan tidur bohong-bohongannya.
Di dekat mulut goa Perwira Muda Teng Sien berdiri dari duduknya, memandang ke arah Tuanku Laras dan Ki Bonang lalu duduk kembali di tempatnya sambil geleng-geleng kepala. Hatinya semakin tidak suka. Niatnya untuk segera membawa Puti Bungo Sekuntum semakin besar.
Tuanku Laras Muko Balang yang masih belum reda amarahnya kembali berteriak. “Ki Bonang! Jaga mulutmu kalau bicara! Jangan samakan aku dengan Datuk Marajo Sati keparat itu! Dia menyekap gadis ini sebagai gendak! Aku akan mengawininya! Melalui pernikahan yang syah! Apa kau kira aku ini lelaki mata keranjang yang tidak punya martabat?!”
Ki Bonang hanya bisa mengangguk-angguk kepala beberapa kali. “Tuanku Laras, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu.” Belangkon hijau yang sejak tadi dipegang cepat-cepat dikenakan lalu Ki Bonang berdiri.
“Kau mau ke mana Ki Bonang?” tanya Tuanku Laras.
“Aku mau ke luar goa. Ingin menghirup udara segar...”
“Di dalam goa ini aman dan udaranya sejuk. Apa Ki Bonang tidak merasakan?”
“Aku tidak lama. Sebentar juga masuk kembali.”
“Agaknya Ki Bonang tidak suka aku mengambil Puti Bungo Sekuntum menjadi istri? Rupanya Ki Bonang juga punya hasrat terhadap gadis ini?” Tuanku Laras bertanya sambil mengusap punggung Puti Bungo Sekuntum yang tergolek tak bergerak di lantai.
Ki Bonang tertawa. “Aku sudah tua. Jika aku mau di tanah Jawa aku bisa mempunyai dua belas gundik! Tapi bagiku jaman untuk bercinta mengumbar nafsu sudah lewat...” Ki Bonang berdiri lalu melangkah keluar goa.
“Ki Bonang!” Tuanku Laras memanggil.
Ki Bonang Talang Ijo hentikan langkah, berbalik menoleh ke arah Tuanku Laras. Lelaki bermuka belang itu berkata. “Ki Bonang, kalau kau punya niat hendak meninggalkan tempat ini sebaiknya bicara terus terang!”
Ki Bonang Talang Ijo menyeringai lalu menjawab. “Seperti kata Tuanku Laras tadi, aku ingin menjadi orang kaya raya kalau pulang ke tanah Jawa.”
Tuanku Laras Muko Balang tertawa mengekeh. “Kau sahabatku yang cerdik!” Memuji Tuanku Laras walau dalam hati ini dia punya pikiran, jangan-jangan orang tua dari tanah Jawa ini yang harus dibunuhnya lebih dulu. “Ki Bonang, kau tunggu saja, nyawamu hanya tinggal seujung kuku!”
Ki Bonang rapikan belangkon di atas kepala lalu teruskan langkah ke mulut goa. Namun masih satu langkah kakinya akan mencapai mulut goa tiba-tiba di luar sana terdengar suara angin menderu disusul suara binatang menguik keras. Begitu hebatnya hantaman angin hingga dinding di mulut goa batu bergetar. Satu bayangan putih berkelebat. Di lain kejap satu kaki menderu ke depan.
"Duukk!" Ki Bonang keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terlempar ke dalam goa. Terjengkang di lantai batu, mulut kucurkan darah. Walau menderita cidera luka di dalam yang cukup parah namun orang tua ini dengan cepat melompat bangun. Dalam menahan sakit serta amarah yang menggelegak Ki Bonang merasa sekujur tubuhnya bergeletar ketika melihat siapa yang berdiri menghadang di mulut goa!
BAB DUA
DI MULUT goa tegak berdiri seorang berjubah putih. Dagu tertutup janggut hitam yang sebagian telah memutih. Di bahu kiri orang ini bertengger seekor burung elang putih yang patah sayap kirinya. Sepasang mata menatap menyorot ke arah Ki Bonang Talang Ijo, melirik sebentar pada Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit yang saat itu telah melompat berdiri dari kepura-puraan tidurnya.
Mata galak merah si jubah putih juga memperhatikan ke jurusan Tuanku Laras Muko Balang yang dengan gerakan cepat menyambar tubuh Puti Bungo Sekuntum lalu bangkit berdiri. Luar biasanya, orang berjubah putih ini tidak menjejak lantai mulut goa tapi sepasang kaki berdiri di atas segulung sorban putih berumbai, mengambang di udara.
“Manusia-manusia durjana! Akhirnya aku temui juga kalian!” Orang berjubah di mulut goa keluarkan ucapan membentak. Sorban yang bergulung di bawah kaki tiba-tiba melayang ke udara lalu turun menutupi kepalanya. Saat itu juga tubuhnya bergerak turun dan dua kaki yang mengenakan kasut kaki kini menjejak lantai goa.
Tuanku Laras Muko Balang mendengus. Teng Sien menggerendeng panjang. “Urusan lagi! Urusan lagi! Aku sudah bilang apa guna pergi ke tempat ini! Seharusnya aku sudah membawa gadis itu! Seharusnya aku sudah mendapatkan kupu-kupu batu Giok dan kembali ke Tionggoan!”
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik membuka mulut membalas ucapan orang berjubah putih di mulut goa yang ternyata adalah Datuk Marajo Sati. “Datuk Marajo Sati! Pucuk Para Datuk Luhak Nan Tigo! Menyebut kami manusia-manusia durjana! Padahal kau biang segala kedurjanaan di negeri ini!”
“Kau membunuh Datuk Panglima Kayo!” Tuanku Laras berteriak dari ujung goa. Mata memandang membara ke arah Datuk Marajo Sati.
Datuk Marajo Sati delikkan mata. Tubuh bergetar. Alang Putih Rajo Di Langit yang bertengger di bahu menguik keras. Sayap dikembangkan. Siap hendak melesat menyerang Tuanku Laras Muko Balang. Datuk Marajo Sati cepat usap punggung binatang ini.
Ki Bonang yang berdiri di hadapan Datuk Marajo Sati batuk-batuk beberapa kali. Setelah menyeka darah yang meleleh di dagu, orang tua ini berkata. “Datuk Marajo Sati, tanpa sebab kau menyerangku. Aku memaafkan perbuatanmu. Sekarang apakah kita bisa bicara dengan tenang dan baik-baik?”
“Kita baru bicara kalau jahanam bermuka belang itu menyerahkan gadis yang diculik itu!” Menjawab Datuk Marajo Sati sambil menunjuk ke arah Puti Bungo Sekuntum yang berada di atas panggulan bahu kanan Tuanku Laras.
“Ha ha!” Tuanku Laras tertawa keras. “Jadi kau kemari rupanya mencari gendakmu ini! Tua bangka tak tahu diuntung! Sudah punya istri muda dan cantik masih saja mau menyekap daun muda yang satu ini! Belum puas kau rupanya setelah berhari-hari mengurungnya di dalam goa kediamanmu di Ngarai Sianok!”
“Baru beberapa hari kehilangan gendak sudah macam orang gila tidak karuan rupa!” Menimpali Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik.
Ki Bonang angkat tangan kiri, berusaha menenangkan suasana. Namun Datuk Marajo Sati sudah kehilangan kesabaran. “Alang Putih Rajo Di Langit,” sang Datuk bicara pada burung elang di atas bahu kirinya. “Beri jawaban pada manusia bermulut busuk berhati setan berpakaian dan berdestar merah itu! Aku akan menghajar biang bergundalnya!”
Mendengar ucapan sang Datuk Elang putih menguik keras lalu melesat ke arah Pandeka Bumi Langit. Di saat yang sama Datuk Marajo Sati melompat ke arah Tuanku Laras Muko Balang.
“Ki Bonang! Teng Sien! Bunuh manusia jahanam itu!” teriak Tuanku Laras.
Ki Bonang dan Perwira Muda Teng Sien coba menghalangi terjangan Datuk Marajo Sati. Namun keduanya terpelanting akibat lebih dulu terkena kibasan tubuh besar sang datuk.
“Manusia keparat bernama Tuanku Laras! Aku tahu kau dan kaki tanganmu yang ada di goa ini yang telah membunuh Datuk Panglimo Kayo! Jangan berani memfitnah kejahatan busuk kalian pada diriku!”
Pada saat melompat ke arah Tuanku Laras Muko Balang dari sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati menderu dua belas angin memancarkan cahaya putih, menyambar ke arah Ki Bonang Talang Ijo dan Perwira Muda Teng Sien. Inilah jurus serangan dari ilmu kesaktian bernama Meniup Dua Belas Jalan Darah. Siapa saja yang sampai terkena sambarannya pasti akan berubah menjadi patung hidup, tak bisa bergerak tak mampu bersuara! Jika tidak tertolong sampai matahari tenggelam nyawanya akan amblas. Di kepala dan tubuhnya akan muncul lubang luka mengerikan sebanyak dua belas buah!
Begitu mendengar suara deru angin disertai memancarnya larikan cahaya putih, Ki Bonang Talang Ijo cepat kebutkan belangkon hijau. Serangkum angin disertai kerlapan cahaya hijau menyambar menghadang serangan ganas yang datang dari sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati. Dari samping kiri, Teng Sien yang kini membekal sebilah golok baru menyerbu ke arah Datuk Marajo Sati. Lancarkan serangan berupa dua bebatan kilat ke arah tubuh dan satu bacokan ganas ke jurusan leher.
“Blaarr... blaarr... blaarr!”
Letusan keras menggelegar sampai enam kali di dalam goa begitu dua belas cahaya putih yang menyembur dari sorban Datuk Marajo Sati bentrokan saling hantam dengan taburan cahaya hijau yang keluar dari belangkon di tangan kanan Ki Bonang.
Pandeka Bumi Langit yang melihat kesempatan baik segera susupkan pukulan tangan kosong ke arah lawan namun gerakannya tertahan karena kaget oleh sambaran Alang Putih Rajo Di Langit berupa cakaran dua kaki dan patukan paruh.
Goa batu pualam dipenuhi kilatan cahaya putih dan hijau. Perwira Muda Teng Sien cepat merunduk ketika kaki kanan Datuk Marajo Sati melesat ke kepalanya. Ki Bonang berseru kaget sewaktu belangkon hijau di tangan kanan tiba-tiba breett! Robek besar disambar tangan kiri Datuk Marajo Sati lalu... "bukkk!"
Oleh lawan robekan belangkon dihantamkan ke kepala Ki Bonang. Walau dia masih mampu membuat gerakan mengelak namun tak urung potongan belangkon miliknya sendiri masih sempat menyambar menepis telinga kanannya hingga hancur! Lengkap sudah kerusakan di wajah sebelah kanan tokoh silat dari Kuto Gede ini. Sebelumnya kening dan mata kanan hancur, kini telinga kanan remuk tak karuan rupa!
Sebenarnya pukulan menyusup ke arah dada yang dilancarkan Pandeka Bumi Langit akan berhasil mendarat telak di dada Datuk Marajo Sati, kalau saja Elang putih bermata merah peliharaan sang datuk tidak datang menyambar.
“Breett!” Leher baju merah Pandeka Bumi Langit robek besar. Sambaran kuku Elang putih menggores luka kulit dan daging lehernya sementara sayap kanan membeset pipi di bawah mata kiri hingga menimbulkan luka mengucurkan darah. Saat itu juga pipi dan leher Pandeka Bumi Langit menggembung merah kebiruan. Kepalanya terasa panas. Ternyata paruh dan kuku cakar Elang putih mengandung racun jahat!
“Binatang jahanam celaka! Teriak Pandeka Bumi Langit kesakitan sekaligus marah besar. Sambil melompat dua tangan berkelebat ke udara dalam gerakan ilmu silat Sitaralak. Elang putih menguik keras dan berusaha mematuk tangan kanan Pandeka Bumi Langit yang berhasil mencekal kaki kanannya. Sebelum binatang ini bisa membebaskan diri Pandeka Bumi Langit telah menghantamkan tubuh dan kepala binatang ini ke dinding goa!
Alang Putih Rajo Di Langit menguik keras, menggelepar lalu tak bergerak lagi. Walau burung elang itu sudah meregang nyawa dengan kepala dan sebagian tubuh hancur namun seperti kesetanan Pandeka Bumi Langit masih terus menghantamkan tubuhnya berulang kali ke dinding goa hingga akhirnya hancur luluh tak berbentuk lagi!
Datuk Marajo Sati menggembor keras mengetahui apa yang terjadi dengan burung Elang peliharaannya. Namun dia tidak bisa melakukan sesuatu karena saat itu tubuhnya tengah melesat di sepanjang goa, menyambar ke arah sosok Puti Bungo Sekuntum yang ada di bahu kanan Tuanku Laras. Dua tangan sang datuk bergerak cepat. Dari sorban kembali menderu dua belas larikan cahaya putih ke arah musuh.
Gerakan kilat Datuk Marajo Sati agaknya tidak sempat membuat Tuanku Laras menyelamatkan gadis yang dipanggul. Sosok Puti Bungo Sekuntum berhasil disambar Datuk Marajo Sati sementara dua belas cahaya putih Meniup Dua Belas Jalan Darah menghantam kepala dan tubuh Tuanku Laras!
Ki Bonang dan Pandeka Bumi Langit serta Teng Sien sama berseru kaget melihat apa yang terjadi. Namun di lain kejap perasaan terkejut itu menjadi bagian semua orang di dalam goa ketika hantaman dua belas cahaya sorban sakti membuat tubuh Tuanku Laras Muko Balang hancur berkeping-keping lalu berubah menjadi asap.
“Ilmu Bayangan Menipu Mata! Jahanam pengecut!” teriak Datuk Marajo Sati menyebut nama ilmu kesaktian yang dipergunakan Tuanku Laras untuk menyelamatkan diri. Dia berusaha hendak mengejar Tuanku Laras namun membatalkan niat Dia sudah mendapatkan Puti Bungo Sekuntum. Perlu apa lagi mengejar manusia bermuka belang itu. Lebih penting menyelamatkan dan membawa gadis itu ke tempat yang aman.
Namun kejut Datuk Marajo Sati bukan alang kepalang sewaktu tubuh gadis yang dipanggulnya tiba-tiba berubah ringan lalu berderak hancur berkeping-keping dan berubah pula menjadi asap! Lalu ke mana lenyapnya sosok Tuanku Laras dan gadis Cina yang asli?
“Manusia bangsat keparat! Kau bisa menipuku dengan ilmu jahanammu! Tapi kau tidak bisa lolos di tanganku!”
Secepat kilat Datuk Marajo Sati melesat ke ujung goa. Dia yakin di ujung sana ada satu pintu rahasia. Kalau tidak mana mungkin Tuanku Laras melenyapkan diri sekaligus memboyong si Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok!
Dugaan Datuk Marajo Sati tidak keliru. Setelah melewati beberapa tikungan akhirnya dia sampai di ujung goa. Di situ ternyata memang terdapat sebuah pintu rahasia yang berhubungan dengan kawasan Bukit Siangok. Pintu rahasia ini terbuat dari batu. Orang yang tidak bermata tajam tidak dapat membedakannya dengan atap dan dinding goa. Sekali kaki kanan Datuk Marajo Sati menendang pintu batu hancur berantakan.
Keluar dari jebolan pintu rahasia Datuk Marajo Sati hanya disambut desir tiupan angin serta suara bergemerisik daun-daun pepohonan. Sang Datuk menyumpah habis-habisan. Beberapa kali kakinya dihujamkan ke tanah hingga membentuk lobang besar. Beberapa kali dia memukul batang pohon hingga bertumbangan. Sadar kalau tidak bisa mengejar Tuanku Laras, Datuk Marajo Sati ingat pada tiga orang ada di dalam goa.
“Mereka harus bertanggung jawab! Kalau tidak bisa memberi keterangan akan kubantai mereka semua!”
Dengan cepat Datuk Marajo Sati masuk kembali ke dalam goa batu pualam. Namun sampai di dalam dan sampai dia keluar lagi dari mulut goa, Ki Bonang, Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit tidak kelihatan lagi batang hidungnya! Kembali Datuk Marajo Sati menyumpah panjang pendek.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mengaum. Di langit tampak jelas dua ekor harimau kuning belang hitam, ditunggang dua orang gagah, melesat di udara lalu dengan cepat melayang turun di Bukit Siangok, hanya beberapa langkah di hadapan Datuk Marajo Sati yang berdiri di depan mulut goa.
BAB TIGA
Air muka Datuk Marajo Sati berubah. Yang pertama turun dari atas dua ekor harimau kuning belang hitam ternyata adalah Datuk Kuning Nan Sabatang, Datuk Penguasa dan Penghulu di Luhak Agam. Mukanya yang berwarna kuning tampak tegang membesi. Sepasang mata merah besar menatap tak berkedip. Ujung kumis tebal mencuat ke atas. Tangan kanan mengusap kain sarung yang melintang di bahu sementara tangan kiri bersitekan ke hulu keris yang terselip dipinggang sebelah depan.
Di sebelah Datuk Kuning Nan Sabatang berdiri Datuk Penghulu dari Luhak Lima Puluh Kota yaitu Datuk Bandaro Putih. Wajahnya yang jernih dan selalu tenang kali ini tampak kelam dan garang. Merasa tidak sedap akan kehadiran dua Datuk bawahannya ini, maka Datuk Pucuk Marajo Sati segera menegur.
“Datuk berdua! Ada apa kalian datang ke tempat ini?!”
Datuk Marajo Sati masih marah dan mendendam atas perbuatan dua Datuk ini bersama Datuk Panglimo Kayo tempo hari. Menurut Datuk Marajo Sati, tiga Datuk itu bersama Pakih Jauhari pemuda bekas kekasih istrinya yang bernama Gadih Puti Seruni serta penduduk beberapa dusun telah berkomplot memfitnah dan hendak membunuhnya di Ngarai Sianok. (Baca Fitnah Berdarah Di Tanah Agam)
Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang saling pandang seketika. Lalu Datuk Bandaro Putih palingkan kepala ke arah Datuk Marajo Sati dan berkata. “Justru kamilah yang ingin bertanya dan ingin tahu. Gerangan apa maka Datuk Pucuk sampai berada di tempat ini! Setahu kami ini adalah goa rahasia milik Tuanku Laras Muko Balang.”
“Aku mau berada di mana itu urusanku!” jawab Datuk Marajo Sati. “Kalau kalian sudah tahu ini tempat siapa, maka tidak ada pertanyaan kalian yang pantas aku jawab.”
Habis keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati segera bergerak hendak tinggalkan tempat ini. Namun dua orang Datuk di hadapannya segera pula bergerak menghadang.
“Tunggu, jangan pergi dulu Datuk,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang sementara Datuk Bandaro Putih tegak sambil rangkapkan dua tangan di atas dada.
Marahlah Datuk Marajo Sati. Dia membentak garang. “Kalian berdua hendak berlaku kurang ajar. Berani menghalangi jalanku?! Waktu di Ngarai Sianok, kalau tidak karena ingin menyelamatkan orang lain, kalian sepatutnya sudah kuhajar. Sekarang masih berani kalian menjual lagak di hadapanku!”
“Datuk Pucuk Datuk Marajo Sati, harap tenang. Jangan marah dulu. Kami datang untuk bertanya dan ingin mendapatkan keterangan jujur. Kalau itu tidak kami dapatkan maka kami berdua memilih berkubang darah di tempat ini!”
Sepasang mata Datuk Marajo Sati membeliak mendengar ucapan Datuk Bandaro Putih yang selama ini dikenalnya sebagai Datuk yang paling tenang dan selalu bicara lembut di antara tiga Datuk Luhak Nan Tigo. “Ucapan hebat! Sejuk di pangkal tapi mengandung api di ujung! Kalian benar-benar membuat aku marah! Apa maksud kalian?!” hardik Datuk Marajo Sati.
“Kami datang membawa kabar buruk!” berkata Datuk Kuning Nan Sabatang.
Datuk Bandaro Putih menyambung, “Saudara kita Datuk Panglimo Kayo mati dibunuh orang. Jenazahnya dikirim ke rumah gadang kediamannya di Batusangkar. Sungguh keji sekali!”
“Aku sudah mendengar kabar itu,” kata Datuk Marajo Sati dengan suara dingin.
“Syukur kalau Datuk sudah tahu. Lalu mengapa Datuk Pucuk tidak datang melayat? Tidak ikut menyampaikan rasa duka cita kepada istri dan kerabat yang ditinggalkan. Tidak pula ikut mengantar jenazah ke kubur.”
“Kelalaianku itu memang menjadi dosa yang akan aku tanggung. Tapi aku melakukan semua itu karena harus mengerjakan sesuatu yang sangat penting. Aku punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan dan mendapatkan kembali gadis Cina yang diculik oleh komplotan orang asing yang dipimpin orang bernama Ki Bonang Talang Ijo. Beberapa tokoh di negeri ini ikut terlibat. Dan kalian berdua bersama Datuk Panglimo Kayo yang seharusnya ikut bertanggung jawab atas keselamatan gadis asing di negeri ini malah bergabung membantu manusia-manusia laknat itu!”
“Sungguh luhur dan sangat tinggi budi Datuk Pucuk Datuk Marajo Sati,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Menyelamatkan seorang gadis asing sementara kerabat yang mati dibunuh orang tidak Datuk acuhkan. Maaf saja Datuk. Kami punya dugaan lain. Bahkan mungkin bukan dugaan. Tapi satu kenyataan! Datuk tidak melayat jenazah Datuk Panglimo Kayo karena Datuklah orang yang membunuhnya!”
Rahang Datuk Marajo Sati menggembung. Sepasang matanya seperti hendak melompat keluar dari rongga. Sorban di atas kepala naik satu jengkal lalu turun lagi. Walau singkat tapi cukup untuk memperlihatkan asap putih yang mengepul dari ubun-ubun sang Datuk!
“Selain itu!” Datuk Kuning Nan Sabatang meneruskan ucapan lantangnya. “Beberapa saat sebelum mayat Datuk Panglimo Kayo muncul, Inyiek harimau sakti tunggangannya terlebih dulu dikirim dalam keadaan mati di rumah gadang. Baik Inyiek maupun Datuk Panglimo Kayo tubuh mereka sama-sama dilibat potongan Rantai Pintu Akhirat! Hanya kita bertiga yang tahu kelemahan ilmu kesaktian Datuk Panglimo Kayo! Kami berdua bersumpah bumi dipijak langit dijunjung! Bukan kami yang mencelakai Datuk Panglimo Kayo! Berarti tinggal Datuk seorang yang menjadi ayam putih terbang siang! Datuk mencelakai dan membunuh Datuk Panglimo Kayo!”
“Datuk Kuning Nan Sabatang! Jaga bicara. Jangan sampai kurobek mulut busukmu! Berani sekali kau menuduh dan memfitnahku sebagai orang yang telah membunuh Datuk Panglimo Kayo!”
“Kami bicara bukan seperti orang barasian di tengah hari.” Yang menjawab Datuk Bandaro Putih. “Kami punya satu bukti kalau memang Datuk yang membunuh Datuk Panglimo Kayo. Robekan sorban Datuk tergenggam di tangan jenazah Datuk Panglimo Kayo. Semua orang di Batusangkar mengetahui hal ini. Berita keji ini bahkan telah tersebar hampir ke seluruh Luhak Tanah Datar!” (barasian = mimpi)
“Astagafirullahhalazim...” Datuk Marajo Sati mengucap berulang kali. Amarah menggelegak. Darah seperti hendak menyembur dari ubun-ubun di atas kepala. Sorban putihnya berulang kali naik turun. “Mulut busuk fitnah keji! Menyingkirlah kalian berdua dari hadapanku! Atau kalian akan jadi bangkai tak terkubur di tempat ini!”
“Jangan meradang! Tahan sedikit amarahmu Datuk Marajo Sati! Pergunakan akal sehat dan hati jernih!” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Ketika Datuk menghabisi Datuk Panglimo Kayo, apa tidak terlintas di benak, tidak tergugah di hati, siapa Datuk Panglimo Kayo itu sebenarnya. Dia bukan saja sahabat kerabat ke mudik dan ke hulu, bahkan dia adalah Mamak dari Gadih Putih Seruni. Yang berarti adalah masih mertua Datuk sendiri! Datuk terlahir sebagai orang beradat, hidup sebagai orang beragama dan dipercayakan menjadi Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo. Setan apa yang masuk ke dalam tubuh Datuk hingga membunuh sahabat dan saudara kami itu!” (Mamak = Paman)
“Kalian berdua sama jahanamnya!” teriak Datuk Marajo Sati. “Aku bersumpah tidak membunuh Datuk Panglimo Kayo. Kalau aku berdusta neraka jahanam bagianku!”
Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih saling berpandangan sambil sunggingkan senyum mengejek pertanda tidak mempercayai apa yang dikatakan orang di hadapan mereka. Dalam amarah yang menggelegak Datuk Marajo Sati tidak dapat lagi menahan hati. Kesabarannya habis sudah!
“Bett... bett!” Sorban putih di atas kepala Datuk Marajo Sati berkelebat dan ujungnya menghantam dua kali berturut-turut ke arah dada dua orang di hadapannya. Jangankan dada manusia, batu gunung pun bisa hancur berkeping-keping jika sampai dihantam ujung Sorban Seribu Sakti itu.
Di antara para Datuk yang ada di Luhak Nan Tigo, sebagai Datuk Pucuk atau Datuk Pimpinan Datuk Marajo Sati memiliki ilmu silat dan kesaktian paling tinggi. Begitu ujung sorbannya menghantam sosok tubuhnya sendiri lenyap dari pemandangan sehingga siapapun yang jadi lawan tidak akan berkesempatan mengerahkan serangan balasan. Inilah jurus silat yang dinamakan Di Balik Kabut Naga Mematuk.
Hanya saja saat itu yang dihadapi Datuk Marajo Sati bukanlah dua lawan berkepandaian rendah. Begitu melihat ujung sorban mencuat ke atas, Datuk Kuning Nan Sabatang cepat kebutkan sarung yang melintang di dada lalu melesat tinggi ke udara dan di lain kejap telah berdiri di cabang sebuah pohon besar.
Datuk Bandaro Putih juga tidak kalah sebat. Secepat kilat dia kebutkan lengan kiri baju hitam, lalu melompat ke atas batu menonjol di atas mulut goa. Dengan demikian kini Datuk Marajo Sati terjepit di tengah-tengah. Sadar akan kedudukannya yang berbahaya. Datuk Marajo Sati segera melompat mundur hingga kini dia bisa melihat jelas dua orang yang menjadi lawannya. Sorban kembali bergulung di atas kepala.
“Pengecut! Mengapa menjauh melarikan diri! Dosa kalian memfitnahku lebih kejam dari pembunuhan! Apa kalian tiba-tiba takut menghadapi kematian?!” teriak Datuk Marajo Sati. “Cabut Karih kalian! Mari bertarung sampai darah berkubang nyawa melayang!” (Karih = Keris)
Habis keluarkan ucapan Datuk Marajo Sati cabut keris besar yang tersisip di pinggang sebelah depan. Konon keris ini diberi nama Rajo Kaluak Sambilan (Raja Keluk Sembilan) karena memiliki luk sembilan lengkungan. Senjata yang berlapis perak murni ini berkilauan tertimpa cahaya matahari. Di tanah Minang, jika keris sakti atau keris pusaka sudah terhunus keluar dari sarang berarti pertarungan keris melawan keris sampai mati tidak dapat dihindarkan lagi!
Namun di atas cabang pohon Datuk Kuning Nan Sabatang bersikap belum mau melayani tantangan orang. Di dinding goa Datuk Bandaro Putih memperhatikan penuh waspada. Tangan kiri menekan hulu keris tangan kanan siap menghantam jika lawan kembali menyerang.
“Datuk Marajo Sati!” berseru Datuk Kuning Nan Sabatang. “Kalau Allah memang sudah menentukan kami berdua harus menghembuskan nafas di tempat ini, masakan kami mampu mencari selamat. Tapi sebelum kami menemui ajal, ada satu perkara lagi yang kami ingin kejelasan.”
“Jahanam! Aku tidak ingin bicara lagi dengan kalian berdua! Najis!” teriak Datuk Marajo Sati. Pergelangan tangan kanan yang memegang keris bergerak menyentak. Keris besar berluk sembilan itu serta merta pancarkan cahaya putih menyilaukan. Pertanda sang Datuk telah mengerahkan tenaga dalam penuh.
Walau jarak mereka cukup jauh namun keris sakti di tangan Datuk Marajo Sati mampu mencapai lawan karena sang Datuk memiliki ilmu bernama Tangan Sakti Menggapai Puncak Gunung. Melihat sikap Datuk Marajo Sati yang jelas-jelas siap untuk kembali menyerang, Datuk Kuning Nan Sabatang cepat sambung ucapannya tadi.
“Perkara yang kami maksudkan itu, apa benar Datuk telah melakukan perbuatan maksiat, berbuat dosa besar! Melakukan zinah! Berhari-hari menyekap seorang gadis Cina di goa kediaman Datuk di Ngarai Sianok. Kami sempat melihat gadis itu sebelum diculik oleh orang-orang asing. Kami juga sempat memeriksa ke dalam goa Datuk dan menemukan beberapa potong pakaian perempuan serta bedak dan pemerah bibir untuk berhias. Kami tidak percaya Datuk yang mengenakan pakaian itu dan berhias diri seperti perempuan. Ha ha ha. Bukan begitu Datuk Bandaro Putih?!”
Datuk Bandaro Putih angguk-anggukkan kepala lalu tertawa gelak-gelak. Datuk Kuning Nan Sabatang berteriak. “Kami sudah melihat dan sudah mengetahui. Tapi kami ingin pengakuan jujur dari Datuk!”
Air muka Datuk Marajo Sati berubah semerah saga. “Jahanam kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Tidak ada yang harus aku akui! Karena aku tidak pernah melakukan perbuatan keji apapun! Aku malahan semata-mata Lillahi Ta Allah menolong gadis itu. Kalian tidak tahu ceritanya kini justru menuduhku berbuat maksiat! Kalian berdua pasti sudah terkena hasut orang-orang asing itu! Percaya pada pemuda kurang ajar bernama Pakih Jauhari! Percaya pada orang dusun yang tolol! Tebus fitnah busuk kalian dengan kematian!”
Datuk Kuning Nan Sabatang keluarkan tawa bergelak. “Datuk Marajo Sati, kalau memang hasrat mau menolong, banyak orang yang patut ditolong di negeri ini. Mengapa Datuk hanya menolong gadis asing yang cantik? Dengan cara menyekapnya di dalam goa tempat kediaman Datuk? Sungguh naif sekali! Ha ha ha!”
Keris Rajo Kaluak Sambilan di tangan Datuk Marajo Sati pancarkan cahaya benderang menyilaukan.
“Wutttt!” Selarik cahaya putih melesat keluar dari ujung keris sakti. Di udara cahaya ini terbelah menjadi dua. Belahan pertama dengan kecepatan kilat menyambar ke arah Datuk Bandaro Putih di dinding goa, belahan kedua menyambar ke jurusan Datuk Kuning Nan Sabatang di atas cabang pohon. Hanya tinggal beberapa jengkal lagi akan menghantam sasaran tiba-tiba setiap belahan cahaya mencuat berserabut menjadi sembilan ujung tombak panas membara merah!
“Sembilan Tombak Hantu Gunung Berapi” teriak Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang hampir berbarengan! Keduanya dengan cepat hantamkan dua tangan sekaligus untuk menahan serangan lalu menghindar dengan melompat terjun ke tanah!
“Wuss! Wusss!”
Dua ujung lengan kiri baju hitam dua Datuk sama-sama terbakar hangus mengepulkan asap. Walau sepuluh jari tangan sampai ketelapak tampak menjadi hitam hangus namun cidera yang dialami tidak sampai parah karena dua Datuk yang diserang telah lebih dulu memagari diri dengan semacam ilmu kebal.
“Datuk sesat Datuk Keparat! Kami mengadu nyawa denganmu!” teriak Datuk Kuning Nan Sabatang lalu melayang turun ke tanah. Tangan kanan kini sudah menggenggam keris pusaka bernama Datuk Angin Kataun. Begitu dibabatkan senjata ini mengeluarkan suara laksana badai melanda lautan!
Dari arah kiri Datuk Bandaro Putih melesat ke bawah sambil acungkan keris yang menyemburkan nyala api berwarna biru! Konon keris yang bernama Nago Gunung Singgalang ini terbuat dari batu sakti berusia tiga ratus tahun yang terpendam di dasar kawah Gunung Singgalang.
“Traang! Traang!” Bunga api berpijar. Meski tiga bilah keris belum sama sekali saling bersentuhan namun dalam keterpautan jarak senjata-senjata sakti itu sudah saling berlaga dan mengeluarkan suara berdentangan.
Walau memiliki kesaktian dan keris yang lebih besar namun diserang dua orang berkepandaian tinggi membuat Datuk Marajo Sati terjajar sampai tiga langkah ke belakang. Ilmu Sembilan Tombak Hantu Gunung Merapi meredup lenyap. Dada mendenyut sakit. Sang Datuk menggeram marah. Di saat yang sama dua Datuk sudah menjejakkan kaki ke tanah, sengaja menjaga jarak. Keris sudah disarungkan. Wajah mereka tampak pucat.
“Datuk Marajo Sati! Kita sudahi pertarungan sampai di sini. Tidak ada gunanya diteruskan. Siapa menang jadi arang, yang kalah jadi debu! Sebenarnya kami datang membawa surat perintah dari Penghulu Tertinggi tanah Minang, Sri Baginda Raja di Pagaruyung. Tadinya jika Datuk mau bersikap jujur dan berjiwa besar kami tidak merasa perlu mengeluarkan surat itu. Tapi nyatanya Datuk malah mau menang sendiri padahal kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke muka. Datuk pucuk, terimalah surat perintah ini!” (kilat beliung sudah ke kaki, kilat cermin sudah ke muka = apa yang terjadi sudah nyata)
Dari balik baju hitamnya Datuk Bandaro Putih dari Luhak Lima Puluh Kota keluarkan selembar kain yang tergulung pada sebatang bambu kuning sepanjang dua jengkal. Dengan mengerahkan tenaga dalam Datuk Bandaro Putih lemparkan bambu itu, tapi sengaja tidak diarahkan pada Datuk Marajo Sati melainkan dilempar ke arah dinding batu dekat mulut goa hingga bambu menancap sepertiganya sementara gulungan kain berputar keluar dari lilitan dan menjulai ke bawah.
Datuk Marajo Sati tidak perdulikan surat perintah yang menancap di dinding batu. Wajah beringas menatap garang ke arah dua Datuk. Mulut menggembor keras lalu menggelegar suara teriakan.
“Manusia-manusia durhaka! Mampuslah kalian berdua!”
Masih menggenggam keris sakti di tangan kanan, Datuk Marajo Sati guratkan kaki kanannya keras-keras ke tanah hingga mengeluar-kan kepulan asap angker. Lalu...
“Rerrrrttttttttt!” Debu mengepul ke udara. Tanah di depan kaki Datuk Marajo Sati tiba-tiba mengeluarkan suara berderak lalu terbelah memanjang, menjalar ke arah Datuk Kuning Nan Sabatang dan Datuk Bandaro Putih berdiri. Dua Datuk tersentak kaget.
“Awas! Ilmu Tanah Tabalah Hukum Manimpol” teriak Datuk Bandaro Putih.
Bersama Datuk Kuning Nan Sabatang dengan cepat dia membuat gerakan melompat selamatkan diri. Namun dalam tegang dan kalut keduanya saling melompat ke arah yang bersamaan hingga tubuh mereka saling bentur! Dalam keadaan seperti itu dari tanah yang terbelah menderu suara angin keras, mengeluarkan kekuatan menyedot kencang dan ganas luar biasa. Sebelum dua Datuk sempat mengimbangi diri, tubuh keduanya sudah tertarik ke bawah siap dijepit dan dikubur hidup-hidup oleh tanah yang terbelah.
“Celaka!” teriak Datuk Bandaro Putih.
“Allahu Akbar!” Datuk Kuning Nan Sabatang menyeru nama Tuhan!
Dalam keadaan tegang seperti itu tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat Hanya tinggal dua jengkal saja kaki dua Datuk akan amblas tersedot ke dalam belahan tanah si bayangan hitam dengan gerakan cepat berhasil merangkul pinggang mereka lalu melompat membawa keduanya ke tempat yang aman, menjauhi tanah yang terbelah dan menyedot!
“Hik hik hik!” Tiba-tiba ada suara perempuan tertawa. “Sahabatku, kau memang hebat! Dua Datuk itu harus berterima kasih padamu! Hik hik hik!”
Tidak menyangka ada orang yang akan menolong, selain merasa bersyukur, dua Datuk tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut mereka. Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang cepat lepaskan diri dari rangkulan orang yang menolong lalu berbalik. Mereka jadi sama-sama kernyitkan kening ketika melihat di depan mereka berdiri seorang pemuda berbaju dan bercelana galembong hitam, berambut panjang sebahu, mengenakan kopiah hitam.
Datuk Bandaro Putih hendak berkata menyampaikan rasa terima kasih namun mulutnya tertahan karena saat itu tiba-tiba berkelebat seorang berpakaian putih dan di lain kejap telah berdiri di samping kiri pemuda gondrong berpakaian hitam. Rambut putih digulung di atas kepala, bagian belakang dibiarkan tergerai. Ketika menyeringai kelihatan barisan gigi yang dilapis perak. Dua tangan memulai di sisi, panjang hampir menyentuh tanah. Di balik punggung pakaian putihnya menyembul gagang sebilah pedang terbuat dari perak.
Dua Datuk tentu saja tercengang melihat kemunculan si nenek yang sangat mereka kenal. Ditambah lagi perempuan tua ini tadi menyeru si pemuda sebagai sahabat.
“Kamba Mancuang Tangan Menjulai!” tegur Datuk Kuning Nan Sabatang. “Tidak salahkah mata kami melihat? Benar kau ini, murid Inyiek Susu Tigo yang berdiri di hadapan kami?!”
Si nenek tersenyum. Pantulan sinar matahari membuat gigi peraknya berkilau. Setelah terlebih dulu kedipkan mata nenek ini baru menjawab. “Pandangan Datuk berdua tidak keliru. Mata kalian tidak salah lihat. Aku ini memang si Kamba Mancuang Tangan Menjulai.”
Walau kini merasa lega namun dua Datuk masih was-was. “Kamba Mancuang, dan terutama kau anak muda berambut panjang, kami berterima kasih kau telah menyelamatkan kami dari serangan keji Datuk sesat itu!” berucap Datuk Bandaro Putih.
Si nenek menyeringai. Pemuda berambut panjang tersenyum sambil anggukkan kepala dan sedikit membungkuk. Kopiah di atas kepala diangkat. Saat itu Wiro mengenakan baju lengan panjang dan celana galembong hitam serta kopiah yang tidak lagi kekecilan pemberian si Kamba Mancuang.
Datuk Kuning Nan Sabatang lantas bertanya pada si nenek. “Pemuda ini, benar dia sahabatmu?”
Si Kamba Mancuang anggukkan kepala lalu berkata, “Namanya Wiro Sableng. Dia berasal dari tanah Jawa...”
Pemuda di samping si nenek yang memang adalah pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum dan kembali membungkuk ke arah dua orang Datuk sambil kopiah hitam di atas kepala sekali lagi diangkat ke atas. Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-sama saling pandang lalu berpaling kembali pada si nenek.
“Kamba Mancuang, kami mendengar kabar yang tidak sedap tentang dirimu. Mudah-mudahan ini tidak benar. Konon kau dan saudara kembarmu terlibat dalam satu komplotan sesat dengan beberapa orang asing. Akibat perbuatan kalian beberapa tokoh di negeri ini menemui ajal. Lalu pemuda sahabatmu ini dikabarkan menjadi salah seorang penyebab semua kerusuhan di negeri ini.”
Si nenek pencongkan mulut. Dia menatap sebentar pada pemuda di sampingnya.
“Jelaskan saja Nek, biar kau tidak menjadi korban salah duga.” Berkata Wiro, “Kalau kau sudah bicara nanti ganti aku yang menjelaskan...”
Si Kamba Mancuang anggukkan kepala. “Datuk berdua, sebagian ucapanmu mungkin benar. Tapi sekarang aku sudah tidak ada urusan lagi dengan segala macam komplotan yang kau sebut sesat itu. Selain itu saudara kembarku telah menemui ajal dibunuh manusia-manusia jahanam itu! Ini sudah cukup menjadi hukuman batin bagiku! Aku...”
Belum sempat Si Kamba Mancuang meneruskan ucapan tiba-tiba Datuk Marajo Sati yang sejak tadi memperhatikan maju selangkah sambil membentak keras.
“Tua bangka busuk bergigi perak! Tidak ada yang perlu kau jelaskan! Aku sudah tahu siapa dirimu. Kau bertanggung jawab atas kematian beberapa tokoh. Termasuk sahabatku Sutan Paduko Alam di pesisir barat. Lekas datang ke hadapanku! Berlutut minta ampun!”
Mendengar dirinya dimaki sebagai tua bangka busuk lalu diminta datang berlutut, karuan saja hati Si Kamba Mancuang menjadi panas. Dia sudah bicara polos tapi orang malah mencaci maki. Dalam marahnya si nenek akhirnya tertawa tergelak-gefak. Aneh juga! Puas tertawa dia gerakkan kaki melangkah ke arah Datuk Marajo Sati.
Namun Wiro cepat menahan bahunya dan berbisik, “Nek, biar aku yang bicara,” Lalu murid Sinto Gendeng mendahului maju ke hadapan Datuk Marajo Sati.
“Datuk yang saya hormati, biarkan saya mewakili nenek sahabatku itu. Saya sudah datang ke hadapanmu. Apa yang hendak kau katakan. Apakah saya harus berlutut juga?!”
Sepasang mata Datuk Marajo Sati membeliak besar berkilat berapi-api, Sorban di kepala naik ke atas pertanda amarahnya meluap besar. Namun dia tersurutdan terkesiap ketika Wiro tiba-tiba mengambil tangan kanannya lalu mendekatkan ke hidung dan mencium tangan itu. Datuk Marajo Sati cepat-cepat menarik tangannya. Dulu ketika pertama kali menemui sang Datuk di dalam goa di Ngarai Sianok hal yang sama yaitu mencium tangannya juga dilakukan Wiro pertanda hatinya memang polos dan bersih tiada niat jahat. Namun jabat dan ciuman tangan itu tidak menyurutkan amarah Datuk Marajo Sati.
“Laki-laki berambut seperti perempuan! Jangan kau berpura-pura beradat bersopan santun! Berlagak sebagai Pandeka Gadang Mantiko Langek Kau lebih busuk dari nenek satu itu! Ingat sewaktu secara kurang ajar kau menyusup ke dalam goa kediamanku di Nagari Sianok? Saat itu aku telah memaafkanmu tapi dengan peringatan. Jika aku masih melihatmu berkeliaran di tanah Minang ini maka aku akan menganggapmu sebagai musuh yang harus dihabisi!” (Pandeka Gadang = Pendekar Besar) (Mantiko langek: Konyol kurang ajar)
“Datuk, saya dan nenek ini sengaja mencari Datuk untuk...” Sebenarnya Wiro hendak, menceritakan pertemuan dan pertarungannya dengan Tuanku Laras dan kawan-kawan di mana akhirnya manusia bermuka belang itu melarikan diri sambil memboyong seorang gadis Cina cantik jelita. Namun Wiro keburu dihardik sang Datuk.
“Tutup mulutmu! Jangan berpura-pura menunjukkan sikap bersahabat padaku! Barusan saja kau membela dua Datuk di sana yang hendak membunuhku!”
"Sudah Datuk, biarkan saya dan nenek itu memberi penjelasan lebih dulu...”
“Pemuda bernama Wiro Sableng!” tiba-tiba Datuk Bandaro Putih berteriak, “Kau ini berada di pihak mana sebenarnya? Menolong kami tapi sekaligus coba berbaik-baik dengan Datuk pembunuh itu! Ular kepala dua kau rupanya!”
“Bukan cuma ular kepala dua! Tapi ular kepala dua belas!” Tiba-tiba ada dua suara berteriak berbarengan.
BAB LIMA
SESAAT kemudian di tempat itu telah berdiri satu sosok besar aneh. Ujudnya adalah dua pemuda bertubuh dempet di bagian punggung. Satu berkumis biru, yang satu lagi berkumis merah. Tubuh dempet itu mengenakan satu jubah besar berwarna merah gelap. Dua pemuda dempet ini diketahui berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo.
Di tanah Minang selain dikenal sebagai dua mahluk aneh yang punya ilmu kepandaian tinggi juga diketahui senang mengajak perempuan tua apa lagi muda untuk berbuat mesum. Mereka merasa mampu memberi kesenangan lebih karena memiliki bagian-bagian tubuh yang serba dua. Konon banyak perempuan yang memang gatal mencari pemuda ini untuk mendapatkan pengalaman dan kepuasan.
Ternyata jika sudah satu kali sempat berhubungan perempuan itu akan tergila-gila dan mencari mereka. Kelebihan yang mereka miliki dipergunakan oleh Tengku Mudo Sagalo Duo untuk memperalat perempuan itu melakukan apa saja yang mereka inginkan. Salah seorang di antaranya adalah Niniek Panjalo yang kemudian menemui ajal di tangan Wiro. (Baca Episode sebelumnya berjudul Mayat Kiriman di Rumah Gadang)
Kemunculan Tengku Mudo Sagalo Duo sebenarnya adalah mengejar Si Kamba Mancuang. Sejak pertama kali melihat si nenek keduanya sudah sama menaksir. Apa lagi mereka pernah mendengar satu rahasia perihal siapa sebenarnya murid Inyiek Susu Tigo ini. Namun mereka tidak menyangka kalau di tempat itu juga ada Pendekar 212 yang sebelumnya telah sempat membuat mereka merasa jerih. Karena sudah kepalang tanggung dan keburu terlihat Tengku Mudo Sagalo Duo tidak mungkin bersurut pergi begitu saja.
“Mahluk najis pengacau!” bentak Datuk Marajo Sati. “Urusan apa kau muncul di sini! Lekas menyingkir pergi!”
“Datuk Pucuk Luhak Nan Tigo yang kami hormati,” pemuda dempet berkumis merah di sisi kanan berkata sambil bungkukkan badan hingga saudara dempetnya tertarik ke atas. Ketika bicara kelihatan barisan gigi yang ternyata juga berwarna merah. Pemuda ini dipanggil orang dengan nama Sunguik Merah. Saudaranya yang berkumis dan bergigi biru bernama Sunguik Biru. (Sunguik = kumis)
“Kami berdua datang bukan untuk mengacau urusan Datuk. Mana berani kami melakukan. Kami justru datang untuk memperingan pekerjaan Datuk. Perihal pemuda berambut seperti padusi itu, dia memang pengacau sesat dari tanah Jawa yang harus dihabisi. Lalu Datuk harus pula menghadapi dua Datuk angkuh pandai memfitnah itu. Padahal mereka harus tunduk dan patuh terhadap Datuk. Bukankah mereka bawahan Datuk? Lalu ditambah satu lagi nenek bergigi perak murid inyiek Susu Tigo. Empat orang yang harus Datuk Lawan sekaligus. Kami tahu dengan ilmu Datuk yang tinggi mereka semua bisa saja Datuk pesiangi. Tapi bagaimana kalau nenek ini kami saja yang menghadapi. Berarti berkurang satu lawan Datuk bertarung. Selain itu kami diberi tugas oleh Tuanku Laras untuk mengambil pedang Al Kausar yang dicuri nenek ini. Kami diminta meringkusnya dan membawa ke hadapan Tuanku Laras Muko Balang!”
Datuk Badaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang sama-sama unjukkan wajah kaget mendengar disebutnya pedang Al Kausar. Datuk Marajo Sati sendiri sesaat terdiam mendengar ucapan Sunguik Merah itu. Kepala didongakkan tapi sepasang mata melirik ke arah belakang punggung Si Kamba Mancuang di mana tersembul sebilah gagang pedang terbuat dari perak yang sebenarnya sejak tadi sudah jadi perhatiannya.
Dari bentuk gagang serta cahaya yang memancar dia maklum kalau senjata itu bukan pedang sembarangan. Menghadapi empat lawan sekaligus, dengan kemampuan yang dimiliki sebenarnya Datuk Marajo Sati sama sekali tidak menaruh rasa takut. Kalaupun dia menemui ajal paling tidak tiga orang lawan akan bersimbah darah!
Namun jika pedang yang ada pada si nenek benar pedang Al Kausar milik Tuanku Laras Muko Balang maka dia harus memperhitungkan keberadaan senjata yang kehebatannya sudah diketahui. Datuk Marajo Sati bukan pula orang yang pendek akal apa lagi tolol dan mau saja mendengar ucapan orang. Dia juga maklum apa maksud sebenarnya dari dua pemuda dempet itu hendak meringkus si nenek. Tak lain hendak berbuat mesum!
Setelah terdiam sejurus maka sang Datuk berkata. “Sunguik Merah, Sunguik Biru! Kalian berdua boleh melakukan apa saja terhadap nenek itu! Aku tidak perduli! Tapi lebih dulu katakan ke mana Tuanku Laras Muko Balang dan kawan-kawannya membawa gadis Cina yang mereka culik!”
Tampang Datuk Bandaro Putih berkerenyut. Setengah berbisik dia berkata pada Datuk Kuning Nan Sabatang. “Hati dan otak Datuk Pucuk benar-benar sudah terpasung pada gadis Cina gendaknya itu. Orang bicara lain dia berucap lain.”
Sementara itu Wiro merasa heran dua pemuda dempet berkumis merah biru masih punya nyali datang ke tempat itu dan bicara sombong hendak meringkus Si Kamba Mancuang. Wiro cepat dekati si nenek dan berbisik.
“Nek, kalau dua pemuda dempet saling kentut ini berani muncul di sini, aku mengira ada sesuatu yang diandalkannya. Aku tidak yakin dia bisa membujuk Datuk Marajo Sati. Dugaanku mereka tidak datang cuma berdua. Pasti ada...”
“Dugaanmu kurasa betul. Lain daripada itu aku rasa mereka mengincar diriku...”
Wiro miringkan mulut lalu tertawa, “Nek, kau jangan membuat aku cemburu...” Si Kamba Mancuang tertawa cekikikan. “Nek, kalau tiba saatnya akan aku gebuk hancur kepala dua pemuda itu atas bawah...!”
“Kalian berdua!” Di seberang sana Datuk Marajo Sati tiba-tiba membentak sambil delikkan mata ke arah dua pemuda dempet. “Kalau tidak mau memberi tahu ke mana Tuanku Laras jahanam melarikan gadis Cina itu, aku akan sangat-sangat berbaik hati membelah tubuh kalian hingga tidak malakok lagi!” (malakok = dempet)
Enak saja Sunguik Biru menjawab, “Datuk, jika kau ingin tahu di mana gadis Cina itu berada bersama Tuanku Laras, tolong kau rampas dulu pedang Al Kausar dari nenek itu dan serahkan pada kami.”
“Palasik jahanam! Manusia mesum! Berani kau memerintahku!” teriak Datuk Marajo Sati marah luar biasa. (Palasik: di sini merupakan makian kemarahan. Arti sebenarnya adalah semacam mahluk yang kepalanya bisa tanggal dari leher lalu gentayangan mencari korban untuk dihisap darahnya) “Sudah saatnya mahluk najis macam kalian disingkirkan ke dalam neraka ke tujuh!”
Sepasang mata Datuk Marajo Sati memandang berkilat ke arah dua pemuda dempet. Dia berusaha membuat kedua orang ini tidak leluasa bergerak dengan ilmu Mengunci Gerak Tangan Pandangan Mata. Sementara itu Sorban Seribu Sakti di atas kepala Datuk Marajo Sati terbuka dari gulungannya. Tangan kanan sang Datuk cepat menyambar salah satu ujung sorban. Ujung yang lain dikebutkan ke udara dua kali berturut-turut. Inilah jurus sorban maut bernama Duo Kilek Manyemba Gunung Singgalang Merapi! (Dua Kilat menyambar Gunung Singgalang Merapi)
“Taarr!Taarrr!” Dua kilatan menyilaukan berkiblat di udara. Menyambar ke arah kepala dua pemuda dempet yang saat itu akibat pandangan mata yang memancarkan hawa sakti dari Datuk Marajo Sati membuat walau hanya sebentar dua kaki mereka bergetar dan terasa agak berat.
Wiro cepat melompat ke tengah kalangan sambil berseru. “Datuk! Jika dua manusia najis ini tahu di mana gadis Cina itu berada, mengapa hendak dibunuh! Biar saya dan Si Kamba Mancuang mewakili Datuk untuk meringkus mereka dan mengorek keterangan!”
Pendekar 212 dorongkan dua telapak tangan melepas pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan dalam gerak jurus bernama Membuka Jendela Memanah Rembulan. Begitu angin pukulan saling bentrok dengan dua cahaya putih yang keluar dari ujung sorban Datuk Marajo Sati maka...
"Dess... dess!"
Wiro terjajar ke belakang. Ujung lengan baju hitamnya kepulkan asap. Tangan mulai dari ujung jari sampai ke bahu terasa kesemutan. Jari-jari tangan sampai ke telapak tampak membiru. Khawatir dalam keadaan seperti itu ada orang yang menyerang maka Wiro cepat jatuhkan diri ke tanah.
Datuk Marajo Sati sendiri berteriak marah ketika melihat bagaimana ujung sorban saktinya yang terkena sambaran angin pukulan Wiro terpental lalu lepas dari pegangan sementara ada hawa panas menjalar masuk ke dalam tubuh membuat dadanya berdenyut sakit. Dalam keadaan seperti itu dia tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan ketika menyaksikan bagaimana sambil jatuhkan diri ke tanah Wiro tarik ujung sorban putih hingga meleset dan bergulung melingkari kopiah hitam yang ada di atas kepalanya!
Walau yakin Wiro tidak cidera dan malah mampu mempermainkan sorban lawan namun ketika melihat Wiro menjatuhkan diri di tanah, Si Kamba Mancuang yang merasa khawatir, cepat cabut pedang Al Kausar dari balik punggung pakaian. Ternyata senjata yang tidak bersarung ini dibungkus dengan libatan kain putih. Sekali si nenek menyentakkan tangan maka libatan kain putih dengan cepat bergulung membuka. Karena memang tidak akan dipergunakan untuk menyerang orang tapi sekedar melindungi Wiro, maka si nenek hanya berdiri berjaga-jaga di samping Pendekar 212. Justru di saat itu terjadi satu hal yang tidak terduga.
Dua pemuda dempet menjerit keras ketika dua ekor harimau kuning besar entah dari mana datangnya tahu-tahu telah melompat ke arah mereka. Harimau di sisi kanan langsung menyambar menggigit tangan kanan Sunguik Merah dan Sunguik Biru.
“Binatang jahanam! Mampuslah!” teriak Sunguik Merah sambil menghantamkan tangan kiri ke kepala harimau besar. Hal yang sama dilakukan oleh Sunguik Biru.
Sesaat lagi sebelum dua pukulan yang bisa membuat kepala dua harimau besar rengkah mengenai sasarannya tiba-tiba dua bayangan hitam berkelebat dari arah belakang. Keduanya langsung duduk di punggung dua harimau besar sambil salah satu tangan ditusukkan ke ubun-ubun Sunguik Merah dan Sunguik Biru. Ludah membusa dari mulut dua pemuda dempet ini.
Tubuh mereka langsung tersentak kaku tak mampu bergerak. Hanya mulut yang masih bisa keluarkan teriakan-teriakan keras. Dua harimau melesat makin tinggi ke udara. Di atas punggung harimau-harimau sakti ini duduk dua orang berpakaian dan berdestar hitam. Mereka bukan lain adalah Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang.
Mengetahui kalau apa yang terjadi adalah perbuatan Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang, Sunguik Merah segera berteriak. “Datuk berdua! Mengapa Datuk melakukan ini? Menganiaya kami! Apa salah kami?!” Pemuda bernama Sunguik Merah berteriak.
“Siapa yang menganiaya?! Kami hanya ingin membawamu berjalan-jalan barang sebentar!” Menyahuti Datuk Bandaro Putih sambil menyeringai, “Bukankah selama hidup baru sekali ini kalian terbang di udara? Sambil berjalan-jalan melihat keindahan nagari kami ingin bertanya. Kecuali kalau kalian Ingin cepat-cepat turun dengan cara terjun ke bawah!”
“Datuk berdua sudah gila rupanya!” Yang berteriak kini Sunguik Biru. “Kalau ingin bertanya mengapa menyiksa kami seperti ini?! Mengapa membawa kami terbang ke udara! Mengapa tidak bertanya di daratan saja?!”
Dua Datuk cuma tertawa. Datuk Kuning Nan Sabatang lalu berkata, “Dari bicara kalian tadi dengan Datuk Pucuk Marajo Sati rupanya kalian tahu di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang. Katakan kepada kami di mana manusia muka belang berbulu itu dan gadis culikannya berada!”
“Datuk berdua! Apakah menginginkan Tuanku Laras atau gadis Cina itu. Jangan-jangan Datuk berdua telah jatuh hati pula pada wajah yang cantik, kulit putih mulus dan tubuh elok montok...”
“Plaakkk!” Datuk Bandaro Putih tampar pipi Sunguik Biru hingga sudut bibir sebelah kiri robek mengucurkan darah.
“Jangan berani bicara kurang ajar pada kami Datuk pimpinan Luhak!” kata Datuk Bandaro Putih. Tangan kanannya yang tadi menampar masih menggantung di udara dalam keadaan bergetar, siap untuk menampar kembali atau bahkan menjotos batok kepala Sunguik Biru.
Melihat saudara dempetnya ditampar hingga luka Sunguik Merah merasa tidak senang lalu keluarkan ucapan menantang. “Kalau kami tidak mau memberi tahu, Datuk berdua mau berbuat apa?!”
Datuk Bandaro Putih siap hendak menghajar Sunguik Merah. Tapi Datuk Kuning Nan Sabatang memegang lengannya, berpaling pada Sunguik Merah lalu tertawa gelak-gelak. “Jawabnya mudah saja. Aku akan perintahkan dua harimau melepas gigitan di tangan kalian. Kalian boleh bergembira terjun jatuh ke bawah. Coba kalian lihat apa yang ada di bawah sana!”
Mendengar kata-kata Datuk Bandaro Putih dua pemuda berjuluk Tengku Mudo Sagalo Duo itu tukikkan pandangan ke bawah. Saat itu mereka berada di atas sebuah bukit batu hitam yang di puncaknya terdapat beberapa telaga. Dua pemuda dempet ini serta merta mengenali bukit itu. Mereka tahu pula kalau di setiap telaga dihuni oleh lusinan buaya besar yang kelaparan dan jarang bertemu manusia!
“Bukit Batu Lubuk Buaya!” teriak Sunguik Merah. Wajahnya dan wajah saudaranya yang sejak tadi sudah pucat kini jadi tambah tidak berdarah karena ketakutan setengah mati.
“Datuk berdua orang baik orang beragama. Mengapa hendak berbuat sekejam itu menjatuhkan kami ke bukit batu yang banyak buaya laparnya?!” ucap Sunguik Biru dengan suara bergetar.
“Mahluk bejat seperti kalian sebenarnya sudah lama harus disingkirkan dari muka bumi ini! Tapi siapa tahu kalian masih bisa berbuat kebajikan mengurangi dosa-dosa bejat kalian selama ini!” Kata Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Dengar, kami tidak tahu di mana Tuanku Laras berada. Tadi kami hanya bicara membual mengharapkan Datuk Marajo Sati mau merampas pedang Al Kausar dari tangan si nenek.” Memberi tahu Sunguik Merah.
“Betul, sebenarnya kami memang tidak tahu di mana beradanya Tuanku Laras,” Sunguik Biru sambung ucapan Sunguik Merah.
Datuk Kuning Nan Sabatang tepuk pinggul kanan harimau yang ditunggangi. Binatang ini segera lepaskan gigitannya di tangan kanan Sunguik Merah. Tak ampun lagi sosok dua pemuda dempet itu berayun melayang menggantung ke bawah namun masih tertahan karena harimau yang ditunggangi Datuk Bandaro Putih masih menggigit lengan kanan Sunguik Biru. Kedua pemuda dempet itu menjerit-jerit ketakutan. Yang paling keras jeritannya Sunguik Biru karena luka gigitan harimau di lengannya semakin besar menguak.
“Datuk! Ampun! Jangan jatuhkan kami! Kami akan memberi tahu! Kami akan bicara! Tapi turunkan dulu kami ke tanah!” Sunguik Merah berseru. Bagian bawah jubahnya telah basah oleh air kencing yang tidak tertahankan lagi dan terpancar tak karuan.
“Kau hanya menipu!” teriak Datuk Bandaro Putih. Lalu membawa harimau tunggangannya melayang lebih tinggi.
“Demi Tuhan! Kami bersumpah!” teriak Sunguik Biru ketakutan setengah mati.
“Aha! Masih punya Tuhan kalian rupanya!” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang.
Lalu dia memberi isyarat pada Datuk Bandaro Putih. Harimau besar yang masih menggigit tangan kanan Sunguik Biru perlahan-lahan melayang turun ke bawah hingga akhirnya sampai di salah satu puncak bukit batu hitam, hanya dua langkah dari pinggiran sebuah jurang batu terjal sedalam hampir tiga puluh tombak. Di dasar jurang terdapat sebuah telaga dihuni banyak buaya besar berkulit coklat kehitaman yang sudah cukup lama tidak mengenyam makanan lezat apa lagi yang namanya tubuh manusia.
Sambil perhatikan lengan masing-masing yang luka dan berlumuran darah dua pemuda dempet itu menggerung kesakitan. Saat itu keduanya masih dalam keadaan tak mampu bergerak. Tanpa turun dari punggung harimau Datuk Bandaro Putih membentak.
“Sekarang beri tahu di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang atau kami lempar kalian ke dalam jurang...”
“Datuk berdua, sebenarnya... sebenarnya ada keperluan apa menanyakan keberadaan Tuanku Laras. Bukankah...”
Datuk Kuning Nan Sabatang jadi kesal. Dia majukan harimau tunggangan mendekati dua pemuda dempet lalu kaki kiri diangkat, diletakkan di atas dada Sunguik Merah, siap untuk menendang.
“Sunguik Merah! Jawab saja apa yang kami tanya. Kalau kau berani berpanjang mulut, jurang di dekat kalian cukup dalam. Sekali aku tendang dadamu, kau bersama saudara mesummu akan terpental masuk ke dalam jurang. Sampai di dasar kalian sudah berubah lumat. Kalau masih hidup, belasan buaya di dalam telaga siap menyantap kalian hingga tidak ada lagi yang tersisa dari tubuh kalian!”
“Jangan Datuk, jangan! Kami berdua mohon ampun dan kasihan. Apakah... apakah Datuk berdua tidak akan lebih dulu melepaskan ilmu yang membuat kami tak bisa bergerak ini?” Sunguik Biru berkata berhiba-hiba.
Dua Datuk mana mau percaya. “Sekali lagi kau berpanjang bicara, kudongak kalian berdua masuk jurang!” hardik Datuk Kuning Nan Sabatang. Lalu kaki kirinya yang menempel di dada Sunguik Merah didorongkan sehingga dua sosok dempet itu terhuyung-huyung ke arah jurang, (dongak = tendang)
“Onde Mak! Datuk! Tunggu! Jangan menendang!” teriak Sunguik Biru dengan muka pucat. Saat itu tubuhnya memang menghadap ke arah jurang hingga rasa takutnya bukan alang kepalang, nyawa serasa terbang. Lalu dia berkata pada saudara dempetnya. (Onde Mak = Aduh Ibu!)
“Sunguik Merah lekas kau beritahu pada Datuk. Aku belum mau mampus. Apa lagi mati bergulung jatuh ke dasar jurang batu, ditunggu buaya-buaya lapar!”
“Baik... baik... Aku akan bicara,” jawab Sunguik Merah. “Datuk berdua, sebenarnya kami tidak tahu pasti di mana saat ini beradanya Tuanku Laras. Ke mana dia membawa gadis Cina yang kabarnya pernah disekap Datuk Marajo Sati itu. Belum lama ini secara tak sengaja kami bertemu dengan Tuanku Laras. Dia menyuruh kami merampas pedang Al Kausar miliknya yang berada di tangan Si Kamba Mancuang...”
“Pedang Al Kausar bukan senjata sembarangan. Mengapa manusia muka belang itu mempercayai kalian untuk mendapatkannya kembali?” ucap Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Dia sibuk mengurusi gadis Cina itu!” jawab Sunguik Biru.
Dua Datuk saling pandang dan diam-diam sama bisa menerima penjelasan Sunguik Biru. “Kalian berdua mau melakukan perintah Tuanku Laras. Mengapa?!” tanya Datuk Bandaro Putih. “Setahu kami selama ini kalian tidak punya hubungan dekat dengan dirinya.”
“Kami dijanjikan, jika berhasil akan diberi satu batangan emas murni,” jawab Sunguik Merah.
“Kalian percaya?!” tanya Datuk Bandaro Putih.
“Tentu saja,” jawab Sunguik Merah. “Tuanku Laras memperlihatkan beberapa batang emas yang ada padanya!”
Dua Datuk kembali saling berpandangan. Ini satu hal yang baru bagi mereka. Dari mana Tuanku Laras mendapatkan batangan emas itu? “Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Datuk Kuning Nan Sabatang.
“Jika pedang Al Kausar sudah didapat kami disuruh pergi ke Bukit Batu Patah, di bekas tempat berdirinya Istana lama Kerajaan Pagaruyung. Kami harus mengantarkan pada malam hari ketiga bulan baru. katanya dia akan menunggu di sana.”
“Mengapa di Bukit Batu Patah dan mengapa harus hari ketiga bulan baru?” tanya Datuk Bandaro Putih.
“Itu yang kami tidak tahu,” jawab Sunguik Merah pula.
Dua Datuk terdiam. Sejurus kemudian Datuk Kuning Nan Sabatang berkata, “Kami akan menyelidik. Jika ternyata kalian menipu, umur kalian tidak akan lama. Sebelum bulan setengah lingkaran muncul di langit malam kalian sudah kami temui dan kami habisi!” Selesai keluarkan ucapan dua Datuk siap menggebrak harimau masing-masing.
“Datuk! Tunggu! Bagaimana dengan kami?!” teriak Sunguik Merah. “Tubuh kami masih kaku tak bisa bergerak! Kami tidak mau mati tagang di tempat cilako ini!” (tagang = tegang/kaku) (cilako: celaka)
“Sebelum matahari tenggelam kalian berdua akan bebas dengan sendirinya!” jawab Datuk Bandaro Putih.
Belum sempat dua harimau besar melesat ke udara menerbangkan dua Datuk tiba-tiba dari dalam jurang terdengar suara menderu keras. Batu-batu di dinding jurang runtuh hancur berkeping-keping, debu mengepul ke udara. Di lain kejap tiba-tiba satu sosok aneh yang tadinya melata melesat di dinding jurang kini berdiri di hadapan dua pemuda dempet. Mahluk yang muncul ini sungguh dahsyat!
BAB ENAM
Sunguik Merah dan Sunguik Biru walaupun berada dalam keadaan kaku tak mampu bergerak namun masih bisa merasakan bagaimana tubuh mereka menjadi bergetar dan tengkuk seperti diguyurai es!
Mahluk yang berdiri di hadapan mereka ujudnya setengah perempuan setengah buaya. Leher ke atas atau bagian kepala berbentuk kepala seekor buaya berkulit putih bermata biru. Di atas kening antara kedua mata melekat sebuah batu permata memancarkan cahaya hijau.
Dari leher ke bawah sosok mahluk ini tidak beda dengan sosok seorang perempuan muda bertubuh bagus dan elok menawari serta berkulit putih mulus. Keelokan dan keputihan ini terlihat jelas karena dari leher sampai ke pusar tubuh itu tidak tertutup apa-apa. Dari pusar ke bawah mahluk perempuan berkepala buaya putih ini mengenakan sehelai kain songket merah setinggi lutut hingga terlihat betisnya yang putih menawan.
Perempuan berkepala buaya ini memiliki dua tangan dan dua kaki tidak beda dengan manusia. Dalam ujud yang seperti itu tubuhnya menebar bau harum mewangi. Dua pemuda dempet sama menelan ludah. Mata menatap tak berkesip, tenggorokan turun naik. Ingatan mereka sekilas kembali pada masa beberapa waktu lalu.
Kemunculan sang mahluk membuat dua Datuk terkejut dan serta merta menahan gerakan harimau tunggangan yang hendak melesat terbang ke udara. Melirik ke arah kiri mereka melihat sepasang pemuda dempet pucat pasi tampang mereka, jelas menunjukkan ketakutan.
“Inyiek Ratu Buayo.” Sunguik Merah dan Sunguik Biru sama-sama keluarkan suara bergetar. Kalau saja dua kaki mereka bisa digerakkan saat itu keduanya sebenarnya sudah memutuskan untuk menghambur lari lintang pukang! (Buayo = Buaya)
“Bagus!” tiba-tiba sosok perempuan muda berkepala buaya berucap. Suaranya menyerupai suara seorang gadis, sejuk dan lembut terdengar di telinga. Padahal kata-katanya cukup membuat bulu kuduk orang yang mendengar jadi berdiri dingin!
“Dua Datuk Luhak sahabatku telah mengantarkan kalian berdua hingga aku tidak perlu susah-susah mencari. Tinggal mempesiangi saja! Hik hik hik!”
Tengku Mudo Sagalo Duo terdiam. Lalu Singuik Merah walaupun nyali mulai leleh coba berkata menegur. “Inyiek Ratu Buayo. Apakah kau baik-baik saja...?”
“Hmm... Jangan berpura-pura menegur berbasa-basi,” menjawab mahluk perempuan setengah telanjang berkepala buaya. “Banyak yang tidak baik dengan diri ini! Semua sebab ulah kalian berdua...”
“Inyiek,” Sunguik Biru berkata setengah berbisik. “Dua Datuk disebelah sana telah membuat kami tak bisa melangkah tak mampu menggerakkan tangan. Tolong Inyiek bebaskan kami...”
Inyiek Ratu Buayo dongakkan kepala lalu tertawa. “Itu hanya satu hukuman kecil. Hukuman dariku jauh lebih besar!”
“Inyiek, kalau kami bisa bebas, kita bisa bersenang-senang kembali seperti dulu-dulu...”
“Bersenang-senang seperti dulu!” Inyeik Ratu Buayo mengulang ucapan Sunguik Merah. Batu permata hijau di keningnya bersinar terang. Sepasang mata yang biru pancarkan cahaya angker.
“Puah!” Tiba-tiba perempuan bertubuh perempuan bertubuh molek berkepala buaya itu meludah. Ludahnya bukan seperti manusia biasa meludah tapi seperti seorang menuang seember air! Ketika ludah itu mengenai satu gundukan batu, batu langsung membuih dan meleleh!
Datuk Bandaro Putih berpaling pada Datuk Kuning Nan Sabatang. “Ludah Hantu Buayo”, bisik Datuk Bandaro Putih menyebut ilmu Inyiek Ratu Buayo.
Menyaksikan sang Inyiek meludah seperti itu bertambah pucatlah wajah dua pemuda dempet. Kalau ludah tadi disemburkan ke kepala atau tubuh mereka dapat dibayangkan apa yang terjadi. Agaknya perempuan muda berkepala buaya itu tidak mungkin dibujuk apa lagi dirayu.
“Inyiek, kami berdua sebenarnya...”
“Tutup mulut! Jangan banyak bicara!” Mahluk kepala buaya membentak memotong ucapan Singuik Biru. “Culas penipu! Busuk bejat dan luar biasa mesum! Katamu hanya aku seorang yang jadi kekasihmu. Ternyata kalian berkeliaran ke mana-mana mengumbar nafsu! Bukan saja kalian sudah meniduri diriku tapi juga menipu mengambil harta perhiasan milikku! Kalaupun dua Datuk itu tidak membawa kalian kemari apa kalian mengira bisa lolos dari pembalasanku?”
Mendengar ucapan Inyiek Ratu Buayo dua Datuk jadi merasa jengah. Sebenarnya mereka ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin mencampuri urusan orang sementara urusan sendiri belum selesai. Namun bagaimana pun juga mereka ingin pula mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Inyiek, kami bukan menipu. Bagaimanapun Inyiek tetap satu-satunya kekasih kami sehidup semati di tanah Minang ini. Kami pergi hanya karena ada urusan...”
Mendengar kata-kata Sunguik Merah, perempuan muda berkepala buaya membuka mulut lebar-lebar hingga kelihatan bagian dalam mulutnya yang penuh dengan deretan gigi besar dan runcing mengerikan. Untuk beberapa saat gelak tawa angker menggema keluar dari mulut mahluk kepala buaya.
“Pergi selama enam bulan tidak kabar tidak berita! Sehidup semati! Kalian yang hidup aku yang kalian buat mati jadi bangkai hidup! Satu-satunya kekasih di tanah Minang! Padahal puluhan perempuan sudah kalian gauli kalian tiduri! Hik hik! Manusia-manusia mesum terkutuk, aku pula yang hendak kalian tipu! Kepalaku yang hendak kalian gadai!”
“Inyiek, kalau Inyiek mau mengambil kembali semua perhiasan yang pernah Inyiek berikan pada kami, kami akan segera lakukan. Malah akan kami tambah dengan apa yang kami miliki. Asal Inyiek mau melepas ilmu yang membuat kami tidak bisa bergerak.”
“Baik! Akan aku bebaskan kalian!” kata mahluk perempuan kepala harimau. Dua tangan disilang di atas dada. Lalu disentakkan dengan tiba-tiba.
“Wuutttt!” Dari bagian tubuh sebelah belakang Inyiek Ratu Buayo mencuat keluar sebentuk ekor panjang besar, berwarna coklat kehitaman, bergerigi lentur namun lebih keras dari besi! Rupanya inilah ekor sang Inyiek! Dua pemuda dempet yang dijuluki Tengku Mudo Sagalo Duo tersentak kaget.
“Inyiek Ratu! Mulai saat ini kita bisa bersama-sama lagi. Kami berjanji tidak akan pergi ke mana-mana. Kami tidak akan meninggalkanmu barang sepicingpun!” Sunguik Biru berseru ganti membujuk.
Inyiek Ratu Buayo tertawa panjang. “Kalian berdua memang tidak akan pergi ke mana-mana!”
Habis keluarkan ucapan itu ekor di belakang tubuh Inyiek Ratu Buayo melesat menyambar ke bagian bawah tubuh dua pemuda dempet yang tertutup jubah. Ekor buaya yang walau kelihatan lentur tapi lebih keras dari besi itu menghantam dua pasang kaki. Terdengar suara berderak dibarengi jeritan dua pemuda dempet. Dua pasang kaki buntung bergeletakan di tanah. Kalau tadi dua pasang kaki itu tidak mampu bergerak kini dalam keadaan buntung tampak berkelojotan di atas bebatuan yang telah digenangi darah.
Bersamaan dengan itu tubuh Tengku Mudo Sagalo Duo roboh di atas batu lalu terguling masuk ke dalam jurang! Suara jeritan dua pemuda dempet itu menggelegar menggidikkan. Sunguik Merah masih mampu berteriak.
“Inyiek! Ampun kami! Tolong! Jangan sampai kami jatuh ke dasar jurang! Datuk! Tolong...!”
Lalu suara jeritan lenyap. Hening sesaat. Kemudian terdengar suara air telaga di dasar jurang membuncah. Belasan buaya lapar yang ada di tempat itu bersirebut cepat menyantap dua tubuh dempet. Dua Datuk di atas punggung harimau sampai mengelus kuduk masing-masing saking tercekatnya.
“Dua Datuk penjaga negeri. Jika tidak ada sesuatu yang hendak kalian sampaikan aku merasa tak ada gunanya berada lebih lama di tempat ini.”
Datuk Bandaro Putih mengusap wajah beberapa kali. Lalu berkata. Mata tidak berani menatap ke arah tubuh yang setengah telanjang itu. “Inyiek Ratu Buayo. Kami sudah lama mendengar riwayat dirimu. Beruntung sekali hari ini kami bisa bertemu. Kami ingin berterima kasih karena Inyiek telah mengerjakan apa yang sebelumnya menjadi niat kami.”
Kepala buaya Inyiek Ratu Buayo mengangguk. Matanya yang biru tampak redup. “Kematian mereka sudah nyata. Kematian diriku yang belum jelas. Padahal dosa ini sudah setinggi langit sedalam lautan...” Ucapan mahluk kepala buaya ini seolah menyesali nasib dirinya.
“Inyiek, Allah itu Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jika Inyiek mau minta ampun dan bertobat pasti Allah akan mengampuni segala dosa Inyiek. Seberapapun besarnya...”
“Begitu...?” Kepala berbentuk kepala buaya itu mengangguk-angguk. Lalu terdengar suaranya lirih. “Aku memang sudah lama melupakan Tuhan Seru Sekalian Alam...”
“Ada kalanya manusia memang bersifat seperti itu Inyiek, sering melupakan Tuhan,” kata Datuk Kuning Nan Sabatang. “Namun yang patut kita ketahui, Tuhan tidak pernah melupakan kita betapapun buruk ujud kita, betapapun besar dosa kita. Itulah kerohimannya Allah.”
Inyiek Ratu Buayo terdiam. Sepasang mata birunya semakin redup. Perlahan-lahan air mata jatuh bercucuran dari kedua mata itu.
Datuk Bandaro Putih menghela nafas dalam. “Sahabatku Inyiek Ratu Buayo. Air mata adalah ungkapan hati nurani penuh kejujuran. Pertanda bahwa Inyiek sudah mendekatkan diri pada Allah Yang Maha Kuasa, pertanda bahwa Inyiek siap bahkan saat ini mungkin sudah menyatakan bertobat...”
“Inyiek, mungkin Inyiek harus meninggalkan tempat ini. Mencoba hidup di tempat lain yang lebih baik...” berkata Datuk Kuning Nan Sabatang menyambung ucapan Datuk Bandaro Putih.
“Mungkin memang harus begitu. Tapi ke mana aku harus pergi. Bagaimana dengan anak-anakku? Lalu apakah orang mau menerima diriku dalam keadaan seperti ini...?”
Dua Datuk maklum apa yang dimaksud Inyiek Ratu Buayo dengan sebutan “anak-anak”. Tidak lain adalah puluhan ekor buaya yang ada di dasar jurang serta beberapa telaga yang terdapat di atas bukit batu.
“Inyiek, serahkan semua kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Allah menciptakan dunia, Allah pula yang akan mengatur segala isi dan kejadiannya. Jika inyiek punya kesempatan datanglah ke Luhak kami. Kami ada amalan baik. Inyiek akan langsung berhadapan dan memohon kepada Tuhan. Mudah-mudahan Inyiek bisa berubah ujud.”
“Datuk berdua, kalian baik sekali. Aku sangat berterimakasih. Sekarang mataku jadi lebih terbuka. Sesungguhnya begitu banyak orang buruk dan jahat di dunia ini, tapi rupanya masih lebih banyak mereka yang berhati putih dan bersifat baik seperti Datuk berdua. Bilakah Datuk berkenan menerima kedatanganku?”
“Secepat yang bisa Inyiek lakukan. Namun kalau bisa datanglah di penghujung bulan di muka...”
“Mengapa begitu lama sekali?” tanya mahluk perempuan muda kepala buaya.
“Karena saat ini kami tengah menghadapi satu urusan besar.” Datuk Bandaro Putih yang menjawab.
Inyiek Ratu Buayo terdiam lalu anggukkan kepala. Dia cukup tahu diri untuk tidak menanyakan apa urusan besar yang tengah dihadapi kedua Datuk tersebut. “Aku benar-benar sangat berterima kasih pada Datuk berdua...”
“Kalau begitu mulai hari ini gantilah pakaian Inyiek. Tutupi aurat. Dan yang paling penting mulai melakukan sholat lima waktu...” kata Datuk Bandaro Putih pula.
Inyiek Ratu Buayo Putih rapatkan mulut, anggukkan kepala. “Tapi ujudku yang seperti ini, lalu keningku yang tak mungkin sujud...”
Dua Datu k tersenyum mendengar kata-kata mahluk kepala buaya itu. “Tuhan tidak pernah menolak sembah sujud umatnya. Sholat seseorang tidak ditentukan oleh baik atau buruk rupanya. Itulah Kebesaran Tuhan.”
Setelah membungkuk memberi penghormatan dan melambaikan tangan dua Datuk melesat ke udara di atas punggung harimau tunggangan masing masing. Inyiek Ratu Buayo usapkan dua tangan di atas kepala. Sepasang mata biru yang berlinangan dipicingkan. Dalam hati dia berkata,
“Tuhan rupanya memang masih sayang padaku. Dia telah mendatangkan dua Datuk itu, memberi jalan dan petunjuk. Terima kasih dua Datuk. Terima kasih Tuhan. Engkau memang Allah Yang Akbar...”
********************
Kita kembali pada Datuk Marajo Sati. Sorban sakti yang bisa dipergunakan sebagai alat tumpangan pembawa terbang tak ada lagi. Harimau kuning belang hitam yang jadi binatang peliharaan dan bisa ditunggangi melayang di udara masih terbujur sakit di Ngarai Sianok akibat serangan racun Ilmu Santuang Panyasek yang dilancarkan Tuanku Laras Muko Balang (baca episode sebelumnya Mayat Di Rumah gadang)
Kerenanya Datuk Marajo Sati kini kerahkan ilmu lari yang selama ini jarang dipergunakan bernama Tabang Di Bumi Malayang Di Langiek (Terbang Di Bumi Melayang Di Langit). Ketika langit di arah timur memancarkan cahaya merah kekuningan pertanda tak lama lagi sang surya akan tenggelam, di satu tempat sepi yang dirasakan aman yaitu di tepi satu anak sungai berair jernih dan dangkal, sang Datuk duduk di atas sebuah batu besar.
Sebuah benda yang sejak tadi diselipkan di pinggang dicabut dikeluarkan. Benda ini bukan lain adalah potongan bambu berlilit secarik kain putih yang merupakan Surat Perintah Sri Baginda Raja Di Pagaruyung. Sebagaimana diketahui Surat Perintah itu dibawa dan dilemparkan oleh Datuk Bandaro Putih hingga menancap di dinding batu dekat mulut goa. Walau sebelumnya tidak mau perduli dengan surat itu namun ketika berkelebat pergi Datuk Marajo Sati mengambilnya dengan sambaran tangan kiri.
Di bawah terang cahaya merah kekuningan sinar matahari Datuk Marajo Sati buka gulungan kain putih yang melilit di batang bambu. Dia berusaha menenangkan diri waktu membaca apa yang tertulis di atas kain itu walau dua tangan yang memegang Surat Perintah tampak sedikit bergetar. Surat Perintah itu didahului dengan kata Basmallah ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab Gundul.
Terhunjuk Datuk Pucuk, Datuk Marajo Sati Datuk Pimpinan Luhak Nan Tigo
Berita buruk mengenai diri Datuk Pucuk telah tersiar dari mulut ke mulut dan telah pula dihembuskan angin sampai ke telinga kami di singgasana Nagari Adat Bertuah, Kerajaan Pagaruyung.
Kebenaran harus di jejak diselidiki agar keadilan bisa ditegakkan. Jangan sampai karena seekor kerbau berkubang, sekandang kena lumpurnya. Jangan karena nilai setitik rusak susu sebelanga. Jangan pula karena perbuatan satu orang kutuk dan azab Allah jatuh menimpa seisi negeri.
Karena urusan ini sangat patut dirahasiakan sampai kebenaran terungkap maka kami memerintahkan agar Datuk Marajo Sati datang ke bekas Istana lama Kerajaan Pagaruyung di Bukit Batu Patah untuk memberi kesaksian pada utusan yang telah kami percaya. Waktunya malam hari bulan sabit malam ketiga.
Bilamana Datuk tidak bersalah maka Allah akan melindungi. Tetapi jika Datuk memang orang berdosa maka Datuk akan menjadi orang teraniaya. Hanya ampun dan tobat Datuk yang menyelamatkan Datuk. Tapi itu adalah Hukum Akhirat. Hukum Dunia tetap Datuk pertanggungjawabkan pada anak Nagari dan Kerajaan.
Semoga Allah melindungi dan memberi rakhmat pada kita semua. Amin.
Sri Baginda Raja Pagaruyung
Yang Dipertuan Raja Muning Alam Syah
Untuk beberapa saat lamanya Datuk Marajo Sati masih duduk di atas batu besar di pinggir batang air (sungai kecil) itu. Namun wajahnya tampak mengelam, tubuh meregang kaku dan bergetar.
“Kalau aku dijadikan orang yang teraniaya. Maka seluruh nagari akan aku buat sengsara! Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang pasti manusia-manusianya yang berada di balik keluarnya Surat Perintah ini.” Dua tangan Datuk Marajo Sati yang masih memegang bambu dan kain putih Surat Perintah meremas gemas.
“Dess! Desss!” Dari genggaman sang Datuk melesat keluar nyala api. Batangan bambu dan kain putih hancur dan musnah dilamun api. Bagian yang masih tersisa berupa arang dan debu dimasukkan ke dalam saku celana galembong hitam. Lalu kepala diangkat menatap ke langit.
“Malam ini bulan malam pertama munculnya bulan sabit. Berarti waktunya dua malam dari sekarang. Wahai Sri Baginda Raja di Pagaruyung. Aku insan tidak bersalah! Mengapa aku harus takut menghadapi perintahmu? Tuhan Seru Sekalian Alam. Kau Maha Mengetahui dan Maha Melihat!”
Perlahan-lahan Datuk Marajo Sati bangkit berdiri. Ternyata batu besar yang tadi didudukinya telah berubah ceguk dan hitam serta mengepulkan asap! Itulah akibat hawa amarah yang keluar tanpa disadari sang Datuk!
********************
BAB TUJUH
Ketika malam itu bulan sabit hari pertama muncul membayang putih di langit, seorang pemuda berpakaian biru gelap mengendap-endap di balik sederetan pohon ambacang, tak jauh dari sebuah rumah besar bergonjong yang terletak di pinggiran timur Kota Gadang. Mata si pemuda menatap ke arah jendela di bagian depan rumah sebelah kanan yang disebut anjungan. Sewaktu bergerak hendak berpindah ke pohon ambacang di sebelah kanan, mendadak langkah pemuda tadi tertahan.
Dada berdebar, wajah berubah pucat. Di hadapannya, hanya beberapa langkah saja ada sebuah kuburan terbuat dari batu pualam kelabu. Bulu kuduk si pemuda meregang dingin ketika telinganya tiba-tiba menangkap ada suara menyerupai orang menggembor ke luar dari kuburan. Sambil membungkuk dan melangkah mundur pemuda itu susun sepuluh jari di atas kening seraya mulut berucap perlahan, suara bergetar.
“Datuk... Datuk Indromo... Saya Pakih Jauhari. Maafkan saya. Tiada maksud hendak mengganggu ketentraman Datuk di alam arwah. Saya datang dengan maksud baik. Kalau Datuk mengizinkan, kalau Tuhan meredhoi saya masih tetap ingin...”
Datuk Indromo adalah ayah kandung Gadih Putih Seruni yang telah meninggal dunia dan dikubur di halaman dekat rumah kediamannya. Konon lelaki ini menghembuskan nafas terakhir setelah terlebih dahulu mengalami sakit akibat rasa sakit hati yang tidak berkenan atas perkawinan anak perempuannya dengan Datuk Marajo Sati.
Ucapan terputus. Si pemuda ternyata adalah Pakih Jauhari bekas kekasih Gadih Putih Seruni yang kemudian diambil menjadi istri oleh Datuk Marajo Sati cepat merapat ke batang pohon besar di sebelahnya. Di halaman kiri rumah rumah besar berkelebat seorang bertubuh tinggi besar berpakaian serba hitam. Cepat sekali dia sudah berada di tangga samping rumah, naik ke atas dan tanpa kesulitan membuka pintu lalu menghilang masuk ke dalam rumah.
Di balik pohon Pakih Jauhari berulang kali berkata. “Aku yakin... Pasti dia... Tapi mengapa tidak memakai sorban. Kepala sulah tersingkap...”
Tidak menunggu lebih lama begitu sosok tinggi besar tadi masuk ke dalam rumah gadang, Pakih Jauhari segera berlari masuk ke dalam kolong. Tepat di bawah kamar ketiduran Gadih Putih Seruni, istri Datuk Marajo Sati yang dulu pernah menjadi kekasihnya dan sampai saat ini masih sangat dicintainya. Pemuda ini berusaha mencuri dengar pembicaraan di atas rumah, namun papan lantai terlalu tebal dan jaraknya terlalu jauh.
Sementara itu di dalam rumah gadang. Di atas pembaringan Gadih Putih Seruni yang sejak beberapa hari ini memang sulit tidur memicingkan mata palingkan kepala ke arah pintu ketika telinganya mendengar suara pintu dibuka orang. Pelita minyak di dalam kamar nyala apinya memang sengaja dikecilkan.
“Ibu...” Gadih Putih Seruni menyangka ibunya yang datang. Ternyata yang masuk ke dalam kamar adalah lelaki tinggi besar yang serta merta dikenalinya.
“Seruni, ini aku. Datuk Marajo Sati. Suamimu.”
Mendengar suara orang Gadih Putih Seruni segera turun dari tempat tidur. Dia hendak membesarkan nyala api pelita minyak tapi segera dicegah oleh Datuk Marajo Sati. “Datuk...” Gadih Putih Seruni terduduk di tepi tempat tidur. Dua tangan memegang dada, wajah pucat merebak hendak menangis. Tapi dia masih bisa menahan dan keluarkan ucapan.
“Datuk... Mengapa Datuk berkeadaan seperti ini. Datang tengah malam hari seperti sembunyi-sembunyi. Mana sorban Datuk...?”
Keadaan Datuk Marajo Sati saat itu memang tidak karuan rupa. Pakaian kotor berdebu, wajah kusut dan kepala yang hampir botak tidak tertutup sorban. Datuk Marajo Sati cepat dekati istrinya, membelai rambut Gadih Putih Seruni lalu berkata,
“Aku mohon maaf, sekian lama tidak mengunjungimu. Sebagai suami dosaku terlalu besar...”
“Saya tidak memikirkan hal itu Datuk. Yang saya khawatirkan adalah diri dan keselamatan Datuk. Saya mendengar berita yang telah tersebar luas di seluruh nagari...”
“Aahh... Syukur kau sudah mengetahui hingga aku tidak perlu menceritakan apa yang telah terjadi. Tapi ada satu hal sangat perlu aku beritahukan. Semua cerita dan pergunjingan tentang diriku adalah fitnah belaka. Semua ini adalah perbuatan Pakih Jauhari, pemuda jahanam itu! Tidak bisa dia mendapatkan dirimu, aku yang dikerjainya! Bersaksi kepada Allah dan RasulNya, aku tidak pernah berbuat zinah dengan gadis Cina yang aku beri nama Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok itu! Demi Allah semua yang aku lakukan adalah untuk menolong semata. Dia dikejar dan hendak dibunuh orang yang datang memburunya dari daratan Cina, dibantu seorang tokoh silat dari Jawa serta beberapa tokoh silat di tanah Minang ini. Sekarang gadis itu entah di mana beradanya. Dibawa lari oleh Tuanku Laras dan kawan-kawannya. Aku punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan jiwa dan kehormatannya. Istriku, apakah kau bisa mempercayai diriku...?”
“Datuk...” Gadih Putih Seruni tidak bisa meneruskan ucapannya. Dua tangan ditutupkan ke wajah lalu terdengar suara tangisnya sesenggukan.
“Istriku, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Raja di Pagaruyung telah mengeluarkan perintah akan mengadili diriku melalui seorang utusan. Hal itu akan dilakukan pada bulan sabit malam ketiga di Bukit Batu Patah, di bekas Istana Pagaruyung lama. Aku tidak gentar menghadapi semuanya...”
“Kalau Raja di Pagaruyung ingin menyidik mengapa tidak dikumpulkan orang cerdik pandai dan para ulama terkemuka se-nagari dan perkaranya digelar di Balairung secara terbuka?”
“Sri Baginda Maharaja agaknya masih bertenggang rasa. Tidak mau membuat perkara ini meruyak besar. Tapi sekali lagi aku katakan. Aku tidak gentar. Karena aku tidak membekal secuil dosa dan kesalahanpun. Bumi bisa berbalik. Ranah Minang ini bisa terjungkir dan keadilan bisa saja berbalik menjauhi diriku. Mungkin aku akan dipancung atau dibuang keluar rantau. Mungkin juga aku akan jadi korban pembunuhan gelap. Jika itu terjadi, tabahkan hatimu, dekatkan diri selalu pada Tuhan dan minta pertolongan serta perlindungan dariNya. Aku pergi sekarang...”
Sekali lagi Datuk Marajo Sati membelai rambut istrinya. Lalu dia membuka jendela dan memilih keluar dengan cara melompat lewat jendela itu daripada melalui pintu dari mana tadi dia masuk. Gadih Putih Seruni tidak tahu berapa lama dia tegak tertegun di belakang jendela, memandang ke arah halaman samping yang gelap ketika tiba-tiba dia mendengar suara pintu kamar terbuka dan ada orang melangkah masuk. Kali ini pasti ibunya yang datang. Tapi ketika dia memutar tubuh dan melihat orang yang berdiri di hadapannya, berubahlah parasnya.
“Uda...” Suara Gadih Putih Seruni bergetar begitu melihat pemuda yang tegak dihadapannya. Mata terbeliak memandang tak percaya. “Sungguh berani sekali Uda datang kemari...” (Uda = Kakak)
Pakih Jauhari tidak bergerak dari tempatnya tegak. Mulut kemudian berucap. “Seruni, rupanya kau tidak senang aku datang menemuimu?”
“Bukan begitu Uda. Saya senang melihat Uda datang, tidak kurang suatu apa. Datuk Marajo Sati baru saja datang ke sini. Baru saja pergi. Kalau sampai dia melihat Uda, Uda pasti akan dibunuhnya!”
“Aku sudah tahu. Aku melihat dia masuk ke rumah itu. Seruni, keadaan diluar sana sudah sangat tegang. Raja di Pagaruyung kabarnya akan mengusut perkara memalukan yang dilakukan Datuk...”
“Datuk tadi memang bercerita begitu. Menurutnya semua ini gara-gara Uda. Uda katanya yang menebar fitnah...”
“Seruni, semua perbuatan Datuk Marajo Sati sudah diketahui orang senagari. Apa yang aku lakukan bukan fitnah tapi kenyataan. Di samping cintaku padamu yang tak mungkin hapus. Datuk Luhak Agam dan Datuk Luhak Lima Puluh Kota tengah mengejarnya. Raja di Pagaruyung telah pula turun tangan...”
“Sudahlah Uda, saya tidak mau mendengar cerita itu berpanjang lebar. Buruk atau baiknya Datuk adalah suami saya walaupun saya tidak pernah mencintainya. Sekarang katakan mengapa Uda datang malam-malam begini menyelinap menemui saya. Kalau selesai cerita Uda, lekas pergi. Saya takut Ibu terbangun dan masuk ke dalam kamar ini...”
“Seruni, aku gembira mendengar ucapanmu bahwa kau tidak mencintai Datuk Marajo Sati. Berarti diriku yang buruk ini masih ada tempat di dalam hatimu. Aku telah lama merencanakan sesuatu. Malam ini kurasa saat yang tepat untuk memberi tahu padamu. Empat hari di muka ada sebuah kapal barang akan berlayar ke tanah Jawa. Beberapa orang anak buah kapal adalah teman-temanku. Mereka bersedia membawa kita ke tanah Jawa. Sampai di tanah Jawa kita akan mencari usaha bagaimana caranya agar ada kadi atau orang tua yang bisa menikahkan kita.”
Sepasang bola mata Gadih Putih Seruni membesar. Menatap tak berkesip ke arah pemuda yang tegakdi hadapannya. “Uda, saya memang tidak pernah mencintai Datuk Marajo Sati. Dan sampai saat ini kasih sayang saya pada Uda tidak pernah pudar. Tapi apa yang barusan Uda katakan sungguh tidak berani saya melakukan. Bagaimanapun juga saya adalah masih istri syah Datuk Marajo Sati. Dosa besar akan menghadang kita dan anak keturunan kita jika kita lakukan apa yang Uda rencanakan itu. Dosa kita akan jauh lebih besar dan lebih berat dari apa yang sekarang dituduhkan orang senagari ini terhadap Datuk. Seandainya saya ini belum menikah dengan Datuk, pergi kawin lari menurutkan kata hati tetap akan saya pikir dulu masak-masak. Saya tidak ingin memberi malu nama baik keluarga, mencoreng arang dikening. Menginjak adat melanggar ajaran agama. Saya tidak ingin arwah ayah saya menjadi tidak tenteram di alam baka...” Waktu bicara sepasang mata Seruni tampak berkaca-kaca dan dadanya turun naik.
“Seruni, aku tahu kau sedang bingung karena kedatangan Datuk tadi. Mungkin juga takut. Selama aku masih berada di dekatmu jangan pernah merasa takut. Aku akan memberi waktu bagimu untuk berpikir. Jika kau menerima apa yang aku katakan, datanglah dua hari lagi ke bekas Istana Pagaruyung di Bukit Batu Patah. Datang malam hari, seorang diri. Aku akan menunggumu di sana. Di tempat itu ada seorang jalan. Mamakku yang bertugas menjaga bekas Istana itu. Dia akan membantu kita sampai kita pergi ke pesisir barat untuk berlayar...” (jalan Mamak = masih Paman)
“Maafkan saya Uda. Saya tidak berani melakukan hal itu...”
Pakih Jauhari melangkah mendekati Gadih Putih Seruni. Memeluk perempuan itu erat-erat lalu mencium keningnya. “Kekasih buah hati, belahan jiwa pengarang jantung, kutunggu kau malam dua hari lagi. Di Bukit Batu Putih. Bekas Istana Kerajaan Pagaruyung di Gudam. Jangan kecewakan hati orang yang sangat mencintaimu ini. Besok pagi, aku akan menyuruh sahabatku si Leman menjemputmu dengan kereta. Perjalanan ke Bukit Batu Patah cukup Jauh...”
“Saya tidak mengerti...” bisik Gadih Putih Seruni.
“Apa yang tidak kau mengerti Seruni?”
“Mengapa harus dua malam lagi. Dan tempatnya musti di Bukit Batu Patah...?”
“Itu tempat yang paling aman. Memangnya ada apa Seruni...?”
Gadih Putih Seruni hanya menggelengkan kepala.
“Aku pergi sekarang Seruni. Jaga dirimu baik-baik...”
Ketika Pakih Jauhari telah keluar dari kamar itu baru Gadih Putih Seruni sadar. “Seharusnya aku katakan padanya bahwa dua malam di muka Datuk Marajo Sati juga akan datang ke Bukit Batu Patah. Ah, mengapa mulut ini tak bisa bicara. Apakah... apakah aku harus memenuhi permintaan pemuda itu. Apa yang akan terjadi jika nanti bertemu dengan Datuk Marajo Sati? Mungkin aku harus menyuruh seseorang menemui pemuda itu bahwa di malam yang sama Datuk Marajo juga akan ada di sana. Bisa-bisa Pakih Jauhari juga akan diadili dengan tuduhan penebar fitnah...”
Gadih Putih Seruni telungkupkan badan di atas pembaringan. Malam itu dia tidak bisa memejamkan mata sepicingpun. Terhuyung-huyung dia baru turun dari suara Azan menggema untuk mengingatkan umat akan kewajiban bersembahyang Subuh. Dalam hati dia membatin.
“Tuhan, aku akan bersujud menghadapmu. Tolong ya Tuhan, lindungi kami semua. Beri saya ketabahan menghadapi segala cobaan ini...”
********************
Pembaca yang budiman. Saatnya kita kembali pada sang Pendekar 212 Wiro Sableng. Ketika Datuk Bandaro Putih dan Datuk Kuning Nan Sabatang menerbangkan Tengku Mudo Sagalo Duo, melesat ke udara dengan menunggang harimau sakti sementara Datuk Marajo Sati juga lenyap entah ke mana, maka murid Sinto Gendeng kini tinggal berdua dengan nenek Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Wiro memperhatikan dinding batu dekat mulut goa. Kain bersurat yang tergulung pada sebatang bambu dan menancap di dinding batu tidak kelihatan lagi. Wiro dan juga si nenek maklum kalau sebelum meninggalkan tempat itu Datuk Marajo Sati telah mengambil surat itu.
Sementara Wiro kemudian menatap ke langit memperhatikan dua harimau yang ditunggangi dua datuk melesat membawa terbang sosok dua pemuda dempet, si nenek sentakkan tangan kanan. Kain putih panjang melesat bergulung melibat pedang Al Kausar. Senjata itu disusupkan kembali ke balik punggung jubah putihnya.
Wiro masih terus menatap ke langit. Mulutnya berkata. “Tadinya kita datang ke sini untuk menjernihkan suasana. Bicara pada dua Datuk Luhak dan Datuk Pucuk. Siapa mengira kejadiannya bisa begini.”
Si nenek mengikuti arah pandangan Wiro lalu bertanya. “Menurutmu mengapa dua Datuk melarikan pemuda dempet itu? Lalu ke mana mereka hendak membawanya?”
Wiro angkat kopiah hitam yang dilingkari sorban, menggaruk kepala lalu menjawab. “Aku punya dugaan begini Nek. Dua Datuk ingin mengorek keterangan dari dua pemuda dempet di mana beradanya Tuanku Laras. Jika tahu di mana manusia muka belang itu berada berarti di situ juga ada gadis Cina yang dijuluki Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok itu. Mungkin sekali dua Datuk ingin mengetahui langsung dari gadis itu apa benar Datuk Marajo Sati telah melakukan perbuatan mesum terhadap dirinya. Lalu dua Datuk sengaja menerbangkan dua pemuda dempet, menjauhkan dari Datuk Marajo agar Datuk Marajo tidak mendengar apa yang mereka bicarakan dan mengetahui di mana keberadaan gadis Cina itu...”
“Hemmm...” Si Kamba Mancuang tersenyum bergumam. “Otakmu encer juga...”
“Bukan cuma otaknya! Tempurung kepalanya juga akan aku buat encer seperti lilin disambar api!” Tiba-tiba satu suara garang menimpali ucapan si nenek.
BAB DELAPAN
SI KAMBA Mancuang tersentak kaget. Pendekar 212 bersurut mundur sambil memegang sorban yang membungkus kopiah hitam dikepalanya.
“Oala! Pasti dia!” Ucap Wiro setengah berbisik pada Si Kamba Mancuang.
Sesaat kemudian di tempat itu muncul seorang bertubuh gemuk besar, tegak dengan kepala tertutup gulungan kain hitam menapak di tanah sementara dua kaki ke atas. Rambut, kumis dan janggut kasar menjulai. Dia hanya mengenakan celana hitam. Dada tertutup bulu lebat namun jelas kelihatan menonjol tiga buah puting susu. Sepuluh jari tangan yang mengenakan cincin batu aneka warna bergerak-gerak tiada henti. Dua telinga dicanteli anting-anting besar terbuat dari suasa. Sepasang mata yang besar memandang membehak ke arah Wiro dan si nenek. Tiba-tiba...
"Weettt! Tubuh besar gemuk itu bergerak. Kejap itu juga dia telah berdiri di atas dua kakinya.
“Inyiek! Guru!” seru Si Kamba Mancuang Tangan Manjulai.
Sementara murid Sinto Gendeng tertegun setengah melongo. Sambil dalam hati berkata. “Tewas aku! Guru nenek ini pasti akan melanjutkan niatnya membunuh diriku!”
Yang berdiri di hadapan Wiro dan Si Kamba Mancuang memang adalah tokoh silat paling ditakuti di ranah Minang yaitu Inyiek Susu Tigo yang sekaligus merupakan guru Si Kamba Mancuang.
“Kalian berdua! Mengingat apa yang telah kalian lakukan seharusnya aku bunuh kalian saat ini juga!” Inyiek Susu Tigo membuka mulut. “Tapi aku masih berbaik hati. Masih mau mengampuni.” Mata belok Inyiek Susu Tigo berputar menatap ke arah muridnya. “Kamba Mancuang! Serahkan padaku senjata curian yang terselip di punggungmu! Sesudah itu kalian berdua boleh pergi!”
“Inyiek, sebenarnya kami...”
“Pemuda gelandangan berambut seperti perempuan! Tutup mulutmu! Kau juga mencuri sorban milik Datuk Marajo Sati!” Inyiek Susu Tigo membentak Wiro ketika sang pendekar coba keluarkan ucapan.
Kamba Mancuang cepat menengahi. “Inyiek, jika Inyiek berjanji tidak akan mengapa-apa kami, denai siap menyerahkan senjata yang Inyiek minta. Senjata ini memang bukan milik denai...”
Habis berkata begitu si nenek lalu cabut pedang Al Kausar yang terselip di balik pakaian punggung pakaian. Entah mengapa sebelum diserahkan, kain putih panjang yang membalut pedang terlebih dahulu dibuka oleh si nenek. Lalu pedang dalam keadaan telanjang itu baru diserahkan pada sang guru.
Dengan cepat Inyiek Susu Tigo mengambil pedang lalu membentak. “Kalian berdua lekas lindas hapus dari hadapanku! Jika di kemudian hari aku tahu kalian masih berbuat macam-macam akan aku jadikan kalian satu macam alias kucincang sampai lumat dengan pedang ini! Lekas pergi!” (lindas hapus = menyingkir pergi)
Si Kamba Mancuang memberi isyarat pada Wiro. “Kami akan segera pergi Inyiek. Terima kasih Inyiek mengampuni kami berdua. Sebelum pergi apakah Inyiek juga inginkan sorban curian ini?” Wiro lalu buka gulungan sorban milik Datuk Marajo Sati yang melingkar di kopiah hitam di atas kepala.
Sang Inyiek menyambar sorban itu. Tapi bukan untuk diambil melainkan dibanting hingga amblas ke dalam tanah. “Sorban bau seperti ini apa perlunya bagiku!” ucap Inyiek Susu Tigo. “Kalian berdua tunggu apa lagi?!”
Dibentak begitu rupa tidak banyak bicara lagi kedua orang itu segera berlalu dari hadapan Inyiek Susu Tigo. Namun tak berapa lama kemudian tiba-tiba Wiro hentikan lari.
“Nek, aku rasa ada sesuatu yang tidak beres!” kata Pendekar 212 pula.
“Sudah, nanti saja kita bicara. Makin cepat dan makin jauh kita meninggalkan Inyiek makin baik...”
“Tunggu dulu Nek. Tidaklah kau melihat keganjilan pada diri gurumu?”
“Apa maksudmu Wiro?” tanya Si Kamba Mancuang.
“Pertama, seharusnya dia marah besar begitu melihat kita. Aku kabur dari dalam telaga. Kau ada bersamaku. Jelas kau berkhianat terhadapnya. Padahal niatnya semula jelas hendak membunuhku apapun yang terjadi...”
“Dia merasa pedang Al Kausar yang aku berikan padanya merupakan imbalan yang layak. Itu sebabnya dia tidak mengingat lagi hal itu...” berkata si nenek.
“Bisa jadi begitu,” sahut Wiro. “Tapi ada hal lain lagi. Mengapa gurumu tidak menanyakan pada kita di mana keberadaan si gendut Denok Tuba Biru. Padahal bukankah ia setengah mati jatuh hati pada gadis itu dan sudah menganggapnya sebagai istri? Kurasa gadis itu jauh lebih penting dari sebilah pedang. Gurumu bisa uring-uringan dan mati berdiri kalau tidak mendapatkan gadis berbulu ketiak panjang itu!”
(Mengenai bagaimana Inyiek Susu Tigo tergila-gila pada Denok Tuba Biru baca serial sebelumnya berjudul Fitnah Berdarah Di Tanah Agam)
Si Kamba Mancuang termenung. Selagi dia berpikir-pikir sambil menggulung kain putih yang sebelumnya dibalutkan pada pedang Al Kausar Wiro tiba-tiba memegang lengannya. “Nek, aku punya firasat buruk! Kita tidak tahu ke mana perginya gurumu. Tapi ada baiknya kita kembali ke tempat tadi dia mendatangi kita!”
Si nenek tidak berkata apa-apa melainkan mengikuti saja ditarik dan dibawa lari oleh Pendekar 212. Sewaktu tak selang berapa lama mereka sampai ke tempat tadi mereka bertemu dengan Inyiek Susu Tigo, mereka masih melihat satu kenyataan yang mengejutkan walaupun kenyataan itu kemudian segera sirna.
Di tanah tampak kepingan-kepingan aneh tubuh manusia tanpa darah, seperti kepingan patung hancur. Lalu ada robekan kain-kain hitam dan hancuran sepuluh cincin berbatu. Hanya sekejapan kemudian semua benda dalam bentuk ratusan kepingan itu berubah menjadi asap lalu lenyap dari pemandangan!
“Ilmu Bayangan Menipu Mata” ucap Si Kamba Mancuang setengah berteriak dan wajah berubah.
“Tuanku Laras! Jahanam keparat!” Wiro menyumpah.
“Berarti tadi jejadiannya yang muncul menirukan ujud guruku! Kita tertipu Wiro!”
Wiro angkat kopiah hitam lalu garuk kepala habis-habisan. Kemudian dia berusaha membujuk si nenek. “Sudahlah, tidak perlu terlalu dirisaukan. Pedang itu memang bukan milik kita.”
“Bukan soal milik siapa. Tapi jika Tuanku Laras bisa mendapatkan senjata itu kembali akan sulit bagi siapapun untuk menghadapinya!” kata si nenek pula.
“Nek aku percaya di atas langit masih ada langit lagi.”
Si nenek menatap ke langit. “Heh, aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu itu! Ayo coba kau terangkan!”
Wiro tersenyum lalu menjawab, “Artinya banyak perempuan cantik di negeri ini. Tapi yang paling cantik adalah dirimu!”
Si nenek terpekik. Tangan kiri dipukulkan ke dada Wiro. Wiro tertawa gelak-gelak. Mendadak si nenek terdiam. Parasnya yang tadi kemerahan kini berubah memutih. Dada berdebar dan dalam hati dia membatin.
“Apakah... apakah dia mengetahui siapa diriku sebenarnya? Mungkin saudara kembarku Si Kamba Pesek pernah menerangkan atau keterlepasan bicara...?”
“Nek, apa yang harus kita lakukan sekarang...”
“Jangan bicara dulu. Aku tengah memikirkan sesuatu.”
“Kau tahu dirimu cantik. Apa lagi yang perlu dipikirkan?” Wiro kembali menggoda.
Si nenek angkat ke atas tangan kanannya yang memegang kain putih bekas pembungkus pedang Al Kausar. “Inyiek pernah memberikan ilmu untuk mengikuti sebuah benda yang ada di tempat jauh. Tapi aku tidak pernah mempergunakan. Aku juga tidak tahu apa bisa aku terapkan. Dengan kain putih ini aku bisa mengetahui di jurusan mana beradanya pedang Al Kausar karena sebelumnya kain ini telah bersentuhan dengan senjata itu!”
“Hebat!” Puji Wiro. Pinggang si nenek dipeluk lalu tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke atas.
Si nenek tidak berusaha menurunkan diri ke tanah. Dia berkata, “Tapi butuh waktu. Paling tidak lebih dari satu hari satu malam.”
“Kalau begitu lakukan sekarang! Kita cari tempat yang baik.”
Wiro turunkan Si Kamba Mancuang ke tanah. Begitu diturunkan dia langsung mencium pipi dan leher berulang-ulang hingga si nenek terpekik kegelian. Di saat itu, seperti yang pernah dialami sebelumnya walau sekilas Wiro kembali melihat perubahan pada wajah dan raut tubuh si nenek.
“Seperti dulu, paras dan tubuhnya berubah jika aku peluk dan aku cium. Berarti jika ada rangsangan. Kalau nenek ini sebangsa mahluk jejadian, bisa-bisa aku celaka di kemudian hari...”
“Wiro, kau keterlaluan. Kalau ada orang yang melihat...” Si nenek berkata sambil palingkan wajah ke arah lain, tak berani menatap sang pemuda.
“Bukan aku yang keterlaluan Nek.”
“Lalu siapa?”
“Langit!” jawab murid Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.
Si nenek kernyitkan hidung dan selanjutnya hanya bisa mengulum senyum.
********************
Bukit Batu Patah di Gudam. Merupakan sebuah bukit yang dianggap keramat karena di sinilah dulu berdirinya satu bangunan besar yang disebut Rumah Gadang Nan Sambilan Ruang, yakni Istana pertama Kerajaan Pagaruyung. Konon sampai bukit ini diberi nama Bukit Batu Patah dikarenakan di salah satu lerengnya terdapat dua buah batu besar dalam keadaan terpisah seperti patah dan menurut cerita dulunya utuh bersambung menyatu. Meski telah lama ditinggalkan namun bekas bangunan istana itu masih dipelihara dan dijaga oleh seorang lelaki tua bekas perajurit Kerajaan.
Matahari belum tenggelam langit masih benderang dan tentu saja bulan sabit hari ketiga masih jauh dari saat kemunculannya. Dari arah kaki bukit seorang berpakaian dan berikat kepala biru memacu kuda ke lereng bukit. Kuda yang sudah berlari kencang itu masih dicambuk dengan tali kecil agar berlari lebih kencang, agar sampai lebih cepat ke tujuan yakni bukan lain bangunan bekas Istana di lereng bukit sebelah timur.
Orang di atas kuda adalah Pakih Jauhari. Sesuai pintanya pada Gadih Putih Seruni yang merupakan istri Datuk Marajo Sati si pemuda akan menunggu kedatangan kekasihnya itu di bekas bangunan Istana. Dia khawatir terlambat datang. Namun ketika sampai di lereng bukit sebelah timur dia tidak melihat kereta atau pedati. Berarti dia tidak terlambat. Sang kekasih belum sampai. Mudah-mudahan masih dalam perjalanan dan akan segera datang. Begitu melompat turun dari kuda, tanpa menambatkan binatang itu lebih dulu Pakih Jauhari langsung menaiki tangga di samping kanan bangunan. Sampai di atas rumah dia berteriak memanggil.
“Mamak! Mamak Jambek! Saya Pakih sudah datang. Di mana Mamak?” (Mamak = Paman)
Tak ada orang di dalam rumah besar yang lantai dan dinding papannya sudah mulai lapuk. Tak ada suara jawaban. Pakih Jauhari memeriksa di sembilan ruangan namun sang paman tidak ditemukan. Akhirnya pemuda ini keluar dari rumah, turun ke halaman. Dia mencari ke sumur besar dihalaman belakang, memeriksa sekitar bangunan tempat tabuh diletakkan (tabuh = beduk) sang Paman masih belum ditemukan. Pakih Jauhari pindah ke halaman depan rumah besar di mana terdapat tiga buah rangkiang. (rangkiang = tempat penyimpanan/lumbung padi)
Sementara itu cahaya sang surya mulai meredup pertanda akan segera masuk ke ufuk tenggelamnya. Rangkiang pertama dilewati, begitu juga rangkiang kedua. Ketika Pakih Jauhari bergerak ke rangkiang ketiga di paling ujung kiri darahnya tersirap. Di bawah kolong rangkiang Pakih Jauhari melihat satu sosok tergeletak. Pemuda ini segera berlari mendekati dan berteriak keras ketika mengenali sosok itu adalah sosok paman yang tengah dicarinya.
Lelaki yang telah berusia hampir tujuh puluh tahun ini tergeletak dengan mata nyalang menatap ke langit. Baju putih lengan panjang tampak robek besar dan basah merah oleh darah! Di bawah robekan baju yaitu di bagian dada melintang satu luka memanjang.
“Paman Jambek! Apa yang terjadi! Siapa yang melakukan perbuatan kejam ini!” Pakih Jauhari jatuhkan diri ke tanah, cepat meletakkan kepala pamannya di atas paha dan kembali berteriak. Mulut orang tua yang sejak tadi terkancing membuka sedikit. Suaranya antara terdengar dan tiada ketika menyebut nama Allah.
“Allahu Akbar... Lailla... Haillallah. Mataku kabur, aku tidak bisa melihat. Tapi aku mengenali suaramu. Pakih Jauhari anakku, benar kau yang datang?”
“Benar mamak, ini saya Pakih Jauhari...” jawab si pemuda. “Katakan apa yang terjadi. Siapa...”
“Pakih... si... siang tadi ada or... orang datang. Mukanya berbulu putih dan hitam. Dia... dia memaksaku menunjukkan di mana satu... satu pet... peti emas disembunyikan. Aku tidak tahu perihal emas yang dikatakannya. Dia berkata ada orang me... menyimpan satu peti emas di sini. Aku pasti tahu. Aku tidak tahu. Aku tidak bi... bisa menjawab. Di... dia tidak percaya. Dia lalu meng... aniaya diriku. Aku melawan. Ilmu silatnya tinggi... tinggi sekali. Terakhir sekali dia menca... but sebilah pedang...”
“Mamak, beritahu pada saya siapa adanya orang itu...”
Sepasang mata Mamak Jambek yang menatap nyalang tampak memudar. “Aku tidak tahu Pakih. Dia mengenakan destar dan pakaian hit... am. Dia membawa sebilah pe... pedang sakti terbuat dari perak. Dia... Pakih, saatnya sudah dekat...”
“Mamak... apakah Seruni sudah datang ke sini...?”
Mulut sang paman hanya terbuka menganga. Tak ada lagi suara yang keluar. Pakih Jauhari menggerung keras. “Pembunuh durjana! Akan kucari kau sampai dapat! Akan aku bunuh! Akan aku cincang!”
“Anak muda bermulut besar. Aku pembunuh Mamakmu sudah ada di sini! Aku mau lihat bagaimana caramu mencincang diriku!”
Tiba-tiba ada yang bicara. Pakih Jauhari kaget luar biasa. Ketika berpaling dia melihat lelaki tinggi besar berdestardan berpakaian hitam. Wajahnya tertutup bulu. Bulu hitam di sebelah kanan, bulu putih di sebelah kiri.
“Kau! Kau pasti Tuanku Laras Muko Balang! Manusia durjana!” Pakih Jauhari berteriak marah.
Kepala paman yang dipangku diletakkan di tanah lalu Pakih Jauhari melompat. Secepat kilat tangannya menyambar ke arah pinggang orang di depannya. Maksudnya hendak merampas pedang Al Kausar yang tergantung di pinggang orang. Namun sambaran si pemuda yang hanya berbekal silat kampung dengan mudah dapat dihindari dan sebaliknya dia harus menerima satu jotosan dari lawan yang memang Tuanku Laras Muko Balang adanya.
Pakih Jauhari mengeluh kesakitan. Darah mengucur dari hidung yang dihantam pukulan. Selagi dia terhuyung-huyung, Tuanku Laras Muko Balang sudah mencekik lehernya lalu tubuh pemuda ini diangkat tinggi-tinggi ke udara.
“Kalau Mamakmu tidak tahu di mana peti berisi emas itu disembunyikan, kau pasti tahu! Lekas bicara!”
Sepasang mata Pakih Jauhari membeliak besar. Mulut ternganga dan lidah terjulur. Nafas megap-megap sementara darah masih meleleh keluar dari hidung. Kepala berusaha digeleng-geleng pertanda dia juga tidak tahu mengenai peti berisi emas yang ditanyakan.
“Brukkk!” Tuanku Laras Muko Balang bantingkan pemuda itu ke tanah. Untuk beberapa lama Pakih Jauhari terkapar nanar. Sekujur tulang di bagian belakang tubuhnya seolah remuk. Ketika dia berusaha bangkit dan duduk di tanah tahu-tahu ujung pedang yang runcing sudah menempel di tenggorokan.
“Aku memberi kesempatan sekali lagi padamu! Ada orang menyembunyikan satu peti emas di bekas bangunan Istana. Mungkin juga dikubur di halaman sekitar bangunan. Kau pasti tahu dan mau mengatakan. Atau nasibmu akan sama celaka seperti Mamakmu!”
Muka pucat Pakih Jauhari, basah oleh keringat ketakutan. Tenggorokan dan dada turun naik. Mata mendelik. “Ampun, ambo tidak tahu. Ambo...!” (Ambo = Saya)
“Pemuda keparat! Susul Mamakmu di narako!” Tangan Tuanku Laras Muko Balang yang memegang gagang pedang Al Kausar bergerak.
Saat itulah tiba-tiba berkelebat tiga bayangan. Salah seorang diantaranya berseru. “Tuanku Laras! Jangan bunuh pemuda itu! Seperti pamannya dia memang tidak tahu apa-apa tentang peti emas itu!”
Tuanku Laras Muko Balang terkesiap sebentar. Perlahan-lahan dia tarik pedang Al Kausar lalu berpaling. Mulutnya menyerukan seringai pencong. “Bagus! Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu betul di mana beradanya peti berisi emas itu!” Mulut Tuanku Laras Muko Balang berucap. Kaki kiri bergerak menendang.
“Bukk!” Pakih Jauhari terpental muntah darah. Terguling di tanah. Megap-megap antara sadar dan pingsan.
Sementara itu udara mulai agak gelap. Di langit bulan sabit malam ketiga telah muncul memperlihatkan diri.
********************
BAB SEMBILAN
TIGA orang yang muncul di halaman bekas Istana lama Kerajaan Pagaruyung adalah Ki Bonang Talang Ijo yang kini tidak lagi mengenakan blangkon hijau, Perwira Muda Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Setelah Tuanku Laras kabur meninggalkan mereka begitu saja sambil membawa gadis Cina Chia Swie Kim alias Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok, ke tiga orang itu berunding apa yang akan mereka lakukan.
Secara berbisik-bisik Ki Bonang mengusulkan pada Teng Sien agar mereka segera menuju ke bangunan Istana lama di Bukit Batu Patah di mana sebelumnya satu peti emas telah disembunyikan. Sebaliknya Teng Sien yang tidak pedulikan benda berharga itu merasa lebih penting mendahulukan mencari dan menemukan Chia Swie Kim. Setelah Pandeka Bumi Langit diajak ikut berunding akhirnya ke tiga orang itu sepakat akan melakukan perjalanan ke Bukit Batu Patah sembari di tengah jalan menyelidiki mencari jejak Tuanku Laras Muko Balang.
Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik membawa kedua orang itu ke beberapa tempat yang diduga kemungkinan berada dan bersembunyinya Tuanku Laras. Namun dua hari berlalu tanpa hasil. Karena sudah berada cukup dekat dengan Bukit Batu Patah akhirnya Teng Sien menyetujui usul Ki Bonang untuk segera saja lebih dulu memeriksa keberadaan satu peti emas yang disembunyikan sebelumnya di tempat itu, Mereka sampai di permulaan malam.
Ketika tiba di bekas bangunan Istana lama Kerajaan Pagaruyung, kejut Ki Bonang dan Perwira Muda Teng Sien bukan alang kepalang melihat Tuanku Laras Muko Balang berada di tempat itu.
“Dia membunuh Jambek Magang penjaga bangunan Istana. Sekarang hendak membunuh pula kemenakannya. Heran, dari mana dia mengetahui kalau emas yang satu peti itu disembunyikan di kawasan ini?” bisik Ki Bonang pada Teng Sien.
“Rahasia bisa saja bocor,” jawab Teng Sien. “Saat ini aku ingin sekali menabas batang lehernya,” jawab Teng Sien. “Tapi dia datang sendirian. Di mana dia meninggalkan Chia Swie Kim? Celaka besar kalau dia telah membunuh gadis itu.”
“Tuanku Laras tidak akan membunuh gadis itu. Karena dia ingin memperistrikannya. Dia pasti menyembunyikan di satu tempat,” jawab Ki Bonang.
Di samping kedua orang itu Pandeka Bumi Langit berkata, “Ki Bonang kita harus menyelamatkan pemuda itu. Dia hendak dibunuh padahal tidak punya kesalahan.”
Maka ketiga orang itu melompat ke hadapan Tuanku Laras sambil Ki Bonang mengeluarkan seruan agar Tuanku Laras tidak membunuh Pakih Jauhari. Seruan Ki Bonang disambut Tuanku Laras dengan seringai pencong disusul ucapan.
“Bagus! Sekarang aku bicara dengan manusia-manusia yang tahu betul di mana beradanya peti berisi emas itu!”
“Tuanku Laras. Mengenai emas itu pasti akan menjadi bagian kita bersama jika gadis Cina itu sudah diserahkan pada Perwira Muda ini. Kami tidak punya maksud untuk menipu Tuanku Laras. Kecuali jika Tuanku Laras berniat serakah hendak memilikinya sendiri!” Menjawab Ki Bonang.
“Kepalamu yang hancur, matamu yang remuk pasti membuat telingamu telah menjadi tuli! Ki Bonang! Apa kau tidak mendengar?! Berapa kali sudah kukatakan. Emas itu lebih dulu baru gadis Cina aku serahkan!”
Teng Sien geleng-gelengkan kepala. Tangan kanannya diletakkan di gagang golok besar yang terselip di pinggang. Dalam bahasa Cina dia berkata pada Ki Bonang. “Aku tidak percaya monyet muka belang ini. Aku ingin membunuh manusia satu ini sekarang juga!”
“Sabar perwira. Kita harus mencari upaya yang terbaik agar Chia Swie Kim selamat, kau mendapatkan Kupu Kupu Giok dan emas itu tidak diserakahi jahanam itu seorang diri...”
Habis membujuk sang perwira Muda Teng Sien Ki Bonang lalu berkata pada Tuanku Laras Muko Balang. “Tuanku Laras, apapun yang terjadi di antara kita sebaiknya dilupakan dulu. Dalam perjalanan ke sini kami melihat ada sebuah kereta dikawal oleh prajurit Kerajaan Pagaruyung dari Istana Baso. Pasti sekali mereka tengah menuju ke sini. Ada gerakan apa...”
“Setan atau iblis sekalipun yang datang berkereta ke tempat ini apa perduliku!” Bentak Tuanku Laras memotong ucapan Ki Bonang.
“Kalau begitu silang sengketa antara kita tidak bisa lagi dihindari! Kalau hidup, hidup bersama. Kalau mati, mati semua!”
Tuanku Laras tertawa gelak-gelak. Dia menunjuk ke arah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik lalu keluarkan ucapan. “Pandeka! Kau berada di pihak mana?! Jika berada di pihakku lekas berdiri di sebelahku! Bunuh kedua jahanam ini!”
Pandeka Bumi Langit tertawa. “Ketika di gua di Bukit Siangok kau menyangka aku tertidur pulas. Padahal aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Ki Bonang. Saat itu kau berkata bahwa untukku cukup tambahan satu batang emas saja. Jika aku menolak maka kau juga akan menghabisi diriku sebagaimana kau hendak membunuh Perwira Cina itu! Apakah Tuanku Laras masih perlu bertanya di pihak mana aku berada?!”
Tuanku Laras pencongkan mulut. “Orang bodoh memang lebih baik memilih mampus lebih dulu!” Sambil berucap Tuanku Laras Muko Balang berkelebat ke arah Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik. Pedang Al Kausar di tangan kanan menderu ganas. Cahaya putih berkiblat di udara yang temaram.
Dengan gerakan cepat Pandeka Bumi Langit melompat mundur. Sambil melompat dia loloskan kain sarung yang menyilang di bahu. Ketika lawan lancarkan serangan jurus kedua Pandeka Bumi Langit kebutkan kain sarung ke udara. Selagi kain sarung membuntal berputar mengeluarkan suara bergemuruh disertai sapuan angin deras, Pandeka Bumi Langit membungkuk dan kaki kanan menyapu menyambar tulang kering kaki kiri Tuanku Laras. Inilah jurus yang disebut Kincir Berputar Alu Menumbuk.
“Brett... breett!” Kain sarung robek besar. Tuanku Laras berseru kaget ketika kaki kanan lawan masih sempat menepis kaki kirinya hingga tubuhnya sedikit terhuyung.
Melihat Tuanku Laras agak hilang keseimbangan dengan nekat Pandeka Bumi Langit menyerbu dengan ilmu silat sitaralak dalam jurus bernama Bumi Dibawah Langit Diatas. Tangan kiri berkelebat ke arah dagu sedang tangan kanan menghantam ke bagian perut. Kalau dua serangan itu sempat mengenai sasaran maka dagu Tuanku Laras akan remuk, tulang leher bergeser dan di sebelah bawah perut bisa terbongkar!
Kenekatan Pandeka Bumi Langit membuat dia lupa bahwa lawan yang dihadapinya adalah seorang tokoh silat besar dengan ketinggian ilmu hampir dua tingkat di atasnya. Itu jika Tuanku Laras mengandalkan tangan kosong. Namun saat itu dia menggenggam pedang sakti Al Kausar yang membuat tingkat kehebatannya menjadi lebih dari dua kali dari kehebatan Pandeka Bumi Langit.
Sebelum dua pukulan sitaralak sempat menyentuh dagu dan perut Tuanku Laras, seperti memiliki mata pedang Al Kausar bergerak aneh, menebas ke arah dua tangan lawan. Kalaupun Pandeka Bumi Langit sanggup mengelak maka tetap saja salah satu tangannya akan kena ditebas putus!
Ki Bonang berseru tegang, Perwira Teng Sien yang memang sudah sangat jengkel dan benci terhadap Tuanku Laras Muko Balang segera cabut golok besar di pinggang lalu secepat kilat dilempar ke arah orang yang mukanya ditumbuhi bulu hitam putih itu.
“Aha! Sekarang ada dua orang yang minta mati cepat! Teng Sien tunggu giliranmu!” Tuanku Laras berteriak. Pedang Al Kausar yang dipegangnya terus menderu ke arah tangan Pandeka Bumi Langit sementara tangan kiri yang memegang sarung pedang dipergunakan untuk menangkis mental serangan golok Teng Sien.
Seperti yang sudah diduga, Pendeka Bumi Langit memang hanya mampu selamatkan salah satu dari dua tangannya. Ketika Pedang Al Kausar siap menebas putus tangan kirinya tiba-tiba terdengar suara berdesir. Sebuah benda panjang yang ternyata adalah kain putih melesat di udara laksana seekor ular terbang. Dengan cepat kain putih itu melibat pedang Al Kausar.
“Bukkk!” Pedang yang seharusnya membabat putus tangan kiri Pandeka Bumi Langit, karena sudah tergulung kain putih kini tak lebih dari sebuah pentungan. Apa lagi sebelum melesat di udara seseorang telah mengisi kain itu dengan tenaga dalam hingga sanggup menahan ketajaman mata pedang sakti.
“Kraakk!” Pandeka Bumi Langit menjerit keras. Lengan kirinya patah. Itu adalah lebih baik daripada putus! Menahan sakit hingga tubuhnya bergetar, Pandeka Bumi Langit jatuhkan diri lalu bergulingan di tanah menjauhi Tuanku Laras.
Dalam keterkejutan, semua orang berpaling ke arah datangnya kain putih panjang tadi. Mereka melihat dua orang berkelebat mendatangi. Keduanya ternyata adalah pemuda berambut seperti padusiyaitu Pendekar 212 Wiro Sableng ditemani Si Kamba Mancuang. Ternyata si nenek ini dengan ilmu yang dipelajarinya dari gurunya Inyiek Susu Tigo, walau menghabiskan waktu satu hari satu malam, dengan kain putih yang pernah bersentuhan dengan pedang Al Kausar berhasil menjajagi dan menunjukkan di mana beradanya Tuanku Laras Muko Balang.
Secara kebetulan hal itu terjadi pada malam bulan sabit hari ke tiga, bersamaan dengan kedatangan Pakih Jauhari, Ki Bonang, Teng Sien dan Pandeka Bumi Langit Dari Sumanik ke Bukit Batu Patah yang hendak memeriksa keberadaan satu peti yang disembunyikan jauh hari sebelumnya.
“Ki Bonang!” Tiba-tiba TuanKu Laras berteriak. “Tadi kau mengatakan ada rombongan Kerajaan yang tengah menuju ke sini! Ternyata yang datang adalah kapuyuak muda dan cigak gaek ini!” (kapuyuak=kecoak) (cigak gaek=beruk/monyet tua)
Tiba-tiba di kejauhan terdengar deru suara detak roda kereta dan hentakkan kaki-kaki kuda. Lalu ada suara orang berteriak menyahuti ucapan Tuanku Laras tadi.
“Siamang bermuka belang! Bersabarlah sedikit! Orang yang hendak diadili belum kelihatan di tempat ini. Perlu apa kami datang terburu-buru! Rupanya kau sudah siap-siap menjadi saksi!” (Siamang = monyet besar biasanya berbulu hitam).
Disebut Siamang bulu diwajah Tuanku Laras berjingkrak kaku saking marahnya. “Pedang sakti, coba berikan sambutan selamat datang pada orang bermulut kurang ajar itu!”
“Wuuut!” Tuanku Laras Muko Balang lemparkan pedang Al Kausar ke udara. Senjata sakti ini serta merta menderu berputar-putar dan melesat laksana kilat ke arah datangnya suara orang yang berteriak tadi.