Cinta Tiga Ratu

Wiro Sableng. Cinta Tiga Ratu
Sonny Ogawa

Cinta Tiga Ratu


BAB SATU

DI bawah badai dahsyat yang melanda kawasan laut utara, Datuk Api Batu Neraka, salah seorang tokoh silat kepercayaan Ratu Laut Utara sampai di selatan Pulau Karimunjawa. Dia datang bersama Ning Kameswari, seorang gadis cantik yang merupakan pembantu Ratu Laut Utara sekaligus kekasih gelap sang Datuk.

Mereka sengaja mencari bagian pantai yang agak ketinggian agar dapat melihat jelas keadaan di sekitarnya. Walau badai membuncah dan matahari belum muncul di ufuk timur namun terpisah sekitar dua puluh langkah di hadapannya sang Datuk dapat melihat dua orang berada di tepi pasir, di bagian pantai yang dangkal.

"Dua orang itu, kau mungkin tidak kenal mereka. Tapi aku tahu mereka adalah Bujang Gila Tapak Sakti dan Bidadari Angin Timur" kata Datuk Api Batu Neraka pada Kameswari.

Orang tua bersorban dan berjubah putih ini mempunyai mulut lebar mulai dari bawah kuping kiri sampai kuping kanan. Tenggorokan selalu bergerak-gerak seperti dia tengah menelan sesuatu. Urat leher menyembul merah.

"Kameswari sekarang saatnya kau pergi. Lakukan apa yang aku katakan. Tapi awas, jangan membuat aku cemburu. Begitu tubuh si gendut itu panas kelojotan kau lekas kembali ke sini. Aku akan menyambung pekerjaanmu. Sebentar lagi Sri Paduka Ratu akan muncul untuk menantang dan memancing Bidadari Angin Timur..."

"Aku siap pergi Datuk." jawab Ning Kameswari.

Kedua orang ini telah lama melakukan hubungan mesum. Sebagai imbalan Kameswari mendapatkan hadiah berupa barang-barang berharga dalam bentuk perhiasan dan lain sebagainya.

"Setelah semua urusan ini selesai, kita akan tinggal beberapa hari di pulau ini untuk bersenang-senang. Aku sudah meminta izin dari Ratu Laut Utara. Apakah kau suka?"

Tentu saja aku suka, Datuk. Jangankan beberapa hari, satu bulan purnama penuhpun aku akan senang melayanimu. Asalkan kau tidak lupa memberiku hadiah. Kali ini tentu lebih banyak dari yang sudah-sudah," kata Ning Kameswari pula sambil mengelus-elus janggut putih Datuk Api Batu Neraka yang diikat menjadi satu dengan rambut dan kumis.

Datuk tua tertawa girang. Sambil tangan kiri mengusap-usap belakang pinggul Kameswari dia berkata. "Hadiah lebih banyak. Berarti tentunya kau akan melayaniku jauh lebih hebat dari yang sudah-sudah!”

Kedua orang itu sama-sama tertawa. Datuk Api Batu Neraka cium wajah Kameswari berulang kali lalu berkata. “Sebelum pergi coba aku periksa dulu tabung yang kau bawa.”

Ning Kameswari ambil sebuah tabung bambu yang tergantung di pinggangnya. Datuk Api Batu Neraka membuka kain tebal penutup tabung. Hawa panas menebar keluar dari dalam tabung disertai membersitnya cahaya redup kebiruan. Si orang tua Jauhkan sedikit wajahnya dari mulut tabung lalu memperhatikan.

Dalam kegelapan dia masih bisa melihat tujuh ekor kalajengking biru bergerak-gerak di dalam tabung. Umumnya kalajengking berwarna hitam. Warna biru merupakan pertanda bahwa tujuh binatang itu merupakan kalajengking jenis langka dan memiliki racun yang sangat jahat.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Bujang Gila Tapak Sakti berada di dalam laut sampai sebatas bahu. Kopiah hitam kupluk dibenam dalam-dalam di atas kepala agar tidak diterbangkan badai. Kipas kertas kesayangan disimpan di bawah kopiah Hu. Di belakangnya si cantik berambut pirang Bidadari Angin Timur berdiri menempelkan dua telapak tangan ke punggung pemuda gemuk itu.

"Gendut, aku sudah siap..." Berkata Bidadari Angin Timur.

"Aku Juga! Awas, jangan ada niat mau main-main dalam otakmu. Kita tengah menghadapi urusan besar. Kalau bukan lawan maka kita yang akan jadi bangkai!" Jawab Bujang Gila Tapak Sakti Pemuda bertubuh gemuk dengan berat ratusan kati ini segera pancarkan tenaga dalam yang berpusat di pusar.

Sementara di belakangnya Bidadari Angin Timur mulai menyalurkan seluruh tenaga dalam yang ada ke tubuh Bujang Gila Tapak Sakti sehingga kekuatan tenaga dalam dan hawa sakti yang ada di tubuh si gendut itu Jadi berlipat ganda dan bukan olah-olah hebatnya.

"Dess! Desss! Dess!"

Asap kelabu yang menebar hawa luar biasa dingin mengepul keluar dari telinga, hidung dan mulut Bujang Gila Tapak Sakti. Sementara hawa dingin yang keluar dari dalam tubuh pemuda sakti itu menderu dahsyat. Bukan saja menahan terpaan badai tapi sekaligus mengalir masuk ke dalam air laut, turun ke bawah jauh mencapai dasar samudera dimana terletak Istana Kerajaan Bawah Laut Ratu Laut Utara.

Bangunan Istana yang terbuat dari batu pualam diseling batu karang hitam laksana dibenam dalam gumpalan es. Gundukan-gundukan putih menyerupai salju menyelimut dimana-mana terutama di bagian atap yang memiliki tiga menara. Ribuan ikan melesat ke permukaan mencari selamat dan berenang menjauhi kawasan itu. Ratusan diantara ikan-ikan itu dilempar gelombang, bertebaran di pantai, menggelepar sebelum menemui ajal.

Siapapun mahluk yang ada dalam Istana Bawah Laut dan tidak sanggup melawan hawa dingin akan segera menemui kematinn kalau tidak cepat-cepat naik selamatkan diri ke permukaan air laut. Puluhan pengawal dan pelayan Istana berenang ke atas untuk cari selamat. Kebanyakan dari mereka menemui ajal secara mengenaskan. Di pantai ratusan bangkai ikan bertumpukan bercampur dengan belasan mayat manusia!

Mahluk Jin Durna Rawana peliharaan dan pembantu Ratu Laut Utara mengusap kepala botaknya berulang kali. Saat itu dia duduk di atas salah satu dari tiga menara Istana tengah berjaga-jaga sesuai perintah Ratu Laut Utara. Dia satu-satunya orang Ratu Laut Utara yang masih ada di tempat itu. Mahluk yang Sekujur tubuhnya berwarna kuning dan tertutup bulu lebat serta memiliki tiga buah mata ini mulai merasa gelisah.

Kegelisahan itu bukan saja karena adanya hawa dingin aneh yang mencucuk masuk ke dalam tubuhnya tapi juga karena di atas sana dia tidak lagi mendengar suara tiupan seratus anak buahnya yang diperintahkan menciptakan badai. Sementara getaran badai yang sampai ke tubuhnya terasa mengendur.

Jin bertubuh raksasa yang hanya mengenakan cawat ini alirkan hawa panas ke seluruh tubuh sampai ke kepala. Namun apa yang dilakukannya tidak mampu menolak hawa dingin yang menyerang semakin hebat. Rahang bergemeletukan, dua taring basah merah bergetar.

"Apa yang terjadi dengan diriku. Air laut berubah jadi sangat dingin Aneh! Lebih aneh lagi aku tidak mampu melawan hawa dingin itu. Di atas sana, aku tidak mendengar seratus anak buahku meniup badai. Apa yang terjadi dengan mereka?"

Tidak menunggu lebih lama Jin Durna Rawana segera melesat naik ke permukaan laut. Di dalam gelap dia tidak melihat seorangpun dari seratus anak buahnya. Yang tampak ratusan bangkai ikan mengapung lalu beberapa mayat manusia dan selanjutnya, ini yang mengagetkan Durna Rawana. Dia melihat puluhan benda putih sebesar batangan pohon pisang mengapung di permukaan laut. Penuh curiga Durna Rawana hampiri satu benda putih yang paling dekat. Dia meraba. Tangannya tersengat hawa dingin luar biasa.

"Gumpalan es! Menyerupai sagu atos! Apa yang ada di dalam gumpalan ini. Jangan-jangan..." Durna Rawana yang merasa curiga segera hantamkan tangan kanannya.

"Braakk!" Benda putih hancur berentakan laiu leleh masuk ke dalam laut Begitu gumpalan putih hancur maka menyembul sosok anak buahnya. Jin bertubuh seukuran manusia bertubuh pendek, berkepala botak, bermata merah dan bermulut tebar. Sosok jin ini menggeliat satu kali, keluarkan suara mengering lalu semburkan cairan dari mulut. Tubuh mengepulkan asap merah. Sesaat kemudian ujud dan asap lenyap dalam kegelapan.

"Kurang ajar! Ada orang sakti membunuh peliharaanku dengan hawa dingin! Bangsat! Aku mau tahu siapa jahanamnya!"

Durna Rawana bertindak cepat. Semua benda putih yang mengapung di permukaan laut dihancurkan. Ternyata benda putih ini adalah semua anak buahnya yang telah dibalut es. Dari seratus jin hanya enam puluh dua orang yang bisa diselamatkan hidup-hidup. Sisa tiga puluh delapan tidak tertolong, menemui kematian, berubah jadi asap merah lalu lenyap ditelan kegaiban Kepada yang masih hidup Durna Rawana berteriak.

"Kalian semua lekas menghilang! Lakukan tiupan badai dari alam gaib! Aku akan mencari siapa bangsat yang membunuh kawan-kawan kalian!"

Mendengar perintah pimpinan mereka enam puluh dua jin keluarkan suara seperti anjing meraung lalu tubuh mereka hampir bersamaan lenyap dari pandangan mata. Tak lama kemudian badai yang tadi mulai mereda kini kembali menderu hebat walau tidak sedahsyat sebelumnya.

Niat Jin Durna Rawana untuk mencari siapa yang membantai tiga puluh delapan anak buahnya terhalang karena Datuk Api Batu Neraka yang datang menemuinya memerintah agar dia segera kembali ke dasar laut untuk menjaga Istana. Walau marah namun Durna Rawana terpaksa mematuhi karena di Kerajaan Bawah Laut Ratu Laut Utara kedudukannya memang berada di bawah Datuk Api Batu Neraka.

Sebenarnya Durna Rawana sudah lama membenci sang Datuk. Apa lagi diam-diam dia juga menaksir Ning Kameswari. Namun yang bisa dilakukannya sampai sebegitu Jauh hanya men-dendam dan mengeluarkan ancaman di dalam hati.

********************

BAB DUA

Badai yang oleh Nyi Roro Manggut disebut sebagai badai setan masih terus menggila. Disebut badai setan karena diciptakan oleh mahluk jin bernama Durna Rawana peliharaan Ratu Laut Utara yang memiliki seratus anak buah. Durna Rawana memerintahkan mereka muncul ke permukaan laut. Setelah merapal mantera maka seratus jin meniup. Saat itu juga di tengah laut utara menderu badai dahsyat, laut dibuncah gelombang luar biasa besar dan tinggi, menggemuruh menyapu ke arah pantai.

Beberapa penampungan nelayan yang terletak sepanjang pantai utara porak poranda. Penduduk berlarian ketakutan menyelamatkan nyawa. Belum pernah mereka mengalami kejadian mengerikan seperti ini. Belasan perahu penangkap ikan beserta nelayan yang ada di atasnya lenyap amblas tak berbekas, ditelan gelombang, masuk ke dalam laut.

Telah dituturkan sebelumnya dalam sertai Wiro Sableng bejudul Badai Laut Utara bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Ratu Duyung sampai di pantai laut utara dalam mengejar pencuri Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru.

Petunjuk dalam cermin sakti menyatakan bahwa mahluk yang mencuri batu sakti itu yakni Nyai Tumbal Jiwo alias Ratu Duyung jejadian telah menemui ajal dan batu milik Nyai Roro Kidul itu kini berpindah tangan. Melihat arah lenyapnya batu mustika terjadi di kawasan laut utara Ratu Duyung dapat memastikan bahwa batu tersebut kini berada di bawah kekuasaan Ratu Laut Utara.

Untuk mendatangi Kerajaan Bawah Laut Ratu Laut Utara guna mengambil batu sakti dari tangan Sang Ratu penguasa tidak mudah. Selain Ratu Laut Utara memiliki ilmu kesaktian tinggi dia juga mempunyai banyak pembantu sakti mandraguna termasuk Jin Durna Rawana yang punya seratus anak buah.

Setelah melakukan samadi untuk berhubungan langsung dengan Ratu Agung Nyai Roro Kidul Penguasa Laut Selatan, Ratu Duyung mendapat petunjuk bahwa satu-satunya cara untuk dapat menerobos masuk ke dalam Kerajaan Bawah Laut Utara Wiro harus menerapkan Ilmu Meraga Sukma yang didapatnya dari Nyai Roro Kidul melalui nenek sakti Nyi Roro Manggut.

Ternyata Ratu Laut Utara yang kini memiliki seorang pembantu berkepandaian tinggi yakni Purnama, berhasil mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Bersama Purnama yang telah dibuat menjadi pengikutnya dibawah tenung sirapan Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati Ratu Laut Utara melesat kepermukaan laut, bergerak ke arah pantai dimana murid Sinto Gandeng tengah duduk bersila menerapkan Ilmu Meraga Sukma.

Wiro memang berhasil mengeluarkan sukmanya dan masuk ke dalam laut utara namun hanya beberapa saat setelah hal Hu dilakukan Ratu Laut Utara didampingi Purnama sampai di tepi pantai tempat dimana raga kasar sang pendekar berada. Sang Ratu yang telah membawa senjata penangkal yakni sebilah bambu kuning sepanjang tiga jengkal berujung runcing secepat kilat menancapkan bambu itu ke leher Wiro. Ratu Duyung berusaha mencegah tapi terlambat.

"Craass!" Ratu Duyung terpekik. Bambu kuning menancap amblas, masuk di leher kiri, tembus ke leher kanan Pendekar 212! Anehnya tidak ada darah mengucur. Tak ada Jerit kesakitan keluar dari mulut Wiro. Namun kejap itu juga, tubuhnya kehilangan bobot. Laksana daun kering sambaran angin membuat Wiro mencelat ke arah laut.

Selagi melayang di udara gulungan ombak besar menerpa hingga tubuh itu kembali terpental, terguling-guling di pasir pantai hingga akhirnya tergeletak terkapar di depan satu gundukan batu yang terbongkar akibat hantaman badai.

"Wiro! Ratu Duyung menjerit keras. Dia melompat mengejar.

Namun sebelum mampu mencapai sang pendekar, Ratu Laut Utara telah lebih dulu melesat dan menyambar tubuh Wiro. Kakinya di hentakkan ke pasir hingga bagian pantai di tempat itu bergetar seperti digoyang gempa. Membuat Ratu Duyung yang hendak mengejar terhuyung-huyung hampir jatuh. Selagi Ratu Duyung berusaha mengimbangi diri kesempatan dipergunakan Ratu Laut Utara untuk memanggul Wiro lalu berkelebat membawa lari Pendekar 212 ke arah timur.

"Perempuan jahat! Jangan harap kau bisa lari!" Teriak Ratu Duyung dan cepat mengejar.

Namun mendadak berkelebat satu bayangan biru menghadang. Gerak Ratu Duyung tertahan. Sepasang mata biru membeliak besar, tak percaya melihat siapa yang ada di hadapannya.Tegak berkacak pinggang sambil sunggingkan senyum mengejek.

"Purnama sahabatku! Aku benar-benar tidak percaya. Kau bergabung dengan orang-orang laut utara! Kau menjadi kaki tangan Ratu Laut Utara!Mungkinkah aku salah menduga?!"

Senyum sinis pupus dari wajah Purnama. Mulut berucap menjawab perkataan Ratu Duyung. "Kau tidak salah menduga. Aku tidak melihat ada salahnya kau bergabung dengan orang-orang laut selatan. Lantas apakah ada salahnya kalau aku bergabung dengan orang-orang laut utara?!"

"Gila. Purnama, apa yang terjadi dengan dirimu?! Kau mengkhianati para sahabat! Kau mengkhianati Wiro."

Purnama tertawa. "Aku mungkin mengkhianati para sahabat Tapi aku tidak mengkhianati Wiro.Tidak akan pernah. Dia akan segera menjadi pimpinan kami di Kerajaan Laut Utaral Kami akan menguasai rimba persilatan. Di laut dan di daratan. Delapan penjuru angin! Ha ha ha!"

Rahang Ratu Duyung menggembung. Bola matanya yang biru laksana dikobar! api. "Gusti Allah. Apa yang terjadi dengan gadis alam roh ini? Dia tidak seperti dirinya. Aku melihat ada sesuatu yang aneh pada sinar matanya." Lalu dengan suara selembut mungkin dia berkata.

"Pumama, apa kau sadar pada semua yang barusan kau ucapkan? Semua apa yang kau perbuat?"

Jawaban Purnama justru sangat mengejutkan. "Ratu Duyung, aku diberi wewenang untuk membunuhmu! Aku masih mau memberi kesempatan! Pergilah sebelum pikiranku berubah!"

Pertarungan antara dua gadis cantik itu, satu dari alam sakti laut selatan dan satu lagi dari alam gaib 1200 silam tidak dapat dihindari. Purnama memulai dengan serangan yang disebut Menahan Raga Menyerap Tenaga untuk melumpuhkan Ratu Duyung. Sebaliknya Ratu Duyung menangkis sambil balas menggempur dengan pukulan Genta Biru Menatap Langit. Begitu dua kekuatan serangan sakti saling bertabrakan di udara, satu dentuman menggelegar dahsyat.

Ratu Duyung terjajar ke belakang nyaris Jatuh terkapar di tanah. Purnama sendiri terjengkang di pasir dengan wajah pucat pasi. Gadis dari Latanahsilam ini menyadari kalau lawan memiliki tenaga dalam satu tingkat lebih tinggi. Perlahan-lahan Purnama bangkit berdiri. Air muka yang membesi serta sikap berdirinya. Jelas dia siap melancarkan serangan kedua.

********************

Ratu Duyung menatap tak berkesip. Dalam hati gadis ini membatin. "Sesuatu telah terjadi dengan dirinya Aku yakin! Ratu Laut Utara telah mencuci otaknya dengan mantera jahat! Aku pernah menyirap kabar Ratu Laut Utara mencuri semacam ilmu penunduk hati ketika masih menjadi pembantu Nyai Roro Kidul. Walau cuma separuh yang didapatnya sebelum ketahuan namun mungkin dia telah mampu mengembangkan menjadi ilmu hitam yang bisa mencelakakan siapa saja! Mungkin Nyi Kuncup Jingga? Aku masih belum melihat tua bangka satu itu!"

"Purnama! Bagaimanapun juga kau adalah sahabatku! Jika kau tidak mau sadar aku terpaksa menjatuhkan tangan keras padamu!"

Purnama tertawa panjang mendengar kata-kata Ratu Duyung. "Jangan membalik kenyataan. Aku yang tadi telah lebih dulu mengampuni selembar nyawamu! Ternyata kau keras kepala. Sekarang aku tidak punya belas kasihan lagi terhadapmu! Aku hanya akan ikut bersedih Jika kelak Wiro meratapi kematianmu!"

Purnama lalu keluarkan ilmu Menyusup Bumi Menghancurkan Bala. Tubuhnya masuk ke dalam tanah sampai sebatas bahu. Dengan cara begini dia mampu menyerap kekuatan tenaga bumi sampai sedalam tiga lapis. Begitu tubuhnya melesat keluar Purnama menghantam dengan serangan Kutuk Alam Gaib Lapis Ketujuh!

Jangankan manusia biasa, mahluk alam roh seperti Nyai Tumbal Jiwo saja bisa menemui ajal dengan tubuh tercabik-cabik. Apa lagi kini di dalam tubuh Purnama mendekam kekuatan tenaga dalam serta hawa sakti yang luar biasa hebatnya!

Ratu Duyung kini sadar kalau lawan benar-benar punya niat jahat hendak membunuhnya. Tidak mau berlaku ayal Ratu Duyung lepaskan dua pukulan tangan menyilang serta kedipkan mata. Empat larik sinar biru menyambar ke arah Purnama. Dua yang dari mata merupakan ilmu Inti Biru Laut Selatan sedang yang berkiblat dari dua tangan membentuk pedang bersilang adalah Dua Genta Melanda Samudera. Sebelumnya tidak pernah orang kepercayaan Nyai Roro Kidul ini melepas dua pasang ilmu sakti itu sekaligus secara berbarengan!

Dua dantuman dahsyat menggelegar menindih deru badai. Laut bergejolak. Gelombang membuncah dan tepian pantai laksana digetari gempa. Dua Matan menyilaukan bertabur di udara. Bersamaan dengan itu dua gadis yang barusan saling serang sama-sama keluarkan jeritan keras.

Purnama terkapar di pasir, diam tak berkutik. Di kening dan dada pakaiannya ada tanda berbentuk garis hangus bersilang. Mulut keluarkan suara mengerang. Dia berusaha kerahkan tenaga dalam, menggeliat beberapa kali lalu mencoba bangkit namun jatuh terduduk. Sepasang mata membeliak, tubuh menghuyung lemas.

Ratu Duyung sendiri saat itu tampak duduk bersimpuh di pasir pantai. Walau wajah kelihatan segar namun saat itu dari, telinga, hidung serta sudut bibir tampak lelehan darah. Dada turun naik. tarikan dan lepasan nafas mengeluarkan suara menguik. Dia kerahkan seluruh kekuatan yang ada. Tiba-tiba gadis ini berteriak keras. Tubuh melesat di udara sejajar pasir laksana seekor burung elang siap menyambar mangsa. Tangan kanan membentuk tinju, diarahkan ke depan.

Sesaat lagi pukulan Genta Laut Selatan yang dilancarkan Ratu Duyung akan mendarat dan menghancurkan kepala Purnama tiba-tiba dua orang berkelebat dibawa deru angin badai dan tebaran pasir. salah seorang dari mereka beteriak.

"Tahan serangan! Jangan pukul!"

Saat itu juga ada orang bertangan kuat mencekal tangan kanan Ratu Duyung hingga dia tak mampu menggerakkan apa lagi meneruskan serangan. Orang yang sama lalu mendorong tubuhnya hingga terguling di pasir. Pukulan Genta Laut Selatan menghantam udara kosong, membuat tebaran pasir yang dihembus badai berpijar merah!

Di tempat lain Purnama merasa dua totokan melanda pangkal lehernya. Tubuhnya serta merta pancarkan cahaya biru pelindung diri. Dua totokan buyar. Namun dua totokan lagi datang menyusul, mendarat telak di dua urat besar di bagian punggung. Tak ampun lagi gadis dari alam gaib ini melosoh ke pasir.Tubuh tak mampu bergerak. Mulut masih bisa bersuara dan mata masih sanggup melihat serta mengenali.

"Nek..." Purnama kembali kerahkan tenaga dalam. Tubuh mampu menggeliat. Namun satu totokan lagi bersarang di ubun-ubunnya. Kali ini membuat dia melosoh ke pasir tak ingat apa-apa lagi.

Dua orang yang muncul ternyata adalah Nyi Roro Manggut dan Kembaran Ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Nyi Roro Manggut berkata pada sahabatnya.

"Nenek Kembaran Ketiga Kau jaga Ratu Duyung! Aku akan mengejar Ratu Laut Utara! Dia menculik Wiro. Aku juga melihat ada bayangan batu mustika biru di dadanya!"

"Nyi Roro Manggut," menyahuti Kembaran Ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. "Kau saja yang menolong, Ratu Duyung. Kau lebih tahu dirinya dari pada aku. Biar aku yang mengajar Ratu Laut Utara!"

Lalu tanpa menunggu lagi si nenek berkelebat ke arah timur, ke jurusan lenyapnya Ratu Laut Utara yang memboyong Pendekar212.

Nyi Roro Manggut berusaha mencegah namun nenek Kembaran Ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu telah lenyap. Nyi Roro Manggut tarik nafas dalam. Dia merasa kawatir. "Nenek kembar manusia alam roh," katanya perlahan. "Bagaimanapun juga ketinggian ilmumu, kau tidak tahu seluk beluk di kawasan laut utara. Sekali kau terperangkap dalam kelicikan nyawamu akan minggat ke alam roh untuk selama-lamanya!"

"Nyi Roro," tiba-tiba Ratu Duyung keluarkan suara. Lekas kau ikuti nenek itu. Dia bisa celaka jika berani masuk ke dalam laut utara."

"Aku sudah mencegah tapi dia bersikeras mau pergi sendiri. Lagi pula aku harus menolongmu. Untung tadi pukulan Genta Laut Selatan yang kau lepaskan hanya menghantam udara kosong. Kalau sampai menghantam telak kepala gadis alam gaib itu, kau memang bisa membunuhnya, tapi keselamatanmu sendiri terancam. Seluruh tenaga dalam serta kesaktian yang kau miliki akan terkuras ludas! Kau akan menjadi seorang nenek jompo yang tiada daya!"

Wajah cantik Ratu Duyung berubah pucat. Dia menyadari apa yang dikatakan si nenek itu memang betul adanya. "Nyi Roro Manggut, jangan perdulikan diriku. Nenek satu itu harus ditemukan kembali! Lekas pergi! Aku harus memulihkan tenaga lebih dulu!"

Nyi Roro Manggut yang berambut panjang putih selutut hanya mengangguk-angguk. Dalam hati dia berkata. "Wiro memang perlu diselamatkan. Batu mustika harus didapat kembali. Tapi nenek kembar alam gaib itu nekad pergi sendirian, aku punya dugaan dia ingin menyelamatkan Wiro karena diam-diam menyukai pemuda itu. Mungkin dia tidak pernah menduga kalau akupun menyukai Wiro. Hik hik hik!"

Si nenek yang bertubuh cebol dan mengenakan jubah hijau menatap wajah Ratu Duyung. Hatinya kembali berucap. "Aku tahu, gadis ini sangat mencintai Wiro. Aku menyirap kabar kepergiannya ke puncak Gunung Gede menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas adalah untuk membicarakan soal perjodohan. Jangan-jangan sang Kiai sudah menikahkan mereka. Kalau itu sampai terjadi berapa banyak gadis cantik yang akan meratap menangis diri, mungkin patah hati dan mungkin pula bisa bunuh diri. Hik hik hik. Aku saja yang sudah nenek peot begini bisa terenyuh sedih karena merasa kehilangan. Aku ingat waktu aku merubah diri jadi gadis cantik ketika dia datang ke istana Nyai Roro Kidul di samudera selatan. Hik hik. Aku merayunya sewaktu dia meminta Ilmu Meraga Sukma. Ternyata dia memang tidak bisa dibujuk dengan tubuh bagus dan wajah cantik. Ratu Duyung, kau seharusnya merasa bahagia karena selalu berdekatan dengan pemuda itu dibanding dengan sekian banyak gadis lain yang mancintainya. Tapi sekarang nasib keadaan dirinya..."

Ratu Duyung seka darah yang membasahi hampir separuh wajahnya lalu cepat-cepat duduk bersila. Mata dipejam. Kerahkan hawa sakti dan perlahan-lahan coba alirkan tenaga dalam. Ketika dia merasakan keadaan dirinya mulai pulih dan membuka sepasang mata birunya kembali dia terkejut dapatkan Nyi Roro Manggut masih berada di tempat itu.

"Nyi Roro, kau masih di sini?!"

"Ratu Duyung, aku tidak mungkin meninggalkan kau sendirian dalam keadaan lemah seperti ini. Sementara badai belum reda aku mencium bahaya besar sekeliling kita."

Ratu Duyung memandang berkeliling. "Kau benar Nyi Roro. Bahaya besar sekeliling kita. Buktinya Purnama tidak ada lagi di tempat ini."

Nyi Roro Manggut sampai tersedak saking terkejut. Dia berpaling ke arah mana sebelumnya Purnama tergeletak. Apa yang dikatakan Ratu Duyung memang benar. Purnama tak ada lagi di tempat itu!

"Tadi mata dan pikiranku terpusat pada dirimu. Aku sudah kecolongan!" Nyi Roro Manggut menyesali diri.

"Syukur kalau cuma kecolongan." Sahut Ratu Duyung. "Kalau orang yang melarikan Purnama mau, dia pasti bisa membokong dan paling tidak mencelakai salah seorang di antara kita!"

********************

BAB TIGA

Ratu Laut Utara lari laksana terbang sepanjang pantai dengan memanggul raga atau tubuh kosong Pendekar 212 ke arah timur. Di satu tempat dia berputar talam ke arah kiri, berkelebat ke sebuah bukit batu yang cukup tinggi dan terjal. Lalu dari bukit ini dia melompat terjun memasuki laut yang masih dibuncah badai. Siapapun yang melihat akan menduga bahwa Ratu Laut Utara membawa Pendekar 212 ke Istana Bawah Laut miliknya yang terletak di dasar samudera laut selatan.

Pada hal ini semua adalah tindakan untuk mengelabui belaka. Karena tak selang berapa lama perempuan cantik berusia 40 tahun berpakaian biru ini menyembul di pantai Pulau Menjangan Besar yang tertelak berseberangan di barat daya Pulau Karimunjawa. Pulau kecil yang jarang didatangi orang Ini tampak gelap. Badai yang melanda laut utara ikut memporak-porandakan pulau ini. Pepohonan bertumbangan terutama yang tumbuh sekitar pantai bertumbangan.

Meskipun cuaca masih gelap namun Ratu Laut Utara mampu berkelebat cepat. Satu pertanda dia cukup mengenal keadaan dan liku-liku pulau ini. Didepan deretan tiga pohon waru di bagian tengah pulau Ratu Laut Utara hentikan lari. Kaki kanan dihentakkan tiga kali ke tanah. Saat itu juga secara aneh pohon waru di sebelah tengah bergeser ke belakang. Pada bekas geseran terlihat sebuah lobang cukup besar. Di bagian bawah lobang tampak tangga batu menuju ke bawah. Aneh, ada cahaya terang di dalam sana.

Sekali berkelebat Ratu Laut Utara telah lenyap masuk ke dalam lobang. Pohon waru besar bergeser ke depan menutup lobang. Di bawah tanah pulau Ratu Laut Utara berjalan cepat melewati satu lorong cukup panjang. Pada jarak-jarak tertentu, di dinding lorong terdapat obor. Cahaya obor inilah rupanya yang merambas dan terlihat dari luar.

Di satu tempat lorong bercabang dua. Tepat di pertengahan cabang ada dinding lorong berwarna merah berbentuk segi empat seperti pintu. Ratu Laut Utara turunkan sosok Pendekar 212 didudukkan di lantai lorong menghadap ke arah dinding merah.

"Pendekar, pujaan hati tambatan jiwaku. Duduklah dengan tenang. Harap kau mau bersabar sampai aku mendatangkan sukmamu dan masuk kembali bersatu dengan ragamu. Sebelum aku membawamu ke ruangan bernama Ruang Penantian Cinta, aku ingin seseorang melihat dan mengetahui kehadiran dirimu di tempat ini."

Sosok Pendekar 212 terduduk tak bergerak. Mata nyalang tapi tak melihat, mulut terbuka tapi tak bisa bicara. Bambu kuning masih menancap di leher. Ratu Laut Utara dekap pipi pemuda itu dengan kedua tangan lalu mencium keningnya.

"Wiro walau baru kali ini kita saling berjumpa, sejak sekian lama aku telah memutuskan bahwa kaulah satu-satunya kekasihku. Lebih dari dua puluh empat purnama aku menantikan kedatanganmu. Akhirnya kau hadir juga. Wiro kekasihku, aku telah mempersiapkan segala sesuatunya. Kita berdua akan menguasai rimba persilatan, delapan penjuru daratan, delapan penjuru lautan..."

Setelah mengecup bibir sang pendekar Ratu Laut Utara mundur dua langkah. Telapak tangan kanan ditempelkan di dinding merah. Tenaga dalam dialirkan. Terdengar suara berdesir. Dinding batu bergerak ke samping, membuka ruangan sebentuk pintu yang dibatasi enam jalur besi hitam sebesar betis. Di antara celah-celah jeruji besi terlihat satu ruangan batu tak seberapa besar.

Dari dalam ruangan ini menghampar bau tidak sedap. Di sudut ruangan sebelah kiri ada satu obor kecil yang nyala apinya tampak berkedap kedip. Pada dinding sisi sebelah kanan terlihat satu tempat tidur batu. Di ujung tempat tidur batu, duduk bersandar ke dinding seorang perempuan berambut kusut riap-riapan. Sepasang mata terpejam. Wajah, pakaian serta tubuhnya kotor, diselimuti daki yang nyaris membentuk lumut dan menebar bau busuk. Salah satu kaki diikat dengan rantai besi besar. Ujung lain dari rantai ini ditanam di lantai ruangan. Tangan kanan sebatas pergelangan sampai ke ujung jari berwarna hitam. Lima jari tampak bengkok dan nyaris tanpa kuku.

Siapakah gerangan perempuan malang yang ada dalam ruangan berupa penjara itu? Dia bukan lain adalah Ayu Lestari, Ratu Laut Utara yang asli. Beberapa tahun silam Ratu Laut Utara yang sekarang, yang bernama Nyi Harum Sarti, dan sebelumnya adalah anak buah Nyai Roro Kidul, merebut tahta Kerajaan Bawah Laut dari tangan Ayu Lestari. Ratu yang asli dipenjarakan. Selama ini Ayu Lestari tidak bisa dibunuh dan konon pada 300 hari mendatang dia baru bisa dihabisi yaitu pada saat kesaktian yang masih melekat di tubuhnya lenyap.

"Perempuan celaka di dalam ruang batu!" tiba-tiba Ratu Laut Utara berteriak keras. "Buka matamu! Lihat siapa yang hadir bersamaku!"

Orang yang duduk di tempat tidur batu dengan kaki terbelenggu rantai besi ke lantai ruang batu tidak bergerak. Dua mata tetap saja tertutup. Ratu Laut Utara menyeringai gusar. Tangan kiri betulkan letak mahkota emas di atas kepala lalu tangan dikacakkan di pinggang. Tiba-tiba tangan kanan dipukulkan ke dalam ruangan. Selarik sinar hijau melesat melewati celah antara dua jeruji besi. Menghantam dinding batu ruangan, satu jengkal dari kepala Ayu Lestari.

"Braakkk!" Dinding ruangan hancur berantakan. Hancuran batu bertaburan, sebagian mengenai pipi kiri Ayu Lestari. Namun tidak ada luka atau goresan terjadi pada pipi itu. Pertanda ada satu kekuatan yang melindungi dirinya. Sementara sepasang mata tidak membuka. Malah dalam keadaan tidak bergerak dan mata masih terpejam dari mulut Ratu Laut Utara yang asli ini keluar suara tawa panjang lalu begitu suara tawa lenyap keadaan di tempat itu kembali hening.

"Perempuan celaka! Kau akan menyesal masuk keliang kubur kalau tidak mau melihat siapa orang yang ada bersamaku! Sekian tahun kau telah merindukannya!"

Tiba-tiba kepala Ayu Lestari yang agak tertunduk bergerak sedikit. Mulutnya bergerak. "Puaahhh!"

Dari mulut perempuan muda yang kecantikannya tenggelam dibalik lapisan daki tebal melesat ludah, menyambar ke arah pintu.

"Traang!" Suara nyaring laksana dihantam benda keras membuat salah satu jeruji besi yang kena sambaran ludah bergetar bengkok! Namun sesaat kemudian besi yang bengkok secara aneh kembali lurus dengan sendirinya. Ratu Laut Utara mendelik besar melihat apa yang terjadi.

"Perempuan celaka ini ternyata masih memiliki limu kesaktian. Tenaga dalamnya tidak berubah! Mungkin dia masih dilindungi oleh Ratu Sepuh. Untung aku telah memagari ruangan ini dengan Ilmu Dinding Gaib Laut Utara. Kalau tidak sudah dulu-dulu dia bisa kabur dari tempat ini."

Kehebatan ilmu yang diterapkan Ratu Laut Utara di dalam ruangan itu memang luar biasa. Misalnya Ayu Lestari mampu menghancurkan atau memutus rantai besi yang mengikat kakinya. Namun sekejap kemudian rantai itu kembali utuh. Kalau dia bisa menjebol dinding ruangan dengan pukulan sakti, sesaat sesudah itu secara ajaib lobang menutup dengan sendirinya.

Karena telah bosan berulang kali tak pernah berhasil dalam usahanya meloloskan diri akhirnya Ayu Lestari hanya tinggal pasrah disekap di tempat itu, menunggu sampai tiga ratus hari dimuka yang penuh mendebarkan yaitu pada saat dimana konon seluruh ilmu yang dimilikinya akan musnah dan dia akan mudah dihabisi oleh Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum Sarti itu.

"Perempuan tolol! Kau benar-benar tidak mau melihat orang yang pernah menyelamatkan dirimu dan pernah kau cintai?!"

Ayu Lestari tetap diam, tidak bergerak juga tidak bersuara.

"Kau akan menyesal! Kau akan jadi arwah penasaran selama bumi terhampar selama langit terkembang dan selama laut bergelombang!"

Ratu Laut Utara tekan dinding batu berwarna merah. Terdengar suara berdesir dan perlahan-lahan dinding batu yang merupakan pintu penutup ruangan bergeser ke samping.

“Tunggu!"

BAB EMPAT

Perempuan yang duduk kaki terbelenggu rantai besi di atas tempat tidur batu keluarkan suara. Sangat keras, membuat Seantero ruangan batu yang tidak seberapa besar itu bergetar bahkan ada bagian langit-langit ruangan yang luruh rontok. Kepala disentakkan hingga rambut yang menutupi sebagian wajah tersingkap. Perlahan-lahan sepasang mata dibuka. Kalau pakaian dan seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki perempuan ini tampak kotor diselimuti daki tebal, maka satu-satunya yang kelihatan masih bersih dan bening walaupun sayu adalah sepasang matanya.

"Kau sudah melihat?!" Bentak Ratu Laut Utara.

Ayu Lestari, perempuan di atas pembaringan batu tidak menjawab sementara sepasang mata menatap sayu tak berkesip.

"Kau tidak mengenali pemuda ini?! Lihat! Buka matamu lebar-lebari. Jangan berpura-pura! Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Orang yang pernah menolongmu! Pemuda yang pernah kau cintai dan seumur hidup kau rindukan! Lihat! Pandang untuk terakhir kali sebelum kau menemui kematian beberapa puluh hari dlmuka!"

"Aku tidak melihat manusia! Aku tidak melihat Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng. Tiba-tiba Ayu Lestari keluarkan ucapan.

"Apa?!" Sepasang alis bagus Ratu Laut Utara berjingkrak ke atas.

"Apa matamu sudah menjadi buta karena terlalu lama disekap di tempat celaka ini?!"

"Aku memang melihat sesuatu..."

"Perempuan keparat! Apa yang kau lihat?!" Menghardik Ratu Laut Utara.

"Aku melihat kau membawa sendiri malaikat maut yang akan mencabut nyawamu. Kasihan. Mengapa kau berlaku sebodoh itu?"

"Jahanam!"teriak Ratu Laut Utara marah.Tangan kanannya dipukulkan ke arah Ayu Lestari.

"Wuuttt! Selarik sinar hijau menyambar ke arah kepala Ayu Lestari.

"Wusss!" Itulah pukulan bernama Mambang laut Utara. Jangankan tubuh manusia. Batu karang atospun akan hancur berkeping-keping kalau sampai kena dihantam.

Selarik cahaya biru tiba-tiba melesat keluar dari bagian tubuh yang diserang. Sinar hijau terdorong hebat dan berbalik menghantam ke arah Ratu Laut Utara! Ratu Laut Utara memekik marah! Dengan cepat dia rundukkan tubuh sambil mendorong sosok kosong Wiro yang ada di sampingnya.

"Trang! Braakkk!"

Dua jeruji besi sebesar betis putus! Dinding batu di depan pintu berjeruji besi hancur bertaburan membentuk lobang besar. Namun anehnya! Sesaat kemudian dinding batu pulih kembali, dua jeruji yang putus bersambung utuh lagi! Itulah kehebatan ilmu pelindung bernama Dinding Gaib Laut Utara yang diterapkan oleh Ratu Laut Utara.

"Jahanam keparat!" Ratu Laut Utara memaki marah. "Perempuan celaka itu masih menguasai Ilmu kesaktian hebat. Tunggu! Tak berapa lama lagi kau akan sampai pada hari nahas hari celakamu! Begitu semua ilmu kesaktianmu rontok aku akan menghabisimu!"

Ratu Laut Utara tekan dinding merah. Dinding bergerak menutup pintu berlapis enam jalur besi sebesar betis. Dia panggul tubuh kosong Pendekar 212 lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Dari dalam ruangan batu terdengar suara tawa bergelak tiada henti dan baru lenyap setelah Ratu Laut Utara sampai di bagian lorong dimana terdapat sebuah tangga batu menurun dan di ujung sana terdapat sebuah pintu besi berwarna coklat.

Di bagian atas pintu pada satu palang besi tergantung seekor kelelawar raksasa hitam dengan sayap menguncup, kaki ke atas kepala ke bawah. Sepasang mata merah menyala berputar-putar tiada henti, mengawasi seantero tempat. Mulut menganga memperlihatkan barisan gigi putih dan lidah bercabang merah basah yang selalu bergerak-gerak. Yang hebatnya, di sekujur tubuh kelelawar raksasa ini bergantungan ratusan kelelawar kecil berwajah tak kalah seramnya!

Tiba-tiba kelelawar raksasa geleparkan dua sayapnya. Mulut membuka lebih lebar dan keluarkan suara menguik menggidikkan. Ratusan kelelawar kecil ikut menguik. Kelelawar raksasa ulurkan leher hingga kepala menyentuh lantai. Kepala dianggukkan beberapa kali seolah memberi hormat pada perempuan cantik yang ada di hadapannya lalu kepala ditarik kembali ke atas.

Ratu Laut Utara tersenyum. "Raja Kalong Laut Utara! Aku senang sampai saat ini kau tetap setia menjaga kamar tidurku. Di luar sana di kawasan laut utara kita tengah menghadapi bahaya. Banyak orang jahat berkeliaran. Tapi aku telah mengecoh mereka. Tidak satupun di antara mereka yang tahu tempat rahasia di bawah pulau Ini. Selain itu sebentar lagi mereka semua akan menemui ajal secara sengsara!"

Ratu Laut Utara usap punggung Wiro dan cium bahu sang pendekar. "Raja Kalong Laut Utara, aku membawa seseorang untuk kutinggal kutitipkan di dalam kamar. Jika aku pergi. Jaga dia baik-baik. Kelak dia akan menjadi pendampingku di Kerajaan Laut Utara."

Kelelawar raksasa yang disebut Raja Kalong Laut Utara keluarkan suara mengulk keras dan anggukkan kepala tiga kali. Bersamaan dengan itu pintu besi warna coklat terbuka. Ratu Laut Utara segera melangkah masuk membawa raga Pendekar 212 yang ada di bahu kanannya.

Ruang tidur Ratu Laut Utara ternyata adalah satu ruangan sangat besar. Di situ terdapat sebuah ranjang besar dan bagus. Seluruh lantai ditutup permadani tebal dan lembut Di atas sebuah meja terdapat banyak kendi perak berisi berbagal minuman. Juga ada piring-piring perak besar dipenuhi bermacam-macam buah segar. Pada empat sudut ruangan terdapat sebuah pendupaan tanah berlapis tembaga kuning yang mengepulkan asap halus menebar bau harum semerbak. Inilah ruangan yang oleh Ratu Laut Utara disebut sebagai Ruang Penantian Cinta.

Hebatnya! Di salah satu dinding ruangan terdapat lukisan seorang pemuda gagah berambut panjang yang wajahnya mirip sekali dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Luar biasanya, lukisan ini merupakan satu lukisan telanjang! Wiro dilukiskan secara utuh namun tidak mengenakan pakaian sama sekali! Ratu Laut Utara sering datang ke tempat ini hanya untuk memandangi, bicara dan mencumbui lukisan.

Setiap hal itu dilakukan dia selalu berkata. "Pendekar, walau kita belum pernah berjumpa namun diri ini yakin satu ketika hal itu akan menjadi kenyataan. Tali sambungan kasihku padamu tidak akan pernah terputuskan oleh apa dan siapapun. Satu ketika kita akan berjumpa dan tali yang indah itu akan mengikat diri kita untuk selama-lamanya.Oh... betapa rindunya aku padamu..."

Apa yang diucap dan diharapkan Ratu Laut Utara hari itu menjadi kenyataan. Dia berhasil menemui Wiro bahkan kini mendapatkan raga sang pendekar walau tidak dalam keadaan utuh karena sukmanya berada di tempat lain. Ratu Laut Utara dudukkan Wiro yang masih dalam keadaan bersila di atas tempat tidur besar. Lalu dia menotok beberapa bagian tubuh sang pendekar. Sambil memegang dua ujung bambu yang menancap di leher Wiro dia kerahkan tenaga dalam hingga tubuhnya bergetar mandi keringat.

Sesaat kemudian tubuh yang tadinya kaku itu kini menjadi lentur dan bisa dibaring-kan di atas tempat tidur. Dua kaki ditarik memanjang ke bawah, dua tangan di kembangkan ke samping. Kemudian Ratu Laut Utara baringkan tubuhnya disamping Wiro. Sambil mengusap kening sang pendekar dia berkata.

"Kekasihku, kau akan tenang dan aman di sini. Bertahun-tahun aku menanti kedatanganmu. Pengap rasanya dada ini. Membara rasanya lubuk hati ini. Aku seperti mau meledak. Kekasihku. Jangan biarkan aku meledak seorang diri..."

Setelah menciumi wajah Wiro berulang kali Ratu Laut Utara melangkah ke arah meja. Dia meneguk habis minuman dalam beberapa kendi hingga wajahnya yang cantik bersemu merah, bibir mekar bergetar, mata merah membara dan dada busung menantang. Minuman di dalam kendi bukan minuman biasa. Melainkan air kelapa yang telah dirubah menjadi arak cukup keras.

Arak dari kendi ke lima tidak ditelan seluruhnya. Sebagian dari minuman masih ditahan di dalam mulut Lalu Ratu Laut Utara melangkah ke tepi ranjang. Pipi Wiro ditekan hingga mulutnya membuka. Ratu Laut Utara dekatkan mulutnya ke mulut Wiro. Minuman dalam mulut kemudian dialirkan ke mulut sang pendekar. Minuman tak mampu masuk melewati tenggorokan, hanya menggenang di dalam mulut Wiro. Sedikit demi sedikit Ratu Laut Utara menjilati minuman di dalam mulut sang pendekar hingga habis. Kendi perak tercampak jatuh ke lantaLTubuh Ratu Laut Utara bergetar hangat dan menghuyung lalu rebah menelungkup di atas sosok Pendekar 212.

"Kekasihku aku terpaksa meninggalkanmu. Aku sedih melihat lehermu yang masih ditancapi bambu kuning. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat mencabut bambu itu dari lehermu. Namun keadaan memaksa. Wiro, sebelum kau kutinggalkan, perbolehkan diriku bersatu raga dengan dirimu. Aku sudah menunggu kesempatan ini selama ratusan hari... Kekasihku izinkan diriku..." Dua tangan halus Ratu Laut Utara bergerak menyibak dada pakaian hitam yang dikenakan Pendekar 212.

********************

Ketika suara tawa bergelak lenyap, ruang bau tempat Ayu Lestari disekap berubah sunyi. Namun hanya sebentar. Karena sesaat kemudian bekas Ratu Laut Utara ini keluarkan suara mengisak. Butiran-butiran air mata jatuh meleleh di pipinya yang kotor.

"Wiro... Apa yang terjadi. Mereka menangkap ragamu! Mereka menancapkan bambu penangkal di lehermu agar sukmamu tidak bisa kembali bersatu dengan raga kasarmu. Ya Tuhan, dimana sukma mu saat ini? Sejak kau meninggalkan Kerajaan Laut Utara beberapa tahun lalu, aku tak pernah melupakan dirimu. Aku memang tidak pernah mengatakan padamu, aku tidak pernah berterus terang betapa besar dan tulusnya cintaku padamu. Hari-hari perpisahan dimana aku tidak pernah melihat dirimu lagi adalah hari-hari dimana cintaku tumbuh semakin subur walau hati ini sebenarnya merana karena rindu. Wiro aku tidak bisa menolongmu seperti dulu kau menolongku. Budimu agaknya tak pernah akan terbalaskan kecuali dengan menyerahkan hati, cinta serta ragaku untukmu seorang. Wiro, ditempat terkutuk ini aku hanya bisa berdoa pada Yang Maha Kuasa agar kau diselamatkannya dan kita bisa bertemu lagi. Kerajaan Laut Utara adalah milikku. Kalau aku mampu mendapatkan tahta itu kembali aku ingin kau mendampingiku. Tuhan Yang Maha Mendengar dan Maha Kuasa, kabulkan permintaan orang yang teraniaya..."

Ayu Lestari usap air mata yang membasahi wajahnya. Dia memandang seputar ruangan batu tempat dirinya disekap. Setelah menghela nafas dalam Ratu Laut Utara yang asli Ini kembali keluarkan ucapan. "Ratu Sepuh... Nenek Cempaka, dimana kalian berdua? Apakah kalian mengetahui keadaan sengsara diriku. Kalau saja kalian ada di sini..."

Ratu Sepuh adalah pendiri Kerajaan Bawah Laut Utara dan merupakan Ratu Laut Utara yang pertama. Setelah menyerahkan tahta Kerajaan Laut Utara padanya konon Ratu sepuh kembali ke alam dan ujud asalnya yaitu seekor buaya putih. Dikabarkan Ratu Sepuh bertapa di satu tempat yang tidak seorangpun mengetahui.

Menurut yang pernah melihat Ratu Sepuh dalam ujud buaya putih sesekali memperlihatkan diri di sekitar Istana Kerajaan Bawah Laut Utara. Jika hal ini terjadi maka dipimpin oleh Ratu Laut Utara Ayu Lestari penghuni Istana menebar kembang tujuh rupa di dalam lautan. Sejak Nyi Harum Sarti memegang kekuasaan buaya putih itu tidak pernah kelihatan lagi.

Adapun Nenek Cempaka dia merupakan seorang nenek cantik sakti pembantu dan kepercayaan Ratu Sepuh. Ketika Nyi Harum Sarti merebut tahta Kerajaan Bawah Laut Utara, Nenek Cempaka menghilang entah kemana. Ada yang menduga dia bergabung mendampingi Ratu Sepuh di pertapaan. Ada pula yang memperkirakan kalau nenek itu telah dibunuh oleh Ratu Laut Utara yang baru.

(Untuk mengetahui riwayat mereka silahkan dibaca serial Wiro Sableng berjudul Pembalasan Ratu Laut Utara)

********************

BAB LIMA

Nenek kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu meninggalkan Ratu Duyung yang cidera dan dijagai oleh Nyi Roro Manggut. Nenek alam roh Ini berusaha mengejar Ratu Laut Utara yang melarikan Wiro. Dia masih sempat melihat perempuan itu melompat dari satu bukit batu, masuk mencebur ke dalam laut yang diamuk gelombang dan angin deras bersama Wiro yang ada di panggulan bahu kanannya.

Tanpa menunggu lebih lama nenek ini segera pula menyusul melompat masuk ke dalam laut. Dia tidak pernah tahu kalau masuknya Ratu Laut Utara ke dalam laut hanya satu tipuan belaka. Sang Ratu seperti yang telah dituturkan sebelumnya tidak menuju ke Istana Kerajaan Bawah Laut melainkan pergi ke satu tempat rahasia di Pulau Menjangan Besar. Di bagian bawah permukaan laut utara ternyata cuma sekali tidak ada gejolak badai. Namun ada rasa dingin yang luar biasa.

"Gila! Mengapa air laut dingin seperti es begini rupa?! Aku bisa kencing terus-terusan! Hik hik!" ucap si nenek begitu dia berada di dalam laut.

Matanya dibuka lebar-lebar. Dia tidak bisa melihat jelas. Air laut seperti berkabut. Lama-lama kedua matanya menjadi perih. Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam dan alirkan hawa sakti panas pada kedua mata hingga rasa perih hilang dan penglihatannya kembali terang.

"Kurang ajar” Kemana kaburnya Ratu keparat yang melarikan raga Wiro itu. Aku harus menemukan Istana bawah laut. Wiro pasti di bawa ke sana. Gila! Arah mana yang harus aku tempuh. Dimana letak istana itu."

Sepasang mata merah si nenek memperhatikan kian kemari. Di bawah sana dia melihat ada seberkas cahaya. Dengan sikap hati-hati si nenek melayang turun lebih dalam ke dasar laut Yang memancarkan cahaya ternyata adalah sebuah bangunan besar memiliki tiga menara, terbuat dari batu pualam berkilauan. Beberapa bagian dari bangunan itu terutama di bagian atap dan menara dibalut benda putih menyerupai salju. Di depan bangunan berdiri satu mahluk raksasa membelakangi arah datangnya si nenek. Kedua bahu makhluk ini juga dipenuhi tumpukan salju.

"Istana bawah laut!" ucap si nenek. "Ada mahluk raksasa tengah mengawasi berjaga-jaga. Pasti salah satu anak buah Ratu Laut Utara. Pasti Ratu jahanam itu ada di dalam istana bersama raga Wiro! Aku harus menyelidik. Aku harus bisa masuk ke dalam bangunan itu! Apakah sukma pemuda itu sudah berada di dalam istana? Mengapa keadaan sunyi-sunyi saja?"

Si nenek kembali bergerak turun. Gerakannya yang cukup deras membuat air laut bergejolak dan menyebabkan mahluk raksasa yang ada di depan bangunan istana balikkan tubuh. Air laut bersibak. Tubuh si nenek terdorong sampai beberapa tombak. Memandang ke depan dia terkesima kaget menyaksikan mahluk besar luar biasa mengerikan.

Mahluk bertubuh raksasa ini memiliki tiga mata berwarna merah. Mata ketiga yang ada di kening selalu berkedap kedip. Sekujur tubuh tertutup bulu tebal. Yang tidak tertutup bulu berwarna kuning pekat. Ada cairan merah keluar dari mulutnya yang bercaling. Inilah Jin Durma Rawana yang ditugaskan Ratu Laut Utara menjaga Istana Kerajaan Bawah Laut Utara. Dua bahu digoyang.Tumpukan salju pecah berhamburan. Begitu melihat si nenek yang besarnya hanya seperempat dari besar tubuhnya, mahluk raksasa meniup. Air laut bergulung.

Nenek jejadian kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu terpelanting jungkir balik dilanda gulungan air laut. Selagi dia berusaha mengimbangi diri tiba-tiba mahluk raksasa bergerak. Sekali mahluk ini ulurkan tangan dia berhasil mencekal pinggang lawan. Jika sampai diremas maka ikan hancur remuklah pinggang si nenek. Nyawa pasti amblas dan dia akan kembali ke alam roh untuk selama-lamanya!

Sadar akan bahaya maut yang akan menimpa dirinya si nenek tidak tinggal diam. Dengan kedua tangan dia lancarkan pukulan menyilang. Selarik sinar merah membentuk kipas terbuka menderu. Air laut berubah panas merah laksana darah dan bersibak deras. Sebagian tumpukan salju di atas atap dan menara Istana mencair leleh. Pukulan Kipas Roh!

Durna Rawana meraung marah. Walau tidak cidera namun dadanya yang terkena sambaran sinar merah seperti melesak. Tubuhnya terhuyung ke belakang! Rasa sakit membuat dia melepas cengkeraman pada pinggang si nenek.

Kesempatan ini dipergunakan oleh si nenek untuk melesat ke atas. Jin peliharaan Ratu Laut Utara mengejar. Walau tubuhnya besar gerakannya ternyata lebih ringan dan lebih cepat dari si nenek. Sebelum tubuhnya kembali dicengkeram, si nenek menyembur. Maksudnya hendak menyerang dengan ilmu Asap Penggulung Raga.

Namun ternyata di dalam air laut ilmu ini tidak bisa diterapkan. Kesaktian yang seharusnya bisa mengeluarkan asap kelabu dan mengurung serta menghalangi pandangan lawan, di dalam taut hanya tinggal merupakan alur-alur air yang tentu saja tidak ada artinya bagi Jin Durna Rawana. Sekali dia melesat ke atas si nenek dengan mudah dapat ditangkap kembali.

"Edan!" maki si nenek. Dengan cepat dia terapkan ilmu Merubah Ujud, Menipu Pandang, Melindungi Raga. Tubuhnya serta merta berubah menjadi seekor ikan bertubuh panjang dan sangat licin. Sekali menggeliat si nenek mampu loloskan diri dari cekalan jin Durna Rawana.

Sadar walau bisa lolos namun akan sulit baginya untuk melarikan diri maka si nenek berlaku nekad. Masih dalam keadaan berbentuk ikan dia menyusup masuk ke balik cawat yang dikenakan jin Durna Rawana

"Kalau aku remas hancur kemaluanmu masakan tidak akan mampus!" Begitu si nenek berpikir. Maka dalam keadaan tubuh masih menyerupai ikan dia kembalikan bentuk kedua tangannya.Tapi ketika dua tangan itu menyelinap ke bagian bawah perut Jin Durna Rawana untuk meremas, kaget si nenek bukan alang kepalang. Ternyata bagian bawah jin bertubuh raksasa itu licin polos!

"Oala! Mahluk jahanam ini tidak punya kemaluan! Bangsat ini laki-laki atau perempuan!" Dalam bingungnya si nenek kembalikan ujud kepalanya. Mulut menyeringai. Bagian licin dibawah perut mahluk jin itu digigitnya kuat-kuat. Walau barisan gigi si nenek atas bawah sudah tidak lengkap lagi, banyak yang ompong, namun sisa gigi yang ada selain besar-besar juga runcing dan kuat!

Jin Durna Rawana meraung keras hingga air laut bergejolak membuncah ke atas. Tubuh menggelepar kian kemari. Dua kaki terkembang. Bagian bawah perut luka besar namun tidak ada darah yang keluar. Tangan kanan dimasukkan ke dalam cawat untuk menangkap si nenek.

Tapi si nenek yang kini berujud setengah ikan setengah manusia itu telah melesat ke permukaan laut. Selain tidak tahan akan air laut yang semakin dingin, dia juga kawatir karena cepat atau lambat mahluk raksasa akan mampu menangkap dirinya kembali. Karena itu sambil naik ke atas si nenek berkali-kali melepas Pukulan Kipas Roh guna menahan gerak lawan, sekaligus memancing Durna Rawana naik ke daratan sementara tubuhnya kembali ke ujud semula.

Walau terbanting-banting di dalam air akibat serangan susul menyusul yang dilepas oleh si nenek namun jin Durna Rawana masih mampu mengejar. Sesaat menjelang mendekati permukaan laut dia berhasil menangkap kaki kiri nenek jejadian itu.

Si nenek berusaha menarik kakinya sambil berenang naik ke permukaan laut. Secepat kilat dia kemudian balikkan tubuh. Kaki kanan ditendangkan.

"Praakk!" Tendangan keras itu mendarat telak di mata kanan Durna Rawana hingga melesak hancur. Raungan dahsyat sang jin membuat air laut bergejolak dan muncrat ke atas. Walau mata kanannya kini menjadi buta dan dia menahan sakit bukan alang kepalang, Durna Rawana tidak lepaskan cekalannya di kaki kiri lawan. Malah kini dia berhasil mencekal kaki satunya dari si nenek. Begitu dua kaki si nenek berada dalam cengkeramannya, Durna Rawana menariknya ke arah yang berlawanan.

"Ggrreeek!" Saat itu juga tubuh nenek jejadian robek mengerikan. Mulai dari bawah perut hingga ke dada seolah dibelah!

Jin Durna Rawana keluarkan suara menggembor yang membuat air laut buncah bergejolak dan cairan merah membersit keluar dari mulut. Lalu dengan gerakan sangat kuat dia lemparkan tubuh si nenek ke atas permukaan laut.

Dalam keadaan tubuh terbelah dan alam roh siap menyambut kematian ke dua kalinya, sementara tubuh melayang melesat di di udara nenek kembaran ketiga masih mampu keluarkan teriakan untuk terakhir kali.

"Wiroooooo...!"

********************

BAB ENAM

Ratu Duyung masih duduk bersila di atas pasir pantai sementara badai terus membuncah laut utara walau tidak sehebat sebelumnya. Dengan bantuan Nyi Roro Manggut dia berhasil mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti ke seluruh tubuh namun keadaanya masih belum pulih betul.

"Aku hampir saja membunuh sahabatku itu..." Ucap Ratu Duyung perlahan.

"Maksudmu Purnama?" tanya si nenek cebol.

Ratu Duyung anggukkan kepala.

"Dia bukan sahabatmu lagi Ratu. Bukan sahabatku. Bukan sahabat kita. Gadis alam roh itu telah berlaku culas. Menyeberang ke pihak musuh, menjadi kaki tangan Ratu Laut Utara..."

"Nyi Roro, aku melihat ada kelainan dalam dirinya. Kalau dia memang pengkhianat berarti pantas dibunuh. Lantas mengapa kau dan nenek kembar ke tiga itu mencegah apa yang tadi aku lakukan?"

"Kami tidak mencegah kematiannya. Justru mencegah kematian dirimu!" Jawab Nyi Roro Manggut

"Aku tidak mengerti Nek."

Si nenek manggut-manggut beberapa kali. Matanya yang juling menatap Ratu Duyung. "Saat kau melancarkan pukulan Genta Laut Selatan, keadaanmu sangat lemah. Kau mengerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti. Sama saja dengan kau menguras membongkar diri sendiri. Pada saat kau menghancurkan kepala Purnama, gadis dari alam roh itu akan memberikan perlawanan berupa cahaya biru yang keluar menyelubungi tubuh. Kau bisa menembus cahaya itu tapi sebagian kekuatan yang ada dalam cahaya biru akan berbalik menghantam dirimu. Dia mati, kau juga akan menemui ajal."

"Kalau begitu, aku sangat berterima kasih padamu dan nenek kembar ketiga itu." Kata Ratu Duyung pula. "Sekarang kita harus mengejar nenek itu dan mencari Wiro. Mereka dalam bahaya. Si nenek akan terjebak di dalam laut. Wiro tidak mampu mengembalikan sukmanya ke dalam raga. Dan Ratu Laut Utara kini menguasai raga itu."

Nyi Roro Manggut membantu Ratu Duyung berdiri seraya berkata. "Sebenarnya aku lebih suka kau beristirahat barang beberapa lama. Biar aku yang masuk ke dalam laut. Aku..." Si nenek hentikan ucapan. "Aku mendengar suara di kejauhan. Seseorang berteriak menyebut nama Wiro..."

"Aku juga," jawab Ratu Duyung seraya mendongak ke langit.

Tiba-tiba sebuah benda melesat keluar dari dalam laut melayang di udara dan blukkk! Jatuh di samping kedua orang itu!

Ratu Duyung menjerit keras. Nyi Roro Manggut meraung dahsyat ketika keduanya mengenali siapa yang terkapar di atas pasir. Nenek kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu! Keadaannya luar biasa mengerikan. Tubuh terbelah dari bagian bawah perut sampai pertengahan dada! Cairan merah kehitaman dan pekat menyelubungi seluruh tubuh dan jubah kuningnya.

"Gusti Allah! Siapa yang melakukan perbuatan kebiadaban ini!" teriak Ratu Duyung.

"Sobatku! Aku bersumpah akan membalas kematianmu!" Nyi Roro Manggut susul berteriak.

Tiba-tiba dua bayangan kuning samar-samar berkelebat dari langit, melayang turun ke tempat nenek kembaran ke tiga tergeletak. Walau tidak jelas namun Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut masih bisa mengenali.

"Arwah Eyang Sepuh Kembar Tilu bersama kembaran kedua datang menjemput kembaran ketiga mereka..." bisik Nyi Roro Manggut dengan suara bergetar.

Ratu Duyung merasa tengkuknya dingin. Cepat sekail dua nenek kembar samar menggotong mayat nenek kembaran ke tiga. Lalu membawanya melesat ke langit gelap dibawah deru badai dan lenyap dalam sekejapan mata.

"Kasihan... kasihan sekali nenek itu..." kata Ratu Duyung sambil berusaha menahan tangis. "Kalau Wiro tahu, dia pasti akan mengamuk. Sebelumnya Wiro telah terpukul sewaktu seorang nenek dari Latanahsilam sahabatnya menemui kematian."

Ratu Duyung pegang lengan nenek cebol. "Nek, kita harus segera pergi dari sini. Kita harus menemukan raga Wiro. Kita harus mendapatkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru..."

Belum sempat keduanya bergerak mendadak satu mahluk tinggi besar berkepala botak, hanya mengenakan cawat melesat keluar dari dalam laut. Sekujur tubuh tertutup bulu lebat. Jin Durna Rawana! Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut sampai tersurut beberapa langkah melihat kemunculan mahluk raksasa yang mengerikan ini.

"Aku mengenali mahluk ini... " bisik Nyi Roro Manggut. "Dia jin yang telah hidup ratusan tahun dan jadi anak buah kaki tangan Ratu Laut Utara. Lihat mata kanannya. Melesak hancur. Jangan-jangan dia berkelahi dengan nenek kembaran ke tiga. Nenek itu berhasil menghancurkan matanya"

"Berarti dia yang membunuh secara kejam nenek sahabat kita itu! ucap Ratu Duyung pula. "Nek, kita sudah bersumpah untuk menghabisi siapapun yang telah membunuh nenek kembaran ke tiga itu. Tunggu apa lagi. Mari kita musnahkan mahluk durjana ini."

"Sumpah tinggal sumpah Ratu," jawab Nyi Roro Manggut. "Tapi kita berdua mungkin tidak mampu membunuhnya. Mahluk jin seperti dia hanya bisa dihabisi dengan Ilmu api. Kita berdua tidak punya ilmu kesaktian yang mengandalkan kekuatan api!"

"Nek, kita berdua orang-orang kepercayaan Nyi Roro Kidul. Kita mendapatkan banyak ilmu kesaktian dari Ratu Agung! Kalau nenek kembaran ke tiga mampu membuat matanya hancur melesak, masakan kita berdua tidak sanggup berbuat lebih dari itu!" kata Ratu Duyung pula.

"Jangan keliru. Nenek itu mahluk alam roh yang punya kekuatan inti bumi dan inti langit!" Jawab Nyi Roro Manggut.

Ratu Duyung tidak perduli. Dia menyahuti. "Ilmu kesaktian kita berdua kalau digabung masakan tidak bisa membunuh mahluk ini! Lihat, dia memiliki mata ke tiga di kening. Aku yakin mata itu titik kekuatan sekaligus kelemahannya!"

Habis berkata begitu didahului teriakan keras Ratu Duyung melompat ke hadapan Jin Durna Rawana sambil dua tangan kirimkan pukulan dua tangan menyilang.

"Wuuttt! Wuuutt!" Dua larik sinar biru berkiblat ke arah kepala Durna Rawana. Ilmu Pedang Inti Samudera!

"Blaar! Blaaar!" Suara laksana patir menyambar menggelegar di tepi pantai begitu pukulan sakti Ratu Duyung menghantam telak kepala dan leher Jin Durna Rawana.

Nyi Roro Manggut tak tinggal diam. Dia segera merapal ajian Ilmu Menggunung Raga Melaut Tenaga. Saat itu juga tubuh si nenek berubah menjadi tinggi dan besar, hampir menyamai sosok Jin Durna Rawana. Bersamaan dengan perubahan tubuhnya. Nyi Roro Manggut lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah lawan. Selarik sinar biru menggebubu menyapu tubuh Durna Rawana.

Akibat serangan yang dilancarkan Ratu Duyung, kening Durna Rawana terbelah tepat di bagian mata ke tiga. Leher putus. Kepala menggelinding di pasir. Lalu begitu tubuhnya kena dihantam pukulan sakti yang dilepas Nyi Roro Manggut tubuh tinggi besar Durna Rawana laksana meledak, berubah menjadi kepingin-kepingan mengerikan, bertebaran di atas pasir pantai!

"Nek!" Ratu Duyung berteriak girang. "Lihat! Kita berhasil membunuhnya!"

Nyi Roro Manggut diam saja. Dia tahu banyak tentang mahluk ini dan dia maklum apa yang akan segera terjadi. "Ratu, cepat tinggalkan tempat ini!" ucap si nenek sambil tarik lengan Ratu Duyung.

Ratu Duyung yang tidak mengerti malah menolak pegangan si nenek. Dia merasa puas karena berhasil menghabisi mahluk yang telah membunuh sahabatnya nenek kembaran ketiga. Namun gadis bermata biru ini membaliak dan keluarkan suara melengak kaget ketika melihat bagaimana kening si mahluk yang terbelah merapat kembali. Kepala yang putus menggelinding melayang dan menempel lagi ke leher!

Tubuh yang berkeping-keping satu persatu melesat di udara, bergabung menyatu kembali! Asap aneh mengepul! Sesaat kemudian mahluk itu, sudah berdiri tegak, menyeringai mengerikan lalu wuuttt wuuutt! Dua tangan laksana kilat mencengkeram ke arah dada pakaian Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut.

"Bukk! Bukkk! Dukkk!"

Nyi Roro Manggut hantamkan dua Jotosan sekaligus ke dada Durna Rawana hingga tubuhnya mengepulkan asap. Ratu Duyung menghajar perutnya dengan tendangan keras membuat tubuh jin itu terangkat. Namun Durna Rawana tidak cidera malah menyeringai. Didahului suara menggembor mulutnya menyembur. Cairan merah dan hawa aneh melesat ke wajah serta tubuh Nyi Roro Manggut. Saat itu juga sosok si nenek kembali mengecil ke bentuk asal! Mukanya tertutup cairan merah yang membuat matanya perih.

"Jin Durna Rawana tertawa bergelak. Dua tangan kiri kanan bergerak menghantamkan kepala Ratu Duyung dengan kepala Nyi Roro Manggut. Jika Yang Maha Kuasa memang sudah menakdirkan, kedua orang itu akan hancur kepala masing-masing karena saling kepruk!

BAB TUJUH

Pada saat sangat genting menegangkan itu dimana kepala Ratu Duyung akan berhantaman dan saling menghancurkan dengan kepala Nyi Roro Manggut tanpa kedua orang ini bisa berbuat sesuatu untuk selamatkan diri tiba-tiba dari arah pantai sebelah timur muncul seorang berpakaian hitam. Dari arah orang ini terlihat kilatan api. Lalu sesaat kemudian wussss! Larikan lidah api menyambar susul menyusul melabrak Jin Durna Rawana.

Jin bertubuh raksasa meraung keras. Cengkeramannya pada Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut terlepas. Kedua orang ini cepat jatuhkan diri, berguling di pasir menjauh dari Durna Rawana yang saat itu telah dikobari api tubuhnya sebelah belakang mulai dari tengkuk sampai ke kaki! Dalam keadaan seperti itu jin ini balikkan tubuh sambil mulut menyembur dan tangan kanan memukul.

Cairan merah menderu, disusul gelombang angin pukulan yang bukan kepalang hebatnya. Pasir pantai berserabutan, menghambur ke depan berubah menjadi benda sangat berbahaya yang bisa membuat tubuh manusia berlubang hangus.

Orang berpakaian hitam yang mendapat serangan melesat dua tombak ke udara. Lalu dari udara kelihatan dua lidah api menyambar. Jin Durna Rawana kembali meraung begitu tubuh ditambus api! Kali ini muka dan perutnya. Sambil meraung keras mahluk ini lari dan menceburkan diri ke dalam laut.

Saat itu Juga deru angin mengendur. Tebaran pasir yang membubung di udara perlahan-lahan luruh jatuh ke laut dan ke tepi pantai. Gelombang raksasa yang menggila di tengah laut sedikit demi sedikit menyurut dan akhirnya lenyap sama sekali. Badai yang melanda sirna secara aneh. Laut kembali tenang seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Di kejauhan terdengar suara raungan aneh riuh sekali lalu sunyi. Itu adalah suara raung enam puluh dua jin anak buah Durna Rawana yang terpuruk kembali ke alam gaib begitu pimpinan mereka menemui ajal. Tapi apakah benar Jin raksasa ini telah menemui kematian?

Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut saling pandang.

"Badai berhenti Nek. Apa yang terjadi?" ucap Ratu Duyung.

Nyi Roro Manggut menatap ke tengah laut. "Kurasa ada sangkut paut dengan kematian jin tadi. Pasti dia yang menciptakan badai setan atas perintah Ratu Laut Utara."

Sementara orang berpakaian hitam yang tadi menyerang Jin Durna Rawana melayang turun ke arah Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut. Di tangan kiri memegang sebuah benda yang ternyata adalah batu hitam empat persegi panjang. Di tangan kanan dia mencekal kapak bermata dua yang menebar cahaya menyilaukan di udara yang masih gelap itu.

"Wiro!" seru Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut Kedua perempuan ini langsung memeluk sosok Pendekar 212 yang sebenarnya adalah sukma, bukan raga aslinya. Seperti diketahui batu hitam batu sakti jika digesekkan dengan mata Kapak Naga Geni 212 akan mencuatkan lidah api dahsyat Serangan lidah api inilah tadi yang dilakukan Wiro terhadap Jin Durna Rawana.

"Syukur kau datang. Kalau tidak kami berdua pasti sudah mati di tangan mahluk jin itu!" ucap Ratu Duyung terbata-bata.

"Seharusnya aku membunuh mahluk itu di dasar laut. Aku melihatnya sewaktu hendak memasuki istana Ratu Laut Utara. Tapi aku memilih membiarkannya dulu karena ingin buru-buru mengejar Ratu Laut Utara. Ternyata Ratu Laut Utara tidak ada dalam istananya. Aku juga berusaha mencari sahabatku Ayu Lestari, Ratu Laut Utara yang asli. Tidak bisa aku temukan..."

"Pasti gadis itu disekap di satu tempat lain yang rahasia," kata Nyi Roro Manggut, sementara Ratu Duyung berdiam diri mendengar disebut-sebutnya nama Ayu Lestari. Sambil bicara Nyi Roro Manggut melirik ke arah Ratu Duyung. Dia maklum kalau dalam hati gadis ini ada seberkas rasa cemburu terhadap Ayu Lestari.

"He he... Cemburu... Apakah aku sendiri tidak merasa cemburu?" si nenek berkata dan tertawa sendiri dalam hati.

Seperti diketahui ketika hendak memberikan Ilmu Meraga Sukma pada Pendekar 212 Nyi Roro Manggut walau hanya menguji telah merubah diri menjadi gadis cantik dan berusaha menggoda Wiro.

"Ketika aku berenang menuju permukaan laut, aku sempat mendengar suara orang berteriak memanggil namaku..."

"Wiro..." Nyi Roro Manggut tidak meneruskan ucapannya melainkan memandang pada Ratu Duyung.

"Ada apa Nyi Roro, intan?" tanya Wiro.

"Wiro," Ratu Duyung terisak dan jatuhkan kepalanya di dada Pendekar 212. "Yang kau dengar itu mungkin suara nenek kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Seharusnya kau bunuh mahluk jin itu ketika masih di dalam laut. Ketahuilah, dia barusan membunuh nenek sahabat kita itu."

"Apa?!" Suara sukma Wiro menggelegar.

Terbata-bata Ratu Duyung ceritakan apa yang telah terjadi dengan nenek jejadian kembaran ke tiga.

"Kurang ajar! Aku harus mengejar mahluk itu dan membunuhnya sekarang juga! Mungkin dia belum mati dan sembunyi di dalam laut!" Wiro acungkan Kapak Naga Geni 212.

"Kau tak perlu mengejar. Kau sudah membakar sekujur tubuhnya. Api adalah musuh utama dan kelemahan mahluk jin. Kurasa saat ini dia sudah kembali ke alamnya," kata Nyi Roro Manggut.

"Yang lebih penting adalah mengejar Ratu Laut Utara." Kata Ratu Duyung pula.

Wiro memperhatikan berkeliling. Saat itu fajar telah menyingsing hingga dia bisa melihat cukup jelas kemanapun dia memandang. Dia tidak menemukan apa yang dicarinya.

"Wiro, sesuatu telah terjadi dengan ragamu." Kata Ratu Duyung. Gadis ini berpaling pada si nenek di sampingnya. "Nyi Roro, aku tidak tega mengatakan. Tolong kau saja yang menceritakan apa yang telah dilakukan Ratu Laut Utara."

"Wiro, tak berapa lama setelah sukmamu masuk ke dalam laut, Ratu Laut Utara muncul bersama Purnama..."

"Apa?! Ratu Laut Utara muncul bersama Purnama, Nek?! Kau ini cerita apa?!"

Nyi Roro Manggut angkat tangan kiri memberi tanda agar Wiro jangan memotong bicaranya dulu. "Sesuatu telah terjadi hingga gadis dari negeri seribu dua ratus tahun silam itu tunduk dan ikut bersama musuh. Kurasa dia masuk perangkap sang Ratu. Kini dia menjadi kaki tangan Ratu Laut Utara..."

"Aku tidak menduga seculas itu hatinya. Sejahat itu pekertinya..."

"Ratu Laut Utara muncul membawa bambu kuning penangkal ilmu meraga sukma. Ratu jahanam itu menancapkan bambu kuning ke leher ragamu. Selama bambu itu menancap di ragamu, sukmamu tidak akan bisa masuk kembali. Kami berdua berusaha mencegah tapi terlambat"

"Lalu ragaku, dimana ragaku sekarang. Seharusnya ada di sekitar sini."

"Ratu Laut Utara membawa lari ragamu. Ketahuilah ragamu yang tanpa sukma menjadi sangat enteng. Mudah dibawa kemana-mana. Purnama lenyap dari tempat ini. Dia dalam keadaan terluka setelah bertempur melawan Ratu Duyung. Pasti ada orang-orang sakti kaki tangan Ratu Laut Utara yang menyelamatkannya."

Rahang Pendekar 212 menggembung. Darah dalam tubuhnya laksana mendidih. "Ratu Laut Utara tidak ada di Istananya. Dia tidak ada di dalam laut Intan, coba kau selidiki dengan cermin saktimu."

"Aku tidak tahu apa cerminku sudah bisa dipergunakan. Terakhir sekali cermin itu berwarna hitam pekat..."

Ratu Duyung keluarkan cermin bulat dari balik pakaiannya. Dia membolak balik cermin sakti itu beberapa kali lalu memperhatikan." Ah, syukur cerminku sudah bisa bekerja kembali!" Ratu Duyung berseru girang. "Warna hitam titik buta lenyap. Aku melihat laut. Aku melihat..."

Tiba-tiba satu cahaya hijau melesat dan arah utara. Sebelum tiga orang itu sadar apa yang terjadi cahaya hijau telah menghantam cermin sakti di tangan Ratu Duyung hingga hancur berkeping-keping dan mengepulkan asap. Wiro cepat memeluk Ratu Duyung yang terpekik dan kini tertegun dengan muka pucat.

"Aku, aku tidak apa-apa Wiro. Tapi cermin itu. Ah..."

"Nyawamu lebih penting dari cermin itu. Aku berjanji akan memintakan cermin baru dan lebih sakti pada Nyai Roro Kidul," kata Nyi Roro Manggut pula.

"Intan, waktu kau melihat ke dalam cermin kau berkata kau melihat laut. Lalu kau masih sempat berucap kau melihat... melihat sesuatu yang tak sampai kau ucapkan. Kau melihat apa Intan? Kau bisa mengingat?"

Ratu Duyung pegang lengan Wiro. "Ya, aku melihat sesuatu. Aku melihat pulau," jawab Ratu Duyung.

"Intan, cepat kau terapkan Ilmu Menembus Pandang.."

"Pulau itu cukup jauh dari sini. Tak mungkin menyelidik dengan Ilmu Menembus Pandang."

"Aku dan Nyi Roro Manggut akan bantu mengerahkan tenaga dalam agar daya lihatmu jadi berlipat ganda. Kau pasti mampu. Ayo Intan, Nyi Roro. Mari kita lakukan!"

Wiro letakkan dua telapak tangan di punggung Ratu Duyung. Nyi Roro Manggut melakukan hal yang sama. Perlahan-lahan Ratu Duyung hadapkan wajahnya ke arah laut. Sepasang mata biru menatap ke arah kejauhan, dlluar batas kemampuan pandangan manusia. Mata yang bagus itu lalu di-kedipkan.

********************

BAB DELAPAN

Kita kembali pada Bujang Gila Tapak Sakti dan Bidadari Angin Timur yang berada di pantai selatan Pulau Karimunjawa. Dengan bantuan tenaga dalam gadis berambut pirang itu Bujang Gila Tapak Sakti berhasil membuat air laut menjadi sedingin es sehingga semua penghuni Istana Kerajaan Bawah Laut Ratu Laut Utara terpaksa naik ke permukaan laut. Yang terlambat menyelamatkan diri menemui ajal secara mengenaskan. Yang ikut jadi korban adalah tiga puluh delapan jin anak buah Jin Durna Rawana. Satu-satunya mahluk yang masih bisa bertahan saat itu sebelum dibakar oleh Pendskar212 Wiro Sableng adalah Durna Rawana sendiri.

"Sobatku gendut. Kurasa tak ada lagi mahluk yang masih hidup dan bisa bertahan di dasar laut sana. Ratu jahat itu bersama pengikut-pengikutnya pasti juga sudah kabur. Saatnya kita mencari tamen-teman. Katamu menurut petunjuk Kakek Segala Tahu..."

Gadis berambut pirang itu tidak teruskan ucapannya karena tiba-tiba dari arah barat dia mendengar suara perempuan berteriak. Walau badai membuncah kawasan itu namun suara teriakan terdengar cukup jelas tanda perempuan ini memiliki tenaga dalam tinggi serta mampu mengarahkan teriakannya kepada orang yang dituju.

"Bidadari Angin Timur! janda Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon bernama Tubagus Kesumaputra! Kau berada di Kawasan Kerajaan Laut Utara tanpa izin tanpa diundang! Kau berserikat dengan musuh-musuh Kerajaan merencanakan sesuatu! Seharusnya kau dihukum mati! Tapi aku Ratu Laut Utara berbaik hati memberi kesempatan hidup padamu! Aku sudah lama mendengar kehebatanmu! Janda muda! Apa kau berani menerima tantanganku barang satu dua jurus?! Jika kau mampu mengalahkanku maka aku akan membebaskanmu! Tapi jika kau menjadi pecundang maka kau harus menyembah dan tunduk padaku!"

Bukan teriakan yang menggelegar itu yang membuat kaget Bidadari Angin Timur setengah mati! Tapi ucapan bahwa dia janda muda Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon Tubagus Kesumaputra itulah yang membuat gadis ini seperti mau meledak. Bidadari Angin Timur berpaling ke arah barat pulau di mana terdapat satu bukit rendah. Di atas bukit ini ada gugusan batu hitam. Di salah satu batu hitam berdiri seorang perempuan berpakaian biru gelap. Rambut melambai-lambai ditiup angin. Di kepalanya ada sebuah mahkota emas bertabur batu permata.

Bujang Gila Tapak Sakti yang Juga mendengar teriakan perempuan itu dan jadi terheran-heran. Setelah memandang ke arah barat lalu berkata "Bidadari Angin Timur. Aku yakin perempuan di atas batu itu adalah Ratu Laut Utara Dia menantang dirimu! Yang aku tidak mengerti mengapa dia menyebut dirimu janda muda Janda Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon! Eh, memangnya apa kau pernah kawin. Lalu suamimu itu mati atau kau dicerai atau bagaimana?"

"Perempuan jahanam! Akan aku robek mulutnya!" Ucap Bidadari Angin Timur. "Bujang gila kau tetap di sini. Tunggu sampai aku datang membawa kepala perempuan itu..."

"Kurasa tugasku di sini sudah selesai. Ratu Laut Utara musuh kita bersama. Aku Ikut! Menurut Kakek Segala Tahu perempuan itu sangat berbahaya!"

Tidak perdulikan ucapan si gendut, Bidadari Angin Timur telah berkelebat lebih dulu ke arah bukit gugusan batu hitam. Bujang Gila Tapak Sakti tekan peci hitamnya hingga turun sampai sebatas alis lalu memutar tubuh. Namun sebelum sempat bangkit dan keluar dari dalam laut yang agak dangkal itu tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu menyusup ke balik celana komprang hitamnya. Kaget si gendut ini bukan alang kepalang. Tapi ada rasa-rasa nikmat yang membuat dia sesaat jadi terperangah diam, malah senyum-senyum keenakan.

"Ini jelas bukan ikan. Heh, siapa yang meraba diriku...?"

Mendadak dari dalam laut dangkal melesat keluar sesosok tubuh. "Kini selain kaget Bujang Gila Tapak Sakti juga terkesiap. Betapa tidak. Yang muncul di antara dua kakinya yang terkembang adalah seorang gadis cantik bertubuh dan berambut panjang basah riap-riapan. Di sebelah atas gadis ini tidak mengenakan apa-apa.

"Kekasihku, apakah kau sudah lama menungguku di tempat ini?"

Si gadis yang bukan lain adalah Ning Kameswari menyapa sambil layangkan senyum serta lirikan mata penuh menggoda. Sambil bicara dia menggoyangkan dada hingga Bujang Gila Tapak Sakti yang mau bicara jadi tergagap-gagap.

Si gendut berkata polos. "Aku... aku bukan kekasihmu. Aku... aku tid... tidak menunggumu di sini."

"Hai, Jangan membuat hatiku sedih mendengar ucapanmu itu. Namaku Kameswari. Bukankah namamu Bujang Gila Tapak Sakti?" Si gadis bertelanjang dada berkata.

"Betul... Bagaimana kau tahu namaku? Eh, apakah tanganmu yang ada dalam celanaku?" Bujang Gila Tapak Sakti bertanya sambil senyum-senyum.

Si gadis tertawa cekikikan. Saat itu dua tangannya mulai bekerja membuka kain penutup tabung bambu berisi tujuh kalajengking biru. Begitu penutup tanggal, tabung ditunggingkan. Tujuh kalajengking biru bertebaran langsung mengantup tubuh bagian bawah perut Bujang Gila Tapak Sakti. Si gendut ini mendelik lalu menjerit keras. Tubuh terjengkang, dua kaki menggelepar. Hawa panas menjalar ke sekujur tubuh. Kameswari tertawa panjang lalu menyusup masuk ke dalam air lautdan lenyap dari pemandangan.

Di saat bersamaan, di atas bukit dimana Datuk Api Batu Neraka menunggu, begitu melihat Ning Kameswari berhasil melakukan tugasnya, orang tua bersorban dan berjubah putih ini buka mulutnya yang lebar. Sekali menyembur dari mulut itu bertumpahan ratusan batu menyala, masuk ke dalam laut hingga air laut yang tadi telah dibuat dingin oleh Bujang Gila Tapak Sakti kini berubah panas. Di dalam laut Bujang Gila Tapak Sakti tidak beda merasakan seperti direbus! Keponakan Dewa Ketawa ini menjerit keras, menggeliat beberapa kali tak berkutik lagi. Sekujur tubuhnya berwarna biru.

Ketika melihat ratusan batu merah menyala melesat bertaburan ke arah laut. Bidadari Angin Timur hentikan lari. Di satu bukit lain yang berdampingan dengan bukit batu gadis berambut pirang itu melihat seorang tua bersorban dan berjubah putih memuntahkan batu-batu menyala itu. Di saat yang sama dia mendengar suara jeritan keras. Suara Bujang Gila Tapak Sakti!

Bidadari Angin Timur menoleh ke belakang. Memandang ke arah laut di bawahnya. Dia tidak melihat sosok Bujang Gila Tapak Sakti. Malah sekelebatan dia melihat ada sosok lain yaitu seorang perempuan bertelanjang dada mencebur masuk ke dalam laut. Ketika dia kembali memandang ke arah bukit batu, perempuan berambut panjang berpakaian biru gelap tidak kelihatan lagi!

Di bagian bukit yang lain Bidadari Angin Timur melihat orang tua bersorban dan berjubah putih masih terus memuntahkan batu-batu menyala ke dalam laut.

"Tua bangka berilmu setan! Dia pasti anak buah Ratu Laut Utara. Dia hendak mencelakai Bujang Gula Tapak Sakti!" Tidak menunggu lebih lama Bidadari Angin Timur lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi.

"Wuuutt! Byaaarr!"

Pukulan sakti menghantam bukit kecil dengan tepat. Bukit kecil itu laksana meledak. Tanah mencuat bertaburan. Namun sosok orang tua berjubah putih telah lebih dulu melenyapkan diri. Penasaran Bidadari Angin Timur melanjutkan lari ke arah puncak bukit batu Sampai di atas, perempuan itu memang benar-benar tak ada lagi di tempat semula dia berdiri!

"Ratu keparat! Pengecut! Berani menantang tapi sekarang kabur menghilang!"

Mendadak selintas pikiran muncul di benak Bidadari Angin Timur. "Aku dijebak! Ya Tuhan! Bagaimana mungkin aku bisa tertipu!"

Tidak menunggu lebih lama Bidadari Angin Timur segera lari menuruni bukit. Ketika dia sampai di tepi pantai dilihatnya sosok gendut Bujang Gila Tapak Sakti sebagian terapung di laut setengah lagi terkapar di atas pasir.

"Celaka! Apa yang terjadi! Bujang Gila! Kau kenapa?!" Tak ada sahutan.

Susah payah Bidadari Angin Timur cepat menarik tubuh gendut Bujang Gila Tapak Sakti agar tidak terseret air laut Si gadis dekapkan telinga kirinya ke dada.

"Masih hidup. Masih terdengar detakan jantung. Tapi gila! Sekujur tubuhnya membiru!" Ucap Bidadari Angin Timur. Dia terpekik dan melompat ketika melihat tujuh ekor kalajengking biru menyelinap keluar dari balik kaki celana hitam komprang yang dikenakan Bujang Gila Tapak Sakti, meluncur di atas pasir menuju ke laut. Bidadari Angin Timur ingat pada perempuan setengah telanjang yang tadi dilihatnya berada di dekat Bujang Gila Tapak Sakti.

"Aku benar-benar tertipu Ketika aku mengejar Ratu keparat perempuan setengah telanjang itu mengerjai Bujang Gila!"

Saking geramnya Bidadari Angin Timur lalu lepaskan pukulan tangan kosong. Tujuh kalajengking biru hancur amblas masuk ke dalam pasir!

"Racun kalajengking! Bagaimana aku menolong!" Dalam bingungnya Bidadari Angin Timur lalu membuat selusin totokan di berbagai, bagian tubuh Bujang Gila Tapak Sakti. Gadis ini jatuhkan diri, terduduk di samping tubuh gemuk tak bergerak itu. Dia sadar totokan yang dibuatnya hanya sanggup menunda kematian Bujang Gila Tapak Sakti selama satu hari. Mungkin lebih cepat dari itu!

Dalam keadaan bingung begitu rupa tiba-tiba dua orang berkelebat di udara. Gerakan mereka selain cepat juga enteng. Sekejap kemudian dua orang Itu telah berdiri di hadapan Bidadari Angin Timur yang masih duduk kebingungan di samping tubuh Bujang GilangTapak Sakti.

Orang pertama adalah kakek berjubah hitam dengan tangan kiri dibalut. Dia bernama Ki Ngumpil Sebaki alias Si Lidah Hantu. Beberapa waktu lalu dalam satu perkelahian dengan Nyai Tumbal Jiwo yang menyamar diri dengan ujud Ratu Duyung, tangan kiri si kakek kena ditendang patah dengan tendangan Kaki Roh Menjebol Karang.

(Baca serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Badai Laut Utara)

Nenek yang muncul bersama Ki Ngumpil Sebaki, berkepala kuncup berkulit dan berpakaian ungu. Mata bengkak, bibir dower merah. Siapa lagi kalau bukan Nyi Kuncup Jingga.

Mencium bahaya Bidadari Angin Timur segera berdiri lalu membentak. "Kalian pasti dua cecunguk kaki tangan Ratu Laut Utara! Setelah teman kalian mencelakai sahabatku ini, kalian masih berani muncul! Benar-benar minta mampus!"

"Gadis rambut pirang! Jangan salah menduga!" menjawab Nyi Kuncup Jingga.

"Benar," menyambung Ki Ngumpil Sebaki. "Kami tidak ada sangkut paut dengan Ratu Laut Utara. Kami datang justru hendak menolong sahabatmu yang terkena racun kalajengking biru ini!"

Bidadari Angin Timur menatap dua orang di hadapannya tak berkesip. Lalu dia dongakkan kepala dan tertawa melengking panjang. "Tua bangka tolol! Kalau kalian bukan satu komplotan bagaimana tahu sahabatku ini celaka karena racun kalajengking biru!"

Nyi Kuncup Jingga dan Ki Ngumpil Sebaki sama-sama tersentak karena baru menyadari kalau salah satu dari mereka telah salah bicara!

"Lihat Hantu," bisik si nenek pada temannya. "Dia sudah tahu siapa kita. Kita sudah tahu siapa dia! Sesuai perintah Sri Paduka Ratu kita harus menghabisinya sekarang juga!"

Bidadari Angin Timur yang sudah yakin kalau sepasang kakek nenek itu adalah anak buah Ratu Laut Utara, selagi keduanya berbisik-bisik segera menerjang lancarkan serangan. Dengan gerakan luar biasa cepat karena ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi gadis berambut pirang ini kirimkan tendangan ke arah Ki Ngumpil Sebaki sementara si nenek dihantam dengan pukulan tangan kosong.

Sepasang kakek nenek yang sudah bersiap-siap waspada tidak tinggal diam. Sambil berteriak keras ke duanya rundukkan tubuh lalu secara berbarengan lepaskan pukulan bernama Gelombang Laut Utara. Suara ombak bergemuruh dahsyat memenuhi tempat itu. Di depan matanya Bidadari Angin Timur benar-benar melihat gelombang besar menerjang ke arahnya. Sesaat lagi tubuhnya akan digulung dan dilumat hancur serangan ganas itu Bidadari Angin Timur cepat melesat ke udara. Dari atas dia hantamkan dua tangan sekaligus ke arah dua lawan. Yang dicecar adalah kepala mereka.

"Wuutt! Wuuuttt!" Dua larik sinar biru berkiblat menyerupai pedang. Menyambar ke arah batok kepala Nyi Kuncup Jingga dan Ki Ngumpil Sebaki.

"Awas Pedang Biru Liang Akhirat!" Teriak Nyi Kuncup Jingga. Serangan dua sinar biru yang dilepas Bidadari Angin Timur seperti yang terlihat memang berbentuk sepasang pedang namun ilmu kesaktian itu tidak bernama. Selama malang melintang dalam rimba persilatan Bidadari Angin Timur memiliki beberapa pukulan sakti. Tetapi semua pukulan itu seolah mengandung rahasia dan jarang sekali diberi nama. Entah bagaimana si nenek bisa saja menyebut serangan sebagai Pedang Biru Liang Akhirat.

Menghadapi serangan lawan Nyi Kuncup Jingga cepat menyingkir ke kiri. Nenek ini unjukkan muka pucat dan keluarkan keringat dingin waktu melihat bagaimana tanah di hadapannya yang kena dihantam sinar biru terbongkar membentuk lobang besar sedalam betis! Tidak menunggu lebih lama nenek ini segera melepas pukulan bernama Mega Jingga.

Ki Ngumpil Sebaki juga berhasil menyelamatkan diri dari serangan Bidadari Angin Timur. Sekujur tubuhnya dari kepala sampai kaki tertutup tanah yang mencuat ke udara akibat pukulan sakti yang dilepaskan Bidadari Angin Timur. Kakek ini jatuhkan diri ke tanah. Sambil bergulingan dia lancarkan pukulan Perangkap Raga Penjirat Jiwa. Malah seolah belum puas dia susul serangan ini dengan ilmu yang disebut Lidah Hantu. Sekali dia membuka mulut maka lidahnya yang merah basah melesat panjang keluar. Laksana ular hidup lidah ini menelikung ke arah pinggang Bidadari Angin Timur!

BAB SEMBILAN

Serangan maut Mega Jingga yang menebar cahaya ungu menyilaukan mencurah dari tangan kanan Nyi Kuncup Jingga. Dari arah lain serangan Ki Ngumpil Sebaki yang memancarkan cahaya hitam, begitu mencapai Bidadari Angin Timur cahaya berubah menjadi jaring samar yang siap meringkus gadis berambut pirang ini. Inilah serangan bernama Perangkap Raga Penjirat jiwa. Sekali seseorang masuk terperangkap dalam jaring hitam, sulit baginya untuk bisa melepaskan diri. Lalu masih ada serangan ke tiga yaitu sambaran lidah panjang si kakek yang melesat ke arah pinggang!

Walau Bidadari Angin Timur memiliki kecepatan gerak luar biasa yaitu Ilmu yang disebut Selaksa Angin namun menghadapi tiga serangan sekaligus benar-benar membuat gadis Ini tergetar nyalinya. Selain kemampuan hebat yang dimiliki dua orang lawan itu. Juga telah dibekali tambahan kekuatan oleh Ratu Laut Utara. Apa lagi saat itu pikiran Bidadari Angin Timur masih tersita oleh keadaan Bujang Gila Tapak Sakti yang tengah sekarat akibat keracunan. Ditambah pula dengan teriakan Ratu Laut Utara yang masih terngiang di telinganya, meneriakkan bahwa dirinya adalah seorang Janda!

Didahului teriakan dahsyat Bidadari Angin Timur berkelebat laksana angin. Tubuhnya lenyap hanya tinggal bayangan biru. Dua tangan dipukul membuat gerakan menangkis sekaligus balas menyerang. Sinar Jingga tercabik-cabik di udara mengeluarkan letupan-letupan mengepulkan asap. Nyi Kuncup Jingga terjajar beberapa langkah, muka pucat berkerut, kepala mengkerut aneh.

Nenek ini semburkan ludah ke tanah. Ludahnya tampak berwarna merah pertanda bentrokan ilmu kesaktian tadi membuat dirinya terluka di dalam walau tidak parah. Setelah kerahkan tenaga dalam dan alirkan hawa sakti ke dada, sambil menjerit marah si nenek kembali lepaskan satu pukulan. Kali ini memancarkan tiga cahaya sekaligus. Merah, hitam dan kuning! Inilah ilmu pukulan mengandung racun jahat bernama Jelaga Kematian.

Ilmu jaring yang dilepas Ki Ngumpil Sebaki untuk meringkus lawan juga musnah berentakan dihantam serangan balasan Bidadari Angin Timur. Namun semburan lidahnya berhasil menyusup dan menyambar ke arah pinggang si gadis.

Hantaman serangan dua lawan cukup membuat kuda-kuda sepasang kaki Bidadari Angin Timur goyah. Selagi dia berusaha mengimbangi diri lidah panjang Ki Ngumpil Sebaki telah menjirat pinggangnya! Sekali lidah itu disentakkan maka hancurlah pinggang si gadis sampai ke tulang-belulangnya! Kehebatan ilmu Lidah Hantu ini sudah pernah kita ketahui ketika Ki Ngumpil Sebaki menjerat hancur leher Gumelar Kartasuwita, pemuda gagah pimpinan rombongan sandiwara keliling "Jaka Lelana"

"Ihhh!" Bidadari Angin Timur berteriak kaget dan jijik. Dia coba lepaskan diri dengan memukul lidah sambil melesat ke atas.

"Bukk! Bukkk!"

Dua kali tangan kiri Bidadari Angin Timur berhasil memukul telak lidah yang menjirat pinggangnya. Tapi seperti memukul karet, tangan si gadis membal ke atas. Bidadari Angin Timur merasa tangan yang tadi memukul sakit kesemutan, nyaris kaku digerakkan. Dalam keadaan lidah terjulur begitu rupa Ki Ngumpil Sebaki masih bisa tertawa bergelak dan keluarkan ucapan.

"Gadis cantik! Umurmu sampai di sini!"

Sebelum lidah menyentak meremukkan pinggangnya Bidadari Angin Timur berteriak nekad. "Tua bangka jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!"

Lalu si gadis pergunakan dua tangan untuk membetot lidah. Begitu tubuh Ki Ngumpil Sebaki ikut tertarik ke depan, Bidadari Angin Timur hantamkan kepalanya ke kepala lawan! Sama-sama mati, itulah yang bakal terjadi. Tapi Ki Ngumpil Sebaki belum mau mati. Kakek ini buka mulutnya lebih lebar, tangan kanan bergerak menarik sendiri lidah itu. Lalu greekk.

Lidah panjang merah dan basah itu terlepas tanggal dari mulutnya. Akibatnya Bidadari Angin Timur yang menarik lidah dengan sekuat tenaga terpental ke belakang. Di saat bersamaan tiga cahaya pukulan Jelaga Kematian yang dilepas Nyi Kuncup Jingga datang menyambar wajah Bidadari Angin Timur. Gadis ini merasa dadanya sesak dan pemandangannya menjadi lamur. Lidah panjang yang tadi berada dalam cekalan kedua tangannya lenyap meninggalkan bau amis!

Ki Ngumpil Sebaki keluarkan tawa bergelak. Tangan kanan menjotos ke dada Bidadari Angin Timur. Tepat di arah jantung. Di saat kematian sudah menghadang di depan mata dan tubuh miring ke kiri, Bidadari Angin Timur kerahkan seluruh tenaga dalam lalu singkapkan pakaian birunya di bagian perut.

Ki Ngumpil Sebaki yang melihat putih bagusnya perut si gadis sempat terkesiap dan kerenyitkan kening. Dia berpikir Bidadari Angin Timur hendak membuka seluruh pakaiannya dan tengah menggoda dirinya.

"Gadis cantik, kalau kau memang ingin menyerah dan mengundang bersenang-senang aku yang tua ini tidak sungkan-sungkan menerima dan melayani. Tapi tempatnya bukan di sini! Ha ha ha!" ucap si kakek lalu tertawa gelak-gelak.

“Ki Ngumpil awas!" Teriak Nyi Kuncup Jingga mengingatkan.

Tapi terlambat. Pusar Bidadari Angin Timur yang tadinya rata tiba-tiba mencuat bodong. Selarik sinar biru mencuat berkiblat. Sinar Geni Biru. Ilmu Pusar Pusaka!

"Rertttt!" Tubuh Ki Ngumpil Sebaki terbelah hangus mulai dari kepala ke dada. Kakek ini menemui ajal tanpa jeritan sama sekali. Sekujur badannya berubah biru dan kepuikan asap. Bidadari Angin Timur jatuh terduduk di tanah seolah kehabisan tenaga tiada daya Pemandangannya semakin samar.

"Gadis celaka! Kau telah membunuh temanku! Sekarang terima kematianmu!"

Nyi Kuncup Jingga melompat dan akan hantamkan tangan kanan ke batok kepala Bidadari Angin Timur! Untuk kesekian kalinya maut siap merenggut nyawa gadis cantik ini. Namun yang sekali Ini agaknya dia tidak bisa lagi lolos dan kematian. Sesaat lagi kepala berwajah cantik jelita itu akan pecah tiba-tiba air laut di tepi pantai bersibak, mencuat tinggi ke udara. Di celah sibakan muncul satu mahluk putih besar panjang mengerikan. Meluncur ke arah Bujang Gila Tapak Sakti terkapar di pasir. Tubuh dan kepalanya jelas adalah kepala seekor buaya namun ada bagian-bagian seperti hidung, kening dan mata menyerupai manusia. Di kepala binatang raksasa ini ada sebentuk mahkota kecil terbuat dari emas bertabur batu-batu permata.

"Buaya putih!" Nyi Kuncup Jingga berseru kaget. Tubuh bergetar, tengkuk dingin dan wajah berubah. Nyalinya nyaris leleh.

Saat itu terdengar suara orang bicara. Suara perempuan. Entah siapa orangnya. "Manusia malang! Hawa dingin yang kau tebar telah membangunkan aku dari tidur seribu hari! Tidak ada salahnya aku membalas budi kebaikanmu."

Buaya putih buka mulutnya lebar-lebar. Diarahkan ke sosok Bujang Gila Tapak Sakti. Dari dalam mulut binatang ini keluar suara menderu. Saat itu juga tubuh gemuk Bujang Gila Tapak Sakti tersedot amblas, masuk ke dalam mulut buaya putih. Buaya putih bergerak surut masuk ke dalam air laut berputar-putar beberapa kali.

Bidadari Angin Timur yang sempat menyaksikan kejadian itu walau dalam pandangan samar hanya bisa berteriak. "Hai! Jangan bunuh temanku!"

Lalu gadis ini terjerembab ke depan, tertelungkup di tanah tidak sadarkan diri lagi. Nyi Kuncup Jingga melompat mendatangi. Kaki kanan ditendangkan ke kepala Bidadari Angin Timur. Namun gerakannya tertahan ketika ada suara mengiang muncul di telinganya.

"Nyi Kuncup! Jangan dibunuh! Kita kekurangan orang. Bawa dia ke pulau. Masukkan di ruang perawatan, satukan dengan Purnama. Obati lalu terapkan ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati."

"Sri Paduka Ratu," kata Nyi Kuncup Jingga sambil membungkuk hormat. "Perintah Sri Paduka Ratu akan saya jalankan. Namun kalau boleh izinkan saya memberi tahu sesuatu terlebih dulu."

"Ada apa Nyi Kuncup. Sayang aku telah kehilangan Dulang Perak Sejuta Mata hingga tidak dapat mengetahui banyak kejadian diluar. Aku kini hanya bisa menyelidik secara tidak langsung melalui sambungan rasa dengan anak buahku termasuk dirimu."

"Sri Paduka Ratu, barusan saya melihat seekor buaya putih berkepala setengah manusia muncul di tepi pantai..."

"Apa Nyi Kuncup?!" suara mengiang itu seperti ledakan keras hingga si nenek tekap ke dua telinganya yang kesakitan.

"Buaya putih Sri Paduka Ratu. Saya melihat seekor buaya putih." Mengulang Nyi Kuncup Jingga. "Binatang itu menelan tubuh Bujang Gila Tapak Sakti yang sedang sekarat akibat keracunan tujuh kalajengking biru yang dilepas Ning Kameswari. Selesai menelan buaya putih melenyapkan diri masuk kembali ke dalam laut. Saya kawatir buaya putih itu adalah penjelmaan Ratu Sepuh..."

"Gila. Ternyata dia masih hidup! Aku menyangka jahanam tua itu sudah lama menemui ajal!"

"Sri Paduka Ratu, apa yang harus saya lakukan?" Nyi Kuncup Jingga bertanya.

Tetap laksanakan apa yang aku perintahkan Mengenal buaya putih itu untuk sementara tidak perlu dikawatirkan. Jika dia berani mendekati diriku aku akan menghabisinya dengan benda penangkal! Sekarang lekas laksanakan tugasmu!"

Nyi Kuncup Jingga membungkuk lalu cepat menggotong tubuh Biadadari Angin Timur. Namun sebelum nenek ini sempat menyentuh tubuh si gadis, tiba-tiba dari dalam laut melesat benda putih panjang, menyambar menggebuk bagian belakang tubuhnya. Nyi Kuncup Jingga terpekik, terguling jatuh di atas pasir. Ketika mencoba bangkit dia tak mampu melakukan. Ternyata tubuhnya sebatas pinggang ke bawah mengalami kelumpuhan!

Dari dalam laut kembali melesat keluar benda putih panjang tadi yang ternyata adalah ekor buaya putih. Badan dan kepalanya tidak kelihatan. Ekor melilit pinggang Bidadari Angin Timur. Sekali menyentak maka tubuh si gadis melesat lenyap masuk ke dalam air laut.

********************

BAB SEPULUH

Bersamaan dengan tersembulnya sang surya di ufuk timur, tiga orang yaitu Nyi Roro Manggut, Ratu Duyung dan sukma Pendekar 212 berenang cepat mencapai pantai selatan Pulau Menjangan besar. Badai besar yang oleh Nyi Roro Manggut disebut sebagai badai setan telah lama berhenti. Keadaan di sekitar pantai sunyi. Kesunyian yang membuat perasaan tiga orang itu justru tidak tenteram dan bedaku waspada.

"Intan, kau merasa pasti ini pulau yang kau lihat dalam cermin sakti sebelum cermin itu hancur...?!" bertanya Wiro pada Ratu Duyung.

Ratu Duyung memandang berkeliling, lalu menjawab sambil menunjuk ke arah barat. "Benar sekali Wiro. Aku mengenali gugusan batu karang rendah yang membentuk dinding kelabu kehitaman di sebelah sana..."

"Sekarang coba kau selidiki keadaan di pulau ini. Pertama keberadaan ragaku, lalu keberadaan Ratu Laut Utara, Purnama, Ayu Lestari..."

"Akan kucoba, akan kucoba..." kata Ratu Duyung pula. "Nek, bantu aku menambah tenaga dalam."

"Kau perlu bantuanku juga Intan?" tanya Wiro.

"Terimakasih. Saat ini cukup Nyi Roro saja..."

Si nenek cebol gulung rambut putih panjangnya di atas kepala lalu tempelkan dua telapak tangan dipunggung. Begitu dia alirkan tenaga dalam, Ratu Duyung segera pula mengalirkan tenaga dalam ke arah mata. Dua mata dikedipkan sesaat kemudian.

"Wiro, aku... aku melihat ragamu. Memang ada dipulau inl. Tergolek di atas sebuah tempat tidur besar..."

"Kau Juga melihat Ratu Laut Utara?"

Ratu Duyung menggeleng. "Aku melihat seorang lain. Seorang perempuan. Wajahnya agak gelap. Dua kaki di rantai..."

"Itu pasti Ratu Laut Utara yang asli. Sahabatku Ayu Lestari yang disekap!" ucap Wiro dengan suara keras sambil kepalkan tinju. "Siapa lagi yang kau lihat Intan? Cari... pasti ada yang lain. Mungkin Purnama..."

"Ah mengapa kepalaku tiba-tiba pusing," kata Ratu Duyung pula."Aku akan tambahkan tenaga dalam ke tubuhmu," kata Wiro.

Tiba-tiba Nyi Roro Manggut menjerit. Nenek ini melihat ada darah keluar dari sepasang mata Ratu Duyung.

"Ada orang menghadang tenaga dalammu agar kau tidak bisa menyelidik." kata Wiro. Dia seka darah yang mengalir di wajah Ratu Duyung lalu menekap kedua pipinya dan langsung alirkan tenaga dalam. "Intan, coba kau mencari tahu jalan ke arah tempat dimana ragaku dan Purnama berada. Juga Ayu Lestari..."

Ratu Duyung kembali mencoba. Dia melihat sesuatu namun agak samar. Lalu apa yang dilihatnya lenyap. "Aku tidak bisa Wiro. Kepalaku sakit sekali." Jawab Ratu Duyung sementara darah makin banyak mengalir dari kedua matanya. Wiro cepat totok pelipis serta pijat bagian wajah sekitar kedua mata Ratu Duyung.

Tiba-tiba gadis ini menjerit keras. Dari dalam kedua matanya kini bukan cuma darah yang keluar tapi juga binatang aneh berbentuk belatung-belatung besar!

"Kurang ajar! ini pasti perbuatan perempuan jahanam Ratu Laut Utara!" Wiro marah sekali tapi juga bingung. "Nek, apa kau bisa menolong Intan?"

"Tenang... tenang. Ini memang perbuatan jahat ratu keparat itu. Aku akan mengobati, aku punya penangkalnya..."

Dari balik jubah hijaunya nenek cebol ini keluarkan sebuah benda yang ternyata adalah sekeping kemenyan. Sekali meremas kemenyan itu berubah menjadi bubuk putih kecoklatan. Sambil membaca mantera dalam hati bubuk kemenyan kemudian disapukan pada mata kiri kanan Ratu Duyung. Menunggu sebentar si nenek laiu meniup kedua mata tiga kali berturut-turut. Cairan darah dan belatung serta merta lenyap. Walau kini matanya bersih dan nyalang namun Ratu Duyung tidak bisa melihat apa-apa.

"Nek, Wiro... Aku tak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap. Aku buta!" ucap Ratu Duyung setengah meratap. Dua tangannya diulurkan ke depan. Wiro cepat pegang tangan gadis itu dan diusap berulang kali.

"Ratu, jangan cemas. Hal itu hanya sementara. Sebentar lagi kau akan melihat seperti semula." Kata Nyi Roro Manggut seraya mengusap rambut Ratu Duyung.

"Nek, kau jaga Intan di sini. Jangan kemana-mana."

"Memangnya kau mau kemana Wiro?"tanya Nyi Roro Manggut.

"Aku akan membakar pulau ini! Kalau semua sudah dikobari api masakan perempuan Jahat itu tidak akan menunjukkan diri!"

"Wiro, kau boleh membakar seluruh dunia ini. Ratu Laut Utara tidak tolol! Tunggu sampai Ratu Duyung pulih keadaan matanya"

"Wiro, apapun yang terjadi, apapun yang kau lakukan jangan tinggalkan aku di sini. Aku... aku tak ingin kehilangan dirimu. Aku... aku sangat mencintaimu. Kalau nasib buruk jatuh atas diriku, maukah kau..."

Wiro tekap mulut Ratu Duyung dengan memalangkan jari-jari tangan di atas bibir lalu pegang dua tangan si gadis mendekapkan ke dada dan menciumnya berulang kali. Perasaan haru biru memenuhi hati sanubari sukma Pendekar 212. Selama Ini Ratu Duyung tidak pernah menyatakan perasaan hatinya terhadap Wiro secara terus terang. Tapi dalam saat-saat sulit seperti itu semuanya tercurah tanpa bisa ditahan dan disadari. Wiro lantas saja memeluk gadis Itu erat-erat. Dalam hati pemuda Ini berkata.

"Intan, kau satu-satunya gadis yang berterus terang tentang perasaan hatimu padaku. Apakah selama ini aku memang menunggu sampai satu kali ada seorang gadis mau mengucapkan kata-kata indah dan tulus itu padaku?"

Wiro cium rambut Ratu Duyung. Sesaat dia teringat pada Bunga. Gadis alam roh itu pernah mengatakan bahwa jika Wiro ingin mencari pendamping dalam kehidupannya maka Ratu Duyunglah orangnya. "Bunga mungkin benar, Kiai Gede Tapa Pamungkas dan Eyang Sinto juga mungkin benar..."

"Wiro, aku dengar kau berucap perlahan. Mengatakan sesuatu. Apakah kau bicara padaku..." Ratu Duyung bertanya.

Wiro cium kening Ratu Duyung lalu lepaskan pelukannya. Memandang pada Nyi Roro Manggut sambil senyum-senyum. Si nenek balas menatap kosong. Dia ingat sewaktu coba menggoda pemuda itu sebelum memberikan Ilmu Meraga Sukma.

"Wiro," kata Nyi Roro Manggut. "Aku mencium ada bahaya besar di pulau ini. Kalau kita bertindak keliru ragamu bisa dimusnahkan orang. Dan kau tak akan bisa kambaii dalam ksadaan sapartl semula selama-lamanya."

Sukma Wiro terdiam dan masih bisa menggaruk kepala! "Nek, aku jadi setan gentayanganpun mau! Asal bisa membunuh Ratu Laut Utara keparat itu dan dapatkan kembali Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru."

Ratu Duyung angkat tangannya memberi Isyarat. "Wiro, sebelum belatung keluar dari mataku, aku melihat sesuatu dalam keadaan samar.Tapi aku masih bisa mengenali."

"Katakan Intan, katakan apa yang kau lihat" Kata Wiro sambil pegang dua bahu Ratu Duyung.

Masih dengan mata nyalang tapi tak melihat apa-apa Ratu Duyung menjawab. "Aku... aku melihat tiga pohon tumbuh berjajar di tengah hutan."

"Pohon apa?" Nyi Roro Manggut yang kini bertanya.

"Aku tidak tahu Nek. Terlihatnya samar-samar..."

"Ratu, kita tunggu barang beberapa saat sampai matamu bisa melihat kembali."

"Bagaimana kalau aku memang tidak bisa melihat lagi selama-lamanya alias buta?" tanya Ratu Duyung.

"Kau jangan berpikiran buruk seperti itu. Yang penting jangan lagi kau pergunakan Ilmu Menembus Pandang. Musuh pasti sudah mengintai gerak-gerik kita dari jauh. Setiap ilmu yang kita pergunakan pasti akan mereka tangkal secara ganas. Heran dari mana Ratu Laut Utara mendapatkan semua ilmu keji itu!" Nyi Roro Manggut angguk-anggukkan kepala berulang kali.

Wiro mendekati lalu berkata. "Nek, setahuku kau punya Ilmu yang bisa menjajagi seseorang dari nafas, detak Jantung, raga serta keringatnya. Apakah kau tidak Ingin mencoba agar kita bisa lebih mengetahui..."

"Memang itu yang sedang aku pikirkan." Kata Nyi Roro Manggut pula. "Aku akan coba dulu dengan ilmu Menjajag Nafas Menjajag Keringat"

Si nenek tegak diam tak bergerak. Dua tangan disilang di depan dada. Kepala mendongak ke atas. Dada kemudian bergerak turun naik sementara hidungnya yang pesek bergerak kembang kempis. Sesaat kemudian nenek ini menyapukan tangan kanannya ke udara lalu membuat gerakan seperti menangkap seekor binatang yang sedang terbang. Setelah itu tangannya dlletakan di depan hidung.

"Hemm... aku mencium bau keringat seseorang. Keringatmu sendiri. Mungkin keringat dari ragamu. Berarti ragamu memang ada di pulau ini. Coba kau cium sendiri!" Si nenek lalu usapkan tangan kanannya yang keringatan ke hidung sukma Penekar 212.

"Puah! Bau ketek Nek!" ucap Wiro lalu meludah berulang kali.

"Itu bukan keringatku. Ketekku tidak bau! Kau pasti mencium ketek orang lain! Coba kau jajagi sekali lagi!"

Nyi Roro Manggut tertawa cekikikan. Ratu Duyung mau tak mau ikut senyum-senyum. "Sudah, aku pergunakan ilmu yang lain saja agar tidak keliru!" kata Nyi Roro Manggut "Aku akan terapkan ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak Jantung." Lalu nenek cebol ini kembali tegak berdiam diri.

"Tunggu Nek," kata Wiro sambil memagang lengan Nyi Roro Manggut.

"Ada apa?" tanya si nenek.

"Kalau yang kau cium nanti nafas bau jengkol, itu pasti bukan nafasku. Aku tidak pernah makan jengkol! Jadi jangan nanti kau coba meniup-niup ke arah hidungku menyaru-nyaru bau jengkol!"

Nyi Roro Manggut tertawa cekikikan mendengar kata-kata Wiro. "Pantas... pantas si Sinto Gendeng itu sering memanggilmu anak setan. Nyatanya kau memang setan konyol! Dalam keadaan seperti ini masih bisa bergurau!"

Si nenek lalu kembali tegak berdiam diri, dua tangan dirangkap di depan dada. Kalau tadi kepala didongakkan ke atas maka kini ditukikkan memandang ke arah pasir pantai. Tiba-tiba si nenek terpekik. Tubuhnya terlonjak sampai tinggi. Mukanya tampak merah. Sepasang mata julingnya memandang tak berkesip ke arah Wiro dan Ratu Duyung ganti berganti. Saat itu pandangan gadis bermata biru ini telah mulai pulih.

"Ada apa Nek?" tanya Ratu Duyung.

Sementara Wiro berpikir si nenek ini pasti mau mempermainkan, membalas gurauannya tadi! Nyi Roro Manggut tidak segera menjawab. Kepala manggut-manggut lalu digeleng-gelong berulang kali.

"Nek, apa kau kesambat setan lewat?" tanya Wiro.

"Dengar kalian berdua. Kalian tahu apa yang barusan terjadi?

"Aneh, aku bukan mencium bau nafas atau mendengar detak jantung. Aku malah melihat! Kalian tahu apa yang aku lihat?"

"Mana kami bisa tahu kalau kau tidak mengatakan Nek," jawab Wiro pula.

"Aku... aku melihat dua buah benda bengkak sebesar semangka. Berwarna biru. Aku melihat sebuah benda panjang juga biru, kejepit di antara dua buah benda sebesar semangka. Ada tujuh titik hitam berdarah pada benda. Kalian tidak tahu benda apa itu?"

Wiro dan Ratu Duyung menggeleng. Heran. Tiba-tiba Nyi Roro Manggut tertawa mengekeh, lama dan panjang hingga kedua matanya yang juling basah oleh air mata. "Yang aku lihat... Hik hik hik! Yang aku lihat, hik hik! Yang aku lihat adalah anunya. Bengkak gembung. Berwarna biru. Ada tujuh titik luka. Empat di kantong menyan, tiga di pisang raja! Lalu ada kipas kertas dan kopiah hitam dipakai mengipasi anunya itu! Hik hik hik!"

"Nek, kau ini bercanda atau bagaimana?" tanya Wiro garuk-garuk kepala.

"Sumpah disambar petir! Aku tidak dusta?" Jawab Nyi Roro Manggut.

"Nek," kata Wiro pula. "Yang kau lihat itu bukan punyaku kan Nek?"

Tawa si nenek kembali tersembur.

BAB SEBELAS

Dalam rimba belantara di pertengahan Pulau Menjangan Besar. Sukma Wiro, Nyi Roro Manggut dan Ratu Duyung berdiri di hadapan tiga pohon Waru yang tumbuh sederet.

"Aku bersyukur penglihatanku telah pulih kembali. Aku berterima kasih padamu Nek," kata Ratu Duyung pada Nyi Roro Manggut.

Si nenek senyum lalu manggut-manggut Dia berbisik. "Kau gadis baik. Tapi bukan saatnya memakai segala macam peradatan. Sebentar lagi kita akan menghadapi perkara besar."

Wiro yang sudah tidak sabaran segera bertanya. "Intan, kau yakin ini tiga pohon yang kau lihat sewaktu kita masih berada di pantai seberang?"

"Aku yakin Wiro. Memang ini pulaunya."

Mendengar ucapan Ratu Duyung, tidak menunggu lebih lama Wiro langsung hantamkan tangan kanan ke deretan tiga pohon, melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung yang dipelajarinya dari Tua Gila alias Sukat Tandika, kekasih Sinto Gendeng dimasa muda.

"Braakkk!" Tiga pohon Waru terbongkar sampai ke akar-akarnya. Batang berpatahan lalu tumbang bergemuruh memuncratkan tanah dan bebatuan ke udara. Pada bekas pohon Waru di sebelah tengah terlihat satu lobang besar. Di bagian bawah lobang ada tangga batu. Baru saja ke tiga orang itu ulurkan kepala hendak menyelidik tiba-tiba terdengar suara kepakan sayap dan suara menguik riuh sekali.

"Ada binatang terbang ke arah mulut lobang. Awas! Lekas mundur!" teriak Wiro lalu menarik Nyi Roro Manggut dan Ratu Duyung beberapa langkah menjauhi lobang.

"Aku mencium bau amis aneh! Seperti bau..." ucapan Nyi Roro Manggut terputus karena saat itu dari dalam lobang melesat puluhan, bahkan mungkin ratusan kelelawar hitam kecoklatan, bermata merah. Mulut terbuka mengeluarkan suara menguik keras. kaki mencuatkan kuku hitam panjang dan runcing.

"Awas! Binatang itu menyerang kita!" Teriak Nyi Roro Manggut.

"Kukunya berbisa!" berteriak Ratu Duyung.

Kedua orang ini lindungi diri dengan segera melepas pukulan tangan kosong, menghantam ratusan kelelawar yang menyerbu laksana air bah! Binatang-binatang itu berpekikan dan tubuh mereka mencelat mental. Namun luar biasanya tidak ada yang cedera apa lagi mati. Malah didahului suara menguik mengerikan mereka kembali menyerbu.

Empat kelelawar melesat ke arah Nyi Roro Manggut. Pukulan sayap dan cakaran kuku menyambar kepala si nenek. Nyi Roro Manggut cepat merunduk sambil memukul. Rambut putih yang digulung di atas kepala terbongkar awut-awutan. Untung cakaran kuku berbisa tidak mengenai kulit kepala si nenek!

Lima kelelawar berkelebat menyerang Ratu Duyung. Gadis ini cepat menghantam dengan pukulan pedang biru. Lima kelelawar terpental. Namun seperti tadi binatang itu tidak seekorpun yang cidera! Lalu ratusan lainnya setelah berputar-putar kembali datang menyerbu!

"Ini bukan kelelawar biasa! Kalian berdua lekas menyingkir. Berlindung di balik pohon!" teriak Wiro.

Lalu murid Sinto Gendeng ini berteriak menyebut Kapak Naga Geni 212 dan Batu Hitam Sakti! Saat itu juga kapak dan batu sakti yang berada dalam sukma tubuhnya melesat keluar dan tahu-tahu sudah berada di tangan kiri kanan. Tidak menunggu lebih lama Wiro gesekkan kuat-kuat batu sakti ke mata kapak. Lidah api berkiblat ke udara.

Ratusan kelelawar menguik keras. Wiro terus menghantam tiada henti. Kelelawar yang ditambus api bukan satu persatu tapi kelompok demi kelompok. Anehnya begitu jatuh di tanah, kelelawar yang tubuhnya dikobari api itu langsung sirna. Yang tinggal hanya kepulan asap menebar bau daging terpanggang! Kelelawar-kelelawar yang masih hidup menguik ketakutan, berserabutan masuk ke dalam lobang di tanah.

Memperhatikan hal itu Wiro langsung mengejar masuk ke dalam lobang. Tubuhnya yang meraga sukma melayang seperti asap mengambang. Batu sakti dan mata kapak masih terus digosokkan. Lidah api mencuat tiada henti, berubah menjadi gelombang api luar biasa dahsyat dan menggebubu masuk ke dalam lorong. Puluhan kelelawar yang tadi masuk kedalam lobang di bawah tanah kini tidak bisa lagi selamatkan diri. Malah pimpinan mereka Raja Kalong Laut Utara ikut menemui ajal. Bangkainya yang gosong hitam tergeletak di depan pintu besi ruang tidur Ratu Laut Utara.

Di luar lobang. "Wiro tunggu!" teriak Ratu Duyung ketika melihat Wiro melompat masuk ke dalam lobang. Dia segera mengejar mengikuti Wiro. Sebelum menuruni tangga, Ratu Duyung berbalik dan berseru pada Nyi Roro Manggut.

"Nek! Kau tidak ikut?!"

"Kalau semua masuk ke dalam siapa yang menunggu di luar sini?!" sahut si nenek. Lalu dia melompat ke atas satu pohon paling tinggi.

Dari atas pohon ini dia bisa melihat ke seantero rimba belantara di bawahnya. Jangankan manusia, seekor kelincipun tidak akan luput dari pengawasannya! Sebenarnya selain melakukan pengintaian nenek ini juga berusaha mendapatkan sejenis buah dari pohon yang sebelumnya dilihatnya tumbuh di pulau itu.

********************

Di dalam kamar rahasia di bawah tanah rimba belantara Pulau Menjangan Besar, empat orang berada di tempat itu. Yang pertama adalah raga Pendekar 212 dalam keadaan terbaring di atas tempat tidur besar. Kedua tentu saja Ratu Laut Utara si pemilik tempat. Orang ketiga Nyi Kuncup Jingga dan yang keempat adalah Purnama yang saat itu telah dsembuhkan dari cideranya dan masih tetap berada dalam tenung Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati.

"Kalian semua dengar baik-baik apa yang aku katakan." Ratu Laut Utara berkata. "Para penyerbu sudah berada di atas pulau. Kita membagi tugas mengatur rencana. Nyi Kuncup Jingga, kau periksa kawasan laut utara. Cari Ratu Sepuh yang berujud buaya putih."

Dari balik pakaian birunya Ratu Laut Utara mengeluarkan sebuah kotak kecil terbuat dari perak. Dia menyodorkan kotak Itu pada si nenek seraya berkata. "Di dalam kotak perak ini terdapat sejumput benda sangat langka yaitu tembakau putih. Begitu bertemu Ratu Sepuh, keluarkan tembakau putih dari dalam kotak. Ambil sejumput kecil tembakau putih dan lemparkan ke arahnya. Dia pasti akan lari tunggang langgang karena tembakau putih adalah pantangannya. Jika kau mampu menyentuhkan tembakau putih ke tubuhnya maka seluruh kesaktian Ratu Sepuh akan rontok! Bahkan dia akan menemui ajal dalam beberapa kejapan mata saja!"

Nyi Kuncup Jingga ambil kotak perak yang diberikan Ratu Laut Utara, menyimpan diballk pakaian. "Sri Paduka Ratu, saya pergi sekarang."

"Pergilah. Begitu kau berhasil membunuh Ratu Sepuh segera temui aku di Bukit Cinta di Pulau Menjangan Kecil."

"Baik Sri Paduka Ratu," jawab Nyi Kuncup Jingga. "Pergilah. Ingat, tinggalkan tempat ini melalui pintu rahasia Lantai Samudera Atap Bumi."

Setelah Nyi Kuncup Jingga pergi membawa kotak perak. Ratu Laut Utara segera memanggul raga Pendekar 212 yang sejak tadi tergolek di atas tempat tidur.

"Purnama, ikuti aku. Ada seseorang yang harus kita habisi saat Ini juga!"

"Kalau saya boleh bertanya, siapa orang itu Sri Paduka Ratu?" tanya Purnama.

"Namanya Ayu Lestari..."

"Siapa dia Sri Paduka Ratu?"

"Kau tidak perlu tahu siapa dia!" Ratu Laut Utara jadi jengkel karena ditanya terus. "Yang penting kau harus membunuhnya!"

"Aku punya pantangan. Tidak bisa membunuhnya sebelum tiga ratus hari. Lagi pula kau berada dibawah perintahku! Apakah kau masih mau bertanya. Purnama?"

“Tidak Sri Paduka Ratu."

Ratu Laut Utara menatap wajah pucat Purnama yang belum lama dilepaskan dari totokan dan disembuhkan dari cidera. Diam-diam Ratu Laut Utara merasa kawatir kalau totokan yang dilakukan musuh atas diri Purnama sebelum diselamatkan telah merubah jalan pikirannya. Ternyata Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati masih menguasai gadis itu. Untuk menghilangkan rasa was-was Ratu Laut Utara ajukan beberapa pertanyaan.

"Purnama, apakah kau baik-baik saja?"

"Saya baik-baik saja Sri Paduka Ratu."

"Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?"

"Tidak ada Sri Paduka Ratu."

"Ada sesuatu yang mengacaukan pikiranmu?"

"Tidak juga Sri Paduka Ratu."

"Apakah kau punya perasaan tertentu terhadap pemuda yang ada di bahu kananku ini? Kau menyukainya?"

Purnama menatap wajah Pendekar 212 sebentar lalu menjawab. "Tidak Sri Paduka Ratu."

"Kalau begitu laksanakan perintahku tanpa banyak bertanya."

"Mohon maafmu Sri Paduka Ratu. Saya akan melakukan apa yang Sri Paduka Ratu perintahkan. Tunjukkan orang yang harus saya bunuh itu."

"Bagus. Sekarang ikuti aku!"

Begitu keluar dari ruangan, tepat di depan pintu besi yang hangus Ratu Laut Utara dan Purnama melihat bangkai Raja Kalong Laut Utara tergeletak gosong mengerikan.

"Raja Kalong, aku akan membalaskan kematianmu!" ucap Ratu Laut Utara lalu memberi isyarat pada Purnama agar berjalan lebih cepat.

********************

Ketika membuka pintu merah di ruang batu tempat Ayu Lestari, Ratu Laut Utara yang asli di sekap. Ratu Laut Utara melengak kaget. Mata mendelik tubuh bergetar. Tawanan itu tidak ada lagi di dalam ruangan. Dinding batu di sebelah belakang hancur berentakan membentuk satu lobang besar!

"Kurang ajar. Tawanan melarikan diri!" teriak Ratu Laut Utara marah besar. Kakinya ditendangkan. Dua jeruji besi sebesar betis patah berentakan. Ratu Laut Utara masuk ke dalam ruangan. "Benar-benar kurang ajar! Bagaimana mungkin?!"

"Sri Paduka Ratu," kata Purnama. "Menyaksikan keadaaan di tempat ini saya rasa tawanan bisa melarikan diri karena ada pertolongan orang dari luar!"

"Aku sudah mengetahui hal itu," jawab Ratu Laut Utara sambil melotot memperhatikan dinding batu yang Jebol. "Ilmu Dinding Gaib Laut Utara yang kuterapkan tidak mempan. Dinding yang jebol tidak bisa pulih kembali! Hanya ada satu orang yang bisa melakukan hal itu. Ratu Sepuh!"

Ratu Laut Utara memperhatikan lantai ruangan dan sebagian dinding yang jebol. Keadaannya basah oleh air laut. "Ada basahan air laut. Ada bau wangi. Ratu Sepuh! Dia memang benar-benar sudah muncul! Dia yang datang ke tempat ini membebaskan tawanan! Keparat kurang ajar!"

BAB DUA BELAS

Yang disebut pintu rahasia Lantai Samudera Atap Bumi adalah sebuah mulut goa terletak di balik rerumpunan semak belukar lebat di rimba belantara Pulau Menjangan Besar. Ketika Ratu Laut Utara yang memanggul Wiro keluar dari goa rahasia itu bersama Purnama, kedua orang ini kaget setengah mati melihat pemandangan yang ada di depan matanya!

Di sebelah kiri Datuk Api Batu Neraka tergeletak di tanah. Mata mencelet, leher robek besar nyaris putus. Darah membasahi janggut dan sekujur tubuhnya yang sama sekali tidak mengenakan pakaian. Tak jauh dari tempat sang Datuk tergeletak, terkapar sosok raksasa Jin Durna Rawana dalam keadaan megap-megap. Tubuh terkelupas hangus dan kepulkan asap menebar bau menggidikkan.

"Gila! Edan! Apa yang terjadi?" Ratu Laut Utara tampak marah besar. Dalam marah dia menduga-duga. Lalu dia mendengar suara perempuan mengisak. Cepat dia palingkan kepala ke kiri. Di situ, di depan serumpunan semak belukar Ning Kameswari duduk dengan muka pucat ketakutan, terisak menahan tangis sambil menutupi tubuhnya dengan jubah putih milik Datuk Api Batu Neraka! Ternyata di balik Jubah itu tidak selembar benangpun menutupi auratnya.

Ratu Laut Utara mendatangi dengan langkah besar. Rambut Ning Kameswari dijambak. "Katakan apa yang terjadi?! Cepat!"

"Saya mohon maafmu Sri Paduka Ratu..."

"Perempuan Jahanam! Aku tidak menyuruh kau minta maaf. Aku minta katakan apa yang terjadi!"

"Plaakkk!" Ratu Laut Utara tampar pipi kiri Ning Kameswari hingga gadis berwajah cantik bertubuh sintal ini terpekik kesakitan, kucurkan darah di sudut bibir. Di tengah isakannya Kameswari kemudian bercerita.

"Mohon maafmu Sri Paduka Ratu. Saya mengaku salah. Berbuat lalai dalam menjalankan tugas. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Datuk memaksa saya. Setelah saya berhasil mencelakai pemuda gemuk bernama Bujang Gila Tapak Sakti dengan tujuh kalajengking biru, Datuk mengajak saya ke tempat ini untuk bercinta. Tiba-tiba datang Jin Durna Rawana Datuk di bunuh."

Rupanya setelah dihantam Wiro dengan lidah api dan dalam keadaan tubuh dikobar! api Jin Durna Rawana masuk mencebur ke dalam air laut. Dia tidak segera menemui ajal. Dalam keadaan sakarat dan tubuh hangus terkelupas dia mencari Datuk Api Batu Neraka yang sudah lama dibencinya. Sang Datuk ditemui di pulau tengah bercinta dengan Ning Kameswari yang diam-diam juga disukainya. Ini membuat dendam kesumat Jin Durna Rawana semakin berkobar. Dengan cara membokong Durna Rawana berhasil membunuh Datuk Api Bara Neraka.

"Mahluk-mahluk tak berguna!" teriak Ratu Laut Utara. Kakinya menendang dua kali. Mayat Datuk Api Batu Neraka mencelat tiga tombak. Tubuh raksasa Jin Durna Rawana yang tengah sekarat terguling-guling. Di satu tempat sosoknya meledak berkeping-keping lalu berubah menjadi asap merah dan sirna dari pemandangan.

"Ratu saya mohon. Saya minta ampun. Saya jangan dibunuh!" Kata Ning Kameswari sambil sujud menyembah di tanah ketika Ratu Laut Utara mendatanginya. Dia tidak perduli lagi keadaan tubuhnya yang tersingkap bugil karena jubah milik Datuk Api Batu Neraka telah merosot jatuh ke tanah.

"Aku memberi banyak kepercayaan dan keleluasaan padamu! Ternyata kau hanya menimbulkan kekacauan! Kau pantas menyusul kedua gendakmu itu!" Habis berkata begitu Ratu Laut Utara berpaling pada Purnama. "Habisi dia!"

Ning Kameswari menjerit keras. "Tidak! Jangan Ratu! Ampun!"

Purnama melangkah tenang mendekati Kameswari. Tiba-tiba kaki kanannya melesat. Menghantam telak di dada orang. Darah menyembur dari mulut perempuan itu.Tubuhnya mencelat jauh.

********************

Didalam lorong di bawah Pulau Menjangan Besar Wiro dan Ratu Duyung masuk ke dalam ruang tidur besar Ratu Laut Utara yang juga disebut Ruang Penantian Cinta. Begitu masuk langsung saja dua kaki mereka laksana dipantek di lantai batu. Betapa tidak. Pada dinding ruangan di seberang sana terpampang lukisan besar diri Wiro dalam keadaan telanjang!

Ratu Duyung membuang muka lalu cepat balikkan badan dan keluar dari ruangan. Untuk beberapa lamanya Wiro masih tegak memandangi lukisan dirinya lalu garuk-garuk kepala.

"Gila! Bagaimana ada lukisanku di tempat celaka ini! Telanjang pula! Siapa yang melukis? Ratu sialan itu? Wah, anuku dibikin mencong, begitu?! Jelek amat! Untung tidak ada orang lain yang melihat lukisan ini. Tapi Intan..." Wiro melirik ke arah Ratu Duyung yang tegak membelakanginya.

"Wiro, sebaiknya kita cepat-cepat tinggalkan tempat ini." Kata Ratu Duyung yang wajahnya masih bersemu merah.

"Baik Intan. Aku memang mau pergi. Tapi biar aku musnahkan dulu lukisan edan itu!"

Tidak tanggung-tanggung Wiro lalu menghantam dinding yang ada lukisan dirinya dengan Pukulan Sinar Matahari! Bukan cuma dinding yang hancur berentakan tapi seluruh ruangan tidur runtuh, beberapa bagian terowongan ikut ambruk.

********************

Mendengar suara bergemuruh di bawah tanah sekitar lobang bekas pohon Waru si nenek jadi merasa kawatir. Dia segera terapkan ilmu mengirim suara dari jauh pada Ratu Duyung.

"Lekas keluar dari dalam goa! Kalian tidak akan menemukan Ratu Laut Utara di sana. Aku barusan melihatnya berkelebat ke arah barat..."

"Tak usaha kawatir Nek, kami sudah ada di sini." Tiba-tiba terdengar suara Ratu Duyung. Dia muncul diikuti sukma Pendekar 212.

"Dengar, aku barusan melihat Ratu Laut Utara melarikan diri ke arah barat. Memanggul raga Wiro. Kita bisa mengikuti dan mengejar mereka dengan ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak Jantung..."

Ketiga orang itu segera berkelebat ke barat dan baru berhenti ketika sampai di tepi pantai sebelah baret Pulau Menjangan Besar. Nyi Roro Manggut menunjuk ke langit. Sebuah benda biru seperti seekor burung melayang turun kepermukaan laut.

"Benda biru itu pasti Ratu Laut Utara. Ada sebuah pulau di sebenang sana," kata Ratu Duyung.

"Setahuku Ratu Laut Utara punya beberapa tempat rahasia," menjelaskan Nyi Roro Manggut.

"Kita menyeberang sekarang juga! Pulau itu tak berapa jauh. Kita bisa berenang!" kata Wiro.

Ketiganya segera bersiap-siap masuk ke dalam laut. Namun tiba-tiba air laut mencuat. Dari dalam laut melesat sosok berpakaian hitam. Bau pesing menebar mencucuk pernafasan. Lalu terdengar suara membentak.

"Anak setan! Jangan buru-buru minggat! Aku mau bicara dan memberikan sesuatu pada calon binimu!"

"Hah!" Wiro tersentak kaget. Ratu Duyung tak kalah kejutnya, sementara Nyi Roro Manggut goleng-goleng kepala, tejuling-juling memperhatikan orang yang barusan keluar dari dalam laut dan melangkah ke arah mereka.

"Eyang Sinto!" seru Wiro.

"Sssttt! Saat ini aku tidak mau banyak bicara denganmu. Apa lagi kau cuma sosok sukma, bukan manusia benaran! Hik hik hik! Aku mau bicara dengan Ratu Duyung!"

Orang yang bicara melangkah langsung ke arah gadis bermata biru. Ternyata dia adalah si nenek bermulut perot Eyang Sinto Gendeng guru Pendekar 212. Tubuhnya melangkah agak menggigil seperti kedinginan. Mata tampak merah dan bergelembung karena kurang tidur.

"Nek, bagaimana kau bisa berada di pulau ini?" tanya Ratu Duyung seraya menghampir dan memeluk bahu Sinto Gendang.

"Panjang ceritanya, panjang ceritanya..." jawab si nenek bau pesing. Dari balik kebaya hitamnya nenek ini keluarkan sebuah kantong kain berwarna perak karena dilapisi cairan timah yang sudah mengering. "Aku sudah tiga hari tiga malam menunggumu di sini. Lihat mataku sampai bengkak karena tidak tidur-tidur. Tubuhku menggigil kedinginan karena terus-terusan berendam dalam air laut. Ikan-ikan sudah banyak yang mati karena tidak tahan mencium bau pesing air kencingku. Hik hik hik!"

"Nek, mengapa kau sengaja menunggu kami di sini? Tadi Eyang bilang mau memberikan sesuatu pada..."

Si nenek segera membentak. Mata dibeliakkan. "Aku sudah bilang aku hanya mau bicara dengan gadis ini!"

"Baik Nek! Baik Nek! Silahkan bicara!" kata Wiro sambil menyengir dan garuk kepala.

"Ratu Duyung..."

"Namanya sudah diganti jadi Intan Nek!" Wiro kembali menyeletuk.

"Anak setan sialan! Kau selalu memotong ucapanku! Apa mau kusumpal dengan ini?!" Sinto Gendeng keluarkan susur dari dalam mulutnya. Siap disumpalkan ke mulut Wiro. Sang murid cepat-cepat mundur menjauh. Si nenek kembali berpaling pada Ratu Duyung.

"Dengar, aku datang jauh-jauh menemuimu ke sini hanya untuk menyerahkan ini..." Sinto gendeng lalu serahkan kantong kain yang dilapisi timah kering.

Ketika menerima kantong, si gadis melihat tangan kanan Sinto Gendeng melepuh merah. "Kenapa tanganmu Nek?" tanya Ratu Duyung sambil pegang dan mengelus lengan kanan si nenek.

"Anu, aku terluka karena... karena tidak kuat memegang benda ini. Karena itu benda aku bungkus dengan kain berlapis timah. Itu pun sesudah ada seorang teman memberi tahu. Kalau tidak, oala, amblas tangan kananku. Bisa buntung! Cepat, ambillah."

Walau heran mendengar keterangan si nenek Ratu Duyung segera mengambil kantong kain. "Apa isinya Nek?"

"Buka kantongnya. Lihat sendiri," jawab Sinto Gendeng.

Ratu Duyung memandang pada Wiro, menatap ke arah Nyi Roro Manggut lebih dulu baru membuka kantong kain. Ada hawa aneh dingin ketika tangannya menyentuh benda dalam kantong. Begitu benda itu dikeluarkan tiba-tiba...

"Srettt!" Cahaya menyilaukan berkiblat. Di tangan Ratu Duyung kini tergenggam sebilah pedang luar biasa tipis, memancarkan cahaya putih terang dan menebar hawa sejuk.

"Pedang Naga Suci Dua Satu Dua!" berseru Wiro.

Ratu Duyung sendiri tidak bisa percaya kalau yang diserahkan si nenek dan kini dipegangnya adalah pedang mustika sakti yang terkenal itu.

Wiro garuk kepala. "Nek," katanya. "Jadi kau yang mencuri pedang sakti itu, menukarnya dengan yang palsu. Nek, kau ini apa-apaan..."

Sinto Gendong tertawa mengekeh.

"Nek, aku masih kurang jelas. Tolong ceritakan bagaimana kejadiannya."

Si nenek seperti hendak marah namun kemudian tertawa cengengesan. "Sebetulnya aku tidak mau bicara padamu. Tapi sekali ini tidak jadi apa. Biar aku mengalah. Setelah dapatkan Pedang Naga Suci kembali, Kiai Gede Tapa Pamungkas membawa pedang ke tempat kediaman di puncak Gunung Gede. Aku mencuri, menukar dengan pedang palsu."

"Mengapa kau tega berbuat begitu Nek?" tanya Wiro.

"Ini bukan soal tega atau tidak tega. Aku tidak punya maksud jahat. Aku hanya ingin menebus dosa."

Wiro garuk-garuk kepala. "Menebus dosa? Memangnya kau punya dosa apa Eyang?"

"Aku ingin menyerahkan senjata itu kembali pada Tua Gila. Saat menerima warisan dari Kiai Gede Tapa Pamungkas puluhan tahun silam, aku berlaku serakah. Aku mengambil kapak dan pedang sekaligus. Tua Gila tidak dapat apa-apa. Aku menyesal. Aku coba menebus dosa dengan memberikan senjata itu padanya. Tapi itulah... Dengan cara mencuri dan memperdayai guruku sendiri. Dosa sedikit tapi pahalanya kan lebih banyak. Hik hik hik!"

"Kalau begitu ceritanya, saya tidak berani menerima senjata ini Nek," kata Ratu Duyung pula.

"Oala! Jangan kau bicara begitu. Pedang sakti itu memang seharusnya akan menjadi milikmu. Cuma aku saja tua bangka ini yang membuat sedikit kericuhan. Sebenarnya aku bisa menunggu memberikannya kapan-kapan. Tapi aku mendengar kalian ada urusan besar dengan Ratu Laut Utara. Apa kalian tidak tahu kalau Ratu satu itu hanya mampu dihabisi dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua?"

"Mengapa bisa begitu Nek?" tanya Wiro.

"Aku tidak tahu. Tapi kata orang, pedang sakti ini adalah pedang betina alias perempuan. Ratu Laut Utara juga perempuan. Nah perempuan dengan perempuan biasanya jarang akur. Jadi ada yang bakal apes. Nah yang apes itu si Ratu Laut Utara tadi! Hik hik hik."

"Kalau begitu ceritanya, kami sangat berterima kasih sekali padamu Nek."

"Anak setan! Sudah! Dari tadi kau paling banyak omong! Urus dulu masalahmu! Kalau sukma mu tidak bisa masuk kembali ke dalam ragamu, celaka nasibmu. Kau akan gentayangan seumur-umur di kolong langit. Manusia bukan setan juga bukan!" Habis berkata begitu Sinto Gendeng tertawa cekikikan lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.

********************

BAB TIGA BELAS

Pulau Menjangan Kecil. Walau udara cerah namun angin laut bertiup lebih dingin dan lebih kencang. Begitu berada di tepi pantai Wiro, Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut melihat sebuah bukit kecil. Inilah bukit yang oleh Ratu Laut Utara diberi nama Bukit Cinta. Di atas bukit sebelah kiri terdapat dua buah patung telanjang. Satu patung perempuan dalam keadaan berbaring menelentang, satu lagi patung lelaki yang merunduk di atas patung perempuan. Di kejauhan sayup-sayup terdengar suara alunan gamelan.

"Sepi, tapi ada alunan gamelan." Kata Ratu Duyung. Lalu dia memegang lengan Wiro dan berbisik. "Aku ingin menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Tapi kawatir Ratu Laut Utara masih memagar diri dengan ilmu jahat yang bisa membutakan mata."

"Biar aku yang mencoba," kata Wiro pula. Dia segera kerahkan tenaga dalam ke mata. Setelah menunggu beberapa lama tidak terjadi apa-apa. "Aku tidak bisa mempergunakan ilmu itu. Ratu Laut Utara pasti sudah memagari tempat ini."

"Aneh. bagaimana ada gamelan di tempat seperti ini. Kalau ini memang pekerjaannya Ratu Laut Utara apa maksudnya?" kata Ratu Duyung.

"Yang lebih aneh lagi, yang aku dengar adalah gending duka cita. Gending kematian." Ujar Nyi Roro Manggut.

"Ratu Laut Utara sengaja mengacau hati dan pikiran kita." Menyahuti Wiro.

"Jangan terpancing." Mengingatkan Nyi Roro Manggut. "Aku akan hancurkan dua patung itu!" Wiro angkat tangan kanannya. Siap melepas pukulan dahsyat.

"Tunggu!" kata si nenek pula. "Patung itu, aku seperti mengenali raut wajah mereka. Coba kita mendekat lebih dulu."

Ketika ketiga orang itu hanya tinggal lima belas tombak dari mereka tersentak kaget dan sama hentikan langkah.

"Apa kataku!" ucap si nenek.

"Gila! Ini benar-benar gila!" teriak Wiro. "Tadi lukisan! Sekarang patung!"

Ratu Duyung menutup dua mata dengan tangan. Patung perempuan yang berbaring menelentang, raut tubuh serta wajahnya jelas merupakan Ratu Laut Utara. Sedang patung lelaki yang berada di atas patung perempuan bukan lain membentuk sosok dan wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua patung berada dalam keadaan bersatu badan!

Sukma Wiro tidak dapat menahan diri lagi. Tangan kanan dipantang. Tangan itu serta meria berubah menjadi putih perak menyilaukan. Wiro hendak menghantam patung dengan Pukulan Sinar Matahari!

"Wiro, tahan!" Ratu Duyung berkata.

Nyi Roro Manggut cepat memegang tangan kanan sang pendekar.

"Lihat!" Ratu Duyung menunjuk ke arah patung. Saat itu tampak Ratu Laut Utara muncul melangkah perlahan memanggul raga Wiro. Dengan hati-hati raga yang lehernya masih ditancapi bambu kuning itu dibaringkan di samping patung perempuan. Di belakang Ratu Laut Utara berjalan perampuan cantik berpakaian biru gelap yang bukan lain adalah Purnama. Gadis dari Latanahsilam ini menating sebuah nampan di atas mana terdapat dua buah seloki besar terbuat dari perak. Nampan diletakkan dekat kaki patung lelaki.

"Purnama..." desis Wiro. "Benar-benar dia. Aku tidak bisa mempercayai mataku!"

Di belakang Purnama berjalan seorang nenek lagi, walau tua tapi masih berwajah cantik, berambut putih mengenakan kebaya panjang serta kain warna putih. "Astaga!" Ratu Duyung terkejut ketika melihat dan mengenali nenek itu.

Nyi Roro Manggut geleng-geleng kepala dan keluarkan suara tersedak beberapa kali. "Bukankah nenek satu itu Nenek Cempaka? Orang kepercayaan Ratu Laut Utara yang pertama? Bagaimana dia bisa bergabung dengan Ratu Laut Utara yang merebut tahta dari anak asuhnya sendiri Ayu Lestari?!"

"Kurasa seperti Purnama nenek itu juga juga sudah kena ilmu tenung jahat Ratu Laut Utara!" kata Ratu Duyung.

"Gila," bisik si nenek pada Ratu Duyung. Kita berdua belum tentu bisa menghadapi nenek satu ini..."

Ratu Duyung memang tahu betul kehebatan Ilmu kesaktian nenek itu. Untuk menenteramkan hati dia pegang kuat-kuat gulungan Pedang Naga Suci 212 yang ada di genggaman tangan kanan.

"Aku tidak melihat Nyi Kuncup Jingga," bisik Nyi Roro Manggut.

"Kurang ajar! Ragaku ada di sana. Aku tidak bisa menghancurkan patung bejat itu!" Ucap Pendekar 212 penuh geram.

Tiba-tiba suara alunan gamelan terdengar lebih keras lalu berubah perlahan. Begitu suara gamelan lenyap Ratu Laut Utara bertepuk tiga kali. Suaranya merdu sekali ketika berucap.

"Seorang kekasih penyanding tahta Kerajaan Bawah Laut Utara telah datang. Mohon maaf kalau penyambutan begini sederhana. Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng, minuman kebahagiaan telah tersedia untuk kita berdua. Silahkan datang mendekat dan silahkan minuman diteguk."

Wiro tak bergerak di tempatnya Mulutnya berucap. "Aku ingin sekali merobek mulut perempuan itu!"

"Wiro kekasihku! Mengapa kau berdiam diri.

Mengapa tidak mau datang kesini? Apakah dua orang yang bersamamu itu menghalangi? Ah, sungguh sangat disayangkan kau tidak datang seorang diri. Perlu apa membawa serta dua mahluk buruk dan busuk itu! Satu nenek jelek, satu gadis kesasar tak tahu diuntung yang dulunya setengah manusia setengah ikan! Bagaimana kalau keduanya kita masukkan dulu ke dalam kerangkeng?!"

Ratu Duyung jadi merah seluruh wajahnya. Seperti diketahui gadis bermata biru ini dulu semasa kutukan masih menimpa dirinya, tubuhnya pernah sebelah atas menyerupai manusia namun bagian bawah berbentuk ikan. Berkat pertolongan Wiro-lah maka kelainan akibat kutuk itu berhasil dilenyapkan.

"Intan, tenangkan hatimu. Jangan terpengaruh ucapan Ratu durjana itu!" kata Wiro pada Ratu Duyung.

Ratu Laut Utara tiba-tiba bertepuk dua kali. Entah dari mana asalnya tahu-tahu dua kerangkeng besi melesat di udara dan melayang turun tepat di depan Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut. Pintu kerangkeng terbuka dengan sendirinya.

"Jahanam kurang ajar!" rutuk Nyi Roro Manggut. Nenek Ini hantamkan tangan kanannya ke arah kerangkeng besi. Ratu Duyung melakukan hal yang sama. Dua cahaya biru berkiblat. Dua kerangkeng besi hancur berkeping-keping.

Ratu Laut Utara tertawa panjang. "Rupanya kalian tidak suka masuk kerangkeng. Tidak jadi apa. Nanti aku carikan tempat yang lebih baik bagi kalian. Mungkin kandang ayam atau kandang kambing! Hik hik hik!"

Saat itu sukma Wiro telah melompat dan berdiri lima langkah di hadapan Ratu Laut Utara.

"Kekasih penyanding tahta. Akhirnya kau sudi juga mendekat. Betapa bahagianya hati ini. Apakah aku boleh menawarkan minuman kebahagiaan itu kembali?"

"Ratu Laut Utara!" bentak Pendekar 212. "Kami datang bukan untuk sandiwara tolol ini! Jika kau sayang nyawamu, kembalikan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dan lepaskan Ayu Lestari, Ratu yang kau sekap selama ini!"

"Kekasihku gagah! Rupanya aku salah mengira!" jawab Ratu Laut Utara. "Aku mengira kau datang untuk bersanding di tahta Kerajaan Laut Utara bersamaku. Tapi tak jadi apa. Apa hanya dua hal itu saja yang jadi permintaanmu?"

"Ratu, aku bukan kekasihmu! Jangan mimpi di siang bolong!" Hardik Wiro.

"Oh begitu? Lalu apa artinya dua patung yang bagus indah ini? Kita sudah bersatu badan di dalam kegaiban. Dan kau masih mampu mengatakan dirimu bukan kekasihku! Sungguh sedih aku mendengar. Betapa malang diriku!"

"Perempuan liar! Nasibmu memang malang! Mungkin lebih malang dari ini!"

Tiba-tiba ada orang bicara dengan suara keras. Lalu bluuukk! Sebuah benda melayang jatuh tepat di depan kaki Ratu Laut Utara. Perempuan ini delikkan mata. Semua orang ikut kaget Yang terkapar di depan sang Ratu adalah sosok Nyi Kuncup Jingga yang sudah jadi mayat. Sosoknya mulai dari kepala sampai ke kaki tampak bengkak. Di mulutnya menyumpal sebuah kotak perak.

Kejut Ratu Laut Utara, Purnama dan Nenek Cempaka bukan kepalang. Ketika mereka dan semua orang memandang ke kanan, hanya dua tombak jaraknya, kelihatan seekor buaya putih besar, seorang pemuda gendut yang sebentar-sebentar meringis kesakitan sambil pegangi bagian bahwa perutnya yang tampak melendung bengkak yang bukan lain adalah Bujang Gila Tapak Sakti. Di samping si gendut ini berdiri seorang gadis cantik berpakaian hijau. Di sebelahnya tegak gadis berambut pirang Bidadari Angin Timur.

Wiro besarkan matanya memandang pada gadis berpakaian hijau. "Ayu Lestari. Ternyata kau dalam keadaan selamat" Dia juga memandang dan kedipkan mata pada Bidadari Angin Timur, tersenyum menyaksikan Bujang Gila Tapak Sakti namun mengerenyit ketika memperhatikan buaya putih besar.

Akan halnya Ratu Laut Utara saat itu boleh dikatakan tengkuknya terasa dingin ketika melihat buaya putih. Dia tidak takut menghadapi semua orang yang ada di tempat Itu. Tapi terhadap buaya putih itu! Sementara Purnama dan Nenek Cempaka tegak tenang-tenang saja karena mereka memang tidak lagi mampu berpikir sendiri. Otak keduanya berada di bawah kendali Ratu Laut Utara.

Tiba-tiba suara gamelan mengalun kembali. Lagunya bukan gending yang tadi. Ini mengejutkan Ratu Laut Utara karena bukan dia yang membuat gamelan gaib bergema lagi. Bersamaan dengan itu buaya putih tegakkan kepala lalu ada kepulan asap putih. Begitu asap sirna buaya putih itu telah berubah menjadi seorang nenek berwajah kelimis, berpakaian beludru warna hijau bertubuh tinggi semampai tapi agak bungkuk. Di tangan kanan dia memegang sebatang tongkat emas. Di kepala ada satu mahkota emas bertabur batu permata. Inilah perujudan asli Ratu Sepuh yaitu Ratu pertama Kerajaan Laut Utara.

"Ah dia benar-benar masih hidup. Malah datang unjukkan diri di tempat ini. Membawa Ratu keparat itu, seorang pemuda gendut dan janda muda Kepala Pengawal Kesultanan Cirebon!" Ratu Laut Utara membatin dengan hati tergetar. Tiba-tiba dia berkata.

"Kekasihku Wiro, kau lihat sendiri. Ayu Lestari datang bersama rombongan orang-orang yang tidak kukenal ini. Jadi jelas, aku tidak pernah menyekapnya seperti yang kau katakan tadi. Ah, begitu banyak fitnah di dunia ini!"

Nenek berjubah bludru hijau ketukkan tongkatnya ke tanah hingga Seantero tempat bergetar. Dua patung besar bergoyang dan keluarkan suara berderak.

Bidadari AnginTimur yang pernah ditantang dan diteriaki janda itu sudah panas hatinya, Ingin menghajar sang Ratu. Sesaat dia melirik pada Purnama. Dadanya mau meledak. "Pasti dia yang memberi tahu perihal diriku pada Ratu celaka itu. Kalau bukan dia siapa lagi! Aku harus mencari kesempatan agar dapat merobek mulutnya yang kotor jahat itu!"

BAB EMPAT BELAS

Nyi Harum SARTI! Tiba-tiba Ratu Sepuh menghardik menyebut Ratu Laut Utara dengan nama aslinya. "Hentikan semua perbuatan tololmu dan aku percaya pertumpahan darah bisa dihindarkan di tempat ini!"

"Nenek tua! Aku tak kenal siapa dirimu! Mengapa bicara hebat!" Ucap Ratu Laut Utara seraya perlahan-lahan melangkah mendekati mayat Nyi Kuncup Jingga.

Ratu Sepuh tertawa panjang mendengar kata-kata Ratu Laut Utara. Tiba-tiba Ratu Laut Utara membungkuk, menyambar kotak perak yang menyumpal di mulut mayat Nyi Kuncup Jingga. Dengan cepat dia membuka kotak itu. Ternyata apa yang dicarinya tidak ada di situ. Kotak dalam keadaan kosong!

"Ratu Laut Utara, kau mencari tembakau putih pahala kematian diriku?" Ratu Sepuh menegur. "Sejak tadi aku mengunyah tembakau itu!" Si nenek lalu buka mulutnya lebar-lebar, memperlihatkan tembakau putih yang dicari sang Ratu. "Ratu tolol, kematian bukan disebabkan oleh tembakau atau segala macam barang tolol! Kematian adalah Kuasa Gusti Allah! Ratu Sepuh memandang berkeliling, lalu ketukkan tongkatnya ke kaki kanan Bujang Gila Tapak Sakti. "Out, apakah kau tidak bisa diam barang sebentar. Dari tadi mengerang terus. Sekali sekali mengucapkan kata-kata kotor. Apa kau kira aku tidak mendengar?"

"Ampun Nek. Tapi barangku. Sakitnya tidak tertahankan. Kau berjanji mau mengobati!" Jawab Bujang Gila Tapak Sakti.

Si nenek ketok kembali kaki pemuda itu hingga Bujang Gila Tapak Sakti terpaksa tutup mulut rapat-rapat. Ratu Sepuh berpaling kembali pada Ratu Laut Utara. "Ratu Laut Utara, kau tadi mengatakan tidak kenal diriku. Hik hik! Kau benar. Karena kau bukan Ratu yang syah dari Kerajaan Laut Utara. Pemuda gondrong itu tadi ajukan dua permintaan padamu. Pertama kembalikan batu mustika milik orang selatan yang saat ini ada padamu. Hemm... aku bisa melihat batu sakti itu ada di dalam dadamu. Permintaan kedua si gondrong ini yang patungnya bagus tapi konyol mesum sekali. Yaitu agar kau melepas Ayu Lestari yang kau sekap. Aku dan teman-teman telah melepaskannya. Jadi dari si gondrong kau hanya tinggal memenuhi satu permintaan. Lalu dari aku ada satu permintaan. Serahkan tahta Kerajaan Laut Utara secara damai pada Ayu Lestari. Dia yang berhak karena dia menerima warisan dariku. Bukan kau!"

"Begitu?" ucap Ratu Laut Utara lalu mendongak dan tertawa gelak gelak. Tiba-tiba suara tawanya lenyap, berganti dengan bentakan memerintah." Purnama! Bunuh tua bangka sinting itu!"

Begitu mendengar perintah tanpa pikir panjang lagi Purnama langsung melompat. Tangan kanan dipukulkan ke arah Ratu Sepuh, melepas pukulan Kutuk Alam Gaib Lapis Ke Tujuh. Pukulan ini adalah pukulan terhebat yang dimiliki gadis dari alam 1200 tahun silam ini. Si nenek merasakan tubuhnya bergetar. Sambil angkat tongkat emasnya ke atas dia berkata,

"Cucuku manis, ilmu baik harus untuk kebaikan. Mengapa dipergunakan untuk kejahatan?" Cahaya kuning menyilaukan membersit dari tongkat emas. Saat itu juga Purnama terpaku diam tak bisa berkutik lagi.

"Nenek Cempaka! Jangan diam saja! Habisi tua bangka jahanam Itu!" Ratu Laut Utara kini berikan perintah pada Nenek cantik berpakaian serba putih.

"Eh... Nenek bagus, sobatku lama jangan kemana-mana. Tetap di tempatmu!" Ratu Sepuh berkata sambil dorongkan tongkat emasnya. Selarik sinar kuning menderu, membungkus tubuh Nenek Cempaka hingga seperti Purnama diapun tak bisa bergerak lagi. Diam kaku!

"Nyi Harum Sarti, aku mulai bosan dengan permainan tak berguna ini. Apakah kau tidak mau menyerahkan batu mustika dan tahta Kerajaan yang kau kuasai secara tidak syah?!"

Ratu Laut Utara tidak menjawab. Tiba-tiba sekali lompat saja dia telah berada di samping raga Wiro yang terbaring di kaki patung. Tangan kirinya mencekal salah satu ujung bambu kuning yang menancap di leher.

"Nenek sinting! Semua yang ada di sini! Dengar baik-baik apa yang akan aku katakan! Aku akan menyerahkan batu mustika dan tahta Kerajaan dengan satu syarat sebagai imbalan. Aku harus mendapatkan orang yang sejak lama aku cintai! Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Aku tidak akan berniat jahat terhadapnya. Aku ingin dia menjadi pendamping hidupku untuk selanjutnya. Aku ingin dia jadi suamiku karena aku memang mencintainya!"

Keadaan di tempat itu sirap seketika. Sunyi. Hanya suara angin yang terdengar. Semua orang memandang ke arah Wiro. Ratu Duyung pejamkan mata. Belum lama ini dia berterus terang, dengan ketulusan hati menyatakan cinta kasihnya pada Wiro. Kini ada orang lain mengatakan hal yang sama! Gadis ini melirik ke arah Bidadari Angin Timur. lalu melirik lagi pada Ayu Lestari.

Ratu Laut Utara yang asli yaitu Ayu Lestari merasakan dadanya sesak. Hatinya bergetar. "Kecintaanku pada Wiro tidak pernah padam sejak pertama kali aku bertemu. Ketika benih cinta ini tumbuh semakin subur, ketika aku melihat dirinya kembali, mengapa ada orang lain yang begitu berani mengatakan cintanya dalam keadaan seperti ini? Ada berapa banyak gadis yang mencintai dirinya? Tuhan, jika Wiro kejatuhan kasih cintamu, aku ingin jangan perempuan seperti Nyi Harum Sarti itu yang Kau beri rakhmat Tuhan, maafkan diriku kalau aku telah berlaku keliru..." Air mata menggenang di kelopak mata gadis ini.

Ratu Sepuh batuk-batuk, senyum-senyum lalu berkata. "Pendekar, apa jawabmu? Katakan sesuatu!"

Wiro menggaruk kepala. Ratu Laut Utara putar potongan bambu kuning yang menancap di leher Wiro. Walau Wiro tidak merasakan apa-apa, namun rasa ngeri membuat pendekar ini dingin kuduknya!

"Wiro. aku tahu kau tidak mencintai gadis bernama Ratu Duyung yang setengah manusia setengah ikan itu! Aku juga tahu kau tidak mencintai Ayu Lestari, Ratu sengsara itu. Lalu aku juga tahu kau tidak mencintai gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur yang janda muda dari Kepala Pengawal Kesultanan Cirebon Tubagus Kesumaputra itu! Wiro, kalau kau tidak mengabulkan permintaanku aku akan membunuhmu saat ini juga melalui ragamu! Lalu aku akan bunuh diri!"

Bujang Gila Tapak Sakti, Ratu Sepuh, Wiro, Nyi Roro Manggut dan Ratu Duyung sama menatap ke arah Bidadari Angin Timur. Mereka tidak perduli Ratu Laut Utara mau bunuh diri. Tapi mereka merasa heran akan apa yang barusan diucapkan Ratu Laut Utara yaitu bahwa Bidadari Angin Timur sebagai janda muda Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon bernama Tubagus Kesumaputra! Suasana tampak tegang. Saat itu gadis berambut pirang ini berdiri dengan tubuh seperti membara, wajah mengelam merah. Sepasang mata memandang menyala ke arah Ratu Laut Utara.

"Nyi Harum Sarti," Wiro akhirnya memecah kesunyian. "Aku masih mengharapkan ada cahaya kesadaran dalam dirimu. Tapi jika aku harus mati di tanganmu apa boleh buat."

Saat itu tiba-tiba Ratu Duyung mendengar suara mengiang di telinganya. "Ratu Duyung, aku Ratu Sepuh. Aku tahu ada seseorang memberikan sebilah pedang sakti padamu. Aku tahu hanya senjata itu yang bisa menghabisi perempuan jahat itu. Apa lagi yang kau tunggu. Lakukan sekarang!"

Ratu Duyung menatap ke arah Ratu Sepuh. Nenek ini kedipkan mata dan anggukkan kepala. Perlahan-lahan gadis bermata biru ini buka tangan kanannya yang sejak tadi menggenggam.

"Srett!" Pedang Naga Suci 212 terbuka dari gulungan, memancarkan sinar putih menyilaukan. Ratu Duyung melangkah mendekati Ratu Laut Utara. "Ratu durjana! Ratu Sepuh sebenarnya telah memberi pengampunan atas dirimu. Mengapa kau berlaku tolol dan angkuh!"

Ratu Laut Utara angkat kepalanya sedikit tapi sepasang mata memperhatikan pedang di tangan Ratu Duyung. Setelah keluarkan suara mendengus dan sunggingkan senyum mengejek Ratu Laut Utara berkata,

"Sebagai manusia aku mencium tubuhmu berbau harum. Tapi aku juga mencium bau amis karena kau sebenarnya adalah ikan jejadian! Hik hik! Aku tidak heran mengapa kau jadi kalap! Aku tahu kau mencintai pendekar itu! Berusaha mendapatkannya dengan berpura-pura menjadi orang gagah pembela kebenaran!"

Dikatakan bau amis dan sebagai mahluk ikan jejadian, Ratu Duyung kertakkan rahang. Didahului teriakan keras menggelegar gadis ini putar senjata di tangan. Cahaya putih berkiblat dingin.

Ratu Laut Utara cepat hindarkan diri sambil berteriak. "Manusia pengecut! Aku tidak bersenjata! Kau menyerangku dengan pedang!"

"Nyi Harum Sarti'."Ratu Sepuh berseru. "Kau boleh pakai tongkatku sebagai senjata!" Si nenek lalu lemparkan tongkat emasnya ke udara.

Ratu Laut Utara cepat menyambar tongkat. Begitu tongkat berada dalam genggamannya langsung dibabatkan. ke arah Ratu Duyung!

"Trang!" Tongkat dan pedang bentrokan di udara mengeluarkan suara nyaring dan kilatan warna kuning serta putih. Selanjutnya pertarungan berlangsung hebat jurus demi jurus. Walau Ratu Laut Utara memegang tongkat sakti milik Ratu Sepuh, namun dia tidak memiliki kemampuan mengendalikan senjata itu.

Setelah sepuluh jurus berlalu keadaannya mulai terdesak. Untuk mengimbangi serangan gencar lawan Ratu Laut Utara mulai lepaskan pukulan-pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi dengan tangan kiri. Ratu Duyung tidak tinggal diam. Tangan kirinya berulang kali melepas pukulan sakti hingga lawan kembali terdesak. Kali ini lebih hebat dari yang tadi.

Pada saat inilah tiba-tiba Ayu Lestari melompat ke dekat patung. Dengan cepat dia menyambar raga Wiro. Sambil berteriak memanggil Wiro dia membawa raga sang pendekar ke tempat aman, menjauhi pertarungan yang tengah berkecamuk hebat.

Melihat apa yang dilakukan Ayu Lestari, Nyi Roro Manggut cepat bertindak. Dia segera mendatangi Ayu Lestari. Wiro menyusul.

"Nek, kau lebih tahu dariku bagaimana menolong Wiro. Tolong Nek, aku rasanya..."

Nyi Roro Manggut membantu Ayu Lestari membaringkan raga Wiro di tanah. "Anak setan!" Nyi Roro Manggut berkata pada Wiro. Si nenek rupanya sudah ketularan cara bicara Sinto Gendeng. "Aku akan mencabut bambu kuning di leher ragamu. Begitu bambu dicabut kau lekas menerapkan Ilmu Meraga Sukma agar sukma mu bisa masuk kembali ke dalam tubuh kasarmu."

"Aku siap Nek," jawab Wiro. Lalu dia duduk bersila di tanah. Tanpa berkesip, Wiro perhatikan apa yang dilakukan Nyi Roro Manggut.

"Sekarang Wiro!" seru si nenek.

"Kreekk"

Bersamaan dengan bergeraknya, tangan Nyi Roro Manggut mencabut bambu kuning dari leher raga Wiro, sukma Wiro mengucap Basmallah tiga kali disambung menyebut Meraga Sukma Kembali Pulang juga tiga kali.

Walau tengah bertarung hebat dan dalam keadaan terdesak, namun apa yang dilakukan Ayu Lestari Nyi Roro Manggut dan sukma Wiro tidak lepas dari perhatian Ratu Laut Utara. Ketika dia melihat jelas si nenek hendak mencabut bambu kuning di leher raga Wiro, Ratu Laut Utara menjerit keras.

"Tidak! Jangan! Hentikan...!!!"

Sambil babatkan tongkat emas ke arah Ratu Duyung, Ratu Laut Utara lepaskan satu pukulan sakti ke arah Nyi Roro Manggut. Si nenek cepat jatuhkan diri, berguling di tanah. Wiro dan Ayu Lestari ikut berlompatan selamatkan diri. Sembari bergulingan di tanah Nyi Roro Manggut lemparkan bambu kuning di tangan kanan ke arah Ratu Laut Utara. Seperti anak panah melesat dari busur, potongan bambu menderu dan mendarat telak di kening Ratu Laut Utara. Tapi laksana menghantam tembok batu atos bambu kuning itu terpental patah dua tanpa mampu melukai sasaran bahkan menggorespun tidak!

Serangan Ratu Laut Utara terhadap Nyi Roro Manggut bukan saja tidak mampu mencegah masuknya kembali sukma Wiro ke dalam raga namun gerakannya menyerang sambil melompat tadi di tambah adanya hantaman bambu di kening membuat genggamannya pada tongkat emas goyah.

"Traang!" Begitu tongkat emas dan pedang sakti saling beradu, tongkat terlepas mental ke udara. Ratu Sepuh tanpa bergerak dari tempatnya ulurkan tangan kanan. Tongkat sakti laksana seekor burung jinak melayang turun dan masuk ke dalam genggaman pemiliknya.

Ratu Laut Utara dengan nekad masih meneruskan lompatan ke arah Wiro yang sudah menyatu antara raga dengan sukma. Dia tidak melihat bagaimana dari arah samping Pedang Naga Suci 212 berbalik, menderu dahsyat, membabat membelintang pertengahan dadanya. Darah mengucur deras dari dada yang nyaris terbelah. Nyi Roro Manggut cepat melompat dan menangkap Batu Angin Laut Kencana Biru yang melesat keluar dari dalam tubuh Ratu Laut Utara.

Apa yang dikatakan Sinto Gendeng jadi kenyataan. Ratu Laut Utara hanya mampu dikalahkan dengan Pedang Naga Suci 212. Tubuh sang Ratu tersungkur di tanah. Namun luar biasanya tubuh itu bangkit kembali, melangkah terhuyung-huyung mendekati Wiro. Mulut berulang kali menyebut nama Wiro. Dua langkah dari hadapan sang pendekar dia tak mampu lagi berjalan jatuh berlutut tapi kepala masih menatap lurus ke arah Wiro dan mulut masih bisa keluarkan ucapan.

"Wiro... Kasih sayangku padamu bukannya loyang. Kasih sayangku padamu akan aku bawa ke liang lahat. Aku sangat berbahagia karena kau turut menyaksikan kepergianku. Walau di dunia kita tidak bisa bersatu. Aku akan menantimu di akhirat..."

Ratu Laut Utara ulurkan tangan kanan, berusaha menyentuh wajah Pendekar 212, namun tangan itu terkulai jatuh ke tanah. Tubuh kaku tak bergerak namun mulut masih mengeluarkan kata-kata walau kali ini suara yang keluar jauh lebih perlahan, tak ada yang mendengar kecuali Wiro.

"Kekasihku, ini bukan akhir dari satu perjalanan. Ini bukan akhir dari segala-galanya. Kita akan bertemu lagi. Karena aku akan menitis masuk ke dalam diri Ken Permata..."

Pendekar 212 merasa sekujur tubuh mendadak menjadi dingin. Apa barusan dia tidak salah mendengar. Apa dalam keadaan sakarat Ratu Laut Utara sadar apa yang diucapkannya? Ken Permata adalah puteri Nyi Retno Mantili. Istri mendiang Patih Kerajaan Wira Bumi yang selama ini dicarinya dan tidak tahu berada dimana.

Di kejauhan kembali mengalun suara gamelan. Perlahan-lahan tubuh Ratu Laut Utara condong ke depan lalu tersungkur di tanah. Mahkota emas bertabur batu permata tanggal terjatuh ke tanah. Ratu Duyung pejamkan mata menahan jatuhnya air mata. Ayu Lestari Ratu asli Kerajaan Laut Utara benamkan wajah ke dada Nyi Roro Manggut. Wiro terduduk di tanah, terkesiap menyaksikan apa yang terjadi. Ratu Sepuh menatap sayu ke depan. Semua terdiam dalam pikiran dan hati masing-masing.

Tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat. Tubuh tak bernyawa Ratu Laut Utara mencelat mental lalu terkapar ditanah dalam keadaan mulut hancur. Semua orang berseru kaget Memandang berkeliling mereka melihat Bidadari Angin Timur yang sejak tadi berdiri di samping Ratu Sepuh tak ada lagi di tempat itu!

Ikuti episode berikutnya:

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.